Bulan sepenggal di langit
memancarkan cahaya
temaram. Ditingkahi kerlip
bintang gumpalan awan ti-
pis bergerak perlahan mengikuti
arah angin. Itulah
irama alam yang dimainkan tangan
Sang Penguasa Ja-
Kepompong raksasa berwarna putih
itu tampak
bergelindingan di tanah. Di
dalamnya Suropati sedang
berusaha keras melepaskan diri
dari kungkungan se-
rat-erat aneh berperekat kuat.
Hawa di dalam kepompong sangat
pengap. Pe-
luh telah membanjiri tubuh
Suropati. Nafasnya pun
megap-megap karena tak ada udara
yang masuk.
"Uh! Bagaimana aku
melepaskan diri?" kata
remaja konyol itu dalam hati.
Kaki dan tangannya
menghentak-hentak. Tapi
tak mendapat hasil seperti yang
diinginkan. Kepom-
pong raksasa itu tetap
bergelindingan.
"Ah, bodoh amat aku ini!
Bukankah bisa ku co-
ba dengan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'?"
Pengemis Binal lalu mengumpulkan
segenap
kekuatan batinnya untuk menghimpun
tenaga semes-
ta. Kesulitan dia dapatkan.
Nafasnya yang megap-
megap membuat pemusatan
inderanya jadi terganggu.
Dicobanya untuk memejamkan mata
tanpa bernapas.
Beberapa saat kepala Suropati
menjadi sangat
pusing. Jiwanya seakan sedang
dihempas-hempaskan
kekuatan kasatmata. Aliran darah
berdesir tak karuan.
Jantungnya pun berdegup lebih
kencang hingga da-
danya sesak.
Waktu remaja konyol itu
merasakan jantung-
nya benar-benar akan meledak,
dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan.
Terdengar letusan
keras. Dan, serat-serat putih
yang membungkus tubuh
Suropati ambyar!
Setelah melemaskan otot-ototnya
yang kaku,
Pengemis Binal melayangkan
pandangan ke sekeliling-
nya. Malam yang sudah rebah
membuat pandangan
Suropati hanya menemui
bayang-bayang hitam.
"Di mana Yaniswara?"
tanya remaja konyol itu.
"Apakah gadis itu masih
berada di sekitar sini? Ah, le-
bih baik ku kerahkan ilmu 'Mata
Awas'...."
Sebelum Suropati mengerahkan
ilmu tembus
pandang itu, tampak cahaya keperakan berpendar di
kejauhan. Pemuda itu segera
menghemposkan tubuh-
nya.
"Pedang Perak
Lentur...," gumam Suropati sete-
lah berada di dekat pusat
pendaran cahaya.
Dengan menggunakan pedang pusaka
itu seba-
gai lentera, Pengemis Binal
berjalan berputar-putar,
mencaci sosok Yaniswara. Tapi
tak ditemukan.
"Yaniswara tentu telah
diculik manusia biadab
itu...," pikir Suropati.
"Kakek itu dapat berbuat sede-
mikian kejam. Aku tak dapat
membayangkan nasib
Yaniswara bila berada di
tangannya. Aku harus segera
bertindak...."
Suropati menyimpan Pedang Perak
Lentur di li-
patan kain bajunya, kemudian,
dia berkelebat cepat
melamban pandangannya dengan
ilmu 'Mata Awas'.
Gerak tubuh remaja konyol itu
laksana keleba-
tan setan. Secara kebetulan
nalurinya membawa lang-
kah kaki Suropati menuju lereng
bukit di perbatasan
wilayah Kademangan Maospati, tak
jauh dari kotapra-
ja. Di situlah dia menjumpai
Pantang Mati sedang
mengamuk.
"Di mana Yaniswara?!"
bentak Suropati.
Kebo Ireng tak menjawab.
Amukannya lang-
sung terhenti. Matanya yang
sipit dibukanya selebar
mungkin. Dari mulutnya keluar
geraman sangat
menggidikkan. Sementara,
Pengemis Binal mengedar-
kan pandangan berusaha mencari
sosok Yaniswara di
sekitar tempat itu. Tapi hasil
yang diharapkannya tak
diperoleh.
"Ah, jangan-jangan
Yaniswara telah diapa-
apakan oleh manusia biadab itu.
Lalu, dia dibunuh
dan bangkainya dibuang begitu
saja...."
Selagi Suropati berpikir
demikian, Pantang Mati
mengembangkan kedua tangannya.
Kakek itu melun-
cur cepat hendak meremukkan
kepala remaja konyol
ini. Namun yang diserang telah
meloncat ke samping.
"Mau lari ke mana
kau?!" hardik Pantang Mati.
"Kelinci manisku telah
hilang. Aku akan membunuh-
mu, Keparat!"
Mendengar perkataan Kebo Ireng,
tahulah Su-
ropati kalau Yaniswara telah
lepas dari cengkeraman
manusia biadab itu. Tapi, hati
Suropati jadi bertanya
tanya. Mungkinkah Yaniswara
dapat melepaskan diri
tanpa bantuan orang lain? Kalau
ditolong seseorang,
siapakah penolong itu?
Pengemis Binal tak mempunyai
waktu untuk
berpikir lebih panjang. Pantang
Mati telah menyerang-
nya dengan tendangan ke arah ulu
hati.
"Ku lumatkan tubuhmu, Kerbau Liar!" umpat
Suropati sambil berkelit.
Kemudian dia balas menen-
dang. Sayang, tak mengenai
sasaran.
Dengan mengandalkan ilmu 'Serat
Maut', Pan-
tang Mati berusaha menjerat
tubuh Suropati. Gerakan
remaja konyol itu kali ini lebih
cepat. Serat-serat putih
yang keluar dari telapak tangan
Pantang Mati hanya
mengenai tempat kosong, atau
menjerat batang-batang
pohon.
Bahkan, keuntungan didapatkan
Suropati yang
bertempur dengan mengerahkan
ilmu 'Mata Awas'-nya.
Gelap malam tak mempengaruhi
gerakannya. Berkali-
kali dia dapat menyarangkan
tendangan dan pukulan
ke tubuh lawan. Pantang Mati
terlontar ke sana kema-
ri. Namun, secepat dia mencium
tanah, secepat itu pu-
la dia bangkit sambil menggeram
penuh kemarahan.
Terkejutlah Pengemis Binal.
Apalagi setelah dia
mengerahkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'
yang ternyata tak berpengaruh
apa-apa. Padahal, ca-
haya kebiru-biruan yang memancar
dari sekujur tu-
buh Suropati sudah sanggup untuk
menghancurkan
sebongkah batu sebesar gajah.
Keterkejutan Pengemis Binal
bertambah. Ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa' pun tak mampu
menghabisi riwayat Pantang Mati.
"Tubuhnya benar-benar alot.
Lebih baik aku
menghindar dulu dari manusia
yang satu ini! Yang
penting, aku sudah tahu
Yaniswara selamat...," ucap
Suropati kepada dirinya sendiri.
"Aku membutuhkan
bantuan Kakek Gede Panjalu untuk
melenyapkan ma-
nusia hebat ini."
Berpikir demikian, Pengemis
Binal segera ber-
kelebat cepat meninggalkan
Pantang Mati. Kelebatan
tubuh Pengemis Binal tak mungkin
lagi diikuti pan-
dangan mata. Gelap seperti
menelan tubuhnya. Ting-
gallah Kebo Ireng
menggeram-geram bagai kesetanan.
Lelaki tinggi gemuk itu lalu
mengamuk. Puluhan ba-
tang pohon tumbang terbetot
sampai ke akarnya. Keti-
ka dia mengguling-gulingkan
tubuhnya ke tanah, debu
beterbangan bercampur kerikil
dan bebatuan!
Sementara di tempat yang agak
jauh dari tem-
pat itu Wirogundi membopong
tubuh Yaniswara me-
masuki wilayah Kademangan
Maospati. Dari kejauhan
terlihat kerlip lampu damar. Ada
sebuah rumah yang
terpisah agak jauh dari
rumah-rumah lainnya.
"Kita berada di mana?"
tanya Yaniswara.
"Kau tak perlu
khawatir...," kata Wirogundi
dengan suara kalem. "Kita
akan memasuki sebuah
rumah di Kademangan
Maospati."
"Untuk apa?"
"Menghilangkan jejak
kalau-kalau manusia se-
tan itu mengejar kita. Di sana
kita dapat berusaha me-
lepaskan diri dari serat-serat
yang membelenggu ini."
Yaniswara tak berkata-kata lagi.
Wirogundi
mempercepat langkahnya. Ketika
sampai di depan ru-
mah yang dituju, seorang nenek
tampak duduk terpe-
kur di atas balai-balai depan
rumah. Dia terkejut meli-
hat kehadiran Wirogundi yang
membopong Yaniswara.
"Si.... siapa kalian?"
tanya nenek itu sambil be-
ranjak dari tempat duduknya.
"Kami membutuhkan tempat
untuk bisa mele-
paskan serat-serat putih yang
membelenggu tubuh
kami ini, Nek," jawab
Wirogundi.
Si nenek menajamkan pandangan.
Ditelitinya
sejenak kedua tamunya. Tubuh
mereka disatukan oleh
serat-serat putih. Buru-buru
nenek itu membuka daun
pintu dan menyilakan mereka
masuk.
"Segera tutup daun
pintunya, Nek. Aku takut
ada orang yang melihat,"
kata Wirogundi
Si nenek menuruti permintaan
pemuda kurus
itu. "Mungkin aku bisa
membantumu memutuskan se-
rat-serat putih itu,"
ujarnya kemudian menawarkan ja-
sa.
Si nenek berjalan ke ruang dalam.
Wirogundi
menekuk kakinya untuk dapat
duduk di tikar. Lampu
damar cukup terang
memperlihatkan betapa sederha-
nanya rumah itu. Dindingnya
terbuat dari kepang. Be-
ratap jerami yang ditopang
batang-batang bambu. Tak
ada perabotan yang berarti.
Hanya tikar di atas lantai
tanah.
"Anjarweni...," desis
Wirogundi sambil menatap
wajah gadis yang berada di
pangkuannya.
"Aku bukan Anjarweni. Aku
Yaniswara."
"Oh...."
Melihat wajah Wirogundi yang
mendadak mu-
ram, Yaniswara jadi heran.
"Kau kenapa?" tanya gadis
itu.
"Ah, tidak. Kau sangat
mirip temanku."
"Siapa dia?
Kekasihmu?"
Wirogundi tak menjawab.
Kepalanya tertunduk.
Yaniswara pun tak hendak
bertanya lagi. Tak lama
kemudian si nenek datang sambil
membawa sebilah
pisau yang cukup tajam.
"Untuk apa pisau itu,
Nek?" tanya Wirogundi.
"Untuk memutuskan
serat-serat putih itu."
Si nenek berjongkok, lalu
mengiris serat-serat
putih yang menyatukan tubuh
Wirogundi dengan Ya-
niswara. Hingga keringat mengucur
dari sekujur tubuh
si nenek, usahanya hanya menemui
kegagalan. Serat-
serat putih yang telah mengering
itu jadi kenyal seperti
karet
"Aku mempunyai seorang
kenalan yang cukup
pandai. Mungkin dia dapat
menolong kalian," kata si
nenek kemudian.
"Ah, kau tak perlu bersusah
payah, Nek. Kami
akan mencoba sendiri melepaskan
belenggu ini," ucap
Wirogundi.
"Tak apa. Melihat pakaian
yang kau kenakan
dan tongkat yang kau bawa,
tampaknya kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku akan men-
gajak kenalan ku itu kemari.
Mudah-mudahan dia bisa
menolongmu."
Si nenek berjalan ke luar rumah.
Wirogundi
hendak mencegah, tapi niat itu
diurungkan. Si nenek
tampaknya begitu yakin akan
kemampuan kenalan-
nya.
Suasana jadi lengang. Tangan
kiri Wirogundi
yang masih bebas mendorong tubuh
Yaniswara. Na-
mun, serat-serat putih yang
membelenggunya tak mau
lepas.
"Ah, betapa bodohnya
aku...," desis pemuda
kurus itu. "Bukankah
serat-serat putih ini hanya me-
nempel pada telapak tangan kanan
dan sebagian baju-
ku? Kurobek saja bajuku
ini."
Wirogundi segera menggerakkan
tangan kiri.
Sekali sentakan baju yang
dikenakannya telah tanggal.
Tinggal telapak tangan kanannya
yang masih melekat
pada tubuh Yaniswara.
"Akan ku salurkan tenaga
dalam," gumam Wi-
rogundi
Perlahan-lahan telapak tangan
pemuda kurus
itu mengepal. Saat tenaga
dalamnya sudah tersalur
penuh, serat-serat putih pun
meleleh dan jatuh ke ti-
kar seperti lilin terbakar api.
Wirogundi melonjak kegirangan.
Usahanya ber-
hasil. Namun, dia tidak bisa
berlama-lama kesenan-
gan. Yaniswara masih harus
ditolongnya. Pemuda ku-
rus itu lalu mendudukkan
Yaniswara.
"Kubantu kau dengan
penyaluran hawa murni.
Salurkan tenaga dalammu ke
sekujur tubuh," perintah
Wirogundi.
Wirogundi menempelkan kedua
telapak tan-
gannya ke dada Yaniswara. Namun
dia tercekat. Tan-
gannya menyentuh buah dada
Yaniswara. Sesaat da-
rah Wirogundi berdesir tak
karuan. Dia segera mengu-
sir bayangan-bayangan yang
menghantui pikirannya.
Tenaga dalam Yaniswara yang
telah disalurkan
ke seluruh tubuh membuat
serat-serat putih meleleh.
Tapi, serat-serat yang menempel
di bajunya masih se-
perti sama.
Yaniswara berusaha menarik lepas
serat-serat
itu. Usahanya sia-sia. Bahkan
baju pada bagian dada
jadi koyak lebar. Untunglah dia
mengenakan rompi
pusaka.
"Anjarweni...," desis
Wirogundi.
"Aku Yaniswara!"
bentak Yaniswara tiba-tiba.
"Yaniswara? Kau..., kau
sangat cantik, Yani...."
Wirogundi lalu menundukkan
kepalanya.
Bayangan kekasihnya yang telah
mati di tangan Mar-
gana Kalpa atau Malaikat Bangau
Sakti terpampang
kembali. Tanpa sadar pemuda
kurus itu meremas-
remas rambutnya.
"Eh, kau kenapa?"
tanya Yaniswara. Wirogundi
mendongak. Terlihat oleh
Yaniswara mata pemuda ku-
rus itu tampak kosong. "Kau
memikirkan siapa?"
Wirogundi tak menjawab.
Kepalanya tertunduk
kembali.
"Kau anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti, bukan? Siapa
namamu?"
"Wirogundi."
"Terima kasih, Wiro. Kau
telah menolongku.
Tapi, anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
harus tabah menghadapi cobaan
apa pun. Kau tidak
harus malu pada orang lain,
namun harus malu pada
diri sendiri," Yaniswara
mencoba menghibur Wirogun-
di.
Mendadak, pemuda itu mencekal
tangan Ya-
niswara lalu meremasnya.
"Eh, apa yang kau
lakukan?!" sentak Yaniswara
kaget.
"Anjarweni...."
"Aku Yaniswaraa!"
"Tidak! Kau adalah
Anjarweni. Kekasihku yang
cantik jelita."
Wirogundi memeluk tubuh
Yaniswara dengan
erat. Diciuminya bibir gadis
itu.
"Ah! Apa-apaan kau,
Wiro?!" Yaniswara keliha-
tan begitu panik.
"Kau kekasihku! Tidak
bolehkah aku men-
ciummu?" tanya Wirogundi
dengan lugunya.
"Aku Yaniswara! Bukan
kekasihmu!"
"Tidak! Kau Anjarweni! Kau
kekasihku!"
Tanpa melepaskan pelukannya,
Wirogundi
menggulingkan tubuh Yaniswara ke
atas tikar. Bibir
gadis itu pun dilumatnya. Tentu
saja Yaniswara me-
ronta-ronta. Namun tubuh
Wirogundi terlampau kuat
untuk ditepiskan.
Oleh dorongan nafsu yang
menghentak Wiro-
gundi berusaha melepas rompi
pusaka yang dikenakan
Yaniswara. Gadis itu meronta
semakin keras.
"Apa yang kau lakukan,
Wiro?!"
Wirogundi tak mengeluarkan
sepatah kata pun.
Nafasnya terdengar memburu.
Dengan sigap dia men-
gangkat tubuh Yaniswara. Setelah
menanggalkan rom-
pi pusaka gadis itu, Wirogundi
membaringkannya
kembali.
"Bangsat! Apa yang kau
lakukan ini?!"
Napas Wirogundi terdengar
semakin memburu
saat melihat dada mulus
Yaniswara. Wirogundi lalu
menundukkan kepala dan
menciuminya.
"Anjarweni.... Aku
mencintaimu...."
"Uh! Aku bukan
Anjarweni!"
Wirogundi tak mendengarkan
bentakan itu. Dia
menciumi lebih ganas dada
Yaniswara. Gadis itu pun
meronta-ronta tak karuan.
Wirogundi merenggut celana
Yaniswara hingga
robek. Terlihat oleh pemuda
kurus itu sebuah peman-
dangan yang lebih menggiurkan.
"Lepaskan aku! Lepaskan
aku!"
Teriakan Yaniswara yang
ketakutan tak dipedu-
likan Wirogundi. Nafsu birahi
benar-benar telah men-
guasai jiwa pemuda itu.
Tiba-tiba, tangan kanan
Yaniswara menghu-
jamkan pukulan ke dada telanjang
Wirogundi.
Dhes...!
Tubuh Wirogunddi terlontar
membentur dind-
ing kepang hingga jebol! Tapi,
tenaga dalam pemuda
kurus itu sudah sedemikian
kuatnya. Pukulan Yanis-
wara sedikit pun tak
berpengaruh. Secepat kilat Wiro-
gundi bangkit, lalu menerkam
Yaniswara yang hendak
melarikan diri. Tubuh kedua anak
manusia itu tergul-
ing-guling di lantai tanah.
"Lepaskan aku,
Bangsat!" umpat Yaniswara se-
raya berusaha sekuat tenaga
melepaskan diri dari pe-
lukan Wirogundi.
Wirogundi menampar wajah gadis
itu hingga
pingsan!
"Aku mencintaimu, Weni.
Tapi kau sangat nak-
al...."
Wirogundi memandangi tubuh
Yaniswara yang
hampir telanjang. Kening gadis
yang sudah tiada daya
itu dikecupnya dengan lembut.
Kemudian, kecupannya
beralih ke kedua mata Yaniswara
yang terpejam.
Ketika bibir Wirogundi menyentuh
bibir Yanis-
wara, dia mendengus. Bibirnya
mendaratkan ciuman
ganas sambil meraba-raba dada
Yaniswara.
Ciuman Wirogundi terus bergerak
ke bawah.
Sambil berbuat demikian, tangan
kiri Wirogundi mele-
pas pakaian Yaniswara yang
tersisa.
"Kau sangat cantik,
Weni...."
Tiba-tiba daun pintu terkuak.
Muncullah tuan
rumah bersama seorang kakek
berjubah putih. Melihat
adegan yang dilakukan Wirogundi,
kedua orang lanjut
usia itu tercekat.
Wirogundi pun terkejut.
"Pergi kalian!" bentak-
nya kemudian.
"Apa yang kau lakukan, Anak
Muda?!" tanya
kakek berjubah putih.
Melihat kedua orang yang baru
datang itu tak
segera beranjak pergi, Wirogundi
menerjang!
"Pemuda Terkutuk!"
hardik kakek berjubah pu-
tih sambil menghindari
terjangan.
Wirogundi yang sudah dikuasai
nafsu setan ja-
di kalap. Dia menerjang lebih
ganas. Pemuda itu beru-
saha menjatuhkan tangan maut.
Ternyata kakek ber-
jubah putih bukan orang
sembarangan. Dengan mu-
dah dia menghindari
serangan-serangan Wirogundi.
Sebelum kakek berjubah putih
sempat memba-
las serangannya, Wirogundi telah
berkelebat menyam-
bar tubuh Yaniswara. Kemudian
menghilang dalam
kegelapan malam. Kakek berjubah
putih berusaha
mengejar, tapi sosok Wirogundi
telah lenyap.
"Siapa sebenarnya pemuda
dan pemudi itu?"
tanya kakek berjubah putih
begitu menjumpai si ne-
nek.
"Aku tak tahu," jawab
si nenek. "Mereka datang
ketika aku sedang duduk di
depan...."
Nenek itu lalu menceritakan perihal
kedatangan
Wirogundi dan Yaniswara. Kakek
berjubah putih men-
gerutkan kening Diambilnya rompi
pusaka Yaniswara
yang tergeletak di lantai tanah.
Benda itu ditimang-
timangnya sebentar.
Tatapannya beralih pada seba-
tang tongkat yang tergeletak di
pojok ruangan.
"Pengemis Tongkat
Sakti...," gumam kakek itu
sambil mengetuk-ngetukkan batang
tongkat. "Tak per-
nah kusangka anggota perkumpulan
pengemis yang
sangat kesohor itu bisa berbuat
demikian biadab."
Kakek berjubah putih melangkah
ke luar ruan-
gan.
"Kau hendak ke mana?"
tanya si nenek.
"Aku akan melaporkan
perbuatan tak senonoh
ini kepada Gede Panjalu di
puncak Bukit Pangalasan."
"Malam-malam begini?"
tanya si nenek seperti
keberatan.
"Ya."
"Kau sudah tua, Naweleng.
Dalam gelap seperti
ini, aku takut akan terjadi
sesuatu kepadamu...," kata
si nenek. Kakek berjubah putih
itu adalah Bima Nawe-
leng, seorang brahmana kenalan
si nenek yang ber-
tempat tinggal di Kademangan
Maospati.
"Terima kasih atas perhatianmu.
Tapi, aku ha-
rus cepat-cepat menemui Gede
Panjalu..."
Usai berkata demikian, kakek
berjubah putih
menghemposkan tubuhnya. Si nenek
cuma dapat
menggeleng-gelengkan kepalanya,
melihat kekerasan
hati Bima Naweleng.
***
5
Cahaya sang baskara baru saja
menyirami bu-
mi. Ingkanputri menyusuri jalan
setapak menuju bukit
Pangalasan. Tertimpa cahaya
pagi, wajah murid Dewi
Tangan Api itu tampak merona
merah. Rambut yang
digelung ke atas dengan ikatan
kain hijau menampil-
kan kesempurnaan lukisan Tuhan
pada sosok Ingkan-
putri. Warna pakaiannya
putih-merah, membungkus
tubuhnya yang padat berisi.
"Setelah aku membaca Kitab
Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi, ada banyak hal yang
tak dapat ku men-
gerti. Bagian pertama yang
berisi tentang siasat dan
strategi perang sama sekali tak
menarik minat ku.
Mungkinkah hal itu yang
membuatku jadi sulit mema-
haminya? Aku sangat berhasrat
mempelajari isi kitab
bagian kedua. Tapi, kenapa aku
juga mendapat kesuli-
tan untuk memahaminya? Pada bagian
awal digam-
barkan tentang kehebatan tenaga
prana. Tampaknya,
aku memerlukan seseorang yang
menguasi ilmu keba-
tinan. Mungkin Gede Panjalulah
orang yang tepat..."
Tanpa sadar langkah kaki
Ingkanputri terhenti.
Seperti ingat sesuatu yang tak
menyenangkan, bibir
gadis cantik itu tampak
cemberut.
"Suropati...," desis
Ingkanputri. "Bila aku ke
puncak Bukit Pangalasan untuk
menjumpai Gede Pan-
jalu, mungkinkah aku juga akan
berjumpa dengan re-
maja konyol itu? Uh! Perilaku
Suropati seringkali san-
gat keterlaluan. Sebal!"
Ingkanputri kembali melangkah,
tapi lebih lam-
bat dari semula. Kadang
ditendangnya batu yang ba-
nyak berserakan di jalan setapak
itu. Mendadak, gadis
cantik itu menyunggingkan
senyum. Sinar matanya
berbinar seperti sedang merasakan
suatu kegembi-
raan.
"Suropati...," desis
Ingkanputri. "Walau perila-
kunya sangat konyol, namun
sesungguhnya aku san-
gat suka. Melihat tingkah
lakunya yang menyebalkan
kadang-kadang aku malah merasa
bahagia. Aku me-
rindukannya. Mungkinkah aku telah...
telah.... Ah! Ke-
napa aku berpikiran yang
macam-macam. Maksudku
ke puncak Bukit Pangalasan untuk
menjumpai Kakek
Gede Panjalu. Titik! Bukan
menjumpai Suropati! Ta-
pi...."
Senyum yang tersungging di bibir
Ingkanputri
merah merekah. Gadis cantik itu
berjalan sambil me-
loncat-loncat persis anak kecil.
Tiba-tiba, Ingkanputri tercekat.
Dia berjongkok
di sisi bercak kecoklatan di
atas tanah. Dengan ujung
jari ditotolnya bercak
kecoklatan itu.
"Darah...!!" Seperti
kurang percaya pada pengli-
hatannya, Ingkanputri menatap
lebih seksama bercak
kecoklatan di ujung jarinya.
"Benar. Ini cairan darah
yang telah mengering. Darah
manusia!"
Gadis cantik itu lalu
mengedarkan pandangan.
Pada sisi kanan jalan setapak
tampak bercak kecokla-
tan melumuri rumput ilalang.
Karena desakan rasa in-
gin tahu, Ingkanputri mengikuti
jejak darah yang di-
temukannya.
***
Di depan batu berlumut yang
menjulang cukup
tinggi Pantang Mati tengah duduk
berjongkok. Pakaian
yang dikenakan lelaki tinggi
gemuk itu sudah tak ka-
ruan lagi. Bukan sekadar
compang-camping, malah
hanya sobekan-sobekan kain yang
disatukan dengan
simpul-simpul kecil. Ketika
angin berhembus, sobe-
kan-sobekan kain itu berkibaran
seperti bendera.
Walau wujud luar Pantang Mati sangat
menge-
naskan, namun hatinya dalam
kegembiraan yang san-
gat. Hal itu tergambar jelas
pada wajahnya yang berse-
ri-seri dan matanya yang
berbinar. Bibirnya pun me-
nyungging senyum. Kakek itu
menimang-nimang bebe-
rapa perhiasan emas.
Di sisi kanan lelaki tinggi
gemuk, tampak sosok
tubuh wanita bergoyang-goyang
ditiup angin. Wanita
itu lehernya dijerat dengan
seutas tali yang diikatkan
pada dahan pohon. Kakinya tak
menginjak tanah. Dia
sudah tak bernyawa!
Mayat wanita itu sangat
mengenaskan. Hampir
sekujur tubuhnya dinodai cairan
darah yang mulai
mengering. Bila melihat
pakaiannya yang terbuat dari
bahan mahal, tentu dia istri
seorang pejabat atau sau-
dagar kaya.
Apa yang baru saja dilakukan
Kebo Ireng ter-
hadap wanita itu memang di luar
batas kemanusiaan.
Setelah menculik si wanita dari
kotapraja, sepanjang
perjalanan Pantang Mati
memukulinya karena si wani-
ta terus mengeluarkan umpatan.
Akibat pukulan Pan-
tang Mati, si wanita babak
belur. Darahnya berceceran
seperti yang dilihat Ingkanputri
di jalan setapak.
Gagal menodai Yaniswara, Pantang
Mati men-
culik wanita ini dari kotapraja
untuk melepas nafsu bi-
rahinya. Malang bagi si wanita.
Selesai menerima per-
buatan tak senonoh dari Kebo
Ireng, dia digantung! Se-
luruh perhiasannya dipreteli.
"Ap... apa yang kau
lakukan, Pak Tua?!" kata
Ingkanputri dalam perasaan
ngeri. Matanya membela-
lak menatap mayat wanita yang
digantung.
Pantang Mati pun dihantam
keterkejutan. Dia
tak menyangka akan datangnya
Ingkanputri. "Jangan
ganggu keasyikan ku!"
bentaknya seraya mengibaskan
telapak tangan.
Serangkaian angin pukulan
menghujam, In-
gkanputri yang tak menduga
datangnya serangan
langsung tercekat. Tubuhnya
bergeser mundur dalam
keadaan terhuyung-huyung.
"Kerbau Busuk! Ternyata kau
manusia barbar
yang sangat kejam!" hardik
Ingkanputri.
"Sudah kubilang, jangan
ganggu keasyikan ku!"
Pantang Mati menatap tajam wajah
Ingkanpu-
tri. Sesaat kemudian,
dilancarkannya 'Ilmu Serat
Maut-nya.
Sraaattt...!
Melihat serat-serat putih yang
meluncur ke
arahnya, Ingkanputri meloncat
menghindar. Lalu di-
lontarkannya 'Pukulan Api
Neraka'nya.
Ledakan dahsyat membahana.
Gumpalan ta-
nah bercampur bebatuan
beterbangan mengaburkan
pandangan. Pantang Mati meloncat
tinggi. Setelah ber-
salto beberapa kali di udara,
dia mendarat di atas ta-
nah dengan seringai kemarahan.
Bahu kirinya terse-
rempat pukulan Ingkanputri.
Kebo Ireng menggeram-geram tak
karuan. Te-
riakannya melengking tinggi
menyakitkan gendang te-
linga. Saat dia
menggedruk-gedrukkan kaki ke tanah,
bumi berguncang hebat.
"Keparaaartt...! Kubunuh
kau!"
Melihat Pantang Mati yang kalap,
Ingkanputri
bergidik ngeri. Tiba-tiba,
sesosok bayangan berkelebat
dan menotok jalan darah di
punggung gadis cantik itu.
Walaupun Ingkanputri memiliki
ilmu 'Pemencar
Jalan Darah' yang membuatnya tak
mempan untuk di-
totok, namun karena tidak sempat
mengerahkan il-
munya, tubuh Ingkanputri
terkulai lemas. Sosok
bayangan langsung membopongnya
untuk dibawa lari
meninggalkan tempat itu.
Sosok bayangan yang membopong
tubuh In-
gkanputri terus berlari hingga
ke lereng Bukit Pengala-
san. Ketika sampai di tanah agak
lapang, sosok bayan-
gan berhenti dan menurunkan
tubuh Ingkanputri.
"Suropati...," desis
Ingkanputri. "Apa yang se-
dang kau lakukan? Bebaskan
totokanmu!"
"Uh! Tenang, Putri.... Kau
berbaringlah di situ
untuk beberapa lama," kata
Suropati yang telah mela-
rikan Ingkanputri.
Perlahan-lahan remaja konyol itu
merebahkan tubuhnya di samping
Ingkanputri, tanpa
mau membebaskan totokannya.
"Kau gila, Suro! Lekas
bebaskan totokanmu!"
"He-he-he.... Kenapa
marah-marah? Coba lihat
pemandangan di sana,"
Suropati menunjukkan tempat
yang dimaksudnya. "Suasana
pagi yang cerah mem-
buat burung-burung gembira ria.
Mereka meloncat-
loncat penuh canda. Kau tahu
burung apa itu, Putri?"
"Gila!" maki
Ingkanputri.
"Yah! Ya, namanya burung
gila. Eh, salah, Pu-
tri. Setahuku burung itu adalah
burung parkit. Ingat!
Burung parkit!"
"Gila!"
"Eh, kau lihat di ranting
kanan paling atas dari
pohon besar itu, Putri. Dua
burung parkit meloncat-
loncat dan saling berpatukan.
Eh, bukan! Mereka se-
dang bercumbu. Ya. Sedang
bercumbu, Putri. Aduh,
mesranya.... Kau tidak ingin
seperti mereka, Putri?"
"Gila!" Ingkanputri
semakin sewot.
"Uh! Dari tadi kau selalu
mengatakan itu. Siapa
yang gila?"
"Kau!"
"Aku?" Suropati
melototkan matanya seperti
orang bego.
"Ah! Kau benar-benar gila,
Suro! Lepaskan to-
tokanmu!"
"Eit! Sebentar.... Kau
katakan aku gila. Memang
benar. Aku gila, tergila-gila
padamu!"
Mendengar ucapan konyol Pengemis
Binal, bibir
Ingkanputri langsung cemberut.
Raut wajahnya dibuat
segalak mungkin. Tapi, dia malah
ditertawakan Suro-
pati.
"Kenapa mesti pura-pura
marah, Putri. Kau se-
nang berjumpa denganku,
bukan?"
Ditebak seperti itu pipi
Ingkanputri merona me-
rah. Suropati mengusap rambut
Ingkanputri. Lalu
mencium dengan lembut pipinya
yang merona merah.
"Kau benar-benar manusia
paling gila di dunia
ini, Suro!"
"Paling gila atau paling
menggemaskan?" goda
Suropati dengan tertawa
konyol.
"Uh!"
"Uh apa? Minta cium lagi?
Ehm...."
Ujung jari telunjuk Suropati
ditempelkan ke
kening Ingkanputri. Lalu
bergerak ke bawah menelu-
suri kedua pipi gadis cantik
itu. Ke bawah lagi mengu-
sap bibir Ingkanputri yang
marah-marah.
Perlahan-lahan Suropati
menyorongkan wajah-
nya. Diciumnya bibir Ingkanputri
dengan penuh ke-
lembutan. Ingkanputri yang tidak
bisa menggerakkan
tubuhnya, cuma pasrah. Matanya
terpejam. Debar-
debar aneh yang berada dalam
dadanya semakin tera-
sa menghentak.
"Suro...," desis
Ingkanputri.
"Kau sangat cantik,
Putri...."
"Kau sangat tampan,
Suro...."
"Kau senang ku cium,
Putri?"
Ingkanputri tak menjawab.
Matanya kembali
terpejam. Suropati pun kembali
menghadiahkan ci-
uman mesra.
"Coba kau lihat lagi
burung-burung parkit yang
berloncatan di pohon besar
itu," bisik Suropati kemu-
dian di telinga Ingkanputri.
"Ehm...."
"Bulu burung-burung parkit
itu sangat indah.
Ada warna hijau, kuning, dan
rona-rona putih mengki-
lat. Sungguh indah sekali.
Menunjukkan kebesaran
Tuhan. Betapa pandainya Dia
membuat lukisan hidup
yang begitu sempurna. Tapi
tahukah kau, Putri, di du-
nia ini ada satu burung yang
paling indah. Burung itu
selalu dirindukan gadis-gadis
yang sedang kasmaran."
"Burung apa itu,
Suro?" tanya Ingkanputri pe-
nasaran.
"Burungnya laki-laki!"
"Wauw....!"
***
6
Siang itu puncak bukit
Pangalasan tempat para
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bermu-
kim tampak lengang. Pagi-pagi
sekali mereka telah
meninggalkan tempat itu untuk
menuju kota kadipa-
ten terdekat, seperti Kadipaten
Bumiraksa dan Kadipa-
ten Tanah Loh. Tentu saja maksud
mereka pergi ke ko-
ta untuk mencari nafkah.
Biasanya, sekitar satu ming-
gu kemudian baru mereka kembali.
Kalau sudah ber-
kumpul, puncak Bukit Pangalasan
ramainya tiada ter-
kira. Mereka akan bercakap-cakap
diselingi gelak tawa
penuh canda.
Ketika Suropati memasuki pemukiman
itu,
anak-anak berpakaian lusuh
bersorak menyambutnya.
Mereka mengekor langkah remaja
konyol itu. Sedang-
kan, para orang tua
melambai-lambaikan tangannya.
"Sejak kapan orangtua
kalian berangkat?"
tanya Suropati.
"Pagi-pagi tadi,
Kang," jawab salah seorang
anak tanggung.
"Jangan panggil 'Kang'. Tak
enak didengar.
Tuh, lihat di belakang ada gadis
cantik. Jangan mem-
buat aku malu."
Mendengar kalimat Pengemis
Binal, anak-anak
yang sedang mengekor langkahnya
langsung menoleh
ke belakang. Setelah tahu ada
seorang gadis cantik
berpakaian putih-merah, salah
seorang dari mereka
bertanya, "Kami harus
memanggil apa?"
"Tuan Besar," jawab
Suropati.
"Ya, Tuan Besaaarrr!"
kata anak-anak serem-
pak.
Pengemis Binal tertawa terkekeh.
Lalu mengerl-
ing ke arah Ingkanputri yang
berjalan tak seberapa
jauh di belakangnya.
"Sudah! Kalian pergi semua.
Aku mau menemui
Kakek Gede, " kata remaja
konyol itu kemudian kepada
anak-anak di belakangnya.
"Baik, Tuan
Besaaarrr!"
Anak-anak itu berserabutan kembali
ke tem-
patnya, Ingkanputri mempercepat
langkah kakinya.
Suropati pura-pura tak melihat.
"Kau masih marah, Tuan
Besoooaaarrr?!" ucap
Ingkanputri dengan bibir
dimonyongkan.
Pengemis Binal tertawa geli.
Cepat dia memen-
cet hidung Ingkanputri.
"Aknjuuuhhh!" jerit
Ingkanputri.
"Apa?"
"Uh! Epaskan
iknjungku!"
"Ha-ha-ha...."
Suropati tertawa
terpingkal-pingkal. Buru-buru
dia menarik tangan kanannya yang
memencet hidung
Ingkanputri.
"Eit! Menendang saja
pilih-pilih tempat!" kata
Pengemis Binal sambil berkelit.
Karena gadis cantik itu
menendang selangkangannya.
Tanpa mempedulikan Ingkanputri
lagi, remaja
konyol itu berjalan ke sebuah
rumah yang dindingnya
terbuat dari susunan batu. Di
ambang pintu yang te-
lah dibukanya, Suropati berdiri
termangu. Diperhati-
kannya sebatang tongkat berwarna
hitam kehijau-
hijauan yang ditegakkan di
dinding ruangan.
"Tongkat Sakti!" desis
Suropati.
Gede Panjalu muncul dari ruang
dalam. Melihat
kehadiran Pengemis Binal, kakek
bongkok itu terse-
nyum senang.
"Rupanya kau sudah bosan
mencari angin, Su-
ro...," kata kakek itu.
"Belum," sahut
Suropati.
"Jadi, kau ke sini hanya
untuk mengambil
Tongkat Sakti?"
"Tidak, Kek. Biarlah benda
pusaka itu berada di
situ sebagai lambang persatuan
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti."
Pengemis Binal melangkah masuk.
Dia lalu du-
duk di lantai yang terbuat dari
jajaran batu licin.
"Kakek Gede...," kata
Ingkanputri ketika tata-
pan matanya bersirobok dengan
Gede Panjalu.
Gede Panjalu tersenyum ramah.
Dipersilakan-
nya Ingkanputri untuk masuk.
Gede Panjalu duduk di
hadapan Suropati dan
Ingkanputri.
"Kek, di dunia ini apakah
ada ilmu kesaktian
yang benar-benar tidak bisa
dikalahkan?" tanya Pen-
gemis Binal mengawali
pembicaraan.
"Pertanyaan yang bodoh,
Suro," jawab Gede
Panjalu. "Semua yang ada di
dunia ini adalah fana
adanya dan serba tidak pasti.
Setiap manusia mempu-
nyai cara pandang
tersendiri."
"Maksud Kakek?"
"Orang yang merasa dirinya
kaya, tidaklah pasti
orang lain mengatakan dia memang
kaya. Demikian
pula dengan kesaktian. Kesaktian
yang dimiliki manu-
sia mempunyai tingkatan. Dan,
tingkatan itu dibuat
oleh manusia sendiri. Seiring
dengan berlalunya waktu
kepandaian manusia semakin
bertambah. Akibatnya,
tingkatan yang dibuat manusia
jadi berubah-ubah. Di
dunia ini hanya ada satu yang
pasti, yaitu mati."
"Jadi, manusia biadab itu
pasti bisa dikalah-
kan. Karena dia akan menemui
kepastiannya yaitu
mati?" tegas Suropati.
"Siapa yang kau sebut
sebagai manusia biadab
itu, Suro?"
Pengemis Binal lalu bercerita
panjang lebar
mengenai Kebo Ireng atau si
Pantang Mati yang memi-
liki kesaktian luar biasa.
Mendengar penuturan remaja
konyol itu, kening Gede Panjalu
berkerut Wajahnya
yang tua nampak semakin tua.
"Kebo Ireng...," gumam
Gede Panjalu. "Kau ten-
tu belum tahu siapa dia, Suro.
Hanya tokoh-tokoh tua
rimba persilatan yang mengenal
dengan pasti siapa
Kebo Ireng atau si Pantang Mati
itu. Puluhan tahun
yang lalu dia dikubur
hidup-hidup oleh seorang pena-
sihat kerajaan. Kalau sekarang
dia muncul lagi, benar-
benar manusia pantang
mati."
"Melihat kelakuan si
Pantang Mati, kita harus
segera turun tangan, Kek."
"Pantang Mati mempunyai
tenaga gaib, yaitu
tenaga yang diperolehnya dari
hasil penyatuan inti ke-
kuatan tubuh dengan inti
kekuatan daya tarik bumi,"
jelas Gede Panjalu tentang apa
yang diketahuinya.
"Lalu, untuk memusnahkan
tenaga gaib Pan-
tang Mati bagaimana, Kek?"
Suropati tampak begitu
penasaran.
"Tenaga gaib yang dimiliki
Kebo Ireng berbeda
dengan tenaga gaib yang terdapat
pada ilmu 'Rawe
Rontek'. Ilmu 'Rawe Rontek'
hanya bersumber pada in-
ti kekuatan daya tarik bumi.
Orang yang memiliki ilmu
'Rawe Rontok' walau tubuhnya
dipotong-potong akan
kembali kepada asalnya bila
menyentuh tanah. Kalau
tidak menyentuh tanah, tubuh
yang telah dipotong-
potong itu tak akan bisa kembali
seperti semula. Hal
ini berlainan dengan tenaga gaib
yang dimiliki Pantang
Mati. Walaupun tubuh tokoh jahat
itu dihantam keku-
atan yang maha dahsyat, nyawanya
tak akan lepas.
Tubuhnya dilindungi inti
kekuatan daya tarik bumi
dan inti kekuatan tubuhnya
sendiri."
"Wuih...!"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Ingkan-
putri yang duduk di sebelah
remaja konyol itu menyo-
dok pinggangnya seraya berbisik,
"Persis monyet!"
Melihat ulah mereka, Gede
Panjalu tersenyum.
Namun dia segera melanjutkan
bicaranya.
"Usaha menyatukan inti
kekuatan tubuh den-
gan inti kekuatan daya tarik
bumi hanya dapat dilaku-
kan oleh orang yang mempunyai
bakat alam untuk
menyatukan tenaga kasatmata itu.
Untuk memusnah-
kannya tentu saja dengan
melenyapkan kesatuan te-
naga kasatmata itu."
"Dengan ilmu sihir,"
kata Suropati asal ucap.
"Ilmu sihir hanya merupakan
salah satu cara
memusnahkan tenaga kasatmata
yang dimiliki Pan-
tang Mati."
"Cara lainnya apa,
Kek?"
"Alam semesta ini mempunyai
gelombang-
gelombang kekuatan. Bumi
mempunyai kekuatan. Bu-
lan mempunyai kekuatan. Matahari
pun demikian. Se-
luruh benda langit mempunyai
kekuatan. Di antara
benda-benda langit ada kekuatan
maha dahsyat yang
bersifat lembut. Kekuatan itu
bukan merupakan ba-
gian dari benda-benda langit.
Dengan kata lain, kekua-
tan dahsyat itu berdiri sendiri
tanpa dipengaruhi ke-
kuatan-kekuatan semesta
lainnya."
"Kekuatan apa itu,
Kek?" Suropati benar-benar
merasa tertarik.
"Kekuatan prana.
Tokoh-tokoh tua menyebut-
nya sebagai tenaga prana."
"Tenaga prana, Kek?"
sela Ingkanputri.
"Ya. Apakah kau pernah
mendengar tentang te-
naga prana itu, Putri?"
"Kedatanganku kemari justru
untuk menanya-
kan hal itu."
Ingkanputri lalu mengeluarkan
sebuah kitab
dari balik bajunya.
Disodorkannya kitab itu ke hada-
pan Gede Panjalu.
"Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi...," gumam ka-
kek bongkok itu membaca jajaran
huruf yang tertera di
sampul kitab.
Gede Panjalu membuka halaman
pertama. Saat
melihat kitab itu disusun oleh Panglima Pranasutra,
Gede Panjalu mempertajam daya
ingatnya.
"Panglima
Pranasutra...," kata Gede Panjalu
kemudian. "Panglima
Pranasutra hidup pada masa
pemerintahan Prabu Anggara
Sanca, kakek dari Prabu
Arya Dewantara. Panglima
Pranasutra seorang pangli-
ma yang sangat pandai mengatur
siasat dan strategi
perang. Namun, beliau
mengundurkan diri karena tak
setuju terhadap kebijaksanaan
Prabu Anggara Sanca
yang hendak menghancurkan Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Naga...."
"Perkumpulan pengemis yang
dipimpin oleh Da-
tuk Risanwari, ayahanda Kakek
Gede?" sela Suropati.
Gede Panjalu mendehem.
"Sepengetahuanku, di
rimba persilatan ini hanya
Panglima Pranasutralah
yang dapat menguasai tenaga
prana."
"Bagian kedua dari Kitab
Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi berisi cara menghimpun
tenaga prana. Na-
mun, banyak cara-cara yang tak
ku mengerti, Kek...,"
beritahu Ingkanputri.
"Itu wajar, Putri...,"
ucap Gede Panjalu dengan
suara lembut. "Untuk
menghimpun tenaga prana pal-
ing tidak membutuhkan waktu
sepuluh tahun."
"Sepuluh tahun?" ulang
Ingkanputri dan Suro-
pati hampir bersamaan.
"Kalian tak perlu khawatir.
Kebo Ireng akan te-
tap dapat ditaklukkan dengan
ilmu yang bersumber
pada tenaga prana."
"Jika demikian, ada suatu
cara untuk memper-
cepat usaha penghimpun tenaga
prana, Kek...," ujar
Ingkanputri.
"Tepat! Suropati memiliki
sebuah ilmu yang
bersumber pada penyatuan
kekuatan alam semesta.
Dengan bantuan Suropati, kau
akan dapat menghim-
pun tenaga prana dalam waktu
singkat, Putri."
Mendengar penuturan Gede
Panjalu, Ingkanpu-
tri tersenyum senang. Namun Pengemis Binal malah
tampak cemberut.
"Kenapa kau, Suro?"
tanya Gede Panjalu.
"Aku tidak mau membantu
Ingkanputri!"
"Lho, kenapa?"
"Aku meminta imbalan!"
jawab Suropati.
"Uh! Enaknya!"
Ingkanputri cemberut.
"Kau butuh bantuanku atau
tidak?"
Ingkanputri tak menjawab.
Suropati tersenyum simpul.
"Kau butuh bantu-
anku, Putri. Dan, aku yakin kau
pun bisa membantu-
ku...."
"Membantu apa?"
"Di dalam lemari banyak
pakaian kotor. Besok
pagi-pagi kau harus
mencucinya!"
"Kalau aku menuruti
permintaanmu, apakah
kau bersedia membantuku
menghimpun tenaga pra-
na?" Ingkanputri tidak
segera menyetujui permintaan
Suropati.
"Belum tentu! Aku harus
menilai sikapmu du-
lu."
"Maksudmu?"
"Kalau sikapmu dapat
membuat aku senang,
yah, bolehlah kau kubantu."
Mata Ingkanputri berbinar. Kalau
saja di tem-
pat itu tidak ada Gede Panjalu,
tentu akan dihadiah-
kannya kecupan mesra ke pipi
Suropati.
"Dari dulu sifat konyol mu
tetap saja kau peli-
hara, Suro...," ujar Gede
Panjalu. Terbersit senyum ti-
pis di bibirnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di
daun pintu.
Tampak Bima Naweleng berdiri
dengan tangan kanan
membawa sebatang tongkat dan
selembar rompi ber-
warna hitam. Suropati tercekat.
Dia tahu rompi itu mi-
lik Yaniswara.
"Masuklah,
Naweleng...," kata Gede Panjalu.
Bima Naweleng menganggukkan kepala, lalu
duduk di hadapan Gede Panjalu.
Ingkanputri menggeser duduknya.
Suropati
mengambil tempat di sisi gadis
cantik itu. Namun,
pandangan Pengemis Binal tak
pernah lepas dari rompi
hitam yang diletakkan Bima
Naweleng di hadapan
Gede Panjalu. Berbagai tanda
tanya berkecamuk da-
lam benak remaja konyol itu. Dia
sudah tak tahan lagi
menanti penjelasan Bima Naweleng
perihal rompi hi-
tam hingga sampai berada di
tangannya.
Setelah berbasa-basi sejenak
Gede Panjalu
mengambil tongkat yang berada di
hadapannya. Seki-
las diamatinya tongkat itu, lalu
diletakkan kembali.
"Tongkat Wirogundi,"
gumam Kakek bongkok
itu.
"Aku menemukan tongkat dan
rompi ini di ru-
mah kenalan ku di Kademangan
Maospati," jelas Bima
Naweleng. Brahmana itu lalu
menceritakan perlakuan
tak senonoh yang dilakukan
Wirogundi terhadap Ya-
niswara. "Sebenarnya aku
telah berusaha mengejar
pemuda itu, namun ilmu
meringankan tubuhnya san-
gat hebat. Aku kehilangan
jejak...."
Tiba-tiba Suropati bangkit
berdiri. "Keparat!"
umpat pemuda itu.
Gede Panjalu yang juga dihantam
keterkejutan
segera mendekati remaja konyol
itu. Ditepuknya bahu
Suropati.
"Tenanglah, Suro. Amarah
tak akan menyele-
saikan masalah... "
"Tapi, Kek.. perbuatan
Wirogundi keterlaluan
sekali. Dia bukan hanya
mencoreng kehormatan seo-
rang gadis yang tak berdosa,
juga kehormatan per-
kumpulan kita!" ujar
Suropati dengan penuh kemara-
han.
"Wirogundi...," desah
Gede Panjalu.
"Ternyata kau tak selugu
dan sejujur yang ku-
kira. Ketika berada di dasar
jurang bukit ini, kau me-
rengek-rengek meminta sebutir
buah pala ajaib dengan
janji akan selalu berada di
jalan kebenaran. Ternyata
perbuatanmu tak lebih baik dari
binatang."
"Maafkan aku,
Gede...," ucap Bima Naweleng.
"Bukan maksudku hendak
memecah persatuan Per-
kumpulan Pengemis Tongkat
Sakti."
"Aku mengerti, Naweleng. Terima kasih atas
pemberitahuan mu."
Kemudian suara menjadi hening.
Lama larut
dalam pikiran masing-masing. Di
luar mentari telah
bergeser ke barat. Panas tak
lagi menerpa. Hembusan
angin semilir membuat
burung-burung semakin terbe-
nam dalam candanya.
Setelah memberi petunjuk tentang
cara meng-
himpun tenaga prana kepada
Ingkanputri, Gede Panja-
lu berpamitan turun bukit untuk
mencari Wirogundi.
Suropati hendak ikut. Tapi
ditolak oleh kakek bongkok
itu. Suropati harus membantu
Ingkanputri dalam
menghimpun tenaga prana.
"Kita berbagi tugas,
Suro...," kata Gede Panjalu
sebelum pergi. "Setelah
selesai membantu Ingkanputri,
carilah si Kebo Ireng. Prabu
Indra Prastha Swargi, aya-
handa Prabu Arya Dewantara,
telah menjatuhkan hu-
kuman mati bagi manusia kejam
itu. Kau laksanakan-
lah hukuman itu. Aku akan
menjatuhkan hukuman
terhadap Wirogundi atas nama
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
Hari itu juga Gede Panjalu
meninggalkan pun-
cak Bukit Pangalasan. Dia tak
dapat menolak keingi-
nan Bima Naweleng yang hendak
membantunya men-
cari Wirogundi. Bersama brahmana
itu, Gede Panjalu
mulai berkelana mencari
Wirogundi.
Pagi hari di Dusun Paldaplang....
Wirogundi menjambak-jambak
rambutnya yang
kusut tak karuan. Bibirnya
digigit kuat-kuat sehingga
darah meleleh ke dagunya. Wajah
pemuda kurus itu
sangat kotor. Demikian pula
dadanya yang telanjang.
Keringat membuat debu melekat.
Saat dia me-
lepas gigitan pada bibirnya,
tiada henti Wirogundi me-
nyebut-nyebut nama kekasihnya
yang telah meninggal.
"Anjarweni... Anjarweni...
Anjarweni...."
Wirogundi semakin keras
menjambak-jambak
rambutnya. Pemuda kurus itu
duduk di tengah jalan.
Tak heran segera menjadi bahan
perhatian orang-
orang. Mereka menganggap
Wirogundi orang gila yang
sedang kumat.
Seorang gadis berpakaian penuh
tambalan
mendekati Wirogundi.
"Kau kenapa, Wiro?"
tanya gadis itu. Wirogundi
tercekat. Dia merunduk, lalu
membenturkan kening-
nya ke tanah.
"Maafkan aku,
Yaniswara," rintih Wirogundi.
"Apa yang kau katakan,
Wiro?"
"Aku... aku telah
khilaf...." Si gadis menge-
rutkan kening.
"Lihatlah aku, Wiro. Aku
temanmu. Aku Surti,
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti seperti
dirimu. Apa yang kau lakukan ini
membuat malu selu-
ruh anggota perkumpulan
kita...."
Perlahan-lahan Wirogundi
mendongakkan ke-
pala. Ketika melihat wajah gadis
yang bernama Surti,
dia mendengus marah.
"Pergi kau!" bentak
Wirogundi.
"Kembalilah ke Bukit
Pangalasan, Wiro. Temui
Kakek Gede. Kau membutuhkan
nasihatnya," Surtí te-
rus berusaha membujuk.
"Tidak! Sekarang aku tidak
mengenal siapa Ka-
kek Gede itu! Aku bukan anggota
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti lagi!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
bahu Wirogun-
di tampak naik turun. Kepalanya
kembali ditunduk-
kan.
"Aku... aku telah berdosa.
Aku telah menodai
nama baik perkumpulan. Aku telah
melanggar janjiku
kepada Kakek Gede...."
Melihat Wirogundi yang tampak
mengalami
guncangan jiwa Surtí jadi
terharu. Dia melangkah le-
bih dekat, lalu ditepuknya bahu
Wirogundi. "Kuantar-
kan kau ke Bukit
Pangalasan...."
"Tidak!" tukas
Wirogundi seraya menepis tan-
gan Surtí. "Aku sudah tak
pantas lagi menginjakkan
kaki di Bukit Pangalasan. Aku
tak pantas menjadi
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti dan
menjadi anak buah
Suropati."
"Sadarlah, Wiro...,"
bujuk Surtí dengan suara
lembut. "Kita menjadi
perhatian orang. Sebaiknya kita
pergi dari tempat ini."
"Kau bunuh saja aku, Surtí.
Ya, bunuhlah aku,
Surtí. Aku akan sangat berterima
kasih bila kau mau
melakukannya...."
"Kau gila, Wiro! Aku tak
akan membunuh se-
sama teman!" teriak Surtí,
kaget.
"Tapi kau harus
melakukannya, Surtí. Demi
kebaikan! Daripada hidup
menanggung sesal berke-
panjangan, lebih baik aku mati.
Aku mohon kepada-
mu, Surtí. Bunuhlah aku.
Tusuklah jantungku dengan
tongkat yang kau bawa
itu...."
"Kau benar-benar gila,
Wiro! Siapa yang mau
melakukan itu?!"
Wirogundi bangkit berdiri.
Matanya menyorot
tajam menatap wajah Surtí.
Dengus nafasnya terden-
gar memburu.
"Kau bunuh aku, atau aku
akan membunuh-
mu?!"
Mendengar ucapan Wirogundi,
Surtí terkejut
bukan main. Beberapa lama dia
tak mampu mengu-
capkan sepatah kata pun.
"Cepat tentukan pilihan,
Surtí!" bentak Wiro-
gundi
"Aku tidak gila, Wiro. Aku
tidak akan menentu-
kan pilihan!"
"Kalau begitu, mampuslah
kau!"
Selesai berucap Wirogundi
langsung menghan-
tamkan kepalan tangannya ke dada
Surtí.
Trak...!
Surtí meloncat ke belakang
seraya membuat
tangkisan dengan tongkat.
Pergelangan tangan Wiro-
gundi yang dialiri tenaga dalam
penuh membuat tong-
kat gadis itu patah.
"Kau bunuh aku, atau aku
akan membunuh-
mu, Surti?!"
Surtí tak menjawab pertanyaan
Wirogundi. Ha-
tinya dihantui ketakutan melihat
Wirogundi menden-
gus seperti banteng terluka.
Gadis itu bergerak mun-
dur.
"Karena kau tak bersedia
menolongku, terpaksa
aku akan membunuhmu, Surti. Biar
semua orang ta-
hu kalau Wirogundi seorang
penjahat yang sangat ke-
jam!"
Sambil menggeram keras,
Wirogundi menerjang
Surti dengan sebuah tendangan ke
arah dada. Surti
yang tak mau mati konyol segera
meloncat jauh. Lalu
diputarnya dua patahan tongkat
di tangannya. Ia hen-
dak berjaga-jaga. Namun
Wirogundi yang sudah lupa
diri menyerang gadis itu dengan
ganas.
Bagaimanapun Surti
mempertahankan diri, dia
bukanlah lawan yang seimbang
bagi Wirogundi. Den-
gan satu kibasan telapak tangan
Wirogundi berhasil
mementalkan dua patahan tongkat
di tangan Surti.
Gadis itu tampak sangat
ketakutan. Tubuhnya segera
dihemposkan untuk mengambil
langkah seribu. Tapi,
Wirogundi telah mempersiapkan
pukulan jarak jauh-
nya....
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat membahana di
angkasa. Debu
bercampur gumpalan tanah
berhamburan mengabur-
kan pandangan. Pukulan jarak
jauh Wirogundi yang
tak mengenai sasaran membuat
kubangan dalam di
permukaan tanah.
Walau Surti bisa berkelit, tak
urung dia terkena
angin pukulan. Tubuh gadis itu
terpelanting lalu jatuh
berdebam di atas tanah sebelum
terguling-guling, ga-
dis yang malang itu baru
berhenti berguling ketika
membentur kaki seorang lelaki
tinggi gemuk berkepala
botak. Pantang Mati!
"He-he-he.... Tanpa
bersusah payah aku men-
dapatkan seekor kelinci yang
sangat manis," kata ma-
nusia biadab itu.
Surti yang masih sadar segera
bangkit. Namun,
sikap berdirinya tak sempurna.
Kedua kakinya goyah
tak kuat menyangga beban tubuh.
Sebelum dia jatuh
kembali, Kebo Ireng telah
menyambarnya.
"Tolong...!
Tolong...!"
Surti menjerit-jerit. Jeritan
gadis malang itu se-
gera terhenti ketika Pantang
Mati menotok jalan darah
di pangkal lehernya.
Menyaksikan adegan itu,
Wirogundi tercekat.
Hati kecil pemuda kurus itu
mendesaknya untuk sege-
ra menolong Surti. Tapi karena
dia sedang mengalami
pukulan batin yang hebat,
Wirogundi hanya berdiri
terpaku di tempatnya.
Beberapa lama pemuda kurus itu
berdiam diri.
Setelah daya ingatnya bekerja kalau
orang yang mem-
bawa lari Surti adalah orang
yang dijumpainya saat
menolong Yaniswara. Wirogundi
menjerit histeris. Tu-
buhnya dihemposkan mengejar
Pantang Mati.
Gerak tubuh Wirogundi demikian
cepat. Tubuh
pemuda kurus itu seperti melayang di udara. Hanya
sesekali menjejak tanah. Itu pun
dilakukan dengan ge-
rakan yang sangat ringan.
Wirogundi mengerahkan se-
luruh kemampuan ilmu meringankan
tubuhnya.
Belum sampai sepeminum teh Kebo
Ireng telah
terkejar. Lelaki tinggi
gemuk itu menggeram, lalu
menghentikan langkah dan memapak
luncuran tubuh
Wirogundi dengan ilmu 'Serat
Maut'.
Sraaattt...!
Serat-serat putih menghujani
tubuh Wirogundi.
Namun, dengan tangkas pemuda
kurus itu menghem-
poskan tubuhnya ke atas seraya
melancarkan tendan-
gan lurus ke dada Pantang Mati.
Yang menjadi sasaran mendengus
keras. Den-
gan sigap dia melontarkan tubuh
Surti ke atas. Kemu-
dian, kedua telapak tangannya
disorongkan ke depan
memapak tendangan Wirogundi
dengan pukulan jarak
jauh.
Wirogundi yang tak menyangka
akan diserang
demikian jadi terkejut setengah
mati. Cepat dia me-
nyadari keadaan, lalu
melentingkan tubuhnya ke atas.
Pukulan jarak jauh Pantang Mati
hanya mengenai se-
batang pohon. Tak ayal lagi,
batang pohon itu hancur
menjadi kepingan-kepingan.
Bertepatan dengan mendaratnya
kaki Wirogun-
di di tanah tubuh Pantang Mati
melesat, dan menang-
kap tubuh Surti yang masih
meluncur ke atas.
"Bangsat! Mau lari ke mana
kau?!" hardik Wiro-
gundi melihat Kebo Ireng
melarikan diri sambil mem-
bopong Surti yang pingsan.
Pantang Mati terus berlari.
Namun dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti
pandangan mata, Wirogundi
melayang, dan mendarat tepat dua
tombak di hadapan
Pantang Mati.
Lelaki tinggi gemuk itu
terkejut. Karena tak
mau tubuhnya berbenturan dengan
Wirogundi, dia se-
gera menjejak tanah kuat-kuat
untuk menghentikan
luncuran tubuhnya.
"Lepaskan gadis dalam
pondonganmu itu!" har-
dik Wirogundi.
Pantang Mati menyeringai dingin.
Matanya ber-
kilat tajam. Perlahan-lahan dia menurunkan
tubuh
Surti, lalu dilemparkan ke arah
Wirogundi.
"Bangsat!" umpat
Wirogundi seraya mengem-
bangkan kedua tangan untuk
menyambut tubuh Surti.
Mendadak, Pantang Mati
menyorongkan tela-
pak tangan kanannya. Serat-serat
putih meluncur de-
ras. Sambil membopong tubuh
Surti, Wirogundi me-
loncat tinggi. Tubuh pemuda
kurus itu lalu meluncur
cepat bagai lesatan anak panah
lepas dari busur.
Dheeesss...!
Dengan telak tendangan Wirogundi
bersarang
di dada Kebo Ireng. Tubuh lelaki
tinggi gemuk itu ter-
lontar jauh dan membentur
sebatang pohon besar
hingga tumbang.
Perlahan-lahan Wirogundi
menurunkan tubuh
Surti di tanah berumput. Gadis
itu tak menderita luka
yang berarti. Wirogundi segera
melangkah mendekati
Pantang Mati yang berdiri terhuyung-huyung.
"Aku akan bertempur
denganmu sampai salah
satu nyawa di antara kita
melayang ke neraka, Kerbau
Busuk!" kata Wirogundi
dengan suara lantang.
"Ha-ha-ha....!" Kebo
Ireng tertawa bergelak.
"Rupanya kau sangat
merindukan jilatan api neraka,
Kelinci Liar! Surga memang tak
layak menerima gem-
bel busuk sepertimu!"
Sambil berkata demikian, Pantang
Mati menyo-
rongkan kedua telapak tangannya.
Timbul serat-serat
putih melesat bagai lesatan
jala!
***
7
Di tepi sebuah hutan kecil
Suropati tampak
berlari-lari. Di belakangnya
Ingkanputri mengejar
sambil berteriak-teriak.
"Suro...! Suro...!"
"Uh! Kenapa kau mengikutiku
terus?!"
"Kau tidak sepenuh hati
membantuku, Suro?!"
"Siapa bilang? Bukankah kau
sudah dapat
menghimpun tenaga prana?"
bentak Suropati.
"Tapi belum sempurna,
Suro!"
"Kalau kau mengejar
kesempurnaan, di dunia
ini tidak ada yang
sempurna!" Suropati mengeluarkan
kata-kata bijak.
"Iya. Tapi menurut Kitab
Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi, masih ada seperempat
bagian lagi yang ha-
rus kupelajari."
Pengemis Binal menghentikan
langkah. "Lalu,
maumu apa?"
"Kau harus membantuku
menghimpun tenaga
prana sampai tuntas!"
"Siapa yang
mengharuskan?" tanya Suropati
tak senang.
"Kakek Gede."
"Kakek Gede tidak
mengharuskan. Hanya me-
nyarankan!"
"Iya, tapi...."
"Tidak ada kata
'tapi-tapian'! Aku harus segera
mencari Wirogundi. Sebagai
Pemimpin Perkumpulan
Tongkat Sakti, aku harus bisa
bertindak adil. Aku ha-
rus menghukum setiap anggota
perkumpulan yang
bersalah!" ucapan Suropati
terdengar tak menghendaki
bantahan.
"Bukankah Kakek Gede telah
mencari Wiro-
gundi, Suro? Dan, kita
dimintanya untuk menghukum
Pantang Mati," Ingkanputri
berusaha mengingatkan
pesan Gede Panjalu sebelum
pergi.
"Aku akan mencari manusia
biadab itu setelah
kutemukan Wirogundi."
"Huh! Ternyata, kau seorang
pemimpin yang
tak patut menjadi panutan. Kau
terlalu mengikuti naf-
su pribadimu!" rungut
Ingkanputri jengkel.
Mata Suropati mendelik.
"Apa kau bilang?!"
"Kakek Gede telah membagi
tugas. Dia mencari
Wirogundi. Dan kita mencari
Pantang Mati. Kenapa
kau tidak menjalankan tugasmu?
Apakah Yaniswara
yang hendak diperkosa Wirogundi
itu kekasihmu se-
hingga kau begitu bernafsu untuk
menghukum Wiro-
gundi?!"
Pengemis Binal tercekat. Dadanya
terasa sesak.
Ucapan Ingkanputri menampar
perasaannya dengan
telak. Melihat mata Ingkanputri
menatapnya dengan
penuh kemarahan, mendadak
kekonyolan Suropati
muncul. Dia pun tertawa terkekeh
sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Tawamu itu tak lucu,
Suro!" bentak Ingkanpu-
tri.
"Aku memang tak hendak
membuat lelucon.
Tapi, ehm...."
Pengemis Binal memonyongkan
bibirnya. "Kau
sangat cantik, Putri. Apalagi
kalau sedang marah-
marah begini...."
"Rayuan gombal!"
"Yah, baiklah...,"
kata Suropati sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Aku
urungkan niatku untuk men-
cari Wirogundi. Sekarang juga
kita cari Kebo Ireng."
"Dengan tenaga prana yang
belum ku kuasai
secara sempurna dapatkah kita
mengalahkan manusia
biadab itu?" Ingkanputri
merasa ragu.
"Kenapa tidak? Kau
meragukan kemampuan
ku?"
"Jangan sombong,
Suro!" sentak Ingkanputri.
"Kau ikut mencari Pantang
Mati atau tidak? Se-
gera ikuti aku, itu lebih
baik!"
Usai berucap Suropati langsung
menghem-
poskan tubuh. Ingkanputri
menggerutu panjang-
pendek sambil berlari mengejar
"Jangan cepat-cepat,
Suro!" teriak gadis cantik
itu karena merasa tertinggal.
Pengemis Binal menghentikan
langkahnya. Bu-
kan karena teriakan Ingkanputri,
tapi karena dia men-
dengar suara ledakan.
"Kau dengar itu,
Putri?" tanya remaja konyol
itu.
"Ya. Di hutan sebelah sana.
Sepertinya sedang
berlangsung pertempuran
dahsyat."
Tanpa meminta persetujuan dari
Ingkanputri,
Pengemis Binal segera
menghemposkan tubuhnya
kembali. Ingkanputri yang
berteriak-teriak tak dipedu-
likannya.
Sementara itu, pertempuran
antara Wirogundi
dan Kebo Ireng berlangsung
demikian hebat. Puluhan
batang pohon bertumbangan.
Sebagian dari batang
pohon-pohon itu menjadi
serpihan-serpihan kecil keti-
ka tertimpa pukulan jarak jauh
yang nyasar. Tanah di
sekitar arena pertempuran tak
lagi rata. Di sana-sini
terlihat kubangan-kubangan
dalam. Serat-serat putih
berperekat tampak menempel pada
ranting-ranting
pohon yang masih berdiri.
Suasana di tempat itu se-
perti sarang laba-laba raksasa
saja.
"Ku rejam
tulang-belulang mu, Kelinci Liar!"
Hardik Pantang Mati seraya
melancarkan ilmu 'Serat
Maut'
"Makanlah ini, Kerbau
Busuk!" sambut Wiro-
gundi tak kalah pedas.
Melihat serat-serat putih
meluncur ke arahnya,
pemuda kurus itu bersalto
beberapa kali ke belakang.
Saat kakinya mendarat di tanah
dia telah berdiri den-
gan tubuh tertutup sebongkah
batu sebesar kerbau.
Kemudian, batu itu ditendangnya.
Wuuusss...!
Batu terjerat serat-serat putih
hingga tertahan
di udara. Wirogundi mendengus.
Lalu tubuhnya di-
hemposkan.
Wirogundi melesat cepat dengan
kedua perge-
langan tangan terjulur ke depan.
Ketika telapak tan-
gannya menyentuh batu yang masih
tertahan di udara,
Wirogundi menghentak. Batu pun
meluncur deras ke
arah Pantang Mati.
"Keparat kau, Cacing
Ani!!" umpat Kebo Ireng.
Lelaki tinggi gemuk itu membuka
kakinya le-
bar-lebar dengan kedua tangan
menyorong ke depan.
Hendak dipapaknya batu sebesar
kerbau yang dido-
rong Wirogundi.
Blaaarrr...!
Ledakan sangat dahsyat membahana
di angka-
sa. Tertindih oleh dua tenaga
dalam yang disalurkan
dengan kekuatan penuh, batu
besar hancur luluh
menjadi abu.
Tubuh Wirogundi terus melesat.
Telapak tan-
gannya membentur telapak tangan
Pantang Mati. Dua
kekuatan tenaga dalam pun
bertemu langsung. Sekali
lagi timbul ledakan dahsyat yang mengguncangkan
tempat itu. Batu-batu bercampur
gumpalan tanah ter-
lontar ke angkasa. Pohon-pohon
yang berada di dekat
pusat ledakan tercabut sampai ke
akar-akarnya lalu
terlontar jauh.
Wirogundi pun terhempas bagai
dilemparkan
tangan raksasa. Namun, pemuda
kurus itu masih da-
pat menguasai gerak tubuhnya.
Dengan bersalto bebe-
rapa kali di udara, dia dapat
mendarat di tanah den-
gan selamat.
Ketika bangkit berdiri kedua
kaki Wirogundi
bergerak-gerak bagai orang
mabuk. Wirogundi mende-
kap dadanya yang sesak. Mata
pemuda kurus itu
mendelik. Pipinya menggembung
menahan cairan da-
rah. Tapi cairan darah itu
terlalu banyak, Wirogundi
tak mampu menahannya lagi. Darah
menyembur ke-
luar dari mulut dengan begitu
deras.
"Ha-ha-ha...! Sudah
kubilang, kau saja yang
pergi ke neraka!"
Dengan langkah tegap Pantang
Mati mendekati
Wirogundi. Jemarinya yang
besar-besar terjulur seperti
hendak memuntir kepala pemuda
kurus di hadapan-
nya.
Wirogundi terkesiap.
"Kerbau Busuk! Kita akan
mati bersama-sama!"
Usai berucap, pemuda kurus itu
menerjang
dengan nekat. Untuk kesekian
kali ledakan dahsyat
membahana. Pertemuan dua tenaga
dalam membuat
tubuh Wirogundi terbanting ke
tanah. Walaupun tena-
ga dalam pemuda kurus itu unggul
satu tingkat, tapi
karena telah menderita luka
dalam maka kekuatannya
jadi berkurang. Dengan sisa-sisa
tenaganya Wirogundi
berusaha bangkit berdiri. Namun
tubuhnya mendadak
terkulai lemas dalam keadaan
pingsan.
Kebo Ireng tertawa penuh
kemenangan. "Malai-
kat penjaga pintu neraka telah
menantimu, Kelinci
Liar!"
Lelaki tinggi gemuk itu
menghemposkan tubuh
ke atas. Saat tubuhnya meluncur
turun kaki kanannya
siap dijejakkan ke dada
Wirogundi yang telentang. Se-
jengkal lagi nyawa Wirogundi
akan lepas dari raga.
Namun, tiba-tiba seberkas cahaya
kebiruan melontar-
kan tubuh Pantang Mati.
"Kau tidak berhak menghukumnya,
Manusia
Biadab!"
Berbarengan dengan teriakan
tubuh Pantang
Mati membentur sebatang pohon
hingga tumbang. Le-
laki tinggi besar itu bergegas
bangkit. Matanya tampak
berkilat tajam menatap seorang
remaja tampan berpa-
kaian penuh tambalan yang tak
lain Suropati atau
Pengemis Binal.
"Kau mengganggu keasyikan
ku lagi, Gembel
Busuk!" umpat Pantang Mati.
"Tak layak kau berkata
seperti itu! Lihat mu-
kamu yang seperti kerbau
kudisan!" tukas Suropati.
"Kaulah kerbau kudisan
itu!"
"Kau manusia edan!" balas Suropati tak mau
kalah.
"Kau manusia...."
"Baik hati," sela
Pengemis Binal sambil terse-
nyum.
Kebo Ireng menggerutu. Lalu
memukul-mukul
dadanya dalam kemarahan yang
meluap. "Setan Alas!
Setan Bengal! Setan Busuk! Setan
keparaaattt...!"
Pengemis Binal tertawa terkekeh
melihat kela-
kuan calon lawannya. "Setan
apa lagi, hayo?" godanya.
"Kulumat tubuhmu!"
Pantang Mati meloncat dengan
kedua tangan
terpentang lebar. Saat tubuhnya
melayang di udara dia
menepukkan kedua telapak tangan.
Timbullah asap hi-
tam yang menutupi pandangan.
Suropati menajamkan pendengaran.
Dia tahu
Pantang Mati hendak menyerangnya
dalam kegelapan
itu. Bergegas Pengemis Binal
melenting ke udara den-
gan kaki kanan meluncur lurus.
Dhes...!
Punggung Pantang Mati tertendang
dengan te-
lak. Lelaki tinggi besar itu
jatuh tersungkur. Kepalanya
yang botak menancap ke dalam
tanah.
"He-he-he...!"
Suropati tertawa terkekeh. "Ra-
sain, Manusia Biadab!"
Remaja konyol itu menertawakan kepala
Kebo
Ireng yang menancap dalam sampai
ke pangkal leher.
Kedua kaki Kebo Ireng
meronta-ronta ke atas sedang-
kan tangannya memukul-mukul
tanah.
Pengemis Binal menangkap kedua
kaki lelaki
tinggi besar itu. Kemudian,
dengan kekuatan penuh di
dorongnya ke bawah. Tubuh
Pantang Mati amblas ke
dalam tanah, hingga yang
terlihat tinggal kakinya.
Belum puas dengan yang
dilakukan, Suropati
meloncat ke atas lalu menjejak
telapak kaki Pantang
Mati. Akibatnya, tubuh lelaki
tinggi-besar itu benar-
benar lenyap di telan bumi!
"Rasain!" ujar
Suropati sambil tersenyum sim-
pul.
Namun sesaat kemudian remaja
konyol itu ter-
kejut. Tanah di sekitar
tempatnya berdiri berderak-
derak....
Swooosss...!
Tubuh Kebo Ireng muncul dari
dalam tanah.
Ketika masih melayang di udara,
dia tertawa terbahak-
bahak. Seraya melancarkan
tendangan maut ke arah
Suropati.
Remaja konyol itu menangkis.
Tangan kirinya
lalu menghantam dada. Tapi
Pantang Mati dapat
menghindar. Digebraknya kepala
Pengemis Binal.
Wuuuttt...!
Telapak tangan Kebo Ireng hanya
mengenai an-
gin kosong. Lelaki tinggi besar
itu menggeram-geram
penuh kemarahan. Darahnya naik
sampai ke ubun-
ubun.
Bola matanya mendelik bagai
hendak keluar
dari rongga.
"Kalau kau marah, tampangmu
mirip monyet
dibedaki!" ejek Suropati.
Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut Pan-
tang mati. Hanya geram laksana
harimau mengiringi
terjangan lelaki tinggi-besar
itu.
Suropati membuka kakinya
lebar-lebar. Kedua
telapak tangannya disorongkan ke
atas. Saat tubuhnya
melayang ke udara, dia membuat
tendangan melingkar
dengan berlambarkan jurus
'Pengemis Menghiba Rem-
bulan.'
Namun, kaki kanan remaja konyol
itu bergetar
keras. Pantang mati telah
menangkis dengan pengera-
han tenaga dalam penuh.
Mendadak sebuah teriakan muncul.
"Aku da-
tang, Suro...!"
Sesosok bayangan berkelebat dan
langsung
menerjang Kebo Ireng dengan
serangan bertubi-tubi.
"Bagus, Putri!" puji
Pengemis Binal melihat ke-
hadiran Ingkanputri.
Dalam puncak kemarahannya wujud
Pantang
mati seakan berubah menjadi
makhluk yang sangat
mengerikan. Walau sudah tua,
tubuh lelaki tinggi-
besar itu menampakkan otot-otot
bertonjolan. Pa-
kaiannya yang semula hanya
berupa serpihan kain te-
lah tanggal. Otot-otot tubuhnya
terlihat begitu kentara.
Matanya berkilat-kilat dengan
mulut selalu menyerin-
gai. Air liur menetes-netes
bersamaan suara geramnya.
Berkali-kali tubuh Pantang Mati
terkena ten-
dangan maupun pukulan kedua
lawannya. Namun,
berkali-kali pula dia bangkit
dengan lengking kemara-
han yang mendirikan bulu roma.
Lewat sepuluh jurus
kemudian, Pengemis Binal
meloncat menjauhi arena
pertempuran.
"Mundurlah, Putri!"
teriak Suropati.
Namun, Ingkanputri tak
menghiraukan teria-
kan remaja konyol itu. Dia terus
mencecar Pantang
Mati dengan serangan-serangan
lebih hebat.
"Jangan bodoh, Putri!"
teriak Suropati. "Dia tak
akan mati bila kau hanya
mengandalkan ilmu silat bi-
asa!"
Bertepatan dengan selesainya
teriakan Suropa-
ti, Ingkanputri berhasil
menyarangkan pukulan ke da-
da Pantang Mati. Pukulan 'Api
Neraka' yang dilancar-
kan Ingkanputri berhasil
melontarkan tubuh Kebo
Ireng dalam keadaan hangus
terbakar!
Namun, lelaki tinggi besar itu
segera bangkit
berdiri. Kulitnya yang melepuh
dan sebagian terkelu-
pas perlahan-lahan kembali
seperti sediakala.
"Saat kugunakan ilmu
sihirku, kau lancarkan
tenaga pranamu, Putri...,"
kata Pengemis Binal mem-
beri petunjuk.
"Baik, Suro!" ujar
Ingkanputri seraya meloncat
ke sisi Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti itu.
"Akan kuremukkan kepalamu
dan kutenggak
darahmu, Kelinci-kelinci
liar!" hardik Pantang Mati.
Lelaki tinggi besar itu bergerak
menerjang. Tapi
gerakannya tertahan oleh
kekuatan kasatmata yang
muncul dari pengerahan ilmu
sihir Suropati. Bola ma-
ta Pantang Mati semakin melotot.
Tulang-belulangnya
seperti dilolosi hingga seluruh
tenaganya lenyap.
Saat itulah Ingkanputri
mengeluarkan tenaga
prana yang berhasil dihimpunnya.
Untuk kedua kali
kekuatan kasatmata menghantam
tubuh Kebo Ireng.
Lelaki tinggi besar itu menjerit
keras. Batu-batu
bercampur gumpalan tanah
berhamburan mengabur-
kan pandangan. Tubuh Pengemis
Binal dan Ingkanpu-
tri bergetar hebat bagai
terserang demam. Keringat
dingin mengucur deras dari
sekujur tubuh mereka.
Namun, usaha Suropati dan
Ingkanputri tak
sia-sia. Asap tipis mengepul
dari kepala Pantang Mati.
Bersamaan dengan itu tenaga gaib
yang melindungi
tubuhnya berangsur-angsur
lenyap. Sebelum tubuh le-
laki tinggi besar itu jatuh ke
tanah, Pengemis Binal
melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Tubuh Pantang Mati hancur-lebur
menjadi ser-
pihan daging berbau anyir.
Suropati dan Ingkanputri
saling bertatapan.
"Kita berhasil, Suro,"
ucap Ingkanputri dengan
penuh perasaan lega.
"Ya, Putri. Kita berhasil."
Suropati lalu memeluk tubuh
Ingkanputri. Ka-
rena terbawa perasaan gembira
yang meluap, mereka
jadi lupa segala-galanya.
Apalagi saat bibir mereka ber-
temu dan saling memagut.
Tanpa mereka sadari, kepala
Pantang Mati yang
telah berwujud mengerikan menggelinding-gelinding
di
tanah, lalu melayang dengan
kecepatan tinggi!
"Awas...!"
Sebuah teriakan mengejutkan
Suropati dan In-
gkanputri. Melihat benda bulat
meluncur ke arah me-
reka, dua anak manusia itu
segera meloncat jauh.
"Ha-ha-ha...." Kepala
Pantang mati mengelua-
rkan suara tawa. "Rupanya
disini telah hadir kelinci-
kelinci busuk yang mencari
mati!"
Ingkanputri menjerit ngeri
melihat kepala Kebo
Ireng melayang-layang di udara.
Suropati menoleh ke
arah Gede Panjalu dan Bima
Naweleng yang telah ha-
dir di tempat itu.
"Tenaga prana Ingkanputri
belum sempurna
dihimpunnya, Suro. Pantang Mati
tetap tak bisa mati,"
beritahu Gede Panjalu.
"Siapa bilang?!" tukas
Pengemis Binal. Kemu-
dian, dia mengeluarkan Pedang
Perak Lentur dari balik
bajunya.
Set...!
Saat remaja konyol itu
mengerahkan tenaga da-
lam, pedang yang semula
bergulung jadi menegang.
Berwujud seperti pedang pada
umumnya.
"Berdiamlah di
tempatmu!" teriak Suropati ke-
ras pada kepala Pantang Mati
dengan dilambari kekua-
tan ilmu sihir.
Kepala Pantang Mati yang semula
melayang-
layang langsung berhenti.
Pengemis Binal segera
menghemposkan tubuh.
Crash...! Crash...! Crash...!
Pedang di tangan remaja konyol
itu berkeleba-
tan. Kepala Pantang Mati
bercacah menjadi cuilan dag-
ing bercampur tulang dan darah!
Ternyata, Pantang Mati masih
bisa mati!
***
Hening menyelimuti tempat itu.
Tak ada bu-
rung yang terbang di angkasa.
Sementara sinar menta-
ri begitu menyengat. Satwa-satwa
lain pun tak ada
yang berani mendekat. Mereka
ngeri melihat bekas
arena pertempuran yang demikian
kacau. Bukan
hanya tanah yang
berkubang-kubang. Puluhan pohon
besar bertumbangan dan bau anyir
darah mengham-
bat jalan pernafasan.
Suropati mendekati Wirogundi
yang masih ter-
geletak pingsan. Luka memar
tampak di sekujur tu-
buhnya bercampur darah kering.
Tapi, Suropati tak
hendak memberi belas kasihan.
Dengan beberapa to-
tokan dia membuat Wirogundi
siuman.
"Kau harus
mempertanggungjawabkan perbua-
tanmu, Wiro!" kata Pengemis
Binal dengan suara ber-
getar.
"Suro...," desis
Wirogundi seraya menubruk ka-
ki Suropati.
"Ratapan mu tak dapat
menghapus dosa yang
telah kau lakukan, Wiro."
"Aku... aku memang patut
dihukum, Suro. Bu-
nuhlah aku! Bunuhlah segera,
Suro...."
"Tanpa kau minta aku akan
memenggal kepa-
lamu. Perbuatanmu melebihi
kebiadaban binatang!"
Wirogundi terdiam. Dengan penuh
ketabahan
dia merangkak mundur. Lehernya
dijulurkan untuk
bersiap menerima hukuman dari
Suropati.
Suropati pun mengangkat Pedang
Perak lentur
tinggi-tinggi. Namun, pedang itu
turun kembali secara
perlahan-lahan. Bayangan masa
kecilnya bersama Wi-
rogundi muncul di benak Pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu. Masa
kecil mereka penuh ke-
bahagiaan. Suropati yang yatim
piatu menganggap Wi-
rogundi sebagai kakak. Demikian
pula sebaliknya. Wi-
rogundi yang juga yatim piatu
menganggap Suropati
sebagai adik sendiri.
Wirogundi begitu menyayangi
Suropati. Dia ti-
dak pernah rela melihat Suropati
kecil menderita lapar.
Dengan mengemis, Wirogundi
mencarikan sesuap nasi.
Bahkan, seringkali Wirogundi tak
makan seharian ka-
rena jatah makannya diberikan
kepada Suropati. Se-
mua itu dilakukan Wirogundi
karena rasa sayangnya.
Sebelum Suropati bertemu dengan
Periang Ber-
tangan Lembut, gurunya yang
telah meninggal, dia
pernah ditolong oleh Wirogundi.
Kala itu Suropati ma-
sih berumur sepuluh tahun. Di
Bukit Argapala dia di-
patuk ular berbisa. Wirogundi
membawanya ke seo-
rang tabib di kota Kadipaten Bumiraksa.
Wirogundi mendongakkan kepala
namun sege-
ra dirundukkan kembali.
"Kenapa kau tidak segera
memenggal kepalaku,
Suro? Mungkin kau tidak tega
melakukannya. Tapi,
kau harus ingat, kau adalah seorang pemimpin. Te-
gakkan keadilan, Suro. Siapa
yang salah harus dihu-
kum. Dosaku sangat besar. Aku
layak untuk dihukum
mati. Segera jatuhkan hukuman
untukku, Suro...."
"Tidaaakkk...!"
Suropati menjerit keras. Lalu
dipeluknya tubuh
Wirogundi. Gede Panjalu berjalan
mendekat. "Minggir
kau, Suro!"
Suropati tercekat. Melihat
kesungguhan sese-
puh Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu, dia me-
langkah mundur. Gede Panjalu
mengambil Pedang Pe-
rak Lentur yang terjatuh dari
tangan Suropati. Pedang
yang telah menegang itu diangkatnya
tinggi-tinggi.
"Akulah yang akan
menjatuhkan hukuman ke-
padamu, Wiro!"
"Aku menerima,
Kek...," kata Wirogundi seraya
menjulurkan lehernya ke hadapan
Gede Panjalu.
Surti yang telah tersadar dari
pingsannya terke-
jut melihat adegan yang sedang
berlangsung. Dia hen-
dak berkata-kata, tapi tak
dapat. Pangkal lehernya
masih terkena totokan Kebo
Ireng. Karena tak tega me-
lihat Wirogundi mati dengan
kepala terpenggal, dia me-
loncat dan mendekap kaki Gede
Panjalu erat-erat.
Gede Panjalu terkesima melihat
Surti mengge-
leng-gelengkan kepala dengan air
mata mengalir deras.
Setelah tahu gadis itu dalam
pengaruh totokan, Gede
Panjalu segera membebaskannya.
"Ampuni Wirogundi,
Kek...," pinta Surti begitu
dapat mengeluarkan suara.
"Kau tak tahu apa yang
telah dilakukan Wiro-
gundi, Surti...," kata Gede
Panjalu dengan suara lem-
but. "Kau menyingkirlah....
Wirogundi sudah layak
mendapat hukuman mati."
"Tidak! Wirogundi tak boleh
mati!"
"Wirogundi bukan hanya
hampir merusak ke-
hormatan seorang gadis, dia pun
telah melanggar jan-
jinya kepadaku. Maka dari itu,
kau jangan menghalan-
giku untuk menjatuhkan hukuman
kepadanya!"
"Tidak! Tidak, Kakek Gede!
Ampuni Wirogun-
di...."
Melihat Surti yang nekad, Gede
Panjalu mengi-
baskan telapak tangan kiri.
Serangkaian angin puku-
lan membuat tubuh Surti
terlontar dan jatuh pingsan.
Gede Panjalu kembali mengangkat
Pedang Pe-
rak Lentur tinggi-tinggi. Siap
menebas leher Wirogundi!
"Tahan...!"
Sebuah teriakan menghentikan
gerakan Gede
Panjalu. Semua mata memandang ke
arah asal suara.
Sesosok bayangan melesat dan
mendarat di hadapan
Gede Panjalu.
"Bila menjatuhkan hukuman
mati terhadap Wi-
rogundi, kau akan menyesal
seumur hidup, Kek....,"
kata gadis itu yang ternyata
Yaniswara.
"Siapa kau?" tanya
Gede Panjalu.
"Aku Yaniswara. Kalian
semua salah sangka.
Wirogundi tidak merenggut
kehormatanku. Dia khilaf
karena wajahku sangat mirip
dengan mendiang keka-
sihnya."
"Jadi, kau belum
di...."
"Benar. Dari Kademangan
Maospari, Wirogundi
membawaku ke Dusun Paldaplang.
Sesampainya di
sana aku siuman. Ketika aku
menyebut-nyebut nama
Suropati, Wirogundi sadar dari
khilafnya. Lalu, dia
memohon ampunan kepadaku. Bahkan
meminta aku
untuk membunuhnya. Tentu saja
aku menolak. Aku
lari meninggalkannya...."
"Benar itu, Wiro?"
tanya Gede Panjalu kepada
Wirogundi.
Pemuda kurus itu mengangguk
lemah. Lalu ka-
tanya pelan, "Aku tetap
bersalah, Kek. Aku hampir saja
menodainya. Aku tetap harus
menerima hukuman...."
Gede Panjalu menarik napas panjang.
"Ru-
panya kematian Anjarweni
benar-benar memukul ji-
wamu, Wiro. Untuk menghilangkan
semua ingatan bu-
rukmu, bertapalah selama empat
puluh hari empat pu-
luh malam di Danau Ular."
"Kau belum menghukumku,
Kek...."
"Itulah hukumanmu,
Wiro," sahut Gede Panja-
lu.
Mendadak, Suropati meloncat lalu
menyambar
Pedang Perak Lentur di tangan
Gede Panjalu. Disodor-
kannya pedang itu ke hadapan
Yaniswara.
"Pedang pusaka ini milikmu,
Yani...," kata re-
maja konyol itu.
"Terima kasih, Suro,"
Yaniswara menerima Pe-
dang Perak Lentur dari tangan
pemuda itu.
Suropati mengeluarkan sebuah
benda hitam
dari balik bajunya. Disodorkan
pula kepada Yaniswara.
"Semoga rompi pusaka ini
tak pernah berpisah lagi
denganmu."
"Terima kasih,
Suro..."
Suropati lalu mendekap bahu
Yaniswara, diha-
diahkannya gadis itu kecupan
mesra.
"Terima kasih,
Suro..." bisik Yaniswara.
SELESAI
Segera terbit :
CINTA BERNODA DARAH
Emoticon