1
Crakkk, crakkk, crakkk!
Tanah bergumpal-gumpal berhamburan ke udara
ketika tangan sosok tinggi kurus mencungkili sebuah
Sosok yang ternyata seorang laki-laki setengah baya
berhidung ke bawah mirip burung betet ini bekerja cepat
bukan main. Tangannya yang memegang ranting sebesar ibu
jari kaki seakan lenyap buntuknya. Yang terlihat hanya
sekelebatan bayangan tak jelas! Tapi dalam waktu yang tak
lama saja telah terlihat sebuah lubang menganga. Sebentar
kemudian, tampak sebuah peti mati terbujur di dasar lubang,
walaupun belum nampak seluruhnya. Gundukan tanah yang
digali sosok berhidung melengkung ini ternyata sebuah
kuburan!
Laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan itu
kemudian menghentikan pekerjaannya. Ranting yang
tergenggam dilemparkan begitu saja. Lalu dengan perasaan
tidak sabar, dia melompat ke dalam lubang. Dan kedua
tangannya tampak gemetar ketika mencengkeram sisi-sisi
bagian atas peti mati berukir indah berwarna hitam.
Brakkk!
Tutup peti mati indah itu langsung copot,
menimbulkan suara cukup gaduh yang memecah keheningan
malam, begitu kedua tangan yang panjang dan kurus itu
menyentakkannya. Begitu matanya tertumbuk pada isi peti,
tampak sesosok tubuh yang telah rusak, terbaring di dalam
peti. Bau yang tidak sedap pun menyebar ke segala arah,
terbawa angin malam yang hanya diterangi bulan sepotong.
"Keparat!"
Laki-laki setengah baya berhidung melengkung itu
memaki-maki penuh geram sambil meludah ke sana kemari,
begitu bau busuk yang menyengap menyergap lubang
hidungnya. Beberapa percikan cairan ludah yang
menjijikkan, ada yang mengenai mayat di dalam peti.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, sosok berkulit hitam
kecoklatan itu melompat ke atas. Tidak dipedulikannya peti
maupun mayat dalam lubang kuburan. Namun baru saja
kakinya menjejak tanah....
"Maling Hina! Sungguh berani kau mengusik tempat
suci ini! Apakah nyawamu rangkap?!"
Mendadak terdengar bentakan teras menggelegar,
begitu sepasang kaki sosok berkulit hitam kecoklatan itu
hendak melangkah. Bentakan yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu, membuatnya teijingkat kaget bagai
disengat kelabang.
Belum juga gema suara sentakan itu lenyap,
mendadak sesosok tubuh melesat menuju ke arah sosok
berkulit hitam kecoklatan. Gerakannya cepat sehingga dalam
sekejapan saja, sosok itu telah berita dalam jarak tiga tombak
di depan sosok berkulit hitam kecoklatan.
Dengan wajah penuh kemarahan, laki-laki berkulit
hitam kecoklatan itu memandang ke arah orang yang
membentak tadi. Sikapnya yang semula menjadi gugup,
langsung dibuat setenang mungkin.
"Rupanya maling hina ini adalah seorang asing!" desis
sosok yang baru datang
Ternyata, dia adalah seorang kate k berbadan kekar.
Tubuhnya yang bongkok, terbungkus pakaian longgar coklat.
Sepasang matanya yang tajam langsung merayapi sekujur
tubuh sosok berkulit hitam kecoklatan dengan sorot
memancarkan kemarahan besar.
"Apa yang kau cari di sini, Orang Asing?!" lanjut kakek
bongkok itu, masih mendesis.
"Pusaka leluhurku!" jawab sosok hitam kecoklatan
dengan bahasa terpatah-patah. Singkat sekali jawabannya.
"Cepat berikan padaku. Dan aku berjanji akan segera pergi
dari sini, tanpa harus membunuhmu!"
Wajah kakek bongkok itu kontan berubah hebat
mendengar ucapan laki-laki setengah baya berkulit hitam
kecoklatan ini. Perkataan dan sikap orang itu terlihat jelas
merendahkan dirinya! Dan membuatnya tidak senang.
"Di sini tidak ada pusaka yang kau maksudkan.
Pergilah! Jangan sampai kesabaranku hilang dan terpaksa
membunuhmu, Orang Asing!" tandas kakek bongkok ini tak
mau kalah gertak.
"Bohong!" sergah sosok berkulit hitam kecoklatan itu
dengan suara keras dan logat aneh. Gatal rasanya didengar
telinga. "Aku tidak percaya! Aku yakin pusaka leluhurku
berada di sini. Cepat berikan padaku! Dan, jangan tunggu
sampai seluruh pekuburan kuobrak-abrik!"
"Keparat! Tulikah kau, Orang Asing?!" suara kakek
bongkok kian meninggi karena amarah yang semakin
menggelegak. "Sekali kukatakan tidak berarti tidak! Dan,
cepatlah tinggalkan tempat suci ini! Ingat! Sekali lagi kau
berkata seperti itu, aku tidak akan bisa tinggal diam! Atau...
Kau sengaja menunggu kesabaranku habis?!"
"Kaulah yang membuat kesabaranku habis, Orang
Tua! Rupanya kau memang sudah bosan hidup!" ancam
sosok berkulit hitam kecoklatan itu. Nada suaranya tanpa
adanya nada mengancam. Karena bgatnya yang aneh, tidak
mampu memberi tekanan pada ucapannya. "Kalau begitu
mampuslah!"
Sosok berkulit hitam kecoklatan itu segera
mengirimkan serangan. Kedua tangannya yang terkepal
melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arah dada lawannya.
Begitu cepat gerakannya, hingga bentuk kedua tangan
sampai lenyap. Dan yang terlihat hanya dua bayangan tidak
jelas, meluruk ke arah kakek bongkok disertai bunyi angin
berkesiutan nyaring.
Serangan ini membuat kakek bongkok terperanjat.
Saat itu juga, disadari kalau sosok berkulit hitam kecoklatan
ini memiliki kepandaian tinggi.
Duk, dukk, dukkk!
Bunyi keras berulang-ulang seperti ada benturan
benda teras terdengar ketika kakek bongkok itu memapak
dengan sikap jari-jari terkepal.
Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung
ke belakang. Hanya saja, kakek bongkok lebih jauh dua
langkah.
Kakek bongkok itu menggertakkan gigi, merasa
penasaran melihat keunggulan tenaga dalam lawannya.
Tanpa menunggu lebih lama, senjata andalannya segera
dikeluarkan berupa sebuah kipas. Kipas lebar dan besar yang
gagangnya terbuat dari gading gajah itu kelihatannya tidak
bisa dianggap sembarangan. Ftermukaan kipas itu terbuat
dari kulit harimau loreng besar yang telah direndam dalam
suatu ramuan. Sehingga menjadi kuat, tidak bisa sobek
Wuttt!
Begitu kakek bongkok itu mengibaskan kipasnya,
bertiup angin yang luar biasa keras. Sehingga membuat batu-
batu sebesar terbau yang terletak beberapa tombak dari
tempat itu, terguling-guling jauh. Sekujur pakaian dan
rambut sosok berkulit hitam kecoklatan berkibaran keras.
Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergeming, karena telah
lebih dulu menarahkan tenaga dalam untuk membuat ke
dua kakinya seperti berakar dalam tanah.
Meski demikian, kenyataan ini menyadarkan sosok
berkulit hitam kecoklatan, kalau kakek bongkok tidak bisa
dianggap remeh. Maka buru-buru sebatang suling yang
terbuat dari ular mati dan dikeringkan dikeluarkannya dari
selipan pinggang. Dan dengan senjata itu di tangan,
dihadapinya amukan kakek bongkok ini.
Maka pertarungan dahsyat yang menggariskan pun
berlangsung. Tak heran kalau suasana di sekitar tempat itu
kontan porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil
beterbangan tak tentu arah. Pohon pohon yang agak kecil
tumbang. Sedangkan pohon yang besar, daun-daun dan
ranting-rantingnya berguguran. Kedua senjata tokoh yang
bertarung bagaikan telah berubah. Deru angin yang keluar
dari gerakan kipas, laksana badai. Sedangkan kelebatan
suling sosok berkulit hitam kecoklatan bagaikan kilat yang
melejit-lejit di antara gemuruh angin teras itu,
Tapi, kakek bongkok itu harus mengakui keunggulan
lawannya. Buktinya begitu pertarungan menginjak tiga puluh
jurus, keadaannya mulai terdesak.
Dukkk!
"Hukh!"
Tubuh kakek bongkok itu terjengkang ke belakang
ketika tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di
perut. Tubuhnya kontan terbanting keras di tanah, setelah
melayang sejauh beberapa tombak. Namun, rupanya hatinya
sekeras baja. Dan dia tetap berusaha bangkit. Padahal, darah
segar telah memancur deras dari mulutnya, ketika hendak
bangkit. Bahkan tubuhnya kembali ambruk tanpa dapat
berbuat apa-apa. Setelah mengejang beberapa saat, tubuh
kakek bongkok itu pun terkulai. Nyawanya langsung melawat
ke akherat.
Sementara sosok berkulit hitam kecoklatan itu
menatap lawannya sesaat. Kemudian suling berbentuk ular
kembali diselipkan ke pinggang. Lalu, pekerjaannya yang tadi
tertunda, kembali diteruskan.
kkk
Seorang pemuda tampan berwajah jantan, perlahan-
lahan mengayuh perahu dengan dayungnya ka arah pinggir
seberang sungai. Begitu telah sampai di tepi, dia melompat
turun. Kemudian perahunya ditarik dan diikatkan pada
sebuah tonggak yang dibuatnya sendiri.
"Anak Muda!"
Baru saja pemuda tampan itu mengayunkan kaki
beberapa tindak, terdengar seruan dari belakang. Terpaksa
langkahnya dihentikan, dan langsung berbalik. Dan dia
langsung melihat sebuah perahu yang ditumpangi seorang
kakek, tengah meluncur laksana anak panah. Kelihatannya,
perahu itu seperti membelah permukaan air sungai menuju
ke arahnya.
Pemuda tampan itu langsung bisa mengetahui kalau
kakek berpakaian penuh tambalan dan beijenggot kasar
tidak terawat yang menuju ke arahnya memiliki kepandaian
tinggi. Meluncurnya perahu yang demikian cepat. Padahal,
dikayuhnya tanpa mempergunakan dayung, melainkan
hanya sebelah tangannya. Dan ini telah menunjukkan kalau
tenaga dalam kakek itu amat tinggi
Pemuda tampan yang memiliki rambut panjang itu
hanya berdiri diam di tempatnya, seperti menunggu. Dia
tidak tahu, apakah kate k berpakaiai penuh tambalan ini
bermaksud baik atau malah sebaliknya. Tapi yang jelas
sikapnya tetap waspada.
Begitu mencapai pinggir sungai, kakek berpakaian
penuh tambalan itu langsung melompat ke darat, tanpa
mempedulikan perahunya lagi. Dai seketika tubuhnya
melesat cepat mendekati pemuda berwajah tampan itu.
"Kau memanggilku, Kek?!" tanya pemuda tampan itu.
Sopan suaranya. Begitu pula sikapnya. Jelas tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda kalau merasa terganggu
sama sekali.
"Benar, Anak Muda," jawab kakek berpakaian penuh
tambalan itu seraya menganggukkan kepala. "Aku terpaksa
memanggilmu, karena merasakan adanya firasat yang tidak
baik begitu melihatmu. Maaf, aku memiliki naluri yang tajam,
sehingga dapat mengetahui akan adanya sebuah bahaya,
muski hanya melihatnya dari kejauhan. Aku yakin, kau
tengah terlibat persoalan!"
"Boleh kutahu, persoalan apakah itu, Kek?!" tanya
pemuda tampan ini, dengan raut wajah sungguh-sungguh.
"Aku sendiri belum tahu, Anak Muda. Tapi aku yakin
betul. Untuk jelasnya..., maukah kau menunggu sebentar,
Anak Muda?!"
"Kurasa tidak ada salahnya, Kek," jawab peminta
tampan itu, setelah termenung sejenak
"Terima kasih."
Kakek berpakaian penuh tambalan ini segera
menurunkan buntalan kumal penuh tambalan yang berada
di punggungnya tadi. Dari dalamnya, dikeluarkan beberapa
macam benda. Dan ini membuat pemuda tampan itu
mengernyitkan alis, agak bingung.
Tapi, kakek berpakaian penuh tambalan itu
sepertinya tidak tahu dengan sikap pemuda berambut
panjang ini. Peralatan yang berupa, pedupaan, serbuk putih,
kemenyan, dan sebuah benda semacam alat untuk pengusir
lalat. Benda itu terbuat dari batang rotan sepanjang setengah
depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu ayam yang
diikatkan. Segera benda-benda itu ditata dengan cepat.
Kemudian duduk bersila di depan pedupaan yang telah
mengepulkan asap berbau harum.
Tanpa sadar pemuda tampan itu mundur. Dia tahu,
kakek berpakaian penuh tambalan ini hendak melakukan
sebuah upacara kebatinan.
"Wahai Ftenguasa Kegelapan...! Roh-roh di alam
Gaib...! Arwah-arwah Penasaran...! Hadir di sini...! Aku
mempunyai sebuah permintaan...!"
Terdengar gumaman aneh yang keluar dari mulut
kakek berpakaian penuh tambalan itu. Dan pemuda tampan
ini merasakan adanya sebuah kekuatan aneh yang
kasatmata, di dalam ucapan demi ucapan kakek berpakaian
penuh tambalan itu. Maka, dia tahu kalau dalam ucapan-
ucapan itu terkandung kekuatan gaib yang tidak masuk akal.
Tampak kakek itu duduk bersila dengan kedua mata meram
dan sepasang tangan dirangkapkan di depan dada.
"Ah...!"
Tanpa sadar, pemuda tampan berambut panjang itu
menjerit kaget ketika melihat rotan yang ujungnya terdapat
bulu-bulu. Benda yang semula tergolek di tanah itu perlahan-
lahan mulai bergerak. Mula-mula pelan, tapi kian lama
tampak jelas. Malah beberapa saat kemudian, rotan kecil
pendek itu berdiri di atas bulu-bulunya yang tidak menegang
kaku.
"Bagus...! Bagus...! Kau mau hadir untuk memenuhi
panggilanku...," gumam kakek berpakaian penuh tambalan.
Suaranya terdengar aneh, tidak seperti biasanya. "Aku lihat
anak muda berambut panjang ini mempunyai persoalan.
Benarkah itu, Wahai Arwah Ftenasaran...?!"
Sesaat kemudian, sebuah kejadian yang hampir
membuat pemuda berambut panjang itu teijingkat kaget,
mulai nampak rotan yang telah berdiri di atas bulu-bulunya
yang lemas, mulai bergerak-gerak. Dan ketika akhirnya
berhenti bergerak, tampak adanya sederet tulisan. Tidak
hanya kakek berpakaian penuh tambalan itu saja yang
membacanya. Tapi, juga pemuda berambut panjang ini.
Benar!
"Apakah persoalan itu, Wahai Arwah Penasaran?!
Berikan jawabannya!"
Lagi-lagi kebutan itu bergerak-gerak, seperti menari-
nari. Tapi kini, pemuda tampan ini tahu kalau rotan itu
tengah menulis untuk memberikan jawaban. Maka dengan
penuh rasa tertarik diperhatikannya tulisan itu. Dan ketika
rotan itu berhenti bergerak, kembali tertera tulisan.
Orang-orang persilatan dari berbagai penjuru datang
untuk mencari pusaka-pusaka mengerikan. Ada tokoh-tokoh
dari negeri jauh dari sini, yang menganggap pusaka itu milik
leluhur mereka. Dan tokoh persilatan itu banyak yang akan
mendatangi guru pemuda ini Ki Gering Langit.
"Terima kasih atas bantuanmu, Roh-roh Penasaran.
Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Aku sudah tidak
membutuhkan bantuanmu lagi."
Seketika itu pula rotan yang semula berdiri itu jatuh
kembali ke tanah, dan tergolek. Meski tidak diberitahu,
pemuda berambut panjang itu tahu kalau roh yang dipanggil
kakek berpakaian penuh tambalan telah meninggalkan rotan.
"Itulah masalahnya, Kek?!" tanya pemuda berambut
panjang ini ketika kakek berpakaian penuh tambalan itu
telah merapikan peralatannya kembali dan memasukkannya
ke dalam buntalan.
Kakek itu mengangguk seraya menghapus peluh yang
membasahi wajah dengan punggung tangan. Rupanya
permainan memanggil roh itu membutuhkan tenaga cukup
besar.
"Kalau demikian aku pergi dulu, Kek. Aku khawatir
terjadi apa-apa atas diriku. Dan, terima kasih banyak atas
pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada dirimu, aku
tentu tidak akan tahu peristiwa ini."
"Lupakanlah, Dewa Arak...," sambut kakek
berpakaian penuh tambalan ini tak acuh.
Pernyataan terima kasih pemuda berambut panjang
itu sama sekali tidak membuatnya merasa bangga.
"Ah...! Rupanya kau telah tahu julukanku, Kek?"
tanya pemuda berambut panjang ini tanpa adanya nada
kaget.
Angin yang berhembus dan kebetulan agak keras,
membuat pakaian ungu dan rambut putih krperakannya
berkibaran cukup keras. Ftemuda tampan ini memang Dewa
Arak yang mempunyai nama asli Aiya Buana.
"Sejak tadi pun, aku sudah menduga demikian, Dewa
Arak," timpal kakek berpakaian penuh tambalan ini sambil
senyum dikulum. Rupanya dia merasa senang, karena
berhasil membuat Dewa Arak agak kaget.
Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam.
"Dengan permainan yang kau miliki tadi, Kek. Apa
pun dapat kau ketahui," kata Dewa Arak, memecahkan
kebisuannya.
"He he he...!"
Kakek berpakaian penuh tambalan hanya terkekeh
pelan. Dan dia tidak merasa bangga sama sekali akan
kemampuan anehnya.
Dan di saat kakek berpakaian penuh tambalan itu
tertawa terkekeh-kekeh, Aiya melesat meninggalkan tempat
itu. Dia tidak berkata apa-apa, selain menatap kepergian
pemuda berambut putih keperakan tadi.
•kk-k
"Khreak...! Khreaak...! Celaka...! Celaka...!"
Terdengar seruan-seruan keras berlogat aneh. Tak
lama, melesat keluar sesosok bayangan abu-abu dari dalam
sebuah pondok sederhana. Setibanya di luar, sosok
berpakaian abu-abu ini langsung menengadahkan kepalanya
ke atas, tempat asal seruan tadi. Sinar matanya tampak
menyiratkan rasa cemas.
Sebentar saja, dari atas meluruk turun bayangan
putih kecil yang langsung hinggap di tangan kanan sosok
berpakaian abu-abu, yang ternyata seorang kakek berusia
sekitar enam puluh tahun. Sebaris kumis melintang yang
berada di bawah hidung, semakin menampakkan kegagahan
kakek itu.
"Ada apa, Sakala?! Apa yang teijadi?! Mengapa kau
kemari?!" tanya kate k berpakaian abu-abu tanpa
menyembunyikan rasa cemasnya.
"Khreakaak...! Khaaak...! Celaka! Celaka sekali,
Pendekar Tangan Sepuluh! Celaka...! Khreakk!" tutur sosok
putih kecil yang hinggap di tangan kakek berkumis
melintang.
Sosok kecil itu ternyata seekor burung kakaktua
berbulu putih. Dan kakek berkumis melintang yang beijuluk
Pendekar Tangan Sepuluh ini menyebutkan Sakala.
"Cepat katakan, Sakala! Apa yang telah terjadi?!"
desak Pendekar Tangan Sepuluh, tidak sabar.
"Tuan Burisrawa dibunuh orang! Khraaak..!
Khaaak...!"
"Astaga...!"
Kakek berbaju abu-abu dan berkumis melintang ini
terperanjat. Semula memang sudah diduga akan adanya hal
yang tidak diinginkan, mengingat keberadaan burung
kakaktua di situ. Tapi, tak urung berita itu membuatnya
terkejut juga.
Kemudian, sambil mengeluarkan lengkingan keras,
burung kakaktua itu melenting ke atas. Pendekar Tangan
Sepuluh tidak menghalanginya sama sekali. Juga tidak
memberi tanggapan apa-apa selain terkesima dengan
pandangan kosong ke depan.
"Ada apa, Kak Moksa?!"
Sebuah suara halus, membuat Ftendekar Tangan
Sepuluh sadar dari kesimanya. Kepalanya segpra menoleh kc
belakang, dan di sana telah berdiri seorang wanita berusia
sekitar lima puluh lima tahun. Wajahnya sabar, dan masih
menampakkan tanda kalau waktu mudanya memiliki wajah
cantik.
"Burisrawa dibunuh orang. Kurasa ini ada
hubungannya dengan pusaka-pusaka itu," jawab Pendekar
Tangan Sepuluh yang nama sebenarnya Moksa sambil
menghela napas berat. Suatu pertanda belum bebas
sepenuhnya dari perasaan kagetnya.
"Apa?!" pekik wanita berpakaian hijau muda itu
dengan keterkejutan besar.
Wanita itu tahu betul, siapa Burisrawa. Dia me-
rupakan kakek bertubuh bongkok, tapi berbadan lebar.
Pakaiannya selalu berbentuk longgar dan berwarna coklat.
Dan orang ini adalah sahabat kental Pendekar Tangan
Sepuluh yang menjadi suaminya. Makanya, wanita ini tidak
merasa aneh melihat suaminya tadi termenung. Dia tahu,
Moksa terpukul oleh berita yang didengarnya.
"Oleh karena itu, Istriku," lanjut Ftendekar Tangan
Sepuluh masih dengan suara mendesah. "Aku akan pergi
untuk melihat-lihat tempat kediamannya. Syukur kalau
berhasil menemukan pembunuhnya. Kau tinggal di sini saja.
Jaga baik-baik anak kita"
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Kak Moksa," ujar
wanita berpakaian hijau muda menganggukkan kepala
Belum juga hilang gema ucapan wanita berpakaian
hijau muda itu, tubuh Pendekar Tangan Sepuluh telah
melesat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam
beberapa kali lesatan, yang terlihat lunya titik kecil yang
kemudian lenyap ditelan kejauhan.
Wanita berpakaian hijau muda menghela napas berat.
Dia terus saja berdiri di situ, menatap ke arah suaminya
lenyap. Beberapa lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum
akhirnya berbalik dan mengayunkan kaki masuk kembali ke
dalam pondok.
Tapi baru saja kakinya menindak satu langkah...
"Apa kabar, Tunjung Sari?!"
Terdengar sebuah teguran yang membuat wanita
berpakaian hijau muda itu berhenti. Tubuhnya segera
berbalik, dengan sikap kaget. Bukan karena teguran
mendadak itu, tapi karena mengenal pemilik teguran.
"Kau... kau... Sulang...?!" desah wanita berpakaian
hijau muda yang dipanggil Tunjung Sari setengah kaget dan
tidak percaya.
"Kau... kau... masih hidup?!"
"Seperti yang kau lihat?!" sosok yang dipanggil Sulang
mengembangkan tangan ke kanan kiri. "Aku masih hidup.
Meskipun, memang kau lihat ada perubahan pada bagian-
bagian tubuhku. Tapi, aku tetap Sulang. Bekas kakak
seperguruanmu, kawan sepermainanmu dulu."
"Kau... kau... sekarang mengerikan sekali...!" Tunjung
Sari menatap sosok bernama Sulang yang berada di
hadapannya dengan sinar mata ngpri.
2
Wajah sosok di depan Tunjung Sari memang benar-
benar menggiriskan. Sebagian wajahnya jelas tidak berdaging
lagi. Sehingga tulang-tulang wajahnya kelihatan jelas.
Tubuhnya pun kurus kering bagaikan tidak memiliki daging.
Melihat keadaan tubuhnya, usianya sukar ditaksir. Tapi bisa
diperkirakan kalau lewat dari usia setengah baya.
Di sebelah Sulang, berdiri seorang pemuda
berpakaian serba merah. Rambutnya yang panjang, berikat
kepala merah juga. Wajahnya tampan, namun berkesan
dingin. Bahkan sepertinya menyiratkan sesuatu yang
mengerikan.
"He he he...!" laki-laki berwajah mengerikan bernama
Sulang tertawa terkckch. Kelihatannya dia tidak merasa
tersinggung mendengar ucapan Tunjung Sari. "Tapi kau
masih mengenaliku, toh?! Kukira kau sudah lupa, karena
terlalu lama berada dalam pelukan si Keparat Moksa! Mana si
Keparat itu, Tunjung?! Kedatanganku untuk menebus hina
dan sakit hati yang diberikannya dua puluh lima tahun lalu "
Tunjung Sari tidak merasa terkejut mendengar
ucapan Sulang. Begitu tahu kalau orang yang menegurnya
ternyata Sulang, wanita setengah baya ini telah dapat
menduga akan maksud kedatangannya.
Sekitar dua puluh lima tahun lalu, dalam pertarungan
dengan Moksa untuk memperebutkan diri wanita ini, Sulang
terjatuh 1$ dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Moksa
dan Tunjung Sari mengira kalau Sulang telah tewas. Namun
sama sekali tidak disangka kalau orang yang dianggap telah
tewas ternyata masih hidup. Dan sekarang, justru datang
untuk balas dendam!
"Cari keparat itu, Lingga!" perintah Sulang pada
pemuda di sampingnya yang bernama Lingga.
"Baik Guru," sahut Lingga.
Pemuda berpakaian merah di sebelah kiri Sulang yang
sejak tadi diam dengan wajah dingin langsung melesat te
arah pondok yang didiami Tunjung Sari.
"Hendak te mana kau?!"
Tunjung Sari tentu saja tidak bisa mendiamkannya
begitu saja. Wanita berpakaian hijau muda ini pun seketika
melesat menghadang Lingga sambil mengirimkan pukulan
dengan tangan terbuka ke arah dada.
Wutt, wuttt!
Serangan Tunjung Sari yang disertai tenaga dalam
penuh itu hanya menyambar angin. Karena dengan jejakan
ujung kaki kanannya, Lingga telah melenting ke atas.
Sehingga serangan istri Pendekar Bertangan Sepuluh ini
lewat di bawah kakinya.
Begitu berada di atas kepala Tunjung Sari, Lingga
beijungkir balik beberapa kali di udara. Kemudian, kedua
kakinya mendarat ringan ke belakang wanita berpakaian
hijau muda itu.
"Berhenti, Keparat!"
Tunjung Sari yang mengkhawatirkan nasib anaknya
di dalam rumah, berteriak keras seraya berlari mengejar. Tapi
baru juga beberapa langkah, terdengar bunyi angin
berkesiuran dibarengi suara tawa terkekeh. Sesaat kemudian,
di depan Tunjung Sari telah berdiri Sulang. Mau tidak mau
istri Pendekar Tangan Sepuluh ini menghentikan niatnya.
Dan dia hanya bisa menatap cemas terhadap Lingga yang
telah masuk ke dalam pondoknya.
"Sulang! Manusia Keparat! Iblis Keji?! Apa maumu
sebenarnya?!" jerit Tunjung Sari geram.
"Sederhana saja, Tunjung. Kedatanganku untuk
membalas dendam dan sakit hati dua puluh lima tahun yang
lalu. Aku hanya ingin membunuh kau dan suamimu!" tandas
Sulang. Suaranya terdengar ringan.
"Iblis! Kaulah yang akan mampus di tanganku,
Sulang!"
Dengan penuh kemarahan, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang. Kedua tangannya yang dikepalkan keras,
dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar
Sulang dengan gprakan cepat bukan kepalang. Sehingga
tangan wanita berpakaian hijau muda ini seperti berjumlah
puluhan pasang. Inilah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat',
andalan Moksa yang amat terkenal di dunia persilatan. Tak
heran kalau dia mendapat julukan Ffendekar Tangan
Sepuluh. Dan selama hampir dua puluh lima tahun menjadi
istri Pendekar Tangan Sepuluh ini, Tunjung Sari telah
mempelajari ilmu andalan suaminya. Bahkan Pendekar
Tangan Sepuluh itu telah membimbing istrinya dengan
sungguh-sungguh, sehingga mencapai kemajuan pesat.
Menyadari kalau kepandaiannya telah meningkat
pesat, Tunjung Sari merasa yakin kalau akan mampu
mengalahkan Sulang, bekas kakak seperguruannya sendiri.
Lagi pula, bukankah dulu Sulang pun roboh di tangan
suaminya yang menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan
Malaikat' ini?
"Aha...! Rupanya si Keparat Moksa tidak hanya
menggeluti tubuhmu saja selama dua puluh lima tahun ini,
Tunjung?! Dia masih ingat untuk melatihmu, rupanya?!" ejek
Sulang. Kata-katanya benar-benar tidak senonoh, sehingga
membuat kemarahan Tunjung Sari semakin bergelora.
"Inikah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' itu?!"
Wuttt, wuttt!
Tunjung Sari heran bercampur geram. Semula, semua
serangannya diyakini akan berhasil mendarat di sasaran.
Tapi, ternyata hanya menyambar angin, karena Sulang
berhasil mengelak dengan gerakan aneh. Tunjung Sari
sampai-sampai tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki
berwajah mengerikan itu seperti terhuyung-huyung akan
jatuh, seperti tengah mabuk.
"Kaget, Tunjung?!"
Sulang mengpjek ketika melihat Tunjung Sari
termenung keheranan serangannya dapat dielakkan secara
seperti itu? Benar-benarkah Sulang mengelak? Ataukah
hanya secara kebetulan saja?! Wanita berpakaian hijau muda
ini jadi bertanya dalam hati.
"Itulah ilmu yang baru kuciptakan, Tunjung. Khusus
untuk menghadapi serangan bagaimanapun hebat atau
dahsyatnya! Apalagi, hanya ilmu 'Sepuluh Monyet Jingkrak'
Tidak ada artinya, Tunjung! Jangankan untuk mengenai
tubuhku, ujung bajuku saja tidak akan tersenggol!"
"Sombong! Kau akan hancur karena kesombonganmu
sendiri!"
Setelah berkata demikian, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang kembali. Dan kali ini serangan-
serangannya jauh lebih dahsyat. Tentu saja masih dalam
penggunaan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat'!
Tapi, rupanya Sulang benar-benar tidak hanya
sesumbar. Gerakan mengelaknya benar-benar luar biasa. Ke
mana pun serangan wanita itu meluncur, selalu hanya
mengenai angin. Padahal, kakek berwajah mengerikan ini
bergerak seperti tengah mabuk atau bercanda. Kadang-
kadang terhuyung-huyung, beijongkok, melompat-lompat,
mengitari, malah terkadang seperti menyambuti datangnya
serangan dengan bagian tubuh yang diserang!
"Di dalam rumah ini tidak ada orang, Guru. Hanya
anjing kecil ini yang kudapatkan!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keenan puluh
dua, terdengar sebuah seruan teras yang sudah pasti
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan
memang, teriakan itu mampu menyeruak keriuhan suasana
ribut di dalam kancah pertarungan.
Bukan hanya Sulang saja yang melompat mundur
untuk menjauhi kancah pertarungan. Tunjung Sari pun
demikian. Jadi, sepertinya kedua belah pihak telah
bersepakat untuk menunda pertarungan
"Keparat! Iblis Keji! Lepaskan anakku!" seru Tunjung
Sari keras.
Nada suara wanita itu terdengar khawatir dan marah,
ketika melihat di depan pintu pondoknya berdiri Lingga
dengan raut wajah dingin. Di tangan kanannya teijinjing
seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun, dengan kepala
di bawah. Jadi, ke dua kaki anak kecil itu yang digenggam
tangan Lingga. Anak kecil itu menangis keras karena keta-
kutan!
Tunjung Sari yang melihat ratapan anaknya, langsung
menghambur hendak merebut. Dan seketika itu pula kedua
telapak tangannya yang terbuka melepaskan pukulan jarak
jauh ke arah Sulang.
"Hiaaa...!"
Bresss!
Tubuh Tunjung Sari kontan terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting di tanah, ketika kedua tangannya
dipapak Sulang dengan gerakan sama. Sulang sendiri sama
sekali tidak bergeming sedikit pun.
Tunjung Sari merasakan semua yang berada di
sekitarnya jadi berputaran. Kepalanya pusing bukan
kepalang. Pandang matanya jadi nanar. Sehingga dia tidak
bisa melihat jelas Sulang dan Lingga!
Tapi, Tunjung Sari yang merasa khawatir sekali akan
keselamatan anaknya, berusaha teras untuk bangkit. Dan ini
membuatnya terhuyung-huyung setelah akhirnya berhasil
berdiri.
"Jangan bunuh anakku...! Jangan sakiti dia...! Bunuh
saja aku...! Tapi, biarkan dia hidup...!" pinta Tunjung Sari,
memelas.
Wanita itu tahu, kalau dengan kekerasan tidak akan
berhasil. Hanya Sulang sendiri saja, sudah tidak bisa
dihadapinya. Apalagi masih ditambah Lingga yang melihat
kemampuannya, pasti tidak berada di bawah Sulang.
"He he he...!"
Sulang tertawa terkekeh melihat sikap Tunjung Sari.
Hal inilah yang diinginkannya. Tunjung Sari, bekas adik
seperguruannya, dan sekarang telah menjadi musuhnya,
merengsk-rengpk! Dia jadi mempunyai saat yang tepat untuk
menikmati balas dendamnya.
"Kau tidak ingin aku menyakiti dan membunuh
anakmu?!"
Tunjung Sari langsung mengangguk, walaupun
sebenarnya tidak percaya kalau Sulang akan memenuhi
janjinya. Tapi kekhawatiran akan keselamatan anaknya
membuatnya tidak bisa berpikir lebih jauh.
"Kau mau berjanji untuk tidak menyakiti anakku,
Sulang?!" Tunjung Sari yang cerdik, berusaha memaksa
Sulang memenuhi Janjinya. "Berjanji demi kehormatanmu
sebagai seorang lelaki, dan seorang tokoh persilatan?! Karena
hanya iblislah yang tidak menepati janjinya!"
"Aku berjanji untuk tidak menyakiti, apalagi
membunuh anakmu..., Tunjung!" jawab Sulang, mantap.
"Tapi, kau harus berjanji untuk menjawab pertanyaanku.
Bagaimana?!"
"Aku bersedia!" jawab Tunjung Sari, agak bergetar.
Perasaan khawatir membuat istri Pendekar Tangan
Sepuluh ini agak bergetar ketika menjawab. Dia tahu, orang
macam apa Sulang. Licik. Makanya, saat menjawab
pertanyaan, Tunjung Sari sempat tercenung sejenak dan
agak bergetar suaranya.
"Di mana suamimu, si Keparat Moksa?!"
"Jangan menyebut suamiku dengan makian seperti
itu! Dia jauh lebih baik daripada dirimu, Sulang!" dengus
Tunjung Sari, tak senang.
"Kau teruskan makian itu, Tunjung! Dan anakmu
akan kusiksa sampai mati sebelum kau mendapat giliran!"
ancam Sulang. Sehingga, membuat istri Pendekar Tangan
Sepuluh terpaksa berdiam diri. "Katakan, di mana si Keparat
Moksa! Cepat!"
"Dia tidak berada di sini. Kau terlambat datang,
Sulang. Beberapa saat sebelum kau datang, dia pergi," jawab
Tunjung Sari, berusaha lembut dan tidak mempedulikan
makian terhadap suaminya.
"Sudah kuduga," Sulang mengangguk-anggukkan
kepala, seperti telah berhasil mendapatkan sebuah dugaan.
"Mungkin dia telah melihat kedatanganku dari kejauhan,
maka pergi untuk menjauhi. Memang, sejak dulu dia
memiliki watak pengecut!"
"Tutup mulutmu yang kotor itu. Sulang!" bentak
Tunjung Sari, tidak kuat menahan rasa tersinggungnya,
karena suaminya dimaki-maki seperti itu. "Dia bukan orang
semacam kau!"
Selebar wajah Sulang yang hanya separo, berubah
hebat. Kemudian kepalanya menoleh kc arah Lingga, sebelum
akhirnya kepalanya mengangguk. Lingga balas mengangguk
dengan wajah tidak menyiratkan perasaan apa-apa. Sesaat
kemudian, tangannya yang kiri bergerak menampar pipi anak
yang berada dalam jinjingannya.
Plakkk!
Anak kecil berusia dua tahun yang sudah sejak tadi
menangis karena rasa takut dan pusing, langsung meraung
bertambah keras. Tamparan Lingga, meskipun tidak
mempergunakan tenaga dalam, tapt cukup keras. Sehingga
membuat bibir anak Tunjung Sari pecah-pecah dan
mengeluarkan darah!
"Iblis Jahanam!"
Tunjung Sari yang tidak bisa menahan perasaan lagi
melihat anaknya disiksa seperti itu, meluruk maju ke arah
Lingga. Tapi dorongan tangan Sulang yang mengandung
hembusan angin keras, membuat tubuhnya terhuyung-
huyung kembali 1$ belakang dan hampir jatuh terpelanting.
Untung saja, kakek berwajah mengerikan itu hanya
bermaksud mendorong. Kalau tidak, nyawa Tunjung Sari
sudah terancam bahaya maut.
"Kalau berani bertindak macam-macam atau berkata
tidak sopan lagi, nyawa anakmu tak akan bisa kau
selamatkan, Tunjung!" ancam Sulang ketika melihat Tunjung
Sari hendak menerjang lagi. Tunjung Sari terpaksa
menghentikan gerakan.
Ancaman Sulang tak bisa dianggap main-main. Telah
dibuktikannya sendiri kebenaran ucapannya.
"Apa maumu sebenarnya, Sulang?!" tanya lunjung
Sari setengah menjerit karena putus asa. "Kalau mau bunuh
aku, silakan! Tapi, jangan bunuh atau sakiti anakku! Dia
tidak tahu apa-apa!"
"Lupakah kau, Tunjung?! Aku telah berjanji untuk
tidak melukai apalagi membunuh anakmu, bukan?!
Sekarang, katakan. Di mana si Keparat Moksa! Ke mana dia
pergi!"
"Dia pergi untuk menjumpai sahabat karibnya.
Menurut berita yang didapatkan dari burung kakaktua
peliharaan temannya, kawan baiknya telah meninggal dunia
karena dibunuh orang! Suamiku pergi untuk mencari tahu,
siapa pembunuhnya!" jelasTunjung Sari.
"Ke mana dia pergi?! Dan, siapa kawannya itu,
Tunjung?!" desak Sulang penuh gairah.
"Burisrawa di Lembah Bukit Angsa."
Dengan terpaksa Tunjung Sari memberitahukannya.
Padahal, Pendekar Tangan Sepuluh telah berpesan secara
keras kalau Tunjung Sari jangan menceritakan perihal
Burisrawa pada siapa pun! Apalagi, tempat di mana kakek
bongkok itu berada! Merupakan sebuah rahasia besar dunia
persilatan! Wajah Sulang kontan berseri.
"Jadi, Burisrawa tinggal di Lembah Bukit Angsa, toh?l
Sungguh kebetulan!" seru Sulang tanpa bisa
menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. "Aku yakin,
suamimu melarang untuk memberitahukan mengenai
Burisrawa dan tempat tinggalnya. Bukankah dugaanku
benar, Tunjung Sari?!"
Dengan lemah, Tunjung Sari mengangguk
"Dan tahukah kau, mengapa si Keparat Moksa itu
melarangmu untuk mengatakannya, Tunjung?!" kata Sulang,
seperti untuk dirinya sendiri. Senyumnya semakin melebar,
karena tahu kalau hal yang disampaikannya membuat
Tunjung Sari sangat terpukul.
Lagi-lagi Tunjung Sari hanya bisa menjawab dengan
gerak isyarat. Kepalanya digelengkan lemah sekali. Tunjung
Sari bukan orang bodoh. Kalau sampai suaminya, Pendekar
Tangan Sepuluh, melarangnya untuk mengatakan pada orang
lain, tentu ada sesuatu yang amat rahasia. Tapi kekhawatiran
akan nasib anaknyalah yang membuat Tunjung Sari terpaksa
me n gatakannya.
"Karena Burisrawa merupakan orang kepercayaan,
atau lebih tepatnya lagi keturunan dari orang kepercayaan
pendekar yang amat terkenal di zaman ratusan tahun yang
lalu. Pendekar ini berjuluk Ftendekar Suling Perak, yang
turun-temurun mempunyai orang kepercayaan. Dan leluhur
Burisrawa bertugas untuk menjaga keturunan Pendekar
Suling Perak. Karena, pendekar itu banyak menanam
permusuhan dengan orang-orang persilatan, terutama sekali
dari golongan hitam. Burisrawa dan leluhurnya lalu
menyembunyikan diri bersama keturunan Ftendekar Suling
Perak yang masih kecil dan belum berdaya. Dan tempat
persembunyian mereka merupakan tempat suci. Karena, di
sanalah Ftendekar Suling Perak turun-temurun dimakamkan.
Sebuah tempat yang amat rahasia, tapi kau telah
membocorkannya, Tunjung," tutur Sulang.
Tunjung Sari malah menghela napas lega, meskipun
bias kekhawatiran akan keselamatan anaknya masih terlihat
jelas.
"Kalau hanya demikian, aku yakin suamimu tidak
akan marah kau melanggar larangannya. Tidak ada hal perlu
dirahasiakan!" Sulang tertawa terkekeh. "Rupanya aku lupa
menceritakan sesuatu. Di tempat Burisrawa tinggal, terdapat
pula pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Dan aku
yakin, dunia persilatan mendengar hal ini. Bukan tentang
ke matian Burisrawa saja, tapi juga makam-makam yang
dijaga susah-payah oleh kakek bungkuk itu. Pasti tempat itu
akan porak-poranda karena orang menduga di sanalah
pusaka-pusaka itu disembunyikan!"
"FTisaka-pusaka...?!" ulang Tunjung Sari dengan
suara bergetar.
Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti
ini. Wanita itu baru mengprti, mengapa suaminya sangat
berpesan agar tidak menoeritaka pada siapa pun.
"Benar, Tunjung. Ha ha ha...! Kau telah banyak
membantu kami. Sekarang bukan hanya Ffcndckar Tangan
Sepuluh yang akan kutemukan dan kubunuh di sana. Tapi,
juga pusaka-pusaka peninggalan Pendekar Suling Fterak yang
amat sakti! Hal ha ha...!"
"Kau... kau...."
Tunjung Sari yang bermaksud memaki-maki Sulang,
menghentikan niatnya. Dia teringat kalau hal ini hanya akan
membuat anaknya celaka. Anak nya? Bukankah Sulang
harus membebaskan anaknya, karena dia telah
memberitahukan hal yang di minta? Fterasaan ingin tahu
akan rahasia Burisrawa yang membuatnya agak lupa
terhadap anaknya.
"He he he...!"
Sulang yang tahu mengapa Tunjung Sari tidak
melanjutkan ucapannya, tertawa terkekeh-keteh. Hatinya
puas karena berhasil membuat bekas adik seperguruannya
yang telah menjadi musuh besarnya, tersiksa perasaannya.
"Aku telah memenuhi janji, Sulang! Sekarang, berikan
anakku! Bebaskan dia...!"
"Mengapa kau memintanya padaku, Tunjung? Apakah
anakmu berada di tanganku?!" jawab Sulang, tak acuh.
"Apa.... Apa maksudmu, Sulang?!" tanya Tunjung
Sari, agak tergagap. "Bukankah kau telah beijanji tidak
menyakiti dan membunuh anakku?! Apa kau hendak
mengingkari janjimu sendiri dan menjadi Iblis Neraka?!"
"Siapa yang melanggar janji, Tunjung?! Bukankah aku
beijanji tidak akan menyakiti, apalagi membunuh anakmu.
Nah! Janjiku telah kupenuhi. Aku tidak akan membunuh dan
menyakiti anakmu.,.."
"Kalau begitu, serahkan anakku!" potong Tunjung Sari
tidak sabar.
"Itu tidak termasuk dalam perjanjian, Tunjung. Jadi
dengan sangat menyesal, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu. Lagi pula kau kan tahu, anakmu tidak
berada di tanganku. Lantas, bagaimamana aku bisa
memenuhi permintaanmu?!"
"Iblis! Keparat Licik! Seharusnya sejak tadi aku tidak
perlu percaya semua bualanmu, Sulang Berhati Binatang!"
Singng!
Sinar terang menyilaukan mata langsung mencuat,
ketika Tunjung Sari yang berada dalam puncak kemarahan
dan kekhawatiran serta kegeramannya mencabut pedang.
Langsung dikirimkannya serangan bertubi-tubi ke arah laki-
laki berwajah mengerikan itu. Dalam sekali serangan, ujung
pedangnya telah mengancam berbagai bagian berbahaya di
tubuh Sulang.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan penuh ejekan, Sulang
mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Lalu dengan
gerakan mengagumkan ditangkisnya serangan itu.
Trangng!
Tunjung Sari kontan terpekik tertahan ketika
pedangnya melekat dengan golok Sulang. Istri Pendekar
Tangan Sepuluh tidak tinggal diam. Diusahakannya untuk
melepaskan senjata andalannya yang menempel di golok
Sulang. Tapi, usahanya gagal. Bahkan Sulang telah
menyusulinya dengan putaran goloknya. Sehingga, pedang
berikut tangan Tunjung Sari ikut terbawa terputar-putar.
Dan....
Bukkk!
Di saat Tunjung Sari tengah sibuk mematahkan
kekuatan yang membawa tangan kanannya berputar, kaki
kanan Sulang meluncur deras yang kemudian telak
menghantam perutnya. Tunjung Sari langsung terpental ke
tanah seketika itu juga.
Namun, istri Pendekar Tangan Sepuluh ini benar-
benar merupakan seorang wanita berhati teras. Perutnya
yang mulas dan sakit, tidak dirasakan sama sekali. Dengan
mengeraskan hati, dia berusaha bangkit. Dan meski dengan
tertatih-tatih, akhirnya dia berhasil berdiri. Namun tubuhnya
agak terbungkuk karena menahan sakit yang melanda.
Sebelum Tunjung Sari mengirimkan serangan lagi,
Lingga telah melakukan tindakan yang membuat nyali
Tunjung Sari bagaikan terbang! Tanpa adanya perasaan apa
pun di wajah, pemuda berwajah dingin itu telah memegang
masing-masing kaki anak Tunjung Sari, dengan tangan
kanan dan kiri tangan merentang. Dan seketika itu pula....
Brettt!
" Jahanaaamm...!"
Tunjung Sari menjerit panjang menyayat hati, ketika
tubuh anaknya terbelah dua mulai dari bagian bawah pusar.
Seketika, jeritan tangis yang sejak tadi melingkupi tempat itu,
lenyap. Nyawa anak lunjung Sari telah melawat 1$ alam
baka!
"Kubunuh kaaau...!"
Dengan air mata berlinang dan hati hancur, Tunjung
Sari melompat menerjang dengan tusukan pedangnya.
Wuttt!
Ujung pedang Tunjung Sari menusuk angin. Lingga
telah lebih dulu melompat, sebelum serangan maut itu
bersarang di dadanya. Dan dari atas tangan Lingga yang
masih memegang anak Tunjung Sari yang telah menjadi
mayat, diayunkan.
Prakkk!
Bunyi berderak keras terdengar, ketika batok kepala
Tunjung Sari berbenturan dengan batok kepala anaknya.
Seketika masing-masing kepala hancur berantakan. Darah
segar, bercampur otak langsung muncrat-muncrat. Dan
tanpa sempat sambat lagi, Tunjung Sari ambruk di tanah ke
alam baka!
"Ha ha ha...!"
Sulang tertawa bergelak ketika melihat kematian
Tunjung Sari. Diperhatikannya mayat-mayat itu penuh
kebanggaan. Sementara, Lingga telah membuang mayat anak
Tunjung Sari yang berada di genggamannya. Kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi, Sulang melesat meninggalkan tempat
itu.
"Kau pergilah sendiri, Guru. Aku sudah tidak
berkeinginan untuk mencari pusaka itu di Lembah Bukit
Angsa. Aku yakin, orang yang membunuhnya telah
mendapatkannya. Aku akan pergi mencari sendiri."
Sulang tetap tertawa-tawa meski beberapa tindak
setelah meninggalkan tempat itu, terdengar pemberitahuan di
telinganya. Pemberitahuan yang dikeluarkan hingga lewat
penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh.
Langkah Sulang tetap tidak berubah. Sama sekali
tidak dipedulikan pesan yang diterima dari Lingga, pemuda
berpakaian merah yang menjadi muridnya.
3
Satu bayangan ungu melesat cepat, memasuki mulut
sebuah hutan. Gerakannya yang cepat, membuat bentuk
tubuhnya tidak terlihat jelas. Kecuali, pakaian warna ungu
dan rambut panjang putih ke perakan yang berkibaran ditiup
angin keras.
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak atau
Aiya Buana, terus melesat seperti tak ingin berhenti.
Pemberitahuan kate k berpakaian penuh tambalan itulah
yang membuat Dewa Arak berlari cepat, untuk segera tiba di
tempat kediaman gurunya, Ki Gering Langit. Aiya tidak ingin
gurunya yang sudah menarik diri dari kekerasan dunia
persilatan, akan terganggu oleh persoalan pusaka-pusaka. Di
tengah cepatnya lari Dewa Arak, mendadak saja....
Singng!
Terdengar bunyi berdesing nyaring yang membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Apalagi
bunyi yang semakin keras itu kian mendekati tempatnya.
Sebagai tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman,
Aiya tahu pasti ada sesuatu senjata yang tengah meluncur ke
arahnya. Maka Dewa Arak bertindak cepat. Seketika, ujung
kaki kanannya dijejakkan, sehingga tubuhnya melenting ke
atas.
Jrebbb!
Benar saja sebatang tombak kini menancap tepat,
beberapa kaki di tempat Dewa Arak menjejak. Kalau saja
pemuda berambut putih keperakan itu tidak bertindak cepat,
ujung tombak itu pasti menyate tubuhnya!
Namun baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di
tanah, beberapa sosok berkelebatan dari sekitar tempat itu.
Dan sebelum Aiya sempat berbuat sesuatu, tiga sosok itu
telah mengurungnya dari tiga penjuru.
Dewa Arak yang tidak pernah ingin berkelahi tanpa
alasan jelas segera mengedarkan pandangan merayapi tiga
sosok yang mengelilinginya sambil mengembangkan senyum
lebar. Kendati demikian, hatinya terkejut bukan kepalang.
Ciri-ciri yang dimiliki tiga sosok yang mengurungnya inilah
yang membuainya kaget.
Ketiga laki-laki tua pengurung Dewa Arak ini berkulit
hitam kecoklatan. Hidung mereka melengkung, seperti paruh
burung. Pakaian yang dikenakan hanya berupa sehelai kain
kuning yang dibelit-belitkan ke tubuh. Di tangan ketiga orang
ini tergenggam sebatang tombak berujung sebilah logam
tajam, berbentuk bulan sabit.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau kali ini
berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti yang berasal dari
tempat yang jauh. Bukankan demikian menurut jawaban
yang diberikan roh penasaran yang disambat kakek
berpakaian penuh tambalan?
"Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya
salah seorang. Dia memiliki tahi lalat besar di ujung hidung.
Sehingga, membuat hidung yang sudah aneh bentuknya,
semakin menggelikan.
Pertanyaan yang diucapkan secara tidak lancar dan
berlogat aneh itu langsung membuat Dewa Arak yakin
dengan dugaannya. Jadi, inikah tokoh-tokoh dari negeri
seberang yang bermaksud mencari pusaka leluhur mereka?
"Begitulah orang memberiku julukan, Kisanak. Tapi,
aku lebih suka kalau dipanggil nama saja. Namaku, Arya,"
kata Dewa Arak yang terkadang merasa risih bila orang
memanggil julukannya.
"Tidak usah berbelit-belit. Katakan saja! Apakah kau
orang yang berjuluk Dewa Arak? Atau karena merasa gentar
kepada kami, kau menjadi takut untuk mengakui
julukanmu?!" tanya laki-laki tua yang memiliki bibir tebal,
ikut angkat bicara. Ucapannya jelas bernada ancaman.
"Maaf, Kisanak Semua," tukas Arya dengan suara
bergetar. "Aku bukan pengecut. Dan telah kuakui kalau aku
adalah Dewa Arak, sejak semula, tapi, baiklah. Agar kalian
tidak salah duga, perlu kukatakan sekali lagi. Akulah Dewa
Arak, yang kalian cari?! Nah! Sekarang, apa maksud kalian
mencariku?"
"Bagus kalau langsung bicara pada pokok masalahan,
Dewa Arak. Dengan demikian, dapat langsung berterus
terang padamu. Cepat serahkan pusaka leluhur kami. Dan
kami akan segera pergi dari sini tanpa menoelakaimu!" tegas
laki-laki tua yang mempunyai rajahan bergambar bintang
segi lima di punggung tangan kanannya.
"Kurasa kalian salah alamat," sahut Aiyat, tenang.
Dan sebenarnya, Dewa Arak sedikit kaget, karena
tidak menyangka kalau tiga kate k berciri-ciri berbeda ini
meminta pusaka padanya. Tapi, dia berusaha
menyembunyikan kekagetannya.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?!" sambut kakek bertahi
lalat besar. "Apakah kau hendak mengatakan kalau pusaka
leluhur kami tidak berada di tanganmu?!"
"Kalau memang tidak ada padaku, lalu apa aku harus
menjawabnya ada?!" balas Aiya.
"Kau berani bermain-main dengan kami, Dewa Arak?!
Asal tahu saja, di negeri kami, kelompok kami yang bernama
Kelompok Bulan Sabit amat ditakuti!" ancam kakek yang
bertahi lalat di hidung lagi. Tangan kanannya yang sudah
terkepal erat, siap mengirimkan serangan mempergunakan
tongkat bulan sabitnya.
"Aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Tapi,
kalianlah yang terlalu mendesakku. Sudah kukatakan, kalau
di tanganku tidak terdapat pusaka leluhur yang
dimaksudkan. Bahkan mendengarnya saja baru kali ini dari
kalian!"
Suara Aiya mulai meninggi, karena merasa tidak
senang didesak oleh tiga orang kakek yang sebenarnya
berasal dari Nepal
"Mungkin kau kurang jelas, Dewa Arak. Pusaka itu
adalah sebatang Suling Perak dan sebuah kipas terbuat dari
kulit binatang!" jelas kakek berbibir tebal. Dia mempunyai
watak lebih sabar dari rekannya.
"Sayang sekali, aku tidak mempunyai benda-benda
yang kalian maksudkan. Aku hanya mempunyai ini," jawab
Dewa Arak sambil mengangsurkan guci arak yang semula
berada di punggungnya.
"Rupanya kau sudah kepingin mampus, Dewa Arak?!"
sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. Wataknya lebih
berangasan. Bahkan dia sudah tidak bisa menahan
kemarahannya lagi. Dan....
"Huh!"
Dewa Arak terpaksa menggeser tubuhnya ke kiri,
ketika kakek bertahi lalat di hidung menusukkan tongkat
bulan sabit ke arah dadanya. Maka logam tajam berbentuk
bulan sabit itu pun meluncur lewat di sebelah kanan Dewa
Arak.
Wukkk!
Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya di atas kepala laksana kitirkan, kakek yang memiliki
rajahan bintang segi lima membabatkan senjatanya ke leher
Dewa Arak.
Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat.
Klangng!
Bunyi berdentang keras diikuti percikan bunga api ke
segala arah mengiringi terjadinya benturan senjata tongkat
bulan sabit dengan guci Dewa Arak. Tubuh kakek berajah
bintang ini terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan
Dewa Arak tidak bergeming sama sekali.
Namun sebelum pemuda berambut putih 1$perakan
itu berbuat sesuatu, dua kakek dari Nepal lainnya langsung
melancarkan serangan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring dan mengancam bagian berbahaya.
Dewa Arak yang sudah sejak tadi memperhitungkan,
menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera
dikeluarkan ilmu 'Belalang Sakti’ yang menjadi andalannya.
Maka pertarungan antara satu melawan tiga pun
berlangsung.
Begitu menggebrak beberapa jurus, Dewa Arak hnrus
mengakui kalau lawan-lawannya benar-benar amat tangguh.
Kalau menghadapi seorang demi seorang, Aiya yakin kalau
akan dapat mengalahkan lawannya tapa kesulitan. Tapi
menghadapi tiga orang sekaligus benar-benar terasa
beratnya. Di samping ilmu-ilmu mereka tidak terlalu jauh di
bawah Dewa Aik, keija sama mereka juga amat rapi!
Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya, kakek dari Nepal itu langsung membabatkan
senjatanya ke leher Dewa Arak.
Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat
menangkis tongkat bulan sabit itu.
Klangng!
Untungnya, Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'.
Sehingga, membuatnya tidak mengalami kesulitan dalm
mengelakkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi
bagaikan hujan. Meskipun demikian, tiga tokoh dari Nepal
yang mengaku berasal dari Kelompok Bulan Sabit itu tidak
juga dapat mendesak Dewa Arak. Pertarungan masih
berlangsung imbang. Dan keadaan tetap tidak berubah
kendati telah memasuki jurus kelima puluh.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh
satu, bumi bergetar secara berirama seperti ada sebuah
benda besar yang beijalan di atasnya, itu pun masih diiringi
bunyi lonceng kecil.
Mendadak teijadi perubahan besar di kancah
pertarungan. Tiga kakek dari Nepal itu mengeluarkan
keluhan bernada kagst campur keluhan. Kemudian, masing-
rasing melempar tubuh ke belakang, meninggalkan kancah
pertarungan bagaikan orang ketakutan.
"Lain kali kita teruskan pertarungan ini, Dewa Arak"
kata kakek bertahi lalat di hidung, yang sepertinya menjadi
juru bicara bagi kawan-kawannya.
Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tubuh
ketiga tokoh dari Nepal melesat cepat meninggalkan tempat
ini. Sementara Aiya hanya terpaku heran, melihat tingkah
tiga lawannya.
Aiya tidak mengejar karena tak merasa mempunyai
urusan dengan tiga tokoh dari Nepal itu. Ftemuda berambut
putih keperakan ini hanya menatap kepergian tiga kakek
berkulit hitam kecoklatan itu, hingga lenyap di balik
kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
Sebuah pertanyaan bergayut di bendak pemuda
berpakaian ungu ini. Apakah ada hubungan perginya tiga
tokoh dari Nepal dengan bunyi bnoeng kecil dan bunyi
berdebarnya di tanah yang berirama tadi? Kalau tidak,
rasanya tak akan mungjdn mereka akan pergi begitu saja.
Bahkan pergi dengan sikap ketakutan begitu.
Karena rasa ingin tahu apa yang teijadi, Aiya
memutuskan untuk menunggunya siapa tahu, kalau tanah
yang bergetar dan bunyi lonceng kecil itu tengah menuju ke
arahnya. Apa getaran pada tanah semakin besar dan bunyi
lonceng semakin nyaring.
Sesaat kemudian, dari jarak sekitar empat tombak,
tampak sesosok makhluk bertubuh besar muncul dari balik
kerimbunan pepohonan. Dan ini membuat sepasang mata
Aiya terbelalak lebar tak berkedip, begitu melihat seekor
gajah yang begitu besar, ditunggangi sosok berkulit hitam
kecoklatan.
Sosok laki-laki tua di atas gajah itu berpakaian dan
berciri-ciri mirip tiga kakek yang baru saja bertarung dengan
Dewa Arak. Hanya saja sorot matanya lembut, dan
mempunyai cambang bauk tebal. Sekarang Aiya baru
mengerti, mengapa bumi tadi bergetar berirama. Ini tidak lain
karena kaki kokoh dan kuat dari gajah berwarna putih di
depannya. Dan bunyi berkerincingan nyaring, karena pada
kaki gajah bagian depan dililit lonceng kecil. Tak lama
kemudian, kakek yang berada di atas punggung gajah itu
telah beijarak satu tombak kurang dengan Aiya. Dan sampai
di sini, punggung binatang dahsyat itu ditepuk sekali. Maka
gajah putih itu pun menghentikan langkahnya.
Bumi tenang kembali. Bunyi kerincingan pun lenyap.
Keadaan menjadi sunyi. Bahkan terasa sunyi.
"Selamat beijumpa, Pemuda Gagah," ucap kakek
bercambang bauk lebat, dengan logat aneh tapi sopan. Malah
kepalanya dianggukkan lebih dulu sebelum berbicara.
"Senang berkenalan dengan pemuda gagah dan sakti
sepertimu."
"Akulah yang seharusnya bangga bisa berkenalan
dengan orang sepertimu, Kek," jawab Dewa Arak merendah.
"Tidak pernah kutemukan seorang kakek yang mampu
menunggangi seekor gajah, kecuali kau, Kek. Kau
membuatku yang muda merasa kagum sekali."
"Kau memang seorang pemuda luar biasa, Dewa Arak!
Tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga pandai
membawa diri. Jarang ada seorang pemuda sakti yang pandai
merendah sepertimu," puji kakek bercambang bauk lebat lagi.
"Rupanya kau telah mengenalku, Kek. Sungguh tidak
enak dan tidak adil rasanya keadaan kita sekarang. Kau telah
mengenalku, sedangkan aku belum mengenalmu sama
sekali."
"Itu suatu tanda kalau kau merupakan seorang tokoh
terkenal, Dewa Arak. Dan aku merupakan seorang kakek tua
bangka yang sudah hampir mati dan tidak patut dikenal.
Apalagi terkenal," kilah kakek bercambang bauk lebat.
"Kurasa kau terlalu merendahkan diri, Kek. Jawaban
yang tepat bukan seperti itu. Tapi karena kau memiliki
pengetahuan luas. Sedangkan aku tidak mempunyai
pengalaman cukup, sehingga tidak mengenalimu. Buktinya,
lawan-lawan tangguh yang tadi kuhadapi, demikian takut.
Sehingga meski kau belum muncul dan masih sangat jauh,
mereka sudah berlari tunggang-langgang ketakutan. Sekali
lagi, kuharap kau bersedia memperkenalkan dirimu, Kek."
"Lawan-lawan tangguhmu melarikan diri karena
ketakutan terhadapku?! Kau mengada-ada, Dewa Arak! Mana
ada tokoh persilatan di daerah ini yang mengpnalku?
Andaikata mengpnal pun, apa yang harus ditakuti dari
seorang kakek yang sudah hampir mati?!" bantah kakek di
atas punggung gajah bernada tidak percaya.
"Mereka bukan dari daerah ini, Kek. Bahkan bukan
berasal dari negeri ini. Mereka, kurasa berasal dari negeri
yang sama denganmu," jelas Aiya.
"Ah, begitukah...?!"
Kakek bercambang bauk lebat itu menyembunyikan
keterkejutannya dalam ucapannya.
"Benar, Kek," Aiya mengangguk. "Mereka menghadang
perjalananku untuk urusan sebuah pusaka yang sama sekali
tidak kuketahui. Kalau tidak salah..."
"Suling Perak dan kipas terbuat dari bulu binatang,
yang dikatakan orang-orang itu, Dewa Arak?!" potong kakek
bercambang bauk lebat, cepat Arya mengangguk
"Apakah mereka menyebutkan asal kelompok mereka,
Dewa Arak?" tanya kakek bercambang bauk lebat, lebih jauh.
"Benar, Kek Mereka menyebutkan Kelompok Bulan
Sabit," jawab Arya setelah tercenung sejenak
"Tidak mungkin!" bantah kakek bercambang bauk
kaget dengan wajah tidak percaya.
Arya terjingkat seperti disengat kelabang, mendengar
bantahan keras dari kakek bercambang bauk lebat itu.
"Apanya yang tidak mungkin, Kek?! Aku tidak
berbohong! Demikian berita yang kudapatkan dari mulut
mereka. Tentu saja kalau kenyataannya mereka bukan
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, aku nama sekali tidak
tahu menahu."
"Maaf, Dewa Arak. Bukan maksudku tidak
mempercayaimu. Tapi, ketahuilah Kelompok Bulan Sabit
sudah tidak ada lagi. Semua pengikutnya tewas. Dan yang
tinggal hanya ketuanya saja. Itu pun berhasil selamat, karena
kebetulan tidak berada di tempat. Di sana telah terjadi
bentrokan antar kelompok yang mengakibatkan Kelompok
Bulan Sabit musnah. Dan Ketua Kelompok Bulan Sabit ada-
lah seorang kakek sakti yang sekarang sudah tidak
mempunyai semangat untuk bertindak kekerasan lagi. Dia
tidak membalas dendam atas kejadian yang menimpa
kelompoknya. Kakek itu bernama Tayatonga. Dan orangnya,
sekarang tengah bercakap-cakap denganmu, Dewa Arak"
tutur kakek bercambang bauk lebat, sambil menghela napas
berat
"Ah...! Maafkan aku, Ke k Aku telah membuatmu
teringat kembali akan masa lalumu yang tidak enak, dan
bahkan menyakitkan untuk dikenang. Sekarang aku yakin,
para pengeroyokku bukan tokoh-tokoh sakti dari Kelompok
Bulan Sabit," ujar Aiya tidak yakin akan dugaan yang
didapatnya.
"Aku lebih condong untuk menyelidiki masalah ini,
Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Kau memang berkewajiban untuk membersihkan
nama kelompokmu dari aib yang mereka corengkan, Kek.
Meskipun sekarang, Kelompok Bulan Sabit sudah musnah
dan kau bukan lagi bertindak sebagai ketua," dukung Aiya
atas keputusan yang diambil Tayatonga.
Kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu
menceritakan ciri-ciri para pengeroyoknya.
Tayatonga tercenung setelah Aiya selesai ceritanya.
"Melihat ciri-ciri yang kau sebutkan itu, aku menjadi
sedikit kaget, Dewa Arak. Masalahnya, ciri-ciri yang kau
sebutkan mengingatkan aku pada tiga tokoh utama
Kelompok Bulan Sabit yang menjadi anak buahku. Sayang,
mereka semuanya telah tewas dalam pertarungan melawan
kelompok lain. Tapi ada kemungkinan, mereka melakukan
tindakan curang. Yahhh... misalnya..., orang-orang yan
meninggal dalam pertempuran itu adalah orang-orang tiruan,
samaran."
Aiya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa
artinya anggukannya. Hanya pemuda berambut putih
keperakan itu saja yang tahu.
"Kalau boleh tahu..., apa maksud kedatanganmu ke
negeri ini, Kek?!" tanya Aiya setelah tercenung sebentar.
"Kau memang berhak mengajukan pertanyaan itu,
Dewa Arak"
Tayatonga mengplus-elus jenggotnya yang sedikit.
Beda dengan cambang bauknya yang lebat, jenggot kakek
dari Nepal ini hanya sedikit.
"Karena bagaimanapun juga, tempatku berada
sekarang ini merupakan negerimu. Tempat tinggalmu. Tapi,
percayalah. Aku tidak bermaksud buruk" lanjut Tayatonga.
"Apakah kedatanganmu tidak ada hubungannya
dengan pusaka-pusaka yang konon katanya berasal dari
leluhurmu itu, Kek?!" Dewa Arak langsung mengemukakan
dugaannya.
"Ada hubungannya, Dewa Arak" jawab Tayatonga
tanpa ragu-ragu. "Tapi tidak sama niatku dengan orang-
orang yang baru saja bertarung denganmu tadi."
"Aku masih belum mengerti akan maksudmu, Kek?!"
Aiya mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jawaban
Tayatonga memang tidak mudah dicerna.
"Hhh...!"
Tayatonga menghela napas berat sebelum menjawab
pertanyaan Dewa Arak.
4
"Aku merasa berat menceritakannya. Karena
sebenarnya, penyebab aku 1$ sini adalah urusan keluarga,"
Tayatonga memulai ceritanya.
"Kalau begitu, tidak usah kau ceritakan, Kek," cegah
Aiya, buru-buru dengan rasa tidak enak. "Maafkan, aku
terlalu mendesakmu."
Tayatonga mengembangkan senyum. Tapi Aiya tahu,
senyum yang terkembang seperti dipaksakan. Ini
membuktikan kalau kate k bercambang bauk lebat itu tidak
berada dalam keadaan gembira. Setidak-tidaknya benaknya
tengah dilibat suatu masalah.
"Aku memang bermaksud menceritakannya, Dewa
Arak. Terkecuali, bila kau tidak bersedia mendengarkan,"
kata Tayatonga
"Aku tidak keberatan sama sekali, Kek," sahut Aiya
sambil menggeleng. 'Tapi..., apakah pantas masalah keluarga
diceritakan pada orang lain?!"
"Terkadang pantas saja. Dewa Arak. Bahkan malah
perlu," timpal Tayatonga. "O, ya. Lebih baik kumulai saja
sebelum kau menjadi bosan mendengar petuah-petuah yang
tidak berarti dariku, Dewa Arak."
Kali ini Dewa Arak tidak memberi tanggapan. Dia
terdiam membisu. Sedangkan Tayatonga tengah tercenung
seperti memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkannya.
"Aku kemari untuk mengejar istriku. Dia telah kemari
lebih dulu. Seperti juga kelompok-kelompok lain, istriku yang
bernama Gangga Nanda pergi untuk mencari pusaka-pusaka
seperti yang tadi kau sebutkan. Suling Perak dan kipas yang
terbuat dari anggota tubuh binatang. Mereka semua
menganggap pusaka-pusaka itu milik leluhur mereka. Pada-
hal, sebenarnya tidak demikian."
"Tapi, pasti istrimu dan kelompok-kelompok itu
mempunyai alasan kuat mengapa menduga seperti itu. Tak
mungkin mereka bertindak ceroboh, sembarangan mengaku-
aku kalau tidak benar," duga Aiya bernada membela, ketika
melihat Tayatonga menghentikan cerita.
"Ucapanmu memang tidak keliru, Dewa Arak. Mereka
mempunyai alasan kuat. Dan aku pun tidak menyalahkan
kalau mereka sampai mempunyai dugaan seperti itu. Sayang,
mereka semua tidak mau tahu penjelasan yang kuberikan....
Maksudku, istriku."
Ada nada keluhan dalam ucapan Tayatonga. Nada
ketidakberdayaan dan hampir pasrah. Dan meskipun tidak
diceritakan, Aiya tahu kalau kehidupan rumah tangga kakek
bercambang bauk lebat ini tidak terlalu bahagia. Keluhannya
menjadi pertanda kalau istri kakek bercambang bauk lebat
ini tergolong orang yang tidak mau diatur!
"Adapun cerita sebenarnya begini, Dewa Arak. Sekitar
seratus tahun lebih yang lalu, di negeri kami muncul seorang
pendekar besar dari negerimu ini, Dewa Arak. Kalau tidak
salah, julukannya Pendekar Suling Perak. Semula kami,
terutama aku, tidak tahu sama sekali maksud
kedatangannya. Ternyata kedatangan Pendekar Suling Perak
untuk memenuhi undangan guru kami. Dan saat itu, istri
guru kami sedang sakit keras. Menurut penuturan ahli
nujum, dia akan tewas kalau tidak segera mendapatkan
kipas dari anggota tubuh binatang dan Suling Perak. Jadi,
keberadaan Ftendekar Suling Fterak di tempat kami itu adalah
untuk meminjamkan benda-benda yang merupakan pusaka
andalannya. Guru mengutus banyak murid untuk mencari
Pendekar Suling Perak waktu itu."
Setelah Tayatonga bercerita sampai di sini, Dewa Arak
sudah bisa menebak dan mengerti kalau pusaka itu bukan
milik leluhur tokoh-tokoh dari Nepal, melainkan milik tokoh
besar dari negeri ini. Nama Pendekar Suling Fterak dikenal
Dewa Arak sebagai tokoh persilatan besar ratusan tahun
yang lalu.
"Semula kaiena pusaka-pusaka itu amat penting dan
merupakan peninggalan leluhurnya, Ftendekar Suling Perak
tidak meninggalkan negeri kami. Tapi, karena sampai
beberapa hari pengobatan itu tidak kunjung selesai, Pendekar
Suling Perak memutuskan untuk meninggalkan dan
meminjamkan saja pusaka itu. Pendekar itu percaya, seorang
ketua kelompok besar seperti guru kami, tidak akan
bertindak curang dan mengangkangi pusaka-pusaka
miliknya. Setidak-tidaknya, menurut pemikiran Pendekar
Suling Perak, guru kami akan mengingat budi yang telah
ditan amkan nya."
Wajah Aiya mulai berubah. Sekarang sudah bisa
diraba kejadian yang akan berlangsung.
"Perkiraan Pendekar Suling Perak ternyata keliru.
Guru kami menjadi mata gelap, dan lupa budi baik orang.
Pendekar Suling Fterak yang berpesan amat sangat agar
pusaka miliknya diantarkan kepadanya apabila telah selesai
dipergunakan, hanya menunggu-nunggu tanpa hasil.
Memang, sewaktu Pendekar Suling Fterak akan pergi, guru
kami beijanji akan mengembalikannya. Bahkan guru sendiri
yang akan menyerahkannya disertai ucapan terima kasih.
Tapi, rupanya janjinya sendiri diingkari. Dia tidak pernah
mengembalikan Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh
binatang "itu. Bahkan murid-murid yang semula diutus
untuk mencari Pendekar Suling Fterak, dibunuh semua oleh
guru. Tentu saja tanpa sepengetahuan kami."
Tanpa sadar, Aiya yang mendengarkan semua oerita
penuh perhatian menggelengkan kepala, pertanda tidak
mengerti oleh jalan pikiran Tayatonga.
"Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, muncul seorang
pendekar yang bersenjata Suling Perak dan kipas terbuat dari
anggota tubuh binatang. Kedatangannya ke tempat kami
langsung mengajukan tantangan terhadap guru sambil
menyebut-nyebut kalau guru kami merupakan orang yang
tidak mengenal budi orang! Dalam pertarungan, baik guru
maupun pendekar yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu
tewas. Namun sebelumnya, kedua belah pihak terlibat dalam
pembicaraan. Dan hanya aku seorang yang tahu, apa
pembicaraan yang berlangsung di saat-saat terakhir hidup
mereka. Karena saat itu aku nekat mencuri dengar dari
tempat yang tersembunyi. Tapi untungnya, kenekatanku
ternyata malah mendapatkan pujian. Guru lalu menyuruhku
mengembalikan pusaka-pusaka Pendekar Suling Perak ke
tempat semula. Dan orang yang bertarung dengan guru
ternyata keturunan dari Pendekar Suling Perak yang
meminjamkan pusaka-pusaka itu. Ftendekar Suling Perak
yang menjadi ayahnya, telah tewas di tangan lawan tangguh,
karena tidak berbekal senjata andalannya. Tewasnya
Pendekar Suling Fterak itulah yang menyebabkan guru sadar.
Apalagi menyadari kalau usianya tidak akan lama lagi. Maka
akulah yang mendapat tugas untuk mengembalikan pusaka-
pusaka itu. Begitu ceritanya, Dewa Arak!"
"Lalu..., bukankah pendekar yang bertarung melawan
gurumu berbekal Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh
binatang?" tanya Aiya, heran.
"Senjata itu bukan buatan leluhur Pendekar Suling
Perak. Hanya tiruannya, sebagai tanda kalau pemegangnya
merupakan keturunan Pendekar Suling Perak. Dan pusaka-
pusaka itu diberikan pada Burisrawa, di tempat yang
diketahui guru dari lawan larungnya," jawab Tayatonga
dengan lancar.
"Jadi..., ke manakah kau akan pergi sekarang, Kek?!"
tanya Aiya, ingin tahu.
"Ke tempat di mana aku menyerahkan pusaka pada
Burisrawa. Aku khawatir, istriku akan ke sana karena telah
berhasil memancingku untuk memberitahu kc mana pusaka-
pusaka itu lenyap," jelas Tayatonga, panjang lebar.
"Eh...?! Untuk apa lagi pusaka-pusaka itu bagi
istrimu, Kek?!" Arya merasa tidak mengerti.
"Untuk menjadikan dirinya pemimpin bermacam-
macam kelompok yang ada di tempat kami," jawab
Tayatonga, dengan suara berat seperti batinnya tengah
terhimpit. "Waktu guru masih hidup, dia mengatakan kalau
pusaka-pusaka itu didapatkan dari hasilnya bersemadi. Dan
itu menjadi tanda atau bukti buat seseorang yang
memegangnya, untuk menjadi tetua kebmpok. Maka ketika
meninggal, dan masing-masing tokoh ingin menjadi ketua
kelompok, kebmpok yang susah-payah dibentuk dan
dibangun guru terpecah-pecah. Itulah sebabnya, banyak
kelompok yang berasal dari kelompok yang dibangun guruku,
berusaha mendapatkan pusaka-pusaka itu agar dapat
menjadi pimpinan kebmpok!"
"Dan keberadaanmu di sini untuk mencegah
kelompok-kebmpok itu mengambil pusaka-pusaka milik
Pendekar Suling Perak Kek?!"
"Begitulah lencanaku, Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Aku tidak ingin mereka mengulang kesalahan guru. Bahkan
menyusahkan orang yang telah bertindak demikian baik."
"Kalau demikian, selamat bertugas, Kek. Aku
mempunyai urusan yang sama pentingnya dengan mu," Arya
pamit.
"Selamat jalan, Dewa Arak" balas Tayatonga
tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Kau sekarang tak
ubahnya Ftendekar Suling Perak ratusan tahun lalu. Nama
besarnya terdengar di mana-mana, terkenal sebagai pendekar
pembasmi kejahatan dan penangkal angkara murka. Persis
sama dengan Ftendekar Suling Perak ratusan tahun yang
lalu."
"Kau terlalu memuji, Kek."
Ucapan itu masih bergema teras di tempat Tayatonga
masih berada. Tapi, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di
situ lagi. Tayatonga menggeleng-gelengkan kepala pertanda
kagum. Bukti ini saja sudah menunjukkan kalau Dewa Arak
telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur.
Meski demikian, Tayatonga masih sangsi kalau Dewa Arak
mampu mengimbangi tingkat Pendekar Suling Perak.
kkk
Sesosok bayangan kuning tampak berlompatan 1$
sana kemari. Ujung kakinya menotok tonjolan batu di sana-
sini, agar tubuhnya dapat melambung ke atas dan hinggap di
tempat yang lebih tinggi. Sosok itu tengah mendaki lereng
sebuah bukit yang cukup terjal.
"Hup!"
Hanya dalam waktu sebentar saja, sosok bayangan
kuning ini telah tiba di bagian lereng gunung yang memiliki
dataran rata. Dan dia berhenti di sini sambil mengarahkan
pandangan ke depan.
Wajah sosok bayangan kuning itu tampak berseri-seri
meski napasnya agak memburu. Dia ternyata seorang wanita
yang masih muda. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun.
Tapi bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sehingga
membuat para lelaki terutama yang mata teranjang, akan
menelan liur. Dada gadis berpakaian kuning itu demi kian
membusung, menantang. Dan lagi wajahnya yang cantik
jelita dengan kulit putih halus kekuningan.
"Ayah...! Ibu..! Betapa aku telah amat rindu pada
kalian," desah gadis berpakaian kuning itu sambil menatap
kosong ke depan. "Sambutlah ke datanganku, Ayah, Ibu..."
Gadis berpakaian kuning ini lalu melesat ke depan.
Larinya cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanya
sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk tidak jelas. Tapi
baru juga beberapa kali melesat, dahi mulus gadis
berpakaian kuning ini jadi berkemyit, begitu tanpa sengaja
pandangannya terarah ke atas.
"Burung-burung pemakan bangkai," desah gadis
berpakaian kuning itu, heran campur cemas. "Mengapa
burung celaka itu datang berbondong-bondong. Dan lagi,
arahnya ke sana! Ataukah ada sesuatu yang terjadi di sana?
Apakah Ayah atau Ibu...."
Sampai di sini, gadis itu tidak berani meneruskan
gumamannya. Justru larinya malah lebih dipercepat.
Sementara di atasnya sosok-sosok kecil berwarna hitam
menempuh arah yang sama dengannya.
Yang lebih membuat hati gadis ini semakin galau,
ketika melihat di depan sana telah banyak sosok hitam kecil
yang tak lain dari burung-burung pemakan bangkai. Yang
menyebabkannya gelisah, di tempat burung-burung itu
berada justru terletak tempat tinggalnya. Tempat tinggal ayah
dan ibunya.
Tapi raut kekhawatiran gadis itu mulai berkurang
ketika melihat burung-burung pemakan bangkai itu
beijatuhan ke bawah, setelah terlebih dulu terlempar sedikit
ke atas bagaikan terpukul dari bawah. Sebagai seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, dia tahu kalau burung-burung
itu terhantam pukulan jarak jauh yang dilakukan orang yang
berada di bawah. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya,
terutama sekali ayahnya yang memang memiliki ilmu
pukulan jarak jauh luar biasa.
Keyakinan akan dugaannya, membuat lari gadis
berpakaian kuning semakin cepat.
Tapi, sepasang mata yang berbinar-binar dan sinar
kegembiraan wajah gadis berpakaian kuning itu langsung
lenyap, ketika melihat pemandangan yang terpampang di
hadapannya pada jarak tiga tombak
Tampak di depannya sesosok tubuh kekar seorang
pemuda berpakaian serba merah dan berikat kepala merah,
tengah duduk di atas sebongkah batu sebesar kambing
sambil memukul-mukulkan kedua tangannya secara
bergantian ke udara. Dan pukulan-pukulan itulah yang
menyebabkan burung-burung pemakan bangkai
bergeletakkan di tanah tanpa nyawa. Tubuh binatang itu
telah remuk begitu terhantam pukulan jarak jauh yang
mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring ketika diluncurkan.
Gadis berpakaian kuning itu sudah terkejut ketika melihat
keberadaan pemuda berpakaian merah yang sama sekali
tidak dikenalnya. Kebetulan pemuda itu duduk dengan sikap
menyamping, sehingga wajahnya terlihat dari samping. Tapi
dia lebih terkejut lagi ketika melihat pemandangan di
belakang pemuda berpakaian merah itu. Ternyata di depan
pondok sederhana milik orangtuanya telah tergolek dua
sosok di atas tanah dalam keadaan bersimbah darah.
Salah satu sosok bertubuh kecil. Sedangkan satunya
lagi, dewasa. Sesosok yang sukar dikenali! kepala kedua
sosok itu telah hancur. Hanya rambutnya yang panjang dan
bentuk tubuhnya yang membuktikan kalau sosok yang tewas
dalam keadaan mengerikan adalah seorang wanita! Yang
telah berusia cukup lanjut.
Gadis berpakaian kuning itu sampai menghentikan
larinya, dan langsung menatap dua sosok yang terbujur di
tanah dengan sorot mata tidak percaya. Kedua tangannya
yang terkepal keras menandakan 1$ tegangan hatinya.
Sepasang matanya yang indah, seperti melekat dengan sosok-
sosok yang tergolek. Terutama sekali, sosok wanita dewasa
yang berpakaian hijau muda.
"I... Ibu...," desah gadis berpakaian kuning itu.
Suaranya tersendat-sendat, sedangkan sepasang matanya
berkaca-kaca siap memuntahkan air-air bening.
Pemuda berpakaian merah yang tak lain dari Lingga
terus sibuk membunuh burung-burung pemakan bangkai
dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Sambil terus
bertindak demikian, kepalanya menoleh 1$ arah gadis itu.
Telah belasan ekor burung yang malang itu tergeletak dalam
keadaan tewas.
"Apa hubunganmu dengan monyet betina yang baru
kubunuh itu, Gadis Montok?!" tanya Lingga. Sikapnya
tampak kurang ajar sambil mengarahkan kepala pada tubuh
wanita berpakaian hijau muda yang tergolek
"Keparat!" gadis berpakaian kurung menggelam
seperti seekor macan luka. "Jadi, kau yang telah melakukan
pembunuhan keji itu, Jahanam?!"
"Benar," Lingga mengangguk sambil bangkit berdiri.
Tidak lagi dipedulikannya kerumunan burung pemakan
bangkai yang tadi dibantainya. "Sebenarnya, aku ingin
membunuh pula suami wanita busuk ini, yang kalau tidak
salah bernama Moksa dan beijuluk Pendekar Tangan
Sepuluh. Tapi karena dia telah lebih dulu kabur sebelum
kubunuh, yaah...! Apa boleh buat...? Istrinya pun tidak
mengapa."
"Terkutuk!"
Sekujur tubuh gadis berpakaian kuning ini menggigil
hebat karena amarah bergolak.
"Kau akan merasakan pembalasanku!" lanjut gadis itu.
Singng!
Sinar menyilaukan mata langsung mencuat, ketika
gadis berpakaian kuning ini mencabut senjata yang terselip
di pinggangnya.
"Ah...! Suling Perak...!" seru Lingga kaget dengan
tarikan wajah berubah. Tampang yang senantiasa dingin itu
mulai beriak, sebagai bukti kalau sangat terkejut. "Apa
hubunganmu dengan Pendekar Suling Perak, Gadis
Montok?!"
Wungng!
Jawaban yang diberikan gadis berpakaian kuning itu
adalah tusukan ujung suling peraknya ke arah tenggorokan
Lingga, setelah didahului gulungan sinar berwarna
keperakan.
"Uh!"
Namun serangan gadis yang sepertinya putri dari
Pendekar Tangan Sepuluh hanya mengenali angin, karena
Lingga telah lebih dulu mendoyongkan tubuh ke belakang
sambil melangkahkan kaki. Namun, gadis itu tidak tinggal
diam. Serangan susulan kembali dilayangkan dengan
penggunaan tendangan lurus-kaki kanan ke arah dada.
"Hmh!"
Pemuda berpakaian merah hanya mendengus, melihat
serangan ini. Sekarang, dia tidak lagi mengplak. Maka
langsung dipapakinya serangan itu dengan tendangan kaki
kanan pula.
Bresss!
Dua buah kaki beradu teras. Dan seterika tubuh
gadis berpakaian kuring itu langsung teijengkang ke
belakang dan terguling-guling. Begitu berhasil bangkit,
wajahnya langsung menyeringai menahan kesakitan. Kaki
kanannya terasa ngilu bukan kepalang.
Tapi, putri Pendekar Tangan Sepuluh itu benar-benar
bukan gadis yang gampang menyerah. Tanpa mempedulikan
sakit yang masih menggigit, dia mebmpat melancarkan
serangan dengan suling. Serangannya langsung
menimbulkan bunyi seperti bukan digerakkan, melainkan
ditiup. Hanya saja bunyinya tidak terlalu enak didengar.
Pertarungan pun berlangsung cukup sengit, kendati
Lingga tidak mempergunakan senjata. Ftemuda berpakaian
merah ini hanya bertangan kosong. Meski demikian jalannya
pertarungan cukup imbang. Namun menginjak jurus ke lima
belas, Lingga mulai dapat menekan lawannya.
Memang, Lingga harus mengakui kalau kepandaian
gadis berpakaian kuning ini cukup hebat. Tenaga dalam dan
kelincahannya tidak terlalu jauh di bawah tingkatannya.
Namun permainan sulingnya benar-benar luar biasa
Sayang, betapapun hebatnya permainan suling gadis
berpakaian kuning ini, tak satu pun yang mampu mengenai
tubuh Lingga. Ujung baju pemuda berpakaian merah itu saja
tidak pernah tersentuh. Lingga dengan langkah-langkah
anehnya yang terkadang terhuyung-huyung seperti akan
jatuh, melompat-lompat di tempat, atau bahkan berlarian
mengelilingi lawan. Dan tindakannya selalu berhasil
mengelakkan setiap serangan.
Rrrttt!
Di jurus ketujuh belas, tusukan suling gadis
berpakaian kuning yang meluncur ke arah dada, berhasil
dilihat sehelai kain merah di tangan Lingga. Gadis itu kagpt
bukan kepalang. Maka secepat kilat senjatanya ditarik. Tapi,
suling itu tidak bergeming sama sekali!
Gadis berpakaian kuning yang memiliki watak keras
tentu saja tidak mau mengalah. Seluruh tenaga yang dimiliki
dikerahkan untuk menarik sulingnya yang terlibat kain
merah, yang ternyata ikat kepala Lingga. Entah kapan,
pemuda berpakaian merah itu mengambilnya dari kepala.
Di saat gadis berpakaian kuning tengah bersitegang,
Lingga mengendurkan belitannya. Tentu saja tindakan tak
terduga-duga ini membuat tubuh gadis ini teijengkang ke
belakang, terbawa tarikan tenaganya sendiri. Kesempatan
baik itu segera dimanfaatkan Lingga sebaik-baiknya. Ikat
kepalanya disalurkan tenaga dalan, hingga menegang kaku
laksana sebatang tongkat. Bahkan terus meluncur ke arah
bahu kanan lawannya.
Tukkk!
Gadis berpakaian kuning hanya sempat mengeluh
tertahan, ketika jalan darah pada tubuhnya tertotok.
Bagaikan sehelai kain basah, tubuhnya langsung ambruk ke
tanah.
Sekarang gadis berpakaian kuning hanya bisa
menatap Lingga dengan sinar mata penuh kebencian.
Sedangkan Lingga bagaikan tidak tahu, terus saja melangkah
mendekati tempat tubuh gadis itu tergolek, langsung duduk
bersimpuh.
"Sejak kecil aku sudah dididik untuk melakukan
tindakan yang sejahat-jahatnya terhadap lawan. Dan aku
paling suka bertindak untuk menyakitkan hati orang lain.
Dan tindakan itulah yang kulakukan terhadap istri Pendekar
Tangan Sepuluh. Batinnya lebih dulu kusiksa, sebelum
nyawanya kulenyapkan. Dan tindakan serupa akan
kulakukan terhadapmu, Gadis Montok!"
Gadis berpakaian kuning merasakan sekujur tu-
buhnya meremang. Sekarang hatinya ngeri bukan kepalang,
karena dapat memperkirakan bahaya apa yang akan
mengancamnya. Napas Lingga yang memburu hebat dan
sepasang mata yang menatap ke arahnya, telah menjadi
tanda. Dan rasa takut yang amat sangat pun melandanya.
5
"Apa... apa yang hendak kau lakukan...?!" tanya gadis
berpakaian kuning dengan perasaan ngeri. Suaranya pun
terdengar bergetar, karena gejolak rasa takut.
"Tunggu saja. Nanti pun kau akan tahu sendiri"
Kemudian diiringi seringai kejam, Lingga meng-
ulurkan tangan. Langsung dicengkeramnya baju bagian dada
gadis berpakaian kuning itu. Lalu....
Brettt!
"Awww...!"
Gadis berpakaian kuning tidak sanggup berbuat apa-
apa lagi. Perasaan ngeri yang amat sangat tampak jelas pada
wajahnya.
"Jangan...! Kumohon jangan kau lakukan padaku....
Lebih baik bunuh saja aku. Dan aku akan sangat berterima
kasih apabila kau langsung membunuhku. Jangan...! Jangan
lakukan ini padaku...," rintih putri Ftendekar Tangan
Sepuluh.
Pakaian gadis itu mulai dari bagian dada sampai perut
robek lebar. Maka dua bukit kembar yang padat membusung
terbungkus kulit putih halus dan mulus pun membentang
jelas.
Lingga menelan ludahnya sendiri sebagai laki-laki
waras, pemandangan demikian membuatnya seperti silau.
Keluhan-keluhan menyayat hati dari gadis berpakaian kuning
ini tidak tertangkap pendengarannya sama sekali. Yang ada
dalam pikirannya hanya satu. Menyalurkan keinginan yang
me n gge bu -ge bu!
"Apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi Cah
Ajar?" kata Lingga dengan suara mulai bergetar, karena
napas yang memburu terdorong keinginan menggebu-gebu.
"Sejak kecil aku dididik, untuk melakukan tindakan
kejahatan yang paling menyakitkan hati orang lain. Dan
setelah dewasa, aku jadi orang yang ingin melihat orang lain
tewas secara menyakitkan pula. Dan bagi orang sepertimu,
aku tahu kematjan yang paling ditakutkan."
Lingga menutup ucapannya dengan sebuah tubrukan
ke arah gadis berpakaian kuning yang sudah tidak berdaya
kecuali pasrah menerima nasib. Sedangkan gadis ini hanya
bisa menangis, membayangkan kehancuran hatinya.
Sementara Lingga dengan beringas terus menggeluti dan
menciumi sekujur tubuh gadis itu yang bugil. Dan kedua
tangannya ke sana kemari, meremas apa saja secara kasar
dan brutal
Lingga benar-benar berhati batu. Dia bisa tertawa
terkekeh-kekeh di saat gadis berpakaian kuning merintih-
rintih, menangis, dan meratap-ratap memohon belas kasihan.
Di tengah hawa nafsu yang menggelegak, tiba-tiba....
"Iblis Keji...! Binatang Bermuka Manusia...!"
Terdengar keras penuh kemarahan, membuat Lingga
yang belum sempat melucuti pakaiannya sendiri, teijingkat
kaget bagai disengat kalajengking. Dengan keoekatan seorang
ahli silat tingkat atas, pemuda berpakaian serba merah ini
melenting ke atas.
Ketika menjejak tanah secara mantap, di belakangnya
dalam jarak tiga tombak telah berdiri seorang pemuda
berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih
keperakan melambai-lambai tertiup angin. Siapa lagi orang
itu kalau bukan Aiya Buana ilias Dewa Arak
Sekarang Lingga dan Dewa Arak berdiri berhadapan
dalam jarak sekitar lima tombak
"Anjing Kurap! Jadi, kau yang tadi melemparkan
makian?!"
Dengan muka merah padam, dan sinar mata
memancarkan hawa maut, Lingga menuding ke arah Aiya.
"Benar! Karena kau memang orang semacam itu.
Penjahat Berhati Binatang! Orang semacam dirimu tidak
pernah mendapat ampunan dariku! Bersiaplah untuk
menerima kematian!" teriak Aiya tidak kalah keras.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini
mencorong tajam, memperlihatkan kemarahannya yang
mencapai ubun-ubun.
"Hih!"
Dari jarak lima tombak, Lingga memukulkan tinju
kanannya ke arah Dewa Arak. Dalam kemarahannya,
segenap tenaga dalam yang dimiliki telah dikeluarkan. Bunyi
berkesiutan nyaring mengiringi meluncurnya angin pukulan
berhawa panas ke arah Dewa Arak
Aiya yang sangat pantang melihat tindakan
pemerkosaan di depan matanya, tanpa pikir panjang lagi
memapak pula dengan pukulannya. Maka dua buah angin
pukulan yang sama-sama dahsyat meluncur dalam arah
berlawanan. Lalu...
Blarrr!
Udara seperti bergetar ketika dua angin pukulan
berbenturan di tengah jalan, hingga menimbulkan bunyi
keras menggelegar. Tubuh kedua tokoh ini sama-sama
terhuyung ke belakang. Tapi, Lingga terhuyung lebih jauh
dua langkah.
Pemuda berbaju serba merah itu menggeram. Hatinya
penasaran bukan kepalang melihat hasil benturan tadi.
Selama ini belum pernah ada tokoh muda yang pernah
mengalahkannya. Baik dalam adu tenaga, kecepatan lari,
maupun kelincahan. Maka kekalahan kali ini benar-benar
membuat menjadi naik darah!
"Arrrggghhh...!"
Diawali teriakan keras seperti macan luka, Lingga
melompat menerjang. Tubuhnya bagaikan sehelai bulu ketika
meluncur menuju Dewa Arak. Namun Aiya yang tengah
marah menyambutinya tak kalah sigap. Sehingga, terjadilah
pertarungan mati-matian.
Dewa Arak yang tengah dilanda amarah, tanpa
tanggung-tanggung lagi segera mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' yang menjadi andalannya. Namun, betapa kagetnya
hati pemuda berambut putih keperakan ini, ketika melihat
lawannya menyambutinya dengan ilmu serupa.
Pertarungan aneh pun berlangsung. Kedua belah
pihak melakukan gerakan-gerakan sama anehnya. Tapi
terlihat jelas kalau setiap kali teijadi benturan, tubuh Lingga
selalu terhuyung ke belakang.
Lingga pun akhirnya menyadari kelebihan pemuda
berambut putih keperakan itu. Setelah bertarung sampai
lima puluh jurus, benaknya mulai diputar untuk
menyelamatkan diri. Lingga tahu, Dewa Arak tidak mau
melepaskannya hidup-hidup, bahkan mungkin berniat
membunuhnya!
dliggg!
Pada sebuah kesempatan, Lingga menendang sebuah
kerikil yang diarahkan kepala gadis berpakaian kuning yang
masih terduduk tak berdaya. Dengan mengeluarkan bunyi
menyeramkan, kerikil itu melayang ke arah sasaran.
Dewa Arak terkejut melihat serangan licik itu. Tidak
ada jalan lain, mengirimkan kibasan tangan kanan dan kiri
berurutan, untuk membuat arah kerikil menyeleweng.
Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu Lingga.
Begitu melihat Dewa Arak mengalihkan perhatian, buru-buru
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya
dalam beberapa kali lesatan dia telah berada cukup jauh dari
tempat semula.
Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran
sama sekali. Aiya tahu, tidak ada gunanya pengejaran orang
selihai Lingga, apabila jarak telak demikian jauh. Maka
perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian kuning yang
telah berhasil diselamatkan nyawanya.
Namun begitu Dewa Arak melengos 1$ arah gadis itu,
wajahnya langsung berubah merah padam. Demikian pula
gadis berpakaian kuning ini. Wajahnya juga panas, karena
saking malunya. Maka dengan gerakan cepat, Aiya melengos
ke arah lain. Dan dia berusaha sedapat mungkin untuk tidak
melihat pemandangan indah yang terpampang di depan
mata, sambil menghampiri tempat gadis berpakaian kuning
itu tergolek.
Dan setelah membebaskan totokan yang mem-
belenggu gadis berpakaian kuning. Dewa Arak buru-buru
berbalik. Diberikannya kesempatan pada gadis itu untuk
membenahi pakaiannya. Dan putri Pendekar Tangan Sepuluh
itu menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke pondoknya
dan berganti pakaian.
•k-k-k
"Aku sudah selesai," ucap putri Pendekar Tangan
Sepuluh ketika telah berganti pakaian dan kembali ke tempat
semula.
Maka dua pasang matanya menatap sebentar. Dua
raut wajah saling meneliti sejenak. Ada nada kekaguman
dalam pandangan masing-masing.
"Sayang aku datang terlambat, Nisanak. Kalau tidak,
mungkin tidak perlu ada yang harus meninggal secara
mengerikan seperti itu.
Aiya yang lebih dulu memecahkan suasana hening
dengan ucapan bernada penyesalan. Sementara matanya
menatap penuh kengerian pada tubuh Tunjung Sari dan
anaknya yang tergolek di tanah.
"Tidak ada yang terlambat, Dewa Arak. Oh, maaf....
Kau Dewa Arak, bukan?!" tanya gadis berpakaian kuning ini
menatap wajah Aiya dengan muka merah padam.
Putri pertama dari Tunjung Sari dan Pendekar Tangan
Sepuluh ini masih merasa malu besar, mengingat betapa
Aiya telah melihat tubuhnya yang dalam keadaan bugil.
Kalau menuruti perasaan, ingin ditinggalkannya saja Dewa
Arak. Karena setiap kali melihat wajah Aiya, setiap kali itu
pula seperti berada dalam keadaan telanjang bulat!
"Maksudmu bagaimana, Nisanak?!" tanya Aiya, tidak
mengerti. Pemuda itu menatap gadis berpakaian kuning ini
sekilas. Jawaban putri Ftendekar Tangan Sepuluh
membuatnya lupa untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan.
"Kau tidak terlambat datang untuk memberi
pertolongan, Dewa Arak. Karena dua mayat yang kau
maksudkan memang sudah lama tewas. Maksudku, aku saja
tidak memiliki kesempatan untuk menolong mereka. Apalagi,
kau yang datang belakangan," jelas gadis berpakaian kuning
ini, mulai sedih kembali, teringat lagi akan nasib yang
menimpa ibunya.
"Ah...!" desah Dewa Arak. "Sebenarnya apa
hubunganmu dengan mayat-mayat itu?!"
"Yang seorang adalah ibuku. Sedangkan yang satunya
lagi, kemungkinan besar adikku. Aku tidak tahu pasti,
karena sejak umur sepuluh tahun telah dikirim belajar pada
salah seorang kenalan ayahku yang bernama Burisrawa. Aku
baru saja selesai belajar, lalu pulang untuk menjumpai
orangtuaku. Namun yang kudapatkan seperti ini," jelas gadis
berpakaian kuning itu panjang lebar. "O, ya. Namaku, Sri
Kunti. Sedangkan ibuku Tunjung Sari. Dan ayahku bernama
Moksa tapi, lebih dikenal sebagai Pendekar Tangan Sepuluh."
"Pendekar Tangan Sepuluh?!" Aiya agak terperanjat
karena telah mendengar nama besar pendekar berkumis
melintang itu, sebagai pentolan golongan putih yang
berkepandaian tinggi. Julukannya telah menggemparkan
dunia persilatan sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Tapi
sampai sekarang pun tetap ditakuti dan disegani, karena
masih suka berkecimpung dalam kerasnya dunia persilatan.
"Benar," sahut gadis bernama Sri Kunti mengangguk.
"Bukankah kau tokoh yang beijuluk Dewa Arak? Julukanmu
bahkan mengalahkan kebesaran julukan ayahku. Hampir
setiap tokoh persilatan membicarakan tentang dirimu, Dewa
Arak"
"Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Kunti," Aiya
berusaha merendah.
Sri Kunti tidak memberi jawaban. Dia telah teringat
kembali akan nasib ibunya. Sedangkan nasib ayahnya belum
diketahuinya sama sekali. Perasaan sedih pun kembali
melingkupi hatinya. Sehingga, membuat wajahnya muram
dan keceriaan hatinya karena bertemu Dewa Arak kembali
tertutupi. Sri Kunti menghampiri mayat ibunya. Meskipun
sedih yang amat sangat, dia berusaha teras untuk tidak
menangis. Apalagi, di depan Dewa Arak
Dewa Arak kemudian membantu Sri Kunti mengurus
mayat ibu dan adiknya. Kehadiran pemuda berambut putih
keperakan itu memang banyak membantu. Sehingga sedikit
banyak, Sri Kunti tidak terlampau dibelit rasa sedih.
Keberadaan Arya sedikit banyak mampu mengisi kekosongan
hatinya ditinggal Tunjung Sari, ibunya.
Setelah upacara penguburan selesai, Sri Kunti
mengeluarkan semua uneg-unegnya. Baru kemudian
sepasang anak muda ini melanjutkan perjalanan. Semula
Aiya hendak menolak keikutsertaan Sri Kunti bersamanya.
Tapi karena tidak sampai hati, akhirnya gadis itu dibiarkan
ikut bersamanya. Sri Kunti mula-mula masih tenggelam
dalam alam kesedihannya. Tapi karena wataknya yang lincah
dan periang, tak lama rasa sedihnya lenyap. Apalagi karena
berjalan bersama Dewa Arak, pemuda yanq diam-diam
dikaguminya. Dan sekarang gadis ini mulai jatuh hati.
•k-k-k
"Hhh...!"
Seorang kakek berpakaian abu-abu berkumis
melintang putih, menghela napas berat setelah menatap
sosok berpakaian coklat longgar yang tergolek di bawah
kakinya, di antara kelompok kuburan yang sebagian besar
telah porak-poranda. Hampir semua kuburan itu telah tidak
mempunyai gundukan lagi, kecuali lubang berukuran
setengah kali satu tombak yang menganga.
"Tak kusangka akhir nasibmu demikian menyedihkan,
Burisrawa sahabatku. Kau tergeletak di antara makam-
makam yang kau jaga dan sekarang sudah porak-poranda
seperti nyawamu. Aku berjanji akan membuat perhitungan.
Sahabatku," bisik sosok berpakaian abu-abu yang tak lain
dari Pendekar Tangan Sepuluh, sambil duduk setengah
berjongkok di dekat mayat yang ternyata Burisrawa, penjaga
pusaka-pusaka peninggalan Ftendekar Suling Perak.
Pendekar Tangan Sepuluh kembali bangkit berdiri.
Dan pandangannya beredar sebelum akhirnya kakinya
melangkah lebar-lebar mendekati salah satu lubang yang
menganga.
Terdengar bunyi bergemeretak keras dari gigi-gigi
Pendekar Tangan Sepuluh yang beradu, ketika melihat peti
yang telah kosong itu hancur berantakan.
"Biadab! Keji...!"
Makian seperti itu keluar terus-menerus, ketika
Pendekar Tangan Sepuluh menemukan hasil yang sama pada
lubang-lubang lainnya. Benaknya pun dipenuhi pertanyaan.
Apakah orang yang telah melakukan kekejian ini seorang
diri? Kalau demikian, bagaimana mungkin dia bisa membawa
mayat-mayat yang berada di pekuburan ini, yang jumlahnya
belasan?! Lagi pula, untuk apa mayat-mayat yang pasti
berbau tidak sedap itu dibawa?!
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut berputaran di
benak Pendekar T angan Sepuluh tanpa ada jawabannya.
Setelah berputar mengelilingi sekitar tempat itu tanpa
menemukan sebuah peti mati yang dapat dipakai tempat
tubuh Burisrawa, Pendekar Tangan Sepuluh kembali ke
tempat mayat Burisrawa tergolek. Hatinya merasa geram
bukan kepalang pada orang yang telah membunuh Burisrawa
dan menghancurkan semua peti mati yang berada di
pekuburan ini.
"Eh...?!"
Pendekar Tangan Sepuluh berseru kaget ketika
melihat mayat Burisrawa sudah tidak berada di tempat
semula. Untuk sesaat, kakek berkumis melintang ini tertegun
dan berpikir keras. Apakah dia telah lupa, di mana tubuh
kawannya yang telah menjadi mayat itu berada? Ataukah
telah dimasukkannya ke dalam lubang?!
Pendekar Tangan Sepuluh berdiri bingung di
tempatnya. Kakek berkumis melintang itu berusaha keras
untuk mengingat-ingat barangkali saja lupa kalau telah
meletakkan mayat itu ke dalam lubang. Belum juga bisa
menemukan jawabannya....
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar tawa terkekeh yang keras penuh
ejekan, sehingga membuat Ftendekar Tangan Sepuluh
terperanjat. Dan dia langsung bersiap untuk menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Seketika
pendekar yang telah kenyang pengalaman ini langsung bisa
menduga, mengapa mayat Burisrawa bisa lenyap dari tempat
semula!
"Siapa kau, Keparat! Kalau bukan pengecut,
tunjukkan dirimu...!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh
sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Sumber suara itu memang sukar diketahui, seakan-
akan dari delapan penjuru. Kenyataan ini saja sudah cukup
untuk membuat Pendekar Tangan Sepuluh yakin kalau orang
yang tertawa itu berkepandaian tinggi. Terutama sekali,
tenaga dalamnya. Karena hanya orang-orang yang memiliki
tenaga dalam kuatlah yang dapat membuat ucapannya tidak
dapat dilacak.
"He he he...! Tidak usah terburu nafsu, Moksa.
Saatnya untuk melihatku belum tiba. Lagi pula, bukankah
kau tengah mencari kawan karibmu yang telah menjadi
bangkai?!" sambut suara tanpa wujud lagi.
"Pengecut Hina! Keluar kau! Dan, mari hadapi aku!
Kita bertarung sampai salah seorang ada yang mati! Jangan
hanya berani menghadapi mayat tidak berdaya!" bentak
Pendekar Tangan Sepuluh, kalap.
Dia khawatir pemilik suara yang tidak diketahui itu
akan melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap mayat
Burisrawa.
Dan kafi ini tidak ada sambutan sama sekali, meski
Pendekar Tangan Sepuluh telah cukup lama menunggu.
Keheningan seterika melingkupi sekitarnya, setelah gema
suara kakek berkumis melin tang ini lenyap, terasa
mengerikan.
"Siapa kau sebenarnya, Ftengscut?! Dari mana kau
tahu namaku. Dan, lagi rasanya aku pemain mendengar
suaramu. Hanya saja, aku lupa kapan dan di mana?"
Pendekar Tangan Sepuluh kembali berseru keras
ketika teringat kembali akan ucapan pemilik suara tanpa
wujud itu. Moksa diam-diam merasa heran, mengetahui
orang itu bisa tahu nama aslinya. Karena, hampir tidak ada
orang yang tahu nama aslinya lagi. Tokoh-tokoh persilatan
mengenalnya sebagai Pendekar Tangan Sepuluh! Kalau
pemilik suara tanpa wujud ini tahu namanya, berarti cukup
mengenal dirinya. Dan itu berarti, kemungkinan besar
pemilik suara itu dikenalnya pula.
"Terimalah kawan baikmu ini, Moksa!"
Seiring keluarnya kata-kata itu, dari sebatang pohon
besar berdaun rimbun yang berada tak jauh dari tempat
Pendekar Tangan Sepuluh berada, melesat sesosok benda
besar.
"Hih!"
Begitu telah mengetahui tempat persembunyian
pemilik suara tanpa wujud, tanpa membuang luang waktu
lagi, Pendekar Tangan Sepuluh memukulkan kedua
tangannya yang dikepal kuat-kuat. Arah yang dituju adalah
bagian atas batang pohon itu.
Wusss! Brakkk!
Sesaat setelah angin menderu teras yang berasal dari
kedua tangan yang dihentakkan, pohon yang terkena sasaran
angin pukulan Pendekar Tangan Sepuluh hancur berentakan
mengeluarkan bunyi gemuruh. Tapi sebelum pohon itu
sempat hancur, dari atasnya melesat sesosok bayangan yang
melompat turun dengan kecepatan menakjubkan.
Pendekar Tangan Sepuluh tidak merasa heran melihat
serangannya tidak membuat sosok yang berada di atas pohon
terluka. Dia tahu, serangan seperti itu akan mudah dapat
dielakkan oleh tokoh yang berkepandaian tinggi. Dan pemilik
suara tanpa wujud ini diyakininya merupakan tokoh
berkepandaian tinggi
Makanya Pendekar Tangan Sepuluh cepat melesat
mengejar hendak mengirimkan serangan susulan. Tapi, sosok
yang berdiri tegak dalam jarak hampir tujuh tombak darinya
sambil menundukkan kepala, mengibaskan tangan kiri
dengan sikap tidak acuh.
"Lebih baik kau periksa dulu, apakah tubuh yang
kuberikan itu kawanmu atau bukan?!"
Pendekar Tangan Sepuluh merupakan seorang
pentolan golongan putih yang telah kenyang pengalaman.
Itulah sebabnya, dia dapat mengetahui adanya pancingan
dalam ucapan sosok yang beluin dapat dikenalinya.
Dan Pendekar Tangan Sepuluh memang tidak
menanggapi kata-kata sosok yang belum ketahuan wajah dan
jenis kelaminnya. Malah dihampiri sosok itu dengan sikap
hati-hati dan sekujur urat saraf, menegang, siap
mengirimkan serangan.
6
"He he he...! Kau takut, Moksa?! Kau takut kalau aku
menipumu? Atau kau takut, kalau-kalau aku menggunakan
kesempatan saat kau mempeihatikan tubuh itu, lantas aku
membokongmu? He he he...! Sama sekali tidak kusangka.
Ternyata Moksa yang sombong dengan julukan Pendekar
Tangan Sepuluh telah berubah menjadi penakut. He he he...!"
Moksa menggertakkan gigi menahan geram. Hatinya
sebagai orang gagah, tersinggung. Maka dengan langkah
lebar, Pendekar Tangan Sepuluh ini mendekati mayat yang
dilemparkan sosok tanpa jati diri itu. Sosok yang diduga
mayat Burisrawa.
"Ah!"
Pendekar Tangan Sepuluh ini teijingkat ke belakang
seperti orang tersengat ular berbisa, ketika baru saja
memeriksa tubuh yang tergolek di tanah.
Potongan tubuh sosok yang tergolek di tanah ini jelas
sebagai tubuh Burisrawa. Pakaiannya yang longgar dan
berwarna coklat pun tidak bisa disangsikan lagi. Tapi, yang
membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa ngeri dan kaget
adalah, ketika melihat wajah Burisrawa! Wajah itu demikian
mengerikan, dan sulit dikenali. Karena sepasang matanya
sudah tidak ada lagi dan mungkin dicongkel keluar. Dan
yang ada hanya bolongan hitam yang menjorok ke dalam.
Ujung hidungnya dipotong, sedangkan mulutnya dirobek
lebar sampai ke pinggir telinga kanan dan kiri!
Pendekar Tangan Sepuluh bangkit dengan kedua
tangan dikepalkan teras, hingga mengeluarkan bunyi
bergemeretakan seperti ada tulang-tulang patah. Sepasang
matanya seperti mengeluarkan sinar berapi, ketika menatap
ke arah sosok yang masih belum terlihat jelas.
"Bagaimana, Moksa?!" tanya sosok iru bernada
mengejek. "Benarkah dia kawanmu?!"
"Kubunuh kau...!"
Belum hilang gema ucapannya, Pendekar Tangan
Sepuluh telah mebmpat menerjang sosok yang belum
ketahuan jati dirinya. Kedua tangannya seketika seperti
berubah menjadi puluhan pasang saat meluncur ke arah
sasaran. Dalam puncak kemarahan yang sejak tadi tertahan-
tahan, Ftendekar Tangan Sepuluh menggunakan ilmu
'Sepuluh Tangan Malaikat' yang menjadi andalannya.
"Inikah ilmu 'Sepuluh Cakar Anjing' yang terkenal
ampuh itu? Sungguh buruk?!"
Berbareng keluarnya ucapan itu, sosok yang belum
jelas jenis kelaminnya menggerakkan tangan, menyambuti
datangnya serangan. Maka dua palang tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam kuat, berbenturan di udara
secara keras.
Akibatnya, tubuh meieka sama-sama terjengkang ke
belakang dan terguling-guling di tanah. Tapi terlihat jelas
kalau sosok yang belum ketahuan jari dirinya itu lebih dulu
berhasil menguasai diri dan bangkit berdiri.
"Tunggu sebentar, Moksa.'" Sosok yang sekarang
dapat terlihat jelas karena sinar bulan tepat jatuh di
wajahnya, cepat menjulurkan tangan kanan ke depan. Dia
memberi isyarat agar Pendekar Tangan Sepuluh yang akan
melancarkan serangan susulan menahan gerakannya.
Mau tidak mau. Pendekar Tangan Sepuluh menahan
serangan. Dia adalah seorang tokoh besar. Pantang baginya
untuk menyerang, sementara lawannya belum bersiap
menghadapi serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan
Moksa untuk memperhatikan lawannya penuh selidik. Dan
diam-diam, bulu-bulu di tubuh kakek berkumis melintang ini
bangun karena cekaman rasa ngeri.
Keadaan sosok yang yang merusak mayat Burisrawa
ini memang menggariskan hati. Sebagian wajahnya sudah
tidak memiliki daging lagi, dan yang terlihat hanya tulang-
tulangnya.
"Apa lagi permainanmu, Jahanam?!" sentak Pendekar
Tangan Sepuluh, setelah berhasil menguasai perasaannya.
"Tidak ada permainan apa-apa, Moksa," jawad sosok
berwajah mengerikan.
Menilik keadaannya, orang itu telah berusia lanjut.
Dan dia berusaha tersenyum. Tapi karena wajahnya
mengerikan, maka senyum itu lebih mirip seringai.
"Yang ada hanya sedikit pemberitahuan pada mu.
Kuharap berita ini cukup untuk membantumu sedikit
gembira," lanjut sosok itu.
"Tidak usah mengulur-ulur waktu, Iblis Keji! Katakan
saja, cepat! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main
denganmu lebih lama lagi!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh
bernada tidak sabar.
Moksa sebenarnya bukan hanya tak ingin segera
menjatuhkan tangan keras pada lawannya yang lihai ini. Tapi
dia juga lelah berpikir saat mengingat-ingat kakek berwajah
mengerikan yang telah mengenalnya. Malah dia seperti
pemah mendengar suaranya. Pendekar Tangan Sepuluh
tidak ingat lagi.
"Sabar, Moksa. Pemberitahuan ini hanya menyangkut
tentang istrimu, yang selalu mengenakan pakaian hijau
muda dan anakmu yang baru berusia paling lama dua tahun.
He he he...!"
Kakek berwajah mengerikan sengaja menggantung
ceritanya. Ingin disiksanya dulu perasaan Ftendekar Tangan
Sepuluh. Dengan demikian, keterangan ini akan membuat
Pendekar Tangan Sepuluh merasa sangat penasaran.
Nyatanya Pendekar Tangan Sepuluh memang sampai
terlonjak kaget. Sepasang mata dan mulutnya terbelalak
lebar.
"Iblis Jahanaml Apa yang kau lakukan atas anak dan
istriku?! Ingat! Sedikit saja mereka terganggu, tubuhmu akan
kuhancurleburkan!" desis Pendekar Tangan Sepuluh penuh
ancaman.
"He he he...! Betapa gagahnya! Tapi ingin kulihat bukti
kebenarannya, apakah sesumbar itu sesuai kemampuanmu,
Moksa?!" ujar kakek berwajah mengerikan, terang-terangan
mengajukan tantangan.
"Tidak usah berbelit-belit, Manusia Iblis! Katakan, di
mana istriku dan apa yang kau lakukan terhadapnya!
Bebaskan dia! Kau hanya berurusan denganku. Tidak dengan
mereka!" dengus Pendekar Tangan Sepuluh yang masih
merasa khawatir akan nasib anak dan istrinya.
"Kau bertanya di mana mereka, Moksa...?! Baiklah
kujawab terus terang. Anak dan istrimu ada di... akherat,
Moksa! Ha ha ha...! Mereka telah kukirim ke neraka melalui
siksaan yang mengasyikkan. Ha ha ha...! Kau bilang tidak
ada urusan, Moksa?! Sebenarnya baik kau dan Tunjung Sari
mempunyai persoalan denganku! Apakah kau telah lupa
peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu! Waktu itu aku kau
lemparkan ke dalam jurang dalam pertempuran kita
memperebutkan Tunjung Sari...?!"
Wajah Pendekar Tangan Sepuluh kontan memucat.
Dia ingat betul, peristiwa itu memang amat membekas di
dalam otaknya. Dan begitu kakek berwajah mengerikan
mengatakan kejadian itu. Moksa baru ingat dengan suara
yang sekarang di dengarnya. Dan itu adalah suara....
"Sulang...?! Jadi, kau... Sulang?! Kau..., kau masih
hidup?!"
Pendekar Tangan Sepuluh terbata-bata dalam
mengucapkan perkataannya. Sekarang Moksa mengerti,
mengapa kakek berwajah mengerikan ini membunuh istri
dan anaknya secara kejam! Ternyata Sulang melakukan balas
dendam kesumat yang dipendamnya sejak dua puluh lima
tahun lalu
"Benar! Aku masih hidup, Moksa Keparat! Setan-setan
di neraka menolongku hingga tidak mampus di dasar jurang.
Tapi sebelah wajahku kehilangan daging, akibat tersayat-
sayat dinding jurang yang tajam! Dan keberuntungan
rupanya masih berteman denganku. Di dasar jurang, aku
menemukan kitab ilmu-ilmu sakti milik seorang tokoh
beijuluk Pemabuk Gila, tokoh yang telah lenyap hampir
seratus tahun lalu. Dan ilmunya yang bernama 'Dewa Mabuk'
dengan sendirinya jatuh 1$ tanganku. Sepuluh tahun lebih
aku melatih diri untuk , mempertinggi kepandaianku.
Kemudian, aku mengambil seorang murid dan kudidik
dengan ilmu-ilmuku. Tak lupa, sambil melatihnya, aku
melatih diri pula. Asal kau tahu saja, Moksa Bangsat!
Muridku itu jauh lebih kejam dan jahat daripada aku! Sejak
kecil dia kudidik agar setelah dewasa menjadi orang yang
paling suka melihat orang lain tersiksa! Ha ha ha...!"
Moksa merasa ngeri mendengar suara tawa Sulang
yang sarat nafsu-nafsu kejahatan. Tapi, rasa ngeri itu masih
kalah besar dengan kemarahan yang melanda akibat
ke matian istri dan anaknya secara mengprikan.
Dan kemarahan hebat yang menggelegak dalam dada
yang mendorong Pendekar Tangan Sepuluh menyerang
Sulang dengan buas. Sementara laki-laki tua berwajah
mengerikan yang memendam dendam dan sakit hati pun
menyambutnya!
Begitu pertarungan berlangsung beberapa jurus,
Pendekar Tangan Sepuluh harus mengakui kalau Sulang
tidak hanya bersesumbar. Kenyataan yang dihadapinya
memang demikian. Sulang telah mengalami kemajuan pesat,
jauh melampaui kemajuan yang diterima Moksa.
Pendekar Tangan Sepuluh sendiri selama dua puluh
lima tahun, tidak berpangku tangan saja. Dia juga berlatih.
Tapi tokoh Sulang yang dulu memiliki kepandaian jauh di
bawah Pendekar Tangan Sepuluh, mampu melampauinya!
Sulang yang sekarang tidak hanya memiliki tenaga
dalam dan kecepatan gerak di atas Pendekar Tangan
Sepuluh. Tapi juga memiliki ilmu-ilmu aneh yang
menyulitkan Pendekar Tangan Sepuluh dalam melancarkan
serangan balasan. Kedahsyatan ilmu Sepuluh Tangan
Malaikat' yang biasanya amat ampuh untuk menjatuhkan
lawan tangguh, sekarang pupus. Tidak pernah sekali pun
tangan Moksa mendarat di sasaran.
Bahkan perlahan Pendekar Tangan Sepuluh berhasil
dihimpit lawannya. Setiap serangannya, tidak pernah
mengenai sasaran. Sebaliknya serangan balasan yang
dikirimkan Sulang, senantiasa merepotkan Moksa.
Desss! Bukkk!
Entah di jurus keberapa, tahu-tahu tubuh Pendekar
Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke
belakang. Hanya saja, dari mulut Moksa keluar deras darah
segar. Memang pada saat yang hampir bersamaan, pukulan
tangan kanan terbuka Sulang mendarat di dada Pendekar
Tangan Sepuluh. Sebaliknya, tendangan kaki kanan Ffende-
kar Tangan Sepuluh menyerempet paha kanan Sulang.
kkk
"Ayaaah...!"
Jeritan nyaring melengking yang sarat perasaan kagpt
dan khawatir menyeruak, ketika tubuh Ftendekar Tangan
Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke belakang.
Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, melesat
bayangan ungu yang langsung menerjang Sulang. Sementara
bayangan yang berwarna kuning melesat ke arah tubuh
Pendekar Tangan Sepuluh yang melayang kc belakang. Sosok
bayangan kuning cepat menghentikan melayangnya tubuh
itu, sebelum berbenturan dengan batang pohon.
"Huakh!"
Darah segar langsung menggelogok keluar, ketika
Pendekar Tangan Sepuluh baru saja membuka mulut, saat
akan berbicara.
"Ayah...!"
Sosok berpakaian kuning yang tak lain seorang gadis
manis bernama Sri Kanti ini, menyerukan panggilan terhadap
Pendekar Tangan Sepuluh dengan penuh rasa cemas.
"Kau... terluka, Ayah?!" lanjut Sri Kunti. Pendekar
Tangan Sepuluh masih berusaha tersenyum meski sepasang
matanya telah sayu. Biasan wajahnya pun menyiratkan
kegembiraan ketika menatap wajah gadis muda yang
memapah tubuhnya, dan merebahkannya secara hati-hati di
tanah.
"Kau... kau..., Sri Kunti, Anakku?!" tanya Moksa
dengan suara terputus-putus karena lukanya yang parah.
Hantaman Sulang memang dahsyat
"Benar, Ayah. Aku Sri Kurti, putrimu yang kau kirim
pada Kakek Burisrawa untuk menuntut ilmu," jawab Sri
Kunti disertai air mata yang terus menetes. Gadis ini benar-
benar tidak kuat menahan rasa sedih melihat keadaan
ayahnya yang sudah sekarat. Meskipun demikian Sri Kunti
berusaha tidak ingin menangis! Andaikata harus, biar hanya
air mata saja yang mengalir. Tidak perlu mengeluarkan
suara.
"Kau..., kau sudah menjumpai ibu dan adik mu?!
Maaf, Ayah tidak sempat memberitahukan kalau kau
mempunyai seorang adik lagi. Semula, Ayah
menyembunyikannya agar menjadi kejutan nantinya bagimu,
di kala kau pulang menemui kami," suara Moksa semakin
terputus-putus.
"Ayah..., Ibu dan adik telah...."
"Aku mengerti," tukas Pendekar Tangan Sepuluh,
melihat keraguan Sri Kanti untuk meneruskan ucapannya.
Sekarang, kakek berkumis melintang ini yakin kalau Sulang
tidak berbohong. Ada rasa nyeri yang bermain-main di hati
Moksa. "Mereka telah tewas bukan?"
"Jadi, Ayah sudah tahu pula?!" tanua Sri Kunti serak
Biasan wajah gadis ini menyiratkan rasa kaget.
Karena sekelebatan dia teringat ucapan Lingga yang
mengatakan kalau Pendekar Tangan Sepuluh telah melarikan
diri, begitu Lingga datang.
"Aku tidak melihat mereka tewas. Aku hanya
mendengar beritanya saja dari pembunuhnya. Dan orang
yang membunuhnya adalah orang yang telah melukaiku,"
jelas Pendekar Tangan Sepuluh mulai tersengal-sengal
"Kau keliru, Ayah. Ffembunuhnya adalah seorang
pemuda berpakaian merah. Dia sakti dan kejam bukan
kepalang. Aku hampir celaka di tangannya. Untung Dewa
Arak datang menolongku," ujar Sri Kunti bernada bangga,
apalagi ketika menyebut tentang sosok bayangan ungu yang
memang Aiya Buana alias Dewa Arak.
"Tapi...," Pendekar Tangan Sepuluh ingin membantah.
Tapi, sesaat kemudian, dia teringat penuturan Sulang.
"Orang yang kau maksudkan itu adalah murid dari orang
yang mengalahkanku, Kunti."
Sri Kunti terdiam. Gadis berpakaian kuning ini sama
sekali tidak menyangka kalau Lingga yang demikian lihai,
masih mempunyai seorang guru. Bisa dibayangkan,
bagaimana kesaktiannya. Pantas saja ayahnya sampai
terluka parah.
"Mengapa Ayah datang ke tempat ini?! Dan, mengapa
tempat ini jadi demikian berantakan?" Sri Kunti menatap
sekeliling, dengan pandangan heran.
"Kau tidak tahu, Kunti. Malapetaka besar menimpa
gurumu. Ada seorang tokoh yang telah membunuh gurumu.
Melihat tindakannya yang mengobrak-abrik tempat ini, pasti
pusaka-pusaka peninggalan leluhur majikan gurumu yang
dicarinya. Aku tahu hal ini, atas pemberitahuan Sakala.
Entah ke mana sekarang burung itu. Kau harus.. , akh...!"
Kepala Pendekar Tangan Sepuluh terkulai, sebelum
sempat menyelesaikan ucapannya. Luka dalamnya yang
terlampau parah, telah mengirim nyawanya ke alam baka
menyusul istri dan anaknya yang kedua.
"Ayaaah..."
Sri Kunti menjerit keras sambil mengguncang-
guncangkan tubuh ayahnya. Gadis ini masih berharap agar
ayahnya masih hidup. Tapi setelah beberapa kali diguncang-
guncangkan, tubuh itu tetap tidak bergeming. Kini disadari
kalau ayahnya telah pergi meninggalkannya. Pendekar yang
pernah menggemparkan dunia persilatan itu kini tewas.
Sri Kunti memeluk tubuh ayahnya yang telah tidak
bernyawa lagi, sebentar. Tidak ada suara tangis yang keluar
dari mulut mungil berbibir indah itu. Gadis itu mampu tetap
tegar, kendati orang orang yang disayanginya satu persatu
pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Sri Kunti hati-hati membaringkan tubuh ayahnya di
tanah seperti khawatir tubuh itu akan pecah. Kemudian
pandangannya dialihkan pada tempat di mana Sulang tadi
terhuyung. Namun, pandangannya yang menyiratkan
dendam langsung tertumbuk pada pertarungan antara Dewa
Arak melawan Sulang.
Pertarungan telah berlangsung hampir lima puluh
jurus. Namun belum ada yang keluar sebagai pemenang.
Pertarungan memang masih berlangsung seimbang. Kedua
belah pihak sama-sama tangguh. Sama-sama memiliki ilmu
aneh yang membuat tubuh mereka terkadang meliuk-liuk se-
perti mabuk. Tapi di lain waktu, mengejang kaku penuh
kekuatan!
Bresss!
Tubuh kedua tokoh sakti yang memiliki ilmu mirip
satu sama lain ini sama-sama teijengkang ke belakang dan
terguling-guling di tanah, ketika terjadi benturan tenaga
dalam.
Kesempatan di saat tubuh Sulang terguling-guling,
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Sri Kunti. Sambil
menggertakkan gigi, tubuhnya melompat menerjang Sulang.
Langsung sulingnya dibabatkan ke tubuh laki-laki berwajah
menggiriskan itu.
Wusss!
Sulang memang lihai! Dalam 1$adaan gawat begitu,
kepalanya masih sanggup diegoskan. Sehingga hantaman
suling yang hampir memecahkan pelipisnya hanya
menyambar angin, lewat beberapa jari dari kepala. Namun
belum juga Sulang bersiap, Sri Kunti telah menyusuli
serangannya. Dan....
Desss!
Tendangan kaki kanan Sri Kunti yang tidak bisa
dihindarkan lagi oleh Sulang telah menghantam dadanya.
Tubuh Sulang langsung jatuh terguling-guling. Dadanya
terasa sesak bukan kepalang. Untung tubuhnya masih
sempat terlindungi tenaga dalam. Kalau tidak, nyawanya
pasti telah melayang ke akherat!
Sulang adalah seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia
tahu, keadaan sudah tidak menguntungkan dirinya lagi.
Baru Dewa Arak saja sudah merupakan lawan sulit. Belum
lagi ditambah Sri Kunti yang cukup lihai! Ini sungguh
berbahaya!
Maka Sulang yang cerdik cepat menambah kekuatan,
sehingga membuat tubuhnya yang terguling-guling menjadi
lebih cepat. Kemudian, dengan sebuah gerakan indah
tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu menjejak tanah, dia
cepat melarikan diri.
"Mau lari ke mana kau, Pengecut?!"
Sri Kunti yang tengah sakit hati, tidak mau
membiarkan lawannya lolos begitu saja. Bergegas dia
mengejar. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh
Sulang sudah tidak terlihat lagi. Kecepatan lari Sulang
memang jauh di atas Sri Kunti!
Dengan rasa penasaran yang menggunung di dada,
Sri Kunti berbalik dan berjalan 1$ tempat semula.
"Kau tidak berniat mengejarnya, Arya?!" tanya Sri
Kunti ketika melihat Arya masih di tempat semula.
"Aku tak mau membuang tenaga sia-sia, Kunti. Dia
telah cukup jauh, sebelum aku sempat berbuat apa-apa.
Apalagi, dia memiliki ilmu lari cepat yang sangat tangguh,"
jawab Arya.
Tapi sebenarnya bukan itu alasan Dewa Arak. Arya
merasa tidak senang, ketika melihat Sri Kunti melancarkan
serangan di saat Sulang tengah tidak bersiap. Dan yang
membuatnya semakin tidak senang, saat itu Sulang adalah
lawannya. Jadi serangpn yang dilancarkan Sri Kunti, sama
artinya mengeroyok Sulang. Hal inilah yang mendorong Arya
tak melakukan pengejaran.
Padahal, kalau pemuda berambut putih keperakan ini
mau, kemungkinan besar Sulang akan berhasil dikejarnya.
Karena, kakek berwajah mengerikan itu tengah terluka yang
cukup parah akibat tendangan Sri Kunti.
Sri Kunti tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dan saat
itulah pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang
tergolek di tanah, tak jauh dari ayahnya. Tadi, perhatiannya
terlalu dipusatkan pada ayahnya dan Sulang. Sehingga, dia
tidak melihat adanya sesosok mayat di situ. Seketika Sri
Kunti teringat ucapan ayahnya. Dan, mengapa ayahnya
berada di sini. Jantung dalam dada Sri Kunti pun berdetak
jauh lebih cepat karena mendapat dugaan kalau mayat yang
tergolek itu adalah Burisrawa, gurunya.
"Guru...!"
Jeritan kekagetan dan ketidakpercayaan langsung
terdengar ketika Sri Kunti memeriksa dan mengenali mayat
yang tergolek dalam keadaan menggiriskan itu! Dan diiringi
keluhan tertahan, Sri Kunti ambruk. Untung Aiya cepat
menangkapnya sehingga dia tidak terbanting, di tanah.
Aiya hanya bisa menghela napas berat penuh
perasaan kasihan ketika melihat Sri Kunti pingsan! Dia tahu,
gadis berpakaian kuning ini menerima pukulan batin bertubi-
tubi yang amat berat
7
Bentakan-bentakan teras yang biasanya keluar saat
terjadi pertempuran, membuat Aiya terkejut. Kepalanya cepat
menoleh ke arah sumber suara itu.
Beberapa belas tombak dari tempatnya, berkelebatan
sosok-sosok dari dalam sebuah pondok kecil. Gerakan
mereka rata-rata gesit, menandakan tingginya kepandaian
mereka.
Perasaan tertarik membuat Aiya yang masih
memondong tubuh Sri Kunti, bergerak mendekati tempat itu.
Karena tidak ingin terlibat sebelum tahu masalahnya, Dewa
Arak mendekati tempat itu secara hati-hati agar tidak
diketahui sosok-sosok yang kelihatannya tengah bersitegang.
Dengan berlindung di balik kerimbunan semak-semak
serta pepohonan, Dewa Arak berhasil mendekati tempat
sosok-sosok itu saling berhadapan dengan sikap saling
bertentangan. Suatu tanda kalau mereka mempunyai
kepentingan satu sama lain, sehingga menimbulkan
perselisihan.
Jantung di dalam dada Aiya berdetak kencang ketika
mengenali tiga sosok, di antara enam sosok yang berada di
situ. Tiga sosok yang tak lain tiga kakek dari Nepal yang
mengaku sebagai Kelompok Bulan Sabit. Sedangkan sosok
yang lain juga berkulit hitam kecoklatan, dan berhidung
melengkung. Hanya saja sosok ini berambut panjang dan
beranting-anting yang juga panjang. Sosok ini seorang
wanita! Di tangan kanannya yang kurus tergenggam sebatang
suling dari ular mati yang dikeringkan.
Sedangkan di sisi lainnya, berdiri dua sosok yang juga
kakek-kakek dari Nepal. Tubuh mereka gemuk dan besar
mirip seekor kerbau. Dan tangan mereka yang gemuk dan
besar mencekal sebatang tongkat besar terbuat dari kayu
melingkar. Pada bagian pangkal tongkat terdapat ukiran
kepala seekor gajah. Inilah kelompok lain dari Nepal yang
mengaku Kelompok Gajah Dewa!
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan dua kakek
dari Kelompok Gajah Dewa mengarahkan pandangan ke arah
wanita beranting-anting panjang yang juga telah berusia
lanjut.
"Gangga Nanda," kakek dari Kelompok Gajah Dewa
membuka suara. "Memandang muka Tayatonga yang masih
kami hargai, lebih baik beritahukan pada kami di mana
pusaka-pusaka itu disembunyikan. Jangan kau paksa kami
bertindak tidak sewajarnya terhadap dirimu!"
"Enak saja kau bicara, Bharurendra!" sentak kakek
bertahi lalat di ujung hidung yang merupakan juru bicara,
sekaligus orang paling berangasan dari kelompok Bulan Sabit
"Kamilah yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu daripada
kalian."
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu... sekali...! Atas dasar apa
kalian mengatakan lebih pantas daripada ku? Bukankah aku
memiliki tingkatan lebih tinggi, sewaktu kita semua masih
dalam satu kelompok. Kami memiliki tingkat di atas kalian.
Tak terkecuali Tayatonga!" bentak kakek yang berhidung
besar seperti hidung kerbau dari Kelompok Gajah Dewa.
Suaranya keras mengguntur. Dan dia lebih dikenal dengan
nama Gitananda.
"Itulah sebabnya kami mengatakan lebih beihak,
Bharurendra!" sambut kakek bertahi lalat di ujung hidung.
"Karena merupakan murid, maka kamilah yang berhak
mewarisi pusaka-pusaka itu. Kalian berdua terhitung orang
luar. Dan, tidak berhak ikut campur! Urusan ini adalah
urusan dalam antar murid-murid dari Guru Bahadur!"
"Ha ha ha...!"
Laki-laki yang bernama Gitananda kembali tertawa
bergelak. Sehingga, membuat perutnya yang gendut dan
besar terguncang-guncang.
"Kalian benar-benar dungu! Lupakah akan ucapan
guru kalian, Bahadur sebelum meninggal? Siapa pun yang
memegang pusaka-pusaka itu, berhak menjadi pimpinan.
Dengan syarat, orang itu berasal dari kelompok kita. Dan
kami berdua memenuhi syarat. Bahkan amat memenuhi
syarat, karena kami merupakan tokoh tingkat tinggi!"
"Kalau begitu," sambung kakek bertahi lalat di ujung
hidung. "Sekarang, Gangga Nanda yang berhak menjadi
ketua. Karena, dialah yang telah mendapatkan pusaka-
pusaka itu."
"Itu kalau Gangga Nanda berhasil membukitkan kalau
pusaka-pusaka itu berada di tangannya," kata Bharurendra,
menghentikan tawanya. Karena dia sangat berhasrat untuk
menjadi pemimpin kelompok. "Gangga Nanda! Tunjukkan, di
mana pusaka-pusaka itu!"
"Sayang sekali, aku belum berhasil mendapatkannya!"
sahut Gangga Nanda menggelengkan kepala.
"Jangan bohong, Gangga Nanda!" sentak
Bhorurendra, keras. "Kami melihat kau keluar tergesa-gpsa
dari dalam pondok itu. Kalau tidak telah mendapatkan
pusaka-pusaka itu, apa lagi?! Bukankah kau pula yang telah
membunuh Burisrawa?!"
"Memang aku telah membunuh Burisrawa. Dan aku
telah masuk ke dalam pondok itu. Setelah memeriksa
beberapa lama, aku keluar lagi tanpa hasil. Aku yakin bukan
di pondok itu pusaka-pusaka tersimpan. Tidak ada ruang
rahasia sedikit pun di sana. Pasti Burisrawa
menyembunyikannya di tempat lain!"
Bharurendra dan kakek bertahi lalat di hidung saling
berpandangan. Mereka tahu, Gangga Nanda tidak berbohong.
Dapat mereka rasakan nada kejujuran dalam ucapan nenek
beranting-anting panjang itu.
"Kalian dengar...?" tanya Bharurendra, jadi
mempunyai kesempatan untuk mengejek kakek bertahi lalat
di hidung beserta kelompoknya. "Pusaka-pusaka itu belum
berhasil didapatkan. Jadi perebutan dan pencarian masih
tetap berlangsung!"
"Tidak akan ada perebutan atau pencarian pusaka
lagi."
Mendadak saja terdengar sebuah suara tegas.
Sehingga membuat enam sosok itu menoleh ke arah asal
suara. Dan pandangan mata mereka langsung terbelalak
ketika melihat sosok yang mengeluarkan ucapan tadi.
"Tayatonga...?!"
Seruan tidak keras, tapi tertahan dan sarat perasaan
kaget keluar dari enam sosok itu
Dari arah sebelah kiri tampak berjalan tenang seorang
kakek bertubuh sedang bercambang bauk lebat. Sebatang
tongkat berujung sebilah logam tajam berbentuk bulan sabit
tampak tergenggam di tangan kanannya. Sosok ini tak lain
dari Tayatonga.
"Apa arti ucapanmu itu, Tayatonga?!" sentak
Bharurendra keras, penuh bernada kemarahan. "Kau hendak
mengangkangi sendiri pusaka-pusaka leluhurmu?!"
"Tidak usah pura-pura bodoh, Bharurendra!" sergah
Tayatonga, keras, tidak ada kesan menghormat sedikit pun.
"Pusaka leluhur?! Seenaknya saja mengangkangi pusaka
milik orang lain!"
Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan
Sabit terperanjat. Mereka tidak terkejut kalau pusaka-pusaka
itu menurut Tayatonga bukan pusaka leluhur mereka.
Karena sebelumnya Tayatonga juga sudah berkata demikian.
Tapi, sikap Tayatonga yang demikian tidak menghormat
terhadap paman-paman gurunya! Yang membuat mereka
terkejut Kelompok Bulan Sabit pun, meski tadi terlibat
keributan, tetap bersikap menghormat Kelompok Gajah
Dewa. Mengingat Bharurendra dan Gangu Nanda,
merupakan adik-adik seperguruan Bahudur, guru mereka!
"Kalianlah yang begitu tidak tahu malu berkeingnan
untuk mengangkangi pusaka-pusaka orang lain! Jangan
dikira aku tidak tahu semua bualan kalian!"
Semakin kagpt Gangga Nanda dan tiga Kelompok
Bulan Sabit mendengar kelanjutan ucapan Tayatonga yang
semakin kurang ajar, terhadap Bharurendra. Sementara
wajah dua dari Kelompok Gajah Dewa semakin merah padam
karena maki dan marah.
"Kalian tidak perlu bingung-bingung, darimana aku
tahu semua ini! Dan kau Gangga Nanda, serta kalian," ujar
Tayatonga sambil mengarahkan perhatian pada istrinya, dan
tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. "Dengarkan baik-baik,
ceritaku. Karian tahu murid-murid guru kita, yang diutus
untuk mencari Ftendekar Suling Perak?! Mereka semuanya
tewas secara aneh. Kalian tahu, siapa penyebabnya? Siapa
pembunuhnya? Paman-paman guru kita yang terhormat
inilah pelakunya. Mereka berdua pula yang membunuh
Pendekar Suling Perak yang telah tidak bersenjata lagi.
Akibat ingin mengangkangi pusaka milik orang lain, kedua
paman guru kita ini sampai hati melakukan semua tindak
kekejian itu. Bahkan sampai membujuk guru untuk
membatalkan janjinya, dalam hal memulangkan pusaka-
pusaka itu. Mereka berdualah yang telah menghasut guru
agar melakukan tindakan tak pantas itu."
"Dia bohong!" sentak Bharurendra, keras sambil
menuding jari telunjuk ke arah wajah Tayatonga.
"Mungkin aku berbohong, kalau perkataan itu berasal
dari mulutku sendiri. Tapi asal kalian semua tahu saja.
Semua keterangan yang kuberikan ini kudapatkan dari mulut
guru, di saat ajal hendak menjemput," tegas Tayatonga
berapi-api.
Wungngng!
Bunyi menderu keras seperti terjadi angin badai
muncul dari serangan tongkat Gitananda. Dan Tayatonga tahu
ancaman maut sedang mengincarnya. Tapi hatinya tidak
gentar. Disambutnya sambaran tongkat lawan dengan tongkat
bulan sabit nya!
"Mampus kau, Tayatonga!"
Gitananda yang memiliki sikap berangasan, langsung
meluruk ke arah Tayatonga. Dia berlari seperti seekor terbau
dengan tongkat ditusukkan ke arah perut Tayatonga.
Wungngng!
Bunyi menderu teras seperti ada angin badai muncul
dari serangan tongkat itu. Dan Tayatonga langsung tahu ada
ancaman maut. Tapi hatinya tidak gentar. Bahkan langsung
memapak dengan tombak bulan sabitnya.
Trakkk!
Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke
belakang, ketika senjata-senjata itu berbenturan. Kenyataan
ini tidak hanya mengejutkan Tayatonga, tapi juga Gangga
Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. Karena
sepengetahuan meieka, Bharurendra dan Gitananda tidak
memiliki ilmu silat yang cukup. Tapi kenyataannya?! Tayato-
nga yang demikian lihai itu pun mampu dibuat terhuyung
oleh Gitananda yang pendiam.
"Kepalang basah!" teriak Bharurendra, seraya
menatap Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kebmpok Bulan
Sabit. Sinar matanya memancarkan hawa maut. "Kalian
sudah telanjur tahu rahasia ini. Biarlah kalian pun akan
kulenyapkan! Hiaaatt...!"
Bharurendra memutar-mutarkan tongkatnya di atas
kepala hingga mengeluarkan bunyi mengaung keras dan
gelombang angin menderu teras. Kemudian diawali jeritan
keras yang menggetarkan jantung, kakek tinggi besar ini
menerjang tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit yang
kebetulan berdiri dekat dengannya.
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terkejut ketika
merasakan adanya hembusan angin teras yang mendahului
tibanya serangan tongkat Bharurendra. Bahkan hampir saja
tubuh ketiga kakek itu terjengkang ke belakang, kalau tidak
cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk
memberatkan tubuh.
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, seketika itu
pula bermaksud memapak serangan Bharurendra.
Trakkk!
Empat batang senjata langsung berbenturan keras.
Dan akibatnya, tubuh tiga kakek dari Kebmpok Bulan Sabit
terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah, seperti
daun-daun kering dihembus angin.
"Terimalah ajal kalian!" sahut Bharurendra seraya
melompat memburu lawan-lawannya yang masih terguling-
guling. Tongkat bergagang kepala seekor gajah, siap
dihantamkan.
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terperanjat
bukan kepalang. Mereka menyadari akan adanya ancaman
maut. Tapi, mereka juga tidak mampu bertindak apa-apa.
Kekuatan yang mereka tangkis tadi ternyata demikian besar.
Sehingga mampu membuat tubuh bagaikan daun diterbang-
kan angin. Sekujur tubuh meieka terasa lumpuh-lumpuh.
"Hih!"
Di saat tongkat Bharurendra hampir menghancurkan
kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, mendadak
sesosok bayangan melesat memotong jalur yang tengah
ditempuh Bharurendra. Dan dalam keikutsertaannya
membela tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, sosok itu
langsung mengirimkan tusukan ke arah ubun-ubun
Bharurendra.
Tindakan sosok yang tak lain Gangga Nanda ini,
membuat Bharurendra terpaksa mengurungkan maksudnya.
Dan secepat kilat tangannya dikibaskan ke arah sosok yang
tengah melesat ke arahnya.
Wuttt!
"Uh...!"
Gangga Nanda mengeluarkan keluhan tertahan ketika
dari kibasan tangan Bharurendra menghambur segundukan
angin keras, yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke
samping. Dengan sendirinya, serangan terhadap kakek Nepal
bertubuh tinggi besar ini kandas.
Meski serangan Gangga Nanda gagal, tapi tin-
dakannya membuat nyawa tiga kakek dari Kebmpok Bulan
Sabit terselamatkan. Kesempatan yang hanya sesaat itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk
bergulingan, menjauhi tempat itu.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun
berlangsung. Gangga Nanda yang dibantu tiga kakek dari
Kelompok Bulan Sabit berusaha keras untuk membendung
amukan Bharurendra yang luar biasa! Sedangkan di kancah
pertarungan lainnya, Gitananda tengah beijuang keras
membuat Tayatonga roboh!
Kedua pertarungan dahsyat itu hanya disaksikan dua
penonton. Aiya dan Sri Kunti yang telah sadar dari
pingsannya. Dewa Arak telah buru-buru memberi isyarat
untuk tidak menimbulkan suara gaduh ketika Sri Kunti
sadar dari pingsannya.
Dan sekarang, sepasang anak muda berwajah elok ini
mengarahkan pandangan penuh perhatian pada kancah
pertarungan. Malah Sri Kunti sampai terbelalak ngeri ketika
melihat kehebatan Bharurendra dan Gitananda!
Kedua adik seperguruan Bahadur ini bertarung
bagaikan macan luka. Yang ada di benak mereka hanya
menyerang dan menyerang, tanpa mempedulikan pertahanan
sama sekali.
Dan ternyata, ketidakpedulian mereka terhadap
pertahanan mempunyai alasan kuat! Ternyata Gitananda
maupun Bharurendra sama sekali tidak mampu dilukai.
Senjata-senjata yang mengenai melesat, seakan-akan tubuh
mereka licin laksana belut
Hanya ketika Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok
Bulan Sabit, dan Gangga Nanda mengirimkan serangan-
serangan ke bagian-bagian berbahaya, kedua orang itu
mengelak atau menangkis. Makanya, lawan-lawan Gitananda
dan Bharurendra selalu mengerahkan serangan pada leher,
pelipis, bawah hidung, ubun-ubun, dan pusar!
Dengan terbatasnya bagian-bagian yang dijadikan
sasaran serangan, Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok
Bulan Sabit, dan Gangga Nanda sedikit mengalami kesulitan.
Maka tidak heran kalau mereka semuanya terus didesak.
"Arrrggghh...!"
Mendadak Bharurendra mengeluarkan geraman
keras, seperti seekor singa hendak melumpuhkan korbannya.
Dan akibat geraman itu memang menggiriskan hati.
Untuk sesaat Gangga Nanda, dan tiga kakek dari Kelompok
Bulan Sabit yang tenaga dalamnya di bawah Bharurendra,
merasakan goyah pada kedua lututnya. Bahkan dada mereka
tergetar hebat.
Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak terbuang
percuma. Bharurendra yang memang sudah
merencanakannya, langsung melompat menerjang. Tongkat
bergagang kepala seekor gajah diputar cepat, laksana kitiran.
Tubuhnya terus melayang ke arah kepala tiga kakek dari
Kelompok Bulan Sabit
Prak, p rak, prakkk!
Bunyi berderak keras kontan terdengar, diiringi
bermuncratannya darah segar dari kepala tiga kakek yang
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, kepala tiga orang itu
langsung hancur berantakan. Memang, kebetulan saat itu,
ketiga orang ini yang berada lebih dekat dengan Bharurendra.
Peristiwa yang berlangsung hanya sekejap ini, cukup
membuat Gangga Nanda berhasil menguasai diri. Dan dia
segera menghilangkan pengaruh teriakan Bharurendra. Istri
Tayatonga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk lebih
cepat memulihkan diri.
Tapi, saat itu juga, Bharurendra melompat ke arahnya
sambil mengayunkan tongkat
8
"Gangga Nanda...!"
Tayatonga yang sempat melihat adanya ancaman
maut terhadap istrinya, tidak bisa tinggal diam. Cepat dia
pun melompat meninggalkan Gitananda. Dalam puncak
kekalapannya, dia jadi seperti memiliki tambahan tenaga.
Tubuhnya melayang dalam kecepatan menakjubkan.
"Bharurendra...!"
Gitananda yang sempat terkesima melihat gprakan
Tayatonga, bergerak mengejar di belakang dengan tongkat
siap diayunkan.
Sementara Bharurendra yang mendengar sambaran
angin dari belakang, jadi kaget. Bergegas kepalanya menoleh
ke belakang.
Dan begitu kepalanya bergerak menoleh 1$ belakang,
Bharurendra kaget. Sama sekali tak disangka akan
sedemikian cepat tibanya serangan. Dia sama sekali tidak
tahu kalau Tayatonga seperti mendapat tambahan
kemampuan baru, akibat kekhawatiran yang sangat terhadap
keselamatan istrinya.
Crattt! Desss!
"Akh...!"
Jeritan kesakitan langsung keluar hampir
berbarengan dari mulut Tayatonga dan Bharurendra. Karena
tepat pada saat ujung logam bulan sabit Tayatonga
menggores pelipis, Bharurendra pun mengirimkan gedoran
telapak tangan kiri yang telak menghantam dada Tayatonga!
Darah segar pun kontan tumpah dari mulut Tayatonga,
seiring terlempar tubuhnya ke belakang.
Dan, saat itulah Gitananda yang merasa geram bukan
kepalang melihat keadaan Bharurendra yang terhuyung-
huyung sambil meraung-raung, siap menusukkan tongkatnya
kepada Tayatonga.
"Uh!"
Namun Gitananda terpaksa mengurungkan
maksudnya, karena mendengar adanya hembusan angin
keras yang diiringi sambaran hawa panas. Serangan yang
siap hantam itu ditarik kembali. Dan kakek tinggi besar ini
pun segera melompat 1$ belakang. Begitu menjejak tanah,
dia menggeram keras, karena perasaan marah mengetahui
ada orang yang berani menghalangi maksudnya. Seketika ke-
palanya menoleh ke samping. Dan tampak seorang pemuda
berambut putih keperakan berdiri di situ. Siapa lagi kalau
bukan Dewa Arak!
"Keparat! Kau mencari mampus, hah...?!" Gitananda
dalam kemarahannya, tidak mempedulikan orang yang telah
menghalangi maksudnya. Yang terpancang di benak hanya
membunuh orang yang telah menghalangi tindakannya.
"Hiyaaa!"
Dari jarak enam tombak, tanpa menggeser kakinya
Gitananda menghentakkan kedua tangannya. Maka
berhembuslah angin luar biasa keras.
"Hah!"
Dewa Arak yang tidak ingin membuat orang asing itu
menjadi sombong, tidak mau kalah gsrtak. Langsung kedua
tangannya dihentakkan.
Blarrr!
Udara seperti bergetar ketika dua pukulan jarak jauh
yang berkekuatan amat dahsyat berbenturan di tengah jalan.
Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang
dan terguling-guling. Namun meski pandangannya agak
nanar, Dewa Arak dan Gitananda bergegas bangkit dan
bersiap melanjutkan pertarungan.
"Akh...!"
Mendadak Gitananda menggeliat-geliat. Dan
tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan wajah
menyiratkan rasa sakit yang hebat
Pemandangan ini membuat Dewa Arak mula-mula
curiga dan heran. Jangan-jangan, hal ini hanya akal
lawannya untuk mendapatkan kemenangan secara mudah.
Maka tetap ditatapnya laki-laki dari Nepal itu dengan sikap
waspada.
Tapi ketika melihat keadaan Gitananda menggeliat-
geliat secara dahsyat bagaikan cacing yang diletakkan di abu
panas, Aiya mulai menatap dengan sinar mata lain. Sekarang
dia tahu kalau Gitananda tidak berpura-pura. Hanya saja
yang masih menjadi pertanyaan bagi Aiya, mengapa ini
terjadi?. Dewa Arak sadar, kalau belum melukai lawannya!
Tapi, mengapa kakek tinggi besar itu kelihatan sangat
menderita?
"Gitananda! Cepat bunuh Tayatonga Keparat itu!"
Seruan teras yang dikeluarkan bernada mendesak itu
berasal dari mulut Bharurendra. Dan kakek tinggi besar itu,
saat ini tengah terhuyung-huyung sambil mendekap luka di
pelipis. Luka kecil nya seperti menjadi parah bukan kepalang!
Sementara Gangga Nanda tidak mempergunakan
kesempatan itu. Dia sibuk menotok beberapa bagian tubuh
Tayatonga untuk sekadar menghilangkan rasa sakit dan
pengobatan awal agar luka dalamnya tidak semakin parah!
Di lain tempat, tubuh Gitananda masih tampak
menggigil keras. Sekujur otot-ototnya menegang bagaikan
tengah menahan benda yang amat berat "Cepat! Sebelum kita
mati secara mengerikan!"
" Aaarrrgg gh h h...!"
Gitananda menggeram teras seperti mengerahkan
kekuatan terakhir. Namun Aiya yang sudah berwaspada
sejak tadi, tidak mau membiarkan kakek tinggi besar itu
melaksanakan rencananya. Cepat Dewa Arak bergerak
menangkis tubrukan Gitananda terhadap Tayatonga
Bresss!
Tubuh Dewa Arak langsung terpental dan terbanting
di tanah. Begitu menyentuh tanah tubuhnya terus berguling-
guling. Sedangkan tubuh Gitananda hanya bergoyang-goyang
saja.
Dewa Arak adalah seorang tokoh pengalaman. Begitu
berhasil bangkit dengan sepasang mata berkunang-kunang,
dia bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
Sekarang Dewa Arak mengerti, pasti Gitananda dan
Bharurendra telah menuntut semacam ilmu kebal dan
kekuatan dahsyat melalui jalan hitam. Dan karena
kelemahannya ditemukan, ilmu itu langsung pupus. Menilik
dari Gitananda yang tidak terluka sama sekali, tapi
mendadak seperti orang sekarat, Dewa Arak menduga ilmu
mereka pasti berhubungpn. Jadi bila yang satu luka, yang
lain akan ikut merasakan.
Dugaan Dewa Arak memang sebagian besar benar.
Gitananda dan Bharurendra menuntut ilmu pasangan yang
berhubungan satu sama lain melalui jalan hitam. Dan salah
satu persyaratannya adalah, keberadaan pusaka-pusaka
milik Pendekar Suling Perak. Tapi sayangnya, sebelum ilmu
itu dikuasi secara sempurna, pusaka-pusaka itu telah
dikembalikan. Makanya, Gitananda dan Bharurendra
berusaha teras mendapatkannya untuk menyempurnakan
ilmu mereka. Apabila tidak dilakukan, bagian-bagian lemah
di tubuh mereka akan membahayakan keselamatan mereka!
Dan untuk mencegah mati secara mengerikan, orang yang
melukai bagian lemah itu harus dibunuh!
Setelah sadar kalau untuk membunuh Tayatonga
masih harus berhadapan dengan Dewa Arak. Dan mungkin
sebelum maksudnya berhasil, sudah lebih dulu tewas dengan
mengerikan!
Tapi ada satu jalan untuk mencegah. Karena yang
terluka adalah Bharurendra. Dan Gitananda bisa lolos dari
maut, asalkan berada dalam jarak ribuan tombak dari
Bharurendra! Setidak-tidaknya, dua ribu tombak! Dan bila
jarak itu dicapai, Bharurendra akan tewas sendirian. Karena,
hubungan antara mereka telah putus.
Tapi Gitananda belum ingin mati. Maka, tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya berbalikkan.
Dan dengan terhuyung-huyung, dia berlari meninggalkan
tempat itu
"Gitananda...! Tunggu...!" Seru Bharurendra kaget
karena tidak menyangka dengan tindakan Gitananda. Dia
tahu, rekannya ingin selamat sendirian. Dan itu tidak
diin gin kan nya.
Maka meski dengan langkah terhuyung-huyung, dia
berlari mengejar. Tidak akan dibiarkan Gitananda jauh
meninggalkan dirinya.
Sementara itu Dewa Arak mengayunkan kaki
menghampiri Tayatonga yang masih tergolek di tanah dengan
napas tersengal-sengal, ditunggui Gangga Nanda. Sekali lihat
saja, Dewa Arak tahu kalau nyawa Tayatonga tidak akan
mungkin bisa diselamatkan. Luka yang dideritanya memang
terlalu parah.
Sedangkan tanpa diberitahukan, Sri Kunti keluar dari
tempat persembunyiannya dan menghampiri Tayatonga pula.
Tayatonga menatap suling perak yang berada di
selipan pinggang Sri Kunti. Dia tahu, itu bukan suling perak
asli. Tapi, laki-laki itu tidak berkata apa-apa.
"Kau murid Burisrawa?!" tanya Tayatonga, ketika
melihat suling perak itu
"Benar, Kek," jawab Sri Kunti membenarkan.
"Dia istriku," Tayatonga menunjuk pada Gangga
Nanda, setelah terlebih dulu melepas senyum pada Sri Kunti.
"Dia yang telah membunuh gurumu, dan mengobrak-abrik
tempat suci ini. Kau boleh membunuhnya. Aku tidak mau
melindungi orang yang bersalah."
"Biarlah, Kek. Menghargai dirimu, aku tidak mau
membuat perhitungan sekarang. Biarlah, Nanti kalau aku
bertemu dengannya lagi!"
Dewa Arak dan Tayatonga tersenyum mendengar
jawaban itu. Dan kedua orang itu sama sekali tidak tahu
kalau di saat mereka tengah tersenyum, di tempat yang
cukup jauh dari situ seorang pemuda berpakaian merah
tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke
angkasa. Di bawah, dekat kakinya, tergolek tubuh Gitananda
dan Bharurendra yang telah menjadi mayat
Kedua kakek tinggi besar itu tewas secara biasa,
karena telah mewariskan ilmu hitam yang dimilikinya pada
Lingga. Dan sekarang, Lingga jadi memiliki kemampuan
dahsyat! Tidak hanya memiliki kekebalan, tapi tenaga
dalamnya juga berlipat ganda. Karena, pemuda berpakaian
merah itu telah mendapat operan tenaga dari Gitananda dan
Bharurendra. Dan memang, perpindahan ilmu hitam itu ha-
nya dilakukan dengan penyaluran tenaga dalam, dari orang
yang mempunyai ilmu kepada orang yang diberi ilmu.
"Ha ha ha..!"
Lingga tertawa bergelak karena tahu kalau ke-
mampuannya telah meningkat pesat.
"Tunggulah, Dewa Arak! Kau akan mati secara
mengerikan di tanganku, akibat sikap usilanmu, Ha ha ha...!"
SELESAI
Ikuti kelanjutan, kisah ini dalam.episode:
BATU KEMATIAN
Emoticon