1
Seorang pemuda tampan berwajah jantan,
dengan rambut panjang yang dibiarkan meriap,
menghentikan langkahnya di depan pintu
sebuah kedai. Sesaat pemuda itu termenung di
situ. Sepasang matanya yang berkilat tajam,
Tak ada seorang pun yang memperhatikan
tingkah pemuda ini. Memang, diluar kedai tidak
terlihat seorang pun. Rumah-rumah yang ada
pun letaknya cukup jauh. Suasana siang yang
panas membakar bumi, membuat orang-orang
tidak betah berada di luar rumah.
Lain halnya dalam kedai, justru di dalam
kedai yang cukup besar ini, keadaan sangat
ramai oleh bunyi gaduh suara manusia. Suara
yang tidak jelas terdengar, karena banyaknya
orang yang bersuara. Entah, siapa yang menjadi
pendengar.
Semua kegaduhan di dalam kedai membuat
tingkah pemuda berambut panjang itu tidak
menarik perhatian sama sekali. Dan seorang pun
tidak ada yang tahu kalau dalam benak pemuda
tampan itu tengah bergolak perang.
"Benarkah kedai ini yang dimaksudkan oleh
orang yang malang itu?! Kalau benar, mengapa
demikian ramai?! Bukankah orang itu
mengatakan, kalau kedai ini seharusnya sepi?!
Kalau bukan, mengapa yang ada hanya kedai
ini? Tapi, bagaimana kalau bukan?! Ah, pasti
ini!"
Pergolakan batin itu akhirnya dimenangkan
oleh keinginan pemuda berambut putih
keperakan ini untuk memasuki kedai. Maka
segera diikatkannya seutas kain merah yang
sejak tadi digenggamnya, pada pangkal lengan
kiri.
Pemuda itu terus melangkah, dan tiba di
ambang pintu kedai. Sementara, bunyi gaduh
terus berlangsung. Namun semua itu tidak
dipedulikannya. Mulanya hanya melirik sekilas,
kemudian kakinya terayun menuju sebuah meja
yang masih kosong.
Seorang lelaki setengah baya bertubuh kurus
kering seperti cecak kelaparan, tergopoh-gopoh
menyambut, begitu pantat pemuda berambut
panjang ini bertemu dengan kursi.
"Nasi, ayam panggang, dan arak," sebut
pemuda tampan itu ketika lelaki kurus kering
yang ternyata pemilik kedai menanyakan
pesanannya.
Cukup keras ucapan pemuda itu. Padahal
diucapkan seperti tanpa menggerakkan bibir!
Karuan saja pelayan itu bergegas kembali, untuk
mengambil pesanan. Lelaki kurus kering ini
sadar, pemuda yang baru datang itu mempunyai
kepandaian luar biasa! Belum pernah dilihatnya
orang yang mampu bicara, tanpa menggerakkan
bibir. Bahkan akibat ucapannya demikian
menakjubkan. Tentu saja, karena kalau melihat
ciri-cirinya tak lain dan tak bukan kalau pemuda
berambut putih keperakan itu adalah Arya
Buana alias Dewa Arak.
Dan hanya pemilik kedai itu saja yang
terpengaruh. Sementara para pengunjung lain,
sama sekali tidak mempedulikan. Mereka tengah
sibuk dengan urusan masing-masing.
Mau tidak mau. Dewa Arak terpaksa
mengalihkan perhatian pada pemandangan yang
memang menarik. Sehingga, tidak aneh kalau
perhatian semua pengunjung kedai tercurah ke
sebuah meja, di mana terdapat dua orang yang
tengah duduk berhadapan.
Di atas meja yang membatasi dua orang itu,
tampak sebuah cangkir bambu berisi arak.
Hanya itu, tapi justru sangat menarik perhatian
para pengunjung kedai. Cangkir bambu itu tidak
diam di tempatnya, tapi bergerak-gerak
bergeser. Terkadang bergeser ke kanan, tapi tak
jarang ke kiri.
Sebuah pemandangan yang aneh sebenarnya,
tapi bagi para pengunjung kedai dan Dewa
Arak, sepertinya hanya hal biasa. Mereka semua
tahu, kalau hal itu tidak terjadi sendiri. Tapi ulah
dua orang yang duduk berhadapan sambil
memegang pinggir meja dengan kedua tangan.
Dari tangan yang memegang pinggiran meja
itulah, cangkir bambu itu dikendalikan.
Setelah beberapa saat, cangkir bambu yang
berisi arak setengah lebih itu bergeser ke sana
kemari. Akhirnya secara perlahan-lahan terus
bergeser ke meja sebelah kiri, di mana duduk
lelaki bertubuh kekar. Sedangkan wajah lelaki ini
tampak telah dipenuhi cucuran peluh yang
menetes-netes. Kedua tangannya yang mencekal
pinggiran meja tampak menegang, pertanda
telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya.
Di lain pihak, lelaki tinggi kurus berwajah
kekuningan seperti orang penyakitan yang
menjadi lawannya, tampak biasa saja. Tidak
tampak adanya peluh, kecuali pada bagian
dahinya yang sedikit basah. Cara memegang
pinggiran meja pun tidak dengan mencekal.
Memang, dia belum mengerahkan seluruh
tenaganya. Dan, ketika cangkir bambu itu
semakin mendekati lawannya, baru kekuatannya
di tambah secara tiba-tiba.
Maka kini sekujur tubuh lelaki kekar jadi
menggigil. Dan...
"Huak.J"
Darah segar langsung muncrat dari mulutnya
ketika laki-laki kekar itu terus memaksakan diri
bertahan. Bahkan cangkir bambu itu secara telak
dan cukup keras, menghantam dadanya. Tubuh
lelaki kekar ini langsung terjerembab ke depan.
Dan kepalanya kontan terkulai di meja.
Kekerasan hati untuk terus bertahan,
mengakibatkannya tewas dengan isi dadanya
hancur.
Seketika bunyi tepuk tangan langsung
membahana, menyemaraki sekitar tempat itu,
untuk menyambut kemenangan lelaki tinggi
kurus ini. Agaknya lelaki ini bangga bukan
main. Kedua tangannya segera diangkat sambil
mengedarkan pandangan berkeliling,
memperhatikan wajah-wajah orang yang memuji
kemenangannya.
"Ayo! Siapa lagi yang ingin mencoba
bertanding denganku Bertanding seperti ini
tidak menakutkan. Bahkan menunjukkan, kalau
kemampuan silat tidak hanya dipergunakan
secara kasar, berkelahi seperti tukang pukul.
Pertarungan seperti ini membutuhkan seni dan
kesabaran Jadi, lebih tinggi daripada
pertarungan yang biasa dilakukan oleh jagoan
kampungan," lelaki itu mulai sesumbar.
Kata-kata itu dikeluarkan penuh nada
tantangan. Sementara mata laki-laki ini menatap
wajah-wajah yang berada di sekelilingnya satu
persatu. Tiap yang ditatap langsung menunduk.
Dan itu membuatnya mengalihkan pandangan
pada yang lainnya. Tidak berani membalas
tatapannya, menjadi jawaban kalau orang itu
tidak berani menyambuti tantangannya.
"Kalau demikian, mengapa kalian tidak
kembali saja?! Meneruskan mencari benda-benda
keramat itu, sama saja artinya kalian siap
bertarung denganku!" tandas lelaki berwajah
kekuningan ini dengan senyum penuh
kemenangan.
Tidak ada jawaban sama sekali. Semua kepala
tertunduk dalam, seperti tengah menekuri tanah,
tapi, sepasang mata masing-masing orang
melirik ke sana kemari, mengintai dari balik
bulu-bulu mata
Senyum yang menghias wajah lelaki berkulit
kuning ini memudar, ketika melihat ada seorang
pemuda yang sepertinya tidak mempedulikan
semua kata-katanya. Pemuda berambut putih
keperakan itu tetap asyik makan dan minum,
seakan-akan tidak peduli sekitarnya. Dan hal ini
membuat lelaki berwajah kuning jadi naik darah,
karena merasa diremehkan
Seketika dengan langkah lebar sambil
menggertakkan gigi, lelaki berwajah kuning ini
melangkah; lebar menuju tempat pemuda yang
tak lain Dewa Arak. Kedua tangannya sudah
terkepal, hingga menimbulkan bunyi
berkerotokan seperti tulang-tulang patah.
Semua kepala yang tadi tertunduk kontan
mengikuti arah yang dituju lelaki bermuka
kuning tadi. Dan ketika itu juga mereka tahu,
kalau antara lelaki berkulit kuning dengan Dewa
Arak yang tengah asyik menyantap makanan,
akan terjadi pertarungan. Setidak-tidaknya ribut
mulut.
"Sungguh tidak enak makan minum
sendirian. Biar kutemani kau. Anak Muda,"
tegur lelaki berwajah kuning itu sambil duduk di
kursi yang berhadapan dengan Arya. Dan
mereka hanya dipisahkan oleh meja berbentuk
empat persegi panjang.
Tindakan lelaki berwajah kuning ini langsung
mendapat perhatian dari orang-orang di dalam
kedai, yang tadi tertunduk ketakutan Mereka
tahu, akan ada pertunjukan yang mungkin
menarik. Apalagi, ketika melihat lelaki berwajah
kuning itu mulai menempelkan kedua tangan
pada pinggir meja.
Dewa Arak yang baru saja mengunyah
makanannya hingga halus, mengangkat wajah
langsung ditatapnya lelaki berwajah kuning itu.
Senyum lebar seketika terhias di bibirnya. Dewa
Arak seperti tidak tahu akan adanya ancaman
bahaya dari orang yang duduk di depannya.
'Terima kasih, Kisanak. Kalau begitu, jangan
malu-malu. Sikat saja yang ada. Lagi pula, aku
pun tidak mampu menghabiskannya sendirian,"
tawar pemuda berambut putih keperakan ini.
Lelaki tinggi kurus itu menyeringai.
"Biar bagaimanapun, aku hanya tamumu.
Anak Muda. Kalau kau benar-benar hendak
menjamuku, tentu tidak keberatan untuk
menuangkan cangkir arak padaku. "
"Tentu saja tidak, Kisanak," sambut Dewa
Arak, masih tetap ramah suaranya. "Kebetulan
cangkir ini belum dipergunakan. Jadi, tidak ada
salahnya kalau kau yang menggunakannya."
Sambil berkata demikian. Dewa Arak
mengulurkan tangan, menggenggam leher guci
untuk menuangkan arak ke dalam cangkir
bambu yang belum dipergunakan.
Senyum mengejek terbesit di bibir lelaki
berkulit kuning ketika melihat jari-jari tangan
Arya telah mencekal leher guci kecil, dan
bermaksud mengangkatnya. Sudah terbayang di
benaknya, betapa pemuda berambut panjang ini
akan terkejut karena guci itu tidak akan
terangkat. Walaupun seluruh tenaganya
dikerahkan, jelas hasilnya bakal sia-sia. Memang
kedua tangan lelaki tinggi kurus yang menempel
di pinggir meja telah disaluri tenaga dalam.
Sehingga membuat guci itu menempel dengan
daun meja.
Tapi nyatanya pemuda berambut panjang itu
tidak terkejut sama sekali. Dewa Arak tahu guci
itu seharusnya dapat diangkat dengan mudah.
Dan kini tidak bergeming sama sekali!
Semua pasang mata yang ada di dalam kedai
seperti tidak berkedip menatap ke arah guci
yang telah dicekal Arya. Memang, mereka tidak
tahu pasti akan apa yang terjadi Tapi dari
percakapan terdengar dan kenyataan yang
terjadi mereka bisa memperkirakan kalau guci
itu telah dipantek dengan aliran tenaga dalam
lelaki tinggi kurus. Buktinya jari-jari tangan
pemuda berambut panjang itu mencekal erat
leher guci, tapi tidak segera mengangkat dan
menuangkannya ke dalam cangkir bambu.
Semua pengunjung kedai yakin, pemuda
tampan berambut panjang ini tidak akan mampu
mengangkat guci! Kekuatan tenaga dalam lelaki
berwajah kuning itu telah mereka saksikan
sendiri, ketika mengalahkan lelaki kekar yang
menjadi lawannya tadi.
Tapi kini mereka merasa kaget ketika melihat
wajah lelaki tinggi kurus itu tampak menegang.
Jelas, dia telah mengerahkan tenaga besar dalam
pertarungan aneh itu. Sementara, wajah pemuda
berambut panjang itu terlihat biasa-biasa saja.
Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda
kalau tengah mengerahkan tenaga dalam. Tidak
salahkah penglihatan ini? Bukankah tadi,
sewaktu melawan lelaki kekar, lelaki berwajah
kuning ini tidak memperlihatkan tanda-tanda
telah mengerahkan tenaga dalam besar?
Mungkinkah pemuda berambut panjang itu
memiliki tenaga dalam tinggi? Rasanya tidak
mungkin!
Mata para penonton adu tenaga dalam ini
baru terbelalak ketika melihat guci itu terangkat
dari daun meja. Kemudian, dengan tenangnya
pemuda berambut panjang itu menuangkan arak
yang berada dalam guci ke dalam gelas bambu.
Sementara wajah lelaki tinggi kurus yang
dibasahi peluh pada bagian dahi, tampak
berubah-ubah. Sebentar merah, sebentar pucat.
Hatinya merasa penasaran bukan kepalang
dengan kekalahannya. Dan sepasang matanya
yang sipit, seperti terbelalak lebar ketika
menatap tingkah pemuda berambut panjang
yang menuangkan arak dengan sikap tenang.
Dan ini diartikan sebagai penghinaan! Bahkan
tidak menganggapnya sebagai lawan berat.
"Jangan besar kepala. Pemuda Sombong!"
desis lelaki tinggi kurus itu, kaku dan ketus.
"Aku belum kalah! Dan pertandingan itu belum
selesai! Perlu kau tahu. Ular Emas tidak pernah
dikalahkan orang!"
Dengan sikap kasar, lelaki berwajah kuning
yang ternyata berjuluk Ular Emas ini mengambil
cangkir yang telah diisi Dewa Arak sampai
penuh. Cangkir itu dicekal dengan jari-jari
tangan, kemudian dituangkan ke mulutnya.
Berpasang-pasang mata langsung terbelalak
ketika melihat pemandangan aneh itu. Cangkir
telah miring di depan mulut Ular Emas, tidak
membuat arak yang berada di dalamnya
mengucur ke dalam mulutnya. Padahal, arak itu
sudah keluar dari bibir cangkir. Sepertinya ada
kekuatan kasatmata yang menahannya.
"Sayang sekali.... Rupanya arak ini tidak ingin
kuminum. Anak Muda. Biarlah aku tidak usah
meminumnya. Tapi kau jangan kecil hati. Biar
aku yang akan memberi penghormatan
kepadamu sebagai balasan atas kebaikanmu.
Anak Muda," kata Ular Emas.
Nada kata-katanya mengeluh, seperti orang
yang sangat menyesal setelah beberapa saat
membiarkan gumpalan arak itu tidak terjatuh ke
dalam mulutnya. Benda cair itu seperti telah
berubah menjadi gumpalan benda lunak yang
menempel erat dengan cangkir bambu!
Sekarang, lelaki tinggi kurus itu memegang
cangkir bambunya dengan tangan kiri. Tangan
kanannya digunakan untuk mengambil guci
arak dan menuangkannya ke dalam gelas!
Padahal, arak yang berada di dalam gelas bambu
telah penuh!
Currr!
Arak dari dalam guci mengucur keluar dan
memasuki cangkir yang telah penuh. Tapi
hebatnya, arak itu tidak meluap keluar, meski
telah melewati bibir cangkir. Malah arak itu
membentuk setengah lingkaran. Ujung
permukaannya melengkung, membentuk
setengah lingkaran yang melewati bibir cangkir.
Permukaan arak itu bergoyang-goyang, tapi
tidak tumpah. Ada kekuatan tidak nampak yang
membuat arak itu seperti bersatu!
Pemandangan menakjubkan ini membuat
berpasang-pasang mata yang sudah terbelalak
semakin lebar. Mereka semua tahu pengerahan
tenaga dalam Ular Emaslah yang membuat arak
itu tidak tumpah!
"Terimalah penghormatanku ini. Anak
Muda," kata Ular Emas disertai seringai ejekan,
setelah terlebih dulu meletakkan guci ke meja.
Ular Emas menyodorkan cangkir yang
dipenuhi arak hingga melewati bibirnya, kepada
Dewa Arak. Gumpalan arak yang
permukaannya membentuk stengah lingkaran
itu bergoyang-goyang, ketika lelaki berwajah
kuning mengangsurkannya pada Arya.
"Ah! Kau sungguh baik hati, Kisanak," ucap
pemuda berambut panjang ini seraya bangkit
berdiri. Dia langsung bersiap untuk menerima
angsuran cangkir penuh berisi arak itu.
Sudah terbayang di benak para pengunjung
kedai dan Ular Emas kalau arak yang berada
dalam cangkir itu akan tumpah, dan pasti akan
membasahi tangan maupun tubuh pemuda
berambut panjang ini. Memang Ular Emas
sendiri pun sampai mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menahan, agar gumpalan arak
itu tidak tumpah. Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati semua orang, tak terkecuali Ular
Emas! Bahkan lelaki berwajah kuning inilah
orang yang paling terkejut. Ternyata pemuda
berambut panjang itu mampu menerima cangkir
berisi arak tanpa tumpah!
'Terima kasih...! Terima kasih...!"
Sambil berkata demikian. Dewa Arak mulai
menuangkan arak ke dalam mulutnya. Tapi
sampai mulut cangkir itu menghadap ke bawah,
arak itu tetap tidak mau tumpah!
Mulut Ular Emas sampai terbuka lebar-lebar
tanpa sadar, saking kagetnya. Untung saja tidak
ada lalat iseng. Kalau tidak, binatang yang
menjijikkan itu pasti sudah masuk ke dalam
mulutnya yang memang besar.
Kenyataan ini saja sebenarnya sudah
membuat Ular Emas sadar kalau pemuda
berambut panjang itu merupakan seorang lawan
tangguh. Tenaga dalam pemuda itu sulit diukur.
Tapi, sifat keras kepala dan merasa sebagai
tokoh yang tak terkalahkan malah membuat Ular
Emas naik darah.
Tanpa pikir panjang lagi, lelaki tinggi kurus
yang tengah murka ini melancarkan serangan
terhadap Dewa Arak yang tengah sibuk dengan
cangkir araknya!
Singngng!
Bunyi mendesing nyaring mengiringi
meluncurnya golok Ular Emas ke arah dada
Arya. Entah kapan, senjata itu lolos dari
sarungnya. Yang jelas, ketika golok itu
menyambar Dewa Arak cepat mendoyongkan
tubuh ke samping dengan tangan masih
memegang cangkir arak. Nyatanya, ujung golok
itu hanya menyambar lewat beberapa jari di sisi
pinggang. Dan hebatnya, arak yang berada di
cangkir tidak tumpah sama sekali, meski
bergoyang-goyang seperti hendak keluar!
Ular Emas semakin murka! Dia mengeram
keras seperti seekor binatang buas terluka. Dan
sekarang, goloknya meluncur lebih dahsyat ke
arah Dewa Arak. Bentuk senjatanya sampai
lenyap, sehingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan mengurung tubuh pemuda berambut
panjang ini.
Untuk yang kesekian kalinya. Dewa Arak
mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan tangan
kanan terus menggenggam cangkir, tubuhnya
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan
Meja dan kursi pun jadi porak-poranda. Tapi
arak yang berada dalam gelas, tidak tumpah
sedikit pun.
"Kau terlalu mendesakku, Kisanak. Apa boleh
buat," seru Arya di antara desingan golok yang
meluncur mencari-cari sasaran. Suaranya cukup
keras, sehingga mampu mengatasi bunyi riuh
rendah kelebatan golok Ular Emas.
Trikkk!
Ular Emas merasakan tangan kanannya
tergetar hebat ketika Dewa Arak memapak
senjatanya dengan jari telunjuknya. Dan sebelum
dia sempat berbuat sesuatu, tangan kanan
pemuda berambut panjang itu bergerak.
Byurrr!
Arak yang berada di dalam gelas langsung
mengguyur sekujur tubuh Ular Emas. Rasa
panas pun menyergap bagian tubuh yang
terguyur arak.
"Masih ingin dilanjutkan?!" tanya Arya tanpa
nada ejekan
Sepasang mata Dewa Arak menatap Ular
Emas yang berdiri dengan tubuh agak basah,
berjarak beberapa tombak darinya.
Ular Emas sekarang sadar kalau pemuda
berambut panjang ini bukan tandingannya.
Mungkin kepandaian pemuda itu beberapa kali
lipat di atas kepandaiannya. Selagi pemuda
tampan itu masih sadar dan tidak menjatuhkan
tangan keras, lebih baik dia mundur.
"Kau hebat. Anak Muda, aku mengaku
kalah," desah Ular Emas kaku. "Terus terang,
belum pernah kutemukan seorang pemuda
sehebatmu! Pasti kau seorang tokoh persilatan
yang cukup terkenal. Atau, murid seorang sakti
yang mengasingkan diri. Boleh kutahu, siapa
dirimu atau gurumu. Anak Muda?! Mungkin
jawaban yang kau berikan dapat menghapus
rasa penasaran"
"Mungkin dia Dewa Arak!"
Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah
seorang pengunjung kedai. Rupanya, ada di
antara mereka yang pernah mendengar tentang
julukan yang menggemparkan dunia persilatan
itu.
Sepasang mata Ular Emas kontan terbelalak
lebar. Sepasang matanya yang sejak tadi
menyipit, menatap pemuda berambut panjang
dari ujung tambut sampai ujung kaki dengan
sinar menyiratkan ketidakpercayaan.
"Kau..., tokoh yang terkenal itu?!" Agak
gagap ucapan yang keluar dari mulut Ular Emas.
"Ah...! pasti kau dia...! Rambut dan pakaianmu
memang sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki
Dewa Arak. Benarkah kau. Dewa Arak?"
"Namaku sebenarnya adalah Arya, Kisanak.
Tapi dunia persilatan memang memberi julukan
seperti itu," jawab Dewa Arak sambil menghela
napas berat, berusaha merendah
"Sama sekali tidak disangka. Ternyata kau
yang demikian sakti, ikut tertarik terhadap
benda-benda keramat itu. Kalau begitu aku
hanya mempunyai kesempatan sedikit sekali
untuk mendapatkannya. Tapi aku tidak putus
asa. Dewa Arak. Meskipun kau ikut serta dalam
perebutan dan pencarian benda-benda ajaib itu,
aku pantang mundur!"
Dewa Arak jadi melongo. Sama sekali tidak
dimengerti, apa yang dimaksud Ular Emas.
2
"Apa... maksudmu. Ular Emas?!"
Setelah sekian lama berdiam diri, Arya
bertanya penuh ketidakmengertian. Tapi
wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa-apa,
karena memang sudah bisa mengendalikan
perasaannya.
"Benda ajaib?!" ulang Dewa Arak.
'Tidak usah pura-pura. Dewa Arak!" sergah
Ular Emas. "Kalau tidak karena itu, untuk apa
kau datang kemari?! Melancong?!"
Arya diam, tidak memberi jawaban sama
sekali.
"Selamat tinggal Dewa Arak! Percayalah.
Meski aku bukan tandinganmu, tapi niatku
untuk mencari dan memperebutkan benda-
benda ajaib itu tak pernah pupus!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, lelaki tinggi
kurus itu melesat keluar. Hanya dalam beberapa
kali lesatan, tubuhnya telah berada jauh di luar
kedai.
Arya hanya mengangkat bahu. Kemudian
pandangannya beralih pada para pengunjung
kedai yang masih berada di meja masing-
masing, menatap ke arahnya. Tapi mereka
langsung duduk di meja masing-masing, begitu
beradu pandang dengan sepasang mata Arya.
Memang, mereka yakin kalau pendekar muda
yang terkenal itu tidak akan melakukan tindakan
macam-macam. Tetapi pandangan mata Arya
yang tajam berkilat itu membuat mereka gentar
bukan main. Dan mata mereka pun dialihkan
pada hidangan yang tersedia di atas meja.
Dewa Arak pun tidak mempedulikannya.
Malah kakinya segera melangkah menghampiri
pemilik kedai. Tanpa banyak bicara, segera
diberikannya uang pembayaran makanan dan
pengganti kerusakan.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?!" tanya
Arya, setelah lelaki pemilik kedai itu menerima
uang pembayaran.
'Tentu saja. Tuan Pendekar! Dan aku akan
mencoba untuk menjawab, kalau memang bisa
kujawab!" sahut lelaki kurus kering cepat.
"Apakah di tempat ini ada seseorang yang
tengah menunggu kawannya?!"
Lelaki kurus kering itu tercenung sejenak.
"Tadi pagi memang ada seseorang yang
mungkin Tuan Pendekar maksudkan Tampak
gelisah sekali. Dia memesan makan untuk dua
orang. Tapi, tidak segera memakannya. Bahkan
bersikap seperti ada yang ditunggu. Tak lama
kemudian, dia pergi tergesa-gesa. Tapi belum
lama perginya, ada sekelompok orang datang
kemari mencari-carinya. Mereka pun pergi,
setelah melihat orang yang mereka cari tidak
berada di sini."
"Terima kasih atas keterangan yang kau
berikan, Ki," ucap Arya cukup puas dengan
keterangan itu
Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan
kedai. Dia tidak berusaha untuk mengetahui,
siapa sebenarnya orang-orang yang sepertinya
memburu orang yang tengah mencarinya di
kedai ini. Arya tahu, orang seperti lelaki pemilik
kedai itu tidak akan tahu tokoh-tokoh persilatan
Jadi, tidak ada gunanya berusaha bertanya lebih
jauh.
Di depan pintu kedai, Arya menghentikan
langkah. Dia terdiam sejenak sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Baru
setelah itu kakinya bergegas meninggalkan
tempat itu.
Dewa Arak saat ini merasa bingung, ke mana
harus mencari orang yang ingin ditemuinya.
Ayunan langkahnya menuruti kakinya saja. Tapi
belum lama melangkah, Arya melihat sosok-
sosok yang bergerak ke arahnya.
Tempat Arya berada, sejauh mata
memandang memang merupakan lapangan
tanah luas yang tidak terhalang apa pun.
Sehingga, Dewa Arak dapat melihat jauh ke
depan. Maka apa yang terlihat di depan sana,
membuatnya waspada. Matanya yang luar biasa
tajam, segera dapat melihat kalau sosok-sosok
kecil jauh di depan sana, adalah manusia-
manusia yang tengah berlari.
Namun, Arya tetap bersikap tenang.
Langkahnya terus saja dilanjutkan. Dia terus
berlari cepat, tanpa berusaha mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Agar tidak
bertubrukan dengan sosok-sosok di depan,
pemuda berambut putih keperakan ini berlari
agak ke pinggir.
Dan hanya dalam waktu sebentar saja, kedua
belah pihak telah hampir berpapakan.
Sosok-sosok yang dilihat Arya adalah lima
orang yang berwajah menggiriskan Semuanya
mengenakan pakaian dari kulit ular.
Dan Arya sudah merasa lega, ketika lima
sosok berpakaian dari kulit ular itu sama sekali
tidak menghiraukannya. Bahkan terus
melewatinya. Sehingga sekarang mereka telah
berlari saling membelakangi. Tapi mendadak....
"Berhenti dulu, Kisanak...!" Seruan keras dari
belakang, membuat langkah Dewa Arak terhenti.
Arya bukan seorang pengecut. Memang, dia
lebih suka kalau tidak terjadi sesuatu di antara
mereka. Tapi apabila hal itu terjadi, Arya
pantang mundur. Maka dengan sikap tenang,
tubuhnya berbalik.
Tampak lima sosok yang terdiri dari lelaki-
lelaki berusia empat puluhan telah berbalik
Sehingga, sekarang mereka saling berdiri
berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Akulah yang kalian maksudkan?!" tanya
Arya, tenang meski lima lelaki berpakaian dari
kulit ular Itu menatapnya penuh selidik.
"Tidak salah!" jawab lelaki yang berkulit
hitam seperti arang, tegas.
"Dan kau tidak usah berpura-pura lagi Anak
Muda!" sambung lelaki yang memiliki cambang
bauk lebat pada wajahnya.
"Cepat berikan benda itu pada kami!" timpal
yang bertubuh kecil kurus, sambil menudingkan
jari telunjuknya pada kain merah yang melilit
pangkal lengan Arya.
"Dan kami akan membiarkanmu berlalu dari
sini dalam keadaan hidup!" tambah yang
berkelapa botak, tidak mau ketinggalan bicara.
"Cepat berikan! Jangan sampai kesabaran
kami habis, sehingga terpaksa harus
membunuhmu!" ancam laki-laki yang terakhir.
"Sayang sekali," jawab Arya bernada
menyesal. "Aku tidak bisa memenuhi
permintaan kalian. Benda yang kalian minta,
bukan milikku. Dan ini hanya merupakan
amanat seseorang yang telah meninggal, untuk
diberikan pada orang yang diinginkan. Dan aku
yakin, kalian bukan orang yang dimaksud!"
"Keparat!"
Lelaki yang bercambang bauk lebat
menggeram. Wajahnya nampak merah padam.
Tampak jelas sikapnya yang tidak sabar, begitu
mendapat jawaban seperti itu.
"Anak Muda," selak lelaki berkepala botak
yang rupanya tidak ingin rekannya cepat-cepat
turun tangan. "Kami tidak ingin melukaimu,
mengingat kau hanya seorang pemuda yang
masih hijau meski rambutmu telah putih. Aku
kasihan, kalau kau mengalami kejadian yang
tidak menyenangkan. Lebih baik, serahkan
benda itu secara baik-baik. Dan, beritahukan apa
yang dikatakan oleh orang yang memberikan
benda itu padamu. Asal kau tahu saja. Anak
Muda. Kami ini berjuluk Lima Naga Langit
Bumi. Sekali kami bertindak, akan ada darah
yang tertumpah! Camkanlah baik-baik!"
"Sudah jelas kukatakan pada kalian, aku
tidak akan menyerahkan benda ini karena bukan
milikku, sekalipun, kalian bergelar Lima Naga
Golok Maut! Tak mungkin aku akan
memberikannya, apabila kalian berjuluk
Malaikat Maut!" tandas Arya mantap
"Rupanya, kau sudah ingin mencari kuburan.
Pemuda Sombong!" sentak laki-laki bercambang
bauk lebat.
Sekujur tubuh laki-laki itu sudah menggigil
karena tidak kuat menahan amarah. Dia sudah
bermaksud untuk menerjang, tapi tangannya
lebih dulu dipegangi oleh lelaki kecil kurus yang
memberinya isyarat untuk bersabar.
"Baiklah."
Sebelum lelaki kecil kurus berbicara, Arya
telah lebih dulu membuka mulut. Dewa Arak
tentu saja telah mendengar nama besar Lima
Naga Golok Maut yang terkenal sebagai tokoh-
tokoh golongan putih. Maka, dia tidak ingin
memberikan hajaran berat pada mereka.
"Kau bersedia memberikan benda itu pada
kami?!" tanya lelaki berkulit hitam laksana
arang, cepat-cepat.
Arya mengangguk.
'Tapi dengan satu syarat."
Lima lelaki berpakaian dari kulit ular ini
saling berpandangan.
"Kau jangan bermain gila dengan kami. Anak
Muda. Cepat katakan, apa syaratnya?"
"Begini," lanjut Arya, masih tetap bersikap
tenang. "Nama besar kalian telah lama kudengar.
Begitu pula keahlian kalian masing-masing. Nah!
Asal kalian berlima, atau salah satu di antara
kalian bisa mengalahkanku, aku bersedia
memberikan benda ini Bagaimana? Setuju?!"
Lima lelaki berpakaian dari kulit ular itu
kembali saling berpandangan dengan mata
terbelalak lebar. Sudah gilakah pemuda
berambut putih keperakan ini?! Berani benar
Dewa Arak menantang mereka untuk mengadu
kepandaian. Bahkan salah seorang di antara
mereka ada yang mengalahkan pemuda itu,
sudah dianggap menang, sehingga bisa
mendapatkan benda itu. Sungguh sebuah
persyaratan yang amat menguntungkan. Maka
tanpa banyak pikir panjang lagi, mereka berlima
mengangguk.
"Kami terima syarat itu!" jawab lelaki tinggi
besar yang sejak tadi diam saja.
"Sekarang, siapa yang lebih dulu ingin
melawanku?!" jawab Arya tidak mau
membuang-buang waktu.
"Aku...!" ujar lelaki berkulit hitam legam,
langsung mengacungkan jari telunjuk sambil
melangkah maju. "Aku berjuluk Naga Pedang
Kilat! Maka, keluarkan senjatamu untuk
melawanku. Tapi sebelumnya perlu kau ingat
kalau senjata tidak bermata. Aku khawatir kau
akan terluka oleh pedangku. Maka, berhati-
hatilah."
"Semua ucapanmu akan kuperhatikan,
Kisanak!" sambut Arya bernada sungguh-
sungguh.
Dalam hati. Dewa Arak membenarkan kabar
yang tersiar di dunia persilatan, kalau lima naga
ini merupakan tokoh golongan putih yang
berwatak sombong dan menganggap diri sendiri
sebagai tokoh tidak terkalahkan. Makanya, Arya
bermaksud meruntuhkan kesombongan mereka.
Singng!
Sinar menyilaukan mata langsung berpendar
ketika lelaki berkulit hitam yang berjuluk Naga
Pedang Kilat mencabut pedang yang tersampir
di punggung.
"Keluarkan senjatamu. Anak Muda!" ujar
Naga Pedang Kilat kembali memberikan
peringatan.
Kali ini peringatan itu lebih keras daripada
sebelumnya. Bahkan terasa jelas ada kegeraman
di dalamnya. Dan itu terjadi karena sikap Arya
yang terkesan meremehkan. Padahal, lima naga
ini merupakan tokoh-tokoh tinggi hati yang
tidak mau mendapat perlakuan kurang hormat
dari orang lain! Arya mengedarkan pandangan
ke tanah sebentar. Kemudian dipunggutnya
sebatang ranting sebesar ibu jari kaki yang
berada di depannya. Kebetulan panjang ranting
itu tidak kalah dengan panjang pedang Naga
Pedang Kilat
"Inilah senjataku. Naga Pedang Kilat!" ujar
Arya sambil mengunjukkan ranting itu dengan
tangan kanannya.
Bukan hanya Naga Pedang Kilat yang
merasakan panas pada wajahnya karena amarah
yang bergolak. Tapi, juga empat kawannya.
Sikap Dewa Arak benar-benar membuat harga
diri mereka demikian direndahkan!
"Baik! Kalau itu yang kau inginkan. Anak
Muda. Kau yang menolak peringatanku! Jangan
salahkan aku kalau lehermu putus oleh
pedangku! Lihat serangan!"
Naga Pedang Kilat membuka serangan
dengan sebuah tusukan ke arah leher. Bunyi
menggemuruh disertai kilatan-kilatan
menyilaukan mata mengiringi meluncurnya
serangan senjata milik Naga Pedang Kilat.
Di dalam hatinya. Dewa Arak merasa kagum
melihat kedahsyatan ilmu pedang Naga Pedang
Kilat. Tapi kekagumannya tidak ditunjukkannya.
Dan segera disambutnya serangan meskipun
hanya bersenjatakan sebatang ranting, tapi
ditangan orang berkepandaian tinggi seperti
Dewa Arak, ranting itu tidak kalah dibanding
sebatang pedang pusaka!
Naga Pedang Kilat dalam kemarahannya
yang menggelegak, rupanya bermaksud
membunuh Arya. Serangan pedangnya
menyambar bagaikan hujan Tapi, Dewa Arak
pun tidak tinggal diam. Laksana bayangan,
tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar
pedang. Saking cepatnya gerakan kedua tokoh
itu, yang terlihat hanya kelebatannya bayangan
kuning dan ungu serta gulungan dua sinar yang
berkelebatan
Trakkk!
Setelah bertarung hampir lima jurus. Dewa
Arak menangkis kelebatan pedang lawan
dengan rantingnya secara keras. Sehingga, tubuh
Naga Pedang Kilat terhuyung-huyung ke
belakang.
"Kukira sudah cukup, Kisanak," ujar Arya,
langsung melempar ranting itu ke sebelah
kirinya. Lemparan itu seperti biasa saja, tapi
mampu menembus batang pohon hingga amblas
setengahnya lebih!
"Aku belum kalah. Dan darah pun belum
menilik keluar dari tubuhku. Bagaimana
mungkin pertarungan ini sudah harus
dihentikan?!" dengus Naga Pedang Kilat.
"Aku tidak ingin bertarung dengan orang
yang . compang-camping pakaiannya."
Jawaban yang dikeluarkan Dewa Arak
dengan suara tenang. Tapi justru membuat Naga
Pedang Kilat memperhatikan pakaiannya,
karena heran mendengar pernyataan itu. Wajah
tokoh Lima Naga Langit Bumi ini pun berubah
hebat, ketika melihat pakaiannya. Pada beberapa
bagian, tampak bolong-bolong. Padahal,
sebelumnya dia tahu betul kalau pakaiannya
utuh! Jelas, Dewa Arak yang telah
melakukannya.
Naga Pedang Kilat memang memiliki watak
sombong, seperti empat rekannya. Tapi
kenyataan yang dihadapi ini, telah membuatnya
tahu kalau Dewa Arak telah berlaku murah hati!
Dia tahu, bila pemuda berambut putih
keperakan ini menghendaki, nyawanya telah
melayang sejak tadi. Betapa mudahnya bagi
pendekar muda itu untuk membunuhnya.
"Aku mengaku kalah," ujar Naga Pedang
Kilat, kaku sambil mengundurkan diri setelah
merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Dewa Arak tidak memberi sahutan sama
sekali. Dan dia memang telah kenyang
berhadapan dengan berbagai ragam watak.
Sehingga Arya tahu, merendah terhadap Naga
Pedang Kilat hanya akan dapat menimbulkan
salah paham! Naga Pedang Kilat tengah merasa
terpukul oleh kekalahannya, bisa-bisa sikap
merendah yang akan dikeluarkan diterima
sebagai ejekan.
* * *
"Kau hebat. Anak Muda," lelaki tinggi besar
yang menjadi orang kedua untuk menghadapi
Dewa Arak, melangkah maju mendahului rekan-
rekan.
"Kemenanganmu terhadap kawan kami,
menunjukkan kalau kau memiliki kepandaian
tinggi! Dan ini mengingatkanku pada seorang
tokoh persilatan yang baru-baru ini
menggemparkan dengan kepandaian dan
tindakannya. Dewa Arak, julukan tokoh itu.
Apakah kau orangnya. Anak Muda?!"
"Benar!" jawab Arya, singkat.
Tidak seperti biasanya jawaban Dewa Arak
terkesan mantap dan tidak merendah. Karena
dia merasakan ada nada merendahkan dalam
ucapan lelaki tinggi besar itu. Cara bicaranya
mengisyaratkan kalau tokoh yang
diceritakannya terlalu dibesar-besarkan oleh
dunia persilatan!
"Bagus!" Lelaki tinggi besar itu seperti tengah
memuji seorang anak kecil. "Apakah kau akan
bertanding melawanku sesuai kemampuanku?
Aku dijuluki orang Naga Bertenaga Selaksa Kati.
Apakah kau bersedia bertarung denganku sesuai
dengan kemampuan yang kumiliki?!"
Dewa Arak mengangguk. Diam-diam hatinya
mendongkol sekali terhadap lelaki tinggi besar
yang ternyata berjuluk Naga Bertenaga Selaksa
Kati yang sombong bukan kepalang. Dewa Arak
pun bertekad untuk mengalahkannya secara
keras.
"Mengingat julukanmu, kau pasti memiliki
tenaga besar. Maka asal kau mampu
mengangkat tubuhku, aku mengaku kalah. Dan
perjanjian tadi kalian yang menangkan," jawab
Arya, tenang
"Keparat!"
Naga Bertenaga Selaksa Kati sampai
menggemeretakkan gigi mendengar sambutan
Arya.
"Kaulah yang telah menentukan, sehingga
aku tidak memiliki pilihan lain. Bersiaplah untuk
menerima kekalahan. Dewa Sombong!"
"Mulailah, Naga Bertenaga Selaksa Kati Aku
sudah sejak tadi siap!" jawab Arya, masih tetap
bersikap tenang. "Atau mungkin kau merasa
tidak sanggup? Bila demikian, tidak perlu kau
mengangkatku. Asal bisa mendorong tubuhku
saja, aku sudah mengaku kalah!"
Naga Bertenaga Selaksa Kati makin
menggeram seperti harimau luka mendengar
ejekan Dewa Arak. Kemudian sambil
mengerahkan seluruh tenaga dalam,
dihampirinya Dewa Arak yang telah berdiri
dengan sikap tenang. Malah seperti tidak
mengerahkan tenaga sama sekali
Meski terlihat tenang, Dewa Arak sebenarnya
telah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
memberatkan tubuhnya. Dia tahu, lawannya
memiliki tenaga luar amat besar. Tapi Dewa
Arak yakin akan mampu mengunggulinya.
Makanya, pemuda ini berani mengajukan
tantangan seperti itu.
Naga Bertenaga Selaksa Kati memang patut
memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi besar.
Sehingga, Dewa Arak jadi terlihat kecil. Tinggi
pemuda berambut putih keperakan itu hanya
sampai pundak Naga Bertenaga Selaksa Kati.
Dengan otot-otot yang bertonjolan seperti
hendak keluar di tubuh Naga Bertenaga Selaksa
Kati, membuat Dewa Arak kelihatan lemah dan
ringkih. Sekilas pandang, tubuh Arya dengan
mudah akan dapat diangkat dan dipermainkan
lawan sesuka hatinya.
Naga Bertenaga Selaksa Kati telah memegang
kedua bahu Dewa Arak dengan kedua
tangannya, bersiap untuk segera mengangkat.
Dia yakin dapat mengangkat tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu. Apalagi, karena
dapat memegang dengan kuat! Mengangkat
seekor kerbau yang paling besar pun dia
mampu! Apalagi, tubuh Dewa Arak yang
demikian kecil.
"Heaaa..., ah....!"
Tapi, Naga Bertenaga Selaksa Kati kecele
ketika telah mengerahkan seluruh tenaga untuk
mengangkat, tubuh Dewa Arak sama sekali
tidak terangkat. Apalagi bergeming. Padahal,
sekujur wajah Naga Bertenaga Selaksa Kati telah
merah padam. Urat-urat lehernya
menggembung besar, saking telah mengerahkan
semua kekuatannya. Bahkan sampai terdengar
bunyi terengah-engah
Naga Bertenaga Selaksa Kati akhirnya
menyerah, ketika tidak juga berhasil
mengangkat tubuh Dewa Arak. Sekarang, dia
berganti siasat dengan melakukan dorongan
Tapi, kali ini pun sia-sia. Yang didorong Naga
Bertenaga Selaksa Kati seperti bukan Dewa
Arak, melainkan tiang kokoh kuat yang berakar
di perut bumi!
"Aku mengaku kalah!" desah Naga Bertenaga
Selaksa Kati mencoba bersikap jantan. Padahal,
hatinya terasa panas. Peluh telah membasahi
wajah dan lehernya, namun tidak dihapusnya.
Dan tubuhnya langsung berbalik dengan wajah
muram.
Kekalahan Naga Bertenaga Selaksa Kati
membuat pihak Lima Naga Langit Bumi
semakin tidak puas. Perasaan itu membuat tiga
orang yang belum mendapat giliran tanpa sadar
maju berbareng.
"Biar aku yang sekarang mencoba
kelihaianmu, Dewa Arak!"
Hampir berbarengan pula ketiga orang Lima
Naga Langit Bumi itu mengeluarkan perkataan.
"Kau memang hebat Dewa Arak!" kata lelaki
kecil kurus ini, bernada pahit "Kami pun bukan
orang-orang tidak tahu diri yang hendak
mendapatkan kemenangan secara keroyokan
Kau berjanji, kami pun bisa berjanji. Dan aku
berjanji atas nama lima rekanku. Apabila aku
dapat kau kalahkan, kami semua akan pergi dan
tidak mempedulikan urusan ini lagi! Kau boleh
pergi dengan benda itu."
Ucapan lelaki kecil kurus itu mengejutkan
dua rekannya. Tapi mereka tidak bisa berbuat
apa-apa karena dapat merasakan kalau kawan
mereka benar. Apabila lelaki kecil kurus itu
kalah juga, lebih baik mengundurkan diri. Kalau
semua kalah, sama artinya meruntuhkan nama
Lima Naga Langit Bumi. Tapi juga masih ada
yang belum dikalahkan, dengan demikian
mereka masih bisa berbangga hati Lagi pula
dengan syarat itu sama artinya mereka memberi
kemudahan pada Dewa Arak. Sehingga sedikit
banyak dapat mengangkat harga diri mereka.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu pertanda
tidak terlalu mempedulikannya. Dan, lelaki kecil
kurus yang menganggap tindakan Dewa Arak
sebagai tanda setuju, langsung menyambung
ucapannya.
'Aku dijuluki Naga Tanpa Bayangan. Dan
kebiasaanku yang utama adalah berlari. Maka
aku menantangmu untuk berlari! Bagaimana?
Apakah kau berani?!"
3
"Sekali aku mengeluarkan ucapan, tidak akan
kutarik sampai nyawa lepas dari badan.
Demikian tekadku. Naga Tanpa Bayangan!"
tandas Dewa Arak agak keras. Sebenarnya Arya
tersinggung mendengar tantangan lelaki kecil
kurus yang bernada meremehkan.
"Bagus!" Naga Tanpa Bayangan. "Kau
memang hebat dan juga berani. Dan memang
kuakui, kau pantas bersikap seperti itu karena
telah memenangkan dua pertarungan berturut-
turut. Nah! Mengenai pertarungan antara kita,
apakah kau atau aku yang harus menentukan
jenisnya?!"
"Kau saja. Naga Tanpa Bayangan. Kau lebih
mengetahui pertarungan dengan cara seperti ini.
Dan aku hanya menandingi saja."
"Baiklah kalau demikian."
Naga Tanpa Bayangan bersikap seperti agak
berat melakukannya. Pandangannya beredar ke
sekeliling tempat itu, lalu terarah pada kedua
ujung jalan seperti tengah mengira-ngira. Tapi
yang terlihat hanya kesunyian.
"Kita akan mengadakan pertarungan untuk
mengambil sesuatu. Misalnya..., sebatang
ranting yang akan diletakkan di ujung sana,"
jelas Naga Tanpa Bayangan.
Naga Tanpa Bayangan menudingkan jari
telunjuk kanannya ke depan. Tanpa disuruh.
Dewa Arak mengarahkan pandangan ke sana.
"Setelah mendapatkan ranting yang akan
diletakkan di sana, masing-masing harus
kembali ke tempat ini secepatnya. Dan karena
kita sama-sama lihai, mungkin selisih lari tidak
akan berbeda jauh. Dan bisa jadi, hampir tiba
berbarengan. Maka untuk lebih jelas terlihat
siapa yang akan keluar sebagai pemenang, di
sini akan kurentangkan sehelai kain yang akan
menjadi bukti siapa yang menang.
Pemenangnya, akan terlihat kenapa kain itu
akan menempel dengan perutnya. Bagaimana?
Jelas, Dewa Arak?!"
"Jelas!" jawab Dewa Arak, singkat tanpa
banyak bicara, dengan gerak isyarat Naga Tanpa
Bayangan meminta kedua rekannya yang belum
bertarung untuk membantunya mempersiapkan
permainan yang akan digelar. Lelaki berkepala
botak disuruhnya meletakkan dua batang
ranting secara berjajar dalam jarak agak
berjauhan, sekitar satu tombak. Sedangkan lelaki
bercambang bauk lebat, diminta untuk
mengikatkan sabuknya antara kedua pohon
yang berada di sisi jalan. Sekarang, jalan itu
menjadi terhalang oleh sabuk yang
direntangkan.
"Kau telah siap. Dewa Arak?!" tanya Naga
Tanpa Bayangan, setelah melihat dua rekannya
menyelesaikan tugasnya.
"Siap!" jawab Arya, mantap sambil mengukur
jarak tempat ranting itu berada dengan
pandangan matanya.
Dewa Arak tahu jarak itu tak kurang dari tiga
ribu tombak. Sebuah jarak yang amat dekat bagi
orang-orang seperti Dewa Arak dan Naga Tanpa
Bayangan untuk dijadikan tempat balap lari.
Begitu lelaki berkepala botak memberi tanda
dengan lambaian tangan kanannya. Dewa Arak
dan Naga Tanpa Bayangan melesat disertai
pengerahan ilmu lari cepat. Tubuh kedua tokoh
itu seketika lenyap. Yang terlihat hanya dua
bayangan kuning dan ungu yang melesat cepat,
menuju tempat ranting-ranting ditancapkan.
Naga Tanpa Bayangan melesat mengerahkan
seluruh kemampuannya. Dan dia yakin akan
dapat mengalahkan Dewa Arak. Lelaki kecil
kurus ini berlari tanpa melihat kanan kiri lagi.
Dan begitu menyambar ranting yang
ditancapkannya di tanah, tubuhnya kembali
melesat cepat. Namun hatinya sempat bergetar
ketika melihat ranting yang satu lagi tidak ada,
pertanda Dewa Arak telah mengambilnya lebih
dulu. Maka sambil menggigit bibir, dia berlari
kembali ke tempat semula untuk menyusul
Dewa Arak yang telah lebih dulu!
Tapi betapapun Naga Tanpa Bayangan telah
menguras seluruh kemampuannya. Dewa Arak
tetap tak terkejar. Pemuda berambut putih
keperakan itu yang lebih dulu menabrak sabuk
yang membentang jalan dengan tubuhnya
hingga putus.
"Kau menang. Dewa Arak," ucap Naga Tanpa
Bayangan, setelah sampai.
"Ucapannya agak terengah. Bahkan ada
sedikit peluh pada dahinya, pertanda kakek kecil
kurus ini telah mengerahkan tenaga sepenuhnya
dalam perlombaan yang hanya sebentar itu.
'Terima kasih atas kerendahan hatimu
mengalah padaku. Naga Tanpa Bayangan. Dan
sekarang, aku mohon diri," jawab Dewa Arak
dengan napas dan sikap biasa saja. Tidak terlihat
adanya peluh di dahi pemuda berambut putih
keperakan ini
Naga Tanpa Bayangan hanya mengangguk
kaku. Kemudian, tubuhnya berbalik. Dan tanpa
banyak bicara, kelima orang tokoh golongan
putih yang mempunyai sifat sombong ini
melangkah meninggalkan tempat ini dengan hati
terpukul. Mereka tidak pernah mimpi akan bisa
dikalahkan orang lain. Apalagi oleh seorang
tokoh muda seperti Dewa Arak.
Arya pun meninggalkan tempat itu. Hanya
saja, dia menempuh arah yang berlawanan
dengan arah yang ditempuh Lima Naga Langit
Bumi itu.
'k 'k 'k
"Tolong...! Lepaskan aku.... Keparat!
Tolooong...!"
Teriakan melengking nyaring membuat Arya
yang tengah berlari cepat menuju pantai,
memperlambat langkahnya. Kepalanya langsung
menoleh ke arah kanan tempat asal suara, yakni
sebuah kerimbunan semak dan pepohonan. Tapi
pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa
melihat apa-apa. Dan menilik dari teriakan itu.
Dewa Arak tahu kalau sumber suara berasal
cukup jauh dari tempatnya berada.
Arya yang tengah terburu-buru itu jadi
bimbang sejenak, antara meneruskan tujuannya
dengan memberikan pertolongan Tapi naluri
kependekarannya memutuskan untuk cepat
membelokkan arah larinya, ke arah asal jeritan
tadi.
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa
yakin, ada orang yang membutuhkan
pertolongan Maka seluruh ilmu lari cepatnya
dikerahkan. Perasan khawatir kalau pertolongan
yang diberikan akan terlambat. Dewa Arak
menerobos semak-semak yang dipenuhi onak
berduri sehingga, terdengar bunyi berkerosokan
ketika kaki dan tubuhnya bertabrakan dengan
semak-semak.
Berkat tenaga dalam yang dimiliki. Dewa
Arak nma sekali tidak merasakan sakit sedikit
pun. Dalam aliran tenaganya yang dahsyat,
kulitnya memang menjadi kebal.
Srakkk!
Arya langsung menerobos kerimbunan
semak-semak lebat yang diyakini menjadi
sumber suara minta tolong itu. Agak terkejut
hatinya, ketika di belakang kerimbunan semak-
semak yang lebat ternyata hamparan tanah
cukup luas yang ditumbuhi rumput-rumput
pendek. Dan di tengah-tengah hamparan tanah,
berdiri sesosok tubuh berpakai serba hitam. Dia
berdiri dengan kedua tangan bersedakep di
depan dada, sambil menjerit-jerit minta
pertolongan.
Menghadapi kenyataan yang sama sekali
tidak disangka-sangka. Dewa Arak terkejut. Dan
seketika itu pula langkah kakinya terhenti.
Sepasang matanya yang tajam langsung menatap
sosok serba hitam berusia sekitar tiga puluh lima
tahun yang mengeluarkan teriakan meminta
tolong, namun sama sekali tidak terancam!
Bahkan dia bukan seorang wanita seperti yang
diduga Arya semula.
Hanya sebentar saja pemuda berambut putih
keperakan itu terperanjat. Seketika itu pula,
langsung dapat disadari kalau lelaki berpakaian
hitam yang pada pangkal tangan kanannya
terlilit sehelai kain hitam, telah menjebak, hingga
Arya datang. Setelah mendengar teriakan minta
pertolongan
Dewa Arak tidak yakin kalau lelaki
berpakaiai hitam itu hanya sendirian di tempat
ini. Dan benar saja dugaannya. Tak lama dari
dua batang pohon yang berada di depan lelaki
berpakaian hitam, melompat turun dua sosok
bayangan. Begitu ringannya mereka mendarat di
tanah, tepat di depan lelaki berpakaian hitam.
"Nama besarmu ternyata tidak berlebihan.
Dewa Arak. Kau memiliki kepandaian cukup
hebat. Terbukti, dengan keberhasilanmu
memperdaya Lima Naga Langit Bumi.
Kemenanganmu terhadap Naga Tanpa
Bayangan, telah kami lihat. Meskipun berlari
jarak yang jauh dan dari tempat yang cukup
tersembunyi. Tapi jangan berbangga diri. Dewa
Arak. Kemenanganmu terhadap mereka tidak
bisa dijadikan ukuran. Kepandaian mereka
terlalu rendah. Tiap-tiap seorang dari kami pun,
mampu mengalahkan Lima Naga Langit Bumi!"
kata lelaki berpakaian hitam yang memancing
Dewa Arak datang dengan teriakan meminta
pertolongannya.
Dewa Arak tersenyum pahit, tanpa
memberikan tanggapan sama sekali selain
memperhatikan mereka penuh selidik. Rata-rata
mereka berusia tiga puluh lima tahun dengan
wajah dingin menampakkan kekejaman. Tidak
ada ciri khas yang ada, sehingga Arya cukup
mengalami kesulitan kalau tidak melihat
perbedaan yang cukup menyolok Dua lelaki
lainnya yang datang belakangan, memiliki ikat
Kain putih di kepala dan dipangkal lengan
kanan.
"Terima kasih atas pujian kalian. Tapi, bukan
untuk itu aku kemari. Dan karena persoalan
yang kumaksud tidak ada, aku tidak bisa
menemani kalian lebih lama di sini. Permisi."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut
putih keperakan ini berbalik dan bersiap
meninggalkan tempat itu.
'Tidak semudah itu kau dapat pergi dari sini.
Dewa Arak! Tidak, sebelum kau berikan apa
yang kami inginkan!"
Berbarengan teriakan keras itu. Dewa Arak
mendengar adanya gerakan di belakangnya.
Namun kepalanya tidak menoleh walau
langkahnya terhenti. Sekujur urat saraf dan otot
di tubuhnya menegang waspada, bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Tapi kekhawatiran Dewa Arak tidak terbukti.
Tiga lelaki berpakaian hitam sama sekali tidak
mengirimkan serangan gelap. Bahkan sekejap
kemudian, lelaki yang memiliki kain putih pada
pangkal lengan kanan telah melompat melewati
kepala Dewa Arak. Tubuhnya berjungkir balik di
udara, dan mendarat beberapa tombak di depan
pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak tetap bersikap tenang dan tetap di
tempat. Hanya sepasang matanya yang melirik
ke sana kemari, seperti mengamati gerak-gerik
lawan-lawannya.
Arya yakin kalau tiga lelaki berpakaian hitam
ini tidak akan melepaskannya begitu saja.
Apalagi ketika mereka berdiri di tiga penjuru
dengan sikap mengancam.
"Apa yang kalian inginkan?!" tanya Arya
ingin tahu, meskipun sudah bisa
memperkirakannya.
"Tidak banyak," jawab lelaki yang memiliki
kain putih di kepala, ringan. "Kami hanya
menginginkan kain merah di pangkal lengan
kirimu."
"Benar," timpal lelaki lain yang memiliki kain
putih di pangkal lengan kanan, mendukung.
"Apa bila kau menyerahkannya, kami akan
biarkan kau pergi dari sini Bahkan mungkin kita
bisa menjadi sahabat baik. Dewa Arak."
"Sayang sekali, Kisanak Semua," jawab Arya,
berinada menyesal. "Aku tidak bisa memenuhi
permintaan itu. Karena, benda ini hanya titipan.
Dan aku tidak berani untuk mengingkari amanat
yang dipesankan oleh pemiliknya."
"Rupanya kau sudah pingin mampus. Dewa
Arak," geram lelaki yang tangan kanannya
terbelit kain putih, penuh amarah. "Kau menjadi
besar kepala karena telah berhasil mengalahkan
Lima Naga Langit Bumi, heh?! Kau terlalu
berlebihan. Dewa Arak. Mungkin perlu
kuberitahu sekali lagi, kalau kepandaian mereka
tidak begitu tinggi. Bahkan tidakk bisa
disamakan dengan salah seorang di antara
kami!"
Arya tidak membantah pernyataan itu.
Bibirnya hanya tersenyum lebar. Dewa Arak
tahu kalau lelaki berpakaian hitam itu tidak
berbicara besar. Lawan-lawannya memang
memiliki kemampuan tinggi. Gerakan mereka
yang gesit, dan sepasang mata yang mencorong
tajam seperti mata harimau dalam gelap, telah
menjadi bukti sesumbar mereka.
Sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring langsung terdengar
ketika lelaki yang memiliki kain putih di pangkal
lengan kanan mencabut sepasang senjata berupa
trisula yang tadi terselip di pinggang. Sinar
keperakan langsung berkelebatan ketika
sepasang trisula itu bergerak!
"Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan segera
memulai! Keluarkan ilmu 'Belalang Sakti'-mu
agar tidak mati konyol di tanganku!" ujar lelaki
berpakaian hitam memberi peringatan seraya
menyilangkan sepasang trisula di depan, agak di
atas wajah. Sepasang trisula yang berwarna
keperakan kelihatan kokoh dan kuat bukan
kepalang.
Arya tidak berani bersikap sembarangan
Seperti mematuhi perintah lawannya, guci arak
yang semula tersampir di punggung diambil dan
dituangkan ke dalam mulut untuk penggunaan
ilmu 'Belalang Sakti' yang dahsyat.
"Haaattt...!"
Lelaki berpakaian hitam berseru keras, seraya
meluruk menerjang Dewa Arak dengan
serangan sepasang trisulanya. Bunyi angin
menderu keras menyambar, sebelum serangan
trisula itu tiba.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah
Disadari betul kedahsyatan serangan lawannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung, yang
merupakan gerakan khas jurus 'Delapan
Langkah Belalang', pemuda berambut putih
keperakan ini mengelakkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam menggeram, ketika
melihat serangannya mengenai tempat kosong.
Padahal dilihatnya sendiri, kalau pemuda
berambut putih keperakan itu tidak
mengelakkan serangan dengan gerakan silat.
Malah gerakannya seperti orang yang ketakutan,
atau orang mabuk!
Perasaan penasaran membuat lelaki
berpakaian hitam ini mengeluarkan ilmu
andalannya. Sepasang trisulanya berkelebatan
cepat, mengurung semua jalan yang sekiranya
akan dijadikan tempat mengelak Dewa Arak.
Tapi seperti juga sebelumnya, hanya kegagalan
yang diperoleh.
Tentu saja, rasa penasaran lelaki berpakaian
hitam ini semakin bertumpuk. Dengan
kemarahan semakin berkobar, serangan susulan
pun dilancarkan. Tapi hasil yang didapat hanya
kegagalan lagi Dewa Arak bagaikan bayangan
Kelihatan begitu dekat dan mudah ditangkap,
tapi apabila dilakukan tidak pernah berhasil.
Setelah menyerang selama sepuluh jurus
tanpa hasil, lelaki berpakaian hitam ini
menghentikan setangan. Suaranya yang bergetar
tidak dapat menyembunyikan perasaan geram
yang tengah melanda.
Karena lawan menghentikan penyerangan,
maka Dewa Arak pun tidak melanjutkan
gerakan lagi.
"Jadi... bagaimana maumu, Kisanak!" tanya
pemuda berambut putih keperakan jtu, tenang.
"Balaslah menyerang! Menangkis atau pun...,
apa maumu terserah! Jangan mengelak-elak
terus seperti perempuan pengecut atau banci!
Kau bukan banci, kan?!" seru lelaki berpakaian
hitam. Hatinya merasa tersinggung oleh
tindakan Dewa Arak yang dianggap
merendahkannya.
Lelaki berpakaian hitam tahu kalau
ucapannya telah cukup untuk membuat Dewa
Arak bertindak lain. Meski, dilihatnya tidak ada
perubahan apa pun baik pada wajah maupun
sikap pemuda berambut putih keperakan itu.
Oleh karena itu, tanpa menunggu lebih lama
lagi, lelaki berpakaian hitam ini kembali
memulai serangan. Sepasang trisula
berkelebatan cepat. Bentuknya lenyap menjadi
dua gulungan keperak-an yang meluncur cepat
ke arah Dewa Arak.
Beda dengan sebelumnya, kali ini Dewa Arak
tidak mengelak sama sekali, tepat seperti yang
diperkirakan lelaki berpakaian hitam. Arya diam
menunggu datangnya serangan. Dan ketika telah
menyambar dekat, baru pemuda berambut putih
keperakan ini menggerakkan gucinya.
Klang...! Klangng!
Bunga api berpercikan ke udara, ketika
sepasang trisula itu bertemu dengan guci secara
keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak
sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Hanya saja. Dewa Arak terhuyung selangkah
Sedangkan lawannya sampai lima langkah!
Kenyataan ini mengejutkan dua rekan lelaki
berpakaian hitam lainnya. Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau pemuda berambut putih
keperakan itu akan sedemikian kuatnya. Bahkan
mampu membuat salah seorang dari mereka
terhuyung sampai lima langkah.
Tanpa diminta, dua orang lelaki berpakaian
hitam lainnya mencabut senjata, kemudian
menyerang Dewa Arak. Pada saat yang
bersamaan, lelaki berpakaian hitam yang baru
saja dipukul mundur ikut menyerang kembali.
Tak pelak lagi. Dewa Arak, sekarang mendapat
pengeroyokan! Dewa Arak tidak berani
bertindak main-main lagi Ilmu 'Belalang Sakti'
langsung dikeluarkan. Pertarungan satu
melawan tiga pun berlangsung. Bunyi dentang
senjata beradu, percikan bunga api ke udara,
serta teriakan-teriakan kedua pihak yang
bertarung.
Tiga lelaki berpakaian hitam itu terkejut dan
penasaran bukan kepalang. Pertarungan telah
berlangsung lebih dari lima belas jurus. Tapi
selama ini mereka belum mampu mendesak
Dewa Arak! Padahal, mereka bertiga. Sedangkan
Dewa Arak lunya seorang. Mereka telah bekerja
sama, sehingga seakan-akan pikiran mereka
menjadi satu. Namun kenyataannya. Dewa Arak
tidak mampu didesak!
Bukan hanya ketiga orang itu yang merasa
penasaran! Dewa Arak pun sedikit banyak
dilanda perasaan itu Ilmu 'Belalang Sakti',
terutama sekali jurus 'Belalang Mabuk',
merupakan jurus yang diciptakan khusus untuk
membongkar pertahanan lawan! Jurus itu penuh
gerakan serangan dahsyat, tapi sekarang tidak
berhasil dengan baik. Kerjasama tiga lelaki
berpakaian hitam ini terlalu rapi, sehingga Arya
hampir tidak pernah mendapat kesempatan
untuk menjatuhkan serangan.
Kalau saja tiga orang itu tidak bisa bekerja
sama secara baik, tentu Dewa Arak akan mudah
merobohkan kendati mereka melakukan
keroyokan 1 Apalagi tingkat kepandaian pemuda
berambut putih keperakan ini berada jauh di atas
lawan-lawannya.
Namun, kenyataan menghendaki lain.
Sehingga, pertarungan yang ulet pun terjadi.
Bahkan sekarang telah memasuki jurus ketiga
puluh lima, namun pertarungan masih belum
dapat ditentuka pemenangnya. Tak lama....
"Manusia-manusia Pengecut! Di mana-man
kalian selalu menimbulkan kerusuhan!"
Mendadak terdengar sebuah bentakan keras
hingga mampu menggetarkan sekitar tempat itu
Jelas, suara itu ditunjang tenaga dalam tinggi.
Dan belum hilang gema bentakan itu lenyap,
sesosok bayangan merah telah menyambar
laksana seekor burung ke dalam kancah
pertarungan. Dan bayangan itu langsung
menyerang salah seorang di antara tiga lelaki
berpakaian hitam.
Tentu saja lelaki berpakaian hitam yang
mendapat serangan tidak tinggal diam. Dengan
sepasang trisulanya yang saling disilangkan
seperti hendak menjepit, dipapak serangan
tusukan pedang dari sosok yang baru tiba.
Trakkk!
Sosok bayangan merah yang menyadari
keadaan berbahaya bagi senjatanya yang
mungkin patah akibat guntingan sepasang
trisula lawan, cepat menggerakkan pergelangan
tangannya sedemikian rupa. Sehingga, pedang
di tangannya tidak terkena guntingan, meskipun
terjadi benturan.
Trakkk!
Tubuh sosok bayangan merah itu terpental ke
belakang akibat benturan keras itu Sementara
sosok berpakaian hitam terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam yang terhuyung
mundur tahu kalau sosok bayangan merah yang
datang-datang membantu Dewa Arak, memiliki
kepandaian tinggi Satu orang lawan lagi harus
dihadapi. Dan Itu berarti kedudukan Dewa Arak
semakin kuat. Padahal pemuda berambut putih
keperakan itu saja belum mampu ditanggulangi.
Sebelum kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung sirna, lelaki berpakaian hitam ini
mengeluarkan lengkingan aneh. Belum juga
suara itu lenyap tubuhnya sudah berbalik.
Langsung dia berlari meninggalkan Dewa Arak
dan sosok bayangan merah Dan tindakannya
segera diikuti dua orang kawannya.
***
4
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak.
Kalau kau tidak cepat membantu, mungkin saat
ini nyawaku telah pergi ke alam baka," ujar Arya
merendah sambil memberi hormat.
"Ah. Kau terlalu memuji, Kisanak. Tanpa
pertolonganku pun, kau akan berhasil
mengalahkan mereka. Kepandaianmu hebat
bukan kepalang. Sehingga, mampu menandingi
tiga tokoh jahat itu. Aku yakin, kau bukan tokoh
sembarangan," sahut sosok berpakaian merah
yang ternyata seorang gadis cantik manis berusia
sekitar dua puluh tahun.
Sejenak wajah gadis cantik itu jadi kemerahan
ketika mendengar ucapan terima kasih Arya
yang diketahuinya sangat berlebihan. Tapi
hanya berlangsung sebentar saja. Dan sekarang,
sepasang mata yang bening indah itu
memperhatikan pemuda berambut putih
keperakan yang berdiri di hadapannya dengan
penuh selidik.
"Pasti kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak.
Pakaianmu, rambut, dan juga gucimu
menunjukkan kalau kaulah orangnya. Apalagi
kepandaianmu memang amat tinggi. Apakah
dugaanku ini tidak keliru, Kisanak?!"
"Memang tidak," Arya tidak berusaha menge¬
lak. "Tapi, aku lebih suka dipanggil Arya."
"Baiklah, De... eh! Arya. Dan agar kedudukan
kita adil kau juga harus panggil namaku. Aku,
Aku, Ambar Wati," gadis berpakaian merah ikut
memperkenalkan diri.
Arya tersenyum lebar sebagai balasannya.
Tapi senyum itu mendadak lenyap, ketika
pemuda berambut putih keperakan itu melihat
mata Ambar Wati, terbelalak ke arah lengan kiri
Dewa Arak, tanpa perlu memeriksa Arya tahu
kalau Ambar Wati tengah menatap kain merah
yang melilit pangkal lengan kirinya.
Singng!
Sinar terang kontan mencuat ketika Ambar
Wati mencabut pedangnya yang tadi telah
dimasukkan ke dalam sarung, ketika tiga lelaki
berpakaian hitam tadi telah kabur.
Namun Dewa Arak bersikap tenang. Dia
tetap berdiri di tempatnya, meski tahu kalau
keadaan sewaktu-waktu dapat saja berubah.
Bukan tidak mungkin kalau Ambar Wati tertarik
juga dengan kain merah yang membelit pangkal
lengannya. Bukankah banyak tokoh persilatan
yang ingin mendapatkan kain merah yang
dititipkan padanya?
"Keparat! Rupanya kau yang menjadi
pembunuh kejinya?! Mampuslah...!" seru Ambar
Wati penuh perasaan geram. Seketika
pedangnya ditusukkan ke arah dada Dewa Arak.
Ucapan Ambar Wati membuat Arya agak
heran, sekaligus girang. Meski hanya sedikit saja,
tapi bisa diduga kalau Ambar Wati bukannya
ingin mendapatkan kain merah di lengannya.
Yang jelas, gadis itu merasa heran mengapa kain
merah itu berada pada Dewa Arak. Dan ini
berarti. Ambar Wati tahu siapa pemilik kain
merah itu.
Setelah tahu kalau gadis berpakaian merah ini
salah paham. Dewa Arak tidak mau bertindak
keras dan membiarkannya beriarut-larut. Tak
heran kalau tusukan pedang itu sama sekali
tidak dielakkan Ketika hampir mengenai
sasaran, kedua telapak tangan yang saling
dirangkapkan dijepitkan pada mata pedang.
Tappp!
Kemarahan Ambar Wati semakin menjadi-
jadi, ketika melihat serangannya kandas. Malah,
pedangnya terperangkap. Seketika seluruh
tenaganya dikerahkan dan langsung disalurkan
pada tangan yang memegang pedang, agar
dapat lepas dari jepitan tangan Dewa Arak.
Tapi usaha Ambar Wati sia-sia belaka.
Pedang itu sama sekali tidak bergeming, seperti
terjepit jepitan baja yang kokoh kuat. Betapapun
gadis berpakaian merah ini berusaha, tetap saja
tidak menunjukkan hasil.
"Sabarlah, Ambar," ujar Arya tenang. "Aku
yakin ada kesalahpahaman di sini"
"Salah paham dengkulmu!" sentak Ambar
Wati sewot, meski dengan napas agak terengah
karena tengah berusaha menarik pulang
senjatanya.
"Percayalah, Ambar," bujuk Arya masih tetap
tenang. Tidak dihiraukannya kemarahan yang
melanda gadis berpakaian merah itu. "Aku
bukan seorang pembunuh!"
Dewa Arak yakin, keterangannya cukup
untuk menenangkan Ambar Wati. Maka usai
berkata demikian, jepitannya pada pedang gadis
berpakaian merah itu dikendurkan.
Tapi, Arya salah duga! Ambar Wati yang
masih penasaran dan marah cepat menarik
pedangnya. Langsung dikirimkannya serangan
yang lebih dahsyat pada pemuda berambut
putih keperakan itu. Maka terpaksa Dewa Arak
bergerak ke sana kemari, untuk
mengelakkannya.
Namun serangan menggebu-gebu Ambar
Wati hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.
Begitu mempunyai satu kesempatan. Dewa Arak
cepat mencengkeram mata pedang lawannya.
Pemuda ini tidak khawatir kalau tangannya
akan terluka, karena telah mengukur kekuatan
tenaga dalam Ambar Wati, yang jauh di
bawahnya. Dan dengan selisih tenaga dalam
yang demikian jauh. Dewa Arak mampu
membuat tangannya tidak terluka kendati harus
bertemu pedang Ambar Wati.
"Ambar! Bukankah kau mempermasalahkan
kain merah ini?!" sentak Arya langsung ke pokok
persoalan, karena tidak ingin salah paham ini
berlarut-larut "Ketahuilah! Aku tidak
mengambilnya secara paksa, apalagi sampai
membunuh! Kain merah ini kudapatkan dari
pemiliknya sendiri yang tengah sekarat. Dan dia
menyuruhku untuk menyampaikan ini pada
yang berhak menerimanya. Tapi, orang yang
harus kutemui untuk menyerahkan kain merah
ini tidak kujumpai. Jadi, tidak ada yang dapat
kulakukan lagi!"
"Pemiliknya?!" dengus Ambar Wati, meski
sikapnya tidak sekeras sebelumnya. "Mungkin
perlu kuberitahukan padamu. Dewa Arak.
Pemilik kain merah itu telah lama meninggal
dunia! Tewas dibunuh orang!"
Wajah Arya kontan berubah.
"Tapi, aku sekarang telah percaya padamu.
Meskipun, hanya sedikit. Dan kuharap kau mau
melepaskan pedangku."
"Asal kau mau berjanji untuk tidak
menyerangku lagi," Dewa Arak meminta
kesediaan Ambar I Wati.
"Aku berjanji!" tandas Ambar Wati tegas.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya
melepaskan cengkeramannya. Dan memang.
Ambar Wati tidak menyerang lagi. Malah,
pedang itu dimasukkannya kembali ke dalam
war angka.
"Sepertinya kau cukup tahu riwayat kain
merah ini. Ambar," Arya memancing.
Pemuda berambut putih keperakan ini
memang ingin tahu penyebab kain merah itu
demikian menarik perhatian tokoh-tokoh
persilatan.
"Tentu saja!" sahut Ambar Wati, tersenyum
pahit "Karena pemilik kain merah itu berikut
kain timpalannya, adalah ayahku sendiri!"
Dewa Arak terkejut juga mendengarnya.
Semula dia telah menduga, pasti ada hubungan
erat antara Ambar Wati dengan pemilik kain
merah ini. Hanya saja pemuda berambut putih
keperakan ini tidak menyangka hubungan yang
terjalin akan seerat ini.
"Mungkin aku harus menceritakannya
padamu agar duduk perkaranya menjadi jelas.
Sebenarnya, ini merupakan rahasia keluargaku.
Tapi, aku telah percaya padamu. Dewa Arak,"
desah Ambar Wati disertai helaan napas berat
"Kalau merupakan rahasia keluarga, lebih
baik tidak usah diceritakan. Ambar," sahut Arya,
agak tidak enak.
"Tidak mengapa," Ambar Wati
menggelengkan kepala. "Nah, sekarang
dengarkanlah!"
"Kira-kira lima tahun yang lalu, ayah dan dua
Saudara seperguruannya dipanggil guru mereka.
Kebetulan, sang Guru adalah Ketua
Perkumpulan Tangan Dewa, sebuah perguruan
silat golongan putih. Guru dan dua saudara
seperguruannya yang lain, sudah tidak tinggal
di dalam perguruan. Bahkan dua di antara
mereka telah berkeluarga. Saat itu, aku telah
berusia sekitar lima belas tahun."
Sepasang mata Ambar Wati tampak berkaca-
kaca. Arya dapat menduga, kelanjutan cerita ini
merupakan kisah sedih. Tapi sebagai pendengar
yang baik, pemuda berambut putih keperakan
ini tidak menyelak sama sekali. Dia hanya diam
menunggu kelanjutan cerita itu.
"Ayah dan dua saudara seperguruannya
tentu saja segera memenuhi panggilan itu.
Sesampainya di sana, mereka tahu kalau sang
Guru telah sekarat, dan hanya tinggal menunggu
saatnya saja. Dan maksud pemanggilan sang
Guru itu ternyata untuk menjadikan salah
seorang dari mereka sebagai penggantinya.
Kebetulan tiga orang itu, termasuk ayah,
merupakan murid-murid utama Perguruan
Tangan Dewa. Di antara mereka, ayah
merupakan murid yang paling pandai dan
cerdik serta bijaksana. Tapi kendati demikian,
sang Guru yang tidak pilih kasih, tidak ingin
bertindak sembrono dalam menjatuhkan pilihan.
Maka diadakannya sebuah sayembara untuk
menentukan, siapa yang pantas menjadi
pimpinan sepeninggal dirinya. Perlombaan itu
untuk mencari pusaka perguruan yang telah
lebih dulu disembunyikan sang Guru di sebuah
tempat.
Dia hanya memberi sedikit petunjuk
untuk menemukannya. Dan keberhasilannya
untuk menemukan tempat itu, disesuaikan
dengan ilmu yangi mereka pelajari! Aku juga
tidak tahu, bagaimana caranya. Yang jelas,
seorang demi seorang diberi giliran. Batas waktu
yang ditentukan tiga hari Selama yang seorang
tengah mencari, dua yang lain menunggu di
perguruan. Begitu diadakan undian untuk
menentukan siapa yang lebih dulu melakukan
pencarian, ayahku mendapat giliran
belakangan."
Ambar Wati menghentikan ceritanya.
Pandangannya beredar ke sekitarnya seperti ada
yang tengah dicarinya. Arya meski merasa heran
melihat tingkah gadis berpakaian merah ini,
tidak mengatakan pertanyaan sama sekali
Dibiarkan saja Ambar Wati dengan tindakannya
yang aneh.
Ternyata Ambar Wati hanya mencari tempat
yang enak untuk duduk. Dan gadis berpakaian
merah ini duduk enak di bawah sebatang pohon
yang berdaun rimbun. Tanpa banyak bicara,
Arya mengikutinya dan duduk di dekatnya.
"Yang pertama kali dan yang kedua mencoba
adalah kedua adik seperguruan ayah. Karena di
samping lebih tua, ayah juga lebih lihai. Dan
mereka berdua ternyata gagal. Ayah pun
mencoba. Dan ternyata beliau berhasil
menemukannya. Tapi di tengah perjalanan
pulang, ayah dicegat adik seperguruannya yang
kedua, bersama belasan anak buah Perguruan
Tangan Dewa. Mereka bermaksud merampas
pusaka yang berhasil didapatkan ayah. Tentu
saja hal itu tidak dibiarkan terjadi. Ayah
melawan sedapat-dapatnya. Tapi karena lawan
terlalu banyak, tambahan lagi kepandaian adik
seperguruanya juga hanya berselisih sedikit
dengan ayah, " maka beliau terdesak hebat. Dan
bahkan banyak menderita luka. Karena tak
tahan, akhirnya ayah kabur. Tapi lawan-
lawannya tidak membiarkannya. Mereka terus
mengejar. Karena khawatir akan keselamatan
pusaka yang telah didapatkan, ayah
menyembunyikannya di sebuah tempat. Lalu
dibuatnya peta pada kain merah dan kain biru
untuk menemukannya. Dan kain merah itulah
kau dapat. Bukankah di kain merah itu ada
tulisannya, Arya?! "
"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Dan
juga garis-garis yang selalu mengarah ke kanan.
Pertama menyerong ke kanan bawah
Selanjutnya, menyerong ke kanan atas. Huruf-
huruf itu terletak di atas garis. Meski susah-
payah mencari, tetap saja aku tidak menemukan
maksudnya."
"Tentu saja, karena kau belum mendapatkan
kain biru yang menjadi pasangannya. Pada kain
biru, hanya ada tulisan-tulisan saja. Dan garis-
garis pada kain merah yang menunjuk ke bawah
itu, akan berada tepat di atas huruf-huruf. Dan
untuk membacanya secara jelas, kita harus
melerakkan kain merah di atas kain biru. Tidak
bertumpuk, tapi di atasnya. Dan cara
membacanya mengikuti garis yang ada. Jelas?!"
Arya tidak langsung mengerti maksudnya.
Sepasang alisnya berkerut untuk mencerna
penjelasan-penjelasan yang diberikan Ambar
Wati.
"Perlu contoh agar lebih jelas. Dewa Arak?!"
tanya Ambar Wati ketika melihat sikap Dewa
Arak yang tampak demikian bingung.
"Kalau kau tidak keberatan. Ambar," jawab
Arya berputar.
"Tentu saja tidak! Tapi jelas tidaknya,
tergantung pada dirimu. Maksudku, bukan
kecerdikanmu. Tapi, juga berkat adanya kain
merah itu. Tebarkan kain merah itu di tanah.
Dan aku akan memberi sedikit contoh."
Tanpa banyak cakap Dewa Arak membuka
belitan kain merah itu. Tidak ditebar di tanah,
melainkan diberikannya pada Ambar Wati
"Kaulah yang lebih berhak atas kain ini.
Ambar. Karena ayahmu pemiliknya. Dan berarti,
sekarang kaulah yang menjadi pemiliknya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu padaku.
Dewa Arak," ucap Ambar Wati. Suaranya serak,
seperti merasa terharu dengan kepercayaan yang
diberikan Arya.
"Lupakanlah, Ambar," ringan saja Arya
mengucapkannya.
Ambar tersenyum manis, kemudian
menebarkan kain merah itu di tanah
"Kau lihat, Arya. Huruf pertama adalah b.
Dan di bawah huruf b terdapat garis yang
menyerong ke kanan bawah. Di bawah ujung
garis itu, seharusnya tertulis huruf lain, yang
menjadi lanjutan dari huruf b. Dan huruf yang
dimaksud itu ada di kain biru. Nah! Sehabis
huruf yang berada di kain biru, sesuai garis yang
sekarang menuju ke atas dan menyerong ke
kanan, kita menemukan huruf n. Kemudian di
bawah lagi, untuk mencari lanjutannya. Jelas,
Arya?!"
Pemuda berambut putih keperakan itu
mengangguk pertanda mengerti.
"Simpanlah kain itu. Ambar. Mungkin nanti
ada gunanya," ujar Arya, ketika melihat gadis
berpakaian merah itu mulai menggulung kain
itu kembali.
"Terima kasih, Arya," Ambar Wati
menyimpan kain merah itu dalam selipan
pinggangnya. "Memang kain ini berguna sekali
bagiku. Aku tinggal mencari yang biru, sebagai
pasangannya. Dan akhirnya, aku akan
mendapatkan pusaka itu. Aku akan melanjutkan
cita-cita almarhum ayahku."
"O ya. Ambar. Ceritamu tadi belum selesai,"
Arya mengingatkan.
"Benar," Ambar mengangguk. Gadis itu
berpikir sejenak untuk mengingat-ingat sampai
di mana tadi bercerita. Baru setelah teringat
kembali, dia melanjutkannya.
"Dalam pelariannya, ayahku tiba di rumah.
Lalu diperintahkannya aku dan ibu untuk
secepatnya pergi mencari tempat aman. Tak
lupa, ayah memberi peta yang berjumlah dua
buah itu, pada dua orang pelayan yang menjadi
muridnya. Mereka pun disuruhnya pergi.
Dengan hati berat, mereka pergi untuk
melaksanakan tugas. Sebenarnya, mereka tidak
sampai hati untuk meninggalkan ayah. Tapi
karena ayah berkeras, tidak ada yang dapat
mereka lakukan lagi. Ayah sendiri terpaksa pergi
bersama aku dan ibu. Aku dan ibu memang
berkeras untuk tetap bersama ayah, apa pun
yang terjadi. Dugaan ayah ternyata tepat Adik
seperguruannya bersama kelompoknya
mengejar, hingga kami tersusul. Maka terjadilah
pertarungan tak seimbang. Ayah dan ibu
akhirnya tewas di tangan mereka. Sementara aku
berhasil selamat karena ada yang
menyelamatkanku. Dan orang yang
menyelamatkanku, menjadi guruku sampai
sekarang."
"Lalu..., apa yang kau lakukan sekarang.
Ambar?!" tanya Arya ketika cerita gadis
berpakaian merah itu terhenti.
Ambar Wati menundukkan kepala, merasa
sedih mengingat kejadian yang menimpa
keluarganya
"Aku akan melanjutkan keinginan ayah,
menemukan pusaka-pusaka itu. Ayah sempat
bercerita, kalau tidak semua murid Perguruan
Tangan Dewa menjadi pengikut adik
seperguruannya. Yang baik, masih banyak
sekali. Tapi, mereka tidak mampu menentang.
Karena, hanya adik seperguruan ayah yang
paling lihai. Dan murid jahanam itu baru akan
tersingkir dari kursi kepemimpinannya, apabila
pusaka pusaka itu kutemukan. Karena mereka
hanya tahu, orang yang membawa pusaka itu
yang berhak menjadi ketuanya. Selama pusaka
itu tidak diketemukan, adik seperguruan ayah
yang akan menjadi ketua. Dan sebenarnya sang
Guru sendiri, telah dibunuh secara licik oleh
murid murtad itu dengan menggunakan
ramuan!"
"Kau membutuhkan bantuan. Ambar?" secara
halus Arya menawarkan diri.
"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa
menerima bantuanmu. Aku ingin berusaha
sendiri dan berhasil sendiri, agar arwah ayahku
yang berada di alam sana bangga," tolak Ambar
Wati, halus. "Aku hanya bisa mengucapkan
terima kasih atas bantuanmu, Arya."
Arya hanya menghela napas berat. Tentu saja
dengan tolakan Ambar Wati, Arya tidak bisa
ikut campur lebih jauh. Hatinya hanya
mengkhawatirkan kalau gadis berpakaian merah
ini akan gagal. Tapi kekhawatiran itu hanya
timbul sebentar saja, ketika teringat akan guru
dan penolong Ambar Wati. Dan dia, yakin
penolong Ambar Wati tak akan tinggal diam!
"Hampir aku lupa," sentak Arya tiba-tiba
ketakutan teringat sesuatu. "Kau sepertinya
kenal tiga orang berpakaian hitam yang tadi
menyerangku Ambar?!"
"Mereka adalah para pemimpin
Perkumpulan! Baju Hitam," jelas Ambar Wati.
"Di mana-mana mereka selalu menimbulkan
keributan Kau mengenal mereka, Arya? Atau
setidak-tidaknya, pernah mendengar nama
kelompok itu?!"
Arya mengangguk. Memang, Dewa Arak
pernah mendengar Perkumpulan Baju Hitam.
Sebuah, perkumpulan rahasia golongan hitam
yang tidak ketahuan, di mana tempatnya.
"Apalagi yang ingin ditanyakan, Arya?!"
Arya menggeleng. Dia tahu. Ambar Wati
ingin segera pergi.
"Kalau demikian, aku akan pergi, Arya. Dan
sekali lagi, terima kasih atas semua bantuan
yang kau berikan padaku."
Ucapan gadis berpakaian merah itu masih
terdengar jelas, walau tubuhnya sudah cukup
jauh. Arya hanya bisa menggeleng. Ambar Wati
memang seorang gadis cukup hebat!
"Ha ha ha...! Akhirnya aku berhasil juga
mendapatkan benda-benda keramat ini. Ha ha
ha...!"
Sebuah suara keras terdengar sehingga
membuat sebuah gubuk sederhana yang terbuat
dari bilik dan beratapkan rumbia bagai bergetar
hebat.
"Siapa dulu yang berhasil mendapatkan
kuncinya. Guru?!" sambut sebuah suara
melengking nyaring milik seorang wanita muda.
Sosok laki-laki tua yang tertawa itu
mengangguk-angguk seraya menatap gadis
berbaju merah berwajah cantik yang barusan
berbicara.
"Aku tahu. Tapi andaikata kau tidak berhasil,
aku pun tidak sulit merampasnya dari tangan
Dewa Arak!" sergah sosok kakek tinggi kurus
berpakaian putih itu. Demikian kurusnya,
hingga lebih menyerupai tengkorak.
Gadis berpakaian merah itu tidak berkata-
kata lagi. Pandangannya dialihkan ke tanah, di
mana terdapat dua helai kain merah dan biru
yang dirapatkan salah satu sisinya. Tampak
huruf-huruf dan garis-garis pada kedua kain itu.
"Baca, Ambar," ujar kakek tinggi kurus sambil
menunjuk hamparan kain merah dan biru.
"Jangan terlalu keras karena aku tidak yakin
keadaan aman. "
"Baik, Guru," gadis berpakaian merah yang
tak lain Ambar Wati mengangguk.
"Benda itu berada di patung Dewa Matahari
dan Dewa Bulan yang menjadi Dewa Suku Liar
di Pulau Mimpi," Ambar Wati membaca huruf-
huruf yang tertera turun naik di hamparan kain
merah dan biru itu.
"Ha ha ha...!"
Kakek kurus kering kembali tertawa
bergelak, gembira bukan kepalang.
"Aku akan menjadi orang yang paling sakti!
Akan kutebus kekalahanku pada Tua Bangka
Sombong itu. Ha ha ha...! Aku akan merajai
dunia persilatan. Ha ha ha...!"
"Guru tahu di mana Pulau Mimpi itu?!" tanya
Ambar Wati, setelah tawa gurunya mereda.
"Tentu saja! Bahkan tempat di mana Suku
Liar itu berada, aku tahu. Aku akan menjadi
orang sakti! Ha ha ha...!"
'Sebenarnya..., benda apa sih yang Guru
maksudkan? Dan, mengapa guru yakin akan
bisa menjadi orang sakti dengan benda-benda
itu?!" tanya Ambar Wati yang memang belum
merasa jelas oleh benda yang dimaksud
gurunya.
Kakek kurus kering terdiam sejenak.
"Karena kau telah mendapatkan kuncinya,
sebagai hadiah kuberitahukan mengenai benda
yang kumaksudkan. Benda itu adalah dua buah
intan berbentuk kerucut. Lebih jelas lagi dua
buah ujungnya berbentuk dua kerucut. Intan-
intan itu berwarna merah dan biru. Apabila kita
benturkan satu sama lain, akan menimbulkan
kilatan cahaya mematikan, laksana petir yang
dapat menghanguskan apa pun dari jarak
bertombak-tombak! Ha ha ha...!"
Ambar Wati menelan ludah untuk
membasahi, tenggorakannya yang mendadak
kering, mendengar pemberitahuan itu. Sama
sekali tidak disangka akan demikian dahsyat
benda yang dimaksud.
"Sekarang mari kita pergi ke sana. Kita ambil
benda-benda ajaib itu! Ha ha ha...!"
5
Trang, tringng, klangng!
Terdengar riuh rendah sebuah pertarungan.
Tak kurang dari puluhan orang terlibat di dalam
pertarungan. Beberapa di antaranya merupakan
orang-orang berpakaian macam tokoh-tokoh
persilatan. Sebagian besar sisanya, adalah orang-
orang aneh. Pakaian mereka hanya untuk
menutupi aurat di depan bagian bawah. Itu pun
dari anyaman jerami. Kulit mereka hitam legam,
dengan sekujur tubuh penuh coreng-moreng
arang hitam!
Orang berpakaian ala kadarnya yang tengah
terlibat pertarungan dengan tokoh-tokoh
persilatan ini, hampir dua kali lipat dibanding
lawan-lawannya dari tokoh persilatan. Kendati
demikian, pertarungan berjalan seru dan
seimbang.
Memang kepandaian tokoh-tokoh persilatan
itu jauh di atas lawan-lawannya. Terutama
sekali, lelaki tinggi kurus yang berwajah
kekuningan. Dia tak lain adalah Ular Emas.
Lelaki ini menghadapi empat orang lawan
sekaligus. Tapi, toh tidak terdesak sama sekali.
Golok di tangannya berkelebatan cepat,
memapaki senjata lawan-lawannya yang
menggunakan lembing. Bahkan perlahan-lahan.
Ular Emas berhasil mendesak lawan-lawannya.
Bukan hanya orang-orang berkulit hitam
legam yang menjadi lawan Ular Emas yang
terdesak hebat. Kelompok yang lainnya pun
semakin terdesak mundur. Sehingga semakin
lama tempat pertarungan semakin jauh bergeser.
Dan sekarang, mulai mendekati kelompok
rumah kecil berbentuk sederhana yang terbuat
dari rumbia dan dedaunan pohon lainnya.
Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal orang-
orang berkulit hitam legam.
"Maju terus...! Robohkan mereka...! Aku
yakin, nanti benda-benda ajaib itu akan dapat
ditemukan!" seru Ular Emas, sambil
mengerahkan kemampuan untuk mendesak
lawan-lawannya lebih jauh.
Seruan Ular Emas membuat semangat tokoh-
tokoh persilatan yang berjumlah tak kurang dari
enam orang itu semakin berkobar. Dan
perlawanan yang diberikan pun semakin
menjadi-jadi. Enam orang itu memang anak-
anak buah Ular Emas, yang telah dikalahkan
Ular Emas dan bersedia takluk. Dan dengan
dipimpin Ular Emas, mereka menyerbu
perkampungan orang-orang berkulit hitam
legam yang merupakan Suku Liar.
Semangat Ular Emas dan kawan-kawannya
semakin menjadi-jadi, ketika beberapa orang
lawan mulai roboh dan tewas di ujung senjata
dengan tubuh bersimbah darah!
Robohnya beberapa orang berkulit hitam,
membuat kedudukan Ular Emas dan anak
buahnya semakin kuat. Dan jeritan menyayat
hati pun mulai terdengar susul-menyusul
mengiringi robohnya orang-orang berkulit hitam
lainnya.
Ular Emas dan anak buahnya pun semakin
leluasa mendesak lawan-lawannya ke dalam
perkampungan. Sementara kelompok orang-
orang hitam legam yang kini berjumlah tinggal
belasan orang semakin kocar-kacir jadinya.
Apalagi ketika Ular Emas dan anak buahnya
yang telah mulai membakari rumah-rumah
mungil itu dengan lemparan kayu bernyala ke
atap rumbia. Seketika terjadilah kobaran api
yang dahsyat melahap rumah-rumah yang ada
di dekatnya.
"Cepat katakan, di mana batu ajaib itu! Atau
kau ingin kepalamu kuhancurkan?!" ancam Ular
Emas, sambil memegang lengan salah seorang
wanita dari Suku Liar itu.
Tidak ada jawaban sama sekali yang
diberikan wanita Suku Liar itu, kecuali tatapan
kebencian dan sentakan tangannya untuk
membebaskan diri dari pegangan tangan Ular
Emas. Hal ini membuat Ular Emas sewot. Sekali
tangannya bergerak menampar pelipis, nyawa
wanita Suku Liar itu pun melawat ke akherat.
Pembantaian besar-besaran pun dimulai oleh
Ular Emas dan anak buahnya. Penghuni
perkampungan Suku Liar yang sekarang hanya
tinggal wanita dan anak-anak mulai jadi sasaran
pembantaian.
"Ular Emas...! Lihat...!"
Salah seorang anak buah Ular Emas berseru
memanggil tokoh tinggi kurus itu. Jari telunjuk
kanannya ditudingkan pada bagian atas dua
buah batang kayu.
Ular Emas yang tengah sibuk mengedarkan
pandangan ke sana kemari sambil membongkari
apa-apa untuk mencari benda dimaksud,
mengikuti arah yang ditunjukkan anak buahnya.
Di sana, tampak dua batang kayu yang besarnya
hampir sepelukan tangan manusia dewasa,
berbentuk patung berukir, pada bagian atasnya.
Sebuah patung yang hanya menampilkan wajah
sayu.
Tapi, bukan bentuk wajah patung itu yang
menarik perhatian Ular Emas. Melainkan,
sebuah benda bersinar pada bagian dahi tiap-
tiap wajah patung. Kilaunya tampak
menyilaukan mata, tertimpa sinar matahari.
Berarti pada dahi ukiran wajah di batang kayu
itu, adalah sebuah benda yang kemungkinan
terbuat dari logam.
Ular Emas yang menjadi timbul semangatnya,
ketika melihat benda-benda bersinar itu segera
melompat untuk mengambilnya. Dengan sekali
jejak, tubuhnya melayang ke atas. Sementara
tangan kanannya segera terulur untuk
mengambil benda ber sinar itu.
Singngng!
Bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan
telinga, membuat Ular Emas terkejut bukan
kepalang. Sebagai tokoh berpengalaman, dia
tahu ada senjata yang akan menyambar ke
arahnya. Maka tanpa berani menunggu lebih
lama, uluran tangannya terhadap benda bersinar
di dahi wajah patung yang berukir itu,
dibatalkan Dan dengan kecepatan
mengagumkan. Ular Emas mencabut goloknya
yang tergantung di pinggang. Seketika, goloknya
diayunkan untuk memapak senjata berupa
sebatang anak panah yang menyambar ke
arahnya.
Trakkk!
Dengan tangkisan tepat. Ular Emas membuat
anak panah itu meluncur kembali pada seorang
lelaki bertubuh pendek yang tadi melepaskan
anak panah. Kecepatan luncuran anak panah itu
tidak kalah dengan luncurannya yang pertama
kali.
"Uhhh...!"
Lelaki pendek yang melepaskan anak panah
itu terkejut, namun, tidak tinggal diam.
Langsung di ambilnya anak panah lain dan
dilepaskannya untuk memapak anak panah
yang menuju ke arahnya. Maka dua anak panah
berbenturan di udara dan berjatuhan ke tanah.
"Keparat! Kiranya kau, Ludiga!" geram Ular
Emas, begitu kakinya menjejak tanah dengan
golok masih tergenggam di tangan.
Lelaki tinggi kurus ini gagal untuk
mengambil benda bersinar yang berada di dahi
patung.
"Sama sekali tidak kau sangka, bukan?!"
Ludiga yang lebih terkenal sebagai Pemanah
Sakti tertawa mengejek. Tapi, belum juga
tawanya habis. Ular Emas yang merasa geram
langsung menerjang dengan goloknya. Seketika
terdengar bunyi mengaung keras ketika
senjatanya meluncur ke arah Ludiga.
Ular Emas tahu, betapa lihainya Pemanah
Sakti ini. Maka dalam sekali serang, seluruh
kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan
Baik tenaga kecepatan, maupun jurus yang
paling dahsyat. Ludiga atau Pemanah Sakti amat
terkenal sebagai tokoh golongan hitam yang
jarang menemui tandingan Kepandaiannya
dalam meluncurkan anak panah, telah
membuatnya ditakuti dan disegani, baik oleh
tokoh golongan putih maupun hitam. Telah
banyak orang yang tewas di tangannya. Baik
oleh kedua tangannya, maupun anak panahnya.
Kekhawatiran Ular Emas tidak terlalu
berlebihan! Belum juga serangan goloknya
mencapai sasaran. Pemanah Sakti telah lebih
dulu bertindak. Dengan cepat, Ludiga mencabut
dua batang anak panah sekaligus yang langsung
memasangkannya pada busur. Kemudian, anak-
anak panah itu dijepretkannya.
Zingng, zingng!
Diiringi bunyi menyakitkan telinga, anak-
anak panah itu meluncur ke arah Ular Emas.
Terpaksa laki-laki tinggi kurus itu membatalkan
serangan. Goloknya cepat diputar bagaikan
kitiran untuk membentengi tubuhnya. Maka
semua anak panah itu berpentalan terkena
tangkisan golok Ular Emas.
Belum lagi Ular Emas berbuat sesuatu.
Pemanah Sakti telah melompat menubruk dan
mengirimkan serangan, mempergunakan anak
panah! Dalam keadaan seperti ini Ludiga bagai
orang yang menggunakan pedang atau golok!
Sementara Ular Emas segera menyambutinya,
hingga pertarungan sengit pun berlangsung.
Anak buah Ular Emas agak kaget melihat
gangguan yang sama sekali tidak disangka-
sangka. Semula disangka, hanya kelompok
mereka yang berada di perkampungan Suku Liar
ini. Tapi ternyata masih ada pihak lain
Sesaat kemudian, enam orang anak buah Ular
Emas seperti berlomba untuk mengambil benda
bersinar yang berada di atas patung. Inilah
kesempatan terbuka bagi mereka untuk
mendapatkan benda itu, guna kepentingan diri
sendiri. Memang dalam lubuk hati mereka
terselip harapan untuk mendapatkan benda-
benda yang dicari untuk kepentingan sendiri.
Tapi....
Sing, singng!
"Akh, akh..!"
Dua di antara enam buah Ular Emas yang
hampir saja meraih benda-benda bersinar itu
menjerit menyayat. Entah bagaimana, tahu-tahu
dua benda berkilat melesat dan menembus
punggung mereka sebelum maksud itu
kesampaian. Tubuh dua orang malang itu pun
ambruk.
Empat anak buah Ular Emas lainnya tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali menghentikan
maksud. Seketika pandangan mereka beralih ke
arah benda berkilat itu berasal, ketika kaki-kaki
mereka telah menjejak tanah.
Macan Seratus Kuku...," desis empat orang
anak buah Ular Emas, tanpa bisa
menyembunyikan rasa gentar. Baik dalam
ucapan, maupun tarikan wajah.
Sosok yang disebut empat orang anak buah
Ular Emas sebagai Macan Seratus Kuku, ternyata
seorang kakek kecil kurus tanpa kumis dan
jenggot. Dia hanya mengenakan pakaian macan
tutul.
"Tikus-tikus tak berguna seperti kalian ingin
mengambil benda-benda ajaib itu?!" dengus
Macan Seratus Kuku penuh ejekan.
Kemudian kepala kakek itu menggeleng
sedikit seperti memberi isyarat pada laki-laki
kasar berjumlah empat orang yang berdiri di
belakangnya. Seketika, mereka bergerak
menyerbu empat orang anak buah Ular Emas.
Kilatan kegembiraan memancar di mata anak-
anak buah Ular Emas, ketika melihat yang
menerjang mereka adalah anak buah Macan
Seratus Kuku. Menghadapi empat orang itu,
anak-anak buah Ular Emas memang tidak
merasa gentar! Beda halnya apabila diserang
oleh Macan Seratus Kuku.
Macan Seratus Kuku terkenal sakti. Bahkan
telah merajai berbagai macan hutan dan
pegunungan. Mereka sering merampok
rombongan pedagang, pendekar pengelana, atau
siapa pun yang kebetulan dilihatnya. Kecelakaan
besar bagi orang yang bertemu Macan Seratus
Kuku yang menjadi raja kaum perampok di
gunung-gunung dan hutan-hutan liar.
Kepandaiannya amat tinggi, dan mungkin tidak
berada di bawah Ular Emas!
Empat anak buah Ular Emas pun
menyambuti terjangan anak buah Macan Seratus
Kuku. Maka pertarungan seru pun berlangsung.
Golok-golok anak buah Ular Emas saling
mendahului dengan cakar-cakar baja yang
bertangkai besar di tangan anak buah Macan
Seratus Kuku dalam mencari-cari sasaran.
"Cecunguk-cecunguk yang menjemukan!
Dari mana mereka tahu tempat ini! Sungguh
memualkan perut saja!"
Seruan-seruan itu seperti dikeluarkan pelan
tapi anehnya mampu mengatasi riuh-rendah
bunyi pertempuran yang terjadi
"Bagaimana kalau mereka kita bereskan
saja?!" sambung sebuah suara lain.
"Sebuah usul yang amat bagus, dan patut di
laksanakan!" timpal yang lain
Macan Seratus Kuku, satu-satunya orang
yang tidak terlibat dalam pertarungan, menoleh
ke belakang dengan wajah beringas. Ucapan-
ucapan itu membuatnya terganggu dalam
menyaksikan pertarungan yang tengah berjalan.
Dan dia sudah bermaksud untuk menerjang dan
merobek-robek sekujur tubuh orang-orang yang
bercakap-cakap tadi.
Tapi, ketika sepasang mata beringas Macan
Seratus Kuku bertemu pandang dengan pemilik
ucapan-ucapan itu, keberingasannya lenyap dari
sorot sepasang matanya. Bahkan sekarang,
berganti ketakutan dan keterkejutan
Suara tiga sosok yang bersuara tadi berdiri se¬
kitar empat tombak dari Macan Seratus Kuku.
Dan mereka terdiri dari tiga lelaki berpakaian
hitam dengan kain putih yang membelit tubuh.
Yang seorang pada pangkal lengan kanan. Lalu
seorang pada pangkal lengan kiri Dan orang
terakhir, pada lingkar kepala!
"Tiga Iblis Baju Hitam...," desis Macan Seratus
Kuku dengan suara bergetar, menampakkan
kegentaran.
"Rupanya kau kenal kami juga, Kunyuk
Buduk! Syukurlah kalau demikian, sehingga
tidak mati penasaran," kata lelaki berpakaian
hitam yang memiliki kain putih di kepala.
'Tidak usah banyak bicara dan buang waktu
percuma! Lebih baik bunuh cecunguk itu
secepatnya. Habis perkara!" dengus lelaki
berpakaian hitam yang memiliki kain putih di
pangkal lengan kiri.
"Benar!" sambut anggota Tiga Iblis Baju
Hitam yang memiliki kain putih di pangkal
lengan kanan. "Bukankah kita masing-masing
mendapat bagian?!"
"Macan Seratus Kuku yang menyadari
keadaan yang amat berbahaya, langsung
bertindak cepat sekali kakinya menjejak,
tubuhnya melayang dengan tujuan jelas. Benda
bersinar itu.
"Uh...!"
Macan Seratus Kuku mengeluarkan seruan
tertahan, ketika lompatannya tertahan karena
pergelangan kaki kanannya telah tercekal. Lelaki
kecil kurus ini menoleh. Dan dia melihat, lelaki
berpakaian hitam yang memiliki kain putih di
pangkal lengan kanan itu mencekal pergelangan
kakinya. Dan sebelum Macan Seratus Kuku
bertindak lebih lanjut, anggota Iblis Baju Hitam
itu telah mengayunkan tangannya. Maka tanpa
mampu dicegah, tubuh Macan Seratus Kuku
melayang ke arah anggota Iblis Baju Hitam yang
pada pangkal lengan kiri terbelit kain putih.
Macan Seratus Kuku tidak tinggal diam, dan
tidak mau menyerah begitu saja. Dengan
kemampuannya, luncuran tubuhnya mampu
dibuat menjadi ancaman bagi lawan. Macan
Seratus Kuku mengirimkan cengkeraman. Satu
menuju tenggorokan, yang lain mengincar ulu
hati.
Tapi dengan sekali mengulurkan tangan,
anggota Iblis Baju Hitam itu telah membuat
tubuh Macan Seratus Kuku tertahan. Jari-jari
tangan Iblis Baju Hitam tepat mendarat di bahu
kanan Macan Seratus Kuku, hingga lemas
seketika. Sementara serangan Macan Seratus
Kuku sebelumnya berhasil dielakkan secara
mudah oleh anggota Iblis Baju Hitam itu dengan
memiringkan tubuh sedikit.
Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh lelaki kecil
kurus itu ambruk ke tanah seperti sehelai kain
basah. Tubuhnya lemas, akibat jalan darahnya
tertotok, sehingga tenaga dalam Macan Seratus
Kuku lenyap.
Tanpa perasaan apa pun, anggota Iblis Baju
Hitam yang pada pangkal lengan kanannya
melilit kain putih, menginjak kepala Macan
Seratus Kuku yang tak berdaya.
Krakkk!
Terdengar bunyi gemeretak keras kepala
yang hancur, mengiringi melayangnya nyawa
Macan Seratus Kuku ke akherat!
Sementara itu, anggota Iblis Baju Hitam yang
pada kepalanya melilit kain putih, melesat ke
dalam kancah pertarungan antara anak buah
Ular Emas melawan anak buah Macan Seratus
Kuku. Dengan enaknya, seolah-olah
menghadapi rumput-rumput kering, anggota
Iblis Baju Hitam itu menangkap mereka satu
persatu dan membantingnya ke tanah Setiap
kali tangan lelaki berpakaian hitam ini
menangkap dan membanting, orang yang jadi
sasaran langsung melawat ke akherat. Sekujur
tulang-tulang mereka kontan hancur berantakan.
Masuknya lawan baru, membuat anak buah
Ular Emas dan anak buah Macan Seratus Kuku
melupakan pertikaian antara mereka. Bahkan
kini mereka bahu-mambahu menghadapi musuh
baru. Tapi, usaha mereka bagaikan semut-semut
menerjang api. Satu persatu langsung roboh
tewas sebelum maju mendekat.
Anggota Iblis Baju Hitam lainnya tidak
tinggal diam Setelah Macan Seratus Kuku tewas,
masing-masing langsung bergerak. Yang satu
menuju pertarungan antara Ular Emas melawan
Pemanah Sakti, sedangkan yang lain menuju
patung tempat benda bersinar.
Pemanah Sakti dan Ular Emas yang tahu akan
kedatangan lawan tangguh, langsung
menghentikarj pertarungan. Bahkan langsung
menyambuti serangan anggota Iblis Baju Hitam.
Ular Emas dengari lemparan jarum-jarumnya.
Sedangkan Pemanah] Sakti dengan anak-anak
panahnya. Memang senjata andalan Ular Emas
adalah jarum-jarum rahasia.
"Hmh...!"
Anggota Iblis Baju Hitam berikat kepala kain
putih tengah berada di udara untuk menyerbu
Ular Emas dan Pemanah Sakti tidak menjadi
gugup melihat datangnya serbuan belasan jarum
dan beberapa batang anak panah.
Sambil masih tetap meluncur menuju Ular
Emas dan Pemanah Sakti, anggota Iblis Baju
Hitarm ini mendorongkan kedua tangannya ke
depan. Maka hembusan angin kuat pun keluar
dari kedua telapak tangannya. Dan hebatnya,
mampu membuat laju anak-anak panah dan
jarum-jarum Ular Emas dan Ludiga terhenti,
kemudian jatuh ke tanah.
Sebelum kekagetan Ular Emas dan Ludiga
hilang, anggota Iblis Baju Hitam itu telah berada
di dekat mereka. Dan dia langsung menyerang,
sehingga membuat kedua tokoh sesat yang lihai
itu dibuat pontang-panting. Hanya dalam
beberapa gebrakan. Ular Emas dan Pemanah
Sakti dibuat berada dalam kancah bahaya maut.
Di lain pihak, anggota Iblis Baju Hitam yang
pada pangkal lengan kirinya terbelit kalin putih
telah mengulurkan tangan untuk menjumput
benda bersinar. Pada saat yang sama, melesat
sesosok bayangan putih dengan kecepatan luar
biasa, menangkap pergelangan tangan Iblis Baju
Hitam. Bahkan langsung melemparkannya!
Anggota Iblis Baju Hitam ini terkejut bukan
kepalang ketika tahu-tahu tubuhnya terlempar.
Memang, sebelumnya dia telah mendengar deru
angin. Tapi sungguh tidak disangka akan secepat
itu gerakan sosok yang baru datang ini.
Untungnya tanpa menemui kesulitan, anggota
Iblis Baju Hitam ini dapat mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya meluncur. Dia
berjungkir balik beberapa kali di udara, sebelum
akhirnya menjejak tanah. Tapi benak anggota
Iblis Baju Hitam ini penasaran bercampur
tegang, mengingat demikian mudah tubuhnya
dilemparkan! Jelas, lawan yang baru tiba ini
adalah lawan tangguh!
"Kau...!"
Seruan anggota Iblis Baju Hitam yang pada
pangkal lengan kanannya terbelit kain putih,
terdengar agak terbata-bata. Pandangan
wajahnya seperti seorang anak kecil melihat
hantu penuh kengerian!
Sosok bayangan putih yang ternyata kakek
kurus kering berpakaian putih, itu sekarang
berdiri di dekat patung, di mana benda bersinar
terdapat. Bibirnya menyeringai penuh ancaman.
Sedangkan di sebelah kakek kurus kering
laksana tengkorak ini, berdiri angkuh seorang
gadis cantik jelita berpakaian merah. Ambar
Wati!
"Ya, aku. Kenapa? Kaget?! Tidak menyangka
kalau aku masih hidup?!" Semakin sinis ucapan
kakek kurus kering. "Dan perlu kalian tahu, aku
telah tahu tindak-tanduk kalian. Dan sekarang,
aku telah memutuskan untuk menghukum
kalian!"
6
Wajah anggota Iblis Baju Hitam yang pada
pangkal lengan kanannya terbelit kain putih,
semakin pucat. Seakan-akan pada wajahnya
tidak mengalir darah! Dengan sepasang mata
yang memancarkan ketakutan dan keterkejutan,
kakinya melangkah mundur-mundur.
'Dan aku telah menemukan sebuah cara
untuk menghukum pengkhianat-pengkhianat
keji seperti kalian!" desis kakek kurus kering
lagi, penuh dengan ancaman maut.
Tidak ada tindakan berarti dari anggota Iblis
Baju Hitam yang tengah berhadapan dengan
kakek kurus kering ini, selain langkah mundur-
mundur dengan sikap amat takut.
Pada saat yang sama, kakek kurus kering
langsung menjulurkan kedua tangannya ke atas,
ke arah wajah patung kayu. Tingkahnya
menunjukkan, kalau kakek berpakaian putih ini
hendak mengambil benda bersinar yang terdapat
pada dahi patung. Padahal, jelas terlihat kalau
letaknya terlalu jauh untuk dijangkau tangan
manusia biasa.
Tapi kakek kurus kering itu memang tidak
bermaksud mengada-ada. Ketika uluran
tangannya sudah seharusnya habis, tiba-tiba
terdengar bunyi berkerotokan keras seperti ada
tulang-tulang patah. Dan..., tangan-tangan itu
bertambah panjang, sehingga, jari-jari tangan itu
berhasil mencekal benda-benda bersinar yang
ada pada dahi patung!
Di saat kakek kurus kering tengah berusaha
mengambil benda-benda bersinar di dahi
patung, kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh anggota Iblis Baju Hitam yang
masih berusaha mundur. Kedua tangannya
bergerak cepat. Dan seketika terdengar bunyi
berkesiutan nyaring, saat belasan benda hitam
yang tak lain paku-paku hitam; beracun ganas,
meluruk ke arah dada, perut, dari ulu hati kakek
kurus kering itu.
"Keparat!"
Terdengar makian melengking nyaring.
Menilik bunyinya, suara itu keluar dari mulut
seorang wanita muda! Dan sekejap kemudian,
sesosok bayangan! merah berkelebat sambil
menggerakkan tangannya.
Tring! Tring!
Terdengar bunyi berdenting nyaring berkali-
kali, ketika gadis itu memapak serangan paku-
paku beracun dengan pedangnya. Begitu bunyi
itu lenyap, di depan kakek kurus kering telah
berdiri Ambar Wati dengan sikap menantang
Pedangnya sudah terhunus di tangan kanan.
Pada saat hilangnya bunyi benturan antara
paku-paku dengan pedang di tangan Ambar
Wati, kakek kurus kering itu tertawa bergelak.
Sepasang] matanya bersinar-sinar, ketika
menatap benda-benda bersinar sebesar buah
salak, di kedua tangannya. Bentuk kedua
ujungnya kerucut, seperti salak. Hanya saja,
memiliki warna aneh. Kelihatan bening dan
kemilau. Tapi, ternyata masing-masing
memancarkan sinar berlainan. Yang satu biru,
sedangkan yang lain merah!
Tawa kakek kurus kering yang keras dan
menggema ke sekitar tempat itu, membuat dua
anggota Iblis Baju Hitam lain yang masih sibuk
bertarung, tahu akan adanya pendatang baru
yang tangguh! Hampir berbareng keduanya
menoleh. Dan wajah keduanya langsung
berubah, ketika melihat sosok yang
mengeluarkan tawa itu. Sosok yang amat mereka
kenal. Dengan kecepatan kilat, keduanya melesat
dan berdiri di sebelah anggota Iblis Baju Hitam
yang sudah sejak tadi menjauhi kakek kurus
kering dengan langkah satu-satu.
"Ha ha ha...!"
Kakek kurus kering tertawa bergelak sambil
melangkah satu-satu. Dan langkah itu langsung
diikuti tiga Iblis Baju Hitam. Hanya saja, langkah
mereka mundur. Terlihat jelas, kalau tiga Iblis
Baju Hitam ini gentar bukan kepalang
menghadapi lawan kakek kurus kering ini.
"Kalian telah berani mengkhianatiku. Maka,
sekarang aku akan menghukum kalian!" kakek
kurus kering menggeram.
"Kami tidak mengkhianatimu. Ketua!" sergah
salah seorang dari tiga Iblis Baju Hitam yang
memiliki kain putih di kepala. Tidak keras
suaranya.
"Kalau tidak, mengapa kalian tidak
membalas dendam terhadap orang-orang dari
Perguruan Baju Putih itu?! Mengapa selama ini
kalian diam saja?! Dengan kemampuan kalian
yang didapat dariku, tidak sulit untuk
melakukan pembalasan!" balas kakek kurus
kering dengan suara seperti menjerit.
"Bagaimana kami dapat melakukannya.
Ketua?!" sahut anggota Iblis Baju Hitam yang
mempunyai kain putih di pangkal lengan.
"Mereka berjumlah banyak. Dan rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Kami akan tewas!"
"Alasan!" dengus kakek kurus kering,
semakin beringas. "Aku tahu, hanya beberapa
gelintir dari Pergurun Baju Putih yang memiliki
kepandaian di atas kalian. Sisanya, sebagian
besar hanya keroco-keroco! Kalau kalian benar
sakit hati dan hendak membalas dendam,
setidak-tidaknya merekalah yang dibinasakan!
Gunakan siasat penyerangan pukul dan lari.
Kucing-kucingan! Buat kekacauan. Buat mereka
tidak tenang! Tapi, apa yang kulihat?! Kalian
enak-enakan saja! Dan atas sikap kalian yang
berani mengkhianatiku, dan juga berani
membantahku, aku akan menghukum. Dan
kalian boleh lihat, hukuman yang akan
diterima!"
Kakek kurus kering yang ternyata pimpinan
Tiga Iblis Baju Hitam, mengarahkan pandangan
ke arah kelompok anak buah Macan Seratus
Kuku , dan anak buah Ular Emas yang saat itu
juga sedang mengarahkan pandangan pada
mereka. Sementara, yang lain juga telah
menghentikan pertarungan.
Pemarah Sakti dan Ular Emas pun tidak
berkelahi lagi.
"Seperti inilah hukuman yang akan kalian
terima!"
Kakek kurus kering menutup ucapannya
yang setengah berteriak dengan membenturkan
dua buah benda bersinar di tangannya. Seketika
terdengar bunyi berdetak pelan, disusul kejadian
yang membuat semua pasang mata yang berada
di situ terbelalak lebar.
Dari ujung-ujung batu bersinar yang saling
berada, muncul seberkas cahaya berkilau laksana
halilintar! Dan kilatan cahaya itu cepat meluncur
ke arah Ular Emas!
"Akh.J"
Ular Emas kontan menjerit menyayat hati
ketika kilatan cahaya mirip halilintar itu
mengenai tubuhnya. Api berkobar membungkus
tubuhnya yang tinggi kurus! Meluncurnya
cahaya seperti halilintar itu demikian cepat,
sehingga Ular Emas tidak memiliki kesempatan
mengelak.
"Ha ha ha...!"
Kakek kurus kering tertawa bergelak
mengiringi jeritan menyayat dari mulut Ular
Emas. Kelihatan sekali kalau kakek berpakaian
putih ini merasa gembira. Sementara berpasang-
pasang mata yang lain menatap penuh
kengerian Sama sekali tidak disangka akan
demikian dahsyatnya benda-benda bersinar itu.
"Bagaimana, Ambar?! Bagus bukan?! Ha ha
ha...!"
"Bagus sekali. Guru," jawab gadis berpakaian
merah ini setelah terlebih dulu menelan ludah
untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering dan seperti tercekik
"Memang hebat sekali! Ha ha ha...!" Kakek
kurus kering tertawa bergelak. "Dan untuk
memperingati keberhasilanku mendapatkan
benda ini aku akan membantai semua orang
yang berada di sini. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum terputus,
kakek kurus kering itu segera membentur-
benturkan benda-benda bersinar yang ada di
kedua tangannya. Maka kilatan-kilatan cahaya
menyilaukan mata pun meluruk ke arah orang-
orang yang berada di situ.
Tentu saja Pemanah Sakti, anak buah Ular
Emas, dan anak buah Macan Seratus Kuku yang
masih tersisa tidak tinggal diam. Kalau tidak
ingin mati secara sia-sia mereka harus mengelak.
Tapi entah mengapa, ada sebuah pengaruh aneh
yang membuat sekujur otot tubuh mereka kaku.
Tenaga mereka langsung lenyap begitu benda-
benda bersilnar itu dibenturkan satu sama lain.
Maka, api pun seketika membungkus tubuh
orang-orang yang malang itu. Sehingga dalam
sekejapan mata, di tempati itu telah terdapat
belasan gumpalan api.
Di saat kakek kurus kering membantai tokoh-
tokoh persilatan kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Tiga Iblis Baju Hitam untuk
melesat kabur meninggalkan tempat ini.
"Jangan harap kalian akan dapat pergi dari
sini dengan selamat!"
Belum lenyap gema suara tadi, tahu-tahu
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang jauh
di atas Tiga Iblis Baju Hitam itu, kakek kurus
kering itu melesat. Tubuhnya berjungkir balik
melewati atas kepala, kemudian menjejak tanah
di depan tiga orang bekas anak buahnya.
Tiga Iblis Baju Hitam terkejut bukan
kepalang. Mereka pun sadar kalau melarikan
diri tidak ada gunanya lagi. Jalan yang paling
baik adalah melakukan perlawanan
"Sebelum Ketua menjatuhkan hukuman pada
kami bertiga, boleh kami mengajukan sebuah
pertanyaan?!" Anggota Iblis Baju Hitam yang
pada kepalanya terbelit kain putih, membuka
suara.
"Katakan cepat, sebelum pikiranku berubah!"
sentak kakek berpakaian putih, tidak sabar.
"Apakah Guru tidak ingin membalas dendam
dan sakit hati pada Perguruan Baju Putih?!"
"Tentu saja!" sentak kakek kurus kering. "Tapi
jangan harap kalian dapat membujukku untuk
memberi ampun! Bagiku kalian tidak berguna
lagi! Aku tahu, kau akan menawarkan bantuan!
Bagiku, tidak ada artinya! Sekali berkhianat
padaku, tidak ada kesempatan kedua untuk
mengabdi! Jelas?! Aku akan pergi ke sana
seorang diri, dan membasmi perguruan itu
sampai musnah!"
Anggota Tiga Iblis Baju Hitam yang pada
kepalanya terlilit kain putih langsung terdiam.
Sama sekali tidak disangka kalau bekas ketua
mereka itu telah lebih dulu mengetahui, ke mana
arah pertanyaannya.
"Hih!"
Dengan gerakan tidak terduga-duga, lelaki
yang mempunyai ikat kepala kain putih ini
melempar tubuh ke belakang. Dan di udara
tubuhnya berjungkir balik, lalu meluncur ke
arah Ambar Wati yang tengah melesat menuju
tempat gurunya berada.
Ambar Wati terkejut mendapat serangan
tidak terduga-duga. Namun, kelihaiannya
membuatnya tidak menjadi gugup. Dengan
kecepatan mengagumkan, pedang yang tadi
sudah dimasukkan kembali ke sarungnya
dicabut. Kemudian, cepat ditusukkannya ke arah
leher anggota Iblis Baju Hitam.
Tapi, sambutan seperti ini sudah
diperhitungkan anggota Iblis Baju Hitam yang
mengenakan kain putih di kepala. Langsung
dipapaknya tusukan pedang itu pada batangnya
dengan mempergunakan lengan bajunya. Dan
dengan mengandalkan tenaga lecutan ujung
pergelangan tangan pada batang pedang,
anggota Iblis Baju Hitam yang cerdik ini jungkir
balik di udara lagi. Tubuhnya cepat melewati
kepala Ambar Wati, kemudian mendarat di
belakangnya. Dan seketika jari-jari tangan lelaki
berpakaian hitam ini telah menempel, sekaligus
mengancam ubun-ubun gadis itu.
Sedikit saja gerakan yang dilakukan Ambar
Wati, nyawanya pasti bakal melayang ke alam
baka. .
"Lihat, Bandawasa...!" seru anggota Iblis Baju
Hitam yang pada kepalanya melilit kain putih
ini dengan nada menang karena berhasil
menyandera Ambar Wati. "Sekali saja kau
manampakkan gerakan mencurigakan, nasib
muridmu hanya berakhir sampai di sini!"
Dua anggota Iblis Baju Hitam lain, sekarang
mengerti maksud rekannya. Mereka pun
menatap kakek kurus kering yang ternyata
bernama Bandawasa, dengan sinar mata
kemenangan. Mereka yakin kalau siasat ini akan
berhasil gemilang.
Di luar dugaan, Bandawasa malah tertawa
bergelak. Tiga Iblis Baju Hitam yang semula
menyangka kalau Bandawasa akan
kebingungan, karuan saja menjadi heran
bercampur khawatir. Mereka mulai membaui
adanya gelagat tidak baik.
"Kalian kira bisa mengancam Bandawasa?!
Ha ha ha...! Kalian keliru! Keliru sekali! Apa pun
yang kalian lakukan terhadap Ambar Wati
muridku, aku tidak peduli. Yang penting, kalian,
pengkhianat-pengkhianat busuk harus mampus
di tanganku. Ha ha ha...!"
"Kau kira gertakan kami main-main,
Bandawasa?!" ancam anggota Iblis Baju Hitam
yang memiliki kain putih di kepalanya. "Kami
tidak main-main! Justru kami gembira, sekalipun
harus mati di tanganmu. Toh, ada orang yang
menemani kami pergi ke alam baka. Seorang
gadis cantik jelita yang menjadi muridmu!"
"Benar!" sambung Bandawasa, tidak peduli.
"Kematian kalian akan cukup menyenangkan.
Ha ha ha...!"
Anggota Iblis Baju Hitam mengarahkan
pandangan pada dua rekannya yang sekarang
telah berada di dekatnya. Sebagai tokoh
golongan hitam yang kenyang pengalaman,
mereka tahu kalau Bandawasa tidak berbohong.
Laki-laki tua kurus kering ini tidak main-main
dengan ucapannya. Bahkan tidak khawatir akan
keselamatan muridnya.
"Guru...!" seru Ambar Wati, kaget melihat
ketidakpedulian sikap kakek kurus kering
terhadap dirinya.
Sejak tadi Ambar Wati hanya mendengarkan
perdebatan antara gurunya dengan Tiga Iblis
Baju Hitam. Semula gadis berpakaian merah ini
mengira Bandawasa bersiasat. Tapi ketika
keadaan mulai memanas dan sikap Bandawasa
tidak berubah, baru disadari kalau sikap
gurunya memang tidak main-main!
***
"Ningng.J"
Di saat-saat menentukan bagi keselamatan
Ambar Wati, terdengar bunyi mendenging. Kecil
dan tinggi, namun semakin lama kian menjadi-
jadi. Bahkan sampai menyakitkan telinga.
Dan hal itu tidak hanya dirasakan Ambar
Wati, tapi juga oleh Tiga Iblis Baju Hitam dan
Bandawasa! Hanya saja tingkat, pengaruh pada
mereka berbeda-beda. Ambar Wati yang
memiliki tingkat kepandaian paling rendah,
sangat terpengaruh oleh suara itu. Bahkan kedua
kakinya langsung terasa lemas. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, tubuhnya ambruk bagaikan sehelai
kain basah.
Tiga Iblis Baju Hitam, tak terkecuali yang
menyandera Ambar Wati, terpengaruh pula.
Hanya saja, mereka tidak sampai ambruk ke
tanah, walaupun terasa kalau tenaga mereka
lenyap mendadak. Dengan sendirinya, jari-jari
yang berada di ubun-ubun Ambar Wati agak
bergeser jauh dari tempatnya.
Saat itulah, laksana hantu sesosok bayangan
ungu berkelebat ke arah tempat di mana Ambar
Wati berada. Dengan kecepatan mengejutkan
hingga tidak terlihat jelas bentuknya, sosok
bayangan itu menyambar tubuh murid
Bandawasa, dan membawanya melesat menjauhi
tempat ini.
Begitu bayangan ungu yang menyambar
Ambar Wati pergi. Tiga Iblis Baju Hitam berhasil
menguasai keadaan. Bagi orang yang memiliki
tenaga dalam seperti mereka, pengaruh
lengkingan tinggi yang disertai tenaga dalam
tinggi itu, tidak berpengaruh terlalu lama. Hanya
sebentar saja, kelumpuhan mereka dapat
terbebaskan Meskipun demikian, waktu yang
sebentar itu telah cukup bagi orang yang
mengeluarkan lengkingan untuk
menyelamatkan Ambar Wati
Bagai diberi perintah, Bandawasa dan Tiga
Iblis Baju Hitam menoleh ke arah sosok
bayangan ungu yang membawa lari Ambar Wati
itu meluncur. Dan beberapa tombak dari tempat
mereka, sosok bayangan ungu itu berdiri dengan
sinar mata tajam menatap ke arah Bandawasa
dan tiga orang bekas muridnya. Ambar Wati
yang hanya lemas, digeletakkan sosok bayangan
ungu di tempat yang cukup aman.
"Dewa Arak...!"
Hampir berbareng, seruan itu keluar dari
mulut Bandawasa dan tiga Iblis Baju Hitam
ketika mengenali sosok yang berdiri dengan
sikap tenang.
Semula keempat orang ini merasa heran
terhadap sosok bayangan ungu. Karena, mereka
tahu kalau pemilik lengkingan itu adalah orang
yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Dan
sudah pasti memiliki kepandaian luar biasa. Dan
begitu melihat Dewa Arak, mereka tidak merasa
heran lagi. Dewa Arak memang memiliki
kepandaian luar biasa.
Sosok bayangan ungu yang memang Dewa
Arak menatap keempat orang yang berdiri di
depannya, sekilas. Kemudian perhatian
dialihkan pada onggokan mayat yang telah
menjadi daging hangus, sejenak. Pemuda
berambut putih keperakan ini mengernyitkan
alis, karena merasa heran melihat keadaan
mayat-mayat itu. Sebagai pendekar yang
memiliki kepandaian tinggi, Arya tahu kalau
mayat-mayat itu tewas karena hantaman sebuah
pukulan jarak jauh yang mengandung hawa
panas amat tinggi.
Arya telah bertarung melawan Tiga Iblis Baju
Hitam. Dan tingkat kepandaian mereka telah
bisa diukurnya. Pemuda berambut putih
keperakan ini tahu, tiga tokoh golongan hitam
itu tidak akan mampu melakukan hal demikian.
Tingkat tenaga dalam Tiga Iblis Baju Hitam tidak
setinggi itu! Maka, pemuda berpakaian ungu ini
menduga kalau pelakunya pasti Bandawasa.
"Ha ha ha...! Dewa Arak...!"
Bandawasa tertawa bergelak setelah
tercenung sejenak, tidak menyangka kalau
pemuda berambut putih keperakan yang
terkenal ini bisa berada di tempat ini.
"Syukur kau bisa datang ke tempat ini! Dan
memang, aku bermaksud untuk menjumpaimu
Sudah lama aku ingin merasakan kelihaianmu!
Meskipun, berita yang kudengar tentang dirimu
menakjubkan! Benarkah kau memiliki
kepandaian seperti yang digembar-gemborkan
dunia persilatan?! Tapi, sebelum itu kau hendak
kuberikan sebuah suguhan menarik! Lihatlah
baik-baik. Dewa Arak...!"
Trakkk!
Bunyi berdetak pelan terdengar, ketika
Bandawasa membenturkan benda-benda
bersinar pada kedua tangannya. Tiga kali
berturut-turut, dengan sasaran tertuju pada Tiga
Iblis Baju Hitam.
Tiga Iblis Baju Hitam yang memang sudah
bersiap untuk menghadapi serangan mengerikan
itu, terperanjat bukan kepalang. Bunyi
beradunya dua benda bersinar itu di telinga
mereka, bagaikan guntur menggelegar yang
menyambar! Dan lagi, ada pengaruh aneh yang
membuat tubuh mereka tidak bisa digerakkan
sama sekali. Kaku seperti tertotok!
Dan Tiga Iblis Baju Hitam langsung dapat
mengetahui akan adanya pengaruh aneh dan
tidak wajar itu. Dan di saat, kilatan cahaya
laksana halilintar menyambar, mereka
mengerahkan kekuatan batin untuk melawan
pengaruh tidak wajar. Mereka berusaha sekuat
tenaga untuk membangkitkan tenaga dalam.
"Akh!"
Dua dari Tiga Iblis Baju Hitam mengeluarkan
lolongan menyayat hati, ketika kilatan cahaya
laksana halilintar itu mengenai rubuh mereka.
Kedua orang ini memang berhasil membebaskan
diri dari pengaruh tidak wajar, dan langsung
bertindak mengelak. Tapi kilatan cahaya laksana
halilintar itu telah lebih dulu menerjang! Iblis
Baju Hitam yang pada kepalanya terlilit kain
putih yang mendapat giliran serangan lebih
dulu, terkena telak pada dadanya! Sedangkan
rekannya, hanya terkena pahanya. Kendati
demikian, akibat yang diperoleh tidak berbeda.
Sekujur tubuh mereka hangus! Bau sangit
daging terbakar pun memenuhi sekitarnya.
Sepasang mata Dewa Arak sampai terbelalak
saking kagetnya melihat pemandangan yang
terpampang di depan Dia tidak pernah mengira
ada sepasang benda yang demikian mengerikan
akibatnya. Sekarang langsung dimengerti,
penyebab banyaknya onggokan mayat dalam
keadaan terbakar memenuhi sekitar tempat ini.
Sementara itu, sisa anggota Tiga Iblis Baju
Hitam hanya sebentar saja terkesima melihat
kejadian yang menimpa rekan-rekannya. Karena
kemudian, dengan kecepatan menakjubkan, dia
melompat menerjang Bandawasa, laksana seekor
harimau menerkam mangsa.
"Terimalah kematianmu. Pengkhianat Busuk!"
Trakkk!
Anggota Tiga Iblis Baju Hitam yang terakhir
pun menemui ajalnya seperti yang diterima
kedua rekannya. Di saat tubuhnya melayang di
udara, kilatan cahaya halilintar menyambutnya.
Dan, tokoh sesat yang malang itu tewas sebelum
mencium tanah.
"Ha ha ha...!"
Bandawasa tertawa bergelak sambil
memandang Arya dengan sinar mata penuh
kebanggaan.
"Bagaimana, Dewa Arak?! Apakah senjataku
ini tidak hebat?!"
Walaupun jantung dalam dada berdetak jauh
lebih cepat. Dewa Arak tetap bersikap tenang.
"Sebuah senjata yang mengerikan!"
Terdengar tenang jawaban pemuda berambut
putih keperakan itu, kendati di benaknya
bergayut pertanyaan yang bergumpal-gumpal.
Dewa Arak merasa heran, mengapa Tiga Iblis
Baju Hitam sepertinya tidak berusaha
mengelakkan serangan itu. Padahal diyakini,
apabila Tiga Iblis Baju Hitam itu bertindak cepat,
kilatan cahaya laksana halilintar itu tidak akan
mengenainya!
Tapi, Dewa Arak tidak terlalu lama
tenggelam dalam alun pertanyaan itu. Dia
adalah pemuda yang telah kenyang pengalaman,
tak terkecuali yang aneh-aneh Oleh karena itu,
cepat dapat diduga akan adanya hal yang tidak
beres di sini. Ada sesuatu yang membuat Tiga
Iblis Baju Hitam tidak bisa bertindak tanggap.
***
7
Bandawasa tertawa.
"Istilah yang kau gunakan memang tepat.
Dewa Arak. Tapi tidak usah khawatir. Aku tidak
akan menggunakan benda-benda ini
terhadapmu. Mengapa? Karena kau tidak bisa
disamakan dengan keroco seperti mayat-mayat
yang kau lihat bergeletakan di sekitar tempat ini.
Mereka tong-tong kosong yang tidak ada
artinya. Dan aku tidak ingin mengotori tanganku
untuk bersentuhan langsung dengan keroco-
keroco seperti, itu! Dan lagi, aku ingin menguji
kepandaianmu. Dewa Arak. Aku ingin bukti,
benarkah kabar yang kudengar di dunia
persilatan?! Memang, aku sudah bisa
memperkirakannya. Karena, kudengar kau
mampu menahan tiga orang muridku itu.
Mereka telah mewarisi sebagian besar
kepandaianku. Bila mereka bertiga tidak mampu
mengalahkanmu, telah menjadi pertanda kalau
pantas menjadi lawanku! Cukup berharga!"
Meski agak kaget karena tidak menyangka
kalau Tiga Iblis Baju Hitam adalah murid
Bandawasa, Arya tidak menampakkan
keterkejutannya.
"Tapi, asal kau tahu saja. Dewa Arak. Aku
suka bermain-main dulu, sebelum bertarung
sungguh-sungguh. Apalagi, bila lawan yang
akan kuhadapi tokoh terkenal seperti kau! Aku
jadi lebih bersemangat lagi untuk bermain-main.
Dan mungkin, kita akan bermain lebih lama
daripada pertarungan yang sesungguhnya."
Seperti tidak sedang menghadapi lawan
tarung yang tangguh, Bandawasa mengedarkan
pandangan berkeliling. Sepasang matanya
berseri, ketika melihat dua buah batu sebesar
gajah tak jauh dari tempat itu.
"Kau lihat itu. Dewa Arak. Batu-batu kecil
itu?!" kata Bandawasa, enak saja menyebutkan
batu yang besarnya mungkin dua puluh kali
orang, sebagai batu kecil. "Kita akan bermain-
main mempergunakan kerikil-kerikil itu."
"Aku masih belum jelas dengan permainan
yang kau maksudkan, Kisanak. Dan lagi, aku
tidak ingin bermain-main. Keberadaanku di sini
bukan untuk bertarung atau bermain-bermain
denganmu. Tapi karena mendengar akan adanya
keramaian di tempat ini."
"Tapi, kau telah berani mencampuri
urusanku!" sentak Bandawasa, langsung
menutup senyum yang terkembang di bibirnya.
"Aku hanya menolong seorang gadis yang
tidak berdaya dan tengah terancam maut,"
bantah Arya.
"Gadis itu muridku. Dewa Arak!" semakin
meninggi nada suara Bandawasa. "Begitu juga,
tiga orang yang tewas oleh senjataku yang
mukjizat. Dan kau telah berani-beraninya
mencampuri urusan perguruan orang lain.
Kemudian dengan seenaknya mengundurkan
diri! Ataukah, kau takut untuk bertarung atau
bermain-main denganku?! Kalau demikian, tentu
saja aku tidak memaksa. Tapi sebelum pergi,
harap kau mengangguk tanda menyerah dan
takluk padaku! Delapan kali kau harus
melakukannya, disertai ucapan minta maaf!"
"Aku sama sekali tidak takut!" tegas Dewa
Arak, dengan wajah merah padam. Hatinya
benar-benar tersinggung mendapat makian
seperti itu.
"Ah...! Kau seorang yang berjiwa gagah
rupanya? Tidak takut?! Kalau begitu, buktikan
ucapanmu! Jangan hanya bersesumbar saja,
tanpa bukti nyata!" ujar Bandawasa semakin
memanas-manasi.
"Baiklah kalau demikian, Kisanak. Kaulah
yang memaksaku. Dan...."
"Namaku Bandawasa, Dewa Arak. Panggillah
aku dengan namaku. Dan kuharap, kau tidak
usah banyak berbasa-basi lagi, seperti nenek-
nenek bawel kehilangan sirih! Kalau memang
bukan seorang pengecut, bersiaplah untuk
memulai permainan di antara kita!"
"Kau yang mengajukan tantangan,
Bandawasa! Jadi, silakan atur permainan yang
kau inginkan! Aku akan mencoba
menghadapinya!" tandas Dewa Arak, mantap.
"Bagus!" seru Bandawasa gembira. "Aku akan
memberi kerikil-kerikil itu satu persatu
kepadamu. Dan kau harus memberikan padaku,
sebelum kerikil yang kedua kulemparkan. Jadi,
kita saling mendahului memberikan kerikil. Dari
permainan ini, bisa kulihat kekuatan tenaga
dalam dan kelincahanmu. Pantaskah untuk
bertarung denganku?!"
"Aku sudah mengerti. Mulailah, Bandawasa!"
"Baik! Terima ini. Dewa Arak!"
Bandawasa memperingatkan, setelah berada
di dekat batu-batu sebesar gajah. Dan dengan
ujung kaki, dicungkilnya salah satu. Perlahan
saja kelihatannya, bagai tidak mengerahkan
tenaga sama sekali. Tapi hebatnya, batu sebesar
gajah itu seperti bagai kerikil melayang ke atas,
langsung diterima kedua tangan Bandawasa.
Dan seketika itu pula, dilemparkannya pada
Dewa Arak.
Tappp!
Batu sebesar gajah itu saja sudah berat bukan
kepalang. Apalagi ditambah tenaga lontaran
Bandawasa yang disertai pengerahan tenaga
dalam. Tapi, toh Dewa Arak mampu
menangkapnya dengan kedua tangan tanpa
terhuyung. Bahkan kedudukan kakinya tidak
goyah sama sekali. Hanya saja pemuda
berambut putih keperakan itu merasakan kedua
tangannya bergetar hebat.
Dewa Arak tidak peduli sama sekali. Begitu
batu sebesar gajah itu telah berhasil ditangkap,
langsung dilemparkan kembali pada Bandawasa.
Dan pada saat yang bersamaan, Bandawasa pun
melemparkan batu besar yang satu lagi. Hampir
berbareng, Arya dan Bandawasa menerima. Dan
kemudian, masing-masing melemparkannya
lagi.
Mula-mula batu-batu besar itu bergerak ke
arah Dewa Arak dan Bandawasa sama
gencarnya. Masing-masing pihak menerima batu
dan melemparkannya tanpa menemui kesulitan
sama sekali. Dan ini berlangsung sampai cukup
lama, sehingga membuat Bandawasa kagum
bukan kepalang. Biasanya setiap kali menguji
lawannya, hanya dalam belasan kali lontaran
batu, Bandawasa sudah unggul. Batu-batu yang
dilemparkan lebih gencar tertuju pada lawannya.
Bandawasa baru satu batu diterima, batu lain
telah menyusul untuk lawannya.
Tapi kali ini tidak! Telah puluhan kali batu
besar itu dilontarkan Bandawasa, tapi mampu
ditanggulangi Dewa Arak. Pemuda berambut
putih keperakan itu mampu mematahkan
serbuan batu yang dikirimkan Bandawasa,
malah mampu melancarkan serbuan yang tidak
kalah gencarnya.
Bandawasa bukan orang bodoh! Setelah
hampir seratus kali batu itu terlempar, namun
Dewa Arak tidak terlihat terdesak. Dan kini
kakek kurus kering ini mulai membaui adanya
gelagat yang tidak menguntungkan. Ternyata
Dewa Arak memiliki tenaga dalam dan
kelincahan tidak berada di bawahnya. Malah
mungkin satu tingkat di atasnya. Jadi, yang
menentukan dalam kemenangan adu lempar-
lemparan batu ini adalah kekuatan napas dan
kekuatan tubuh! Dan tentu saja dalam hal ini
Dewa Arak yang memiliki tubuh lebih kokoh
dan masih muda, mempunyai kekuatan lebih
baik ketimbang Bandawasa yang telah berusia
amat lanjut.
Maka ketika Dewa Arak melempar batu
untuk yang kesekian ratus kalinya, Bandawasa
tidak langsung melemparkan batu yang baru
diterimanya. Batu itu ditahannya sejenak, dan
langsung dilemparkannya ketika batu dari Dewa
Arak meluncur!
Blarrr!
Batu-batu sebesar gajah itu hancur
berantakan, ketika berbenturan di udara. Keras
bukan kepalang, karena Bandawara memang
sengaja mengadunya. Pecahan-pecahan kecil-
kecil berpentalan ke sana kemari. Bahkan
beberapa di antaranya meluncur ke arah dua
pihak yang bertarung.
Bandawasa yang memang sudah menduga,
dengan mudah memunahkan luncuran batu-
batu kecil yang menuju ke arahnya. Beberapa
bagian tubuh yang tidak berbahaya, dibiarkan
saja dihantam kepingan-kepingan batu.
Sementara bagian yang berbahaya dihalau
dengan hantaman kedua tangan.
Dewa Arak yang tidak menduga, agak
kerepotan karena pecahan-pecahan batu itu
terlalu banyak. Malah sebagian besar menuju ke
arahnya. Dan memang, ini sudah
diperhitungkan masak-masak oleh Bandawasa!
Tapi seperti juga Bandawasa, ternyata Dewa
Arak memiliki kemampuan tinggi. Sehingga dia
tidak mengalami kejadian tak diharapkan.
"Ternyata kau cukup berharga untuk menjadi
lawanku. Dewa Arak!"
Belum hilang gema ucapan itu, Bandawasa
telah menerjang Dewa Arak. Kakek kurus ini
mulai melakukan serangan yang diiringi bunyi
bercicitan. Bandawasa membuka serangannya
dengan sebuah totokan satu jari yang bertubi-
tubi ke arah berbagai bagian berbahaya di tubuh
Dewa Arak.
Arya tidak berani memandang remeh meski
serangan lawan hanya dilakukan satu jari. Dia
tahu, pada seorang tokoh yang memiliki tenaga
dalam sekuat Bandawasa, serangan satu jari
tidak kalah berbahaya dengan pukulan atau
tendangan. Bahkan serangan itu lebih berbahaya,
karena angin serangannya saja mampu melukai
kulit, laksana bacokan pedang.
Tahu kalau lawan menggunakan ilmu
andalan. Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Hanya
dalam sekejapan, kedua tokoh sakti ini telah
terlibat pertarungan.
Bandawasa mulai merasa tidak sabaran
ketika pertarungan telah menginjak jurus kelima
puluh, tapi belum mampu mendesak Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu
terlalu gesit dan lincah. Betapapun Bandawasa
telah berusaha keras, namun tetap tidak bisa
menjatuhkan serangan. Memang, lewat jurus
'Delapan Langkah Belalang', dengan gerak
terhuyung-huyung dan lemas seperti orang
mabuk. Dewa Arak selalu dapat mementahkan
serangan. Sebaliknya, serangan Arya sendiri
yang mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk'
terlihat bagaikan gelombang laut yang berusaha
menggulung Bandawasa.
Plak, plakkk!
Untuk kesekian kalinya, dua buah tendangan
bertubi-tubi. Bandawasa berbenturan dengan
tangkisan Dewa Arak. Kali ini, tidak seperti
sebelumnya, tapi Bandawasa terlihat agak
terpelanting dan hampir terjengkang.
Pertarungan berhenti sejenak. Kedua belah
pihak sama menatap dalam jarak sekitar tiga
tombak. Dan Dewa Arak tampak dibasahi peluh.
Tapi napasnya biasa saja. Tidak demikian halnya
Bandawasa! Di samping dahinya, leher, dan
wajahnya pun dibasahi peluh. Bahkan napasnya
agak memburu menandakan kalau kakek kurus
kering ini telah agak lelah.
"Sebetulnya, aku ingin membunuhmu
dengan tanganku sendiri. Dewa Arak. Tapi...,
sayang sekali. Saat ini aku tengah terburu-buru.
Ada tugas lain yang hendak kulakukan. Aku
tidak mempunyai waktu lebih lama lagi
denganmu."
Bandawasa kemudian mengambil benda-
benda bersinar yang tadi telah diselipkan di
pinggang. Tentu saja Dewa Arak jadi tercekat.
Telah dilihatnya sendiri, akibat kilatan cahaya
yang keluar dari benda bersinar itu pada Tiga
Iblis Baju Hitam. Maka pemuda berambut putih
keperakan ini bersikap waspada. Dia bersiap-
siap, apabila Bandawasa mulai mengadu benda-
benda bersinar itu.
Trakkk!
Dewa Arak baru tahu, mengapa Tiga Iblis
Baju Hitam bersikap kurang tanggap untuk
mengelak. Begitu benda-benda bersinar itu
dibenturkan satu sama lain, terdengar bunyi
laksana guntur! Begitu keras, sehingga Dewa
Arak khawatir kalau-kalau telinganya menjadi
tuli. Di samping itu, ada sebuah kekuatan aneh
yang membuat tubuhnya sulit digerakkan Otot-
otot tubuhnya seperti lumpuh. Bahkan tenaga
dalamnya lenyap entah ke mana.
Tapi, Dewa Arak bukan pendekar kemarin
sore. Telah ratusan kali dia bertarung
menghadapi lawan, yang memiliki ilmu-ilmu
aneh. Maka menghadapi serangan seperti ini.
Dewa Arak langsung dapat merasakan adanya
hal tidak wajar. Seketika kekuatan batinnya
dikerahkan Dan segera tenaga dalamnya
dibangkitkan kembali, lalu disalurkan ke seluruh
tubuh. Kemudian, pemuda berambut putih
keperakan ini melompat untuk menjauh.
Glarrr!
Sebatang pohon besar yang berada cukup
jauh di belakang Dewa Arak, kontan menjadi
sasaran serangan nyasar itu. Seketika, batang
pohon itu berikut daun, cabang, dan rantingnya
hangus terbakar. Kepulan asap langsung
membumbung tinggii ke udara. Asap tipis.
"Kau hebat. Dewa Arak!" puji Bandawasa
gembira.
Dia melihat pemuda berambut putih
keperakan itu berhasil meloloskan diri dari
kilatan cahaya maut yang berasal dari benturan
benda-benda bersinar yang ada di kedua
tangannya.
'Tapi, jangan berbesar hati dulu. Sekarang,
kau terima ini!"
Tanpa memberi kesempatan pada Arya untuk
memperbaiki kedudukan, Bandawasa
membenturkan benda-benda bersinar yang ada
pada kedua tangannya berkali-kali, saat melihat
pemuda berambut putih keperakan itu baru saja
menjejak tanah.
Sekali benturan, benda-benda bersinar itu saja
sudah menimbulkan akibat demikian dahsyat.
Apalagi, dibenturkan berkali-kali. Dewa Arak
seperti mendengar ada persaingan bunyi
halilintar. Getaran demi getaran melanda dada,
setiap kali benda-benda bersinar itu dibenturkan
Dan cekaman kekuatan kasat mata menyerang,
yang melumpuhkan otot-otot tubuh Dewa Arak
semakin bertumpuk.
Namun, Dewa Arak telah memusatkan
perhatian untuk membutakan mata hatinya.
Maka pengaruh yang mencekam itu bagai tidak
terasa. Pemuda berambut putih keperakan ini
berlompatan ke sana kemari, untuk
mengelakkan serangan-serangan kilatan cahaya
laksana halilintar itu!
Hasilnya, terjadi sebuah pertandingan
menarik. Arya berlompatan ke sana kemari dan
dikejar-kejar kilatan-kilatan cahaya halilintar.
Dewa Arak yang kenyang pengalaman tahu,
jika keadaan seperti itu terus berlangsung, akan
menderita kerugian. Tenaganya akan habis
terkuras. Dan dia akan kelelahan! Maka meski
mengelak, dicarinya bersiasat. Pada saat
mengelak, didekatinya Bandawasa. Paling tidak
agar dapat melancarkan serangan Dewa Arak
tahu dalam jarak dekat, benda-benda bersinar itu
kurang bisa menunjukkan kegunaannya.
Tapi, Bandawasa tidak kalah cerdik. Begitu
melihat Dewa Arak mendekati tempatnya, dia
malah menjauh. Sehingga jarak antara dia dan
Dewa Arak tetap tidak berubah Tindakan dua
tokoh yang bertarung ini, menyebabkan tempat
pertarungan bergeser!
Trakkk!
'Ah!"
Dewa Arak terperanjat bukan kepalang. Saat
tubuhnya melayang, kilatan-kilatan cahaya
mirip halilintar itu meluncur ke arahnya.
Semuanya tertuju ke arah tempat yang akan
dijadikan elakan atau meloloskan diri bagi Dewa
Arak. Jelas jalan keluar untuk lolos telah
terkepung.
Namun Dewa Arak benar-benar
menakjubkan. Ilmu 'Belalang Sakti' memang
membuatnya seperti dapat terbang. Laksana
seekor ikan, tubuhnya melenting. Tapi, toh tetap
saja kilatan cahaya itu memburu meski yang
tertuju bukan bagian berbahaya. Hanya betis
kanan.
Meski demikian. Dewa Arak tidak berani
bertindak gegabah. Dia tahu, biar bagaimana
akibatnya akan sama. Telah disaksikan sendiri
oleh Dewa Arak, nasib yang menimpa salah
seorang dari Tiga Iblis Baju Hitam.
Di saat-saat gawat di mana maut telah berada
di ujung hidung. Dewa Arak masih sempat
berpikir jernih. Tangannya segera dijulurkan,
untuk menjemput guci yang tersampir di
punggung. Kemudian dengan senjata
andalannya kilatan cahaya yang tidak mungkin
dapat dielakkan lagi dipapaknya.
Blarrr!
Tubuh Dewa Arak terpental jauh ke belakang,
begitu kilatan cahaya itu berbenturan dengan
guci. Seketika guci terbuat dari perak itu pun
terlepas dari pegangan, dan terpental terpisah
dari Arya.
"Ha ha ha...!"
Bandawasa tertawa bergelak ketika melihat
tubuh Dewa Arak terpental, seperti daun kering
dihempas angin. Tubuhnya melayang-layang
sejauh belasan tombak, kemudian jatuh di
kerimbunan semak-semak yang lebat. Kakek
kurus kering ini yakin. Dewa Arak yang tangguh
telah tewas.
Dengan tawa masih keluar dari mulutnya,
Bandawasa melesat meninggalkan tempat itu.
Kegembiraan hatinya melihat Dewa Arak yang
menurutnya sudah tewas, membuat Bandawasa
lupa akan muridnya. Ambar Wati yang sejak
tadi menyaksikan jalannya pertarungan, masih
tetap bertiarap. Gadis itu khawatir, tersambar
kilatan cahaya halilintar yang-nyasar tadi.
***
8
Ambar Wati tetap tidak berani bangkit dari
telungkupnya, kendati suara tawa Bandawasa
sudah tidak terdengar lagi. Gadis itu tetap
menunggu beberapa saat, dengan sikap seperti
itu. Baru setelah dirasakan keadaan sudah aman,
dia bangkit. Itu pun dengan takut-takut. Kepala
gadis berpakaian merah ini menoleh ke sana
kemari.
Setelah yakin kalau Bandawasa tidak berada
di situ lagi, dan mungkin sudah jauh. Ambar
Wati baru berlari-lari kecil menuju tempat tubuh
Dewa Arak terjatuh
Srakkk!
Dengan perasaan tidak sabar. Ambar Wati
menguak kerimbunan semak-semak tempat
tubuh Dewa Arak jatuh. Dan tangannya tetap
menguak semak. Sepasang matanya terbelalak
lebar ketika melihat pemandangan yang
terpampang di hadapannya.
Sekitar satu tombak dari tempat Ambar Wati
berada, tergolek sesosok tubuh. Dan yang
membuat gadis berpakaian merah ini terbelalak,
karena yang tergolek adalah Dewa Arak!
Padahal, biasanya setiap orang yang terkena
kilatan cahaya yang keluar dari benda-benda
bersinar itu tak ketahuan lagi bentuknya. Yang
tinggal hanya onggokan daging berbentuk
manusia.
Keanehan ini membuat Ambar Wati untuk
beberapa saat berdiri terpaku bagai orang
tersihir! Keadaan Dewa Arak membuat gadis
berpakaian merah ini mempunyai dugaan, kalau
pemuda berambut putih keperakan ini belum
mati!
Setelah sadar dari cekaman perasaan kaget.
Ambar Wati melangkah hati-hati mendekati
Dewa Arak. Dia lalu berjongkok dan memeriksa
keadaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan Ambar Wati jadi takjub ketika mendapat
kenyataan kalau pemuda itu benar-benar tidak
tewas. Hanya pingsan saja.
Dengan tangan agak menggigil karena
cekaman perasaan tegang. Ambar Wati
mengambil sebuah guci kecil yang masih
tersumbat dari balik pinggang. Dibukanya
sumbat guci, dan didekatkan guci yang telah
terbuka sumbatnya pada hidung Dewa Arak.
Seketika bau yang keras pun tercium dari
dalamnya. Ambar Wati berusaha merangsang
kesadaran Arya dengan bau-bauan keras.
Tindakan gadis berpakaian merah ini tidak
berhenti sampai di situ. Sementara tangan kiri
memegangi guci, tangan kanan sibuk memijit-
mijit tengkuk Arya. Ini dilakukan untuk lebih
mempercepat timbulnya kesadaran pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Uuhhh...!"
Hanya dalam waktu sebentar saja, terdengar
keluhan dari mulut Arya. Sepasang mata
pemuda ini pun terbuka, dan langsung
terbelalak ketika melihat seraut wajah yang
berada di dekatnya. Agak terburu-buru pemuda
berambut putih keperakan ini bangkit dari
berbaringnya.
'Apa yang terjadi...?! Mana dia...?!" tanya
Arya, ketika telah duduk. Sedangkan sepasang
matanya mengedar ke sekeliling mencari-cari.
"Dia telah pergi. Mungkin dikira kau sudah
mati," jawab Ambar Wati. Meski Arya belum
mengatakannya secara jelas, tapi bisa
diperkirakan kalau yang dimaksud adalah
Bandawasa.
Jawaban Ambar Wati membuat Arya
tercenung sejenak. Dia berusaha mengingat-
ingat. Hanya sesaat saja pemuda ini telah
langsung teringat kejadian yang dialaminya.
"Kau.... Kau luar biasa sekali. Dewa Arak,"
ujar Ambar Wati tanpa menyembunyikan
perasaan heran dan kagumnya. "Dari sekian
banyaknya orang yang kulihat, hanya kau yang
tidak tewas terkena kilatan cahaya dari benda-
benda bersinar itu.
"Bukan akunya yang luar biasa. Ambar. Tapi
yang jelas, yang Maha Kuasa belum
menghendaki aku mati. Mungkin..., karena guci
arakku," Arya melemparkan dugaan, sekenanya.
Tapi pernyataan itu memang ada benarnya.
Guci arak yang terbuat dari perak pemberian
gurunya, Ki Gering Langit, memang bukan guci
sembar angan.
"Jadi..., guci itu merupakan guci pusaka?!"
Ambar Wati meminta penegasan
"Begitulah kira-kira," jawab Arya tidak pasti.
"Mungkin guci itu telah membuat kedahsyatan
kilatan cahaya halilintar itu punah. Atau, hanya
berkurang separonya. Dan akibatnya, aku tidak
mati. Melainkan, pingsan saja. Kendati
demikian, aku tidak akan berani mencoba
kedahsyatan kilatan cahaya itu dengan guciku
lagi. Aku tidak berani mempertaruhkan
nyawaku."
Ambar Wati terdiam. Kini dia tahu, Arya
berhasil selamat dari kilatan cahaya itu karena
guci araknya.
"O, ya. Di mana guciku itu?!" tanya Arya
sambil mengedarkan pandangan berkeliling
ketika tidak melihat keberadaan guci itu di
dekatnya.
"Kulihat guci itu terlempar ke sana," tunjuk
Ambar Wati sambil menudingkan jari ke satu
arah.
Tanpa membuang-buang waktu, Arya segera
bangkit dan berjalan menuju ke arah yang
ditunjuk Ambar Wati.
"Aku ingin minta maaf padamu. Dewa Arak.
Eh..., Arya," ujar Ambar Wati ketika pemuda
berambut putih keperakan itu telah berhasil
mendapatkan gucinya.
"Minta maaf. Ambar?! Untuk apa?!
Sepengetahuanku, kau tidak mempunyai salah
apa-apa padaku?" tanya Arya, sambil
mengernyitkan kening.
Dewa Arak jadi heran mendengar ucapan
gadis berpakaian merah itu. Ditatapnya wajah
Ambar Wati untuk melihat, apa yang dimaksud
gadis berpakaian merah itu. Tapi karena Ambar
Wati menundukkan wajah, Arya jadi tidak bisa
mendapatkan apa-apa.
Sebenarnya, Arya sudah merasa heran ketika
mengetahui kalau Ambar Wati mempunyai guru
orang seperti Bandawasa. Sepengetahuan dan
sepanjang yang dialaminya, kakek kurus kering
itu bukan orang baik-baik. Dan keheranannya
bertambah ketika mengetahui Tiga Iblis Baju
Hitam mempunyai hubungan perguruan dengan
Ambar Wati. Tapi, Arya belum mau
menanyakannya. Dan dia menunggu saat yang
tepat.
"Aku telah membohongimu. Aku telah
mengarang sebuah cerita dusta untuk
mengetahuimu," jelas Ambar Wati dengan suara
semakin pelan dan kepala kian menunduk
dalam-dalam.
"Jadi..., cerita yang pernah kau utarakan
padaku itu cerita dusta belaka?!" kata Arya
setelah tercenung sejenak. "Bisa kau ceritakan
padaku kisah yang sebenarnya?!"
"Dengan senang hari," jawab Ambar Wati.
"Tapi, aku khawatir kau akan membenciku
setelah kuceritakan hal yang sebenarnya "
"Percayalah. Aku bukan orang seperti itu,"
Arya berusaha menenangkan hati Ambar Wati.
'Tapi aku orang jahat, Arya. Aku yakin, kau
akan membenciku apabila telah mendengar apa
yang kuceritakan," Ambar Wati tetap masih
merasa khawatir.
"Andaikata benar demikian, ucapanmu yang
sekarang telah membuktikan kalau kau telah
menyadari ketidakbenaran sikapmu yang lalu.
Mana mungkin aku bisa membenci orang yang
telah menyadari kesalahannya. Ceritakanlah,
Ambar. Tidak usah merasa ragu-ragu lagi"
Ambar Wati tidak langsung bicara. Dia
tercenung sebentar seperti ada yang
dipikirkannya.
"Guruku bernama Bandawasa, ketua sebuah
perkumpulan yang bernama Perkumpulan Baju
Hitam. Tiga orang yang kau kenal sebagai Tiga
Iblis Baju Hitam, adalah murid-murid utamanya.
Dan sesuai pakaiannya. Perkumpulan Baju
Hitam merupakan perkumpulan yang terdiri
dari orang-orang golongan hitam. Murid-murid
perkumpulan itu sering melakukan kejahatan.
Karenanya, banyak tokoh golongan putih yang
tidak senang dan menentang. Di antaranya.
Perguruan Baju Putih. Dalam sebuah pertikaian,
tiga murid utama Perguruan Baju Hitam
menewaskan putra Ketua Perguruan Baju Putih
yang membuat sang Ketua murka. Bersama
seluruh anak buahnya, dia memimpin
penyerbuan ke Perguruan Baju Hitam. Maka
pertempuran sengit terjadi. Dan hasilnya
Perguruan Baju Hitam musnah! Apalagi pada
saat itu, tiga murid utama yang diandalkan tidak
berada di tempat. Guru sendiri terluka parah,
dan berhasil melarikan diri melalui pintu rahasia
bersamaku. Lima tahun guru mengasingkan diri
bersamaku untuk mengobati luka dan
mempertinggi kepandaian yang dimiliki.
Memang, kejadian yang kuceritakan itu
berlangsung lebih dari lima tahun lalu. Hampir
enam tahun."
Ambar Wati menghentikan cerita.
Dipergunakannya kesempatan itu untuk melihat
tanggapan Arya. Tapi pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak bersuara seperti
menunggu kelanjutan cerita.
"Meski telah sembuh dari luka-lukanya dan
menambah kepandaian, guru mempunyai
sebuah rencana untuk membalas dendam.
Sementara itu, semua tokoh persilatan tahu
kalau di sebuah puncak bukit yang bernama
puncak Kabut Putih, terdapat sebuah bangunan
kuno tempat tinggal para Brahmana. Menurut
cerita, belasan tahun lalu para Brahmana-
brahmana yang seperti membentuk sebuah
perkumpulan, mempunyai seorang ketua yang
telah mendapat anugerah dewa. Dalam sebuah
penyepiannya, pimpinan Brahmana yang telah
meninggal beberapa tahun lalu, mendapat dua
buah benda sakti yang berupa batu intan
permata yang berwarna biru dan merah. Intan
itu dianugerahkan dewa, agar Brahmana yang
baik hati ini mempergunakannya untuk
mencegah terjadinya bencana. Dan memang,
menurut cerita belasan tahun lalu, banjir besar
melanda. Air sungai meluap, menghancurkan
desa-desa yang berada di bawahnya. Dengan
menggunakan benda-benda itu berdasarkan
wangsit yang didapatkan. Brahmana itu berhasil
mencegah terjadinya banjir, dengan cara
meruntuhkan tebing-tebing gunung."
"Pasti benda-benda bersinar yang kau
maksud sebagai intan biru dan merah itu yang
berada di tangan Bandawasa sekarang," duga
Arya, mulai paham jalan ceritanya.
"Benar."
"Hanya demikian cerita yang hendak kau
sampaikan. Ambar?! Dan kau menganggap
dirimu jahat?! Aku sama sekali tidak melihat
kejahatanmu!" celetuk Arya heran.
"Ceritaku belum selesai. Dewa Arak!" sahut
Ambar Wati, buru-buru.
"Maaf."
"Karena keinginan untuk membalas dendam
itulah, guru berniat mencari benda-benda itu.
Padahal menurut kabar yang tersiar, benda itu
telah lama hilang. Tapi, guru berkeras untuk
mendapatkannya. Dan dengan sebuah siasat,
melukaiku. Dan aku setuju saja. Kemudian guru
meletakkan tubuhku yang terluka parah di
tempat yang bisa dilalui para Brahmana itu
ketika mereka mencari sayuran atau buah-
buahan. Siasat Guru berhasil. Tubuhku
ditemukan salah seorang Brahmana, yang
langsung membawaku untuk menyembuhkan
luka-luka. Karena sikapku yang pandai
membawa diri, mereka tidak keberatan aku
tinggal setelah sembuh. Dan ketika aku mulai
akrab, secara tak kentara aku berusaha mencari
tahu, dimana benda-benda bersinar itu. Tapi,
usahaku sia-sia. Mereka semua menjawab tidak
tahu. Dan bahkan, selalu mengalihkan
pembicaraan setiap kali aku bertanya. Kegagalan
ini membuatku haru, lalu melakukan rencana
lain."
Sampai di sini Ambar Wati menghentikan
cerita. Dan gadis itu tampak ragu-ragu untuk
meneruskan. Arya pun tahu, dalam lanjutan
cerita itu Ambar Wati merasa dirinya sebagai
orang jahat. Dan diam-diam. Dewa Arak mulai
merasakan hatinya tidak enak. Kalau rencana itu
disusun Bandawasa, tentu perbuatan apa pun
dihalalkan. Asalkan, tujuan tercapai. Dewa Arak
mulai mengkhawatirkan nasib Brahmana-
brahmana itu.
"Rencana itu adalah, menaruh racun dalam
makanan dan minuman mereka. Racun yang
tidak berwarna, berbau, dan berasa. Tapi,
memiliki daya kerja cepat dan mematikan. Dan
hasilnya, memang langsung terbukti. Para
Brahamana yang jumlahnya belasan orang
langsung keracunan, sehabis menyantap
makanan yang kububuhkan racun. Saat itulah,
guru datang dan meminta agar diberitahukan di
mana letaknya benda-benda bersinar itu. Kalau
bisa diserahkan padanya saat itu juga, maka
imbalannya para Brahmana berjanji akan diberi
pemunah racun. Dan mereka juga harus berjanji
untuk tidak mencampuri urusan guru lagi."
Arya mengeluh dalam hati, mengutuk
perbuatan Ambar Wati yang keji. Tapi, tanpa
keluar dari mulut. Bahkan pada wajahnya yang
tampan, tidak terlihat gambaran perasaan apa-
apa. Arya berusaha menguasai perasaan sedapat
mungkin.
"Mereka semua menolak. Bahkan salah satu
Brahmana yang tidak sabar, malah menyerang
guru. Tapi begitu mengerahkan tenaga dalam,
dan serangan belum dilancarkan. Brahmana
tewas. Memang racun yang kami bubuhkan itu
mempunyai pantangan berat. Jangan
mengerahkan tenaga dalam, karena akan
membuat racun itu bekerja lebih cepat!. Kejadian
ini membuat Brahmana-brahmana yang lain
tidak berani melakukannya. Meskipun demikian,
mereka tetap tidak mau memberitahukannya.
Guru menjadi geram melihat kebandelan
mereka, langsung bertindak keji. Semua
Brahmana itu segera dibantai satu persatu. Dan
rupanya, tanpa sepengetahuan guru, dua orang
pelayan para Brahmana yang memang
diperintahkan untuk menjaga dua intan itu, telah
melarikan diri. Yang seorang, berhasil dikejar
guru. Dia adalah si Pemegang Kain Biru.
Sedangkan pelayan yang satu lagi berhasil
membawa lari kain merah. Seperti kau ketahui,
kedua kain itu adalah peta untuk menunjukkan
tempat benda-benda bersinar yang dicari.
Dewa Arak teringat pertemuannya dengan
laki-laki yang membawa kain merah, yang saat
itu sedang sekarat. Rupanya rencana kabar
tentang peta itu telah tersiar luas, pelayan
Brahmana itu menemui nasib naas. Dia
dihadang sekelompok orang yang menginginkan
kain merah itu. Dewa Arak cepat datang dan
menolong. Sayang orang itu mengalami luka
parah. Dia hanya menitipkan pesan, agar kain
itu diserahkan pada kawannya di sebuah kedai.
Dewa Arak memang tidak tahu kalau kawan
yang dimaksud oleh pelayan Brahmana adalah
pelayan yang memegang kain warna biru.
Mereka waktu itu memang lari secara berpisah.
Hanya saja, Bandawasa berhasil menjajarkan
pelayan yang membawa kain biru dan
membunuhnya. Padahal, kedua pelayan itu telah
berjanji bertemu di kedai, yang didatangi Dewa
Arak waktu itu.
Sementara itu Ambar Wati membasahi
tenggorokannya yang kering. Arya tercenung
ketika Ambar Wati telah menyelesaikan
ceritanya. Sekarang bisa dimaklumi, mengapa
Ambar Wati menganggap dirinya jahat.
Tindakannya memang keji! Arya pun tahu kalau
benda-benda mukjizat yang dimaksud Ular
Emas adalah intan biru dan intan merah! Hanya
yang masih jadi ganjalan, bagaimana tokoh-
tokoh persilatan sudah bisa cepat tiba di
Perkampungan Suku Liar tanpa kain-kain itu?
Tapi itu bisa saja terjadi, karena hampir semua
orang tahu kalau Brahmana yang mencegah
bencana menetap di Pulau Mimpi, tempat
Perkampungan Suku Liar. Dan berbekal dugaan
itu, bisa saja mereka mencari-cari intan-intan itu
di sana.
"Aku yakin, dia akan membalas dendam atas
musnahnya Perguruan Baju Hitam. Dan dia pasti
menuju Perguruan Baju Putih," jelas Ambar
Wati, ketika mereka telah berjalan bersama.
Jawaban ini memuaskan Arya. Karena
pemuda berambut putih keperakan ini pun
menduga demikian.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke sana!"
tandas Arya, mantap.
"Jangan, Arya!" cegah Ambar Wati lantang.
Karuan saja seruan itu membuat Arya
menoleh, kaget.
"Apa maksudmu. Ambar?!"
"Tidak ada maksud apa-apa, Arya. Hanya
kuminta, lebih baik urungkan niatmu. Karena,
hanya akan membuang nyawa sia-sia. Intan biru
dan merah itu amat ganas. Dan aku yakin, kau
telah membuktikan sendiri kedahsyatannya."
"Benar! Tapi aku tidak gentar! Lebih suka
mati daripada membiarkan banyak nyawa
terbuang di tangan Bandawasa!"
"Tapi..."
Ambar Wati tampak masih ragu. Dan Arya
melihat sikap gadis berpakaian merah ini,
apalagi melihat wajah dan sinar matanya, jadi
mengeluh dalam hati. Sinar mata Ambar Wati
tampak penuh perasaan yang sukar
digambarkan padanya. Tampak jelas kalau
Ambar Wati mengkhawatirkan keselamatannya.
Dan Arya tak menginginkan Ambar Wati jatuh
cinta padanya.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap akan
berangkat. Ambar! Sekalipun harus mati! Aku
pergi!"
Arya berbalik dan melesat cepat ke depan.
Tapi tubuhnya langsung dilempar ke belakang,
karena hampir saja menubruk sesosok tubuh
yang tahu-tahu berdiri di depannya.
"Seorang pendekar yang mengagumkan hati!"
Sosok yang hampir ditubruk Arya, membuka
pembicaraan tanpa menggerakkan bibir. Tapi,
suaranya terdengar nyaring bagai orang
berteriak.
'Tapi, tanpa bekal yang berarti, kau akan mati
percuma. Terimalah ini. Anak Muda. Dan kau
tidak usah khawatir, terhadap intan biru dan
intan merah!" ujar sosok itu.
Tanpa ragu-ragu, dan bagai orang
terkesima, Arya menangkap benda sebesar buah
salak yang dilemparkan sosok yang tak lain
rupanya seorang kakek berkulit hitam legam.
Dia mengenakan kalung, anting, dan gelang
tangan serta kaki dari anyaman rotan. Belum
juga Dewa Arak bicara, kakek hitam legam itu
menjulurkan tangan kanan ke atas.
Dilakukannya gerakan seperti menarik ke
bawah. Dan..., tubuhnya tahu-tahu sudah tidak
terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi.
"Kek, siapa kau...?!" tanya Arya, karena tidak
tahu harus berbuat apa.
"Aku pemilik benda-benda itu Aku dukun
Suku Liar...!"
Terdengar suara sayup-sayup memberi
jawaban.
Arya mengarahkan pandangan ke arah asal
suara.
'Terima kasih atas bekal yang kau berikan,
Kek!" seru Arya sebelum melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Ambar Wati tidak tinggal
diam. Dia tahu, Arya akan celaka di tangan
Bandawasa. Dan hal ini tidak diinginkannya.
Maka gadis ini berusaha keras untuk mencegah.
"Tak lama lagi kau akan mampus di
tanganku. Saka Manjing! Ha ha ha...!"
Seruan keras itu menggema dari dalam
sebuah halaman luas, dikelilingi pagar kayu
bulat tinggi. Di depan halaman berjejer
bangunan-bangunan dari kayu kokoh.
Pemilik seruan itu tak lain dari Bandawasa.
Sambil tertawa-tawa penuh kegembiraan, kakek
kurus kering ini membenturkan batu-batu
permatanya yang menyebarkan kilatan-kilatan
cahaya mematikan, ke arah sosok tubuh
berpakaian putih yang berlompatan ke sana
kemari untuk mengelak. Di sekeliling tempat
pertarungan, tampak tergolek sosok-sosok yang
telah menjadi arang hitam mengepulkan asap
tipis putih. Mereka berjumlah belasan, semuanya
menjadi korban intan biru dan merah. Bau sangit
pun melingkupi sekitar tempat itu.
Sementara di tempat yang agak berjauhan
dari kancah pertarungan, berdiri beberapa sosok.
Rata-rata wajah mereka gagah, dan mengenakan
pakaian putih. Memang, mereka adalah murid-
murid Perguruan Baju Putih. Tokoh yang tengah
terlibat dalam pertarungan tentu saja ketuanya.
Saka Manjing.
"Kaulah yang harus menghentikan semua
kekejian itu, Bandawasa...!
Belum lenyap gema seruan itu, sesosok
bayangan ungu berkelebat menyambar ke arah
Bandawasa.
Bandawasa benar-benar memiliki naluri
tajam dan mengagumkan. Secepat kilat
pandangannya diarahkan pada asal suara. Lalu
benda-benda bersinarnya dibenturkan.
Trakkk!
"Akli!"
Sosok bayangan ungu langsung menjerit
tertahan, ketika melihat cahaya kilat menyambar
ke arahnya. Dalam keadaan tubuh tengah berada
di udara, membuat sosok ungu tidak mampu
berbuat banyak. Maka sebisa-bisanya dia
berusaha mengelak. Tapi, toh cahaya
menyilaukan itu tetap meluncur ke arahnya.
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak
tidak memiliki waktu lagi untuk mencabut
gucinya. Dan....
Blusss!
Tak terjadi sesuatu yang mengerikan
terhadap Dewa Arak! Padahal jelas-jelas terlihat
kalau cahaya kilat itu menghantam tubuhnya.
Hanya saja, langsung lenyap begitu saja. Bukan
hanya Bandawasa, Saka Manjing, dan murid-
murid Perguruan Baju Putih yang merasa kaget.
Arya pun demikian. Tapi Dewa Arak ini cepat
teringat. Pasti hal itu karena benda bersinar dari
kakek Suku Liar yang memiliki sinar kuning.
Benda sebesar buah salak itulah yang
menyebabkan Dewa Arak tidak mengalami
kejadian buruk, ketika tertimpa kilatan cahaya
dari intan merah dan biru.
"Papak kilatan cahaya dari intan merah dan
biru. Dan, arahkan pada tubuh lawanmu!"
Terdengar bisikan di telinga Dewa Arak.
Jelas, terdengar seperti dekat di telinga Arya.
Dan Dewa Arak tahu, suara itu milik dukun
Suku Liar. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera
dikeluarkannya intan kuning tanpa setahu
Bandawasa. Dan ketika kakek kurus kering yang
penasaran pada Dewa Arak, cepat meluncurkan
cahaya kilatnya. Dewa Arak segera menghadang
cahaya itu dengan intan kuningnya.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja Bandawasa mengeluarkan
lengkingan menyayat ketika kilatan cahaya
laksana halilintar itu justru berbalik
menghantam tubuhnya. Tapi hanya sebentar
saja, karena saat itu pula tubuhnya ambruk
dengan nyawa melayang ke alam baka. Hangus
bagai terpanggang.
Tanpa menghiraukan pandang orang
terhadap kejadian yang terpampang di depan
mata. Dewa Arak menghampiri mayat
Bandawasa. Kemudian diambilnya intan merah
dan biru. Dan dia bermaksud mengembalikan
benda-benda mukjizat yang berbahaya itu pada
Suku Liar. Karena hanya dialah yang masih
hidup, dan kebetulan yang mendapat tugas
untuk menjaganya.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Pembantai dari Mongol
Emoticon