4
Di antara belasan orang kasar
itu terlihat si
gemuk dan si kurus yang telah
berpakaian leng-
kap kembali. Wajah kedua orang
yang bam saja
dipermainkan Pengemis Binal itu
terlihat tegang
dan menampakkan sebuah ancaman
kematian.
Begitu melihat Suropati masih
duduk di tempat-
nya, si gemuk menggembor seraya
menuding.
"Itulah bocah edan
itu!"
Lima orang lelaki menghampiri
Pengemis
Binal serempak. Sedang yang
lainnya, mengikuti
si kurus yang menghampiri pemuda
tampan ber-
pakaian ungu-hitam.
Dengan datangnya belasan lelaki
bertam-
pang bengis itu, pengunjung
kedai jadi panik.
Yang bernyali kecil segera
membayar sejumlah
uang sebagai pengganti arak yang
telah diminum,
lalu beranjak pergi dengan
tergopoh-gopoh.
Si gemuk yang air mukanya masih
keruh
dan tampak mendongkol sekali,
tanpa berkata
apa-apa langsung melayangkan
telapak tangan
kanannya untuk menampar Pengemis
Binal. Tapi
sebelum tangannya yang besar dan
berbulu lebat
mengenai sasaran, dia menjerit
kesakitan dengan
bola mata melotot lebar!
"Auw...!
Aduh...!"
Di tengah jerit kesakitan si
gemuk, terden-
gar suara berdebam. Tubuhnya
yang hampir se-
besar kerbau terbanting ke
lantai dengan amat
kerasnya. Beberapa pengunjung
kedai yang masih
berada di tempatnya tertawa geli
melihat si gemuk
yang menggelepar-gelepar
berusaha bangun, tapi
mendapat kesulitan karena dia
jatuh dengan pe-
rut di bawah. Ketika berhasil
bangun, terlihat
mulutnya berdarah. Empat buah
giginya telah
tanggal karena membentur lantai
yang keras.
Puspita atau si Pedang Perak
cuma terse-
nyum-senyum saja. Gadis cantik
ini dapat meli-
hat bagaimana Pengemis Binal
menelikung perge-
langan tangan si gemuk, lalu
menghempaskannya
ke lantai.
"Kubunuh kau! Kubunuh
kau!" ancam si
gemuk seraya mencabut golok yang
disandangnya
di pinggang.
Pengemis Binal tersenyum kecil
walau re-
maja konyol ini melihat bahaya
mengancam ji-
wanya. Timbul suara berdesing
ketika golok si
gemuk berkelebat. Namun sebelum
kepala Pen-
gemis Binal terpenggal, tubuhnya
yang besar ja-
tuh ke lantai lagi. Kali ini
terdengar berdebam le-
bih keras. Orang-orang yang
menyaksikan peris-
tiwa ini terkejut bukan main.
Apalagi si gemuk
sudah tak bangun-bangun lagi.
Dia pingsan.
Agaknya ketika sambaran golok
hampir mengenai
sasaran, Pengemis Binal berhasil
menendang pe-
rut si gemuk, hingga dia jatuh
telentang. Karena
kepalanya membentur lantai cukup
keras, kesa-
darannya jadi hilang.
"Kita bunuh dia! Kita bunuh
dia!" teriak
teman-teman si gemuk seraya
mencabut golok
masing-masing. Si kurus dan
beberapa temannya
yang semula menghampiri pemuda
tampan ber-
pakaian ungu-hitam pun turut
mengepung Suro-
pati.
Melihat gelagat kurang baik yang
kemung-
kinan besar akan terjadi pertumpahan
darah, pa-
ra pengunjung kedai yang
tertinggal kontan me-
nyingkir. Tidak terkecuali para
pelayan dan pemi-
lik kedai. Sementara, si kurus
yang digeluti ama-
rah luar biasa melihat temannya
telah tergeletak
tak berdaya segera memberi
aba-aba kepada te-
man-temannya.
"Cincang tubuhnya!"
Tapi sebelum Pengemis Binal
benar-benar
dihujani sambaran golok,
terdengar teriakan lan-
tang.
"Hentikan...!"
Suara bentakan itu amat keras
dan berwi-
bawa, terlebih lagi dialiri
tenaga dalam. Hingga,
orang-orang yang mendengarnya
jadi terpaku di
tempatnya tanpa tahu apa yang
harus diperbuat.
Hebatnya, beberapa golok yang
sudah dibabatkan
pun tampak berhenti di udara.
Suropati dan Puspita melihat
kehadiran
seorang lelaki tua bertubuh
tinggi-besar. Dia ber-
diri berkacak pinggang di pintu
kedai. Wajah ka-
kek itu penuh bulu kasar. Begitu
juga dengan ku-
lit tubuhnya. Dahi dan kedua
pipinya terdapat
banyak sekali luka goresan
senjata tajam. Ram-
butnya yang panjang dikuncir
jadi dua. Pakaian-
nya yang mirip jubah berwarna
kuning tampak
kotor sekali. Dia adalah Prajna
Singh!
"Pergi kalian semua!"
usir kakek yang be-
rasal dari India itu.
Belasan lelaki kasar yang
agaknya telah
mengenal siapa Prajna Singh
tampak terkejut se-
kali. Tanpa pikir panjang lagi
mereka segera ke-
luar kedai. Tubuh si gemuk yang
belum sadar da-
ri pingsannya mereka seret
beramai-ramai.
"Ya! Ya! Keluarlah kalian
semua!" pemuda
tampan berpakaian ungu-hitam
turut angkat bi-
cara diselingi tawa
terkekeh-kekeh. Bola matanya
membesar dan kedua tangannya
tiada henti
menggebah-gebah seperti sedang
mengusir ayam.
"Hayo! Cepat keluar semua!
Keluar!" tambahnya
tanpa mempedulikan beberapa
lelaki kasar masih
sempat menatap tajam ke arahnya
dengan penuh
ancaman.
Prajna Singh menatap sebentar ke
wajah si
pemuda tampan. Tahu dia sedang
mabuk, kakek
bermuka buruk mengalihkan
pandangan. Dita-
tapnya Pengemis Binal dan
Puspita yang duduk
berdampingan. Tapi, agaknya dia
tak bercuriga
apa-apa.
"Mana pemilik kedai
ini?!" teriak Prajna
Singh dengan suara keras seperti
guntur.
"Ya... ya... ya...,"
terdengar suara si gendut
pemilik kedai yang muncul
tiba-tiba dari bawah
meja. Tubuhnya gemetar dan
dibanjiri keringat
dingin. Agaknya lelaki ini
terserang rasa takut
yang sangat. "Maaf... maaf,
Tuan.... Aduh...!"
Ucapan pemilik kedai dihentikan
oleh jerit
kesakitannya sendiri. Tanpa tahu
apa yang terja-
di, dia merasa tubuhnya limbung
ke kanan dan
jatuh berdebam di lantai. Prajna
Singh telah me-
namparnya. Untung tamparannya
hanya meng-
gunakan tenaga luar, hingga
kepala pemilik kedai
tidak sampai pecah.
Mendadak, dari ruang dalam
muncul pe-
layan setengah baya dengan pisau
pemotong dag-
ing di tangan. Dia meloncat
kencang sekali hen-
dak membacok dada Prajna Singh.
Tapi....
Creppp...!
"Wuahhh...!"
Cepat sekali gerakan Prajna
Singh. Tahu-
tahu kelima jari tangannya telah
menancap di ba-
tok kepala si pelayan. Saat
Prajna Singh meng-
gembor, tiba-tiba tubuh si
pelayan terangkat naik
dalam keadaan tegak lurus dengan
kaki terjulur
ke atas. Satu kejap mata
kemudian, tubuh si pe-
layan telah terkulai layu
menjadi selembar kulit
tanpa daging dan tulang!
"Ha ha ha...! Kerbau dungu!
Kenapa kau
hendak membokong Prajna Singh,
hah?! Kau ra-
sakan sekarang ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa'-
ku. Ha ha ha...!"
Betapa terperanjatnya Suropati
dan Puspi-
ta menyaksikan kehebatan kakek
tinggi-besar ini.
Bagaimana mungkin tubuh manusia
yang meng-
gumpal besar terdiri dari
daging, tulang, darah,
dan lain sebagainya bisa diubah
jadi selembar ku-
lit tipis bagai lembaran kertas
saja layaknya? Pe-
muda tampan berpakaian
ungu-hitam yang ten-
gah mabuk pun tak kalah
terperanjatnya. Dia
sampai menjomblak bangkit dari
duduknya den-
gan mulut terbuka lebar.
"Kau telah mempermainkan
dua anak bua-
hku, Keparat! Agaknya kau pun
harus merasakan
ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa'!"
Di ujung kalimatnya, Prajna
Singh meng-
hampiri pemilik kedai yang masih
merintih kesa-
kitan di lantai sambil mendekap
pipinya yang me-
rah matang. Mulutnya terlihat
berlelehan darah
segar. Dapat dipastikan tidak
kurang lima giginya
telah tanggal.
Sebelum Prajna Singh melakukan
pembu-
nuhan lagi, cepat Pengemis Binal
meloncat untuk
menghadang langkah Prajna Singh.
"Tahan...!" sergah
Pengemis Binal. "Bukan
dia yang bersalah. Akulah yang
mempermainkan
anak buahmu!"
Prajna Singh menatap tajam
seraut wajah
tampan di hadapannya. Namun,
kepalanya segera
menggeleng-geleng.
"Bukan... bukan kau. Pemilik
kedai itulah yang telah
menelanjangi anak bua-
hku!"
"Bukan dia! Juga bukan
pemilik kedai. Ta-
pi, akulah orangnya. Aku yang
menelanjangi anak
buahmu tadi...!"
Pengemis Binal terkesiap. Pemuda
tampan
berpakaian ungu-hitam tiba-tiba
meloncat dan
mendarat di depan Prajna Singh,
membelakangi
Pengemis Binal. Suropati
mengerutkan kening.
Walau remaja konyol itu telah
menduga bila si
pemuda tampan memiliki ilmu
silat, tapi melihat
loncatannya yang gesit tadi, dia
sempat terkagum
dalam hati. Apalagi gerakan itu
dilakukan dalam
keadaan mabuk.
"Persetan! Minggir
kau!" usir Prajna Singh
seraya menghantam dada si pemuda
tampan.
Namun, pemuda yang masih
dipengaruhi minu-
man keras ini dapat bergerak
gesit. Tubuhnya
melenting ke kiri, hingga
hantaman Prajna Singh
hanya mengenai tempat kosong.
Prajna Singh mendengus gusar.
Karena
penasaran, dia majukan tubuhnya
selangkah. La-
lu, tangan kirinya berkelebat
hendak mengulang
hantamannya yang gagal. Selagi
pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam melangkah
mundur, tan-
gan kanan Prajna Singh bergerak
dua kali lebih
cepat dari kelebatan tangan
kirinya. Pengemis Bi-
nal yang melihat gerak tipu ini
jadi terkesiap me-
lihat jemari tangan Prajna Singh
yang besar-besar
berbulu hendak mencengkeram
batok kepala si
pemuda. Pengemis Binal tak dapat
membayang-
kan bagaimana akibatnya bila si
pemuda menjadi
korban ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa'. Namun,
kekhawatiran Pengemis Binal
sebenarnya tak per-
lu karena si pemuda walau tengah
mabuk tapi
masih dapat membaca tipuan
lawan. Bahkan....
Bukkk...!
"Hekkk...!"
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
merundukkan tubuhnya untuk
menghindari
cengkeraman jemari tangan kanan
Prajna Singh.
Lalu, dengan kecepatan luar
biasa dia berhasil
menyarangkan tendangan ke perut
kakek tinggi
besar itu.
Prajna Singh mengumpat
panjang-pendek.
Bola matanya melotot besar
seperti hendak keluar
dari rongganya. Kakek ini
seperti tak percaya pa-
da apa yang baru terjadi. Bagaimana
mungkin
seorang pemuda mabuk bisa
menendang perut-
nya sampai dia tersurut tiga
tindak ke belakang?
"Haram jadah!" umpat
Prajna Singh. Bebe-
rapa saat lamanya kakek ini
masih menggerutu
panjang-pendek. Tiba-tiba dia
teringat pengala-
mannya tempo hari di gua tempat
tinggalnya di
mana ada seorang pemuda mampu
menghancur-
kan senjata cambuk tulangnya.
"Kupikir aku telah berhasil
melipatganda-
kan ilmu kepandaianku. Tapi,
kenapa banyak to-
koh muda yang membuat diriku
merasa lemah?
Apakah di rimba persilatan telah
bermunculan
tokoh-tokoh muda yang amat sakti?" kata hati
Prajna Singh.
Mendadak, lima orang lelaki
berpakaian
serba putih dan menyandang
pedang di punggung
masuk ke kedai. Wajah mereka
sama-sama halus.
Anehnya, walau umur mereka belum
genap tiga
puluh tahun, tapi alis mereka
telah memutih. Sa-
lah seorang dari mereka langsung
berseru dan
menuding ke arah pemuda tampan
berpakaian
ungu-hitam. "Itu dia
pembunuh itu!" Mendengar
tuduhan itu, wajah si pemuda
kontan memucat
Namun, cepat pemuda ini
membentak lantang.
"Siapa yang kau tuduh
membunuh?!"
"Hei! Kau jangan
mungkir!" sergah lelaki
yang bam saja melempar tuduhan.
"Kawan-
kawan, bukankah dia juga yang
merampok se-
kantung uang emas Danang
Burgundi?"
Tanpa menunggu tanggapan dari
keempat
temannya, lelaki yang sebenarnya
adalah Ketua
Partai Alis Putih ini merangsek
dengan pedang
terhunus. Sementara, pemuda
tampan berpa-
kaian ungu-hitam mendengus.
Dengan gerakan
sedikit sempoyongan, dia
melompat ke pintu. Ge-
rakan yang dilakukan ini cepat
sekali, hingga tu-
buhnya laksana dapat lenyap.
Lelaki yang sedang
menyerangnya pun terperangah
karena sasaran
tusukan pedangnya telah lenyap
mendadak. Satu
kejap mata kemudian, terdengar
ringkik kuda
panjang sekali yang disusul
derap kaki kuda yang
dipacu amat cepat
Pengemis Binal yang merasa
penasaran
pada si pemuda cepat memberi
isyarat kepada
Puspita. Kedua muda-mudi ini
meloncat keluar
kedai hampir bersamaan. Di depan
kedai, Penge-
mis Binal tak melihat lagi kuda
merah gagah dan
bagus yang tadi dilihatnya
sebelum memasuki
kedai. Rupanya kuda itu milik
pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam yang kini
telah digunakan
untuk melarikan diri.
"Kita kejar pemuda itu,
Puspita!" ajak Su-
ropati seraya meloncat ke
punggung kuda.
Tanpa berkata apa-apa Puspita
menuruti
ajakan Suropati. Gadis ini turut
meloncat ke
punggung kudanya. Lalu,
memacunya dengan ce-
pat, menyusul kuda Suropati yang
lebih dulu me-
lesat
***
Pemuda yang wajahnya masih
tampak mu-
ram ini terus memacu kudanya
bagai orang kese-
tanan. Lari kuda yang sudah
cepat, dia rasa ma-
sih kurang cepat Pantat kuda
dipukulinya berka-
li-kali. Hingga, kuda gagah
berbulu merah indah
itu meringkik-ringkik terus di
sepanjang jalan.
"Cepatlah...!
Cepatlah...!" teriak si pemuda,
menyimpan kekhawatiran yang
sangat.
Gelap sudah menyelimuti bumi
tatkala ku-
da si pemuda menginjakkan kaki
di tepi gurun
kecil yang orang Kadipaten Tanah
Loh menyebut-
nya Gurun Angkara.
Cahaya rembulan yang dalam
bulatan pe-
nuh menyiram permukaan pasir
dengan bebas-
nya. Walau malam telah tiba,
tapi pandangan ma-
ta masih dapat melihat sampai
puluhan tombak
ke depan. Karena, gelap tak
begitu berkuasa.
Kuda merah yang ditunggangi pemuda
berpakaian ungu-hitam ini tak
mampu berlari
kencang lagi. Selain harus
melewati permukaan
pasir yang tentu saja
menyulitkan langkah kaki,
tenaganya juga sudah terkuras.
Namun, si pemu-
da seperti tak mau tahu akan hal
ini. Dia meng-
gebah-gebah kudanya terus.
"Hei! Tunggu!"
Terkejut si pemuda mendengar
teriakan
yang ditujukan kepada dirinya.
Kepalanya kontan
menoleh ke belakang. Jadi lega
hatinya setelah
tahu orang yang memanggilnya tak
lain dari re-
maja tampan berpakaian penuh
tambalan yang
dijumpainya di Kedai Melati.
Walau samar-samar,
tapi si pemuda masih bisa
mengenalinya. Remaja
tampan itu adalah Suropati atau
Pengemis Binal.
Dia memacu kudanya cepat sekali.
Beberapa
tombak di belakangnya, tampak
Puspita juga
memacu kudanya tak kalah cepat
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
menghentikan langkah kudanya.
Dan, sengaja
menunggu. Setelah kuda Suropati
dan Puspita
berhenti di hadapannya, pemuda
yang memakai
ikat kepala merah ini berseru,
"Aku sudah men-
duga bila kau akan menyusulku,
Suro!"
"Kau mengenalku?"
kejut Pengemis Binal
sambil menenangkan kudanya yang
menghentak-
hentakkan kaki ke permukaan
pasir.
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
tersenyum manis. "Kenapa
tidak? Aku mengenal-
mu dengan baik, Suro. Bukankah
kau Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti? Putra Raja
Pasir Luhur yang bernama Prabu
Singgalang
Manjunjung Langit!"
Keterkejutan Pengemis Binal
berlipat dua
mendengar tebakan si pemuda yang
sangat jitu.
Bagaimana pemuda itu bisa tahu
bila dirinya ada-
lah putra seorang raja? Padahal
remaja konyol ini
tak pernah mengatakan kepada
siapa pun, dan
hanya beberapa gelintir orang
saja yang tahu ten-
tang jati dirinya yang
sebenarnya.
"Kau siapa?" tanya
Pengemis Binal dengan
penuh kesungguhan. Suaranya
terdengar seten-
gah membentak.
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
tersenyum lagi. "Ingatkah
kau pada orang yang
pernah membersihkan darahmu dari
pengaruh
racun ganas yang membuat seluruh
ilmu kesak-
tianmu hilang?"
"Kusuma?" kejut
Suropati bagai disambar
petir. Bukan matanya saja yang
mendelik, mulut-
nya juga ternganga lebar untuk
beberapa saat.
Setelah otaknya dapat bekerja
normal kembali,
remaja konyol ini
menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal.
"Kenapa kau, Suro? Kau
kemasukan setan
di mana?" goda si pemuda
tampan yang merasa
geli melihat sikap Suropati.
"Benarkah kau Kusuma yang
bergelar Putri
Racun?" desis Pengemis
Binal seraya menajam-
kan pandangan, menatap wajah si
pemuda lekat-
lekat
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
melepas ikatan kepalanya. Rambut
yang tersem-
bunyi di balik kain ikat kepala
langsung tergerai
panjang ke punggung. Tampak
kemudian, seraut
wajah cantik bulat-telur milik
Kusuma alias Putri
Racun. Gadis ahli racun yang
tengah menyamar
ini tak menampakkan lagi rasa
gelisahnya seperti
yang tadi ditunjukkan ketika
memacu kuda den-
gan kencang.
Pengaruh minuman keras juga
hilang. Se-
pertinya ketika mabuk di kedai
dia hanya berpu-
ra-pura.
Suropati yang merasa tertipu
penglihatan-
nya tampak tertawa
terkekeh-kekeh. "He he he....
Mungkin mataku ini sudah lamur.
Atau, otakku
memang amat bebal, hingga begitu
mudah melu-
pakan ciri-ciri orang...."
Di ujung kalimatnya, Pengemis
Binal
menggaplok kepalanya sendiri.
Puspita yang du-
duk di punggung kuda di sisi
kirinya menatap
dengan kening berkerut. Gadis
ini sering merasa
heran melihat perbuatan Suropati
yang kadang-
kadang seperti orang gila.
Namun, dia cepat me-
maklumi kekonyolan Pengemis
Binal.
"Apakah dia yang disebut
Putri Racun, Su-
ro?" tanya Puspita.
"Ya. Dialah Putri Racun
itu," beri tahu Su-
ropati. Matanya tak lepas menatap seraut wajah
cantik milik Kusuma yang baru
saja melakukan
penyamaran.
"Kalau begitu, ajaklah dia
segera ke Penda-
pa Kadipaten Bumiraksa, Suro.
Arya Wirapaksi
harus segera diselamatkan!"
Pengemis Binal menatap wajah si
Pedang
Perak sebentar, lalu
dilemparkannya senyum ma-
nis ke arah Kusuma. "Aku
sungguh tak menduga
bila pemuda tampan yang air
mukanya menun-
jukkan kesedihan itu adalah kau,
Kusuma...,"
ujarnya.
Seperti diingatkan akan sebuah
peristiwa
yang amat memilukan, tiba-tiba
mengelam paras
Kusuma. Untuk beberapa saat
gadis yang baru
saja melakukan penyamaran ini
tertunduk dalam.
"Eh, kau kenapa,
Kusuma?" tanya Penge-
mis Binal, heran.
Putri Racun tak memberi jawaban.
Diten-
gadahkan wajahnya untuk menatap
bulatan rem-
bulan yang bercahaya kuning
keemasan. Penge-
mis Binal tercekat. Dia sempat
melihat kesedihan
dan sorot mata Putri Racun yang
redup. Air muka
keruh yang ditampakkan di kedai
terlihat lagi.
"Kau tentu punya masalah
berat, Kusu-
ma...," tebak Pengemis
Binal. "Apakah itu ada
hubungannya dengan tuduhan lima
orang lelaki
berpakaian serba putih
tadi?"
Putri Racun melompat dari
punggung ku-
da. Dituntunnya kuda merah itu
untuk keluar la-
gi dari Gurun Angkara. Suropati
dan Puspita yang
tersentuh perasaannya berbuat
serupa. Mereka
bertiga berjalan beriringan.
Tiga kuda mereka
tampak lebih tenang karena sudah
tidak ada lagi
beban di punggung.
"Sebetulnya kedatanganku ke
kota Kadipa-
ten Tanah Loh memang sengaja
untuk mencari-
mu, Kusuma," beri tahu
Suropati. "Kau tentu su-
dah mendengar nama Arya
Wirapaksi. Putra
mahkota Prabu Arya Dewantara itu
berhasil men-
guasai ilmu kesaktian dahsyat.
Sayang, dia tak
mampu lagi berpikir waras karena
otaknya telah
tercampuri racun. Dalam waktu
empat hari ini,
bila tak segera ditolong,
nyawanya akan me-
layang. Kukira hanya kau yang
mampu menyem-
buhkannya, Kusuma. Kakek Wajah
Merah pun
tak dapat berbuat banyak."
"Benar. Kau harus menolong
Arya Wira-
paksi, Kusuma," tegas
Puspita. "Arya Wirapaksi
adalah harapan seluruh rakyat
Anggarapura. Kita
berangkat ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa se-
karang."
"Tidak perlu tergesa-gesa,
Puspita," cegah
Suropati, berbisik di dekat
telinga si Pedang Pe-
rak. "Tidakkah kau tahu
Putri Racun sedang
menghadapi masalah berat?
Lihatlah wajah mu-
rung itu."
Puspita mengangguk. Tampaknya
gadis ini
bisa mengerti keadaan.
Sementara, Suropati
mengajak Kusuma untuk duduk di
batang pohon
besar yang telah tumbang,
belasan tombak dari
pinggir Gurun Angkara.
"Ceritakan apa yang
terjadi, Kusuma. Aku
sahabatmu. Aku pasti akan
membantu meme-
cahkan masalahmu. Aku pernah berhutang
nya-
wa padamu," ujar Pengemis
Binal, menawarkan
jasa.
Kusuma menatap wajah Suropati
sebentar,
lalu gadis ini mulai bercerita.
"Sepekan yang lalu,
ketika aku hendak memasuki kota
Kadipaten Ta-
nah Loh, aku berjumpa dengan
gerombolan pe-
rampok yang merupakan anggota
dari Partai Alis
Putih. Mereka dipimpin langsung
oleh ketuanya
yang bernama Gayat Ngalim.
Mereka merampas
sekantung uang emas milik
punggawa kadipaten,
yang kemudian diketahui bernama
Danang Bur-
gundi. Karena Danang Burgundi
hanyalah seo-
rang punggawa bertubuh tambun
yang tak sebe-
rapa memiliki kepandaian bela
diri, dia mesti me-
relakan hartanya dirampas oleh
orang-orang Par-
tai Alis Putih. Aku saksikan
dengan mata kepala
sendiri kesaktian Gayat Ngalim.
Dia menakut-
nakuti Danang Burgundi dengan
memotong per-
gelangan tangannya sendiri lalu
menyambungnya
kembali tanpa meninggalkan bekas
luka sedikit
pun. Aku membatalkan niat untuk
menolong Da-
nang Burgundi karena kupikir
punggawa itu tak
dilukai atau disiksa. Lagi pula,
aku penasaran
melihat kesaktian Gayat Ngalim
yang diperguna-
kan di jalan sesat. Aku
bermaksud menakluk-
kannya di sarangnya sendiri
dengan disaksikan
seluruh anak buahnya. Agar bisa
dijadikan pela-
jaran bagi mereka untuk
menghentikan perbua-
tan jahat mereka selamanya.
Tapi...."
Putri Racun menghela napas
panjang. Ga-
dis ini seakan-akan ingin
mengeluarkan seluruh
beban batinnya lewat udara yang
keluar deras da-
ri lubang hidungnya.
"Ketika aku datangi sarang
Partai Alis Pu-
tih, tak seorang pun yang
kujumpai. Di sebuah
ruang lebar seperti tempat
pemujaan, tergeletak
di atas altar kantung sulam
berisi uang emas mi-
lik Danang Burgundi. Kantung itu
segera kuambil
untuk kuserahkan kembali kepada
pemiliknya.
Sekeluar dari sarang Partai Alis
Putih yang cukup
jauh dari kota Kadipaten Tanah
Loh, aku melihat
kuda merah tengah merumput. Aku mengenali
kuda itu sebagai milik Danang
Burgundi ketika
dia tengah dirampok orang-orang
Partai Alis Pu-
tih. Aku naiki kuda itu, dan
memacunya ke kota
Kadipaten Tanah Loh. Kupikir aku
bisa mengem-
balikan uang emas dan kuda merah
kepada pemi-
liknya. Namun di tengah jalan
aku berpapasan
dengan beberapa orang anak buah
Gayat Ngalim.
Mereka langsung meneriakiku,
sebagai pencuri.
Karena aku tak mau berurusan
dengan cecunguk
yang tak tahu apa-apa, aku
memacu kuda terus.
Tapi, apa yang terjadi sungguh
membuatku terke-
jut dan menjadi khawatir
bercampur sedih. Ba-
nyak punggawa kadipaten
berkumpul di rumah
Danang Burgundi. Mereka datang
melayat Da-
nang Burgundi yang ternyata
telah mati! Melihat
aku naik kuda merah dan membawa
kantung
uang, emas Danang Burgundi,
orang-orang lang-
sung menjatuhkan tuduhan
kepadaku. Aku beru-
saha menjelaskan, tapi tak
seorang pun percaya.
Karena, orang-orang Partai Alis
Putih yang ba-
nyak melayat di tempat itu semua
menyatakan
bahwa akulah yang merampok
Danang Burgundi
dan kemudian membunuhnya."
"Lalu karena kau
dikejar-kejar prajurit ka-
dipaten, kau melakukan
penyamaran, begitu?" se-
la Pengemis Binal.
"Ya. Tapi, aku tak mau
meninggalkan kota
karena aku mesti membersihkan
nama baikku.
Dan, kupikir semua ini pasti
didalangi oleh Gayat
Ngalim."
"Apakah kau pernah bentrok
dengan Ketua
Partai Alis Putih itu
sebelumnya?" Puspita turut
bertanya.
Putri Racun tak segera menjawab.
Melihat
Suropati dan Puspita menunjukkan
keinginta-
huannya, gadis ini melanjutkan
bicaranya juga.
"Beberapa kali aku bertatap
muka dengan Gayat
Ngalim. Dia ingin memperistri
diriku. Tapi, aku
menolak karena...."
"Karena apa?" buru
Pengemis Binal yang
melihat perubah air muka Putri
Racun yang ma-
kin keruh.
"Aku telah mempunyai
kekasih," jawab Pu-
tri Racun, lirih sekali.
Pengemis Binal menatap lekat
wajah Ku-
suma. Yang ditatap segera
menunduk, Pengemis
Binal jadi maklum. Walau usia
Kusuma telah le-
bih dari satu abad, tapi jiwa
dan raganya masih
muda. Wajar bila dia terlibat
jalinan asmara den-
gan seorang pemuda.
"Siapa kekasihmu itu?"
tanya Suropati, in-
gin tahu.
"Ah! Aku tak bisa
memberitahukannya, Su-
ro...," tolak Putri Racun
dengan wajah bersemu
merah. "Eh, kau belum
mengenalkan temanmu
ini, Suro...," ujarnya
kemudian sambil menunjuk
Puspita yang duduk di sisi kiri
Pengemis Binal.
"Namanya Puspita dan
bergelar si Pedang
Perak," beri tahu Pengemis
Binal. "Temanku ini
sekarang sedang mengemban tugas
dari Prabu
Arya Dewantara untuk mencari
Arya Wirapaksi.
Aku sudah memberi tahu bahwa
putra mahkota
itu berada di Pendapa Kadipaten
Bumiraksa da-
lam perawatan Kakek Wajah Merah.
Kau harus
mengeluarkan racun yang
bersarang di otaknya,
Kusuma. Secepatnya!"
"Ya. Ya, aku pasti
menolongnya kalau aku
mampu. Tapi, tahukah kau, Suro,
bila hatiku be-
nar-benar sedih hari
ini...."
"Jangan khawatir, Kusuma.
Aku akan
membantu membersihkan nama
baikmu. Akan
kupaksa Gayat Ngalim untuk
mengakui perbua-
tan culasnya di depan para
punggawa Kadipaten
Tanah Loh," janji Pengemis
Binal dengan penuh
kesungguhan.
"Sebenarnya bukan itu yang
membuat aku
jadi sebegini sedih,
Suro...," desah Kusuma.
"Lalu apa?"
"Kekasihku pergi entah ke
mana. Di saat-
saat seperti ini sebenarnya aku
sangat merindu-
kan kehadirannya. Terlebih lagi,
mengharapkan
bantuannya...."
Suropati mengambil napas panjang
melihat
mata Putri Racun mulai
berkaca-kaca.
"Aku turut merasakan
kesedihanmu, Ku-
suma...," ujar Suropati
dengan desah berat. "Aku
bisa merasakan bagaimana
kesedihan sepasang
kekasih yang saling mencintai
tiba-tiba harus
berpisah dan tak tahu kapan bisa
berjumpa la-
gi...."
Putri Racun menyeka air matanya
dengan
ujung lengan bajunya. Sementara,
Puspita tam-
paknya juga terbawa dalam rasa
sedih. Pendekar
Pedang Perak ini sebenarnya
menaruh hati pada
Suropati sejak pertemuannya di
sarang Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah.
Tapi, dia tahu cin-
tanya tak mungkin terbalaskan
karena Suropati
telah menaruh hati pada gadis
lain. Teringat akan
perjalanan cintanya yang juga
menyedihkan, Pus-
pita menundukkan kepala. Diam-diam
gadis ini
juga meneteskan air mata.
"Kita ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa se-
karang. Nyawa Arya Wirapaksi
harus segera dis-
elamatkan," cetus Suropati
tiba-tiba. "Setelah itu,
kita kembali ke kota Kadipaten
Tanah Loh. Kalau
memang Gayat Ngalim adalah
lelaki culas, kita
pasti akan dapat membuka
kedoknya. Aku ber-
janji untuk membantu
kesulitanmu, Kusuma...."
"Terima kasih,
Suro...," ujar Putri Racun,
perlahan sekali.
"Tapi, kita belum membayar
minuman di
Kedai Melati...," sahut
Suropati sambil menggaruk
kepalanya.
"Sebelum pergi tadi, aku
meletakkan se-
jumlah uang. Kupikir, itu sudah
cukup untuk
membayar minuman kita
bertiga," beri tahu Pus-
pita.
Suropati tersenyum. "Kalau
begitu, kita
memang harus berangkat
sekarang!" ujarnya se-
raya menggamit lengan Kusuma dan
Puspita.
5
Suropati, Puspita, dan Kusuma
memacu
kuda dengan cepat agar segera
sampai di Pendapa
Kadipaten Bumiraksa. Perjalanan
mereka tak se-
dikit pun mendapat kesulitan.
Gelap malam tak
sampai membutakan mata. Karena,
rembulan di
langit bercahaya cukup terang,
menyiram bumi
walau hanya dalam temaram.
"Awasss…!" seru
Pengemis Binal tiba-tiba.
Cepat Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti ini mengekang
kendali kuda. Begitu
kuda yang ditungganginya
meringkik panjang se-
raya mengangkat kaki depan
tinggi-tinggi, dan
melentingkan tubuhnya dengan
kedua pergelan-
gan tangan terjulur lurus ke
depan!
Blarrr...!
Timbul ledakan dahsyat tatkala
kedua te-
lapak tangan Suropati
bertumbukan dengan
bongkahan batu sebesar kerbau
yang meluncur
deras dari arah depan. Laksana
terhantam petir,
batu itu hancur
berkeping-keping. Pecahannya
semburat ke berbagai penjuru
menimbulkan letu-
pan-letupan kecil saat menimpa
permukaan ta-
nah.
"Setan alas! Haram
jadah!" umpat seorang
kakek berjubah kuning kotor yang
berdiri tegak di
tengah jalan, kira-kira dua
puluh tombak jarak-
nya dari hadapan Pengemis Binal
yang telah
mendaratkan kakinya di tanah.
"Hmm.... Kiranya kau yang
telah melem-
parkan batu tadi...," tebak
Pengemis Binal dengan
tatapan tajam. "Tenagamu
sungguh besar, Kek.
Sayang sekali kau gunakan untuk
mengganggu
orang. Apakah tidak lebih baik
tenagamu yang
besar itu kau manfaatkan dengan
bekerja sebagai
buruh angkat barang?"
Kakek tinggi-besar yang tak lain
dari Praj-
na Singh mendengus gusar
mendengar ejekan
Pengemis Binal. Lebih gusar lagi
hatinya karena si
remaja telah menunjukkan
kekuatan tenaga da-
lamnya.
"Sebaiknya kau menyingkir
dan jangan
menghalangi langkah kami, Prajna
Singh!" ujar
Putri Racun dari punggung kuda.
Gadis ini agak-
nya telah mengenal si kakek.
"Kami tidak mem-
punyai urusan denganmu. Bila kau
penasaran
akan peristiwa di kedai tadi,
aku bisa memberi-
kan sejumlah uang kepada anak
buahmu...."
Prajna Singh melangkah lima
tindak ke de-
pan. Diperhatikannya wajah Putri
Racun dengan
saksama. "Hmmm.... Menilik
pakaian yang kau
kenakan, bukankah kau pemuda
mabuk yang
mengaku telah mempermainkan dua
anak bua-
hku? Melihat wajahmu yang
sekarang menunjuk-
kan wajah se orang gadis,
kupikir kau cukup
pandai menyamar. Hanya
sayangnya, kini kau
membuka penyamaranmu sendiri.
Aku jadi men-
genali siapa dirimu. Bukankah
kau Kusuma alias
Putri Racun yang menjadi buronan
prajurit kadi-
paten? Ya! Ya, aku yakin sekali!
Ha ha ha...!"
Prajna Singh tertawa
bergelak.
Tubuhnya yang tinggi-besar
tampak ber-
guncang-guncang. "Kini ada
kesempatan bagiku
untuk mendapat hadiah! Sungguh
ini suatu kebe-
tulan. Ha ha ha...!"
"He, Prajna Singh!"
sebut Kusuma. "Aku
menghormatimu sebagai seorang
tokoh tua yang
tentunya lebih matang berpikir
dan dapat bertin-
dak bijaksana. Adakah kau tahu
bila sebenarnya
aku menjadi korban fitnah keji.
Aku sama sekali
tidak melakukan perbuatan jahat
terhadap Da-
nang Burgundi. Apalagi membunuh
punggawa
itu. Aku menduga Gayat Ngalimlah
pelakunya.
Maka dari itu, tak perlu kau
campuri urusan ini.
Biarkan aku pergi ke kota untuk
membersihkan
nama baikku dan mengungkapkan
kepada semua
orang peristiwa yang
sebenarnya."
"Huh! Aku tak peduli semua itu!" sahut
Prajna Singh. "Kau bersalah
atau tidak, bukan
urusanku. Yang kutahu kau adalah
buronan pra-
jurit kadipaten. Dan, sekarang
aku hendak me-
nangkapmu karena aku mengincar
hadiah!"
"Tua-bangka tak tahu
malu!" maki Penge-
mis Binal. "Sudah tua
bukannya lebih mende-
katkan diri pada Tuhan, malah
menuruti nafsu
duniawi. Kau bisa menangkap
Putri Racun, tapi
setelah kau nikmati dulu
hadiahku ini!"
Secepat burung walet, tubuh
Pengemis Bi-
nal melesat ke depan. Setelah
bersalto dua kali di
udara, remaja konyol ini melakukan gerakan
'Pengemis Meminta Sedekah'.
Tapi, dia melaku-
kannya dengan terbalik. Tubuhnya
yang mem-
bungkuk membelakangi Prajna
Singh. Sedang ke-
dua tangannya tetap terjulur
lurus ke depan. Da-
lam keadaan demikian, tubuh
Pengemis Binal te-
tap dapat meluncur cepat.
Sementara, Prajna
Singh terdengar menggembor
keras. Kedua tan-
gannya yang besar dan berbulu
dihentakkan ke
depan hendak menghantam pantat
Pengemis Bi-
nal. Namun.....
Bruooottt..!
"Hukkk...!"
Walau dalam keremangan malam
Puspita
dan Kusuma masih dapat melihat
apa yang dila-
kukan Suropati. Sebelum kedua
tangan Prajna
Singh menghantam pantatnya,
Suropati kentut.
Lalu, dengan kecepatan luar
biasa sekali, dia je-
jakkan kakinya ke belakang. Dan,
tepat mengenai
perut Prajna Singh, hingga
mulutnya terbuka le-
bar. Pada saat inilah,
"udara beracun" Suropati
berhembus kencang menebarkan
aroma bangkai
tikus!
"He he he...!" tawa
kekeh Pengemis Binal
melihat Prajna Singh memencet
batang hidung
sambil melangkah mundur beberapa
tindak. "Ba-
gaimana, Kek? Hadiah dariku apakah cukup
nikmat kau rasakan? Bila kau
minta tambah, bi-
lang saja. Sungguh aku bukan orang
pelit, kok...!"
Kemarahan Prajna Singh sudah tak
dapat
digambarkan lagi. Darahnya
mendidih naik sam-
pai ke ubun-ubun. Giginya
bertaut rapat mem-
perdengarkan bunyi berkerotan.
Rahangnya yang
dipenuhi bulu lebat berubah
bentuk menjadi per-
segi empat. Sementara, kedua
matanya melotot
lebar berwarna merah menyala.
Dalam kemarahannya, Prajna Singh
meli-
hat tiga ekor kelelawar terbang
di atas kepalanya.
Mendadak, kakek bertubuh
tinggi-besar ini me-
nengadahkan kedua telapak
tangannya ke atas.
Aneh! Lesatan tubuh tiga ekor
kelelawar berhenti
di udara. Hanya sayapnya yang
masih mengepak-
ngepak.
"Kubunuh kau, Bocah
Edan!" sentak Praj-
na Singh seraya mengibaskan
kedua telapak tan-
gannya ke depan.
Wusss...!
Pengemis Binal yang telah
berdiri sekitar
lima belas tombak dari hadapan
Prajna Singh
menjadi terkesiap. Tiga ekor
kelelawar melesat
cepat ke arahnya. Remaja konyol
ini tahu bila
satwa-satwa bersayap itu telah
menjadi senjata
rahasia yang amat ampuh dan
mengancam kese-
lamatan jiwa. Maka tanpa pikir
panjang lagi, Pen-
gemis Binal sorongkan kedua
telapak tangannya
ke depan. Dia kerahkan seluruh
kekuatan tenaga
dalamnya. Akibatnya, bukan saja
lesatan tiga
ekor kelelawar berhenti di
udara, tapi lesatannya
malah berbalik arah. Meluncur
deras mengarah
dada Prajra Singh dalam keadaan
terbalik, kepala
di belakang dan ekor di depan!
"Edan!" pekik Prajna
Singh dalam keterke-
jutannya. Karena tak mau kalah
dalam memper-
lihatkan kekuatan tenaga dalam,
Prajna Singh
menyorongkan pula kedua telapak
tangannya ke
depan. Lesatan tiga ekor
kelelawar berhenti men-
dadak, tepat di tengah-tengah
antara tempat Pen-
gemis Binal dan Prajna Singh
berdiri. Hingga be-
berapa tarikan napas,
satwa-satwa bersayap itu
hanya dapat mengepak-ngepakkan
sayapnya tan-
pa dapat memindahkan kedudukan
tubuhnya
yang melayang di udara. Karena
tertindih dua ke-
kuatan tenaga dalam dahsyat,
tubuh tiga ekor ke-
lelawar itu kemudian meledak
hancur menjadi
serpihan daging kecil-kecil
bagai habis dicacah
pisau yang amat tajam!
Walau Pengemis Binal telah
banyak ber-
jumpa dengan tokoh-tokoh sakti,
tapi melihat ke-
kuatan tenaga dalam Prajna
Singh, remaja konyol
ini terkagum-kagum juga. Berbeda
dengan Prajna
Singh sendiri. Melihat kehebatan
Pengemis Binal,
bukan rasa kagum yang ada di
hatinya, melain-
kan amarah yang makin
meluap-luap. Dia merasa
malu karena sebagai tokoh tua
kesaktiannya da-
pat diimbangi oleh seorang
remaja tampan yang
tampak kebodoh-bodohan. Oleh
sebab hatinya di-
penuhi amarah, lupa sudah Prajna
Singh pada
tujuannya untuk menangkap Putri
Racun. Dalam
benaknya dipenuhi keinginan
untuk membunuh
Pengemis Binal. Maka sambil
berseru nyaring
yang memekakkan gendang telinga,
dia meloncat
ke depan. Jemari-jemari
tangannya terjulur lurus-
lurus. Hendak diterapkannya ilmu
'Lima Jari Pen-
cabut Nyawa' yang telah
dikuasainya dengan
sempurna.
Suropati yang sudah melihat
kedahsyatan
ilmu andalan Prajna Singh waktu
di Kedai Melati,
tak menjadi gugup. Dia mencabut
tongkat butut
yang terselip di pinggangnya.
Lalu, tongkat yang
terbuat dari kayu tak berharga
itu dia gunakan
untuk menahan gerakan Prajna
Singh.
Wuttt...!
Tongkat Suropati meluncur lurus
ke depan
untuk memapaki pergelangan tangan
Prajna
Singh. Namun, Suropati berseru
kaget ketika
ujung tongkatnya membentur
telapak tangan kiri
Prajna Singh. Tongkat kayu itu
hancur-luluh
menjadi serbuk halus tiada
tersisa. Telapak tan-
gan kanan Suropati pun terasa
panas luar biasa
bagai tersengat bara api. Walau
tongkat Suropati
hanya terbuat dari kayu tak
berharga, tapi dialiri
tenaga dalam tingkat tinggi.
Namun, kenapa begi-
tu mudah Prajna Singh membuatnya
hancur-
luluh?
Tak ada kesempatan berpikir
panjang bagi
Suropati. Tangan kiri Prajna
Singh yang baru saja
memperlihatkan kehebatannya,
terus melesat he-
bat hendak mencengkeram batok
kepala. Tak
mau tubuhnya berubah menjadi
selembar kulit
tanpa daging dan tulang, cepat
Suropati melen-
tingkan tubuhnya ke belakang.
Begitu kakinya
menginjak tanah, dia miringkan
tubuhnya. Lalu,
lewat gerakan 'Pengemis Menghiba
Rembulan', dia
sorongkan kedua telapak
tangannya. Maksudnya
untuk menghantam dada Prajna
Singh. Tapi,
tampaknya si kakek telah menduga
serangan Su-
ropati. Sebelum dadanya terhantam,
dia tarik ke-
dua tangannya bersamaan.
Suropati memekik
nyaring ketika kedua pergelangan
tangannya ke-
na tangkap Prajna Singh!
"Kuremukkan tanganmu dulu,
Monyet
Bau!" ujar Prajna Singh
seraya menekan kedua
tangan Suropati dengan
penyaluran tenaga dalam
lebih tinggi.
Sekali lagi Suropati memekik.
Kusuma dan
Puspita yang melihat kejadian
ini terkejut. Namun
sebelum mereka berbuat sesuatu
untuk menolong
Suropati, tiba-tiba terdengar
suara berdebam.
Tubuh Prajna Singh jatuh
telentang di tanah
hingga melesak satu jengkal ke
dalam.
Apa yang terjadi? Rupanya
sebelum perge-
langan tangan Suropati hancur
kena remas Praj-
na Singh, dia masih sempat
menggerakkan dua
telunjuk jarinya untuk menotok
jalan darah besar
di lipatan siku Prajna Singh.
Totokan yang dilam-
bari kekuatan ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak
Dewa' itu membuat cengkeraman
Prajna Singh
terlepas. Akibatnya bukan hanya
sampai di situ.
Karena terhantam keterkejutan
luar biasa, Prajna
Singh meloncat mundur. Tapi,
Suropati berhasil
pula menyarangkan pukulan ke
dadanya, hingga
membuatnya jatuh berdebam ke
tanah dalam
keadaan telentang.
"He he he...!" tawa kekeh Pengemis Binal.
"Cepatlah bangun, Kek. Aku
khawatir tubuhmu
yang bau itu akan dikerumuni
semut!"
"Keparat..! Huk! Huk!"
umpatan Prajna
Singh dihentikan oleh batuk.
Darah kental meng-
genang di rongga mulutnya. Saat
bangkit, kakek
yang sebenarnya seorang
bangsawan dari tanah
India ini terperangah.
"Tanganku...! Tanganku...!"
pekiknya berulang kali sambil
berusaha mengge-
rakkan kedua pergelangan
tangannya. Tapi, tan-
gan yang telah terkena sebagian
kekuatan dari
ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' itu su-
dah tak dapat digerakkan lagi.
Kaku-kejang se-
perti batang kayu kering!
"Jalan darah besar di
lipatan sikumu telah
hancur, Kek!" beri tahu
Pengemis Binal. "Hanya
dengan perawatan yang tekun dan
memakan
waktu paling cepat setahun, kau
akan dapat me-
normalkan lagi kerja tanganmu.
Tapi, kau tak
mungkin dapat mempergunakan lagi
ilmu kejam
yang kau sebut sebagai ilmu
'Lima Jari Pencabut
Jiwa'!"
Mendengar penuturan Pengemis
Binal, pu-
cat pasilah wajah Prajna Singh.
Ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa' dipelajarinya
selama dua puluh
tahun. Dan untuk
menyempurnakannya, dia te-
lah membunuh bayi tak berdosa
ratusan jumlah-
nya. Kalau sekarang ilmu itu
musnah, maka be-
tapa kecewa hati Prajna Singh.
Tak malu-malu la-
gi dia berjingkrak-jingkrak
karena kerja otaknya
tiba-tiba jadi terganggu.
"Bangsat! Keparat!
Bedebah!" makinya
sambil terus
berjingkrak-jingkrak.
"Pergilah!" bentak
Suropati.
"Apa?! Kau menyuruh aku
pergi? Ha ha
ha...! Lucu... lucu sekali kau
ini, Bocah Gem-
blung!" ujar Prajna Singh
sambil menatap tajam
wajah Suropati. "Kau baru
saja mencelakakanku.
Kau menyuruh aku pergi. Alangkah
lucunya hal
ini. Hanya orang gila yang mau
melakukannya.
Tapi, aku mau pergi asal telah
kupecahkan dulu
batok kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Prajna
Singh mem-
buat tendangan melingkar. Namun,
mudah saja
Pengemis Binal menghindar. Hanya
dengan me-
runduk sedikit, kepalanya
terlepas dari sasaran
tendangan Prajna Singh.
"Pergilah!" ujar
Pengemis Binal sekali lagi.
"Ya! Ya, aku akan
pergi...," sahut Prajna
Singh. "Aku segera pergi ke
alam baka, tapi harus
bersamamu!"
Karena tak mungkin dapat
membalas sakit
hatinya, Prajna Singh bermaksud
mengajak Suro-
pati mati bersama-sama. Dia
tubruk Suropati
dengan maksud untuk mengadu
kepala!
Prakkk...!
"Argh...!"
Suropati yang dapat membaca
maksud
Prajna Singh, membentengi
kepalanya dengan se-
luruh kekuatan tenaga dalamnya.
Prajna Singh
yang sudah tak dapat menyalurkan
tenaga dalam
dengan sempurna menjerit
kesakitan. Tubuhnya
kembali jatuh berdebam ke tanah.
Masih untung
kepalanya tidak pecah. Namun,
karena sudah ge-
lap mata, dia meloncat bangkit
hendak mengu-
langi lagi perbuatannya. Tapi
dia hanya mampu
berdiri satu kejap mata.
Tubuhnya jatuh lagi ke
tanah. Pingsan!
"Kita lanjutkan
perjalanan!" ujar Suropati
seraya menghampiri kudanya, dan
memacunya ke
arah Pendapa Kadipaten
Bumiraksa.
Kusuma dan Puspita saling
pandang seje-
nak. Kedua gadis ini segera
memacu kuda mas-
ing-masing. Hanya desau angin
dan suara bina-
tang malam yang menemani mimpi
buruk Prajna
Singh....
Terik sinar mentari yang
memayung tepat
di atas kepala terasa menyengat
kulit. Hembusan
angin tak mampu meredakan
sengatannya. Pa-
nas! Hingga, peluh Kusuma dan
Puspita yang du-
duk di punggung kuda coklat
tampak berlelehan.
Suropati pun demikian. Namun,
mereka tak pe-
duli pada hawa panas yang
laksana membakar.
Mereka memacu kuda dengan cepat
untuk men-
gejar waktu demi keselamatan
Arya Wirapaksi
yang tengah terbaring tiada daya
di Pendapa Ka-
dipaten Bumiraksa.
Mendadak, hawa panas terusir
karena an-
gin kencang berhembus. Hembusan
angin ken-
cang itu bukan saja mengusir
hawa panas, tapi
juga sanggup mengejutkan kuda
Suropati yang
melaju di depan. Dibarengi
ringkikan panjang,
kuda Suropati yang menghentikan
langkah ka-
kinya. Kuda yang ditunggangi
Kusuma dan Puspi-
ta juga berlaku serupa.
Sementara, hembusan
angin bertambah kencang, bertiup
dari arah de-
pan. Hingga, Suropati dan kedua
temannya mera-
sakan wajah mereka bagai
ditampar-tampar.
"Hmm.....Hembusan angin ini
tidak wa-
jar...," pikir Pengemis
Binal. "Jauh di depan sana
tentu ada manusia usil yang
sengaja memamer-
kan kepandaian. "
Wajah Pengemis Binal dan Puspita
terlihat
tegang. Mereka sama-sama
mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tak
terlontar oleh hem-
busan angin yang semakin lama
semakin ken-
cang. Sementara, kuda kedua
tokoh muda itu
tampak terseret ke belakang.
Cepat Suropati dan
Puspita menahannya. Berbeda
benar dengan Ku-
suma. Gadis cantik itu tampak
menyungging se-
nyum manis di bibir.
"Tak perlu main-main,
Saka!" teriak Kusu-
ma dengan perasaan girang.
"Tampakkan dirimu.
Jangan membuat kedua sahabatmu
jadi penasa-
ran!"
Seperti kedatangannya, hembusan
angin
kencang itu lenyap secara
mendadak. Tentu saja
Suropati dan Puspita terkesima.
Mereka menatap
wajah Kusuma lekat-lekat.
"Siapa yang baru saja
berbuat usil, Kusu-
ma?" tanya Pengemis Binal.
"Kau akan segera tahu,
Suro," jawab Putri
Racun, cepat.
Suropati terkesiap ketika
telinganya me-
nangkap suara tawa
meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Suropati yang
gagah perkasa!
Hari ini kita berjumpa lagi.
Namun, aku mesti
berpikir seribu kali untuk
melanjutkan urusan
lama kita. Aku yang bodoh ini
merasa bersalah.
Dan, dengan penuh kerendahan
hati aku memin-
ta kata maaf. Namun, terus terang
jauh di dasar
lubuk hatiku tersimpan keinginan
untuk menjajal
kepandaianmu. Apakah kau
bersedia melaya-
ninya, Suro?"
"Saka Purdianta...!"
kejut Pengemis Binal
melihat kehadiran seorang pemuda
tampan ber-
pakaian coklat bergaris-garis
hitam.
"Ya! Penglihatanmu tak
salah, Suro! Aku
memang Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur.
Bagaimana? Apakah kau bersedia
melayani tan-
tanganku hari ini?"
"Saka!" teriak Kusuma
tiba-tiba. "Jangan
main-main! Aku tak suka
perbuatanmu ini!"
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta
tertawa ber-
gelak melihat Putri Racun
menghampirinya. "Ke-
kasihku, jangan kau khawatirkan
keselamatanku.
Aku yakin akan dapat mengimbangi
kesaktian
Pengemis Binal!"
"Tidak! Ini bukan saatnya untuk main-
main!"
Saka Purdianta tertawa bergelak
lagi. Lalu,
disambarnya tubuh Putri Racun,
dan dihadiah-
kan ciuman mesra di keningnya.
Melihat adegan itu, tentu saja
Suropati ter-
kejut. Bagaimana mungkin Saka
Purdianta bisa
menghadiahkan ciuman tanpa
ditolak oleh Ku-
suma?
"Jangan-jangan Kusuma telah
termakan ti-
pu muslihat Saka
Purdianta?" pikir Pengemis Bi-
nal, merasa curiga. Karena,
setahunya Saka Pur-
dianta adalah pemuda licik.
Suropati bertambah heran tatkala
Kusuma
dan Saka Purdianta
menghampirinya sambil ber-
gandengan tangan.
"Kalian... kalian...,"
ujar Pengemis Binal ge-
lagapan, seperti tak percaya
pada penglihatannya
sendiri.
"Sudah kukatakan kepadamu,
aku meno-
lak pinangan Gayat Ngalim karena
aku sudah
mempunyai kekasih, Suro. Saka
Purdianta inilah
kekasihku."
Perkataan Putri Racun yang
disampaikan
dengan rasa bangga membuat
Pengemis Binal me-
longo. "Tahukah kau,
Kusuma, bila... bila...,"
ucapannya tetap gelagapan.
Remaja konyol ini
hendak mengatakan sifat-sifat
buruk Saka Pur-
dianta, tapi tak sampai hati.
Karena, Putri Racun
tampak sudah begitu lengket.
"Ha ha ha...!" Saka
Purdianta tertawa ber-
gelak. "Lupakan tantanganku
barusan, Suro! Aku
cuma bercanda. Aku ingin menjadi
sahabatmu,"
Saka Purdianta menyodorkan
tangan ka-
nannya. Mau tak mau Suropati
mesti menyam-
butnya. Begitu telapak tangan
dua tokoh muda
ini bersalaman, terdengar suara
gemeretak seperti
ranting patah. Kusuma dan
Puspita terkejut. Te-
lapak tangan Saka Purdianta dan
Suropati yang
saling menempel erat mengepulkan
asap putih
yang memendarkan hawa panas.
Rupanya mere-
ka tengah mengadu kekuatan.
Diam-diam Suropati terperanjat.
Telapak
tangan kanannya terasa bagai
terjepit balok baja
yang amat kuat. Walau remaja
konyol ini telah
menambah kekuatan tenaga
dalamnya hingga
sampai ke puncaknya, rasa sakit tetap mendera
telapak tangan kanannya.
Nyatalah bahwa tenaga
dalam Saka Purdianta lebih
unggul.
Tenaga dalam Saka Purdianta
memang te-
lah berlipat ganda sejak pemuda
ini minum darah
Prajna Singh beberapa hari yang
lalu. Namun, dia
tak menyadari kalau tenaga
dalamnya lebih un-
ggul. Walau merasa kesakitan,
tapi bibir Suropati
menyungging senyum. Senyum
inilah yang mem-
buat Saka Purdianta tertipu.
"Ha ha ha...!" Saka
Purdianta tertawa ber-
gelak lagi seraya menarik telapak
tangan kanan-
nya. "Hebat.. kau hebat
sekali, Suro," pujinya
dengan sungguh-sungguh.
"Aku akan bangga se-
kali bila menjadi sahabat
seorang tokoh muda
sakti sepertimu."
Suropati menggaruk kepalanya
yang tak
gatal ketika Saka Purdianta
membungkuk dalam
ke arahnya.
"Lupakan masa lalu kita,
Suro. Aku me-
nyesal dengan perbuatanku dahulu
yang selalu
memusuhimu...," ujar Saka
Purdianta, penuh ke-
rendahan hati.
"Sungguhkah kau telah sadar
untuk men-
jadi manusia yang menjunjung
tinggi nilai kebe-
naran dan keadilan?" tanya
Suropati sedikit ragu.
Tapi, di lubuk hatinya tersimpan
rasa lega. Rema-
ja konyol ini tak dapat
membayangkan apa yang
terjadi di rimba persilatan
seandainya Saka Pur-
dianta yang begitu tinggi
ilmunya tetap menjadi
orang jahat
"Kematian ayahkulah yang
membuka mata
hatiku. Baginda Prabu Singgalang
Manjunjung
Langit berkenan mengangkatku
sebagai Tumeng-
gung Lemah Abang menggantikan
ayahku sendiri,
walau beliau tahu bila ayahku
adalah seorang
pengkhianat," tutur Saka
Purdianta.
"Itu karena kau ikut
berjasa dalam usaha
memadamkan api pemberontakan
yang disulut
oleh I Halu Rakryan
Subandira," sahut Suropati.
(Baca serial Pengemis Binal
dalam episode :
"Pemberontakan
Subandira").
"Untuk menjadi seorang
tumenggung yang
memimpin orang banyak tentu saja
aku membu-
tuhkan seorang pendamping. Lalu,
aku ingat seo-
rang gadis cantik yang dulu
pernah kutemui dan
pernah memberi pelajaran
kepadaku. Karena ke-
sombongan dan kecongkakanku,
waktu itu aku
menjajal ilmu kesaktiannya.
Namun, aku malah
ketemu batunya. Aku kalah dan
hampir mati ka-
lau saja aku tidak membawa Kitab
Selaksa Dewa
Turun ke Bumi yang mempunyai
khasiat pe-
nyembuhan luar biasa. Gadis itu
adalah Kusu-
ma...," Saka Purdianta
melirik wajah Putri Racun.
Disunggingnya senyum manis.
"Kusuma bersedia
menjadi istriku asal aku mau
berjanji untuk men-
jadi orang baik-baik sampai
badan tiada bernya-
wa. Aku yang telah menyadari
semua perbuatan
jahatku, langsung saja
menyetujui permintaan-
nya. Maka kau tak perlu
khawatir, Suropati. Aku
bukanlah Saka Purdianta yang
dulu pernah kau
kenal..."
Suropati menggangguk-angguk mendengar
penuturan Saka Purdianta.
Digaruknya lagi kepa-
lanya yang tak gatal. Sementara,
Saka Purdianta
meraih bahu Putri Racun, lalu
mereka berciuman.
"Sontoloyo!" desis
Suropati melihat adegan
mesra yang berlangsung di
hadapannya.
Puspita terkejut ketika tiba-tiba Suropati
memeluknya dengan erat, dan
mendaratkan ci-
uman di bibirnya.
"Uh! Apa-apaan kau,
Suro!" hardik Puspita
dengan galak.
"He he he...,"
Suropati tertawa terkekeh-
kekeh. "Saka Purdianta dan
Kusuma saling berci-
uman. Apakah kau tidak ingin
seperti mereka?"
"Tidak!" bentak
Puspita semakin galak.
Suropati melihat wajah Puspita
merah-
padam. Remaja konyol ini
menggaruk kepalanya
lagi sambil cengar-cengir.
"Kita lanjutkan perjalanan
sekarang...,"
ajak Kusuma tiba-tiba. Saka
Purdianta yang ber-
diri di sisi kirinya cuma
senyum-senyum melihat
kebiasaan Pengemis Binal.
"Ya! Secepatnya kita ke
Pendapa Kadipaten
Bumiraksa!" sahut Puspita.
Kusuma melirik Saka Purdianta.
"Kau ten-
tu bersedia ikut, Saka. Setelah
aku menolong
Arya Wirapaksi, aku akan meminta
bantuan-
mu...."
"Ya!" sahut Dewa Guntur,
cepat. Pemuda
ini memang telah tahu bila
Kusuma terperangkap
dalam masalah sulit.
***
Pendapa Kadipaten Bumiraksa....
Di sebuah kamar cukup luas,
tubuh Arya
Wirapaksi terbaring lemah tiada
daya. Wajahnya
pucat-pasi seperti mayat.
Kelopak mata dan bi-
birnya terkatup rapat.
Sementara, Putri Racun
tampak memeriksa keadaan putra
Prabu Arya
Dewantara itu. Tak jauh dari
pembaringan terli-
hat Suropati, Saka Purdianta,
Puspita, si Wajah
Merah, Dewi Ikata, Adipati
Danubraja, dan Adipa-
ti Barasangga.
"Bagaimana, Kusuma?"
tanya Suropati se-
telah Putri Racun cukup lama
memeriksa kea-
daan Arya Wirapaksi.
"Ramuan obat-obatan saja
tak akan dapat
menolong jiwa Arya
Wirapaksi...," beri tahu Ku-
suma dengan suara lirih.
"Aku membutuhkan seseorang
yang mem-
punyai kekuatan tenaga dalam
luar biasa. Racun
dalam otak Arya Wirapaksi hanya
dapat dikelua-
rkan lewat dorongan tenaga
dalam."
"Aku bersedia
membantumu," tawar Pen-
gemis Binal, sungguh-sungguh.
Putri Racun menatap lekat wajah
Suropati.
Gadis cantik ini lalu
menggeleng. "Tak mungkin,
Suro...," desisnya.
"Kenapa? Kenapa tak
mungkin?" tanya Su-
ropati dengan kening berkerut.
"Racun dalam otak Arya
Wirapaksi me-
mang dapat dikeluarkan dengan
dorongan tenaga
dalam. Tapi, otaknya akan ikut
tercuci. Arya Wi-
rapaksi tak akan mempunyai
keinginan membu-
nuh lagi. Tapi, dia akan lupa
pada keadaan seke-
lilingnya, termasuk dirinya
sendiri. Mengingat
nama sendiri pun dia tak akan
mampu. Karena,
otaknya ikut tercuci"
Semua yang mendengar penjelasan
Putri
Racun terkejut. Tak terkecuali
si Wajah Merah
yang sudah cukup terkenal
sebagai seorang tabib
pandai.
"Arya Wirapaksi dapat
disembuhkan seper-
ti sediakala, tapi membutuhkan
pengorbanan...,"
lanjut Putri Racun.
"Pengorbanan apa? Aku juga
bersedia?"
sahut Pengemis Binal.
Putri Racun tersenyum tipis,
lalu mengge-
leng. "Tugasmu sebagai
seorang pendekar yang
memimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
masih banyak, Suro."
"Apa maksudmu,
Kusuma?" tanya Suropa-
ti, semakin penasaran.
"Bila kau membantuku untuk
menyem-
buhkan Arya Wirapaksi seperti
sediakala, seba-
gian tenaga dalammu akan
terhisap. Itu berarti
ilmu kesaktianmu akan
berkurang...."
Selagi Pengemis Binal
garuk-garuk kepala,
Saka Purdianta menepuk bahu
Putri Racun se-
raya berkata, "Aku bersedia
membantumu, Keka-
sihku...."
Putri Racun menatap lekat wajah Saka
Purdianta. Gadis ini seperti tak
mempercayai
ucapan si Dewa Guntur.
"Beberapa hari yang lalu,
aku minum da-
rah seorang pelarian dari tanah
India yang ber-
nama Prajna Singh...."
"Prajna Singh? Kakek
tinggi-besar yang pe-
nuh bulu itu?" sela Putri
Racun.
"Rupanya kau telah
mengenalnya, Prajna
Singh memang bertubuh
tinggi-besar dan berbulu
lebat. Aku minum darahnya tanpa
sengaja. Waktu
itu aku tengah mengintai Prajna
Singh yang se-
dang bertempur dengan
Prabandari, seorang ne-
nek tua-renta bekas istrinya.
Prabandari mati,
namun Prajna Singh terkena
sambitan kapak be-
racun," cerita Saka
Purdianta. "Selagi Prajna
Singh berusaha menghilangkan
racun dalam tu-
buhnya, aku keluar dari
persembunyianku. Tak
dapat kupungkiri bila aku ingin
memiliki kitab
yang tiba-tiba meloncat keluar
dari saku baju
Prajna Singh. Namun, kakek sakti
itu melihat ke-
lebatan tubuhku. Serta-merta dia mengibaskan
tangannya. Mendadak, pandanganku jadi gelap
ketika segumpal darah masuk ke
mulutku. Aneh-
nya, setelah aku siuman, aku
merasakan tenaga
dalamku menjadi berlipat ganda.
Karena itulah
aku bersedia mengorbankan
sebagian tenaga da-
lamku, Kusuma. Demi sang putra
mahkota Arya
Wirapaksi. Demi kau pula,
Kekasihku. Biar kau
bertambah yakin bila aku telah
menjadi orang
baik-baik kini...."
Putri Racun terkesima mendengar
ucapan
si Dewa Guntur. Dipeluknya
pemuda itu dengan
erat. Rasa haru merebak di dalam
dadanya.
Sebentar kemudian, tubuh Arya
Wirapaksi
yang terbaring lemah telah duduk
tegak di pem-
baringan. Kusuma menempelkan
kedua telapak
tangannya ke dahi putra Prabu
Arya Dewantara
itu. Sementara, kedua telapak
tangan Saka Pur-
dianta menempel di belakang
kepalanya.
Peluh membanjiri wajah Putri
Racun yang
cantik jelita. Saka Purdianta
pun bermandi kerin-
gat. Tubuh pemuda itu tampak
bergetar hebat ka-
rena tenaga dalamnya terhisap!
Semua yang menyaksikan usaha
penyem-
buhan itu mengambil napas lega
saat Putri Racun
berkata, "Cukup!"
Saka Purdianta bernapas lega
juga karena
tidak begitu banyak tenaga
dalamnya yang terhi-
sap. Dengan dibantu Putri Racun,
dia lalu mem-
baringkan tubuh Arya Wirapaksi
lagi.
"Sepekan kemudian, Arya
Wirapaksi boleh
kembali ke istana. Dia butuh
waktu untuk men-
gumpulkan kekuatannya
kembali," beri tahu Putri
Racun seraya turun dari
pembaringan.
Selagi semua orang terbawa dalam
suasana
gembira, Pengemis Binal tampak
celingukan.
"Siapa yang kau cari,
Suro?" tanya Dewi
Ikata atau Pendekar Wanita Gila,
putri tunggal
Adipati Danubraja atau cucu
Adipati Barasangga.
"Intan Melati. Aku tak
melihat Intan Melati.
Di mana gadis itu?"
"Kemarin dia dijemput oleh
ayahnya," beri
tahu Dewi Ikata.
"Rama Ludira?"
"Huh! Kenapa kau tampak
begitu memper-
hatikan gadis itu, Suro?"
rungut Dewi Ikata.
"Ah, tidak! Aku hanya
bertanya saja. Kalau
dia sudah dijemput ayahnya,
syukurlah.... Kau
jangan cemburu, Ika. Kau tahu
hatiku ada di ma-
na?"
Dewi Ikata yang mengerti maksud
ucapan
Pengemis Binal tersenyum senang.
Gadis ini lalu
menghambur. Dipeluknya tubuh
Pengemis Binal
dengan erat tanpa malu bila
banyak orang berada
di sekitarnya.
Sewaktu semua orang tertawa
melihat Dewi
Ikata menciumi pipi Pengemis
Binal, Puspita me-
nundukkan kepala. Terbersit rasa
sedih di ha-
tinya. Gadis ini semakin tahu
cintanya pada Su-
ropati tak akan terbalaskan.
Namun, bayangan
Kapi Anggara atau Pendekar
Asmara tiba-tiba
berkelebat di benaknya.
"Pemuda itu mencintai-
ku. Aku tak akan menyia-nyiakan
cintanya. Ku-
pikir dia juga bisa menjadi
suami yang baik...,"
katanya dalam hati.
Mendadak, seorang prajurit
penjaga datang
untuk menghadap Adipati
Danubraja. Kedatan-
gan lelaki itu seperti membawa sebuah berita
penting.
"Ada apa, Prajurit?"
tanya sang adipati,
berwibawa.
"Seorang lelaki berkuda
datang ke penda-
pa. Dia mengaku sebagai utusan
Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit Raja
Pasir Luhur," tutur
prajurit
"Tujuannya?"
"Dia mencari Saka Purdianta
yang bergelar
Dewa Guntur. Ada sesuatu yang
harus segera di-
sampaikan."
Usai si prajurit memberi
laporan, Adipati
Danubraja mengarahkan pandangan
ke Saka
Purdianta yang berdiri tak jauh
darinya. "Segera
temui utusan itu...,"
ujarnya.
"Terima kasih, Gusti
Adipati...," Saka Pur-
dianta membungkuk hormat
kemudian keluar
ruangan.
Di pintu gerbang pendapa, Saka
Purdianta
menjumpai seorang lelaki
setengah baya yang
berdiri di sisi kuda putih. Saka
Purdianta menge-
nalnya sebagai salah seorang
kepercayaan Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Lelaki setengah
baya itu sering diutus ke
Katumenggungan Le-
mah Abang semasa ayah Saka
Purdianta, Tu-
menggung Sangga Percona, masih
hidup.
"Kau mencariku,
Gambang?" tanya Saka
Purdianta.
Gambang mengangguk. Tanpa
berkata apa-
apa dia mengeluarkan gulungan
kertas kecil dari
saku dalam jubah yang
dikenakannya. Gulungan
kertas itu lalu disodorkan
kepada Saka Purdianta.
Saka Purdianta,
Saat ini warga Katumenggungan
Lemah
Abang membutuhkan seorang
pemimpin yang be-
nar-benar dapat bertindak
sebagai pemimpin. Se-
peninggal ayahmu, Patih Bayu
Ardi yang sudah
lanjut usia tak dapat
menjalankan tampuk pimpi-
nan di katumenggungan dengan
baik. Maka dari
itu, segeralah kau jalankan
tugasmu sebagai seo-
rang tumenggung. Jangan
kecewakan warga Ka-
tumenggungan Lemah Abang.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit
Usai membaca tulisan di atas
kertas, ken-
ing Saka Purdianta berkerut.
Ditariknya napas
panjang, lalu dihembuskannya
kuat-kuat. Pemu-
da tampan ini terkejut ketika
seseorang menepuk
bahunya.
"Wajahmu terlihat muram.
Ada apa, Saka?"
tanya Suropati yang datang
menyusul.
Saka Purdianta menatap wajah
Pengemis
Binal, lalu bibirnya bergetar.
"Hari ini juga aku
harus ke Katumenggungan Lemah
Abang."
"Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang
memerintahkanmu?"
"Ya."
"Bagaimana dengan Kusuma?
Kalian baru
berjumpa, masa harus berpisah
lagi? Kau tahu
bila Kusuma sedang menghadapi
masalah sulit?
Dia dituduh membunuh seorang punggawa
Kadi-
paten Tanah Loh yang bernama
Danang Burgun-
di."
"Aku sudah tahu. Aku
menemui dia sebe-
narnya untuk membantu mengatasi
masalahnya
itu. Tapi, sekarang aku tak
punya waktu lagi. Aku
percaya kepadamu, Suro. Aku
yakin bila kau
akan menolong Kusuma."
Di ujung kalimatnya, Saka
Purdianta
membalikkan badan, lalu
berkelebat lenyap. Su-
ropati cuma dapat
menggeleng-geleng kepala.
Remaja konyol ini terkesiap
ketika telinganya me-
nangkap pesan Saka Purdianta
yang dikirim me-
lalui bisikan jarak jauh.
"Setelah urusan Kusuma
dapat diselesai-
kan, suruh dia datang ke
Katumenggungan Le-
mah Abang. Aku akan menyiapkan
upacara per-
nikahanku dengannya. Bila ada
waktu, datanglah
di hari yang paling
membahagiakan dalam hi-
dupku itu, Suro."
Suropati mengangguk-angguk. "Semoga
keinginanmu itu terlaksana,
Saka...," doanya.
6
Gayat Ngalim adalah seorang
pemuda be-
rumur dua puluh delapan tahun.
Tubuhnya tinggi
tegap dan berdada bidang.
Wajahnya cukup tam-
pan. Hanya yang tampak aneh,
bulu alisnya ber-
warna putih. Seluruh anggota
Partai Alis Putih
memang memiliki ciri demikian.
Tak terkecuali
Gayat Ngalim yang diangkat
menjadi ketua.
Pemuda yang beberapa waktu lalu
menge-
nali penyamaran Putri Racun di Kedai
Melati itu
kini tampak berdiri
mondar-mandir di sebuah
ruangan lebar di sarang Partai
Alis Putih. Hatinya
sedang galau. Ada sesuatu yang
tak mengenak-
kan pikirannya.
"Kusuma...," desisnya
seraya menghenti-
kan langkah kakinya yang hampir
kesemutan ka-
rena terlalu lama dibuat
mondar-mandir. "Kau ki-
ra menolak cinta Gayat Ngalim
tak akan menim-
bulkan masalah. Kau keliru,
Kusuma. Andai tem-
po hari kau terima pinanganku,
kau tak akan
mendapat susah. Prajurit
kadipaten dan beberapa
tokoh sakti rimba persilatan tak
akan mencari-
cari dirimu. Tapi, sesungguhnya
aku merasa ka-
sihan padamu, Kusuma...."
Mata Gayat Ngalim menerawang.
Tatapan-
nya kosong. Mendadak, pemuda
berpakaian serba
putih ini menggeram. Suara cicak
di dinding
membuat sakit gendang telinganya. Dia merasa
diejek. Kontan amarah Gayat
Ngalim meledak.
Dipelototinya cicak di dinding
yang berada dua
depa dari hadapannya.
"Pergilah ke neraka,
Bangsat!" umpat Gayat
Ngalim seraya meludah.
"Cuah!"
Gumpalan air ludah meluncur
cepat, me-
nerpa tubuh cicak yang
sebenarnya tak berdosa
apa-apa. Akibatnya cukup
mengejutkan. Bukan
saja tubuh cicak yang lumat,
tapi dinding tempat
rayapannya tampak berlubang dan
mengepulkan
asap putih.
"Kusuma...," desis
Gayat Ngalim sambil
mendekap wajahnya yang mengelam.
Berulang kali Gayat Ngalim
menyebut na-
ma kecil Putri Racun. Rasa
hatinya yang tak ka-
ruan membuat kewaspadaannya
berkurang.
Hingga tanpa disadarinya,
seorang gadis berpa-
kaian pelayan telah berdiri di
belakangnya. Un-
tunglah gadis itu tidak
bermaksud jahat. Dia da-
tang untuk mengantarkan baki
yang di atasnya
terdapat segelas arak merah.
"Arak yang Tuan inginkan
telah siap...,"
ujar gadis pelayan.
Gayat Ngalim terkejut. Tapi
melihat yang
datang adalah orang suruhannya,
cepat ditepis-
nya perasaannya yang hendak
marah. Dikem-
bangkannya senyum lebar, lalu
menyambut arak
pemberian gadis pelayan.
"Nikmat sekali,
Dara...," desis Gayat Ngalim
usai menenggak araknya hingga
tandas.
"Saya mohon diri,
Tuan..." ujar gadis pe-
layan setelah Gayat Ngalim
meletakkan gelas arak
ke atas baki yang dibawanya.
"Eit! Tunggu dulu!"
cegah Gayat Ngalim.
Matanya menatap tajam wajah
gadis pelayan ber-
nama Dara.
"Ada apa lagi, Tuan?"
tanya Dara. Gadis ini
merasa tak enak menerima tatapan
mata Gayat
Ngalim yang sepertinya menyimpan
maksud ter-
sembunyi.
"Hmmm.... Kau cukup cantik,
Dara," puji
Gayat Ngalim sambil melempar
kerlingan mata.
Hati Dara semakin tak enak.
Gadis ini tahu
makna kerlingan tuannya. Sambil
menunduk,
mulutnya berucap, "Saya
hanya gadis biasa,
Tuan. Tuan tak perlu memuji.
Kalau tak ada tu-
gas lagi, izinkan saya
meninggalkan tempat..."
"Uts! Jangan
tergesa-gesa!" cegah Gayat
Ngalim lagi. "Aku ingin
menceritakan sesuatu ke-
padamu, Dara...."
"Itu tidak perlu, Tuan.
Saya takut tidak bi-
sa menyimpan rahasia."
"Apa yang akan kuceritakan
bukan sesuatu
yang rahasia, Dara. Hanya suatu
hal yang ba-
rangkali saja ada gunanya
bagimu."
Walau masih diliputi rasa tak
enak, Dara
menurut saja ketika Gayat Ngalim
membimbing-
nya memasuki ruangan yang lebih
kecil. Dengan
duduk di kursi saling
berhadapan, Gayat Ngalim
membuka ceritanya.
"Beberapa bulan yang lalu,
aku bertemu
dengan seorang gadis cantik,
Namanya, Kusuma
dan bergelar Putri Racun. Jelas
dia mempunyai
ilmu yang sangat tinggi. Maka,
tak segan aku un-
tuk meminta dia agar bersedia
menjadi istriku.
Namun, dia menolak. Katanya, dia
telah mempu-
nyai kekasih...," Gayat
Ngalim menarik napas
panjang. Ditatapnya wajah Dara
lekat-lekat "Da-
pat kau bayangkan betapa sakit
hatiku, Dara.
Seandainya dadaku disayat pedang
tajam, pedih-
nya tak akan dapat menyamai rasa
hatiku saat
ini...."
"Di kota ini, nama Tuan
cukup ternama.
Tuan juga seorang pemuda kaya.
Masih banyak
gadis cantik yang mau menjadi
istri Tuan. Lupa-
kan saja gadis yang bernama
Kusuma itu. Dengan
membuka pintu hati kepada gadis
lain, Tuan pas-
ti dapat menyembuhkan luka hati
Tuan...," tutur
Dara.
"Sungguh pandai kau
bertutur kata, Dara,"
puji Gayat Ngalim. "Terima
kasih atas nasihatmu.
Memang benar. Aku mesti membuka
pintu hatiku
untuk gadis lain...."
Gayat Ngalim meraih jemari
tangan Dara,
lalu dikecupnya dengan lembut
"Kau cukup can-
tik, Dara...," lanjut Gayat
Ngalim. "Bersediakah
kau menggantikan tempat Kusuma
di hatiku?"
"Tuan jangan mengajak
bercanda. Saya
hanya seorang gadis biasa yang
tak mempunyai
kepandaian apa-apa…," ujar
Dara sambil menarik
tangannya yang diremas oleh
Gayat Ngalim.
"Aku... aku ingin...,"
ujar Gayat Ngalim,
terputus-putus. Mendadak, mata
pemuda ini jela-
latan. Pandangannya tertuju pada
belahan kebaya
Dara yang terbuka, sehingga
memperlihatkan se-
bagian kulit dadanya yang
halus-mulus.
"Hari mulai larut malam.
Ijinkan saya mo-
hon diri, Tuan...," ujar
Dara. Gadis ini terkejut ke-
tika pandangannya membentur
penglihatan Gayat
Ngalim yang memelototi belahan
kebayanya. "Ke-
napa Tuan melihatku seperti ini?
Saya mohon diri
sekarang...."
Gayat Ngalim menyambar tangan
Dara
yang hendak beranjak dari tempat
duduknya.
"Malam ini aku membutuhkan
dirimu, Dara...,''
dengan napas menderu.
"Apa maksud Tuan?!"
sentak Dara, merasa
tersinggung akan ucapan Gayat
Ngalim.
"Hmmm.... Kau memang
cantik, Dara. Aku
baru menyadari kecantikanmu saat
sekarang.
Malam ini kau temani aku. Harus!
Kau tidak bo-
leh menolak!"
"Tidak Tuan!" tolak
Dara, tegas. "Bukankah
Tuan sudah tahu bila beberapa
pekan yang lalu
saya telah menikah. Saya bekerja
di sini hanya
untuk melunasi hutang orang tua
saya. Tuan ti-
dak berhak berbuat semau hati
Tuan terhadap
saya!"
"Sungguh berani ucapanmu
itu, Dara!"
bentak Gayat Ngalim.
"Tidakkah kau tahu aku ini
siapa?! Aku bisa membunuhmu
tanpa menyentuh
tubuhmu terlebih dahulu!"
Usai berkata, Gayat Ngalim
menggelengkan
kepalanya ke kanan. Gelengan
kepala yang diser-
tai kekuatan tenaga dalam ini
menimbulkan
hembusan angin kencang. Beberapa
cicak yang
merayap di dinding kontan jatuh
ke lantai dan tak
berkutik lagi. Mati!
Terkesiap Dara melihat kesaktian
tuannya.
Tapi, gadis ini sama sekali
tidak menjadi takut,
malah dipelototinya wajah Gayat
Ngalim. "Kalau
mau bunuh, silakan! Tapi, Tuan
tak akan lepas
dari pengadilan Gusti
Adipati!" ujarnya dengan
berani.
"Ha ha ha...!" Gayat
Ngalim tertawa berge-
rak. "Tahu apa kau tentang
pengadilan?! Adipati
Barasangga tak berada di
pendapa. Dia ada uru-
san dengan menantunya di
Kadipaten Bumirak-
sa."
"Tapi bila Tuan tetap
hendak berbuat jahat
terhadap saya, pada saatnya
nanti barang busuk
akan tercium juga baunya!"
"Tak perlu banyak cakap
lagi, Dara! Segera
pergi ke kamarku!"
"Cih! Saya bukan perempuan
jalang! Nyata-
lah bila Gayat Ngalim Ketua
Partai Alis Putih
mempunyai sifat buruk!"
cela Dara, semakin be-
rani. "Kau telah menjerat
ayahku dengan hutang
berbunga tinggi! Dan, kini kau
pun hendak mem-
permainkan diriku. Dasar lelaki
jahanam!"
Dara mundur beberapa langkah,
lalu
membalikkan badan hendak
meninggalkan Gayat
Ngalim.
"Tidak mudah menolak
keinginan Gayat
Ngalim!"
Sebelum langkah kaki Dara
mencapai pin-
tu, Gayat Ngalim meloncat seraya
menjambret
kain kebaya Dara. Gayat Ngalim
tertawa bergelak
sambil memegang sobekan kain
kebaya Dara.
Sementara, Dara memekik karena
terkejut. Meli-
hat kulit bahunya terbuka, dia
segera mengang-
kat kaki untuk berlari. Tapi,
gerakan Gayat Nga-
lim lebih cepat. Kain baju Dara
robek lagi. Karena
tarikan Gayat Ngalim cukup kuat,
tubuh Dara
kali ini sampai terpelanting ke
kanan. Untung dia
masih dapat menjaga keseimbangan
tubuhnya,
sehingga tidak sampai jatuh
tersungkur.
"Hmmm.... Kulitmu cukup
mulus, Dara.
Mungkin tak kalah mulus bila
dibanding dengan
kulit Kusuma...," ujar
Gayat Ngalim dengan pan-
dangan menyala-nyala karena
desakan hawa naf-
sunya.
Sementara, Dara yang tadi
memperlihatkan
keberaniannya telah menjadi
sangat ketakutan.
Dia duduk meringkuk di sudut
ruangan sambil
mendekap dadanya yang terbuka.
Gadis ini bisa
membayangkan apa yang akan
diperbuat Gayat
Ngalim kepada dirinya. Maka,
cepat dia kumpul-
kan lagi seluruh keberaniannya.
Dipelototinya lagi
Gayat Ngalim.
"Jahanam! Aku sudah punya
suami! Jan-
gan berlaku kurang ajar!"
hardik Dara.
Tapi, Gayat Ngalim malah tertawa
bergelak.
Sekali renggut tanggallah sisa
kain kebaya yang
dipakai Dara.
"Aku tuanmu. Kau harus
menuruti segala
yang kumau!" ujar Gayat
Ngalim sambil menjilati
kulit mulus Dara dengan
pandangan matanya.
"Tidak! Lebih baik mati
daripada menuruti
kemauan anjing buduk macam
kau!" pekik Dara.
Dengan sinar mata berkilat Dara
bangkit
dari duduknya. Lalu, mendorong
tubuhnya se-
kuat tenaganya. Maksudnya untuk
membentur-
kan kepalanya ke dinding hingga
pecah. Namun,
bukan permukaan dinding keras
yang terbentur
kepala Dara, melainkan telapak
tangan Gayat
Ngalim yang bisa membaca maksud
Dara untuk
bunuh diri.
"Kau boleh melakukan apa
saja termasuk
bunuh diri. Tapi, sebelumnya kau
harus melaya-
niku dulu...," ujar Gayat
Ngalim seraya memeluk
erat tubuh Dara, yang lalu
mendaratkan ciuman-
ciuman ganas.
"Jangan! Jangan!"
jerit Dara seraya meron-
ta-ronta sekuat tenaga. Tapi apa
daya, tenaga
Gayat Ngalim terlalu kuat untuk dapat dilawan
gadis lemah seperti dirinya.
Hanya lewat sentakan pelan,
tubuh Dara
jatuh telentang di lantai.
Tangan kanan Gayat
Ngalim berkelebat cepat.
Dirobeknya kain bawah
Dara. Untuk beberapa saat Gayat
Ngalim berdiri
terpaku di tempatnya. Jakunnya
naik-turun me-
lihat pemandangan indah yang
terpampang di
hadapannya.
"Ternyata kau cantik
sekali, Dara...," desis
Gayat Ngalim.
Bergegas Dara menggulingkan
tubuhnya ke
kiri ketika Gayat Ngalim
menerkamnya. Namun,
gerakannya kurang cepat. Bahunya
dapat dicekal.
Hingga, jatuhlah dia dalam
pelukan erat Gayat
Ngalim yang telah dikuasai nafsu
setan!
Dara tak mampu menjerit karena
bibirnya
dipagut kuat-kuat oleh Gayat
Ngalim. Jeritan Da-
ra baru terdengar ketika Gayat
Ngalim mengalih-
kan sasaran ciumannya.
Dengan dengus napas
memburu dia berusaha melepas
pakaiannya sen-
diri. Tapi, baru saja dia
membuka kancing ba-
junya, tiba-tiba.....
"Lelaki bejat…!"
Terdengar sebuah makian. Disusul
berke-
lebatnya sebuah bayangan yang
langsung beru-
saha mendaratkan tendangan ke
kepala Gayat
Ngalim!
Plak...!
Gayat Ngalim yang sudah dikuasai
nafsu
birahinya ternyata masih mampu
menepis seran-
gan dengan mengangkat telapak
tangan kanan-
nya. Kaki si penyerang seperti
membentur tembok
baja setebal satu depa. Namun,
si penyerang yang
ternyata Kusuma alias Putri Racun tak menjadi
terkejut. Dia sudah menduga akan
kehebatan la-
wan. Selagi Gayat Ngalim
meloncat berdiri, cepat
dia sambung lagi serangannya
dengan sebuah
pukulan mengarah ke dada!
"Kurang ajar!" geram
Gayat Ngalim sambil
mengegos tubuh ke kiri. Tahu
siapa yang menye-
rangnya, pemuda ini segera
meloncat jauh. "Ta-
han!" serunya.
Putri Racun tak melanjutkan lagi
seran-
gannya.
Gadis yang berpakaian ungu-hitam
ini sen-
gaja datang ke sarang Partai
Alis Putih bukan un-
tuk membunuh Gayat Ngalim, tapi
untuk me-
maksanya mengaku sebagai
penyebar fitnah atas
pembunuhan Danang Burgundi.
Gayat Ngalim terkesiap. Putri
Racun ter-
nyata tidak datang sendirian.
Suropati dan Puspi-
ta berdiri tegak di
kanan-kirinya. Gayat Ngalim
tak habis mengerti bagaimana
mereka bisa masuk
ke sarangnya tanpa diketahui
anak buahnya yang
melakukan penjagaan ketat?
Puspita segera melepas baju
luarnya. Dan,
diberikannya kepada Dara yang
terlihat menangis
sambil meringkuk memeluk lutut
"Pakailah. Dan, segeralah
pergi dari tempat
ini," ujar Puspita.
Dara segera mengenakan baju luar
pembe-
rian Puspita. Usai
membenarkan letak kain ba-
wahnya yang robek, dia berlari
cepat keluar ruan-
gan. "Terima kasih....
Terima kasih...," ucapnya
tanpa menolehkan kepala. Agaknya
rasa takut
begitu menggeluti jiwanya.
"Hmm.... Ada urusan apa kau
datang ke
tempat kediamanku, Kusuma?"
selidik Gayat Nga-
lim. "Kau datang bersama
dua temanmu, apakah
mereka sengaja kau ajak untuk
menjadi saksi
bersatunya cinta kita pada malam
hari ini?"
"Dua temanku memang akan
segera men-
jadi saksi. Mereka akan turut
mendengar penga-
kuanmu atas pembunuhan yang kau
lakukan ke-
pada Danang Burgundi!"
tukas Putri Racun.
"Ha ha ha...!" Gayat
Ngalim tertawa berge-
lak. "Sebenarnya aku hendak
marah karena kau
telah menggangguku, tapi melihat
wajahmu yang
cantik-jelita, amarahku lenyap
mendadak. Ha ha
ha...! Aku bisa membersihkan
nama baikmu, Ku-
suma. Asal kau bersedia menjadi
istriku!"
"Cih! Tak tahu malu!"
hardik Putri Racun
seperti orang jijik mendengar
perkataan Gayat
Ngalim.
Sementara, Suropati yang
mengenali Gayat
Ngalim sebagai lelaki yang tadi
sore datang ke Ke-
dai Melati dan menjatuhkan
tuduhan terhadap
Putri Racun, melangkah maju
setindak.
"Cinta tak dapat
dipaksakan...," ujarnya.
"Harap kau tahu itu. Kusuma
tak bersalah apa-
apa, kenapa kau menjatuhkan
fitnah keji kepa-
danya."
Gayat Ngalim menatap tajam wajah
Pen-
gemis Binal. "Aku tahu kau
Suropati Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti...," ucap-
nya bernada sinis. "Kau
katakan aku menjatuh-
kan fitnah terhadap Kusuma.
Apakah kau telah
berpikir sebelum mengatakan itu?
Tidak sadarkah
kau bila kau sendiri yang telah
menjatuhkan fit-
nah atas diriku?"
"Jangan bersilat lidah,
Ngalim!" hardik Su-
ropati.
"Ha ha ha...!" Gayat
Ngalim tertawa berge-
lak lagi. "Siapa yang
bersilat lidah, Suro? Kau tak
perlu membela orang yang
bersalah. Kusuma ada-
lah seorang perampok dan pembunuh.
Beberapa
anak buahku menjadi
saksinya!"
"Hmmm.... Begitukah?"
ujar Pengemis Bi-
nal. Otaknya segera diputar.
"Aku tak akan mem-
bela orang yang bersalah. Tapi,
aku belum yakin
bila Kusuma, sahabatku,
benar-benar seorang pe-
rampok dan pembunuh. Bisakah kau
menda-
tangkan beberapa anak buahmu
yang kau kata-
kan dapat menjadi
saksi?"
Gayat Ngalim tampak berpikir
sejenak.
"Baik. Aku akan
mendatangkan mereka. Setelah
kau mendengar kesaksian
mereka, kau dan te-
manmu yang menyandang pedang di
punggung
itu harus menyingkir dari tempat
ini dan jangan
mencampuri urusanku lagi!
Bagaimana?"
"Aku turuti tawaranmu. Aku
dan Puspita
akan pergi setelah aku mendapat
kepastian bila
Kusuma benar-benar seorang gadis
jahat."
Di ujung kalimat Pengemis Binal,
Gayat
Ngalim tersenyum tipis.
"Tunggulah sebentar...,"
katanya seraya melangkahkan
kaki, keluar ruan-
gan.
"Aku tak tahu apa
rencanamu, Suro...,"
ujar Kusuma setelah sosok Gayat
Ngalim menghi-
lang dari pandangan.
"Percayalah padaku, Kusuma.
Aku tak
akan mencelakakanmu...,"
bisik Pengemis Binal
di dekat telinga Putri Racun.
Putri Racun tak melanjutkan
pertanyaan-
nya lagi karena Gayat Ngalim
keburu muncul ber-
sama empat pemuda yang
kesemuanya berpa-
kaian serba putih, sama dengan
Gayat Ngalim ke-
tua mereka. Bulu alis mereka
juga berwarna pu-
tih.
"Palindung, kau wakili
ketiga temanmu un-
tuk mengatakan apa yang kau
ketahui tentang
peristiwa di tepi Hutan
Jalonggrang...," perintah
Gayat Ngalim kepada pemuda
berhidung pesek
yang berdiri di sisi kirinya.
Palindung menghirup udara
dalam-dalam,
lalu ucapnya dengan suara berat,
"Aku menyaksi-
kan sebuah perbuatan kejam. Aku
menyaksikan
sebuah perampokan berdarah.
Danang Burgundi
seorang punggawa kadipaten mati
terbunuh sete-
lah sekantung uang emasnya
dirampas...."
"Katakan siapa yang
melakukan perbuatan
kejam itu!" perintah Gayat
Ngalim dengan bibir
menyungging senyum kemenangan.
Palindung mengedarkan pandangan.
Dita-
tapnya wajah Gayat Ngalim sejenak.
Lalu, dita-
tapnya bergantian wajah Suropati
dan Puspita.
Ketika menatap wajah Kusuma, dia
langsung me-
nunjuk, "Gadis itulah yang
telah merampok dan
membunuh Danang Burgundi!"
Putri Racun kontan menggeram
marah
mendengar tuduhan yang ditujukan
kepadanya.
Gadis ini hendak meloncat untuk
menonjok mu-
lut Palindung, tapi Suropati
mencegahnya.
"Tahan perasaanmu,
Kusuma…!" bisik
Pengemis Binal, mempergunakan
ilmu memin-
dahkan suara.
"Ha ha ha...!" Gayat
Ngalim tertawa berge-
lak. "Kini kau telah
mendengar penuturan saksi
mata yang melihat dengan mata
kepala sendiri
bagaimana kejamnya Kusuma.
Sayang, gadis can-
tik tapi punya perilaku
buruk...."
"Aku belum yakin bila
Kusuma adalah pe-
laku perampokan dan pembunuhan
itu, Ngalim!"
tukas Pengemis Binal. "Tiga
orang pemuda yang
kau ajak kemari itu belum
mengatakan apa-apa."
Gayat Ngalim tersenyum tipis.
Matanya
melihat ketiga teman Palindung
satu persatu, lalu
katanya, "Benarkah apa yang
di..."
"Tunggu!" sergah
Pengemis Binal. "Aku
yang bertanya kepada
mereka!"
Gayat Ngalim mendengus gusar.
"Baik-
lah.... Kau boleh bertanya apa
yang kau ingin ta-
hu, agar kau puas hatimu ketika
meninggalkan
tempat ini...," ujarnya
setelah terlebih dahulu
menahan amarahnya.
Pengemis Binal menatap tajam
wajah tiga
pemuda yang berdiri berderet di
sisi kiri Palin-
dung. Diam-diam remaja konyol
ini mengerahkan
kekuatan ilmu sihirnya.
"Benarkah apa yang telah
dikatakan oleh
teman kalian yang bernama
Palindung itu?" tanya
Pengemis Binal kemudian.
Suaranya datar saja.
Namun, di baliknya tersimpan
kekuatan yang
memaksa tiga anak buah Gayat
Ngalim untuk
mengatakan apa yang terjadi
sebenarnya.
"Tidak!" jawab ketiga
teman Palindung se-
rempak.
"Jadi, Palindung telah
memberi kesaksian
palsu?"
"Ya!"
Mendengar jawaban ketiga anak
buahnya,
mengelam paras Gayat Ngalim.
Ketua Partai Alis
Putih ini hendak membentak, tapi
suara Penge-
mis Binal keburu menghalangi
niatnya.
"Diamlah kau, Gayat Ngalim!
Kau telah
memberi kebebasan kepadaku untuk
bertanya
kepada anak buahmu. Harap kau
pegang kata-
katamu!"
Gayat Ngalim menggeram, tapi tak
dapat
berbuat apa-apa ketika Pengemis
Binal melan-
jutkan pernyataannya.
"Kau, yang berdiri di
sebelah Palindung,"
tunjuk Suropati, "Ceritakan
peristiwa yang sebe-
narnya!"
Pemuda yang dahinya terdapat
luka gore-
san senjata tajam menarik napas
panjang. Pemu-
da yang telah dipengaruhi sihir
Suropati ini lalu
bercerita.
"Sepekan yang lalu, bersama
ketiga teman-
ku, aku diajak Tuan Gayat Ngalim
pergi ke pinggir
Hutan Jalonggrang. Sesuai
rencana yang telah di-
atur oleh Tuan Gayat Ngalim,
kami menghadang
laju kuda Danang
Burgundi..."
"Bangsat! Hentikan
ucapanmu!" pekik
Gayat Ngalim.
Cepat sekali Suropati melesatkan
tubuh-
nya ketika melihat Gayat Ngalim
hendak menya-
rangkan pukulan maut ke kepala
pemuda yang
tengah bercerita.
Duk...!
Tuk...! Tuk...!
"Aaakh...!"
Pukulan Gayat Ngalim berhasil
ditangkis
oleh Suropati. Gayat Ngalim pun
tak dapat melan-
jutkan niatnya untuk membunuh
anak buahnya
karena beberapa totokan Suropati
keburu menda-
rat di tubuhnya. Hingga,
menjadikannya tak da-
pat berbuat apa-apa lagi,
kecuali berdiri tegak-
kaku bagai patung. Hanya bola
matanya yang
bergerak jelalatan mengandung
ancaman kema-
tian.
"Kau terima dulu hukuman
itu, Ngalim...,"
ujar Suropati sambil menggaruk
kepalanya. Pan-
dangan remaja konyol ini lalu
beralih ke pemuda
yang berdiri di sisi kiri
Palindung. "Lanjutkan ce-
ritamu!" perintahnya kali
ini tanpa disertai kekua-
tan ilmu sihir. "Tak perlu
takut. Dengan menga-
takan peristiwa yang sebenarnya,
kau akan men-
gungkapkan kebusukan Gayat
Ngalim. Itu berarti,
kau tak akan mempunyai ketua
berwatak jahat.
Gayat Ngalim akan diadili
pejabat kadipaten. Ke-
dudukannya sebagai Ketua Partai
Alis Putih bisa
digantikan oleh orang yang lebih
tepat."
"Ya. Kita harus mengatakan
hal yang sebe-
narnya!" tegas Palindung
tiba-tiba. "Teruskan ce-
ritamu, Warak!"
Semakin jelalatan saja mata
Gayat Ngalim
mendengar ucapan Palindung. Namun, pemuda
culas ini tak mampu berbuat
apa-apa lagi. Bah-
kan, mengeluarkan suara pun
tidak. Urat besar di
pangkal lehernya juga menjadi
sasaran totokan
Suropati.
Sebelum pemuda yang dipanggil
Warak
melanjutkan ceritanya, Putri Racun
menyentuh
bahu Pengemis Binal.
"Tidakkah lebih baik mere-
ka kita bawa saja untuk bersaksi
di hadapan Pa-
tih Juna Kambang, Suro?"
Suropati menatap wajah Putri
Racun seki-
las. Lalu, tanyanya kepada
Palindung, "Kenapa
kau tadi memberi kesaksian palsu?"
"Aku dipaksa oleh Gayat
Ngalim. Dia men-
gancam akan membunuh seluruh
keluargaku,
termasuk aku sendiri. Ketiga
temanku juga dian-
cam demikian. Tapi setelah
melihat bagaimana
kau dengan mudah melumpuhkan
Gayat Ngalim,
aku jadi tak takut lagi
kepadanya. Aku yakin kau
akan melindungiku."
Pengemis Binal
mengangguk-angguk. "Ka-
lian semua bersedia memberikan
kesaksian atas
kelicikan Gayat Nalim dan
membersihkan nama
baik Kusuma?"
"Kami bersedia!" jawab
Palindung dan te-
man-temannya, serempak.
"Kita berangkat sekarang
juga ke Pendapa
Kadipaten. Berikan kesaksian
kalian di hadapan
Patih Juna Kambang."
Namun... sebelum Palindung dan
ketiga
temannya mengikuti langkah
Suropati, terdengar
bentakan keras. "Matilah
kalian semua!"
Walau terkejut tapi Putri Racun
masih
mampu bergerak cepat. Tubuh
gadis ini melesat
ke depan memapaki seberkas
cahaya putih yang
hendak menerpa tubuh Palindung
dan ketiga te-
mannya!
Blarrrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar
ketika
seberkas cahaya putih
bertumbukan dengan ge-
lombang angin yang muncul dari
kedua telapak
tangan Putri Racun. Lantai
ruangan berguncang.
Keempat dindingnya tiba-tiba
jebol. Palindung
dan ketiga temannya menggigil
ketakutan melihat
Gayat Ngalim yang mendadak telah
berdiri tegak
dengan kedua pergelangan tangan
terjulur lurus
ke depan.
"Kalian semua harus mati di
tempat ini!"
ancam Gayat Ngalim dengan sinar
mata berkilat-
kilat. Bagaimana Ketua Partai
Alis Putih ini bisa
terbebas dari pengaruh totokan
Pengemis Binal?
Sebagai seorang ketua partai
yang memim-
pin banyak orang, tentu saja
Gayat Ngalim mem-
punyai ilmu kesaktian yang bisa
diandalkan.
Gayat Ngalim juga menguasai ilmu
'Pemencar Ja-
lan Darah', sebuah ilmu memindahkan
jalan da-
rah yang berasal dari wilayah
selatan. Ilmu itu
dapat membuat pemiliknya tak
mempan ditotok
karena jalan darah di tubuhnya
dapat dipindah-
pindahkan sesuka hati. Kalau
tadi Gayat Ngalim
sempat menjadi kaku-kejang
karena totokan Su-
ropati, itu karena dia tidak
sempat menerapkan
ilmu 'Pemencar Jalan Darah'-nya.
Tapi setelah
beberapa saat waktu berlalu,
Gayat Ngalim dapat
menghimpun hawa saktinya.
Hingga, dia berhasil
menerapkan ilmu 'Pemencar Jalan
Darah'-nya.
Dan, terbebaslah dia dari
pengaruh totokan Pen-
gemis Binal.
"Kusuma, Puspita, lindungi
keempat pe-
muda itu ke Pendapa
Kadipaten!" ujar Suropati
ketika mendengar suara gaduh
langkah kaki pu-
luhan anggota Partai Alis Putih.
"Kau sendiri bagaimana,
Suro?" tanya Ku-
suma.
"Aku akan menyusul kalian
dengan mem-
bawa Gayat Ngalim hidup-hidup!
Cepatlah pergi
sebelum anak buah Gayat Ngalim
tiba di tempat
ini!"
Kusuma dan Puspita yang telah
tahu akan
kesaktian Pengemis Binal segera
mengajak Palin-
dung dan ketiga temannya meninggalkan
tempat.
Baru saja sosok tubuh mereka
menghilang dari
pandangan, belasan pemuda
anggota Partai Alis
Putih memasuki ruangan. Puluhan
orang lainnya
berjaga-jaga di luar. Semua
memegang pedang
terhunus.
Sementara, Gayat Ngalim yang
hendak
mengejar kepergian empat anak
buahnya, meng-
gembor keras karena kelebatan
tubuh Pengemis
Binal menghalangi maksudnya.
"Kau dapat menyusul mereka
setelah kau
berhasil kulumpuhkan dan anak
buahmu me-
nyaksikan sifat burukmu!"
ujar Pengemis Binal.
"Bangsat!" umpat Gayat
Ngalim. Pemuda
ini lalu memerintahkan anak
buahnya untuk me-
nyerang Suropati. "Bunuh
dia!"
"Tahan...!" pekik
Pengemis Binal dengan
suara lantang.
Belasan pemuda yang telah
siap memba-
batkan pedang masing-masing
tampak terkejut
karena gendang telinga mereka
bagai ditepuk.
Jantung mereka yang tiba-tiba
berdegup lebih ce-
pat membuat mereka tersurut
mundur.
"Ketua kalian yang bernama
Gayat Ngalim
itu bukanlah orang baik-baik.
Dia pemuda jahat
yang telah membunuh Danang
Burgundi!" ujar
Suropati. "Aku akan
membuktikan kejahatan ke-
tua kalian itu malam ini juga di
Pendapa Kadipa-
ten."
"Bohong! Bunuh dia cepat!
Dia seorang
pengacau!" tolak Gayat
Ngalim.
Namun. tak seorang pun dari
anggota Par-
tai Alis Putih yang menuruti
perintah ketuanya.
Mereka tetap berdiri di tempat
masing-masing.
Agaknya mereka percaya pada
ucapan Suropati.
Dan, sesungguhnya mereka pun
telah lama tak
suka pada Gayat Ngalim yang
sering menunjuk-
kan perangai buruk.
"Tunggu apa lagi?! Cepat
bunuh dia!" pe-
rintah Gayat Ngalim, lebih keras
dan lantang.
Mengelam paras Gayat Ngalim
mengetahui
tak seorang pun anak buahnya
yang menjalankan
perintahnya. Sambil menggembor
keras, pemuda
ini lalu menerjang Suropati!
"Kukira tanganku sendiri
sudah mampu
untuk memecahkan batok
kepalamu!"
"Uts!" Pengemis Binal
berkelit ke samping,
menghindari kepalan tangan Gayat
Ngalim yang
mengarah kepala. "Kau boleh
bangga karena da-
pat terbebas dari pengaruh
totokanku. Tapi, jan-
gan harap kau dapat lolos dari
hukuman setelah
kupatahkan kedua kakimu!"
Cepat sekali Suropati mengempos
tubuh.
Sebelum kepalanya membentur
langit-langit
ruangan, dia bersalto, lalu
kedua tangannya di-
buka lebar-lebar. Dengan gerakan
'Pengemis Me-
minta Sedekah' hendak
ditangkapnya kedua kaki
Gayat Ngalim. Sayang, Gayat
Ngalim telah melon-
cat jauh.
Namun sebelum Gayat Ngalim
membalas
serangan, Suropati berteriak,
"Tetaplah di tempat-
mu!"
Teriakan yang disertai kekuatan
ilmu sihir
membuat Gayat Ngalim berdiri
terpaku di tempat-
nya. Sebelum pemuda ini
menyadari apa yang ter-
jadi, Suropati telah
mencengkerak kedua lutut-
nya!
"Wuah...!"
Gayat Ngalim memekik kesakitan
ketika ja-
ri-jari tangan Pengemis Binal
menancap di tulang
lututnya. Para anggota Partai
Alis Putih cuma da-
pat memandang dengan muka melongo tatkala
Pengemis Binal berkelebat keluar
ruangan dengan
membopong tubuh Gayat Ngalim
yang sudah tak
sadarkan diri.
7
"Di tepi Hutan Jalonggrang,
kami diperin-
tah untuk mencegat kuda Danang
Burgundi. Se-
lagi Danang Burgundi marah-marah
kepada ka-
mi, Gayat Ngalim menyambar
kantung uang emas
yang terikat di pinggangnya.
Setelah menampar
wajah Danang Burgundi, Gayat
Ngalim menakut-
nakuti dengan memperlihatkan ilmu
kesaktian-
nya...," tutur Warak ketika
memberi kesaksian di
hadapan Patih Juna Kambang dan
beberapa pe-
jabat tinggi kadipaten.
"Gayat Ngalim memberi ta-
hu kepada kami bahwa ada orang
yang tengah
mengintai perbuatan kami. Dia
memerintahkan
agar kami cepat-cepat
menyingkir. Sebelumnya
dia menyerahkan kantung uang
emas yang telah
dirampasnya kepada kami, kami
dipesan agar me-
letakkannya di atas altar
sembahyang kami. Dia
berpesan pula agar kami
memerintahkan seluruh
anggota Partai Alis Putih, meninggalkan
tempat
kediaman. Dan, kami
melaksanakannya dengan
baik."
"Tutup mulutmu,
Warak!" teriak Gayat
Ngalim yang tampak duduk
meringkuk di lantai
dengan kedua kaki berhias darah
kering.
"Diam kau, Ngalim!"
bentak Patih Juna
Kambang yang berusia enam puluh
tahunan.
"Kami tak tahu apa rencana
Gayat Ngalim
selanjutnya. Tapi keesokan
harinya kami men-
dengar kabar bila Danang
Burgundi telah me-
ninggal dibunuh orang. Kami
berempat tentu saja
menjadi ketakutan karena
khawatir dituduh se-
bagai pembunuh. Tapi, Gayat
Ngalim mengatakan
bahwa kami harus mengatakan
kepada semua
orang bahwa Kusuma-lah pelaku
perampokan
dan pembunuhan itu."
Di ujung kalimat Warak, Suropati
yang
berdiri di dekat Gayat Ngalim
berkata, "Sekarang
sudah jelas bahwa Kusuma alias
Putri Racun ti-
dak bersalah apa-apa. Dia telah
menjadi korban
fitnah keji Gayat
Ngalim...," Suropati lalu mene-
kan tengkuk Gayat Ngalim.
"Kenapa kau lakukan
semua ini, Ngalim?!"
tanyanya dengan suara berat
memaksa.
"Aku tidak melakukan
apa-apa! Semua
yang dikatakan Warak adalah
bohong!" pungkir
Gayat Ngalim.
"Tidak! Warak berkata yang
sebenarnya!"
tegas Palindung yang duduk di
sisi kanan Warak.
Dua temannya yang lain turut
menegaskan. "Ya!
Warak berkata benar!"
"Kau dengar itu,
Ngalim?" ujar Pengemis
Binal sambil tetap mencengkeram
tengkuk Gayat
Ngalim. "Kau tak dapat
berkelit lagi. Sekarang ka-
takan apa maksudmu dengan
melempar fitnah
pada Kusuma!"
Mendadak, Gayat Ngalim
meneteskan air
mata. Dengan suara patah-patah
dia berkata,
"Aku... aku mencintai
Kusuma, tapi ditolaknya.
Aku jadi sakit hati...."
"Kau bunuh Danang Burgundi,
lalu kau ja-
tuhkan tuduhan kepada Kusuma!
Bukankah be-
gitu yang terjadi?"
Gayat Ngalim tak menjawab. Dia
mendekap
wajahnya dengan kedua tangan.
Pemuda ini lalu
menangis menggerung-gerung
menyesali perbua-
tannya.
"Kini semuanya sudah jelas,
Gusti Patih...,"
ujar Pengemis Binal dengan tubuh
dibungkukkan
ke arah Patih Juna Kambang. "Sudah jelas bila
Gayat Ngalim adalah seorang
penjahat culas.
Gusti Patih tentu tahu hukuman
apa yang pantas
untuk dijatuhkan
kepadanya...."
Putri Racun yang duduk di kanan
Puspita,
satu tombak dari tempat Gayat
Ngalim, tampak
beringsut ke depan.
Diserahkannya kantung emas
bersulam yang dibawanya kepada
Patih Juna
Kambang. "Uang emas dalam
kantung ini tak
berkurang sekeping pun. Semula
saya bermaksud
menyerahkan kantung uang emas
ini dan kuda
merah kepada pemiliknya, tapi
Danang Burgundi
keburu meninggal..."
Patih Juna Kambang menerima
kantung
uang emas tanpa berkata apa-apa.
"Sekarang, izinkan saya
meninggalkan
tempat ini, Gusti Patih...," mohon Putri Racun.
"Saya harus datang
secepatnya ke Katumenggun-
gan Lemah Abang yang terletak di
wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur. Ada sesuatu
yang harus saya
kerjakan di sana."
Putri Racun teringat pesan Saka
Purdianta
yang disampaikan oleh Suropati
di Pendapa Kadi-
paten Bumiraksa.
Patih Juna Kambang mengangguk.
"Karena
urusanmu sudah selesai, aku tak
dapat mena-
hanmu lagi."
Putri Racun membungkuk hormat.
Bersa-
ma Suropati dan Puspita, gadis
ini lalu pergi me-
ninggalkan Pendapa Kadipaten
Tanah Loh. Patih
Juna Kambang yang memegang
kendali pemerin-
tah selama Adipati Barasangga
pergi, menjatuh-
kan hukuman mati terhadap Gayat
Ngalim. Selu-
ruh anggota Partai Alis Putih
yang mengikuti per-
sidangan di luar pendapa
tampaknya dapat mene-
rima keputusan itu. Gayat Ngalim
memang pan-
tas dihukum mati untuk menebus
kelicikannya.
SELESAI
Segera menyusul!!!
Serial Pengemis Binal dalam
episode:
MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN
Emoticon