1
Seorang kakek berpakaian longgar kuning
membuka sepasang matanya yang semula terpe-
jam. Kemudian, tubuhnya yang kecil kurus bang-
kit berdiri dari sikapnya yang tadi bersemadi. Ka-
kek yang wajahnya dipenuhi bulu-bulu kumis,
jenggot, dan cambang putih lebat itu berusia tak
kurang dari seratus tahun. Ketika berdiri tegak,
tampak kalau tangan kirinya buntung. Sehingga
lengan baju yang kosong tersampir lemas di sisi
"Aneh...!" gumam kakek berbaju kuning he-
ran dengan berkerut.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam
sebuah ruangan gua tempatnya berlindung, dia
menggumamkan kata-kata bernada heran. Ruan-
gan yang tidak terlalu luas, membuat kakinya ti-
dak sampai melangkah banyak ketika sampai di
bagian sisi salah satu dinding gua.
"Mengapa batin ku tak tenang?! Mengapa
aku sulit memusatkan pikiran untuk bersemadi?!
Ada firasat apa, ya?!"
Dahi kakek berpakaian kuning ini berker-
nyit Ditatapnya langit-langit ruangan beberapa
saat.
Perasaannya saat ini benar-benar gelisah.
Karena tidak mampu mengusir rasa gelisah
di hatinya, kakek itu pun mengayunkan kakinya
ke mulut lorong yang hanya satu-satunya. Setelah
melalui lorong yang berliku-liku dia tiba di luar
gua.
Setelah matanya beredar ke sekeliling, ka-
kek kecil kurus ini menghembuskan napas pan-
jang-panjang. Seakan-akan dia hendak membuang
kegelisahan yang menjumpai di dalam dada. Angin
sejuk silir-silir membuat dahinya nyaman. Tapi
kegalauan hatinya tak juga lenyap.
Disertai tanda tanya dalam hati kakek itu
mengarahkan pandangan ke depan. Yang terlihat
hanya pepohonan dan sedikit tanah yang ditum-
buhi rumput hijau menghampar di kejauhan. Tapi
tak lama dia menikmati pemandangan itu di ke-
jauhan mulai tampak satu sosok berlari secepat
kilat ke arahnya.
Kakek berpakaian kuning menyipitkan ma-
tanya untuk lebih memperjelas pandangan. Sepa-
sang matanya tampak mencorong laksana mata
kucing di kegelapan. Ketika jarak sosok itu tinggal
belasan tombak, dia tersenyum lebar. Memang, dia
kenal dengan sosok yang tak lain wanita muda
berpakaian merah yang tengah menuju ke arah-
nya.
Tapi ketika wanita muda berusia lebih dari
dua puluh tahun itu tiba, senyum kakek kecil ku-
rus itu lenyap.
"Aku datang untuk pamit padamu, Eyang
Sangga Langit," ujar gadis berpakaian merah den-
gan suara manja. Kepalanya menunduk menunggu
jawaban. Padahal laki-laki tua yang dipanggil
Eyang Sangga Langit sebenarnya hendak menga-
jukan pertanyaan lebih dulu.
"Kau..., ingin pergi sekarang, Witari?!" tanya
kakek berpakaian kuning. Seketika, entah bagai-
mana perasaannya jadi berguncang. Sebuah pera-
saan aneh yang membuat suaranya seperti terce-
kat di tenggorokan. Buru-buru dia menekan pera-
saannya.
Witari agaknya tidak tahu kegalauan hati
gurunya. Gadis ini lebih banyak menundukkan
kepala, sehingga tak tahu kalau mata kakek di ha-
dapannya mulai berubah. Bahkan kini merayapi
sekujur tubuh Witari yang montok penuh minat.
Eyang Sangga Langit sebenarnya tahu ten-
tang ketidakberesan sikapnya. Bahkan samar-
samar tahu kalau ada sebuah keanehan yang me-
lingkupi. Dia telah sering melihat muridnya itu
yang bukan saja bertubuh montok menggiurkan,
tapi juga berwajah cantik. Dan selama ini sedikit
pun tidak pernah timbul perasaan aneh di hatinya.
Sekarang, begitu melihat Witari, kenapa pe-
rasaan aneh yang menjerat kelaki-lakiannya tim-
bul? Witari saat ini terlihat demikian menarik.
Bentuk tubuh, wajah, rambut, pakaian, bahkan
suaranya membuat hasrat kejantanan Eyang
Sangga Langit tergoda. Bahkan sampai-sampai
melenyapkan akal sehatnya. Yang dipikirkan
hanya satu, bagaimana caranya agar dapat me-
lampiaskan hasrat yang mendadak berkobar-kobar
pada Witari.
"Benar, Eyang," jawab Witari sambil men-
gangkat kepala. Dan, segera kepalanya ditunduk-
kan kembali ketika beradu pandang dengan mata
gurunya yang juga tengah menatap dengan sinar
mata mengundang. Seakan-akan Witari hendak di-
telanjangi bulat-bulat
Witari sendiri adalah gadis hijau. Tapi, na-
lurinya membisikkan adanya keganjilan dalam si-
kap Eyang Sangga Langit.
Perasaan aneh ini membuat Witari kelim-
pungan sendiri. Gadis ini hendak meninggalkan
tempat ini secepatnya. Namun sebelum niatnya
terlaksana, tiba-tiba jantungnya berdetak jauh le-
bih kencang. Malah tanpa sadar, matanya balas
menatap Eyang Sangga Langit dengan sorot me-
nantang! "Kurasa...!"
Suara Eyang Sangga Langit bergetar hebat
karena cekaman perasaan aneh yang semakin
menguat. Napasnya memburu hebat seperti habis
berlari jauh.
"Tundalah dulu kepergianmu, Witari. Ada
sesuatu yang ingin kuwariskan padamu. Aku ya-
kin kau..., pantas memiliki ilmu 'Urai Raga' milik-
ku....
Maka lebih baik masuklah dulu ke dalam
gua. Aku ingin mewariskannya padamu.... Bagai-
mana?!" lanjut Eyang Sangga Langit.
Witari semakin dirasuki perasaan aneh da-
lam dirinya. Bahkan tiba-tiba di hatinya timbul ge-
jolak ingin bercinta. Begitu kuat perasaan itu men-
jeratnya, sehingga akal sehatnya pun sirna. Dia
berusaha menepis, tapi tak kuasa. Dalam benak-
nya hanya ada satu pikiran bagaimana menyalur-
kan hasrat aneh yang melonjak-lonjak tanpa ken-
dali.
Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi Witari
mengangguk.
"Ah...!"
Terdengar seruan kaget hampir berbareng
dari mulut Witari dan Eyang Sangga Langit. Masih
dengan raut wajah kaget dan tidak percaya, mere-
ka bagai saling berlomba menyambar pakaian
masing-masing dan beringsut ke sisi dinding yang
berlainan.
"Oh.... A... apa yang telah terjadi pada-
ku...?!" rintih Witari.
Gadis itu mendekap mulutnya sendiri sam-
bil memandang Eyang Sangga Langit, kemudian
beralih ke tubuhnya sendiri. Seperti hampir tak
percaya, dia mendapati dirinya dalam keadaan ti-
dak tertutup sehelai benang pun bersama gurunya
yang seharusnya sangat pantas bila menjadi kakek
buyutnya. Tersirat nada kengerian dan kehancu-
ran hati dalam gadis itu. Apalagi ketika melihat
cairan merah di tempat tubuhnya tadi tergolek.
Witari tahu, apa artinya ini. Darah keperawanan!
Pikiran Witari mulai jernih. Samar-samar
baru disadari, kalau dirinya telah melakukan per-
buatan terkutuk tanpa disadarinya. Saat itu juga,
hancur luluhlah hatinya. Tanpa dapat dicegah lagi,
air matanya bergulir deras di pipinya. Tubuhnya
sampai terguncang-guncang karena isak tangis.
Kesedihan yang mendalam membuat Witari tidak
ingat lagi untuk berpakaian.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit hanya
terpaku memandangi Witari. Dia juga seperti tak
percaya dengan apa yang telah diperbuatnya. Sete-
lah gejolak perasaan aneh itu terlampiaskan, akal
sehatnya baru timbul secara penuh! Bahwa dia se-
sungguhnya telah melakukan perbuatan hina ber-
sama muridnya. Dan yang merayapi pikiran dan
hatinya kini hanyalah penyesalan seumur hidup!
"Witari...! Mengapa kita sampai berbuat se-
perti ini?! Ah...! Betapa terkutuknya aku!" sesal
Eyang Sangga Langit, memaki-maki dirinya sendi-
ri. Nada suaranya sarat penyesalan yang meng-
gumpal.
Kata-kata kakek itu membuat tangis Witari
berhenti. Sepasang matanya memancarkan keben-
cian, ketika menatap wajah gurunya. "Manusia
terkutuk! Sampai hati kau nodai muridmu sendiri!
Aku yakin kau menggunakan ilmu siluman untuk
memperdaya diriku, tubuhku dapat kau nikmati!
Manusia biadab! Terkutuk! Jahanam!" maki Wita-
ri. Suaranya serak karena isak tangis.
Entah mendapat keberanian dari mana, ga-
dis itu menatap penuh kebencian pada Eyang
Sangga Langit Lalu dia segera mengenakan pa-
kaian.
"Aku tidak akan melupakan peristiwa ini!"
ancam Witari.
Tanpa memberi kesempatan pada Eyang
Sangga Langit untuk menjelaskan, gadis itu mele-
sat cepat keluar gua.
"Witari...! Tunggu...!" seru Eyang Sangga
Langit, berusaha mencegah.
Tetapi Witari tidak mempedulikan seruan
gurunya lagi. Bahkan larinya dipercepat.
Kakek kurus bertangan buntung ini sama
sekali tidak berusaha mengejar. Meskipun dengan
kepandaian amat mudah menyusul Witari, namun
apa gunanya? Toh, gadis itu tengah terguncang
batinnya. Dia tidak akan bisa dibujuk. Mungkin
dengan membiarkannya dulu, gadis itu punya ke-
sempatan untuk berpikir dan mengerti kalau per-
buatan terkutuk tadi terjadi tanpa disadari.
Eyang Sangga Langit menghela napas berat.
Batinnya terpukul atas kejadian yang di-
alami tadi. Wajahnya terlihat layu tidak berseri!
Hanya sepasang matanya yang mencorong tajam,
menerawang ke dinding gua.
Peristiwa tadi memang membuat hati Eyang
Sangga Langit terguncang. Dan ini juga membuat
nya termenung. Ketermenungan lelaki tua bertan-
gan buntung itu baru lenyap ketika terdengar
bunyi langkah kaki dari mulut lorong ruangan. Dia
berharap, sosok yang datang itu Witari. Siapa tahu
gadis itu mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.
"Eyang...," panggil orang yang baru datang.
Harapan Eyang Sangga Langit terkabul. Di
mulut lorong ruangan berdiri tubuh ramping ber-
pakaian merah, berwajah cantik manis. Hanya sa-
ja wajahnya muram. Sedangkan sepasang ma-
tanya sembab karena tangis.
"Witari...," sambut Eyang Sangga Langit, se-
rak penuh rasa iba dan ham mengingat nasib yang
menimpa gadis muridnya.
Witari menghambur. Langsung dia berlutut
di bawah kaki kakek berpakaian kuning itu. Tan-
gisnya kontan bagai bendungan jebol.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit segera
mengulurkan tangan, membelai rambut Witari pe-
nuh rasa haru dan sayang.
Tangis Witari semakin menjadi-jadi. Tubuh-
nya yang berlutut tampak terguncang-guncang ke-
ras.
"Semua ini salahku, Witari! Aku pasrah dan
rela atas keputusanmu. Aku maklum bila kau
membenci ku. Bahkan bila kau ingin membunuh-
ku pun, aku siap," tandas Eyang Sangga Langit
bergetar.
"Tidak, Eyang. Semua ini bukan salahmu.
Aku yakin ada pihak ketiga yang sengaja menda-
langi terjadinya peristiwa ini. Dan kita tidak tahu,
dengan cara apa dia melakukannya. Hhh...! Aku
akan cari orang itu, Eyang. Aku ingin membalas
tindakannya, sehingga membuat kita terperosok ke
dalam jurang kehinaan. Sekarang juga, aku ingin
mohon diri, Eyang," ujar Witari terbata-bata.
Eyang Sangga Langit tersenyum, walau se-
perti dipaksakan. Hatinya memang lega melihat
Witari menyadari kekeliruannya. Tapi perasaan
sedih dan terguncang akibat perbuatan itu, mem-
buat senyumnya tampak yang keluar dari hati lu-
ka.
"Syukurlah kalau kau menyadarinya, Wita-
ri. Kalau saja tubuhku tidak sereot ini, aku pun
akan ikut mencari pelakunya. Sayang, tubuh renta
ini tidak bisa lagi diajak bepergian jauh," keluh
Eyang Sangga Langit.
"Eyang tidak perlu turun tangan! Cukup
aku sendiri yang akan mencari penjahat keji itu
dan akan menghukumnya!" tandas Witari.
"Itu bagus!" puji Eyang Sangga Langit. "Kau
berhak dan wajib untuk melakukannya!"
"Tapi, Eyang...," tukas Witari ragu-ragu.
"Aku merasa kepandaian yang kumiliki masih ren-
dah. Tenaga dalamku juga tak begitu kuat Aku ya-
kin, akan dapat mengalahkan penjahat cabul itu
bila berhasil kutemukan! Dan dia tentu memiliki
kemampuan tinggi, karena telah berhasil memper-
daya kita!"
"Kau terlalu merendahkan kepandaian yang
telah kau miliki, Witari," tegur Eyang Sangga Lan-
git. "Jangan dikira kepandaianmu rendah. Perlu
diketahui, kau adalah murid terpandai di antara
murid-muridku pendahulu. Kaulah satu-satunya
yang mewarisi sebagian besar ilmuku. Karena, aku
tidak ingin malu terhadap ayahmu yang telah me-
nitipkan mu untuk ku didik. Bukannya sombong,
hanya bisa dihitung dengan jari tokoh persilatan
yang mampu bertahan lima puluh jurus bila berta-
rung denganku! Oleh karena itu, kepandaian yang
kau miliki tak akan kalah dengan pendekar mana
pun, Witari! Namun, biarlah. Agar kau lebih per-
caya diri, ilmu 'Urai Raga' ku yang semula tak
akan kuturunkan pada orang lain, akan kuberikan
padamu. Bahkan aku berkenan untuk menambah
tenaga dalammu! Sekarang duduklah bersila di
hadapanku pada jarak tiga tombak!"
Witari cepat melaksanakan perintah gu-
runya.
"Ingat, Witari. Apa pun yang kau rasakan,
jangan melakukan tindakan apa pun! Mengerti?!"
Witari mengangguk.
Eyang Sangga Langit duduk bersila. Sepa-
sang matanya dipejamkan. Jari-jari tangannya
yang terbuka lurus, dirangkapkan di depan dada.
Sesaat kemudian sekujur tubuhnya menggigil se-
perti terkena demam tinggi. Dan perlahan-lahan,
sinar kebiruan melingkupi tubuhnya.
Getaran di tubuh Eyang Sangga Langit se-
makin menghebat membuat tubuhnya terlonjak-
lonjak ke atas seperti hendak melayang ke udara.
Kemudian dengan gerak menghentak, kedua ja-
rinya yang masih dirangkapkan ditusukkan ke de-
pan.
Saat itu juga, selarik sinar kebiruan melun-
cur ke arah tubuh Witari. Ketika mengenai tubuh-
nya, gadis itu merasakan bagian pusarnya bergo-
lak. Terasa ada sesuatu yang berputar keras di
bawah pusarnya! Sehingga membuat tubuh Witari
terguncang-guncang.
Di lain pihak, Eyang Sangga Langit dengan
gerakan cepat menarik kembali kedua tangannya
ke depan dada. Berbareng dengan itu, kakek ini
segera meniup!
Untuk kedua kalinya Witari terperanjat Se-
mua bulu tubuhnya mendadak meremang, ketika
gurunya meniupkan angin dari mulutnya. Aneh-
nya, guncangan pada tubuhnya segera terhenti.
Namun, putaran keras di bawah pusarnya tetap
berlanjut.
"Sekarang kau telah memiliki ilmu 'Urai Ra-
ga', Witari. Dengan demikian aku tidak memiliki
ilmu itu lagi, setelah kuberikan padamu. Sebenar-
nya, ilmu itu harus kau dapatkan sendiri melalui
perjuangan panjang. Bertahun-tahun, bahkan
mungkin belasan tahun! Itu pun belum tentu ber-
hasil! Namun karena kau membutuhkannya seca-
ra mendesak, tak ada jalan lain kecuali memberi-
kan ilmu itu dengan jalan singkat. Dan untuk
memilikinya lagi, aku harus belajar dari awal," je-
las Eyang Sangga Langit sambil mengusap peluh
yang membasahi dahinya dengan punggung tan-
gan.
Witari tidak menanggapi. Dia masih takjub
merasakan pergolakan aneh di bawah pusar ba-
gian dalam.
"Sekarang, aku akan mengoperkan tenaga
dalam yang kumiliki agar tenaga dalammu ber-
tambah tinggi!"
Tanpa banyak cakap, Witari mendekati gu-
runya, duduk bersila membelakangi.
"Buka semua jalan darahmu. Jangan men-
gadakan perlawanan," tambah kakek kecil kurus
itu, sebelum menempelkan kedua telapak tangan-
nya pada punggung Witari.
Mula-mula, Witari merasakan hawa hangat
mengalir dari kedua telapak tangan gurunya. Te-
tapi semakin lama, semakin panas. Sehingga,
membuat keringat sebesar butir-butir jagung
menghias wajah dan sekujur tubuhnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Eyang Sang-
ga Langit melepaskan tangannya dari punggung
Witari. Dan, dia langsung duduk bersemadi untuk
memulihkan tenaganya yang terkuras. Namun, ba-
ru beberapa kali Eyang Sangga Langit memulihkan
pernapasannya, mendadak terdengar gelak tawa
yang keras di dekatnya. Tawa gembira bernada pe-
nuh kepuasan.
Seketika, Eyang Sangga Langit membuka
matanya. Wajahnya langsung pias ketika melihat
sosok di depannya. Kini, Witari telah berdiri berka-
cak pinggang sambil tertawa! Sikapnya sungguh
mengejutkan! Dan lebih terkejut lagi ketika men-
dengar jenis suara itu. Karena suara itu bukan da-
ri mulut wanita. Tapi dari seorang lelaki!
"Siapa kau...?! Jangan katakan kalau kau
Witari!" seru Eyang Sangga Langit, terkejut. Na-
mun sebagai tokoh dunia persilatan yang sudah
banyak pengalaman, dia langsung tahu kalau so-
sok yang berdiri di hadapannya pasti bukan Wita-
ri.
"Kau cukup cerdik, Tua Bangka Bau Ta-
nah!" maki Witari palsu dengan sombong. Sikap-
nya terlihat memandang rendah sekali. "Aku me-
mang bukan Witari! Tapi, kecerdikan mu terlam-
bat! Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Ingin ku-
lihat, pentolan-pentolan dunia persilatan meman-
dang Eyang Sangga Langit yang terkenal sakti tan-
pa tanding, akhirnya tewas secara menyedihkan!
Tewas karena tertipu! Apalagi bila mereka tahu ka-
lau sebelumnya Eyang Sangga Langit telah berzi-
nah dengan muridnya sendiri! Ha ha ha...!"
"Keparat!" umpat Eyang Sangga Langit pe-
nuh kegeraman.
Kini lelaki tua berbaju kuning ini menyada-
ri, pasti Witari palsu inilah yang menyebabkan ter-
jadinya hubungan perzinahan itu.
"Kau boleh mati penasaran, Kakek Peot! Ka-
rena sekarang juga, kau akan mati di tanganku!"
Eyang Sangga Langit bukan orang bodoh!
Dia tahu, saat ini keadaannya tidak menguntung-
kan. Ilmu andalannya kini telah dimiliki Witari
palsu. Bahkan, sebagian besar tenaga dalamnya
telah terkuras! Sehingga, sekarang tenaganya jauh
berkurang! Di lain pihak, Witari palsu telah memi-
liki tenaga dalam sangat tinggi. Apabila melakukan
perlawanan, tentu akan membuang nyawa sia-sia.
Dan, Eyang Sangga Langit tidak ingin hal itu terja-
di.
Maka sebelum orang yang menyamar seba-
gai Witari itu membunuhnya, Eyang Sangga Langit
lebih dulu melempar tubuhnya ke belakang, ber-
gulingan mendekati dinding ruangan.
Sementara Witari palsu yang melihat gelagat
tidak sewajarnya, segera mengejar. Langsung di
siapkan serangannya.
Tetapi, tindakan Witari palsu terlambat. Ke-
tika tangan Eyang Sangga Langit menyentuh salah
satu tonjolan batu, dinding itu terkuak sedikit,
membelah celah. Dan itu cukup untuk tubuh
Eyang Sangga Langit masuk ke dalam ruangan di
sebelahnya.
Ketika Witari palsu hendak menyusul ma-
suk, dinding itu segera tertutup kembali.
Lelaki yang menyamar sebagai Witari ini
mencoba mendorong tonjolan batu yang tadi dige-
rakkan Eyang Sangga Langit. Namun dinding itu
tidak bergeming sedikit pun.
Witari palsu tahu, tidak ada gunanya lagi
berusaha. Pasti Eyang Sangga Langit telah menu-
tup dinding gua dengan alat rahasia dari ruangan
sebelah. Kalau menuruti perasaan, lelaki yang me-
nyamar sebagai Witari ini dapat memukul hancur
dinding itu. Tetapi karena khawatir atap gua akan
runtuh dan dapat menyebabkan tubuhnya terku-
bur hidup-hidup, maka maksudnya diurungkan.
Dan dengan perasaan dongkol, dia segera melesat
keluar gua.
2
Seorang lelaki tinggi besar, berotot dan ber-
wajah kasar tengah melangkah lebar melintasi
hamparan tanah yang penuh daun kering dan
ranting kering bertebaran. Demikian banyaknya,
sehingga permukaan tanah hampir tidak terlihat
Setiap kaki besar dan kokoh itu menjejak, selalu
menginjak daun serta ranting kering. Anehnya se-
dikit pun tidak terdengar bunyi yang ditimbulkan-
nya. Ini pertanda kalau lelaki ini memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat.
Lelaki itu berusia sekitar enam puluh ta-
hun. Tubuhnya hanya tertutup selembar celana
sebatas lutut. Bulu-bulu hitam dan lebat menghia-
si bagian dadanya yang telanjang. Di bahunya,
terpanggul sebatang kapak bermata tumpul dan
bertangkai panjang.
Dengan langkah-langkah agak bergegas, le-
laki tinggi besar ini seperti tak mempedulikan me-
dan yang ditempuhnya. Ayunan kakinya baru ber-
henti, ketika sampai di hadapan sebatang pohon
besar berukuran empat kali pelukan orang dewa-
sa! Ditatapnya pohon itu sejenak. Lalu, kapaknya
segera diayunkan. Cras!
Hanya sekali tebas, pohon itu terpapas! Ba-
gian yang terkena babatan kapak tumpul seperti
tertebas senjata amat tajam.
Sebelum pohon yang tumbang menghantam
tanah, lelaki tinggi besar itu kembali mengayun-
kan kapaknya.
Cras! Cras! Cras!
Tidak hanya sekali. Hampir bersamaan ter-
dengar bunyi menderu disusul bunyi riuh.
Ketika lelaki ini meletakkan kapaknya kem-
bali di tempat semula, di depannya telah tertum-
puk. potongan kayu sebesar lengan sepanjang tiga
kaki. Beberapa kayu itu pun licin, seakan telah
diserut lebih dulu oleh mata ketam.
Ada beberapa tumpukan kayu di sebelah
kanan. Sementara agak jauh di sebelah kiri, berse-
rakan daun-daun ranting yang berkelompok, bagai
ditata tangan terlatih yang tidak tampak.
"Tidak jelek..., tidak jelek...!"
Mendadak terdengar suara lantang dan
nyaring begitu lelaki tinggi besar itu menyelesaikan
pekerjaannya. Tapi dia tetap diam di tempatnya.
Tidak merasa terkejut, bahkan tak menoleh ke
arah asal suara.
"Seperti lima tahun yang lalu, permainan
kapak pemenggal ayam masih tetap lumayan! Ti-
dak percuma kau berjuluk Raksasa Kapak Maut!"
lanjut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus,
yang tahu-tahu sudah berada di depan lelaki tinggi
besar yang ternyata berjuluk Raksasa Kapak Maut.
"Tidak usah banyak bicara, Manusia Kerdil!
Sejak dulu mulutmu selalu usil! Dasar bawel!" sa-
hut Raksasa Kapak Maut dengan suara menggun-
tur sambil berbalik.
"Ha ha ha...! Kau makin jadi pemarah saja,
Manusia Kerbau!" ledek kakek kecil kurus. Demi-
kian kecil dan kurus tubuhnya, lebih mirip bocah
berusia sembilan tahun yang kelaparan. "Kau ta-
hu, orang pemarah cepat tua. Sebaliknya jika kita
sering tertawa, akan awet muda. Apalagi bila ser-
ing bermain tebak-tebakan! Kau tahu, tebak-
tebakan itu menunjukkan kepintaran seseorang!
Biar kecil begini, aku yakin lebih pandai dibanding
otakmu, Manusia Kerbau! Kalau kau ingin bukti,
mari kita bermain tebak-tebakan! Tapi, tentu saja
kalau kau berani...."
"Mengapa tidak, Tuyul Bertenaga Raksa-
sa?!" sahut Raksasa Kapak Maut cepat, terbakar
amarahnya karena tantangan kakek kecil kurus
yang telah meremehkannya. "Ayo, keluarkan teba-
kan mu!"
Kakek kecil kurus berjuluk Tuyul Bertenaga
Raksasa tersenyum. Sikapnya kelihatan
meremehkan sekali. Dia yakin akan kemampuan-
nya.
"Ada seorang ibu, memiliki tubuh yang be-
sar dan gemuk. Bahkan lebih besar daripada tu-
buhnya. Karena suatu keperluan, dia bertandang
ke rumah saudaranya. Karena satu hal, dia ter-
paksa menginap di rumah saudaranya itu. Sialnya,
saudaranya orang yang miskin hingga hanya
mempunyai satu tempat tidur. Itu pun berukuran
kecil, karena memang untuk anaknya yang beru-
mur delapan tahun. Demi rasa hormat maka sau-
daranya memberi tempat tidur itu untuknya. Se-
dangkan anaknya di suruh tidur di lantai. Tentu
saja, ibu yang gemuk itu kebingungan. Bagaimana
caranya dia bisa tidur di tempat yang sekecil itu?
Nah! Pertanyaannya, bagaimana ibu yang gemuk
itu tidur?!" ujar Tuyul Bertenaga Raksasa.
Alis Raksasa Kapak Maut berkernyit. Dia
berpikir keras untuk bisa menjawab. Namun sam-
pai dahinya berkeringat, belum ditemukan jawa-
bannya.
"Bagaimana, Manusia Kerbau?! Sudah....
Lebih baik menyerah saja?!" ejek Tuyul Bertenaga
Raksasa memanas-manasi.
"Menyerah?!" ulang Raksasa Kapak Maut
keras dengan sepasang mata dibelalakkan. "Tidak
akan! Pertanyaan itu demikian mudah untuk ku-
jawab. Mengapa mesti menyerah?! Jawabannya,
ibu itu harus meringkuk untuk bisa tidur! Betul,
kan?!"
"Salah!" sanggah Tuyul Bertenaga Raksasa
sambil melompat-lompat kegirangan, seperti anak
kecil mendapat mainan.
"Tidak mungkin!" tukas Raksasa Kapak
Maut, berkeras dengan jawabannya. "Mengapa ti-
dak?! Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa ti-
dur! Sebab, tak mungkin tubuhnya terbujur di
tempat sekecil itu?"
"Apa pun alasannya, yang jelas itu bukan
jawabannya, Manusia Kerbau!"
"Kalau begitu..., apa jawabannya, Kerdil Li-
cik?! Aku yakin kau hanya mengakaliku saja!" ser-
gah Raksasa Kapak Maut, tidak mau kalah.
"Meram!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa,
tersenyum atas kemenangan.
"Lho...?!" Raksasa Kapak Maut melongo.
"Jawabanmu tak masuk akal, Manusia Kerdil!"
"Apa yang tidak masuk akal?! Bukankah
yang kutanyakan, bagaimana tidur ibu gemuk itu?
Tentu saja jawabannya meram. Mana mungkin
orang tidur matanya tidak meram?! Satu-kosong!"
jawab Tuyul Bertenaga Raksasa mempertahankan
jawabannya.
"Baik. Aku mengaku kalah. Dan, sekarang
giliranku mengajukan pertanyaan. Karena kau
mengajukan pertanyaan yang bersifat akal-akalan,
maka
aku pun akan meladeni mu!" kata Raksasa
Kapak Maut penasaran. "Nah, sekarang jawab per-
tanyaanku. Ayam apa yang keluar pada malam ha-
ri?! Ayo, tebak!"
"Ayam yang ada keperluan! Ha ha ha...! Be-
tul kan...?!" jawab kakek Tuyul Bertenaga Raksasa
cepat, disertai tawa bergelak. Menertawakan lelaki
tinggi besar yang terdiam begitu pertanyaannya
terjawab. "Apa pun pertanyaan yang kau ajukan,
akan bisa kujawab, Manusia Kerbau! Kau tahu,
aku paling pandai bermain tebak-tebakan!"
"Peduli amat! Itu bukan urusanku!" dengus
Raksasa Kapak Maut, ketus. "Sekarang apa mak-
sudmu mengintai pekerjaanku?"
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah merasa pal-
ing sakti setelah bisa menebang pohon seperti itu?!
Apa maumu, Raksasa Jelek?! Bertarung?!" tandas
Tuyul Bertenaga Raksasa.
Tuyul Bertenaga Raksasa lalu melangkah
mendekati Raksasa Kapak Maut. Mereka kini ber-
diri berhadapan dalam jarak sekitar delapan tom-
bak. Tempat mereka berada, memang cukup aneh.
Di belakang Raksasa Kapak Maut adalah hutan
belantara yang tanahnya tertutupi daun dan rant-
ing yang berserakan. Sementara sekitar satu tom-
bak di belakang Tuyul Bertenaga Raksasa terdiri
dari batu padas yang amat keras. Tampak lubang
sedalam betis, setiap kali kakek kecil kurus itu
melangkah! Padahal kakinya tidak menjejak sama
sekali.
"Ooo, kau ingin memamerkan julukan Tuyul
Bertenaga Raksasa rupanya," ejek Raksasa Kapak
Maut disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tertawa renyah.
Baginya tidak ada hal yang terlalu dipusingkan.
Sebab, setiap masalah selalu membuat hatinya
gembira. Sesuai dengan wataknya yang selalu ber-
gembira dalam menghadapi persoalan. Menurut-
nya, hidup di dunia ini hanya sebentar. Lantas bila
tidak diisi hal-hal yang menggembirakan, untuk
apa?
Begitu saling berhadapan dalam jarak seki-
tar satu tombak, baru terlihat perbedaan mencolok
antara Raksasa Kapak Maut dengan Tuyul Berte-
naga Raksasa.
Di hadapan Raksasa Kapak Maut, Tuyul
Bertenaga Raksasa terlihat begitu ringkih dan le-
mah. Yang jelas, bagaikan seekor ayam berdiri di
depan seekor gajah! Rasanya, hanya dengan ti-
upan pun Tuyul Bertenaga Raksasa akan roboh ke
tanah.
Kedua tokoh sakti ini telah saling berpan-
dangan, laksana sepasang dua ekor ayam jago
yang siap tarung. Sepasang mata mereka telah sal-
ing menyorot, sama-sama tajam dan menggiriskan.
Tapi sebelum saling gebrak, pendengaran
dua tokoh yang sama-sama luar biasa tajam itu
menangkap adanya gerakan langkah kaki yang
menuju ke tempat ini. Perhatian Raksasa Kapak
Maut langsung di arahkan ke depan. Sedangkan
Tuyul Bertenaga Raksasa berbalik arah. Pandan-
gannya langsung di layangkan ke belakang.
"Celaka...!" seru Raksasa Kapak Maut Sua-
ranya keras bercampur kaget dan geram. Sepasang
matanya mendelik pada Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Mengapa kau tinggalkan pos penjagaan
mu, Kerdil?! Tidakkah kau lihat ada orang yang
menuju ke tempat ini?! Bila Tuan Besar tahu, ma-
ka kau akan digencet! Sehingga kau jadi lebih kecil
dan kurus daripada sekarang!"
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terlihat pu-
cat-pasi. Sebentar saja, karena kakek kecil kurus
ini tahu-tahu tertawa. Tapi, nadanya jelas jauh
berbeda daripada sebelumnya. Kendati tertawa, si-
nar matanya menyiratkan ketakutan dan kecema-
san. Rupanya, ancaman Raksasa Kapak Maut
mempunyai pengaruh besar!
"Kurasa bukan hanya aku saja yang mene-
rima hukuman Tuan Besar! Kau pun juga akan
mendapat hukuman, Kerbau! Lihat dirimu! Kau
pun meninggalkan pos penjagaan mu. Jadi, kita
sama-sama bersalah! Bahkan aku yakin kesalahan
yang kau perbuat jauh lebih besar! Kaulah yang
lebih dulu meninggalkan pos penjagaan, hingga
aku terpengaruh. Toh, kupikir keadaan akan
aman-aman saja!" Tuyul Bertenaga Raksasa tak
mau kalah gertak. "Ha ha ha...!"
Raksasa Kapak Maut tertawa bergelak,
sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang.
Kelihatan gembira sekali.
"Kau mau mengakali ku, Kerdil?! Tak bisa!
Lihatlah perbedaan kita! Meskipun aku mening-
galkan pos penjagaan, namun tidak ke arah da-
lam. Sehingga bila ada orang yang masuk, akan
bertemu lebih dulu denganku! Sedangkan kau, ju-
stru sebaliknya. Dan sekarang ada orang yang
mampu melewati pos mu. Bahkan sekarang ham-
pir tiba di batas penjagaan ku!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tidak menyahuti.
Disadari kalau dirinya salah dan hanya ingin men-
gakali Raksasa Kapak Maut. Namun tak disangka,
lelaki bertubuh tinggi besar ini mampu balik me-
ngakalinya.
Maka tanpa banyak cakap lagi Tuyul Berte-
naga Raksasa melesat ke arah tempatnya menjaga.
Dan sebentar saja, dia sudah bertemu seseorang
tengah melewati pos penjagaan yang berupa dua
batu sebesar rumah yang diletakkan bersebelahan,
dengan celah selebar dua setengah tombak.
"Tahan langkahmu, Nona Cantik...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa langsung meng-
hadang sosok yang telah belasan tombak, melewati
pos yang dijaganya.
Sosok itu ternyata seorang gadis berpakaian
kuning cerah. Usianya sekitar dua puluh tahun.
Langkahnya terpaksa dihentikan, karena jalannya
terhalang. Gadis berwajah cantik dan berkulit pu-
tih mulus ini cemberut, menandakan ketidakse-
nangan hatinya.
Namun, sesaat kemudian, kemuraman ga-
dis itu sirna. Sepasang matanya bersinar-sinar.
Senyumnya tersungging, memperlihatkan lesung
pipit di kedua pipinya.
Tuyul Bertenaga Raksasa adalah orang yang
memiliki watak periang dan senang menggoda
orang. Dan sesuai pengalamannya, dia tahu kalau
gadis di hadapannya ini memiliki watak sama den-
gannya. Sinar mata gadis itu adalah sinar mata
orang yang gemar menggoda orang lain.
"Hey...! Siapa kau, Adik Kecil?! Mengapa be-
rada di sini?! Enak-enakan kau bermain di sini!
Tak tahukah, kalau sekarang orangtua mu sedang
gelisah mencarimu?! Lekas pulang!" seru gadis
berbaju kuning dengan sikap memarahi. Lagaknya
seperti orang dewasa tengah menasihati seorang
anak kecil yang nakal.
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa langsung
merah padam. Memang, meski pandai berdebat,
dia mempunyai kelemahan juga. Dia paling tidak
suka kalau kekurangannya diungkit-ungkit orang
lain.
Ejekan yang dianggap kelewatan itu mem-
buat Tuyul Bertenaga Raksasa berniat untuk
membalas. Sebagai tukang mengejek, lelaki tua
bertubuh kecil ini tentu saja tidak ingin mengalah
begitu saja! Akan jatuh nama besarnya sebagai ja-
go ejek!
"Memang kuakui, tubuhku seperti anak ke-
cil! Tapi menurutku, ini justru menguntungkan.
Karena, senantiasa aku terlihat awet muda. Dan
yang lebih penting, hampir tidak pernah terserang
penyakit Sedangkan kau, cantik-cantik tapi mem-
punyai penyakit bisul!"
Gadis berpakaian kuning tertawa mengejek.
"Kalau memang benar aku terkena penyakit
bisul, coba tunjukkan!" tantang gadis itu, dia yakin
Tuyul Bertenaga Raksasa hanya sekadar berbo-
hong.
"Ah...!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa, ber-
pura-pura kaget. "Semuda ini sudah pikun?! Bi-
sulmu rupanya sudah amat parah, Nona Cantik.
Karena telah demikian besar. Yang lebih gawat lagi
bisulnya ada dua! Aku tak habis pikir, mengapa
kau tak berusaha mengobatinya? Bahkan malah
disembunyikan. Kau pikir orang tidak tahu?"
"Kakek gila!" bentak gadis berpakaian kun-
ing tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Ru-
panya kendati suka menggoda orang lain, dia tidak
suka digoda. "Buktikan kebenaran mulutmu yang
busuk itu! Tunjukkan, di mana adanya bisul itu!"
"He he he...!"
Tawa kakek kecil kurus mulai terdengar la-
gi. Dia yakin, ejekan terakhirnya yang dilancarkan
telah memancing amarah gadis itu.
"Masihkah kau tidak bisa melihatnya, Nona
Cantik?! Itu yang menggantung di bagian dadamu
itu. Apa lagi kalau bukan bisul?!"
"Keparat!"
Gadis berpakaian kuning itu menggeram
marah. Ejekan tadi sudah cukup membuatnya
murka karena malu, tersinggung, dan marah. Dan
kini kakek itu masih menambahi dengan tudin-
gannya. Yang mengarah ke arah buah dada gadis
itu!
"Kuhancurkan mulutmu yang bau busuk itu!"
Disertai amarah menggelegak, gadis berpa-
kaian kuning itu melepaskan tendangan kaki ka-
nannya lurus ke arah mulut Tuyul Bertenaga Rak-
sasa. Namun, hanya menggeser kakinya ke bela-
kang, kakek itu telah berhasil mengelakkan seran-
gan.
"Eit! Sayang tak kena...! Kakimu kurang
panjang, Nona Cantik Berbisul Besar! Ha ha ha...!
Sekarang kau harus mengakui kelebihanku dalam
hal mengejek! Ha ha ha.... Tidak ada seorang pun
yang mampu menang bermain ejek-ejekan dengan
ku!" kata Tuyul Bertenaga Raksasa, pongah. "Am-
brol perutmu...!"
Kata-kata Tuyul Bertenaga Raksasa dijawab
gadis itu dengan serangan susulan lewat kaki ka-
nan ke arah perut. Namun, lagi-lagi hanya berge-
rak sembarangan, Tuyul Bertenaga Raksasa ber-
hasil menangkap pergelangan kaki gadis itu. Bah-
kan begitu disentakkan, tubuh gadis berpakaian
kuning terlempar jauh ke belakang!
Untung saja, gadis berpakaian kuning itu
cepat bersalto beberapa kali di udara. Begitu ka-
kinya menjejak tanah, diterjangnya Tuyul Bertena-
ga Raksasa kembali dengan tendangan berantai.
"Hukh... uh... ukh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa batuk-batuk sebe-
lum serangan gadis berpakaian kuning tiba. Tam-
paknya batuk yang berat, sampai-sampai tubuh-
nya terbungkuk-bungkuk.
Sementara saat itu, tendangan berantai ga-
dis berpakaian kuning tengah meluncur. Kepala
Tuyul Bertenaga Raksasa yang menunduk ke de-
pan akibat batuk hebat tampaknya akan menjadi
sasaran empuk.
Tapi, sebelum kepala Tuyul Bertenaga Rak-
sasa terhantam, gadis berpakaian kuning merasa-
kan ada getaran keras pada bagian dalam da-
danya! Getaran yang mampu membuat tubuhnya
lemas, karena tenaganya lenyap begitu saja! Bah-
kan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Tuyul Bertenaga Raksasa berdiri tegak se-
perti semula. Batuk hebat yang menyerangnya
berhenti. Batuk itu memang bukan batuk penya-
kit, melainkan batuk yang sengaja dibuat untuk
melancarkan serangan tenaga dalam.
Bagi orang sesakti Tuyul Bertenaga Raksa-
sa, batuk buatannya tak kalah geraman seekor ha-
rimau yang paling perkasa sekalipun! Padahal, ge-
raman harimau saja sudah cukup melumpuhkan
nyali manusia atau binatang mangsanya.
Di lain pihak, gadis berpakaian kuning jadi
geram. Tenaga dalamnya berusaha keras untuk
disalurkan kembali. Setelah berhasil, dia bersiap
melancarkan serangan.
Gadis yang memiliki watak keras hati ini
sama sekali tidak merasa takut, meskipun tahu
kalau kakek di hadapannya ini memiliki kepan-
daian yang luar biasa!
"Cukup, Nona Cantik!" seru Tuyul Bertena-
ga Raksasa penuh wibawa, tidak berguyon seperti
sebelumnya.
"Siapakah kau sebenarnya...? Apa maksud
mu datang kemari?! Apa hubunganmu dengan
Janggara, pemilik ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'?"
"Apa urusanmu?!" sambut gadis berpakaian
kuning, kasar tidak terlihat rasa takut sedikit pun.
"Tentu saja ada urusannya denganku, Nona
Cantik! jawab Tuyul Bertenaga Raksasa,
berkilah.
3
Tuyul Bertenaga Raksasa menatap wajah
gadis berpakaian kuning di hadapannya penuh se-
lidik. Sedikit pun tidak terlihat adanya senyum.
Apalagi bercanda.
"Pertama, kau telah lancang memasuki wi-
layahku. Maka aku berhak tahu maksud kedatan-
gan mu kemari. Kedua, kau menggunakan ilmu
Tendangan Angin Puyuh' untuk menyerangku.
Padahal, aku tahu pasti pemiliknya. Karena jan-
gan-jangan kau mencuri ilmu itu!"
Merah padam wajah gadis berpakaian kun-
ing itu.
"Apa boleh buat," desah gadis berpakaian
kuning itu. "Aku Anjani. Kedatanganku kemari
atas permintaan guruku. Dengan petunjuknyalah
aku bisa berada di tempat ini."
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terperan-
gah. Kelihatan tegang bukan kepalang.
"Berarti..., kau murid Janggara! Hanya dia
yang memiliki ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'. La-
lu, apakah kedatanganmu kemari ingin mencuri
pusaka lainnya dan tempat suci yang kami jaga,
seperti yang pernah dilakukan gurumu?!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Kerdil!"
bentak gadis berpakaian kuning yang mengaku
bernama Anjani, murid Janggara marah. "Guruku
tidak sejahat itu!"
"Ho ho ho...! Lucu.... Lucu sekali! Seorang
yang paling goblok pun tak akan mempercayai ka-
ta-katamu. Dengarkan baik-baik, Nona Manis Be-
rotak Udang?! Dulu gurumu tengah sekarat, ketika
ditemukan Tuan Besar kami. Kemudian dia dira-
wat sampai sembuh. Malah juga diajarkan ilmu si-
lat. Namun sebagai balasannya.... apa yang kau
tahu, Anak Manis?!"
"Aku tahu," Anjani mengangguk. "Beliau te-
lah menceritakan semuanya padaku. Waktu kabur
dari tempat ini, beliau mencuri sebuah pusaka.
Sebuah guci perak murni luar biasa, yang mampu
membuat arak yang paling lemah, menjadi arak
keras. Bahkan mampu membuat arak ataupun air
yang berada di dalamnya, menjadi penawar racun
yang ampuh!"
"Nah! Kau tahu sendiri kebusukan gurumu!
Namun, masih tak senang, kalau kukatakan dia
jahat! Bagaimana ini?!" Tuyul Bertenaga Raksasa
heran.
"Karena tuduhan jelek mu, atas niat baik-
nya. Kedatanganku kemari dengan susah payah
sekadar untuk memenuhi amanat guruku! Beliau
memintaku untuk mengembalikan kitab-kitab
yang pernah dicurinya, dari tempat ini. Dan seka-
ligus, akan memberitahukan tempat guci pusaka
itu berada," jelas Anjani penuh semangat.
Tuyul Bertenaga Raksasa mengangguk-
anggukkan kepalanya setelah tercenung sejenak.
"Aku tak bisa memberi keputusan. Lebih
baik sampaikan sendiri pada Tuan Besar. Silakan,
kau berjalan lurus. Nanti Raksasa Jelek yang ada
di sana, akan mengantarmu sampai menemui
Tuan Besar," jelas Tuyul Bertenaga Raksasa.
Dengan sikap gagah, Anjani melangkah me-
nuju tempat Raksasa Kapak Maut berada. Gadis
cantik ini sadar, dirinya telah masuk ke tempat
yang berbahaya. Tempat yang dijaga manusia ker-
dil berjuluk Tuyul Bertenaga Raksasa saja sudah
menjalani kesulitan. Apalagi harus menghadapi le-
laki yang berjuluk Raksasa Kapak Maut. Pikiran-
pikiran mengerikan, mendadak menghantui hati
Anjani.
Namun, gadis berpakaian kuning yakin,
bahwa Janggara gurunya tidak akan bertindak
sembrono. Tentu dia telah memperhitungkan sega-
la kemungkinan yang muncul.
"Celaka...!"
Satu seruan kaget, mendadak meluncur da-
ri mulut seorang kakek tinggi kurus berwajah ti-
rus, ketika melihat permukaan air berada dalam
sebuah bak kayu, bergelombang keras. Daun sirih
di atasnya tampak terombang-ambing. Padahal, ti-
dak ada seorang pun yang mengguncang-
guncangkannya. Permukaan air yang bergolak he-
bat itu terjadi dengan sendirinya, seperti diaduk-
aduk tangan tak nampak!
"Anjani.... Apa yang terjadi padamu,
Nak...?!"
Kakek berwajah tirus berusia enam puluh
tahun ini bergegas bangkit dengan sikap gelisah.
Pakaian longgarnya berwarna coklat diketatkan la-
gi dengan mengencangkan sabuknya. Tindakan itu
dilakukannya dengan pandangan masih tertuju
pada bak kayu yang airnya semakin bergolak.
Kemudian, kakek ini bergegas melangkah
keluar. Hanya sekali ayunan kaki, dia telah berada
di luar halaman gubuknya. Sebuah gubuk yang le-
taknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon besar
di sekelilingnya.
Kakek ini menatap ke arah gubuknya. Ke-
mudian tubuhnya berbalik bersiap meninggalkan
tempat itu. Namun, mendadak maksudnya di-
urungkan. Sebab, pendengarannya yang tajam
menangkap suara mencurigakan. Segera saja pan-
dangannya beredar ke sekeliling. Kini, pandangan-
nya terpatri pada jajaran pohon dan semak-semak
rimbun di depannya.
"Kalian yang berada di persembunyian, ha-
rap keluar! Kalau ada urusan denganku, mari kita
selesaikan! Sebab aku sedang ada urusan lain!"
bentak kakek itu lantang.
Tak lama kemudian, semak-semak di seki-
tarnya terkuak, diiringi bunyi gemerasak. Dan dari
sekeliling tempat itu, muncul beberapa sosok den-
gan sikap mengancam! Di tangan masing-masing
tampak tergenggam senjata terhunus.
"Setelah bertahun-tahun, akhirnya persem-
bunyian mu dapat kami temukan juga, Janggara!"
seru seorang lelaki berkepala botak yang muncul
dari sebelah kiri. Wajahnya bercambang bauk le-
bat. Sepasang gada berduri yang tergenggam di
tangannya diayun-ayunkan secara menggiriskan.
"Kami datang ingin membuat perhitungan.
Karena, kau telah membunuh sahabatku yang ber-
juluk Banteng Gila!" sambung seorang lelaki ber-
tubuh kurus seperti singa kelaparan. Dia muncul
dari depan. Ganco di tangan kanannya, dituding-
kan ke wajah kakek berwajah tirus yang ternyata
bernama Janggara.
"Demikian pula denganku, Janggara," selak
seorang yang bertubuh pendek kekar dengan rom-
pi merah. Kulitnya pun merah. Sekujur tubuhnya
dipenuhi bulu-bulu halus. Dia muncul dari sebe-
lah kanan. Senjata cluritnya diacung-acungkan.
Tatapan Janggara beralih pada lelaki be-
rompi merah.
"Kurasa kau masih ingat padaku. Saudara-
ku mati di tanganmu, Janggara!" tambah lelaki
bersenjata clurit ini.
Janggara tetap tenang. Dia tidak bergeming
dari tempatnya, kendati tiga orang sangar itu
mendekatinya. Dan memang sudah mengenal to-
koh berompi merah yang terakhir bicara. Dia ada-
lah Singa Berbulu Merah. Sedangkan saudaranya
yang tewas di tangan Janggara berjuluk Singa
Berbulu Putih.
"Aku memaklumi alasan kalian mencariku.
Percayalah, aku tidak akan menghindar. Tapi se-
perti yang kukatakan tadi, saat ini aku sedang ada
urusan lain yang lebih penting. Jadi kuminta pen-
gertian kalian untuk menunda masalah ini, sam-
pai urusanku selesai!" ujar Janggara.
"Ha ha ha...!"
Lelaki botak bersenjata sepasang gada yang
sebenarnya berjuluk Setan Botak, tertawa berge-
lak. Nadanya terdengar menghina sekali.
"Kau kira kami ini sekumpulan bocah bo-
doh, yang begitu saja dapat dikelabui? Aku tahu.
Urusan yang kau maksudkan itu tentu untuk me-
loloskan diri lagi dari kejaran kami!" ejek Setan Bo-
tak.
"Lucunya lagi," sambung lelaki bersenjata
ganco yang berjuluk Pengais Nyawa! Suaranya me-
ringkik, seperti kuda. "Dia meminta pengertian ki-
ta. Padahal sewaktu membunuh sahabatku, Ban-
teng Gila, tidak pernah meminta pengertian terle-
bih dulu. Dasar licik!"
"Kurasa ada baiknya, kita dengar dulu apa
kemauannya. Aku ingin tahu, akal bulus apa lagi
yang akan digunakan untuk meloloskan diri dari
tangan kita," usul Singa Berbulu Merah.
"Aku tidak bermaksud licik dengan melari-
kan diri dari kalian. Urusan yang ku maksud ada-
lah mengenai muridku. Saat ini, dia tengah dalam
bahaya. Kalau aku tidak cepat menolongnya,
mungkin akan mati. Maka kuminta kalian mem-
biarkanku pergi untuk menyelamatkan nyawanya.
Percayalah! Setelah itu, aku bersedia menerima
semua hukuman dari kalian tanpa melawan sedi-
kit pun. Anggap saja, ini balas budi atas kebaikan
kalian yang mau memenuhi permintaanku!"
"Apa urusannya dengan kami...?!" selak Se-
tan Botak tak sabaran. "Mau muridmu itu mati,
kek. Celaka, kek! Tidak ada hubungannya dengan
kami! Bahkan kalau perlu, sebelum membunuh-
mu, muridmu dulu yang akan kami siksa! Biar ta-
hu rasa, sakitnya hati akibat kehilangan orang
yang dicintai karena dibunuh orang!"
"Kalau begitu..., kalian lebih dulu yang akan
kusingkirkan!"
Janggara sadar, tidak ada gunanya lagi ber-
bicara panjang lebar dengan tokoh-tokoh sesat ini.
Dan dia tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Maka dengan lompatan yang sempurna, tubuhnya
melesat menerjang lelaki berjuluk Pengais Nyawa!
Sementara, sejak tadi lelaki kurus kering itu
rupanya telah bersiap diri. Datangnya serangan ini
tidak membuatnya gugup. Matanya sempat meli-
hat sekelebatan sinar menyilaukan dari golok pan-
jang di tangan Janggara, yang membabat ke arah
leher. Maka, segera ganconya diangkat untuk me-
nangkis sekaligus membelit Wut..! Trak!
Tubuh Pengais Nyawa terjajar beberapa
langkah ke belakang, karena kuatnya tenaga da-
lam Janggara. Kendati demikian, golok kakek ber-
wajah tirus itu berhasil dijepit ganconya.
Janggara tidak sudi membiarkan senjatanya
terjepit. Maka segera dilancarkan serangan susu-
lan berupa tendangan kaki kanan ke arah dada,
sehingga memaksa Pengais Nyawa membebaskan
jepitannya.
Deb!
Pengais Nyawa cepat melompat ke belakang,
langsung melepaskan jepitannya.
Dan sebelum Janggara sempat melancarkan
serangannya lagi, Setan Botak dan Singa Berbulu
Merah tidak tinggal diam. Mereka tahu,
Janggara terlalu kuat jika dihadapi seorang diri.
Maka hampir berbareng, kedua tokoh sesat itu
mengeroyok. "Hiyaaa...!"
Serbuan ini memaksa Janggara untuk
membatalkan serangan terhadap Pengais Nyawa.
Sesaat kemudian, dia sudah sibuk meladeni pen-
geroyokan tiga orang tokoh sesat ini.
Janggara memang luar biasa! Meskipun pa-
ra pengeroyok berkepandaian tinggi, namun mam-
pu dihadapinya seorang diri. Bahkan sempat me-
lancarkan serangan batasan yang tak kalah dah-
syat!
Setelah tiga puluh jurus kemudian, Jangga-
ra baru mulai terdesak. Sinar goloknya yang semu-
la bergulung membentuk lingkaran sinar yang le-
bar, mulai menyempit Serangan-serangannya yang
semula gencar semakin berkurang. Hanya menge-
lak dan menangkis yang dapat dilakukannya.
Janggara sadar kalau keadaan seperti ini
dibiarkan, tidak menutup kemungkinan dia akan
kalah. Bahkan akan tewas di tangan lawan-
lawannya. Bila hal ini terjadi, berarti keselamatan
Anjani terancam. Maka, ketika ada kesempatan,
kakek berwajah tirus ini melompat ke belakang
menyelamatkan diri.
Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa
Berbulu Merah yang merasa berada -di atas angin,
tidak ingin kehilangan mangsanya. Saat itu juga
mereka mengejar Janggara.
Sementara, kakek berwajah tirus itu sudah
memperhitungkannya. Maka, begitu kedua ka-
kinya menjejak tanah, seluruh tenaga dalamnya
dikumpulkan. Dan seketika itu pula gerengan ke-
ras seperti harimau menggeram!
"Hhhmrrr....!"
Mendadak, tubuh tiga tokoh sesat yang ten-
gah meluruk ke arah Janggara jatuh di tanah.
Bahkan tenaga dalam mereka mendadak lenyap!
Gerengan Janggara membuat sekujur tubuh me-
reka lemas!
Melihat ke tiga lawannya tampak kepaya-
han, Janggara segera mengeluarkan lengkingan
tinggi mengandung tenaga dalam sempurna. Begi-
tu dahsyat, hingga waktu Janggara mencoba pada
sebuah batu sebesar kerbau, langsung hancur be-
rantakan! Dan kali ini, Janggara menunjukkan
lengkingannya pada tiga lawannya.
Setan Botak, Pengais Nyawa, Singa Berbulu
Merah sadar bahwa lengkingan Janggara akan da-
pat menghancurkan isi dada. Buktinya, sekarang
telinga mereka terasa sakit bukan kepalang, ba-
gaikan ditusuk-tusuk pisau amat tajam. Jantung
mereka pun perih seperti teriris.
Bagai seperti diberi aba-aba, ketiga tokoh
sesat ini segera bergerak saling mendekat Kemu-
dian mereka duduk bersila, berderet ke belakang.
Setan Botak di depan, Singa Berbulu Merah di
tengah, dan Pengais Nyawa paling belakang. Dua
orang yang berada di belakang menempelkan ke-
dua telapak tangan pada orang di depannya. Me-
mang, baik Pengais Nyawa maupun Singa Berbulu
Merah tengah menyalurkan tenaga dalam pada Se-
tan Botak!
Sementara dari Setan Botak yang berada
paling depan, tenaga dalam yang disalurkan kedua
tokoh itu di belakangnya dikeluarkan lewat satu
lengkingan tinggi. Bersamaan dengan itu Janggara
pun telah menyiapkan tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
"Eyaaa...!"
Dua jenis lengkingan tinggi yang merupa-
kan tangan-tangan maut saling adu kuat satu sa-
ma lain.
Untuk kedua kalinya, setelah saling menga-
du tenaga dalam lewat suara, Janggara harus
mengakui keunggulan pihak tiga lawannya. Ga-
bungan tenaga dalam mereka terlalu kuat untuk
ditandingi. Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Wa-
jahnya di banjiri peluh sebesar biji jagung. Dari
ubun-ubunnya tampak uap putih mengepul, per-
tanda telah mengeluarkan tenaga dalam yang me-
lewati batas.
Di saat-saat menegangkan seperti ini, tiba-
tiba terdengar bunyi mendesau. Rupanya beberapa
tombak dari tempat pertarungan ganjil ini telah
hadir seorang pemuda berpakaian ungu yang ten-
gah menyapu tanah dengan ranting berdaun lebat
Gesekan yang ditimbulkan itulah yang menimbul-
kan bunyi mendesau.
Seperti tidak tahu kalau tengah terjadi per-
tarungan tingkat tinggi, pemuda ini terus saja me-
nyapu tanah dengan sapunya yang sederhana.
Bunyi desau itu ternyata mengandung tena-
ga dalam tinggi, sehingga tampaknya berpengaruh
dalam menekan lengkingan ketiga tokoh sesat itu.
Sementara keadaan Janggara tidak mengkhawa-
tirkan lagi. Kepulan uap putih di atas kepalanya
semakin menipis, sebagai pertanda kalau kea-
daannya semakin membaik.
Sebaliknya, Setan Botak, Pengais Nyawa,
dan Singa Berbulu Merah tampak kepayahan. Wa-
jah mereka penuh peluh sebesar biji jagung. Uap
putih yang mengepul dari atas kepala mereka se-
makin menebal. Kelihatan mereka sudah tidak
kuat lagi menahan serangan yang datang. Dan ak-
hirnya. ..
"Huakh...!"
Dalam keadaan duduk bersila, hampir ber-
barengan dari mulut Setan Botak, Pengais Nyawa,
dan Singa Berbulu Merah, keluar muntahan darah
segar! Tubuh mereka seperti terlipat ke depan. Se-
ketika pertarungan yang seru usai!
"Kali ini, kami mengaku kalah, Janggara!
Namun suatu saat, kami akan datang lagi mem-
buat perhitungan denganmu!"
Dengan terbata-bata karena luka dalam
yang diderita, Setan Botak mewakili kawan-
kawannya menantang Janggara. Lalu, tanpa me-
nunggu jawaban Janggara, mereka melangkah ter-
tatih-tatih meninggalkan tempat itu. Namun sebe-
lumnya mereka sempat memperhatikan pemuda
berpakaian ungu yang telah berhenti menyapu.
Sorot mata Setan Botak, Pengais Nyawa,
dan Singa Berbulu Merah, menyiratkan sakit hati
yang mendalam. Sebagai tokoh golongan sesat
tingkat tinggi, mereka tahu kalau pemuda berpa-
kaian ungu telah membantu Janggara. Sebab ka-
lau tidak, Janggara tentu berhasil dibinasakan!
Sementara Janggara juga merasa sangat le-
lah setelah pertarungan yang menguras tenaga da-
lam itu. Dia hanya menatap kepergian ke tiga la-
wannya dan tanpa sedikit pun berniat mengejar-
nya. Kakek berwajah tirus ini yakin, ketiga tokoh
sesat itu tak akan selamat dari maut, karena luka
dalam yang diderita terlalu parah.
Kini Janggara mengalihkan perhatian pada
pemuda berpakaian ungu yang masih berdiri sam-
bil memegang sapu sederhananya. Dia tahu, nya-
wanya telah diselamatkan pemuda itu. Maka, den-
gan senyum penuh rasa terima kasih, dihampi-
rinya pemuda berpakaian ungu itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda," ucap Janggara, sambil merangkapkan ke-
dua tangannya di depan dada.
Dalam hati, kakek ini terkejut. Ternyata
orang yang menolongnya masih muda. Semula, dia
mengira seorang kakek. Terutama menilik kepan-
daian dan rambutnya yang putih! Untungnya
sambil menghampiri tadi, Janggara sempat mem-
perhatikan wajah sosok berpakaian ungu itu.
"Kalau tidak ada pertolonganmu, mungkin
dua buah nyawa telah melayang," lanjut Janggara.
Pemuda berpakaian ungu berambut putih
keperakan dan panjang terurai hingga ke pung-
gung, hanya tersenyum lebar sambil mengangguk-
kan kepalanya.
"Lupakanlah, Kek. Bukankah sudah kewaji-
ban kita sebagai manusia untuk saling tolong-
menolong. Apalagi, aku sudah lama mendengar
kekejaman sepak terjang tokoh berjuluk Pengais
Nyawa dan Singa Berbulu Merah. Jadi, tindakanku
ini ku anggap sebagai usaha menentang keangka-
ramurkaan. Aku yakin, setiap orang yang dimusu-
hi tokoh sesat seperti mereka, kemungkinan besar
berdiri di jalan yang lurus. Makanya, aku tidak se-
gan-segan lagi untuk membantumu. Apalagi kuli-
hat tadi kau agak terdesak. Maaf, bukannya mak-
sudku merendahkan kemampuanmu, Kek. O ya.
Tadi kau katakan, aku telah menyelamatkan dua
nyawa? Padahal, kenyataannya hanya ada kau sa-
ja Kek? Lantas, yang satu lagi nyawa siapa?"
"Begini, Anak Muda. Sebelum aku berta-
rung dengan tiga tokoh sesat tadi, aku tengah be-
rusaha menolong muridku yang terancam bahaya.
Bahkan kemungkinan akan tewas, kalau tidak se-
gera ditolong. Lantas, kau menyelamatkan aku.
Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan
dua nyawa?!" jelas Janggara. "Ah! Hampir lupa.
Namaku Janggara. Sedangkan muridku bernama
Anjani. Memang, aku dulu..., yahhh... seperti kau-
lah, Anak Muda. Suka ikut campur bila melihat
ada tindak kejahatan di hadapan mata. Dan kebe-
tulan, sebagian dari tokoh sesat yang tewas di tan-
ganku adalah kawan-kawan mereka. Jadi, mereka
datang untuk membalas dendam."
"Aku Aiya, Kek. Arya Buana," kata pemuda
berambut putih keperakan itu balas memperke-
nalkan diri.
"Aiya Buana. Hm.... Sebuah nama yang ba-
gus. Kalau tidak mempunyai keperluan penting,
ingin rasanya kita bisa berbincang panjang lebar
denganmu, Aiya. Namun, sayang sekali...."
"Oh..., tak mengapa, Kek. Aku bisa menger-
ti. Dan kalau kau setuju, aku bersedia memban-
tumu. Maaf, bukannya ingin menyombongkan ke-
pandaianku. Tapi...," kata pemuda yang tak lain
memang Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aku mengerti, Aiya. Tapi, kurasa saat ini
aku mampu melakukannya sendiri. Mungkin kelak
bila tak sanggup, aku akan meminta bantuanmu.
Aku tak ingin merepotkan mu," tolak Janggara,
halus.
"Kalau begitu, selamat tinggal, Kek. Kudoa-
kan kau berhasil. Juga muridmu kembali dengan
selamat," harap Aiya, sambil melangkah pergi.
"Terima kasih atas bantuan doamu, Aiya.
Selamat jalan, pula!" sambut Janggara.
Kakek ini tidak langsung melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Ditatapnya Aiya Buana
alias Dewa Arak!
Janggara kontan terperangah ketika melihat
guci arak yang menggantung di punggung Aiya.
Tadi, benda itu tidak kelihatan. Karena, pemuda
itu berdiri berhadapan dengannya.
Janggara ingin berseru memanggil Arya,
namun ditahannya. Dia hanya menatap tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu hingga hi-
lang dari pandangannya.
Kemudian setelah menghela napas berat,
Janggara berbalik dan melesat meninggalkan tem-
pat itu untuk menolong Anjani, muridnya!
4
Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima tahun, melangkah tenang menghampiri seke-
lompok bangunan yang terkurung pagar tembok
tinggi. Pintu gerbangnya terlihat kokoh kuat, kare-
na terbuat dari kayu tebal. Dan di atasnya, tertulis
huruf-huruf tebal dan jelas pada selembar papan
tebal dan lebar berukir. Papan itu bertuliskan Per-
guruan Golok Malaikat!
Pemuda bertubuh tegap terbungkus pa-
kaian coklat ini tersenyum mengejek. Bahkan
membuang ludah dengan sikap menghina sekali,
ketika melihat papan nama perguruan itu.
"Rupanya tua bangka itu mengalami kema-
juan pesat! Makmur tampaknya, sehingga pergu-
ruannya yang dulu kecil sekarang telah menjadi
demikian mewah! Tapi tunggu sebentar lagi, Tua
Bangka! Aku, Samukti! Akan membuat semua
hancur berantakan!" ancam pemuda berpakaian
coklat ini.
Dengan wajah beringas, pemuda bernama
Samukti melangkah lebar menghampiri daun pin-
tu gerbang yang tertutup rapat. Sesampainya di
depan pintu, Samukti segera menempelkan salah
satu telapak tangannya. Tampak sembarangan sa-
ja, seperti layaknya orang yang bersandar dengan
satu tangan. Tapi mendadak.... Krakkk...!
Terdengar bunyi berderak keras, ketika pa-
lang pintu gerbang yang terbuat dari balok kayu
tebal dan berat patah! Seketika, daun pintu ger-
bang itu pun terpental ke kakan-kiri. Tampak ha-
laman luas dari kelompok bangunan membentang
di depan mata.
Bunyi yang cukup keras tadi, membuat be-
lasan pemuda bertelanjang dada yang tengah ber-
latih, mengalihkan pandangan ke arah pintu ger-
bang. Kebetulan, mereka menghadap ke sana.
Tidak demikian halnya seorang lelaki beru-
sia tiga puluh tahun yang menjadi pengajar bela-
san anak muda itu. Pengajar dengan wajah dihiasi
cambang bauk lebat itu berdiri membelakangi pin-
tu gerbang, menghadap ke arah belasan pemuda
asuhannya. Dan dia segera membalikkan tubuh,
untuk melihat penyebab bunyi gaduh tadi.
Pemuda bercambang lebat itu menger-
nyitkan alis. Hatinya dongkol melihat daun pintu
gerbang telah ambruk. Dan pandangannya lang-
sung terpatri pada Samukti yang melangkah te-
nang, menuju salah satu bangunan perguruan.
Sikapnya layaknya orang yang tidak bersalah sedi-
kit pun.
Pemuda bercambang lebat itu sebenarnya
murid kepala perguruan ini. Namanya, Badra. Se-
gera disadari kalau kedatangan pemuda berpa-
kaian coklat ini tidak dengan maksud baik. Maka
setelah memberi isyarat pada adik-adik sepergu-
ruannya untuk meneruskan latihan, Badra meng-
hampiri Samukti.
Bila Badra memusatkan perhatian ke arah
pemuda berpakaian coklat ini, maka lain halnya
Samukti. Kakinya terus melangkah tanpa mempe-
dulikan murid kepala Perguruan Golok Malaikat
yang menuju ke arahnya.
Karena masing-masing tidak mau menying-
kir dari jalannya, tubrukan antara mereka tidak
mungkin bisa dihindari lagi. Apalagi karena jarak
keduanya tak lebih dari dua tombak lagi.
Namun, ketika jarak tinggal satu tombak la-
gi, ada kekuatan tak nampak yang menyeruak.
Sehingga, memaksa Badra untuk menyingkir dari
jalan yang ditempuh Samukti. Kekuatan dahsyat
yang membuat tubuhnya tertolak ke samping. Pa-
dahal, Samukti tidak melakukan gerakan apa pun!
Kecuali, melangkahkan kaki.
Tanpa menghiraukan pemuda bercambang
lebat yang tertegun bingung, Samukti terus saja
melangkah dengan sikap tak peduli. Arah yang di-
tuju adalah bangunan paling besar, tempat tinggal
Ketua Perguruan Golok Malaikat.
Ketika Samukti telah melaluinya sejauh sa-
tu tombak, Badra baru bisa menguasai diri.
"Tunggu!"
Disertai teriakannya, Badra melompat dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menghadang
Samukti. Tapi, ketika kedua kakinya telah menje-
jak tanah, dia hanya bisa melongo!
Badra ternyata tidak mendarat di depan
Samukti. Maka dengan hati kaget campur heran,
kepalanya cepat menoleh ke belakang. Tampak
Samukti tengah melangkah seenaknya seperti se-
mula, manis dalam jarak satu tombak darinya!
Badra bingung. Padahal, semula diyakini
betul kalau akan menjejak tanah di hadapan pe-
muda berpakaian coklat. Lompatannya berjarak ti-
ga tombak dari tempatnya semula berdiri. Dan se-
harusnya, mendaratnya dua tombak di depan pe-
muda itu. Tapi, mengapa jarak antara mereka te-
tap tidak berubah?! Apakah dia salah mengukur
jarak?! Tidak mungkin! Ataukah, diam-diam pe-
muda berpakaian coklat itu ikut melesat untuk
melaluinya?! Tapi, mengapa gerakannya tidak ter-
lihat.
Sementara itu Samukti tetap bersikap tak
peduli seperti sebelumnya. Dia seperti tidak tahu
kalau tindakannya membuat murid kepala Pergu-
ruan Golok Malaikat kebingungan!
Sebenarnya murid-murid Perguruan Golok
Malaikat lainnya melihat kejadian itu, walau tidak
terlalu jelas. Tadi sebelum Badra menjejak tanah,
tubuh Samukti telah berada beberapa tombak di
depan hanya sekali langkah. Tidak begitu jelas,
apakah pemuda itu melesat atau berlari! "Tunggu,
Pengecut!"
Terdengar bentakan keras menggelegar,
membuat Samukti menghentikan langkahnya. Ke-
sempatan itu dipergunakan Badra untuk bersalto
kembali. Dan kali ini, dia berhasil menghadang di
depan Samukti.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet! Semula
aku tidak ingin mencari keributan dengan cecun-
guk sepertimu! Tapi karena telah menghinaku, kau
pun akan mendapat bagiannya! Cuh! Cuh! Cuh!"
Samukti tiga kali meludah, melepaskan tiga
gumpal cairan kental yang mengeluarkan bunyi
berdesing nyaring. Arah yang dituju adalah kening,
leher, dan dada Badra.
Murid kepala Perguruan Golok Malaikat ta-
hu, semburan ludah itu tidak bisa dipandang rin-
gan. Cepat bagai kilat, dia melompat ke belakang
sambil mencabut golok.
"Hup!
Srang!
Begitu golok tercabut, Badra cepat mengi-
baskannya, memapak luncuran cairan kental dari
mulut Samukti.
Trang! Trang!
Ketika gumpalan-gumpalan ludah itu ber-
temu batang golok, terdengar bunyi berdentang
beberapa kali.
Badra terkejut bukan kepalang, ketika me-
rasakan tangannya tergetar hebat Wajahnya pias,
ketika melihat goloknya berlubang di tiga tempat!
Akibat terkena gumpalan ludah yang disemburkan
Samukti.
"Kaget, Monyet?!" ejek Samukti tersenyum
sinis. "Itu hanya sekadar perkenalan saja. Kini te-
rimalah ludahku yang akan mengirim nyawamu ke
neraka!"
"Cuh!"
Samukti kembali meludah, melepaskan cai-
ran kental yang meluncur ke arah pemuda ber-
cambang lebat itu. Dan tentu saja, Badra tidak in-
gin mengulangi peristiwa serupa. Maka segera dia
melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali
di udara.
Tapi, ketika Badra menjejakkan kakinya di
tanah, ternyata cairan menjijikkan itu masih men-
gejarnya! Berbeda dengan sebelumnya, gumpalan
ludah itu meluncur tanpa bunyi sama sekali!
Pemuda bercambang lebat kaget bercampur
heran. Menurut perkiraannya, ludah itu telah ke-
habisan daya luncur. Namun kenyataannya, ludah
itu masih meluncur cepat laksana anak panah
yang bam saja dijepretkan.
Perasaan heran dan ingin tahu membuat
Badra melempar tubuhnya ke samping, langsung
bergulingan ke tanah. Namun, ketika bangkit
kembali, ludah itu masih mengejarnya!
Sekarang, murid kepala Perguruan Golok
Malaikat ini pun tahu kalau serangan itu berbeda
dengan serangan pada umumnya. Ludah itu seper-
ti hidup! Bagaikan bermata, ludah itu terus mem-
buru ke mana saja Badra mengelak.
Badra kehilangan akal, bagaimana caranya
meloloskan diri dari serangan ludah yang terus
memburunya. Maka dengan tekad baja dia ber-
diam diri menanti. Dan ketika ludah itu meluncur
dekat, disambutnya dengan babatan golok.
Wusss!
Kembali Badra terperanjat, begitu babatan
goloknya hanya mengenai angin. Bagaikan hidup
ludah itu bisa mengelak. Masih terbengong, pemu-
da bercambang bauk ini belum menyadari bahaya
mengancam. Gumpalan ludah yang tadi mengelak,
terus berputaran kemudian terus melesat meng-
hantam dahi Badra hingga tembus ke belakang
kepala.
Crok!
"Aaa...!"
Darah bercampur otak menyembur, diba-
rengi teriakan menyayat hati dari mulut Badra.
Tubuhnya ambruk, dan nyawanya melayang saat
itu juga!
Tewasnya Badra, membuat belasan orang
murid Perguruan Golok Malaikat tersadar dari rasa
terpukaunya. Sejak tadi, mereka seperti terkena
sihir. Bengong, memperhatikan tingkah pengejar
mereka dan gumpalan ludah yang terus-menerus
mengejar.
Kesadaran yang timbul menyebabkan ke-
marahan hebat. Bagai diberi perintah, mereka ber-
gerak menyerbu. Golok-golok berkelebat ke arah
berbagai bagian tubuh Samukti.
Sementara, Samukti tetap diam di tempat
dengan sikap tenang! Baru ketika mata-mata golok
nyaris menyentuh tubuh, Samukti bersin.
"Haaashiii...!"
Keras suara Samukti. Akibatnya, serangan
golok-golok yang siap mencincang tubuhnya jatuh
ke tanah. Saat itu juga para pengeroyok merasa-
kan sekujur tubuh mereka lemas. Bunyi bersin
Samukti membuat tenaga mereka terasa lenyap
begitu saja. Bahkan seluruh urat mereka terasa
lumpuh!
Samukti tertawa mengejek. Dan saat itu ju-
ga, kedua tangannya dikibaskan bagaikan orang
mengusir nyamuk. Hebatnya tubuh murid-murid
Perguruan Golok Malaikat, berpentalan tak tentu
arah bagaikan daun-daun kering diterbangkan an-
gin keras.
"Setan! Siapa yang telah berani mengacau
Perguruan Golok Malaikat?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari
belakang, begitu Samukti menyelesaikan sepak
terjangnya. Pemuda itu segera berbalik. Dan sepa-
sang matanya langsung terbelalak, seperti melihat
hantu di tengah hari bolong.
Ketika sama-sama menatap, sosok yang
mengeluarkan bentakan terperanjat. Bahkan sam-
pai melangkah mundur. Raut wajahnya menun-
jukkan keterkejutannya yang tidak bisa disembu-
nyikan.
"Kau..., kau..., Samukti...?!" tanya sosok
yang ternyata gadis berpakaian biru. Tangannya
yang berjari lentik serta halus ditudingkan ke de-
pan.
Samukti tersenyum lebar, setelah berhasil
meredam rasa kagetnya.
"Syukurlah kalau kau masih ingat padaku.
Bukankah kau, Sunti Ranti?! Tak kusangka, kau
masih seperti dulu. Cantik manis. Bahkan jauh le-
bih cantik."
Gadis bernama Sunti Rani berwajah cantik
manis dengan bentuk tubuh menantang. Wajah-
nya memerah seketika mendengar pujian yang je-
las mengandung kekurangajaran itu.
"Mau apa kau kemari, Samukti?! Kini, kau
bukan murid Perguruan Golok Malaikat lagi?! In-
gat! Ayah telah mengusirmu dan tidak mengakui-
mu sebagai murid! Atau kedatanganmu hendak
minta dihajar?!, Biar aku saja yang mewakili Ayah
untuk memberi pelajaran padamu!"
"Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak. Sikapnya terlihat
merendahkan sekali. Sementara sepasang ma-
tanya yang nakal menatap penuh minat sekujur
tubuh dan wajah Sunti Rani.
"Kau keliru, Sunti! Aku datang bukan ingin
kembali menjadi murid di sini. Aku tak mengang-
gap Perguruan Golok Malaikat sebagai pergurua-
nku lagi. Bahkan kuanggap sebagai musuh! Begitu
pula dengan ayahmu yang kejam itu!"
"Ayah tidak kejam! Justru kaulah yang ma-
nusia tak tahu budi. Hampir tujuh tahun kau di-
didik, namun kepandaianmu dipergunakan untuk
mencoreng muka Ayah dengan perbuatan nistamu!
Dan kalau Ayah tidak keburu datang, anak pera-
wan orang sudah kau garap habis-habisan!"
"Apa salahnya, Sunti?!" kilah Samukti. "Se-
harusnya Ayahmu membelaku. Bayangkan, aku
mengutarakan cinta dan kekagumanku secara
baik-baik, tapi gadis liar justru mencaci makiku!
Siapa yang tidak kalap?! Untuk membalas sakit
hatiku, ku perkosa saja dia! Sayang, Ayahmu yang
tak tahu diri itu mencegahku!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Samukti!
Manusia bejat sepertimu seharusnya berterima
kasih telah tercegah dari perbuatan keji! Kau be-
nar-benar orang yang berwatak kotor! Kalau kau
berbuat sopan dan tak mengajak yang tidak-tidak,
kurasa gadis itu tak akan marah!"
"Sudahlah, Sunti. Lupakan saja masalah
itu! Aku tak begitu minat dengan gadis terkutuk
itu. Keberadaanmu di sini membuat mata hatiku
tak tertarik lagi dengan gadis-gadis lain yang ba-
henol sekalipun. Ketika kulihat wajah dan bentuk
tubuhmu, sudah bisa ku perkirakan betapa nik-
matnya bermain cinta denganmu, Sunti. Dan...,"
Samukti makin ngawur.
"Tutup mulutmu yang kotor, Samukti!"
Sunti Ranti yang sudah tidak bisa menahan
kesabarannya lagi langsung melompat menerjang
Samukti. Tangan kanannya dihantamkan ke arah
kepala pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi tanpa menggeser tubuhnya sedikit
pun, Samukti mengibaskan tangannya, menangkis
serangan.
Plak!
"Aaakh!"
Sunti Ranti memekik tertahan, ketika tan-
gannya berbenturan dengan tangan Samukti. Ke-
mudian dengan sekali sentak Samukti telah mem-
buat tubuh Sunti Ranti terhuyung ke depan. Dan
kesempatan itu digunakan Samukti untuk meno-
tok.
Tuk! Tuk!
Sunti Ranti merasakan tubuhnya lemas.
Dan sebelum tubuh gadis itu ambruk, saat itu ju-
ga dengan buas Samukti menyambutnya. Direng-
kuhnya tubuh gadis itu dalam sebuah dekapan
erat penuh nafsu. Kemudian dengan ganasnya, di-
ciuminya wajah gadis itu.
Sunti Ranti ingin menjerit, namun tidak ada
suara yang keluar. Dua buah totokan, membuat
urat suara dan tubuhnya tak berguna sama sekali.
Dia hanya bisa pasrah atas semua tindakan Sa-
mukti terhadapnya. Dibiarkannya saja sekujur tu-
buhnya dihajar tangan Samukti.
"Manusia terkutuk! Lepaskan dia...!"
Mendadak terdengar teriakan menggeledek
begitu kuat tenaga dalam yang terkandung, mem-
buat tempat sekitarnya bergetar hebat. Saat itu ju-
ga Samukti menghentikan tindakannya. Matanya
tampak merah karena merasa terganggu keasyi-
kannya. Seketika perhatiannya beralih pada sosok
yang mengeluarkan bentakan. Seorang kakek be-
ralis merah yang wajahnya tampak merah padam.
Marah!
Samukti tersenyum sinis. Tanpa mengenal
kasihan tubuh Sunti Ranti yang tengah dipeluknya
di dorong begitu saja hingga jatuh keras ke tanah.
"Akhirnya kau muncul juga, Golok Malaikat!
Kukira kau terus bersembunyi di kandang mu!"
ejek
Samukti sambil menatap mata kakek bera-
lis merah yang dipanggil Golok Malaikat
"Erghhh...!"
Golok Malaikat menggeram. Sepasang ma-
tanya membelalak hendak menelan pemuda di ha-
dapannya bulat-bulat
"Oh! Ternyata kau, Murid Murtad! Manusia
tak kenal budi! Menyesal, kenapa dulu tak kuha-
bisi saja nyawamu agar tidak menimbulkan buntut
tak baik seperti ini!" geram Golok Malaikat dengan
suara bergetar penuh kemarahan.
"Sayang sekali, Tua Bangka Bau Tanah!
Kau tak melakukannya. Dan kau pantas menyesa-
linya seumur hidup. Sekarang kedatanganku ke-
mari untuk membalas sakit hatiku karena kau
menggagalkan rencanaku!"
"Kau bebas bertindak bila sanggup membu-
atku menjadi mayat, Biadab!"
"Sama sekali tidak, Tua Bangka!" Samukti
menggeleng. "Aku justru menginginkan kau tewas
belakangan. Terlebih dulu, semua muridmu akan
kubantai. Kemudian putri mu si montok Sunti
Ranti akan ku perkosa sampai mati di depanmu.
Agar kau merasakan sakit hati yang mendalam.
Dan kau, akan ku tinggalkan hidup-hidup, dalam
keadaan tak berguna seumur hidupmu! Bagaima-
na, Tua Bangka! Asyik, bukan?"
"Kaulah yang akan kubunuh lebih dulu se-
belum maksudmu terlaksana, Biadab!"
Golok Malaikat langsung mencabut senjata
andalannya yang telah menggemparkan dunia per-
silatan. Dia menjadi pentolan golongan putih yang
ditakuti kawan maupun lawan, karena kehebatan
goloknya. Dan kali ini golok itu disiapkan untuk
menghadapi Samukti yang disadari bukan lagi la-
wan ringan.
Golok Malaikat telah bisa menduga kalau
Samukti telah memiliki kepandaian tinggi. Ini ter-
lihat hanya dengan segebrakan saja, Sunti Ranti
yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaian-
nya, di buat tak berdaya.
Maka dibarengi teriakan melengking keras,
Golok Malaikat menyerang Samukti.
Golok sakti Golok Malaikat tak terlihat ben-
tuknya. Yang tampak hanya seleret bayangan
mengurung seluruh jalan lolos Samukti. Bunyi
nyaring yang terjadi akibat putaran golok merobek
udara, memaksa murid-murid Perguruan Golok
Malaikat yang telah siuman menutup telinganya
karena merasakan sakit seperti ditusuk jarum.
Tetapi, kelihatan Samukti benar-benar luar
biasa! Meski hanya bertangan kosong, amukan Go-
lok Malaikat mampu dihadapi. Tanpa menemui
kesulitan sedikit pun, setiap serangan kakek itu
dikandaskan. Tak jarang pemuda ini menangkis
dengan tangan telanjang. Dan setiap tangkisan
Samukti, membuat tubuh Golok Malaikat ter-
huyung-huyung ke belakang dengan tangan terge-
tar hebat.
Golok Malaikat tampak kelabakan, ketika
Samukti melancarkan serangan balasan. Dan ken-
dati bertangan kosong, serangan-serangan Samuk-
ti tidak kalah berbahaya!
Golok Malaikat sadar, bahaya telah men-
gancam keselamatan murid-murid dan juga pu-
trinya. Maka sambil terus mengadakan perlawa-
nan sengit, dia menyempatkan diri untuk menyu-
ruh murid-muridnya kabur. Sementara putrinya
tidak diperintahkan untuk pergi karena tahu kalau
Sunti Ranti dalam keadaan tertotok!
Entah karena patuh terhadap perintah ke-
tua mereka, atau karena takut dan gentar melihat
kesaktian Samukti, belasan murid Perguruan Go-
lok Malaikat segera kabur meninggalkan tempat
itu. Mereka sadar, Samukti tidak akan dapat di-
tandingi! Hanya beberapa orang yang tidak kabur,
karena merasa tak tega untuk meninggalkan guru
mereka yang tengah sendirian menghadapi maut.
5
Samukti, memang berwatak keji. Melihat
belasan murid Perguruan Golok Malaikat berlarian
meninggalkan tempat itu, cepat bagai kilat dia me-
runduk meraih beberapa kerikil di tanah. Lalu se-
ketika itu pula dilemparkannya kerikil-kerikil itu
ke arah murid-murid Perguruan Golok Malaikat
"Aaa...! Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati terdengar ke-
tika kerikil-kerikil yang dilemparkan Samukti,
memecahkan kepala belasan murid perguruan
yang tidak berdosa.
Golok Malaikat marah bukan main melihat
kematian murid-muridnya, secara mengiriskan!
Maka seluruh kemampuannya dikerahkan untuk
bisa membunuh, atau paling tidak mati bersama.
Namun, niatnya hanya sia-sia. Kemampuannya
kini memang berada cukup jauh di bawah Samuk-
ti.
Malah pada satu kesempatan, gedoran tan-
gan pemuda itu kontan membuat tubuh Golok Ma-
laikat terjengkang ke belakang. Darah segar kon-
tan tersembur dari mulutnya. Dan begitu jatuh di
tanah, kakek ini tidak mampu bangkit lagi. Tergo-
lek tanpa daya.
Samukti kini tertawa keji. Dipungutnya go-
lok milik Ketua Perguruan Golok Malaikat yang
terjatuh di tanah. Dan dengan dua jarinya, golok
itu dilengkungkan seperti bumerang. Kemudian
masih dengan senyum keji, golok itu dilemparkan
ke arah sisa murid perguruan Golok Malaikat yang
masih setia menunggu ketuanya.
"Keji!"
Golok Malaikat memaki dengan hati pilu,
ketika melihat golok itu melayang, langsung me-
menggal kepala murid-muridnya. Tidak terdengar
jeritan apa pun dari mulut mereka. Sementara go-
lok itu kemudian melayang kembali ke tangan Sa-
mukti yang tampak tersenyum puas.
"Bagaimana, Golok Malaikat?! Nikmat bu-
kan, sebuah pembalasan dendam?!" tanya Samuk-
ti penuh ejekan.
"Terkutuk kau, Samukti!" maki Golok Ma-
laikat! Bunuhlah aku!" "He he he...!"
Samukti tertawa terkekeh. Kemudian di-
hampirinya tubuh Sunti Ranti yang tergolek. Seke-
tika, wajah Golok Malaikat pias. Demikian juga
Sunti Ranti. Mereka tahu, Samukti akan membuk-
tikan ancamannya.
"Seperti telah kukatakan tadi, urusan den-
gan mu belakangan, Golok Malaikat! Kau kujadi-
kan saksi mata, hasil pembalasan dendam yang
berkarat sejak lima tahun yang lalu!" Bret!
Baju di bagian dada Sunti Ranti langsung
robek lebar, ketika jari-jari tangan Samukti me-
renggutnya. Saat itu juga dua buah bukit kembar
milik Sunti Ranti mencuat hendak melompat ke-
luar.
Golok Malaikat hanya bisa memaki kalang
kabut. Sedang Sunti Ranti merintih dalam hati.
Sementara itu Samukti menatap dua bukit kembar
yang berkulit putih mulus dengan buas seperti se-
pasang mata harimau lapar yang melihat kambing
gemuk!
Sunti Ranti menjerit tertahan dalam hati,
ketika Samukti bersiap menerkam tubuhnya. Ta-
pi....
"Hanya manusia berhati binatang yang me-
lakukan kekejian seperti ini...!"
Belum sempat Samukti melampiaskan ha-
sratnya, mendadak terdengar suara teguran yang
tidak begitu lantang, namun terasa jelas ada nada
kemarahan di dalamnya.
Samukti geram bukan kepalang. Dia tahu,
ada orang yang hendak mencampuri urusannya.
Dengan perasaan geram kepalanya ditolehkan ke
belakang.
Di pintu gerbang, telah berdiri tenang seo-
rang pemuda berpakaian ungu berambut putih
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana
alias Dewa Arak! Meski tenang, sepasang matanya
yang tajam mencorong sarat ancaman. Memang,
Dewa Arak paling benci bila melihat tindakan tak
senonoh terhadap wanita!
Samukti yang sudah murka, kembali meng-
geram. Tangannya segera dijulurkan ke arah Golok
Malaikat yang tengah tergolek. Sedangkan kakek
itu hanya bisa memejamkan mata, pasrah me-
nunggu datangnya maut!
Tapi maut yang ditunggu tidak kunjung da-
tang. Kakek ini merasakan adanya angin keras
menghamburkan rambutnya. Dan ketika matanya
terbuka, di tangan Samukti telah tergenggam se-
gumpal rambut miliknya!
Mendapat perlawanan demikian, Golok Ma-
laikat tersinggung bukan main. Bagaimanapun ju-
ga, dia adalah bekas guru Samukti yang wajib di-
hormati. Namun tindakan pemuda bejat ini justru
sebaliknya, menghina!
Di lain pihak, Samukti tidak peduli. Begitu
rambut Golok Malaikat berhasil diraihnya, lang-
sung dibawanya ke depan mulut. Lalu, segera di-
tiupnya. Maka puluhan helai rambut itu meluncur
ke arah Dewa Arak laksana jarum-jarum panjang.
Dewa Arak mengibaskan tangannya, men-
ciptakan angin besar yang meluruk ke arah ram-
but-rambut itu. Akibatnya laju rambut itu terta-
han, bahkan lemas seperti semula dan jatuh ke
tanah.
Kegagalan serangan ini membuat Samukti,
gelap mata! Maka segera dilontarkannya pukulan
bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Padahal, jarak
mereka terpisah sekitar delapan tombak!
Dewa Arak yang tengah murka, karena me-
lihat tindakan pemuda berbaju coklat itu terhadap
Sunti Rani, kini bertindak tak tanggung-tanggung
lagi. Serangan-serangan Samukti langsung disam-
butnya dengan cepat.
Bunyi berdesing dan berkesiutan nyaring
terdengar, ketika dua tokoh sakti yang sama-sama
muda saling memukulkan tangan masing-masing.
Pletar! Tar!
Terdengar letupan-letupan keras ketika pu-
kulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di ten-
gah jalan. Dan setiap kali terjadi benturan, tubuh
keduanya sama-sama terhuyung-huyung ke bela-
kang.
Serangan yang gagal ini rupanya tidak me-
muaskan Samukti. Pemuda ini tampak marah bu-
kan main dengan wajah merah padam. Sepasang
matanya terbelalak, seperti hendak menelan bulat-
bulat Dewa Arak. Kemudian dia berdiri diam, den-
gan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.
Lalu, matanya terpejam.
Dewa Arak terdiam sejenak mengamati tin-
dakan lawannya, meski tak menghilangkan ke-
waspadaannya.
"Urai Raga...!"
Samukti membentak keras begitu mata ter-
buka. Sesaat kemudian, Dewa Arak tertegun. Se-
dangkan Golok Malaikat dan Sunti Ranti terpaksa
mengucak-ucak mata masing-masing karena tidak
percaya dengan apa yang terlihat
Tampak, tubuh Samukti perlahan-lahan
meninggi dan membesar. Dewa Arak dan Golok
Malaikat yang telah kenyang pengalaman langsung
menduga kalau hal seperti itu tidak mungkin bisa
dilakukan manusia. Maka, kedua tokoh ini sece-
patnya mengerahkan kekuatan batin untuk mene-
kan alam bawah sadarnya, kalau apa yang terlihat
adalah tipuan belaka.
Tapi betapa kagetnya hati Dewa Arak dan
Golok Malaikat, ketika melihat pemandangan yang
terlihat tidak berubah sama sekali. Bahkan, tubuh
Samukti semakin tinggi dan membesar!
Sementara Dewa Arak mengerahkan selu-
ruh kekuatan batinnya. Kemudian dengan penge-
rahan seluruh tenaga dalamnya, pemuda beram-
but putih keperakan ini membentak keras.
"Asal kecil, kembali kecil!"
Berkali-kali Dewa Arak mengeluarkan teria-
kan keras, yang membuat suasana sekitarnya ber-
getar seperti ada halilintar yang menyambar. Na-
mun, penglihatan yang tertangkap mata pemuda
itu tetap saja tidak berubah. Malah, tubuh Samuk-
ti semakin membesar dan meninggi.
Melihat kenyataan ini, Dewa Arak pun sadar
kalau pemandangan yang tampak adalah kenya-
taan sesungguhnya. Meskipun diliputi rasa keti-
dakpercayaan, pemuda berambut putih keperakan
ini terpaksa harus mengakuinya.
Dan yang dapat dilakukan Dewa Arak
hanya menunggu sampai perkembangan tubuh
Samukti berhenti. Kini jantung Arya mendadak
berdetak keras.
Akhirnya penantian Aiya berakhir. Perkem-
bangan tubuh Samukti terhenti, ketika tubuhnya
mencapai tinggi satu setengah tombak! Tidak
hanya tinggi, tapi juga besar! Sehingga Samukti
sekarang kelihatan seperti bukit kecil.
"Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak, penuh kegembi-
raan dan rasa bangga.
"Sekarang kau akan kuhancurkan orang
usil!"
Dewa Arak terhuyung-huyung sambil men-
dekap kedua telinga. Untuk pertama kalinya, dia
tidak mampu melawan pengaruh tawa yang me-
nyerang telinga dan menekan jantungnya dengan
tenaga dalamnya. Tawa itu demikian keras, tak
ubahnya halilintar! Bahkan jantungnya bagai me-
lompat-lompat dengan kepala terasa pening!
Samukti rupanya tahu kejadian yang ten-
gah dialami Dewa Arak. Maka, tawanya segera di-
lanjutkan. Tindakannya membuat Dewa Arak se-
makin kelabakan bak cacing kepanasan. Tubuh
Dewa Arak terus menggeliat-geliat.
Keadaan Dewa Arak mengkhawatirkan se-
kali. Tubuhnya sempoyongan bagai orang mabuk
berat. Kedua tangan didekapkan erat-erat pada
kedua telinga. Wajahnya pun tampak memerah
bagai kepiting rebus.
Sementara, daun-daun berguguran dari po-
hon. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu
berderak-derak keras seperti hendak roboh. Malah
beberapa saat kemudian, bagian demi bagian ban-
gunan terlepas.
Golok Malaikat dan Sunti Ranti sudah ping-
san sejak tadi akibat pengaruh tawa itu. Padahal
mereka tidak terlalu mendapatkan pengaruh tawa
Samukti. Karena tawa itu ditujukan jelas untuk
Dewa Arak.
"Aaa...!"
Dalam upaya untuk menangkal pengaruh
tawa, Dewa Arak menjerit sekeras-kerasnya. Da-
lam cekaman rasa sakit yang menggelegak, pemu-
da itu berusaha terus melawan pengaruh tawa
yang menyakitkan itu.
Ranting-ranting langsung jatuh dari dahan
pohon. Angin bertiup tak tentu arah, akibat perta-
rungan aneh antar tenaga dalam.
Ternyata jeritan itu tidak terlalu banyak
menolong Dewa Arak. Maka sambil tetap menjerit
keras, Aiya melompat menerjang Samukti. Guci
araknya diayunkan deras ke arah kepala Samukti.
Dewa Arak memang bermaksud secepatnya mero-
bohkan lawan yang amat berbahaya ini!
"Hukh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Dewa
Arak. Tubuhnya bagaikan menabrak sebuah dind-
ing yang tidak tampak, begitu berjarak setengah
tombak dari Samukti. Kekuatan dahsyat, mem-
buat tubuhnya terjengkang deras ke belakang.
Begitu tubuh Aiya jatuh ke tanah, Samukti
mengirimkan dorongan pukulan jarak jauh dengan
tangan kanan-kiri secara bergantian.
Untung, Dewa Arak sempat berkelit dengan
menggulingkan diri. Kalau tidak, nasibnya sama
dengan tanah tempatnya tergolek tadi, yang lang-
sung berlubang sedalam kuburan gajah!
Dewa Arak bergidik! Selama petualangan-
nya, belum pernah dia bertemu tokoh yang mem-
punyai kekuatan tenaga dalam seperti ini! Hanya
dorongan tangan saja mampu menimbulkan lu-
bang besar pada tanah! Samukti yang sebesar rak-
sasa ini, bahkan memiliki kekuatan lebih dahsyat
daripada Raga Pitu (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang tokoh Raga Pitu, silahkan baca serial Dewa
Arak dalam episode: 'Panggilan ke Alam Roh").
Samukti menggeram laksana harimau mur-
ka melihat serangannya gagal. Kemudian dengan
kedua tangannya dilakukannya gerakan menarik.
Dewa Arak terperanjat bukan kepalang ke-
tika merasakan ada kekuatan dahsyat yang mena-
rik tubuhnya ke arah Samukti! Meski dalam kea-
daan tergolek di tanah, Arya masih mampu untuk
bertahan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
untuk menolak tarikan lawannya. Kendati demi-
kian, tubuhnya tetap terseret juga.
Begitu telah dekat, Samukti yang tengah ka-
lap itu cepat menggerakkan kakinya menjejak pe-
rut Dewa Arak. Tentu saja, Arya tidak ingin tubuh
dan seluruh isi bagian dalam dadanya hancur be-
rantakan. Maka tangannya segera diulurkan un-
tuk menangkap kaki itu dengan pengerahan selu-
ruh tenaga dalamnya.
Tetapi, ternyata Arya hanya mampu berta-
han sebentar. Disadari apabila memaksakan diri
terus, tulang-tulang tangannya akan patah. Bah-
kan kaki yang luar biasa besar itu akan berhasil
menjejak dadanya. Maka sambil melepaskan tan-
gan, tubuhnya digulingkan.
Dewa Arak bermaksud menjauhkan diri.
Namun, ternyata pemuda berambut putih kepera-
kan ini tengah tidak mujur. Tangan Samukti yang
besar dan kekar telah berhasil mencekal tengkuk-
nya.
Samukti mengerahkan tenaga untuk meng-
hancurkan tulang leher Arya. Sebaliknya, Dewa
Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam, untuk
bertahan. Dia tidak ingin tulangnya hancur hingga
tewas mengenaskan.
Dewa Arak tahu, bila keadaan seperti ini te-
rus berlangsung tak lama lagi, dia akan tewas
dengan tulang leher hancur. Jepitan tangan Sa-
mukti benar-benar luar biasa. Dan Arya merasa ti-
dak mampu bertahan lebih lama lagi.
Untungnya, kekhawatiran Dewa Arak tidak
terbukti. Setelah beberapa saat tidak berhasil
menghancurkan tulang leher Dewa Arak, Samukti
kehilangan kesabaran. Maka dengan gemas tan-
gannya diayunkan. Seketika, tubuh Dewa Arak
pun melayang jauh dengan cepat. Begitu cepatnya,
hingga melewati pagar tembok yang mengelilingi
bangunan di dalam rumah Perguruan Golok Ma-
laikat.
Samukti yang masih belum puas mengum-
bar amarah, mengedarkan pandangannya. Tampak
tubuh Golok Malaikat tergolek pingsan. Hanya dua
langkah, pemuda ini berada di dekat tubuh itu.
Dan tanpa mengenal belas kasihan lagi, segera di-
injaknya dada Golok Malaikat
Terdengar bunyi berderak keras dari tulang-
tulang yang hancur. Darah mengalir keluar dari
hidung, mata, mulut, dan telinga Ketua Perguruan
Golok Malaikat. Maka seketika nyawanya copot da-
ri raga.
Korban satu nyawa belum membuat puas
Samukti. Pandangannya kembali beredar. Kali ini
matanya tertumbuk pada tubuh Sunti Ranti. Pe-
muda berpakaian coklat ini bergegas menghampiri.
Namun baru setindak, tiba-tiba langkahnya ter-
henti. Tangan kanannya seketika memegangi ke-
pala. Wajahnya menyeringai kesakitan. Tak lama
kemudian, tubuhnya terhuyung-huyung.
Demikian hebat, rasa sakit yang diderita
Samukti, hingga tubuhnya membungkuk ke de-
pan. Kali ini dua tangannya memegang kepala. Se-
dangkan seringai kesakitan yang terdengar sema-
kin keras.
"Aduuuh...!"
Samukti tak tahan untuk tidak mengelua-
rkan keluhan. Kemudian tubuhnya berbalik, dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bumi tera-
sa bergetar, ketika kaki Samukti yang besar-besar
menginjak tanah berkali-kali.
Tapi, rasa sakit yang mendera membuat lari
Samukti tidak tetap. Tubuhnya terhuyung ke sana
kemari.
"Panas...! Panas...! Air...! Air?..!"
Di antara derap langkah kakinya, Samukti
berteriak seperti itu. Memang, pemuda berpakaian
coklat ini merasakan bagian dalam kepalanya te-
rasa panas bukan kepalang seperti ada api di da-
lamnya. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan Sa-
mukti adalah air untuk merendam kepalanya.
Ketika tubuh Samukti lenyap dari pandan-
gan mata, Sunti Ranti telah sadarkan diri. Semula,
gadis ini kebingungan ketika melihat suasana seki-
tar sepi! Tidak terlihat adanya pertarungan lagi.
Namun ketika matanya menatap mayat di depan-
nya, seketika Sunti Ranti menjerit. Mayat yang
terbujur remuk itu tak lain dari Golok Malaikat,
ayahnya!
Namun, jeritan Sunti Ranti hanya tertahan
di tenggorokan. Karena, dia masih dalam pengaruh
totokan. Namun karena sebuah totokan memiliki
batas waktu, maka lama kelamaan pengaruh toto-
kan di tubuh Sunti Ranti sirna.
Bergegas Sunti Ranti menghampiri mayat
ayahnya. Dan gadis itu segera bersimpuh di hada-
pan Golok Malaikat, kemudian menangis sejadi-
jadinya.
"Keparat kau, Samukti! Apa pun yang terja-
di, aku akan mencarimu! Akan kubalas semua sa-
kit hatiku!" desis Sunti Ranti penuh ancaman.
6
Byurrr!
Luncuran tubuh Dewa Arak berakhir di
sungai. Tubuhnya terus saja tenggelam ke dalam
air. Sisa-sisa tenaganya dikerahkan untuk menca-
pai ke permukaan sungai.
Begitu muncul di permukaan sungai, pe-
muda berambut putih keperakan ini benar-benar
tidak mampu berbuat banyak. Karena, arus sungai
yang membuat tubuhnya meluncur cepat terbawa
arus yang makin lama makin deras.
Berdasarkan pengalaman, Dewa Arak tahu
kalau aliran sungai yang makin deras pertanda te-
lah dekat air terjun. Berarti, sebentar lagi, tubuh-
nya akan dihempaskan ke bawah. Padahal, bi-
asanya di sana batu-batu telah siap melahapnya.
Sementara, tubuh Aiya terus meluncur ter-
bawa arus sungai. Sesaat kemudian, telinganya
mendengar bunyi air terjun yang menderu-deru.
Dalam keadaan seperti ini, untuk melawan arus
sungai pun tidak ada gunanya.
Arya hanya mampu memejamkan mata ke-
tika tubuhnya melayang dari atas puncak air ter-
jun.
Sudah terbayang di benaknya, kalau tu-
buhnya akan jatuh terhujam batu-batu karang
yang bertebaran di tempat tumpahan air terjun.
Tapi di saat tubuh Dewa Arak melayang ja-
tuh, satu sosok yang tengah duduk di bongkahan
batu di pinggir tempat jatuhnya air terjun melihat-
nya. Sikapnya tampak murung. Dan kebetulan,
saat tubuh Arya melayang jatuh, kepalanya tengah
mendongak ke atas.
Tanpa menunggu lebih lama, sosok itu me-
lolos sabuk dan melemparkannya. Bagaikan hi-
dup, sabuk itu meliuk-liuk, langsung melingkari
pinggangnya membentuk simpulan erat. Selanjut-
nya, sosok itu bergerak menyentak.
Arya mendarat di batu datar dan luas di de-
pan sosok itu, bagaikan diletakkan oleh tangan
yang tidak tampak. Meski masih lemah, Arya be-
rusaha untuk tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ujar Arya penuh rasa syukur. Pada sosok yang
ternyata seorang kakek bertangan satu.
Dewa Arak mencoba duduk bersila berha-
dapan dengan kakek penolongnya. Kebetulan batu
itu cukup luas.
"Berterima kasihlah pada Tuhan," jawab
kakek bertangan satu. "Tanpa perkenannya, se-
muanya tak berarti apa-apa. Aku yakin, semua ini
telah di atur Yang Maha Kuasa. Dan aku hanya
sebagai perantara saja, agar dapat menolong orang
yang berjiwa bersih sepertimu, Anak Muda."
"Terima kasih atas pujian mu, Kek. Aku tak
berani menganggap diriku sebagai orang yang ber-
jiwa bersih. Namun, aku akan berusaha untuk
menjadi seperti itu. O, ya. Namaku Arya Buana,
Kek. Dan, orang-orang biasa memanggilku, Aiya!"
Kakek bertangan satu itu tercenung seje-
nak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Meski telah cukup lama mengasingkan diri,
aku juga dengar tentang munculnya seorang pen-
dekar muda sakti yang berjuluk Dewa Arak! Apa-
kah kau sendiri yang dimaksudkan?! Kulihat,
rambutmu putih keperakan. Pakaianmu ungu. Di
punggungmu, ada guci arak. Dan yang lebih pent-
ing lagi, sepasang matamu mencorong tajam pe-
nuh kekuatan tenaga dalam. Aku yakin, tokoh
sakti setenar Dewa Arak pasti memiliki mata se-
perti itu," ungkap kakek bertangan satu.
"Begitulah orang menjuluki aku, Kek. Na-
mun, aku yakin tidak ada artinya bila dibanding-
kan dengan nama besarmu. Boleh ku tahu, siapa
kau sebenarnya, Kek?!" tanya Aiya hati-hati.
Kakek bertangan satu tidak langsung men-
jawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung seje-
nak.
"Sebenarnya, aku bermaksud untuk mem-
bawa mati rahasia busuk mengenai perbuatan ter-
kutuk yang kulakukan di akhir hidupku!" jelas,
kakek itu, bernada mengeluh.
"Lebih baik, kau tidak usah menceritakan-
nya daripada menjadi beban batinmu, Kek.
Dan...."
"Tidak perlu sungkan atau merasa kecil ha-
ti, Dewa Arak! Justru aku ingin menceritakannya.
Dan kebetulan kau, sepertinya layak dipercaya.
Aku tidak ingin perbuatan terkutuk yang kulaku-
kan, membuat hatiku gelisah dan selalu dikejar-
kejar perasaan bersalah. Dengan menceritakan
pada orang lain, beban batin ku akan berkurang."
Dewa Arak diam, tidak memberi tanggapan
sama sekali.
"Namaku, Sangga Langit! Tapi, orang lebih
suka memanggilku Eyang Sangga Langit," kakek
bertangan satu memulai keterangannya. "Aku
mempunyai.... Yahhh, katakanlah sebuah pergu-
ruan. Hanya saja, jumlah muridku tidak banyak.
Hanya beberapa orang. Di antara mereka, yang
paling menonjol adalah putri seorang sahabat yang
sengaja dititipkan padaku. Seorang gadis cantik
bernama Witari, yang memiliki kemampuan di atas
kawan-kawannya. Ini karena ketekunannya dan
juga bakatnya."
Arya diam-diam terkejut ketika mengetahui
kakek di hadapannya adalah Eyang Sangga Langit.
Nama kakek itu telah lama dikenal sebagai seo-
rang tokoh sakti yang memiliki kepandaian yang
luar biasa! Bahkan banyak memiliki ilmu gaib
yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Hanya sa-
ja, jarang ada orang yang tahu tempat tinggalnya.
"Setelah mengajarkan semua kemampuan
yang kumiliki kepada murid-muridku, aku lalu
mengasingkan diri. Pekerjaanku, setiap hari ada-
lah bersemadi dan memusatkan perhatian untuk
menciptakan ilmu-ilmu lainnya," lanjut Eyang
Sangga Langit setelah terdiam sejenak untuk men-
gambil napas. "Tapi baru beberapa bulan, Witari
muncul. Tepat pada saat yang bersamaan, aku
terserang rasa gelisah yang begitu mendadak dan
aneh. Rasa gelisah ini timbul karena alam bawah
sadarku yang sering kuasah menjadi tajam, mera-
sakan adanya hal mengerikan yang bakal terjadi.
Tapi sayangnya, aku tidak sadar dengan firasat
yang kuterima. Dan ternyata, malapetaka besar
yang mampu membuat alam bawah sadar ku itu
demikian gelisah berasa! dari muridku."
"Apakah dia berkhianat?!" tanya Arya tidak
sabar, karena rasa ingin tahunya.
"Tidak! Sama sekali tidak!" Eyang Sangga
Langit menggeleng.
Kemudian lelaki tua ini menceritakan se-
muanya secara lengkap. Beberapa kali, Aiya sam-
pai mengeluarkan seruan-seruan kaget mendengar
semua cerita yang disampaikan kakek bertangan
satu itu.
"Kalau begitu..., aku telah bertarung mela-
wan Witari palsu yang kau maksudkan, Eyang,"
ujar Aiya, ketika Eyang Sangga Langit menyelesai-
kan ceritanya.
"Ahhh...! Benarkah demikian, Aiya?! Mak-
sud ku..., kau telah berhadapan dengan orang
yang telah menipuku untuk mendapatkan ilmu
'Urai Raga'?!"
Kata-kata Eyang Sangga Langit terdengar
bergetar. Wajahnya diliputi rasa kaget dan tidak
percaya.
"Sebenarnya aku tidak yakin, Eyang. Tapi
mungkin saja kalau orang yang kuhadapi adalah
orang yang menyamar sebagai Witari. Masalahnya,
sewaktu bertarung beberapa kali dan tidak mampu
mengalahkanku, dia kelihatan mulai penasaran.
Lalu disebutnya satu ilmu yang bernama 'Urai Ra-
ga'! Sesaat kemudian...."
"Tubuhnya membesar dan meninggi...?!" se-
lak Eyang Sangga Langit tidak sabar menunggu
kelanjutannya.
"Benar...!" jawab Arya cepat.
"Itulah ilmu 'Urai Raga' milikku!" pekik
Eyang Sangga Langit setengah mengeluh.
"Sebuah ilmu yang mengerikan!"
Tanpa sadar Aiya mengeluarkan kata-kata
seperti itu karena masih terkenang akan kedah-
syatan ilmu yang dipergunakan Samukti, sehingga
membuatnya tidak berdaya sama sekali.
"Memang," kata Eyang Sangga Langit mem-
beri persetujuan atas pendapat Arya. "Ilmu itu
memang mengerikan dan akan menyebarkan
maut, apabila berada di tangan orang yang berwa-
tak angkara murka. Ilmu 'Urai Raga' membuat
kemampuan seseorang berlipat ganda! Tenaga da-
lamnya menjadi sangat kuat. Sekujur tubuhnya
seperti terlindung satu dinding kasatmata, sehing-
ga tak satu pun serangan yang mampu menem-
busnya."
Aiya mengangguk-anggukkan kepala, kare-
na telah merasakan sendiri kebenaran cerita
Eyang Sangga Langit.
"Lalu..., bagaimana cara mengalahkan ilmu
itu, Eyang? Sepengetahuanku, tidak ada ilmu yang
tidak punya kelemahan dan pantangan. Bisakah
kau beritahukan padaku kelemahan ilmu itu,
hingga keangkaramurkaan orang itu bisa ku ce-
gah?" tanya Arya hati-hati, khawatir salah bicara.
Eyang Sangga Langit tidak langsung men-
jawab, tapi malah tercenung. Pandangannya di-
arahkan ke langit pada gumpalan awan yang ten-
gah berarak.
"Aku sendiri belum pernah mempergunakan
ilmu itu, karena memang belum lama kudapatkan.
Jadi, bagaimana ku tahu kelemahannya. Tapi yang
jelas, ada sebuah kelemahan besar dalam ilmu
'Urai Raga' yang dimiliki oleh Witari palsu itu!"
"Aku belum mengerti maksudmu, Eyang?!"
desah Arya, tidak segan untuk mengutarakan ke-
tidaktahuannya.
Eyang Sangga Langit tersenyum getir, seba-
gaimana halnya orang-orang yang tidak memiliki
beban batin dalam hatinya. Kakek ini rupanya ma-
sih teringat akan perbuatan terkutuknya yang di-
lakukan bersama Witari. Perbuatan terkutuk yang
membuat batinnya terguncang hebat.
"Mungkin perlu sedikit kuberitahukan, De-
wa Arak. Dunia ini dihuni oleh tidak hanya manu-
sia saja. Namun, masih ada makhluk-makhluk
lain yang tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba,
ataupun dirasa. Tapi, mereka ada. Makhluk-
makhluk ini di namakan makhluk gaib yang ka-
satmata. Tinggalnya pun di alam gaib. Tempat
yang bagi sebagian orang sulit diterima akal se-
hat," Eyang Sangga Langit mulai dengan penjela-
sannya.
Arya terdiam. Dewa Arak juga percaya
adanya makhluk-makhluk gaib beserta alamnya.
Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu
mempunyai sesuatu dari alam gaib. Apabila diper-
lukan Belalang Raksasa-nya sewaktu-waktu bisa
dipanggil untuk membantu (Mengenai belalang
raksasa ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
Makhluk-makhluk gaib itu ada yang berupa
binatang, ilmu jin, setan, genderuwo, kuntilanak,
tuyul, buto ijo dan lain-lain sebagainya. Nah! Ilmu
'Urai Raga' itu kudapatkan, karena hubunganku
yang erat dengan buto ijo. Namanya Tagula! Jadi,
apabila kata 'Urai Raga’ disebut, maka tubuh
orang yang menyebutnya menjadi besar. Memang,
tidak sebesar dan setinggi raksasa di alam gaib.
Tapi paling tidak, dua kali lipat lebih tinggi dan le-
bih besar dibanding ukuran orang pada umum-
nya."
"Jelasnya ilmu 'Urai Raga' mempunyai ke-
lemahan, Eyang?" desak Aiya meminta penegasan.
"Tidak!" sahut Eyang Sangga Langit lantang.
"Sepengetahuanku, tidak! Tapi, ilmu 'Urai Raga'
yang dimiliki Witari palsu itu ada kelemahannya!"
"Bisa kau beritahukan, mengapa dan ba-
gaimana aku bisa mengalahkannya melalui kele-
mahan yang dimilikinya?!"
"Tentu saja!" sahut Eyang Sangga Langit
dengan suara dan sikap mantap. Tapi sebelumnya,
maukah kau memenuhi permintaanku? Sebenar-
nya memang ini urusanku. Tapi karena aku sudah
sangat tua dan tak mungkin lagi menempuh perja-
lanan jauh, maka kuminta tolong padamu, Dewa
Arak. Maukah kau?!"
"Bersedia, Eyang. Tentu saja dengan syarat,
tidak menyeleweng dari kebenaran!" jawab Arya
mengajukan syarat.
"Tentu saja tidak, Dewa Arak!" timpal Eyang
Sangga Langit cepat. Kau hanya kuminta mencari
Witari, dan melindunginya kalau terjadi apa-apa.
Aku tidak tahu, dia pergi ke mana. Mungkin kem-
bali ke rumah orang tuanya. Aku benar-benar
mengkhawatirkannya."
"Akan kuperhatikan semua kata-katamu,
Eyang. Sekarang, beritahukanlah padaku. Apa ke-
lemahan ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki Witari palsu
itu dan bagaimana aku bisa mengalahkannya!"
Kemudian Eyang Sangga Langit menje-
laskan tentang kelemahan ilmu 'Urai Raga'. Se-
mentara, Arya mendengarkan penuh minat.
"Satu pertanyaan lagi, Eyang. Tapi kalau
kau tidak mau menjawabnya, aku tidak akan me-
maksa," ujar Arya ketika Eyang Sangga Langit te-
lah memberitahukan kelemahan ilmu 'Urai Raga'
yang dimiliki Samukti.
"Hm....!" gumam Eyang Sangga Langit, pe-
lan.
"Apakah tempat ini berhubungan dengan
ruangan di mana kau dulu hampir dibunuh Witari
palsu?!"
Eyang Sangga Langit mengangguk.
"Ada sedikit tambahan lagi, Eyang!" tambah
Aiya, agak terburu-buru karena pertanyaan itu
muncul secara tiba-tiba. "Apakah kau tahu, kalau
pengaruh aneh yang melanda perasaanmu dan pe-
rasaan Witari tidak sewajarnya?! Kalau benar, be-
rarti ada orang yang sengaja menginginkan terjadi.
Untuk apa?! Dan apakah kau bisa menduga, siapa
orang itu?!"
Eyang Sangga Langit menautkan alisnya.
"Memang agaknya ada pihak ketiga yang te-
lah mempengaruhiku. Dengan menggunakan ilmu
gaib yang menjijikkan, dia berhasil menjeru-
muskanku ke lembah kehinaan! Sayang, aku tak
tahu siapa orang itu. Kalau tidak, sudah kuhan-
curkan kepalanya!"
Aiya tidak menanggapi lagi. Dia tahu, Eyang
Sangga Langit bersungguh-sungguh dengan an-
camannya. Kakek itu terlihat demikian terpukul
akibat perbuatan terkutuk yang pernah dilaku-
kannya.
"Kurasa sudah waktunya aku hams pergi,
Eyang. Akan kucari Witari palsu itu. Dan, akan ku
lenyapkan angkaramurkanya. Selamat tinggal,
Eyang!" ucap Aiya Buana sembari berpamitan.
"Selamat jalan, Dewa Arak! Selamat bertu-
gas, semoga kau berhasil!"
Dewa Arak mengernyitkan alis dengan mata
menyipit untuk lebih memperjelas pandangan. Di
kejauhan tampak ada sesosok tubuh tengah berla-
ri cepat menuju ke arahnya. Padahal, dia sendiri
tengah berlari cepat menuju ke arah sosok itu.
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih
cepat. Setitik harapan tumbuh di hatinya. Siapa
tahu sosok, yang tengah melesat cepat ke arahnya
itu Samukti!
Tapi seiring semakin dekatnya jarak, Aiya
mulai bisa menduga kalau sosok di depannya bu-
kan Samukti. Pakaian sosok itu merah! Lagi pula,
tubuhnya kecil dan ramping! Jelas, seorang wani-
ta!
Jantung dalam dada Arya berdetak jauh le-
bih cepat, ketika menduga kalau sosok di depan-
nya orang yang dimaksud Eyang Sangga Langit.
Witari!
"Ah...!"
Aiya berseru kaget, ketika wanita berpa-
kaian merah terhuyung-huyung kemudian jatuh
ke tanah. Semula hatinya heran. Tetapi ketika me-
lihat ada sosok lain yang melesat cepat memburu
ke arah gadis itu, Arya segera tahu apa yang telah
terjadi. Sosok yang melesat belakangan itu, tengah
mengejar-ngejar sosok yang diduga Witari! Dan
bukan tak mungkin, sosok yang baru datang bela-
kangan ini telah membuat Witari roboh! Entah
dengan pukulan jarak jauh, atau serangan senjata
rahasia!
"Tahan...!"
Aiya mengeluarkan seruan keras, ketika
melihat sosok itu menghampiri tubuh gadis berpa-
kaian merah. Pemuda itu khawatir, sosok itu akan
mengirimkan serangan maut.
Berbareng dengan teriakan itu, Dewa Arak
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Dan
saat itu juga tubuhnya melesat cepat ke depan.
"Ah! Kiranya kau, Kek," desah Aiya dengan
suara lega, ketika melihat jelas siapa sosok yang
tengah berdiri di dekat gadis berpakaian merah.
Orang itu ternyata Janggara!
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak...!" Janggara
juga berseru.
Dan Arya merasakan adanya nada gembira
dalam suara Janggara. Wajah kakek itu pun ber-
seri-seri.
"Dunia memang tidak terlalu luas, Kek," ki-
lah Arya sekenanya, sambil menyempatkan diri
untuk memperhatikan gadis berpakaian merah
yang tergolek di tanah.
Meski sekelebatan, pemuda ini sempat me-
lihat adanya tahi lalat di pipi kanannya. Tidak sa-
lah lagi, gadis ini adalah Witari!
Janggara melihat lirikan Arya.
"Kau kenal gadis ini, Arya?!"
"Ya, kira-kira begitu," sahut Aiya, mengang-
guk. "Guru gadis ini pernah menyelamatkan nya-
waku!"
Janggara terdiam. Kepalanya hanya men-
gangguk-angguk. Entah, apa arti anggukannya.
"Kelihatannya kau ada persoalan dengan-
nya, Kek?!" pancing Arya ingin tahu.
7
Janggara menghela napas berat.
"Sebenarnya sih, tak ada masalah yang be-
rarti. Kami secara kebetulan bertemu di jalan. Dia
kutanya baik-baik, eh..., malah marah-marah dan
menyerangku. Terpaksa aku melawan. Rupanya,
dia tak kuat melawanku, dan melarikan diri. Kare-
na aku telanjur penasaran, dia kukejar. Dan...,
kurasa kejadian selanjutnya kau telah tahu sendi-
ri, Arya," jelas Janggara.
Aiya mengangguk.
"Aku bisa memaklumi, mengapa dia marah-
marah padamu, Kek?! Gadis ini memang tengah
mendapat masalah. Jadi, mungkin saja menjadi
gampang tersinggung. Tapi, dia sebenarnya tidak
jahat. Maka ku mohon, kau sudi mengampuninya.
Aku akan membawanya kembali pada gurunya.
Karena, guru gadis itu sendiri yang telah memin-
taku untuk mencarinya. Apakah kau bersedia
memaafkan kelancangannya, Kek?!"
"Karena kau yang meminta, aku tidak
punya pilihan lain, Aiya. Aku percaya padamu.
Dan ku putuskan masalah ku dengannya selesai!"
"Terima kasih, Kek. Sudah kuduga kau pas-
ti akan bertindak bijaksana."
Janggara tertawa terkekeh.
"Ah...! Hampir aku lupa! Bagaimana nasib
muridmu itu, Kek? Sudah berhasil kau sela-
matkan?!"
Wajah Janggara muram seketika itu juga.
Tentu saja Arya kaget, melihat kenyataan
yang sama sekali tidak diduga. Meski kakek ber-
wajah tirus itu tidak memberi jawaban, namun da-
ri sorot matanya menyiratkan kegagalan.
"Hhh...!"
Janggara terlebih dulu menghembuskan
napas berat, seperti hendak membuang ganjalan
dalam dadanya.
"Kurasa tidak akan ada seorang pun yang
sanggup menyelamatkan nyawa muridku itu,
Aiya."
"Lho mengapa, Kek?!" tanya Aiya kaget
campur heran.
Dewa Arak tahu, siapa Janggara. Kakek
berwajah tirus yang memiliki kepandaian amat
tinggi. Bahkan Aiya tak berani menganggap kalau
kepandaian kakek ini berada di bawah tingkatnya.
Kalau Janggara saja sudah demikian putus asa
untuk bisa berbuat sesuatu, bisa dibayangkan se-
berapa kuat kesaktian lawan yang dihadapinya!
"Muridku menjadi tawanan seorang tokoh
sakti, di sebuah tempat yang bernama Puncak
Nirwana. Jangankan untuk bisa masuk ke dalam
sana. Menghadapi dua penjaga di tiap-tiap pos
pun, aku sudah tak mampu. Kalau hanya meng-
hadapi seorang di antara mereka aku akan sang-
gup. Tapi, dua orang sekaligus?! Padahal, tingkat
kepandaian mereka hanya berbeda sedikit den-
ganku!"
"Puncak Nirwana?!" Aiya mengulang nama
tempat itu dalam hati sambil mengernyitkan alis.
Dewa Arak memang pernah mendengar na-
ma Puncak Nirwana. Tapi, tempat itu lebih menye-
rupai dongeng. Menurut berita yang tersebar, letak
Puncak Nirwana teramat rahasia. Tidak ada seo-
rang pun tokoh persilatan tahu, di mana tempat-
nya. Sehingga, mereka hanya menganggap tempat
itu sebagai dongeng semata!
"Benar. Mengapa?!" Janggara balas menga-
jukan pertanyaan.
"Tidak apa-apa, Kek. Kukira tempat itu
hanya ada dalam dongeng. Masalahnya, belum
pernah ada orang yang dapat menemukan tempat
itu," jawab Aiya jujur.
"Tempat itu memang benar-benar ada,
Arya," jelas Janggara sungguh-sungguh. "Di sana
tinggal keluarga yang amat sakti dan berkepan-
daian sangat tinggi! Jangankan majikannya. Baru
para penjaganya saja, sudah jarang dapat tertan-
dingi tokoh persilatan tingkat atas!"
"Benarkah demikian, Kek?!" tanya Aiya se-
tengah tak percaya.
"Benar, Arya," tegas Janggara mengangguk,
mantap. "Kau kira, dari mana aku bisa memiliki
kepandaian setinggi ini?!"
Wajah Arya berubah.
"Jadi..., kau penghuni Puncak Nirwana,
Kek?!"
"Bukan. Aku orang luar. Hanya kebetulan,
mendapat pertolongan dan dijadikan sebagai pe-
waris ilmu-ilmu mereka. Tapi hanya sebagian kecil
saja yang diturunkan padaku. Lainnya, tidak ditu-
runkan karena merupakan ilmu keluarga! Jadi,
hanya anggota keluarga saja yang bisa mempelaja-
rinya!"
Dewa Arak terkejut bukan kepalang men-
dengar keterangan ini. Kalau penuturan Janggara
benar, sulit dibayangkan betapa tingginya kepan-
daian keluarga di Puncak Nirwana. Dan andaikata
mereka turun ke dunia persilatan dan membuat
onar, siapa yang akan sanggup mengalahkannya?
"Mungkin kau pernah mendengar julukan
Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksa-
sa?! Kalau tidak salah, sekitar lima belas tahun
yang lalu?!" tanya Janggara.
Aiya mengangguk, karena memang pernah
mendengarnya. Kedua tokoh yang disebutkan tadi
memang memiliki kepandaian dahsyat. Begitu me-
nurut berita yang tersebar di dunia persilatan. Se
hingga tokoh sakti pentolan dunia pendekar
seperti Golok Malaikat harus menelan kenyataan
pahit, dicundangi mereka dalam pertarungan satu
lawan satu!
"Nah! Mereka adalah penjaga-penjaga jalan
menuju Puncak Nirwana! Di tempat asal mereka
tidak ada julukan apa pun. Tapi begitu turun gu-
nung, muncul julukan atas mereka karena tinda-
kan-tindakan mereka yang menggemparkan!"
"Kudengar mereka tidak jahat!" selak Aiya
mengajukan pendapatnya.
"Memang tidak! Mereka turun gunung kare-
na mencariku. Aku kabur dari Puncak Nirwana,
karena tidak tahan berdiam di sana terus mene-
rus. Aku ingin langsung membalas sakit hatiku
pada tokoh-tokoh hitam yang menyebabkan ke-
luargaku tewas. Ayah, ibu, dan adik-adikku tewas
oleh gerombolan perampok. Maka setiap tokoh go-
longan hitam adalah musuh besarku. Yang hams
ku basmi!
"Pantas, kemarin dulu waktu didatangi ke-
lompok tokoh-tokoh hitam, tindakanmu terlalu ke-
ras!" kata Aiya mengangguk-angguk maklum.
"Yahhh...! Kira-kira demikian, Arya."
Suasana hening ketika Janggara menghen-
tikan cerita. Saat itu, baru Aiya teringat pada Wi-
tari. Gadis ini ternyata tidak mampu bergerak sa-
ma sekali dalam keadaan rebah miring. Rupanya,
dia tertotok sehingga lumpuh.
"Ah...! Hampir aku lupa...?!"
Sambil berkata demikian, Arya mengi-
baskan tangan kanan ke bawah seperti orang
mengebut lalat. Gadis berpakaian merah yang
memang Witari merasakan jalan darahnya kembali
lancar. Namun, dengan muka merah, dia bangkit
dan menerjang Janggara.
Tapi, hal itu sudah diperhitungkan Dewa
Arak. Sebelum serangan Witari mengenai sasaran-
nya, di kirimkan totokan dari jauh. Sehingga, tu-
buh Witari ambruk seperti semula ketika jalan da-
rahnya di bagian bahu kanan tertotok.
"Maafkan aku, Witari. Kurasa kau telah
dengar sendiri. Salah paham telah selesai. Syukur,
Kakek ini mau memaafkan kesalahanmu. Kalau
tidak.... Sudahlah. Tak usah kau perpanjang lagi
masalah ini. Lagi pula aku mendapat tugas dari
Eyang Sangga Langit untuk menjagamu dari mara
bahaya. Gurumu khawatir, terjadi sesuatu atas di-
rimu!"
Witari diam, tidak menjawab sama sekali.
Hal ini membuat Aiya agak heran. Dia tahu, urat
suara gadis ini tidak tertotok. Lalu, mengapa tidak
mau bicara sama sekali? "Kalau menurut penda-
patmu..., apa yang seharusnya kulakukan, Arya?!"
Pertanyaan Janggara membuat Aiya menga-
lihkan perhatiannya pada kakek itu.
"Maksudmu untuk menyelamatkan nyawa
muridmu itu, Kek?!" tanya Aiya meminta kepas-
tian.
"Benar, Aiya. Melalui dua penjaga, Raksasa
Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksasa, aku
tahu Tuan Besar pemilik Puncak Nirwana itu men-
gajukan persyaratan, kalau aku ingin muridku
kembali selamat."
"Apa syaratnya?!"
"Dia meminta ku untuk memulangkan se-
mua pusaka yang dulu kubawa sewaktu kabur da-
ri Puncak Nirwana!" jawab Janggara, malu-malu.
"Nah! Tunggu apa lagi?! Dia sudah bersikap
bijaksana dengan memberikan pilihan bagi kese-
lamatan muridmu, Kek. Bahkan tidak mau meng-
hukum mu. Dia hanya minta pusaka-pusaka
kembali! Sekarang, tinggal terserah padamu. Lebih
berat pada pusaka, atau pada nyawa muridmu?"
"Itulah sulitnya, Aiya. Pusaka yang dimak-
sud sudah tak ada lagi di tanganku!"
"Ah...! Mengapa bisa demikian, Kek?!" tanya
Aiya, tanpa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Aku menyembunyikannya di suatu tempat.
Tapi ketika aku bermaksud mengambilnya
lagi, ternyata telah hilang. Belakangan kuketahui
kalau pusaka itu telah berada di tangan seorang
pendekar. Aku ragu, bagaimana cara menda-
patkannya kembali!"
"Mungkin kau bisa memintanya secara
baik-baik, Kek?!" Aiya mengajukan usul.
"Bagaimana mungkin, Aiya?! Pusaka itu te-
lah menjadi senjata andalan pendekar itu. Tanpa
adanya pusaka itu, dia bagai macan yang telah di-
cabut gigi dan kukunya. Begitu yang kudengar
menurut berita di dunia persilatan," bantah Jang-
gara.
Suasana kembali hening.
"Kalau seandainya kau orangnya, bagaima-
na tindakanmu, Arya?! Ini, misalnya," pancing
Janggara.
"Mungkin akan kuberikan, Kek. Tapi,
mungkin pula tidak. Ini bukan masalah semba-
rangan. Bukankah pusaka tidak lebih berharga
daripada nyawa. Pusaka masih bisa dicari gan-
tinya. Sedangkan nyawa? Tidak!"
"Kalau begitu..., aku mohon kebijaksanaan
mu untuk memberi pusaka itu padaku untuk me-
nebus nyawa muridku itu, Arya," ujar Janggara.
Aiya melompat ke belakang bagai disengat
kalajengking. Wajahnya kontan berubah hebat.
"Apa maksudmu, Kek?! Jangan main-main!"
seru Aiya memperingatkan.
"Aku tidak main-main, Aiya. Pusaka yang
ku maksud memang ada padamu. Kaulah pende-
kar yang kumaksudkan," ungkap Janggara, ber-
sungguh-sungguh.
Arya terpaku kaku di tempatnya, bagai
orang terkena sihir. Pemuda ini kelihatan bingung
sekali, karena tidak menyangka kalau pusaka yang
dimaksudkan ada di tangannya.
"Jadi..., pusaka yang kau maksudkan itu
adalah..., guci pusakaku ini, Kek?!" tanya Aiya,
terbata-bata.
Janggara mengangguk.
"Guci itulah yang kularikan dari Puncak
Nirwana, Arya. Karena aku tahu betul khasiatnya.
Mampu menawarkan racun-racun, mampu mem-
buat arak yang lemah sekali pun menjadi keras,
dan dapat dijadikan senjata. Bahkan masih ba-
nyak lagi kehebatan lainnya. Aku tidak tahu, ba-
gaimana pusaka itu bisa ada padamu. Tapi, ku
mohon kesediaanmu untuk memberi guci itu pa-
daku untuk di tukar nyawa muridku, Arya."
Arya tidak langsung memberi tanggapan.
Dia masih berperang melawan batinnya. Dua kein-
ginan yang berlawanan berkecamuk dalam ha-
tinya. Satu sisi ingin memberi, di sisi lain menolak.
"Tidak bisakah yang lainnya, Kek?! Bukan-
nya aku tidak peduli nasib muridmu atau terlalu
tamak dengan pusaka. Sama sekali tidak! Tapi...,
guci ini teramat penting artinya bagiku. Tanpa
adanya guci ini, bagaimana mungkin aku berjuluk
Dewa Arak. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' tidak
akan bisa ku mainkan, tanpa guci ini. Julukan
Dewa Arak mungkin akan hapus karenanya," kilah
Dewa Arak, memberi alasan.
Janggara tersenyum pahit
"Seperti yang kukatakan tadi, Arya. Guci itu
amat berarti bagi seorang pendekar. Laksana nya-
wa kedua baginya. Jadi, yahhh...! Aku tidak bisa
mengharap terlalu banyak," desah Janggara.
"Beri aku kesempatan untuk berpikir, Kek,"
pinta Arya. "Ketahuilah. Kalau hanya dua alasan
itu, aku tidak terlalu berat untuk melepaskannya.
Meski berat, tapi mungkin aku akan memberikan-
nya padamu. Betapapun juga, nyawa manusia
jauh lebih berharga daripada pusaka."
"Jadi..., masih ada alasan lain yang mem-
buat mu merasa keberatan, Aiya?!" tanya Jangga-
ra agak kaget.
"Benar, Kek. Malah justru ini yang terberat!
Perlu kau ketahui, guci ini pemberian guruku. Dan
dia memberikan, untuk menjadi pelengkap ilmu
andalan yang diwariskannya padaku!"
"Ah...!"
Janggara mengeluarkan keluhan tanpa
sempat ditahan lagi. Sebagai seorang tokoh persi-
latan yang menghargai hubungan murid dan guru,
kakek ini tahu betapa pentingnya warisan seorang
guru. Dan seorang murid wajib menjaga pembe-
rian gurunya dengan sebaik-baiknya. Karena, itu
sama dengan amanat Janggara pun tahu, rasa
bimbang Dewa Arak semakin bertumpuk.
"Kurasa," Janggara membuka ucapan lagi
dengan suara kering dan getir. "Aku tidak perlu
melibatkanmu dalam hal ini, Aiya. Biarlah kucari
cara lain untuk menyelamatkan muridku."
Arya tidak memberi tanggapan. Keningnya
tampak berkernyit, tengah berpikir keras.
"Aku mempunyai jalan lain, Kek. Bagaima-
na kalau kita pergi bersama-sama. Kita coba un-
tuk meminta kebijaksanaan penghuni Puncak
Nirwana itu. Kalau dia tetap tidak menerima, apa
boleh buat. Mungkin guci itu terpaksa harus kube-
rikan. Biar bagaimanapun, benda itu toh asalnya
dari sana," jelas Dewa Arak.
"Sebuah usul yang baik, Aiya," sahut Jang-
gara tidak terlalu gembira. "Tapi terus terang saja,
aku tidak terlalu yakin kalau Tuan Besar itu mau
menerima kedatangan kita."
"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba du-
lu, Kek?!" kilah Aiya memberi semangat.
"Kau benar, Aiya. Tapi...."
"Apa yang perlu diragukan lagi, Kek?! Bu-
kankah menurut pengakuanmu, penghuni Pun-
cak. Nirwana adalah orang-orang yang berwatak
bijaksana dan suka menolong. Aku yakin, mereka
akan memberi keputusan yang adil!"
Janggara untuk yang ke sekian kalinya
menghela napas berat. Hal ini membuat Aiya he-
ran. Karena sebagai pemuda yang kenyang penga-
laman, dia bisa tahu ada sesuatu yang masih dis-
embunyikan kakek itu.
"Dulu penghuni Puncak Nirwana memang
memiliki watak baik hati dan suka menolong. Tapi
sekarang, entah mengapa bisa sampai berubah se-
perti ini. Aku tidak percaya lagi, Arya. Tapi, tidak
ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa mu-
ridku. Menurut pendapatmu, pantaskah seorang
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, menyande-
ra seorang gadis muda untuk memaksa gurunya
memenuhi permintaan itu?! Bukankah ini aneh?!
Aku yakin, telah terjadi perubahan pada diri peng-
huni Puncak Nirwana itu."
Arya diam. Meski demikian, dalam hatinya
menyetujui pendapat yang dikemukakan Janggara.
"Bahkan...," sambut Janggara lagi. "Bukan
hanya kembalinya guci pusaka untuk merebut
nyawa muridku, tapi juga seorang gadis cantik
berpakaian merah yang bernama Witari."
Di luar dugaan Janggara, Arya tidak kaget
sama sekali. Bahkan seperti telah mengetahui se-
belumnya.
"Kau tidak kaget, Aiya?! Apakah kau telah
menduga sebelumnya?!" Arya mengangguk.
"Aku merasa curiga, ketika Witari tidak
mampu bicara. Padahal, aku tahu secara pasti, ka-
lau tidak ada totokan pada urat suaranya. Berarti
ada seseorang yang telah melakukan sesuatu
membuat urat suaranya tidak mampu bekerja. Pa-
dahal tadi, sewaktu tubuhnya tersungkur aku
sempat mendengar jeritan kagetnya," jelas Aiya be-
ralasan.
Janggara diam, namun wajahnya mendadak
berubah memerah. Ini menjadi petunjuk kalau ka-
kek itu merasa malu.
"Dan setelah tahu semua ini, kau masih
mau menolongku, Arya?!" tanya Janggara setengah
tak percaya.
"Tentu saja, Kek. Aku tahu, kau bukan
orang jahat. Dan tindakan yang kau lakukan pun
bukan karena itu. Tapi, karena terdorong keingi-
nan untuk menolong muridmu. Dan lagi, kalau
kau memaksa untuk membawa Witari, mana
mungkin aku mampu menghalangimu?!"
"Kau memang pintar merendah, Arya. Mana
mungkin aku yang setua ini dapat mengalahkan
mu?!"
Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera mem-
bebaskan totokan yang membelenggu Witari. Se-
dangkan, Janggara mengeluarkan obat sedot yang
membuat urat suara gadis itu kembali seperti bi-
Witari ternyata tidak menyerang Janggara
lagi. Karena sebelumnya, Aiya telah membujuk-
nya. Dan gadis itu memang tidak keras kepala.
Sekarang, ketiga tokoh ini telah melesat
menuju Puncak Nirwana. Aiya sengaja mengajak
Witari untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu hal
yang ditakuti.
8
"Itulah pintu masuk menuju Puncak Nirwa-
na, Aiya," jelas Janggara ketika melalui jalan berli-
ku-liku yang sukar ditemukan orang.
Tidak hanya Arya yang mengarahkan pan-
dangan ke arah yang ditunjukkan kakek itu, tapi
juga Witari. Di depan sana jalan berbatu padas
membentang. Di kejauhan, dua buah gundukan
batu sebesar gajah, berjarak sekitar setengah tom-
bak saling bersebelahan memisahkan jalan. Dan
tempat ini adalah pos penjagaan Tuyul Bertenaga
Raksasa.
"Hey...!"
Seruan kaget hampir berbareng keluar dan
mulut mereka bertiga begitu melihat sosok tubuh
berpakaian biru terlempar keluar dari celah-celah
batu yang merupakan pintu gerbang.
"Dia..., gadis itu..., putri Golok Malaikat..!"
seru Arya. Meskipun jaraknya cukup jauh, namun
dari pakaiannya yang kuning bisa dikenali kalau
sosok yang terlempar adalah Sunti Ranti!
Baru saja seruan pemuda berambut putih
keperakan itu keluar, dari celah batu yang sama
melesat sesosok tubuh kecil dan pendek.
"Itulah Tuyul Bertenaga Raksasa! Penjaga
pos ini...!" teriak Janggara.
Melihat keadaan itu, membuat Janggara,
Dewa Arak, dan Witari semakin mempercepat lari.
Berada paling depan adalah Dewa Arak. Di bela-
kangnya, Janggara. Dan terakhir Witari.
Dewa Arak tiba pada saat yang tepat. Tu-
buhnya melesat, menyelak di antara kedua tokoh
yang bertarung tak seimbang. Lalu segera dipa-
paknya....
Plak!
"Uhhh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa mengeluh kaget,
ketika tubuhnya terhuyung ke belakang akibat
tangkisan Dewa Arak. Di lain pihak, pemuda itu
pun terhuyung sedikit ke belakang.
"Menyingkirlah, Nona," ujar Arya tanpa me-
noleh karena tahu sedang berhadapan dengan seo-
rang lawan, tangguh. "Dia terlalu tangguh untuk
mu."
Sunti Ranti yang menyadari kesaktian
Tuyul Bertenaga Raksasa tidak banyak memban-
tah. Kakinya segera melangkah mundur setelah
terlebih dulu menatap penuh kagum pada Dewa
Arak.
Sementara Tuyul Bertenaga Raksasa mena-
tap Arya penuh selidik dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
"Kukira hanya aku yang dilahirkan dalam
keadaan tak wajar. Ternyata, tidak. Hey! Kau ini
anak muda atau orang tua sih?!" tanya kakek kecil
kurus itu, seperti bertanya pada seorang anak ke-
cil.
"Kalau menurut penglihatanmu, bagaima-
na?!" balas Arya. Nadanya memberikan pilihan.
"Tentu saja kakek-kakek! Ha ha ha...!" ja-
wab Tuyul Bertenaga Raksasa penuh rasa gembira
karena merasa berhasil mengejek.
"Kalau begitu, matamu perlu juga diperiksa,
Kek! Bukan hanya tubuhmu saja yang tidak wajar
tapi juga matamu!" balas Aiya.
Kini Tuyul Bertenaga Raksasa yang justru
mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot.
"Kunyuk lapar, Singa ompong! Kuda pin-
cang! Lalat jelek! Kecoak buduk! Nah! Semua itu-
lah perkataan yang paling cocok untukmu, Orang
Aneh! Orang setengah tua setengah muda!"
"Terserah apa katamu saja, Kek," jawab
Aiya sambil berusaha menahan perasaan geli.
Tingkah kakek itu benar-benar membuatnya ham-
pir tidak bisa menahan tawa.
"Ah! Jadi kau menantangku rupanya?! Me-
rasa sakti, setelah menangkis seranganku?! Ru-
panya kau sok jago, karena ada gadis cantik di be-
lakangmu, eh?! Sok pahlawan! Cara kuno! Semua
orang sudah tahu, kau hanya berusaha menarik
perhatian gadis itu kan?!" celoteh Tuyul Bertenaga
Raksasa panjang lebar.
Wajah Arya kontan memerah. Makian itu
terlalu! Dia khawatir, Sunti Ranti akan salah teri-
"Kakek aneh! Mulutmu semakin tidak ka-
ruan! Ketahuilah, aku datang untuk menemui
Tuan Besarmu! Cepat antarkan aku ke sana!" seru
Arya.
"Kau kira mudah untuk bertemu Tuan Be-
sar?! Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin me-
nemuinya?!" tantang Tuyul Bertenaga Raksasa
sambil membusungkan dadanya yang tipis seperti
papan.
Dan sebelum Arya memberikan tanggapan,
Tuyul Bertenaga Raksasa telah menyerang. Setiap
serangannya menimbulkan bunyi bercicitan nyar-
ing.
Dan tak punya pilihan lain, kecuali melade-
ninya. Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan
lagi.
Diam-diam Dewa Arak mengakui kebenaran
ucapan Janggara. Tuyul Bertenaga Raksasa me-
mang memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali
tenaga dalamnya. Beberapa gebrakan dengan tan-
gan kosong, pemuda berambut putih keperakan ini
telah bisa melihat sendiri kelihaian lawannya.
Sementara itu Janggara, Sunti Ranti, dan
Witari menyaksikan pertarungan dengan hati ter-
tarik bercampur kagum. Terutama sekali, Jangga-
ra. Untuk pertama-kalinya, dia berhasil menyaksi-
kan sendiri kelihaian pemuda berambut putih ke-
perakan itu. Terlihat jelas kalau Dewa Arak berha-
sil menekan lawannya.
Memang, bagi Janggara sendiri, Tuyul Ber-
tenaga Raksasa masih ada di bawahnya. Tapi ken-
dati demikian, kakek ini tidak berani memastikan
kalau menghadapi Dewa Arak akan unggul.
Sementara itu Sunti Ranti dan Witari tidak
terlalu terpaku pada pertarungan itu. Gadis-gadis
manis ini saling lirik satu sama lain. Ada sorot iri
pada sinar mata mereka, yang timbul karena pera-
saan cemburu. Beberapa kali mereka saling ben-
trok pandang, dengan cepat masing-masing pihak
mengalihkan tatapan ke arah lain.
Witari merasa iri pada Sunti Ranti. Dia ta-
hu, putri Golok Malaikat itu cantik jelita. Dan bu-
kan tidak mungkin Dewa Arak akan jatuh hati pa-
danya. Memang dalam hati kedua gadis manis ini
ada rasa tertarik yang besar terhadap Dewa Arak.
Pemuda itu demikian tampan, lihai, tapi rendah
hati. Bahkan terlihat matang penuh pengalaman
hidup.
Di lain pihak Sunti Ranti, juga tidak senang
pada Witari. Gadis ini tidak habis pikir, bagaimana
Dewa Arak bisa berjalan bersama gadis itu. Sama
sekali tidak disangka kalau Dewa Arak bisa jatuh
hati pada Witari. Hatinya pun panas, karena cem-
buru.
"Akh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa menjerit kesaki-
tan ketika tangan Dewa Arak telah menampar
pundaknya. Tubuhnya kontan terpelanting ke be-
lakang. Dari mulutnya keluar darah segar!
Sebelum Tuyul Bertenaga Raksasa berbuat
sesuatu, Dewa Arak telah melesat cepat. Kakek ini
tidak bisa berkutik lagi, ketika jari tangan Dewa
Arak telah menempel pada ubun-ubunnya.
Tuyul Bertenaga Raksasa tahu, dia telah ka-
lah. Sedikit saja jari tangan Dewa Arak bergerak
menekan, nyawanya akan melayang dengan kepala
pecah!
"Tunggu apa lagi?! Aku telah kalah! Bunuh-
lah aku...!" pekik Tuyul Bertenaga Raksasa. Pekik
yang keluar dari hati yang kecewa, karena gagal
menunaikan tugas.
Bukannya memenuhi permintaan itu, Arya
bahkan menjauhkan jari-jari tangannya dari
ubun-ubun Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Aku bukan pembunuh berdarah dingin,
Kek. Lagi pula, aku tidak pernah mau membunuh
lawan yang tak berdaya. Di samping itu, kedatan-
ganku kemari bukan untuk mencari permusuhan!
Kau telah kalah, berarti aku bebas masuk ke da-
lam!"
Setelah berkata demikian, tanpa peduli lagi
Aiya meninggalkan Tuyul Bertenaga Raksasa. Ka-
kinya cepat terayun menuju ke dalam. Di belakang
nya, Janggara, dan dua gadis lain yang berjalan
saling berjauhan ikut masuk pula.
Tapi sekitar belasan tombak kemudian, ke-
tika medan yang ditempuh berupa hutan kecil
dengan hamparan semak-semak dan ranting ker-
ing di sekitarnya, muncul sesosok tubuh mengha-
dang. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Kapak Maut
"Biarkan mereka masuk...!"
Belum juga Raksasa Kapak Maut bertindak,
terdengar seruan keras. Maka kapak di bahunya
yang siap digunakan untuk menyerang segera di-
turunkan. Seruan yang menggema karena dikelua-
rkan lewat pengerahan ilmu mengirimkan suara
dari jauh, membuat semua yang ada di tempat ini
terkejut
"Ikut aku...!"
Tiba-tiba Raksasa Kapak Maut berujar
sambil berbalik. Kakinya lantas melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Lelaki tinggi besar ini tentu
saja mengenal Janggara yang bersama Dewa Arak.
Namun sedikit pun tidak ada teguran dari mulut-
nya.
"Hik hik hik..!"
Satu tawa mengikik nyaring tiba-tiba me-
mecahkan ketegangan ketika Dewa Arak dan
orang-orang yang bersamanya telah berada di tepi
jurang yang sangat dalam. Mereka menjadi was-
was, apakah harus menyeberangi jurang yang
menggunakan seutas tambang ini, atau tidak. Bu-
kan tidak mungkin kalau mereka semua akan di-
kandaskan di dasar jurang yang dalam ini.
"Rupanya, Dewa Arak dan Janggara hanya
manusia-manusia pengecut yang tak berani
menghadapi tantangan! Hik hik hik...! Ingin ku-
dengar bagaimana tanggapan dunia persilatan ka-
lau mendengar hal ini!"
"Jangan harap kau bisa memancing kami
untuk bisa dijebak dengan akal bulus itu, Sobat!"
sahut Dewa Arak, seperti berbisik.
Pada saat berkata tadi, wajah Dewa Arak
tampak merah. Dan semua yang ada di sini tahu,
pemuda itu memang tengah mengerahkan ilmu
mengirimkan suara jarak jauh. Buktinya, bunyi
yang terdengar di seberang jurang keras dan lan-
tang.
"Hik hik hik...!"
Tawa mengikik terdengar lagi, menyambut
ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa yang keluar dari
mulut seorang nenek-nenek!
"Kalau kau bersikap jujur, keluarlah! Dan,
antarkan kami sampai ke seberang. Kalau tidak,
berarti kau hanya ingin menjebak kami!" teriak Wi-
tari, memberikan usul.
Witari memang memiliki watak tenang. Na-
mun sekali berbicara, tepat pada sasaran.
Sementara itu Janggara tampak berdiam di-
ri. Sebenarnya kakek ini pun ingin mengajukan
ucapan. Namun, sadar kalau dirinya seorang pela-
rian dari tempat itu, ucapan yang hampir keluar
dari mulut ditahannya.
"Hik hik hik...! Usulmu boleh juga, Witari?!
Mana suami gelap mu, si Tua Bangka Sangga Lan-
git?! Mengapa tidak kau ajak kemari?! Hik hik
hik...! Sama sekali tidak kusangka, kalau gadis
semuda dan secantikmu mau menyerahkan diri
pada seorang kakek yang sudah bau tanah! Hik
hik hik...! Permainan cinta kalian luar biasa!" ejek
suara di seberang tebing.
Wajah Witari seketika pucat pasi. Sungguh
tak diduga, kalau suara itu menyerang pribadinya
habis-habisan.
Sementara Janggara dan Sunti Ranti yang
semula tidak tahu-menahu, seketika menoleh ke
arah gadis berpakaian merah. Mereka sama sekali
tidak menduga kalau apa yang dikatakan pemilik
Puncak Nirwana itu benar-benar terjadi! Namun
tampak kalau Witari sama sekali tidak berusaha
membantah. Benarkah hal itu terjadi?!
Dewa Arak tiba-tiba ingat sesuatu. Menurut
cerita Eyang Sangga Langit, perbuatan terkutuk
bersama muridnya terjadi karena masing-masing
seperti orang yang kehilangan ingatan. Sehingga,
semua tindakannya tidak dapat dikendalikan lagi.
Peristiwa itu terjadi tanpa ada seorang pun saksi
yang tahu. Jadi, dari mana pemilik Puncak Nirwa-
na tahu peristiwa itu?
Dalam masalah ini, Eyang Sangga Langit
mencurigai adanya pihak ketiga yang menyebab-
kan peristiwa itu terjadi.
Pemuda berambut putih keperakan ini sege-
ra mencurigai akan adanya hal-hal yang tidak
beres di sini. Setidak-tidaknya, pemilik Puncak
Nirwana ini tahu pelaku yang menyebabkan peris-
tiwa terkutuk itu terjadi. Bahkan bukan tidak
mungkin kalau penyebab semua itu justru pemilik
Puncak Nirwana ini!
"Tidak usah berpura-pura dalam berbicara,
Nek! Aku tahu, kaulah yang menjadi biang keladi
terjadinya peristiwa terkutuk itu! Dan kau harus
membayar semua tindakan kejimu, Nek!"
Kali ini Dewa Arak tidak sungkan-sungkan
lagi, karena tahu kalau pemilik itu adalah seorang
wanita yang telah tua.
"Hik hik hik...! Kau memang cerdik, Dewa
Arak! Otakmu encer, sehingga bisa menduga, ka-
lau orang di balik semua kejadian itu! Aku! Akulah
yang telah menyebabkan Eyang Sangga Langit
yang sakti roboh di dalam pelukan nafsu! Hik hik
hik.... Ingin kulihat sendiri, bagaimana wajah tua
bangka itu, bila tahu kalau pelaku semua ini ada-
lah aku! Nah! Karena kalian telah menungguku,
aku datang untuk mengantarkan ke Puncak Nir-
wana!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, semua
yang ada di tepi jurang melihat sesosok tubuh
bungkuk memegang tongkat melangkah tertatih-
tatih meniti tambang dari arah seberang. Sebelah
kaki sosok bungkuk itu ternyata buntung sebatas
pangkal paha. Melihat langkahnya benar-benar
mengundang iba.
Namun dalam hati Witari, sedikit pun tak
ada perasaan iba. Gadis yang semula sudah melu-
pakan luka hatinya, kembali terbangkit amarah-
nya. Sepasang matanya memancarkan kebencian
dan nafsu membunuh ketika menatap sosok
bungkuk berjarak belasan tombak yang diketa-
huinya, sebagai dalang dari peristiwa terkutuk
yang menimpa dirinya.
Maka tanpa peduli lagi, Witari langsung me-
lesat ke arah pinggir tebing sambil mencabut su-
lingnya. Lalu dengan cepat ujung sulingnya ditu-
sukkan ke tambang yang berada di sisi tebing,
tempat kelompoknya berada. Dan....
Trak!
Ujung suling Witari tidak berhasil menusuk
tambang, karena Raksasa Kapak Maut lebih dulu
bertindak dengan memapak ujung suling Witari
lewat kakinya. Keras! Sehingga membuat tubuh
gadis berpakaian merah terhuyung-huyung ke be-
lakang.
Raksasa Kapak Maut benar-benar tak kenal
ampun. Rupanya sekali kapaknya keluar, tak akan
berhenti sebelum mengisap darah korban. Saat itu
pula kapaknya kembali diayunkan.
Sementara Dewa Arak tidak bisa tinggal di-
am melihat Witari terancam bahaya. Maka lang-
sung tubuhnya berkelebat memapak ayunan ka-
pak dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Klang!
Bunga api berpijar ke segala arah ketika
kapak besar Raksasa Kapak Maut berbenturan
dengan guci Dewa Arak. Bunyi berdentang keras
mengiringi benturan itu. Tampak tubuh Raksasa
Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Witari.
Kembali sulingnya ditusukkan ke arah tambang.
Melihat hal ini, Janggara tidak bisa tinggal diam.
Dia tahu, bila tambang itu putus, berarti putus ju-
ga hubungan menuju Puncak Nirwana. Dan itu be-
rarti, nyawa muridnya tidak dapat diselamatkan.
Maka seketika tubuhnya melesat memapak suling
dengan golok panjangnya.
Trak!
Janggara dan Witari sama-sama terhuyung
ke belakang. Namun terhuyungnya gadis itu lebih
jauh dua langkah. Pandang matanya tampak be-
ringas ketika menatap Janggara. Hatinya geram,
karena maksudnya dihalangi!
"Tahan Witari!" cegah Dewa Arak sebelum
keadaan memanas. "Tahan dulu dendammu, Wita-
ri! Percayalah. Akan ada saatnya untuk memba-
laskan dendammu. Yang terpenting saat ini, kita
harus membebaskan murid Kakek Janggara lebih
dulu, yang disandera Penguasa Puncak Nirwana.
Dan dia tak lain adalah Samukti, yang telah men-
curi ilmu 'Urai Raga’ yang seharusnya menjadi mi-
likmu."
Dewa Arak memang tahu kalau Samukti te-
lah berada di Puncak Nirwana, setelah Sunti Ranti
menceritakan mengapa bisa bertempur dengan
Tuyul Bertenaga Raksasa.
Waktu putri Golok Malaikat ini mengejar-
ngejar Samukti yang masih dalam bentuk raksasa!
Karena bentuk yang belum kembali ke asal ini,
Sunti Ranti bisa mengikuti kepergian Samukti me-
lalui jejak langkahnya. Dan ternyata, jejak itu me-
nuju ke Puncak Nirwana.
Sunti Ranti yang tidak tahu kalau tempat
yang ditujunya adalah Puncak Nirwana, segera sa-
ja menerobos masuk. Tentu saja Tuyul Bertenaga
Raksasa tidak membiarkannya! Maka pertarungan
antara mereka pun terjadi, sampai akhirnya Dewa
Arak keburu menolong.
Sementara itu, Witari mulai bisa berpikir
jernih. Nasihat Dewa Arak memang benar. Dan se-
telah menghela napas berat, sulingnya disimpan di
pinggang.
Pada saat yang bersamaan, sosok bungkuk
berkaki satu telah tiba di ujung tambang. Kemu-
dian dengan sekali genjot, tubuhnya berada di de-
pan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Sunti Ranti menatap tak
berkedip. Inikah, tokoh pemilik Puncak Nirwana
yang terkenal amat sakti itu? Dia adalah seorang
nenek yang berusia sekitar tujuh puluh lima ta-
hun. Tubuhnya bungkuk, dengan seluruh rambut
berwarna putih. Telinganya dihiasi sepasang ant-
ing-anting besar mirip gelang.
Sementara, Witari menatap dengan sorot
kebencian. Kalau menuruti perasaan, sudah diter-
jangnya nenek bungkuk itu.
Sedangkan Janggara menatap dengan sinar
mata heran. Lelaki tua ini yakin, kalau pemilik
Puncak Nirwana bukan nenek berkaki satu ini.
Yang tidak dikenalnya sama sekali! Mengapa ne-
nek berkaki satu ini bisa berada di sini?
"Siapa kau?!" tanya Janggara. "Aku tahu
kau bukan pemilik Puncak Nirwana. Aku kenal be-
tul dengan pemiliknya!"
Pertanyaan kakek berwajah tirus itu, mem-
buat Dewa Arak, Sunti Ranti, dan Witari terperan-
jat. Jadi, nenek ini bukan pemilik Puncak Nirwa-
na? Lalu, di mana pemilik itu sebenarnya?
"Hik hik hik...! Kau Janggara, bukan?!"
tanya nenek berkaki satu itu, tidak mempedulikan
keheranan dan pertanyaan Janggara. "Mana guci
pusaka yang kuminta?! Cepat serahkan, kalau kau
ingin muridmu selamat!"
"Hmh.J"
Janggara menggeram seperti harimau luka.
Sama sekali tidak disangka kalau nenek inilah
yang telah meminta guci pusaka. Bahkan telah
menyandera muridnya. Memang waktu pergi ke
Puncak Nirwana, dia tidak bertemu nenek itu.
Janggara hanya bertemu Raksasa Kapak Maut,
yang diutus menyampaikan pesan tuannya!
"Aku tak akan menyerahkan guci pusaka
padamu!" tegas Janggara, mantap.
"Hik hik hik...! Kau cerdik, Janggara.
Meskipun kau serahkan guci itu, muridmu tetap
akan kubunuh! Biar kau rasakan betapa sakit hati
melihat ke matian orang yang dicintai!"
"Apa maksudmu, Nenek Jahanam?!" tanya
Janggara tidak mengerti.
"Sederhana saja," jawab nenek berkaki satu
dengan sorot mata beringas. "Kau telah membu-
nuh Singa Berbulu Putih. Kau tahu, dia itu sua-
miku!"
"Ah...!"
Seruan tertahan penuh rasa kaget keluar
hampir bersamaan dari mulut Janggara dan Wita-
ri.
"Kiranya kau wanita jalang yang pernah di-
ceritakan guruku. Kau pasti Nyai Kalangkang!" de-
sis Witari. "Pantas, kau melakukan kekejian terha-
dap kami. Kau merasa sakit hati, karena telah di-
usir guru, setelah berbuat zinah di dalam wilayah
perguruan. Sebagai hukuman, guru membuntungi
kakimu sebagai peringatan bagi yang lain. Kau
memang murid murtad!"
"Tutup mulutmu...!" bentak nenek berkaki
satu yang ternyata bernama Nyai Kalangkang.
"Kubunuh kau."
"Tidak usah repot-repot. Guru! Biar aku
yang membinasakannya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras menggele-
gar. Dan di tempat itu, tahu-tahu Samukti telah
berdiri dalam wujud seperti raksasa.
Samukti menggeram keras! Sehingga, mem-
buat semua orang yang berada di situ, jatuh berlu-
tut. Bahkan tubuh mereka menggigil hebat!
Hanya Nyai Kalangkang dan Raksasa Kapak
Maut yang tidak terpengaruh. Karena, Samukti ti-
dak menujukan ke arah mereka. Dengan kekeh
penuh kemenangan, nenek itu menghampiri Wita-
ri. Siap memberi hukuman!
Arya melihat ancaman maut menghantui
murid Eyang Sangga Langit. Saat itu juga seluruh
tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu tangannya ce-
pat dihentakkan. Maka saat itu pula serangkum
angin keras membuat tubuh Witari terlempar ter-
guling-guling. Akibatnya tongkat Nyai Kalangkang
hanya menghantam tanah hingga hancur beranta-
kan!
"Witari...! Lekas...!" seru Arya, menyuruh
gadis berpakaian merah itu melakukan petunjuk
Eyang Sangga Langit.
Dalam keadaan tubuh bergulingan, Witari
berseru keras!
"Urai Raga...!"
"Aaakh...!"
Samukti seketika mengeluarkan lengkingan
panjang bernada kesakitan. Tubuhnya terhuyung-
huyung. Kemudian tubuhnya ambruk, menggeliat
geliat laksana cacing kepanasan. Dia menggelepar-
gelepar, tanpa mempedulikan sekelilingnya. Dan
tidak terasa tubuhnya telah berada di bibir tebing.
Selain Dewa Arak dan Witari, semua yang
melihat kejadian ini merasa heran. Mengapa hal
seperti itu bisa terjadi terhadap Samukti. Hanya
kedua anak muda itu yang tahu. Tentu saja, Arya
tahu atas penjelasan Eyang Sangga Langit tentang
kelemahan ilmu itu. Maka tak heran bila Aiya
mengajak Witari ke Puncak Nirwana ini. Karena
menurut Eyang Sangga Langit gadis itulah yang
dapat membunuh Samukti.
Menurut penjelasan Eyang Sangga Langit,
ilmu 'Urai Raga' hanya bisa diberikan pada orang
yang berhak. Sehingga bila dipergunakan, tidak
menimbulkan celaka. Dalam hal ini, hanya Witari-
lah yang berhak.
Maka, begitu Witari menyerukannya, maka
ilmu raksasa yang menitis dalam diri Samukti be-
rusaha keluar menjumpai pemiliknya yang sah!
Maka kejadian yang menimpa Samukti pun demi-
kian. Karena bukan pemilik sah, begitu menggu-
nakan ilmu itu, Samukti tidak bisa kembali seperti
sedia kala. Tetap dalam keadaan tubuh tinggi be-
sar seperti raksasa.
Samukti terus bergulingan, sehingga...
"Aaa...!"
Disertai jeritan panjang, tubuh Samukti ter-
telan jurang yang siap merancah tubuhnya.
"Samukti...!" seru Nyai Kalangkang. Dengan
tindakan cepat, dia melompat untuk menangkap
tubuh pemuda berpakaian coklat itu.
Tap!
Tangan Samukti berhasil ditangkap! Namun
Nyai Kalangkang tidak mempunyai landasan kuat
untuk berpijak. Maka, tubuhnya pun ikut terbawa,
meluncur ke dasar jurang yang tak terukur da-
lamnya. Jeritan menyayat hati, mengiringi lenyap-
nya tubuh kedua tokoh sesat itu.
"Erghhh...!"
Raksasa Kapak Maut menggeram keras. Dia
tampak marah sekali. Namun, sebelum kapaknya
diayunkan....
"Apakah kau hendak membela orang jahat
seperti mereka, Raksasa Kapak Maut?! Ingat! Dia
bukan tuan besarmu! Bahkan, dia orang luar yang
jahat. Aku yakin, Tuan Besar telah dipengaruhi
oleh ilmu sihirnya. Mana Tuan Besar?!"
Raksasa Kapak Maut menghentikan niat-
nya, kemudian menggeleng.
"Tuan Besar sudah lama tidak terlihat, sete-
lah masuk ruangan semadi. Nyai Kalangkang dan
Samukti dibawa Tuan Besar ketika pergi keluar
atas dasar kasihan. Tuan Besar telah terlalu pi-
kun, sehingga tidak tahu kalau orang-orang yang
dibawanya jahat. Setelah masuk ruang semadi, be-
liau tidak tahu kalau wanita tua itu menggerayangi
ruang perpustakaan dan mempelajari ilmu-ilmu
hitam yang terlarang. Ilmu itulah yang diperguna-
kannya untuk bertindak jahat terhadap Eyang
Sangga Langit!"
"Apa yang dikatakannya memang benar."
Mendadak terdengar sebuah suara lain,
menyambung ucapan Raksasa Kapak Maut. Saat
itu juga semua yang berada di situ menoleh ke
arah asal suara. Namun, tak seorang pun yang ter-
lihat.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia tahu,
ada orang sakti yang sengaja mempermainkan
dengan ilmu memindahkan suara. Maka segera di-
kerahkannya pandangan ke seberang jurang, ke
arah Puncak Nirwana. Dewa Arak yakin, pemilik
suara itu akan datang dari sana. Bukan dari bela-
kang mereka.
Dugaan Dewa Arak ternyata tepat. Di atas
tambang, tampak sesosok tubuh kecil dan ringkih
tengah menyeberangi jurang sambil membopong
tubuh seorang gadis. Dia tidak sedang berjalan,
karena kakinya tidak bergerak sama sekali. Tepat-
nya, sosok itu tengah meluncur.
Dewa Arak sendiri merasa takjub, meski
hanya sebentar. Sulit diukur, sampai di mana ke-
tinggian tenaga dalam dan ilmu meringankan tu-
buh kakek itu.
Sementara itu, Sunti Ranti yang belum me-
rasa puas atas tewasnya Samukti, tiba-tiba mele-
sat ke arah tambang. Langsung dibabatnya tam-
bang itu dengan sulingnya.
"Ranti...! Jangan...!" cegah Dewa Arak, se-
raya melesat mendekat.
Namun terlambat! Tambang itu telah lebih
dulu putus. Semua orang yang ada di sini terkejut
bukan main. Apalagi ketika melihat tubuh kakek
itu melayang ke dalam jurang!
"Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara berlari
ke tepi tebing dan berseru keras dengan wajah pu-
cat.
"Tidak usah menjerit begitu, Raksasa. Juga
kau, Janggara."
Entah dari mana, tahu-tahu kembali ter-
dengar teguran yang membuat terkejut semua
yang ada di tempat ini. Serentak mereka semua
menoleh ke belakang. Tahu-tahu di situ berdiri,
kakek ringkih sambil membopong tubuh gadis
ramping.
"Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara meng-
hambur ke arah kakek ringkih yang dipanggil
Tuan Besar.
"Tak usah banyak tingkah, kalian!" tegur
kakek ringkih itu. "Dan kau, Janggara. Bukankah
ini muridmu?!"
Janggara segera menerima tubuh yang di-
angsurkan kakek ringkih ini, disertai ucapan teri-
ma kasih. Apalagi, kakek ini merupakan penolong,
guru, dan juga majikan yang telah mengampuni
kesalahannya.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak itu, kan?!"
tanya kakek ringkih itu pada Aiya.
Dewa Arak mengangguk.
"Boleh kulihat gucimu?!"
Kakek ringkih itu mengulurkan tangan.
Tentu saja Aiya tidak sudi gucinya diambil. Maka
tubuhnya segera bergerak menghindar. Tapi beta-
pa kagetnya Aiya, ketika gucinya telah berada di
tangan si kakek. Aiya jadi bingung. Padahal dia te-
lah berusaha mengelak. Kenyataannya, gucinya te-
rambil juga.
"Dari siapa kau dapatkan guci ini, Dewa
Arak? Gering Langit?!"
Arya tersentak mendengar nama gurunya
disebut-sebut. Dari mana kakek itu tahu?
"Kau tidak usah heran, Dewa Arak. Aku
adalah Sukma Palaga. Dan Gering Langit itu terhi-
tung kawanku. Beberapa kali dia datang ke tempat
ini. Dialah satu-satunya orang luar yang tahu ten-
tang hilangnya guci ini. Aku yakin, dia berhasil
menemukannya, lalu memberikannya padamu.
Kau tahu kan, mengapa aku tidak celaka di dasar
jurang?"
Dewa Arak mengangguk. Apalagi kalau bu-
kan ilmu gaib seperti yang dimiliki gurunya. Ilmu
'Ringkas Bumi' (Untuk jelasnya mengenai ilmu ini,
silahkan baca episode: "Penganut Ilmu Hitam").
"Terimalah kembali gucimu, Dewa Arak.
Kau lebih memerlukannya. Dan kalian semua yang
berada di sini, kuundang ke tempatku. Jangan
khawatir, tambang itu tidak hanya sehelai."
Tidak ada yang keberatan sama sekali den-
gan tawaran kakek bernama Sukma Palaga. Se-
mua dengan suka hati beranjak ke Puncak Nirwa-
na.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Pembalasan dari Liang Lahat
Emoticon