4
Begitu turun dari tandu, sebuah
peman-
dangan menggelikan kembali
menggelitik hati
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung. Di atas
pintu bangunan megah mirip istana
terpampang
papan nama yang terbuat dari
belahan batu hi-
tam yang dipahat rapi. Papan
nama itu berbunyi:
Graha Kenikmatan.
"Silakan Tuan berdua
mengikuti Laskar
Pemuas...," ujar salah
seorang dari Laskar Pe-
nyambut yang dadanya ditulisi
Piaraan 1.
Usai berkata, pemuda yang
rambutnya di-
gelung ini menyelinap ke samping
Graha Kenik-
matan. Ketiga temannya sesama
penggotong tan-
du segera mengikuti. Pengemis
Binal dan Peramal
Buntung tak begitu memperhatikan
mereka lagi.
Kedua tamu ini tengah menatap
heran bercampur
geli pada delapan pemuda yang
berdiri di kanan
kiri pintu Graha Kenikmatan.
Tubuh mereka sa-
ma-sama kekar dan berwajah
tampan. Seperti
Laskar Penyambut, mereka juga
hanya mengena-
kan cawat, tapi berwarna kuning.
Rambut mereka
dikepang dua. Sementara, di dada
mereka mas-
ing-masing terdapat rajah yang
menyatu dengan
kulit pula. Berbunyi: Penghibur
1, Penghibur 2,
Penghibur 3, sampai dengan
Penghibur 8.
"Apakah Bidadari Pulau
Penyu berotak
sinting? Kenapa memberi nama
tempat tinggal
dan anak buahnya dengan
nama-nama yang
menggelikan?" kata hati
Suropati dalam rasa he-
ran. "Sungguh nama-nama
yang amat menggeli-
kan! Pengantar Tamu? Laskar
Penyambut? Laskar
Pemuas? Dan, kukira aku pun akan
segera dian-
tar untuk memasuki Graha
Kenikmatan. Benar-
kah istana itu menjanjikan
kenikmatan? Kenik-
matan macam apa?"
"Silakan Tuan berdua ikut
kami...," ujar
pemuda yang dadanya ditulisi
Penghibur 1 seraya
menyilakan Pengemis Binal dan
Peramal Buntung
untuk segera memasuki Graha Kenikmatan.
Bagai kerbau dicocok hidungnya,
Pengemis
Binal dan Peramal Buntung
menurut saja ketika
digiring melewati lorong-lorong
panjang di dalam
Graha Kenikmatan. Hawa di setiap
lorong terasa
sejuk dan menyegarkan.
Dinding-dindingnya se-
nantiasa dihiasi lukisan pemuda-pemuda kekar
yang hanya menggunakan cawat
merah atau kun-
ing. Di sepanjang perjalanan
Pengemis Binal cu-
ma cengar-cengir sambil
menggaruk kepalanya
yang tak gatal. Sementara,
kening Peramal Bun-
tung berkerut terus dan tak
henti-hentinya mena-
rik napas panjang serta
mendehem-dehem yang
tak karuan maknanya.
Setelah melewati lorong yang
dihiasi lam-
pu-lampu berkerudung
warna-warni, sampailah
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung di sebuah
ruangan lebar yang dindingnya
dipenuhi lukisan
dua orang anak manusia berlainan
jenis yang se-
dang berkasih-kasihan. Tiga buah
lampu gantung
memberikan cahaya biru
remang-remang. Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung
agak canggung
ketika menapakkan kaki di lantai
ruangan yang
dilapisi permadani merah.
Pengemis Binal garuk-garuk kepala
ketika
menoleh ke belakang. Delapan
pemuda yang dis-
ebut sebagai Laskar Pemuas sudah
tak tampak
lagi batang hidung mereka.
Rupanya, tugas mere-
ka hanya mengantarkan Pengemis
Binal dan Pe-
ramal Buntung sampai di ruangan
remang-
remang ini.
"Selamat datang.... Selamat
datang...," seru
seorang wanita yang duduk di
tengah ruangan.
"Sungguh merupakan satu
penghormatan yang
agung, sahabat lamaku Peramal
Buntung berse-
dia datang ke Graha Kenikmatan
ini. Hmmm....
Kedatangan Tuan Peramal rupanya
bersama seo-
rang sahabat pula. Tak dapat
digambarkan lagi
betapa gembira hati Bidadari
Pulau Penyu mene-
rima kedatangan Tuan Muda
Suropati yang berge-
lar Pengemis Binal. Silakan....
Silakan..."
"Jangan mengagungkan orang
secara ber-
lebihan, Putih...," tegur
Peramal Buntung. "Apala-
gi bila kata-kata yang kau
ucapkan hanya manis
di bibir saja. Aku pribadi tak
punya urusan den-
ganmu. Kedatanganku ini hanya
untuk mengan-
tarkan Tuan Muda-ku
ini."
Mendengar ucapan Peramal Buntung
yang
terdengar kaku, si wanita
berusaha tersenyum.
Setelah berdiri dari tempat
duduknya, dia mem-
bungkukkan badan seraya berkata,
"Silakan....
Silakan duduk..... Amatlah tak
enak berkata-kata
sambil berdiri, sementara tempat
duduk telah ter-
sedia...."
Usai berkata, si wanita duduk
kembali di
tempatnya. Pengemis Binal segera
mengikuti
langkah kaki Peramal Buntung.
Ketika telah men-
gambil tempat duduk, Pengemis
Binal dapat meli-
hat lebih jelas bagaimana rupa
si pemilik Graha
Kenikmatan yang tak lain
Bidadari Pulau Penyu.
Berbeda dengan julukannya,
Bidadari Pu-
lau Penyu mempunyai rambut
berwarna putih,
padahal usianya belum seberapa
tua. Sekitar tiga
puluh tahun. Di kepalanya
bertengger sebuah
mahkota emas. Wajahnya cantik
dan bibirnya
yang merah basah selalu
menyungging senyum.
Tubuhnya padat berisi dengan
buah dada montok
yang terlihat menonjol di balik
baju merahnya.
"Tuan Suropati yang
terhormat...," sebut
Bidadari Pulau Penyu.
"Sebelum Tuan menyam-
paikan maksud kedatangan Tuan,
tak ada jelek-
nya bila saya memperkenalkan
diri. Semasa kecil
aku bernama Melati Putih tapi
setelah aku men-
jadi dewasa, orang-orang menyebutku
sebagai Bi-
dadari Pulau Penyu. Tentu Tuan
bisa memaklu-
minya karena rambut saya memang
berwarna pu-
tih... Tentu Tuan sudah tahu
pula bila istana ini
bernama Graha Kenikmatan.
Sepuluh tahun la-
manya saya bersusah payah
mewujudkan sebuah
impian. Hingga, terbangunlah
sebuah istana yang
dikelilingi pepohonan yang
senantiasa menjadi-
kan hawa sejuk segar. Seorang
pemuda tampan
seperti Tuan Suropati bolehlah
datang ke Graha
Kenikmatan sesuka hati...."
"Tak perlu berkata
banyak-banyak, Tuan
Putri Bidadari...," sahut
Pengemis Binal dengan
sebutan konyol. "Aku tidak
akan lama tinggal di
tempat ini. Ketika aku
mendatangi tempat kedia-
man 'Sepasang Racun Api, aku
kehilangan se-
buah batu berwarna hijau. Dan,
aku melihat..."
"Ya… ya! Saya tahu ke mana
arah bicara
Tuan," potong Bidadari
Pulau Penyu. "Saya tahu
kedatangan Tuan ke Graha
Kenikmatan ini untuk
membicarakan sesuatu hal yang
penting. Tapi ke-
tahuilah, Tuan Suropati, sudah
menjadi aturan di
Graha Kenikmatan ini bila
kedatangan seorang
tamu harus dijamu terlebih
dahulu. Setelah itu,
barulah sang tamu mengutarakan
maksud keda-
tangannya."
Usai berkata, Bidadari Pulau
Penyu mene-
pukkan telapak tangannya.
Suropati hendak ber-
kata sesuatu, tapi senyum manis
yang dilempar
Bidadari Pulau Penyu membuatnya
mengurung-
kan niat. Sementara, Peramal
Buntung tampak
duduk tenang di tempatnya. Tak
lama kemudian,
seorang pemuda tampan yang hanya
mengenakan
cawat masuk ke ruangan, membawa
nampan be-
risi sebuah poci besar bergambar
naga dan tiga
gelas yang terbuat dari emas
berukir. Ketika si
pemuda meletakkan nampan yang
dibawanya ke
meja, Suropati tertawa geli
dalam hati melihat
dada si pemuda yang ditulisi
Kekasih 1
"Apakah pemuda ini salah seorang
kekasih
Bidadari Pulau Penyu?"
tanya Suropati dalam ha-
ti. "Kalau pemuda ini
disebut sebagai Kekasih 1,
tentu ada Kekasih 2, 3, dan
seterusnya. Kalau di
sini ada yang disebut sebagai
kekasih, lalu apa
tugas delapan pemuda yang
dadanya ditulisi
Penghibur 1 sampai Penghibur 8
tadi? Apakah
mereka bertugas menghibur
Bidadari Pulau
Penyu dalam melepas nafsu
birahinya, tapi lewat
cara yang berlainan dengan
pemuda yang disebut
sebagai kekasih? Hmmm.... Dari
tatapan ma-
tanya, aku tahu bila Bidadari
Pulau Penyu me-
mang seorang wanita yang punya
nafsu besar
Jangan-jangan...."
Kata hati Pengemis Binal tak
berlanjut ka-
rena Bidadari Pulau Penyu telah
menyodorkan ge-
las berisi anggur kepadanya.
Sementara, di bahu
kanan Peramal Buntung terdapat
gelas berisi
anggur pula. Gelas itu seperti
direkatkan dengan
perekat yang amat kuat. Hingga
walau badan Pe-
ramal Buntung bergoyang-goyang,
gelas di bahu
kanannya tak jatuh atau
terguling.
"Mari... mari kita minum
sebagai ungkapan
rasa gembira...."
Bidadari Pulau Penyu menyulangi
Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung.
Lalu, anggur di
gelasnya dia tenggak sampai
tandas.
Karena tuan rumah telah
mengawali, Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung
tidak enak ka-
lau tidak ikut minum. Segelas
anggur merah be-
raroma harum segera pindah ke
lambung Penge-
mis Binal. Demikian pula Peramal
Buntung. Usai
minum, kakek yang tak punya
tangan ini mem-
bungkuk sedikit. Gelas yang
melekat di bahu ka-
nannya, yang semula diletakkan
oleh Bidadari
Pulau Penyu tiba-tiba melayang
dan turun perla-
han-lahan di atas meja.
"Hebat..! Hebat..!"
puji Bidadari Pulau
Penyu.
Anehnya, walau Bidadari Pulau
Penyu
mengucap pujian kepada Peramal
Buntung, tapi
matanya mengerling ke arah
Pengemis Binal.
Sambil tersenyum wanita ini
berkata, "Tuan Muda
Suropati… walau tidak seberapa
bagus anggur
yang saya suguhkan, tapi Tuan
menerimanya ju-
ga. Sungguh itu merupakan sebuah
penghorma-
tan. Karena Tuan telah mengikuti
aturan di Gra-
ha Kenikmatan ini, sekarang
silakan Tuan me-
nyampaikan maksud kedatangan
Tuan. Dengan
senang hati, saya akan
mendengarkan. Bahkan
kalau bisa, saya akan membantu
apabila Tuan
memang membutuhkan bantuan
saya..."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala seben-
tar, lalu berkata, "Di tempat
kediaman Sepasang
Racun Api, aku telah kehilangan
lempengan batu
sebesar uang logam berwarna
hijau. Batu itu hi-
lang dilarikan orang yang punya
ciri-ciri persis
seperti kau, Tuan Putri
Bidadari..."
"Apakah batu itu bernama
Mustika Batu
Merpati?" potong Bidadari
Pulau Penyu.
"Ya. Tuan Putri Bidadari
tahu persis nama
batu itu, apakah Tuan Putri
Bidadari memang
yang mengambilnya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, dengan penuh
kerendahan
hati, aku mohon Tuan Putri
Bidadari mau men-
gembalikannya. Karena, Tuan
Putri Bidadari sa-
ma sekali tak berhak memiliki
batu pemberian
Putri Impian itu...."
Mendengar ucapan Pengemis Binal
yang
begitu halus dan merendah,
Bidadari Pulau
Penyu geleng-geleng kepala, lalu
tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kalau aku
tidak mau men-
gembalikannya, apa yang akan
Tuan Suropati
perbuat?"
"Aku akan memaksa!"
seru Pengemis Binal
yang mengetahui Bidadari Pulau
Penyu telah
memperlihatkan belangnya.
"Dengan cara apa kau akan
memaksa?!"
Pengemis Binal mendengus gusar
menden-
gar kata-kata Bidadari Pulau
Penyu yang menyi-
ratkan tantangan. Tapi, betapa
terkejutnya rema-
ja tampan ini. Tiba-tiba,
tubuhnya terasa amat
lemas. Sewaktu mencoba
mengumpulkan tenaga,
seluruh kekuatan tenaga dalamnya
telah lenyap!
Sadarlah Pengemis Binal bila
anggur yang dimi-
numnya tadi telah dicampuri
racun. Sementara,
di tempat duduknya, wajah Peramal Buntung
tampak pucat pasi. Keringat
bercucuran dari se-
kujur tubuhnya. Namun, dia tak
berkata apa-apa,
hanya mendesah-desah terus yang
tak karuan
pangkal ujungnya
"Bidadari Pulau
Penyu...!" seru Pengemis
Binal dalam kemarahannya.
"Sungguh sama se-
kali tak kusangka. Orang
terhormat seperti kau
bisa berbuat licik seperti ini.
Betapa rendah mar-
tabatmu! Kau...."
Ucapan Pengemis Binal tak
berlanjut kare-
na remaja tampan ini keburu
pingsan. Tubuhnya
terkulai ke depan dan kepalanya
jatuh di atas me-
ja. Peramal Buntung pun tak jauh
berbeda.
Hanya saja, Peramal Buntung
masih mendesah-
desah terus walau kepalanya telah
tergeletak di
atas meja pula.
Plok! Plok!
Bidadari Pulau Penyu menepukkan
telapak
tangannya dua kali. Empat orang
pemuda berca-
wat segera memasuki ruangan. Di
dada mereka
masing-masing terdapat tulisan:
Kekasih 1 sam-
pai Kekasih 4. Tanpa berkata
apa-apa, keempat
pemuda itu lalu mengangkat tubuh
Pengemis Bi-
nal dan Peramal Buntung. Namun,
dua orang
pemuda yang mengangkat tubuh
Peramal Bun-
tung tampak mengernyitkan
hidung. Mereka tak
tahan mencium bau tak sedap yang
menyebar da-
ri tubuh Peramal Buntung.
Rupanya, rompi yang
dikenakan Peramal Buntung telah
basah kuyup
oleh keringat. Sementara,
celananya pun basah
pula. Malah menebarkan bau yang
lebih menusuk
hidung.
"Sialan! Sudah tua masih
suka ngompol!"
sungut salah seorang pemuda yang
membopong
tubuh Peramal Buntung.
* * *
Hembusan angin yang semilir
sejuk mam-
pu menepis udara panas siang
hari. Gemericik
aliran sungai menambah kesejukan
yang ada. Di
bawah naungan pepohonan rindang
yang tumbuh
berjajar di tepi sungai, seorang
kakek berjubah
merah tampak berjalan dengan
raut wajah men-
gelam. Rahangnya mengembung
karena dua baris
giginya saling bertaut rapat.
Tatapan matanya
memancarkan hawa amarah. Namun,
seringkali
mulutnya mendesah.
"Narita...," desis si
kakek. "Ke mana Ayah
harus mencarimu, Anakku...?
Terpaksa Ayah per-
gi dari Lembah Makam Pelangi.
Terpaksa Ayah
meninggalkan ibumu seorang diri
di sana. Ayah
terpaksa. Karena, Ayah harus
mencarimu, Anak-
ku. Kembalilah.... Ayah tak akan
menghukum-
mu."
Seperti orang kehilangan
ingatan, kakek
berjubah merah ini terus
berkata-kata seorang di-
ri. Mendadak, tatapan matanya
memancarkan
hawa amarah lagi.
"Suropati keparat!"
umpatnya. "Kalau kau
tidak menginjakkan kaki di
Lembah Makam Pe-
langi, Narita tak akan pergi.
Dia akan senantiasa
setia bersamaku menemani
Maharani yang ten-
gah tidur di Makam Pelangi. Ini
semua gara-gara
kau, Bocah Gendeng!"
Sambil tiada henti merutuk dan
memaki
nama Pengemis Binal, kakek yang
rambutnya di-
kuncir ini terus berjalan
mengikuti aliran sungai.
Namun, segera dia terhenyak
langkahnya karena
terkejut manakala dua sosok
bayangan berkelebat
dan berhenti tepat dua tombak di
hadapannya.
"Raja Angin Barat...!"
sebut salah seorang
penghadang, seorang lelaki
berperawakan sedang.
Kakek berjubah merah yang memang
Raja
Angin Barat mendengus gusar.
Dengan tatapan
tajam menyelidik, dia
memperhatikan dua sosok
manusia yang berani menghadang,
langkahnya.
"Dewa-Dewi
Kayangan...," desis Raja Angin
Barat setelah mengenali kedua
orang yang berdiri
di hadapannya.
Lelaki berperawakan sedang dan
mengena-
kan pakaian ketat hijau tampak
mengerling ke
arah wanita cantik yang berdiri
di sisi kirinya. Si
wanita tersenyum seraya
melingkarkan lengannya
di pinggang si lelaki. Melihat raut wajah kedua
orang ini, dapat dipastikan bila
mereka adalah
Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang
lebih dikenal
dengan sebutan Dewa-Dewi
Kayangan.
"Hmmm.... Air mukamu tampak
keruh se-
kali, Pak Tua. Kau berjalan
dengan langkah gon-
tai pula. Agaknya, kau tengah
dirundung duka la-
ra, hingga kau meninggalkan
Lembah Makam Pe-
langi. Apakah kau sedang mencari
putrimu yang
bernama Narita?" ujar Dewa
Cinta sambil membe-
lai-belai rambut kekasihnya.
"Kalaupun aku pergi untuk
mencari Narita,
apa pedulimu, Monyet
Buduk?!" bentak Raja An-
gin Barat penuh rasa tak suka.
Apalagi, Dewa-
Dewi Kayangan sengaja pamer
kemesraan.
"Ha ha ha...!" Dewa
Cinta tertawa bergelak
"Rasa sedih di hatimu
membuat kau cepat naik
darah, Pak Tua. Tapi, tahukah
kau bila hawa
amarah hanya akan membuat otak
jadi buntu
dan tak mampu berpikir jernih
lagi? Bagaimana
kau akan dapat menemukan putrimu
kalau
otakmu tak dapat berpikir jernih
lagi?"
"Jangan banyak cakap!
Segera enyah dari
hadapanku!"
Usai berkata. Raja Angin Barat
mengi-
baskan lengan jubahnya.
Terdengar suara berge-
muruh yang membarengi timbulnya
tiupan angin
kencang. Tiupan angin kencang
ciptaan Raja An-
gin Barat ini sudah mampu untuk
melontarkan
batu sebesar kerbau, tapi
Dewa-Dewi Kayangan
tampak tenang-tenang saja. Malah
Dewa Cinta
tersenyum-senyum, lalu mencium
bibir kekasih-
nya dengan mesra. Sementara,
Dewi Asmara me-
mejamkan mata, begitu meresapi
ciuman hangat
Dewa Cinta.
"Haram jadah!" umpat
Raja Angin Barat.
Sekali lagi, kakek berjubah
merah ini men-
gibaskan lengan jubahnya. Tiupan
angin yang le-
bih kencang muncul. Gumpalan
tanah dan beba-
tuan turut berhamburan ke arah
Dewa-Dewi
Kayangan!
Blarrrr...!
Terdengar ledakan keras ketika
Dewi-Dewi
Kayangan sama-sama mengibaskan
telapak tan-
gan kanannya. Gumpalan tanah dan
bebatuan
yang meluruk ke arah mereka
berpentalan ke
berbagai penjuru. Beberapa ekor
burung yang
tengah bertengger di dahan pohon
tak sempat
menghindar. Akibatnya, tubuh
mereka berpenta-
lan dalam keadaan remuk.
"Raja Angin Barat...,"
sebut Dewa Cinta.
"Aku datang bukan hendak
mengajakmu berta-
rung. Aku datang karena ada
sesuatu yang harus
kusampaikan kepadamu...."
"Keparat kau, kaki-tangan
Siluman Raga-
kaca!" sela Raja Angin
Barat. "Aku tahu kau dipe-
rintah siluman itu. Sayang...
sayang sekali. Walau
langit runtuh dan bumi terbalik
pun, aku tetap
pada pendirianku semula! Tak
sudi aku mengin-
jakkan kaki di Pesanggrahan
Pelangi!"
"Boleh... boleh saja kau
berkata seperti itu,
Pak Tua. Tapi..., sebagai
seorang ayah yang baik,
kau tentu tak mau melihat
putrimu celaka."
"Jahanam! Apa
maksudmu?!"
"Ha ha ha...!" Dewa
Cinta tertawa bergelak,
lalu melirik Dewi Asmara yang
bergayut manja di
lengannya. "Kekasihku...,
seandainya kau punya
seorang putri, dan putri yang
sangat kau cintai
itu tiba-tiba menghilang, apa
yang akan kau la-
kukan?"
"Hmmm...," Dewi Asmara
mencium pipi ke-
kasihnya, lalu berkata,
"Karena aku sangat men-
cintai putriku, di mana aku
meletakkan segala
harapanku kepadanya, tentu saja
aku akan mela-
kukan apa saja asal putriku
dapat kembali ke
pangkuanku."
"Bagus! Berarti kau seorang
ibu yang
baik...," puji Dewa Cinta, lalu
mengalihkan pan-
dangan kepada Raja Angin Barat
seraya berkata,
"Pak Tua..., agar Narita
kembali kepadamu dalam
keadaan segar bugar tak kurang
suatu apa, apa-
kah kau juga akan bersedia
melakukan apa saja?"
"Keparat! Jangan berkata
berbelit-belit! Se-
gera katakan apa maksudmu!"
bentak Raja Angin
Barat.
"Hmmm.... Rupanya, kau
memang orang
yang tak bisa mengendalikan hawa
amarah, Pak
Tua...," sahut Dewa Cinta.
"Baiklah, aku katakan
terus terang. Kalau kau ingin
melihat putrimu
yang semata wayang itu selamat,
kau harus me-
nuruti perintah sang Pemimpin
Siluman Ragaka-
ca!"
"Bedebah! Kalian apakan
putriku? Apakah
dia berada di Pesanggrahan
Pelangi?"
Bayangan buruk segera
berkelebatan di
benak Raja Angin Barat. Hawa
amarah bercampur
aduk dengan rasa khawatir.
Pikiran yang kalut
menjadikan kakek ini
menggeram-geram. Bola
matanya melotot besar dengan air
muka bertam-
bah keruh. Tanpa sadar kakinya
menggedruk-
gedruk tanah. Hingga, batu-batu
yang berserakan
di sekitarnya tampak berpentalan
ke mana-mana.
"Cukup! Cukup, Pak
Tua!" seru Dewa Cinta
yang, melihat Raja Angin Barat
menggedruk ta-
nah makin keras. "Narita
tak akan kau peroleh
kembali bila hanya ditebus
dengan kemarahanmu
itu!"
"Katakan! Katakan di mana
putriku berada!
Kalau aku melihat Narita celaka
karena ulah ka-
lian, kaki-tangan Siluman
Ragakaca, aku tak
akan tinggal diam! Akan kulumatkan tubuh ka-
lian! Akan kuhancurkan
Pesanggrahan Pelangi!
Akan kubuat perhitungan dengan
siluman kepa-
rat itu!"
Sambil berkata, Raja Angin Barat memu-
tar-mutar kedua tangannya di
depan dada. Untuk
kesekian kalinya, timbul tiupan
angin kencang.
Semakin lama semakin kencang,
hingga di tempat
ini bagai tertimpa prahara.
Melihat Raja Angin Barat yang
hendak
mengeluarkan ilmu 'Tangan
Langit', cepat Dewa
Cinta berseru, "Tahan! Bila
kau nekat mengum-
bar hawa amarahmu, maka kau akan
segera me-
lihat tubuh putrimu yang
tercacah-cacah menjadi
serpihan daging tak
berguna!"
"Jahanam! Jahanam!
Kaki-tangan Siluman
Ragakaca keparat! Ohhh...!"
Terbawa perasaan hatinya yang
tak ka-
ruan, Raja Angin Barat
menggeleng-geleng. Ka-
kinya tak tetap lagi berpijak.
Sambil berdiri ter-
huyung-huyung, dia mendekap
kepalanya yang
tiba-tiba terasa amat berat.
Perlahan-lahan buti-
ran mutiara bening mulai menitik
dari sudut ma-
tanya.
"Narita....
Narita...," keluh Raja Angin Barat
dengan suara serak, menyiratkan
kesedihan yang
dalam.
Dewa-Dewi Kayangan saling tatap,
lalu sa-
ma-sama tersenyum. Sepasang
kekasih ini seperti
tak peduli pada Raja Angin
Barat. Mereka saling
dekap, kemudian berciuman...
"Haram jadah! Kembalikan
Narita kepada-
ku!" bentak Raja Angin
Barat tiba-tiba.
Dewa Cinta melepas ciumannya,
lalu me-
natap Raja Angin Barat dengan
senyum tersungg-
ing di bibir. "Putrimu akan
selamat bila kau dapat
membunuh si Pengemis Binal
Suropati!"
Usai berkata, Dewa Cinta
mendekap lagi
tubuh Dewi Asmara. Setelah
mendaratkan ci-
uman, dia berkelebat sambil
membopong tubuh
sang kekasih. Tinggallah Raja
Angin Barat dengan
segudang amarah di
hati.....
***
5
Suropati menggeliat bangun
ketika mera-
sakan sentuhan-sentuhan aneh di
sekujur tu-
buhnya, Dadanya sesak seperti
ada sesuatu yang
menghimpit. Dan, ada sesuatu yang
lunak basah
terus bermain-main di
bibirnya.
"Uh....!"
Saat membuka mata, betapa
terkejutnya
Suropati. Ternyata dirinya
tengah didekap erat
oleh seseorang yang tiada bosan
menciumi bibir-
nya...,
"Jangan! Jangan!"
Dengan memalingkan muka ke
kanan, Su-
ropati berusaha menghindari
ciuman. Sementara,
kedua tangannya pun
mendorong-dorong untuk
berontak lepas dari dekapan.
Namun, usaha Su-
ropati tak membuahkan hasil
apa-apa karena tu-
buhnya terasa amat lemas.
Terlebih lagi, tenaga
dalamnya telah lenyap entah ke
mana!
"Melati Putih!" seru
Suropati setelah dapat
mengenali orang-yang tengah
menggelutinya..
"Jangan! Jangan berbuat
seperti ini! Aku..."
Ucapan Suropati tak berlanjut
karena bi-
birnya keburu dilumat.
Sementara, dia pun mera-
sakan dua buah benda lembut
kenyal menekan
dadanya. Untuk sesaat, darah
muda Suropati
berdesir aneh. Hasrat
kelelakiannya bergejolak ti-
ba-tiba. Tapi ketika ingat bila
Melati Putih atau
Bidadari Pulau Penyu adalah
orang yang telah
meracuninya, Suropati berusaha
melawan go-
daan. Dan dengan sekuat tenaga,
dia mendorong
tubuh Bidadari Pulau Penyu.
"Hentikan!"
Mendapat tolakan dari Suropati,
Bidadari
Pulau Penyu mendengus gusar.
Terbawa rasa
jengkel, tubuh Suropati
dibantingnya.
Brak…!
Tak dapat menahan rasa sakit,
Suropati
mengaduh. Kepalanya terasa
pening dan berde-
nyut-denyut. Untunglah, remaja
tampan ini
hanya di banting di atas tempat
tidur yang em-
puk. Jadi, dia tidak sampai
mendapat cedera yang
berarti.
"Kenapa kau menolak keinginanku?!"
ben-
tak Bidadari Pulau Penyu dengan
penuh rasa ke-
cewa.
"Kenapa kau
meracuniku?" Suropati malah
bertanya.
"Ha ha ha...!"
Bidadari Pulau Penyu tertawa
bergelak. "Kenapa aku
meracunimu? Tentu saja
karena aku membutuhkan mu,
sementara kau
adalah seorang pemuda nakal yang
sulit ditak-
lukkan."
"Aku tak mengerti,
bagaimana kau bisa
berbuat serendah ini, Melati
Putih?" ujar Suropa-
ti, menyebut nama kecil Bidadari
Pulau Penyu.
"Bukankah di tempat ini
segalanya telah kau da-
patkan? Kau telah menjadi ratu
yang selalu dike-
lilingi pemuda tampan. Kenapa
kau masih mem-
butuhkan aku, sementara kau tahu
bahwa aku
tak akan sanggup memenuhi
keinginanmu?"
"Hmmm.... Kau jangan salah
mengerti,
Tuan Suropati. .," sahut
Bidadari Pulau Penyu.
Suaranya terdengar lebih tenang.
"Sebenarnya,
tujuanku berlainan dengan apa
yang tergambar di
benakmu. Kalau aku tadi berbuat
itu, hmmm...
aku hanya coba-coba saja.
Ketahuilah, aku punya
tujuan yang jauh lebih bagus dari
sekadar berme-
sra-mesraan
denganmu...."
Suropati tak menyahuti. Matanya
menatap
Bidadari Pulau Penyu yang duduk
di tepi pemba-
ringan dengan penuh rasa curiga.
Sementara, dia
sendiri duduk meringkuk di sudut
pembaringan.
"Tuan Suropati...,"
sebut Bidadari Pulau
Penyu. "Sebenarnya, aku
sungguh-sungguh me-
naruh hormat kepadamu. Aku tahu
kau pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang
perkasa. Aku ingin kau menjadi
raja di Pulau
Penyu ini. Walah hanya raja
kecil, tapi suatu saat
apa yang kau cita-citakan pasti
tercapai karena
ada aku yang selalu setia
mendampingimu."
Kepala Suropati
menggeleng-geleng. "Kau
salah mengerti, Putih. Cita-cita
yang kau mak-
sudkan itu pasti untuk menjadi
orang nomor satu
di rimba persilatan...," kepala
Suropati mengge-
leng lagi. "Tidak! Aku
tidak ingin menjadi orang
nomor satu ataupun menjadi
raja!"
Kening Bidadari Pulau Penyu
kontan ber-
kerut rapat. Sementara, Suropati
tak berani
membalas tatapan wanita cantik
ini. Dia tak ingin
timbul keinginan aneh dalam
dirinya. Tatapan
mata Bidadari Pulau Penyu memang
penuh go-
daan. Apalagi, baju bagian depan
wanita ini ter-
singkap, hingga buah dadanya
yang halus montok
terlihat cukup jelas.
"Bila kau menolak untuk
tinggal di sini,
kau akan mati!" seru
Bidadari Pulau Penyu ke-
mudian.
"Kalau Tuhan memang
berkehendak, tak
seorang pun bisa menghindar dari
takdir-Nya.
Asal masih di jalan kebenaran,
kematian bukan-
lah suatu hal yang menakutkan
bagiku. Kau bo-
leh membunuhku sekarang
juga..."
"Hmmm.... Seorang pendekar
macam kau
memang patut diacungi
jempol, Tuan Suropati.
Terus terang, aku sangat
menyayangkan bila ji-
wamu melayang sia-sia. Sungguh
aku tak ingin
membunuhmu. Tapi ketahuilah,
Tuan Suropati...,
begitu keluar dari Pulau Penyu
ini, malaikat pen-
cabut nyawa akan segera mencatat
namamu dari
daftar kematiannya. Karena, ada
seseorang yang
menginginkan kematianmu!"
"Siapa?!"
"Raja Angin Barat!"
"Raja Angin Barat?"
kejut Suropati. Bayan-
gan peristiwa di Lembah Makam
Pelangi segera
berkelebatan di benak remaja
tampan ini. Mung-
kinkah Raja Angin Barat telah
keluar dari tempat
kediamannya? Dan, bagaimana
dengan Narita?
"Saat ini putri Raja Angin
Barat yang ber-
nama, Narita berada dalam
sekapan Siluman Ra-
gakaca...," tutur Bidadari
Pulau Penyu tanpa di-
minta.
"Apa? Bagaimana kau
tahu?" kejut Suropa-
ti lagi.
"Ketika melihat kau
dilemparkan Raja An-
gin Barat dengan ilmu 'Tangan
Langit', Narita ne-
kat keluar lembah. Susah payah
dia mencarimu,
tapi kau tak berhasil
ditemukannya. Malang seka-
li nasib bocah itu, Dia malah
bertemu dengan
Dewa-Dewi Kayangan...."
"Dewa-Dewi Kayangan? Siapa
itu?"
"Mereka adalah sepasang
kekasih. Yang le-
laki bergelar Dewa Cinta dan
yang wanita bergelar
Dewi Asmara..."
"Hmmm.... Kalau tidak
salah, bukankah
Dewi Asmara adalah adik
kandungmu?" ujar Su-
ropati, teringat cerita Peramal
Buntung.
"Ya. Dewi Asmara memang
adik kandung-
ku. Kau pernah bertemu
dengannya?"
Suropati menggeleng.
"Lanjutkan ceritamu.
Bagaimana nasib Narita setelah
bertemu dengan
Dewa-Dewi Kayangan?"
"Walau ilmu Narita cukup
tinggi, tapi dia
kalah pengalaman dengan
Dewa-Dewi Kayangan.
Setelah ditaklukkan dia dibawa
ke Pesanggrahan
Pelangi...."
"Kalau begitu, Dewa-Dewi
Kayangan adalah
kaki-tangan Siluman
Ragakaca."
"Benar Sebenarnya, sudah
beberapa kali
Siluman Ragakaca mengutus anak
buahnya un-
tuk membujuk Raja Angin Barat
agar bersedia
menjadi pengikutnya. Tapi,
utusan yang datang
ke Lembah Makam Pelangi itu selalu
dibunuh
oleh Raja Angin Barat. Karena
sudah banyak ja-
tuh korban, Siluman Ragakaca
mengutus Dewa-
Dewi Kayangan untuk memata-matai
semua ge-
rak-gerik Raja Angin Barat.
Selain untuk menge-
tahui kelemahan ilmunya, juga
untuk mencari
kesempatan. Dan, kesempatan itu
diperoleh keti-
ka Dewa-Dewi Kayangan menemukan
Narita yang
telah keluar lembah. Bocah
perempuan itu dis-
erahkan kepada Siluman Ragakaca
untuk dijadi-
kan sandera. Dan, Raja Angin
Barat mau tak mau
harus menuruti segala keinginan
Siluman Raga-
kaca kalau tak ingin melihat
putrinya celaka...."
"Siluman itu memberi
perintah kepada Ra-
ja Angin Barat untuk membunuhku
sebagai tu-
gasnya yang pertama,
begitu?"
"Tepat! Karena, kau dianggap duri yang
akan menghalangi Siluman Ragakaca
dalam me-
raih cita-citanya. Bukankah kau
telah membunuh
dua kaki-tangan siluman
itu?"
"Ya. Aku memang telah
membunuh Sepa-
sang Racun Api. Suami-istri itu
manusia jahat
yang tak pantas menghirup udara
dunia terlalu
lama."
Usai berkata, tiba-tiba kening
Pengemis
Binal berkerut rapat. Ada
sesuatu yang telah
membuat remaja tampan ini jadi
heran. Setelah
garuk-garuk kepala sebentar, dia
berkata, "Melati
Putih..., kau dapat bercerita
dengan jelas dan ga-
mang perihal Siluman Ragakaca
serta sepak ter-
jangnya, dari mana kau bisa
tahu?"
"Jangan heran, Tuan
Suropati...," sahut
Bidadari Pulau Penyu sambil
mengulum senyum.
"Aku dapat bercerita
tentang Siluman Ragakaca
karena aku adalah anak
buahnya....."
"Apa?" Suropati
melonjak kaget Remaja
tampan ini hendak meloncat dari
pembaringan,
tapi Bidadari Pulau Penyu keburu
mencegah. Tu-
buhnya didorong, hingga dia
jatuh terduduk lagi.
"Jangan berprasangka buruk
dulu!" bentak
Bidadari Pulau Penyu.
"Bagaimana aku tidak
berprasangka buruk
kalau tahu kau adalah anak buah
Siluman Raga-
kaca?!" Pengemis Binal
balas membentak. Tak se-
dikit pun rasa takut membayang
di matanya.
Bidadari Pulau Penyu menarik
napas pan-
jang beberapa kali, lalu
berkata, "Dibandingkan
dengan Sepasang Racun Api
ataupun Dewa-Dewi
Kayangan, aku mempunyai
kedudukan lebih ting-
gi. Siluman Ragakaca memberikan
kepercayaan
kepadaku untuk menjabat sebagai
Duta Selatan.
Tapi ketahuilah, Tuan
Suropati..., sejak aku meli-
hatmu di tempat kediaman
Sepasang Racun Api,
aku ingin lari dari cengkeraman
Siluman Ragaka-
ca. Walau siluman itu memberikan
kedudukan
yang cukup tinggi, tapi batinku
tersiksa. Karena,
aku harus melaksanakan segala
perintahnya yang
seringkali bertentangan dengan
hati nuraniku..."
"Benarkah itu?"
Kepala Bidadari Pulau Penyu
mengangguk
lemah.
"Lalu, kenapa kau
meracuniku?"
"Karena, aku tahu kau tak
mungkin kubu-
juk agar bersedia membantuku
untuk melawan
Siluman Ragakaca. Terpaksa aku
menggunakan
cara yang licik ini. Kularikan
'Mustika Batu Mer-
pati' agar kau terpancing untuk
datang ke Pulau
Penyu...."
"Kau telah mengikuti jalan
pikiran yang sa-
lah, Melati Putih. Kalau kau
katakan terus terang
keinginanmu itu, aku tentu
bersedia membantu-
mu. Tapi, tak jadi apa karena
semuanya telah te-
lanjur. Sekarang, berikan aku
obat penawar ra-
cun. Dan, biarkan aku pergi
bersama Kakek Pe-
ramal Buntung."
"Obat penawar racun akan
kuberikan. Kau
dan Peramal Buntung akan pulih
seperti sediaka-
la. Tapi kau jangan pergi dari
sini,"
"Kenapa?"
"Sudah kubilang. Raja Angin
Barat men-
gincar kematianmu!"
"Walau tempo hari aku
pernah dipecun-
danginya, tapi aku tidak
takut!"
"Jangan gegabah! Kau dan
Raja Angin Ba-
rat sama-sama beraliran putih.
Sungguh patut
disayangkan apabila nyawa salah
satu di antara
kalian akan melayang sia-sia
hanya karena siasat
busuk Siluman Ragakaca...,"
desah Bidadari Pu-
lau Penyu. "Ketahuilah,
Tuan Suropati, tadi ma-
lam aku bersama orang-orang
Pesanggrahan Pe-
langi lainnya telah dipanggil
oleh Siluman Raga-
kaca. Di sana, siluman itu
menuturkan segala
siasatnya. Dan yang perlu kau
ketahui, yang
mengincar kematianmu bukan cuma
Raja Angin
Barat, tapi juga Duta Utara,
Duta Barat, dan Du-
ta Timur!"
"Siapa sebenarnya ketiga
duta itu?"'
Belum sempat Bidadari Pulau
Penyu men-
jawab pertanyaan Pengemis Binal,
tiba-tiba ter-
dengar teriakan keras
menggelegar.
"Melati
Putih...!"
Bidadari Pulau Penyu yang
mendengar te-
riakan itu tampak terkesiap.
"Iblis Mata Satu...,"
desisnya. "Tuan Suropati
berdiamlah di sini dulu.
Aku akan menemui tangan-kanan
Siluman Raga-
kaca itu!"
Usai berkata, Bidadari Pulau
Penyu berke-
lebat keluar ruangan. Pengemis
Binal menatap
kepergiannya sambil garuk-garuk
kepala. Bagai-
mana kalau keinginan Bidadari
Pulau Penyu ke-
tahuan oleh Iblis Mata Satu?
Kalau mereka ber-
tempur, apa yang bisa diperbuat
oleh Suropati
yang tak mampu lagi mengerahkan
tenaga dalam?
"Huh! Kenapa aku tak minta
obat penawar
racun terlebih dulu? Kenapa aku
tak meminta pu-
la Batu Mustika Merpati?"
gumam Pengemis Bi-
nal. "Bagaimana kalau
Bidadari Pulau Penyu
mendapat celaka? Maka, celaka
pulalah aku!
Duh! Di mana Kakek Peramal
Buntung?"
* * *
Sesosok tubuh penuh bulu seperti
monyet
berdiri tegak menantang.
Kepalanya yang beram-
but panjang gimbal ditumbuhi dua
tanduk berca-
bang seperti rusa. Wajahnya
terlihat sangat men-
gerikan karena hanya mempunyai
satu mata be-
sar yang terletak di jidat.
Hidungnya hanya beru-
pa dua lubang sebesar kacang
tanah. Sementara,
mulutnya menyeringai,
memperlihatkan barisan
gigi tajam seperti mata gergaji
dan dua taringnya
yang setajam belati. Iblis Mata
Satu!
"Ada keperluan apakah Tuan
Mata Satu
datang ke tempat saya?"
tanya Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat.
Iblis Mata Satu menggerendeng.
Tubuhnya
bergetar, hingga ekornya
bergoyang-goyang. "Me-
lati Putih!" sentaknya.
"Kenapa kau tak memberi
tahu pada sang pemimpin kalau
kau membawa
Mustika Batu Merpati?!"
"Apa hubungannya sang
pemimpin dengan
Mustika Batu Merpati?"
Bidadari Pulau Penyu
malah bertanya.
"Sang pemimpin menginginkan
batu itu!"
"Untuk apa? Mustika Batu
Merpati bukan
milikku. Aku tak berhak
menyerahkannya kepada
orang lain."
"Hmmm.... Berani benar kau
berkata seper-
ti itu. Apakah kau ingin
jabatanmu sebagai Duta
Selatan ditarik kembali oleh
sang pemimpin?"
"Tuan Mata Satu yang
terhormat...," sebut
Bidadari Pulau Penyu.
"Ketahuilah..., tanpa di-
minta pun, aku akan melepaskan
jabatanku! Apa
enaknya menjadi kaki-tangan
Siluman Ragaka-
ca?!"
Mendengar kalimat Bidadari Pulau
Penyu
yang dianggapnya terlalu berani,
Iblis Mata Satu
mendengus gusar. Mata tunggalnya
yang berwar-
na merah darah semakin memerah.
Menatap ber-
kilat-kilat dibayangi hawa
amarah yang meluap.
"Mulai hari ini, aku tak
punya ikatan apa-
apa lagi dengan junjunganmu yang
bernama Si-
luman Ragakaca itu! Aku bukan
lagi anggota Pe-
sanggrahan Pelangi! Harap kau
tahu itu, Tuan
Mata Satu!" tambah Bidadari
Pulau Penyu.
Kontan Iblis Mata Satu menggembor
keras.
Tubuhnya bergetar, membuat
ekornya bergoyang-
goyang lebih cepat. Dengan geram
kemarahan
memuncak makhluk ini berkata,
"Hukuman mati
dijatuhkan!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu
berkelit ke
kiri ketika mata Iblis Mata Satu
memancarkan se-
larik sinar merah menggidikkan.
Sinar itu melesat
cepat dan menebarkan hawa panas
luar biasa!
Namun, hanya menerpa dinding
ruangan di bela-
kang Bidadari Pulau Penyu.
Blarrr...!
Dinding batu setebal dua jengkal
jebol. Pe-
cahannya berhamburan ke
mana-mana. Percikan
api turut bertebaran. Untuk
beberapa saat, isi
ruangan dipenuhi asap bercampur
debu tebal.
Mengetahui serangannya tak
mengenai sa-
saran, Iblis Mata Satu memekik
nyaring. Tiba-
tiba, dari kedua telapak tangannya
mengepul
gumpalan api merah
menyala-nyala!
"Hukuman mati
dijatuhkan!" pekik Iblis
Mata Satu seraya menerjang
ganas.
"Kaulah yang harus mati,
Iblis Laknat!" ba-
las Bidadari Pulau Penyu. Tubuh
wanita cantik
ini melenting. Ketika melayang
di udara, kedua
tangannya dikebutkan beberapa
kali. Muncul
bayang-bayang telapak tangan
yang tak terhitung
lagi jumlahnya, meluruk
bersamaan ke arah Iblis
Mata Satu.
Blarrr...!
* * *
"Celaka! Mereka benar-benar
bertempur!"
seru Pengemis Binal yang digeluti
rasa khawatir
"Apa yang harus kuperbuat?
Apakah aku harus
lari dari tempat ini? Tapi,
bagaimana aku harus
pergi dengan keadaan seperti
ini? Aku harus
mendapatkan obat penawar racun
dulu! Duh! Di
mana, Kakek Peramal
Buntung?" Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya
meloncat dari pemba-
ringan. "Aku harus, mencari
Kakek Peramal Bun-
tung! Apa pun yang terjadi
dengan kakek itu, aku
harus tahu
keadaannya!"
Mengikuti pikiran di benaknya,
Pengemis
Binal hendak ke luar ruangan.
Tapi baru melang-
kah satu-tindak, tiba-tiba pintu
ruangan dibuka
dengan paksa dari luar, hingga
pecah berkeping-
keping.
"Kakek Peramal
Buntung...!" seru Pengemis
Binal ketika tahu yang mendobrak
pintu adalah
orang yang hendak
dicarinya.
"Tenang...!. Tenang, Tuan
Muda!" sahut Pe-
ramal Buntung, meloncat ke
hadapan Suropati.
Melihat keadaan Peramal Buntung yang
segar bugar, bahkan mampu
menghancurkan
daun pintu yang terbuat dari
kayu jati, kening
Pengemis Binal berkerut rapat.
Apakah tenaga da-
lam Peramal Buntung tidak
lenyap? Bukankah
kakek itu turut meminum anggur
yang berisi ra-
cun?
"Kenapa Tuan Muda menatapku seperti
ini?" tanya Peramal
Buntung, merasakan tatapan
aneh Suropati.
"Kau tidak
keracunan?"
"Tidak."
"Kau tidak ikut minum
anggur racun itu,
Kek?"
"Aku ikut minum anggur itu.
Tapi, racun-
nya telah kukeluarkan dengan
ilmu 'Aliran Napas
Pemusnah Racun'," jelas
Peramal Buntung. "Ra-
cun dalam anggur yang kuminum
kukeluarkan
lewat keringat dan air kencing!"
"Kalau bisa begitu, kenapa
kau tidak meno-
longku dari tadi?" tanya
Suropati, sedikit men-
dongkol teringat dirinya hampir
tenggelam dalam
dekapan birahi Bidadari Pulau
Penyu.
"Bagaimana aku bisa
menolong Tuan Muda
kalau aku ditempatkan di ruangan
lain. Setelah
mengikuti lorong-lorong yang
sangat membin-
gungkan, barulah aku menemukan
Tuan Muda di
tempat ini," tutur Peramal
Buntung, tergesa-gesa.
"Kita harus cepat keluar
dari tempat ini mum-
pung Bidadari Pulau Penyu tengah
bertempur me-
lawan Iblis Mata Satu!"
"Sebenarnya, Bidadari Pulau
Penyu tidak
bermaksud jahat kepada kita.
Kita harus mem-
bantunya melawan makhluk dari
Pesanggrahan
Pelangi itu! Tapi, tolonglah aku
dulu, Kek! Kelua-
rkan racun yang bersarang dalam
tubuhku!"
"Lho?! Kenapa mesti minta
pertolonganku?
Bukankah Tuan Muda membawa Akar
Kayan-
gan?"
Plok!
Pengemis Binal menggaplok
kepalanya
sendiri. "Kenapa aku jadi
bodoh seperti ini? Ke-
napa aku lupa bila membawa akar
ajaib yang
mampu melawan segala jenis
racun?" rutuk rema-
ja tampan ini kepada dirinya
sendiri.
"Tuan Muda butuh
arak?" tawar Peramal
Buntung ketika Pengemis Binal
telah mengelua-
rkan Akar Kayangan dari balik
lipatan bajunya
yang tersembunyi.
"Ya. Aku butuh arak!"
sahut Suropati
Seperti ada yang memberi
aba-aba, Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung
sama-sama men-
garahkan pandangan ke meja yang
terletak di se-
belah pembaringan. Di atas meja
itu terdapat se-
buah poci kecil berukir. Namun
sewaktu men-
gambilnya, Pengemis Binal
kecewa. Tak setetes
pun arak berada di dalam poci.
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung
mengedarkan pandangan, namun di
ruangan
yang mereka tempati ini memang
tak terdapat
arak yang bisa digunakan sebagai
ramuan obat
penawar racun.
"Aku ada akal! Tuan Muda
tunggu di sini
saja!" cetus Peramal
Buntung dengan mata bersi-
nar.
Suropati cuma garuk-garuk kepala
ketika
Peramal Buntung berkelebat
keluar ruangan.
Namun tak lebih dari sepuluh
tarikan napas ke-
mudian, Peramal Buntung telah
kembali. Di bahu
kanannya melekat sebuah gelas
berisi cairan ke-
kuningan.
Cairan kuning di dalam gelas
bergolak ke-
tika Peramal Buntung mengalirkan
tenaga da-
lamnya. Ketika cairan kuning
telah mengepulkan
asap tebal, Peramal Buntung
berkata, "Ambil-
lah...."
Bergegas Pengemis Binal
mengambil gelas
yang melekat di bahu kanan
Peramal Buntung
yang telah menghentikan aliran
tenaga dalamnya.
Walau cairan kuning di dalam
gelas masih men-
gepulkan asap tebal, tapi
Pengemis Binal tak me-
rasa panas ketika tangannya
menyentuh badan
gelas.
Setelah Akar Kayangan dicelupkan
bebera-
pa lama di dalam gelas, hidung
Pengemis Binal
berkernyit. Dia mencium bau tak
sedap yang me-
nebar dari cairan kuning di
dalam gelas.
"Tunggu apa lagi? Segera
minum obat pe-
nawar racun itu...," seru
Peramal Buntung.
Dengan kening berkerut rapat dan
hidung
tetap berkernyit, Pengemis Binal
menatap cairan
kuning di dalam gelas: "Ini
arak apa? Kenapa ber-
bau aneh?" tanyanya, heran.
"Sudahlah. Yang penting,
Tuan Muda bisa
terbebas dari racun," desak
Peramal Buntung.
Mendengar suara pertempuran di
ruangan
lain yang semakin seru, tanpa
pikir panjang lagi
Pengemis Binal menutup hidungnya
dengan tan-
gan kiri, lalu tangan kanannya
yang memegang
gelas didekatkan ke mulut. Di
lain kejap, cairan
kuning di dalam gelas telah
pindah ke lambung
Pengemis Binal.
"Uh! Kenapa rasanya aneh,
Kek?" seru
Pengemis Binal. "Perutku
jadi mual. Aku mau
muntah! Uk...! Uk...!"
"Tahan! Tahan, Tuan
Muda!" cegah Peram-
al Buntung. "Obat penawar
racun tadi tak akan
menghasilkan apa-apa kalau
dimuntahkan lagi!"
Mendengar penjelasan Peramal
Buntung,
sekuat tenaga Pengemis Binal
menahan diri agar
tak muntah, walau isi perutnya
bagai diaduk-
aduk dan terasa amat mual.
Sementara, Peramal
Buntung cuma tersenyum-senyum melihat air
muka Pengemis Bina! yang
berubah merah-
matang.
"Sekarang, cobalah
mengumpulkan hawa
murni ke pusar...," nasihat
Peramal Buntung ke-
mudian.
Pengemis Binal melonjak girang
ketika ta-
hu tenaga dalamnya telah pulih
kembali. Sejenak,
dia lupa pada rasa mual di
perutnya.
"Hebat! Akar Kayangan
memang hebat!" se-
ru Suropati. Menatap Akar
Kayangan beberapa
saat, lalu disimpannya kembali
ke lipatan ba-
junya yang tersembunyi.
Mendadak, angin kencang
berhembus na-
suk ke ruangan. Pengemis Binal
dan Peramal
Buntung terkesiap melihat
sesosok bayangan
berkelebat dan berhenti di
hadapan mereka.
"Bidadari Pulau
Penyu...!" seru Pengemis
Binal setelah mengenali sosok
yang baru muncul.
"Ini obat penawar racun!
Segera pergi dari
tempat ini!" sahut Bidadari
Pulau Penyu menyo-
dorkan botol kecil berisi obat.
"Aku dan Kakek Peramal
Buntung telah
terbebas dari racun," beri
tahu Suropati.
"Sungguhkah itu?"
tanya Bidadari Pulau
Penyu, setengah tak
percaya.
"Aku punya ilmu 'Aliran
Napas Pemusnah
Racun', Melati Putih," ujar
Peramal Buntung.
"Dan, Tuan Muda Suropati
membawa Akar
Kayangan."
Sekilas, rasa gembira terpancar
di mata Bi-
dadari Pulau Penyu. Tapi,
kekhawatiran kembali
menggeluti hati wanita cantik
ini. "Pergilah! Se-
bentar lagi Iblis Mata Satu
tentu akan menyusul-
ku ke tempat ini!"
perintahnya. Agaknya, Bidadari
Pulau Penyu lupa bila belum
beberapa lama tadi
dia telah menahan kepergian
Suropati.
"Kau sendiri bagaimana?",
tanya Pengemis
Binal yang sudah tahu bila
Bidadari Pulau Penyu
berada di pihaknya. ,
"Aku akan menahan Iblis
Mata Satu yang
hendak membakar istana
ini!" sahut Bidadari Pu-
lau Penyu. "Pergilah cepat
mumpung masih ada
kesempatan! Aku bukan meremehkan
kemam-
puan kalian berdua, tapi cobalah
kalian mengiku-
ti nasihatku kali
ini!"
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung sal-
ing pandang. Melihat kesungguhan
Bidadari Pu-
lau Penyu, bergegas mereka
berkelebat keluar
ruangan. Bidadari Pulau Penyu
turut berkelebat,
namun berbeda arah.
***
6
Wusss...!
"Wuahhh...!"
Dua pemuda bercawat menjerit
panjang ke-
tika api yang mengepul dari
telapak tangan Iblis
Mata Satu menerpa tubuh mereka.
Api merah
membara yang mengandung kekuatan
dahsyat itu
mampu membuat tubuh mereka
hancur luluh
menjadi setumpuk abu!
Pemuda-pemuda bercawat lainnya
berdiri
kaku dalam rasa ngeri.
Sementara, Iblis Mata Sa-
tu tertawa bergelak sambil terus
mengibas-
ngibaskan telapak tangannya. Melihat
serbuan
api yang panas luar biasa, para
penghuni Graha
Kenikmatan jadi panik. Mereka
berloncatan ke
sana sini, berusaha
menyelamatkan diri. Namun,
keadaan terlihat makin tak
menguntungkan ka-
rena beberapa bagian bangunan
mulai terbakar.
Dan tampaknya, istana yang susah
payah diban-
gun oleh Bidadari Pulau Penyu
ini hanya akan
tinggal kenangan....
Beberapa pemuda bercawat
berusaha me-
madamkan api, yang lainnya nekat
menerjang Ib-
lis Mata Satu yang mereka anggap
sebagai biang
onar. Dalam keadaan kalut di
mana maut hampir
menjemput, tak ada lagi rasa
takut di hati mere-
ka. Yang ada hanyalah kemarahan
dan usaha un-
tuk segera dapat menjatuhkan si
biang onar.
Tapi sebelum keganasan Iblis
Mata Satu
memakan korban lebih banyak,
tiba-tiba berkele-
bat sesosok bayangan yang
dibarengi teriakan,
"Keluarlah kalian dari
sini! Pergi dari Pulau Penyu
secepatnya!"
Para pemuda bercawat tampak ragu
seje-
nak. Namun setelah melihat bila
yang memberi
perintah adalah Bidadari Pulau
Penyu, mereka
segera berpencar untuk mencari
jalan hidup mas-
ing-masing.
"Jahanam kau, Melati
Putih!" maki Iblis
Mata Satu, "Kalau saja kau
tidak segera muncul
di hadapanku lagi, jangan harap
pemuda-pemuda
piaraanmu itu masih bernyawa
sampai esok hari!"
"Hmmm.... Aku pergi bukan
karena aku
takut kepadamu, Tuan Mata Satu
yang terhor-
mat.,.!" Bidadari Pulau
Penyu mengucapkan sebu-
tan menghormat, tapi dengan nada
keras mem-
bentak. Jelas hatinya diliputi
rasa penasaran ber-
campur hawa amarah melihat istananya
rusak
termakan api Iblis Mata Satu.
"Wuah! Tampaknya, kau
semakin berani
saja, Melati Putih!" seru
Iblis Mata Satu. "Tapi,
apakah kau pergi tadi untuk
mengambil Mustika
Batu Merpati, dan sekarang akan
menyerahkan-
nya kepadaku?"
"Aku memang akan
menyerahkan sesuatu
kepadamu, Tuan Mata Satu! Tapi
bukan Mustika
Batu Merpati, melainkan
ini...,"
Di ujung kalimatnya, Bidadari
Pulau Penyu
mengibaskan kedua telapak
tangannya beberapa
kali. Di lain kejap, muncul
puluhan bayang-
bayang tangan yang langsung
menyerbu ke arah
Iblis Mata Satu. Jangan dikira
bayang-bayang
tangan itu tidak berbahaya.
Itulah wujud ilmu
andalan Bidadari Pulau Penyu
yang bernama
'Tangan Ganda Pemakan Roh'!
Balok baja pun
akan hancur luluh bila terkena
serbuannya!
"Hiah...!"
Tahu ada bahaya tengah
mengancam, Iblis
Mata Satu mengibaskan kedua
tangannya. Dua
gumpal api besar melesat ke
depan, memapaki
serbuan bayang-bayang tangan!
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat
membarengi li-
dah-lidah api yang berlesatan ke
berbagai penju-
ru. Api yang sudah membakar
bangunan istana
semakin berkobar besar. Melihat
itu, Iblis Mata
Satu tertawa bergelak. Namun...,
sama sekali tak
dia duga. Ketika terjadi ledakan
dahsyat tadi, ada
satu bayangan tangan yang tak
turut musnah
terbakar api. Satu bayangan
tangan itu terpental
ke atas, lalu secara tiba-tiba
melesat ke arah Iblis
Mata Satu!
Blammm...!
"Wadouw...!"
Iblis Mata Satu tak mampu
menghindar.
Dadanya tertimpa dengan telak,
menimbulkan
suara menggelegar keras. Kontan
tubuh makhluk
berbulu seperti monyet ini
terlontar, dan mem-
bentur dinding tebal di
belakangnya. Karena lon-
tarannya amat kuat, dinding
istana tak mampu
bertahan. Hancur
berkeping-keping, mengepulkan
asap tebal!
Terkejut setengah mati Bidadari
Pulau
Penyu ketika melihat Iblis Mata
Satu merangkak
bangun dari reruntuhan dinding.
Saat tangan ka-
nan Iblis Mata Satu itu telah
berdiri tegak dan
berjalan ke depan, tahulah
Bidadari Pulau Penyu
bila ilmu 'Tangan Ganda Pemakan
Roh' miliknya
tak berarti apa-apa bagi lawan.
Sementara, Iblis Mata Satu yang
melihat
wajah Bidadari Pulau Penyu memucat langsung
tertawa panjang penuh
kemenangan. Dan begitu
tawanya terhenti, dia berseru
nyaring.
"Sinar Merah Penghancur
Segala'!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu
meloncat
ke kiri ketika mata Iblis Mata
Satu mengeluarkan
selarik sinar merah
menggidikkan. Namun... be-
lum sampai telapak kaki wanita
bertubuh sintal
ini menginjak permukaan lantai,
gumpalan api
merah menyala yang melesat dari
telapak tangan
kanan Iblis Mata Satu telah
memapaki.
Wusss...!
"Ih....!"
Bidadari Pulau Penyu masih
sempat men-
gibaskan kedua ujung lengan
bajunya, hingga
timbul gelombang angin pukulan
yang cukup
kuat. Gumpalan api merah
berbelok arah dan
membentur dinding istana hingga
jebol.
Namun... begitu Bidadari Pulau
Penyu me-
napakkan kaki di permukaan
lantai, jerit kesaki-
tan menyembur dari mulutnya.
Pinggang kanan-
nya telah termakan sinar merah
yang melesat dari
mata si makhluk berbulu!
"Ha ha ha...! Kau telah
terluka, Melati Pu-
tih!" ujar Iblis Mata Satu,
jumawa. "Tak ada yang
lebih tepat kau kerjakan kecuali
menyerahkan
Mustika Batu Merpati, kemudian
ikut aku ke Pe-
sanggrahan Pelangi untuk
mendapat hukuman
langsung dari sang pemimpin!
Atau, bila kau in-
gin mati di istana kesayanganmu
ini, boleh-boleh
saja. Tapi, serahkan dulu
Mustika Batu Merpati
kepadaku!"
Sambil mendekap pinggang
kanannya yang
terasa panas luar biasa,
Bidadari Pulau Penyu
mengedarkan pandangan. Rasa
kalut dan panik
jelas tergambar di mata wanita
cantik ini. Ruan-
gan yang ditempatinya telah
terkepung api. Tak
ada peluang lagi untuk dapat
meloloskan diri.
Sementara, Iblis Mata Satu pun
tampaknya telah
bersiap-siap untuk menjatuhkan
tangan maut.
"Baik! Baiklah, Tuan Mata
Satu...," ujar Bi-
dadari Pulau Penyu di tengah
rintih kesakitannya.
"Mengingat kebaikan sang
pemimpin yang bebe-
rapa waktu lalu telah menambah
kekuatan tena-
ga dalamku, memang ada baiknya
bila aku me-
nyerahkan Mustika Batu Merpati
kepadanya...."
"Bagus!" sambut Iblis
Mata Satu. "Ru-
panya, kau telah menentukan
pilihan terbaik, Me-
lati Putih. Serahkan batu
mustika itu kepadaku
untuk kemudian kuserahkan lagi
kepada sang
pemimpin. Dan, kau pun bisa ikut
ke Pesanggra-
han Pelangi. Barangkali sang
pemimpin berkenan
meringankan hukumanmu."
Bidadari Pulau Penyu mencoba
tersenyum
walau rasa panas di pinggang
kanannya terus
menjalar ke seluruh tubuh. Lalu,
tenang saja wa-
nita cantik ini mengeluarkan
lempengan batu se-
besar uang logam hijau dari
lipatan bajunya. Se-
mentara, hatinya berkata,
"Lebih baik kuakali sa-
ja makhluk buruk rupa itu,
sekaligus menjajal
kehebatan Mustika Batu
Merpati."
Mengikuti suara hatinya,
Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat dan
berkata, "Kuse-
rahkan Mustika Batu Merpati ini
kepadamu,
Tuan Mata Satu yang
terhormat..."
Iblis Mata Satu tertawa
bergelak-gelak me-
lihat Bidadari Pulau Penyu menyodorkan
lempen-
gan batu hijau yang dipegangnya
di tangan ka-
nan. Namun, betapa terkejutnya
Iblis Mata Satu.
Ketika dia melangkah untuk
menyambut batu hi-
jau yang tak lain Mustika Batu
Merpati, tiba-tiba
tangan kiri Bidadari Pulau Penyu
mengibas!
Wesss...!
Sekali lagi, puluhan bayangan
tangan me-
luruk deras ke arah Iblis Mata
Satu. Kalau tadi
dia mampu menahan pukulan satu
bayangan
tangan, sekarang keadaannya
tentu sudah berlai-
nan. Karena, bayangan tangan
yang meluruk ber-
lipat jumlahnya, sementara Iblis
Mata Satu yang
menjadi sasaran pun berdiri
lebih dekat.
"Hiahhh...!"
Susah payah Iblis Mata Satu
berkelit den-
gan menjatuhkan diri ke lantai.
Merasa dirinya te-
lah termakan tipu muslihat,
segera dia mengelua-
rkan 'Sinar Merah Penghancur
Segala'!
Namun bersamaan dengan
melesatnya se-
larik sinar merah dari mata
Iblis Mata Satu, Bi-
dadari Pulau Penyu membuka mulut
dan me-
nempelkan Mustika Batu Merpati
ke lidahnya!
Wusss...!
Blarrr...!
Tiba-tiba, tubuh Bidadari Pulau
Penyu le-
nyap dari pandangan. 'Sinar
Merah Penghancur
Segala' lewat begitu saja, lalu
menerpa dinding
ruangan hingga hancur
berkeping-keping....
"Haram jadah! Kuntilanak
bunting!" umpat
Iblis Mata Satu dengan darah
mendidih naik
sampai ke ubun-ubun.
Melihat Bidadari Pulau Penyu
telah lenyap
bersama Mustika Batu Merpati,
tak dapat digam-
barkan lagi kemarahan makhluk
berbulu hebat
ini. Dia mengamuk dan
benar-benar lupa diri.
Kedua telapak tangannya yang
dipenuhi gumpa-
lan api merah menyala-nyala
dikibaskan ke ber-
bagai penjuru seraya berlari
mengikuti lorong-
lorong istana. Hingga..., istana
Bidadari Pulau
Penyu yang diberi nama Graha
Kenikmatan diko-
bari api di sana sini!
* * *
Setelah berlari-lari mengempos
tenaga, me-
lewati jalan-jalan sempit yang
tersembunyi di ba-
lik pepohonan, sampailah
Pengemis Binal dan Pe-
ramal Buntung di tepian Pulau
Penyu.
"Pengantar Tamu...!"
teriak Peramal Bun-
tung.
Teriakan itu membahana di
seantero pu-
lau. Dua tarikan napas kemudian,
berkelebat se-
sosok bayangan menghampiri
Pengemis Binal dan
Peramal Buntung. Bayangan itu
seorang pemuda
kekar mengenakan pakaian kuning
bergaris cok-
lat. Dia datang dengan memanggul
perahu yang
terbuat dari kulit kerbau yang
telah dikeringkan.
"Antarkan kami menyeberangi
telaga," pe-
rintah Peramal Buntung.
Pemuda kekar yang tak lain si
Pengantar
Tamu berdiri diam di tempat.
Matanya menatap
Peramal Buntung dan Pengemis
Binal bergantian.
"Hei! Kenapa kau tidak
segera menjalankan
perintahku?!" tegur Peramal
Buntung. "Apa kau
tidak tahu bila aku dan Tuan
Muda Suropati ada-
lah tamu terhormat ratu
junjunganmu Bidadari
Pulau Penyu?"
"Ah! Bukan begitu, Pak
Tua...," tangkis
Pengantar Tamu. "Kenapa
Laskar Pelepas tidak
mengantarkan sampai di tepi pulau
ini?"
"Alah! Aku muak dengan
segala aturan di
tempat ini! Cepat antarkan
aku!" desak Peramal
Buntung.
Kening Pengantar Tamu berkerut
rapat.
Timbul rasa curiganya. Apalagi
ketika melihat
asap tebal membubung dari tengah
pulau. Se-
mentara, lamat-lamat juga
terdengar suara hiruk-
pikuk yang diselingi ledakan
beberapa kali.
"Kalian telah membakar
Graha Kenikma-
tan?!" desis Pengantar Tamu
dengan bola mata
melotot besar.
"Hei! Hei! Jangan main tuduh sembaran-
gan!" tegur Pengemis Binal.
"Di sana tengah terja-
di pertempuran, tapi tak ada
sangkut pautnya
dengan kami!"
"Tidak! Kalian pasti telah
membakarnya!
Kalian tidak boleh pergi!"
"Geblek! Justru kami hendak
pergi ini ka-
rena mengikuti anjuran Bidadari
Pulau Penyu!"
sentak Pengemis Binal yang mulai
jengkel. "Kalau
kau tidak mau mengantarkan, tak
jadi masalah.
Tapi, kupinjam dulu perahumu
itu!"
Cepat Pengantar Tamu meloncat ke
bela-
kang waktu melihat Pengemis
Binal hendak me-
rampas perahu yang dibawanya.
Rasa curiga di
hati pemuda kekar ini semakin
besar. Perahu ku-
lit kerbau dia lempar ke tanah,
ditatapnya Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung
dengan sinar
mata berapi-api.
"Sejak melihat kedatangan
kalian, aku su-
dah curiga. Kalian bukan orang
baik-baik. Dan,
sekarang terbukti. Kalian telah
membakar Graha
Kenikmatan! Kalian harus menebus
dosa dengan
kematian! Hiah...!"
Sambil menggembor keras,
Pengantar Ta-
mu menghentakkan kedua telapak
tangannya ke
depan. Dua larik sinar putih
berkeredepan mele-
sat ke arah Pengemis Binal dan
Peramal Buntung.
Namun hanya dengan melentingkan
tubuh bebe-
rapa jengkal dari permukaan
tanah, Pengemis Bi-
nal dan Peramal Buntung berhasil
menghindari
pukulan jarak jauh itu.
Hasilnya, dua larik sinar
putih yang melesat dari telapak
tangan Pengantar
Tamu menghantam dua batang pohon
sepelukan
orang dewasa. Timbul ledakan
keras, yang dis-
usul suara gemuruh ketika dua
batang pohon itu
hancur menjadi serpihan kayu
yang berpentalan
ke berbagai penjuru.
"Geblek! Tahan hawa amarahmu!
Kau sa-
lah mengerti!" seru
Suropati.
Tapi, mana mau Pengantar Tamu
yang su-
dah dikuasai nafsu membunuh
mendengar kata-
kata Suropati. Ditambah lagi,
sejak kedatangan
Suropati, hatinya jadi jengkel,
dan ingin marah
saja. Selama tinggal di Pulau Penyu,
dia tak per-
nah berjumpa orang bermulut
ceriwis macam Su-
ropati yang sepertinya tak mau
menaruh rasa
hormat sama sekali.
"Kaulah yang salah
mengerti!" balas Pen-
gantar Tamu. "Aku bukan
orang geblek seperti
yang kau kira! Matilah
kau!"
Bergegas Pengemis Binal membuang
tubuh
ke kiri ketika Pengantar Tamu
menerjang dengan
pukulan dan tendangan beruntun.
Pertempuran
sengit pun tak bisa dihindari
lagi. Pengantar Ta-
mu terus mencecar Pengemis Binal
dengan seran-
gan-serangan mematikan. Sementara,
Pengemis
Binal yang tahu bila Pengantar
Tamu salah tu-
duh, tak mau meladeni dengan
sungguh-
sungguh. Tapi melihat sikap
Pengantar Tamu
yang tak mau mendengar
penjelasannya, terpaksa
Pengemis Binal memberi
pelajaran.
Selagi Pengantar Tamu berusaha
menya-
rangkan tendangan ke kepala,
cepat sekali tangan
kanan Pengemis Binal berkelebat.
Pergelangan
kaki kanan Pengantar Tamu
berhasil ditangkap.
Setelah dipeluntir beberapa
saat, lalu dilempar-
kan!
Brruuk...!
"Uh...!"
Pengantar Tamu jatuh terjerembab
men-
cium tanah. Sewaktu dia
mengaduh-aduh kesaki-
tan karena batang hidungnya
penyok dan menge-
luarkan darah, Pengemis Binal
tampak garuk-
garuk kepala.
"Maaf.... Terpaksa ini
kulakukan agar kau
bisa berpikir lebih
jernih...," ujar Suropati seraya
melangkah untuk mengambil perahu
kulit kerbau
yang tergeletak di tanah.
"Kau boleh menyentuh perahu
itu, tapi
makan dulu hadiahku ini!"
hardik Pengantar Ta-
mu.
Terpaksa Pengemis Binal
mengurungkan
niatnya karena selarik sinar
putih berkeredepan
meluruknya dari samping kiri.
Pengemis Binal
yang sudah diliputi rasa
jengkel, cepat membalik-
kan badan. Lalu, kedua tangannya
mengibas ber-
samaan!
Wesss...!
Blarrr...!
Gelombang angin pukulan ciptaan
Penge-
mis Binal mampu menahan pukulan
jarak jauh
Pengantar Tamu. Selarik sinar
putih tampak me-
lesat lurus ke atas, dan berubah
menjadi perci-
kan-percikan api yang segera
jatuh ke air telaga
yang dingin.
"Tahan!" seru Peramal
Buntung waktu me-
lihat Pengantar Tamu tengah
mengambil ancang-
ancang untuk menerjang Pengemis
Binal lagi.
"Berdiamlah dulu di
tempatmu, Pak Tua!
Tunggulah giliran untuk
kupecahkan batok kepa-
lamu!" bentak Pengantar
Tamu
"Hus! Cobalah kendalikan
hawa amarah-
mu, Anak Muda! Aku melihat...
aku melihat...,"
ucapan Peramal Buntung
menggantung. "Bayang-
bayang nisan kubur di atas
kepalamu makin je-
las. Jangan-jangan kau...."
"Tua bangka buntung! Kaulah yang akan
dijemput ajal!" sela
Pengantar Tamu seraya meng-
gedruk tanah.
Tiba-tiba, gumpalan tanah dan
bebatuan
berhamburan, dan menyerbu
Peramal Buntung.
Karena tak mau mati konyol,
cepat Peramal Bun-
tung meloncat jauh. Sementara,
Pengantar Tamu
langsung menerjang Pengemis
Binal. Diam-diam
dia mengeluarkan batang bambu
sepanjang se-
tengah jengkal dari balik
bajunya. Batang bambu
itu disembunyikannya di bawah
telapak tangan.
Namun, mata Pengemis Binal yang
jeli dapat me-
lihatnya. Sambil melayani
serangan, mata Penge-
mis Binal tak pernah lepas
memperhatikan tela-
pak tangan kiri Pengantar Tamu
yang menyem-
bunyikan batang bambu.
"Hmmm.... Pemuda ini hendak
berbuat li-
cik. Tentu ada sesuatu di dalam
batang bambu
yang dibawanya. Aku harus
berhati-hati," kata
hati Suropati.
Selagi remaja tampan ini berkelit
ke kiri
untuk menghindari tendangan yang
mengarah
ulu hati, mendadak tangan kiri
Pengantar Tamu
berkelebat. Gerakannya seperti
orang menampar,
tapi dari dalam batang bambu
yang tersembunyi
di bawah telapak tangan
menyembur serbuk ha-
lus berwarna hitam!
"Racun Pembuta Mata!"
seru Peramal Bun-
tung yang melihat kelicikan
Pengantar Tamu.
Suropati yang sudah menyangka
adanya
tipuan, cepat membuang tubuh
sejauh mungkin
ke belakang. Namun sesungguhnya,
Suropati te-
lah ter-makan tipuan Pengantar
Tamu. Karena,
apa yang dilakukan Pengantar
Tamu tadi hanya-
lah gerak awal dari rangkaian
gerak tipu yang te-
lah disusunnya dengan
matang.
Begitu tubuh Suropati melenting
jauh,
mendekati batang pohon di
belakangnya, Pengan-
tar Tamu mengibaskan ujung
lengan bajunya ke
atas. Gelombang angin pukulan menggoyahkan
ranting-ranting pohon. Tak ayal
lagi, daun-daun
rontok dan menebar ke tanah.
Dan..., di luar du-
gaan Suropati. Bersamaan dengan
rontoknya
daun, serbuk berwarna hitam
pekat berhamburan
ke mana-mana. Agaknya, ranting
dan dedaunan
itu telah dilumuri serbuk
racun!
"Tuan Muda...!" pekik
Peramal Buntung
yang melihat Pengemis Binal yang
terkurung di
dalam tebaran serbuk racun.
Namun sebelum kakek ini berbuat
sesuatu
untuk memberi pertolongan,
tiba-tiba terdengar
suara menggembor keras. Dari
tempat Suropati
berada, memancar cahaya merah.
Bagai tertiup
angin topan dari dalam, serbuk
racun berhambu-
ran ke empat penjuru!
Melihat dirinya turut terancam,
bergegas
Peramal Buntung berkelebat
menjauh. Namun,
malang bagi Pengantar Tamu yang
berdiri lebih
dekat dengan kedudukan Suropati.
Dia sama se-
kali tak menyangka bila Suropati
akan dapat
menghalau serbuan racun. Lagi
pula, dia pun su-
dah merasa senang karena menganggap
tipuan-
nya telah berhasil, hingga
membuat kewaspa-
daannya berkurang. Akibatnya,
senjata makan
tuan!
Pengantar Tamu menjerit-jerit
ketika ser-
buk racun menerpa tubuhnya.
Wajahnya lang-
sung menghitam karena di bagian
itulah serbuk
racun menerpa lebih banyak.
Sementara, salju
merah tipis tampak menempel di
dada dan perut-
nya. Rupanya, Suropati telah
menggunakan ilmu
pukulan 'Salju Merah' untuk
menghalau serbuan
serbuk racun.
Dari kejauhan Pengemis Binal dan
Peramal
Buntung bergidik ngeri melihat
Pengantar Tamu
menjerit-jerit sambil mendekap
wajah. Karena tak
mampu menahan sakit, pikiran
Pengantar Tamu
jadi terganggu. Bagai orang
gila, dia melonjak-
lonjak, lalu meloncat jauh.,..
Malang sekali! Loncatan
Pengantar Tamu
tepat menuju ke tengah telaga.
Terdengar jeritan
sangat panjang sewaktu tubuh Pengantar Tamu
terisap masuk ke dasar telaga
yang mempunyai
Tenaga Ganda Bumi.
Untuk sesaat timbul pusaran di
tempat
Pengantar Tamu jatuh. Pengemis
Binal dan Pe-
ramal Buntung menarik napas
panjang. Mereka
sama-sama menyesali kematian
Pengantar Tamu
yang hanya karena telah salah
pengertian. Tapi
sesungguhnya, riwayat Pengantar
Tamu memang
ditakdirkan hanya cukup sampai
di situ. Ramalan
Peramal Buntung telah menjadi
kenyataan!
"Kita tak mungkin pergi
jika tak ada salah
seorang penghuni Graha
Kenikmatan yang berse-
dia mengantar...," desah
Peramal Buntung kemu-
dian.
"Itu persoalan gampang.
Tanpa bantuan
anak buah Bidadari Pulau Penyu
pun kita tetap
akan dapat menyeberangi telaga
dengan selamat,"
sahut Pengemis Binal. "Aku
telah mengetahui
kunci pembuka jalannya."
"Dari mana Tuan Muda tahu?
Apakah Bi-
dadari Pulau Penyu telah
mengatakannya?"
"Tidak. Waktu naik perahu
pemuda naas
tadi, aku melihat bila dia
mengikuti tonggak-
tonggak yang sengaja ditancapkan
di dasar tela-
ga."
"Bagaimana Tuan Muda bisa
melihat? Air-
nya begitu keruh...."
"Aku punya ilmu tembus
pandang yang
bernama 'Mata Awas'...,"
beri tahu Suropati se-
raya menghampiri perahu kulit
kerbau.
Peramal Buntung diam, tapi dalam
hatinya
mengakui ketinggian ilmu si
Pengemis Binal. Di
bagian lain, api terus
berkobar-kobar membakar
istana Bidadari Pulau Penyu.
Para pemuda ber-
cawat berlari-lari membawa perahu
kulit kerbau
untuk segera meninggalkan Pulau
Penyu yang ki-
ni bukan lagi sebuah tempat
tinggal menyenang-
kan bagi mereka.....
***
7
Usai menyeberangi telaga....
Mentari hampir tenggelam di
peraduannya.
Senja akan segera datang untuk
menyambut sang
dewi malam. Di bawah siraman
cahaya sore hari
yang mulai remang-remang,
Pengemis Binal tam-
pak menyeringai masam sambil
memegangi perut-
nya. Berkali-kali mendesah
dengan keringat din-
gin yang terus bercucuran.
"Kau kenapa, Tuan
Muda?" tanya Peramal
Buntung, khawatir.
"Perutku melilit-lilit...
Mual! Mau mun-
tah...," seru Suropati yang
kelihatan sangat ter-
siksa.
"Jangan-jangan Tuan Muda
telah menghi-
rup serbuk racun yang ditebarkan
oleh Pengantar
Tamu tadi..."
"Tidak! Aku yakin, tak ada
racun yang ma-
suk ke tubuhku. Tapi..., kenapa
perutku terasa
bagai diaduk-aduk?"
"Sejak kapan Tuan Muda
merasakannya?"
"Sejak aku minum cairan
kuning yang te-
lah dicelupi Akar Kayangan. Uh!
Benarkah cairan
yang kau berikan itu arak,
Kek?"
Peramal Buntung diam. Teringat
peristiwa
di istana Bidadari Pulau Penyu,
mendadak kakek
berompi kuning ini tertawa, tapi
cepat ditahannya
karena melihat Pengemis Binal
yang terus mende-
sah-desah.
"Uh! Jawab pertanyaanku,
Kek.... Sebenar-
nya cairan kuning yang kuminum
itu apa? Aku
yakin, cairan itu bukan arak!
Baunya tak sedap
dan... rasanya berlainan
sekali…" keluh Suropati.
Sinar matanya memohon
jawaban.
Kening Peramal Buntung berkerut.
Setelah
berpikir beberapa saat, kakek
ini berkata, "Kau
pernah mendengar pepatah yang
berbunyi: Tak
ada rotan, akar pun jadi, Tuan
Muda?"
"Uh! Memangnya ada apa
dengan pepatah
itu?!" sentak Pengemis
Binal.
"Cairan yang kau minum
memang bukan
arak, Tuan Muda..."
"Lalu, apa?" sentak Pengemis Binal lebih
keras. Hatinya mulai diliputi
rasa curiga.
"Maafkan aku, Tuan
Muda...," sesal Peram-
al Buntung dengan air muka
keruh. "Di dalam is-
tana Bidadari Pulau Penyu, aku
tak menemukan
arak. Tapi mengingat Tuan Muda
yang harus se-
gera mendapat pertolongan, aku
berusaha keras
untuk mendapatkan arak. Nah,
waktu mencari-
cari itulah, aku tak dapat
menahan keinginanku
untuk kencing. Dan kupikir...,
tak ada arak, air
ken...."
"Jadi, cairan yang kuminum
itu adalah....
Hoek...!"
Tumpah sudah semua isi perut
Pengemis
Binal. Warna mukanya langsung
berubah merah
padam. Sementara, Peramal
Buntung malah ter-
senyum-senyum, lalu menepuk bahu
Pengemis
Binal yang masih berusaha
menguras isi perut-
nya.
"Jangan salah sangka, Tuan
Muda. Mana
berani aku memberi Tuan Muda air
kencing. Aku
kan cuma bercanda. He he
he...."
"Uh! Sebal! Lalu, cairan
kuning itu sebe-
narnya apa?!" sungut
Suropati, berusaha mena-
han kemarahan.
Peramal Buntung menekuk
pergelangan
kaki kanannya. Lalu, sambil
membungkuk, jari-
jari kakinya mengambil sesuatu
dari saku cela-
nanya. Gerakannya tampak lemas
dan tak sedikit
pun mendapat kesulitan. Karena,
sejak kecil dia
telah melatih kedua kakinya
sedemikian rupa,
hingga dapat menggantikan kedua
tangannya
yang buntung.
"Ini kunyit," beri
tahu Peramal Buntung,
menunjukkan barang yang terjepit
di jari-jari kaki
kanannya. "Sebenarnya, ke
mana-mana aku sela-
lu membawa kunyit...."
"Hmmm.... Kau jangan
mencari-cari alasan,
Kek! Kau telah mempermainkan
aku. Oleh karena
itu, aku akan...."
"Uts! Dengar dulu
penjelasanku, Tuan Mu-
da," potong Peramal Buntung
yang melihat Pen-
gemis Binal naik darah.
"Cairan kuning yang
Tuan Muda minum adalah air putih
biasa yang
telah kucampur dengan air
perasan kunyit!"
"Sungguhkah itu?"
"Ya!"
"Tapi, kenapa rasanya kok
seperti...."
"He he he.... Aku memeras
kunyit dengan
jari-jari kaki, sementara tak
ada waktu untuk
mencuci kaki terlebih
dahulu..."
"Uh! Pantasan! Uk...!
Uk..!"
Pengemis Binal membungkuk seraya
mem-
buka mulut lebar-lebar, namun
tak ada lagi yang
dapat dimuntahkan karena isi
perutnya telah ter-
kuras habis. Sementara, dari
tengah-tengah Pu-
lau Penyu yang baru saja
ditinggalkan oleh Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung,
terus menge-
pulkan asap tebal. Agaknya,
istana Bidadari Pu-
lau Penyu yang diberi nama Graha
Kenikmatan
akan segera musnah termakan si
jago merah.
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung ter-
kesiap ketika telinga mereka
menangkap suara lo-
longan serigala. Semakin lama
semakin terdengar
jelas. Hingga, memaksa Pengemis
Binal dan Pe-
ramal Buntung untuk meningkatkan
kewaspa-
daan.
"Aneh! Kenapa di sore hari
seperti ini ada
serigala melolong? Dan
tampaknya, serigala itu
tengah menuju kemari...,"
kata hati Suropati.
Remaja tampan yang sering
berperilaku
konyol ini membelalakkan mata
lebar-lebar ketika
melihat seekor anjing hitam yang
tampak sangat
buas dan memiliki keanehan.
Tubuh anjing itu
hampir sebesar kuda. Sambil berjalan,
moncong-
nya terus mengeluarkan suara
lolongan. Lebih
aneh lagi, di punggung anjing
besar itu duduk
seorang wanita gemuk bundar
mengenakan pa-
kaian serba putih. Rupa si
wanita tak seberapa
sedap dipandang mata. Pipinya
tembam, hidung-
nya pesek, dan bibirnya tebal berwarna hitam,
serta berkepala gundul tanpa
sehelai rambut pun!
"Putri Impian...,"
desis Pengemis Binal.
"Tuan Muda kenal dengan
wanita itu?"
tanya Peramal Buntung.
Suropati mengangguk. "Dia
salah seorang
penghuni Istana Langit yang
mempunyai kedudu-
kan sebagai Ratu Istana
Dalam."
Peramal Buntung tak melanjutkan
perta-
nyaannya karena langkah kaki
anjing besar yang
membawa wanita gundul telah
mendekat.
"Hus! Diamlah Sona
Langit!" seru wanita
gundul yang memang Putri Impian
atau Ratu Is-
tana Dalam. Lolongan anjing yang
ditungganginya
langsung berhenti.
"Ratu...," sapa
Pengemis Binal.
Putri Impian tersenyum ramah.
Tanpa tu-
run dari hewan tunggangannya
yang bernama
Sona Langit, dia, berkata,
"Sengaja aku datang
menemuimu, Tuan Muda. Karena,
ada sesuatu
yang hendak
kusampaikan...."
Bola mata Putri Impian bergerak
ke kiri,
melirik ke arah Peramal Buntung.
Pengemis Binal
dapat menangkap isyarat itu.
Dengan badan sedi-
kit dibungkukkan, Pengemis Binal berkata,
"Ka-
kek ini adalah Peramal Buntung.
Dia sahabat
baikku di Negeri Pasir Luhur
ini."
"Oh! Syukurlah kalau dia
memang sahabat
baik Tuan Suropati. Hingga,
bolehlah dia turut
mendengar apa yang akan
kusampaikan kepada-
mu, Tuan Muda Suropati...,"
sahut Putri Impian
yang tampaknya sangat
berhati-hati.
"Bila memang keberadaanku
hanya akan
mengganggu, aku yang buruk rupa
ini memang
harus tahu diri...," sahut
Peramal Buntung.
"Jangan! Kau jangan pergi,
Pak Tua!" cegah
Putri Impian waktu melihat Peramal Buntung
hendak meninggalkan tempat.
"Tuan Suropati te-
lah mengatakan bila kau adalah
sahabatnya. Be-
rarti, kita berada di pihak yang
sama."
Usai berkata, Putri Impian
menatap wajah
Suropati. Sementara, Peramal
Buntung pun tak
jadi meninggalkan tempat.
"Tuan Suropati...,"
sebut Putri Impian.
"Masih ingatkan Tuan kepada
kesanggupan Tuan
untuk membantu mengatasi kemelut
di Istana
Langit?"
"Tentu saja aku masih
ingat, Aku tak
mungkin melupakan janji yang
pernah kuu-
capkan," sahut Pengemis
Binal.
Putri Impian tersenyum. Setelah
menarik
napas panjang, dia berkata,
"Saat ini, semua
penghuni Istana Langit telah
kuungsikan di suatu
tempat yang aman. Mereka tak
mungkin tinggal
terus di Istana Langit karena
bahaya selalu da-
tang dari utusan Siluman
Ragakaca yang memin-
ta gadis persembahan setiap
hari...."
"Lalu?" desak
Suropati.
"Dari tempat persembunyian
para penghu-
ni Istana Langit, diam-diam aku
melakukan pe-
nyelidikan. Kekuatan gaib yang
membentengi Pe-
sanggrahan Pelangi dapat
ditembus oleh seseo-
rang yang mempunyai darah
raja...."
"Apa hubungannya dengan
diriku?"
"Tuan Suropati jangan
terlalu merendah.
Aku tahu bila Tuan Suropati
adalah putra Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit..."
Terkejut Pengemis Binal
mendengar kata-
kata Putri Impian. Jatidirinya
telah ketahuan wa-
lau dia tak pernah mengatakan
kepada siapa pun.
Yang tahu dirinya putra Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit hanyalah
orang-orang tertentu
yang mempunyai jabatan tinggi di
Negeri Pasir
Luhur.
Peramal Buntung terkejut pula.
Tak pernah
dia sangka bila Suropati yang
selalu mengenakan
pakaian putih penuh tambalan itu
adalah putra
seorang raja. Tapi di balik
keterkejutannya, segera
timbul rasa bangga dan berbesar
hati. Tak salah
bila dirinya bersedia menjadi
budak pengiring pu-
tra Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, raja Pa-
sir Luhur, penguasa negeri
tempatnya berpijak
sekarang ini.
"Dari mana Ratu tahu kalau
aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit?" tanya
Pengemis Binal, terbawa rasa
penasaran.
"Kakakmu, Anggraini
Sulistya, yang men-
gatakan...," jawab Putri
Impian, kalem.
"Anggraini Sulistya?"
"Ya. Gadis yang telah dipersunting oleh si
Pendekar Kipas Terbang Raka
Maruta itulah yang
mengatakan kepadaku bahwa kau
adalah putra
penguasa Negeri Pasir Luhur ini,
Tuan Suropati.
Ketahuilah, aku yang rendah ini
bisa dikatakan
sahabat baik Anggraini Sulistya
yang bergelar Pu-
tri Cahaya Sakti."
Pengemis Binal mengangguk-angguk
se-
raya menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
"Terlepas dari semua
itu," lanjut Putri Im-
pian, "Aku mengharap dengan
sepenuh hati agar
Tuan Suropati bersedia pergi ke
Pesanggrahan Pe-
langi sekarang juga. Ambillah sebuah
benda pu-
saka berupa Kodok Emas. Karena,
di situlah letak
kelemahan Siluman
Ragakaca."
Pengemis Binal menggaruk
kepalanya ma-
kin keras. "Aku ke
Pesanggrahan Pelangi? Seka-
rang?" tanyanya,
ketolol-tololan.
"Ya. Selagi ada kesempatan
bagus. Saat ini,
Siluman Ragakaca telah
memerintahkan orang-
orangnya untuk menjalankan tugas
masing-
masing...."
"Tapi, bagaimana caraku
untuk dapat pergi
ke sana, sementara letaknya saja
aku tak tahu?"
"Lho, bukankah Tuan
Suropati membawa
Mustika Batu Merpati? Dengan
batu mustika itu,
Tuan Suropati dapat pergi ke
mana saja."
Plok! Plok!
Mendadak, Suropati menggaplok
kepalanya
sendiri dua kali. "Bebal
benar otakku ini! Kenapa
aku jadi sangat pelupa
begini?!" rutuknya kepada
diri sendiri karena teringat
Mustika Batu Merpati
yang lupa dimintanya kembali
dari tangan Bida-
dari Pulau Penyu.
Melihat perbuatan Pengemis Binal
yang
tampak konyol, Putri Impian
mengerutkan ken-
ing. "Ada apa, Tuan
Suropati? Apakah Mustika
Batu Merpati hilang?"
Karena merasa bersalah, Suropati
tak be-
rani membalas tatapan Putri
Impian. Dengan sua-
ra berat dan bergetar, dia
berkata, "Batu ajaib
pemberian Ratu itu tidak hilang,
hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
desak Putri Impian yang
mulai digeluti rasa khawatir.
Bagaimana tidak?
Mustika Batu Merpati adalah
sarana satu-
satunya untuk dapat menembus
Pesanggrahan
Pelangi. Kalau sampai batu ajaib
itu hilang, maka
sampai kapan pun kemelut di
Istana Langit tak
akan dapat diatasi. Dan, Siluman
Ragakaca pun
akan seterusnya mengumbar nafsu
jahat.
"Sekarang ini, Mustika Batu
Merpati diba-
wa oleh Bidadari Pulau
Penyu," beri tahu Penge-
mis Binal kemudian.
Putri Impian
melonjak kaget bagai disam-
bar geledak di siang bolong.
Tanpa sadar dia me-
loncat dari punggung Sona
Langit. "Bidadari Pu-
lau Penyu...," desisnya,
setengah tak percaya. Pu-
tri Impian tahu, benar bila
Bidadari Pulau Penyu
adalah salah seorang dari
kaki-tangan Siluman
Ragakaca yang dipercaya untuk
menduduki jaba-
tan sebagai Duta Selatan.
"Jangan berprasangka buruk
dulu, Ratu,"
ujar Pengemis Binal yang dapat
menebak isi hati
Putri Impian. "Aku juga
tahu bila Bidadari Pulau
Penyu punya kebiasaan dan
perangai tak terpuji.
Tapi aku yakin...,
sejahat-jahatnya Bidadari Pulau
Penyu, dia tak memiliki nafsu
rendah untuk me-
miliki Mustika Batu
Merpati."
"Bagaimana Tuan Suropati
bisa berkata
seperti itu?" tanya Putri
Impian, menyelidik.
Pengemis Binal menarik napas
panjang, la-
lu menceritakan peristiwa
hilangnya Mustika Ba-
tu Merpati di tempat
kediaman Sepasang Racun
Api. (Baca dalam episode: "Sepasang Racun
Api").
Tak lupa, Pengemis Binal juga
menceritakan pe-
ristiwa di Graha Kenikmatan
termasuk kedatan-
gan Iblis Mata Satu di istana
milik Bidadari Pulau
Penyu itu.
Putri Impian mendengarkan cerita
Suropati
dengan kening berkerut rapat.
Peramal Buntung
turut mendengarkan tanpa ada
satu kata pun
yang lepas dari pendengarannya.
Peramal Bun-
tung jadi tahu kenapa si
Pengemis Binal Suropati
mengajaknya mencari Bidadari
Pulau Penyu. Ki-
ranya, Suropati hendak meminta
Mustika Batu
Merpati yang dilarikan wanita
bertubuh sintal itu.
"Walau Iblis Mata Satu
telah membakar
Graha Kenikmatan, tapi aku yakin
bila Bidadari
Pulau Penyu akan dapat
menyelamatkan diri. Ka-
lau sudah sampai waktunya, dia
pasti mencariku
untuk mengembalikan Mustika Batu
Merpati,"
ujar Pengemis Binal, menutup
ceritanya.
"Tidak!" kepala Putri
Impian menggeleng-
geleng. Air mukanya terlihat
amat keruh. Semen-
tara, anjing besar
tunggangannya, Sona Langit,
melolong panjang. Satwa berbulu
hitam pekat itu
seakan dapat merasakan
kegundahan hati tuan-
nya,
"Apanya yang tidak,
Ratu?" tanya Pengemis
Binal, tak mengerti,
"Jalan pikiranmu terlalu
sederhana Tuan
Suropati...," ujar Putri
Impian, tanpa maksud me-
remehkan Pengemis Binal.
"Maksud Ratu?"
"Aku menduga bila apa yang
dilakukan Bi-
dadari Pulau Penyu hanyalah tipu
muslihat bela-
ka. Dia pura-pura hendak
menentang Siluman
Ragakaca, padahal dia tengah
menjalankan se-
buah siasat yang sangat
licik!"
"Aku tak mengerti apa yang
Ratu kata-
kan...."
"Iblis Mata Satu datang dan
membakar
Graha Kenikmatan adalah sudah
satu dari renca-
na yang telah disusun oleh
wanita bejat itu! Kalau
dia tidak punya akal bulus,
kenapa Mustika Batu
Merpati tidak langsung
diserahkan kepadamu,
Tuan Suropati?"
"Sudah kukatakan bila
Bidadari Pulau
Penyu melarikan Mustika Batu
Merpati adalah
sebagai usaha agar aku bersedia
membantunya
untuk melawan Siluman
Ragakaca."
"Tak masuk akal!" seru
Putri Impian, pe-
nuh keyakinan. "Kalau dia
bermaksud meminta
bantuanmu, kenapa dia tidak
langsung mengata-
kannya? Kenapa mesti melakukan
tindakan licik,
melarikan Mustika Batu Merpati
untuk memanc-
ing kedatanganmu ke Pulau Penyu?
Kenapa pula
dia mesti meracunimu? Padahal,
jika dia lang-
sung mengatakan keinginannya,
bukankah kau
pasti akan menyetujui, Tuan
Suropati? Lagi pula,
Bidadari Pulau Penyu telah tahu
bila Tuan Suro-
pati telah membunuh Sepasang
Racun Api yang
tak lain kaki-tangan Siluman
Ragakaca juga. Dia
pasti telah diberi tahu oleh
Siluman Ragakaca bila
Tuan Suropati berpihak pada
Istana Langit dan
memusuhi Pesanggrahan Pelangi.
Dengan kedua
alasan itu, kenapa Bidadari
Pulau Penyu mesti
memancing kedatangan Tuan
Suropati ke Pulau
Penyu untuk sekadar menyampaikan
sebuah
keinginan yang pasti Tuan
Suropati setujui?"
Pengemis Binal diam membisu.
Mendengar
penjelasan Putri Impian yang
begitu panjang, re-
maja tampan ini semakin
menyadari kesalahan-
nya. Tapi, hatinya masih
diliputi tanda tanya ju-
ga. Benarkah Bidadari Pulau
Penyu telah meni-
punya? Dan, apa maksud wanita
itu sebenarnya?
Kenapa dia merelakan istananya
dibakar habis
oleh Iblis Mata Satu?
Selagi Pengemis Binal larut
dalam pikiran
di benaknya, Putri Impian
meloncat ke punggung
Sona Langit.
"Karena kesalahan ini tidak
Tuan Suropati
sengaja, aku bisa memaklumi.
Sekarang, aku
mohon diri. Aku harus mencari
Bidadari Pulau
Penyu. Aku harus mendapatkan
kembali Mustika
Batu Merpati. Kemelut di Istana
Langit harus se-
gera diatasi. Ratu Tertinggi
tidak boleh terlalu la-
ma berada dalam sekapan Siluman
Ragakaca ke-
parat!"
Usai mengucapkan
kalimat yang cukup
panjang, Putri Impian menepuk leher
Sona Lan-
git. Anjing besar itu langsung
melolong tinggi se-
raya menggeprak kaki untuk
kemudian berkele-
bat lenyap.
* * *
Sementara, mentari telah
tenggelam di kaki
langit barat. Senja pun telah
pergi digantikan ge-
lap malam. Untunglah rembulan
mampu membe-
rikan cahaya temaram, hingga
gelap tak begitu
berkuasa...
"Suropati keparat! Hari ini
kau akan segera
menerima kematianmu!"
Terdengar sebuah teriakan keras
mengge-
legar.
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung ter-
kejut tiada terkira. Ketika
mengarahkan pandan-
gan ke asal suara, di bawah
keremangan malam,
mereka melihat seorang kakek
berjubah merah
tengah berdiri menantang dengan
dengus napas
memburu.
"Raja Angin Barat...!"
desis Pengemis Binal
dan Peramal Buntung bersamaan.
"Ya! Aku memang Raja Angin
Barat!" sahut
kakek berjubah merah. "Kau
minggirlah, Peramal
Buntung! Aku akan menyelesaikan
urusanku
dengan bocah gemblung ini!"
"Sahabatku Raja Angin
Barat...," sebut Pe-
ramal Buntung, merendah.
"Ada apakah gerangan
hingga kau datang membawa luapan
amarah se-
perti ini?"
"Aku tak butuh bertutur
kata denganmu!"
bentak kakek berjubah merah yang
memang Raja
Angin Barat. "Memandang
mukamu sebagai tokoh
tua yang pernah menjalin
persahabatan dengan-
ku, aku sarankan agar kau
menyingkir secepat-
nya!"
Peramal Buntung geleng-geleng
kepala
mendengar ucapan kasar Raja
Angin Barat. Se-
mentara, jantung Pengemis Binal
berdegup lebih
kencang terbawa suasana hatinya
yang tegang.
Pengemis Binal ingat cerita
Bidadari Pulau Penyu.
Putri Raja Angin Barat yang
bernama Narita bera-
da dalam sekapan Siluman
Ragakaca. Dan demi
keselamatan Narita, Raja Angin
Barat harus me-
nuruti kemauan penguasa
Pesanggrahan Pelangi
itu. Pengemis Binal sadar bila
kedatangan Raja
Angin Barat tentu untuk
membunuhnya!
"Hmmm... Jika kau merasa
sebagai tokoh
tua yang tentunya lebih malang
pengalaman, se-
harusnya kau dapat menahan diri,
sahabatku Ra-
ja Angin Barat...," ujar
Peramal Buntung. "Aku
yakin, hati yang tidak terbakar hawa
amarah dan
pikiran yang jernih akan dapat
menyelesaikan
persoalan."
"Kau keliru, Peramal
Buntung!" sahut Raja
Angin Barat, suaranya tetap
keras membentak.
"Persoalanku dengan
Suropati tidak cukup hanya
dipikirkan saja. Tindakanlah
yang diperlukan.
Dan, persoalan itu akan selesai
setelah Suropati
menyerahkan nyawanya!"
"Tahan amarahmu dulu!"
cegah Peramal
Buntung waktu melihat Raja Angin
Barat bersiap
diri untuk mengeluarkan ilmu
kesaktiannya yang
terdahsyat.
"Aku tak butuh kata-kata
darimu! Kalau
kau tidak mau terkena getahnya,
segeralah me-
nyingkir!" usir Raja Angin
Barat.
"Pak Tua..., kau boleh
membunuhku kalau
memang aku salah," sahut
Pengemis Binal. "Tapi,
tidakkah kau berpikir dulu bila
tindakanmu ini
hanya akan membuat Siluman
Ragakaca berpesta
kemenangan? Apakah kau yakin
setelah berhasil
membunuhku, Narita akan
dibebaskan oleh Si-
luman Ragakaca? Apakah kau tidak
merasa telah
menjadi alat untuk melakukan
tindak kejahatan,
Pak Tua?"
Mendengar kalimat Pengemis
Binal, Raja
Angin Barat kontan terdiam.
Keraguan meliputi
hatinya. Bagaimanapun, Siluman
Ragakaca ada-
lah tokoh jahat yang sulit
dipegang kata-katanya.
Andai Suropati telah terbunuh,
tak ada jaminan
bila Narita akan
dibebaskan!
"Narita...," desah
Raja Angin Barat kemu-
dian. Parasnya mengelam. Hawa
amarahnya sirna
berganti duka.
"Narita...," desahnya lagi, menye-
but nama putri tinggalnya
Pengemis Binal dan Peramal
Buntung sa-
ma-sama menarik napas panjang.
Mereka tahu
bila Raja Angin Barat menyimpan
beban batin
yang amat berat, Mereka ingin
membantu merin-
gankan beban batin itu, tapi
bagaimana caranya?
Haruskah menunggu sampai Sang
Penguasa
Tunggal menunjukkan jalan
terang?
"Uh! Aku bisa gila
memikirkan rentetan
masalah yang tak pernah ada
habisnya ini!" sun-
gut Suropati sambil menggaplok
kepalanya sendi-
ri beberapa kali.
SELESAI
Segera menyusul episode:
RAHASIA SILUMAN RAGAKACA
txt oleh :
http//www.mardias.mywapblog.com
Emoticon