PENYESALAN RATU SILUMAN
Serial
Pengemis Binal
Cetakan
pertama
Penerbit
Cintamedia, Jakarta
Pengolah
cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta
pada Penerbit
Dilarang
mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin
tertulis dari penerbit
Serial
Pengemis Binal
dalam
episode:
Penyesalan
Ratu Siluman
128 hal.
/DuniaAbuKeisel
1
Sang baskara
memuntahkan sinar merah
di ufuk
timur. Menguak halimun pagi. Menam-
pakkan
pelangi warna tujuh rupa. Burung-
burung
berkicau dan berdendang, menyanyikan
lagu pujaan
kepada Sang Penguasa Tunggal. Alam
menggeliat
membuka mata diiringi gemericik sua-
ra aliran
sungai kecil. Fajar telah menyingsing.
Tatkala hawa
sejuk mendesir memper-
mainkan
segala tanaman yang sedang semi ber-
kembang,
melesat cepat sesosok bayangan melin-
tasi lereng
Bukit Palastra. Seiring dengan halimun
yang terhalau
sang bayu ke sudut timur, bayan-
gan itu terus
melesat cepat. Terbang melayang di
atas lapisan
pohon-pohon bunga berwarna sera-
gam merah
jingga
Hebat tiada
terkira kepandaian orang yang
sedang
berlari dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh
itu. Tangkai-tangkai bunga yang
terpijak
kedua kakinya tak bergerak sedikit pun.
Tak rebah
atau bergoyang.
Saat sampai
di tanah datar yang dipagari
aneka jenis
bunga warna-warni, orang itu meng-
hentikan
kelebatan tubuhnya. Dan dapatlah dili-
hat dengan
jelas bila dia seorang lelaki setengah
tua. Wajahnya
tampak jenaka seperti menyi-
ratkan
pikiran yang kurang waras. Dia tidak me-
melihara
kumis atau jenggot. Hanya rambutnya
yang
dibiarkan memanjang, ditutupi sehelai kain
kotor dekil.
Di beberapa bagian terjuntai gimbal
berwarna
putih meletak. Pakaiannya terdapat be-
berapa
tambalan, seperti dijahit dengan sengaja.
Bagian leher
dan lengan baju lelaki empat
puluh tahunan
itu berkibar-kibar tatkala angin
berhembus
lebih kencang. Sementara, sepasang
kakinya yang
terbungkus sepatu jerami berdiri te-
gak
mencengkeram tanah. Sedang di punggung-
nya bergayut
seorang bocah perempuan lima be-
las tahunan.
Setelah
mengerahkan pandangan ke utara
beberapa
lama, lelaki tegap itu melanjutkan kele-
batan
tubuhnya lagi. Dimasukinya hutan kecil di
puncak bukit.
Beberapa
tarikan napas kemudian, dia
menemukan
sebuah pondok bambu tua namun
masih tampak
kokoh kuat. Dan baru saja kakinya
menginjak
pelataran, dari pondok beratap sirap
itu muncul
seorang lelaki yang umurnya dua ta-
hun lebih
muda darinya.
"He,
Kakang Garang Wanara! Terpuji benar
kau punya
watak. Janji yang terucap bukan
hanya manis
di bibir saja," seru pemilik pondok
dengan mata
berbinar-binar.
Lelaki
bertubuh tinggi kurus itu mengena-
kan jubah
hitam mirip tukang tenung. Rambut-
nya yang
telah memutih tertutup topi bulat tinggi
berwarna
hitam pula.
"Ha ha
ha...! Waktu terus berlalu. Sejeng-
kal demi
sejengkal, usia kita semakin dekat den-
gan liang
lahat. Tapi, sifatmu tetap saja tak beru-
bah, Gajah
Angon. Suka memuji orang walau da-
lam hatimu
tersimpan rasa jengkel," sahut lelaki
bersepatu
jerami yang dipanggil Garang Wanara.
"Hmmm....
Dari dulu aku kagum akan ke-
cerdikan
otakmu, Kakang Wanara. Kau pandai
menduga dan
menerka. Namun, apa yang baru
saja kau katakan tidak sepenuhnya benar. Aku
memang senang
dan sungguh amat bersuka ria
karena kau
menepati janjimu. Tak sedikit pun
terbersit
rasa jengkel dalam hatiku walau aku la-
ma menunggu.
Bukankah apa yang kuharapkan
membuahkan
hasil juga?"
Sambil
berkata, lelaki bernama Gajah An-
gon menatap
lekat wajah bocah perempuan yang
terkulai
lemah di gendongan Garang Wanara.
Mendadak,
mata Gajah Angon terbelalak.
Mulutnya
mengeluarkan seruan tertahan. Garang
Wanara tampak
tertawa bergelak seraya melepas
lengan bocah
perempuan yang melingkar di le-
hernya. Dan
seperti orang gila, tubuh bocah tak
sadarkan diri
itu dilemparkan ke udara, hingga
melesat
setinggi dua pohon kelapa!
"Ih...!"
Wuttt...!
Melihat
adegan yang mendebarkan hatinya
itu, cepat
Gajah Angon menjejak tanah seraya
mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya untuk
menolong si
bocah. Tapi, agaknya Garang Wanara
tak bermaksud
mencelakakan bocah perempuan
berwajah
manis itu.
"Hea...!"
Sebelum tubuh
si bocah jatuh ke tanah,
cepat sekali
Garang Wanara berkelebat, menda-
hului
kelebatan tubuh Gajah Angon. Dalam kea-
daan masih
melayang di udara, tangan kiri Ga-
rang Wanara
me-nyambar kain hitam penutup
mata si
bocah. Sedangkan tangan kanannya
mendaratkan
beberapa totokan.
Pada totokan
ketujuh, tubuh si bocah
menggeliat
seraya mengeluarkan jeritan panjang.
Tahu dirinya
berada di udara dan tengah melun-
cur ke tanah,
bocah perempuan itu mengem-
bangkan kedua
tangannya, lalu berjumpalitan ti-
ga kali.
"Hup...!"
"Ha ha
ha...! Hebat! Hebat!" puji Gajah An-
gon yang
telah mengurungkan niatnya untuk me-
nolong si
bocah.
Garang Wanara
yang lebih dulu menjejak-
kan kaki di
tanah menampakkan senyum sekilas.
Lalu dengan
suara berat memerintah, dia berkata
kepada bocah
perempuan yang berhasil mendarat
tanpa kurang
suatu apa.
"Hayo,
cepat berlutut ke hadapan Paman
Gajah
Angon!"
Bocah
perempuan berpakaian sederhana
berwarna
putih bergaris coklat menatap sejenak
wajah Gajah
Angon. Lalu, dia membungkuk hor-
mat dengan
kedua telapak tangan menyatu di de-
pan dada.
"Berlutut!"
sentak Garang Wanara, keras
menggelegar
karena dialiri tenaga dalam.
Bocah
perempuan bernama Prahesti men-
jatuhkan diri
seraya membenturkan dahinya ke
tanah tiga
kali. Sementara, Gajah Angon meman-
dang dengan
kening berkerut.
"Jangan
terlalu kasar terhadap murid sen-
diri, Kakang
Wanara," tegur lelaki berjubah hitam
itu.
"Bila sang murid menyimpan sakit hati, sang
guru juga
yang repot di kelak hari nanti."
Garang Wanara
yang mendapat teguran
tertawa
bergelak. "Ha ha ha...! Aku hanya menga-
jar
peradatan. Yang muda mesti menaruh hormat
kepada yang
tua. Murid mesti menjunjung tinggi
perintah
guru. Kenapa harus ragu bila sang guru
tidak
bermaksud buruk?"
"Ha ha
ha...!" sambut Gajah Angon dengan
tertawa pula.
"Sudah sepantasnya bila seorang
murid patuh
dan taat kepada gurunya. Tapi bila
patuh dan
taatnya dilakukan dengan hati berat
karena
tertindih rasa terpaksa, adakah sebuah
kebanggaan
yang diperoleh sang guru?"
Mendengar
sindiran lelaki berjubah hitam
itu, Garang
Wanara tersenyum kecut. Ditariknya
napas
panjang. Melihat Prahesti masih berlutut
dengan dahi
menyentuh tanah, Garang Wanara
menjejak
tanah. Memberi isyarat agar Prahesti
segera
bang-kit.
"Sebelum
datang ke puncak Bukit Palastra
ini apakah
kau tidak menceritakan apa maksud
kedatanganmu
kepada muridmu itu, Kakang Wa-
nara?
Tidakkah kau juga menceritakan siapa di-
riku dan
maksud baikku untuk mengangkat mu-
ridmu itu
se-bagai muridku pula?" tanya Gajah
Angon seperti
merutuk.
Bibir Garang
Wanara tersenyum kecut lagi.
Ditatapnya
Prahesti yang telah bangkit berdiri.
"Prahesti...,"
sebut lelaki tegap berpakaian
penuh
tambalan itu.
"Ya,
Eyang...," sambut Prahesti dengan ke-
pala
tertunduk.
"Sengaja
aku menutup kedua matamu dan
membuatmu
pingsan pula. Itu kulakukan karena
alasan
menghemat waktu. Aku ingin kau segera
bertemu
dengan adik seperguruan Eyang yang
bernama Gajah
Angon. Paman Gajah Angon hen-
dak
mengangkatmu sebagai murid juga. Soal ilmu
kesaktiannya,
kau jangan menyangsikan. Bila
saat ini ilmu
Eyang berada di langit sap lima, ma-
ka ilmu
kesaktian Paman Gajah Angon berada di
sap
keenam."
Mendengar
penjelasan gurunya, Prahesti
bersorak
girang dalam hati. Ditatapnya wajah Ga-
jah Angon
lekat-lekat. Lalu, dia menjatuhkan di-
rinya lagi.
Berlututlah bocah perempuan itu den-
gan sepenuh
hati.
"Bila
benar apa yang dikatakan Eyang Ga-
rang Wanara,
Prahesti hanya bisa mengucap syu-
kur dan
beribu-ribu terima kasih. Dan, terimalah
sembah sujud
Prahesti yang bodoh serta perlu
banyak sekali
bimbingan ini...."
"Anak
baik.... Anak baik...," sambut Gajah
Angon dengan
kata-kata pujian.
Lelaki
berjubah hitam itu lalu mengajak
Prahesti dan
Garang Wanara masuk ke pondok-
nya. Di dalam
pondok bambu beratap sirap itu
terdapat
sebuah lukisan tua yang didirikan di
atas meja
batu besar.
Gajah Angon
dan Garang Wanara mem-
bungkuk
hormat tiga kali di depan lukisan wajah
seorang kakek
bersorban putih itu. Sewaktu Ga-
jah Angon
menyalakan dua obor kecil yang terle-
tak di kanan
kiri lukisan, Garang Wanara berkata
kepada
Prahesti.
"Beliau
adalah Eyang Darma Sagotra guru
kami berdua.
Oleh karenanya, kau harus menga-
turkan sembah
kepada beliau, Prahesti."
Bersamaan
dengan menyalanya api obor,
Prahesti
membungkuk hormat tiga kali. Di depan
lukisan wajah
Darma Sagotra, bocah perempuan
itu lalu
berlutut seraya membenturkan dahinya
ke permukaan
lantai pondok.
Gajah Angon
kemudian memberi isyarat
kepada kakak
seperguruannya untuk mundur.
Beberapa
kejap mata kemudian, Gajah Angon dan
Prahesti
melakukan upacara pengangkatan mu-
rid. Hingga
pada keesokan harinya, Prahesti mu-
lai
digembleng berbagai ilmu kesaktian Partai An-
gin Timur
yang pernah berjaya pada puluhan ta-
hun silam.
Pendiri Partai
Angin Timur adalah Darma
Sagotra, guru
Garang Wanara dan Gajah Angon.
Di masa muda,
Darma Sagotra sangat suka ber-
petualang dan
berguru kepada siapa saja.
Selain
cerdas, Darma Sagotra juga bercita-
cita tinggi.
Ketika usianya menginjak kepala em-
pat, dia
berhasil menggabungkan beberapa ca-
bang ilmu
silat dan kesaktian tingkat tinggi yang
lihai luar
biasa. Dia lalu mendirikan partai yang
diberi nama
Angin Timur.
Saat usianya
mencapai enam puluh lima
tahun, Darma
Sagotra mengundurkan diri dari
tampuk
pimpinan partainya. Namun sayang, ba-
nyak murid
Darma Sagotra yang menginginkan
kedudukan
ketua partai. Akibatnya, perpecahan
tak dapat
dihindari lagi. Naasnya, perebutan ke-
kuasaan hanya
mendatangkan kehancuran bagi
Partai Angin
Timur. Dan, partai besar itu pun
hanya tinggal
namanya saja. Sementara, Darma
Sagotra sang
pendiri telah mcngasingkan diri dan
bertapa di
puncak Bukit Palastra.
Mengetahui
partai yang susah payah dia
dirikan telah
hancur, Darma Sagotra hanya dapat
mengelus
dada. Untuk menepis rasa kecewa, dia
lalu
mengambil dua orang murid untuk dididik
bersama-sama.
Mereka adalah Garang Wanara
dan Gajah
Angon.
Selama
bertahun-tahun menimba ilmu di
Bukit
Palastra, Garang Wanara hanya berhasil
menyelami
enam bagian dari ilmu kesaktian
Darma Sagotra. Sedang Gajah Angon berhasil
menyerap
tujuh bagian.
Waktu usia
Darma Sagotra menginjak de-
lapan puluh
tahun, dia mengangkat seorang mu-
rid lagi.
Murid ketiganya itu memiliki bakat dan
kecerdasan
luar biasa. Ketajaman otaknya berli-
pat kali bila
di-banding dengan Garang Wanara
dan Gajah
Angon. Dia bernama Barata Sukma.
Selama
sepuluh tahun, Barata Sukma di-
gembleng oleh
Darma Sagotra. Dan kadang-
kadang Garang
Wanara dan Gajah Angon turut
membantu
gurunya, terutama Garang Wanara.
Hingga ketika
Barata Sukma berumur dua puluh
lima tahun,
dia telah berhasil menyerap habis se-
luruh ilmu
kesaktian Darma Sagotra. Dan karena
kecerdasan
otaknya yang luar biasa, tiga tahun
sebelum
keluar dari tempat penggemblengannya,
Barata Sukma
berhasil menciptakan beberapa il-
mu kesaktian
tanpa sepengetahuan guru dan ke-
dua kakak
seperguruannya. Beberapa ilmu ke-
saktian itu
amat lihai dan dahsyat, bahkan bera-
da satu
tingkat di atas ilmu kesaktian ciptaan
Darma
Sagotra.
Akan tetapi,
sungguh patut disayangkan.
Anak manusia
yang dilahirkan ke dunia dengan
berbekal
bakat dan kecerdasan luar biasa itu,
oleh Tuhan
diturunkan sifat-sifat yang tidak se-
harusnya
dimiliki oleh orang yang berbudi luhur.
Barata Sukma
memiliki sifat-sifat yang rendah
sekali.
Hingga setelah dua tahun berkecimpung di
rimba
persilatan, nama Barata Sukma terkenal
sebagai
seorang penjahat kejam yang suka mela-
kukan
perbuatan-perbuatan tak senonoh. Hal
demikian
membuat Darma Sagotra yang telah be-
rusia lanjut
meninggal dunia karena tekanan ba-
tin.
Namun sebelum
Darma Sagotra menemui
ajal, dia
sempat memberikan kekuasaan kepada
dua murid
pertamanya untuk mencari Barata
Sukma untuk
kemudian menjatuhkan hukuman
mati. Hingga bertahun-tahun lamanya Garang
Wanara dan
Gajah Angon bersusah payah mengi-
tari seluruh
negeri, memasuki pelosok desa, gu-
nung dan
lembah. Tapi, Barata Sukma tak dapat
mereka
temukan. Garang Wanara dan Gajah An-
gon pun
merasa heran dan tak habis mengerti.
Bukankah nama
Barata Sukma telah menjadi
amat kesohor
sebagai seorang penjahat, namun
kenapa sukar
sekali men-carinya?
Tatkala
Garang Wanara dan Gajah Angon
putus asa
karena segala daya upayanya tak ber-
hasil, mereka
mendengar kabar yang menggembi-
rakan tapi
sekaligus menyedihkan. Adik sepergu-
ruan mereka,
Barata Sukma, telah binasa dalam
suatu
per-tempuran di Negeri Turki melawan em-
pat puluh
jago silat tingkat atas negeri itu.
Garang Wanara
dan Gajah Angon merasa
gembira
karena mereka tidak perlu bersusah
payah
menyabung nyawa untuk menghukum ma-
ti Barata
Sukma. Namun, dalam hati mereka me-
nyayangkan
dan merasa sedih sekali. Bagaimana
tidak, walau
Barata Sukma telah nyata-nyata
menyelewengkan
ajaran sang guru dan menem-
puh jalan
sesat, tapi dia tetap saudara sepergu-
ruan yang
pernah tinggal bersama selama sepu-
luh tahun
lebih.
Kemudian,
Gajah Angon memutuskan un-
tuk tinggal
di Bukit Palastra tempat Darma Sago-
tra
menggembleng ketiga muridnya. Sementara,
Garang Wanara
meneruskan pengembaraannya.
Namun sebelum
kedua saudara seperguruan itu
berpisah,
mereka membuat kesepakatan. Garang
Wanara
diwajibkan mencari seorang murid untuk
dididik
bersama-sama guna mewarisi ilmu kesak-
tian Darma
Sagotra secara lengkap.
Dalam
pengembaraannya, Garang Wanara
berhasil
menemukan seorang bocah perempuan
yang
mempunyai tulang bagus dan berbakat
mempelajari
ilmu silat. Lain itu, si bocah juga
mempunyai
kecerdasan yang cukup bisa dibang-
gakan. Dia
bernama Prahesti, putri seorang sau-
dagar yang
mati dibunuh para perampok.
Setelah
mengajarkan dasar-dasar ilmu silat
selama satu
tahun, Garang Wanara lalu mengajak
Prahesti ke
Bukit Palastra untuk menemui Gajah
Angon. Dan
tampaknya, Gajah Angon pun lang-
sung suka
terhadap Prahesti. Sehingga, dia tak
ragu-ragu
lagi untuk mengangkat Prahesti seba-
gai muridnya
juga.
* * *
"Bagus!
Bagus! Ha ha ha...!"
Gajah Angon
tertawa puas melihat kecepa-
tan gerak
Prahesti yang tengah berlatih silat di
pagi itu.
Hanya dalam waktu dua hari, Prahesti
dapat
memahami latihan pernapasan yang diajar-
kan Gajah
Angon. Juga, cara-cara meningkatkan
kemampuan
ilmu meringankan tubuh. Seperti
yang dia
tunjukkan dalam memainkan beberapa
jurus ilmu
silat ajaran Garang Wanara. Memang,
gerakan tubuh
Prahesti cukup cepat, dan sudah
bisa
disejajarkan dengan tokoh silat kelas tingkat
menengah.
Garang Wanara
yang turut menyaksikan
kehebatan
muridnya pun turut tertawa puas. Bila
Gajah Angon
turut memberikan gemblengan, ma-
ka dapat
dipastikan bila kelak di kemudian hari
Prahesti akan
menjadi seorang pendekar wanita
yang
benar-benar pilih tanding.
"Cukup!
Cukup! Kemarilah kau, Prahesti!"
teriak Gajah
Angon tiba-tiba.
Prahesti yang
tengah memainkan sebuah
jurus ilmu
pedang segera menghentikan gerakan-
nya.
Ditatapnya sejenak wajah Gajah Angon yang
berdiri
berdampingan dengan Garang Wanara.
Usai
menyarungkan pedangnya, dia melangkah
pelan
menghampiri.
"Saya
belum selesai memainkan jurus
'Pedang
Membelah Mega', Eyang," beri tahu Pra-
hesti,
menyimpan pertanyaan dalam hati. Kenapa
guru keduanya
menatapnya dengan wajah te-
gang?
"Prahesti...,"
sebut Gajah Angon dengan
suara berat
berwibawa. "Selama dua hari tinggal
di sini, aku
telah mengajarkan seluruh dasar ilmu
kesaktian
kepadamu. Namun tiba-tiba, aku jadi
ragu dan amat
khawatir...."
Prahesti
menatap wajah Gajah Angon den-
gan sinar
mata tak mengerti. Ragu dan khawatir?
Siapa yang
membuat ragu, dan siapa pula yang
dikhawatirkan
oleh guru keduanya itu?
"Prahesti...," sebut Gajah Angon lagi. Sua-
ranya
terdengar lebih berat, dan tampak penuh
kesungguhan.
"Ya,
Eyang," sambut Prahesti, membung-
kukkan badan.
"Kau
tentu telah mendengar cerita tentang
murid ketiga
Eyang Darma Sagotra yang bernama
Barata
Sukma."
"Ya.
Eyang Garang Wanara yang menceri-
takannya."
"Pelajaran
apa yang dapat kau petik dari
cerita
itu?"
Mendengar
pertanyaan Gajah Angon, Pra-
hesti
terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Pandan-
gan matanya
tertuju ke Garang. Wanara, seperti
hendak
meminta penjelasan.
Mendadak,
Garang Wanara tertawa berge-
lak. "Ha
ha ha...! Yang tua mestinya tahu diri.
Siapa yang
diajak bicara? Bocah belasan atau ne-
nek-nenek
uzur yang sudah bau tanah? Kenapa
tidak
langsung saja mengutarakan maksudmu,
Gajah
Angon?"
Mendengar
sindiran kakak seperguruan-
nya, Gajah
Angon mendehem lirih. Ditatapnya
wajah
Prahesti lekat-lekat
"Prahesti...."
"Ya,
Eyang."
"Sebelum
aku menurunkan seluruh ilmu
kepandaianku
yang kudapat dari Eyang Darma
Sagotra, aku
ingin kau mengingat semua pesanku
walau kau
telah mengangkat sumpah ketika me-
lakukan
upacara di depan lukisan Eyang Darma
Sagotra dua
hari yang lalu."
"Saya
tak akan mengecewakan Eyang Ga-
jah Angon...."
"Bagus!
Tapi, aku tak mau kata-katamu itu
hanya manis
di mulut saja. Bila kau telah selesai
menimba ilmu
di puncak Bukit Palastra ini, jan-
gan
sekali-sekali kau takabur dan menganggap
dirimu
sebagai orang terpandai di dunia. Karena,
di atas
langit masih ada langit. Maka dari itu,
janganlah kau
memiliki sifat sombong yang hanya
akan membuat
dirimu terjerumus dan terjerat da-
lam
kungkungan nafsu rendah. Berlakulah seba-
gai seorang
pendekar yang berbudi luhur."
"Selama
nyawa masih dikandung badan,
pesan Eyang
Gajah Angon akan selalu menyatu
dalam diri
saya."
"Hmmm....
Aku tak hanya ingin mendengar
kata
kesanggupanmu saja, tapi aku ingin bukti
nyata. Kalau
kelak kau menjadi anak durhaka
dan menjadi
murid murtad, seperti Barata Sukma
murid ketiga
Eyang Darma Sagotra, maka aku
dan Eyang
Garang Wanara akan memutuskan
ikatan guru
dan murid. Dan, hanya hukuman
mati yang
pantas dijatuhkan kepada murid yang
telah
berperilaku sesat, melenceng dari jalan ke-
benaran."
Di ujung
kalimat Gajah Angon, Garang
Wanara
mencabut sebatang pedang yang melin-
tang di
punggungnya. Sarung pedang itu berukir
dua ekor naga
yang saling berhadapan. Warnanya
putih, dan
berkilat-kilat tatkala sinar mentari
menerpanya.
"Kau
memahami pesan dan nasihat Eyang
Gajah Angon,
Prahesti?" tanya lelaki bersepatu je-
rami itu
sambil menimang pedang di tangannya.
"Saya
paham sepenuhnya, Eyang...," jawab
Prahesti,
mantap.
Kepala Garang Wanara mengangguk-
angguk. Dipandanginya
sejenak pedang putih di
tangannya.
Lalu, pedang itu disodorkannya kepa-
da Prahesti.
"Prahesti,
kau berjodoh untuk memiliki Pe-
dang Naga
Kembar. Senjata ini memang bukan
senjata
mustika, tapi pedang ini adalah warisan
Eyang Darma
Sagotra, yang pernah digunakan
beliau semasa
muda. Karena Pedang Naga Kem-
bar memiliki
wasiat dan petuah, maka untuk da-
pat
memilikinya kau harus bersumpah dulu...."
Prahesti
hanya menatap pedang putih yang
disodorkan
kepadanya. Tapi melihat kesungguhan
guru pertamanya,
dia segera mengangsurkan ke-
dua tangannya
untuk menerima pedang bernama
Naga Kembar
itu seraya berkata, "Saya akan men-
junjung
tinggi segala peri kebenaran di atas pun-
dak dan
kepala. Dan, pedang warisan ini di kelak
hari nanti
akan saya gunakan hanya untuk mem-
bela yang
lemah dan menindas yang jahat. Apabi-
la kelak
ternyata saya menggunakan pedang ini
untuk
maksud-maksud tak baik atau hanya un-
tuk
kepentingan pribadi, biarlah saya mati ter-
tembus pedang
ini sendiri."
Usai Prahesti
mengangkat sumpah, langit
yang semula
cerah tiba-tiba dipenuhi awan kela-
bu yang
muncul tertiup angin dari arah selatan.
Disusul
kemudian, petir menyalak tiga kali.
Anehnya,
begitu suara salakan petir lenyap, le-
nyap pula
awan kelabu yang menutupi sinar men-
tari.
Prahesti dan
kedua gurunya berdiri terpa-
ku di
tempatnya. Mereka merasakan keanehan
yang tengah
terjadi.
Sementara
Prahesti dan Garang Wanara
masih tetap
diam di tempatnya, Gajah Angon me-
nengadahkan
wajahnya. Kerut di keningnya se-
makin
terlihat jelas. Dan, ditariknya napas dalam
beberapa
kali.
"Lanjutkan
lagi latihanmu, Prahesti. Guna-
kan Pedang
Naga Kembar agar tuah yang ada di
dalam pedang
itu menyatu perlahan-lahan den-
gan
dirimu," ujar lelaki berjubah hitam itu kemu-
dian.
"Baik,
Eyang"
Usai
membungkuk hormat kepada kedua
gurunya
bergantian, Prahesti melangkah sepuluh
tindak. Lalu,
mengawali lagi latihannya. Sementa-
ra dengan
kening berkerut, Gajah Angon memberi
isyarat
kepada Garang Wanara untuk mengikuti
langkah kakinya.
"Ada
apa, Gajah Angon?" tanya Garang
Wanara
sesampai di pelataran pondok bambu.
Gajah Angon
tak segera menjawab. Dita-
tapnya lekat
wajah Garang Wanara, seperti hen-
dak membaca
jalan pikiran kakak seperguruan-
nya itu.
"Apakah
kau tidak merasakan sesuatu,
Kakang?"
Gajah Angon balik bertanya,
"Apa
maksudmu?"
"Tidakkah
kau melihat keanehan yang baru
saja
terjadi?"
"Apakah
langit yang tiba-tiba tertutup
awan kelabu
dan petir yang menyalak tiga kali?
Bukankah itu
pertanda bila Sang Penguasa Jagat
mendengar
sumpah Prahesti?"
"Tapi,
aku mempunyai firasat buruk," ujar
Gajah Angon
dengan suara berat. Wajahnya men-
gelam seperti
sedang merasakan kesedihan hebat.
"Firasat
buruk? Firasat buruk yang bagai-
mana?"
tanya Garang Wanara, meminta penjela-
san.
"Naluriku
mengatakan, bahwa di tempat ini
akan segera
terjadi peristiwa... peristiwa yang...
yang...."
"Peristiwa
apa?" buru Garang Wanara ka-
rena Gajah
Angon seperti ragu untuk melan-
jutkan
kalimatnya.
Namun sebelum
Gajah Angon memberikan
jawaban,
mendadak terdengar suara gemerincing
lonceng
kereta kuda yang saling sahut dengan
suara
dengungan seperti ada ribuan lebah sedang
terbang ke
tempat itu.
Garang Wanara
dan Gajah Angon memutar
tubuh seraya
mengedarkan pandangan. Mereka
berusaha
mencari dari mana asal suara aneh
yang
terdengar.
"Si...
siapa kau?" tuding Gajah Angon ke-
mudian dengan
wajah pucat pasi dan bola mata
melotot
besar.
2
Elok rupawan
wajah sang candra seakan
tersenyum
dalam kerlingan bintang yang berteba-
ran di langit
hitam. Angin dari tenggara berhem-
bus kencang,
mempercepat laju kapal dagang ber-
layar kuning
itu. Putaran waktu yang menyambut
larutnya
malam menjadikan suasana hening
sunyi. Hanya
juru mudi yang masih setia menja-
lankan tugas
walau udara dingin terasa membe-
bani pelupuk
mata.
Di sebuah
kamar paling ujung dekat buri-
tan, seorang
lelaki lima puluh tahunan tampak
duduk
terpekur dengan tatapan kosong tak berar-
ti. Kunciran
rambutnya terselempang di bahu ki-
rinya.
Dilihat dari raut wajah dan bentuk pa-
kaiannya
menandakan bahwa dia berkebangsaan
Cina.
"Ayah...,"
sebut seorang gadis cantik yang
duduk di sisi
kanan si lelaki.
Mendengar
panggilan yang disertai tepukan
lembut di
bahunya, lelaki berkuncir menoleh. Di-
tatapnya
seraut wajah putih halus milik si gadis.
Namun, lelaki
itu tiada berkata apa-apa. Dia pa-
lingkan
kepalanya lagi.
"Ayah...,"
si gadis mengulang panggilannya.
"Ada
apa. Sin Mei?" desis lelaki berkuncir,
pelan sekali.
Gadis cantik
berpakaian kuning bergaris-
garis putih
mengerutkan kening. Dielusnya pung-
gung lelaki
berkuncir. Lalu dia jatuhkan kepa-
lanya ke bahu
lelaki berkuncir yang air mukanya
tampak keruh.
"Kau
kenapa. Sin Mei?" tanya si lelaki, kali
ini terdengar
penuh perhatian.
Si gadis mengangkat
kepalanya. Lelaki ber-
kuncir
menatap dengan sinar mata penuh kasih.
Perlahan
tangannya membelai rambut si gadis
yang tergerai
indah.
Karena yang
ditanya tak segera menjawab,
lelaki
berkuncir menyambung ucapannya, "Hari
sudah larut
malam. Tidurlah, Sin Mei...."
Lelaki
berkuncir bangkit dari pembaringan
yang
didudukinya.
"Ayah...,"
cegah si gadis.
Mata lelaki
berkuncir menatap sekilas. La-
lu, dia
jatuhkan pantatnya di kursi yang terletak
di dekat meja
kecil.
"Tidurlah,
Sin Mei...," pintanya, setengah
memerintah.
"Kalau
Ayah tidak tidur, aku juga tak akan
tidur,"
tolak si gadis.
"Kau
harus tidur, Sin Mei. Besok kau ha-
rus bangun
pagi-pagi. Tak baik anak gadis ban-
gun
kesiangan."
"Tapi,
bagaimana mungkin aku dapat tidur
kalau Ayah
terus memicingkan mata dengan wa-
jah yang
begitu kusut?"
Mulut lelaki
berkuncir terkunci. Diam da-
lam
keheningan. Hatinya tak enak, terbawa kega-
lauan
pikiran.
"Arca
Budha dan Pedang Burung Hong su-
dah Ayah
dapatkan. Apa lagi yang Ayah pikirkan?
Kita sedang
dalam perjalanan menuju tanah ke-
lahiran kita,
Ayah. Tak akan lama lagi kita akan
menginjakkan
kaki di tanah Tionggoan. Itu berar-
ti, Ayah akan
segera bisa menyampaikan Arca
Budha dan
Pedang Burung Hong kepada guru
Ayah, Sing
Eng Tan Hwe Liok," ujar si gadis, se-
perti dapat
menebak isi hati lelaki berkuncir.
"Tidurlah,
Sin Mei. Jangan pedulikan aku."
Mendengar
ucapan dingin lelaki berkuncir,
wajah si
gadis kontan mengelam. Dengan alis ber-
taut,
ditatapnya lelaki berpakaian merah hijau
itu.
"Wajah
Ayah tampak kusut sekali. Dan, si-
nar mata Ayah
pun kelihatan redup. Sepertinya
Ayah tengah
memikirkan sesuatu yang berat,"
ujar si
gadis, lembut. "Soal tugas dari Kaisar
Hiang Tjong
sudah terselesaikan. Bukankah pen-
gacau istana
yang bergelar Hantu Merah itu telah
mati di
tangan Suropati? Arca Budha dan Pedang
Burung Hong
telah Ayah dapatkan pula. Jadi,
sama sekali
tak ada alasan bagi Ayah untuk ber-
muram
durja."
Lelaki
berkuncir mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum
hambar yang menyungging di bi-
birnya.
Tatapannya tetap kosong tiada arti apa-
apa.
"Maaf,
Ayah...," lanjut si gadis, lirih. "Apa-
kah lengan
kiri Ayah yang cacat... membuat Ayah
begitu
berduka?"
Kepala lelaki
berkuncir menggeleng.
"Lalu,
apa yang Ayah pikirkan?"
"Ah,
sudahlah. Tidurlah kau. Sin Mei...."
Usai berkata,
lelaki berkuncir bangkit dari
duduknya.
Kakinya melangkah tiga tindak. Ter-
dengar suara
berderit tatkala pintu kamar dibu-
ka. Hawa
dingin malam menyerbu masuk.
Suasana di
luar tetap sunyi sepi. Hanya
debur ombak
yang menyapa gendang telinga. Ta-
hu tak ada
orang yang berada di dekat kamarnya,
lelaki
berkuncir menutup kembali daun pintu.
Kakinya
melangkah tiga tindak lagi. Setelah
menghela
napas panjang, diambilnya buntalan
kain hitam
yang tergeletak di bawah meja.
"Apa
yang akan Ayah lakukan?" tanya ga-
dis cantik
yang masih duduk di tepi pembaringan.
Lelaki
berkuncir tak menjawab. Tangannya
sibuk membuka
buntalan yang baru saja diam-
bilnya.
Cahaya kuning gemerlapan memancar ke-
tika kain
buntalan telah terbuka.
Dengan mata
menyipit, lelaki berkuncir
menatap arca
sang Budha sebesar anak kucing
yang
diletakkan di meja. Arca itu memancarkan
sinar kuning
keemasan karena terbuat dari emas
murni. Dan,
sebatang pedang bengkok bersarung
hitam
tergeletak di dekatnya.
"Arca
Budha.... Pedang Burung Hong...,"
desis lelaki
berkuncir.
Usai menatap
beberapa lama, lelaki yang
tangan
kirinya menggantung lemah itu melipat
lagi
bungkusan kain hitam. Lalu, kedua benda
pusaka itu
dia letakkan kembali ke tempatnya
semula.
"Tidurlah,
Sin Mei. Kau sudah menjadi seo-
rang gadis
yang menginjak dewasa. Tak pada
tempatnya
bila aku tidur sekamar denganmu, wa-
lau aku ini
ayahmu."
Lelaki
berkuncir hendak keluar kamar.
Namun baru
saja tangannya menyentuh pegan-
gan pintu, si
gadis mencegahnya.
"Kalau
Ayah tak berada di kamar ini, siapa
yang akan
menjaga Arca Budha dan Pedang Bu-
rung
Hong?"
"Tak
perlu khawatir. Tidurlah dengan te-
nang. Aku ke
buritan. Kalau ada orang masuk ke
kamar ini,
aku pasti tahu."
Di ujung
kalimatnya, lelaki berkuncir
membuka daun
pintu. Cepat ditutupnya lagi daun
pintu itu
agar angin dingin tak sempat menyerbu
masuk ke
kamar. Lalu, kakinya melangkah pelan
menuju ke
buritan. Ditatapnya langit hitam ke-
lam. Bintang
berkerlip, masih setia menemani
rembulan
mengikuti irama putaran sang waktu.
Siapakah
lelaki berkebangsaan Cina itu?
Dia tak lain
si Pendekar Sesat, Shia Hiap Kwe Kok
Jiang. Sedang
gadis yang baru saja bercakap-
cakap
dengannya adalah Kwe Sin Mei, putri kan-
dungnya.
Dengan
menumpang sebuah kapal dagang
milik seorang
saudagar dari Kota Ngadiluwih, Kwe
Kok Jiang dan
Kwe Sin Mei hendak kembali ke
negeri
leluhurnya. Kedua anak manusia itu telah
menyelesaikan
urusan masing-masing di tanah
Jawa.
Berkat
bantuan Suropati beserta Ingkan-
putri dan
Gisa Mintarsa, Kwe Kok Jiang berhasil
mendapatkan
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong atau
Hong Po Kiam. Selain memiliki tuah
dan kesaktian
luar biasa, kedua benda itu juga
memiliki
sebuah rahasia besar. Namun sampai
saat ini, Kwe
Kok Djiang tiada tahu rahasia apa
itu.
Sementara,
urusan Kwe Sin Mei di tanah
Jawa pun
dapat terselesaikan pula berkat ban-
tuan si
Pengemis Binal Suropati. Dengan mem-
bawa Houw
Tauw Kimpay atau Lencana berkepala
Harimau
pemberian Kaisar Hian Tjong, Kwe Sin
Mei mendapat
kuasa untuk menangkap dan
menghukum Ang
Mokko atau Hantu Merah, seo-
rang tokoh
jahat dan kejam yang melarikan diri
dari penjara
istana.
(Untuk lebih
jelasnya, silakan baca Serial
Pengemis
Binal dalam episode: "Hantu Merah").
* * *
Ketika Kwe
Kok Jiang berdiri tercenung di
buritan, Kwe Sin Mei membanting tubuhnya di
pembaringan.
Ditatapnya seekor cicak yang me-
rayap di
langit-langit kamar. Ditatapnya seekor
laba-laba
yang bersarang di pojok kamar. Pan-
dangan Kwe
Sin Mei berubah nanar tatkala meli-
hat seekor
nyamuk terbang ketakutan ketika mu-
lut cicak di
langit-langit terbuka lebar dan siap
mencaploknya.
Naasnya, sang nyamuk justru ter-
perangkap di
sarang laba-laba. Sia-sialah dia me-
ronta untuk
melepaskan diri karena sang laba-
laba telah
memangsanya!
Kwe Sin Mei
mendesah. Apakah nasib
nyamuk naas
itu juga akan dialami oleh orang-
orang yang
berkecimpung di rimba persilatan? Lo-
los dari
bahaya yang satu, lalu masuk ke perang-
kap berbahaya
yang lainnya?
"Suro
Toako...," desis Kwe Sin Mei.
Mendadak,
benaknya dipenuhi bayangan
Suropati. Di
manakah pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti itu kini? Apa yang sedang
dia lakukan?
Apakah sedang menolong orang,
dan tak
segan-segan untuk mempertaruhkan
nyawanya?
Sadarkah dia bila semakin banyak to-
koh jahat
yang ditaklukkannya, semakin banyak
pula tokoh
jahat yang mendendam kepadanya?
Bukankah itu
berarti mara bahaya selalu mengin-
tai jiwanya?
"Ah...,"
desah Kwe Sin Mei. "Kenapa aku
harus
memikirkan pemuda konyol itu? Membela
kaum lemah
dan menindas yang jahat adalah ke-
wajiban
seorang pendekar. Mati di jalan kebena-
ran adalah
impian pendekar sejati. Tak seharus-
nya bila aku
mengkhawatirkan keselamatan Su-
ropati. Walau
masih muda, bukankah dia memili-
ki kesaktian
luar biasa? Tapi, kenapa hatiku jadi
tak enak?
Apakah hatiku telah tercuri olehnya?"
Terbawa
pikiran di benaknya, udara dalam
kamar terasa
panas. Butir-butir peluh mulai
menghiasi
kening Kwe Sin Mei. Perlahan dia
bangkit, lalu
duduk di tepi pembaringan. Dige-
leng-gelengkan
kepalanya, berusaha menghalau
pikiran yang
tak mengenakkan hati.
"Karena
aku tak mungkin tinggal di tanah
Jawa, aku
harus melupakan Suropati. Budi baik-
nya akan kubawa
sampai mati. Semoga Tuhan se-
lalu
melindunginya," kata hati Kwe Sin Mei, men-
gucap doa.
"Setelah Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong
diserahkan kepada Sin Eng Tan Hwe
Liok, aku
akan mengajak Ayah kembali ke Pulau
Tho Lioe Tho.
Aku akan bujuk Ayah untuk me-
ninggalkan
urusan rimba persilatan. Aku ingin
hidup tenang.
Aku benar-benar telah merasa nge-
ri melihat
manusia saling bunuh, darah tumpah
dan nyawa
melayang tiada arti. Bukankah yang
dicari orang
dalam hidup ini adalah kebahagiaan?
Dengan hidup
tenang dan damai, jauh dari perti-
kaian manusia
yang saling mengumbar nafsu,
kebahagiaan
pasti akan datang menghampiri...."
Selagi Kwe
Sin Mei menyusun rencana da-
lam hidupnya,
tiba-tiba terdengar benda jatuh
membentur
geladak kapal. Walau pelan tapi telin-
ga Kwe Sin
Mei masih dapat mendengarnya. Te-
ringat akan
dua benda pusaka yang disimpan
ayahnya,
gadis itu jadi curiga. Jangan-jangan ada
orang jahat
yang sedang mengintai.
"Ayah...,"
sebut Kwe Sin Mei.
Tak ada
sahutan. Kecurigaan di hati Kwe
Sin Mei
semakin membesar. Dengan kening ber-
kerut rapat,
dia pertajam pendengarannya.
"Bila
Ayah yang menimbulkan suara itu,
dia pasti
menjawab panggilanku...," pikir gadis
cantik itu.
Bola matanya
kontan membesar, keterkeju-
tan
menghantam. Suara berderak lebih keras ter-
dengar di
luar. Serta merta Kwe Sin Mei meloncat,
dan secepat
kilat dibukanya daun pintu!
Angin dingin
malam kontan menampar wa-
jahnya.
Namun, dia tak peduli. Diedarkannya
pandangan di
antara keremangan cahaya rembu-
lan.
"Hanya
orang jahat yang biasa bertindak
dengan
sembunyi-sembunyi...," sindir Kwe Sin
Mei.
Ditunggunya
beberapa tarikan napas, tapi
tak ada orang
yang menampakkan diri. Bahkan,
suara sahutan
pun tiada terdengar. Namun tiba-
tiba....
Brak...!
"Hoing...!"
Bagai
disambar petir, Kwe Sin Mei terkejut
luar biasa.
Tanpa sadar dia meloncat jauh ke
luar. Jalan
napasnya terasa buntu beberapa saat.
"Bedebah!"
umpat Kwe Sin Mei kemudian.
Gerutuan yang
tak berujung pangkal pun
turut keluar
dari mulut gadis bertubuh ramping
itu. Tumpukan
balok kayu yang berada di sisi ka-
nan pintu
kamarnya menggelinding sebatang.
Dan, terlihat
seekor kucing dekil tengah berlari
ketakutan
dikejar anjing geladak bertubuh kurus
kering.
Kwe Sin Mei
menghela napas panjang be-
berapa kali.
Kecurigaannya sama sekali tak bera-
lasan. Tak
seorang pun manusia yang tampak,
kecuali
ayahnya yang menatapnya dari buritan.
Bergegas Kwe
Sin Mei menutup daun pin-
tu. Lalu, dia
lesatkan tubuhnya mendekat Kwe
Kok Djiang
yang berdiri tegak sekitar enam tom-
bak dari
kamarnya.
"Ada
apa, Sin Mei?" tanya Kwe Kok Jiang
dengan alis
bertaut.
Kwe Sin Mei
tak menjawab. Dibalasnya ta-
tapan Kwe Kok
Jiang.
"Kau
terkejut mendengar balok kayu ja-
tuh?"
tanya Kwe Kok Jiang lagi. Agaknya lelaki ini
juga
mendengar suara yang dicurigai putrinya.
Kepala Kwe
Sin Mei mengangguk lemah.
"Itu
hanya ulah anjing dati kucing yang ba-
ru saja kau
lihat tadi," jelas Kwe Kok Jiang. "Se-
karang,
kembalilah ke kamarmu. Tidurlah...."
"Lalu,
Ayah tidur di mana?" tanya Kwe Sin
Mei.
"Ayah
seorang lelaki. Tidur di mana pun ti-
dak ada
jeleknya."
Kwe Sin Mei
tidak menyahuti ucapan
ayahnya.
Matanya menatap lekat wajah lelaki
yang tampak
keruh itu.
"Ayah
memikirkan apa?"
"Ayah
tidak memikirkan apa-apa."
"Lalu,
apa yang Ayah lakukan di sini?" ce-
car Kwe Sin
Mei.
"Ayah
ingin menyendiri, Sin Mei. Udara
malam ini
cukup segar. Rembulan pun elok kuli-
hat. Aku
ingin menikmatinya...," kilah Kwe Kok
Jiang.
"Tahukah
Ayah bila udara malam tidak
baik bagi
kesehatan. Ayah sudah tua. Sebaiknya
tidur di
kamar saja...."
"Sin
Mei...!" bentak Kwe Kok Jiang tiba-
tiba.
Mengelam
paras Kwe Sin Mei seketika.
Seumur hidup
ayahnya tidak pernah membentak
sekeras itu.
Tapi, bagaimana mungkin sekarang
dia melakukannya?
"Aku
bukan anak kecil, Sin Mei. Akulah
yang mengukir
jiwa ragamu. Kau tak perlu mem-
beri nasihat!
Aku tahu apa yang harus kulaku-
kan!"
Mendengar
kata-kata keras ayahnya, se-
makin
mengelam paras Kwe Sin Mei. Hatinya te-
rasa perih.
"Bukan
sekali-sekali aku hendak berani
terhadapmu.
Ayah. Bukan maksudku pula untuk
menasihati
Ayah. Aku tahu Ayah lebih pandai dan
lebih matang
pengalaman. Tapi, aku mengkhawa-
tirkan
keadaan Ayah. Aku tak ingin terjadi apa-
apa pada diri
Ayah...," ujar Kwe Sin Mei, berkaca-
kaca.
"Sin
Mei...," desis Kwe Kok Jiang penuh ha-
ru.
Perlahan
lelaki bergelar Pendekar Sesat itu
merengkuh
bahu Kwe Sin Mei, lalu dipeluknya
erat. Dan,
Kwe Sin Mei menumpahkan tangisnya.
"Sudahlah,
Sin Mei. Ayah memang salah.
Tapi, kau
jangan menangis...," hibur Kwe Kok
Jiang.
"Aku tak
mengerti, kenapa Ayah tampak
begitu
berduka. Bukankah Arca Budha dan Pe-
dang Burung
Hong telah Ayah dapatkan?" ujar
Kwe Sin Mei
di antara isakan tangis.
"Aku
tidak apa-apa, Sin Mei...," sahut Kwe
Kok Jiang,
seperti menyembunyikan isi hatinya.
Kwe Sin Mei
menatap haru. Lalu, dia be-
namkan
wajahnya di dada orang yang sangat di-
cintainya
itu. Entah kenapa, walau telinganya da-
pat menangkap
detak jantung ayahnya, tapi jiwa
lelaki
berkuncir itu terasa begitu jauh. Shia Hiap
Kwe Kok Jiang
seakan bukan lagi orang yang pal-
ing dekat
dengannya.
"Tidurlah,
Sin Mei...," bisik Kwe Kok Jiang.
"Tidak,
Ayah. Malam ini aku ingin berdeka-
tan dengan
Ayah...," tolak Kwe Sin Mei.
Kwe Kok Jiang
terdiam. Ditatapnya gugu-
san bintang
di langit Mendadak, rasa tak enak di
hatinya
semakin menyeruak, hingga terasa ada
sesuatu yang
menghalangi jalan napasnya.
"Sin
Mei...," sebut Kwe Kok Jiang kemu-
dian. Tangan
kanannya membelai rambut putri
tunggalnya itu.
Perlahan Kwe
Sin Mei mengangkat wajah.
"Ayah...,"
desisnya.
Untuk
beberapa lama, ayah dan anak itu
saling tatap.
Sewaktu Kwe Sin Mei hendak mem-
benamkan lagi
wajahnya ke dada Kwe Kok Jiang,
mendadak
angin laut yang berhembus terhenti.
Lalu,
beberapa tarikan napas kemudian angin
dingin
mendesir. Terasa aneh dan mendirikan bu-
lu roma....
"Ayah...,"
sebut Kwe Sin Mei, takut-takut
"Tenanglah,
Sin Mei..," ujar Kwe Kok Jiang
seraya
menajamkan pendengaran. Namun, tidak
ada sesuatu
yang patut dicurigai.
"Angin
ini berhembus sangat aneh,
Ayah...."
"Aku
juga merasakannya."
Di ujung
kalimatnya, Kwe Kok Jiang men-
gedarkan
pandangan. Tidak ada orang lain di ge-
ladak kapal,
kecuali dirinya dan Kwe Sin Mei.
Hanya suara
juru mudi terdengar lamat-lamat
mendendangkan
tembang, tapi nadanya mencera-
cau tak
karuan seperti orang mabuk.
"Kembalilah
ke kamarmu, Sin Mei," perin-
tah Kwe Kok
Jiang kemudian. "Jaga Arca Budha
dan Pedang
Burung Hong!"
Kwe Sin Mei
menatap wajah ayahnya seje-
nak. Dia
melihat ketegangan yang tergambar di
wajah ayahnya
itu; Namun teringat akan jerih
payah ayahnya
untuk mendapatkan Arca Budha
dan Pedang
Burung Hong, bergegas Kwe Sin Mei
mengangkat
langkah. Tak satu pun orang boleh
mengusik
kedua benda pusaka itu. Apalagi hen-
dak mencuri
atau merampasnya. Tapi baru dapat
tiga tindak,
langkah Kwe Sin Mei berhenti men-
dadak. Bulu
kuduknya meremang. Suasana ma-
lam berubah
sangat menakutkan.
Di antara
debur ombak yang memecah di
kanan kiri
lambung kapal, lamat-lamat terdengar
suara
gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut
dengan suara dengungan seperti ada ri-
buan lebah
tengah terbang mendekat.
Kwe Kok Jiang
dan putrinya memutar tu-
buh.
Dicarinya asal suara yang terdengar. Namun
tak ada yang
dapat mereka lihat kecuali bilah-
bilah papan
dan tonggak-tonggak tiang layar. Se-
mentara,
langit tetap hitam kelam dan bintang-
bintang masih
pula mengedipi sang candra.
Gemerincing
lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut
dengan suara dengungan itu terdengar
makin keras.
Dari mana suara itu berasal, Kwe
Kok Jiang dan
Kwe Sin Mei tiada tahu.
"Aku
curiga ada kekuatan gaib hendak me-
nyerbu
kemari...," duga Kwe Kok Jiang dalam ha-
ti. "Apa
pun yang terjadi, aku harus menyela-
matkan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong.
Kedua benda
pusaka itu tak boleh jatuh ke tan-
gan orang
jahat!"
Mengikuti
jalan pikirannya, Kwe Kok Jiang
melompat,
menuju kamar tempat Arca Budha dan
Pedang Burung
Hong tersimpan. Namun tiba ti-
ba....
Slash...!
Wusss...!
Dari batas pandang
nan gelap, melesat se-
berkas cahaya
hijau gemerlap yang berbaur den-
gan
percikan-percikan lidah cahaya berwarna me-
rah darah.
Lesatan cahaya menggidikkan itu me-
nuju geladak
kapal!
Sekejap mata
kemudian, di geladak kapal
muncul
bulatan cahaya yang membentuk garis
lurus dengan
langit. Bulatan cahaya itu berpen-
dar amat
kuat, dan menyilaukan pandangan ma-
ta!
"Ya,
Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang yang
mengurungkan
niatnya memasuki kamar.
"Ayah...!"
pekik Kwe Sin Mei seraya melon-
cat ke sisi kanan
Kwe Kok Jiang. Wajahnya mem-
perlihatkan
rasa takut.
Slaps...!
Psss...!
Diiringi
suara seperti bara api tersiram air,
mendadak
garis cahaya bulat di geladak kapal le-
nyap. Sebagai
gantinya, di tempat itu muncul se-
sosok bocah
perempuan berambut awut-awutan.
Sekujur
tubuhnya, termasuk wajah dan kepa-
lanya
diselubungi asap putih!
"Ya,
Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang dan
putrinya,
bersamaan. Mata kedua anak manusia
ini kontan
terbelalak lebar karena dihantam ke-
terkejutan
yang luar biasa hebat. Hingga sampai
beberapa lama
mereka tiada dapat berbuat apa-
apa, kecuali
berdiri terpaku dengan mulut tern-
ganga.
"Hi hi
hi...!"
Bocah
perempuan yang tiba-tiba muncul
memperdengarkan
suara tawa menyeramkan. Se-
dikit demi
sedikit, asap putih yang menyelubungi
tubuhnya
membubung terbawa hembusan angin.
Saat asap
putih itu telah lenyap, dapat dilihat
bahwa si
bocah mengenakan pakaian sederhana
berwarna
putih bergaris coklat. Di kepalanya me-
nancap sebuah
tusuk konde emas berhiaskan
permata.
Sorot matanya tajam menusuk. Bila di-
taksir,
umurnya sekitar lima belas tahun. Semen-
tara bila
dilihat dari garis-garis wajahnya, dia tak
lain
Prahesti! Murid Garang Wanara dan Gajah
Angon yang
berdiam di puncak Bukit Palastra!
"Siapa
kau?!" bentak Kwe Kok Jiang, men-
guatkan
hatinya.
"Hi hi
hi...! Siapa aku? Hi hi hi....?" si bo-
cah
mengeluarkan tawa lebih menyeramkan.
Pandangan
matanya yang tajam menakutkan
seakan mampu
merontokkan jantung orang ber-
nyali kecil.
Sementara,
Kwe Sin Mei tampak memegang
erat lengan
ayahnya. Rasa ngeri di hatinya sema-
kin
bertambah. Namun, matanya tak pernah le-
pas menatap
tusuk konde emas yang menancap
di kepala si
bocah. Kwe Sin Mei pun tak habis
mengerti,
bagaimana mungkin ada manusia tak
mati bila
kepalanya ditusuk sebuah benda yang
bisa tembus
sampai ke otaknya?
"Siapa
kau?" bentak Kwe Kok Jiang. Ben-
takan dari
Kwe Kok Jiang yang kedua itu disertai
dengan sinar
mata penuh selidik. Rasa takut di
hatinya
kontan lenyap, berganti kecurigaan. Ke-
mungkinan
besar si bocah yang datang secara
gaib
berkeinginan merebut Arca Budha dan Pe-
dang Burung
Hong. Berpikir demikian, segera
Kwe Kok Jiang
menepis jemari tangan Kwe Sin
Mei yang
memegangi lengan kanannya. Lalu, ce-
pat dia hunus
pedang yang terselip di punggung-
nya.
"Hi hi
hi...!" si bocah tertawa lagi. "Kau
menghunus
pedang, berarti kau ingin melihat da-
rah. Hi hi
hi...! Bagaimana kalau darah yang ingin
kau lihat itu
adalah darahmu sendiri?"
Kwe Kok Jiang
mengacungkan pedangnya.
Sementara,
tangan kirinya terlihat menggantung
lemah. Tangan
kirinya itu memang sudah tak da-
pat
digerakkan lagi karena pernah terbabat putus
oleh
ketajaman Pedang Burung Hong. (Baca serial
Pengemis
Binal dalam episode: "Rahasia Arca
Budha").
"Katakan
siapa kau?! Dan, apa maksudmu
datang
kemari?!" bentak Kwe Kok Jiang, menahan
geram
kemarahan.
"Hi hi
hi...! Siapa aku? Hi hi hi...! Tua
bangka tak
berguna, buka telingamu baik-baik,
aku Prahesti.
Aku datang untuk mengambil Arca
Budha dan
Pedang Burung Hong!"
Kwe Kok Jiang
mendengus gusar. "Tak ada
orang lain
yang bisa memiliki kedua benda pusa-
ka itu.
Termasuk, iblis laknat macam kau!" ser-
gapnya,
menyimpan keterkejutan.
"Hmmm....
Rupanya kau benar-benar ingin
mati, Pak
Tua. Apakah kau tega meninggalkan
putrimu
menjadi anak yatim piatu?"
"Tak
usah banyak bacot! Pergi kau!"
"Hi hi
hi...! Aku memang akan pergi, tapi
setelah kau
menyerahkan Arca Budha dan Pe-
dang Burung
Hong!"
"Kalau
begitu terimalah ini!"
Dibarengi
bentakan keras, tubuh Kwe Kok
Jiang melesat
eepat. Pedang di tangannya berke-
lebat,
membersitkan sinar putih berkeredepan.
Namun, si
bocah yang memang Prahesti adanya
sama sekali
tak menggerakkan tubuhnya. Hingga
akibatnya....
Prang...!
"Hah?!"
Bilah pedang
Kwe Kok Jiang tepat menge-
nai leher
Prahesti. Namun, tiada darah yang me-
mercik. Leher
Prahesti tetap utuh tanpa tergores
sedikit pun,
padahal Kwe Kok Jiang telah mene-
basnya dengan
mengerahkan seluruh tenaga!
Kwe Kok Jiang
terkejut bukan saja karena
Prahesti tak
mempan senjata tajam, tapi juga ka-
rena bilah
pedangnya yang tiba-tiba patah menja-
di dua
bagian!
"Hi hi
hi...! Kukatakan sekali lagi, serahkan
Arca Budha
dan Pedang Burung Hong! Kalau ti-
dak, kau
benar-benar akan melihat darahmu
sendiri!"
Kwe Kok Jiang
menggeram marah menden-
gar ancaman
itu. Dia kepal jemari tangan kanan-
nya kuat-kuat
walau masih terasa kesemutan.
"Kita
hadapi dia bersama-sama, Ayah," ce-
tus Kwe Sin
Mei seraya melompat ke dekat ayah-
nya.
Namun,
penyesalan timbul dalam diri Kwe
Sin Mei.
Pedangnya dia tinggal di dalam kamar.
Mau
mengambilnya dulu? Jelas tak mungkin. Ta-
pi, mampukah
dia bersama ayahnya menghadapi
si bocah aneh
dengan tangan kosong?
"Masuklah
ke kamarmu. Sin Mei," bisik
Kwe Kok Jiang
dengan ilmu memindahkan suara.
"Aku
akan menghadapi iblis itu seorang diri. Bila
terjadi
apa-apa denganku, terserah apa yang akan
kau lakukan,
asal Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong
dapat diselamatkan."
"Tidak,
Ayah!" tolak Kwe Sin Mei, tegas.
"Kita
hadapi dia bersama-sama. Ayah tidak boleh
lagi
meninggalkan aku seorang diri! Kalau mati,
kita akan
mati bersama!"
"Bodoh!"
sentak Kwe Kok Jiang, menahan
marah.
"Nyawaku tidak jadi soal. Yang penting
Arca Budha
dan Pedang Burung Hong tidak jatuh
ke tangan
orang jahat. Oleh karena itu, kau harus
tetap
hidup!"
"Tidak!
Kita akan hadapi iblis itu bersama-
sama.
Ayah!"
Mendengus
gusar Kwe Kok Jiang melihat
kenekatan
putrinya. Namun sebelum dia sempat
berbuat
sesuatu, terdengar tawa menyeramkan
dari mulut
Prahesti.
"Hi hi
hi...! Sudah habis waktumu untuk
berunding,
Pak Tua! Sekarang, kau harus menye-
rahkan kedua
benda yang kuinginkan. Kalau kau
tidak rela,
aku bisa mengambilnya sendiri!"
Di ujung
kalimatnya, Prahesti memaling-
kan mukanya,
menghadap kamar Kwe Sin Mei
tempat Arca
Budha dan Pedang Burung Hong ter-
simpan.
Sambil mendengus pendek, Prahesti lalu
mengangkat
kedua tangannya!
Slaps...!
Wusss...!
Mendadak,
dari kedua telapak tangan Pra-
hesti muncul
dua larik sinar kuning tipis. Sinar
yang hampir
tak terlihat itu menerpa dinding ka-
mar Kwe Sin
Mei. Lalu disertai suara mendesis,
dinding kamar
yang terbuat dari bilah-bilah pa-
pan jati itu
jebol. Kemudian, sebuah bungkusan
kain hitam ter-sedot
keluar!
"Keparat!"
geram Kwe Kok Jiang. Darah le-
laki itu
kontan mendidih naik sampai ke ubun-
ubun, karena
dia tahu bila bungkusan hitam
yang tersedot
sinar kuning tipis adalah Arca Bud-
ha dan Pedang
Burung Hong.
Maka sebelum
kedua benda pusaka itu
terpegang
oleh Prahesti, cepat Kwe Kok Jiang
mengibaskan
telapak tangan kanannya yang ber-
warna kuning.
Gelombang angin pukulan berha-
wa panas
menyerbu ke arah Prahesti. Jangan di-
kira angin
pukulan itu tidak berbahaya. Jangan-
kan tubuh manusia,
batu sebesar gajah pun akan
hancur luluh
menjadi serbuk halus berwarna
kuning bila
tertimpa. Namun anehnya, seperti ti-
dak tahu
dirinya dalam bahaya, Prahesti tertawa
cekikikan
dengan mata berbinar-binar menatap
bungkusan
hitam yang tersedot oleh kedua tela-
pak
tangannya. Hingga....
Slaps...!
Psss...!
Begitu gelombang angin panas menerpa,
tubuh
Prahesti kontan terbungkus sinar kuning.
Namun betapa
terkejutnya Kwe Kok Jiang. Sinar
kuning yang
berasal dari ilmu pukulannya yang
terdahsyat
terhisap masuk ke tubuh Prahesti.
Sementara,
mulut Prahesti terus mengeluarkan
tawa
cekikikan. Apalagi setelah bungkusan hitam
telah
tercengkeram jari-jari tangannya.
"Hi hi
hi...! Kini Arca Budha dan Pedang
Burung Hong
telah kudapatkan. Terima kasih,
Pak Tua. Aku
harus segera pergi..."
Ucapan
Prahesti disahuti gemerincing lon-
ceng kereta
kuda yang saling sahut dengan suara
dengungan.
Kwe Kok Jiang dan Kwe Sin Mei ter-
kesiap. Suara
aneh itu persis seperti yang terden-
gar sebelum
melihat kehadiran bocah perempuan
yang telah
merebut Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong.
Otak Kwe Kok
Jiang bekerja cepat ketika
melihat dari
batas pandang nan gelap di langit
melesat
bulatan cahaya hijau, yang kemudian
membungkus
tubuh Prahesti. Maka tanpa pikir
panjang lagi,
Kwe Kok Jiang mengerahkan selu-
ruh kekuatan
tenaga dalamnya untuk melancar-
kan pukulan
jarak jauh!
"Hendak
pergi ke mana kau, Jahanam!"
hardik Kwe
Kok Jiang, membarengi selarik sinar
putih
berkilat yang meluncur dari telapak tangan
kanannya!
Wusss...!
Blarrr...!
Timbul
ledakan dahsyat tatkala selarik si-
nar putih
berkilat membentur sinar hijau yang
menyelubungi
tubuh Prahesti. Dan tanpa disadari
oleh Kwe Kok
Jiang, dari pusat ledakan itu mele-
sat setitik
sinar kecil berwarna merah darah!
Set...!
"Argh...!"
Bersamaan
dengan lenyapnya sosok Pra-
hesti dari
pandangan, Kwe Kok Jiang menjerit ke-
sakitan.
Tubuhnya terbanting ke geladak dengan
luka
berlubang di dada!
"Ayah...!"
jerit Kwe Sin Mei.
Seperti
kehilangan ingatan, gadis cantik itu
mengguncang-guncangkan
tubuh Kwe Kok Djiang
yang terkulai
lemah tiada daya. Tangisnya keras
menggerung
mengiringi air matanya yang menga-
nak sungai.
Anehnya,
walau akibat pertempuran tadi,
menimbulkan
ledakan keras yang menggelegar di
angkasa, tapi
tak satu pun awak kapal yang
muncul dari
dalam kamarnya. Sementara, tubuh
juru mudi pun
tergolek pingsan! Mereka memang
telah
ter-kena ilmu gaib yang diterapkan oleh
Prahesti!
Perlahan namun
pasti, laju kapal berbelok
arah. Bukan
tanah Tiongkok yang dituju, melain-
kan kembali
ke tanah Jawa.....
3
Remaja tampan
berpakaian penuh tamba-
lan ini
mengarahkan pandangan ke Bukit Pala-
stra. Di
antara warna hijau daun yang menyeli-
muti,
terlihat titik-titik merah jingga yang menye-
bar rata.
Indah menyejukkan pandangan mata.
"Bunga....
Titik-titik merah jingga itu pasti
bunga...,"
gumam si remaja. "Kalau aku tahu Bu-
kit Palastra
banyak ditumbuhi bunga indah, pasti
dari
dulu-dulu aku sudah mendatanginya."
Setelah
menggaruk kepalanya yang tak
gatal, remaja
tampan ini membetulkan letak
tongkat butut
yang terselip di ikat pinggangnya.
Tak bosan dia
pandangi terus keindahan Bukit
Palastra.
"Bunga...,"
gumamnya lagi. "Kalau melihat
bunga, aku
selalu ingat gadis-gadis cantik yang
menjadi
sahabatku. Dewi Ikata..., Ingkanputri...,
Puspita...,
Yaniswara..., Intan Melati..., Anggraini
Sulistya...,
Kusuma..., Kwe Sin Mei...."
Remaja tampan
yang rambutnya dibiarkan
tergerai
panjang di punggung ini menggaruk ke-
palanya lagi.
Mendadak, dia nyengir kuda seraya
tertawa
terkekeh.
"He he
he..., Dewi Ikata.... He he he.... Ma-
sihkah putri
Adipati Danubraja itu mencintaiku
setelah
mengetahui bila diriku punya sifat mata
bongsang? He
he he...."
Setelah puas
tertawa, remaja yang tam-
paknya suka
berperilaku konyol ini melanjutkan
gumamannya.
"Ingkanputri.... Huh! Kenapa mu-
rid Dewi
Tangan Api itu memilih pergi bersama
Gisa
Mintarsa? Padahal, Gisa Mintarsa hanyalah
bocah kecil
yang tak bisa diajak bermesra-
mesraan! He
he he...."
Walau
mulutnya tertawa, rasa kesal me-
nyembul di
hatinya. Sambil mendengus, dia me-
nendang
sekepal batu yang berada di hadapan-
nya. Batu itu
kontan melesat dan hilang entah ke
mana. Lalu sambil
garuk-garuk kepala, dia meng-
gumam lagi.
"Puspita....
Hmmm.... Aku tahu gadis ber-
gelar si
Pedang Perak itu jatuh hati kepadaku.
Tapi entah
kenapa, aku tak bisa menerimanya.
Mudah-mudahan
dia bisa menerima Kapi Anggara
yang
mencintainya dengan tulus. Mereka sama-
sama orang
kepercayaan Prabu Arya Dewantara.
Kukira,
mereka akan menjadi pasangan yang se-
rasi...."
Remaja yang
tak lain si Pengemis Binal Su-
ropati ini
mengarahkan pandangan ke atas. Lan-
git biru
berhias awan perak yang bergerak pelan
bagai
gumpalan kapas diterbangkan angin. Ke-
mudian,
pandangannya beralih kembali ke Bukit
Palastra.
Melihat
tebaran bunga nun jauh di sana,
tanpa sadar
kakinya melangkah.
"Yaniswara....
Putri Lodra Sawala itu telah
berada di
Kotapraja Saloka Medang. Mudah-
mudahan
perusahaan jasa pengiriman barang
Kencana Mega
dapat dia dirikan lagi, walau ayah-
nya telah
berpulang ke haribaan Tuhan...."
Sambil
menggumam dan berkata-kata da-
lam hati,
kaki Suropati terus melangkah menuju
Bukit
Palastra. Sementara, hembusan angin tera-
sa segar dan
menyejukkan di udara panas siang
hari.
"Intan
Melati tentu berbahagia karena telah
berjumpa
ayahnya. Semoga Tuhan selalu melin-
dungi
penghuni Pulau Karang itu," gumam Suro-
pati untuk
kesekian kalinya. "Anggraini Sutis-
tya.... Tak
salah bila dia menambatkan hatinya
kepada Raka
Maruta sebagai pendamping hidup-
nya. Aku tahu
betul sifat-sifat pemuda bergelar
Pendekar
Kipas Terbang itu. Semoga mereka ba-
hagia sampai
hayat menutup mata."
Terbawa
keinginannya untuk segera sam-
pai di Bukit
Palastra, Suropati mengempos tena-
ga.
Dikerahkannya ilmu berlari cepat. Namun, da-
lam hatinya
masih saja berkata-kata.
"Kusuma....
Gadis bergelar Putri Racun itu
tentu tengah
membuat rencana pernikahannya
dengan Saka Purdianta.
Hmmm.... Kekuatan cin-
ta terlalu
sulit untuk dijangkau akal pikiran ma-
nusia.
Kekuatan cinta mampu membuat orang
jahat
menemukan kesadarannya. Dan, itu terjadi
pada Saka
Purdianta. Pertama kukenal, pemuda
bergelar si
Dewa Guntur itu punya perilaku jahat
dan licik.
Tapi sekarang setelah dia kenal dengan
Kusuma, cinta
yang tumbuh di hatinya bisa me-
rubah tabiat
tak terpujinya...."
Tanpa terasa,
jarak ratusan tombak telah
dilalui.
Keringat yang membasahi tubuhnya sama
sekali tak
dipedulikan oleh pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis
Tongkat Sakti ini. Pengemis Binal
terus berlari
dan berlari. Hingga, tubuhnya berke-
lebat amat
cepat laksana dapat menghilang. Ka-
rena, dia
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan
tubuhnya.
Kelebatan tubuh
Pengemis Binal baru ter-
henti ketika
sampai di kaki bukit yang dituju. Di-
tatapnya
permukaan Bukit Palastra dengan mata
berbinar-binar.
Bibirnya menyungging senyum
senang. Tapi
mendadak, keningnya berkerut.
Tangan
kirinya terayun naik, lalu menggaruk-
garuk
kepalanya yang tak gatal.
"Kwe Sin
Mei...," desis remaja berpakaian
putih bersih
walau penuh tambalan ini. "Gadis
dari tanah
Tionggoan itu tentu suka bunga.
Sayang, dia
tiada lagi bersamaku. Bersama ayah-
nya, Kwe Kok
Jiang, dia tengah mengarungi lau-
tan untuk
kembali ke negeri leluhurnya. Itu lebih
baik,
daripada bersamaku yang gemblung dan
urakan ini.
He he he...."
Sambil
tertawa terkekeh, kaki Pengemis
Binal
melangkah, menaiki punggung Bukit Pala-
stra. Walau
pandangannya lurus ke depan, na-
mun beberapa
kali remaja konyol ini hampir me-
nabrak pohon.
Karena alam pikirannya tengah
melayang,
membayangkan beberapa kejadian
yang baru
saja dia jalani bersama Kwe Sin Mei.
"Cantik
sekali putri Kwe Kok Jiang itu...,"
kata hati
Suropati sambil tersenyum-senyum.
"Kedua
pipiku pernah diciumnya. Bibirnya yang
lembut dan
hangat masih terasa. Jantungku pun
masih terus
berdegup-degup tak karuan.
Sayang...,
sayang sekali dia harus pergi. Mudah-
mudahan dia
selamat sampai ke tempat tujuan.
Dan, Kwe Kok
Jiang pun dapat menyerahkan Ar-
ca Budha dan
Pedang Burung Hong kepada gu-
runya. Sin
Eng Tan Hwe Liok, tanpa kurang suatu
apa."
Karena
permukaan Bukit Palastra miring
rata, tak
terdapat jurang ataupun lembah yang
menghalangi
langkah, tanpa terasa Suropati telah
sampai di
puncaknya.
"Bunga...!
Bunga...!" seru Pengemis Binal,
kegirangan.
Seperti orang
gila, remaja konyol yang san-
gat suka pada
bunga ini berjingkrak-jingkrak.
Mendadak, dia
kibaskan telapak tangannya. Ter-
dengar suara
bersiut keras, yang disusul dengan
patahnya
tangkai-tangkai bunga merah jingga.
Bunga-bunga
beraroma harum segar itu lalu be-
terbangan ke
angkasa, dan menghujani tubuh
Pengemis
Binal yang tengah tertawa bergelak.
"Ha ha
ha...!" Bunga! Bunga! Aku mandi
bunga! Ha ha
ha...!"
Selagi
melonjak kegirangan, mendadak ma-
ta Pengemis
Binal melotot besar. Keterkejutan
menghantam
telak. Sekitar empat tombak dari
tempatnya
berdiri, terlihat sesosok tubuh terbar-
ing telentang
dalam keadaan kaku mengejang!
"Mayat...?!"
kejut Suropati.
Bergegas
remaja tampan ini meloncat
menghampiri.
Sambil menutup lubang hidung,
dia lihat
dengan seksama mayat yang hampir
membusuk itu.
"Siapa
dia?" tanya Suropati kepada diri
sendiri.
Matanya menatap tiada berkedip.
Mayat lelaki
empat puluh tahunan itu ter-
bungkus
pakaian penuh tambalan. Mengenakan
sepatu
jerami. Wajahnya halus, tanpa kumis atau
jenggot.
Namun tampak mengerikan karena bola
matanya
melotot besar seperti hendak keluar dari
rongganya.
Sementara, mulutnya ternganga lebar,
menggambarkan
ketakutan yang luar biasa.
Rambutnya
yang panjang terjuntai tak karuan di
permukaan
tanah.
Suropati
bergidik ngeri. Tanpa sadar dia
tersurut
mundur. Perut mayat lelaki yang dilihat-
nya telah
jebol, dan mulai digerayangi ulat dan
serangga
tanah lainnya!
"Aku tak
kenal siapa lelaki itu, tapi aku
dapat
memastikan bila dia menjadi korban pem-
bunuhan,"
gumam Pengemis Binal.
Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini
berjalan setindak setelah mengusir rasa
ngeri di
hatinya. Maksudnya untuk memeriksa
lebih teliti.
Tapi sebelum dia berbuat sesuatu, te-
linganya
menangkap suara rintihan orang yang
tengah
menderita kesakitan hebat.
"Hmmm....
Siapa pula orang itu? Mungkin-
kah dia
pembunuhnya, dan menderita luka parah
setelah
menghabisi lawannya?"
Mengikuti
suara hatinya, Pengemis Binal
meloncat
cepat, mencari asal suara rintihan yang
didengarnya.
Tak sampai lima tarikan napas, di-
dapatinya
sesosok tubuh lelaki berjubah hitam
tengah
tergeletak lemah di pelataran pondok
bambu yang
sudah hangus termakan api
"Uh...!
To... tolong aku...!" pinta lelaki ber-
jubah hitam,
memelas.
Lelaki tinggi
kurus itu terus merintih kesa-
kitan. Kain
jubahnya berlubang besar, menam-
pakkan kulit
dadanya yang hitam gosong seperti
habis
tertimpa pukulan berhawa panas.
"Kau
siapa, Pak Tua?" tanya Pengemis Bi-
nal sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aku...
aku Gajah Angon.... Ban... bantu
aku untuk
dapat duduk, Anak Muda...," sahut le-
laki berjubah
hitam yang memang Gajah Angon,
penghuni
puncak Bukit Palastra.
Pengemis
Binal tidak segera menuruti per-
mintaan
lelaki itu. Matanya memandang penuh
selidik.
"Aku
tadi melihat mayat lelaki berpakaian
penuh
tambalan. Apakah kau yang telah membu-
nuhnya?"
Mendengar
pertanyaan Pengemis Binal,
mata Gajah
Angon mendelik. Kepalanya hendak
digelengkan,
tapi tak dapat.
"Bukan!
Mayat itu kakak seperguruanku.
Dia... dia
Garang Wanara...."
Di ujung
kalimatnya yang terpatah-patah,
mata Gajah
Angon tampak berkaca-kaca. Lalu se-
butir air
bening menitik, membasahi pipinya yang
mulai
berkeriput.
"Jadi,
kau bukan pembunuhnya?" tanya
Pengemis
Binal lagi, ingin menegaskan.
"Bagaimana
mungkin aku membunuh
orang yang
sangat kucintai dan kuhormati...?"
Usai berkata,
butiran air bening menitik le-
bih banyak
dari sudut mata Gajah Angon. Mau
tak mau,
Suropati merasa iba. Tanpa pikir pan-
jang lagi,
diperiksanya keadaan Gajah Angon.
Sementara,
Gajah Angon sendiri cuma diam pa-
srah.
"Ya,
Tuhan...," sebut Pengemis Binal, lirih.
Remaja tampan
yang sudah cukup matang penga-
laman ini
memandang wajah Gajah Angon penuh
rasa kasihan.
Sementara, air mata Gajah Angon
terus
menitik. Agaknya, dia tengah mengalami
guncangan
jiwa yang hebat.
"Sungguh
malang nasibmu, Pak Tua...," ka-
ta Suropati
dalam hati. "Kau menderita siksaan
yang hebat.
Kau telah terkena pukulan yang
membuat
tangan dan kakimu lumpuh. Dan bekas
pukulan di
dadamu pun tentu terasa panas,
hingga
sekujur tubuhmu bagai terbakar api...."
Suropati
memeriksa keadaan Gajah Angon
sekali lagi.
Rasa kasihan semakin membayang di
sorot
matanya. Karena terik matahari mulai me-
nyengat,
remaja tampan ini lalu membopong tu-
buh Gajah
Angon untuk dibawa berteduh.
Hati-hati
sekali Pengemis Binal menyan-
darkan tubuh
Gajah Angon ke batang pohon be-
sar. Agar tak
terkulai jatuh, tangan kiri Pengemis
Binal
memegang bahu murid Darma Sagotra itu.
"Akan
kucoba mengusir hawa panas yang
kau rasakan,
Pak Tua. Bertahanlah...," ujar Suro-
pati.
Gajah Angon
tak memberi jawaban. Wa-
jahnya yang
pucat menampakkan kepasrahan.
Suropati
segera menarik napas panjang. Bersa-
maan dengan
udara yang terhembus dari paru-
parunya, dia
salurkan kekuatan tenaga dalam ke
pergelangan
tangan kanan. Sekejap mata kemu-
dian, tangan
kanan remaja tampan ini merah
membara.
Anehnya, udara di sekitarnya berubah
dingin.
Lalu....
Bukkk...!
"Hukkk...!"
Telapak
tangan kanan Pengemis Binal
menghantam
dada Gajah Angon. Di lain kejap,
hawa dingin
yang timbul dari penerapan ilmu
'Pukulan
Salju Merah' mengalir ke tubuh lelaki
yang terluka
dalam parah itu.
Tak sampai
lima tarikan napas, gigi Gajah
Angon bertaut
rapat, memperdengarkan suara
gemeletuk.
Sekujur tubuhnya terbungkus salju
tipis
berwarna merah. Dia menggigil kedinginan.
"Cukup...!
Cukup...!" desis Gajah Angon
kemudian.
Bergegas
Pengemis Binal menarik telapak
tangan
kanannya yang menempel di dada Gajah
Angon. Namun
tiba-tiba, kepala lelaki setengah
baya itu
terkulai ke kanan, lalu jatuh pingsan!
Perlahan-lahan
Pengemis Binal memba-
ringkan tubuh
Gajah Angon ke tanah. Setelah ga-
ruk-garuk
kepala sebentar, diperiksanya lagi kea-
daan lelaki
itu.
"Syukurlah.
Hawa panas yang mendera tu-
buhmu telah
lenyap, Pak Tua...," gumam Suropa-
ti.
Kemudian,
sigap sekali Pengemis Binal
mendaratkan
beberapa totokan ke tubuh Gajah
Angon.
Dua di leher,
dua di dada, dan masing-
masing tiga
totokan di pergelangan tangan dan
kaki. Itulah
ilmu totokan untuk pengobatan yang
pernah
dipelajarinya dari si Wajah Merah, seorang
tabib pandai
yang berdiam di Bukit Rawangun.
"Uh...!"
keluh Gajah Angon kemudian, si-
uman.
"Tenanglah,
Pak Tua. Akan kubantu kau
untuk
menormalkan hawa murnimu yang berpu-
tar-putar tak
karuan."
Usai berkata,
Pengemis Binal menyandar-
kan lagi
tubuh Gajah Angon ke batang pohon,
Dengan kedua
telapak tangan menempel di dada
lelaki itu,
dia salurkan hawa sakti bersifat lembut.
Namun
Pengemis Binal terkesiap. Dia rasakan
sentakan-sentakan
keras yang menolak penyalu-
ran hawa
saktinya. Sentakan-sentakan itu beras-
al dari perut
Gajah Angon. Agaknya, hawa murni
dalam tubuh
Gajah Angon benar-benar kacau dan
tak dapat
dikendalikan oleh pemiliknya sendiri.
"Hmmm....
Mudah-mudahan ilmu pengoba-
tan yang
kudapat dari Kakek Wajah Merah dapat
membuahkan
hasil...," doa Pengemis Binal dalam
hati.
Bukkk...!
"Hukkk...!"
Tersentak
Gajah Angon ketika telapak tan-
gan kiri
Pengemis Binal menghantam perutnya,
tepat di
pusarnya. Dengan telapak tangan kanan
tetap
menempel di dada Gajah Angon, Pengemis
Binal
menyalurkan hawa sakti dari dua tempat.
Namun, dia
lebih memusatkan pada bagian perut
karena
to-lakan hawa murni Gajah Angon lebih
terasa di
tempat itu.
Tanpa terasa
sang baskara bergeser ke ba-
rat. Panas
tak lagi menyengat. Semilir angin pun
terasa
mengelus, seakan mampu menyejukkan
sukma. Kicau
burung semakin terdengar nyaring,
tiada henti
memuji keagungan Sang Pencipta.
Kumbang dan
kupu-kupu beterbangan menyam-
but mekarnya
kelopak bunga yang menebar da-
lam warna
senada merah jingga. Terlenalah jiwa
dalam
keindahan Bukit Palasbra.
Perlahan
Suropati menarik kedua tangan-
nya.. Tolakan
hawa murni dari tubuh Gajah An-
gon tak
terasa lagi. Dan begitu merasa dapat
mengerahkan tenaga,
Gajah Angon langsung me-
loncat bangun
seraya berteriak.
"Kakang
Wanara...!"
Brukkk...!
"Heh?!"
Suropati yang
terserang rasa lelah tak da-
pat berbuat
sesuatu ketika tiba-tiba Gajah Angon
jatuh
tertelungkup. Lelaki berjubah hitam itu be-
rusaha bangun
lagi, tapi ingatannya keburu hi-
lang,
"Bodoh
sekali kau, Pak Tua!" rungut Pen-
gemis Binal.
"Tenagamu belum pulih benar, ke-
napa kau
memaksakan diri?!"
Usai
menggaruk kepalanya yang tak gatal,
Suropati
mengusap peluh di wajahnya. Lalu, di-
balikkannya tubuh Gajah Angon yang terbaring
tertelungkup.
Sesaat dia menatap haru. Raut wa-
jah Gajah
Angon jelas menyiratkan kedukaan he-
bat.
"Kasihan
sekali kau, Pak Tua...," desah
Pengemis
Binal.
Murid Periang
Bertangan Lembut ini lalu
menyadarkan
Gajah Angon dengan beberapa to-
tokan.
Keharuan semakin membayang di matanya
tatkala Gajah
Angon menggeliat lemah.
"Kakang
Wanara...," sebut Gajah Angon,
memelas.
"Kau
jangan bergerak dulu, Pak Tua. Tena-
gamu belum
pulih benar," nasihat Pengemis Bi-
nal.
"Tidak!
Aku harus menolong kakak seper-
guruanku itu!
Di mana dia?"
"Tenanglah,
Pak Tua. Beristirahatlah dulu.
Akan
kucarikan air untukmu. Aku tahu kau ke-
hausan..."
Pengemis
Binal beranjak dari tempatnya,
namun niatnya
jadi urung karena Gajah Angon
hendak
meloncat berdiri. Cepat dia cekal lengan
lelaki itu
agar tak jatuh lagi.
"Kau
hendak ke mana, Pak Tua?"
"Aku
harus menolong kakak sepergurua-
nku!"
Kepala
Pengemis Binal menggeleng. "Di sini
tidak ada
orang yang perlu ditolong, kecuali diri-
mu sendiri,
Pak Tua. Kakak seperguruanmu telah
meninggal.
"
Mengelam
paras Gajah Angon seketika. Se-
butir demi
sebutir, air mata mulai bergulir ke pi-
pinya.
"Aku tak
percaya kau telah meninggal, Ka-
kang
Wanara...," ujar Gajah Angon, seperti ditu-
jukan kepada
dirinya sendiri. "Malapetaka yang
terjadi di
Bukit Palastra ini terlalu dahsyat. Guru
kita, Eyang
Darma Sagotra, mati oleh ulah Barata
Sukma. Kenapa
kau pun mati di tangan murid
murtad itu,
Kakang Wanara?"
Melihat Gajah
Angon menangis mengge-
rung-gerung,
Pengemis Binal mendesah. Memang
tidak biasa
seorang lelaki menangis. Namun Pen-
gemis Binal
bisa memastikan bila batin Gajah An-
gon telah
terpukul hebat.
"Di mana
jenazah kakak seperguruanku
itu?"
tanya Gajah Angon tiba-tiba.
"Apa
yang akan kau lakukan, Pak Tua?"
Pengemis
Binal balik bertanya.
"Aku
hendak menguburkannya. Aku akan
melakukan
penghormatan terakhir..."
"Biar
aku yang melakukannya, Pak Tua.
Kau
beristirahatlah di sini."
"Tidak,
Anak Muda. Aku tahu kau pemuda
yang baik
hati, namun aku sendiri yang harus
menguburkan
jenazah Kakang Garang Wanara."
Di ujung
kalimatnya, Gajah Angon bangkit.
Cepat
Suropati membantu. Dipapahnya le-
laki itu
menuju ke tempat jenazah Garang Wana-
ra terbaring.
Melihat sesosok
mayat yang sudah kaku
mengejang,
tatapan mata Gajah Angon jadi nya-
lang.
"Kakang
Wanara...!" jerit Gajah Angon se-
raya menubruk
mayat Garang Wanara. Tanpa pe-
duli bau
busuk yang menebar, lelaki ini menangis
mengguguk,
menguras air mata.
"Sudahlah,
Pak Tua. Dia sudah meninggal,"
ujar Pengemis
Binal, menepuk bahu Gajah An-
gon.
"Akan kubantu kau untuk menguburkannya.
Lihatlah
matahari yang hampir tenggelam."
Suropati
mengedarkan pandangan. Dica-
rinya sebuah
benda yang bisa dipergunakan un-
tuk menggali.
Kebetulan dia temukan sebatang
pedang yang
menancap di tanah, tak seberapa
jauh dari
mayat Garang Wanara tergeletak.
Dengan
mempergunakan pedang itu, mu-
lailah
Pengemis Binal menggali. Tapi....
"Letakkan
pedang itu, Anak Muda!" bentak
Gajah Angon
dengan mata mendelik.
Pengemis
Binal menatap heran. "Aku
membuat
lubang untuk menguburkan jenazah
kakak
seperguruanmu itu, Pak Tua...," ujarnya.
"Terima
kasih, Anak Muda. Bukan aku tak
menghargai
bantuanmu, tapi jenazah kakak se-
perguruanku
biarlah kuurus sendiri. Ini suatu
penghormatan
baginya."
Melihat
kesungguhan Gajah Angon, mau
tak mau
Pengemis Binal harus mengerti. Segera
dia sodorkan
pedang yang dibawanya ke hadapan
Gajah Angon,
Beberapa kali
Pengemis Binal menarik na-
pas panjang.
Tak tega dia melihat Gajah Angon
yang bersusah
payah menggali sebuah lubang.
Pedang yang
dibawanya beberapa kali terlepas da-
ri cekalan.
Tenaganya memang belum pulih be-
nar. Tak
heran, karena selama dua hari dua ma-
lam dia hanya
terbaring telentang tanpa dapat
makan dan
minum. Berkat kuasa Tuhan-lah
nyawanya tak
melayang sampai Suropati datang
memberi
pertolongan.
"Kau
jangan memaksakan diri, Pak Tua...,"
ujar Pengemis
Binal, iba.
"Tidak!
Aku harus menguburkan jenazah
kakak
seperguruanku sendiri. Inilah wujud peng-
hormatanku,"
tolak Gajah Angon, pedangnya te-
rus
dihujamkan ke tanah.
Pendengaran
Pengemis Binal yang tajam
dapat
menangkap suara napas Gajah Angon yang
ngorok
seperti ayam disembelih. Perutnya pun
terdengar
berkeruyukan. Agaknya, Gajah Angon
memang
menderita haus dan lapar hebat.
"Kalau
kau mau menuruti kata-kataku, is-
tirahatlah
dulu, Pak Tua. Akan kucarikan air dan
makanan
untukmu."
Usai berkata,
Pengemis Binal berkelebat
menuruni
bukit. Sementara, Gajah Angon sama
sekali tak
mempedulikannya. Dia terus menggali
lubang dengan
semangat menggebu-gebu. Hingga
sepeminuman
teh kemudian, tcrkejutlah Penge-
mis Binal
ketika kembali ke tempat ini.
"Tak
mungkin...," desis Suropati, seperti
tak percaya
pada penglihatannya sendiri.
Jenazah
Garang Wanara tidak berada di
tempatnya
lagi. Dan, Gajah Angon tampak tergo-
lek pingsan
memeluk gundukan tanah kuburan
yang baru
dibuatnya.
"Apakah
jenazah itu sudah dikubur?" tanya
Pengemis
Binal dalam hati.
Dengan kening
berkerut rapat, Pengemis
Binal
meletakkan air dalam tempurung kelapa
dan buah
kedondong yang dibawanya. Lalu, dia
periksa
keadaan Gajah Angon.
"Air...,"
keluh Gajah Angon saat siuman.
Bergegas
Suropati memberi minum. Dan,
betapa
rakusnya Gajah Angon menghabiskan air
yang didapat
Suropati dari mata air di bawah bu-
kit itu.
"Kau
telah selesai menguburkan jenazah
saudara
seperguruanmu, Pak Tua?" tanya Pen-
gemis Binal
kemudian.
Kepala Gajah
Angon mengangguk lemah.
Bibirnya
menyungging senyum tipis.
Suropati
geleng-geleng kepala. Tahulah dia
bila semangat
besar dalam diri seseorang bisa
mendatangkan
kekuatan di luar kemampuan ber-
pikir
manusia. Jika Tuhan berkehendak, orang
sakit dan
lemah pun mampu berbuat melebihi
kemampuan
orang sehat dan bertenaga besar.
"Kau
begitu baik, Anak Muda...," puji Gajah
Angon
kemudian.
"Apa
yang kulakukan tak lebih dari melak-
sanakan
kewajiban sebagai sesama manusia," sa-
hut Pengemis
Binal.
Bibir Gajah
Angon menyungging senyum.
"Menilik pakaian dan ciri-ciri tubuhmu, apakah
kau yang
bernama Suropati alias Pengemis Bi-
nal?"
tanyanya.
Suropati
mengangguk pelan.
Mata Gajah
Angon kontan berbinar-binar.
"Kebetulan!
Kebetulan! Sebelum rimba persilatan
jadi ajang
pengumbaran nafsu sesat, kau harus
berbuat
sesuatu, Suro!"
Pengemis
Binal menanggapi ucapan Gajah
Angon dengan
kening berkerut. Dia tak tahu apa
yang dimaksud
oleh lelaki berjubah hitam itu.
Emoticon