Dua hari lamanya Arumsari
melangkah
tanpa tujuan pasti. Dia tak tahu
harus berbuat
apa untuk membalas kematian Dewi
Ikata. Dia
merasa dirinya amat kecil dan
bodoh sekali kare-
na dengan mudah dipecundangi
Pangeran Sadis.
"Keparat kau, Setan
Laknat!" umpat nenek bergelar Dewi Tangan Api itu. "Kalau berjumpa
lagi, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
Hati Arumsari dipenuhi rasa
sedih menda-
lam. Sedih bercampur luapan
amarah akibat
dendam yang bertumpuk-tumpuk.
Langkah ne-
nek berpakaian serba ungu itu
terlihat gontai.
Kedua tangannya yang terluka
telah dibalut den-
gan selendang merah.
Ketika hendak memasuki keramaian
kota
Ngadiluwih, mendadak sebuah
teriakan menghen-
tikan langkahnya.
"Arum...! Arum...!"
Dewi Tangan Api menoleh ke
belakang. Ter-
lihat olehnya seorang kakek
berpakaian putih
longgar tengah berlari-lari.
Kening Dewi Tangan
Api kontan berkerut setelah
mengenali siapa ka-
kek itu.
"Kenapa kau mengikutiku,
Banjaranpati?!"
bentak Arumsari, tak suka
melihat kedatangan
Bayangan Putih Dari Selatan.
"Aku mengkhawatirkan
keadaanmu,
Arum," ujar Banjaranpati di
sela-sela dengus napasnya.
"Mengkhawatirkan keadaanku?
Ha ha
ha...! Kau ini aneh,
Banjaranpati. Sejak kapan
kau bersikap begitu
bersahabat?"
"Sejak kita bicara di
pertapaanmu. Aku te-
lah menawarkan untuk mengikat
lagi tali persa-
habatan. Oleh karenanya, aku tak
bisa melihatmu
pergi dalam keadaan terluka dan
menyimpan rasa
sedih di hati."
"Terima kasih. Terima
kasih. Kata-katamu
membuatku terharu, Banjaranpati.
Jangan
mengkhawatirkan keadaanku. Luka
di tanganku
sudah tak terasa sakit lagi.
Esok hari tentu akan kembali seperti sediakala."
"Jangan berdusta, Arum.
Luka yang kita
derita sama parah. Sekujur
tubuhku masih terasa
sakit. Kedua tanganku sama
sekali tak bisa dige-
rakkan."
Arumsari terdiam. Dia mengakui
kebena-
ran ucapan Banjaranpati. Sekujur
tubuhnya juga
terasa sakit. Kedua tangannya
juga tak dapat di-
gerakkan.
"Agaknya, kita harus
menemui si Wajah
Merah di Bukit Rawangun,
Arum...," cetus Banjaranpati, dapat memastikan bila Arumsari juga
merasakan apa yang dirasakannya.
Belum sempat Dewi Tangan Api
memberi
jawaban, mendadak sesosok
bayangan berkelebat
"Tak perlu!"
Banjaranpati dan Arumsari
terkesiap meli-
hat kehadiran seorang pemuda
tampan berambut
hitam tergerai. Tubuh pemuda itu
tinggi tegap,
terbungkus pakaian sederhana
berwarna coklat
dengan garis-garis hitam.
"Aku yang bodoh ini bernama
Saka Pur-
dianta. Orang-orang di Kerajaan
Pasir Luhur bi-
asa menyebutku sebagai Dewa
Guntur...," kenal si pemuda seraya membungkuk hormat
"Dewa Guntur...,"
desis Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.
Kedua tokoh tua itu tambah
terkesiap. Me-
reka pernah mendengar kabar bila
Dewa Guntur
adalah seorang pemuda jahat yang
berilmu tinggi.
Dia pernah melukai Suropati
dengan Jarum Mati
Sekejap. Apakah kehadiran pemuda
jahat itu
hendak menanam benih permusuhan
terhadap
mereka?
"Kalian berdua tak perlu
berprasangka bu-
ruk. Dewa Guntur memang pernah
tersesat dan
melakukan banyak kejahatan.
Namun, apakah
orang jahat akan senantiasa
berbuat jahat?"
"Kalau begitu, apa maksud
kedatanganmu
itu, Anak Muda?" selidik
Bayangan Putih Dari Selatan. Saka Purdianta mengulum senyum tipis.
Diperhatikannya kedua tangan
Banjaranpati yang
kulitnya tampak
berlubang-lubang. Lalu, katanya,
"Menilik luka di kedua
tanganmu, tampaknya kau terkena penerapan ilmu 'Dewa Suci Meminta Darah',
Kek."
Putra mendiang Tumenggung Sangga
Per-
cona itu mengalihkan pandangan
ke Arumsari, la-
lu melanjutkan kalimatnya,
"Ada lubang kecil di kedua pelipismu. Nek. Sama dengan sahabat
baikmu yang bergelar Bayangan
Putih Dari Sela-
tan itu. Walau kedua tanganmu
terbalut, tapi aku bisa memastikan bila lukanya juga sama dengan
Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan."
Banjaranpati dan Arumsari kagum
men-
dengar tebakan Saka Purdianta.
Kalimatnya yang
terucap halus dan sopan
menghilangkan pra-
sangka buruk di benak kedua
tokoh tua itu.
"Aku yang bodoh ini pernah
mendengar
kebesaran nama si Wajah Merah,
seorang tabib
pandai yang berdiam di Bukit
Rawangun. Namun
untuk menyembuhkan luka-luka
kalian, tak perlu
bersusah-payah datang ke
sana," lanjut Saka Purdianta. '"Dewa Suci Meminta Darah' adalah ilmu
memasukkan racun melalui hembusan angin. Kalau racun itu hilang, maka kalian
akan
kembali sehat seperti
sediakala."
"Kau begitu lancar
menjelaskan. Agaknya,
kau seorang pemuda yang
berwawasan luas dan
cukup matang pengalaman. Aku
jadi penasaran.
Apakah kau juga dapat
menyembuhkan luka-luka
yang kami derita ini?" ujar
Banjaranpati tanpa menaruh sak wasangka sedikit pun. Hatinya
mengatakan bahwa kehadiran Saka
Purdianta
memang tak hendak membuat
permusuhan.
Mendengar pertanyaan Bayangan
Putih
Dari Selatan, Saka Purdianta
mengulum senyum
tipis lagi. Setelah membungkuk
hormat, dia ber-
kata, "Terima kasih atas
kepercayaan yang kau berikan, Kek. Akan kucoba memberikan pertolongan...."
Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta melangkah maju dua tindak. Banjaranpati dan
Arumsari menatap tanpa berkedip.
Saka Purdian-
ta mengeluarkan obat berupa
serbuk yang ter-
simpan dalam lipatan kertas.
Obat itu lalu dis-
odorkannya pada Banjaranpati.
"Apa ini?" tanya
Bayangan Putih Dari Selatan, ragu-ragu.
'"Puyer Pemusnah
Racun'," beri tahu Saka Purdianta. "Setelah kau telan, aku akan
memberikan totokan di beberapa jalan darahmu, Kek."
Banjaranpati mengamati serbuk
halus
berwarna putih bersih yang
berada di tangannya.
Setelah mencium dan menjilatnya
sedikit, dia jadi yakin bila serbuk pemberian Saka Purdianta itu
bukan racun.
"Hati-hatilah, Banjaranpati...,"
Arumsari memperingatkan.
"Aku memang orang jahat.
Nek. Tapi, aku
tak akan membunuh orang dengan
cara licik se-
perti ini...," sahut Saka
Purdianta dengan lembut dan sopan, agar tak menyinggung perasaan
Arumsari yang punya watak keras
dan mudah
tersinggung.
Bayangan Putih Dari Selatan
menatap seki-
las wajah Arumsari. Lalu,
katanya kepada Saka
Purdianta, "Sungguhkah kau
ingin menolong?"
Dewa Guntur membungkuk hormat.
"Biar
bumi menelanku dan langit
menimpaku bila aku
hendak berbuat jahat kepadamu,
Kek...."
"Baik. Aku percaya
kepadamu."
Usai berkata, Banjaranpati
memasukkan
serbuk halus putih ke mulutnya.
Segera matanya
menjadi mendelik dan mulutnya
mendesis-desis
karena serbuk itu amat pahit.
"Kendorkan urat-uratmu,
Kek," pinta Saka Purdianta.
Banjaranpati mengumpulkan
seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya ke pusar.
Setelah mena-
rik napas panjang dua kali, dia
merasa tubuhnya
sangat ringan. Pada saat itulah
Saka Purdianta
memberikan beberapa totokan di
jalan darahnya.
Dua totokan di dada kiri. Empat
totokan di pang-
kal lengan. Setelah itu, Saka
Purdianta menceng-
keram erat kedua lengan
Banjaranpati. Lalu, di-
urutnya dari atas ke bawah.
"Pertolongan telah
usai," ujar Dewa Guntur sambil membungkuk hormat.
Bola mata Banjaranpati tampak
membesar
melihat kedua lengannya yang
kembali mengu-
curkan darah. Tapi, darah itu
kini tidak lagi kehitaman. Merah sehat, menunjukkan bila racun da-
lam tubuhnya telah lenyap.
"Alirkan tenaga dalam ke
tanganmu, Kek.
Jangan biarkan darahmu keluar
terlalu banyak,"
ujar Dewa Guntur.
Segera Banjaranpati melaksanakan
petun-
juk pemuda tampan itu. Begitu
cairan darahnya
berhenti mengucur, kedua lengannya
langsung
terasa ringan. Dan, tersenyum
giranglah dia. Ke-
dua lengannya dapat
digerakkan-gerakkan sesuka
hati. Dewi Tangan Api menatap
Banjaranpati
dan Saka Purdianta bergantian.
Menyesal dia ka-
rena telah menaruh kecurigaan
yang berlebihan
kepada Dewa Guntur.
"Bila kau juga menaruh
kepercayaan kepa-
daku, akan kucoba pula untuk
menyembuhkan
luka-lukamu. Nek...," ujar
Saka Purdianta, sopan, dan merendah.
Kening Arumsari berkerut tajam.
Dia tak
tahu bagaimana harus menjawab.
Untunglah
Banjaranpati mengetahui isi hati
nenek itu. Cepat dia sahuti ucapan Saka Purdianta.
"Untuk melakukan kebaikan,
tak perlu ber-
tanya dulu, Saka. Segeralah kau
sembuhkan pula
luka Arumsari...."
"Baiklah, Kek...."
Hati-hati sekali Dewa Guntur
membuka
balutan di kedua lengan Dewi
Tangan Api. Melihat raut wajah Dewi Tangan Api yang masih saja
tampak ketus, Banjaranpati
tersenyum. "Dasar keras kepala!" rutuknya dalam hati.
Tak lama kemudian, Saka
Purdianta telah
selesai melakukan pengobatan
terhadap Arumsa-
ri. Namun, raut muka nenek itu
sama sekali tak
berubah. Tetap kaku-membesi
walau luka-
lukanya berhasil disembuhkan
oleh Saka Pur-
dianta. "Lubang-lubang di
kedua lengan kalian akan menutup dua hari kemudian," beri tahu
Dewa Guntur.
"Terima kasih atas budi
baikmu ini," ujar Arumsari dengan suara berat. "Kau begitu paham
tentang ilmu 'Dewa Suci Meminta Darah', aku
menduga kau punya ilmu itu.
Menilik dari cara-
mu menjelaskan dan begitu
lancarnya kau mem-
beri pengobatan...."
Mendengar kalimat Dewi Tangan
Api yang
bermakna curiga, Saka Purdianta
tersenyum ti-
pis. Lalu, membungkuk hormat.
"Aku yang bodoh ini kebetulan mengenal ilmu itu. Guruku pernah
memberi penjelasan. Dan kalau
aku dapat mem-
beri pengobatan, kukira itu
karena kebesaran
Yang Kuasa. Kebetulan juga,
guruku telah menga-
jarkan ilmu pengobatan."
Arumsari terdiam mendengar
penuturan
Dewa Guntur. Setelah berpikir
sejenak, dia men-
gajukan pertanyaan.
"Kenalkah kau dengan seorang pemuda tampan bergelar Pangeran Sadis?"
"Pangeran Sadis?" Dewa
Guntur tampak
terkejut. "Sebuah julukan
yang cukup menyeramkan.... Apakah kau pernah berurusan den-
gannya. Nek?" Dewa Guntur
tidak menjawab, malah balik bertanya.
"Hmmm.... Agaknya, kau merasa
berat un-
tuk menjawab. Kau pasti punya
hubungan den-
gan Setan Laknat itu!"
dengus Arumsari.
"Mukamu merah-padam. Nek.
Dengus na-
pasmu menandakan bila kau tengah
menahan
hawa amarah. Yang melukaimu
dengan ilmu
'Dewa Suci Memintah Darah'
pastilah orang yang
kau sebut sebagai Pangeran Sadis
itu," tebak De-wa Guntur.
"Sengaja dia mempermainkan
aku. Setelah
membunuh Dewi Ikata muridku, dia
mencoreng-
moreng mukaku! Keparat! Haram
jadah!" tanpa sadar, Dewi Tangan mengumpat-umpat.
Dewa Guntur tersurut mundur
setindak.
Dipandanginya wajah Arumsari
yang kaku-
membesi dengan bola mata melotot
lebar. Dewa
Guntur terkejut waktu nenek itu
membentak lagi.
"Kuucapkan terima kasih
sekali lagi atas
pertolonganmu. Tapi, kau harus
menjawab perta-
nyaanku tadi!"
"Pertanyaan apa, Nek?"
tanya Saka Pur-
dianta dengan wajah sedikit
memucat.
"Jangan berpura-pura! Kau
pasti punya
hubungan dengan Pangeran
Sadis!"
"Kalau ya, kenapa?"
Terperangah Dewi Tangan Api
mendengar
jawaban Dewa Guntur. Hatinya
yang panas se-
makin panas. Sesaat dia lupa
bila pemuda tam-
pan itulah yang telah
menyembuhkan lukanya.
"Bila benar kau punya
hubungan dengan
Setan Laknat itu, menyesal aku
menerima budi
baikmu...."
"Sudahlah, Arum...,"
tegur Bayangan Putih
Dari Selatan, menyela ucapan
Arumsari.
Dewi Tangan Api menatap tajam
wajah
Banjaranpati. "Kau tidak
merasakan bagaimana sakitnya hati orang yang melihat muridnya mati
dibunuh dengan kejam!"
bentaknya.
"Jangan keburu naik darah,
Arum. Kau ha-
rus ingat bila yang kau hadapi
bukan Pangeran
Sadis. Kalaupun Saka Purdianta
punya hubun-
gan dengan Pangeran Sadis,
apakah dia ikut me-
nanggung dosa-dosa tokoh jahat
itu?"
Arumsari terdiam. Mulutnya
terasa terkun-
ci. Ditatapnya wajah teduh
Banjaranpati. Waktu
mengalihkan pandangan,
terkejutlah dia. Saka
Purdianta telah lenyap dari
tempatnya!
"Di mana dia?" tanya
Dewi Tangan Api.
"Tentu saja dia pergi
melihat kau hendak
memusuhinya," sahut
Banjaranpati.
"Ke mana? Kenapa aku tak
melihat keleba-
tan tubuhnya?"
"Aku pun tak melihat.
Agaknya, dia memi-
liki ilmu meringankan tubuh yang
amat hebat."
Sewaktu kedua tokoh tua itu
mengedarkan
pandangan untuk mencari ke mana
arah perginya
Saka Purdianta, mendadak di
telinga mereka
menging suara yang dikirim dari
jarak jauh.
"Bila kalian ingin tahu
perihal Pangeran
Sadis, datanglah ke Sungai
Bayangan besok saat
mentari berada tepat di atas
kepala."
Banjaranpati dan Arumsari
mengedarkan
pandangan lagi. Tapi, si
pengirim suara tak dapat mereka temukan. Mereka lalu menarik napas
panjang bersamaan.... 6
Saka Purdianta membungkukkan
badan di
mulut gua. Melihat bekas
tapak-tapak kaki di lantai gua yang lembab, sorot matanya kontan berbi-
nar-binar. Dengan langkah ringan
dia lalu mema-
suki lorong yang berkelok-kelok.
Sesampai di sebuah kamar yang
bercahaya
remang-remang, Saka Purdianta
menghentikan
langkah. Diamatinya
tulang-belulang manusia
yang bertebaran di lantai. Dia
lalu memungut dua lembar kertas lusuh yang terselip di antara tulang-belulang
itu.
"Dua lembar kertas ini
semula melekat. Bi-
la sekarang terpisah, pasti ada
orang yang telah menyentuhnya...," kata hati Dewa Guntur. "Pasti
Suropati telah memasuki tempat ini. Tapi menilik dari tapak-tapak kaki yang
begitu banyak, dia tak datang seorang diri. Hmmm.... Rupanya, encer ju-ga otak
orang itu. Suropati pun berhasil dikela-
buinya...."
Sewaktu Saka Purdianta
tersenyum-
senyum seorang diri, mendadak
salah satu dind-
ing kamar yang terbuat dari batu
mengeluarkan
suara berderak-derak. Tampak
kemudian, sebuah
lubang bundar bergaris tengah
satu depa. Dari
dalam lubang itu, melesat sebuah
bayangan, yang
kemudian mendarat di lempengan
batu di pojok
kamar.
"Aku yang datang,
Datuk," ujar Dewa Guntur seraya membungkuk dalam-dalam.
Di atas lempengan batu ternyata
telah du-
duk bersila seorang kakek
tua-renta berwujud
mengerikan. Rambutnya putih
riap-riapan terjun-
tai panjang hingga menyentuh
lantai kamar. Tu-
buhnya amat kurus, nyaris hanya
berupa tulang
terbalut kulit tipis. Sementara,
pakaian yang dikenakannya hanya berupa suwiran-suwiran kain
yang sudah tak pantas lagi
disebut pakaian. Wa-
jah kakek itu tak dapat dikenali
karena tertutup anak-anak rambutnya. Menilik dari keadaannya,
siapa lagi dia kalau bukan Datuk
Risanwari, ayah kandung Gede Panjalu sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Untuk apa kau datang lagi
ke tempat ini,
Saka?" terdengar sebuah
pertanyaan, suaranya mirip rintihan orang sakit yang hampir dijemput
ajal. "Aku ingin membuktikan
apakah benar Suropati telah datang ke tempat ini. Bagaimanapun
juga, rencana yang telah kususun
ini tak boleh
gagal," sahut Dewa Guntur.
"Suropati memang telah
datang. Dia datang
bersama seorang pemuda dekil
yang berperangai
mirip orang gila," beri
tahu Datuk Risanwari.
Saka Purdianta
mengangguk-angguk.
"Apakah dia telah mengucap
janji?" tanyanya.
"Ya. Semua telah berjalan
sesuai rencana-
mu," jawab Datuk Risanwari.
"Sekarang, pergilah.
Tak usah berlama-lama kau berada
di tempat ini.
Aku hanya memberi bantuan. Bila
ada akibat
yang tak kau inginkan, aku tak
mau ikut campur.
Itu urusanmu sendiri. Dan harap
kau ingat, ke-
baikan tak selamanya dibalas
dengan kebaikan
pula." "Terima kasih,
Datuk. Memang, tak ada gunanya lagi aku berlama-lama di tempat ini.
Dewa Guntur mohon diri...."
Usai membungkuk hormat tiga
kali, Saka
Purdianta membalikkan badan.
Lalu, dia keluar
kamar. Lorong-lorong lembab yang
baru saja di-
lewati, kini dilewatinya lagi.
Sesampai di mulut gua, Saka
Purdianta
berhenti sejenak. Diteriakannya
sebuah kalimat
sambil membungkuk dalam.
"Terima kasih, Datuk. Tak
hendak hati ini
membuat permusuhan dengan siapa
pun. Kalau
maksud baik ini dibalas dengan
tumpahan darah,
aku akan menerima dengan dada
lapang. Mung-
kin itulah karma atas perbuatan
jahatku di masa
lalu. Selamat tinggal,
Datuk...."
Usai berkata, Saka Purdianta
menjejak ta-
nah kuat-kuat. Tubuh pemuda
tampan itu mele-
sat cepat melebihi lesatan anak
panah yang lepas dari busur....
* * *
Pancaran sinar mentari panas
menyengat.
Di atas permukaan tanah timbul
bayang-bayang
hitam. Air tanah menguap.
Hembusan angin tak
mampu menahannya. Hingga,
keringat bercucu-
ran di sekujur tubuh Suropati
dan Jatiwulung.
Rasa haus seperti mencekik
kerongkongan.
Ketika hendak berteduh, mereka
menden-
gar suara gemericik air. Berarti
mereka telah dekat dengan aliran Sungai Bayangan. Maka, berso-
rak giranglah kedua anak manusia
itu.
Pengemis Binal yang tak kuasa
menahan
rasa hausnya segera berlari
kencang. Matanya
bersinar-sinar melihat anak
sungai berair bening.
Saking beningnya, dasar sungai
sampai terlihat
jelas. Tanpa pikir panjang lagi,
Pengemis Binal
menanggalkan baju dan celananya.
Dan, mence-
burlah dia ke sungai kecil yang
ternyata cukup
dalam itu.
Jatiwulung yang juga telah
berada di tepi
aliran sungai hanya mencelupkan
kedua tangan
dan kakinya. Karena sengatan
hawa panas, dia
hendak membasuh muka. Tapi, niat
itu segera
diurungkannya. Dia biarkan
wajahnya tetap kotor
berdebu. Pemuda dekil itu lalu
duduk di bawah
pohon besar yang akar-akarnya
merambat ke da-
lam air Sebentar-sebentar dia
melirik Suropati
yang tengah mandi
sepuas-puasnya.
"Ough...! Goo...!
Walah...!"
Mendadak, Suropati
menjerit-jerit seraya
berenang cepat agar dapat segera
menepi. Jatiwu-
lung bergidik ngeri melihat
tubuh Suropati terbelit ular sebesar lengan manusia dewasa. Rupanya, Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu lupa bila Sungai Bayangan
banyak dihuni
berbagai jenis ular.
Usaha Suropati untuk segera
mencapai te-
pi sungai mendapat kesulitan.
Karena, ular yang
membelit hendak menyeretnya ke
kedalaman
sungai. Cepat Suropati menghalau
rasa paniknya.
Dia biarkan tubuhnya terseret.
Begitu kakinya
menginjak dasar sungai, segera
kakinya menjejak.
Permukaan air sungai
bergelombang besar ketika
tubuh remaja tampan itu melesat
ke atas, lalu
mendarat di tepi sungai.
"Hih...!"
Pengemis Binal mencengkeram
kepala ular
yang hendak mencaplok kepalanya.
Mendadak,
belitan ular menguat. Akibatnya,
tubuh Pengemis
Binal terguling ke permukaan
tanah.
"Matilah kau...!"
Karena kesal dan menyimpan rasa
ngeri,
Suropati mengalirkan seluruh
kekuatan tenaga
dalamnya ke kedua tangannya.
Hendak diremas-
nya kepala ular sampai remuk.
Tapi......
"Tahan...!"
Terdengar sebuah bentakan keras.
Benta-
kan itu begitu berpengaruh,
hingga Suropati
mengurungkan niatnya untuk
membunuh ular
yang tengah membelit tubuhnya.
Sementara, wajah Jatiwulung
tampak me-
mucat. Tampaknya dia sangat
mengkhawatirkan
keselamatan Suropati. Pemuda
dekil itu terkesiap ketika mendengar tiupan seruling. Dia pun terkejut
bercampur gembira melihat ular yang tengah
membelit Suropati tampak
menggerakkan ekor-
nya, lalu melepaskan belitannya.
Suropati mele-
pas cengkeramannya karena merasa
ular itu su-
dah tak lagi membahayakan
jiwanya.
"Maafkan perilaku buruk
ular piaraanku
itu, Suro....," ujar
seorang pemuda yang baru saja muncul.
Pemuda itu mengenakan pakaian
yang ter-
buat dari kulit ular. Tubuhnya
tegap-berisi, na-
mun berkulit kasar-bersisik.
Kulit wajahnya juga bersisik. Matanya kecil. Berbibir monyong. Di jemari tangan
kanannya terselip sebatang seruling
yang terbuat dari gading.
"Sawung Jenar...,"
sebut Pengemis Binal.
Remaja tampan itu menatap tak
berkedip
sosok pemuda bersisik yang
memang Sawung Je-
nar atau Iblis Selaksa Ular.
Jatiwulung yang berdiri di bawah naungan pohon besar memekik li-
rih. Tak kuasa dia melihat
Suropati yang berdiri tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya.
"Ular tadi hampir
mencelakakan aku, Je-
nar. Untunglah kau datang cepat,
hingga aku tak
sampai membunuhnya...,"
ujar Pengemis Binal.
Bibir monyong Sawung Jenar
menyungging
senyum. Dengan ujung
serulingnya, dia menud-
ing ke bagian tengah tubuh
Suropati. Dan, sadar-
lah remaja tampan itu bila
dirinya tengah berdiri polos. Segera Suropati menyambar pakaiannya
yang tergeletak di tepi sungai,
lalu dikenakannya dengan tergesa-gesa. Sementara, Jatiwulung melangkah
perlahan, menghampiri.
"Kau kenal dengan pemuda
itu, Suro?" tanyanya, menunjuk Sawung Jenar yang berdiri tak
seberapa jauh dari hadapan
Pengemis Binal.
"Tentu saja aku kenal.
Sawung Jenar ada-
lah penguasa daerah di sekitar
Sungai Bayangan
ini." Jatiwulung
mengangguk-angguk. Sebenarnya dia telah tahu bila Suropati telah mengenal
Sawung Jenar. Maksud
pertanyaannya tadi hanya
untuk menegaskan saja.
Tokoh-tokoh yang berke-
cimpung di rimba persilatan,
pasti mengenal atau paling tidak pernah mendengar nama Sawung Jenar yang
berjuluk Iblis Selaksa Ular. Pemuda itu tak pernah ke luar dari daerah sekitar
Sungai
Bayangan kalau tak ada urusan
penting yang
menyangkut dirinya. Walau
julukannya memakai
kata 'iblis', namun sesungguhnya
dia berhati
baik. Hanya saja, dia amat benci
pada orang yang mengganggu ular-ular piaraannya.
"Kau datang dengan seorang
pemuda dekil,
yang dapat kupastikan memiliki
ilmu kepandaian
cukup tinggi, tentu ada masalah
yang tengah kau
hadapi, Suro," ujar Iblis
Selaksa Ular. "Apakah kau sedang menanti kedatangan seseorang?"
"Tepat sekali dugaanmu,
Jenar," sahut
Pengemis Binal. "Aku memang
sedang menanti
kedatangan orang yang menyebut
dirinya Pange-
ran Sadis. Dia seorang tokoh
kejam yang telah
membunuh Dewi Ikata."
Terkejut Sawung Jenar mendengar
penutu-
ran Pengemis Binal. "Dewi
Ikata.... Putri tunggal
Adipati Danubraja itu?"
"Ya. Dia dibunuh dengan
kejam oleh Pan-
geran Sadis. Bahkan, tokoh jahat
itu juga melukai Banjaranpati dan Arumsari."
Sawung Jenar makin terkejut.
Walau ma-
tanya membelalak, tapi masih
saja terlihat sipit.
Tak dapat dia bayangkan sampai
di mana kesak-
tian Pangeran Sadis.
Banjaranpati dan Arumsari
adalah dua tokoh sakti yang
sulit dicari tandingannya. Bagaimana mungkin Pangeran Sadis bisa
melukai kedua tokoh itu? Dan,
begitu beraninya
dia membunuh Dewi Ikata putri
seorang adipati.
"Aku turut berduka atas
peristiwa itu...,"
desah Iblis Selaksa Ular.
"Kau tentu sangat berduka, Suro. Aku tahu kau adalah kekasih Dewi
Ikata. Bila kau membutuhkan
bantuanku, aku
bersedia menyumbangkan setiap
tetes darah-
ku...." "Terima kasih,
Jenar. Urusanku dengan Pangeran Sadis adalah urusan pribadi. Sama sekali tak
ada sangkut-pautnya denganmu...."
"Tapi, aku tidak bisa
berpangku tangan bi-
la melihat pertumpahan darah
terjadi di Sungai
Bayangan ini," sela Sawung
Jenar. "Bukan maksud hatiku mencampuri urusanmu. Namun, ter-
panggil hatiku mendengar berita
yang begitu me-
nyedihkan."
Mendengar ucapan pemuda bersisik
itu,
mendadak Jatiwulung mendengus.
Ditudingnya
wajah Sawung Jenar seraya
memasang wajah ke-
tus. "Lalu, apa yang akan
kau lakukan, Setan
Muka Ular?!"
Berkerut kening Sawung Jenar
melihat Ja-
tiwulung yang marah-marah.
"Kau siapa? Aku tak kenal kau! Kenapa kau berkata kasar?! Tidakkah
kau tahu bila aku tak bermaksud
buruk?!"
"Suropati tak butuh
bantuanmu! Kau den-
gar sendiri kata-katanya!"
Mengelam paras Sawung Jenar
mendengar
ucapan Jatiwulung yang
menyiratkan rasa tak
senangnya. "Hmmm.... Selain
kau berwajah kotor, ternyata hatimu kotor pula...," ujar Sawung Jenar,
mencoba bersabar.
Sebelum Jatiwulung menyahuti,
Pengemis
Binal mencekal lengan pemuda
dekil ini. "Jangan buat masalah dengan Sawung Jenar. Ulahmu
hanya akan menambah urusan ini
jadi makin ru-
wet," tegurnya.
"Aku tak suka dia memberi
bantuan kepa-
damu, Suro!" ujar
Jatiwulung, sungguh-sungguh.
"Kenapa?"
Jatiwulung terdiam. Tak dapat
dia menja-
wab pertanyaan Suropati.
"Aku jadi menaruh curiga
kepadamu, Wu-
lung...," ungkap Pengemis
Binal. "Jangan-jangan kau bersekongkol dengan Pangeran Sadis...."
"Kalau ya, kau mau
apa?!"
Terkejut tiada terkira Pengemis
Binal. Dita-
tapnya wajah Jatiwulung dengan
sinar mata be-
rapi-api. Sementara, Jatiwulung
membalas tata-
pannya dengan sinar mata
berapi-api pula.
"Kalau begitu
gerak-gerikku...," tebak Su-
ropati. "Tidak kusangkal.
Aku memang sedang mengawasi kau!" aku Jatiwulung dengan beraninya.
Suropati mendengus gusar. "Siapa kau sebenarnya? Berterus teranglah
sebelum kukirim
kau ke neraka!"
"Ha ha ha...!"
Jatiwulung tertawa bergelak.
"Kalau sedang marah,
wajahmu mirip kerbau di-tusuk pantatnya, Suro!"
"Setan alas!"
"Setan Jahanam! Tak tahu
malu! Bila kau
terima uluran tangan Sawung
Jenar, kaum rimba
persilatan akan
menertawakanmu!"
"Siapa yang menerima uluran
tangannya?!"
"O, jadi, kau menolak? Ha
ha ha..,! Bagus!
Bagus! Urusan dengan Pangeran
Sadis, memang
harus kau selesaikan
sendiri!"
"Tanpa kau suruh pun, itu
pasti kulaku-
kan! Tapi melihat ulahmu yang
menyebalkan ini,
gatal tanganku untuk segera
memotes kepalamu!"
"Silakan! Ha ha ha...!
Silakan! Ha ha ha...!"
Jatiwulung tertawa
terbahak-bahak sambil
mementangkan kedua tangannya
lebar-lebar. Si-
kapnya seperti hendak menantang
perkara. Maka,
menggeram keraslah Suropati.
Cepat dia loloskan
tongkat butut yang terselip di
ikat pinggangnya.
Lalu.... Wuttt...! Wuttt...!
"Aih...!"
Tongkat Suropati berkelebatan
mengincar
batok kepala Jatiwulung. Namun,
tubuh pemuda
dekil itu juga mampu berkelebat
tak kalah cepat.
Hingga, hajaran tongkat Suropati
senantiasa
membentur angin kosong belaka.
"Ayo! Ayo! Serang terus! Ha
ha ha...! Aku
senang melihatmu marah-marah,
Suro! Persis
monyet kebakaran ekor! Ha ha
ha...!"
Semakin panas saja hati Pengemis
Binal
mendengar ejekan Jatiwulung.
Segera dia rubah
gerakan tongkatnya. Kali ini,
dimainkannya jurus
'Tongkat Menghajar Maling'.
"Jangan menyesal bila
kupesiangi tubuh-
mu, Anjing Kurap!"
Ujung tongkat Suropati
menyambar-
nyambar, menimbulkan suara
bergemuruh.
Daun-daun kering beterbangan ke
angkasa. Me-
rasakan kehebatan serangan
Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
itu, cepat Jatiwu-
lung mengimbanginya dengan
memainkan jurus
tangan kosong yang disebut 'Ikan
Terbang Melon-
tarkan Perahu'.
Wusss...! Wusss...!
"Haya...!"
Pengemis Binal terperangah.
Jurus yang
dimainkannya buyar sesaat. Dia
merasakan hem-
busan angin kencang setiap
telapak tangan Jati-
wulung menyambar. Cepat dia
lentingkan tubuh-
nya ke belakang ketika telapak
tangan kiri Jati-
wulung menyambar dari samping.
"Uts..!"
Serangan Jatiwulung dapat
dimentahkan.
Namun, dia tak dapat mendarat
dengan sempur-
na karena hembusan angin yang
muncul dari te-
lapak tangan kiri Jatiwulung
membuatnya terjajar dua tindak.
Mengelamlah paras Pengemis Binal
seketi-
ka. Heran tiada terkira dia.
Sepertinya dia pernah mengenal jurus yang sedang dimainkan Jatiwulung itu.
'Tahan!" seru Suropati
waktu melihat Jati-
wulung hendak memburunya.
"Hmmm.... Rupanya, kau
berubah pikiran,
Suro. Apakah kau tidak jadi
menyiangi tubuhku?"
cibir Jatiwulung sambil berdiri
berkacak ping-
gang. "Itu akan tetap
dilakukan. Aku tak suka melihat mulutmu yang ceriwis! Tapi katakan du-lu, siapa
sebenarnya kau!"
"Ha ha ha...! Sudah
kukatakan di awal per-
jumpaan kita, namaku Jatiwulung.
Tapi kalau
kau mau mengganti namaku menjadi
Bejo atau
Pamiin, terserah kau!"
Hampir saja meledak tawa
Suropati men-
dengar kata-kata konyol
Jatiwulung. Cepat dia
pasang wajah ketus.
Dipelototinya Jatiwulung
yang juga memasang wajah ketus.
Seperti ingat akan sesuatu,
cepat Jatiwu-
lung menutupi wajahnya dengan
anak-anak ram-
butnya yang panjang tergerai.
Ulahnya itu mem-
buat kening Suropati berkerut
tajam. Sementara,
Sawung Jenar cuma menjadi
penonton, tak tahu
apa yang harus dilakukannya.
"Hmmm.... Agaknya, kau
memang sengaja
menyembunyikan jati dirimu.
Jangan sebut Pen-
gemis Binal bila aku tak dapat
memaksamu un-
tuk membuka mulut!" ancam
Suropati.
"Hmmm.... Agaknya, rasa
penasaran menu-
tupi akal sehatmu. Jangan sebut
aku Jatiwulung
bila tak dapat menendang
pantatmu!" balas Jatiwulung, menirukan nada ucapan Pengemis Binal.
"Mulutmu yang ceriwis hanya
pantas dimi-
liki perempuan!"
"Aku memang per...,
eh...." Jatiwulung menggeleng-gelengkan kepala sambil mendekap
mulut. Hampir saja dia kelepasan
bicara. Semen-
tara, bibir Suropati tampak
menyungging se-
nyum. Walau kata-kata Jatiwulung
terucap tak
sampai selesai, tapi dia bisa
menangkap mak-
nanya. "Perempuan murahan!
Cepat katakan siapa dirimu! Haruskah kupenggal kepalamu seperti
Pangeran Sadis memenggal kepala
Dewi Ikata!"
ancam Pengemis Binal lagi.
"Cih! Siapa takut
mati?!" sahut Jatiwulung, tak sedikit pun menampakkan rasa takut.
"Mungkin kau bisa
membunuhku. Tapi, seumur
hidup kau tak akan mampu menepis
rasa sesal-
mu!" "Apa
maksudmu?"
"Bertanyalah kepada dirimu
sendiri!"
"Bangsat!"
"Keparat!"
"Jahanam!"
"Bedebah!"
Mendengar Suropati dan
Jatiwulung saling
sahut mengeluarkan kata-kata
kotor, Sawung Je-
nar tak dapat menahan rasa
gelinya. Tertawalah
pemuda bersisik itu
terbahak-bahak.
"Hei! Setan Muka Ular, apa
yang kau ter-
tawakan?!" hardik
Jatiwulung, menuding wajah Sawung Jenar.
Tawa Iblis Selaksa Ular terhenti
seketika.
Melihat Jatiwulung yang menatap
marah, diang-
katnya telapak tangan kanan ke
depan. "Tidak!
Tidak! Aku tidak menertawakanmu!
Aku mener-
tawakan diriku sendiri. Alangkah
bodohnya aku
ini, yang tidak bisa berbuat
apa-apa melihat dua anak manusia baku-hantam menuruti hawa naf-sunya...."
"Tetaplah di situ dan
tutuplah mulutmu
rapat-rapat. Kalau tidak,
kupeluntir bibirmu yang memble itu!"
Ancaman Jatiwulung ditimpali
Sawung Je-
nar dengan tawa panjang. Kontan
Jatiwulung
mencak-mencak. Tapi sebelum dia
berbuat sesua-
tu, Pengemis Binal menegur
keras.
"Hadapi aku dulu, Perempuan
Jalang! Gat-
al tanganku untuk segera
membeset mukamu
yang kotor itu!"
Jatiwulung mendengus gusar.
"Laksanakan
bila kau mampu. Tapi, aku tak
mau melayani ju-
rus-jurus ketenganmu!"
"Baik! Agaknya, kau memang
tak perlu di-
beri hati!"
Sigap sekali Suropati membuka
kedua per-
gelangan kakinya. Dengan lutut
menekuk, dita-
riknya kedua tangan ke belakang
sejajar pinggang seraya menarik napas panjang. Begitu kekuatan
tenaga dalam mengalir ke kedua
tangannya, hawa
dingin menyebar....
"Pukulan 'Salju
Merah'...," desis Jatiwulung, gugup.
Terkesiap tokoh muda itu melihat
kedua
tangan Suropati yang diselimuti
kabut tipis ber-
warna merah. Hawa dingin makin
terasa menu-
suk kulit
Bingunglah Jatiwulung. Haruskah
dia
mengeluarkan ilmu simpanannya?
Bila itu dila-
kukannya, tidak mustahil jati
dirinya akan keta-
huan, sementara rencana yang
sedang dijalan-
kannya belum selesai. Tapi bila
dia tidak menge-
luarkan ilmu simpanannya, sama
saja dengan
mengundang malaikat kematian!
7
"Suro...!"
Terdengar sebuah bentakan keras
yang di-
barengi kelebatan dua sosok
bayangan. Sekejap
mata kemudian, sekitar satu
tombak dari hada-
pan Suropati telah berdiri
seorang kakek berpa-
kaian putih longgar dan seorang
nenek berpa-
kaian serba ungu. Mereka adalah
Banjaranpati
dan Arumsari!
"Seorang pendekar tidak
akan membunuh
orang yang tidak memberikan
perlawanan!" tegur Banjaranpati atau Bayangan Putih Dari Selatan.
"Namamu akan tercemar. Dan,
kaum rimba
persilatan pasti mengutuk
perbuatanmu!" tambah Dewi Tangan Api, Arumsari.
Pengemis Binal menatap wajah
kedua to-
koh tua itu bergantian. Tanpa
melepas kekuatan
tenaga dalam yang telah mengalir
penuh ke kedua
tangannya, dia berkata,
"Justru orang akan me-nertawakanku bila aku membiarkan perempuan
edan itu tetap menghirup udara
segar!"
"Perempuan edan? Siapa yang
kau mak-
sud, Suro?" tanya
Banjaranpati, tak mengerti.
"Pemuda dekil itu!"
tunjuk Suropati kepada Jatiwulung. "Dia mengenalkan diri bernama
Jatiwulung, tapi sesungguhnya dia perempuan. Dan,
tahukah kau, Kek, bila perempuan
edan itu ter-
nyata suruhan Pangeran
Sadis?"
Terkejut Banjaranpati mendengar penjela-
san Pengemis Binal. Segera dia
membalikkan ba-
dan seraya menatap tajam wajah
Jatiwulung.
Arumsari berlaku sama. Namun,
mereka tak akan
mengenali tokoh muda itu karena
wajahnya selain
kotor berdebu, juga tertutup
rambut.
"Benarkah kau orang suruhan
Pangeran
Sadis?" selidik
Banjaranpati.
"Ya," jawab
Jatiwulung, tegas.
"Kau sudah mendengar
sendiri penga-
kuannya Kek," sahut
Pengemis Binal. "Sekarang, menyindkirlah. Biar kulumatkan tubuh perem-
puan edan itu!"
"Dia perempuan!" tanya
Arumsari, heran.
"Ya. Dia sedang menyamar.
Dan, selama ti-
ga hari aku dikecohnya. Cepatlah
kau ikuti Kakek Banjaranpati menyingkir. Nek!"
Melihat kesungguhan Pengemis
Binal, ber-
gegas Arumsari mengikuti langkah
Banjaranpati
yang telah berlalu dari hadapan
remaja tampan
itu. "Keluarkan ilmu
simpananmu agar kau tak mati penasaran!" ujar Suropati kemudian.
"Aku tak akan memberi
perlawanan. Kalau
mau membunuhku, bunuhlah! Yang
pasti, sete-
lah melakukannya, seumur hidup
kau akan di-
hantui rasa sesal yang tidak ada
habisnya!" sahut Jatiwulung. Tubuhnya sama sekali tak bergeming.
Tampaknya, dia akan menadahi 'Pukulan
Salju Merah' dengan pasrah.
Sejenak Pengemis Binal jadi
ragu. "Apa
maksud perkataanmu? Siapa
sebenarnya diri-
mu?" desisnya.
"Sudah kubilang, aku
Jatiwulung! Aku
memang mempunyai hubungan dengan
Pangeran
Sadis! Bila kau memang mencintai
Dewi Ikata,
kau tak akan ragu lagi untuk
menjatuhkan tan-
gan maut terhadapku!"
"Baiklah kalau memang itu
yang kau ingin-
in!"
Pengemis Binal mendengus pendek.
Dia
kuatkan hatinya. Sekujur
tubuhnya bergetar aki-
bat pengerahan tenaga dalam
sampai ke puncak.
Namun, keraguannya tetap tak mau
hilang. Tak
tega hatinya membunuh orang
tanpa sedikit pun
memberikan perlawanan.
"Ha ha ha...!"
Jatiwulung tertawa bergelak.
"Kenapa mesti ragu, Suro?
Rupanya, kau terpengaruh kata-kataku. Kau takut dirundung penye-
salan seumur hidup!"
Mendengar ejekan Jatiwulung,
Pengemis
Binal mendengus gusar.
Keraguannya lenyap
mendadak. "Huh! Aku tak
akan menyesal setelah membunuh perempuan edan macam kau! "
"Ha ha ha...! Kalau begitu,
segera kelua-
rkan 'Pukulan Salju
Merah'-mu!"
Di ujung kalimat Jatiwulung,
kedua tangan
Pengemis Binal tampak bergetar
keras. Hawa din-
gin semakin menusuk kulit.
Mendadak, Pemimpin
Perkumpulan Tongkat Sakti itu
menghentakkan
kedua tangannya!
Wusss...!
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana
di
angkasa. Di sana-sini timbul
percikan api. Aneh-
nya, hawa terasa amat dingin.
Rimbunan daun
pepohonan terselimuti salju
berwarna merah. Air
sungai juga dipenuhi
gumpalan-gumpalan salju
merah. Sawung Jenar,
Banjaranpati, dan Arumsari
tampak menggigil kedinginan.
Cepat ketiga tokoh
itu mengumpulkan kekuatan tenaga
dalam ke
pusar untuk melawan hawa dingin
yang menerpa.
Sementara, Jatiwulung terlihat
berdiri tegak di
tempatnya tanpa bergeming
sedikit pun. Gumpa-
lan salju merah tampak menempel
di kain ba-
junya yang lusuh. Namun, dia
tiada menderita
apa-apa.
Suropati terkejut dan menyimpan
geram
kemarahan dalam hati. Di sisi
kanan Jatiwulung
telah berdiri seorang pemuda
tampan beralis teb-
al. Rambutnya digelung ke atas.
Pakaiannya kun-
ing gemerlap, mirip bangsawan
kerajaan. Ru-
panya, pemuda itulah yang telah
memapaki ‘Pu-
kulan Salju Merah’ yang
dilancarkan Suropati.
"Pangeran Sadis...!"
seru Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.
"Hmmm.... Kiranya kau yang
bergelar Pan-
geran Sadis itu...," ujar
Pengemis Binal.
"Ya. Tak salah lagi. Akulah
Pangeran Sa-
dis," aku si pemuda tampan.
Pengemis Binal menggeram marah
melihat
sikap sombong pemuda itu. Dengan
suara keras
membentak, dia berkata,
"Kau bunuh Dewi Ikata.
Kau lukai Banjaranpati dan
Arumsari. Kau bunuh
pula Datuk Risanwari. Sudah
sedemikian besar
dosamu, hingga tak mungkin aku
membiarkan
orang jahat semacammu tetap
hidup!"
"Membunuh Dewi Ikata dan
Datuk Risan-
wari? Kalau melukai Banjaranpati
dan Arumsari
memang iya. Tapi, aku tak
membunuh dua nama
yang kau sebutkan itu!"
sahut Pangeran Sadis, tak kalah keras.
"Jangan bersilat lidah! Tak
perlu kau
pungkiri perbuatan dosamu!"
hardik Pengemis Binal. "Sebelum kita mengadu nyawa, katakan apa maksudmu
membunuh dua orang yang tak
bersalah!"
"Ha ha ha...!"
Pangeran Sadis tertawa bergelak. "Aku tidak membunuh Dewi Ikata, Suro!
Tidak pula Datuk Risanwari! Aku
bermaksud
baik. Aku...."
"Haram jadah!" maki
Arumsari, memotong ucapan Pangeran Sadis. "Pandai sekali kau memutar
kata-kata! Kepala siapa yang kau letakkan
di gua pertapaanku?!"
Pangeran Sadis menatap tajam
wajah Dewi
Tangan Api. "Kau kira itu
kepala Dewi Ikata?! Kau salah.... Kau salah. Nek! Ha ha ha...!"
Mendengar tawa bergelak Pangeran
Sadis,
tak kuasa Arumsari menahan hawa
amarah. Dia
pun jadi lupa bila pemuda itu
pernah mempecun-
danginya, bahkan melukai dengan
ilmu 'Dewa
Suci Meminta Darah'.
Darah Arumsari yang mendidih
naik sam-
pai ke ubun-ubun membuat
wajahnya merah-
padam. Tanpa pikir panjang lagi,
dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke kedua perge-
langan tangan. Dalam sekejap
mata, kedua tan-
gan nenek itu berubah warna
menjadi merah-
membara, dan menebarkan hawa
panas. Hingga,
gumpalan salju merah yang
mengapung di air
sungai langsung mencair. Selimut
salju yang me-
nempel di rimbunan daun
pepohonan juga berle-
lehan.
"Matilah kau,
Jahanam!" teriak Dewi Tangan Api seraya menghentakkan kedua tangannya
ke depan.
Wusss...!
Dua larik sinar merah
menggidikkan mele-
sat cepat ke arah Pangeran
Sadis. Kehebatan
'Pukulan Api Neraka' yang
dilancarkan Arumsari
itu tiada terkira lagi. Udara di
sekitar Sungai
Bayangan memanas bagai dipenuhi
kobaran api.
Namun, Pangeran Sadis yang
menjadi sasaran
cuma tersenyum tipis. Lalu,
dengan gerakan rin-
gan dikibaskannya kedua telapak
tangannya ke
depan! Wusss...!
Blarrr...!
Sekali lagi, sebuah ledakan
dahsyat mem-
bahana di angkasa. Dua larik
sinar merah yang
melesat dari telapak tangan
Arumsari bertubru-
kan dengan gelombang angin
kencang ciptaan
Pangeran Sadis!
Tampak kemudian, lesatan dua
larik sinar
merah membelok ke atas, lalu
lenyap tiada berbe-
kas. Sementara, gumpalan tanah
dan bebatuan
berpentalan ke udara. Hingga,
kegelapan menye-
limuti. Terdengar jerit panjang
saling sahut. Tubuh Suropati terlontar jauh. Demikian pula tubuh Banjaranpati
yang semula berdiri di dekat nenek
itu. Tak terkecuali, Sawung
Jenar. Tubuh pemuda
bersisik itu turut terlontar,
dan bergulingan di atas tanah. Sementara, Suropati tampak terseret
mundur lima tombak ke belakang!
"Maaf. Terpaksa ini
kulakukan. Sungguh
aku tak bermaksud buruk,"
ujar Pangeran Sadis lirih, penuh penyesalan.
Terlihat kemudian, Arumsari
beserta Ban-
jaranpati dan Sawung Jenar
meloncat tinggi,
kembali ke tempat semula. Wajah
mereka sama-
sama pucat. Namun, mereka tak
menderita luka
dalam parah karena Pangeran
Sadis memang ti-
dak berniat menjatuhkan tangan
maut.
"Sungguh hebat tenaga
dalammu, Pange-
ran," ujar Pengemis Binal,
menampakkan kekagumannya. "Hanya sayang, kau tersesat jalan.
Aku tetap akan menuntut balas
kematian Dewi
Ikata dan Datuk Risanwari.
Kalaupun aku mesti
mati, aku tak akan menyesal.
Pada saatnya nanti, kejahatan akan berada di pihak yang kalah!"
Suropati meloncat tinggi.
Setelah bersalto
tiga kali di udara, dia mendarat
dua tombak di
hadapan Pangeran Sadis.
Diloloskannya lagi
tongkat butut yang tadi dia
selipkan di ikat pinggangnya.
"Bersiap-siaplah! Aku akan
mengadu nya-
wa denganmu!"
Mendengar ucapan Suropati,
mendadak
Jatiwulung maju selangkah.
"Jangan...!" teriaknya sambil mengangkat telapak tangan kanan ke
depan. Sikapnya seperti hendak melindungi Pange-
ran Sadis.
"Pergilah kau, Perempuan
Edan!" hardik Pengemis Binal.
"Jangan turuti hawa amarah,
Suro! Biar
Pangeran Sadis memberi
penjelasan...."
"Semua sudah jelas!
Minggirlah! Tunggulah
giliranmu untuk menghadap
Penjaga Pintu Nera-
ka!" "Tidak, Suro! Kau
tidak tahu bila semua ini...." "Tak perlu banyak bacot!" potong
Pengemis Binal. "Suro! Kau tidak tahu! Pangeran Sadis adalah...."
"Aku sudah tahu!" Pengemis Binal memotong lagi. "Dia adalah
pembunuh kejam yang
layak dilumatkan tubuhnya!"
"Suro...!"
Jatiwulung menjerit ketika
Suropati mener-
jang Pangeran Sadis. Cepat dia
mengempos tubuh
untuk memapaki terjangan
Suropati. Namun....
Tak!
"Ough...!"
Tubuh Jatiwulung terpelanting ke
kanan,
lalu jatuh bergulingan di atas
tanah. Cepat dia
kendalikan gerak tubuhnya seraya
meloncat, tapi
gerakannya terhenti. Tubuhnya
terhuyung-
huyung. Dari sudut bibirnya
mengalir darah se-
gar. "Kau... kau salah
mengerti, Suro...."
Dengan mata mendelik Jatiwulung
menud-
ing Pengemis Binal. Tapi,
tangannya segera jatuh terkulai. Sesaat kemudian, tubuhnya terkapar jatuh.
Rupanya, ujung tongkat Pengemis Binal te-
pat menyodok dada kirinya.
Sodokan yang diser-
tai pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi mem-
buat seluruh isi dada Jatiwulung
berguncang.
Tak kuasa dia menahan jantungnya
yang tiba-
tiba berdegup lebih kencang!
Melihat Jatiwulung tergeletak
tiada daya,
Pangeran Sadis menggembor keras.
Dia banting
kaki kanannya berulang kali.
Hingga, bumi berge-
tar bagai dilanda gempa. Tubuh
Jatiwulung ter-
bawa bergulingan beberapa depa.
"Ya, Tuhan...," sebut
Pangeran Sadis dengan kepala mendongak seperti sedang menghiba.
"Sungguh aku tak bermaksud
buruk. Tapi, kena-pa peristiwa ini mesti terjadi...?"
Pengemis Binal mendengus gusar
melihat
Pangeran Sadis yang tengah
meratap. Lalu, dike-
luarkannya kata-kata ejekan.
"Banyak orang jahat mengaku
dirinya baik.
Sudah jelas kau berbuat jahat,
kenapa masih saja kau berkata tak bermaksud buruk? Bila kau
mengatakan itu sekali lagi, akan
jatuh kesimpu-
lanku bahwa kau berotak sinting!
Kau bunuh
Dewi Ikata dan Datuk Risanwari!
Kau lukai Ban-
jaranpati dan Arumsari! Apakah
semua itu tidak
mencerminkan maksud buruk?"
Pangeran Sadis
menggeleng-geleng. "Tidak.
Kau tidak tahu, Suro. Dengar
penjelasanku dulu!
Apa yang kulakukan ini
sebenarnya...."
"Kentut busuk!" sela
Pengemis Binal. "Persetan dengan penjelasanmu! Tanpa kau jelaskan,
aku sudah tahu bila kau manusia
berjiwa bina-
tang!" "Tidak, Suro!
Dengar penjelasanku dulu!"
"Jelaskan dengan kepalan
tanganmu!"
Usai berkata, Suropati
menerjang. Ujung
tongkatnya meluncur lurus,
mengancam ulu hati.
Cepat Pangeran Sadis mengegos ke
kanan. Na-
mun, ujung tongkat Suropati
terus memburu ba-
gai kepala ular tengah mencari
mangsa!
"Hentikan seranganmu,
Suro!" ujar Pangeran Sadis sambil berloncatan, menghindari keja-
ran tongkat Suropati.
"Tutup mulutmu!" sahut
Suropati seraya memperhebat gempurannya.
Karena tak mau membalas,
Pangeran Sadis
jadi kerepotan. Apalagi setelah
Suropati memain-
kan rangkaian jurus Tongkat
Sakti'-nya. Walau
tongkat di tangan Suropati hanya
berupa tongkat
butut yang tidak mempunyai
keistimewaan apa-
apa, jangan dikira tidak
berbahaya. Sambaran
anginnya saja cukup membuat
kulit terasa pedih
seperti diiris. Apalagi bila
mengenai sasaran dengan telak, nyawa lawan tentu melayang tanpa da-
pat dicegah lagi!
"Hentikan seranganmu, Suro!
Dengar dulu
penjelasanku!" ujar
Pangeran Sadis di antara kelebatan tongkat Suropati.
Pengemis Binal cuma mendengus.
Tak dia
hiraukan kata-kata pemuda tampan
itu. Diputar-
nya tongkat lebih cepat. Suara
gemuruh terdengar keras. Daun-daun bercampur debu tanah dan ke-rikil
berhamburan. Tongkat Suropati lenyap, ber-
ganti wujud menjadi bayangan
yang terus mengu-
rung tubuh Pangeran Sadis.
Pada suatu kesempatan, tubuh
Suropati
tampak melayang cepat di udara.
Lalu, menukik
turun dengan tongkat terjulur
lurus mengarah
ubun-ubun Pangeran Sadis. Dia
menggabung ju-
rus 'Tongkat Memukul Anjing'-nya
dengan jurus
'Pengemis Meminta Sedekah'!
Terkejut bukan main Pangeran
Sadis meli-
hat serangan yang amat berbahaya
itu. Cepat dia
tarik tubuhnya ke belakang.
Namun, gerakannya
kurang cepat. Hingga....
Desss...!
"Wuah...!"
Pangeran Sadis berhasil
menyelamatkan
kepalanya. Tapi, tak urung bahu
kirinya kena ha-
jar kemplangan tongkat pengemis.
Tubuh Pangeran Sadis terjajar ke
kanan ti-
ga tindak. Namun, tak ada ringis
kesakitan yang
tampak di wajahnya. Hanya bola
matanya yang
melotot lebar berkilat-kilat.
Sementara, Suropati tampak
berdiri tegak
dengan tongkat menyilang di
depan dada. Ketika
angin berhembus, terkejutlah
Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
itu. Setengah ba-
tang tongkatnya tiba-tiba hancur
menjadi serbuk
halus, yang segera lenyap
diterbangkan angin!
"Setan alas!" maki
Pengemis Binal, kesal.
Serta-merta dia lemparkan
setengah bagian
tongkatnya yang tersisa. Batang
kayu itu melesat cepat, mengarah pangkal leher Pangeran Sadis
yang berdiri sekitar dua tombak
dari hadapan
Pengemis Binal!
Wuttt...!
Tubuh Pangeran Sadis tak
bergeming sedi-
kit pun. Tampaknya, dia sengaja
menadahi lun-
curan tongkat Suropati yang
dilemparkan sekuat
tenaga. Namun, sesungguhnya
Pangeran Sadis
tengah mengerahkan ilmu 'Dewa
Suci Menghalau
Badai'. Dengan mengalirkan seluruh
kekuatan te-
naga dalam ke perut, lalu meniup
sedemikian ru-
pa, hingga tiada terasa desis
angin sedikit pun.
Hebatnya, batang tongkat yang
mengancam ba-
tang lehernya tiba-tiba lenyap
menjadi serbuk
amat halus yang tak mungkin
terlihat mata telan-
jang! Ilmu 'Dewa Suci Menghalau
Badai' pernah
digunakan Pangeran Sadis untuk
mementahkan
lontaran biji teratai merah
Arumsari di gua perta-paannya.
Terkejut bagai disambar petir
Suropati me-
lihat serangannya berhasil
digagalkan dengan
mudah oleh Pangeran Sadis.
Timbul rasa kagum
di hatinya. Tapi ketika ingat
bila Pangeran Sadis adalah pembunuh Dewi Ikata dan Datuk Risanwari, dia
menggembor keras seraya mementang-
kan kedua pergelangan tangannya
ke samping.
"Aku rela mati di tanganmu,
Suro. Tapi,
dengar dulu penjelasanku!"
Suropati tak menghiraukan ucapan
Pange-
ran Sadis. Kedua tangannya yang
telah terpen-
tang, dia tarik perlahan-lahan
ke muka. Lalu, dia satukan kedua telunjuk jarinya di depan dada.
Sesaat tubuh Suropati bergetar
keras. Dari kepa-
lanya mengepul asap tipis!
"Ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak De-
wa'...!" kejut Pangeran
Sadis.
"Keluarkan ilmu
andalanmu!" ujar Suropati dengan tatapan tajam menusuk.
Kepala Pangeran Sadis menggeleng
lemah.
"Dengar dulu penjelasanku.
Setelah itu, kau bebas melakukan apa saja terhadapku...," katanya, pasrah.
Pengemis Binal tersenyum sinis.
"Ku kira
sudah tak ada lagi yang perlu
dijelaskan. Berdoalah sebelum malaikat kematian menjemput nya-
wamu!"
Di ujung kalimatnya, Suropati
mengalirkan
seluruh tenaga dalam ke kedua
telunjuk jarinya
yang menyatu di depan dada.
Dikerahkannya pu-
la kekuatan ilmu sihirnya. Dan,
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' siap dilancarkan....
Sementara itu, tubuh Jatiwulung
yang ter-
geletak lemah di tepi sungai
tampak bergetar-
getar. Satu tarikan napas
kemudian, dia telah
berdiri walau terhuyung-huyung.
Rupanya, sodo-
kan ujung tongkat Suropati tadi
hanya membuat-
nya pingsan.
Melihat kepala Suropati yang
mengepulkan
asap tipis, tahulah Jatiwulung
bila remaja tam-
pan itu hendak melancarkan
totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa'. Terlihat pula
olehnya, Pange-
ran Sadis yang berdiri pasrah
menanti ajal.
Tanpa pikir panjang lagi,
Jatiwulung mem-
basuh wajahnya dengan air
sungai. Lalu, dia le-
pas karet tipis menyerupai kulit
yang menempel
di beberapa bagian wajahnya.
"Suro...!" teriak
Jatiwulung seraya meloncat ke hadapan Pengemis Binal.
Suropati yang telah siap melepas
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa'
terkejut bukan main.
Tanpa sadar dia melepas aliran
tenaga dalamnya.
Bola matanya melotot lebar
melihat seraut wajah
cantik yang terpampang di
hadapannya.
"Ika...," sebut remaja
tampan itu.
Karena tak percaya pada
penglihatannya
sendiri, Suropati mengucak-ucak
matanya. Na-
mun, apa yang dilihatnya tetap
seperti semula.
"Ika...," sebut
Suropati sekali lagi.
Sementara itu, Banjaranpati dan
Arumsari
tak kalah terkejutnya. Hanya
Sawung Jenar yang
tampak berdiri terlongong-longong
karena tak ta-
hu apa sebenarnya yang telah
terjadi.
"Dewi Ikata...!" jerit
Arumsari seraya menghambur ke arah Jatiwulung yang ternyata Dewi
Ikata yang tengah menyamar.
"Eyang...," sebut Dewi
Ikata seraya membalas pelukan Arumsari.
"Kau... kau belum mati,
Ika...," ujar Arumsari. Nenek itu melepas pelukannya. Ditatapnya
wajah Dewi Ikata lekat-lekat.
Setelah yakin bila seraut wajah yang terpampang di hadapannya
memang milik Dewi Ikata, dia
memeluk lebih erat.
Dan, menangislah nenek keras
kepala itu penuh
kebahagiaan.
Suropati yang urung melancarkan
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa'
tampak berdiri cen-
gar-cengir sambil garuk-garuk
kepala. "Apa arti semua ini...?" desisnya.
Mendadak, Pangeran Sadis melepas
karet
tipis yang menutupi seluruh
wajahnya. Kening
Suropati kontan berkerut tajam.
Mulutnya terbu-
ka lebar dengan bola mata
melotot seperti hendak keluar dan rongganya.
"Kau... kau Peramal
Sakti...," kejut Pengemis Binal sambil menuding Pangeran Sadis yang
telah membuka penyamarannya.
Bibir Pangeran Sadis menyungging
senyum
tipis. Kepalanya menggeleng
lemah. Sekali lagi dia melepas karet tipis yang melekat di wajahnya.
Keterkejutan Pengemis Binal
sudah tak da-
pat digambarkan lagi. Hingga
beberapa lama ma-
tanya terus terbelalak dengan
mulut menganga
lebar. Sambil menuding, dia
hendak berkata. Ta-
pi, tak ada suara yang keluar
dan mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Pangeran Sadis yang telah membuka dua wajah palsunya tertawa
terpingkal-pingkal. "Kalau terkejut, wajahmu mirip kadal ter-injak,
Suro!"
"Kau... kau Saka
Purdianta...," sebut Pengemis Binal kemudian.
"Ya. Aku memang Saka
Purdianta alias
Dewa Guntur."
"Apa... apa arti semua ini,
Saka?" tanya Pengemis Binal, masih gelagapan.
"Sudah kubilang, aku tidak
bermaksud bu-
ruk. Hanya kau saja yang tak mau
mendengar
penjelasanku."
"Jadi, kau benar-benar
tidak membunuh
Dewi Ikata?"
"Ya."
"Lalu, yang kukubur itu
kepala siapa?"
"Kepala seorang perampok
yang mati dibu-
nuh temannya sendiri. Aku
menemukannya di
hutan kecil tak jauh dan Bukit
Ranuglagah. Den-
gan sedikit polesan, kubuat
kepala itu mirip Dewi Ikata. Lalu, kususun sebuah rencana. Ketika ku-temui Dewi
Ikata, dia menyetujui rencanaku itu.
Dan, menyamarlah Dewi Ikata
sebagai Jatiwu-
lung...."
"Yang kau susun itu rencana
apa?" tanya Pengemis Binal, tak mengerti.
Saka Purdianta. menarik napas
panjang.
Disunggingnya senyum manis.
"Raka Maruta telah menikah dengan Anggraini Sulistya kakakmu,
Suro. Aku pun akan segera
menikah pula dengan
Kusuma. Kupikir, kau pun sudah
layak untuk
menikah. Atau paling tidak,
mengikat tali pertu-
nangan. Tapi melihat sifat mata
bongsangmu, aku
jadi ragu untuk menentukan siapa
yang pantas
menjadi pasanganmu. Lalu, aku
ingat Dewi Ikata.
Selain berilmu tinggi, dia pun
sangat mencintai-
mu, Suro. Kau beruntung mendapat
gadis cantik
macam dia...."
"Lalu?" kejar Pengemis
Binal.
"Kubuat kau agar mengucap
janji untuk
menikahi Dewi Ikata."
"Jadi, yang menulis pesan
di Gua Hantu
itu kau?"
"Ya."
"Kerangka manusia
itu?"
"Kerangka orang mati yang
kugali dari ku-
buran. "
"Bukan kerangka Datuk
Risanwari?"
Saka Purdianta mengangguk.
"Lalu, ba-
gaimana kau bisa mengalahkan
Banjaranpati dan
Arumsari dengan mudah?"
"Secara tak sengaja aku
telah meminum
darah Prajna Singh yang
mengandung khasiat
luar biasa. Kau lupa bila aku
pernah mencerita-
kannya, Suro?"
Suropati tampak berpikir.
Digaruknya ke-
palanya yang tak gatal berulang
kali.
"Ya. Ya, aku ingat. Tenaga
dalammu men-
jadi berlipat ganda setelah
meminum darah kakek
yang berasal dari tanah India
itu. Tapi, bukankah tenaga dalammu telah berkurang ketika kau
membantu Kusuma untuk
menyembuhkan Arya
Wirapaksi?"
"Benar. Namun, itu hanya
sebagian kecil
saja." Suropati
mengangguk-angguk. Bayangan peristiwa Arya Wirapaksi yang hampir gila karena
ilmu 'Mustika Api' berkelebatan di benaknya.
Termasuk cerita Saka Purdianta
yang meminum
darah Prajna Singh di sebuah gua
yang dipenuhi
stalagtit dan stalagmit.
(Tentang peristiwa itu bisa dibaca pada serial Pengemis Binal dalam episode -
"Asmara Putri Racun").
Mendadak, Pengemis Binal
melonjak girang
seraya meloncat dan menarik
tubuh Dewi Ikata
dari pelukan Arumsari.
"Uh! Apa-apaan ini,
Suro!" rungut Dewi Ikata. "Kau mempermainkan aku! Inang penga-suhmu
yang bernama Palupi itu tentu kau suruh
bermain sandiwara!" bentak
Suropati.
"Tidak! Bersama Saka
Purdianta, aku telah
mengelabuinya! Kau tak suka? Mau
marah? Sila-
kan!" tantang Dewi Ikata.
Suropati garuk-garuk kepala
sebentar. Se-
cepat kilat dipeluknya tubuh
Dewi Ikata. Lalu, di-lumatnya bibir gadis cantik itu.
"Uh! Uh!" keluh Dewi
Ikata yang sulit bernapas. "Kau... kau harus menikahiku, Suro! Ingat
janjimu!"
"Ya. Ya, aku pasti akan
menikahimu. Tapi,
tidak sekarang."
"Kapan?"
"Itu bisa dipikirkan
nanti."
Dewi Ikata tak dapat
berkata-kata lagi ka-
rena bibirnya keburu dilumat
Pengemis Binal.
Semua yang melihat adegan itu
cepat memaling-
kan muka. Dan seperti tanpa
bosan, Pengemis
Binal terus melumat bibir Dewi
Ikata....
SELESAI
Serial Pengemis Binal dalam
episode:
RAHASIA ARCA BUDHA
Scan/E-Book: Abu keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon