4
Sejenak Kwe Kok Jiang menatap
wajah Kwe
Sin Mei penuh kasih. Lalu,
dimasukkannya sebu-
tir pil biru ke mulut gadis
cantik itu dengan disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Setelah leh-er Kwe
Sin Mei diurut, akhirnya pil biru penawar racun dapat tertelan.
"Bagaimana keadaannya, Pak
Tua?" tanya Wirogundi yang turut berjongkok di sisi kanan
Kwe Kok Jiang.
"Syukurlah. Racun itu tidak
berbahaya,"
jawab Kwe Kok Jiang.
"Terima kasih atas perto-longanmu, Anak Muda. Entah dengan apa badan
tua ini membalasnya."
"Tak perlu kau berpikir
tentang balas budi, Pak Tua. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai
sesama manusia untuk
tolong-menolong."
"Kau baik sekali,"
puji Kwe Kok Jiang, tu-lus. "Kau sangat mirip dengan Suropati."
"Pak Tua mengenal
Suropati?"
Kwe Kok Jiang mengangguk. Lalu,
dengan
singkat lelaki dari tanah
Tionggoan ini menceritakan perihal pertemuannya dengan Suropati. Kwe
Kok Jiang bercerita pula tentang
Arca Budha dan
Pedang Burung Hong, karena dia
tak menaruh
sak wasangka sedikit pun
terhadap Wirogundi.
Kwe Kok Jiang yakin bila
Wirogundi adalah seo-
rang pendekar sejati. Hingga,
tidak ada pikiran
dalam dirinya bila Wirogundi
akan turut mencari
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong untuk ke-
pentingan pribadi.
"Hmmm..., begitu...,"
Pendekar Patah Hati mengangguk-angguk setelah Kwe Kok Jiang menutup ceritanya.
"Kulihat dari tadi kau
tampak muram te-
rus, Anak Muda. Adakah sesuatu
yang membe-
bani pikiranmu?" tanya Kwe
Kok Jiang, menyatakan keingintahuannya.
Wirogundi mencoba tersenyum.
Kening
Kwe Kok Jiang berkerut. Senyum
Wirogundi tam-
pak hambar. Menambah
keingintahuan Kwe Kok
Jiang. "Benar, Anak Muda?
Ada sesuatu yang
membebani pikiranmu? Kalau badan
tua ini ma-
sih mampu, aku pasti mengulurkan
tangan. Ba-
rangkali aku yang bodoh ini bisa
membantu wa-
lau hanya kata-kata."
"Ah, terima kasih, Pak Tua.
Aku memang
begini. Oleh karenanya, aku
memang pantas diju-
luki Pendekar Patah Hati,"
sambut Wirogundi.
Tak mau menceritakan kematian
kekasihnya, An-
jarweni, di tangan Malaikat
Bangau Sakti. Lagi
pula, urusan itu telah selesai.
Malaikat Bangau
Sakti menemui ajal di tangan
Pendekar Wanita
Gila, Dewi Ikata, yang tak lain
dari putri tunggal Adipati Danubraja.
Ganti Kwe Kok Jiang yang
mengangguk-
angguk.
"Sekarang Pak Tua hendak ke
mana?"
tanya Wirogundi kemudian.
"Aku akan meneruskan
usahaku mencari
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong. Kalau tak
kudapatkan, lebih baik kedua
benda pusaka itu
musnah daripada jatuh ke tangan
orang jahat,"
jawab Kwe Kok Jiang, mantap.
"Mencari ke mana?"
"Untuk sementara ini aku
akan singgah ke
Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Kebetulan sekali, Pak
Tua."
"Kebetulan?"
"Ya. Sebenarnya aku datang
dari Kota Nga-
diluwih untuk turut mengawal
barang Adipati
Danubraja. Karena kudengar di
kawasan ini ada
orang jahat berjuluk Setan Muka
Tua, aku mema-
cu kuda di depan mendahului
rombongan. Mak-
sudku untuk berjaga-jaga. Dan
kalau mungkin
menangkap orang jahat itu,"
tutur Pendekar Patah Hati. "Lalu, aku menemukan tubuhmu yang tergolek
melintang di tengah jalan. Kiranya kau
tengah berurusan dengan Setan
Muka Tua. Un-
tung aku belum terlambat
menolong putrimu, Pak
Tua. Kalau kau bersedia, kau
boleh menumpang
kereta kuda yang sebentar lagi
pasti akan mele-
wati tempat ini."
Kwe Kok Jiang tersenyum senang.
Memang
itulah yang dia harapkan.
Mencari tumpangan
untuk dapat selekasnya sampai ke
Kota Kadipa-
ten Bumiraksa.
"Kau memang baik
sekali," puji Kwe Kok Jiang yang tampaknya telah dapat menguasai ra-sa
sakit di dadanya.
Tak seberapa lama kemudian, dari
arah
utara jalan meluncur sebuah
kereta besar yang
ditarik enam ekor kuda berbulu
putih. Wirogundi
langsung berdiri menghampiri
kuda coklatnya.
"Bagaimana dengan lukamu,
Pak Tua? Bisa
berangkat sekarang?" tanya
Wirogundi sambil menuntun kudanya.
Kwe Kok Jiang tak menjawab.
Ditatap Kwe
Sin Mei yang terbaring di
sisinya. Ketika Wiro-
gundi meloncat ke tengah jalan
untuk menghen-
tikan laju kereta kuda, Kwe Sin
Mei tampak
menggeliat siuman.
"Uh!" keluh Kwe Sin
Mei, mengerjapkan
mata. "Ayah...."
"Kau tak apa-apa. Sin
Mei?" tanya Kwe Kok Jiang, lembut.
"Sedikit pusing,
Ayah."
"Itu wajar, karena kau
habis pingsan terse-
rang racun."
"Racun?"
"Ya. Tapi, aku sudah
memberi penawarnya,
dan kita akan segera berangkat
ke Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Berjalan kaki?"
"Tidak. Kau lihat
itu?"
Kwe Sin Mei bangkit. Dilihatnya
kereta ku-
da yang tadi telah dihentikan
oleh Wirogundi.
"Kita akan menumpang kereta
itu," beri ta-hu Kwe Kok Jiang.
* * *
Bukit Hantu....
Di dalam sebuah gua, Suropati
dan Gajah
Angon tampak menyelesaikan
semadinya. Kedua
anak manusia ini lalu beringsut
mendekati seo-
rang kakek tua renta yang tengah
duduk bersila
di atas lempengan batu besar.
"Terima kasih atas
pertolongan Datuk,"
ujar Suropati seraya menyatukan
telapak tangan
di depan dada
Gajah Angon berbuat serupa
Si tua renta mendehem. Rambutnya
yang
panjang terjuntai sampai ke
lantai gua tampak
bergoyang. Kakek yang telah
berumur satu seten-
gah abad inilah yang telah
menyelamatkan Suro-
pati waktu disambit Pedang Naga
Kembar oleh
Prahesti di puncak Bukit
Palastra. Usai melem-
parkan tubuh Prahesti ke lereng
bukit, kakek ku-
rus kering ini langsung
menyambar tubuh Suro-
pati dan Gajah Angon yang ketika
itu tengah du-
duk bersemadi. Dengan
kesaktiannya yang luar
biasa, dia membawa Suropati dan
Gajah Angon ke
Bukit Hantu yang menjadi tempat
tinggalnya. Dia
Datuk Risanwari, ayah kandung
Gede Panjalu se-
sepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Pu-
luhan tahun yang silam, Datuk
Risanwari pernah
berjaya dengan Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Naga-nya. Sayang, perkumpulan
pengemis besar
itu dibubarkan oleh pihak
kerajaan karena ditu-
duh menghimpun kekuatan untuk
melakukan
pemberontakan.
"Suro...," sebut Datuk
Risanwari dengan suaranya yang mirip rintihan orang sakit.
"Ya, Datuk," sambut
Pengemis Binal.
"Di rimba persilatan
rupanya telah hadir
iblis jahat yang berwujud bocah
perempuan. Aku
harus bertempur dengan iblis itu
sebelum mem-
bawamu ke tempat ini."
"Dia murid saya,
Datuk," tukas Gajah Angon yang dapat menebak siapa yang dimaksud
oleh Datuk Risanwari.
"Muridmu?" kesiap
Datuk Risanwari.
"Ya. Dia bernama Prahesti.
Baru dua hari
dia kuangkat sebagai murid.
Prahesti dibawa ka-
kak seperguruan saya, Garang
Wanara, ke pun-
cak Bukit Palastra untuk kami
didik bersama.
Tapi sayang, peristiwa berdarah
itu mesti terja-di...." Paras Gajah Angon tampak mengelam. Tatapan matanya
menebarkan penyesalan dan ke-
dukaan.
"Nyai Catur Asta datang
untuk membawa
Prahesti," lanjut Gajah
Angon. "Ratu Kerajaan Siluman itu mengatakan bahwa Prahesti memiliki
campuran darah siluman. Dia
hendak menu-
gaskan Prahesti untuk mencapai
sebuah maksud,
yang tak saya ketahui.
Sebelumnya, Nyai Catur
Asta akan menyusupkan roh Barata
Sukma ke
tubuh Prahesti...."
Gajah Angon terus bercerita
tanpa diminta.
Agaknya lelaki berjubah hitam
ini hendak me-
numpahkan seluruh kedukaannya di
hadapan
Datuk Risanwari.
"Barata Sukma adalah adik
seperguruan
saya, Datuk. Semasa hidupnya,
Barata Sukma
banyak sekali melakukan tindak
kejahatan. Dia
murid murtad. Oleh karena itulah
kakak sepergu-
ruan saya, Garang Wanara, tak
merelakan Pra-
hesti dibawa Nyai Catur Asta.
Akhirnya, Kakang
Garang Wanara meninggal dibunuh
roh Barata
Sukma yang telah dibangkitkan
oleh Nyai Catur
Asta...."
"Aku turut berduka atas
kematian saudara
seperguruanmu itu, Angon,"
ujar Datuk Risanwari. "Lalu, bagaimana ceritanya kau dan Suropati sampai
terluka?"
"Roh Barata Sukma-lah yang
melukai saya
Datuk," sahut Gajah Angon,
masih bernada sedih
"Lalu, Suropati datang menolongku
setelah aku tergeletak di tanah selama dua hari dua malam."
"Dan, kenapa kau sampai
terluka dalam,
Suro?" tanya Datuk
Risanwari.
"Aku dilukai oleh
Prahesti," jawab Pengemis Binal. "Di puncak Bukit Palastra?"
"Bukan di situ. Di Kerajaan
Siluman-lah
bocah setengah siluman itu
berhasil melukaiku."
"Kerajaan Siluman?"
"Ya, Datuk. Dengan
mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib', aku datang
ke Kerajaan
Siluman untuk menemui Nyai Catur
Asta. Ketika
aku berhasil menemuinya, ratu
bertangan empat
itu tengah terluka parah. Dia
dilukai Prahesti,
Dan, ratu Kerajaan Siluman
menyatakan penye-
salannya kepadaku. Nyai Catur
Asta tergoda se-
tan untuk memiliki Arca Budha
dan Pedang Bu-
rung Hong. Karena keterbatasannya,
dia tak da-
pat mewujudkan keinginannya itu.
Lalu, dia me-
nyusupkan roh Barata Sukma ke
tubuh Prahesti.
Dan setelah Prahesti berhasil
mendapatkan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong,
bocah setengah
siluman itu malah ingin merampas
takhta Kera-
jaan Siluman...."
"Arca Budha dan Pedang
Burung Hong...,"
desis Datuk Risanwari, seperti
menyatakan se-
buah kekaguman.
"Kedua benda pusaka itu
ciptaan seorang
tetua Bangsa Cina. Aku tahu dari
Kwe Kok Jiang."
"Kwe Kok Jiang? Siapa
itu?"
"Dia seorang tokoh aliran
putih bergelar
Pendekar Sesat. Dia diutus
gurunya, Tan Hwe
Liok, untuk mencari Arca Budha
dan Pedang Bu-
rung Hong. Katanya, kedua benda
pusaka itu ti-
dak boleh jatuh ke tangan orang
jahat. Daripada
jatuh ke tangan orang jahat,
kata Kwe Kok Jiang, Arca Budha dan Pedang Burung Hong lebih baik
dimusnahkan."
"Pedang Burung
Hong...," desis Datuk Risanwari. Dari balik riap-riap rambutnya, kakek
ini menatap wajah Pengemis Binal
lekat-lekat.
"Apakah pedang itu bilahnya
bengkok dan dipenuhi ukiran indah?" tanyanya, teringat pedang yang dibawa
Prahesti waktu bertempur di puncak
Bukit Palastra.
"Tepat sekali. Kata Kwe Kok
Jiang, pedang
itu mempunyai tuah dan kesaktian
hebat. Jika
dialiri tenaga dalam, bilahnya
akan memancarkan
sinar kebiruan yang amat
menggidikkan."
"Ya. Ya..., yang dibawa
bocah perempuan
itu pasti Pedang Burung Hong.
Sebuah pedang
pusaka yang hebat tiada
taranya...," puji Datuk Risanwari. "Ketika aku bertempur melawan
Prahesti, aku telah menginjak punggung pedang itu.
Dan sungguh tak kuduga,
tiba-tiba kakiku mem-
biru dan terasa panas bagai
dibakar api. Untung
aku bisa mengatasinya."
Mendengar penuturan Datuk
Risanwari,
secara bersamaan Suropati dan
Gajah Angon me-
natap pergelangan kaki kakek tua
renta itu. Ke-
dua pergelangan kaki Datuk
Risanwari memang
sudah tak terdapat tanda-tanda
luka ataupun
terserang racun.
Kemudian, Pengemis Binal
bercerita lebih
banyak tentang Arca Budha dan
Pedang Burung
Hong, yang kata Kwe Kok Jiang
memiliki sebuah
rahasia besar. Cerita Suropati
baru berhenti ma-
nakala hawa dingin telah
menyelimuti ruangan
gua. Sementara, cahaya yang
masuk pun mulai
berkurang. Agaknya hari siang
akan segera berla-
lu.
"Aku harus pergi dari
tempat ini, Datuk,"
pinta Pengemis Binal kemudian.
"Bagaimana dengan luka
dalammu?" tanya Datuk Risanwari untuk memastikan kesehatan
Pengemis Binal.
"Berkat bantuan Datuk, rasa
lemas yang
menyerang tubuhku sudah
lenyap."
"Bagaimana dengan kau,
Angon?"
"Sama seperti Suropati.
Kesehatan saya
sudah pulih walau dada saya
masih agak sesak,"
jawab Gajah Angon.
"Kalian boleh pergi. Tapi
ingat pesanku. Bi-la kau ingin menghentikan kekejaman Prahesti,
temui dulu Nyai Catur Asta.
Prahesti jangan di-
bunuh. Dia bocah tak berdosa.
Semua kekeja-
mannya tak lain dari perbuatan
roh Barata Suk-
ma. Prahesti hanya dijadikan
alat."
Mendengar pesan Datuk Risanwari
yang di-
tujukan kepadanya, Pengemis
Binal mengang-
gukkan kepala. Bersama Gajah
Angon, pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti lalu me-
ninggalkan Bukit Hantu. Karena
sisa sinar men-
tari masih mampu menerangi,
mereka tidak men-
dapat kesulitan hingga sampai ke
kaki bukit.
"Kau hendak ke mana,
Suro?" tanya Gajah Angon. Dari tadi lelaki berjubah hitam ini cuma
mengekor langkah Pengemis Binal.
"Ikutlah...," ajak
Suropati, tak menjelaskan ke mana tujuannya."
"Aku kembali ke Bukit
Palastra saja," tolak Gajah Angon.
"Kau jangan ke sana dulu,
Pak Tua," larang Suropati.
"Kenapa?"
"Bila kau kembali ke Bukit
Palastra, aku
khawatir kau akan selalu
teringat peristiwa me-
nyedihkan itu. Lagi pula, aku
hendak mencari
Prahesti. Kalau Yang Maha Kuasa
memberi keku-
atan kepadaku hingga dapat
melepas roh Barata
Sukma dari tubuh Prahesti, kau
bisa mengajak
muridmu itu. Mungkin juga,
tenagamu dibutuh-
kan, Pak Tua."
Gajah Angon tampak berpikir.
"Sebenarnya
aku memang masih sayang pada
Prahesti. Aku
tak rela bila terjadi apa-apa
padanya. Aku harap kau selalu ingat pesan Datuk Risanwari, Suro.
Jangan bunuh Prahesti."
Suropati menggaruk kepalanya
yang tak
gatal. "Tentu... tentu, Pak
Tua. Bila Nyai Catur Asta membantuku, mudah-mudahan semuanya
berjalan seperti yang kita
inginkan."
Di ujung kalimatnya, Pengemis
Binal men-
garahkan pandangan ke barat.
Namun sebelum
remaja tampan ini melanjutkan
langkah kakinya,
Gajah Angon mencegah.
"Tunggu, Suro!"
"Ada apa?"
"Kau hendak mencari
Prahesti sekarang?"
"Tidak. Aku ke Kota
Kadipaten Bumiraksa
dulu. Di sana aku akan mencoba
menemui Nyai
Catur Asta. Dia masih terluka
dalam saat aku di-
lemparkan Prahesti kembali ke
alam nyata. Aku
akan meminta petunjuk, dan kalau
aku mampu,
aku akan menolongnya dulu."
"Menolong Nyai Catur
Asta?!" sentak Gajah Angon. Wajahnya berubah merah padam. "Kenapa kau
menolong ratu keparat itu, Suro?! Bukankah
dia penyebab malapetaka
ini?!"
"Uts! Jangan keburu naik
pitam, Pak Tua!"
sergah Pengemis Binal.
"Tidak baik dan sama sekali tak ada manfaatnya menyimpan dendam itu,
Pak Tua. Di hadapanku Nyai Catur
Asta telah
menyatakan penyesalannya. Dia
mengakui bila
dirinya memang salah. Nyai Catur
Asta telah me-
nerima akibat dari perbuatannya
sendiri. Selain
dirinya terluka dalam yang amat
parah, takhta
Kerajaan Siluman pun terancam.
Tidakkah terbu-
ka mata hatimu untuk memberi
maaf kepadanya,
Pak tua?"
"Maaf? Urusan ini tidak
semudah yang kau
bayangkan, Suro. Bila aku
memberi maaf kepada
ratu siluman itu, apakah kakak
seperguruanku
akan hidup kembali? Huh! Kalau
Nyai Catur Asta
dapat mengembalikan nyawa Kakang
Garang Wa-
nara, bolehlah aku memberinya
maaf!"
Mendengar ucapan Gajah Angon
yang ber-
nada tinggi, Pengemis Binal tak
mampu menahan
keinginannya untuk tak menggaruk
kepala. Bebe-
rapa saat remaja konyol ini
tampak cengar-cengir mirip monyet mencium kotoran kuda,
"Begini, Pak Tua,"
ujar Suropati kemudian,
"Bukannya aku bersikap sok
pandai dengan
memberi nasihat kepadamu.
Bukan... bukan itu
maksudku. Relakan kematian kakak
sepergu-
ruanmu, Pak Tua. Toh, itu
terjadi bukan atas ke-
mauan Nyai Catur Asta. Dan
kalaupun kau men-
ganggap Nyai Catur Asta yang
menjadi penyebab
kematiannya, ingatlah Pak Tua,
dunia dan segala
isinya adalah milik Tuhan. Mati
hidup manusia
ada di tangan-Nya.... Tanpa
kehadiran Nyai Catur Asta di Bukit Palastra, kalau Tuhan berkehendak
memanggil kakak seperguruanmu
itu, maka tak
ada satu pun kekuatan yang mampu
menghalan-
ginya. Kau, aku, Nyai Catur
Asta, dan semua
makhluk di bumi ini hanyalah
wayang yang tak
akan pernah bisa melepaskan diri
dari takdir Tu-
han. Semua peristiwa di bumi ini
memang tak
akan pernah lepas dari
takdir-Nya. Begitu pula
dengan kematian saudara
seperguruan mu, Pak
Tua." Berkerut kening Gajah
Angon mendengar rentetan kata Suropati yang cukup panjang. Gajah Angon tak
menyangka bila Suropati mampu
mengeluarkan kata-kata bijak
seperti itu. Namun, air muka Gajah Angon tetap keruh. Agaknya dia
belum bisa merelakan kematian
Garang Wanara.
Sementara itu, wajah sang
baskara telah
tenggelam di garis cakrawala
barat. Namun, bi-
asan sinarnya masih mampu
memberi terang wa-
lau cuma remang-remang. Tekur
burung hantu
mulai terdengar lamat-lamat,
menyambut sang
candra yang akan segera tiba.
"Sudahlah, Pak
Tua...," Pengemis Binal menepuk bahu Gajah Angon. "Hari hampir gelap.
Kita ke Kota Kadipaten Bumiraksa
sekarang."
Gajah Angon tak memberi jawaban.
Mulut-
nya terkunci rapat. Kakinya pun
terasa berat un-
tuk diajak melangkah.
Suropati mendesah. Remaja tampan
ini bi-
sa merasakan kesedihan Gajah
Angon. Siapa yang
rela dan tak sedih hatinya
melihat kakak sepergu-
ruan yang sangat dicintainya
mati dibunuh orang
di depan mata? Tapi, haruskah
rasa sedih itu di-
biarkan berlarut-larut, yang
hanya akan menda-
tangkan dendam kesumat?
Sementara Gajah Angon dan
Suropati ber-
diri tercenung dengan pikiran
masing-masing, da-
ri kejauhan terdengar suara
gemerincing lonceng
yang saling sahut dengan suara
dengungan mirip
ribuan lebah sedang terbang.
Suara itu semakin
terdengar keras, menyisihkan
tekur burung hantu
yang terdengar lamat-lamat.
"Nyai Catur Asta akan
segera tiba di tempat ini...," gumam Pengemis Binal. Ditepuknya bahu Gajah
Angon. "Kau dengar suara itu, Pak Tua?"
"Ya. Suara itu pernah
kudengar di puncak
Bukit Palastra. Nyai Catur Asta
akan datang," sahut Gajah Angon.
"Benar dugaanmu. Tapi,
kuharap kau tidak
bertindak gegabah, Pak Tua.
Biarkan aku bicara
dengan ratu siluman itu."
Bertepatan dengan selesainya
ucapan Pen-
gemis Binal, dari angkasa
melesat seberkas ca-
haya merah, tampak jelas sekali
karena hari me-
mang hampir gelap.
Wusss...!
Begitu menyentuh tanah, sinar
merah itu
lenyap tanpa bekas. Sebagai
gantinya, sekitar dua tombak dari hadapan Suropati dan Gajah Angon
telah berdiri seorang wanita
cantik. Rambutnya
digelung ke atas dengan hiasan
tusuk konde
emas. Tubuhnya yang sintal
terbungkus pakaian
merah gemerlap seperti layaknya
seorang ratu.
Anehnya, dia bertangan empat.
Nyai Catur Asta!
"Ratu keparat!" umpat
Gajah Angon tiba-tiba. Namun sebelum lelaki berjubah hitam ini
berbuat sesuatu, Pengemis Binal
telah mencekal
lengannya.
"Tenanglah, Pak Tua!"
"Tidak! Aku harus membalas
kematian Ka-
kang Garang Wanara!"
Suropati berusaha menelikung
tangan Ga-
jah Angon. Sementara, Gajah
Angon memberon-
tak. Dengan mengerahkan tenaga
dalam, lelaki
kurus tinggi ini hendak
melemparkan tubuh Su-
ropati. Namun dengan sebuah
sentakan lembut
tapi disertai aliran tenaga
dalam tingkat tinggi, Suropati berhasil mematahkan keinginan Gajah
Angon. "Lepaskan dia,
Suro!" bentak Nyai Catur Asta tiba-tiba.
Pengemis Binal yang telah
berhasil meneli-
kung lengan Gajah Angon menatap
heran.
"Lepaskan dia!" bentak
Nyai Catur Asta la-gi.
Melihat kesungguhan ratu
Kerajaan Silu-
man itu, akhirnya Pengemis Binal
melepas kedua
pergelangan tangan Gajah Angon.
Dan begitu be-
bas, Gajah Angon langsung
menggembor keras
seraya melancarkan pukulan jarak
jauh!
Wusss...!
5
Secepat kilat Pengemis Binal
mengibaskan
telapak tangan kanannya yang
telah dialiri selu-
ruh kekuatan tenaga dalam.
Maksudnya untuk
membelokkan dua larik sinar
jingga wujud puku-
lan jarak jauh Gajah Angon.
Tapi...
Blarrr...!
"Oughhh...!"
Timbul ledakan cukup keras
manakala dua
larik sinar jingga terbentur
gelombang angin ciptaan Pengemis Binal. Namun karena kalah kedu-
dukan dan gelombang angin itu
datangnya sedikit
terlambat, dua larik sinar
jingga terus melesat walau telah agak melenceng arahnya. Nyai Catur
Asta yang tak mau membela diri
merelakan bahu
kirinya menjadi sasaran.
Akibatnya, sebagian
kain baju Nyai Catur Asta
terbakar jadi abu. Dan, kulitnya yang halus mulus berubah biru menghitam.
"Uh...!"
Nyai Catur Asta mengeluh
kesakitan. Ber-
diri terhuyung-huyung sambil
mendekap bahu ki-
rinya yang terasa panas luar
biasa. Untung keku-
atan pukulan jarak jauh Gajah
Angon sudah ber-
kurang banyak akibat berbenturan
dengan ge-
lombang angin ciptaan Pengemis
Binal. Sehingga
tulang bahu Nyai Catur Asta
tetap utuh dan tidak sampai mengguncangkan isi dadanya.
Sebenarnya Nyai Catur Asta
memiliki ilmu
aji 'Pengusir Bebaya'. Bila
ajian itu dikeluarkan,
sekujur tubuh Nyai Catur Asta
akan diselubungi
cahaya merah. Pukulan jarak jauh
macam apa
pun bila menerpa cahaya merah
itu akan terhisap
lenyap. Sengaja Nyai Catur Asta
tidak mengguna-
kan ajian itu karena rela
menerima pukulan jarak jauh Gajah, Angon untuk menebus kesalahannya.
"Nyai...!" pekik
Pengemis Binal seraya meloncat mendekati Nyai Catur Asta.
"Diam di tempatmu,
Suro!" Mendadak, Nyai Catur Asta membentak marah. Salah satu tangannya
mengibas. Pelan saja, tapi sudah mampu
membuat tubuh Pengemis Binal
terpental.
"Gajah Angon!" sebut
Nyai Catur Asta tanpa memperhatikan Pengemis Binal yang meringis
kesakitan karena pantatnya
membentur tanah
keras. "Bila kau ingin
membalas kematian Garang Wanara, lakukan sekarang juga. Aku tak akan
membela diri. Aku memang salah,
dan patut
mendapat hukuman darimu."
Wajah Gajah Angon masih terlihat
mene-
gang garang. Hembusan napasnya
memburu. Bo-
la matanya tetap berkilat tajam.
"Pak Tua!" seru
Pengemis Binal. "Jangan berbuat gegabah! Semua orang akan mengutuk-mu bila
kau membunuh orang yang tidak mela-
wan!" Gajah Angon
mendengus. Ucapan Penge-
mis Binal sama sekali tak
diperhatikannya. Se-
mentara, urat-urat di kedua
pergelangan tangan-
nya tampak bertonjolan. Gajah
Angon telah
menghimpun seluruh kekuatan
tenaga dalamnya!
"Nyai...!" seru
Pengemis Binal, mengkhawa-
tirkan keadaan Nyai Catur Asta.
"Kau sudah cukup menebus kesalahanmu, Nyai. Kau tidak bo-
leh bersikap seperti itu! Bila
kau mati, siapa yang akan membantuku melepas roh Barata Sukma
dari tubuh Prahesti?"
Nyai Catur Asta juga tak
memperhatikan
ucapan Pengemis Binal. Matanya
terpejam rapat,
tampak pasrah untuk menyambut
malaikat ke-
matian!
Pengemis Binal bingung
menyaksikan ade-
gan yang sangat mendebarkan itu.
Gajah Angon
terus menatap Nyai Catur Asta
penuh kebencian.
Sementara, Nyai Catur Asta
semakin terlihat pa-
srah. "Pak Tua!" seru
Pengemis Binal, keras sekali. "Bila kau bunuh Nyai Catur Asta, kau akan
menyesal seumur hidup!"
Seperti orang gila, Pengemis
Binal lalu me-
loncat ke depan Nyai Catur Asta.
Kedua tangan-
nya disilangkan di depan dada.
Siap melindungi
Nyai Catur Asta.
"Minggir kau, Suro!"
usir Nyai Catur Asta tanpa membuka kelopak mata. "Kau tak perlu
mencampuri urusan ini!"
"Tidak, Nyai!" tolak
Pengemis Binal. "Kau sudah cukup menerima hukuman atas kesalahanmu. Aku
tahu batinmu tersiksa, Nyai. Tapi,
kau tidak boleh bersikap seperti
ini!"
Mendadak, Gajah Angon berdiri
limbung.
"Maaf kan aku, Kakang
Wanara. Maafkan aku...,"
desahnya dengan mata
berkaca-kaca. Ditatapnya
sebentar wajah polos Suropati,
lalu berkelebat
meninggalkan tempat.
"Pak Tua...!" panggil
Suropati.
Gajah Angon tak memperhatikan.
Malah
mempercepat kelebatan tubuhnya,
lalu menghi-
lang di balik batang-batang
pohon.
"Kasihan sekali kau, Pak
Tua...," ujar Suropati. Teringat pada Nyai Catur Asta, remaja
tampan ini bergegas membalikkan
badan. Wajah
Nyai Catur Asta jelas
menyiratkan kesedihan. Dia mendesah panjang beberapa kali.
"Bagaimana lukamu,
Nyai?" tanya Penge-
mis Binal, khawatir.
"Tak apa-apa, Suro,"
jawab Nyai Catur As-ta.
Suropati memperhatikan kulit
bahu kiri
Nyai Catur Asta yang biru
menghitam. Sekilas sa-
ja Suropati tahu bila luka
akibat pukulan jarak jauh Gajah Angon itu hanya luka luar yang tidak
begitu berbahaya. Namun,
Suropati segera ingat
akan luka dalam Nyai Catur Asta
yang didapat
dari Prahesti.
"Bagaimana dengan luka
dalammu, Nyai?"
tanya Suropati, ketolol-tololan.
"Kau tak perlu
mengkhawatirkanku, Suro.
Putri Racun telah
menolongku."
"Putri Racun?"
Pengemis Binal segera ingat
seorang gadis
cantik berilmu tinggi yang
sangat ahli dalam bi-
dang racun. Dia bernama Kusuma,
tapi lebih di-
kenal sebagai Putri Racun. Usia
Putri Racun se-
benarnya lebih dari seratus
tahun, namun tubuh
dan wajahnya mirip gadis dua
puluh tahunan.
Dia pernah tinggal di Kerajaan
Siluman selama
satu abad. Hal itulah yang
membuatnya awet
muda. Di Kerajaan Siluman, dia
tidak ikut dalam
putaran waktu. Tapi, kenapa Nyai
Catur Asta
mengatakan bila dirinya telah
ditolong gadis itu?
Apakah Putri Racun telah diminta
Nyai Catur As-
ta untuk kembali ke Kerajaan
Siluman? Lalu, ba-
gaimana dengan rencana
pernikahan Putri Racun
dengan Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur?
"Kau heran, Suro?"
tanya Nyai Catur Asta yang melihat Pengemis Binal terlongong bengong.
"Apakah Nyai meminta Putri
Racun kemba-
li ke Kerajaan Siluman?"
Suropati balik bertanya.
"Tidak. Aku
mendatanginya."
"Di Katumenggungan Lemah
Abang?" Su-
ropati menyebut sebuah
katumenggungan di wi-
layah Kerajaan Pasir Luhur. Di
sanalah kekasih
Putri Racun, Saka Purdianta,
tinggal dan me-
mangku jabatan sebagai
tumenggung mengganti-
kan ayahnya yang mati dibunuh
Karma Salodra.
(Baca serial Pengemis Binal
dalam episode: "Pemberontakan Subandira").
"Ya. Dan kedatanganku ini
sebenarnya un-
tuk menyampaikan surat gadis
itu, Suro."
"Surat? Surat apa?
Ditujukan kepada sia-
pa?" Salah satu tangan Nyai
Catur Asta mengambil sampul merah jambu dari balik pakaian-
nya, lalu diserahkannya kepada
Pengemis Binal.
Suropati sahabatku,
Adalah satu kehormatan besar
bagiku dan
bagi Saka Purdianta bila kau
bersedia datang pa-da pesta pernikahan kami. Kami yang berbahagia akan duduk di
pelaminan pada hari kesepuluh
purnama ketujuh.
Kusuma/Putri Racun
Surat undangan itu dibuat dengan
sula-
man benang emas. Tulisannya
bagus sekali, terte-
ra pada sehelai kain sutera biru
laut yang pinggi-rannya dihiasi renda-renda dari benang emas pu-
la. Usai membaca, Pengemis Binal
memasukkan-
nya lagi ke sampul merah jambu,
terbuat dari
kertas tebal namun halus dan
lemas.
"Putri Racun dan Saka
Purdianta sangat
mengharapkan kedatanganmu,
Suro," beri tahu Nyai Catur Asta.
"Kalau tidak ada halangan,
aku pasti da-
tang, Nyai," sambut
Pengemis Binal. "Tapi bagaimana dengan Prahesti?"
"Kedatanganku ini juga
untuk membicara-
kan itu." Nyai Catur Asta
lalu mengatakan renca-nanya untuk melepas roh Barata Sukma yang
bersemayam dalam tubuh Prahesti.
Gelap telah
menyelimuti manakala ratu
Kerajaan Siluman ini
menutup bicaranya.
"Aku akan menjalankan
rencana Nyai den-
gan sebaik-baiknya," ujar
Pengemis Binal kemudian. Nyai Catur Asta tersenyum.
Terdengar gemerincing lonceng
kereta kuda
yang saling sahut dengan suara
dengungan. Pen-
gemis Binal merangkapkan kedua
telapak tan-
gannya di depan dada.
"Selamat jalan,
Nyai...."
"Terima kasih,
Suro...."
Seberkas cahaya merah melesat
dari ang-
kasa, tepat menerpa tubuh Nyai
Catur Asta. Di
lain kejap, sosok Nyai Catur
Asta telah menghi-
lang dari pandangan.
* * *
Suropati menarik napas panjang
beberapa
kali. Sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal, remaja tampan ini mengarahkan pandangan ke
atas. Langit telah kelam yang
terbawa malam ba-
gai selembar layar hitam
terbentang luas tiada
bertepi. Titik-titik bintang
menebar di antara wajah bulat sang candra, memberi cahaya temaram
ke permukaan bumi.
"Hmmm.... Aku tetap akan ke
Kota Kadipa-
ten Bumiraksa," gumam
Pengemis Binal. "Cukup lama aku meninggalkan Kuil Saloka. Teman-teman di
sana tentu merindukan kedatanganku.
Mereka bisa membantuku untuk mencari
kete-
rangan tentang Prahesti."
Mengikuti pikiran di benaknya,
bergegas
Suropati menjejak tanah.
Tubuhnya berkelebat
cepat menyatu dengan hembusan
angin. Namun
belum seberapa jauh jarak yang
dia tempuh, tiba-
tiba.... Set...!
"Eit..!"
Sebuah benda panjang berwarna
putih
berkilat melesat dari depan.
Suropati yang jeli dapat memastikan bila benda yang dilempar dengan
pengerahan tenaga dalam itu tak
lain dari seba-
tang pedang. Cepat Suropati
miringkan tubuhnya.
Lalu, tangan kanan remaja tampan
ini bergerak
cepat. Tep...!
Pengemis Binal berhasil
menangkap benda
panjang yang sengaja dilemparkan
ke arahnya.
Ternyata, benda itu memang
sebatang pedang.
Dengan kening berkerut rapat,
Pengemis
Binal memperhatikan pedang yang
hulunya ter-
cekal di tangan kanannya. Bilah
pedang itu tidak dihunus. Dilemparkan lengkap dengan sarungnya
yang berwarna putih berukir dua
ekor naga.
"Pelempar pedang ini tidak
bermaksud
membunuhku. Sepertinya dia sengaja
melempar-
kan pedangnya agar dapat
kutangkap," duga Pengemis Binal. "Tapi, siapa dia dan apa
maksudnya?" Selagi Suropati bertanya-tanya seorang di-ri, mendadak
terdengar sebuah suara menyebut
namanya.
"Suropati...."
Mendengar suara yang mirip
rintihan orang
sakit, Pengemis Binal tahu bila
itu adalah ucapan Datuk Risanwari. Bergegas Pengemis Binal mengedarkan
pandangan, tapi hanya batang-batang
pohon yang dapat dia lihat.
Agaknya Datuk Ri-
sanwari berbicara dengan ilmu
mengirim suara
dari jarak jauh.
"Suropati...," sebut
suara itu lagi.
"Ya, Datuk," sahut
Pengemis Binal.
"Pedang yang kau bawa itu
kurampas dari
tangan Prahesti. Pedang itu
menyimpan kekuatan
gaib yang bersumber dari sumpah
seseorang. Aku
menduga Prahestilah yang
mengangkat sumpah
itu." Suropati menatap
lebih seksama pedang putih di tangannya. Tapi, remaja tampan ini tidak melihat
kelebihan apa-apa di balik keindahannya.
"Dengan membuka mata batin,
kau akan
dapat merasakan getaran-getaran
gaib di bilah
pedang itu," beri tahu
suara Datuk Risanwari, seakan dapat membaca pikiran Pengemis Binal.
"Datuk memberikan pedang
ini kepadaku?"
tanya Suropati.
"Pedang itu bukan milikku.
Jadi, aku tak
berhak memberikannya kepadamu.
Untuk semen-
tara, bawalah. Mungkin suatu
saat nanti kau
membutuhkannya. "
"Ya, Datuk."
Pengemis Binal menunggu
kelanjutan pe-
san yang disampaikan Datuk
Risanwari. Tapi
hingga tiga tarikan napas, dia
tak mendengar su-
ara apa-apa lagi, kecuali desau
angin dan tekur
burung hantu.
"Datuk Risanwari telah
pergi," duga Pengemis Binal.
Remaja yang menyelipkan sebatang
tong-
kat butut di ikat pinggangnya
ini menimang-
nimang pedang berukir dua ekor
naga sebentar.
Dia ingat kata-kata Gede Panjalu
bahwa setiap
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti di-
larang menggunakan senjata
tajam. Untuk mem-
bela diri dan membela kaum
lemah, cukuplah
dengan bersenjata tongkat. Tapi
mengingat pesan
Datuk Risanwari yang tak lain
ayah kandung
Gede Panjalu sendiri, Suropati
memutuskan un-
tuk membawa pedang yang
sarungnya berukir
dua ekor naga itu. Pedang Naga
Kembar, nama
pedang itu. Sebenarnya Pedang
Naga Kembar mi-
lik Garang Wanara, kakak
seperguruan Gajah
Angon. Sebelum meninggal, Garang
Wanara me-
wariskan pedang itu kepada
Prahesti. Sementara,
Garang Wanara sendiri
memperolehnya dari Dar-
ma Sagotra, gurunya.
Beberapa saat sebelum Nyai Catur
Asta da-
tang ke puncak Bukit Palastra,
Prahesti memang
mengangkat sumpah. Kalau dia
menggunakan
pedang warisan itu untuk
maksud-maksud tak
baik atau hanya untuk
kepentingan diri pribadi,
dia rela mati tertembus pedang
itu sendiri. (Baca dalam episode: "Penyesalan Ratu Siluman").
6
Semalam penuh bocah perempuan
lima be-
las tahunan ini bersemadi di tepi
aliran sungai
dekat Kota Kadipaten Bumiraksa.
Walau matanya
terpejam, tapi wajahnya jelas
menggambarkan
kebengisan. Menegang garang,
bagai banteng
aduan. Pakaiannya yang berwarna
putih bergaris
coklat tampak berkibar-kibar
diterpa hembusan
angin. Udara yang keluar dari
lubang hidungnya
menjadi uap tipis, pertanda hawa
yang kelewat
dingin. Namun, bocah yang tidak
lain dari Prahes-ti ini tetap duduk di tempatnya tanpa sedikit pun terusik oleh
binatang malam maupun hawa dingin yang menusuk tulang.
Manakala semburat cahaya mentari
me-
nyapa dari garis cakrawala
timur, tubuh Prahesti terlihat bergetar. Hembusan napasnya yang semula lembut
teratur berubah mendengus-dengus,
seperti tengah menahan
kemarahan. Sementara
hawa dingin berganti kesejukan
pagi hari, kerin-
gat panas malah bertetesaan dari
tubuh Prahesti.
Berhias butir-butir peluh, wajah
bocah perem-
puan ini terlihat makin menegang
garang. Kelo-
pak matanya masih tertutup
rapat. Tapi, rahang-
nya menggembung hingga berbentuk
balok perse-
gi empat. Barisan giginya
bertautan, menimbul-
kan suara gemeletuk keras.
"Haram jadah! Catur Asta
keparat!"
Mendadak, Prahesti menutup
semadinya
dengan kata-kata umpatan. Bola
matanya melo-
tot, membersitkan sinar
kemarahan meluap-luap.
Tangannya terkepal dengan
urat-urat menggem-
bung. "Hmmm.... Punya otak
juga kau rupanya Ratu Pecundang Catur Asta!" geram Prahesti.
"Kau bentengi Kerajaan
Siluman-mu dengan kekuatan gaib, hingga aku tak dapat masuk. Tapi..., jangan
terlalu gembira dulu. Akan kujebol kekuatan gaibmu walau terpaksa aku
menghancurkan
Istana Siluman!"
Prahesti menarik napas panjang
tiga kali.
Sejenak diusirnya hawa amarah
yang menyesak-
kan dadanya. Lalu, dia
pentangkan kedua tan-
gannya lebar-lebar.
Perlahan-lahan dinaikkan, la-lu bertemu di atas kepala. Suara mendesis tim-
bul. Kedua telapak tangannya
yang melekat erat
mengepulkan asap. Kemudian, dia
turunkan ke-
dua telapak tangannya di depan
dada. Prahesti
hendak mengeluarkan ilmu
kesaktiannya yang
terhebat! Tapi....
"Prahesti...!"
Sebuah suara memekik nyaring,
membelah
halimun pagi. Seorang laki-laki
berjubah hitam
muncul dari timur aliran sungai.
Dia Gajah An-
gon! "Prahesti...!"
Gajah Angon memekik lebih keras.
Keha-
ruan dan kerinduan merebak di
hatinya. Lelaki
bertubuh tinggi kurus ini lupa
bila Prahesti telah berubah jadi makhluk jahat yang amat berbahaya. Rupanya
rasa duka yang dalam telah
mengguncangkan jiwa Gajah Angon.
Otaknya tak
mampu berpikir jernih lagi
Karena Prahesti tak juga
menjawab panggi-
lannya, Gajah Angon berjalan
mendekat sambil
menyebut-nyebut nama muridnya
itu.
"Prahesti....
Prahesti...."
Ditatapnya wajah Prahesti tanpa
berkedip.
Lalu, dibelainya rambut-rambut
bocah perem-
puan itu penuh kasih.
"Prahesti..., ini Eyang
Gajah Angon...."
Belaian tangan Gajah Angon tentu
saja
mengganggu semadi Prahesti.
Perlahan kelopak
mata Prahesti terbuka. Tahu ada
orang di hada-
pannya, bahkan menyentuh anggota
tubuhnya,
Prahesti terkesiap. Tanpa sadar
dia meloncat
menjauhi.
"Prahesti...!" seru
Gajah Angon. "Ini Eyang Gajah Angon. Kita kembali ke Bukit Palastra
sekarang!"
Dari balik halimun yang
samar-samar mu-
lai membubung, Prahesti menatap
dengan pan-
dangan nanar. "Tua bangka
keparat! Pergi kau!
Jangan ganggu semadiku!"
hardiknya keras
menggelegar, memecah keheningan
pagi.
"Prahesti! Aku gurumu! Aku
Eyang Gajah
Angon!" seru Gajah Angon,
menyimpan keterkejutan. "Kembalilah ke Bukit Palastra bersamaku!'
"Kembali ke Bukit Palastra?
Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa mengikik.
"Kau telah mengganggu semadiku. Pergilah ke Bukit Palastra seorang
diri!" Prahesti mendengus
gusar. Kaki kanannya menggedruk tanah. Timbul suara berdebum dahsyat. Bumi
berguncang keras. Gajah Angon men-
jerit kaget karena merasakan
tubuhnya terangkat
lalu melayang jauh!
Bruk...!
"Akhhh...."
Gajah Angon jatuh telentang di
tanah. Ma-
tanya mendelik kaget. Sadarlah
lelaki berjubah
hitam ini bila Prahesti bukan
seorang bocah lugu yang pernah menjadi muridnya. Namun, kesadaran yang timbul
dalam diri Gajah Angon terlam-
bat karena Prahesti bermaksud
membunuhnya!
Belum sempat Gajah Angon bangkit
berdi-
ri, Prahesti telah mengirim
pukulan jarak jauh.
Dua larik sinar kuning
menggidikkan melesat dari telapak tangan Prahesti!
Wusss...!
Blarrrr...!
Keheningan pagi terpecah oleh
ledakan ke-
ras menggelegar. Bola mata
Prahesti melotot be-
sar. Bahunya terlihat naik turun
terbawa hem-
busan napasnya yang memburu.
Darahnya
menggelegak naik sampai ke
ubun-ubun. Pukulan
jarak jauhnya dipapaki dua larik
sinar putih berkeredepan. Gajah Angon selamat!
"Wujudnya hanya bocah
perempuan yang
tampak masih butuh belaian kasih
sayang orang
tua..., tapi perbuatanmu sejajar
dengan kekeja-
man iblis!" ujar seorang
pemuda berpakaian penuh tambalan yang berdiri di hadapan Gajah An-
gon. Pemuda kurus yang
menyelipkan tongkat
berkepala naga di ikat
pinggangnya inilah yang telah memapaki pukulan jarak jauh Prahesti.
"Jahanam!" umpat
Prahesti. Bocah perempuan ini hendak berkata lebih banyak, tapi sua-
ranya tercekat di tenggorokan.
Jalan napasnya terasa buntu akibat desakan amarah yang meluap-
luap. "Aku tidak bisa
membiarkan sebuah kekejaman berlangsung di depan mataku!" tambah
pemuda kurus yang tak lain dari
Wirogundi alias
Pendekar Patah Hati.
Gajah Angon menatap Prahesti dan
Wiro-
gundi bergantian. Kesadaran
lelaki berjubah hi-
tam ini sudah kembali penuh. Dia
bersyukur ada
orang yang telah menyelamatkan
nyawanya. Na-
mun ketika melihat Wirogundi
memasang kuda-
kuda untuk mengawali
pertempuran, cepat Gajah
Angon menegur.
"Jangan bunuh dia!"
Wirogundi menoleh.
"Dia muridku!" tambah
Gajah Angon.
"Muridmu? Kenapa dia
bermaksud mem-
bunuhmu?" Wirogundi heran.
"Ada roh jahat yang
menyusup ke tubuh-
nya." Mendengar keterangan
singkat itu, Wirogundi jadi paham. Dia alihkan pandangan. Pra-
hesti tampak menghunus Pedang
Burung Hong
yang terselip di punggungnya.
Sejenak Wirogundi
dibuat terkagum-kagum. Seumur
hidup baru kali
ini dia melihat pedang seindah
itu. Ukiran pada
bilah Pedang Burung Hong yang
bengkok meman-
carkan sinar gemerlapan ketika
sinar mentari
menerpanya. Namun, kekaguman
Wirogundi kon-
tan lenyap karena mengeluarkan
tawa panjang
mengikik dengan sorot mata
menyiratkan keben-
cian. "Hi hi hi...! Kulihat
kau menyelipkan tongkat di pinggangmu. Cabutlah segera, Monyet Bu-
duk! Hendak kulihat seberapa
jauh kemampuan-
mu menahan gempuran Pedang
Burung Hong!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti
meluruk. Ti-
ba-tiba, bilah Pedang Burung
Hong memancarkan
sinar kebiruan. Cepat Wirogundi
meloloskan
tongkat berkepala naganya. Begitu
Pedang Bu-
rung Hong membabat, dia buang
tubuhnya ke ki-
ri. Lalu dengan menggunakan
jurus Tongkat Me-
mukul Anjing', dia mengirim
serangan bertubi-
tubi. "Jangan bunuh dia!
Dia muridku!" teriak Gajah Angon memperingatkan.
Gajah Angon bingung, tak tahu
apa yang
harus diperbuatnya. Membantu
Wirogundi untuk
segera dapat melumpuhkan
Prahesti, jelas dia tak mau melakukannya. Gajah Angon tak ingin melihat
Prahesti terluka. Sedang kalau membantu
Prahesti, hanya orang gila yang mau
melakukan-
nya. Prahesti telah menjadi
makhluk keji yang
haus darah, untuk apa dibela?
Mata Gajah Angon terbelalak
lebar. Per-
tempuran yang berlangsung di
hadapannya terli-
hat sangat seru. Tubuh Prahesti
dan Wirogundi
berubah menjadi bayangan yang
berkelebatan
saling mengirim serangan. Dan,
beberapa kali
timbul ledakan keras di udara
manakala bila Pe-
dang Burung Hong mengeluarkan
sinar kebiruan
yang menyambar-nyambar ke
berbagai penjuru.
Lewat sepuluh jurus kemudian,
Wirogundi
tampak terdesak. Jelas Prahesti
berada di atas
angin karena dia bertempur
dengan penuh ke-
sungguhan untuk segera dapat
merobohkan la-
wan sekaligus membunuhnya.
Sementara, Wiro-
gundi hanya bermaksud
melumpuhkan tanpa
mau melukai apalagi menjatuhkan tangan
maut.
Lain itu Pedang Burung Hong di
tangan Prahesti
pun benar-benar membuat
Wirogundi kewalahan.
Sinar kebiruan yang memancar
dari bilah Pedang
Burung Hong menebarkan hawa
panas. Hingga,
cepat sekali Wirogundi bermandi
peluh. Dan, ten-
tu saja hal ini membuat
Wirogundi cepat kelela-
han. Saat Pedang Burung Hong
berkelebat hen-
dak membabat pinggang, cepat
Wirogundi melen-
tingkan tubuhnya. Selagi
melayang di udara, Wi-
rogundi bersalto dua kali. Lalu,
secepat kilat
tongkatnya meluncur, hendak
menotok jalan da-
rah di pangkal lengan Prahesti.
Maksud Wirogun-
di adalah untuk menjatuhkan
Pedang Burung
Hong yang tercekal di tangan
kanan Prahesti. Ta-
pi.... "Hiah...!"
Bet...!
Prahesti tak mau menghindar.
Ketika
ujung tongkat Wirogundi hampir
mengenai sasa-
ran, bilah Pedang Burung Hong
membabat. Satu
babatan yang dikirim Prahesti
mengandung dua
serangan beruntun. Pertama,
menebas putus
tongkat Wirogundi. Dan kalau
Wirogundi menarik
tongkatnya, bilah Pedang Burung
Hong akan te-
rus meluncur. Bagian yang
bengkok digunakan
untuk menggaet leher Wirogundi!
Namun, agaknya Wirogundi telah
memper-
hitungkan serangan yang
dilakukan Prahesti itu.
Pemuda ini sadar bila tongkatnya
tak dapat
melawan ketajaman Pedang Burung
Hong. Bila
sampai terjadi benturan, maka
tongkatnya akan
terbabat kutung. Tapi tongkat
Wirogundi masih
punya satu keunggulan, yakni
lebih panjang. Wi-
rogundi hendak menggunakan
satu-satunya
keunggulan tongkat itu dengan
perhitungan ma-
tang. Saat bilah Pedang Burung
Hong berkelebat, Wirogundi menyalurkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya ke batang tongkat.
Tongkat berkepala
naga tak ditariknya. Menurut
perhitungan pemu-
da kurus ini, batang tongkatnya
boleh terbabat
putus, tapi ujungnya akan lebih
dulu menotok
pangkal lengan kanan Prahesti.
Dan hasilnya....
Tuk...!
Tes...!
Ujung tongkat Wirogundi memang
berhasil
menotok jalan darah Prahesti.
Namun, dia pun
mesti merelakan senjata andalannya
terbabat pu-
tus menjadi dua bagian.
"Ih...!"
Terkejut tiada terkira
Wirogundi. Totokan
tongkatnya tepat mengenai
sasaran, tapi bagai-
mana mungkin pedang di tangan
kanan Prahesti
tidak terlepas dari cekalan?
Mungkinkah bocah
perempuan itu kebal totokan?
Dalam waktu kurang dari satu
kejapan ma-
ta, tak dapat Wirogundi berpikir
panjang. Bilah
Pedang Burung Hong yang bengkok
berkelebat
amat cepat untuk segera mengait
lehernya hingga
putus! "Hiah...!"
Bet...!
"Argh...!"
Dalam keterkejutannya, Wirogundi
masih
sempat merundukkan tubuh. Tapi,
gerakannya
sedikit kurang cepat. Sehingga
ketajaman Pedang
Burung Hong sempat menyambar
bahu kanan-
nya. Cairan darah segar memercik
ke tanah di-
iringi jerit kesakitan
Wirogundi.
"Kau... kau terluka, Anak
Muda...," desis Gajah Angon seraya meloncat mendekati.
Wirogundi menatap Gajah Angon
sekilas.
Luka di bahu kanannya terasa
panas dan pedih.
Kain bajunya yang semula bersih
walau penuh
tambalan, kini penuh noda darah.
"Benarkah dia muridmu, Pak
Tua?" tanya Wirogundi sedikit menggeram.
"Ya. Ya, dia muridku.
Jangan kau bunuh
dia...." "Kulihat dia
sangat beringas dan kejam, Pak Tua! Bagaimana aku dapat mempertahankan
diri tanpa membunuhnya?"
"Tidak! Kau tidak boleh
membunuhnya!"
Mendengar kata-kata tegas Gajah
Angon,
Wirogundi mengerutkan kening.
Sebenarnya bisa
saja Gajah Angon lepas tangan
untuk tak men-
campuri urusan Gajah Angon dan
Prahesti. Tapi,
entah kenapa hatinya terpanggil
untuk berbuat
sesuatu guna memecahkan masalah
guru dan
murid itu.
"Hi hi hi..!" Prahesti
tertawa mengikik melihat Wirogundi dan Gajah Angon saling pandang.
"Majulah kalian berdua!
Akan kugunakan darah kalian untuk tumbal menggulingkan takhta Kerajaan Siluman!
Hi hi hi..!"
Sewaktu Wirogundi dan Gajah
Angon di-
landa kebingungan, lamat-lamat
terdengar geme-
rincing lonceng yang saling
sahut dengan suara
dengungan. Semakin lama,
terdengar makin ke-
ras. Prahesti mendengus gusar.
Dengan menyi-
langkan Pedang Burung Hong di
depan dada, dia
mengedarkan pandangan. Bocah
setengah silu-
man ini tahu benar bila suara
aneh yang diden-
garnya adalah isyarat kedatangan
Nyai Catur As-
ta.
Namun, hingga beberapa lama
sosok Nyai
Catur Asta tak juga tampak.
Sementara, suara
aneh itu terdengar terus.
Semakin lama, terasa
memekakkan gendang telinga.
Bahkan, mampu
membuat jantung terasa bagai
diremas-remas!
"Haram jadah! Segera
tampakkan dirimu,
Ratu Pecundang Catur Asta!"
hardik Prahesti, terus mengedarkan pandangan dalam kewaspadaan
penuh. "Suara apa ini, Pak
Tua?" tanya Wirogundi, tak mengerti.
"Nyai Catur Asta akan
datang ke tempat
ini," jawab Gajah Angon
dengan wajah tegang. Lelaki berjubah hitam ini teringat kejadian sema-
lam. Dia telah melukai Nyai
Catur Asta. Bagaima-
na kalau sekarang ratu Kerajaan
Siluman itu in-
gin membalasnya?
"Nyai Catur Asta...,"
desis Wirogundi, berkata kepada dirinya sendiri. Pemuda berwajah
muram ini tahu siapa Nyai Catur
Asta. Dia per-
nah diberi tahu Suropati perihal
wanita bertangan empat itu.
Wirogundi berharap Nyai Catur
Asta agar
segera muncul. Dia ingin
mengetahui kebenaran
cerita Suropati. Benarkah Nyai
Catur Asta memi-
liki wajah cantik jelita walau
bertangan empat?
"Keparat kau, Catur
Asta!" umpat Prahesti yang semakin digeluti rasa penasaran karena Nyai
Catur Asta tak juga menampakkan diri.
"Tampakkan dirimu! Dan,
hadapilah aku
untuk menentukan siapa yang
lebih berhak men-
duduki takhta Kerajaan
Siluman!" teriak Prahesti, keras menggelegar. Hingga beberapa lama
suaranya membahana di angkasa.
Sosok Nyai Catur Asta tetap tak
tampak.
Sementara, gemerincing lonceng
kereta kuda yang
saling sahut dengan suara
dengungan terus ter-
dengar.
"Hmmm.... Agaknya kau ingin
aku menge-
luarkan ilmu kesaktian. Baiklah
kalau itu yang
kau mau!" dengus Prahesti.
Namun sebelum Prahesti berbuat
sesuatu,
mendadak berkelebat sesosok
bayangan seraya
berteriak, "Kuntilanak
bunting! Sungguh suatu keberuntungan aku menjumpaimu di tempat
ini...!" Kontan Prahesti
menggeram penuh kemarahan saat tahu siapa yang hadir di hadapannya.
"Pemuda gendeng!"
dengusnya, "Suatu keberuntungan pula kau datang ke tempat ini. Aku tahu
kau lelaki piaraan Catur Asta.
Ada baiknya kau
kubunuh lebih dulu sebelum aku
berhitungan
dengan ratu pecundang itu!"
Remaja tampan berpakaian putih
penuh
tambalan yang disebut Prahesti
sebagai 'pemuda
gendeng' tampak garuk-garuk kepala.
Remaja
tampan yang tak lain dari si
Pengemis Binal Su-
ropati ini lalu tertawa terkekeh
sambil nyengir
kuda, "He he he.... Bodoh
sekali kau, Bocah Geblek! Kau keliru bila mengatakan aku lelaki pia-
raan Nyai Catur Asta! Yang
benar, aku orang ke-
percayaan Nyai Catur Asta yang
diutus untuk
memotes hidungmu atau
menanggalkan kuping
mu! He he he...!"
"Keparat!" geram
Prahesti seraya menghunus lagi Pedang Burung Hong.
"Hati-hati, Suro!"
seru Wirogundi dari kejauhan.
Pengemis Binal membalikkan badan
den-
gan sikap dibuat-buat. Dia bukan
tidak tahu bila Prahesti telah siap menyerangnya, tapi dia sengaja memancing
terus kemarahan Prahesti. Dia ta-
hu benar bila orang yang
dikuasai hawa amarah,
jika bertempur kewaspadaannya
akan berkurang.
Dengan pantat
digoyang-goyangkan, Pen-
gemis Binal menatap Wirogundi
yang berdiri ber-
dampingan dengan Gajah Angon.
Melihat luka di
bahu Wirogundi, Pengemis Binal
kaget. Tapi ka-
rena Pengemis Binal pernah
belajar ilmu pengoba-
tan, yang tentu saja juga
belajar mengenali jenis-jenis luka, dia segera tahu bila luka Wirogundi tidak
berbahaya.
"Balut lukamu itu,
Wno...," ujar Suropati.
"Jangan sampai ada lalat
mengerumuninya. Apalagi kulihat ada ratu lalat di belakangku!"
Pengemis Binal mengalihkan
pandangan.
Sambil menggaruk kepalanya yang
tak gatal, dia
berkata, "Rupanya kau
berada di tempat ini, Pak Tua. Tapi, kulihat air mukamu amat keruh. Kau
boleh sedih, namun jangan
biarkan mulutmu
ternganga. Kalau ratu lalat
masuk, dia bisa ken-
tut di dalam perutmu!"
Prahesti yang dikatakan Suropati
sebagai
'ratu lalat' tak mampu lagi
menahan amarah. Dis-
ertai suara pekik nyaring dari
mulutnya, dia me-
nerjang. Bilah Pedang Burung
Hong berkelebat
hendak memenggal leher Pengemis
Binal!
"Heaaa...!"
Bettt...!
Dari pendengarannya yang tajam,
Suropati
tahu ada bahaya mengancam
jiwanya. Namun
sambil menggoyangkan pantat, dia
merunduk.
Saat bilah Pedang Burung Hong
lewat di atas ke-
pala, secepat kilat dia cabut
tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya. Lalu dengan tetap
merunduk, Suropati menusukkan
tongkat itu le-
wat selangkangannya. Yang
diincar adalah bagian
tengah tubuh Prahesti!
"Cilukba...!"
Wuttt...!
Mata Prahesti melotot melihat
serangan
Suropati yang konyol tapi cukup
berbahaya. Ce-
pat Prahesti berkelit ke kanan.
Dan, bagian tu-
buhnya yang 'terpenting' pun
selamat dari tusu-
kan tongkat Pengemis Binal.
Namun..., mendadak Suropati
meloncat
tinggi ke udara. Sambil
bersalto, tongkatnya di-
hantamkan ke kepala Prahesti!
Cepat sekali kelebatan tongkat
Pengemis
Binal. Mata Prahesti sampai tak
dapat melihat-
nya. Tapi, dia masih dapat
merasakan desir angin yang ditimbulkan kelebatan tongkat itu. Cepat
Prahesti memapaki dengan
sambaran Pedang Bu-
rung Hong!
Tapi....
Bukkk..!
"Argh...!"
Batang tongkat Pengemis Binal
berhasil
menghajar punggung Prahesti.
Rupanya remaja
konyol ini menyerang dengan
menggunakan gerak
tipu 'Tongkat Menghajar Maling'.
Ketika Pedang
Burung Hong menyambar hendak
membabat pu-
tus batang tongkatnya, Pengemis
Binal menekuk
siku kanannya, hingga batang
tongkat terangkat.
Begitu sambaran Pedang Burung
Hong lewat,
Pengemis Binal menjulurkan kaki
kirinya untuk
menendang dada Prahesti. Dan
sewaktu Prahesti
menghindar, tongkat Pengemis
Binal bekerja lagi.
Tepat menghantam punggung lawan!
"He he he...,"
Suropati tertawa terkekeh-kekeh melihat Prahesti yang jatuh menggelosor ke
tanah. "Ratu lalat kena gebuk! Ratu lalat kena gebuk!" teriaknya
sambil berjingkrak kegirangan.
Agaknya penyakit gendeng remaja
konyol ini se-
dang kumat.
Namun, keterkejutan segera
menghantam
Suropati manakala Prahesti
bangkit disertai suara menggembor keras. Tangan kiri Prahesti tampak
mencekal sebuah arca emas
sebesar anak kucing,
"Arca Budha...!" desis
Pengemis Binal.
"Aku tak mau meladenimu
terlalu lama.
Segera keluarkan ilmu
andalanmu!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti
menempel-
kan bilah Pedang Burung Hong ke
badan Arca
Budha. Sekejap mata kemudian,
sekujur tubuh
Prahesti telah terselubungi
cahaya kuning keema-
san yang memancar dari badan
Arca Budha!
Sementara itu, gemerincing
lonceng kereta
kuda yang saling sahut dengan
suara dengungan
masih terdengar terus. Prahesti
tahu bila Nyai Catur Asta berada di sekitarnya dan tengah menga-
wasi semua gerak-geriknya. Walau
tubuh Prahesti
telah dilindungi kekuatan gaib
yang bersumber
dari Arca Budha, tapi dalam diri
bocah setengah
siluman ini tetap tersimpan rasa
khawatir. Pra-
hesti tidak tahu apa yang akan
diperbuat Nyai
Catur Asta. Ketidak-tahuannya
itulah yang mem-
buat Prahesti harus menjaga
kewaspadaan pe-
nuh. Terbawa perasaan tak enak
yang mengge-
luti hatinya, Prahesti
mengumpat, "Catur Asta keparat! Segera tampakkan batang hidungmu!
Hadapi aku bersama lelaki
piaraanmu itu!"
Sebenarnya bisa saja Prahesti
mengelua-
rkan ilmu kesaktian yang bisa
membuat matanya
dapat melihat sosok gaib Nyai
Catur Asta. Tapi itu tidak dilakukannya, karena dia khawatir Suropati akan
menyerang selagi dia mengetrapkan il-munya, yang tentu saja membutuhkan waktu
un-
tuk memusatkan pikiran.
Pengemis Binal yang dibuat
terkejut oleh
cahaya yang memancar dari badan
Arca Budha
tampak menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
Namun, dia tahu bila Prahesti
tengah dilanda ke-
kalutan. Tak ayal lagi, sifat
gendengnya semakin menjadi.
"He he he...," tawa
kekeh Suropati, penuh ejekan. "Sudah kubilang, aku ini bukan lelaki
piaraan! Kenapa kau masih mengatakan itu?! Ru-
panya kau benar-benar geblek,
Bocah Setan! Geb-
lek yang kelewat geblek!"
Setelah nyengir beberapa saat,
Pengemis
Binal menengadahkan wajahnya.
Sikapnya seperti
melihat sosok Nyai Catur Asta
tengah melayang di angkasa. "Tetaplah di tempatmu, Nyai! Jangan tampakkan
dirimu! Kalau sudah tiba waktunya,
kau bisa menghajar pantat ratu
lalat itu. Dan,
kubantu kau untuk menonjok
bibirnya yang
memble!"
"Jahanam!" geram
Prahesti. Semakin panas hati bocah setengah siluman ini melihat kekonyo-lan
Pengemis Binal. Lalu dengan sinar mata ber-
kilat-kilat, dia sesumbar,
"Tampaknya aku harus segera menguburmu hidup-hidup, Pemuda Gendeng!
Mulutmu yang kotor itu biar disumpal oleh
cacing tanah!"
Usai berkata, Prahesti menarik
napas pan-
jang seraya menghimpun seluruh
kekuatan tena-
ga dalamnya. Cahaya kuning keemasan
yang me-
nyelubungi tubuhnya terlihat
memancar makin
kuat dan amat menyilaukan mata.
Bocah seten-
gah siluman ini hendak
mengeluarkan salah satu
ilmu kesaktian nya yang
terdahsyat!
"Hati-hati, Suro!"
teriak Wirogundi, men-
gingatkan Pengemis Binal. Luka
di bahunya tam-
pak sudah dibalut dengan sobekan
kain lengan
bajunya
"Tak perlu khawatir,
Wiro!" sahut Suropati.
"Tetaplah di tempatmu!
Kalau ratu lalat itu sudah kubuat jatuh tengkurap, kau boleh ikut menghajar
pantatnya!"
Tiba-tiba, Prahesti menarik kaki
kirinya ke
belakang. Bersamaan dengan itu,
dia sorongkan
bilah Pedang Burung Hong ke
depan. Lalu..., dari ujung pedang pusaka itu melesat seberkas sinar
kebiruan yang berbaur dengan
sinar kuning kee-
masan yang berasal dari badan
Arca Budha!
"Hiah...!"
Wesss...!
Bergegas Pengemis Binal membuang
tubuh
ke kanan. Namun, pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ini
terkesiap. Sinar panas
yang memancar dari ujung Pedang
Burung Hong
terus memburunya!
"Uts...!"
Dengan berjumpalitan. Suropati
berkelit.
Tapi sinar yang membawa hawa
panas luar biasa
itu terus mengejarnya!
Sementara, Prahesti tam-
pak menggerak-gerakkan tangan
kanannya yang
memegang hulu Pedang Burung
Hong. Ke mana
Suropati berkelit, ke situlah
ujung Pedang Burung Hong diarahkan.
Maka, repotlah Suropati. Dengan
mengan-
dalkan ilmu meringankan tubuh,
dia berloncatan
ke segala penjuru angin.
Sementara, sinar berha-
wa panas makin gencar memburu.
Diserang se-
perti ini, daya tahan tubuh
Suropati menjadi ce-
pat berkurang. Apalagi, dia sama
sekali tak punya kesempatan untuk balas menyerang.
"Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa dingin mengikik. "Mulutmu yang bawel itu sebentar lagi
akan terbungkam. Makan 'Sinar Pemburu Jiwa' ini!"
Tangan kanan Prahesti yang
memegang
hulu Pedang Burung Hong bergerak
makin cepat.
Suropati pun harus mempercepat
kelebatan tu-
buhnya. Dia meloncat ke sana
sini sambil beru-
saha mendekati Prahesti guna
melakukan seran-
gan balik. Tapi, agaknya
Prahesti dapat membaca
pikiran remaja tampan itu.
Setiap Suropati me-
loncat mendekat, dia memutar
bilah Pedang Bu-
rung Hong. Dan, sinar berhawa
panas yang dis-
ebutnya sebagai 'Sinar Pemburu
Jiwa' makin me-
luas pancarannya. Sehingga
Suropati terpaksa
harus meloncat menjauhi.
Wirogundi yang melihat
pertempuran tak
seimbang itu jadi tegang.
Matanya membelalak
tak berkedip. Dia hendak turun
gelanggang untuk
membantu Suropati, tapi dia tak
berani melaku-
kannya karena takut tindakannya
malah akan
membuat Suropati marah. Sejak
masih berumur
belasan tahun, Wirogundi telah
tinggal bersama
Suropati sebagai gelandangan
Kota Kadipaten
Bumiraksa. Jadi, Wirogundi tahu
benar watak
dan tabiat Suropati. Selain
ugal-ugalan, isi hati Suropati sangat sulit ditebak. Bila punya urusan, jarang
dan bahkan hampir tidak pernah dia menerima uluran tangan orang lain, walau
orang
yang menawarkan jasa baik itu
sahabat dekatnya
sekalipun.
Dengan menyimpan rasa waswas di
hati,
Wirogundi terus mengikuti
jalannya pertempuran
dengan pandangan mata.
Sementara, Gajah An-
gon terdengar mendesah berulang
kali. Air mu-
kanya tak pernah cerah. Bahkan,
terlihat makin
keruh. "Lihat
serangan!"
Wuttt...!
Mendadak, Pengemis Binal
melemparkan
tongkat bututnya. Karena
dilemparkan dengan
tenaga dalam penuh, tongkat itu
melesat sangat
cepat dan sulit diikuti
pandangan mata. Tampak-
nya Prahesti pun tak punya waktu
lagi untuk
menghindari lesatan batang
tongkat yang menga-
rah ke ulu hatinya itu!
Blas...!
Akan tetapi, hasilnya sungguh di
luar du-
gaan. Batang tongkat Pengemis
Binal hancur le-
bur menjadi abu tatkala
membentur cahaya kun-
ing keemasan yang menyelubungi
tubuh Prahesti!
"Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa mengikik penuh kemenangan. Pedang Burung Hong di tan-
gannya bergerak makin cepat.
Akibatnya, Suropati makin
terjerat dalam
kesulitan. Dia masih mencoba
untuk mengirim
pukulan jarak jauh, tapi 'Sinar
Pemburu Jiwa' terus mengurungnya. Hingga, Suropati tak punya
kesempatan sama sekali.
Sampai suatu ketika....
"Wuah...!"
Pengemis Binal memekik
kesakitan. Ping-
gangnya terserempet 'Sinar
Pemburu Jiwa'. Seba-
gian kain pakaiannya terbakar.
Dan, hawa panas
menjalar dari pinggul kirinya.
Sambil terus berloncatan,
Pengemis Binal
mengelus bagian tubuhnya yang
terasa panas.
Dia alirkan hawa 'Pukulan Salju
Merah' yang
mendatangkan rasa dingin.
Mendadak, Prahesti menggedrukkan
kaki
kanannya. Terdengar suara
ledakan keras. Bumi
terguncang sesaat. Tapi, itu
sudah cukup untuk
melontarkan tubuh Pengemis Binal
hingga jatuh
berguling-guling. Sementara,
'Sinar Pemburu Ji-
wa' terus mengejarnya.
Melihat bahaya maut yang
mengancam ji-
wa sahabat karibnya, tentu saja
Wirogundi tak
mau berpangku tangan.
"Iblis jahat!" seru
Wirogundi seraya meng-hentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss...!
Dua larik sinar putih
berkeredepan wujud
dari pukulan jarak jauh
Wirogundi meluncur de-
ras ke arah Prahesti!
Blarrr...!
Ledakan keras menggelegar ke
angkasa ke-
tika dua larik sinar putih
berkeredepan memben-
tur cahaya kuning keemasan yang
menyelubungi
tubuh Prahesti. Hebatnya, dua
larik sinar putih
itu melesat balik dengan
kecepatan dua kali lipat!
Terkejut tiada terkira
Wirogundi. Dia tadi
sudah merasa girang melihat
Prahesti tak meng-
hindari pukulan jarak jauhnya.
Tapi, sekarang?
Bukan saja Prahesti kebal, tapi
juga mampu
membuat serangan balik tanpa
menggerakkan
tubuh sedikit pun!
Dalam keterkejutannya, Wirogundi
melon-
cat ke kiri. Namun, gerakannya
kurang cepat. Sa-
tu larik sinar putih dapat
dihindari. Tapi, yang sa-tu lagi tepat menerpa dadanya!
Blarrr...!
"Argh...!"
Tubuh Wirogundi mencelat jauh
bagai di-
lontarkan tangan raksasa,
termakan pukulan ja-
rak jauhnya sendiri. Setelah
bergulingan bebera-
pa lama, tubuh Wirogundi diam di
tanah dalam
keadaan telentang. Dari kain
bajunya yang telah
terbakar hangus, tampak dada
Wirogundi yang
hitam gosong dan mengepulkan
asap!
"Anak muda! Anak
muda!"
Gajah Angon berseru dalam rasa
khawatir.
Tanpa pikir panjang, lelaki
berjubah hitam ini
memburu tubuh yang tergeletak
lemah di tanah.
Sementara, Suropati yang juga
tengah ter-
geletak di tanah menatap dengan
sinar mata nya-
lang. Napasnya jadi sesak. Rasa
khawatir berbaur dengan hawa amarah membuat pikirannya kalut.
Saat Suropati meloncat bangkit,
sebatang
pedang yang terikat di
punggungnya jatuh. Na-
mun, remaja tampan ini tak
menghiraukannya.
Secepat kilat dia himpun
kekuatan tenaga dalam
untuk dialirkan ke kedua
pergelangan tangannya.
Lalu, dia lancarkan 'Pukulan
Salju Merah' yang
didapat dari Nyai Catur Asta!
Wusss...!
Blarrr...!
Sama seperti yang dialami
Wirogundi. Dua
larik sinar merah yang keluar
dari telapak tangan Suropati melesat balik saat membentur cahaya
kuning keemasan yang
menyelubungi tubuh Pra-
hesti! Wusss...!
Pengemis Binal yang bisa memetik
pelaja-
ran dari apa yang dialami
Wirogundi, berhasil
menghindar dari dua larik sinar
merah wujud pu-
kulan jarak jauhnya sendiri.
"Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa panjang me-nyeramkan. "Keluarkan seluruh kesaktianmu,
Pemuda Gendeng!"
Suropati mendengus gusar. Saat
melihat
sebatang pedang yang tergeletak
di tanah tak
jauh darinya, dia teringat
kata-kata Datuk Risanwari di kaki Bukit Hantu.
Ketika itu, Datuk Risanwari
mengatakan
bila pedang yang diberikan
kepada Suropati men-
gandung tuah sumpah. Dan, Datuk
Risanwari
menduga, Prahestilah yang
mengangkat sumpah
itu. "Hmmm.... Jika aku
menggunakan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' ataupun ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma',
aku khawatir
kedua ilmu itu akan mencelakakan
diriku sendiri.
Kekuatan gaib Arca Budha memang
tiada ta-
ranya...," kata hati
Pengemis Binal. "Ada baiknya aku menggunakan pedang pemberian Datuk
Risanwari itu. Barangkali Prahesti termakan sum-
pahnya sendiri. "
Menuruti pikiran di benaknya,
bergegas
Pengemis Binal menyambar pedang
yang tergele-
tak di tanah. Langsung
dihunusnya pedang ber-
sarung putih yang terdapat
ukiran dua ekor naga
itu. "Pedang Naga
Kembar...!" desis Gajah Angon yang berjongkok di sisi tubuh Wirogundi.
Tentu saja Gajah Angon dapat
mengenali
pedang di tangan Pengemis Binal.
Karena, pedang
itu adalah milik gurunya, Darma
Sagotra, yang
diwariskan kepada kakak
seperguruannya, Ga-
rang Wanara.
Sementara, Prahesti terkesiap
saat mena-
tap pedang putih di tangan
Suropati. Bocah se-
tengah siluman ini tak melihat
keistimewaan apa-
apa di balik keindahan Pedang
Naga Kembar.
Namun, mendadak hatinya diliputi
perasaan tak
enak. Rasa takut dan gentar
muncul secara tiba-
tiba. Suara gemerincing lonceng
kereta kuda yang saling sahut dengan suara dengungan semakin
menambah kekalutan Prahesti.
"Celaka...!
Celaka...!" desis Prahesti berkali-kali. Mata Pengemis Binal yang jeli
dapat meli-
hat perubahan yang terjadi pada
sikap Prahesti.
Dan, Pengemis Binal jadi yakin
bila pedang di
tangannya memang mengandung tuah
sumpah
yang mendatangkan kekuatan gaib.
Tapi, mampukah kekuatan gaib
Pedang
Naga Kembar melawan Arca Budha
yang memiliki
kekuatan gaib pula?
Selagi Prahesti panik, Suropati
berkelebat
tak mau menyia-nyiakan
kesempatan. Ujung Pe-
dang Naga Kembar mengarah bahu
kanan Pra-
hesti. Sengaja Suropati tak
memilih tempat yang
lebih berbahaya karena dia tak
bermaksud mem-
bunuh bocah perempuan yang
disusupi roh Bara-
ta Sukma itu!
"Ciat..!"
"Heh?!"
Ujung Pedang Naga Kembar mampu
me-
nembus cahaya kuning keemasan
yang menyelu-
bungi tubuh Prahesti. Padahal
segala jenis senja-ta, bahkan senjata pusaka, akan hancur lebur bi-
la membentur sinar yang
bersumber dari badan
Arca Budha itu.
"Hiah...!"
Wuttt...!
Prahesti masih mampu menghindar
dengan
membuang tubuh ke kanan. Suropati
yang sudah
tahu keampuhan pedang di
tangannya, cepat
mengejar. Kali ini Pedang Naga
Kembar berkeleba-
tan untuk membabat pinggang
Prahesti.
Karena panik dan bingung,
Prahesti tak
mampu berpikir jernih.
Serta-merta dia lepas bi-
lah Pedang Burung Hong yang
menempel pada
badan Arca Budha yang tergenggam
di tangan ki-
ri. Pedang Burung Hong
disabetkan ke depan un-
tuk menangkis babatan Pedang
Naga Kembar.
Sementara, sinar kuning keemasan
yang menye-
lubungi tubuh Prahesti telah
lenyap.
Pengemis Binal tahu benar
kehebatan pe-
dang di tangan Prahesti. Dia pun
tahu bila pe-
dang di tangannya sendiri hanya
terbuat dari lo-
gam biasa yang tak memiliki
kelebihan apa-apa.
Maka, karena tak mau melihat
Pedang Naga
Kembar terbabat putus, Pengemis
Binal menghin-
dari bentrokan. Dia tarik Pedang
Naga Kembar
untuk kemudian dibabatkan ke
bahu kanan Pra-
hesti. Serangan Suropati itu
cepat luar biasa. Bilah Pedang Naga Kembar berkelebat menuju sasa-
ran manakala Pedang Burung Hong
masih dalam
gerakan menangkis. Jadi, bahu
kanan Prahesti
benar-benar tak terlindungi
lagi!
Prahesti yang tak punya waktu
untuk ber-
kelit berbuat nekat. Tanpa
perhitungan sama se-
kali, dia menaikkan pergelangan
tangan kirinya
untuk menangkis. Dia menyangka
bila babatan
Pedang Naga Kembar untuk
memenggal leher.
"Haya...!"
Melihat perbuatan Prahesti yang
sudah ke-
hilangan kemampuan berpikir,
Suropati terke-
siap. Dia menyayangkan dan
sungguh-sungguh
tak mau membabat putus lengan
Prahesti. Cepat
belokkan sedikit arah babatan
pedangnya.
Prang...!
Terdengar suara mendentang
keras. Perci-
kan api menyebar ke berbagai
penjuru. Ketaja-
man Pedang Naga Kembar membentur
badan Ar-
ca Budha di tangan kiri
Prahesti.
Suropati terkejut luar biasa.
Demikian pula
Prahesti. Bola mata dua anak
manusia ini sama-
sama melotot besar seperti
hendak keluar dari
rongganya! Mereka berdiri
terpukau hingga bebe-
rapa lama. Tak percaya pada
penglihatan sendiri!
Arca Budha terbelah jadi dua.
Belahan per-
tama tetap berada di tangan
Prahesti. Sedangkan
belahan yang kedua jatuh
menggelinding ke ta-
nah. Pedang Burung Hong yang
memiliki keam-
puhan yang tiada bandingnya pun
tak mampu
menggores Arca Budha, tapi
kenapa Pedang Naga
Kembar, yang jelas bukan senjata
pusaka, mam-
pu membelahnya? Mungkinkah itu
karena kekua-
tan tuah sumpah yang terkandung
di dalamnya?
Sewaktu Prahesti masih berdiri
terpukau di
tempatnya, gemerincing lonceng
kereta kuda yang
saling sahut dengan suara
dengungan terdengar
makin keras. Sekejap kemudian,
Nyai Catur Asta
menampakkan diri. Langsung
berkelebat ke arah
Prahesti!
Blusss...!
"Aaa...!"
Prahesti menjerit panjang
tatkala tusuk
konde yang menancap di kepalanya
dicabut oleh
Nyai Catur Asta. Terlihat
kemudian, Prahesti berdiri gontai. Tubuhnya bergetar keras bagai terserang
demam hebat. Dari lubang kepalanya men-
gepul asap tebal yang kemudian
membentuk se-
sosok tubuh manusia yang
terlihat samar-samar.
Tapi, asap itu segera lenyap
terbawa tiupan an-
gin.... Hilang sudah seluruh
kesaktian Prahesti yang berasal dari roh Barata Sukma yang dis-usupkan ke
tubuhnya. Terdengar suara berden-
tang ketika bilah Pedang Burung
Hong jatuh ke
tanah. Namun sebelum tubuh
Prahesti turut ja-
tuh, Nyai Catur Asta berkelebat
lagi. Salah satu
tangannya menekap kepala bocah
perempuan itu.
Untuk beberapa saat tubuh
Prahesti berge-
tar lagi. Saat Nyai Catur Asta
membuka tekapan
tangannya, lubang di kepala
Prahesti telah lenyap tanpa bekas!
Perlahan Nyai Catur Asta
membaringkan
tubuh Prahesti ke tanah.
Prahesti menurut saja
karena kesadarannya telah
hilang. Nyai Catur As-
ta lalu menatap Gajah Angon yang
masih ber-
jongkok di sisi tubuh Wirogundi.
"Gajah Angon...,"
ujarnya dengan suara berat berwibawa, "Roh Barata Sukma telah kulepas dari
tubuh Prahesti. Tak perlu lagi ada kekhawatiran di hatimu. Prahesti tidak
apa-apa. Dia akan segera siuman. Kau bisa membawanya ke Bukit
Palastra sekarang juga."
Gemerincing lonceng kereta kuda
yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan
terdengar lagi.
Dari angkasa melesat seberkas
sinar, tepat me-
nerpa tubuh Nyai Catur Asta. Di
lain kejap, sosok Nyai Catur Asta telah hilang dari pandangan.
"Prahesti...!"
Gajah Angon menjerit bahagia.
Serta-merta
dia menghambur. Dibopongnya
tubuh Prahesti
dengan mata berkaca-kaca. Tapi
sebelum lelaki
berjubah hitam ini membawa pergi
muridnya,
Pengemis Binal meloncat
mendekati.
"Kukira pedang ini milikmu,
Pak Tua...,"
ujar Pengemis Binal seraya
menyodorkan Pedang
Naga Kembar yang telah
dimasukkan ke sarung-
nya. Gajah Angon menerima dengan
tatapan
ham. "Pedang Naga Kembar
ini milik Prahesti. Terima kasih, Suro."
Pengemis Binal mengangguk.
Gajah Angon menjejak tanah, lalu
berkele-
bat dengan membopong tubuh
Prahesti, murid-
nya. Begitu sosok Gajah Angon
lenyap dari pan-
dangan, Pengemis Binal memungut
Pedang Bu-
rung Hong dan sarungnya yang
tergeletak tanah.
Dipungutnya pula dua belahan
Arca Budha.
Suropati terkesiap manakala
melihat gu-
lungan kulit halus yang
tersembunyi di dalam lu-
bang salah satu belahan Arca Budha.
Dengan hati
berdebar-debar, Suropati
mengeluarkan gulungan
kulit itu.
Sesaat Pengemis Binal terlihat
garuk-garuk
kepala. Dia tak dapat membaca
tulisan yang ter-
tera di lembaran kulit. Karena,
tulisan itu dibuat dengan huruf Cina.
Plok...!
Tiba-tiba Suropati menggaplok
kepalanya
sendiri. "Huh! Pelupa benar
aku ini! Kenapa aku tak ingat pada Wirogundi?!"
Bergegas Pengemis Binal
membalikkan ba-
dan seraya meloncat lebar untuk
segera memberi
pertolongan pada Pendekar Patah
Hati...
7
Kota Kadipaten Bumiraksa....
Di salah satu sudut ruangan Kuil
Saloka
yang menjadi tempat tinggal para
pengemis dan
gelandangan, Wirogundi tampak
duduk bersila
dalam sikap semadi. Dia telah
mendapat perto-
longan dari Pengemis Binal lewat
penyaluran ha-
wa sakti. Luka dalam yang
diderita pemuda ber-
gelar Pendekar Patah Hati ini
memang parah, tapi belum sampai merenggut jiwanya. Wirogundi bersemadi untuk
mengusir rasa panas dan sesak di
dadanya, sekaligus memulihkan
tenaganya yang
terkuras.
Di bagian lain, Kwe Kok Jiang
tampak ber-
sandar di dinding kuil. Tangan
kanannya meme-
gang selembar kulit beruang
salju. Lembaran ku-
lit halus itu berasal dari dalam
Arca Budha yang telah terbelah jadi dua.
"Ayolah, Pak Tua!"
desak Pengemis Binal yang duduk di kanan Kwe Kok Jiang. "Cepat baca
tulisan itu, dan terjemahkan dalam bahasa Jawa,
agar aku mengerti!"
"Cepatlah, Ayah!"
desak Kwe Sin Mei pula.
Gadis cantik ini duduk di kiri
Kwe Kok Jiang.
"Tampaknya Suro Toako sudah
tak sabar lagi.
Jangan buat dia penasaran.
Ayah!"
"Ya... ya," sahut Kwe
Kok Jiang sambil menyungging senyum. Lelaki berkuncir ini lalu me-
menuhi permintaan Pengemis
Binal. Tulisan yang
tertera di kulit beruang salju
berbunyi....
Aku membuat Arca Budha ini untuk
kuha-
diahkan kepada sang kaisar. Bila
kaisar orang yang teliti dan jeli, beliau akan mendapat sebuah petuah yang
sangat berguna bagi dirinya sebagai seorang pemimpin.
Di bawah tulisan itu terdapat
tulisan lagi,
namun jajaran hurufnya lebih
kecil.
Sebagai seorang pemimpin, kaisar
bertang-
gung jawab akan ketenteraman,
keselamatan, ke-sejahteraan, dan kemakmuran rakyat. Kepemim-
pinan bukan sarana untuk
menyempurnakan diri pribadi. Kepemimpinan adalah pelimpahan wewe-nang yang
mengandung pengabdian. Pemimpin
mengabdi kepada yang dipimpin.
Kaisar mengabdi kepada rakyat. Bukan sebaliknya.
Pemimpin memiliki kekuasaan.
Tapi, kekua-
saan itu bukan alat untuk
memuaskan keinginan pribadi. Kekuasaan pemimpin harus diabdikan kepada
orang-orang yang dipimpin. Kaisar mempunyai kekuasaan penuh atas seluruh negeri
yang dipimpin. Kaisar berhak melakukan apa saja...
asalkan untuk mewujudkan cita-cita
rakyat. Hidup makmur sejahtera dengan aman dan tenteram
Dan pada saatnya nanti, Tuhan
akan me-
minta pertanggungjawaban seorang
pemimpin atas kepemimpinannya.
Bu Beng Shiansu Kwe Kok Jiang
mendesah
panjang setelah membacakan
terjemahan surat
wasiat itu. "Sudah jelas
sekarang. Ratusan nyawa
telah melayang sia-sia...,"
ujarnya seperti penuh penyesalan. "Arca Budha tidak mengandung rahasia
besar apa-apa. Sama sekali tidak patut un-
tuk diperebutkan orang-orang
rimba persilatan.
Wasiat yang terkandung di
dalamnya hanya dipe-
runtukkan bagi sang
kaisar...."
"Tapi, kukira juga berguna
bagi pemimpin
lainnya," sahut Pengemis
Binal. "Bukan kaisar sa-ja yang wajib menjalankan petuah itu."
"Termasuk kau!" seru
Kwe Sin Mei.
"Aku? Kenapa aku?"
"Bukankah kau pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, Suro
Toako? Kau ber-
tanggung jawab atas kelangsungan
hidup anak
buahmu."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala. "Me-
mang berat tugas seorang
pemimpin...," ujarnya seperti mengeluh. Mendadak, remaja konyol ini
menatap wajah Kwe Kok Jiang
lekat-lekat.
"Ada apa, Suro?" tanya
Kwe Kok Jiang, heran. "Surat wasiat Arca Budha ditulis oleh Bu Beng
Shiansu. Siapa dia?"
"Kau mengagetkan aku saja,
Suro. Kukira
ada apa...," rungut Kwe Kok
Jiang. Walau sedikit kesal, lelaki berkuncir ini tetap memberi penjela-san
kepada Pengemis Binal.
"Bu Beng Shiansu adalah
seorang tokoh
tua yang mempunyai ilmu
kesaktian luar biasa.
Bahkan, orang-orang di tanah
Tionggoan menye-
butnya manusia setengah dewa.
Tak satu pun
yang tahu persis berapa usia
tokoh itu. Tapi yang
jelas, dia sudah berumur satu
abad lebih."
Pengemis Binal
mengangguk-angguk.
"Kukira kau bersama Kwe Sin
Mei dapat
pulang ke tanah Tionggoan dengan
aman, Pak
Tua," kata remaja tampan
itu kemudian. "Setelah luka di dadamu itu membaik, kau bisa berangkat.
Aku juga akan pergi ke Kerajaan
Pasir Luhur. Aku harus memenuhi undangan Putri Racun yang
akan menikah dengan Saka
Purdianta. Mereka
dua orang sahabatku."
Kwe Sin Mei menatap Pengemis
Binal pe-
nuh "Kau baik sekali, Suro
Toako. Tanpa bantu-mu, aku dan ayahku tak mungkin dapat berbuat
banyak di tanah Jawa ini. Entah
dengan apa aku
akan membalas kebaikan Suro
Toako...."
Mendengar ucapan gadis cantik
itu, mata
Pengemis Binal kontan berbinar.
"Sungguhkah kau ingin membalas kebaikanku?" tanya remaja konyol yang
tiba-tiba kumat penyakit gendengnya
ini.
Kwe Sin Mei mengangguk lemah.
"Tapi, aku
tak tahu dengan apa...."
"Tak perlu bingung!"
sergap Pengemis Binal. "Kau balas saja dengan sebuah ciuman me-sra. He he
he...."
Mata Kwe Sin Mei kontan
terbelalak. "Heh?!
Minta cium? Enak saja!"
tolaknya dengan garang.
Pengemis Binal cuma dapat
nyengir kuda
sambil menggaruk kepalanya yang
tak gatal....
SELESAI
Serial Pengemis Binal dalam
episode:
SEPASANG RACUN API
Document Outline
SELESAI SEPASANG RACUN API
Emoticon