seorang pelancong yang bertujuan
ke kota Ngadilu-
wih?"
"Berangkat dari tempat
ini?"
"Ya."
"Sekurang-kurangnya
sekeping uang perak."
Dewi Baju Merah
mengangguk-angguk. Tan-
gan kanannya merogoh kantong
yang terdapat di
bagian dalam bajunya. Lalu, dia
sodorkan dua kep-
ing uang perak kepada si
nelayan
"Ambillah ini. Kau tak
perlu mengantarku
sampai ke kota Ngadiluwih. Cukup
sampai di Pulau
Belut saja. Setelah sampai di
sana, akan kutambah
dua keping uang perak lagi.
Bagaimana?"
"Eh! Eh! Kenapa Nona malah
hendak ke Pu-
lau Belut? Bukankah sudah kuceritakan
bahwa pu-
lau itu dihuni siluman
jahat?" ujar nelayan tua, ka-
get "Dan, tahukah kau,
Nona, bila sebulan yang lalu
ada dua puluh orang gagah datang
ke Pulau Belut
dengan maksud mengusir siluman
itu, tapi tak seo-
rang pun di antara mereka yang dapat
pulang kem-
bali?"
Mendengar ucapan nelayan tua
yang tampak
menyangsikan kemampuannya,
Ingkanputri men-
dengus gusar. Kesabaran gadis
keras kepala itu ha-
bis sudah.
Serta-merta Ingkanputri menjejak
tanah, lalu
meloncat cepat mengerahkan
seluruh ilmu merin-
gankan tubuhnya. Hingga, tubuh
murid Dewa Tan-
gan Api itu bagai dapat
menghilang saja.
Kontan nelayan tua
berteriak-teriak. "Silu-
man...! Siluman...!"
Namun sebelum orang-orang datang
menge-
rubunginya, bahu kanan lelaki
itu telah ditepuk dari
belakang. Ketika ia menoleh,
tampaklah wajah can-
tik Ingkanputri yang tengah
menyungging senyum
manis.
"Tenanglah, Kek. Aku bukan
siluman," ujar
Dewi Baju Merah.
"Oh! Oh! Be... benarkah kau
bukan siluman?"
ucap nelayan tua dengan wajah
pucat-pasi.
"Aku manusia biasa, Kek.
Apakah dua puluh
orang gagah yang kau ceritakan
itu juga dapat ber-
buat serupa denganku?"
Sengaja Ingkanputri memamerkan
kepan-
daiannya agar si nelayan
bersedia mengantarkan.
Sementara, nelayan itu sendiri
masih belum begitu
percaya bila Ingkanputri
bukanlah siluman seperti
yang dia kira. Matanya menatap
dari ujung rambut
Ingkanputri sampai ke telapak
kakinya.
"Ya.... Ya, kau memang
bukan siluman, No-
na...," ujar nelayan tua
kemudian, walau masih ra-
gu-ragu. "Aku yang bodoh
bernama Karundeng ini
mengagumi kepandaianmu. Tapi
jangan kau merasa
gembira dulu. Kecepatan gerak
siluman Pulau Belut
itu belum tentu berada di bawah
kecepatanmu"
"Jangan khawatir, Kek. Aku
bisa menjaga diri.
Dan, tak perlu pula kau khawatir
akan keselamatan
dirimu. Bila terjadi apa-apa,
aku pasti menolong-
mu."
Akhirnya, Karundeng menyanggupi
keinginan
Ingkanputri. Maka saat itu juga,
mereka berangkat
Perahu Karundeng pun meluncur, mengikuti arus
Sungai Balirang yang cukup
lebar. Walau sudah tua,
namun perahu Karundeng
masih terlihat kokoh-
kuat. Hingga, tak ada
kekhawatitan di hati Ingkan-
putri bila badan perahu akan
pecah karena mem-
bentur batu besar yang
kemungkinan menyembul di
permukaan air sungai. Atap
perahu pun tampak ba-
ru diganti beberapa hari yang
lalu. Bila turun hujan
deras, tak akan atap itu menjadi
bocor.
Di sepanjang perjalanan, gembira
sekali hati
Ingkanputri. Panorama di
kanan-kiri sungai tampak
indah, menyejukkan pandangan
mata. Apalagi, Ka-
rundeng adalah orang yang pandai
bicara. Seakan
tidak punya lelah lelaki tua itu
bercerita tentang
dongeng yang ada hubungannya
dengan Sungai Ba-
lirang.
Ketika mentari hampir memayung
di atas ke-
pala, perahu Karundeng membelok
memasuki hu-
tan. Samar-samar terlihat
sepiring tanah muncul di
kejauhan. Di tengah-tengahnya
terdapat gundukan
tanah tinggi, membentuk gunung
kecil.
"Hati-hati, Nona. Itulah
tanah lebih yang dis-
ebut Pulau Belut. Hah?! Apa
itu?"
Terkejut luar biasa Karundeng.
Dari sisi ka-
nan perahu, melesat sesosok
bayangan hitam. Gera-
kannya amat cepat hingga dalam
sekejap mata,
bayangan itu telah lenyap, masuk
ke hutan di kiri
aliran sungai.
"Celaka! Siluman
datang!" seru Karundeng
terbawa rasa takut. Kontan tubuh
lelaki tua itu
menggigil bagai terserang demam.
Sementara wajah Karundeng
berubah pucat
seperti mayat, Dewi Baju Merah
yang bermata jeli
tampak tenang-tenang saja. Gadis
cantik itu tahu
bila bayangan yang dilihatnya
adalah bayangan ma-
nusia biasa yang sedang meloncat
dengan menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Segera Ingkanputri melangkah ke
buritan. Dia
celupkan kedua telapak tangannya
ke dalam air.
Dengan menggunakan kekuatan
tenaga dalam, In-
gkanputri membuat badan perahu
meluncur cepat.
Sementara, Karundeng terlihat
makin ketakutan sa-
ja. Tanpa sadar, dayungnya
terjatuh ke geladak.
"Bagaimana ini? Bagaimana
ini?" tanya Ka-
rundeng berulang kali.
"Tenanglah, Kek. Yang kau
lihat tadi bukan
siluman. Dia manusia biasa yang
kebetulan memiliki
kemampuan lebih. Aku saja, yang
hanya seorang pe-
rempuan bisa bersikap tenang,
kenapa kau malah
begitu ketakutan? Apa kau tidak
malu?"
Mendengar ejekan Ingkanputri,
timbul kem-
bali keberanian Karundeng.
Dengan wajah masih
pucat, dia lalu mendayung lagi.
Malah, dia kerahkan
seluruh tenaganya. Hingga
sebentar saja, peluh te-
lah membanjir di sekujur
tubuhnya.
"Kau beristirahatlah, Kek.
Tanpa kau bantu,
aku bisa membuat perahu ini
meluncur cepat," ujar
Dewi Baju Merah yang merasa
kasihan melihat Ka-
rundeng kelelahan.
"Tidak, Nona!" tolak
Karundeng yang telah
bangun semangatnya. "Walau
batang usiaku sudah
lapuk, walau peluh sudah
membanjiri sekujur tu-
buhku, tak sudi aku meninggalkan
kewajibanku!"
Melihat kekerasan kepala
Karundeng, In-
gkanputri mengulum senyum. Dia
biarkan saja lela-
ki tua itu mendayung, Badan
perahu pun meluncur
cepat, memecah aliran Sungai
Balirang.
Tiba-tiba, sekitar sepuluh
tombak dari tempat
perahu yang ditumpangi Karundeng
dan Ingkanpu-
tri, melesat sebuah bayangan
besar berwarna hitam-
kecoklatan. Cepat sekali! Hingga
dalam satu kejap
mata hampir menimpa badan
perahu!
"Ampuuun...!" jerit
Karundeng seraya menu-
tup kelopak mata untuk menerima
nasib.
Blarrr...!
Bayangan hitam-kecoklatan yang
bukan lain
dari bongkahan batu besar hancur
berkeping-keping
terhantam pukulan jarak jauh
Ingkanputri. Peca-
hannya berhamburan
ke berbagai penjuru, namun
tak sekepingpun yang jatuh di
geladak perahu.
Mendengar ledakan keras yang
terasa sangat
dekat dengan telinganya,
Karundeng memekik keras.
Namun karena lelaki tua itu tak
merasakan apa-apa
di tubuhnya, dia jadi sadar, dan
segera membuka
kembali kelopak matanya.
Karundeng menarik napas panjang
beberapa
kali. Hatinya amat lega karena
mengetahui keadaan
perahunya tidak kurang suatu
apa. Ingat akan si
penyewa perahu yang minta
diantarkan ke Pulau
Belut, Karundeng segera
mengedarkan pandangan.
Tampak kemudian, Ingkanputri
yang tengah
berdiri tegak di atas atap
perahu. Karundeng jadi
heran dan tak habis pikir. Pasti
gadis cantik itulah
yang telah menghancurkan batu
besar yang hendak
menimpa badan perahu. Tapi,
bagaimana caranya?
Apakah dia memang siluman yang
dapat menghan-
curkan sebuah benda tanpa
menyentuhnya?
"Nona.... Nona, tidak
apa-apa?" tanya Karun-
deng, takut-takut
"Seperti yang kau lihat,
Kek. Aku tidak ku-
rang suatu apa," jawab Dewi
Baju Merah seraya me-
loncat ke buritan. Kedua telapak
tangannya segera
menebas ke dalam air. Dan,
perahu pun meluncur
cepat
"Sekarang kita menepi,
Kek," ujar Ingkanputri
setelah sampai di pinggir pulau
kecil yang dituju.
"Apa?!" Karundeng
berseru kaget. "Bukankah
Nona telah melihat sendiri
siluman itu? Tidakkah le-
bih baik kita kembali
saja?"
Melihat Karundeng yang tampak
sangat keta-
kutan, timbul rasa kasihan di
hati Ingkanputri. Ce-
pat dia ambil dua keping uang
perak, lalu sodorkan-
nya kepada lelaki tua itu.
"Seperti yang kujanjikan,
terimalah uang ini.
Dan, kembalilah cepat..."
Dengan tangan masih gemetar,
Karundeng
menerima pemberian Ingkanputri.
"Terima kasih.
Terima kasih...," katanya.
Dewi Baju Merah pun segera
menjejak lantai
perahu. Gerakannya ringan, namun
tubuh murid
Dewi Tangan Api itu mampu
melesat cepat laksana
burung walet menyambar mangsa.
Bayangannya
pun segera lenyap ditelan
rimbunan pohon yang ba-
nyak tumbuh di tepi Pulau Belut.
"Siluman...," desis
Karundeng.
Lelaki tua itu menatap lekat dua
keping uang
perak pemberian Ingkanputri. Dia
khawatir. jangan-
jangan uang itu bisa berubah
jadi batu. Setelah
mengucak-ngucak matanya dan tak
melihat peruba-
han apa-apa, bergegas Karundeng
memutar perahu.
Dikayuhnya dayung sekuat tenaga agar
bisa cepat
kembali ke tempat kediamannya.
Karundeng pun tak mempedulikan
rasa lelah
yang merejam tubuhnya.
Dikayuhnya dayung makin
cepat. Begitu sampai di tempat
kediamannya, lelaki
tua itu langsung jatuh pingsan
karena kelelahan.
Penduduk setempat jadi gempar.
Apalagi setelah si-
uman Karundeng menceritakan
bahwa dia baru saja
mengantarkan siluman cantik
berpakaian serba me-
rah ke Pulau Belut.
5
Hati-hati sekali Ingkanputri
melangkah. Per-
mukaan tanah yang dilaluinya
lembab dan becek,
serta banyak terdapat
lubang-lubang, itu pasti liang
belut, pikir Ingkanputri.
Walau sinar mentari sedang
terik, tapi kea-
daan di sekitar Pulau Belut
remang-remang. Pohon-
pohon besar tumbuh rapat,
sehingga rimbunan
daunnya menghalangi sinar
mentari. Amat cocok,
untuk dijadikan tempat
persembunyian perampok
atau orang jahat lainnya yang
hendak mengasingkan
diri. Suasananya memang terkesan
angker menye-
ramkan. Kadang-kadang dari
bagian dalam pulau
terdengar suara-suara aneh, yang
apabila didengar
orang bernyali kecil pastilah
lari terbirit-birit.
Setelah berjalan sekitar seratus
langkah, In-
gkanputri tiba di satu tempat
yang agak lapang. Me-
lihat keadaan Pulau Belut yang
sunyi-senyap, sema-
kin besar niat Ingkanputri untuk
terus menyelidiki.
Bahkan, kalau mungkin membasmi
orang jahat
yang bersembunyi di pulau itu.
Semakin jauh kakinya melangkah,
Ingkanpu-
tri semakin meningkatkan
kewaspadaannya, Lonta-
ran batu besar yang hendak
menimpa perahu men-
jadikan Ingkanputri yakin bila
penghuni Pulau Belut
bukanlah orang sembarangan.
Mungkinkah pelontar
batu itu adalah bayangan
hitam yang sempat dili-
hatnya dari atas perahu?
Sewaktu Dewi Baju Merah
berpikir-pikir,
mendadak berkelebat sesosok
bayangan di balik pe-
pohonan. Bayangan itu pendek,
mirip tubuh anak-
anak berumur dua belas tahun.
"Berhenti...!" hardik
Ingkanputri.
Gadis cantik itu segera
mengempos tubuh un-
tuk mengejar, tapi bayangan yang
dilihatnya keburu
lenyap. Kelebatan bayangan itu
tak kalah cepat bila
dibanding dengan bayangan hitam
yang dilihat In-
gkanputri bersama Karundeng
ketika masih berada
di perahu.
Mendadak, kira-kira empat tombak
dari tem-
pat Ingkanputri berdiri,
terlihat ratusan benda putih
panjang berkilat-kilat yang
merayap hendak menge-
pung Ingkanputri.
Dewi Baju Merah terkejut
setengah mati. Sat-
wa melata yang disangkanya belut
itu ternyata ular!
Dilihat dari bentuk kepala dan
warna tubuhnya, da-
pat dipastikan bahwa ratusan
ular itu mempunyai
bisa yang amat mematikan.
Dalam keterkejutannya,
Ingkanputri ingat
seorang pemuda yang tinggal di
Sungai Bayangan,
bernama Sawung Jenar atau Iblis
Selaksa Ular. Di
tempat kediamannya, pemuda itu
memelihara ber-
macam jenis ular yang dapat
diperintah untuk me-
lakukan apa saja hanya dengan
tiupan suling.
Mungkinkah ratusan ular putih
yang tengah menge-
pung Ingkanputri itu adalah
peliharaan Sawung Je-
nar? Dan, ada urusan apa pemuda
itu datang ke Pu-
lau Belut? Untuk apa dia
memerintahkan ular-
ularnya menyerang Ingkanputri?
Tak dapat Dewi Baju Merah
berpikir panjang,
karena ratusan ular putih telah
semakin dekat men-
gepungnya. Sebelum kakinya
terbelit ataupun terpa-
tuk, cepat Dewi Baju Merah
menjejak tanah. Hingga,
tubuhnya melesat ke atas!
"Hait...!"
Sekejap mata kemudian,
Ingkanputri telah
bertengger di atas dahan pohon.
Segera dia bersem-
bunyi di balik rimbunan daun.
Hendak dia lihat,
apakah benar yang memerintahkan
ular-ular putih
itu adalah Sawung Jenar.
Ingkanputri terkesiap ketika
dari semak-
semak di sebelah kirinya keluar
sesosok tubuh pen-
dek mengenakan rompi kuning dan
bercelana cuma
sepanjang lutut. Wajahnya lucu,
mirip anak-anak
berumur dua belas tahun. Di
telinga kirinya, meng-
gantung sebuah anting besar
terbuat dari perak.
"Gisa Mintarsa...,"
desis Ingkanputri yang da-
pat mengenali siapa sebenarnya
bocah berompi kun-
ing itu.
Ingkanputri hendak berteriak
memanggil. Ta-
pi karena tak mau
penyelidikannya terganggu, dia
mengurungkan niatnya. Lagi pula,
dia ingin tahu
apa yang akan diperbuat oleh
Gisa Mintarsa yang
bergelar Raja Syair.
Gisa Mintarsa sebenarnya seorang
tokoh tua
yang telah meninggal puluhan
tahun yang lalu. Ka-
rena memiliki dendam-kesumat
terhadap Ratu Air,
guru Banjaranpati atau Bayangan
Putih dan Selatan
itu lalu menitis pada tubuh
seorang bocah. Oleh ka-
renanya, wujud Gisa Mintarsa
berupa seorang bocah
berumur dua belas tahun. (Untuk
lebih jelasnya, si-
lakan baca serial Pengemis Binal
dalam episode :
'Prahara di Kuil Saloka").
Kening Dewi Baju Merah berkerut
saat meli-
hat ulah aneh yang diperbuat
Gisa Mintarsa. Bocah
titisan itu tampak berlari-lari
mengitari ratusan ular
putih yang tadi telah mengepung
Dewi Baju Merah.
Semakin lama, lari Gisa Mintarsa
semakin cepat.
Anehnya ratusan ular putih yang dikitari terlihat
menengadahkan kepalanya
tinggi-tinggi. Lalu, satwa
melata itu berkumpul dan
bertumpuk-tumpuk men-
jadi satu.
Tiba-tiba, Raja Syair
menghentikan gerak tu-
buhnya. Terlihat oleh
Ingkanputri, di punggung bo-
cah itu terlihat sebuah peti
persegi terbuat dari besi.
Sejenak Raja Syair menatap
tumpukan ular
putih di hadapannya. Lalu, dia
menengadahkan ke-
pala seraya meludah!
"Cuhhh...!"
Segumpal air liur melesat ke
udara. Bagai
mengandung bahan peledak, gumpalan
air liur itu
lalu pecah berhamburan, untuk
kemudian jatuh
menjadi titik-titik hujan yang
menyiram tumpukan
ular putih!
Hebatnya, titik-titik hujan
berupa air liur itu
menimpa tepat di kepala
ular-ular putih. Semua
satwa melata itu lalu berkelojotan
seraya memper-
dengarkan suara mendesis-desis
keras. Hanya da-
lam beberapa kejap mata, mereka
telah terbaring di
tanah tanpa nyawa!
Dewi Baju Merah berdecak kagum
melihat
kehebatan Gisa Mintarsa. Semakin
tertarik hatinya
untuk melihat apa yang akan
diperbuat oleh bocah
titisan itu selanjutnya. Maka,
dia atur tubuhnya
yang berada di atas dahan agar
tak mudah terli-
hat.....
"Pencuri keparat...!"
Terdengar sebuah makian yang
melengking
tinggi. Disusul lima titik kecil
yang melesat cepat
memperdengarkan suara mendengung
keras. Senja-
ta rahasia yang dilontarkan dari
balik semak-
belukar itu mengancam lima jalan
darah penting di
tubuh Gisa Mintarsa!
Mengetahui serangan gelap itu,
Gisa Mintarsa
tampak tenang-tenang saja.
Seperti tak ada kejadian
apa-apa, dia lalu meludah lagi!
"Cuhhh...!"
Untuk kedua kalinya, segumpal
air liur mele-
sat cepat. Gumpalan air liur itu
pecah menjadi titik-
titik hujan. Lima titik di
antaranya menghajar senja-
ta rahasia yang mengancam jiwa
Gisa Mintarsa. Se-
mentara, titik-titik lainnya
melesat terus ke depan,
menuju penyerang gelap yang
telah melontarkan li-
ma senjata rahasia!
Prattt...!
"Haya...!"
Dibarengi teriakan guntur,
berkelebat sesosok
bayangan hitam dari semak
belukar. Ingkanputri
yang berada di atas dahan pohon
dapat memastikan
bila bayangan hitam itu adalah
bayangan yang telah
dilihatnya bersama Karundeng
waktu masih berada
di perahu.
"Pencuri keparat! Walau
wujudmu hanya seo-
rang bocah, tapi kau punya
kepandaian juga. Cepat
kembalikan peti besi itu sebelum
habis kesabaran-
ku!" hardik seorang lelaki
tinggi-gemuk mengenakan
pakaian hitam-kotor
gedombrongan.
Tinggi lelaki itu melebihi
tinggi tubuh rata-
rata orang Jawa. Kepalanya
diikat dengan surban
dekil berwarna hitam pula.
Wajahnya dipenuhi bulu
lebat. Agaknya, dia memang bukan
orang Jawa. Ter-
lihat dari wujud dan ucapannya
yang patah-patah.
Mendengar hardikan lelaki
tinggi-gemuk itu,
bibir Gisa Mintarsa malah
menyungging senyum.
"Bukankah kau ahli yoga
dari India yang bernama
Mahicha Kapoor?" tebaknya.
Terkesiap si lelaki
tinggi-gemuk. Dia tak me-
nyangka bila dirinya dapat
dikenali oleh Gisa Min-
tarsa.
"Tak salah apa yang kau
katakan. Aku me-
mang Mahicha Kapoor. Katakan
siapa dirimu, dan
bagaimana kau bisa
mengenaliku!"
"Setelah aku menuruti
permintaanmu, apa-
kah kau akan membiarkan aku
pergi membawa peti
besi ini?" Gisa Mintarsa
menunjuk peti persegi yang
terikat di punggungnya.
"Keparat! Peti itu milikku!
Tak akan kubiar-
kan orang lain membawanya pergi
dari Pulau Belut!"
"Kalau begitu, seumur hidup
kau tak akan
tahu siapa aku dan bagaimana aku
bisa mengenali-
mu...."
"Bedebah!" umpat
Mahicha Kapoor seraya me-
loloskan pedang yang terselip di
punggungnya. "Jan-
gan buat aku penasaran kalau tak
ingin tubuhmu
kucincang!"
Walau dirinya diancam dengan
tudingan pe-
dang tajam berkilat, sikap Gisa
Mintarsa tenang-
tenang saja. Sejenak ditatapnya
wajah Mahicha Ka-
poor yang kaku-membesi. Lalu,
dia tengadahkan wa-
jahnya seraya mengucap
kata-kata....
Banyak orang bodoh yang tak
menyadari ke-
bodohannya
Sering kali orang bodoh berlaku
bodoh
Namun dia tak sadar bila telah
berlaku bodoh
Gampang naik darah adalah contoh
perilaku
bodoh.
Orang yang mengumbar hawa
amarah, bu-
kankah telah menunjukkan bahwa
dirinya bodoh?
Kenapa dikatakan bodoh? Karena
dia tak da-
pat mengendalikan nafsunya, maka
dari itu dikata-
kan bodoh!
Mendengar ejekan Gisa Mintarsa
yang berupa
sebait syair, Mahicha Kapoor
menggeram keras.
Amarahnya tidak lenyap, tapi
malah meledak-ledak.
"Hmmm.... Aku benar-benar
akan mencin-
cang tubuhmu! Tapi sebelum
nyawamu melayang ke
neraka, ada baiknya kau katakan
siapa dirimu dan
bagaimana kau dapat mengenaliku,
bahkan mencuri
peti besi milikku!"
"Ha ha ha...!" Raja
Syair tertawa bergelak.
"Lucu.... Lucu sekali kau
ini, Kapoor. Sudah ku-
sindir-sindir sedemikian rupa,
agaknya kau tidak
menyadari juga kebodohanmu.
Kenapa kau biarkan
darahmu mendidih terus? Tidakkah
kau ingin ber-
cakap-cakap dengan kepala dingin
dan pikiran jer-
nih?"
"Jangan buat aku penasaran,
Bocah Edan!"
"Hmmm... Yah, baiklah. Agar
kau tak semakin
naik pitam, agar tak semakin
terlihat kebodohanmu,
kukatakan saja siapa diriku
sebenarnya. Aku ber-
nama Gisa Mintarsa. Puluhan
tahun yang lalu, se-
masa aku masih hidup dengan raga
tua, kaum per-
silatan biasa menyebutku sebagai
Raja Syair...."
"Apa maksud ucapanmu
itu?!" sela Mahicha
Kapoor, mencoba menahan kemarahan
walau na-
pasnya sudah terasa sesak.
"Rupanya, kau memang tak
lebih pandai dari
seekor kerbau, Kapoor. Tapi,
tahanlah diri dulu! Aku
bisa mengerti apa yang kau tak
mengerti. Ketahui-
lah, puluhan tahun yang lalu aku
telah mati. Karena
kuasa Tuhan, rohku menitis ke
tubuh seorang bo-
cah, yang sekarang berada di
hadapanmu ini."
Mahicha Kapoor terdiam.
Keningnya berkerut
memikirkan keajaiban yang
terjadi atas diri Gisa
Mintarsa.
"Raja Syair.... Raja
Syair...," desis ahli yoga
dari India itu. "Mendengar
untaian kata-katamu ba-
rusan, kau memang pantas diberi
gelar Raja Syair,
Gisa. Sekarang, katakan
bagaimana kau bisa men-
genal aku, sedang aku sama
sekali tak mengenali-
mu!"
"Kau tentu pernah mendengar
nama Auwyang
Nan Ie...."
"Auwyang Nan Ie?"
kejut Mahicha Kapoor.
"Kau juga mengenai jagoan
dari daratan Tionggoan
itu?"
"Ya. Dialah yang telah
menceritakan perihal
dirimu."
Mengelam paras Mahicha Kapoor
seketika.
"Kalau begitu, si keparat
seh Auwyang itukah yang
telah menyuruhmu mencuri peti
besi milikku itu?"
Kepala Gisa Mintarsa menggeleng,
hingga ant-
ing besar di telinga kirinya bergoyang-goyang.
"Ti-
dak. Auwyang Nan Ie tidak
menyuruhku! Dia tidak
tahu bila kau berada di Pulau
Belut dan membawa
Arca Budha...."
Mendengar kata-kata Raja Syair,
Ingkanputri
yang masih bersembunyi di dahan
pohon makin ter-
tarik untuk terus mengikuti arah
pembicaraan bo-
cah titisan itu. Dia tak tahu
siapa Mahicha Kapoor
dan Auwyang Nan Ie, serta arca
apa yang telah dis-
ebutkan oleh Raja Syair. Justru
karena ketidakta-
huannya itulah, Ingkanputri jadi
penasaran.
"Secara kebetulan aku
bertemu dengan Au-
wyang Nan Ie. Karena gerak-gerik
orang itu sangat
mencurigakan, aku memaksanya
bercerita melalui
alam mimpi," lanjut Gisa
Mintarsa.
"Benarkah kau memiliki
kepandaian sedemi-
kian hebat?" tanya Mahicha
Kapoor, tak percaya.
"Bukan maksudku untuk
menyombongkan
diri. Tapi sesungguhnya, itulah
yang terjadi. Ketika
aku menembus alam mimpi Auwyang
Nan Ie, orang
itu bercerita bahwa dia memiliki
sebatang pedang
pusaka bernama Pedang Burung
Hong. Pedang itu
akan memiliki manfaat yang luar
biasa bila telah di-
gabungkan dengan Arca Budha.
Oleh karena aku
melihat nafsu buruk pada diri
Auwyang Nan Ie, aku
berusaha mendahuluinya mencari
Arca Budha. Ki-
ranya, Arca Budha berada di
tanganmu. Karena aku
tahu kau juga memiliki nafsu
buruk, mengejar Au-
wyang Nan Ie ke tanah Jawa untuk
merebut Pedang
Burung Hong, terpaksa aku
mencuri peti besimu
yang dapat kupastikan berisi
Arca Budha."
"Keparat! Kau memang
pintar, Gisa. Tapi jan-
gan kira aku tak dapat menebas
batang lehermu bila
kau tak menyerahkan peti besi
itu!"
"Datang ke Pulau Belut, aku
sudah memper-
hitungkan segala sesuatunya. Kau
sengaja menye-
bar desas-desus bahwa di Pulau
Belut dihuni silu-
man. Maksudmu tentu untuk
memancing Auwyang
Nan Ie datang. Kiranya, aku yang
datang. Bahkan,
berhasil mencuri barang yang
sebenarnya juga bu-
kan milikmu. Ha ha ha...!"
Sewaktu Raja Syair tertawa
bergelak, Mahicha
Kapoor menggembor keras.
Tubuhnya berkelebat
dengan ujung pedang menusuk
lurus, mengarah ke
pangkal tenggorokan bocah
titisan itu!
Wuttt...!
"Cuhhh...!"
Tawa Raja Syair terhenti
mendadak. Sambil
merunduk, dia keluarkan segumpal
air liur dari mu-
lutnya. Gumpalan air liur lalu
pecah di udara, men-
jadi titik-titik hujan yang
hendak menghajar tubuh
Mahicha Kapoor!
"Uts...!"
Karena telah menyaksikan
kehebatan air liur
Raja Syair, bergegas Mahicha
Kapoor menarik pe-
dangnya seraya diputar cepat hingga
membentuk
baling-baling perisai!
Prattt...!
Titik-titik hujan air liur buyar
tersapu puta-
ran pedang Mahicha Kapoor.
"Mati kau!" geram
Mahicha Kapoor seraya
mengirim babatan ke leher Raja
Syair.
Ketika kurang sejengkal pedang
Mahicha Ka-
poor mengenai sasaran, Raja
Syair menjatuhkan tu-
buh, lalu meludah ke atas.
Mahicha Kapoor yang
sudah menduga akan datangnya
serangan, memutar
pedangnya lagi. Setelah
titik-titik hujan air liur ter-
halau, lelaki berusia sekitar
enam puluh tahun itu
menjejak tanah.
Sewaktu tubuhnya melayang di
udara, Mahi-
cha Kapoor membuang pedangnya.
Setelah bersalto
tiga kali, tubuh lelaki
tinggi-gemuk itu melayang tu-
run perlahan-lahan, seringan
kapas! Lebih hebat la-
gi, Mahicha Kapoor tidak
mendarat dengan telapak
kaki, melainkan dengan kepala,
dan sedikit pun ti-
dak memperdengarkan suara!
Di tempat persembunyiannya,
Ingkanputri tak
dapat menyembunyikan rasa
kagumnya. Mata gadis
cantik itu terbelalak, seperti
melihat suatu keajai-
ban. Sementara, Gisa Mintarsa yang lebih matang
pengalaman, tetap berdiri tenang
di tempatnya. Dia
melihat sikap aneh Mahicha
Kapoor sambil terse-
nyum-senyum.
Mahicha Kapoor yang berdiri
dengan kepala di
bawah tampak memejamkan matanya.
Perlahan-
lahan kedua kakinya menekuk,
lalu mengambil si-
kap bersila dengan kepala tetap
berada di bawah.
Beberapa saat kemudian, tubuh
Mahicha Ka-
poor melayang, lalu membalik
dengan perlahan-
lahan. Ketika ahli yoga dari
India itu telah duduk
bersila di tanah sebagaimana
mestinya, terkejutlah
Raja Syair.
"Argh...!"
Gisa Mintarsa mengeluh
kesakitan. Sekujur
tubuhnya terasa bagai
ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Semakin terkejut bocah titisan
itu setelah mengeta-
hui kedua tangan dan kakinya tak
dapat digerakkan
sama sekali! Rupanya, Mahicha
Kapoor telah mengi-
rim gelombang serangan yang tak
dapat dilihat den-
gan mata.
Cepat Raja Syair mengatur hawa
murni yang
berputar-putar tak karuan.
Namun, keluh kesakitan
justru keluar dari mulutnya.
Hawa murninya malah
bergolak. Itu berarti dia tak
mungkin dapat menge-
rahkan tenaga dalam untuk
membentengi dirinya
dari serangan kasat mata yang
dilancarkan Mahicha
Kapoor!
Sebentar saja, wajah Gisa
Mintarsa telah
memucat seperti mayat. Aliran
darahnya kacau,
membuat kepalanya pening dan
pandangannya
mengabur.
Terkejut luar biasa Ingkanputri
melihat kea-
daan Gisa Mintarsa. Dari tempat
persembunyiannya,
dia dapat melihat dengan jelas
mulut Gisa Mintarsa
yang menyemburkan darah segar.
Keterkejutan In-
gkanputri bertambah tatkala
sekujur tubuhnya tera-
sa sakit bagai ditusuk-tusuk
ribuan jarum. Sadarlah
gadis cantik itu bila gelombang
serangan Mahicha
Kapoor juga mengenai dirinya!
Tanpa pikir panjang lagi,
Ingkanputri melon-
cat dari tempat
persembunyiannya, yang berada di
atas dahan pohon rimbun. Lalu,
berkelebat, me-
nyambar tubuh Raja Syair yang
sudah lemah tiada
daya. Namun....
Jderrr...!
Tubuh Dewi Baju Merah terpental,
lalu jatuh
bergulingan di tanah. Kontan
gadis cantik itu meng-
geliat kesakitan. Kain baju di
bagian punggungnya
robek sejengkal, dan ada cairan
darah merembes!
"Uh...!" keluh
Ingkanputri seraya meloncat
bangkit.
Mahicha Kapoor yang telah
berdiri tegak me-
natap murid Dewi Tangan Api itu
dengan mata ber-
kilat tajam menusuk. Tangan
kanannya mencekal
cambuk yang semula digunakan
sebagai ikat ping-
gang. Cambuk itu gagangnya cuma
sejengkal, se-
dang talinya yang terbuat dari
olahan kulit beruang
salju terjuntai sepanjang tujuh
kaki. Senjata itulah
yang telah melukai punggung
Ingkanputri.
"Kuntilanak laknat!
Rupanya, kau hendak
main-main pula dengan Mahicha
Kapoor!"
Di ujung kalimat Mahicha Kapoor,
Raja Syair
menoleh. Melihat kehadiran Dewi
Baju Merah timbul
rasa lega di hatinya. Cepat dia
lepas ikatan peti besi
di punggungnya. Lalu, peti itu
dilemparkan ke arah
Dewi Baju Merah.
"Pergilah cepat bersama
peti ini!" teriak Raja
Syair.
Walau telah terluka, namun
gerakan Ingkan-
putri masih cekatan untuk dapat
menangkap peti
besi yang dilemparkan Raja
Syair. Namun, Ingkan-
putri tak segera menuruti
perintah Raja Syair kare-
na tubuh bocah titisan itu
tiba-tiba jatuh menggelo-
sor ke tanah. Agaknya, Raja
Syair telah menderita
luka dalam yang cukup parah.
Ingkanputri bingung, tak tahu
apa yang ha-
rus dilakukannya. Membawa pergi
peti besi yang te-
lah berada di tangannya atau
menyelamatkan Raja
Syair? Akhirnya, dia mengambil
keputusan memba-
wa pergi peti besi dan
menyelamatkan pula Raja
Syair. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Ingkanputri
menyambar tubuh Raja Syair yang
tergeletak di ta-
nah.
"Tinggalkan peti itu
berikut nyawamu!" hardik
Mahicha Kapoor seraya
menyabetkan cambuknya.
Terpaksa Ingkanputri
mengurungkan niatnya.
Diegoskan tubuhnya ke kiri untuk
menghindari sa-
betan cambuk kulit beruang
salju. Ingkanputri ter-
perangah. Walau tali cambuk tak
mengenai sasaran,
tapi sambaran anginnya sanggup
membuat kulitnya
terasa pedih dan panas seperti
terbakar!
Mahicha Kapoor yang tak mau memberi ke-
sempatan kepada Ingkanputri,
segera mengirim se-
rangan susulan. Tapi cambuknya menyambar-
nyambar seakan berubah menjadi
ratusan ular yang
tengah menyerbu mangsa. Sambaran
cambuk itu
menimbulkan suara bersiut keras
dan sesekali me-
ledak memekakkan gendang
telinga. Tak ayal lagi,
daun-daun rontok berguguran.
Gumpalan tanah
lembek dan bebatuan berhamburan
ke udara!
Mendapat serangan yang demikian
hebat, In-
gkanputri meloloskan ikat
pinggangnya yang berupa
selendang sutera berwarna merah.
Tak kalah berba-
hayanya, ujung selendang itu
juga menyambar-
nyambar, mengincar jalan
kematian di tubuh Mahi-
cha Kapoor!
Namun karena bertempur sambil
membawa
peti besi yang cukup berat,
gerakan Ingkanputri jadi
kurang gesit. Sebelum sesuatu
yang tak diinginkan
terjadi, Ingkanputri menjatuhkan
peti itu ke tanah.
Lalu, dimainkannya jurus-jurus
'Selendang Sakti'
hasil ajaran Sekar Mayang semasa
Ingkanputri ma-
sih menjadi anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera
Merah.
"Setan alas! Hari ini juga
akan kuhabiskan
riwayatmu. Menyusul kemudian si
bocah edan Gisa
Mintarsa! Kalian adalah
pencuri-pencuri busuk yang
layak dienyahkan dari muka
bumi!" geram Mahicha
Kapoor.
Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam
ke tali cambuk, Mahicha Kapoor
melentingkan tu-
buhnya ke atas. Sebelum
menginjak tanah, tubuh-
nya diputar. Kedua kakinya
mengirim tendangan
saling susul. Sewaktu
Ingkanputri berkelit, tali cam-
buk Mahicha Kapoor menyambar
cepat, mengurung
tubuh Ingkanputri dari segala
penjuru. Itulah gerak
tipu 'Cambuk Kosong Menghajar
Bayangan Hantu'
yang diperoleh Mahicha Kapoor
dari perguruan silat
Liang San Pay di daratan
Tionggoan.
Berkali-kali selendang sutera
dan cambuk ku-
lit beruang salju berbenturan,
kemudian saling belit.
Walau sebenarnya tenaga dalam
Ingkanputri tidak
berada di bawah Mahicha Kapoor,
tapi karena sifat
senjata selendangnya yang lebih
lembut lama-
kelamaan selendang sutera itu
pun robek-robek, lalu
terbabat putus tinggal setengah
bagian!
Terdesaklah Ingkanputri
akhirnya. Gadis can-
tik itu dipaksa bergerak mundur
ke semak-semak,
menjauhi peti besi yang
tergeletak di tanah
Tampak kemudian, sambil mengirim
serangan
dengan tali cambuk, Mahicha
Kapoor merundukkan
tubuhnya untuk menyambar peti
besi. Tentu saja
Ingkanputri tak mau tinggal
diam. Dari ucapan Raja
Syair yang didengarnya dari atas
dahan pohon, In-
gkanputri tahu bila peti besi
itu berisi Arca Budha
yang tak boleh jatuh ke tangan
orang jahat. Maka,
setelah berhasil menghindari
sambaran cambuk
Mahicha Kapoor, Ingkanputri
menggerakkan sisa po-
tongan selendangnya!
Wuttt..!
Prang...!
Kontan Mahicha Kapoor mendengus
gusar.
Peti besi yang hampir berhasil
disambarnya, tiba-
tiba terlontar dua tombak.
Rupanya, ujung selen-
dang Ingkanputri berhasil
menghantam peti besi
yang semula berhasil dicuri oleh
Raja Syair itu.
6
Mendadak dari balik semak-semak
berkelebat
sesosok bayangan, langsung
menyambar peti besi
yang berada di dekat tubuh Raja
Syair, yang tergolek
lemah di bawah naungan pohon
besar.
Crep...!
"Aih...!"
Sosok manusia yang telah
berhasil menyam-
bar peti besi tak dapat
melanjutkan kelebatan tu-
buhnya karena kaki kanannya kena
cengkeraman
jari tangan Raja Syair. Dalam
keterkejutannya, so-
sok manusia itu memekik keras
seraya menusuk tu-
buh Raja Syair dengan ujung
tongkat yang diba-
wanya. Tapi, gerakannya terhenti
di udara karena
cambuk Mahicha Kapoor menyambar
laksana kilat,
menimbulkan ledakan keras dan
mengancam kepa-
la!
"Mati kau, Pencuri
Busuk!"
Cepat sekali orang yang baru
muncul memu-
tar tongkatnya. Sewaktu, tali
cambuk terpental ba-
lik, dia mengibaskan bambu
sepanjang dua jengkal
di tangan kirinya!
Terdengar suara mendengung
ketika dari da-
lam tongkat bambu menyembur
ribuan jarum. Sen-
jata rahasia itu mengandung
racun yang luar biasa
ampuh. Sebatang saja sudah mampu
untuk mem-
bunuh orang dengan tubuh
kaku-mengejang, apala-
gi ribuan!
Mahicha Kapoor yang tak
menyangka akan
datangnya serangan sedemikian
mendadak menjerit
keras. Dia masih sempat memutar
cambuk untuk
membuat perisai, tapi semburan
jarum-jarum bera-
cun itu melesat lebih cepat. Tak
ayal lagi, sekujur
tubuh Mahicha Kapoor menjadi
makanan empuk.
Tak terkecuali, wajahnya juga
menjadi sasaran!
Pekik kesakitan Mahicha Kapoor
membahana
seantero Pulau Belut. Ahli yoga
dari India itu berke-
lojotan di tanah. Kedua
tangannya mendekap wa-
jahnya yang telah dipenuhi
bintik-bintik merah.
Sementara Mahicha Kapoor
meregang nyawa,
penyebar jarum beracun yang
ternyata seorang lela-
ki berpakaian compang-camping
penuh tambalan
berteriak nyaring. Cengkeraman
Raja Syair masih
belum lepas dari kain kanannya.
Bahkan, mengu-
curkan darah segar karena
kuku-kuku jari tangan
Raja Syair menembus dagingnya!
"Lepaskan, Keparat!"
hardik lelaki berpakaian
compang-camping.
Di ujung kalimatnya yang kaku
dan patah-
patah, lelaki itu menyabetkan
tongkatnya untuk
memecahkan batok kepala Raja
Syair! Tentu saja In-
gkanputri tak mau tinggal diam.
Sisa potongan se-
lendangnya meluncur cepat, dan
berhasil membelit
tongkat lelaki berpakaian
compang-camping.
Karena tak mau kehilangan
senjata, cepat le-
laki berwajah kotor penuh debu
itu mengerahkan
tenaga dalam untuk membetot
tongkatnya. Sewaktu
terjadi adu kekuatan tenaga
dalam, mendadak Raja
Syair melepas cengkeramannya.
Dengan sisa-sisa
tenaganya dia bangkit, lalu
merampas peti besi yang
berada di jepitan ketiak lelaki
berpakaian compang-
camping.
Merasa kecolongan, si wajah kotor mengge-
ram keras. Dia tambah kekuatan
tenaga dalamnya
untuk membuat selendang
Ingkanputri putus. Ber-
samaan dengan itu, dia mengirim
tendangan ke tu-
buh Raja Syair yang belum
beranjak jauh dari si-
sinya.
Des...!
"Argh...!"
Punggung Raja Syair kena hajar
dengan telak.
Akibatnya, tubuh bocah titisan
itu jatuh bergulin-
gan. Peti besi yang berada di
kempitan ketiaknya
terlontar ke udara, lalu jatuh
ke semak-semak. Se-
mentara, tubuh Raja Syair terus
bergulingan sampai
membentur batang pohon besar,
kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi!
"Ha ha ha...! Mati kau,
Bocah Edan!" ujar si
wajah kotor dengan bahasa Jawa
patah-patah.
Sambil menambah kekuatan tenaga
dalam
pada lengan kanannya yang
mencengkeram erat
ujung selendang, Ingkanputri
mendengus gusar. Di-
tatapnya dengan penuh kebencian
lelaki berpakaian
compang-camping yang tengah
mengadu kekuatan
dengannya.
Selain berwajah kotor, rambut
lelaki bersenja-
ta tongkat itu awut-awutan tak
terurus. Matanya
yang sipit menyorotkan sinar
bengis, menandakan
kekejaman sifatnya. Walau
penampilannya serba tak
karuan, masih dapat dilihat bila
dia berkulit putih.
Sekilas orang bisa memastikan
bila dia berasal dari
negeri seberang.
Karena mengkhawatirkan keadaan Raja
Syair
tergeletak di tanah tanpa daya,
Dewi Baju Merah tak
mau membuang-buang waktu. Segera
dia bagi ke-
kuatan tenaga dalamnya untuk
dialirkan ke tangan
kiri. Sewaktu selendang sutera
nyaris terbetot pu-
tus, pergelangan tangan kiri
Dewi Baju Merah telah
berubah merah membara dan
memancarkan hawa
panas!
Si wajah kotor terkejut ketika tiba-tiba kulit
tubuhnya tersengat hawa panas.
Tanpa pikir pan-
jang, dia kibaskan batang bambu
di tangan kirinya.
Dalam sekejap mata, ribuan jarum
beracun menyer-
bu Ingkanputri!
Namun bertepatan dengan itu,
Ingkanputri
menghentakkan telapak tangan
kirinya ke depan.
Selarik sinar merah menggidikkan
melesat.
Jarum-jarum beracun berpentalan
ke udara,
lalu rontok ke tanah. Sementara,
selarik sinar merah
yang muncul karena penerapan
ilmu 'Pukulan Api
Neraka' terus melesat, hendak
menghajar tubuh si
wajah kotor!
Wusss...!
"Haya...!"
Si wajah kotor melompat tinggi
ke atas. Ter-
bawa lesatan tubuhnya, selendang
Ingkanputri ter-
betot putus. Selarik sinar merah
menerpa batang
pohon dua rangkulan manusia
dewasa. Terdengar
ledakan keras. Pohon besar itu tumbang. Pangkal-
nya menghitam dan mengepulkan
asap, di beberapa
tempat terlihat percikan lidah
api.
Begitu menginjak tanah, si wajah
kotor berke-
lebat masuk ke semak-semak, lalu
menghilang en-
tah ke mana. Ingkanputri sama
sekali tak mempedu-
likan lelaki itu lagi. Dia harus
cepat memberi perto-
longan kepada Raja Syair.
Kening Dewi Baju Merah berkerut
tajam. Rasa
khawatir terpancar jelas di
sorot matanya. Dia me-
meriksa keadaan Raja Syair
sambil berulang kali
menghela napas panjang.
Suhu badan Raja Syair amat
tinggi. Rompi
dan celana pendek yang
dikenakannya basah-kuyup
oleh keringat. Cepat Ingkanputri
memutar otak. Di-
bopongnya tubuh Raja Syair, lalu
dicelupkan ke da-
lam sungai. Sebentar kemudian.
Raja Syair mengge-
liat.
"Uh...!"
Mengetahui Gisa Mintarsa telah
siuman, In-
gkanputri membaringkan tubuh
bocah titisan itu di
tanah keras yang tidak becek.
"Suhu badanmu panas sekali,
Gisa. Terpaksa
aku memandikanmu di air
sungai," ujar Ingkanpu-
tri.
Gisa Mintarsa mengedip-ngedipkan
matanya.
Setelah pandangannya jelas, dia
mendesis, "Putri...."
"Ya. Aku Ingkanputri, Gisa.
Kebetulan aku
berada di tempat ini."
"Aku sudah tahu. Bukankah
kau telah men-
curi dengar ketika aku berbicara
dengan Mahicha
Kapoor?"
"Jadi, kau tahu bila aku
bersembunyi?"
"Sengaja aku membiarkan.
Kupikir, tenagamu
sewaktu-waktu bisa digunakan.
Dan, sekarang telah
terbukti. Kau telah menolongku,
Putri. Tapi...."
Mendadak, Gisa Mintarsa meloncat
bangun.
Karena tubuhnya masih lemah, dia
jatuh terjeng-
kang. Untung Ingkanputri segera
menyambarnya,
hingga punggung bocah titisan
itu tidak sampai
membentur tanah keras.
"Aku harus manyalurkan hawa
murni ke tu-
buhmu, Gisa. Kau masih butuh
pertolongan...,"' ta-
war Ingkanputri.
"Peti besi...! Peti
besi...!" sera Gisa Mintarsa,
tak memperhatikan ucapan
Ingkanputri.
Gisa Mintarsa meloncat bangun
lagi, tapi ke-
buru dicegah Ingkanputri
"Benda itu tak boleh jatuh
ke tangan orang
jahat." seru Gisa Mintarsa,
lebih keras.
"Tenanglah, Gisa. Tunggulah
di sini, akan ku
cari benda itu!"
Usai berkata, Ingkanputri
meloncat ke semak-
semak di mana peti besi
terlontar jatuh waktu Gisa
Mintarsa kena tendangan si wajah
kotor. Namun
hingga beberapa lama Ingkanputri
mencari, peti besi
tak berhasil ditemukannya.
Dengan wajah pucat Ingkanputri
keluar dari
semak-semak. Sejenak ditatapnya
tubuh Mahicha
Kapoor yang tergeletak di tanah
becek. Kedua tan-
gan dan kaki ahli yoga dari
India itu mengejang ka-
ku. Bola matanya melotot besar.
Mulutnya pun tern-
ganga lebar. Tak terdapat
tanda-tanda kehidupan
sedikit pun, karena nyawanya
memang telah me-
layang ke alam baka!
"Bagaimana, Putri? Tak kau
dapatkan peti
itu?" tanya Gisa Mintarsa
sambil beringsut duduk.
Dewi Baju Merah meraba luka di
punggung-
nya yang terasa panas. Luka itu
hanya luka luar
yang tidak mengandung racun.
Oleh karenanya,
Dewi Baju Merah tidak seberapa
mempedulikannya.
Dia lalu duduk di hadapan Gisa
Mintarsa
"Lupakan dulu peti itu. Kau
terluka dalam.
Aku harus menolongmu,
Gisa...," ujar Ingkanputri
kemudian.
"Kau baik sekali, Putri.
Aku memang terluka
dalam. Tapi dengan melakukan
semadi beberapa
saat, tiga hari kemudian
keadaanku pasti akan
kembali seperti sediakala."
"Kau tidak perlu waktu tiga
hari untuk me-
nyembuhkan luka dalammu bila
kubantu kau den-
gan menyalurkan hawa
murni."
"Terima kasih, Putri. Ada
yang lebih penting
dari sekadar membicarakan
keadaan diriku. Kata-
kan di mana peti besi berisi
Arca Budha itu berada.
Apakah lelaki gembel itu
berhasil membawanya la-
ri?"
"Kemungkinan besar memang
begitu. Aku
memang tidak berusaha
mencegahnya. Karena ku-
pikir, keselamatanmu lebih
penting."
Raja Syair mengangguk-angguk. Tampaknya
dia bisa menerima penjelasan
Ingkanputri.
"Apakah Arca Budha itu
mempunyai suatu
rahasia, Gisa? Dan, kenapa kau
sangat mengkhawa-
tirkan benda itu jatuh ke tangan
orang jahat?" tanya
Dewi Baju Merah kemudian,
"Arca Budha memang
mempunyai rahasia be-
sar. Bila sampai jatuh ke tangan
orang jahat, dan
orang itu bisa membuka
rahasianya dengan Pedang
Burung Hong, maka malapetaka
akan menimpa ta-
nah Tiongkok. Karena Arca Budha
dan Pedang Bu-
rung Hong sekarang ini berada di
tanah Jawa, kita
semua juga terancam
bahaya...."
"Kenapa bisa begitu?
Sesungguhnya rahasia
apa yang terdapat pada Arca
Budha? Dan, untuk
membuka rahasianya kenapa harus
menggunakan
Pedang Burung Hong?" buru
Dewi Baju Merah, ingin
mendapatkan keterangan lebih
jelas.
"Aku tak tahu itu rahasia
apa," jawab Gisa
Mintarsa, lirih.
"Kalau begitu, kenapa kau
bisa mengatakan
bahwa Arca Budha dapat
mendatangkan malapetaka
di tanah Tiongkok, bahkan di
tanah Jawa ini?"
Mendengar pertanyaan Dewi Baju
Merah,
kening Gisa Mintarsa berkerut.
Matanya menyipit.
Dalam keadaan seperti itu,
wajahnya jadi tampak
jenaka. Apalagi, batang
hidungnya terlihat bergerak
naik-turun.
"Bagaimana, Gisa? Kau tak
mendengar perta-
nyaanku?" cecar
Ingkanputri.
"Untuk menjelaskannya, aku
harus bercerita.
Sedang kau tahu, Putri, aku tak
punya waktu ba-
nyak. Aku harus mencari lelaki
gembel yang telah
melarikan Arca Budha itu sebelum
dia menemukan
Auwyang Nan Ie, dan merampas
Pedang Burung
Hong dari tangannya..."
"Jangan buat aku penasaran,
Gisa. Bercerita-
lah.... Kalau memang Arca Budha
mengandung ra-
hasia yang amat berbahaya, aku
akan membantumu
untuk mendapatkan benda
itu!"
"Ya. Ya, baiklah. Aku akan
bercerita walau
sebenarnya kau sudah tahu ketika
kau mencuri
dengar pembicarakanku dengan
Mahicha Kapoor...."
"Tapi, itu tidak jelas.
Gisa."
Raja Syair menghirup udara
dalam-dalam. Se-
telah menatap wajah Ingkanputri,
sejenak mulailah
dia bercerita. "Kau tentu
sudah tahu bila di kota
Ngadiluwih banyak terdapat
bangunan kuil dan
candi. Dua bulan yang lalu,
ketika aku kemalaman
di perjalanan, aku beristirahat
di Candi Palindungan
yang terletak di sebelah utara
kota Ngadiluwih. Cua-
ca mendung membuat suasana malam
jadi gelap-
gulita. Seorang diri di Candi
Palindungan, aku
hanya dapat memicingkan mata
walau sebenarnya
tubuhku terasa amat lelah. Hawa
dingin semakin
membuat aku tak dapat tidur.
Pada saat aku mem-
buat keputusan untuk mencari
kayu bakar guna di-
jadikan perapian, aku mendengar
suara-suara aneh
yang amat mencurigakan. Maka,
kuurungkan
niatku. Aku menyelinap masuk
lagi ke bangunan
candi. Kupasang indera
pendengaran lebih tajam.
Suara-suara aneh itu terdengar
makin jelas. Asalnya
dari sebelah kanan bangunan yang
terdapat banyak
arca. Perlu kau ketahui,
arca-arca yang terdapat di
seluruh candi di kota Ngadiluwih
semuanya dikerja-
kan oleh ahli pahat yang sangat
berpengalaman, se-
hingga arca-arca itu amat indah
bentuknya, dan
tentu saja mahal harganya
apabila dijual. Berpikir
sampai di situ, timbul dugaan
dalam benakku bila
suara-suara aneh yang kudengar
tentulah suara
pencuri yang tengah melakukan tindak kejaha-
tan...."
"Lalu, kau tangkap pencuri
itu?" tebak Dewi
Baju Merah.
"Rencanaku memang begitu...."
"Jadi, kau tak
menangkapnya?"
"Hus! Jangan potong dulu
ceritaku!" tegur Ra-
ja Syair.
Kontan Ingkanputri terdiam.
"Ketika mengintai, aku
melihat seorang lelaki
berpakaian kuning-coklat,
bentuknya sangat berlai-
nan dengan pakaian orang Jawa
pada umumnya.
Dalam keremangan malam, aku
dapat melihat wa-
jahnya. Nyatalah bahwa dia
memang bukan orang
Jawa, kulitnya putih dan raut
wajahnya menunjuk-
kan bahwa dia orang dari
seberang. Aku jadi tertarik
untuk terus mengikuti
gerak-geriknya. Orang itu tak
mengetahui bila ada yang tengah
mengintainya. Ma-
ka, tanpa curiga sedikit pun dia
teruskan peker-
jaannya..."
"Apa yang dia
kerjakan?"
"Orang itu memeriksa
seluruh arca yang ter-
dapat di Candi Palindungan.
Ketika menemukan se-
buah arca sang Budha sebesar
bayi, dia mengamati
dengan teliti. Dari jarak
sekitar tiga tombak aku
mengintai. Walau tak seberapa
jelas, tapi aku masih
dapat melihat apa yang kemudian
dilakukannya. Dia
meremas arca sang Budha itu
sampai hancur!"
"Lalu?"
"Arca sang Budha yang telah
menjadi debu
dan kerikil diamatinya lebih
teliti. Mendadak, dia
mengumpat-umpat dengan bahasa
yang sama sekali
tak kumengerti."
"Lalu?"
"Dia mengitari Candi
Palindungan dua kali
Ketika menemukan arca sang Budha
lagi, dia mere-
masnya juga hingga hancur-luluh.
Sebenarnya aku
hendak mencegahnya melakukan
pengrusakan, tapi,
aku berdiam
diri saja. Karena, aku ingin tahu apa
yang sebetulnya sedang dicari.
Ternyata, apa yang
dia cari tidak terdapat di Candi
Palindungan. Sambil
terus mengumpat-umpat, dia
kemudian berkele-
bat..."
"Dan, kau mengejarnya,
Gisa?"
"Tentu saja."
"Orang itu tidak tahu bila
gerak-geriknya kau
ikuti terus?"
"Agaknya, memang begitu.
Tanpa menunjuk-
kan sikap bercuriga sedikit pun,
dia berlari cepat
menuju ke Candi Kasinggih yang tidak seberapa
jauh letaknya dari Candi
Palindungan. Di candi itu,
dia juga mencari arca sang
Budha. Anehnya, setiap
ditemukan, arca suci itu pasti
diremasnya hingga
hancur-luluh...."
"Tampaknya, dia mencari
sesuatu yang terda-
pat di dalam arca sang
Budha."
"Ya. Kupikir memang begitu.
Tapi hingga se-
luruh candi kota Ngadiluwih dia
datangi, apa yang
dicarinya tetap tak
ditemukannya. Pada kokok ayam
pertama, mungkin karena
kelelahan, dia jatuh terti-
dur di Kuil Santidar. Aku lalu
duduk bersemadi di
halaman belakang kuil yang sudah
jarang di jamah
manusia itu. Dengan memusatkan kekuatan batin
ke satu titik, aku menembus alam
mimpi si orang
dari seberang itu...."
Dewi Baju Merah yang sudah tahu
kehebatan
Raja Syair mengangguk-anggukkan
kepalanya men-
dengar cerita bocah titisan itu.
Dia dengarkan lebih
seksama cerita selanjutnya.
"Dengan bahasa Jawa
patah-patah, roh orang
itu mengatakan bahwa dia bernama
Auwyang Nan
Ie. Berada di tanah Jawa hampir
tiga tahun. Tu-
juannya untuk mencari Arca Budha
yang seluruh-
nya terbuat dari emas murni. Arca itu sebenarnya
milik Raja Cina yang dihadiahkan
oleh seorang tetua
bangsa Cina yang sekitar dua
ratus tahun yang la-
lu...."
"Dua ratus tahun yang lalu?
Jadi, arca itu te-
lah berumur setua itu?"
kejut Ingkanputri.
"'Ya. Auwyang Nan Ie
menduga bahwa Arca
Budha berada di tanah Jawa. Dia
mendapat keyaki-
nan setelah tahu salah seorang pesaingnya yang
bernama Kwe Kok Jiang juga
datang ke tanah Jawa
ini. Auwyang Nan Ie sangat
bernafsu untuk memiliki
Arca Budha karena dia telah
mendapatkan sebatang
pedang pusaka bernama Pedang
Burung Hong. Den-
gan pedang itu, Auwyang Nan Ie
akan dapat mem-
buka rahasia besar yang terdapat
pada Arca Bud-
ha...."
"Kau tanyakan
kepadanya tentang rahasia
itu?"
"Tentu saja. Tapi, dia tak
dapat menjawab ka-
rena dia juga tak tahu sama
sekali."
"Lalu?"
"Ketika kutanyakan kenapa
dia merusak arca-
arca sang Budha yang
ditemukannya di candi-candi
di kota Ngadiluwih, dia menjawab
bahwa ada ke-
mungkinan Arca Budha yang tengah
dicarinya ter-
simpan di dalam arca-arca
itu."
"Apa yang kau lakukan
selanjutnya, Gisa?"
"Pagi-pagi sekali aku
melihat Auwyang Nan Ie
keluar dari Kuil Santidar. Baru
melangkah beberapa
tindak dari ambang pintu, dia
meloloskan sebilah
pedang bengkok yang diseluruh
badannya dihiasi
ukiran amat indah. Ketika sinar
matahari menerpa,
bilah pedang itu memancarkan
cahaya biru gemer-
lapan, dan tampak amat
mengerikan. Aku menduga
pedang itulah yang bernama
Pedang Burung Hong."
"Lalu, apa yang
diperbuatnya?"
"Sungguh aku merasa waswas
saat itu. Kupi-
kir, Auwyang Nan Ie telah tahu
bila gerak-geriknya
sedang diintai orang. Namun,
kiranya dia tak ber-
buat apa-apa. Sambil memandangi
bilah Pedang Bu-
rung Hong, dia berkata seorang
diri 'Setelah Arca
Budha kudapatkan, aku akan
menjadi orang besar
di antara yang terbesar, menjadi
raja di antara sega-
la raja'. Lalu, dia tertawa terbahak-bahak,
dan ber-
kelebat lenyap."
"Kau tak mengikutinya
lagi?"
"Bagaimana aku dapat
mengikutinya bila aku
terserang kantuk luar biasa
karena semalam penuh
aku tak tidur? Belum lagi
seluruh badanku terasa
dipukul-pukul palu godam karena
kelelahan!"
"Jadi, kau biarkan dia
pergi?" tanya Ingkan-
putri untuk menegaskan ucapan
Raja Syair.
"Ya. Setelah tidur sepuas
hatiku, aku pergi
mencari Auwyang Nan
Ie."
"Untuk apa?"
"Tentu saja menggagalkan
niatnya mencari
Arca Budha. Aku tahu Auwyang Nan
Ie bukan orang
baik-baik. Dia menyimpan nafsu
buruk. Aku khawa-
tir setelah mendapatkan Arca
Budha, dia akan
membuat keresahan di tanah
kelahirannya. Walau
sebenarnya itu bukan urusanku,
tapi hati kecilku
terpanggil. Aku tak ingin
mendengar berita kebruta-
lan manusia yang membunuh
sesamanya. Apalagi,
Auwyang Nan Ie berada di tanah
Jawa. Sebelum
kembali ke Tiongkok, aku
khawatir dia akan mem-
buat pertumpahan darah di
sini..."
Dewi Baju Merah
mengangguk-angguk. Dia
akui dalam hati bila Raja Syair
memang seorang
pendekar sejati. Muridnya yang
bernama Banjaran-
pati atau Bayangan Putih dari
Selatan juga seorang
pendekar besar yang sangat
terkenal di rimba persi-
latan.
"Tapi sampai beberapa hari
lamanya, aku tak
menjumpai orang itu lagi,"
Lanjut Gisa Mintarsa,
"Sambil meneruskan
pencarian, aku juga mencari
Kwe Kok Jiang…"
"Kwe Kok Jiang?"
"Sudah kuceritakan di muka,
orang dari sebe-
rang juga mencari Arca Budha di
tanah Jawa ini."
"Dia kau temukan?"
Gisa Mintarsa menggeleng. Anting
besar di te-
linga kirinya bergoyang-goyang.
"Tidak. Kwe Kok
Jiang tak kutemukan, juga
Auwyang Nan Ie."
"Lalu, apa yang kau perbuat
selanjutnya?" ke-
jar Ingkanputri.
"Aku putuskan untuk
turut mencari Arca
Budha. Sebulan lebih aku mencari
keterangan, tapi
usahaku sia-sia belaka."
"Lalu, bagaimana kau bisa
sampai di Pulau
Belut ini? Apakah kau juga
mendengar desas-desus
bahwa pulau ini telah dihuni
siluman jahat? Dan,
secara kebetulan kau dapatkan
Arca Budha berada
di sini?"
"Bisa dikatakan kebetulan,
bisa juga dikata-
kan tidak."
"Maksudmu"'"
"Suatu malam, ketika aku
sedang beristirahat
di Kademangan Maospati. Aku
bermimpi yang tam-
pak sangat nyata. Dalam mimpi ku
itu, aku melihat
dua orang lelaki tengah berhadap-hadapan
di pun-
cak gunung salju yang terletak
di Tibet. Mereka sa-
ma-sama membawa pedang terhunus
yang telah
berlumuran darah. Sementara, di
sekitar mereka
banyak sekali mayat manusia
bergelimpangan. Dua
orang lelaki yang sudah siap
tempur itu tampaknya
tengah memperebutkan sesuatu.
Salah seorang di
antaranya adalah Auwyang Nan Ie.
Wajahnya tam-
pak masih muda. Mungkin kejadian
dalam mimpi ku
itu berlangsung sekitar sepuluh
tahun yang lalu...,"
"Yang seorang lagi
siapa?" tanya Ingkanputri,
penasaran.
"Aku tak mengenalnya. Tapi,
Auwyang Nan Ie
memanggilnya dengan sebutan Kok
Jiang. Mungkin
dialah yang bernama Kwe Kok
Jiang itu."
Kepala Ingkanputri mengangguk
lemah. "Lalu,
mereka bertempur mati-matian?"
tebaknya.
"Tidak. Aku melihat sesosok
bayangan berke-
lebat cepat, menyambar sebuah
arca sang Budha
yang tergeletak di tonjolan batu
tinggi. Arca sang
Budha itu cuma sebesar bayi
kucing, tapi seluruh-
nya terbuat dari emas. Aku
menduga, yang sedang
diperebutkan oleh Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang tentu arca itu. Dan itu
terbukti. Mengetahui
Arca Budha lenyap, Auwyang Nan
Ie dan Kwe Kok
Jiang tidak jadi bertempur.
Mereka lalu menuruni
puncak gunung bersalju itu lewat
jalan berlainan...."
"Kedua orang itu tahu kalau
Arca Budha telah
dicuri orang?"
"Tampaknya, mereka tidak
tahu. Tapi, bisa
saja mereka menduga begitu. Aku
tak tahu apa yang
diperbuat Auwyang Nan Ie dan Kwe
Kok Jiang selan-
jutnya karena sinar matahari
keburu menerpa wa-
jahku, dan aku
terbangun..."
"Kau percaya pada mimpimu
itu, Gisa?"
"Ya. Aku percaya. Aku
menduga, mimpi ku itu
bukan sekadar mimpi. Mimpi itu
hadir untuk mem-
beri petunjuk kepadaku."
"Lalu, apa yang kau perbuat
kemudian?"
"Aku datang ke Sungai
Bayangan. Setelah
meminta ijin Sawung Jenar, aku
bersemadi di aliran
sungai yang banyak ularnya
itu."
"Sawung Jenar? Penghuni
Sungai Bayangan
yang berjuluk Iblis Selaksa Ular
itu?"
"Ya. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya
heran kenapa kau
memilih sungai yang banyak
ularnya untuk dijadi-
kan tempat bersemadi. Dan, untuk
apakah kau ber-
semadi? Apakah untuk meminta
petunjuk pada
Yang Kuasa? "
"Aku memilih Sungai
Bayangan untuk kuja-
dikan tempat bersemadi karena
tempat itu jarang di-
jamah manusia, hingga tak ada
kekhawatiran dalam
diriku jika nanti akan ada orang
yang mengganggu
semadiku." Gisa Mintarsa
menghentikan ucapannya
karena batuk-batuk
"Kau tak apa-apa,
Gisa?" tanya Dewi Baju Me-
rah, khawatir.
Bibir Gisa Mintarsa menyungging
senyum ti-
pis. "Aku tak akan mati
secepat yang kau kira. Ti-
dakkah kau ingin mendengar
kelanjutan ceritaku?"
"Ya. Ya, lanjutkan
ceritamu, Gisa..," ujar Dewi
Baju Merah walau di hatinya
masih tersimpan rasa
khawatir. Dia tahu bila Gisa
Mintarsa masih mende-
rita luka dalam.
"Setelah bersemadi selama
tujuh hari tujuh
malam di mana aku menerapkan
ilmu "Penerawan-
gan', aku tahu bila Arca Budha
memang dilarikan
orang ke tanah Jawa ini. Orang
itu berkebangsaan
India, namanya Mahicha Kapoor.
Maka, segera ku-
datangi dia, yang ternyata
berada di pulau yang se-
karang kita tempati ini. Selama
dua pekan aku me-
lakukan penyelidikan. Mahicha
Kapoor yang ahli
melakukan yoga ternyata amat
cerdas. Dia menyim-
pan Arca Budha di sebuah goa
bawah tanah yang
penuh jebakan. Siang-malam aku
menyelidiki, ak-
hirnya aku berhasil mencuri Arca
Budha yang ter-
simpan di dalam peti besi.
Sayang, sebelum aku
membawa pergi jauh, Mahicha
Kapoor memergoki-
ku. Seperti yang kau lihat
kemudian, dia mengirim
ular-ular putih untuk menyerangku,
mungkin juga
untuk menyerangmu...."
Sampai di situ, Gisa Mintarsa
batuk-batuk te-
rus. Tubuhnya sampai
terbungkuk-bungkuk. Terke-
jutlah Ingkanputri ketika bocah
titisan itu memun-
tahkan darah kental kehitaman.
"Aku harus menyalurkan hawa
murni ke tu-
buhmu, Gisa!" ujar
Ingkanputri, memaksa.
"Yah, baiklah....
Tampaknya, aku memang tak
bisa menolak budi baikmu
ini...," sahut Gisa Mintar-
sa sambil menyeringai kesakitan.
7
Bukit Rawangun....
Di dalam goa yang bercahaya
cukup terang,
seorang kakek berpakaian
kuning-ringkas tampak
sedang membalur lengan kiri Kwe
Kok Jiang yang te-
lah berhasil disambung kembali.
Dari siku ke ba-
wah, tangan kiri Kwe Kok Jiang
memang tak mung-
kin dapat digerakkan lagi, tapi
itu lebih baik daripa-
da lengan kirinya dibiarkan
buntung.
"Ramuan obat yang
kuborehkan akan bekerja
selama satu bulan. Selama itu,
jangan sekali-sekali
kau gerakkan lenganmu ini, agar
sambungannya tak
terlepas lagi. Terlebih lagi,
memohonlah kepada sang
Penguasa Tunggal. Mudah-mudahan
semuanya ber-
jalan dengan baik...,"
nasihat si kakek setelah peker-
jaannya selesai. Tampak
kemudian, lengan kiri Kwe
Kok Jiang terjulur kaku karena
dijepit dua bilah
bambu sepanjang dua jengkal.
Ujung-ujung bambu
itu diikat pada lengan kiri Kwe
Kok Jiang dengan
sobekan kain bersih berwarna
putih.
"Terima kasih.... Terima
kasih. Budi baik
Hiap-kek tak akan kulupakan
seumur hidup. Entah
dengan apa aku harus membalas
budi baik Hiapkek
ini...," ujar Kwe Kok
Jiang, lirih.
"Hiap.... Hiapkek? Apa
itu?" sela Suropati
yang duduk tak seberapa jauh
dari lelaki berkuncir
itu.
"Hiapkek adalah bahasa
Cina. Artinya, orang
gagah yang berhati mulia,"
jawab Kwe Kok Jiang
sambil mengulum senyum.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Saudara Kok
Jiang...," sahut tabib
pandai yang baru saja mengo-
bati Kwe Kok Jiang. Kulit wajah
kakek itu berwarna
merah seperti buah tomat matang.
Oleh karenanya,
dia mendapat gelar si Wajah
Merah.
"Kukira, aku tidak
berlebihan. Kau memang
pantas kusebut sebagai
hiapkek," tegas Kwe Kok
Jiang.
"Kalau aku pantasnya
disebut apa?" tanya
Pengemis Binal tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan remaja
tampan yang
sering berperilaku konyol itu,
Kwe Kok Jiang menge-
rutkan kening. Diputarnya otak
untuk mencari se-
butan yang tepat bagi Suropati.
"Jangan lama-lama, Pak
Tua!" tegur Suropati
melihat Kwe Kok Jiang belum juga
mengeluarkan
suara.
"Ya. Ya, aku telah mendapat sebutan yang
sangat cocok untukmu...,"
ujar Kwe Kok Jiang ke-
mudian.
"Apa?" kejar
Pengemis Binal sambil garuk-
garuk kepala.
Kwe Kok Jiang tersenyum.
"Karena kau sering
menggaruk kepalamu yang tak
gatal dan sering pula
berbuat yang aneh-aneh, maka kau
sangat pantas
disebut shia soat."
"Shia... shia soat? Apa
itu?"
"Shia soat artinya monyet
edan!"
Terbelalak mata Pengemis Binal
seketika.
Tanpa sadar dia garuk-garuk
kepala lagi. Si Wajah
Merah yang melihat ulahnya
kontan tertawa ter-
pingkal-pingkal. Sementara, Kwe
Kok Jiang hanya
tersenyum-senyum.
Merasa dirinya dijadikan bahan
tertawaan,
Suropati mendengus gusar. Lalu,
dia beringsut
mendekati Kwe Kok Jiang.
Setengah berbisik dia
berkata, "Aku juga punya
sebutan yang tepat un-
tukmu, Pak Tua...."
"Apa?" tanya Kwe Kok
Jiang ragu-ragu. Dia
tahu bila Suropati hendak
membalasnya. Agar tak
membuat remaja konyol itu marah,
dia bertanya ju-
ga.
"Kau pantas disebut maruta
madaran!" beri
tahu Suropati, keras membentak
hingga Kwe Kok
Jiang menjomblak kaget.
"Jangan bercanda dengan
orang tua, Suro!"
tegur si Wajah Merah.
"Aku tidak bercanda, Kek.
Aku sungguh-
sungguh. Pak Tua yang bernama
Kwe Kok Jiang ini
memang pantas disebut maruta
madaran!" ujar Pen-
gemis Binal dengan raut muka
menampakkan ke-
sungguhan.
"Maruta madaran? Ya. Ya,
agaknya aku me-
mang pantas mendapat sebutan
itu. Cukup enak di-
dengar dan terkesan gagah,"
sahut Kwe Kok Jiang.
"Tapi, kau harus memberi
tahu apa arti maruta ma-
daran itu, Suro!"
"Pasti! Maruta madaran
adalah bahasa Jawa
halus. Artinya, angin perut
alias kentut! Ha ha
ha...!"
Kontan mengelam paras Kwe Kok
Jiang. Se-
waktu Pengemis Binal tengah
tertawa terbahak-
bahak, si Wajah Merah menjitak
kepala remaja ko-
nyol itu. Tawa Pengemis Binal
terhenti seketika.
Sambil meraba-raba kepalanya,
dia menatap lekat si
Wajah Merah.
"Kenapa kau menjitakku,
Kek?" tanya Penge-
mis Binal, cengar-cengir.
"Sudah kubilang, jangan bercanda dengan
orang tua!" bentak si'
Wajah Merah.
"Ya.... Ya, aku memang
salah, Kek. Tapi, bu-
kankah Pak Tua ini yang
mengawali?"
"Ya. Kita sama-sama salah,
Suro," sahut Kwe
Kok Jiang.
"Maafkan kekonyolan
Suropati, Saudara Kok
Jiang...," ujar si Wajah
Merah kemudian.
"Ah! Tidak menjadi apa. Aku
justru senang
melihat kekonyolannya. Selama
tiga tahun di tanah
Jawa, baru sekarang aku bertemu
dengan orang
yang begitu menyenangkan."
Si Wajah Merah menatap lekat Kwe
Kok
Jiang.
"Apakah Saudara Kok Jiang
hendak mene-
ruskan usaha mencari Arca Budha
itu?" tanyanya,
sungguh-sungguh.
Agaknya, si Wajah Merah telah diberi
tahu pe-
rihal Arca Budha yang tengah
dicari oleh Kwe Kok
Jiang.
"Tentu saja, Hiapkek. Arca
itu harus kutemu-
kan sebelum orang jahat mendapatkannya,"
jawab
Kwe Kok Jiang, cepat.
"Tapi tidak sekarang,
bukan? Keadaanmu be-
lum memungkinkan untuk melakukan
perjalanan
jauh."
"Jangan khawatir, Kek. Aku
akan menema-
ninya," sahut Suropati yang
duduk bersandar di
dinding goa.
"Yah. Melakukan perjalanan
bersama Suropa-
ti, tak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi," tegas Kwe
Kok Jiang.
"Kalau begitu, terserah.
Hanya aku ingatkan,
rawatlah lengan kirimu dengan
baik, Saudara Kok
Jiang," putus si Wajah
Merah kemudian.
Maka hari itu juga, Kwe Kok
Jiang bersama
Pengemis Binal meninggalkan
Bukit Rawangun. Dua
hari kemudian, dua anak manusia
itu tiba di kota
Ngadiluwih. Matahari tepat
memayung di atas kepa-
la ketika mereka memasuki kota
perdagangan itu.
Setelah bosan berputar-putar,
mereka beristirahat di
tepi sungai besar yang menjadi
penghubung kota
Ngadiluwih dengan kota
perdagangan lainnya.
Mendadak mata Pengemis Binal
terbelalak le-
bar, namun senyum senang segera
mengembang di
bibirnya. Dia melihat seorang
gadis bersama bocah
lelaki berusia dua belas tahun
tengah turun dari
kapal dagang yang baru saja
menambat untuk me-
nurunkan barang dagangannya.
"Hoiii...!" teriak
Pengemis Binal, tangannya
melambai-lambai.
Gadis berpakaian serba merah dan
bocah le-
laki berusia
dua belas tahun menoleh bersamaan.
Melihat seorang remaja tampan
melambaikan tan-
gan, mereka segera meloncat dari
tangga kapal, lalu
berlari-lari menghampiri.
"Suro...!" teriak
gadis dan bocah lelaki yang
bukan lain Ingkanputri dan Gisa
Mintarsa.
Tanpa mempedulikan Gisa
Mintarsa, Penge-
mis Binal menghambur ke arah
Ingkanputri. Cepat
sekali dia memeluk gadis cantik
itu. Ingkanputri jadi
jengah dan kelabakan karena
tiba-tiba Pengemis Bi-
nal menciumi kedua pipinya.
"Uh! Apa-apaan kau,
Suro!" tegur Dewi Baju
Merah, kedua tangannya mendorong
dada Suropati.
Hingga, remaja konyol itu hampir
jatuh terjengkang.
"He he he...," tawa
kekeh Suropati. "Kau tidak
senang berjumpa denganku, Putri?
Bukankah kita
sudah cukup lama berpisah?
Ciumanku tadi sebagai
tanda persahabatan. Kau minta
tambah?"
Kedua tangan Suropati mengembang
hendak
memeluk Ingkanputri lagi, namun
gadis itu telah
melompat ke belakang. Bahkan,
dia mencak-mencak
seraya menatap galak dengan muka
merah-padam.
Memang, siapa yang tak akan
marah mendapat per-
lakuan konyol Suropati di depan
orang banyak?
"Kau marah, Putri?"
tanya Pengemis Binal,
ketolol-tololan. "Makin
marah, kau tambah cantik.
He he he...."
"Aku tidak mau bercanda,
Suro!" bentak Dewi
Baju Merah, matanya melotot
tajam.
"Rupanya, kau bocah bengal
yang minta di-
tanggalkan daun telingamu,
Suro!" tambah Raja
Syair.
Mendengar kata-kata bocah
titisan itu, Pen-
gemis Binal tercekat. Dia baru
ingat bila Ingkanputri
tidak datang seorang diri.
Pengemis Binal menatap
lekat wajah Gisa Mintarsa.
Kontan keningnya berke-
rut. Wajah Gisa Mintarsa
terlihat pucat-pasi seperti
sedang menderita sakit.
"Kau kenapa, Gisa?"
tanya Pengemis Binal.
"Aku terluka dalam,"
beri tahu Raja Syair.
"Terluka dalam? Kau habis
bertempur dengan
siapa?"
Sebelum pertanyaan Suropati
terjawab, seo-
rang lelaki tua berkulit putih
menghampiri seraya
menepuk bahunya dari belakang.
"Siapa mereka, Suro?"
tanya lelaki berkuncir
yang bukan lain Kwe Kok Jiang.
Semula, lelaki bergelar Pendekar
Sesat itu
asyik memperhatikan kuli-kuli
kapal yang tengah
menurunkan barang dagangan.
Hingga, dia tak me-
lihat kedatangan Ingkanputri dan
Gisa Mintarsa.
"Eh! Kau, Pak Tua...,"
kejut Pengemis Binal.
"Mereka temanku. Gadis
cantik ini bernama Ingkan-
putri atau Dewi Baju Merah.
Sedang bocah jelek dan
jarang mandi ini Gisa Mintarsa
atau Raja Syair."
Pengemis Binal mengenalkan dua
sahabatnya
kepada Kwe Kok Jiang. Ketika
Gisa Mintarsa dan
Kwe Kok Jiang bertatapan mata,
mereka sama-sama
menjomblak kaget. Kening Kwe Kok
Jiang berkerut
rapat. Sementara, bola mata Gisa
Mintarsa membe-
lalak lebar.
Kwe Kok Jiang terkejut karena
tak menyang-
ka bila Gisa Mintarsa yang hanya berwujud bocah
berusia dua belas tahun
dikenalkan Suropati seba-
gai Raja Syair. Padahal, selama
tiga tahun di tanah
Jawa, Kwe Kok Jiang sering
mendengar orang mem-
bicarakan keharuman nama Raja
Syair sebagai seo-
rang pendekar sejati. Bagaimana
pendekar besar itu
ternyata seorang bocah berusia
dua belas tahun
yang wajahnya masih tampak
jenaka seperti tak
punya dosa?
Sementara, Gisa Mintarsa
terkejut karena me-
lihat wajah Kwe Kok Jiang amat
mirip dengan orang
yang diimpikannya. Walau tampak
lebih tua, tapi
garis-garis wajahnya sama
persis. Apakah lelaki itu
benar-benar Kwe Kok Jiang yang
tengah mencari Ar-
ca Budha? Gisa Mintarsa bertanya
dalam hati.
"Eh! Kau kenapa, Pak
Tua?" ujar Suropati
yang melihat perubahan raut
wajah Kwe Kok Jiang.
"He he he.... Kau tak usah
heran, Pak Tua. Bocah
beranting perak itu memang benar
Raja Syair. Wa-
lau raganya hanya berupa bocah
berusia dua belas
tahun, tapi dia berjiwa seorang
kakek berumur
hampir seratus tahun."
"Kenapa bisa begitu?"
tanya Kwe Kok Jiang,
tak mengerti.
"Puluhan tahun yang lalu,
Gisa Mintarsa te-
lah mati. Namun karena kuasa
Tuhan, rohnya meni-
tis ke tubuh seorang bocah, yang
sekarang kau lihat
ini," tambah Pengemis
Binal.
Kwe Kok Jiang mengangguk-angguk.
Tam-
paknya, lelaki berkuncir itu.
dapat memahami pen-
jelasan Suropati. Sementara Gisa
Mintarsa yang tak
pernah melepaskan tatapannya
dari wajah Kwe Kok
Jiang, terdengar mendehem.
Agaknya, dia minta
waktu untuk bicara.
"Siapa temanmu itu,
Suro?" tanya Gisa Min-
tarsa sambil menggamit lengan
Pengemis Binal. Su-
aranya pelan, tapi masih dapat
ditangkap telinga.
Pengemis Binal menatap wajah
Raja Syair se-
jenak, lalu katanya, "Dia
Kwe Kok Jiang."
"Kwe Kok Jiang?" kejut
Raja Syair. "Hmmm....
Benar dugaanku. Orang itu pernah
kujumpai di
alam mimpi," katanya kepada
diri sendiri.
"Kenapa, Gisa? Apakah
kau pernah melihat-
nya?" tanya Pengemis Binal
melihat Gisa Mintarsa
terus menatap Kwe Kok Jiang.
"Ya. Aku pernah melihatnya,
Suro," beri tahu
Raja Syair.
"Dimana?"
"Di alam mimpi."
"Di alam mimpi? Jangan
bergurau kau, Gisa!"
Mendengar bentakan Suropati, Raja
Syair
cuma tersenyum. Bocah titisan
itu lalu mencerita-
kan perihal mimpinya. Suropati
dan Kwe Kok Jiang
mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Juga ke-
tika Raja Syair menceritakan
pertemuannya dengan
Auwyang Nan Ie dan peristiwa di
Pulau Belut.
"Mahicha Kapoor yang
melarikan Arca Budha
ke tanah Jawa ini mati terkena
semburan jarum be-
racun," ujar Raja Syair,
menutup ceritanya.
"Siapa yang menyemburkan
jarum itu?" tanya
Kwe Kok Jiang dengan bahasa Jawa
yang cukup
lancar.
"Seorang lelaki dari negeri
seberang. Berbeda
benar dengan dirimu, Kok Jiang.
Pembunuh Mahi-
cha Kapoor itu bertubuh kotor
dekil, pakaiannya
compang-camping, rambutnya
awut-awutan, dan
wajahnya terlihat buruk karena
tak pernah diurus.
Dia bersenjata tongkat,"
papar Raja Syair.
"Bersenjata
tongkat...," desis Kwe Kok Jiang
dengan kening berkerut rapat.
Tampaknya, dia ten-
gah berpikir keras.
"Apakah kau kenal orang
itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair.
"Apakah pada pangkal
tongkatnya terdapat
hiasan tengkorak manusia?"
Kwe Kok Jiang balik
bertanya.
"Ah! Aku tak seberapa
memperhatikan. Waktu
itu, punggungku keburu
ditendangnya," papar Raja
Syair.
"Ya. Pangkal tongkat orang
dekil itu berhias
tengkorak manusia," sahut
Ingkanputri.
Dewi Baju Merah tentu saja tahu
karena se-
lendang suteranya pernah membelit tongkat lelaki
berwajah kotor yang telah
membunuh Mahicha Ka-
poor.
Mendengar ucapan Ingkanputri,
Kwe Kok
Jiang menganggukkan kepala. "Kau ceritakan tadi,
Gisa, orang itu membunuh Mahicha
Kapoor dengan
semburan jarum beracun. Apakah
jarum-tarum itu
disebarkan dari batang bambu
sepanjang dua jeng-
kal?"
"Ya!" Ingkanputri yang
menjawab.
Mengelam paras Kwe Kok Jiang
seketika.
"Hmmm,.. Kalau begitu, Arca
Budha benar-benar
menjadi incaran orang
jahat..." gumamnya.
"Kau kenal dengan
orang itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair kemudian.
"Melihat ciri-ciri senjata
itu, tak salah lagi, dia
pasti Tan Peng Sin. Dia jago
nomor satu di Kay
pang. Sebelum berangkat ke tanah
Jawa ini, aku
mencium rencana busuk lelaki
itu. Dia hendak me-
mimpin teman-temannya untuk
memberontak," jelas
Kwe Kok Jiang.
"Sebentar... kau tadi
menyebut Kaypang. Apa
itu?" tanya Suropati.
"Kaypang adalah partai
pengemis di daratan
Tionggoan. Semacam Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti yang kau pimpin,
Suro."
"Apakah Tan Peng Sin
pemimpin Kaypang
itu?" tanya Suropati lagi.
"Bukan. Dia hanya anggota
biasa. Tapi, ilmu
silatnya amat tinggi, juga
cerdik. Sehingga, banyak
anggota Kaypang yang takut
kepadanya. Mereka lalu
menjadi kaki-tangan Tan Peng
Sin. Ketua Kay-pang,
Lam Ce In, tidak mampu berbuat
apa-apa. Selain
sudah tua, ilmu silatnya pun di
bawah Tan Peng
Sin...," Kwe Kok Jiang
menghentikan ceritanya un-
tuk mengambil napas panjang.
Mendadak, bola ma-
tanya membesar. "Sekarang,
Arca Budha itu berada
di mana?" tanyanya dengan
suara berat.
"Kemungkinan besar
dilarikan orang yang
bernama Tan Peng Sin
itu...," duga Dewi Baju Me-
rah.
Kwe Kok Jiang mendesah. Suropati
menatap
wajahnya sambil garuk-garuk
kepala. Ingkanputri
dan Gisa Mintarsa memperhatikan
kebiasaan remaja
konyol itu dengan perasaan
sebal.
"Kits, menari Tan Peng Sin
sekarang?" tanya
Pengemis Binal kemudian.
"Tentu saja!" jawab
Ingkanputri, membentak
keras. Mendongkol hatinya
teringat perlakuan Suro-
pati waktu baru berjumpa tadi.
* * *
Walau melawan arus, tapi rakit
itu dapat me-
luncur cepat di permukaan Sungai
Bayangan. Seo-
rang lelaki berwajah kotor
berdiri tegak di atasnya.
Kedua tangannya mencengkeram
erat batang bambu
kuning panjang, alat untuk
menggerakkan rakit.
Rambut lelaki itu panjang
awut-awutan, sama sekali
tak terurus. Ditambah pakaiannya
yang compang-
camping, penampilan lelaki yang
sebenarnya berku-
lit putih itu tampak amat
mengenaskan. Namun
demikian, dapat dilihat bila
tubuhnya tegap-berisi,
pertanda bila dia bukan pengemis
atau gelandangan
biasa.
Lelaki dekil itu membenarkan
ikatan tongkat
berhias tengkorak manusia dan
batang bambu se-
panjang dua jengkal di
pinggangnya. Setelah me-
mastikan bahwa peti besi masih
terikat baik di
punggungnya, dia menjejakkan
batang bambu ku-
ningnya ke dasar sungai. Badan
rakit pun melesat
cepat.
Dia Tan Peng Sin, anggota
Kaypang yang be-
rasal dari daratan Tionggoan.
Setelah berhasil me-
nemukan peti besi yang
tergeletak di semak semak,
secepatnya dia lari meninggalkan
Pulau Belut. Den-
gan menggunakan rakit, lelaki
dekil itu mengarungi
Sungai Balirang yang cukup
lebar. Kemudian, sam-
pailah dia di Sungai Bayangan.
Kedua sungai itu
memang berhubungan.
Kepala Tan Peng Sin menoleh ke
kanan-kiri.
Setelah menemukan tempat sepi
yang dirasa aman,
lelaki dekil itu melompat dari
rakit. Gerakannya rin-
gan, namun tubuhnya mampu
melesat sejauh tiga
tombak.
"Arca Budha.... Arca
Budha...," gumam Tan
Peng Sin begitu kakinya
menginjak tanah. "Dengan
Arca Budha akan kusingkirkan Lam
Ce In, kemu-
dian.... Ha ha ha...! Akan
kugulingkan takhta kera-
jaan! Ha ha ha...!"
Tanpa disadari oleh Tan Peng
Sin, tawa ke-
rasnya telah mengejutkan seorang
lelaki yang tengah
berlari-lari menyusuri tepi
Sungai Bayangan. Dilihat
dari raut wajah dan kulit
tubuhnya, lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu
jelas dari negeri sebe-
rang. Warna pakaiannya
kuning-coklat, Sedang di
punggungnya terselip sebatang
pedang bengkok
Dengan berjalan mengendap-endap,
menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh,
lelaki yang ram-
butnya digelung itu mengintai
Fan Peng Sin yang
tengah menatap peti besi di
hadapannya.
"Hmmm.... Kiranya, Fan Peng
Sin juga berada
di sini," kata si pengintai
dalam hati. "Isi peti besi
yang berada tergeletak di
hadapannya itu tampak-
nya barang berharga. Mungkinkah
hasil curian?
Hmm.... Agaknya, dia tahu bila
ada yang
mengintai gerak-geriknya. Bila
isi peti besi itu me-
mang barang berharga, pasti
kurampas!"
Sambil tersenyum-senyum, lelaki
berbaju ge-
dombrongan itu terus mengawasi
gerak-gerik Tan
Peng Sin dari belakang pohon
besar. Sementara, Tan
Peng Sin sendiri sama sekali tak
tahu bila dirinya
tengah diintai orang.
Sebenarnya, pendengaran Tan Peng
Sin cu-
kup tajam, namun karena si
pengintai mempunyai
ilmu meringankan tubuh
sedemikian tinggi, sehing-
ga Tan Peng Sin jadi tak tahu
bila seluruh gerak-
geriknya diawasi orang dari
jarak sekitar empat
tombak.
"Arca Budha.... Arca
Budha...," gumam Tan
Peng Sin berulang kali.
Diamat-amatinya peti besi di
hadapannya. Se-
telah menemukan kunci pembukanya
yang terletak
di kiri-kanan peti, lelaki dekil
itu mengambil napas
dalam-dalam, lalu kedua
tangannya bekerja. Tapi...
Blakkk...!
"Haya...!"
Tutup peti besi membuka keras.
Bersamaan
dengan itu, jarum-jarum hitam
yang amat halus
berhamburan dari dalamnya. Tan
Peng Sin yang su-
dah menduga akan adanya jebakan,
cepat mengem-
pos tubuh ke atas. Dan
terhindarlah dia dari bahaya
maut
"Arca Budha.... Arca
Budha...," gumam Tan
Peng Sin seraya mengarahkan
pandangan ke peti
besi yang telah terbuka
tutupnya.
Di dalam peti yang tingginya
sejengkal itu,
terdapat bungkusan kain hitam.
Tan Peng Sin mena-
tapnya dengan mata
bersinar-sinar.
Tanpa pikir panjang lagi. Tan
Peng Sin me-
nyambar bungkusan itu. Tali
ikatannya dia tarik.
Dan, dia dapati kemudian sebuah
arca sebesar bayi
kucing. Arca itu berbentuk sang
Budha yang tengah
duduk bersila. Karena seluruh
badannya terbuat da-
ri emas murni, maka sinar
berkilauan pun member-
sit.
"Ha ha ha...!" Tan
Peng Sin tertawa bergelak
penuh luapan rasa gembira. Kedua
tangannya men-
gangkat Arca Budha
tinggi-tinggi. "Arca Budha telah
kudapatkan sekarang! Ha ha
ha...! Aku akan jadi
orang besar! Aku akan jadi raja
di atas segala raja!
Ha ha ha...! Tinggal kurebut
Pedang Burung Hong di
tangan Auwyang Nan Ie!"
Tan Peng Sin terus tertawa
sampai air ma-
tanya mengalir. Agaknya luapan
rasa gembira mem-
buat lelaki dekil itu lupa diri.
Namun tiba-tiba bola
mata Tan Peng Sin melotot besar.
Kontan tawanya
terhenti. Tubuhnya bergetar
keras seperti terserang
demam hebat. Tanpa sadar Arca
Budha dia jatuhkan
ke tanah.
"Mahicha Kapoor keparat!
Mahicha Kapoor
keparat…!" teriak Tan Peng
Sin sambil menatap ke-
dua telapak tangannya
Telapak tangan lelaki dekil itu
bengkak dan
berwarna biru-kehitaman. Bola
mata Tan Peng Sin
semakin melotot besar. Warna
biru-kehitaman di te-
lapak tangannya menjalar amat
cepat. Sebentar sa-
ja, seluruh pergelangan tangan
lelaki dekil itu telah
bengkak dan tak dapat digerakkan
lagi!
"Mahicha Kapoor
keparat...!" maki Tan Peng
Sin, lebih keras hingga suaranya
membahana di
angkasa.
Lelaki dekil itu
berjingkrak-jingkrak seperti
orang kesurupan. Dia sama sekali
tak tahu apa yang
harus diperbuatnya, karena kedua
tangannya me-
mang sudah tak dapat digerakkan
lagi!
Diiringi jeritan panjang yang
sangat menyayat
hati, tubuh Tan Feng Sin
terguling ke tanah. Setelah
berkelojotan beberapa saat,
nyawanya segera me-
layang dijemput malaikat
kematian. Dia mati dengan
sekujur tubuh membengkak dan
berwarna biru-
kehitaman. Agaknya, Mahicha
Kapoor telah mence-
lupkan kain pembungkus Arca
Budha ke dalam cai-
ran racun yang amat ganas.
Sementara itu, lelaki berpakaian
kuning cok-
lat yang sejak tadi mengintai
gerak-gerik Tan Peng
Sin, terkejut melihat kematian
Tan Peng Sin yang
amat mengerikan. Namun ketika
melihat Arca Bud-
ha yang tergeletak di tanah, dia
bersorak girang. Ce-
pat dia keluar dari tempat
persembunyiannya seraya
menyambar arca yang terbuat dari
emas murni itu.
"Ha ha ha...! Arca Budha
telah kudapatkan.
Pedang Burung Hong pun telah
lama berada di tan-
ganku. Segala cita-citaku akan
segera terwujud! Ha
ha ha...!"
Lelaki berpakaian gedombrongan
itu tertawa
panjang. Kedua tangannya
menggenggam erat Arca
Budha, lalu didekapnya,
seakan-akan arca itu bakal
menjadi miliknya selama-lamanya.
Lelaki yang di
punggungnya terselip sebatang
pedang bengkok itu
adalah Auwyang Nan Ie!
SELESAI
Segera ikuti saja
kelanjutannya!!!
Serial Pengemis Binal dalam
episode:
HANTU MERAH
txt oleh :
http//www.mardias.mywapblog.com
Emoticon