3
Belum seberapa jauh Suropati
melangkah-
kan kaki, di sebuah tanjakan dia
menemukan gua
kecil. Di kanan-kiri gua itu
ditumbuhi pohon cemara tua yang tinggi menjulang bagai mencakar
langit. Kening Suropati berkerut
tajam. Cepat dia mendekap hidung, karena dari dalam gua tercium
bau busuk amat menyengat.
Bergegas Suropati berlari
menjauh. Namun
tiba-tiba, di benaknya terbersit
rasa heran ber-
campur curiga. Dia ingat cerita
tentang suku pe-
dalaman yang masih memakan
daging sesama
manusia. Terbawa
keingintahuannya, Suropati
membalikkan badan, kembali
berlari mendekati
gua. Sambil terus mendekap
hidung, Suropati
berdiri di mulut gua kecil itu.
Setelah memperhatikan dengan saksama, tahulah dia bila kedala-
man gua berupa pertapaan.
Panjangnya sekitar
dua tombak, sedangkan lebarnya
satu tombak
kurang sedikit. Bertambah rasa
heran dalam diri
Suropati. Mungkinkah sebuah
pertapaan dijadi-
kan tempat penyimpanan bangkai?
"Hmmm.... Apakah tokoh yang
bergelar
Pangeran Sadis itu tinggal di
tempat ini?" tanya Suropati kepada diri sendiri.
Tanpa mempedulikan bau busuk
yang te-
rus menyengat, Suropati
melangkah memasuki
gua yang remang-remang. Tak dia
hiraukan juga
perutnya yang mulai mual dan
kepalanya yang
pusing mendadak.
Dan... kaget tiada terkira
Suropati. Baru
melangkah tiga tindak, dia
melihat kepala manu-
sia yang sudah rusak! Kepala tanpa
badan itu di-
tataki selembar kain putih kotor
penuh noda da-
rah kering, tergeletak di atas
meja pendek yang
berada di tengah-tengah ruangan.
Rasa mual dan pusing Suropati
menghe-
bat. Tapi, dia malah berjalan
mendekat. Remaja
tampan yang menyelipkan tongkat
butut di ikat
pinggangnya itu seperti pernah
mengenali kepala
tanpa badan yang tergeletak di
atas meja.
Dengan mendekap hidung lebih
kuat, Su-
ropati berjongkok. Diamatinya
lebih teliti kepala tanpa badan itu. Dan, benarlah bila dia pernah
mengenali pemilik kepala itu.
Tapi, siapa? Suro-
pati tak berani menebak. Namun,
teringat cerita Palupi di Penginapan Mawar, Suropati dapat memastikan bila
kepala itu adalah milik.... Dewi Ikata!
Mengelam paras Pengemis Binal seketika.
Dua bans giginya bertaut rapat
memperdengar-
kan suara gemelutuk. Darahnya
pun kontan
mendidih naik sampai ke
ubun-ubun.
"Kejam...! Pangeran
Keparat! Kubunuh
kau... Kubunuh kau...!"
Suropati berteriak-teriak seperti orang kehilangan ingatan.
Tanpa sadar airmatanya menetes.
Samar-
samar dilihatnya selembar sampul
kuning di atas
meja. Dengan dengus napas
memburu dipungut-
nya sampul kuning yang telah
robek sedikit itu.
Dan, semakin meledaklah amarah
Suropati sete-
lah membaca sepucuk surat yang
tersimpan di
dalamnya.
Untuk kekasih Dewi Ikata,
Terpaksa aku memenggal kepala
gadis can-
tik yang tak berdosa ini. Tak
usah kau teruskan langkahmu ke puncak bukit. Karena, aku sudah tak ada. Aku
percaya bila kau pasti akan dapat menemukan aku. Balaskan dendammu.
Kutung-gu....
Pangeran Sadis
Tak kuasa menahan amarah,
Suropati
menggeram keras seraya
menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dua larik
sinar kebiruan
melesat, menimbulkan suara
gemuruh dahsyat.
Dinding ruangan kontan jebol,
berlubang dalam.
Sementara, dari atas berjatuhan
tanah dan beba-
tuan, menimpa kepala dan badan
Suropati. Na-
mun, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti yang terluka hatinya itu
tak mau beranjak
dari tempatnya. Dia biarkan
gumpalan tanah dan
bebatuan menghajarnya.
"Ika.... Ika....
Ika...," sebut Pengemis Binal berulang kali.
Ketika gemuruh sudah reda dan
gumpalan
tanah dan bebatuan tak lagi
berjatuhan, Suropati mengangkat kepala tanpa badan yang masih tergeletak di
atas meja. Tidak ada lagi rasa mual dan pusing, berikut perasaan jijik dalam
dirinya. Dengan langkah terseok dan mata berkaca-kaca, ke-
pala tanpa badan itu dibawanya
keluar gua.
Di terang sinar mentari,
Suropati mene-
gaskan lagi kepala yang berada
di atas telapak
tangannya. Setelah yakin bila
kepala itu milik
Dewi Ikata, dia lalu menguburnya
di bawah po-
hon cemara di sebelah kanan gua.
Diberinya tan-
da kuburan itu dengan batu
sebesar kambing.
Dengan mengalirkan tenaga dalam
ke te-
lunjuk jari tangan kanannya,
Suropati menu-
liskan nama Dewi Ikata di
permukaan batu. Un-
tuk beberapa lama dia menatap
batu itu, lalu di-
peluknya erat-erat. Karena
kedukaannya begitu
dalam, tak kuasa dia menahan
cucuran airmata.
Namun, segera Suropati sadar
bila dia tak boleh
membiarkan kedukaan mencengkeram
jiwanya.
Manusia pasti mati. Jadi, untuk
apa mesti me-
nyesali kematian Dewi Ikata.
Gadis itu telah kembali kepada Sang Pencipta. Dia telah berada di
tempat yang tenang. Airmata tak
perlu dijatuhkan lagi. Sang Baskara telah condong ke barat. Pancaran sinarnya
melemah. Desir angin mengusap
lembut, membuat lena. Di bawah
langit biru ber-
baur warna perak awan,
burung-burung beter-
bangan, seakan membalas lambaian
pucuk-
pucuk cemara.
Suropati tersentak kaget
merasakan tepu-
kan di bahu kanannya. Lebih
kaget lagi dia tatka-la melihat seorang kakek berpakaian serba putih
tiba-tiba tergeletak pingsan di
belakangnya.
"Kek...!" jerit
Pengemis Binal setelah mengenali kakek yang datang tanpa sepengetahuan-
nya. Sesaat Suropati bergidik
ngeri. Kedua per-
gelangan tangan kakek yang tiada
lain dari Banjaranpati itu tampak berlubang-lubang. Dan men-
gucurkan darah kehitaman. Dari
kedua pelipisnya
menetes keringat kehitaman pula.
Persis luka
yang diderita Arumsari! Apakah
kakek yang ber-
gelar Bayangan Putih Dari
Selatan itu juga men-
jadi korban keganasan Pangeran
Sadis?
Cepat Suropati menekan dada kiri
Banja-
ranpati. Jantungnya masih
berdetak normal. Ta-
pi, keadaan tubuhnya sudah cukup
mengkhawa-
tirkan. Tanpa pikir panjang
lagi, Suropati segera menotok beberapa jalan darah kakek berkuncir
itu. Dikeluarkannya seluruh ilmu
pengobatannya
hasil ajaran si Wajah Merah.
Tak lama kemudian, keluar keluh
pendek
dari mulut Banjaranpati.
Tersadarlah dia dari
pingsannya.
"Aku Suropati, Kek....
Bagaimana keadaan-
mu? Haruskah kusalurkan hawa
murni ke tu-
buhmu?" ujar Pengemis
Binal, penuh kekhawatiran. Banjaranpati beringsut duduk bersandar di
batang cemara. Dikerjapkannya
kelopak matanya
beberapa kali.
"Suro...," desisnya sambil meringis kesakitan.
"Apa yang terjadi denganmu,
Kek? Apakah
kau baru bertempur dengan
Pangeran Sadis?"
"Kau sudah masuk ke
gua?" Banjaranpati balik bertanya.
"Ya. Aku menemukan kepala
Dewi Ikata,
dan sekarang sudah
kukuburkan," beri tahu Suropati. "Akan kusalurkan hawa murni ke
tubuh-mu, Kek...."
Kepala Banjaranpati menggeleng
lemah.
"Tak perlu. Aku tak akan
mati hanya karena luka-lukaku ini...."
"Tapi, kau tampak menderita
sekali, Kek.
Apa yang harus kuperbuat?"
Banjaranpati menarik napas
panjang, lalu
dihembuskannya dengan deras.
"Pangeran Sa-
dis...," desahnya.
"Ada apa dengan dia? Benar
kau dilu-
kainya, Kek?" kejar
Suropati, penasaran.
"Dialah yang membunuh Dewi
Ikata...."
"Aku sudah tahu. Ceritakan
apa yang kau
ketahui, Kek. Bagaimana kau bisa
bertempur
dengan tokoh jahat itu?"
Banjaranpati menatap wajah
Pengemis Bi-
nal sejenak. Sambil menekan dada
kirinya, dia
berkata, "Tiga hari yang
lalu, aku datang ke pertapaan Arumsari. Gua yang baru saja kau masu-
ki...." "Lalu, kau
bertemu dengan Pangeran Sadis?" "Jangan potong bicaraku!"
Mendengar nada ucapan
Banjaranpati yang
tiba-tiba mengeras, Suropati
tercekat. Segera dia menyadari kesalahannya yang terlalu mendesak.
"Tujuanku menemui Arumsari
sebenarnya
hanya untuk mengikat lagi tali
persahabatan yang telah lama terputus. Kau tahu bukan, Suro, bila
selama ini aku dan Arumsari tak
pernah akur?"
"Ya. Ya, aku tahu,
Kek...."
"Uh...!"
Banjaranpati mengeluh. Dia tekap
dada ki-
rinya lebih kuat. Namun, rasa
sakit di sekujur tubuhnya malah menghebat.
"Aku harus membawamu ke
Bukit Rawan-
gun, Kek. Kau harus mendapat
pertolongan Ka-
kek Wajah Merah!"
Suropati yang sangat
mengkhawatirkan
keadaan kakek yang pernah
menurunkan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
kepadanya itu,
mengulurkan tangan. Maksudnya
untuk membo-
pong tubuh Banjaranpati guna
dilarikan ke Bukit
Rawangun. Tapi, Banjaranpati
menolak keras.
"Sudah kubilang, aku tak
akan mati hanya
karena luka-luka ini!"
"Lalu, apa yang harus
kuperbuat, Kek?"
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala.
"Duduklah yang enak, dan
dengarkan ceri-
taku." Dengan gerakan
sedikit konyol, Suropati duduk bersila di hadapan Banjaranpati. Walau
dia sangat mengkhawatirkan
keadaan Banjaran-
pati, tapi dia percaya bila
kakek itu tak akan mati cepat. Suropati bisa memetik pelajaran dari
Arumsari yang juga menderita
luka serupa.
"Kasihan sekali
Arumsari...," desah Banjaranpati. "Aku bisa merasakan jiwanya yang
terpukul. Ketika itu, dia dan aku tengah membica-
rakan perjodohan Dewi
Ikata...."
"Dewi Ikata dijodohkan?
Dengan siapa,
Kek?" sela Pengemis Binal.
"Denganmu."
"Aku?"
"Ya. Jangan bohongi dirimu!
Kau mencintai
Dewi Ikata, bukan? Aku tahu
benar akan hal itu.
Tapi, aku tak setuju pada
gagasan Arumsari. Soal jodoh, orangtua tak bisa memaksakan kehendak.
Namun karena aku tak mau
Arumsari menjadi
murka, kukatakan padanya bila
perjodohan Dewi
Ikata denganmu harus
dirundingkan dengan Adi-
pati Danubraja dan Gede Panjalu.
Arumsari bisa
menerima...."
"Lalu?"
"Selagi kami bercakap-cakap
itulah tiba-
tiba obor di dalam gua padam.
Kemudian, muncul
seorang pemuda tampan berpakaian
kuning ge-
merlap mirip pembesar
kerajaan...."
"Diakah yang mengaku
sebagai Pangeran
Sadis?" Banjaranpati
menjawab dengan anggukan kepala. "Karena penasaran, Arumsari melontarkan
segenggam biji teratai merah. Kau tentu su-
dah tahu kehebatan senjata
rahasia guru Dewi
Ikata itu. Tapi anehnya,
biji-biji teratai itu lenyap tanpa bekas. Padahal, Pangeran Iblis yang menjadi
sasaran sama sekali tak menggerakkan tubuh-
nya...." "Lalu?"
"Dia pergi meninggalkan
kepala Dewi Ikata
dan dua sampul surat berwarna
kuning. Salah
satu suratnya mengatakan bahwa
kami harus
menyerahkan kepala Dewi Ikata
dan surat lainnya
kepada seseorang yang beberapa
hari lagi melalui tempat ini. Ternyata, orang itu adalah kau, Su-ro...,"
Banjaranpati menghentikan ceritanya untuk menarik napas panjang. Tak dia
hiraukan ra-
sa sakit yang masih mendera di
sekujur tubuh-
nya. "Tentu saja Arumsari
sedih bukan main melihat murid yang hendak dijodohkan denganmu
tiba-tiba muncul di hadapannya
hanya berupa
kepala tanpa badan. Rasa sedih
membuat Arum-
sari lupa diri. Terdorong hawa
amarah pula, dia
menyambar sampul kuning yang
belum dibuka.
Aku berusaha, mencegahnya.
Karena, kupikir
Arumsari tak berhak mengetahui isinya.
Tapi,
Arumsari malah naik pitam.
Dihantamnya aku
dengan ilmu 'Pukulan Api
Neraka'. Aku berhasil
menghindari walau tak urung kain
bajuku terba-
kar. Kemudian, Arumsari merobek
sampul kun-
ing. Namun sebelum dia sempat
mengeluarkan
isinya, tiba-tiba terdengar
bentakan keras. Sam-
pul kuning di tangan Arumsari
mendadak me-
layang jatuh ke atas meja. Lalu,
terdengar kata-
kata yang menyuruh aku dan
Arumsari keluar
gua. Di luar gua, ternyata
Pangeran Sadis sudah
menunggu. Begitu melihat kami
berdua, dia lang-
sung mengeluarkan kata-kata
kotor yang sangat
menyinggung perasaan...."
"Kemudian, terjadi
pertempuran?"
"Dibilang pertempuran,
bisa. Dibilang ti-
dak, juga bisa."
"Kenapa begitu?"
"Karena dengan mudah
Pangeran Sadis
merobohkan kami. Kesaktiannya
sungguh mem-
buat aku tak habis pikir. Dia
itu manusia atau siluman. Semua biji teratai merah yang dilontarkan dilontarkan
Arumsari lenyap tanpa bekas. Bahkan, dia tak mempan 'Pukulan Api Neraka'. Aku
sendiri terperanjat dan seperti
mimpi saja layaknya. Dengan menggunakan ilmu 'Pukulan Tanpa
Bayangan', aku mencoba menggedor
dadanya.
Namun ketika tanganku hampir
menyentuh sasa-
ran, dia menghilang entah ke
mana. Saat aku ke-
bingungan, aku merasakan seluruh
anggota ba-
danku tak dapat digerakkan lagi.
Tahu-tahu ke-
dua pergelangan tanganku
mengucurkan darah
kehitaman. Dan, kedua pelipisku
mengeluarkan
keringat kehitaman
pula...."
"Nenek Arumsari juga
mengalami hal seru-
pa?" "Ketika kulihat
guru Dewi Ikata itu, begitu-lah yang terjadi?"
"Lalu?"
"Terdengar suara dingin
yang mengatakan
bahwa kami berdua tak akan mati.
Tapi, selama
tiga hari kami tak akan dapat
berbuat apa-apa.
Kemudian, tanah tempat kami
berpijak bergun-
cang keras. Selanjutnya, aku tak
tahu apa yang
terjadi. Mendadak, tubuhku
terasa ringan. Ki-
ranya, aku terlontar ke lereng
bukit. Selama tiga hari aku terkapar pingsan. Ketika siuman, ku-dengar ledakan
di gua pertapaan Arumsari. Su-
sah-payah aku naik. Dan,
kujumpai kau di tem-
pat ini, Suro...."
Banjaranpati menutup ceritanya
dengan
dengus napas memburu. Setelah
batuk-batuk be-
berapa saat, dia lalu bangkit
berdiri. Ditatapnya lekat-lekat wajah Pengemis Binal yang masih terbengong
mendengar ceritanya.
"Aku tahu dalam dirimu
telah timbul den-
dam kesumat, Suro...," ujar
Banjaranpati kemudian. "Tapi untuk membuat perhitungan dengan Pangeran
Sadis, kau tidak boleh menjadikan dendam kesumat sebagai alasan. Hanya karena
tun-
tutan jiwa pendekarlah kau bisa
berhitungan
dengan pembunuh Dewi Ikata itu.
Kejahatan mes-
ti dibasmi. Keadilan mesti
ditegakkan. Itulah alasanmu. Tapi sebelum kau menemui Pangeran Sa-
dis, datanglah ke Bukit Hantu.
Temui Datuk Ri-
sanwari. Mintalah petunjuk
darinya."
Pengemis Binal makin terbengong,
lalu ga-
ruk-garuk kepala ketika sosok
Banjaranpati ber-
kelebat lenyap dari hadapannya.
"Pangeran Sadis...,"
desis remaja tampan berambut panjang tergerai itu. "Siapa dia sebenarnya?
Dan, kenapa dia tega membunuh Dewi
Ikata? Dua pucuk suratnya yang
disampaikan
kepadaku semua bermakna
tantangan. Dia pasti
menyimpan bibit permusuhan
denganku. Tapi,
oleh sebab apa? Sedangkan aku
sendiri sama se-
kali tak tahu siapa
dia...."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala lagi.
Berbagai tanda tanya muncul di
benaknya. Tapi,
tak satu pun yang dapat dia
jawab. Ketika bangkit dari duduknya, tersadarlah Pengemis Binal bila
badannya amat lelah dan perutnya
berkeruyukan
minta diisi. Maka, lupalah
sejenak dia pada kese-dihannya. Dia harus turun bukit untuk mengisi
perut.
* * *
Sehari kemudian, langkah kaki
Suropati
sampai di kota Ngadiluwih, masuk
wilayah Kadi-
paten Tanah Loh. Tujuannya
hendak ke Bukit
Hantu guna menemui Datuk
Risanwari, seperti
yang dinasihatkan Arumsari dan
Banjaranpati.
Namun melihat keramaian kota
Ngadiluwih, dia
tertarik untuk melihat-lihat.
Siapa tahu bisa
memperoleh keterangan perihal
Pangeran Sadis.
Ngadiluwih adalah kota hidup
yang meng-
hubungkan daerah barat dan
timur. Berpendu-
duk padat. Perdagangan pun cukup
ramai. Yang
diperdagangkan terutama
rempah-rempah yang
didatangkan dari tempat lain.
Ketika Pengemis
Binal memasuki keramaian kota,
hari menjelang
senja. Namun, kesibukan para
pedagang masih
bisa dilihat. Memang, kota
Ngadiluwih tak pernah mati, siang ataupun malam. Ada saja yang diker-jakan oleh
penduduk kota yang rata-rata bermata
pencaharian sebagai pedagang.
Tak bosan Suropati mengedarkan
pandan-
gan ke kanan kiri. Kota
Kadipaten Bumiraksa
tempat dia dibesarkan juga
ramai. Tapi bila di-
bandingkan dengan kota
Ngadiluwih, keramaian-
nya terpaut cukup jauh. Karena
ingin merasakan
masakan penduduk kota
Ngadiluwih, Suropati
memasuki sebuah kedai. Kebetulan
di kantong
bajunya terdapat beberapa keping
uang logam.
Pada mulanya kehadiran Suropati
ditolak
oleh pelayan kedai. Namun
setelah dia menun-
jukkan uang yang dibawanya, dia
persilakan ma-
suk. Setelah mengambil tempat
duduk, dia minta
sepiring nasi beserta lauknya
dan segelas minu-
man. Tengah Suropati asyik
menyantap maka-
nannya, di luar kedai terdengar
ribut-ribut. Dari tempat duduknya, dia dapat melihat dua pelayan
sedang membentak-bentak seorang
pemuda ku-
rus dan berpakaian
compang-camping. Pemuda
itu kira-kira sebaya dengannya.
Kepalanya ditu-
tup caping yang sudah
pecah-pecah. Wajahnya
kotor dan tampak dekil sekali.
Tangan pemuda bercaping butut
itu meng-
genggam sepotong ubi yang baru
dipungutnya da-
ri meja di dalam kedai.
Sementara, kedua pelayan tampak menuding-nudingnya.
"Pergilah cepat! Jangan
kotori tempat ini!"
usir salah seorang pelayan.
Pemuda bercaping butut bukannya
takut,
tapi malah tertawa. Dua baris
giginya yang putih bersih terlihat. Sangat tak sepadan dengan pakaian yang
dikenakannya.
"Kuhajar kau bila tak
segera pergi!" ancam pelayan satunya.
"Baiklah.... Baiklah, aku
pergi...," ucap pemuda bercaping butut seraya membalikkan ba-
dan. Namun, pelayan yang
berperut gendut
mencegahnya. "Hei!
Tinggalkan ubi itu!"
Pemuda bercaping butut
membalikkan ba-
dan lagi. Ubi yang tergenggam di
tangan kanan-
nya dia sodorkan ke pelayan
berperut gendut. Ta-
pi karena tangannya kotor, pada
ubi itu membe-
kas tanda tiga jari tangan
berwarna hitam. Pe-
layan gendut naik pitam karena
ubi itu tentu tak dapat dijual lagi.
Maka, ringan sekali tangannya
melayang.
Pemuda bercaping butut cukup
tangkas meng-
hindar. Sehingga, tamparan
pelayan gendut lewat
di atas kepalanya.
"Jangan! Jangan!"
teriak Suropati ketika melihat pelayan gendut hendak melanjutkan
tamparannya. "Aku yang
membayar. Biarkan ubi itu dia makan!"
Saat kedua pelayan menoleh ke
arah Suro-
pati, pemuda bercaping butut
cepat menyantap
ubi di tangannya dengan lahap.
Agaknya, dia be-
nar-benar menderita kelaparan.
"Masuklah...!" ajak
Suropati sambil me-lambaikan tangan kepada pemuda bercaping bu-
tut. "Baik!" sambut
pemuda itu sambil tertawa kecil. "Aku memang sedang mencari kawan. Hidup
tanpa kawan, dunia terasa sunyi."
Pemuda bercaping butut melangkah
ma-
suk. Dua pelayan yang tadi
menghardiknya cuma
dapat saling pandang.
Pengemis Binal lalu minta tambah
maka-
nan. Pelayan yang diperintah
memenuhi pesa-
nannya dengan sikap acuh tak
acuh. Mungkin
karena melihat pakaian Pengemis
Binal yang pe-
nuh tambalan dan kawan barunya
yang berpe-
nampilan lebih mengenaskan.
Sambil duduk berhadapan meja,
pemuda
bercaping butut berbasa-basi
mengucapkan kata
terima kasihnya. Nada bicara
pemuda itu enak di
didengar, dan tampaknya dia
terpelajar.
"Hmmm.... Benar dugaanku
bila pemuda
ini bukan orang
sembarangan," kata Suropati dalam hati.
Karena ingin memastikan
dugaannya, Su-
ropati lalu mencekal lengan si
pemuda keras-
keras. Heran dia ketika
merasakan lengan yang
dicekalnya berkulit halus dan
lembut. Sementara, pemuda bercaping butut cuma tersenyum malu-malu. Beberapa
lama kemudian, si pemuda ber-
kata, "Sudah cukup lama
kita berada di sini. Makanan pun sudah habis. Mari kita keluar."
Cepat Pengemis Binal membayar
makanan
yang telah dihabiskan. Lalu,
digandengnya lengan pemuda itu keluar kedai. Belum seberapa jauh
mereka berjalan, mendadak pemuda
bercaping
butut menarik lengannya.
"Terima kasih atas
kebaikanmu. Aku tak
mau berhutang budi lagi
kepadamu. Maka, per-
kenankan aku minta
diri...," ujar pemuda bercaping butut sambil membungkuk hormat.
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Suropati. "Kau belum menyebutkan namamu. Barangkali kita
berjodoh untuk bertemu
lagi."
"Oh ya. Aku lupa belum
mengenalkan diri.
Namaku, Jatiwulung. Terserah
dengan sebutan
apa kau memanggilku."
"Sekarang, kau hendak ke
mana? Tidakkah
kau juga ingin tahu
namaku?"
Pemuda yang mengaku bernama
Jatiwu-
lung tersenyum tipis. "Aku
hidup sebatang kara.
Tak ada tujuan dalam langkah
kakiku," katanya.
"Aku tak perlu menanyakan
namamu, karena aku sudah tahu siapa kau."
Kening Pengemis Binal berkerut.
"Benarkah
kau sudah tahu siapa aku?"
Jatiwulung tertawa lebar,
memperlihatkan
dua baris giginya yang putih
bersih. "Hanya orang bodoh dan kurang pergaulan yang tak mengenal
nama Suropati alias Pengemis
Binal."
Mendengar kalimat Jatiwulung,
Pengemis
Binal makin penasaran. Maka, tak
segan dia ber-
kata, "Bila benar kau tak
mempunyai tujuan, ada baiknya kau ikut aku ke Bukit Hantu."
"Bukit Hantu? Di sana ada
apa?"
"Sudahlah. Kau ikut saja.
Barangkali da-
lam perjalanan nanti, kau
mendapat banyak pen-
galaman berharga."
Jatiwulung tampak berpikir
sebentar, lalu
dia menganggukkan kepala. Dan
sedih di hati Su-
ropati dapat sedikit ditepis
ketika dalam perjalanan ke Bukit Hantu, Jatiwulung menunjukkan
sikap yang sangat bersahabat.
Namun saat pe-
muda itu menanyakan keperluannya
ke Bukit
Hantu, Suropati masih berat
untuk mengatakan-
nya. Sehari kemudian, sewaktu
Pengemis Binal
berpikir tentang kehebatan
Pangeran Sadis sambil berjalan menunduk, dia mendengar suara bersiut
yang dibarengi desir angin keras
menyambar dari
belakang. Mengira ada senjata
rahasia yang ditu-
jukan ke arahnya, cepat dia
melentingkan tubuh
dengan gerakan 'Pengemis
Menghiba Rembulan'.
Terkejut bagai disambar petir
Suropati.
'Senjata rahasia' itu melesat
melebihi kecepatan gerak tubuhnya. Hingga, batok kepalanya terhan-
tam tepat!
"Slompret!" maki
Pengemis Binal, merasakan kepalanya lagi pusing. Tapi, dia jadi bernapas lega
setelah meraba bagian belakang kepalanya.
Ternyata, barang yang
disangkanya senjata raha-
sia itu tak lain dari sejumput
tanah liat yang masih basah.
"Kadal bunting! Kambing
congek! Kurang
ajaaarrr...!" maki Pengemis
Binal, lebih keras. Kepalanya celingukan mencari pelempar 'senjata ra-
hasia' itu. Sementara,
Jatiwulung tampak tertawa cekikikan.
Suropati menggedruk-gedrukkan
kaki ke
tanah terbawa luapan rasa
jengkelnya. Dia mera-
sa dipermainkan orang. Mendadak,
remaja konyol
itu berdiri mematung. Sambil
cengar-cengir, dia
menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Dalam hati
dia mengagumi kehebatan orang
yang telah ber-
hasil mempercundanginya. Dia tak
dapat mem-
bayangkan apabila benda yang
lontarkan ke kepa-
lanya tadi berupa senjata
rahasia yang sebenar-
nya, tentu saat itu juga dia
telah terkapar di tanah tanpa nyawa.
"Hmm.... Mungkinkah orang
itu Pangeran
Sadis? Tapi, kenapa dia tak
langsung saja mem-
bunuhku bila dia memang
menyimpan bibit per-
musuhan kepadaku?" tanya
Pengemis Binal da-
lam hati.
Tanpa sadar Suropati garuk-garuk
kepala
lagi. Jatiwulung yang mengetahui
bila Suropati
baru saja dipermainkan orang
tampak tersenyum-
senyum.
"Ternyata kebesaran nama
Pengemis Binal
tak seperti yang kukira,"
cibir Jatiwulung, meng-goda. Mendengar itu, Suropati yang sudah panas
hatinya kontan mencak-mencak.
Dipelototinya
wajah Jatiwulung. "Kau
jangan mengejek!" bentaknya dengan muka merah-padam.
"Kalau marah-marah begitu,
kau persis
monyet kehilangan ekor,
Suro!" tambah Jatiwulung, sedikit pun tak menyimpan rasa takut wa-
lau bola mata Pengemis Binal
terus memeloto-
tinya. Jengkel di hati Suropati
tiada dapat ditahan lagi. Serta merta dia menghentakkan kakinya
ke tanah. Terdengar suara
berdebum. Permukaan
tanah berguncang sesaat. Bekas
pijakan kaki Su-
ropati tampak berkubang dalam.
Namun, Jatiwu-
lung malah tertawa keras.
"Setan dekil! Menyesal aku
mengajakmu!"
Tahu Pengemis Binal meluap
amarahnya,
Jatiwulung tetap saja tertawa-tawa.
Hingga, pe-
muda itu sampai batuk-batuk
karena tersedak.
Bola mata Pengemis Binal makin
melotot
saja ketika tiba-tiba tubuh
Jatiwulung terlontar tiga tombak, lalu jatuh bergulingan. Pemuda itu
memekik keras ketika tubuhnya
membentur se-
bongkah batu sebesar kerbau.
"Keparat! Haram
jadah!" umpat Jatiwulung seraya meloncat bangkit dengan raut muka amat
keruh.
Kini, ganti Pengemis Binal yang
tertawa
bergelak.
"Rasakan...!" ejeknya, yang segera dis-ahuti kata-kata kotor
Jatiwulung.
4
Mendadak..., tiupan angin
berubah arah.
Bertiup dari tenggara dengan
kecepatan luar bi-
asa. Akibatnya, daun-daun
berguguran dan rant-
ing-ranting meliuk untuk
kemudian berpatahan.
Tak ayal lagi, burung-burung
yang bertenggeran
di atasnya terlihat berpentalan
ke udara. Kekua-
tan badai yang tiba-tiba muncul
tidak hanya
sampai di situ. Beberapa pohon
kecil mulai tercabut dari dalam tanah, lalu terlontar jauh seringan kapas!
Terkejut tiada terkira Suropati dan Jatiwulung. Cepat mereka memasang kuda-kuda
seraya
mengerahkan ilmu memperberat
tubuh. Caping
butut Jatiwulung telah terlempar
entah ke mana.
Sementara, rambutnya pun
terburai tak karuan
bagai ditarik-tarik tangan yang
tak tampak.
"Jahanam...!" umpat
Jatiwulung, keras
membentak. Sekujur tubuhnya
terasa pedih se-
perti sedang dicambuki.
Wajah pemuda itu kontan memucat
ketika
tahu pohon sebesar dua rangkulan
manusia de-
wasa yang berada tak jauh
darinya, mengelua-
rkan suara berderak-derak.
Sesaat kemudian po-
hon itu miring, lalu
akar-akarnya berserabutan
keluar dari dalam tanah. Dan....
Brolll...!
Pohon trembesi yang baru berbuah
itu be-
nar-benar tercabut. Melesat amat
cepat di udara
dan menimbulkan suara bersiut
keras. Salah satu
dahannya tepat menghantam bahu
kiri Jatiwu-
lung! Desss...!
"Argh...!"
Kuda-kuda Jatiwulung goyah. Tak
mau tu-
buhnya terlontar, cepat dia
membungkuk seraya
menghentakkan kedua tangannya ke
bawah. Hen-
takan yang disertai pengerahan
tenaga dalam
membuat kedua tangan Jatiwulung
amblas ke da-
lam tanah sampai sebatas siku.
Merasakan ti-
upan angin yang makin dahsyat,
pemuda itu se-
gera pula menghentakkan kedua
kakinya, hingga
amblas ke dalam tanah hampir
sebatas lutut.
Sekitar empat tombak dari tempat
Jatiwu-
lung berada, Suropati tampak
memasang kuda-
kuda dengan kedua tangan menekan
lutut. Kare-
na tiupan angin makin kencang,
pertahanan re-
maja tampan itu pun mulai goyah.
Perlahan-
lahan kedudukannya bergeser ke
belakang, mem-
buat tubuhnya terseret
"Saka Purdianta...,"
desis Pengemis Binal, teringat putra mendiang Tumenggung Sangga
Percona yang mempunyai ilmu
'Dewa Guntur Sa-
tukan Badai'.
Karena menduga yang membuat ulah
ada-
lah Saka Purdianta, Pengemis
Binal mengumpul-
kan seluruh kekuatannya untuk
kemudian berte-
riak, "Jangan main-main,
Saka! Jangan menodai persahabatan yang telah lata jalin!"
Tak ada yang menyahuti teriakan
Pengemis
Binal. Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur pun
tak tampak batang hidungnya. Hanya
gemuruh
angin yang terdengar memekakkan
gendang telin-
ga.
Suropati mendengus gusar, lalu
berteriak
lebih keras, "Saka! Bila
kau hendak membuat permusuhan lagi denganku, segera tampakkan
dirimu. Hadapi aku secara
jantan. Jangan menye-
rang sambil menyembunyikan
diri!"
Tetap tak ada suara sahutan.
Maka mele-
daklah amarah Suropati. Jiwanya
yang terpukul
oleh kematian Dewi Ikata membuat
remaja tam-
pan itu cepat naik darah.
"Aku bukan arca yang cuma
dapat diam
saja ketika dipermainkan orang!
Jangan salahkan
aku bila kubalas perbuatan
usilmu ini!"
Di ujung kalimatnya, Pengemis
Binal mem-
buka pergelangan kakinya lebih
lebar. Ditariknya napas dalam-dalam seraya menarik kedua tangannya ke belakang
sejajar pinggang. Di lain ke-
jap, urat-urat tangannya
menggembung dan ma-
tanya berkilat-kilat
"Waspadalah, kau orang
usil! Hirup udara
sebanyak-banyaknya selagi
mampu!"
Selama tiga tarikan napas,
Pengemis Binal
memutar-mutar kedua telapak
tangannya di de-
pan dada. Timbul suara gemuruh
yang tak kalah
dahsyat.
Gelombang angin dari tenggara
melemah.
Lalu, Pengemis Binal menggeram
parau seraya
menghentakkan kedua telapak
tangannya ke de-
pan! Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat
membahana. Be-
berapa pohon yang sudah berdiri
miring kontan
tercabut akar-akarnya. Gumpalan
tanah dan be-
batuan berhamburan ke angkasa,
menutupi pan-
dangan mata.
Gelombang angin yang bertiup
dari tengga-
ra lenyap seketika. Namun, hanya
berlangsung
beberapa kejap mata. Gelombang
angin yang lebih
dahsyat tiba-tiba muncul.
Jatiwulung menjerit
keras ketika kedua tangan dan
kakinya tercabut
dari dalam tanah. Wajah Suropati
kontan memu-
cat melihat tubuh pemuda dekil
itu terhempas ke-
ras. Tapi, dia tak bisa berbuat
apa-apa karena tubuhnya sendiri mendadak terhempas pula!
Untuk beberapa lama tubuh kedua
anak
manusia itu terbanting-banting.
Mereka mencoba
bertahan dengan
menghujam-hujamkan kedua
tangan ke tanah. Tapi, usaha
mereka sia-sia ka-
rena gelombang angin semakin
dahsyat!
"Ha ha ha...!"
terdengar suara gelak tawa mendadak, lalu disambung dengan kata-kata,
"Kasihan betul kalian dua
anak muda. Maafkan aku orang tua-bangka ini yang ingin menjajal kemampuan
kalian. "
Begitu suara itu terhenti,
gelombang angin
yang berhembus dari tenggara
terhenti pula. Su-
sah-payah Suropati dan
Jatiwulung mengendali-
kan gerak tubuh mereka yang
masih terbanting-
banting. Terbawa rasa penasaran
bercampur
amarah, mereka langsung meloncat
menuju asal
suara. Sekali empos, tubuh
mereka melayang se-
puluh tombak. Pada emposan
ketiga, sampailah
mereka di sebuah tanah datar
yang permukaan-
nya diseraki bebatuan.
"Kentut busuk!" maki
Pengemis Binal ketika melihat seorang lelaki tua tengah berdiri tegak di atas
lempengan batu besar.
"Bila kau ingin menjajal
kepandaian orang,
bukan begini caranya, Pak
Tua!" tambah Jatiwulung. "Rimba persilatan punya aturan! Kukira,
umurmu sudah mendekati liang kubur, tapi kenapa perbuatanmu mirip bocah ingusan
yang
sama sekali tak tahu
tatakrama?!"
"Maaf.... Maaf...,"
seru lelaki tua yang berdiri di lempengan batu besar. "Aku yang tua dan
sudah hampir pikun ini mengaku salah. Aku memang tak dapat menahan gatalnya
tangan untuk
membuktikan sendiri kehebatan
anak muda yang
bergelar Pengemis Binal."
Suropati dan Jatiwulung
mendengus gu-
sar. Mata mereka berkilat tajam
menatap lelaki
tua yang hampir mencelakakan
mereka. Sementa-
ra, yang ditatap tampak
tenang-tenang saja.
Lelaki tua yang berdiri tegak di
atas lem-
pengan batu besar itu berusia
sekitar enam puluh tahun. Wajahnya sungguh tak sedap dipandang
mata. Selain keriputan, juga
bopeng-bopeng be-
kas penyakit cacar. Lucunya, dia
mengenakan
pakaian mahal yang tampak indah
sekali. Ber-
warna kuning-merah, yang di
beberapa tempat
terdapat sulaman bangau dari
benang emas. Ke-
palanya tertutup topi hitam
panjang persegi, yang biasa dipakai oleh tukang tenung. Sorot matanya
tajam menusuk, cukup untuk
menciutkan nyali
siapa saja yang menatapnya.
Setelah puas lelaki tua itu
memandang Ja-
tiwulung, ia tersenyum kecil
seraya berkomat-
kamit. Dia mengangguk dua kali,
lalu mengalih-
kan pandangannya ke wajah
Pengemis Binal.
"Jangan pandangi aku
seperti itu, Pak
Tua!" hardik Suropati.
"Siapa suka dipelototi lelaki buruk rupa macam kau!"
"Ah! Kau jangan keburu naik
darah, Suro!"
sahut lelaki tua, "Tak ada
maksud buruk dalam hatiku. Aku melihat wajahmu karena parasmu
seperti orang yang sedang
dirundung malang. Ka-
lau boleh aku yang memang buruk
rupa ini tahu,
apakah gerangan yang kau
susahkan?"
"Kau baru saja
mempermainkan aku, ke-
napa sekarang bermanis mulut?
Menanyakan ke-
susahan orang, apakah kau kira
dirimu dapat
memberi kesenangan?" cibir
Pengemis Binal.
Lelaki tua bertopi persegi
mengerutkan
kening. Ditatapnya wajah
Suropati yang berdiri ti-ga tombak dari hadapannya. Kali ini tatapannya
tampak aneh. Ditariknya napas
panjang, lalu ka-
tanya, "Tak salah lagi! Tak
salah lagi! Sorot ma-
tamu menunjukkan bila kau baru
saja ditinggal
seseorang."
Terkejut Suropati mendengar
kata-kata itu.
Terbersit rasa kagum dalam
hatinya karena teba-
kan si lelaki tua tak meleset.
"Aku tak mengenal siapa
kau. Tapi, terus
terang aku mengakui kehebatanmu.
Selain beril-
mu tinggi, rupanya kau ada bakat
untuk menjadi
peramal," ujar Pengemis
Binal, menampakkan
kekagumannya.
"Aha! Apa kukatakan?! Tidak
percuma aku
mendapat julukan Per....
Peramal.... Peramal Sak-ti," sahut lelaki tua bertopi persegi sambil
berpikir-pikir. "Dari sorot matamu pula aku tahu bila orang yang membuat
sedih hatimu itu adalah
seorang gadis cantik putri
bangsawan."
Terperanjat Suropati mendengar
tebakan
lelaki tua yang mengaku berjuluk
Peramal Sakti.
Untuk sesaat dia lupa bila orang
itu hampir saja mencelakakannya dengan gelombang angin cip-taannya tadi.
"Aku pun tahu bila dalam
dadamu tersim-
pan api dendam yang
berkobar-kobar," lanjut Peramal Sakti.
"Pak tua, semua yang kau
katakan benar
adanya. Tapi, apakah tebakanmu
ini menyimpan
maksud tersembunyi? Menilik
perbuatanmu,
menciptakan gelombang angin,
yang hampir saja
mencelakakan diriku, mau tak mau
aku mesti
berhati-hati. Katakan terus
terang apa makna di
balik ucapanmu bahwa kau ingin
menjajal ke-
mampuan Pengemis Binal!"
selidik Suropati.
"Kita hajar saja orang tua
yang sok itu, Su-ro! Tidakkah kau merasa harga dirimu diinjak-
injak?!" sela Jatiwulung.
Kepala Pengemis Binal menoleh ke
kanan.
Ditatapnya wajah Jatiwulung yang
tampak uring-
uringan. Jatiwulung hendak
menyambung uca-
pannya. Namun saat bersirobok
pandang dengan
Pengemis Binal, dia jadi jengah.
Cepat mukanya
dia palingkan.
"Ha ha ha...!" Peramal
Sakti tertawa bergelak. "Apakah kau hendak menuruti permintaan kawan
barumu itu, Suro? Bila kau berkeinginan
hendak menghajar diriku pula,
sama saja dengan
membuat urusanmu makin ruwet.
Bukankah kau
hendak ke suatu tempat untuk
menemui seseo-
rang? Berpikirlah masak-masak
terlebih dahulu
agar waktumu tidak
tersita."
"Jangan dengarkan
bualannya, Suro. Sam-
pai di mana pun kesaktiannya,
bila kita keroyok, dia akan tahu rasa!" ujar Jatiwulung, tanpa
men-garahkan pandangan ke Pengemis Binal. Dia bi-
arkan anak-anak rambutnya
menutupi wajahnya.
Sepertinya, dia menyembunyikan
sesuatu terha-
dap Pengemis Binal.
Suropati tak begitu
memperhatikan sikap
Jatiwulung yang caping bututnya
telah melayang
terbawa tiupan angin itu. Tak
ditanggapinya pula kata-kata pemuda dekil itu. Suropati bisa menilai sikap
Peramal Sakti yang tampaknya tak hendak
menanam benih permusuhan itu.
"Bila kau memang
benar-benar datang
dengan maksud baik, apakah aku
bisa meminta
sedikit bantuanmu. Karena
beberapa ramalanmu
tepat, aku percaya bahwa kau
akan dapat me-
nunjukkan tempat orang yang
bergelar Pangeran
Sadis. Pemuda jahat itulah yang
telah membuat
rasa sedih dalam hatiku."
Mendengar kalimat Pengemis
Binal, Jati-
wulung tersenyum. Tapi, cepat
dia menutup mu-
lutnya karena tak ingin Pengemis
Binal mengeta-
hui. Sementara, Peramal Sakti
malah tertawa ter-
bahak-bahak.
"Ha ha ha...! Bangga rasa
hatiku dimintai
bantuan seorang tokoh terkenal
macam Pengemis
Binal sang Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti. Namun sebelum
memberikan ban-
tuan, aku ingin mengajukan
pertanyaan. Harap
kau jawab sejujurnya."
"Kalau hanya menjawab
sebuah perta-
nyaan, apa susahnya? Tapi
kukira, tanpa ber-
tanya pun kau tentu sudah tahu.
Kenapa, aku
percaya kau bisa menebak dengan
tepat."
"Benar apa yang kau
katakan, Suro. Aku
memang bisa menebak tepat.
Namun, yang aku
ingin kau mengucapkan sendiri
apa yang hendak
kuketahui."
Setelah garuk-garuk kepala
sebentar, Su-
ropati mengangguk setuju.
Sementara, Jatiwu-
lung yang berdiri di kanannya
tampak mendekap
mulut kuat-kuat. Sepertinya dia
merasa geli melihat anggukan Suropati.
Peramal Sakti terdengar
batuk-batuk, lalu
dia segera menyampaikan
pertanyaannya. "Siapakah sebenarnya putri bangsawan, yang keper-
giannya membuat dirimu sangat
kehilangan itu,
Suro?" "Dewi
Ikata," jawab Pengemis Binal, tegas.
Bibir Peramal Sakti menyungging
senyum
tipis. Sementara, Jatiwulung
tampak mencuri
pandang ke wajah Pengemis Binal.
"Dewi Ikata...," desis
Peramal Sakti. "Apakah kau mencintai gadis yang bergelar Pendekar
Wanita Gila itu?"
Mengelam paras Suropati seketika
men-
dengar pertanyaan lelaki tua
itu. Sesaat dia ragu untuk menjawab. Tapi, akhirnya terdengar juga
jawaban lirih dari mulutnya.
"Ya. Aku mencintai Dewi Ikata."
"Sungguh?"
"Sungguh. Kalau aku berbohong,
untuk
apa aku bertanya kepadamu di
mana Pangeran
Sadis berada. Dialah pembunuh
Dewi Ikata. Aku
akan membalas kekejamannya agar
Dewi Ikata
bisa tenang di alam baka."
Mendengar kata-kata tegas
Pengemis Binal,
mendadak Jatiwulung meloncat
seperti orang
tengah merasakan kegembiraan
yang sangat.
Pengemis Binal mengerutkan
kening melihat ulah
aneh pemuda dekil itu. Tanpa
sadar dia garuk-
garuk kepala, lalu merutuk,
"Gila!"
Dari balik rambut riap-riapnya,
mendadak
Jatiwulung menatap tajam wajah
Pengemis Binal.
"Siapa yang kau katakan
gila?!" bentaknya.
"Kau!" sahut Suropati,
tak kalah keras.
"Aku? Ha ha ha...!"
Jatiwulung tertawa bergelak, lalu meloncat-loncat lagi. "Karena luapan
rasa gembira, orang memang bisa gila. Ha ha
ha...!" Suropati mendengus
gusar. Tapi, dia tak mau melayani ulah Jatiwulung. Cepat dia alihkan
pandangan ke Peramal Sakti
seraya berkata, "Aku telah menjawab pertanyaanmu dengan jujur. Sekarang,
tunjukkan di mana Pangeran Sadis bera-
da." Peramal Sakti
tersenyum tipis. Dibenarkannya letak topi perseginya. "Sebelum kukatakan
di mana pembunuh Dewi Ikata itu berada,
ada baiknya bila kau turuti
nasihatku. Jangan
cari dia sebelum kau datang ke
Bukit Hantu."
"Hmmm.... Apakah kau juga
mengkhawa-
tirkan keselamatanku? Apakah kau
kira aku tak
akan mampu melawan kesaktian
Pangeran Sa-
dis?" selidik Suropati.
"Bisa jadi begitu. Tapi,
aku cuma dapat
memberi nasihat. Mau kau
jalankan atau tidak,
terserah kau."
"Hmmm.... Ada baiknya juga
kuturuti na-
sihat peramal itu," kata
hati Pengemis Binal.
"Memang, aku tak boleh
gegabah menghadapi
Pangeran Sadis. Tanpa petunjuk
dari Datuk Ri-
sanwari, aku tak yakin akan
dapat mengalahkan
pemuda jahat itu. Kekalahan
Arumsari dan Ban-
jaranpati bisa dijadikan
pengalaman."
"Hei! Apa yang kau
pikirkan, Suro?" tegur Peramal Sakti melihat Pengemis Binal tampak
merenung.
"Tentu dia sedang
memikirkan bagaimana
kau bisa tahu perihal Pangeran
Sadis, Pak Tua,"
sela Jatiwulung sambil mengulum
senyum.
"Aku tak butuh
pendapatmu!" bentak Pengemis Binal, jengkel.
"Hei! Kau jangan
marah-marah terhadap
kawan barumu itu, Suro. Pada
saatnya nanti kau
pasti akan menyesal!" seru
Peramal Sakti.
Kening Suropati berkerut tajam.
Ditatap-
nya wajah Jatiwulung
lekat-lekat. Tapi, pemuda
dekil itu cepat memalingkan
muka.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanya Suropati, keras membentak.
"Saat ini, kau tak perlu
tahu siapa dia," Peramal Sakti yang menyahuti. Sementara, Jatiwu-
lung terlihat melangkah beberapa
tindak, lalu duduk di bongkahan batu.
"Kalau begitu, kau pasti
tahu siapa sebe-
narnya pemuda jelek bernama Jatiwulung
itu,
Pak Tua," ujar Pengemis
Binal.
Untuk kesekian kalinya bibir
Peramal Sakti
tersenyum tipis. Ditatapnya
sebentar langit cerah sore hari. Lalu, dia mengangguk-angguk. "Kita tak
perlu membicarakan kawan barumu itu. Aku tak
punya waktu banyak. Kupikir, kau
juga segera
ingin tahu di mana Pangeran
Sadis berada. Bu-
kankah begitu, Suro?"
"Ya," sahut Suropati,
cepat. Hatinya masih
jengkel melihat ulah Jatiwulung.
"Hilangkan rasa jengkelmu.
Segera datang
ke Bukit Hantu," ujar
Peramal Sakti, dapat membaca isi hati Pengemis Binal. "Lalu, datanglah ke
Lembah Sungai Bayangan tiga hari lagi, terhitung mulai hari ini. Temui Pangeran
Sadis di sana."
Usai berkata, kaki kanan Peramal
Sakti
menjejak lempengan batu.
Tubuhnya melesat
amat cepat, laksana dapat
menghilang. Suropati
memandang kepergiannya sambil
garuk-garuk
kepala. Sementara, Jatiwulung
terdengar tertawa
terbahak-bahak.
5
Sang Baskara tepat memayung di
atas ke-
pala. Namun demikian, sinarnya
tak mampu me-
nerobos rimbunan daun yang amat
lebat. Hingga,
keadaan Bukit Hantu di siang
hari senantiasa
remang-remang. Akar pepohonan
besar yang ting-
gi mencuat ke atas mirip
sekat-sekat penyimpa-
nan mayat cukup mengundang rasa
ngeri bagi
orang yang menginjakkan kaki di
tempat itu.
Untuk menuju ke puncak, orang
mesti me-
lewati jalan yang amat
berbahaya. Puncaknya
tinggi menjulang membentuk
lembah-lembah cu-
ram di setiap lerengnya.
Namun, Suropati tak banyak
mendapat ke-
sulitan ketika sampai di puncak,
walau jalan yang ditempuhnya berliku-liku dan naik turun serta
melewati tanah berbatu-batu yang
bisa membuat
tersesat. Selain berilmu tinggi,
Suropati memang pernah datang ke Bukit Hantu. Sehingga, semua
kesulitan dapat teratasi.
Puncak Bukit Hantu ternyata
berupa tanah
datar, yang di beberapa bagian
ditumbuhi pohon
trembesi. Keringat mengucur
deras di sekujur tubuh Suropati. Demikian pula dengan Jatiwulung
yang berlari-lari di
belakangnya. Suropati sebenarnya meninggalkan pemuda dekil itu karena
merasa jengkel melihat ulahnya
yang terkadang
mirip orang gila. Tapi
tampaknya, Jatiwulung ne-
kat untuk mengikuti langkah
Suropati. Karena
mempunyai kemampuan yang bisa
diandalkan,
maka dia juga tak mendapat
banyak kesulitan
untuk dapat sampai ke puncak
bukit
Suropati menghentikan langkah
ketika
sampai di depan gua pertapaan
yang bagian atas-
nya berupa tanah keras yang
sudah membatu.
Jatiwulung turut menghentikan
langkah. Suropati
yang masih menyimpan rasa
jengkel tak menghi-
raukan sama sekali. Pandangannya
menuju ke
kedalaman gua yang sunyi-senyap.
Walau pernah memasuki gua itu,
tak
urung hati Suropati berdebar
keras ketika ka-
kinya menginjak mulut gua.
Ditariknya napas
panjang berulang kali untuk
menenangkan pera-
saan. Jatiwulung berbuat serupa.
Namun hatinya
berdebar lebih keras, terlihat
dari gerak tubuhnya yang seperti orang menggigil ketakutan. Karena
tak mau tertinggal, cepat dia
ikuti ke mana kaki
Suropati melangkah.
Kedalaman gua ternyata datar dan
tak ter-
lihat tonjolan batu kasar di
lantainya. Semakin
jauh Suropati melangkah, keadaan
gua semakin
terasa sunyi-senyap dan berhawa
dingin
Setelah berputar-putar beberapa
saat,
sampailah mereka di sebuah
lorong lebar. Lorong
tersebut diapit oleh dinding
batu yang ditumbuhi lumut tebal. Di sisi kanannya, mereka mendapatkan sebuah
lubang, yang merupakan sebuah
kamar. Suropati dan Jatiwulung
segera memasu-
kinya. Ternyata, kamar gua itu
tidak terasa din-
gin. Sinar mentari menerobos
masuk dari lubang-
lubang kecil yang terdapat di
langit-langit. Hing-ga, kedua anak manusia itu leluasa mengedarkan
pandangan.
"Oh...!"
Tiba-tiba, Jatiwulung menjerit
kaget. Wa-
jahnya terlihat pucat-pasi
seketika. Dia menuding ke sudut kamar. Dan, Suropati pun turut terkejut luar
biasa. Hingga, untuk beberapa lama dia cu-ma dapat berdiri mematung dengan
jantung ber-
detak kencang.
Di tempat yang ditunjukkan oleh
Jatiwu-
lung itu ternyata terdapat
kerangka manusia yang tengah duduk bersila di atas lempengan batu. Sehelai
kertas lusuh tampak terjepit di jari-jari tangan kanannya.
"Datuk Risanwari...!"
jerit Suropati kemudian.
Mendadak, kerangka manusia yang
sudah
lapuk itu ambruk terpisah-pisah.
Sebagian tu-
langnya terpental ke dekat kaki
Suropati dan Ja-
tiwulung.
Pemandangan yang cukup
menyeramkan
itu membuat mereka bergidik
ngeri. Semakin
memucat saja wajah kedua anak
manusia itu. Ja-
tiwulung yang tak kuasa
mengendalikan rasa ta-
kutnya segera menggerakkan kaki
untuk lari.
Namun, cepat Suropati mencekal
lengannya.
"Tetaplah di sini!"
ujar remaja tampan itu.
"Uh... untuk apa,
Suro?" Jatiwulung me-ronta, tapi Suropati tak mau melepaskan ceka-
lannya.
"Aku menduga kerangka itu
adalah Datuk
Risanwari. Menurut dugaanku
pula, Datuk Ri-
sanwari telah dibinasakan oleh
seseorang yang
berilmu amat tinggi. Aku pernah
mendengar se-
buah ilmu yang berasal dari
daerah utara yang
bernama 'Pukulan Pelenyap
Daging'. Kemungki-
nan besar Datuk Risanwari
terkena ilmu sesat
itu, hingga tubuhnya tinggal
tulang-belulang."
"Lalu, siapa kira-kira
pemilik ilmu sesat
itu, Suro?" tanya
Jatiwulung yang telah berhasil menghalau rasa takutnya.
"Aku menduga, orang itu
bergelar Pangeran
Sadis." Mendengar jawaban
Pengemis Binal, mendadak Jatiwulung mendekap mulut seperti mena-
han geli. Sedikit gelagapan dia
lalu menyambung
pertanyaannya. "Ke...
kenapa kau menduga demi-
kian?" "Datuk Risanwari
adalah tokoh sakti yang sukar sekali dicari tandingannya. Belum pernah
aku berjumpa tokoh sakti yang
melebihi ayah
kandung Gede Panjalu itu. Namun
kemunculan
Pangeran Sadis, membuat aku
berpikiran lain.
Kesaktian Datuk Risanwari berada
di bawah Pan-
geran Sadis. Sehingga, dia
berhasil membunuh
tokoh yang pernah berjaya dengan
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Naga-nya
itu."
"Kau bisa berkata demikian,
pernahkah
kau bertemu dengan Pangeran
Sadis?"
"Belum. Tapi, aku bisa
mengukur keting-
gian ilmunya. Dewi Tangan Api
dan Bayangan Pu-
tih Dari Selatan pun dapat
dikalahkan dengan
mudah, walau mereka tak sampai
terbunuh.
Bahkan...."
"Bahkan apa, Suro...?"
kejar Jatiwulung, bersemangat.
"Aku... aku teringat Dewi
Ikata. Aku kasi-
han sekali padanya. Biadab
sekali perbuatan
Pangeran Sadis itu. Dia membunuh
Dewi Ikata
dengan... dengan memenggal
kepalanya...."
Melihat raut muka Pengemis Binal
yang
mengeruh terbawa rasa sedihnya,
cepat Jatiwu-
lung mendekap mulutnya lagi.
Namun kali ini, dia tak dapat menahan rasa gelinya. Dia pun tertawa
terbahak keras sekali, hingga
suaranya mengge-
ma di seluruh gua.
"Tutup mulutmu!"
bentak Suropati yang
timbul lagi kejengkelannya.
"Uts...!"
Wesss...!
Jatiwulung melempar tubuh ke
kanan. Su-
ropati menyambung bentakannya
dengan tampa-
ran, tapi hanya mengenai angin
kosong. Karena,
gerakan tubuh Jatiwulung lebih
cepat.
"Kenapa kau hendak
menamparku, Suro?!"
tegur Jatiwulung. Walau suaranya
keras mem-
bentak, tapi bibirnya
menyungging senyum.
Jengkel hati Pengemis Binal
tiada terkira.
Sambil bersungut-sungut, dia
berjalan mengham-
piri. Mendadak, dia membalikkan
badan. Terden-
gar suara mendesis. Jatiwulung
mengerutkan
kening seketika. Sesaat pemuda
dekil itu celingukan, lalu mendekap hidungnya rapat-rapat.
"Uh! Angsat au, Uro! Urang
ajar!" maki Jatiwulung, tak jelas.
"He he he...!"
Suropati tertawa terkekeh.
"Rasakan itu. Bila kau
teruskan perbuatan gila-mu, tak segan aku mengeluarkan seluruh udara
di perutku!"
Mendengar ancaman Suropati,
Jatiwulung
mundur selangkah, lalu menarik
rambut panjang-
nya ke depan, hingga menutupi
seluruh wajah-
nya. Kemudian, kedua tangannya
mengibas-
ngibas. "Jangan! Jangan!
Aku bisa mati kehabisan napas!"
Pengemis Binal tak menghiraukan
ucapan
Jatiwulung. Matanya melihat
kertas lusuh yang
tergeletak di antara
tulang-belulang. Kertas itulah yang semula terjepit di jari-jari tangan kanan
ke-
rangka manusia yang sudah lapuk.
Sambil garuk-garuk kepala,
Suropati mem-
baca tulisan yang tertera di
kertas yang telah dipungutnya. Dan... mengelamlah paras remaja
tampan itu seketika.
Untuk kekasih Dewi Ikata,
Tak usah kau hiraukan
kematianku. Tuhan
yang Maha Adil menakdirkan
usiaku cukup sam-
pai di sini. Hanya sebuah pesan
yang dapat ku tinggalkan. Bila kau telah berjumpa dengan Pangeran Sadis, tahan
hawa amarahmu. Sesungguhnya dia bermaksud baik. Berterima kasihlah kepadanya.
Datuk Risanwari
"Gila!" rutuk Pengemis
Binal. "Bagaimana mungkin Datuk Risanwari bisa berpesan seperti
itu? Apakah dia tidak tahu bila
Pangeran Sadis
adalah tokoh kejam yang layak
dilemparkan ke
neraka jahanam?"
Sewaktu Pengemis Binal
menggerutu tak
karuan, Jatiwulung menyambar
kertas lurus di
tangannya. Setelah membaca
tulisan yang tertera, mata pemuda dekil itu terlihat bersinar-sinar seperti
tengah merasakan kegembiraan.
"Bila kau memang mencintai
Dewi Ikata,
kau harus menuruti wasiat Datuk
Risanwari ini,
Suro. Pesan orang yang sudah
mati harus dilak-
sanakan," ujar Jatiwulung
tiba-tiba.
Pengemis Binal menatap wajah
Jatiwulung
yang tertutup rambut.
"Gila!" rutuknya lagi. "Bagaimana aku harus membiarkan kekejaman
Pan-
geran Sadis? Kematian Dewi Ikata
harus kuba-
las!" "Hei! Kau lihat
ini, Suro!" Jatiwulung menunjukkan kertas di tangannya. Kertas lusuh itu
ternyata dua lembar. Karena
lengket, bagian yang kedua jadi tak terlihat.
Paras Pengemis Binal mengelam
lagi ketika
membaca tulisan yang tertera di
kertas lusuh ke-
dua. Sebaliknya, Jatiwulung
malah tersenyum-
senyum waktu membacanya.
Seandainya Dewi Ikata hidup
lagi, berse-
diakah kau menikah dengannya?
Bila bersedia, berjanjilah. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha
Adil menunjukkan kuasa-Nya.
Pengemis Binal menarik napas
panjang be-
rulang kali. Otaknya jadi buntu
memikirkan per-
soalan yang tengah di hadapinya.
Tanpa sadar,
dia menggaruk kepala
keras-keras.
"Ada-ada saja pesan Datuk
Risanwari
ini...," gumam remaja
tampan itu. "Kalau aku melaksanakan pesannya, mungkinkah Dewi Ikata
hidup lagi? Sedangkan dua hari
yang lalu aku te-
lah menguburkan
kepalanya...."
"Laksanakan saja pesan
Datuk Risanwari,
Suro...," usul Jatiwulung
yang mendengar guma-man Pengemis Binal. "Siapa tahu Dewi Ikata benar-benar
bisa hidup lagi."
"Orang mati tak akan hidup
lagi!" bentak Suropati, menolak usulan Jatiwulung.
"Kekuasaan Tuhan tak ada
batasnya, Suro.
Kalau Dia berkehendak, tak
seorang pun dapat
menghalanginya. Berjanjilah....
Wasiat orang mati tak akan membuat celaka. Jangan buat roh Datuk Risanwari jadi
penasaran."
Suropati garuk-garuk kepala
lagi. Kedua
alisnya bertaut. Tampaknya, dia
sedang berpikir
keras. Tak lama kemudian, dia
memberi keputu-
san. "Baiklah. Mengingat
budi baik Datuk Risanwari, aku menuruti pesannya yang kedua. Tidak
untuk pesannya yang pertama. Aku
tetap akan
membuat perhitungan dengan
Pangeran Sadis.
Kebenaran mesti dijunjung.
Keadilan mesti dite-
gakkan. Aku harus menghentikan
kebiadaban
Pangeran Sadis, walau nyawa
taruhannya. Tak
menyesal badan berkalang tanah
bila kematian
berada di jalan lurus."
"Kau benar, Suro,"
tegas Jatiwulung. "Tapi, aku tak sabar untuk segera mendengar
janjimu."
Suropati menelan ludah,
membasahi ke-
rongkongannya yang kering
mendadak. Untuk
beberapa lama dia berdiri
mematung. Masa-masa
indah yang pernah dilalui
bersama Dewi Ikata
berkelebat di benaknya. Tanpa
terasa, bibirnya
menyungging senyum manis. Lalu,
katanya,
"Seandainya kau hidup lagi,
aku berjanji akan menikahimu, Ika...."
Mendengar janji Suropati yang
diucapkan
dengan penuh kesungguhan,
tiba-tiba Jatiwulung
meloncat girang seraya
menari-nari seperti anak
kecil yang baru mendapat mainan
kesukaannya.
Melihat ulah konyol pemuda dekil
itu,
bayangan indah di benaknya
kontan lenyap. "Gi-la!" rutuknya.
* * *
Emoticon