Suropati lalu melentingkan
tubuhnya se-
raya menyabetkan tongkat untuk
menghajar len-
gan Hantu Merah.
Pertempuran sengit pun tak dapat
dihinda-
ri lagi. Dengan jurus ‘Tongkat
Memukul Anjing’,
Pengemis Binal berusaha memukul
roboh Hantu
Merah. Sementara, Hantu Merah
pun memberi-
kan perlawanan tak kalah
berbahaya. Setiap
tongkatnya menyambar, seberkas
sinar hijau ber-
kelebat dan menimbulkan suara
mendengung ke-
ras yang memekakkan gendang
telinga.
Suatu ketika, tongkat Hantu
Merah berke-
lebat amat cepat hendak
mengemplang bahu ka-
nan Pengemis Binal. Namun,
Pengemis Binal
mengelak ke samping seraya
mengirim serangan
balik. Tubuh remaja tampan itu
berkelebat den-
gan tongkat terangkat tinggi
lalu menukik turun
dengan gerakan 'Tongkat
Menghajar Maling'.
Dan....
Buk...!
"Heh?!"
Untuk ke sekian kalinya Pengemis
Binal
terkejut. Tongkatnya berhasil
menghantam pung-
gung Hantu Merah dengan telak.
Tapi, jago silat
tua dari daratan Tionggoan itu
tampaknya kebal
terhadap pukulan. Dia hanya
terjajar dua langkah
ke depan, tapi tak menderita
luka apa-apa.
"Mati kau!"'
Sambil berteriak demikian, Hantu
Merah
menebas leher Pengemis Binal
dengan tongkat
mustikanya. Serangan itu disusul
dengan cengke-
raman jari-jari tangan kiri yang
berkuku runcing
berwarna hitam kelam. Mengarah
batok kepala!
Wuttt...!
Tebasan tongkat Hantu Merah
dapat dihin-
dari dengan mudah oleh Pengemis
Binal. Namun,
dia sama sekali tak menyangka
bila jari-jari tan-
gan kiri lelaki berwajah
merah-matang itu hendak
mencengkeram batok kepalanya.
Brettt...!
"Ouw...!"
Susah-payah Suropati berkelit
dengan me-
lempar tubuh ke belakang, namun
tak urung ba-
hunya terserempet. Kain bajunya
koyak berikut
sebagian kulitnya. Untung luka
akibat sambaran
jari tangan Hantu Merah itu
tidak begitu dalam.
Hanya luka gores yang tidak
seberapa banyak
mengeluarkan darah.
"Kau tidak apa-apa, Kak
Suro?" seru Kwe
Sin Mei dengan pandangan
khawatir.
Suropati tak menjawab. Matanya
berkilat
menatap wajah Hantu Merah yang
merah-matang
dan buruk sekali.
"Jangan sungkan-sungkan
lagi, Kak Suro!
Bila tak dapat menangkap
hidup-hidup, bolehlah
dia ditangkap setelah menjadi
mayat!"
Mendengar teriakan Kwe Sin Mei
itu, Han-
tu Merah mendengus gusar.
"Siapa kau?!" ben-
taknya dengan gusar.
"Aku Kwe Sin Mei! Bila kau
pernah men-
dengar kebesaran nama Pendekar
Sesat Kwe Kok
Jiang pemilik Pulau The Lioe
Tho, akulah pu-
trinya!" kenal Kwe Sin Mei
dengan tegas.
"Bangsat! Aku tak pernah
berurusan den-
ganmu atau dengan ayahmu, kenapa
kau menye-
wa orang untuk
menangkapku?!"
"Aku memegang kuasa Kaisar
Hian Tjong!"
Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei
memper-
lihatkan sebuah benda bulat
gepeng terbuat dari
emas. Hantu Merah menatapnya
dengan pandan-
gan setengah tak percaya.
"Lencana Emas Berkepala
Harimau...?!" ke-
jut Hantu Merah.
Kwe Sin Mei mengangkat
tinggi-tinggi ben-
da di tangannya yang tak lain
dari Lencana Emas
Berkepala Harimau. "Karena
aku memegang kua-
sa Kaisar Hian Tjong, lebih baik
kau menyerah
dan kutungi sendiri kedua
tanganmu, Iblis Ja-
hat!"
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa keras.
"Lencana Emas Berkepala
Harimau tak mempu-
nyai kekuatan untuk memaksa
karena aku punya
ini!"
Terkejut luar biasa Kwe Sin Mei
ketika
Hantu Merah memperlihatkan
lencana yang ham-
pir serupa dengan lencana yang
dibawanya. Len-
cana di tangan Hantu Merah lebih
kecil sedikit.
"Lencana Pembebasan dari
Hukuman Ma-
ti...?!" seru Kwe Sin Mei
dalam keterkejutannya.
"Ha ha ha...! Dengan
melihat lencana yang
kubawa ini, tidakkah kau tahu
diri untuk segera
menyingkir dari
hadapanku?!"
Mendengar ucapan Hantu Merah
itu, Kwe
Sin Mei mencak-mencak. Hatinya
jengkel dan ge-
mas sekali. Dia tak mungkin
melanjutkan niatnya
untuk menangkap Hantu Merah
karena tokoh tua
itu memegang Lencana Pembebasan
dari Huku-
man Mati yang derajatnya lebih
tinggi dari Lenca-
na Emas Berkepala Harimau di
tangannya.
"Setan alas kau, Iblis
Jahat!" maid Kwe Sin
Mei. "Tak mungkin Kaisar
Hian Tjong memberi-
kan Lencana Pembebasan dari
Hukuman Mati
kepadamu. Lencana itu pasti kau
peroleh dari
mencuri!"
"Ha ha ha...! Mencuri atau
tidak, yang
penting aku telah memilikinya.
Maka, segeralah
kau pergi bila kau merasa
sebagai orang bawahan
Kaisar Hian Tjong yang
baik!"
Kwe Sin Mei mengumpat-umpat
beberapa
saat, lalu melompat seraya
menggamit lengan
Pengemis Binal yang sedang
berdiri sambil garuk-
garuk kepala.
"Eh, ada apa ini?"
tanya Pengemis Binal
yang tak tahu arti ucapan
Suropati dan Hantu
Merah.
"Kita pergi!" sahut
Kwe Sin Mei, cepat.
Walau masih diliputi tanda tanya
besar,
Pengemis Binal menurut saja
ketika tangannya
digandeng Kwe Sin Mei untuk
diajak berlari cepat
menuruni bukit.
"Hei! Jangan pergi dulu!
Aku masih ada
urusan denganmu, Anak
Muda!" seru Hantu Me-
rah kepada Pengemis Binal.
Agaknya, jago tua dari daratan
Tionggoan
itu masih penasaran terhadap
Pengemis Binal.
Dan tanpa pikir panjang lagi,
dia berlari mengejar!
***
5
Sinar mentari pagi menyapa
pucuk-pucuk
cemara dalam kehangatan. Kabut
membubung te-
riring sang Bayu yang berhembus
mendesau lem-
but. Butir-butir embun menitik
jatuh dalam de-
kapan ilalang. Panorama indah
pun menyembul
dipayungi langit putih bersih.
Diawal geliatan alam yang baru
bangun da-
ri tidurnya itu, sesosok tubuh
tampak terbaring
lemah dari kaki sebuah bukit
kecil. Sosok tubuh
yang telentang lemas di tanah
berumput itu seo-
rang lelaki berkulit putih
mengenakan pakaian
gedombrongan berwarna kuning
coklat. Kain ba-
junya robek di bagian dada,
memperlihatkan luka
kecil di atas puting susu
sebelah kiri yang sudah
tertutup gumpalan darah kering.
Rambut lelaki berusia enam puluh
tahu-
nan itu terburai di tanah.
Karena terbaring dalam
keadaan telentang, wajahnya bisa
dikenali. Dia
adalah Auwyang Nan Ie!
Saat bertempur dengan Sawung
Jenar di
tepi Sungai Bayangan, Auwyang
Nan Ie berhasil
melukai pemuda berjuluk Iblis
Selaksa Ular itu
dengan Pedang Burung Hong.
Namun, Auwyang
Nan Ie pun harus merelakan dada
kirinya dima-
suki Ular Pemakan Jantung yang
dilontarkan Sa-
wung Jenar dengan Seruling
Ular-nya yang ter-
buat dari gading.
Merasa dirinya termakan senjata
rahasia,
bergegas Auwyang Nan Ie
menyambar Arca Budha
yang tergeletak di tanah,
kemudian melarikan diri
meninggalkan Sungai Bayangan.
Sesampai di bu-
kit kaki kecil yang banyak
ditumbuhi pohon ce-
mara, jago silat dari seberang
itu jatuh pingsan.
Tubuhnya terbaring telentang
hingga setengah
hari lebih
Sesungguhnya Ular Pemakan
Jantung pe-
liharaan Sawung Jenar adalah
sejenis ular yang
amat mematikan. Begitu masuk ke
tubuh manu-
sia, ular putih sebesar lidi itu
akan segera me-
mangsa jantung calon korbannya.
Hanya dalam
beberapa tarikan napas saja
orang itu akan mati
tanpa memiliki jantung lagi!
Namun, kenapa Auwyang Nan Ie
hanya ja-
tuh pingsan walau sampai
setengah hari lebih?
Arca Budha-lah yang
menyelamatkan nyawa lela-
ki tinggi-besar itu.
Sejak dari Sungai Bayangan,
Auwyang Nan
Ie terus berlari sambil
mencengkeram erat Arca
Budha. Kekuatan gaib yang
terkandung di arca
buatan seorang tetua negeri
Tiongkok itu mampu
menahan Ular Pemakan Jantung
untuk tak me-
mangsa jantung Auwyang Nan Ie.
Ular Pemakan
Jantung hanya berputar-putar di
dalam dada
Auwyang Nan Ie. Walau begitu,
Auwyang Nan Ie
merasa kesakitan luar biasa,
hingga dia jatuh
pingsan.
"Uh...!"
Mendadak, Auwyang Nan Ie
mengeluh pen-
dek. Dikerjap-kerjapkan matanya
sebentar, lalu
mengangkat tangan kanannya.
Melihat Arca Bud-
ha masih terjepit di jari-jari,
jago silat dari sebe-
rang itu bersorak girang dalam
hati. Bergegas dia
meloncat bangun, tapi.....
"Argh...!"
Bruk...!
Auwyang Nan Ie jatuh terduduk.
Dada ki-
rinya terasa sakit luar biasa.
Pedih-pedih tiada
terkira!
Sambil menggigit bibir, lelaki
tinggi-besar
itu meraba dada kirinya. Kontan
matanya mende-
lik karena terkejut. Dia
merasakan ada gerakan-
gerakan aneh di dada
kirinya.
"Hmmm.... Senjata rahasia
pemuda bersi-
sik itu tentu seekor ular,"
pikir Auwyang Nan Ie.
Cepat Auwyang Nan Ie memutar
otak. Te-
ringat di benaknya ketika dia
diserang tiupan se-
ruling Sawung Jenar. Tiupan
Penguasa Sungai
Bayangan itu mampu membuatnya
kehilangan
seluruh kekuatan tenaga dalam. Namun
ketika
dia hendak menghancurkan Arca
Budha agar tak
jatuh ke tangan orang lain,
tiba-tiba Pedang Bu-
rung Hong melekat di badan Arca
Budha. Arca itu
lalu memancarkan sinar
kuning-keemasan yang
kemudian menjalar ke tubuhnya.
Dan, kembali-
lah seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Bahkan,
sinar yang memancar dari badan
Arca Budha
mampu mengusir ratusan ular yang
tengah me-
rayap mendekatinya.
Teringat itu, Auwyang Nan Ie
berseru gi-
rang. Dia mendapat cara bagus
untuk mengusir
ular kecil yang masih bersarang
di dadanya.
Tergesa-gesa Auwyang Nan Ie
menghunus
Pedang Burung Hong yang terselip
di punggung-
nya. Lalu, bilah pedang bengkok
yang dipenuhi
ukiran itu ditempelkannya ke
badan Arca Budha.
Splash...!
Tiba-tiba, badan Arca Budha memancar-
kan sinar kuning-keemasan. Sinar
itu lalu menja-
lar ke tubuh Auwyang Nan Ie
melalui bilah Pe-
dang Burung Hong!
Sekejap mata kemudian, tubuh
Auwyang
Nan Ie bergetar. Lalu dari dada kirinya melesat
benda kecil panjang yang tak
lain Ular Pemakan
Jantung!
"Mati kau!"
Cepat Auwyang Nan Ie menarik
Pedang Bu-
rung Hong seraya berkelebat
untuk mengejar le-
satan Ular Pemakan Jantung!
Wut! Wut! Wut!
Pedang Burung Hong menebas tiga
kali.
Dan matilah Ular Pemakan Jantung
dengan ba-
dan terpotong menjadi tiga
bagian!
"Ha ha ha...!" Auwyang
Nan Ie tertawa ber-
gelak. "Kini sudah saatnya
aku kembali ke dara-
tan Tionggoan. Aku akan menjadi
raja dari segala
raja! Ha ha ha...!"
Auwyang Nan Ie terus tertawa
bergelak pe-
nuh luapan rasa gembira. Namun tiba-tiba, ta-
wanya terhenti mendadak disertai
dengus napas
berat
"Tidak! Belum saatnya aku
kembali ke da-
ratan Tionggoan. Aku masih punya
urusan den-
gan si Bocah Gemblung Suropati.
Bocah edan itu
telah menggagalkan niatku untuk
membunuh
Kwe Kok Jiang!"
* * *
Hantu Merah menggedruk tanah
dengan
perasaan kesal. Dia menggerutu
panjang-pendek
tak karuan. Kata-kata kotor pun
berhamburan
dari mulutnya.
"Haram jadah! Setan alas!
Ke mana per-
ginya bocah gemblung berpakaian
penuh tamba-
lan itu?! Huh! Apakah gadis
bengal bernama Kwe
Sin Mei itu mengajaknya
bersembunyi? Awas! Bila
kutemukan, pasti kujadikan
mereka korban tipu
silat. 'Memecah Otot Membagi
Tulang!"
Lelaki tua berwajah merah-matang
itu
mengeluarkan kata-kata ancaman
terhadap Pen-
gemis Binal dan Kwe Sin Mei.
Mereka hendak di-
jadikan korban tipu silat
‘Memecah Otot Membagi
Tulang’. Memang, Hantu Merah
sedang diliputi
rasa kesal bercampur penasaran.
Dia kehilangan
jejak Pengemis Binal dan Kwe Sin
Mei yang telah
mengganggunya ketika sedang
berlatih tipu silat
'Memecah Otot Membagi Tulang'.
Setelah tahu bila Hantu Merah
membawa
Lencana Pembebasan dari Hukuman
Mati, Kwe
Sin Mei mengurungkan niatnya
untuk menang-
kap pelarian itu. Kwe Sin Mei
lalu mengajak pergi
Pengemis Binal. Karena dikejar,
Kwe Sin Mei dan
Pengemis Binal berlari memutar
bukit, lalu
menghilang dalam kegelapan
malam.
Sampai pagi datang menjemput,
Hantu Me-
rah tak menemukan sosok mereka.
Hingga, mele-
daklah amarah lelaki tua
berpakaian compang-
camping itu.
"Tampakkan batang
hidungmu, Keparat!"
teriak Hantu Merah dengan
bahasanya.
Hanya desau angin dan ceracau
burung
yang menyahuti teriakan lelaki
berwajah merah-
matang itu. Maka, menggembor
keraslah dia. Ser-
ta-merta Tongkat Kumala Batu
Hitam di tangan-
nya disabetkan ke batang pohon
cemara!
Bummmm...!
Dengan mengeluarkan suara
berkeretakan,
batang pohon sebesar dua pelukan
manusia de-
wasa itu roboh. Menerbitkan
suara gaduh, yang
membuat burung-burung terkejut
lalu terbang
cepat ke angkasa.
"Keluarlah, Keparat! Kita
belum selesai ber-
tempur! Hadapi Hantu Merah bila
kau benar-
benar bernyali besar!"
Teriakan Hantu Merah yang
ditujukan ke-
pada Pengemis Binal terbawa
hembusan angin.
Karena apa yang diharapkannya
tak kesampaian,
Hantu Merah mengumpat-umpat
lagi.
"Hmmm... Walau kau
bersembunyi di liang
semut, kau akan tetap menjadi
korban tipu silat
'Memecah Otot Membagi
Tulang'!"
Di ujung kalimatnya, lelaki yang
rambut-
nya terburai tak karuan tak
menjejak tanah. Den-
gan mengerahkan seluruh
kemampuan berlari
cepatnya, dia mengitari lagi
bukit kecil yang men-
jadi tempat latihannya itu.
Ketika mendapat setengah
lingkaran bukit,
mendadak Hantu Merah
menghentikan kelebatan
tubuhnya. Bola matanya melotot
besar melihat
seorang lelaki berpakaian
kuning-coklat tengah
mengobati luka kecil di dada
kirinya
"Auwyang Nan Ie…"
desis Hantu Merah.
Lelaki bertampang seram itu lalu
menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh
seraya meloncat
ke balik batang pohon cemara.
Bola matanya se-
makin melotot besar saat melihat
arca sebesar
anak kucing yang berada di dekat
kaki Auwyang
Nan Ie.
"Arca Budha...., Arca
Budha...," desis Han-
tu Merah berulang kali.
Auwyang Nan Ie terkejut ketika
sesosok
bayangan berkelebat dan berhenti
di hadapannya.
"Serahkan arca itu!"
teriak si bayangan
yang tak lain Hantu Merah.
Cepat Auwyang Nan Ie meloncat
menjauh.
Tak lupa tangannya menyambar
Arca Budha, lalu
dimasukkan ke saku bajunya yang
gedombron-
gan.
"Serahkan arca itu!"
teriak Hantu Merah
lagi.
Auwyang Nan Ie mendengus gusar.
Setelah
mengenali siapa yang datang, dia
berkata lantang,
"Apa perlunya kau datang
kemari, Tua Bangka?!
Tidakkah kau lebih senang
tinggal dipenjara ba-
wah tanah?!"
"Jangan meledek, Keparat! Sudah kukata-
kan aku menginginkan
arca yang kau bawa itu.
Tak perlu aku mengulang
kata-kata!" hardik Han-
tu Merah.
"Kau menginginkan Arca
Budha? Ha ha
ha…! Tidak pantas...! Tidak
pantas...! Dirimu
yang sudah bau tanah dan sangat
buruk rupa tak
pantas memiliki Arca Budha.
Kecuali bila kau
mau berlutut di hadapanku lalu
memecahkan ke-
pala sendiri, Arca Budha akan
kuberikan kepa-
damu. Ha ha ha...!"
Sebenarnya Auwyang Nan Ie agak
gentar
melihat kehadiran Hantu Merah.
Dia tahu benar
akan kehebatan lelaki bertampang
seram itu.
Namun Pedang Burung Hong yang
terselip di
punggungnya mampu mengusir rasa
gentarnya.
Dia yakin bila ketajaman Pedang
Burung Hong
akan dapat meredam kesaktian
Hantu Merah.
"Sombong sekali kau,
Bangsat! Tidakkah
kau ingat bila aku pernah
membuat kocar-kacir
persekutuan orang-orang rimba
persilatan di ne-
geri kita?" seru Hantu
Merah, panas hatinya
mendengar ejekan Auwyang Nan Ie.
"Itu dulu! Sekarang akulah
yang akan
membuat kocar-kacir anggota
tubuhmu!"
Usai berkata, Auwyang Nan Ie
menghunus
Pedang Burung Hong. Tanpa
mempedulikan luka
di dada kirinya yang belum
selesai diobati, dia
menerjang Hantu Merah dengan
ganas. Sengaja
Auwyang Nan Ie tak menggunakan
kebutannya,
karena dia tahu bila tubuh Hantu
Merah kebal.
Hanya senjata mustika yang dapat
melukai jago
tua bertampang seram itu.
"Jahanam!" pekik Hantu
Merah seraya ber-
kelit ke kiri untuk menghindari
sabetan Pedang
Burung Hong yang mengarah
pinggang.
Segera Auwyang Nan Ie memainkan
ilmu
pedang 'Delapan Dewa'. Dengan
ilmu pedang yang
terdiri dari lima puluh jurus
itu, Auwyang Nan Ie
mampu mengurung tubuh Hantu
Merah. Hingga,
Hantu Merah jadi kewalahan. Ke
mana pun dia
bergerak, sinar biru yang timbul
dari sabetan Pe-
dang Burung Hong selalu
mengejarnya!
Trang! Trang!
"Ih...!"
Tongkat Kumala Batu Hitam di
tangan
Hantu Merah membentur Pedang
Burung Hong
dua kali.
Pada saat sabetan Pedang Burung
Hong
melenceng ke kiri. Cepat Hantu
Merah melempar
tubuh sejauh tiga tombak.
Dan, menggeram marahlah Hantu
Merah.
Batang Tongkat Kumala Batu Hitam
miliknya cuil
di dua tempat. Walau Tongkat
Batu Hitam dan
Pedang Burung Hong sama-sama
senjata musti-
ka, namun Pedang Burung Hong
terbuat dari ba-
han yang lebih keras sehingga
mampu membuat
rusak Tongkat Kumala Batu Hitam.
"Malaikat kematian
datang!" pekik Au-
wyang Nan Ie.
Pedang Burung Hong di tangan
lelaki ting-
gi-besar itu berkelebat untuk
menebas leher Han-
tu Merah yang masih memandangi
tongkatnya!
"Uts...!"
Hantu Merah berhasil menghindar
dengan
merundukkan tubuh. Tapi ketika
Pedang Burung
Hong hendak menusuk dadanya,
terpaksa dia
menggulingkan tubuh ke tanah.
"Haram jadah! Keparat kau,
Setan Belang!"
Usai mengumpat, Hantu Merah
melu-
ruskan jari-jari tangan
kirinya, hingga lima ku-
kunya yang runcing hitam
terlihat jelas oleh mata
Auwyang Nan Ie.
Saat jari-jari tangan kiri Hantu
Merah dite-
kuk menyerupai cakar harimau,
Auwyang Nan Ie
mendelikkan mata. Dia tahu bila
Hantu Merah
hendak mengeluarkan ilmu
andalannya. Namun,
cepat dia tutup keterkejutannya
dengan mengelu-
arkan kata-kata ejekan.
"Tipu silat 'Memecah Otot
Membagi Tulang'
tingkat keenam tak akan mampu
membunuhku!"
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa berge-
lak. "Di daratan Tionggoan,
aku memang baru
menguasai tipu silat 'Memecah
Otot Membagi Tu-
lang' pada tingkat keenam. Tapi
di tanah Jawa
ini, aku telah berlatih diri
hingga mencapai ting-
kat kesepuluh. Alias
kesempurnaan telah kuda-
pat! Ha ha ha...!"
Kening Auwyang Nan Ie berkerut
rapat.
Benarkah Hantu Merah telah
menguasai ilmu se-
sat itu dengan sempurna? Kalau pada tingkat
keenam saja tipu silat 'Memecah
Otot Membagi
Tulang' sudah mampu membuat
tokoh-tokoh
rimba persilatan daratan
Tionggoan berlari keta-
kutan, apalagi bila Hantu Merah
telah mengua-
sainya dengan sempurna! Namun,
cepat Auwyang
Nan Ie mengusir rasa gentar di
hatinya.
"Sebelum jari tangan Hantu
Merah men-
cengkeram kepalaku, Pedang
Burung Hong telah
memenggal batang lehernya,"
pikir Auwyang Nan
Ie, memberi semangat kepada diri
sendiri.
Maka segera dia memekik nyaring
seraya
menyabetkan pedang mustikanya.
Sementara,
Hantu Merah pun menjerit panjang
mirip lolongan
serigala. Tongkat Kumala Batu
Hitam dia pergu-
nakan untuk menangkis Pedang
Burung Hong,
tangan kirinya berkelebat cepat,
menyambar ke-
pala Auwyang Nan Ie!
* * *
"Sawung Jenar mengatakan
bahwa orang
yang melukainya membawa pedang
bengkok yang
dipenuhi ukiran, apakah kau
kenal dengan orang
itu, Pak Tua?" tanya
Ingkanputri setelah mening-
galkan Sungai Bayangan.
"Dia pasti Auwyang Nan
Ie," Gisa Mintarsa
yang menjawab.
"Ya. Dan, pedang yang
dibawanya tak lain
Pedang Burung Hong yang telah
membuat cacat
tangan kiriku," tegas Kwe
Kok Jiang.
"Kita harus cepat mencari
sebelum dia me-
ninggalkan tanah Jawa,"
cetus Gisa Mintarsa.
"Sawung Jenar bercerita
pula bahwa orang yang
telah melukainya memiliki sebuah
arca sang
Budha yang terbuat dari emas
murni. Arca itu
memiliki kekuatan gaib yang
mampu mengusir
ular-ular peliharaan Sawung
Jenar. Yang dimak-
sud oleh pemuda itu tentu Arca
Budha yang ten-
gah kau cari, Kok Jiang."
Kepala Kwe
Kok Jiang mengangguk. "Ke-
mungkinan besar, Tan Peng Sin
melarikan Arca
Budha ke Sungai Bayangan. Namun,
niatnya un-
tuk memiliki arca bertuah itu
tak kesampaian ka-
rena dirinya keburu terserang
racun yang dibuat
oleh Mahicha Kapoor. Kebetulan
Auwyang Nah Ie
berada di Sungai Bayangan pula.
Sehingga den-
gan mudah dia mengambil Arca
Budha yang dila-
rikan Tan Peng Sin dari Pulau
Belut. Lalu, Au-
wyang Nan Ie terlibat
pertempuran dengan Sa-
wung Jenar karena dia telah
membunuh ular pe-
liharaan pemuda itu," tutur
Kwe Kok Jiang yang
telah lancar berbahasa
Jawa.
"Ya. Ya, kemungkinan besar
memang begi-
tu,"? tegas Gisa Mintarsa
atau Raja Syair.
"Hmmm.... Apakah tidak
lebih baik kita
mengejar Auwyang Nan Ie dengan
berpencar?"
usul Ingkanputri yang selalu
mengenakan pa-
kaian serba merah. Oleh
karenanya dia bergelar
Dewi Baju Merah.
"Tidak. Itu amat berbahaya.
Dengan Pe-
dang Burung Hong, Auwyang Nan Ie
berubah jadi
momok yang sangat menakutkan.
Apalagi, Arca
Budha telah berada di tangannya.
Arca itu bisa
memberikan kekuatan yang luar
biasa," tolak Kwe
Kok Jiang.
Dewi Baju Merah mengangguk,
pertanda
dapat menerima penjelasan lelaki
dari seberang
yang telah tiga tahun berada di
tanah jawa itu.
"Kita tetap mencari bertiga,
dan mengikuti
arah yang ditunjukkan Sawung
Jenar. Bagaima-
na?" ujar Gisa
Mintarsa.
Mendengar ucapan bocah titisan
itu, tanpa
pikir panjang lagi Kwe Kok Jiang
mengangguk se-
tuju.
Ingkanputri menyetujui pula.
Maka, berke-
lebatlah mereka bertiga menuju
bukit kecil yang
terlihat samar-samar.
Di Sungai Bayangan, Sawung Jenar
me-
mang telah menceritakan
sebab-sebab dirinya
bertempur dengan Auwyang Nan Ie.
Termasuk
mengatakan ciri-ciri Auwyang Nan
Ie. Usai berce-
rita, pemuda itu lalu mengusir
Ingkanputri, Gisa
Mintarsa, dan Kwe Kok Jiang.
Sawung Jenar yang
bersifat aneh tak suka bila
Sungai Bayangan di-
jamah orang luar. Lagi pula,
luka yang dideri-
tanya tidak parah sehingga dia
tidak membutuh-
kan pertolongan orang lain.
Namun sebelum
mengusir, Sawung Jenar
mengatakan ke mana
arah perginya Auwyang Nan Ie.
Ingkanputri, Gisa Mintarsa, dan
Kwe Kok
Jiang lalu berlari cepat ke
selatan. Karena hari
keburu dijemput malam, mereka
beristirahat di
tepi sebuah hutan jati. Dan,
baru pagi hari inilah
mereka bisa melanjutkan
perjalanan mengejar
Auwyang Nan Ie. Namun belum
seberapa jauh
mereka meninggalkan hutan jati,
mendadak Gisa
Mintarsa menghentikan kelebatan
tubuhnya.
"Ada apa, Gisa?" tanya
Dewi Baju Merah
yang terpaksa menghentikan kelebatan
tubuhnya
pula.
Kwe Kok Jiang yang berlaku
serupa mena-
tap Gisa Mintarsa dengan kening
berkerut. Tam-
paknya, lelaki berkuncir itu
merasa sayang bila
harus membuang-buang waktu.
"Tenang..., tenang....
Jangan tatap aku se-
perti itu," sergah Raja
Syair. "Tidakkah lebih baik
kita menemui Suropati
dulu?"
"Uh! Macam-macam saja kau
ini, Gisa!" te-
gur Ingkanputri, tak senang.
"Daripada kita me-
nemui Suropati yang tak kita
ketahui berada di
mana, lebih baik kita menghemat
waktu dengan
mencari langsung Auwyang Nan
Ie!"
"Tepat!" tegas Kwe Kok
Jiang. "Sawung Je-
nar mengatakan bahwa tubuh
Auwyang Nan Ie te-
lah dimasuki Ular Pemakan
Jantung yang amat
mengerikan. Aku khawatir Auwyang
Nan Ie telah
menemui ajal di suatu tempat,
dan ada orang
yang mengambil Arca Budha dan
Pedang Burung
Hong yang dibawanya. Oleh karena
itu, kita harus
cepat-cepat menemukan Auwyang
Nan Ie walau
dia telah menjadi mayat!"
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Gisa Mintarsa
melihat Kwe Kok Jiang memberi
isyarat kepada
Ingkanputri untuk melanjutkan
perjalanan.
"Kau jangan main-main,
Gisa!" tegur In-
gkanputri," keras
membentak.
"Kau jangan keburu naik
pitam, Putri. Aku
tahu hatimu kesal terhadap
Suropati. Tapi, bukan
maksudku untuk menambah
kekesalanmu den-
gan mempertemukan kau dengan
remaja konyol
itu," kilah Raja Syair.
"Lalu, maumu apa?"
tanya Ingkanputri ma-
sih dengan suara ketus. Dia
memang memendam
rasa kesal terhadap Suropati.
Setiap berjumpa
dengan Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti itu, ada saja ulah
konyol yang diper-
buatnya.
"Firasatku mengatakan bahwa
Auwyang
Nan Ie masih hidup. Arca Budha
telah menyela-
matkan nyawanya. Sawung Jenar
mengatakan
bahwa sinar kuning keemasan yang
memancar
dari badan Arca Budha membuat
ular-ularnya la-
ri ketakutan. Kemungkinan besar
Ular Pemakan
Jantung yang bersemayam di dalam
tubuh Au-
wyang Nan Ie pun tak mampu
berbuat banyak.
Auwyang Nan Ie tentu telah
mengeluarkan ular
itu dengan menggunakan kekuatan
gaib Arca
Budha."
Mendengar penjelasan Gisa
Mintarsa, In-
gkanputri, dan Kwe Kok Jiang
mengerutkan ken-
ing. Tampaknya, mereka tengah
menimbang ke-
benaran ucapan bocah titisan
itu.
"Ya. Aku bisa menerima
penjelasanmu. Ta-
pi kalau memang Auwyang Nan Ie
belum mati,
bukankah dia bisa pergi makin jauh?
Itu berarti
kita tak punya waktu untuk
menemui Suropati!"
seru Ingkanputri tiba-tiba.
"Tidak! Kita harus menemui
Suropati du-
lu!" ujar Raja Syair,
ngotot.
"Walau tubuhmu berwujud
bocah berusia
dua belas tahun, tapi kau
berjiwa Raja Syair yang
telah berusia seratus tahun
lebih, bukan? Jangan
berlaku seperti anak-anak,
Gisa!" tegur Ingkanpu-
tri seperti akan mengajak
bersitegang.
"Tenanglah. Aku bisa
memanggil Suropati
ke sini dalam waktu
singkat!"
Tanpa menunggu tanggapan, Gisa
Mintar-
sa melangkah tiga tindak, lalu
mengambil sikap
semadi di bawah naungan pohon
besar. Ingkan-
putri dan Kwe Kok Jiang cuma
dapat menggeleng-
gelengkan kepala.
***
6
"Huah...!"
Suropati memekik kaget seraya
meloncat
bangkit. Remaja tampan itu
kembali memekik.
Namun, kali ini yang keluar dari
mulutnya adalah
pekik kesakitan. Kakinya
terpeleset, dan kepa-
lanya membentur lempengan batu
besar yang
menjadi tempat tidurnya.
"Aduh...!"
Sambil mengumpat-umpat tak
karuan Su-
ropati memegangi bagian belakang kepalanya
yang sakit. Umpatannya semakin
tak karuan ke-
tika dia tahu bila wajahnya
basah-kuyup.
"Kunyuk buduk! Kerbau
congek! Hmm....
Siapa yang menyiram wajahku
dengan air?!"
Sewaktu Pengemis Binal
mengedarkan
pandangan, terdengar suara tawa
tertahan dari
atas kepala remaja tampan itu.
Segera Pengemis
Binal mendongak. Terlihat
olehnya Kwe Sin Mei
yang tengah nangkring di atas
pohon. Tangan ki-
rinya mendekap mulut, sedang
tangan kanannya
memegang tempurung kelapa yang
tampak basah.
"Rupanya kau yang membuat
ulah, Sin
Mei!" bentak Suropati,
gemas.
"Lihatlah hari yang telah
beranjak siang,
Kak Suro...," ujar Kwe Sin
Mei, menahan tawa.
"Susah-payah aku
membangunkanmu, tapi kau
tetap mendengkur terus. Terpaksa
kusiram kau
dengan... hik hik hik...."
Melihat Kwe Sin Mei tertawa
cekikikan,
Pengemis Binal mencak-mencak.
Dengan muka
merah-padam, dia membentak lebih
keras putri
Kwe Kok Jiang itu.
"Hayo, katakan apa yang kau
siramkan di
wajahku tadi!"
Kwe Sin Mei tak menjawab. Kedua
tangan-
nya digunakan untuk mendekap
mulut agar ta-
wanya tak terdengar keras.
Agaknya, dia merasa
geli melihat Pengemis Binal yang
sedang marah-
marah.
"Wajahmu cantik dan sungguh
amat mena-
rik. Namun aku heran dan tak
habis mengerti,
kenapa kau berubah yang
aneh-aneh. Apakah
otakmu tak waras. Sin Mei?"
sindir Pengemis Bi-
nal, dongkol.
"Maafkan aku, Kak
Suro," sesal Kwe Sin
Mei. "Kak Suro tak perlu
mengumbar prasangka.
Aku tidak gila. Aku sadar atas segala
apa yang
kulakukan."
Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei
meloncat
turun dari dahan pohon yang didudukinya. Se-
mentara, Pengemis Binal
menatapnya dengan pe-
rasaan kesal-sebal.
"Apa yang kau siramkan di
wajahku?!"
"Air sungai."
"Air sungai atau...."
""Air sungai!"
potong Kwe Sip Mei, cepat.
Suropati mengusap butir-butir
air yang
masih menempel di dahinya, lalu
diciumnya.
"Hmm... yah! Aku percaya
ini memang air
sungai. Seandainya kau menyiramku dengan air
kencing kuda, pasti kutonjok
batang hidungmu
sampai nyonyor," ancam
Suropati kekonyol-
konyolan.
Kwe Sin Mei memasang wajah
muram, na-
mun Pengemis Binal tampaknya tak
mau menger-
ti penyesalan gadis itu. Sambil
menggeleng-
gelengkan kepala Suropati
berkata, "Aku tetap tak
habis mengerti akan ulahmu yang
aneh-aneh.....''
"Aneh bagaimana, Kak
Suro?" tanya Kwe
Sin Mei, lembut Bibirnya
menyungging senyum
untuk mendinginkan hati Pengemis
Binal yang
terbakar rasa jengkel.
Namun, Pengemis Binal malah
mendengus
gusar dan tatapannya tajam penuh
selidik.
"Tidakkah Kak Suro melihat
matahari yang
telah naik tinggi? Tidur Kak
Suro begitu lelap se-
hingga aku sulit membangunkan.
Terpaksa aku
mengambil air sungai,
lalu...."
"Bukan karena itu!"
bentak Pengemis Binal,
memotong penjelasan Kwe Sin Mei.
Sinar mata
Kwe Sin Mei kontan meredup. Rasa
bersalah ma-
kin mendera hatinya.
"Kau katakan bila Hantu
Merah adalah pe-
larian yang amat jahat. Tapi,
kenapa tadi malam
kau malah mengajakku pergi
sewaktu aku beru-
saha menangkapnya? Kau membuatku
penasaran
saja! Kau tahu luka di bahu
kiriku ini?!"
Suropati maju selangkah,
menunjukkan
garis luka akibat sambaran kuku
Hantu Merah.
"Walau tidak parah, tapi
ini sudah cukup
kujadikan alasan untuk
memecahkan batok kepa-
la kakek buruk rupa itu!"
lanjut Pengemis Binal.
"Jangan keburu naik darah,
Kak Suro...!"
ujar Kwe Sin Mei, berusaha
menenangkan hati
Pengemis Binal yang sedang
uring-uringan. "Han-
tu Merah membawa Lencana
Pembebasan dari
Hukuman Mati. Aku tidak mungkin menangkap
atau mengganggunya..."
"Bukankah Hantu Merah
nyata-nyata
orang jahat. Kita telah melihat
dengan mata kepa-
la sendiri. Dia telah membunuh
orang dengan ca-
ra yang amat keji. Itu sudah
cukup dijadikan ala-
san untuk menghukum mati kakek
tua buruk
itu!"
"Kau tidak mengerti, Kak
Suro. Kami,
orang-orang dari Tionggoan, amat
menjunjung
tinggi kehormatan dalam mengabdi
kepada kai-
sar"
"Maksudmu?"
"Walau aku membawa Lencana
Emas Ber-
kepala Harimau yang membuat
berkuasa penuh
untuk menangkap atau menjatuhkan
hukuman
terhadap Hantu Merah, tapi aku
tidak mungkin
melanggar aturan yang telah
ditetapkan oleh para
tetua kami...."
"Aku tak mengerti apa yang
kau katakan,
Sin Mei," ujar Pengemis
Binal dengan kening ber-
kerut rapat "Kau memegang
kuasa kaisar untuk
menangkap atau menghukum Hantu
Merah, tapi
kenapa kau katakan tak mungkin
melanggar atu-
ran yang telah ditetapkan oleh
leluhurmu? Seperti
yang kau katakan, Hantu Merah
itu jelas manusia
berjiwa iblis, Sin Mei. Sudah
selayaknya bila kita
menghentikan dan memerangi
segala perbuatan
jahat..."
"Benar katamu, Kak Suro.
Tapi, kita tak
boleh mengusik Hantu Merah
karena dia memba-
wa Lencana Pembebasan dari
Hukuman Mati. Bi-
la kita nekat, itu sama saja
menghina kewiba-
waan kaisar."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala. Ke-
ningnya berkerut makin rapat
"Aneh...," desisnya.
"Bila benar Hantu Merah
pernah mengganggu ke-
tenteraman istana dan melarikan
diri dari penja-
ra, kenapa dia malah diberi
Lencana Kebebasan?"
"Kaisar Hian Tjong tak akan
berbuat sebo-
doh itu."
"Lalu, dari mana Hantu
Merah mempero-
lehnya?" '
"Aku menduga bila Lencana
Pembebasan
dari Hukuman Mati diperoleh
Hantu Merah den-
gan mencuri."
"Mencuri?"
"Ya."
"Kalau Lencana Kebebasan
itu diperoleh
dari cara yang tak benar,
bukankah kekuatan
atau pengaruhnya akan hilang?
Karena, bukan
Kaisar Hian Tjong sendiri yang
memberikannya."
"Tidak," kepala Kwe
Sin Mei menggeleng.
"Lencana Pembebasan dari
Hukuman Mati tetap
mempunyai kekuatan."
"Kenapa bisa begitu?"
"Sudah menjadi aturan yang
ditetapkan
oleh para tetua kami."
Suropati yang sudah hilang rasa
dongkol-
nya karena disiram air sungai
tampak menger-
nyitkan hidung. Sambil nyengir
kuda, Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu meng-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Penjelasan Kwe
Sin Mei sama sekali tak masuk di
akalnya. Orang
yang sudah jelas berperilaku
amat jahat dan ke-
jam kenapa bisa bebas dari
hukuman karena
memegang sebuah lencana? Itu pun
diperoleh da-
ri hasil mencuri!
"Ah, adat kebiasaan di
setiap daerah tentu
saja berbeda. Kalau di tanah
Tiongkok telah dite-
tapkan aturan seperti itu, siapa
yang dapat men-
gubah atau menentangnya? Tak
juga aku yang
nyata-nyata bukan orang dari
sana," kata Penge-
mis Binal akhirnya, dalam hati.
"Kau memikirkan apa, Kak
Suro?" tanya
Kwe Sin Mei yang melihat
Suropati diam saja.
Pengemis Binal menatap wajah Kwe
Sin
Mei. Dia menikmati sejenak
kecantikan gadis ber-
kulit putih itu. Lalu, dia
berkata dengan suara be-
rat dan sungguh-sungguh,
"Walau Hantu Merah
memegang Lencana Kebebasan, aku
tetap tak bi-
sa membiarkan dia mengumbar
kejahatan."
"Tidak bisa begitu, Kak
Suro!" tolak Kwe
Sin Mei. "Kau harus turut
pada aturan,"
Kepala Pengemis Binal
menggeleng, "Atu-
ran itu ditetapkan oleh para
leluhurmu, sedang
aku bukan orang dari sana. Bila
aku tak memu-
lai, siapa yang akan
menyalahkan? Lagi pula, aku
bermaksud baik,"
Kwe Sin Mei diam. Dia merasakan
kebena-
ran ucapan Pengemis Binal.
Namun, dia tak be-
rarti memberi ketegasan.
Bagaimanapun juga dia
adalah orang Tionggoan yang
tentu saja harus
menjunjung tinggi adat dan
aturan yang berlaku
di tanah kelahirannya.
"Sin Mei…"
"Ya, Kak Suro..."
"Bila. Hantu Merah
dibiarkan berkeliaran
bebas tanpa ada yang berusaha
menghentikan
perbuatan jahatnya, tidakkah kau
merasa bersa-
lah?"
Kwe Sin Mei tak mampu membuka
mulut.
Dia bingung, harus memberikan
jawaban apa.
"Bila kau tak memberikan
tindakan apa-
apa, tidakkah kau merasa
kedatanganmu di ta-
nah Jawa ini sia-sia
belaka?"
Mulut Kwe Sin Mei tetap
terkunci.
"Bagaimana, Sin Mei?"
desak Pengemis Bi-
nal sambil menepuk bahu Kwe Sin
Mei.
Namun sebelum gadis cantik itu
memberi-
kan jawaban, mendadak Pengemis
Binal tersurut
mundur setindak. Raut wajahnya
menegang, dan
seperti sedang menajamkan
pendengaran.
"Ada apa, Kak
Suro?"
"Diamlah..."
Kening Kwe Sin Mei berkerut
melihat sikap
aneh Suropati. Namun, dia tak
berani bertanya
lagi karena raut wajah Suropati
menampakkan
kesungguhan.
"Raja Syair...," desis
Pengemis Binal.
"Raja Syair?" Kwe Sin
Mei tak dapat mena-
han kata hatinya. "Siapa
dia? Aku tak melihat ke-
hadirannya."
"Diamlah...," perintah
Suropati dengan su-
ara setengah membentak.
Kwe Sin Mei kontan terdiam walau
di be-
naknya telah dijejali berbagai
pertanyaan. Semen-
tara, Pengemis Binal terus
menajamkan penden-
garan. Remaja tampan itu berusaha menangkap
pesan yang dikirim oleh
seseorang dari jarak
jauh.
Ketika Suropati telah memusatkan
perha-
tiannya pada satu titik seraya
membuka mata ba-
tinnya, maka dapat dia tangkap
pesan yang me-
mang ditujukan kepada
dirinya.
Ketika mata batinmu telah
terbuka
Dapatlah kau mendengar
Bisikan dari hati ke hati
Aku tak tahu kau berada di mana
Namun, Raja Syair perlu bicara
Datanglah ke utara hutan jati
Bila ada pohon rebah membujur ke
timur
Di situlah aku berada
"Kita pergi sekarang,"
ajak Pengemis Binal
usai mendengar pesan yang berupa
kata-kata
syair.
"Ke mana?" tanya Kwe
Sin Mei, tak menger-
ti.
"Sudahlah. Turut saja
denganku."
"Mencari Hantu Merah?"
"Itu bisa dilakukan lain
waktu. Sekarang,
ada seseorang yang ingin bertemu
denganku."
"Siapa?"
"Raja Syair."
"Kau telah membuat janji
dengannya?"
"Tidak. Tadi dia telah
mengirim pesan ke-
padaku."
"Pesan? Dengan cara apa?
Aku tidak meli-
hat seorang pun hadir di tempat
ini. Apakah pe-
san itu dikirim dengan ilmu
mengirim suara?"
"Tidak. Ilmu mengirim suara
tidak dapat
menjangkau jarak yang terlampau
jauh."
"Lalu, pesan yang kau
terima itu dikirim
dengan cara apa?"
"Dengan kekuatan batin.
Kekuatan batin
tidak dibatasi oleh ruang,
waktu, dan jarak," Su-
ropati memberi penjelasan.
"Ayolah, Kau jangan
bertanya-tanya lagi. Kita pergi
sekarang."
Dengan tak sabaran Pengemis
Binal me-
nyambar lengan Kwe Sin Mei, lalu
diajaknya gadis
cantik itu berlari cepat.
Kelebatan tubuh mereka
menuju hutan jati yang terletak
di sebelah selatan
dari tempat mereka berada
semula.
* * *
"Uh! Ada-ada saja, Bocah
Gemblung ini!"
gerutu Dewi Baju Merah.
Kesal hati gadis itu melihat
Raja Syair te-
rus duduk bersila dengan tangan
bersedekap dan
mata terpejam rapat. Sementara,
pancaran sinar
mentari semakin menyengat kulit.
"Bagaimana kalau kita
tinggalkan saja bo-
cah titisan ini, Putri,"
cetus Kwe Kok Jiang, turut
kesal.
"Itu lebih baik. Daripada
Arca Budha kebu-
ru dilarikan orang," tegas
Ingkanputri.
Mendadak, Kwe Kok Jiang dan
Ingkanputri
sama-sama tercengang. Mereka
mendengar se-
buah ledakan keras yang berasal
dari lereng bukit
cemara yang tidak seberapa jauh
dari hutan jati.
"Ada orang sedang
bertempur," duga Dewi
Baju Merah.
"Ya. Telah terjadi
bentrokan kekuatan te-
naga dalam tingkat tinggi di
sana." Kwe Kok Jiang
menudingkan telunjuk dari tangan
kanannya ke
arah bukit kecil yang banyak
ditumbuhi pohon
cemara.
"Apakah itu Auwyang Nan Ie?
Mungkinkah
Ular Pemakan Jantung tidak mampu
membu-
nuhnya?"
"Kita buktikan
segera."
Di ujung kalimatnya, Kwe Kok
Jiang men-
gempos tubuh. Berlari cepat
dengan mengandal-
kan seluruh kemampuannya.
Ingkanputri mena-
tap sejenak Raja Syair yang
masih saja duduk
bersila, kemudian berkelebat
menyusul Kwe Kok
Jiang.
Seberkas cahaya biru menyambar
amat
menggidikkan. Sesosok tubuh yang
menjadi sasa-
ran melesat cepat, melayang
tinggi di udara.
Hingga....
Wusss...!
Bummm...!
***
7
Cahaya biru yang muncul dari
tebasan Pe-
dang Burung Hong menerpa barisan
pohon cema-
ra. Suara hiruk-pikuk memekakkan
gendang te-
linga. Dua batang di antara
pohon yang rata-rata
bergaris tengah dua kaki itu
tumbang. Beberapa
batang lainnya terpapas seperti
ditebas pedang
yang amal tajam. Daun-daun yang
mirip jarum
panjang bertebaran, menghalangi
pandangan be-
berapa lama.
"Ha ha ha...!" Auwyang
Nan Ie tertawa pon-
gah. "Walau tak dapat
melihat perubahan air mu-
kamu, tapi aku tahu bila hatimu
mengecil dan
nyalimu menciut, Setan Muka
Merah!" ujarnya
dengan Pedang Burung Hong
menyilang di dada.
"Hmmm..., Kau boleh bangga
dan besar
kepala karena memegang sebilah
pedang pusaka,"
sahut Hantu Merah, menggeram
marah. "Tapi,
sebentar lagi Tongkat Kumala
Batu Hitam akan
segera menjebol dadamu. Setelah
itu, akan kulu-
matkan tubuhmu dengan tipu silat
'Memecah
Otot Membagi Tulang'!"
Sedikit kedher hati Auwyang Nan
Ie men-
dengar ancaman Hantu Merah.
Namun dengan
Pedang Burung Hong di tangan,
tak ada yang per-
lu ditakutkan. Bukankah tongkat
mustika Hantu
Merah yang bernama Tongkat
Kumala Batu Hitam
tak dapat menandingi ketajaman
Pedang Burung
Hong? Tipu silat 'Memecah Otot
Membagi Tulang'
yang mengandalkan kekuatan
jari-jari tangan
pasti dapat pula diredam oleh
Pedang Burung
Hong, pikir Auwyang Nan Ie
menguatkan hatinya
sendiri.
"Ha ha ha...! Manusia
memang tak dapat
melihat belakang leher sendiri.
Tapi karena aku
masih memandang mukamu yang
sebenarnya le-
bih buruk dari pantat babi itu,
aku masih menco-
ba menahan diri. Tahu dirilah
sedikit, Hantu Me-
rah. Lupakan perihal Arca Budha!
Segera enyah
dari hadapanku!"
Mendengar kata-kata kasar
Auwyang Nan
Ie yang memandang rendah
kepadanya, Hantu
Merah menggembor keras. Terbawa
luapan ama-
rah, wajahnya yang berwarna
merah semakin
memerah dengan sorot mata tajam
berkilat-kilat.
Mendadak, lelaki tua berpakaian
compang-
camping itu memutar Tongkat
Kumala Batu Hi-
tam di depan dada. Kekuatan tenaga dalamnya
yang terdahsyat dia keluarkan!
Wuttt..! Wuttt...!
Wesss...!
Putaran tongkat mustika di
tangan Hantu
Merah menimbulkan tiupan angin
kencang laksa-
na badai. Auwyang Nan Ie
terkesiap. Batu yang
berserakan di tanah tiba-tiba
berpentalan menuju
ke arahnya. Cepat dia memutar
Pedang Burung
Hong membentuk perisai yang
melindungi tubuh-
nya. Dan, suara berkerontangan
terdengar tiada
henti tatkala batu-batu yang
terlontar membentur
bilah pedang pusaka itu.
Tongkat Kumala Batu Hitam terus
berputar
menyerupai baling-baling.
Semakin lama tiupan
angin yang ditimbulkannya
semakin kencang.
Akibatnya, gumpalan tanah turut
berhamburan
ke arah Auwyang Nan Ie. Hingga,
keadaan di le-
reng bukit cemara itu
benar-benar seperti sedang
dilanda badai!
"Keparat!" maki
Auwyang Nan Ie seraya
memutar Pedang Burung Hong lebih
cepat.
Blar...! Blar...!
Terdengar ledakan keras dua kali
ketika ti-
upan angin yang timbul dari
putaran Tongkat
Kumala Batu Hitam membentur
sinar biru yang
memancar dari bilah Pedang
Burung Hong.
Karena tiupan angin kencang yang
mende-
ranya tak juga berhenti, Auwyang
Nan Ie mulai
kewalahan. Pijakan kakinya
terseret mundur dua
jengkal. Sementara,
ranting-ranting cemara di be-
lakangnya mulai berantakan!
Karena pandangannya terhalang,
Auwyang
Nan Ie tak tahu bila Hantu Merah
melepas ceka-
lannya pada batang Tongkat
Kumala Batu Hitam.
Hebatnya, tongkat mustika itu
mampu berputar
terus walau tanpa dipegang lagi
oleh pemiliknya!
"Chiattt...!"
Kaki kanan Hantu Merah menjejak
tanah
kuat-kuat, hingga tubuhnya
melesat amat cepat.
Sepuluh jari tangannya yang
membentuk cakar
harimau siap mencengkeram kepala
Auwyang
Nan Ie!
Namun, serangan kilat Hantu
Merah yang
dilancarkan sambil mengeluarkan
pekikan pan-
jang tak memperoleh hasil
seperti yang diha-
rapkan. Pekikan Hantu Merah
menyadarkan Au-
wyang Nan Ie bahwa dirinya berada
dalam anca-
man bahaya.
Maka, Auwyang Nan Ie memutar
Pedang
Burung Hong lebih tinggi. Walau
tindakannya itu
hanya untung-untungan, tapi
mampu mele-
paskan dirinya dari intaian
malaikat kematian.
"Mati kau!"
Dibarengi kata itu, mendadak
tabuh Hantu
Merah melenting. Ketika sambaran
Pedang Bu-
rung Hong lewat di bawah
kakinya, kakek berwa-
jah merah-matang itu meluruskan
kedua perge-
langan tangannya!
Auwyang Nan Ie yang belum dapat
melihat
luncuran tubuh Hantu Merah tiba-tiba merasa-
kan kepalanya amat sakit seperti
dijepit besi baja
yang amat kuat!
Crok...!
"Wuah...!"
Sepuluh jari tangan Hantu Merah
menan-
cap di batok kepala Auwyang Nan
Ie! Namun se-
belum nyawanya lepas dari raga,
lelaki tinggi-
besar itu masih sempat
menggerakkan Pedang
Burung Hong untuk membabat
pergelangan tan-
gan Hantu Merah!
Wuttt...!
Brukkk...!
"Ah...!"
Auwyang Nan Ie mengeluarkan
jerit kesaki-
tan untuk kedua kalinya. Babatan
Pedang Bu-
rung Hong melenceng. Hantu Merah
telah mem-
banting tubuh Auwyang Nan Ie ke
tanah.
"Ih...!"
Mendadak, Hantu Merah menjerit gusar.
Sepuluh jari tangannya yang
menancap di batok
kepala Auwyang Nan Ie terasa
ngilu dan kaku.
Maka, cepat dia menggagalkan
niatnya untuk
menghancurkan tubuh Auwyang Nan Ie dengan
tipu silat 'Memecah Otot Membagi
Tulang' tingkat
kesepuluh.
'"Jahanam kau, Setan Muka
Merah!" pekik
Auwyang Nan Ie seraya meloncat
bangun.
Hantu Merah yang masih merasakan
ngilu
di sepuluh jari tangannya tampak
tersurut mun-
dur dua langkah. Dia terkejut
dan bergidik ngeri.
Walau batok kepala Auwyang Nan
Ie telah berlu-
bang-lubang, namun lelaki
tinggi-besar itu masih
mampu berdiri tegak. Wajahnya
yang berlumuran
darah segar dan cairan otak
terlihat amat menggi-
riskan!
Tangan kiri lelaki berpakaian
gedombron-
gan itu memegang sebuah arca
sebesar anak kuc-
ing yang tak lain Arca Budha.
Bilah Pedang Bu-
rung Hong di tangan kanannya
menempel di ba-
dan arca yang terbuat dari emas
murni itu. Se-
mentara, sekujur tubuh Auwyang
Nan Ie diselu-
bungi cahaya kuning keemasan
yang memancar
dari badan Arca Budha. Agaknya,
kekuatan gaib
yang tersimpan di balik,
keelokan Arca Budha
mampu menahan nyawa Auwyang Nan
Ie agar tak
segera melayang ke alam baka,
walau sebenarnya
keadaan lelaki berambut panjang
tergerai itu su-
dah tak memungkinkan lagi untuk
dapat berta-
han hidup.
"Jahanam...!" geram
Auwyang Nan Ie den-
gan suara serak-parau.
Hantu Merah tersurut mundur
lagi. Cepat
dia mengendalikan perasaannya.
Dan, tahulah
dia bila Arca Budha yang
ditempeli bilah Pedang
Burung Hong memberikan kekuatan
gaib. Maka
sebelum Auwyang Nan Ie berbuat
sesuatu, cepat
kakek berwajah merah-matang itu
berkelebat!
Desss...!
"Argh...!"
Tendangan Hantu Merah tepat
mendarat di
dada Auwyang Nan Ie. Tapi, pekik
kesakitan ju-
stru keluar dari mulut Hantu
Merah sendiri. Tu-
buh kakek tinggi-kurus itu
terpelanting, lalu ja-
tuh bergulingan di tanah. Sementara, Auwyang
Nan Ie tetap berdiri tegak di
tempatnya! Tak ber-
geming sedikit pun!
"Ha ha ha...! Sekarang, kau
baru tahu ke-
hebatanku, Kunyuk Busuk!"
sesumbar Auwyang
Nan Ie.
Dengan mata yang tertutup
sebagian oleh
cairan darah, lelaki berpakaian
kuning-coklat itu
mendatangi Hantu Merah yang
berusaha bangkit
berdiri dengan ringis kesakitan
menghiasi bibir-
nya. Tak mau kehilangan
kesempatan bagus, ce-
pat Auwyang Nan Ie menarik bilah
Pedang Bu-
rung Hong yang menempel di badan
Arca Budha.
Pedang pusaka itu akan
digunakannya untuk
mencabut nyawa Hantu Merah.
Tapi....
Slash...!
"Wuah...!"
Saat bilah Pedang Burung Hong
lepas dari
badan Arca Budha, cahaya
kuning-keemasan
yang menyelubungi sekujur tubuh
Auwyang Nan
Ie lenyap seketika. Kekuatan
gaib yang muncul
dari badan Arca Budha turut
lenyap. Akibatnya,
Auwyang Nan Ie menjerit kaget.
Tubuhnya berdiri
limbung, lalu jatuh telentang ke
tanah. Tak ber-
kutik lagi!
Hantu Merah yang masih belum
mampu
berdiri tegak lagi-lagi dihantam
keterkejutan. Na-
mun setelah tahu bila tubuh
Auwyang Nan Ie su-
dah tak bernyawa, dia tertawa
keras penuh lua-
pan rasa gembira!
"Ha ha ha...! Pedang Burung
Hong! Arca
Budha! Ha ha ha...!"
Sambil terus
tertawa, Hantu Merah me-
nyambar Pedang Burung Hong dan
Arca Budha
yang tergeletak di tanah tak
jauh dari mayat Au-
wyang Nan Ie. Setelah menatap
dua benda pusa-
ka itu bergantian, Hantu Merah
mencabut sarung
pedang yang masih terselip di
punggung Auwyang
Nan Ie. Lalu, pergilah lelaki
berpakaian compang-
camping itu tanpa mempedulikan
Tongkat Kuma-
la Batu Hitam yang menancap di
tanah!
* * *
"Astaga...!" pekik
Dewi Baju Merah yang te-
lah sampai di tanah lapang penuh
kubangan.
Gadis cantik berambut panjang
digelung ke
atas itu mendelikkan mata dengan
benak dipenu-
hi tanda tanya besar. Dia
melihat sesosok mayat
berpakaian gedombrongan
kuning-coklat. Tubuh
tanpa nyawa yang telentang di
tanah itu wajah-
nya berlumuran darah dan cairan
otak.
"Mayat siapa ini?"
desis Dewi Baju Merah.
Kwe Kok Jiang yang berdiri di belakangnya
tak mengeluarkan suara. Sambil
menahan napas,
lelaki bergelar Pendekar Sesat
itu menghampiri
mayat yang ditemukannya.
"Auwyang Nan Ie...,"
desis Kwe Kok Jiang.
Walau wajah si mayat sudah sulit
dikenali,
tapi Kwe Kok Jiang dapat
memastikannya. Meni-
lik dari ukuran tubuh dan
pakaian yang dikena-
kan.
"Benarkah ini Auwyang Nan
Ie?" tanya In-
gkanputri, belum begitu
percaya.
"Ya," jawab Kwe Kok
Jiang, pendek.
Lelaki berkuncir itu mengedarkan
pandan-
gan. Beberapa pohon cemara
tampak tak berdaun
lagi. Ranting-ranting pun
berpatahan. Dua di an-
taranya bahkan telah tumbang,
akarnya tercabut
dari tanah. Sementara, permukaan
tanah dipe-
nuhi kubangan. Keadaan di tempat
itu seperti
habis diterjang badai dahsyat.
Mendadak, mata Kwe Kok Jiang
terbelalak
lebar. Lalu, dengan kening
berkerut rapat dia
menghampiri sebatang tongkat
yang berdiri me-
nancap di tanah.
Tangan kanan Kwe Kok Jiang yang
ber-
warna kuning seperti dilumuri
kunyit, mencabut
tongkat yang terbuat dari batu
kumala hitam itu,
Wajah Kwe Kok Jiang kontan
menegang.
"Tongkat Kumala Batu
Hitam...," desisnya,
menyebut nama tongkat di
tangannya.
"Tongkat Kumala Batu
Hitam?" sentak In-
gkanputri seraya meloncat ke
sisi Kwe Kok Jiang.
"Tongkat Kumala Batu Hitam
ini milik seo-
rang tokoh sesat yang amat
kejam. Karena perbu-
atannya, dia menjadi buronan
orang-orang Kaisar
Hian Hong."
"Jadi, pemiliknya orang
Tionggoan seperti
dirimu?"
"Ya. Dia bergelar Hantu
Merah."
Usai berkata, wajah Kwe Kok
Jiang tampak
mengelam. Kerut di keningnya
kembali muncul.
"Hmmm.... Aku tak menyangka
bila buro-
nan itu berada di tanah Jawa
ini. Apakah dia juga
mencari Arca Budha?" gumam
Kwe Kok Jiang
kemudian.
Teringat akan benda bertuah yang
sedang
dicarinya, bergegas lelaki berkuncir itu meloncat
ke dekat mayat Auwyang Nan Ie.
"Celaka...!" pekik Kwe
Kok Jiang.
"Kau tak menemukan Pedang
Burung Hong
dan Arca Budha, Pak Tua?"
tanya Dewi Baju Me-
rah.
"Seseorang telah
melarikannya."
"Hantu Merah?"
Kwe Kok Jiang tak menjawab
pertanyaan
Ingkanputri. Dengan mata
bersorot tajam, lelaki
berpakaian merah-hijau itu
mengamati luka ber-
lubang di kepala Auwyang Nan Ie.
"Tipu silat 'Memecah Otot
Membagi Tu-
lang'...!" desis Kwe Kok
Jiang. "Auwyang Nan Ie
pasti telah terbunuh oleh ilmu
sesat itu. Siapa la-
gi pelakunya kalau bukan Hantu
Merah!"
"Auwyang Nan Ie mati di
tangan Hantu Me-
rah. Tongkatnya tertinggal pula
di tempat ini. Da-
pat dipastikan bila Pedang
Burung Hong dan Arca
Budha dibawa lari oleh orang
itu," cetus Dewi Ba-
ju Merah.
"Tepat! Aku juga berpikiran
seperti itu," te-
gas Kwe Kok Jiang.
"Kalau begitu, segera saja
kita cari dia.
Mudah-mudahan dia masih berada
di sekitar bu-
kit cemara ini."
Kwe Kok Jiang memegang erat
Tongkat
Kumala Batu Hitam, lalu katanya,
"Sebaiknya ki-
ta berpencar. Bila kau menjumpai
Hantu Merah
terlebih dahulu, berilah isyarat
dengan melem-
parkan ranting eemara beberapa
kali ke udara.
Aku akan melakukan hal yang
serupa bila aku
yang menjumpai Hantu Merah lebih
dulu."
"Jangan! Itu sangat
berbahaya," tolak In-
gkanputri.
"Kenapa?" tanya Kwe
Kok Jiang, heran.
"Sambungan lengan kirimu
masih belum
sempurna. Aku khawatir akan
terjadi apa-apa se-
belum aku datang mengikuti
isyarat yang kau be-
rikan, Pak Tua."
Bibir Kwe Kok Jiang mengulum
senyum
kecut. "Terima kasih atas
perhatianmu, Anak Ma-
nis. Tapi kau mesti tahu, aku
bukan bocah kecil
yang patut dikhawatirkan. Aku
adalah Pendekar
Sesat Kwe Kok Jiang Penguasa Pulau Tho Lioe
Tho. Namaku cukup terkenal di
dataran Tiong-
goan karena aku punya kepandaian
yang bisa di-
andalkan," katanya.
Lelaki berkuncir itu terpaksa
menyom-
bongkan diri karena tak mau
dianggap orang le-
mah hanya karena lengan kirinya
tak dapat dige-
rakkan lagi.
Dewi Baju Merah menatap wajah
Kwe Kok
Jiang sejenak. Melihat
kesungguhan lelaki keras
kepala itu, dia mengangkat bahu.
"Terserah kau, Pak Tua. Aku
hanya menya-
rankan. Kalau terjadi apa-apa
denganmu, itu bu-
kan salahku. Aku hanya
membantumu untuk
mencari Arca Budha."
Usai berkata, Dewi Baju Merah
menjejak
tanah. Dan berkelebatlah murid
Dewi Tangan Api
itu ke utara. Sementara, Kwe Kok
Jiang geleng-
geleng kepala sebentar, lalu
menjejak tanah pula.
Berkelebat ke selatan.
* * *
"Gisa!"
Kelopak mata Raja Syair terbuka merasa-
kan tepukan di bahu kirinya.
Melihat seorang re-
maja tampan yang tengah
berjongkok di hada-
pannya, bocah titisan itu
bergegas bangkit.
"Ada perlu apa kau
memanggilku, Gisa? "
tanya si remaja yang tak lain
Suropati.
Gisa Mintarsa tak menjawab.
Matanya me-
natap seraut wajah cantik milik
Kwe Sin Mei yang
berdiri di sisi kanan Suropati.
"Siapa dia?" tanya
bocah beranting perak
itu.
"Kwe Sin Mei. Putri Kwe Kok
Jiang," Pen-
gemis Binal mengenalkan.
Kwe Sin Mei yang telah diberi
tahu perihal
Gisa Mintarsa cepat membungkuk
hormat. Gisa
Mintarsa mengangguk-angguk
seraya melempar-
senyum persahabatan.
"Dengan kekuatan batin aku
menuntun
langkahmu agar kau cepat sampai
di tempat ini,
Suro," ujar Raja Syair.
"Hmmm.. yah! Pantas, aku
berasa seperti
ada yang mendorongku dari
belakang," sahut
Pengemis Binal. "Sebenarnya
ada urusan apa, Gi-
sa? Apakah ada hubungannya
dengan Arca Bud-
ha?"
"Ya. Tapi...."
Raja Syair tak melanjutkan
kalimatnya.
Kepalanya bergerak ke
kanan-kiri.
"Apa yang kau cari,
Gisa?" tanya Suropati.
"Kwe Kok Jiang dan
Ingkanputri," jawab
Raja Syair, tetap mengedarkan
pandangan.
"Ketika aku datang, dua
orang itu sudah
tak ada di tempat ini,"
beri tahu Pengemis Binal.
"Bukan begitu, Sin Mei?"
"Ya," sahut Kwe Sin
Mei. "Ke mana ayahku
pergi?"
"Aku tak tahu. Kemungkinan
besar ayah-
mu dan Ingkanputri pergi mencari
Auwyang Nan
Ie," jawab Gisa Mintarsa.
"Kita menyusulnya
sekarang," ajak Kwe Sin
Mei dengan bahasa Jawa yang
cukup mudah di-
mengerti.
"Sebentar. Aku ada perlu
dengan Suropati,"
tolak Gisa Mintarsa.
"Yah! Segera kau sampaikan
apa keper-
luanmu itu, Gisa," desak
Pengemis Binal.
"Ketahuilah, Suro, Auwyang
Nan Ie telah
mendapatkan Arca Budha. Di tepi
Sungai Bayan-
gan, orang dari seberang itu
terlibat bentrokan
dengan Sawung Jenar, dan
berhasil melukainya
dengan Pedang Burung Hong.
Sementara, Au-
wyang Nan Ie pun harus rela
tubuhnya dimasuki
Ular Pemakan Jantung. Namun, aku
menduga bi-
la ular itu tak mampu berbuat
banyak karena
Auwyang Nan Ie membawa Arca
Budha yang me-
miliki kekuatan gaib."
"Lalu?"
"Seseorang yang tubuhnya
telah diselu-
bungi kekuatan gaib Arca Budha
tak dapat dilu-
kai dengan senjata apa pun,
bahkan dengan pu-
kulan tenaga dalam terdahsyat sekalipun."
"Kau tahu dari mana?"
"Aku bisa menyelidiki
kekuatan yang ter-
simpan pada Arca Budha melalui
kekuatan batin,
walau aku belum pernah melihat
wujud arca itu
sebelumnya."
"Lantas, keperluanmu
memanggilku ke
tempat ini untuk apa?"
"Orang yang membawa Arca
Budha dan Pe-
dang Burung Hong secara
bersamaan amat ber-
bahaya bila dia punya jiwa
jahat. Tak akan ada
orang yang mampu mengalahkannya.
Karena, se-
tiap kekuatan yang menyerang
tubuh orang itu
akan berbalik menghantam
penyerangnya sendi-
ri."
"Sehebat itukah Arca Budha
dan Pedang
Burung Hong?"desis Pengemis
Binal, setengah tak
percaya.
"Kau akan membuktikannya
nanti," sahut
Gisa" Mintarsa,
sungguh-sungguh.
"Jadi, orang yang membawa
Arca Budha
dan Pedang Burung Hong
benar-benar akan men-
jadi raja rimba
persilatan?" Kwe Sin Mei turut bi-
cara.
"Tidak. Kekuatan gaib yang
terpancar dari
badan Arca Budha bisa
dilumpuhkan dengan ke-
kuatan gaib pula, yang bersumber
dari kekuatan
batin yang suci bersih,"
beri tahu Gisa Mintarsa.
Guru Banjaranpati itu menatap
wajah Pen-
gemis Binal lekat-lekat.
"Hanya kau yang bisa me-
lumpuhkan kekuatan gaib Arca
Budha, Suro," ka-
tanya, seperti memohon.
"Aku?" Suropati
menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ya. Karena, kau memiliki
ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma' yang telah
diwejangkan oleh
muridku Banjaranpati atau
Bayangan Putih dari
Selatan."
"Jadi, untuk memberi tahu
hal inikah kau
memanggilku kemari?"
Gisa Mintarsa mengangguk.
"Namun, kau
mesti tahu juga, Suro, ilmu
'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma' akan mencelakakan
dirimu sendiri bi-
la kau salah
menggunakannya!"
"Maksudmu?"
"Ketika kekuatan semesta
telah berhasil
kau himpun, batinmu harus tetap
suci-bersih.
Dengan kata lain, tak boleh ada
nafsu membunuh
atau sejenisnya di
batinmu."
Suropati garuk-garuk kepala.
"Kalau aku
tak mempunyai nafsu membunuh,
bagaimana
aku bisa melumpuhkan kekuatan
orang yang
membawa Pedang Burung Hong dan
Arca Bud-
ha?" tanyanya
ketolol-tololan.
"Pasrahkan semuanya kepada
Tuhan."
Mendengar penjelasan pendek Gisa
Mintar-
sa, Pengemis Binal mengerutkan
kening. Diga-
ruknya lagi kepalanya yang tak
gatal.
"Aku tahu bila jiwa
kependekaranmu ter-
panggil untuk membantu Kwe Kok
Jiang mencari
Arca Budha. Aku membuka rahasia kekuatan
gaib Arca Budha sebab aku tak
ingin melihat kau
celaka. Aku tahu benar sifat dan tabiatmu. Bila
tak kukatakan rahasia ini, bukan
mustahil kau
akan berbuat seenak perutmu
sendiri ketika ber-
hadapan dengan orang yang
mendapatkan kekua-
tan gaib dari Arca Budha,"
ujar Raja Syair
"Ya, ya...! Terima kasih,
Gisa," sahut Pen-
gemis Binal.
"Kau tahu kira-kira ke mana
ayahku pergi,
Gisa?" tanya Kwe Sin Mei
tiba-tiba.
"Oh, ya! Bodoh sekali aku
ini!" Gisa Min-
tarsa menggaplok, kepalanya sendiri. "Bila Kwe
Kok Jiang dan Ingkanputri
menjumpai orang yang
membawa Pedang Burung Hong dan
Arca Budha,
mereka pasti berusaha
merebutnya. Itu berarti
malapetaka!"
Melihat Pengemis Binal
cengar-cengir sam-
bil menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Raja
Syair mendengus gusar. Sambil
memukul ping-
gang remaja konyol itu, dia
membentak.
"Tunggu apa lagi?! Segera
kita susul Kwe
Kok Jiang dan Ingkanputri!"
"Ke mana?"
Mendengar pertanyaan tolol
Pengemis Bi-
nal, Raja Syair mendelik.
"Ke mana?" dengus
bocah titisan itu. "Kau
bertanya karena tak tahu atau
gendengmu tiba-
tiba kumat?"
Suropati hanya garuk-garuk
kepala. Se-
mentara. Kwe Sin Mei menatapnya
dengan mata
mendelik pula.
Karena tak sabaran, Gisa
Mintarsa me-
nyambar lengan Pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tingkat Sakti itu. Dibawanya
berlari menuju
bukit cemara. Kwe Sin Mei segera
menyusul.
***
8
Hantu Merah terkejut. Sesosok
bayangan
tiba-tiba bersalto di atas
kepalanya, lalu menda-
rat empat tombak dari
hadapannya. Kelebatan
tubuh kakek berwajah
merah-matang itu terhenti
seketika.
"Serahkan Arca Budha di tanganmu!" pe-
rintah si penghadang, Pendekar
Sesat Kwe Kok
Jiang.
Hantu Merah menggeram. Dengan
sorot
mata tajam-menusuk, dia tatap
wajah Kwe Kok
Jiang.
"Hmm... Di dataran
Tionggoan, namamu
tak pernah disebut-sebut orang
lagi. Kiranya, kau
berada di sini," ujar Hantu
Merah dengan bahasa
Cina. "Mencegat langkahku
saja, kau sudah pan-
tas dihukum mati. Apalagi
berkata kasar, memin-
ta sesuatu dariku!"
"Kau tidak berhak memiliki
Arca Budha.
Serahkan kepadaku untuk kubawa
kepada yang
berhak!"
"Siapa?" tanya Hantu
Merah, mengulum
senyum ejekan.
"Sang Kaisar. "
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa berge-
lak. "Bila Arca Budha
kuserahkan kepadamu,
monyet pun akan menertawakanku.
Siapa yang
mau percaya bualanmu?! Ha ha
ha...!"
Mendengar tawa Hantu Merah yang
berna-
da meremehkan, Kwe Kok Jiang
mendengus gu-
sar. Tongkat Kumala Batu Hitam
di tangan ka-
nannya dia acungkan ke depan.
"Kau lihat apa yang kubawa
ini!" sentak le-
laki berkuncir itu. "Jangan
menyesal bila senjata
andalanmu ini akan memakan
kepala tuannya
sendiri!"
Tawa Hantu Merah kontan
terhenti. Ma-
tanya terbelalak lebar melihat
Tongkat Kumala
Batu Hitam yang lupa dibawanya
lagi sehabis ber-
tempur dengan Auwyang Nan Ie.
Namun tiba-tiba,
kakek berpakaian eompang-camping
itu menjerit
panjang mirip lolongan serigala.
Lalu....
Sing...!
Hantu Merah menghunus Pedang
Burung
Hong yang terselip di
punggungnya. Namun sebe-
lum Hantu Merah menggunakan
pedang pusaka
itu, Kwe Kok Jiang telah
mengirim kemplangan
tongkat ke kepala!
Trang...!
Bunga api memercik. Kemplangan
Tongkat
Kumala Batu Hitam berhasil
ditangkis Pedang
Burung Hong. Kwe Kok Jiang
memekik kecil se-
raya membuang tubuh ke kanan.
Telapak tangan
kanannya terasa panas seperti
terjilat lidah api.
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa som-
bong. "Wajahmu pucat, Kok
Jiang. Aku tahu tan-
gan kirimu yang terbalut itu
tidak dapat kau ge-
rakkan lagi. Tongkat Kumala Batu
Hitam tak da-
pat menandingi ketajaman Pedang
Burung Hong.
Tidakkah kau sadar. Bila kau
sedang berhadapan
dengan Giam Lo Ong?!"
Kwe Kok Jiang terkesiap melihat
Tongkat
Kumala Batu Hitam yang rusak di
beberapa ba-
gian. Kiranya, kerusakan di
batang tongkat mus-
tika itu akibat berbenturan
dengan Pedang Bu-
rung Hong ketika masih digunakan
Hantu Merah
untuk melawan Auwyang Nan Ie.
Tapi sebagai seorang pendekar,
Kwe Kok
Jiang pantang menyerah pada
gebrakan pertama.
Cepat, dia kendalikan
perasaannya. Lalu sambil
menggembor keras, dia menerjang.
Ujung Tongkat
Kumala Batu Hitam digunakannya
untuk menu-
suk ulu hati, Hantu Merah.
Trang...!
Trang...!
Terjadi benturan beberapa kali.
Bunga api
berpercikan ke berbagai penjuru,
Kwe Kok Jiang
yang biasa bertempur dengan
senjata pedang, tak
mampu berbuat banyak mendesak
Hantu Merah.
Apalagi, Tongkat Kumala Batu
Hitam di tangan-
nya semakin banyak kerusakannya.
Hingga, tak
sampai sepuluh jurus kemudian…
Tas...!
"Aih...!"
Tongkat Kumala Batu Hitam
terbabat pu-
tus setengah bagian. Dan, pucat
pasilah wajah
Kwe Kok Jiang. Sementara, Hantu
Merah terus
mencecarnya dengan
serangan-serangan memati-
kan!
Lewat lima belas jurus kemudian,
tubuh
Kwe Kok Jiang benar-benar
terkurung oleh ca-
haya biru yang timbul dari
babatan Pedang Bu-
rung Hong.
"Mati aku...!" pekik
Hantu Merah.
Pedang Pusaka di tangan kakek
berwajah
merah-matang itu berkelebat
cepat untuk me-
menggal leher Kwe Kok
Jiang!
"Ih...!"
Kwe Kok Jiang masih sempat
merunduk-
kan tubuhnya. Namun ketika bilah
Pedang Bu-
rung Hong lewat di atas
kepalanya, tiba-tiba Han-
tu Merah menggunakan Arca Budha
di tangan ki-
rinya untuk menghantam dada
lelaki berkuncir
itu!
Desss...!
"Uh…!"
Bagai dilemparkan tangan
raksasa, tubuh
Kwe Kok Jiang mencelat jauh,
lalu bergulingan di
tanah. Potongan Tongkat Kumala
Batu Hitam di
tangannya lepas dari cekalan,
dan terlontar entah
ke mana.
"Mati kau...!" pekik
Hantu Merah sekali la-
gi.
Laksana, kilat, tubuh kakek
berpakaian
compang-camping berkelebat
memburu tubuh
Kwe Kok Jiang yang masih
bergulingan di tanah.
Bilah Pedang Burung Hong
memancarkan cahaya
biru berkeredepan, siap mencincang!
"Tak tahu malu!"
Tiba-tiba, terdengar teriakan
keras yang
dibarengi kelebatan sesosok
bayangan-merah.
Karena terkejut, luncuran tubuh
Hantu
Merah terhambat. Pada saat kakek
berambut
awut-awutan itu menoleh, sebuah
pukulan telah
menggedor punggungnya!
Dukkk...!
"Argh...!"
Mulut Hantu Merah memekik.
Tubuhnya
jatuh berdebam ke tanah dalam
keadaan terte-
lungkup. Untung dia masih sempat
menarik tan-
gan kanannya ke samping, hingga
ketajaman Pe-
dang Burung Hong tak sampai
menikam dadanya
sendiri.
"Kenapa kau tak memberi
isyarat, Pak
Tua?!" bentak Ingkanputri
yang berhasil menye-
lamatkan nyawa Kwe Kok Jiang.
Walau gadis cantik itu
mengeluarkan kata-
kata keras, tapi matanya
memancarkan sinar be-
las-kasihan. Dengan menyimpan
rasa khawatir,
dia membantu Kwe Kok Jiang untuk
dapat duduk
bersila. Dilihat dari wajahnya
yang pucat dan cai-
ran darah yang merembes dari
sudut bibirnya, je-
las bila lelaki berkuncir itu
menderita luka dalam.
"Aku tak memberi isyarat
karena tak ingin
merepotkanmu, Putri.,.,"
tutur Kwe Kok Jiang
dengan dengus napas memburu.
"Sudah kubilang beberapa
kali. Aku berse-
dia membantumu untuk mendapatkan
Arca-
Budha. Kenapa kau keras kepala,
Pak Tua? Apa-
kah kau malu menerima uluran
tanganku?"
Kwe Kok Jiang menyungging senyum
ke-
cut. Lalu, dia terbatuk-batuk
sampai badannya,
membungkuk. Dalam hati, lelaki
berkuncir mem-
benarkan ucapan Ingkanputri.
Sebagai pendekar
besar yang cukup ternama di
daratan Tionggoan,
dia memang merasa malu menerima
bantuan seo-
rang tokoh muda macam
Ingkanputri. Tapi sete-
lah Pedang Burung Hong nyaris
merenggut nya-
wanya, masih mampukah dia
menolak bantuan
murid Dewi Tangan Api itu?
"Bersemadilah, Pak Tua.
Atasi luka da-
lammu sendiri," ujar Dewi
Baju Merah ketika me-
lihat Hantu Merah meloncat ke
hadapannya den-
gan Pedang Burung Hong menyilang
di dada.
"Bedebah! Siapa kau?!"
bentak Hantu Me-
rah dengan bahasa dari seberang.
Ujung Pedang
Burung Hong ditudingkan ke muka
Ingkanputri.
Kening Dewi Baju Merah berkerut.
Tentu
saja dia tak mengerti apa arti
ucapan Hantu Me-
rah. Tapi ketika melihat Arca
Budha di tangan kiri
Hantu Merah, gadis berambut
panjang digelung
itu mendengus.
Srat..!
Ingkanputri melepas selendang
sutera yang
membelit pinggangnya. Selendang
sutera itu ma-
sih baru. Miliknya yang lama
telah rusak waktu
bertempur dengan Mahicha Kapoor
dan Tan Peng
Sin di Pulau Belut.
"Serahkan arca itu, Kakek
Muka Tomat!"
Sambil berkata demikian, Dewi
Baju Merah
menggerakkan selendangnya. Ujung
selendang
yang dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi itu men-
garah batok kepala Hantu Merah!
Wut...!
"Haya...!"
Dewi Baju Merah memekik kaget.
Senjata
andalannya terbabat putus oleh
ketajaman Pe-
dang Burung Hong. Sementara
sambil tertawa
bergelak, Hantu Merah berkelebat
hendak mem-
belah kepala Dewi Baju Merah!
Melihat kecepatan gerak lelaki
tua itu,
agaknya pukulan Ingkanputri yang
mendarat te-
pat di punggungnya tak
berpengaruh apa-apa.
Namun, Ingkanputri adalah
pendekar be-
rilmu tinggi. Babatan Pedang
Burung Hong dapat
dia hindarkan dengan mudah. Tahu
kehebatan
pedang pusaka di tangan lawan,
segera gadis itu
menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya
ke kedua pergelangan tangannya.
Sekejap mata kemudian, dengan
pergelan-
gan tangan merah membara,
Ingkanputri berusa-
ha menyarangkan pukulan ke tubuh
Hantu Me-
rah.
Luar biasa sekali kecepatan
gerak dua
anak manusia yang berbeda
golongan itu. Tubuh
mereka laksana dapat menghilang.
Wujud Hantu
Merah digantikan oleh sinar biru
yang memancar
dari bilah Pedang Burung Hong.
Sementara, wu-
jud Ingkanputri pun berganti
sinar merah. Udara
di sekitar ajang pertempuran itu
terasa amat pa-
nas karena Ingkanputri
mengeluarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka' pada
tingkatan tertinggi.
Sampai lima puluh jurus
kemudian, kedu-
dukan Ingkanputri dan Hantu
Merah masih
seimbang. Tapi karena termakan
usia, napas
Hantu Merah mulai ngos-ngosan.
Dan itu berarti
angin segar bagi Ingkanputri
untuk segera dapat
menjatuhkan Hantu Merah.
"Jahanam!" maki Hantu
Merah.
Tiba-tiba, tubuh pelarian dari
daratan
Tionggoan itu melenting tinggi
dan keluar dari
ajang pertempuran. Ingkanputri
hendak menge-
jar, tapi gadis itu segera
mengurungkan niatnya.
Dia dihantam keterkejutan karena
sekujur tubuh
Hantu Merah mendadak diselubungi
oleh cahaya
kuning-keemasan.
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa berge-
lak. Pedang Burung Hong dan Arca
Budha mele-
kat di depan dadanya.
"Hayo, tunggu apa lagi?!
Segera gempur aku! Ha ha
ha…!"
Melihat kecongkakan lelaki tua
itu, In-
gkanputri menggeram keras. Tanpa
pikir panjang
dia menerjang, Kepalan tangan
kanannya berke-
lebat untuk menggedor dada Hantu
Merah!
Blarrr...!
"Argh...!"
Timbul ledakan keras tatkala
kepalan tan-
gan Ingkanputri membentur cahaya
kuning-
keemasan yang menyelubungi tubuh
Hantu Me-
rah. Diiringi pekik kesakitan,
tubuh Ingkanputri
terpental sejauh lima tombak!
Sementara, Hantu
Merah tetap berdiri tegak di
tempatnya, tak ku-
rang suatu apa!
"Setan alas!" umpat
Dewi Baju Merah.
Susah-payah gadis cantik itu
bangkit. Di-
usapnya darah segar yang
mengalir dari sudut bi-
birnya. Melihat Hantu Merah
tertawa panjang pe-
nuh penghinaan, mendidihlah
darah Ingkanputri.
Dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam
sampai ke puncak. Dia lancarkan
pukulan jarak
jauh!
Blarrrr...!
Dua larik sinar merah
menggidikkan yang
memancarkan hawa panas
menghantam cahaya
kuning-keemasan yang
menyelubungi tubuh Han-
tu Merah. Timbul ledakan dahsyat
yang mengge-
legar di angkasa!
Dewi Baju Merah terkejut setengah mati.
Dua larik sinar merah wujud ilmu
'Pukulan Api
Neraka'-nya terlontar balik.
Naasnya, luncuran
dua larik sinar itu menuju ke
Kwe Kok Jiang yang
tengah bersemadi!
"Celaka...!"
Mata Ingkanputri terbelalak
lebar. Dia
hendak meloncat untuk memberi
pertolongan,
namun tubuhnya tiba-tiba terasa
lemas lalu jatuh
terduduk di tanah. Luka dalamnya
tak memung-
kinkan gadis itu menyelamatkan
jiwa Kwe Kok
Jiang!
Namun sebelum sesuatu yang tak
diingin-
kan terjadi, mendadak berkelebat
sesosok bayan-
gan, menyambar tubuh Kwe Kok
Jiang!
Bummm...!
Dua larik sinar merah menghantam
dua
pohon cemara secara bersamaan.
Kedua pohon
itu kontan tumbang, lalu hangus
terbakar!
"Suro...!" pekik
Ingkanputri yang melihat
seorang remaja berpakaian penuh
tambalan ten-
gah menurunkan tubuh Kwe Kok
Jiang ke tanah.
Remaja tampan yang memang
Suropati
alias Pengemis Binal melempar
pandangan ke
arah Ingkanputri. "Kau
menyingkirlah, Putri!" te-
riaknya.
Sementara Dewi Baju Merah
berjalan terta-
tih-tatih menjauhi Hantu Merah,
Kwe Sin Mei
yang datang bersama Suropati
tampak memeluk
tubuh Kwe Kok Jiang sambil
menangis tersedu-
sedu.
"Ingat pesanku, Suro!"
teriak Raja Syair
yang turut hadir di tempat itu.
"Jangan khawatir, Gisa! Aku
tahu kakek je-
lek ini telah menggunakan
kekuatan gaib Arca
Budha," sahut Pengemis
Binal.
"Ha ha ha...!" Hantu
Merah tertawa berge-
lak. "Susah-payah aku
mencarimu, kiranya kau
muncul sendiri di tempat ini,
Anak Muda," ka-
tanya dengan bahasa Jawa
patah-patah.
"Ya. Aku datang untuk
meminta Arca Bud-
ha dan Pedang Burung Hong yang
kau bawa itu,
Kakek Jelek!" ejek Pengemis
Binal.
"Hmm.... Kalau kau mampu,
segera kau la-
kukan itu!" tantang Hantu
Merah.
Suropati menatap sejenak tubuh
Hantu
Merah yang masih diselubungi
cahaya kuning-
keemasan.
Lalu, dia pejamkan matanya
dengan tan-
gan bersedekap. Beberapa tarikan
napas kemu-
dian, tubuh remaja tampan itu
memancarkan ca-
haya kebiru-biruan. Suropati
telah menghimpun
kekuatan semesta yang menjadi
sumber kekuatan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas
Sukma'!
Namun hingga beberapa lama,
Pengemis
Binal tetap berdiri di tempatnya
tanpa berbuat
apa-apa. Tentu saja hal itu
membuat heran Han-
tu Merah yang sengaja menunggu
serangan.
"Bocah gemblung! Segeralah
kau tunjuk-
kan kehebatanmu!" geram
kakek berwajah me-
rah-matang itu.
Hantu Merah menyambung ucapannya
dengan umpatan panjang-pendek
karena Penge-
mis Binal telah tak berbuat
apa-apa.
Tiba-tiba, lelaki tua itu
menjerit panjang
mirip lolongan serigala. Pedang
Burung Hong dan
Arca Budha yang masih saling
melekat dia
ikatkan ke pinggangnya dengan
menggunakan
sobekan kain bajunya. Lalu
dengan kecepatan ki-
lat, dia berkelebat dengan
jari-jari tangan mem-
bentuk cakar harimau. Hantu
Merah hendak
menggunakan tipu silat 'Memecah
Otot Membagi
Tulang' untuk mencabut nyawa
Pengemis Binal!
Melihat Suropati masih tetap
berdiri di
tempatnya dengan mata terpejam
rapat, Ingkan-
putri dan Kwe Sin Mei menjerit
khawatir. Kwe Kok
Jiang tampak membuang muka
karena tak sam-
pai hati melihat adegan
mengerikan yang akan
segera terjadi. Hanya Gisa
Mintarsa yang terlihat
tenang-tenang saja. Bocah
titisan itu tahu bila se-
rangan Hantu Merah akan
mengalami kegagalan
karena tubuh Pengemis Binal
terlindungi oleh il-
mu 'Kalbu Suci Penghempas
Sukma'.
Slaps...!
"Heh...?!"
Hantu Merah terkejut. Sepuluh
jari tan-
gannya yang sudah dialiri tenaga
dalam penuh
tertahan di udara, tak mampu
menembus cahaya
kebiru-biruan yang memancar dari
tubuh Penge-
mis Binal.
Sesungguhnya apabila kekuatan
gaib Arca
Budha tidak melindungi Hantu
Merah, tubuh le-
laki tua ini pasti hancur
berantakan ketika ujung
jarinya membentur inti kekuatan
ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'.
Namun, keberuntungan Hantu Merah
tidak
berlangsung lama. Sebelum dia
menyadari kea-
daan, tiba-tiba dua telunjuk
jari Suropati berkele-
bat, melancarkan ilmu totokan
'Delapan Belas
Tapak Dewa'!
Tuk! Tuk! Tuk!
Blarrr...!
Mendadak, dari delapan belas
jalan darah
di tubuh Hantu Merah memancar
darah segar.
Sejenak, lelaki tua itu menatap
wajah Pengemis
Binal dengan mata mendelik. Dia
hendak menge-
luarkan kata-kata umpatan, tapi
tubuhnya kebu-
ru meledak hancur menjadi abu!
"Arca Budha! Pedang Burung
Hong!" teriak
Pengemis Binal seraya meloncat,
dan menyambar
dua benda bertuah yang terpental
ke udara.
Melihat Pengemis Binal mendarat
di tanah
tak kurang suatu apa, Kwe Sin
Mei melompat
meninggalkan ayahnya. Lalu,
memeluk erat tu-
buh Pengemis Binal seraya
menghadiahkan ci-
uman di pipi remaja tampan itu.
Suropati tertawa terkekeh-kekeh.
Dibalas-
nya pelukan Kwe Sin Mei.
Ingkanputri kontan
menutup mata karena tak tahan
melihat Suropati
melumat bibir Kwe Sin Mei.
SELESAI
Segera menyusul episode:
PENYESALAN RATU SILUMAN
txt oleh :
http//www.mardias.mywapblog.com
Emoticon