Mendadak, terdengar suara tawa
panjang
bergelak-gelak. Hantu Jangkung
merayap bangkit
dari atas tubuh Hantu Bongkok.
Begitu tubuhnya
terbebas dari beban yang cukup
berat, Hantu
Bongkok pun tertawa mengikik....
"Hi hi hi...! Hebat! Hebat
sekali kau, sua-
miku Hantu Jangkung. Kekuatan
yang kau dapat
dari Pesanggrahan Pelangi
benar-benar luar bi-
asa!"
"Ha ha ha...! Kau jangan
mengejek, istriku
Hantu Bongkok! Kaulah yang
hebat! Andai saja
aku tidak mengempos tenaga
sampai ke puncak,
mana aku dapat menahan geliatan
tubuhmu yang
begitu ganas. Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, Hantu Bongkok menepuk
pung-
gung suaminya yang tengah
tertawa puas. Den-
gan kening berkerut, dia memberi
isyarat mata.
"Berani datang ke tempat
kediaman Sepa-
sang Racun Api berarti telah
bosan hidup!" teriak
Hantu Jangkung yang dapat
menangkap isyarat
istrinya. "Keluar! Atau,
kulumatkan tubuh kalian
di tempat ini juga!"
Peramal Buntung dan Dewa Peramal
terke-
jut karena telah ketahuan. Untuk
beberapa saat
kedua kakek cacat itu tak tahu
apa yang harus
diperbuat.
"Bagaimana ini?" tanya
Peramal Buntung.
"Kita pergi!"
Mengingat nama Pesanggrahan
Pelangi dan
Siluman Ragakaca, Peramal
Buntung langsung
menyetujui gagasan Dewa Peramal.
Bertepatan
dengan tubuh mereka yang
berkelebat pergi, Han-
tu Jangkung mengibaskan telapak
tangan kanan-
nya. Segumpal api biru
mengandung racun ganas
melesat!
Blarrr...!
4
Pengemis Binal yang tengah tidur
di teras
kuil tersentak kaget merasakan
hembusan angin
kencang yang memperdengarkan
suara bersiut
keras. Bergegas pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini meloncat
bangun seraya mem-
buka mata lebar-lebar.
Ditatapnya dua orang ka-
kek cacat yang telah berdiri di
halaman kuil. Pe-
ramal Buntung dan Dewa Peramal!
"Kulihat wajah kakek berdua
pucat. Ku-
dengar tarikan napas kakek
berdua memburu pu-
la. Apakah ada sesuatu yang amat
menakutkan?"
ujar Suropati sambil mengucak-ucak matanya
yang masih terasa berat.
"Aku baru saja melihat
Sepasang Racun
Api...," beri tahu Peramal
Buntung.
"Kenapa dengan
mereka?"
"Telah terbukti bila mereka
menjadi kaki
tangan Siluman Ragakaca!"
Walau Peramal Buntung berkata
setengah
berteriak dan penuh kesungguhan,
Pengemis Bi-
nal tak menjadi terkejut.
Karena, remaja tampan
ini belum mengenal siapa Siluman
Ragakaca.65
"Bagaimana dengan gadis
itu?" tanya Dewa
Peramal, mengalihkan
pembicaraan. Maksudnya
menanyakan Putri Ayu Jelita.
"Dia telah pergi,"
jawab Pengemis Binal,
singkat.
"Hmmm.... Kalau begitu, dia
telah sembuh.
Memang, aku percaya betul pada
khasiat 'Akar
Kayangan'," ujar Dewa
Peramal, lirih. Lalu, kakek
buta ini memalingkan muka ke
arah Peramal
Buntung seperti dapat melihat,
seraya berkata,
"Tidak ada lagi yang dapat
kuperbuat di sini. Soal
Sepasang Racun Api bisa kita
rundingkan lain
waktu, sahabatku Peramal
Buntung."
Usai berkata, Dewa Peramal
menjejakkan
kaki kanannya tiga kali.
Tempurung kelapa mem-
bentur tanah keras. Tok! Tok!
Tok! Di lain kejap,
sosok Dewa Peramal telah hilang
dari pandangan.
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung melepaskan
kepergiannya tanpa berkata
apa-apa.
"Kau katakan tadi bahwa Sepasang
Racun
Api telah menjadi kaki-tangan
Siluman Ragakaca.
Siapa itu Siluman
Ragakaca?" tanya Pengemis Bi-
nal kemudian.
"Dia penguasa Pesanggrahan
Pelangi," ja-
wab Peramal Buntung.
"Pesanggrahan Pelangi?
Tempat macam
apa itu? Dan, di mana letaknya?"
"Maaf, Tuan Muda.... Aku
tak tahu."
Suropati garuk-garuk kepala
dengan alis
bertaut.
"Banyak tokoh di Negeri
Pasir Luhur ini
membicarakan Pesanggrahan
Pelangi. Namun, di
antara mereka sama sekali tak
ada yang tahu di
mana pesanggrahan itu berada.
Yang jelas, Silu-
man Ragakaca adalah seorang
tokoh sakti yang
baru-baru ini muncul dan membuat
gempar den-
gan menarik banyak tokoh tua
untuk dijadikan
kaki-tangannya. Semua
kaki-tangannya akan di-
beri sebuah tugas...."
"Apa?"
"Setiap orang berbeda.
Tugas apa itu, aku
tak tahu, Tuan Muda. Tapi
menilik dari orang-
orang yang bersedia jadi
kaki-tangan Siluman Ra-
gakaca, tugas yang diberikan itu
pastilah men-
gandung unsur
kejahatan...."
"Sebentar...," seru
Suropati. "Kenapa kau
selalu menyebutku dengan 'tuan
muda', Kek?"
Peramal Buntung tersenyum.
"Apakah
Tuan Muda lupa pada kejadian
kemarin?"
"Kejadian apa?"
"Aku kalah bertaruh dengan
Dewa Peramal.
Akibatnya, aku harus menepati
janjiku untuk
menjadi budak pengiring Tuan Muda
seumur hi-
dup."
"Ah! Itu terlalu berat
bagimu, Kek. Lagi pu-
la aku tak butuh budak
pengiring. Jika Kakek
mau bersahabat denganku saja,
itu sudah meru-
pakan kebahagiaan bagiku."
"Tapi... orang tua seperti
aku pantang men-
jilat ludah yang sudah ditumpahkan.
Bila Tuan
Muda menolak, aku malah akan
merasa terhina."
Pengemis Binal geleng-geleng
kepala men-
dengar ucapan Peramal Buntung.
Remaja tampan
ini jadi serba salah.
"Ketika bertempur kemarin
itu, Tuan Muda
menggunakan ilmu apa? Sambil
tidur, kenapa bi-
sa mengirim serangan begitu
hebat?" tanya Pe-
ramal Buntung kemudian.
"Arhat Tidur," jawab
Pengemis Binal, sing-
kat. Mendadak, remaja tampan ini
teringat pada
Putri Ayu Jelita yang tampaknya
menyimpan ma-
salah berat. Kenapa gadis itu
bertempur dengan
Sepasang Racun Api?
"Kau pergilah sesuka
hatimu, Kek...," kata
Pengemis Binal kemudian.
"Kalau aku memang
membutuhkan bantuanmu, aku pasti
mencari-
mu."
"Tapi...."
Peramal Buntung tak melanjutkan
kali-
matnya karena Pengemis Binal
keburu berkelebat
meninggalkan tempat. Tinggallah
kakek berompi
kuning ini terlongong bengong.
* * *
"Ada-ada saja kakek buntung
itu!" gerutu
Suropati. "Kenapa dia mau
menjadi budak pengi-
ringku, padahal dia belum kenal
siapa aku.
Hmmm.... Aku lupakan saja dia.
Lebih baik aku
mencari Putri Ayu Jelita. Ada
kesempatan bagus,
mana mau aku melepas begitu
saja...."
Pengemis Binal menghentikan
kelebatan
tubuhnya. Untuk beberapa lama
remaja konyol
ini cengar-cengir sambil
menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ke mana aku mencari gadis
itu?" tanya
Suropati kepada dirinya sendiri.
"Hmmm.... Dia
pernah berurusan dengan Sepasang
Racun Api.
Akan kupaksa mereka untuk
memberi keteran-
gan. Kakek Peramal Buntung
mengatakan bahwa
mereka telah menjadi kaki-tangan
Siluman Raga-
kaca. Sambil menyelam minum air.
Akan kukorek
keterangan dari mereka tentang
Pesanggrahan Pe-
langi dan Siluman Ragakaca.
Kalau mereka me-
nolak, hmmm…"
Terbawa pikiran di benaknya,
Pengemis Bi-
nal berlari cepat untuk segera
sampai di tempat
kediaman Sepasang Racun Api.
Namun baru saja
sampai di kaki gunung yang
dituju, di sebuah ja-
lan yang cukup lebar, sebuah
teriakan membuat
langkahnya terhenti.
"Tunggu dulu!"
Pengemis Binal menoleh ke
belakang. Kon-
tan remaja konyol ini tersenyum
senang ketika
tahu yang meneriakinya seorang
gadis cantik ber-
pakaian serba putih.
"Putri Ayu Jelita...,"
desis Pengemis Binal.
"Bukan," si gadis
menggeleng. "Aku bukan
Putri Ayu Jelita. Aku salah
seorang temannya."
Mendengar ucapan itu, Suropati
nyengir
kuda menyimpan rasa malu. Dia
telah salah lihat.
"Bukankah Tuan Muda yang
bernama si
Pengemis Binal Suropati?"
ujar gadis berpakaian
serba putih.
"Ya..., ya!"
"Ratu Istana Dalam sudah
lama mendengar
kebesaran nama Tuan Muda. Kini,
beliau berke-
nan untuk mengundang."
"Aku diundang Ratu Istana
Dalam? Diun-
dang untuk apa? Dan, siapa pula
Ratu Istana Da-
lam?" cerocos Pengemis
Binal, konyol.
"Nanti Tuan Muda juga akan
tahu sendiri."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala seben-
tar, lalu berkata, "Hmmm.... Kau katakan tadi
bahwa kau adalah salah seorang
teman Putri Ayu
Jelita. Bila aku memenuhi
undangan orang yang
kau sebut Ratu Istana Dalam itu,
apakah aku
akan berjumpa dengan Putri Ayu
Jelita?"
"Tuan Muda tak perlu
khawatir."
"Baiklah kalau
begitu," ujar Pengemis Binal
tanpa curiga. Remaja konyol ini
memang sering
jadi linglung bila berhadapan
dengan gadis can-
tik. Sambil tersenyum-senyum,
dia melanjutkan
kalimatnya, "Yang
mengundang aku seorang ratu.
Aku tentu akan masuk ke istana.
Ya..., ya aku se-
tuju. Tapi, kita naik
apa?"
"Lihatlah itu!"
Pengemis Binal mengarahkan
pandangan
ke tempat yang ditunjukkan si
gadis. Remaja ko-
nyol ini geleng-geleng kepala
sewaktu melihat se-
buah kereta yang berbentuk
burung merpati
emas. Empat kuda penariknya
berbulu kuning
berkilat, tampak gagah dan kuat.
Sementara, di
kanan kiri kereta terlihat enam
kuda putih yang
ditunggangi gadis-gadis cantik.
Semuanya berpa-
kaian serba putih dan memakai
ikat pinggang se-
lendang sutera kuning.
"Aku naik kereta itu?"
tanya Suropati, se-
tengah tak percaya.
"Ya. Kita berangkat
sekarang."
Tak lama kemudian, Suropati
telah berada
di dalam kereta kuda yang melaju
ke utara. Se-
makin lama semakin cepat. Angin
yang berhem-
bus semilir sejuk membuat
Suropati terlena, lalu
terlelap dalam buaian mimpi....
* * *
Suropati tak tahu sudah berapa
lama di-
rinya tertidur. Manakala bangun,
keterkejutan
menghantam. Dari balik jendela
kereta, Suropati
mengedarkan pandangan. Tak ada
lagi jajaran
pohon yang semula dia lihat
banyak tumbuh di
pinggir jalan-jalan yang
terlewati. Sebagai gan-
tinya, ke mana pun Suropati
memandang, yang
terlihat hanya gumpalan-gumpalan
kabut! Suro-
pati merasakan udara jadi amat
dingin. Sunyi se-
nyap! Tak terdengar lagi derap
langkah kuda! Pa-
dahal, kereta yang ditumpangi
Suropati terus me-
laju!
"Hei! Kalian membawa aku ke
mana?!" te-
riak Pengemis Binal dengan bulu
kuduk merind-
ing.
Enam gadis cantik yang berkuda
di kanan
kiri kereta diam membisu, tak
memberikan jawa-
ban. Demikian pula gadis cantik
yang menjadi
kusir kereta.
"Hei! Kalau kalian diam
saja, aku akan me-
loncat pergi!"
Pengemis Binal berteriak lebih
keras. Kare-
na tetap tak mendapat jawaban,
remaja tampan
ini membuka pintu kereta dengan
kasar. Dan,
mendeliklah mata Pengemis Binal.
Sewaktu men-
garahkan pandangan ke bawah,
hanya gumpalan-
gumpalan kabut yang terlihat!
"Kita sudah
sampai...," ujar gadis kusir
kemudian.
Dengan membawa perasaan bingung
dan
kalut, Suropati melongok ke
depan. Sekitar lima
tombak dari hadapan kereta kuda
yang telah ber-
henti, terlihat sebuah kapal
tanpa layar. Belasan
gadis cantik berpakaian serba
putih berdiri berja-
jar di atas geladak. Sikap
mereka seperti tengah
menunggu seorang tamu agung.
"Sekarang, kita melanjutkan
perjalanan
dengan naik kapal itu,"
ujar gadis kusir seraya
meloncat dari kereta.
Pengemis Binal hanya garuk-garuk
kepala
ketika lengannya digamit dan
dibawa meloncat.
Begitu kaki remaja yang tengah
kebingungan ini
menginjak geladak kapal, belasan
gadis cantik
yang telah menunggu langsung
membungkuk
hormat kepadanya.
"Apa arti semua ini?"
tanya Suropati, tak
mengerti.
"Bukankah Tuan Muda akan
memenuhi
undangan Ratu Istana
Dalam?" ujar gadis kusir.
"Ya. Tapi..., aku ini
sekarang berada di
mana?"
"Tuan Muda masih berada
dalam perjala-
nan menuju Istana Langit."
"Istana Langit? Jadi,
sekarang aku ini be-
rada di angkasa?"
Gadis kusir tak menjawab.
Sementara,
kapal telah melaju, menembus
gumpalan kabut.
Suropati terus nyerocos
mengajukan pertanyaan,
tapi tak satu pun pertanyaannya
yang dijawab.
Semua gadis yang di kapal diam
membisu. Akhir-
nya, Suropati turut membisu
juga.
Beberapa saat kemudian, Suropati
melihat
kapal lain di depan. Kapal itu
lebih besar dan le-
bih indah pula. Badan kapal
membentuk burung
merpati dan dilaburi warna emas.
"Sekarang, Tuan Muda
silakan pindah ke
kapal itu...," ujar gadis
kusir.
Pengemis Binal menatap wajah
gadis-gadis
di sekitarnya beberapa saat.
Semuanya diam.
Sementara, di atas Kapal Merpati
Emas telah me-
nanti seorang gadis yang telah
dikenal oleh Suro-
pati. Putri Ayu Jelita!
Merasa mendapat seorang teman,
bergegas
Suropati mengayunkan langkah
menuju anjun-
gan. Tapi mendadak, pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini
merasakan hembusan
angin kencang dari belakang.
Rambut dan pa-
kaiannya berkibar-kibar. Tak mau
tubuhnya ter-
lontar, segera dia mengerahkan
tenaga dalam un-
tuk menambah berat tubuhnya.
"Hmmm.... Gadis-gadis di
belakangku ini
sengaja menjajal kepandaianku.
Kalian boleh li-
hat...," kata Suropati
dalam hati.
Ketika angin ciptaan belasan
gadis berpa-
kaian serba putih berhembus
lebih kencang, Pen-
gemis Binal menggerendeng.
Terlihat kemudian,
sekujur tubuh Pengemis Binal
terbungkus cahaya
kebiruan. Tiupan angin tak kuasa
lagi mengibar-
kan rambut dan pakaian remaja
konyol ini. Apa-
lagi melontarkan tubuhnya!
Kini, tenang-tenang saja
Pengemis Binal
mengayunkan langkah. Sesampai di
anjungan,
ternyata jarak kapal yang
ditumpanginya dengan
Kapal Merpati Emas masih tiga
puluh tombak.
"Tuan Muda begitu hebat.
Pastilah Tuan
Muda dapat meloncat ke Kapal
Merpati Emas
dengan mudah!" seru salah
seorang gadis di bela-
kang Suropati.
Merasa mendapat tantangan,
Pengemis Bi-
nal menggerendeng lagi. Kalau
hanya jarak tiga
puluh tombak, Pengemis Binal
memang dapat
menempuhnya hanya dengan sekali
loncatan. Ta-
pi, dia tak mau mempertontonkan
ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah lazim
dilihat orang. La-
gi pula, remaja konyol ini
tengah menyimpan rasa
jengkel. Maka, dia ingin
menunjukkan kemam-
puannya yang lebih besar.
Sambil menarik napas
dalam-dalam, Suro-
pati mengangkat kedua telapak
tangannya hingga
menghadap Kapal Merpati Emas.
Belasan gadis
berpakaian serba putih berdecak
kagum ketika
melihat Kapal Merpati Emas
tersedot oleh telapak
tangan Suropati!
Saat jarak di antara dua kapal
tinggal satu
jengkal, Pengemis Binal meloncat
ke geladak Kap-
al Merpati Emas seraya berseru,
"Putri Ayu Jeli-
ta!"
Putri Ayu Jelita menyambut
dengan se-
nyum manis. Sesaat jiwa Pengemis
Binal terasa
terbang. Paras Putri Ayu Jelita
memang cantik
luar biasa. Lebih cantik dari
gadis-gadis yang
pernah dijumpai Pengemis Binal
sebelumnya.
Suropati pun menyangka Putri Ayu
Jelita-
lah yang disebut sebagai Ratu
Istana Dalam, yang
telah mengundangnya. Namun,
remaja konyol ini
kecele manakala....
"Ratu Istana Dalam telah
lama mengagumi
kepandaian Tuan Muda...,"
ujar Putri Ayu Jelita.
"Suatu kehormatan besar
bagi kami-kami peng-
huni Istana Langit. Tuan Muda
telah berkenan
memenuhi undangan junjungan
kami...."
"Kau bukan Ratu Istana
Dalam?" tanya Su-
ropati sambil garuk-garuk
kepala.
"Bukan. Saya hanyalah Ratu
Istana Luar
yang tak punya kepandaian
apa-apa. Kedudukan
saya di bawah Ratu Istana
Dalam."
Mendengar penjelasan Putri Ayu
Jelita,
Pengemis Binal mengangguk-angguk
walau belum
mengerti. Istana Langit? Ratu
Istana Dalam? Ratu
Istana Luar? Semua itu membuat
otak Suropati
jadi bebal. Belum lagi bila
mengingat Pesanggra-
han Pelangi dan Siluman
Ragakaca. Apakah Ista-
na Langit ada hubungannya dengan
Pesanggra-
han Pelangi?
Sementara Pengemis Binal larut
dalam pi-
kiran di benaknya, Kapal Merpati
Emas melaju
cepat. Setelah menembus
gumpalan-gumpalan
kabut, sampailah Pengemis Binal
di depan istana,
besar megah. Istana itu
terselubungi cahaya kee-
masan yang membuat gumpalan
kabut di seki-
tarnya menjadi berwarna keemasan
pula.
Suropati lalu dibawa masuk ke
istana. Dia
mengikuti langkah Putri Ayu
Jelita dengan hati
ragu. Namun, dalam diri remaja
konyol ini segera
timbul keinginan untuk
mengetahui rupa orang
yang disebut Ratu Istana Dalam.
Kedudukan Ra-
tu Istana Dalam lebih tinggi
dari Putri Ayu Jelita,
dia tentu lebih cantik pula.
Suropati jadi tak sa-
baran lagi untuk segera berjumpa
dengan Ratu
Istana Dalam.
Mengikuti langkah Putri Ayu
Jelita, Suro-
pati melangkah menapaki
jalan-jalan berliku di
dalam istana. Semakin lama
Suropati merasa te-
lah memasuki sarang tikus yang
amat membin-
gungkan. Sulit menentukan arah
mata angin. Ke-
pala Suropati jadi pening.
Untunglah perjalanan ini tidak
memakan
waktu banyak. Kini, Suropati
telah berada di se-
buah ruangan besar yang indah
luar biasa. Di sa-
na sini dipenuhi hiasan
gemerlap. Lebih indah da-
ri hiasan istana Prabu Arya
Dewantara ataupun
istana Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang
pernah Suropati masuki.
Namun..., Suropati jadi heran
tak habis
mengerti. Di dalam ruangan indah
itu bukan seo-
rang gadis cantik yang dia
temui, melainkan seo-
rang wanita setengah baya
bertubuh gemuk bun-
dar. Pipinya tembam, hidungnya
pesek, dan bi-
birnya tebal berwarna hitam.
Lebih buruk lagi,
kepala wanita itu halus licin
tak ditumbuhi sehe-
lai rambut pun!
"Si Pengemis Binal Suropati
telah saya ha-
dapkan, Yang Mulia Ratu Istana
Dalam...," ujar
Putri Ayu Jelita. Gadis cantik
ini membungkuk
hormat ke arah wanita gemuk yang
duduk di be-
lakang meja besar.
"Walah... walah...! Inikah
yang disebut Ra-
tu Istana Dalam?" kata hati
Pengemis Binal. "Tak
kusangka dia begitu buruk rupa.
Bagai bumi dan
langit bila dibandingkan dengan
Putri Ayu Jelita!"
"Terima kasih, Putri. Kau
boleh pergi," ujar
wanita gemuk yang memang Ratu
Istana Dalam.
Selagi Putri Ayu Jelita beranjak
keluar
ruangan, Pengemis Binal
garuk-garuk kepala.
"Kenapa berdiri saja?
Duduklah, Tuan Mu-
da...," ujar Ratu Istana
Dalam.
Suropati mengambil tempat di
kursi, ber-
hadapan dengan Ratu Istana
Dalam. Dia jadi jen-
gah melihat tatapan Ratu Istana
Dalam yang se-
perti hendak menelanjanginya.
Kontan kepalanya
menunduk terus.
"Hmmm.... Rupanya pemimpin
Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
adalah orang yang
sangat pemalu," ujar Ratu
Istana Dalam, tak tahu
sifat dan watak Suropati
sebenarnya. "Telah lama
kami, orang-orang Istana Langit,
mendengar na-
ma dan mengagumi ilmu kesaktian
Tuan Muda
Suropati. Maka, aku yang rendah
dan amat bodoh
ini memberanikan diri untuk
meminta beberapa
petunjuk istimewa dari Tuan
Muda...."
Sambil melempar senyum dan
kerlingan,
Ratu Istana Dalam menekan
pinggiran meja di
hadapannya. Suropati merasakan
sebuah getaran
aneh yang memaksanya mengangkat
wajah. Ter-
kesiap remaja tampan tapi konyol
ini melihat poci
arak besar yang semula berada di
atas meja telah
melayang setinggi satu depa!
"Jangan tertawakan
kepandaian yang tak
seberapa ini. Harap Tuan Muda
memberi petun-
juk istimewa nantinya."
Usai berkata, Ratu Istana Dalam
mengang-
kat tangan kirinya, sementara
tangan kanannya
tetap menekan pinggiran meja.
Mau tak mau Su-
ropati mesti berdecak kagum
manakala melihat
anggur merah di dalam poci
menyembur ke atas
seperti mata air yang baru
dibuka. Anggur merah
yang keluar dari poci tidak
menjadi buyar atau
tumpah ke permukaan meja dan
lantai, tapi ber-
kumpul menjadi gumpalan bulat
seperti bola!
Mendadak, tangan kiri Ratu
Istana Dalam
mengibas pelan. Bola anggur
merah pecah men-
jadi titik-titik halus yang
menebar ke seluruh
ruangan. Aroma harum anggur pun
tercium ke
mana-mana. Suropati terkesiap ketika titik-titik
anggur itu sebagian hendak
menghujani tubuh-
nya. Namun sebelum remaja konyol
ini bergerak
menghindar, Ratu Istana Dalam
menengadahkan
telapak tangan kirinya. Dan...,
titik-titik anggur
yang mirip air hujan berwarna
merah tidak mau
turun. Semuanya melayang seperti
ditahan oleh
sebuah kekuatan yang tak tampak
oleh mata!
"Kembali...!"
Diawali perintah demikian,
titik-titik ang-
gur yang melayang di dalam
ruangan menyerbu
masuk lagi ke dalam poci. Tanpa
ada setitik pun
yang tertinggal ataupun jatuh ke
lantai!
Poci yang telah dipenuhi anggur
merah lalu
turun kembali di atas meja. Melihat
Ratu Istana
Dalam yang sengaja menunjukkan
ilmu kepan-
daian itu Suropati cuma nyengir
kuda sambil ga-
ruk-garuk kepala.
"Tuan Muda jangan
mentertawakan kepan-
daianku yang tidak ada artinya
ini...," ujar Ratu
Istana Dalam. Walau merendah,
tapi nadanya je-
las menunjukkan sebuah
tantangan.
Pengemis Binal menatap wajah
Ratu Istana
Dalam sekilas. Lalu, diam-diam
remaja konyol ini
menjepit pinggiran meja dengan
sepuluh jari tan-
gannya. Tanpa diketahui oleh
Ratu Istana Dalam,
kekuatan tenaga dalam yang panas
luar biasa
mengalir menuju poci anggur yang
terletak di ten-
gah meja. Di lain kejap,
terdengar suara mende-
sis. Namun Ratu Istana Dalam
tidak menaruh cu-
riga apa-apa.
"Pada saatnya nanti kami,
orang-orang Is-
tana Langit, meminta dengan
penuh pengharapan
kepada Tuan Muda untuk
memberikan petunjuk
yang benar-benar
istimewa...," kata Ratu Istana
Dalam kemudian. "Namun,
saat ini kami tidak pa-
tut mengharap terlalu banyak.
Tuan Muda kami
undang sebagai tamu terhormat.
Kami wajib me-
nyambut kedatangan Tuan Muda
terlebih dulu.
Marilah kita minum secawan dua
cawan anggur
yang telah tersedia...."
Setelah berkata, Ratu Istana
Dalam meraih
sebuah cawan yang terletak di
samping poci. Na-
mun, betapa terkejutnya wanita
gemuk berkepala
gundul ini. Sewaktu meraih poci,
dia tidak meli-
hat setetes pun anggur di
dalamnya!
Sadarlah Ratu Istana Dalam bila
Suropati
telah membuat anggur merah dalam
poci men-
guap habis, yang tentunya
dengan mengalirkan
kekuatan tenaga dalam yang
mengandung hawa
panas luar biasa!
"Bagus! Bagus!" seru
Ratu Istana Dalam.
"Diam-diam Tuan Muda telah
memberi petunjuk
kepada diriku yang bodoh dan
sangat kurang
pengalaman ini."
"Ratu mengundangku kemari
apakah
hanya untuk diajak bermain-main seperti ini?"
ujar Pengemis Binal.
"Oh! Tentu saja
tidak," sahut Ratu Istana
Dalam. "Tapi kalau aku
berterus terang, aku ta-
kut Tuan Muda akan tersinggung
dan marah...."
"Hmmm.... Kenapa mesti
tersinggung? Ke-
napa pula mesti marah bila Ratu
tidak bermak-
sud buruk terhadapku?"
'Ya..., ya! Memang lebih baik
aku berterus
terang. Bertambah keyakinanku
bila Tuan Muda
memang seorang tokoh yang sangat
berbudi...."
"Jangan terlalu memuji,
Ratu!" potong Pen-
gemis Binal. "Bila salah
aku menerima, kepalaku
akan membengkak, aku akan jadi
sombong.'"
"Ya, ya, ya!" Ratu
Istana Dalam mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Kukatakan saja bila ka-
mi, orang-orang Istana Langit,
sangat mengharap
uluran tangan Tuan Muda."
"Uluran tangan? Maksud
Ratu, meminta
bantuanku?"
"Ya. Sebenarnya aku, Putri
Ayu Jelita, dan
gadis-gadis lainnya penghuni
Istana Langit ini te-
lah kehilangan seorang ratu
junjungan...."
"Jadi, pemegang kekuasaan
tertinggi di is-
tana ini bukan kau, Ratu Istana
Dalam?"
"Bukan. Seperti sebuah
kerajaan, peme-
gang kekuasaan di Istana Langit
juga dibagi-bagi
menjadi beberapa tingkatan.
Gadis-gadis yang
Tuan Muda lihat sebelum masuk ke
istana ini
adalah warga biasa. Mereka semua
mengenakan
ikat pinggang selendang sutera
berwarna kuning.
Mereka dipimpin oleh Ratu Istana
Luar yang
mengenakan ikat pinggang
selendang sutera me-
rah. Ratu Istana Luar itu adalah
Putri Ayu Jelita.
Dan, kepemimpinan Ratu Istana
Luar harus di-
pertanggungjawabkan kepada Ratu
Istana Da-
lam..."
"Kepadamu?"
"Ya. Sebutanku di sini
memang Ratu Istana
Dalam. Namaku sebenarnya adalah
Putri Impian."
"Nama yang begitu
bagus...," kata Pengemis
Binal dalam hati. "Sayang,
yang punya nama ti-
dak begitu cocok untuk kujadikan
putri impian
yang sebenarnya."
"Sebagai Ratu Istana Dalam,
aku bertang-
gung jawab kepada Ratu
Tertinggi," lanjut Ratu
Istana Dalam atau Putri Impian.
"Dan, bantuan
yang kami harap dari Tuan Muda
adalah berke-
naan dengan beliau Ratu
Tertinggi, yang saat ini
disekap oleh Siluman Ragakaca di
Pesanggrahan
Pelangi...."
Terkejut Pengemis Binal
mendengar penje-
lasan Putri Impian. Jadi, benar
dugaannya bila Is-
tana Langit dan Pesanggrahan
Pelangi mempu-
nyai hubungan.
"Siapakah Ratu Tertinggi
itu? Dan, bagai-
mana bisa sampai disekap oleh
Siluman Ragaka-
ca?" tanya Suropati,
penasaran.
"Tentang cerita bagaimana
Ratu Tertinggi
bisa sampai disekap oleh Siluman
Ragakaca, aku
tak bisa menjelaskan. Karena,
menyangkut uru-
san pribadi sang ratu. Tapi,
kalau Tuan Muda
menanyakan siapa Ratu Tertinggi
itu, aku bisa
menjelaskan. Beliau telah Tuan
Muda kenal. Dia
adalah...."
Belum selesai ucapan Putri
Impian, men-
dadak segumpal asap mengepul di
sudut ruan-
gan. Begitu asap itu lenyap,
muncul sesosok tu-
buh berwujud mengerikan!
5
Sosok tubuh yang tiba-tiba
muncul ini
berwajah rata. Hidungnya hanya
berupa dua lu-
bang sebesar kacang tanah.
Matanya satu, na-
mun besar berwarna merah darah,
terletak di
tengah-tengah jidat. Kepalanya
yang berambut
gimbal ditumbuhi dua tanduk yang
mempunyai
ujung bercabang seperti tanduk
rusa. Sekujur tu-
buhnya ditumbuhi bulu lebat
berwarna kuning
kemerahan. Sikap berdirinya
berjongkok, hingga
ujung ekor yang mencuat dari
pantatnya menyen-
tuh permukaan lantai.
"Iblis Mata Satu...!"
desis Putri Impian se-
raya bangkit dari tempat
duduknya.
Pengemis Binal meloncat dan
merapat ke
dinding karena terhantam
keterkejutan. Kemun-
culan si makhluk mengerikan yang
begitu men-
dadak telah membuat Pengemis
Binal berkeringat
dingin. Tanpa terasa bulu
kuduknya pun telah
berdiri.
Makhluk yang disebut Iblis Mata
Satu me-
nyeringai. Menampakkan dua
taringnya yang
runcing berkilat. Giginya yang
lain kecil-kecil na-
mun kelihatan tajam seperti mata
gergaji. Sambil
mengangkat tangannya yang
berbulu lebat, dia
berkata dengan suara keras
membentak. "Hari ini
kau belum mengirimkan barang!
Kenapa?!"
Putri Impian yang dituding
menarik napas
panjang. "Bukan maksud kami
tidak mau mengi-
rimkan barang permintaan Siluman
Ragakaca. Ini
karena warga kami yang telah
menyusut. Lagi pu-
la, ratu junjungan kami sampai
saat ini belum
ada kabar bcritanya. Bagaimana
kami harus
mengirimkan barang, sementara
kami belum tahu
keselamatan Ratu Tertinggi?"
"Hmmm.... Hal itu tak perlu
kau khawatir,
Putri Impian!" sentak Iblis
Mata Satu, bernada
marah. "Ratu junjunganmu
bukan anak kecil
yang masih memerlukan perawatan
orang lain.
Siluman Ragakaca menjamin
keselamatan Ratu
Tertinggi selama kau melaksanakan
kewajiban
dengan baik!"
Mendengar kata-kata Iblis Mata
Satu yang
sangat kasar dan amat
meremehkan, merah pa-
dam muka Putri Impian. Walau
dalam diri wanita
gemuk ini menyimpan rasa gentar,
tapi dari mu-
lutnya keluar kata-kata yang
menunjukkan ke-
marahan.
"Iblis Mata Satu keparat!
Bawahan Siluman
Ragakaca yang busuk dan culas!
Tak usah me-
mutar lidah di sini! Aku tahu
akal bulusmu. Jan-
ganlah kau memandang sebelah
mata kepada
kami orang-orang Istana Langit!
Jika Siluman Ra-
gakaca berani mengganggu
selembar rambut Ratu
Tertinggi saja, kami
akan...."
"Ha ha ha...!" Iblis
Mata Satu memotong
ucapan Putri Impian dengan tawa
bergelak. "Ratu
Tertinggi yang begitu sakti pun
dapat dilumpuh-
kan, apalagi kau yang gembrot
dan masih sering
ngompol itu, Putri Impian!"
Mendidih naik darah Putri Impian
menden-
gar ejekan pedas Iblis Mata
Satu. Namun, wanita
berkepala gundul ini tak dapat
berbuat apa-apa.
Dia sadar bila keselamatan ratu
junjungannya
ada di tangan Siluman Ragakaca
yang merupakan
tuan dari Iblis Mata Satu.
"Kau tidak mengirim barang
hari ini tidak
jadi apa. Tapi, besok kau harus
mengirimkannya
berlipat dua!" ujar Iblis
Mata Satu sambil menu-
dingkan telunjuk jari tangannya
yang berkuku
runcing hitam.
Mendadak..., muncul tiupan angin
ken-
cang. Sebuah bayangan putih
berkelebat. Tahu-
tahu Iblis Mata Satu telah
berdiri kaku tanpa da-
pat bergerak sama sekali!
"Lewat bicaramu tadi, aku
tahu kau orang
bawahan Siluman Ragakaca yang
jahat! Penghuni
Pesanggrahan Pelangi tak lebih
dari perampok hi-
na-dina yang suka merampas
barang orang lain
dengan licik!" bentak
Pengemis Binal. Remaja ko-
nyol inilah yang telah menotok
jalan darah di tu-
buh Iblis Mata Satu.
Tidak ada lagi rasa giris dan
ngeri dalam
diri Pengemis Binal. Yang ada
hanyalah keinginan
menyingkirkan keangkaramurkaan.
Dari pembi-
caraan Iblis Mata Satu dan Putri
Impian tadi,
Pengemis Binal tahu duduk
persoalan yang me-
nyangkut Istana Langit dan
Pesanggrahan Pelan-
gi. Maka, dia mengambil
keputusan untuk me-
lumpuhkan Iblis Mata Satu.
"Harap Ratu memaafkan
kelancanganku
ini...," ujar Suropati
kepada Putri Impian. Remaja
konyol ini lalu mendelikkan mata
ke arah Iblis
Mata Satu. "Jika kau masih
sayang pada nyawa-
mu, lekas beritahukan siapa itu
Siluman Ragaka-
ca! Dan, di mana letak
Pesanggrahan Pelangi!"
Walau dalam keadaan ditotok
kaku, Iblis
Mata Satu tidak menjadi takut
akan ancaman Su-
ropati. Makhluk berbulu lebat
seperti monyet ini
malah tertawa bergelak. "Ha
ha ha...! Apa kau ki-
ra aku ini bocah ingusan yang
gampang ditakut-
takuti?! Jika kau mengharap
keterangan dariku,
sama halnya dengan mengharap
pohon kelapa
bercabang!"
Pengemis Binal mendengus gusar.
Melihat
nyali Iblis Mata Satu yang
begitu besar, remaja
konyol ini tak dapat menahan
hawa amarah.
Hendak diujinya ketahanan Iblis
Mata Satu. Maka
dengan mengerahkan seperempat
bagian ilmu to-
tokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa', dia menotok
beberapa jalan darah terpenting
di tubuh Iblis
Mata Satu!
"Wuah...!"
Mulut Iblis Mata Satu terbuka
lebar, mem-
perdengarkan pekik kesakitan
keras. Tubuhnya
yang kaku kejang terlihat
bergetar. Dari sudut
matanya yang besar, mengalir
cairan bening. Dia
tengah merasakan siksaan hebat!
Putri Impian yang melihat
perlakuan Suro-
pati tampak terkejut. Wajah
wanita gemuk ini jadi
pucat. Putri Impian khawatir
bila perlakuan Su-
ropati pada Iblis Mata Satu akan
mengundang
amarah Siluman Ragakaca. Dan,
itu berarti kese-
lamatan Ratu Tertinggi terancam!
Pengemis Binal dapat membaca
kekhawati-
ran Putri Impian. Dengan tenang
ia berkata, "Per-
buatanku ini tak ada
sangkut-pautnya dengan Is-
tana Langit. Segala akibatnya
akan kutanggung
sendiri!"
Sengaja Pengemis Binal
mengeraskan sua-
ranya agar Iblis Mata Satu dapat
mendengar pula.
"Peredaran darah di tubuhmu
telah kubuat
kacau. Seluruh kepandaianmu
telah lenyap. Hen-
dak kulihat sampai di mana
kekuatanmu untuk
menyimpan rahasia!" ujar
Pengemis Binal kemu-
dian.
Iblis Mata Satu tak berkata
apa-apa. Dia
merasakan sekujur tubuhnya
panas, pedih, dan
gatal, bagai ada ribuan semut
yang tengah meng-
gigit-gigit. Hawa murninya
terpecah-belah, tak
dapat dikumpulkan lagi. Dia
mencoba menghim-
pun kekuatan untuk melawan totokan
Suropati,
tapi tak mampu. Rasa sakit malah
menyiksa he-
bat. Kepalanya pening luar
biasa, bagai dipukuli
palu godam. Sementara, keringat
dingin bertete-
san dari balik bulu lebat di
tubuhnya.
"Di antara kita tidak ada
dendam permu-
suhan. Kenapa kau sampai hati
berbuat kejam
seperti ini...?" ujar Iblis
Mata Satu, memelas.
Pengemis Binal menatap si
makhluk berbu-
lu lebat yang tampak menangis
karena tak kuasa
menahan rasa sakit. Dalam hati
Pengemis Binal
timbul belas kasihan juga. Tanpa
pikir panjang
lagi, dilepaskannya totokan di
tubuh Iblis Mata
Satu.
Namun... begitu terbebas, Iblis
Mata Satu
tertawa bergelak. "Ha ha
ha...! Jahanam kau, Bo-
cah Gemblung! Berani mengganggu
penghuni Pe-
sanggrahan Pelangi, berarti
menanam bibit per-
musuhan dengan Siluman
Ragakaca!"
Usai berkata, Iblis Mata Satu
yang hanya
mengenakan cawat menyambar
kepala Pengemis
Binal untuk dibuat tanggal!
Gerakannya cepat se-
kali. Lima jari tangannya yang
berkuku runcing
hitam tahu-tahu telah berada di
depan mata Pen-
gemis Binal!
"Hiah...!"
Wuttt...!
Untunglah Pengemis Binal selalu
menjaga
kewaspadaan. Dia membuang
tubuhnya ke bela-
kang, hingga sambaran Iblis Mata
Satu hanya
mengenai tempat kosong.
"Tunggu saja! Hari
kematianmu akan sege-
ra tiba!" ujar Iblis Mata Satu seraya mengelua-
rkan sekeping batu tipis hijau
dari balik cawat-
nya.
Batu tipis sebesar uang logam
itu lalu di-
tempelkan di lidahnya. Begitu
makhluk itu men-
gatupkan mulut, Pengemis Binal
dan Putri Impian
tersentak kaget Sosok Iblis Mata
Satu tiba-tiba
lenyap meninggalkan segumpal
asap, yang kemu-
dian lenyap pula!
"Celaka!" seru Putri
Impian, kalut dan pe-
nuh rasa khawatir.
"Kau kenapa, Ratu?"
tanya Pengemis Binal
sambil garuk-garuk kepala.
"Jika peristiwa ini
diketahui Siluman Raga-
kaca, Ratu Tertinggi akan
dibunuh. Istana Langit
akan dihancurkan!"
"Jangan khawatir,
Ratu!" sentak Pengemis
Binal. "Sudah kukatakan
bila perbuatanku tadi
adalah tanggung jawabku sendiri.
Iblis Mata Satu
pun telah mendengar apa yang
kukatakan ini. Ti-
dak bakalan dia melaporkan hal
yang bukan-
bukan kepada Siluman
Ragakaca."
"Tapi..., bukan tidak
mungkin Siluman Ra-
gakaca akan berbuat di luar
perhitungan Tuan
Muda...."
"Ratu jangan terlalu
menyimpan prasangka
buruk!" sentak Suropati
lagi. "Aku akan datang ke
Pesanggrahan Pelangi. Kalau Ratu
tahu, katakan
saja di mana tempat itu
berada...."
"Jangan! Tuan Muda jangan
datang ke sa-
na!"
"Kenapa?"
"Ah! Sudahlah!"
Putri Impian mendesah panjang
beberapa
kali. Keningnya berkerut rapat.
Hati Pengemis Bi-
nal jadi tak enak. Dia telah
telanjur mencampuri
urusan orang lain. Tapi,
bukankah Putri Impian
mengatakan bila dia ingin minta
bantuannya?
"Apa yang Ratu pikirkan?
Bila Ratu jadi
meminta bantuanku, kuulurkan
kedua tanganku
sekarang juga," tegas
Pengemis Binal.
"Benarkah itu?" Putri
Impian menatap wa-
jah Suropati dengan mata
berbinar.
"Ya."
"Tapi...." Sinar mata
Putri Impian meredup
lagi.
"Sepertinya masih ada
sesuatu yang meng-
ganjal perasaan Ratu. Katakan
saja apa yang ha-
rus kulakukan," tawar
Pengemis Binal.
"Untuk saat ini belum ada
yang dapat Tuan
Muda lakukan untuk kepentingan
Istana Langit
Namun, aku akan memberikan
sesuatu kepada
Tuan Muda...."
Putri Impian mengambil sesuatu
dari balik
bajunya yang berwarna putih.
Pengemis Binal
menatap tak mengerti ketika
disodori lempengan
batu sebesar uang logam berwarna
hijau. Batu itu
persis yang dibawa Iblis Mata
Satu.
"Ambillah!"
"Apa itu?"
"Ini sebuah batu mustika
yang hanya ada
dua di dunia ini. Yang satu
dibawa oleh Iblis Mata
Satu tadi."
"Kenapa diberikan
kepadaku?"
"Karena Tuan Muda telah
menyanggupi un-
tuk membantu mengatasi kemelut
di Istana Lan-
git ini. Terimalah!"
Dengan hati berdebar-debar,
Pengemis Bi-
nal menerima batu yang
disodorkan Putri Impian.
Sewaktu mengamati, Pengemis
Binal melihat
gambar dua pasang merpati emas
di dalam batu.
Sepasang merpati itu seperti
sedang terbang di
angkasa yang dipenuhi kabut
berwarna hijau.
"Batu itu bernama Mustika
Batu Merpati,"
beri tahu Putri Impian.
"Kegunaannya telah Tuan
Muda lihat sendiri. Bila Tuan
Muda menempelkan
batu itu ke lidah, maka Tuan
Muda akan dapat
menghilang."
"Menghilang? Menghilang ke
mana?" tanya
Pengemis Binal yang seperti
mendengar dongeng
anak-anak.
"Menghilang ke tempat yang
Tuan Muda
inginkan," jelas Putri
Impian.
"Seperti yang dilakukan
oleh Iblis Mata Sa-
tu tadi?"
"Ya."
"Berarti dengan batu ini
aku akan dapat
mendatangi Pesanggrahan
Pelangi?"
Putri Impian menggelengkan
kepala. "Pe-
sanggrahan Pelangi telah
dilindungi kekuatan
gaib yang sulit ditembus. Aku
telah mencoba be-
berapa kali dengan menggunakan
Mustika Batu
Merpati yang Tuan Muda bawa itu,
tapi tubuhku
terlontar balik dan kembali ke
Istana Langit."
"Lalu, apa yang bisa
kuperbuat untuk ke-
pentingan Istana Langit?"
"Pada saatnya nanti, Tuan
Muda akan tahu
sendiri. Sekarang, Tuan Muda
boleh kembali.
Tuan Muda tak perlu lagi
menempuh perjalanan
dengan Kapal Merpati Emas
ataupun Kereta Mer-
pati Emas. Tuan Muda cukup
menentukan tujuan
dalam hati, lalu menempelkan
Mustika Batu Mer-
pati ke lidah."
"Ya..., ya! Terima kasih,
Ratu!"
Pengemis Binal mengamati lagi
batu mus-
tika di tangannya. Seperti teringat sesuatu yang
penting, remaja konyol ini
menatap wajah Putri
Impian lekat-lekat.
"Tadi, Iblis Mata Satu
datang kemari untuk
meminta barang. Kalau boleh aku
tahu, barang
apakah itu?" tanya Suropati
penuh kesungguhan.
"Sejak Ratu Tertinggi disekap
oleh Siluman
Ragakaca, kami harus mengirimkan
barang upeti
setiap hari, yaitu lima gadis
warga Istana Langit!"
Terkejut Suropati mendengar
penjelasan
Putri Impian. "Untuk
apa?" desisnya, setengah tak
percaya.
"Aku tak tahu. Mungkin
untuk dijadikan
budak atau orang
semacamnya."
"Biadab!" geram
Pengemis Binal.
"Ya..., ya! Siluman
Ragakaca memang bi-
adab! Tapi, kami tidak mampu
menghentikan ke-
biadaban itu!"
"Hmmm.... Walau aku belum
bisa menda-
tangi Pesanggrahan Pelangi, tapi
aku tentu bisa
membasmi kaki-tangan Siluman
Ragakaca," kata
hati Suropati. Murid Periang
Bertangan Lembut
ini teringat pada Sepasang Racun
Api yang dika-
takan Peramal Buntung sebagai
kaki-tangan Si-
luman Ragakaca. Sepasang Racun
Api pernah
meracuni Putri Ayu Jelita. Itu
sudah cukup dija-
dikan alasan untuk membuat
perhitungan den-
gan mereka.
"Kukira sudah sampai
waktunya aku mo-
hon diri, Ratu...," pinta
Pengemis Binal kemudian.
"Aku mewakili seluruh warga
Istana Langit
untuk melepas kepergian Tuan
Muda dengan se-
nang hati. Terima kasih atas
kesediaan Tuan Mu-
da untuk membantu kami."
Selagi Putri Impian membungkuk
hormat,
Pengemis Binal membayangkan
tempat kediaman
Sepasang Racun Api yang terletak
di sebuah lem-
bah di lereng gunung. Sedikit
ragu Pengemis Bi-
nal menempelkan Mustika Batu
Merpati ke lidah.
Namun, begitu mulutnya
dikatupkan, dia mera-
sakan tubuhnya diangkat tangan
raksasa lalu di-
lemparkan dengan tenaga amat
dahsyat!
* * *
Krosakkk...!
Kepala Pengemis Binal terasa
pening. Se-
mua yang dilihatnya dalam
keadaan terbalik. Re-
maja konyol ini merasa tubuhnya
terayun-ayun.
Sementara, hembusan angin
memainkan anak-
anak rambutnya yang terburai tak
karuan. Se-
waktu memperhatikan keadaan di
sekitarnya, ta-
hulah dia bila dirinya
tersangkut di cabang pohon
yang cukup tinggi. Kain
celananya tersangkut di
patahan ranting kering!
"Uh! Celaka tiga
belas!" rutuk Pengemis Bi-
nal.
Remaja konyol ini terkejut
melihat ada se-
suatu yang jatuh dari mulutnya.
Lempengan batu
hijau sebesar uang logam yang
tak lain dari....
"Mustika Batu
Merpati...!" desis Pengemis
Binal.
Bergegas remaja konyol ini
menekuk tubuh
untuk melepas kain celananya
yang tersangkut di
patahan ranting kering. Pada
saat inilah sesosok
bayangan berkelebat, dan
menyambar Mustika
Batu Merpati yang tergeletak di
atas tanah!
"Hei...!" hardik
Suropati yang tahu ada
orang mencuri batu mustika
pemberian Putri Im-
pian.
Belum selesai Pengemis Binal
melepaskan
kain celananya yang tersangkut,
bayangan pencu-
ri telah hilang di balik
pepohonan.
"Pencuri busuk!" maki
Suropati.
Serta-merta dia mengetrapkan
ilmu 'Mata
Awas' untuk mengetahui ke mana
menghilangnya
bayangan si pencuri. Begitu
remaja berpakaian
putih penuh tambalan ini membuka
mata lebar-
lebar, terlihat olehnya bila
pencuri Mustika Batu
Merpati adalah seorang wanita
berpakaian ketat
merah kuning. Rambutnya telah
memutih semua.
Mengenakan penutup kepala dari
emas yang mi-
rip mahkota seorang raja.
"Haram jadah! Kuntilanak
bunting!"
Sambil mengumpat-umpat, Suropati
beru-
saha melepaskan kain celananya
yang masih ter-
sangkut di patahan ranting
kering. Belum juga
dapat dirinya terbebas, sebuah
teriakan keras te-
lah menggetarkan isi dadanya.
"Berani datang ke tempat
kediaman Sepa-
sang Racun Api, berarti telah
bosan hidup!"
Pengemis Binal sadar bila
teriakan itu be-
rasal dari salah seorang
Sepasang Racun Api. Ba-
haya tengah mengintai! Tanpa
pikir panjang lagi,
Pengemis Binal menghentakkan
kaki kanannya.
Di lain kejap, kain celananya
telah robek. Dan,
tubuh remaja konyol ini meluncur
jatuh dengan
kepala berada di bawah!
"Haya!"
Tangan kanan Pengemis Binal
mengibas.
Tiupan angin kencang membuat
tubuhnya me-
lenting. Setelah berjumpalitan,
dia mendarat den-
gan mulus tanpa kurang suatu
apa. Hanya kain
celananya yang robek sepanjang
satu jengkal.
Sekitar dua puluh tombak dari
hadapan
remaja konyol ini terpampang
sebuah pemandan-
gan yang cukup menggidikkan.
Tulang belulang
manusia menumpuk dan bertebaran
menutupi
permukaan tanah. Sementara, dua
sosok manu-
sia berjubah hitam berdiri tegak
menantang den-
gan pandangan tajam penuh nafsu
membunuh.
Yang satu seorang kakek tinggi
jangkung, berwa-
jah buruk, dan berambut riap-riapan.
Yang seo-
rang lagi berupa nenek bongkok
keriputan, ber-
wajah buruk pula. Hantu Jangkung
dan Hantu
Bongkok!
"Hmmm.... Sepasang Racun
Api! Kaki-
tangan Siluman Ragakaca!"
dengus Suropati se-
raya meloncat mendekati.
"Melihat tulang belu-
lang yang menumpuk begitu
banyak, kalian pasti
suka membunuh orang. Hmmm....
Hari ini akan
kubalaskan dendam orang-orang
yang telah ka-
lian bunuh itu. Akan kutaboki
pantat kalian. Se-
telah terkencing-kencing, mulut
kalian akan ku-
cekoki dengan kencing kalian sendiri!"
Mendengus gusar Sepasang Racun
Api
mendengar ancaman konyol
Pengemis Binal. Se-
cara bersamaan, mereka
menggedrukkan kaki.
Diiringi suara berderak-derak,
tumpukan tulang
berhamburan ke arah Suropati!
"Aku tak sudi menerima
pemberianmu ini!"
Sambil berteriak demikian,
Suropati men-
gibaskan telapak tangan
kanannya. Timbul ti-
upan angin kencang menderu-deru.
Tulang belu-
lang menghambur balik ke arah
Sepasang Racun
Api!
Terdengar teriakan gusar
Sepasang Racun
Api. Mereka sama-sama menegakkan
tubuh se-
raya meniup bersamaan. Timbul
ledakan keras.
Tulang belulang hancur-lebur
menjadi serbuk ha-
lus berwarna putih yang segera
lenyap diterbang-
kan angin gunung!
"Hmmm.... Wujudmu tak lebih
dari seorang
bocah yang masih bau kencur!
Tapi, kata-katamu
begitu pedas dan amat
menyakitkan hati. Kalau-
pun kau punya kepandaian, jangan
kira kau da-
pat melihat mentari sampai esok
hari! Terimalah
kematianmu!"
Di ujung kalimatnya, Hantu
Jangkung
menghentakkan kedua telapak
tangannya ke de-
pan. Dua gumpal api biru melesat
ke arah Suro-
pati!
Mengetahui Hantu Jangkung telah
menge-
luarkan ilmu 'Racun Pencair
Raga' yang amat ga-
nas, Suropati mengalirkan
seluruh kekuatan te-
naga dalamnya ke tangan kanan.
Begitu perge-
langan tangannya berubah merah
membara, uda-
ra di sekitar lembah terasa dingin menusuk tu-
lang. Sambil memekik nyaring,
Suropati melepas
pukulan 'Salju Merah'!
"Hiah...!"
Blarrr...!
Dua gumpal api biru yang melesat
dari te-
lapak Hantu Jangkung lenyap
tertelan sinar me-
rah yang menebarkan hawa dingin
luar biasa.
Hantu Jangkung menjerit parau
ketika tubuhnya
yang terbungkus salju berwarna
merah jatuh ter-
jengkang di atas tumpukan
tulang. Dalam kea-
daan kaku kejang, nyawa kakek
buruk rupa ini
melayang ke alam baka!
6
Hantu Bongkok terkejut bagai
disambar pe-
tir. Bersama dirinya, Hantu
Bongkok melatih ilmu
'Racun Pencair Raga' selama
puluhan tahun.
Bahkan, telah mendapat tambahan
kekuatan dari
Siluman Ragakaca. Tapi,
bagaimana mungkin su-
aminya itu bisa mati di tangan
seorang remaja
yang berlagak ketolol-tololan?
Dasar pengecut, Hantu Bongkok
yang il-
munya tak lebih tinggi dari
Hantu Jangkung men-
jadi ketakutan setengah mati.
Sosok Pengemis
Binal yang tengah tertawa
terkekeh-kekeh dili-
hatnya sebagai malaikat kematian
yang akan
mencabut nyawanya. Tanpa pikir
panjang dan tak
mengindahkan harga dirinya
sebagai seorang to-
koh tua, Hantu Bongkok mengambil
langkah seri-
bu. Ngiprit pergi sambil
terkencing-kencing!
Pengemis Binal yang tak ingin
melihat Han-
tu Bongkok membunuh orang lagi,
cepat menge-
jar. Tak memberi kesempatan bagi
Hantu Bong-
kok untuk meloloskan diri.
"Hei, Nek! Rupanya kau
istri yang tak setia!
Suamimu sudah menunggu di pintu
neraka. Ke-
napa kau malah lari?!"
Ucapan Suropati terdengar begitu
dekat
dengan telinganya. Kontan nenek
ini menggigil
kedinginan. Bau pesing semakin
menebar dari
kain jubahnya yang telah basah.
Terbawa rasa
takut, dia mengempos tenaga.
Berlari cepat men-
gandalkan seluruh kemampuan ilmu
meringan-
kan tubuhnya.
"Hei, Nek! Sebelum mati
tadi, suamimu
berpesan bahwa dia ingin
secepatnya kau menyu-
sul ka neraka. Di sana dia akan
menyiapkan pes-
ta perkawinan yang kedua!"
Ejekan Pengemis Binal semakin
dekat saja
dengan telinga si nenek. Hati
Hantu Bongkok se-
makin kalut tak terkendalikan.
Dia lari membabi
buta tak menentukan arah lagi.
Hingga suatu
saat, tubuhnya melayang dan
terasa sangat rin-
gan. Dia terperosok jatuh ke
dalam jurang!
"He he he.... Dasar
pengecut! Ditunggu su-
aminya malah lari
terbirit-birit!" ujar Pengemis
Binal, berdiri di bibir jurang.
"Hmmm.... Jangan-
jangan jurang ini tidak dalam.
Dan, nenek jelek
itu bisa menyelamatkan
diri...."
Pengemis Binal berjongkok untuk
melihat
kedalaman jurang. Mendadak, dari
dasar jurang
terdengar teriakan.
"Kau jangan turun! Nenek
bau pesing ini
kukembalikan padamu...!"
Bersamaan dengan lenyapnya
teriakan, itu,
tubuh Hantu Bongkok melesat
naik. Tak mau ke-
palanya tertimpa, Pengemis Binal
mengibaskan
telapak tangan kanannya.
Serangkum angin pu-
kulan tepat menimpa dada Hantu
Bongkok yang
telah kaku kejang karena
pengaruh totokan.
Terdengar jerit kematian Hantu
Bongkok.
Tubuh nenek naas ini meluncur
turun lagi ke da-
lam jurang.
"Bagaimana kau ini? Barang
rongsokan be-
gini kenapa dilempar balik lagi?
Aku tak tahan
bau pesingnya!"
Dari dasar jurang terdengar lagi
sebuah te-
riakan. Suaranya polos nyaring,
tampaknya ke-
luar dari mulut seorang bocah
perempuan. Begitu
teriakan itu lenyap, tubuh Hantu
Bongkok kem-
bali melesat naik. Kali ini jauh
di atas kepala Su-
ropati, dan jatuh berdebam
sekitar satu tombak
dari bibir jurang.
Sambil menggaruk kepalanya yang
tak gat-
al, Pengemis Binal menatap tubuh
Hantu Bong-
kok yang tak berkutik lagi.
Kemudian, remaja ko-
nyol ini melongok ke dalam
jurang untuk melihat
siapa yang telah melemparkan
tubuh Hantu
Bongkok.
"Hei! Kau jangan turun!
Segeralah pergi!"
usir suara bocah perempuan.
Suropati yang konyol dan
ugal-ugalan ma-
na mau menuruti perintah itu.
Dia malah tertarik
untuk turun ke dalam jurang.
Siapa tahu dia bisa
menemukan orang yang telah
melarikan Mustika
Batu Merpati.
Walau belum tahu sampai seberapa
jauh
kedalaman jurang, Pengemis Binal
mengatur ja-
lan napas, lalu meloncat...
terjun dengan kedua
tangan terpentang lebar!
Sambil terus mengatur jalan
napasnya se-
demikian rupa, Pengemis Binal
berusaha mem-
perlambat luncuran tubuh. Dalam
keadaan masih
melayang di udara, remaja konyol
ini mengedar-
kan pandangan ke dasar jurang.
Matanya yang
tajam segera mendapat sebuah
tempat pijakan
yang tepat. Bagai segumpal
kapas, remaja konyol
ini melentingkan tubuh, lalu
mendarat di atas
lempengan batu besar berwarna
putih.
"Kau ini betul-betul kepala
batu! Apa kau
tak mendengar peringatan
orang?!"
Sebuah teriakan membarengi
kelebatan se-
sosok tubuh kecil ramping.
Suropati membelalak-
kan mata melihat seorang bocah
perempuan dua
belas tahunan telah berdiri
tegak sambil menud-
ing ke batang hidungnya.
"Bocah inikah yang telah
menotok dan me-
lemparkan tubuh Hantu Bongkok
sampai dua kali
ke bibir jurang?" tanya
Pengemis Binal dalam ha-
ti. "Kedalaman jurang tak
kurang dari tiga puluh
tombak, kenapa tubuh Hantu
Bongkok bisa den-
gan mudah dilemparkan seperti
melemparkan se-
butir kerikil saja?"
Selagi Suropati terjerat dalam
rasa heran,
bocah perempuan yang rambutnya
dihiasi dua pi-
ta kupu-kupu berkata,
"Kulihat kau ini orang
baik juga, karena sudah
membinasakan dua se-
tan yang selalu bermain-main
dengan bangkai
manusia. Tapi sayang sekali,
sifat keras kepalamu
akan segera menjadi
bencana."
Pengemis Binal terkesiap
mendengar uca-
pan si bocah. Dengan kening
berkerut, dia mena-
tap sosok bocah yang berdiri dua
tombak dari ha-
dapannya itu. Si bocah
mengenakan pakaian ser-
ba hijau yang dihiasi
renda-renda sulaman beru-
pa bunga aneka warna. Di
wajahnya yang bulat
telur terdapat sepasang mata
bersinar terang.
Dua biji hitamnya bergerak-gerak
lucu. Sikapnya
seperti anak-anak pada umumnya
yang masih po-
los dan lugu.
"Kaukah yang telah menotok
dan melem-
parkan tubuh Hantu
Bongkok?" tanya Suropati
yang masih diliputi rasa heran.
"Memangnya kenapa?!"
sentak si bocah.
"Nenek bau pesing itu
sangat menjemukan. Dia
dan orang tua satunya lagi tiap
hari kerjanya cu-
ma bermain-main dengan tulang
manusia dan
membuat api setan. Bahkan, masih
sering mem-
bunuh orang. Jika aku boleh
keluar dari tempat
ini, sudah dari dulu-dulu
kutendang pantat me-
reka!"
Lewat ucapan yang nyerocos
panjang itu,
Suropati tahu bila memang si
bocahlah yang telah
menotok dan melemparkan tubuh
Hantu Bong-
kok. Rasa heran dalam diri
remaja konyol ini ber-
ganti rasa penasaran. Segera dia
mengajukan per-
tanyaan.
"Adik kecil yang manis,
siapa namamu?
Dan, kenapa kau tidak boleh
keluar dari tempat
ini?"
"Kau tidak perlu bertanya
segala macam!
Segeralah pergi dari tempat
ini!"
Tahu sifat anak-anak yang selalu
mau me-
nang sendiri, Suropati tersenyum-senyum.
Den-
gan lembut, dia berkata,
"Aku cuma bertanya, ke-
napa tidak boleh? Kenapa pula
kau mengusir
aku? Apakah lembah ini
milikmu?"
Si bocah mengerjapkan mata, lalu
berte-
riak, "Mari kau
lihat!"
Pengemis Binal hanya berdiri
terpaku me-
lihat si bocah berkelebat.
Timbul rasa kagum ber-
campur heran dan penasaran dalam
diri remaja
konyol ini melihat kecepatan
gerak si bocah.
"Bagaimana sih kau ini?!
Kenapa tidak
mau datang melihat?!"
hardik bocah perempuan
berpita kupu-kupu, menghentikan
kelebatan tu-
buhnya.
Terdesak rasa ingin tahu apa
yang hendak
ditunjukkan si bocah, bergegas
Pengemis Binal
mengempos tenaga, berlari dengan
mengerahkan
ilmu meringankan tubuh.
Sementara, si bocah te-
lah berkelebat lagi. Sesaat
Pengemis Binal melen-
gak heran. Dia telah mengerahkan
seluruh ke-
mampuan ilmu meringankan tubuh,
tapi keleba-
tan si bocah tak dapat
dikejarnya. Bahkan, Pen-
gemis Binal merasa tertinggal!
"Cepatlah...!" teriak
si bocah perempuan
berpita kupu-kupu dari kejauhan.
Untunglah si bocah segera
menghentikan
kelebatan tubuhnya, hingga
Suropati tidak makin
tenggelam dalam rasa heran
akibat ilmu merin-
gankan tubuhnya yang kalah satu
tingkat.
Setelah menunggu beberapa lama
sampai
Pengemis Binal berada di
sampingnya, si bocah
menunjuk sesuatu yang membuat
Suropati terke-
jut.
Terlihat sebuah makam berbentuk
aneh. Di
kanan kiri batu nisan yang
terbuat dari batu pua-
lam yang dipahat menyerupai
undak-undakan,
berjajar puluhan batu kecil
beraneka warna. Ter-
timpa sinar matahari, batu-batu
itu memancar-
kan bermacam-macam cahaya yang
sangat terang
gemerlapan. Cahaya gemerlapan
itu membuat se-
buah bidang menyerupai atap
rumah.
Di batu nisan terdapat tulisan
yang terukir
indah. Dengan pandangan mata
kagum, Suropati
membaca.
"Makam Pelangi."
Suropati segera ingat akan
tempat kedia-
man Siluman Ragakaca yang
bernama Pe-
sanggrahan Pelangi. Adakah
hubungan antara
Makam Pelangi dan Pesanggrahan
Pelangi? Bila
ada, apakah bocah perempuan yang
ditemui Su-
ropati itu juga salah seorang
penghuni Pe-
sanggrahan Pelangi?
"Hei! Kenapa
melamun?!" tegur bocah pe-
rempuan berpita kupu-kupu.
"Kau belum selesai
membaca!"
Pengemis Binal terperanjat
merasakan te-
pukan di pinggangnya. Jari-jari
tangan si bocah
yang kecil lentik mengalirkan
hawa aneh yang
membuat Pengemis Binal memekik
parau.
"Hi hi hi...! Disenggol
begitu saja sudah ka-
get setengah mati. Ayo cepat
baca terus tulisan
itu!" perintah si bocah.
Sambil nyengir kuda, Pengemis
Binal me-
nuruti perintah si bocah. Di
bawah tulisan Ma-
kam Pelangi terdapat tulisan
lagi yang berhuruf
lebih kecil. Pengemis Binal
membaca dengan jan-
tung berdebar kencang.
"Kematian bagi yang berani
masuk ke lem-
bah ini."
Walau Suropati bukanlah orang
yang takut
mati, tapi melihat tulisan itu,
dia bergidik ngeri
juga. Badannya menggigil dengan
bulu kuduk te-
gak berdiri. Seluruh kekuatannya
bagai tersedot
oleh hawa aneh yang keluar dari
Makam Pelangi.
Begitu menyadari keadaan,
Pengemis Binal
menatap lekat wajah bocah
perempuan yang ten-
gah tertawa cekikikan. Sementara, yang ditatap
langsung menghentikan tawanya
seraya menud-
ing.
"Kenapa kau menatapku
dengan mata me-
lotot?! Tidak salah, kata Ayah.
Di dunia ini tidak
ada lelaki yang baik. Semuanya
kotor dan busuk!"
Mendengar bentakan itu,
tiba-tiba sifat
gendeng Suropati muncul. Sejenak
dia lupa pada
Makam Pelangi yang tampak
angker. Sambil men-
gerjap-ngerjapkan mata, dia
menggoda.
"Kalau semua lelaki kotor
dan busuk,
ayahmu tentu juga kotor dan
busuk!"
"Tidak!" tolak si
bocah. "Ayahku baik. Ta-
pi...."
Bocah perempuan ini tak
melanjutkan
ucapannya. Air mukanya berubah
keruh. Bibir
yang tipis mungil terlihat mewek
seperti hendak
menangis.
"Lekaslah kau meninggalkan
tempat ini!
Aku tidak jadi membunuhmu!"
Suropati garuk-garuk kepala
melihat sikap
aneh si bocah. "Di antara
kita tidak ada silang
sengketa, kenapa kau hendak
membunuhku?"
Si bocah tidak jadi menangis.
Dia tertawa
manis sekali. Lagak lagunya amat
polos, tidak di-
buat-buat. Lalu dengan jari
telunjuknya, dia me-
nuding Pengemis Binal sampai
menyentuh dada.
"Kau memang tolol sekali!
Bukankah kau
sudah membaca tulisan 'kematian
bagi yang be-
rani masuk ke lembah ini?' Kalau
ayahku tidak
ada, akulah yang akan
melaksanakan! Akulah
yang akan membunuh siapa pun
yang masuk ke
lembah ini, termasuk kau!"
Si bocah mengucapkan kata
'membunuh'
dengan tegas dan tanpa beban
sama sekali. Se-
pertinya, perbuatan itu
merupakan suatu hal
yang biasa. Tentu saja hati
Pengemis Binal jadi
panas. Lupa bila yang sedang
dihadapinya adalah
seorang anak kecil, Pengemis
Binal membentak.
"Meskipun lembah ini telah
menjadi milik
keluargamu, tidak seharusnya kau
berbuat sede-
mikian kejam! Aku tidak mau
pergi dari tempat
ini! Aku ingin melihat rupa
ayahmu yang tak ken-
al aturan! Bisa tidak dia
mendidik anak?!"
Tiba-tiba, tangan kanan si bocah
berkele-
bat amat cepat. Suropati pun tak
dapat menghin-
dar lagi manakala telapak tangan
si bocah men-
darat di pipi kirinya!
Plakkk...!
"Oughhh...!"
Suropati terpelanting dan hampir
terpeleset
jatuh ke tanah. Kalau saja semua
anggota badan
Suropati tidak dibentengi dengan
tenaga dalam
tingkat tinggi, kepala remaja
konyol ini tentu te-
lah remuk!
"Berani benar kau memaki
ayahku!" hardik
si bocah dengan mata melotot dan
bibir cemberut.
Namun, suaranya seperti orang
mau menangis.
Suropati yang baru kena tampar
cuma
berdiri membisu sambil mengusap
pipinya yang
merah bergambar lima jari.
Remaja konyol ini ti-
dak tahu bagaimana harus
meladeni sikap si bo-
cah.
Sebenarnya, Suropati tidaklah
mudah di-
pukul orang. Hanya karena tak
menduga, lagi pu-
la gerakan si bocah amat cepat
luar biasa, dia ha-
rus merelakan pipinya kena
tampar. Tapi, hal ini
tidak membuat Suropati marah
ataupun sakit ha-
ti. Dia tahu ada rasa sesal yang
terpancar dari so-
rot mata si bocah.
"Sakitkah tamparanku
tadi?" tanya si bo-
cah.
Suropati menggeleng.
"Kau marah?"
Suropati menggeleng lagi.
Si bocah menundukkan kepala.
Dengan
mata berkaca-kaca, dia
menggumam. "Aku telah
terlepas tangan. Tidak
seharusnya aku menampar
orang baik. Aku salah..."
Lalu, ditariknya tangan
Suropati. Setelah
mengayun-ayunkannya beberapa
lama, dia mena-
tap dengan air mata berlinang.
"Kau menangis?" kesiap
Pengemis Binal.
"Kau orang baik. Jika tidak
khawatir akan
ayahku, ingin aku menahanmu di
tempat ini, me-
nemaniku bermain...," ujar
si bocah. "Pergilah!
Kalau Ayah datang, aku takut
dia...."
"Jangan khawatir!"
potong Pengemis Binal.
"Kalau ayahmu datang, aku
akan membujuknya.
Bukankah dia tahu bila kau butuh
teman?"
"Ya. Aku memang butuh
teman. Sejak bayi,
aku telah tinggal di tempat ini.
Ayah melarangku
pergi...."
Keluhan si bocah membuat iba
hati Pen-
gemis Binal. Dibelainya rambut
si bocah dengan
lembut. "Jangan khawatir
dan tak usah kau me-
nangis. Aku akan bujuk ayahmu
agar...."
"Tidak!" sela si
bocah. "Ayahku tidak gam-
pang dibujuk! Pergilah selagi
masih ada kesempa-
tan!"
Pengemis Binal yang sudah
menjadi suka
dan sayang pada si bocah
mendesah panjang.
"Keterlaluan sekali ayah
bocah perempuan ini!"
rutuknya dalam hati. "Tidak
seharusnya dia
membelenggu kebebasan anaknya.
Tinggal di
lembah sunyi tanpa seorang pun
teman adalah
siksaan bagi seorang bocah yang
butuh kegembi-
raan."
Suropati tidak berani
mengeluarkan piki-
ran di benaknya. Dia takut si
bocah kembali ma-
rah dan kelepasan tangan lagi.
Suropati terus
membelai rambut si bocah penuh
kasih sayang.
"Kau jangan khawatir,
Adikku. Tidak baka-
lan ayahmu membunuhku. Aku
datang tidak
dengan maksud buruk. Bukankah
ayahmu seo-
rang manusia, yang tentunya
punya rasa belas
kasihan juga?" ujar
Pengemis Binal. "Kau jangan
kesal dan bersedih pula. Mungkin
ayahmu sedang
mendalami suatu ilmu. Setelah
selesai, dia pasti
akan mengajakmu keluar dari
lembah ini."
Mendengar kata-kata yang begitu
tulus, si
bocah bukannya terhibur, tapi
malah menangis
sesenggukan. Air matanya makin
deras mengalir.
Seperti menemukan orang yang
sangat dicin-
tainya, bocah perempuan ini
lantas memeluk
pinggang Suropati erat-erat. Dia
pun menumpah-
kan segala kedukaannya.
"Ayah benar-benar orang
yang keras kepala
dan sangat teguh memegang aturan
yang telah di-
buatnya...," kata si bocah
di antara sedu sedan
tangis. "Sampai langit
runtuh, tidak akan Ayah
mengizinkan aku keluar lembah.
Aku dan Ayah
harus menemani Ibu yang telah
meninggal..."
Melihat si bocah yang menangis
makin ke-
ras, Pengemis Binal jadi
bingung, bagaimana ha-
rus menghibur. Pengemis Binal
yakin bila ayah si
bocah adalah orang yang kejam,
maka dia memu-
tuskan untuk menjumpainya. Tapi,
dia masih in-
gin menguji kesungguhan si bocah
yang ingin
bersahabat dengannya.
"Kau tak baik menangis
terus. Lekaslah
kembali ke rumah. Mungkin ayahmu
sedang me-
nunggu. Kau jangan buat dia jadi
marah. Lekas-
lah pulang. Aku juga akan pergi
dari tempat
ini...."
Begitu selesai Suropati berkata,
si bocah
mengangkat wajah. Serta-merta
dipeluknya erat
pinggang Suropati.
"Tidak! Kau tidak boleh
pergi! Ayahku tidak
menjadi soal. Dia sangat sayang
kepadaku. Aku
pun akan membujuk agar kau tidak
dibunuh-
nya...."
Bibir Suropati menyunggingkan
senyum.
Ditepuk-tepuknya bahu si bocah
seraya berkata,
"Terus terang kukatakan
kepadamu, aku tidak
takut kepada siapa pun. Juga,
kepada ayahmu.
Jangankan ayahmu seorang, seribu
iblis pun
akan kuterjang bila aku berada
di pihak yang be-
nar!"
Mendadak....
"Bocah masih bau kencur
sudah berani
omong besar! Apa kau tidak tahu
peraturan Ma-
kam Pelangi?!"
Terkejut Suropati ketika
mengarahkan
pandangan ke arah suara berasal.
Tanpa menge-
luarkan suara berisik sedikit
pun, seorang kakek
berjubah merah telah berdiri
tiga tombak di
samping kanannya. Telinga
Suropati yang tajam
tak mampu mendengar kedatangan
kakek itu. Se-
gera Suropati bersiap siaga
untuk menghadapi
segala kemungkinan buruk.
"Kematian bagi yang berani
masuk ke lem-
bah ini...!" ujar kakek berjubah merah, mengu-
lang bunyi tulisan yang tertera
di Makam Pelangi.
7
"Ayah! Dia datang dari atas
tebing! Dia ti-
dak tahu batu peringatan
itu!"
Bocah perempuan berpita
kupu-kupu
mengeluarkan teriakan lantang.
Dia menghambur
ke arah kakek berjubah merah.
Namun, si kakek
mendengus gusar seraya
mengibaskan telapak
tangan kanannya. Hembusan angin
kencang
membuat tubuh mungil si bocah
terpelanting. Un-
tung dia bisa mengendalikan
gerak tubuhnya,
hingga tidak sampai jatuh
tersungkur ke tanah.
"Tak perlu kau membela
bocah lelaki ber-
mulut besar itu, Narita!"
bentak kakek berjubah
merah. "Karena berani
lancang memasuki lembah
ini, akan ku adili dia dengan
aturan yang berlaku
di Makam Pelangi!"
Mendengar kata-kata keras
ayahnya, bocah
perempuan bernama Narita kontan
menangis lagi.
Sementara, kakek berjubah merah
tak mempedu-
likannya sama sekali. Matanya
berkilat menatap
wajah Suropati.
"Siapa namamu? Dari mana
kau berasal?
Dan, untuk apa kau datang
kemari?"
Ingin rasanya Pengemis Binal
menonjok
muka si kakek yang telah berlaku
kejam terhadap
anaknya itu. Mendengar
pertanyaannya yang ke-
ras menyelidik itu pun gigi
Pengemis Binal sudah
berkerot-kerot. Namun mengingat
si kakek adalah
ayah Narita yang telah
mengundang rasa suka
dan belas kasihannya, Pengemis
Binal mencoba
bersabar.
"Saya bernama Suropati, Pak
Tua," kenal
Pengemis Binal. Walau membungkuk
hormat, tapi
suara remaja konyol ini
terdengar menggeram.
"Saya berasal dari Negeri
Anggarapura. Saya da-
tang ke tempat ini bukan dengan
maksud bu-
ruk...."
"Dia sudah mewakili kita
membunuh Sepa-
sang Racun Api yang teramat
kejam itu, Ayah!"
sahut Narita.
Mendengar penjelasan anaknya,
kakek ber-
jubah merah bukannya senang,
tapi malah melo-
totkan mata. Mulutnya
mengeluarkan suara
menggerendeng. Narita yang sudah
tahu benar
adat kelakuan ayahnya, bergegas
meloncat seraya
memegangi lengan lelaki tua ini.
Narita hafal bila
suara menggerendeng ayahnya
adalah sikap awal
untuk segera melakukan
pembunuhan. Maka
dengan air mata berlinang,
Narita terus meme-
gangi lengan ayahnya.
"Ayah jangan membunuh....
Dia orang
baik...," iba Narita di
antara sedu sedan tangis-
nya.
"Anakku Narita...,
janganlah kau percaya
pada ucapan pemuda itu. Telah
berkali-kali kuka-
takan padamu bahwa semua lelaki
di dunia ini
jahat. Mereka kotor dan busuk.
Tak satu pun
yang punya hati baik."
Mendengar kata-kata kakek
berjubah me-
rah, Suropati geleng-geleng
kepala. Benarkah se-
mua lelaki di dunia ini kotor
dan busuk? Sung-
guh sempit pandangan lelaki tua
itu! Dia telah
memberikan pengertian yang salah
kepada anak-
nya. Ada salah, ada benar. Ada
kejahatan, ada
kebaikan. Sangat tidak tepat
bila dikatakan tak
satu pun lelaki punya hati baik!
"Hmmm.... Ayah Narita itu
mengatakan bila
semua lelaki kotor dan busuk.
Apakah dia bukan
lelaki? Kalau dia tak mau
dikatakan kotor dan
busuk juga, dia pasti banci!
Ya..., ya! Dia banci!"
pikir Suropati. Tanpa terasa remaja
konyol ini ter-
senyum-senyum seorang diri.
Mendadak, kakek berjubah merah
mendo-
rong tubuh Narita.
"Minggirlah...!" usirnya dengan
suara keras menggelegar.
Ingin rasanya Narita mengajak
pergi Suro-
pati. Ingin rasanya dia
melepaskan Suropati dari
tangan maut yang akan segera
dijatuhkan ayah-
nya. Tapi..., Narita pun tidak
mampu melawan
kehendak ayahnya. Dia tak
sanggup membuat
kecewa dan menyakiti hati orang
yang telah men-
gukir jiwa raganya. Karena
bingung serta tak tahu
apa yang harus diperbuatnya,
Narita cuma bisa
menangis..., dan menangis....
"Pak Tua!" seru
Suropati. "Bukan aku hen-
dak mengajar adat atau memberi
petuah kepa-
damu. Apakah semua perbuatanmu
sudah kau
pikirkan terlebih dulu? Kau bisa
saja membunuh
aku. Tapi, tidakkah kau sadar
perbuatanmu itu
akan membuat susah dan sedih
anakmu. Tidak-
kah dia akan merasa kehilangan?
Bila dia me-
mendam rasa kecewa berat, suatu
saat kelak dia
bisa melawanmu, melarikan diri
darimu, dan
yang lebih parah dia tak akan
menganggapmu se-
bagai ayahnya lagi...."
"Bocah gemblung!"
sentak kakek berjubah
merah. "Pandai benar kau
mengucap kata-kata.
Tapi aku. Raja Angin Barat, tak
butuh nasihat da-
ri seorang bocah gembel macam
kau! Aku bisa
mendidik anakku sendiri! Aku
tahu apa yang ter-
baik bagi Narita!"
Mendengar ucapan yang
menunjukkan si-
fat keras seperti batu itu,
Pengemis Binal menge-
rutkan kening. Tanpa sadar
tangan kanannya te-
rangkat, lalu menggaruk-garuk
kepala yang tak
gatal.
"Kematian bagi yang berani
masuk ke lem-
bah ini...," ujar Raja
Angin Barat, mengulang lagi
bunyi peringatan di Makam
Pelangi.
Usai berkata, Raja Angin Barat
menggeren-
deng seraya memutar-mutar kedua
telapak tan-
gannya di depan dada. Timbul
tiupan angin ken-
cang yang menerbangkan dedaunan dan batu-
batu kecil yang berserakan di
permukaan tanah.
Terkejut tiada terkira Pengemis
Binal. Ke-
dua tangan Raja Angin Barat
terlihat membesar...,
membesar..., dan terus membesar!
Hingga di lain
kejap, Pengemis Binal melihat
kedua tangan Raja
Angin Barat sudah cukup besar
untuk dapat
menggenggam seekor kerbau!
"Ya Tuhan...," sebut
Pengemis Binal dalam
keterkejutannya.
"Ilmu 'Tangan
Langit'!" seru Raja Angin Ba-
rat.
Sesaat kemudian, Pengemis Binal
melihat
sepasang tangan yang sangat
panjang dan besar
meluncur ke arahnya. Tak mau
tubuhnya terjepit
jari-jari sebesar batang pohon
kelapa, bergegas
Pengemis Binal meloncat.
Namun..., sepasang
tangan raksasa milik Raja Angin
Barat terus
mengejar ke mana pun dia pergi!
"Sihir...! Sihir...!"
teriak Pengemis Binal
sambil terus berloncatan.
Susah payah pemimpin Perkumpulan
Pen-
gemis Tongkat Sakti ini
menghimpun kekuatan
batin. Begitu dapat,
keterkejutan menghantam le-
bih telak, hingga mata Pengemis
Binal melotot be-
sar karena terjerat rasa heran.
Sejak kecil, Suropati mempunyai
kekuatan
batin yang hebat. Setelah
bertemu dengan Periang
Bertangan Lembut yang kemudian
menjadi gu-
runya, kekuatan batin Suropati
terus digembleng
dan dilatih. Hingga, kekuatan batin
Suropati su-
dah sedemikian kuatnya. Tak
bakalan ada orang
yang mampu mempengaruhinya
dengan ilmu si-
hir. Tapi..., kini Suropati
telah menghimpun selu-
ruh kekuatan batinnya. Kedua
tangan Raja Angin
Barat tetap saja kelihatan
sangat panjang dan be-
sar, berlipat dua puluh kali
ukuran normal! Be-
rarti kedua tangan Raja Angin
Barat memang ber-
tambah ukuran secara nyata,
bukan karena pen-
garuh ilmu sihir!
"Ya, Tuhan..."
Pengemis Binal terus menyebut
kebesaran
nama Sang Penguasa Tunggal
berkali-kali. Karena
ruang geraknya telah terkepung
oleh dua tangan
raksasa, Pengemis Binal tak
punya kesempatan
lagi untuk meloloskan diri. Maka
sebelum tubuh-
nya remuk kena remas, Pengemis
Binal mengalir-
kan kekuatan tenaga dalamnya ke
telapak tangan
kanan. Sekejap mata kemudian,
pergelangan tan-
gan kanan Pengemis Binal telah
merah membara,
namun menebarkan hawa dingin.
"'Pukulan Salju
Merah'!" seru Pengemis Bi-
nal.
Remaja konyol ini memutar tubuh
seraya
mengibaskan telapak tangannya
beberapa kali. Ti-
tik-titik salju berwarna merah
menebar ke mana-
mana. Hawa di sekitar Makam
Pelangi jadi dingin
luar biasa!
Raja Angin Barat terkejut
setengah mati.
Kedua tangannya tiba-tiba kempes
dan menjadi
kecil seperti semula. Untuk
beberapa saat, tokoh
tua ini berdiri terpaku di
tempatnya. Dia tak me-
nyangka bila Suropati yang
lagaknya seperti
orang tolol mempunyai ilmu
pukulan sedemikian
hebat.
"Rupanya kau punya ilmu
kepandaian
yang bisa diandalkan, hingga kau
berani masuk
ke Makam Pelangi...," ujar
Raja Angin Barat. "Ta-
pi... dengan ilmu kepandaianmu
itu, yang bisa di-
katakan lumayan, jangan kira kau
akan dapat lo-
los dari tanganku!"
Raja Angin Barat menggerendeng
lagi. Ke-
dua tangannya kembali
berputar-putar di depan
dada. Setelah timbul tiupan
angin kencang, ke-
dua tangan tokoh tua ini
membesar untuk kedua
kalinya. Tapi kini, sekujur
pergelangan tangannya
dilapisi cahaya putih
berkilat-kilat!
Kontan mata Pengemis Binal
menyipit ka-
rena silau. Tahu ada bahaya
lebih besar yang
mengancam jiwanya, cepat
disiapkan lagi puku-
lan 'Salju Merah' yang
didapatkannya dari Nyai
Catur Asta, ratu Kerajaan
Siluman.
Saat kedua tangan raksasa Raja
Angin Ba-
rat meluncur hendak meremukkan
tubuhnya,
Pengemis Binal memekik parau
seraya menghen-
takkan tangan kanannya ke depan!
"Hiah...!"
Blarrr...!
Gumpalan salju merah yang amat
dingin
dan mengandung kekuatan luar
biasa tepat
menghantam kedua telapak tangan
raksasa Raja
Angin Barat. Namun, alangkah
terkejutnya Pen-
gemis Binal. Gumpalan salju
merah lenyap terte-
lan cahaya putih berkilat yang
menyelubungi ke-
dua pergelangan tangan Raja
Angin Barat!
Selagi Pengemis Binal terpaku
dalam ke-
terkejutan, mendadak remaja
konyol ini tak dapat
menggerakkan kedua tangan dan
kakinya. Da-
danya sesak karena jalan
napasnya telah buntu.
Tubuhnya terasa dijepit
balok-balok baja yang
amat kuat!
"Ayah...!"
Narita yang sedari tadi larut
dalam sedih
dan menangis mengguguk, meloncat
sebat. Me-
meluk pinggang Raja Angin Barat
dari belakang!
Dia meratap, mengiba, dan terus
menangis....
"Jangan, Ayah! Jangan bunuh
dia! Dia
orang baik! Ayah...!
Jangan...!"
Raja Angin Barat cuma mendengus-
dengus. Sementara, Pengemis
Binal megap-megap
karena kehabisan napas. Bergerak
sedikit pun dia
tak lagi mampu. Tubuhnya telah
tercengkeram
tangan raksasa Raja Angin Barat!
"Ayah...! Kalau Ayah
membunuhnya, aku
juga tak mau hidup
lagi...!"
Melihat Pengemis Binal yang
sudah di am-
bang pintu maut, Narita menekan
kepalanya sen-
diri dengan sepuluh jari
tangannya. Dengan air
mata terus berlelehan, bocah
perempuan ini me-
nekan kepalanya lebih keras dan
semakin keras.
Hingga, sepuluh jari tangannya
terlihat bergetar
dan mengepulkan asap!
Raja Angin Barat mendesah
panjang. Dia
juga tahu benar akan sifat dan
watak anaknya.
Persis seperti dirinya, keras
dan amat teguh. Apa
yang dikatakan, betul-betul akan
dilakukannya.
Narita benar-benar akan bunuh
diri!
Sesaat Raja Angin Barat jadi
bingung. Dia
harus melaksanakan aturan yang
berlaku di Ma-
kam Pelangi, tapi dia juga tak
ingin kehilangan
anak satu-satunya yang sangat
dicintainya.
Dalam keadaan bingung untuk
segera me-
nentukan pilihan, tiba-tiba Raja
Angin Barat
menggembor keras. Kepalanya
menggeleng-
geleng. Pada saat inilah
Pengemis Binal menden-
gar suara gemeretak yang timbul
dari dalam tu-
buhnya. Tulang belulangnya
segera akan remuk.
Kematian sudah lekat di pelupuk
matanya!
"Enyah kau, Jahanam!"
seru Raja Angin
Barat
Diiringi suara menggembor amat
keras. Ra-
ja Angin Barat melemparkan tubuh
Pengemis Bi-
nal sekuat tenaga. Tak ayal
lagi, tubuh Pengemis
Binal melesat ke angkasa dengan
kecepatan me-
lebihi lesatan anak panah lepas
dari busur! Bu-
rung-burung yang melihat
kejadian ini mencicit
ngeri. Mereka terbang pergi,
seperti tak sampai
hati melihat kekejaman
manusia....
"Kakakkk...!"
Narita menjerit panjang. Tak
mempeduli-
kan lagi ayahnya yang tengah
menggeram-geram
bagai orang kesetanan, Narita
menjejak tanah.
Tubuhnya melesat cepat. Setelah
melompati teb-
ing setinggi tiga puluh tombak,
tubuhnya lenyap
dari pandangan....
"Naritaaa...!"
Raja Angin Barat turut menjerit
panjang.
Dia menjejak tanah pula.
Tubuhnya melayang,
melewati tebing, lalu melesat
dan hilang entah ke
mana....
* * *
Pengemis Binal tak tahu berapa
ratus tom-
bak tubuhnya terlontar. Hembusan
angin terasa
memukul-mukul. Suara gemuruh
keras mene-
puk-nepuk gendang telinganya.
Mata jadi pedih
dan tak dapat dibuka. Dalam
keadaan meluncur
cepat di angkasa luas, Pengemis
Binal merasakan
siksaan hebat. Tak kuasa menahan
rasa sakit,
kesadaran Pengemis Binal lenyap.
Dan, tentu saja
keadaan ini menjadi lebih
berbahaya....
Tubuh Pengemis Binal terus
meluncur!
Sementara, di depan sana
terlihat bongkahan-
bongkahan batu besar. Apakah
Pengemis Binal
akan menemui malaikat kematian
dengan tubuh
hancur berantakan?
Rupanya Tuhan berkehendak lain.
Sebe-
lum tubuh Pengemis Binal
membentur bongka-
han batu, berkelebat sesosok
bayangan. Tubuh
Pengemis Binal dijepit dua
pergelangan kaki yang
kokoh. Namun karena luncuran
tubuh Pengemis
Binal terlampau kuat, tubuh sang
penolong ter-
bawa meluncur!
Bresss...!
Punggung sang penolong membentur
bongkahan batu. Sementara, tubuh
Pengemis Bi-
nal lepas dari jepitan kakinya,
lalu terlontar dan
bergulingan di tempat lain....
Dalam keadaan hampir pingsan,
orang
yang berusaha menyelamatkan jiwa
Pengemis Bi-
nal menarik napas panjang
beberapa kali. Untung
orang ini melindungi tubuhnya
dengan tenaga da-
lam, hingga tak sampai remuk
membentur batu.
"Segala puji bagi Tuhan
penguasa semesta
alam...."
Orang ini menyebut kebesaran
Sang Pen-
guasa Tunggal. Kepalanya
menggeleng-geleng un-
tuk mengusir kekaburan yang
menyelimuti pan-
dangannya. Penolong Pengemis
Binal ini ternyata
seorang kakek berkumis dan
berjenggot panjang.
Mengenakan celana dan rompi
kuning. Di kepa-
lanya melingkar ikat kepala yang
terbuat dari be-
setan kulit pohon kasar berduri.
Kedua bahunya
rata karena tak punya tangan.
Siapa lagi dia ka-
lau bukan Peramal Buntung!
"Tuhan Maha Pengasih dan
Penyayang....
Tuhan Maha Pemurah...."
Sambil terus menyebut
kebesaran-Nya, Pe-
ramal Buntung bangkit. Tampak
bongkahan batu
yang terbentur punggungnya telah
retak-retak.
Dengan rasa khawatir, kakek
berompi kuning ini
meloncat mendekati tubuh
Pengemis Binal yang
tergeletak di atas tanah.
Jari-jari kaki Peramal Buntung
segera me-
nekan-nekan beberapa tempat di
tubuh Pengemis
Binal. Setelah meletakkan
telinga di dada kiri
Pengemis Binal, Peramal Buntung
menarik napas
lega.
"Tuhan benar-benar Maha
Pengasih dan
Penyayang. ..."
Usai mengucap puji syukur,
Peramal Bun-
tung menotok beberapa jalan
darah Pengemis Bi-
nal dengan jari-jari kakinya.
Sebentar kemudian,
Pengemis Binal menggeliat dan
tersadar dari
pingsannya.
"Uh...!" keluh
Pengemis Binal, mencoba
bangkit
"Jangan dulu! Tetaplah
berbaring di situ!"
cegah Peramal Buntung.
Pengemis Binal
mengerjap-ngerjapkan ma-
tanya. Melihat seraut wajah yang
telah dikenal-
nya, remaja konyol ini menarik
napas panjang se-
raya mendesis, "Kakek
Peramal Buntung...."
"Ya. Aku memang Peramal
Buntung, Tuan
Muda...," sambut Peramal
Buntung. "Tuan Muda
jangan bergerak dulu. Tarik
napas dalam-dalam.
Atur hawa murni Tuan Muda yang
terpecah-
pecah...."
Pengemis Binal segera mengikuti
petunjuk
Peramal Buntung. Tak seberapa
lama kemudian,
rasa sakit yang merejam sekujur
tubuhnya sudah
banyak berkurang.
"Raja Angin Barat...,"
desis Pengemis Binal
dengan mata terpejam.
"Heh?! Apa? Tuan Muda
berkata apa?" ke-
jut Peramal Buntung.
Perlahan Pengemis Binal membuka
kelopak
matanya. "Raja Angin Barat.
Tangannya yang
panjang dan besar mencengkeram
kuat. Tubuhku
dilemparkan...."
Mendengar ucapan Pengemis Binal yang
seperti mengigau, Peramal
Buntung mengerutkan
kening, lalu geleng-geleng
kepala. Sementara, pu-
taran waktu terus berlalu.
Mentari bergeser ke
barat. Sinarnya melemah. Angin
berhembus
membawa kesejukan....
SELESAI
Segera terbit!!!
BIDADARI PULAU PENYU
txt oleh :
http//www.mardias.mywapblog.com
Emoticon