HANTU MERAH
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Hantu Merah
128 hal.
/DuniaAbuKeisel
1
"Huh! Kenapa gadis itu
mengajak berpen-
car?! Padahal, aku masih ingin
berdekatan lebih
lama dengannya. Apakah dia tidak
suka padaku?
Ah, tidak! Aku tahu benar isi
hatinya. Pasti dia
sedang marah karena... karena
dengan paksa aku
telah men... men...."
Remaja tampan berpakaian putih
penuh
tambalan itu tak melanjutkan
gumamannya.
Langkah kakinya terhenti
mendadak. Serta-merta
dia menggaplok kepalanya
sendiri. Tak sadar dia
mengeluarkan tenaga terlalu
banyak, hingga tu-
buhnya ikut oleng ke kiri.
"Ingkanputri...
Ingkanputri...," desis remaja
yang rambutnya dibiarkan
tergerai panjang ke
punggung itu. Dia adalah
Suropati atau Pengemis
Binal.
Hati Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti itu tengah
diliputi rasa kesal. Ber-
sama Kwe Kok Jiang, Gisa
Mintarsa, dan Ingkan-
putri, dia melakukan perjalanan
berempat untuk
mencari Tan Peng Sin yang telah
melarikan Arca
Budha. Dalam perjalanan mereka,
Suropati yang
konyol mencuci kesempatan,
mencium bibir In-
gkanputri. Gadis bergelar Dewi
Baju Merah itu
marah marah. Dia lalu mengajak
Kwe Kok Jiang
dan Gisa Mintarsa mencari Arca
Budha bertiga
saja. Hingga, Suropati
benar-benar ditinggal seo-
rang diri. Hal itulah yang
membuat hati Suropati
kesal.
"Huh! Digitukan saja marah!
Padahal... pa-
dahal dia juga
merasakan...," gerutu Pengemis
Binal yang tak menyadari
kesalahannya.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang
tak gatal, remaja konyol itu
melanjutkan lang-
kahnya lebih cepat. Namun
sebelum dia mengem-
pos tubuh, mengerahkan ilmu
meringankan tu-
buh, mendadak terdengar wanita
memanggil na-
manya.
"Suro...! Suro...!"
Kontan Suropati melonjak girang.
Dia pikir,
yang memanggilnya tentu
Ingkanputri. Yang se-
dang berlari-lari ke arahnya
memang seorang ga-
dis. Suropati jadi kecewa karena
gadis itu bukan
Ingkanputri.
"Suro...."
Mendapat panggilan itu, Suropati
cuma di-
am. Keningnya berkerut melihat
seraut wajah
cantik milik si gadis. Sambil
garuk-garuk kepala,
Suropati memperhatikan
penampilan gadis itu
dari telapak kaki sampai ujung
rambut.
Gadis itu bersepatu hitam,
terbuat dari
kain tebal. Bercelana hijau dan
baju lengan pan-
jang kuning bergaris putih.
Rambut hitam pan-
jang, sebagian digelung ke atas,
sebagian lagi di-
biarkan tergerai. Ada perhiasan
emas yang me-
nempel di gelungannya. Kulitnya
putih. Dilihat
dari raut wajah dan caranya
berpakaian, jelas bila
dia bukan orang Jawa. Dua pedang
bergagang pe-
rak tampak menyilang di
punggungnya. Agaknya,
dia seorang petualang dari
daratan Tionggoan.
"Kau siapa?" tanya
Pengemis Binal, pan-
dangannya tak lepas dari wajah
cantik si gadis.
"Kwe Sin Mei," kenal
si gadis sambil me-
lempar senyum manis.
Melihat senyum itu, hati
Pengemis Binal
bergetar mendadak. Rasa
kecewanya kontan le-
nyap. Tak bosan dia pandangi
terus wajah gadis
yang mengaku bernama Kwe Sin Mei
itu.
"Suro Toako, aku sudah
mendengar kebe-
saran namamu. Senang sekali
hatiku dapat ber-
jumpa denganmu. Kau hendak ke
mana? Kulihat
wajahmu tampak murung. Apakah
kau sedang
memikirkan sesuatu yang tak
mengenakkan ha-
timu?" ujar Kwe Sin Mei
dengan bahasa Jawa pa-
tah-patah, tapi cukup jelas
dimengerti.
"Namaku Suropati, bukan
Suro Toako,"
sergah Pengemis Binal.
Bibir Kwe Sin Mei tersenyum.
"Ya. Ya, aku
tahu namamu Suropati. Toako itu
artinya sauda-
ra yang lebih tua. Dengan kata
lain, aku me-
manggilmu Kak Suro,"
jelasnya.
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Hari
ini aku berjumpa lagi dengan
orang Tionggoan.
Apakah gadis cantik bernama Kwe
Sin Mei ini ju-
ga mencari Arca Budha?"
tanyanya dalam hati.
"Kak Suro masih muda, tapi
memiliki nama
besar dan harum. Tentulah Kak
Suro memiliki
kepandaian yang benar-benar
dapat dibanggakan.
Bolehkah aku mengetahui siapa
guru Kak Suro?"
tanya Kwe Sin Mei, penuh
persahabatan.
"Guruku banyak," tukas
Suropati, me-
nyangka Kwe Sin Mei hendak
menyelidik. Walau
kagum akan kecantikan Kwe Sin
Mei, tapi dia
mesti bersikap hati-hati.
"Banyak?" kening Kwe
Sin Mei berkerut
"Ya."
"Meskipun banyak, tapi
tetap bisa dis-
ebutkan juga, bukan?"
"Apa maksudmu menanyakan
siapa guru-
ku?" Pengemis Binal balik
bertanya.
Kwe Sin Mei mengangkat bahu, kepalanya
menggeleng, hingga anting emas
di daun telin-
ganya bergoyang-goyang.
"Jangan salah sangka,
Kak Suro. Aku tak menyimpan
maksud buruk.
Kak Suro tak perlu berprasangka
yang bukan-
bukan. Bila Kak Suro tak mau
menjawab perta-
nyaanku, aku juga tak apa-apa.
Tapi, Kak Suro
tak perlu marah."
Mendengar penjelasan Kwe Sin Mei
yang
lemah-lembut, senang hati
Suropati. Kecurigaan-
nya lenyap sudah. Lalu, dengan
tutur bahasa le-
mah-lembut pula dia berkata,
"Guruku sebenar-
nya ada satu saja, tapi yang memberikan
ilmu
kepandaian kepadaku cukup banyak
untuk uku-
ran rimba persilatan"
"Orang-orang gagah itu
pasti berilmu san-
gat tinggi. Siapakah mereka itu,
Kak Suro?"
"Pragolawulung atau Periang
Bertangan
Lembut, Gede Panjalu atau
Pengemis Tongkat
Sakti, Banjaranpati atau
Bayangan Putih dari Se-
latan, Datuk Risanwari, dan Nyai
Catur Asta," ja-
wab Pengemis Binal tanpa
ragu-ragu lagi.
Bibi Kwe Sin Mei berdecak kagum. "Pan-
tas,... Pantas Kak Suro begitu hebat. Kiranya,
guru Kak Suro memang begitu
banyak. Walau
aku tak tahu siapa mereka itu,
namun aku yakin
bila mereka adalah orang-orang
gagah yang sulit
dicari tandingannya."
"Tak perlu memuji,"
tukas Pengemis Binal.
"Eh, siapa tadi
namamu?"
"Kwe Sin Mei. Kak Suro bisa
memanggilku
dengan 'Sin Mei'."
"Ya. Kwe Sin Mei. Jauh-jauh
datang ke ta-
nah Jawa ini kau tentu mempunyai
urusan pent-
ing, Sin Mei. Urusan apa itu?
Apakah ada hubun-
gannya dengan...," Pengemis
Binal tak melan-
jutkan pertanyaannya. Dia pikir,
biarlah Kwe Sin
Mei yang menjelaskannya
urusannya sendiri. Tak
perlu dia menyinggung-nyinggung
soal Arca Bud-
ha.
"Kak Suro tampaknya masih
canggung. Ka-
lau ingin bertanya, silakan.
Kalau hanya menja-
wab pertanyaan, aku sama sekali
tak keberatan."
"Ya. Ya.... Kau datang ke
tanah Jawa ini
tentu mempunyai urusan penting.
Bolehkah aku
tahu?"
"Tentu saja boleh, Kak
Suro. Bahkan, aku
merasa senang sekali karena Kak
Suro menanya-
kannya...."
Kening Pengemis Binal berkerut
mendengar
ucapan Kwe Sin Mei. Apakah gadis
itu menyem-
bunyikan udang di balik batu?
Sebagian orang
akan tersinggung atau marah
apabila ditanyakan
urusan pribadinya, tapi kenapa
Kwe Sin Mei ma-
lah merasa senang?
"Datang ke tanah Jawa ini
sebenarnya aku
memikul tanggung jawab yang amat
berat. Aku
harus menangkap hidup atau mati
seorang pela-
rian. Selain berilmu tinggi, dia
juga licik dan ke-
jam," lanjut Kwe Sin Mei,
mengutarakan tujuan-
nya datang ke tanah Jawa.
"Siapa dia?" tanya
Pengemis Binal.
"Dia seorang tokoh sesat berjuluk
Hantu
Merah. Tujuh tahun yang lalu,
dia pernah menga-
cau Istana Kerajaan Tong. Berkat
kecerdikan Kai-
sar Hiang Tjong, tokoh sesat itu
dapat ditangkap,
kemudian dijebloskan ke penjara
bawah tanah.
Namun, Hantu Merah berhasil
melarikan diri,"
papar Kwe Sin Mei.
Kening Pengemis Binal berkerut
lagi. Tanpa
sadar dia menggaruk-garuk
kepalanya yang tak
gatal. "Aneh...,"
katanya dalam hati. "Kalau me-
mang tokoh sesat yang berjuluk
Hantu Merah itu
berilmu tinggi, kenapa Kaisar
Hian Tjong meme-
rintahkan Kwe Sin Mei untuk
membekuknya.
Apakah gadis ini mempunyai ilmu
kepandaian
yang bisa diandalkan? Tapi
kurasa tidak. Dari so-
rot matanya, aku bisa mengukur
ketinggian il-
munya."
"Kenapa kau diam, Kak Suro.
Apakah kau
heran kenapa kaisar memberikan
perintah kepa-
daku untuk menyelesaikan satu
tugas yang tak
ringan ini?" tanya Kwe Sin
Mei, seperti dapat
membaca pikiran Suropati.
"Ya. Aku merasakan keanehan
itu. Dan la-
gi, kenapa kau mengejar Hantu
Merah ke tanah
Jawa? Apakah kau yakin bila
pelarian itu berada
di pulau ini?"
Kwe Sin Mei tersenyum.
"Sesungguhnya
bukan aku yang diberi tugas
menangkap Hantu
Merah...."
'Tapi kenapa kau
melaksanakannya? Apa-
kah kau tidak sadar bila kau
bisa mendapat cela-
ka?" sela Pengemis Binal.
"Aku sadar sepenuhnya, Kak
Suro. Namun
sebagai anak yang baik, aku
harus dapat menjaga
nama baik orangtuaku."
"Maksudmu?"
Tangan kanan Kwe Sin Mei
mengeluarkan
sebuah benda bulat gepeng dari
lipatan bajunya.
Benda sebesar telapak tangan
terbuat dari emas
itu lalu diperlihatkan kepada
Pengemis Binal.
"Ini adalah Lencana Emas
Berkepala Hari-
mau. Seseorang yang menerima
lencana ini berar-
ti dia mendapat kepercayaan dari
Kaisar Hian
Tjong untuk melaksanakan suatu
tugas. Orang
yang menerimanya akan segera
menjadi terkenal
dan harum namanya, serta
tokoh-tokoh rimba
persilatan akan menghormatinya.
Namun di balik
semua itu, si penerima lencana
harus memperta-
ruhkan nyawanya untuk dapat
melaksanakan pe-
rintah sang kaisar. Apabila
gagal, semua orang di
daratan Tiongkok akan mencacinya
dan melem-
parkan dirinya ke tempat yang
paling rendah,
yang martabatnya disejajarkan
dengan seekor ti-
kus...," Kwe Sin Mei
menghela napas panjang.
Mendadak, wajahnya tampak muram.
"Ayahkulah
yang mendapat Lencana Emas
Berkepala Hari-
mau ini. Beliau harus dapat
menangkap Hantu
Merah hidup atau mati. Waktu
lencana ini disam-
paikan, kebetulan ayahku tidak
ada. Jadi, aku
terpaksa menerimanya. Beberapa
tahun aku me-
nunggu, ayahku tak datang-datang
juga. Karena
takut nama baik ayahku berikut
keluarganya
akan jatuh, terpaksa aku
berangkat ke tanah Ja-
wa ini. Kebetulan kudengar
desas-desus bahwa
Hantu Merah melarikan diri ke
tanah Jawa. Se-
lain untuk mencari tempat
persembunyian yang
aman, dia juga berusaha memiliki
Arca Budha...."
"Arca Budha?" kejut
Pengemis Binal. "Han-
tu Merah juga mencari Arca
Budha?"
"Ya. Kenapa, Kak Suro?
Apakah kau per-
nah mendengar orang di pulau ini
menyebut-
nyebut arca itu?"
Pengemis Binal menarik napas
panjang, la-
lu berkata, "Ketahuilah,
Sin Mei. Sebelum berte-
mu denganmu, aku telah bertemu
dengan dua
orang lelaki dari
bangsamu...."
"Siapa mereka?"
"Mereka juga mencari Arca
Budha. Yang
seorang bernama Kwe Kok
Jiang...."
"Kwe Kok Jiang? Apakah dia
berasal dari
Pulau Tho Lioe Tho?"
"Tepat."
"Bergelar Pendekar
Sesat?"
"Ya. Memangnya kenapa? Kau
mengenal-
nya?"
"Dia ayahku!"
"Ayahmu?"
"Bukankah dia seh Kwe dan
aku juga seh
Kwe? Berarti kami berasal dari
satu keturunan."
"Ya... ya...," desis
Pengemis Binal sambil
garuk-garuk kepala.
"Lalu tahukah kau, Kak
Suro, di mana se-
karang ayahku berada? Aku harus
cepat membe-
ritahu perihal tugas yang
diberikan oleh Kaisar
Hian Tjong."
"Aku tak tahu, Sin Mei.
Kemarin sore aku
berpisah dengannya. Dia pergi
bersama dua orang
sahabatku, Ingkanputri dan Gisa
Mintarsa."
"Mencari Arca
Budha?"
"Ya. Ingkanputri dan Gisa
Mintarsa hanya
membantu ayahmu. Kedua sahabatku
itu telah
tahu bila Arca Budha tidak boleh
jatuh ke tangan
orang jahat"
Kepala Kwe Sin Mei
mengangguk-angguk,
lalu menatap wajah Pengemis
Binal lekat-lekat.
"Tadi Kak Suro mengatakan
bahwa telah bertemu
dengan dua lelaki dari bangsaku.
Satunya lagi
siapa?"
"Auwyang Nan Ie. Dan, orang
itu telah..."
"Telah apa, Kak Suro?"
kejar Kwe Sin Mei
karena Suropati tak segera
melanjutkan kalimat-
nya. "Apakah... apakah
Auwyang Nan Ie telah
mendapatkan Arca Budha?"
"Aku tidak tahu. Yang
jelas, Ingkanputri
dan Gisa Mintarsa mengatakan
bahwa Arca Bud-
ha berhasil dilarikan oleh Tan
Peng Sin. Semula,
arca itu disembunyikan Mahicha
Kapoor di Pulau
Belut"
Usai berkata, paras Suropati
tampak ke-
ruh. Dia tadi hampir kelepasan
bicara, mengata-
kan Auwyang Nan Ie yang telah
melukai Kwe Kok
Jiang dengar Pedang Burung Hong.
Hingga, Kwe
Kok Jiang menderita cacat,
lengan kirinya tak da-
pat digerakkan lagi.
"Wajah Kak Suro tampak
muram. Tampak-
nya, Kak Suro menyembunyikan
sesuatu yang
menyedihkan terhadapku.
Katakanlah, Kak Su-
ro.... Aku tahu Auwyang Nan Ie
memusuhi ayah-
ku. Apakah lelaki jahat itu
telah berhasil... berha-
sil...."
"Tak perlu kau khawatirkan
keselamatan
ayahmu, Sin Mei. Telah kukatakan
tadi, ayahmu
mencari Arca Budha bersama dua
orang saha-
batku."
"Lalu, apa yang membuat Kak
Suro jadi
muram?" cecar Kwe Sin Mei.
Pengemis Binal menatap wajah Kwe
Sin
Mei lekat-lekat. Haruskah dia
ceritakan perihal
ayahnya yang telah menjadi
cacat? Tidakkah hal
itu akan membuat sedih hati Kwe
Sin Mei?
"Ada apa, Kak Suro? Walau
kita baru saja
bertemu, dan baru pula saling
kenal, tapi aku te-
lah berterus-terang kepada Kak
Suro. Kenapa Kak
Suro tak berterus-terang pula
kepadaku? Apakah
aku tidak pantas untuk menjadi
sahabat Kak Su-
ro?"
Kwe Sin Mei membalas tatapan
Pengemis
Binal. Melihat remaja tampan itu
tetap diam, Kwe
Sin Mei membalikkan badan hendak
pergi.
"Sin Mei...,!" cegah
Suropati.
Kwe Sin Mei menoleh. "Aku
sadar siapa di-
riku. Aku memang tak pantas
menjalin persaha-
batan dengan seorang pendekar
besar seperti Kak
Suro...."
"Sin Mei...!" cegah
Suropati lagi waktu Kwe
Sin Mei melanjutkan langkahnya.
"Selamat tinggal, Kak Suro.
Maaf, aku ha-
rus pergi...."
Melihat Kwe Sin Mei mempercepat
langkah
kakinya, cepat Pengemis Binal
mengejar.
"Sin Mei...," desis
Pengemis Binal sambil
memegang bahu Kwe Sin Mei.
"Bukan aku tak
mau menjalin persahabatan
denganmu. Tak akan
ada lelaki yang menolak
bersahabat dengan gadis
secantik kau. Sin Mei...."
"Tapi, aku telah membuat
sedih hati Kak
Suro. Raut wajah Kak Suro
menggambarkan ke-
sedihan itu...," tukas Kwe
Sin Mei.
"Aku tidak sedih. Sin Mei.
Justru aku takut
membuatmu jadi sedih. Oleh
karenanya, aku ti-
dak bisa berterus-terang,"
kilah Pengemis Binal.
Kwe Sin Mei diam beberapa lama
menden-
gar ucapan Pengemis Binal.
"Sebenarnya apa yang telah
terjadi, Kak
Suro?" tanya gadis itu
kemudian. "Apakah ayahku
telah dilukai oleh Auwyang Nan
Ie?"
Suropati menghela napas panjang.
Perihal
cacat yang diderita Kwe Kok
Jiang, pada akhirnya
Kwe Sin Mei pasti akan
mengetahuinya juga.
Apakah tidak lebih baik
berterus-terang saja?
"Ayahmu memang telah
dilukai oleh Au-
Wyang Nan Ie...," putus Pengemis Binal kemu-
dian.
"Binar dugaanku. Seberapa
parah lu-
kanya?" tanya Kwe Sin Mei
tanpa menunjukkan
keterkejutan.
Karena telah beberapa tahun
terjun ke da-
lam rimba persilatan, tentu saja
Kwe Sin Mei
menganggap orang yang terluka
ataupun mati di
arena pertempuran adalah sesuatu
yang biasa.
Oleh karenanya, dia tak terkejut
ketika Suropati
mengatakan bahwa ayahnya telah
dilukai oleh
Auwyang Nan Ie. Dan memang,
kekhawatiran Su-
ropati tak pada tempatnya.
Sementara melihat Kwe Sin Mei
menangga-
pi perkataannya dengan
biasa-biasa saja, dia se-
gera menjawab pertanyaan gadis
itu.
"Lengan kiri ayahmu
terbabat putus oleh
Pedang Burung Hong di tangan
Auwyang Nan Ie.
Tapi, Kakek Wajah Merah berhasil
menyambung-
nya. Hanya saja, lengan kiri
ayahmu tak mungkin
dapat bekerja seperti
semula."
Kwe Sin Mei terdiam. Ada
kedukaan mem-
bayang di matanya, tapi cepat
dia mengusirnya.
Bagi orang gagah yang berjuang
membela kebena-
ran, apa arti kehilangan sebelah
lengan? Bila per-
lu nyawa pun mesti
dipertaruhkan.
"Maafkan aku. Sin Mei. Aku
datang setelah
peristiwa itu terjadi...,"
sesal Suropati melihat
Kwe Sin Mei menundukkan
kepala.
"Kau tak perlu menyalahkan dirimu, Kak
Suro," tukas Kwe Sin Mei.
"Aku memang sedih,
tapi tak sesedih yang kau kira.
Aku bisa meneri-
ma kenyataan ini...."
Pengemis Binal merengkuh bahu
gadis itu,
lalu berkata, "Kau,
benar-benar berjiwa besar, Sia
Mei..."
"Terima kasih, Kak Suro.
Eh... tidakkah
Kak Suro ingin mengetahui hasil
penyelidikanku
perihal Hantu Merah?" ujar
Kwe Sin Mei tiba-tiba.
"Tentu saja aku ingin
tahu," sahut Penge-
mis Binal.
"Ya. Kau memang harus tahu,
Kak Suro.
Tak dapat aku menyembunyikan
maksudku yang
hendak meminta bantuanmu untuk
menangkap
pelarian itu...."
"Kalau aku mampu, aku pasti
akan mem-
bantumu. Tanpa kau minta pun aku
pasti akan
membantumu. Aku tak mau kau
terluka...."
"Sungguhkah itu?"
"Ya."
"Karena apa?"
Pengemis Binal menggenggam erat
jemari
tangan Kwe Sin Mei. "Karena
kau cantik...,"
ucapnya, mulai konyol.
"Aku tidak cantik. Aku
hanya gadis biasa-
biasa saja. Banyak sahabat Kak
Suro yang sega-
lanya melebihi diriku,"
ujar Kwe Sin Mei yang
tampaknya tak mempan rayuan
Pengemis Binal.
Selagi Pengemis Binal
garuk-garuk kepala,
Kwe Sin Mei tersenyum tipis.
"Tiga tahun lamanya
aku merantau di daratan
Tionggoan. Hingga, bo-
leh dikatakan pengalamanku
tentang rimba persi-
latan cukup luas. Aku tahu cara
kerja orang baik
atau jahat. Aku tahu orang yang
berpura-pura
bermaksud baik, tapi menyimpan
maksud jahat.
Oleh karenanya aku pun tahu
orang yang me-
mang bermaksud baik, seperti Kak
Suro. Namun,
Kak Suro tak perlu memuji yang
tak pada tem-
patnya."
Terkesiap Pengemis Binal
mendengar uca-
pan Kwe Sin Mei. Agaknya, gadis
itu memang tak
mempan dirayu. Tak seperti
gadis-gadis lain yang
akan senang hatinya mendengar
pujian Pengemis
Binal.
"Ya. Ya.... Berceritalah
tentang hasil penye-
lidikanmu...," ujar
Pengemis Binal, menutupi rasa
malunya.
"Dari daratan Tiongkok, aku
menumpang
kapal dagang milik saudagar
Jawa. Selama bebe-
rapa bulan di atas kapal, aku
belajar bahasa Ja-
wa. Walau hasilnya tak seberapa
baik, tapi Kak
Suro dapat mengerti semua
ucapanku, bukan?"
papar Kwe Sin Mei, mengawali
ceritanya.
"Ya. Karena kau cerdas,
jadi bisa belajar
lebih cepat."
Bibir Kwe Sin Mei menyungging
senyum ti-
pis. Dia tahu bila pujian
Suropati kali ini di-
ucapkan dengan tulus, tak
menyimpan maksud
apa-apa.
"Setelah menginjakkan kaki
di tanah Jawa.
ini, aku segera memulai
penyelidikanku. Setengah
bulan yang lalu baru kuketahui
bila Hantu Merah
bersembunyi di suatu tempat
sunyi yang jarang
dijamah manusia."
"Bagaimana kau bisa
mengetahuinya?"
"Hanya kebetulan. Waktu itu
aku melihat
rombongan saudagar yang tengah
mengangkut
barang dagangannya dengan tiga
kereta kuda. Ke-
tika aku hendak menumpang,
mendadak rom-
bongan saudagar itu dicegat
seorang lelaki yang
sebagian wajahnya ditutupi kain
hitam. Anehnya,
pencegat itu tidak mengambil
barang-barang ber-
harga. Dia menculik dua kusir
kuda. Karena ingin
menolong, aku lalu mengejarnya.
Dan ternyata,
penculik itu ternyata Hantu
Merah, Dua kusir
kuda dibunuh dengan kejam.
Rupanya, Hantu
Merah menjadikan mereka tumbal
untuk me-
nyempurnakan ilmu kesaktiannya.
Melihat kehe-
batan Hantu Merah, aku merasa
tak mampu me-
nangkap pelarian itu. Lalu, aku
berusaha menca-
rimu untuk meminta pertolongan,
Kak Suro."
Kepala Pengemis Binal
mengangguk-
angguk. "Apakah kita mesti
mendatangi Hantu
Merah sekarang?"
tawarnya.
"Lebih cepat, lebih
baik," sambut Kwe Sin
Mei, girang.
***
2
Tersiram sinar mentari. Arca
Budha di tan-
gan Auwyang Nan Ie memancarkan
cahaya berki-
lauan. Terbawa rasa gembira yang
meluap-luap,
lelaki tinggi besar itu terus
tertawa bergelak. Se-
mentara tak jauh dari tempatnya
berdiri, tergele-
tak mayat Tan Peng Sin yang
sudah tak karuan
lagi wujudnya. Sekujur tubuhnya
melepuh-lepuh
berwarna biru-kehitaman. Bola
matanya melotot
besar dan mulutnya ternganga
lebar.
Semula, Tan Peng Sin berhasil
melarikan
Arca Budha dari Pulau Belut. Di
tepi Sungai
Bayangan, lelaki dekil itu
membuka peti besi
tempat penyimpanan Arca Budha
yang dibuat
oleh Mahicha Kapoor.
Tan Peng Sin berhasil
menghindari hujan
jarum beracun yang menyembur
dari dalam peti.
Tapi ketika dia membuka kain
pembungkus Arca
Budha, dia terserang racun
ganas, hingga me-
layanglah nyawa salah seorang
tokoh Partai Pen-
gemis dari daratan Tiongkok itu
Auwyang Nan Ie yang kebetulan
berada di
Sungai Bayangan dengan mudah
mengambil Arca
Budha yang menggelinding di
tanah. Karena dia
telah memiliki Pedang Burung
Hong yang menjadi
kunci pembuka rahasia Arca
Budha, maka tak
dapat digambarkan lagi betapa
gembiranya hati
lelaki tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Kini, telah kudapatkan Arca
Budha! Jalan untuk mewujudkan
cita-citaku te-
lah terbuka lebar! Ha ha
ha...!"
Selagi Auwyang Nan Ie tertawa
senang,
tanpa diketahuinya dua ekor ular
hitam merayap
mendekatinya. Dua ekor ular
sebesar lengan ma-
nusia dewasa itu lalu membelit
kaki Auwyang
Nan Ie.
"Hah?!"
Terkejut Auwyang Nan Ie ketika
merasakan
kedua kakinya tak dapat
digerakkan lagi. Sadar-
lah lelaki berpakaian kuning
coklat itu bila di-
rinya dalam bahaya.
Tanpa pikir panjang lagi Auwyang
Nan Ie
meloloskan Pedang Burung Hong yang
terselip di
punggungnya. Dua kali pedang
pusaka itu berke-
lebat membersitkan sinar biru
berkilat. Kepala
dua ekor ular hitam yang
membelit kaki Auwyang
Nan Ie pun terpisah dari
tubuhnya. Bau anyir da-
rah pun menyebar.
Dengan penuh rasa kesal Auwyang
Nan Ie
menyepak tubuh dua ekor ular
yang menggeliat
ganas di dekat kakinya, hingga
tercebur ke dalam
sungai.
"Ular keparat! Mengganggu
Auwyang Nan Ie
sama saja mencari mati!"
geram Auwyang Nan Ie
seraya menyarungkan lagi Pedang
Burung Hong-
nya.
Lelaki tinggi-besar itu memandang seben-
tar air sungai yang bergolak
karena geliatan dua
ekor ular hitam yang sedang
meregang nyawa. Ke-
tika pandangannya membentur pada
mayat Tan
Peng Sin, dia tertawa bergelak
lagi.
"Ha ha ha...! Sungguh
malang nasibmu.
Tan Peng Sin...! Kau mati dalam
keadaan menge-
naskan. Tapi seharusnya kau tahu
diri, Pengemis
Malang. Tak perlu kau
bersusah-payah mencari
Arca Budha sampai ke tanah Jawa
ini karena di-
rimu tak pantas untuk
memilikinya. Kenekatan-
mu hanya mendatangkan celaka! Ha
ha ha...!"
Sejenak Auwyang Nan Ie menatap
Arca
Budha di tangannya, lalu dia
menjejak tanah un-
tuk segera meninggalkan Sungai
Bayangan. Na-
mun....
"Jahanam! Tetaplah di
tempatmu!"
Sebuah teriakan menghentikan
kelebatan
tubuh Auwyang Nan Ie. Sekitar
dua tombak dari
hadapan lelaki tinggi-besar itu
telah berdiri seo-
rang pemuda mengenakan pakaian
ketat yang
terbuat dari kulit ular. Wajah
pemuda itu tampak
lucu karena matanya sipit dan
bibirnya monyong.
Di jemari tangan kanannya
terjepit sebatang se-
ruling gading.
Auwyang Nan Ie terkesiap melihat kulit
pemuda itu bersisik seperti
kulit ular. Menyangka
si pemuda bermaksud hendak
merampas Arca
Budha di tangannya, cepat Auwyang
Nan Ie me-
masukkan arca itu ke saku
bajunya yang gedom-
brongan.
"Siapa kau?!" bentak
Auwyang Nan Ie, pe-
nuh selidik.
"Akulah yang seharusnya
menanyakan itu.
Kau telah masuk ke Sungai
Bayangan tanpa ijin,
bahkan telah membunuh dua ekor
ular peliha-
raanku. Oleh karenanya, kau
harus meninggal-
kan nyawamu di tempat ini!"
ancam si pemuda
yang bukan lain Sawung Jenar
atau Iblis Selaksa
Ular.
"Ha ha ha...! Aku tidak
kenal siapa kau, ta-
pi, kata-katamu sungguh
memerahkan daun te-
lingaku. Kau pikir dirimu
malaikat kematian yang
bisa mengambil nyawa sembarang
orang seenak
perutmu sendiri, begitu?! Huh!
Segeralah pergi
dari hadapanku, sebelum hilang
kesabaranku!"
Auwyang Nan Ie ganti mengancam
dengan bahasa
Jawa patah-patah.
"Keparat! Tidakkah kau tahu
akulah Pen-
guasa Sungai Bayangan ini!"
sahut Sawung Jenar
cepat. "Masuk ke wilayahku
tanpa izin sudah me-
rupakan kesalahan besar.
Apalagi, membunuh
ular peliharaanku. Kau berlaku
sombong pula.
Maka demi langit dan bumi, tak
akan Sawung Je-
nar membiarkan dirimu
berlama-lama menghirup
udara segar!"
Melihat kesungguhan Sawung
Jenar, Au-
wyang Nan Ie mendengus gusar.
Dalam sekejap
mata, sebatang kebutan telah
berada di tangan
kanannya. Bulu-bulu senjata yang
berupa alat tu-
lis Cina berukuran besar itu
kontan mengejang
kaku ketika dialiri tenaga
dalam.
"Matilah kau, Mulut
Besar!"
Dibarengi teriakan itu, tubuh
Auwyang Nan
Ie berkelebat ke depan. Bulu
kebutannya yang
menyerupai mata tombak meluncur
cepat, men-
garah jalan darah yang terletak
di bawah iga Sa-
wung Jenar!
Auwyang Nan Ie bersorak girang
dalam hati
melihat Sawung Jenar sama sekali
tak mengge-
rakkan tubuhnya. Apakah pemuda
itu tidak tahu
bila dirinya terancam
marabahaya? Apakah dia
hanya pemuda bodoh yang cuma
dapat mengum-
bar kata-kata?
Set...!
"Heh?!"
Terperangah Auwyang Nan Ie. Bulu
kebu-
tannya tiba-tiba meleset,
padahal Sawung Jenar
sama sekali tak menggerakkan
tubuhnya!
Tak mau mendapat serangan balik, cepat
Auwyang Nan Ie menggerakkan
senjatanya lagi.
Bulu kebutan yang dialiri tenaga
dalam penuh
disodokkan Auwyang Nan Ie sambil
bersalto di
udara. Mengarah jalan darah di
punggung. Itu be-
rarti Auwyang Nan Ie benar-benar
bermaksud
membunuh Sawung Jenar!
Tapi, pemuda bersisik ular tak
mau berke-
lit. Dia menadahi serangan
Auwyang Nan Ie den-
gan bersedekap. Sikapnya
tenang-tenang saja,
seperti tak tahu bila ada bahaya
sedang mengan-
cam nyawanya!
Set...!
"Heh?!"
Untuk kedua kalinya Auwyang Nan
Ie ter-
perangah. Ketika bulu kebutan
hendak mengenai
sasaran, tiba-tiba melenceng,
hingga serangan itu
gagal total!
Sadarlah Auwyang Nan Ie bila
dirinya ten-
gah berhadapan dengan seorang
pemuda yang
memiliki kepandaian luar biasa.
Maka tanpa pikir
panjang lagi, dia segera
meloloskan Pedang Bu-
rung Hong!
Melihat sinar biru berkeredepan
yang
membersit dari bilah pedang
Auwyang Nan Ie,
Sawung Jenar terkesiap. Tanpa
sadar dia melon-
cat menjauh karena kaget.
Dengan ilmu 'Lembu Sekilan',
sebenarnya
Sawung Jenar tak mempan pukulan
atau baco-
kan senjata tajam apapun. Tapi
melihat pedang
pusaka di tangan Auwyang Nan Ie,
dia jadi ragu-
ragu. Ada kemungkinan ketajaman
Pedang Bu-
rung Hong mampu menembus benteng
kekebalan
ilmu 'Lembu Sekilan'.
Tak mau menerima akibat buruk,
cepat
Sawung Jenar mengalirkan seluruh
kekuatan te-
naga dalamnya ke kedua
tangannya. Sambil
menggembor keras, pemuda
bersisik ular itu me-
lancarkan pukulan jarak jauh.
Dua larik sinar
kuning meluncur deras ke arah
Auwyang Nan Ie!
Wusss...!
"Ngaco-belo!" ujar Auwyang Nan Ie seraya
memutar Pedang Burung Hong di
depan tubuh-
nya.
Putaran Pedang Burung Hong mampu
membuat benteng sinar biru yang
amat menyi-
laukan mata. Ketika dua larik
sinar kuning mem-
benturnya, timbul ledakan keras
yang mampu
menggugurkan daun pepohonan.
Bebatuan yang
berada di hadapan Sawung Jenar
dan Auwyang
Nan Ie pun berhamburan ke
angkasa, hingga
membuat penglihatan jadi
ter-halang.
Ketika suara gemuruh yang timbul
akibat
lontaran bebatuan telah reda dan
pandangan pun
tak lagi terhalang, Auwyang Nan
Ie tampak berdiri
tegak di tempatnya tak kurang
suatu apa. Semen-
tara, Sawung Jenar beberapa kali
menggedrukkan
kakinya ke tanah. Dia jengkel
sekaligus kagum
melihat kehebatan pedang pusaka
di tangan Au-
wyang Nan Ie.
"Walau kau memiliki pedang
ampuh, jan-
gan harap aku akan membiarkan
dirimu pergi da-
ri tempat ini!" ujar Sawung
Jenar kemudian. "Hu-
tang nyawa harus dibayar
nyawa!"
"Hmm.... Kata-katamu
semakin membuat
panas hatiku. Bila kau mampu
membalikkan
bumi dan meruntuhkan langit,
bolehlah kau se-
sumbar sesuka hatimu! Tanpa kau
suruh pun
aku tak akan meninggalkan tempat
ini. Tak kan
puas hatiku sebelum dapat
memenggal kepala-
mu!"
"Agaknya kau memang pantas
untuk mati,
Orang Edan!"
Di ujung kalimatnya, Sawung
Jenar men-
cabut seruling gading yang tadi
telah dia selipkan
di ikat pinggangnya. Auwyang Nan
Ie hendak me-
nerjang, namun lelaki
tinggi-besar itu kaget keti-
ka telinganya mendengar suara
tiupan seruling
merdu mendayu-dayu.
Otak Auwyang Nan Ie dapat
bekerja dengan
baik. Dia tahu bila Sawung Jenar
hendak me-
manggil ular-ularnya. Maka
sebelum ular-ular itu
datang, cepat dia mengempos
tubuh. Bilah Pe-
dang Burung Hong yang bengkok
hendak mengait
kepala Sawung Jenar!
"Uh...!"
Mendadak, keluh pendek keluar
dari mulut
Auwyang Nan Ie. Tubuhnya yang
tengah me-
layang di udara tiba-tiba jatuh
ke tanah dalam
keadaan lemas. Sementara, tiupan
seruling Sa-
wung Jenar berubah melengking
tinggi, hingga te-
rasa menampar-nampar gendang
telinga!
Sinar mata Auwyang Nan Ie jadi
nyalang.
Dia bingung dan takut. Kenapa
tiba-tiba tubuh-
nya terasa amat lemas seperti
telah dilolosi selu-
ruh urat dan
tulang-belulangnya?
Dalam kekalutannya, mata Auwyang
Nan
Ie melihat ratusan ular merayap
dari berbagai
penjuru, menuju ke arahnya!
"Hia...!"
Brukkk...!
Auwyang Nan Ie hendak meloncat
bangkit,
namun tubuhnya segera jatuh
lagi. Dia benar-
benar kehilangan seluruh tenaganya.
Bahkan ke-
tika mencoba mengalirkan tenaga
dalam pun, dia
tidak mampu! Dia hanya dapat
duduk setengah
terbaring tertelungkup, menunggu
ajal menjem-
put!
Diiringi tiupan seruling Sawung
Jenar yang
semakin melengking tinggi,
ratusan ular semakin
cepat merayap untuk segera
mengerubuti tubuh
Auwyang Nan Ie yang sudah tak
berdaya apa-apa!
"Arca Budha...." desis
Auwyang Nan Ie da-
lam kekalutannya. "Biarlah
aku mati di sini asal
Arca Budha turut hancur bersama
tubuhku..."
Berpikir demikian, Auwyang Nan
Ie menge-
luarkan Arca Budha yang berada
di saku ba-
junya. Arca sebesar anak kucing
itu lalu dia le-
takkan di hadapannya. Kemudian,
Auwyang Nan
Ie mengangkat bilah Pedang
Burung Hong tinggi-
tinggi. Dan...
Prang...!
Timbul suara nyaring ketika
bilah Pedang
Burung Hong membentur Arca Budha
yang ter-
buat dari emas murni, Auwyang
Nan Ie bermak-
sud menghancurkan arca buatan
seorang tetua
dari bangsa Cina dua ratus tahun
yang silam itu.
Tapi anehnya, bilah Pedang
Burung Hong tak
mampu membelahnya, bahkan
melekat! Kedua-
nya seperti mengandung kekuatan
yang saling ta-
rik-menarik!
Auwyang Nan Ie terkejut luar
biasa. Dia
sama sekali tak tahu keajaiban
apa yang terdapat
di balik keindahan Arca Budha.
Ketika dia menge-
rahkan tenaga untuk memisahkan
bilah Pedang
Burung Hong dari badan arca itu,
mendadak Arca
Budha memancarkan sinar
kurung-keemasan
yang amat menyilaukan mata.
Sinar itu kemudian
menjalar ke bilah Pedang Burung
Hong, lalu men-
jalar terus ke tubuh Auwyang Nan
Ie!
Saat sinar-keemasan telah
lenyap, Au-
wyang Nan Ie merasakan
kekuatannya pulih
kembali. Hawa murni yang
berputar di sekitar
pusarnya pun terasa beraturan.
Itu berarti dia bi-
sa mengerahkan tenaga dalam
lagi!
"Ha ha ha...! Hebat...!
Hebat...! Sungguh
sebuah benda mustika yang tak
ada bandingnya!"
Auwyang Nan Ie memuji kehebatan
Arca
Budha seraya menarik bilah
Pedang Burung
Hong. Kali ini, pedang bengkok
itu dapat lepas
dari badan Arca Budha.
Sementara, Sawung Jenar yang
tengah
meniup seruling gadingnya ganti
terkejut bagai
disambar petir. Ketika Arca
Budha memancarkan
sinar kuning-keemasan, ratusan
ular yang berada
di bawah pengaruh tiupan
serulingnya tiba-tiba
panik, lalu merayap pergi
berserabutan, seperti
melihat sesuatu yang amat
menakutkan!
"Mati kau, Setan!"
Mendengar teriakan itu, Sawung
Jenar ter-
sadar dari keterkejutannya.
Selarik sinar biru
berkeredepan meluncur cepat ke
arahnya. Itulah
sinar yang timbul dari tusukan
Pedang Burung
Hong di tangan Auwyang Nan
Ie!
"Uts...!"
Bergegas Sawung Jenar melempar
tubuh-
nya ke kiri. Ujung Pedang Burung
Hong pun
hanya mengenai tempat kosong.
Tak mau membuang-buang waktu,
Au-
wyang Nan Ie mencecar Sawung
Jenar dengan se-
rangan mematikan. Suara gemuruh
keras timbul
setiap Pedang Burung Hong
berkelebat. Tubuh
Sawung Jenar terkurung oleh
sinar biru yang
amat menggidikkan. Tampaknya,
Auwyang Nan Ie
benar-benar ingin segera
menyudahi riwayat Pen-
guasa Sungai Bayangan itu. Oleh
karenanya, dia
mengeluarkan jurusnya yang
paling ampuh, yakni
ilmu pedang 'Delapan Dewa'
Dengan membentengi tubuhnya
dengan il-
mu 'Lembu Sekilan', Sawung Jenar
memberi per-
lawanan sekuat tenaga. Dia balas
menyerang
dengan seruling gading di
tangan. Namun tak la-
ma kemudian....
Trang...!
"Haya...!"
Seruling gading Sawung Jenar
terbabat pu-
tus oleh Pedang Burung Hong
milik Auwyang Nan
Ie. Dalam keadaan sulit, Sawung
Jenar mengem-
pos tubuh tinggi-tinggi karena
ketajaman Pedang
Burung Hong mencecarnya dari
bawah.
Selagi tubuh Sawung Jenar
melayang di
udara, kebutan di tangan kanan
Auwyang Nan Ie
meluncur deras hendak menotok
jalan darah yang
terletak di lutut.
"Haram jadah!" maki
Sawung Jenar seraya
menyabetkan potongan seruling
gadingnya untuk
menangkis luncuran kebutan.
Slap...!
Tatkala bulu kebutan yang
mengejang ka-
ku hendak membentur potongan
seruling, tiba-
tiba bulu senjata yang
menyerupai alat tulis Cina
itu menjadi lemas. Hingga,
sabetan seruling gad-
ing lewat begitu saja. Agaknya,
Auwyang Nan Ie
telah mengganti aliran tenaga
dalamnya dengan
tenaga lembek.
Sebenarnya, memang di situlah
letak kehe-
batan kebutan milik Auwyang Nan
Ie. Selagi po-
tongan seruling gading terus
lewat ke samping,
bulu kebutan mengejang kaku
lagi. Hendak
menggetok kepala Sawung Jenar!
Set...!
"Heh?!"
Auwyang Nan Ie terperangah.
Getokan bulu
kebutannya tiba-tiba melesat ke
samping kanan
kepala Sawung Jenar. Auwyang Nan
Ie pun jadi
tak habis mengerti, bagaimana
hal itu bisa terja-
di? Padahal, dia sudah sangat
yakin bila senja-
tanya akan dapat menghabisi
riwayat Sawung Je-
nar!
Kalau saja Sawung Jenar tak
memiliki ilmu
'Lembu Sekilan', pastilah
nyawanya telah me-
layang. Namun, dia belum bisa
mengambil napas
lega karena Pedang Burung Hong
di tangan kiri
Auwyang Nan Ie terus
mengurungnya.
Susah payah Sawung Jenar
berloncatan ke
sana kemari. Namun, Pedang
Burung Hong terus
mengejar dan mengurungnya.
Pedang pusaka itu
bagai punya mata yang terus
mengincar jalan
kematian di tubuh Sawung Jenar.
Sepuluh jurus kemudian, wajah
Sawung
Jenar terlihat pucat-pasi.
Keringat telah memban-
jir di sekujur tubuhnya. Walau
dia kebal terhadap
serangan kebutan milik Auwyang
Nan Ie, tapi
mampukah dia menahan ketajaman Pedang
Bu-
rung Hong?
"Kau boleh bangga dengan
ilmu simpa-
nanmu, tapi cobalah dulu
ketajaman pedangku
ini!" ujar Auwyang Nan Ie.
Lelaki tinggi-besar itu telah
menyimpan
kebutannya di balik bajunya yang
gedombrongan.
Senjata itu dia anggap tak lagi
berguna. Pedang
Burung Hong yang semula berada
di tangan kiri,
dia pindah ke tangan kanan.
Dengan demikian,
Auwyang Nan Ie lebih leluasa
dalam memainkan
ilmu pedang 'Delapan Dewa'.
"Susullah ibumu ke alam
baka!'' ujar Au-
wyang Nan Ie seraya menusuk dada
kiri Sawung
Jenar.
Walau dalam keadaan sulit,
pemuda bersi-
sik ular itu masih mampu
berkelit. Namun ketika
Auwyang Nan Ie menyambung
serangannya, Sa-
wung Jenar memekik!
"Argh...!"
Bahu kiri Sawung Jenar tersambar
bilah
pedang di tangan Auwyang Nan Ie.
Darah segar
memercik. Agaknya, ilmu 'Lembu
Sekilan' tak
mampu menahan ketajaman Pedang
Burung
Hong!
Semakin pucatlah wajah Sawung
Jenar.
Keringat dingin mengucur tanpa
kendali. Nyawa
Sawung Jenar benar-benar diintai
malaikat kema-
tian!
"Ha ha ha.,.! Bila kau
masih punya ilmu si-
luman, segeralah kau
keluarkan!" sesumbar Au-
wyang Nan Ie, jumawa.
"Makan kesombonganmu!"
sahut Sawung
Jenar seraya menyorongkan
potongan seruling
gadingnya.
Dari dalam seruling yang tinggal
setengah
bagian itu melesat ular putih
yang tak lebih besar
dari batang lidi. Karena
lesatannya amat cepat,
mata Auwyang Nan Ie tak dapat
melihatnya. Lela-
ki tinggi-besar yang hendak
mengawali serangan-
nya lagi itu menjerit pendek.
Dada kirinya terasa
pedih bagai tersengat lebah.
Merasa dirinya telah termakan
senjata ra-
hasia Sawung Jenar, Auwyang Nan
Ie menggem-
bor keras. Tubuhnya berkelebat
cepat. Sementa-
ra, Sawung Jenar yang merasa
senang karena
'Ular Pemakan Jantung'-nya
berhasil masuk ke
tubuh tawan, menjadi lengah.
Hingga....
Wuttt...!
"Aih...!"
Walau Sawung Jenar mampu
berkelit den-
gan melempar tubuh ke belakang
seraya berjung-
kir-balik di udara, tak urung
paha kanannya ter-
sambar ketajaman Pedang Burung
Hong.
"Keparat! Setan
laknat!" maki Auwyang Nan
Ie dengan sinar mata nyalang.
Tanpa mempedulikan Sawung Jenar
yang
berdiri terhuyung-huyung, jago
silat dari daratan
Tionggoan itu mendekap .dada
kirinya. Cepat dia
sobek kain bajunya. Cairan darah
segar tampak
menetes dari luka kecil di atas
puting susunya!
"Keparat! Setan
laknat!" maki Auwyang Nan
Ie lagi.
Sinar mata lelaki bertubuh
tinggi-besar itu
semakin nyalang. Dia merasakan
gerakan-
gerakan aneh di dalam dada
kirinya. Sadarlah dia
bila ada seekor ular kecil
bersarang di tubuhnya.
Sambil menggembor keras, Auwyang
Nan Ie
berkelebat menyambar Arca Budha
yang tergele-
tak di tanah. Tanpa pikir
panjang lagi dia lalu me-
larikan diri!
Sawung Jenar yang telah
menderita luka
cuma memandang kepergian Auwyang
Nan Ie
dengan senyum ejekan. Dia puas.
Walau dirinya
terluka, tapi 'Ular Pemakan Jantung'-nya telah
berhasil masuk ke tubuh Auwyang
Nan Ie. Nyawa
jago silat Cina itu akan segera melayang
ke alam
baka!
"Uh...!"
Sawung Jenar jatuh terduduk
disertai ke-
luhan pendek dari mulutnya. Luka
di bahu ki-
rinya masih mengucurkan darah.
Demikian pula
luka di paha kanannya.
Sawung Jenar segera memeriksa
kedua lu-
kanya itu, Dia mengambil napas
lega setelah tahu
luka-lukanya tidak mengandung
racun. Dia lalu
merangkak bangkit untuk beranjak
pergi. Namun
tiba-tiba, tiga sosok bayangan
berkelebat, meng-
hadang langkahnya! Tiga sosok
bayangan itu ter-
nyata Ingkanputri, Gisa
Mintarsa, dan Kwe Kok
Jiang.
"Kau terluka,
Jenar...?" desis Ingkanputri
atau Dewi Baju Merah.
Sawung Jenar menatap sekilas
wajah gadis
berpakaian serba merah itu.
"Siapa yang
melukaimu?" tanya Ingkanpu-
tri.
"Orang dari seberang,"
jawab Sawung Je-
nar, pendek.
"Dia bersenjata pedang
bengkok yang pe-
nuh ukiran?" buru Kwe Kok
Jiang.
'"Ya."
"Dia pasti Auwyang Nan Ie.
Ada urusan apa
lelaki itu melukai pemuda
ini?" tanya Kwe Kok
Jiang kepada diri sendiri.
Lelaki berkuncir bergelar
Pendekar Sesat
itu melonjak kaget ketika
melihat mayat Tan Peng
Sin tergeletak di tepi sungai!
***
3
Dengan setengah menarik tangan
Suropati,
Kwe Sin Mei berlari menyusuri
sebuah sungai ke-
cil berair jernih. Hingga,
sampailah mereka di su-
atu tempat yang dipenuhi
tumbuhan liar. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun,
Kwe Sin Mei te-
rus berlari menembus hutan itu.
Ketika sampai di
sebuah padang rumput yang berupa
bukit-bukit
kecil, Suropati menarik
tangannya, hingga terle-
pas dari cekalan Kwe Sin Mei.
"Kau akan membawaku ke
mana?" tanya
Pengemis Binal, sedikit jengkel.
Kwe Sin Mei menatap heran.
"Bukankah ki-
ta hendak menangkap Hantu Merah?
Aku tidak
mau penyelidikanku sia-sia hanya
karena terlam-
bat datang."
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Dia bisa mengerti jalan
pikiran Kwe Sin
Mei. Bila. Hantu Merah keburu
pergi dari tempat
persembunyiannya, Kwe Sin Mei
akan mendapat
kesulitan menangkap pelarian
itu. Dia harus
mengawali lagi penyelidikannya.
"Ya, sudah. Aku turut apa
maumu, tapi
jangan kau seret-seret aku
seperti anak kecil,"
ujar Pengemis Binal.
Bibir Kwe Sin Mei menyungging
senyum
manis. "Maafkan aku, Kak
Suro. Aku merasa di-
buru waktu, hingga tak sadar aku
telah memaksa
Kak Suro berlari
cepat."
Pengemis Binal tak seberapa
mempeduli-
kan ucapan Kwe Sin Mei. Otaknya
linglung men-
dadak saat melihat senyum manis
di bibir putri
Kwe Kok Jiang itu. Ingin rasanya dia memeluk
erat seraya menjatuhkan ciuman
mesra. Tapi,
keinginan itu cepat dihalaunya.
Pengemis Binal
sadar bila tidak setiap gadis
suka mendapat per-
lakuannya yang seperti itu.
Apalagi, dia harus
menjaga nama baiknya sendiri
sebagai seorang
pendekar.
"Hei! Kenapa Kak Suro malah
melamun?!"
tegur Kwe Sin Mei melihat
Pengemis Binal cuma
berdiri terlongong bengong.
Tanpa sadar Suropati garuk-garuk
kepala
lagi. Sambil nyengir kuda, dia berkata,
"Tidak!
Aku tidak melamun. Aku hanya
membayangkan
kecantikan seorang bidadari!
Apakah bidadari itu
secantik kau, Sin Mei?"
Kedua alis Kwe Sin Mei bertaut
mendengar
kata-kata Pengemis Binal.
"Kau jangan ngelantur,
Kak Suro. Ayolah, segera ikuti
aku..."
Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei
menjejak
tanah, lalu berlari cepat dengan
mengandalkan
seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Seperti
orang kehilangan ingatan,
Suropati mengangguk-
anggukkan kepalanya. Setelah
menepuk dahinya
beberapa kali, bergegas dia
mengikuti kelebatan
tubuh Kwe Sin Mei.
Tanpa terasa waktu berlalu amat
cepat.
Sang Candra dalam bulatan penuh
berada di ten-
gah-tengah cakrawala. Cahaya
kuning-
keemasannya membuka jalan Kwe
Sin Mei dan
Suropati untuk terus berlari ke
barat.
Sesampai di lereng bukit kecil
yang diham-
pari rumput tebal, Kwe Sin Mei
menghentikan ke-
lebatan tubuhnya. Cepat dia
menoleh ke belakang
sambil menegakkan jari telunjuk
di depan bibir-
nya.
Suropati tahu bila gadis itu
memberi isya-
rat agar dia tak mengeluarkan
suara. Maka, dia
ikuti saja Kwe Sin Mei yang kini
berjalan mengen-
dap-endap, tanpa bertanya
apa-apa.
Mata Pengemis Binal yang jeli
mengamati
bukit-bukit di sekitarnya. Di
punggung salah satu
bukit terdapat tiga tumpukan
barang setinggi
manusia dewasa yang disusun
membentuk keru-
cut. Pengemis Binal tidak tahu
barang apa itu ka-
rena rembulan hanya memberikan
cahaya tema-
ram.
Suropati hendak menerapkan ilmu
'Mata
Awas'-nya untuk melihat tumpukan
barang yang
menarik perhatiannya itu, tapi
Kwe Sin Mei kebu-
ru melambaikan tangannya.
"Kau perhatikan tumpukan
barang itu Kak
Suro...," ujar Kwe Sin Mei,
setengah berbisik.
"Ya. Barang apa itu?"
sahut Pengemis Binal
dengan suara lirih pula.
"Kita dekati saja."
Kwe Sin Mei menutup kalimatnya
dengan
satu jejakan ringan di tanah.
Tubuh gadis itu
langsung melayang. Dan dalam
beberapa tarikan
napas saja, dia telah berada di
dekat salah satu
tumpukan barang setinggi manusia
dewasa. Su-
ropati yang mengikuti di
belakang kontan terkejut
setelah mengetahui, tumpukan
barang itu ternya-
ta tempurung kepala
manusia!
"Apakah ini perbuatan Hantu
Merah?"
tanya Pengemis Binal.
Kwe Sin Mei mengangguk "Ya.
Tempurung-
kepala ini milik orang-orang
yang dijadikan tum-
bal Hantu Merah,"
Gadis berkulit putih itu lalu
mengambil sa-
tu tempurung kepala dengan
hati-hati sekali, agar
tumpukannya tak rusak atau
runtuh. Tempurung
kepala itu lalu disodorkannya
kepada Pengemis
Binal.
"Lihatlah…"
Setelah Suropati memeriksa,
keningnya
berkerut rapat. Dalam hatinya timbul rasa ngeri
bercampur kaget dan heran. Di
tempurung kepala
itu terdapat lima lubang,
Lubang-lubang itu terle-
tak di bagian telinga, mata, dan
hidung sebelah
kiri. Lubang yang di dekat
hidung lebih besar dari
empat lubang lainnya,
Suropati yang sudah cu-
kup matang pengalaman segera
bisa memastikan
bila kelima lubang itu adalah
bekas tusukan jari
tangan, bukan bekas tusukan
pedang atau senja-
ta lainnya.
Untuk lebih memastikan, Pengemis
Binal
memasukkan jari-jari tangan
kanannya ke lima
lubang di tempurung kepala yang dibawanya,
Ternyata pas walau sedikit kelonggaran
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti itu segera memeriksa tiga
tempurung kepala
lainnya. Dan ternyata, ketiganya
sama seperti
tempurung kepala yang pertama.
Semuanya ter-
dapat lima lubang yang pas bila dimasuki jari
tangan.
Pengemis Binal segera teringat
kepada
Prajna Singh, seorang tokoh tua
dari India, yang
memiliki ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa'. Di Kedai
Melati, di kota Kadipaten Tanah
Loh, dengan ma-
ta kepala sendiri Pengemis Binal
melihat Prajna
Singh, mencengkeram batok kepala
seorang pe-
layan. Dengan jari tangan kanan
tetap menceng-
keram batok kepala, Prajna Singh
membalik tu-
buh si pelayan, hingga kakinya
berada di atas.
Satu kejap mata kemudian, tubuh
pelayan naas
itu terkulai layu menjadi
selembar kulit tanpa
daging dan tulang. (Baca serial
Pengemis Binal
dalam episode : "Asmara
Putri Racun").
"Hmm.... Apakah orang yang
berjuluk Han-
tu Merah itu juga mempunyai ilmu
'Lima Jari
Pencabut Jiwa'? Ah, tidak! Orang
yang terkena
kedahsyatan ilmu sesat itu tak
akan meninggal-
kan sedikit pun tulang. Karena
di sini banyak ter-
dapat tempurung kepala, berarti
Hantu Merah ti-
dak sedang mempelajari ilmu itu.
Tapi, bagaima-
na kalau dia memang belum
menguasainya seca-
ra sempurna?" kata Pengemis
Binal dalam hati.
"Sekarang kau periksa tiga
tumpukan lain-
nya, Kak Suro...."
Walau pelan tapi ucapan Kwe Sin
Mei
membuat Pengemis Binal terkejut.
Remaja tam-
pan, itu memang sedang melamun.
"Ya. Ya," sahutnya,
tergagap.
"Kau periksa apakah jumlah
dan susunan-
nya sama dengan yang ini"
lanjut Kwe Sin Mei
Suropati segera menuruti
permintaan gadis
itu.
"Benar. Susunannya sama
membentuk segi
tiga, jumlahnya pun sama,"
beri tahu Pengemis
Binal kemudian.
"Susunannya terbagi dalam
enam tingkat.
Masing-masing berjumlah sepuluh,
enam, tiga, ti-
ga, dan satu?" tegas Kwe
Sin Mei tanpa memerik-
sa.
"Eh, Sin Mei, bagaimana kau
dapat menge-
tahuinya dengan tepat?"
Suropati memandang he-
ran.
Kwe Sin Mei tak menghiraukan
pertanyaan
Suropati. Wajahnya tiba-tiba berubah
cemas, se-
perti ada sesuatu yang
dikhawatirkannya.
"Kau kenapa. Sin Mei?"
tanya Suropati, le-
bih heran.
Tetap tak ada jawaban dari mulut
Kwe Sin
Mei. Mendadak, dia mendengus
gusar. Dan den-
gan gerakan secepat kilat,
tangannya berkelebat
menghunus salah satu pedang yang
terselip di
punggungnya. Lalu....
Sing...!
Ujung pedang Kwe Sin Mei melesat
cepat,
menusuk batang tenggorokan
Pengemis Binal!
Tak dapat digambarkan lagi
betapa terke-
jutnya Suropati. Sungguh tak
pernah dia sangka
bila Kwe Sin Mei hendak
mencelakainya. Menyes-
al dia telah menaruh kepercayaan
pada Kwe Sin
Mei yang memang berwajah cantik
dan bertubuh
sintal-menarik.
Belum sempat Suropati berpikir
bagaimana
cara berkelit dan dengan tipu
apa dia barus me-
nyelamatkan diri, ujung pedang
Kwe Sin Mei telah
berada di bawah dagunya. Itu
berarti ajalnya
akan segera tiba.
Namun untung bagi Pengemis
Binal, di
saat jiwanya hampir lepas dari
raganya, gerak
bawah sadarnya bekerja karena
dia mempunyai
ilmu 'Arhat Tidur' yang telah
dikuasainya dengan
sempurna. Ilmu hasil ajaran
Periang Bertangan
Lembut itu dapat menggerakkan
anggota-anggota
tubuh Pengemis Binal tanpa
disadari sendiri oleh
Pengemis Binal.
Tap...!
Luar biasa cepatnya kedua
telapak tangan
Suropati merangkap di depan
dada, dan berhasil
menjepit bilah pedang Kwe Sin
Mei. Saking kesal
dan gemasnya, Suropati
mengeluarkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya.
Hingga....
Kresh...!
"Aih...!"
Kwe Sin Mei menjerit keras.
Sekujur tu-
buhnya terasa bergeletar, lalu
terpental ke bela-
kang sejauh enam tombak! Bilah
pedangnya men-
cair dan gagangnya hancur
menjadi serbuk halus!
"Kuntilanak! Kalau tahu
akan begini, tak
mau aku mengikutimu!"
bentak Pengemis Binal
seraya membalikkan badan untuk
meninggalkan
Kwe Sin Mei yang masih mengaduh
kesakitan.
Namun sejauh remaja tampan itu
melang-
kah jauh, terdengar suara tawa
Kwe Sin Mei sam-
bil memanggil-manggil namanya.
Kontan Suropati
jadi sangsi akan kewarasan otak gadis
berkulit
putih itu.
"Kakak! Kakak!"
panggil Kwe Sin Mei se-
raya menghadang langkah Pengemis
Binal. "Kak
Suro jangan pergi dulu. Iblis
itu akan segera da-
tang. Kak Suro pasti dapat
membantuku untuk
menangkap pembunuh yang sangat
tak berperi-
kemanusiaan itu!"
Suropati mendengus gusar.
Matanya me-
nangkap jari-jari tangan kanan
Kwe Sin Mei yang
menghitam, yang tentunya terasa
amat panas.
Namun tampaknya, Kwe Sin Mei tak
mempeduli-
kan luka di tangannya itu.
Malah, dia melan-
jutkan tawanya seraya mengerling
penuh arti.
"Mau apa kau?!" bentak
Pengemis Binal
yang menjadi muak dan sebal
melihat Kwe Sin
Mei.
Tanpa menunggu jawaban lagi,
remaja
tampan itu mengibaskan telapak
tangan kanan-
nya. Timbul tiupan angin keras
yang memperden-
garkan suara bergemuruh. Tanpa
ampun, tubuh
Kwe Sin Mei jatuh bergulingan.
Masih mujur ba-
ginya karena Pengemis Binal
hanya mengerahkan
sebagian kecil tenaga dalamnya.
Begitu gulingan tubuhnya
terhenti, Kwe
Sin Mei segera bangkit. Matanya
menatap tempat
kosong dengan leher ditegakkan.
Agaknya, dia
tengah menajamkan pendengaran.
"Dia datang! Mari kita
sembunyi!" seru ga-
dis berkulit putih itu,
sungguh-sungguh. Wajah-
nya berubah tegang. Lalu, dia
menyelinap di balik
semak-semak.
Sebenarnya Suropati tak hendak
meladeni
perbuatan Kwe Sin Mei. Tapi
setelah dia mena-
jamkan pendengaran juga,
telinganya menangkap
suara-suara aneh dari bawah
bukit. Cepat dia ke-
luarkan ilmu 'Mata Awas'-nya.
Maka saat itu juga,
dia melihat dua sosok bayangan
berkelebat saling
berdempetan, menuju ke arahnya.
Bergegas Suropati menyelinap ke
semak-
semak tak jauh dari tempat Kwe
Sin Mei bersem-
bunyi. Dari tempat itu Suropati
cukup leluasa un-
tuk mengedarkan pandangan.
Tiba-tiba, terdengar suara orang
menjerit
panjang seperti lolongan
serigala. Sekejap mata
kemudian, tampak dua bayangan
melayang dan
mendarat di dekat tiga tumpukan
tempurung ke-
pala.
Tanpa menggunakan ilmu 'Mata
Awas'-nya,
Suropati dapat melihat cukup
jelas sosok dua
orang yang baru
datang itu. Cahaya rembulan
memang banyak membantu.
Dua orang yang baru datang itu
sama-
sama lelaki. Yang satu
mengenakan topi kulit,
bertubuh sedang, dan mengenakan
pakaian se-
derhana seperti seorang petani.
Sedang yang sa-
tunya berambut awut-awutan,
tubuhnya lebih
tinggi satu jengkal dari lelaki
yang bertopi kulit.
Pakaiannya sudah tak karuan lagi
wujudnya.
Hanya berupa selampir-selampir
kain yang ditali-
kan jadi satu. Karena dia
berdiri menghadap Pen-
gemis Binal, remaja tampan itu
bisa melihat raut
wajahnya yang bengis. Kulit
wajahnya merah-
matang. Bola matanya juga
berwarna merah.
"Itukah yang berjuluk Hantu
Merah?"
tanya Suropati, masih menyimpan
rasa kesal.
"Ya. Yang berpakaian
compang-camping,"
Jawab Kwe Sin Mei, pelan
sekali.
Sedikit demi sedikit gadis
cantik itu me-
rayap mendekati Suropati.
Sementara, Suropati
sendiri tak mau melihatnya.
Matanya terus men-
gawasi dua lelaki yang berdiri
di dekat tumpukan
tempurung kepala.
"Kak Suro...," bisik
Kwe Sin Mei. "Maafkan
atas kelancanganku tadi yang telah berani men-
coba kepandaian Kak Suro.
Sungguh Kak Suro
mempunyai kepandaian yang luar
biasa sekali.
Bertambah yakin aku sekarang
bila Kak Suro
pasti mampu membantuku untuk
menangkap
Hantu Merah."
Dengan ekor matanya Suropati
melihat wa-
jah Kwe Sin Mei. Bibir gadis itu
meringis kesaki-
tan. Luka di jari-jari tangan
kanannya mulai tera-
sa menyiksa. Timbul penyesalan
dalam diri Suro-
pati karena telah kelepasan
turun tangan.
"Yang berdiri di hadapan
Hantu Merah itu
siapa?" tanya Pengemis
Binal, lembut.
"Aku tak tahu. Namun aku
dapat mendu-
ga, dia pasti orang yang akan
dijadikan percobaan
ilmu Hantu Merah," jawab
Kwe Sin Mei.
"Baiknya kita tangkap dia
sekarang. Sin
Mei," cetus Pengemis Binal.
"Kita tunggu saja. Siapa
tahu orang bertopi
kulit itu berilmu tinggi,
sehingga kita tidak perlu
mengeluarkan tenaga terlalu
banyak."
Pengemis Binal tak menyahuti
ucapan Kwe
Sin Mei. Agaknya, dia menuruti
jalan pikiran ga-
dis cantik itu.
"Orang-orang gagah dari
selatan dan utara
Sungai Huangho pernah mengadakan
perseku-
tuan besar di Gunung Hoa-san.
Selama lima ta-
hun mereka mencoba menghentikan
kekejaman
Hantu Merah, namun ilmu
kepandaian iblis itu
terlalu sulit untuk dapat
dikalahkan," tutur Kwe
Sin Mei tanpa diminta.
"Mungkin karena mene-
mui hari sialnya, dia dapat
ditangkap oleh pesilat
istana, yang kemudian
menjebloskannya kepenja-
ra bawah tanah. Sayang, dia
dapat meloloskan di-
ri, sampai mengasingkan diri di
tempat ini."
Kwe Sin Mei lalu menceritakan
beberapa
kejahatan yang pernah diperbuat
oleh Hantu Me-
rah. Selain membunuh tokoh-tokoh
rimba persila-
tan yang tak berdosa kepadanya,
Hantu Merah
juga pernah mengacau Istana
Kerajaan Tong,
hingga dua orang dayang dayang
Kaisar Hian
Tjong terbunuh.
Mendengar cerita Kwe Sin Mei,
semakin
menyesallah Suropati karena
telah membuat tan-
gan putri Kwe Sin Mei itu
terluka. Juga, semakin
bulat hatinya untuk segera
membantu Kwe Sin
Mei menangkap Hantu Merah.
Sementara itu, lelaki bertopi
kulit tampak
mengitari tubuh Hantu Merah.
Semakin lama se-
makin cepat terdengar suara
buku-buku tulang
berkeretakan. Semakin lama
semakin keras,
mengikuti kecepatan gerak
putaran tubuh lelaki
bertopi kulit.
Walau Suropati sudah cukup matang
pen-
galaman tapi dia heran melihat
perbuatan lelaki
bertopi kulit. Orang itu sedang
latihan atau ten-
gah mengambil kesempatan untuk
menyerang?
Ketika Suropati hendak
menanyakan hal
itu kepada Kwe Sin Mei, mendadak
terdengar su-
ara menggembor keras. Niatan
Suropati pun
urung.
Putaran tubuh lelaki bertopi
berhenti men-
dadak. Dia kembali berdiri
berhadapan dengan
Hantu Merah. Tanpa berkata
apa-apa, orang itu
lalu mengangkat kedua tangannya
ke depan.
Aneh! Kedua tangannya dapat
mulur, hingga me-
lebihi dua kali ukuran normal.
Yang kanan hen-
dak menggetok kepala Hantu
Merah, sedang yang
kiri hendak menghantam dada!
Thokkk...!
Dhesss....!
Suropati tercengang. Sekitar
sepuluh tom-
bak dari tempatnya bersembunyi,
dia melihat tu-
buh Hantu Merah sama sekali tak
bergerak.
Hingga, dua serangan lelaki
bertopi kulit tepat
mengenai sasaran. Dua serangan
itu jelas disertai
aliran tenaga dalam tingkat
tinggi karena samba-
rannya menimbulkan suara bersiut
keras, yang
menyebabkan rumput-rumput kering
beterban-
gan. Tapi, tubuh Hantu Merah
tetap tak bergem-
ing menerima dua serangan
itu.
Sesaat kemudian, lelaki bertopi
kulit
menggembor keras. Kedua kakinya
ikut mulur.
Lalu, dia menghajar tubuh Hantu
Merah dengan
pukulan dan tendangan
membabi-buta. Hingga,
suara hiruk-pikuk yang amat
gaduh membahana
di angkasa. Tapi, tubuh Hantu
Merah tetap tak
bergeming sedikit pun. Dia bagai
batu karang ko-
koh-kuat yang tak mempan dihajar
ombak ganas!
Karena kelelahan, lelaki bertopi
kulit
menghentikan hajarannya. Dengan
badan ter-
bungkuk dia berdiri di hadapan
Hantu Merah,
yang kemudian tertawa
bergelak-gelak.
Mendadak, Hantu Merah menjerit
panjang.
Suaranya mirip lolongan
serigala. Secepat kilat
tubuh tokoh tua itu melayang.
Setelah berjumpa-
litan di udara, tangan kanannya
terjulur. Kelima
jarinya menancap di kepala
lelaki bertopi kulit! Di
lain kejap, kepala lelaki naas
itu copot! Tubuhnya
jatuh terkulai ke tanah. Berubah
menjadi cairan
kental kemerahan!
Kalau saja Pengemis Binal belum
pernah
melihat kedahsyatan ilmu 'Lima
Jari Pencabut
Jiwa' milik Prajna Singh, remaja
tampan itu pasti
menjerit ngeri melihat kekejaman
Hantu Merah.
Sementara, Kwe Sin Mei tampak
tenang-tenang
saja. Agaknya, gadis cantik itu
telah cukup sering
mengintai Hantu Merah melatih
ilmunya.
Terlihat kemudian, Hantu Merah
men-
gangkat tangan kanannya yang
masih menceng-
keram batok kepala tanpa badan.
Dia lalu memo-
nyongkan bibirnya seraya meniup
Wust....!
Luar biasa! Rambut berikut kulit
dan dag-
ing di kepala tanpa badan yang
dicengkeram Han-
tu Merah tiba-tiba lenyap.
Hingga, batok kepala
itu menjadi putih bersih tanpa
noda sedikit pun.
Bahkan, darah dan otak yang
berada di dalamnya
pun telah kering!
Hantu Merah lalu menjatuhkan
tempurung
kepala itu begitu saja di tanah.
Kemudian dia
berkelebat lenyap.
"Dia pergi! Kita
kejar!" seru Pengemis Binal
"Tenanglah!" cegah Kwe
Sin Mei seraya
mencekal lengan remaja tampan
itu. "Dia akan
segera kembali."
"Untuk apa?" tanya
Suropati, tak mengerti
"Melanjutkan
latihannya," jawab Kwe Sin
Mei dengan suara datar,
"Dengan membawa seorang
korban lagi?"
"Tidak. Kak Suro akan tahu
sendiri nanti."
Usai berkata, Kwe Sin Mei
bangkit berdiri.
Suropati mengikuti sambil
menggaruk-garuk ke-
palanya yang tak gatal.
"Kini Kak Suro sudah tahu
sendiri kekeja-
man berikut kedahsyatan ilmu
Hantu Merah. Wa-
lau Kak Suro berilmu tinggi
juga, harap berhati-
hati. Jangan pandang ringan
kepadanya. Selain
kejam, Hantu Merah terkenal
licik dan culas.
Akalnya banyak. Jangan sampai
Kak Suro kena
dikelabuinya," ujar Kwe Sin
Mei penuh kesung-
guhan.
"Ya. Ya, akan kuingat
kata-katamu itu. Sin
Mei," sambut Pengemis
Binal, tangan kanannya
masih tetap menggaruk kepala.
"Sekarang cobalah Kak Suro
melangkah
dua puluh tindak ke utara.
Periksalah, adakah di
sana sebuah peti mati?"
pinta Kwe Sin Mei tanpa
memperhatikan kebiasaan buruk
Pengemis Binal.
Seperti kerbau dicocok
hidungnya, Suropa-
ti menuruti permintaan Kwe Sin
Mei. Setelah ber-
jalan lima puluh tindak ke
utara, remaja tampan
itu segera memeriksa. Tak lama
dia mendapatkan
peti mati batu yang tertanam
dalam tanah. Maka,
timbullah kekaguman Suropati
akan kejelian Kwe
Sin Mei yang tentunya telah
cukup lama menyeli-
diki Hantu Merah.
"Bukalah tutup peti itu,
Kak Suro!" ujar
Kwe Sin Mei yang telah berdiri
di dekat Suropati.
Seperti orang linglung. Pengemis
Binal me-
natap wajah gadis cantik itu.
"Dibuka? Untuk
apa?" tanyanya.
"Sudahlah. Buka
saja...," desak Kwe Sin
Mei.
Pengemis Binal menatap nanar
peti batu di
hadapannya. Haruskah dia turuti
permintaan
Kwe Sin Mei? Apakah peti itu
tidak berisi mayat
manusia? Atau, mungkin malah
senjata rahasia?!
***
4
"Kau memikirkan apa lagi,
Kak Suro?!" se-
ru Kwe Sin Mei. "Kita tidak
punya waktu banyak."
Mendengar peringatan gadis
eantik itu,
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala sebentar, lalu
mulutnya mendesis, "Ya...
ya...."
Setelah menarik napas panjang,
Pengemis
Binal mencengkeram pinggiran
tutup peti batu.
Namun hingga dia
berkerengkengan, tutup peti
itu tak bisa dibuka, bahkan
bergeming pun tidak.
"Gunakan tenaga dalam, Kak
Suro, "ujar
Kwe Sin Mei, mengingatkan.
"Oh ya... ya! Kenapa aku
begini bodoh?!"
Sambil berkata Suropati
menggaplok kepa-
lanya dua kali. Melihat usul
konyol remaja tam-
pan itu, Kwe Sin Mei cuma diam.
Raut wajahnya
malah semakin menegang karena
khawatir Hantu
Merah keburu datang.
"Cepatlah, Kak Suro!"
seru gadis cantik itu,
mendesak.
Bergegas Suropati memutar-mutar
kedua
telapak tangannya di atas peti
batu seraya men-
galirkan tenaga dalam. Lalu,
kedua telapak tan-
gannya ditempelkan ke tutup peti
batu.
Tap...!
Mata Kwe Sin Mei bersinar
melihat tutup
peti batu melekat di kedua
telapak tangan Pen-
gemis Binal, dan perlahan-lahan
terangkat.
Pengemis Binal berseru kaget
setelah tahu
di dalam peti batu tergolek
mayat seorang pemu-
da dua puluh tahunan. Mayat itu
tidak menebar-
kan bau busuk karena masih baru.
Belum sampai
setengah hari nyawanya lepas
dari raga.
Sambil mengerutkan kening
Pengemis Bi-
nal berusaha mengenali mayat
pemuda di dalam
peti batu, namun tak dapat.
Pemuda yang telah
menjadi mayat itu hanyalah
seorang pesilat biasa
yang belum punya nama di rimba
persilatan.
"Hantu Merah akan segera
balik ke sini.
Sebagai alat latihannya adalah
mayat ini," beri
tahu Kwe Sin Mei. "Sebagai
umpan, aku akan
menggantikannya agar lebih mudah
bagiku untuk
melumpuhkan iblis itu. Kak Suro
kembalilah ke
semak-semak tadi. Tapi ingat,
Kak Suro harus
cepat membantu begitu melihat
aku menggebrak
Hantu Merah. Kak Suro tak perlu
sungkan-
sungkan. Kekejaman Hantu Merah
sudah saatnya
dihentikan,"
"Apakah tidak lebih baik
kita menggempur
iblis itu secara langsung
saja?" cetus Suropati
"Dengan cara yang kau
katakan tadi, aku
khawatir akan terjadi apa-apa
denganmu. Bu-
kankah telah kau katakan bahwa
Hantu Merah
cerdik dan licik?"
"Aku sudah memikirkannya
matang-
matang. Tak perlu Kak Suro
menyangsikan."
Usai berkata, Kwe Sin Mei
menyingkirkan
mayat pemuda yang tergeletak di
dalam peti batu,
Lalu, dia masuk untuk
menggantikannya.
"Tutup lagi peti ini, Kak
Suro. Tinggalkan
sedikit lubang agar aku bisa
bernapas," pinta Kwe
Sin Mei kemudian.
Suropati masih tampak ragu-ragu.
"Apakah
telapak tangan kananmu sudah tak
terasa sakit
lagi?" tanyanya.
"Tak apa-apa. Hanya terasa
panas sedikit,"
beri tahu Kwe Sin Mei.
"Aku bisa membantumu
melenyapkan rasa
panas itu."
"Benarkah itu?"
Tanpa berkata-kata lagi Suropati meng-
genggam telapak tangan kanan Kwe
Sin Mei se-
raya mengeluarkan ilmu 'Pukulan
Salju Merah'.
Remaja tampan itu hanya
mengerahkan seperde-
lapan tenaga dalamnya. Namun Kwe
Sin Mei tam-
pak menggigil kedinginan. Rasa
panas di telapak
tangan kanannya pun kontan
lenyap.
"Terima Kasih, Kak
Suro," ujar Kwe Sin Mei
setelah Suropati melepas
genggamannya. "Seka-
rang, tutuplah peti ini
cepat."
Melihat Kwe Sin Mei telah rebah
di dalam
peti batu dengan pedang
terhunus, Suropati ga-
ruk-garuk kepala. Walau Pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu masih
mengkhawatir-
kan keselamatan Kwe Sin Mei,
akhirnya dia me-
nuruti permintaannya. Dengan
hati berdebar-
debar, Suropati meletakkan tutup
peti batu ke
tempatnya semula. Tak lupa dia
sisakan lubang
sedikit untuk jalan napas Kwe
Sin Mei. Sesudah
itu, dia kembali ke semak-semak
guna bersem-
bunyi sekaligus mengintai.
Tak lama kemudian, dari kaki
bukit ter-
dengar jeritan panjang mirip
lolongan serigala.
Suropati dapat memastikan bila
jeritan itu keluar
dari mulut Hantu Merah yang akan
segera da-
tang. Remaja tampan itu semakin
tegang.
Mata Suropati yang jeli dapat
melihat kele-
batan tubuh Hantu Merah yang
tengah menggen-
dong batu sebesar kerbau! Timbul
rasa kagum
dalam diri Suropati melihat
kekuatan Hantu Me-
rah. Menggendong batu sebesar
kerbau tentu
amat berat, namun Hantu Merah
dapat melaku-
kannya dengan mudah. Bahkan dia
mampu
membawanya baik ke puncak bukit
sambil berlari
amat cepat. Sulit diukur
kekuatan tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh
pelarian dari dara-
tan Tionggoan itu.
Tanpa mengeluarkan suara berisik
sedikit
pun, Hantu Merah meletakkan batu
yang diba-
wanya di depan tiga tumpukan
tempurung kepa-
la. Dia lalu melangkah empat
tindak ke belakang
seraya menghirup udara sebanyak
mungkin. Dan,
udara yang telah memenuhi
paru-parunya dia
hembuskan kuat-kuat!
Wusss...!
Mata Pengemis Binal terbelalak
lebar. Mu-
lutnya pun ternganga melihat
tiga tumpukan
tempurung kepala tiba-tiba
hancur-luluh menjadi
serbuk halus berwarna putih yang
segera diter-
bangkan angin malam. Bagaimana
mungkin hal
itu terjadi? Padahal, tiupan
Hantu Merah terha-
lang batu sebesar kerbau yang
tetap utuh tak ku-
rang suatu apa!
Tampak kemudian Hantu Merah
tertawa
bergelak-gelak. Perlahan-lahan
kakinya melang-
kah menghampiri peti batu tempat
Kwe Sin Mei
terbaring di dalamnya!
Dengan hati berdebar kencang
Suropati tak
melepas sedikit pun perhatiannya
pada Hantu
Merah. Namun baur sepuluh tindak
Hantu Merah
melangkah, telinga Suropati
menangkap suara
berderak. Tanpa sadar remaja
tampan itu menga-
lihkan pandangan ke asal suara.
Dan, terkejutlah
dia. Batu sebesar kerbau yang
semula masih
utuh tiba-tiba telah runtuh.
Menjadi serbuk halus
yang kemudian diterbangkan angin
malam juga!
Bertambah keyakinan Suropati
bila Hantu
Merah memang bukan orang
sembarangan. Meli-
hat kehebatan lelaki tua
berwajah merah-matang
itu, mau tak mau Suropati
semakin mengkhawa-
tirkan keselamatan Kwe Sin Mei.
Mendadak Hantu Merah menjerit
panjang
seraya menjejak tanah. Dan,
tubuh lelaki berwa-
jah merah-matang itu melesat
tinggi, kemudian
menukik dengan jari-jari tangan,
membentuk ca-
kar harimau. Menghujam deras ke
arah peti batu!
Walau Suropati telah menguatkan
hatinya,
tapi dia memekik kecil melihat
perbuatan Hantu
Merah. Sementara, Hantu Merah
sendiri terkesiap
mendengar pekikan Suropati.
Hantu Merah sadar
bila di sekitar tempatnya
berlatih ada orang yang
sedang mengintai.
Dalam keadaan tubuh masih
mengambang
di udara, Hantu Merah
memalingkan kepala.
Hingga, perhatiannya jadi
terbagi.
"Heh?!"
Hantu Merah mendengus gusar melihat
seorang remaja tampan muncul
dari balik semak-
semak. Dia hendak mengeluarkan
kata umpatan,
tapi....
Blak!
Tutup peti batu terpental keras.
Bersa-
maan dengan itu, sebuah sinar
putih menyilau-
kan berkelebat, hendak menebas
leher Hantu Me-
rah!
Namun, Hantu Merah adalah tokoh
tua
yang sudah kenyang makan
asam-garam rimba
persilatan. Mendapat serangan
gelap adalah hal
yang biasa baginya. Dengan cepat
Hantu Merah
dapat menguasai keterkejutannya.
Ketika sinar putih menyilaukan
yang tak
lain dari babatan pedang Kwe Sin
Mei hampir
mengenai sasaran, Hantu Merah
memalingkan
mukanya ke kanan.
Wuttt...!
Babatan pedang Kwe Sin Mei hanya
men-
genai tempat kosong Dengan
kecepatan yang tak
dapat diikuti pandangan mata,
Hantu Merah
mencengkeram pedang Kwe Sin Mei!
Bletakkk...!
"Aih...!"
Pedang Kwe Sin Mei patah menjadi
tiga ba-
gian. Sementara, Kwe Sin Mei
sendiri terpelanting
ke kiri. Tubuh gadis berkulit
putih itu lalu bergu-
lingan sejauh tiga tombak.
Tangan kanannya te-
rasa nyeri luar biasa. Bahkan,
otaknya ikut berge-
tar, hingga dia jadi linglung
dan tak mampu men-
gendalikan gerak tubuhnya.
Hantu Merah yang merasa gusar
dan pa-
nas hatinya karena dibokong
mengeluarkan jeri-
tan panjang mirip lolongan
serigala. Lalu, tubuh-
nya melesat mengejar tubuh Kwe
Sin Mei yang
masih bergulingan di tanah.
Jari-jari tangan ka-
nan Hantu Merah siap
mencengkeram kepala pu-
tri Kwe Kok Jiang itu!
Namun sebelum maksud niatnya
kesam-
paian, Hantu Merah merasakan
hembusan angin
dingin bersiut, menyambar
punggungnya. Hantu
Merah segera tahu bila ada
orang yang menye-
rangnya dari belakang. Dia tidak
terkejut ataupun
menjadi gugup.
Secepat kilat, tangan kanannya
yang sudah
terjulur ke depan dia tarik
kembali. Sambil ber-
jungkir balik tangan kanannya
menyambar!
Kresh...!
Suropati yang bermaksud
menggebuk
punggung Hantu Merah
terperangah. Tongkat bu-
tut di tangannya kena cengkeram
Hantu Merah.
Namun sebelum Hantu Merah
meremas hancur,
cepat Suropati menarik batang
tongkatnya.
Ketika Suropati mendarat di
tanah, batang
tongkatnya tinggal dua pertiga
bagian. Yang se-
pertiga bagian telah hancur
menjadi serbuk ha-
lus.
Kwe Sin Mei yang sudah bisa
menguasai
gerak tubuhnya segera melompat
ke sisi kanan
Pengemis Binal. Wajahnya tampak
pucat. Dia
menahan rasa nyeri di tangan
kanannya dengan
menggigit bibir.
"Kau tak apa-apa, Sin
Mei?" tanya Penge-
mis Binal, khawatir.
"Rupanya, aku salah
perhitungan, Kak Su-
ro. Hantu Merah lebih pandai
dari yang kukira,"
ujar Kwe Sin Mei, tak menjawab
pertanyaan Pen-
gemis Binal. Kwe Sin Mei
menyesal karena siasat-
nya telah gagal.
Mendadak, Hantu Merah tertawa
bergelak.
"Ha ha ha...! Sungguh
beruntung aku.
Mendapatkan dua kelinci yang
akan segera men-
jadi korban kesaktianku! Ha ha
ha…!"
"Apa yang dia katakan, Sin
Mei?" tanya
Pengemis Binal, tak tahu maksud
ucapan Hantu
Merah karena lelaki berpakaian
tak karuan itu
berkata dengan bahasa negerinya.
Kwe Sin Mei tak menjawab
pertanyaan Su-
ropati. Hatinya berdebar keras
melihat Hantu Me-
rah meloloskan sebatang tongkat
dari batu kuma-
la hitam yang terselip di ikat
pinggangnya. Kwe
Sin Mei tahu benar akan
kehebatan tongkat yang
disebut Tongkat Kumala Batu
Hitam itu.
"Hati-hatilah, Kak Suro.
Tongkat Hantu
Merah itu adalah senjata mustika
yang dahsyat
luar biasa," Kwe Sin Mei
mengingatkan
"Aku tahu. Menyingkirlah,
Sin Mei," sahut
Pengemis Binal.
Usai berkata, remaja tampan itu
memasang
kuda-kuda seraya mengalirkan
tenaga dalam ke
tongkat bututnya yang tinggal
dua pertiga bagian.
Melihat Hantu Merah telah siap
sedia untuk men-
gawali serangan pula, Kwe Sin
Mei segera me-
nyingkir ke tempat yang aman.
"Ciattt...!"
"Heaaa...!"
Dalam waktu yang hampir
bersamaan,
Hantu Merah dan Pengemis Binal
mengempos tu-
buh. Ujung tongkat Hantu Merah
hendak menu-
suk ulu hati. Sementara, tongkat
Pengemis Binal
hendak mengemplang kepala Hantu
Merah!
Namun karena tongkat Pengemis
Binal le-
bih pendek, keadaan remaja
tampan itu sangat
tidak menguntungkan. Maka
sebelum ujung
tongkat Hantu Merah berhasil
menusuk ulu ha-
tinya, cepat dia sabetkan
tongkat bututnya untuk
menangkis!
Tak...!
Hantu Merah terperangah melihat
tongkat
Pengemis Binal tidak patah saat
membentur
tongkat mustikanya. Bahkan,
tangannya terasa
kesemutan.
Suropati yang sudah tahu bila
senjata la-
wan adalah tongkat mustika yang
tentunya ter-
buat dari bahan keras yang
mempunyai kekuatan
luar biasa, tidak
tanggung-tanggung lagi. Dia me-
nyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya ke
batang tongkatnya. Sehingga,
tongkat yang ter-
buat dari kayu biasa dan tidak
mempunyai keis-
timewaan apa-apa itu tidak patah
ketika berben-
turan dengan Tongkat Kumala Batu
Hitam di tan-
gan Hantu Merah.
Kwe Sin Mei melihat dengan penuh
rasa
khawatir ketika Pengemis Binal
dan Hantu Merah
sama-sama tak mau menarik
tongkat masing-
masing. Sebaliknya, mereka
saling menekan den-
gan kekuatan penuh, sehingga
kedua batang
tongkat tampak melekat
erat!
Kaki Pengemis Binal dan Hantu
Merah sa-
ma-sama mencengkeram tanah
dengan kuda-
kuda yang kokoh-kuat. Mereka mengempos se-
mangat untuk mengerahkan tenaga
dalam sampai
ke puncak.
Telapak kaki Hantu Merah tampak
menge-
pulkan asap tipis. Sementara,
asap tipis juga
mengepul dari kepala Pengemis
Binal.
Kedua tongkat sama sekali tak
bergeming,
pertanda tenaga dalam Pengemis
Binal dan Hantu
Merah seimbang. Namun setelah
sepuluh tarikan
napas, tongkat Pengemis Binal
mengeluarkan su-
ara gemeretak hendak patah.
Hantu Merah tidak merasa senang
sama
sekali, sebaliknya dia malah
mendengus gusar
walau dia lebih unggul karena
memegang tongkat
mustika. Agaknya, sebagai tokoh
tua Hantu Me-
rah merasa malu harus mengadu
kekuatan den-
gan seorang tokoh muda yang
umurnya terpaut
jauh darinya.
Sementara, ketika mendengar
tongkatnya
mengeluarkan suara gemeretak,
Suropati mende-
likkan mata. Sebelum tongkatnya
benar-benar pa-
tah, cepat dia keluarkan ilmu
'Pukulan Salju Me-
rah' warisan Nyai Catur
Asta.
Sekejap mata kemudian, kedua
tangan Su-
ropati yang memegang erat batang
tongkat tam-
pak mengepulkan asap tipis
berwarna merah.
Hantu Merah terkesiap merasakan
hawa dingin
menyengat kedua telapak
tangannya. Namun, tak
hendak dia lepaskan Tongkat
Kumala Batu Hi-
tamnya. Bahkan, dia mencengkeram
lebih erat se-
raya mengempos tenaga lebih
kuat!
"Argh...!"
Mendadak, Hantu Merah mengeluh
pen-
dek. Sekujur tubuhnya tiba-tiba
telah terbungkus
salju tipis berwarna merah, dan
hawa dingin yang
lebih menyengat mengalir terus
dari batang tong-
kat Suropati!
Karena tak kuasa menahan hawa
dingin
yang terasa merejam tubuhnya,
Hantu Merah
menarik tongkat mustikanya.
Namun...
Wutt...!
Pletakkk...!
"Wadouw...!"
Begitu tongkat Hantu Merah
ditarik, tong-
kat Pengemis Binal berkelebat
cepat. Mulut Hantu
Merah mengeluarkan pekik
kesakitan. Kepalanya
kena kemplang dengan telak!
Kwe Sin Mei yang melihat adegan
itu terta-
wa terbahak-bahak. "Ha ha
ha…! Kiranya kau
hanya seekor keledai tua, Hantu
Merah! Kebesa-
ran namamu hanya isapan jempol
belaka! Ha ha
ha…!"
Namun Kwe Sin Mei dan Pengemis
Binal
terperangah melihat kepala Hantu
Merah tak re-
tak ataupun pecah kena kemplang
tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh,
Hantu Merah cuma
berdiri terhuyung-huyung lalu
menggembor ma-
rah ketika mendengar ejekan Kwe
Sin Mei yang
diucapkan dalam bahasa
negerinya.
"Bedebah! Bocah tak tahu
mampus! Aku
toh belum kalah. Setelah kawanmu
ini kube-
reskan, akan segera kupecahkan
batok kepala-
mu!" ancam Hantu Merah
dalam bahasa yang
sama pula
Cepat Suropati berkelit ke kanan
ketika ti-
ba-tiba tongkat Hantu Merah
membiaskan sinar
hijau, dan berkelebat hendak
menggetok jidatnya.
"Uts…!"
Emoticon