PETUALANGAN ROH IBLIS
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Petualangan Roh Iblis
128 hal.
1
Kuntum bunga merah jingga masih
mekar
tersenyum walau panas sinar
mentari menyapa
garang. Tangkai-tangkainya
meliuk gemulai di-
iringi desau irama sang bayu.
Namun, keharuman
bunga warna senada tak lagi
melengkapi keinda-
han Bukit Palastra. Bau anyir
darah dan teriakan kekhawatiran menyemak lepas dari kungkungan
sunyi. "Pak Tua! Pak
Tua!"
Seorang remaja tampan berpakaian
putih
penuh tambalan menjerit parau
dengan air muka
keruh kusut.
Diguncang-guncangkannya tubuh
lelaki setengah baya berjubah
hitam.
"Pak Tua! Pak Tua! Kau
tidak boleh mati
secepat ini!"
Tubuh lelaki berjubah hitam diguncangkan
semakin keras. Tapi, lelaki
bernama Gajah Angon
itu tetap terkulai lemah tiada
daya. Diam membi-
su dalam kepasrahan. Kedua
kakinya tampak
menancap di tanah sampai sebatas
lutut.
"Huh! Geblek benar aku
ini!" rutuk si remaja sambil menggaplok kepalanya sendiri. "Kalau mau
menolong orang, bukan begini caranya! Huh!
Kenapa aku lupa pada ajaran
Kakek Wajah Me-
rah?!" Remaja tampan yang
tak lain dari si Pengemis Binal Suropati ini nyengir kuda sejenak.
Lalu, dia kerahkan seluruh
tenaganya untuk da-
pat mengangkat tubuh Gajah
Angon.
Brol...!
Bruk...!
Begitu kedua kaki Gajah Angon
tercabut
dari tanah, Suropati tak dapat
menjaga keseim-
bangan tubuhnya. Jatuh
telentang, tertindih tu-
buh Gajah Angon.
Tak mau kehilangan waktu, cepat
dipang-
gulnya tubuh Gajah Angon yang
masih terkulai
lemah. Dia berjalan gontai
mencari tempat teduh.
Beberapa kali hampir terpeleset
jatuh karena dia sendiri terluka dalam yang tak bisa dibilang ringan. Sementara
itu, di lereng bukit, berjarak pu-luhan tombak dari tempat Suropati yang tengah
berusaha menyelamatkan jiwa
Gajah Angon, seo-
rang bocah lima belas tahunan
tampak terbaring
telentang. Wajahnya yang
sebenarnya cukup ma-
nis berubah mengerikan karena
bola matanya
melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Di
batok kepalanya menancap sebuah
tusuk konde
emas bermata intan berlian.
Ujungnya menyem-
bul dari balik rambut
riap-riapan. Pakaian yang
dikenakan bocah bernama Prahesti
ini kotor ber-
debu dan telah robek di beberapa
bagian.
Manakala di angkasa melintas
sekawanan
burung dadali, terdengar keluh
pendek dari mulut Prahesti. Lalu, jari-jari tangannya bergerak men-cengkeram
tanah. Perlahan kaki kanannya te-
rangkat. Dan... sekali jejak,
tubuh bocah yang telah disusupi roh Barata Sukma ini melesat ke
atas. Setelah bersalto dua kali,
mendaratlah dia sigap. Dengan sinar mata berapi-api, dia arahkan
pandangannya ke puncak bukit.
Ditariknya napas
panjang beberapa kali. Tahu
dirinya tak menderi-
ta luka dalam, Prahesti tertawa
panjang mengikik.
"Hi hi hi...! Bodoh benar
kau, Lelaki Bang-
sat! Kenapa kau begitu mudah
terpengaruh sihir
pemuda gendeng itu?! Kini, kau
tentu telah mera-
sakan ketajaman Pedang Naga
Kembar yang me-
nembus dadamu! Hi hi hi...! Itu
memang layak
kau terima untuk menebus
kebodohanmu! Hi hi
hi...!" Tawa Prahesti
terdengar menggiriskan, membuat bulu kuduk meremang. Seperti tawa iblis
penasaran yang turun ke bumi. Beberapa ekor
burung parkit tampak menggelepar
terbang dari
ranting pohon membawa rasa
ngeri.
Dengan pandangan tetap mengarah
ke
puncak bukit, Prahesti meraba
gagang Pedang
Burung Hong yang terselip di
punggungnya. Dia
raba pula Arca Budha yang
tersimpan di kantong
bajunya.
Sekilas bibirnya menampakkan
senyum.
Lalu... dia lesatkan tubuhnya
dengan membawa
segudang hawa amarah!
Hanya dalam waktu dua tarikan
napas,
Prahesti telah menjejakkan kaki
di puncak bukit.
Kini, matanya nanar memandang
sesosok tubuh
lelaki setengah baya berpakaian
kuning merah.
Tubuh itu kaku mengejang tanpa
nyawa. Sebilah
pedang yang memancarkan sinar
putih berkilat-
kilat menancap di dadanya. Dia
Lelaki Genit Mata Banci! (Untuk mengetahui asal mula terjadinya
peristiwa berdarah di puncak
Bukit Palastra ini,
silakan menyimak serial Pengemis
Binal dalam
episode: "Penyesalan Ratu
Siluman").
"Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa mengikik, tak bosan menatap tubuh Lelaki Genit Mata Banci
yang mulai dikerumuni semut.
"Hanya kematian yang pantas diterima manusia berotak kerbau
macam kau, Lelaki Bangsat!"
dengusnya. "Harga dirimu pun tak lebih dari kotoran binatang dungu itu! Hi
hi hi...!"
Sambil terus tertawa, Prahesti
berdiri pon-
gah membusungkan dada.
Dihirupnya dalam-
dalam bau anyir darah yang
menebar. Lalu tan-
gan kanannya bergerak pelan,
meraba sarung pe-
dang berukir dua ekor naga yang
terselip di pinggangnya. Dengan tatapan tajam menusuk, ka-
kinya melangkah.
Kasar sekali dia mencabut bilah
Pedang
Naga Kembar yang menancap di
dada Lelaki Genit
Mata Banci. Untuk beberapa lama,
dia pandangi
cairan darah yang melumuri bilah
pedang warisan
itu.... "Uh...!"
Prahesti terkesiap mendengar
suara kelu-
han. Pandangannya berubah
nyalang, namun se-
nyum lebar segera mengembang di
bibir bocah se-
tengah siluman ini.
Di bawah naungan pohon besar,
agak ter-
samar oleh tangkai-tangkai bunga
merah jingga,
Suropati tampak tengah duduk
bersila. Kedua te-
lapak tangannya menempel di dada
Gajah Angon.
Rupanya, Suropati sedang
menyalurkan hawa
sakti ke tubuh lelaki berjubah
hitam itu.
"Hmmm.... Pemuda gendeng
itu tak menge-
tahui kehadiranku," gumam
Prahesti, menatap tajam punggung Suropati yang duduk membela-
kanginya. "Aku tak boleh
menyia-nyiakan kesempatan ini!"
Sejenak, bocah perempuan
berpakaian pu-
tih bergaris coklat ini menatap
lagi bilah Pedang Naga Kembar. Lalu sambil menggembor keras, dia
sambitkan pedang berlumuran
darah itu dengan
kekuatan penuh!
"Hiah...!"
Zing...!
Bilah Pedang Naga Kembar
meluncur ce-
pat. Wujudnya berubah menjadi
kilatan cahaya
putih yang sangat menyilaukan
mata. Sementara,
Suropati yang menjadi sasaran
sama sekali tak
bergeming. Malaikat kematian
siap mencabut
nyawa pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti ini!
Swik..!
Ting...!
Namun sebelum darah manusia
kembali
menodai permukaan tanah di
puncak Bukit Pala-
stra, melesat setitik cahaya
hitam yang tak lain dari sebutir kerikil. Karena lesatannya amat cepat dan
kuat, dapat dipastikan bila orang yang me-lontarkannya memiliki tenaga dalam
yang hebat
luar biasa.
Kerikil yang tak lebih besar
dari biji kacang
tanah itu tepat membentur bilah
Pedang Naga
Kembar. Hebatnya, setelah
kerikil yang dilontar-
kan dari arah berlawanan itu
jatuh ke tanah, bi-
lah Pedang Naga Kembar tampak
bertahan di
udara, diam melayang seperti ada
kekuatan ka-
satmata yang menahannya. Tapi
pemandangan
yang mengagumkan ini tidak
berlangsung lama,
karena....
Wusss...!
Zing...!
Serangkum angin pukulan meluruk
cepat,
mengeluarkan suara menderu
ganas. Bilah Pe-
dang Naga Kembar yang melayang
di udara tiba-
tiba meluncur balik, menuju ke
arah Prahesti!
Walau Pedang Naga Kembar
meluncur da-
lam keadaan terbalik, gagang
pedang berada di
depan, jangan dikira serangan
ini tidak berba-
haya. Bongkahan batu sebesar
kerbau pun akan
mampu ditembusnya, apalagi tubuh
manusia
yang hanya terdiri dari kulit
dan daging empuk!
"Heh?!"
Terkejut Prahesti menyaksikan
bahaya
yang tengah mengancam. Tak mau
dirinya celaka,
cepat bocah setengah siluman ini
melentingkan
tubuhnya ke atas seraya melepas
sarung pedang
yang terikat di pinggangnya.
Lalu dalam keadaan
masih melayang, tangan kanannya
dijulurkan,
memapaki luncuran bilah Pedang
Naga Kembar!
Wuttt...!
Srat...!
Hebat tiada terkira! Luncuran
bilah Pedang
Naga Kembar yang begitu cepat
dapat ditahan
oleh Prahesti. Bahkan, bilah
pedang warisan itu
berubah meluncur ke atas karena
ujung jari Pra-
hesti berhasil menyentilnya. Dan
sebelum bilah
Pedang Naga Kembar meluncur
lebih tinggi, tan-
gan kiri Prahesti bekerja. Di
lain kejap, bilah Pedang Naga Kembar telah masuk ke dalam sa-
rungnya!
"Hmmm.... Ada orang usil
yang suka men-
campuri urusan orang,"
gerutu Prahesti dalam hati. Setelah mengedarkan pandangan beberapa
lama, dengus napas bocah
perempuan ini terden-
gar memburu. Hawa amarahnya
meluap karena
orang yang telah menyelamatkan
jiwa Suropati
tak mau menampakkan diri.
"He, keparat kau manusia
bangsat!" maki Prahesti kemudian. "Habis berbuat, kenapa
me-nyembunyikan rupa? Apakah ini bukan sikap
seorang pengecut?"
Hanya desir angin dan kicau
burung yang
menyahuti ucapan Prahesti.
Sementara di bagian
lain, Suropati tampak masih
menyalurkan hawa
sakti untuk membantu Gajah Angon
mengatasi
luka dalamnya. Tubuh kedua anak
manusia ber-
beda usia itu tetap duduk
bersila di tanah, tak
bergeming sedikit pun!
"Haram jadah! Setan
alas!" maki Prahesti, lebih keras. "Bila dalam dirinya tersimpan
sifat ksatria, segera tampakkan batang hidungmu,
Bangsat!"
Usai berkata, Prahesti
mengedarkan pan-
dangan. Bocah yang batok
kepalanya ditusuk
dengan sebuah tusuk konde emas
bermata intan
berlian ini tampaknya sudah tak
mau peduli pada
Suropati. Rasa penasaran dan
hawa amarahnya
tertuju pada orang yang telah
menyelamatkan ji-
wa remaja tampan itu.
Saat Prahesti mengeluarkan
kata-kata um-
patan lagi, keterkejutan
menghantam bocah lima
belas tahunan ini. Tak jadi
berkata, mulut Pra-
hesti tampak ternganga.
Sementara, matanya ter-
belalak melihat sebuah benda
hitam besar mele-
sat dari balik pepohonan, lalu
mendarat di tanah tanpa mengeluarkan suara sama sekali!
Terlihat kemudian, sekitar tiga
tombak dari
hadapan Prahesti, sesosok
manusia berwujud
mengerikan. Kedua kakinya dilipat
bersila di atas lempengan batu bergaris tengah satu depa. Tubuhnya kurus
kering, tampak sangat menyedih-
kan, terbungkus pakaian kotor
dekil yang tak le-
bih dari selampir-selampir kain.
Wajahnya tak
dapat dikenali karena tertutup
riap-riap rambut
putih meletak yang menjuntai
panjang sampai
menyentuh tanah. Di beberapa
bagian tubuh
orang ini ditumbuhi jamur payung
berwarna pu-
tih kekuningan.
"Kau menyebut-nyebut kata
'pengecut'. Ti-
dakkah sebutan itu lebih cocok
ditujukan kepada
dirimu sendiri? Membokong orang
yang tidak ber-
daya, apakah bukan ciri seorang
pengecut?"
Terdengar rentetan kalimat cukup
panjang.
Suaranya mirip rintihan orang
sakit yang hampir
dijemput ajal.
Prahesti mcndengus gusar. Bocah
setengah
siluman ini tahu bila suara yang
didengarnya be-
rasal dari mulut manusia
berwujud mengerikan.
"Hmmm.... Kata-katamu
sangat menying-
gung perasaanku, Monyet
Bau!" timpal Prahesti.
"Kaukah manusia usil yang
telah menyelamatkan pemuda gendeng itu?!"
"Aku yang bodoh dan kotor
ini hanya pe-
rantara saja. Sang Pencipta-lah
yang berkehen-
dak," sambut manusia
berwujud mengerikan, tetap ngorok seperti rintihan orang sakit
Prahesti mendelikkan mata.
Ditatapnya
orang tua renta yang duduk
bersila di lempengan
batu dengan tatapan tajam
berkilat. Dicobanya
untuk mengenali, tapi tak dapat.
Wajah si tua
renta tertutup rapat oleh
riap-riap rambutnya.
"Perbuatanmu itu telah
menanam bibit
permusuhan denganku, Monyet
Bau!" sentak
Prahesti. "Katakan siapa
dirimu agar aku bisa menyiarkan kabar kematianmu nanti!"
"Hmmm.... Melihat wujudmu,
aku tahu
umurmu belum seberapa. Namun
betapa heran-
nya aku. Dalam usiamu yang
semuda itu, kenapa
dalam dirimu telah tersimpan
begitu banyak naf-
su jahat? Apakah kau tidak tahu
bila Tuhan men-
ciptakan karma untuk dijadikan
ingatan manusia
berperilaku? Yang baik akan
menerima balasan
budi, yang jahat akan menerima
kutuk atas keja-
hatannya."
"Tak perlu banyak cakap!
Cepat katakana
siapa dirimu!"
Mendengar bentakan keras
Prahesti, si tua
renta menarik napas panjang.
Dari balik riap-riap rambutnya, dia tatap wajah Prahesti lekat-lekat.
Terkejut orang ini saat melihat
tusuk konde yang menancap di kepala Prahesti.
"Hmmm.... Ada kekuatan aneh
yang men-
guasai jalan pikiran bocah
itu," tebak si tua renta dalam hati. "Mungkinkah ada roh jahat yang
menyusup ke dalam tubuhnya?"
"Kenapa kau diam saja,
Monyet Dekil?!"
bentak Prahesti, keras
menggelegar. "Melihat kemampuanmu yang telah kau tunjukkan tadi, gat-
al tanganku untuk segera
menjajal seluruh ke-
saktianmu! Tapi sebelum nyawamu
kukirim ke
neraka, aku ingin tahu siapa kau
sebenarnya.
Apakah kau masih punya hubungan
kerabat den-
gan pemuda gendeng itu?"
"Siapa aku, itu tidak perlu
kuberitahukan
kepadamu, Anak Manis,"
sambut si tua renta, kalem. "Aku hanyalah manusia kotor yang berlumuran
dosa. Namun bila kau sangat penasaran ingin
tahu siapa aku, baiklah aku
katakan, dengan sa-
tu harapan agar kau segera
menyingkir dari tem-
pat ini. Berdiamlah di tempat
sunyi, jauh dari ke-ramaian manusia. Agar dapat kau membuka mata
hati, apakah semua perbuatanmu
telah sesuai
dengan jalan pikiranmu
sendiri?"
"Bedebah! Sudah kubilang
kau jangan ba-
nyak cakap, Keparat!"
bentak Prahesti dengan wajah merah padam. "Kalau ingin mengenalkan siapa
dirimu, segera katakan! Tak perlu mengumbar
kata-kata yang hanya membuat
panas hatiku!"
Si tua renta menarik napas
panjang bebe-
rapa kali. "Semoga Tuhan
memberi ampunan...,"
desisnya.
"Hmmm.... Rupanya kau
manusia yang tak
tahu diberi hati. Tak jadi apa
bila kau tidak mau
mengenalkan diri. Tapi yang
jelas, aku tetap akan melumatkan tubuhmu yang sudah bau tanah
itu!" Di ujung kalimatnya,
Prahesti menghunus Pedang Naga Kembar. Tapi sebelum bilah pedang
warisan itu keluar dari
sarungnya, si tua renta
menggerakkan tangan kanannya.
Pelan dan tam-
pak tanpa tenaga. Namun....
Set...!
"Heh?!"
Terkejut Prahesti tiada terkira.
Kalau ada
orang disambar petir di siang
bolong, begitulah
keterkejutan yang dirasakan
Prahesti saat ini. Pedang Naga Kembar tiba-tiba lepas dari cekalan-
nya, lalu melesat dan menempel
di telapak tangan kanan si tua renta!
"Sayang bila pedang bertuah
ini digunakan
di jalan sesat...," desah
si tua renta seraya menyelipkan Pedang Naga Kembar di balik selampir kain
bajunya.
Melihat itu, kemarahan Prahesti
tak dapat
dibendung lagi. Darahnya
mendidih naik sampai
ke ubun-ubun. Dengan bola mata
melotot besar,
ditatapnya si tua renta penuh
kebencian.
Selagi Prahesti menyalurkan
tenaga dalam
untuk mengirim pukulan jarak
jauh, di bagian
lain Suropati tampak sudah
selesai memberikan
pertolongan kepada Gajah Angon.
Remaja tampan
itu lalu melipat tangannya di
depan dada. Dengan bersedekap dan mata terpejam rapat, dia berusaha mengatasi
luka dalamnya sendiri. Sementara
Gajah Angon pun tampak berbuat
serupa. Dia
masih perlu mengatur hawa
murninya untuk
mengatasi rasa pening akibat
pukulan Lelaki Ge-
nit Mata Banci yang mendarat
tepat di kepalanya.
Mereka sama sekali tak
mempedulikan kehadiran
Prahesti dan si tua renta, yang
kini tengah bersi-tegang. "Mati kau!" gembor Prahesti kemudian.
Sesaat Prahesti menarik kedua
tangannya
ke belakang sejajar pinggang
seraya menarik na-
pas dalam-dalam. Lalu kedua
tangannya yang te-
lah dialiri tenaga dalam penuh
dia hentakkan ke
depan! Wusss...!
Dua larik sinar kuning
menggidikkan mele-
sat dari telapak tangan
Prahesti. Mengarah tubuh si tua renta yang berupa tulang-belulang terbungkus
kulit keriput!
"Hiah...!"
Mendadak, tanpa beranjak dari
tempat du-
duknya, si tua renta mengibaskan
telapak tangan
kanannya. Gerakannya lemah dan
tampak tak
bertenaga. Tapi, dari telapak
tangan kanan orang tua yang sudah sangat uzur ini melesat gelombang angin
pukulan dahsyat!
Blarrr...!
Timbul ledakan keras
menggelegar. Kun-
tum-kuntum bunga merah jingga
yang tumbuh di
tempat ini tampak terpapas dari
tangkainya, lalu berguguran. Dedaunan pohon besar rontok, sementara
ranting-rantingnya meliuk dan sebagian
berpatahan bagai dihempas angin
topan.
Prahesti mendengus gusar.
Amarahnya
semakin meluap tak
terkendalikan. Dua larik si-
nar kuning yang melesat dari
telapak tangannya
tertahan gelombang angin pukulan
si tua renta,
kemudian meluncur ke angkasa, lalu
lenyap tan-
pa bekas!
"Sayang, kepandaian yang
kau miliki digu-
nakan di jalan yang salah,"
ujar si tua renta, lembut. "Mendekatlah kemari, Anak Manis. Mungkin aku
bisa melepas kekuatan jahat yang mempengaruhi jalan pikiranmu."
Mendapat tawaran bagus itu,
Prahesti ma-
lah menggeram keras laksana
harimau kehilan-
gan anaknya. Dipandangnya si tua
renta dengan
dengus napas memburu. Dadanya
terasa hendak
meledak karena desakan hawa
amarah.
"Kata-katamu semakin
membuat aku ingin
muntah saja, Jahanam!"
sentak Prahesti. "Aku tahu kau mempunyai kemampuan hebat. Namun
aku ingin tahu, apakah
kemampuanmu itu juga
sanggup menahan gempuran pedang
ini?!"
Usai berkata, Prahesti menghunus
pedang
bengkok yang terselip di
punggungnya. Bilah pe-
dang itu penuh dengan ukiran
indah, namun
tampak menggiriskan karena
memancarkan sinar
kebiruan.
Si tua renta terkesiap. Dia tahu
bila pedang
di tangan Prahesti adalah pedang
pusaka yang
memiliki tuah dan kesaktian luar
biasa. Tapi
orang berwujud mengerikan ini
tak punya kesem-
patan untuk berpikir panjang
karena Prahesti te-
lah menerjangnya!
Wuk...!
Pedang bengkok yang tak lain
dari Pedang
Burung Hong membabat dari kiri,
mengarah leher
si tua renta!
"Semoga Tuhan mengampuni."
Sambil memanjatkan doa si tua
renta
menggerakkan kedua kakinya yang
tengah bersi-
la. Walau pelan namun sudah
mampu menggeser
lempengan batu besar yang
didudukinya. Samba-
ran Pedang Burung Hong hanya
mengenai tempat
kosong. Tapi orang tua yang
sudah sangat uzur
ini belum dapat bernapas lega,
karena tiba-tiba
bilah Pedang Burung Hong
mengeluarkan seber-
kas sinar kebiruan yang menyerbu
ke arahnya!
"Hiah...!"
Terpaksa si tua renta
mengibaskan telapak
tangan kanannya. Gelombang angin
pukulan
menderu ganas memapaki sinar
kebiruan Pedang
Burung Hong. Sekali lagi,
ledakan keras mengge-
legar terdengar menggema di
angkasa. Kuntum-
kuntum bunga merah jingga
semakin banyak
yang berguguran. Beberapa pohon
besar yang be-
rada di dekat pusat ledakan
langsung meranggas
karena daun-daunnya rontok tiada
tersisa. Se-
mentara, ranting-rantingnya pun
turut berjatu-
han ke tanah!
"Haram jadah! Manusia
keparat!" umpat
Prahesti, terjerumus dalam
jurang kemarahan.
"Tahan hawa amarahmu, Anak
Manis,"
sambut si tua renta, tenang.
"Ada kekuatan jahat yang mempengaruhi jalan pikiranmu. Akan kuco-ba untuk
melenyapkannya!"
Selesai berkata, si tua renta
menjentikkan
kedua jempol kakinya ke
lempengan batu besar
yang didudukinya. Dan secepat
kilat, tubuh orang ini melesat. Tangan kanannya terjulur hendak
mencabut tusuk konde yang
menancap di batok
kepala Prahesti. Tapi...
"Mau apa kau,
Jahanam?!"
Sambil berkata demikian,
Prahesti memba-
batkan Pedang Burung Hong di
tangannya. Dan,
bilah pedang pusaka ciptaan
seorang tetua Bang-
sa Cina itu bergerak cepat
hendak membelah tu-
buh si tua renta!
Wuk...!
Set..!
Tak mau tubuhnya terpotong jadi
dua, si
tua renta mengurungkan niatnya.
Lalu dengan
sebuah perhitungan yang sangat
masak, dia je-
jakkan kaki kanannya ke punggung
Pedang Bu-
rung Hong. Sekejap kemudian,
tubuh si tua renta
berjumpalitan di udara, lalu
melesat balik dan
mendarat di lempengan batu besar
dalam kea-
daan duduk bersila!
"Heh?!"
Terkejut tiada terkira si tua
renta. Kaki ka-
nannya terasa panas bagai
dijalari api. Warnanya yang semula putih pucat berubah menjadi biru
matang!
"Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa mengikik.
"Kau telah menginjak sebuah
benda bertuah. Sekarang kau bisa merasakan akibatnya, Monyet
Bau! Hi hi hi...!"
Sewaktu Prahesti tertawa
mengejek, si tua
renta menotok beberapa jalan
darah di pergelan-
gan kaki kanannya. Warna biru
matang di ka-
kinya itu kontan lenyap, tapi
tetap terasa panas membakar. Si tua renta hendak memberikan beberapa totokan
lagi, tapi Prahesti keburu memba-
batkan pedang pusaka di
tangannya!
Swosss...!
Seberkas cahaya kebiruan melesat
cepat.
Bergegas si tua renta
memindahkan lempengaan
batu besar yang didudukinya. Dan
sebelum Pra-
hesti melanjutkan serangannya
yang gagal, orang
berambut panjang riap-riapan ini
memegang
pinggiran batu yang didudukinya
dengan kedua
tangan.
Desss...!
"Wuah...!"
Lempengan batu besar itu melesat
amat
cepat membawa tubuh si tua
renta. Malang bagi
Prahesti. Dadanya dihantam
pinggiran batu yang
dikendalikan si tua renta.
Akibatnya, diiringi jerit kesakitan, tubuh Prahesti terlontar jauh, dan jatuh
berdebam di lereng bukit setelah menempuh
jarak tiga puluh tombak!
Hebatnya, begitu menyentuh
tanah, mulut
Prahesti mengeluarkan lengkingan
yang sangat
menyakitkan gendang telinga.
Cepat dia bangkit,
lalu berkelebat menuju ke puncak
bukit. Pedang
Burung Hong tetap berada di
cekalan tangan ka-
nannya. Namun....
"Haram jadah! Bangsat!
Keparat!"
Prahesti mengumpat panjang
pendek. Si
tua renta sudah tak tampak lagi
di puncak bukit.
Saat mengedarkan pandangan,
sosok Suropati
dan Gajah Angon pun turut
menghilang!
2
Gerobak pedati yang ditarik dua
ekor lem-
bu itu merayap berderak-derak
dalam siraman te-
rik sang baskara. Jalan yang
dilaluinya kasar
berbatu-batu. Tak jarang
kubangan cukup dalam
menghadang. Hingga, putaran roda
gerobak se-
makin terhambat. Kalau sudah
begitu, dua lembu
penariknya akan melenguh-lenguh
mengempos
tenaga. Sementara, kusirnya
tampak tak sabaran.
Beberapa kali cambuk di
tangannya menggeletar.
Pemilik pedati itu selalu
menampakkan air
muka keruh dan tiada bosan
bersungut-sungut.
Namun, tak jarang pula bibirnya
tersenyum-
senyum walau air mukanya tetap
keruh. Dia seo-
rang pemuda tiga puluh tahunan.
Tubuhnya yang
kekar terbungkus pakaian
hitam-hitam mirip pe-
tani. Beberapa kancing bajunya
sengaja dibuka
untuk menampakkan bulu lebat
yang tumbuh di
dadanya. Sebuah caping lebar
dari anyaman
bambu bertengger di kepalanya.
Wajahnya kasar
berbulu dan ada bekas luka di
atas alis kanan-
nya. "Masih jauh,
Pak?"
Terdengar sebuah pertanyaan yang
disam-
paikan dengan Bahasa Jawa
patah-patah. Asal-
nya dari gerobak yang beratap
jerami.
Pemilik pedati menoleh ke
belakang seki-
las. "Begitulah. Kira-kira
petang nanti kita akan
sampai."
Percakapan terhenti cuma sampai
di situ.
Gerobak pedati terus merayap
berderak-derak.
Dua lembu penariknya
mendengus-dengus minta
istirahat, tapi pemuda brewok
yang tampak lebih
tua dari usianya ini tak mau
peduli. Cambuknya
menggeletar tiap kali dua ekor
lembunya meng-
hentikan langkah. Beberapa ekor
burung yang
berloncatan di atas ranting
pohon di pinggir jalan seakan mengejek. Kicaunya yang serak parau bak
membeberkan kebodohan sang
lembu.
"Ck...! Ck...! Hiah...!
Hiah...!"
Pemilik pedati berteriak agar
dua ekor lem-
bu berbulu putih kecoklatan
mempercepat lang-
kahnya. Namun, kedua lembu
benggala yang be-
rasal dari tanah India ini malah
memperlambat
langkah. Tak ayal lagi, pemuda
brewok pemilik
pedati berteriak makin keras
seraya menyabetkan
cambuknya. Terdengar suara
menggeletar keras.
Lembu yang di sebelah kanan
melenguh. Mau tak
mau satwa ini mesti mempercepat
langkahnya.
Tak mau dirinya terseret, lembu
yang di sebelah
kiri segera mengikuti.
Namun begitu, air muka pemilik
pedati
makin keruh saja. Mulutnya
menggerutu tak be-
rujung pangkal. Seperti teringat
sesuatu yang
menyenangkan, mendadak pemuda
brewok ini
tersenyum lebar. Diliriknya buntalan
kain putih
yang tergeletak di sebelah
kanannya. Sekilas pandangannya diarahkan ke belakang. Senyum lebar
semakin mengembang di bibirnya.
Matanya pun
turut berbinar-binar. Tak dia
pedulikan lagi ke-
dua lembunya yang mulai
memperlambat langkah
lagi. Dengan raut wajah yang
berubah cerah,
diam-diam pemuda brewokan ini
memungut bun-
talan kain putih, lalu dibukanya
di atas pang-
kuan. Sekilas dia arahkan
pandangan ke bela-
kang. Secepat kilat tangan
kanannya bergerak
mengambil bungkusan kertas di
kantong bajunya
yang berisi serbuk berwarna
kuning pucat. Sece-
pat kilat pula dia taburkan
serbuk itu di atas isi buntalan kain putih yang tak lain dari beberapa
potong singkong rebus.
"Tuan lapar?" tanya
pemuda brewok, lirih.
Perlahan tangannya mengikatkan
ujung-ujung
kain putih di pangkuannya.
Tak ada jawaban.
"Tuan lapar?" ulang
pemuda brewok.
"Oh, tidak," sahut
sebuah suara wanita, tergagap
Mendengar jawaban itu, air muka
pemuda
brewok berubah keruh lagi. Sorot
matanya meng-
gambarkan kekecewaan. Buntalan
kain putih dia
letak-kan kembali ke tempat
semula. "Ck...! Ck...!
Hiah...! Hiah...!" Cambuk
di tangan pemuda brewokan menggeletar keras. Lembu di sebelah kiri
melonjak kaget. Sambil melenguh
panjang, satwa
ini menarik gerobak dengan
langkah tersentak-
sentak. Sementara, dari dalam
gerobak terdengar
keluhan kesakitan seorang
lelaki.
"Ada apa, Pak?" tanya
suara wanita terkejut. "Ah, tidak ada apa-apa, Tuan. Lembu-lembu ini
membandel," kilah pemuda brewok.
Dengan menyimpan rasa kecewa di
hati,
pemuda berwajah mirip
kakek-kakek ini terus
membawa pedatinya menyusuri
jalan-jalan berba-
tu. Sementara, sang baskara yang
memayung te-
pat di atas kepala makin
memancarkan sinar pa-
nas menyengat, menambah
kekecewaan pemuda
brewok.
Mendadak, terbersit satu gagasan
bagus di
benak pemilik pedati. Wajahnya
yang kusut masai
berubah cerah. Dia menoleh
sebentar ke bela-
kang, lalu mengedarkan pandangan
ke kanan kiri
jalan. Hanya satu dua pohon yang
tumbuh. Se-
mentara, di sisi kiri jalan
dibatasi tebing cadas tinggi. Agaknya, langkah lembu pedati tengah me-lewati
sebuah lembah. Tak ada sosok manusia
lain yang terlihat. Desau angin
dan kicau burung terdengar lamat-lamat. Sunyi senyap. "Ck...!
Ck...!" Pemuda brewok
mengekang tali kendali yang dipegangnya. Kedua lembu melenguh,
menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Pak?" tanya
suara wanita dari dalam gerobak pedati.
Pemilik pedati tidak segera
menjawab. Ter-
dengar desah panjang dari
mulutnya.
"Kenapa berhenti, Pak?"
bertanya lagi suara wanita, sedikit kesal.
"Maaf, Tuan. Saya...,"
sahut pemuda brewok, kalimatnya menggantung.
"Kenapa?"
Pertanyaan lain menyusul dari
dalam gero-
bak pedati. Kali ini suara
seorang lelaki.
"Maaf, Tuan.... Saya baru
ingat kalau... kalau...," ucapan pemuda brewok menggantung lagi.
"Kenapa, Pak? Apakah
imbalan yang kube-
rikan kurang?" sahut suara
wanita.
"Ah, tidak. Perjalanan
menuju Kota Kadipa-
ten Bumiraksa memang jauh, tapi
imbalan yang
Tuan berikan juga banyak.
Bahkan, kelewat ba-
nyak," ujar pemuda brewok,
membalikkan badan.
"Kalau begitu, kenapa kau
menghentikan
pedati?"
"Maaf, Tuan. Saya teringat
istri saya...."
Percakapan berhenti sejenak,
tapi suara le-
laki dari dalam gerobak pedati
segera menyahuti.
"Memangnya kenapa dengan
istrimu? Keti-
ka berangkat tadi, apakah kau
belum berpamitan
kepadanya?"
"Bukan begitu, Tuan,"
sergah pemuda brewok. "Istri saya hamil tua. Dia tentu sangat mengharapkan
kehadiran saya. Saya tak mau terjadi apa-apa pada dirinya ketika
melahirkan."
"Maksudmu?"
Pemuda brewok menarik napas
panjang
beberapa kali. Tampak berat untuk
mengutara-
kan apa yang ada di benaknya.
"Kau minta tambah
uang?" cetus suara
wanita. "Terima kasih,
Tuan. Uang yang Tuan berikan sudah cukup banyak. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" buru
suara wanita, tak sabar mendengar kalimat pemuda brewok yang
menggantung beberapa kali.
"Saya tidak bisa mengantar
Tuan sampai di
Kota Kadipaten Bumiraksa,"
ujar pemilik pedati
dengan suara berat. Seperti
penuh penyesalan.
"Apa katamu?!" bentak
suara wanita tiba-tiba.
"Ma... maaf, Tuan. Saya
minta pengertian Tuan.
Istri saya hamil tua. Saya harus
di sampingnya
saat ini. Kalau Tuan kecewa dan
marah kepada
saya, Tuan boleh melakukan apa
saja kepada
saya. Tapi, saya tetap tak bisa
mengantar Tuan
sampai ke tempat tujuan. Uang
Tuan akan saya
kembalikan utuh."
Percakapan berhenti lagi.
Sementara pe-
muda brewok memasang wajah
memelas, orang
yang berada di dalam gerobak
pedati terdengar
berunding.
"Bagaimana, Ayah?"
"Kita turun, Sin Mei."
"Tapi...."
"Kau tak perlu khawatir.
Aku masih sang-
gup berjalan kaki. Beruntung
bila nanti ada kere-ta kuda lewat di jalan ini."
"Tapi...."
"Hmmm.... Kau putri Shia
Hiap Kwe Kok
Jiang. Kau tidak boleh cengeng
seperti ini. Biarkan pemilik pedati kembali. Mungkin istrinya
memang sangat mengharapkan
kehadirannya."
Dari dalam gerobak terdengar
suara gaduh,
lalu disusul suara keluh
kesakitan.
"Maaf, Tuan. Saya terpaksa
sekali," ujar pemuda brewok, menunjukkan penyesalan dalam.
"Bisa saya bantu?"
"Tak perlu," tolak
suara wanita.
Dari dalam gerobak pedati
terdengar suara
berisik. Tampak kemudian, dari
pintu belakang
muncul seorang lelaki lima puluh
tahunan men-
genakan pakaian merah hijau. Di
dadanya terda-
pat balutan kain putih. Sambil
menggigit bibir
untuk menahan sakit, lelaki yang
rambutnya di-
kuncir ini turun dari gerobak
pedati. Sementara, seorang gadis cantik berpakaian kuning bergaris-garis coklat
berusaha membantunya.
"Maaf... maaf, Tuan. Saya
terpaksa...," ujar pemuda brewok, ikut turun dari gerobak pedati
dan berjalan mendekati lelaki
berkuncir.
"Tak jadi apa," tukas
lelaki berkuncir. "Segeralah kembali."
Pemuda brewok menatap iba.
Tergesa-gesa
dia merogoh beberapa keping uang
logam dari
kantong celananya.
"Saya kembalikan uang
Tuan...," ujar pemuda brewok, menyodorkan uang logam di tan-
gannya.
"Tak usah. Aku tahu kau
sangat membu-
tuhkannya," tolak lelaki
berkuncir.
"Ah, Tuan baik sekali.
Kalau begitu bawa-
lah bekal saya. Mungkin Tuan
akan membutuh-
kannya nanti."
Usai berkata, lelaki brewok
membalikkan
badan. Disambarnya buntalan kain
putih yang
tergeletak di bagian depan
gerobak pedati. Lalu, tergesa-gesa dia mengangsurkannya kepada lelaki
berkuncir
"Apa itu?" selidik
gadis cantik yang meme-gangi bahu kanan lelaki berkuncir.
"Barang tak berharga. Hanya
singkong re-
bus. Mungkin Tuan berdua akan
membutuhkan-
nya nanti," sahut pemuda
brewok.
"Tak usah! Kau bawa
saja!" tolak si gadis.
"Ah, Tuan harus mau
menerimanya agar saya dapat membalas kebaikan Tuan."
Setengah memaksa, pemuda brewok
me-
nyodorkan buntalan yang
dibawanya. Karena tak
mau mengecewakan orang, si gadis
yang rambut-
nya digelung ke atas akhirnya
mau menerima
pemberian pemilik pedati itu.
Bergegas pemuda brewok
membalikkan
badan untuk segera naik ke
gerobak pedatinya.
Namun, pemuda yang tampak lebih
tua dari usia
sebenarnya ini terkesiap ketika
si gadis memang-
gilnya. "Pak...!"
"Ya... ya saya,
Tuan...," sahut pemuda brewok, tergagap.
"Kukira singkong rebus ini
bisa kau jadi-
kan bekal dalam perjalanan
pulang."
"Oh, tidak... tidak. Saya
bisa mampir di warung. Lagi pula, saya biasa menahan lapar."
Seperti ada yang ditakutinya,
pemuda bre-
wok meloncat ke gerobak pedati
dengan tergopoh-
gopoh. Selagi pemuda ini
membalikkan arah pe-
datinya, gadis bersanggul
menuntun lelaki ber-
kuncir untuk menepi.
"Ck...! Ck...! Hiah...!
Hiah...!"
Pemuda brewok menyabetkan
cambuknya
beberapa kali. Kedua lembu
penarik pedati segera mengayunkan langkah. Suara berderak-derak
terdengar lagi. Roda pedati
berputar menyusuri
jalan kasar berbatu-batu.
"Ck...! Ck...! Hiah...!
Hiah...!"
"Menyebalkan sekali orang
itu!" gerutu gadis bersanggul ketika berteduh di bawah pohon
rindang.
"Sudahlah, Sin
Mei...," bujuk lelaki berkuncir, lembut. "Kita juga harus mengerti
kepentingan orang."
"Tapi, bukankah kita telah
membayarnya.
Itu berarti dia punya kewajiban
untuk mengan-
tarkan kita sampai ke tempat
tujuan!"
Lelaki berkuncir mendesah.
"Enak sekali orang itu
melepas tanggung
jawab," lanjut si gadis,
menyesali perbuatan pemilik pedati. "Aku kasihan pada Ayah...."
"Hus! Aku tak butuh dikasihani,"
sahut lelaki berkuncir. "Aku memang terluka, tapi tidak ada alasan bagiku
untuk meminta belas kasihan
orang, walau kepada putriku
sendiri."
Gadis bersanggul terdiam.
Ditatapnya wa-
jah lelaki berkuncir dengan
pandangan iba.
"Sudahlah, Sin Mei...,"
ujar lelaki berkuncir, lembut. "Kau tenangkan hatimu sendiri. Tak perlu
menyalahkan pemilik pedati itu. Bukankah
dia telah mengatakan bila
istrinya akan melahir-
kan?" "Tapi, aku
menduga bila apa yang dikata-kannya itu hanyalah bualan kosong belaka."
"Hus! Kau tidak boleh
terlalu berprasangka
buruk!"
Gadis bersanggul diam. Gadis
berkulit pu-
tih ini menatap wajah lelaki
berkuncir lekat-lekat Sementara, si lelaki meraba balutan luka di da-
danya. Siapakah mereka? Menilik
raut wajah,
warna kulit, dan bentuk pakaian
yang mereka
kenakan, mereka adalah si
Pendekar Sesat Shia
Hiap Kwe Kok Jiang dan putrinya,
Kwe Sin Mei.
Dengan bantuan Suropati beserta
Ingkan-
putri dan Gisa Mintarsa, Kwe Kok
Jiang berhasil
mendapatkan Arca Budha dan
Pedang Burung
Hong yang telah dicarinya di
tanah Jawa selama
tiga tahun lebih. Sementara, Kwe
Sin Mei datang
ke tanah Jawa karena ada urusan
menangkap
seorang pelarian berjuluk Ang
Mokko atau Hantu
Merah. Berkat bantuan Suropati
pula, Hantu Me-
rah dapat ditaklukkan. Kwe Kok
Jiang dan Kwe
Sin Mei lalu kembali ke tanah
Tinggoan, negeri
kelahiran mereka, dengan
menumpang kapal seo-
rang saudagar di Kota
Ngadiluwih. Namun, usaha
Kwe Kok Jiang untuk membawa
pulang Arca
Budha dan Pedang Burung Hong
menemui kega-
galan. Di tengah lautan,
Prahesti datang dengan kekuatan gaibnya. Arca Budha dan Pedang Burung Hong
berhasil dirampas, dan Kwe Kok Jiang
pun terluka. Sementara, laju
kapal berbelok,
kembali ke tanah Jawa karena
seluruh awak kap-
al terlelap dalam tidur panjang
akibat pengaruh
ilmu gaib Prahesti. (Baca dalam
episode: "Penyesalan Ratu Siluman").
Kapal dagang berlayar kuning
lalu berla-
buh di Kota Ngadiluwih, sebuah
kota yang menja-
di pusat perdagangan di Kerajaan
Anggarapura.
Dengan membawa rasa kecewa yang
dalam, Kwe
Kok Jiang lalu mengajak putrinya
ke Kota Kadipa-
ten Bumiraksa untuk mencari
keterangan perihal
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong yang telah
dirampas orang. Juga, untuk
menemui Suropati.
Walau dalam hati Kwe Kok Jiang
tidak bermak-
sud meminta pertolongan pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu, tapi
ada baiknya bila dia diberi kabar tentang peristiwa di kapal dagang berlayar
kuning. Karena luka Kwe Kok Jiang cukup parah, hingga membuatnya tidak dapat
me-
nempuh perjalanan jauh dengan
mengandalkan
kekuatan kaki, Kwe Sin Mei
memutuskan untuk
menumpang pedati milik pemuda
brewok yang
mereka temui di tengah jalan.
Kwe Kok Jiang
yang tidak mau menyusahkan
orang, memberi
beberapa keping uang logam
kepada pemilik pe-
dati. Namun baru dapat setengah
perjalanan, pe-
milik pedati mengatakan bila dia
mesti kembali
karena istrinya akan melahirkan.
Dan, Kwe Kok
Jiang pun meluluskan keinginan
orang itu meski
dirinya bersama Kwe Sin Mei
seperti ditelantarkan di sebuah lembah tandus.
"Ayah...," sebut Kwe
Sin Mei sambil mem-benarkan letak duduknya.
"Apa?" sahut Kwe Kok
Jiang tanpa meno-
leh. Tatapannya tertuju lurus ke
utara.
"Bagaimana kalau tidak ada
kereta lain
yang lewat di jalan ini?"
tanya Kwe Sin Mei, turut mengarahkan pandangan ke utara. Hatinya dipenuhi
harapan akan datangnya kereta kuda dari
arah tatapan matanya.
"Berdoalah," sahut Kwe
Kok Jiang, kalem.
"Tapi, bagaimana kalau
benar-benar tidak da-
tang?" "Tetap
berdoalah."
Mendengar jawaban ayahnya, bibir
Kwe Sin
Mei merengut. Rasa dongkol dan
kesal kepada
pemilik pedati muncul lagi.
Dengan kasar dipun-
gutnya buntalan kain putih yang
tergeletak di dekat kakinya.
"Hei!"
Cepat Kwe Kok Jiang mencegah
waktu Kwe
Sin Mei hendak melemparkan
bungkusan berisi
singkong rebus itu.
"Biar aku buang pemberian
lelaki tak ber-
tanggung jawab ini, Ayah!"
sentak Kwe Sin Mei.
"Hus! Tidak baik membuang
makanan. In-
gatlah bahwa di sekitar kita
masih banyak orang
yang menderita kelaparan,"
nasihat Kwe Kok
Jiang. "Lagi pula, kau
harus bisa menghargai pemberian orang. Bila kau membuang pembe-riannya, berarti
kau sama sekali tak menaruh
hormat kepada orang itu."
"Ah, Ayah! Untuk apa
menaruh hormat ke-
pada pemilik pedati yang kotor
dan bau itu?!"
"Sin Mei... Sin
Mei...," Kwe Kok Jiang menggelengkan kepala dengan bibir menyungging
senyum. "Rasa hormat yang
kita berikan tidak boleh memandang derajat atau pangkat. Asalkan
orang itu tidak jahat,
lebih-lebih berbudi luhur, dia layak menerima penghormatan."
'Tapi, apakah pemilik pedati itu
bukan
orang jahat ataupun yang berbudi
luhur? Bukan-
kah kita telah ditelantarkannya
di tempat ini.
Ayah?!"
Mendengar ucapan putrinya yang
bernada
tinggi, Kwe Kok Jiang tersenyum.
"Sudah kubilang, jangan terlalu berprasangka buruk. Kalau
benar terjadi apa-apa terhadap
pemilik pedati itu, kita ikut bersalah, Sin Mei."
Kwe Sin Mei terdiam. Kwe Kok
Jiang tam-
pak menyandarkan punggungnya ke
batang po-
hon. Ditariknya napas panjang
beberapa kali. Lu-
ka di dada kirinya masih terasa
panas dan sakit.
Hal itu membuatnya tak dapat
bergerak bebas.
"Lalu, kita apakan buntalan
ini?" tanya Kwe Sin Mei kemudian, menunjuk buntalan kain
putih di tangan kanannya.
"Makanlah," jawab Kwe
Kok Jiang, singkat.
"Aku tidak mau!" tolak
Kwe Sin Mei, tegas.
"Belum kau lihat, kenapa
sudah bilang tak
mau?" Usai berkata, Kwe Kok
Jiang menyambar buntalan kain putih di tangan Kwe Sin Mei.
Hanya dengan menggunakan tangan
kanannya,
lelaki berkuncir ini berusaha
membuka buntalan
itu. Tangan kiri Kwe Kok Jiang
memang sudah
tak dapat digerakkan lagi. Walau
masih utuh, tapi urat-urat sarafnya sudah tak berfungsi lagi, karena pernah
terbabat putus oleh ketajaman Pedang
Burung Hong, yang ketika itu
berada di tangan
Auwyang Nan le. (Baca dalam
episode: "Rahasia Arca Budha").
"Kau tidak lapar?"
tanya Kwe Kok Jiang.
"Kalau Ayah lapar, marilah
kubukakan,"
tawar Kwe Sin Mei.
Karena merasa kesulitan, Kwe Kok
Jiang
memberikan buntalan kain putih
yang belum se-
lesai dibukanya. Cepat sekali
Kwe Sin Mei beker-
ja. Satu kejap mata kemudian,
telah terpampang
beberapa potong singkong rebus
di dalam kotak
anyaman bambu.
"Hmmm.... Kelihatannya enak
juga, Ayah."
"Makanlah."
"Ayah tidak suka?"
"Bukan tidak suka. Kalau
menelan maka-
nan dadaku masih sakit."
Sejenak Kwe Sin Mei menatap iba
kepada
ayahnya. Usaha Kwe Kok Jiang
untuk mendapat-
kan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong me-
mang berliku-liku dan penuh
tantangan berat.
Usai bertempur melawan
tokoh-tokoh sakti jaja-
ran atas di Pegunungan Than Ala
San, Tibet, dia
mesti mengarungi samudera luas
hingga sampai
di tanah Jawa. Selama tiga tahun
lebih di tanah
Jawa, barulah Kwe Kok Jiang
berhasil menda-
patkan kedua benda pusaka yang
dicarinya. Na-
mun, dia mesti merelakan tangan
kirinya yang
menjadi cacat seumur hidup.
Tapi, perjuangan
Kwe Kok Jiang tidak cukup sampai
di situ. Arca
Budha dan Pedang Burung Hong
lepas lagi dari
genggamannya. Tentu saja hal ini
mengundang
rasa iba dan kasihan Kwe Sin
Mei, putrinya. Demi menjalankan perintah gurunya, Sin Eng Tan Hwe
Liok, Kwe Kok Jiang mesti
bersusah payah mem-
pertaruhkan nyawa.
"Kenapa melamun, Sin
Mei?" tanya Kwe
Kok Jiang melihat Kwe Sin Mei
cuma diam den-
gan tatapan kosong.
"Ah, tidak, Ayah...,"
sahut Kwe Sin Mei, sedikit kaget. Ditatapnya singkong rebus di hada-
pannya, lalu dia tawarkan kepada
ayahnya. "Ayah harus makan."
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng.
"Aku
belum bisa makan," ujarnya
sambil mendekap balutan di dadanya.
"Kalau begitu, kumakan
sendiri. Keliha-
tannya singkong ini memang
enak."
Ketika Kwe Sin Mei tengah
menyantap
singkong pemberian pemilik
pedati, Kwe Kok
Jiang menatap sambil mengulum
senyum. Na-
mun, tiba-tiba lelaki berkuncir
ini terbelalak. Secepat kilat tangan kanannya menyambar sing-
kong yang masih digigit Kwe Sin
Mei.
Set...!
"Hah?! Ada apa. Ayah?"
kejut Kwe Sin Mei.
Kwe Kok Jiang tak menjawab.
Matanya nanar
menatap singkong yang terjepit
jemari tangan ka-
nannya. Singkong itu berwarna
kuning seperti bi-
asa. Tapi, mata Kwe Kok Jiang
yang jeli dapat melihat sebuah kejanggalan. Ada serbuk berwarna
kuning pucat yang melumuri
permukaan sing-
kong. Walau samar-samar, tapi
Kwe Kok Jiang
dapat melihatnya dengan jelas.
Hingga, timbul pikiran di benak Kwe Kok Jiang bila singkong itu....
"Beracun!" seru Kwe
Kok Jiang. "Singkong ini dilumuri racun!"
Kwe Kok Jiang menggeram marah.
Dengan
bola mata melotot besar, dia
banting singkong di tangannya hingga lumat di tanah. Pada saat itulah Kwe Sin
Mei merasa kepalanya pening. Pan-
dangannya turut mengabur.
"Sin Mei!" pekik Kwe
Kok Jiang, khawatir.
"Tolong aku. Ayah...,"
keluh Kwe Sin Mei sambil mendekap kepalanya.
"Tahan! Tahan sebentar. Sin
Mei!"
Terburu-buru sekali Kwe Kok
Jiang menge-
luarkan bungkusan obat di
kantong celananya
yang kedombrongan. Dengan
pandangan nanar
dan dengus napas memburu,
dicarinya bungku-
san yang berisi obat penawar
racun.
"Tahan, Sin Mei! Telanlah
ini!" ujar Kwe Kok Jiang. Telunjuk dan ibu jari tangan kanannya menjepit
sebutir pil berwarna biru.
Namun sebelum pil penawar racun
itu di-
berikan kepada Kwe Sin Mei,
sebuah bayangan
hitam kecil melesat dari
kejauhan!
Tak..!
"Heh?!"
Terkejut tiada terkira Kwe Kok
Jiang. Pil bi-
ru di tangannya terlontar ke
tanah oleh sambitan sebutir kerikil kecil. Kontan lelaki berkuncir ini
menggeram parau ketika tahu tubuh Kwe Sin Mei
telah terkulai jatuh ke tanah!
3
"Ha ha ha...! Ternyata lebih
sulit mengen-
dalikan dua ekor lembu daripada
mengelabui dua
orang manusia ini. Ha ha
ha...!"
Cepat Kwe Kok Jiang menghunus
pedang
yang terselip di punggungnya
saat mendengar su-
ara tawa ejekan yang dibarengi
kelebatan sesosok bayangan.
"Jahanam!" hardik Kwe
Kok Jiang. Ma-
tanya berkilat-kilat menatap
seorang pemuda
brewok yang telah berdiri dua
tombak dari hada-
pannya.
Tak dapat Kwe Kok Jiang menahan
hawa
amarahnya. Pemuda brewok yang
masih tertawa
mengejek itu tak lain dari si pemilik
pedati!
Kwe Kok Jiang hendak menerjang.
Tapi ke-
tika melihat tubuh Kwe Sin Mei
yang terkulai le-
mah di tanah dia mengurungkan
niatnya.
"Sin Mei...! Sin
Mei...!"
Dengan pandangan nyalang penuh
rasa
khawatir, Kwe Kok Jiang
mengguncang-
guncangkan tubuh putrinya. Tapi,
tubuh Kwe Sin
Mei tetap terkulai lemah tiada
daya. Semakin nyalang pandangan Kwe Kok Jiang. Semakin besar
rasa khawatir di hatinya.
Haruskah Kwe Sin Mei,
putri tunggal yang sangat
dicintainya, meninggal di negeri orang?
"Ha ha ha...!
Kekhawatiranmu terlalu ber-
lebihan, Orang Asing! Dia tak
akan mati. Racun
itu hanya membuatnya
pingsan," ujar pemuda
brewok.
Bergegas Kwe Kok Jiang memeriksa
jalan
napas dan detak jantung Kwe Sin
Mei. Benar! Kwe
Sin Mei hanya pingsan. Namun,
hal itu belum
mampu melenyapkan hawa amarah
yang mengge-
legak panas dalam diri Kwe Kok
Jiang. Hati-hati sekali dia baringkan tubuh Kwe Sin Mei. Lalu, bi-
lah pedang dicekalnya lagi....
"Aku tak menyangka sama
sekali bila kau
akan berbuat jahat! Padahal, aku
telah menaruh
kepercayaan dan berbuat baik
kepadamu!" seru Kwe Kok Jiang garang, berdiri menantang.
"Hmmm... Rupanya kau
benar-benar ma-
nusia bebal, Orang Asing!"
tukas pemuda brewok.
"Tidak semua perbuatan baik
dibalas dengan kebaikan pula. Tidak tahukah kau tengah berhada-
pan dengan siapa?! Ketika kita
sama-sama naik
pedati, tidak curigakah kau pada
jalan-jalan yang sunyi senyap? Kenapa tidak ada satu pun manusia lain yang kita
temui? Karena, ada sesuatu
yang mereka takuti di kawasan
ini! Ha ha ha...!
Yang mereka takuti adalah aku!
Mereka takut ke-
pada Setan Muka Tua!"
"Aku tak peduli siapa kau!
Yang jelas kau,
punya maksud tak baik terhadap
aku dan putri-
ku. Oleh sebab itu, sudah layak
bila kubalas ke-
jahatanmu sekarang juga!
Heaaa...!"
Wuk...!
Pedang di tangan Kwe Kok Jiang
berkelebat
membersitkan sinar putih
berkeredepan, menga-
rah leher pemuda brewok yang
mengaku berjuluk
Setan Muka Tua!
"Haya...!"
Tapi sebelum ketajaman pedang
Kwe Kok
Jiang menemui sasaran, Setan
Muka Tua telah
membuang tubuhnya ke belakang.
"Jahanam!"
Menggeram parau Kwe Kok Jiang
melihat
serangannya yang gagal. Sambil
memekik nyar-
ing, dia hendak menyambung
serangan lagi, ta-
pi.... "Uh...!
Argh...!"
Kaki Kwe Kok Jiang tak mampu
berdiri te-
gak. Tubuhnya terhuyung-huyung
dan tersurut
mundur. Tangan kanannya yang
memegang hulu
pedang tampak bergetar.
Sementara, balutan luka
di dadanya yang semula putih
bersih jadi bernoda merah darah!
Agaknya ketika melakukan
serangan tadi,
Kwe Kok Jiang mengerahkan tenaga
terlalu besar.
Sehingga urat-urat di sekitar
lukanya mengejang, dan mengucurkan darah lagi.
"Ha ha ha....'" Setan
Muka Tua tertawa bergelak. "Tanpa kubunuh pun, kau akan mati sendiri,
Orang Asing. Apalagi bila kau terus mengeluarkan tenaga, ajalmu akan datang
lebih ce-
pat! Oleh karena itu, tenangkan
pikiranmu, dan
beristirahatlah. Duduklah yang
enak sambil me-
meriksa luka di dadamu itu.
Sementara, aku
akan... akan.... Ha ha
ha...!"
Lewat ekor matanya, Setan Muka
Tua meli-
rik tubuh Kwe Sin Mei yang
tergolek telentang di tanah. Pemuda tiga puluh tahunan tapi berwajah
mirip kakek-kakek ini
mendelikkan mata tiba-
tiba. Dengus napasnya langsung
memburu ma-
nakala melihat kain baju Kwe Sin
Mei yang ter-
singkap. Di balik kain berenda
putih terlihat sebuah pemandangan yang sangat menggiurkan.
"Hmmm.... Luar biasa! Luar
biasa!" seru Setan Muka Tua, menyatakan kekagumannya.
Kwe Kok Jiang sadar betul bila
otak pemu-
da brewok telah dipenuhi
pikiran-pikiran kotor.
Maka tanpa mempedulikan lagi
luka di dadanya
yang bertambah sakit, dia
menerjang kalap! "Mati kau, Jahanam!"
Ujung pedang Kwe Kok Jiang
meluncur de-
ras hendak menusuk ulu hati
Setan Muka Tua.
Namun, ringan saja Setan Muka
Tua menggeser
tubuh ke kiri. Cepat Kwe Kok
Jiang menyambung
serangannya yang gagal.
Pedangnya berkelebat
lagi, mengarah pinggang Setan
Muka Tua!
"Akh...!"
Terdengar sebuah jeritan
kesakitan. Na-
mun bukan keluar dari mulut
Setan Muka Tua,
melainkan dari mulut Kwe Kok
Jiang sendiri. Ke-
lebatan pedang Kwe Kok Jiang
berhenti di tengah
jalan, lalu jatuh ke tanah.
Sementara, tubuh Kwe Kok Jiang tampak terhuyung-huyung. Balutan
luka di dadanya semakin bernoda
merah, berarti
makin banyak darah yang keluar.
Wajah Kwe Kok
Jiang pun terlihat pucat pasi
seperti mayat. Bi-
birnya digigit kuat-kuat.
Agaknya lelaki bergelar Pendekar Sesat itu tengah merasakan sakit yang
benar-benar menyiksa.
"Tunggulah di sini, Orang
Asing. Aku akan
bersenang-senang dulu dengan
putrimu!" seru Setan Muka Tua.
Bola mata Kwe Kok Jiang kontan
melotot
besar ketika melihat Setan Muka
Tua menyambar
tubuh Kwe Sin Mei yang masih
tergolek pingsan.
Nekat Kwe Kok Jiang menjejak
tanah. Dikerah-
kannya ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar,
tapi....
Bruk...!
"Argh...!"
Tubuh Kwe Kok Jiang jatuh
terjerembab ke
tanah. "Sin Mei...!"
Kwe Kok Jiang menjerit panjang,
menyebut
nama putrinya. Namun, lelaki
berkuncir ini tak
kuasa berbuat apa-apa lagi.
Tubuhnya terasa pa-
nas laksana digodok di tungku
pembakaran. Luka
di dada kirinya semakin banyak
mengucurkan
darah. Sakit bagai ditusuk-tusuk
selaksa pedang!
Dan..., pingsanlah Kwe Kok Jiang
kemudian.
Sementara itu, Setan Muka Tua
berlari ce-
pat bagai diburu setan. Berpacu
dengan hasrat
yang menggelegak dalam dadanya.
Dengus na-
pasnya memburu ngos-ngosan bak
seekor kuda
binal. Bukan karena lelah
berlari, tapi karena do-rongan hasrat hatinya yang menggebu-gebu.
Tak sabaran Setan Muka Tua
membaring-
kan tubuh Kwe Sin Mei di
semak-semak yang ter-
lindung lempengan batu cadas
besar. Sejenak di-
tatapnya wajah Kwe Sin Mei yang
cantik mempe-
sona. Pipinya halus mulus.
Bibirnya merah mere-
kah. Kelopak matanya yang
terkatup rapat me-
nampakkan bulu mata yang hitam
lentik. Hi-
dungnya yang bangir mampu
membuat gemas
siapa pun yang memandangnya.
"Hmmm.... Kau cantik
sekali. Kau cantik
sekali...," seru Setan Muka
Tua di antara dengus napasnya.
Pandangan pemuda brewok ini
bergerak ke
bawah. Ditatapnya dada Kwe Sin
Mei yang berge-
rak halus seirama hembusan
napasnya. Mata Se-
tan Muka Tua makin mendelik.
Terburu-buru se-
kali dibukanya kancing baju Kwe
Sin Mei. Dibu-
kanya pula baju dalam berenda
putih. Lalu....
* * *
"Heaaa...! Heaaa...!"
Seekor kuda coklat melesat
menyusuri ja-
lan kasar berbatu. Debu mengepul
tebal sekitar
lima tombak di belakang langkah
kaki kuda gagah
ini. Di punggungnya bertengger
seorang pemuda
kurus berpakaian penuh tambalan.
Sorot mata
pemuda ini redup kuyu. Wajahnya
pun kusut
masai menyiratkan sebuah
kedukaan. Rambut-
nya yang panjang berkibar-kibar
terbawa langkah
kaki kuda yang melesat cepat.
Dia Wirogundi
alias Pendekar Patah Hati.
"Heaaa...! Heaaa...!"
Wirogundi memacu kudanya makin
cepat.
Sepertinya sahabat karib si
Pengemis Binal Suro-
pati ini tengah dikejar waktu.
Mendadak, disen-
dalnya tali kendali untuk
memperlambat laju ku-
da. Di kejauhan dilihatnya
sesosok tubuh manu-
sia terbaring melintang di
tengah jalan.
Beberapa kejap mata Wirogundi
mengamati
sosok lelaki berpakaian merah
hijau yang tak lain dari Kwe Kok Jiang. Telinga Wirogundi yang tajam dapat
menangkap hembusan napas Kwe Kok
Jiang. "Dia masih
hidup," kata hati Wirogundi.
Bergegas murid Gede Panjalu ini
meloncat
dari punggung kuda. Langsung
dibopongnya tu-
buh Kwe Kok Jiang menepi. Kening
Wirogundi
berkerut rapat ketika melihat
darah yang me-
rembes dari balutan luka di dada
Kwe Kok Jiang.
"Kasihan sekali orang asing
ini. Dia bisa
mati kehabisan darah."
Sejenak Wirogundi bingung, tak
tahu apa
yang harus diperbuatnya. Dia tak
tahu bagaima-
na cara menghentikan pendarahan
di dada. Se-
mentara, kuda coklat yang tampak
sangat jinak
turut menepi.
"Haruskah orang ini kubawa?
Tapi, apakah
tidak terlambat ketika sampai di
Kota Kadipaten
Bumiraksa nanti?"
Wirogundi yang pada dasarnya
memang ti-
dak begitu memahami ilmu
pengobatan tampak
makin kebingungan. Hatinya jadi
kalut menda-
dak. Beberapa kali dia menarik
napas panjang
dengan tatapan nyalang.
"Ah, lebih baik kusadarkan
dulu orang ini,"
cetus Pendekar Patah Hati
kemudian.
Hati-hati sekali Wirogundi
memberikan be-
berapa totokan di tubuh Kwe Kok
Jiang, seperti
yang pernah dipelajarinya dari
Gede Panjalu, se-
sepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Uh...!"
Keluh pendek keluar dari mulut
Kwe Kok
Jiang, sadar dari pingsannya.
Begitu membuka
mata, lelaki berkuncir ini
terkesiap. Namun ketika tahu bila orang yang berada di dekatnya bukan
Setan Muka Tua, Kwe Kok Jiang
menghela napas
lega. "Suropati...,"
desis Kwe Kok Jiang.
Wirogundi yang berpenampilan
sama den-
gan si Pengemis Binal Suropati
cepat menukas,
"Aku bukan Suropati, Pak
Tua. Aku Wirogundi."
"Wirogundi?"
"Ya. Aku sahabat karib
Suropati. Bagaima-
na aku harus...."
"Akh...!"
Ucapan Pendekar Patah Hati
terpotong ke-
luh kesakitan Kwe Kok Jiang. Dia
meraba balutan
luka di dadanya.
"Bagaimana aku harus
menolongmu, Pak
Tua?" tawar Wirogundi
bernada khawatir.
"Sin Mei...!" sentak
Kwe Kok Jiang, teringat putrinya. "Putriku dilarikan orang berpakaian
serba hitam. Tolonglah...!"
Kwe Kok Jiang menunjuk arah
Setan Muka
Tua melarikan Kwe Sin Mei. Tapi,
Wirogundi cu-
ma menatap tak mengerti.
"Cepatlah tolong
putriku!" pinta Kwe Kok Jiang, setengah memaksa.
Alis Wirogundi bertaut. Sorot
matanya ma-
kin kuyu. "Keadaanmu sangat
mengkhawatirkan, Pak Tua. Aku harus menolongmu, tapi aku tak
tahu bagaimana caranya...."
"Uh! Biarlah aku di sini!
Aku bisa merawat
lukaku sendiri!" ujar Kwe
Kok Jiang dengan napas memburu. "Tolonglah putriku! Dia dilarikan orang
jahat!"
Sekali lagi Kwe Kok Jiang
menunjuk arah
berlarinya Setan Muka Tua.
Sejenak Wirogundi
masih ragu.
"Cepatlah! Kau tak perlu
mengkhawatirkan
aku!" sentak Kwe Kok Jiang.
"Bagaimana kalau
kau...."
"Aku bisa menghentikan
pendarahan di lu-
kaku!" Kwe Kok Jiang
meyakinkan Wirogundi. Telapak tangan kanannya dibuka lebar, lalu ditem-
pelkan di balutan luka. Sekejap
kemudian, tubuh
Kwe Kok Jiang bergetar. Keringat
berpercikan dari dahi dan pelipisnya.
Tuk! Tuk! Tuk!
Cepat sekali Kwe Kok Jiang
menotok bebe-
rapa jalan darah di dadanya
sendiri. Hasilnya
sungguh membuat Wirogundi
terkagum-kagum.
Darah tak lagi merembes dari
luka Kwe Kok
Jiang. "Kenapa bengong
saja?! Cepat tolong putriku!" teriak Kwe Kok Jiang. Murid Sin Eng Tan Liok
ini lupa bila orang yang diperintahnya baru dikenalnya.
Namun, agaknya Wirogundi tak
menjadi
sakit hati mendapat perintah
yang sedemikian
memaksa itu. Dia sadar bila Kwe
Kok Jiang ten-
gah diliputi kekalutan, hingga
kata-katanya jadi amat kasar.
"Benar kau tak apa-apa, Pak
Tua?" ujar Pendekar Patah Hati, masih sedikit ragu.
"Ya. Aku tak apa-apa!"
sahut Kwe Kok
Jiang, makin tak sabaran.
"Cepatlah! Nanti keburu terlambat!"
Wirogundi menatap sejenak wajah
Kwe Kok
Jiang yang pucat. Lalu, bergegas
anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini berkelebat!
* * *
"Hmmm.... Kau memang cantik
sekali.
Hmmm.... Tubuhmu juga
harum...."
Setan Muka Tua membenamkan
wajahnya
ke dada Kwe Sin Mei yang terbuka
lebar. Lalu,
perlahan kepala pemuda brewok
ini bergerak ke
bawah, dan terus ke bawah....
Beberapa saat kemudian, Setan
Muka Tua
mengangkat kepalanya. Dengus
napasnya terden-
gar makin memburu. Hasrat
hatinya makin ber-
golak dan tak mampu dikendalikan
lagi. Dan...,
kasar sekali Setan Muka Tua
menyingkap kain
bawah Kwe Sin Mei! Lalu....
Burung-burung berteriak parau,
seakan
mengutuk perbuatan bejat Setan
Muka Tua. Be-
berapa ekor melesat terbang ke
angkasa. Satwa-
satwa bersayap itu seperti tak
kuasa melihat adegan yang terjadi di balik lempengan batu cadas
besar. "Kau cantik sekali!
Kulitmu sungguh sangat halus! Hmmm...."
Seperti orang kehilangan
ingatan, Setan
Muka Tua berkata seorang diri.
Dengan dengus
napas yang terus memburu, pemuda
brewok ini
mencium bagian bawah Kwe Sin Mei
yang terkulai
telentang tanpa daya.
Namun tiba-tiba....
"Binatang!"
Terdengar sebuah teriakan keras.
Setan
Muka Tua memalingkan kepala ke
belakang. Dia
hendak meloncat bangkit ketika
melihat sesosok
bayangan berkelebat ke arahnya.
Tapi gerakannya
kurang cepat, hingga....
Desss...!
"Wuah...!"
Punggung Setan Muka Tua terkena
ten-
dangan dengan telak. Akibatnya,
tubuh pemuda
brewok ini terlontar, dan jatuh
bergulingan di tanah sejauh sepuluh tombak!
Sementara, si penyerang yang tak
lain dari
Wirogundi terkesiap. Dan, darah
mudanya berde-
sir aneh manakala melihat tubuh
Kwe Sin Mei
yang terbuka sebagian. Namun,
cepat Wirogundi
mengusir gejolak di dadanya.
Bergegas pemuda
kurus ini membetulkan pakaian
Kwe Sin Mei.
"Setan alas! Menyerang
Setan Muka Tua
sama saja dengan mengusik
malaikat kematian!"
Pendekar Patah Hati mengurungkan
niat-
nya untuk memeriksa keadaan Kwe
Sin Mei. Ka-
rena sesosok bayangan keburu
berkelebat men-
gancam kepalanya.
"Eit...!"
Dengan meloncat ke kanan
Wirogundi ber-
hasil menyelamatkan diri. Namun,
pemuda ber-
wajah muram ini terkejut ketika
tahu penyerang-
nya adalah pemuda brewok yang
tadi telah berha-
sil ditendangnya. Tendangan
Wirogundi yang ber-
sarang telak di punggung Setan
Muka Tua sudah
sanggup untuk membunuh seekor
gajah, tapi ba-
gaimana mungkin Setan Muka Tua
tak mengala-
mi cedera sama sekali?
"Siapa kau?!" bentak
Setan Muka Tua.
Wirogundi tak segera menjawab.
Ditatap-
nya Setan Muka Tua penuh
selidik. "Kebetulan...
kebetulan sekali...,"
ujarnya. "Bukankah kau orang yang berjuluk Setan Muka Tua?"
"Tak salah lagi!" sahut
Setan Muka Tua.
"Menilik pakaian dan
tongkat yang kau bawa, agaknya kau anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Hmmm.... Jangan
keburu bangga
dapat bernaung di bawah
perkumpulan besar!
Kau telah mengganggu
keasyikanku. Itu berarti
kau sengaja membuat perkara.
Jangan sebut aku
sebagai Setan Muka Tua kalau tak
dapat melu-
matkan tubuhmu!"
Sekilas Setan Muka Tua melirik
tubuh Kwe
Sin Mei yang masih tergolek di
tanah. Lalu, ditatapnya Pendekar Patah Hati penuh tantangan.
"Menjauhlah dari gadis itu!
Akan kujajal
kesaktianmu!"
Karena tak mau Kwe Sin Mei
menjadi sasa-
ran serangan yang melenceng
arah, Wirogundi
meloncat menjauhi. Sementara,
Setan Muka Tua
langsung mengejar dengan sebuah
tendangan
mengarah ke punggung. Walau
tidak melihat, tapi
Wirogundi tahu bila dirinya
tengah diserang. Ce-
pat dia loloskan tongkat
berkepala naga yang terselip di ikat pinggangnya. Lalu dalam keadaan setengah
melayang di udara, dia putar di belakang
tubuhnya, hingga wujud tongkat
berubah menjadi
baling-baling yang hampir tak
dapat dilihat na-
mun mengeluarkan suara
mendengung keras!
Ngunggg...!
"Hup...!"
Tak mau kaki kanannya termakan
putaran
tongkat, Setan Muka Tua
mengurungkan niatnya.
Namun begitu menginjak tanah,
kedua pergelan-
gan tangan pemuda berwajah
kakek-kakek ini be-
rubah warna menjadi hijau tua!
"'Pukulan Kelabang
Hijau'!" kejut Pendekar Patah Hati.
"Hmmm.... Tahu juga kau
akan ilmu anda-
lanku ini, Gembel Busuk!"
sahut Setan Muka
Tua. "Matamu yang
terbelalak itu tampaknya tengah melihat malaikat kematian yang akan segera
mencabut nyawamu. Berdoalah,
agar kau tak be-
gitu tersiksa saat nyawamu
lepas!"
Dengan kening berkerut,
Wirogundi mena-
tap pergelangan tangan Setan
Muka Tua yang
mulai mengepulkan asap. Menurut
desas-desus
yang dia dengar, 'Pukulan
Kelabang Hijau' men-
gandung racun ganas. Jangankan
terpukul, me-
nyentuh kulit tubuh lawan saja
akan berakibat
mengerikan. Orang yang terkena
hawa 'Pukulan
Kelabang Hijau' pun akan segera
tewas dengan
sekujur tubuh melepuh dan
melelehkan nanah
berwarna hijau!
Wirogundi terkesiap ketika
melihat rumput
di dekat kaki Setan Muka Tua
tiba-tiba layu men-
guning. Padahal, rumput itu
semula berwarna hi-
jau segar! Sadarlah murid Gede
Panjalu ini bila desas-desus yang dia dengar memang benar. Tapi
sebagai seorang pendekar yang
bersifat ksatria,
tak hendak Wirogundi menampakkan
kegenta-
rannya.
"Hmmm.... Pantas
orang-orang di kawasan
ini takut kepada Setan Muka Tua.
Rupanya dia
manusia beracun yang lebih jahat
dari ular kobra India," kata Wirogundi dalam hati. "Aku baru ta-hu
sekarang, kenapa Gusti Adipati Danubraja
meminta aku turut mengawal
barang yang dikirim
dari Kota Ngadiluwih. Kiranya
Setan Muka Tua
benar-benar jadi momok yang
menakutkan."
"Hei, kenapa kau diam saja,
Pengemis
Edan?!" bentak Setan Muka
Tua.
Pendekar Patah Hati tampak
terkesiap.
"Kau takut?" ejek
Setan Muka Tua. "Kalau kau memang takut dan masih sayang pada nyawamu,
segeralah menyingkir. Biarkan aku berse-
nang-senang dengan.... Ha ha
ha...!"
Mendengus gusar Wirogundi
mendengar
ucapan Setan Muka Tua yang
mencerminkan naf-
su kotornya. "Siapa yang
takut kepadamu, Bangsat?! Justru aku akan menangkapmu hidup atau
mati, karena Gusti Adipati
Danubraja menghen-
daki kepalamu!"
"Ha ha ha...!" Setan
Muka Tua tertawa lebih keras. "Kata-katamu seperti bocah ingusan yang
belum mampu berpikir. Kalau tak mau di-anggap mengigau, segera buktikan
kata-katamu!"
Pendekar Patah Hati menarik
napas pan-
jang. Dialirkannya kekuatan
tenaga dalam ke ba-
tang tongkatnya. Sesaat wajah
pemuda kurus ini
jadi tambah muram. Namun,
tiba-tiba tongkatnya
dikibaskan seraya diputar cepat.
Dan..., gelom-
bang angin pukulan meluruk ganas
ke arah Setan
Muka Tua!
Wesss...!
Terkejut Setan Muka Tua
menyaksikan ke-
kuatan tenaga dalam Wirogundi
yang begitu be-
sar. Namun, cepat otaknya
bekerja. Dia lenting-
kan tubuhnya tinggi-tinggi. Lalu
dalam keadaan
masih melayang di udara, dia
mengirim pukulan
jarak jauh!
Melihat dua larik sinar hijau
tua yang me-
lesat ke arahnya, Wirogundi
terkejut dan bingung.
Pemuda berpakaian penuh tambalan
ini tak tahu
apa yang harus diperbuatnya.
Bila menghindar,
pukulan jarak jauh Setan Muka
Tua akan me-
nimbulkan ledakan di tanah.
Dalam sekejap ma-
ta, udara di sekitarnya akan
dipenuhi racun. Dan, itu berarti membahayakan jiwa Kwe Sin Mei yang
masih tergeletak pingsan.
Sementara bila Wiro-
gundi memapaki dengan pukulan
jarak jauh pula,
justru hawa beracun akan cepat
menyebar. Jiwa
Kwe Sin Mei lebih terancam lagi!
"Celaka!" desah
Pendekar Patah Hati.
Namun ketika dua larik sinar
hijau tua
yang mengandung racun ganas
hampir mengenai
sasaran, tiba-tiba tubuh
Wirogundi berkelebat
sangat cepat, tak dapat diikuti
pandangan mata!
Blarrr...!
Terdengar sebuah ledakan dahsyat
tatkala
pukulan jarak jauh Setan Muka
Tua menerpa ta-
nah kosong. Akibatnya, gumpalan
tanah bercam-
pur bebatuan berpentalan. Asap
berwarna hijau
mengepul menyiarkan bau amis.
Tampak kemu-
dian, ranting-ranting pohon
menjadi kering keron-
tang, dan daun-daunnya layu
menguning, seba-
gian rontok ke tanah yang telah
dihampari rum-
put yang telah mengering!
"Gembel busuk
keparat!" umpat Setan Mu-ka Tua.
Sosok Wirogundi sudah tak terlihat
lagi.
Demikian pula dengan Kwe Sin Mei
yang semula
terbaring di dekat lempengan
batu cadas besar.
"Tak perlu kau cari! Aku di
sini!"
Sebuah suara terdengar dari sisi
kanan Se-
tan Muka Tua. Lalu, berkelebat
sesosok bayan-
gan, dan berhenti tepat tiga
tombak dari tempat
Setan Muka Tua berdiri. Dia
Wirogundi.
"Haram jadah! Kau larikan
ke mana gadis
itu?!" bentak Setan Muka
Tua, menanyakan Kwe Sin Mei.
"Tentu saja kuselamatkan.
Aku tak mau
dia jadi korban ilmu
sesatmu!" sahut Pendekar Patah Hati, sedikit beringas.
"Hmmm.... Rupanya kau
pengemis yang
baik hati," cibir Setan
Muka Tua. "Kau kasihan pada orang lain, tapi kau abaikan dirimu sendiri.
Lihatlah tubuhmu yang kurus dan
gembel itu! Ha
ha ha...!"
"Aku tak punya banyak waktu
untuk me-
layani orang jahat itu,"
kata hati Wirogundi. "Kalau rombongan pengantar barang keburu lewat,
aku bisa tertinggal. Aku tak mau
membuat kesan
buruk terhadap Gusti
Adipati."
Mendadak, tubuh Pendekar Patah
Hati
bergetar keras. Wajahnya yang
muram kini tam-
pak menegang garang. Sementara,
kedua perge-
langan tangannya mengejang kaku
dengan urat-
urat menggelembung. Agaknya
pemuda kurus ini
tengah menghimpun seluruh
kekuatan tenaga da-
lamnya.
Ketika Wirogundi menggeser
kedudukan
kakinya, daun-daun pohon rontok,
dan yang su-
dah jatuh ke tanah pun tampak
beterbangan. Te-
naga dalam Wirogundi memang
telah berlipat
ganda semenjak dia memakan buah
pala ajaib di
jurang Bukit Pangalasan.
"Heh?!"
Terperangah Setan Muka Tua
melihat ke-
hebatan Pendekar Patah Hati.
Namun pemuda ja-
hat yang sombong dan congkak ini
mana tahu
ada bahaya tengah mengancam
jiwanya. Justru
dengan sikap meremehkan, dia
lancarkan
'Pukulan Kelabang Hijau'!"
Wesss...! "
Blarrr...!
Dua kekuatan tenaga dalam
bertemu di
udara. Sekali lagi ledakan
dahsyat membahana.
Gumpalan tanah dan bebatuan
kembali berpenta-
lan. Beberapa batang pohon
bahkan sampai ter-
cabut dari akarnya, lalu
melayang bagai dilem-
parkan tangan raksasa!
Sementara, sosok Setan Muka Tua
sudah
tak tampak lagi. Karena wujudnya
telah berubah
menjadi serpihan daging yang tak
mungkin dapat
dikenali. Mati!
Ketika terjadi bentrokan tenaga
dalam tadi,
dua larik sinar hijau tua yang
melesat dari telapak tangan Setan Muka Tua terpental balik
menghujam tubuhnya sendiri.
Ditambah pula dua
larik sinar putih berkilat wujud
dari pukulan jarak jauh Wirogundi. Akibatnya, tubuh Setan Mu-
ka Tua meledak! Dan, lepaslah
nyawanya saat itu
juga! Melihat lawannya telah
mati, bergegas Wi-
rogundi berkelebat untuk membawa
Kwe Sin Mei
yang tadi disembunyikannya di
tempat aman.
Langsung dibawanya ke hadapan
Kwe Kok Jiang.
Emoticon