1
Bunyi kukuk burung hantu terdengar memecah
kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada
sedikit awan yang menggantung di sana. Itu pun tipis
saja. Hingga, meskipun bulan hanya sepotong namun
Dalam suasana seperti itulah tampak sesosok
bayangan berkelebat cepat. Karena suasana cukup te-
rang, sosok bayangan itu terlihat agak jelas. Sosok itu
bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba hitam.
Wajahnya putih pucat seperti orang berpenyakitan se-
pasang matanya yang besar berwarna merah.
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun ini
berlari cepat menuju sebuah bangunan besar yang ter-
lihat menjulang kokoh di kejauhan. Larinya cepat bu-
kan main hingga dua kakinya bagai tak menginjak ta-
nah!
Berkat ilmu larinya yang luar biasa, lelaki berpa-
kaian serba hitam ini dalam waktu yang tidak terlalu
lama tiba di tempat yang dituju. Tanpa mengendurkan
kecepatan larinya, lelaki ini melompat ke atas pagar
tembok yang mengurung bangunan-bangunan di da-
lamnya. Tinggi pagar ini tidak kurang dari tiga tombak!
"Hey! Siapa kau...?!"
Teguran keras terdengar tiba-tiba menyambut je-
jak kedua lelaki tinggi kurus itu di atas pagar tembok.
Lelaki tinggi kurus hanya mendengus. Dia tidak
kaget mendengar teguran yang ditujukan terhadapnya.
Teguran yang dikeluarkan seorang lelaki berpakaian
seragam kerajaan. Tembok tempat lelaki berpakaian
hitam menjejakkan kaki memang tembok yang menge-
lilingi istana kerajaan.
Nampak dua prajurit kerajaan menjadi marah ke-
tika lelaki berpakaian hitam tidak memberikan jawa-
ban. Hampir berbarengan kedua prajurit yang berada
di bagian dalam tembok itu mengayunkan tombaknya.
Suasana malam yang hening langsung dipecahkan
oleh bunyi mendesing dua batang tombak yang melun-
cur ke arah lelaki tinggi kurus. Tapi lelaki ini hanya
mendengus penuh ejekan. Tidak terlihat kakinya diin-
jakkan, tubuhnya sudah melayang ke atas hingga dua
batang tombak itu meluncur di bawahnya!
Kedua prajurit kerajaan terkejut bukan main me-
lihat lelaki berpakaian hitam menjejakkan kaki di ke-
dua batang tombak. Keterkejutan mereka semakin ber-
tambah ketika tombak-tombak berbalik dan meluncur
kembali ke arah pemiliknya dengan membawa tubuh
lelaki itu di atasnya. Tombak-tombak itu meluncur
mengancam dada! Bergegas keduanya merendahkan
diri. Tapi tombak-tombak itu ikut menukik ke bawah.
Dua jeritan menyayat hati pun dikeluarkan kedua
prajurit yang malang itu. Tombak-tombak menembus
hingga ke punggung! Darah muncrat-muncrat. Se-
dangkan lelaki tinggi kurus melompat melewati kepala
mereka di saat tombak-tombak mendarat di sasaran.
Tanpa mengeluarkan bunyi lelaki itu menjejakkan ta-
nah
Keributan yang timbul membuat belasan prajurit
berlarian menuju tempat itu. Lelaki berpakaian hitam
langsung dikepung rapat-rapat. Namun dia tetap terli-
hat tenang, meski belasan prajurit yang mengurung-
nya telah menghunus senjata dengan sikap mengan-
cam. Mereka tidak segera menyerang karena menyem-
patkan diri melihat rekan-rekan mereka yang tergolek
di tanah bermandikan darah.
Sesaat kemudian, hujan senjata meluruk ke ber-
bagai bagian tubuh lelaki tinggi kurus! Kembali dia
mendengus pelan. Kedua tangannya bergerak cepat
menangkis serangan-serangan yang datang.
Tak tak...!
Bunyi berdentang keras seperti beradunya logam-
logam keras terdengar ketika tangan lelaki tinggi kurus
berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Se-
ketika terdengar seruan keterkejutan. Mereka merasa-
kan tangan-tangannya bagai lumpuh. Apalagi ketika
melihat senjata-senjata mereka berpatahan!
Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu.
Tangan lelaki tinggi kurus bergerak mengibas cepat
bukan main. Para prajurit pun berpentalan ke sana ke
mari susul-menyusul dengan jerit kematian yang men-
dirikan bulu roma.
Meskipun tahu betapa lihainya lawan. Namun pa-
ra prajurit lain tak menjadi gentar karenanya. Mereka
melakukan perlawanan dengan semangat tinggi! Gugur
satu kembali datang penggantinya. Keributan yang ter-
jadi memang telah menarik perhatian para prajurit
lainnya untuk datang. Pembantaian besar-besaran pun
terjadi. Para prajurit ini seperti semut-semut yang me-
nerjang api. Mereka berguguran sebelum sempat me-
lukai sang pengacau yang luar biasa ini!
"Mundur semua...!"
Bentakan keras mengatasi riuh rendahnya perta-
rungan. Disusul dengan munculnya dua sosok tubuh
berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, ber-
gegas belasan orang prajurit yang tersisa berlompatan
mundur. Mereka mengenali pemilik suara itu. Lelaki
berpakaian hitam tidak berusaha mengejar. Dia hanya
berdiri menanti. Tatapannya ditujukan pada dua orang
panglima yang tengah melangkah menghampirinya
dengan tatapan penuh selidik,
"Kau... Panglima Nambi?!" seru dua panglima ke-
rajaan itu kemudian, kaget dan tidak percaya. Seruan
ini mereka keluarkan hampir berbarengan.
"Syukurlah, kalian masih ingat padaku!" dengus
lelaki tinggi kurus penuh ejekan. Meski demikian, raut
wajahnya tetap dingin. "Bukankah kalian berdua Sora
dan Wardana? Dua di antara anak-anak buahku yang
berkhianat. Nasib kalian rupanya sungguh baik. Ka-
lian telah menjadi panglima-panglima kerajaan. Waktu
dua puluh tahun lebih rupanya telah membuat nasib
kalian lebih beruntung!"
"Mau apa kau kemari, Nambi?!" sentak Panglima
Sora, yang bertubuh tinggi besar dan kekar laksana
batu karang. Panglima ini tidak tampak terkejut lagi.
Guncangan perasaan itu telah berhasil diredamnya.
"Benar. Mau apa kau kemari? Kau bukan pangli-
ma kerajaan ini lagi. Kau tak lebih dari seorang
pengkhianat kerajaan!" sambung Panglima Wardana
yang bertubuh sedang tapi tegap.
Para prajurit kerajaan yang mendengarkan perca-
kapan itu berdebar tegang. Mereka adalah prajurit ba-
ru yang belum dua puluh tahun mengabdi di kerajaan.
Sehingga, mereka tak mengenal Panglima Nambi. Ken-
dati demikian, cerita-cerita mengenai tokoh itu telah
mereka dengar. Dengan perasaan tertarik mereka
mengikuti percakapan yang terjadi di depan mata. Sen-
jata-senjata di tangan tetap terhunus agar dapat diper-
gunakan secara cepat apabila Panglima Sora dan Pan-
glima Wardana terancam.
Nambi terdengar mendengus keras. Sikapnya te-
tap kelihatan tenang
"Meski menjadi panglima, otak kalian berdua ru-
panya masih otak tamtama! Tidak bisakah kalian men-
gira-ngira maksud kedatanganku kemari? Tentu saja
untuk merampungkan maksudku yang dulu belum
terlaksana. Bukankah Putri Teratai Putih masih sendi-
ri? Cepat panggil dia! Katakan, Nambi telah datang un-
tuk mempersuntingnya!"
"Keparat!" Panglima Sora yang berwatak beranga-
san, menggeram. "Sungguh lancang kau berani me-
nyebut Yang Mulia Gusti Ratu Teratai Putih begitu sa-
ja. Nyawamu tak cukup untuk kelancangan yang kau
lakukan itu, Nambi!"
Panglima yang tidak bisa menahan kemarahannya
ini segera melompat menerjang. Jari-jari tangannya
mengembang membentuk cakar. Yang kanan menga-
rah ubun-ubun, sedangkan yang kiri mengancam peli-
pis.
Prattt!
Tubuh Panglima Sora terpental balik ke alas kem-
bali begitu Nambi memapaki serangannya. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun
sangat sesak.
"Jadi..., Putri Teratai Putih sekarang telah menjadi
ratu!?" ujar Nambi selesai menangkis serangan. "Sung-
guh kebetulan sekali! Berarti aku sekarang bisa men-
jadi raja!"
"Hal itu tak akan terjadi selama kami mash hidup,
Keparat!" Panglima Wardana menyambuti.
Kemudian, panglima ini menerjang Nambi. Pan-
glima Sora segera membantu. Lelaki tinggi besar ini
tahu kalau Panglima Wardana bukan tandingan Nambi
yang sekarang telah memiliki kepandaian mengiriskan.
Dalam sekejap saja Nambi dikeroyok Panglima So-
ra dan Panglima Wardana. Tapi, bekas panglima kera-
jaan ini memang luar biasa. Dia tidak terdesak sama
sekali. Malah, dua lawannya yang kewalahan.
Panglima Sora dan Panglima Wardana penasaran
bukan main. Nambi tidak mampu mereka desak. Pa-
dahal, dulu bekas panglima itu dilatih oleh mereka!
Jangankan menghadapi pengeroyokan, seorang di an-
tara mereka saja telah cukup untuk membuat Nambi
roboh dengan mudah. Sekarang keadaannya telah jauh
berbalik! Nambi menghadapi mereka tanpa bergeming
sedikit pun dari tempatnya.
"Kurasa sudah saatnya kalian pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, Nambi menjulurkan
kedua tangannya. Jari-jarinya ditujukan lurus ke de-
pan. Dari ujung-ujung jari itu melesat sepuluh larik
sinar kemerahan yang meluncur deras ke arah Pangli-
ma Sora dan Panglima Wardana.
Dua panglima gagah berani ini tidak sempat men-
gelak. Keduanya menjerit ketika sinar-sinar merah
mengenai tubuh mereka. Bagian yang terkena lang-
sung hangus. Dagingnya gosong dengan disertai asap
mengepul. Yang lebih mengerikan lagi, luka yang se-
mula kecil itu membesar dengan cepat, membawa ke-
hancuran daging seperti lilin terkena api!
Para prajurit kerajaan menatap dengan ngeri. Bu-
lu kuduk mereka berdiri. Lidahnya terasa kelu tidak
bisa digerakkan. Kejadian yang terpampang terlalu
mengejutkan sehingga mereka terkesima. Yang dilaku-
kan hanya menatap Panglima Sora dan Panglima War-
dana. Mereka meregang maut tanpa sanggup bertindak
apa-apa!
Geliatan tubuh kedua panglima kerajaan itu ter-
henti ketika nyawa mereka melayang. Raungan kesaki-
tan mereka pun tidak terdengar lagi. Nambi yang sejak
tadi memperhatikan semuanya dengan wajah dingin
sekarang mengalihkan perhatian pada para prajurit.
Wajah mereka tampak memucat. Ngeri membayangkan
kematian yang akan mereka alami!
"Kalau kalian tidak ingin mengalami nasib yang
sama, cepat bawa aku menghadap Putri Teratai Putih!"
hardik Nambi
Belasan prajurit itu saling berpandangan satu sa-
ma lain. Mereka tampak bingung. Keberanian mereka
mencair seperti es yang disorot sinar matahari. Kema-
tian Panglima Sora dan Panglima Wardana secara
mengerikan telah membuat nyali mereka ciut!
"Maafkan kami, Tuan," ujar seorang prajurit yang
masih memiliki keberanian untuk berbicara. "Gusti Ra-
tu tengah tidak berada di istana...."
"Apa katamu...?!" dengus Nambi marah. Telunjuk-
nya segera ditudingkan. Selarik sinar merah menyam-
bar. Dan, prajurit yang malang itu pun mengunjungi
akhirat dengan cara yang sama seperti Panglima Sora
dan Panglima Wardana.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin ngeri. Mere-
ka tanpa sadar melangkah mundur. Semangat mereka
melayang entah ke mana melihat rekannya mengalami
nasib yang sial.
"Mengapa itu bisa terjadi, hah?!" tanya Nambi lagi.
Tapi, tak ada yang berani menjawab. Bagaikan te-
lah disepakati sebelumnya, semua prajurit itu menun-
dukkan wajah. Nambi semakin murka. Telunjuknya
kembali ditudingkan. Kali ini malah berkali-kali. Jeri-
tan-jeritan menyayat hati disertai geliatan tubuh yang
merasakan siksaan menjelang ajal pun terjadi saling
susul-menyusul.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin terpuruk
dalam ketakutan. Jangankan mengangkat wajah, ber-
napas pun hampir-hampir ditahan!
"Barang siapa yang tidak memberikan jawaban,
akan menjadi korban selanjutnya!" desis Nambi "Kata-
kan cepat di mana Putri Teratai Putih?!"
Peringatan Nambi membuat para prajurit yang
tersisa berlomba-lomba memberikan jawaban. Riuh
rendah kedengarannya. Tapi, Nambi dapat mendengar
jelas. Lelaki ini baru percaya ketika mendengar adanya
kesamaan dalam jawaban mereka.
"Gusti Ratu tengah mengunjungi makam ayahnya.
Telah dua hari beliau pergi. Rencananya, seminggu
kemudian baru kembali."
Nambi tidak puas mendengar jawaban itu. Dia ti-
dak tahan lagi untuk bertemu dengan pimpinan ter-
tinggi kerajaan itu. Tapi, disadarinya kalau sekarang
hal itu tidak mungkin.
"Apakah Putri Teratai Putih pergi bersama Pende-
kar Naga Emas?!" tanya Nambi lagi
"Tidak, Tuan. Pendekar Naga Emas sudah lama ti-
dak terdengar beritanya. Bahkan, Gusti Ratu telah
mengirim banyak prajurit untuk mencarinya. Tapi
usahanya sia-sia."
Nambi tersenyum puas. Senyum yang mengeri-
kan. Lebih mirip seringai karena wajah dan matanya
tidak ikut tersenyum.
"Ini hadiahku untuk kalian...!"
Nambi menudingkan telunjuknya berkali-kali,
mengirimkan sinar-sinar merah pada prajurit-prajurit
yang tersisa. Jerit kematian kembali berkumandang.
Kali ini lebih gaduh dari sebelumnya.
***
Sang surya telah bergeser jauh dari tempat terbit-
nya. Meskipun demikian, belum mencapai titik tengah
ketika iring-iringan sebuah kereta kuda memasuki hu-
tan kecil di lereng gunung.
Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan de-
lapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang berpe-
nunggang sosok-sosok gagah itu melindungi kereta.
Tiga di bagian belakang dan depan, serta satu pada
masing-masing sisi kereta.
Seperti juga binatang tunggangannya yang semua
berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung
kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Sera-
gam pasukan kerajaan.
Menilik sikap sosok-sosok berpakaian seragam ke-
rajaan itu, bisa diperkirakan kalau yang berada di da-
lam kereta adalah orang penting. Kereta itu sendiri be-
gitu indah dan mewah!
"Hooop...!"
Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda
terdepan mengangkat tangannya ke atas seraya mena-
rik tali kekang binatang tunggangannya.
Seketika itu pula rombongan yang berada di bela-
kang ketiga prajurit itu menghentikan langkah kuda
mereka. Seiring dengan itu masing-masing prajurit
bersikap waspada. Mereka melihat ada sosok tubuh
berpakaian kulit harimau terbaring dengan posisi me-
nutupi jalan. Sosok itu tidur telentang di atas sehelai
tambang yang direntangkan pada dua batang pohon
yang mengapit jalan selebar empat tombak. Tinggi
tambang itu satu tombak dari atas tanah.
"Harap kalian semua berwaspada. Aku yakin hal-
hal yang tidak kita inginkan kemungkinan besar akan
terjadi. Perketat penjagaan terhadap kereta," beritahu
salah seorang dari tiga prajurit penunggang kuda ter-
depan.
Prajurit berkumis tebal itu lalu melompat turun.
Ringan sekali gerakannya. Ketika kedua kakinya men-
jejak tanah, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Dengan
sikap tenang prajurit berkumis tebal menghampiri
tempat sosok berpakaian kulit harimau terbaring. Tin-
dakan prajurit yang menjadi pimpinan iring-iringan itu
tidak luput dari perhatian rekannya.
Baru saja prajurit itu melangkah tiga tindak, pa-
dahal jarak sosok berpakaian kulit harimau sekitar li-
ma tombak, terdengar bunyi yang cukup keras. Bunyi
dengkur orang tidur. Hanya saja bunyinya tak pantas
keluar dari manusia karena lebih mirip dengan deng-
kur seekor babi!
Bukan dengkur itu yang menyebabkan prajurit
berkumis tebal terperanjat lalu menghentikan langkah.
Tapi, tarikan napas sosok berpakaian kulit harimau
membuat cabang-cabang pohon seperti ditarik dan di-
lepaskan! Saat sosok berkulit harimau itu menarik na-
fas, cabang-cabang pohon tertarik ke bawah. Sedang-
kan di saat napasnya dihembuskan, cabang pohon itu
tersentak ke atas dengan memperdengarkan bunyi
berkerosokan nyaring!
Prajurit berkumis tebal tahu kalau hal demikian
hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tena-
ga dalam amat kuat! Prajurit itu lalu memberi isyarat
pada ketujuh rekannya untuk lebih meningkatkan ke-
waspadaan. Dia sendiri segera melanjutkan langkah-
nya dengan sekujur urat-urat syaraf menegang. Praju-
rit ini telah bersiap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan.
Begitu berada dekat diperhatikannya sosok berpa-
kaian kulit harimau lebih jelas. Dia ternyata seorang
kakek kecil kurus bermuka merah. Kumis dan jeng-
gotnya pendek serta kasar. Sepasang mata kakek ini
terpejam.
"Maafkan kalau aku mengganggu istirahatmu,
Kek," ucap prajurit itu kemudian dengan sopan. "Tapi,
aku dan kawan-kawanku hendak lewat Bisakah kau
menyingkir sebentar?"
Si kakek menggeliat dan menggulingkan tubuhnya
ke kiri. Tindakan ini membuat tubuhnya tidak berada
di atas tambang lagi. Kendati demikian, tubuhnya te-
tap mengambang di udara seakan-akan tidur di tanah
biasa!
"Demi segala setan penghuni neraka!" tanpa
membuka mata, si kakek mengomel, "Baru saja meme-
jamkan mata sudah didatangi seekor anjing buduk
yang tak henti-hentinya menggonggong. Nasibku me-
mang benar-benar jelek!"
Wajah prajurit berkumis tebal langsung berubah
merah padam. Dia tahu kalau dirinya yang dimaksud
dengan seekor anjing. Penghinaan itu membuat ama-
rahnya bergolak. Dan, kemarahan membuat prajurit
itu melupakan kalau kakek bermuka merah memiliki
kepandaian tinggi.
"Keparat! Rupanya kau memang hendak mengha-
langi perjalanan kami, Kakek Iblis! Ingin kulihat apa-
kah kau mampu melaksanakan maksud jahatmu itu!"
Prajurit berkumis tebal yang telah murka menca-
but pedang yang tergantung di pinggang. Kemudian,
secepat kilat dibabatkannya ke tubuh si kakek
"Anjing buduk ini benar-benar tidak tahu diri. Ki-
ranya tak puas hanya menggangguku dengan hanya
menggonggong. Sekarang dia malah hendak menggigit.
Sungguh celaka!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek bermu-
ka merah menggulingkan tubuh kembali ke tempat
semula. Sehingga, tubuhnya kembali terbaring di atas
tambang. Berbarengan dengan itu dia mendengus. Cai-
ran kental tampak meluncur keluar dari salah satu lu-
bang hidungnya. Cairan menjijikkan itu meluncur
dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring mema-
paki pedang si prajurit!
Trakkk!
Tubuh prajurit berkumis tebal terjengkang ke be-
lakang. Pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Be-
gitu berhasil memperbaiki kedudukan dan memperha-
tikan senjatanya, wajahnya langsung memucat. Batang
pedangnya berlubang!
"Setan penggoda seisi bumi, kali ini nasibku sung-
guh mujur. Tak perlu bercapek lelah mencari telah ber-
temu sendiri!" ujar kakek bermuka merah tiba-tiba
dengan gembira.
Kakek ini sekarang telah berdiri tegak di tanah.
Sepasang matanya yang hampir berupa satu garis me-
natap pedang yang tergenggam di tangan prajurit ber-
kumis tebal.
"Kiranya kau mempunyai hubungan dengan Per-
kumpulan Sepasang Malaikat, Anjing Buduk? Kulihat
balang pedangmu berwarna merah dan putih. Senjata
berciri demikian hanya dimiliki Perkumpulan Sepasang
Malaikat!"
"Kalau kau telah tahu mengapa tidak buru-buru
menyingkir, Kakek Iblis? Apakah kau menunggu kami
mengusir dengan kekerasan?!" prajurit berkumis tebal
mempunyai alasan untuk menggertak
"Setan belang! Kau kira aku takut pada Perkum-
pulan Sepasang Malaikat?! Andaikata dua kakek jom-
po itu masih hidup pun aku tidak takut! Akan kubuk-
tikan pada dunia persilatan kalau aku lebih lihai dari
mereka!" sambut kakek bermuka merah, tak mau ka-
lah mengeluarkan ancaman.
Jawaban kakek bermuka merah membuat amarah
prajurit berkumis tebal meluap. Dia kembali menye-
rang. Tiga orang rekannya meninggalkan kereta dan
membantu prajurit itu menghadapi kakek bermuka
merah.
Pertarungan yang kelihatannya tidak adilpun ber-
langsung. Seorang kakek yang bertubuh kecil dike-
royok oleh empat lelaki gagah dan kekar. Sang kakek
tidak bersenjata, sedangkan lawan-lawannya semua
menggunakan pedang.
Meski demikian, kakek bermuka merah tetap be-
rada di atas angin. Dua tangan telanjangnya enak saja
menyampoki setiap serangan yang meluncur. Padahal
setiap serangan pedang prajurit-prajurit itu mengelua-
rkan bunyi mendesing nyaring pertanda ditopang oleh
tenaga dalam yang amat kuat!
Tak sampai tiga jurus empat prajurit itu jatuh sa-
tu persatu. Mereka semua terbanting keras di tanah
setelah terjengkang. Empat prajurit itu pun tidak
bangkit lagi. Bahkan, tidak sempat berteriak sama se-
kali. Di dada mereka tampak tertera telapak tangan
berwarna merah!
"Demi segala Iblis! Hanya sampai di sini sajakah
kemampuan orang-orang Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat? Tidakkah ada yang sedikit lebih pandai?!"
Empat prajurit yang tersisa tersinggung menden-
gar ucapan penuh ejekan itu. Mereka juga sakit hati
melihat kematian rekan-rekannya secara menge-
naskan. Kalau saja tak mengingat penumpang di da-
lam kereta, sudah mereka terjang kakek bermuka me-
rah itu walau nyawa taruhannya.
Empat prajurit itu hanya menggertakkan gigi pe-
nuh kegeraman. Mereka ingin menyambuti ucapan ka-
kek bermuka merah, tapi tak tahu harus berkata apa.
Dan rupanya mereka memang tak perlu memberikan
tanggapan. Karena sesaat kemudian, terdengar sambu-
tan atas ucapan kakek bermuka merah dengan nada
dingin dan penuh ancaman!
"Orang gila dari mana yang berani mati menghina
Perkumpulan Sepasang Malaikat?!"
2
Brakkk!
Atap kereta yang indah dan mewah itu hancur be-
rantakan menimbulkan bunyi gaduh ketika sesosok
bayangan putih melesat dari dalam kereta. Di udara
sosok ini bersalto beberapa kali sebelum menjejak ta-
nah dengan ringannya. Tiga tombak dari kakek ber-
muka merah berdiri.
"Demi segala roh jahat yang bergentayangan! Ak-
hirnya, muncul juga tokoh Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat yang memiliki sedikit kepandaian!" seru kakek
bermuka merah, gembira.
Empat prajurit yang sejak tadi menjaga kereta se-
gera memberi hormat kepada sosok berpakaian putih.
Meski sosok itu tidak melihat karena ia berdiri membe-
lakangi. Setelah itu, empat prajurit ini bergegas meng-
hampiri sosok berpakaian putih.
Sosok itu ternyata seorang wanita berusia sekitar
empat puluh lima tahun, Wajahnya yang masih terlihat
cantik tampak agung berwibawa. Rambutnya digelung
ke atas. Sorot wajah dan sinar matanya yang dingin
memperlihatkan keangkeran!
"Siapa kau, Kek? Sungguh berani membunuh
anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat yang juga
menjadi prajurit kerajaan. Untuk kesalahan itu saja
kau sudah patut dihukum mati! Apalagi setelah berani
menghina Perkumpulan Sepasang Malaikat. Andaikata
kau mempunyai nyawa sepuluh pun tidak cukup un-
tuk menebus kesalahan itu!" Datar dan dingin, tapi
penuh ancaman kata-kata yang keluar dari mulut wa-
nita berpakaian putih.
"Kau sendiri siapa, Wanita Galak? Mengapa kau
yang marah? Aku tidak menyinggung mu! Aku sedang
membicarakan tentang Perkumpulan Sepasang Malai-
kat!" Kakek bermuka merah berpura-pura tak menger-
ti. Kendati dia sudah bisa menduga kalau wanita itu
mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Sepasang
Malaikat "Aku tengah menyepi untuk memperdalam
kepandaian ketika kudengar bekas kakak sepergurua-
nku tewas di tangan tokoh Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat. Mengenai siapa aku, sayang aku tidak ingat
namaku. Julukan pun aku tak punya. Tapi, tak ada
salahnya kalau ku perkenalkan julukan baruku. Den-
gar baik-baik, Wanita Liar! Julukanku adalah Dewa
Tapak Darah!"
Wajah wanita berpakaian putih tetap dingin. Tidak
tampak beriak sedikit pun. Tapi, sepasang matanya
yang menyambar ke arah Dewa Tapak Darah sarat
dengan ancaman!
"Dengar baik-baik, Dewa Tapak Darah! Pasang
kuping tuamu itu dengan benar. Aku adalah ahli waris
tunggal Perkumpulan Sepasang Malaikat. Salah seo-
rang dari Sepasang Malaikat itu adalah ayahku. Aku
masih ingat namaku, tidak pikun seperti kau. Namaku
adalah Teratai Putih?"
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kudengar, pimpi-
nan-pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat sudah
pergi ke akhirat, Biarlah kau yang menjadi pengganti
nyawa kakak seperguruanku yang tewas!"
"Siapa kakak seperguruanmu itu, Kakek Lanc-
ing?!" kejar Putri Teratai Putih.
"Pengemis Iblis Tanpa Tanding julukannya sebe-
lum tewas!" jawab Dewa Tapak Darah, mantap. "Berkat
bantuan Pendekar Naga Emas, ayah dan pamanmu itu
berhasil membunuh kakak seperguruanku pada dua
puluh tahun yang lalu. Pendekar keparat itu pun akan
menerima balasannya dariku!"
"Kau boleh bawa dendammu itu ke neraka, Dewa
Tapak Darah!" sentak Putri Teratai Putih keras. "Kare-
na, kau akan mati di tanganku sebelum maksudmu itu
terlaksana!"
Putri Teratai Putih menutup ucapannya dengan
tendangan bertubi-tubi yang dahsyat. Sekali menye-
rang, ahli waris Perkumpulan Sepasang Malaikat yang
sekaligus ratu kerajaan ini menyerang tiga anggota tu-
buh berbahaya. Pusar, ulu hati, dan leher!
Dewa Tapak Darah mendengus penuh ejekan. Da-
ri deru serangan bisa diperkirakannya kekuatan tena-
ga dalam Putri Teratai Putih. Maka, tanpa ragu-ragu
lagi serangan beruntun itu ditangkisnya dengan kedua
tangan.
Plakkk, plakkk!
Tubuh Putri Teratai Putih terjengkang ke belakang
akibat benturan itu. Sedangkan Dewa Tapak Darah
hanya terhuyung selangkah! Dengan demikian, kakek
ini memiliki kesempatan lebih dulu untuk mengirim-
kan serangan. Putri Teratai Putih tidak berani me-
nangkis setelah mengetahui tenaga lawan ternyata le-
bih kuat. Wanita ini mengelak kemudian mengirimkan
serangan balasan. Pertarungan pun tak bisa dihindar-
kan lagi!
Pertarungan berjalan cepat. Hanya dalam waktu
sebentar saja tujuh belas jurus telah terlewatkan. Putri
Teratai Putih terus didesak! Wanita ini yang semula
gencar melakukan penyerangan sekarang lebih banyak
mengelak. Padahal, Putri Teratai Putih telah mengelua-
rkan senjata andalannya. Kipas Baja Putih!
Sementara Dewa Tapak Darah masih bertangan
kosong. Malah, kakek itu belum menggunakan ilmu
andalannya!
Desss!
Sebuah tendangan Dewa Tapak Darah yang men-
genai sambungan lutut Putri Teratai Putih membuat
Wanita itu terjengkang ke belakang dan terguling-
guling di tanah. Sambungan tulang lututnya langsung
lepas!
Si Dewa Tapak Darah benar-benar memenuhi jan-
jinya untuk membunuh Putri Teratai Putih. Dia melu-
ruk mengejar Putri Teratai Putih untuk mengirimkan
serangan mematikan. Empat prajurit yang melihat
adanya ancaman maut atas ratu mereka secepat kilat
melompat memapaki dengan tusukan-tusukan pedang.
Dewa Tapak Darah tampak marah mendapat serangan
ini. Dia mendengus seraya mengibaskan kedua tan-
gannya. Angin keras langsung berhembus ke arah em-
pat prajurit yang setia itu. Mereka kaget bukan main!
Angin yang luar biasa itu hanya menyerbu tangan me-
reka yang menggenggam pedang.
Serbuan angin itu demikian dahsyatnya. Sehing-
ga, mampu membuat mata pedang empat prajurit itu
berbalik arah. Lalu dengan derasnya menghunjam pe-
rut mereka sampai tembus ke punggung. Empat pa-
sang mata prajurit itu membelalak lebar seakan tak
percaya akan apa yang mereka alami. Tubuh mereka
ambruk di tanah dan menggelepar-gelepar sebentar
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Putri Teratai Putih meraung penuh kemarahan
melihat nasib keempat prajuritnya. Dia menerjang
dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar.
Kipasnya tidak dipergunakan lagi karena telah terlem-
par jauh begitu tubuhnya terguling-guling tadi.
Sayang, maksud Putri Teratai Putih untuk mem-
balaskan kematian keempat prajuritnya tidak berhasil.
Dengan kibasan kedua tangannya, Dewa Tapak Darah
membuat tubuh lawan terlempar deras ke belakang
dan menubruk kereta hingga dindingnya jebol! Putri
Teratai Putih tidak mampu menahan serangan lawan
karena keadaannya yang sudah tidak sekuat semula.
Benturan kali ini rupanya lebih dahsyat. Bukan
karena berbenturan dengan kereta. Tapi karena sam-
baran angin kibasan Dewa Tapak Darah. Putri Teratai
Putih tidak dapat segera bangkit. Dia tergolek di tanah
telentang tak berdaya. Benturan yang luar biasa keras
membuat tubuh Putri Teratai Putih menjebol dua dind-
ing kereta dengan melewati bagian dalamnya!
Dewa Tapak Darah menyeringai puas. Dengan
langkah lambat-lambat dihampirinya Putri Teratai Pu-
tih. Kakek ini tidak buru-buru melancarkan serangan
susulan karena tahu luka yang diderita Putri Teratai
Putih cukup parah.
Putri Teratai Putih menyadari akan adanya anca-
man maut. Dia belum ingin mati. Maka dicobanya se-
kuat tenaga untuk bangkit berdiri. Tapi hanya keingi-
nan saja yang besar, sedangkan kemampuannya tidak
menunjang. Putri Teratai Putih tidak berhasil bangkit.
Tubuhnya terkulai kembali ke tanah setelah menegang
beberapa saat lamanya.
Putri Teratai Putih pun pasrah. Disadarinya kalau
dirinya memang tidak berdaya lagi. Kendati demikian,
dengan berani ditatapnya Dewa Tapak Darah yang te-
lah bersiap untuk mengirimkan serangan mematikan.
"Hanya seorang pengecut dan tidak mempunyai
rasa malu akan membunuh lawan yang telah tidak
berdaya! Apalagi jika lawan itu seorang wanita!"
Suara itu tidak keras. Tapi anehnya, bergema ke
sekitar tempat itu dan mampu menggetarkan semua
benda yang ada di situ. Seakan-akan ada gempa kecil.
Putri Teratai Putih dan Dewa Tapak Darah pun mera-
sakan dada mereka bergetar.
Dewa Tapak Darah tahu kalau pemilik suara itu
seorang tokoh berkepandaian tinggi. Setidak-tidaknya
memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Maka, dia ti-
dak berani memandang rendah. Buru-buru tubuhnya
dibalikkan karena dari arah belakang seruan itu be-
rasal.
Dewa Tapak Darah kecelik! Tak ada seorang pun
di belakangnya. Kecurigaan membuatnya cepat mem-
balikkan tubuh lagi. Dan.... Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Kakek ini hanya sempat melihat ber-
kelebatnya sesosok bayangan ungu berhenti di antara
dia dan Putri Teratai Putih. Sosok ungu itu berdiri
membelakangi ahli waris Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat!
Dewa Tapak Darah memperhatikan sosok ungu
itu dengan hati panas. Kakek ini merasa dipermain-
kan. Tamu tak diundang itu rupanya telah mengguna-
kan ilmu memindahkan suara untuk mengecohnya.
Sehingga, meski sebenarnya berada di depan namun
sosok ungu itu mampu membuat suaranya seperti be-
rasal dari belakang.
Tapi, kejadian itu tidak membuat Dewa Tapak Da-
rah menjadi gentar. Menurutnya, hal ini tidak mengi-
syaratkan kepandaian sosok berpakaian ungu berada
di atasnya. Kalau saja suara itu tidak terdengar sekali
saja dan Dewa Tapak Darah memperhatikan dengan
seksama, tak mungkin sosok ungu itu berhasil menge-
cohnya! Begitu kata hati Dewa Tapak Darah.
Sosok ungu itu bertubuh tegap dan kekar ter-
bungkus pakaian serba ungu. Wajahnya tampan, terli-
hat tenang dan matang. Rambutnya yang putih terge-
rai panjang hingga ke punggung. Sosok yang berusia
dua puluh tahun lebih itu tampak kelihatan lebih tua
dari usia sebenarnya. Meskipun demikian, Dewa Tapak
Darah tetap tidak percaya kalau orang semuda itu
memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Tapak Darah memang baru keluar dari tem-
pat pertapaannya. Dia tidak tahu kalau di dunia persi-
latan telah muncul seorang pendekar muda bernama
Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak. Dan, pemuda
yang tengah berdiri dihadapannya itu tidak lain dari
Dewa Arak
"Sungguh besar nyalimu, Bocah! Berani-beraninya
kau mencampuri urusanku. Tahukah kau siapa aku?
Aku adalah tokoh yang akan menggantikan kedudukan
Pengemis Iblis Tanpa Tanding untuk menjadi tokoh
nomor satu dalam rimba persilatan! Aku adik sepergu-
ruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Julukanku adalah
Dewa Tapak Darah! Atas kelancanganmu mencampuri
urusanku ini kau akan mendapat hukuman yang se-
timpal, Bocah!" Dewa Tapak Darah menyapa Arya den-
gan panggilan yang merendahkan.
"Sayang sekali aku tidak takut dengan ancaman -
mu, Kek! Aku lebih suka mati daripada membiarkan
adanya ketidakadilan di depanku!" tandas Arya man-
tap tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Sombong!" Dewa Tapak Darah setengah menjerit
karena murkanya. "Orang seperti kau kalau tidak se-
gera diberikan pelajaran akan semakin kurang ajar.
Bocah! Sekarang, terimalah hukumanmu!"
Belum lagi gema teriakan itu hilang, Dewa Tapak
Darah telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tan-
gannya yang mengepal dihantamkan ke arah Arya da-
lam sebuah pukulan lurus ke dada. Bunyi meledak-
ledak seperti suara petir menggelegar terdengar mengi-
ringi serangan itu. Hawa panas terasa menyambar se-
belum pukulan itu sendiri tiba dekat.
Dewa Arak tidak terkejut. Dia sudah menyangka
Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian tinggi. Tak
aneh kalau kakek itu memiliki pukulan yang demikian
mengerikan! Jangankan terkena langsung, angin se-
rangannya saja sudah, cukup untuk membuat seba-
tang pohon besar hancur lebur.
Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan ti-
dak pernah memandang rendah lawan segera saja
mengeluarkan 'Delapan Langkah Belalang'nya.
Brakkk!
Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang dewa-
sa hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai
sasaran. Tubuh Dewa Arak sudah melesat dari tem-
patnya.
"Demi segala setan penghuni neraka!" maki Dewa
Tapak Darah melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari
hadapan. Untuk sesaat dia kebingungan. Tapi begitu
merasa ada angin mendesir di belakangnya, segera sa-
ja diketahui kalau lawan ada di sana.
Lawannya ternyata memiliki ilmu langkah ajaib
yang dapat membuat pemuda itu mengelakkan seran-
gan tanpa diketahui kapan bergerak dan ke mana arah
gerakannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ka-
kek ini melempar tubuhnya ke depan kemudian bergu-
lingan di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada kakek
bermuka merah untuk memperbaiki kedudukan. Sege-
ra diburunya tubuh yang tengah bergulingan itu. Se-
rangan dahsyat langsung dikirimkannya. Tapi, Dewa
Tapak Darah mampu menangkalnya. Bahkan mengi-
rimkan serangan yang tak kalah dahsyat!
Pertarungan pun berlangsung mengiriskan hati
Putri Teratai Putih sebagai penonton satu-satunya.
Agaknya tokoh-tokoh yang bertarung memiliki tingkat
kepandaian di atasnya. Kenyataan ini membuat pera-
saan kagumnya timbul pada Aiya. Pemuda itu masih
amat muda tapi telah memiliki kepandaian tinggi.
Di samping perasaan kagum, rupanya timbul pula
rasa khawatir terhadap keselamatan Dewa Arak. Me-
mang julukan Dewa Arak telah sampai ke telinga Putri
Teratai Putih. Pemuda itu hampir belum pernah gagal
menumpas angkara murka yang ditimbulkan tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan. Tapi melihat betapa be-
lianya Dewa Arak, perasaan tidak yakin mulai bergayut
di hati wanita ini.
Dewa Arak sendiri harus mengakui kalau Dewa
Tapak Darah memiliki kepandaian dahsyat! Seluruh
kemampuannya telah dikerahkan. Namun belum juga
mampu mendesak lawannya. Pertarungan masih ber-
langsung seimbang!
Pertarungan yang berlangsung alot membuat dua
tokoh yang tengah bertarung kehilangan kesabaran.
Ketika Dewa Tapak Darah menerjang ke arahnya den-
gan menghentakkan kedua tangan, Dewa Arak tak ra-
gu-ragu untuk memapakinya!
Blarrr!
Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
kekuatan dahsyat bertemu di udara. Ledakan keras
luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh! Keadaan di
sekitar tempat itu bergetar hebat. Pepohonan tampak
bergoyangan keras.
Tapi yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami
kedua tokoh yang tengah bertarung. Dewa Arak mau-
pun Dewa Tapak Darah terjengkang ke belakang. Se-
rentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh mere-
ka. Keduanya segera menyadari kalau diri mereka te-
lah terluka dalam yang cukup parah. Apabila perta-
rungan diteruskan, bukan tidak mungkin mereka akan
mati bersama-sama. Sesaat kedua tokoh ini saling ber-
tatapan.
"Kalau saja aku tidak mempunyai urusan lain
yang lebih penting daripada mengurusi bocah macam
kau, sudah kuselesaikan riwayat hidupmu sampai di
sini! Kelak apabila urusanku telah selesai, akan kucari
kau, Bocah! Kita tentukan siapa yang lebih unggul di
antara kita berdua!"
Usai berkata demikian, Dewa Tapak Darah mem-
balikkan tubuh dan melangkah terhuyung-huyung
meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tak berusaha
mengejar. Pemuda ini hanya menatap kepergian la-
wannya.
Setelah tubuh Dewa Tapak Darah semakin men-
gecil di kejauhan, Arya menghela napas berat. Dia te-
lah menanam bibit permusuhan dengan seorang tokoh
yang amat tangguh. Kemudian, Arya membalikkan tu-
buh dan menghampiri Putri Teratai Putih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya," ucap
Putri Teratai Putih seraya menatap pemuda berambut
putih keperakan itu dengan penuh rasa kagum. "Telah
lama kudengar nama besarmu. Tapi aku tidak pernah
bermimpi bisa bertemu. Aku, Teratai Putih, tidak akan
melupakan pertolongan yang kau berikan. Suatu saat
kelak aku ingin membalas budi ini."
"Teratai Putih?!" ulang Arya agak kaget. Dia per-
nah mendengar nama itu. "Jadi.., kau kiranya tokoh
yang menggemparkan dunia persilatan sekitar dua pu-
luh tahun lalu? Berita mengenai dirimu banyak ku-
dengar. Kau, Putri Teratai Putih, putri dari pimpinan
Perkumpulan Sepasang Malaikat?"
"Sebuah julukan yang tidak berisi sama sekali,"
timpal Putri Teratai Putih seraya tersenyum pahit. Ia
tidak tampak gembira mendengar pujian Dewa Arak.
"Kenyataannya hanya menghadapi Dewa Tapak Darah
aku hampir melawat ke akhirat kalau kau tidak segera
datang, Dewa Arak!"
"Kakek itu memang memiliki kepandaian luar bi-
asa, Putri," ujar Arya menghibur. "Kurasa tidak perlu
berkecil hati kalah di tangan Dewa Tapak Darah. Apa-
lagi kudengar dia kakak seperguruan Pengemis Iblis
Tanpa Tanding."
Putri Teratai Putih menatap Arya lekat-lekat "Ki-
ranya kau mengetahui tentang datuk sesat itu, Arya?"
"Hanya mendengar sedikit tentangnya, Putri. Ten-
tu saja tidak setahu kau yang telah mengalaminya
sendiri," jawab Arya merendah.
"Seberapa banyak pengetahuan yang kau dapat?"
tanya Putri Teratai Putih ingin tahu.
"Kudengar sekitar dua puluh tahun lalu di dunia
persilatan terdapat empat datuk kaum sesat. Mereka
memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Di samping itu
juga berwatak kejam. Salah satu di antara mereka ada-
lah Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Datuk-datuk sesat
itu tewas di tangan Pimpinan Perguruan Sepasang Ma-
laikat yang dibantu oleh seorang pendekar sakti yang
berjuluk Pendekar Naga Emas. Setelah itu Perguruan
Sepasang Malaikat lenyap dari dunia persilatan. Demi-
kian pula dengan Pendekar Naga Emas."
"Aku, Ayah, dan seluruh murid Perkumpulan Se-
pasang Malaikat memutuskan untuk mengabdi pada
kerajaan di mana salah seorang adik seperguruan
Ayah menjadi raja," Putri Teratai Putih memberikan
jawaban.
"Lalu, Pendekar Naga Emas?"
"Entahlah," Putri Teratai Putih menggelengkan ke-
pala seraya menghela napas berat. Dia kelihatan sedih
sekali. Wajahnya semakin bertambah suram.
Arya tidak berani mengajukan pertanyaan lagi.
Melihat sikap Putri Teratai Putih, dia yakin ada sesua-
tu di antara Pendekar Naga Emas dengan wanita itu.
"Ayahku kemudian meninggalkan istana setelah
adik seperguruannya meninggal karena sakit. Sebelum
wafat adik seperguruan Ayah mengangkat ku menjadi
penggantinya. Sampai sekarang aku menjadi ratu di
kerajaan itu," lanjut Putri Teratai Putih, mengalihkan
perbincangan mengenai Pendekar Naga Emas.
"Maaf, bukan bermaksud untuk mengguruimu,
Putri. Adalah lebih tepat kalau kau memberitahukan
ayahmu mengenai munculnya Dewa Tapak Darah. Aku
yakin kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tand-
ing itu akan membalaskan sakit hatinya terhadap
ayahmu. Bukankah beliau ikut andil dalam tewasnya
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?" ujar Arya hati-hati.
"Aku pun berpikir demikian, Arya," sahut Putri Te-
ratai Putih. "Aku sendiri sebenarnya tengah bermak-
sud untuk mengunjungi ayahku. Dengan kejadian ini,
aku harus lebih cepat tiba di sana sebelum hal-hal
yang lebih buruk terjadi"
"Boleh aku menyertai perjalananmu, Putri?" Arya
mengajukan diri. "Kurasa dengan keadaanmu seka-
rang ini kau tidak akan dapat membela diri dengan
baik. Lagi pula aku tidak yakin Dewa Tapak Darah
akan berdiam diri saja. Kakek itu pasti menunggu ke-
sempatan untuk melenyapkanmu."
Putri Teratai Putih terdiam. Wanita ini tidak lang-
sung segera memberikan jawaban.
"Sebuah usul yang baik, Arya," jawab Putri Teratai
Putih kemudian setelah termenung sebentar. "Kau baik
sekali. Sikap dan tindak-tandukmu mengingatkan ku
akan Pendekar Naga Emas. Dia seorang pendekar yang
luar biasa."
"Aku yakin betul akan hal itu, Putri. Karena itu,
aku ingin sekali berkenalan dengannya. Tidak hanya
dengannya, tapi juga dengan ayahmu, Putri. Barangka-
li saja banyak petunjuk yang berharga yang akan dibe-
rikannya padaku nanti."
Putri Teratai Putih tersenyum. Sejenak senyuman
itu mengusir kabut kedukaan yang melapisi wajah dan
sepasang matanya
"Kau pandai merendah, Arya. Dengan kepandaian
yang kau miliki sekarang, bagaimana mungkin ayahku
bisa memberi petunjuk? Malah, bisa jadi kaulah yang
akan memberi petunjuk pada ayahku."
"Kau terlalu tinggi memujiku, Putri," Arya terse-
nyum malu. "Jangankan menghadapi ayahmu, ber-
tempur dengan Dewa Tapak Darah saja nyawaku
hampir melayang...."
"Kau melupakan satu hal, Arya. Dewa Tapak Da-
rah adalah kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanding.
Sebagai kakak seperguruan kepandaiannya tentu lebih
tinggi dari si pengemis jahat itu. Padahal, menghadapi
Pengemis Iblis Tanpa Tanding saja ayahku harus dira-
wat berminggu-minggu karena luka berat yang dideri-
tanya. "
"Kau sudah cukup kuat untuk melakukan perja-
lanan, Putri?" Arya segera mengalihkan pembicaraan.
Putri Teratai Putih mengangguk Pembicaraan
mengenai hal itu pun dihentikan. Wanita ini tahu Arya
merasa risih mendengar pujian yang dilontarkan ter-
hadapnya. Sikap Arya itu menimbulkan kekaguman
besar dalam hati Putri Teratai Putih.
3
Bunyi kecapi dilantunkan dalam nada sedih dan
memilukan hati berkumandang mengiringi langkah
kaki kuda coklat. Langkah binatang kurus itu pun lesu
seperti nada yang keluar dari kecapi.
Keadaan pemetik kecapi tak kalah lesunya. Dia
duduk di atas punggung kuda dengan wajah ditun-
dukkan. Wajahnya kumal penuh debu. Kumis, jenggot,
dan cambangnya tak terurus menghias wajah. Pakaian
lelaki ini kotor serta lusuh.
Tiba-tiba saja lelaki kumal ini menghentikan per-
mainan kecapinya. Sesaat kemudian mulutnya berde-
cak pelan. Dan, kuda coklat pun melesat ke depan ba-
gai anak panah lepas dari busur. Kelihatan tak sesuai
sekali dengan tubuhnya yang kurus.
Hanya dalam waktu sebentar saja kuda coklat itu
telah melampaui ratusan tombak. Medan yang semula
berupa tanah gersang ditumbuhi sedikit rumput kering
kini berganti dengan tanah berbatu-batu.
Kuda coklat itu baru menghentikan larinya ketika
mendengar bunyi decak dari mulut penunggangnya.
Binatang itu telah berada di pinggir tebing. Di depan-
nya terdapat medan menurun yang terjal. Di bagian
yang rata tampak lima sosok tubuh tengah terlibat da-
lam pertarungan.
Lelaki kumal yang berusia sekitar lima puluh ta-
hun ini mengarahkan pandangan ke bawah, ke tempat
pertarungan tengah berlangsung sengit
"Ti... tidak mungkin..." desis lelaki itu terbata-
bata.
Wajah lelaki kumal ini terlihat tegang bukan main.
Sepasang matanya membelalak lebar seperti orang me-
lihat hantu. Mulutnya pun terbuka. Hingga, andal kata
ada lalat masuk mungkin lelaki ini tidak mengeta-
huinya.
Sepasang mata lelaki kumal yang mencorong kehi-
jauan bak mata seekor harimau dalam gelap menatap
hampir tak berkedip. Bukan pada jalannya pertarun-
gan, melainkan pada salah satu dari orang-orang yang
tengah bertarung.
Di kancah pertarungan, dalam jarak sekitar sepu-
luh tombak, seorang wanita muda berpakaian merah
menyala tengah berhadapan dengan empat orang lelaki
kasar bersenjata golok. Wanita itu sendiri hanya ber-
senjatakan sebatang pedang pendek.
Yang menjadi pusat perhatian lelaki kumal adalah
si wanita muda. Lelaki ini memperhatikan bagai orang
terkena sihir!
"Ya Tuhan...! Apakah aku tengah bermimpi?! Bu-
kankah gerakan yang dimainkan oleh wanita itu ada-
lah ilmu Pedang Sepasang Malaikat? Ilmu yang menja-
di andalan pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang
Malaikat. Dan, wajah itu... benarkah dia Putri Teratai
Putih? kalau benar dia, mengapa pakaiannya merah?!"
gumam lelaki kumal dengan bibir bergetar.
Sementara di kancah pertarungan pertempuran
terjadi semakin sengit. Wanita berpakaian merah keli-
hatan terdesak. Lawan-lawannya terlalu lihai dan ba-
nyak. Andaikata seorang demi seorang mungkin dia
akan keluar sebagai pemenang. Kemampuan wanita
itu di atas kepandaian lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi
kurus berteriak nyaring sambil melompat menerjang
lawannya. Golok di tangannya dibabatkan ke arah leh-
er.
Wanita muda berpakaian merah menarik tubuh-
nya ke belakang sehingga serangan itu kandas. Na-
mun, pengeroyok yang bertubuh pendek menusukkan
golok dari samping kanan. Sementara dari sebelah kiri
pengeroyok lainnya membabatkan golok ke arah teng-
kuk. Dan, golok yang meluncur dari sebelah kanan
mengancam pelipis!
Wanita perkasa itu bertindak cepat dengan me-
rendahkan tubuhnya. Sehingga, semua serangan itu
meluncur di atas kepala. Berbarengan dengan itu pe-
dang pendeknya ditusukkan ke arah pengeroyok yang
berada di kanan.
Crasss...!
Ujung pedang si wanita berhasil menyerempet pe-
rut lelaki berkulit hitam yang menjadi sasaran seran-
gan. Padahal lelaki itu telah berusaha sebisa-bisanya
untuk mengelak
Tapi sebelum si wanita sempat melancarkan se-
rangan susulan pada lelaki hitam yang tengah ter-
huyung-huyung, lelaki tinggi besar telah mengguling-
kan tubuh. Kaki kanannya diayunkan menyapu kaki
wanita berpakaian merah.
Bukkk!
Telak dan keras sekali sapuan lelaki itu menghan-
tam sasaran. Seketika itu juga tubuh wanita berpa-
kaian merah terpelanting jatuh.
Melihat kesempatan yang menguntungkan itu, pa-
ra pengeroyoknya tidak mau membiarkan. Bagai ber-
lomba mereka saling mendahului melancarkan seran-
gan.
Wanita berpakaian merah mengeluh di dalam hati.
Jalan untuk mengelak sudah tidak ada lagi. Maka, dia
hanya mampu berdiam diri menanti datangnya maut.
Bahaya yang mengancam keselamatan wanita
muda itu tak luput dari perhatian lelaki kumal yang
sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jari-jari
tangannya dengan tangkas memetik dawai-dawai ke-
capi.
Tung, tung, tung..!
Bunyi-bunyi yang nikmat untuk didengar telinga
pun terdengar menghentak. Akibatnya sungguh mengi-
riskan hati! Empat lelaki kasar yang tengah melancar-
kan serangan bagai ditubruk gajah liar! Tubuh mereka
terpental balik ke belakang dan melayang di udara
dengan derasnya.
Wanita muda berpakaian merah tampak terkejut
melihat keadaan keempat lawannya. Tapi, wanita itu
tidak merasa heran. Kejadian yang menimpa lawan-
lawannya terjadi karena bunyi kecapi. Wanita itu meli-
hat keberadaan lelaki kumal yang duduk di atas pung-
gung kuda ketika mengedarkan pandangan. Dia segera
tahu kalau lelaki kumal itu memiliki kepandaian ting-
gi. Hanya orang yang bertenaga dalam luar biasa kuat
saja yang mampu melakukan hal seperti tadi.
Lelaki kumal itu sendiri bergegas melompat dari
punggung binatang tunggangannya dan melesat ke
arah wanita berpakaian merah berada. Wanita itu
membelalakkan mata melihat tindakan lelaki kumal.
Jelas-jelas dilihatnya lelaki itu tidak menggerakkan tu-
buh bagian bawah. Tubuhnya tampak melayang! Ter-
nyata kepandaian lelaki itu tidak hanya tenaga dalam-
nya saja tetapi juga ilmu meringankan tubuhnya!
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya lelaki kumal ke-
tika telah berada di depan wanita berpakaian merah
yang telah berdiri. Sementara keempat lawannya su-
dah melesat meninggalkan tempat itu dengan langkah
terhuyung-huyung. Mereka kabur karena tahu lawan-
nya mendapat pertolongan.
"Tidak apa-apa, Paman," jawab wanita itu sambil
tersenyum. "Terima kasih atas pertolongan yang kau
berikan. Kalau tidak ada kau mungkin nyawaku telah
melayang ke alam baka!"
"Syukurlah kalau demikian," sambut lelaki kumal,
gembira. Lelaki ini telah berhasil menekan guncangan
perasaan yang tadi melanda sehingga wajah maupun
sikapnya terlihat biasa. "Boleh ku tahu mengapa kau
bentrok dengan mereka. Nona? Maaf, bukan maksud-
ku untuk mengetahui urusanmu. Tapi, gerakan-
gerakanmu mengingatkan ku pada seorang tokoh.
Bahkan wajahmu pun mirip dengan orang yang pernah
kukenal itu," lanjutnya kemudian.
Wanita muda itu menatap wajah lelaki kumal pe-
nuh selidik. Rupanya, dia tidak mau percaya saja pada
ucapan penolongnya.
"Boleh ku tahu tokoh yang kau maksudkan itu
Paman? Bukannya aku tak mempercayaimu, tapi keja-
dian yang ku alami membuatku tidak berani memper-
kenalkan diri pada sembarang orang. Bahkan, aku di-
beritahu kalau sembarangan membuka mulut akan
membahayakan diriku. Banyak musuh yang akan
mencelakai ku. Sekali lagi maafkan aku, Paman."
"Suatu tindakan yang bagus sekali, Nona," lelaki
kumal malah memuji. Ia tidak tersinggung atas tang-
gapan yang diperolehnya. "Kau tak perlu meminta
maaf. Memang seharusnya demikian tindakan yang
kau lakukan. Tokoh yang kumaksudkan itu adalah
pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Aku yakin
kau mempunyai hubungan dengannya, Nona. Kulihat
kau menggunakan senjata berciri khas perkumpulan
itu."
"Ini tidak menjadi jaminan untuk mempercayai
kalau kau bukan termasuk musuh, Paman," kilah wa-
nita muda itu belum mau percaya. "Memang kuakui
kalau aku mempunyai hubungan dengan orang yang
kau maksudkan. Tapi, seorang musuh bisa saja men-
genal setiap anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat
dengan hanya melihat gerakan-gerakannya. Ada hal
lebih penting yang hanya diketahui oleh sahabat-
sahabat tokoh yang kau maksudkan itu. Sekali lagi
maaf, bukannya aku tak mau memperkenalkan diri.
Aku hanya khawatir kalau-kalau kejadian yang sama
terulang. Aku banyak dipesan agar berhati-hati terha-
dap orang yang tidak kukenal. Kendati orang itu telah
menolongku siapa tahu ia mempunyai maksud-
maksud tertentu"
Lelaki kumal tertawa terbahak-bahak. Di dalam
hatinya lelaki ini merasa heran. Telah bertahun-tahun
lamanya dia tidak tersenyum. Namun, sekarang dia
tertawa! Wanita di hadapannya ini rupanya telah me-
nimbulkan rasa gembira yang besar di hatinya.
"Kau seorang gadis yang cantik sekali, Nona. Me-
mang apa yang kau katakan itu benar. Tidak semba-
rang orang mengenal secara dekat pimpinan-pimpinan
Perkumpulan Sepasang Malaikat. Mereka amat mera-
hasiakan nama! Hanya sahabat-sahabat yang diper-
caya saja mendapat kehormatan untuk mengetahui
nama mereka. Itu pun dengan pesan keras agar tidak
memberitahukannya pada orang lain. Dan, sahabat-
sahabat baik itu pun berjanji memenuhinya. Sebagai
seseorang yang mendapat kehormatan untuk bersaha-
bat dengan mereka, tentu saja aku tahu nama-nama
pemimpin Perkumpulan Sepasang Malaikat itu!" tan-
das lelaki kumal.
Wanita muda berpakaian merah membisu me-
nunggu kelanjutan ucapan lelaki kumal. Sorot kecuri-
gaan pada sepasang matanya tampak sudah jauh ber-
kurang. Apa yang dikatakan lelaki itu diakui kebena-
rannya. Pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang
Malaikat memang amat merahasiakan nama mereka.
"Dengar baik-baik, Nona. Katakan kalau aku tidak
benar menyebutkan nama mereka. Orang yang tertua
bernama Banyak Ngampar. Sedangkan yang lebih mu-
da bernama Banyak Catra. Ada satu lagi adik sepergu-
ruan mereka yang tidak ikut dalam kepengurusan per-
guruan. Jarang orang yang tahu karena tokoh ini men-
jadi raja pada sebuah kerajaan. Nama tokoh ini adalah
Banyak Santang. Sedangkan wajahmu yang kukatakan
tadi mirip seseorang adalah putri dari Banyak Catra.
Namanya Teratai Putih. Orang-orang lebih mengenal-
nya sebagai Putri Teratai Putih," jelas lelaki kumal
panjang lebar.
Wanita berpakaian merah tersenyum. Lelaki kum-
al harus mengakui kalau senyum itu membuat wajah-
nya menjadi berlipat kali lebih cantik.
"Kau benar-benar salah seorang sahabat, Paman,"
ujar wanita itu dengan penuh perasaan lega. "Bahkan,
lebih dari seorang sahabat. Apa yang kau ketahui de-
mikian banyak. Namaku Teratai Merah, Putri Teratai
Merah. Memang mirip dengan nama Putri Teratai Pu-
tih. Tapi, tidak berarti ada hubungan antara aku den-
gan Putri Teratai Putih. Hubungan yang ada hanyalah
karena aku menjadi murid ayahnya."
"Sudah kuduga kalau kau murid dari Banyak Ca-
tra, Teratai Merah," ujar lelaki kumal menyebut wanita
itu dengan namanya.
"Kau sendiri siapa, Paman? Mendengar pengeta-
huanmu yang banyak itu aku yakin kau merupakan
sahabat yang paling dipercaya. Siapakah kau Paman?"
Tanggapan dari pertanyaan Putri Teratai Merah
adalah tundukan kepala lelaki kumal. Terdengar he-
laan napas berat dari mulutnya. Kentara jelas kalau
pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang tak
menggembirakan hatinya.
Putri Teratai Merah yang tak menyangka hal itu
menjadi tidak enak karenanya.
"Maafkan kalau pertanyaanku menyusahkan ha-
timu, Paman. Kurasa lebih baik kau tidak usah men-
jawabnya. Lagipula, aku sudah merasa yakin kalau
kau adalah salah seorang sahabat terbaik guruku."
Lelaki kumal itu tersenyum. Sikap Putri Teratai
Merah yang tahu diri amat menyenangkan hatinya. Di-
akuinya kalau dekat dengan wanita muda yang umur-
nya tak lebih dari dua puluh tahun itu susah untuk
berlama-lama sedih. Tentu saja ini juga karena ke-
mampuannya mengendalikan perasaan.
"Tidak apa-apa, Teratai Merah. Aku tidak apa-apa.
Hanya..., memang ada sesuatu yang mengganggu piki-
ranku. Tapi itu tak berarti harus merahasiakan hal ini
terhadapmu. Namaku Kamandaka. Aku hanya seorang
pengelana yang mengikuti ke mana kakiku ini melang-
kah."
"Kasihan sekali kau, Paman," desah Putri Teratai
Merah. Sepasang matanya yang bening indah mem-
perhatikan sekujur tubuh lelaki kumal "Kau tidak
mengurus dirimu sehingga seperti... maaf, Paman se-
perti gembel. Apakah kau tidak mempunyai keluarga?
Aku yakin kau dulunya seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Rasanya tidak mungkin kalau tidak ada
wanita yang tertarik padamu...."
Putri Teratai Merah menghentikan ucapannya di
tengah jalan. Dia sadar telah keterlepasan bicara. Per-
cakapan itu membawa mereka ke masa silam lelaki
kumal yang tidak menggembirakan. Dan, dia merasa
menyesal telah kembali menyinggungnya.
Tapi, penyesalan itu pupus ketika dilihatnya tang-
gapan Kamandaka. Lelaki kumal ini tertawa geli. Dia
tidak tampak bersedih seperti perkiraan Putri Teratai
Merah.
"Kau ini bisa saja, Teratai Merah. Kalau ada wani-
ta yang menyukaiku, mana mungkin sampai sekarang
aku masih sendiri? Aku tak menarik wanita mana pun
Teratai. Mana ada wanita yang tertarik pada gembel
sepertiku?" ujar Kamandaka.
Putri Teratai Merah ikut tertawa. Kamandaka ha-
rus mengakui kalau gadis ini benar-benar mirip den-
gan Putri Teratai Putih yang dikenalnya. Tidak hanya
wajah, tapi juga caranya tertawa! Putri Teratai Merah
pun memiliki kecantikan yang tak kalah dengan Putri
Teratai Putih. Kecantikan kedua wanita, itu hampir
sama!
Putri Teratai Merah memang memiliki kecantikan
luar biasa. Kulitnya putih halus. Hidungnya yang
mancung serta sepasang bibir merah tipisnya men-
gundang orang untuk menciumnya. Kecantikan itu
masih ditunjang lagi dengan bentuk tubuhnya yang
indah dan padat berisi.
"Kau hendak ke mana, Teratai?" tanya Kamanda-
ka setelah tawa mereka reda. "Bukankah tempat ting-
gal gurumu jauh dari sini? Kudengar mereka semua
tinggal di istana kerajaan."
Putri Teratai Merah menghela napas berat "Aku
sendiri tidak tahu mengapa, Paman. Guru pindah dari
istana dengan membawaku setahun setelah tinggal di
sana. Paman Guru Banyak Santang telah meninggal
dunia karena sakit-sakitan. Aku sekarang tinggal ber-
sama kakek guru."
"Lalu, Putri Teratai Putih?" desak Kamandaka in-
gin tahu.
"Putri Teratai Putih tetap tinggal di istana. Tapi,
setahun sekali beliau berkunjung ke tempat kami. Be-
liau amat baik hati. Dia sangat memperhatikan ku,
Paman. Malah, sejak sepuluh tahun lalu setiap tiga
purnama sekali beliau datang berkunjung. Putri Tera-
tai Putih cantik sekali, Paman," tutur Putri Teratai Me-
rah.
"Dia memang cantik sekali, Teratai," jawab Ka-
mandaka. "Tapi, kau pun tidak kalah cantiknya. Kau
memiliki wajah dan potongan tubuh yang mirip sekali
dengannya. Di waktu muda dulu aku pernah melihat-
nya. Tidak ada bedanya sedikit pun denganmu! Hanya
warna pakaian saja kalian berdua memiliki perbedaan
yang menyolok! Putri Teratai Putih menyukai warna-
warna putih. Sedangkan kau warna merah. Sepertinya
kalian berdua hampir tidak mempunyai perbedaan
sama sekali. Malah, aku menduga kau adalah pu-
trinya!"
"Hi hi hi...!" Putri Teratai Merah tertawa geli sea-
kan-akan ada sesuatu yang lucu.
"Mengapa kau tertawa, Teratai? Ada yang lucu?"
tanya Kamandaka dengan mulut menyunggingkan se-
nyum. Tawa geli Putri Teratai Merah mendorongnya
untuk ikut merasa geli.
"Bagaimana aku tidak tertawa, Paman," celetuk
Putri Teratai Merah dengan setengah tertawa. "Kau
menyangka aku putri dari orang yang belum menikah.
Bagaimana Putri Teratai Putih bisa mempunyai anak
kalau suami saja dia tidak punya?"
"Jadi..., Putri Teratai Putih belum bersuami sam-
pai sekarang?!" tanya Kamandaka terkejut dan seten-
gah tak percaya.
Putri Teratai Merah mengangguk. "Aku pun mera-
sa heran, Paman," gadis cantik ini mendesah. "Orang
secantik beliau mana mungkin tidak disukai laki-laki?
Bahkan, semasa dia menjadi putri angkat Paman Ba-
nyak Santang tak terhitung pangeran-pangeran dan
raja-raja yang melamarnya. Aneh memang!"
"Sama sekali tidak kusangka," gumam Kamanda-
ka pelan seperti pada dirinya sendiri.
"Apa yang tidak Paman sangka?"
"Putri Teratai Putih..." jawab Kamandaka. "Menga-
pa tidak bersuami?"
"Menurut cerita Guru..., Putri Teratai Putih tidak
bisa menerima orang lain untuk menjadi suaminya ke-
cuali Pendekar Naga Emas. Mengingat pendekar itu
aku menjadi gemas, Paman. Ingin ku jewer telinganya.
Bahkan, ingin sekali ku tuding-tuding dia. Sungguh
tak pantas perbuatannya meninggalkan Putri Teratai
Putih yang demikian cantik dan berbudi. Wanita ba-
gaimana lagi yang ingin dicarinya? Betapa pun Guru
memuji-mujinya setinggi langit, aku tidak kagum pa-
danya. Lelaki macam apa dia? Kudengar dia dan Putri
Teratai telah saling mencinta, tapi mengapa dia pergi
begitu saja?"
Putri Teratai Merah berbicara dengan penuh se-
mangat. Wanita itu kelihatan penasaran sekali. Wa-
jahnya merah padam. Kedua tangannya yang berjari-
jari lunak serta halus dikepalkan. Andaikata Pendekar
Naga Emas ada di depannya, mungkin saat itu juga
akan terjangnya!
Kamandaka hanya membisu. Putri Teratai Merah
tak berbicara lagi. Keheningan pun tercipta.
"Jadi..., kau meninggalkan gurumu untuk mencari
Pendekar Naga Emas, Teratai?" Kamandaka memecah-
kan keheningan.
"Sekalian, Paman. Aku bermaksud hendak men-
gunjungi Putri Teratai Putih. Tentu saja mengenai niat
untuk membuat perhitungan dengan pendekar penge-
cut itu tidak kukatakan pada Guru. Aku bisa dimara-
hinya habis-habisan. Entah apa yang membuat Guru
demikian menghormati pendekar pengecut itu. Apakah
karena pertolongannya di waktu menghadapi penyer-
buan iblis-iblis yang merajai kaum sesat?"
"Mungkin sekali, Teratai," sahut Kamandaka me-
nanggapi dugaan Putri Teratai Merah, "Padahal, kalau
menurut pendapatku orang yang berjuluk Pendekar
Naga Emas itu memang tidak patut mendapatkan
penghormatan demikian besar."
"Bagus sekali, Paman. Kalau demikian kita sepa-
ham. Dengan adanya dirimu mungkin aku bisa meme-
nuhi keinginanku itu. Masalahnya, menurut Guru, ke-
pandaian Pendekar Naga Emas itu amat tinggi! Bah-
kan, katanya lebih tinggi dari kepandaian Guru. Ba-
gaimana mungkin aku bisa menjewer telinganya? Tapi
dengan adanya kau, Guru tidak akan berani memara-
hiku. Tentu saja kalau kau membelaku, Paman. Bu-
kankah kau sahabat baik Guru? Bagaimana, Paman.
Apakah kau mau membantuku?"
"Dengan segala senang hati, Teratai!" Kamanda
mengangguk, mantap.
"Ah...! Terima kasih, Paman. Kau baik sekali! Aku
yakin Paman akan memenuhi permintaanku. Bahkan
aku yakin Paman akan membuat pendekar pengecut
itu terkentut-kentut melarikan diri. Paman kan mem-
punyai kepandaian tinggi!" seru Putri Teratai Merah,
gembira.
Kamandaka tak tahan untuk tidak tertawa men-
dengar perkataan terakhir Putri Teratai Merah. Perka-
taan gadis itu memang lucu untuk didengar. Membuat
Pendekar Naga Emas jadi terkentut-kentut.
Gelak tawa kembali terdengar. Kamandaka dan
Putri Teratai Merah tertawa geli.
"Kau bilang tadi semasa Putri Teratai Putih men-
jadi putri angkat Prabu Banyak Santang dia mendapat
banyak lamaran, Teratai?" tanya Kamandaka ketika te-
ringat ucapan Putri Teratai Merah tadi. "Lalu, sekarang
Putri Teratai Putih menjadi apa di istana?"
"Beliau menjadi ratu, Paman! Sebelum meninggal
Paman Banyak Santang mengangkat Putri Teratai Pu-
tih menjadi penggantinya memimpin kerajaan."
"Ah...! Kiranya demikian?" Kamandaka mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Kau kelihatannya tertarik sekali dengan keadaan
Putri Teratai Putih, Paman. Apakah kau mempunyai
maksud-maksud tertentu terhadapnya?" tanya Putri
Teratai Merah seraya menatap Kamandaka penuh seli-
dik.
"Tidak ada maksud apa-apa, Teratai," jawab Ka-
mandaka sedikit kikuk melihat sikap Putri Teratai Me-
rah yang menyelidikinya. "Aku hanya merasa heran sa-
ja. Tapi, aku pun kagum atas keteguhan cinta kasih-
nya pada Pendekar Naga Emas."
"Apakah kau termasuk orang yang menyukai Putri
Teratai Putih, Paman?" desak Putri Teratai Merah, tak
puas dengan jawaban yang diberikan Kamandaka.
Kamandaka lebih dulu menghela napas berat se-
belum menganggukkan kepala.
"Tapi, aku bagaikan pungguk merindukan bulan,
Teratai. Mana mungkin Putri Teratai Putih yang memi-
liki kedudukan demikian tinggi akan sudi berjodoh
denganku?"
Putri Teratai Merah dapat menangkap kepedihan
dalam keluhan Kamandaka. Rasa iba tiba-tiba terpatri
di hatinya.
"Apakah penyebab kau tidak mengurus dirimu
adalah Putri Teratai Putih yang tidak bisa kau persunt-
ing. Paman?"
Kamandaka tidak segera menjawab pertanyaan
itu. Ditatapnya wajah Putri Teratai Merah lekat-lekat.
Bulu kuduk gadis itu jadi merinding melihat sepasang
mata yang mencorong kehijauan tertuju lurus ke
arahnya. Sinar mata yang seakan mampu membaca isi
hati dan pikirannya.
"Hanya kepadamu aku membuka rahasia ini, Te-
ratai. Mungkin karena sikapmu dan keberadaanmu
yang mengingatkan aku akan dia, aku sendiri tidak
tahu pasti. Yang jelas, sejujurnya kukatakan, iya!"
Putri Teratai Merah serta Kamandaka lalu membi-
su. Suasana menjadi hening. Tapi, keheningan itu ti-
dak berlangsung lama. Kamandaka segera memecah-
kannya.
"Mengapa kita menjadi cengeng begini, Teratai.
Kalau terus menuruti perasaan, kapan urusan yang
ingin kita selesaikan bisa beres?"
"Kau benar, Paman!" Putri Teratai Merah bagai di-
gugah dari lamunannya. "Aku memang sudah tidak
sabar untuk berjumpa dengan pendekar pengecut itu!"
"Kalau demikian, mari kita berangkat!" ajak Ka-
mandaka.
Putri Teratai Merah segera menganggukkan kepa-
la. Mereka berdua pun kemudian bergegas mengayuh-
kan langkah meninggalkan tempat itu.
4
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras memecah kesunyian.
Tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah yang
tengah bersemadi membuka matanya dan memandang
ke arah asal suara tawa menggelegar yang membuat isi
dadanya tergetar. Enam tombak di hadapan kakek
berpakaian merah itu terlihat berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Bibirnya tersenyum sinis. Dan, se-
pasang matanya berkilat-kilat tajam!
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Ku-
litnya kekuningan seperti juga warna pakaiannya. Di
kiri pinggangnya terselip sebatang pedang
"Kaget, Malaikat Merah?!" tanya pemuda itu men-
gejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada
orang di depannya.
Kakek yang berjuluk Malaikat Merah adalah salah
seorang dari pimpinan Perkumpulan Sepasang Malai-
kat. Kakek itu kini bangkit berdiri dengan sikap was-
pada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat
suara tadi menyebabkannya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda?}" tanya Malaikat Merah
tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu. Sepa-
sang mata kakek ini menelusuri sekujur tubuh pemu-
da di depannya dengan perasaan kaget yang tidak da-
pat disembunyikan.
"Kau kenal Hantu Rambut Emas?" tanya pemuda
itu. Terdengar dingin dan datar suaranya.
"Apa hubunganmu dengannya?"
Malaikat Merah malah balas mengajukan perta-
nyaan. Ia merasakan tiba-tiba jantungnya berdebar-
debar keras. Wajah kakek berpakaian merah ini seke-
tika berubah. Dia kenal betul siapa Hantu Rambut
Emas. Tokoh itu adalah salah satu dari tiga datuk
kaum sesat yang tewas di tangannya.
"Aku masih terhitung adik seperguruannya...,"
lanjut pemuda itu.
"Apa?!" Sepasang mata Malaikat Merah terbelalak
bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Malaikat Merah? Sekarang kau ten-
tu sudah tahu maksud kedatanganku kemari, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, adik sepergu-
ruan Hantu Rambut Emas telah melesat menerjang
Malaikat Merah. Jari-jari kedua tangannya terbentang
lurus. Tangan kanannya ditusukkan ke arah leher, se-
dangkan tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdesir tajam, seakan-akan yang meluncur
sebatang pedang yang amat tajam. Malaikat Merah
mengenal serangan berbahaya. Maka, buru-buru di
geser kakinya ke samping sehingga serangan itu mele-
set beberapa jari di samping tubuhnya.
Brettt!
Malaikat Merah terkejut bukan main. Pakaian pa-
da bahu bagian kanan robek memanjang seperti ter-
sayat pedang!
Malaikat Merah yang telah kenyang pengalaman
segera tahu kalau hal itu terjadi akibat angin serangan
lawan yang menyerempet pakaiannya.
"Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok?!" kakek
berpakaian merah itu tampak terkejut bukan main.
Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok amat diken-
al oleh Malaikat Merah. Karena, kakek itu pernah me-
lihat seorang tokoh menggunakannya. Sebuah ilmu
yang mempunyai keistimewaan membuat tangan pemi-
liknya tak ubahnya pedang dan golok. Malah bagi yang
memiliki tenaga dalam amat kuat, angin serangannya
saja tak kalah dahsyatnya dengan tusukan atau baba-
tan pedang! Ilmu itu diketahui secara pasti oleh Malai-
kat Merah, dan dimiliki oleh seseorang yang amat di-
kaguminya. Pendekar Naga Emas! Tapi, mengapa pe-
muda berpakaian kuning ini memilikinya? Dari mana
ilmu itu didapatkannya?
Malaikat Merah menggeram. Terdengar bunyi ber-
kerotokan keras dari sekujur tubuhnya seakan tulang
belulangnya berpatahan. Padahal, kakek ini tidak
menggerakkan tangan atau kaki. Uap tipis tampak
mengepul dari sekujur tubuhnya.
Diawali teriakan melengking nyaring, Malaikat Me-
rah menerjang pemuda berpakaian kuning. Pemuda itu
tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan itu
dengan tak kalah dahsyat
Dalam waktu sebentar saja pertarungan telah ber-
langsung puluhan jurus. Selama itu Malaikat Merah
senantiasa berada di pihak yang terdesak. Malah, ser-
ing kakek ini hanya mampu bermain mundur.
Malaikat Merah sadar kalau pemuda yang menga-
ku adik seperguruan Hantu Rambut Emas ini tak akan
mungkin dikalahkannya. Ingin rasanya mengadu nya-
wa. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin
melakukan hal itu. Kakek ini tidak ingin pemuda yang
menjadi lawannya itu mati konyol!
"Ayah...!"
Sesosok tubuh berpakaian putih yang melesat dari
arah lereng berteriak keras. Nada suaranya menyi-
ratkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Akh!"
Malaikat Merah tak kuasa untuk menahan jeritan.
Jari-jari tangan lawan menusuk bahu kanannya hing-
ga tembus. Darah muncrat-muncrat. Untungnya kakek
ini masih sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Hanya saja, karena keadaannya yang tidak mengun-
tungkan, tubuhnya jatuh terguling-guling.
Malaikat Merah benar-benar memiliki kekerasan
hati yang luar biasa. Dengan sigap dia kembali bangkit
dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan
yang terjadi.
Keadaan kakek ini benar-benar mengenaskan! Se-
luruh pakaiannya koyak-koyak bagai tersayat-sayat
senjata tajam. Bahkan, pada beberapa bagian tubuh-
nya terdapat garis kemerahan memanjang. Meskipun
demikian, teriakan yang amat dikenalnya membuat
Malaikat Merah menyempatkan diri untuk mengalih-
kan perhatian ke arah asal suara.
"Putih! Cepat pergi dari sini! Cepat!" teriak Malai-
kat Merah, kalap.
Tapi sosok yang dipanggil Malaikat Merah dengan
nama Putih, yang bukan lain adalah Putri Teratai Pu-
tih, tidak memenuhi perintah itu. Dia malah mene-
ruskan langkahnya dan berhenti di sebelah kakek ber-
pakaian merah.
Sementara itu pemuda berpakaian kuning ru-
panya yakin sekali akan kemenangannya. Dia tidak se-
gera melancarkan serangan. Yang dilakukannya ada-
lah berdiri tegak dengan kedua tangan di depan dada.
Sepasang matanya menatap Putri Teratai Putih dengan
sorot meremehkan!
Di saat yang bersamaan Putri Teratai Putih pun
menatap si pemuda. Dan, wanita ini langsung melon-
go. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan me-
lihat hantu. Mulutnya ternganga. Wajah wanita ini pu-
cat pasi dan kedua kakinya menggigil.
"Ayah...," rintih Putri Teratai Putih dengan suara
pelan. "Apakah aku tidak tengah bermimpi? Katakan
kalau aku tengah bermimpi. Ayah. Katakan!"
Malaikat Merah menggenggam tangan Putri Tera-
tai Putih. Kakek ini tahu perasaan yang tengah bergo-
lak di hati putri satu-satunya itu. Hal ini membuatnya
merasa terharu.
"Tidak, Putih," Malaikat Merah menggeleng. "Kau
tidak tengah bermimpi. Apa yang kau lihat ini adalah
kenyataan sesungguhnya!"
Kedua kaki Putri Teratai Putih semakin menggigil.
Kalau saja Malaikat Merah tidak memegang tangannya
dan mengerahkan tenaga untuk membantu, mungkin
wanita itu telah jatuh di tanah. Putri Teratai Putih
akan berdiri dengan mempergunakan lututnya.
"Apakah ini akhir dari penantianku. Ayah?" keluh
Putri Teratai Putih lagi. Suaranya gemetar hendak me-
nangis. Kelihatan jelas kalau wanita ini menderita
guncangan batin yang hebat "Mungkinkah pemuda itu
putra dia. Ayah?"
Malaikat Merah mengepalkan tangan kirinya. Ka-
kek ini kelihatan geram. Putrinya tengah menderita te-
kanan batin yang hebat. Tapi, rasa iba yang besar juga
melanda hati kakek ini. Malaikat Merah tiba-tiba me-
rasa marah sekali. Entah kepada siapa kemarahan itu
di tujukannya.
"Aku yakin demikian, Putih," jawab Malaikat Me-
rah sejujurnya. Untuk mengatakan pendapat yang di-
yakininya menghancurkan hati Putri Teratai Putih
Malaikat Merah beberapa kali menelan ludah
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Kalau tidak demikian, mana mungkin ada seorang
pemuda yang demikian mirip dengannya, bak pinang
dibelah dua? Melihat pemuda itu tak ubahnya meli-
hat... kekasihmu itu di waktu muda. Tidak ada be-
danya sekali pun!"
"Ayah...," keluh Putri Teratai Putih tertahan, sebe-
lum akhirnya roboh pingsan. Rupanya, guncangan ba-
tin yang diterimanya terlampau besar.
"Putih?" seru Malaikat Merah dengan suara berge-
tar karena rasa iba dan haru yang melanda.
Kakek ini bertindak cepat sehingga tubuh Teratai
Putih tidak merosot jatuh. Dengan hati-hati Malaikat
Merah menggeletakkan tubuh putrinya di tanah.
"Kurasa aku sudah cukup berbuat baik, Malaikat
Merah! Sekarang saatnya bagimu untuk menerima
kematian!" Pemuda berpakaian kuning tiba-tiba berka-
ta setelah sejak tadi berdiam diri memperhatikan ayah
dan anak di depannya. "Sebelum kau tewas di tangan-
ku, kuberikan padamu kesempatan untuk mengenali-
ku. Namaku adalah Reksanata! Jelas?!"
Malaikat Merah tersenyum getir. Disadarinya ka-
lau tak mungkin lolos dari tangan Reksanata. Hal ini
menyebabkan hatinya gundah. Kakek ini benar-benar
rela mati di tangan pemuda tangguh itu.
"Tunggu dulu, Anak Muda!" selak Malaikat Merah,
sebelum Reksanata melancarkan serangan.
"Ada apa lagi, Malaikat Merah?!" Reksanata meng-
hentikan gerakannya. "Kesempatan yang kuberikan
untukmu bukan berarti kau bisa memohon ampunan!"
"Aku tidak ingin meminta ampunan darimu, Rek-
sanata!" sentak Malaikat Merah. Kakek ini merasa ter-
singgung dengan ucapan lawannya. "Aku bukan orang
yang takut menghadapi kematian! Aku hanya ingin ta-
hu dari mana kau dapatkan ilmu Tangan Sakti Pedang
dan Golok. Setahuku ilmu itu hanya dimiliki oleh seo-
rang kawan baikku. Pendekar Naga Emas julukannya.
Apakah kau menerima ilmu itu darinya?!"
"Kau ngawur, Malaikat Merah!" Reksanata berseru
keras. "Ilmu ini tidak kudapatkan dari sahabatmu.
Bahkan, aku sama sekali tak mengenalnya. Aku men-
dapatkannya dari guruku sendiri. Orang yang pernah
menjadi guru dari Hantu Rambut Emas!"
Malaikat Merah mengernyitkan kening. "Kau tidak
mengenal tokoh yang kusebutkan tadi?"
"Mendengar namanya aku pernah. Guruku sering
menyebutkannya dan menyuruhku untuk membina-
sakannya. Tapi, melihatnya aku belum. Apalagi sampai
mengenal dan menerima ilmu darinya. Pendekar Naga
Emas adalah termasuk musuhku! Aku akan membuat
perhitungan dengannya!"
Malaikat Merah semakin bingung. Kalau tidak ada
hubungan antara Reksanata dengan Pendekar Naga
Emas, mengapa mereka berdua mempunyai cirri-ciri
yang demikian serupa?
"Tak usah mengulur waktu lebih lama, Malaikat
Merah! Kurasa sudah tiba saatnya bagimu untuk me-
nemui malaikat dalam kubur!" potong Raksanata tak
sabar.
Malaikat Merah menghembuskan napas berat.
Kakek ii tampaknya sudah pasrah. Meski demikian,
melihat sekujur tubuhnya yang menegang, Malaikat
Merah rupanya termasuk orang yang tak akan mem-
biarkan nyawanya dicabut orang begitu saja.
"Hanya seorang berwatak pengecut saja yang akan
membunuh lawan yang sudah tak berdaya...!"
Seruan yang diucapkan tidak terlalu keras tapi
bernada tajam itu membuat Malaikat Merah, terutama
sekali Reksanata, menoleh ke arah asal suara. Reksa-
nata merasa geram bukan main mendengar makian
itu. Ia adalah seorang yang berwatak sombong. Tidak
ada hal yang paling menyakitkan hatinya kecuali ang-
gapan kalau dirinya seorang pengecut!
Reksanata dan Malaikat Merah agak terperanjat
ketika melihat seorang pemuda berambut putih kepe-
rakan melangkah tenang mendekati tempat mereka
berdua. Pemuda yang bukan lain Aiya Buana atau
yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak!
Kedua tokoh ini sempat merasa heran melihat
rambut Arya. Melihat dari rambutnya, menurut kedua
orang itu pemiliknya seharusnya seorang yang telah
berusia lanjut. Tapi kenyataannya rambut itu berada
di kepala seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.
"Siapa kau, Rambut Putih?!" bentak Reksanata
keras setelah berhasil menguasai perasaan kagetnya.
"Sungguh lancang kau bersikap seperti itu padaku!
Apakah kau hendak buru-buru pergi ke alam kubur?
Kalau kau tidak segera minta ampun dan meninggal-
kan tempat ini, rambut setanmu itu akan ku babat
habis!"
"Aku hanya akan pergi dari tempat ini apabila kau
sudah pergi dan tidak melanjutkan tindakan pengecut
mu terhadap orang tua yang sudah tidak berdaya itu,"
jawab Arya seraya menunjukkan jarinya ke arah Ma-
laikat Merah.
"Keparat! Rupanya kau ingin berlagak menjadi
pendekar sejati, Rambut Aneh! Cepat pergi sebelum
kesabaranku hilang dan kujatuhkan hukuman terha-
dapmu. Kau harus menjilat telapak kakiku tujuh kali,
dan nyawamu yang tidak berharga itu kuampuni. Pan-
tang bagiku Reksanata, tokoh yang akan menggem-
parkan dunia persilatan, bertarung dengan orang tidak
wajar seperti kau!"
"Benar, Anak Muda," Malaikat Merah yang tidak
ingin ada orang lain terluka atau mati karena membe-
lanya, ikut memberi nasihat pada Arya.
Malaikat Merah bukannya tidak tahu kalau Arya
mempunyai kepandaian tinggi. Sikap pemuda itu yang
tenang dan sorot sepasang matanya yang tajam men-
corong kehijauan telah menjadi bukti nyata. Kendati
demikian, Malaikat Merah tidak yakin Arya akan
mampu menandingi Reksanata. Pemuda berpakaian
kuning itu memiliki kepandaian yang demikian dah-
syat. Bahkan, mungkin tidak kalah dengan Pendekar
Naga Emas! Padahal, pendekar itu merupakan jago
nomor satu pada masanya.
Arya sendiri hanya tersenyum dan mengangguk-
kan kepala sedikit pada Malaikat Merah. Pemuda itu
tahu kakek itu tidak bermaksud meremehkannya.
Hanya khawatir kalau dia akan mengalami celaka di
tangan Reksanata.
"Sayang sekali, Reksanata," ujar Arya tenang se-
raya menatap pemuda sombong itu tepat pada bola
matanya. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu!
Aku bukan seorang pengecut. Dan...."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya. Reksa-
nata telah menerjangnya lebih dulu. Teriakan keras
menggelegar yang mampu menggetarkan sekitar tem-
pat itu dikeluarkan Reksanata bersamaan dengan me-
lesatnya tubuh pemuda itu ke arah Dewa Arak.
Reksanata mengawali serangannya dengan sebuah
tendangan kaki kanan ke pelipis. Angin menderu keras
mengiringi meluncurnya serangan itu. Sungguh dah-
syat serangan Reksanata. Batu karang yang paling ke-
ras pun akan hancur lebur jika terhantam. Maka, bu-
ru-buru Arya menarik kaki kanannya ke belakang se-
raya mencondongkan tubuh ke belakang. Serangan
Reksanata pun kandas!
Melihat serangan pertamanya mengalami kegaga-
lan dengan cara yang demikian mudah, Reksanata
menjadi penasaran bukan main. Rasa penasaran yang
bercampur kegeraman. Serangan susulan yang tidak
kalah dahsyatnya pun segera dilancarkan. Sesaat ke-
mudian, kedua jago muda itu telah terlibat dalam per-
tarungan sengit! Reksanata benar-benar sudah kehi-
langan kesabaran. Serangan-serangan yang dilancar-
kannya selalu mengarah bagian-bagian yang memati-
kan. Pemuda itu agaknya mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang dimilikinya. Sehingga, tiap kali seran-
gannya meluncur datang maut pun siap merenggut
nyawa Dewa Arak!
Prat, prat, pratt!
Untuk pertama kalinya benturan keras dan bertu-
bi-tubi terjadi. Dua pasang lengan yang mengandung
tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, Dewa
Arak dan Reksanata terhuyung-huyung empat langkah
ke belakang.
Reksanata kelihatan terkejut. Semula pemuda
sombong ini menyangka kalau di dunia persilatan
hanya dirinya saja yang memiliki kepandaian tinggi, te-
rutama di kalangan tokoh-tokoh muda. Dia mengang-
gap dirinya tak terlawan lagi. Tapi, kenyataan yang
menjadi membuatnya sangat terpukul dan kecewa. Se-
rangan-serangannya kemudian pun dilancarkan sema-
kin dahsyat. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Se-
bentar saja lima puluh jurus telah terlewat. Keadaan
masih berimbang. Kenyataan ini semakin membuat
Reksanata murka. Serangan-serangannya kini lebih
banyak ditujukan pada penyerangan, dan hampir-
hampir tidak mempedulikan pertahanan sama sekali.
Rasa kecewa dan terpukul mengingat ada pemuda lain
yang memiliki kepandaian tak kalah dengannya mem-
buat Reksanata nekat! Yang ada di benak pemuda ini
adalah mengalahkan Dewa Arak! Akibat apa pun tidak
dipikirkannya sama sekali.
Dukkk, plakkk.
Desss!
Tubuh Dewa Arak dan Reksanata sama-sama ter-
jengkang ke belakang. Dewa Arak masih sanggup men-
jejak tanah dengan kedua kakinya kendati terhuyung-
huyung. Reksanata mengalami nasib yang lebih buruk.
Pemuda ini terbanting keras di tanah. Memang dia ma-
sih mampu bangkit, tapi dari sudut mulutnya mengalir
cairan merah kental.
Reksanata terluka dalam yang cukup parah kare-
na tamparan Arya mengenai pangkal tangan kanan-
nya. Sedangkan Arya sendiri hanya terkena sapuan
pada kakinya. Pertarungan langsung terhenti. Reksa-
nata menatap Dewa Arak dengan sinar merah penuh
dendam.
"Kali ini aku mengaku kalah, Rambut Setan! Tapi
ingat, kekalahan ini tidak untuk selamanya. Kelak aku
akan datang untuk menebusnya kembali. Ingat baik-
baik kataku ini!"
Usai berkata demikian, dengan dada dibusungkan
dan dagu diangkat tinggi-tinggi Reksanata membalik-
kan tubuh. Kemudian, dengan agak terhuyung-huyung
ia berlari meninggalkan tempat itu.
Arya tidak mengejar. Pemuda ini malah memper-
hatikan kepergian pemuda berpakaian kuning itu. Ke-
mudian napas berat keluar dari mulutnya. Dia kembali
telah menanamkan bibit permusuhan dengan lawan
yang teramat tangguh. Kalau Reksanata saja sudah
memiliki kepandaian demikian tinggi, bagaimana pula
orang yang menjadi gurunya? Batin Dewa Arak
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kalau tidak ada kau mungkin aku dan anakku hanya
tinggal nama sekarang."
Lamunan Arya buyar oleh suara itu. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini membalikkan tubuh untuk
menghadap Malaikat Merah.
"Tak ada yang perlu diucapkan mengenai perto-
longanku ini, Kek. Hanya suatu kebetulan aku berada
di sini. Maaf, apakah Putri Teratai Putih telah menceri-
takan pada Kakek mengenai diriku?"
"Tidak, Anak Muda!" Malaikat Merah menggeleng.
Meski sebenarnya merasa kaget mendengar Arya men-
genal Putri Teratai Putih, kakek ini dengan pandai me-
nyembunyikan perasaan itu. "Jadi, kau telah mengenal
anakku, Anak Muda?"
"Kami bertemu di perjalanan secara tidak sengaja.
Dan begitu mendengar tentang dirimu, aku meminta
pada Putri Teratai Putih untuk bisa bertemu dengan-
mu. Aku sudah lama mengagumimu."
"Kau bercanda, Anak Muda," Malaikat Merah ter-
senyum getir, "Apa yang bisa dibanggakan dari orang
tua sepertiku? Menghadapi seorang pemuda saja aku
hampir tewas kalau kau tidak segera datang menolong.
Boleh ku tahu bagaimana kau bisa bertemu dan ber-
kenalan dengan putri ku?"
Sebelum Arya sempat memberikan jawaban, ter-
dengar Putri Teratai Putih mengeluh. Rupanya, wanita
ini telah tersadar dari pingsannya.
Arya dan Malaikat Merah segera mengalihkan
perhatiannya pada Putri Teratai Putih. Wanita itu sen-
diri tidak mempedulikan pandangan mereka. Tatapan-
nya diedarkan ke sekitar tempat itu. Terutama ke tem-
pat di mana Reksanata tadi berada.
Malaikat Merah mengeluh dalam hati melihat ke-
lakuan putrinya. Sedangkan Arya yang tidak tahu po-
kok permasalahannya berdiam diri saja,
"Mana dia, Ayah?" tanya Putri Teratai Putih sete-
lah tak menemukan orang yang dicarinya.
"Dia telah pergi, Putih," jawab Malaikat Merah
dengan hati berat. "Kawan seperjalanan mu yang telah
mengusirnya sebelum dia berhasil membunuhku."
"Oooh..." keluh Putri Teratai Putih. Lalu, dia
bangkit berdiri. Kelihatan sekali wanita ini merasa ke-
cewa.
"Hentikan kecengenganmu, Putih! Tidak pantas
orang keturunan Perkumpulan Sepasang Malaikat ber-
sikap lemah seperti itu! Tak malu terhadap kawan se-
perjalanan mu yang melihat tingkahmu ini?!" tegur
Malaikat Merah, karena tidak senang melihat sikap Pu-
tri Teratai Putih!
Kakek ini sebenarnya tidak sampai hati berkata
seperti itu. Dia tahu mengapa putrinya demikian ter-
pukul. Tapi, keberadaan Dewa Arak membuatnya malu
atas sikap yang diperlihatkan putrinya.
Teguran Malaikat Merah membuat Putri Teratai
Putih tersadar. Meski rasa kecewa dan terpukul masih
melanda hati, dia mampu menekannya dengan meng-
gertakkan gigi. Disadarinya kebenaran ucapan ayah-
nya. Seorang pendekar tidak pantas untuk menuruti
kelemahan hati!
"Maafkan atas sikapku yang tak pantas, Arya,"
ujar Putri Teratai Putih dengan suara serak. "Aku ter-
lalu terbawa perasaan. O ya, ini ayahku, Arya. Malai-
kat Merah, pimpinan kedua Perkumpulan Sepasang
Malaikat yang ingin kau temui. Ayah, ini kawan seper-
jalanan ku yang telah menyelamatkan diriku dari
maut. Namanya Arya."
Arya dan Malaikat Merah saling menganggukkan
kepala seraya tersenyum lebar. Putri Teratai Putih lalu
menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai
bertemu Dewa Arak. Malaikat Merah mendengarkan
dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek ini men-
geluarkan seruan kaget.
"Sungguh tak kusangka kalau Pengemis Iblis Tan-
pa Tanding mempunyai seorang kakak seperguruan.
Dewa Tapak Darah julukannya. Sebagai seorang kakak
seperguruan, Dewa Tapak Darah pasti tak kalah lihai
dengan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Sungguh ber-
bahaya!" Malaikat Merah menggeleng-geleng dengan
sikap prihatin.
"Itulah sebabnya aku datang kemari untuk mem-
beritahukan mu, Ayah. Aku yakin cepat atau lambat
Dewa Tapak Darah akan menyatroni tempat ini. Meski
letaknya tersembunyi, tapi dia pasti akan dapat me-
nemukannya," ujar Putri Teratai Putih.
Malaikat Merah mengangguk-angukkan kepala
menanggapi ucapan putrinya.
"Sebenarnya aku sangat senang dengan kedatan-
ganmu kemari, Putih. Apalagi dengan membawa kawan
perjalanan yang memiliki kepandaian demikian tinggi.
Sayang, kau datang terlambat"
Putri Teratai Putih mengernyitkan kening. Dia
berpikir sejenak untuk mencerna kata-kata ayahnya.
Sebentar kemudian, wanita ini merasakan ada sesuatu
yang tak beres telah terjadi.
5
"Sejak tadi aku tidak melihat Teratai Merah. Ke
mana dia. Ayah?" tanya Putri Teratai Putih. Dia baru
menyadari keanehan ini karena kesibukannya meng-
hadapi Reksanata.
Biasanya, setiap kali Putri Teratai Putih datang,
Putri Teratai Merah yang paling gembira menyambut-
nya. Gadis yang menjadi murid Malaikat Merah itu
memang telah menganggap Putri Teratai Putih sebagai
Ibunya sendiri.
"Itulah sebabnya kukatakan kalau kedatanganmu
terlambat, Putih. Teratai Merah telah lebih dulu pergi
sebelum kau tiba. Apakah kau tak menjumpainya di-
perjalanan?" Malaikat Merah balas mengajukan perta-
nyaan.
"Jadi... Teratai Merah telah pergi, Ayah?" Terasa
jelas nada kekecewaan yang besar dalam suara Putri
Teratai Putih. "Mengapa dia pergi? Dan, hendak ke
mana? Aku tidak menjumpainya di perjalanan."
Malaikat Merah menghela napas berat "Berarti Te-
ratai Merah mengambil jalan memutar, Putih. Sayang
sekali! Padahal, dia ingin menjumpai mu di istana. Dia
ingin sekali-kali memberi kejutan. Karena sebelum kau
datang dia berangkat lebih dulu. Katanya, sekalian me-
lihat-lihat pemandangan dijalan."
"Oooh...!" Putri Teratai Putih mengeluh kecewa.
Wajahnya ditekapkan dengan kedua tangan. Ke-
palanya pun ditundukkan dalam-dalam. "Kalau ku ta-
hu akan begini, pasti jauh-jauh hari aku telah pergi ke
mari Ayah. Aku khawatir dia mendapat bahaya di ja-
lan. Dunia persilatan amat keras. Teratai Merah terlalu
polos. Aku khawatir terjadi apa-apa terhadapnya."
"Jangan khawatir, Putih," hibur Malaikat Merah.
"Sebelum Teratai Merah pergi, telah kuberikan nasihat
padanya. Bahkan kuberitahukan padanya untuk ber-
sikap hati-hati meski menghadapi orang yang keliha-
tannya baik."
"Aku mengerti. Ayah. Tapi, tipu daya orang persi-
latan terlalu banyak."
"Aku bisa memaklumi kekhawatiranmu," timpal
Malaikat Merah bijaksana, karena mengetahui alasan
yang menyebabkan Putri Teratai Putih demikian kha-
watir. "Tapi cobalah kau bertindak sedikit bijaksana.
Bukankah kau dulu pun begitu? Betapa pun keras kau
buang keinginan hatimu tetap tidak bisa ku bendung.
Kenyataannya, kau selamat sampai hari ini. Lagipula
mana mungkin Teratai Merah akan mendapat penga-
laman kalau terus-menerus tinggal di tempat ini?"
Putri Teratai Putih pun terdiam. Disadari ada ke-
benaran yang tak bisa dibantah dalam penjelasan
ayahnya. Kendati demikian, perasaan khawatir yang
melanda tetap tak mau sirna.
"Aku masih belum bisa mengerti dengan mak-
sudmu, Putih," kali ini Malaikat Merah yang mengaju-
kan keheranan. "Mengapa kau mesti menyuruh Arya
menunggu dan tidak langsung menemui Ayah di sini.
Kalau saja Arya terus menuruti permintaanmu, mung-
kin kau dan Ayah telah tewas di tangan Reksanata."
"Aku khawatir Ayah akan marah. Biar bagaimana
pun Arya orang luar. Padahal Ayah tidak suka jika
tempat tinggal Ayah diketahui orang. Karena itu, ku
putuskan untuk menyuruh Arya menunggu sedangkan
aku memberitahukan hal ini pada Ayah. Bukankah
pengawal-pengawalku pun demikian jika aku tengah
menemui Ayah?" jawab Putri Teratai Putih memberikan
alasan.
Permintaan Putri Teratai Putih ini yang menye-
babkan Arya datang lebih lambat. Arya menunggu
sampai Putri Teratai Putih kembali dan memberikan
jawaban. Tapi ketika pemuda ini mendengar bunyi-
bunyi gaduh, dengan perasaan tak enak diputuskan-
nya untuk meninggalkan tempat persembunyian di ba-
lik dinding batu yang menjulang tinggi, lima puluh
tombak dari tempat tinggal Malaikat Merah.
Tindakan yang diambil Arya ternyata tepat. Keda-
tangannya menyebabkan bahaya maut yang mengan-
cam Malaikat Merah dan juga Putri Teratai Putih ber-
hasil dihindarkan.
"Itu memang benar, Putih. Tapi Arya kan lain. Dia
seorang penolongmu. Jadi merupakan tamu kehorma-
tan. Mana mungkin aku tidak menyukai nya?" bantah
Malaikat Merah membela diri.
Putri Teratai Putih ingin mengajukan bantahan la-
gi. Wanita yang ternyata berhati keras ini tidak mau
dipersalahkan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya,
Arya telah buru-buru menengahi. Rupanya ia merasa
bertanggung jawab atas terjadinya perdebatan antara
ayah dan anak itu
"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek, Putri.
Tapi menurut hematku sebaiknya masalah ini disele-
saikan saja. Bagiku hal ini tidak merupakan masalah.
Tindakan yang diambil Putri tidak salah, dan peratu-
ran Kakek juga benar. Aku bisa memakluminya."
"Syukurlah kalau kau berpikir demikian, Arya"
timpal Malaikat Merah dengan hati lega. "Aku memang
khawatir kau merasa dicurigai. Sekarang dengan
adanya jawabanmu seperti itu, aku merasa lega. Sekali
lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas per-
tolonganmu."
"Bukankah itu merupakan kewajiban kita selaku
pembela-pembela keadilan, Kek?" kilah Arya setengah
mengingatkan.
Malaikat Merah tidak memberikan tanggapan. Ja-
waban Arya mengingatkannya kalau pertolongan yang
diberikan pemuda itu bukan merupakan hal yang luar
biasa. Menolong orang yang tertindas memang sudah
merupakan kewajiban setiap tokoh golongan putih!
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Putih?"
tanya Malaikat Merah pada putrinya.
"Aku akan kembali ke dunia persilatan, Ayah! Ha-
tiku tidak merasa tenang kalau belum melihat Teratai
Merah selamat. Peristiwa seperti dua puluh tahun lalu
aku yakin akan terulang kembali. Bukan tidak mung-
kin tokoh-tokoh golongan hitam selihai datuk-datuk
sesat dulu akan keluar lagi. Kenyataannya, Dewa Ta-
pak Darah telah muncul."
Malaikat Merah menghela napas berat. Kakek ini
terlihat begitu gusar.
"Aku pun tidak mungkin tenang lagi tinggal di si-
ni, Putih. Munculnya tokoh seperti Dewa Tapak Darah,
apalagi Reksanata yang menyimpan rahasia besar den-
gan kesamaan ilmunya seperti Pendekar Naga Emas,
membuatku ingin segera tahu keanehan ini"
"Kalau begitu, kita bersama-sama menyingkapkan
rahasia itu. Ayah?" Putri Teratai Putih mengajukan
usul.
"Mungkin sebaiknya kita berpisah, Putih. Kau
bersama Aiya dan aku akan menyusul belakangan.
Butuh waktu beberapa hari bagiku untuk meninggal-
kan tempat yang kucintai ini."
"Kalau demikian, biar aku berangkat lebih dulu,"
ujar Putri Teratai Putih.
"Begitu pun bagus!" sahut Malaikat Merah me-
nyambuti usul putrinya.
■k-k-k
Sesosok bayangan hitam berkelebat di bawah te-
rangnya cahaya bulan purnama. Gerakannya cepat
bukan main sehingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan hitam saja. Sosok bayangan ini ternyata
Nambi yang dulu menjabat sebagai panglima kerajaan.
Nambi terus berlari cepat. Langkahnya baru diper-
lambat ketika mendekati bangunan besar berhalaman
luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar
kayu bulat tinggi. Sepasang mata Nambi berbinar-
binar begitu menatap bagian atas pintu gerbang utama
tergantung sebuah papan tebal berukir yang tuliskan
huruf-huruf indah berbunyi 'Perkumpulan Pengemis
Baju Merah'.
Sekali melompat tubuh lelaki itu telah berada te-
pat di depan pintu gerbang Perkumpulan Pengemis Ba-
ju Merah. Kemudian, Nambi menghantamkan kedua
tangannya ke daun pintu.
Brakkk!
Daun pintu gerbang hancur berkeping-keping.
Bunyi gaduh yang timbul mengejutkan orang-orang
yang berada di bagian dalam pintu gerbang.
"Ha ha ha....'"
Nambi memperdengarkan tawa aneh. Suaranya
pelan dan berat, tapi bergaung. Tawa yang tidak pan-
tas keluar dari mulut manusia. Lelaki ini menatap pu-
luhan sosok berpakaian merah yang berdiri sekitar li-
ma tombak di depannya.
"Rupanya kalian sudah siap menyambut kedatan-
ganku," dengus Nambi tanpa rasa gentar sedikit pun,
kendati di tangan sosok-sosok berpakaian merah pe-
nuh tambalan tergenggam tongkat berujung runcing.
Sikap sosok-sosok yang bukan lain anggota Perkumpu-
lan Pengemis Baju Merah tampaknya sudah siap ta-
rung.
"Tidak usah banyak basa-basi, Nambi! Telah ku
dengar kalau kau membasmi seluruh isi Perguruan
Hutan Larangan dengan kejam! Kami, Perkumpulan
Pengemis Baju Merah, akan membalaskan kematian
mereka!" bentak seorang pengemis kurus kering yang
berdiri paling depan. Pengemis yang telah berusia lan-
jut ini adalah pimpinan Perkumpulan Pengemis Baju
Merah. Pengemis Tongkat Badai, julukannya!
"Aku memang tak ingin berbasa-basi," rungut
Nambi tak senang. "Kedatanganku kemari adalah un-
tuk membasmi kalian semua seperti halnya Perkum-
pulan Hutan Larangan! Kalian yang telah menyebab-
kan usahaku untuk menjadi raja dan mempersunting
Putri Teratai Putih gagal. Bersiaplah untuk menghadap
Malaikat maut!"
Nambi melesat menerjang Pengemis Tongkat Ba-
dai. Kedua tangannya secara berbarengan disampok-
kan ke arah dada dan ulu hati lawan. Bunyi berkero-
takan nyaring terdengar sebelum serangan bekas pan-
glima kerajaan itu tiba.
Pengemis Tongkat Badai tidak berani bersikap
main-main. Segera saja tongkatnya diputar bagal kiti-
ran. Kemudian, dikelebatkan menangkis serangan
yang mengancam dada dan ulu hatinya.
Brakkk!
Benturan antara tongkat dan sepasang tangan
pun tak terelakkan lagi. Tubuh Pengemis Tongkat Ba-
dai terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Se-
kujur tangannya yang memegang tongkat dirasakan
lumpuh seketika. Bahkan, dadanya pun terasa sesak
bukan main!
Nambi yang sedikit pun tidak terpengaruh oleh
tangkisan tongkat Pengemis Tongkat Badai kembali
mendengus. Kini dia sudah memburu tubuh yang ten-
gah terhuyung-huyung itu.
Melihat nyawa Pengemis Tongkat Badai terancam,
murid-muridnya tak tinggal diam. Mereka bergegas
melompat menjegal serangan Nambi. Seketika ujung
belasan tongkat mengarah ke berbagai bagian tubuh
bekas panglima kerajaan itu.
Bukkk! Takk! Dukk!
Telak dan keras bukan main belasan tongkat itu
menghantam sasaran. Tapi Nambi tidak terpengaruh
sama sekali. Memang, sebelum membiarkan serangan-
serangan itu mengancam tubuhnya, Nambi telah men-
gerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Nambi tidak bertindak lembut. Segera dicabutnya
senjata andalannya. Serangan balasan berupa samba-
ran sepasang senjatanya pun meluncur ke arah para
pengeroyok itu. Seketika tubuh murid-murid Perkum-
pulan Pengemis Baju Merah berpentalan bak dilanda
angin topan! Setiap kali tangan Nambi bergerak, satu
tubuh terbanting di tanah dan tak bangkit lagi untuk
selamanya.
Tapi, pengemis-pengemis baju merah bukan orang
yang berwatak pengecut. Meski hanya dalam waktu
singkat kawan-kawan mereka telah tewas, tapi dengan
semangat tinggi di bawah pimpinan Pengemis Tongkat
Badai mereka melakukan perlawanan mati-matian!
Pertarungan seru pun terjadi. Nambi mengamuk.
Jerit kematian terdengar silih berganti setiap kali tan-
gan Nambi bergerak. Hanya dalam beberapa gebrakan
saja halaman markas Perkumpulan Pengemis Baju Me-
rah telah dipenuhi oleh mayat-mayat yang bergelim-
pangan. Darah tampak membanjiri tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Nambi kembali tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu
kelihatan gembira bukan main.
"Kematianmu sudah di ambang pintu, Pengemis
busuk! Setelah kau, baru giliran Pendekar Naga Emas.
Pendekar yang terkenal itu akan tewas di tanganku.
Dan aku, Nambi, akan menjadi tokoh tak terkalahkan
dunia persilatan! Ha ha ha...!"
Pengemis Tongkat Badai hanya dapat mengger-
takkan gigi untuk mengusir kegeraman hatinya. Seka-
rang dia tinggal sendiri. Disadarinya tak akan mungkin
dapat mengalahkan Nambi. Tadi saja sewaktu anak
buahnya masih ada tokoh itu tak bisa dikalahkannya,
apalagi sekarang?
Hampir berbarengan dengan usainya gelak tawa
Nambi, terdengar suara tawa nyaring yang menggetar-
kan sekitar tempat itu! Pengemis Tongkat Badai sam-
pai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk me-
lawan pengaruh suara tawa yang membuat isi dadanya
bergetar hebat!
"Besar sekali sesumbar mu, Sobat! Kau kira hanya
dirimu seorang yang memiliki kepandaian? Selama ada
aku jangan harap maksudmu itu akan terlaksana!
Akulah yang akan menjadi jago tak terkalahkan di du-
nia persilatan!"
Nambi mendengus marah mendengar ucapan itu
ditujukan terhadapnya. Tubuhnya lalu dibalikkan
dengan cepat. Dia tahu pemilik suara itu ada di bela-
kangnya.
Dugaan Nambi memang tidak keliru. Dari balik
pintu gerbang yang sudah tak berdaun lagi melesat se-
sosok bayangan yang tak terlihat jelas bentuknya ka-
rena cepatnya gerakan yang dilakukannya. Sosok itu
berhenti melesat pada jarak tiga tombak dari Nambi.
"Siapa kau, Mulut Lancang?!" tanya Nambi keras.
Setelah memperhatikan beberapa saat lamanya dia tak
juga mengenal siapa pendatang baru ini
Dia adalah seorang kakek bermuka merah. Sepa-
sang matanya hampir tak terlihat karena hanya beru-
pa garis memanjang.
"Kau benar-benar memiliki keberanian dan ke-
sombongan yang melewati batas. Sobat! Rupanya kau
belum mengenal siapa adanya aku?!" gertak kakek
bermuka merah. "Pernahkah kau mendengar julukan
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?"
"Tentu saja." dengus Nambi penuh ejekan. "Seo-
rang tokoh yang katanya memiliki kepandaian amat
tinggi sehingga mampu menjadi salah seorang datuk
persilatan. Tapi kenyataannya? Tak lebih dari seorang
jago di kalangan sendiri. Bayangkan, menghadapi Pen-
dekar Naga Emas saja kalah dan akhirnya tewas! Da-
tuk macam apa itu? Sungguh menyesal sekali aku be-
kerja sama dengannya. Kalau tidak, mungkin sekarang
aku telah menjadi raja!"
"Hantu Belang! Jin Hutan! Kau benar-benar me-
miliki mulut yang besar, Anjing Hitam! Aku Dewa Ta-
pak Darah, selaku orang yang pernah menjadi kakak
seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding, takkan
membiarkan mu seenaknya saja membuka mulut!
Akan kubuktikan kalau akulah yang lebih pantas men-
jadi tokoh tak terkalahkan dunia persilatan!" tandas
Dewa Tapak Darah, mantap.
"Keparat!"
Nambi berteriak marah mendengar makian yang
ditujukan kepadanya. Berbarengan dengan dikelua-
rkannya teriakan, bekas panglima kerajaan ini melu-
ruk ke arah Dewa Tapak Darah. Serangan bertubi-tubi
berupa tendangan kaki kanan menuju ulu hati, dada
dan leher dikirimkannya.
Meski terkejut melihat kedahsyatan serangan
Nambi, Dewa Tapak Darah mengeluarkan dengusan
mengejek. Perasaan tak mau kalah mendorongnya un-
tuk memapaki serangan-serangan itu.
Plak, plak, plak!
Dewa Tapak Darah terperanjat ketika mendapati
kedua tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-
huyung dua langkah ke belakang. Sementara Nambi
hanya terhuyung satu langkah!
Nambi tertawa mengejek melihat keterkejutan la-
wannya. Sambil mengeluarkan tawa tak putus, diki-
rimkannya serangan susulan. Dewa Tapak Darah me-
nyambutinya. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Di jurus-jurus awal pertarungan kelihatan seim-
bang. Tapi begitu memasuki jurus kedua puluh lima,
Dewa Tapak Darah mulai kewalahan. Kakek bermuka
merah ini lebih banyak mengelak dan menangkis dari-
pada menyerang.
kkk
"Mengapa kita harus berdiam diri saja di sini Pa-
man?"
Ucapan itu keluar dari mulut seorang gadis ber-
pakaian merah. Sepasang matanya yang bening indah
menatap lelaki kumal di sebelahnya dengan tanpa me-
nyembunyikan rasa penasaran. Saat itu dua sosok
yang bukan lain Kamandaka dan Putri Teratai Merah
itu memang tengah berada di atas genteng salah ban-
gunan.
"Maksudmu bagaimana, Teratai?" Kamanda malah
balas bertanya. Seperti juga Putri Teratai Merah. Ka-
mandaka berbicara hampir berbisik karena tak ingin
ucapannya didengar oleh kedua tokoh sesat yang ten-
gah bertarung.
"Kita turun dan memberikan hajaran pada mereka
yang telah begitu kejam membasmi orang-orang Per-
kumpulan Pengemis Baju Merah. Menurut Guru, Per-
kumpulan Pengemis Baju Merah mempunyai hubun-
gan yang baik dengan Perkumpulan Sepasang Malai-
kat. Berarti sudah kewajibanku dan juga kau untuk
membalaskan kekejian ini. Bukankah kau termasuk
sahabat Guru, Paman? Aku yakin kau pun merupakan
sahabat orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Me-
rah. Benarkah dugaanku ini?"
Kamandaka menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu benar, Teratai. Tapi ki-
ta pun harus menggunakan akal jika hendak melaku-
kan suatu tindakan. Dua tokoh sesat yang sedang ber-
tarung itu memiliki kepandaian amat tinggi. Mungkin
kalau hanya salah seorang dari mereka, aku bisa
menghadapinya. Tapi dua orang? Hal lain yang mem-
beratkan ku untuk bertindak adalah ketidaktahuan ki-
ta mengenai orang yang melakukan pembantaian itu.
Bukankah kita datang saat mereka berdua tengah ber-
tarung? Barangkali saja bukan mereka yang melaku-
kannya," Kamandaka mengajukan alasan.
"Kau mengenal mereka, Paman?" Putri Teratai Me-
rah mengajukan permasalahan lain.
"Salah satu dari mereka, Teratai. Kakek yang ber-
pakaian hitam," terdengar nada keluhan dalam ucapan
Kamandaka. "Sungguh tidak kusangka kalau waktu
dua puluh tahun telah mengubahnya menjadi seorang
tokoh yang memiliki kepandaian demikian tinggi. Mes-
tinya kepandaian yang dimilikinya biasa saja. Dia ada-
lah seorang panglima kerajaan dulunya, di masa kera-
jaan masih dipimpin oleh Prabu Banyak Santang.
Mungkin kau bisa menduganya sekarang, Teratai. Se-
tidak-tidaknya gurumu pernah bercerita tentang seo-
rang panglima kerajaan yang berkhianat dan membe-
rontak. Dedengkot-dedengkot dunia persilatan dari
kaum sesat berdiri di belakangnya. Untung Pendekar
Naga Emas cepat datang. Karena bantuannya kerajaan
dapat diselamatkan...."
"Jangan sebut-sebut tentang pendekar pengecut
itu lagi, Paman." sentak Putri Teratai Merah, tak se-
nang.
"Sekarang aku tahu siapa adanya kakek itu, Pan-
glima Nambi bukan?" Kamandaka mengangguk.
"Kakek yang satu lagi kau tidak bisa menduganya,
Paman?"
"Memang ada sedikit dugaan muncul dalam piki-
ranku," Kamandaka mengakui. "Beberapa gerakan ka-
kek itu mirip dengan gerakan-gerakan Pengemis Iblis
Tanpa Tanding. Mungkinkah ada hubungannya antara
mereka berdua?"
"Datuk sesat itu, Paman?"
Kamandaka kembali mengangguk. Entah untuk
ke berapa kalinya lelaki kumal itu berlaku demikian.
Kali ini Putri Teratai Merah tak mengajukan per-
tanyaan lagi. Kamandaka pun tidak. Mereka berdua
memusatkan seluruh perhatian ke arah pertarungan
yang tengah berlangsung
"Ih..!"
Putri Teratai Merah tak kuasa untuk menahan
pekikan kagetnya. Tampak di arena pertarungan Nam-
bi melancarkan serangan yang menimbulkan bola-bola
api bernyala meluncur ke arah Dewa Tapak Darah!
Kamandaka kaget bukan main. Dia tahu dua to-
koh yang tengah bertarung itu akan segera menyadari
adanya pengintai-pengintai setelah mendengar teria-
kan kaget Putri Teratai Merah. Maka, tanpa mem-
buang-buang waktu lebih lama, dicekalnya pergelan-
gan tangan Putri Teratai Merah. Gadis itu kelihatan
kaget dan berusaha meronta. Tapi, Kamandaka telah
lebih dulu bertindak. Dia melesat meninggalkan tem-
pat itu sambil membawa tubuh Putri Teratai Merah!
Tindakan Kamandaka memang tidak keliru! Begi-
tu mendengar suara jeritan, Nambi dan Dewa Tapak
Darah segera tahu kalau mereka tengah diintai orang.
Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya melan-
carkan pukulan jarak jauh ke arah suara jeritan be-
rasal!
Brakkk!
Atap tempat Kamandaka dan Putri Teratai merah
tadi berada hancur berantakan. Tapi, Kamandaka dan
Putri Teratai Merah berhasil selamat karena saat itu
telah berada di udara. Putri Teratai Merah yang meli-
hat kejadian ini baru mengerti dengan tindakan yang
diambil Kamandaka.
Nambi dan Dewa Tapak Darah menggeram melihat
pengintai-pengintai itu lolos dari serangan. Seakan
tengah berlomba keduanya bergegas melesat mengejar.
Dan ketika Kamandaka menjejakkan kedua kakinya di
tanah, Nambi yang didampingi Dewa Tapak Darah te-
lah berada di depannya. Jarak antara mereka terpisah
tiga tombak. Bagaikan telah diatur sebelumnya, Nambi
berada di kanan dan di kiri berdiri Dewa Tapak Darah!
Kamandaka langsung menyadari kalau melarikan
diri merupakan tindakan yang sulit dilakukan. Karena
apabila jalan itu yang diambilnya, Putri Teratai Merah
harus dibopongnya. Kalau tidak, Nambi dan Dewa Ta-
pak Darah akan dengan mudah menangkapnya. Pa-
dahal, jika Putri Teratai Merah dipanggulnya akan
mengurangi kecepatan larinya. Di pihak lain Nambi
dan Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian luar bi-
asa. Bukan tak mungkin mereka akan mampu menyu-
sulnya!
"Menyingkirlah, Teratai," ujar Kamandaka seraya
melangkah maju, sehingga Putri Teratai Merah yang
semula berada di sisinya jadi berada di belakang. Putri
Teratai Merah tak berani membantah sedikit pun. Ga-
dis ini tahu kalau dua kakek yang berada depannya
memiliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa bicara
apa pun dilangkahkan kakinya untuk menyingkir dari
situ.
"Teratai,..?!" Nambi mengulang nama itu dengan
mata membelalak lebar.
Lelaki berpakaian hitam ini memang sudah terke-
jut ketika melihat wajah dan perawakan tubuh Putri
Teratai Merah. Semula dikiranya sosok itu adalah Putri
Teratai Putih. Tapi, dugaan ini langsung pupus ketika
melihat pakaiannya yang merah. Sekarang keterkeju-
tan Nambi semakin bertambah saat mendengar sapaan
yang diberikan Kamandaka.
"Apa hubunganmu dengan Putri Teratai Putih?"
tanya Nambi seraya melangkah untuk menghampiri
Putri Teratai Merah. Tapi, maksudnya terhalang den-
gan keberadaan Kamandaka. Lelaki kumal itu melang-
kah menghadang jalan Nambi.
"Keparat!"
Nambi menggeram marah sambil melotot. Tapi
pandang matanya yang semula penuh kemarahan tiba-
tiba meredup berganti dengan keheranan.
"Siapa kau, Monyet Jelek?! Rasa-rasanya aku
mengenalmu."
"Untuk apa banyak berbasa-basi, Nambi! Serang
saja! Aku tak suka dengan tindakanmu yang berbelit!"
cela Dewa Tapak Darah tak sabar.
"Tutup mulutmu, Monyet Merah!" sentak Nambi.
Rupanya dia merasa terhina mendengar ocehan
Dewa Tapak Darah. "Atau, kau ingin kubereskan lebih
dulu?!"
"Ho ho ho...! Setan Belang! Kau sombong sekali,
Nambi. Kau belum tentu menang menghadapiku. Apa-
lagi kalau aku bersekutu dengan orang yang kau maki-
maki itu. Kau akan menderita rugi besar. Ho ho ho...!"
Nambi tidak berani menanggapi lagi. Meski ha-
tinya menuntutnya untuk mencerca, tapi hal itu dita-
hannya. Nambi tahu ancaman Dewa Tapak Darah bu-
kan omongan kosong belaka. Bagi tokoh seperti kakek
bermuka merah itu yang diperhitungkan adalah keun-
tungan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Nambi tidak
berani bicara sembarangan lagi.
Sementara itu Kamandaka menatap lekat-tekat
wajah Nambi. Tindakannya menunjukkan kalau dia
pun tengah memperhatikan bekas panglima kerajaan
itu.
"Kau tanya siapa aku, Sobat? Rasanya biar kuse-
butkan pun kau tidak akan mengenalku. Aku bukan
orang yang terkenal atau patut dikenal. Aku tak men-
genalmu. Maka, aku yakin kau pun tak mengenal diri-
ku," sahut Kamandaka kemudian dengan tenangnya.
"Kalau begitu, kau harus menebus kelancangan-
mu mengintai pertarungan kami! Kau harus mati di
tanganku, Gembel Busuk!" bentak Nambi keras "Tapi
sebelum itu aku ingin tahu gadis yang bersamamu itu.
Siapa dia?!"
***
6
Kamandaka tersenyum tenang.
"Sayang sekali, Sobat. Aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu. Aku bukan orang yang senang mem-
perkenalkan diri orang lain. Jadi, sekali lagi maaf,"
Nambi menggeram. Lelaki ini tidak bisa lagi me-
nahan sabar mendengar jawaban Kamandaka. Diang-
gapnya tindakan Kamandaka itu suatu tantangan.
Maka, dia pun menerjang Kamandaka!
Nambi membuka serangannya dengan sampokan
tangan kanan ke arah pelipis. Tangan kirinya disilang-
kan di dada untuk berjaga-jaga terhadap serangan la-
wan.
Kamandaka bertindak cepat dengan menarik tu-
buhnya ke belakang. Pada saat yang bersamaan, kaki
kanannya diluncurkan ke arah perut lawan. Nambi
tentu saja tidak ingin perutnya tertendang. Dia pun
tak mau mengelak. Lelaki ini terlalu percaya dengan
kepandaiannya sendiri Kendati dari bunyi serangan
Kamandaka bisa diketahui besarnya kekuatan tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Karena kepercayaannya yang besar akan kepan-
daiannya, Nambi meletakkan tangan kirinya yang dis-
ilangkan di depan dada.
Takkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi tak bisa di-
elakkan lagi. Tubuh Kamandaka dan Nambi sama-
sama terhuyung satu langkah ke belakang. Mereka ke-
lihatan terkejut melihat hasil benturan yang terjadi.
Sungguh tidak disangka kalau lawan ternyata memiliki
tenaga dalam yang demikian kuat. Tapi kalau Kaman-
daka hanya kaget, Nambi yang terlalu percaya akan
kemampuannya sendiri tampak kaget bercampur ge-
ram! Nambi menggeram keras bak seekor binatang
buas terluka. Sepasang tangannya dibentuk cakar ke-
mudian digerakkan dengan cepat menyambar-nyambar
mencari sasaran.
Kamandaka tak mempunyai pilihan lain kecuali
bertarung dengan mengerahkan seluruh kemampuan-
nya. Disadarinya lawan yang akan dihadapi tidak
hanya seorang. Masih ada seorang lawan lagi yang tak
kalah tangguh menunggunya. Kalau mengulur-ulur
waktu, dia khawatir Dewa Tapak Darah akan keburu
turun tangan. Dan bila itu terjadi keadaannya akan
sangat berbahaya! Di luar kancah pertarungan, Putri
Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah menyaksikan ja-
lannya pertempuran dengan masing-masing kepala di-
belit pertanyaan yang tidak terjawab! Putri Teratai Me-
rah dipusingkan oleh ucapan Kamandaka yang menga-
takan kalau lelaki kumal itu tak mengenal Nambi. Pa-
dahal, tadi Kamandaka yang memberitahukan pada di-
rinya mengenai tokoh itu. Mengapa Kamandaka bersi-
kap demikian? Tanya Putri Teratai Merah dalam hati.
Lelaki kumal itu kelihatannya takut dikenali Nambi
Sedangkan Dewa Tapak Darah direpotkan dengan
masalah Putri Teratai Merah. Kakek bermuka merah
ini telah melihat Putri Teratai Putih. Kini gadis yang
sekarang ditemuinya ini amat mirip segala-galanya
dengan ratu kerajaan itu. Apa hubungan antara mere-
ka?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak
kendati pandangan mereka tak melewatkan pertarun-
gan yang berlangsung di depan mata.
"Hey...!"
Terdengar seruan kaget Nambi. Lelaki itu melem-
par tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa un-
tuk menjauh, membuat Putri Teratai Merah dan Dewa
Tapak Darah merasa heran. Mereka merasa ada nya
keterkejutan dalam seruan Nambi
"Tahan...!" seru Nambi ketika kakinya menjejak
tanah dan dilihatnya Kamandaka terus meluncur ke
arahnya dengan serangan yang siap untuk disarang-
kan.
Seruan Nambi membuat Kamandaka menghenti-
kan tindakannya. Sebagai seorang gagah lelaki kumal
ini tak mau menyerang lawan yang tak siap untuk me-
nerima serangannya.
"Ada apa, Sobat?" tanya Kamandaka tenang. Tapi,
sepasang matanya menyorotkan kegelisahan berusaha
untuk disembunyikan. "Apakah kau berubah pikiran
dan membiarkan kami pergi dari sini dengan aman?"
Nambi tertawa mengejek.
"Kau tidak bisa mengakaliku lagi, Pendekar Naga
Emas! Kau boleh menyembunyikan wajah dan ciri-
cirimu dengan menyamar sebagai gembel. Tapi aku
bukan anak kecil yang bisa kau kelabui, meski sama-
ran mu hampir-hampir saja membuatku terkecoh. Kau
tak bisa menyembunyikan ilmu-ilmu khasmu. Kalau
kau bukan seorang pengecut hina, pasti kau akan
membenarkan dugaanku! Ayo, kalau kau ingin menja-
di seorang pengecut hina, katakan kau bukan Pende-
kar Naga Emas!" Kamandaka terdiam. Dia tidak mem-
berikan jawaban kecuali menundukkan kepala. Sesaat
kemudian dia mengangkatnya lagi dan menghela na-
pas berat.
Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah terke-
jut bukan main mendengar ucapan Nambi. Mata kedua
orang ini tertuju pada Kamandaka. Telinganya dipa-
sang setajam mungkin. Napas mereka bahkan hampir
ditahan karena khawatir jawaban yang diberikan Ka-
mandaka tak terdengar.
"Kau keliru, Nambi!" Putri Teratai Merah akhirnya
yang tak tahan karena Kamandaka tidak juga membe-
rikan jawaban. "Dia bukan pendekar pengecut itu! Ma-
lahan, dia dan aku hendak mencari pendekar pengecut
itu untuk membuat perhitungan!"
"Benarkah demikian, Nona Cantik?!" ejek Nambi
sambil tersenyum sinis. "Sekarang kita tunggu saja ja-
waban dari orang yang ingin membantumu mencari
pendekar pengecut itu."
"Ayo, Paman Kamandaka! Katakan kalau kau bu-
kan Pendekar Naga Emas si pengecut itu!" seru Putri
Teratai Merah tak sabar.
Suara gadis berpakaian merah ini terdengar berge-
tar karena menahan guncangan perasaan. Putri Tera-
tai Merah merasa tegang menanti jawaban Kamanda-
ka. Malah, karena tak sabarnya gadis ini melangkah
menghampiri Kamandaka. Sementara tawa Nambi me-
ledak mendengar ucapan Putri Teratai Merah.
"Kau benar-benar dibohongi habis-habisan, Nona
Dungu! Kau tahu nama asli pendekar pengecut yang
berjuluk Pendekar Naga Emas itu? Aku yakin kau ti-
dak tahu! Karena itu akan kuberitahukan padamu!
Dengan baik-baik, Nona cantik yang dungu...."
"Cukup, Nambi!" potong Kamandaka dengan suara
keras dan sikap garang. "Kuakui kalau aku adalah
Pendekar Naga Emas!"
"Kau dengar itu, Nona yang goblok?!" ejek Nambi.
"Kamandaka adalah nama asli dari pendekar pengecut
itu. Kau ditipunya mentah-mentah! Ha ha ha...!"
Putri Teratai Merah terdiam bagai patung. Gadis
ini terpukul bukan main mengetahui kenyataan itu.
Apalagi karena hal itu dia menjadi korban ejekan
Nambi.
Kamandaka alias Pendekar Naga Emas mengeta-
hui perasaan yang berkecamuk di hati Putri Teratai
Merah. Dia merasa menyesal sekali. Lelaki kumal ini
merasa bersalah karena telah menyimpan rahasia. Ta-
pi, apa boleh buat? Kamandaka mempunyai alasan
yang amat kuat untuk itu.
"Maafkan aku, Teratai. Bukan maksudku untuk
menipumu. Aku...."
"Diam kau...!" potong Putri Teratai Merah dengan
penuh kemarahan. Gadis ini menatap Pendekar Naga
Emas dan Nambi berganti-ganti, sebelum akhirnya
berhenti pada Kamandaka. "Aku benci kau! Kau tidak
hanya pengecut, tapi juga penipu. Aku benci kau! Ben-
ci...!"
"Teratai,.!" panggil Kamandaka ketika melihat Pu-
tri Teratai Merah membalikkan tubuh dan berlari me-
ninggalkan tempat itu.
Tapi, Putri Teratai Merah tidak mempedulikan
panggilan Kamandaka. Dia terus berlari cepat tanpa
menoleh lagi. Kamandaka hanya bisa menghela napas
berat. Sedangkan Nambi tertawa bergelak-gelak meli-
hat hasil ucapannya.
Kamandaka mengalihkan perhatiannya dari Putri
Teratai Merah ketika tubuh gadis itu lenyap ditelan ke-
gelapan malam. Pandangannya kini beralih pada Nam-
bi.
"Kau boleh tertawa sepuasmu, Nambi. Sebentar
lagi nyawamu akan kukirim ke neraka. Orang seperti
kau tak layak dibiarkan hidup terus. Dunia akan men-
jadi kacau balau!"
Nambi menghentikan tawanya. Dia mendengus
keras. Pandangan matanya seakan hendak menelan
Pendekar Naga Emas bulat-bulat.
"Kau keliru, Pendekar Pengecut. Kaulah yang akan
kukirim ke neraka. Dirimulah yang menjadi penyebab
berantakannya semua cita-citaku. Kau akan mem-
bayar mahal semuanya malam ini!"
Pendekar Naga Emas melangkah maju. Nambi pun
demikian. Mata mereka saling memperhatikan calon
lawannya. Pertarungan yang sempat terhenti tampak-
nya beberapa saat lagi akan pecah kembali.
"Demi segala roh penasaran! Kau jangan serakah
Nambi. Pendekar Naga Emas bukan hanya mempunyai
hutang padamu. Dia pun harus membayar atas keke-
jian yang dilakukannya terhadap adik seperguruanku!"
Seman yang diikuti dengan melangkah majunya
Dewa Tapak Darah membuat Pendekar Naga Emas dan
Nambi yang telah siap untuk saling gebrak menunda
maksud mereka.
"Siapa kau, Kakek Aneh? Dan, siapa pula adik se-
perguruanmu yang kau katakan tewas di tanganku
ku?" tanya Pendekar Naga Emas tanpa mengalihkan
perhatian dari sosok Nambi.
Pendekar Naga Emas tahu pasti betapa liciknya
bekas panglima kerajaan itu. Maka, dia tak mau me-
ninggalkan kewaspadaan sedikit pun. Karena bagi
Nambi cara apa pun akan dipergunakan asalkan sakit
hatinya terbalaskan. Membokong pun tak menjadi per-
soalan baginya!
"Buka telingamu lebar-lebar, Naga Emas!" teriak
Dewa Tapak Darah. "Aku Dewa Tapak Darah. Dan adik
sepergumanku yang kau bunuh secara kejam itu ber-
juluk Pengemis Iblis Tanpa Tanding!"
"Adik seperguruannya bejat, kakak seperguruan-
nya pun pasti bukan orang baik-baik! Kalian berdua
memang sangat layak dikirim ke akhirat untuk menja-
di teman setan-setan penghuni neraka!" sahut Pende-
kar Naga Emas dengan suara lantang.
"Kaulah yang akan menjadi penghuni neraka, Ke-
parat!" bentak Dewa Tapak Darah yang sudah tidak bi-
sa mengekang kemarahannya.
Kakek bermuka merah ini tanpa tanggung-
tanggung lagi mengeluarkan ilmu andalan. Kedua tan-
gannya jadi merah laksana besi dibakar! Hawa panas
pun menyebar dari kedua tangannya!
Pendekar Naga Emas bergegas melompat ke bela-
kang untuk mengelakkan serangan itu. Nambi tidak
tinggal diam. Lelaki berpakaian hitam ini pun ikut me-
lancarkan serangan. Pertarungan satu melawan dua
pun langsung pecah!
Pendekar Naga Emas alias Kamandaka mengelua-
rkan Ilmu Tangan Pedang Dan Golok yang menjadi ciri
khasnya. Sebuah ilmu tangan kosong yang amat am-
puh. Tapi, Nambi dan juga Dewa Tapak Darah memili-
ki ilmu tangan kosong yang tak kalah ampuh pula. Se-
telah pertarungan berlangsung lima belas jurus, Pen-
dekar Naga Emas harus mengakui keunggulan lawan-
lawannya. Pengeroyokan Dewa Tapak Darah dan Nam-
bi terlalu berat untuknya. Meskipun demikian, Ka-
mandaka yakin andaikata kedua musuhnya itu meng-
hadapinya satu persatu, dia akan dapat mengalahkan
mereka. Kendati memang tidak dengan mudah hal itu
dilakukan.
Semakin lama keadaan Pendekar Naga Emas se-
makin mengkhawatirkan. Serangan-serangannya su-
dah tidak terlihat lagi. Pendekar ini sekarang lebih ser-
ing mengelak. Dia tidak sempat mengirimkan serangan
balasan karena terlalu bertubi-tubinya serangan dari
kedua lawannya.
Pendekar Naga Emas bukan orang bodoh. Dia ta-
hu kalau keadaan seperti ini berlangsung tanpa ada
perubahan, dia akan roboh di tangan keduanya. Itu
berarti nyawanya akan melayang ke alam baka! Pa-
dahal, Kamandaka belum ingin tewas. Lelaki ini masih
mempunyai ganjalan di hatinya karena permasalahan-
nya dengan Putri Teratai Merah.
Di samping itu, ada hal lain yang ingin diketahui
pendekar Naga Emas. Hal itu adalah mengenai Putri
Teratai Merah. Adakah hubungan antara gadis berpa-
kaian merah itu dengan Putri Teratai Putih? Tentu saja
yang dimaksudkan Pendekar Naga Emas adalah hu-
bungan keluarga. Rasanya tak mungkin jika ciri dan
nama mereka yang demikian mirip kalau tidak ada
hubungan apa-apa
Dalam suatu kesempatan Pendekar Naga Emas
membanting tubuhnya ke tanah untuk mengelakkan
serangan Nambi dan Dewa Tapak Darah bergegas
memburu untuk melancarkan serangan lanjutan. Ke-
dua tokoh sesat ini berlomba ingin lebih dulu menya-
rangkan serangan.
Brrr!
Namun, Nambi dan Dewa Tapak Darah secepat ki-
lat menghentikan serangannya lalu melempar tubuh
ke belakang. Penyebabnya adalah serangan serangkum
debu dari Pendekar Naga Emas! Pendekar yang mem-
punyai kecerdikan cukup itu rupanya telah memperhi-
tungkan tindakan lawannya. Maka begitu tubuhnya
menyentuh tanah, tangannya langsung meraup debu
dan melontarkannya pada kedua lawannya.
Kesempatan yang tercipta dari urungnya serangan
Nambi dan Dewa Tapak Darah tidak disia-siakan oleh
Kamandaka. Lelaki kumal itu melentingkan tubuhnya.
Dan sesaat setelah kedua kakinya menjejak tanah dia
langsung melesat cepat dengan pengerahan seluruh
ilmu larinya.
"Kamandaka...! Pengecut! Jangan lari kau...!" seru
Nambi marah bercampur kaget
"Pendekar Naga Emas...! Ke mana pun kau pergi
jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Dewa Tapak
Darah pun berseru pula.
Dua tokoh sesat ini bergegas melesat untuk men-
gejar. Sayangnya pengejaran yang mereka lakukan
agak terlambat. Pendekar Naga Emas telah berada be-
lasan tombak di depan. Namun meski demikian, Nambi
dan Dewa Tapak Darah tetap melakukan pengejaran.
Pendekar Naga Emas tentu saja mendengar se-
ruan kedua lawannya. Tapi, lelaki ini pura-pura tidak
mendengar dan terus berlari cepat sekali. Sehingga
Nambi yang telah mengerahkan seluruh kemampuan-
nya tetap tak mampu menyusul. Malah, untuk sekadar
memperpendek jarak saja dia tak mampu.
Dewa Tapak Darah lebih parah lagi. Kakek ber-
muka merah ini malah tak bisa mempertahankan jarak
semula. Semakin lama jarak antara dia dan Pendekar
Naga Emas semakin jauh. Sampai akhirnya kakek itu
malah kehilangan jejak.
Nambi pun demikian. Meski jaraknya tak berubah
tapi kegelapan malam dan dengan adanya semak-
semak serta pepohonan membuatnya mengalami kesu-
litan untuk dapat terus melihat buruannya. Apa yang
dikhawatirkan lelaki ini akhirnya menjadi kenyataan.
Ketika melewati kerimbunan semak-semak, Pendekar
Naga Emas lenyap tak berbekas. Nambi mencari den-
gan sia-sia sambil memaki-maki panjang pendek.
***
Arya dan Putri Teratai Putih duduk berhadapan
dalam jarak satu tombak. Kedua orang ini meletak
pantatnya pada sebatang pohon yang melintang tanah.
"Sejak kau meninggalkan pertapaan ayahmu keli-
hatan terus gelisah, Putri. Boleh ku tahu penyebab-
nya? Apakah karena kepergian Putri Teratai Merah?"
Arya membuka percakapan dengan pertanyaan yang
sejak beberapa hari ini selalu menggayuti benaknya.
Pertanyaan itu dikeluarkan Arya dengan hati-hati sete-
lah dilihatnya sejak tadi Putri Teratai Putih duduk
dengan pandangan menerawang ke langit
Putri Teratai Putih tidak memberikan jawaban se-
patah pun. Malah, terusik pun tidak Wanita ini tidak,
dengan keasyikannya sendiri seakan-akan pertanyaan
Arya tidak didengarnya.
Aiya menghela napas berat setelah menunggu be-
rapa saat lamanya tak juga mendapatkan jawaban.
"Aku sebenarnya tak ingin mencampuri urusan-
mu, Putri." ujar Arya lagi. "Tapi, sebagai sahabat aku
tak rela melihat kau senantiasa dilanda kesedihan se-
perti ini. Aku ingin ikut membantu masalah mu. Tentu
saja kalau kau tak mau dengan senang hati aku akan
menutup mulut"
Lagi-lagi hanya kesunyian yang menyambuti uca-
pan Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini me-
nunggu beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari
duduknya.
"Kalau kau ingin sendiri, aku pergi dulu, Putri.
Barangkali saja tindakanku ini akan membuatmu lebih
tenang."
Arya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah
meninggalkan tempat itu. Tapi baru juga beberapa
langkah, ayunan kakinya dihentikan. Arya mendengar
Putri Teratai Putih menyerukan namanya.
"Kau memanggilku, Putri?" tanya Arya setelah
membalikkan tubuhnya kembali.
Putri Teratai Putih yang sekarang sudah tak me-
natap langit lagi tampak menganggukkan kepala.
"Aku ingin berbincang-bincang denganmu, Arya.
Kau bersedia?"
"Dengan segala senang hati, Putri," jawab Arya
sambil melangkah kembali ke tempat semula dia du-
duk.
"Boleh aku mengajukan pertanyaan yang bersifat
agak pribadi?"
"Boleh saja, Putri. Tapi aku tak menjamin akan
menjawabnya. Itu tergantung dari pertanyaan yang
akan kau ajukan," jawab Arya setelah tercenung se-
bentar.
"Jawaban yang bijaksana. Kau benar-benar seo-
rang pemuda gemblengan, Arya," puji Putri Teratai Pu-
tih sehingga wajah Arya memerah karena malu. "Kau
pernah jatuh cinta?"
Arya kelabakan. Andaikata pertanyaan Putri Tera-
tai Putih diumpamakan serangan, mungkin perta-
nyaan itu merupakan serangan maut di saat Dewa
Arak belum bersiap. Bahkan mungkin lebih dari itu.
Karena, pertanyaan Putri Teratai Putih membuat Arya
terdiam dengan wajah berubah-ubah.
Arya tidak menyangka akan ditanya seperti itu.
Sebagai seorang pemuda, apalagi yang menanyakan-
nya adalah wanita, Arya merasa risih. Tapi setelah be-
berapa saat lamanya kebingungan akhirnya Arya
mampu berpikir jernih. Putri Teratai Putih rupanya ta-
hu perasaan yang berkecamuk di hati Arya. Wanita ini
dengan sabar menunggu.
"Pernah, Putri," jawab Arya kemudian dengan wa-
jah memerah.
Pemuda berambut putih keperakan itu memu-
tuskan untuk menjawabnya, karena Arya menduga
masalah yang tengah membelit Putri Teratai Putih ke-
mungkinan besar adalah masalah asmara. Tak ada sa-
lahnya malu sedikit tapi dapat memecahkan masalah
orang lain, pikir Arya.
"Syukurlah kalau demikian," desah Putri Teratai
Putih lega. "Sekarang, bagaimana perasaanmu kalau
orang yang kau cintai itu pergi. Padahal kau dan dia
sama-sama saling cinta. Bertahun-tahun orang yang
kau cintai itu pergi dan kau mengharap-harapkan ke-
pulangannya. Hingga dua puluh tahun lebih keinginan
hatimu itu tak terwujud. Kemudian, tahu-tahu kau
bertemu dengan orang yang amat mirip dengannya.
Anggap saja orang yang mirip itu adalah keturunan
dari orang yang kau cintai. Bagaimana perasaanmu,
Arya?"
"Tentu saja sangat kecewa, Putri. Mungkin ber-
campur dengan kesal karena merasa ditipu," jawab
Arya setelah berpikir beberapa saat
"Nah, perasaan itulah yang tengah melanda ku,
Arya. Perasaan dikhianati! Padahal..., dengar baik-
baik, Arya. Hanya kau seoranglah yang akan mengeta-
hui rahasia ini. Aku tak tahan menyimpannya terus-
menerus. Kau telah kuanggap sebagai adikku sendiri.
Maka, padamulah kuberitahukan," ucap Putri Teratai
Putih dengan suara bergetar karena guncangan pera-
saan.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan
padaku, Putri."
"Aku dan kekasihku telah mempunyai seorang
anak perempuan. Tapi sayangnya kekasihku tak men-
getahui hal ini. Bahkan mungkin tak akan pernah ta-
hu. Menyedihkan sekali, bukan?" suara Putri Teratai
Putih tersendat menahan tangis. Sepasang mata wani-
ta ini tampak berkaca-kaca.
Arya merasa terharu sekali melihatnya. Pemuda
ini bisa merasakan kesedihan yang melanda Putri Te-
ratai Putih.
"Mengapa itu bisa terjadi, Putri? Maksudku, kena-
pa kekasihmu tak tahu kalau dia telah meninggalkan
seorang anak di dalam rahimmu?"
"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa menjawab
pertanyaan itu! Maafkan aku."
"Tidak apa-apa, Putri," jawab Arya bijaksana.
"Anakmu itu pasti Putri Teratai Merah, bukan?" tebak
Arya kemudian.
Putri Teratai Putih hanya bisa mengangguk. Kese-
dihan yang melandanya terlalu besar. Kedua bahunya
tampak sampai terguncang-guncang karena isak tan-
gis yang ditahan. Agaknya wanita ini benar-benar di-
landa kekecewaan yang sangat.
7
"Kau tahu, Arya," lanjut Putri Teratai Putih setelah
bisa menguasai perasaannya. "Kelahiran Putri Teratai
Merah membuat penyesalan yang besar di hatiku."
"Mengapa demikian, Putri?"
"Ayah angkatku, Prabu Banyak Santang, sakit-
sakitan dan akhirnya meninggal karena batinnya ter-
guncang melihat aku melahirkan anak tanpa suami.
Aku tak pernah menikah. Aku malu sekali, Arya. Se-
hingga meski tak ada orang lain yang tahu kecuali
ayahku dan ayah angkatku, aku didera penyesalan
yang besar."
Aiya terdiam. Pemuda ini menunggu cerita Putri
Teratai Putih selanjutnya.
"Seperti juga ayah angkatku, ayahku juga merasa
terpukul sekali. Beliau malu karena aku, keturunan
satu-satunya dari Sepasang Malaikat, melahirkan anak
tanpa nikah. Tapi beliau lebih kuat batinnya daripada
ayah angkatku. Untuk menutupi rasa maluku, beliau
membawa Putri Teratai Merah ke tempat gurunya. Be-
liaulah yang mendidiknya di sana. Dan..., sampai Putri
Teratai Merah besar tak juga rahasia ini dibeberkan.
Baik aku maupun Ayah tak berani mengutarakannya.
Kecuali... kalau ayah dari Putri Teratai Merah, Pende-
kar Naga Emas, kutemukan dan kuceritakan hal yang
telah terjadi. Tapi sekarang keinginan itu rasanya telah
tidak ada lagi..."
Sampai di sini Putri Teratai Putih tak sanggup
membendung kesedihannya. Dia menangis dengan
tanpa suara. Air matanya yang sekian puluh tahun di-
tahannya sekarang mengalir deras bak air sungai.
Aiya terpaku bagai patung. Rasa iba yang melan-
da hati pemuda berambut putih keperakan itu. Bisa
dirasakannya kesedihan yang sangat melanda Putri
Teratai Putih
"Sudahlah, Putri," hibur Arya sambil menyentuh
tangan Putri Teratai Putih. "Percayalah, aku akan
membantumu untuk mencari Pendekar Naga Emas.
Akan kuberitahukan semua hal yang telah kau alami
ini padanya."
Hiburan Arya membuat guncangan pada kedua
bahu Putri Teratai Putih semakin menjadi-jadi. Wanita
ini menjatuhkan kepalanya di dada Aiya yang bidang.
Hampir saja pemuda berambut putih keperakan ini
terlonjak. Tapi, untungnya dia segera sadar. Dibiarkan
saja tingkah Putri Teratai Putih.
Aiya tetap diam kendati dadanya dirasakan basah
oleh air mata. Bahkan tanpa sadar tangan kanannya
mengelus-elus rambut Putri Teratai Putih. Tindakan ini
membuat kesedihan wanita itu semakin menjadi-jadi.
Dan... bunyi dengusan keras membuat Arya serta
Putri Teratai Putih sadar akan adanya orang lain di se-
keliling mereka. Cepat-cepat kedua orang itu melepas
pelukannya. Wajah Putri Teratai Putih tampak merah
seperti udang direbus.
"Hey...! Berhenti kau, Pengintai Hina...?" seru Arya
ketika dilihatnya sesosok tubuh berpakaian lusuh
membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan ke-
rimbunan semak-semak. Jarak semak-semak itu den-
gan tempat Arya dan Putri Teratai Putih berada sekitar
lima tombak. Dan di antara kedua tempat itu tak ada
apa pun yang menghalangi.
Seruan Arya terdengar kasar karena pemuda be-
rambut putih keperakan itu merasa malu mengingat
perbuatannya bersama Putri Teratai Putih dilihat
orang.
Sang pengintai itu tampak menghentikan langkah.
Kendati demikian, tubuhnya tidak dibalikkan. Sosok
itu berdiri membelakangi Arya. Arya sendiri berbaren-
gan dengan seruannya telah melesat ke arah si pengin-
tai. Dia kemudian bersalto melewati atas kepalanya.
Dan dengan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun
menjejakkan kaki di tanah. Padahal, tanah tempat
pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan
kaki dipenuhi dengan semak-semak kering!
"Sungguh tercela sekali perbuatanmu Sobat, men-
gintai orang yang tengah membicarakan masalah," te-
gur Arya seraya mengamati si pengintai yang berjarak
dua tombak di depannya.
Sang pengintai, seorang lelaki berusia lima puluh
lima tahun yang berpakaian lusuh, berkumis, jenggot,
dan cambang tak teratur terlihat tersenyum mengejek.
"Membicarakan masalah? Apakah aku tak salah den-
gar, Sobat? Kau ini tengah membicarakan masalah
atau berbuat mesum?" sahutnya dengan nada sinis.
"Mulutmu kotor sekali, Sobat!" sentak Arya den-
gan wajah memerah karena malu. "Andaikata pun be-
nar kami tengah melakukan hal yang kau tuduhkan
itu, tidak pantas kau mengintainya!"
"Siapa yang mengintai? Kalianlah yang tak tahu
diri. Mengapa berbuat mesum di tempat seperti ini?
Aku tidak mengintai! Aku kebetulan lewat dan melihat
perbuatan kalian yang menjijikkan!"
"Tarik kembali ucapanmu itu, Sobat!" ujar Arya
dengan suara semakin meninggi. "Kau telah keliru me-
nilai orang. Wanita yang kau anggap berbuat mesum
itu adalah kakakku. Dia tengah mendapat musibah!
Aku sebagai adiknya berusaha untuk menghiburnya!
Dan...."
"Ucapan apa ini?! Tak lebih dari bunyi yang keluar
dari lubang dubur manusia yang paling kotor! Belum
pernah kudengar putri dari Banyak Catra, salah seo-
rang pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat,
mempunyai seorang saudara kandung. Sepengetahua-
nku dia anak tunggal!" dengus lelaki lusuh itu tetap
dengan nada sinis.
Kalau saja ada halilintar menggelegar di dekat
tempat itu, Arya belum tentu sekaget ini. Dari mana le-
laki lusuh itu tahu rahasia ini?
"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Arya. Sua-
ranya mulai melunak
Lelaki lusuh kembali mendengus penuh ejekan.
"Betapa enaknya memutar lidah! Tadi seenaknya me-
maki-makiku dengan segala macam cercaan. Begitu
melihat gelagat yang kurang menguntungkan, lalu me-
nanyakan nama. Tak perlu, Sobat. Panggil saja aku
dengan sebutan yang semula kau berikan padaku"
Wajah Arya merah padam. Di samping karena pe-
rasaan tersinggung, dia juga merasa malu. Disadarinya
kalau tadi dia telah bersikap agak berangasan. Meski
demikian, Arya tak merasa bersalah. Toh sikap itu
muncul karena perbuatan lelaki lusuh pula. Kalau
memang lelaki itu tak mau menimbulkan keributan
tentu begitu melihat adegan yang terjadi antara Dewa
Arak dengan Putri Teratai Putih, dia segera meninggal-
kan tempat itu tanpa perlu mendengus.
"Lalu... apa kehendakmu sekarang, Sobat?" tanya
Arya ingin tahu.
"Tidak ada keinginan apa pun," jawab lelaki lusuh
dingin. "Tapi perlu kuberitahukan padamu, Anak Mu-
da. Kalau kau hendak berbuat mesum, pilihlah tempat
yang sepi. Di sini terhitung ramai. Nanti tak ada orang
lain lagi yang melihat kemesuman kalian!"
"Sebenarnya... apa yang kau kehendaki, Sobat?
Kalau tak ada apa-apa mustahil kau bersikap demi-
kian sinis. Sepertinya kau benci sekali padaku. Kuberi-
tahukan sekali lagi, aku bukan orang yang gemar ber-
buat seperti yang kau tuduhkan. Bahkan, apa yang
kau tuduhkan pun sama sekali tidak benar! Kuharap
kau mau mencabut ucapanmu yang kelewatan itu."
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" tantang le-
laki lusuh tanpa merasa gentar sedikit pun.
"Akan ku paksa agar kau mau melakukan apa
yang kuinginkan!" tandas Arya, mantap. "Kalau perlu
dengan memberikan sedikit hajaran pada mulutmu
yang kotor. Barangkali saja setelah itu kau tak akan
sembarangan lagi mengeluarkan perkataan."
"Kau boleh coba laksanakan keinginanmu, Sobat!"
timpal lelaki lusuh tak mau kalah. "Kebetulan jadi aku
bisa mengetahui apakah kemampuan bela dirimu se-
besar kemampuanmu bermain mesum!"
"Tutup mulutmu yang kotor, Sobat!"
Arya tak bisa menahan sabar lagi mendengar
tanggapan lelaki lusuh yang tetap kasar. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini segera menerjang dengan
pukulan kanan dan kiri lurus ke arah dada.
Arya sengaja mengirimkan serangan seperti itu
karena tak ingin membuat lelaki lusuh celaka. Biar ba-
gaimana pun juga lelaki ini bukan orang jahat. Maka
serangan yang dilakukan Dewa Arak menggunakan ge-
rakan yang sederhana dan tenaga dalam yang seka-
darnya saja.
Lelaki lusuh mendengus. Dia tidak mengelak se-
rangan yang dikirimkan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan ini menjadi kaget dan mengurangi lagi tena-
ganya agar lawan tidak terluka berat.
Buk, buk, bukkk!
Benturan yang terjadi antara dada lelaki lusuh
dengan kepalan-kepalan Arya membuat pemuda be-
rambut putih keperakan itu menyeringai. Jari-jari tan-
gannya bagai menumbuk besi baja, bukan tubuh ma-
nusia yang terdiri dari daging dan tulang!
"Mengapa kau sungkan-sungkan, Sobat? Tadi ku-
lihat di waktu berbuat mesum kau tak ragu-ragu.
Bahkan, segenap kemampuan yang kau miliki dikelua-
rkan semuanya. Apakah tenagamu telah habis untuk
bermesum ria?!" sembur lelaki lusuh, tak pernah kehi-
langan ejekan yang berpokok pangkal dari persoalan
itu.
"Kalau itu yang kau inginkan, ku penuhi Sobat!"
desis Arya sambil menggertakkan gigi. Pemuda itu ge-
ram bukan main melihat lelaki lusuh semakin keterla-
luan dengan ejekannya. Rupanya sikap welas asih
Arya dijadikan bahan untuk membuat ejekan.
Dewa Arak segera melompat menerjang lawannya.
Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu menge-
luarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Bukan
hanya karena ucapan dan sikap lelaki lusuh yang me-
lampaui batas, tapi juga karena telah mengetahui ka-
lau lawannya itu memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Arak mengirimkan tendangan terbang. Kaki
kanannya meluncur ke arah leher. Sementara kaki ki-
rinya yang tertekuk, kendati terlihat tenang, menyem-
bunyikan bahaya yang tak kalah besar. Kaki kiri itu
bisa menyusul kaki yang kanan dan mengancam kese-
lamatan lawan!
Serangan Dewa Arak kali ini berlipat kali lebih
dahsyat dari sebelumnya. Tapi, lelaki lusuh tetap terli-
hat tenang. Tak kelihatan kalau dia merasa gelisah.
Malah lelaki itu berdiri di tempatnya.
Tappp! Kreppp!
Tangkisan sekaligus tangkapan tangan lelaki lu-
suh membuat Dewa Arak terkejut bukan main. Ka-
kinya dirasakan tergetar hebat. Tapi, hal itu belum ter-
lalu mengejutkan. Yang membuat jantung pemuda
berpakaian ungu ini bagai terhenti berdetak adalah
keberhasilan tangan lelaki lusuh menangkap pergelan-
gan kakinya
Meskipun demikian, Dewa Arak mampu bertindak
cepat. Maka ketika kaki kanannya ditangkap, kaki ki-
rinya segera disarangkan ke arah dada lelaki lusuh un-
tuk memaksa dia melepaskan cekalannya.
Lelaki lusuh itu mengetahui akan adanya anca-
man besar. Disadarinya tendangan lawan mampu
membuat batu karang yang paling keras sekalipun
hancur berantakan. Maka cekalannya dilepaskan, dan
bersamaan dengan itu dia melompat jauh ke belakang.
"Kau hebat, Anak Muda," untuk pertama kalinya
lelaki lusuh memuji. "Tapi, kehebatanmu ini belum se-
hebat ilmu mesummu!"
"Mungkin yang kali ini akan lebih hebat dari gen-
carnya mulutmu mengeluarkan ucapan kotor!" sahut
Arya cepat
Arya yang semakin menjadi-Jadi kemarahannya
mendengar makian lelaki lusuh lalu secepat kilat me-
nerjang. Kedua tangannya didorongkan dengan jari-jari
tangan terkembang. Pemuda berambut putih kepera-
kan ini dalam cekaman rasa marah yang sangat sete-
lah mengerahkan tenaga dalam inti matahari yang
menjadi andalannya.
Angin yang luar biasa panas berhembus dari ke-
dua tangan Arya yang didorongkan. Seketika semak-
semak yang berada di sekitar tempat itu layu! Bebera-
pa di antaranya langsung rontok ke tanah dalam kea-
daan gosong!
"Sebuah Ilmu pukulan yang hebat..!" Lelaki lusuh
berseru memuji. Kedua tangannya dikembangkan
membentuk cakar naga lalu ditarik ke depan dada
dengan cepat. Dan, perlahan kedua tangan itu dihen-
takkan ke depan.
Tidak terdengar deru angin sedikit pun. Tapi Dewa
Arak melihat sekujur tangan, bahkan sebagian besar
tubuh lelaki lusuh, diselimuti sinar kuning keemasan.
Bunyi meletup pelan terdengar kemudian. Tubuh
Dewa Arak dan lelaki lusuh sama-sama terjengkang ke
belakang. Masing-masing merasakan dadanya sesak
bukan main. Dan begitu berhasil memperbaiki kedu-
dukan baik Arya maupun lelaki lusuh saling berpan-
dangan dengan sinar mata kagum. Mereka tampaknya
kini lebih yakin akan kelihaian lawan yang dihada-
pinya
Dewa Arak mulai menurunkan guci arak dari
punggungnya. Pemuda berambut putih keperakan itu
mengambil keputusan demikian karena tahu lawan
yang akan dihadapinya sangat lihai.
"Tunggu, Arya...!"
Guci yang telah diangkat di atas kepala dan siap
untuk dituangkan ke mulut, urung dilakukan Arya.
Dengan sinar mata penuh pertanyaan pemuda beram-
but putih keperakan itu menatap ke arah Putri Teratai
Putih yang berlari ke tempatnya dan lelaki lusuh bera-
da.
Putri Teratai Putih menghentikan larinya ketika
jarak dengan lelaki lusuh tinggal dua tombak. Pandang
wanita ini terpaku pada ke arah punggung lelaki lu-
suh. Arya jadi heran melihatnya. Apalagi ketika meli-
hat sinar mata Putri Teratai Putih yang demikian pe-
nuh dengan berbagai perasaan.
"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Putri Tera-
tai Putih dengan suara menggigil. "Ilmu yang kau gu-
nakan ketika menangkis serangan kawanku mengin-
gatkan aku pada seseorang. Sepengetahuanku hanya
dialah yang memiliki ilmu seperti itu, Ilmu Emas."
Lelaki lusuh tetap tak bergeming. Tawa ejekan
yang didahului dengan dengusan keras segera diper-
dengarkannya.
"Hai, Anak Muda! Jawab yang benar siapa di anta-
ra kalian berdua yang berbohong? Kulihat kau dan
wanita itu berbuat mesum. Kau katakan padaku wani-
ta itu adalah kakakmu. Sedangkan wanita itu sendiri
memberitahukan kalau kau adalah kawannya. Mana di
antara kalian yang benar?!"
"Dia yang benar, Sobat," jawab Arya dengan wajah
merah. "Tapi, aku pun tak salah. Aku memang saha-
batnya. Tapi...."
"Karena persahabatan terlalu erat lalu kalian buat
mesum dengan alasan telah seperti saudara diri. Begi-
tu bukan?!" potong lelaki lusuh.
"Kamandaka, kau terlalu?" bentak Putri Teratai
Putih, keras melengking.
Lelaki lusuh sedikit pun tidak kelihatan terkejut
mendengar panggilan itu. Yang kaget justru Arya. Pe-
muda berambut putih keperakan ini sekarang mengerti
mengapa lelaki lusuh ini kelihatan demikian memu-
singkan perbuatannya dengan Putri Teratai Putih. Pan-
tas. Lelaki ini bukan lain dari Pendekar Naga Emas!
Sekarang Arya juga mengerti mengapa lelaki itu
, Teratai? Kau atau aku...?!" ba-
las lelaki lusuh. Suaranya tidak penuh ejekan dan ke-
seriusan seperti tadi. Suara Pendekar Naga Emas kali
ini dikenal baik oleh Putri Teratai Putih sebagai milik
Pendekar Naga Emas yang dikenalnya dulu.
"Tentu saja kau!" bentak Putri Teratai Putih sam-
bil menudingkan tangan.
Pendekar Naga Emas membalikkan tubuh dengan
cepat. Kelihatan jelas kalau lelaki ini tak puas dengan
jawaban yang diberikan Putri Teratai Putih.
"Tidak salahkah apa yang kudengar ini, Teratai?"
bantah Pendekar Naga Emas tak mau kalah. "Kaulah
yang keterlaluan! Kau yang ku pikirkan bertahun-
tahun dengan hati berdarah ternyata sedang enak-
enak berbuat mesum."
Tutup mulutmu, Kamandaka...!" jerit Putri Teratai
Putih dengan nada suara lebih tinggi. "Berkacalah ada
dirimu sendiri! Kau yang ku pikirkan siang malam se-
lama dua puluh tahun lebih dan kucari-cari tanpa ha-
sil ternyata enak-enakan menikah dengan wanita lain
dan mempunyai anak!"
"Apa kau bilang?!" Kamandaka membentak tak
kalah keras. Tapi, kali ini bercampur dengan rasa ka-
get yang besar. Sepasang mata pendekar ini membela-
lak lebar. "Siapa yang menyebar fitnah keji seperti itu
padamu, Teratai? Pemuda yang menjadi temanmu
buat mesum inikah?!"
Arya yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran
antara Kamandaka dengan Putri Teratai Putih sangat
kaget mendengar tuduhan itu. Arya yang semula ingin
mencampuri urusan sepasang kekasih itu, setelah di-
rinya dibawa-bawa merasa tak bisa berdiam diri lagi.
Meski demikian, pemuda berambut putih keperakan
ini tak mempunyai kesempatan untuk membela diri,
Putri Teratai Putih telah mendahuluinya.
"Kau keliru, Kamandaka! Aku tak mengetahui dari
siapa pun, melainkan bukti yang kulihat jelas dengan
mata kepalaku sendiri. Baru beberapa hari lalu hal ini
kuketahui"
"Bukti apa?!" Kamandaka menantang.
"Anakmu datang menyatroni tempat kediaman
ayahku. Kalau saja tak ada seorang pemuda yang kau
maki-maki berbuat mesum ini, aku dan ayahku telah
menjadi mayat di tangannya. Pemuda yang kau anggap
orang mesum inilah yang telah menolong nyawa aku
dan ayahku. Pemuda itu adalah seorang pendekar be-
sar yang memiliki nama tak kalah harum dengan na-
mamu, Kamandaka! Dia Dewa Arak!"
"Aku tak peduli siapa adanya dia! Aku memang
bukan apa-apa. Aku hanya seorang gembel hina. Tapi
dari mana kau bisa tahu kalau orang yang hendak
membunuh kau dan ayahmu adalah keturunan ku.
Perlu kuberitahukan, Teratai, tuduhanmu itu sama
kali tak benar! Aku tak pernah menikah dengan wanita
lain. Apalagi sampai mempunyai anak. Aku tak pernah
berhubungan dengan wanita mana pun. Aku malah
menyiksa diri setelah pergi jauh darimu. Kau lihat
keadaanku? Tak terurus, bukan? Itu karena aku selalu
tak bisa melupakanmu!"
"Kau kira aku enak-enak saja, Kamandaka?" tim-
pal Putri Teratai Putih dengan suara yang mulai mele-
mah.
Wanita ini sejak tadi sebenarnya telah melihat
perbedaan yang menyolok dalam diri pendekar di ha-
dapannya ini.
Pendekar Naga Emas dulu seorang pemuda tam-
pan dan selalu rapi. Tapi sekarang? Tak ubahnya gem-
bel! Pemuda itu kelihatan kotor dan tak terawat.
"Tapi..., mengapa ada orang yang demikian mirip
denganmu bagai pinang dibelah dua," semakin mele-
mah suara Putri Teratai Putih. "Malah pemuda itu pun
mempunyai ilmu yang sama denganmu. Kalau bukan
keturunanmu, mengapa dia bisa demikian mirip den-
ganmu? Lagi pula, dari mana ilmu-ilmu khasmu dida-
patkannya?"
Pendekar Naga Emas tercenung. Rupanya kata-
kata Putri Teratai Putih mulai membuatnya bimbang.
"Mungkinkah ada orang yang hendak memecah belah
kita? Hendak mengadu domba antara kita, Teratai?"
ucap Pendekar Naga Emas setelah berpikir beberapa
saat lamanya. "Aku pun telah bertemu dengan orang
wanita muda yang amat mirip denganmu. Bahkan dia
memiliki ilmu-ilmu khas Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat. Tapi ketika kutanyakan mengenai hubungannya
denganmu, dia tidak tahu-menahu."
"Apakah gadis itu memperkenalkan diri padamu?
Pakaiannya serba merah?" terka Putri Teratai Putih.
Kamandaka mengangguk.
"Putri Teratai Merah namanya. Nah, bukankah
aneh ada seseorang yang bisa mirip segala-galanya
denganmu tapi tak ada hubungan apa pun? Maksudku
hubungan keturunan."
"Siapa bilang tak ada hubungan apa pun, Kaman-
daka. Gadis itu adalah anakmu. Anak kita!" tandas Pu-
tri Teratai Putih
"Apa?!"
Pendekar Naga Emas terjingkat bagai disengat
ular berbisa. Kelihatan jelas keterkejutan melandanya.
"Apakah kamu masih waras, Teratai?! Anak kita?
Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kita kan tak per-
nah... Bagaimana mungkin bisa terjadi seorang anak?!"
Putri Teratai Putih menghela napas berat. Hal se-
perti ini sudah diduga sebelumnya.
"Oleh karena itulah Kak Kamandaka, sejak dua
puluh tahun lalu aku mencari-carimu. Aku ingin men-
ceritakan semuanya. Aku juga semula tak mengerti.
Tapi ketika Paman memberitahukannya, juga Ayah,
aku mulai mengerti..."
"Apa yang mereka katakan?" sambut Pendekar
Naga Emas cepat, penuh rasa ingin tahu.
Suasana jadi hening. Putri Teratai Putih belum
memberikan jawaban. Wanita ini tengah mencari kata-
kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar membuat Putri Teratai
Putih yang hendak memberikan jawaban jadi urung
mengatakannya. Wanita ini menolehkan kepala ke
arah asal suara.
Hal yang sama dilakukan oleh Dewa Arak dan
Pendekar Naga Emas. Seketika jantung mereka berde-
tak jauh lebih cepat. Di tempat itu telah hadir sosok-
sosok yang sangat mengejutkan mereka. Nambi dan
Dewa Tapak Darah!
"Sama sekali tak kusangka kalau di tempat ini
akan bisa menemukan orang-orang yang kucari sekali-
gus! Pendekar pengecut yang dulu berjuluk Pendekar
Naga Emas dan Putri Teratai Putih!"
Nambi yang pertama kali membuka suara. Lelaki
ini kelihatan gembira bukan main.
"Tapi kau harus ingat, Nambi. Pendekar Naga
Emas adalah bagianku. Akulah yang akan memenggal
kepalanya!" timpal Dewa Tapak Darah tak mau kalah.
"Jangan khawatir, Tapak Darah! Setelah kita men-
jadi sobat baik, aku tak pelit untuk memberikan ke-
sempatan padamu membalaskan sakit hati. Tapi, kau
harus ingat kalau Putri Teratai Putih adalah bagian-
ku!" tandas Nambi
"Aku tak akan mencampuri urusanmu, Nambi.
Yang penting bagiku adalah Pendekar Naga Emas.
Dan, setelah itu semuanya tak akan ku pikirkan lagi!"
"Ha ha ha...!" Tawa Nambi terdengar semakin ke-
ras membahana.
8
"Bukankah itu si keparat Nambi, Kak," ujar Putri
Teratai Putih setelah memperhatikan bekas panglima
kerajaan itu beberapa saat lamanya.
"Benar, Teratai," Pendekar Naga Emas mengang-
guk. Dia tidak ingat lagi kalau Putri Teratai Putih telah
mengubah panggilan terhadap dirinya.
"Hati-hati terhadap kakek muka merah itu, Kak,"
ucap Putri Teratai Putih lagi. "Dia berjuluk Dewa Ta-
pak Darah, kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa
Tanding. Kepandaiannya luar biasa. Aku saja mungkin
telah tewas di tangannya kalau tidak keburu ditolong
Dewa Arak "
"Aku tahu, Teratai. Aku telah bertarung dengan-
nya. Dia tidak terlalu berbahaya. Nambi masih lebih li-
hai dari padanya," jelas Pendekar Naga Emas.
Putri Teratai Putih melongo. Kalau saja bukan
Pendekar Naga Emas yang bicara, dia tak akan per-
caya. Mungkinkah Nambi yang dulu berkepandaian ala
kadarnya itu sekarang memiliki tingkat kepandaian di
atas Dewa Tapak Darah? Padahal, kakek bermuka me-
rah itu saja sudah memiliki kepandaian tak terukur!
"Menyingkirlah, Teratai," ujar Pendekar Naga
Emas sambil melangkah maju.
Pendekar yang pernah menjadi jago nomor satu
pada jamannya itu tahu kalau Putri Teratai Putih bu-
kan tandingan dua lawan yang amat tangguh itu. Pe-
rasaan khawatir pun bersemayam di hati Kamandaka.
Pendekar Naga Emas tidak mengkhawatirkan ke-
selamatan dirinya, Yang menjadi pikirannya adalah
Putri Teratai Putih! Karena, kalau Nambi dan Dewa
Tapak Darah bisa berlaku cerdik, keadaan akan men-
guntungkan mereka.
Apa yang dikhawatirkan Pendekar Naga Emas ter-
nyata beralasan! Nambi dan Dewa Tapak Darah telah
cepat membaca kedudukan Pendekar Naga Emas dan
Putri Teratai Putih.
"Kau tangkap Putri Teratai Putih, Tapak Darah,"
beritahu Nambi "Sementara aku yang akan mengurus
pendekar pengecut ini. Tapi ingat, jangan buat putri
itu terluka berat. Aku masih membutuhkannya. Sete-
lah kau lumpuhkan dia, kau masih mempunyai ke-
sempatan membantuku menghadapi Pendekar Naga
Emas."
"Aku pun berpikir demikian, Nambi. Sebuah usul
yang bagus sekali!" sambut Dewa Tapak Darah.
Pendekar Naga Emas menggertakkan gigi. Di da-
lam hati dia memaki-maki kelicikan kedua lawannya.
Tapi menyadari waktu yang amat sempit, lelaki ini se-
gera mendahului menyerang!
Pendekar Naga Emas yang telah tahu kalau lawan
yang lebih ringan adalah Dewa Tapak Darah, segera
menyerang kakek itu. Tak tanggung-tanggung lagi, II-
mu Tangan Sakti Pedang Dan Golok yang menjadi an-
dalannya dipergunakan.
Bunyi berdesing tajam seakan-akan ada beberapa
pedang dan golok berkelebatan mencari mangsa ter-
dengar ketika Pendekar Naga Emas melancarkan se-
rangan. Sinar kekuningannya menyelimuti sekujur ke-
dua tangan Kamandaka.
Dewa Tapak Darah tidak berani menangkis seran-
gan Pendekar Naga Emas yang berupa tusukan dan
bacokan. Dia melompat ke belakang untuk mengelak-
kannya. Kakek ini tahu betul kedahsyatan serangan
itu. Jangankan terkena langsung, angin serangannya
saja sudah cukup untuk membuat lawan yang memili-
ki tenaga dalam kurang kuat putus anggota tubuhnya.
Pendekar Naga Emas tak tinggal diam. Pendekar
ini segera memburu untuk melancarkan serangan su-
sulan. Tapi, Nambi bertindak cepat. Lelaki ini melom-
pat meniegal gerakan Pendekar Naga Emas!
Plak, plakkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika dua pasang
tangan berbenturan. Nambi berbeda dengan Dewa Ta-
pak Darah. Bekas panglima kerajaan ini tak sungkan-
sungkan memapaki serangan Pendekar Naga Emas.
Tak ada akibat apa pun atas kedua tangannya, kecuali
pada lengan-lengan bajunya yang robek memanjang.
Nambi memang memiliki tangan sekuat baja!
Saat Pendekar Naga Emas terhuyung ke belakang
seperti halnya Nambi akibat benturan keras itu, Dewa
Tapak Darah melompat melewati kepala sang pendekar
dan menyerang Putri Teratai Putih.
Pendekar Naga Emas tak ingin hal itu terjadi. Ke-
dua cakarnya diayunkan memapaki melesatnya tubuh
Dewa Tapak Darah. Tapi, baru setengah jalan langsung
diurungkan. Tubuhnya lalu dibanting ke tanah dan di-
gulingkan menjauh karena Nambi telah mengirimkan
tendangan bertubi-tubi!
Nambi benar-benar memenuhi janjinya untuk
membuat Dewa Tapak Darah bisa berurusan dengan
Putri Teratai Putih. Bekas panglima kerajaan ini melu-
ruk menyerbu Pendekar Naga Emas dan menghuja-
ninya dengan serangan-serangan dahsyat
Pendekar Naga Emas tak mempunyai pilihan lain
kecuali memberikan perlawanan. Pertarungan yang
kedua kali antara kedua musuh bebuyutan itu ber-
langsung.
Keberhasilan Nambi membuat Pendekar Naga
Emas kerepotan hingga Dewa Tapak Darah dapat den-
gan leluasa berurusan dengan Putri Teratai Putih.
Sang Putrilah yang kewalahan. Dia pontang-panting ke
sana kemari untuk menyelamatkan diri. Pertarungan
tak seimbang pun terpampang di depan mata,
Ternyata bukan hanya Pendekar Naga Emas dan
Putri Teratai Putih yang terlibat dalam pertarungan.
Dewa Arak pun demikian. Malah, pemuda berambut
putih keperakan itu menghadapi seorang lawan yang
amat tangguh!
Lawan Dewa Arak adalah seorang pemuda berpa-
kaian kuning yang bukan lain Reksanata. Pertarungan
telah berlangsung sengit. Jarak pertempuran dua
orang muda ini dengan pertarungan Pendekar Naga
Emas serta Putri Teratai Putih tak lebih dari lima belas
tombak
Pertarungan mereka kini sudah mencapai pun-
caknya, Dewa Arak menggunakan jurus 'Belalang Sak-
ti’nya. Sementara Reksanata telah menggunakan ilmu
Tangan Sakti Pedang Dan Golok serta Naga Emas!
Di luar kancah pertarungan tampak berdiri seo-
rang gadis berpakaian merah yang bukan lain dari Pu-
tri Teratai Merah. Wajah gadis ini kelihatan agak pu-
cat.
Terbayang kembali di benak gadis ini kejadian
yang dialaminya. Putri Teratai Merah tengah tercenung
dengan pikiran kusut setelah pusing memikirkan ma-
salah Pendekar Naga Emas. Kenyataan betapa Kaman-
daka yang dikaguminya dan diharapkan dapat menjadi
kawan tarung melawan Pendekar Naga Emas ternyata
si pendekar itu sendiri.
Berbagai macam perasaan berkecamuk di benak
Putri Teratai Merah. Rasa marah, malu, dan sedih dan
merasa dipermainkan. Perasaan-perasaan itu mem-
buat Putri Teratai Merah terguncang batinnya. Selama
berhari-hari dia melanjutkan perjalanan dengan benak
kusut
Sesampainya di tempat ini Putri Teratai Merah
bertemu dengan Reksanata. Pemuda sombong ini ru-
panya tertarik melihat gadis cantik duduk termenung
seorang diri, Putri Teratai Merah digodanya!
Putri Teratai Merah yang memang sedang tidak
tenang hati segera menimpalinya dengan marah. Bah-
kan, pertarungan antara mereka pun terjadi.
Tapi, Putri Teratai Merah hanya besar marahnya
saja. Kemampuan yang dimilikinya tak sebesar kema-
rahannya. Dengan mudah Reksanata menangkap se-
tiap serangannya. Serangan-serangan Putri Teratai Me-
rah tanpa menemui kesulitan sama sekali berhasil di-
elakkan Reksanata.
Sebaliknya, setiap serangan sembarangan Reksa-
nata membuat Putri Teratai Merah pontang-panting
menyelamatkan diri. Benturan tangan antara mereka
membuat tubuh gadis itu terhuyung-huyung dengan
tangan sakit. Malah, beberapa kali tubuh Putri Teratai
Merah terguling-guling ketika Reksanata mengibaskan
tangan.
Di saat itulah Dewa Arak muncul. Tanpa pikir
panjang lagi pemuda berambut putih keperakan itu
segera menerjang Reksanata. Telah diketahuinya kalau
Reksanata, meski tak jahat, tapi tidak berdiri di pihak
yang benar. Maka, Arya berpihak pada Putri Teratai
Merah. Arya menduga gadis itu adalah putri dari Putri
Teratai Putih, kendati dia belum pernah melihatnya.
Reksanata yang memang mendendam pada Dewa
Arak menyambutinya dengan penuh semangat. Pemu-
da sombong yang telah sembuh dari luka parahnya itu
mengerahkan seluruh kemampuannya. Reksanata be-
lum yakin kalau dirinya kalah oleh Dewa Arak. Perta-
rungan pun berlangsung hebat
Jalannya pertarungan tidak diam di tempat. Sedi-
kit demi sedikit bergeser ke tempat Pendekar Naga
Emas dan Putri Teratai Putih. Dilain pihak, pertarun-
gan Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih pun
bergeser ke tempat di mana Dewa Arak bertarung.
Putri Teratai Merah yang merasa tertarik dengan
pertarungan itu tanpa sadar mengikuti bergesernya
arena pertarungan. Dan gadis ini terkejut bukan main
ketika melihat Putri Teratai Putih tengah didesak hebat
oleh Dewa Tapak Darah.
Kakek bermuka merah ini memang memiliki wa-
tak licik! Kalau dikerahkan seluruh kemampuannya
sebenarnya Putri Teratai Putih telah roboh sejak tadi.
Tapi bila hal itu terjadi Nambi yang akan beruntung.
Bekas panglima kerajaan itu akan segera terbantu da-
lam menghadapi Pendekar Naga Emas.
Dewa Tapak Darah sengaja membiarkan Nambi
berjuang keras menghadapi Pendekar Naga Emas.
Nambi yang cerdik tentu saja tahu hal itu. Tapi dia ti-
dak berkata apa-apa. Di samping karena memang tak
sempat, dia juga tak mau.
Meski mulutnya diam, tapi hati Nambi mengutuk
Dewa Tapak Darah habis-habisan. Bahkan, bekas
panglima kerajaan ini berjanji akan membalas perbua-
tan Dewa Tapak Darah.
Sementara itu Putri Teratai Merah yang melihat
Putri Teratai Putih tengah didesak hebat tanpa banyak
pikir lagi segera mencabut pedang pendeknya dan ikut
terjun dalam kancah pertarungan. Ikut campurnya Pu-
tri Teratai Merah membuat keadaan Putri Teratai Putih
tidak terlalu mengkhawatirkan.
"Jangan takut Putri, aku membantu...!" seru Putri
Teratai Merah seraya menghujani Dewa Tapak Darah
dengan serangan-serangan mematikan.
"Bagus, Teratai Merah," puji Putri Teratai Putih
dengan penuh semangat dan gembira. "Kita habisi ka-
kek bermuka aneh ini!"
Dewa Tapak Darah sekarang terpaksa harus me-
nyesali tindakannya yang main-main. Munculnya Putri
Teratai Merah membuat kedudukan kedua lawannya
itu luar biasa kuat. Kakek ini tak tahu kalau ini meru-
pakan keistimewaan ilmu yang dimiliki Sepasang Ma-
laikat! Putri Teratai Putih mendapatkan ilmu-ilmu
yang bersifat lembut. Sedangkan Putri Teratai Merah
sebaliknya. Bila hanya dihadapi seorang saja, ilmu-
ilmu itu tak terlalu dahsyat. Tapi bila sudah bersatu,
menjadi satu kekuatan yang besar.
Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah mam-
pu bekerja sama dengan baik. Mereka berdua bisa sal-
ing melengkapi. Saling menutupi kelemahan masing-
masing. Sebaliknya, serangan-serangan yang dilancar-
kan semakin bertambah kedahsyatannya!
Dewa Tapak Darah harus menelan kenyataan pa-
hit kalau dirinya tak mampu berbuat banyak. Seran-
gan-serangannya kandas. Sebaliknya, serangan-
serangan balasan lawan membuatnya kelabakan.
Tidak hanya Dewa Tapak Darah, Nambi pun de-
mikian. Setelah bertarung puluhan jurus dia harus
mengakui keunggulan Pendekar Naga Emas. Lelaki ini
terus terdesak secara hebat
Hal yang sama pun dialami pula oleh Reksanata!
Pemuda sombong ini harus mengakui kenyataan kalau
Dewa Arak terlalu tangguh untuknya. Semula, bebera-
pa kali Dewa Arak harus mengeluarkan seruan kaget
karena serangan-serangannya menyeleweng sebelum
mencapai sasaran. Ada daya tolak yang luar biasa kuat
berasal dari sinar kuning keemasan di sekujur tubuh
Reksanata.
Tapi seiring dengan semakin lemahnya tenaga ka-
rena terlalu lama bertarung, sinar kuning keemasan
yang memancar dari sekujur tubuh Reksanata memu-
dar. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa
lagi oleh Dewa Arak.
Kelelahan yang dialami Reksanata tidak diderita
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan masih
tetap seperti sedia kala. Serangan-serangan yang di-
lancarkannya masih mengandung tenaga dalam pe-
nuh. Itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya da-
lam pertarungan. Arak yang berasal dari yang tersam-
pir di punggungnya itu mampu membuat tenaga Arya
yang susut pulih kembali.
Karena itu, menginjak pada jurus ketujuh puluh
lima, perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengenda-
likan jalannya pertarungan. Lambat tapi pasti dia mu-
lai berada di atas angin. Dan sekarang Reksanata tam-
pak lebih banyak mengelak daripada melancarkan se-
rangan.
Bukkk!
Reksanata memekik tertahan ketika pukulan tan-
gan kanan Dewa Arak menghantam bahu kanannya.
Tubuh Reksanata langsung terhuyung-huyung. Dari
mulutnya mengalir darah segar. Pemuda sombong itu
agaknya terluka dalam.
"Jangan bunuh dia...!" .
Dua buah suara yang dikeluarkan hampir berba-
rengan membuat Dewa Arak menghentikan gerakan-
nya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermak-
sud ingin melumpuhkan Reksanata agar pemuda som-
bong itu tidak terus mengajaknya bertarung.
Arya mengalihkan pandangan ke arah asal suara.
Dilihatnya dua orang kakek, salah satu di antaranya
telah dikenalnya sebagai Malaikat Merah dan seorang
kakek lain berpakaian putih yang diduga Arya sebagai
Malaikat Putih, berdiri tak jauh darinya.
Bertepatan dengan munculnya pimpinan Perkum-
pulan Sepasang Malaikat itu terdengar dua jeritan me-
nyayat hati yang disusul dengan melayangnya dua so-
sok tubuh.
Sosok yang pertama kali menjerit adalah Nambi.
Tubuh lelaki ini melayang keras ke belakang karena
tendangan Pendekar Naga Emas menghantam dadanya
secara telak. Darah menyembur deras dari mulutnya
akibat tulang-tulang dadanya yang hancur berantakan!
Nyawa bekas panglima kerajaan ini melayang saat itu
juga sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.
Jeritan kedua berasal dari mulut Dewa Tapak Da-
rah. Itu terjadi akibat serangan-serangan Putri Teratai
Putih dan Putri Teratai Merah. Pedang Putri Teratai
Putih menembus perut hingga ke punggung Dewa Ta-
pak Darah. Sedangkan pedang Putri Teratai Merah me-
robek punggungnya mendatar dan lebar.
Dewa Tapak Darah menggelepar meregang maut
sebelum akhirnya ambruk ke tanah. Hampir bersa-
maan Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah
menghela napas lega. Mereka lalu menyarungkan pe-
dangnya kembali ke dalam warangkanya di punggung.
Senyum Putri Teratai Merah memudar ketika be-
radu pandang dengan Pendekar Naga Emas. Pendekar
yang dicapnya pengecut itu menyunggingkan senyum.
Putri Teratai Merah malah membuang muka. Karuan
saja Putri Teratai Putih yang melihat hal itu menjadi
heran. Tapi, tidak diutarakannya.
"Ayah...! Paman...! Terimalah hormatku...," ucap
Putri Teratai Putih memberi hormat
"Guru...!" Putri Teratai Merah tak ketinggalan.
"Selamat berjumpa lagi, Paman Banyak Catra,
Paman Banyak Ngampar," Kamandaka ikut serta
memberi salam.
Banyak Catra dan Banyak Ngampar tersenyum
dan menganggukkan kepala
"Selamat berjumpa lagi, Kamandaka," Banyak Ca-
tra yang mewakili memberikan sambutan. "Kulihat kau
banyak mengalami perubahan. Pasti karena peristiwa
di masa lalu."
Kamandaka tersenyum pahit
"Semula kukira kau telah beristri dan melahirkan
seorang anak yang bernama Reksanata. Tapi ternyata
tidak. Kakang Banyak Ngampar yang membuat sega-
lanya menjadi jelas," Banyak Catra melanjutkan uca-
pannya sambil menoleh ke arah kakak seperguruan-
nya. Kakek berpakaian putih itu hanya tersenyum sa-
ja-
"Kalau tak ada Kakang Banyak Ngampar, mungkin
kita akan terus terlibat dalam salah paham. Kau, Rek-
sanata! Kau patut mendengar cerita ini karena ini ada
hubungannya dengan riwayat hidupmu."
Reksanata hanya membisu. Pemuda ini masih
terpukul karena kekalahannya dengan Dewa Arak.
Dan, kekalahan yang kedua kali itu membuat kesom-
bongannya berkurang banyak
"Apa yang akan kuceritakan ini tak ada orang
yang tahu," ujar Banyak Catra pada putrinya.
Putri Teratai Putih dengan perasaan tegang me-
nunggu cerita ayahnya. Sempat dilihatnya Kamandaka
sekilas. Wajah lelaki itu pun tampak tegang. Rupanya,
apa yang akan diceritakan Banyak Catra amat mende-
barkan hatinya.
"Dua puluh tahun lebih yang lalu Putri Teratai Pu-
tih melahirkan. Anak itu kemudian aku yang menga-
suhnya untuk menjaga nama baik Putri Teratai Putih."
Sesampainya Banyak Catra bercerita pada bagian
ini, Putri Teratai Merah yang semula kurang tertarik
merasakan dadanya bagai di tumbuk pohon besar. Dia
mulai menduga-duga hal yang terjadi selanjutnya.
Dengan jantung berdetak kencang Putri Teratai
Merah mendengarkan penuturan Banyak Catra.
"Anak yang ternyata perempuan itu akhirnya be-
sar dalam asuhanku. Ibunya, Putri Teratai Putih sering
menjenguknya. Bahkan Ibunya yang memberi nama
Putri Teratai Merah. Nah, Teratai Merah, Putri Teratai
Putih itu adalah Ibu kandungmu sendiri. Berilah hor-
mat padanya."
"Ibu...!" Putri Teratai Merah, gembira bercampur
kaget. Gadis ini terharu dan gembira mendengar berita
kalau Putri Teratai Putih adalah ibunya.
"Teratai Merah, Anakku," sambut Putri Teratai Pu-
tih dengan suara terisak. Wanita ini merasa terharu
karena akhirnya dia dapat memanggil anaknya seba-
gaimana layaknya seorang ibu.
Ibu dan anak ini pun berpelukan erat dalam ke-
rinduan yang besar.
Putri Teratai Merah menatap Kamandaka dengan
mata membelalak. Masalahnya, dia telah bertekad un-
tuk menghukum sang pendekar! Tapi apa lacur pende-
kar itu ternyata ayahnya.
"Reksanata pun tak bersalah! Dia korban siasatku
dan Naga Emas guru dari Pendekar Naga Emas. Kami
berdua tahu kalau Pendekar Naga Emas dan Putri Te-
ratai Putih saling mencintai. Maka, kami mengatur sia-
sat untuk menyatukan mereka,"
Banyak Ngampar menelan air liur untuk memba-
sahi tenggorokannya yang kering.
"Kebetulan Naga Emas, sahabat akrabku itu,
mempunyai murid. Bersama-sama kami bentuk dia
mirip dengan Pendekar Naga Emas. Ini kami lakukan
agar Pendekar Naga Emas muncul. Kami berikan kete-
rangan-keterangan palsu tanpa setahunya. Ini jelas
Reksanata tak bersalah!"
Reksanata merasa terpukul bukan main. Dia malu
atas tindakannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepa-
la dia membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan
tempat itu. Putri Teratai Merah ikut berlari meninggal-
kan tempat itu pula.
"Teratai...!" panggil Putri Teratai Putih seraya ber-
gerak untuk mengejar putrinya yang memberontak da-
ri pelukannya dan kabur. Tapi, tindakan itu segera di-
tahannya ketika mendengar ucapan Banyak Catra,
"Tak usah dikejar, Putih. Batin mereka masih ter-
guncang. Beri mereka kesempatan untuk berpikir dan
menenangkan hati."
"Tapi, Paman Banyak Catra," kesempatan itu di-
pergunakan oleh Kamandaka untuk mengajukan per-
tanyaan. "Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai
anak. Aku... maksudku.... Aku tak akan bisa menda-
patkan keturunan. Ilmu Naga Emas membuat cairan
kejantananku tidak subur. Dan...."
Banyak Catra tersenyum bijaksana. Kesempatan
itu dipergunakan Arya untuk minta izin meninggalkan
tempat itu. Disadarinya kalau dirinya sudah tidak di-
perlukan lagi kehadirannya.
Banyak Catra, Pendekar Naga Emas, Banyak
Ngampar, dan terutama sekali Putri Teratai Putih, me-
lepas kepergian Dewa Arak dengan ucapan maaf dan
berterima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolon-
gan yang telah diberikan.
"Aku tahu hal itu, Kamandaka. Aku mengenal il-
mumu sebagai ilmu sesat yang mampu membuat pe-
miliknya kehilangan kesuburan pada cairan kejanta-
nannya alias mandul. Oleh karena itu, kau kujamu se-
habis kita tewaskan datuk-datuk sesat itu. Kuberikan
kau ramu-ramuan yang membuat cairan kejantanan-
mu subur kembali. Kau tak tahu itu karena tak ber-
bau, berasa, atau berwarna. Selama seminggu kau ku-
cekoki minuman itu," lanjut Banyak Catra meneruskan
keterangannya yang tadi terputus oleh permintaan
mohon diri Dewa Arak.
Kamandaka menghela napas berat. Tidak dipung-
kirinya kejadian itu. Keterangan Banyak Catra me-
mang masuk akal.
"Sekarang," tambah Banyak Catra lagi "Sudah me-
rupakan kewajiban kalian untuk menikah. Adi Banyak
Santang sudah tak ada. Jadi, orang yang menentang
hubungan kalian tak ada. Jangan lupa dengan anak
kalian. Nah! Kami pergi!"
Kamandaka dan Putri Teratai Putih hanya sempat
mengangguk ketika Banyak Catra dan Banyak Ngam-
par melesat meninggalkan tempat itu. Keduanya ber-
pandangan dengan hati gembira. Penghalang cinta ka-
sih mereka memang sudah tak ada. Penghalang yang
menyebabkan Pendekar Naga Emas meninggalkan ke-
kasihnya tanpa pamit Prabu Banyak Santang menen-
tang hubungan cinta mereka karena hendak menjo-
dohkan Putri Teratai Putih dengan seorang pangeran.
Entah siapa yang lebih dulu bergerak. Yang jelas,
tahu-tahu tubuh Pendekar Naga Emas dan Putri Tera-
tai Putih telah saling berpelukan. Kerinduan yang ter-
pendam puluhan tahun dilampiaskan saat itu. Mereka
tak ingat lagi pada Reksanata dan Putri Teratai Merah.
Lagi pula, mereka yakin tak lama lagi kedua orang
muda itu akan kembali.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
TOMBAK PANCA WARNA
Emoticon