EMPAT IBLIS KALI PROGO
* Copyright naskah ini ditangan
penerbit
LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa
seijin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam
bahasa
Asing,
harus seijin penerbitnya lebih
dahulu.
1
ROMBONGAN pasukan berkuda
lasykar
Kerajaan itu lewat dengan suara
yang
bergemuruh, melintas dijalan
desa yang
sunyi itu. Debu tebal mengepul
di-
sepanjang jalan. Batu dan pasir
berterbangan... Dan sekejap saja
lebih
dari dua puluh ekor kuda itu
melintas
dengan cepat, disertai
teriakan-teria-
kan gegap gempita bagai tengah
mengejar orang. Sebentar
kemudian sua-
sana ditempat itu kembali
hening. Akan
tetapi segera terlihat satu
peman-
dangan yang mengharukan. Karena
bebe-
rapa ekor kambing telah
berkaparan
dijalanan dengan keadaan yang
menyedihkan.
Seekor kambing berbulu coklat
tampak mencoba berdiri dengan
susah
payah, akan tetapi kembali roboh
terguiing. Ternyata kaki depannya
telah hancur remuk dilindas
kaki-kaki
kuda. Suara mengembiknya
terdengar
menyayat hati. Tiga ekor kambing
ber-
bulu hitam terkapar tak bernyawa
dengan kepala berlumuran darah.
Seekor
lagi yang berbulu putih tengah
sekarat
dengan keadaan yang menyedihkan.
Sementara dua ekor anak kambing
yang
masih kecil telah mati dengan
tubuh
hancur luluh.
Dari sebuah parit disisi jalan,
muncul kepala seorang bocah
gembala.
Wajahnya pucat pias penuh debu
dan
lumpur. Rambutnya kusut masai
penuh
jerami kering. Rupanya tadi
sewaktu
pasukan berkuda itu melintas
jalan.
Dia tengah menghalau
kambing-kaming
gembalaannya melintasi jalan
sunyi
itu. Tak diduga rombongan
pasukan
berkuda itu begitu cepat
datangnya,
tahu-tahu telah didepan mata.
Terbeliak sepasang matanya, dan
dengan
berteriak kaget dia cepat
gulingkan
tubuhnya menyelamatkan diri dan
maut
hingga terjerumus keparit.
Si bocah gembala ini ternyata
seorang bocah perempuan yang
berusia
sekitar tujuh tahun. Gadis kecil
ini
mengucak-ucak matanya melihat
sebuah
pemandangan tragis terpampang
didepan
matanya. Penglihatannya
tertumbuk pada
dua ekor anak kambing yang
terkapar
mati dengan tubuh hancur
bersimbah
darah.
"Oh...?" Satu suara
tersendat
keluar dari bibir bocah gembala
ini.
Sepasang kakinya gemetaran
seperti tak
kuat menahan tubuhnya lagi.
Ketika melihat seekor kambing
berbulu putih yang tengah
megap-megap
sekarat dengan mulut mencucurkan
darah, bocah ini berteriak
menjerit.
"Putih...!? oh, Pu....
Putiiiih!"
Dan segera menghambur lari
menubruk
kambing itu.
Selanjutnya sudah menangis ter-
isak-isak dengan suara
menyedihkan. Si
Putih baru sebulan ini
melahirkan
anaknya yang dua itu. Anak kambing
yang lucu-lucu. Seekor berbulu
putih,
dan seekor lagi berbulu hitam.
Kini kedua ekor anak kambing
yang
lucu-lucu itu sudah jadi bangkai
tak
bernyawa. Dan sang induknya
tengah
megap-megap sekarat dengan
keadaan
mengenaskan hati. Tersedu-sedu
sibocah
gembala memeluki sang kambing
kesa-
yangannya. Kambing yang satu ini
adalah miliknya sendiri yang
telah
dibelikan oleh ayahnya setahun
yang
lalu. Sedangkan yang lainnya
adalah
kambing-kambing milik sang
paman, yang
digembalakannya menjadi satu.
Sementara si Putih itu rupanya
sudah
tak kuat mempertahankan lagi
nyawanya.
Setelah sekarat meregang nyawa,
tak
lama kemudian kambing itupun
mati.
Sang bocah gembala itu semakin
kuat memeluki tubuh binatang
kesa-
yangannya. Tangisnya hampir tak
ter-
dengar karena suaranya telah
serak.
Kenyataan yang tragis itu
ternyata
telah menggoncangkan jiwanya.
Hingga
karena tak kuat menahan
kesedihan yang
amat sangat, si gadis kecil
itupun
terkulai tak sadarkan diri.
Angin gunung bertiup berdesahan
menyibak rambutnya. Entah berapa
lama
dia tertelungkup tak sadarkan
diri
dengan lengan masih memeluk
binatang
itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan
kembali terdengar bunyi derap
kaki-
kaki kuda mendatangi. Ternyata
rombongan pasukan berkuda
lasykar
Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak
dapat dibayangkan apa yang bakal
terjadi, karena gemuruh puluhan
ekor
kuda itu menderu-deru cepat
laksana
air bah. Peristiwa mengerikan
itupun
kembali berlangsung... Kuda
pertama
menerabas tanpa kenal ampun,
disusul
kuda-kuda selanjutnya. Kaki-kaki
binatang kekar ini cuma
menurutkan
perintah tuannya, langsung
menggilas
apa saja yang menghalangi jalan.
Lima
ekor kuda telah lewat menerabas.
Dan
tubuh kecil tak berdaya yang
membaur
diantara bangkai-bangkai kambing
itu
pun terinjak-injak, terlempar
kesana
kemari. Lalu digilas oleh
kaki-kaki
kuda selanjutnya.
Pada saat itulah satu bayangan
telah berkelebat menggelinding,
dan
menyambar tubuh bocah gembala
itu.
Dengan berguling-guling diantara
kaki-
kaki kuda yang berkepulan debu,
dia
berhasil keluar dari kaki-kaki
maut
yang melintas dengan cepat itu.
Dan
sebentar saja rombongan pasukan
berkuda itu telah lenyap
dikejauhan.
Kini terlihatlah satu
pemandangan
yang mengenaskan. Diantara
kepulan
debu yang menipis itu, tampak
seorang
laki-laki berusia sekitar tiga
puluh
tahun lebih menggelepoh disisi
jalan.
Bajunya penuh dengan tapak-tapak
kaki
kuda. Bahkan bekas tapak kaki
kuda
terlihat dipelipisnya. Sementara
si
bocah gembala itu belum
diketahui
nasibnya, karena telah
dipeluknya
erat-erat menempel didada.
Perlahan-
lahan dia bangkit berdiri.
Matanya
bersinar menatap ke ujung jalan
dimana
rombongan pasukan berkuda
lasykar
Kerajaan itu lenyap. Tampak dada
laki-
laki ini berombak-ombak menahan
geram,
dengan gigi terdengar berkerot.
"Bangsat-bangsat
terkutuk...!"
Terdengar suara desis keluar
dari
bibirnya. Namun sesaat dia sudah
tersentak ketika melihat keadaan
bocah
yang di tolongnya. Cepat-cepat
ia
menempelkan telinganya ke dada
bocah
itu. Dan wajahnya berubah pucat.
"Celaka…! Aku harus cepat
menolongnya sebelum
terlambat..!"
Desisnya penuh kekhawatiran.
Dan...
berkelebatlah laki-laki berbaju
putih
itu tinggalkan tempat itu.
Tubuhnya
melesat cepat sekali, lalu
sebentar
kemudian lenyap dibalik
perbukitan.
Tiba-tiba dari ujung jalan tadi,
muncul lagi serombongan pasukan
lasykar Kerajaan. Suara derap
kaki-
kaki kuda kembali menyibak
keheningan.
Ternyata rombongan yang tadi,
akan
tetapi kini cuma lima ekor kuda
yang
mendatangi.
Tiba-tiba si penunggang kuda
paling depan mengangkat
tangannya,
memberi isyarat berhenti.
Penunggang
kuda ini masih muda. Berusia
sekitar
dua puluh tahun lebih. Berwajah
tampan
dan menunggang kuda berbulu
hitam
berkilat. Kiranya dialah si
pemimpin
rombongan berkuda itu. Segera sepasang
matanya menyapu sekitar tempat
itu.
Menatap pada beberapa ekor kambing
yang porak poranda dengan
keadaan tak
bernyawa. Berkilat-kilat
sepasang
matanya menatap bangkai-bangkai
bi-
natang itu. Kemudian memutar
kudanya.
Pandangannya menyapu bukit dan
keadaan
sekitarnya.
"Hm, cepat periksa keadaan
disekitar perbukitan ini! Apakah
ada
manusia?" Perintahnya pada
keempat
anak buahnya. Keempat penunggang
kuda
itu segera mengangguk hormat,
dan
segera memecah keempat penjuru.
Lalu
memulai penyelidikan. Sementara
si
pemuda tampan kepala pasukan
berkuda
ini berputar-putar disekitar
tempat
itu, dengan sepasang matanya
memper-
hatikan bangkai-bangkai kambing
yang
berserakan dijalanan. Kiranya
tadi
sewaktu rombongan pasukan
berkuda
lasykar Kerajaan itu melewati
jalan
ini, sekilas dia telah melihat
seorang
bocah kecil tertelungkup
diantara
bangkai-bangkai kambing yang
memang
telah berserakan dijalanan. Akan
tetapi karena dia berada
dibarisan
ketiga, dan terhalang oleh tiga
ekor
kuda dihadapannya. Dia tak
begitu
memperhatikan. Apa lagi untuk
menghentikan kudanya adalah tak
mungkin. Karena kuda-kuda mereka
berlari cepat sekali.
Sedangkan dia yakin, seandainya
penunggang kuda paling depan
menge-
tahui ada orang dijalanan, tentu
dari
jauh-jauh sudah memberi aba
untuk
berhenti. Itulah sebabnya tadi
dia
terus melewati dengan agak ragu,
apakah penglihatannya cuma
fatamorgana
saja, ataukah sesungguhnya?
Namun
ketika tiba di pos sebelah
depan,
pemuda ini sengaja kembali lagi
bersama keempat perwira
bawahannya.
Sedangkan rombongan yang terdiri
dari
dua puluh ekor kuda dibawah
pimpinan
Tumenggung Wirapati meneruskan
berangkat ke perbatasan Kota
Raja.
Sebenarnya dia dan keempat anak
buahnya berada dilain rombongan,
yang
memintas jalan memutar melalui
belakang bukit, dan tidak
melalui
jalan desa ini. Ketika itu
mereka tiba
terlebih dulu. Setelah memberi
laporan
bahwa buronan yang dicarinya tak
dijumpai, segera bergabung
dengan
rombongan yang dibawah pimpinan
Tumenggung Wirapati.
Demikianlah,
hingga kedua rombongan itu
segera
melewati jalan desa yang sunyi
itu.
Tentu saja membuat pemuda tampan
pemimpin keempat perwira
Kerajaan itu
menjadi penasaran, dan kembali
lagi.
Penasaran untuk membuktikan
pengli-
hatannya. Apakah dijalanan yang
dilewati rombongan mereka, ada
seorang
bocah tertelungkup diantara
kambing-
kambing yang berserakan?
Tiba-tiba tatapan matanya ter-
tumbuk pada sebuah benda
bersinar
diantara kambing-kambing yang
ber-
kaparan dijalan itu. Cepat dia
bergerak melompat turun dari
kudanya.
Diambilnya benda itu, yang
ternyata
seuntai kalung berwarna putih
berkilatan. Rantainya terbuat
dari
baja putih, sedangkan
bandulannya
terbuat dari gading berbentuk
hati.
Pada bagian tengahnya terdapat
ukiran
sebuah huruf " R ".
Tersentak hatinya
melihat kalung ini. Kini dia
yakin
benar bahwa yang tertelungkup
disini
tadi benar-benar seorang bocah
manusia. Cepat disimpannya benda
itu
ke balik pakaiannya, dan kembali
melompat ke atas kuda.
Sementara benaknya mulai ber-
fikir....
Hm, kalau Tumenggung Wirapati
dan
anak buahnya mengetahui
didepannya ada
seorang bocah tetelungkup
ditengah
jalan, mengapa tak memberi
isyarat
berhenti? Mustahil kalau mereka
tak
melihatnya! Dan berkaparannya
kambing-
kambing yang mati ini pasti
karena
diterjang terus oleh rombongan
berkuda
dibawah pimpinannya! Benar! Aku
yakin
bocah si pemilik kalung ini
adalah
seorang bocah penggembala kambing!
Mungkin rombongan mereka terus
mener-
jangnya disaat melewati jalan
ini! Dan
ketika kembali lagi setelah
bergabung
dengan rombongan pasukanku telah
menerjang lagi bocah yang
tertelungkup
dijalanan! Entah bocah itu
tertidur
ataukah pingsan, aku tak
mengetahui..!
Terdengar suara pemuda itu
berdesis kesal.
"Kalau begitu Tumenggung
Wirapati
benar-benar soorang yang berhati
kejam! Sungguh-sungguh
keterlaluan..!"
Memaki si pemuda. Kini yang jadi
pertanyaan adalah sipemilik kalung
itu. Kemanakah gerangan bocah
gembala
itu? Kalau mayatnya ada tentu
tak
menjadikan dia penasaran. Kalau
memang
penglihatannya salah, tak
mungkin
ditemukannya kalung itu.
"Apakah sibocah penggembala
kam-
bing itu seorang bocah
perempuan?"
Desisnya lagi pelahan. Setelah
ber-
fikir bolak-balik tak menentu,
akhir-
nya dia menyerah, tak dapat
memecahkan
persoalan itu. Sekarang tinggal
menunggu penyelidikan keempat
Perwira
bawahannya.
Kira-kira selang beberapa saat,
tampak satu-persatu keempat Perwira
bawahannya. Dia telah menerima
laporan.
Ternyata laporan yang didapat
adalah tidak adanya siapa-siapa
disekitar tempat itu. Pedesaan
masih
amat jauh sekitar ratusan kaki
dilereng bukit. Tak ada seorang
manusiapun yang lewat ditempat
itu.
Akhirnya setelah temenung
beberapa
saat, pemuda pemimpin rombongan
itupun
segera perintahkan untuk
kembali.
Derap suara langkah kaki-kaki
kuda
kembali terdengar disekitar
tempat
sunyi itu. Namun suara itupun
semakin
menjauh. Lalu melenyap,
tinggalkan
debu yang mengepul disepanjang
jalan.
Tempat itu kembali lengang
seperti
sediakala. Dan bangkai-bangkai
kambing
itu cuma menambahkan sebuah
peman-
dangan yang memilukan....
2
WAKTU berlalu begitu cepat se-
perti anak panah lepas dari
busurnya.
Tujuh tahun kemudian sejak
kejadian
dijalan desa sunyi itu....
"ROROOOO..!"
ROROOOOOOOOO..!"
Satu suara terdengar sayup-sayup
dikejauhan, diantara tebing dan
bukit
dekat air terjun. Pemandangan
disitu
memang indah. Bukit-bukit dan
tebing
menjulang disana-sini. Dilereng
Gunung
Rogojembangan itu mengalir
sebuah
sungai berair jernih. Disebelah
barat,
persis diarah hulu sungai itu,
terlihat menonjol sebuah lamping
bukit
curam yang berbentuk aneh dan
indah
sekali. Karena bila diperhatikan
amat
mirip dengan kepala burung
Rajawali
Raksasa. Menghadap kearah sisi
bukit
itu adalah hutan belantara. Dan
air
terjun itu persis berada dibawah
lamping bukit yang berbentuk
kepala
burung Rajawali
"Roroooooo..!" Kembali
terdengar
suara memanggil itu. Kali ini
suaranya
lebih keras. Seorang bocah
laki-laki
tanggung kira-kira berusia empat
belas
tahun, tampak melompat diantara
batu-
batu tebing dan bukit terjal.
Gerakannya amat lincah sekali.
Dengan
sebat bocah laki-laki tanggung
itu
menuruni akar pohon yang
melintang di
lereng tebing lalu melompat lagi
menuju kebawah bukit. Dari
gerakannya
dapatlah diketahui bahwa bocah
laki-
laki tanggung itu bukanlah bocah
sembarangan, tapi seorang bocah
yang
terlatih.
Setelah berpaling ke kanan dan
ke
kiri, orang yang dicarinya tidak
ada,
matanya tertuju pada air terjun.
Dengan gerakan sebat, kembali
dia
berlompatan d atas batu-batu
disisi
sungai. Dan sebentar saja telah
berada
disisi bukit, di bawah lamping
batu
menonjol itu dimana disisinya
adalah
air terjun. Sepasang matanya
kembali
jelalatan memandang sekitarnya
men-
cari-cari adakah orang disekitar
tempat itu. Namun tak ada
tanda-tanda
orang yang dicarinya berada
disitu.
"Aiiih, kemana gerangan
anak
itu..?" Gumamnya pelahan.
Akhirnya
diapun langkahkan kaki menjauh
lagi
air terjun itu, dan jatuhkan
pantatnya
keatas sebuah batu besar.
Tangannya
merayap menjumpu batu-batu
kerikil,
dan dilemparkannya ke tengah
sungai.
Suaranya bergemerutukan diair yang
jernih itu. Terlampias juga rasa
kesalnya. Memandang air jernih
dan
udara siang hari yang cukup
panas,
membuat bangkitnya selera untuk
mandi.
Setelah tengok kiri-kanan tak
ada
orang, segera dia membuka
bajunya. Dan
lepaskan celananya....
BYURRRRR...! Bocah laki-laki
tanggung ini sudah terjun ke sungai.
Air disini tak seberapa dalam.
Tak
berapa lama kepalanya sudah
tersembul
dipermukaan air. Saat dia mandi
dan
merendam tubuhnya didalam air
sebatas
dada itu tiba-tiba sepasang
matanya
jadi membeliak, karena terasa
kakinya
ada yang mencekal dibawah air.
Tentu
saja bocah laki-laki tanggung
ini jadi
terkesiap. Sekilas saja sudah
terlintas sesuatu yang
menakutkan
dibenaknya. Dongeng adanya
"Hantu Air"
yang suka mengganggu orang mandi
di
sungai. Dan....
"Wuaaaaaa..! tolong!
toloooong..!?"
Berteriak-teriaklah dia
ketakutan, sambil berusaha
menarik
kakinya yang terasa dibetot ke
dalam
air.
Justru dia mencoba menarik,
bahkan tubuhnya semakin terbetot
ke
dalam air. Tak ampun lagi segera
kapalanya membenam.
Meronta-ronta
bocah laki-laki tanggung itu
dengan
gelagapan. Kepalanya sebentar
timbul
sebentar hilang. Dan dua-tiga
teguk
air sudah tertelan masuk tenggo-
rokannya. Tiba-tiba terasa
cekalan itu
terlepas... Cepat dia berenang
menepi.
Wajahnya tampak pucat pias
karena
takutnya. Sesaat dia sudah
berhasil
mencapai tepian sungai.
Lengannya
meraih batu, dan sudah siap
gerakkan
tubuh yang lemas itu untuk
melompat ke
darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara tertawa cekikikan
dibelakangnya.
Semakin takutlah bocah ini.
Namun
dengan justru sisa-sisa
tenaganya dia
sudah berhasil naik. Setelah
merasa
aman barulah dia balikkan tubuh
untuk
menoleh ke belakang.
Betapa terkejut dan
mendongkolnya
bocah laki-laki ini, karena yang
tertawa cekikikan di belakangnya
tak
lain dari Roro. Yaitu si bocah
perempuan yang tengah
dicari-carinya
tadi.
"Roro..!? kau... kau
sungguh
keterlaluan menakut-nakuti
orang! Jadi
Hantu Air yang kau dongengkan
tadi
adalah kau sendiri..?"
Berkata bocah
laki-laki tanggung itu dengan
sepasang
mata mendelik kesal, tapi
bibirnya
sunggingkan senyuman. Karena
rasa
kekhawatirannya seketika sirna.
Bocah perempuan tanggung bernama
Roro itu beranjak menepi.
Ternyata
seorang bocah perempuan yang
berwajah
ayu. Bentuk wajahnya membulat
bagai
daun sirih. Sepasang matanya
jernih.
Rambutnya yang panjang sebatas
punggung itu basah kuyup. Segera
saja
dia sudah naik melompat ke
darat.
Sementara si bocah laki-laki
tanggung
itu cuma me natap dengan mata
tak
berkedip. Akan tetapi baru saja
dia
naik ke darat, sudah terdengar
lagi
suara tertawanya mengikik geli.
"Hihihi... hihihi...
hihi....
Lucu! Hihihi... lucu
sekali..!"
Melihat gadis tanggung
dihadapannya
mengikik tertawa sambil
menunjuk-
nunjuk kearah bagian bagian
bawah
tubuhnya, keruan saja dia jadi
kebingungan. Ketika sadar akan
keadaan
dirinya, seketika wajahnya
berubah
memerah. Sebelah lengannya
dengan
cepat bergerak menutupi bagian
yang
terbuka itu, dan begitu
menemukannya,
bergegas mengenakannya, dan....
Hm, beres..! Teriaknya dalam
hati, setelah selesai mengenakan
celananya. Sedangkan bajunya tak
terburu-buru dipakainya, tapi
diletakan diatas pundak.
Sementara
sepasang matanya menatap pada
kawan
perempuannya yang masih berdiri
ditempat tadi.
Sementara si bocah perempuan
tanggung bernama Roro itu telah
hentikan tertawanya. Dilihatnya
sang
kawan itu terus menatapnya
dengan mata
tak berkedip dengan bibir ternganga.
Apakah yang diperhatikan?
Pikirnya.
Roro yang sama sekali tak
menyadari
keadaan dirinya, segera melompat
mendekati bocah laki-laki
kawannya
itu.
Semakin dekat dia menghampiri,
semakin membinar sepasang mata
sang
kawannya itu menatapnya. Tentu
saja si
bocah perempuan tanggung itupun
tak
menyadari kalau tubuhnya dalam
keadaan
telanjang bulat, dan tatapan
sepasang
mata kawannya yang
membinar-binar
adalah karena memperhatikan
sekujur
tubuhnya.
"Heh?! Ginanjar! Kau
kenapakah..?
apakah kesurupan setan Hantu
Air…?"
Tanya Roro seraya beranjak
menghampiri, dan menepuk nepuk
pundak-
nya. Bahkan
mengguncang-guncangkan
tubuhnya. Tentu saja membuat
bocah
laki-laki tanggung bernama
Ginanjar
itu jadi tersipu-sipu sambil
melengos.
Namun seonggok senyum lucu, tapi
lugu
tersungging dibibirnya.
"Roroooooo...!
Ginanjaaaar..!"
Satu suara serak parau terdengar
sayup dikejauhan. Suara yang
sudah
amat dikenal betul oleh kedua
bocah
tanggung itu.
"Hah!? Celaka...! Kita
bakal kena
damprat! Dan bakal dapat hukuman
berat..! Oh, aku telah
melalaikan
tugas guru..! Yah, gara-gara
mencarimu
tak bertemu..!" Bisik
Ginanjar dengan
wajah pucat.
"Hihihi... biarlah kau
dapat
hukuman! siapa suruh kau
mencariku?
Sudah tak bertemu, kenapa terus
mandi?
Itukan salahmu sendiri!"
Tukas Roro
dengan wajah tak menampakkan
keterkejutan. Berbeda dengan
Ginanjar
yang seketika wajahnya pucat
pias dan
bergegas mengenakan bajunya.
Ternyata Roro pun segera
melompat
ke tempat menyimpan pakaiannya
yang
ternyata disembunyikan dibalik
batu.
Dan bergegas pula mengenakannya.
Tak
berapa lama dua sosok tubuh
telah
berlompatan keluar dari bawah
lamping
bukit itu. Ginanjar melompat
terlebih
dahulu, lalu disusul oleh Roro.
Kedua
bocah tanggung ini bergerak
cepat
sekali melompati batu-batu
terjal,
meniti akar pohon, dan mendaki
lereng
perbukitan. Tak berapa lama
keduanya
telah tiba diatas. Tampaknya
Ginanjar
mengatur napas sebentar, lalu
berlari-
lari lagi menyusul Roro, yang
sudah
mendahului tanpa berhenti untuk
beristirahat.
Siapakah gerangan gadis tanggung
bernama Roro itu? Dialah kiranya
si
bocah angon yang telah ditolong
oleh
seorang laki-laki dari terjangan
kaki-
kaki kuda pada tujuh tahun yang
lalu.
Marilah kita ikuti kemana
gerangan
kedua bocah tanggung itu
menujunya.
Diujung jalan setapak, pada
sebuah tempat yang bersih dan
luas,
tampak duduk seorang kakek
diatas
sebuah batu besar. Sang kakek
ini
berambut gondrong yang sudah
putih
semua. Bahkan kumis dan
jenggotnya
yang tebal itupun telah memutih
bagaikan kapas. Hati Ginanjar sudah
kebat-kebit dari kejauhan ketika
melihat orang tua ini. Sementara
Roro
terus berlari cepat didepan
Ginanjar.
Ketika kira-kira beberapa tombak
lagi,
tiba-tiba tubuh Roro meletik
indah,
dan berjumpalitan diudara.
Begitu
menginjak tanah, ternyata sudah
tiba
dihadapan sang kakek tua itu.
"Ada apakah, kek? kau
memanggilku..?" Bertanya
Roro, yang
segera duduk bersimpuh
dihadapannya.
Sang kakek ini tak menjawab,
tapi
bibirnya diam-diam sunggingkan
senyuman. Hatinya memuji kagum
melihat
gerakan lincah bocah perempuan
tang-
gung ini, yang gunakan jurus
Rajawali
Menukik. Sementara tatapan
matanya
ditujukan pada Ginanjar, yang
sudah
tiba dan segera duduk bersimpuh
disamping Roro.
"Hm, kalian pasti habis
mandi..!"
Berkata sang kakek seraya
menatap
keduanya yang rambutnya masih
basah.
Hampir berbareng keduanya
mengangguk.
Roro tampak tenang-tenang saja,
tapi
Ginanjar terlihat benar
gelisahnya.
Sedari tadi hatinya memang sudah
kebat-kebit.
"Bukankah sudah kukatakan,
kalian
tidak boleh mandi berdua-dua?
Apakah
kalian memang sengaja melanggar
larangan, dan mau menjadi
murid-murid
yang keras kepala..?" Tanya
sang
kakek.
"Hayo jawab..!!"
Bentak si kakek
tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi
terlonjak kaget. Sedangkan Roro
tiba-
tiba menutup mulutnya karena
merasa
hal itu amat lucu. Tubuh
Ginanjar
tampak gemetaran tanpa bisa
menjawab.
Melihat demikian Roro
cepat-cepat
menjawab seenaknya.
"Kami tidak mandi berdua,
kek..!
Apakah kakek telah melihat
sendiri
dengan mata kepala?"
Bertanya Roro.
Sang kakek jadi berpaling
menatap
Roro. Alisnya yang putih itu
bergerak
menyatu, dan sepasang matanya
melotot
tajam. Akan tetapi memang dia
jadi
gelagapan ditanya demikian,
karena
sebenarnya dia tidak melihat
kedua
bocah itu mandi berdua ataukah
seorang
diri.
3
SEMENTARA sang kakek gelagapan
ditanya Roro demikian, gadis
tanggung
ini tundukkan wajah sambil
tersenyum.
Padahal dia cuma
"menggertak" saja.
Karena seandainya sang kakek
menge-
tahuinya dan melihat mereka
mandi
berdua, entahlah hukuman apa
yang
bakal mereka terima.
"Baiklah! Aku memang tak
melihat
kalian mandi berdua! Walau
demikian
kalian tetap bersalah, karena
tak
kulihat seorangpun berada
ditempat
latihan" Ujar sang kakek
sambil
mengelus jenggot putihnya yang
lebat.
"Maka sebagai hukuman,
guru..!"
Tiba-tiba Ginanjar telah berkata
dengan suara terdengar agak
gemetar.
Lain halnya dengan Roro, yang
tampak
monyongkan mulutnya, tapi tak
berani
bicara apa-apa
"Nah kini bangunlah
kalian!"
Membentak sang kakek dengan
suara
keras. Tak usah dua kali
perintah,
bagai disengat kelabang keduanya
sudah
melompat bangun berdiri. Mata
sang
kakek tampak jelalatan
mencari-cari
sesuatu diantara dahan-dahan
pohon
disekitar tempat itu. Lalu
berhenti
menatap pada sebuah dahan pohon
yang
melintang rata. Dahan pohon itu
tak
seberapa tinggi. Kira-kira
tingginya
empat kali tubuh manusia dewasa.
"Ginanjar! Kau naiklah ke
dahan
pohon itu. Dan kau harus
berjuntai
disana dengan kaki diatas kepala
dibawah! Mengertikah kau?"
Berkata
sang kakek. Ginanjar menengadah
keatas
pohon, lalu mengangguk.
"Nah, kerjakanlah cepat!"
Bentak-
nya dengan melotot.
Bocah laki-laki tanggung ini tak
berani membantah. Dengan
tiga-kali
melompat, dia sudah berada
dibawah
pohon yang ditunjuk itu.
Selanjutnya
sudah memanjat ke atas dengan
cepat.
Sebentar kemudian sudah berada
didahan
yang ditunjuk tadi. Matanya
menatap
kebawah. Agak ngeri juga bocah
laki-
laki tanggung ini, tapi dengan
kuatkan
hati segera dia mulai melirik
kearah
Roro, yang juga tengah
memperhatikan.
Akan tetapi sebuah bentakan
sudah
menyambarnya lagi.
"Hayo, cepat!" Tentu
saja tak
ayal lagi segera kuatkan kepitan
kakinya pada dahan pohon, dan
segera
jatuhkan tubuhnya untuk
menjuntai
kebawah. Dan dengan kepala
dibawah
sedemikian rupa, Ginanjar segera
bersidakep dengan memejamkan
matanya.
"Ingat! Kau tak boleh turun atau
merobah posisimu, sampai aku
datang
dan menyuruhmu turun !"
Berkata sang
kakek dengan suara keras
berwibawa.
Kemudian berpaling menatap Roro.
"Ayo, kau ikut aku..!"
Berkata
sang kakek, dan mendahului
berkelebat
dari situ. Tentu saja Roro tak
berani
membantah, dan tak ayal lagi
segera
bergerak menyusul. Tak sempat
lagi dia
menoleh pada Ginanjar yang
menjuntai
diatas dahan pohon. Bocah inipun
ternyata tak membuka matanya
karena
amat takut pada gurunya.
Siapakah gerangan kakek tua
berambut putih itu. Dialah
seorang
tokoh Rimba Hijau yang telah
puluhan
tahun menyembunyikan diri di
lereng
Rogojembangan. Bernama BAYU
SHETA, dan
digelari kaum persilatan dengan
julukan si PENDEKAR BAYANGAN
Tujuh tahun sudah Roro tinggal
dilereng gunung itu sejak dibawa
oleh
seorang laki-laki yang telah
menyelamatkan jiwanya, yaitu
bernama
Jarot Suradilaga, yang bergelar
si
Maling Sakti. Roro telah menjadi
seorang gadis tanggung yang
lincah
jenaka, dengan usia kira-kira
empat
belas tahun. Ibarat bunga adalah
mulai
mekar, dan belum menampakkan
kein-
dahannya. Sayang Roro tidak
seba-
gaimana lazimnya anak-anak gadis
sebayanya. Karena pengaruh
akibat
terjangan kaki-kaki kuda pada
tujuh
tahun yang silam, telah membuat
wataknya agak aneh, dan
angin-anginan.
Terkadang akan membuat orang geleng
kepala melihat sikapnya. Bahkan
sang
kakek itupun sudah maklum akan
pembawaan watak Roro yang
demikian.
Aneh juga lucu, karena sampai
saat ini Roro belumlah
mengetahui
kalau dirinya seorang perempuan.
Dan
hingga saat ini dia tak
mengetahui
manakah sesuatu pada tubuhnya
yang
harus ditutupi dan
disembunyikan...
Setelah sekian lama berlari-lari
mengikuti sang kakek alias Ki
Bayu
Sheta itu, tampak laki-laki tua
bertubuh kekar itu hentikan
larinya.
Roro pun segera berhenti
berlari.
Napasnya terdengar
sengal-sengal.
Kecepatan lari sang kakek itu
amat
luar biasa. Roro sudah keluarkan
tenaga sepenuhnya untuk
menyusul, akan
tetapi tetap saja berada
dibelakang
tubuh si kakek Bayu Sheta itu
sekitar
lima-enam tombak tanpa mampu
menyusul.
Dia sudah jatuhkan tubuhnya
mendeprok
ditanah, lalu mengatur napasnya
yang
terengah-engah. Tak berapa lama
segera
rasa lelahnya sudah pulih lagi.
Sementara sang kakek Bayu Sheta
telah
duduk diatas sebuah batu.
Sebelah
lengannya mengelus-elus
jenggotnya.
Dan sebelah lagi mengipas-ngipas
dadanya dengan ujung jubah.
Tampak
wajahnya seperti biasa saja. Tak
terlihat rasa lelah sedikitpun
setelah
berlari sekian lama. Menandakan
kakek
tua berjulukan si Pendekar
Bayangan
ini bukanlah orang yang
berkepandaian
rendah. Karena telah memiliki
kesempurnaan dalam mengatur
napas
ketika berlari.
"Heheheh... bagus, Roro!
Ilmu
larimu semakin maju pesat! Enam
bulan
sudah sejak kau dititipkan oleh
gurumu
si Maling Sakti ternyata tak
mengecewakan! Cuma dalam hal
mengatur
napas kau harus lebih perhatikan
lagi..!" Berkata Ki Bayu
Sheta, dengan
tersenyum menatap Roro. Roro
tersenyum
seraya manggut-manggut
mendengarkan
penuturan sang kakek, tapi dalam
hati
amat keheranan karena apalagi
untuk
menyusul, merendengi sang kakek
saja
teramat sulit. Anehnya mengapa
dikatakan maju pesat? Dia jadi
benar-
benar tak mengerti. Tentu saja
Roro
tak mengetahui kalau dalam
setiap kali
Roro sudah hampir berhasil
meren-
denginya selalu Ki Bayu Sheta
menambah
kecepatan larinya. Hingga tetap
saja
jarak antara mereka tak berubah.
Diam-diam Ki Bayu Sheta juga
terkejut, karena Roro telah jauh
melebihi Ginanjar, bocah
laki-lak
tanggung muridnya itu. Kalau
Ginanjar,
ketika dia pergunakan tenaga
separuhnya saja tak mampu berada
lima
enam tombak dibelakangnya.
Tetapi Roro
ketika dia pergunakan tenaga
lari tiga
perempat bagian, ternyata mampu berada
dibelakangnya sejarak lima enam
tombak
dibelakangnya.
"Apakah hukuman yang akan
kau
jatuhkan padaku adalah dengan
mengajakku berlatih adu lari
seperti
ini, kek..?" Tiba-tiba Roro
bertanya,
seraya bangkit berdiri. Orang
tua itu
terdiam sesaat, tiba-tiba
sepasang
mata sang kakek telah melotot
tajam
padanya.
"Hm, aku akan menjatuhkan
hukuman
padamu seberat-beratnya, karena
kau
telah berani berdusta!"
Tiba-tiba Ki
Bayu Sheta berkata dengan suara
dingin. Tentu saja kata-kata itu
membuat Roro jadi terkejut.
Celaka!? Pikir Roro, dengan
wajah
seketika berubah pucat. Hatinya
men-
duga kalau sang kakek telah
mengetahui
kalau dia mandi berdua dengan
Ginanjar. Padahal tujuannya
berdusta
adalah membela bocah laki-laki
itu,
karena tampaknya amat ketakutan
sekali. Tiba-tiba....
"Kakek..! Ampunkanlah aku!
Aku
telah berani berdusta
terhadapmu..!"
Roro telah bersimpuh dihadapan
sang
kakek itu dengan kepala
menunduk.
"Berikanlah hukuman apa
saja
padaku, walau berat sekalipun
pasti
akan hamba jalankan!"
Tiba-tiba Roro
bangkit berdiri dan tengadahkan
lagi
wajahnya menatap ke langit.
Melihat
itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa
gelak-
gelak, dan terpingkal-pingkal
seperti
amat lucu. Ternyata tadi dia
cuma
menggertak saja. Padahal
sesungguhnya
dia memang tak mengetahui sama
sekali
kalau Roro berdusta. Tapi
diam-diam Ki
Bayu Sheta memuji sifat ksatria
yang
terdapat pada Roro, yang mau
mengakui
kesalahannya dan berani
menanggung
resikonya.
"Duduklah Roro,
cucuku..!"
Berkata Ki Bayu Sheta setelah
berhenti
dari tertawanya, dan menghela
napas.
Dipandangnya lengkung-lengkung
bukit
diufuk sana, dimana awan-awan
putih
berderet diatas perbukitan.
Sementara
hatinya membathin. Di diatas
langit
ternyata masih ada langit lagi!
Bocah
perempuan ini telah berhasil
meng-
gertakku, menandakan bahwa
diriku
masih lemah! Seandainya yang
meng-
gertakku adalah seorang musuh,
dan aku
mempercayai, tentu akan
berakibat
fatal! Akan tetapi jiwa kesatria
memang sukar didapat! Bocah ini
berdusta cuma untuk membela
Ginanjar!
Berarti dia mempunyai rasa setia
kawan
yang amat besar pada sesama
murid atau
kawan! Berarti bocah ini memang
tak
dapat disalahkan..! Demikianlah
hati-
nya membathin.
"Aku telah memaafkanmu,
Roro..!"
Terdengar suara Ki Bayu Sheta
lirih
dengan nada parau. Tentu gadis
tanggung ini jadi terheran.
"Lho! ? Mengapakah, kek?
Kalau
aku bersalah, hukumlah! Kalau
kesa-
lahanku dimaafkan, apa alasannya
?"
Bertanya Roro dengan sepasang
mata
yang bening menatap pada Ki Bayu
Sheta. Tentu saja pertanyaan itu
membuat sang kakek jadi
melengak, tapi
dia memang tak dapat menyahut
karena
tampak sebutir air bening telah
tersembul disudut matanya yang
sudah
mulai agak mengabur itu.
Wajahnya yang
tegar dan seram itu ternyata tak
seseram hatinya. Tiba-tiba
sebelah
lengannya sudah bergerak
mengelus
rambut Roro. Belaian itu begitu
penuh
kasih sayang. Roro tundukkan
wajahnya
dengan perasaan aneh, mengapa
tiba-
tiba sang kakek bersikap
demikian ?
"Kau memang anak baik,
Roro! Tak
percuma gurumu Jarot Suradilaga
alias
si Maling Sakti mendidikmu!
Walau
gelarnya tidak bagus, tetapi
gurumu
itu seorang Pendekar sejati.
Berhati
mulia dan selalu menjunjung
tinggi
kebenaran! Tidak kecewa kau
menjadi
muridnya, karena disamping
ilmu-ilmu
kedigjayaan yang telah
diturunkannya
padamu, ternyata jiwa ksatrianya
pun
telah diwariskan padamu! Berkata
Ki
Bayu Sheta dengan suara datar.
Sementara sepasang matanya masih
menatap kearah bukit nun jauh
disana.
Bukit yang sering dipandangi.
Itulah
bukit Kera, dimana segala penentuan
nasibnya adalah diatas bukit
itu.
Namun Roro memang tak
mengetahui, dan
Ki Bayu Sheta memang tak ingin
kedua
orang bocah muridnya mengetahui....
4
MATAHARI sudah condong ke arah
barat. Ginanjar masih tetap
meng-
gantung diatas dahan dengan
kepala
terjuntai kebawah. Dalam keadaan
jungkir balik demikian tentu
saja
bernapaspun tidak leluasa
rasanya.
Mata bocah laki-laki tanggung
ini
mulai berkunang-kunang. Kepala
terasa
berat, tapi anehnya setelah dia
salurkan hawa murni ke seluruh
tubuh
seperti yang diajarkan Ki Bayu
Sheta
gurunya, segera terasa enak
sekali
berjuntai seperti kampret
begitu.
Apalagi dalam keadaan menjuntai
itu si
bocah laki-laki tanggung itu
telah
membayangkan kejadian disungai
tadi.
Serasa enggan dia membuka sepasang
matanya yang mengatup, karena
khawatir
bayangan indah yang dilihatnya
mendadak hilang. Selang beberapa
saat,
dan entah sudah berapa lama
Ginanjar
menjuntai demikian tak
dirasakannya
lagi. Ketika tiba-tiba
didengarnya
satu suara yang sudah tak asing
lagi
bagi pendengarannya.
"Ginanjar! Kau sudah boleh
turun!" Tentu saja bocah
laki-laki ini
jadi terkejut tapi juga girang.
Segera
dia buka sepasang matanya. Tak
dilihatnya ada Ki Bayu Sheta
ditempat
itu, namun suara tadi memang
jelas
suara gurunya. Tak ayal segera
dia
enjot tubuh untuk kembali tegak
duduk
diatas dahan. Kembali dia
pentang mata
untuk melihat sekitarnya. Dan
memang
tak menampak gurunya berada
disekitar
tempat itu. Hm, suara itu tak
mungkin
aku salah dengar! Gumam Ginanjar
dalam
hati. Dan... melompatlah dia
dari atas
dahan tinggi itu.
Tubuhnya meluncur turun dengan
deras, tapi sebelum jejakkan
kakinya
ke tanah telah melayang sebuah
ranting
kayu menyambar kakinya. Terkejut
bocah
laki-laki ini, segera dia
jatuhkan
diri bergulingan. Sambaran
ranting itu
memang berhasil lolos. Akan
tetapi
ketika dia melompat bangkit
berdiri,
segera perdengarkan suara
teriakan
mengaduh. Dan kembali jatuh
terduduk,
karena terasa kakinya kesemutan.
Segera saja lengannya bergerak
meng-
urut-urut kedua kakinya.
"Bocah tolol!"
Terdengar suara
bentakan, dan sebuah bayangan
berkelebat yang tak lain Ki Bayu
Sheta
adanya.
"Keadaan kakimu belum
pulih!
Darah masih berkumpul dikedua
kakimu!
Mana kuat kau jejakkan kaki ke
tanah
dengan ketinggian seperti itu?
Seharusnya kau salurkan kembali
hawa
murni dikedua kakimu untuk
membuat
darah membuyar!" Berkata Ki
Bayu Sheta
dengan sepasang mata melotot
menatap
pada Ginanjar.
"Ampunkan kebodohan hamba,
guru..!" Ujar Ginanjar,
yang segera
salurkan hawa murni kearah kedua
kaki
dan tak lama rasa kesemutan
itupun
lenyap. Dan sesaat dia sudah
mampu
melompat untuk berdiri.
Pada saat itu Roro pun muncul
dengan wajah berseri gembira.
Kiranya
sewaktu dalam perjalanan kembali
pulang telah pergunakan cara
yang
diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga
walaupun berlari-lari sekian
lama
tidaklah Roro merasa kelelahan.
Dalam
waktu singkat si gadis tanggung
itu
telah berhasil menguasai cara
mengatur
napas.
"Hihihi... kakek!
Seharusnya dia
tak usah kau suruh turun!
Biarkan saja
menjuntai diatas dahan menjadi
kampret!" Berkata Roro
sambil mencibir
menatap Ginanjar. Bocah
laki-laki
tanggung itu cuma tersenyum, dan
seketika wajahnya menjadi merah.
"Hm, sudahlah! Ayo, kita
kembali
ke pondok!" Berkata Ki Bayu
Sheta. Dan
mendahului berkelebat.
"Eh, Ginanjar! Kau mau
pulang
atau tidak?" Roro palingkan
wajahnya
menatap bocah laki-laki itu.
"Pulanglah duluan Roro..!
Nanti
aku menyusul!" Sahut
Ginanjar dengan
menatap pada Roro dan jatuhkan
pantatnya duduk diatas akar
pohon.
Lengannya bergerak menguruti
kakinya.
"Kakimu sakit?" Tanya
Roro,
seraya menghampiri.
"Tidak lagi! cuma kesemutan
sedikit..! Ujar Ginanjar. Gadis
tanggung ini gerakkan alisnya,
dengan
sepasang matanya berkedipan.
"Aku akan bantu mengurut,
biar
lekas sembuh!" Berkata Roro
seraya
berjongkok dan ulurkan sepasang
lengannya. Berdebar seketika
hati
Ginanjar akan tetapi cepat-cepat
dia
berkata.
"Sudahlah, cuma sedikit!
Ayolah
kita pulang..!" Ujar
Ginanjar, dan
segera bangkit berdiri. Roro
seperti
tertegun, tapi segera
perlihatkan
senyumnya.
"Ayoo..!" ujarnya. Dan
segeralah
keduanya berlari cepat
meninggalkan
tempat latihan itu. Dikejauhan
masih
terdengar suara Roro yang
tertawa
cekikikan entah apa yang
membuatnya
geli. Namun sekejap mereka sudah
tak
kelihatan lagi.
* * * *
Waktu berlalu terus....
Dan saat yang dijanjikan itupun
tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak
berdiri diatas bukit itu.
Sepasang
matanya menatap pada sebuah
bukit nun
jauh di sana, diarah sebelah
barat.
Bukit itu memang tampak jelas
dari
tempat dia berdiri. Itulah Bukit
Kera!
Buki yang selalu diperhatikannya
disaat-saat bulan Purnama. Senja
itu
matahari bersinar kemerahan. Cum
cahayanya saja yang menampak,
karena
sang matahari sudah tak terlihat
terhalang bukit. Terdengar suara
menghela napasnya, diseling
suara
menggumam lirih yang hampir tak
terdengar.
"Hm, Dewa Tengkorak! malam
nanti
aku akan menepati
janjiku..!" Dan
setelah menghela napas, kakek
itupun
putarkan tubuh untuk segera
berlalu
tinggalkan tempat itu.
Senja semakin melenyap untuk
segera berganti dengan malam.
Malam
itu adalah malam bulan purnama
yang
ketujuh, sejak saat perjanjian
yang
telah ditentukan. Ki Bayu Sheta
memanggil kedua muridnya, yang
segera
duduk bersimpuh dihadapannya.
Pelita
minyak sudah dipasang diatas
meja
kecil dihadapan mereka. Ruangan
pondok
itu tampak lengang, karena kedua
murid
itu tak keluarkan suara sepatah
pun.
Sejak siang tadi mereka memang
telah
melihat perubahan sikap si
kakek,
tentu saja dipanggilnya mereka
untuk
menghadap bakal ada satu
pembicaraan
penting.
"Roro…! Ginanjar! Kuharap
kalian
tidak meninggalkan lereng Gunung
Rogojembangan ini
sepeninggalku!"
Berkata Ki Bayu Sheta dengan
suara
berat. Mendengar itu kedua bocah
ini
hampir berbareng mengangkat
wajahnya.
Roro sudah lantas bertanya.
"Mau kemanakah
kakek..?" Ki Bayu
Sheta cuma terdiam menatap
kedepan.
Lalu ujarnya. "Hm, kukira
kalian tak
perlu mengetahui! Karena ini
adalah
urusanku!" Menyahut sang
kakek dengan
suara tandas.
"Yang penting kalian tak
boleh
meninggalkan tempat ini sampai
kedatangan menantuku Jarot
Suradilaga!
Alias si Maling Sakti!"
Ujarnya. Dan
kedua bocah itupun
manggut-manggut
dengan berbareng. Adapun Roro
sudah
lantas bertanya lagi.
"Apakah menantu
itu, kek?" Tentu saja
membuat Ki Bayu
Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi
Roro
selalu mengacaukan pembicaraan.
Akan
tetapi orang tua ini segera
menghela
napas, dan menjelaskan.
"Menantu itu artinya,
gurumu si
Maling Sakti itu telah menikah
dengan
anak perempuanku! Nah, si Jarot
itulah
menantuku..!" Ujar sang
kakek dengan
tersenyum. "Kakek mempunyai
seorang
anak perempuan ?" Tiba-tiba
Roro
kembali bertanya dengan menatap
tajam
pada Ki Bayu Sheta. Laki-laki
tua itu
manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya. Dari sepasang
matanya
tiba-tiba sudah menggenang air
mata.
Tentu saja membuat Roro jadi
melengak.
M ngapa tahu-tahu si kakek
jatuhkan
air mata? Pikir Roro.
"Yah, aku memang mempunyai
seorang anak perempuan yang
telah
menikah dengan gurumu Jarot
Suradilaga
alias si Maling Sakti! Akan
tetapi
anakku sudah pergi
meninggalkannya.
Pergi dengan membawa seorang
bayi
perempuan! Hal itu sudah berlalu
empat
belas tahun yang lalu...!"
Berkata Ki
Bayu Sheta dengan menyeka air
matanya
dengan ujung lengan jubahnya.
"Pergi... ? maksudmu
berpisah,
kek?" Tanya Roro. Sang
kakek kembali
mengangguk, dan menatap pada
Roro.
"Ya..! kalau bayi itu masih
hidup, tentu seusia denganmu
Roro..!"
Roro sudah mau bertanya lagi,
akan
tetapi Ginanjar telah mencubit
pahanya, memberi isyarat agar
jangan
terlalu banyak bertanya. Gadis
tang-
gung ini monyongkan mulutnya, akan
tetapi tak berani berkata.
Ki Bayu Sheta kembali teruskan
wejangannya yang didengarkan
oleh
kedua muridnya dengan tundukkan
wajah.
Kali ini Ki Bayu Sheta
benar-benar
berpesan seperti orang yang tak
akan
berjumpa lagi membuat Roro dan
Ginanjar jadi was-was hatinya.
Namun
mereka tak mengucapkan kata
sepatahpun
kecuali mengangguk.
"Nah, jagalah diri
baik-baik!"
Selesai berkata sang kakek
bangkit
berdiri, lalu beranjak keluar
menuju
halaman. Kedua muridnya ini
segera
mengikut mengantar kepergiannya.
Tak
berapa lama setelah
menengadahkan
kepala menatap rembulan, Ki Bayu
Sheta
segera berkelebatan cepat
tinggalkan
pondok di lereng Gunung itu.
Roro dan
Ginanjar cuma menatap
bayangannya saja
yang sekejap telah lenyap di
keremangan malam....
* * * *
Siapakah sebenarnya Ki Bayu
Sheta
alias Pendekar Bayangan itu?
Dialah
seorang pendekar yang pernah
meng-
gemparkan pada dua puluh tahun
yang
silam. Pendekar ini pernah turut
berjuang mempertahankan Kerajaan
MEDANG dari serbuan musuh, dan
turut
serta dalam sebuah
pemberontakan,
karena ketidak senangannya
melihat
Para Pembesar Kerajaan bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat,
disaat Kerajaan sudah kembali
aman.
Gerakan pemberontakan itu
dipimpin
secara sembunyi-sembunyi, dengan
me-
ngikut sertakan kaum pengemis
yang
berjiwa Patriot. Disitulah Ki
Bayu
Sheta berjumpa dengan Jarot
Suradilaga
alias si Maling Sakti yang
ternyata
adalah pemimpin dari kelompok
Partai
Pengemis.
Kerajaan Medang waktu itu dalam
keadaan gawat. Namun berkat
bantuan
rakyat dan kaum Partai Pengemis
yang
turut berjuang, semua kerusuhan
itu
dapat dipulihkan. Dan semua itu
harus
meminta korban jiwa yang tidak
sedikit. Walaupun demikian,
setelah
Kerajaan menjadi aman, ternyata
masih
ada juga beberapa gelintir
manusia
yang duduk bercokol dikursi
kebesaran
dengan kekuasaan yang membuat
beban
berat terhadap rakyat tanpa
setahu
Raja.
BUKIT KERA adalah tempat yang
dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu
sebuah
bukit yang memang banyak dihuni
oleh
kera-kera. Tampaknya si Pendekar
Bayangan tak begitu tergesa-gesa
untuk
cepat tiba dibukit itu. Bulan
Purnama
tampak membulat indah pancarkan
sinarnya yang terang benderang.
Tanpa
setahu Ki Bayu Sheta, sesosok
tubuh
ramping telah mengikutinya
dengan
gerakan hati-hati. Siapakah
gerangan
sosok tubuh yang menguntitnya
itu?
Tak lain dari seorang bocah
perempuan, yang ternyata adalah
Roro.
Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu
Sheta
sudah tak kelihatan lagi, namun
Roro
masih bisa mengetahui letak
Bukit
Kera. Karena Roro memang sudah
menduga
kepergiannya adalah ke bukit
itu,
sebab dia sering melihat sang
kakek
menatap kearah barat. Dan
gumamnya
terkadang terdengar oleh
Roro.....
5
SEMENTARA itu... Diatas puncak
BUKIT KERA telah menanti sesosok
tubuh, berdiri tegak dengan
jubah
berwarna hitam. Rambutnya putih
beriapan. Bila dilihat
keseluruhannya
amatlah mirip dengan Tengkorak
Hidup.
Laki-laki ini bekulit hitam
legam
dengan tulang pelipis yang
menonjol.
Pada bagian belakang jubahnya
terdapat
sebuah simbol kepala tengkorak.
Dilengannya tercekal sebatang
tombak
yang juga berwarna hitam. Usia
orang
ini sekitar tujuh puluhan tahun.
Dialah si DEWA TENGKORAK.
Seorang
tokoh Rimba Persilatan golongan
hitam.
Tidak terlalu lama sesosok
bayangan putih berkelebat... Dan
segera telah berdiri diatas
sebuah
batu besar tepat dihadapan si
Manusia
Jerangkong itu.
Siapa lagi kalau bukan si
Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.
Jarak
mereka berhadapan kurang lebih
tujuh
delapan tombak.
"Hehehehe... hehe...
Selamat
datang sobat Pendekar Bayangan! Anda
benar-benar seorang pendekar
tulen
yang menepati janji..!"
Terdengar si
manusia jerangkong berkata.
Suaranya
dingin mencekam menyibak
kelengangan
di sekitar bukit itu.
"Terima kasih atas pujianmu
itu
Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin
kedatanganku agak
terlambat!" Ujar Ki
Bayu Sheta dengan suara datar.
"Hehehe... sama sekali
tidak,
sobat Bayu Sheta! anda terlalu
berbasa-basi, membuat aku
terkadang
malu terhadap diriku
sendiri!" Sahut
si Manusia Jerangkong, dan
terdengar
suara helaan napasnya. Tiba-tiba
dengan sekali bergerak tubuh di
Dewa
Tengkorak telah mencelat keatas
setinggi sepuluh tombak. Dan
dengan
ringan bagaikan sehelai bulu,
sepasang
kakinya telah mendarat tepat
dihadapan
Ki Bayu Sheta berjarak kurang
lebih
dua tombak, tepat diatas batu besar.
Ujung tombak dilengannya
tiba-tiba
diarahkan kedada Ki Bayu Sheta,
dan
terdengar suaranya yang berubah
jadi
angker.
"Hm, Bayu Sheta! Tebusan
nyawamu
atas 300 nyawa kaum Partai
Pengemis
dan keluarganya pada dua puluh
tahun
yang silam, akan aku laksanakan
pada
malam purnama ini! Kukira sejak
perjumpaan kita tujuh purnama
yang
lalu, dan pengunduran
pelaksanaan
pencabutan nyawamu berakhirlah
su-
dah..!"
"Ya! aku telah siap untuk
menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak!
Lakukanlah!" Berkata Ki
Bayu Sheta
dengan suara gagah. Dadanya
dibusungkannya untuk segera
menerima
kematian. Akan tetapi si Dewa
Tengkorak telah turunkan lagi
tombaknya. Dan menancapkannya
ditanah
hingga amblas sampai separuhnya.
Suara serak si Manusia
Jerangkong
itu kembali memecah keheningan
yang
mencekam itu.
"Bayu Sheta! Tujuh Purnama
yang
lalu aku telah memberi
kesempatan
padamu untuk berlatih
memperdalam ilmu
kedigjayaanmu guna menghadapi
malam
ini, apakah sudah kau lakukan?"
Bertanya si Dewa Tengkorak.
"Ya! Bagus! kau memang
manusia
jempolan yang tahu diri!
Heheheh... tahukah kau mengapa
aku sengaja mengulur waktu untuk
menjemput nyawamu? Karena aku
memang
menghendaki pertemuan kita
disaat kita
sudah sama-sama tua bangka
seperti
ini! Dan telah dekat ke liang
kubur,
karena cepat atau lambat toh
pada
akhirnya kita akan berangkat ke
Akhirat..!" Berkata si Dewa
Tengkorak
dengan suara parau, dan kembali
mengumbar tawa berkakakan.
Kata-kata
si manusia jerangkong ini
terdengar
tandas, anehnya seperti tidak
mengandung dendam kebencian
terhadap
Ki Bayu Sheta.
"Selama dua puluh tahun
kukira
cukuplah untuk kau mendidik
seorang
murid pewaris ilmu-ilmu yang kau
miliki! Dan kau masih punya
banyak
waktu untuk bersenang-senang,
karena
waktu yang kuberikan cukup
lama!"
Ujarnya lagi. Kini sepasang mata Ki
Bayu Sheta telah beralih menatap
pada
si Dewa Tengkorak. Tampak sinar
matanya membersit tajam seperti
mau
menembus jantung si manusia
jerangkong. Kata-kata itu telah
membuat napasnya memburu dan
dadanya
naik turun bergelombang. Betapa
amat
terhinanya si Pendekar Bayangan.
Prioritas yang diberikan si Dewa
Tengkorak selama itu justru
telah
membuat dia menderita. Tiba-tiba
laki-
laki tua ini sudah perdengarkan
suara
keras, gemetaran penuh amarah
"Dewa
Tengkorak!!! Kukira sudah lebih
dari
cukup kau menyiksaku lahir
bathin. Dua
puluh tahun lebih aku menderita,
tersiksa..! Aku tak ubahnya
seperti
seorang hukuman yang sudah
ditentukan
kapan waktu kematiannya! Apakah
aku
bisa hidup dengan tenteram, dan
bersenang-senang..?"
Bergetaran tubuh
Ki Bayu Sheta menahan amarah
yang
bergemuruh didadanya.
Memang, selama itu aku masih
dapat mengenyam nikmatnya hidup!
Se-
cara lahiriah aku kelihatan
dapat
merasakan hidup tenteram, dengan
mem-
punyai seorang murid dan
mendidiknya
dilereng Rogojembangan. Akan
tetapi
secara bathiniah, aku telah
tersiksa!
Karena hidupku selama ini adalah
atas
belas kasih orang yang memberiku
waktu
untuk hidup. Saat-saat
kematianku
seperti sudah diambang mata dan
waktu
yang selama itu kau berikan
padaku
seperti tinggal beberapa hari
saja..!
Tidak, Dewa Tengkorak!
Ketenteraman
hidup akan bisa dirasakan tanpa
orang
itu mengetahui kapan kematiannya
yang
akan dia hadapi!"
Kata-kata Ki Bayu Sheta yang
tegas dan tanda itu seperti air
bah
yang mengalir dari atas gunung.
Si
manusia jerangkong itu terpaku
membisu
bagai sebuah arca. Cuma terlihat
ujung
jubahnya yang melambai-lambai
diterpa
angin. Ternyata si Pendekar
Bayangan
telah lanjutkan kata-katanya
lagi.
"Sepuluh tahun yang lalu
akan
hampir membunuh diri, karena tak
kuat
menanggung penderitaan bathin!
Maut
serasa sudah didepan mataku, dan
aku
sudah tak sabar menunggumu turun
tangan mengambil nyawaku! Dan
tujuh
purnama yang lalu aku sudah
bergirang
hati, karena aku segera akan
menemui
kematian dibukit ini! Akan
tetapi tak
dinyana kau telah mengulur lagi
waktu
kematianku sampai hari ini...!
Kini
waktu itu telah tiba Dewa
Tengkorak!
Dan aku sudah tak sabar lagi
menunggu!
Segeralah kau memulai..!"
Teriak Ki
Bayu Sheta dengan suara tandas.
"Baiklah Bayu Sheta! Hari
ini aku
memang tak berniat mengulur-ulur
waktu
lagi, segeralah kau persiapkan
dirimu!
Akan tetapi aku tak dapat
membunuh
orang yang tanpa melakukan
perlawanan!
Segeralah cabut
senjatamu..!" Berkata
si Dewa Tengkorak dengan suara
dingin.
Lengannya sudah bergerak
mencabut
tombak hitamnya yang tertancap
ditanah.
"Aku tak membawa senjata
apa-apa,
sobat Dewa Tengkorak! Pedang
Pusakaku
telah kutinggalkan dipondokku
untuk
pewaris pada muridku! Yah,
kukira tak
guna kulakukan perlawanan! Toh
akhirnya aku akan mati, sesuai
dengan
janjiku untuk memberikan nyawaku
sebagai penebus 300 jiwa
orang-orang
Partai Kaum Pengemis..!"
Ujar Ki Bayu
Sheta dengan suara tegas. Akan
tetapi
justru membuat si manusia
jerangkong
ini kecewa setengah mati.
"Huh! Benar-benar sial dang-
kalan..! Justru aku ingin
melihat
kehebatan jurus dari Ilmu Pedang
Baya-
ngan yang kau miliki itu, yang
pernah
membuat namamu harum dipuji
orang!
Mengapa kau membuatku kecewa,
Bayu
Sheta..?" Berkata si Dewa
Tengkorak
dengan suara mengandung
kemendong-
kolan. Sepasang matanya melotot
menatap laki-laki tua
dihadapannya.
Dan... sekali lengannya bergerak
tombak ditangannya telah
dihunjamkan
ketanah hingga amblas tak
kelihatan
lagi.
Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak
menyangka kalau si Dewa
Tengkorak akan
melakukan hal seperti itu Tombak
Hitam
itu adalah Tombak Pusaka
Kerajaan
Kalingga milik Ratu SHIMA,
seorang
raja perempuan yang pernah
berkuasa di
Jawa Tengah pada abad ke tujuh.
Ki
Bayu Sheta mengetahui dari kakek
gurunya, bahwa Tombak Pusaka
ditangan
si Dewa Tengkorak itu adalah
benda
bersejarah. Entah bagaimana
asalnya
hingga Tombak Pusaka itu bisa
jatuh
ketangan si Dewa Tengkorak.
Saat itu telah terdengar suara
si
manusia jerangkong yang parau.
Kepalanya ditengadahkan menatap
kearah
perbukitan yang berjajar
kehitaman nun
jauh diarah sana.
"Bayu Sheta! Julukanmu si
Pendekar Bayangan itu telah
membuat
aku mengiri pada lebih dari dua
puluh
tahun yang silam! Ternyata
disamping
tingginya ilmu yang kau miliki,
kau
juga memiliki keluhuran budi!
Kau
berjuang semata-mata karena
membela
kebenaran, melindungi si lemah
yang
tertindas dari si penguasa yang
jahat!
Perjuanganmu dalam membela
Kerajaan
Medang dari keruntuhan
bersama-sama
Partai Kaum Pengemis dan rakyat,
telah
ditulis dalam sejarah, dan
dikenang
orang sepanjang zaman.
"Aku benar-benar kagum atas
keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau
telah
rela menebus nyawa ratusan
manusia
dengan nyawamu sendiri! Aku
merasa
telah kau kalahkan, Pendekar Ba-
yangan..! Aku cuma bertindak
berdasarkan ambisiku belaka, tak
tahu
apakah orang yang aku bela itu
golongan pengkhianat Kerajaan
atau
pihak yang benar. Bagiku sama
saja!
Karena yang penting adalah aku
dapat
berbuat semauku tanpa ada yang
melarang. Dan aku dapat hidup
berkecukupan dengan
hadiah-hadiah yang
tanpa ku minta akan datang
sendiri,
walau datangnya dari para
Pembesar
Kerajaan yang menggerogoti
hasilnya
dari memeras rakyat. Aku tak mau
tahu..!" Ujar si Dewa
Tengkorak dengan
suara terdengar parau dan
seperti
berkumandang disekitar bukit.
Dan
lanjutnya lagi setelah terdiam
beberapa saat.
"Aku merasa bangga kalau
ilmu
Tombak Iblis yang kumiliki tak
ada
yang menandingi. Bahkan kini
telah
kupersiapkan sepuluh jurus ilmu
pukulan sakti hasil ciptaanku,
yang
telah memakan waktu hampir
sepuluh
tahun aku menekuninya. Ilmu
pukulan
sakti itu kuberi nama Sepuluh
Jurus
Pukulan Kematian..!" Sampai
disini si
Dewa Tengkorak berhenti berkata,
dan
palingkan wajahnya menatap si
Pendekar
Bayangan Ki Bayu Sheta.
"Baiklah, Bayu Sheta!
Rupanya tak
ada waktu lagi, walau aku harus
kecewa
karena ternyata kau tak memenuhi
harapanku..!" Si manusia
jerangkong
itu rentangkan sepasang
tangannya
seperti mau menyangga bulan.
"Bersiaplah Bayu Sheta! Aku
akan
melancarkan pukulan dari Sepuluh
Jurus
Pukulan Kematian! Biia kau dapat
menahan ilmu pukulanku sampai
sepuluh
jurus, kau bebas menikmati
kehidupanmu
sampai Hari Kiamat..!"
Berkata si
manusia jerangkong ini dengan
suara
dingin bagaikan es.
"Baik! Segeralah kau mulai!
aku
sudah siap. !" Berkata Bayu
Sheta
dengan suara datar, yang telah
memasang kuda-kuda. Walaupun
sudah tak
mengharapkan hidup lagi, namun
dia tak
mau mati konyol begitu saja. Dan
dia
memang tak mau mengecewakan si
Dewa
Tengkorak, untuk menghadapi
kehebatan
kesepuluh jurus Pukulan
Kematiannya
dengan kekuatan yang dimiliki.
Dengan
perdengarkan suara mendesis, si
Manusia Jerangkong sudah
lancarkan
serangan.
WHUUUUK..!
Segelombang angin pukulan
berhawa
panas telah menerjang kearah Ki
Bayu
Sheta.
DHESSSS…! Si Pendekar Bayangan
sudah memapaki serangan dahsyat
itu.
Benturan kedua tenaga dalam yang
hebat
itu menimbulkan asap tipis
seperti
kabut. Laki-laki Lereng
Rogojembangan
itu terhuyung ke belakang. Dia
cuma
keluarkan sebagian tenaga
dalamnya,
tak dinyana pukulan pertama si
Dewa
Tengkorak membuat dia terhenyak
kaget,
karena terasa hawa panas
menembus
masuk ke dalam tubuhnya
beruntung sang
kakek telah lindungi tubuh
dengan hawa
murni. Sedangkan si manusia
Jerangkong
itu tampak tenang-tenang saja
berdiri
menatapnya tanpa menggeser
tubuh.
"Bagus! kini tahanlah
pukulan
kedua..!" Teriak si
Dewa Tengkorak.
Dan dibarengi teriakan
menggeledek, si
manusia Jerangkong segera
hantamkan
pukulannya.
6
HANTAMAN demi hantaman pun
berlangsung… Dan si Pendekar
Bayangan
selalu berhasil menahannya,
hingga
sampai jurus kelima. Hawa
disekitar
tempat itu mulai terasa panas.
Berpuluh-puluh ekor kera sudah
berlompatan menyingkirkan diri.
Angin
malam yang membersit dari atas
Bukit
Kera ternyata telah menimbulkan
hawa
panas yang menyebar
disekitarnya.
Bahkan hawa panas itu kini sudah
berganti-ganti panas dan dingin,
karena Si Pendekar Bayangan
telah
keluarkan tenaga dalam Inti Es
untuk
menahan serangan Si Dewa
Tengkorak.
Pada Jurus kelima ini telah
membuat Ki
Bayu Sheta terdorong mundur dua
langkah. Sedangkan tubuh si Dewa
Tengkorak tampak
bergoyang-goyang,
tapi cukup membuat tokoh hitam
Rimba
Persilatan ini terkejut karena
hawa
dingin seperti telah memusnahkan
tenaga dalam Inti Apinya.
Jurus keenam telah dilancarkan
lagi... Kali ini si Pendekar
Bayangan
harus hati-hati, karena jurus
ini amat
berbahaya dan lebih ganas lagi.
Pukulan si Dewa Tengkorak
mengarah
batok kepala orang dengan
cengkeraman
ganas. Sedang sebelah lengannya
lagi
menghantam kearah jantung.
Serangan ke
arah batok kepala dapat
dihindarkan,
akan tetapi yang mengarah ke
jantung
sukar dihindarkan karena
datangnya
terlalu cepat dan dibarengi hawa
panas
yang menyesakkan pernapasan.
Tenaga
Inti Es nya ternyata seperti
meleleh
oleh hawa Inti Api si Dewa
Tengkorak,
yang ternyata lebih kuat. Untung
dia
keburu doyongkan tubuh, akan
tetapi
tetap saja pukulan itu bersarang
dibahunya sebelah atas. Dan.
BUK...! Ki Bayu Sheta terdorong
tiga langkah. Jubahnya pada bagian
bahu sebelah atas itu robek
hangus,
dan tampak kulit bahunya
mengelupas.
Namun dengan mengertak gigi, Ki
Bayu
Sheta tak perlihatkan rasa
sakitnya.
Bahkan dengan gagah kembali
berdiri
tegak dengan mengumbar senyum.
"Hebat! Jurus keenam ini
cukup
luar biasa, soba Dewa Tengkorak!
Nah,
aku sudah siap menanti serangan
jurus
ketujuh!" Berkata Ki Bayu
Sheta denga
suara santar.
Akan tetapi sampai jurus keenam
ini si Dewa Tengkorak berhenti
sejenak, seperti memberi waktu
pada
lawannya untuk mengatur napas.
Namun
agaknya si Pendekar Bayangan
sudah tak
sabar lagi. Di merasa bagai
seorang
bocah kecil yang harus di
kasihani.
Memang diakuinya bentengan hawa
murni
pada tubuhnya yang mengandung
hawa
Inti Es dapat dijebol si Dewa
Tengkorak. Dan membuat darahnya
seper-
ti bergolak panas membuat
dadanya
menjadi sesak. Setetes darah
sudah
tersembul disudut bibirnya. Akan
tetapi mana mau laki-laki
perkasa itu
menunjukkan kelemahannya? Bahkan
seperti tak mengalami apa-apa
dia
menantang jurus-jurus
selanjutnya.
Mengetahui si Dewa Tengkorak
sengaja
menyediakan waktu padanya untuk
beristirahat, tentu saja membuat
jago
tua ini merasa terhina.
"Mengapa berhenti, Dewa
Tengkorak? Heh, kau kira aku
takut
menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk
Anjingmu itu? Ataukah kau malu
mempertunjukkannya padaku?
Hahaha..
hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta
mengejek si Dewa Tengkorak agar
menjadi marah, dan segalanya
akan
cepat menjadi beres. Mendengus
si Dewa
Tengkorak. Wajahnya seketika
menjadi
merah padam. Dan dia sudah
mengangkat
tangannya, seraya berteriak.
"Baik Bayu Sheta! Terimalah
jurus
ketujuh dan kedelapan!"
Tampak
sepasang lengan si manusia
Jerangkong
itu telah berubah merah bagaikan
bara
api yang mengepulkan asap tipis.
Si
Pendekar Bayangan menahan napas,
dan
sudah siap menghadapi dua jurus
ketujuh dan kedelapan dari
Sepuluh
Jurus Pukulan Kematian. Satu
bentakan
keras seperti membelah bukit.
Hawa
panas melingkupi sekitar bukit
Kera,
ketika sepasang lengan si Dewa
Tengkorak bergerak memutar yang
menim-
bulkan angin panas. Ketika
putarannya
berhenti mendadak tubuh si
Manusia Je-
rangkong itu mencelat keatas
setinggi
sepuluh tombak. Dan ketika
menukik
lagi, segera hantamkan lengannya
kearah Ki Bayu Sheta.
DHESSSS...!
Satu pukulan berhasil ditangkis
si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu
Sheta
terhuyung kebelakang. Dan jurus
berikutnya adalah tiga serangan
sekaligus, yang mengarah ketiga
bagian
tubuh si Pendekar Bayanga
ditempat-
tempat berbahaya. Yaitu
tenggorokkan,
perut dan... selangkangan.
"Jurus keji..!"
Terdengar sebuah
bentakan, di susul dengan ber-
kelebatnya sebuah bayangan
putih.
Dan...
KRAK! KRAKK! BUK…!
Jurus kedelapan itu dapat
mengenai sasaran. Dan
terdengarlah
suara jeritan parau menyayat
hati,
dengan diiringi terlemparnya
sesosok
tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah
berkelojotan beberapa saat sosok
tubuh
itupun diam tak berkutik lagi
karena
telah tewas dengan seketika.
Apakah
yang terjadi? Kiranya Ki Bayu
Sheta
telah terhindar dari pukulan
maut si
Dewa Tengkorak. Dan justru si
pendatang barulah yang telah
menahan
pukulan keji si Manusia
Jerangkong itu
dan menjadi korban. Sedangkan
Pendekar
Bayangan Ki Bayu Sheta masih
berdiri
dengan tubuh limbung. Darah
segar
berwarna hitam kental tersembur
beberapa kali dari tubuhnya.
Ternyata
hantaman pada jurus awal dari
jurus
ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta
telah
terluka parah. Seandainya tak
datang
sesosok tubuh yang menahan
terjangan
jurus selanjutnya dan
mengorbankan
nyawa, mustahil kalau si
Pendekar
Bayangan dapat lolos dari maut.
Sementara terjangan-terjangan
yang terjadi di atas bukit Kera
itu
ternyata tak luput dari sepasang
mata
bening, yang telah turut
menyaksikan
pertarungan sejak awal tadi.
Dialah
Roro, si gadis bengal yang telah
diam-
diam menguntit sang kakek Ki
Bayu
Sheta. Sepasang mata gadis
tanggung
ini terbeliak lebar menyaksikan
kejadian barusan. Dan dari
bibirnya
telah terdengar teriakan
tertahan. Dan
si gadis tanggung ini telah
menghambur
keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ternyata dia telah mengetahui
siapa
adanya laki-laki yang
mengorbankan
nyawa menyelamatkan Ki Bayu
Sheta.
"GURUUUU…!" Teriaknya
dengan
suara parau bercampur isak. Dan
dengan
beberapa kali melompat dia sudah
tiba
didekat tubuh si pendatang, yang
sudah
terkapar tak bernyawa.
Keadaannya amat
mengerikan, karena tulang
dadanya
remuk, dan tulang leher patah,
serta
pada bagian selangkangannya
telah
hancur bersimbah darah. Sesaat
Roro
sudah jatuhkan tubuhnya untuk
memeluki
tubuh laki-laki itu, yang tak
lain
dari Jarot Suradilaga alias si
Maling
Sakti. Diguncang-guncangkannya
tubuh
laki-laki itu dengan isak tangis
memilukan.
Sementara itu tanpa ada yang
mengetahui disudut mata si Dewa
Tengkorak tersembul setitik air
bening. Untuk pertama kalinya
dia
mencucurkan air mata. Mengapa
demikian? Karena didada si Dewa
Teng-
korak telah mengaduk berbagai
perasaan
menjadi satu. Hatinya begitu
trenyuh
menyaksikan pengorbanan si
Maling
Sakti pada si Pendekar Bayangan.
Alangkah bahagianya kalau dia
dapat
mati sebagai seorang Pendekar,
seperti
si Maling Sakti itu. Dan Si
Pendekar
Bayangan pun rela mati demi
menebus
nyawa 300 orang Partai Kaum
Pengemis,
yang sedianya sudah akan
dibantai si
Dewa Tengkorak, dan lasykar
Kerajaan
ketika mereka tengah berkemah
bersama
keluarga ditempat pengungsiannya
ditepi sungai atau Kali Wringin.
Seorang Adipati bernama Haryo
Gawuk telah melaporkan pada Raja
Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum
Pengemis telah siap melakukan
penyeranga ke Istana. Mereka
berkemah
ditepi Kali Wringin. Tentu saja
Baginda Raja Kerajaan Medang
menjadi
murka. Karena merasa Partai Kaum
Pengemis telah bertindak keterlaluan.
Raja telah memberikan janji
untuk
mengangkat mereka yang telah
turut
berjuang membela Kerajaan dari
kekuasaan musuh, dan telah pula
membantu memperjuangkan rakyat
dari
tindakan para Pembesar yang
sewenang-
wenang, mengapa diberi
penghargaan
telah menolak? Dan kini
diam-diam
telah mengatur pemberontakan.
Segera
saja perintahkan Senapati
Trenggono
untuk menumpas Partai
Pemberontak itu.
Akan tetapi hatinya menjadi ragu
atas pengkhianatan Partai Kaum
Pengemis. Segera Sang Raja
perintahkan
Patih Ganda Setho untuk menyusul
Senapati Trenggono dengan
membawa
surat pembatalan untuk menumpas
Partai
Kaum Pengemis. Dan memerintahkan
untuk
menyelidiki terlebih dulu. Sang
Patih
berhasil menyusul Senapati
Trenggono
dan pasukannya. Lalu berikan surat
penggagalan penyerangan dari
Baginda
Raja. Ternyata sekembalinya sang
Patih
Ganda Setho, Senapati Trenggono
yang
memang telah mengatur rencana
jahat
dengan Adipati Haryo Gawuk,
segera
berunding. Ternyata diam-diam
sang
Adipati telah berhubungan dengan
si
Dewa Tengkorak. Dan telah
menyogok si
Dewa Tengkorak denga harta dan
wanita.
Tentu saja si Dewa Tengkorak
yang
terkenal berkepandaian tinggi
dan
ditakuti itu tak menolak.
Sebagian
lasykar Kerajaan kembali pulang
bersama Senapati. Akan tetapi
sebagian
lagi telah turut menyerbu ke
kemah
kaum Partai Pengemis, yang pada
waktu
itu berada di tepi Kali Wringin
bersama keluarganya.
Mereka telah dikepung ketat, dan
dalam keadaan tak siap siaga.
Karena
merasa keadaan Kerajaan sudah
aman.
Mereka sengaja berkumpul karena
akan
mengadakan penyambutan buat si
Pendekar Bayangan dan Ketua
Mereka si
Maling Sakti, berkenaan dengan
menikahnya puteri si Pendekar
Bayangan
Ki Bayu Sheta dengan Jarot
Suradilaga
alias si Maling Sakti, sang
Ketua
mereka. Tentu saja keadaan
dikemah
mereka cuma ada beberapa puluh
orang
kaum laki-laki, karena sisanya
tengah
menghadiri pesta pernikahan anak
perempuan si Pendekar Bayangan
disisi
Kota Raja, yang diadakan dengan
sembunyi-sembunyi.
Rupanya hal tersebut sudah
bocor,
dan diketahui oleh anak buah
Adipati
Haryo Gawuk. Sang Adipati meng-
khawatirkan akan kedudukannya,
karena
dia memang salah seorang Adipati
yang
bertindak tidak jujur, dan
melakukan
pemerasan terhadap rakyat.
Dengan
adanya Komplotan Partai
Pengemis,
bisa-bisa dirinya akan tergeser
dan
dipecat seandainya komplotan
para
pejuang itu mencium tindakannya.
Demikian juga dengan Senapati
Trenggono, karena adalah bekas
seorang
Tumenggung yang justru disaat
keadaan
Kerajaan sedang kacau, dia
berpihak
pada musuh. Bisanya menduduki
jabatan
sebagai Senapati, tentu saja
dengan
jalan memutar lidah dihadapan
Raja.
Dan mengkambing hitamkan rakyat
atau
para Pembesar Kerajaan lainnya,
hingga
sang Raja menjatuhkan hukuman
mati
pada orang yang sebenarnya tidak
bersalah.
Karena mengkhawatirkan kedudu-
kannya juga khawatir tersingkap
keja-
hatannya, Senapati Trenggono
telah
bersengkongkol dengan Adipati
Haryo
Gawuk untuk menyingkirkan kaum
Partai
Pengemis para pejuang pembela
rakyat
itu. Tentu saja pengaturan itu
telah
dipersiapkan sejak lama. Dan
berhasil
dihubungi seorang tokoh hitam
yang
bergelar si Dewa Tengkorak.
Untunglah dalam saat yang
genting
itu, si Pendekar Bayangan telah
menerima laporan dari anak buahnya
tentang penyergapan itu. Dan
tanpa
memberitahukan pada semua
kawan-kawan
dan anak buahnya yang tengah
mengadakan pesta meriah, si
Pendekar
Bayangan berkelebat cepat sekali
kearah Kali Wringin. Dan
berjumpa
dengan si Dewa Tengkorak. Ki
Bayu
Sheta tak dapat berkutik, karena
sekali si Dewa Tengkorak memberi
isyarat, maka akan segera
terjadi
pembantaian yang telah
dipersiapkan
itu. Lebih dari tiga ratus nyawa
akan
melayang yang terdiri dari
anak-anak
kecil bayi dan wanita tak
berdosa.
Akhirnya dengan memohon belas
kasihan, dan dengan rela menukar
nyawa
300 jiwa keluarga tak berdosa
itu
dengan nyawanya, Ki Bayu Sheta
memohon
agar si Dewa Tengkorak
membebaskan
mereka. Dewa Tengkorak memang
telah
mengetahui akan kehebatan si
Pendekar
Bayangan ini, dan sudah ada
niatnya
untuk mengadu kesaktian. Tentu
saja
tawaran itu tak ditolaknya. Dan
gagallah pembantaian atas 300
jiwa
keluarga kaum Partai Pengemis.
Akan
tetapi dengan satu perjanjian,
yaitu
dibubarkannya Partai Kaum
Pengemis dan
tidak diperkenankan lagi
mencampuri
urusan disekitar wilayah Kota
Raja
Memang belakangan Partai Kaum
Pengemis itu dibubarkan. Akan
tetapi
beberapa bulan kemudian gerakan
Partai
tersebut yang secara
sembunyi-sembunyi
dibawah pimpinan Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti berhasil
membongkar kejahatan Adipati
Haryo
Gawuk. Dan ketahuan pula siapa
sebenarnya Senapati Trenggono.
Ternyata Patih Ganda Setho telah
membeberkan kejahatan Senapati
itu dan
membuktikannya dihadapan Raja.
Selang
sebulan Senapati dan Adipati itu
ditangkap, dan dihukum
gantung....
7
DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa
dirinya amat rendah sekali. Dan
tak
lebih dari seorang tokoh
penyebar
kejahatan. Dia hanya
mementingkan
dirinya sendiri dengan mengumbar
kepuasan duniawi. Selama
hidupnya tak
pernah berbuat kebajikan, selain
bergelimang dengan kekotoran
yang
digelutinya. Gelarnya memang
telah
membuat orang takut dan
gemetaran,
akan tetapi apakah dia memiliki
kewibawaan? Tidak! Orang tak
akan
menghargainya, bahkan
mayatnyapun tak
mau orang menyentuhnya. Demikian
memikir dibenak si Dewa
Tengkorak. Dan
hal itu memang membuat dia merasa
mengiri pada nasib Pendekar
Bayangan
Ki Bayu Sheta. .....
Roro si gadis tanggung itu tiba-
tiba lepaskan pelukannya pada
jenazah
si Maling Sakti, dan melompat
kearah
Ki Bayu Sheta.
"Kakek..!? Oh, kakek..!
Kau...
kau terluka..!" Dan
lengannya sudah
bergerak menyangga tubuh si
Pendekar
Bayangan yang terhuyung limbung.
Laki-
laki tua ini tersenyum pedih.
Sepasang
matanya sedari tadi menatap pada
tubuh
si Maling Sakti, menantunya itu.
"Jarot..! kau... kau telah
berkorban nyawa untukku..! Aiih,
mengapa kau lakukan itu?"
Terdengar
seperti menggumam suaranya yang
lirih.
Dan ketika Roro memeluknya untuk
menyangga tubuhnya, sang kakek
ini
perlihatkan senyumnya. Lengannya
bergerak mengelus rambut bocah
perempuan itu.
"Roro..! kau... kau memang
murid
yang bandel! mengapa kau
menyusul
kemari? Hahahaha... hapuslah air
matamu itu, bocah centil!
sungguh
memalukan! Seorang pendekar tak
boleh
cengeng! Kau sudah dengar tadi
pembicaraan kami! Aku memang
telah
memberikan nyawaku pada si Dewa
Tengkorak itu, jadi kau tak boleh
mendendam padanya! Gurumu si
Maling
Sakti ternyata telah
menyelamatkan
nyawaku..! Ah, sungguh diluar
duga-
anku! Tapi dia telah tewas
sebagai
Pendekar Sejati cucuku! Tak usah
kau
sesali kematiannya! Kini
menying-
kirlah..! Aku harus menghadapi
dua
jurus lagi dari Sepuluh Jurus
Pukulan
Kematian yang sudah menjadi
perjanjian
kami..!" Berkata Ki Bayu
Sheta dengan
tersenyum dipaksakan. Sementara
darah
masih mengalir disudut bibirnya.
Sebelah lengannya sudah bergerak
menepiskan tubuh Roro dari
tempat itu.
Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak
berdiri, menatap si Dewa
Tengkorak.
"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana
jurus
kesembilan dan kesepuluh!
Hahahaha...
Sayang menantuku si Maling Sakti
itu
telah menahan seranganmu, kalau
tidak
apakah kau kira aku tak sanggup
menahannya. Hm, jangan mimpi!"
Teriak
Ki Bayu Sheta dengar menahan
napasnya.
Akan tetapi kesudahannya
napasnya
tersengal-sengal. Lagi-lagi
tubuhnya
limbung mau jatuh. Namun dengan
berlagak kuat, sang kakek ini
bertahan
untuk tetap berdiri tegak
menantang.
Saat itu si Dewa Tengkorak telah
perdengarkan tertawa
terbahak-bahak.
Dan satu suara dingin
berkumandang,
seperti menembus, merasuk
mencekam
jantung.
"Hehehehe... hehehe... Bayu
Sheta! Bayu Sheta. Kau memang
seorang
yang beruntung! Tidak seperti
aku yang
sial dangkalan! Kini bersiaplah
kau
untuk menerima dua pukulan
terakhir-
ku!" Begitu habis
kata-katanya, tampak
sepasang lengan si Dewa
Tengkorak
bergerak memutar keatas, dengan
menimbulkan suara berklotakan.
Tampak
kedua lengannya seperti tergetar
dan
merah membara serta mengeluarkan
asap
kabut berhawa panas. Disusul
mengge-
lombangnya angin panas yang
santar
menerjang kearah Ki Bayu Sheta.
Saat
itu si Dewa Tengkorak baru
memper-
siapkan jurus ke sembilan dan
kesepuluh, tapi hawa panasnya telah
terasa ke sekitar bukit itu.
Pada saat itulah terdengar suara
bentakan nyaring.
"Iblis tua bangka..! Aku
akan adu
jiwa denganmu..!" Dan
disusul dengan
berkelebatannya tubuh Roro
melompat
kehadapan si Dewa Tengkorak.
Saat itu
justru si Dewa Tengkorak sudah
lancarkan serangan kearah si
Pendekar
Bayangan. Melihat bocah
perempuan
tanggung murid si kakek itu
melompat
kearahnya, sepasang mata Dewa
Tengkorak jadi melotot. Akan
tetapi
jadi tertawa menyeringai.
Sementara
Roro sudah lancarkan serangannya
menghantam tubuh si manusia
Jerangkong
itu... Akan tetapi si Dewa
Tengkorak
justru tak menghindarkan diri.
Hantaman lengan bocah perempuan
itu
tiba-tiba seperti tertahan di
tengah
jalan. Dan pada detik itu dengan
suara
tertawa berkakakan, sebelah
lengan si
Dewa Tengkorak yang sedianya
akan
dihantamkan pada Ki Bayu Sheta,
kini
dialihkan mencengkeram batok
kepala
bocah perempuan itu.
DHESSSSS...!
Terdengar suara teriakan
menyayat
hati dari si bocah perempuan.
Kepalanya seperti lenyap tak
terlihat
lagi, karena tertutup oleh
tebalnya
asap kabut. Sementara itu
sebelah
lengannya telah menghantam
kearah Ki
Bayu Sheta.
BHUMMMMM....! Terdengar suara
ledakan keras. Akan tetapi
hantaman si
Dewa Tengkorak tidak tertuju
pada si
Pendekar Bayangan, melainkan
pada
tanah berbatu dihadapannya.
Seketika
tanah dan batu berhamburan
menyemburat. Sebuah lubang
bergaris
tengah tiga depa segera menganga
Emoticon