4
Senja
merangkak bangkit, menyambut da-
tangnya sang
dewi malam. Jangkrik mengerik ter-
gai
mengalunkan lagu duka. Malam pun jatuh da-
lam dekapan
sunyi.
Sementara
Suropati sibuk membuat pera-
pian, Gajah
Angon duduk terpekur merenungi
nasibnya.
Peristiwa berdarah di puncak Bukit Pa-
lastra
membayang di pelupuk matanya.
"Apa
yang kau pikirkan, Pak Tua?" tanya
Pengemis
Binal, duduk mendekati.
Gajah Angon
mendesah panjang. "Kau ha-
rus
menolongku, Suro," pintanya, penuh pengha-
rapan.
"Kalau
itu di jalan kebaikan, aku pasti me-
nolongmu, Pak
Tua," sambut Pengemis Binal. "Ka-
takan apa
yang menjadi beban pikiranmu. Ada
hubungannya
dengan kematian kakak sepergu-
ruanmu,
bukan?"
Mengangguk
Gajah Angon. "Tapi, urusan-
nya tidak
sesederhana itu. Bukan sekadar mem-
balas
kematian Kakang Garang Wanara, bukan
sekadar
membalas dendam...."
Alis Suropati
bertaut. "Aku tak mengerti
arah
pembicaraanmu, Pak Tua."
"Di
rimba persilatan telah hadir seorang
pembunuh
jahat! Kekejamannya melebihi iblis
yang paling
jahat sekalipun!" ujar Gajah Angon,
keras seperti
membentak.
"Siapa
dia? Apakah dia yang telah membu-
nuh kakak
seperguruanmu?" tanya Pengemis Bi-
nal, penuh
perhatian.
Gajah Angon
menarik napas panjang bebe-
rapa kali.
Ditatapnya wajah Pengemis Binal lekat-
lekat, seakan
ingin melongok isi hati pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini.
"Jangan
buat aku penasaran, Pak Tua!"
bentak
Suropati, tak sabar.
Gajah Angon
mendesah panjang untuk ke-
sekian
kalinya. Ditatapnya lagi wajah Pengemis
Binal. Dan,
mulailah dia menceritakan peristiwa
berdarah yang
terjadi di puncak Bukit Palastra....
Dua hari yang
lalu, setelah Prahesti men-
gangkat
sumpah, Gajah Angon mengajak Garang
Wanara masuk
ke pondok bambunya. Namun ba-
ru menginjak
pelataran, mendadak terdengar ge-
merincing
lonceng kereta kuda yang saling sahut
dengan
dengungan seperti ada ribuan lebah se-
dang terbang
mendekati. Gajah Angon dan Ga-
rang Wanara
memutar tubuh seraya mengedar-
kan pandangan.
Namun hingga beberapa lama,
mereka tetap
tak tahu dari mana asal suara aneh
yang
terdengar.
Selagi kedua
saudara seperguruan itu di-
landa
kebingungan, melesat seberkas cahaya me-
rah dari
langit. Hanya dalam satu kejap mata, ca-
haya yang
amat menyilaukan mata itu lenyap.
Dan, lenyap
pula suara aneh yang didengar oleh
Gajah Angon
dan Garang Wanara. Sebagai gan-
tinya, di
pelataran pondok bambu itu muncul seo-
rang wanita
cantik. Tubuhnya yang sintal ter-
bungkus
pakaian merah gemerlap seperti layak-
nya seorang
ratu. Rambutnya hitam mengkilat,
digelung ke
atas berhiaskan tiga tusuk konde
emas bermata
intan. Anehnya, wanita cantik ber-
sorot mata
tajam menusuk ini mempunyai tangan
empat!
"Si...
siapa kau?!" tuding Gajah Angon da-
lam
keterkejutannya.
Garang Wanara
pun tak kalah terkejut.
Wajahnya
terlihat pucat pasi. Bola matanya melo-
tot besar.
Dan, tanpa disadarinya, mulutnya tern-
ganga lebar.
"Si...
siapa kau?" ulah Gajah Angon.
Bibir wanita
bertangan empat menyungging
senyum tipis.
"Aku Nyai Catur Asta," kenalnya.
"Heh?!"
Dalam
keterkejutannya, jalan napas Gajah
Angon terasa
buntu. Membuat sesak dadanya.
Tanpa sadar,
kakinya tersurut mundur dua tin-
dak. Nyai
Catur Asta? Tokoh-tokoh rimba persila-
tan kelas
atas memang pernah menyebut-nyebut
nama itu.
Mereka mengatakan bila Nyai Catur As-
ta adalah
penguasa Kerajaan Siluman. Pada mu-
lanya, Nyai
Catur Asta seorang manusia biasa.
Tapi entah
bagaimana, dia bisa menjadi ratu di
kerajaan yang
hanya dihuni jin, peri perayangan,
dan makhluk
halus lainnya itu.
Gajah Angon
menganggap cerita yang di-
dengarnya
hanyalah isapan jempol semata. Tapi
sekarang
setelah melihat sendiri bagaimana wu-
jud Nyai
Catur Asta, masihkah dia menganggap
cerita itu
cuma isapan jempol?
"Benarkah
kau ratu Kerajaan Siluman?"
tanya Gajah
Angon, ingin mendapatkan ketega-
san.
"Ya.
Akulah penguasa Kerajaan Siluman,"
jawab Nyai
Catur Asta. (Tentang tokoh ini, bisa
dibaca pada
serial Pengemis Binal dalam episode:
"Petaka
Kerajaan Air").
"Lalu,
apa maksudmu datang kemari?" se-
lidik Garang
Wanara, menyimpan rasa tak suka.
"Apa
maksudku datang kemari? Mudah se-
kali
menjawabnya. Tapi..., aku khawatir kalian
berdua akan
tersinggung dan naik darah bila
mendengarnya."
"Cepat
katakan apa maksudmu! Jangan
berbelit-belit!"
sentak Garang Wanara yang punya
sifat
berangasan.
Kening Nyai
Catur Asta berkerut, tapi bi-
birnya
menyungging senyum manis. "Kau tahu
Prahesti?"
ujarnya, lembut.
"Tentu
saja aku tahu. Dia muridku. Murid
kami
berdua!"
"Ssst...!
Jangan terlalu kasar, Kakang," te-
gur Gajah
Angon, lirih.
"Aku
sendiri tak tahu kenapa aku jadi ingin
marah setelah
melihat kehadiran wanita siluman
itu,"
sahut Garang Wanara.
"Tapi,
cobalah kau tekan perasaanmu. Ba-
gaimanapun
juga, kita belum tahu apa maksud
kedatangannya,"
ujar Gajah Angon, mengin-
gatkan.
Kepala Garang
Wanara mengangguk, per-
tanda dia
dapat mengerti peringatan adik seper-
guruannya.
Tapi, tatapannya pada Nyai Catur As-
ta tetap
tajam penuh selidik.
"Apa
yang kau inginkan dari Prahesti,
Nyai?! Harap
kau tahu, bocah perempuan itu te-
lah menjadi
murid kesayangan kami!"
Mendengar
kata-kata keras Garang Wana-
ra, Nyai
Catur Asta tersenyum tipis. Ditatapnya
wajah lelaki
bersepatu jerami itu beberapa lama,
lalu katanya,
"Jangan kau salah kira, Wanara.
Aku tidak
bermaksud buruk. Hanya, maksud ke-
datanganku
ini butuh keikhlasanmu. Aku hendak
meminjam
Prahesti...."
"Ha ha
ha...!" Garang Wanara tertawa ber-
gelak.
"Aneh! Tak masuk akal! Prahesti hendak
kau pinjam?
Dia bukan uang atau barang berhar-
ga lainnya!
Dia manusia! Manusia yang punya ji-
wa dan
perasaan! Begitu mudah kau mengu-
capkan kata
meminjam, Nyai? Apakah kau salah
ucap atau kau
memang sedang mengigau?"
"Kakang!"
sentak Gajah Angon, mengin-
gatkan bahwa
kata-kata kakak seperguruannya
bisa
menyinggung perasaan.
Sementara
wajah Gajah Angon menampak-
kan sinar
takut dan rasa bersalah, wajah Garang
Wanara malah
menegang dan penuh tantangan.
Namun, sekali
lagi bibir Nyai Catur Asta me-
nyungging
senyum tipis.
"Aku
bisa mengerti perasaanmu, Wanara.
Siapa yang
rela murid kesayangannya hendak di-
ambil orang.
Tapi kau pun harus mengerti, Wana-
ra,"
ujar Nyai Catur Asta, lembut. "Aku bukan
hendak
mengambil atau merampas Prahesti dari
tanganmu.
Oleh karenanya, kugunakan istilah
'meminjam'
karena setelah kubawa, Prahesti akan
kukembalikan
lagi kepadamu, dalam keadaan tak
kurang suatu
apa."
"Ha ha
ha...!" Garang Wanara tertawa pe-
nuh ejekan.
"Siapa yang percaya pada bualanmu.
Aku tahu Prahesti
hendak kau jadikan budak di
Kerajaan
Siluman! Tak usah kau mungkir atau
bersilat
lidah!"
"Hmmm....
Rupanya kau lelaki keras kepa-
la yang sulit
diberi pengertian, Wanara. Aku me-
mang akan
menugaskan Prahesti untuk menyele-
saikan suatu
urusan, tapi tidak untuk memper-
budaknya."
"Ucapanmu
semakin ngawur saja, Nyai!
Prahesti itu
seorang bocah yang belum lewat lima
belas tahun.
Bagaimana mungkin dia bisa menye-
lesaikan
tugas yang kau berikan?! Apakah di du-
nia ini tidak
ada orang yang kemampuannya me-
lebihi
Prahesti?"
"Tidak!"
sahut Nyai Catur Asta, tegas. "Pra-
hesti
memiliki campuran darah siluman. Tidak
ada orang
yang dapat menyamai kemampuannya.
Apalagi
melebihinya!"
Garang Wanara
terdiam. Gajah Angon yang
berdiri di
sebelah kirinya pun tak mampu berkata
apa-apa.
Benarkah Prahesti memiliki campuran
darah
siluman?
"Aku
minta keikhlasan kalian berdua. Izin-
kan aku
membawa Prahesti saat ini juga," pinta
Nyai Catur
Asta kemudian.
"Maaf,
Nyai...," sahut Gajah Angon, meren-
dah.
"Kalaupun benar Prahesti memiliki campu-
ran darah
siluman, apa yang dapat diperbuat
olehnya?
Kemampuannya sangat terbatas. Belum
lama dia
belajar ilmu silat..."
"Itu
persoalan mudah. Aku bisa menyu-
supkan roh
seseorang ke dalam tubuhnya."
Terkesiap
Gajah Angon mendengar penjela-
san Nyai
Catur Asta. Jika yang dikatakan ratu
Kerajaan
Siluman itu benar, maka sifat kemanu-
siaan
Prahesti akan hilang. Apalagi, bila roh yang
menyusupinya
punya tabiat jahat dan kejam.
"Sungguh
berat hati ini untuk meluluskan
permintaan
Nyai. Bila badan kasar Prahesti telah
disusupi roh
orang lain, dia pasti tak akan ingat
lagi kepada
kami sebagai gurunya," tolak Gajah
Angon, tetap
lembut merendah.
"Kau tak
perlu khawatir, Angon," bujuk
Nyai Catur
Asta. "Aku akan menyusupkan roh
orang lain ke
dalam badan kasar Prahesti hanya
selama
dibutuhkan. Apabila tugasnya telah sele-
sai, roh itu
akan kutarik kembali. Dan, Prahesti
akan
kukembalikan ke puncak bukit ini dalam
keadaan tak
kurang suatu apa."
Gajah Angon
terdiam. Tampaknya, lelaki
ini bisa
mengerti penjelasan Nyai Catur Asta. Tapi
berbeda
dengan kakak seperguruannya. Garang
Wanara tampak
mendengus gusar dengan sinar
mata
berkilat-kilat
"Kami
bukan anak kecil yang bisa kau bu-
juk
sedemikian rupa, Nyai!" sentak Garang Wana-
ra. "Aku
sama sekali tak percaya pada kata-kata
manismu.
Berkatalah sejujurnya! Bukankah kau
hendak
merampas ketenteraman dan kebaha-
giaan
kami?!"
Mendengar
tuduhan itu, mendadak bola
mata Nyai
Catur Asta membersitkan sinar merah.
Namun begitu
kepalanya digelengkan sinar merah
itu lenyap.
Dan, tatapannya kembali melembut.
"Dalam
hatiku tak ada sedikit pun keingi-
nan seperti
yang kau tuduhkan itu, Wanara. Tapi,
habis
kesabaranku mendengar kata-kata kasar-
mu. Kau rela
atau tidak, Prahesti tetap akan ku-
bawa."
Di ujung
kalimat Nyai Catur Asta, Garang
Wanara
menggembor keras. Hawa amarah yang
menyentak-nyentak
sedari tadi, meledaklah su-
dah. Lalu....
Sing...!
Garang Wanara
menghunus pedang pen-
dek yang
terselip di pinggangnya. Tertimpa sinar
matahari,
bilah pedang itu membersitkan sinar
berkilat.
"Jangan,
Kakang!" cegah Gajah Angon.
Tapi, ucapan
adik seperguruannya itu tak
dihiraukan
sama sekali oleh Garang Wanara. Se-
cepat kilat,
pedangnya berkelebat hendak mene-
bas leher
Nyai Catur Asta. Tapi....
Bletakkk...!
"Haya...!"
Garang Wanara
terkejut bagai disambar pe-
tir. Sebelum
ketajaman pedangnya menyentuh
sasaran,
mendadak sekujur tubuh Nyai Catur As-
ta memancarkan
cahaya merah. Dan, pedang Ga-
rang Wanara
terpental lepas dari cekalan, seperti
membentur
tembok baja yang amat kokoh.
"Iblis!"
maki Garang Wanara sambil mengi-
bas-ngibaskan
telapak tangan kanannya yang te-
rasa panas
bagai dijalari api. "Jangan kau kira
dengan
kesaktianmu itu, kau bisa memaksakan
kehendak!"
"Sudahlah,
Kakang Wanara," bujuk Gajah
Angon yang
tak ingin melihat kakak sepergu-
ruannya
celaka. "Kita bisa membicarakan masa-
lah ini
dengan kepala dingin. Bukankah Nyai Ca-
tur Asta tak bermaksud
mencelakakan Prahesti?
Kenapa Kakang
Wanara menuruti hati panas,
yang hanya
akan mengobarkan api permusuhan?"
"Aku
sama sekali tak percaya pada ucapan
Ratu Gendeng
itu, Angon!" sergah Garang Wana-
ra. "Dia
mau meminjam murid kita, apakah ini
bukan
merupakan penghinaan? Tak sadarkah
kau bila dia
telah menginjak-injak kepala kita?"
"Tapi,
ada baiknya bila Kakang Wanara
bersabar
dulu...."
Usai berkata,
Gajah Angon mengalihkan
pandangan.
Ditatapnya Nyai Catur Asta seraya
menarik napas
panjang.
"Aku
percaya bila Nyai tak akan menipu
kami,"
ujarnya, lirih namun sungguh-sungguh.
"Terlebih
dahulu kami ingin tahu, roh siapakah
yang akan
Nyai susupkan ke badan kasar Prahes-
ti?"
Bibir Nyai
Catur Asta menyungging se-
nyum.
"Pemilik roh itu adalah orang yang telah
kau kenal.
Dia telah begitu dekat dengan kalian
berdua."
"Siapa?"
buru Garang Wanara, mendesak.
"Dia
adik seperguruanmu."
"Barata
Sukma?"
"Ya."
"Nyai!"
sentak Gajah Angon tiba-tiba. "Apa-
kah Nyai
salah ucap? Atau mungkin, Nyai keliru
menentukan
pilihan?"
Kepala Nyai
Catur Asta menggeleng. "Tidak,
Angon,"
tegasnya. "Aku tidak salah ucap ataupun
keliru
menentukan pilihan. Roh itu memang Ba-
rata Sukma.
Ilmu kesaktiannya sangat tinggi. Se-
hingga, tak
ada keraguan dalam hatiku bila dia
akan gagal
menjalankan tugas."
"Tapi,
Nyai!" sergah Gajah Angon dengan
air muka
keruh. "Barata Sukma adalah murid
murtad.
Semasa hidup, semua perbuatannya bisa
disejajarkan
dengan kekejaman iblis laknat yang
haus darah!
Guru kami pun, Eyang Darma Sago-
tra, sampai
meninggal karena menderita tekanan
batin.
Tidakkah Nyai memperhitungkan ba-
hayanya bila
roh orang jahat itu disusupkan ke
tubuh
Prahesti?"
"Jangan
khawatir, Angon, Aku sudah ber-
pikir masak-masak.
Roh Barata Sukma akan se-
lamanya
tunduk kepadaku."
Kepala Gajah
Angon menggeleng-geleng.
"Tidak...
tidak...," desisnya. "Aku sama sekali tak
percaya. Roh
Barata Sukma terlalu berbahaya un-
tuk
disusupkan ke tubuh bocah lugu macam
Prahesti..."
"Kau tak
percaya, boleh. Aku akan mem-
buktikannya,
Angon."
Tampak
kemudian, kedua telapak tangan
Nyai Catur
Asta bagian bawah menyatu di depan
dada.
Sementara, dua tangan lainnya dibentang-
kan.
Perlahan-lahan bergerak ke atas, lalu mene-
puk di atas
kepala. Mata ratu Kerajaan Siluman
ini terpejam
rapat. Sementara, bibirnya bergetar
mengucap
mantra-mantra.
Gajah Angon
dan Garang Wanara terke-
siap. Bulu
kuduk mereka sama-sama meremang.
Mendadak,
udara di puncak Bukit Palastra terasa
dingin
menusuk tulang. Sedikit demi sedikit
gumpalan awan
bergerak menutupi matahari. Ke-
tika cuaca
berubah remang-remang, dari kedua
telapak
tangan Nyai Catur Asta yang menyatu di
atas kepala
mengepul asap tipis berwarna putih.
Semakin lama,
asap itu menggumpal semakin
tebal.
Lalu....
"Barata
Sukma...!" kejut Gajah Angon dan
Garang
Wanara, bersamaan.
Mata kedua
saudara seperguruan itu sa-
ma-sama
terbelalak lebar. Sekitar satu tombak
dari hadapan
Nyai Catur Asta telah berdiri seo-
rang pemuda
tiga puluh tahunan. Mengenakan
pakaian dan
ikat kepala hitam. Raut wajahnya
yang
sebenarnya tampan jadi tampak mengerikan
karena bola
matanya hanya berupa bulatan putih
dengan titik hitam kecil. Pandangannya tajam
menusuk,
penuh nafsu membunuh.
"Barata
Sukma...," panggil Nyai Catur Asta.
"Hamba,
Ratu...."
Pemuda
berikat kepala hitam membalikkan
badan seraya
membungkuk dalam. Gajah Angon
dan Garang
Wanara menatap tanpa berkedip. Me-
reka tak bisa
membayangkan ketinggian ilmu
Nyai Catur
Asta yang dapat membangkitkan roh
Barata Sukma,
yang kini terlihat dalam wujud
nyata.
"Berilah
salam kepada dua kakak sepergu-
ruanmu
itu," perintah Nyai Catur Asta.
Barata Sukma
membalikkan badan lagi.
Ditatapnya
sejenak wajah Gajah Angon dan Ga-
rang Wanara.
Lalu, dia membungkuk hormat se-
raya berkata,
"Aku yang datang, Kakang Angon
dan
Wanara...."
Gajah Angon
dan Garang Wanara tak
mampu membuka
mulut. Mereka berdiri terpaku.
Sepertinya,
mereka belum percaya pada apa yang
terlihat. Bagaimana
mungkin roh orang yang te-
lah mati bisa
dibangkitkan dengan wujud sama
dengan badan
kasarnya?
"Kini
kalian telah melihat dengan mata ke-
pala sendiri.
Roh Barata Sukma tunduk dan pa-
tuh kepadaku.
Roh adik seperguruan kalian akan
tetap tunduk dan
patuh setelah kususupkan ke
tubuh
Prahesti," jelas Nyai Catur Asta. "Oleh ka-
rena itu,
sudilah kalian merelakan Prahesti ku-
bawa sekarang
juga?"
"Tidak!"
tolak Garang Wanara, tegas mem-
bentak.
Nyai Catur
Asta menatap heran. "Apa lagi
yang kau
sangsikan, Wanara? Aku datang bukan
untuk membuat
celaka muridmu. Aku hanya
membutuhkan
sedikit bantuan Prahesti. Aku ti-
dak akan
merampasnya. Dia akan kukembalikan
lagi di
tempat ini. Harap kau bisa mengerti, Wa-
nara...."
Bibir Garang
Wanara mengulum senyum
ejekan.
"Kau bisa membangkitkan roh Barata
Sukma. Itu
berarti kau memiliki kepandaian yang
tiada
taranya. Untuk apa lagi kau memerlukan
bantuan
Prahesti? Kau bisa melakukan apa saja
tanpa bantuan
muridku!"
"Hmmm....
Bagaimana aku harus memberi
pengertian
kepadamu, Wanara. Ada banyak ke-
terbatasan
pada diriku...."
"Persetan
dengan itu! Lagi pula, Prahesti
hendak kau
perintah mengerjakan apa?!"
Kepala Nyai
Catur Asta menggeleng lemah.
Keningnya
berkerut rapat, pertanda dia tengah
berpikir
keras.
"Ayo
katakan, apa yang hendak kau perin-
tahkan kepada
Prahesti?!" desak Garang Wanara.
"Itu
terlalu rahasia. Aku tak bisa mengata-
kannya,
Wanara...," ujar Nyai Catur Asta lirih, se-
perti penuh
penyesalan.
"Hmmm....
Jelas sudah sekarang...," cibir
Garang
Wanara. "Kau menyimpan maksud tak
baik!
Sekarang, harap kau pergi, Nyai. Jangan
ganggu
ketenteraman kami!"
Mengelam
paras Nyai Catur Asta menden-
gar ucapan
Garang Wanara. Namun sebelum
penguasa
Kerajaan Siluman ini memberi penjela-
san, Garang
Wanara membentak lebih keras.
"Pergilah!"
Terkesiap
Nyai Catur Asta melihat selarik
sinar kuning
yang meluncur dari telapak tangan
kanan Garang
Wanara.
Wusss..!
"Heaaa...!"
Entah dari
mana asalnya, tahu-tahu di sa-
lah satu tangan
Nyai Catur Asta telah tergenggam
sebuah
senjata berupa cakra. Senjata bulat ber-
gerigi itu
lalu dikibaskan, hingga melesat seber-
kas cahaya
merah. Akibatnya....
Blarrr...!
Sebuah
ledakan dahsyat menggelegar di
angkasa. Bumi
bergetar bagai dilanda gempa.
Sementara,
selarik sinar kuning wujud pukulan
jarak jauh
Garang Wanara lenyap tertelan sinar
merah yang
melesat dari kibasan cakra di tangan
Nyai Catur
Asta.
"Bedebah!"
Sambil
mengumpat, Garang Wanara me-
nerjang.
Hendak digedornya dada Nyai Catur As-
ta, tapi....
Bresss...!
Wuaaa...!
Tiba-tiba,
tubuh Garang Wanara mencelat
balik, lalu
jatuh berdebam di tanah. Bola matanya
melotot
besar. Mulutnya ternganga lebar. Yang le-
bih
mengerikan, perut lelaki bersepatu jerami itu
telah jebol,
tembus sampai ke pinggang bagian
belakang!
"Barata
Sukma...!" kejut Gajah Angon, tak
percaya.
Rupanya
ketika Garang Wanara hendak
mendaratkan
pukulan ke dada Nyai Catur Asta,
Barata Sukma
mengirimkan pukulan jarak jauh.
Garang Wanara
yang tengah melayang di udara
pun tak mampu
menghindar, apalagi dia sama
sekali tak
menyangka akan mendapat serangan
sedemikian
mendadak. Hingga, perutnya terhan-
tam telak.
Dan, melayanglah nyawanya ke alam
baka seketika
itu juga!
"Barata
Sukma...!" bentak Gajah Angon,
menyebut nama
adik seperguruannya lagi. "Kau...
kau
biadab!"
Selagi Gajah
Angon menuding penuh ke-
bencian,
seorang bocah terlihat meloncat meng-
hampiri.
"Ada
apa, Eyang?" tanya si bocah, yang tak
lain
Prahesti.
Gajah Angon
menatap wajah muridnya
tanpa mampu
berkata apa-apa. Dia hendak me-
nyuruh pergi,
tapi mulutnya terasa bagai dikunci.
Kematian
Garang Wanara yang mengenaskan ter-
lalu memukul
jiwanya.
Sementara
itu, Nyai Catur Asta terkejut ju-
ga melihat
kekejaman Barata Sukma. Sungguh
tak dia
sangka bila roh yang dibangkitkannya itu
bisa berbuat
sedemikian biadab.
"Kenapa
kau tega terhadap saudara seper-
guruanmu
sendiri, Barata?!" tegur Nyai Catur As-
ta dengan
muka merah padam.
"Maaf, Ratu...,"
sembah Barata Sukma.
"Hamba
melihat Ratu dalam bahaya. Hamba ter-
paksa...."
"Siapa
mereka, Eyang?" tanya Prahesti,
bergidik
ngeri melihat wujud Nyai Catur Asta dan
Barata Sukma.
"Pergilah
cepat, Prahesti!" perintah Gajah
Angon, tanpa
menjawab pertanyaan muridnya.
Namun,
Prahesti tak bergeming dari tem-
patnya
berdiri. Apalagi setelah melihat mayat Ga-
rang Wanara
yang terbaring telentang dalam kea-
daan kaku
mengejang.
"Pergilah
cepat, Prahesti!" perintah Gajah
Angon, lebih
keras.
"Tidak!"
tolak Prahesti. "Mereka pasti telah
membunuh
Eyang Wanara. Aku harus membalas
kematiannya!"
Usai berkata,
Prahesti menghunus Pedang
Naga Kembar
yang terselip di punggungnya. Den-
gan pedang
warisan itu, Prahesti meluruk ke arah
Nyai Catur
Asta yang berdiri lebih dekat dengan-
nya!
"Mati
kau, Iblis Jahat!"
Ujung Pedang
Naga Kembar meluncur lu-
rus, hendak
menusuk ulu hati Nyai Catur Asta.
Sementara,
yang diserang tenang-tenang saja.
Dengan ilmu
kesaktiannya, dia hendak menadahi
tusukan
pedang itu. Tapi....
"Yang
menyerang Ratu harus mati!"
Barata Sukma
berteriak lantang. Selarik
sinar
kehijauan melesat dari telapak tangan ka-
nannya. Namun
sebelum tubuh Prahesti tertimpa
pukulan jarak
jauh itu, cepat Gajah Angon ber-
tindak.
Wusss...!
Blarrr...!
Gajah Angon
memapaki pukulan jarak
jauh Barata
Sukma dengan pukulan jarak jauh
pula. Suara
menggelegar dahsyat menggema di
angkasa. Bumi
yang terguncang keras membuat
gumpalan
tanah dan bebatuan berhamburan. Pa-
da saat
pandangan jadi gelap, tiba-tiba Barata
Sukma
melesat!
Bukkk...!
"Argh...!"
Dada Gajah
Angon berhasil digedor oleh
Barata Sukma.
Akibatnya, tubuh lelaki berjubah
hitam itu
melayang deras bagai dilontarkan tan-
gan raksasa.
Begitu jatuh berdebam ke tanah,
Barata Sukma
melancarkan pukulan jarak jauh!
Untunglah,
kesadaran Gajah Angon belum
hilang. Dia
masih mampu melentingkan tubuh-
nya untuk
menghindar. Dan, pukulan jarak jauh
Barata Sukma
membentur pondok bambu, hingga
roboh dan
hangus terbakar!
5
"Aku tak
tahu apa yang terjadi kemudian.
Sekujur
tubuhku terasa panas bagai digodok di
tungku
pembakaran. Karena tak kuasa menahan
sakit yang
luar biasa itu, aku jatuh pingsan," tu-
tur Gajah
Angon, menutup ceritanya.
"Jadi,
kau tak tahu bagaimana nasib Pra-
hesti, Pak
Tua?" tanya Suropati, ingin mene-
gaskan.
Dengan air
muka keruh, Gajah Angon
mendesah
panjang. "Bocah tak berdosa itu pasti
dibawa Nyai
Catur Asta ke Kerajaan Siluman. Ji-
ka roh Barata
Sukma disusupkan ke tubuhnya,
aku
menyangsikan kepatuhan dan kesetiaannya
pada Nyai
Catur Asta. Aku tahu benar sifat dan
tabiat Barata
Sukma ketika masih hidup. Dia iblis
seribu wajah
yang sangat pandai berpura-pura."
Pengemis
Binal memungut ranting kering,
lalu
dimasukkannya ke perapian yang hampir pa-
dam. Lalu,
ditatapnya sang candra yang men-
gambang di
langit. Dirasakannya hembusan angin
yang mengelus
kulitnya. Hari sudah lewat tengah
malam.
"Bila
benar yang kau katakan itu, Kerajaan
Siluman
berada dalam bahaya. Walau aku tak ta-
hu apa maksud
Nyai Catur Asta yang hendak
menyusupkan
roh Barata Sukma ke tubuh Pra-
hesti, tapi
aku harus menolong ratu Kerajaan Si-
luman itu.
Aku pernah berhutang nyawa kepa-
danya...,"
ujar Pengemis Binal kemudian.
"Boleh
saja kau menolong Nyai Catur Asta
sebagai
tindakan balas budi. Tapi, yang paling
penting kau
lakukan adalah mencegah Barata
Sukma membuat
pertumpahan darah lagi, walau
dia telah
berwujud seorang bocah perempuan li-
ma belas
tahunan," sahut Gajah Angon.
Kepala
Suropati mengangguk. Ditatapnya
lagi wajah
sang candra yang terhibur oleh kedi-
pan
bintang-bintang. Lalu, dialihkannya pandan-
gan ke wajah
Gajah Angon yang membersitkan
duka.
"Pak
Tua...," sebut Pengemis Binal dengan
suara berat
dan penuh kesungguhan.
Gajah Angon
menatap dengan sorot mata
pengharapan.
"Aku
akan datang ke Kerajaan Siluman...,"
ujar Suropati
lirih, seperti ditujukan kepada di-
rinya
sendiri.
Gajah Angon
bersorak girang dalam hati.
Namun,
kegembiraan yang tergambar di wajahnya
segera lenyap
lagi. Suropati hendak datang ke Ke-
rajaan
Siluman? Mampukah dia?
"Bagaimana
kau bisa datang ke kerajaan
yang berada
di alam gaib itu, Suro?" tanya Gajah
Angon,
seperti menyangsikan kemampuan Pen-
gemis Binal.
"Aku
pernah mempelajari sebuah kitab
sakti pemberian
seorang tabib pandai yang tinggal
di Bukit
Rawangun. Dia bergelar si Wajah Merah.
Dan dari
kitab yang kupelajari itu, aku bisa men-
guasai ilmu
'Menembus Alam Gaib'," beri tahu
Suropati,
meyakinkan. (Baca serial Pengemis Bi-
nal dalam
episode: "Dendam Para Pengemis").
"Benarkah
itu?" tanya Gajah Angon, me-
nyimpan rasa
girang dalam hati.
Pengemis
Binal mengangguk.
"Kapan
kau akan pergi ke Kerajaan Silu-
man?"
"Sekarang."
"Sekarang?"
"Ya."
"Lalu,
bisakah aku membantumu, Suro?"
Sekali lagi,
Suropati menatap sang candra,
lalu katanya,
"Jika aku telah mengetrapkan ilmu
'Menembus
Alam Gaib', jagalah badan kasarku
dengan
seluruh kemampuanmu. Jangan sampai
ada binatang
buas atau orang jahat yang meng-
ganggu. Kalau
badan kasarku sampai terluka pa-
rah, rohku
tak akan bisa kembali. Dan, aku akan
menjadi orang
yang paling sengsara. Aku akan
terbuang ke
alam gaib untuk selama-lamanya.
Dikatakan
hidup tidak, mati pun tidak...."
Kening Gajah
Angon berkerut rapat men-
dengar
penuturan Pengemis Binal. Rasa ngeri
timbul dalam
hatinya. Bagaimana kalau dia tidak
bisa
menjalankan amanat Suropati? Di puncak
Bukit
Palastra memang tidak ada binatang buas.
Tapi,
bagaimana kalau datang orang-orang jahat
yang
mempunyai keinginan buruk terhadap pe-
mimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu?
"Luka
dalamku masih belum sembuh be-
nar.
Bagaimana aku bisa menjalankan tugas yang
kau berikan,
Suro?" keluh Gajah Angon kemu-
dian.
Pengemis
Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
Desah panjang keluar dari mulutnya.
Remaja tampan
ini tampak berpikir keras. Na-
mun, tercetus
juga keputusan di benaknya.
"Memang
berat apa yang harus kulakukan
ini. Tapi
kalau memang Tuhan tetap melindungi-
ku, apa lagi
yang kutakutkan?" tegasnya dalam
hati.
"Bagaimana,
Suro?" tanya Gajah Angon.
"Aku
akan segera mengetrapkan ilmu
'Menembus
Alam Gaib'. Berdoalah, Pak Tua...,"
sahut
Pengemis Binal, mantap.
"Tapi...."
"Tak
perlu khawatir. Kau bisa membantu-
ku dengan
doa."
Usai berkata,
Pengemis Binal beringsut, la-
lu duduk
bersedekap dengan mata terpejam ra-
pat. Gajah
Angon menatapnya tanpa berkedip.
Sementara,
lamat-lamat terdengar kokok ayam
alas di
kejauhan. Agaknya, pagi akan segera re-
bah di Bukit
Palastra....
* * *
Semburat
cahaya jingga di langit timur
mengusir
kelam malam. Gelap memudar seiring
fajar yang
telah menyingsing. Angin yang semilir
sejuk
mengelus tubuh seorang bocah perempuan
yang tengah
duduk bersila di tepi sungai kecil ini.
Raut wajahnya
terlihat menegang dengan mata
terpejam
rapat.
Manakala
burung-burung berdendang
riang
menyambut pagi, bocah lima belas tahunan
berpakaian
putih bergaris coklat ini bergetar. La-
mat-lamat
terdengar gemerincing lonceng kereta
kuda yang
saling sahut dengan suara dengungan.
Seiring dengan
getaran tubuh si bocah yang ma-
kin keras,
suara aneh itu terdengar makin keras.
Lalu....
Wusss...!
Seberkas
cahaya merah melesat dari langit.
Begitu
menyentuh permukaan tanah, cahaya
yang amat
menyilaukan mata itu lenyap. Sebagai
gantinya, sekitar
tiga tombak dari hadapan si bo-
cah, telah
berdiri seorang wanita cantik berpa-
kaian merah
gemerlap. Menilik dari tangannya
yang
berjumlah empat, siapa lagi dia kalau bukan
Nyai Catur
Asta!
"Prahesti...,"
panggil ratu Kerajaan Siluman
ini.
Bocah
berpakaian putih bergaris coklat
membuka
kelopak matanya. Begitu melihat Nyai
Catur Asta
telah berdiri di hadapannya, senyum
manis
mengembang di bibirnya. Namun, Nyai Ca-
tur Asta
membalas dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa
kau tidak datang ke keraton, Pra-
hesti? Apa
maksudmu memanggilku untuk da-
tang ke
tempat ini?" tanya Nyai Catur Asta den-
gan kening
berkerut.
"Hi hi
hi...!" Prahesti mengeluarkan tawa
menyeramkan.
"Apa maksudku? Hi hi hi...!"
Terkesiap
Nyai Catur Asta melihat sikap
Prahesti yang
sangat tak menghormat. "Prahes-
ti...!"
bentaknya ketika bocah yang telah disusupi
roh Barata
Sukma itu tak menghentikan tawanya.
"Ada
apa? Ada apa, Ratu? Kenapa kau
mengganggu
kesenangan orang? Hi hi hi...!"
"Prahesti...!"
bentak Nyai Catur Asta, keras
menggelegar
karena dialiri tenaga dalam.
"Ya. Ya,
Ratu...."
Begitu
Prahesti menghentikan tawanya,
Nyai Catur
Asta mendengus gusar. Ditatapnya le-
kat-lekat
wajah Prahesti.
"Untuk
apa kau memanggilku kemari?"
"Tentu
saja untuk memberitahukan bahwa
hamba telah
berhasil membawa Arca Budha dan
Pedang Burung
Hong."
"Kenapa
kau tidak membawanya ke kera-
ton?"
"Karena
aku punya urusan pribadi den-
ganmu, Ratu.
Tak satu pun penghuni Kerajaan
Siluman boleh
tahu. Hi hi hi...!"
Terkejut Nyai Catur Asta mendengar tawa
Prahesti yang
penuh ejekan. Terbawa kegusaran-
nya, wanita
bertangan empat ini menggedrukkan
kaki
kanannya!
Bummm...!
Seiring
dengan timbulnya ledakan keras,
bumi
berguncang seperti tengah terjadi letusan
gunung
berapi. Akibatnya, air sungai bergolak.
Gumpalan
tanah dan bebatuan berhamburan ke
angkasa. Dan,
beberapa batang pohon yang bera-
da di dekat
tempat itu akarnya tercabut dari ta-
nah, lalu
terhempas laksana terbawa tiupan an-
gin topan!
Hebatnya,
Prahesti tetap dapat duduk ber-
sila tanpa
bergeming sedikit pun. Sikapnya te-
nang tak
menunjukkan rasa bersalah, padahal
sudah jelas
bila Nyai Catur Asta sangat marah
kepadanya.
"Prahesti!"
dengus Nyai Catur Asta kemu-
dian.
"Ya. Ya,
Ratu...," sambut Prahesti, kalem.
"Serahkan
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong
kepadaku!"
"Hi hi
hi...! Arca Budha? Pedang Burung
Hong? Hi hi
hi...! Aku yang bersusah payah men-
dapatkannya,
kenapa orang lain yang memili-
kinya? Tidak
adil! Tidak adil!"
Merah padam
muka Nyai Catur Asta men-
dengar ucapan
itu. Timbul penyesalan dalam di-
rinya, kenapa
menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh
Prahesti? Keberanian Prahesti yang di-
tujukan
kepadanya sungguh tak pernah dia duga.
Namun, apalah
arti penyesalan bila semuanya
sudah terjadi?
Dengan kening
berkerut rapat, Nyai Catur
Asta menatap
tusuk konde emas berhias intan
permata yang
menancap di kepala Prahesti.
"Hmmm....
Sebelum bocah setengah siluman itu
berbuat yang
lebih berani, aku harus menarik roh
Barata Sukma
dari badan kasarnya."
Berpikir
demikian, mendadak tangan ka-
nan Nyai
Catur Asta yang sebelah atas disorong-
kan ke depan.
Dan, sebuah kekuatan kasat mata
yang berdaya
hisap dahsyat melesat ke arah Pra-
hesti.
Tepatnya menuju ke tusuk konde emas
yang menancap
di kepala bocah perempuan itu!
"Hi hi
hi...!" Prahesti tertawa mengejek.
"Rupanya
kau hendak main-main, Ratu Jelek!"
Sambil
tertawa, Prahesti meletakkan kedua
ujung jari
telunjuk dan tengahnya ke pelipis. Ke-
tika
merasakan sentakan keras dari kekuatan ka-
sat mata yang
hendak mencabut tusuk konde di
kepalanya,
dia alirkan tenaga dalam untuk me-
nahan
kekuatan itu.
"Heh?!"
Terperangah
Nyai Catur Asta melihat Pra-
hesti mampu
menahan tusuk kondenya agar tak
tercabut dari
kepala. Terbawa rasa gusar bercam-
pur amarah,
Nyai Catur Asta menambah kekua-
tannya sampai
ke puncak!
"Heaaa...!"
Slaps...!
Satu kejap
mata kemudian, wajah Prahesti
tampak
menegang. Kepalanya bergetar keras. Se-
mentara, dari
kedua ujung jari telunjuk dan ten-
gahnya
mengepul asap tipis. Debu menebar dari
permukaan
tanah tempatnya duduk bersila. Se-
makin lama,
tubuh Prahesti turut bergetar. Tak
ayal lagi,
keringat panas bermuncratan!
"Menyerahlah,
Prahesti!" teriak Nyai Catur
Asta,
mengingatkan. Ratu Kerajaan Siluman itu
sadar betul
bila Prahesti nekat, maka tubuhnya
akan meledak.
Dan, kematianlah akibatnya.
Namun,
tampaknya Prahesti tak mau me-
nyerah begitu
saja. Sambil memekik nyaring, dia
tegakkan
tubuhnya. Lalu, dalam keadaan masih
duduk bersila,
perlahan-lahan dia turunkan
ujung jari
telunjuk dan tengahnya. Kemudian,
empat jari
tangan itu dia satukan di depan dada!
"Hiah...!"
Wusss...!
Terbelalak
mata Nyai Catur Asta melihat
selarik sinar
kuning meluncur dari jari-jari tan-
gan Prahesti.
Sinar amat
menggidikkan itu melesat ce-
pat. Yang
dituju adalah batok kepala Nyai Catur
Asta!
"Haram
jadah!"
Bergegas Nyai
Catur Asta meloncat tinggi.
Selarik sinar
kuning wujud serangan Prahesti me-
luncur terus,
hingga menerpa sebatang pohon
cukup besar.
Ssshhh...!
Terdengar
suara seperti bara api tersiram
air. Batang
pohon yang tertimpa sinar kuning tak
menunjukkan
perubahan apa-apa, tetap utuh se-
perti semula.
Tapi dua kejap mata kemudian, ke-
tika angin
bertiup lebih kencang, batang pohon
sepelukan
manusia dewasa itu hancur luluh men-
jadi abu!
"Luar
biasa...," gumam Nyai Catur Asta,
tanpa sadar
memuji kehebatan Prahesti yang ter-
susupi roh
Barata Sukma.
"Hi hi
hi...! Masihkah kau ingin main-main
lagi,
Nyai?!" ejek Prahesti. "Bila sudah puas, su-
dah saatnya
aku mengutarakan maksudku."
Nyai Catur
Asta tak menyahuti. Sorot ma-
tanya tajam
menusuk, berdiri dalam kewaspa-
daan penuh.
"Hi hi
hi...! Tak perlu kau bersikap seperti
itu, Ratu! Aku
tak akan menyerangmu dengan
sembunyi-sembunyi!"
ejek Prahesti sekali lagi.
"Mendekatlah
kemari, Prahesti...," sahut
Nyai Catur
Asta, lembut. "Roh orang sesat yang
bersemayam di
tubuhmu telah membuatmu ter-
sesat jalan.
Biarkan aku menarik roh itu. Agar si-
fat dan
tabiat aslimu kembali seperti semula...."
Prahesti
menyahuti ucapan Nyai Catur As-
ta dengan
tawa panjang. "Hi hi hi...! Aku senang
dengan
keadaanku yang seperti ini. Bukankah
aku telah
menjadi maha raja yang punya kesak-
tian setinggi
langit? Oleh karena itu kukatakan
terus terang
kepadamu, Ratu, aku memintamu
datang ke
tempat ini agar kau dengan suka rela
menyerahkan
takhta Kerajaan Siluman!"
"Heh?!"
Terkejut
tiada terkira Nyai Catur Asta.
"Hi hi
hi...! Apakah keterkejutan yang ter-
gambar di
wajahmu suatu pertanda bahwa kau
tak rela
menyerahkan takhta Kerajaan Siluman?
Kalau begitu,
terpaksa.... Sungguh terpaksa seka-
li. Aku akan
melemparkan rohmu ke tempat gelap
yang penuh
siksa! Hi hi hi...!"
Mengetahui
bila Prahesti tak dapat dikua-
sai lagi,
Nyai Catur Asta menggeram marah. En-
tah dari mana
asalnya, di salah satu tangan ratu
Kerajaan
Siluman ini telah tergenggam senjata
andalannya
yang berupa cakra!
"Hi hi
hi...!" Prahesti malah tertawa makin
keras.
"Apa yang hendak kau perbuat kepadaku,
Ratu?
Menghukum mati? Atau barangkali, hen-
dak
menyerahkan cakra itu sebagai tanda bahwa
kau telah
takluk kepadaku?"
"Bedebah!"
Mulut Nyai
Catur Asta mengeluarkan leng-
kingan
tinggi. Dia kibaskan senjata cakranya. Se-
berkas cahaya
merah meluruk deras. Sementara,
Prahesti sama
sekali tak beranjak dari tempat
duduknya.
Hingga....
Wusss...!
Blarrr...!
Sebuah
ledakan keras mengusik kehenin-
gan pagi.
Ledakan keras yang menggelegar mele-
bihi letusan
gunung berapi itu membuat permu-
kaan tanah
berguncang-guncang. Air sungai yang
berada di
dekat pusat ledakan bergolak naik bagai
ditepuk
tangan raksasa. Gelap menyelimuti pan-
dangan karena
gumpalan tanah dan bebatuan
berhamburan.
Terlihat beberapa ekor burung
yang tengah
terbang di angkasa memekik parau,
lalu jatuh
dengan tubuh hancur berantakan!
Manakala
gelap tak lagi menyelimuti pan-
dangan mata,
Nyai Catur Asta terhantam keterke-
jutan yang
tiada taranya. Dengan air muka keruh,
mata wanita
cantik bertangan empat ini terbela-
lak lebar.
Mulutnya ternganga hingga beberapa
lama, seakan
napas dan denyut jantungnya telah
terhenti!
"Tak
mungkin! Tak mungkin!" desis Nyai
Catur Asta,
tak mempercayai penglihatannya
sendiri.
Sekitar lima
tombak dari tempat ratu Kera-
jaan Siluman
ini berdiri, terlihat sebuah kuban-
gan besar dan
dalam yang cukup untuk mengu-
burkan tiga
ekor gajah sekaligus! Sementara, tu-
buh Prahesti
tampak melayang dalam keadaan
duduk bersila
tanpa kurang suatu apa!
"Arca
Budha! Pedang Burung Hong!" gu-
mam Nyai
Catur Asta, melihat dua benda yang
dipegang
Prahesti di depan dada.
Tangan kiri
Prahesti tampak memegang se-
buah arca
sebesar anak kucing yang terbuat dari
emas murni.
Dan, tangan kanannya mencengke-
ram erat
gagang pedang bengkok yang badannya
dipenuhi
ukiran indah. Arca Budha dan Pedang
Burung Hong!
Dua benda
bertuah yang berasal dari Nege-
ri Cina itu
saling melekat di depan dada Prahesti.
Dan, dari
badan Arca Budha memancar cahaya
kuning
keemasan yang menyelubungi sekujur tu-
buh Prahesti.
Sinar itulah yang menyangga tubuh
Prahesti
hingga tidak sampai jatuh ke kubangan.
"Wajahmu
pucat, Ratu. Apakah timbul rasa
ngeri di
hatimu?" cibir Prahesti seraya melenting-
kan tubuhnya.
Begitu menginjak tanah, dia lang-
sung menyambung
ucapannya. "Dengan Arca
Budha dan
Pedang Burung Hong di tanganku,
mestinya kau
tahu diri, Ratu. Akuilah aku seba-
gai ratu
penggantimu. Dan, berlututlah segera.
Setelah itu
pergilah sejauh mungkin! Jangan tun-
jukkan batang
hidungmu ke hadapanku lagi! Ka-
lau tidak,
kau akan menyesal sampai langit run-
tuh terbawa
kiamat!"
"Sombong
sekali kau!" balas Nyai Catur As-
ta.
"Kesaktian yang kau miliki berasal dari roh
Barata Sukma.
Tidak tahukah kau bila aku yang
telah
membangkitkan roh murid Darma Sagotra
itu. Oleh
karenanya, buka akal pikiranmu lebar-
lebar. Sampai
di mana pun ketinggian ilmu Bara-
ta Sukma, dia
tetap roh yang mempunyai banyak
keterbatasan.
Aku akan mengembalikannya ke
tempat
asalnya!"
Di ujung
kalimatnya, Nyai Catur Asta me-
lemparkan
senjata cakranya ke angkasa.
Sing...!
Wuuung...!
Diiringi
suara mendengung yang meme-
kakkan
gendang telinga, senjata bundar bergerigi
itu berputar
cepat membentuk lingkaran luas di
atas kepala
Prahesti. Lalu....
Glarrr...!
Glarrr...!
Dari
lingkaran luas bergaris tengah tiga
tombak itu
berlesatan garis-garis sinar merah
yang amat
menggidikkan. Semuanya menuju ke
tubuh
Prahesti, laksana hujan petir!
Sejenak
Prahesti mendelikkan mata karena
terkesiap.
Namun, cepat dia mengambil tindakan.
Badan Arca
Budha dan Pedang Burung
Hong
ditempelkannya lagi!
Slash...!
Di lain
kejap, sekujur tubuh Prahesti ter-
bungkus
cahaya kuning keemasan yang meman-
car dari
badan Arca Budha. Dan..., lesatan garis-
garis cahaya
merah yang berasal dari senjata ca-
kra Nyai
Catur Asta tak mampu menembusnya!
Garis-garis
cahaya merah itu berpentalan ke uda-
ra. Sebagian
mental ke tanah, dan mengeluarkan
ledakan
keras. Membuat kubangan di sana-sini!
"Celaka!"
pekik Nyai Catur Asta dalam ke-
terkejutannya.
"Hi hi
hi...!" Prahesti tertawa pongah, pe-
nuh luapan
rasa gembira. "Bila kau tidak rela
menyerahkan
takhta Kerajaan Siluman, sebaik-
nya kau
perhatikan apa yang akan kuperbuat
ini!"
Sambil
tertawa keras, Prahesti mengempos
tubuh ke
atas. Lalu....
Sing...!
Sing...!
Prang...!
Prang...!
Pedang Burung
Hong di tangan Prahesti
berkelebat
dua kali. Terdengar benturan senjata
logam yang
dibarengi berhentinya putaran senjata
cakra.
Dan..., hujan garis sinar merah lenyap se-
ketika!
"Heh?!"
Nyai Catur
Asta tersurut mundur dua
langkah
terhantam keterkejutan. Senjata cakra
jatuh ke
tanah, dua depa dari tempatnya berdiri,
dalam keadaan
terpotong menjadi empat bagian!
"Hi hi
hi...!" tertawa Prahesti dalam keme-
nangannya.
"Berlututlah sebelum kucincang tu-
buhmu!"
Beberapa lama
Nyai Catur Asta tak mampu
berkata.
Bibirnya bergetar dengan wajah pucat
pasi.
Kehebatan yang ditunjukkan Prahesti benar-
benar
membuatnya terpaku keheranan. Rasa ses-
al dalam diri
penguasa Kerajaan Siluman ini se-
makin
merebak. Kenapa dia susupkan roh Barata
Sukma ke
tubuh Prahesti? Kenapa pula dia mesti
memerintahkan
bocah setengah siluman itu un-
tuk merampas
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong?
Akibatnya, dengan kesaktian dua benda
pusaka itu,
Prahesti malah ingin menguasai Kera-
jaan Siluman!
Selagi Nyai
Catur Asta mendesah, Prahesti
tertawa
mengejek. Dia angkat Pedang Burung
Hong
tinggi-tinggi, laksana algojo hendak me-
menggal
kepala seorang pesakitan.
"Berlututlah!"
perintah Prahesti dengan
mata berkilat
tajam. "Aku hanya akan meminta
dua buah
tanganmu. Lalu, hiduplah kau di dunia
nyata sebagai
manusia biasa. Dan, biarkan aku
menjadi ratu
di Kerajaan Siluman!"
Prahesti
menyambung ucapannya dengan
tawa panjang.
Sementara, dua tangan Nyai Catur
Asta bagian
atas tampak bersedekap. Dan, dua
tangan yang
lainnya menepuk di depan dada!
Mendadak,
terdengar suara gemerincing
lonceng
kereta kuda yang saling sahut dengan
suara
dengungan. Semakin lama semakin keras,
menghampiri
Nyai Catur Asta.
"Hmmm....
Hendak pergi ke mana kau, Ra-
tu
Pecundang?!" sentak Prahesti yang tahu bila
Nyai Catur
Asta hendak meninggalkan tempat
dengan tenaga
gaib.
Prahesti
menyertai ucapannya dengan me-
nyabetkan
Pedang Burung Hong di tangannya.
Dari
ujung pedang bertuah itu melesat cahaya
kebiruan!
Wusss...!
Blarrr...!
Lesatan
cahaya biru membentur tubuh
Nyai Catur
Asta yang telah berbentuk bayang-
bayang.
"Akhhh...!"
Lenyapnya
tubuh Nyai Catur Asta mening-
galkan jerit
kesakitan. Sementara, gemerincing
lonceng yang
saling sahut dengan suara dengun-
gan, pertanda
datang dan perginya Nyai Catur As-
ta, hilang
tertelan tawa panjang Prahesti!
"Hi hi
hi...! Ratu Pecundang Catur Asta!
Begitu mudah
aku mengalahkanmu. Kau memang
tak pantas
menjadi ratu di Kerajaan Siluman!
Akulah
sekarang yang menjadi ratu! Akulah ratu
Kerajaan
Siluman! Hi hi hi...!"
6
Hingga
beberapa lama, hanya kegelapan
yang dapat
dilihat Suropati. Semuanya hitam ke-
lam. Roh
pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti ini
terus melayang-layang di suatu tem-
pat luas
tiada bertepi. Seiring pengetrapan ilmu
'Menembus
Alam Gaib' yang telah sampai pada
puncaknya,
yakni tahap 'Ngrogoh Sukma'!
Melonjak
girang Suropati dalam hati tatka-
la melihat setitik
sinar kuning di kejauhan. Cepat
dia kerahkan
seluruh kekuatan batinnya untuk
dapat menuju
ke sana. Semakin lama, sinar itu
terlihat
makin besar. Lalu...
Blab...!
Wusss...!
Pengemis
Binal merasa dirinya dilontarkan
tangan
raksasa. Kepalanya pening dan mengabur
pula
pandangannya.
Kini, yang
dapat dilihat remaja tampan ini
cuma cahaya
putih berserat-serat. Lamat-lamat
didengarnya
gemerincing lonceng yang saling sa-
hut dengan
suara dengungan. Kontan tersenyum
senang
Pengemis Binal. Dia tahu benar suara itu
menandakan
bila Nyai Catur Asta berada tak jauh
darinya.
Suropati
menarik napas panjang seraya
mengempos
seluruh kekuatan batinnya lagi. Saat
perhatiannya
hanya tertuju pada satu titik, dia
kerahkan ilmu
'Mata Awas'-nya. Dan dengan ilmu
hasil ajaran
Periang Bertangan Lembut ini, dapat-
lah dia
menembus serat-serat cahaya putih yang
membutakan
mata.
"Nyai...!"
Pengemis
Binal berteriak lantang tatkala
melihat
sesosok tubuh wanita di kejauhan. Wani-
ta itu
berpakaian merah gemerlap, cantik namun
bertangan
empat!
"Nyai...!"
teriak Suropati lagi, lebih keras.
Wanita
bertangan empat yang tengah me-
nunggang
kereta kuda menoleh. Melihat sosok
Suropati,
kontan matanya berbinar. Segera wani-
ta yang tiada
lain dari Nyai Catur Asta ini meng-
hentikan laju
kereta kudanya.
"Sur....
Oh...!"
Nyai Catur
Asta hendak menyebut nama
Pengemis Binal, namun suaranya tercekat di
tenggorokan.
Cairan darah segar keburu me-
nyembur dari
mulutnya.
"Nyai...!"
Pengemis
Binal memekik kaget melihat tu-
buh Nyai
Catur Asta yang jatuh terkulai seperti
sekuntum
bunga layu tertimpa hawa panas.
Badan halus
Pengemis Binal melesat cepat
menuju kereta
Nyai Catur Asta yang ditarik empat
kuda berbulu
putih. Tanpa pikir panjang lagi, di-
periksanya
keadaan penguasa Kerajaan Siluman
itu.
"Astaga!"
kejut Suropati.
Walau tidak
ada luka sedikit pun di tubuh
Nyai Catur
Asta, tapi tak terdapat tanda-tanda
kehidupan.
Napas dan detak jantung wanita ber-
tangan empat
itu telah berhenti!
Seperti orang
kesetanan, Pengemis Binal
mengguncang-guncangkan
tubuh Nyai Catur As-
ta. Dirabanya
dada wanita cantik itu. Napas dan
detak
jantungnya tetap berhenti. Pengemis Binal
ganti meraba
kening dan sekujur tubuh Nyai Ca-
tur Asta.
Hangat!
"Dia
belum mati! Dia belum mati!" seru
Pengemis
Binal.
Cepat remaja
tampan ini mengumpulkan
seluruh daya
ingatnya. Wejangan dan latihan
yang pernah
diberikan si Wajah Merah bermuncu-
lan di
benaknya. Kemudian....
"Maaf,
Nyai...," ujar Suropati seraya men-
dudukkan
tubuh Nyai Catur Asta.
Buk...!
Buk...!
Pengemis
Binal menghantam punggung
Nyai Catur
Asta beberapa kali. Lalu, dia tekan ja-
lan darah
besar di pangkal lengan wanita itu. Di-
alirkannya
hawa sakti, namun tubuh Nyai Catur
Asta tetap
tak menunjukkan tanda-tanda kehidu-
pan.
"Ya,
Tuhan. Berilah aku kekuatan untuk
menolong
wanita ini, agar aku dapat membalas
segala budi
baiknya," doa Pengemis Binal.
Jalan darah
besar di pangkal lengan Nyai
Catur Asta
ditekannya makin keras. Dia salurkan
hawa sakti
lebih banyak. Akibatnya, hanya dalam
waktu lima
tarikan napas, Pengemis Binal telah
mandi
keringat. Dan pada tarikan napas ketujuh,
remaja tampan
ini terkulai pingsan!
Namun, tidak
sia-sia usaha Suropati. Per-
lahan-lahan
dua tangan Nyai Catur Asta bagian
atas, yang
semula jalan darah besarnya ditekan
Suropati,
bergerak perlahan. Menyusul dua tan-
gan yang
lainnya.
"Uh...!"
keluh Nyai Catur Asta, membuka
kelopak mata.
Begitu
melihat tubuh Pengemis Binal ter-
baring
telungkup di atas kakinya, ratu Kerajaan
Siluman ini
berseru, "Suro!"
Cepat dia
balikkan tubuh Pengemis Binal.
Legalah hati
Nyai Catur Asta setelah mengetahui
Pengemis
Binal hanya jatuh pingsan karena kele-
lahan.
Diiringi ringkikan
empat kuda putih, Nyai
Catur Asta
meletakkan salah satu telapak tan-
gannya ke
dahi Pengemis Binal. Lalu, ditelusu-
rinya tubuh
remaja tampan ini sampai ke ujung
kaki.
Tuk...!
Tuk...!
Setelah
diberi beberapa totokan di tubuh-
nya, Pengemis
Binal mengerang.
"Ukh...!"
"Kau tak
apa-apa, Suro?" tanya Nyai Catur
Asta begitu
melihat Pengemis Binal siuman.
"Nyai...!"
seru Suropati. "Kau... kau tidak
mati,
Nyai?!"
Pengemis
Binal tak menjawab pertanyaan-
nya. Tapi,
Nyai Catur Asta tahu bila pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini tidak
menderita
luka apa-apa.
"Nyai...!"
seru Pengemis Binal lagi. Pandan-
gannya
mengharap agar Nyai Catur Asta menu-
turkan
peristiwa yang baru dialaminya.
"Aku
tidak apa-apa Suro. Terima kasih atas
pertolonganmu,"
ujar Nyai Catur Asta.
"Apa
yang terjadi denganmu, Nyai?" tanya
Pengemis
Binal, menegaskan keingintahuannya.
"Aku
baru saja bertempur dengan bocah
setengah
siluman yang mempunyai kesaktian he-
bat,
Suro," tutur Nyai Catur Asta.
"Bocah
setengah siluman? Siapa dia?" de-
sak Pengemis
Binal. .
"Prahesti."
"Prahesti?"
"Ya. Kau
mengenalnya, Suro?"
"Tidak.
Tapi..., yang menyusupkan roh Ba-
rata Sukma
adalah kau, Nyai? Seharusnya dia
dapat kau
kuasai...."
Kening Nyai
Catur Asta berkerut. Ratu Ke-
rajaan
Siluman ini hendak bertanya, tapi batuk
keburu
menyerangnya.
"Kau...
kau tidak apa-apa, Nyai?" tanya
Pengemis
Binal, khawatir.
Nyai Catur
Asta memaksakan diri untuk
tersenyum
seraya bertanya, "Bagaimana kau da-
pat tahu perihal
Prahesti?"
"Guru
bocah itu yang bercerita kepadaku.
Gajah
Angon."
"Jadi,
kau telah pergi ke puncak Bukit Pa-
lastra?"
Pengemis
Binal mengangguk. "Kenapa,
Nyai? Apakah
aku salah karena menolong orang
itu?"
"Tidak!
Kau tidak salah, Suro," sahut Nyai
Catur Asta,
mantap. "Akulah yang bersalah. Aku-
lah yang
harus memikul seluruh akibatnya."
Sinar mata
Nyai Catur Asta meredup. Wa-
jahnya muram
dan kuyu karena menyimpan piki-
ran berat.
Sementara, Pengemis Binal menatap-
nya dengan
pandangan iba dan penuh belas kasi-
han.
Bagaimanapun juga, Nyai Catur Asta pernah
menyelamatkan
jiwanya tatkala Kapal Rajawali
pecah
ter-hantam ombak ganas di Laut Selatan.
Nyai Catur
Asta juga yang telah menurunkan il-
mu 'Pukulan
Salju Merah' kepadanya. (Baca serial
Pengemis
Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan
Air" dan
"Dendam Ratu Air").
"Ceritakan
apa yang telah terjadi, Nyai.
Mungkin aku
bisa menolongmu," desak Suropati.
"Untuk
apa kau menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh
Prahesti? Padahal, kau tahu bila Barata
Sukma adalah
tokoh jahat yang amat kejam."
Nyai Catur
Asta menarik napas panjang
beberapa
kali. Ditatapnya wajah Pengemis Binal.
Rasa bersalah
dan berdosa merebak di hatinya,
membuat
penyesalan itu tiada berujung. Pedih
menyakitkan,
terasa sampai ke relung-relung ji-
wa.
"Suro...,"
sebut Nyai Catur Asta. "Aku me-
mang layak
untuk mati. Tapi karena aku merasa
punya
kewajiban di Kerajaan Siluman, aku berta-
han untuk
hidup...."
Pengemis
Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
Didengarnya ucapan Nyai Catur Asta
dengan alis
bertaut.
"Aku
yang hina ini telah terbujuk setan un-
tuk merampas
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong.''
"Nyai...!"
desis Pengemis Binal, tak percaya
pada
pendengarannya sendiri.
"Karena
ada kekuatan gaib yang melindun-
gi kedua
benda bertuah itu, aku tak dapat mewu-
judkan
keinginanku seorang diri," lanjut Nyai Ca-
tur Asta.
"Lalu, kubangkitkan roh Barata Sukma,
dan
kususupkan ke dalam tubuh Prahesti setelah
melalui sebuah
peristiwa berdarah di puncak Bu-
kit
Palastra."
"Lalu,
kenapa Prahesti menentang Nyai?"
"Pada
mulanya aku sangat yakin bila roh
yang akan
kususupkan ke tubuh Prahesti akan
tetap dapat
kukuasai. Tapi.,. sungguh di luar du-
gaanku.
Ketika roh Barata Sukma telah kusu-
supkan, sifat
lahir Prahesti tetap ada pada di-
rinya. Suara
dan semua gerak-gerik bocah seten-
gah siluman
itu seharusnya berubah menjadi Ba-
rata Sukma.
Aku belum menyadarinya sampai
Arca Budha dan Pedang Burung Hong dia da-
patkan.
Hingga... Huk! Huk...!"
Nyai Catur
Asta tak dapat melanjutkan
ucapannya.
Batuk keburu menyerang. Dan..., da-
rah segar
menetes dari lubang hidung dan sudut
bibirnya.
"Nyai...!"
jerit Pengemis Binal.
Melihat
kekhawatiran remaja tampan ini,
Nyai Catur
Asta menggelengkan kepala. Dengan
sapu tangan
merah, dihapusnya cairan darah
yang menodai
wajahnya.
"Katakan!
Katakan apa yang harus kuper-
buat,
Nyai!" desak Pengemis Binal.
Nyai Catur
Asta mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum
hambar yang dapat dia perli-
hatkan.
"Sungguhkah
kau ingin menolongku, Su-
ro?"
tanyanya, mengharap.
"Kenapa
tidak, Nyai? Kalau itu di jalan ke-
benaran, aku
pasti melakukannya!" tegas Penge-
mis Binal.
"Tapi,
aku telah salah jalan, Suro..."
"Orang
salah memang patut dihukum. Bu-
kankah Nyai
sudah merasakan hukuman itu?
Nyai telah
terluka parah! Katakan apa yang harus
kuperbuat,
Nyai!"
"Dengan
kesaktiannya, Prahesti hendak
merebut
takhta Kerajaan Siluman. Itu sangat
berbahaya
karena dirinya telah dikuasai nafsu se-
tan. Kalau
dia menuruti nafsu jahat itu, rimba
persilatan
pun ter-ancam bahaya. Dia akan terus
mengumbar
keinginan buruknya...."
"Katakan
dengan cara apa aku dapat
menghentikan
keinginan buruk Prahesti, sekali-
gus
menolongmu, Nyai!" desak Pengemis Binal la-
gi, penuh
kesungguhan.
Nyai Catur
Asta menatap wajah Suropati
lekat-lekat.
Darah segar kembali menetes dari lu-
bang hidung
dan sudut bibirnya.
"Kau
terluka parah, Nyai. Izinkan aku me-
nolongmu..."
Sebelum Nyai
Catur Asta memberikan ja-
waban,
mendadak....
"Hi hi
hi...! Sebelum ajal menjemput, ru-
panya Ratu
Pecundang Catur Asta sempat berme-
sra-mesraan
dengan kekasihnya. Hi hi hi...!"
Terkesiap
Nyai Catur Asta dan Pengemis
Binal.
Mereka
mengarahkan pandangan ke tem-
pat yang
sama. Seorang bocah perempuan lima
belas tahunan
tampak berdiri berkacak pinggang.
Tatapannya
tajam menusuk penuh nafsu mem-
bunuh. Dia
Prahesti!
Pengemis
Binal memperhatikan dengan
seksama, lalu
bertanya, "Diakah yang bernama
Prahesti,
Nyai?"
"Ya,"
jawab Nyai Catur Asta dengan wajah
pucat pasi.
"Kembalilah ke alam nyata, Suro!"
"Kenapa?
Kenapa, Nyai? Bukankah ini sua-
tu kesempatan
baik untuk melenyapkan keangka-
ra-murkaan
bocah setengah siluman itu!" tolak
Pengemis
Binal.
"Berbahaya!
Berbahaya, Suro! Kau belum
siap!"
Di ujung
kalimatnya, Nyai Catur Asta ba-
tuk-batuk.
Tubuhnya terkulai jatuh, dan pingsan
lagi di atas
kereta kudanya!
"Hi hi
hi...! Rupanya, ajal Ratu Pecundang
Catur Asta
tinggal beberapa tarikan napas saja.
Hi hi
hi...!" ejek Prahesti.
"Diam
kau, Perempuan Laknat!" hardik Su-
ropati.
"Jiwamu terlalu kotor dan busuk untuk
menjadi ratu
di Kerajaan Siluman!"
Mengelam
paras Prahesti mendengar uca-
pan kasar
Pengemis Binal. Kontan napasnya te-
rengah-engah
karena desakan amarah yang me-
nyesakkan
dadanya.
"Jahanam!"
umpat Prahesti. "Berani benar
kau berkata seperti itu! Tidakkah kau tahu se-
dang
berhadapan dengan siapa?!"
"Huh!
Aku tahu benar siapa dirimu! Kau
hanyalah
perempuan liar yang tak lebih berharga
dari tahi
kuda!"
Mendengar
ucapan yang lebih kasar itu,
amarah
Prahesti tak tertahankan lagi. Wajahnya
merah padam.
Darahnya bergolak naik sampai ke
ubun-ubun.
Sambil menggembor keras, bocah se-
tengah
siluman ini menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan!
Wusss...!
Seberkas
cahaya kuning menggidikkan me-
lesat ke arah
Pengemis Binal. Bergegas remaja
tampan ini mendorong kereta kuda tempat Nyai
Catur Asta
terkulai pingsan. Diiringi ringkikan
panjang empat
kuda putih, kereta itu melesat ce-
pat bagai
anak panah lepas dari busur. Sementa-
ra, Pengemis
Binal lalu meloncat tinggi. Dan, se-
berkas cahaya
kuning yang melesat dari kedua te-
lapak tangan
Prahesti hanya mengenai tempat
kosong.
"Bedebah!
Punya kepandaian juga kau ru-
panya, Monyet
Bau!" umpat Prahesti, kesal.
"Bangsat!
Kau katakan aku Monyet Bau?
Tidak
sadarkah kau bila kaulah mbahnya Monyet
Bau!"
balas Pengemis Binal, konyol.
"Keparat!"
"Kaulah
yang keparat!"
"Setan
Alas!"
"Kaulah
yang Setan Alas!"
Melihat kekonyolan
Suropati, tak dapat
Prahesti
menahan hawa amarahnya. Kepalanya
menggeleng
keras seraya mengeluarkan lengkin-
gan tinggi.
"Kubunuh
kau! Kubunuh kau!"
"Mampukah
itu? Mampukah itu?"
Tiba-tiba
saja sifat gendeng Pengemis Binal
muncul.
Dengan konyolnya remaja tampan ini
meleletkan
lidah. Sementara, Prahesti menggeram
keras laksana
harimau pada puncak kemarahan-
nya.
Mendadak,
mata Pengemis Binal terbelalak
lebar. Tanpa
sadar dia tersurut mundur beberapa
tindak.
Tangan kanan Prahesti tampak menceng-
keram erat
gagang pedang bengkok yang badan-
nya dipenuhi
ukiran indah.
"Pedang
Burung Hong...!" kejut Suropati.
Lebih
terkejut lagi pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti ini ketika melihat tangan
kiri Prahesti
yang mencekal arca sebesar anak
kucing
terbuat dari emas murni, yang tiada lain
dari Arca
Budha!
Bayangan
buruk segera berkelebatan di
benak
Suropati. Arca Budha dan Pedang Burung
Hong
bagaimana bisa berada di tangan Prahesti.
Menyesal dia
karena tak menanyakan sebelumnya
kepada Nyai
Catur Asta. Lalu, bagaimana nasib
Kwe Kok Jiang
dan Kwe Sin Mei yang semula
membawa kedua
benda bertuah itu untuk dibawa
ke Negeri
Cina?
Pengemis
Binal tak mampu berpikir pan-
jang karena
Prahesti keburu menerjangnya. Keta-
jaman Pedang
Burung Hong menyambar hendak
memenggal
lehernya!
Wuttt...!
"Hiah...!"
Bergegas
Pengemis Binal membuang tubuh
ke belakang.
Namun, dari ujung Pedang Burung
Hong melesat
seberkas cahaya kebiruan!
"Kuntilanak
Bunting!"
Sambil
memaki, Pengemis Binal menghen-
takkan kedua
tangannya ke depan. Seberkas ca-
haya merah
wujud dari ilmu 'Pukulan Salju Me-
rah' melesat!
Blarrr...!
7
Hampir dua
penanakan nasi lamanya Ga-
jah Angon
menunggui badan kasar Suropati yang
tengah duduk
bersila dengan mata terpejam ra-
pat. Selama
itu, hatinya terus diliputi perasaan
tak enak.
Daun yang gugur dan burung yang
hinggap di
tanah telah membuatnya terkejut be-
berapa kali.
Dia khawatir dan waswas, jangan-
jangan ada
orang jahat datang ke puncak Bukit
Palastra ini.
Dalam keadaan terluka dalam, da-
patkah
dirinya melaksanakan amanat Suropati?
Gajah Angon
menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah
Pengemis Binal yang teduh penuh
kehalusan
budi. Dia tak berani mengeluarkan su-
ara. Takut
mengusik Pengemis Binal yang tengah
mengetrapkan
ilmu 'Menembus Alam Gaib'.
Sementara
itu, dari kaki bukit melesat se-
sosok
bayangan. Berkelebat cepat, laksana dapat
menghilang.
Ketika sampai di tengah punggung
bukit,
bayangan ini menghentikan kelebatan tu-
buhnya.
Ter-nyata, dia seorang lelaki setengah
baya.
Berpakaian kuning merah mencolok mata.
Kulitnya
putih. Rambutnya diikat dengan sehelai
kain sutera
merah.
Lelaki
bertubuh ramping ini mengedarkan
pandangan
sebentar, lalu mengusap peluh di wa-
jahnya dengan
sapu tangan sutera berwarna kun-
ing.
"Hmmm.... Menurut keterangan yang ku
peroleh, ada
seorang remaja tampan berpakaian
penuh
tambalan menaiki bukit ini. Aku menduga,
dia pasti
Suropati. Hmmm.... Sudah lama aku
menyimpan
sakit hati kepada bocah gendeng itu.
Setelah aku
menguasai aji 'Pelebur Raga', dapat-
lah aku
melampiaskan dendam kesumat ini!" gu-
mamnya.
Dia
mengedarkan pandangan sekali lagi.
Ditatapnya
kuntum-kuntum bunga merah jingga
yang menebar
di puncak bukit. Mendadak, tan-
gan lelaki
ini melambai genit. Bibirnya tersenyum
dan matanya
melemparkan kerlingan.
"Suropati...,"
desisnya. "Sebelum dia kubu-
nuh, dapatkah
aku bermesra-mesraan dulu den-
gannya?
Kenapa tidak? Akan kubuat dia kelim-
pungan dan
terpuruk dalam cengkeraman nafsu
birahi.
'Puyer Perangsang' akan membuatnya lupa
diri! Ha ha
ha...!"
Lelaki yang
tingkah lakunya seperti wanita
ini tertawa
bergelak. Dia adalah Lelaki Genit Mata
Banci!
(Tentang tokoh ini bisa dibaca pada serial
Pengemis
Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan
Air" dan
"Tengkorak Kaki Satu").
Lelaki yang
menyimpan permusuhan ter-
hadap
Pengemis Binal ini menatap puncak bukit
dengan
pandangan nanar. Lalu, dia jejakkan kaki
kanannya ke
tanah. Dan..., tubuhnya melesat ce-
pat!
"Ha ha
ha...!" tawa Lelaki Genit Mata Banci
setelah
sampai di puncak bukit. "Tak percuma
aku
bertanya-tanya. Tak sia-sia kakiku melang-
kah. Kiranya,
bocah gendeng itu memang berada
di tempat
ini! Ha ha ha...!"
Gajah Angon
yang tengah menunggui ba-
dan kasar
Pengemis Binal terkejut bagai disambar
petir di
siang bolong. Bola matanya melotot besar
ketika tahu
ada seorang lelaki setengah baya te-
lah berdiri
tak seberapa jauh darinya.
"Siapa
kau?!" tanya Gajah Angon, keras
membentak.
"Hmmm....
Kasar benar ucapanmu!" Lelaki
Genit Mata
Banci balas membentak. "Seharusnya
aku yang
bertanya. Kenapa kau berada di tempat
ini?! Dan,
bocah gendeng itu sedang melakukan
apa?!"
Di ujung
kalimatnya, Lelaki Genit Mata
Banci
melempar kerlingan ke arah Suropati yang
masih duduk
bersila dalam sikap semadi.
Terbawa
perasaan tak enak, Gajah Angon
bangkit berdiri. Ditatapnya wajah Lelaki Genit
Mata Banci
penuh selidik.
"Aku
Gajah Angon penguasa Bukit Palastra
ini!"
kenalnya dengan nada tinggi. "Kau datang
tanpa memberi
salam, malah memperlihatkan si-
kap tak baik.
Bila kau tahu diri, angkat kakimu!
Tempat ini
tak layak menerima kehadiranmu!"
"Hmmm....
Kata-katamu membuat gatal te-
lingaku.
Siapa pun kau, aku tak ada urusan den-
ganmu. Tapi...
hmmm.... Walau kau sudah beru-
mur, namun
bolehlah...." Lelaki Genit Mata Banci
tersenyum
penuh arti. "Setelah aku menyelesai-
kan urusanku
dengan bocah gendeng itu, kau bo-
leh main-main
denganku. Aku jamin. Kau pasti
puas, dan
ketagihan. Ha ha ha...!"
Melihat
gerak-gerak lelaki yang berdiri tiga
tombak dari
hadapannya, Gajah Angon menge-
rutkan
kening.
"Aku tak
tahu siapa lelaki itu. Menilik ting-
kah lakunya
yang seperti wanita, apakah dia
orang yang
berjuluk Lelaki Genit Mata Banci? Ka-
lau benar,
untuk apa dia jauh-jauh datang dari
Negeri Saloka
Medang ke Bukit Palastra ini?" kata
Gajah Angon
dalam hati.
"Hei!
Apa yang kau pikirkan, Angon?! Aku
memang Lelaki
Genit Mata Banci. Bila kau pernah
mendengar
kebesaran namaku, menyingkirlah
kau sebentar.
Akan kuselesaikan dulu urusanku
dengan bocah
gendeng itu. Selanjutnya... selan-
jutnya.... Ha
ha ha...!"
"Gila!"
umpat Gajah Angon. "Siapa pun ti-
dak boleh
mengganggu Suropati! Tidak juga kau,
Lelaki
Banci!"
"Hmmm....
Tidak tahukah kau betapa sakit
hati orang
yang menyimpan dendam kesumat?
Suropati
telah membunuh sahabat baikku yang
bernama
Wiranti. Itu berakibat Partai Iblis Ungu
yang
dipimpinnya hancur berantakan. Suropati
pun telah
mempermalukan aku beberapa kali. Ti-
dak bolehkah
aku membalas perlakuan buruk
bocah gendeng
itu?"
Bibir Gajah
Angon menyungging senyum
sinis.
"Partai Iblis Ungu.... Menilik namanya, par-
tai itu jelas
tempat bernaung orang-orang sesat.
Sudah pantas
bila Suropati menghancurkannya,
berikut
membunuh pemimpinnya. Kalaupun kau
pernah
dipermalukan oleh Suropati, bukankah
itu sudah
selayaknya? Lihatlah perilakumu sendi-
ri! Nafsu tak
wajarmu itulah yang...."
"Keparat!"
potong Lelaki Genit Mata Banci.
"Tak
perlu banyak bacot! Jika kau tidak segera
menyingkir,
kau akan menyesal seumur hidup!"
Mendengar
ancaman itu, Gajah Angon ter-
kesiap.
Bagaimana dia dapat mempertahankan
diri bila
Lelaki Genit Mata Banci menyerangnya?
Kalau dia
mati, siapa lagi yang akan menjaga ba-
dan kasar
Suropati?
"Cobalah
kau menahan amarahmu...," me-
rendah Gajah
Angon. "Ada baiknya bila kau gu-
nakan pikiran
jernih untuk berunding."
"Berunding?
Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata
Banci tertawa
terpingkal-pingkal. "Apa yang hen-
dak kau
rundingkan? Apakah kau tak rela bila
Suropati
mendapat bagian pertama? Mestinya
kau tahu
diri, Angon! Kau sudah tua. Tenagamu
tentu sudah
loyo! Mana dapat dibandingkan den-
gan Suropati
yang gagah perkasa. Ha ha ha...!"
Mengelam
paras Gajah Angon mendengar
ucapan Lelaki
Genit Mata Banci. Cepat dia usir
rasa risih
dan jengah di hatinya. Bagaimanapun
juga, dia
harus menjaga agar Lelaki Genit Mata
Banci tak
melakukan tindakan keras yang me-
maksa dirinya
berbaku hantam.
"Bukan...
bukan itu maksudku, Lelaki
Banci,"
ujar Gajah Angon kemudian. "Aku tahu
kau sudah tak
sabar untuk segera menyelesaikan
urusanmu
dengan Suropati. Tapi, tunggulah be-
berapa saat
sampai Suropati menyelesaikan se-
madinya..."
Lelaki Genit
Mata Banci mendengus. Dita-
tapnya wajah
Suropati yang masih duduk bersila.
Ditatapnya
dengan seksama, sampai akhirnya dia
menarik
sebuah kesimpulan.
"Tubuh
bocah gendeng itu tak menunjuk-
kan
tanda-tanda kehidupan. Kalau dia sedang
bersemadi,
aku pasti bisa mendengar hembusan
napas dan
detak jantungnya. Tapi, ini tidak.
Mungkinkah
dia telah mati? Aku harus membuk-
tikannya!"
Terbawa
pikiran di benaknya, Lelaki Genit
Mata Banci
berjalan mendekati tubuh Pengemis
Binal. Tentu
saja Gajah Angon tak membiarkan-
nya. Bergegas
dia meloncat untuk menghalangi
langkah
Lelaki Genit Mata Banci.
"Hei!
Mau apa kau?!" bentak Gajah Angon.
Mendadak,
Lelaki Genit Mata Banci meng-
geram marah.
Ditatapnya wajah Gajah Angon
dengan
pandangan berapi-api.
"Minggir
kau!"
Sambil
membentak, Lelaki Genit Mata
Banci
menggerakkan kaki kanannya. Tak mau
dadanya
menjadi sasaran tendangan, cepat Gajah
Angon
menggeser tubuh ke kiri. Namun...
"Huk...!
Uokkk...!"
Tubuh Gajah
Angon tak mampu berdiri te-
gak. Kedua
kakinya bergerak maju mundur. Ta-
nah yang
dipijaknya seakan dilanda gempa.
Dan..., dari
mulutnya menyembur darah segar!
"Ha ha
ha...!" Lelaki Genit Mata Banci ter-
tawa
bergelak. "Rupanya kau menderita luka da-
lam, Kerbau
Dungu! Menyingkirlah! Agar kau tak
menyesal bila
nanti kupecahkan batok kepala-
mu!"
Dengan mulut
masih belepotan darah, Ga-
jah Angon
menuding seraya berkata, "Apa... apa
yang akan kau
perbuat terhadap Suropati...?"
"Kau
ingin tahu? Baiklah aku jelaskan,"
sahut Lelaki
Genit Mata Banci. "Akan kuperiksa
apakah bocah
gendeng itu telah mati atau masih
hidup. Bila
masih hidup akan kucekoki dia den-
gan 'Puyer
Perangsang'. Setelah aku puas berme-
sraan
dengannya, dia akan kubunuh! Tubuhnya
akan
kuhancurkan dengan aji 'Pelebur Raga'! Ha
ha
ha...!"
Mendengus
gusar Gajah Angon mengetahui
maksud buruk
Lelaki Genit Mata Banci. Selagi le-
laki ini tertawa bergelak, cepat Gajah Angon
menghunus
pedang yang terselip di pinggangnya,
lalu....
Wuttt...!
Bilah pedang
Gajah Angon berkelebat ce-
pat. Ujungnya
mengarah ulu hati Lelaki Genit Ma-
ta Banci!
"Hiah...!"
Lelaki Genit
Mata Banci menggembor ke-
ras.
Mudah saja lelaki ini menghindari
tusukan
pedang Gajah
Angon. Dan, sekali tangannya ber-
gerak, tubuh
Gajah Angon mencelat karena da-
danya
terhantam bogem mentah!
Sejenak
Lelaki Genit Mata Banci menatap
tubuh Gajah
Angon yang jatuh bergulingan. Sam-
bil mengulum
senyum, lelaki ini melangkah,
mendekati
badan kasar Suropati!
"Matilah
kau!"
Nekat sekali
Gajah Angon bangkit. Pedang-
nya
berkelebat lagi, hendak memenggal leher Le-
laki Genit
Mata Banci!
Wuttt...!
Sengaja
Lelaki Genit Mata Banci menung-
gu. Setelah
pedang Gajah Angon mendekati le-
hernya, dia
rundukkan tubuhnya. Lalu....
Blekkk...!
"Hukkk...!"
Telapak
tangan Lelaki Genit Mata Banci
menepuk
kepala Gajah Angon dari atas. Dalam
keadaan masih
berdiri, kedua kaki Gajah Angon
menancap di
tanah sampai sebatas siku!
"Melihat
kenekatanmu, rupanya kau cukup
berharga
untuk dijadikan korban aji 'Pelebur Ra-
ga'-ku,
Kerbau Dungu!"
Di ujung
kalimatnya, Lelaki Genit Mata
Band menarik
napas panjang. Dengan tangan
bersedekap,
dirapalnya sebuah mantra. Tapi tu-
buh Gajah
Angon keburu ambruk memeluk bumi!
"Bodoh!
Bodoh!" umpat Lelaki Genit Mata
Banci.
"Mestinya kau rasakan dulu kehebatan aji
'Pelebur
Raga'-ku! Kenapa nyawamu begitu mu-
dah
melayang?!"
Dengan
perasaan kesal, Lelaki Genit Mata
Banci
menggedrukkan kakinya ke tanah. Namun
ketika
melihat sosok Pengemis Binal yang masih
duduk bersila
di tempatnya, rasa kesal di hati le-
laki
berpakaian kuning merah ini lenyap seketika.
Lalu sambil
tersenyum-senyum, dia berjalan
mendekati...
* * *
Sementara
itu, badan halus Pengemis Binal
tengah
terkurung cahaya kebiruan yang meman-
car dari
bilah Pedang Burung Hong di tangan
Prahesti.
Dengan melakukan gerakan 'Pengemis
Meminta
Sedekah', dia meloncat ke sana-sini un-
tuk dapat
keluar dari kurungan cahaya panas itu.
"Hmmm....
Kehebatan Pedang Burung
Hong memang
tiada taranya. Tak dapat aku ber-
laku terus
seperti ini. Aku harus membalas se-
rangan
Prahesti!"
Menuruti
pikiran di benaknya, Pengemis
Binal
mengempos tenaga. Setelah berjumpalitan
beberapa
kali, dia salurkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya
ke kedua pergelangan tangannya.
Begitu
mendapat kesempatan, cepat dia merun-
duk. Lalu,
secepat kilat dia melenting ke atas
dengan
gerakan 'Pengemis Mengiba Rembulan'!
Wusss...!
Blarrr...!
Cahaya merah
yang melesat dari kedua
tangan
Suropati membentur cahaya kebiruan
yang semula
mengurungnya. Namun, akibatnya
sungguh di
luar dugaan. Badan halus pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini terhem-
pas. Melesat
cepat diiringi jeritan panjang me-
nyayat hati!
"Aaa...!"
"Hi hi
hi...!" Prahesti tertawa penuh keme-
nangan.
"Pertempuran ini harus dilanjutkan. Ku-
kembalikan
kau ke alam nyata. Tunggulah bebe-
rapa saat
sebelum tubuhmu kucincang menjadi
serpihan
daging!"
Mendadak,
tubuh bocah setengah siluman
ini melesat.
Tangan kirinya terjulur lurus ke de-
pan. Dan...,
serangkum angin pukulan berhawa
panas luar
biasa menerpa Pengemis Binal!
Wesss...!
"Wuahhh...!"
Badan halus
Pengemis Binal terlempar ke
tempat gelap
nan luas tiada bertepi. Untuk bebe-
rapa lama
dirinya terbawa melayang-layang tiada
menentu.
Kemudian, telinga murid Periang Ber-
tangan Lembut
ini menangkap suara desir angin
yang menerpa
ranting pohon. Dapat dia dengar
pula kicau
burung yang merdu bernyanyi.
Suropati tahu
bila roh dan badan kasarnya
telah menyatu
kembali. Namun, keterkejutan
menghantam
telak. Ketika membuka kelopak ma-
ta,
dilihatnya seorang lelaki setengah baya tengah
berjalan
menghampirinya.
"Lelaki
Genit Mata Banci!"
Mendengar
seruan Pengemis Binal yang
begitu keras,
Lelaki Genit Mata Banci melonjak
kaget.
Tubuhnya terlihat limbung karena pijakan
kakinya
berada di tanah yang tak rata.
"Slompret!"
rutuknya.
Mengetahui
bila Lelaki Genit Mata Banci
menyimpan
bibit permusuhan kepadanya, berge-
gas Pengemis
Binal bangkit. Namun, dia terkesiap
merasakan
tubuhnya yang lemah.
"Oh! Apa
yang telah terjadi?" keluh Suropa-
ti,
menajamkan ingatan. "Pasti angin pukulan
Prahesti yang
telah membuatku seperti ini..."
Mata Suropati
terbelalak lebar tatkala me-
lihat tubuh
Gajah Angon yang menancap di ta-
nah. Remaja
tampan ini hendak meloncat mende-
kati, tapi
tulang-belulangnya terasa bagai dilolosi.
Tenaganya
terkuras tiada tersisa. Hingga, dia tia-
da dapat
me-lakukan apa-apa, kecuali menatap
tubuh Gajah
Angon dari kejauhan.
"Keparat
kau, Lelaki Banci!" umpat Penge-
mis Binal.
"Kau pasti yang telah mencelakai sa-
habatku
itu!"
"Kalau
ya, kau mau apa? Ha ha ha...!" Le-
laki Genit
Mata Banci tertawa pongah. Dia tahu
benar bila
Pengemis Binal tengah menderita luka
dalam.
Mendadak....
"Hi hi
hi...! Tak percuma aku melancarkan
'Pukulan
Badai Gurun'. Selain melemparkan di-
rimu ke alam
nyata, ternyata kau pun tak luput
dari luka
dalam, Pemuda Gemblung! Hi hi hi...!"
Mendengar
tawa menyeramkan itu, Suro-
pati
terkesiap. Cepat dia arahkan pandangan ke
asal suara.
Terlihat oleh pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti ini sosok Prahesti yang
tengah
berdiri tegak menatap penuh ejekan ke
arahnya.
Kalut dan
bingung segera menyelimuti be-
nak Suropati.
Bila Prahesti bermaksud membu-
nuhnya,
dengan apa lagi dia dapat bertahan?
Namun, segera
tercetus sebuah akal bagus.
Ditatapnya
Lelaki Genit Mata Banci yang berdiri
sekitar dua
tombak dari hadapannya. Lalu, diam-
diam dia
pusatkan kekuatan batinnya.
"Hei,
Lelaki Banci!" seru Pengemis Binal,
disertai
kekuatan ilmu sihir ajaran Periang Ber-
tangan
Lembut. "Lihatlah ke sana! Perempuan ke-
jam yang
sangat haus darah itu sudah sepatutnya
untuk
dibunuh. Keluarkan ilmu kesaktianmu
yang terhebat
Lenyapkan dia secepatnya!"
Begitu usai
ucapan Pengemis Binal, kepala
Lelaki Genit
Mata Banci menggeleng-geleng. Ma-
tanya
mengerjap beberapa kali.
"Ya. Ya,
kau memang pantas untuk dile-
nyapkan!"
seru Lelaki Genit Mata Banci, menud-
ing Prahesti.
Di lain
kejap, Lelaki Genit Mata Banci tam-
pak
bersedekap. Dengan mata terpejam, dirapal-
nya sebuah
mantra. Agaknya, lelaki bertingkah
laku wanita
ini hendak mengetrapkan aji 'Pelebur
Raga'-nya.
"Heh?!"
Prahesti
terkesiap manakala merasakan
tubuhnya
bergetar. Dirasakannya sentakan-
sentakan
keras yang menarik kepala, kedua tan-
gan dan
kakinya agar terbetot lepas dari tempat-
nya. Bocah
setengah siluman ini kontan menden-
gus gusar.
"Hmmm....
Aku dapat memastikan bila le-
laki genit
itulah yang tengah menyerangku den-
gan kekuatan
kasat mata," kata hati Prahesti.
Disertai
sebuah jeritan panjang, Prahesti
menghunus
pedang yang sarungnya terdapat uki-
ran dua ekor
naga. Lalu, pedang warisan bernama
Naga Kembar
itu dilemparkan ke arah Lelaki Ge-
nit Mata
Banci!
Bersamaan
dengan itu, Lelaki Genit Mata
Banci menepukkan
kedua telapak tangannya di
atas kepala!
Wuttt...!
Blammm...!
Sebuah
ledakan keras mengiringi kekuatan
kasat mata
yang keluar dari telapak tangan Lelaki
Genit Mata
Banci. Tampak kemudian, tubuh Pra-
hesti
melayang jauh, dan jatuh bergulingan ke le-
reng bukit.
Sementara, tubuh Lelaki Genit Mata
Banci jatuh
berdebam dalam keadaan tanpa nya-
wa. Darah
segar merembes dari dadanya yang ter-
tembus
ketajaman Pedang Naga Kembar!
Pengemis
Binal menarik napas lega. Den-
gan langkah
tertatih-tatih, dihampirinya tubuh
Gajah Angon
yang sudah tak menunjukkan tan-
da-tanda
kehidupan. Sementara, panas sinar
mentari
menyiram kuntum-kuntum bunga merah
jingga.
Semilir angin mengelus aneka burung
yang berkicau
mendendangkan lagu duka.
SELESAI
Segera ikuti
saja kisahnya!!
PETUALANGAN
ROH IBLIS
Emoticon