MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Muslihat Cinta Sang Pangeran
128 hal.
1
"Sungguh sebuah kehormatan
yang tiada
terkira, Banjaranpati yang
bergelar Bayangan Pu-
tih Dari Selatan bersedia
berkunjung ke tempat
jorok dan pengap ini. Aku
Arumsari alias Dewi
Tangan Api serasa kejatuhan
rembulan...."
Di ujung kalimatnya, nenek
berpakaian
serba ungu itu menyungging
senyum di bibir. Ke-
lopak matanya mengerjap dua
kali. Kakek ber-
kuncir berpakaian serba putih
mirip jubah pende-
ta tampak menyipitkan matanya.
Getaran bibir-
nya jelas menunjukkan bila dia
terpesona oleh
kecantikan si nenek yang masih
tergambar lekat
di wajahnya. Namun, si kakek
sama sekali tak
mengurangi kewaspadaannya.
Memang, tidak bi-
asa dia mendapat sambutan
sedemikian ramah
dari nenek yang tak lain
Arumsari alias Dewi
Tangan Api.
"Ah, kau jangan terlalu
berlebihan, Arum.
Kita berdua yang sama-sama sudah
bau tanah ini
ada baiknya menyambung lagi tali
persahabatan
yang sudah lama terputus. Tapi,
kau tak perlu
mengunggulkan diriku. Aku takut
kepalaku jadi
besar. Aku tahu siapa diriku.
Tak lebih dari ba-
dan tua yang sebentar lagi pasti
menjadi santa-
pan rayap dan cacing."
Arumsari menyambung ucapan si
kakek
dengan tawa kecil. Sementara,
kakek berkuncir
yang tak lain Banjaranpati alias
Bayangan Putih
Dari Selatan tampak terpesona
untuk kedua ka-
linya. Matanya sempat melihat
barisan gigi Arum-
sari yang masih rapi dan
berwarna putih bersih.
"Kebetulan sekali kau
datang, Banjaranpa-
ti. Karena ada sesuatu yang
harus kubicarakan,
pada saatnya nanti aku pasti
akan mencarimu.
Namun, kiranya Tuhan memberi
kemudahan un-
tukku. Tanpa susah-payah aku
mencarimu, kau
sudah menampakkan batang
hidungmu. Karena
itulah, aku layak menyambutmu
sebagai tamu
terhormat..."
Hati-hati sekali Arumsari
menuangkan
arak merah ke kedua cawan yang
telah diper-
siapkan di atas meja. Banjaranpati
menerima sa-
lah satu cawan yang diulurkan
kepadanya. Dan,
terkesiaplah Banjaranpati. Cawan
yang telah ter-
jepit jemari tangan kanannya tak
dapat diturun-
kan, melayang di atas meja!
"Bola matamu membesar,
Banjaranpati.
Adakah sesuatu yang membuatmu
terkejut?" ujar Arumsari dengan senyum manis tersungging di
bibir. Telapak tangan kanannya
menghadap ke
cawan yang masih melayang di
udara. Jelas bila
dia tengah mengerahkan tenaga
dalam yang
membuat cawan itu tak dapat diturunkan
oleh
Banjaranpati.
"Luar biasa sekali
sambutanmu ini, Arum.
Benar-benar aku merasa
dirajakan...," sahut Banjaranpati, turut menyungging senyum di bibir un-
tuk menepis keterkejutannya.
Perlahan sekali kakek berwajah
halus ke-
merahan itu menarik tangan
kanannya yang me-
megang cawan. Sepertinya dia tak
hendak mela-
deni pameran kekuatan tenaga
dalam yang se-
dang dipertontonkan oleh
Arumsari. Namun tiba-
tiba, dia menegakkan
punggungnya. Kedua ka-
kinya yang bersila tampak
bergetar. Lalu, dia
menghirup udara lewat mulut...
Ganti Arumsari yang terkesiap.
Arak merah
di dalam cawan yang masih
melayang di udara
terhirup masuk ke mulut
Banjaranpati.
"Hmm.... Arak tua yang
benar-benar nik-
mat...," desis Banjaranpati
sambil menjilati bibirnya yang basah.
Arumsari mengulum senyum, namun
hanya senyum hambar yang dapat
dia perli-
hatkan. "Kau mau lagi,
Banjaranpati?" tawarnya.
Banjaranpati tak memberi
jawaban. Dia ta-
hu benar siapa Arumsari. Nenek
itu selain keras
kepala, juga angkuh dan tak mau
kalah. Bila
Banjaranpati menerima tawaran
Arumsari, tidak
mustahil nenek itu akan
memamerkan lagi keku-
atan tenaga dalamnya yang bisa
saja membuat
Banjaranpati celaka.
"Tak perlu sungkan,
Banjaranpati. Aku ta-
hu apa yang ada di hatimu. Aku
akan merasa
terhina bila kau menolak
tawaranku," lanjut Arumsari, suaranya berat dan mengandung pak-saan.
Banjaranpati tetap tak menjawab. Dia me-
nambah kewaspadaannya.
Sementara, Arumsari
mendengus gusar, lalu
mengepalkan telapak tan-
gan kanannya yang terbuka. Cawan
kosong yang
melayang di atas meja meluncur
turun dengan
cepat, tapi tak ada suara yang
terdengar ketika
menyentuh permukaan meja.
"Terimalah...! Agar tubuhmu
terasa lebih
segar...."
Arumsari menyambung ucapannya
dengan
menepuk permukaan meja.
Perlahan, tapi sudah
mampu menggetarkan meja kecil
setinggi satu
jengkal itu. Untuk kedua kalinya
Banjaranpati
terkesiap. Arak merah di dalam
cawan kedua
tampak terangkat ke udara
meninggalkan tem-
patnya. Dan, ketika Arumsari
meniup, genangan
arak tua itu meluncur hendak
mengguyur wajah
Banjaranpati!
Wusss...!
Tak mau dirinya dipermalukan,
cepat Ban-
jaranpati mengisi paru-parunya
dengan udara se-
banyak mungkin. Lalu, ditiupnya
arak merah
yang masih menggenang dan
meluncur ke arah-
nya. Genangan arak merah tampak
tertahan di
udara dua kejap mata. Sebelum
genangan arak
merah itu meluncur balik yang
akan mengguyur
wajahnya, bergegas Arumsari
mengibaskan tela-
pak tangan kanannya!
Wesss...!
Gelombang angin menderu.
Genangan arak
merah tertekan ke arah
Banjaranpati. Kakek ber-
kuncir itu segera berbuat
serupa. Dikibaskannya
telapak tangan kanannya ke
depan. Genangan
arak merah kembali tertahan di
udara.
"Sambutanmu ini sungguh
luar biasa,
Arum. Tapi, kurasa aku tak bisa
menerima arak
merahmu ini...," ujar
Banjaranpati seraya mengibaskan telapak tangan kirinya. Genangan arak
merah bergeser ke arah Arumsari.
"Tolakanmu berarti
penghinaan...."
Usai berkata Arumsari turut
mengibaskan
telapak tangan kirinya untuk
menahan genangan
arak merah yang hendak mengguyur
wajahnya.
Namun, Banjaranpati telah
menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan.
Gelombang an-
gin besar menderu ganas.
Genangan arak merah
melesat cepat ke arah Arumsari.
"Bangsat...!"
Nenek yang wajahnya masih tampak
cantik
itu mengumpat seraya meniru
gerakan Banjaran-
pati. Timbul pula gelombang
angin besar. Tak ay-
al lagi, dua kekuatan tenaga
dalam tingkat tinggi pun bertumbukan!
Blaarrr...!
Terdengar ledakan cukup keras
yang mem-
buat telinga jadi pekak.
Genangan arak merah
bermuncratan ke berbagai
penjuru. Merasa ada
bahaya mengancam, Arumsari dan
Banjaranpati
sama-sama menepukkan kedua
telapak tangan ke
lantai tanah yang tertutup tikar
barubu. Dalam
keadaan masih duduk bersila
tubuh mereka me-
lesat ke atas. Setelah bersalto
dua kali di udara, mereka mendarat bersamaan sejauh satu tombak
dari tempat duduk mereka semula.
Arumsari dan Banjaranpati saling
tatap
untuk beberapa saat. Lalu,
mereka sama-sama
mengalihkan pandangan ke
permukaan meja ber-
kaki pendek yang kini tampak
berlubang-lubang
dan di beberapa tempat masih
mengepulkan
asap. Rupanya, arak merah yang
menjadi sarana
adu kekuatan tenaga dalam telah
membuat meja
itu bisa jadi sedemikian rupa.
Bahkan, tikar ba-
rubu yang semula diduduki
Arumsari dan Banja-
ranpati juga tampak berlubang di
sana-sini.
"Hmmm.... Semakin tua, kau
semakin he-
bat saja, Banjaranpati,"
puji Arumsari, tulus.
Mata nenek itu menatap lurus
poci arak di
atas meja yang juga telah
berlubang-lubang.
Isinya memancar ke luar
"Sayang bila arak tua
dibiarkan terbuang
percuma...," ujar
Banjaranpati.
"Kau benar. Sebaiknya arak
itu kita hirup
bersama-sama,
Banjaranpati."
Tanpa mengedipkan mata, Arumsari
menghirup udara lewat mulut.
Dilihat dari tu-
buhnya yang bergetar, jelas bila
dia tengah men-
gerahkan tenaga dalam.
Banjaranpati tersenyum
tipis melihat arak merah yang
mancur dari lu-
bang-lubang poci terhirup masuk
ke mulut Arum-
sari. Kakek yang termasyhur
dengan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan' itu pun
segera berbuat
serupa. Hingga dalam sekejap
mata, arak merah
yang masih tersisa di dalam poci
habis tanpa se-
tetes pun yang tumpah ke
permukaan meja!
"Ha ha ha.,.!"
Arumsari tertawa bergelak.
"Kau memang hebat sekali,
Banjaranpati. Pantas bila kau menjadi salah satu guru dari Suropati
yang bergelar Pengemis
Binal."
"Sudah kukatakan bila kau
tak perlu men-
gumbar pujian. Arum. Aku takut
kepalaku mem-
besar tanpa dapat kukendalikan.
Aku tak mau
hanyut dalam kata-kata
pujian."
"Hmmm.... Kau memang pandai
merendah,
Banjaranpati...," sahut
Arumsari seraya melangkah tiga tindak, lalu duduk bersila di dekat meja.
Banjaranpati turut melangkah
tiga tindak,
kemudian duduk berhadapan meja
dengan Arum-
sari. Kedua tokoh tua itu
berpandangan sejenak.
Sama-sama mengulum senyum di
bibir.
"Kau katakan tadi bahwa
kedatanganku ini
adalah suatu kebetulan.
Kebetulan macam apa
itu? Adakah suatu urusan penting
yang hendak
kau bicarakan denganku?"
tanya Banjaranpati, sungguh-sungguh.
Arumsari menarik napas panjang,
lalu ka-
tanya, "Kau tentu telah
mengenal Dewi Ikata yang bergelar Pendekar Wanita Gila...."
"Putri tunggal Adipati
Danubraja itu?"
"Ya."
"Kenapa dengan dia?"
"Dewi Ikata adalah muridku.
Aku tahu bila
dia sangat mencintai
Suropati...."
"Lalu?" buru
Banjaranpati, penasaran.
"Aku tak mau muridku
menderita karena
rasa cintanya. Aku ingin
menjodohkan dia dengan
Suropati."
Mendengar ucapan Arumsari,
kening Ban-
jaranpati berkerut. Kedua ujung
alis putihnya
hampir bertautan. "Kau ini
aneh, Arumsari," desahnya. "Kenapa kau membicarakan perjodohan
muridmu dengan diriku?"
"Karena orang yang hendak
kujodohkan
dengan muridku adalah
muridmu," sahut Arum-
sari, tegas.
Kepala Banjaranpati kontan
menggeleng.
Kerut di keningnya terlihat lagi.
Sementara,
Arumsari tampak terkejut.
Matanya membelalak
lebar. Dia salah mengartikan
gelengan kepala
Banjaranpati.
"Bila kau tak menerima
tawaran baikku
untuk menjodohkan Dewi Ikata
dengan Suropati,
sama artinya dengan menginjak
kepalaku!" dengus si nenek, keras membentak.
"Jangan keburu naik darah.
Arum. Aku
yang bodoh ini sama sekali tak
merasa menjadi
guru Suropati. Oleh karenanya,
aku tak bisa me-
nentukan jodoh Pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu...,"
tukas Banjaranpati dengan suara lemah lembut. Dia tak perlu menimpali
ucapan keras Arumsari dengan
kekerasan pula.
Dia tahu benar tabiat buruk
nenek yang mempu-
nyai ilmu 'Pukulan Api Neraka'
yang terkenal
dahsyat itu.
"Huh! Bila kau menolak
jangan mencari-
cari alasan. Kau katakan tak
merasa menjadi
guru Suropati, lalu siapa yang
telah menurunkan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas
Sukma' kepa-
danya?"
Banjaranpati tersenyum tipis.
"Memang,
aku yang telah menurunkan ilmu
itu. Tapi, bukan
berarti aku telah menjadi
gurunya. Waktu itu,
aku hanya terpanggil untuk
menghentikan keke-
jaman Aki Barondeng alias si
Mayat Hidup yang
tak lain dari saudara
seperguruanku sendiri. Un-
tuk dapat melumpuhkan
kesaktiannya, tak ada
cara lain bagiku kecuali
menurunkan ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma' kepada
Suropati," tu-turnya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pengemis
Binal dalam episode : "Bidadari Lentera Merah").
"Itu sudah cukup bagi
Suropati untuk
menganggapmu sebagai guru. Dan
sebagai seo-
rang murid, Suropati pun harus
turut dan patuh
kepadamu," tandas Arumsari.
"Tapi, tidak untuk
memaksakan jodohnya."
Arumsari mendengus gusar
"Kau katakan
di awal pertemuan kita bahwa kau
datang untuk
mengikat lagi tali persaudaraan
kita yang telah
lama terputus. Lalu, apa arti
dari penolakan ini?
Kenapa kau tidak bersedia
menjodohkan Suropati
dengan Dewi Ikata? Bukankah itu
bisa mempere-
rat tali persaudaraan
kita?"
"Untuk mempererat tali
persaudaraan, tak
berarti kita harus menjodohkan
Suropati dengan
Dewi Ikata. Sebenarnya, kau
lebih tepat membica-
rakan hal ini dengan Gede
Panjalu. Sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itulah yang le-
bih berhak memberikan jawaban.
Lagi pula, Dewi
Ikata masih mempunyai orangtua.
Kenapa kau
tak membicarakan dulu hal ini
kepada Adipati
Danubraja? Dan kau mesti ingat
juga, Arum. Soal
jodoh tak bisa dipaksakan.
Biarlah Dewi Ikata
dan Suropati sendiri yang
menentukan...."
"Suropati pernah berjanji
kepada Dewi Ika-
ta untuk mengikat tali
perkawinan. Tapi, aku sa-
ma sekali tak percaya pada Bocah
Gemblung itu.
Di sana-sini dia punya kekasih.
Dan tampaknya,
dia pun senang mengumbar sifat
mata bongsang-
nya. Oleh karena aku tak mau
Dewi Ikata mende-
rita tekanan batin, aku ingin
segera Suropati di-ikat dalam tali perkawinan dengan Dewi Ikata.
Atau paling tidak, mereka
dipertunangkan dulu.
Biar semua gadis yang selalu
mengejar-ngejar Su-
ropati tahu bila Bocah Gemblung
itu telah menja-
di milik Dewi Ikata. Dengan
demikian, Suropati
akan menghentikan kebiasaan
buruknya."
Banjaranpati mendesah panjang.
Kerut di
keningnya terlihat makin
kentara. Dia tak tahu
harus berbuat apa. Mengabulkan
permintaan
Arumsari, dia merasa tak berhak.
Dan bila meno-
lak, sama halnya dengan menanam
duri di jan-
tung nenek keras kepala yang
suka memaksakan
kehendak itu.
"Apa lagi yang kau
pikirkan, Banjaranpati?"
tegur Arumsari yang melihat
Bayangan Putih Dari
Selatan cuma mendesah-desah
saja.
Banjaranpati menatap lekat wajah
Dewi
Tangan Api, lalu katanya,
"Aku bisa mengerti apa yang kau inginkan, Arum. Aku tahu kau sangat
mencintai Dewi Ikata muridmu,
hingga kau ber-
maksud mewujudkan kebahagiaan
gadis itu. Na-
mun tentang perjodohan yang kau
mintakan ini,
aku belum bisa memberi jawaban.
Aku mesti me-
rundingkannya terlebih dahulu
dengan Gede Pan-
jalu dan Suropati sendiri."
"Hmmm.... Begitukah pikiran
yang ada di
benakmu? Aku ingin bertanya
sekarang, jawablah
dengan sejujurnya. Apakah kau
tidak senang bila
pada suatu saat nanti Suropati
dan Dewi Ikata
bersanding bahagia di
pelaminan?"
"Bila mereka yakin akan
mendapat keba-
hagiaan, aku turut bahagia. Tak
ada alasan bagi-
ku untuk menghalangi perjodohan
mereka."
"Singkat kata, kau setuju
bila aku menjo-
dohkan Dewi Ikata dengan
Suropati?"
"Secara pribadi, aku
setuju. Namun, kau
mesti ingat kedudukanku, Arum.
Aku sama sekali
tak dapat memaksakan kehendak terhadap
Suro-
pati, termasuk menentukan siapa
jodohnya."
Mendengar kalimat Banjaranpati
yang di-
ucapkan dengan nada rendah penuh
persahaba-
tan, Arumsari tersenyum senang.
Hatinya sedikit
lega walau jawaban Banjaranpati
tidak sepenuh-
nya sesuai dengan harapannya.
Sebelum Arumsari mengungkapkan
rasa
hatinya, tiba-tiba sepuluh
batang obor yang dipasang di dinding ruangan padam. Ruangan yang
sebenarnya berada di dalam gua
itu kontan gelap-
gulita. Padahal, tak ada
hembusan angin ken-
cang. Bahkan, desiran kecil pun
tak terasa. Ba-
gaimana mungkin obor-obor itu
bisa padam? Se-
mentara, ketika terjadi
bentrokan tenaga dalam
Arumsari dan Banjaranpati yang
menimbulkan
gelombang angin besar pun tak
mampu mema-
damkannya?
Keterkejutan mereka tiada
terkira. Di balik
itu, tersimpan rasa kagum akan
kehebatan orang
yang dapat memadamkan sepuluh
obor secara
bersamaan tanpa diketahui di
mana dia berada.
Namun karena Arumsari dan
Banjaranpati adalah
dua tokoh tua yang sudah matang
pengalaman,
mereka sama sekali tak menjadi
gentar ataupun
ngeri. Mereka tetap duduk
bersila di tempat mas-
ing-masing.
"Apakah di luar sana ada
manusia berke-
pandaian dewa yang hendak
memberi pelajaran?"
Arumsari yang punya sifat
berangasan berteriak
lantang, tak dapat menahan
desakan yang ada di
hatinya.
Tiada sahutan yang terdengar.
Suasana
menjadi sunyi karena Arumsari
dan Banjaranpati
sama-sama diam menunggu jawaban.
"Siapakah yang datang?
Walau kau dede-
mit buruk rupa, tunjukkan batang
hidungmu.
Menjawablah, jangan bersembunyi
terus!"
Arumsari berteriak lebih
lantang. Dia per-
tajam pendengarannya. Namun,
tetap saja tak
dapat menangkap suara-suara yang
menandakan
bahwa di situ telah hadir seorang
manusia.
Karena terbawa rasa penasaran,
Arumsari
bangkit dari duduknya.
Banjaranpati mengikuti.
Tapi sebelum melompat keluar,
mereka dike-
jutkan oleh suara dingin yang
begitu dekat den-
gan tempat mereka berdiri.
"Tak perlu kalian menjadi
gusar. Aku telah
berada di dekat kalian."
Keterkejutan Arumsari dan
Banjaranpati
tak dapat diperkirakan lagi
ketika mendengar su-
ara yang begitu dekat dengan
telinga itu. Sebagai tokoh tua yang berkepandaian tinggi, mereka dapat
memastikan bila suara yang mereka dengar
bukan diperdengarkan melalui
ilmu mengirim su-
ara jarak jauh.
Arumsari dan Banjaranpati pun
tahu bila
ruangan yang sedang mereka
tempati hanya
mempunyai satu pintu masuk.
Mungkinkah ada
manusia yang bisa bergerak
sedemikian cepat
tanpa meninggalkan desiran
angin? Mungkinkah
tokoh itu memiliki ilmu siluman?
Tak mau mendapat celaka, cepat
Arumsari
dan Banjaranpati meningkatkan
kewaspadaan.
Mereka sama-sama mempertajam
indera penden-
garan. Sementara, tubuh mereka
pun mengejang
kaku akibat pengerahan tenaga
dalam untuk
membentengi diri, berjaga-jaga
dari kemungkinan
mendapat serangan gelap.
Mendadak, terdengar letupan
kecil yang
dibarengi menyebarnya percikan
api, Arumsari
dan Banjaranpati terperangah
ketika ruangan te-
rang kembali karena sepuluh obor
menyala lagi.
Tampak kemudian, seorang pemuda
berpakaian
kuning gemerlap mirip pakaian
pembesar kera-
jaan, berdiri tegak dengan
punggung hampir me-
nyentuh dinding ruangan yang
berupa tanah ca-
das. Wajah pemuda itu cukup
tampan. Alisnya
tebal, yang ujung-ujungnya
hampir bertautan.
Sorot matanya tajam menusuk,
pertanda dia
punya kecerdasan dan kepandaian
tinggi.
Karena kesal, terlebih lagi
untuk mengukur
ketinggian ilmu kesaktian tamu
tak diundang itu, Arumsari melontarkan dua belas biji teratai merah. Semuanya
mengancam jalan darah penting!
Srattt...!
Betapa terkejutnya Arumsari.
Sebelum me-
nyentuh sasaran, kedua belas
biji teratai merah
yang dilontarkan dengan tenaga
dalam penuh itu
lenyap tanpa bekas, seperti
terhisap kekuatan ka-sat mata! Bahkan, tanpa memperdengarkan suara
sedikit pun. Karena apabila si
pemuda yang men-
jadi sasaran berkelit, biji-biji
itu tentu akan membentur dinding yang pasti menimbulkan letupan-
letupan keras. Bagaimana mungkin
senjata raha-
sia Arumsari itu bisa
menghilang? Benarkah si
pemuda memilik ilmu siluman?
Tanpa sadar Arumsari mendelikkan
mata.
Mulutnya pun turut terbuka
lebar. Banjaranpati
yang sudah tahu tingkat
kesaktian Arumsari pun
turut memandang heran. Hanya
saja, kakek ber-
pakaian serba putih itu lebih
bisa mengendalikan keterkejutannya. Hingga, mulutnya tidak sampai
terbuka lebar.
Ketika ruangan dipenuhi suara
tawa dingin
si pemuda, barulah Arumsari dan
Banjaranpati
menyadari keadaan. Karena masih
belum percaya
pada apa yang baru saja mereka
lihat, kedua to-
koh tua itu mengedarkan
pandangan ke lantai
ruangan. Mereka ingin tahu
kalau-kalau dua be-
las biji teratai merah rontok.
Tapi ternyata, dua belas biji teratai merah itu benar-benar lenyap! Di lantai
ruangan tak terdapat barang sebiji pun
senjata rahasia Arumsari itu!
Perlu diketahui, puluhan tahun
lamanya
Arumsari memperdalam
kemahirannya dalam
menggunakan senjata rahasia yang
berapa biji te-
ratai merah. Serta, puluhan
tahun berkelana, be-
lum pernah dia menjumpai tokoh
sakti yang begi-
tu mudah menghalau senjata
rahasianya tanpa
sedikit pun menggerakkan tubuh.
"Kalian berdua mendapat
kehormatan un-
tuk melaksanakan amanat Pangeran
Sadis."
Arumsari dan Banjaranpati
terkejut untuk
kesekian kalinya. Sosok pemuda
tampan berpa-
kaian kuning gemerlap tiba-tiba
lenyap tanpa be-
kas! Hanya meninggalkan suara
dingin yang
sanggup mendirikan bulu roma....
Belum hilang keterkejutan
Arumsari dan
Banjaranpati ketika hidung
mereka mencium bau
busuk yang amat menyengat.
Tahulah mereka bi-
la di atas meja berkaki pendek
telah tergeletak
benda bulat terbungkus kain
putih yang penuh
noda kecoklatan yang dapat
dipastikan cairan da-
rah kering.
Menyaksikan keluarbiasaan si
pemuda
yang mengenalkan dirinya sebagai
Pangeran Sa-
dis, mau tak mau Arumsari dan
Banjaranpati jadi
bergidik ngeri. Mereka sadar
sepenuhnya bila to-
koh muda itu menginginkan nyawa
mereka, sama
mudahnya dengan membalikkan
telapak tangan.
Untuk beberapa saat Arumsari dan
Banja-
ranpati saling pandang. Lalu,
secara bersamaan
pandangan mereka beralih ke
bungkusan yang
tergeletak di atas meja.
"Bukalah bungkusan itu,
Banjaranpati...,"
pinta Arumsari sambil menutup
lubang hidung
dengan ujung lengan bajunya.
Banjaranpati tak menjawab. Tapi
tampak-
nya dia meluluskan permintaan
Arumsari. Den-
gan menahan bau busuk yang
begitu menyengat,
cepat dia membuka ikatan kain
putih. Terbelalak-
lah mata Banjaranpati. Demikian
pula dengan
Arumsari. Tanpa sadar mereka
meloncat mundur.
Bungkusan kain putih itu
ternyata berisi kepala
manusia yang sudah rusak! Di
dalam bungkusan
terdapat pula dua sampul surat
berwarna kuning.
Setelah Arumsari dan
Banjaranpati meneliti, me-
reka dapat memastikan bila
kepala tanpa badan
itu adalah milik Dewi Ikata!
Tak ayal lagi, menggembor
keraslah Arum-
sari. Nenek itu kontan menangis
menggerung-
gerung menyesali kematian Dewi
Ikata muridnya.
Sungguh tak dapat digambarkan
lagi betapa han-
cur luluh perasaan Arumsari.
Kesedihan meng-
hantam telak, membuat sesak
jalan napasnya.
Baru saja dia membicarakan
perjodohan Dewi
Ikata dengan Suropati, bagaimana
mungkin mu-
ridnya itu telah tergeletak di
atas meja berupa kepala tanpa badan?
Namun sebagai tokoh tua yang
sudah ma-
tang pengalaman, Arumsari cepat
mengendalikan
kedukaannya. Dia merasa malu
untuk memperli-
hatkan cucuran air mata di hadapan
Banjaranpa-
ti, yang sama saja
memperlihatkan kelemahan ji-
wanya. Perlahan, dengan mata
merah bengkak ka-
rena menahan tangis, Arumsari
mengambil salah
satu sampul kuning di dekat
kepala tanpa badan
itu. Banjaranpati turut membaca
tulisan yang tertera. Bunyinya : Jangan buka sampul ini, kecuali yang berhak!
Sedang di sampul kedua, mereka
menda-
patkan sehelai surat yang
bertuliskan perintah : Serahkan surat dan kepala ini kepada seseorang yang
beberapa hari lagi akan melalui tempat ini!
Setelah membaca tulisan itu,
Arumsari dan Banjaranpati saling pandang lagi. Hati Banjaranpati tersentuh haru
melihat kedukaan yang jelas
tergambar di wajah Arumsari.
Kakek itu bisa me-
rasakan betapa terpukulnya hati
Arumsari yang
kehilangan seorang murid yang
amat dicintainya.
Mendadak, Arumsari menggeram
keras.
Cepat sekali tangannya menyambar
sampul kun-
ing yang belum terbuka. Tapi
sebelum dia sempat
membuka sampul itu, Banjaranpati
telah men-
cekal pergelangan tangannya.
"Kita tak berhak untuk
mengetahui isinya!"
ujar Bayangan Putih Dari Selatan
dengan suara
berat. "Persetan dengan
semua itu! Aku ingin ta-hu apa maksud Setan Laknat itu membunuh mu-
ridku!" bentak Arumsari
seraya menarik tangan kanannya.
"Jangan!"
Mendengar bentakan keras
Banjaranpati,
Arumsari kontan mengurungkan
niatnya untuk
membuka sampul kuning di
tangannya. Tiba-tiba,
darah nenek itu bergolak naik.
Amarahnya me-
luap. Dengan sinar mata
berapi-api, ditatapnya
wajah Banjaranpati.
"Tak perlu kau menghalangi
keinginanku,
Banjaranpati! Aku bisa kalap
untuk mengadu jiwa
denganmu!"
"Sabarlah, Arum. Tenangkan,
dulu pera-
saanmu...," ucap
Banjaranpati bernada sedih.
"Aku bukan hendak
menghalangi keinginanmu.
Hanya saja, kau mesti ingat
bahwa orang yang
berjiwa pendekar akan memegang
teguh amanat
yang diembankan
kepadanya...."
"Walau orang itu seorang
durjana yang te-
ramat kejam?!" tukas
Arumsari.
Banjaranpati tersentak melihat
pandangan
Arumsari yang semakin
berapi-api. Namun sebe-
lum dia sempat mengucapkan
sepatah kata lagi,
Arumsari telah menghentakkan
telapak tangan
kanannya ke depan, mengarah ulu
hati!
"Uts...!"
Cepat Banjaranpati meloncat ke
samping.
Namun, tak urung kain bajunya
terbakar oleh
sambaran angin pukulan Arumsari
yang menggu-
nakan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.
Rupanya, da-
lam kemarahannya, Arumsari jadi
lupa diri. Se-
hingga, dia berniat membunuh
Banjaranpati yang
sama sekali tak bersalah.
"Sadarlah, Arum...,"
ujar Banjaranpati sambil menepuk-nepuk api yang menjilati kain
bajunya.
Arumsari tak memperhatikan
ucapan ka-
kek itu. Tangannya menyobek
sampul kuning....
"Jangan...!" sergah
Banjaranpati seraya meloncat untuk merampas sampul kuning di tangan Arumsari
yang telah terbuka.
2
Kedatangannya di kota Kadipaten
Bumi-
raksa bertepatan hari telah
jatuh dalam dekapan
malam. Sang Candra dalam bulatan
penuh dike-
dipi tebaran bintang seperti
sedang bercanda di
layar hitam. Gelap tak begitu
berkuasa. Apalagi
lampu-lampu kota cukup memberi
sinar terang.
Sehingga, langkah kaki Suropati
sama sekali tak
mendapat kesulitan
Baru saja menapaki jalan utama
kota, re-
maja tampan berpakaian putih
penuh tambalan
itu menghentikan langkah.
Kakinya terasa berat
untuk dilangkahkan lagi. Kelopak
matanya sulit
dibuka berlama-lama. Kantuk
menyerang, terba-
wa kelelahan yang menggayuti
badannya. Dia
memang baru melakukan perjalanan
jauh dari
kota Kadipaten Tanah Loh.
Suropati mengucak-ucak matanya,
namun
rasa kantuk tetap tak mau
hilang. Beberapa kali
dia menguap lebar. Tanpa sadar,
dia menggerutu
panjang-pendek.
"Huh! Tak dapat aku
melanjutkan langkah
ke Kuil Saloka. Lebih baik aku
ke Penginapan
Mawar. Biarlah dingin menusuk
tulang asal aku
dapat segera
beristirahat..."
Sambil garuk-garuk kepala,
remaja yang
sering berperilaku konyol itu
melanjutkan lang-
kah kakinya, membelok ke kiri
jalan. Beberapa
orang yang berpapasan dengannya
sama sekali
tak dia hiraukan. Suasana kota
sudah mulai sepi
karena hari telah merayap ke
tengah malam.
Sesampai di Penginapan Mawar,
Suropati
bukannya masuk melalui pintu besar
untuk pe-
san kamar, melainkan menyelinap
di sisi kanan
bangunan. Begitu mendapatkan
tempat gelap
yang tak terjangkau sinar lampu,
dia langsung
merebahkan tubuh. Dia tak perlu
alas karena
pinggiran bangunan penginapan
itu berlantai cu-
kup bersih. Namun baru saja dia
mengatupkan
kelopak mata, telinganya
menangkap suara tan-
gis. Asalnya dari kamar di
tingkat atas.
"Uuuhhh...! Malam-malam
begini, kenapa
mengumbar tangis?! Mengganggu
orang tidur sa-
ja!" gerutu Suropati lagi.
Remaja konyol bergelar Pengemis
Binal itu
miringkan tubuhnya dengan
perasaan jengkel.
Dia mendekap daun telinganya
kuat-kuat, tapi
suara tangis itu tetap
terdengar. Didekapnya lebih kuat daun telinganya, tapi suara tangis itu tetap
saja terdengar. Karena ledakan rasa jengkel, dia meloncat bangun.
"Aku ingin tahu siapa
pengumbar tangis
itu. Apakah dia baru saja
kehilangan orang yang
sangat dicintainya, sehingga
membuat hatinya
begitu sedih?"
Mengikuti suara hatinya,
Suropati merayap
ke dinding bangunan walau rasa
kantuk masih
menyerangnya. Dengan
mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah
sedemikian
tinggi, mudah saja bagi Suropati
untuk menemu-
kan kamar tempat suara tangis
berasal.
Jendela kamar itu masih terbuka.
Tapi,
Suropati tak dapat melihat ke
dalam karena tertutup tirai dari kertas. Untuk dapat mengintip, Suropati
melubangi tirai kertas itu dengan ujung li-dahnya. Kening Suropati berkerut
setelah dapat
melihat siapa yang tengah
menangis. Seorang
wanita setengah baya berpakaian
sederhana ber-
warna kuning tampak berlutut di
sisi pembarin-
gan. Bahunya bergoyang-goyang
terbawa isakan
tangisnya. Suropati terkejut
karena di antara isakan tangis wanita itu ada menyebut-nyebut nama
yang sudah amat dikenalnya.
"Dewi Ikata.... Dewi
Ikata.... Kenapa kau
pergi begitu cepat...? Dewi
Ikata.... Kasihan sekali
kau..." Begitulah suara di
antara isakan tangis yang didengar Suropati. Maka saat itu juga, pikiran tak
enak menggeluti benak Suropati. Rasa
kantuknya kontan lenyap. Terbawa
rasa penasa-
ran dan bayangan buruk yang
muncul di depan
matanya, Suropati merobek tirai
kertas, lalu meloncat masuk.
Terkejut bukan main wanita
setengah baya
yang tengah menangis. Saking
terkejutnya, dia
meloncat bangun dan hampir jatuh
terjengkang
karena kakinya terpeleset.
Sementara, tangisnya
pun kontan terhenti, berganti
jerit ketakutan.
"Sssttt...! Aku bukan setan
atau hantu gen-
tayangan. Aku manusia!"
ujar Pengemis Binal dengan konyolnya.
Sinar mata nyalang si wanita
setengah
baya langsung meredup setelah
tahu bila yang
menerobos masuk ke kamarnya
adalah seorang
remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan
yang dikenalinya sebagai
Suropati alias Pengemis Binal. Namun, air mata wanita itu mengucur deras lagi.
Cepat sekali dia menghambur dan meme-
luk kaki Suropati. Mulutnya
tiada henti meratap.
"Dewi Ikata.... Dewi
Ikata...," ucap si wanita setengah baya.
"Apa yang terjadi denganmu?
Kenapa kau
menangis? Kenapa pula kau
menyebut-nyebut
nama Dewi Ikata?" buru
Suropati, amat penasaran.
Wanita berbaju kuning melepaskan
pelu-
kannya pada kaki Suropati.
Ditatapnya wajah
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
itu dengan air mata menganak
sungai. Untuk be-
berapa lama dia tak mampu
mengucapkan sepa-
tah kata pun. Hanya isakan
tangis yang dapat dia perdengarkan.
"Tenangkan hatimu.... Lalu,
ceritakan apa
yang terjadi... Kau
menyebut-nyebut nama putri
tunggal Adipati Danubraja. Apa
yang terjadi den-
gan gadis itu.
Berceritalah...," pinta Suropati, semakin penasaran.
"Suro...," desis
wanita setengah baya.
"Ya. Aku Suropati. Aku pun
tahu bila kau
inang pengasuh Dewi Ikata.
Cobalah kendalikan
perasaanmu, lalu berceritalah.
Jangan buat aku
mati berdiri karena penasaran.
Apa yang terjadi
dengan Dewi Ikata...?"
Karena tak sabar, Suropati
berjongkok, dan
mengguncang-guncangkan bahu
wanita setengah
baya, yang memang inang pengasuh
Dewi Ikata
alias Pendekar Wanita Gila.
Dengan ujung lengan bajunya,
inang pen-
gasuh Dewi Ikata yang bernama
Palupi itu meng-
hapus airmatanya. Kemudian,
ditatapnya wajah
Suropati dengan sinar mata redup
penuh kedu-
kaan yang amat dalam. Namun,
rasa penasaran
dalam diri Suropati mengalahkan
rasa harunya.
Dia guncang-guncangkan lagi bahu
Palupi. Hing-
ga, wanita setengah baya itu
mengeluh kesakitan
karena tanpa sadar Suropati
mencengkeram ba-
hunya terlalu kuat
"Ceritakan apa yang terjadi
dengan Dewi
Ikata...!" pinta Suropati,
setengah membentak.
Bayangan buruk berkelebatan di
benaknya. Dewi
Ikata adalah gadis yang sangat
dekat di hatinya.
Wajar apabila dia begitu
mengkhawatirkan kea-
daan murid Dewi Tangan Api itu.
"Dewi Ikata...," desah
Palupi seraya mendekap wajahnya. Airmatanya jatuh bercucuran lagi.
"Aku bisa gila bila kau
hanya menyebut-
nyebut nama Dewi Ikata terus!
Ceritakan apa
yang terjadi! Apakah Dewi Ikata
tertimpa musi-
bah?!" bentak Suropati.
Tangannya mengangkat dagu Palupi, agar wanita setengah baya itu menatap ke
arahnya.
"Ya, Suro.... Dewi Ikata
tertimpa musi-
bah...," beri tahu Palupi,
pelan sekali. Hampir tak terdengar.
"Apa? Benar Dewi Ikata
tertimpa musibah?
Musibah apa?" bum Suropati
dengan hati semakin was was.
Palupi menarik napas panjang.
Dicobanya
untuk menghalau kedukaan di
hatinya. Usai
menghapus airmatanya, dia
bercerita.
"Tiga hari yang lalu, Dewi
Ikata mengajak-
ku pergi dari Pendapa Kadipaten.
Dia tidak mem-
beri tahu hendak pergi ke mana.
Waktu kutanya
dia malah marah-marah...."
"Lalu?" desak Suropati,
tak sabar.
"Sesampai di tepi hutan
yang sudah cukup
jauh dari kota Kadipaten
Bumiraksa ini, muncul
seorang pemuda tampan berpakaian
kuning ge-
merlap mirip bangsawan kerajaan.
Dewi Ikata dan
pemuda itu terlibat perang
mulut. Aku tak tahu
apa masalahnya...."
"Kau kenal siapa pemuda
itu?"
Palupi menggeleng. "Aku tak
kenal dia. Ta-
pi kepada Dewi Ikata, dia
mengenalkan diri seba-
gai Pangeran Sadis."
"Pangeran Sadis?"
Kening Suropati berkerut rapat Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa
sebenarnya tokoh itu. Namun,
otaknya segera
menemui jalan buntu. Dia merasa
belum men-
genal. Gelar Pangeran Sadis
masih sangat asing
baginya.
"Perang mulut jadi ramai.
Lalu...."
Suropati mendelikkan mata karena
Palupi
tidak segera melanjutkan
ceritanya. Malah, me-
nangis terisak-isak lagi.
"Sebenarnya apa yang
terjadi dengan Dewi
Ikata? Apakah kemudian bertempur
dengan Pan-
geran Sadis itu?" desak
Suropati, tak mempedulikan kedukaan Palupi. Pikirannya jadi kalut ter-
bawa kekhawatiran.
Kepala Palupi mengangguk lemah.
"Dia
bertempur dengan Pangeran Sadis.
Dewi Ikata....
Dewi Ikata kalah...."
"Lalu? Dia terluka?"
"Tidak hanya
terluka...."
Mendelik mata Suropati mendengar
ucapan
Palupi. Jalan napasnya terasa
buntu mendadak.
Apalagi setelah melihat Palupi
meneteskan airma-
ta kembali.
"Apa yang kau maksud, Mbok?
Kenapa kau
katakan Dewi Ikata tidak hanya
terluka? Apakah
dia...?" Suropati tak mampu
melanjutkan kalimatnya. Cepat dia usir bayangan buruk yang ada di
benaknya. Namun, tetap saja
hatinya berdebar-
debar tak karuan.
"Maafkan aku.
Suro...," desis Palupi seperti menyesali peristiwa yang telah terjadi.
"Kenapa kau minta maaf?
Segeralah lan-
jutkan ceritamu tadi.... Aku
benar-benar bisa ma-ti penasaran!"
Palupi menatap wajah Pengemis
Binal le-
kat-lekat. "Kau mencintai
Dewi Ikata?" tanyanya dengan bola mata berkaca-kaca.
Suropati menelan ludah.
Kerongkongannya
terasa kering mendadak. Dengan
perasaan galau
dia membalas tatapan Palupi.
"Apa maksud pertanyaanmu, Mbok?"
"Jawablah pertanyaanku
dengan sejujur-
nya. Aku ingin tahu isi hatimu.
Aku ingin tahu
perasaanmu terhadap Dewi
Ikata...."
Pengemis Binal terdiam. Tapi
melihat ke-
sungguhan Palupi, akhirnya dia
menjawab, "Ya.
Aku mencintai Dewi Ikata,
Mbok...."
"Sungguh?"
"Ya."
"Kalau begitu, kau harus
segera membalas
kematian putri tunggal Gusti
Adipati Danubraja
itu."
"Hah?!"
Terkejut Suropati tiada terkira.
Melebihi
keterkejutannya andai dia
tersambar petir di
siang bolong. Hingga tanpa
sadar, dia meloncat ke belakang dengan bola mata melotot lebar seperti
hendak keluar dari rongganya.
Sementara, na-
pasnya pun terasa menemui jalan
buntu, Jan-
tungnya pun terasa berhenti
berdetak. Hingga un-
tuk beberapa lama,
Suropati terlihat megap-megap
bagai see-
kor ikan yang kehabisan air.
"Ap... apa yang kau
katakan, Mbok? De-
wi.... Dewi Ikata sudah... sudah...,"
ucap Suropati, terbata-bata.
"Kau harus membalas
kematiannya, Suro!
Kau harus membuat perhitungan
dengan Pange-
ran Sadis!"
"Jadi... jadi, benar bila
Dewi Ikata telah
meninggal?"
Palupi menegaskan ceritanya
dengan ang-
gukan kepala. Hati Suropati
kontan terasa dira-
jang seribu pedang tajam. Pedih
tiada terkira!
"Ika.... Ika...,"
desahnya berulang kali.
"Kau harus membalas
kematian kekasihmu
itu, Suro! Harus!" ujar
Palupi, pandangannya kembali nanar dengan dengus napas memburu,
menyimpan dendam-kesumat dalam
dada.
"Di mana... di mana jenazah
Ika sekarang,
Mbok...?" tanya Suropati,
menguatkan diri. Namun, butiran mutiara bening bergulir juga dari
sudut matanya. Memang, siapa
yang tak akan se-
dih dan terpukul hatinya
mendengar berita kema-
tian kekasihnya?
"Kau harus membalas
kekejaman Pangeran
Sadis itu, Suro!" sahut
Palupi. "Dia memenggal kepala Dewi Ikata, lalu membawanya pergi entah
ke mana. Aku yang bodoh dan tak
mampu ber-
buat apa-apa ini hanya dapat
menangis di sisi
badan tanpa kepala, kemudian
menguburkan-
nya...." "Oh...,"
keluh Suropati. "Apakah Gusti Adipati sudah tahu akan peristiwa ini?"
"Belum. Aku tidak berani
memberitahukan-
nya...." Pengemis Binal
menatap lekat wajah Palupi. Kerut-merut di wajah wanita itu menggambar-
kan kesedihan hatinya. Walau
Palupi dan Dewi
Ikata tidak mempunyai pertalian
apa-apa, tapi sejak kecil dialah yang mengasuh putri tunggal Adipati Danubraja
itu. Sehingga, kepergian gadis itu membuatnya sangat kehilangan.
"Bagaimanapun juga kau
harus memberi-
tahukan peristiwa ini kepada
Gusti Adipati. Wa-
lau sangat menyedihkan, tapi itu
lebih baik. Gusti Adipati harus tahu. Besok pagi-pagi sekali kau
harus kembali ke Pandapa
Kadipaten, Mbok. Ka-
takan apa yang terjadi. Gusti
Adipati tidak akan menyalahkan dirimu. Jadi, kau tidak perlu takut."
Usai mengucapkan pesannya,
Suropati
bangkit berdiri. Ditatapnya
sebentar wajah Palupi.
Lalu, dia membalikkan badan
untuk segera me-
lompat turun lewat jendela.
"Kau hendak ke mana,
Suro?" cegah Palu-pi.
"Mencari pemuda kejam yang
menamakan
dirinya Pangeran Sadis
itu," jawab Pengemis Binal tanpa menoleh.
"Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi, Mbok? Aku
harus cepat per-
gi. Aku tak mau petugas
penginapan memergoki-
ku berada di kamarmu. Aku bisa
dituduh berbuat
yang bukan-bukan."
"Pangeran Sadis
meninggalkan sesuatu."
Pengemis Binal membalikkan
badan. Palupi men-
geluarkan sampul kuning dari
balik bajunya.
Pengemis Binal menatapnya dengan
kening ber-
kerut rapat.
"Sengaja Pangeran Sadis
tidak membu-
nuhku, karena aku
diperintahkannya untuk me-
nyampaikan benda ini kepada
kekasih Dewi Ikata.
Kupikir, kekasih Dewi Ikata
adalah kau. Maka, terimalah...."
Suropati menerima sampul kuning
yang
disodorkan Palupi dengan hati
berdebar-debar.
Mengelamlah parasnya setelah
membaca surat
yang tersimpan di dalam sampul
kuning.
Aku tahu bila kematian Dewi
Ikata sangat
memukul hatimu. Tapi, kau tak
perlu membiarkan rasa sedihmu berlarut-larut. Kau bisa membalas kematiannya.
Karena itu, datanglah ke puncak Bukit Ranuglagah secepatnya.
Pangeran Sadis
"Keparat!" umpat
Pengemis Binal dengan darah bergolak naik sampai ke ubun-ubun. Ditatapnya
sebentar wajah Palupi, lalu dia meloncat
turun lewat jendela. Dan,
hilanglah sosok Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu ter-
telan kegelapan malam.
* * *
Sang Baskara sudah beranjak naik
ketika
Suropati menginjakkan kaki di
lereng Bukit Ra-
nuglagah. Tak dia pedulikan rasa
pegal dan kan-
tuk yang mendera. Dia harus
segera menjumpai
Pangeran Sadis. Sakit hatinya
harus terbalaskan.
Namun, badannya yang kurang
tenaga membuat
perjalanan jadi sedikit lambat.
Suropati menapaki jalan kecil
yang di ka-
nan-kirinya diapit barisan pohon
cemara. Pohon-
pohon yang tumbuh tegak lurus
itu semuanya
berwarna hijau, seperti selimut
hijau yang mela-
pisi seluruh permukaan bukit.
Jalan yang dilalui Suropati cuma
selebar
dua kaki. Jalan setapak yang
menuju ke puncak
itu tidak saja naik turun, tapi
juga berbelit-belit seperti usus kambing.
Belum seberapa jauh Suropati
mengayun-
kan langkah, mendadak telinganya
menangkap
suara napas orang yang diiringi
rintih kesakitan.
Cepat Suropati mengempos tubuh
untuk mencari
dari mana suara itu terdengar.
Dan, terkejutlah
dia ketika melihat seorang nenek
berpakaian ser-
ba ungu tengah duduk bersandar
di batang po-
hon cemara. Wajah nenek itu
masih kelihatan
cantik. Namun, dari sikapnya
jelas dia sedang
menderita sakit yang amat hebat.
Mulutnya tiada
henti merintih-rintih. Napasnya
pun terdengar
ngorok seperti ayam habis
disembelih.
"Siapa kau?" tanya
Pengemis Binal seraya berjalan mendekati. Namun, dia terkejut lagi setelah
mengenali siapa nenek berpakaian serba ungu
itu. Dia tak lain dari Arumsari
alias Dewi Tangan Api! Belum hilang keterkejutan Suropati ketika
Arumsari mengangkat tangan
kanannya. Tapi, se-
gera terjatuh karena dia sudah
tak bertenaga lagi
"Suropati...," desah
Arumsari, menguatkan diri. Pengemis Binal bergidik ngeri melihat kedua lengan
baju Arumsari robek lebar, menam-
pakkan kulit lengannya yang
berlubang-lubang.
Dari lubang-lubang luka itu
mengalir darah ber-
warna kehitaman. Sedangkan di
kedua pelipisnya
keluar keringat yang juga
berwarna kehitaman.
Pengemis Binal menduga bila
Arumsari
tentulah habis melakukan
pertempuran melawan
tokoh yang amat sakti. Pengemis
Binal tahu benar ketinggian ilmu guru Dewi Ikata itu. Maka, Pengemis Binal tak
dapat membayangkan kesaktian
tokoh yang berhasil melukai
Arumsari sedemikian
mengenaskan. Lalu, siapa tokoh
itu? Apakah dia
yang bergelar Pangeran Sadis
itu? Dan, luka-luka
yang diderita Arumsari ada
hubungannya dengan
dendam atas kematian Dewi Ikata?
"Kau... kau terluka amat
parah. Nek. Aku
harus segera
menolongmu...," ujar Suropati seraya memeriksa keadaan Dewi Tangan Api.
Se-
mentara yang diperiksa cuma
pasrah ketika Su-
ropati menotok beberapa jalan
darah di tubuh-
nya. "Aku harus membawamu
ke Bukit Rawan-
gun. Kau harus mendapat
pertolongan Kakek Wa-
jah Merah," ujar Suropati,
menyebut nama tabib pandai yang pernah beberapa kali menyelamatkan nyawanya.
Arumsari menggeleng.
"Totokan yang kau
berikan sudah cukup meringankan
rasa sa-
kitku...," tolaknya, lirih.
"Tapi, luka dalammu belum
sembuh. Akan
kusalurkan hawa murni
dulu...."
Arumsari yang keras kepala
menggeleng la-
gi. "Tidak perlu. Kau tak
usah khawatir. Nyawaku tidak akan melayang secepat yang kau duga. Aku
akan mengatakan sesuatu yang
harus segera kau
ketahui...."
"Apa? Ada hubungannya
dengan kematian
Dewi Ikata?" tanya Pengemis
Binal, mencoba menenangkan perasaannya walau dalam hati dia be-
gitu mengkhawatirkan keadaan
Arumsari.
"Kau tahu bila Dewi Ikata
dibunuh orang?"
Arumsari balik bertanya.
Suropati mengangguk. "Inang
pengasuh
Dewi Ikata yang menceritakannya
kepadaku."
"Dia juga memberi tahu bila
yang membu-
nuh Dewi Ikata adalah Setan
Laknat yang mena-
makan dirinya sebagai Pangeran
Sadis?"
"Ya. Oleh karena aku hendak
ke puncak
bukit ini untuk memenuhi
tantangan pembunuh
kejam itu."
"Jangan!" tukas
Arumsari, cepat.
"Kenapa? Tidakkah kau ingin
kematian
muridmu terbalaskan?"
"Pemuda yang bergelar
Pangeran Sadis itu
teramat sakti. Kau lihat
luka-luka ini. Dengan
mudah dia mengalahkan aku.
Sepertinya dia bu-
kan manusia!"
"Siapa pun dia, sampai di
mana pun ke-
tinggian ilmunya, aku tetap akan
membuat perhi-
tungan dengannya!"
"Tapi, gunakan pikiran
warasmu! Kau bisa
menjadikan apa yang terjadi atas
diriku sebagai
pelajaran."
Di ujung kalimatnya, Arumsari
bangkit
berdiri walau dengan
susah-payah. Dia menolak
bantuan Suropati.
"Kukatakan sekali lagi,
jangan naik ke
puncak bukit untuk membuat
perhitungan den-
gan Setan Laknat itu, temuilah
Datuk Risanwari."
Mendadak, kaki Arumsari menjejak
tanah.
Suropati hanya dapat garuk-garuk
kepala melihat
tubuh nenek keras kepala itu
melesat menuruni
bukit. "Hmmm.... Benarkah
Pangeran Sadis itu bukan manusia? Kalau dia manusia, bagaimana
mungkin Dewi Tangan Api berkata
bahwa dia da-
pat dikalahkan dengan mudah?
Bahkan, mampu
membunuh Dewi Ikata, yang aku
tahu benar ke-
tinggian ilmunya!"
Suropati menggaruk kepalanya
yang tak
gatal. Berulang kali dia
mendesah panjang. Dalam hatinya timbul rasa gentar. Namun, terbawa luapan
amarahnya cepat dia menepis rasa gentar-
nya. Dan melangkahlah dia
menaiki puncak bu-kit…
Emoticon