4
"Dinda Aini..., kulihat sinar
matamu redup. Raut wajahmu pun
tampak
kuyu. Apa gerangan yang tengah
kau
pikirkan.,..?" Ujar seorang
pemuda
berwajah tampan dan lembut Nada
suaranya
terdengar penuh perhatian dan
kasih
sayang.
Wanita cantik berpakaian sutera
putih menatap sejenak wajah si
pemuda."
Dihelanya napas panjang, lalu
tatapannya
kembali tertuju pada hamparan
tanah luas
berbatu-batu. Hembusan angin
mempermainkan sebagian anak-anak
rambutnya yang digelung ke atas.
Jari-jari tangan si pemuda
menyentuh bahu kanan wanita cantik
yang
berdiri rnembelakanginya. Si
wanita diam
saja. Tak ada tanggapan. Matanya
menerawang jauh. Jauh sekali.
Sementara,
mentari di langit timur mulai
merayap
naik untuk segera menduduki
takhta raja
siang.
"Dinda Aini...," sebut
si pemuda
dengan desah napas yang
mencerminkan
cinta: "Pagi-pagi sekali
kau mengajakku
ketempat ini. Namun, aku jadi
heran dan
sungguh tak habis mengerti. Kau
mengajak
dengan sejuta pengharapan, tapi
setelah
sampai di sini, kau diam
membisu. Aku
tahu ada perasaan tak enak yang
mengganggu jalan
pikiranmu...," pemuda
berpakaian putih kuning ini
menarik
napas dalam seraya melingkarkan
lengan
kanannya di bahu si wanita.
Dengan ucapan
lembut dan penuh kasih, dia
melanjutkan
kalimatnya.
"Dinda Aini...., apa pun
yang
membuat hatimu gundah, ada
baiknya bila
kau sampaikan kepadaku. Bukankah
aku
adalah bagian dari hidupmu?
Sebagai
seorang suami yang baik, aku tak
ingin
melihat istriku tercinta
dirundung
lara...."
Wanita cantik yang tak lain dari
Anggraini Sulistya atau Putri
Cahaya
Sakti menatap lagi wajah tampan
si
pemuda. Perlahan dia jatuhkan
tubuhnya
dalam pelukan si pemuda.
"Kanda
Maruta...." .
"Ya. Dindaku
sayang...."
"Saka Purdianta dan Kusuma
baru saja
mengirim undangan kepada
kita,.."
"Ya. Mereka akan menikah
pada hari
kesepuluh purnama ketujuh nanti.
Jika
dihitung mulai hari ini, hari
yang paling
membahagiakan bagi mereka itu
akan jatuh
tepat empat belas hari lagi. Kupikir
tidak ada yang patut kau
risaukan Dinda
Aini...."
"Aku tidak sedang merisaukan
mereka, Kanda Maruta. Aku hanya
berpikir, mungkinkah si Pengemis
Binal
Suropati akan datang ke
Katumenggungan
Lemah Abang untuk menghadiri
pesta
pernikahan kedua sahabatnya
itu?"
"Oh..., aku tahu sekarang.
Rupanya,
kau tengah merindukan adik
kandungmu
itu,"
Anggraini Sulistya tak menyahuti
ucapan si pemuda. Dia benamkan
wajahnya
di dada suaminya itu, yang tak
lain dari
Raka Maruta alias Pendekar Kipas
Terbang.
"Dinda Aini..., bila aku
duduk diam
seorang diri, kadang-kadang aku
merasa
heran memikirkan beberapa
sikapmu yang
tampak aneh. Satu misal apa yang
kau
tunjukkan kali ini. Kalau hanya
rindu
kepada seorang adik saja, kenapa
kau
terlihat begitu gundah dan
risau?
Sepertinya, kau tengah memikirkan
suatu
tanggung jawab yang amat
berat..." .
Anggraini Sulistya melepas
pelukan
suaminya. "Kanda Maruta...,
aku tahu kau
sangat memperhatikan aku. Aku
tahu kau
mencintaiku dengan penuh
ketulusan hati.
Tapi maafkan aku Kanda. Bukan
maksudku
untuk mengajakmu bersedih pilu
seperti
ini...."
"Aku tak tahu apa yang kau
maksud,
Dinda” sahut Raka Maruta.
"Tak perlu kau
menyalahkan dirimu sendiri.
Sungguh aku
bisa merasakan apa yang
tengah kau
rasakan sekarang ini. Namun
kukira, rasa
rindumu terhadap Suropati tidak
perlu
kau lebih-lebihkan sedemikian
rupa, yang
pada akhimya nanti akan membuat
hatimu
benar-benar jadi sedih....”
"Entahlah...Aku sendiri tak
mengerti, kenapa perasaanku bisa
jadi
seperti ini? Mungkinkah karena
sejak
bayi aku tak pernah bertemu
dengan adik
kandungku itu? Ketika bertemu
pun cuma
dalam waktu singkat. Mungkinkah
karena
Suropati adalah pewaris takhta
Pasir
Luhur, sehingga aku sangat
mengkhawatirkan
keselamatannya?"
"Ya. Ya, aku bisa mengerti
kekhawatiranmu, Dinda Aini. Aku
tahu
benar sifat dan tabiat pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu.
Walau berjiwa pendekar sejati,
tapi dia
sering kali tak sadar akan
akibat dari
perbuatannya sendiri. Kalau sudah
menolong orang, maka apa pun akan
dilakukannya, tak peduli
nyawanya jadi
terancam. Namun..., kuharap kau
tidak
terlalu memendam kekhawatiran,
Dinda
Aini. Yakinlah bahwa mati hidup
manusia
itu ada di tangan Tuhan. Kalau
Tuhan
belum berkehendak, dalam bahaya
sehebat
apa pun, seseorang tentu akan
dapat
menyelamatkan diri...."
Sampai di sini percakapan
terhenti.
Raka Maruta merengkuh bahu
Anggraini
Sulistya yang sangat
dicintainya. Suami
istri yang berbahagia ini
sama-sama
menatap hamparan tanah luas di
hadapan
mereka. Cahaya mentari tak
begitu
menyengat karena tiupan angin
membawa
kesejukan.. Beberapa kali Raka
Maruta
menciumi kening dan pipi
istrinya penuh
kasih. Anggraini Sulistya pun
menerimanya dengan hati penuh
kasih
pula.
Sesaat kemudian, Anggraini
Sulistya
terlihat berlari-lari di antara
bongkahan batu. Raka Maruta
mengejar.
Dan, mereka tertawa bersama-sama
sebagai
ungkapan kebahagiaan. Sejenak,
Anggraini Sulistya lupa akan
rasa
rindunya kepada si Pengemis
Binal
Suropati adik kandungnya.
"Dinda Aini! Kau
jangan naik ke
situ!" seru Raka Maruta
ketika melihat
istrinya meloncat ke atas
tumpukan
bongkah batu yang menjulang
cukup
tinggi”.
"Jangan khawatir, Kanda!
Aku hanya
ingin melihat kekejauhan tanpa
ada
sesuatu yang menghalangi!"
sahut
Anggraini Sulistyq.
Mendengar kata-kata istrinya,
Raka
Maruta sadar bila rasa
khawatirnya
memang tidak beralasan. Kalau
hanya naik
ke tumpukan batu, Anggraini
Sulistya
yang bergelar Putri Cahaya Sakti
tidak
mungkin akan mendapat celaka.
Tapi, rasa
cinta memang sering kali
mendatangkan
kekhawatiran yang tak beralasan.
Sementara Raka Maruta menunggu
di
bawah, Anggraini Sulistya tampak
mengarahkan, pandangan ke utara.
Di sana
terlihat sebuah gunung yang
dipagari
beberapa bukit. Gumpalan awan yang
menyelimuti puncak gunung
terlihat bagai
kapas putih yang melekat pada
sebentuk
tanah kerucut berwarna biru.
Hingga
beberapa lama, Anggraini
Sulistya
menikmati pemandangan yang cukup
mempesona itu.
"Dinda Aini...!"
teriak Raka
Maruta. "Karena kita pergi
tanpa
berpamitan, kita harus segera
kembali ke
istana. Jangan sampai Ayahanda
Prabu
jadi gelisah...."
Yang disebut Raka Maruta sebagai
'ayahanda prabu' adalah adalah
Prabu
Singgalang Manjunjung Langit,
penguasa
Kerajaan Pasir Luhur, yang tak
lain dari
ayah kandung Anggraini Sulistya.
"Sebentar Kanda...," tolak Putri
Cahaya Sakti.
Kening Pendekar Kipas Terbang
berkerut melihat Anggraini
Sulistya
berjongkok di atas tumpukan
batu.
Sikapnya seperti tengah
mempertajam
pendengaran.
"Kau sedang apa, Dinda?
Sebelum
mentari naik tepat di atas
kepala, kita
harus sudah berada di
istana," seru Raka
Maruta, mengingatkan.
Anggraini Sulistya tak begitu
memperhatikan ucapan suaminya.
Tatapan
matanya tertuju ke sela-sela
bongkahan
batu yang dipijaknya. Ada
sesuatu yang
menarik perhatian putri Prabu
Singgalang
Manjunjung Langit ini.
"Kau sedang
apa,.Dinda?" Pendekar
Kipas Terbang mengulang
pertanyaannya.
"Aku merasakan tumpukan
batu yang
kupijak ini bergerak-gerak.
Aku juga
mendengar suara lenguh
kesakitan...,”
Beritahu Putri Cahaya Sakti.
"Kemungkinan besar ada
manusia, atau
makhluk hidup lainnya yang
tertimbun...."
Kerut di kening Raka Maruta
bertambah rapat. Setelah
menimbang
sejenak, pemuda berwajah lembut
ini
menjejak tanah. Ringan sekali
tubuhnya
melayang setinggi lima tombak, lalu
mendarat di sisi kiri Anggraini
Sulistya.
Putri Cahaya Sakti menatap
sekilas
wajah suaminya. Wanita muda yang
berumur
dua puluh tahunan ini segera
mendekatkan
telinganya ke sela-sela
bongkahan batu.
"Suara lenguh kesakitan itu
kudengar lebih jelas...,"
ujar Anggraini
Sulistya.
Melihat kesungguhan istrinya,
Raka
Maruta turut mendekatkan
telinganya ke
sela-sela bongkahan batu. Tak
seberapa
lama kemudian, berubah keruh.
Dia juga
mendengar apa yang didengar
istrinya.
Suara lenguh kesakitan!
Sebenarnya, suara itu pelan
sekali
dan nyaris tak dapat ditangkap
indera
pendengaran. Tapi karena
Anggraini
Sulistya dan Raka Maruta
mempunyai ilmu
kepandaian cukup tinggi, maka
suara yang
timbul dari sela-sela bongkah batu itu
dapat mereka dengar.
"Kanda Maruta, apakah kau
juga
merasakan getaran-getaran aneh
ini...?"
tanya Anggraini Sulistya menunjuk
bongkahan batu yang dipijaknya.
"Ya. Aku juga merasakannya.
Benar
dugaanmu, ada makhluk hidup yang
tertimbun di tumpukan batu ini.
Sebaiknya kita turun,
Dinda...."
Di ujung kalimatnya, Pendekar
Kipas
Terbang meloncat turun. Bergegas
Putri
Cahaya Sakti mengikuti. Dengan
berdiri
berdampingan, suami-istri ini
memandang
nanar bongkahan batu yang
menumpuk di
hadapan mereka.”
"Kau menyingkirlah dulu,
Dinda...,"
ujar Raka Maruta kemudian seraya
mengeluarkan sebuah kipas baja
dari
balik bajunya.
Begitu Putri Cahaya Sakri
melangkah
mundur dua tindak, Raka Maruta
menarik
napas panjang. Dia salurkan
kekuatan
tenaga dalam ke batang
kipas,yang telah
dikembangkannya. Lalu....
"Hiahhh...!"
Wusss...!
Raka Maruta memekik nyaring.
Kipas
baja di tangan kanannya
berkelebat,
membersitkan cahaya putih
berkeredepan.
Dalam sekejab tumpukan batu
setinggi
lima tombak tampak berhamburan.
Melayang
jauh, dan memperdengarkan suara
gemuruh
keras ketika mendarat ke
permukaan
tanah.
"Astaga...!" pekik
Pendekar Kipas
Terbang.
Putri Cahaya Sakti turut memekik
kaget. Dengan mata terbelalak,
Putri
Raja Pasir Luhur ini melompat ke
sisi
kiri Raka Maruta.
Di bawah tumpukan batu yang
telah
diruntuhkan oleh Pendekar Kipas
Terbang,
terlihat seekor anjing berbulu
hitam
tengah terbaring telungkup di
dalam
kubangan. Tubuh anjing itu
nyaris
sebesar kuda. Sona Langit!
Sejenak. Raka Maruta dan
Anggraini
Sulistya saling pandang. Lalu,
menatap
Sona Langit dengan perasaan
heran
bercampur ngeri. Seumur hidup,
suami-istri ini belum pernah
melihat
anjing sebesar itu. Sampai
beberapa saat
lamanya, mereka tak tahu apa
yang harus
dilakukan. Sementara, tubuh Sona
Langit
mulai bergerak-gerak. Ekornya
mengibas
ke kanan kiri. Setelah
mendengking
panjang, keempat kakinya tampak
merayap
bangkit.
"Huuung...!"
Luar biasa! Dengan kepala tegak
ke
atas, moncong Sona Langit
mengeluarkan
lolongan keras. Satwa piaraan
Putri
Impian ini sama sekali tak
menunjukkan
sikap bahwa dia tengah menderita
luka.
Tak terdapat luka gores sedikit
pun di
kulit tubuhnya. Padahal, dia
baru saja
tertimbun bongkahan batu
sedemikian
banyaknya. Hanya saja, gerakan
tubuhnya
tampak lemah. Kemungkinan karena
tenaganya telah terkuras.
"Hmmm.... Anjing ini tampak
aneh dan
memiliki daya tahan luar biasa.
Dia pasti
piaraan seseorang yang berilmu
tinggi,"
pikir Pendekar Kipas Terbang.
"Tapi,
dimanakah tuannya? Dan bagaimana
anjing
besar itu bisa tertimbun
bongkahan batu?
Mungkinkah ada seseorang yang
bermaksud
membunuhnya?"
Anggraini Sulistya memegangi
lengan
Raka Maruta ketika melihat Sona
Langit
membalikkan tubuh dan
mengerahkan
pandangan ke arahnya. Melihat
tubuh
besar Sona Langit, Anggraini
Sulistya
bukannya takut, melainkan
menjaga
kewaspadaan. Bagaimanapun, Sona
Langit
adalah binatang buas, yang
sewaktu-waktu
bisa menyerang siapa saja. Namun
tampaknya, Sona Langit tak
menunjukkan
sikap garang. Dia mampu
menunjukkan
tatapan mata yang teduh dan
bersahabat
Sona Langit tahu bila dua orang
anak
manusia yang tengah berdiri di
hadapahnya adalah dewa-dewi
penolongnya. Maka, tidak ada
alasan
baginya untuk menyerang walau
hatinya
masih diliputi hawa amarah.
Amarah yapg
ditujukan kepada Hakim Neraka
yang
membuat tubuhnya terlontar dua
kali,
bahkan menimbunnya dengan
bongkahan batu
setinggi lima tombak. Sona
Langit yang
punya naluri tajam, dapat
membedakan
mana orang baik dan mana orang
jahat.
Tampak kemudian, Sona Langit
merundukkan tubuhnya ke tanah.
Dengan
dua kaki depan ditekuk, anjing
besar
berbulu hitam legam ini
membenturkan
jidatnya tiga kali ke tanah.
Gerakannya
seperti orang bersujud untuk
menghaturkan sembah kepada raja.
Raka Maruta dan istrinya saling
pandang. Mereka heran melihat
cara Sona
Langit menyampaikan ungkapan
terima
kasih yang sepertinya sangat
tahu
peradatan walau dia sebenamya
hanyalah
seekor binatang.
"Huiiing...!"
Sona Langit mendengkirig seraya
menegakkan tubuh kembali.
Ekornya
digerak-gerakkan ke kiri,
Kepalanya juga
digerak-gerakkan ke kiri.
"Kanda, tampaknya anjing
itu tengah
menyampaikan ajakan kepada
kita," cetus
Anggraini Sulistya.
“Aku tahu, tapi kita harus
segera
kembali ke istana. Aku tak ingin
membuat
risau pikiran Ayahanda
Prabu...," sahut
Raka Maruta.
"Ah! Aku sangat tertarik untuk
menuruti ajakan anjing besar
itu.
Tampaknya, dia ingin menunjukkan
sesuatu. Ayolah. Aku nanti yang
akan
memberi penjelasan kepada
Ayahanda
Prabu."
Selagi "Anggraini Sulistya
bicara,
Sona Langit mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya, satwa
piaraan Putri
Impian ini tengah memberi
dukungan. Dan
ketika melihat Raka Maruta cuma
diam, dia
lalu bersujud lagi seraya
membenturkan
jidatnya ke tanah beberapa kali.
Sikapnya seperti tengah
mengajukan
permintaan yang sangat penting.
"Baiklah. Kita ikuti
kemauan anjing
itu," cetus Pendekar Kipas
Terbang
kemudian.
"Huffing...!
Huffing...!"
Sona Langit mendengking dua kali
sebagai cetusan kegembiraannya.
Setelah
menggerakkan kepalanya ke kiri
yang
bermakna ajakan, dia lalu
berjalan
dengan langkah tegap dan pasti.
Raka
Maruta dan Anggraini Sulistya
segera
mengikuti.
Namun baru saja Sona Laftgit
berjalan dua tombak, tiba-tiba
satwa
bertaring runcing ini menoleh ke
belakang. Setelah menatap Raka
Maruta
dan Anggraini Sulistya, dia
gerakkan
kepalanya ke depan lagi.
"Anjing itu menginginkan
kita agar
tetap mengikutinya Kanda,"
ujar Putri
Cahaya Sakti.
Pendekar Kipas Terbang
mengangguk.
Mendadak, Sona Langit menjejak
tanah kuat-kuat. Di lain kejap,
tubuh
satwa piaraan Putri Impian ini
berkelebat cepat ke utara.
Lesatan
tubuhnya amat cepat. Berlipat
dua kali
bila dibanding dengan kecepatan lari
kuda!
"Mari kita ikuti,
Kanda!"
Sambil berseru, Anggraini
Sulistya
turut menjejak tanah. Tubuh
putri Prabu
Singgalang Maniunjung Langit ini
berkeiebat tak kalah cepat
berubah
menjadi bayangan putih yang
hampir tak
terlihat
Raka Maruta pun mengempos
tenaga,
berlari dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Maka
seekor anjing
dan dua anak manusia itu seperti
tengah
terlibat dalam pertunjukan ilmu
meringankan tubuh.
***
"Astaga...!"
Raka Maruta dan Anggraini
Sulistya
memekik bersamaan. Di bagian
lain tanah
luas berbatu-batu itu, mereka
melihat
Sona Langit menghentikan
kelebatan
tubuhnya di depan lempengan batu
sebesar
uang logam hijau. Tertimpa
cahaya
mentari, lempengan batu yang
tergeletak
di tanah itu memancarkan cahaya
hijau.
Anehnya, di tengah cahaya hijau
itu
sarhar-samar terlihat gambar dua
ekor
merpati putih yang saling
patuk.
"Huffing… !"
Sona Langit mendengking seraya
menberi isyarat kepada Raka
Maruta agar
memungut lempengan batu yang
tergeletak
di hadapannya.
Pendekar Kipas Terbang menarik
napas panjang berusaha menenangkan
hatinya yang berdebar-debar tak
karuan.
Dengan mata tak berkedip, pemuda
yang
berasal dari Negeri Saloka
Medang ini
melangkah lima tindak. Sejenak,
dia ragu
untuk memuncrat lempengan batu
yang
memancarkan cahaya hijau.
"Hmmm.... Jelas sekali-bila
lempengan batu yang tergeletak
di
hadapanku ini bukanlah batu
sembarangan.
Pasti sebuah batu mustika yang
memiliki
suatu kekuatan...," pikir
Raka Maruta.
"Tapi jika aku
menyentuhnya, apakah
kekuatan batu ini tidak akan
membuatku
celaka?"
Selagi Pendekar Kipas Terbang
tampak berpikir-pikir, hati
Anggraini
Sulistya turut berdebar-debar.
Pikiran
yang ada di benaknya sama persis
dengan
pikiran yang ada di benak Raka
Maruta.
Apakah lempengan batu mustika
yang
ditunjukkan oleh Sona Langit itu
tidak
mengandung kekuatan jahat?
"Huuungngng,..!"
Tiba-tiba, Sona Langit melolong
panjang. Ketika Raka Maruta
menoleh ke
arahnya, dia bersujud lagi.
Jidatnya pun
dibentur-benturkan ke permukaan
tanah.
"Sepertinya, anjing itu
tengah
memberitahukan bahwa dia sama
sekali tak
bermaksud buruk. Jika memang
demikian,
berarti lempengan batu mustika
ini tidak
mengandung kekuatan
jahat...," pikir
Pendekar Kipas Terbang.
Walau masih sedikit ragu,
akhirnya
Raka Maruta memberanikan diri
untuk
memungut lempengan batu mustika
yang
tergeletak di tanah. Raka Maruta
pun jadi
heran. Cahaya hijau yang di
tengahnya
terdapat gambar sepasang merpati
putih
tiba-tiba lenyap ketika
lempengan batu
mustika itu tersentuh tangannya.
"Batu ini terasa dingin dan
tampaknya memang tak mengandung
kekuatan
jahat..," guman Raka
Maruta. Lempengan
batu mustika telah berada di telapak
tangannya.
Terbawa rasa ingin tahunya,
Anggraini Sulistya meloncat,
lalu
mengambil batu mustika yang
berada di
telapak tangan suaminya.
Sampai beberapa saat, Anggraini
Sulistya tampak mengamat-amati.
Di
tengah lempengan batu sebesar
uang logam
hijau itu terdapat gambar
sepasang
merpati. Kening Anggraini
Sulistya
berkerut rapat, seperti sedang
mengingat-ingat sesuatu.
Sementara, Pendekar Kipas
Terbang
menatap wajah istrinya dengan
sejuta
tanda tanya. Beberapa kali Sona
Langit
mendengking sambil
mengibas-ngjbaskan
ekornya. Sepertinya, dia merasa
lega
setelah mengetahui lempengan
batu
mustika tidak keburu diambil
orang
jahat, dan kini berada ditangan
Anggraini Sulistya. . '
"Ya. Ya, aku ingat
sekarang....
Kalau tidak salah lempengan batu ini
bernama Mustika Batu
Merpati," ujar
Putri Cahaya Sakti lirih,
seperti
menggumam. "Aku pernah
mendengar riwayat
dan ceritanya dari Paman Lembu
Tal."
Anggraini Sulistya menyebut nama
salah seorang punggawa Pasir
Luhur yang
mempunyai, kedudukan sebagai
penasihat
raja. Lembu Tal adalah seorang
pertapa
yang turun gunung. Karena dia
memiliki
wawasan luas dan cukup arif
bijaksana,
maka Prabu Singgalang Manjunjung
Langit
yang telah lama mendengar
kebesaran
namanya, berkenan mengangkatnya
sebagai
penasihat raja. Pengangkatan itu
baru
saja dilakukan beberapa pumama
yang
lalu, setelah api pemberontakan
yang
disulut oleh I Halu Rakryan
Subandria
dari Tumenggung Sangga Percona
dapat
dipadamkan.
"Kau mengatakan apa,
Dinda?" tanya
Raka Maruta yang tak jelas
mendengar
ucapan istrinya.
"Paman Lembu Tal pernah
bercerita
kepadaku tentarig adanya sebuah
batu
mustika yang memiliki kekuatan
gaib luar
biasa. Batu itu bernama"
Mustika Batu
Merpati," jelas Putri
Cahaya Sakti.
"Kau pikir inikah Mustika
Batu
Merpati itu?"
"Menilik ciri-cirinya,
kukira
memang demikian."
Di ujung kalimat Putri Cahaya
Sakti,
mendadak timbul hembusan angin
bersiut.
Sesosok bayangan berkelebat
dibarengi
dengan kata-kata.... .
"Serahkan batu mustika itu
kepadaku!"
***
5
Hati si Pengemis Binal Suropati
benar-benar mendongkol karena
dirinya
berkali-kali disebut sebagai
'bocah
geblek'. Bahkan, si kakek
bertampang
buruk mengucapkan sebutan itu
dengan
nada yang sangat menghina. Maka
tak dapat
lagi Pengemis Binal menahan
diri. Dengan
mengalirkan kekuatan tenaga
dalam
sedemikian rupa ke kaki kanan,
dia
menggedruk lantai gua!
Blammm...!
Terdengar sebuah ledakan dahsyat
Permukaan gua terguncang keras.
Batu-batu kapur yang berserakan
terangkat, lalu berhamburan ke
arah
kakek berkaki pendek. Bukan
hanya itu,
bongkahan-bongkahan batu kapur yang
menempel di langit-langit gua
turut
menyerbu! Namun.... ,
"Ha ha ha...!"
Mengetahui dirinya
terancam bahaya, kakek ber-kaki
pendek
malah tertawa bergelak. Tapi
gelombang
suara tawanya benar-benar
memiliki
kekuatan maha dahsyat!
Suropati terbelalak karena
terkejut
Bongkahan-bongkahan batu kapur
saat
masih melayang di udara
tiba-tiba hancur
lebur menjadi debu putih yang
memenuhi
ruangan gua!
Sampai dua kejap mata, debu
putih
itu tetap melayang di udara.
Namun ketika
kakek berkaki pendek menghentikan
tawanya debu yang berasal dari
pecahan
batu kapur itu bergerak ke satu
tempat.
Terhisap dan masuk ke mulut
kakek berkaki
pendek!
"Astaga...!"
Pengemis Binal berseru
kaget.
"Nyam! Nyam! Nyam!"
Kakek berkaki pendek tampak
menjilati bibimya seperti habis
makan
sesuatu yang lezat. Anehnya,
walau
mulutnya baru saja menghisap
begitu
banyak debu kapur, tapi perutnya
tak
terlihat membesar tetapi kempes
seperti
masih kosong, tak berisi
apa-apa!
"Kau..., kau manusia atau
siluman...?" desis Pengemis
Binal,
tergagap. "Bagaimana kau
bisa makan debu
pecahan batu kapur...?"
"Aku manusiaatau siluman?
Ha ha
ha...! Aku sendiri tak tahu!
Tapi kau
jangan heran. Makananku memang
batu
kapur. Ha ha ha...!" kakek
berkala pendek
tertawa bergelak. Sikapnya sama
sekali
tak menunjukkan dia tengah marah
walau
baru diserang oleh Suropati.
"Kalau tak tahu kau itu
manusia atau
siluman, lalu kau lahir dari
rahim
siapa?" tanya Pengemis
Binal, sedikit
konyol.
"Tentu saja dari rahim
ibuku,
Geblek! Tapi kalau kau bertanya
siapa
ibuku, aku tak bisa
menjawabnya!"
"Kenapa?"
"Ha ha ha...!"
"Kenapa?" "
"Ha ha ha..!"
"Dasar edan!" maki
Pengemis Binal
dalam hati. "Ditanya dua
kali, dijawab
dengan tawa panjang dua kali
pula!
"Hei! Kalau kau mengerutkan
kening
seperti itu, wajahmu tampak
lucu! Ha ha
ha...!" seru kakek berkaki
pendek,
tertawa. "Melihat
tampangmu, sebenarnya
kau tak pantas menjadi pewaris
takhta
Pasir Luhur!"
"Heh?!" Suropati
terperangah. ."Apa
yang kau katakan tadi,
Kek?"
"Huh! Selain geblek,
rupanya kau pun
budek!"
Mendelik mata Pengemis Binal
mendengar dirinya dikatakan
'geblek' dan
'budek'. Budek artinya tuli.
Tapi karena
terbawa rasa penasaran, dia lupakan
sejenak hatinya yang mendongkol.
"Aku tadi mengatakan bahwa
kau
sebenarnya tak pantas menjadi
pewaris
takhta Pasir Luhur!" seru
kakek berkaki
pendek, mendahului Pengemis
Binal yang
hendak bertanya lagi.
"Apa?"
"Budek!"
"Aku tak main-main, Kek!
Jelaskan
apa maksud ucapanmu!"
"Ha ha ha...! Sudah geblek,
masih
mau berlagak, pura-pura tak
tahu.
Bukankah sudah kukatakan di
depan, aku
tahu riwayat hidupmu dari bayi
sampai kau
jadi pemuda remaja seperti yang
kulihat
sekarang ini? Walau kau punya
sifat
konyol, urakan, dan amat
ugal-ugalan,
tapi kau sesungguhnya putra
Prabu
Singgalang Marijunjung
Langit...."
Berkerut kening Suropati
mendengar
ucapan sikakek yang berkali-kali
dapat
menuturkan riwayat hidupnya
dengan
tepat. Berarti orang di luar
istana Pasir
Luhur yang tahu dirinya putra
Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
telah
bertambah satu orang lagi. Orang
pertama
adalah Putri Impian. Dan, orang
kedua
adalah kakek berkaki pendek yang
memiliki kesaktian luar biasa
itu.
"Namun... meskipun kau punya
darah
keturunan raja, kau sama sekali
tak
pantas untuk mewarisi tahta
sebuah
kerajaan. Kalau hanya menjadi
pemimpin
para pengemis dan gelandangan,
bolehlah...," lanjut kakek
berkaki
pendek.
"Dengan alasan apa kau
mengatakan
aku tak pantas menjadi
raja?!" selidik
Suropati, dongkol. Walau remaja
tampan
ini tak pernah bercita-cita
menjadi
raja, tapi bila direndahkan
sedemikian
rupa, kesal juga hatinya.
"Dengan alasan apa? Ha ha
ha...!
Sungguhkah kau tak merasa?"
sahut kakek
berkaki pendek. "Selain kau
berotak
geblek, bukankah sifat konyol
dan
urakanmu tak pantas dimiliki
oleh
seorang raja?"
"Kata-katamu memanaskan
telingaku,
Kek!" seru Suropati.
"Jangan hanya dapat
mengolok-olok orang! Kalau
kau punya
nama, katakan siapa namamu! Aku
tahu
diriku memang tak sepandai
dirimu, tapi.
tak seharusnya kau mengucapkan
kata-kata
yang begitu menghina. Sadarkah
kau bila
yang bermulut ceriwis itu
sebenarnya kau
sendiri!"
"Hmmm.... Rupanya, otakmu
bisa
diajak berpikir pula. Kau
katakan aku
bermulut ceriwis, aku tak bisa
mengelak
Karena, orang-orang di Negeri
Pasir
Luhur ini biasa menyebutku
sebagai Setan
Ceriwis."
"Setan Ceriwis?"
"Ya. Tapi, banyak pula
orang yang
menyebutku sebagai Setan Tanah
karena
aku senang tinggal di gua bawah
tanah.
Dan, ada juga yang menyebutku
sebagai
Setan Kapur. Mereka tahu kalau
kulit
tubuhku putih seperti kapur,
lagi pula
aku suka makan batu kapur! Ha ha
ha...!"
"Setan Ceriwis?" Setan
Tanah? Setan
Kapur?" desis Pengemis
Binal, "Kenapa
semua julukanmu memakai kata
'setan'?
Apakah kau memang setan, hantu,
iblis,
atau makhluk halus sebangsa
itu?"
"Ha ha ha...!"
"Jawab pertanyaanku!"
"Ha ha ha...!"
"Gila!"
"Kaulah yang gila!"
Suropati garuk-garuk kepala.
Setan Ceriwis nyengir kuda.
"Hmmm.... Terus terang, aku
sangat
penasaran kepadamu, Kek!"
ujar Pengemis
Binal kemudian.
"Terus terang pula, walau
kau
terlihat begitu geblek dan
konyol, tapi
aku suka kepadamu," sahut
Setan Ceriwis.
"Aneh! Baru saja kau
mencaci maki
aku, kenapa sekarang kau berkata
suka
kepadaku?!"
"Ha ha ha..! Aku suka
kepadamu
karena kau telah terlibat urusan
dengan
Siluman Ragakaca, Kau bisa
mewakili aku
untuk menumpas siluman keparat
itu!"
"Kalau aku tak mau
bagaimana?"
"Geblek! Bukankah sudah
kukatakan
di depan, aku bermaksud
menurunkan
beberapa ilmu kesaktian
kepadamu!"
"Untuk apa?"
"Walah! Walah! Rupanya, kau
benar-benar bocah geblek! Dengan
ilmu
kesaktian yang sekarang kau miliki,
mustahil kau dapat menumpas Siluman
Ragakaca! Melawan salah seorang
kepercayaannya saja, kau pasti mati
kutu. Kemarin, kalau Peramal
Buntung tak
punya gagasan cemerlang, kau
pasti sudah
mati di tangan Hakim Neraka!
Tahukah kau
bila kakek kate itu adalah salah
seorang
kepercayaan Siluman Ragakaca
yang
menjabat sebagai Duta
Utara?"
Mendengar nama Hakim Neraka
disebut, ingatan Pengemis Binal
melayang
ke sebuah tanah luas
berbatu-batu. Tempo
hari, dia memang hampir saja
mati oleh
gempuran gelombang suara
genderang maut
Hakim Neraka. Tahulah dia kini,
kenapa
Hakim Neraka bermaksud
membunuhnya.
Rupanya, kakek kate itu adalah
urusan
Siluman Ragakaca.
"Hei! Kenapa bengong
saja?!" bentak
Setan Ceriwis atau Setan Tanah
alias
Setan Kapur.
"Eh!"
"Cepat ambil sikap
semadi!"
Suropati yang masih belum
percaya
benar kepada Setan Ceriwis cuma
berdiri
terpaku, tak segera menuruti
perintah
kakek berkulit putih seperti
kapur itu.
"Geblek! Rupanya, aku harus
memaksamu!"
Usai mengeluarkan bentakan
keras,
Setan Ceriwis , meluruskan
telunjuk jari
tangan kanannya, mengarah pada
dahi
Pengemis Binal. Ssmentara,
Pengemis
Binal pun cepat memasang kuda-kuda
karena menyangka dirinya akan
diserang.
Namun hingga dua tarikan napas,
Pengemis Binal tak melihat suatu
bentuk
serangan yang sengaja ditujukan
kepada
dirinya. Hanya saja, ujung
telunjuk jari
kanan Setan Ceriwis tetap
tertuju ke
dahinya.
"Ambil sikap
semadi...!"
Telinga Suropati menangkap
sebuah
suara dingin yang keluar dari
mulut Setan
Ceriwis. Cepat Suropati
mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan
se-bentuk tenaga gaib yang
memaksanya
untuk menuruti suara perintah
itu.
Suropati tahu bila Setan Ceriwis
berusaha menyihirnya. Tapi walau
remaja
tampan ini telah mengeluarkan
kekuatan
gaib penolak ilmu sihir yang
pernah
dipelajarinya dari Periang
Bertangan
Lembut, suara perintah Setan
Ceriwis
mengiang terus di telinganya.
Perlahan
namun pasti, otaknya pun mulai
Jinglung.
Tak seberapa lama kemudian,
sinar mata
Suropati meredup. Dan di lain
kejap,
pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti ini telah bertekuk lutut
di bawah
perintah Setan Ceriwis. Duduk
bersila
dengan mata terpejam rapat dan
tangan
bersedekap!
Lalu, lamat-lamat telinga Suropati
menangkap suara Setan Ceriwis
yang
tengah bertutur,...
"Di dunia ini terdapat satu
alam
lain yang sulit dijamah oleh manusia
biasa. Keberadaannya tak pernah
terjangkau akal pikiran manusia.
Bahkan,
sebagian manusia menganggapnya
sebagai
bualan kosong belaka. Namun
apabila
manusia mau membuka diri untuk
dapat
menyadari dan memahami ciptaan
sang
Pencipta, maka akan timbul
pikiran bahwa
alam lain itu benar-benar
ada. Dan
ketahuilah kau, Suropati,
disanalah
Siluman Ragakaca menyusun
kekuatan. Dia
hendak menghancurkan peradaban
manusia
di bumi. Dan mendirikan
peradaban baru di
bawah kekuasaannya! Dengan ilmu
kesaktiannya, Siluman Ragakaca
berhasil
menciptakan sebuah lembah luas
yang
sangat subur. Manusia yang
tinggal di
lembah itu tidak akan mengenal
dengan apa
yang dinamakan perubahan hawa,
karena
iklimnya tetap tak berubah
sampai akhir
zaman. Yang lebih hebat lagi, di
sana
tidak pula mengenal putaran
waktu.
Sehingga siapa pun manusia yang
menempatinya seakan telah
menemukan
kekekalan hidup. Dengan kata
lain,
Siluman Ragakaca telah berhasil
menciptakan sebuah tempat yang
tak
mengenal kematian. Dan untuk
mewujudkan
cita-citanya menghancurkan
peradaban
manusia di bumi, Siluman
Ragakaca telah
memperalat beberapa tokoh sakti
di
Negeri Pasir Luhur ini. Tugas
mereka
adalah menumpas para penguasa
atau raja,
termasuk para tokoh sakti yang
dianggap
sebagai batu penghalang bagi
cita-cita
Siluman Ragakaca. Oleh karena
manusia
memiliki derajat lebih tinggi
dari
siluman dan makhluk halus lain
sejenisnya, maka manusia tidak
boleh
bertekuk lutut di bawah makhluk
yang
berderajat lebih rendah itu.
Terlebih
lagi, apabila Siluman Ragakaca
dapat
mewujudkan cita-citanya, maka
seluruh
permukaan bumi akan digenangi
darah
manusia. Air laut akan berwarna
merah
darah. Hewan dan tumbuhan akan
musnah.
Dan, hanya sebagian manusia yang
dapat
lolos dari maut. Namun, lolos
dari maut
bukan berarti mereka telah
menemukan
keselamatan. Justru, hidup
mereka akan
dirundung penderitaan sepanjang
akhir
jaman. Hidup mereka akan selalu
di bawah
tekanan Siluman Ragakaca!”
"Nah, kau tahu kini,
Suropati...,
betapa jahat dan berbahayanya
Siluman
Ragakaca itu. Sebagai seorang
pendekar
sejati, jiwamu tentu terpanggil
jika
melihat keangkaramurkaan
merajalela.
Menumpas kejahatan adalah tugas
orang-orang gagah sepertimu. Tak
perlu
banyak-banyak yang kututurkan
lagi.
Sekarang, coba kau pusatkan
seluruh
perhatianmu pada satu titik. Aku
akan
segera menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu."
Sampai di sini, telinga Suropati
tak
dapat menangkap suara apa-apa
lagi,
Namun karena ada sesuatu yang
masih
mengganjal di benaknya, hati
kecil
remaja tampan ini bertanya....
"Kenapa Kakek Setan Ceriwis
hendak
menurunkan ilmu kesaktian
kepadaku?
Kenapa pula Kakek hendak
menjadikan aku
sebagai wakil Kakek untuk
menumpas
Siluman Ragakaca?"
Setan Ceriwis yang dapat membaca
pikiran orang, mampu mendengar
pertanyaan di hati kecil
Suropati.
"Hmmm.... Untuk menjawab
pertanyaanmu itu, terpaksa aku
mengatakan siapa diriku ini
sebenarnya.
Tapi tak apa, aku percaya benar
kepadamu.
Dengan jiwa pendekar dan darah
raja yang
mengalir di tubuhmu, kau akan
dapat
menyelamatkan peradaban manusia
di bumi
ini...."
***
6
Sesosok bayangan ini ternyata
seorang lelaki berpakaian ketat
hijau
yang tengah membopong seorang
wanita
cantik berpakaian kuning merah.
Menilik
raut wajah mereka, siapa lagi
kalau bukan
Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang
lebih
dikenal dengan sebutan Dewa-Dewi
Kayangan!
"Serahkan batu mustika itu
kepadaku!" Dewa cinta
mengulang
perintahnya.
Ketika Dewa Cinta berbicara,
Dewi
Asmara mencium mesra pipi
kekasihnya
itu, lalu melorot turun dari
bopongan.
Namun, kepalanya tetap
disandarkan di
dada Dewa Cinta.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang.
Bola
matanya memancarkan sinar merah
menyala-nyala. Sikapnya seperti
hendak
menyerang Dewa-Dewi Kayangan.
"Tenanglah...!" seru
Raka Maruta
sambil meng-ngkat tangan kanannya.
"Tetaplah ditempatmu!
Mereka biar
kuurus!"
Tampaknya, Sona Langit dapat
mengerti makna ucapan Pendekar
Kipas
Terbang. Sinar matanya kembali
meredup.
Kepalanya mengangguk-angguk
Raka Maruta yang sudah mengenal
siapa sebenarnya Dewa-Dewi
Kayangan,
melangkah satu tindak seraya
berkata,
"Kau datang hendak meminta
Mustika Batu
Merpati. Apakah batu mustika itu
milikmu?"
"Ya!" jawab Dewa
Cinta,cepat.
"Huiiing...!" Sona
Langit
mendengking seraya
menggeleng-gelengkan
kepala.
Mengetahui makna dengkingan Sona
Langit, cepat Putri Cahaya Sakti
menyimpan Mustika Batu Merpati
kelipatan
bajunya yang tersembunyi.
Semula,
Mustika Batu Merpati digunakan
Bidadari
Pulau Penyu untuk menghindari
bentrokan
dengan Putri Impian. Kekuatan
gaib batu
mustika itu mampu membawa
Bidadari Pulau
Penyu berpindah tempat Sona
Langit yang
berhasil menerkam tubuhnya turut
berpindah tempat. Dan pada saat
bergumul, Mustika Batu Merpati
terlempar
keluar dari mulut Bidadari Pulau
Penyu.
Batu itu melesat jauh karena
dilontarkan
gelombang suara Genderang Maut
Hakim
Neraka. Sementara begitu
terbebas dari
timbunan batu, dengan mudah Sona
Langit
dapat menemukannya, karena
anjing itu
memiliki indera dan penciuman
yang
sangat tajam.
"Hei! Serahkan batu mustika
itu!"
seru Dewi Asmara, menuding
Anggraini
Sulistya.
Anggraini Sulistya yang juga
sudah
mengenal Dewa-Dewi Kayangan
sebagai dua
tokoh jahat yang suka mengumbar
nafsu
pribadi, tersenyum sinis.
Dibalasnya
tatapan tajam Dewi Asmara.
"Hmmm.... Aku tahu kau
putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Tapi, aku
datang tidak untuk mengaturkan
sembah
kepadamu. Justru aku akan memecahkan
batok kepalamu seandainya kau
tidak
bersedia menyerarhkan batu
mustika yang
telah tersimpan di balik bajumu
itu!"
ancam Dewi Asmara
sungguh-sungguh.
"Tidak kelirukah apa yang
kau
katakan itu?" cibir Putri
Cahaya Sakti.
"Telah lama aku mendengar
sepak
terjangmu yang jahat dan kejam.
Kau dan
kekasihmu itu juga telah
berkali-kali
menyusahkan orang-orang istana.
Jika
kini kau datang ke hadapanku, sama
artinya dengan seekor ular yang
datang
untuk minta digebuk!"
"Mulutmu terlalu
nyinyir!"
Tiba-tiba, Dewi Asmara meloncat
sebat. Telapak tangan kanannya
berkelebat cepat untuk menampar
Putri
Cahaya Sakti!
"Hiahhh...!"
Wuttt...!
Mudah saja Anggraini menghindari
tamparan itu. Hanya dengan
menggerakkan
kepalanya ke belakang, telapak
tangan
Dewi Asmara lewat begitu saja tanpa
memperoleh hasil apa-apa.
Mengetahui serangan kekasihnya
gagal, mendadak Dewa Cinta
memekik
nyaring. Telunjuk jari tangan
kanannya
diluruskan ke depan. Timbul selarik
sinar kuriing menggidikkan.
Melesat
ganas mengarah ulu hati Putri
Cahaya
Sakti!
Wusss...!'
Blarrr...!
Sebuah Iedakan dahsyat membahana
di
angkasa. Selarik sinar kuning yang
melesat dari telunjuk jari Dewa
Cinta
membentur seberkas cahaya putih
berkeredepan. Rupanya, dengan
kipas baja
putihnya, Pendekar Kipas Terbang
berhasil menyelamatkan nyawa
Anggraini
Sulistya.
"Penjahat culas! Biarkan
mereka
bertempur! Kau hadapi aku!"
tantang Raka
Maruta.
"Ha ha ha...!" Dewa
Cinta tertawa
bergelak. "Telah lama aku
mendengar nama
besar Pendekar Kipas Terbang!
Sungguh
satu kesempatan yang jarang ada
jika kini
kau bermaksud menantangku!
Boleh!
Bolehlah, kulayani kau!"
Secepat kilat, Dewa Cinta
melepas
sapu tangan merah yang mengikat
kunciran
rambutnya. Sapu tangan itu
dipilin-pilinnya sejenak. Dan,
Raka
Maruta pun terkesiap. Sapu
tangan Dewa
Cinta tiba-tiba memanjang, lalu
berubah
menjadi seutas tali mirip
cambuk!
“Hhh...!"
Dewa Cinta mendengus seraya
mengalirkan tenaga dalam ke
cambuk
anehnya. Di lain kejap, cambuk
yang
berasal dari sapu tangan itu
membersitkan cahaya merah yang
amat
menyilaukan mata!
"Cambuk Api Darah!"
pekik Dewa Cinta
seraya menyabetkan cambuknya ke
angkasa.
Jderrr..;!
Dari sabetan itu muncul
garis-garis
sinar merah yang menyerbu ke
arah
Pendekar Kipas Terbang. Cepat
Pendekar
Kipas Terbang mengatasi
keterke-utannya. Kipas baja
putih yang
telah dialiri tenaga dalam, dia
kibaskan
ke atas!
Terdengar suara berdentang keras
seperti dentangan balok besi
yang
dipukul berkali-kali.
Garis-garis sinar
merah yang muncul dari sabetan
Cambuk Api
Darah di tangan Dewa Cinta
tampak
terbabat putus di udara. Dan
seberkas
cahaya putih yang melesat dari
senjata
andalan Raka Maruta, terus
meluncur ke
depan. Hendak menggulung tubuh
Dewa
Cinta!
"Setan Alas!"
Dewa Cinta memaki seraya
membuang
tubuh jauh ke samping kanan.
Sebelum
kakinya menginjak tanah. dia
sabetkan
lagi Cambuk Api Darahnya.
Kembali
garis-garis sinar merah menyerbu
ke arah
Pendekar Kipas Terbang. Dan...,
pertempuran seru pun tak bisa
dihindari
lagi.
Sementara itu, Anggraini
Sulistya
dan Dewi Asmara telah saling
terjang
pula. Tangan kanan Anggraini
Sulistya
tampak memegang sebatang
seruling yang
terbuat dari emas berkilauan.
Sedangkan
Dewi Asmara merangsek ganas
dengan
sepasang pedang lentur yang bisa
memanjang ataupun memendek.
Sambaran dua pedang lentur di
tangan
Dewi Asmara tampak sangat
berbahaya.
Beberapa kali Anggraini Sulistya
dibuat
terkejut setengah mati. Ketika
dia
mengnindari tusukan salah satu
pedang
lawan, tiba-tiba batang pedang
itu molor
panjang, mampu mengejar lompatan
hingga
dua tombak Dan selagi seruling
Anggraini
Sulistya berkelebat menangkis,
secara
cepat luar biasa pedang yang
satunya lagi
menyusul, mengirim serangan yang
lebih
mematikan, sama-sama dapat molor
sepanjang dua tombak!
"Hmmm.... Menyesal aku tak
membawa
Kecapi Mautku...," kata
hati Putri
Cahaya,Sakti. "Jika aku
membawa Kecapi
Maut, sampai di mana pun
kehebatan pedang
perempuan keji itu, tentu akan dapat
kuredam dari jarak
jauh...,"
Memang, senjata andalan
Anggraini
Sulistya sebenarnya adalah
sebuah alat
musik berupa kecapi. Karena
Anggraini
Sulistya tidak menyangka akan
terlibat
dalam pertempuran, maka senjata
andalannya itu dia tinggal di
istana.
(Tentang kehebatan Kecapi Maut
milik
Anggraini Sulistya, bisa disimak
pada
serial Pengemis Binal dalam
episode:
"Cinta Bernoda
Darah").
Namun karena tak mau
dipecundangi
lawan, Putri Cahaya Sakti tak
segan-segan lagi mengeluarkan
se-luruh
kemampuannya. Beberapa saat
kemudian,
tubuh putri raja Pasir Luhur ini
tampak
membiaskan cahaya putih bening.
Trang!
"Heh?!"
Terkejut luar biasa Dewi Asmara.
Cahaya putih bening yang
menyelubungi
tubuh Anggraini Sulistya temyata
dapat
menjadi tameng yang kebal
terhadap
senjata tajam. Batang pedang
Dewi Asmara
tampak melengkung kemudian
menggeletar
ke atas ketika menusuk dada
Anggraini
Sulistya.
"Kulihat wajahmu pucat.
Lebih baik
kau menyerah saja untuk segera
kuhadapkan Ayahanda Prabu,"
cibir Putri
Cahaya Sakti.
"Bedebah! Setelah kucincang
tubuhmu, justru aku akan
memenggal
kepala orang tua buruk rupa
itu!" balas
Dewi Asmara.
Di ujung kalimatnya, Dewi Asmara
menyabetkan kedua pedangnya
bergantian.
Kedua pedang lentur itu
mengeluarkan
suara. berdesing tajam, mengarah
leher
dan pinggang Anggraini Sulistya!
Sing! Sing!
"Hiahhh...!"
***
Peramal Buntung menggerigap
bangun
manakala merasakan
sentakan-sentakan
aneh di kaki kirinya. Lama-lama
terasa
pedih seperti ada jarum yang
menusuk-nusuk. Dan, mendeliklah
mata
Peramal Buntung. Ternyata,
jari-jari
kaki kirinya sedang digigit dan
ditarik-tarik tiga ekor tikus!
"Mati kau!" hardik
Peramal Buntung.
Kakinya mengibas cepat.
Terdengar
suara berdebuk keras yang
disusul dengan
suara mencicit pendek. Tampak
kemudian,
tubuh tiga ekor tikus yang tadi
menggigit
jari-jari kaki Peramal Buntung
telah
tergeletak di lantai tanpa
nyawa. Tubuh
ketiga hewan pengerat itu hampir
hancur
karena membentur dinding ruangan
yang
keras.
"Aduh! Hik.. hik... hik...,
Tega
benar kau membunuh saudara
saudaraku...." "
Peramal Buntung melonjak kaget.
Telinganya menangkap suara dingin
bernada sedih. Lebih kaget lagi
Peramal
Buntung saat menoleh ke
belakang. Walau
samar-samar, matanya dapat
melihat
sebentuk kepala manusia yang
tergeletak
di lantai ruangan. Kepala itu
ditumbuhi
bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan, menyebar rata sampai
ke
wajah. Wajah itu pun tampak lucu
karena
bagian mulutnya monyong panjang
seperti
moncong tikus. Terdapat kumis
yang
panjang kaku pula! Sementara,
matanya
yang bulat kecil terlihat
meneteskan air
bening!
"Ya, Tuhan...," sebut
Peramal
Buntung. "Kenapa ada kepala
tanpa badan
bisa bicara dan
menangis...?"
"Hik.. hik... hik... Kini
tak ada
lagi yang menemani di tempat
sepi ini.
Hik... hik.. hik... Kau telah
membunuh
mereka. Aku sedih. Aku sedih.
Hik...
hik...hik..."
"Kepala tanpa badan terus
berucap
sambil menangis tersedu-sedu.
Sementara, Peramal Buntung
menatapnya
dengan mata terbeliak lebar.
"Si... siapa kau? Kenapa
wujudmu
hanya berupa kepala tanpa
badan?"
"Hik.. hik.,. hik... Kau
telah
membunuh ketiga saudaraku. Kau
tak patut
bertanya lagi kepadaku. Hik...
hik...
hik..."
Peramal Buntung mengerutkan
kening.
Ditajamkannya penglihatan.
Karena
kepala yang dilihatnya tanpa
badan terus
menangis, dia tak hendak
mengajak bicara
lagi. Namun, dia tak bisa
menyembunyikan
keheranannya. Peramal Buntung
mengucak-ucak matanya terus. Tak
percaya
pada penglihatannya sendiri.
"Kau... kau siapa? Kenapa
wajahmu
hanya berupa kepala?" tanya
Peramal
Buntung lagi
"Hik... hik... hik...
Setelah
kupikir-pikir, biarlah ketiga
saudaraku
mati. Kau bisa menjadi
gantinya...,"
ujar sebentuk kepala yang mirip
kepala
tikus. "Karena kita akan
segera menjadi
dua orang saudara yang bernasib
sama,
boleh aku mengenalkan diri.
Aku Dewa
Tikus.... Kau jangan salah lihat
Wujudku
bukan hanya berupa kepala. Aku
juga punya
badan, sepasang tangan, dan
kaki...."
Mendengar penjelasan itu,
Peramal
Buntung memberanikan diri untuk
melangkah mendekat. Dia
perhatikan
dengan seksama.
"Yah.... Aku tahu sekarang.
Rupanya, tubuhmu terbenam dalam
lantai
ruangan ini," ujar Peramal
Buntung
kemudian.
"Tepat sekali apa yang kau
katakan,"
tegas Dewa Tikus. "Sedih...
sungguh
sedih hatiku kini. Malang...
sungguh
malang nasibku ini. Aku tak tahu
apa
salahku. Aku tak tahu apa
dosaku. Kenapa
tiba-tiba orang jahat itu
menangkapku,
kemudian memenjarakanku di
tempat ini.
Hik.. hik... hik..."
Peramal Buntung menatap iba Dewa
Tikus yang meneteskan air mata
lagi.
Mendengar kata-kata sosok
makhluk yang
hanya tampak kepalanya itu,
Peramal
Buntung berusaha mengingat-ingat
kejadian yang baru dialaminya.
"Aku ingat... aku ingat.,,"
gumam
Peramal Buntung. "Bersama
Tuan Muda
Suropati, aku berusaha meredam
kemarahan
Raja Angin Barat Tapi tiba-tiba
tubuhku
jadi lemas. Seseorang pasti
telah
menotok, kemudian membawa
tubuhku
ketempat ini...."
Peramal Buntung menatap sekilas
Dewa Tikus yang masih menangis
tersedu-sedu. Namun karena
memikirkan
keadaan dirinya yang tengah
disekap,
Peramal Buntung mengedarkan
pandangan
untuk mencari jalan keluar.
Dengan
menggunakan jari-jari kakinya,
dia
memeriksa keadaan ruangan.
Kiranya, dia
berada di sebuah ruangan persegi
empat
yang terletak di bawah tanah.
Keempat
sisi dinding, lantai, dan atap
ruangan
berupa tanah padat namun terasa
lembek
Sementara, di salah satu
sudutnya
terdapat pelita kecil yang terus
menyala, berasal dari semburan
gas
alani.
"Hmmm... ruangan ini
tertutup
rapat. Bagaimana mungkin
penculik itu
bisa menempatkan tubuhku di
sini?" tanya
Peramal Buntung kepada dirinya
sendiri.
"Hei! Kenapa kau bengong
terlongong-longong?!" sentak
Dewa Tikus
tiba-tiba, tangisnya telah
terhenti.
Peramal Buntung menatap dengan
kening berkerut. "Aku
sedang memikirkan
cara untuk dapat keluar dari
tempat
pengap ini!" ujarnya.
"Mencari jalan keluar? Ha
ha ha...!"
"Gila!" rutuk Peramal
Buntung dalam
hati. "Kenapa makhluk yang
mengaku
bernama Dewa Tikus itu
tertawa-tawa,
padahal tadi dia begitu larut dalam
tangis?"
"Ha ha ha...! Kau mencari
jalan
keluar? Ha ha ha,..!" Dewa
Tikus tertawa
lebih panjang. "Boleh!
Boleh kau cbba!"
Peramal Buntung tak mempedulikan
lagi Dewa Tikus yang tampak
melempar
ejekan. Dengan jari-jari
kakinya, dia
periksa sekali lagi seluruh
permukaan
dinding ruangan.
"Hmmm.... Benar-benar tak
ada jalan
keluar," pikir Peramal
Buntung. "Tapi,
bagaimana kalau salah satu
dinding ini
kuhancurkan? barangkali setelah
itu, aku
bisa menemukan jalan yang bisa
membawaku
keluar dari tempat ini..."
Mengikuti pikiran di benaknya,
bergegas Peramal Buntung
menghimpun
kekuatan tenaga dalam seraya
dialirkan
ke kaki kanannya. Dia bermaksud
menendang jebol salah satu
dinding
ruangan. Tapi....
"Hei! Apa yang kau
lakukan?!" bentak
Dewa Tikus dengan mata mendelik
marah.
"Siapa yang sudi disekap di
tempat
pengap seperti ini!" sahut
Peramal
Buntung.
"Kau hendak menjebol
dinding di
hadapanmu itu?"
"Terpaksa!"
"Jangan berlaku
bodohl" "Kenapa?"
"Begitu kau tendang dinding itu,
atap ruangan ini akan runtuh!
Bukan jalan
menuju kebebasan yang kau
dapatkan!
Justru, jalan kematian”.
Peramal Buntung mendongak.
Dilihatnya atap ruangan yang
berupa
tanah padat. Karena tak begitu
percaya
pada ucapan Dewa Tikus, Peramal
Buntung
ingin menguji. Pelan saja dia
benturkan
jempol kakinya ke dinding.
Duk!
Brolll...!
Terkejut Peramal Buntung. Atap
ruangan tiba-tiba ambrol. Cepat
dia
meloncat ke samping kiri karena
tak mau
tubuhnya terrimbun tanah.
"Ha ha ha! Kini, kau
percaya,
bukan?" cibir Dewa Tikus.
Kepalanya
digerak-gerakkan untuk menghalau
gumpalan tanah yang hendak
menerpa.
Peramal Buntung mendesah.
"Mati aku!"
***
7
"Kami lahir dari rahim
seorang
wanita yang mempunyai keturunan
siluman...."
"Sebentar, Kek!" sela
hati kecil si
Pengemis Binal yang ingin
bertanya. "Kau
menyebut dirimu sebagai 'kami'
apakah
kau mempunyai hubungan darah
dengan
Siluman Ragakaca?"
"Ya. Aku dan Siluman
Ragakaca adalah
saudara sekandung. Siluman
Ragakaca
lahir sebagai kakak tertua.
Sementara,
aku masih punya seorang adik
bernama Dewa
Tikus.,.."
"Dewa Tikus...?"
"Adikku itu memang pantas
disebut
demikian karena dia suka
bermain-main
dengan tikus. Ke mana pun dia
pergi,
selalu ada tikus yang
menemaninya.
Hebatnya, tikus jenis apa pun
kalau
bertemu dengan adikku itu akan
menjadi
jinak dan menuruti segala
kemauannya.
Terlebih lagi, tubuh Dewa Tikus
dipenuhi
bulu halus dan berwajah persis
seperti
tikus, hingga tak keliru kalau
dia diberi
nama Dewa.Tikus. Namun...,
sebagian
tokoh golongan atas di negeri
ini lebih
suka menyebutnya sebagai Dewa
Tangis.
Karena, dia mudah bersedih hati,
lalu
menangis tersedu-sedu walau
tanpa alasan
yang pasti. Dan, sebagian tokoh
lagi
menyebutnya dengan Dewa
Gila...."
"Tapi, dia tidak gila,
bukan?"
"Ya. Hanya tingkah lakunya
saja yang
mirip orang gila. Usai menangis
tersedu-sedu, dia bisa tertawa
panjang
sepuas hati. Meski sebenarnya
tidak ada
yang pantas untuk
ditertawakan..."
"Kalau begitu, tahu aku
sekarang
kenapa kau hendak menjadikan aku
sebagai
wakilmu untuk menghentikan
keangkaramurkaan Siluman Ragakaca.
Karena, siluman itu saudara
sekandung
denganmu hingga kau tak mungkin
bertempur dengannya. Apalagi
membunuhnya. Bukan begitu,
Kek?"
"Nah! Nah! Sekarang, kau
sudah mampu
berpikir dengan baik. Rupanya,
kau tidak
segeblek yang kukira...,"
ujar Setan
Ceriwis. "Setelah kau tahu
siapa
sebenarnya aku, kuharap kau mau
menerima
dengan senang hati beberapa ilmu
kesaktian yang akan kutu-runkan
kepadamu. Setelah itu, kau harus
mewakili aku untuk menumpas
Siluman
Ragakaca dan seluruh pengikut
jahatnya...."
"Sebentar,
Kek..."
"Ada apa lagi?'.'
"Mendengar ceritamu tentang
Siluman
Ragakaca, sebenarnya tanpa kau
pinta
pun, aku pasti akan menumpas
siluman itu
walau aku mesti mempertaruhkan
nyawa.
Tapi, masih ada pertanyaan yang
ingin
kuajukan kepadamu?"
"Apa itu?"
"Siapa nama ibumu?
Bagaimana dia
bisa melahirkan makhluk-makhluk
aneh dan
sakti macam Siluman Ragakaca,
dirimu
Setan Ceriwis, dan Dewa
Tikus?"
"Ha ha ha...! Ini sebuah
pertanyaan
lucu. Tapi, bolehlah kujawab
karena
kalau menjawab,pun aku tak akan
rugi,"
ujar Setan Ceriwis diiringi
derai
tawanya.
"Ibuku bernama Rara
Gandari. Dia
cantik luar biasa. Dan, suaminya
pun
setampan Dewa Kamajaya. Bernama
Raka
Samba. Hanya sayangnya, ibuku
mempunyai
darah siluman yang mengalir dari
darah
bapaknya, Siluman Baka.
Sehingga, ibuku
mesti melahirkan tiga orang
bocah yang
dua di antaranya berwujud sangat
buruk,
aku dan adikku Dewa Tikus!
Sementara,
Siluman Ragakaca sebagai saudara
tertua
memiliki bentuk tubuh bagus dan
wajah
tampan. Namun sayang,
ketampanannya
berada di balik jiwa iblis....
Perlu juga
kau ketahui, Suropati...,
Siluman
Ragakaca tak mau mengakui aku
dan Dewa
Tikus sebagai adik-adik-nya.
Yah, karena
kami memang amat buruk rupa.... Terlebih
jahat lagi, Siluman Ragakaca
selalu
berusaha membunuh kami, aku dan
Dewa
Tikus. Sementara, kami tak
pernah
melawan karena aku dan Dewa
Tikus pernah
mengangkat sumpah di hadapan
Ibunda Rara
Gandari. Sampai dunia kiamat,
aku dan
Dewa Tikus tak boleh mendendam
dan sakit
hati terhadap Siluman Ragakaca.
Apalagi, membunuh saudara tuaku
itu....
Aku dan Dewa Tikus terpaksa
mengangkat
sumpah demi menuruti kemauan Ibunda
Gandari. Beliau amat sayang
kepada
Siluman Ragakaca, sehingga
beliau tak
ingin melihat aku dan Dewa Tikus
menyakitinya. Dengan kata lain,
mencubit
pun tak diperkenankan.... Tapi
setelah
aku melihat bagaimana kekejaman
Siluman
Ragakaca yang hendak mewujudkan
cita-cita gilanya, tercetus
keinginan
dalam benakku untuk menghentikan
segala
kegilaan ini...."
Beberapa kata di akhir kalimat
Setan
Ceriwis diucapkan dengan suara
bergetar.
Setan Ceriwis terbawa dalam
suasana.
Tanpa terasa, air bening mulai
mengambang di pelupuk matanya.
Namun,
cepat Setan Ceriwis menghalau
perasaan
yang tak mengenakkan ini.
Bagaimanapun,
kejahatan mesti diberantas,
kebatilan
mesti ditindas. Kebenaran dan
keadilan
mesti dijunjurig dan ditegakkan.
Tak
peduli siapa pelaku kejahatan
dan
kebatilan itu! Tapi, tidak takutkah
Setan Ceriwis termakan tuah
sumpahnya
sendiri apabila dia berkehendak
menumpas
Siluman Ragakaca walau hanya
dengan cara
meminjam tangan orang lain?
"Sebagai makhluk yang
punya. akal
pikiran, sebenarnya aku juga
punya rasa
takut akan tuah sumpah yang
pernah
mangkat bersama Dewa Tikus itu.
Tapi, apa
boleh buat. Biarlah bumi
menelanku.
Biarlah langit runtuh
menimbunku. Kalau
pengorbananku ini ada gunanya,
siksa itu
akan kuterima dengan dada
lapang...,"
lanjut Setan Ceriwis, meriegaskan
keyakinannya. "Tapi...
karena aku
benar-benar punya pantang-n
membunuh.
kau harus bersedia mewakili aku
untuk
menumpas Siluman Ragakaca dan
seluruh
pengikut jahatnya. Dan, kuharap
kau pun
tak salah menjatuhkan tangan
maut,
Suropati. Yang harus kau tumpas
hanya
Siluman Ragakaca bersama para
pengikut
jahatnya. Beberapa pengikut
Siluman
Ragakaca yang tak jahat harus
kau
lepaskan.,.."
"Heran aku. Kenapa ada
orang
baik-baik bisa menjadi pengikut
siluman
itu?"
"Mereka hanya terpaksa.
Raja Angin
Barat adalah satu contoh di
antaranya."
"Yang lain lagi,
siapa?" , .
"Kalau kau pandai
menggunakan otak
untuk berpikir dan menimbang,
pada
saatnya nanti kau pasti akan
tahu
siapa-siapa yang tak boleh kau
bunuh
itu.... Nah, sekarang kosongkan
pikiranmu. Pusatkan seluruh
perhatian
dan daya batinmu ke satu titik.
Aku akan
segera menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu...."
Hati kecil Pengemis Binal tak
berkata-kata lagi. Jiwa dan
pikirannya
sudah mantap untuk menerima apa
yang akan
diberikan Setan Ceriwis. Sebuah
tugas
maha berat telah menunggu. Dan,
tugas itu
membutuhkan kesiapan lahir
batin. Tak
keliru apabaila Setan Ceriwis
hendak
menurunkan beberapa ilmu
kesaktian
kepada Pengemis Binal.
Untuk beberapa saat, Setan
Ceriwis
menatap lekat wajah Suropati
yang tengah
duduk dalam sikap semadi.
Kemudian,
bibir kakek berkulit putih
seperti kapur
ini kemak-kemik. Dan di dalam
semadinya,
Suropati mendengar banyak sekali
petunjuk yang memang sengaja
ditujukan
kepada dirinya.
Di lain kejap, kedua mata Setan
Ceriwis memancarkan cahaya
hijau,
menerpa lalu membungkus sekujur
tubuh
Pengemis Binal.
Tampak kemudian, tubuh Pengemis
Binal bergetar. Sekujur tubuhnya
terasa
panas bagai dibakar api. Tak
ayal lagi,
butiran keringat memercik ke
sana-sini.
Kepala Pengemis Binal pun terasa
pening,
bahkan teramat pening. Tulang
belulangnya pun terasa bagai
dijepit-jepit balok baja yang
amat kuat
Seluruh urat-urat darahnya
terasa
ditarik-tarik, seperti hendak
putus
bersamaan....
Suropati menguatkan hati untuk
bertahan, dan terus bertahan.
Tapi...,
siksaan itu terus merejam dan
semakin
menyakitkan!
"Kini, kau telah berada
pada
saat-saat gawat, Suro...,"
ujar Setan
Ceriwis, kedua matanya terus
memancarkan
cahaya hijau yang membungkus
tubuh Su-
ropati. "Jangan menghimpun
tenaga dalam
untuk melawan. Kalau itu kau
lakukan,
tubuhmu akan langsung meledak
hancur...."
Pengemis Binal mencoba bertahan,
tapi rasa sakit itu semakin
menjadi-jadi....
Beberapa saat kemudian, Setan
Ceriwis menepukkan kedua telapak
tangannya di atas kepala.
Bersamaan
dengan munculnya ledakan keras,
dua
larik sinar merah melesat dalam
bentuk
lengkungan..., menerpa telinga
Suropati!
"Wuahhh...!"
Tanpa sadar Suropati memekik
parau.
Datang rasa sakit yang lebih
hebat Namun,
Suropati tak hendak rnemberi
perlawanan.
Suropati tak hendak membuyarkan
semadinya. Remaja tampan ini
sudah
percaya benar kepada Setan
Ceriwis.
Tapi... di lain saat, Suropati
merasakan telinganya jadi pekak.
Pikiran
bawah sadarnya mengatakan bahwa
telinganya telah tuli! Di lain
saat lagi,
urat-urat darahnya terasa
bergeletar.
Akibatnya, aliran darah jadi
kacau.
Tubuh Suropati pun terasa sangat
lemah
dan tanpa tenaga sedikit pun!
Menilik penderitaan Pengemis
Binal
yang begitu hebat, maka perlu
disanksikan niat baik Setan
Ceriwis!
Benarkah adik kandung Siluman
Ragakaca
itu hendak menurunkan ilmu
kesaktian?
Apakah dia tidak berniat untuk
membuat
tuli telinga Suropati, kemudian
melumpuhkan seluruh ilmu
kesaktiannya?
"Argh...!"
Pengemis Binal memekik
kesakitan!
Tubuhnya jatuh terkapar di
lantai gua!
***
"Hei! Hei! Kau jangan
berjalan
mondar-mandir seperti itu!"
tegur Dewa
Tikus atau Dewa Tangis alias
Dewa Gila,
"Kenapa?!" Peramal Buntung
membentak jengkel.
"Kau duduk
sajalah!".
"Kalau aku berjalan
mondar-mandir,
rugikah kau?! Kau terlalu
mengurusi
kemauan orang! Pikirkan saja
keadaan
tubuhmu yang terjepit tanah
itu."
"Hei! Hei! Kenapa kau
marah? Tak
tahukah kau bila aku bermaksud
baik?"
"Bermaksud baik apa?!"
Peramal
Buntung membentak lebih keras.
Karena
terbawa rasa bingung dan kalut
kakek
cacat ini jadi mudah naik darah.
Bagaimana Peramal Buntung tidak
bingung
dan kalut, jalan keluar untuk
dapat lolos
dari ruang penyekapan ini tak
dapat dia
temukan!
"Hmmm.... Umurmu sudah
lewat kepala
enam, tapi otakmu masih belum
mampu
berpikir dewasa...," cibir
Dewa Tikus.
"Apa?!" geram Peramal
Buntung
d»ngan muka merah padam.
"Bila kau tak segera menutup
mulutmu
yang nyinyir itu, terpaksa aku
akan
membungkammu dengan segumpal
tanah!"
"Ha ha ha...!" Dewa
Tikus malah
tertawa. "Lucu sekali
ancamanmu itu,
Orang Buntung! Tidakkah terpikir
di
benakmu... bila aku mati, kau
pun akan
mati?! Kau pikir, udara yang
mengisi
paru-parumu itu berasal dari
mana?"
Kening Peramal Buntung berkerut
mendengar ucapan Dewa Tikus. Dia
mengedarkan pandangan sejenak.
Ruang
bawah tanah tempat dirinya
didekap ini
tertutup rapat Tak ada jalan
masuk
ataupun keluar. Tak juga untuk
peredaran
hawa!
""Kini, sudah tahukah
kau berasal
dari mana udara yang kau hirup
di tempat
pengap dan tertutup rapat
ini?" ujar Dewa
Tikus, kali ini terdengar penuh
kesungguhan.
Peramal Buntung diam.
Dewa Tikus menyeringai, lalu
menangis. "Hik... hik...
hik.... Kasihan
sekali kau, Orang Buntung,
Sebenarnya,
hidup pun kau sudah tiada
berguna lagi.
Hik... hik... hik.... Jika kau
ingin
mati, marilah kita mati
bersama-sama...."
"Tidak! Aku belum ingin
mati! Masih
banyak tugas yang harus
kukerjakan!"
seru Peramal Buntung.
"Tapi kalau aku mati, kau
pun akan
mati.... Hik... hik.... hik...
Kalau aku
mati, tidak ada lagi yang
memberimu udara
untuk bernapas. Kalau aku mati,
hawa di
ruangan ini akan sangat pengap
dan panas.
Kau akan mati karena. kehabisan
udara
untuk bernapas. Hik... hik...
hik..,,"
"Apa maksud ucapanmu itu,
Orang
Aneh? Benarkah udara yang
kuhirup ini
pemberianmu?" tanya Peramal
Buntung,
khawatir.
"Begitulah. Aku punya ilmu
bernama
'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia'.
Hik... hik... hik...."
Terkejut Peramal Buntung
mendengar
ucapan Dewa Tikus. Dia memang
pernah
mendengar suatu ilmu pernapasan
bernama
'Mengolah Udara Memperpanjahg
Usia'.
Seseorang yang mempunyai ilmu
itu mampu
bertahan hidup berbulan-bulan
walau
disekap di sebuah tempat yang
tertutup
rapat Bahkan, di sebuah tabung
besi yang
kedap udara sekalipun. Dengan
ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia',
seseorang dapat mengolah udara
di
paru-parunya sedemikian rupa,
sehingga
dapat dikeluarkan untuk kemudian
dihirup
lagi. Pendek kata, seseorang
yang
memiliki ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia' dapat
bertahan hidup
walau dengan menghirup udara
yang sangat
sedikit.
"Hmmm.... Kau jangan
membual Orang
Aneh!" sentak Peramal
Buntung untuk
menutupi keterkejutannya.
"Ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia'
hanya ada di masa dua ratus
tahun yang
silam! Bagaimana kau dapat
mengatakan
bahwa kau memiliki ilmu
itu?!"
"Ha ha ha...!"
mendadak Dewa Tikus
mengubah tangisnya menjadi tawa
bergelak-gelak "Kau
menyebutku sebagai
'orang aneh', tapi sesungguhnya
kaulah
yang aneh! Tidakkah kau tahu
bila umurku
telah lebih dari dua ratus
tahun?"
"Hah?! Benarkah itu?"
"Ha ha ha...! Kau tidak
percaya,
boleh. Tapi.. tapi..., kau harus
percaya
bahwa kalau ku mati, kau pun
akan ikut
mati. Hik... hik... hik....'
Dewa Tikus menangis lagi.
Peramal Buntung menatap heran.
"Jika sekarang aku harus
membagi
udara denganmu, maka jalan
kematianku
sudah begitu dekat Hik... hik...
hik...," ujar Dewa Tikus di
sela-sela
tangisnya. "Sebenarnya..,
sebenarnya,
aku tak tega jika kau turut
mati. Hik...
hik... hik...."
Merasakan kesungguhan ucapan
Dewa
Tikus, Peramal Buntung bertambah
kalut
dan bingung. Mati! Mati! Mati!
Kata-kata
mengerikan itu terus mengiang di
telinganya. Bagi Peramal
Buntung, mati
di ajang pertempuran adalah jauh
lebih
baik daripada mati kehabisan
napas di
dalam sebuah ruang penyekapan.
"Be... benarkah tidak
ada jalan
keluar untuk dapat pergi dari
tempat
terkutuk ini?" tanya
Peramal Buntung,
tergagap.
"Tidak ada. Hik... hik...
hik..:,"
jawab Dewa Tikus, terus
meneteskan air
mata.
"Sungguh malang nasib kita,
Orang
Aneh.... Kau tentu sangat
tersiksa
karena tubuhmu dibenamkan ke
dalam tanah
seperti itu. Melihat wajahmu
yang kotor
penuh debu itu, kau tentu telah
lama
disekap di tempat ini...."
"Benar katamu. Hik...
hik... hik...
Walau aku tak dapat lagi
membedakan siang
ataupun malam, walau aku tak
dapat lagi
menghitung hari, tapi aku tahu
bahwa
diriku disekap di tempat ini
telah lebih
dari dua pekan. Hik... hik...
hik...
Sekarang aku harus membagi udara
denganmu. Hik... hik... hik...
Beberapa
saat lagi, kita akan mati
bersama-sama.
Hik.. hik... hik..."
Mengelam paras Peramal Buntung
mendengar ucapan Dewa Tikus.
"Sungguh
kejam orang yang telah menyekap
kita di
tempat ini...," ujarnya
lirih seperti
menggumam.
"Kau kenal dengan orang
itu?" tanya
Dewa Tikus tangisnya terhenti
mendadak.
Peramal Buntung menggeleng.
"Aku
tak tahu. Di sebuah tanah luas
berbatu-batu, tiba-tiba tubuhku
terasa
lemas. Aku pingsan. Dan ketika
siuman,
aku telah berada di tempat
ini...."
"Seseorang telah menotokmu
dengan
ilmu totokan jarak jauh bemama
'Sabetan
Jari Pelumpuh Naga'.,.."
"Dari mana kau tahu?"
"Apa yang kau alami,
kualami juga."
"Kalau begitu, kau pasti
tahu siapa
orang yang telah menyekap kita
itu...."
"Aku memang tahu, Tapi.',
kuberitahukan pun percuma
karena... kita
akan segera mati!"
"Hmmm..... Jahat benar
orang itu!"
geram Peramal Buntung. "Apa
sebenarnya
salahku kepadanya? Kenapa dia
berniat
membunuhku?"
"Pertanyaanmu itu sama persis
dengan pertanyaan yang ada di
benakku,"
sahut Dewa Tikus.
"Dan, kau pun tak mampu
menjawabnya?"
"Begitulah...."
Peramal Buntung mendesah. Kakek
berompi kuning ini geleng-geleng
kepala
ketika melihat Dewa Tikus
menangis lagi.
"Dewa Tikus...," gumam
Peramal
Buntung. "Dewa Tikus.
Sebuah nama atau
julukan yang tepat bagi makhluk
berwajah
mirip tikus itu. Hmmm....
Mungkinkah dia
punya kemampuan menggerong tanah
seperti
tikus?"
Terbawa pikiran dibenaknya,
Peramal
Buntung menatap lekat wajah Dewa
Tikus,
lalu bertanya, "Orang
aneh..., kau tadi
mengenalkan dirimu sebagai Dewa
Tikus.
Aku yang cacat dan bergelar
Peramal
Buntung ini hendak bertanya
kepadamu.
Apakah kau punya kemampuan
menggerong
tanah?"
"Kalau aku punya, kau mau
apa?" Dewa
Tikus balik bertanya.
Peramal Buntung diam sejenak.
Keningnya berkerut rapat Lalu
dengan
suara berat dan penuh
kesungguhan, dia
berkafa, "Firasatku
mengatakan bahwa
kita tak akan mati di tempat
ini. Pasti
ada sebuah cara untuk dapat
lepas dari
kungkungan ini. Dan kupikir,
kalau kau
punya semacam ilmu mirip tikus
yang
mampu, menggerong tanah, kita
berdua
pasti akan selamat..."
"Aku memang punya ilmu
'Menembus
Tanah Membuat Liang'. Tapi...,
ilmuku
itu tak lagi berguna kini. Tidak
tahukah
kau, mengeluarkan tubuhku dari
jepitan
tanah lembek ini saja aku tak
mampu?"
"Kenapa?".
"Kedua tangan dan kakiku
diikat."
"Hmmm.... Kalau hanya
membuka
ikatan saja, aku bisa
membantumu...."
Kepala Dewa Tikus menggeleng
lemah.
Peramal Buntung tak begitu
memperhatikan. Dengan semangat
yang
tiba-tiba muncul dan
menyala-nyala,
kakek berompi kuning ini mulai
menggali
tanah untuk dapat mengeluarkan tubuh
Dewa Tikus. Walau hanya
menggunakan
telapak kaki, Peramal Buntung
tak banyak
mendapat kesulitan.
"Sudahlah! Sudahlah!
Percuma saja!"
seru Dewa Tikus.
"Aku bermaksud mengeluarkan
tubuhmu, kemudian melepas ikatan
di
kedua tangan dan kakirnu!"
sahut Peramal
Buntung.
"Ah! Kubilang, percuma
saja!
Jangan-jangan perbuatanmu ini
hanya akan
mempercepat kematian kita. Atap
ruangan
ini akan runtuh! Kita akan
tertimbun
hidup-hidup!"
"Kau jangan terlalu
meremehkan
kemampuanku!" sentak
Peramal Buntung.
"Aku akan berhati-hati,
agar atap tanah
itu tidak runtuh!"
Di ujung kalimatnya, Peramal
Buntung mulai menggali lagi.
Sedikit
demi sedikit, dan terkesan amat
berhati-hati. Sementara, Dewa
Tikus
mendesah terus. Mulutnya
nyerocos
panjang pendek. Namun, Peramal
Buntung
tak memperhatikan sama sekali.
Sepeminum teh kemudian, tubuh
Dewa
Tikus telah berhasil diangkat
dari
kubangan tanah. Tubuh Dewa Tikus
ternyata benar-benar mirip
tikus.
Seluruh permukaan kulitnya
ditumbuhi
bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan. Perutnya pun
terlihat buncit
dan menggantung. Dan hanya selembar
cawat hitam yang menempel di
tubuhnya.
Sekadar menutupi barang
istimewanya!
"Sudah kubilang, percuma
saja...!"
seru Dewa Tikus seraya menggulingkan
tubuhnya. Dalam keadaan duduk
berselonjor, Dewa Tikus
memperlihatkan
ikatan di kedua tangan dan kakinya.
"Astaga!"
Peramal Buntung berseru kaget.
Tali
yang mengikat tangan dan kaki
Dewa Tikus
ternyata berupa garis-garis
sinar
berwarna kuning!
"Orang jahat itu mengikatku
dengan
ilmu 'Sabetan Jari Penjerat
Naga'...,"
beri tahu Dewa Tikus,
"Kalau saja aku
dapat memutuskan ikatan ini, tak
bakalan
kau menjumpai aku di tempat
pengap
ini...."
"Bagaimana kalau aku
mencoba
memutuskan ikatan itu?"
tawar Peramal
Buntung.
"Percuma saja."
"Kau benar-benar meremehkan
kemampuanku, Orang Aneh!"
sentak Peramal
Buntung.
"Tidak. Tapi kalau kau
penasaran,
bolehlah kau tunjukkan ilmu
kepandaianmu."
Tanpa pikir panjang lagi,
Peramal
Buntung beringsut. Jari-jari
kakinya
menjepit garis-garis sinar yang
mengikat
kedua tangan Dewa TikUs.
Dikerahkannya
tenaga dalam untuk dapat
memutuskan
garis-garis sinar yang
menyerupai tali
itu. Namun hingga keringat
bercucuran
dan tenaga dalam Peramal Buntung
nyaris
terkuras habis, ikatan Dewa
Tikus tak
juga dapat dilepaskan.
"Kini, kau baru
percaya...," ujar
Dewa Tikus. Air bening mulai
mengambang
di pelupuk matanya. "Hik...
hik...
hik... Kita akan mati di sini.
Kecuali,
Setan Ceriwis mau
menolong...."
"Setan Ceriwis? Siapa
itu?" tany?
Peramal Buntung, terkejut.
"Dia kakakku," jawab
Dewa Tikus.
"Dia juga punya nama Setan
Tanah atau
Setan Kapur. Hik.. hik.. hik...
Kalau dia
mau menolong, kita pasti
selamat. Tapi
kalau tidak, hik... hik...
hik... Kita
akan mati...."
"Andai kakakmu itu
bersedia, dengan
cara apa dia akan menolong
kita?" tanya
Peramal Buntung,. semangat
hidupnya
mulai membara lagi.
"Dia punya ilmu, 'Pelacak
Jejak'.
Dia tahu kalau aku disekap di
tempat ini.
Dia juga punya ilmu yang lebih
hebat dari
ilmu 'Menembus Tanah Membuat
Liang'
milikku. Dia bisa membelah tanah
lalu
menutupnya sesuka hatinya. Dia
punya
ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu
Bumi'.
Tapi.,., hik... hik... hik...
kalau dia
tak mau menolong, kita tetap
akan mati.
Hik.. hik... hik..."
"Namun kalau dia bersedia
menolong,
kita pasti selamat, bukan?"
"Ya! Ya! Tapi kau harus
tahu, Orang
Buntung..., kalau kakakku itu
telah
berhasil dibunuh kakakku yang
satunya
lagi, harapan kita hanya akan
tinggal
harapan. Kita pasti mati!
Hik...'hik..
hik..."
"Kau bilang bahwa kau masih
punya
kakak lagi. Siapa dia?"
tanya Peramal
Buntung, terbawa rasa ingin
tahunya.
"Siluman Ragakaca."
Melonjak kaget Peramal Buntung.
Dengan mata mendelik, kakek
cacat ini
hendak bertanya lagi, tapi
suaranya
tersekat di tenggorokan.
Tiba-tiba,
napasnya jadi sesak!
"Kita akan segera mati!
Udara segar
di ruangan ini hampir habis. Uh!
Hk!
Napasku sesak! Kau juga rupanya!
Hik...
hik,, hik... Matilah kita
sekarang..."
Dewa Tikus menutup kalimatnya
dengan menghirup udara sebanyak
mungkin.
Peramal Buntung berbuat serupa.
Namun..., maut akan menjemput!
***
8
Sona Langit melolong panjang
Cada
henti melihat pertempuran seru
yang
tengah berlangsung di
hadapannya. Anjing
yang tubuhnya nyaris sebesar
kuda ini
melompat ke sana sini, tak kuasa
membendung hasrat hatinya untuk
membantu
Raka Maruta ataupun Anggraini
Sulistya.
Namun, Raka Maruta berkali-kali
meneriakinya agar tetap tenang.
"Huuungngng...!"
"Tenanglah! Jangan
bertindak
gegabah!" seru Pendekar
Kipas Terbang
ketika melihat Sona Langit meloncat
kedekatnya.
Raka Maruta tahu maksud Sona
Langit
yang ingin membantunya. Tapi, Raka
Maruta jusiru tak mau melihat
Sona Langit
celaka. Karena, sambaran Cambuk
Api
Darah di tangan Dewa Cinta yang
menjadi
lawannya sangatlah berbahaya.
Sambaran
sinar merahnya saja sudah mampu
menghancurkan sebongkah batu
besar!
"Huuungngng...!" Sona
Langit
melolong lagi. Anjing besar
berbulu
hitam ini berbuat nekat,
menerjang Dewa
Cinta.
Sementara Pendekar Kipas Terbang
mendelik kaget, Dewa Cinta
tersenyum
senang. Dewa Cinta tahu bila
Sona Langit
adalah satwa piaraan Putri
Impian yang
menjabat sebagai Ratu Istana
Dalam di
Istana Langit. Oleh karena
itulah Sona
Langit pun dianggapnya sebagai
musuh
yang layak dienyahkan!
"Mati kau!"
Cewa Cinta menggembor keras
seraya
menyabet-kan Cambuk Api
Darahnya. Dengan
cambuk aneh yang semula berwujud
sapu
tangan itu, Dewa Cinta hendak
membelah
tubuh Sona Langit yang tengah
melayang di
udara!
Srattt...!
Jderrr...!
"Huffing...!" '
Melihat bahaya yang mengancam
Sona
Langit, Raka Maruta melemparkan
kipas
baja putihnya. Terbentur tenaga
lontaran
yang amat kuat, arah sabetan
Cambuk Api
Darah melenceng. Namun tak
urung, tubuh
sebelah kiri Sona Langit
terserempet!
Akibatnya, tubuh besar Sona
Langit
terpelanting lalu terbanting ke
tanah.
Sona Langit mendengking
kesakitan. Darah
mengucur dari bagian tubuhnya
yang
terluka. Namun dengan semangat
tempur
yang menyala-nyala, dan tak
peduli akan
luka di tubuhnya, Sona Langit
bangkit.
Hendak diterjangnya lagi Dewa
Cinta!
"Jangan...!" cegah
Pendekar Kipas
Terbang. Sambil berteriak keras,
pemuda
berwajah lembut ini menyambar
kipas baja
putih yang melesat balik ke
arahnya.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang.
Bola
matanya yang berkilat-kilat
menatap
tajam wajah Raka Maruta. Melihat
kesungguhan pemuda yang telah
membebaskannya dari timbunan
batu ini,
Sona Langit menganggukkan kepala
walau
hatinya masih diliputi hawa
amarah dan
rasa penasaran.
"Kau mmggirlah! Percayalah
kepadaku!" ujar Pendekar
Kipas Terbang
untuk menenangkan hati Sona
Langit.
Dan tampaknya, Sona Langit pun
mau
menuruti kemauan Raka Maruta.
Sekali
lagi, dia menganggukkan
kepalanya, lalu
melangkah mundur.
"Hmmm.... Rupanya, menantu
Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
adalah
seorang penjinak
anjing...," cibir Dewa
Cinta. "Tapi, tubuh anjing
itu tetap akan
kubelah dua setelah aku
meremukkan
tubuhmu dulu, Maruta!"
"Kalau kau mampu, silakan kau
wujudkan keinginanmu itu!"
balas
Pendekar Kipas Terbang.
"Jangan menyesal
andai aku yang lebih dulu
memenggal
kepalamu!"
"Bangsat! Kita buktikan
saja, siapa
yang lebih unggul di antara
kita?!"
Di ujung kalimat Dewa Ginta,
Cambuk
Api Darah meliuk ke atas.
Setelah
mengeluarkan suara ledakan
keras, tali
cambuk itu meluncur sebat ke
arah Raka
Maruta. Sementara, garis-garis
sinar
merah turut menyerbu ganas,
membarengi
luncuran Cambuk Api Darah!
"Heaaa...!"
Srattt...!
Sambil memekik nyaring, Raka
Maruta
melemparkan kipas baja putihnya.
Timbul
seberkas cahaya putih
berkeredepan,
menelan garis-garis sinar merah
yang
muncul dari sabetan tali Cambuk
Api
Darah!
Tas...!
"Ih...!"
Tatkala tali cambuk di tangannya
terbentur kipas baja putih, Dewa
Cinta
memekik kaget. Jari-jari tangan
kanannya
terasa kesemutan. Dan, bagian
tubuh
sebelah kanannya pun terasa
lumpuh.
Kontan bola mata Dewa Cinta
melotot
besar!
Setelah membentur tali cambuk
api,
kipas baja putih Raka Maruta
mencelat
tinggi. Anehnya senjata itu dapat
melesat ke kiri lalu berputar ganas
hendak menebas leher Dewa Cinta!
Cepat Dewa Cinta mengatasi
kegugupannya. Dengan menjatuhkan
diri ke
tanah, lelaki berpakaian ketat
hijau ini
berhasil menyelamatkan diri.
Namun, Dewa
Cinta terkejut luar biasa. Kipas
baja
putih terus mengejarnya ke mana
pun dia
berkelit!
Agaknya, Raka. Maruta telah
mengeluarkan jurus terhebatnya
‘Kipas
Terbang Membelah Angin’
yang sudah
sempurna dikuasainya atas
petunjuk si
Kipas Sakti, gurunya.
Dengan menggunakan tenaga dalam
tingkat tinggi yang mampu
dipakai untuk
menarik dan melontarkan sebuah
benda
dari jarak jauh, Raka Maruta
memainkan
jurus 'Kipas Terbang Membelah
Angin' nya
yang dahsyat luar biasa. Hanya
dengan
menggerak-gerak-kan kedua
telapak
tangannya dari jarak jauh, Raka
Maruta
mampu mengirim serangan-serangan
memati-an. Kipas baja putihnya
menyambar-nyambar bagai seekor
elang
memburu mangsa. Sementara,
biasan cahaya
putih yang muncul dari sambaran
kipas
membuat udara di sekitarnya jadi
panas
seperti ada api besar yang
tengah
berkobar-kobar!
Dewa Cinta mendengus gusar
berkali-kali. Tubuhnya
benar-benar
terkurung oleh sambaran senjata
andalan
Pendekar Kipas Terbang. Cambuk
Api Darah
pun tak lagi dapat
memperlihatkan
kehebatannya.
Terdesak hebatlah Dewa Cinta!
***
Di bagian lain, wajah Dewi
Asmara
tampak pucat pasi. Rasa kalut
dan bingung
mulai menggeluti hatinya.
Sepasang
pedang lentur di tangannya tak
berdaya
sama sekali menghadapi ilmu
'Cahaya
Sakti Bentengi Jiwa' yang tengah
diterapkan oleh Anggraini
Sulistya.
Cahaya putih yang menyelubungi
tubuh Anggraini Sulistya membuat
tubuh
putri raja Pasir Luhur ini kebal
senjata
tajam. Tak takut lagi dia
menadahi
sabetan dan tusukan pedang
lentur Dewi
Asmara. Sementara Dewi Asmara
harus
berjuang sekuat tenaga untuk
dapat
menghindari totokan-totokan
berbahaya
sending emas di tangan Anggraini
Sulistya.
"Kau datang hendak meminta
batu
mustika yang bukan milikmu.
Jelas kau
seorang durjana.
Menyerahlah!" ujar
Putri Cahaya Sakti sambil terus
mengirim
totokan.
"Aku akan menyerah kalau
kau
menyerahkan kepalamu lebih
dulu!" sahut
Dewi Asmara. Salah satu pedang
lenturnya
disabetkan ke depan untuk
menangkis
totokan sending Anggraini
Sulistya.
Trang!
Namun tiba-tiba, tubuh Putri
Cahaya
Sakti melenting amat cepat.
Sambil
berjumpalitan, dia mengirim
totokan maut
yang mengarah jalan darah di
punggung
Dewi Asmara.
Wuttt...!
Dewi Asmara yang sudah terdesak
hebat, membuang tubuhnya
jauh-jauh
kekiri. Dan Anggraini Sulistya pun
tersenyum senang. Pancingannya
berhasil. Dengan tubuh masih
melayang di
udara, kakinya terjulur cepat.
Di lain
kejap, terdengar suara berdebuk.
Ping-
gang kanan Dewi Asmara berhasil
ditendangnya.
Walau Anggraini Sulistya tak
berniat. membunuh lawan, tapi
tendangannya sudah cukup kuat
untuk
dapat melontarkan tubuh Dewi
Asmara. Dan
selagi Dewi Asmara jatuh
bergulingan di
tanah, terdengar pekik kesakitan
dari
mulut Dewa Cinta!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Cinta juga jatuh
bergulingan ke arah yang sama
dengan
gulingan tubuh Dewi Asmara.
Ketika
bangkit, bahu kiri Dewa Cinta
mengucurkan darah segar..
Rupanya, kipas
baja putih Raka Maruta telah
berhasil
melukainya. Sementara tendangan keras
Raka Maruta juga sempat
menghajar
punggungnya.
"Kalian adalah dua orang
durjana
yang layak dijebloskan ke
penjara bawah
tanah!" seru Anggraini
Sulistya, kakinya
melangkah untuk mengiringi Dewa-Dewi
Kayangan ke istana.
"Kaulah yang harus
dijebloskan ke
neraka!" hardik Dewa Cinta
tiba-tiba.
Telapak tangan kirihya mengibas.
Dewi
Asmara pun berbuat serupa.
"Awas...!" teriak
Pendekar Kipas
Terbang, memberi peringatan kepada
istrinya.
Bergegas Putri Cahaya Sakti
meloncat jauh saat melihat
gelombang
angin pukulan menyerbu ganas ke
arahnya.
Timbul suara gemuruh keras manakala
batu-batu berpentalan. Untuk
beberapa
lama, gumpalan tanah berdebu
menutupi
pandangan mata.
"Bedebah!" maki Putri
Cahaya Sakti.
Ketika pandangan menjadi terang
lagi, ternyata sosok Dewa-Dewi
Kayangan
sudah tak tampak. Dan mengiang
di telinga
Putri Cahaya Sakti sebuah
kalimat yang
dikirim dengan ilmu memindahkan
suara.
"Tunggu pembalasan Siluman
Ragakaca!" ujar suara itu.
Anggraini Sulistya tahu bila
ancaman yang didengarnya adalah
suara
Dewi Asmara. Kontan hatinya menjadi
panas. Dia ingin mengejar, tapi
Pendekar
Kipas Terbang telah menyentuh
bahunya
seraya berkata,
"Sudahlah. Kita harus
kembali ke
istana. Ayahanda Prabu menunggu
kita."
"Huuungngng...!"
Terdengar lolongan panjang Sona
Langit. Anggraini Sulistya dan
Raka
Maruta menoleh bersamaan. Sona
Langit
tampak berdiri terhuyung-huyung.
Darah
segar masih mengucur dari luka
di
tubuhnya.
"Walau menyeramkan, anjing
itu
tidak jahat. Kita bawa dia ke
istana
untuk mendapat pengobatan."
cetus
Pendekar Kipas Terbang.
***
"Hmmm.... Rupanya, tubuhmu
tak
sekuat yang kukira...,"
ujar Setan
Ceriwis, bemada penyesalan.
Sinar hijau yang memancar dari
kedua
bola matanya tiba-tiba lenyap.
Sebagai
gantinya, memancar sinar putih
bening
yang langsung menerpa tubuh
Pengemis
Binal!
Wusss...!
Luar biasa! Sinar putih bening
itu
mampu mengangkat tubuh Pengemis
Binal
yang tengah terbaring telentang.
Bahkan,
sinar yang memancar dari bola
mata Setan
Ceriwis itu mampu menekuk tubuh
Pengemis
Binal, lalu memaksanya untuk
duduk
bersila lagi!
"Bertahanlah untuk tetap
sadar!
Kalau pingsan kau akan menyesal
seumur
hidup! Beberapa urat darahmu
akan pecah.
dan kau akan lumpuh seumur
hidup!"
Antara sadar dan tidak,
lamat-lamat
Suropati mendengar kata-kata
Setan
Ceriwis yang ditujukan kepada
dirinya.
Tak mau mendapat celaka,
Pengemis Binal
berusaha sekuat tenaga agar
kesadarannya
tak hilang
Semakin lama, kata-kata Setan
Ceriwis terdengar makin keras.
Suropati
berseru girang dalam hati.
"Itu berarti
telinganya tidak jadi
tuli!"
Perlahan-lahan sinar putih
bening
yang memancar dari bola mata
Setan
Ceriwis berubah hijau lagi.
Kembali rasa
sakit menyiksa sekujur tubuh
Suropati.
Namun tidak seberapa lama
kemudian,
Suropati merasakan tubuhnya
sangat
ringan..., dan terus bertambah
ringan.
Alam pikirannya pun terasa amat
lapang.
Lalu, hawa murni yang berputar
di sekitar
pusamya terasa
menyentak-nyentak, namun
tubuhnya malah terasa sangat
segar,
hingga membuatnya
terlena....
"Hei! Bangun! Bangun!"
Pengemis Binal terkesiap
mendengar
teriakan keras Setan Ceriwis. Namun
karena takut akan terjadi
sesuatu yang
bisa membuat celaka, Pengemis
Binal tak
mau menutup semadinya.
"Bangun, Bocah
Geblek!" seru Setan
Ceriwis lebih keras. Tak ada
lagi sinar
yang memancar dari bola matanya.
"Kau ini
tidak sedang bersemadi! Kau
ketiduran!
Hayo! Bangun!"
Karena teriakan Setan Ceriwis
terdengar keras menggekgar,
Pengemis
Binal menggerigap kaget. Kelopak
matanya
kontan membuka. Melihat Setan
Ceriwis
yang tampak marah-marah,
Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya
nyengir kuda.
"Aku boleh bangun,
Kek?" tanyanya
ketolol-tololan.
"Memang itu yang ku mau,
Geblek!"
maki Setan Ceriwis. "Kau
boleh pergi
sekarang!"
"Pergi?" ujar
Suropati, tak
mengerti. "Bukankah Kakek
hendak
memberiku beberapa ilmu
kesaktian?"
"Huh! Dasar geblek! Apa kau
tak
merasa?!" bentak Setan
Ceriwis.
"Merasa bagaimana?"
"Aku telah menepati
janjiku,
Tolol!"
"Menurunkan ilmu kesaktian
kepadaku?"
'Ya," sahut Setan Ceriwis,
setengah
membentak.
"Kini kau memiliki ilmu 'Pelacak
Jejak', 'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia', dan tenaga dalammu telah
kulipat
gandakan Sehingga, kau pun dapat
menguasai ilmu 'Pemisah Tanah
Penyatu
Bumi' serta sebuah ilmu pukulan
maha
dahsyat bernama 'Pengguncang
Jagat'."
"Ck... ck... ck..,"
Pengemis Binal
geleng-geleng kepala. "Kedengarannya
hebat sekali keempat ilmu yang
kau
turunkan kepadaku itu, Kek Kalau
ilmu
'Pelacak Jejak', aku tahu
kegunaannya
karena ada sahabatku yang juga
mempunyai
ilmu itu," ujar remaja tampan
ini. Yang
disebut sebagai 'sahabat' adalah
Saka
Purdianta atau Dewa Guntur.
"Tapi ketiga
ilmu lainnya masih sangat asing
bagiku.
Apa kehebatan ilmu-ilmu itu,
Kek?"
"Hmmm.... Bolehlah aku
jelaskan
sedikit saja. Tapi setelah ini,
kau harus
segera pergi...," sahut
Setan Ceriwis.
"Dengan ilmu 'Mengolah
Udara
Memperpanjang Usia', kau dapat
mengolah
udara sedemikian rupa, sehingga
kau akan
dapat bertahan hidup walau kau
disekap di
sebuah ruangan kedap
udara...."
"Caranya?"
"Kau akan tahu sendiri
nanti. Dan
dengan ilmu 'Pemisah Tanah
Penyatu
Bumi', kau dapat membuka tanah
lalu
menutupnya lagi sekehendak
hatimu. Bila
digabungkan dengan ilmu
'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', kau dapat
hidup di
dalam tanah seperti yang tengah
kujalani
sekarang ini."
"Lalu, apa
keistimewaan ilmu
pukulan 'Pengguncang
Jagat'?"
"Itu tak perlu kujelaskan,
Kau akan
tahu keistimewaannya jika kau
gunakan
ilmu pukulan itu untuk menumpas
Siluman
Ragakaca.... Sekarang, kau harus
cepat
pergi dari tempat ini. Balikkan
badanmu!
Gunakan Ilmu 'Pemisah Tanah
Penyatu
Bumi'! Berjalanlah lurus! Jangan
turun
ataupun naik! Cepat...!"
"Tapi, Kek...,"
Suropati hendak
bertanya lagi. Tapi, remaja
berpakaian
putih penuh tambalan ini
mengurungkan
niatnya karena Setan Ceriwis
menatapnya
dengan mata mendelik!
"Cepat balikkan badanmu!
Pergi dari
sini!"
Mendengar bentakan keras Setan
Ceriwis, bergegas Pengemis Binal
bangkit
seraya membalikan badan. Namun
Pengemis
Binal cuma dapat menggaruk
kepalanya
yang tak gatal. Bagaimana dia
harus
berjalan bila di hadapannya
terbentang
dinding batu kapur yang amat
keras?
"Gunakan ilmu 'Pemisah
Tanah
Penyatu Bumi', Geblek!"
maki Setan
Ceriwis. "Alirkan separo
tenaga dalam ke
kedua telapak tanganmu. Lalu,
yang kiri
kau luruskan ke depan dan yang kanan kau
tengadahkan!".
Walau belum mengerti benar apa
maksud kata-kata Setan Ceriwis,
Pengemis
Binal mengalirkan juga separo
tenaga
dalamnya ke kedua telapak
tangannya.
Dan, terkejutlah remaja tampan
ini. Dia
melihat kedua pergelangan
tangannya
bergetar kencang.
"Hmmm.... Kakek Ceriwis itu
benar-benar telah melipat gandakan
tenaga dalamku," kata hati
Suropati.
"Hei! Kenapa diam saja?!
Segera
melangkah maju!"
"Ya. Ya!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Suropati
segera menururi perintah Setan
Ceriwis.
Kakinya melangkah perlahan.
Setindak..., dua tindak....
Mendadak,
dinding batu kapur di hadapan
Suropati
runtuh!
Tak mau tubuhnya terkena
reruntuhan, Pengemis Binal
menggerakkan
telapak tangan kanannya yang
ditengadahkan. Aneh! Reruntuhan batu
kapur menyembur ke belakang.
Hingga,
Pengemis Binal dapat terus melangkah
maju. Dinding-dinding batu kapur
di
hadapannya terus runtuh. Telapak
tangan
kiri Pengemis Binal laksana
dapat
mengebor dari jarak jauh.
Sementara,
telapak tangan kanannya
digerak-gerak-
kan sedemikian rupa untuk
menghalau
reruntuhan batu kapur ke
belakang!
"Bagus! Terus melangkah
maju!
Lurus! Jangan berbelok! Jangan
turun
ataupun naik! Ha ha ha....
Terus! Bagus!
Ha ha ha...!"
Pengemis Binal mendengar tawa
panjang Setan Ceriwis. Namun
seiring
langkah kaki Pengemis Binal yang
terus
maju, suara tawa Setan Ceriwis
lenyap
perlahan-lahan...
Beberapa saat kemudian, dada
Suropati menjadi sesak. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti sulit
bernapas. Dia memang berada di
bawah
tanah yang tak memungkinkan ada
udara
segar masuk.
"Akan kucoba menggunakan
ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia'…"
kata Suropati kepada dirinya
sendiri.
Untuk beberapa saat, Suropati
bingung. Dia tak tahu cara
menggunakan
ilmu pernapasan yang baru
didapat dari
Setan Ceriwis itu. Tapi setelah
memutar
otak, Suropati mengalirkan
sebagian
tenaga dalam ke rongga dadanya.
Untuk
menghemat udara, dia bernapas
dengan
menghirup udara yang telah
dikeluarkan
lewat mulut. Luar biasa! Dada
Suropati
tak sesak lagi. Bahkan, dia pun
dapat
bernapas dengan leluasa!
Dengan mengerahkan ilmu 'Pemisah
Tanah Penyatu Bumi' dan
'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', Suropati
terus
melangkah lurus ke depan. Tidak
turun
ataupun naik, menururi petunjuk
yang
diberikan Setan Ceriwis.
Kini yang menghalang di depan
Suropati tak lagi berupa dinding
keras
yang berupa batu kapur,
melainkan tanah
lembek dan sedikit berair.
Dengan
menggunakan ilmu 'Mata Awas'
ajaran
Mendiang Periang Bertangan
Lembut,
Suropati berusaha melihat ke
depan. Dan,
terkejutlah remaja tampan ini.
Samar-samar dilihatnya dua sosok
tubuh
yang tengah tergeletak di dalam
ruangan
bawah tanah.
"Hmmm.... Agaknya, kedua
orang itu
tengah disekap. Aku harus
menolong
mereka. Kemungkinan besar memang
inilah
maksud Setan Ceriwis yang menyuruhku
untuk berjalan lurus menembus
tanah...."
***
Peramal Buntung dan Dewa Tikus
yang
sudah berada di ambang pintu
maut,
terhantam keterkejutan. Kaget
tiada
terkira mereka ketika melihat
salah
satu. dinding ruangan tiba-tiba
jebol,
lalu masuk seorang remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan,
"Tu.... Tuan Mu...
da...!" seru
Peramal Buntung tergagap karena
kesulitan bernapas.
"Hei! Bukankah kau Kakek
Peramal
Buntung?" kejut sosok
remaja yang baru
muncul. Si Pengemis Binal
Suropati.
"Wa... walau aku tak
mengenalmu,
tapi aku tahu... kau pasti
disuruh Setan
Ceriwis...," Dewa Tikus
turut bicara.
"Aku adik orang yang
menyuruhmu itu.
Cepat... tolong...!"
Pengemis Binal terkejut melihat
wujud Dewa Tikus yang
benar-benar mirip
seekor tikus. Namun melihat
kesengsaraan
makhluk itu berikut Peramal
Buntung yang
suljt bernapas, cepat Pengemis
Binal
berjalan ke depan lagi. Kali
ini, kakinya
melangkah naik untuk membuat
jalan
menuju dunia bebas....
SELESAI
txt oleh :
http//www.mardias.mywapblog.com
Emoticon