1
Lapangan luas yang ditumbuhi sedikit rumput ker-
ing dan pendek-pendek itu menjadi tujuan banyak
orang. Berbondong-bondong mereka berdatangan ke
sana. Dalam waktu singkat tempat yang biasanya sepi
Sang surya memancarkan sinarnya dengan garang,
seakan hendak melelehkan semua yang ada di persa-
da. Panas menyengat melingkupi tanah lapang itu. Ta-
pi, orang-orang yang berkerumun tak bergeming dari
tempatnya. Peluh yang membahasi sekujur tubuh di-
hapusnya dengan punggung tangan.
Letak tanah lapang tak jauh dari istana kerajaan.
Orang-orang yang berkerumun pun sebagian besar
merupakan penduduk kota raja. Mereka berdiri berde-
sak-desakan mengelilingi dua orang yang berdiri tepat
di tengah lapangan. Keduanya memiliki ciri-ciri yang
cukup mengundang perhatian. Mereka terdiri dari lela-
ki dan wanita berusia hampir setengah baya.
Yang lelaki bertubuh kecil kurus. Terlalu kecil, ma-
lah. Tinggi tubuhnya tak lebih dari seorang bocah be-
rusia sepuluh tahun. Pakaiannya yang serba ketat se-
makin memperlihatkan kekerdilan tubuhnya.
Sebaliknya, yang perempuan memiliki tubuh tinggi
besar dan gendut, persis gajah bengkak. Karena ge-
muknya dagunya seakan berjumlah banyak. Daging-
daging tubuhnya bergoyang ke sana kemari setiap kali
wanita ini bergerak. Keluarbiasaan tubuhnya itu se-
makin terlihat karena pakaian yang dikenakannya ser-
ba kebesaran.
Perbedaan kedua manusia ini saja sudah menim-
bulkan daya tarik. Apalagi ketika melihat tingkah ke-
duanya. Wanita bertubuh luar biasa besar itu duduk
bersila di atas kepala si lelaki. Sementara lelaki kerdil
itu sendiri seperti tak merasa keberatan. Dengan wajah
dan sikap biasa dia berjalan mondar-mandir di tengah
lapangan.
Pasangan manusia aneh ini membuat tempat per-
tunjukan berukuran delapan kali empat tombak. Di
tempat yang berbentuk persegi panjang itu ditaburkan
bubuk putih. Puluhan orang yang berkerumun berdiri
di luar garis dari bubuk putih itu.
Lelaki kerdil yang membawa tubuh wanita raksasa
mengitari bagian dalam garis putih seraya mengedar-
kan pandangan berkeliling. Setelah dirasa semua
orang melihat ke arah mereka, langkah kakinya dihen-
tikan tepat di tengah-tengah tempat pertunjukan.
"Sebelumnya, aku mewakili kami berdua mengu-
capkan terima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran
para sahabat di sini. Kalian telah menyempatkan wak-
tu untuk menyaksikan pertunjukan yang kami gelar.
Pertunjukan yang tak seberapa hebat. Tapi jangan di-
lihat pertunjukannya, lihatlah niatnya. Kami bermak-
sud untuk menghibur para sahabat sekalian. Hanya
ini yang kami lakukan sejak bertahun-tahun, berkela-
na dari satu tempat ke tempat lainnya!" ujar lelaki ker-
dil panjang lebar.
Tepuk tangan bergemuruh menyambuti selesainya
ucapan lelaki kecil kurus. Semua yang mendengar
ucapan itu diam-diam merasa geli. Lelaki ini memiliki
suara berat dan parau, layaknya dimiliki orang-orang
yang bertubuh tinggi besar.
"Suamiku melupakan satu hal," sambung wanita
bertubuh besar ketika gemuruh tepuk tangan dan te-
riakan memberi semangat mereka. Berlainan dengan
lelaki kecil kurus, suara wanita ini melengking nyaring.
"Kami belum memperkenalkan diri. Kami berasal dari
tempat yang jauh dari sini. Namaku Wudani, sedang-
kan suamiku Darmakala,"
Wudani melompat dari atas kepala suaminya. Ke-
dua kakinya yang besar menjejak tanah dengan ringan
sekali. Kemudian, dengan langkah-langkah lebar wani-
ta ini mengayunkan kaki ke arah gerobak yang ditarik
seekor sapi. Gerobak yang berada di dalam garis putih.
Semua orang menyaksikan gerak-gerik Wudani.
Apa yang akan dilakukan wanita ini? Mereka melihat
Wudani berdiri di belakang gerobak. Disibaknya tirai
yang menutupi benda-benda di dalam gerobak. Seben-
tar kemudian Wudani meninggalkan gerobaknya. Di
kedua tangannya tergenggam beberapa kayu sebesar
lengan yang panjangnya setengah tombak. Pada bagian
ujung kayu terikat kain berbentuk segi tiga dengan
warna yang berlainan.
Wudani melemparkan kayu-kayu berbendera itu
sembarangan saja. Namun bendera-bendera melayang
dan menancap di tanah berjajar rapi dalam jarak yang
sama. Bagian di mana terdapat kain berada di atas.
Angin yang bertiup cukup keras membuat kain-kain
bendera berkibaran.
"Suamiku mempunyai ilmu yang dinamakan Mata
Dewa. Dengan ilmu itu dia dapat melihat sesuatu ken-
dati sepasang matanya ditutup," ujar Wudani lagi, tak
dipedulikannya keterkejutan orang-orang melihat ca-
ranya menancapkan bendera-bendera. Sebagian pe-
nonton yang merupakan tokoh-tokoh persilatan harus
mengakui kalau Wudani memiliki tenaga dalam kuat
Wanita bertubuh besar ini menutup ucapannya
dengan melemparkan sabuk hitam yang melilit ping-
gangnya. bagaikan bernyawa, sabuk itu meluncur ke
arah Darmakala. Orang yang dituju hanya diam saja.
Bahkan, ketika sabuk mulai melilit kepala dan menu-
tup sepasang matanya.
"Sekarang, kuharap ada di antara para sahabat
yang bersedia menolong kami. Pilihlah bendera mana
yang kalian mau, kemudian tanyakan pada suamiku
apa warnanya. Dia akan dapat menjawabnya dengan
tepat!"
Suasana menjadi gaduh ketika Wudani selesai ber-
bicara. Para penonton merasa ragu untuk maju dan
memenuhi permintaan Wudani. Mereka malah berbica-
ra sendiri-sendiri. Terdengar gumaman-gumaman tak
jelas di sana-sini.
Wudani menunggu dengan sabar sampai akhirnya
salah seorang penonton bersedia memenuhi permin-
taannya. Orang yang baik hati itu masih muda. Tapi,
gerak-geriknya terlihat angkuh. Pedang yang tergan-
tung di punggung menunjukkan lelaki ini bukan pen-
duduk biasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk membantu
kami, Sahabat," sambut Wudani buru-buru dengan si-
kap penuh hormat. "Silahkan pilih bendera yang kau
inginkan."
Lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan tang-
gapan. Wajahnya yang dingin tak menampilkan biasan
perasaan apa pun. Dihampirinya jejeran bendera. Pu-
luhan pasang mata penonton memperhatikan dengan
penuh rasa tertarik.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun dan berkulit
pucat seperti jarang terkena sinar matahari itu memi-
lih salah satu bendera. Dia tak mencabut bendera itu
dengan tangan. Dalam jarak dua tombak tangan ka-
nannya dikibaskan seperti orang mengusir nyamuk.
Angin bertiup keras. Salah satu bendera tercabut dari
tanah dan melayang ke arah lelaki itu.
"Salah satu bendera telah kuambil. Wahai orang
sombong yang berani mengaku memiliki ilmu Mata
Dewa, beritahukan jawabanmu!" desis lelaki berpa-
kaian coklat, dingin.
"Kau mengambil bendera kuning, Sahabat!" seru
Darmakala nyaring dan mantap.
Wajah lelaki berpakaian coklat tak berubah kendati
jawaban yang diberikan Darmakala benar. Tapi, dari
kilatan pada sinar matanya dapat diketahui kalau lela-
ki itu merasa terkejut
Lelaki berpakaian coklat merasa penasaran. Den-
gan cara seperti tadi diambil bendera lain. Tapi seperti
juga sebelumnya, Darmakala dapat menerkanya den-
gan tepat. Tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda
kekaguman terdengar tak putus-putus.
Sampai semua bendera yang jumlahnya sepuluh
buah itu habis, tak satu pun jawaban yang meleset.
Dengan rasa jengkel yang tak dapat disembunyikan le-
laki berpakaian coklat meninggalkan tempat itu!
Gemuruh tepuk tangan dan ucapan-ucapan keka-
guman membahana bagai hendak meruntuhkan langit.
Wudani terpaksa berseru-seru meminta semua penon-
ton untuk tenang.
"Para sahabat sekalian," tutur Wudani lagi setelah
suasana menjadi tenang. "Perlu kalian ketahui, ke-
mampuan suamiku tak hanya demikian. Masih banyak
yang lainnya. Dia mampu menelan api, tidur di atas
hamparan ujung pisau. Malah, meramal suamiku pun
mampu. Juga dia bisa menceritakan kejadian-kejadian
yang lucu."
"Tunggu apa lagi? Tunjukkanlah hal-hal ajaib itu!"
celetuk seorang penonton.
"Benar! Kami sudah tak sabar ingin melihatnya!"
dukung penonton lainnya.
Wudani segera menyiapkan segala peralatan yang
di perlukan. Seketika decak kekaguman dan teriakan
heran berkumandang. Darmakala memasukkan obor
yang bernyala-nyala ke dalam mulutnya sampai koba-
ran api itu mati! Darmakala pun dengan enaknya tidur
dan bergulingan bertelanjang dada di atas hamparan
ujung-ujung pisau yang amat tajam.
Kegaduhan baru mereda ketika terdengar derap
kaki kuda bergemuruh menghantam bumi. Sosok-
sosok yang memacu kudanya ke tempat itu berjumlah
lima orang. Semuanya mengenakan pakaian seragam
kerajaan. Ketika para prajurit kerajaan turun dari ku-
da dan melangkah cepat mendekati tempat pertunju-
kan, sebagian besar penonton menyibak memberi ja-
lan.
Tak terkecuali seorang pemuda berpakaian ungu.
Pemuda ini berambut panjang dan berwarna putih ke-
perakan. Dialah Arya Buana atau yang lebih dikenal
dengan julukan Dewa Arak.
"Mengapa pasukan kerajaan kemari? Apakah hen-
dak menyaksikan pertunjukan juga!" pikir semua pen-
gunjung.
Darmakala dan Wudani segera menghentikan per-
tunjukkan dan menunggu tibanya rombongan kera-
jaan. Melihat pakaian dan tanda-tanda yang mereka
kenakan, pasangan suami istri ini menunjukkan per-
hatian pada prajurit yang berada paling depan. Prajurit
itu mengenakan pakaian yang menunjukkan kedudu-
kannya di atas empat orang kawannya. Dia bertubuh
sedang tapi berwajah-hitam seperti pantat kuali! Tan-
gannya tidak menggenggam senjata. Sedangkan empat
orang prajurit di belakangnya memegang tombak.
"Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami
pertunjukan yang kecil dan sederhana ini mampu
mengundang datangnya pasukan kerajaan," ujar Dar-
makala santun sekali.
"Dan kehormatan untuk kalian berdua tak sampai
di sini saja, Sobat," balas prajurit bermuka hitam.
"Aku, Cemong, atas nama Gusti Prabu Mandaraka
mengundang kalian untuk datang ke istana. Raja ber-
kenan menerima kalian berdua."
Darmakala dan Wudani saling berpandangan.
"Ah, begitukah? Boleh kami tahu apa sebabnya?"
tanya Darmakala sesaat kemudian.
"Apakah kau belum mendengar mengenai sayem-
bara yang dibuat kerajaan ini?"
"Kami memang mendengarnya. Kami tahu raja ten-
gah menderita suatu penyakit. Tapi, kami berdua bu-
kan orang-orang yang tahu banyak mengenai pengoba-
tan. Kalau tabib dan ahli-ahli obat saja tak mampu
menyembuhkan sakit baginda raja, bagaimana pula
halnya dengan kami?" sahut Darmakala.
Cemong mengangguk-anggukkan kepala.
"Berita yang kau dengar kurang lengkap, Sobat
Gusti Prabu Mandaraka tak hanya membutuhkan ahli
obat. Beliau juga mencari orang yang mampu mem-
buatnya tertawa serta pandai berdebat." beritahu Ce-
mong. "Dan menurut penyelidik yang kami sebar, ka-
lian berdua termasuk orang-orang seperti itu. Maka
atas nama Gusti Prabu Mandaraka, kami mengun-
dangmu ke istana."
Darmakala dan Wudani kembali saling berpandan-
gan sebelum akhirnya lelaki kecil kurus itu memberi-
kan jawaban.
"Kami putuskan untuk menerima undangan Gusti
Prabu Mandaraka. Ini merupakan suatu kehormatan
besar. Tapi, kami minta waktu sebentar untuk berke-
mas-kemas."
Cemong meluluskan permintaan Darmakala.
Tak lama kemudian, Wudani dan Darmakala be-
rangkat meninggalkan lapangan bersama rombongan
kerajaan untuk pergi ke istana. Kerumunan para pe-
nonton pun buyar. Mereka meninggalkan tempat itu
dengan perasaan kecewa karena kehilangan pertunju-
kan yang menarik.
Arya ikut melangkah pergi. Diikutinya rombongan
pasukan kerajaan dengan pandangan mata. "Apa se-
benarnya yang diinginkan raja?" pikir pemuda beram-
but putih keperakan itu.
Memang, seperti juga Wudani dan Darmakala, Arya
telah mendengar akan sayembara raja. Tapi, mengapa
bukan hanya tabib-tabib saja yang dicari dan dibawa
ke istana? Mengapa orang-orang yang mampu berceri-
ta lucu pun juga? Apakah raja membutuhkan hibu-
ran?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Dewa
Arak. Dan karena rasa ingin tahu yang besar, pemuda
ini memutuskan untuk mengikuti rombongan pasukan
kerajaan.
Prabu Mandaraka yang berusia empat puluh lima
tahun, bertubuh tegap, dan kelihatan berwibawa itu
mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lem-
bar. Pandangannya ditujukan pada sosok Darmakala
dan Wudani yang duduk bersila di depannya. Prabu
Mandaraka sendiri duduk bersandar di singgasananya
yang mewah dan indah.
"Benarkah apa yang dikatakan prajurit itu Darma-
kala?"
"Benar, Gusti Prabu. Hamba memang berkata de-
mikian," jawab Darmakala sopan seraya merapatkan
kedua tangannya di ujung hidung.
"Aku percaya dengan keteranganmu itu, Darmaka-
la. Tapi aku perlu bukti. Ingin ku saksikan sendiri ke-
mampuan yang kau miliki. Baru bisa kuketahui apa-
kah kau dan istrimu pantas untuk mengemban tugas
yang akan kuberikan. Bagaimana, Darmakala? Kau
bersedia diuji kemampuanmu?"
"Hamba bersedia, Gusti Prabu," jawab Darmakala,
mantap. Prabu Mandaraka tersenyum sambil mengu-
sap-usap jenggotnya. Pandangannya dialihkan pada
seorang kakek berjubah kuning yang duduk di sebelah
kirinya.
"Kau sudah siap untuk mengujinya, Resi Druna?"
"Hamba siap, Gusti Prabu!" sahut kakek berjubah
kuning.
Prabu Mandaraka meletakkan kedua tangannya
pada tangan kursi singgasana. Resi Druna sendiri tak
berani lama-lama membiarkan junjungannya menung-
gu. Pandangan kakek ini segera ditujukan pada Dar-
makala.
"Dengar baik-baik ucapanku ini, Darmakala. Tugas
yang akan kau emban apabila berhasil lulus dari ujian
ini sangat membutuhkan kemampuan berdebat. Maka,
ujian yang akan kuberikan berkisar pada kelihaian
permainan lidah."
"Boleh aku mengajukan pertanyaan, Resi?" tanya
Darmakala hati-hati.
"Silakan," Resi Druna menganggukkan kepala.
"Dalam permainan lidah itu apakah masuk akal
mempunyai kedudukan penting?"
"Tidak, Darmakala. Masuk akal atau tidak bukan
menjadi masalah. Yang penting, kau mampu membuat
lawan bicaramu tak dapat memberikan sanggahan. Je-
las?"
Darmakala mengangguk. Resi Druna tersenyum ti-
pis. Wudani memperlihatkan paras tegang. Sementara
wajah-wajah para pejabat istana yang ikut menyaksi-
kan jalannya ujian menampakkan rasa ingin tahu yang
besar.
•kirk
2
Hari masih pagi. Sang Surya baru saja muncul di
ufuk timur, bagai bola api raksasa yang berwarna me-
rah saga. Sepagi itu suasana di Perguruan Kelabang
Merah sudah tampak kesibukan. Murid-murid pergu-
ruan tidak ada yang berpangku tangan. Mereka sibuk
berlatih silat di halaman depan.
Saat ini Perguruan Kelabang Merah memang ten-
gah menghadapi saat istimewa. Ketua perguruan yang
berjuluk Kelabang Sakti mendapat kunjungan dari sa-
habat lamanya. Sahabat yang merupakan tokoh besar
golongan putih itu berjuluk Dewa Tangan Sakti.
Dewa Tangan Sakti telah berada di Perguruan Ke-
labang Merah sejak kemarin malam. Dan sejak pagi
harinya murid-murid perguruan sibuk membuat hia-
san dan umbul-umbul, mulai dari pintu gerbang sam-
pai ke ruang dalam, sehingga suasana di perguruan itu
kelihatan semarak.
Di kanan kiri pintu gerbang terpancang dua tong-
kat panjang. Pada ujung-ujungnya tergantung panji
Perguruan Kelabang Merah dalam sulaman benang hi-
jau berbentuk kelabang merah! Panji-panji ini keliha-
tan gagah dan angker.
Murid-murid Perguruan Kelabang Merah di bawah
bimbingan Tanggala, murid kepala perguruan, sengaja
berlatih lain dari biasanya. Tanggala biasanya mempe-
ragakan beberapa gerakan dan murid-murid lain men-
gikuti, tapi kali ini tidak. Masing-masing memperaga-
kan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tindakan itu sengaja mereka lakukan agar menda-
pat petunjuk-petunjuk berharga dari Dewa Tangan
Sakti. Beliau merupakan salah satu anggota Tiga Pen-
dekar Sakti, selain Ketua Perguruan Kelabang Merah,
Kelabang Sakti. Saat itu Kelabang Sakti dan Dewa
Tangan Sakti duduk di depan pintu bangunan utama.
Mereka tengah memperhatikan Tanggala dan murid-
murid lainnya berlatih.
"Hanya begitu sajakah kedahsyatan ilmu-ilmu Per-
guruan Kelabang Sakti? Sungguh buruk dan tak sepa-
dan sekali dengan berita yang tersiar di dunia persila-
tan!"
Seruan itu keras sekali dan penuh nada ejekan.
Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh me-
langkah tenang memasuki halaman depan perguruan.
Kebetulan daun pintu gerbangnya terbuka dan tak ter-
jaga.
Seketika, semua murid perguruan menghentikan
latihan dan mengalihkan perhatian ke arah tamu tak
diundang itu. Tapi Tanggala segera memberi isyarat
untuk terus melanjutkan latihan. Dia sendiri dengan
sikap tenang menghampiri si pendatang baru.
"Siapa kau, Sobat? Apa urusanmu datang ke tem-
pat kami? Bahkan, berani-beraninya melemparkan hi-
naan!" tanya Tanggala dengan berusaha bersikap ra-
mah.
"Keroco seperti kau tak layak untuk mengenalku!
Kalau kau masih sayang nyawa menyingkirlah, Anjing
Kecil!" dengus sosok berpakaian hitam itu. "Dan pang-
gil gurumu untuk menghadapiku!"
Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima ta-
hun. Tubuhnya tegap dan kekar. Wajahnya yang tam-
pan terhias sebaris kumis tipis, tatapan matanya terli-
hat begitu dingin.
Tanggapan lelaki berpakaian hitam membuat
Tanggala murka. Dia merasa tersinggung bukan main.
Dengan wajah merah padam dan mata mendelik, dita-
tapnya tamu tak diundang itu.
"Tak perlu guruku, aku sendiri sudah cukup untuk
mengusir kau!"
"Ha ha ha...!"
Lelaki berpakaian hitam tertawa keras. Tapi hanya
mulutnya saja yang tertawa. Raut wajah dan sepasang
matanya tetap dingin.
"Kau akan menyesali keputusan yang kau ambil,
Kunyuk Goblok!"
"Tutup mulutmu, Pengacau Hina!" Tanggala yang
tak kuasa menahan kemarahan lagi segera melancar-
kan serangan. Kedua kakinya dilayangkan bertubi-tubi
ke arah dada, ulu hati, dan pusar lawan. Amarah yang
membakar hati membuat lelaki ini tak ingat kalau se-
rangan-serangannya dapat mengirim nyawa lawan ke
akhirat!
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti menghela
napas berat. Mata kedua tokoh ini memancarkan kek-
hawatiran besar. Mereka segera bisa mengetahui kalau
lelaki berpakaian hitam memiliki kepandaian amat
tinggi.
Sebagai tokoh-tokoh kawakan, kedua kakek beru-
sia dia atas enam puluh tahun ini segera dapat menilai
kemampuan lawan Tanggala.
Apalagi ketika melihat sepasang mata lelaki berpa-
kaian hitam. Sinar sepasang mata itu mencorong tajam
dan bersinar kehijauan. Sorot seperti itu hanya dimiliki
oleh tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam san-
gat tinggi.
Karena pertarungan tak mungkin bisa di cegah la-
gi, kedua kakek ini hanya bisa berharap Tanggala da-
pat selamat. Setidak-tidaknya jangan sampai terluka
terlalu parah. Dengan hati berdebar tegang Kelabang
Sakti dan Dewa Tangan Sakti mengarahkan pandan-
gan ke halaman. Di tempat itu pertarungan baru saja
dimulai.
Terlihat lelaki berpakaian hitam bersikap tak peduli
dengan serangan yang dilancarkan Tanggala. Padahal,
kedua kaki yang menimbulkan deru angin keras itu
mampu menghancurkan batu karang.
Buk, buk, bukkk!
Berturut-turut dan secara telah tendangan Tangga-
la mendarat di sasaran. Seketika itu pula terdengar je-
rit kesakitan. Tapi bukan dari mulut lelaki berpakaian
hitam, melainkan dari mulut Tanggala!
Murid utama Perguruan Kelabang Merah itu mera-
sakan kedua kakinya tak menghantam tubuh manu-
sia. Bukan tubuh yang terbuat dari kulit dan daging,
tetapi baja yang amat keras. Tanggala merasakan
ujung-ujung kakinya sakit dan nyeri bukan main.
"Hanya sampai di situ saja kemampuanmu, ku-
nyuk tak tahu diri?!" dengus lelaki berpakaian hitam.
"Dengan kemampuan serendah ini kau hendak men-
gusirku?!"
Ejekan lawan membuat Tanggala menelan rasa
nyeri yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Sambil
melengking nyaring kembali dilancarkannya serangan
susulan. Kali ini berupa tamparan kedua tangan, ber-
turut-turut ke arah pelipis kanan dan kiri.
Lelaki berpakaian hitam tak bergeming dari tem-
patnya. Tadi pun ketika tendangan Tanggala mendarat
di tubuhnya, kuda-kudanya tak bergeming sedikit pun.
Malah, Tanggala yang terjengkang ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam baru bertindak ketika
sampokan kedua tangan Tanggala hampir mengenai
sasaran. Kedua tangannya digerakkan memapaki se-
rangan dari arah dalam.
Plakkk, Tappp!
Tanggala mengeluarkan keluhan tertahan. Tangki-
san kedua tangan lawan diikuti dengan gerakan men-
cekal pergelangan tangannya. Dan sebelum Tanggala
sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian hitam telah
menyentakkan kedua tangannya.
Tak ampun lagi tubuh Tanggala tertarik ke arah
lawan. Kedudukan Tanggala yang tengah berada di
udara dan kekuatan tenaga dalamnya yang berada di
bawah lawan, membuat tubuh murid utama Perguruan
Kelabang Merah itu tertarik begitu deras ke depan.
Kelabang Sakti tanpa sadar mencengkeram kedua
tangan kursi karena perasaan tegang. Tanggala berada
dalam bahaya besar. Di sebelah Kelabang Sakti, Dewa
Tangan Sakti hanya menghela napas berat. Tokoh go-
longan putih yang terkenal itu pun tahu kalau Tangga-
la berada dalam keadaan kritis!
Kekhawatiran mereka memang beralasan. Begitu
tubuh Tanggala semakin dekat, lelaki berpakaian hi-
tam menggerakkan kepalanya menghantam dada
Tanggala. Terdengar bunyi berderak tulang-belulang
yang patah. Lelaki berpakaian hitam berlaku cerdik.
Berbarengan dengan benturan yang dilakukan, pegan-
gannya pada dua tangan Tanggala dilepaskan. Akibat-
nya tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah
melayang deras ke belakang.
Dari mulut Tanggala terdengar bunyi seperti hewan
disembelih. Mulut, hidung, dan kedua telinganya me-
nyemburkan darah segar. Semburan dari mulut cukup
deras, sehingga meluncur ke arah lelaki berpakaian hi-
tam. Namun beberapa jengkal sebelum mengenai tu-
buh cairan kental itu runtuh ke tanah seperti mem-
bentur dinding tak tampak.
Lelaki berpakaian hitam tetap bersikap seperti se-
mula. Tenang dan dingin. Bahkan ketika tubuh Tang-
gala yang telah menjadi mayat itu ambruk ke tanah.
Sesaat semua orang yang menyaksikan kejadian itu
tak melakukan tindakan apa pun. Mereka berdiri ter-
paku di tempatnya seperti orang kena sihir. Kejadian
yang mereka saksikan rupanya terlalu mengejutkan.
"Pengacau Hina! Berani kau main gila di Perkum-
pulan Kelabang Merah?!"
Belum juga bentakan kemarahan itu lenyap, berke-
lebatan ke arah lelaki berpakaian hitam beberapa so-
sok tubuh berpakaian hijau yang bersulamkan gambar
kelabang merah.
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek ke-
habisan sirih! Maju dan seranglah aku!?" tandas lelaki
berpakaian hitam.
Keempat murid Perguruan Kelabang Merah tak ku-
asa menahan kemarahan lagi. Mereka adalah murid-
murid pilihan yang tingkatnya sedikit di bawah Tang-
gala. Dan sekarang tamu tak diundang itu menantang
mereka untuk maju menyerang secara bersama-sama.
Empat murid Kelabang Sakti segera menggunakan
tongkat yang menjadi senjata andalan mereka. Dipu-
tarnya senjata itu sampai lenyap bentuknya menjadi
gulungan sinar hijau. Baru setelah itu, serangan dah-
syat mereka lancarkan! Lelaki berpakaian hitam tetap
diam di tempatnya. Dan ketika gulungan sinar tongkat
menyambar dekat, semua pasang mata yang menyak-
sikan jalannya pertarungan melihat sinar menyilaukan
mata mencuat dari arah lelaki itu. Sinar terang me-
nyambar bagai halilintar ke arah empat murid Pergu-
ruan Kelabang Merah. Hanya sekelebatan saja, kemu-
dian lenyap!
Semua murid Perguruan Kelabang Merah terkejut.
Empat rekan mereka mendadak menghentikan seran-
gan dan berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian ro-
boh ke tanah dengan tubuh dibasahi cairan merah
kental!
Karuan saja pemandangan ini sangat mengheran-
kan semua murid perguruan. Mereka tak tahu apa
yang terjadi. Hanya Kelabang Sakti dan Dewa Tangan
Sakti yang bisa memperkirakan. Empat murid Pergu-
ruan Kelabang Merah itu tewas karena leher mereka
robek terkena babatan sinar terang. Luka lebar yang
sampai memutus urat besar di tenggorokan itu telah
mencabut nyawa keempatnya.
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti saling ber-
tukar pandang. Kedua kakek ini merasakan detak jan-
tung mereka bergerak lebih cepat. Rasa tegang melan-
da keduanya. Meski mereka mengetahui penyebab ke-
matian empat rekan Tanggala, tapi kedua pentolan go-
longan putih itu tak tahu apa sebenarnya sinar menyi-
laukan mata yang dikirimkan lelaki berpakaian hitam.
Mereka hanya bisa menduga sinar terang itu be-
rasal dari pancaran pedang pusaka. Dan memang, ke-
dua kakek ini melihat di pinggang lelaki berpakaian hi-
tam tergantung sebatang pedang. Ketidakmampuan
mereka melihat gerakan lelaki itu mempergunakan pe-
dangnya sungguh sangat memukul perasaan. Benar-
benar ilmu pedang yang mengiriskan hati!
Kelabang Sakti sadar tak ada seorang muridnya
pun yang sanggup menghadapi tamu tak diundang itu.
Bahkan meski mereka menghadapinya bersama-sama.
Ilmu lelaki asing itu benar-benar sangat tinggi. Itulah
sebabnya ketika murid-murid Perguruan Kelabang Me-
rah berbondong-bondong hendak menempur pengacau
tak dikenal itu, Kelabang Sakti buru-buru mencegah.
"Mundur semua...! Siapakah kau, Saudara? Men-
gapa mengacau di tempatku? Aku yakin diantara kita
tak pernah ada urusan!" tegas Kelabang Sakti dengan
suara keren seraya melangkah maju.
"Antara kau dan aku memang tak pernah saling
kenal, Kelabang Sakti. Jadi mustahil akan tercipta su-
atu urusan," jawab lelaki berpakaian hitam, sinis.
"Urusan itu baru muncul setelah kau membunuh
orang yang mempunyai hubungan dekat denganku.
Kau ingat tokoh-tokoh yang berjuluk Tiga Naga Du-
nia?"
"Tokoh-tokoh sesat yang gemar membuat keka-
cauan?" tanya Kelabang Sakti dengan alis berkerut.
Tiga Naga Dunia sekitar delapan tahun lalu me-
nyebar kekacauan di sana-sini. Kepandaian mereka
yang tinggi membuat banyak tokoh golongan putih te-
was. Namun, Kelabang Sakti berhasil menewaskan sa-
tu di antara mereka. Demikian juga Dewa Tangan Sak-
ti dan seorang tokoh golongan putih lainnya. Angkara
murka Tiga Naga Dunia berhasil mereka hentikan.
"Benar," jawab lelaki berpakaian hitam.
"Tentu saja aku mengenalnya!" tanda Kelabang
Sakti sejujurnya. Meski diketahui tamunya mempunyai
hubungan dengan tokoh-tokoh Tiga Naga Dunia, tapi
hal itu tak menjadikannya mengingkari kenyataan. Pa-
dahal pembalasan dendam bisa saja dilakukan lelaki
itu. "Salah seorang di antara mereka telah ku te-
waskan!" lanjut Kelabang Sakti,
"Bagus kalau kau mengakui hal itu, Kelabang Sak-
ti!" dengus lelaki berpakaian hitam. Sepasang matanya
tampak menyiratkan api kebencian. "Perlu kau keta-
hui, tokoh yang kau bunuh itu adalah murid kepona-
kan guruku! Maka bersiaplah untuk menerima pemba-
lasannya, Kelabang Sakti! Agar kau tak mati penasa-
ran, akan ku perkenalkan diriku. Namaku Sapta Reng-
gi!"
"Mereka jahat, kau pun tak akan lebih baik dari ib-
lis. Majulah, Renggi! Ingin kulihat sampai di mana ke-
saktianmu!" tantang Kelabang Sakti.
"Tak perlu kau gurui aku, Kelabang Sakti! Mam-
puslah...!" untuk pertama kalinya Sapta Renggi yang
memulai penyerangan. Lelaki ini mengirimkan pukulan
kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Kelabang Sakti.
Deru angin keras mengiringi luncuran serangannya.
Kelabang Sakti yang bermaksud mengetahui keku-
atan tenaga dalam sengaja tak menghindari serangan
itu. Dipapakinya dengan kedudukan jari-jari tangan
serupa.
Bukkk, dukkk!
Benturan nyaring seperti bertumbukkannya dua
batang logam besar terdengar. Dua pasang kepalan itu
bertemu berkali-kali di tengah jalan. Akibatnya, tubuh
Kelabang Sakti terguncang. Malah pada benturan te-
rakhir kakek ini terhuyung-huyung ke belakang. Se-
ringai kesakitan menghiasi mulutnya. Di lain pihak,
Sapta Renggi tak terpengaruh sedikit pun.
Kelabang Sakti menggertakkan gigi untuk menekan
rasa terpukul yang melanda hati. Tanpa banyak bicara
lagi diterjangnya Sapta Renggi. Lelaki berpakaian hi-
tam itu menyambutnya dengan penuh semangat. Per-
tarungan hidup dan mati pun berlangsung. Kelabang
Sakti yang telah mengetahui ketangguhan lawannya
segera menggunakan ilmu 'Kelabang Sakti'. Ilmu itu
membuat tubuhnya bagai tak memiliki berat.
Sapta Renggi pun tak kalah mempertunjukkan ke-
hebatannya. Lelaki ini memiliki kecepatan gerak yang
mengagumkan. Betapapun gencar serangan-serangan
yang dikirimkan Kelabang Sakti, Sapta Renggi senan-
tiasa dapat memusnahkannya!
Semula jalannya pertarungan masih berimbang.
Tapi, memasuki jurus kedua puluh lima perlahan-
lahan Kelabang Sakti mulai terdesak. Ketua Perguruan
Kelabang Merah ini segera mengeluarkan senjata an-
dalannya, tongkat berwarna hijau.
Dengan tongkat di tangan Kelabang Sakti bagai ha-
rimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin
dahsyat Selama beberapa gebrakan Sapta Renggi
hanya mengelakkannya. Namun, tiba-tiba saja Kela-
bang Sakti melihat sinar terang meluncur ke arahnya.
Kakek ini berusaha sekuat tenaga untuk membentuk
benteng pertahanan. Tapi usahanya sia-sia. Sinar te-
rang itu mampu menembus putaran tongkatnya dan
membabat leher Kelabang Sakti ambruk ke tanah.
Menggeliat sebentar sebelum akhirnya diam tak berge-
rak untuk selamanya. Tindakan Sapta Renggi tak
hanya sampai di situ. Robohnya Kelabang Sakti justru
membuatnya semakin beringas. Lelaki ini mengamuk.
Jeritan kematian terdengar di sana-sini dengan diikuti
ambruknya tubuh-tubuh tak bernyawa. Tak lama ke-
mudian, tak satu pun sosok lawan yang masih berdiri
tegak. Semua tewas tak terkecuali Dewa Tangan Sakti!
Seakan tak pernah terjadi apa-apa, Sapta Renggi
lalu melangkahkan kakinya dengan tenang meninggal-
kan halaman Perguruan Kelabang Merah.
kkk
Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda berpacu
cepat melewati jalan tanah berdebu di gunung. Sang
kusir seorang gadis cantik berusia dua puluh dua ta-
hun dan berpakaian kuning gading. Gadis itu tak hen-
ti-hentinya melecutkan cemeti ke punggung kuda-
kuda.
Di belakang kereta kuda, tampak belasan orang
berkuda mengejar. Jarak yang terpaut hanya belasan
tombak. Kiranya, inilah penyebab gadis berpakaian
kuning memacu kuda-kudanya bagai kesetanan. Sedi-
kit demi sedikit jarak di antara mereka semakin dekat.
Jarak yang semula belasan tombak sekarang tak sam-
pai sepuluh tombak lagi.
Gadis berpakaian kuning memang tidak melihat
semakin dekatnya para pengejar. Tapi dari bunyi derap
kaki kuda yang semakin jelas terdengar, hal itu bisa
diketahuinya.
Krakkkk!
Terdengar bunyi gaduh ketika salah saru roda ke-
reta masuk ke dalam lubang. Meski lubang itu tak ter-
lalu dalam namun mengakibatkan as roda patah. Kere-
ta kuda itu pun jatuh tersungkur!
Gadis berpakaian kuning ternyata bukan wanita
sembarangan. Dia melompat turun sebelum kereta ku-
da itu ambruk. Manis dan indah gerakannya. Bahkan
ketika menjejak tanah, tak terdengar bunyi berarti.
Sementara itu para pengejarnya sudah tiba dan lang-
sung mengurungnya. Gadis berpakaian kuning men-
gedarkan pandangan ke arah orang-orang tersebut.
Tangannya yang berjari-jari lentik mencabut sepasang
belati dari pinggangnya.
"Kemana pun kau pergi tetap akan kami kejar, Ga-
dis Liar!" tandas salah seorang pengejarnya.
Orang itu bertubuh pendek gemuk dan berperut
gendut. Kepalanya polos tanpa sehelai rambut pun. Pe-
rut dan sebagian dadanya terlihat jelas karena rompi
ketat yang dikenakannya. Di tangan lelaki botak ini
tergenggam sebatang gada!
Gadis berpakaian kuning menatap lelaki gendut
yang melangkah menghampirinya. Bibir gadis ini
membentuk senyum mengejek.
"Pengecut-pengecut Hina! Dulu sewaktu ayahku
masih ada kalian tak ada yang berani menunjukkan
congor! Sekarang setelah beliau dibunuh oleh penjahat
keji, kalian datang mencari-cariku. Beramai-ramai lagi!
Benar-benar pengecut yang terlalu licik!" maki gadis
berpakaian kuning. "Ketidakadaan Ayahku membua-
tku merasa terpanggil untuk mewakilinya mele-
nyapkan kalian semua, Hai Pengecut-pengecut Hina.
Kemari akan kukirim kalian semua ke akhirat!"
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Selama ini bukannya
kami takut pada ayahmu! Kami tengah menyusun ke-
kuatan dan waktu yang tepat untuk mengirim ayahmu
yang sok suci itu ke neraka. Sayang, di saat kami ber-
maksud melaksanakannya telah didahului orang lain.
Maka, kaulah yang harus menggantikan ayahmu!"
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk
langsung mengayunkan gadanya ke arah kepala Ke-
mani. Bunyi menderu keras mengiringi tibanya seran-
gan.
Kemani tersenyum mengejek. Kaki kanannya di-
langkahkan ke belakang dengan diikuti condongan tu-
buhnya. Serangan lawan lewat beberapa jari di depan
wajah. Rambut Kemani sampai berkibaran oleh deru
angin keras yang menyertai ayunan gada.
Tindakan Kemani segera dilanjutkan dengan ayu-
nan kaki kiri ke arah siku lawan yang menggenggam
gada. Lelaki gemuk yang tak ingin gadanya lepas dari
pegangan bergegas menarik tangannya. Serangan Ke-
mani pun mengenai tempat kosong.
Gerakan Kemani lincah bukan main. Begitu seran-
gannya berhasil dielakkan dia meluruk maju dengan
serangan sepasang belati. Sesaat kemudian, kedua
orang itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Meski masih muda, Kemani memiliki kepandaian
tinggi. Hampir seluruh kepandaian ayahnya yang me-
rupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih telah di-
wariskan padanya. Naga Sakti, itulah ayah Kemani.
Sayang, lawan yang dihadapi Kemani bukan orang
sembarangan. Lelaki gundul itu amat terkenal di dunia
persilatan sebagai salah satu tokoh sesat yang ditaku-
ti. Gada Pelumat Dunia, demikian julukannya.
"Uh...!"
Kemani mengeluarkan keluhan tertahan. Sebuah
gerakan tipuan Gada Pelumat Dunia berhasil menyapu
kakinya. Kemani terjungkal ke belakang dan jatuh ter-
lentang.
"Terimalah ajalmu, Gadis Liar!" seru lelaki gundul
seraya melompat untuk menubruk Kemani. Gadanya
diayunkan ke arah kepala gadis itu.
Wajah Kemani langsung pucat. Serangan yang da-
tang terlalu tiba-tiba, sementara dirinya berada dalam
kedudukan yang tidak menguntungkan. Membuat tak
sempat mengelak. Satu-satunya cara untuk menyela-
matkan kepalanya dari hantaman gada hanya dengan
menangkis. Padahal, sepasang belati Kemani telah ter-
lempar dari pegangan ketika gadis itu terjungkal.
Kemani bimbang, haruskah dipergunakan tangan-
nya untuk menangkis? Bila hal itu dilakukan tulang-
tulang tangannya akan hancur berantakan! Atau, di-
biarkan saja kepalanya hancur oleh Gada?
Dalam waktu yang demikian singkat Kemani me-
mutuskan untuk menangkis. Dikerahkan seluruh te-
naganya ke tangan, kemudian dihentakkan ke depan.
Beberapa jari sebelum gada berbenturan dengan
tangan tiba-tiba terdengar bunyi lecutan nyaring bagai
suara halilintar. Tampak meluncur selarik sinar hitam
yang ternyata sebuah sabuk. Sabuk itu melilit perge-
langan kaki Gada Pelumat Dunia. Lilitan sabuk yang
diikuti dengan sentakan membuat gada yang meluncur
ke arah Kemani tak sampai di tujuan.
Gada Pelumat Dunia segera sadar seseorang telah
mencampuri urusannya. Maka, sentakan sabuk yang
menarik tubuhnya ke belakang dimanfaatkan untuk
memberi hajaran pada orang usilan itu.
Gada Pelumat Dunia bersalto beberapa kali. Dili-
hatnya, dua tombak di belakangnnya berdiri seorang
pemuda berpakaian hitam. Di tangan pemuda ini ter-
genggam sehelai sabuk. Ujung yang satu berada di
pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia.
Dengan pergelangan kaki masih terbelit sabuk, Ga-
da Pelumat Dunia mengirimkan serangan. Salto yang
dilakukannya membuat rentangan sabuk mengendur.
Ini membuat lelaki gundul itu leluasa untuk mengi-
rimkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam yang bukan lain Sapta
Renggi terdengar mendengus. Sekali tangannya yang
menggenggam ujung sabuk digerakkan, getaran yang
timbul membuat sabuk bergelombang keras.
Desss!
Gada Pelumat Dunia mengeluarkan jeritan serak
ketika sabuk melecut dadanya. Bukan ujung sabuk
yang menghantam, melainkan bagian tengahnya yang
berombak keras.
Tubuh Gada Pelumat Dunia terlempar ke belakang.
Dari mulut tersembur cairan merah kental. Meski
hanya sehelai kain, tapi karena ditopang oleh tenaga
dalam lecutan sabuk tak kalah keras dengan hanta-
man gada!
Sapta Renggi tersenyum keji. Sabuknya ditarik se-
cara tiba-tiba. Luncuran tubuh Gada Pelumat Dunia
langsung tertahan. Bahkan, tubuh lelaki gundul itu
melayang ke arah Sapta Renggi.
Sapta Renggi terlihat menggerakkan pergelangan
tangannya. Lilitan sabuk terlepas. Lelaki ini langsung
menyusulinya dengan lecutan ujung sabuk ke arah
leher!
Ctarrr!
Gada Pelumat Dunia yang malang tak mampu ber-
buat apa pun untuk mengelakkan serangan. Secara te-
lak dan keras ujung sabuk menghantam sasaran.
Bunyi berderak keras tulang-tulang leher yang hancur
dan muncratan darah dari mulut, hidung dan telinga
mengiringi terlemparnya tubuh Gada Pelumat Dunia.
Nyawa lelaki gundul ini pergi meninggalkan raga sebe-
lum tubuhnya menyentuh tanah. Malah lelaki malang
ini tak sempat mengeluarkan jeritan kematian.
***
3
Kemani terbelalak kaget melihat Gada Pelumat Du-
nia tewas dalam beberapa gebrakan. Gadis ini terpaku
di tempatnya. Perasaan kaget dan takjub terhadap
Sapta Renggi membuatnya tak ingat untuk segera
bangkit berdiri.
Sapta Renggi mengerling ke arah Kemani. Terlihat
kilatan aneh di mata lelaki berpakaian serba hitam ini.
Kerlingan Sapta Renggi beradu dengan pandangan
Kemani yang tengah menatapnya. Sementara, belasan
anak buah Gada Pelumat Dunia segera meluruk ke
arah Sapta Renggi dengan senjata di tangan.
Mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-
teriakan kemarahan. Tewasnya Gada Pelumat Dunia
demikian cepat sehingga mereka tak sempat turun
tangan untuk membantu. Sapta Renggi tetap bersikap
tenang. Lelaki ini malah menunggu tibanya serangan.
Kemani yang melihat hal ini tanpa sadar memekik ke-
cil. Terbayang di benaknya tubuh Sapta Renggi hancur
tercacah-cacah hujan senjata.
Ketika senjata-senjata itu meluncur semakin dekat,
sinar terang menyilaukan mata mencuat dari arah
Sapta Renggi. Sinar terang itu menyambar-nyambar ke
arah belasan anak buah Gada Pelumat Dunia. Dan se-
cepat sinar terang itu muncul, secepat itu pula lenyap-
nya. Kemani melihat Sapta Renggi tetap berdiri di tem-
patnya. Belasan penyerangnya juga menghentikan ge-
rakan.
Keheranan Kemani berganti dengan keterkejutan.
Tubuh belasan orang itu ambruk ke tanah dengan di-
dahului mengucurnya darah dan terlepasnya senjata
yang mereka cekal. Sambil bangkit Kemani memperha-
tikan lebih teliti. Dilihatnya leher anak buah Gada Pe-
lumat Dunia sobek lebar. Dari tempat inilah darah
mengucur!
Kemani tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi.
Sapta Renggi tak mengganggu Kemani yang tengah
larut dalam kebingungan. Dia justru mempergunakan
kesempatan itu untuk memperhatikan si gadis. Ada
perasaan aneh yang tak dimengerti dirasakan Sapta
Renggi ketika melihat Kemani pertama kali.
Sapta Renggi buru-buru mengalihkan perhatiannya
ke arah lain ketika Kemani mengalihkan pandangan
menatapnya. Tanpa ragu-ragu Kemani segera men-
gayunkan kaki menghampiri Sapta Renggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kak. Kalau tak
ada kau, mungkin saat ini aku hanya tinggal nama,"
ucap Kemani penuh rasa terima kasih.
Sapta Renggi menyunggingkan senyum lebar. Se-
nyum yang keluar dari lubuk hatinya yang paling da-
lam. Kenyataan ini membuat lelaki itu merasa heran
sendiri. Sejak kapan dia bisa tersenyum? Padahal, se-
lama ini dia tak pernah tersenyum.
Yang lebih mengherankan lagi, dunia jadi kelihatan
indah ketika Kemani tersenyum kepadanya. Pohon-
pohon tampak lebih menarik. Kicau burung yang ter-
dengar lebih merdu dari biasanya. Dan, hatinya gembi-
ra bukan main! Hal ini benar-benar mengherankan
Sapta Renggi.
"Tak ada yang perlu untuk diucapkan terima kasih,
Nona. Orang-orang seperti mereka memang selayaknya
dilenyapkan dari muka bumi, mereka hanya menim-
bulkan kekacauan belaka," sahut Sapta Renggi dengan
senyum menghias bibir.
Sapta Renggi hampir tak percaya dengan ucapan
yang keluar dari mulutnya. Ucapan seperti itu layak-
nya diucapkan seorang pendekar. Setidak-tidaknya,
seseorang yang mencintai kebenaran dan membenci
tindak kejahatan. Padahal, dia sendiri belum lama ini
telah membasmi puluhan tokoh golongan putih di Per-
kumpulan Kelabang Merah!
"Aku, Sumantri," Sapta Renggi memperkenalkan
diri dengan nama palsu. "Boleh ku tahu siapa nama-
mu, Nona?"
"Mengapa tidak, Sumantri?" balas Kemani sambil
tersenyum manis. "Kau adalah penolongku. Namaku
Kemani."
"Sebuah nama yang bagus sekali, Kemani. Kau ju-
ga memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Sungguh
seorang gadis yang sulit untuk dicari duanya," puji
Sumantri sejujurnya.
Tentu saja bukan kepandaian Kemani yang men-
dapat pujian Sumantri. Tapi, kecantikan dan keinda-
han tubuh gadis itu yang telah menaut hati Sapta
Renggi.
"Tak ada artinya kepandaian yang kumiliki bila di-
bandingkan denganmu, Sumantri," cetus Kemani, ke-
cewa. "Kalau saja aku memiliki kepandaian sepertimu,
mungkin ayahku tak perlu meninggal dan gerombolan
orang kasar itu tak dapat berbuat semaunya terha-
dapku!"
Kemani kemudian menghampiri kereta kudanya.
Dari bagian belakang kereta di turunkannya sebuah
peti mati hitam berukir. Sapta Renggi mendekati. Bola
matanya beralih berganti-ganti pada Kemani dan peti
mati
"Tenangkanlah hatimu, Kemani. Bukankah orang-
orang yang telah membunuh ayahmu telah tewas?" hi-
bur Sapta Renggi.
"Maksudmu... gerombolan orang kasar ini?"
"Tentu saja! Bukankah orang-orang ini yang telah
membunuh ayahmu?" Sumantri alias Sapta Renggi
meminta penegasan.
"Kau keliru, Sumantri. Mereka bukan pembunuh
ayahku. Lagi pula, bagaimana mungkin ayahku bisa
tewas oleh orang-orang seperti mereka? Biar jumlah
mereka tiga kali lipat pun tak akan mampu membu-
nuh ayahku!"
"Ahhh...!" desah Sapta Renggi berpura-pura ka-
gum. "Kalau begitu ayahmu memiliki kepandaian ting-
gi, Kemani."
"Tentu saja, Sumantri! Kalau tidak, mana mungkin
bisa menjadi salah seorang dari Tiga Pendekar Sakti"
tandas Kemani tanpa menyembunyikan nada bang-
ganya.
"Ahhh...!
Untuk kedua kalinya Sapta Renggi berseru kaget.
Kali ini lelaki itu benar-benar merasa kaget. Sungguh
tak disangkanya Kemani putri dari tokoh Tiga Pende-
kar Sakti yang tersisa. Naga Sakti seorang tokoh go-
longan putih yang dibunuhnya. Tapi, Sapta Renggi
mampu menyembunyikan perasaannya. Dalam sekeja-
pan lelaki ini telah mampu bersikap biasa.
"Boleh kulihat isi peti itu, Kemani?" Sapta Renggi
mengalihkan pembicaraan. Hatinya merasa galau
mengingat gadis yang menarik hatinya adalah putri
dari musuh besarnya.
"Mayat ayahku," jawab Kemani serak. "Semasa hi-
dup beliau berpesan padaku agar jika beliau meninggal
kuburkan di dekat makam ibuku. Karena itulah aku
membawa-bawanya. Karena perjalanan membutuhkan
waktu beberapa hari, kuberikan ramuan-ramuan agar
mayat ayahku tidak berbau dan bisa tahan sampai di
tempat tujuan."
"Bagaimana kau membawa mayat ayahmu sedang
keretamu telah rusak?"
"Kupanggul. Di samping tak berat, tempatnya pun
tak jauh lagi. Tinggal seratus tombak dari sini," berita-
hu Kemani, lirih. "O ya, maukah kau menerimaku se-
bagai murid, Sumantri. Kulihat kau memiliki kepan-
daian tinggi. Kau bersedia Sumantri?"
Sumantri kelihatan bingung. Kemani melihat hal
itu secara jelas. Dan, sebuah dugaan jelek berkumpul
di benaknya.
"Tak usah ragu-ragu, Sumantri. Aku yakin kau
akan menolak permintaanku. Siapa yang bersedia me-
nerimaku sebagai murid?" keluh Kemani dengan nada
sendu. Gadis berpakaian kuning ini kemudian memba-
likkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Sambil memanggul peti mati ayahnya. "Selamat ting-
gal, Sumantri."
Sumantri alias Sapta Renggi terpaku ditempatnya.
Dia terlalu terkejut melihat tanggapan Kemani. Ketika
gadis itu telah melangkah sejauh tiga tombak, Sapta
Renggi segera tersadar dari keterkejutannya.
"Kemani...! Tunggu...!" seru Sumantri keras.
Kemani tak mempedulikan seruan Sapta Renggi.
Ayunan kakinya semakin dipercepat.
Sapta Renggi kebingungan. Sebuah keputusan se-
gera diambilnya. Lelaki ini melompat dan bersalto be-
berapa kali sebelum akhirnya mendarat di depan Ke-
mani, menghadang langkah gadis itu.
"Jangan salah mengerti, Kemani," ucap Sapta
Renggi seraya menatap wajah gadis di depannya lekat-
lekat.
Kemani berusaha untuk tersenyum. Tapi gagal.
Kekecewaan akibat penolakan Sapta Renggi menye-
babkan senyum yang diukirnya terlihat begitu tawar.
"Aku tak apa-apa, Sumantri. Aku cukup tahu di-
ri..."
"Dengar dulu penjelasanku, Kemani," potong Su-
mantri, cepat. "Aku belum menjawab pertanyaanmu,
bukan karena aku tak setuju. Tapi, aku bingung."
"Apa yang harus kau bingungkan? Aku tak marah
seandainya kau terus terang menolakku. Itu hakmu,
bukan?" timpal Kemani berusaha bersikap tegar.
"Lagi-lagi kau salah mengerti, Kemani," keluh Sap-
ta Renggi. "Aku bukan bingung memikirkan jawaban
permintaanmu. Aku bingung karena ingin memenuhi
permintaanmu, tapi aku berhadapan dengan sumpah
yang kubuat..."
Sepasang alis Kemani yang indah tampak berkerut
"Sejujurnya aku ingin memenuhi permintaanmu,
Kemani. Aku ingin mengajarimu. Tapi aku telah ber-
sumpah demi almarhum orang tuaku, bahwa aku
hanya akan menggunakan kepandaianku untuk satu
tujuan yaitu membasmi musuh-musuhku. Aku berjan-
ji di hadapan guruku, Kemani."
Kemani masih diam. Tapi, kerutan pada alisnya te-
lah mengendur. Sapta Renggi tak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Buru-buru keterangannya dilanjutkan.
"Kuakui, aku memang jauh untuk bisa dikatakan
orang baik-baik. Kendati demikian, sumpah itu ku jun-
jung tinggi. Bagiku kehormatan lebih berharga daripa-
da nyawa."
Kemani menghias senyum di bibirnya yang indah.
Kali ini lebih berbentuk senyuman dari pada sebelum-
nya. Sapta Renggi merasakan beban yang menghimpit
batinnya mendadak lenyap. Tapi, kegembiraan yang
timbul kembali pupus ketika mendengar ucapan Ke-
mani selanjutnya.
"Aku bisa memakluminya, Sumantri. Aku malah
bangga dengan pendirianmu. Hanya orang-orang ber-
watak gagah mau mengakui kekurangan dirinya dan
menjunjung tinggi kehormatan. Aku tak marah, Su-
mantri. Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas perto-
longan yang kau berikan. Selamat tinggal."
Kemani melangkahkan kaki hendak melewati Sapta
Renggi yang berdiri di depannya. Karuan saja tangga-
pan yang tak terduga-duga ini membuat Sapta Renggi
kelabakan. Dengan tergesa-gesa kedua tangannya diju-
lurkan untuk mencegah.
"Mengapa harus berpisah, Kemani? Tidakkah lebih
baik kalau aku, maksudku..., kita melakukan perjala-
nan bersama-sama?"
"Itu tak mungkin, Sumantri," bantah Kemani se-
raya menggelengkan kepala." Aku ingin mengunjungi
bibiku untuk memberitahukan semua yang telah ter-
jadi. Asal kau tahu saja Sumantri, bibiku itu tidak su-
ka dengan lelaki. Lagi pula aku tak ingin mengganggu
perjalananmu. Bukankah kau mengemban tugas dari
gurumu?"
"Tapi, Kemani...,"
"Jangan halangi kepergianku, Sumantri!" potong
Kemani dengan nada tinggi. "Jangan kau rusak keka-
guman ku dengan sikap seperti ini. Aku tak ingin me-
lakukan perjalanan bersama, dan aku tak suka kalau
kau menguntit perjalan ku! Bila itu kau lakukan, aku
akan marah. Seumur hidup aku tak akan mau berte-
mu apalagi bercakap-cakap denganmu!"
Sapta Renggi terdiam. Kemani tampaknya bersung-
guh-sungguh dengan ucapannya. Jadi akan sia-sia sa-
ja berusaha membujuknya.
"Kalau kau memang berkeras demikian aku tak
mempunyai pilihan lain, Kemani," desah Sapta Renggi
putus asa. "Kuharap kau selamat tiba di tempat tu-
juan. Dan kuharap kita bisa bersua kembali, Kemani."
"Semoga saja, Sumantri. Percayalah, aku tak akan
melupakanmu. Kau seorang lelaki yang baik."
Kemani melanjutkan langkahnya kembali. Kali ini
Sapta Renggi tak menghalanginya lagi. Lelaki ini malah
menggeser kaki untuk memberikan jalan pada gadis
berpakaian kuning itu.
Sapta Renggi tetap berdiri di tempat itu meman-
dangi kepergian Kemani, hingga tubuh gadis itu lenyap
ditelan kejauhan. Terasa ada kehampaan yang dirasa-
kan Sapta Renggi. Alam tak seindah sebelumnya. Ki-
cau burung pun tak lagi merdu. Keindahan yang ada
lenyap terbawa perginya Kemani
kkk
Delapan ekor kuda itu tertambat di batang pohon
di lereng gunung. Penunggangnya terdiri dari lima
orang pasukan kerajaan dan tiga orang rakyat biasa.
Ketiga orang yang tidak berseragam pasukan kerajaan
itu adalah Resi Druna, Darmakala, dan Wudani.
"Tak bisakah binatang-binatang ini kita bawa hing-
ga ke tempat tinggal yang Mulia Sendari?" tanya anggo-
ta pasukan kerajaan yang bermuka hitam.
"Tidak, Cemong," jawab Resi Druna sambil mengge-
leng. "Medan yang akan kita hadapi terlalu sulit. Biar
binatang-binatang ini kita tinggal di sini dengan dijaga
empat orang prajurit. Kau ikut denganku bersama-
sama Darmakala dan Wundani untuk menemui Senda-
ri. Dengan adanya kau, aku yakin wanita keras kepala
itu percaya kalau kedatanganku sebagai utusan Gusti
Prabu Mandaraka."
Cemong tak berani membantah. Dia tahu siapa Re-
si Druna dan Sendari, serta hubungan mereka dengan
Prabu Mandaraka.
Resi Druna sendiri Segera mengayunkan kaki
mendaki lereng gunung. Tanpa banyak bicara Darma-
kala, Wudani, dan Cemong mengikuti langkahnya. Se-
telah menempuh perjalanan beberapa saat lamanya,
Cemong harus mengakui kebenaran ucapan Resi Dru-
na. Medan yang mereka tempuh terlalu berat. Kuda-
kuda tak akan mampu menempuhnya. Bahkan para
prajurit anak buah Cemong pun akan mengalami ke-
sulitan.
Jika mereka ikut serta perjalanan menuju tempat
Nenek Payung Sakti akan mengalami hambatan. Pan-
tas, Resi Druna tak membawa serta mereka. Cemong
sendiri yang memiliki kemampuan jauh di atas empat
prajurit itu susah payah mengikuti Resi Druna, Dar-
makala serta Wudani. Prajurit bermuka hitam ini se-
nantiasa tertinggal.
Setelah napas Cemong hampir putus dan peluh
membasahi sekujur tubuh, baru mereka berada di
tempat yang datar. Di kejauhan tampak sebuah pon-
dok sederhana. Tak ada pintu gerbang atau tembok
yang mengelilingi. Kendati demikian, pondok itu keli-
hatan apik dan bersih karena di bagian depan dan se-
kelilingnya ditumbuhi tanaman bunga aneka warna.
"Begitu tersembunyi tempat tinggal Sendari. Aku
yakin tanpa bantuan Resi Druna tak akan mungkin
tempat ini bisa diketemukan," ujar Darmakala dan
Wudani dalam hati.
Keyakinan pasangan suami istri ini memang bera-
lasan. Untuk mencapai tempat tinggal Sendari mereka
harus melalui jalan terjal dan berliku-liku naik turun.
Jalan setapak licin serta jurang yang dalam menganga
lebar siap menelan tubuh mereka.
Ketiga orang ini terus melangkah menghampiri
pondok yang masih berjarak puluhan tombak. Ketika
jarak mereka tinggal lima tombak lagi dari daun pintu
yang tertutup rapat, tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Tikus-tikus dari mana berani lancang mendekati
tempat tinggalku?! Apakah ingin ekor-ekor kalian ku
putuskan?!" sambut suara nyaring dari balik pintu
pondok yang tertutup.
Seruan bernada ancaman itu membuat Resi Druna
menghentikan langkah. Melihat kakek ini berhenti,
Darmakala dan yang lainnya mengambil sikap serupa.
Keempat orang ini berdiri dengan sikap menunggu.
Paras Resi Druna tampak menegang. "Suara itu
masih belum berubah juga. Galak dan ketus. Apakah
sikap kerasnya tak juga luluh oleh waktu?" keluh Resi
Druna dalam hati.
"Tikus-tikus tak tahu diri! Mengapa kalian tak se-
gera angkat kaki dari tempat ini?! Aku masih bersabar
tak langsung memberikan hajaran. Tapi apabila kalian
tetap bersikeras, aku bisa berubah pikiran!"
"Kami tak akan beranjak dari sini, Sendari! Keda-
tangan kami kemari memang untuk menemuimu. Ini
atas perintah dari Gusti Prabu Mandaraka!" jawab Resi
Druna, lantang.
Tak terdengar tanggapan atas jawaban yang diberi-
kan Resi Druna. Sesaat kemudian, di ambang pintu
pondok berdiri sesosok tubuh ringkih seorang nenek
berpakaian serba putih. Tubuhnya agak bongkok. Ber-
dirinya ditunjang oleh sebatang tongkat berkepala ular.
Sikap nenek itu kelihatan anggun dan penuh wibawa
sebagaimana harusnya seorang wanita tingkat tinggi.
Empat pasang mata tertuju ke arah nenek berpa-
kaian putih. Tapi, hanya Resi Druna yang memandang
penuh selidik. Sepasang matanya diedarkan mulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
Sendari pun bertindak demikian. Nenek ini me-
mang memperhatikan keempat orang tamunya. Tapi
terhadap Resi Druna perhatiannya lebih ditujukan.
Dua pasang mata saling bentrok beberapa saat.
"Mengapa Resi Druna dan Sendari bertingkah de-
mikian? Melihat gelagatnya rasa-rasanya antara kedua
orang ini mempunyai hubungan. Kalau tidak, sikap
mereka terlihat janggal sekali," Darmakala dan Wudani
bertanya-tanya dalam hati.
Pertanyaan demikian tak menggayuti benak Ce-
mong. Prajurit ini bersikap sebagaimana prajurit sejati.
Dia tak mau tahu urusan ini lebih jauh. Yang menjadi
patokannya hanya satu, melaksanakan perintah jun-
jungannya!
"Rupanya kali ini kau lebih siap, Druna? Kulihat
kau tak hanya membawa satu orang untuk memenuhi
keinginanmu itu. Kuharap kali ini orang-orang yang
kau bawa mampu bertahan lebih lama menghadapiku.
Jangan seperti orang-orang sebelumnya."
Isi ucapan itu terasa mengharapkan kemenangan
untuk Resi Druna. Tapi, sikap Sendari mengisyaratkan
sebaliknya. Nenek itu kelihatan demikian sinis. Apalagi
ketika menatap Darmakala dan Wudani!
Darmakala tak terlalu mempedulikan sikap Senda-
ri. Tapi, tak demikian halnya dengan Wudani. Wanita
itu kelihatan tersinggung bukan main. Parasnya mene-
gang. Sorot sepasang matanya berkilat-kilat penuh an-
caman
Wudani hendak mengeluarkan makian. Tapi, Dar-
makala yang mengetahui watak istrinya telah lebih du-
lu menyentuh lengan Wudani dan memberi isyarat
agar wanita itu bersabar. Wudani dengan terpaksa
menelan kembali marahnya.
Di lain pihak, Resi Druna tersenyum. Namun tidak
terpancar sorot kegembiraan di dalamnya. Yang lebih
terlihat adalah kegundahan hati.
"Kau tetap belum berubah, Sendari. Hanya kemau-
anmu yang ingin dituruti orang lain. Tingkahmu ini
yang memaksaku dan Gusti Prabu Mandaraka bertin-
dak seperti ini. Kuharap kali ini kau mau ikut bersa-
maku menghadap Gusti Prabu."
"Semua tergantung dari kemampuan orang-orang
yang kau bawa, Druna. Ciri-ciri kedua budakmu ini
boleh juga. Tapi, entah bagaimana dengan kemam-
puannya," jengek Sendari seraya menatap Darmakala
dan Wudani dengan sorot mata sengit.
"Mereka akan membuat keangkuhan mu pudar,
Sendari," balas Resi Druna, tenang.
"Begitukah?!" sembur Sendari tak senang. Keras
suaranya. "Akan kau lihat sendiri kenyataannya, Dru-
na! Ayo, tunggu apa lagi? Mari segera kita mulai!"
Resi Druna hanya tersenyum pahit Tapi, Sendari
tahu senyuman itu merupakan pertanda kakek berju-
bah kuning setuju atas usulnya.
"Darmakala.... Wudani...," ujar Resi Druna pelan
pada pasangan suami istri itu.
"Kami telah siap, Sendari. Kau boleh memulainya,"
ucap Darmakala pada Sendari.
"Bagus!" sambut Sendari. Suaranya terdengar se-
perti binatang buas menggeram. "Kau mungkin telah
mengetahui jenis pertandingan yang kuinginkan. Dru-
na pasti telah memberitahu kalian!"
Darmakala mengangguk.
"Hmh...!" dengus Sendari. "Dengar baik-baik uca-
panku."
Begitu ucapan nenek itu usai, Darmakala menden-
gar suatu suara di telinganya. Rangkaian kata-kata
yang membentuk pertanyaan. Hanya lelaki ini yang
mendengarnya, karena Sendari mengeluarkan perka-
taan itu melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
Wudani kebingungan ketika tak mendengar perta-
nyaan yang diajukan Sendari.
Bukan hanya Wudani yang dibuat heran. Ada seo-
rang lagi yang dilanda perasaan sama. Seseorang yang
keberadaannya tak diketahui oleh siapa pun. Sosok
yang bukan lain dari Dewa Arak itu duduk di salah sa-
tu cabang pohon. Sukar terlihat dari bawah karena
terhalang oleh kerimbunan dedaunan.
Memang, karena keinginannya yang besar untuk
mengungkap rahasia keanehan sikap Raja Mandaraka,
Dewa Arak terus mengikuti ke mana Wudani dan Dar-
makala dibawa. Bahkan ketika pasangan suami istri
itu berada di istana, pemuda berambut putih kepera-
kan ini menunggu di luar.
Tapi yang paling bingung adalah Darmakala!
Hanya saja kebingungan Darmakala bukan disebabkan
oleh sikap nenek itu, melainkan oleh pertanyaannya.
Terdengar jelas oleh Darmakala bunyi pertanyaan
Sendari.
"Aku ingin kau menceritakan sebuah kisah yang
tak habis diceritakan sampai tiga hari tiga malam."
"Gila!" pekik Darmakala dalam hati. "Tiga hari tiga
malam?! Setengah hari pun rasanya sudah mustahil.
Apa yang diceritakan sampai bisa selama itu?"
"Kuberi kau waktu sampai matahari berada di atas
kepala untuk memberikan jawaban. Bila sampai batas
waktu itu kau belum juga memberikan jawaban, berar-
ti aku menang," lanjut Sendari masih menggunakan
ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala menatap ke langit. Hatinya agak lega
ketika mengetahui sang Surya belum lama meninggal-
kan tempat terbitnya. Waktu baginya masih cukup la-
ma.
Keheningan pun menyelimuti tempat itu. Semua
mulut terkatup rapat, seakan keempat orang yang ada
di situ telah berubah menjadi arca!
Wudani terlihat seperti semut yang diletakkan di
abu panas, wanita itu gelisah sekali. Wudani tahu su-
aminya tengah dilanda rasa bingung. Sayang, dia tak
tahu hal apa yang membuat Darmakala kebingungan
seperti itu.
Sungguh pun demikian Wudani tak kehilangan ak-
al. Wanita ini memiliki kecerdikan yang besar. Dia se-
gera tahu kalau Sendari mempergunakan ilmu mengi-
rim suara dari jauh.
"Kalau nenek sombong ini mempergunakan ilmu
itu, mengapa aku tidak? Memangnya hanya dia seo-
rang yang bisa menggunakan ilmu itu?!" desis hati
Wudani tak senang.
"Ada apa, Kak Darma? Mengapa kau kelihatannya
bingung sekali?" tanya Wudani pada suaminya dengan
menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala merasa gembira bukan main mendapat
kiriman suara dari istrinya. Lelaki ini memang amat
membutuhkan bantuan Wudani. Istrinya jauh lebih
pandai menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bersi-
fat menjebak seperti ini.
"Aku memang tengah bingung, Wudani," jawab
Darmakala. "Sendari memberikan pertanyaan yang
sangat sulit untuk kujawab."
"Bagaimana pertanyaannya, Kak Darma?"
"Wanita tua bangka itu meminta ku Untuk mence-
ritakan sebuah kisah. Kisah apa pun yang tak habis
diceritakan hingga tiga hari tiga malam."
"Tiga hari tiga malam?! Mana ada cerita yang me-
makan waktu demikian lama?" cetus Wudani, kaget
dan heran.
"Mana ku tahu, Wudani? Itu keinginan nenek ke-
parat itu!" rutuk Darmakala.
"Tunggu sebentar, Kak Darma."
Perbincangan tanpa menggerakkan bibir itu untuk
sementara terhenti. Wudani tengah mencari jawaban
bagi pertanyaan aneh Sendari.
Darmakala mulai mengkhawatirkan kemenangan
di pihak Sendari setelah beberapa saat lamanya tak ju-
ga didapatkan jawaban dari Wudani. Wanita itu berdiri
gelisah dengan pandangan sesekali terarah pada Sen-
dari. Sementara tak sepatah kata pun ucapan dikirim-
kannya pada Darmakala.
•k-irk
4
"Kurasa aku menemukan jawabannya, Kak Dar-
ma."
Perkataan yang dikirim tanpa menggerakkan bibir
itu diterima Darmakala ketika dia sudah hampir putus
asa. Waktu yang dibutuhkan Wudani ternyata tak se-
singkat perkiraannya.
"Apa, Wudani? Cepat katakan!"
"Begini, Kak Darma. Kurasa pertanyaan nenek
sombong itu cuma akal-akalan. Mana mungkin sebuah
cerita membutuhkan waktu tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana jawabannya, Wudani? Apakah ha-
rus kukatakan kalau tak ada jawabannya?!" desak
Darmakala tak sabar.
"Tentu saja tidak demikian, Kak Darma. Kita harus
memberikan sambutan sesuai dengan pertanyaan itu.
Tipu daya harus kita lawan dengan cara yang sama."
Wudani segera menyambung ucapannya dengan
jawaban yang diperoleh. Darmakala mendengarkan
penuh perhatian.
"Bagaimana? Apakah kau tak bisa memberikan ja-
waban atas pertanyaanku?" Sendari dengan senyum
mengejek.
Darmakala bersyukur dalam hati. Datangnya per-
tanyaan Sendari setelah istrinya selesai memberikan
jawaban.
Dengan demikian lelaki ini telah siap. Darmakala
mengulas senyum di bibir dan mengangguk pasti.
Sepasang alis Sendari berkerut. Dia masih belum
mengerti arti anggukan Darmakala. Tapi, senyum lela-
ki itu menunjukkan kalau ada hal-hal yang menggem-
birakan hatinya.
"Jadi, kau telah mendapatkan jawabannya?!" den-
gus Sendari penuh ketidakpercayaan.
"Benar!"
"Katakanlah. Aku ingin mendengarnya."
"Dengarkan baik-baik cerita ku ini, Sendari!" ucap
Darmakala, mantap. "Belasan tahun yang lalu di se-
buah desa musim panen telah datang. Tanaman padi
yang siap untuk dituai bertebaran dimana-mana."
Sendari mengernyitkan kening. Wanita ini tak bisa
menebak arah cerita Darmakala. Kendati demikian, dia
mendengarkan cerita Darmakala dengan senyum men-
gejek di bibir.
"Di antara puluhan petani yang ada di desa itu,"
Darmakala melanjutkan ceritanya. "Ada seorang petani
yang memiliki sawah paling luas. Dia merupakan pe-
tani terkaya di desa. Lumbung padinya merupakan
bangunan paling besar. Ribuan pikul padi dapat dis-
impan di dalam lumbung itu."
Darmakala menghentikan ceritanya. Sendari tak
mengusik sama sekali. Mesti Darmakala sering berhen-
ti, tak akan ada pengaruhnya dengan waktu yang ter-
sedia, pikir Sendari. Waktu tiga hari tiga malam terlalu
panjang hanya untuk menghabiskan satu cerita.
"Sayang, lumbung padi petani terkaya itu berdeka-
tan dengan lubang-lubang tempat semut bersarang.
Jumlahnya tak terhitung. Semut-semut itu tahu akan
adanya makanan. Melalui lubang yang ada di lum-
bung, binatang-binatang itu masuk ke dalam lumbung
dan mengambil butir-butir padi."
Darmakala kembali menghentikan cerita. Senyum
tersungging di bibirnya seperti layaknya orang yang
tengah mendapat kemenangan. Sendari, Resi Druna,
dan Cemong mendengarkan cerita Darmakala. Tapi
hanya Sendari dan Resi Druna yang mendengarkan
dengan penuh perhatian, sedangkan Cemong hampir
bersikap tak peduli.
"Semut pertama datang memasuki lumbung dan
keluar kembali dengan menggondol sebutir padi. Se-
saat kemudian disusul oleh semut kedua. Semut keti-
ga pun masuk juga melalui lubang yang ada dan men-
gambil sebutir padi lalu kembali ke sarangnya. Kemu-
dian disusul dengan...."
"Cukup...!" sentak Sendari tiba-tiba. Wajahnya
tampak merah padam. "Kau memenangkan pertaru-
han!"
Resi Druna, Cemong, dan Wudani tersenyum gem-
bira. Teriakan Sendari telah mengakhiri pertandingan
itu. Kemenangan berada di pihak Darmakala. Besarnya
kegembiraan mereka masih tak sebesar kegembiraan
Darmakala. Sudah diduganya Sendari tak akan sabar
mendengarkan cerita semut yang satu per satu masuk
ke lumbung padi.
"Kali ini kau menang Druna. Aku terpaksa kembali
ke kerajaan. Tapi seperti yang kukatakan dulu, hanya
untuk waktu yang terbatas. Paling lama, dua belas
purnama," ucap Sendari dengan nada pahit
"Tak perlu selama itu kukira, Sendari," bantah Resi
Druna. "Gusti Prabu tak ingin mengganggu ketentera-
man hidupmu. Kalau saja tak mempunyai keperluan
yang amat penting, Gusti Prabu tak ingin mengusik
mu. Tapi karena terpaksa...."
"Tidak usah banyak bicara yang tak perlu, Druna!"
potong Sendari tak sabar. Tongkatnya diketukkan ke
tanah hingga amblas hampir setengahnya. "Katakan
saja apa keperluanmu!"
Resi Druna tampak bimbang. Kakek ini melihat ke-
beradaan Darmakala dan Wudani di tempat itu.
Bila ia bicara pasangan suami istri itu akan men-
dengar. Padahal, masalah yang tengah dialami Prabu
Mandaraka cukup rahasia.
"Tak usah bimbang untuk bicara, Resi," ujar Dar-
makala tenang tanpa merasa tersinggung. "Kalau kau
takut kami mendengar masalah Prabu Mandaraka,
kau salah besar. Kami telah tahu mengenai hal itu dari
sikap Gusti Prabu sendiri."
"Hm..J Apa yang kau ketahui, Darmakala?" tanya
Resi Druna.
"Tidak banyak. Bukankah Gusti Prabu Mandaraka
kehilangan hal yang teramat penting dalam dirinya se-
laku seorang lelaki? Gusti Prabu kehilangan kejanta-
nannya, bukan?"
"Hm...!"
Resi Druna hanya bisa menghela napas. Kakek ini
tak membantah atau membenarkan. Tapi, sikapnya
menunjukkan kalau terkaan Darmakala tidak salah.
"Sungguhkah itu, Druna?!" Sendari setengah ter-
pekik.
Pelan dan kaku Resi Druna menganggukkan kepa-
la. Jawaban ini telah lebih dari cukup. Sendari meme-
kik laksana seekor garuda murka. Pekikannya mem-
buat Cemong terhuyung-huyung dengan wajah pucat.
Sekitar tempat itu bergetar hebat dan tongkat berkepa-
la ularnya terlontar ke atas. Sendari buru-buru me-
nangkapnya.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Druna?!"
tegur Sendari dengan suara keras. "Lalu..., apa artinya
keberadaanmu di Sana?!"
Wajah Resi Druna langsung merah padam. Nada
suaranya mulai meninggi ketika bicara.
"Apa artinya seorang manusia, betapapun tinggi
kepandaiannya, jika Yang Maha Kuasa telah menentu-
kan lain?! Puluhan tabib dan ahli obat didatangkan,
tapi tak seorang pun sanggup menyembuhkan sakit
Gusti Prabu. Semua ahli obat itu mempunyai usul
yang sama kalau ingin Gusti Prabu Mandaraka sem-
buh dari penyakitnya!"
"Apa itu, Druna?!" tanya Sendari tak sabar.
"Sebuah batu permata yang bernama Kalimaya."
"Kalimaya?! Bagaimana mungkin bisa menda-
patkan pusaka itu? Bukankah tempatnya amat jauh
dari sini. Konon, pusaka itu dijaga oleh seorang tokoh
sakti yang memiliki watak aneh."
"Aku pun telah mendengar berita itu, Sendari," ke-
luh Resi Druna. "Pusaka Kalimaya dimiliki oleh seo-
rang tokoh yang amat sakti. Demi kesembuhan Gusti
Prabu dan keutuhan kerajaan, aku bersedia menem-
puh bahaya untuk mendapatkan pusaka itu. Sayang
aku tak mengetahui tempatnya. Itulah sebabnya aku
hendak meminta bantuanmu."
"Mengenai keadaan Gusti Prabu, Druna," sesal
Sendari. "Kalau tahu keadaannya seperti ini, aku tak
akan bersikeras dengan pendapatku dan masalahnya
tidak berlarut-larut...."
"Aku tak ingin kau mengingkari sumpahmu sendi-
ri, Sendari," jawab Resi Druna.
"Kau pergilah lebih dulu, Druna. Aku ingin berke-
mas-kemas. Cukup banyak yang harus kuurus di sini,"
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan
menunggumu di kaki gunung, dekat sumber air. Kau
tahu kan?" Sambung Resi Druna, gembira. Usahanya
membujuk Sendari untuk turun gunung ternyata ber-
hasil.
Sendari hanya mengangguk. Resi Druna tanpa ba-
nyak cakap segera meninggalkan tempat itu. Diberi-
kannya isyarat pada rombongannya untuk mengikuti.
Sendari sendiri bergegas kembali ke dalam pondok.
Di atas pohon Dewa Arak merasa lega. Prabu Man-
daraka ternyata tak mempunyai maksud yang tak
baik. Dari percakapan yang didengarnya, semua ingin
tahunya telah terpuaskan. Meskipun demikian, Arya
tak segera turun dari pohon. Pemuda ini merasa tak
enak jika nanti keberadaannya diketahui dan akan
menimbulkan salah paham. Diputuskannya untuk
meninggalkan tempat itu setelah Sendari pergi.
"Hhh...!"
Resi Druna mengarahkan pandangan ke puncak
gunung. Telah cukup lama dia dan rombongannya me-
nunggu. Batas kesabarannya telah terlampaui. Sendari
tetap juga belum tampak batang hidungnya.
Bukan hanya Resi Druna yang merasa gelisah dan
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di bela-
kang punggung. Lima orang yang menyertai perjala-
nannya pun ikut gelisah. Rasa tak sabar tampak jelas
pada wajah dan sikap mereka.
"Jangan-jangan nenek itu kabur. Alasan yang di-
pergunakannya untuk berkemas-kemas sekedar siasat
belaka. Kalau tak demikian, mana mungkin akan begi-
tu lama?" celetuk Wudani tak sabar.
Resi Druna mengalihkan perhatian pada Wudani.
"Aku memaklumi kecurigaan mu, Wudani. Tapi bila
kau mengenal lebih jauh siapa Sendari, kau tak akan
berkata demikian."
"Begitukah?!" tanya Wudani tanpa menyembunyi-
kan keraguan hatinya.
"Tentu saja!" tandas Resi Druna, "Sendari bukan
orang lain. Beliau termasuk guru dari Gusti Prabu
Mandaraka. Kasih sayangnya terhadap murid sekali-
gus junjungannya itu demikian tinggi. Mana mungkin
Sendari akan kabur dengan alasan hendak berkemas-
kemas?"
Wudani dan Darmakala saling berpandangan den-
gan wajah kaget. Sama sekali tak mereka sangka Sen-
dari mempunyai kedudukan demikian tinggi. Ini benar-
benar di luar pengetahuan mereka.
"Maafkan atas sikap istriku yang tak patut, Resi,"
Darmakala mewakili istrinya meminta maaf. "Kami
berdua sungguh tak mengetahui hal ini. "
"Lupakanlah. Aku bisa memakluminya," jawab Resi
Druna, bijaksana.
"Tadi kau katakan Sendari merupakan salah satu
guru Gusti Prabu Mandaraka. Lalu, siapakah guru-
guru yang lain?" tanya Wudani ingin tahu.
"Gusti Prabu Mandaraka hanya mempunyai dua
orang guru. Orang satunya lagi yang mendapat kehor-
matan untuk menjadi guru beliau adalah aku."
"Ahhh.:.!"
Untuk kedua kalinya Wudani dan Darmakala tak
kuasa menahan rasa kagetnya. Ditatapnya Resi Druna
dengan mata membelalak seperti orang melihat hantu.
"Benar-benar luar biasa," desah Darmakala. "Sama
sekali tak kami sangka kau merupakan orang yang
amat terhormat, Resi. Maafkan kalau sikap yang kami
tunjukkan padamu mungkin kurang hormat."
Resi Druna buru-buru mengulapkan tangan. Terli-
hat jelas perasaan tak sukanya memperbincangkan hal
itu.
"Lupakan segala urusan tetek bengek itu, Darma.
Terus terang, aku sendiri merasa risih dengan segala
sopan santun yang terlalu berlebihan. Kuharap kau
dan istrimu bersikap padaku sebagaimana wajarnya
saja."
Hampir berbarengan Darmakala dan Wudani men-
ganggukkan kepala.
"Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi. Melihat si-
kapmu dan Sendari kelihatannya kalian mempunyai
hubungan yang cukup erat. Apakah dugaanku benar?"
tanya Darmakala.
"Yahhh.... Begitulah, Darma. Kami memang mem-
punyai hubungan yang erat. Bahkan sangat erat" ja-
wab Resi Druna dengan pandangan tertuju ke angka-
sa, seperti tengah melihat gambaran masa lalunya di
sana. "Kami saudara seperguruan. Sendari adalah adik
seperguruanku. Kami saling jatuh cinta dan menjadi
suami istri."
Sampai di sini wajah Resi Druna tampak muram.
Perasaan duka tergambar jelas di wajah dan sinar ma-
tanya. Darmakala jadi merasa tak enak melihat hal ini.
"Maafkan aku, Resi. Aku telah membuatmu terke-
nang kembali pada hal-hal yang tak menyenangkan.
Kurasa kau tak perlu memberi keterangan lebih jauh."
"Tidak mengapa, Darma. Kau telah menolongku.
Tak ada salahnya kuceritakan padamu mengenai diri-
ku dan Sendari. Anggaplah hal ini sebagai balas jasa
atas jerih payahmu."
Darmakala hanya mengangkat bahu. Diserahkan-
nya keputusan itu pada Resi Druna.
"Setelah menjadi suami istri kami turun gunung.
Sama seperti murid-murid golongan putih lainnya,
kami bermaksud hendak membela si lemah dari teka-
nan angkara murka. Cukup lama kami menunaikan
tugas suci itu sebelum akhirnya tanpa sengaja berhasil
menyelamatkan nyawa seorang raja dari suatu pem-
bunuhan."
"Raja itu Prabu Mandaraka?" sela Wudani.
"Bukan. Raja yang saat itu tengah menyamar ada-
lah ayah kandung dari Prabu Mandaraka. Prabu Man-
daraka sendiri masih muda dan menjadi pangeran
mahkota. Ayahanda beliau bernama Prabu Baka. Sejak
itulah kami diangkat menjadi pengawal-pengawal pri-
badi Prabu Baka. Di istana kami menjadi guru Pange-
ran Mandaraka."
Resi Druna menghentikan ceritanya. Darmakala
dan Wudani menunggu dengan perasaan tak sabar.
"Ketika Prabu Baka mangkat dan Pangeran Manda-
raka menjadi raja, istriku ingin beristirahat dari tugas-
tugasnya. Dia ingin menyepi bersamaku untuk meng-
habiskan masa tua. Tapi aku menolak. Kami berteng-
kar hebat karena watak istriku amat keras. Kesuda-
hannya adalah seperti ini. Dia tinggal di tempat ini se-
dangkan aku di istana. Istriku bersumpah tak akan
menginjak istana kecuali aku bisa memenuhi syarat-
nya. Dia rupanya merasa tersinggung sekali sehingga
ingin membuatku repot. Syaratnya adalah seperti yang
kau alami, Darma. Telah banyak tokoh yang gagal un-
tuk memaksanya meninggalkan tempatnya, sampai
akhirnya kau datang."
Suasana menjadi hening ketika Resi Druna meng-
hentikan cerita.
Namun, lamunan mereka segera buyar, Resi Druna
tampak mengarahkan pandangan ke satu arah. Sinar
matanya terlihat penuh selidik. Darmakala, Wudani,
Cemong, dan empat prajuritnya mengarahkan pandan-
gan ke arah yang ditatap Resi Druna. Tampak sesosok
bayangan berkelebatan cepat menuju ke arah mereka.
Sosok bayangan kuning itu memiliki bentuk tubuh
yang mungil dan ramping. Resi Druna dan pasangan
suami istri Wudani Darmakala mampu melihatnya se-
cara jelas. Sosok kuning itu adalah seorang wanita
muda. Sedangkan Cemong dan empat prajurit lainnya
hanya mampu melihat sosok bayangan kuning berke-
lebatan menuju tempat mereka berada. Bentuk sosok
bayangan kuning itu terlalu samar untuk dapat mere-
ka tangkap.
Darmakala dan Wudani melihat dahi Resi Druna
berkernyit dalam. Resi Druna tampaknya tengah di-
landa kebingungan.
"Siapa gadis itu? Mengapa bisa tahu tempat ini?
Jarang ada tokoh persilatan yang melewati daerah ter-
pencil ini. Apakah gadis itu mempunyai hubungan
dengan Sendari?" Resi Druna bertanya-tanya dalam
hati.
Gadis berpakaian kuning itu pun telah melihat ke-
beradaan rombongan Resi Druna. Tapi, dia berpura-
pura tak melihat. Ayunan kakinya tak diperlambat
Hanya arah yang ditempuhnya agak dipalingkan, se-
hingga tak melalui tempat berkumpulnya Resi Druna
dan rombongannya.
Tapi, sebelum maksud gadis itu mendaki ke pun-
cak melalui jalur lain terlaksana, Resi Druna telah
menggeser kaki. Tubuh kakek ini melayang dan dalam
sekejapan telah berdiri di tempat yang akan dilalui ga-
dis berpakaian kuning.
Tindakan Resi Druna membuat gadis itu menghen-
tikan ayunan kakinya. Dia berhenti berlari empat tom-
bak dari Resi Druna. Dengan sepasang matanya yang
bening indah ditatapnya Resi Druna penuh tuntutan.
"Mengapa kau menghalangi jalanku, Kek? Aku tak
ingin mencari keributan!" tandas gadis itu.
"Aku tahu, Nona," jawab Resi Druna kalem. "Kare-
na itu kau menempuh jalan yang tidak melewati ku.
Tapi aku pun tak mau mencari keributan. Aku wajib
tahu maksudmu mendaki puncak gunung ini."
"Harus...?! Si gadis mengerutkan sepasang alisnya
yang indah.
"Benar"
"Mengapa? Apakah kau yang mempunyai gunung
ini?" sembur gadis berpakaian kuning.
"Tentu saja bukan, Nona. Tak ada orang yang
mempunyai gunung ini. Tapi...."
"Kalau begitu, apa hakmu melarangku naik ke
puncak? Malah harus tahu apa yang kulakukan di sa-
na?!" selak si gadis cepat dengan nada semakin tinggi.
Resi Druna menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah gadis itu. Kalau tak memberikan jawaban lebih
dulu, gadis itu pasti tak akan memberikan keterangan.
Maka, diputuskannya untuk mengalah.
"Aku berhak tahu karena gunung ini jarang dida-
tangi orang. Merupakan suatu keanehan kalau kau
hendak mendaki sampai ke puncak. Tapi, yang lebih
penting lagi karena di atas sana tinggal seorang kawan
baikku. Dia tak ingin ada orang mendatangi tempatnya
menyepi"
Sepasang alis gadis berpakaian kuning berkerut
kembali. Rupanya penjelasan Resi Druna menarik ha-
tinya.
"Boleh ku tahu kawan baikmu yang tinggal di pun-
cak sana, Kek?"
"Tentu saja, Nona," jawab Resi Druna sambil terke-
keh. "Tapi kuharap kau mau bersikap adil. Aku telah
memberikan penjelasan sebab-sebab kau ku cegah
naik ke puncak. Maka, kuharap kau memberikan kete-
rangan mengapa hendak naik ke sana. Setelah itu, aku
baru akan menjawab pertanyaanmu yang kedua. Ba-
gaimana?"
Si gadis tercenung sebentar. Kemudian, kepalanya
dianggukkan.
"Cukup adil syarat yang kau ajukan, Kek. Baiklah
kuberitahukan. Aku hendak ke puncak untuk mene-
mui seorang bibi guruku. Dia tinggal di atas sana."
"Boleh ku tahu siapa bibi gurumu?" desak Resi
Druna.
"Kau dulu yang harus memberikan keterangan,
Kek. Kau tak boleh mengajukan pertanyaan lagi. Seka-
rang giliranku. Yang kutanyakan, siapa kawan baikmu
yang tinggal di puncak gunung itu?"
"Namanya Sendari," Resi Druna terpaksa mengalah
karena bisa menerima alasan yang dikemukakan si
gadis.
Gadis berpakaian kuning terjingkat ke belakang
seperti dipatuk ular berbisa. Wajahnya memperli-
hatkan keterkejutan besar.
"Bibi guruku itu pun bernama Sendari, Kek," ujar
gadis berpakaian kuning.
Resi Druna kaget bukan main. Sepasang matanya
membelalak lebar ketika menatap si gadis.
"Bibi gurumu bernama Sendari?! Apakah kau
mempunyai hubungan dengan Raharja?" tanya Resi
Druna dengan suara bergetar.
"Kau mengenal ayahku, Kek?" Si gadis malah balas
bertanya.
"Mengenal sih, tidak. Tapi Sendari telah bercerita
padaku mengenai putri seorang tokoh persilatan ber-
nama Raharja. Putri yang bernama Kemani itu menjadi
muridnya selama beberapa bulan. Hanya saja Sendari
tak ingin dipanggil guru, sehingga Kemani menyebut-
nya bibi guru. Kaukah gadis yang bernama Kemani
itu?"
Gadis berpakaian kuning mengangguk.
Resi Durna tersenyum lebar. "Ternyata kita orang
sendiri, Kemani. Aku bernama Durna. Resi Durna. Ini
anggota rombonganku."
Kemudian, Resi Durna menceritakan maksud ke-
datangannya ke tempat ini. Tak lupa diperkenalkannya
satu per satu orang-orang yang bersamanya.
Di saat Resi Durna tengah bercerita, di puncak gu-
nung Sendari tengah sibuk berkemas-kemas. Nenek ini
mempunyai banyak hiasan di dinding pondoknya. Se-
karang hiasan-hiasan itu dipindahkan. Dari salah satu
hiasan berbentuk kepala seekor menjangan, dikelua-
rkannya gulungan kain dari kulit binatang.
Sendari membuka gulungan kulit binatang itu.
Tampak coretan-coretan berupa garis, segi tiga, dan
tanda silang. Nenek ini memperhatikannya sebentar
dengan penuh perhatian. Kemudian digulungnya kem-
bali kulit binatang itu.
Sendari menyelipkan gulungan kulit binatang di
selipan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan den-
gan terselipnya gulungan kulit binatang tersebut, ter-
dengar suara keras....
Brakkk!
***
5
Daun pintu pondok hancur berkeping-keping. Sen-
dari sampai terjingkat kaget dan mengalihkan perha-
tian ke arah daun pintu. Nenek ini mengibaskan tan-
gan ke sana kemari menepis kepingan-kepingan daun
pintu yang berpentalan tak tentu arah. Beberapa di an-
taranya meluruk ke arah Sendari.
Dalam selisih waktu yang demikian singkat, dari
luar pondok tampak sesosok tubuh melangkah masuk
dengan tenangnya. Sendari memperhatikan hampir tak
berkedip. Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh
lima tahun. Pakaiannya coklat membungkus tubuhnya
yang kekar. Wajahnya cukup tampan. Sayang, air mu-
kanya terlihat dingin tak menggambarkan perasaan
apa pun.
"Siapa kau, Sobat?! Sungguh lancang sekali tinda-
kan yang kau lakukan!" sent Sendari keras penuh ke-
marahan,
"Siapa adanya aku tak perlu kau tahu, Tua Bang-
ka! Yang penting, serahkan gulungan kain itu padaku!
Atau, kau lebih suka kukirim ke neraka?!" dengus le-
laki berpakaian coklat.
"Enak saja kau membuka mulut, Anjing Kurap!
Aku lebih suka mencopot lidahmu dari pada memberi-
kan benda ini!"
Sendari menutup ucapannya dengan sebuah ter-
jangan. Nenek ini tak bertindak setengah-setengah la-
gi. Kebutan yang terselip di pinggang segera dicabut-
nya. Senjata itu ditusukkan ke arah leher lawan. Den-
gan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi Sendari
mampu membuat bulu kebutan yang lembut menjadi
keras laksana ujung tombak!
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Mulutnya
bergerak meniup. Angin yang keluar membuat bulu-
bulu kebutan kembali melemas. Hampir bersamaan
dengan serangan itu kedua tangannya dihentakkan ke
dada Sendari.
Sendari adalah seorang wanita yang keras kepala.
Kenyataan betapa lawan mampu melumpuhkan bulu-
bulu kebutannya telah membuktikan betapa kuat te-
naga dalam lawan. Sifat keras kepalanya mendorong
Sendari untuk tak ragu-ragu memapaki serangan la-
wan berikutnya.
Plakkkk!
Bunyi keras terdengar. Dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat ber-
benturan. Seketika, tubuh kedua pemiliknya terjeng-
kang ke belakang. Si lelaki mampu menjejak tanah
dengan kedua kaki kendati harus melewati pintu pon-
dok.
Sendari lebih parah keadaannya. Nenek itu ter-
jengkang dan punggungnya menabrak dinding dengan
keras. Dinding hancur berkeping-keping membawa tu-
buh renta itu keluar pondok.
Sendari bergegas bangkit. Nenek ini langsung ter-
peranjat ketika melihat gulungan kulit binatang yang
merupakan peta tempat batu Kalimaya berada telah
lenyap. Amarah Sendari semakin bergolak. Tanpa per-
lu melihat buktinya lagi, nenek ini tahu kalau lelaki
berpakaian coklat telah mengambil benda miliknya.
Sementara pendatang tak diundang itu tengah di-
amuk kemarahan pula. Sinar matanya tajam berkilat-
kilat. Pakaian luarnya yang berupa rompi segera dis-
ingkapkan dengan kedua tangan ke kanan dan kiri.
Pada bagian dalam rompi terlihat jajaran pisau-pisau
putih berkilat. Sendari sampai terbelalak melihatnya.
"Luar biasa orang ini," pikir istri Resi Druna itu.
"Apakah dia memiliki ilmu melempar pisau yang he-
bat? Dia sampai menyediakan tempat khusus di ba-
gian dalam rompinya untuk tempat pisau "
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Dilirik-
nya Sendari sekilas, kemudian dikerlingnya deretan pi-
saunya.
"Sebenarnya aku tak terlalu ingin membunuhmu,
tapi kau menghendaki lain. Maka, biarlah ku turuti
kemauanmu!"
Lelaki itu mencabut sebatang pisau. Kemudian di
lemparkannya ke arah Sendari. Nenek ini tak tinggal
diam menerima kematian. Kebutannya dijadikan me-
negang kaku dan dipergunakan untuk memapaki
sambaran pisau!
Trakkk!
Benturan yang terjadi membuat bulu-bulu kebutan
melemas. Namun pisau lawan terlempar ke belakang.
Sungguh pun begitu Sendari tak bisa berlega hari. Pi-
sau yang terlempar balik itu tak jatuh ke tanah. Bagai
memiliki nyawa. Pisau berbalik dan meluncur kembali
ke arah Sendari. Kali ini bagian yang dituju adalah
leher!
Meski terkejut melihat kejadian yang tak disangka-
sangka ini, Sendari tak menjadi gugup. Nenek ini
menggunakan kebutannya untuk menghalau serangan
pisau. Tak repot memang. Tapi ketika lelaki berpa-
kaian coklat menambah jumlah pisaunya, Sendari mu-
lai kelabakan.
Istri Resi Druna ini berlari ke sana kemari menye-
lamatkan diri dari tangan-tangan maut yang meluncur
ke arahnya. Terlihat menggelikan betapa nenek itu
tampak sibuk menangkis dan mengelak dari serangan-
serangan pisau yang seperti mempunyai pikiran.
Lelaki berpakaian coklat hanya memperhatikan
dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Ingin ku
tahu sampai berapa lama kau dapat bertahan, Peot?!"
guman lelaki itu dalam hati.
Ketika puluhan jurus telah berlalu, gerakan Senda-
ri mulai mengendur. Nenek ini merasa kelelahan. Di
samping karena usia tua, bertarung dengan cara de-
mikian benar-benar menguras tenaga. Tidak hanya le-
lah badan, tapi juga lelah pikiran!
Crattt!
"Aaakh...!"
Sendari memekik kesakitan. Salah satu pisau me-
nyayat bahunya. Darah pun merembes keluar dari ku-
lit dan daging yang terkoyak. Sendari terhuyung-
huyung. Saat itu dua pisau lain meluruk ke arahnya.
Pisau yang telah berhasil melukai Sendari meliuk, ke-
mudian mengikuti dua pisau sebelumnya.
Sendari hanya bisa membelalakkan mata lebar-
lebar. Nenek ini ingin mengelak, tapi keadaan sudah
tak memungkinkan lagi. Dia telah terlalu lelah. Sendari
hanya bermaksud memapaki apabila pisau-pisau me-
luncur dekat.
Sing, sing, singggg!
Zebbb,zeb,zebbb!
Di saat yang amat genting bagi keselamatan Senda-
ri meluncurlah sebatang pohon pisang. Batang tana-
man yang panjangnya hampir satu tombak itu menyela
di antara pisau-pisau dan Sendari. Akibatnya, batang
pisang itu yang menjadi sasaran pisau-pisau lawan.
Pisau-pisau amblas ke batang pisang sampai ke ga-
gangnya.
"Keparat!" maki lelaki berpakaian coklat Pandan-
gannya di edarkan berkeliling. "Siapa yang berani mati
mencampuri urusan Sangka Ruti?! Kalau memang jan-
tan, keluar!"
Sendari juga mengedarkan pandangan. Nenek ini
tahu ada seseorang yang telah menolongnya. Dan keti-
ka seruan lelaki yang bernama Sangka Ruti lenyap,
seperti hendak membuktikan ketidak-pengecutannya
sesosok bayangan ungu melesat turun dari atas wu-
wungan rumah!
"Sebutkan namamu sebelum kukirim nyawamu ke
neraka, Keparat! Sangka Ruti tak pernah berkeinginan
membunuh orang yang tak terkenal!" sera Sangka Ruti
ketika sosok berpakaian ungu telah menjejak tanah.
Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe-
muda berwajah tampan. Rambutnya yang panjang dan
berwarna putih keperakan semakin menambah keang-
keran sikapnya. Pemuda ini terlihat tak tersinggung
mendapat teguran kasar dari Sangka Ruti. Sikapnya
tetap tenang, memperlihatkan kematangan diri.
"Namaku Aiya Buana. Panggil saja Arya," beri tahu
pemuda berambut putih keperakan.
Baik Sangka Ruti maupun Sendari tak tampak ka-
get mendengar nama Arya Buana. Bahkan andaikata
pemuda ini memperkenalkan julukannya, kedua pen-
dengarnya itu tak akan kaget. Baik Sangka Ruti mau-
pun Sendari belum pernah mendengar julukan itu.
Yang satu karena terlalu lama mengeram diri. Sedang-
kan yang lain karena belum lama menampakkan diri
ke dunia persilatan!
"Terimalah kematianmu, Anjing Kurap!"
Sangka Ruti yang tengah dilanda kemarahan tak
tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan.
Lima batang pisaunya di lemparkan pada Dewa Arak!
Padahal, tiga batang pisau saja telah cukup untuk
membuat Sendari hampir kehilangan nyawa.
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Pemuda
ini telah tahu keluarbiasaan pisau-pisau milik Sangka
Ruti. Arya telah lama memperhatikan pertempuran
Sendari dengan pisau-pisau sebelum menemukan cara
yang tepat untuk menolongnya.
Memang, sejak Sangka Ruti melesat menuju pon-
dok untuk kemudian menghancurkan daun pintu, De-
wa Arak telah menaruh curiga. Arya mengenal Sangka
Ruti sebagai pemuda yang mencoba keampuhan ilmu
'Mata Dewa' Darmakala. Arya khawatir Sangka Ruti
bermaksud kurang baik terhadap si nenek. Begitu
daun pintu dihancurkan Sangka Ruti, Dewa Arak ber-
gegas turun dari pohon dan melesat ke arah pondok
Sendari.
Maka, ketika melihat Sangka Ruti mulai memper-
gunakan senjatanya yang luar biasa, Dewa Arak den-
gan cara yang tak kalah luar biasa mengambil batang-
batang pisang kemudian diletakkannya di atas atap
pondok.
Dewa Arak hanya melambaikan tangan seperti ten-
gah memanggil seseorang. Sesaat kemudian, sebatang
gedebong pisang berukuran satu tombak telah berada
di genggaman tangannya. Dengan batang pisang ini
Dewa Arak menghadapi serbuan lima batang pisau.
Menurut perkiraan Dewa Arak, hanya dalam bebe-
rapa gebrakan saja pisau-pisau Sangka Ruti akan da-
pat dilumpuhkan. Tapi, pemuda ini ternyata salah ter-
ka. Pisau-pisau seperti benar-benar mempunyai piki-
ran. Setiap kali Dewa Arak memapaki serangan agar
pisau-pisau itu amblas ke batang pisang, usahanya se-
lalu gagal. Benturan yang terjadi membuat pisau-pisau
terpental ke belakang hingga tak menancap pada ba-
tang pisang.
Belasan jurus tindakan itu dilakukan. Dewa Arak
menjadi penasaran. Pemuda ini merasa dipermainkan.
Lawan yang dihadapinya padahal hanya senjata yang
berupa benda mati. Tapi, dia tidak mampu mengata-
sinya.
Amarah yang timbul membuat Dewa Arak men-
gambil tindakan lain. Ketika untuk kesekian kalinya
lima batang pisau meluncur ke arahnya, Dewa Arak
mendorongkan tapak tangan kanannya yang terbuka.
Deru angin keluar dan meluncur dengan kuat bukan
main, laju lima batang pisau itu langsung tertahan. Pi-
sau-pisau berhenti di tengah Jalan!
Saat ini yang memang ditunggu-tunggu Dewa Arak.
Tangan kirinya yang memegang gedebong pisang di-
ayunkan menghantam pisau-pisau yang tengah terta-
han di udara.
Zeb, zeb, zeb....
Lima batang pisau itu langsung amblas ke dalam
gedebong pisang. Arya kemudian membanting batang
pisang karena sudah tak diperlukan lagi.
Sangka Ruti menatap Dewa Arak dengan sepasang
mata seperti mengeluarkan api. Lelaki ini tak melaku-
kan tindakan apa pun. Dia hanya mengarahkan pan-
dangan berganti-ganti pada Dewa Arak dan pisau-
pisaunya yang masih tersisa di bagian dalam rompi.
Dewa Arak dan Sendari menunggu tindakan Sang-
ka Ruti selanjutnya. Lelaki berpakaian coklat itu tam-
paknya merasa bimbang untuk melancarkan serangan.
Cukup lama Sangka Ruti tenggelam dalam alun ke-
bimbangan. Tapi, akhirnya sebuah keputusan diam-
bilnya. Tanpa banyak bicara tubuhnya dibalikkan, lalu
secepat kilat kakinya diayunkan meninggalkan tempat
itu. Sungguh pun demikian, Sangka Ruti masih sem-
pat meninggalkan ancaman lewat sorot matanya pada
Dewa Arak dan Sendari.
Dewa Arak dan Sendari tak mencegah kepergian
Sangka Ruti. Sendari tak berani bertindak gegabah ka-
rena menyadari kelebihan Sangka Ruti dibanding di-
rinya. Sedangkan Dewa Arak, dia tak mempunyai uru-
san dengan lelaki itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya. Kau telah
menyelamatkan nyawaku hingga esok masih bisa me-
lihat munculnya sang surya dan merasakan kehanga-
tan sinarnya," ujar Sendari seraya menatap Dewa Arak
dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Nek. Keberadaanku di sini hanya ka-
rena ketidaksengajaan. Aku berjalan mengikuti ke ma-
na ayunan kakiku menuju. Dan aku yakin ini merupa-
kan kehendak Allah. Maka, lebih baik kalau kita ber- •<
syukur pada Nya," kilah Arya. .
"Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kalau
saja tak terjepit waktu dan kesempatan, aku suka se-
kali berbincang-bincang denganmu. Tapi sayang, ba-
nyak orang yang telah menantikan kehadiranku. Aku
tak bisa berlama-lama di sini. Atau, kau ingin ikut ber-
samaku?"
Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini dapat me-
rasakan adanya keraguan dalam ajakan Sendari. Aja-
kan itu tak keluar dari hati yang tulus, melainkan ka-
rena basa-basi. Arya menghibur diri dengan berangga-
pan kalau si nenek tengah mempunyai masalah priba-
di.
"Kebetulan aku tengah ingin menyendiri, Nek.
Mungkin aku akan tinggal di tempat ini beberapa wak-
tu, lamanya. Tempat ini kelihatannya jarang disinggahi
orang."
"Kalau itu memang sudah keputusanmu, apa boleh
buat?" kilah Sendari. "Kalau kau mau, kau bisa tinggal
di pondokku. Selamat tinggal, Arya."
"Selamat jalan, Nek," balas Arya.
kkk
"Kau yakin bukit itu yang dimaksud dalam petamu
yang hilang, Sendari?"
Pertanyaan itu dilontarkan Resi Druna. Kakek ini
bersama istrinya, Darmakala, Wudani dan Kemani,
berdiri di atas gundukan batu yang menjulang tinggi di
kaki gunung. Pandang mata mereka ditujukan ke arah
sebuah bukit beberapa puluh tombak di depan mere-
ka.
Panjang dan lebar bukit itu belasan tombak. Ba-
gian bawahnya besar. Semakin ke atas semakin kecil,
mirip segi tiga sama sisi. Tinggi bukit kira-kira lima
puluh tombak. Pada ketinggian sekitar dua puluh lima
tombak dari tanah terlihat sebuah lubang yang gelap
dan pekat. Tampaknya lubang itu adalah gua yang cu-
kup besar.
"Aku tak yakin, Kak Druna," Sendari merubah
panggilan pada suaminya. "Tapi, kurasa tak ada sa-
lahnya kalau kita mencoba. Toh, hal itu tak akan me-
rugikan. Hhh...! Kalau ku tahu akan ada orang yang
merampas gulungan peta itu, tentu akan kuperhatikan
baik-baik semua tanda-tanda yang ada. Bahkan kalau
mungkin akan ku hafalkan. Sayang...,"
"Kau kan sempat melihatnya lagi sebelum menye-
lipkannya di pinggang, Bi?" cetus Kemani setengah
mengingatkan.
Tidak hanya Kemani yang mengetahui hal itu, tapi
semua anggota rombongan. Sendari telah mencerita-
kan sebelumnya. Dan sekarang mereka semua me-
nunggu jawaban Sendari.
"Memang. Tapi hanya sekilas. Tanda-tanda yang
ada mirip dengan keadaan di tempat ini. Aku separuh
yakin kalau tempat inilah yang dimaksud dalam peta."
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Bibi? Kita satroni sa-
ja tempat itu. Kalau yang lain tak setuju, biar mereka
menunggu di sini. Aku bersedia menemanimu naik ke
atas sana!" cetus Kemani berapi-api.
"Kau jangan salah mengerti, Kemani," bantah Resi
Druna. "Bukannya kami tak membuktikan kebenaran
keterangan Sendari. Tapi, aku khawatir dengan sikap
coba-coba itu. Bukan tak mungkin gua yang akan kita
masuki merupakan tempat tinggal tokoh persilatan
yang mengasingkan diri. Kedatangan kita beramai-
ramai akan mengganggunya," jelas Resi Druna.
"Mengapa kau jadi seperti anak kecil, Kek. Berikan
dia alasan apa saja. Kalau dia tak menerima, aku tak
akan terlalu bodoh untuk menempurnya!" tandas Ke-
mani penuh semangat
Resi Druna, Sendari, Darmakala, dan Wudani ter-
senyum simpul melihat semangat Kemani. Mereka tak
merasa tersinggung mendengar perkataan gadis itu.
Kemani hanya terlalu menuruti perasaan, bukan se-
dang mengejek kehati-hatian mereka.
Resi Druna mengerling ke arah Sendari, Darmaka-
la, dan Wudani. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kita
mencoba usul, Kemani. Sebuah usul yang cukup baik,"
ujarnya kemudian.
Persetujuan Resi Druna semakin menambah se-
mangat Kemani. Gadis yang memiliki keberanian besar
ini segera melesat mendahului yang lainnya. Kakinya
yang mungil dan berbentuk bagus beberapa kali meno-
tol bebatuan untuk segera sampai di depan gua. Pada
bagian depan gua terdapat bagian batu yang menjorok,
panjangnya sekitar setengah tombak. Di bagian inilah
Kemani mendaratkan ke dua kakinya.
"Monyet dari mana berani mati mengganggu kete-
nangan ku?!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, serentetan an-
gin berpusar menyerbu Kemani. Gadis ini buru-buru
menjulurkan kedua tangannya. Dilancarkannya do-
rongan angin pukulan untuk menangkal serangan
yang datang.
"Uhkh...!"
Perlawanan Kemani kandas di tengah jalan. Angin
pukulannya lenyap begitu saja. Serangan yang datang
secara berputar seperti menelan angin pukulan Kema-
ni. Dan, serangan itu terus meluncur ke arah si gadis
dengan kedahsyatan yang tidak berkurang. Kemani
tampak terperanjat bukan main.
Kemani tak ingin nyawanya melayang begitu saja.
Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan
lawan. Tapi, serasa terbang semangat gadis ini ketika
mengetahui sekujur otot dan urat-uratnya terasa le-
mas. Nyawanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dia
tak bisa melompat atau mengelak.
Namun Kemani memiliki otak yang cukup cerdik.
Dia berpikir cepat untuk menyelamatkan nyawanya.
Kemani mengikuti keadaan tubuhnya yang sudah tak
berdaya. Karena untuk melompat merupakan hal yang
tak mungkin, gadis ini menjatuhkan diri mengikuti le-
masnya tubuhnya.
Usaha Kemani ternyata tak berhasil mulus. Jatuh
tubuhnya terlalu lambat. Angin yang bergerak berpu-
tar tetap menghantamnya, meski hanya mengenai ba-
hu kiri. Ternyata akibatnya tetap dahsyat. Tubuh Ke-
mani terpental ke belakang dalam keadaan berputar.
Dari mulut gadis ini menyembur darah segar. Dan ka-
rena tempat di belakang Kemani tak ada yang dapat di-
jadikan tempat berpijak, tubuhnya melayang ke bawah
dalam keadaan berputar.
"Kemani...!"
Sendari memekik keras melihat keadaan Kemani.
Nenek ini memang belum bergerak dari tempatnya.
Hanya Resi Druna yang sudah melesat menyusul Ke-
mani. Kakek itu pun tak mampu berbuat sesuatu un-
tuk menolong Kemani. Semua kejadian itu berlang-
sung demikian cepat.
"Tak seorang pun boleh hidup setelah berani men-
ginjak tempat kediamanku!"
Seruan keras itu berasal dari dalam gua. Disusul
dengan meluncurnya benda-benda kekuningan yang
meluncur mengikuti tubuh Kemani.
Pada saat itulah Resi Druna menjejakkan kaki di
depan gua. Tepat pada saat benda-benda kekuningan
telah jauh melewati mulut gua. Resi Druna menjadi
bimbang sejenak.
"Haruskah kutolong Kemani lebih dulu?" pikir ka-
kek berjubah kuning ini.
Sebelum Resi Druna sempat melaksanakan mak-
sudnya, dari dalam gua bertiup angin keras yang me-
luncur secara berputar ke arahnya. Resi Druna kem-
bali menjadi bimbang. Kakek ini khawatir kalau me-
nyelamatkan Kemani lebih dulu dirinya tak akan
mempunyai kesempatan menghadapi serangan lawan.
Kebimbangan Resi Druna sirna ketika melihat Sen-
dari telah bertindak cepat Nenek itu meloloskan sabuk
dan melemparkannya ke arah Kemani. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi Resi Druna segera memapaki
serangan dari dalam gua. Dilontarkannya pukulan ja-
rak jauh dengan seluruh pengerahan tenaga dalamnya.
Resi Druna yang telah kenyang pengalaman sece-
pat dapat mengetahui keanehan serangan lawan. Ma-
ka, dia pun melancarkan pukulan jarak jauh yang
mengandung pusaran angin.
Blarrrr!
Bunyi keras terdengar ketika dua pukulan jarak
jauh berbenturan di tengah jalan. Tubuh Resi Druna
terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Kakek
ini terkejut bukan main merasakan sekujur ototnya
seperti lumpuh. Dadanya juga terasa sesak. Sadarlah
ia kalau pemilik serangan dari dalam gua memiliki te-
naga dalam amat kuat!
Pada saat yang bersamaan dengan terlemparnya
tubuh Resi Druna, sabuk Sendari melilit sekujur tu-
buh Kemani dan membawanya ke arah pemiliknya.
Benda-benda kekuningan itu pun meluncur lewat tan-
pa mendapatkan sasaran.
Tubuh Kemani yang terbelit sabuk jatuh di tangan
Sendari yang sudah bersiap menyambutnya. Sekeja-
pan kemudian, menyusul Resi Druna yang menjejak-
kan kedua kaki di tanah.
Kakek berjubah kuning itu berhasil mendarat den-
gan mantap. Tapi, parasnya masih menampakkan ke-
terkejutan besar. Cepat pandangannya dialihkan ke
arah Sendari yang telah menurunkan tubuh Kemani
dan membebaskannya dari belitan sabuk.
"Orang yang berada di dalam gua memiliki kepan-
daian amat tinggi. Tenaga dalamnya kuat bukan
main," beritahu Resi Druna.
"Mudah-mudahan saja hanya tenaga dalamnya
yang dahsyat, tapi kepandaiannya tak terlalu tinggi,"
timpal Sendari setengah berharap.
Baru saja Sendari selesai berbicara, dari dalam gua
melesat sesosok bayangan kuning. Gerakannya cepat
bukan main sehingga bentuk tubuhnya tak terlihat je-
las. Yang tampak hanya sekelebatan bayangan kuning.
Sekejapan saja, sosok bayangan kuning telah bera-
da di depan rombongan Resi Druna. Sosok itu berdiri
dalam jarak beberapa tombak. Kini rombongan Resi
Druna bisa memperhatikan sosok kuning itu secara je-
las.
6
Sosok kuning itu ternyata seorang kakek berusia
delapan puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus dengan
kumis panjang menjuntai ke bawah mirip kumis tikus.
Pakaian kuning membungkus sekujur tubuhnya.
Kakek berpakaian kuning berdiri dengan memper-
gunakan dua batang tongkat yang dikempitkan di ke-
tiak. Kedua tongkat kakek itu lebih panjang dari ka-
kinya, sehingga kedua telapak kakinya menggantung
tak menyentuh tanah. Ditatapnya wajah rombongan
Resi Durna satu per satu. Resi Druna, Sendari, Dar-
makala serta Wudani segera tahu kalau kedua kaki si
kakek lumpuh! Kedua batang tongkat di pergunakan
untuk menopang berdirinya.
"Maafkan kalau kami membuat ketenanganmu ter-
ganggu, Sobat. Tapi, percayalah. Kami tak bermaksud
jahat. Kedatangan kami ke sini tak bermaksud meng-
ganggumu. Sekali lagi kami mohon maaf."
Kakek berpakaian kuning menatap Resi Durna. Ti-
dak ada keramahan sedikit pun pada paras mau pun
sorot matanya.
"Tidak ada maaf bagi orang yang berani menggang-
gu ketenangan ku!" tandas kakek berpakaian kuning.
"Sombong!" bentak Sendari yang mempunyai watak
tak sabaran. Nenek ini merasa tersinggung melihat si-
kap kakek lumpuh. "Kau kira kami takut padamu? In-
gin ku tahu sampai di mana kepandaianmu sehingga
berani bersikap sesombong ini!"
Resi Durna segera menggamit lengan Sendari yang
sudah melangkah maju. Tindakan Sendari dianggap-
nya terlalu menuruti amarah. Tapi, Sendari menyen-
takkan tangan suaminya hingga lepas dari cekalan.
Tanpa mempedulikan Resi Durna lagi dia melom-
pat, menerjang lawan. Nenek ini meski telah tua dan
kelihatan lemah ternyata memiliki kegesitan luar bi-
asa. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan
mempergunakan kedua kaki.
Kakek berpakaian kuning mendengus. Tampaknya
dia meremehkan serangan Sendari. Dengan kedua
tongkat terkepit di ketiak di elakkannya tendangan la-
wan yang bertubi-tubi. Bagai memiliki kaki yang wajar
kakek ini berlompatan ke sana kemari.
Sampai beberapa jurus Sendari mengirimkan se-
rangan dengan kedua kakinya. Tapi, semua serangan
itu tak satu pun mengenai sasaran. Sendari semakin
kalap. Di jurus ke tujuh belas nenek ini mengirimkan
gedoran kedua tangan ke arah dada. Kali ini kakek
lumpuh tak berusaha mengelak. Dia malah melakukan
hal yang sama dengan lawan.
Blarrr!
Sendari mengeluarkan jeritan tertahan. Kedua tan-
gannya berbenturan dengan kedua tangan lawan. Tu-
buhnya melayang deras ke belakang bagai daun kering
diterbangkan angin. Sekujur tangan Sendari terasa
lumpuh. Kakek berpakaian kuning hanya bergoyang-
goyang tubuhnya. Padahal, kakek ini berdiri dengan
kedua tongkat
Resi Druna tak bisa menahan sabar lagi. Betapa-
pun antara dirinya dengan istrinya masih terdapat
ganjalan, penghinaan terhadap Sendari sama artinya
dengan menghina dirinya.
"Tidak patut seorang lelaki menghadapi perem-
puan. Hadapi aku! Kita buktikan siapa yang lebih pa-
tut untuk disebut lelaki!"
Diawali pekikan melengking Resi Druna menyo-
dokkan tongkatnya ke arah dada si kakek. Tongkat Re-
si Druna besar dan berat. Jangankan dada manusia
yang terdiri dari tulang dan daging, batu karang yang
paling keras pun akan hancur terkena sodokannya.
Kakek berpakaian kuning tidak bergeming dari
tempatnya. Baru ketika serangan menyambar dekat
kakek ini bertindak cepat. Tongkat itu dijepitnya den-
gan kedua telapak tangan yang disatukan.
Tappp!
Ujung tongkat Resi Druna berhenti beberapa jari
dari sasaran. Resi Druna tak mau mengalah. Dikerah-
kan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan, lalu
disalurkan pada tongkat
Tapi maksud Resi Druna tak terkabul. Tongkatnya
tak bergeming sedikit pun dari jepitan kedua tangan
kakek berpakaian kuning. Betapapun Resi Druna be-
rusaha keras sampai wajahnya merah padam, tongkat
tak bergerak maju sedikit pun.
Resi Druna segera sadar usahanya akan berakhir
sia-sia. Buru-buru digantinya cara lain. Sekarang dia
tak lagi berusaha mendorong, melainkan menariknya.
Namun seperti juga sebelumnya, usahanya kali ini pun
tak membuahkan hasil.
"Akan kau dapati suatu kenyataan kalau kau ter-
nyata bukan seorang lelaki!" dengus kakek berpakaian
kuning.
Bukan hanya Resi Druna saja yang terkejut men-
dengar ucapan kakek itu. Darmakala, Wudani, dan
Sendari pun dilanda perasaan sama. Sendari telah
berhasil menjejak tanah, meski agak terhuyung-
huyung, sebelum Resi Druna terlibat pertarungan den-
gan kakek berpakaian kuning.
Tokoh-tokoh itu terkejut karena tahu betapa ber-
bahayanya berbicara di saat tengah mengadu tenaga
dalam. Hal itu akan mengakibatkan aliran tenaga da-
lam menghantam si pembicara tak hanya dari aliran
tenaga dalam lawan, tapi juga dari tenaga dalamnya
sendiri yang membalik. Tapi, kenyataannya kakek ber-
pakaian kuning mampu melakukan tanpa mengalami
akibat apa pun.
Belum lagi hilang keterkejutan yang melanda, Resi
Druna menerima keterkejutan. Tenaga dalamnya men-
galir dengan deras ke arah lawan. Resi Druna tentu sa-
ja tak menginginkan hal itu terjadi. Nyawanya akan
melayang karena kehabisan tenaga
Ketika semua itu berlangsung Sendari melihat sua-
tu keanehan.
"Tidak salahkah penglihatanku?!" pikir Sendari,
"Bukankah itu ilmu 'Ulat Sutera'. Ilmu yang hanya di-
miliki oleh Ulat Emas Pemetik Bunga."
Sementara itu, di tempat lain di bagian lereng gu-
nung seorang pemuda berpakaian coklat berlari-lari
hendak mendaki ke puncak. Wajahnya kelihatan din-
gin seperti tak menampakkan perasaan apa pun. Di-
alah Sangka Ruti.
Sesampainya di puncak Sangka Ruti mendapati
sebuah pondok sederhana, berdinding bilik dan bera-
tapkan rumbia. Pondok itu mempunyai lantai pang-
gung yang disangga kayu bulat dan besar setinggi se-
tengah tombak di keempat sudutnya. Lantai pondok
dari papan dan mempunyai pendapa yang luas. Tak
terlihat ada seseorang di sana.
Kendati demikian, Sangka Ruti tahu pasti di dalam
pondok itu ada penghuninya. Dari celah-celah jendela
dan pintu dilihatnya asap mengepul. Bau khas ramuan
obat-obatan menyebar. Pondok itu memang merupa-
kan tempat tinggal seorang kakek yang terkenal seba-
gai ahli pengobatan.
Sangka Ruti melompat ke atas dan mendarat di
lantai papan tanpa bunyi sedikit pun. Dengan berjing-
kat-jingkat ringan didekatinya daun pintu. Pendenga-
rannya dipasang setajam mungkin agar dapat men-
dengar bunyi sekecil apa pun.
"Kurasa sudah cukup, Kisanak. Minumkan saja
ramuan itu. Aku yakin dia akan segera sembuh."
Ucapan itu membuat Sangka Ruti tahu kalau pe-
milik pondok tengah menerima tamu. Hal itu tak men-
gejutkannya. Orang yang akan dijumpainya memang
banyak didatangi orang untuk dimintai pertolongan.
Tapi kelanjutan ucapan yang sangat mengejutkan lela-
ki berpakaian coklat ini.
"Maaf, kalau aku seperti kurang sopan. Tampaknya
masih ada orang yang ingin menjumpai ku. Dan orang
itu tak ingin kedatangannya kuketahui...."
Sangka Ruti seperti menerima hantaman keras pa-
da dadanya. Ucapan itu merupakan pertanda kedatan-
gannya telah di ketahui. Padahal, hampir seluruh ilmu
meringankan tubuhnya telah dikerahkan.
"Wahai orang yang berada di luar, tak usah ragu-
ragu. Silakan masuk...!" seru suara dari dalam pondok,
lantang dan bernada tenang.
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu, daun
pintu pondok bergerak membuka. Tapi, tak ada seo-
rang pun berada di balik pintu. Daun pintu itu berge-
rak sendiri! Dan ketika seluruh daun pintu telah ter-
kuak, terlihatlah oleh Sangka Ruti apa yang berada di
dalam ruangan.
Ruangan di dalam pondok ternyata cukup luas.
Apalagi karena hampir tidak ada perabotan yang berar-
ti di sana. Hanya sebuah balai-balai bambu dan se-
buah kursi sederhana. Di atas balai duduk bersila seo-
rang kakek bertubuh tinggi besar. Sekujur tubuhnya
dipenuhi urat-urat yang melingkar. Wajahnya persegi
dan ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Tak hanya ku-
mis, tapi juga cambang dan jenggot. Pakaian abu-abu
yang serba kebesaran membungkus tubuh si kakek.
Sangka Ruti berdiri angkuh di ambang pintu. Ma-
tanya yang memiliki sorot dingin memandang kakek
pemilik pondok.
"Ada yang bisa kubantu, Anak Muda? Apakah ada
di antara anggota keluargamu yang sakit? Kulihat kau
tak sedang menderita suatu penyakit. Kalau dugaanku
benar, tak usah ragu-ragu untuk mengatakannya,"
ujar kakek berpakaian abu-abu dengan suara lembut
Tanggapan Sangka Ruti adalah dengusan mengejek
"Tak usah berpura-pura, Tua Bangka! Orang lain
boleh kau bohongi. Tapi, jangan harap kau dapat me-
lakukan hal itu pada Sangka Ruti!"
Wajah kakek tinggi besar langsung berubah hebat.
Tapi, hanya sekilas. Yang tampak kemudian adalah bi-
as kebingungan di wajahnya.
"A... apa maksudmu, Ruti?!" tanya si kakek tanpa
menyembunyikan perasaan heran yang melanda.
"Maksudku sudah jelas, Tua Bangka!" sahut Sang-
ka Ruti dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Kau
sebenarnya bukan tukang obat! Kau adalah tokoh per-
silatan yang memiliki kepandaian lumayan. Kau bera-
lih menjadi tukang obat karena sikap pengecut mu.
Seekor anjing kudisan masih lebih baik dari pada kau!"
Kakek tinggi besar menampakkan kemarahan he-
bat pada sepasang matanya. Ucapan Sangka Ruti san-
gat menyinggung harga dirinya. Tapi, rupanya dia se-
gera dapat menguasai diri.
"Akhirnya apa yang kuramalkan terjadi juga," ucap
kakek itu dengan sikap dan suara tenang. "Memang,
betapapun rapinya menyembunyikan barang busuk
akhirnya baunya akan menyebar juga."
"Dengan kata lain, kau mengakui kalau selama ini
telah bersikap pengecut untuk menyelamatkan nya-
wamu, Tua Bangka Licik!"
"Tak ku sangkal kebenaran ucapanmu itu, Anak
Muda. Tapi perlu kau ketahui, setiap orang mempu-
nyai rasa takut. Apabila rasa takut itu muncul, akal
sehat akan kehilangan kegunaannya dan tindakan
yang tak wajar pun dilakukan. Harus kuakui kalau
aku pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama."
"Aku tak butuh pembelaan dirimu, Tua Bangka!"
sembur Sangka Ruti, kasar. "Yang kuinginkan adalah
pengakuanmu! Aku ingin tahu apakah kau masih ber-
sikap pengecut?"
"Tak usah membakar-bakar harga diriku dengan
ucapan seperti itu, Anak Muda. Katakan saja apa yang
kau inginkan!"
"Bagus kalau demikian!" dengus Sangka Ruti. "Se-
karang katakan siapa kau sebenarnya?!"
Kakek tinggi besar tidak segera menjawab. Dia ma-
lah tersenyum. Kemudian, tanpa menggerakkan tubuh
atau kaki kakek ini mampu membuat tubuhnya me-
layang naik ke atas dalam keadaan masih duduk bersi-
la!
Sangka Ruti hanya mencibirkan bibir melihat per-
buatan kakek itu. Baginya hal seperti itu bukan meru-
pakan sesuatu yang luar biasa. Dia sendiri mampu
melakukannya.
Kerutan di atas Sangka Ruti mulai tercipta ketika
melihat kelanjutan tindakan si kakek. Balai-balai
bambu tempatnya duduk tadi bergeser ke arah Sangka
Ruti. Pemuda berpakaian coklat itu hampir tak per-
caya. Balai-balai bambu bagai memiliki roda. Terlihat
jelas kaki-kaki balai bergesekan dengan lantai, tapi tak
terdengar bunyi apa pun.
Sangka Ruti bersikap waspada. Pemuda ini bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.
Bukan tak mungkin balai-balai bambu itu diperguna-
kan menyerangnya. Namun, kekhawatirannya ternyata
tak beralasan. Balai-balai bambu berhenti bergeser be-
berapa jengkal darinya.
Pada saat yang bersamaan kakek tinggi besar me-
nurunkan kedua kakinya. Sekarang kakek itu berdiri
di lantai seraya menatap Sangka Ruti dengan penuh
selidik.
"Sebenarnya..., jika menuruti aturan sudah sepan-
tasnya kau kuberikan hukuman, Anak Muda. Kau da-
tang tanpa kuundang. Menghinaku dan bahkan berani
menanyakan siapa diriku sebenarnya. Apa hakmu atas
semua itu?!" ujar kakek tinggi besar berapi-api.
"Aku memang tak berhak! Tapi orang yang menjadi
guruku amat berhak. Dan, guruku telah menyerahkan
haknya kepadaku!"
"Siapa gurumu?"
"Aku akan menyebutkannya, Tua Bangka! Tapi, se-
belum itu biar ku terka dulu siapa adanya dirimu. Bu-
kankah kau orang yang dulu bernama Jagasena?!"
Wajah kakek tinggi besar beriak hebat. Terkaan
Sangka Ruti rupanya mengenai sasaran dengan tepat.
"Apakah kau terlalu pengecut sehingga tak berani
mengakui namamu sendiri, Jagasena?!" ejek Sangka
Ruti.
"Siapa yang hendak menyangkal, Anak Muda? Mu-
lutmu terlalu lancang! Aku memang Jagasena! Seka-
rang, apa kehendakmu?!"
"Kurasa, aku tak perlu menjelaskannya padamu,
Jagasena," sahut Sangka Ruti, ringan. "Kau kenal ben-
da ini?"
Jagasena mengalihkan pandangan ke arah benda
yang diangsurkan Sangka Ruti. Sebuah benda dari lo-
gam kekuningan yang berbentuk seperti ulat bulu!
Benda itu di ambil Sangka Ruti dari balik bajunya.
Sepasang mata Jagasena membelalak lebar seperti
hendak melompat keluar dari rongganya. Kakek ini
kenal betul dengan benda di tangan Sangka Ruti.
"Bagaimana, Jagasena? Kurasa sudah cukup ba-
gimu untuk mengenali benda ini, bukan?! ucap Sang-
ka Ruti seraya memasukkan kembali logam kuning itu
ke balik bajunya. "Dan, kurasa kau sudah tahu siapa
guruku?"
Jagasena hanya tersenyum pahit. Senyum kakek
itu mempunyai arti yang sama dengan anggukan kepa-
la.
"Sekarang, kurasa kau tahu maksud kedatanganku
menjumpai mu. Aku membutuhkan waktu berbulan-
bulan untuk mengetahui di mana kau bersembunyi.
Kini sudah tiba waktunya bagimu untuk menerima sa-
kit hati guruku!"
"Mengapa harus kau yang diutusnya?! Kau masih,
muda dan berilmu mentah. Kurasa lebih baik kalau
gurumu sendiri yang menemuiku dan mengurus per-
soalan lama itu.. Akan terlihat lebih adil dan seimbang.
Tua sama tua!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu guruku.
Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melepaskan
nyawamu!" sesumbar Sangka Ruti.
Sangka Ruti tak menunggu lebih lama. Dia melom-
pat ke arah Jagasena laksana harimau menerkam ca-
lon korbannya. Kedua tangannya terkembang mem-
bentuk cakar dan meluncur ke arah dada dan leher
Jagasena.
Jagasena hanya tersenyum, sikapnya terlihat seba-
gaimana orang dewasa menghadapi anak kecil. Kaki
kanannya lalu dijejakkan sekali ke tanah. Tiba-tiba ba-
lai-balai bambu terangkat ke atas secara cepat
Sangka Ruti meraung keras, geram melihat balai-
balai bambu menghalangi serangannya. Naiknya balai-
balai memaksa Sangka Ruti bersalto beberapa kali di
udara. Kalau hal itu tak dilakukannya, balai-balai
bambu itu yang akan diterjangnya.
"Gerakan yang lumayan...," puji Jagasena melihat
kelincahan gerak Sangka Ruti.
***
7
Pujian Jagasena memang tidak berlebihan. Sangka
Ruti luar biasa lihai. Meski telah terhambat balai-balai
bambu, serangannya tak menjadi pupus. Sambil me-
lompat melewati balai-balai dilancarkannya serangan
lanjutan.
Jagasena terlihat segan bertarung sungguh-
sungguh. Tangannya dikibaskan seperti orang mengu-
sir lalat. Sesaat kemudian, balai-balai bambu me-
layang ke arahnya. Jagasena mengulurkan tangan me-
nangkap salah satu kaki balai-balai. Bersamaan den-
gan itu serangan Sangka Ruti meluncur tiba. Jagasena
mengayunkan tangannya. Balai-balai bambu pun ber-
gerak menyampok Sangka Ruti.
Jagasena tersenyum dikulum. Sekali lihat saja dia
tahu kalau untuk mengelak bagi Sangka Ruti sangat
mustahil! Memang dapat dilakukan, tapi kemungkinan
besar akan terkena hantaman balai-balai.
Ternyata Sangka Ruti pun memperhitungkan hal
demikian. Kesempatan baginya untuk mengelak sangat
terbatas. Kendati demikian, Sangka Ruti benar-benar
memiliki ketenangan yang mengagumkan! Dan karena
ketenangannya itulah dia dapat berpikir.
Sangka Ruti membatalkan serangan dan menggan-
tinya dengan tangkisan ke arah balai-balai. Jagasena
sempat terkejut melihat tindakan Sangka Ruti. Lawan-
nya itu pasti bisa memperkirakan tenaga yang terkan-
dung dalam serangannya. Lagi pula, tangkisan yang
dilakukan tak terlalu tepat karena kedudukan Sangka
Ruti sudah terlalu maju. Tangkisan yang dilakukan
akan membuat bahu pemuda itu terhantam ujung ba-
lai!
"Pemuda ini hanya melakukan perintah gurunya.
Usianya pun masih sangat muda. Rasanya agak keter-
laluan kalau nyawanya harus melayang," pikir Jagase-
na menimbang-nimbang. Pikiran ini membuat Jagase-
na mengurangi tenaga yang tersalurkan dalam ayunan
balai-balai.
Trakkk!
"Ah...!"
Jagasena tak kuasa untuk menahan seruannya.
Terjadi hal yang di luar perkiraan. Bahu Sangka Ruti
memang berbenturan dengan salah satu sisi balai-
balai, tapi tidak terjadi hal yang dicemaskannya.
Sangka Ruti telah memperhitungkan semuanya.
Meski menangkis, dia tak mempergunakan kekerasan.
Tak dihadapinya kekerasan dengan kekerasan pula.
Sangka Ruti menggunakan tenaga benturan itu untuk
melompat tinggi ke atas.
Karena kecerdikannya ini, Sangka Ruti tak mende-
rita kerugian sama sekali. Malah ketika tubuhnya me-
layang ke atas, pemuda ini masih sempat menyelipkan
tangannya ke balik baju. Dan sewaktu Sangka Ruti
mengibaskan tangannya terlihat sinar terang menyam-
bar.
Jagasena tak menjadi gugup kendati kaget juga
melihat serangan mendadak itu. Balai-balai bambunya
digetarkan. Terdengar deru angin keras yang membuat
luncuran sinar-sinar berkilat yang ternyata pisau-
pisau itu tertahan, tidak bisa maju.
Kakek tinggi besar ini sudah menduga pisau-pisau
akan runtuh ke tanah karena kehabisan daya luncur-
nya. Tapi, hampir Jagasena terpekik tak kuasa mena-
han keterkejutan. Pisau-pisau itu tak runtuh ke lantai
seperti yang diduganya, melainkan meliuk untuk
membebaskan diri dari angin ciptaan Jagasena.
Jagasena hampir tak percaya dengan penglihatan-
nya. Tiga batang pisau itu tetap meluncur ke arahnya.
Kakek ini segera melakukan tindakan seperti sebelum-
nya. Dia ingin menghambat laju luncuran pisau-pisau
itu lagi. Tapi, hatinya tercekat ketika kali ini pisau-
pisau tak terpengaruh. Tiga batang pisau itu segera
meliuk sebelum angin ciptaan Jagasena menghantam-
nya.
Untuk pertama kali selama hidupnya Jagasena ha-
rus bertarung menghadapi benda-benda mati. Malah,
jalannya pertarungan terlihat sengit seakan kakek itu
menghadapi benda hidup yang punya pikiran dan pe-
rasaan.
Jagasena penasaran bukan main ketika telah bela-
san jurus bertarung belum mampu memukul roboh pi-
sah-pisau. Pisau-pisau itu bahkan lebih cerdik dari
benda hidup. Beberapa kali Jagasena gagal memukul
roboh pisau-pisau karena benda mati itu selalu dapat
mengelak. Bahkan, tangkisan-tangkisan Jagasena
mempergunakan balai-balai bambu dengan harapan
pisau-pisau menancap di balai-balai, tak terkabulkan.
Sampai...
Cap, cap, cappp...!
"Akh...!"
Jagasena memekik tertahan. Di jurus ketujuh pu-
luh tiga, karena sudah kelelahan, kakek ini bergerak
kurang cepat. Tiga batang pisau menghunjam tubuh-
nya. Seketika Jagasena terhuyung dan akhirnya am-
bruk di tanah.
Kakek itu berusaha untuk bangkit, tapi ternyata
dia tak mampu. Bukan hanya karena keberadaan dua
batang pisau pada pahanya. Sekujur urat-urat dan
otot-otot tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan. Ja-
gasena tahu apa artinya semua ini. Pisau-pisau Sang-
ka Ruti mengandung racun mematikan yang berdaya
kerja cepat. Dalam waktu sebentar saja hasilnya telah
terlihat
Sangka Ruti tertawa bergelak. Pemuda itu menatap
Jagasena dengan sorot mata penuh kemenangan.
"Ingin ku tahu sampai berapa lama kau bisa berta-
han, Jagasena! Asal kau tahu saja, racun yang terkan-
dung dalam pisau-pisau itu sangat mematikan!" den-
gus Sangka Ruti, dingin "Dan sambil menunggu ajal-
mu, aku ingin menyelesaikan urusan lain. Urusan
yang diembankan Guru kepadaku. Kurasa kau tahu,
bukan? Guruku kehilangan kejantanannya akibat per-
lakuanmu yang keji dan curang. Selamat menemui
malaikat maut, Tua Bangka! Aku ingin mengambil Ba-
tu Kalimaya!"
Jagasena tak mampu berbuat apa pun untuk men-
cegah tindakan Sangka Ruti. Kakek ini hanya bisa
menggertakkan gigi melihat Sangka Ruti melesat ma-
suk ke dalam ruangan khusus yang dijadikan tempat
semadinya.
Sesaat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu te-
lah keluar. Di tangannya tergenggam sebongkah benda
yang memancarkan cahaya berwarna-warni. Jagasena
mengeluh dalam hati. Sangka Ruti berhasil menda-
patkan Batu Kalimaya.
"Ha ha ha...!" Untuk pertama kalinya Sangka Ruti
tertawa. Namun, wajah dan sepasang matanya tak
menunjukkan perubahan. Tetap terlihat dingin.
"Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari selama
ini. Batu Kalimaya! Selamat tinggal, Jagasena. Selamat
menghadapi malaikat maut. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa bergelak yang tak putus-putus
Sangka Ruti melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda
ini tak merasa khawatir Jagasena bisa lolos dari maut!
Dia yakin benar Jagasena akan tewas oleh racun pi-
saunya yang mematikan!
Pada saat yang bersamaan dengan perginya Sang-
ka Run, di tempat lain Ulat Emas Pemetik Bunga ten-
gah terlibat pertarungan dengan Resi Druna. Kakek itu
mulai menyerang Ulat Emas yang terkenal sebagai to-
koh sesat puluhan tahun lalu. Tapi, usaha Resi Druna
kandas. Bahkan sekarang kakek ini terancam maut
karena tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Ulat
Emas.
Sekujur tubuh Wudani tampak menegang hebat
menyaksikan pertempuran itu. Terlebih ketika melihat
sinar kekuningan yang membias di sekitar telapak tan-
gan Ulat Emas Pemetik Bunga. Wajah wanita ini tam-
pak berubah-rubah.
"Kiranya kau... Jahanam itu...!" desis Wudani pe-
nuh dendam.
Hanya sampai di situ saja ucapan Wudani, tapi
Darmakala segera bisa menduga siapa orang yang di-
maksud istrinya. Darmakala merasakan dadanya se-
sak oleh amarah yang bergolak. Wudani telah menceri-
takan padanya mengenai sinar kuning itu. Sekitar dua
puluh lima tahun lalu istrinya diperkosa oleh seorang
tokoh sesat Wudani tak mengenal tokoh itu. Dia hanya
mengetahui sinar kuning sebagai ciri-ciri pemerko-
sanya. Untuk mencari si pemerkosa Darmakala men-
gajak istrinya berkelana dengan berpura-pura menjadi
tukang sulap.
"Manusia iblis! Kau harus menebus mahal perbua-
tanmu yang bejat itu!" raung Darmakala penuh den-
dam.
Lelaki kecil kurus ini menyampokkan tangan ka-
nannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis Ulat
Emas Pemetik Bunga. Kemarahan yang melanda mem-
buat Darmakala tak ingat kalau tindakannya itu tidak
mencerminkan kegagahan. Lelaki ini menyerang lawan
yang tengah bersitegang menghadapi lawan lainnya.
Ulat Emas Pemetik Bunga ternyata tak gugup
menghadapi ancaman maut itu. Sambi menggertakkan
gigi dikerahkannya tenaga pada kedua tangan hingga
tubuh Resi Druna terjengkang ke belakang! Resi Druna
yang memang lelah bukan main karena sebagian besar
tenaga dalamnya telah tersedot lawan, tak mampu
berbuat apa pun. Tubuh kakek ini terbanting ke tanah
dengan keras.
Ulat Emas sendiri begitu berhasil melemparkan Re-
si Druna, segera memapaki serangan Darmakala den-
gan tindakan yang sama. Kakek itu menyampokkan
tangannya untuk menangkis.
Krakkk!
"Akh...!"
Darmakala menjerit kaget. Jari-jarinya patah. Ka-
rena berbenturan dengan tangan lawan. Kekuatan te-
naga dalam yang terkandung dalam sampokan Ulat
Emas yang menyebabkan hal demikian. Hanya berkat
kelihayannya, Darmakala mampu mendarat di tanah
dengan kedua kaki. Padahal, dia terlempar dalam kea-
daan tubuh berputar-putar.
Darmakala tak menjadi gentar melihat hasil seran-
gannya. Seraya mengeluarkan raungan keras bak ha-
rimau terluka, dia kembali melancarkan serangan
mematikan. Pada saat yang bersamaan Wudani juga
menyerang Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk!
Darmakala mengeluarkan keluhan tertahan. Gedo-
ran kedua tangan terbuka ke arah dada lawan disam-
but dengan gerakan yang sama. Bukan tindakan lawan
yang membuatnya mengeluh, melainkan akibatnya.
Kedua tangannya melekat dengan tangan lawan.
Serangan Wudani pun meluncur datang, dan men-
darat di punggung Ulat Emas. Gedoran yang mengan-
dung pengerahan seluruh tenaga dalam itu mendarat
setelah Wudani bersalto di atas kepala Ulat Emas Pe-
metik Bunga.
Plakkk!
"Eh...?!"
Wudani berseru kaget ketika kedua telapak tan-
gannya mendarat di sasaran yang dituju. Tapi, kedua
telapak tangannya bagai bukan berbenturan dengan
punggung manusia, melainkan setumpukan besar ka-
pas! Seluruh tenaga serangan wanita itu mendadak le-
nyap. Bahkan kedua tangannya tak bisa dilepaskan
dari punggung. Ada tarikan yang amat kuat membuat
tangan Wudani melekat. Hati wanita ini tercekat ketika
merasakan tenaga dalamnya tersedot ke arah Ulat
Emas Pemetik Bunga.
Kejadian yang menimpa Wudani juga dialami Dar-
makala. Lelaki ini berusaha sekuat tenaga menahan
aliran tenaganya, tapi usahanya sia-sia. Dalam sekeja-
pan wajah Darmakala dan Wudani dibanjiri keringat
dingin. Keduanya secara cepat menjadi lelah. Pasangan
suami istri itu segera sadar, apabila hal ini terus ber-
langsung mereka akan mati lemas.
Kecemasan Darmakala dan Wudani memang bera-
lasan. Tapi lawan mereka ternyata tak menginginkan
hal itu terjadi. Ketika keadaan Darmakala dan Wudani
semakin mengkhawatirkan, secara tak terduga-duga
Ulat Emas Pemetik Bunga merubah aliran tenaganya.
Tidak lagi menyedot, melainkan memberikan!
Darmakala dan Wudani meraung bagai binatang
disembelih. Dari mulut, hidung, dan telinga keduanya
mengalir darah segar ketika tubuh mereka terlempar
ke belakang. Pasangan suami istri ini melayang-layang
sebelum terbanting di tanah. Darmakala dan Wudani
menggeliat-geliat sebentar. Akhirnya, keduanya diam
tak bergerak lagi untuk selamanya. Mereka tewas den-
gan bagian dalam dada remuk.
Sendari segera tahu diri. Nenek ini sangat yakin
Ulat Emas Pemetik Bunga terlalu lihai untuk dihadapi.
Resi Druna yang lebih pandai dari dirinya saja dapat
dipecundangi tokoh sesat itu. Sekarang suaminya ten-
gah duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalam-
nya yang hilang.
Di sebelah Resi Druna, Kemani juga tengah duduk
bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Un-
tungnya luka gadis ini tak terlalu parah.
Tanpa sadar Sendari melangkah mundur. Semen-
tara Ulat Emas Pemetik Bunga justru melangkah maju.
Dua batang tongkatnya bergerak maju tanpa menim-
bulkan bunyi sedikit pun! Padahal, jelas-jelas bagian
bawah tongkat bergesekan dengan tanah. Ulat Emas
Pemetik Bunga sekarang memiliki tenaga dalam luar
biasa dahsyat. Mendadak tokoh sesat itu menghenti-
kan langkahnya. Pendengarannya yang sangat tajam
mendengar suara langkah menuju ke tempatnya bera-
da.
Ulat Emas Pemetik Bunga tak perlu menunggu la-
ma untuk mengetahui pemilik langkah itu. Di kejau-
han dilihatnya sosok tubuh coklat bergerak cepat ke
arahnya. Ulat Emas Pemetik Bunga yang semula ber-
siap untuk menghadapi segala kemungkinan, kini
mengendurkan kembali urat-urat syarafnya.
"Membuatku kaget saja monyet kecil itu. Kukira
siapa," pikir Ulat Emas Pemetik Bunga.
Sosok coklat itu dalam waktu sekejapan kemudian
telah berada di depan Ulat Emas Pemetik Bunga. Dan,
sosok yang bukan lain Sangka Ruti ini segera memberi
hormat
"Mengapa kau keluar dari tempatmu, Ulat?" sapa
Sangka Ruti seenaknya kendati Ulat Emas Pemetik
Bunga adalah gurunya. Pemuda ini mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Diperhatikannya sosok-sosok
yang berada di situ. "Kiranya kau telah bekerja cukup
keras..."
"Monyet-monyet buduk itu membuatku keluar dari
tempat tinggalku yang nyaman, Ruti!" dengus Ulat
Emas Pemetik Bunga. "Bagaimana? Kau berhasil me-
laksanakan tugasmu?"
Sangka Ruti menarik napas berat. Penyesalan tam-
pak jelas di wajahnya.
"Aku telah berusaha keras, Ulat. Tapi Jagasena
ternyata lebih cerdik...."
"Apa maksudmu, Ruti?! Kau gagal?!" kejar Ulat
Emas penasaran.
"Tidak sepenuhnya demikian, Ulat" sahut Sangka
Ruti. "Jagasena berhasil kutemukan. Dia menyamar
menjadi seorang ahli obat. Tempatnya tak jauh dari si-
ni, malah masih satu gunung, Jagasena tinggal di le-
reng sebelah timur. Aku berhasil menemukannya dan
bahkan membunuhnya, Ulat. Sayang..."
"Mengapa, Ruti? Apakah Batu Kalimaya tak ada
padanya?!"
"Hampir tepat dugaanmu, Ulat."
"Terangkan yang jelas, Ruti. Jangan sepotong-
sepotong seperti itu. Jangan sampai aku nanti lupa ka-
lau kau adalah muridku!" tegas Ulat Emas Pemetik
Bunga.
"Kakek pengecut itu rupanya telah berjaga-jaga le-
bih dulu. Batu Kalimaya telah dihancurkan sehingga
hanya berupa bubuk yang tak berguna," beritahu
Sangka Ruti.
"Jangan katakan kalau bubuk Kalimaya tak kau
bawa, Ruti. Kesalahan itu telah cukup untuk membua-
tku mengirim nyawamu ke lubang kubur!"
"Jangan khawatir, Ulat. Bubuk Kalimaya kubawa.
Nih, terima!" Sangka Ruti melemparkan buntalan kain
kecil yang terselip di pinggangnya. Ulat Emas Pemetik
Bunga menangkapnya dengan penuh semangat. Terge-
sa-gesa dibukanya ikatan buntalan kecil itu. Terdapat
bubuk halus di dalamnya.
Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Sang-
ka Ruti. Kelihatan jelas sikap penuh selidiknya.
"Benarkah ini bubuk Kalimaya, Ruti?!"
"Aku yakin sekali akan hal itu, Ulat. Jagasena
memberikan bubuk itu setelah aku mengancam akan
membantai orang-orang yang tengah berada di pon-
doknya," dusta Sangka Ruti yang juga memiliki keingi-
nan untuk mendapatkan Batu Kalimaya. "Kalau kau
tak percaya, biar aku yang membuktikan kebenaran-
nya. Kulihat di tempat ini ada betina liar yang dapat
dijadikan percobaan. Berikan padaku bubuk itu, Ulat.
Lagi pula, untuk apa orang setua kau menginginkan
kejantanan kembali? Biar aku yang masih muda dan
memiliki hidup lebih panjang."
Ulat Emas Pemetik Bunga kelihatan bimbang. Si-
kap muridnya terlihat demikian meyakinkan. Tapi, ke-
waspadaannya mendorong Ulat Emas Pemetik Bunga
untuk bersikap hati-hati. Bukan tak mungkin sikap
Sangka Ruti hanya merupakan sandiwara.
"Kurasa kau benar, Ruti," ujar Ulat Emas Pemetik
Bunga dengan suara berat "Aku memang telah terlalu
tua. Dan, mungkin bubuk Kalimaya ini tak akan berar-
ti banyak untukku. Biarlah kau saja yang menda-
patkannya. "
"Tua bangka gila ini rupanya tak pernah mening-
galkan kewaspadaan. Untung aku sudah menduga hal
seperti ini dan meminum penangkalnya. Mudah-
mudahan saja ini hanya gertakan. Kalau tidak, bisa
berbahaya nanti. Tua bangka ini tak akan segan-segan
membunuhku," pikir Sangka Ruti yang memiliki otak
cerdik.
Dengan sikap gembira yang dibuat-buat Sangka
Ruti kemudian menerima angsuran bubuk Kalimaya
dari gurunya. Di dekatkannya bubuk itu ke mulutnya
dan siap di minum. Sangka Ruti kecewa bukan main
ketika melihat tidak adanya cegahan dari Ulat Emas
Pemetik Bunga. Kenyataan ini membuat Sangka Ruti
kebingungan.
"Celaka...! Mengapa jadi begini? Bubuk ini sebe-
narnya racun yang amat mematikan. Kalimaya yang
asli ada padaku!" keluh Sangka Ruti dalam hati.
Di saat Sangka Ruti tengah dilanda kebingungan
dan bubuk Kalimaya telah dituangkan ke mulutnya,
Ulat Emas Pemetik Bunga membentak keras.
"Hiyaaa...!"
Bubuk Kalimaya yang tengah meluncur ke dalam
mulut Sangka Ruti tiba-tiba meliuk ke arah Ulat Emas
Pemetik Bunga, lalu meluruk deras ke arah mulut si
kakek yang membuka!
Bersamaan dengan tertelannya bubuk itu Sangka
Ruti tersenyum di dalam hati. Pemuda ini tahu nyawa
gurunya tak akan selamat. Bubuk itu adalah racun
yang amat mematikan dan berdaya kerja cepat.
Hanya sesaat setelah tertelannya racun, Ulat Emas
Pemetik Bunga merasakan tanda-tanda yang menggeli-
sahkan. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang-kunang. Sekujur urat-urat syaraf dan otot-
nya melemah secara cepat
"Keparat...!" desis Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bo-
cah keparat itu telah meracuni ku. Kurang ajar!"
Sangka Ruti yang mendengar desisan itu tertawa
ganda. Tawa gembira penuh nada kemenangan.
"Selamat jalan ke lubang kubur, Ulat. Kau boleh
memimpikan Kalimaya di neraka. Aku yakin di akhirat
kejantanan mu akan pulih kembali. Kau bisa bermain
cinta dengan setan-setan perempuan di sana!"
Tanpa mempedulikan Ulat Emas Pemetik Bunga
yang tengah meregang nyawa, Sangka Ruti mengalih-
kan perhatian pada Kemani
"Kita bertemu lagi, Wanita Liar. Dulu kau berun-
tung karena aku masih sakit akibat ilmu yang kupela-
jari! Sekarang aku telah mendapatkan pemunahnya.
Bersiaplah untuk menerima curahan cinta dariku!"
Kemani yang baru saja sadar dari semadinya terke-
jut melihat Sangka Ruti. Pemuda itu dikenalinya seba-
gai orang yang telah membunuh ayahnya dan mem-
perkosa dirinya. Untungnya Sangka Ruti hanya besar
gairah saja, kejantanannya nol! Betapapun pemuda itu
berusaha keras tetap saja keinginannya untuk me-
renggut kehormatan Kemani kandas. Dengan kesal
dan malu Sangka Ruti meninggalkan calon korbannya.
"Kiranya kau...!" desis Kemani penuh dendam. Ta-
pi, seruan Kemani hanya sampai di situ saja. Belum
selesai gadis itu bicara tubuhnya tertarik deras ke arah
Sangka Ruti, begitu pemuda itu melambaikan tangan
ke arahnya. Kemani berusaha keras untuk mematah-
kan pengaruh yang melanda. Tapi dia gagal. Secara de-
ras tubuhnya melayang.
Sendari tak membiarkan muridnya yang tak diakui
sebagai murid itu celaka di tangan Sangka Ruti. Dia
melompat menerjang si pemuda. Di dalam hatinya ne-
nek ini menyayangkan mengapa tak membawa batang
pisang. Pohon itu mempunyai keistimewaan untuk
memunahkan pisau-pisau Sangka Ruti yang mengi-
riskan!
Kecemasan Sendari beralasan. Sangka Ruti telah
diamuk nafsu birahinya. Tak dipedulikannya serangan
si nenek. Tangan kirinya dikibaskan setelah dimasuk-
kan ke balik baju. Seketika itu pula sinar terang berki-
lau dan meluncur ke arah Sendari. Nenek itu pun
membatalkan serangannya. Bila hal itu tetap dite-
ruskan nyawanya akan melayang di ujung pisau-pisau.
Tindakan yang diambil Sendari membuat Sangka Ruti
leluasa bertindak. Begitu tubuh Kemani berhasil dipe-
luknya, hanya dengan sekali sentak Sangka Ruti
membuat Kemani tak berpakaian lagi.
Kemani menjerit-jerit kebingungan. Dengan kedua
tangannya di usahakan untuk menutupi sepasang bu-
kit kembar dan bagian bawah tubuhnya. Usaha sea-
danya ini hanya bisa menutupi sekadarnya. Sangka
Ruti semakin beringas. Sepasang matanya bagai hen-
dak melompat keluar. Dengan buas Sangka Ruti me-
nubruk Kemani dan menggumulinya di tanah. Mulut
dan tangannya bergerilya, mencium dan meremas apa
yang bisa dicium dan diremas.
Kemani meronta-ronta. Dia menjerit-jerit dan me-
mohon agar Sangka Ruti tak melakukan kekejian yang
dicemaskannya itu. Tapi, pemuda ini tak mempeduli-
kannya sama sekali. Malah Sangka Ruti semakin buas
bertindak.
"Sangka Ruti! Hentikan...!"
Terdengar suara keras menggelegar ketika Kemani
sudah lelah dan pasrah. Gadis itu tak melakukan per-
lawanan lagi, kecuali hanya menangis.
Sangka Ruti terjingkat kaget bagai disengat kala-
jengking. Pemuda ini kaget bukan main. Bahkan, tu-
buh Kemani sampai dicampakkannya. Tubuh itu ter-
guling-guling di tanah, dan ketika terhenti buru-buru
Kemani mengambil pakaiannya yang koyak-koyak.
Dengan bahan seadanya itu dia berusaha menutupi
tubuh telanjangnya.
Sangka Ruti dan Kemani tak merasa kaget ketika
melihat pemilik bentakan. Sosok itu adalah Arya Bua-
na atau Dewa Arak. Yang membuat Sangka Ruti kaget
adalah keberadaan Jagasena di sebelah Dewa Arak.
Dia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ja-
gasena ternyata tidak mati! Bahkan kakek itu masih
mampu berdiri, kendati dengan bantuan dua batang
bambu pada ketiaknya!
Sangka Ruti lupa kalau Jagasena seorang ahli pen-
gobatan. Meski racun Sangka Ruti amat mematikan,
kakek itu mampu memunahkannya! Dan kebetulan
pulalah Dewa Arak datang tepat pada waktunya. Arya-
lah yang meminumkan obat pemunah racun, karena
Jagasena sudah tak mampu bergerak. Kakek itu hanya
menunjukkan obat yang harus diambil Arya.
Meski lama tak memunculkan diri, ternyata Jaga-
sena tetap mengamati perkembangan di dunia persila-
tan. Dia segera tahu tengah berhadapan dengan Dewa
Arak ketika pemuda itu muncul. Maka, tanpa ragu-
ragu kakek itu minta tolong. Setelah racun terusir dari
tubuhnya.
"Kalimaya alias Bidun Kluwung itu merupakan sela
aji (batu mulia) yang luar biasa. Sayang, telah diambil
orang untuk memulihkan kejantanannya." beritahu
Jagasena setelah Dewa Arak menolong dirinya dan
menceritakan mengapa ia bisa sampai berada di tem-
pat ini.
Sangka Ruti segera memutar otaknya ketika meli-
hat Arya membawa batang pisang. Dengan batang ta-
naman itu pisau-pisaunya dapat dilumpuhkan. Sang-
ka Ruti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera
dikirimkannya serangannya dengan enam batang pi-
sau pada Dewa Arak dan Jagasena. Masing-masing
mendapat serangan separuh dari pisau-pisau itu.
Arya bergegas memberikan salah satu gedebong pi-
sangnya pada Jagasena. Dan seperti kejadian yang su-
dah-sudah, tanpa menemui kesulitan sedikit pun pi-
sau-pisau itu dilumpuhkan. Sangka Ruti yang me-
mang sudah menduga hal ini merasa gembira bukan
main. Senjata-senjata penangkal itu hanya dapat di-
gunakan satu kali. Kini lawan tak memiliki penangkal
lagi.
"Sekarang, bersiaplah kalian untuk menerima ke-
matian,..!" dengus pemuda berpakaian coklat itu.
"Kurasa lebih baik kau tinggalkan tempat ini sege-
ra, Kek," beritahu Arya pada Jagasena dengan ilmu
mengirimkan suara dari jauh. "Jumlah banyak tak ada
artinya. Yang penting bagi kita adalah penangkal sen-
jata mengerikan itu!"
"Apa yang kau katakan memang benar, Dewa
Arak," sahut Jagasena. "Tanpa adanya penangkal,
lambat laun nyawa kita akan melayang karenanya.
Aku akan pergi mencari penangkal itu!"
Jagasena melesat meninggalkan tempat itu. Dalam
kecemasan Sangka Ruti akan mengirimkan serangan
dengan pisau mautnya, Jagasena langsung mengerah-
kan seluruh ilmu lari cepatnya. Sangka Ruti hanya bi-
sa memaki dalam hati. Dia tak menduga Jagasena
akan kabur. Cepatnya tindakan kakek itu membuat
Sangka Ruti tak mampu berbuat apa pun untuk men-
cegahnya.
Kemarahan yang melanda membuat Sangka Ruti
segera melemparkan tiga batang pisau pada Dewa
Arak. Arya yang telah mengetahui kedahsyatan pisau-
pisau itu segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'
yang menjadi andalannya. Dengan gerak terhuyung-
huyung seperti akan jatuh dan terkadang seperti hen-
dak memapaki serbuan pisau-pisau, Arya menghadapi
serangan itu.
Melihat Dewa Arak kerepotan menghadapi pisau-
pisaunya, Sangka Ruti kembali mengalihkan perhatian
pada Kemani. Gadis yang kini telah berpakaian lagi ini
tampak memucat kembali wajahnya. Dengan sikap
ngeri yang terlihat jelas dia bergerak mundur
"Awww...!" jerit Kemani ketika pakaiannya kembali
direnggut Sangka Ruti.
Sangka Ruti kemudian dengan napas memburu
melepas pakaiannya. Bagai harimau menerkam mang-
sa, pemuda ini menubruk dan menggeluti tubuh Ke-
mani. Kemani sendiri hanya bisa menjerit dan meron-
ta-ronta.
"Sangka Ruti...! Hentikan...!" Bentakan keras
menggelegar penuh dengan hawa kemarahan itu bagai
halilintar di telinga Sangka Ruti dan Kemani. Mereka
mengenal pemilik suara itu.
Sangka Ruti segera menggulingkan tubuhnya lalu
bergegas mengenakan pakaian. Kemani sendiri lang-
sung menyambar pakaiannya. Hampir berbarengan
kedua orang ini mengalihkan pandangan ke arah asal
suara. Dan, seperti yang sudah mereka duga, di tem-
pat itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Sapta Renggi!
"Sapta Renggi...!" desis Sangka Ruti.
"Sumantri...," desah Kemani penuh harap. Suman-
tri yang bernama asli Sapta Renggi adalah saudara se-
perguruan Sangka Ruti. Keduanya sama-sama menjadi
murid Ulat Emas Pemetik Bunga. Keinginan untuk
mempunyai ilmu yang tak terkalahkan membuat me-
reka rela kehilangan kejantanan. Tentu saja dengan
perhitungan, mereka akan sembuh kembali apabila
menemukan Batu Kalimaya yang mampu menyem-
buhkan penyakit itu.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Renggi...!"
desis Sangka Ruti penuh ancaman.
"Dialah yang telah membunuh ayahku dan dulu
berusaha memperkosaku, Sumantri," beritahu Kemani,
sebelum Sapta Renggi memberikan jawaban.
"Kiranya kalian telah saling mengenal!" ejek Sangka
Ruti, "Dan kau pasti telah terpincuk padanya, Renggi.
Kalau begitu, kau harus mampus!"
"Biadab! Kaulah yang akan kubunuh, Ruti!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sangka Ruti
dan Sapta Renggi menggerakkan tangan mereka.
Sangka Ruti melemparkan sebatang pisau yang memi-
liki kemampuan jauh di atas pisau-pisau lainnya.
Sapta Renggi pun menghunus pedang dan melom-
pat ke arah Sangka Ruti. Ini merupakan keuntungan
bagi Sangka Ruti! Jarak yang cukup jauh membuat dia
yang memiliki senjata lempar berada di atas angin.
Cappp!
"Aaakh...!"
Sapta Renggi menjerit memilukan ketika pisau
Sangka Ruti menembus lehernya. Nyawa lelaki ini me-
layang saat itu juga. Kendati demikian, luncuran tu-
buhnya ke arah Sangka Ruti tak terhenti. Bahkan ke-
cepatannya tak berkurang.
Sangka Ruti berusaha untuk mengelak. Tapi, seku-
jur urat-uratnya tak bisa digerakkan sama sekali sinar
menyilaukan mata yang memancar dari batang pedang
Sapta Renggi membuatnya lumpuh!
Blesss!
"Aaakh...!"
Sangka Ruti mengeluarkan raungan setinggi langit.
Pedang Sapta Renggi menembus perutnya hingga ke
punggung. Darah muncrat-muncrat bersamaan den-
gan tubuhnya dan Sangka Ruti ke tanah. Pemuda itu
menggelepar sebentar dan tewas dengan tubuh Sapta
Renggi di atasnya.
"Sumantri...!"
Kemani menghambur ke tempat tubuh Sangka Ruti
dan Sapta Renggi berada. Gadis ini merasa terharu se-
kali dengan pengorbanan yang diberikan Sapta Renggi.
Sementara itu, seiring dengan tewasnya Sangka
Ruti, pisau-pisau yang tengah berkelebatan mencecar
Dewa Arak roboh ke tanah seakan kehilangan nyawa.
Jatuh begitu saja karena pemiliknya telah tewas.
Dewa Arak, Sendari segera berjalan menghampiri
tubuh dua saudara seperguruan itu. Bahkan, Resi
Druna yang telah bangkit dari semadinya ikut meng-
hampiri. Kakek ini teringat pada tugas semula, menca-
ri Batu Kalimaya sebagai obat untuk menyembuhkan
penyakit Baginda Prabu Mandaraka.
Kakek itu segera memeriksa sekujur pakaian
Sangka Ruti. Tak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan apa yang dicarinya. Batu Kalimaya diang-
katnya tinggi-tinggi seperti ingin menunjukkan pada
yang lain. Di sebelahnya Sendari sibuk menghibur
Kemani yang terus menangis. Sementara itu, di kejau-
han Jagasena tampak tengah membawa banyak sekali
gedebong pisang. Dia tidak tahu kalau pertempuran te-
lah berakhir.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
PERAWAN BURONAN
Emoticon