1
Seorang kakek berpakaian coklat yang war-
nanya hampir pudar membuka matanya yang se-
jak tadi terpejam. Sorot kehijauan dan tajam men-
corong dari sepasang mata yang hampir tertutup
"Mengapa masih bersembunyi? Tidakkah
lebih baik kalian menampakkan diri. Kalau kalian
tidak ingin bertemu denganku, aku tidak memak-
sa. Tapi ketahuilah, sebentar lagi aku akan me-
ninggalkan tempat ini. Jadi, kalau kalian memang
bermaksud menemuiku, sekaranglah saatnya,"
ujar kakek berpakaian coklat, lantang. Kendati bi-
bir kakek itu tidak terlihat bergerak sedikit pun.
Hening sejenak setelah gema ucapan kakek
berpakaian coklat tidak terdengar lagi. Keheningan
itu dipecahkan oleh gemerisik pelan. Disusul ke-
luarnya dua sosok tubuh dari kerimbunan semak
yang berada di dekat kakek berpakaian coklat.
Kedua sosok itu memiliki tubuh sedang.
Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup to-
peng dari kayu. Yang tampak hanya sepasang ma-
ta mereka yang tajam berkilat.
Dua sosok bertopeng kayu ini melangkah
dengan hati-hati mendekati kakek berpakaian cok-
lat. Sementara kakek itu tetap tenang dan tidak
bergeming sedikit pun dari duduknya.
Kakek berpakaian coklat tengah duduk ber-
sila. Ia baru saja menyelesaikan semadinya. Kakek
itu tidak duduk di atas tanah, melainkan di atas
tumpukan tengkorak manusia yang diatur sede-
mikian rupa. Tumpukan itu semakin ke atas se-
makin berkurang jumlahnya, sehingga membentuk
kerucut. Pada bagian teratas dari tumpukan teng-
korak menjadi landasan pantat kakek berpakaian
coklat.
Kakek itu memperhatikan sebentar kedua
sosok bertopeng kayu. Kemudian, dengan bibir
yang tidak bergerak dia membuka suara.
"Ada dua hal yang membuatku tidak me-
nyukai kalian. Pertama, sikap kalian. Aku tahu ka-
lian telah cukup lama berada di sini dan mengintai
diriku. Yang kedua adalah topeng yang menutup
wajah kalian. Berdasarkan hal ini bisa diketahui
kalian tidak bermaksud baik terhadapku. Ini su-
dah cukup membuatku mempunyai alasan untuk
membunuh kalian. Tapi kalian memang berun-
tung, datang di saat aku tengah gembira. Jadi, ku-
berikan kesempatan pada kalian untuk pergi dari
sini sebelum aku berubah pikiran!"
Dua sosok yang mengenakan topeng kayai
telah menghentikan langkahnya tiga tombak dari
kakek berpakaian coklat. Mereka saling berpan-
dangan sejenak.
"Sayang sekali." Sosok bertopeng kayu yang
bertubuh lebih kurus menyambuti ucapan kakek
berpakaian coklat. "Kami berdua sengaja datang ke
situ untuk menjumpaimu karena suatu maksud.
Sebelum maksud itu tercapai, kami terpaksa tidak
akan meninggalkan tempat ini."
Wajah kakek berpakaian coklat membesi.
Penolakan atas ancamannya membuatnya tersing-
gung. Tapi, sesaat kemudian wajah itu kembali se-
perti biasa. Tenang.
"Kalau begitu, aku yang akan pergi!" Kakek
berpakaian coklat mencoba bersabar.
"Tidak ada yang pergi dari sini! Tidak kami.
Tidak juga kau! Kecuali, kalau tujuan kami telah
tercapai!" tandas sosok bertopeng kayu yang ber-
tubuh lebih kurus.
Sorot ancaman maut terbayang pada sepa-
sang mata kakek berpakaian coklat.
"Rupanya kalian termasuk orang yang su-
kar diperlakukan dengan lembut. Kalian lebih su-
ka dikasari! Baik kalau itu yang kalian inginkan.
Meski saat ini aku tengah bergembira dan telah
bersumpah untuk menjauhi kekerasan, tidak be-
rarti aku merelakan saja orang menghina diriku!"
"Jangan salah sangka. Kami tidak ingin
mengajakmu bertarung. Kami akan pergi dari sini
atau membiarkanmu pergi asalkan kau mau
memberikan Golok Baja Hitam pada kami!" Sosok
bertopeng kayu yang lain buru-buru menukas.
"Golok Baja Hitam?!" Alis kakek berpakaian
coklat berkerut. Benda yang dimaksud orang ber-
topeng kayu itu memang ada padanya. Tapi, se-
pengetahuannya tidak ada hal istimewa pada ben-
da itu. Agak heran kalau ada orang yang menca-
rinya!
"Benar!" Yang menjawab orang bertopeng
kayu yang bertubuh lebih kurus. "Cepat berikan
Golok Baja Hitam, dan kami akan pergi dari sini!"
"He he he...!"
Tawa terkekeh yang bernada merendahkan
diperdengarkan kakek berpakaian coklat.
"Kalian kira, kalian siapa sehingga berani
meminta golok itu padaku? Apakah kalian tidak
tahu siapa aku?"
"Kami tahu!" Orang bertopeng yang lebih
kurus menganggukkan kepala. "Tapi, kami tidak
takut kepadamu! Memang harus kami akui orang-
orang persilatan merasa gentar terhadapmu, jan-
gan kau kira kami akan demikian. Bagi kami, ju-
lukan Iblis Tangan Maut tidak berarti apa-apa!"
"Keparat! Mulutmu terlalu berbisa. Kalau ti-
dak dihancurkan akan semakin kurang ajar nan-
tinya!"
Begitu ucapan kakek berpakaian coklat
yang ternyata berjuluk Iblis Tangan Maut selesai,
beberapa tengkorak berturut-turut melesat me-
ninggalkan tumpukan dan meluncur ke arah
orang bertopeng yang bertubuh lebih kurus.
"Permainan anak-anak kau tunjukkan di
hadapanku...?"
Orang bertopeng itu membarengi ucapan-
nya dengan mendorong tangan kanannya ke de-
pan. Dia tidak terlihat terkejut melihat tengkorak-
tengkorak itu meluncur ke arahnya dengan kece-
patan menakjubkan. Padahal, tengkorak-
tengkorak itu berasal dari lapisan ketiga dari ba-
wah, sementara jumlah lapisan ke seluruhannya
delapan!
Meski demikian, tumpukan tengkorak itu
tidak berantakan. Bahkan, tubuh kakek berpa-
kaian coklat tidak bergeser!
Orang bertopeng kayu itu memang tidak as-
al bicara. Dari tangannya keluar hembusan angin
keras yang berciutan nyaring. Tengkorak-
tengkorak hancur berantakan sebelum mengenai
sasaran ketika terhantam angin pukulannya.
Tapi, tidak semua tengkorak dihancurkan.
Tengkorak yang terakhir dibiarkannya. Hanya
daya luncurannya ditahan dengan dorongan angin
pukulannya.
Iblis Tangan Maut membelalak lebar melihat
serangannya demikian mudah dipatahkan. Sepa-
sang matanya yang tajam melotot seakan ingin ter-
lompat keluar karena tidak percaya.
Rasa penasaran membuat kakek berpa-
kaian coklat mengubah bentuk penyerangannya
ketika melihat tengkorak yang terakhir tidak di-
hancurkan. Sambil memekik nyaring, Iblis Tangan
Maut menjulurkan tangan kanannya ke depan.
Lawan kakek itu mengeluh tertahan. Teng-
korak yang semula terhenti luncurannya, menda-
dak melesat kembali dengan kecepatan sangat
tinggi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun
mengulurkan tangan dan mengerahkan tenaga da-
lam untuk menahan luncuran tengkorak. Perlahan
tengkorak itu tertahan dan berhenti.
Kakek berpakaian coklat tidak tinggal diam.
Kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan semua se-
hingga tengkorak kembali meluncur mendekati la-
wan. Orang bertopeng pun menambah tenaganya.
Sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling mendo-
rong untuk mengalahkan.
Teman orang bertopeng tidak berani ber-
buat apa-apa. Dia hanya menyaksikan jalannya
pertarungan dengan harap-harap cemas. Sepasang
matanya tak pernah lepas dari tengkorak yang
mengapung setengah tombak dari atas tanah.
Tengkorak itu tidak pernah diam di tempat.
Terkadang meluncur lambat ke arah Iblis Tangan
Maut. Dan, di lain saat melayang ke arah orang
bertopeng.
Beberapa saat lamanya hal itu terjadi, sebe-
lum akhirnya tengkorak mulai meluncur ke arah
Iblis Tangan Maut. Sedikit demi sedikit jarak anta-
ra tengkorak dengan Iblis Tangan Maut bertambah
dekat.
Di balik topeng kayunya, orang bertopeng
yang menjadi penonton tunggal tersenyum lega.
Dia tahu rekannya berada di pihak yang mengun-
tungkan. Dengan jelas dilihatnya tangan Iblis Tan-
gan Maut yang terjulur menggigil hebat. Dari atas
kepalanya mengepul uap putih yang kian menebal.
Sementara wajah tokoh itu telah dibanjiri peluh
yang terus menetes bagai aliran anak sungai.
"Huakh...!"
Iblis Tangan Maut memuntahkan darah se-
gar. Tubuhnya sampai terbungkuk ke depan. Ge-
rakannya membuat tumpukan tengkorak yang se-
jak tadi tetap rapi karena kekuatan tenaga dalam
Iblis Tangan Maut, buyar berantakan!
Tapi, justru hal ini yang menyelamatkan
nyawa Iblis Tangan Maut. Runtuhnya susunan
tengkorak menyebabkan tubuh Iblis Tangan Maut
terbawa jatuh. Akibatnya, tengkorak yang melun-
cur ke arahnya dengan cepat lewat beberapa jari di
atas kepala Iblis Tangan Maut.
"Bagaimana, Iblis Tangan Maut? Apakah
kau masih tidak bersedia menyerahkan Golok Baja
Hitam itu?"
Orang bertopeng kayu yang menjadi lawan
Iblis Tangan Maut bertanya seraya meletakkan
tangannya di ubun-ubun Iblis Tangan Maut. Sedi-
kit saja jari-jari yang dialiri tenaga dalam itu berge-
rak menekan, nyawa kakek berpakaian coklat
akan melayang ke alam baka!
Iblis Tangan Maut pun bukan orang bodoh.
Dia tahu lawannya memiliki kepandaian di atas-
nya. Terus melakukan perlawanan adalah perbua-
tan bodoh! Apalagi, jika dilakukan pada saat te-
rancam maut seperti sekarang. Iblis Tangan Maut
masih ingin hidup! Dia tidak ingin tewas karena
bertindak bodoh mempertahankan benda yang ti-
dak terlalu berarti.
Di dalam hati Iblis Tangan Maut masih me-
rasa heran. Benarkah Golok Baja Hitam sama se-
kali tidak berarti? Kalau benar demikian, mengapa
orang-orang bertopeng itu begitu ingin menda-
patkannya? Tidak mungkin orang berani memper-
taruhkan nyawa demi suatu benda yang tidak be-
rarti apa-apa! Apalagi orang-orang yang menca-
rinya tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti orang ber-
topeng kayu ini.
Iblis Tangan Maut yakin Golok Baja Hitam
memiliki sesuatu yang menarik. Timbul rasa
sayang di hati kakek berpakaian coklat untuk
memberikannya pada orang bertopeng.
"Aku bukan termasuk orang yang sabar, Ib-
lis Tangan Maut!" desis orang bertopeng. "Maka,
jangan coba-coba bermain gila! Sekali lagi ku pe-
ringatkan, cepat berikan Golok Baja Hitam atau
kau akan mati tersiksa!" Iblis Tangan Maut mera-
sakan nada kesungguhan dalam ancaman itu. Dia
tidak berani bertindak sembarangan. Kakek itu ti-
dak mau mempertaruhkan dirinya dengan Golok
Baja Hitam yang belum diketahui kegunaannya.
"Senjata yang kau maksud itu tidak kuba-
wa, Sobat. Tapi, kalau kau mau mengambilnya
sendiri, silakan mengambilnya di goa tempat ting-
galku," jawab Iblis Tangan Maut seraya menunjuk
ke satu arah di belakangnya. Tampak gundukan
batu yang hampir menyerupai bukit. Pada salah
satu sisinya terdapat sebuah lubang.
Dengan isyarat tangan, orang bertopeng
kayu yang mengalahkan Iblis Tangan Maut mem-
beri perintah pada rekannya untuk mengambil
senjata itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang bertopeng itu melesat ke arah gundukan ba-
tu. Sementara rekannya menunggu sambil men-
gawasi Iblis Tangan Maut. Kakek berpakaian cok-
lat itu telah duduk bersila dan siap melakukan
semadi untuk mengobati luka dalam di tubuhnya.
"Ingat, Iblis Tangan Maut," desis orang ber-
topeng. "Apabila kau mempermainkan kami, maka
nyawamu tidak akan bisa kau selamatkan lagi!"
Tidak ada jawaban sepatah pun dari mulut
Iblis Tangan Maut. Dia malah menenggelamkan di-
ri dalam keheningan semadinya. Kalau lukanya
dibiarkan terlalu lama akan semakin parah dan
dapat membawa ke matian.
Tak lama kemudian, orang bertopeng yang
bertugas mengambil Golok Baja Hitam keluar dari
mulut goa. Dengan cepat ia melesat ke arah re-
kannya. "Mari kita pergi," ajak kawannya begitu ia
tiba di dekatnya.
Tanpa mempedulikan nasib Iblis Tangan
Maut, dua orang bertopeng itu melesat ke arah ta-
di mereka datang. Dalam beberapa kali lesatan sa-
ja tubuh keduanya sudah tidak terlihat lagi. Iblis
Tangan Maut tidak memperhatikan karena masih
sibuk dengan semadinya.
Entah berapa lama bersemadi, Iblis Tangan
Maut tidak mengetahuinya. Yang jelas ketika dia
membuka sepasang matanya, di depannya telah
berdiri dua sosok tubuh. Sepasang muda-mudi
yang memiliki wajah elok. Mereka mengenakan
pakaian yang warnanya berlawanan. Yang wanita
mengenakan pakaian merah, sedangkan yang lela-
ki berpakaian putih!
"Apakah kau orang yang berjuluk Iblis Tan-
gan Maut?" tanya gadis berpakaian merah, ramah.
Iblis Tangan Maut mengeluh dalam hati.
Sungguh tidak disangka berturut-turut ia didatan-
gi orang-orang yang mempunyai kepentingan den-
gannya. Kakek berpakaian coklat itu tahu kendati
gadis berpakaian merah mengajukan pertanyaan
dengan ramah, tidak berarti mereka datang den-
gan maksud baik. Walaupun demikian, bukan wa-
tak kakek berpakaian coklat ini untuk berbohong.
Apalagi sampai tidak mengakui julukannya sendi-
ri.
"Tidak keliru, Nona. Kau memang tengah
berhadapan dengan Iblis Tangan Maut!" jawab ka-
kek berpakaian coklat tegas seraya mengangguk-
kan kepala.
"Kalau begitu kau harus mati di tanganku,
Keparat!" bentak gadis berpakaian merah keras.
Raut wajahnya mendadak beringas.
Singng!
Sinar terang menyilaukan mata mencuat
ketika gadis berpakaian merah mencabut pedang
yang tersampir di punggungnya.
"Tunggu dulu, Nona!"
Iblis Tangan Maut buru-buru mencegah ke-
tika melihat gadis berpakaian merah hendak me-
nyerangnya. Malah, pemuda berpakaian putih
yang berdiri di sebelah gadis berpakaian merah te-
lah mencabut pedang pula.
"Mengapa kau memusuhiku? Aku yakin di
antara kita tidak ada permusuhan. Melihat wa-
jahmu pun baru kali ini. Bisa kau jelaskan alasan
tindakanmu?"
"Ingatkah kau dengan seorang pendekar
yang berjuluk Dewa Tangan Sepuluh?" Gadis ber-
pakaian merah menghentikan gerakannya yang
sudah hampir menyerang Iblis Tangan Maut.
"Dia tewas di tanganku," jawab kakek ber-
pakaian coklat dengan nada penuh penyesalan.
"Bagus kalau kau mengakui dosamu!" tim-
pal gadis berpakaian merah dengan sepasang mata
berapi-api. "Dengarlah baik-baik, aku adalah putri
Dewa Tangan Sepuluh! Namaku Sutini. Kurasa
kau tahu maksud kedatanganku ke tempat ini.
Aku ingin membunuhmu, Iblis Busuk! Bersiaplah
kau, Keparat!"
Belum juga gema ucapan gadis berpakaian
merah lenyap, pedang di tangannya telah melesat
menyambar leher Iblis Tangan Maut dengan kece-
patan tinggi. Bentuk pedang Sutini lenyap menjadi
sekelebatan sinar berkilauan yang disertai bunyi
berdesing nyaring.
Iblis Tangan Maut mengenai serangan me-
matikan itu. Buru-buru kakek berpakaian coklat
ini melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara menjauhkan diri.
Sutini yang dilanda dendam membara tidak
membiarkan lawannya lolos. Dia segera melompat
mengejar seraya mengirimkan tusukan berantai ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan!
2
Iblis Tangan Maut sudah memperhitungkan
hal itu. Maka, sambil menjauh kedua tangannya
dikibaskan ke arah tengkorak-tengkorak yang ber-
serakan.
Bagai dilemparkan tangan yang ahli, teng-
korak-tengkorak itu meluncur berturut-turut ke
berbagai bagian tubuh Sutini. Gadis berpakaian
merah itu terpaksa membatalkan serangannya. Bi-
la dilanjutkan hanya akan mencelakai dirinya sen-
diri. Sebelum ujung pedang menghujam di tubuh
lawan, tengkorak-tengkorak itu akan lebih dulu
menghantam tubuhnya.
Trak, trak, trakkk!
Tengkorak-tengkorak berpentalan tak tentu
arah ketika Sutini menarik kembali serangannya
dan menggunakan senjatanya untuk memapaki.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Iblis Tangan Maut untuk melancar-
kan serangan balasan. Kakek berpakaian coklat ini
menyadari Sutini bukan lawan yang ringan. Apala-
gi dirinya belum sembuh benar dari luka dalam.
Pemuda berpakaian putih yang telah meng-
genggam pedang tidak terjun ke dalam kancah
pertarungan. Dia berdiri dengan sekujur urat-urat
yang menegang penuh kewaspadaan. Gagang pe-
dangnya dicekal dengan kencang. Pemuda berpa-
kaian putih ini bersiap-siap menolong apabila Su-
tini terdesak!
Diam-diam pemuda berpakaian putih mera-
sakan gurunya dan juga guru Sutini, memang me-
reka saudara seperguruan, terlalu menganggap Ib-
lis Tangan Maut memiliki kepandaian tinggi. Ke-
nyataan yang dilihat pemuda itu tidak demikian.
Dengan jelas dilihatnya walaupun Sutini tak akan
mampu mengalahkan Iblis Tangan Maut, tapi ka-
kek berpakaian coklat itu pun tidak akan mudah
mengalahkan lawannya. Kendati setelah pertarun-
gan berlangsung hampir tiga puluh jurus, Iblis
Tangan Maut mulai dapat mendesaknya.
"Kalau hanya sampai di situ saja kepan-
daian Iblis Tangan Maut," pemuda berpakaian pu-
tih berkata dalam hati, "Tidak sepantasnya tokoh
ini amat mengkhawatirkan hati Guru. Jangankan
Guru, aku dan Sutini maju bersama pun Iblis
Tangan Maut dapat dibinasakan."
Melihat keadaan Sutini semakin tidak men-
guntungkan, sambil mengeluarkan pekikan me-
lengking nyaring pemuda berpakaian putih terjun
ke dalam kancah pertarungan. Keadaan langsung
berubah.
Sutini tidak terdesak lagi. Malah, Iblis Tan-
gan Maut yang terdesak. Pedang di tangan Sutini
dan pemuda berpakaian putih bagai digerakkan
oleh satu pikiran. Mereka saling melindungi dan
memperkuat serangan.
Iblis Tangan Maut menjerit tertahan ketika
ujung pedang Sutini menyerempet paha kanannya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Ke-
sempatan itu dipergunakan pemuda berpakaian
putih untuk melompat dan mengirimkan tusukan
ke dada. Hanya selisih sekejap mata saja, Sutini
menusukkan pedangnya ke leher!
"Pengecut-pengecut hina yang beraninya
hanya main keroyok!"
Pada saat yang bersamaan dengan terden-
garnya bentakan itu, dua kilatan cahaya yang me-
nyilaukan mata meluncur cepat dan menghantam
pedang Sutini dan saudara seperguruannya.
Sutini dan pemuda berpakaian putih terpe-
ranjat. Tangan mereka bergetar hebat. Dan, ham-
pir saja senjata yang tercekal, terlepas. Kilatan
benda menyilaukan yang terpaksa mereka tangkis
melayang ke satu arah. Dengan enaknya, seorang
gadis muda berwajah cantik mengulurkan tangan
menangkapnya.
Kegagalan serangan itu membuat Sutini
yang paling bernafsu untuk membunuh Iblis Tan-
gan Maut menjadi sangat geram.
"Siapa kau, Wanita Liar? Sungguh berani
kau mencampuri urusanku!" bentak Sutini dengan
sepasang mata mendelik. Meski merasa heran me-
lihat lawannya mampu membuat senjata yang di-
lontarkan kembali ke pemiliknya, rasa amarah
membuat Sutini lupa. Padahal, dia melihat bentuk
senjata itu. Logam putih yang berbentuk bulan sa-
bit!
"Kaulah yang liar!"
Gadis yang baru tiba dan menggagalkan se-
rangan maut terhadap Iblis Tangan Maut tidak
mau kalah gertak. Bahkan, dia menudingkan jari
telunjuk kirinya yang lentik.
"Mengapa kau menyerang kakekku...?!"
Bukan hanya Sutini saja yang terkejut. Pe-
muda berpakaian putih pun demikian. Mereka ti-
dak pernah menyangka Iblis Tangan Maut mem-
punyai seorang cucu perempuan!
"Kakeknya orang jahat. Cucunya pun sudah
pasti bukan orang baik-baik! Lebih baik kau ku-
bunuh sebelum menyebar maut di dunia persila-
tan!"
Sutini yang tengah kalap melontarkan pu-
kulan tangan kanan dan kirinya yang terkepal ke-
ras ke dada gadis berpakaian hijau. Jarak antara
mereka sekitar lima tombak. Tapi, itu tidak menja-
di masalah. Dari kedua tangan yang dipukulkan
itu berhembus angin keras. Sutini mengirimkan
pukulan jarak jauh.
Gadis berpakaian hijau melakukan hal yang
sama. Terdengar bunyi menggelegar ketika puku-
lan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah
jalan. Setiap benturan membuat Sutini terhuyung-
huyung ke belakang. Bahkan, benturan yang te-
rakhir membuat Sutini terjengkang dan hampir ja-
tuh.
Kenyataan ini sangat mengejutkan Sutini
dan saudara seperguruannya. Mereka tidak me-
nyangka tenaga dalam gadis berpakaian hijau de-
mikian hebat. Malah lebih kuat dari Iblis Tangan
Maut!
Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berpa-
kaian putih menerjang cucu Iblis Tangan Maut. Ia
membantu Sutini yang telah lebih dulu menye-
rang.
•kick
Permainan pedang Sutini dan saudara se-
perguruannya hebat bukan main. Bentuk pedang-
pedang itu lenyap. Yang terlihat hanya kilatan-
kilatan sinar yang meluncur ke arah cucu Iblis
Tangan Maut.
Namun, gadis berpakaian hijau itu memang
benar-benar mengagumkan. Berbeda dengan ke-
dua lawannya yang bersenjatakan pedang, gadis
ini hanya menggunakan sebatang suling. Suling
bambu! Cucu Iblis Tangan Maut ini memakai sul-
ing sebagaimana orang mempergunakan golok
atau pedang. Terkadang menusuk, membabat,
atau membacok. Namun yang menakjubkan, gera-
kan suling itu selalu menimbulkan bunyi nyaring
yang indah dan merdu.
Sutini dan pemuda berpakaian putih men-
jadi gelisah. Mereka memang tidak mengalami ke-
sulitan menghadapi permainan suling cucu Iblis
Tangan Maut. Tapi, suara suling itu merasuk ke
dalam telinga dan membuat jantungnya berdebar
kencang. Hal ini mempengaruhi gerakan Sutini
dan kawannya. Permainan pedang mereka agak
kacau.
Tukkk, desss!
Pada suatu saat, suling cucu Iblis Tangan
Maut berhasil menotok bahu kanan Sutini. Dis-
usul dengan tendangan kaki kanan gadis itu pada
paha kiri pemuda berpakaian putih. Tubuh Sutini
dan kawannya terhuyung-huyung ke belakang.
Sutini dan saudara seperguruannya menja-
di sadar cucu Iblis Tangan Maut memiliki kepan-
daian luar biasa. Terus memaksakan diri melaku-
kan perlawanan hanya akan sia-sia. Maka, tanpa
malu-malu lagi kakak dan adik seperguruan itu
melesat meninggalkan tempat itu.
Gadis berpakaian hijau yang marah pada
Sutini dan pemuda berpakaian putih karena hen-
dak membunuh kakeknya tidak membiarkan la-
wan-lawannya kabur. Dia melesat melakukan pen-
gejaran.
"Karina...! Tidak usah dikejar...!"
Gadis berpakaian hijau menghentikan ayu-
nan kakinya. Ia tidak melakukan pengejaran lagi
sehingga Sutini dan kawannya leluasa melarikan
diri.
Gadis berpakaian hijau yang bernama Kari-
na menghentakkan kaki ke tanah dengan kesal.
Tampaknya ia tidak rela membiarkan lawan-
lawannya kabur. Dengan sorot mata penasaran,
pandangannya dialihkan ke arah Iblis Tangan
Maut, kakeknya.
"Mengapa Kakek mencegahku? Apabila tadi
kakek tidak melakukan hal itu, aku yakin akan
berhasil menangkap orang-orang yang bermaksud
membunuh Kakek!" protes Karina, marah.
Iblis Tangan Maut hanya tersenyum lebar.
Luka pada bahunya telah tidak mengganggu lagi.
Dia telah menotok jalan darah di sekitar luka
hingga aliran darah terhenti. Dengan wajah berse-
ri-seri ditunggunya Karina berada di dekatnya.
"Tenanglah, Karina." Iblis Tangan Maut
memberi nasihat. "Mungkin ada baiknya kau men-
dengarkan ceritaku agar hatimu tenang. Cerita
yang menyebabkan mereka berdua datang kemari
untuk membunuhku. Juga akan kuceritakan ten-
tangku serta siapa ayah dan ibumu."
Wajah Karina langsung berseri-seri.
"Tentang dirimu dan ayah ibuku, Kek! Jadi,
sekarang aku telah boleh mengetahuinya?" tanya
Karina dengan gembira. Memang, Iblis Tangan
Maut selalu mengulur jawaban apabila gadis ber-
pakaian hijau itu menanyakannya. Kakek berpa-
kaian coklat ini selalu memberikan jawaban,
'belum saatnya' atau 'nanti apabila kau telah de-
wasa'
"Duduklah dulu, Karina. Aku akan menceri-
takan semuanya. Kuharap kau mau bersabar
mendengarkannya. Cerita ini cukup panjang."
"Aku akan sabar mendengarkannya, Kek,"
jawab Karina cepat. Ia duduk di salah satu tengko-
rak yang berserakan di sekitarnya.
Iblis Tangan Maut tidak segera bercerita.
Kakek berpakaian coklat ini malah termenung. Ka-
rina tidak tahu mengapa. Tapi, dia tidak ambil
pusing dan menganggap kakeknya tengah mengin-
gat-ingat hal yang akan diceritakannya.
"Usiaku sekarang kurang lebih seratus ta-
hun. Sejak masih berumur dua puluh sembilan
tahun aku telah menjagoi dunia persilatan. Satu
demi satu tokoh persilatan yang bentrok denganku
roboh. Kalau tidak tewas, pasti terluka yang amat
parah. Tapi sebagian besar tewas. Karena itu,
hanya dalam waktu beberapa tahun saja aku su-
dah mendapat julukan Iblis Tangan Maut. Sebuah
julukan yang menyeramkan."
Iblis Tangan Maut tersenyum getir. Sorot
penyesalan memancar jelas dari wajah dan sepa-
sang matanya.
Karina yang tidak pernah tahu masa lalu Ib-
lis Tangan Maut dan hanya tahu kakek berpakaian
coklat ini adalah kakeknya, diam-diam terkejut
bukan main mendengar cerita itu. Tanpa dije-
laskan lagi dia tahu kakeknya termasuk tokoh go-
longan sesat! Tapi karena khawatir menyinggung
hati Iblis Tangan Maut, Karina bersikap biasa saja.
Seakan berita yang didengar tidak membuatnya
terkejut sama sekali.
Iblis Tangan Maut merasa kagum melihat
sikap Karina yang terlihat biasa saja. Padahal, ka-
kek berpakaian coklat ini telah mengira Karina
akan terkejut mendengar ceritanya. Bahkan, Iblis
Tangan Maut sudah siap untuk melihat keterkeju-
tan Karina. Tapi ternyata hal yang ditakutkan Iblis
Tangan Maut tidak terjadi. Kakek berpakaian cok-
lat itu menjadi lega. Ia melanjutkan ceritanya den-
gan hati lapang.
"Karena kepandaian yang kumiliki, aku jadi
banyak mempunyai musuh dan juga pengikut.
Musuh-musuhku sebagian besar orang-orang go-
longan putih. Sedangkan pengikutku para penjilat
dan orang-orang yang ingin mencari untung atas
nama besar yang kumiliki. Bertahun-tahun aku
hidup seperti itu. Gaya hidupku baru berubah ke-
tika bertemu dengan seorang gadis cantik yang
hampir menjadi korban kejahatan sekelompok
penjahat. Aku menolongnya. Penjahat-penjahat
kecil itu kubasmi semua. Kemudian kunyatakan
cinta pada gadis itu, karena memang aku menyu-
kainya. Gadis itu menerimanya dengan syarat aku
bersedia meninggalkan dunia kejahatan dan ikut
bersamanya menjauhi kerasnya dunia persilatan.
Sebelum itu, gadis itu memintaku untuk memba-
laskan sakit hatinya karena ayahnya dibunuh
orang jahat. Itu pun berhasil aku penuhi. Aku dan
gadis itu menikah dan hidup dengan tenang di de-
sa."
Iblis Tangan Maut menghentikan ceritanya.
Sepasang matanya menerawang ke atas. Entah
apa yang dipikirkan. Mungkin kakek berpakaian
coklat ini tengah terkenang pada kehidupan te-
nangnya di masa lalu.
"Bertahun-tahun aku dan gadis itu hidup
tenang. Sampai akhirnya kami mempunyai seo-
rang anak perempuan. Sayang, ketenangan itu ti-
dak berlangsung lama. Orang-orang yang menden-
dam padaku terlalu banyak, sehingga mereka te-
rus menelusuri jejakku. Tempat persembunyianku
berhasil diketemukan. Dan sialnya saat itu aku
tengah berada di sawah. Istriku dibunuh. Anakku
sedang bermain sehingga tidak ikut terbunuh. Tapi
tetap saja kejadian itu mengguncangkan hatiku.
Aku hampir gila rasanya. Setelah menitipkan
anakku pada salah seorang sahabat baikku, aku
pergi untuk mencari pembunuh-pembunuh keji
itu. Bertahun-tahun aku melacak mereka. Penca-
rianku tidak sia-sia. Mereka kutemukan. Tanpa
ampun kubantai mereka semua. Namun, sungguh
tidak kusangka kalau sepeninggalku di dunia per-
silatan telah muncul tokoh sesat yang merajai go-
longan hitam. Siluman Dari Neraka, julukannya.
Salah satu dari tiga pembunuh istriku ternyata
mempunyai hubungan baik dengan Siluman Dari
Neraka."
"Ah...!"
Karina tidak tahan untuk tidak berseru ka-
get. Julukan datuk sesat itu membuat bulu ku-
duknya berdiri. Tokoh yang mempunyai julukan
seperti itu pasti memiliki kekejaman yang mendiri-
kan bulu roma.
"Aku yang memang tidak ingin mencari
permusuhan lagi dengan orang-orang yang tidak
mempunyai masalah denganku, tidak ambil pedu-
li. Gairahku untuk berkiprah di dunia persilatan
telah lenyap seiring dengan perginya istriku ke
alam baka. Aku berniat kembali pada anakku."
Iblis Tangan Maut melanjutkan ceritanya
dengan suara getir.
"Tapi ternyata kemunculanku telah me-
mancing datangnya musuh-musuhku. Mereka
orang-orang yang merasa sakit hati karena saha-
bat, kakak, atau saudaranya tewas di tanganku.
Aku tidak bisa segera kembali pada anakku karena
khawatir akan keselamatannya. Penghadangan-
penghadangan dari orang-orang yang bermaksud
membunuhku senantiasa terjadi. Hari-hariku pun
seperti sebelum aku mengasingkan diri. Hanya kali
ini aku tidak bertangan kejam. Tidak ada orang
yang kubunuh kecuali sangat terpaksa. Karena se-
rangan-serangan itu semakin menjadi-jadi, kesa-
baranku pun lenyap. Aku kembali seperti dulu.
Aku menjadi Iblis Tangan Maut lagi! Salah seorang
yang tewas di tanganku adalah Dewa Tangan Se-
puluh yang bermaksud membalaskan kematian
kawannya. Kau tahu siapa Dewa Tangan Sepuluh,
Karina?"
Gadis berpakaian hijau itu menggeleng.
"Dewa Tangan Sepuluh adalah ayah gadis
berpakaian merah tadi."
Karina terperanjat. Sekarang dia tahu men-
gapa Sutini tadi demikian bernafsu untuk mem-
bunuhnya. Ternyata Sutini memendam rasa den-
dam.
"Akhirnya aku berhasil berkumpul dengan
anakku saat ia telah dewasa. Bahkan, aku sempat
menikahkannya dengan seorang pendekar yang
memiliki kepandaian cukup tinggi," lanjut Iblis
Tangan Maut.
"Apakah mereka ayah dan ibuku?" tanya
Karina dengan suara serak karena perasaan te-
gang.
"Benar," Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Ibumu, yaitu anakku, bernama Umari. Sedangkan
ayahmu bernama Lesmana."
"Di mana mereka sekarang, Kek?" tanya Ka-
rina tidak sabar.
Iblis Tangan Maut tidak segera menjawab.
Dia malah menatap wajah Karina dengan sinar
mata penuh rasa iba. Karina pun mendapat firasat
jelek. Namun, dia tetap ingin mendengar kepas-
tiannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang terjadi dengan
orangtua ku? Percayalah, aku siap untuk menden-
gar sekalipun berita yang akan kau katakan itu
buruk."
Iblis Tangan Maut menghela napas berat.
Dia terlihat bimbang untuk memberikan jawaban.
"Meskipun kau tidak memintanya, Karina,
aku tetap akan menceritakannya. Syukurlah kau
berhati tegar dan siap mendengarnya. Nah, den-
garlah baik-baik."
Karina merasakan jantungnya berdetak le-
bih cepat. Gadis itu tegang bukan main. Saking te-
gangnya dan khawatir cerita Iblis Tangan Maut ti-
dak terdengar jelas, gadis berpakaian hijau ini
sampai menahan napas.
"Karena Umari telah menikah, aku tidak
tinggal bersama mereka lagi. Ada orang lain yang
telah menjaganya, yaitu ayahmu. Aku juga khawa-
tir keberadaanku bersama mereka hanya akan
menimbulkan bahaya. Baru setahun setelah per-
kawinan mereka, aku datang berkunjung. Ternya-
ta kedatanganku sangat tepat. Meskipun harus
kuakui agak terlambat."
"Aku masih kurang jelas dengan ucapanmu,
Kek?" sergah Karina tidak sabar.
3
Iblis Tangan Maut tersenyum maklum. Ia
mengerti mengapa Karina menyela pembicaraan-
nya.
"Siluman Dari Neraka yang merasa perlu
membunuhku untuk membuktikan kalau dirinya
lebih unggul dari Iblis Tangan Maut, mencari-
cariku. Karena tidak menemukanku, dia bermak-
sud membunuh Umari dan suaminya untuk me-
mancing kedatanganku. Tapi, seperti telah diatur
oleh Yang Kuasa, aku datang dan berhasil memer-
gokinya. Siluman Dari Neraka benar-benar kejam.
Umari dan suaminya disiksa. Bahkan, anak mere-
ka yang masih bayi dan baru berumur beberapa
hari hendak dibunuhnya pula."
Wajah Karina pucat pasi. Meski tidak me-
nyaksikan sendiri, dia bisa membayangkan sik-
saan yang diderita orangtuanya. Kalau Iblis Tan-
gan Maut saja yang telah terbiasa membunuh
orang, merasa ngeri, Karina sukar membayangkan
bentuk penyiksaan itu.
"Bayi yang baru berusia beberapa hari itu
pasti aku. Benar demikian, Kek?" tanya Karina.
Api dendam mulai berkobar di dalam dadanya.
"Benar." Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Siluman Dari Neraka bermaksud membunuhmu
untuk menyiksa hati ayah dan ibumu, Karina. Pa-
dahal, mereka meski telah tersiksa setengah mati
meratap-ratap agar kau diampuni. Mereka memin-
ta agar siksaan yang akan ditimpakan kepadamu
dialihkan saja pada mereka berdua. Tapi, Siluman
Dari Neraka yang memang sengaja hendak me-
nyiksa batin mereka mana mau memenuhinya?"
Karina menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Tidak terdengar isak tangis. Namun dari
celah-celah kedua tangan itu mengalir air mata.
Karina menangis tanpa suara. Gadis berpakaian
hijau ini merasa terharu mengingat kasih sayang
ayah bundanya yang demikian besar.
"Sebelum Siluman Dari Neraka membukti-
kan ancamannya dengan menyiksamu, aku da-
tang. Meski tidak ada yang memberi penjelasan,
aku segera tahu apa yang tengah terjadi. Ku tan-
tang Siluman Dari Neraka. Dia yang memang ten-
gah mencari-cariku langsung menyambuti. Kami
pun terlibat pertarungan. Sebelumnya kuperintah-
kan Umari dan Lesmana agar pergi dari situ untuk
menyelamatkan kau, Karina. Aku khawatir tidak
akan mampu menang melawan Siluman Dari Ne-
raka. Padahal aku tahu pasti dari luka-luka akibat
siksaan yang mereka derita, orangtua mu tidak
akan bertahan hidup. Tapi setidak-tidaknya kau
selamat, Karina."
Iblis Tangan Maut menundukkan kepala.
Sejenak kemudian diangkatnya kembali. Tidak ter-
lihat gambaran perasaan apa pun pada wajah ke-
riput yang terlihat matang oleh pengalaman hidup
itu. Tapi, Karina tahu kakek berpakaian coklat itu
tengah sangat berduka. Gadis ini telah lama ting-
gal bersama Iblis Tangan Maut. Sehingga, dapat
merasakan apa yang tengah dirasakan kakeknya.
"Ayah dan ibumu memenuhi perintahku.
Dengan susah-payah mereka membawamu pergi.
Aku sempat melihatnya sekilas. Dan, tidak bisa
mengawasi mereka terus karena nyawaku sendiri
tengah terancam. Siluman Dari Neraka memang
sangat hebat. Harus kuakui tingkat kepandaian-
nya berada di atasku. Betapapun telah kukuras
seluruh kemampuan yang kumiliki, tetap tidak
mampu mengubah keadaan. Perlawananku ter-
henti ketika sebuah pukulannya membuat tubuh-
ku terlempar. Pukulan itu keras sekali sehingga
aku terluka dalam yang parah. Nyawaku tinggal
melayang ke alam baka. Namun sebelum Siluman
Dari Neraka melancarkan serangan susulan yang
mematikan, muncul dua orang gagah. Mereka
langsung menyerang Siluman Dari Neraka yang te-
lah lelah bertarung denganku."
"Bagaimana hasil pertarungan itu, Kek?
Apakah Siluman Dari Neraka itu mampus?!" tanya
Karina dalam rasa benci yang menggelora.
Iblis Tangan Maut bisa merasakan keben-
cian itu. "Aku tidak tahu, Karina," jawab Iblis Tan-
gan Maut agak menyesal. "Aku hanya menyaksi-
kan sebentar untuk melihat kepandaian dua orang
gagah itu. Kepandaian mereka ternyata cukup
tinggi. Kalau pertarungan dilakukan satu lawan
satu, mereka bukan tandingan Siluman Dari Nera-
ka. Tapi karena, mereka berdua dan tenaga Silu-
man Dari Neraka telah terkuras, kemungkinan ke-
dua orang itu akan keluar sebagai pemenang. Aku
pergi dari situ untuk menyusul ayah dan ibumu,
Karina. Kekhawatiranku ternyata beralasan. Di
tengah jalan kulihat tubuh ayah dan ibumu tergo-
lek tidak bernyawa. Kau menangis sendirian di
tengah padang rumput yang luas. Aku pun mem-
bawamu kemari setelah menguburkan mayat ayah
dan ibumu di sana."
Karina menundukkan kepala. Tidak me-
nyangka orangtuanya meninggal dengan cara de-
mikian mengenaskan. Hatinya sedih bukan main.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan,
Karina?" tanya Iblis Tangan Maut setelah mem-
biarkan gadis berpakaian hijau itu terdiam bebe-
rapa saat.
"Entahlah, Kek," jawab Karina ragu. "Yang
jelas aku hendak mengunjungi makam orangtua
ku. Setelah itu aku belum tahu, Kek."
Iblis Tangan Maut tidak memberikan tang-
gapan. Dia tahu Karina masih bimbang.
"Sayang sekali aku tidak bisa mengantar-
mu, Karina. Aku sudah tua. Otot-otot kakiku tidak
kuat lagi untuk menempuh perjalanan jauh. Pe-
sanku, jangan kau coba-coba membalas dendam
terhadap Siluman Dari Neraka. Percuma, Karina.
Kau akan celaka di tangannya. Kendati semua il-
mu yang kumiliki telah kuberikan padamu tapi
masih terlalu jauh untuk kau pakai menandin-
ginya. Siluman Dari Neraka terlalu tangguh untuk
ditandingi, apalagi dikalahkan!"
Karina membisu. Gadis berpakaian hijau ini
tidak berani mengangguk atau menggeleng. Bisa
saja untuk menyenangkan hati Iblis Tangan Maut,
Karina mengangguk. Tapi, itu tidak dilakukannya.
Karina tidak mau membohongi kakeknya.
Iblis Tangan Maut pun mengerti mengapa
Karina bersikap demikian. Maka, dia tidak mende-
sak cucunya untuk memberikan jawaban.
"Kapan kau akan pergi, Karina?" Dengan
pandainya, Iblis Tangan Maut mengalihkan pembi-
caraan.
"Mungkin beberapa hari lagi, Kek. Aku ingin
di sini dulu bersama Kakek."
•k'k'k
Hari masih pagi ketika seorang gadis cantik
berpakaian hijau mengayunkan kaki memasuki
mulut sebuah hutan. Wajahnya terlihat murung.
Langkah kakinya pun tidak bersemangat. Gadis
itu berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Hanya sesekali pandangannya ditujukan ke depan.
Ketika suatu saat gadis ini mengangkat wa-
jahnya, terlihat sesosok tubuh bungkuk melang-
kah tertatih-tatih. Sebatang tongkat tergenggam di
tangan kanannya. Benda itu digunakan untuk
membantunya berjalan.
Hati gadis berpakaian hijau yang tidak lain
Karina jadi tersentuh. Rasa iba terbit di hatinya
melihat sosok di depannya melangkah dengan su-
sah payah. Bahkan, beberapa kali terhuyung se-
perti akan jatuh.
Karina memang memiliki watak pendiam.
Kendati demikian, bila tengah murka dia tidak ka-
lah berbahayanya dengan orang yang pemarah.
Untungnya, Iblis Tangan Maut mendidiknya den-
gan baik sehingga gadis ini tumbuh menjadi seo-
rang dara yang berwatak gagah.
Karena itu, Karina tidak sampai hati mem-
biarkan sosok di hadapannya. Sosok yang menge-
nakan pakaian merah lusuh itu adalah seorang
kakek. Pandang mata Karina yang tajam dapat me-
lihat dengan jelas jalan yang ditempuh kakek itu
terus menanjak. Perjalanan yang tidak ringan bagi
seorang yang telah berusia lanjut.
Karina segera melesat. Ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan untuk bisa menyusul sosok
di hadapannya. Karina ingin membantu kakek itu
untuk melanjutkan perjalanan.
Karina merasa heran ketika telah beberapa
kali lesatan tidak juga menyusul kakek berpakaian
merah. Padahal, sekali lesatan tak akan kurang
dari delapan tombak. Paling tidak sudah dua pu-
luh lima tombak jarak yang ditempuhnya. Sedang-
kan kakek berpakaian merah berada sepuluh tom-
bak di depannya, meskipun selama Karina melesat
kakek itu terus berjalan.
Rasa penasaran dan heran membuat Karina
mengerahkan seluruh kemampuan larinya. Sambil
mengayunkan kaki, pandangannya diarahkan pa-
da sosok di depannya. Dengan jelas dilihatnya ka-
kek itu melangkah tertatih-tatih. Tapi anehnya, ja-
rak antara mereka tetap tidak berubah! Betapapun
Karina bersikeras dan terus berlari. Bahkan, sam-
pai peluh membasahi sekujur tubuh dan napasnya
menderu-deru, kakek berpakaian merah tetap ti-
dak mampu dikejarnya.
Kenyataan ini membuat Karina menyadari
kalau kakek berpakaian merah tidak selemah se-
perti yang diduganya. Kakek itu justru seseorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, ma-
na mungkin hanya dengan berjalan tertatih-tatih
mampu membuat pengejaran yang dilakukan den-
gan sepenuh kemampuannya tidak berarti sama
sekali?
Meskipun demikian, keinginan Karina tidak
menjadi surut untuk menyusul kakek itu. Gadis
berpakaian hijau ini malah ingin berkenalan den-
gan kakek berpakaian merah yang luar biasa itu.
Karina baru menghentikan pengejarannya
ketika kakek itu lenyap dari pandangan ketika be-
rada di jalan setapak yang di kanan kirinya ter-
hampar kerimbunan semak, Gadis ini menatap ke
arah dua jalan di kanan kirinya. Hanya ada dua ja-
lan.
Karina bimbang memilih jalan yang akan di-
tempuhnya. Dia tidak sempat melihat jalan mana
yang dipilih kakek berpakaian merah. Tadi tubuh
kakek itu tidak terlihat karena jalan yang meleng-
kung sehingga menghalangi pandangan.
"Kau mencariku, Anak Manis?"
Teguran dari arah belakangnya membuat
Karina terlonjak dan bergegas membalikkan tu-
buh. Karina kaget bagai terpatuk ular berbisa. Da-
ra ini tidak menyangka kakek yang dicarinya telah
muncul di belakangnya. Namun sebentar kemu-
dian, perasaan kaget itu berhasil dihalaunya. Tan-
pa ragu-ragu dara ini mengangguk.
"Benar, Kek," jawab Karina seraya menatap
kakek berpakaian merah dengan penuh selidik.
Wajah kakek itu dihiasi oleh kumis, jam-
bang, dan jenggot kasar yang putih serta tidak te-
rawat. Kulit wajahnya merah seperti udang dire-
bus. Sinar matanya yang tajam dan memancarkan
sorot mengerikan membuat kakek ini terlihat ang-
ker. Ia mengenakan pakaian merah.
"Mengapa kau mengejar-ngejarku?!" tanya
kakek bermuka merah penuh ancaman. Sepasang
matanya mencorong menikam wajah Karina sea-
kan ia hendak melihat kebenaran jawaban gadis
itu.
Karina merasakan jantungnya berdetak
jauh lebih cepat. Sorot mata itu membuatnya ya-
kin kalau kakek yang berdiri di hadapannya ini
memiliki kemampuan luar biasa. Sepengetahuan-
nya hanya tokoh-tokoh yang memiliki tenaga da-
lam tinggi saja yang memiliki sinar mata seperti
itu. Karina melihat sorot mata seperti ini pada ka-
keknya, Iblis Tangan Maut.
Gadis berpakaian hijau ini tidak merasa
gentar sedikit pun. Gemblengan kakeknya telah
membuatnya menjadi seorang dara yang tidak
kenal takut. Apalagi mengetahui dirinya tidak me-
lakukan kesalahan.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian, Kek. Kebetulan aku menempuh perjalanan
kemari. Di kejauhan kulihat kau tengah berjalan
tertatih-tatih. Karena jalan daerah ini cukup berat,
aku bermaksud membantumu. Sungguh tidak ku-
sangka ternyata kau tidak seperti yang kuduga,"
jawab Karina lancar dan tenang.
"Tidak seperti yang kau duga? Apa mak-
sudmu, Nona Muda?!" desak kakek berpakaian
merah ingin tahu.
"Kau seorang tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi. Jadi, apa artinya pertolongan yang
hendak kuberikan?" kilah Karina, halus.
Wajah kakek berpakaian merah membesi.
Sinar matanya memancarkan kebengisan.
"Gadis Lancang! Berani kau merendahkan
aku? Sungguh berani kau memandang rendah di-
riku. Aku tidak mau menerima begitu saja penghi-
naan ini! Kau harus mendapat hukuman yang se-
timpal atas kelancangan yang telah kau lakukan!"
Sepasang mata Karina berkilat-kilat Kema-
rahannya bangkit mendengar ancaman kakek itu.
Tidak disangka kakek berpakaian merah ini memi-
liki watak demikian keji! Orang beritikad baik un-
tuk menolongnya malah dianggap menghina. Bah-
kan, hendak memberikan hukuman. Sungguh gila
dan keterlaluan!
"Kalau boleh kutahu, hukuman apa yang
hendak kaujatuhkan padaku, Kek?!"
"Ah. Kau marah kiranya.... Marah karena
aku hendak menghukummu? Bagus. Aku lebih
suka menghukum orang yang berani melawan se-
telah merendahkanku!" jawab kakek berpakaian
merah.
"Kau tahu, Nona Muda. Hukuman yang in-
gin kujatuhkan padamu adalah hukuman potong
kedua telinga dan ujung hidung! Sekarang terse-
rah padamu. Kau ingin aku yang melaksanakan
hukuman itu atau kau sendiri yang melakukan-
nya!"
"Kakek berhati keji!"
Karina tidak kuasa menahan kemarahan
yang meluap. Tindakan kakek itu dirasakan san-
gat kejam. Memotong kedua telinga dan ujung hi-
dungnya! Betapa kejinya. Karina seorang gadis
yang masih muda dan berwajah cantik. Apa ja-
dinya kalau hukuman itu dilaksanakan. Tentu Ka-
rina akan menjadi seorang gadis yang memiliki wa-
jah menakutkan.
"Kau kira aku takut dengan ancamanmu?!"
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak
sehingga tampaklah giginya yang telah ompong.
Tidak terlihat sebuah gigi pun di sana. Kebengisan
dan kekejaman yang memancar di wajahnya.
"Rupanya kau seorang wanita pemberani,
heh? Bagus. Bagus. Aku ingin tahu sampai di ma-
na keberanianmu. Akan kau rasakan sendiri sik-
saan yang akan membuatmu tidak berani men-
gunjukkan diri ke dunia luar lagi. Ha ha ha...!"
Karina merasakan jantungnya seperti dire-
mas-remas ketika kakek itu tertawa. Kedua ka-
kinya menggigil keras. Bergegas tenaga dalamnya
dikerahkan untuk melawan pengaruh itu. Tapi,
tawa itu tidak terdengar terlalu lama. Rupanya ka-
kek berpakaian merah tidak ingin menggunakan
tawanya untuk menyerang Karina. Tawa itu keluar
karena rasa gembiranya.
Karina semakin was-was melihat kenyataan
ini. Kalau tidak ditujukan untuk menyerang saja
sudah demikian dahsyat pengaruh yang ditimbul-
kan, bagaimana bila kakek itu benar-benar ingin
menyerangnya. Dara ini tidak bisa memperkirakan
kedahsyatannya.
Karina tidak mau berpikir panjang. Kakek
di hadapannya ini memiliki kepandaian luar biasa,
maka suling yang terselip di pinggang segera dica-
butnya. Suara merdu seperti bunyi suling ditiup
langsung terdengar.
"Keluarkan senjatamu, Kakek Jahat! Kalau
tidak jangan salahkan aku jika sulingku ini me-
mukul mati kau!" Karina yang merasa tidak enak
untuk menyerang lawan tidak bersenjata, membe-
rikan kesempatan pada kakek berpakaian merah
untuk mengeluarkan senjatanya.
Kakek berpakaian merah malah tertawa me-
ngikik. Pandang matanya penuh dengan hinaan
ketika menatap senjata Karina.
"Benda itu kau katakan senjata? Ah! Justru
aku ingin mendengar bunyi yang akan kau main-
kan. Pasti merdu sekali. Sudah lama aku tidak
mendengar bunyi musik!"
"Jebol perutmu...!"
Karina membarengi teriakannya dengan tu-
sukan suling bambunya ke perut lawan. Kakek
berpakaian merah sedikit pun tidak mengelak. Ba-
ru ketika ujung suling mengenai kulit, perutnya ti-
ba-tiba dikempeskan. Suling Karina ikut terbawa
masuk. Beberapa saat kemudian, kakek itu men-
gembungkan perutnya.
"Ah...!"
Karina mengeluarkan teriakan tertahan. Ia
terjengkang ke belakang akibat gerakan perut yang
aneh itu. Bersamaan dengan gerak menggendut-
nya perut kakek berpakaian merah, ada kekuatan
dahsyat yang mendorong tubuh gadis itu ke bela-
kang. Karina tak mampu berbuat apa pun untuk
bertahan. Dorongan itu terlalu kuat!
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak
melihat Karina menatap ke arahnya dengan pan-
dang mata terbelalak. Gadis itu berhasil mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya ter-
jengkang.
Untuk sesaat Karina menatap perut kakek
itu yang tidak tertutup pakaian. Pakaian yang di-
kenakannya sebenarnya cukup untuk menutupi
bagian tubuh belakang dan depan. Tapi, kakek itu
telah merobek bagian depannya sedemikian rupa
sehingga mirip rompi.
"Ayo, tunggu apa lagi? Tidak ada gunanya
kau bengong-bengong seperti itu. Cepat kau bun-
tungi ujung hidung dan dua telingamu sebelum
aku yang melakukannya!" seru kakek berpakaian
merah.
"Jangan harap aku akan melakukannya,
Kakek Jahat!"
Karina yang masih penasaran kembali men-
girimkan serangan. Kali ini ujung sulingnya ditu-
jukan ke arah ubun-ubun kakek itu. Karina tahu
betapapun saktinya kakek itu tak akan mungkin
mampu melindungi ubun-ubun dengan kekuatan
tenaga dalam. Ubun-ubun merupakan bagian ter-
lemah dari tubuh manusia!
Kakek berpakaian merah tetap terkekeh. Pe-
rutnya mendadak bergerak dengan aneh. Berge-
lombang turun naik, mengembang dan mengem-
pis. Seakan ada sesuatu di dalam perut itu yang
bergerak-gerak ingin keluar!
Kembali Karina mengalami kejadian yang
mengejutkan. Serangannya langsung berubah
arah! Tidak lagi menuju ubun-ubun, tapi menukik
dengan kecepatan menakjubkan ke arah perut!
Ada kekuatan tak nampak yang membuat arah
suling menyeleweng.
Karina tidak membiarkan hal itu terjadi.
Kekuatannya dikerahkan untuk bertahan dan me-
neruskan serangan ke sasaran semula. Tapi tetap
saja dia tidak mampu. Perut yang bergelombang
itu seperti mengeluarkan daya tarik yang luar bi-
asa. Tanpa dapat mencegah lagi, suling itu menan-
cap di perut kakek berpakaian merah yang men-
gempis.
Karina tidak tinggal diam. Ditariknya suling
itu dari perut lawan dengan sekuat tenaga. Tapi,
sia-sia. Sulingnya bagai terjepit oleh jepitan baja
yang amat kuat. Tidak mampu digerakkan sama
sekali. Karina menjadi gelisah. Apalagi ketika me-
rasakan hawa panas menjalar dari perut kakek
itu. Mula-mula pada sulingnya, kemudian merayap
ke tangan dan sekujur tubuhnya! Suling itu seperti
terjatuh dalam tungku api.
Dalam waktu singkat saja sekujur tubuh
Karina telah dibanjiri peluh. Wajahnya merah pa-
dam seperti udang rebus. Semakin lama semakin
merah. Bahkan, sepasang matanya pun mulai
memerah.
Karina sadar malaikat maut sudah berada
di dekatnya. Dia akan mati dengan tersiksa. Ken-
dati demikian, kekerasan hatinya membuatnya ti-
dak mau mengeluarkan keluhan atau kata-kata
menyerah. Dia terus bertahan. Berusaha keras
menarik sulingnya dari jepitan perut yang men-
gempis itu.
"Sungguh terlalu...! Menggunakan kekuatan
dan kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang
terhadap seorang gadis muda...!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan
bernada teguran itu berkelebatlah sesosok bayan-
gan yang langsung berdiri di belakang Karina. So-
sok bayangan yang ternyata seorang pemuda be-
rambut putih keperakan itu menempelkan kedua
tangannya di punggung Karina.
"Mundurlah, Nona...."
Karina merasakan aliran tenaga dalam
mengalir melalui punggungnya. Seketika itu su-
lingnya yang terjepit perut kakek berpakaian me-
rah berhasil ditarik! Tanpa banyak bicara, gadis ini
melangkah mundur setelah terlebih dulu mengerl-
ing pada penolongnya. Sinar mata Karina penuh
dengan rasa terima kasih.
4
Kakek berpakaian merah menatap pemuda
berambut putih keperakan yang melangkah meng-
hampirinya. Sinar mata kakek itu penuh ancaman.
Dia merasa tersinggung melihat calon korbannya
berhasil diselamatkan orang tak dikenalnya ini.
"Siapa kau, pemuda tak tahu diri? Sungguh
berani kau menentangku. Apakah kau tidak tahu
siapa aku...?!" tegur kakek itu. Suaranya keras
menggelegar.
Pemuda berambut putih keperakan terse-
nyum tenang. Dia sedikit pun tidak merasa gentar
mendengar ancaman itu.
"Maaf, Kek. Aku tidak bermaksud menen-
tangmu. Aku hanya tidak ingin kau membunuh
gadis yang tidak berdaya itu. Apalagi dengan cara
yang demikian keji. Lagi pula...."
"Aku tidak butuh ceramahmu!" bentak ka-
kek berpakaian merah. "Cepat katakan siapa diri-
mu sebelum kuhancurkan kepalamu!"
Sepasang alis pemuda berpakaian ungu itu
berkerut. Rasa tidak senang merayapi hatinya me-
lihat sikap kakek itu yang kasar. Padahal, dia telah
berusaha untuk berlaku sopan.
"Panggil saja aku Aiya, Kek," ujar pemuda
berambut putih keperakan.
"Arya...?!"
Kakek berpakaian merah mengulang nama
itu seraya mengernyitkan alisnya. Ia mencoba
mengingat-ingat barangkali pernah mendengar
nama itu. Tapi, ia tidak mampu mengingatnya.
"Kau telah lancang mencampuri urusanku,
Pemuda Sombong! Bahkan dengan sikap jumawa
berani menceramahiku. Aku tidak menerima hal
itu. Kau akan menerima balasannya. Kau akan
kusiksa. Lalu, kuberikan pada hewan-hewan peli-
haraanku. Kau pernah mendengar nama Tarantu-
la? Nah! Tubuhmu akan kujadikan santapan bina-
tang-binatang itu!"
Pemuda berambut putih keperakan yang ti-
dak lain Arya Buana atau Dewa Arak tentu saja
pernah mendengar tentang laba-laba itu. Juga
dengan kedahsyatan racunnya. Tapi, dia tidak
menjadi gentar. Aiya tetap bersikap tenang.
Karina menyaksikan keributan yang terjadi
dengan hati berdebar tegang. Dia bersiap sedia un-
tuk membantu Arya melawan kakek berpakaian
merah. Karina tidak yakin Aiya akan mampu me-
nandingi kakek itu. Meski telah dibuktikannya
sendiri pemuda itu mampu membebaskannya dari
pengaruh tenaga dalam kakek berpakaian merah.
Bukan hanya Karina saja yang siap berta-
rung. Dewa Arak pun demikian. Pemuda itu me-
nyadari kakek di hadapannya ini seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Keberhasilannya
membebaskan Karina bukan berarti tenaga da-
lamnya lebih tinggi dari kakek itu. Karina pun ikut
ambil bagian dalam usahanya itu. Dengan kata
lain, keberhasilan usahanya karena bantuan Kari-
na pula.
Sekujur urat saraf Dewa Arak telah mene-
gang waspada. Ia menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi. Siap siaga terhadap serangan
yang akan dilancarkan kakek berpakaian merah.
Tapi, kakek itu tidak segera melancarkan
serangan. Dia malah tertawa geli sekali seakan me-
lihat sesuatu yang lucu. Tubuhnya sampai tergun-
cang-guncang.
Karina dan Dewa Arak sangat heran melihat
tingkah kakek ini. Apakah kakek berpakaian me-
rah telah menjadi gila karena marahnya? Atau,
demikian anehkah wataknya sehingga saking ma-
rahnya dia malah tertawa?
Jangankan Karina, Dewa Arak yang telah
kenyang pengalaman bertarung menghadapi ber-
bagai tokoh tingkat tinggi yang memiliki ilmu
aneh-aneh saja merasa heran. Aiya tidak merasa-
kan adanya kelainan dalam tawa itu. Tidak ada ge-
taran kekuatan tenaga dalam seperti tawa yang bi-
asa digunakan untuk menyerang lawan.
Kendati demikian, Aiya tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Siapa tahu kakek ini bermaksud
mencari kelengahan lawan dengan berlaku seperti
itu. Bagi seorang tokoh golongan hitam tidak ada
pantangan melakukan serangan meski lawannya
belum siap.
Kakek berpakaian merah itu memang tidak
bermaksud melancarkan serangan. Dia terus ter-
tawa. Aiya merasakan suatu perasaan geli di ha-
tinya, sehingga pemuda itu tersenyum. Semakin
lama senyumnya makin lebar, sampai akhirnya
pemuda berambut putih keperakan ini tertawa ke-
ras. Malah, tubuhnya sampai terbungkuk-
bungkuk dan tangannya didekapkan ke perut.
Hal serupa pun dialami Karina. Gadis ini
merasakan munculnya perasaan gembira yang
sangat. Rasa gembira yang mendorongnya untuk
ikut tertawa. Tak pelak lagi, di tempat yang semula
sunyi ini kini riuh rendah oleh gelak tawa. Tawa
yang semakin lama semakin keras.
Beberapa lama kemudian, kakek berpa-
kaian merah mengganti tawanya dengan tangis.
Tangis yang demikian menyedihkan seakan tengah
menanggung derita hidup yang bertumpuk-
tumpuk.
Tangis kakek itu menimbulkan keharuan
yang dalam di hati Arya dan Karina. Membuat ke-
dua muda-mudi itu teringat hal-hal yang menye-
dihkan tentang diri mereka. Karina teringat pada
orangtuanya yang tewas di tangan Siluman Dari
Neraka. Isak tangis memilukan terdengar mengi-
ringi air mata yang mengalir deras dari sepasang
mata gadis itu. Kesedihannya semakin memuncak
ketika teringat dirinya yang telah yatim piatu. Tia-
da sanak keluarga lagi kecuali kakeknya yang te-
lah amat tua.
Arya pun demikian. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini teringat akan ayah dan ibunya.
Ayahnya tewas di tangan Siluman Tengkorak Pu-
tih, dan ibunya tewas secara mengerikan di tangan
Darba, pemuda lihai yang berwatak sadis. Kesedi-
han dan rasa haru yang sangat meremas-remas
hatinya. (Untuk lebih jelasnya mengenai kematian
ayah dan ibu Dewa Arak, silakan baca Serial Dewa
Arak dalam episode: "Pedang Bintang" dan "Cinta
Sang Pendekar").
Arya merasakan dadanya sesak bukan
main. Isak tangisnya naik ke tenggorokan. Sepa-
sang matanya terasa panas. Rasa haru yang tak
terkira melanda hatinya. Di tempat lain, beberapa
tombak darinya, Karina telah menangis terisak-
isak. Air mata mengalir deras membasahi kedua
belah pipinya yang mulus. Tangis gadis ini tak ka-
lah menyedihkan dengan tangis kakek berpakaian
merah.
Tangis Karina ternyata membuat Arya bagai
diguyur air dingin. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini segera menyadari keadaan yang tidak
wajar itu. Kakek berpakaian merah entah dengan
mempergunakan ilmu apa telah mempengaruhi
alam bawah sadar seseorang! Dalam tawa dan tan-
gis kakek itu terkandung pengaruh kuat yang
memaksa orang untuk bertindak seperti yang diin-
ginkannya. Arya segera mengerahkan kekuatan
batinnya untuk melawan pengaruh itu. Mula-mula
agak susah karena alam bawah sadar pemuda ini
telah terpengaruh. Tapi, lama-kelamaan usaha
Arya membuahkan hasil. Tangis kakek itu tidak
mempengaruhinya lagi. Arya berhasil membe-
baskan diri.
Kakek berpakaian merah geram bukan
main melihat Dewa Arak berhasil terbebas dari
pengaruhnya. Tangis yang diperdengarkannya se-
makin diperlambat.
Tapi, Arya tidak berhasil dipengaruhi lagi.
Dia bagaikan batu karang. Meski gelombang tangis
kakek itu mencoba menghanyutkannya, ia tetap
tak bergeming! Bahkan, kini Aiya sudah mampu
tersenyum. Pemuda ini kemudian bertepuk tangan
beberapa kali.
Bunyi menggelegar langsung terdengar ber-
turut-turut. Suara itu mampu menutupi tangisan
kakek berpakaian merah! Tidak hanya itu saja.
Tepukan yang keras bagai gelegar halilintar itu
menyadarkan Karina. Wajahnya merah padam ke-
tika menyadari dirinya telah menangis keras-
keras, bahkan sampai bergulingan seperti anak
kecil!
Karina buru-buru bangkit. Dengan mem-
pergunakan kedua tangan, pakaiannya dibersih-
kan dari debu yang menempel. Punggung tangan-
nya mengusap air mata yang membasahi pipi. Ka-
rina yang memiliki otak cerdik segera dapat men-
duga apa yang telah terjadi. Kakek berpakaian Me-
rah yang menjadi penyebabnya. Dan, pemuda be-
rambut putih keperakan telah menyebabkan pen-
garuh aneh itu buyar.
Karina menatap kedua lelaki yang berdiri
berhadapan dalam jarak tiga tombak itu. Dia bisa
memperkirakan betapa dahsyat pertarungan yang
akan berlangsung.
Sementara itu, kakek berpakaian merah te-
lah menghentikan tangisnya. Tampaknya ia me-
nyadari bahwa tidak ada gunanya lagi jika dilan-
jutkan. Aiya memiliki kekuatan batin yang kuat
sehingga tidak mudah dipengaruhi.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Harus
kuakui belum pernah kutemukan seorang pemuda
selihai dirimu. Kalau kau mampu menyambut se-
ranganku tanpa kehilangan nyawa, aku mengaku
kalah dan akan pergi meninggalkan tempat ini.
Tentu saja hanya untuk saat ini. Lain kali jika kau
kutemukan tak akan kuampuni! Sekarang ada
urusan lain yang lebih penting yang harus kuurus.
Bagaimana? Kau mau menyambut seranganku?"
Aiya mempertimbangkan tawaran kakek itu
sebentar. Dia tidak berani segera menyanggupinya.
Menyambut serangan berarti mengadu keras den-
gan keras. Kekuatan tenaga dalam yang menjadi
taruhannya. Siapa yang lebih kuat akan lebih un-
ggul. Dan, Arya tahu orang setua kakek di hada-
pannya ini sudah bisa diperkirakan kekuatan te-
naga dalamnya. Kalau umurnya delapan puluh ta-
hun saja, setidak-tidaknya kakek ini telah melatih
tenaga dalam selama tujuh puluh tahun! Sedang-
kan dia baru melatih tenaga dalamnya selama lima
belas tahun. Dari perhitungan ini saja sudah bisa
diperkirakan siapa yang berada dalam kedudukan
menguntungkan.
Aiya menyadari benar tenaga dalam yang
dihimpunnya tidak didapat dengan cara biasa. Gu-
runya, Ki Gering Langit, telah mengajarkan cara
menghimpun tenaga dalam yang amat dahsyat da-
lam waktu singkat. Sehingga, meski baru meng-
himpunnya sekitar lima belas tahun Aiya telah
memiliki tenaga dalam luar biasa! (Untuk lebih je-
lasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam epi-
sode perdana: "Pedang Bintang").
Setelah memikirkan tawaran lawan seben-
tar, pemuda berambut putih keperakan ini men-
gangguk pasti. "Kuterima tantanganmu, Kek!" ja-
wab Aiya mantap.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak.
Ia mengajukan pertarungan itu karena memperhi-
tungkan perbedaan usia di antara mereka. Berapa
kuat tenaga dalam yang berhasil dihimpun seo-
rang pemuda belia? Demikian pendapat kakek
berpakaian merah. Kendati telah menyaksikan
usahanya berhasil dibuyarkan Arya. Itu tidak men-
jadi jaminan pasti pemuda berambut putih kepe-
rakan itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Kakek berpakaian merah lalu bersiap untuk
melaksanakan rencananya. Dia berdiri dengan ka-
ki kanan. Kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi ke be-
lakang, membuat badan dan kepalanya terjulur ke
depan sejajar dengan bumi.
Dewa Arak pun bersiap. Tanpa ragu-ragu
lagi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam inti
matahari. Seketika itu pula di sekujur tubuhnya
mengepul uap tipis. Wajah Arya merah padam se-
perti udang rebus, ia tahu lawannya telah siap
menyerang dengan jurus 'Kalajengking'.
"Hih!"
Diiringi bentakan keras, kakek berpakaian
merah menghentakkan kedua tangannya yang ter-
buka membentuk cakar. Hembusan angin yang
luar biasa kerasnya meluncur ke arah Dewa Arak.
Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut
putih keperakan itu menyambutinya.
Blarrr!
Bunyi keras memekakkan telinga terdengar.
Sekitar tempat itu tergetar hebat. Bahkan, Karina
yang berada agak jauh merasakan kerasnya geta-
ran. Pepohonan bergoyangan dan daun-daunnya
rontok berguguran ke tanah.
Akibat yang lebih hebat terjadi pada kedua
petarung. Tubuh kakek berpakaian merah berpu-
tar dalam kedudukan masih seperti semula, sebe-
lum akhirnya jatuh terjengkang! Sedangkan Dewa
Arak, meski kuda-kudanya tidak berubah namun
ia terseret mundur beberapa tombak. Tampak gu-
ratan dalam di tanah bekas terseretnya. Seretan
itu baru berhenti ketika punggung Aiya memben-
tur sebatang pohon besar hingga pohon itu berge-
tar keras.
Kakek berpakaian merah bangkit berdiri.
Sinar matanya memancarkan rasa penasaran dan
kagum.
"Kau hebat, Anak Muda! Aku senang sekali
dapat terus melanjutkan pertarungan ini. Tapi,
janji adalah janji. Aku tidak pernah mengingkari
janji yang kubuat. Aku akan pergi dan bila kita
bertemu lagi baru nyawamu akan kuambil. Aku
sudah berjanji untuk tidak mencabut nyawa orang
lain sebelum nyawa musuh besarku kucabut! Se-
lamat tinggal, Anak Muda!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melesat
pergi. Dalam beberapa kali lesatan tubuhnya su-
dah tidak terlihat lagi. Pandangan ngeri Karina dan
takjub Dewa Arak mengantar kepergiannya, hingga
tubuhnya tidak terlihat dari pandangan.
Aiya yang telah berdiri tegak mendadak ter-
huyung-huyung ke depan. Dari mulutnya keluar
darah segar. Kemudian, tubuh itu terguling dan ja-
tuh ke tanah dengan keras. Aiya jatuh pingsan!
Memang, benturan keras tadi telah melukai
tubuh bagian dalam pemuda berambut putih ke-
perakan itu. Dengan menguatkan hati dia dapat
berdiri tegak. Tapi, tetap saja apabila kakek berpa-
kaian merah bertahan di tempat itu lebih lama,
Aiya tidak akan kuat bertahan. Kekhawatiran ka-
kek itu akan mengingkari janji membuat Dewa
Arak berusaha bertahan.
Jatuhnya Aiya membuat Karina bergegas
melesat menghampiri. Gadis ini tidak menduga
penolongnya terluka dalam, karena tadi terlihat
demikian tegar.
•kick
Aiya membuka mata ketika merasakan ali-
ran hawa hangat bergerak ke sekitar tubuhnya.
Dia juga merasakan dua telapak tangan halus me-
nempel di dadanya. Dari kedua telapak tangan itu-
lah hawa hangat yang berkeliaran ke sekujur tu-
buhnya berasal. Pandang matanya yang semula
kabur perlahan dapat melihat dengan jelas pemilik
kedua tangan halus itu. Seraut wajah cantik. Wa-
jah Karina!
Karina telah menyalurkan tenaga dalam pa-
danya. Semula Aiya merasa heran. Tapi, ia segera
teringat dirinya baru saja terluka dalam setelah
terjadi benturan pukulan jarak jauh dengan kakek
berpakaian merah.
"Cukup, Nona," tolak Arya. Gadis itu telah
mengerahkan tenaga dalam cukup banyak untuk
memulihkan luka dalamnya. Arya merasakan rasa
sakit dan nyeri dalam dadanya telah lenyap. Ini
karena pertolongan yang diberikan Karina. Sebe-
lumnya, dada Arya terasa sakit bukan main.
Karina segera menghentikan penyaluran te-
naga dalamnya. Arya telah lolos dari ancaman
maut, tinggal bersemadi untuk memulihkan keku-
atannya. Pemuda berambut putih keperakan itu
pasti sangat lelah, sedang sebagian besar tena-
ganya belum pulih kembali akibat luka dalam yang
dideritanya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona.
Namaku Arya. Aku berhutang nyawa padamu. Ka-
lau tidak ada kau mungkin aku hanya tinggal na-
ma saja, " ucap Arya, berterima kasih.
Karina tersenyum malu.
"Siapa yang menolong siapa? Kau yang lebih
dulu menolongku. Tanpa pertolonganmu aku akan
mati dalam keadaan mengerikan," elak gadis ini
dengan perasaan ngeri. Ia teringat kembali dengan
ancaman kakek berpakaian merah.
Mau tidak mau Arya tersenyum. Pemuda ini
merasa geli mengingat keadaan mereka. Masing-
masing saling memberikan dan menerima perto-
longan. Sehingga, sulit dikatakan siapa yang me-
nolong dan siapa yang ditolong.
"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan
kakek itu, Nona? Apakah kau mempunyai urusan
dengannya?" tanya Arya. Ia tidak berani menanya-
kan nama gadis itu karena melihat Karina mem-
punyai sifat pemalu.
"Gara-gara keisenganku, Arya. Namamu
Arya bukan?" Wajah Karina memerah karena telah
kelepasan menyapa Dewa Arak dengan namanya.
Meski sebenarnya pemuda itu telah memperkenal-
kan diri.
"Benar." Arya berpura-pura tidak mengeta-
hui perasaan yang bergolak di hati Karina. Pemuda
ini malah mempergunakan kesempatan itu untuk
menanyakan nama gadis itu. "Namaku memang
Aiya. Arya Buana. Kau sendiri siapa, Nona?"
Karina menyebutkan namanya. Dalam hati
dia merasa bersyukur Aiya tidak mempedulikan
perasaan malu yang menyergap hatinya. Kemu-
dian, dengan mulai berani Karina menceritakan
semua kejadiannya. Mulai dari perpisahan dengan
kakeknya sampai pertemuannya dengan kakek
berpakaian merah. Tentu saja rasa malu membuat
Karina tidak mau memperkenalkan julukan ka-
keknya. Aiya pun tampaknya tidak mempersoal-
kan hal itu. Tapi, ia tahu Karina murid seorang to-
koh tingkat tinggi.
Basa-basi itu tidak berlangsung lama. Dewa
Arak dan Karina menyadari keadaan mereka tidak
menguntungkan. Lebih baik mereka memulihkan
tenaga. Keduanya kemudian duduk bersila untuk
melakukan semadi.
Tapi, baru saja sepasang muda-mudi itu
memejamkan mata terdengar teriakan melengking
nyaring yang penuh kebencian.
"Rupanya kau di sini, Kuntilanak! Sekarang
riwayatmu akan kuselesaikan!"
Hampir bersamaan Dewa Arak dan Karina
membuka mata mengalihkan pandangan ke arah
asal bentakan. Tampak dua sosok berkelebat cepat
mendekati tempat mereka.
Dewa Arak mengerutkan alis, ia tidak men-
genal kedua sosok terdiri dari lelaki dan wanita
muda itu. Mereka mengenakan pakaian yang sal-
ing berlawanan. Yang wanita memakai pakaian
berwarna merah, sedangkan yang lelaki memakai
pakaian putih.
Aiya melirik ke arah Karina. Dia melihat
wajah gadis itu berubah. Karina mengenal kedua
orang muda itu. Memang, sasaran makian yang
tadi terdengar ditujukan pada seorang wanita! Sia-
pa lagi kalau bukan Karina? Di tempat ini yang
ada hanya Aiya dan Karina.
Dugaan Arya tepat sekali. Karina memang
mengenai sepasang muda-mudi berwajah elok itu.
Mereka adalah Sutini dan saudara seperguruan-
nya, Dampit!
Jantung Karina berdebar tegang. Gadis ber-
pakaian hijau ini segera mengetahui adanya an-
caman bahaya. Sutini memendam rasa dendam
terhadap kakeknya. Dan, Karina tahu Sutini terla-
lu dikuasi dendam sehingga pertimbangannya ti-
dak adil. Rasa dendam yang bergelora di dalam
dada memang kadang-kadang membuat orang ti-
dak bisa berpikir jernih. Ia hanya bisa menilai se-
cara sepihak, yaitu hal yang menguntungkan di-
rinya.
Karina menyadari benar keadaannya seka-
rang amat tidak menguntungkan. Tenaganya yang
tersisa hanya sebagian kecil. Itu tidak cukup un-
tuk dijadikan andalan menghadapi Sutini yang li-
hai. Kendati demikian, Karina tidak menjadi gen-
tar. Dia bangkit dan menunggu kedatangan Sutini
serta Dampit dengan sikap gagah.
"Kiranya kau...? Mengapa kau mengejar-
ngejar aku?!" tegur Karina tenang. Sikapnya me-
nunjukkan dia merasa yakin akan dirinya.
Aiya mengeluh dalam hati melihat sikap Ka-
rina. Pandang mata pemuda ini segera dapat meli-
hat kalau Karina masih lemah. Tapi, ia masih
mampu bersikap demikian gagah. Di balik sikap
pemalunya Karina memiliki watak keras hati dan
tidak takut menghadapi ancaman. Sikap seorang
wanita pendekar.
Sutini berdiri tiga tombak di depan Karina
dengan membelalakkan sepasang mata saking ke-
salnya. Seakan ia hendak menelan bulat-bulat Ka-
rina dengan sepasang matanya yang indah itu.
"Tidak usah banyak bicara lagi, Wanita
Liar!" Sutini memaki. "Katakan di mana kakekmu
yang jahat itu. Ke mana dia bersembunyi?"
"Untuk apa kau mencarinya? Percuma saja.
Sampai kapan pun kau tak akan bisa melaksana-
kan niatmu. Kalau kakekku mau, dengan mudah
kau dan kawanmu itu dibunuhnya. Tapi, beliau ti-
dak mau melakukannya. Bahkan, beliau berpesan
padaku supaya tidak meladenimu karena kau te-
lah keliru!"
"Tutup mulutmu, Wanita Jahat!" Sutini se-
makin tenggelam dalam amarahnya. Yang ada di
benak gadis ini hanya keinginan melampiaskan
dendamnya yang bertumpuk. Dia tidak ingin men-
dengar nasihat. "Kau tahu siapa yang benar dan
yang salah? Kakekmu bukan orang baik-baik. Dia
seorang penjahat keji. Tokoh dunia hitam yang ke-
gemarannya membunuh orang. Dan, ayahku ada-
lah salah satu korbannya! Apakah salah kalau aku
ingin membalaskan kematiannya?!"
Karina mengangkat dagunya dengan sikap
menantang. Kemarahannya bangkit mendengar
kakek yang dibanggakan dan disayangi, dihina
orang.
"Aku tahu kakekku bukan orang baik-baik.
Dia seorang tokoh jahat. Entah sudah berapa ba-
nyak nyawa melayang di tangannya. Tapi, tidak
bolehkan orang jahat sadar dari kesesatannya dan
kembali ke jalan yang benar? Tidak bisakah orang
jahat bertobat dan menghabisi sisa umurnya den-
gan hidup tenang?"
"Enak betul kalau begitu!" sergah Sutini
sambil tersenyum sinis. Sikap dan ucapan gadis
ini jelas menunjukkan amarahnya. "Betapa enak-
nya? Sejak muda berlaku lalim, menyebar maut
dan kejahatan di sana sini. Kemudian, karena ta-
kut menghadapi pembalasan lawan-lawannya lalu
bertobat. Setelah tua dan tidak berdaya ingin
kembali ke jalan yang benar agar selamat dari
pembalasan! Sungguh suatu siasat yang licik!"
"Kau tahu satu tapi tidak tahu dua, Sutini,"
suara dan sikap Karina masih terlihat tenang, ti-
dak terpengaruh oleh ucapan Sutini. "Kau tahu,
tewasnya ayahmu karena ulahnya sendiri!"
"Keparat! Mulutmu semakin lancang, Wani-
ta Liar! Kalau tidak segera disumpal, kekurangaja-
ranmu akan menjadi-jadi!"
Sutini yang tidak bisa menahan kemara-
hannya lagi mendengar ucapan Karina segera
mengirimkan tendangan keras ke arah perut. Se-
buah serangan yang akan mengirim nyawa gadis
berpakaian hijau itu ke akhirat apabila sampai
mendarat di sasaran.
Aiya yang sejak tadi mendengarkan per-
tengkaran kedua gadis itu sedikit banyak telah bi-
sa memperkirakan masalah yang dipertengkarkan.
Hanya karena belum jelas dia tidak berani ikut
campur.
Sekarang, melihat ancaman maut terhadap
Karina, Aiya tidak bisa berdiam diri lagi. Betapa-
pun juga pemuda berambut putih keperakan ini
telah membuktikan sendiri kalau Karina bukan
gadis yang jahat. Terlepas dari siapa dan bagaima-
na orang yang menjadi kakeknya, Arya berkewaji-
ban untuk menolong gadis berpakaian hijau itu.
Meskipun demikian, tidak berarti Dewa
Arak berpihak pada Karina. Memang amat mudah
untuk berpihak pada gadis berpakaian hijau itu.
Sikapnya tenang dan pengalah, membuat orang
bersimpati terhadapnya. Sifat seperti itu tidak di-
tunjukkan oleh Sutini. Bahkan, gadis berpakaian
merah itu menunjukkan sikap kasar dan kejam
serta mau menang sendiri. Walau demikian, Arya
tidak mengambil kesimpulan dari masalah kecil
itu.
Keinginan untuk menolong memang besar.
Tapi, keadaan yang tidak menguntungkan mem-
buat Arya tidak mampu berbuat banyak. Jangan-
kan memapaki serangan Sutini, menyambar tubuh
Karina dan membawanya mengelak dari serangan
pun ia tidak mampu. Tubuhnya masih lemas seka-
li.
Aiya menarik napas lega ketika melihat Ka-
rina masih mampu menyelamatkan diri. Gadis ini
melempar tubuhnya ke tanah dan bergulingan
menjauhi. Tapi, Sutini yang telah bangkit amarah-
nya tidak membiarkan saja. Dia melesat mengejar
tubuh Karina dan menghujaninya dengan seran-
gan-serangan berbahaya. Hal ini membuat Karina
kewalahan untuk menyelamatkan selembar nya-
wanya.
Aiya melangkah maju bersiap untuk meno-
long Karina. Padahal, sebagian besar tenaganya te-
lah lenyap. Apa yang dapat dilakukannya? Tinda-
kan pemuda ini telah memancing tanggapan dari
Dampit. Pemuda berpakaian putih ini ikut maju
dan menatap Aiya dengan sinar mata tidak se-
nang.
"Bersikap jantan sedikit, Sobat. Mereka te-
lah bertarung dengan adil. Satu lawan satu. Tidak
selayaknya kau ikut mencampuri. Hanya orang-
orang berwatak pengecut saja yang mau mencam-
puri urusan yang telah demikian adil!"
Dampit memang tidak keras mengucapkan-
nya. Tapi, nadanya keras dan tajam bukan main.
Cukup untuk membuat wajah Aiya memerah
sampai ke telinga karena tersinggung.
"Adalah tindakan yang lebih pengecut
membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di de-
pan mata. Hanya seorang pengecut besar dan ber-
jiwa keji yang membiarkan orang tidak berdaya
bertarung!" timpal Aiya dengan nada tak kalah ta-
jam. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
dia berhadapan dengan seorang yang berjiwa pen-
dekar, tapi salah menempatkan keadaan.
"Salah orang itu sendiri!" Dampit tidak mau
kalah. "Ingat, dia berada di rimba persilatan. Tem-
pat ganas yang tidak mengenal ampun. Kewaspa-
daan dan kemampuan harus selalu terarah. Apabi-
la tidak, yang diterimanya adalah ucapan selamat
datang pada alam kubur!"
Hati Aiya panas. Ketersinggungannya ber-
tambah. Padahal pemuda ini jarang-jarang marah.
Tidak mudah untuk membuat Aiya tersinggung.
Tapi kali ini pemuda berambut putih keperakan ini
dua kali tersinggung. Itu terjadi hanya dalam dua
kali Dampit berbicara.
Aiya merasa diremehkan. Sikap dan ucapan
Dampit mengisyaratkan pemuda ini seperti telah
kenyang merambah kerasnya dunia persilatan dan
hidup bergantung dengan kemampuan. Tampak
jelas Dampit menganggap remeh dirinya. Aiya di-
anggapnya orang yang baru turun gunung dan ti-
dak mengenal kerasnya dunia persilatan.
Nasihat yang diucapkan Dampit dengan na-
da menasihati yang membuat Aiya tersinggung
bukan main. Sebagai orang yang kenyang penga-
laman, Arya tahu Dampit belum pernah turun ke
dunia persilatan, Jadi, keberadaannya di tempat
ini mungkin baru untuk pertama kali. Dan, pemu-
da ini telah berani-beraninya memberi nasihat pa-
danya.
"Rupanya kau telah kenyang merambah
dunia persilatan, Sobat. Boleh kutahu julukanmu?
Nama besar yang kau sandang karena keberhasi-
lanmu bertahan hidup di dunia persilatan yang
ganas ini?" tanya Arya, menyindir.
"Aku belum punya julukan, Sobat. Tapi ka-
lau kau ingin tahu, namaku Dampit. Percayalah,
tak akan lama lagi julukanku akan membubung
tinggi ke dunia persilatan. Dengan memperguna-
kan pedangku, aku akan mempertahankan nya-
wa!" Dampit masih bermulut besar.
"Ah.... Kiranya demikian! Kupikir kau telah
kenyang merambah dunia persilatan. Setidak-
tidaknya aku dapat belajar darimu agar aku bisa
bertahan hidup. Dan...."
"Meski belum lama terjun dalam dunia per-
silatan." Dampit langsung menyela. "Tapi, aku bisa
mengajukan saran padamu. Kau bisa mengguna-
kan nasihat yang akan kuberikan untuk bertahan
hidup. O ya, kau belum menyebut namamu, So-
bat."
Arya yang semakin jengkel melihat Dampit
menyela ucapannya, mempunyai kesempatan un-
tuk menghajar perasaan pemuda itu.
"Aku mana bisa dibandingkan dengan diri-
mu. Bahkan, aku ingin meminta nasihatmu agar
bisa selamat..."
"Tidak apa-apa. Akan kuberikan nasihatku.
Biar jelek pun namamu beri tahukan saja. Setidak-
tidaknya kau akan kucatat sebagai orang pertama
yang mendapat pelajaran bagaimana caranya ber-
tahan hidup di dunia persilatan!" Lagi-lagi Dampit
yang berwatak tinggi hati dan selalu memandang
rendah orang lain, menyela.
"Baiklah." Aiya bersikap seakan tidak mem-
punyai pilihan lain. "Namaku tentu saja tidak bisa
dibandingkan dengan namamu, Dampit. Apalagi
dalam hal bertahan hidup. Mungkin aku harus
berguru padamu untuk beberapa lama. Namaku
Arya Buana. Tapi, orang lebih sering menyebutkan
Dewa Arak. Julukan itu yang mereka berikan pa-
daku."
"Ah...!"
Dampit terlonjak ke belakang bagai disengat
kalajengking. Sepasang mata pemuda ini membe-
lalak lebar bagai melihat hantu.
"Kau.... Dewa Arak...?!"
Setelah beberapa saat lamanya terkesima,
akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut
Dampit. Sikap dan nada ucapannya memancarkan
keterkejutan dan rasa tidak percaya. Dipandan-
ginya sekujur tubuh Dewa Arak mulai dari kepala
sampai ke kaki.
"Rasanya memang tidak salah.... Pakaian -
mu, rambutmu. Juga guci di punggungmu. Sung-
guh-sungguhkah kau Dewa Arak...?"
Bukan hanya Dampit saja yang mendengar
julukan Dewa Arak. Sutini dan Karina pun demi-
kian. Sutini sampai menghentikan serangannya
terhadap Karina yang terus bergulingan untuk
menyelamatkan diri. Kedua gadis ini menatap ke
arah Dewa Arak dengan tatapan kaget. Mereka ti-
dak pernah menyangka bisa bertemu dengan to-
koh yang telah menggegerkan dunia persilatan.
Orangnya ternyata masih amat muda!
Sementara Arya yang diperhatikan me-
nyunggingkan senyum lebar. "Orang-orang persila-
tan memang menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku
lebih suka dipanggil Aiya," ucap pemuda berambut
putih keperakan itu untuk meredakan suasana
yang agak mencekam.
Dampit saling berpandangan dengan Sutini.
"Mari kita pergi, Sutini!"
"Tapi...."
"Lupakan saja masalah itu. Kita urus bela-
kangan!"
Tanpa menunggu jawaban Sutini yang men-
jadi bimbang, Dampit mendahului melesat me-
ninggalkan tempat itu. Sutini menatap Aiya dan
Karina sesaat sebelum melesat pergi.
"Urusan antara kita belum selesai, Wanita
Liar!"
Gema ucapan Sutini masih terdengar jelas
meski sosoknya sudah tidak terlihat lagi.
Karina mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak,
"Jadi..., kau tokoh yang menggemparkan
itu? Kau..,. Dewa Arak..."
"Maaf, Karina. Aku tidak ingin berbohong
kepadamu. Hanya aku tidak mau menggembar-
gemborkan julukan yang akan membuat percaka-
pan menjadi canggung," Jelas Arya, khawatir Kari-
na mengira dia tidak percaya pada gadis itu.
"Tidak apa-apa, De..., eh, Arya. Bukankah
kau lebih suka dipanggil dengan nama?" tanya Ka-
rina. Aiya mengangguk. "Aku tahu, kadang-
kadang betapapun eratnya hubungan antara se-
seorang hal-hal yang dirahasiakan harus tetap
ada. Aku pun tidak jujur terhadapmu, Aiya. Aku
tidak menceritakan siapa kakekku. Tapi karena
kau telanjur tahu, tidak ada salahnya kuceritakan
semua."
"Jangan memaksakan diri, Karina...," Arya
mengingatkan.
"Tidak, Aiya. Aku tidak memaksakan diri."
Karina menggelengkan kepala.
Arya tidak memberikan bantahan lagi. Dia
berdiam diri mendengar cerita Karina. Hanya sedi-
kit yang diceritakan Karina. Tentang siapa kakek-
nya dan masalah yang tengah dihadapinya seka-
rang. Tidak diceritakannya tentang riwayat hidup-
nya.
Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi
ini sibuk memulihkan tenaga dalam dengan ber-
semadi.
•kick
Sosok tubuh tinggi kurus menghentikan
langkahnya di depan sebuah goa yang cukup be-
sar. Sosok itu mengenakan pakaian berkilau-
kilauan seperti terbuat dari emas. Pada bagian ke-
palanya terdapat penutup kepala berbentuk keru-
cut. Penutup kepala itu pun terbuat dari bahan
yang sama. Berkilauan dan seperti bersisik, mirip
kulit ular!
Sayangnya wajah pemakai pakaian mewah
itu tidak terlihat. Tertutup sebuah topeng kayu be-
rukir. Sebuah topeng kayu yang tipis dan memiliki
ukiran-ukiran berbentuk hidung, mulut, dan juga
lubang untuk kedua mata. Tampak sinar menco-
rong kehijauan memancar dari dua buah lubang
kecil untuk mata pada topeng kayu itu.
Dengan sinar matanya yang luar biasa so-
sok bertopeng kayu menatap ke bagian dalam goa.
Agaknya, ia ingin melihat isi di dalamnya.
Tapi, tentu saja betapapun tajamnya mata
seorang manusia tidak akan mungkin mampu me-
lihat sesuatu di dalam kepekatan. Ini pun disadari
oleh sosok bertopeng kayu yang menilik bentuk
tubuhnya adalah seorang pemuda. Ia mempergu-
nakan telinganya untuk mengetahui apakah goa
itu berpenghuni. Beberapa saat kemudian, ia
mendapat jawaban. Goa itu berpenghuni.
Setelah memperhatikan bagian dalam goa
yang tidak ketahuan panjang dan dalamnya, sosok
bertopeng kayu mengirimkan ucapan pada orang
yang berada di dalam goa melalui ilmu mengirim-
kan suara dari jauh.
Sementara dalam goa seorang lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun dan bertubuh pendek
gemuk serta berkepala botak tengah bersemadi. Ia
membuka sepasang matanya dengan terkejut.
"Gajah Cilik Berkepala Baja, harap keluar
sebentar. Hentikan dulu semadimu. Maaf, aku se-
benarnya tidak ingin mengganggu kesibukanmu.
Tapi, aku mempunyai sebuah urusan yang amat
penting. "
Suara yang dikirimkan sosok bertopeng
kayu menggema di dalam telinga kakek pendek
gemuk. Memaksa kakek itu sadar dari semadinya
dan membuka mata.
Kakek pendek gemuk yang berjuluk Gajah
Kecil Berkepala Baja tercenung sebentar dalam
keadaan masih duduk bersila. Ia bisa menduga
orang yang telah mengirimkan suara dari jauh itu
memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Hingga, sam-
pai dapat menyadarkan Gajah Cilik Berkepala Baja
dari semadinya. Tampaknya, orang itu tidak ber-
maksud jahat. Tamunya dengan baik-baik men-
gundangnya untuk keluar. Apabila dirinya tidak
memenuhi permintaan itu berarti ia tidak meng-
hargai aturan dunia persilatan.
"Tidak apa-apa, Sobat. Harap bersabar me-
nunggu sebentar!"
Gajah Cilik Berkepala Baja memberi jawa-
ban dari jauh pada sosok bertopeng kayu yang be-
rada di luar goa. Belum juga ucapannya lenyap da-
ri telinga, Gajah Cilik Berkepala Baja telah berada
di luar goa. Tepat di depan sosok bertopeng kayu!
"Maaf." Sosok bertopeng kayu merang-
kapkan kedua tangan di depan dada seraya mem-
bungkukkan sedikit tubuhnya. "Bukan maksudku
mengganggu kesibukanmu, Gajah Cilik. Tapi, aku
mempunyai urusan penting yang harus diselesai-
kan. Karena kebetulan kau mempunyai peranan
penting dalam urusan ini, maka aku terpaksa
mengganggumu."
Gajah Cilik Berkepala Baja membalas peng-
hormatan itu dengan cara yang sama. Wajah ka-
kek pendek gemuk ini kelihatan tidak senang keti-
ka terpandang olehnya topeng kayu yang menutu-
pi wajah tamunya.
"Aku tidak merasa terganggu, Sobat. Aku
senang sekali bila bisa membantumu menyelesai-
kan persoalan penting itu. Tapi, bagaimana mung-
kin kita bisa bercakap-cakap dengan hati penuh
curiga bila kau mengenakan topeng di wajahmu.
Keberadaan topeng itu menimbulkan prasangka
tidak baik di hatiku. Kalau kau masih ingin berca-
kap-cakap denganku tanggalkan benda itu. Atau,
kau tidak akan bisa mendapatkan keterangan
penting dariku!" Gajah Cilik Berkepala Raja tanpa
ragu-ragu menyatakan perasaan yang mengganjal
hatinya.
"Maaf, sekali lagi maaf, Gajah Cilik." Sosok
bertopeng kayu kembali menjura seraya mem-
bungkukkan tubuh. "Bukan maksudku menim-
bulkan keragu-raguan di hatimu. Tapi dengan se-
jujurnya kukatakan aku tidak bisa membuka to-
peng ini dari wajahku. Membukanya sama artinya
dengan melepas nyawaku dari badan!"
"Terserah padamu, Sobat." Gajah Cilik Ber-
kepala Baja mengangkat kedua bahunya dengan
sikap acuh. "Aku mau berbincang-bincang dengan
syarat wajahmu yang kau hadapkan padaku dan
bukan topeng kayu itu, atau kau terpaksa tak bisa
mendapatkan apa yang kau inginkan! Aku tak bisa
bercakap-cakap dengan orang yang tidak mau
mempercayaiku. Topeng di wajahmu menunjuk-
kan kau tidak ingin kukenal. Ini berarti kau tidak
mempercayaiku! Nah. Aku sudah mengatakan hal
yang seharusnya kukatakan. Sekarang semua be-
rada di tanganmu, Sobat!"
Sosok bertopeng kayu tampak bingung. Dia
terdiam dengan menundukkan kepala. Sesaat ke-
mudian, ditatapnya lagi wajah Gajah Cilik Berke-
pala Baja.
"Gajah Cilik, aku memohon dengan sangat
pengertianmu. Bukannya aku tidak ingin menge-
nalkan diri atau tidak percaya padamu. Ketahui-
lah, topeng ini tidak bisa kubuka, kecuali kalau
aku telah tewas. Wajahku merupakan rahasia be-
sar. Dan...."
"Aku pun merupakan rahasia besar, Sobat.
Dulu memang aku seorang tokoh golongan putih
yang cukup punya nama. Tapi, sekarang aku telah
mengasingkan diri dan hampir tidak ada orang
yang tahu julukanku lagi. Tempat ini pun merupa-
kan tempat rahasia. Tapi toh aku tidak terlalu
mempertahankan hal itu."
Sosok bertopeng kayu menggelengkan kepa-
la.
"Ada perbedaan besar antara kita, Gajah Ci-
lik. Kau dulunya memang orang terkenal dan ter-
jun ke dunia persilatan. Tapi, tidak demikian hal-
nya dengan kami. Turun-temurun kami merupa-
kan orang-orang yang tidak pernah muncul ke du-
nia persilatan. Keberadaan kami tidak pernah di-
ketahui tokoh-tokoh persilatan."
"Lalu, mengapa kau muncul ke dunia luar?
Bukankah kau bilang tadi kau dan kelompokmu
tidak pernah terjun ke dunia persilatan," bantah
Gajah Cilik Berkepala Baja.
Gajah Cilik Berkepala Baja ingin mengeta-
hui tentang sosok bertopeng kayu ini. Ia memiliki
kepandaian amat tinggi. Sorot matanya yang tajam
mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Pa-
dahal, Gajah Cilik Berkepala Baja yakin sosok ber-
topeng kayu itu masih muda!
Kalau orang dengan usia semuda ini saja
sudah memiliki tenaga dalam demikian kuat, ba-
gaimana pula dengan orang tertua di dalam ke-
lompoknya? Sukar untuk dibayangkan! Mengeta-
hui siapa sosok bertopeng kayu dengan kelompok-
nya ini merupakan hal yang amat menarik.
"Seperti yang kukatakan, menemuimu un-
tuk membicarakan suatu keperluan. Bagaimana,
Gajah Cilik? Bersediakah kau membantuku?"
tanya sosok bertopeng kayu penuh harap.
Gajah Cilik Berkepala Baja tidak segera
menjawab. Ia terdiam sebentar seperti tengah
mempertimbangkan suatu keputusan yang amat
berat.
"Apakah permintaanku yang tadi tidak bisa
kau pertimbangkan lagi, Anak Muda?" Kakek pen-
dek gemuk itu merubah sapaannya.
"Sayang sekali, Gajah Cilik. Aku tidak dapat
melakukan hal itu. Bukan hanya aku saja yang
akan bersikap demikian, tapi semua orang-orang
kami. Kami lebih suka melepaskan nyawa daripa-
da melepaskan topeng ini. Ia jauh lebih berharga
dari nyawa. Pada topeng ini terkandung kehorma-
tan, harga diri, dan sumpah leluhur kami!" jelas
sosok bertopeng kayu dengan penuh penyesalan.
Gajah Cilik Berkepala Baja tersenyum di da-
lam hati. Tanpa disadari lawan bicaranya, ia ber-
hasil mengorek sedikit keterangan mengenai orang
bertopeng kayu dan kelompoknya. Sosok berto-
peng kayu itu telah terpancing. Dan, Gajah Cilik
Berkepala Baja memang memiliki kecerdikan yang
cukup.
"Kalau memang begitu, apa boleh buat?"
Gajah Cilik Berkepala Baja menunjukkan sikap
pasrah. "Apa yang kau inginkan dariku? Apakah
ini mengenai masalah orang lain?"
Sepasang mata di balik topeng kayu bersi-
nar-sinar gembira mendengar kesediaan Gajah Ci-
lik Berkepala Baja. "Benar sekali, Gajah Cilik.
Orang itu adalah Siluman Dari Neraka!"
"Hukh!"
Gajah Cilik Berkepala Baja sampai terjajar
beberapa langkah ke belakang begitu mendengar
julukan yang diucapkan sosok bertopeng kayu.
Kakek pendek gemuk itu terkejut bukan main. Ia
mengenal betul tokoh itu.
Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki
setindak mendekati Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Kau mengenalnya kan, Gajah Cilik?" desak sosok
bertopeng kayu.
Gajah Cilik Berkepala Baja malah menatap
sosok bertopeng kayu dengan penuh selidik. Sikap
kakek pendek gemuk ini terlihat waspada dan siap
untuk bertarung.
"Apa hubunganmu dengannya?" Gajah Cilik
Berkepala Baja balas bertanya. Suaranya terden-
gar tegang.
6
Sosok bertopeng kayu tidak segera menang-
gapi pertanyaan Gajah Cilik Berkepala Baja. Terli-
hat jelas dia merasa ragu untuk memberikan ja-
waban.
"Sebelum aku menjawab, maukah berjanji
untuk tidak menceritakan hal ini pada orang lain?
Maukah kau berjanji, Gajah Cilik?" tanya sosok
bertopeng kayu setelah beberapa saat lamanya
berdiam diri.
Gajah Cilik Berkepala Baja menatap wajah
sosok bertopeng kayu lekat-lekat. Ia mencari ke-
sungguhan dalam ucapan sosok yang berdiri di
hadapannya itu.
"Kalau kau tidak mau berjanji, biarlah aku
batalkan keinginanku. Aku tahu masih ada orang
lain yang dapat menceritakannya padaku. Barang-
kali dia tidak sekeras kau dalam mempertahankan
pendapatnya. Selamat tinggal, Gajah Cilik! Sekali
lagi kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu
menemuiku."
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi sosok
bertopeng kayu membalikkan tubuh. Sekali ka-
kinya bergerak tubuhnya telah berada belasan
tombak di depan.
"Tunggu, Anak Muda!"
Ayunan kaki sosok bertopeng kayu terhenti.
Tubuhnya dibalikkan. Tapi, dia tidak bergerak
menghampiri. Mereka berhadapan dalam jarak be-
berapa belas tombak.
"Boleh aku tahu siapa tokoh yang kau mak-
sud sebagai orang lain yang mengetahui tentang
Siluman Dari Neraka?"
"Malaikat Tongkat!" jawab sosok bertopeng
kayu, singkat.
Wajah Gajah Cilik Berkepala Baja berubah
hebat.
"Dia sahabatku, Anak Muda! Kuharap kau
tidak mengganggunya. Bila hal itu terjadi, aku
akan mencarimu untuk melakukan perhitungan!"
tandas Gajah Cilik Berkepala Baja, tegas.
"Legakan hatimu, Gajah Cilik. Aku tidak
akan bertindak kasar terhadapnya. Kewajibanku
adalah membawa pulang Siluman Dari Neraka.
Hidup atau mati, lain tidak!"
Sosok bertopeng kayu kemudian membalik-
kan tubuh dan bersiap melesat pergi. Tapi, lagi-
lagi maksudnya tidak kesampaian. Gajah Cilik
Berkepala Baja kembali mengeluarkan seruan
mencegah.
"Ada apa lagi, Gajah Cilik?!" tanya sosok
bertopeng kayu. Nada suaranya mulai meninggi.
Sikap kakek pendek gemuk itu membuatnya me-
rasa dipermainkan.
Tapi, Gajah Cilik Berkepala Baja seperti ti-
dak mendengar pertanyaan sosok bertopeng kayu.
Dia menatap wajah sosok yang berdiri di hada-
pannya lekat-lekat.
"Jadi..., Siluman Dari Neraka merupakan
salah seorang dari kelompokmu, Anak Muda?"
tanya Gajah Cilik Berkepala Baja dengan suara
bergetar.
"Benar, Gajah Cilik!" Sosok bertopeng kayu
mengangguk. Suaranya terdengar lirih seperti
orang berbisik. "Dia merupakan anggota kelompok
kami, tapi telah membelot. Ia melarikan diri dari
tempat tinggalnya. Bahkan, dengan melarikan bu-
ku-buku pusaka kelompok kami. Puluhan tahun
hal itu telah terjadi, namun tak satu pun usaha
yang dapat kami lakukan karena berbagai hal dan
pertimbangan."
Pernyataan sosok bertopeng kayu benar-
benar mengejutkan Gajah Cilik Berkepala Baja.
Kakek pendek gemuk ini tahu siapa Siluman Dari
Neraka! Seorang tokoh sesat yang memiliki kepan-
daian luar biasa. Kalau sosok bertopeng kayu ini
mendapat tugas membawa Siluman Dari Neraka
hidup atau mati, berarti sosok yang mengenakan
pakaian seperti kulit ular emas ini memiliki ke-
pandaian di atas Siluman Dari Neraka!
"Ah...! Syukurlah kalau demikian," desah
Gajah Cilik Berkepala Baja, lega. "Semula kukira
kau kawan Siluman Dari Neraka. Ternyata bukan.
Kini kita bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan agar
hatimu lebih tenang, mungkin perlu kukatakan
kalau aku bersedia merahasiakan cerita yang akan
kau katakan. Puas, Anak Muda?"
"Terima kasih, Gajah Cilik. Itu sudah cu-
kup." Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki
menghampiri, ketika Gajah Cilik Berkepala Baja
dengan tersenyum lebar mendekatinya. Keduanya
berjabatan tangan dengan erat.
"Nah. Sekarang ceritakan," ucap Gajah Cilik
Berkepala Baja seraya melepaskan jabatan tan-
gannya.
"Entah tepatnya sejak kapan, aku sendiri
tidak tahu pasti, yang jelas sudah lebih dari dua
ratus tahun nenek moyang kami menempati suatu
tempat yang bagi kami merupakan penjara. Menu-
rut cerita yang kami dapat turun temurun, tempat
itu merupakan tempat buangan orang-orang yang
melakukan kesalahan. Tempat yang menjadi tem-
pat kelompokku adalah tempat hukuman. Kami
lebih suka menyebutkan Penjara Langit. Tempat-
nya memang ada di puncak sebuah gunung yang
tidak mungkin dapat didaki dengan kemampuan
yang luar biasa sekalipun!" Sosok bertopeng kayu
memulai ceritanya.
Sementara Gajah Cilik Berkepala Baja men-
dengarkan dengan penuh minat. Ia tidak menyela
sedikit pun. Kakek pendek gemuk ini merasa terta-
rik dengan cerita mengenai asal-usul kelompok so-
sok bertopeng kayu yang demikian luar biasa.
"Kira-kira empat puluh tahun yang lalu Ra-
taksa kabur meninggalkan Penjara Langit. Dia juga
mengambil beberapa kitab yang berisi pelajaran
ilmu silat dan sihir. Kami semua tahu. Tapi, tidak
ada yang dapat dilakukan. Menurut hukum kami,
setiap orang yang melarikan diri dari Penjara Lan-
git akan menderita hebat sebelum mati. Entah ka-
rena mengapa aku sendiri tidak tahu, konon orang
yang meninggalkan Penjara Langit di dalam tubuh
orang itu akan muncul racun jahat! Racun berba-
haya yang dapat menimbulkan kematian. Entah
benar atau tidak, aku tidak pernah membuktikan-
nya."
"Jadi, karena itukah maka kepergian Ratak-
sayang kemudian mendapat julukan Siluman Dari
Neraka dibiarkan begitu saja?" duga Gajah Cilik
Berkepala Baja.
"Tentu saja tidak!" sambut sosok bertopeng
kayu, cepat. "Tidak demikian mudah jalan keluar-
nya dengan langsung mengejar Rataksa."
Dengan alasan apa pun seorang penghuni
Penjara Langit tidak akan diperkenankan keluar.
Namun, karena tindakan Rataksa dapat membuat
arwah leluhur kami tidak tenang, maka seluruh
penghuni berkumpul dan mencari jalan untuk
memecahkan masalah ini. Akhirnya diputuskan
untuk memilih orang-orang yang akan ditugaskan
mengejar Rataksa. Tentu saja mesti orang-orang
pilihan agar dapat menunaikan tugas dengan baik.
Dengan wajah ditutup topeng dua orang pilihan itu
mencari Rataksa untuk dibawa pulang dengan ca-
ra apa pun."
"Asal kau tahu saja, Anak Muda. Siluman
Dari Neraka telah mengacau dunia persilatan sejak
sekitar tiga puluh tahun lalu. Mengapa kau baru
tiba hari ini? Selisih waktu antara kau dengannya
tiga puluh tahun!"
"Lima puluh atau bahkan tujuh puluh ta-
hun pun bukan masalah apabila aku berhasil
membawa pulang Rataksa! Bagi kami masalah
waktu tidak penting. Melainkan keberhasilannya.
Agar nenek moyang kami yang pertama kali mem-
buat sumpah tidak penasaran di alam baka!" tegas
sosok bertopeng kayu, mantap.
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-
anggukkan kepala tanda mengerti. "Kalau boleh
kutahu, mengapa tenggang waktunya bisa demi-
kian lama?"
"Waktu yang demikian lama itu diperguna-
kan untuk menggembleng calon yang terpilih. Itu
membutuhkan waktu belasan tahun. Kemudian,
agar orang yang bertugas mencari Rataksa tidak
mengalami kecelakaan di tengah jalan akibat ra-
cun di dalam tubuh karena keluar dari Penjara
Langit, maka perlu memakan jamur emas. Jamur
yang hanya tumbuh di tempat kami. Pertumbuhan
jamur itu memakan waktu dua puluh tahun! Ma-
ka, kami pun membuang waktu beberapa puluh
tahun lagi untuk menunggu jamur emas tumbuh.
Karena itu, waktu kami terpisah jauh dengan Ra-
taksa."
Rupanya, Rataksa pergi setelah lebih dulu
memakan jamur emas, Rataksa yang cerdik me-
makan jamur secukupnya. Sedangkan yang lain
dihancurkan untuk menyulitkan pengejaran. Tapi,
Rataksa terlalu tergesa-gesa. Jamur itu belum ma-
sak benar. Kendati racun tidak akan membunuh-
nya, malapetaka lain akan menimpa. Penghuni
Penjara Langit tidak pernah berpikir akan ada
orang yang berniat kabur, sehingga tempat tum-
buhnya jamur tidak terjaga.
"Sayang sekali." Gajah Cilik Berkepala Baja,
menyayangkan. "Kalau saja tidak ada halangan-
halangan itu, tentu sudah sejak lama kau dan Si-
luman Dari Neraka bertemu!"
"Mungkin." Sosok bertopeng kayu tidak be-
rani memastikan.
Tiba-tiba Gajah Cilik Berkepala Baja tersen-
tak kaget. Ada sesuatu yang terlupakan.
"Kalau demikian... dugaanku bahwa kau
seorang pemuda ternyata salah. Dari ceritamu
mungkin usiamu sekarang paling tidak lima puluh
tahun!" terka Gajah Cilik Berkepala Baja. "Tapi,
mengapa bentuk tubuhmu seperti pemuda dua
puluh lima tahun?"
"Karena pengaruh jamur emas!" jawab so-
sok bertopeng kayu. "Usiaku sebenarnya memang
lima puluh tahun."
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-
angguk. Sepasang matanya memancarkan keka-
guman.
"Sekarang, bisakah kau ceritakan padaku
tentang Rataksa alias Siluman Dari Neraka. Bu-
kankah menurut kabar yang tersiar Rataksa tewas
di tanganmu dan kawanmu? Kalau benar demi-
kian, sungguh sangat meringankan tugasku. Tapi
aku ingin kepastian. Tentang kain merah yang
menjadi pengikat kepalanya. Kain itu berlambang
tengkorak manusia dalam kobaran api."
Gajah Cilik Berkepala Baja menghela napas
berat.
"Waktu aku dengan Malaikat Tongkat ber-
temu Siluman Dari Neraka yang telah lama kami
cari-cari, ternyata tokoh itu sedang kelelahan ka-
rena habis bertarung dengan Iblis Tangan Maut.
Antara kami kemudian terjadi pertarungan. Ter-
nyata meski telah lelah, Siluman Dari Neraka ma-
sih sangat tangguh! Dia mampu menghadapi ke-
royokan kami. Mendadak terjadi sesuatu yang
mengejutkan. Siluman Dari Neraka memekik ke-
sakitan seperti orang yang menderita hebat. Dia
langsung terguling-guling. Kesempatan baik ini ti-
dak kami sia-siakan. Serangan-serangan kami lan-
carkan. Hingga, sebuah tendangan keras dariku
membuat tubuh Siluman Dari Neraka yang tengah
menderita, terlempar jauh. Ia masuk ke dalam se-
buah lubang. Lubang yang garis tengahnya tidak
kurang dari setengah tombak. Aku dan Malaikat
Tongkat segera menuju ke sana dan melongok ke
dalamnya. Kami menjatuhkan sebuah batu besar
untuk mengukur dalamnya lubang. Tidak terden-
gar suara benturan batu dengan tanah atau air!
Kenyataan itu sangat mengejutkan kami. Lubang
itu mempunyai kedalaman yang tak terkira. Jadi,
kemungkinan untuk selamat bagi Siluman Dari
Neraka amat kecil, betapapun saktinya tokoh itu."
"Sesuai dengan amanat yang terbeban di
atas pundakku, sekalipun mati aku harus mem-
bawa mayat Rataksa kembali. Mayatnya harus di-
kuburkan di Penjara Langit sebagai pertanda dia
adalah orang buangan. Orang hukuman!" Sosok
bertopeng kayu tetap dengan keputusannya.
"Jadi..., apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak banyak! Hanya menyelidiki tempat di
mana jatuhnya Rataksa, dan membawa mayatnya
pulang ke Penjara Langit!" jawab sosok bertopeng
kayu, mantap. "Bisa kau beritahu di mana lubang
itu?"
Gajah Cilik Berkepala Baja segera mene-
rangkan di mana lubang itu berada. Bahkan, den-
gan petunjuk-petunjuk lengkap sampai sosok ber-
topeng kayu paham betul.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Ga-
jah Cilik. Aku tidak akan melupakan budi baikmu.
Suatu saat aku akan membalas budi ini. O ya,
hampir aku lupa menjelaskannya. Jamur emas
yang belum masak itu menyebabkan Rataksa
menderita sakit yang hebat bila terlalu lelah. Satu
hal lagi, dia tetap terpengaruh oleh pertambahan
usia. Tidak seperti aku. Selamat tinggal!"
Begitu ucapannya selesai tubuh sosok ber-
topeng kayu melesat pergi. Dengan cepat ia telah
berada belasan tombak dari tempat semula. Sesaat
kemudian, tubuhnya lenyap di kejauhan.
Gajah Cilik Berkepala Baja memandanginya
dengan perasaan takjub. Kepandaian sosok berto-
peng kayu itu memang luar biasa. Dia yakin Silu-
man Dari Neraka akan mendapatkan seorang la-
wan yang amat tangguh. Seandainya tokoh yang
menggiriskan hati itu masih hidup!
•k'k'k
Dua sosok tubuh melayang agak bergegas
menyusuri jalan tanah berdebu. Matahari tepat
berada di atas kepala. Suasana di persada terasa
panas.
Dua sosok tubuh itu sepasang muda-mudi
berwajah elok. Yang pemudi mengenakan pakaian
merah, sedangkan rekannya berpakaian putih. Se-
pasang muda-mudi ini adalah Sutini dan kawan
seperguruannya, Dampit.
"Itukah perguruannya, Sutini?" tanya pe-
muda berpakaian putih. Telunjuk kanannya ditu-
dingkan pada kelompok bangunan yang terkurung
pagar bambu cukup tinggi.
"Benar, Dampit. Aku yakin ini perguruan-
nya. Guru telah menceritakannya," jawab Sutini
dengan mata berkilat-kilat. "Ah, aku sudah tidak
sabar lagi ingin membuat perhitungan dengan ma-
nusia pengecut itu!"
Wajah pemuda berpakaian putih yang ber-
nama Dampit tampak tidak segembira Sutini.
Bahkan terlihat kalau Dampit seperti terpaksa.
"Haruskah kita ke sana, Sutini?"
"Tentu saja, Dampit!" tegas Sutini, keras.
"Manusia pengecut seperti itu tidak patut dibiar-
kan hidup lebih lama lagi. Dia harus dilenyapkan!"
"Tapi, bukankah dia tokoh golongan putih,
Sutini?!" bantah Dampit. "Aku khawatir perbuatan
kita ini akan membuat Guru murka."
"Kau ini khawatir sekali, Dampit! Kalau kau
takut tunggu saja di sini, Biar aku sendiri yang ke
sana. Pokoknya tekadku telah bulat. Mungkin per-
lu kuingatkan, Dampit. Kalau Pendekar Golok
Sakti itu tidak bertindak pengecut dengan melari-
kan diri sewaktu ayahku bertarung dengan Iblis
Tangan Maut, ayahku pasti tidak akan tewas! Aku
yakin Iblis Tangan Maut yang akan tewas. Sikap
pengecutnya telah membuat ayahku tewas. Bu-
kankah sudah sepantasnya kalau aku membuat
perhitungan padanya?"
Dampit terdiam beberapa saat lamanya
mendengar penjelasan Sutini. Orang yang tengah
dilanda amarah memang tidak, bisa disabarkan
lagi. Tapi meski demikian, dia masih mencoba me-
lunakkan hati Sutini.
"Bukankah Guru bercerita kalau Pendekar
Golok Sakti pun terpukul dengan kematian ayah-
mu, Dewa Tangan Sepuluh? Bahkan melalui kerja
sama dengan Guru, Pendekar Golok Sakti berhasil
menewaskan Siluman Dari Neraka! Kurasa tidak
pantas kalau kau menimpakan kesalahan kepa-
danya atas tewasnya ayahmu."
"Kalau begitu, biar aku pergi sendiri!"
Sutini yang memiliki watak keras dan sudah
terlalu dikuasai amarah segera melesat mening-
galkan Dampit. Mau tidak mau pemuda berpa-
kaian putih itu melesat mengejar untuk mendam-
pingi Sutini. Dampit mencintai Sutini. Dia tidak
ingin gadis itu terluka. Karena cintanya itulah dia
rela mendampingi Sutini mencari orang-orang
yang telah menewaskan Dewa Tangan Sepuluh.
Dalam beberapa kali lesatan Sutini dan
Dampit telah berada di depan pintu gerbang dari
papan tebal yang tertutup dan tidak terjaga. Tam-
pak tulisan besar dan jelas berbunyi 'Rumah Per-
guruan Perisai Diri' tergantung di atas pintu ger-
bang yang tingginya satu tombak. Tanpa menga-
lami kesulitan sedikit pun, dengan gerakan indah
sepasang muda-mudi itu melompat ke dalam dan
mendarat tanpa suara.
Tepat di hadapan Dampit dan Sutini tam-
pak beberapa sosok tubuh telanjang dada tengah
berlatih silat dengan penuh semangat. Mereka
berdiri membelakangi kedua anak muda itu. Kare-
na masuknya sepasang muda-mudi itu tanpa me-
nimbulkan bunyi, orang-orang yang tengah berla-
tih tidak mengetahuinya. Kecuali orang yang ber-
tugas melatih mereka, karena kebetulan berdiri
menghadap Sutini dan Dampit.
Pelatih yang memiliki tubuh kekar dan ber-
cambang lebat ini murid utama Rumah Perguruan
Perisai Diri. Ia kelihatan terkejut bercampur heran
melihat sepasang muda-mudi yang tidak dikenal-
nya. Setelah memberi isyarat agar murid-muridnya
tetap meneruskan latihan, dia mengayunkan kaki
menghampiri Sutini dan Dampit.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian?" tanya
murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri. Ia ti-
dak bisa menyembunyikan perasaan curiganya.
"Lebih baik kau panggil ketuamu kemari!
Katakan padanya, ada orang yang mencarinya
dengan membawa urusan penting!" sahut Sutini,
dingin.
Murid utama itu mengernyitkan alis. Pera-
saan tidak senang langsung menyeruak di hatinya
melihat sikap Sutini yang memandang remeh di-
rinya. Meskipun demikian, untuk menimbulkan
kesan tuan rumah yang baik ditekannya perasaan
itu. Malah, seulas senyum dipersembahkan!
"Manusia tidak tahu diuntung!" desis Sutini.
Matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan
yang sangat. "Kuperingatkan sekali lagi padamu,
Keparat! Sebelum kesabaranku hilang, cepat
panggil gurumu kemari! Atau, kau akan melawat
ke akherat! "
Hebat bukan main akibat ucapan Sutini!
Wajah murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri
langsung berubah-ubah, sebentar pucat sebentar
merah. Memang, lelaki bercambang lebat ini mur-
ka sekali. Seumur hidupnya baru kali ini dia men-
dapat perlakuan seperti itu. Bagaimana dia tidak
naik darah? Dia telah berbicara baik-baik. Tapi,
tanggapan yang diterimanya seperti ini. Sungguh
menjengkelkan.
"Mulutmu kasar dan tajam sekali, Wanita
Liar! Perlu kau ketahui kalau di sini bukan hutan.
Ini adalah markas Rumah Perguruan Perisai Diri.
Jadi, kau tidak boleh sembarangan bertindak! Ada
aturan yang harus kau ikuti, aturan Rumah Per-
guruan Perisai Diri! Kalau kau tidak sudi menuruti
peraturan ini, silakan keluar dari sini sebelum aku
terpaksa mengusir kalian dengan kekerasan!"
Lantang dan penuh wibawa murid utama
Rumah Perguruan Perisai Diri mengucapkannya.
Apalagi, sewaktu mengucapkan kalimat terakhir
diiringi dengan tudingan jari telunjuknya ke pintu
gerbang.
7
Sutini adalah seorang gadis yang memiliki
watak keras. Semakin keras orang bersikap terha-
dapnya, semakin keras pula balasan yang diberi-
kan. Apabila pada saat dia tengah tersinggung. Pe-
nolakan tegas murid utama Rumah Perguruan Pe-
risai Diri membuat Sutini naik pitam.
Seketika itu pula, terdengar bunyi berkero-
tokan keras seakan tulang-belulang di tubuh Suti-
ni berpatahan. Padahal, dia tidak melakukan gera-
kan apa pun. Semua itu terjadi karena tenaga da-
lamnya bergolak dengan sendirinya!
Begitu pula keadaan murid utama Rumah
Perguruan Perisai Diri. Perasaan kaget yang sangat
membayang jelas pada wajahnya. Saat itu pula
disadari kalau Sutini bukan tokoh sembarangan.
Dia pun segera bersikap waspada. Tanpa ragu-
ragu lagi dirabanya gagang golok.
Pada saat yang bersamaan, murid-murid
Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah berlatih
menghentikan latihannya. Mereka mengalihkan
perhatian pada kakak seperguruannya yang ten-
gah bersitegang dengan sepasang muda-mudi. Se-
perti diberi perintah, dengan langkah perlahan ka-
ki mereka diayunkan menghampiri tempat terja-
dinya ketegangan itu.
Sutini sudah tidak kuasa menahan kema-
rahannya lagi. "Ingin kutahu, apakah tua bangka
itu tetap tak mau keluar dari semadinya apabila
semua muridnya kubinasakan!" desis gadis berpa-
kaian merah itu penuh ancaman.
"Auuumm...!"
Suara auman laksana keluar dari mulut
seekor harimau terdengar ketika Sutini membuka
mulut.
Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya
luar biasa! Seluruh murid-murid Rumah Pergu-
ruan Perisai Diri, tak terkecuali lelaki bercambang
lebat, merasakan betapa dada mereka terguncang
hebat. Kedua lutut mereka langsung lemas. Tanpa
dapat dicegah lagi mereka semua jatuh berlutut!
Tentu saja kenyataan ini sangat menge-
jutkan semua murid Rumah Perguruan Perisai Di-
ri. Kini murid utama perguruan yang bercambang
lebat itu tahu mengapa Sutini begitu berani ber-
tindak kurang ajar. Kiranya, gadis berpakaian me-
rah ini memiliki kepandaian tinggi.
Sutini tersenyum mengejek melihat keadaan
yang dialami lawan-lawannya. Dengan sorot mata
penuh ancaman dihampirinya lelaki bercambang
lebat. Dampit yang diam-diam tidak setuju dengan
tindakan Sutini buru-buru menyentuh lengan ga-
dis itu untuk menyabarkannya. Tapi Sutini mene-
piskannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Hitam!"
maki Sutini seenaknya ketika telah berada di dekat
lelaki bercambang lebat. "Asal kau tahu saja, aku
tidak pernah membiarkan orang meremehkan diri-
ku. Bersiaplah menerima hukumannya!"
Sutini menghentikan ucapannya. Diperhati-
kannya wajah murid utama Rumah Perguruan Pe-
risai Diri. Ingin dilihatnya lelaki bercambang lebat
itu ketakutan karena ancamannya. Tapi harapan-
nya sia-sia. Laki-laki bercambang lebat itu tetap
berdiam diri. Tidak tampak adanya rasa takut se-
dikit pun. Karuan saja kenyataan ini membuat Su-
tini penasaran bukan main.
"Rupanya kau pikir aku main-main,
hehhh...?!" dengus Sutini, bengis. "Lihat baik-baik,
aku akan meremas hingga hancur mulutmu yang
kurang ajar itu!"
Karena Sutini mempertunjukkannya sede-
mikian rupa, mau tidak mau lelaki bercambang le-
bat melihatnya juga. Sebuah tangan berjari-jari in-
dah dengan kulit putih, halus, dan mulus. Terlihat
menggiurkan! Tapi, lelaki bercambang lebat ini ta-
hu nyawanya terancam bahaya tangan indah itu.
Wuttt!
Murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri
berhasil mengelakkan cengkeraman tangan kanan
Sutini. Ia bergegas melompat ke belakang. Pera-
saan ngeri mulai mencekam hati. Lawan benar-
benar memiliki ilmu mengerikan. Sutini memiliki
ilmu iblis!
"Kau sudah melihatnya bukan? Asal kau
tahu saja, aku akan merobek mulutmu yang lan-
cang! Baru setelah itu kurobek-robek seluruh tu-
buhmu!" ancam Sutini dengan suara yang mem-
buat bulu kuduk merinding.
Tanggapan atas ucapan Sutini adalah se-
rangan tidak terduga-duga dari lelaki bercambang
lebat. Ia mengayunkan goloknya ke perut Sutini.
Inilah yang ditunggu murid utama Rumah Pergu-
ruan Perisai Diri. Sudah terbayang di benaknya
gadis berpakaian merah itu akan terjengkang ke
belakang dengan perut robek lebar!
Bukkk! Bukkk!
"Ah!"
Murid utama itu memekik kaget ketika
mendapatkan kenyataan di luar perkiraannya. Di-
lihat jelas betapa mata kedua goloknya dengan de-
ras menghantam sasaran. Tapi tidak terdengar je-
ritan menyayat Sutini, atau darah menyembur de-
ras dari bagian yang terhantam ayunan golok. Ke-
dua goloknya seperti menghantam benda kenyal.
Serangan itu tidak membuahkan hasil. Sebaliknya,
kedua tangannya terasa lumpuh karena ayunan
kedua goloknya membalik.
"Jangan kau kira akan semudah itu melu-
kai Sutini, Anjing Buduk! Sekarang rasakan hu-
kumanmu! Hih!"
Sutini mengayunkan tangan kanan. Lelaki
bercambang lebat yang melihat adanya ancaman
berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak.
"Auuukh!"
Jeritan menyayat hati terdengar. Tangan
Sutini mengenai sasaran dengan tepat. Merobek
kedua sisi mulut murid utama Rumah Perguruan
Perisai Diri yang malang.
"Hihihi..,!"
Sutini tertawa mengikik. Ia sangat gembira
melihat lelaki bercambang lebat berguling-gulingan
di tanah seraya memegangi mulutnya yang robek
lebar. Darah menyembur deras dari bagian yang
terluka.
Semua kejadian itu tak luput dari pandan-
gan murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri.
Rasa ngeri menjalari hati mereka. Sutini ternyata
memiliki watak yang kejam.
Meski demikian mereka tidak menjadi gen-
tar. Bahkan sebaliknya, marah melihat kakak se-
perguruannya menerima nasib seperti itu. Kalau
saja mampu bergerak tentu sudah mereka terjang
Sutini!
Keinginan untuk menolong kakak sepergu-
ruan mereka membuat murid-murid Rumah Per-
guruan Perisai Diri berusaha membebaskan diri
dari kungkungan rasa lemas. Mereka memusatkan
perhatian untuk membangkitkan tenaga dalam.
Sementara itu, masih dengan tawa terkekeh
Sutini terus mengikuti lelaki bercambang lebat
yang bergulingan karena rasa sakit. Ceceran darah
membasahi tanah sepanjang tubuh murid utama
itu berguling.
Dampit yang sejak semula memang tidak
setuju dengan tindakan Sutini sudah tidak tahan.
Sutini memang tengah diamuk dendam. Tapi,
mengapa orang yang tidak bersalah dijadikan kor-
ban dengan demikian keji?
"Hentikan permainanmu, Sutini! Maksud
kedatangan kita adalah untuk mencari Pendekar
Golok Sakti. Jangan kau kotori tanganmu dengan
korban-korban yang tidak berdosa!"
Tawa Sutini langsung terhenti. Semua ka-
rena ucapan Dampit yang penuh teguran. Kepa-
lanya ditolehkan menatap pemuda itu.
"Tidak perlu kau mengajariku, Dampit! Aku
mengetahuinya. Meskipun aku adik seperguruan-
mu, tapi tidak berarti kau seenaknya saja mene-
kan ku!" Terasa jelas nada ketidaksenangan dalam
sambutan gadis berpakaian merah itu.
Begitu ucapannya selesai, Sutini kembali
mengalihkan perhatian pada lelaki bercambang le-
bat. Tanah tergetar hebat ketika Sutini menghen-
takkan kaki kanannya ke tanah. Tubuh murid
utama Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah
terguling-guling langsung terpental ke atas. Lonta-
rannya mengarah ke tempat Sutini berada.
Kejadian ini membuat murid utama itu ter-
kejut bukan main, Tapi apa dayanya? Mana
mungkin dia berbuat sesuatu di saat tubuhnya
tengah berada di udara? Maka, yang dilakukannya
adalah pasrah pada keadaan.
Tiba-tiba, tubuh lelaki bercambang lebat
yang tengah meluncur deras ke arah Sutini terhen-
ti di udara, bagai ada kekuatan kasatmata yang
menahannya. Sutini kaget. Sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, tubuh murid utama Rumah Per-
guruan Perisai Diri melesat ke arah yang berlawa-
nan dari arah semula.
Sutini segera dapat menyimpulkan ada
orang pandai yang ingin mengambil alih tubuh le-
laki bercambang lebat. Gadis berpakaian merah ini
menjulurkan kedua tangan untuk memaksa tubuh
lelaki bercambang lebat mengikuti kemauannya,
melesat ke arahnya.
Tindakan Sutini membuat tubuh lelaki ber-
cambang lebat yang telah meluncur deras ke arah
yang berlawanan terhenti. Dan, perlahan-lahan
meluncur kembali ke arah Sutini. Tubuh murid
utama itu meluncur berganti-ganti. Terkadang
menuju tempat di mana Sutini berada, tapi tak ja-
rang ke tempat yang berlawanan.
Empat tombak di depan Sutini, berdiri lelaki
setengah baya. Ia berpakaian rompi putih. Berwa-
jah tirus dengan rambut telah berwarna dua. Di-
alah Pendekar Golok Sakti! Tokoh yang tengah di-
cari Sutini ini berdiri dengan kedua tangan terjulur
ke depan seperti halnya Sutini.
Pertarungan tenaga dalam untuk mempere-
butkan tubuh lelaki bercambang lebat akhirnya
dimenangkan oleh Pendekar Golok Sakti. Secara
perlahan namun pasti tubuh lelaki bercambang le-
bat terus meluncur ke arah Pendekar Golok Sakti.
Itu terjadi setelah pertarungan unik itu berlang-
sung cukup lama. Wajah Sutini dan Pendekar Go-
lok Sakti sampai dibanjiri peluh.
Menyadari keunggulan Pendekar Golok Sak-
ti, Sutini segera menghentikan penyaluran tenaga
dalamnya. Kemudian, ia melompat ke atas mema-
tahkan kekuatan tarikan tenaga lawan. Sutini ber-
salto beberapa kali di udara untuk kemudian men-
jejak tanah dengan mantap.
"Siapa kalian? Mengapa melakukan tinda-
kan keji seperti ini?" tanya Pendekar Golok Sakti,
setelah meletakkan tubuh lelaki bercambang lebat
yang pingsan karena tak kuat menjadi sasaran
pertarungan tenaga dalam.
"Karena mereka tidak mau memenuhi per-
mintaan kami untuk memanggil dirimu! Bukankah
kau orang yang berjuluk Pendekar Golok Sakti
yang pengecut itu?!" jawab Sutini langsung pada
sasaran. Ia merasa yakin sosok yang berdiri di ha-
dapannya itu adalah Pendekar Golok Sakti.
"Dugaanmu memang tidak salah, Nona Mu-
da," Pendekar Golok Sakti mengangguk. "Aku me-
mang orang yang kau maksudkan itu. Sekarang
aku sudah berada di hadapanmu. Cepat katakan
maksudmu! Dan, apa artinya ucapanmu yang me-
ngatakan aku seorang pengecut! Jelaskan sebelum
aku terpaksa bertindak kasar kepadamu atas ke-
lancanganmu!"
Sutini yang diamuk dendam atas kematian
ayahnya dan menganggap Pendekar Golok Sakti
sebagai salah satu dari orang-orang yang harus
dibunuhnya, semakin meluap amarahnya men-
dengar ancaman itu.
"Gagah nian ucapanmu, Pendekar Golok
Sakti! Kalau saja aku tidak mengenalmu lebih du-
lu, tentu aku akan menganggapmu sebagai orang
yang berjiwa jantan. Sayang..., karena aku telah
lebih dulu mengenal watakmu yang pengecut, ti-
puanmu tidak akan mempan terhadapku!" sambut
Sutini penuh ejekan dan sikap merendahkan.
"Apa maksudmu, Nona Bermulut Tajam!
Dua kali berkata kau telah dua kali pula memaki-
ku pengecut! Kalau sekarang kau tidak menje-
laskan mengapa bertindak seperti itu, jangan sa-
lahkan jika aku melupakan kalau kau seorang
wanita muda!" Nada suara Pendekar Golok Sakti
semakin meningkat.
"Kau memang seorang pengecut! Kau tidak
pantas mendapat gelar Pendekar Golok Sakti.
Orang seperti kau harusnya memakai julukan
Pendekar Golok Tumpul. Apa artinya julukan pen-
dekar kalau kau pergi meninggalkan kawanmu di
waktu kau bertemu dengan lawan yang berat se-
perti Iblis Tangan Maut?!" tandas Sutini bertubi-
tubi dengan nada tinggi.
Wajah Pendekar Golok Sakti yang semula
merah padam karena amarah yang bergelora men-
dengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Suti-
ni, mendadak berganti dengan keterkejutan yang
sangat ketika mendengar kalimat terakhir itu.
"A... apa maksudmu...?!" tanya Pendekar
Golok Sakti dengan suara bergetar.
"Tidak usah berpura-pura bodoh! Bukankah
kau meninggalkan Dewa Tangan Sepuluh ketika
menghadapi Iblis Tangan Maut, hingga pendekar
yang perkasa itu tewas? Coba sangkal kalau kau
berani!"
"Apa hubungannya denganmu?!" sentak
Pendekar Golok Sakti sengit setelah beberapa saat
lamanya tercenung.
"Dia adalah ayahku, Pengecut! Dan, keda-
tanganku kemari untuk membunuhmu karena
kau yang telah menyebabkan ayahku tewas!"
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti mendesah kaget. Dia
tahu Dewa Tangan Sepuluh mempunyai seorang
putri. Tapi, sungguh tidak disangkanya kalau ke-
turunan pendekar itu akan membalas dendam.
"Kau keliru! Yang membunuh ayahmu ada-
lah Iblis Tangan Maut!"
"Benar! Tapi kau pun terlibat. Kalau kau ti-
dak secara pengecut melarikan diri, ayahku tidak
akan tewas. Sekarang kau harus pergi ke alam ba-
ka untuk menemui ayahku dan mendapat balasan
darinya di sana!"
Tanpa menunggu lebih lama, Sutini lang-
sung mencabut pedang dan memutarnya sejenak
hingga bentuknya lenyap. Lalu, dengan diawali te-
riakan melengking nyaring ia melompat menerjang
Pendekar Golok Sakti dengan serangan-serangan
maut.
Pendekar Golok Sakti sadar betul Sutini ti-
dak bisa dicegah lagi. Tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan diri kecuali melakukan perlawa-
nan. Apalagi ketika Ketua Rumah Perguruan Peri-
sai Diri ini melihat kedahsyatan serangan gadis
berpakaian merah itu. Tanpa ragu-ragu lagi, go-
loknya dicabut untuk menyambuti serangan Suti-
ni. Hingga, kedua orang ini terlibat pertarungan
sengit.
Namun, betapapun Sutini mengerahkan se-
luruh kemampuannya, tetap terbukti kalau Pen-
dekar Golok Sakti terlalu kuat. Semua serangan-
nya kandas. Sebaliknya, setiap serangan Pendekar
Golok Sakti mampu membuatnya kelabakan. Tak
sampai tiga puluh jurus Sutini telah terdesak he-
bat.
Melihat kenyataan ini Dampit pun tidak
tinggal diam. Meski tidak setuju dengan niat Suti-
ni, pemuda berpakaian putih ini tidak ingin Sutini
celaka atau tewas! Dampit mencabut pedang dan
terjun ke dalam kancah pertarungan.
Ikut campurnya Dampit langsung mengu-
bah jalannya pertarungan. Sutini tidak terdesak
lagi. Malah, sepuluh jurus kemudian Pendekar Go-
lok Sakti mulai terdesak. Semakin lama keadaan
Ketua Rumah Perguruan Perisai Diri semakin
mengkhawatirkan.
Pendekar Golok Sakti mengeluh dalam hati.
Sutini dan Dampit tidak mungkin bisa ditanggu-
langi. Terjunnya Dampit membuat keadaan beru-
bah drastis. Dampit dan Sutini mampu melakukan
kerja sama yang baik. Permainan pedang kedua-
nya saling melengkapi, membuat pertahanan se-
makin kuat dan menjadikan serangan-serangan
semakin dahsyat.
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti menjerit tertahan ke-
tika goloknya yang menangkis serangan Dampit ti-
dak bisa ditarik kembali. Menempel! Rupanya, pe-
muda berpakaian putih itu mengerahkan tenaga
dalam untuk membuat senjatanya melekat dengan
golok lawan.
Sebelum Pendekar Golok Sakti mengerah-
kan tenaga dalam untuk melepaskan senjatanya,
Sutini telah datang menerjang dengan tusukan
pedang ke arah leher!
Wajah Pendekar Golok Sakti seketika pucat
pasi! Namun, secara mengejutkan sesosok bayan-
gan melesat ke dalam kancah pertarungan.
Tringng!
Pedang Sutini terpental balik. Sosok bayan-
gan itu telah menyentilnya dengan telunjuk hingga
menimbulkan bunyi berdenting nyaring. Pada saat
yang bersamaan, Pendekar Golok Sakti dengan
menggunakan kelebihan tenaga dalamnya berhasil
melepaskan tempelan pedang Dampit.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Pendekar Golok Sakti untuk melom-
pat ke belakang menghindari serangan susulan.
Padahal, tindakan itu sebenarnya tidak perlu. Su-
tini tengah terhuyung-huyung akibat sentilan so-
sok bayangan. Sentilan yang membuat sekujur
tangan Sutini tergetar hebat.
8
"Guru...!"
Sutini yang semula siap mengirimkan se-
rangan langsung lemas sekujur tubuhnya ketika
melihat sosok yang menangkis serangannya. Dam-
pit pun menatap dengan wajah pucat dan sinar
mata gelisah.
Sosok yang disapa Sutini sebagai guru ada-
lah seorang kakek kecil kurus. Usianya tak kurang
dari tujuh puluh tahun. Ia masih terlihat gagah
karena sebaris kumis melintang di bawah hidung-
nya. Kumis yang telah memutih.
Kakek kecil kurus itu menatap Sutini dan
Dampit berganti-ganti dengan sinar mata penuh
teguran. Ada bayangan kemarahan pada wajah-
nya.
'Apa arti tindakanmu ini, Sutini? Dampit?"
tanya kakek kecil kurus penuh wibawa.
Sutini rupanya hanya garang pada orang-
orang lain saja. Terhadap gurunya gadis ini takut
bukan main. Begitu mendapat pertanyaan itu, dia
malah menatap Dampit. Sinar matanya meminta
tolong pada pemuda itu untuk mewakilinya berha-
dapan dengan gurunya.
Belum sempat Dampit memberikan jawa-
ban.
Pendekar Golok Sakti telah terlebih dulu
tertawa bergelak.
"Tidak usah terlalu tegang, Malaikat Tong-
kat! Tidak ada urusan yang berarti antara kami.
Hanya..., yahhh.... Sekadar latihan saja. Mereka
datang dan meminta pelajaran dariku. Murid-
muridmu ternyata hebat, Malaikat Tongkat. Ham-
pir saja nyawa tuaku ini melayang. Aku kewalahan
menghadapi mereka."
"Jangan membela mereka, Pendekar Golok
Sakti!" tandas Malaikat Tongkat tegas. "Aku tidak
buta untuk bisa melihat adanya permusuhan dan
ingin saling membunuh dalam serangan-serangan
kalian. Tidak usah kau berdusta! Sutini, jawab
yang benar. Bukankah kau datang hendak mem-
bunuh Pendekar Golok Sakti?!"
Dengan wajah pucat pasi Sutini mengang-
guk.
"Guru..., Sutini tidak...."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu!" Sema-
kin keras teriakan Malaikat Tongkat.
Dampit menundukkan kepala dengan wajah
merah padam karena takut dan malu.
"Kalian benar-benar mengecewakan aku!
Terutama kau, Dampit! Kau sebagai kakak pergu-
ruan seharusnya dapat membimbing Sutini agar
tidak terjerumus ke jalan yang sesat. Tak usah ka-
lian jawab, aku tahu mengapa kamu berdua bera-
da di sini. Sutini menimpakan kesalahan atas ke-
matian ayahnya kepada Pendekar Golok Sakti. Dia
datang untuk membuat perhitungan. Bocah ini
memang terlalu diamuk dendam. Sudah berkali-
kali kukatakan kalau Pendekar Golok Sakti tidak
tahu-menahu dengan kematian Dewa Tangan Se-
puluh! Perlu kau ketahui, Sutini, Pendekar Golok
Sakti sama sekali tidak bersikap pengecut. Dia
pergi meninggalkan ayahmu dengan hati berat. Itu
pun atas desakan ayahmu sendiri. Ayahmu
mengkhawatirkan keselamatanmu, putrinya. Pen-
dekar Golok Sakti ini yang membawamu kepadaku
untuk dijadikan murid kemudian dia merantau
untuk mencari Iblis Tangan Maut guna mengadu
nyawa. Tapi, tokoh itu telah lenyap bagai ditelan
bumi. Pendekar Golok Sakti pun putus asa. Dia la-
lu tinggal di sini dan mendirikan perguruan. Sam-
pai akhirnya kau datang dengan maksud burukmu
itu! Untung saja aku segera tiba dan menolongnya
pada saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin kau
akan menyesali peristiwa ini se-umur hidup!"
Sutini mengangkat wajahnya yang sejak ta-
di ditundukkan. Air mata mengalir membasahi pipi
gadis berhati keras ini. Air mata penyesalan. Sutini
percaya sepenuhnya dengan cerita gurunya. Kakek
itu tidak pernah berbohong.
"Perlu kau ketahui, Sutini." Malaikat Tong-
kat menyambung ucapannya dengan suara yang
semakin melunak. "Ibumu terguncang batinnya
mendengar kabar kematian ayahmu. Karena gun-
cangan batin itu, ibumu tidak mau menerima ke-
nyataan kalau tewasnya ayahmu bukan karena
kesalahan Pendekar Golok Sakti. Sayangnya, kau
menelan mentah-mentah cerita yang diberikan
ibumu sebelum beliau meninggal. Kau tidak per-
nah mau menanyakan padaku. Untung saja aku
datang kemari, karena ada sesuatu masalah."
Sutini tidak bisa menahan rasa bersalah-
nya. Ditubruknya kaki Pendekar Golok Sakti dan
Malaikat Tongkat. Dengan terputus-putus gadis ini
mengutarakan penyesalannya.
Kedua kakek yang berteman baik itu men-
gusap-usap rambut Sutini. Dampit hanya me-
nyaksikan dengan hati terharu. Diam-diam dia
merasa bersyukur gurunya telah datang.
"Sudahlah, Sutini," hibur Malaikat Tongkat.
"Lebih baik kau beristirahat. Kau terlalu lelah.
Dampit, ajak Sutini beristirahat."
Tanpa banyak cakap Dampit segera mem-
bawa Sutini ke dalam. Sutini tidak membantah.
Sedangkan Malaikat Tongkat menghampiri Pende-
kar Golok Sakti.
"Masalah apa yang membawamu datang
kemari, Malaikat Tongkat?" tanya Pendekar Golok
Sakti.
"Masalah besar kurasa. Aku yakin peristiwa
ini ada hubungannya dengan kejadian puluhan
tahun lalu. Tentang datuk kaum hitam yang terso-
hor itu."
"Iblis Tangan Maut?" tanya Pendekar Golok
Sakti dengan suara bergetar.
Malaikat Tongkat menggeleng. Seketika wa-
jah Pendekar Golok Sakti yang semula sudah pu-
cat ketika mengajukan dugaan mengenai Iblis
Tangan Maut, semakin bertambah pucat.
"Siluman Dari Neraka...," terka Ketua Per-
guruan Perisai Diri ini.
"Benar. Aku yakin datuk sesat Itu muncul
kembali ke dunia persilatan. Entah dengan cara
bagaimana, yang jelas tokoh ini berhasil selamat"
"Kau bertemu dengannya?" tanya Pendekar
Golok Sakti tanpa bisa menyembunyikan rasa gen-
tarnya.
"Tidak. Aku hanya menemukan bekasnya.
Gajah Cilik Berkepala Baja tewas dengan ciri-ciri
seperti yang biasa diketemukan pada korban-
korban Siluman Dari Neraka. Karena itulah aku
segera datang ke sini karena khawatir kau disatro-
ninya. Bukankah kau juga terlibat atas peristiwa
yang menimpa Siluman Dari Neraka? Ingat, kau
yang menjadi pemberitahu kalau siluman itu akan
bertarung dengan Iblis Tangan Maut sehingga aku
dan Gajah Cilik bisa memanfaatkan kesempatan
itu untuk melenyapkannya. Aku yakin dia akan
membalas dendam terhadapmu juga!"
"Cerdik sekali...! Dari dulu kau memang
cerdik...! Ha ha ha...!"
Teriakan keras menggelegar membuat Ma-
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti menga-
lihkan perhatian. Wajah kedua tokoh golongan pu-
tih ini berubah hebat. Mereka bisa menduga siapa
yang telah mengeluarkan seruan itu.
•kick
Di atas pagar kayu bulat yang mengelilingi
Rumah Perguruan Perisai Diri tampak bertengger
sesosok tubuh berpakaian merah dalam keadaan
yang menakjubkan.
Kakek itu berdiri di atas pagar kayu bulat
dengan tidak menggunakan kakinya. Tapi, dengan
rambutnya yang panjang! Rambut itu menegang
kaku seperti tongkat!
"Selamat berjumpa lagi, Malaikat Tongkat
Apa kabarmu? Baik-baik saja, bukan? Sayang, Ga-
jah Cilik Berkepala Baja tidak demikian. Keadaan-
nya sangat mengenaskan," ujar kakek itu.
"Tidak usah bersilat lidah, Siluman Dari Ne-
raka! Katakan saja kalau kau yang telah membu-
nuhnya!" sentak Malaikat Tongkat seraya menga-
mang-amangkan tongkat di tangan kanannya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Malai-
kat Tongkat. Kurasa, kau dan Pendekar Golok
Sakti tahu alasannya. Kalian telah menyebabkan
aku terkurung bertahun-tahun di dasar lubang
itu. Lubang yang amat dalam. Untung saja dasar-
nya air sehingga aku bisa selamat. Selama berta-
hun-tahun kutelusuri tempat itu untuk mencari
jalan keluar. Sampai akhirnya jalan tembus ke
dunia luar kutemukan. Pembalasan dendamku
pun akan segera terlaksana! Ha ha ha...!"
"Atau kau yang akan mati untuk selamanya
di sini!"
Malaikat Tongkat langsung menerjang-
Siluman Dari Neraka. Tongkatnya yang besar dan
berat dibabatkan ke kepala kakek berpakaian me-
rah. Tapi hanya dengan menggerakkan rambutnya
Siluman Dari Neraka berhasil mengelakkan seran-
gan itu. Kakek itu melesat dari tempatnya dan
mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Malaikat Tongkat yang geram melihat se-
rangannya berhasil dikandaskan segera meluruk
dengan putaran tongkatnya yang mengeluarkan
bunyi menderu keras. Tapi, Siluman Dari Neraka
berdiri dengan tenang. Kedua tangannya diseda-
kapkan di depan dada.
Ketika tongkat lawan hampir meremukkan
dadanya, Siluman Dari Neraka baru melakukan
tindakan. Rambutnya bagaikan hidup, bergerak
menyambuti tongkat. Bahkan, rambut itu terpisah
menjadi dua kelompok. Yang kiri dengan cepat
menangkis tongkat dan melibatnya. Sedangkan
yang kanan menotok ke arah leher. Serangan
maut!
Pendekar Golok Sakti tidak tinggal diam.
Goloknya segera dicabut dan diayunkan ke rambut
yang tengah meluncur ke arah leher.
Trakkk!
Seperti juga Malaikat Tongkat, Pendekar
Golok Sakti menerima kejadian yang mengejutkan.
Begitu tertangkis golok, rambut itu melemas. Ke-
mudian, bagaikan hidup dengan cepat melilit ba-
tang golok.
Pendekar Golok Sakti mengerahkan kekua-
tan untuk menarik. Kalau goloknya tidak berhasil
dibebaskan merupakan hal yang tidak mungkin,
demikian pendapat kakek ini. Mustahil rambut
mampu bertahan terhadap tajamnya golok. Tari-
kan pada golok akan membuat rambut seperti di-
potong.
Tapi, Pendekar Golok Sakti harus menelan
kenyataan pahit. Golok pusakanya ternyata tidak
mampu memutuskan rambut Siluman Dari Nera-
ka. Rambut itu seperti terbuat dari bahan yang
alot dan tidak bisa diputuskan.
Belum hilang rasa kaget Malaikat Tongkat
dan Pendekar Golok Sakti, keduanya dikejutkan
lagi dengan mengalirnya tenaga dalam mereka. Te-
naga itu bagai disedot Siluman Dari Neraka mela-
lui rambutnya yang melibat tongkat dan golok.
Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti
berusaha keras mencegah mengalirnya tenaga me-
reka. Namun, keduanya tak berdaya sama sekali.
Kedua kakek ini pun berubah pikiran. Tidak ada
jalan lain kecuali melepaskan senjata. Meski bagai
seorang ahli silat senjata merupakan nyawa ke-
dua, tapi Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok
Sakti tidak memiliki pilihan lain.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka
ketika mengetahui tangan keduanya menempel
dengan senjata, sehingga tidak dapat dilepaskan.
Pucat pasi wajah kedua kakek ini. Tidak ada hal
lain yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu
mati lemas kehabisan tenaga dalam! Entah ilmu
apa yang dipergunakan Siluman Dari Neraka se-
hingga mampu menyedot tenaga dalam lawan.
Siluman Dari Neraka baru melepaskan beli-
tan rambutnya ketika Malaikat Tongkat dan Pen-
dekar Golok Sakti sudah tidak mampu berdiri lagi.
Tubuh kedua kakek itu sangat lemas. Wajah me-
reka pucat seperti tidak berdarah. Butiran-butiran
peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuh.
Wajah Siluman Dari Neraka merah padam.
Kakek ini telah menyedot banyak tenaga dalam.
Beruntung tingkat kepandaiannya tinggi dan ke-
kuatan tenaga dalamnya luar biasa, sehingga te-
naga dalam yang berhasil disedot dapat diarahkan
ke pusar. Kalau tidak, tenaga dalam yang masih
liar itu akan berkeliaran ke sana kemari dan me-
nyebabkan urat-urat sarafnya pecah!
"Kalian akan mengalami kematian seperti
halnya Gajah Cilik!"
Untuk kesekian kalinya rambut Siluman
Dari Neraka terpecah menjadi dua gumpalan. Bak
ular gumpalan rambut itu meluncur ke arah Ma-
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti yang ber-
diri dengan kedua lutut.
Tukkk, tukkk
Begitu kedua gumpalan rambut menotok
tubuh Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti,
kedua kakek ini langsung menjerit tertahan. Jeri-
tan yang keluar tanpa dapat mereka tahan. Kedu-
anya menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih!
Saat itulah Karina dan Dampit keluar dari
salah satu bangunan yang mereka jadikan tempat
beristirahat. Wajah muda-mudi ini berubah hebat
melihat kejadian yang dialami Malaikat Tongkat
dan Pendekar Golok Sakti.
"Iblis Keji...!"
Sutini yang memiliki watak keras tanpa pi-
kir panjang menerjang Siluman Dari Neraka seraya
menusukkan pedangnya. Jarak antara mereka ki-
ra-kira enam tombak, tapi Sutini bermaksud me-
lancarkan serangan dengan satu terjangan.
Berbeda dengan Sutini, Dampit lebih berha-
ti-hati. Apalagi setelah mengalami kejadian demi
kejadian yang menimpanya. Kalau gurunya dan
Pendekar Golok Sakti bisa diperlakukan seperti
itu, dapat diperkirakan betapa tinggi kemampuan
kakek berpakaian merah! Jadi, Sutini hanya men-
cari penyakit dengan tindakannya yang ceroboh
itu.
"Sutini...! Tahan...!"
Hanya itu yang bisa diserukan Dampit. Pe-
muda ini tidak sempat lagi bertindak untuk men-
cegah. Tubuh Sutini telah cukup jauh melayang.
Mengejar pun percuma saja.
Siluman Dari Neraka mendengus. Dengan
gerakan sambil lalu, seperti orang mengusir lalat,
tangan kanannya dikibaskan. Serangkum angin
berhawa panas meluncur ke arah Sutini.
Tidak hanya Sutini. Dampit pun pias wa-
jahnya. Dia melihat maut mengancam Sutini. Ti-
dak ada yang bisa dilakukannya. Mencoba untuk
menolong pun sia-sia karena gerakannya kalah
cepat dan kalah lebih dulu.
Di saat yang mengkhawatirkan itu, sesosok
bayangan ungu dengan kecepatan menakjubkan
melesat menubruk tubuh Sutini. Luncuran tubuh
gadis berpakaian merah itu dipotong dari samping.
Tubuh Sutini dan sosok bayangan ungu
yang tidak lain Aiya terguling-guling di tanah.
Dan, terhenti dengan kedudukan sosok bayangan
ungu berada di atas. Tubuh Sutini berada di ba-
wah. Dada mereka saling bersentuhan.
Karuan saja Arya maupun Sutini jadi salah
tingkah. Hal itu justru membuat mereka tidak se-
gera bangkit berdiri, tapi malah berdiam diri den-
gan saling bertatapan.
Geraman Siluman Dari Neraka membuat
sepasang muda-mudi ini tersadar. Hampir bersa-
maan dengan Aiya melentingkan tubuh ke bela-
kang, Sutini menggulingkan tubuhnya ke samping.
Wajah keduanya memerah karena malu ketika te-
lah berhasil berdiri.
Di tempat lain, Dampit dan Karina menatap
kejadian itu dengan mata berapi. Ada rasa tidak
enak dan iri melihat kejadian itu. Karina menatap
Sutini dengan sorot mata tajam. Sedangkan Dam-
pit mengepalkan tinjunya seraya menatap sosok
berpakaian ungu.
"Kita bertemu lagi, Pemuda Sombong! Seka-
rang kupenuhi janjiku. Kau akan kubunuh!" seru
Siluman Dari Neraka.
Arya tidak menyambuti ucapan Siluman
Dari Neraka. Dia masih bingung melihat kemajuan
hebat kakek berpakaian merah. Sambaran angin
pukulan Siluman Dari Neraka yang tadi lewat se-
dikit di atas tubuhnya, dirasakan kuat bukan
main. Jauh lebih kuat dari pukulan jarak jauh
yang ditangkis Dewa Arak waktu pertama kali ber-
temu tokoh sesat itu. Ataukah kakek ini pada saat
itu tidak mengerahkan tenaga seluruhnya?" tanya
Arya dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak
tahu kalau tenaga dalam Siluman Dari Neraka ber-
tambah dengan pesat karena baru saja merampas
tenaga dalam Malaikat Tongkat dan Pendekar Go-
lok Sakti. Tambahan dua tenaga dalam itu tentu
saja membuat tenaga dalam kakek berpakaian me-
rah ini semakin berlipat ganda.
Siluman Dari Neraka rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk segera bertarung dengan Dewa
Arak. Sambil mengeluarkan geraman yang mem-
buat tempat itu bergetar hebat, ia melompat me-
nerjang Dewa Arak. Arya pun menyambutinya
dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Pertarungan antara dua tokoh itu berlang-
sung seru. Tapi, hanya terjadi beberapa belas ju-
rus saja. Pertarungan berlangsung tidak seimbang.
Dewa Arak senantiasa didesak dan dikejar-kejar.
Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang telah me-
ningkat, Siluman Dari Neraka memaksa Dewa
Arak mengadu tenaga. Pemuda berambut putih
keperakan itu terus menghindar. Beruntung Arya
mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Ka-
lau tidak, sudah sejak tadi serangan Siluman Dari
Neraka mendarat di tubuhnya. Gerakan kakek itu
cepat bukan main. Jauh di atas kecepatan gerak
Aiya!
Dewa Arak benar-benar takjub dan kagum.
Harus diakui untuk kesekian kalinya dia menda-
pat lawan yang amat tangguh. Ilmu 'Belalang Sak-
ti' menyebabkan dia tidak segera roboh.
Akhirnya, apa yang ditakutkan Dewa Arak
terjadi juga. Kecepatan gerak Siluman Dari Neraka
membuatnya tidak sempat mengelakkan serangan
di jurus kelima puluh. Tidak ada jalan lain bagi
pemuda berambut putih keperakan itu kecuali me-
nangkisnya. Karena tenaga dalam lawan berada
jauh di atasnya, Dewa Arak menggunakan tenaga
pelan ketika menangkis.
"Uh!”
Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan.
Tangannya yang berbenturan dengan tangan Si-
luman Dari Neraka melekat. Belum juga hilang pe-
rasaan kagetnya, tenaga dalamnya dirasakan
mengalir melalui tangan yang bersentuhan. Arya
segera menyadari lawan menggunakan ilmu aneh
untuk mencuri tenaga dalamnya.
Dewa Arak tidak mau itu terjadi. Segera di-
hentikannya aliran tenaga dalamnya. Tapi ternyata
tidak berhasil. Tenaga dalamnya tetap tersedot Si-
luman Dari Neraka. Wajah Aiya seketika pias. Pe-
muda ini tahu apa yang terjadi padanya. Dia akan
mati lemas!
"Petualanganmu sudah berakhir, Rataksa.
Kau harus kembali ke Penjara Langit!"
Ucapan keras itu terdengar di saat Dewa
Arak mulai merasa lemas.
Akibat seruan itu sungguh hebat! Siluman
Dari Neraka tersentak kaget dan terjingkat ke be-
lakang. Tindakannya terhadap Arya langsung di-
hentikan.
Wajah Siluman Dari Neraka bertambah pias
ketika melihat sosok bertopeng kayu yang menge-
nakan pakaian dari kulit ular emas. Pakaian itu
adalah pakaian utusan Penjara Langit. Siapa pun
yang mengenakannya berkuasa penuh untuk ber-
tindak apa saja terhadap orang yang diburunya.
Siluman Dari Neraka hampir tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Sepengetahuannya,
pakaian itu disimpan dalam sebuah kotak baja
yang tidak bisa dibuka dengan alat apa pun, kecu-
ali Golok Baja Hitam! Tapi kenyataannya? Siluman
Dari Neraka tidak tahu kalau sosok bertopeng
kayu ini salah satu dari dua orang bertopeng yang
menyatroni Iblis Tangan Maut. Mereka telah men-
gambil Golok Baja Hitam. Dengan golok itu kunci
kotak baja yang menyimpan pakaian dipatahkan.
Karena pakaian itu hanya satu, maka yang menca-
ri Siluman Dari Neraka hanya satu orang!
Siluman Dari Neraka yang sudah gentar
mendapatkan kembali keberaniannya. Ia teringat
kalau selama puluhan tahun ini telah melatih il-
munya. Dan, dia yakin telah mencapai tingkat
sempurna. Belum tentu petugas dari Penjara Lan-
git ini akan mampu mengalahkannya. Apalagi dia
telah berhasil mendapatkan ilmu untuk menyedot
tenaga dalam orang lain. Mana mungkin dia bisa
dikalahkan. "Kaulah yang akan kubunuh di sini!"
Siluman Dari Neraka melompat dengan kedua tan-
gan dihentakkan. Deru angin keras mengiringi ter-
j angannya. Batu-batu kecil dan debu beterbangan
di udara. Namun, sosok bertopeng kayu tetap ti-
dak bergeming.
Orang-orang yang berada di tempat itu,
termasuk Aiya, sampai terbelalak kaget dan me-
nahan napas melihat sikap sosok bertopeng kayu.
Dewa Arak mengetahui benar betapa dahsyatnya
serangan Siluman Dari Neraka.
Tiba-tiba, satu tombak sebelum kedua tan-
gannya mendarat di sasaran, Siluman Dari Neraka
mengeluarkan-jeritan menyayat. Tubuhnya terpen-
tal balik ke belakang seperti membentur dinding
tak nampak. Dari mulut, hidung, dan telinganya
mengalir darah segar.
Setelah melayang-layang beberapa tombak,
tubuh kakek berpakaian merah itu ambruk di ta-
nah dan diam tidak bergerak lagi. Mati. Dengan
tenang sosok bertopeng kayu menyambar tubuh
itu dan melesat pergi, tanpa bicara apa pun pada
orang-orang yang berada di tempat itu.
Tidak ada seorang pun yang mengejar. Me-
reka masih terlalu kaget melihat betapa mudahnya
sosok bertopeng kayu menewaskan Siluman Dari
Neraka. Teka-teki bersarang di benak mereka ten-
tang cara sosok bertopeng kayu membunuh Silu-
man Dari Neraka.
Jeritan tertahan Malaikat Tongkat dan Pen-
dekar Golok Sakti menyadarkan Sutini dan Dam-
pit. Mereka memburu ke arah kedua kakek itu.
Sesaat kemudian, tangis Sutini pun pecah. Malai-
kat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti tewas den-
gan cara mengerikan. Sekujur tubuh mereka
menghitam.
Di saat sepasang muda-mudi ini dan Karina
memperhatikan kedua mayat itu dengan perasaan
ngeri, Dewa Arak melangkah pergi. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini mengetahui sosok ber-
topeng menggunakan ilmu gaib! Ilmu yang hanya
bisa dipergunakan untuk bertahan. Setiap orang
yang menyerang, maka serangan itu akan memba-
lik mengenai dirinya sendiri. Ilmu 'Kontak' demi-
kian namanya. Itulah ilmu yang dipergunakan so-
sok bertopeng kayu.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Sengketa Guci Pusaka
Emoticon