BIDADARI PULAU PENYU
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Bidadari Pulau Penyu
128 hal.
/DuniaAbuKeisel
1
Bocah perempuan dua belas
tahunan ini
berjalan dengan langkah gontai.
Seperti sumber
air yang tak pernah kering,
butiran mutiara ben-
ing terus bergulir dari kedua
sudut matanya. Ha-
wa amarah, kesal, rasa
kehilangan, dan duka lara
bercampur aduk membuat sesak
jalan napasnya.
Hatinya terasa pedih perih
teriris-iris.
"Kak Suro... Kak Suro...,"' desis si bocah
yang tak lain Narita, putri Raja
Angin Barat.
Narita amat marah dan kesal
kepada ayah-
nya yang telah tega melemparkan
tubuh si Pen-
gemis Binal Suropati dengan ilmu
-Tangan Lan-
git'. Hanya amarah dan kesal itu
membuat Narita
nekat melanggar larangan ayahnya. Dia keluar
dari Lembah Makam Pelangi. Tak
peduli ayahnya
akan menjadi murka. Tak peduli
ayahnya akan
menjatuhkan hukuman berat. Yang
ada dalam
ingatan Narita hanyalah
Suropati. Suropati yang
telah membinasakan Sepasang
Racun Api. Suro-
pati yang tak marah manakala dia
tampar. Suro-
pati yang bisa mengerti segala
kesedihan yang
tengah dirasakannya.
Dalam pandangan Narita, Suropati
adalah
sosok pemuda yang amat baik.
Walau baru ber-
jumpa, Suropati telah menjadi
bagian yang begitu
dekat di hatinya. Wajar. Karena
selama bertahun-
tahun tinggal di Lembah Makam
Pelangi yang sepi
sunyi, Narita tak pernah
berjumpa dengan orang
yang bisa mengerti perasaannya.
Perasaan seo-
rang bocah yang masih
membutuhkan banyak
perhatian dan kasih sayang.
Namun..., Suropati yang baik
hati harus
bernasib malang. Seperti
orang-orang lainnya
yang berani masuk ke Lembah
Makam Pelangi,
dia juga diadili dengan
peraturan yang dibuat
sendiri oleh Raja Angin Barat.
Suropati harus ma-
ti. Dan, Suropati pun sama
sekali tak berdaya
melawan kehebatan ilmu 'Tangan
Langit'. Dalam
jepitan jemari tangan Raja Angin
Barat yang telah
membesar puluhan kali dari
ukuran normal, tu-
buhnya dilemparkan tanpa mampu
berbuat apa-
apa. (Agar lebih jelas, silakan
baca serial Penge-
mis Binal dalam episode:
"Sepasang Racun Api").
Melihat tubuh Suropati yang
terlontar ba-
gai sebutir kerikil melayang di
angkasa luas, Nari-
ta tak mampu menahan gejolak
perasaannya. Ke-
sedihan menghantam, dan
sungguh-sungguh
membuatnya merasa sangat
kehilangan. Hingga
tanpa mempedulikan ayahnya lagi,
Narita berlari-
lari menyusuri lereng gunung,
memasuki jurang
dan lembah, membuka dan menyibak
semak be-
lukar. Namun karena tenaga
lemparan Raja Angin
Barat begitu kuat luar biasa
tubuh Suropati tak
dapat ditemukannya.
Gelap malam telah mengguyur
seluruh
permukaan tanah manakala Narita
menghentikan
langkah di depan sebuah kuil
bobrok. Wajahnya
pucat pasi seperti tak berdarah
lagi. Bocah pe-
rempuan itu nyaris pingsan
karena terlalu banyak
mengeluarkan tenaga.
Dengan langkah terseok-seok,
Narita me-
masuki kuil. Beberapa kali
mulutnya mendesis,
menyebut nama Pengemis Binal.
Namun, hanya
desau angin malam yang
menyahuti.
Narita terus melangkah seraya
menajam-
kan penglihatan. Suasana di
dalam kuil sunyi se-
nyap. Walau sudah tidak terurus
lagi, keadaan
kuil masih cukup layak untuk
dijadikan tempat
bermalam. Mengingat dirinya yang
sudah sedemi-
kian payah, segera Narita
mencari tempat untuk
berbaring. Tanpa pikir panjang
lagi, dia memilih
sebuah tempat di kolong meja
pemujaan.
Teringat akan ajaran ayahnya,
Narita tidak
langsung membaringkan tubuh
untuk tidur. Dia
duduk bersila dengan sikap
semadi. Diaturnya ja-
lan napas sedemikian rupa untuk
memulihkan
tenaganya yang terkuras
Sementara, di luar sang candra
dalam bu-
latan penuh bagai melempar
senyum ke arah bin-
tang-bintang yang terus mengedipinya.
Cahaya
kuning tembaga menyiram, membuat
temaram
wajah malam. Kesunyian terusik
tatkala dua so-
sok tubuh berjalan mendekati
kuil sambil berca-
kap-cakap. Yang satu seorang
lelaki berperawa-
kan sedang. Rambutnya dikuncir
dan diikat den-
gan sehelai saputangan merah.
Pakaian yang di-
kenakannya ketat ringkas hijau.
Satunya lagi seo-
rang wanita berparas cantik.
Rambutnya digelung
ke atas dengan hiasan beberapa
tusuk konde
emas. Tubuhnya yang sintal
terbungkus pakaian
kuning-merah mencolok mata.
"Kita telah diperintah oleh
sang pemimpin
agar datang ke pesanggrahan
tengah malam nan-
ti. Kira-kira ada urusan apa
itu, Kekasihku?" ujar
si wanita ketika kakinya
melewati pintu kuil.
"Sebenarnya, yang
diperintah itu bukan
hanya kita. Tapi semuanya. Semua
anggota pe-
sanggrahan. Termasuk empat duta
yang menge-
palai wilayah selatan, utara,
barat, dan timur,"
sambut si lelaki.
"Kelihatannya memang ada
sesuatu yang
penting, yang harus dirundingkan
bersama...."
"Ya, begitulah...."
"Kau tahu urusan apa itu,
Kekasihku?"
Lelaki berkuncir tidak segera
menjawab.
Dia sibuk mengumpulkan ranting
kering yang
berserakan di lantai kuil.
Setelah membuat pera-
pian, lelaki ini memeluk erat
tubuh kekasihnya
seraya mendaratkan ciuman. Si
wanita mengge-
linjang manakala merasakan
sentuhan hangat di
bibirnya. Karena ada sesuatu,
yang mengganggu
pikirannya, dia berusaha
menghindar dari ciuman
berikutnya.
"Kenapa?" tanya lelaki
berkuncir yang me-
rasa sang kekasih tak mau
melayani hasrat ha-
tinya.
"Tengah malam nanti kita
harus ke pe-
sanggrahan. Pikiranku jadi tidak
enak. Jangan-
jangan di antara kita ada yang
berbuat salah…,"
kilah si wanita.
"Kekhawatiranmu sama sekali
tak berala-
san, Manisku. Sang pemimpin
memanggil kita
semua bukan karena kita berbuat
salah. Tapi ka-
rena...."
Mendengar ucapan kekasihnya yang
meng-
gantung, si wanita mengerutkan
kening. Terdo-
rong rasa tak sabar, wanita
cantik bertubuh sin-
tal ini mendesak
"Karena apa? Segeralah kau
jelaskan agar
aku tak penasaran,"
Si lelaki tersenyum. Dikecupnya
kening si
wanita, lalu berkata, "Yang
akan dibicarakan oleh
sang pemimpin ada hubungannya
dengan seorang
pemuda gembel bernama
Suropati."
"Bocah konyol bergelar
Pengemis Binal
itu?"
"Ya."
"Kau yakin?"
Si lelaki kembali tersenyum.
"Kau tak perlu
khawatir, Manisku. Kita semua
tidak ada yang
berbuat salah. Sang pemimpin tak
akan menja-
tuhkan hukuman kepada siapa pun.
Oleh karena
itu, hilangkan segala pikiran
buruk di benakmu.
Kita bisa menggunakan sisa waktu
ini untuk..."
Tangan kiri lelaki berkuncir
meraih ping-
gang kekasihnya. Sementara,
tangan kanannya
langsung meraba-raba daerah di
sekitar dada.
Kembali si wanita menggelinjang,
Apalagi setelah
bibirnya dilumat dengan ciuman
panas. Tapi ke-
tika ciuman lelaki berkuncir
pindah ke lehernya
yang jenjang, si wanita berkelit
"Jangan...," tolaknya.
"Kenapa?" tanya si
lelaki, heran. Tidak bi-
asanya si wanita berlaku seperti
ini. Biasanya si
wanitalah yang merengek-rengek
meminta si lela-
ki untuk menuruti hasrat hatinya
yang selalu
bergelora bagai kuda binal yang
tak pernah puas.
Si wanita diam. Keningnya
berkerut rapat.
"Apa lagi yang kau
pikirkan, Manisku Dewi
Asmara? Bila kita sudah berada
di Pesanggrahan
Pelangi, mana sang pemimpin mau
memberi ke-
sempatan kepada kita untuk
berdua-duaan?"
"Aku tahu itu. Tapi cobalah
kau jelaskan
dulu, kenapa sang pemimpin harus membicara-
kan seorang bocah konyol macam
Suropati?"
Narita yang berada di ruangan
sebelah da-
lam tersentak mendengar nama
Pengemis Binal
disebut beberapa kali. Karena
tertarik untuk
mengikuti arah pembicaraan dua
orang yang be-
rada di ruangan depan, Narita
menggagalkan se-
madinya. Dia pasang telinga
lebar-lebar. Tetap
duduk diam di kolong meja
pemujaan.
"Manisku Dewi Asmara...,
" sebut lelaki
berkuncir, penuh kemesraan.
"Kemungkinan be-
sar kehadiran Suropati di Negeri
Pasir Luhur ini
dianggap berbahaya oleh sang
pemimpin. Bukan-
kah kita telah tahu bila pemuda
gembel itu diun-
dang Putri Impian ke Istana
Langit. Apa lagi mak-
sud Putri Impian kalau tidak
untuk meminta ban-
tuan. Lagi pula, Suropati pun
telah berani meno-
tok dan menyiksa Iblis
Mata-Satu. Oleh karena
itulah sang pemimpin memandang
perlu untuk
membicarakan urusan
ini...."
"Kekasihku Dewa
Cinta...," sebut Dewi As-
mara. Suaranya terdengar
bergetar karena terba-
wa perasaannya yang tak enak.
"Tadi siang, kita
menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, Suro-
pati sama sekali tak berdaya
menghadapi Raja
Angin Barat. Tubuhnya dilemparkan
tanpa mam-
pu berbuat apa-apa. Dia pasti
sudah mati dengan
tubuh hancur lebur.... Kecuali,
kalau dia punya
kesaktian yang bisa disejajarkan
dengan dewa.
Tapi, kukira itu tidak mungkin.
Kalau dia punya
kesaktian sejajar dengan dewa,
bagaimana dia bi-
sa begitu mudah dilumpuhkan oleh
Raja Angin
Barat?"
"Kau tidak salah,
Manisku...," sambut De-
wa Cinta. "Suropati memang
tidak sehebat dewa,
tapi nasib baik masih setia
mengikutinya. Seseo-
rang telah menyelamatkan jiwa
pemuda gembel
itu."
"Dari mana kau tahu?"
"Apakah kau lupa bila aku
punya ilmu
'Pelacak Jejak', Manisku? Dengan
ilmu itu aku bi-
sa mendengar getaran tubuh
seseorang dari jarak
ratusan bahkan ribuan tombak.
Sampai saat ini,
aku masih mendengar getaran
tubuh Suropati.
Berarti dia masih, hidup."
Dewi Asmara mengangguk-angguk,
tanda
mengerti. Tapi, segera wanita
cantik ini mengaju-
kan pertanyaan lagi.
"Kekasihku, tahukah kau
siapa yang telah
menyelamatkan bocah konyol
itu?"
"Dari getaran yang kudengar
dan kurasa-
kan, sang penolong itu bertubuh
cacat. Kedua
tangannya buntung dan dia sudah
berusia lan-
jut."
"Peramal Buntung?"
tebak Dewi Asmara.
"Tepat! Aku juga menduga
dia," tegas Dewa
Cinta.
"Bila kita melaporkan
kejadian ini kepada
sang pemimpin, kita bisa mendapat
nama baik.
Dan, ada kemungkinan kita juga
akan menda-
patkan sesuatu sebagai
hadiah,..."
"Tidak," kepala Dewa
Cinta menggeleng.
"Sang pemimpin mengundang
seluruh anak
buahnya untuk membicarakan
Suropati, tentu
karena dia sudah tahu bila
Suropati masih hi-
dup."
"Hmmm..... Kenapa sang
pemimpin begitu
takut kepada Suropati? Apakah
karena bocah ko-
nyol itu memiliki sesuatu yang
bias membahaya-
kan sang pemimpin dalam meraih
cita-citanya?"
Dewa Cinta mengangkat bahu.
"Aku tak
tahu," katanya. "Tapi,
kita tak perlu mengha-
biskan waktu dengan membicarakan
pemuda
gembel yang sok jago itu. Ada
baiknya bila kita....
Hmmm...."
Dewi Asmara dapat menangkap
isyarat ma-
ta yang dilempar kekasihnya.
Berlainan dengan
tadi, wanita cantik ini tampak
pasrah manakala
Dewa Cinta memeluk tubuhnya
seraya menda-
ratkan ciuman ganas. Dia pun
menurut saja keti-
ka dibaringkan ke lantai kuil
yang dingin.
"Malam ini kau kelihatan
cantik sekali,
Manisku...," ujar Dewa Cinta.
"Hmmm...."
Dewa Cinta mendaratkan
ciuman-ciuman
panas menggelora. Tak sabaran
jemari tangannya
membuka kancing baju sang
kekasih. Lalu, dia
benamkan wajahnya ke belahan
dada yang diapit
dua bulatan kenyal halus mulus.
Dewi Asmara
menggelinjang merasakan
urat-urat darahnya
yang menggeletar.
Di ruangan sebelah dalam, Narita
tak men-
dengar lagi percakapan Dewa
Cinta dan Dewi As-
mara. Yang dapat didengarnya
kini hanyalah den-
gus napas memburu dan suara
merintih-rintih.
Narita tak tahu apa yang tengah
diperbuat oleh
Dewa Cinta dan Dewi Asmara. Dia
pun tak berani
menebak. Otaknya sedang sibuk
memikirkan
makna percakapan yang baru saja
dia dengar.
"Aku senang karena Kak Suro
masih hi-
dup," kata Narita dalam
hati. "Tapi, kenapa kedua
orang itu sepertinya tak suka
terhadap Kak Suro?
Dari, siapa orang yang mereka
sebut sebagai sang
pemimpin? Sudah jelas bila
mereka adalah orang-
orang Pesanggrahan Pelangi.
Kalau begitu, yang
mereka sebut sebagai sang
pemimpin itu pasti Si-
luman Ragakaca...."
Kening Narita berkerut rapat.
Bocah pe-
rempuan ini tengah berpikir
keras.
"Aku tahu Pesanggrahan
Pelangi adalah
tempat bernaung orang-orang
jahat. Beberapa
kali Lembah Makam Pelangi
didatangi orang-
orang yang mengaku utusan
Siluman Ragakaca.
Mereka membujuk Ayah agar mau
menjadi pengi-
kutnya. Tapi, Ayah selalu
menolak. Ayah yang ke-
ras kepala dan sangat teguh
memegang pendirian
tak mungkin bergabung dengan
orang jahat. Se-
mua utusan Siluman Ragakaca yang
berani ma-
suk ke Lembah Makam Pelangi
pasti mati dibu-
nuh Ayah. Tapi...."
Kerut di kening Narita makin
rapat. Dia
memeras otaknya untuk berpikir
lebih keras. Tak
dia pedulikan lagi suara-suara
aneh yang terden-
gar dari ruangan depan.
"Bagaimana dua orang yang
berada di
ruangan depan itu tahu Ayah
telah melemparkan
tubuh Kak Suro keluar dari
Lembah Makam Pe-
langi? Mungkinkah mereka memang
ditugaskan
Siluman Raga kaca untuk
mengintai segala gerak-
gerik Ayah? Mereka pasti punya
tujuan tak baik.
Orang-orang Pesanggrahan Pelangi
memang pan-
tas dibinasakan!"
Mengikuti pikiran di benaknya,
Narita be-
ranjak dari kolong meja
pemujaan. Didikan keras
ayahnya, Raja Angin Barat, telah
membuat Narita
tak mengenal rasa takut. Walau
usia Narita be-
lum lewat dua belas tahun, tapi
dia telah sering
membunuh orang.
Semua orang yang berani masuk ke
Lem-
bah Makam Pelangi harus dibunuh.
Dan, Narita
telah melaksanakan aturan yang
dibuat ayahnya
itu dengan baik, kecuali pada
Suropati. Karena
didikan ayahnya juga, Narita
jadi sangat benci
terhadap orang-orang
Pesanggrahan Pelangi. Ma-
ka tanpa pikir panjang lagi,
Narita bermaksud
membunuh Dewa Cinta dan Dewi
Asmara. Tapi
sebelum dia bangkit berdiri,
terdengar suara wa-
nita mengeluh dari ruangan
depan. Karena masih
ingin tahu apa yang hendak
diperbincangkan, Na-
rita menunda keinginannya.
"Uh...! Sudahlah!"
sentak Dewi Asmara, be-
rusaha merenggangkan tubuhnya
dari pelukan
Dewa Cinta.
"Kau kenapa? Aku belum
selesai!"
"Sudahlah! Pikiranku tak
enak lagi!"
Dewi Asmara mendorong tubuh Dewa
Cinta
yang masih berusaha untuk dapat
melepas hasrat
hatinya yang bergelora. Mendapat
tolakan yang
sedikit kasar dari sang kekasih,
Dewa Cinta men-
delikkan mata. Tapi melihat
sorot mata Dewi As-
mara yang benar-benar
menyiratkan kekhawati-
ran, Dewa Cinta berusaha meredam
hasrat ha-
tinya yang menyentak-nyentak.
"Ada apa,
Manisku...?"' tanya Dewa Cinta,
merangkak bangkit dari atas
tubuh kekasihnya.
Dewi Asmara menarik napas
panjang. Je-
mari tangannya yang lentik cepat
membenahi pa-
kaian yang dia kenakan.
Sementara, Dewa Cinta
menatapnya dengan bola mata
melotot besar. Le-
laki berkuncir ini sadar bila
tak mungkin lagi
mendaki sampai ke puncak
kenikmatan. Dewi
Asmara telah menyudahi
permainan.
"Kau kenapa, Manisku?"
Dewa Cinta ber-
tanya lagi. Suaranya dingin
bergetar karena me-
mendam rasa kecewa.
"Aku khawatir akan terjadi
sesuatu yang
tidak kita inginkan.
Jangan-jangan...," Dewi As-
mara tak melanjutkan kalimatnya.
Wanita cantik
ini menatap wajah Dewa Cinta
lekat-lekat, seperti
meminta perlindungan.
"Apa lagi yang mengusik
pikiranmu, Ma-
nisku?"
"Bocah konyol
itu."
"Suropati?"
Kepala Dewi Asmara mengangguk
lemah.
Dewa Cinta menatap dengan alis
bertaut.
"Jangan-jangan kehadiran
bocah konyol itu
adalah awal malapetaka… "
ujar Dewi Asmara li-
rih, seperti menggumam.
"Kenapa kau takut,
Manisku?" sahut Dewa
Cinta, heran. "Bukankah
kita sudah dapat men-
gukur sampai di mana ketinggian
ilmunya?"
"Aku tahu, tapi.... Kau
ingat-bagaimana dia
dengan mudah membinasakan
Sepasang Racun
Api?"
"Dia memang punya ilmu
pukulan hebat.
Tapi, itu bukan jaminan bahwa
dia akan dapat
menciptakan malapetaka bagi
kita. Kau tahu sen-
diri bukan ilmu pukulan pemuda
gembel itu tak
mampu melawan ilmu 'Tangan
Langit' Raja Angin
Barat?"
''Bukan itu yang mengganggu
pikiranku...."
"Lalu, apa?"
"Ketika Suropati
membinasakan Sepasang
Racun Api, kita melihatnya
dengan jelas dan sa-
dar. Kita tahu bila Sepasang
Racun Api juga
orang bawahan sang pemimpin
seperti kita. Tapi,
kenapa kita tidak turun tangan
untuk membantu
mereka? Kenapa kita cuma diam
melihat dua
orang teman dibunuh orang?
Tidakkah ini akan
membuat murka sang
pemimpin?"
Dewa Cinta menghela napas
panjang. Lela-
ki berkuncir ini bisa mengerti
jalan pikiran Dewi
Asmara. Benaknya turut kusut
kini. Getar kek-
hawatiran terasa pula di lubuk
hati.
"Ya..., kita memang telah berlaku
tidak be-
nar. Tapi, kita tidak bisa
disalahkan begitu sa-
ja...," ujar Dewa Cinta
kemudian.
"Maksudmu?" tanya Dewi
Asmara, tak
mengerti.
"Setiap orang yang menjadi
anggota Pe-
sanggrahan Pelangi mendapat
tugas yang berbeda
dari sang pemimpin. Tugas kita
hanyalah mengin-
tai gerak-gerik Raja Angin Barat
di Lembah Ma-
kam Pelangi. Kalau sampai
Sepasang Racun Api
mendapat celaka dalam
melaksanakan tugasnya,
itu bukan urusan kita."
"Tapi..., Sepasang Racun
Api mati dibunuh
orang di depan mata kita.
Sementara, kita tak
berbuat apa-apa. Bagaimana kalau
sang pemim-
pin meminta penjelasan?"
Dewa Cinta diam. Pikirannya
kusut. Ha-
tinya kalut. Apa yang
dikhawatirkan oleh Dewi
Asmara kini dirasakannya juga.
Sementara, Dewi
Asmara pun semakin digeluti rasa
takut. Apalagi
setelah melihat wajah kekasihnya
yang turut me-
mucat,
"Kenapa baru sekarang kau
katakan hal
ini?" sentak Dewa Cinta,
seperti menyalahkan
Dewi Asmara.
"Pada mulanya aku juga
berpikiran sama
denganmu. Setiap anggota
Pesanggrahan Pelangi
mempunyai tugas berbeda. Kenapa
mesti men-
campuri urusan orang lain? Tapi,
aku punya piki-
ran lain setelah memasuki kuil
ini. Rasa khawatir
dan takut itu muncul setelah aku
berada di kuil
ini. Kau jangan salahkan
aku!" ujar Dewi Asmara,
setengah membentak.
Paras Dewa Cinta mengelam
tiba-tiba. Dia
mengepal jemari tangan dengan
gigi bertaut rapat.
Matanya nanar memandang perapian
yang ham-
pir padam. Dia tahu bila waktu
tengah malam
hampir tiba. Itu berarti dia
harus segera mengha-
dap Siluman Ragakaca di
Pesanggrahan Pelangi.
"Kalau tahu begini, tak
akan kubiarkan
ada orang menolong pemuda gembel
itu!" geram
Dewa Cinta. "Mestinya kucabik-cabik tubuh Su-
ropati! Selain untuk membalas
kematian Sepa-
sang Racun Api, juga untuk
menyelamatkan diri-
ku sendiri."
Mendadak, dari ruangan kuil
sebelah da-
lam berkelebat sesosok bayangan
dibarengi teria-
kan,
''Kau tak akan pernah mampu
mencabik-
cabik tubuh Kak Suro! Karena,
riwayatmu akan
kututup sampai di sini!"
Dewa Cinta dan Dewi Asmara
melonjak ka-
get. Mereka sama-sama tak
menduga bila di da-
lam kuil ada orang lain. Lebih
kaget lagi Dewa
Cinta. Bagaimana mungkin dia
bisa tak menden-
gar getaran tubuh orang lain di
dalam kuil?
Sosok yang baru muncul hanyalah
seorang
bocah perempuan dua belas
tahunan. Mengena-
kan pakaian hijau yang dihiasi
renda-renda su-
laman berupa bunga aneka warna.
Di kepalanya
terdapat dua pita kupu-kupu,
mengikat rambut-
nya yang hitam panjang.
"Narita...!" desis
Dewi Asmara.
"Ya! Aku memang Narita. Aku
mewakili
ayahku untuk menghukum mati
orang-orang ja-
hat macam kalian!" ujar si
bocah yang tak lain
Narita, putri Raja Angin
Barat.
Melihat keberanian si bocah,
Dewi Asmara
terkesiap. Demikian pula Dewa
Cinta. Mereka ta-
hu benar bila ancaman Narita
bukanlah bualan
kosong. Dewa Cinta dan Dewi
Asmara pernah me-
lihat Narita membunuh orang
beberapa kali di
Lembah Makam Pelangi. Dari
situlah mereka da-
pat mengukur ketinggian ilmu
putri Raja Angin
Barat ini.
"Hmmm.... Bocah ini
mempunyai ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat. Ilmu
'Tangan Lan-
git'-nya pun hampir mencapai
taraf sempurna.
Ada baiknya bila aku serang
terlebih dahulu...,''
pikir Dewa Cinta
"Kalian adalah orang-orang
Pesanggrahan
Pelangi yang sangat kejam dan
berhati busuk! Ka-
lian harus menyusul kematian
Sepasang Racun
Api!" ancam Narita.
Bocah perempuan ini benar-benar
ingin
melaksanakan ancamannya. Karena
tahu orang-
orang Pesanggrahan Pelangi
berilmu tinggi, dia
segera mengeluarkan ilmu ajaran
ayahnya yang
terhebat. Ilmu 'Tangan Langit'!
Namun, kebera-
nian Narita tanpa disertai
perhitungan yang ma-
tang. Sampai di mana pun
ketinggian ilmunya,
dia tentu kalah pengalaman
dengan Dewa Cinta
dan Dewi Asmara.
Selagi dia memutar-mutar kedua
tangan-
nya di depan dada untuk
mengetrapkan ilmu
'Tangan Langit', Dewa Cinta
telah mengirim se-
rangan dengan menghentakkan
telapak tangan-
nya yang telah dialiri tenaga
dalam.
"Heah..,!"
Wesss...!
Narita terkejut mendengar suara
menderu
ganas menuju ke arahnya. Tahu
ada serangkum
angin pukulan yang cukup
berbahaya, Narita
mempercepat putaran kedua
tangannya. Putaran
yang disertai pengerahan tenaga
dalam tingkat
tinggi menimbulkan tiupan angin
kencang. Aki-
batnya, dua kekuatan bentrok.
Timbul suara le-
dakan keras. Sebagian atap kuil
runtuh. Dinding
kuil pun retak di sana sini.
Dewa Cinta mendelikkan mata
melihat ke-
kuatan tenaga dalam Narita.
Sebelum perapian
padam, dia pun masih sempat
melihat kedua tan-
gan Narita yang membesar beberapa
kali dari
ukuran normal.
Seperti dapat membaca pikiran
Dewa Cin-
ta, tiba-tiba Dewi Asmara
memekik parau. Kedua
tangannya menghentak ke depan.
Sekali lagi se-
rangkum angin pukulan meluruk.
Narita men-
dengus dingin. Kedua tangannya
yang telah
membesar dikibaskan. Kembali
ledakan keras
terdengar memekakkan gendang
telinga. Sebagian
atap kuil runtuh lagi. Dinding
yang telah retak-
retak kini turut runtuh. Suara
hiruk-pikuk yang
sangat gaduh memecah belah
kesunyian malam.
Pada saat inilah, di mana
pandangan ma-
sih tertutup reruntuhan kuil,
Dewa Cinta berke-
lebat.
Narita yang tak lagi melindungi
dirinya
dengan ilmu 'Penghilang Tanda
Kehidupan' dapat
diketahui dengan mudah di mana
dia berada. Se-
kejap mata kemudian, Narita tak
mampu berge-
rak. Kedua tangannya mengecil
lagi. Tubuhnya
kaku kejang akibat totokan yang
dilancarkan oleh
Dewa Cinta.
"Ha ha
ha...!" Dewa Cinta tertawa puas.
"Bocah ingusan macam kau
mana dapat membu-
nuh Dewa-Dewi Kayangan!"
"Apakah aku harus membunuh
dia, Keka-
sihku?" tanya Dewi Asmara
dengan sikap manja
merayu. Wanita ini bangga
melihat kehebatan
sang kekasih,
"Uts! Kita tidak boleh
mengulang perbuatan
bodoh. Kita telah salah karena
membiarkan Sepa-
sang Racun Api dibunuh Suropati.
Tapi. kini kita
akan menebus kesalahan itu. Sang
pemimpin
akan senang melihat putri Raja
Angin Barat kita
hadapkan ke Pesanggrahan
Pelangi."
"Sebuah gagasan yang
jitu!"
Terbawa luapan rasa gembira,
Dewi Asma-
ra memeluk tubuh Dewa Cinta.
Dilumatnya bibir
sang kekasih dengan hasrat
menggebu-gebu. Se-
mentara, Dewa Cinta membalasnya
dengan ra-
baan-rabaan yang mampu membuat
seluruh urat
darah Dewi Asmara bergeletar tak
karuan. Untuk
beberapa lama, jiwa Dewa-Dewi
Kayangan ini me-
layang-layang di surga
kenikmatan.
"Jahanam! Lepaskan
aku!" hardik Narita
Namun, suaranya segera lenyap
tertindih dengus
napas dan rintihan panjang penuh
nafsu.
***
2
Manakala mentari pagi menyapa
hangat,
bunga-bunga bakung mekar
tersenyum dalam be-
laian sang bayu. Butiran embun
bergulir dari pu-
cuk-pucuk daun, teriring gemulai
halimun yang
membubung untuk segera lenyap
dari pandan-
gan. Terusik kicau burung yang
menyambut ber-
gantinya hari, seorang remaja
tampan membuka
mata dan menyelesaikan
semadinya. Butiran em-
bun bercampur keringat membasahi
pakaiannya
yang penuh tambalan. Dia si
Pengemis Binal Su-
ropati.
"Cukup lama Tuan Muda
bersemadi. Kuki-
ra Tuan Muda telah dapat
mengatasi luka dalam.
Untung lemparan 'Tangan Langit'
Raja Angin Ba-
rat tidak sampai membuat pecah
urat-urat darah
Tuan Muda...," ujar seorang kakek buntung be-
rompi dan bercelana kuning yang
setia menung-
gui Suropati bersemadi. Kakek
berkumis dan ber-
jenggot panjang ini mengenakan
ikat kepala yang
terbuat dari besetan kulit pohon
kasar berduri.
"Terima kasih,
Kek...," ucap Pengemis Bi-
nal, tulus. "Entah akan
jadi apa tubuhku ini
seandainya Kakek tidak memberikan pertolon-
gan."
"Ah! Tuan Muda jangan
membesar-
besarkan pertolonganku yang
tidak ada ar-
tinya...," sambut kakek
berompi kuning yang tak
lain Peramal Buntung.
"Bukankah yang kulaku-
kan sudah menjadi
kewajibanku?"
"Kakek, jangan memanggilku
dengan sebu-
tan 'tuan muda'. Aku yang miskin
papa ini jadi
tak enak hati." ,
"Itu tak menjadi apa, Tuan
Muda. Karena,
aku harus menepati janji untuk
menjadi budak
pengiring Tuan Muda seumur
hidup."
Suropati menatap sejenak wajah
Peramal
Buntung, lalu menggaruk
kepalanya yang tak
gatal. Ada yang tak bisa dia
mengerti dari sikap
Peramal Buntung. Tempo hari,
waktu Peramal
Buntung bertaruh dengan Dewa
Peramal yang
mengunggulkan dirinya, dia tak
bermaksud me-
layani dengan sungguh-sungguh.
Tapi, Peramal
Buntung yang kalah bertaruh
benar-benar mene-
pati janjinya. Tentu saja
Suropati jadi tak enak
hati karena Peramal Buntung,
seorang tokoh tua
yang cukup punya nama di Negeri
Pasir Luhur,
harus menjadi budak pengiringnya
seumur hidup.
(Tentang pertaruhan antara
Peramal Buntung
dengan Dewa Peramal bisa disimak
pada serial
Pengemis Binal dalam episode:
"Sepasang Racun
Api").
"Aku heran dan sungguh tak
habis menger-
ti, kenapa Raja Angin Barat
membuat aturan se-
pihak di Lembah Makam Pelangi?
Kenapa pula
dia mendidik putrinya dengan
pengertian yang sa-
lah?" ujar Pengemis Binal
kemudian, lirih dan
hampir tak terdengar.
"Raja Angin Barat adalah
salah satu tokoh
pilih tanding di Negeri Pasir
Luhur ini. Dia ter-
kenal dengan ilmu 'Tangan
Langit'-nya yang dah-
syat luar biasa. Dia juga
terkenal sebagai tokoh
yang amat teguh dalam pendirian,
keras kepala
namun arif bijaksana,"
tutur Peramal Buntung
tanpa diminta.
"Aneh!" seru Suropati.
"Kalau Raja Angin
Barat adalah orang yang arif
bijaksana, kenapa
dia membuat aturan gila? Apa
untungnya bagi dia
dengan membunuh semua orang yang
berani ma-
suk ke Lembah Makam Pelangi?
Narita putrinya
pun telah dijejali
pengertian-pengertian yang sa-
lah. Hingga, dalam diri Narita
timbul satu angga-
pan bahwa membunuh orang adalah
perbuatan
yang biasa. Tak sedikit pun
terkandung dalam pi-
kiran Narita bila membunuh
adalah perbuatan
dosa..."
"Raja Angin Barat
menanamkan pengertian
seperti itu kepada putrinya
bukan tak ada sebab-
nya. Rasa sedih yang dalam bisa
membuat batin
terpukul. Dan, itu bisa mengguncangkan jiwa.
Akibat keguncangan jiwa,
terkadang pikiran dan
perilaku jadi tak terkendali
lagi...."
"Maksud Kakek, Raja Angin
Barat menga-
lami keguncangan jiwa yang
menyebabkan dirinya
tak sadar terhadap apa-apa yang
telah diperbuat-
nya?"
"Begitulah. Sekitar dua
puluh tahun yang
lalu, Raja Angin Barat mempunyai
seorang murid
perempuan bernama Maharani.
Tuhan menakdir-
kan mereka untuk menjadi
sepasang suami-istri.
Dalam diri mereka tumbuh
benih-benih cinta, wa-
lau ketika itu usia Raja Angin
Barat telah mengin-
jak kepala lima, sementara
Maharani baru beru-
sia tujuh belas tahun. Ibarat
sekuntum bunga,
Maharani baru mekar
berkembang...."
"Lalu, kenapa Jiwa Raja
Angin Barat jadi
terguncang? Apakah karena
ditinggal mati Maha-
rani yang sangat
dicintainya?"
"Ya. Kejadiannya sekitar
dua belas tahun
yang lalu. Waktu itu Maharani
tengah mengan-
dung delapan bulan. Seorang
wanita yang sedang
mengandung sebenarnya tak baik
melatih tenaga
dalam. Raja Angin Barat tahu
benar akan hal itu.
Tapi, Maharani punya sifat keras
kepala. Peringa-
tan Raja Angin Barat sama sekali
tak dia peduli-
kan. Hingga, terjadilah
peristiwa yang amat me-
nyedihkan hati Raja Angin Barat
itu. Di sebuah
lembah, yang kemudian disebut
sebagai Lembah
Makam Pelangi, saat Maharani
bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga
dalam, datang se-
seorang yang mempunyai dendam
kesumat ter-
hadap Raja Angin Barat..."
"Siapa nama orang
itu?"
"Namanya aku tak tahu. Dia
terkenal den-
gan julukan Hakim Neraka."
"Hakim Neraka? Sungguh
sebuah julukan
yang sangat
menggidikkan...."
"Kedatangan Hakim Neraka adalah untuk
melampiaskan dendam kesumatnya
terhadap Ra-
ja. Angin Barat. Tapi, waktu itu
Raja Angin Barat
tidak berada di lembah. Hakim
Neraka yang be-
ringasan gampang naik darah. Tak
berjumpa
dengan Raja Angin Barat, dia
punya pikiran un-
tuk menjadikan Maharani sebagai
sandera. Maha-
rani yang tengah bersemadi
ditotoknya. Hakim
Neraka sebenarnya sama sekali
tak menduga bila
totokannya akan mengakibatkan
kematian Maha-
rani. Kalau saja Maharani tak
bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga
dalam, totokan
Hakim Neraka hanya akan membuat
lumpuh se-
mentara. Tapi karena dia tengah
mengandung, di
mana dalam perutnya terdapat
janin yang ber-
nyawa, totokan Hakim Neraka
membuat Mahara-
ni 'Salah Api'. Beberapa urat
darahnya pecah, dan
mengakibatkan kematian...."
Pengemis Binal mengangguk-angguk
men-
dengar cerita Peramal Buntung.
Dari gurunya,
mendiang Periang Bertangan
Lembut, remaja
tampan ini juga pernah mendengar
istilah 'Salah
Api'. Bila seseorang yang tengah
bersemadi men-
galami 'Salah Api', dia bisa
mati, atau paling ti-
dak, kedua tangan dan kakinya
menjadi lumpuh.
"Setelah menotok Maharani,
Hakim Neraka
terkejut luar biasa. Apalagi
setelah mengetahui
Maharani tengah hamil tua.
Timbul rasa sesal da-
lam diri Hakim Neraka. Mungkin
karena penyesa-
lannya itulah dia mengundurkan
diri dari rimba
persilatan. Sampai sekarang,
Hakim Neraka tak
terdengar kabar beritanya
lagi."
"Lalu, apa yang dilakukan
Raja Angin Barat
setelah mengetahui istrinya mati
dibunuh orang?"
"Dari jejak-jejak di lembah
dan bekas toto-
kan di tubuh Maharani, Raja
Angin Barat yang
berpengalaman luas tahu bila si
pembunuh ada-
lah Hakim Neraka. Namun, Raja
Angin Barat ha-
rus melupakan dulu urusannya
dengan Hakim
Neraka. Nyawa bayi yang berada
di kandungan
Maharani lebih penting. Dengan
susah payah,
dan mencurahkan segenap tenaga.
Raja Angin
Barat dapat menyelamatkan nyawa
anaknya. Se-
telah membangun Makam Pelangi
untuk menge-
nang Maharani, Raja Angin Barat
ke luar lembah.
Dengan membawa bayinya, dia
berusaha mene-
mukan Hakim Neraka. Tapi, hanya
rasa kecewa
yang didapatkannya. Hakim Neraka
tak dapat di-
temukan. Pembunuh Maharani itu
benar-benar
lenyap bagai ditelan bumi. Lalu,
Raja Angin Barat
kembali ke Lembah Makam Pelangi,
dan hilanglah
dia dari percaturan rimba
persilatan...."
"Anak Raja Angin Barat itu
pasti Narita"
"Tepat. Tokoh-tokoh tua di
Negeri Pasir Lu-
hur ini sebagian besar tahu
cerita tentang perja-
lanan hidup Raja Angin
Barat....''
"Kasihan sekali
Narita...," desah Pengemis
Binal. "Dia harus hidup
bersama seorang ayah
yang kurang waras...."
"Jangan salah mengerti, Tuan
Muda," sa-
hut Peramal Buntung. "Raja
Angin Barat tidak gi-
la. Hanya karena desakan rasa
benci terhadap
Hakim Neraka, dia sampai membuat
aturan sepi-
hak di Lembah Makam
Pelangi."
"Tapi, Narita yang masih
lugu pun harus
menanggung akibatnya. Otaknya
telah dijejali
pengertian yang salah. Sungguh
patut disayang-
kan. Sebenarnya, Narita adalah
seorang anak
yang baik. Mudah-mudahan ketika
dewasa nanti,
dia bisa membenahi
pengertian-pengertian yang
salah dalam dirinya...."
"Ya..., ya! Kalau membantu
tenaga tak da-
pat, kita memang cuma bisa
membantu dengan
doa."
Pengemis Binal menarik napas
panjang.
Badannya terasa segar, sesegar
udara pagi yang
cerah. Ditatapnya bongkahan batu
yang berteba-
ran. Ditatapnya langit biru yang
memayungi men-
tari. Mendadak, ingatan pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini
melayang ke Istana
Langit. Di sanalah Ratu Istana
Dalam yang ber-
nama Putri Impian memberikan
Mustika Batu
Merpati. Tapi, batu mustika itu
lenyap dilarikan
orang ketika jatuh dari mulut
Suropati usai digu-
nakan untuk mendatangi tempat
kediaman Sepa-
sang Racun Api.
"Kek, apakah kau kenal
dengan seorang
wanita berambut putih dan
mengenakan penutup
kepala dari emas mirip mahkota
raja?" tanya Pen-
gemis Binal, menyebut ciri-ciri
orang yang telah
melarikan Mustika Batu Merpati.
Kening Peramal Buntung berkerut.
Setelah
memutar otak beberapa saat, dia
berkata, "Mung-
kin yang Tuan Muda maksud adalah
Bidadari Pu-
lau Penyu."
"Apakah dia biasa
mengenakan pakaian ke-
tat warna merah kuning?"
"Ya. Dia kakak kandung Dewi
Asmara. Me-
reka sama-sama menyukai warna
merah dan
kuning."
"Dewi Asmara..,?"
gumam Suropati. "Aku
banyak mendengar nama tokoh di
Negeri Pasir
Luhur ini, tapi tak satu pun
yang kukenal"
"Kenapa Tuan Muda
menanyakan Bidadari
Pulau Penyu?" tanya Peramal
Buntung. "Apakah
Tuan Muda punya urusan
dengannya?"
"Hanya urusan kecil yang
tak seberapa
penting," ujar Pengemis
Binal tak berterus terang.
"Tapi, aku harus menjumpai
Bidadari Pulau
Penyu secepat mungkin. Bisakah
Kakek memberi-
tahukan di mana wanita itu
berdiam diri?"
"Pulau Penyu. Bidadari
Pulau Penyu men-
jadi seorang ratu kecil di pulau
itu," sahut Peram-
al Buntung. "Kalau Tuan
Muda bermaksud men-
datanginya, dengan senang hati
aku akan mene-
mani. Namun sebelumnya Tuan Muda
kuin-
gatkan, Bidadari Pulau Penyu
punya sifat jahat
dan kejam. Yang lebih penting
lagi, dia suka
mempermainkan pemuda-pemuda
tampan. Tuan
Muda harus hati-hati..."
"Jangan khawatir, Kek. Aku
cukup dewasa
untuk dapat menjaga diri
sendiri," sambut Pen-
gemis Binal sambil menyungging
senyum. Menge-
tahui Bidadari Pulau Penyu suka
mempermain-
kan pemuda-pemuda tampan,
semakin besar ha-
srat hatinya untuk segera
menemui wanita itu.
"Dari sini, untuk menuju ke
Pulau Penyu
akan memakan waktu setengah hari
perjalanan
kuda. Apakah kita akan berangkat
sekarang,
Tuan Muda?" ujar Peramal
Buntung, berlaku se-
bagai seorang budak pengiring
yang baik. Tak
mau menanyakan tujuan Suropati
yang sebenar-
nya.
Namun sebelum dua anak manusia
ini be-
ranjak dari tempat
masing-masing, lamat-lamat
terdengar suara tempurung kelapa
membentur
benda keras.
Tok! Tok! Tok!
Kemudian, disusul kelebatan
sesosok
bayangan yang menimbulkan tiupan
angin ken-
cang. Di lain kejap, Pengemis
Binal dan Peramal
Buntung melihat seorang kakek
tak punya mata
telah berdiri di hadapan mereka.
Kakek yang baru
muncul bertubuh kurus kering,
mengenakan pa-
kaian dekil compang-camping. Dua
buah belahan
tempurung kelapa hitam mengkilat
melekat di ke-
dua telapak kakinya.
"Kakek Dewa
Peramal...," sapa Pengemis
Binal.
"Ya. Aku memang Dewa
Peramal...," sam-
but kakek buta, Dewa Peramal.
"Kalau tak salah
aku menerka, yang berdiri di
hadapanku bukan-
kah bocah bagus si Pengemis
Binal Suropati dan
sahabat baikku Peramal
Buntung?"
"Tak salah kau menerka,
sahabatku Dewa
Peramal," sahut Peramal
Buntung. "Aku memang
Peramal Buntung dan yang berdiri
di sebelah ka-
nanku adalah Suropati.... Kau
datang dengan ber-
lari secepat angin. Kau datang
dengan alis ber-
taut. Apakah kau tengah
mengkhawatirkan sesu-
atu, sahabatku Dewa
Peramal?"
"Hmmm.... Aku tahu kalian
telah membuat
kesepakatan. Aku tahu kalian
telah bersiap diri
untuk pergi ke suatu tempat.
Bukan aku ingin
mencampuri urusan kalian. Tapi,
tidaklah salah
kalau aku bertanya karena aku
tak punya mak-
sud buruk. Ke manakah kalian
hendak pergi?"
Mendengar nada bicara Peramal
Buntung
dan Dewa Peramal, perut Suropati
jadi sakit ka-
rena menahan tawa. Nada ucapan
mereka seperti
melantunkan sebuah syair saja.
Karena tak mau
menyinggung perasaan kedua tokoh
tua ini, Su-
ropati menahan tawa sebisa
mungkin.
"Sungguh tajam kau punya
naluri, saha-
batku Dewa Peramal," puji
Peramal Buntung.
"Kami memang hendak pergi
ke suatu tempat.
Tempat yang cukup berbahaya.
Tapi, kau tak per-
lu khawatir. Aku dan Tuan Muda
Suropati cukup
bisa menjaga diri."
"Hmmm...," Dewa
Peramal memalingkan
kepala ke kanan. Kerut di
keningnya makin me-
rapat.
"Sahabatku Peramal Buntung,
kalau boleh
aku yang buruk rupa ini tahu, ke
manakah kau
dan tuan mudamu ini hendak
pergi?"
"Aku dan Kakek Peramal
Buntung hendak
pergi ke Pulau Penyu, Kek,"
Suropati yang men-
jawab.
"Pulau Penyu?" kejut
Dewa Peramal "Bu-
kankah itu tempat kediaman
Bidadari Pulau
Penyu?"
"Ya. Memangnya ada
apa?" tanya Peramal
Buntung.
"Tak ada apa-apa. Aku hanya
sekadar ber-
tanya," jawab Dewa
Peramal
Setelah memalingkan kepala ke
kiri dan ke
kanan, kakek buta ini
mengeluarkan sebuah
bonggol akar berwarna putih
berkilat dari balik
bajunya.
"Akar Kayangan...,"
desis Peramal Bun-
tung. Melihat benda di tangan
Dewa Peramal yang
bernama Akar Kayangan, Pengemis
Binal geleng-
geleng kepala. Namun, remaja
tampan ini segera
sadar bila benda yang dipegang
Dewa Peramal
memang pantas diberi nama Akar
Kayangan.
Bonggol akar itu pernah
menyelamatkan jiwa Pu-
tri Ayu Jelita dari serangan
'Racun Pencair Raga'
yang sangat mematikan.
"Untuk apa kau tunjukkan
akar ajaib itu,
sahabatku Dewa Peramal?"
tanya Peramal Bun-
tung yang melihat Dewa Peramal
menimang-
nimang Akar Kayangan.
Dewa Peramal tak menjawab.
Wajahnya di-
luruskan ke depan seraya
menyodorkan Akar
Kayangan ke hadapan Suropati.
Tentu saja Suro-
pati tak tahu maksud Dewa
Peramal. Untuk bebe-
rapa lama, remaja tampan ini
hanya menatap wu-
jud Akar Kayangan tanpa berbuat
apa-apa.
"Terimalah...," kata
Dewa Peramal tiba-tiba.
"Apa? Akar ajaib itu kau
berikan kepadaku? Kau
sadar apa yang kau lakukan,
Kek?" ujar Pengemis
Binal, tak percaya.
"Jangan salah mengerti,
Bocah Bagus," sa-
hut Dewa Peramal sambil
menyungging senyum.
"Akar yang berkhasiat ampuh
untuk melawan se-
gala jenis racun ini bukan
kuberikan kepadamu.
Aku hanya
meminjamkannya."
"Untuk apa?"
"Sudahlah. Kau terima saja.
Pada saatnya
nanti, kau pasti mengerti."
Melihat kesungguhan Dewa
Peramal, ak-
hirnya Pengemis Binal menerima
Akar Kayangan
yang kemudian disimpannya di
balik baju. Se-
mentara, Peramal Buntung
terlihat mengangguk-
anggukkan kepala. Firasat kakek
berompi kuning
ini mengatakan bila Akar
Kayangan kelak benar-
benar akan dibutuhkan oleh
Pengemis Binal.
"Bocah bagus...,"
sebut Dewa Peramal "Aku
tahu di balik ketampanan
wajahmu, juga me-
nyimpan kehalusan budi.... Aku
yang buruk rupa
ini mempunyai beberapa perkataan
yang mungkin
kurang enak didengar, tapi
alangkah baiknya bila
kau mau mendengarnya, Bocah
Bagus...."
"Saya yang bodoh dan kurang
pengalaman
tentu saja bersedia mendengar semua
perkataan
Kakek Dewa Peramal yang
bijaksana...," sambut
Pengemis Binal, membungkuk
hormat.
Dewa Peramal memalingkan wajah
ke ka-
nan. Perlahan kaki kanannya
terangkat, lalu di-
hentakkan ke tanah tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
"Walau usiamu belum seberapa,
tapi kau
punya wawasan cukup luas. Sulit
mencari orang
seperti dirimu, Bocah
Bagus," ujar Dewa Peramal,
wajahnya tetap berpaling ke
kanan. "Kau mem-
punyai bayangan rontok kembang
yang mengan-
dung banyak pertalian asmara,
cinta, dan sifat
welas asih. Tapi..., getaran
tubuhmu menyiratkan
pertumpahan darah. Seumur
hidupmu, kau akan
banyak melakukan pembunuhan.
Kuharap apa
pun yang kau lakukan berada di
jalan kebenaran
dengan menjunjung tinggi nilai
keadilan...."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya
mendengar ucapan Dewa Peramal.
Sementara,
Peramal Buntung bungkam seribu
bahasa. Dia
tahu bila ucapan Dewa Peramal
sama dengan apa
yang dirasakannya.
"Pada saat ini, getaran
tubuhmu menyi-
ratkan begitu banyak kesulitan.
Aku merasakan
getaran lain, yang terus
berputar di atas kepala-
mu. Mungkin... getaran itu
banyak mengandung
marabahaya," lanjut Dewa
Peramal. "Namun,
dengan kehalusan budi dan sifat
welas asih yang
kau miliki, akan banyak orang
yang menawarkan
persahabatan. Pada saatnya
nanti, mereka akan
memberikan pertolongan kepadamu.
Tapi, sung-
guh suatu hal yang bijaksana
apabila kau selalu
berhati-hati dalam berpikir
untuk mengambil ke-
putusan, terlebih lagi dalam berlaku dan bertin-
dak."
Di ujung kalimatnya, Dewa Peramal
meng-
gedrukkan lagi kaki kanannya
yang diberi alas
tempurung kelapa. Tok! Tok! Tok!
Di lain kejap,
Dewa Peramal membalikkan badan,
lalu berkele-
bat lenyap dari pandangan
Pengemis Binal dan
Peramal Buntung.
"Terima kasih,
Kek...!" seru Pengemis Binal
Peramal Buntung menarik napas
panjang.
Ditatapnya mentari yang telah
beranjak naik. "Ki-
ta berangkat sekarang, Tuan
Muda?" tawarnya
kepada Pengemis Binal.
"Berangkat? Berangkat ke
mana?" tanya
Pengemis Binal sambil nyengir
kuda.
"Lho, katanya Tuan Muda mau
ke Pulau
Penyu. "
"Ooo.... Ya, ya! Aku harus
menemui Bida-
dari Pulau Penyu
secepatnya!"
* * *
Kakek kate berperut gendut ini
menyelinap
dari balik bongkahan-bongkahan
batu besar
mengikuti langkah kaki Suropati
dan Peramal
Buntung. Gerakan tubuhnya
segesit burung walet
walau dia memanggul sebuah
genderang yang le-
bih besar dari tubuhnya sendiri.
Kakek kate yang
tinggi tubuhnya menyamai
anak-anak sepuluh
tahunan ini mengenakan pakaian
ketat merah hi-
tam. Kepalanya yang gundul
dikait dengan sehelai
kain berwarna kuning. Kakinya
diberi alas sepatu
yang terbuat dari kulit kerbau.
"Tepat dugaanku! Mereka
menuju ke sela-
tan. Kalau mereka sudah
menginjakkan kaki di
tanah berbatu-batu, barulah aku
bertindak...,"
kata hati si kakek kate.
Kakek yang wajahnya tak
ditumbuhi kumis
ataupun jenggot ini terus
berkelebat dari balik
bongkahan batu yang satu ke
bongkahan batu
yang lain. Genderang besar yang
dipanggulnya
sama sekali tak mengganggu
gerakannya.
Mata kakek kate ini berkilat
aneh ketika
melihat Suropati dan Peramal
Buntung berlari di
atas tanah yang tertutup
bebatuan. "Saatnya aku
bertindak," katanya dalam
hati.
Sigap sekali dia meloncat dari
balik batu
besar. Setelah bersalto tiga
kali di udara, dia
mendarat di atas lempengan batu
besar. Gende-
rang yang telah diletakkan di
depan kaki segera
disentilnya. Walau pelan tapi
sanggup menimbul-
kan suara menggeletar keras.
Suropati dan Pe-
ramal Buntung yang berada
sekitar tiga puluh
tombak di depan tampak terkejut
dan menghenti-
kan langkah kaki mereka.
"Hakim Neraka yang
menjatuhkan huku-
man mati bagi si Pengemis Binal
Suropati!" pekik
si kakek kate. Kedua tangannya
mencabut tong-
kat pemukul yang terselip di
ikat pinggangnya.
Dan, genderang segera bergetar
keras karena di-
pukul berkali-kali.
Dung! Blang! Dung! Blang!
"Seseorang telah menyerang
kita, Kek...,"
cetus Pengemis Binal ketika
merasakan telin-
ganya pekak akibat mendengar
irama aneh yang
ditimbulkan oleh pukulan
genderang si kakek
kate.
Peramal Buntung tak menyahuti.
Dia me-
rasakan hal yang sama dengan
Pengemis Binal.
Satu tarikan napas kemudian,
Pengemis Binal
dan Peramal Buntung menggembor
keras. Seku-
jur tubuh mereka terasa sakit
bagai dipukul-
pukul puluhan tangan yang tak tampak.
Jantung
mereka pun berdegup lebih kencang, membuat
dada sesak. Akibatnya, jalan
darah jadi kacau!
"Hiahhh...!"
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung me-
mekik bersamaan. Segera mereka
mengerahkan
hawa sakti untuk membentengi
diri dari serangan
irama genderang. Sambil
bersedekap dan terus
mengerahkan hawa sakti, mereka
memutar tubuh
untuk mengetahui siapa yang
telah menyerang.
Namun... bersamaan dengan irama
gende-
rang yang bertambah cepat, batu-batu
yang ber-
serakan di tanah tampak
terangkat, lalu berham-
buran ke arah Pengemis Binal dan
Peramal Bun-
tung!
Terpaksa Pengemis Binal dan
Peramal
Buntung berloncatan ke sana sini
untuk meng-
hindari serbuan batu. Karena
hujan batu bertam-
bah banyak, kedua orang ini jadi
kerepotan. Be-
berapa kali Pengemis Binal
terlihat memukul
hancur bongkahan batu yang
menyerbu. Semen-
tara, Peramal Buntung
menggeram-geram bagai
harimau di puncak kemarahan.
Peramal Buntung
benar-benar kerepotan karena
memiliki keterba-
tasan sebagai orang cacat yang
tak punya tangan.
Tapi sebagai manusia yang
dikaruniai akal budi,
tentu saja Peramal Buntung tak
mau pasrah me-
nerima kematian. Kedua kakinya
menyambar-
nyambar. Rentetan ledakan terus
membahana di
angkasa manakala bongkahan
bongkahan batu
pecah berkeping-keping tertimpa
tendangan Pe-
ramal Buntung. Namun karena
hujan batu tidak
juga habis, Peramal Buntung jadi
kewalahan. Se-
mentara, irama pukulan genderang
terus berku-
mandang, hingga benar-benar
dapat mengacau-
kan detak jantung dan aliran
darah Peramal Bun-
tung.
Keadaan Suropati tak berbeda
jauh. Butir-
butir peluh bertetesan dari
kening remaja tampan
ini. Bajunya pun telah basah
kuyup karena ke-
ringat. Serangan irama genderang
saja sudah cu-
kup merepotkan, apalagi ditambah
hujan batu
yang seperti tak ada habisnya.
Merasa bila jiwanya sendiri
berikut jiwa Pe-
ramal Buntung telah berada di
ambang pintu ak-
hirat, Pengemis Binal
mengalirkan seluruh kekua-
tan tenaga dalamnya ke tangan
kanan, Tanpa pi-
kir panjang, pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini berkelebat ke
arah Peramal
Buntung untuk memberikan
perlindungan.
"Diam di tempatmu, Kek!" Mendengar se-
ruan Suropati, Peramal Buntung
kontan terpaku.
Pada saat inilah, tubuh Peramal
Buntung disam-
bar oleh Suropati. Setelah
meruntuhkan beberapa
bongkahan batu, sambil memeluk
tubuh Peramal
Buntung dengan tangan kiri,
Suropati berkelebat
memutar cepat sekali. Hingga,
tubuhnya berubah
jadi bayang-bayang yang hampir
tak dapat dilihat
Dan...
Blarrr...! Blarrr...!
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras susul
menyusul.
Bongkahan batu berpentalan ke
berbagai
penjuru dalam keadaan hancur
berkeping-keping,
dan selapis salju merah menebar
ke mana-mana.
Hawa jadi dingin menusuk tulang.
Hujan batu
terhenti. Irama pukulan
genderang berhenti pula.
Agaknya ketika berkelebat
memutar tadi, Penge-
mis Binal telah mengeluarkan
ilmu pukulan 'Salju
Merah' yang didapat dari Nyai
Catur Asta.
"Ha ha ha...!" kakek kate
pemukul gende-
rang tertawa bergelak.
"Hebat! Sungguh hebat
kau, Anak Muda! Umurmu belum
seberapa, tapi
kau memiliki ilmu pukulan yang
sanggup mela-
wan serangan 'Genderang
Maut'-ku! Tapi, kau
jangan keburu senang karena
aku... ha ha ha...
aku akan... ha ha
ha...!"
Suropati dan Peramal Buntung
sama-sama
mengerutkan kening melihat si
kakek kate yang
sedang tertawa panjang mirip
orang gila. Tiba-
tiba, mata Peramal Buntung
terbelalak ketika
mengenali siapa kakek kate itu
sebenarnya.
"Hakim Neraka...!"
desis Peramal Buntung.
"Hakim Neraka?" kejut
Pengemis Binal.
Hati Suropati diliputi rasa
heran karena
baru saja Peramal Buntung
bercerita bahwa Ha-
kim Neraka telah lama menghilang
dari rimba
persilatan, tapi karena
tiba-tiba tokoh itu muncul,
bahkan hendak menjatuhkan tangan
maut.
Tanpa berkedip Suropati menatap
sosok
Hakim Neraka yang berdiri
sekitar tiga puluh
tombak dari hadapannya.
"Hei, Kek! Benarkah
kau orang yang bergelar Hakim
Neraka?" serunya
untuk mendapat kepastian.
"Dan, kenapa kau
hendak membunuh kami berdua?
Padahal, kami
tak punya urusan sama sekali
denganmu!"
"Ha ha ha...!" si
kakek kate tertawa berge-
lak lagi. "Ya! Aku memang
Hakim Neraka! Jangan
terkejut melihat aku datang
dengan tujuan mem-
bunuhmu, Anak Muda! Jika sahabat
tuamu yang
bergelar Peramal Buntung itu
turut mati, hatiku
akan bertambah senang! Ha ha
ha...!" Usai terta-
wa. Hakim Neraka menyentil
genderangnya. Keti-
ka timbul suara menggelegar
keras, dia berteriak
lantang, "Hakim Neraka
menjatuhkan hukuman
mati bagi si Pengemis Binal
Suropati!"
Tongkat pemukul di tangan Hakim
Neraka
berkelebatan. Irama pukulan
genderang yang
sanggup mengacaukan aliran darah
pun muncul
lagi. Bahkan, kali ini terdengar
lebih keras karena
Hakim Neraka benar-benar
mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu pukulan
'Genderang Maut'-nya!
Dung! Blang! Dung! Blang!
Menyadari bila bahaya yang lebih
hebat
akan segera mengancam jiwanya,
Pengemis Binal
berkelebat ke depan, berusaha
menghentikan pu-
kulan genderang Hakim Neraka!
"Jangan...!" cegah
Peramal Buntung den-
gan sebuah teriakan keras.
Terlambat! Tubuh Pengemis Binal
telah
melesat cepat ke arah Hakim
Neraka dengan satu
tendangan yang dimaksudkan untuk
membuat
hancur badan genderang.
Bersamaan dengan ini.
Hakim Neraka tertawa bergelak. Tangan kanan-
nya memukul genderang lebih
keras!
Blangngng...!
"Aaa...!"
Gema suara genderang sanggup
melontar-
kan tiga bongkah batu besar yang
tergeletak di
kanan kiri Hakim Neraka.
Sementara, tubuh Pen-
gemis Binal terpental balik
seperti membentur
dinding baja yang amat kuat.
Ketika masih me-
layang di udara, tiga bongkahan
batu besar melu-
ruk deras ke arahnya!
"Celaka!" seru Peramal
Buntung.
Bergegas kakek berompi kuning
ini berke-
lebat ke depan, memapaki tiga
bongkah batu yang
hendak meremukkan tubuh
Suropati!
Blar! Blar! Blar!
Terdengar ledakan keras tiga
kali. Dengan
satu tendangan melingkar,
Peramal Buntung ber-
hasil menghancurkan tiga bongkah
batu yang
masih melayang di udara. Namun
kakek cacat ini
terkesiap ketika melihat tubuh
Pengemis Binal ja-
tuh berdebam di tanah dan
terguling-guling lebih
dari sepuluh tombak
jauhnya!
"Tuan Muda! Kau jangan mati
dulu! Raja
Angin Barat akan segera
datang!" teriak Peramal
Buntung yang tiba-tiba mendapat
gagasan bagus
untuk menghentikan kebiadaban
Hakim Neraka.
Usaha Peramal Buntung agaknya
berhasil.
Di tempat lain, wajah Hakim
Neraka tampak me-
mucat. Tubuhnya menggigil dengan
bola mata
berputar-putar seperti sedang
dilanda rasa takut
hebat. Serta-merta kedua
tangannya berhenti
memukul genderang.
"Hukuman mati ditangguhkan
dulu!" seru
Hakim Neraka seraya menyambar
genderangnya,
lalu berkelebat lenyap membawa
perasaan giris.
* * *
"Kau tak apa-apa, Tuan
Muda?" tanya Pe-
ramal Buntung melihat Suropati
duduk bersim-
puh sambil memegangi
punggungnya.
"Tak apa-apa, hanya
punggungku terasa
agak nyeri," sahut
Suropati.
Terbawa rasa khawatir, Peramal
Buntung
memperhatikan keadaan Pengemis
Binal lebih
seksama. Dan, dia pun menarik
napas lega sete-
lah dapat memastikan bila
Pengemis Binal me-
mang tak menderita cedera parah.
Ketika mem-
bentur gema genderang Hakim
Neraka tadi, Suro-
pati membentengi tubuhnya dengan
tenaga da-
lam. Walau terpental dan jatuh
bergulingan, dia
tak mendapat luka yang
berarti.
"Kenapa kakek kate itu lari
terbirit-birit se-
telah mendengar teriakanmu,
Kek?" tanya Suro-
pati yang sempat melihat kepergian
Hakim Nera-
ka.
"Sengaja aku menyerukan
Raja Angin Ba-
rat akan datang ke tempat ini
karena aku mendu-
ga Hakim Neraka punya dosa besar
yang mem-
buatnya takut bertemu dengan
pemilik Lembah
Makam Pelangi itu," jawab
Peramal Buntung.
"Ya..., ya! Aku bisa
mengerti. Hakim Neraka
telah membunuh istri Raja Angin
Barat yang ber-
nama Maharani. Karena memendam
rasa bersa-
lah, Hakim Neraka menyembunyikan
diri selama
bertahun-tahun!" tegas
Pengemis Binal. "Tapi...,
aku jadi heran. Kenapa tiba-tiba
dia muncul dan
menginginkan
kematianku?"
Peramal Buntung diam, tak dapat
menja-
wab pertanyaan Suropati.
Sementara, Suropati
tampak garuk-garuk kepala seraya
berkata, "Ah!
Kenapa memikirkan orang tak
waras macam ka-
kek kate itu! Aku punya urusan
yang lebih pent-
ing. Aku harus menemui Bidadari
Pulau Penyu
hari ini juga!"
***
3
Pulau Penyu terletak di ujung
selatan Ne-
geri Pasir Luhur. Tak lebih dari
sebuah pulau ke-
cil yang dipenuhi semak belukar,
berada di ten-
gah-tengah telaga berair keruh
namun cukup le-
bar. Dari pinggir telaga, untuk
mencapai Pulau
Penyu harus menempuh jarak
sekitar tiga ratus
tombak. Ketika Suropati dan
Peramal Buntung
sampai di tempat ini, mentari
tepat memayung di
atas kepala. Tidak ada perahu
atau orang lain
yang mereka lihat. Hanya
kesunyian yang me-
nyambut mereka.
"Kenapa diam saja,
Kek?" tanya Pengemis
Binal yang melihat Peramal
Buntung hanya berdi-
ri diam tanpa berbuat apa-apa.
"Kita menunggu Pengantar
Tamu," jawab
Peramal Buntung, tetap memandang
lurus ke
arah Pulau Penyu.
''Kenapa mesti menunggu? Kita
bisa me-
nyeberang sendiri, bukan"
"Tak mungkin...,"
desis Peramal Buntung,
kepalanya menggeleng-geleng.
Dengan kening berkerut, Suropati
menatap
wajah Peramal Buntung yang
berdiri di sisi ki-
rinya. "Kukira kita bisa
menyeberangi telaga ini
dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh."
Peramal Buntung balas menatap.
Bibirnya
menyungging senyum. "Ilmu
meringankan tubuh?
Bagaimana caranya?"
Mendengar ucapan Peramal
Buntung, Su-
ropati jadi heran. Bagi seorang
tokoh silat jajaran
atas, menyeberangi telaga
ataupun sungai dengan
menggunakan ilmu meringankan
tubuh bukanlah
sesuatu yang aneh. Kenapa
Peramal Buntung
masih bertanya? Suropati sudah
dapat mengukur
kemampuan Peramal Buntung. Kalau
cuma me-
nyeberangi telaga selebar tiga
ratus tombak bu-
kan pekerjaan yang sulit
baginya. Apakah Peram-
al Buntung meragukan kemampuan
Suropati?
"Ha ha ha...!" Peramal
Buntung tertawa
bergelak melihat Pengemis Binal
terus menge-
rutkan kening sambil garuk-garuk
kepala. "Aku
dapat membaca jalan pikiranmu,
Tuan Muda...,"
katanya, penuh keyakinan.
"Hanya burung dan
binatang lainnya yang mampu
terbang saja, yang
sanggup menyeberangi telaga ini.
Atau mungkin,
manusia setengah dewa yang dapat
menempuh
jarak tiga ratus tombak dengan
satu kali lonca-
tan."
"Kita memang tak dapat
menempuh jarak
tiga ratus tombak dengan satu
kali loncatan. Ta-
pi, kita bisa melemparkan
ranting-ranting kering
ke permukaan telaga untuk
digunakan sebagai pi-
jakan," sahut Pengemis
Binal, mengutarakan ga-
gasannya.
"Tak mungkin."
"Kenapa?"
Peramal Buntung tak menjawab.
Dia me-
mungut selembar daun kering yang
tergeletak di
tanah dengan menggunakan
jari-jari kakinya. La-
lu dengan disertai sedikit
pengerahan tenaga da-
lam, daun kering itu dilemparkan
ke tengah tela-
ga.
Pengemis Binal melihat perbuatan
Peramal
Buntung dengan alis bertaut.
Remaja tampan ini
tak tahu apa maksud perbuatan
Peramal Bun-
tung. Namun tiba-tiba, Pengemis
Binal melonjak
kaget. Daun kering yang
dilemparkan Peramal
Buntung hanya sanggup mengambang
di permu-
kaan telaga selama satu kejap
mata. Seperti ada
tenaga yang menyedot dari bawah,
daun kering
itu tenggelam dan lenyap di
dalam air telaga yang
keruh!
"Selembar daun kering tentu
lebih ringan
dari sebatang ranting kering.
Kalau daun kering
saja tenggelam, apalagi ranting
kering," ujar Pe-
ramal Buntung.
"Kenapa bisa begitu?"
tanya Pengemis Binal
yang mulai mengerti bila air
telaga mempunyai
satu keanehan
"Air telaga yang mengitari
Pulau Penyu ini
mempunyai sebuah daya hisap yang
timbul dari
dasar telaga. Orang-orang di
sini menyebutnya
sebagai Tenaga Ganda Bumi.
Sampai di mana
pun ketinggian ilmu meringankan
tubuh seseo-
rang, bila orang itu meloncat
dengan ketinggian
kurang dari satu depa dari
permukaan telaga,
maka seluruh kemampuan ilmu
meringankan tu-
buhnya akan lenyap. Dia akan
tenggelam tanpa
dapat berbuat apa-apa lagi."
Mendengar penjelasan Peramal
Buntung,
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala. Tentu saja
remaja tampan yang kadang suka
berperilaku
aneh-aneh ini tak mau percaya
begitu saja. Untuk
menguji kebenaran Peramal
Buntung, dia ber-
jongkok seraya mengacungkan
telapak tangan
kanannya ke permukaan telaga.
Dan..., remaja
tampan ini terkejut setengah
mati ketika tangan-
nya terhisap, lalu masuk ke
dalam air sampai se-
batas siku!
Hampir saja Suropati tercebur
kalau saja
dia tidak cepat mengatur
keseimbangan tubuh-
nya. Dengan mengerahkan tenaga
dalam, barulah
pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
ini dapat menarik pergelangan
tangannya kemba-
li.
"Luar biasa...! Luar
biasa...!" desis Penge-
mis Binal sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Selagi remaja tampan ini
terjerat dalam.
rasa heran bercampur kagum,
tiba-tiba Peramal
Buntung berseru,
"Awas...!"
Dari pinggir telaga di Pulau
Penyu, Suropa-
ti melihat sebuah benda putih
berkilat meluncur
deras ke arahnya. Senjata
rahasia! Maka secepat
kilat, Suropati meloncat untuk
menghindar dari
ancaman maut.
Zing...!
Tep...!
Pengemis Binal menoleh ke
samping kiri.
Dilihatnya Peramal Buntung yang
tengah men-
gangkat telapak kaki kanannya
sejajar dengan
kepala. Sebuah belati tipis
tampak terjepit di sela-
sela jari kaki Peramal Buntung.
Rupanya, Peram-
al Buntung telah menangkap
senjata rahasia yang
dilempar orang dari Pulau Penyu.
"Ambillah...," kata
Peramal Buntung seraya
memutar kakinya ke hadapan
Pengemis Binal.
Di lain kejap, Suropati telah
membuka se-
carik kertas yang semula melekat
di gagang belati.
Di kertas itu terdapat tulisan
yang dibuat dengan
tinta merah. Berbunyi: Bidadari
Pulau Penyu tidak
menerima tamu! Kalau masih
sayang dengan
nyawa, segera tinggalkan tempat
ini!
Setelah Peramal Buntung turut
membaca
tulisan itu, dia menatap lurus
ke arah Pulau
Penyu. Namun, tidak terlihat
seorang pun manu-
sia di sana. Yang tampak
hanyalah pohon-pohon
yang dikitari semak belukar
"Apakah Bidadari Pulau
Penyu yang telah
menyambitkan belati ini,
Kek?" tanya Pengemis
Binal. "Walau dia menolak
untuk menerima tamu,
aku tetap akan mendatangi Pulau
Penyu."
"Jangan sembrono! Kalau
Bidadari Pulau
Penyu menolak kedatangan kita,
maka sampai
kapan pun kita tak akan dapat
menginjakkan ka-
ki di Pulau Penyu. Tapi..., Tuan
Muda tak perlu
khawatir. Masih ada kemungkinan
Bidadari Pulau
Penyu mau menerima kedatangan
kita. Karena,
yang menyambitkan belati
peringatan tadi bukan
dia sendiri."
"Siapa?"
"Kalau tidak salah aku
menduga, dia tentu
orang yang disebut sebagai
Pengantar Tamu."
Usai berkata, tiba-tiba Peramal
Buntung
mengangkat kaki kirinya.
Berkelebat cepat sekali.
Secarik kertas yang berada di
tangan Pengemis
Binal tahu-tahu telah berpindah
ke jepitan jari-
jari kaki kiri Peramal
Buntung.
Pengemis Binal cuma menatap
sambil ga-
ruk-garuk kepala ketika Peramal
Buntung menja-
tuhkan diri ke tanah. Tampak
kemudian, kuku
jempol kaki kanan Peramal
Buntung yang beru-
jung lancip bergerak-gerak di
atas kertas yang
masih terjepit di sela-sela jari
kaki kirinya. Di lain
kejap, permukaan kertas itu telah berlubang-
lubang. Dan, deretan
lubang-lubang kecil itu me-
nyusun barisan huruf yang
berbunyi:
Yang datang berkunjung adalah
Peramal
Buntung bersama seorang pemuda
tampan. Sam-
paikan salam kami kepada
Bidadari Pulau Penyu.
Kening Pengemis Binal berkerut
rapat keti-
ka kertas itu diserahkan
kepadanya. "Karena Bi-
dadari Pulau Penyu suka kepada
pemuda tam-
pan, agaknya kau ingin menggunakan
aku seba-
gai umpan, Kek...,"
tegurnya. "Tapi, tak jadi apa.
Memang aku yang bermaksud
menemui orang itu.
Mudah-mudahan dia seorang gadis
sintal berwa-
jah cantik. He he he...."
Sejalan dengan pikiran Peramal
Buntung,
usai tertawa terkekeh-kekeh
Suropati melekatkan
kertas di tangannya ke gagang
belati. Lalu, dis-
ambitkannya dengan disertai
beberapa bagian te-
naga dalam. Seperti anak panah
lepas dari busur,
pisau itu melesat cepat menuju
ke tempat asalnya
di Pulau Penyu.
Setelah menunggu beberapa
tarikan napas,
sebuah perahu hitam tampak
meluncur dari Pu-
lau Penyu. Anehnya, jalan perahu
itu tidak lurus.
Berkelok-kelok. Bahkan terlihat
menyimpang jauh
ke kanan, lalu ke kiri lagi,
meluncur deras seben-
tar, kemudian menyimpang lagi.
"Luncuran perahu itu
mengikuti jalan ra-
hasia. Hanya Bidadari Pulau
Penyu dan beberapa
Orang kepercayaannya saja yang
tahu jalan raha-
sia itu. Orang lain jangan harap
dapat menyebe-
rangi telaga ini dengan
selamat," jelas Peramal
Buntung.
Ketika jarak perahu hitam
tinggal lima pu-
luh tombak dari hadapan Peramal
Buntung dan
Pengemis Binal, dapat dilihat
bila badan perahu
itu terbuat dari kulit kerbau
yang telah dikering-
kan. Sementara, seorang pemuda
tampan bertu-
buh kekar berada di dalamnya.
Dia mengenakan
pakaian kuning bergaris coklat
yang terbuat dari
bahan mahal. Di bahu kanannya
bertengger see-
kor burung merpati berbulu
kelabu.
Pengemis Binal nyengir kuda
seraya garuk-
garuk kepala manakala perahu
kulit kerbau di-
dayung membelok ke kanan. Lalu,
menepi cukup
jauh dari tempatnya berdiri.
Perahu itu tentu
mengikuti jalan rahasia, pikir
Pengemis Binal.
"Kita ke sana!" ajak
Peramal Buntung.
Bergegas Pengemis Binal
mengikuti lang-
kah kaki Peramal Buntung. Namun,
kehadiran
mereka hanya disambut tatap mata
menyelidik
dari pemuda yang masih berada di
dalam perahu.
"Kaukah Peramal Buntung
itu?" tanya si
pemuda.
"Ya," jawab Peramal
Buntung.
"Pulau Penyu jarang sekali
dijamah orang.
Lagi pula, Bidadari Pulau Penyu
tak suka mene-
rima kedatangan orang luar di
Pulau Penyu. Un-
tuk apa kau datang kemari, Pak
Tua?"
"Ha ha ha...!" Peramal
Buntung tertawa
bergelak. "Ucapanmu amat
ketus dan kasar seka-
li, Anak Muda. Bolehlah aku
menahan diri karena
kau hanya menjalankan tugas.
Aku, Peramal
Buntung, adalah kenalan lama
majikanmu. Aku
datang kemari untuk mengantar
Tuan Muda-ku
ini. Tentu saja ada urusan
penting yang akan di-
bicarakan dengan majikanmu
itu."
Pemuda bertubuh kekar yang
disebut se-
bagai Pengantar Tamu menatap
lekat wajah Pen-
gemis Binal. Lalu dengan suara
berat, dia ber-
tanya, "Siapa namamu? Kalau
punya gelar, se-
butkan!"
"Hmmm.... Benar kata Kakek
Peramal Bun-
tung. Ucapanmu memang ketus dan
kasar sekali,
Sahabat," ujar
Pengemis Binal. "Kalau memang
untuk dapat bertemu dengan
Bidadari Pulau
Penyu harus menyebut nama
berikut gelar, tak
jadi apa. Aku bernama
Suropati. Teman-temanku
suka memberi gelar Pengemis Binal."
Di ujung kalimat Pengemis Binal,
si Pen-
gantar Tamu mengambil secarik
kertas dan se-
buah alat tulis dari saku
bajunya. Setelah kertas
itu ditulisi suatu pesan, pemuda
kekar ini mengi-
katkannya di kaki merpati
kelabu. Burung peliha-
raan yang tampak sudah sangat
terlatih itu sege-
ra terbang ke Pulau Penyu. Tidak
seberapa lama
kemudian, dia sudah kembali
hinggap di bahu
kanan Pengantar Tamu.
Setelah membaca jawaban pesan di
kertas
yang terikat di kaki merpati
kelabu, Pengantar
Tamu berkata, "Bidadari
Pulau Penyu cukup me-
mandang muka kalian. Tapi,
kalian jangan jadi
besar kepala, apalagi berbuat
yang tidak-tidak.
Kalau mau selamat, turutilah
aturan yang berla-
ku di Pulau Penyu."
Hati Peramal Buntung dan
Pengemis Binal
mendongkol mendengar ucapan
Pengantar Tamu
yang tampak sangat meremehkan.
Tapi, mereka
menurut saja ketika Pengantar
Tamu mengajak
untuk segera naik perahu.
Tanpa berkata apa-apa lagi
Pengantar Ta-
mu mendayung perahu, menempuh
jalan rahasia
yang berkelok-kelok, menyimpang
ke kanan mau-
pun ke kiri.
"Anak Muda...," sebut
Peramal Buntung ke-
tika perahu telah berada di
tengah telaga. "Aku
tahu sebenarnya hatimu baik.
Sayang sekali, kau
telah terperangkap dalam
kubangan lumpur
yang...."
"Aku tak butuh
nasihat!" potong Pengantar
Tamu, keras membentak.
"Hmmm.... Jangan salah
mengerti, Anak
Muda. Aku bukan menasihatimu.
Aku sekadar
mengutarakan isi hatiku. Tak ada
buruknya jika
kau mau mendengarkan...."
Pengantar Tamu tak menyahuti,
Kedua
tangannya terus bergerak
mendayung. Luncuran
perahu terasa makin cepat.
"Aku melihat bayang-bayang aneh
di atas
kepalamu, Anak Muda,"
lanjut Peramal Buntung.
"Bayang-bayang itu berupa
nisan kubur. Ada
baiknya jika kau berhati-hati,
Anak Muda. Ting-
galkan perbuatan yang kotor dan
hina selagi ma-
sih punya kesempatan..."
Pengantar Tamu tetap diam. Namun,
diam-
diam hati pemuda ini bergetar
mendengar ucapan
Peramal Buntung. Walau tidak
mengatakan seca-
ra langsung, tapi ucapan Peramal
Buntung jelas
menyiratkan bahwa usia Pengantar
Tamu tak
panjang lagi.
Sementara Pengantar Tamu terus
men-
gayuh dayung dengan hati
bergetar, Pengemis Bi-
nal memperhatikan permukaan
telaga yang dile-
wati perahu.
Pengemis Binal tak memperhatikan
ucapan
Peramal Buntung karena dia larut
dengan piki-
rannya sendiri.
"Perahu yang kutumpangi ini
tidak terhisap
masuk ke dasar telaga karena
mengikuti jalan ra-
hasia. Suatu rahasia pasti ada
kunci pembu-
kanya. Aku harus tahu kunci
pembuka jalan ra-
hasia di telaga ini."
Mengikuti pikiran di benaknya,
Pengemis
Binal mengatupkan kelopak
matanya seraya
menghimpun kekuatan batin.
Dengan menge-
trapkan ilmu 'Mata Awas', remaja
tampan ini be-
rusaha melihat kedalaman telaga.
Dan..., Penge-
mis Binal bersorak girang dalam
hati. Pandangan
matanya mampu menembus air
telaga yang ke-
ruh. Hingga, terlihat olehnya
tonggak-tonggak
kayu yang berdiri menancap di
dasar telaga. Dia
pun tahu bila jalan yang
ditempuh perahu mengi-
kuti tonggak-tonggak kayu
"Hmmm.... Anak buah
Bidadari Pulau
Penyu ini tentu memiliki ilmu
'Mata Awas' atau
ilmu semacamnya seperti yang
kumiliki. Kalau ti-
dak, mana mungkin dia dapat
melihat tonggak-
tonggak kayu di dalam air telaga
yang keruh?" ka-
ta hati Pengemis Binal.
"Tapi, siapa yang menan-
capkan tonggak-tonggak kayu itu?
Sungguh sua-
tu pekerjaan yang amat sulit dan
berbahaya
membuat jalan rahasia di air
telaga yang mempu-
nyai daya isap cukup kuat ini.
Kalau si pembuat
jalan rahasia ini adalah
Bidadari Pulau Penyu
sendiri, dia pasti seorang tokoh
sakti yang beril-
mu sangat tinggi. Hmmm.....
Walau begitu, aku
akan tetap memaksanya untuk
menyerahkan
Mustika Batu Merpati kepadaku.
Dia seorang
pencuri! Akulah yang berhak
memiliki batu mus-
tika pemberian Putri Impian
itu."
Sewaktu Pengemis Binal
berkata-kata den-
gan suara hatinya sendiri,
perahu telah menepi.
Setelah bahunya disenggol
Peramal Buntung, ba-
rulah Pengemis Binal sadar bila
telah sampai di
Pulau Penyu.
Suropati jadi heran. Tanah yang
dipijaknya
bernama Pulau Penyu, tapi tak
seekor penyu pun
yang terlihat. Pinggiran pulau
hanya diseraki
bongkahan batu yang separoh
bagiannya menan-
cap di tanah. Bagian yang
menyembul ke permu-
kaan tanah berwarna hitam
kehijauan dan ber-
bentuk bundar sedikit lonjong.
Dilihat sekilas
memang mirip penyu. Mungkin
karena banyak
diseraki batu mirip penyu itulah
pulau ini dina-
makan Pulau Penyu.
"Ha ha ha...!" Peramal
Buntung tertawa ter-
pingkal-pingkal ketika melihat
empat orang pe-
muda muncul dari balik
pepohonan.
Penampilan empat orang pemuda itu me-
mang cukup menggelikan. Tubuh
mereka sama-
sama kekar, tapi hanya
mengenakan cawat yang
terbuat dari kain berwarna merah
mencolok. Di
dada mereka terdapat rajah yang
menyatu dengan
kulit. Masing-masing berbunyi:
Piaraan 1, Piaraan
2, Piaraan 3 dan Piaraan 4.
Lebih lucu lagi, ram-
but mereka yang panjang digelung
ke atas mirip
gelungan wanita. Bahkan dihiasi
tiga batang tu-
suk konde emas!
"Ha ha ha...!"
Suropati tak dapat menahan
tawa pula. "Sungguh malang
nasibku hari ini. Da-
tang ke Pulau Penyu dengan harapan berjumpa
dengan seorang gadis cantik, eh,
malah berjumpa
dengan empat lelaki
banci..."
"Tutup mulutmu!"
bentak Pengantar Ta-
mu., "Jangan menghina
orang-orang penghuni
pulau ini. Sekali lagi kubilang,
kalau ingin sela-
mat, jaga mulutmu dari jangan berbuat yang ti-
dak-tidak!"
"Ya..., ya! Aku memang
harus menjaga mu-
lut. Biar tak ada lalat masuk!
Aku juga tak akan
berbuat yang tidak-tidak. Tapi,
akan berbuat ya...
ya... ya…!"
Kata 'ya' diucapkan Suropati
dengan nada
melenggak-lenggok. Melihat sikap
konyol Suropa-
ti, Peramal Buntung kontan
tertawa lagi. Semen-
tara, Pengantar Tamu mendengus
gusar seraya
melayangkan telapak tangan
kanannya.
"Eit...!"
Wut...!
Dengan merundukkan tubuh,
Pengemis
Binal terhindar dari tamparan
Pengantar Tamu
yang mengarah mulut. Namun,
segera Pengemis
Binal menyadari kesalahannya
ketika mendengar
geram kemarahan Pengantar Tamu.
"Ya..., ya! Aku memang
salah, Sahabat.
Maafkan...," ucap Pengemis
Binal, penuh kesan
kehormatan.
Pengantar Tamu menatap wajah
Pengemis
Binal dengan sinar mata
berkilat-kilat. Namun,
pemuda ini tidak berbuat
apa-apa. Setelah mere-
dam hawa amarahnya, dia berkata,
"Segera ikuti
Laskar Penyambut itu!"
Kontan perut Pengemis Binal
terasa mual
karena menahan tawa. Laskar
Penyambut? Yang
ditunjuk Pengantar Tamu hanya
empat orang le-
laki, kenapa disebut laskar?
Bukankah istilah
laskar hanya digunakan untuk
menyebut seke-
lompok pasukan yang berjumlah
puluhan atau
ratusan bahkan ribuan orang?
Ketika Pengemis Binal menoleh,
dilihatnya
Peramal Buntung yang mengatupkan
bibir kuat-
kuat dengan tulang rahang
menonjol. Agaknya,
Peramal Buntung juga tengah
menahan tawa.
"Silakan, naik ke tandu,
Tuan...," ujar pe-
muda yang dadanya ditulisi
Piaraan 1.
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung sal-
ing pandang sejenak. Rasa geli
sama-sama meng-
gelitik hati mereka. Tapi
mengingat bahwa mereka
berada di tanah orang, mereka
pun sadar bila ha-
rus mengikuti aturan yang
berlaku walau terlihat
aneh dan menggelikan.
Setelah Pengemis Binal dan
Peramal Bun-
tung duduk di dalam tandu yang
dibawa oleh em-
pat pemuda bercawat, Pengantar
Tamu tampak
mengangkat perahu kulit
kerbaunya, lalu dibawa
berkelebat masuk ke tengah pulau
yang penuh
semak belukar. Sementara, empat
pemuda ber-
cawat langsung memanggul tandu
yang ditempati
Pengemis Binal dati Peramal
Buntung.
***
Emoticon