1
Sluppp!
Sebuah kepala berwajah tirus mirip tikus dengan mata
memanjang, langsung masuk ke dalam air sebuah danau yang
permukaannya banyak ditumbuhi tumbuhan air. Baru saja kepala
permukaan air, terdengar bunyi derap langkah beberapa pasang kaki.
Sebentar kemudian, tepat di pinggir danau berkumpul beberapa sosok
tubuh yang kesemuanya berpakaian serba hitam.
"Heran...!" desah salah satu orang berseragam yang berwajah
bopeng sambil mengedarkan pandanpn seperti tengah mencari-cari
sesuatu. "Ke mana perginya tua bangka yang sudah hampir mampus
itu?! Atau jangan-jangan memang dia sudah mampus, karena
termakan racunnya sendiri." Sementara, orang-orang berseragam
serba hitam juga mengedarkan pandangan.
"Mudah-mudahan sih, demikian," timpal lelaki bermata sipit.
"Tapi..., tidakkah kau ingat perintah Setan Hitam Tak Berjantung?
Kalau memang, tua bangka tak berguna itu sudah mampus, kita harus
menemukan mayatnya." (Tentang tokoh berjuluk Setan Hitam Tak
Berjantung, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peti
Bertuah").
"Siapa tahu, tua bangka itu tidak melarikan diri kemari!
Tapi..., tunggu dulu. Mungkinkah tua bangka yang sudah hampir mati
itu bersembunyi di danau itu?!"
Kata-kata lelaki bermuka bopeng itu membuat lima orang
kawannya mengarahkan pandangan ke sekitar penjuru danau yang
cukup luas.
"Kurasa tidak mungkin," bantah lelaki bermata sipit, yakin.
"Dalam keadaan terluka parah seperti itu, mana mungkin tua bangka
yang sudah hampir mati itu mampu menahan napas sedemikian lama
di dalam air? Mustahil, bukan?!"
"Mengapa mustahil...?!" timpal laki-laki berambut kecoklatan,
membantu pendapat lelaki berwajah bopeng "Jangan terlalu
memandang rendah tua bangka itu! Meski sudah hampir mati, tapi
dia tetap bekas seorang datuk kaum sesat yang terkenal sakti!
Kemampuannya sukar dijajagi, meski sekarang sudah tidak
mempunyai gigi lagi. Dan lagi, di danau ini banyak terdapat
tumbuhan air yang dapat digunakan untuk membantu bernapas,
andai dia tidak mampu menahan napas lama. Jadi menurut hematku,
tidak ada salahnya kalau kita mencarinya di danau ini!"
Kali ini lelaki bermata sipit kalah dukungan, karena rekan-
rekan lainnya, juga mengangguk, menyatakan setuju.
"Lihat itu...!"
Seruan lelaki bermata sipit, membuat rekan-rekannya yang
sudah memusatkan perhatian pada danau menoleh kepala ke kiri.
Tempat enam orang berpakaian hitam ini berada, memang sebuah
jalan tanah berdebu yang kanannya diapit danau lebar dan luas.
Sedangkan di sebelah kiri berupa lereng gunung yang menanjak ke
atas. Begitu terjal dan berbatu-batu, hampir curam.
Pada salah satu ujung jalan tanah berdebu, tampak debu
mengepul tinggi ke udara. Memang bisa diperkirakan kalau di
kejauhan sana seekor kuda tengah dipacu cepat menuju ke arah
mereka. Perhatian orang-orang berpakaian seragam serba hitam yang
ternyata adalah Gerombolan Setan Hitam itu pun beralih ke arah
kepulan debu dari kuda yang dipacu cepat.
Sesaat kemudian, terlihat kalau kepulan debu itu berasal dari
seekor kuda yang dipacu secara cepat. Semakin lama, semakin tampak
kalau penunggangnya adalah seorang gadis cantik berpakaian coklat.
Seketika, wajah enam orang berpakaian hitam ini pun berseri-seri.
Rupanya, begitu melihat seorang gadis cantik melakukan perjalanan
seorang diri, benak mereka yang kotor mulai berpikir tidak senonoh!
Gadis berpakaian coklat di atas punggung kuda coklat putih
itu pun merasakan adanya bahaya mengancam, ketika enam orang
berpakaian hitam yang berdiri di pinggir telaga mulai menyebar ke
tengah jalan. Sehingga, jalan tanah yang tidak begitu lebar itu menjadi
tertutup.
Tapi rupanya tindakan enam orang kasar dari Gerombolan
Setan Hitam tidak membuat gadis berpakaian coklat ini kebingungan.
Justru, tali kekang kudanya digeprakkan untuk mempercepat lari
binatang tunggangannya. Dia hendak memaksa lewat, denpn
menubrukkan kudanya pada sosok-sosok yang berdiri menghalangi
jalan. Karena dia yakin, keenam orang bertampang berangasan itu
akan menyingkir dari sana!
"Seekor kuda betina yang masih liar! Rupanya, dia minta
dijinakkan dulu...!" ujar lelaki berwajah bopeng dengan sinar mata
berkilat-kilat, menyatakan hasrat hatinya yang besar terhadap gadis
penunggang kuda coklat putih itu.
Usai berkata demikian, tahu-tahu pada kedua tangan lelaki
berwajah bopeng ini tergenggam beberapa buah pisau yang batangnya
bersemu kehijauan. Bisa ditebak kalau pisau itu mengandung racun
jahat. Tidak terlihat lelaki berwajah bopeng ini menggerakkan tangan.
Tapi, tahu-tahu pisau-pisau itu telah berada di tangannya. Lalu.
Sing, sing sing!
Bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika pisau-pisau
beracun meluncur merobek udara. Arah yang ditujunya adalah kuda
coklat putih yang tengah meluncur ke arahnya.
Cap, cap, cappp!
"Ikh...r
Gadis berpakaian coldat itu terpaksa berjungldr balik di udara
ketika kudanya terjengkang ke depan akibat terhujam pisau-pisau
beracun di beberapa bagian tubuhnya. Cepatnya luncuran pisau,
ditambah arah lari kuda coldat putih, membuat gadis berpakaian
coldat ini tidak sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawa
binatang tunggangannya.
Jliggg!
Begitu kedua kaki gadis berpakaian coldat itu menjejak tanah,
enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam telah mengurungnya
dari berbagai penjuru. Kelihatannya, gadis itu tidak mungldn bisa
melarikan diri dari lagi, tanpa bertarung menyambung nyawa!
***
"Siapa kalian?! Dan, mengapa menghadang perjalananku?!
Menyingkirlah! Aku tidak berurusan dengan kalian!" tegas gadis
berpakaian coldat ini keras penuh wibawa seraya merayapi wajah-
wajah di sekelilingnya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berwajah bopeng yang kelihatan paling bernafsu
langsung tertawa sambil memperhatikan gadis berpakaian coldat yang
berada di depannya penuh selidik. Dan mendadak tarikan wajahnya
menyiratkan keterkejutan.
"Ah...! Kiranya kuda betina liar ini berasal dari Perguruan
Pedang Halilintar, Kawan-kawan!" kata laki-laki berwajah bopeng
ketika melihat lencana di dada gadis itu yang bergambar sebuah
pedang dan sebentuk kilatan petir.
"Pantas, sikapnya cukup galak. Rupanya dia belum kenal
dengan Gerombolan Setan Hitam!" sambut lelaki bermata sipit.
"Menyingkirlah. Biar aku yang mencicipi kepandaiannya! Aku ingin
tahu, apakah kepandaiannya sesuai dengan sesumbarnya!"
"O, rupanya kalian orang-orang dari Gerombolan Setan
Hitam?! Huh! Kalian memang bagai anjing minta dipukul
majikannya!"
Gadis berpakaian coldat langsung mencabut pedangnya
hingga mengeluarkan bunyi berdesing nyaring
Cring!
"Heaaat...!"
Gadis yang ternyata berasal dari Perguruan Pedang Halilintar
langsung menginmkan serangan ke arah lelaki berwajah bopeng yang
berada di depannya
"Uh...!"
Lelaki berwajah bopeng itu langsung mengeluarkan seruan
kaget, ketika melihat sinar terang menyambar yang diikuti bunyi
berkerosokan seperti halilintar menyambar! Tanpa buang-buang
waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. Dan dia langsung
bergulingan di tanah untuk mencegah lawan mengirimkan seranpn
susulan. Ketika dia bangkit dengan dahi berkeringat dingjn saking
kagetnya, kawan-kawannya telah mengeroyok gadis berpakaian
coklat.
Lelaki berwajah bopeng mencabut senjatanya yang berupa
sebatang golok berbatang hitam pekat, sama seperti golok yang
dimiliki rekan-rekannya.
"Shaa...!"
Didahului teriakan keras membahana, lelaki berwajah bopeng
itu terjun dalam kancah pertarungan. Perasaan marah karena
nyawanya hampir saja melayang dalam segebrakan, mengusir perasa¬
an malunya dalam melakukan pengeroyokan! Lima temannya pun,
serentak langsung bertindak ketika melihat kehebatan gadis
berpakaian coklat itu.
Sesaat kemudian, suasana yang semula hening dan sepi,
dipecahkan oleh bunyi nyaring senjata beradu. Bunga-bunga api pun
memercik ke sepla arah.
Gadis berpakaian coklat dari Perguruan Pedang Halilintar itu
memang memiliki kepandaian tinggi, terutama ilmu pedangnya yang
luar biasa. Pedangnya mampu menyambar-nyambar laksana halilin¬
tar! Baik dalam kecepatan maupun bunyinya. Kalau saja lawan-lawan
yang dihadapi tidak melakukan pengeroyokan, bisa diduga tanpa
menemui kesulitan dia akan merobohkan seorang demi seorang!
Menghadapi enam lawan sekaligus terasa berat untuk ukurannya.
Apalagi, masing-masing lawannya memiliki kepandaian tidak berada
terlalu jauh di bawahnya. Mungkin bila menghadapi tiga orang, dia
akan sanggup menandinginya!
Lewat lima jurus, gadis berpakaian coklat ini mulai terdesak.
Serangan-serangan berkurang jauh. Dan dia lebih banyak bertahan,
menangkis atau mengelak. Pertarungan semacam ini membuatnya
terus bermain mundur. Disadari betul kalau keadaan tidak berubah,
dia akan roboh di tangan lawan-lawannya. Maka dia harus melakukan
suatu pembahan. Tapi bagaimana? Dan saat di tengah kebingungan,
terdengar suara berkumandang di telinpnya.
"Jangan kaget, dan jangan khawatir, Nini! Sebentar lagi akan
muncul ular-ular yang akan menyerang para pengeroyokmu. Kau
jangan melalcukan tindakan yang membuat ular-ular jadi
menyerangmu. Karena aku akan memberi perintah pada binatang itu,
untuk menyerang orang-orang yang berpakaian hitam! Jelas?!"
Gadis berpakaian coklat tidak tahu, dari mana asal suara itu.
Dan, siapa pemiliknya. Hanya saja dia yakin kalau orang yang
berkepandaian tinggi itu bermaksud menolongnya. Ini bisa
dibuktikan dari kemampuannya mengirimkan ilmu suara dari jauh.
Padahal, ilmu itu hanya dapat dimiliki tokoh bertenaga dalam amat
tinggi. Di Perguruan Pedang Halilintar, hanya si Pedang Halilintar
Sakti yang menjadi ketualah, yang memiliki ilmu seperti itu. Namun,
itu pun tidak terlalu sempurna!
Karena yakin kalau orang yang telah mengirimkan suara dari
jauh bermaksud menolongnya, tanpa ragu-ragu gadis berpakaian
coklat itu mengangguk. Hanya tindakan itu yang dapat dilakukannya
untuk menyatakan persetujuannya, meskipun sebenarnya tidak yakin
kalau anggukkan n ya terlihat. Dia tidak tahu, di mana adanya tokoh
yang bermaksud menolongnya.
Begitu keadaan gadis berpakaian coklat ini semakin terjepit,
mendadak terdengar bunyi melengking nyaring dan bernada aneh
yang tampaknya dari suara suling! Dan gadis berpakaian coklat yang
telah mendapat pemberitahuan ini, tanpa sadar merasakan
jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu, bunyi suling itu menjadi
pertanda kalau ular-ular yang dimaksud penolongnya akan segera
tiba. Padahal, dia paling takut dan jijik terhadap ular!
Memang bukan hanya gadis ini yang mendengar bunyi suling
itu. Enam anggota Gerombolan Setan Hitam pun mendengarnya. Dan
begitu mengetahui arti bunyi suling itu, wajah-wajah mereka langsung
berubah pucat. Bahkan tanpa sadar, mereka tidak mempedulikan
gadis itu lagi Enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam ini
langsung melompat mundur, kemudian mengedarkan pandangan ke
selatar tempat itu dengan sorot mata tegang bukan kepalang!
"Sss.J"
Sekejap kemudian, apa yang ditakutkan gadis berpakaian
coklat dan enam orang Gerombolan Setan Hitam menjadi kenyataan.
Kini terdengar bunyi berdesis yang ramai sekali, diiringi bunyi
berdesis keras seperti benda licin yang digesek-gesekkan ke tanah.
Bau amis yang memualkan perut pun memenuhi udara di sekitar
tempat ini.
"Ssss.J"
Enam anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian
coklat merasakan bulu tengkuk mereka meremang, ketika melihat
bermunculannya ular-ular dari seluruh tempat ini. Jumlah binatang-
binatang melata itu tidak terhitung. Ribuan! Betapapun saktinya
seseorang, menghadapi serbuan ribuan ekor ular yang terdiri dari
berbagai jenis dan ukuran, tetap saja akan membuat ciut nyalinya.
Apalagi orang-orang seperti enam orang anggota Gerombolan Setan
Hitam dan gadis berpakaian coklat ini.
Untung gadis berpakaian coklat ini teringat akan pesan yang
tidak diketahui pemiliknya. Dan lebih untungnya lagi, dia menuruti
untuk diam di tempat dan tidak melakukan gerakan-gerakan sehingga
dapat memancing ular-ular yang meluncur bagai air bah
menyerangnya. Dan ucapan sosok yang tidak diketahui pemiliknya itu
ternyata tidak hanya sesumbar belaka. Ular-ular yang meluncur bagai
air bah itu sama sekali tidak mempedulikannya. Binatang-binatang
melata itu terus melewatinya.
Dengan hati ngeri, gadis berpakaian coklat ini melihat betapa
enam orang berpakaian hitam itu harus berjuang keras untuk
menghadapi pengeroyokan ular-ular yang menyerbu. Golok-golok
hitam di tangan mereka berkelebatan ke sana kemari, membabati
ular-ular yang mencoba mendekat! Darah pun muncrat ke sana
kemari, diikuti berpentalannya potongan-potongan tubuh ular-ular
yang mencoba mematuk anggota Gerombolan Setan Hitam.
"Tunggu apa lagi, Nini?! Mumpung mereka tengah sibuk
bersitegang dengan ular-ular itu, mari kita pergi dari sini!"
Gadis berpakaian coklat itu segera mengedarkan pandanpn
untuk mencari asal suara. Dia agak bingung menentukan sumbernya,
karena suara itu dikeluarkan berkat ilmu mengirimkan suara dari
jauh, sehingga sulit diketahui asalnya.
Di sebelah kanan, gadis berpakaian coklat itu melihat seorang
kakek kurus kering berompi dari kulit ular. Wajahnya tirus mirip
tikus, dengan sepasang mata panjang yang selalu berputaran liar
menandakan kecerdikannya. Dengan cepat, kakinya melangkah hati-
hati menuju ke tempat kakek kurus kering itu berada, yang jaraknya
tak akan kurang dari delapan tombak. Anehnya, ke mana saja gadis
berpakaian coklat itu mengayunkan kaki, kerumunan ular langsung
menyibak, memberi jalan sebelum kakinya menginjak tanah. Hanya
sebentar saja, gadis itu sudah berada di dekat kakek kurus kering yang
masih sibuk meniup suling. Suara suling itulah yang menyebabkan
ular-ular muncul dan menyerang Gerombolan Setan Hitam.
"Kuucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kakek
yang baik. Kalau kau tidak ada, mungkin aku sudah binasa di tanpn
mereka," ucap gadis berpakaian coklat ini penuh rasa syukur.
"Lupakanlah soal itu, Nini. Yang penting sekarang, cepat kita
pergi dari sini sebelum kawan-kawan mereka muncul. Apabila itu
terjadi, aku tidak akan mampu berbuat apa-apa," jawab kakek kurus
kering itu, tanpa mempedubkan ucapan terima kasih gadis berpakaian
coklat. Sehingga, gadis berpakaian coklat menampakkan perasaan
kecewa yang tergambar pada wajahnya.
Tanpa berkata apa-apa, kakek kurus kering itu mengajak
gadis berpakaian coklat ini mengayunkan kaki ke belakang. Dan
kakek kurus kering itu pun melesat lebih dulu baru disusul gadis itu.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh mereka telah berada jauh di
depan.
Sekarang yang tinggal di tempat ini hanya kerumunan ular
yang masih sibuk menggeragoti sekujur daging di tubuh enam orang
Anggota Gerombolan Setan Hitam yang sudah tak berdaya. Mereka
semua roboh dan tewas, setelah merobohkan banyak ular yang
mengeroyoknya. Tapi karena ular-ular itu seperti tak pernah
berkurang enam orang ini jadi kewalahan. Dan akhirnya, mereka
tewas.
Sementara itu tanpa diketahui, di bagian yang agak tinggi di
atas salah satu gundukan batu, berdiri empat sosok yang menatap ke
arah enam orang lelaki berpakaian hitam yang kini tengah menjadi
tulang-belulang
"Apa kubilang?! Ular-ular yang kita lihat di perjalanan, tidak
bergerak begitu saja. Pasti tua bangka keparat itu yang
mengendalikannya. Kalau saja tidak terlambat, aku yakin akan
mampu mencegah terjadinya hal seperti ini!"
Ucapan bernada penyesalan itu keluar dari mulut seorang
pemuda bertubuh kekar berpakaian hitam dan berwajah mirip singa.
Sementara tiga sosok yang berdiri agak di belakangnya hanya
mengangguk. Mereka percaya, pemuda berwajah mirip singa ini
mampu bertindak.
***
"Ukh...!"
Tubuh kakek kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular
itu terhuyung-huyung ke depan. Dan dia sudah akan terjerembab,
kalau gadis berpakaian coklat tidak keburu mengulurkan tanpn
menangkapnya. Lari kedua orang ini pun terhenti.
"Apa yang terjadi denganmu, Kek?! Kau..., kau sakit!" tanya
gadis berpakaian coklat itu, penuh perhatian. Rasa kecewa karena
ucapan terima kasihnya tidak mendapatkan sambutan yang
sewajarnya tadi langsung lenyap entah ke mana, ketika melihat wajah
kakek kurus kering yang pucat pasi. Keringat sebesar-besar biji jagung
menghias sekujur wajah-nya yang keriput
"Aku..., aku tidak apa-apa," jawab kakek kurus kering denpn
suara lemah hampir tidak terdengar. "Tolong bawa aku ke tempat
teduh."
Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis berpakaian coklat
itu segera memapah tubuh kakek kurus kering ini ke arah sebatang
pohon yang tumbuh di dekat situ. Dengan hati-hati disandarkannya
tubuh kakek kurus kering itu di batang pohon. Sedangkan dia sendiri
berdiri dengan kedua lutut di depannya.
"Kau... Kau terluka, Kek? Ah...! Lukamu parah sekali...!"
Kembali suara halus tapi mengandung penuh perasaan
khawatir terdengar dari mulut gadis berpakaian coklat ini ketika
melihat kakek kurus kering itu memuntahkan darah segar! Untungnya
kakek kurus kering itu cepat menghindar, sebelum terkena semburan
darah.
"Tidak usah kau pikirkan aku," desah kakek kurus kering,
pelan hampir berbisik. "Aku memang sudah terluka parah, ketika
menghadapi pimpinan dari orang-orang yang kau lawan. Dan aku
tidak boleh mengeluarkan tenaga cukup berlebihan, kalau tidak ingin
lukaku bertambah parah dan membahayakan nyawaku...."
"Tidak usah diteruskan, Kek," potong gadis berpakaian coklat
ini cepat sambil menyusut darah yang membasahi sekitar mulut kakek
kurus kering. "Aku tahu! Kau membahayakan nyawamu sendiri demi
menolongku. Usahamu untuk memanggil ular-ular, membuat luka
dalammu bertambah parah. Karena kau mengerahkan tenaga dalam
berlebihan. Demikian pula saat kita berlari Akan kubalaskan sakit
hati ini, Kek Tolong katakan, siapa pimpinan mereka?! Siapa orang
yang telah membuatmu terluka demikian parah? Aku Dara, berjanji
akan menuntut balas!"
Kakek kurus kering tersenyum. Wajahnya agak cerah, karena
melihat tekad gadis itu. Tapi, sorot matanya terlihat sayu. Bahkan
semakin meredup!
"Kau anak yang baik, Dara. Meski tersinggung, masih
memikirkan diriku. Ah...! Sama sekali tidak kusangka seorang gadis
berkepandaian tinggi seperti dirimu, memiliki watak perasa. Kau
mudah diombang-ambingkan perasaan. Kau mempunyai watak halus.
Aku tidak yakin, kau mampu membunuh orang!"
Suara kakek kurus kering itu semakin pelan dan napasnya
semakin terenph-engah.
"Aku, Kuru Sanca, tidak akan melupakanmu! Apa
hubunganmu dengan Ketua Perguman Pedang Halilintar, si Sombong
Pedang Halilintar Sakti?!" tanya kakek yang ternyata Kuru Sanca,
begitu melihat lambang gambar perguruan di dada gadis itu.
"Aku putrinya, Kek," jawab gadis berpakaian coklat yang
ternyata bernama Dara, putri si Pedang Halilintar Sakti yang kabur
dari perguruan ayahnya. (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Peti
Bertuah").
"Putrinya?!" ulang Kuru Sanca dengan napas semakin
terengah. "Perbedaan antara kau dengan ayahmu bagaikan api denpn
air. Ayahmu berwatak tinggi hati, sombong, terlalu yakin kalau hanya
dialah tokoh yang memiliki kepandaian tertinggi di dunia ini.
Sedangkan aku...? Ah...! Kalau tidak melihatnya sendiri aku tidak akan
percaya!"
"Aku sendiri tidak menyangka kalau kau adalah Kuru Sanca,
Kek," timpal Dara. "Menurut ayah, kau seorang tokoh hitam yang
memiliki watak keji. Dan lagi, kau merupakan salah seorang datuk
golongan hitam. Jago racun, tapi kenyataan yang kulihat..? Heh...?!
Mengapa kau, Kek?!"
Dara menghentikan ucapannya yang belum s-lesai, ketika
melihat sepasang mata Kuru Sanca yang mulai redup tampak
terbelalak lebar. Memang hanya sesaat, tapi meyakinkan kalau ada
sesuatu yang membuat Kuru Sanca demikian terkejut!
2
Namun, sesaat kemudian Kuru Sanca tersenyum. Padahal
terlihat jelas menampakkan rasa khawatir yang sangat. Kakek kurus
kering ini tahu, senyumnya tidak enak dilihat. Tapi, setidak-tidaknya
akan dapat menjadi sebuah awal untuk menenangkan hati gadis
berpakaian coklat itu.
"Aku tidak apa-apa, Dara. Bahkan justru aku yakin akan
menjadi sembuh karenanya. Kau tahu, apa sebabnya?"
Dara menggelengkan kepala, karena memang dia tidak tahu
jawabannya.
"Ucapannya yang menyebutkan karena aku dulu adalah
seorang tokoh sesat yang ahli menggunakan racun, jadi mengingatkan
akan keahlian yang kumiliki sekarang. Aku sekarang tidak hanya
mahir dalam kemampuan bermain racun saja, Dara. Tapi, juga dalam
hal obat-obatan. Ah! Usia tua membuat ingatanku banyak berkurang
Aku hampir lupa. Untung saja kau mengingatkannya. Tolong
ambilkan obat di saku kanan pakaianku ini, Dara. Di bagian dalam,"
ujar Kuru Sanca.
"Maafkan kelancanganku ini, Kek," ucap Dara, sebelum
menyibak rompi kulit ular Kuru Sanca.
Di bagian sebelah kanan, Dara melihat sebuah kantung yang
cukup lebar dan besar, tapi terkancing. Buru-buru dibuka dan
dimasukkannya jari-jari tangannya yang halus ke dalam saku itu.
"Ambil dua butir yang berwarna merah, Dara," jelas Kuru
Sanca ketika melihat Dara kebingungan, begitu jari-jari tangan gadis
berpakaian coklat itu mendapatkan obat-obat berbagai macam bentuk
dan beraneka warna.
Dara segera memasukkan obat-obat yang tidak dimaksud ke
saku baju Kuru Sanca kembali. Sedangkan obat yang berwarna merah
dimasukkannya ke mulut kakek kurus kering itu. Dengan mudah,
Kuru Sanca menelannya, meski tanpa menggunakan air. Baru saja
Kuru Sanca menelan obatnya.....
"Rupanya kau berada di sini, Singa Ompong?! Berarti Setan
Hitam Tak Berjantung tidak berhasil dengan tugasnya. Biarlah
sekarang aku yang akan merampungkannya!"
Mendadak saja terdengar suara keras menggelegar, Kuru
Sanca dan Dara terkejut setengah mati. Bahkan gadis berpakaian
coklat itu sampai terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang
Sebelumnya memang tidak terdengar bunyi apa-apa sebelum pemilik
suara itu berbicara. Dari sini saja bisa diperkirakan kalau pemilik
suara itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Keterkejutan Dara semakin bertambah, ketika melihat
pemilik suara yang ternyata seorang kakek berkulit hitam legam
terbungkus pakaian serba hitam. Ujung bajunya sampai di bawah
lutut. Tapi mulai dari pusar bajunya tidak terkancing Tampangnya
menggidikkan, dengan hidung bengkok yang menyiratkan
kelicikannya. Yang paling menggetarkan, di sebelah kirinya berdiri
makhluk berkaki empat berwarna agak kuning bertotol-totol hitam.
Seekor macan tutul yang kelihatan buas dan perkasa!
Singngng!
Dara yang segera dapat meredam keterkejutannya, langsung
menghunus pedangnya.
"Langkahi dulu mayatku sebelum kau dapat
mencelakakannya, Kakek Jahat!" tegas Dara, mantap. Dadanya yang
sudah berbentuk indah, dibusungkan ke depan.
"Luar Biasa! Sama sekali tidak kusangka! Meski sejelek dan
setua itu, masih ada wanita cantik yang bersedia menjadi gundikmu!
Luar biasa! Kau yang luar biasa, atau gadis ini yang kemaruk lelaki,
Singa Ompong?!" ejek kakek berkulit hitam legam.
"Tutup mulutmu, Kakek Bermulut Kotor!" dengus Dara
dengan wajah merah padam.
Dara adalah seorang gadis berperasaan halus. Maka makian
tidak senonoh kakek berhidung melengkung membuat kemarahannya
berkobar, karena harus menahan malu. Seketika langsung diserangnya
kakek itu dengan kelebatan pedangnya yang berkilatan.
"Ah...! Kau dari Perguruan Pedang Halilintar?' desah kakek
berkulit hitam.
Kakek ini kaget juga melihat serangan Dara yang
mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Bahkan juga terdengar bunyi
berkerosokan seperti ada halilintar menyambar bumi.
Dalam kemarahannya karena makian kotor kakek berhidung
melengkung Dara melancarkan serangan menggunakan jurus andalan
dari ilmu 'Pedang Halilintar', yang diberi nama jurus 'Selaksa
Halilintar Menyambar Gunung'! Sehingga ujung pedangnya seperti
berubah menjadi belasan banyaknya. Dan tiap ujung pedang
meluncur ke arah bagian mematikan di tubuh kakek berhidung
melengkung. Bunyi berkerosokan nyaring mengiringi meluncurnya
pedang menuju sasaran.
Sementara, kakek berhidung melengkung ini tahu
kedahsyatan serangan itu. Maka tongkatnya yang bergagang kepala
tengkorak bayi di tangan kanan, segera diputar-putar di depan
tubuhnya. Sehingga bentuk tongkatnya lenyap. Dan yang terlihat
sekarang hanya segundukan sinar yang membungkus sekujur
tubuhnya.
Trang, trang trang!
Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk
oleh putaran tongkat bergagang kepala bayi. Sehingga menimbulkan
bunyi nyaring dan bunga api yang berpercikan ke sana kemari.
Seketika, tubuh Dara yang menerjang lawan mendadak terjengkang ke
belakang. Untung saja, gadis ini memiliki kepandaian yang cukup.
Sehingga kedua kakinya berhasil menjejak tanah dengan mantap.
Namun, ternyata pedangnya sudah tidak berada di dalam genggaman
tangan lagi, terpental akibat benturan yang amat keras tadi.
Melihat dahsyatnya serangan pedang si gadis, maka kakek
berhidung melengkung itu memutar tongkatnya, hingga terlihat
segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya!
Trang, trang, trang!
Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk
oleh putaran tongkat itu.
"He he he...!" Kakek berkulit hitam legam terawa mengejek.
"Kau terlalu sok pahlawan, Bocah Ayu. Dikira, aku ini siapa? Berani
benar kau menentangku?! Ayahmu pun kalau bertemu aku, tidak akan
berani bertindak selancang ini! Dia akan berlutut dan menjilati
telapak kakiku sampai bersih! Menyingkirlah! Aku malu untuk
bertarung melawan bocah masih bau kencur seperti kau!"
Dan kini kakek berhidung melengkung yang tadi sama sekali
tidak terpenjpruh akibat benturan dua macam senjata, melangkah
lebar mendekati tempat Dara berada. Sementara, pdis berpakaian
coldat itu masih menyeringai kesakitan, karena rasa sakit yang
melanda sekujur tangannya yang meng-genggam pedang. Bahkan
tangan tadi sempat lumpuh! Dara mulai menyadari kalau kakek
berhidung melengkung ini terlalu tangguh. Namun, hatinya tidak
menjadi gentar karenanya. Setapak pun kakinya tidak akan mundur!
Apalagi setelah kakek berhidung melengkung itu menghina ayahnya!
"Dara...! Larilah...! Jangan bertindak bodoh...! Tidak ada
gunanya berkeras untuk membelaku! Aku tak takut mati..!" seru Kuru
Sanca dengan suara lebih keras dari sebelumnya.
Obat-obat buatan Kuru Sanca memang manjur sehingga
mampu bekerja cepat. Sehingga keadaannya agak lebih baik dari
sebelumnya.
"Tidak, Kek! Aku bukan pengecut! Kalau memang kau harus
mati, aku pun tidak mau hidup! Aku bukan sejenis orang yang tidak
mengenal budi baik orang!" tandas Dara sambil menoleh ke belakang.
Terasa ada nada ketegasan yang tidak mungkin bisa dibantah
di dalam kata-kata gadis ini. Kemudian dengan kedua tangan terkepal
pandanpnnya kembali diarahkan ke kakek berkulit hitam legam yang
terus melangkah lambat ke arahnya.
Kuru Sanca adalah tokoh yang kenyang pengalaman. Sekali
dengar saja, dia tahu kalau Dara tidak akan mau mundur setapak pun.
Tekad gadis berpakaian coldat itu tak akan mungkin dapat dirubah.
Maka, dia hanya dapat menghela napas berat. Dia tahu, Dara akan
celaka. Dan saat ini, dia hanya dapat melihat semua kejadian tanpa
dapat membantu.
Sementara, ketika melihat kakek berhidung melengkung
semakin dekat, Dara langsung melompat menerjang dengan sebuah
pukulan tangan kanan ke arah dada!
Tapi, kakek berkulit hitam legam itu hanya mendengus penuh
ejekan. Padahal sebelum pukulan itu tiba di sasaran, angin keras telah
lebih dulu berhembus. Begitu serangan menyambar dekat, kakinya
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Kemudian tangan
kirinya bergerak menyambar, dengan jari-jari terbuka.
Kreppp!
Dara langsung terpekik kaget ketika pergelangan tanpn
kanannya telah tercekal! Padahal, tadi ketika melihat gerakan lawan
dia telah berusaha keras mengelak. Dan sebelum Dara bertindak lebih
lanjut, kakek berhidung melengkung telah lebih dulu menyentakkan
tangannya.
"Akh...!"
Dara berseru tertahan ketika tubuhnya melayang deras tanpa
mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Sedangkan kakek
berkulit hitam legam sama sekali tidak mempedulikan nasib Dara lagi.
Dia terus bergerak cepat, mendekati Kuru Sanca yang masih
bersandar di pohon. Sedangkan macan tutul yang berdiri di
sebelahnya, rupanya tidak mau ketinggalan. Binatang buas ini pun
berjalan pula di sebelah kakek berhidung melengkung
"Sekarang sampai juga ajalmu, Kuru Sanca!"
Kakek berkulit hitam legam ini tampak gembira bukan
kepalang, karena yakin akan keberhasilannya membunuh datuk sesat
yang menggiriskan hati itu.
***
Namun belum lagi kakek berkulit hitam legam itu
melancarkan serangan, mendadak saja kakinya mundur selangkah.
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah kaki halus
mendekati tempatnya. Dan sebelum sempat kakek berhidung
melengkung ini menoleh, terasa angin dingin berkesiur. Sekejap
kemudian, di depannya telah berdiri sesosok bertubuh ramping
berwajah cantik j ebta.
"Lagi..., lagi kau..., bo... eh...?! Siapa kau, Wanita Liar?!"
Kakek berkulit hitam legam yang semula menduga kalau
wanita cantik yang menghadang langkahnya adalah Dara, jadi
menahan ucapannya. Ternyata dugaannya keliru. Wanita yang berdir i
di hadapannya, dan membelakangi Kuru Sanca ini memang berwajah
cantik jelita berpakaian serba putih.
"Mengapa kau menghadang di depanku? Apakah kau
mempunyai hubungan dengan kakek yang sebentar lagi akan mati di
tanganku?! Apakah kau juga gundiknya?!" lanjut kakek berkulit hitam
legam ini.
Jawaban yang diterima kakek berhidung melengkung ini
hanya berupa jeritan melengking yang membuat sekitar tempat itu
bergetar! Kemudian gadis berpakaian serba putih ini mengirimkan se¬
rangan mematikan mempergunakan kedua tangan, yang kanan
mencengkeram leher, sedangkan yang kiri mencengkeram pusar!
Salah satu saja mengenai sasaran, nyawa kakek berkulit hitam legam
ini pasti melayang ke alam baka!
Wajah kakek berkulit hitam legam ini berubah kaget. Hanya
sekali lihat saja dia tahu kalau serangan gadis berpakaian putih ini
lebih hebat daripada serangan Dara. Menilik dari bunyi berkesiutan
yang mengiringi tibanya serangan, dia tahu kalau tenaga dalam gadis
ini lebih kuat. Bahkan kecepatannya begitu dahsyat. Diam-diam kakek
berkulit hitam legam ini merasa heran, mengapa gadis-gadis cantik
dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi membela Kuru Sanca mati-
matian. Apa yang tersembunyi di balik semua ini?
Tapi, kakek berkulit hitam legam tidak bisa berpikir lebih
lama lagi, karena serangan gadis berpakaian putih telah semakin
dekat.
Plak!
Bunyi benturan keras dari dua tanpn yang beradu langsung
terdengar ketika kakek berhidung melengkung ini memapak
serangan-serangan gadis berpakaian putih. Akibatnya tubuh gadis itu
terhuyung-huyung hampir lima langkah ke belakang. Sedangkan
lawannya hanya satu langkah.
Gadis ini jadi mengertakkan gigi, menahan geram. Kenyataan
yang terjadi menunjukkan kalau tenaga dalam kakek berhidung
melengkung itu cukup jauh di atasnya. Menyadari kenyataan kalau
bertarung tangan kosong hanya akan merugikan diri sendiri, maka
gadis itu segera mengayunkan tangannya ke belakang punggung.
Ngungngng!
Bunyi mengerang keras seperti ada seekor naga murka segera
terdengar, ketika gadis berpakaian putih itu mencabut pedang, dan
langsung menggerak-gerakkannya di depan dada.
Kakek berkulit hitam legam itu langsung ternganga takjub,
menyaksikan pertunjukan ilmu pedang yang demikian dahsyat dari
gadis ini. Meski memang baru jurus pembuka yang dilihat, tapi telah
cukup membuatnya takjub.
"Keluarkan senjatamu kalau tidak ingin mati sia-sia di ujung
pedangku, Kakek Hidung Betet!" teriak gadis berpakaian putih itu, di
tengah-tengah riuh rendah permainan pedangnya.
"Keparat!"
Kakek berkulit hitam legam ini jadi menggertakkan gigi
dengan sepasang mata menyala-nyala karena gejolak perasaan marah.
Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mempermasalahkan
hidungnya yang berbentuk aneh. Apalagi kalau sampai memakinya,
seperti yang didengarnya barusan.
"Wanita Liar! Mulutmu benar-benar tajam! Kau harus
membayar kelancangan mulutmu. Celanamu akan robek, dan kau
akan kutelanjangi!"
Untuk yang kedua kalinya terdengar bunyi melengking
nyaring dari mulut gadis berpakaian putih itu. Lengkingan yang
keluar dari perasaan hati yang terbakar, mendengar ucapan kakek
berkulit hitam legam yang tidak senonoh ini. Dan belum habis gema
lengkingan itu, gadis berpakaian putih ini telah melesat menerjang!
Kakek berhidung melengkung yang juga telah bangkit
amarahnya telah menggenggam erat-erat tongkat yang menjadi
senjata andalan. Dan sambil berteriak tidak kalah keras, melompat
memapak serbuan lawan. Maka pertarungan pun berlangsung sengit.
Ilmu pedang gadis berpakaian putih itu benar-benar luar
biasa. Pedangnya bagai telah berubah menjadi seekor binatang yang
amat ganas dengan bunyi menggerung-gerung keras, menyertai setiap
luncurannya ke arah berbagai bagian di tubuh kakek berkulit hitam
legam ini.
Namun, kakek itu juga bukan orang sembarangan. Permainan
tongkatnya pun luar biasa. Betapapun gencar dan dahsyatnya
sambaran pedang gadis berpakaian putih itu. Namun tak satu pun
yang berhasil mengenai sasaran. Ke mana saja ujung pedang menuju,
selalu berbenturan dengan putaran tongkat kakek berkulit hitam,
legam ini.
Bunyi berdentang nyaring dan bunga api kini menyemaraki
pertarungan. Bahkan setiap kali terjadi benturan keras yang
mengakibatkan bunga api memercik ke sana kemari, selalu tubuh
gadis berpakaian putih terguncang hebat. Saking kerasnya benturan,
tubuhnya beberapa kali sampai terhuyung-huyung ke belakang.
Bahkan hampir ter j engkang dengan sebuah seringai tampak di bibir.
Meskipun kakek berkulit hitam legam itu lebih unggul dalam
hal tenaga, tapi untuk mendesak lawannya agaknya tidak mudah.
Serangan gadis berpakaian putih yang terlalu gencar dan selalu susul-
menyusul laksana gelombang laut, membuatnya merasa kesulitan
untuk melancarkan serangan balasan yang terarah. Dia masih
bimbang untuk membuka pertahanan, dan menggantinya denpn
serangan-serangan balasan. Karena disadari, kecepatan luncuran
serangan-serangannya kalah jauh dibanding gadis berpakaian putih
itu.
Kakek ini sadar, kalau mengalahkan gadis berpakaian putih
ini membutuhkan waktu tidak sebentar. Mungkin dalam puluhan
jurus, lawannya baru bisa dirobohkan. Dan dalam waktu yang cukup
lama itu, segala sesuatu dapat saja terjadi. Misalnya ada orang lain
yang datang menyelamatkan Kuru Sanca. Padahal, gadis berpakaian
coklat saja belum bisa dirobohkan.
"Bunuh tua bangka yang tidak berguna itu, Belang!"
Di tengah-tengah kesibukannya mempertahankan diri dari
serangan gadis berpakaian putih yang gencar, kakek berkulit hitam
legam ini berteriak keras, memberi perintah.
"Auumm...!"
Bunyi auman keras yang membuat isi dada bergetar, langsung
menyambuti perintah kakek berkulit hitam. Sebentar kemudian,
macan tutul yang sejak tadi berdiam diri seperti memperhatikan
jalannya pertarungan, berlari-lari menghampiri Kuru Sanca! Binatang
buas itu mengerti apa yang dimaksudkan tuannya!
Begitu macan tutul melompat menerkam siap untuk
mengoyak-ngoyakkan tubuhnya, dari arah sampingnya melesat sosok
bayangan coldat. Begitu cepat bayangan ini melesat, langsung
menyerang macan tutul dari samping.
Bukkk!
Grrrhhh!
Macan tutul itu kontan mengeluarkan seruan kesakitan,
begitu ada sesosok bayangan menghantam badannya secara keras.
Seketika tubuhnya yang tengah meluncur ke arah Kuru Sanca,
terlempar ke kiri dan jatuh berdebuk keras di tanah.
Di depan Kuru Sanca, ternyata Dara telah berdiri
membelakanginya dengan kedua kaki terpentang. Tapi gadis
berpakaian coldat ini memang buru-buru kembali ketika tubuhnya
terlempar ke kerimbunan semak-semak. Dia merasa khawatir akan
nasib kakek kurus kering itu. Dan ternyata, kecemasannya beralasan.
Meski ada seorang gadis berpakaian putih yang tengah bertarung
melawan kakek kurus berkulit hitam legam itu, tapi masih ada macan
tutul yang mengancam keselamatan Kuru Sanca. Dan Dara bertindak
pada saat yang sangat tepat.
Dara langsung menatap macan tutul yang telah bangkit
dengan sepasang mata terbelalak. Gadis berpakaian coklat ini tidak
percaya akan apa yang dilihatnya. Tadi saking khawatir akan
keselamatan Kuru Sanca, pukulannya yang dihantamkan pada macan
tutul dikerahkan dengan seluruh tenaga. Dan menurut
perhitungannya, binatang itu akan tewas seketika dengan seluruh isi
dada hancur. Tapi, ternyata macan tutul itu masih segar bugar.
Bahkan kelihatan semakin buas, karena tindakannya untuk memenuhi
perintah majikannya dihalangi. Atau mungkin pula karena rasa sakit
yang diderita. Pukulan Dara tadi memang kuat sekali. Bahkan
sanggup menghancurkan sebongkah batu besar yang paling keras
sekalipun hingga berkeping-keping
Dan ternyata, binatang buas itu merasa penasaran dan
dendam terhadap Dara. Dengan auman keras yang menggetarkan
selatarnya, macan tutul itu melompat menerkam Dara. Namun hanya
menggeser kaki, putri Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini berhasil
mengelakkan serangan. Bahkan langsung menyusuli dengan seranpn
balasan berupa bacokan sisi tangan miring berisi tenaga dalam penuh
ke tubuh bagian samping binatang buas yang menjadi lawannya.
Bukkk!
Macan tutul itu menggemng kesakitan ketika pukulan Dara
mendarat secara telak di sasaran. Tubuh binatang buas yang sial ini
terlempar dan terbanting di tanah. Namun lagi-lagi macan itu bangkit
berdiri dan menyerang Dara. Rupanya binatang buas ini tidak kapok
sama sekali!
Sementara itu di kancah pertarungan yang satu, kakek
berkulit hitam legam itu merasa geram bukan kepalang melihat
kegagalan dalam melenyapkan Kuru Sanca. Dia tahu, macan tutulnya
tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan tugas karena terhalang
Dara! Sedangkan dia sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk mengalahkan gadis berpakaian putih ini. Sambil terus melaku¬
kan perlawanan, matanya mengerling ke arah Kuru Sanca. Dan
hatinya tercekat ketika melihat keadaan kakek kurus kering itu.
Kakek berkulit hitam legam itu memiliki sepasang mata
tajam. Maka dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau keadaan Kuru
Sanca telah semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat pasi
seperti tidak berdarah, sekarang telah menyiratkan tanda-tanda
kehidupan. Dan bukan tidak mungkin tak akan lama lagi, tokoh kurus
kering ini akan sehat seperti sediakala. Dan apabila itu terjadi, dia
tahu kalau keadaannya akan sangat berbahaya. Dan hal itu tidak
diinginkan terjadi.
Trangngng!
Setelah membuat tubuh gadis berpakaian putih terhuyung-
huyung jauh ke belakang dengan tangkisan tongkat yang disertai
pengerahan seluruh tenaganya, kakek berkulit hitam legam ini
melompat meninggalkan lawannya sambil mengeluarkan lengkingan
aneh dari tenggorokannya.
Seketika itu pula, macan tutul yang semula tengah bertarung
melawan Dara segera berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu. Baru beberapa tombak macan tutul itu berlari, tiba-tiba kakek
berkulit hitam legam itu tahu-tahu hinggap di punggungnya. Tapi,
macan tutul itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dia terus berlari
kencang bersama majikannya berada di punggung.
Sementara Dara dan gadis berpakaian putih itu menatap
kakek berkulit hitam legam yang menunggangi macan tutulnya, tidak
melakukan pengejaran sama sekali. Kemudian, ketika bayangan
mereka lenyap dari pandangan, kedua gadis yang sama-sama cantik
dan lihai ini, saling berpandangan. Kemudian senyuman tersungging
di bibir masing-masing.
3
Sebuah perahu kecil meluncur bagai anak panah, menyibak
permukaan laut yang disemaraki gelombang-gelombang sebesar
rumah. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai sebesar bukit, seperti
berusaha keras untuk menggulingkan dan menghancurkan perahu
kecil itu. Tapi, dengan gesitnya perahu kecil itu menyelinap dan
membelah permukaan air laut yang bagai diamuk tangan-tangan
raksasa.
Perahu kecil itu berpenumpang tiga orang Dua orang berusia
muda dan berwajah menarik. Sedangkan sisanya seorang nenek
berusia tak akan kurang dari seratus tahun, berpakaian kembang-
kembang. Wajahnya telah dipenuhi keriput. Dengan mulut yang tidak
bergigi lagi, dia kelihatan tua sekali.
Salah satu dari dua anak muda itu adalah seorang gadis
berpakaian kuning. Tubuhnya sintal menggiurkan. Apalagi dengan
dua bukit kembar di dadanya yang terlihat mencuat, seperti hendak
melompat keluar. Itu pun masih ditunjang dengan wajahnya yang
cantik penuh daya tarik! Pakaian kuning yang membungkus tubuhnya
semakin menonjolkan kecantikan dan kemolekannya.
Sementara sosok terakhir yang tengah mengayuh perahu
justru kelihatan paling aneh. Tubuh dan wajahnya terlihat masih
muda, dan berusia lebih dari dua puluh tahun. Meskipun, wajah sosok
pemuda ini kelihatan matang! Wajahnya tampan dan jantan.
Tubuhnya pun kekar dengan dada bidang, terbungkus pakaian ungu.
Tapi anehnya rambutnya seperti milik orang berusia lanjut. Putih
keperakan! Siapa lagi orang ini kalau bukan Arya Buana alias Dewa
Arak. Sementara gadis berpakaian kuning itu tak lain dari Tungga
Dewi. Sementara nenek berpakaian kembang-kembang itu tak lain
adalan Nenek Lestari.
Ketiga orang ini berada di lautan luas karena tengah menuju
Pulau Setan! (Baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peti Bertuah").
"Kau yakin kalau kita menempuh arah yang benar, Dewi?!"
tanya Arya tanpa menghentikan kayuhannya.
"Jangan khawatir, Arya," jawab Tungga Dewi, sambil menatap
Arya dengan sinar mata aneh.
Dan Arya merasa jengah melihatnya. Pandangan mata Tungga
Dewi persis milik sorot mata gadis-gadis yang dulu dijumpai dalam
petualangan. Hanya saja, sekarang mereka yang semuanya
mencintainya, tewas karena membelanya. Arya masih ingat betul
nama gadis-gadis yang telah berkorban nyawa dan
menyelamatkannya. Dan itu seperti terpatri dalam hatinya. Utari dan
Malini. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Penganut Ilmu Hitam" dan "Tiga Macan Lembah Neraka").
Didasari rasa cemasnya, tanpa sadar Arya melengos. Tapi
karena khawatir kalau sikapnya akan membuat Tungga Dewi
tersinggung, Arya pura-pura bersin! Untuk orang yang memiliki
tingkatan seperti pemuda berambut putih keperakan ini, melalcukan
hal seperti itu bukan masalah.
"Apa yang dikatakan Tungga Dewi tidak keliru, Arya," Nenek
Lestari ikut menimpali. "Meski tidak tahu letaknya, aku merasakan
kalau arah yang kita tempuh ini tidak salah! Dan biasanya, firasatku
ini tidak pernah keliru! Dan...."
"Hey!"
Seruan kaget tanpa sadar keluar tidak hanya dari mulut
Nenek Lestari yang langsung menghentikan ucapannya karena merasa
kaget, tapi juga dari mulut Arya dan Tungga Dewi Jeritan yang tanpa
disadari itu keluar begitu saja, karena perahu yang ditumpangi tiba-
tiba berguncang keras,
"Ada orang yang akan menggulingkan perahu kita...!" seru
Arya yang langsung dapat mengetahui adanya ketidakberesan ini.
Pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan
pandanpn ke selatar sisi-sisi perahu. Dan ketika melihat ada
bayangan berkelebat di bawah permukaan air, dayungnya segera
dihantamkan.
Pyarrr!
Air seketika muncrat tinggi ke udara. Tapi, hantaman Arya
tidak membuahkan hasil. Sosok yang bergerak di bawah air ternyata
telah lebih dulu melesat menghindari, sebelum sempat terhantam
dayung! Dan gerakannya gesit sekali, sehingga Dewa Arak mengira
sosok yang dihantamnya seekor ikan!
Perahu jadi berguncang semakin keras dan hampir terguling
ke kiri. Arya yang tidak ingin terjun ke laut lepas, karena tahu kalau di
dalam air kemampuannya berkurang jauh segera bertindak cepat.
Tenaganya segera dikerahkan untuk memberatkan tubuh, sehingga
perahu yang dirumpangi menjadi lebih berat berlipat kali.
"Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang aneh itu!" desis
Tungga Dewi.
"Orang-orang aneh...?!" Arya mengernyitkan dahi, meminta
penjelasan.
"Kau ingat orang-orang yang kuceritakan, Arya?!"
Tungga Dewi balas mengajukan pertanyaan sambil menatap
wajah Arya lekat-lekat Arya mengangguk sambil mengeluh dalam
hati. Kelihatannya Tungga Dewi memang bukan gadis pemalu.
Buktinya terang-terangan perasaannya ditunjukkan pada Arya. Ini
membuat pemuda itu merasa bingung bukan kepalang!
"Nah! Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang bertarung
dengan guruku. Mereka memang memiliki kemampuan
mengagumkan bila berada di dalam air. Bahkan mungkin
kepandaiannya jauh di atasku, Arya."
"Hebat!" puji Arya setulusnya tanpa berani menatap wajah
Tungga Dewi apalagi sepasang matanya. "Gerakan mereka di dalam air
luar biasa sekali. Tadi, aku nyaris menduga kalau bayangan yang
kupukul adalah ikan! Habis, gerakan mereka gesit bukan kepalang."
"Apalagi kalau kau melihat guruku yang bergerak, Arya!"
timpal Tungga Dewi, penuh semangat. Kelihatannya, dia jelas begitu
senang bercakap-cakap dengan Arya. "Bagi guruku, mereka bukan
apa-apa. Kemampuan mereka bermain di dalam air, mungkin hanya
setaraf denganku."
"Ah...! Begitukah?!"
Sepasang mata Arya terbelalak lebar penuh perasaan kaget.
Arya tidak pernah berpikir kalau gadis ini akan mampu bertindak
seperti itu. Mungkinkah seorang gadis seperti dia mampu bergerak
demikian lincah di dalam air?
Baru saja kata-kata Dewa Arak selesai dan Tungga Dewi
belum sempat memberikan tanggapan, terjadi kericuan di dalam
perahu. Dan tiba-tiba saja....
Blosss! Blosss! BIosss!
Hampir berbarengan tiga batang pisau menembus, sehingga
lantai perahu bolong. Bahkan hampir saja mengenai tip orang
penumpangnya. Meskipun demikian, cukup untuk membuat Arya dan
kawan-kawannya tersentak kaget. Dan sebelum mereka bertindak,
tiga batang pisau itu telah di tarik, kembali ke dalam air. Maka kontan
air menyemak masuk ke dalam perahu melalui lubang yang tercipta.
Kejadian ini, langsung menyadarkan ketiga orang di dalam
perahu. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka berusaha
menutupi lubang-lubang itu dengan telapak kaki. Hembusan napas
lega langsung terhempas, ketika air yang menerobos masuk terhenti
"Kita harus bertindak!" kata Arya sambil menatap wajah
Nenek Lestari dan Tungga Dewi Tapi ucapan itu lebih tertuju pada
murid Nelayan Tenaga Gajah ini.
Arya tahu, sebagai seorang yang lebih sering bermain di air,
Tungga Dewi tentu dapat mengambil langkah-langkah untuk
menghadapi hal seperti ini! Nenek Lestari tidak bisa diharapkan.
Buktinya perempuan tua itu telah hampir pikun ini tampak pias
wajahnya. Rupanya kejadian yang baru saja dialami membuatnya
kaget bukan kepalang
Tungga Dewi yang merasa ditanya, tidak langsung
memberikan jawaban. Sebagai seorang yang ahli bermain di dalam air,
dia tidak merasa khawatir sama sekali. Baginya, di darat atau di air
sama saja.
Tungga Dewi tahu, pertanyaan Dewa Arak memang sulit
dijawab. Kalau lawan berada di sisi perahu, bukan merupakan
masalah. Mereka dapat melancarkan serangan denpn
mempergunakan dayung. Tapi penyerang-penyerang itu terlalu
cerdik, dengan melancarkan serangan dari bawah perahu.
"Apa yang harus kita lalcukan, Dewi?!" tanya Arya lagi ketika
melihat gadis berpakaian kuning itu malah berdiam dir i.
Arya tahu, Tungga Dewi tengah berpilar, tapi waktu yang
dimiliki tidak memungkinkan untuk berpikir lama-lama. Lawan yang
berada di bawah air, tidak mungkin tinggal diam. Mereka tidak akan
mau menunggu.
"Aku yakin tindakan mereka tidak berhenti sampai di sini!"
tandas Dewa Arak.
Baru saja kata terakhir keluar dari mulut Arya, lantai perahu
di bagian lainnya kembali ditembus tiga batang pisau. Namun kali ini,
Dewa Arak sudah bersiap siaga. Batang pisau itu segera ditangkapnya.
Tentu saja hanya dua yang ditangkap karena tangan pemuda
berambut putih keperakan ini hanya sepasang. Sementara kaki n ya
yang satu menutupi lubang di lantai perahu.
"Biar aku yang akan menghajar mereka!" Tanpa menunggu
persetujuan Aiya yang tengah bersitegang menahan pisau yang akan
ditarik kembali oleh pemiliknya, Tungga Dewi segera beranjak
Arya meski tengah sibuk mempertahankan batang pisau,
langsung mempunyai sebuah dugaan, meskipun Tungga Dewi tidak
lengkap mengutarakannya.
"Tungga Dewi!" seru Arya, cepat.
Tapi, seruan pemuda berambut putih keperakan ini
terlambat! Tubuh Tungga Dewi telah lebih dulu melayang ke udara.
Sejenak tubuh molek itu berada di atas, kemudian meluncur ke bawah
dengan kedua tangan teijulur tegang di depan.
Byurrr!
Air laut muncrat tinggi ke udara, ketika tubuh Tungga Dewi
menghunjam permukaannya dan terus meluncur masuk ke dalamnya!
Gadis itu memang tidak berbohong ketika berkata pada Arya.
Kemampuannya bermain di air memang luar biasa. Lincah laksana
seekor ikan, tubuhnya melesat menuju ke bawah perahu untuk
menjumpai orang-crang yang telah melakukan penyerangan terhadap
perahu.
Kedatangan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya
diketahui tiga sosok yang berada di bawah perahu. Maka salah
seorang bergerak meninggalkan bawah perahu, langsung menghadang
gerak Tungga Dewi. Sementara yang lainnya terus dengan tindakan
mereka.
***
Tungga Dewi menggemlkan gigi, ketika melihat sosok-sosok
yang melakukan tindakan usil terhadap perahu yang ditumpangi.
Memang tepat sekali dugaannya. Mereka adalah tip orang yang dulu
bertarung dengan Tungga Dewi dan gurunya untuk memperebutkan
peti yang ternyata berisi jasad tokoh keji yang hidup lima ratus tahun
silam! Dan sekarang, sosok yang mencegat perjalanannya adalah
orang yang dulu dihadapinya. Lelaki berkulit merah!
Tungga Dewi menyambut kedatangan lelaki kulit merah itu
dengan sebuah tendangan ke arah perut, mengandung tenaga cukup
hebat! Namun lelaki berkulit merah ini segera menyambutnya. Maka
kedua orang ini pun segera terlibat dalam pertarungan sengit.
Di atas perahu, Dewa Arak merasakan salah satu pisau yang
digenggamnya, mendadak kehilangan daya tarik ke bawah. Tapi,
hatinya tak bisa lega, karena sesaat kemudian di tempat-tempat lain
tiga batang pisau kembali menusuk perahu, dan langsung ditarik
kembali. Maka air pun kembali menelusup ke dasar perahu.
Arya berpilar cepat. Disadari betul kalau akhirnya tidak akan
mencegah tindakan pembocoran perahu yang dilakukan sosok-sosok
yang berada di bawah perahu. Maka otaknya yang cerdik berusaha
mencari cara lain untuk menyelamatkan diri.
Arya segera meninggalkan lubang-lubang pada lantai perahu
yang semua disumpalnya. Segera diraihnya dayung yang tadi
diletakkan di sisi dalam perahu. Kemudian, cepat mengayuh.
Sebuah pertunjukan yang menakjubkan pun terjadi! Kini
perahu meluncur ke depan, tanpa menyentuh permukaan air,
bagaikan terbang!
Dua sosok yang berada di bawah perahu kontan terkejut
melihat kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka. Namun,
mereka segsra berenang memburu. Kedua orang ini tahu, perahu itu
tidak akan selamanya mengapung di atas permukaan air. Apabila
tenaga kayuhan itu lenyap, perahu itu akan jatuh kembali ke dalam
permukaan air.
Sementara Tungga Dewi yang tengah sibuk bertarung pun
sempat melihat hal ini. Dan diam-diam hatinya merasa lega, karena
untuk sesaat kedua rekannya akan selamat. Dia sendiri sambil
mengelakkan serangan, segera berenang menuju ke atas untuk
kembali mengambil napas. Sedangkan lawannya melakukan hal sama.
Dan ketika kepala masing-masing sama-sama muncul di permukaan
air, pertarungan kembali berlanjut lebih seru. Sehingga serangan-
serangan mereka lebih dahsyat karena tidak tertahan air.
Di pihak lain, Arya dengan kecerdikannya berhasil
meninggalkan lawan-lawannya cukup jauh di belakang. Apalagi
kecepatan luncuran perahunya lebih cepat daripada luncuran dua
pengejarnya.
Dewa Arak merasa lega. Namun sempat cemas ketika teringat
Tungga Dewi. Ketika menoleh, dia melihat gadis berpakaian kuning
itu tengah bertarung jauh di belakangnya. Maka Arya segera
mengirimkan pemberitahuan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.
"Tidak usah terus melawan, Dewi! Tinggalkan saja lawanmu!
Cepat ikut kami!"
Sambil berkata demikian Arya melirik Nenek Lestari yang
telah berhasil menguasai perasaan hatinya yang agak terguncang
Nenek itu telah bisa tersenyum kembali, meski masih kaku.
Arya berbalik lagi ke depan. Saat itu, perahunya tenph
terbang, dan hampir mendarat di permukaan laut lagi. Tapi di tempat
yang akan didarati perahu, tampak menyembul sebuah kepala yang
memiliki kulit wajah putih seperti kapur.
Yang membuat terkejut pemuda berambut putih keperakan
ini terkejut bukan keadaan wajah sosok itu. Ternyata tempat
beradanya sosok itu, adalah tempat perahunya mendarat. Jelas, sosok
itu pasti akan tertabrak perahu. Dan Arya tidak menginginkannya.
Mendadak wajah Arya berubah ketika mendengar bunyi
berdesing nyaring Pendengarannya yang tajam dan pengalamannya
yang luas, membuatnya langsung dapat mengetahui kalau bunyi itu
timbul akibat hentakan tangan bertenaga dalam tinggi! Memang
sosok yang memiliki tangan itu mengirimkan pukulan jarak jauh yang
ampuh. Dan dengan hati kaget, Arya menyadari arah yang dituju
pukulan jarak jauh itu adalah dasar perahunya!
"Lompat, Nek.J"
Arya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali melompat.
Maka sambil mencekal pergelangan tangan Nenek Lestari, dia
melompat keluar dari perahu. Memang disadari tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mencegah pukulan jarak jauh itu.
Brakkk!
Perahu kecil itu kontan hancur berkeping-keping ketika
tubuh Arya dan Nenek Lestari baru saja melompat keluar. Terlambat
sedikit saja, mereka akan terluka cukup parah.
Bum! Byurrr!
Tubuh Arya dan Nenek Lestari langsung tenggelam ke dalam
laut. Memang begitu kerasnya tubuh kedua orang yang berbeda usia
dan jenis kelamin itu meluncur.
Dewa Arak yang sedikit memiliki ilmu bermain di air,
berusaha keras muncul di permukaan. Matanya dicoba dibuka
selebar-lebarnya untuk mencari-cari Nenek Lestari untuk diberikan
pertolongan. Dan hati Dewa Arak pun langsung mencelos, ketika
melihat tubuh nenek berpakaian kembang-kembang itu terus
meluncur ke dasar laut. Rupaya nenek yang hampir pikun itu dalam
cekaman rasa takut, jadi melupakan kepandaiannya. Sehingga dia
tidak bisa meluncur ke atas. Gelembung-gelembung air tampak di
selatar wajahnya, karena nenek ini telah banyak menelan air laut.
Arya menyadari kalau sementara ini tidak bisa memberikan
pertolongan. Dia harus berenang dulu ke permukaan untuk
mengambil napas, baru kemudian menolong Nenek Lestari.
Tapi sebelum maksud Dewa Arak kesampaian, luncuran
tubuhnya ke permukaan terasa tertahan, ketika ada sesuatu yang
mencekal kedua pergelangan kalanya. Pemuda itu menggoyang-
goyangkan kedua kalanya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Namun usaha Arya tidak membuahkan hasil sama sekali.
Sesuatu yang mencekal pergelangan kalanya demikian ulet dan
lengket. Dan celakanya lagi, sesuatu itu malah menarik tubuh Aiya ke
dalam air.
Dewa Arak jadi kelabakan. Saat itu seluruh dadanya seakan
ingin meledak karena udara dalam paru-parunya hampir kosong. Arya
sebisa-bisanya meronta-ronta. Bahkan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'
telah dikerahkan sampai ke puncak untuk membuat sesuatu itu
melepaskan cekalannya. Air di selatarnya jadi bergolak mendidih!
Mula-mula hangat. Namun semakin lama semaian panas. Tapi
sebelum air itu mendidih, pandangan Arya telah berkunang-kunang
Kemudian matanya terasa gelap dan hitam. Pingsan.
Di tempat lain, Nenek Lestari yang tengah terus meluncur ke
dasar laut pun, dicekal sesuatu. Sedangkan Tungga Dewi roboh di
tangan lawannya yang terlalu tangguh untuk dihadapi
***
Ctarr, ctarrr!
Bunyi lecutan keras bertubi-tubi membuat Dewa Arak
mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Pemuda berambut putih
keperakan ini mulai sadar dari pingsannya.
"Hentikan, Manusia-manusia Bodoh! Hentikan...! Kalau dia
mati kalian semua tidak akan bisa hidup tenang! Kalian akan
menerima celaka!"
Seruan-seruan bernada kekhawatiran itu membuat kesadaran
Dewa Arak langsung pulih. Dia bermaksud bergerak, tapi tidak
mampu. Ada sesuatu yang menahan tangan dan kalanya.
Maka Arya melirik, dan langsung maklum. Kini Arya berada
di sebuah tanah lapang luas yang tanahnya berwarna putih seperti
tanah kapur! Pemuda ini berdiri dalam keadaan tidak berdaya, karena
tubuhnya terpancang di sebuah tiang baja yang dibuat sedemikian
rupa sehingga kedua tangan dan kakinya terpentang Dan yang
membuatnya tidak bisa bergerak adalah adanya belenggu baja besar
yang melilit pergelangan tangan dan kakinya, juga pada tubuh dan
lehernya.
Begitu melihat ke sisinya, tampak Tungga Dewi dan Nenek
Lestari pun mengalami hal yang sama. Hanya saja kedua orang itu
belum sadar dari pingsannya. Sekarang Arya tahu, sesuatu yang
mencekal kedua pergelangan kalanya pasti orang-orang yang
melubangi perahu mereka. Setidak-tidaknya kawan merekalah yang
melakukan semua ini.
Perhatian Arya langsung beralih ke depan. Tepat berhadapan
dengannya, tampak dua sosok tubuh juga mengalami hal yang sama
dengannya. Hanya saja, salah seorang dari mereka tengah disiksa
dengan sebuah cambuk berduri! Menilik dari luka-lukanya yang
cukup parah mengalirkan banyak darah, orang itu telah disiksa cukup
lama!
"Cukup!"
Tiba-tiba kembali terdenpr seruan keras berwibawa dari
seseorang berpakaian merah yang duduk di sebuah bangku indah dan
mewah, membuat sosok yang berdiri membelakangi Arya dan dua
rekannya menghentikan ayunan cambuk berdurinya. Setelah melipat
cambuknya, laki-laki botak dan berkulit merah itu berjalan
meninggalkan tempat ini. Lalu dia menjura memberi hormat pada
laki-laki yang duduk di bangku indah dan mewah dengan sikap agung
itu. Di kanan kirinya berdiri dua orang berkulit putih. Sementara, di
selatar tempat itu tampak sosok-sosok berkulit beraneka macam
warna.
Tanpa diberi penjelasan, Arya segera tahu kalau dia dan
kawan-kawannya jatuh ke tangan kelompok orang yang mempunyai
sebuah kerajaan kedi, di pulau yang memiliki tanah kapur ini. Dan
orang yang duduk dengan sikap agung di bangku mewah dan indah
itu pasti rajanya.
Hanya ada satu yang masih menjadi teka-teki bagi Arya,
mengapa kulit tubuh mereka berwarna-warni?
4
Lelaki agung yang duduk di kursi mewah dan indah memberi
isyarat pada lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelah kanannya.
Lelaki berkulit putih itu pun mengayunkan kakinya menghampiri dua
sosok yang terbelenggu di depan Dewa Arak. Dan langkah kaki n ya
berhenti ketika telah berada tepat di depan sosok terbelenggu yang
masih mengucurkan darah.
"Kau membuat kami hilang sabar, Tua Bangka Bau Tanah!
Padahal, apa sih artinya peti itu bagimu?! Mengapa kau bersikeras
mempertahankannya?! Dan sekarang, peti itu telah hilang. Maka, kau
harus bertanggung jawab! Kalau sejak dulu kau memberikannya pada
kami, tentu semua ini tidak akan teijadi. Dan kami tidak akan
melakukan tindakan kekerasan terhadapmu!" kata lelaki berkulit
putih ini.
Sosok yang diajak bicara adalah seorang kakek bertubuh
tinggi. Bahkan terlalu tinggi untuk ukuran manusia. Namun tubuhnya
kurus, seperti tidak memiliki daging saja. Seakan-akan, tulang-
belulangnya hanya dilapisi kulit. Dengan tidak adanya pakaian di
tubuhnya, tampak jelas tonjolan tulang-belulangnya di sana-sini.
Apalagi, dia terbelenggu dengan cara seperti itu. Wajahnya tidak
terlihat jelas, karena menunduk!
"Tidakkah kalian bisa membiarkannya tenang sedikit?! Dia
masih menderita, karena siksaan yang kalian berikan! Percuma saja
berpidato di depannya Dia tidak akan bisa mendengar!"
Terdengar sahutan yang ternyata berasal dari sosok lain yang
terbelenggu di sebelah kiri kakek jangkung kurus Sosok itu yang tadi
mengeluarkan makian-makian, karena tidak tahan melihat kakek
jangkung kurus disiksa. Dia ternyata seorang kakek yang keadaannya
lebih mengenaskankan daripada kakek jangkung. Kakek yang
berangasan ini berpakaian putih longgar. Rambutnya panjang terurai,
dan berwarna putih bagaikan benang-benang perak. Tapi yang
menyedihkan, dia tidak punya kaki kiri, buntung sebatas pangkal
paha.
"Tutup mulutmu, Orang Asing!" Berbareng ucapan itu, lelaki
berkulit putih mengayunkan tangan menampar pipi kakek berkaki
sebelah. Cukup keras tamparannya sehingga menimbulkan bunyi
nyaring. Malah kepala kakek itu sampai terhentak ke samping, denpn
selebar pipi merah bergambar telapak tanpn. Tampak menetes darah
segar dari sudut mulutnya. Tamparan lelaki berkulit putih seperti
kapur itu memang keras, kendati hanya sebagian kecil saja tenaga
dalam dikeluarkan.
"Sekali lagi membuka mulut, kepalamu kuhancurkan," ancam
lelaki berkulit putih bernada sungguh-sungguh.
Lelaki berkulit putih itu kemudian memberi isyarat pada
kerumunan orang yang berkulit warna-warni. Dan dari sana keluar
seorang lelaki berkulit merah. Sambil mengjinjing sebuah tong air dari
bambu di tangan kanan.
Arya merasa jantungnya berdetak jauh lebih cepat, ketika
melihat lelaki berkulit putih dan lelaki berkulit merah itu berjalan
menuju Tungga Dewi yang masih tergolek pingsan. Bisa diduga, untuk
apa air di dalam ember itu.
"Hentikan...!" seru Arya, keras. Lelaki berkulit putih itu
langsung menoleh. Sepasang matanya menatap Arya, memancarkan
sinar berapi. Lelaki ini ternyata memiliki watak aneh, yakni tidak suka
bila tindakannya dicegah orang!
"Tutup mulutmu! Kau akan mendapat gilirannya nanti!"
Bukkk!
"Huldi!"
Kepala Arya agak tertunduk, ketika sodokan tangan lelaki
berkulit putih itu mendarat di perutnya. Seketika rasa mual yang amat
sangat menyerang perutnya. Namun, bukan Dewa Arak kalau menda¬
pat gertakan seperti itu saja langsung mundur.
"Pengecut-pengecut Hina! Kalian rupanya hanya berani
menghadapi wanita yang tidak berdaya, dan terbelenggu! Lepaskan
aku. Dan, man kita bertarung sampai ada yang menggeletak tak
bernyawa!"
Tapi lelaki berkulit putih seperti kapur ini rupanya tidak
berkeinginan untuk meladeni ucapan-ucapan Arya. Lagi pula, dia
tidak merasa nyaman menjatuhkan tangan terhadap orang tidak
berdaya. Dan dia yakin akan menang, bila pemuda berambut putih
keperakan itu dalam keadaan bebas, sekalipun mengajaknya
bertarung.
Byurrr!
Tungga Dewi gelagapan ketika seember air dingin menerpa
tubuhnya. Kebetulan saat ini gadis itu memang sudah hampir sadar,
maka siraman tadi langsung membuatnya sadar.
"Kau kenal dia?!" tuding lelaki berkulit putih.
Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang dituding
lelaki berkulit putih. Hanya sekilas saja. Bahkan sikapnya seperti tidak
peduli. Kemudian kepalanya ditundukkan. Sikap yang ditunjukkan
Tungga Dewi benar-benar merendahkan si Penanyanya sekali.
Lelaki berkulit putih menggemeretakkan gigi saking
marahnya melihat tingkah Tungga Dewi. Dia tahu, gadis berpakaian
kuning itu merendahkan dirinya. Pertanyaannya sama sekali tidak
dianggap. Dia menduga kalau Tungga Dewi berani bersikap demikian,
karena belum mendapat hajaran sama sekali.
Plakkk!
Dengan keras tangan kanan lelaki berkulit putih itu
menghajar telak pipi kanan Tungga Dewi hingga sampai berpaling
dengan pipi kanan berwarna me-fah bergambar telapak tangan. Malah
ada darah yang menetes di sudut-sudut mulut murid Nelayan Tenaga
Gajah ini.
"Sekarang bersikaplah yang sopan terhadapku, sebelum aku
melakukan tindakan lebih keras!" ancam lelaki berkulit putih ini. Dia
yakin kali ini, gadis itu tidak banyak tingkah.
"Cuhhh!"
Hampir terlepas sepasang mata lelaki berkulit putih ini ketika
melihat sambutan yang diberikan Tungga Dewi atas ancamannya.
Dengan beraninya, gadis itu meludah ke tanah.
Arya melihat adanya kilatan ancaman pada sepasang mata
lelaki berkulit putih itu. Dia tahu, saat ini lelaki berkulit putih itu
berada dalam puncak kemarahan karena perasaan tersinggungnya
mendapat hinaan di hadapan orang banyak. Dewa Arak merasa
khawatir sekali akan keselamatan Tungga Dewi! Dia tahu dalam
keadaan seperti itu, lelaki berkulit putih ini mampu bertindak apa
saja!
"Muka Pucat, Manusia Penyakitan! Mengapa kau hanya
beraninya pada seorang wanita?! Kalau bukan pengecut, hadapilah
Arya Buana!" seru Arya untuk mengalihkan perhatian lelaki berkulit
putih dari Tungga Dewi.
Seruan Dewa Arak sama sekali tidak menarik perhatian lelaki
berkulit putih kapur. Dan bahkan, malah menarik perhatian kakek
berkaki sebelah. Padahal, kakek ini tadi berdiri diam dengan mata
terpejam, ketika melihat kakek jangkung disiksa. Dan kini matanya
terbuka dan menatap ke arah pemilik seruan. Seketika dia menjadi
kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat pemuda
dengan ciri-ciri seperti ini pernah dilihatnya di..,
Cermin Ajaib!
"Dewa Arak..!" seru kakek berkaki buntung sebelah denpn
suara terbata-bata. Sungguh tidak disangka akan dapat bertemu
pendekar yang tengah dicarinya, di sini "Bukankah kau, Dewa
Arak...?! Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan?!"
Dewa Arak terpaksa mengalihkan perhatian, menatap kakek
berkaki sebelah. Dia tidak merasa heran melihat orang mengenalnya.
Bukan apa-apa. Julukannya memang telah mengguncangkan dunia
persilatan. Dan ciri-cirinya yang memang khas tentu saja membuat
orang gampang mengenalinya.
"Benar, Kek," jawab Arya sambil mengangguk. Pemuda
berambut putih keperakan ini mencoba tersenyum, kendati saat itu
merasa cemas akan keselamatan Tungga Dewi.
"Apakah kau telah bertemu Guraksa, Dewa Arak?!"
Pertanyaan kakek berkaki sebelah itu membuat Arya yang
tengah memperhatikan Tungga Dewi dan lelaki berkulit putih, jadi
berpikir. Dia berdiam diri beberapa saat lamanya, dan kembali
mengalih kan perhatian pada kakek berkaki sebelah itu.
"Kau..., kau... siapa...?!" Arya yang saat itu tenph
mengkhawatirkan keselamatan Tungga Dewi, tidak mampu berpikir
apa-apa. Dia tidak ingat kalau Guraksa mendapat perintah dari
seorang teman. Benak pemuda berambut putih keperakan ini seperti
buntu.
"Apakah Guraksa tidak menyampaikan pesan padamu?!"
tanya kakek berkaki sebelah kembali.
Pertanyaan Dewa Arak memberi pengertian kalau pemuda
berambut putih keperakan ini telah bertemu Guraksa.
"Aku adalah orang yang menitipkan pesan padanya!" lanjut
kakek itu.
"Kau... kau... Penjaga Alam Gaib?!" duga Arya yang akhirnya
teringat, setelah tercenung sejenak.
"Benar.... Dan..."
Breettt!
Hanya sampai di situ jawaban kakek berkaki sebelah, begitu
di sebelahnya terdengar bunyi kain robek dan jeritan tertahan
bernada kaget dan takut yang amat sangat dari mulut Tungga Dewi!
Lelaki berkulit putih itu ternyata telah merenggut baju
Tungga Dewi di bagian dada hingga robek lebar. Tampak dua bukit
yang indah menggiurkan dan menantang mencuat, seakan-akan
hendak melompat keluar. Begitu putih mulus dan puting yang merah
segar, membuat semua mata terbelalak lebar.
"Hentikan...!" teriak Arya keras.
Lelaki bermuka putih itu tersenyum penuh kemenangan.
"Bagaimana? Apakah kau masih berkeras melanjutkan
sikapmu yang tidak sopan itu, Nisanak?! Ingat, aku bisa bertindak
lebih kasar jika memang kau inginkan!" tandas lelaki berkulit putih
ini.
"Aku..., akan menjawab pertanyaanmu. Tapi, harap kau tidak
melanjutkan perbuatan ini...?!" pinta Tungga Dewi dengan tubuh
menggigil karena perasaan takut yang amat sangat
"Ingat...!" Lelaki berkulit putih seperti kapur langsung cepat
menyambung ucapan Tungga Dewi dengan suara bergetar penuh
tekanan. "Sekali lagi kau bersikap meremehkan, tubuhmu akan habis
dipermainkan sekian banyak lelaki yang berada di sini!"
"Aku..., a ku tidak akan melakukan tindakan itu.... Aku
berjanji...!" Tungga Dewi memberi keyakinan terhadap lelaki berkulit
putih, meskipun dengan suara terbata-bata.
"Bagus! Kuingat janjimu itu!" Lelaki berkulit putih tersenyum
dengan sinar mata memancarkan kemenangan. "Sekarang jawab
pertanyaanku. Apakah kau kenal dengan dia?!"
Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang ditunjuk
lelaki berkulit putih itu. Sekali lihat saja, dia langsung mengangguk.
"Dia merupakan salah seorang dari tiga lelaki berkulit aneh
yang menyerangku dan guruku!" jawab Tungga Dewi, mantap.
"Aku tidak peduli. Yang ingin kuketahui, mana peti yang
kalian perebutkan itu?!"
Bukan hanya Tungga Dewi yang berubah wajahnya. Bahkan
juga Dewa Arak! Kelompok orang berkulit aneh itu rupanya
bermaksud mendapatkan peti itu! Apakah mereka telah mengetahui
isinya pula? Dan kalau benar demikian, mengapa?
"Cepat jawab f' desak lelaki berkulit putih. "Aku bukan sejenis
orang yang sabar! Atau..., kau ingin aku melakukan tindakan yang tadi
belum ku teruskan?!"
"Sabar," Tungga Dewi buru-buru berseru mencegah.
"Bukannya aku tidak mau menjawab. Tapi..., apakah penyerang-
penyerangku dan guruku itu tidak menceritakannya?!"
"Apa maksudmu?! Cepat jelaskan sebelum kesabaranku
hilang!" tandas lelaki berkulit putih.
"Tidak ada seorang pun dari kami atau mereka yang
mendapatkan peti itu!" tegas Tungga Dewi.
"Karena, peti itu telah hilang entah ke mana!"
"Bohong!" teriak lelaki berkulit merah keras.
"Aku tidak bohong!" Tungga Dewi tidak kalah keras berteriak.
"Pantang bagiku untuk berbicara dusta!"
"Diam...!"
Lelaki berkulit putih itu mengeluarkan seruan yang lebih
keras. Rupanya dia jengkel mendengar perdebatan antara Tungga
Dewi dengan lelaki berkulit merah.
"Tapi aku tidak bohong!"
Tungga Dewi yang memiliki watak tidak mau dibantah
langsung menyambuti. Untuk sesaat, dia lupa akan ancaman
hukuman yang akan diterimanya dari lelaki berkulit putih.
"Seorang pemuda berbaju coklat yang mendapatkannya f' jelas
gadis itu.
"Benarkah demikian?!" tanya lelaki berkulit putih pada lelaki
berkulit merah. "Ini..., ini...."
Lelaki berkulit merah yang tidak menyangka akan jawaban
Tungga Dewi, dan juga tidak menyangka akan mendapatkan
pertanyaan seperti itu, jadi kelabakan.
"Itu benar!" Tungga Dewi menyelak. "Itulah sebabnya,
pemuda yang sebenarnya tidak sakti itu menjadi demikian sakti,
sehingga semua yang berada di tempat itu dikalahkannya! Peti yang
kalian maksudkan itulah yang menyebabkannya menjadi demikian
sakti! Roh jahat dari jasad dalam peti itu telah menyusup ke dalam
pemuda berbaju coldat sehingga menyebabkannya menjadi sakti. "
"Roh jahat! Apakah kau tidak keliru bicara atau menjadi gila
karena takutmu?! Peti itu berisi jasad?!" tanya lelaki berkulit putih,
sambil mengernyitkan kening.
"Wanita itu benar!" timpal Penjaga Alam Gaib yang juga
mendengarkan percakapan itu. "Peti itu berisi jasad dari orang jahat!
Itulah sebabnya, Sebrang Wetan tak mau memberikannya pada kalian
dan menjaganya terus, sampai akhirnya kalian berhasil menahannya
secara licik!"
"Diam kau, Pincang!" sentak lelaki berkulit putih, keras penuh
kemarahan! "Aku tidak bertanya padamu! Nisanak! Benarkah peti
itu... maksudku berisi jasad jahat!"
"Memang kau kira apa?! Harta karun?! Pusaka-pusaka orang
sakti? Kau akan kecewa bila menduga demikian!" potong Tungga
Dewi.
"Itulah yang ada di benakmu, Nisanak?" kata lelaki berkulit
putih. Suaranya yang lebih halus, tapi tetap bernada tajam.
"Apa lagi?!" tukas Tungga Dewi. "Apakah kami harus
menduga kalau kau adalah orang yang gemar mengumpulkan benda-
benda antik untuk diletakkan di pulau ini?!"
"Diam!"
Lelaki berkulit putih yang memang berwatak berangasan,
merasakan adanya ejekan di dalam ucapan Tungga Dewi. Maka
amarahnya kembali meledak.
"Atau..., kau ingin aku memberi hukuman?! Katakanlah,
meski kau tidak bersalah. Tapi, kalau kau berani menghinaku, kau
akan menerima balasannya f' ancam laki-laki berkulit putih ini.
Tungga Dewi diam, meski dalam hatinya memaki-maki
kalang-kabut.
"Kau... dan semua orang kawanmu, serta kakek-kakek yang
sudah waktunya mati itu, boleh mendengarkannya. Untuk
membersihkan dugaan jelek yang bersemayam di hati dan di benak
kalian, biarlah aku selaku wakil pimpinan di pulau ini memberi
penjelasan," kata lelaki berkulit putih itu seraya menatap wajah-wajah
tawanannya satu persatu. "Di pulau ini sejak beberapa waktu lalu,
ditimpa bala. Mula-mula hanya seorang yang terkena, dan merasa
mual-mual dan pusing-pusing. Tapi rasa itu langsung menyebar.
Bahkan beberapa orang telah menjadi korban. Menurut wangsit yang
diterima ahli kebatinan kami, penyakit itu merupakan hukuman pada
kami, dari dewa pulau ini. Dan, menurut wangsit pula wabah penyakit
itu akan berhenti apabila berhasil mendapatkan sebuah peti hitam
berukir yang didapatkan oleh kau dan gurumu, Nisanak. Jelas?!"
Hening sejenak setelah lelaki berkulit putih menghentikan
ceritanya. Mereka semua yang ada di sini terdiam.
"Bisa kalian bebaskan aku? Meskipun tidak berani mengaku
ahli pengobatan, tapi sejak masih gadis aku telah bergelimang obat
dan orang salat. Bahkan banyak penduduk yang meminta pengobatan
padaku. Barangkali saja aku bisa menghilangkan bala yang aku yakin
bukan hukuman dewa, tapi penyakit biasa."
Tiba-tiba Nenek Lestari ikut angkat bicara dengan suara
lantang Apalagi karena suasana hening. Maka semua pasang mata
tertuju langsung padanya.
"Aku yakin kejadian seperti yang kau katakan itu bukan
hukuman dewa!" tegas nenek berpakaian kembang-kembang yakin.
"Pasti hanya merupakan seranpn penyakit biasa. Dan apabila diberi
kesempatan aku yakin akan dapat mengobati mereka!"
"Aku terima permintaanmu, Nenek!" sambut lelaki berkulit
putih setelah tercenung sebentar. "Tapi, ingat. Apabila kau tidak
berhasil, kepalamu akan kami pisahkan dari tubuh. Karena, kau telah
berani menghina desa kami. Dan juga, ahli kebatinan pulau ini!
Jelas?!"
"Jelas sekali!" jawab Nenek Lestari, enteng. "Tapi, aku juga
mempunyai sebuah permintaan. Karena, kalian telah memberi syarat
yang terlalu berat untukku."
"Kau berani bermain gila, Nenek! Ingat..!"
"Aku tidak akan mau mengobati! Kalau permintaanku tidak
dipenuhi. Apa pun yang akan kau lakukan terhadapku, aku tidak
peduli. Tapi ingat, itu berarti hilangnya kesempatan bagi mereka
untuk sembuh! Bagaimana? Penuhi permintaanku, atau pengobatan
ini tidak jadi dilakukan?!" nenek berpakaian kembang-kembang kalah
gertak.
"Katakan apa permintaanmu, Nenek!" Sebuah suara keras dan
lantang tapi penuh wibawa tiba-tiba terdengar menggelegar di saat
lelaki berkulit putih tengah dilanda perasaan bimbang untuk
memberikan keputusan.
"Kawan-kawanku ini dibebaskan dari belenggunya. Begitu
pula dengan dua kakek di sana!" jawab Nenek Lestari mantap.
"Gila!"
Pemilik suara penuh wibawa yang ternyata sosok yang duduk
di atas kursi indah langsung menggeram mendengar permintaan
nenek berpakaian kembang-kembang itu.
"Kau mau menipuku, Nenek! Apabila mereka dibebaskan,
mereka akan mengamuk. Bahkan akan sulit untuk menangkapnya
lagi! Dan itukah yang kau inginkan?! Jangan harap permohonanmu
akan kukabulkan!"
"Kau terlalu memandang remeh kami!" tegas Nenek Lestari.
"Kau kira kami orang macam apa? Kami semua adalah orang-orang
golongan putih yang menjunjung tinggi kegagahan. Sekali kami
berjanji, maka akan terus dipegang teguh dan dipertahankan sampai
nyawa lepas dari raga f'
Lelaki bersikap agung yang duduk di kursi indah, tercenung
sejenak. Sebelum akhirnya mengibaskan tangan kanannya.
"Lepaskan mereka! Berikan obat pemulih, agar tenaga mereka
kembali seperti sediakala!"
Dewa Arak dan yang lain-lain sekarang sadar, mengapa tubuh
mereka sejak tadi lemah. Padahal, mereka tidak tertotok sama sekali.
Kiranya, mereka telah dicekoki minuman yang menyebabkan loyo,
tidak bertenaga
5
Arya dan Tungga Dewi memperhatikan saja tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihat Nenek Lestari, Penjaga
Alam Gaib, dan kakek tinggi kurus yang bernama Sebrang Wetan
duduk bersila. Barisan duduk mereka membentuk kedudukan segi
tiga. Tangan kanan teracung ke atas, sedangkan tangan kiri menekan
tanah. Sepasang mata mereka masing-masing terpejam.
Arya dan Tungga Dewi saling berpandang ketika mulai
merasakan bulu-bulu tengkuk mulai berdiri! Hawa gaib yang kasat
mata mulai terasa. Sepasang anak muda ini tahu kalau ilmu-ilmu gaib
ketiga tokoh tua itu telah mulai bekerja. Hanya saja belum terlihat
hasilnya.
Dewa Arak mengedarkan pandangan. Dan diam-diam hatinya
merasa kagum juga terhadap para penghuni pulau ini Mereka
ternyata memejpng janjinya. Penghuni pulau yang memiliki kulit
berwarna-warni itu ternyata langsung membebaskan orang-orang
yang terkena wabah yang dianggap kutukan dewa. Wabah itu ternyata
tidak lain hanya sebuah penyakit biasa. Dan Nenek Lestari tanpa
menemui kesulitan berhasil menemukan obatnya.
Pimpinan pulau ini jadi bergembira, apalagi putri satu-
satunya yang juga terkena wabah penyakit, berhasil pula
disembuhkan. Saking gembiranya, dia menitahkan Nenek Lestari
untuk mengajukan sebuah permintaan. Apabila raja pulau ini mampu,
akan dikabulkan.
Nenek Lestari dan yang lainnya berunding. Dan atas usul
Penjaga Alam Gaib, akhirnya mereka hanya minta sebuah tempat yang
agak tersembunyi, dan tidak ingin diganggu. Maka raja pulau ini pun
menyetujuinya. Dan itulah sebabnya, sejauh Arya mengedarkan
pandanpn, tidak satu pun orang-orang pulau yang terlihat. Lagi pula,
tempat ini memang sukar dilihat orang, terapit dua buah tebing
dengan ketinggian yang berbeda. Pantai yang membentang sekitar
belasan tombak di depan, serta dataran yang bentuknya menanjak bila
ingin masuk ke dalam pulau, yang menjadi penyebabnya. Tempat ini
memang bagian pantai yang hampir tidak pernah dilewati orang!
Berarti raja pulau ini menepati janji!
"Uh!"
Hampir berbarengan, Arya dan Tungga Dewi mengeluarkan
keluhan tertahan, ketika dari atas kepala tiga sosok ringlah yang
berada tak jauh di depan, mengepul asap putih tebal. Tiga asap itu
meliuk-liuk ke atas, sebelum akhirnya bertemu di udara. Langsung
saling melilit dan saling gumpal Tanpa diberitahu, Dewa Arak yang
sudah berpengalaman telah bisa memperkirakan kalau ketip tokoh
yang telah bau tanah ini tengah menyatukan kemampuan.
Byarrr!
Bagai telah disepakati sebelumnya, Arya dan Tungga Dewi
sama-sama melangkah ke belakang karena kaget, ketika di dinding
salah satu tebing yang agak rata tampak sebuah gambar yang jelas!
Ternyata gambar yang tertera di dinding tebing itu adalah gambar...
pemuda bernama Karpala yang telah sakti akibat kemasukan roh
tokoh hitam dari masa lima ratus tahun lalu. Dan konon, tokoh ini
bernama Garba Baureksa!
Meskipun terkejut, Arya masih khawatir. Bahkan hatinya
tegang ketika melihat gambar-gambar lain yang ada. Tokoh hitam
yang menggiriskan itu tengah berhadap-hadapan dengan tokoh lain.
Sosok yang berdiri di depan Garba Baureksa tidak hanya
seorang, tapi dua. Yang seorang adalah kakek kurus kering berwajah
tirus mirip tikus, dan berpakaian dari kulit ular. Usianya tak kurang
dari tujuh puluh lima tahun. Sedangkan sosok yang kedua adalah
seorang gadis berusia selatar dua puluh tahun. Wajahnya cantik jelita,
laksana bidadari. Apalagi dengan rambutnya yang panjang terjurai,
dan pakaian warna putih yang dikenakannya. Terhadap sosok yang
kedua inilah, pandangan Arya tertuju.
"Melati...," desis Arya, tanpa berkedip. Sorot mata dan nada
ucapan pemuda berambut putih keperakan ini sarat denpn
kerinduan.
Tungga Dewi yang berdiri di sebelah Arya tentu saja melihat
sikap itu. Dan terutama sekali ucapan pemuda berambut putih
keperakan ini. Dan Tungga Dewi bukan gadis bodoh yang tidak bisa
melihat perbedaan sikap Arya, ketika melihat gambar gadis
berpakaian putih. Perasaan tidak nyaman mulai timbul di hatinya.
Tiba-tiba saja, tanpa mampu dicegah pdis berpakaian kuning ini.
Bukan hanya itu saja. Malah mendadak, Tungga Dewi merasa tidak
suka terhadap gadis berpakaian putih itu.
"Kau mengenalnya, Arya...?!" tanya Tungga Dewi, agak ketus
nadanya.
Tapi Arya yang tengah merasa kaget karena tidak menyangka
akan melihat Melati yang berhadapan dengan Garba Baureksa, tidak
merasakan nada ucapan dan sikap gadis berpakaian kuning itu. Semua
perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada Melati yang disangka
masih berada di Kerajaan Bojong Gading Masih dengan perhatian dan
sepasang mata tertuju ke sana, Arya mengangguk tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun sebagai jawaban.
Hati Tungga Dewi semakin panas melihat sikap Dewa Arak.
Dengan sorot mata sengit, ditatapnya gambar Melati Apa sih,
kelebihan gadis berpakaian putih itu, sehingga Dewa Aiak kelihatan
demikian lupa diri ketika melihatnya? Tungga Dewi bertanya dalam
hati. Padahal, gadis berpakaian kuning ini yakin kalau kecantikannya
tidak akan kalah!
"Dia memang cantik... " Tungga Dewi berujar dengan suara
dan tarikan wajah kaku. "Tapi, sayang., umurnya tidak akan panjang
Garba Baureksa akan segera mengirimkannya ke alam baka!"
Arya terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang
Wajahnya kontan putih seperti kapur, karena perasaaan cemas yang
menggelegak. Pertemuannya dengan Melati yang tidak diduga sama
sekali, membuatnya tidak teringat kalau saat itu Melati tengah
berhadapan dengan Karpala yang di dalamnya terdapat roh Garba
Baureksa! Ini berarti keselamatan gadis berpakaian putih itu
terancam!
Kesadaran ini membuat Arya jadi seperti kakek-kakek
kebakaran jenggot. Dia ingin bertindak, tapi tak tahu harus berbuat
apa. Di mana, keberadaan Melati dan Garba Baureksa itu saja, belum
bisa diketahuinya. Tempat mereka memang belum terlihat jelas.
Tidak ada yang dapat dilakukan Dewa Arak kecuali
menunggu Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, atau Sebrang Wetan,
selesai dengan kesibukannya. Dan, Arya merasakan sendiri betapa
tidak enaknya menunggu, tanpa ada sesuatu yang dapat dilakukan.
Sementara di dinding tebing, gambar-gambar yang
terpampang mulai menunjukkan ketegangan. Garba Baureksa tampak
mulai bersikap melakukan tindakan terhadap laki-laki kurus yang
ternyata Kuru Sanca dan Melati Tapi, mendadak keadaan jadi
berubah. Garba Baureksa menghentikan ayunan kalanya yang tenph
mendekati Kuru Sanca dan Melati. Pemuda berkumis tipis ini
menolehkan kepala ke kanan. Sementara sepasang matanya yang
berwarna merah seperti mengeluarkan sinar berapi ketika menatap.
"Berani benar kalian, mengintip semua yang tenph
kulakukan?! Apakah kalian sudah kepingin mati cepat-cepat?! Huh?!
Tidak akan kubiarkan kalian mengintai semua gerak-gerikku!"
Garba Baureksa mengguratkan tangannya ke bawah. Dan
akibatnya, semua gambar yang semula terpampang di dinding, lenyap.
"Hhh...!"
Penjaga Alam Gaib, Nenek Lestari, dan Sebrang Wetan hanya
menghela napas berat sambil menghentikan semadi Tarikan wajah
mereka menyiratkan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.
"Apa yang terjadi, Kek, Nek?!" Arya yang sudah tidak sabar
untuk segera mengetahui nasib Melati, langsung menghambur dan
mengajukan pertanyaan.
"Kami tidak bisa lagi mengetahui gerak-gerik makhluk
terkutuk itu. Dia telah berhasil menutupi, atau lebih tepatnya lagi
membuat tabir itu terhapus," jelas Penjaga Alam Gaib, dengan wajah
keruh.
Arya yang mengkhawatirkan keselamatan Melati, seperti
tidak mendengar jawaban itu. Yang ada di benaknya saat ini adalah
Melati.
"Maksudku..., di manakah kira-kira iblis terkutuk itu berada,
Kek?!"
"Kau jangan bertindak sembarangan, Arya."
Penjaga Alam Gaib yang bisa menduga ke mana arah
pertanyaan Arya, langsung memberi teguran. Dia memang sudah
mengenal pemuda berambut putih keperakan itu.
"Iblis itu terlalu berbahaya. Aku tahu, kau lihai. Tapi
kepandaian iblis itu benar-benar di luar jangkauan pikiran manusia.
Kau tidak akan mampu menghadapinya, Dewa Arak Tunggulah,
sampai kami menemukan suatu cara untuk mengalahkannya."
"Kalau menuruti perasaan, aku tidak keberatan untuk
menuruti anjuranmu. Tapi, sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa, karena
di sana seorang kawan terbaikku tengah berada dalam ancaman maut.
Dia tengah berhadapan dengan iblis jahanam itu!" ujar Arya.
"Gadis berpakaian putih itu?!" tebak Penjaga Alam Gaib,
sambil tersenyum getir.
"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Kek?!" tanya Arya,
agak heran.
"Mudah saja," jawab Penjaga Alam Gaib sambil mengelus-elus
jenggot. "Saat itu, yang berhadapan dengan iblis jahanam hanya dua
orang. Kakek berpakaian kulit ular itu adalah kawanku. Maka kawan
yang kau maksudkan itu pasti yang lain. Karena, kawanku itu tidak
mengenalmu, Dewa Arak!"
"Ah! Begitu kiranya?!" Arya mengangguk-angguk maklum.
"Apakah kau tidak mengkhawatirkan keselamatannya, Kek?!"
"Tidak ada yang dapat kulakukan, Arya," keluh Penjaga Alam
Gaib. "Andaikata aku menyusul ke sana dan berusaha menolong,
hanya akan menambah korban. Biarlah aku berusaha dari sini. Hanya
saja, ada sesuatu yang memberatkan pikiranku."
"Boleh kutahu, Kek?!" hati-hati sekali Arya memberi
tanggapan.
"Tentu saja, Arya," tukas Penjaga Alam Gaib. "Sebelumnya
hendak kuberitahukan, kalau aku mempunyai dua kawan
sepengasingan. Kami menyepi bersama-sama. Karena suatu sebab, aku
terpaksa menuju Pulau Setan. Sementara Guraksa menemuimu, Kuru
Sanca kawanku yang berompi ular itu, menjaga goa tempat kami
menyepi. Karena di dalam goa terdapat sebuah benda pusaka, benda
warisan leluhurku, yang bernama Cermin Ajaib. Aku yakin, dia tidak
akan meninggalkan tempat penjagaan kalau tidak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan."
"Jadi.., Kuru Sanca telah meninggalkan tempat penjagaan,
Kek?!"
Penjaga Alam Gaib mengangguk.
"Benda itu amat berbahaya, apabila terjatuh ke tangan orang
yang tidak bertanggung jawab. Dan kegunaan Cermin Ajaib untuk
menghadapi roh yang menitis pada murid Perguruan Pedang
Halilintar, belum diketahui tapi yang jelas, benda itu berguna. Entah
apa sebabnya, Kuru Sanca sampai meninggalkan tempat penjagaan
dan berada di sekitar Hutan Jati."
"Biar aku yang akan menengok Cermin Ajaib itu, Kek.
Sekaligus, aku hendak melihat keadaan mereka berdua. Mudah-
mudahan saja mereka tidak menjadi korban kebiadaban Garba
Bau reksa!" ujar Arya cepat menawarkan diri.
Penjaga Alam Gaib tercenung sebentar, sebelum akhirnya
mengangguk.
"Baik juga usulmu itu, Arya."
Kemudian secara ringkas tapi jelas, Penjaga Alam Gaib
memberitahukan tempat penyepiannya selama ini, dan juga tempat
Garba Baureksa saat ini berada.
"Kalau begitu, sekarangjuga kami akan berangkat, I<ek Nek,"
Arya langsung berpamit
"Biar aku mengantarmu, Arya!" Tungga Dewi menawarkan
diri.
"Tapi, Tungga Dewi...."
"Kebetulan, aku juga hendak mencari guruku, Arya. Aku
hendak ke pantai. Dari pada kita sendiri-sendiri, lebih baik bersama-
sama. Dan lagi dengan adanya aku, kau tidak akan repot-repot men¬
cari arah menuju ke pantai lagi. Bagaimana?!... Setuju?!"
Arya hanya bisa mengangkat bahu. Dia tahu, menolak lagi
hanya akan mempermalukan Tungga Dewi. Dan gadis berpakaian
kuning itu bisa salat hati. Arya hanya berharap, Tungga Dewi segera
bertemu gurunya. Paling tidak agar gadis berpakaian kuning itu tidak
mendapatkan alasan lagi untuk pergi bersamanya.
***
Deru napas memburu mengiringi ayunan kaki seorang gadis
berpakaian putih yang tengah berlari-lan. Ayunan kalanya tidak
beraturan, seperti tidak memperhatikan sekelilingnya. Wajahnya
tampak tegang bukan main. Tapi, tidak terlihat sedikit pun adanya
peluh yang mengalir. Memburunya napas gadis berpakaian putih ini
bukan karena lelah, melainkan karena perasaan takut yang sangat dan
tegang.
Suatu keanehan lagi, gadis berpakaian putih itu berlari tidak
melalui jalan tanah terbuka, serta enak dilalui Yang ditempuh malah
tempat-tempat yang banyak dipenuhi kerimbunan semak lebat.
Bahkan di antaranya mempunyai duri-duri tajam, siap mengoyak
kulit.
Gadis berpakaian putih sampai melentingkan tubuh ke depan,
seiring jeritan kaget dari mulutnya. Sewaktu hendak menerobos
kerimbunan pepohonan dan semak-semak di depannya, tiba-tiba
telah berdiri sesosok bayangan coklat.
Sosok bayangan yang menempuh arah berlawanan pun kaget
juga. Terbukti dia pun melenting ke belakang, dan mengeluarkan
seruan kaget pula. Masing-masing pihak berjungkir balik di udara be¬
berapa kali, sebelum akhirnya menjejakkan kala di tanah.
"Ah! Kau..., Dara...!"
"Kiranya kau, Melati Mengejutkan aku saja. Kukira tadi
kelinci!" sosok berpakaian coklat yang membuat gadis berpakaian
putih, kaget ikut pula membuka suara. Dia ternyata Dara. Sementara,
gadis berpakaian putih tak lain dari Melati.
Dua gadis yang sama-sama cantik berkepandaian tinggi ini,
saling tatap. Sepasang mata mereka satu sama lain menelusuri dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
"Mengapa kau sendiri saja, Melati?! Mana Kuru Sanca?!" tanya
Dara, setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Dan ternyata Melati hanya sendiri saja. Tapi, selesai
mengajukan pertanyaan dia baru melihat keadaan Melati.
"Kau... Melati, wajahmu demikian pucat. Apa yang terjadi?"
tanya Dara lagi.
"Tokoh yang tidak patut menjadi seorang manusia, mengejar-
ngejarku! Dia memiliki kepandaian mengerikan! Bahkan Kakek Kuru
Sanca telah tewas di tangannya dengan mudah f' jelas Melati.
"Ah...! Begitukah...?!"
Tanpa disuruh Melati segera menceritakan pengalamannya
bersama Kuru Sanca.
***
Dalam perjalanannya bersama Kuru Sanca, yakni ketika
mereka berpisah dengan Dara, Melati menceritakan kalau sedang
mencari seorang pemuda berambut putih keperakan yang memang
Dewa Arak.
Mendengar julukan Dewa Arak disebut, Kuru Sanca terkejut,
karena seorang kawannya justru sedang bertugas mencari Dewa Arak,
yang memang sangat dibutuhkan.
Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak Di
tengah perjalanan, Kuru Sanca dan Melati bertemu Karpala, alias
Garba Bau reksa. Maka, terjadilah pertarungan yang menyebabkan
Kuru Sanca tewas. Sedangkan Melati masih untung bisa meloloskan
diri, ketika Garba Bau reksa dengan tenaga batinnya mampu melempar
tubuhnya. Untung Melati jatuh du tempat yang empuk, dan langsung
melarikan diri. Setelah menyadari kalau Garba Baureksa tak mungkin
bisa dihadapi
"Itulah pengalamanku, Dara. Aku tidak yakin kalau makhluk
iblis itu akan melepaskanku begitu saja! Kurasa dia masih mengejarku.
Bahkan bukan tidak mungkin dapat muncul di sini secara tiba-tiba f'
Melati men^khiri ceritanya sambil menoleh ke sana kemari.
"Tidak salahkah ciri-ciri yang kau sebutkan itu, Melati?!"
tanya Dara tanpa mempedulikan kekhawatiran Melati. "Benarkah dia
mengenakan pakaian coklat, pemuda tampan, bertubuh tepp berisi,
dan berkumis tipis."
"Benar, Dara. Aku yakin betul demikian ciri-cirinya. Bahkan,
maaf aku melihat adanya tanda yang sama pada bagian dada kiri
pakaiannya. Maksudku, tanda yang sama dengan yang ada di
pakaianmu! Pedang dan kilatan-kilatan halilintar!" tegas Melati yakin.
"Apakah dia pun berasal dari Perguruan Pedang Halilintar pula seperti
halnya dirimu?!"
"Kalau aku tidak salah mengira-ngira, orang itu adalah yang
menyebabkan aku keluar ke dunia persilatan! Ka... Karpala...," desah
Dara sambil menundukkan kepala.
"Kau...?!" Melati membelalakkan sepasang matanya. "Jadi...,
tujuanmu sama denganku?! Mencari..., ngg... kawan baik?!"
Dara mengangguk, setelah terlebih dulu menatap Melati
sekilas. Dia kelihatan malu sekali mengakuinya. Tapi, Melati menjadi
penasaran karenanya.
"Apakah setiap murid Perguruan Pedang Halilintar memiliki
ilmu kepandaian setinggi itu?!" desak Melati.
Gadis ini memang hampir tidak percaya kalau pemuda
berkumis tipis yang membuat Kuru Sanca tewas, dan bahkan
mengalahkan dirinya secara mudah, adalah seorang murid Perguruan
Pedang Halilintar! Kalau muridnya saja memiliki tingkatan seperti itu,
bagaimana pula dengan gurunya? Sukar bagi Melati untuk
memikirkannya.
"Itulah yang mengherankan aku, Melati," desah Dara disertai
hembusan napas berat. "Kalau melihat ciri-ciri yang kau sebutkan,
orang itu pasti murid Perguruan Pedang Halilintar yang kucari,
Karpala. Tapi, mungkinkah kepandaiannya setinggi itu?
Sepengetahuanku, kepandaiannya biasa saja. Bahkan masih berada di
bawahku. Jadi tidak mungkin dia dapat mengalahkan Kuru Sanca dan
kau. Apalagi, dengan cara seperti itu! Di perguruan kami tidak ada
pelajaran ilmu-ilmu seperti itu."
Melati terdiam. Dara juga diam. Suasana menjadi hening sejenak.
"Bagaimana kalau kita ke sana dan menjumpainya? Barangkali
saja dia itu benar Karpala. Dan jika benar, aku akan menegurnya.
Bahkan mungkin memberikan hajaran atas tindakannya yang
demikian lancang!"
Melati jadi bimbang, tapi hanya sesaat. Dia adalah seorang
gadis yang memiliki watak keras. Melihat Dara berani, mengapa dia
tidak? Maka, walaupun hatinya masih diliputi kengerian, kepalanya
mengangguk.
Dua gadis yang sama-sama cantik, dan berkepandaian tinggi
ini pun melesat menuju ke tempat dia dan Kuru Sanca bertemu Garba
Baureksa. Melati bertindak sebagai petunjuk jalan. Dan karena tempat
itu tidak terlalu jauh, sebentar saja mereka telah tiba.
Harapan Melati dan Dara langsung buyar ketika tidak
menemukan adanya Garba Baureksa di sana. Tokoh yang
menggiriskan hati itu telah tidak berada lagi di situ. Yang tinggal
hanya Kuru Sanca dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya tergolek
dan berkubang darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinga.
Melati dan Dara bergegas mendekati, dan duduk bersimpuh
di dekat mayat Kuru Sanca. Akhir kehidupan seorang datuk kaum
sesat yang telah mengasingkan diri ini demikian menyedihkan. Kedua
gadis muda ini termenung dengan raut wajah menyiratkan kedukaan.
Susah payah diselamatkan, toh akhirnya Kuru Sanca tewas juga.
Cukup lama Dara dan Melati termenung sebelum akhirnya
bangkit dan bersama-sama menguburkan mayat Kuru Sanca.
***
"Hhh...! Kupikir kau mampus di tengah jalan, Bongsang!"
sambut seorang kakek berkulit hitam legam, berambut keriting Dan
dia hanya mengenakan cawat. Tampak jelas adanya nada teguran di
dalamnya.
"Maaf, Setan Hitam. Aku terlambat. Ada halangan sebentar di
jalan, tapi telah berhasil kulewati," jawab sosok laki-laki tua berkulit
hitam dan berhidung melengkung yang dipanggil Bongsang. Ayunan
kakinya langsung dihentikan setelah berada berjarak beberapa
tombak dari kakek berkulit hitam legam yang tak lain dari Setan
Hitam Tak Berjantung.
Bukan hanya Bongsang yang berhenti di depan Setan Hitam
Tak Berjantung, tapi juga seekor macan tutul. Binatang buas itu
berdiri dengan sikap sangar.
"Hmh...!" Setan Hitam Tak Berjantung mendengus. "Dan kau
terpontang-panting karenanya, bukan?!"
"Kau tidak usah mengejekku, Setan Hitam!" sangah Bongsang
tak kalah keras. "Apakah kau hendak menyembunyikan kegagalan
usahamu?!"
"Apa maksudmu, Bongsang?! Jangan berbelit-belit!" sentak
Setan Hitam Tak Berjantung.
"Hambatan yang kutemukan di tengah jalan adalah Kuru
Sanca. Dan aku pasti akan berhasil membunuhnya, kalau saja tidak
datang penolongnya. Kau tahu, siapa mereka?!"
Setan Hitam Tak Berjantung sama sekali tidak memberi
tanggapan. Tapi, Bongsang tidak menjadi kedi hati.
"Orang-orang yang menghalangi tugasku adalah Dewa Arak
dan si Pedang Halilintar Sakti!" dusta Bongsang sambil mengamati
selebar wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dia yakin, kakek
berambut keriting itu akan terkejut.
Setan Hitam Tak Berjantung memang terkejut mendengar
pemberitahuan itu. Namun, dengan pandai dia dapat
menyembunyikannya. Sehingga perubahan di wajahnya tidak tampak.
Namun, pandangan mata Bongsang yang tajam tidak dapat ditipu. Dia
dapat melihat dengan jelas kalau Setan Hitam Tak Berjantung
terkejut.
"Si Pedang Halilintar Sakti yang sombong itu?! Dia bukan
apa-apa bagiku sekarang Mungkin, dulu termasuk lawan yang berat.
Tapi sekarang? Jangankan dia, Kuru Sanca saja tidak kuat
menghadapiku!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung datar.
"Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak?!"
Bongsang agak jengkel melihat sikap Setan Hitam Tak
Berjantung yang meremehkan. Padahal kakek berhidung melengkung
ini tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung dilanda keterkejutan yang
amat sangat
"Dia?! Apalagi dia?! Bukti-bukti nyata mengenai
kepandaiannya belum pernah kurasakan sendiri. Hanya kabar saja
yang besar! Biasanya, kabar selalu dilebih-lebihkan, daripada
kenyataan! Aku yakin, dia bukan lawan berat!" tandas Setan Hitam
Tak Berjantung dengan sikap tidak peduli.
"Syukurlah kalau demikian, Setan Hitam!" ujar Bongsang
menutupi rasa jengkelnya. "Sekarang aku bisa lega, karena kau akan
dapat mengalahkan mereka. Aku bisa memusatkan seluruh
perhatianku pada Cermin Ajaib. Dan kau yang akan menghadapi
kedua orang itu, karena mereka tengah dalam perjalanan menuju
kemari! Asal kau tahu saja, Setan Hitam! Kepandaian Dewa Arak jauh
lebih tinggi daripada si Pedang Halilintar! Padahal, si Pedang
Halilintar yang sombong itu telah mencapai kemajuan luar biasa, bila
dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Kuru Sanca, bukan apa-apa
baginya! Selamat bertugas!"
Lalu dengan sikap seakan tidak peduli, Bongsang
mengayunkan kaki menuju mulut goa yang berada di belakang Setan
Hitam Tak Berjantung. Sementara macan tutulnya yang setia,
langsung mengikuti.
"Tunggu sebentar, Bongsangf'
Cegahan Setan Hitam Tak Berjantung membuat Bongsang
menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Setan Hitam?!"
Bongsang menahan rasa gembira di hati karena tahu kalau
Setan Hitam Tak Berjantung telah terkena tipuannya.
"Tidak apa-apa," Setan Hitam Tak Berjantung menggelengkan
kepala. "Tapi ketahuilah, Bongsang. Goa itu telah diracuni Kuru Sanca
sebelum melarikan diri secara curang dari tanganku. Tiga orang anak
buahku yang kusuruh masuk ke sana telah tewas. Mereka hanya
mengeluarkan jeritan tertahan sebagai tanda kalau telah melayang ke
alam baka."
Bongsang menutupi rasa jengkelnya yang kembali meluap.
Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar membuatnya kesal.
"Lalu..., yang lainnya ke mana?!"
"Gentong-gentong kosong tak berguna bekas anak buah si
Keparat Kuru Sanca telah habis di makan ular-ular peliharaan tua
bangka itu. Hanya murid-murid utamanya saja yang berhasil selamat,
karena kebetulan saja tidak bertemu macan ompong itu! Mereka
kusuruh menjemput kawan-kawan bekas anak buah Guraksa, dan
mencari raga si Tokoh Sakti masa lima ratus tahun lalu itu," jelas
Setan Hitam Tak Berjantung, panjang lebar.
"Jadi, sekarang hanya tinggal kau di sini, Setan Hitam?"
"Benar." Setan Hitam Tak Ber jantung mengangguk. "Kalau
kau mampu menangkal racun Kuru Sanca, lebih baik kita masuk
bersama-sama. Dengan masuk bersama, kita akan lebih cepat
mengetahui di mana adanya Cermin Ajaib."
Bongsang menyeringai untuk menutupi rasa jengkelnya. Dia
tahu, Setan Hitam Tak Beijantung merasa gentar menunggu sendiri di
luar goa ketika mendengar Dewa Arak dan Pedang Halilintar Sakti
akan datang kemari. Tapi dengan pandainya, kakek berambut keriting
itu memutarbalikkan alasan sehingga kegentarannya tidak kentara
Memang, sebenarnya Setan Hitam Tak Berjantung merasa
gentar mendengar Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti hendak
menyatroni tempat ini. Apalagi yang dihadapi dua orang. Bagaimana
mungkin dia dapat menghadapinya?
"Berhenti...!"
Terdengar suara bentakan keras yang membuat sekitar
tempat itu bergetar hebat, ketika Setan Hitam Tak Berjantung dan
Bongsang hendak mengayunkan kala menuju ke mulut goa.
Bagai telah disepakati sebelumnya, Setan Hitam Tak
Berjantung dan Bongsang berbalik. Seketika benak Setan Hitam Tak
Berjantung telah terlontar dugaan kalau orang yang mengeluarkan
seruan adalah salah satu dari dua tokoh sakti yang diceritakan
Bongsang. Jadi, si Pedang Halilintar Sakti dan Dewa Arak telah tiba di
sini demikian cepat.
Sepasang alis Setan Hitam Tak Berjantung berkerut, ketika
melihat dua sosok yang berlari cepat mendekati tempatnya. Memang
terdiri dari dua sosok. Tapi kakek berambut keriting ini tahu pasti ka¬
lau si Pedang Halilintar Sakti tidak berada di antara keduanya.
Hanya dalam sekejap dua sosok itu telah berjarak empat
tombak dari Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang yang masih
tetap berdiri, tanpa bertindak apa-apa kecuali menatap tajam.
"Kau pasti Dewa Arak! Bukankah dugaanku tidak salah?!"
tanya Setan Hitam Tak Berjantung, setelah memperhatikan sosok
yang satu penuh selidik, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sosok yang satu lagi, tidak terlalu diperhatikan. Karena, hanya
seorang gadis muda yang tidak memiliki kesan apa-apa.
Sosok yang diperhatikan Setan Hitam Tak Berjantung
memang Dewa Arak. Sedangkan gadis yang berada di sebelahnya, tak
lain dari Tungga Dewi. Keduanya memang datang pada saat yang
tepat.
"Dugaanmu tidak salah, Kek," jawab Aiya, t-nang. "Boleh
kutahu, siapa dirimu?!"
"Dia..., Setan Hitam Tak Berjantung Arya," bisik Tungga
Dewi.
Gadis itu bisa mengenali karena telah mendengar penuturan
gurunya. Nelayan Tenaga Gajah, mengenai datuk-datuk persilatan dan
tokoh-tokoh terkenal lainnya berikut ciri-drinya. Dan karena melihat
ciri-cirinya, Tungga Dewi bisa menduga kalau kakek berambut
keriting itu tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung.
7
"Ha ha ha...!"
Setan Hitam Tak Berjantung tertawa bergelak. Perhatiannya
langsung beralih pada Tungga Dewi yang sejak tadi tidak masuk
hitungannya. Kebenaran tebakan Tungga Dewi membuat Setan Hitam
Tak Berjantung mulai menaruh perhatian. Jarang ada orang muda
yang mengenali julukannya. Kalau Tungga Dewi mengenalnya, berarti
gadis ini tak bisa dianggap sembarangan.
"Siapa kau, Cah Ayu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!"
"Guruku, Setan Hitam! Beliau banyak bercerita tentang
dirimu!" jawab Tungga Dewi, lantang.
"Setan Hitam Tak Berjantung!" tukas Arya, yang sudah tidak
sabar lagi melihat perdebatan itu. "Apa maksudmu hendak memasuki
goa yang tengah ditinggalkan pemiliknya?!"
"Apa pedulimu, Dewa Arak?!" tantang Setan Hitam Tak
Berjantung. "Apa hakmu melarangku?!"
"Aku mempunyai wewenang dari pemilik goa ini untuk
menjaga kesuciannya dari tangan-tangan kotor orang-orang
semacammu!"
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Tahukah kau, siapa
pemilik goa ini sebenarnya?!" Bongsang yang menyambuti ucapan
Arya.
"Tentu saja!" jawab Arya, cepat. "Beliau berjuluk Penjaga Alam
Gaib!"
"Ha ha ha...!"
Tawa Bongsang semakin keras. Bahkan Setan Hitam Tak
Berjantung sekarang ikut-ikutan tertawa, menambah ramai suasana.
Tinggal Dewa Arak dan Tungga Dewi yang menatap semua itu denpn
perasaan geram.
"Tak kusangka kalau Dewa Arak yang terkenal
menggemparkan dunia persilatan, tak lebih dari manusia bodoh yang
mudah dikelabui! Penjaga Alam Gaib telah ratusan tahun meninggal
dunia! Dan tahukah kau orang yang menjadi keturunan terakhir,
murid terakhir pewaris tempat ini?! Pewaris Cermin Ajaib?!"
Dewa Arak dan Tungga Dewi saling berpandangan. Mereka
tidak memberikan tanggapan sama sekali, karena ingin
mendengarkan ucapan Setan Hitam Tak Berjantung lebih jauh. Kedua
anak muda ini memang telah merasakan adanya keanehan itu.
Sepengetahuan mereka, julukan Penjaga Alam Gaib telah ada ratusan
tahun lalu. Bahkan paling tidak tiga ratus lima puluh tahun lalu.
Mungkinkah ada orang yang berusia sampai setua itu? Perasaan curiga
pun mulai bersarang di hati Dewa Arak dan Tungga Dewi terhadap
Penjaga Alam Gaib yang telah dikenal selama ini!
"Akulah keturunan terakhir murid Penjaga Alam Gaib itu,
Dewa Arak!" Bongsang melangkah maju sambil membusungkan dada.
"Akulah pewaris goa ini beserta Cermin Ajaib-nya. Sedangkan Penjaga
Alam Gaib yang kau kenal, merupakan secrang penipu! Dia mengaku-
aku saja!"
Dewa Arak terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan
ini bingung harus bersikap bagaimana.
"Kau pun penipu pula, Kakek Berhidung Burung!" celetuk
Tungga Dewi, nyaring
Sepasang mata Bongsang berkilat. Dia paling tidak suka kalau
ada orang yang menyinggung-nyinggung hidungnya. Apalagi, sampai
memaki-makinya. Tapi saat ini, keingintahuannya lebih besar
daripada kemarahannya. Maka hatinya dikuat-kuatkan.
"Mengapa kau berkata demikian, Wanita Liar f'
"Mudah saja!"
Tungga Dewi langsung bertolak pinggang. Sedangkan Arya
yang juga ingin tahu apa yang hendak dikemukakan gadis berpakaian
kuning ini jadi ikut memasang telinga, seperti halnya Setan Hitam Tak
Berjantung.
"Bukankah kau mengatakan kalau Penjaga Alam Gaib telah
lama meninggal dunia, ratusan tahun yang lalu? Lantas, mengapa kau
bisa menjadi ahli warisnya?! Berarti kau pun berdusta f'
Bongsang menggertakkan gigi Pernyataan Tungga Dewi
benar-benar membuatnya kehabisan akal. Dia tidak tahu, harus bicara
apa sekarang.
"Mengapa harus repot-repot lagi, Bongsang! Bunuh saja gadis
itu. Habis perkara! Biar aku yang akan membereskan Dewa Arak!"
Begitu mulutnya terkatup, Setan Hitam Tak Berjantung
langsung menerjang Dewa Arak. Dia melompat ke atas Dan di saat
tubuhnya masih berada di udara, kaki kanannya ditendangkan ke arah
wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
Wuttt!
Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang
yang paling keras itu hanya mengenai tempat kosong, ketika Arya
merendahkan tubuhnya. Sedangkan Tungga Dewi, meski tidak
menjadi sasaran serangan, langsung melompat ke kanan dan menjauh.
Dia tahu kedahsyatan serangan itu. Namun sebentar kemudian, gadis
ini segera menyambut serangan Bongsang.
Di lain pihak Dewa Arak kembali mendapatkan seranpn
susulan. Kali ini berupa tamparan ke arah pelipis yang diikuti bunyi
mencicit nyaring. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak
berusaha menghindar. Dan begitu serangan hampir mendarat di
pelipisnya, tangannya langsung bergerak cepat
Pyarrr!
Kaki kanan Setan Hitam Tak Berjantung bergerak cepat,
menendang ke arah wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
Wutttl
Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang
yang paling keras itu mengenai tempat kosong, ketika Dewa Arak
merendahkan tubuhnya.
Dua telapak tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi berbenturan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar
seperti halilintar menyambar. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sa-
ma-sama terdorong ke samping. Namun, Setan Hitam Tak Berjantung
agak terhuyung-huyung dan kelihatan mengalami sedikit kesulitan
untuk cepat memperbaiki kedudukannya.
"Rupanya kau lihai, Dewa Arak! Pantas sikapmu demikian
sombong, berani menyatroniku!" desis Setan Hitam Tak Berjantung
ketika telah berhasil memperbaiki kedudukan. "Tapi kau jangan besar
hati dulu! Lihat ini!"
Kakek berambut keriting ini kemudian menggosok-gosokkan
telapak tangannya satu sama lain. Tak lama kemudian, sekitar tempat
pertarungan mulai diliputi hawa dingin. Semakin lama hawa itu
semakin menguat.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu,
lawannya telah menggunakan ilmu andalan. Maka tanpa membuang
waktu lagi, guci arak yang senantiasa tersampir di punggung langsung
dituangkan ke mulutnya.
Gluk, glul<, glukkk!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke pemt. Sesaat
kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung. Ini
menjadi pertanda kalau Ilmu 'Belalang Sakti' telah siap untuk
dipergunakan.
"Itukah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat,
bagaimana bila diperbandingkan dengan ilmu 'Angin Salju' milikku!"
dengus Setan Hitam Tak Berjantung.
"Hih!"
Hembusan angm dingin yang membekukan tulang langsung
berhembus ketika Setan Hitam Tak Berjantung mendorongkan kedua
telapak tangannya yang terbuka. Bahkan Tungga Dewi dan Bongsang
yang bertarung dalam jarak beberapa tombak dari tempat Setan
Hitam Tak Berjantung dan Arya berada, merasakan sendiri dinginnya
angin yang berhembus. Maka mereka langsung melompat menjauh.
Kalau Tungga Dewi dan Setan Hitam Tak Berjantung saja
merasa kedinginan, apalagi Arya yang menjadi sasaran serangan.
Serbuan hawa dingin yang bertiup jauh lebih dahsyat.
Namun, Dewa Arak bukan orang sembarangan. Apalagi
'Tenaga Sakti Inti Matahari'-nya. Maka, buru-buru Dewa Arak
mengerahkan tenaga sakti itu, dan melakukan gerakan mendorong.
Bluppp!
Bumi bagai bergetar, ketika dua tenaga sakti yang berlainan
hawa berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Setan Hitam Tak
Berjantung terhuyung dua langkah dan hampir terpelanting Untung
dia buru-buru memperbaiki kedudukannya. Hal seperti itu tidak
dialami Arya meskipun juga terhuyung dua langkah. Dirasakannya
aliran hawa dingin sempat menyelinap lewat kedua tanjpnnya.
Sedangkan Setan Hitam Tak Berjantung merasakan aliran hawa panas.
Namun dengan tenaga khas masing-masing pihak, serangan aliran
hawa bisa dipunahkan.
Dan, begitu masing-masing pihak telah berhasil mengusir
hawa yang merayap, kedua tokoh tingkat tinggi ini melanjutkan
pertarungan kembali. Masing-masing mengerahkan seluruh
kemampuan. Pemuda berambut putih keperakan ini berusaha agar
secepat mungkin dapat mengalahkan Setan Hitam Tak Berjantung
Apalagi, dia juga khawatir kalau Tungga Dewi akan segera roboh di
tangan Bongsang.
Kekhawatiran Dewa Arak memang beralasan. Tungga Dewi
memang bukan tandingan Bongsang. Gadis berpakaian kuning itu
hanya mampu menandingi lawannya sampai dua puluh jurus. Lewat
dari itu, gadis ini mulai terdesak. Terpontang-panting ke sana kemari
untuk menyelamatkan selembar nyawa.
Di kancah pertarungan antara Dewa Arak dengan Setan
Hitam Tak Berjantung, pertarungan berlangsung a lot. Namun berkat
kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', dan Dewa Arak mulai menguasai
kancah pertarungan. Secara perlahan-lahan Setan Hitam Tak
Berjantung mulai terdesak.
Berkat keunggulannya terhadap Setan Hitam Tak Berjantung
Dewa Arak mampu sesekali memberikan bantuan, agar Tungga Dewi
tidak terlampau terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu
terkadang meninggalkan lawannya dan melancarkan seranpn
terhadap Bongsang. Atau, mendong menangkiskan seranpn
Bongsang yang sulit dihadapi Tungga Dewi Bantuan seperti ini
memang tidak penuh, tapi cukup bagi Tungga Dewi untuk bertahan
agak lama
"Aha...! Kiranya kau di sini, Dewa Pengecut...!" Tiba-tiba
ucapan bernada penuh kegembiraan berkumandang di sekitar tempat
itu. Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, sesosok bayangan coklat
berkelebat, dan langsung menangkis serangan Dewa Arak yang tenph
tertuju pada Setan Hitam Tak Berjantung.
Plakkk!
Sosok berpakaian coldat dan Dewa Arak sama-sama
terhuyung. Hanya saja, Dewa Arak terdorong dua langkah, sedangkan
bayangan coldat itu tiga langkah.
Munculnya sosok bayangan coldat itu membuat pertarunpn
antara Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung langsung terhenti.
Baik Arya maupun kakek berambut keriting itu ingin tahu, sosok yang
telah ikut campur dalam pertarungannya.
"Rupanya kau, Pedang Halilintar Sakti," desah Setan Hitam
Tak Berjantung dengan wajah tegang, ketika mengenali laki-laki tua
yang bersikap agung dan masih terlihat gagah. Sepasang mata dan
pancaran wajah kakek berpakaian coldat ini menyiratkan rasa
merendahkan orang lain.
Setan Hitam Tak Berjantung merasa khawatir. Karena
sepengetahuannya, berdasar cerita Bongsang, Dewa Arak, dan Pedang
Halilintar Sakti berkawan baik. Tapi, ada sedildt hal yang
mengherankan, ternyata keadaan itu tidak seperti yang dikatakan
Bongsang. Ucapan dan sikap Pedang Halilintar Sakti menunjukkan
rasa permusuhan pada Dewa Arak. Dengan hati berdebar tegang
Setan Hitam Tak Berjantung memperhatikan tingkah kedua tokoh
sakti itu.
"Kau Setan Hitam Tak Berjantung, eh?! Apa urusanmu hingga
bentrok dengan Dewa Sombong yang sok ini? Menyingkirlah
sebentar. Biar aku yang akan menyelesaikan umsanku lebih dulu de¬
ngan Dewa Sombong ini!" sambut Pedang Halilintar Sakti, yang
memiliki watak angkuh dengan sikap tidak peduli.
Setelah berkata demikian, Pedang Halilintar Sakti
mengalihkan perhatian pada Dewa Arak.
"Sekarang ldta buat perhitungan, Dewa Sombong! Jangan
mentang-mentang memiliki kepandaian dengan julukan yang
menggemparkan dunia persilatan seenaknya saja kau campuri urusan
perguruanku. Bahkan kau telah memberi pelajaran terhadap tiga
orang muridku! Mereka memang bukan apa-apa. Nah! Sekarang, aku,
guru mereka ada di sini. Coba kau berikan pelajaran yang telah kau
lakukan terhadap tiga orang muridku!"
"Maaf, Pedang Halilintar Sakti," ucap Arya penuh rasa tidak
enak.
Dewa Arak menyadari tindakannya yang salah beberapa
waktu lalu. Apalagi dia tahu kalau si Pedang Halilintar Sakti termasuk
seorang datuk golongan putih. Dan Dewa Arak pun semakin tidak
enak hati, namun bemsaha agar tidak terjadi pertarungan.
"Maaf?!" dengus Pedang Halilintar Sakti. "Enak saja! Begitu
mudahnya?! Setelah berbuat kesalahan, kemudian minta maaf?!
Apakah setelah kau meminta maaf itu, nyawa semua muridku akan
kembali?!"
"Apa maksudmu, Pedang Halilintar Sakti?!" Kening Dewa
Arak mengernyit dengan sikap heran. Sepengetahuannya, murid-
murid Perguruan Pedang Halilintar yang dihadapinya, tidak ada yang
tewas. Bahkan hanya terluka tidak begitu parah. Lantas mengapa
sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini bicara soal nyawa
murid-muridnya. Dan Dewa Arak khawatir ada kesalahpahaman di
sini
"Aku yakin mereka tidak akan mati akibat pukulanku. Bahkan
terluka parah pun tidak."
"Memang murid-muridku tidak tewas atau terluka parah
akibat kemampuan yang kau miliki. Tapi akibat pertolonganmu,
muridku yang bernama Karpala datang kembali bersama iblis. Dia
langsung menyebar maut di perguruanku. Semua muridku binasa!
Dan karena Karpala tidak ada di sini, sekarang biarlah kau yang
bertanggung jawab atas semua musibah yang menimpa perguruanku!
Kau harus menebusnya dengan nyawamu, Dewa Arak! Mudah-
mudahan ini menjadi pelajaran terakhir bagimu, untuk tidak terlalu
mudah mencampuri uru-an orang lain!"
Singngng!
Pedang Halilintar Sakti segera menutup ucapannya denpn
tusukan pedangnya yang mengeluarkan bunyi halilintar menyambar.
Itu pun masih ditambah kilatan-kilatan menyilaukan sebagaimana
halnya petir menyambar.
Mau tidak mau, Dewa Arak menyambutinya, karena memang
tidak ingin nyawanya melayang percuma. Maka pertarungan pun
kembali berlanjut Beberapa kali terjadi bunyi berdentang nyaring ke¬
tika pedang berbenturan dengan guci
Setan Hitam Tak Beijantung yang menyaksikan jalannya
pertarungan jadi berseri. Dia berharap, mudah-mudahan saja kedua
belah pihak akan tewas bersama, sehingga tidak perlu mengeluarkan
tenaga lagi untuk menghadapi mereka!
Hanya dalam beberapa kali memperhatikan, Setan Hitam Tak
Berjantung telah bisa memperkirakan kalau Dewa Arak masih terlalu
tangguh. Ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak yang aneh tetap tidak
mampu ditanggulangi Pedang Halilintar Sakti dengan ilmu 'Pedang
Halilintar'. Memang harus diakui oleh Setan Hitam Tak Berjantung
kalau ilmu pedang si Pedang Halilintar Sakti benar-benar dahsyat dan
menggiriskan. Tapi, ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak tetap sukar
ditaklukkan.
Setan Hitam Tak Berjantung melihat peluang baik untuk
mengalahkan Dewa Arak Dia tahu, pemuda itu tidak akan bisa
dikalahkan olehnya. Bahkan juga oleh Pedang Halilintar Sakti Tapi,
diyakini betul kalau dia dan Ketua Perguruan Pedang Halilintar itu
bersatu dan bersama-sama melawan, Dewa Arak akan dapat
dirobohkan.
"Jangan khawatir, Pedang Halilintar Sakti. Aku datang
membantu," seru Setan Hitam Tak Berjantung seraya melompat
masuk kedalam kancah pertarungan. Senjatanya yang berupa
sepasang pisau pendek langsung berkelebatan, mengincar bagian
tidak terjaga pada Dewa Arak.
Kalau Pedang Halilintar Sakti lega dan gembira di dalam hati
karena mendapat bantuan demikian, tidak demikian halnya Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini mengeluh dalam hati.
Satu lawan saja, cukup sulit dirobohkan. Apalagi sekarang dengan ikut
sertanya Setan Hitam Tak Berjantung di pihak Ketua Perguruan
Pedang Halilintar.
Maka semakin sulit bagi Dewa Arak untuk dapat
mengalahkan. Bahkan sekarang, pemuda berambut putih keperakan
itu mulai kewalahan, karena serangan yang datang begitu silih
berganti dan susul-menyusul laksana gelombang laut. Sehingga, pe¬
muda berambut putih keperakan itu tidak mempunyai kesempatan
lagi untuk balas menyerang.
Dewa Arak mengerling ke arah Tungga Dewi Dan dia
langsung mengeluh ketika melihat gadis berpakaian kuning itu telah
kena di tawan Bongsang. Maka Dewa Arak pun terpaksa berjuang
lebih keras.
Plak, plakkk!
Ketika untuk kesekian kalinya tangan Dewa Arak dan Setan
Hitam Tak Berjantung yang telah menyimpan sebelah pisaunya itu
berbenturan, Dewa Arak kontan kaget. Ternyata tangannya melekat
dengan tangan lawan. Namun bagi Dewa Arak hal ini bukan sesuatu
yang aneh. Buru-buru aliran tenaga dalamnya yang menuju ke tanpn
dihentikan. Dan sesaat kemudian, baru tangannya ditarik.
Tapi waktu yang hanya sekejap itu telah dipergunakan sebaik-
baiknya oleh si Pedang Halilintar Sakti untuk menusukkan pedang ke
arah leher Dewa Arak. Untung saja, Arya masih sempat memiringkan
kepala. Sementara tangan kiri si Pedang Halilintar Sakti kembali
meluncur denpn sebuah tepakan ke arah punggung Lagi-lagi, Dewa
Arak berhasil membuyarkan serangan dengan hadangan guci. Namun
saat itu, tangan Setan Hitam Tak Berjantung meluncur secara cepat ke
arah bahu kanannya. Kali ini, Arya kurang sigap bertindak. Seketika
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun terkulai lemas di
tanah.
Singngng!
Ujung pedang si Pedang Halilintar Sakti meluncur cepat ke
arah leher.
Trang!
Mendadak sebatang pisau dilepaskan Setan Hitam Tak
Berjantung membuat tusukan pedang Ketua Perguruan Pedang
Halilintar menyeleweng, tidak mengenai sasaran.
"Kau..., mengapa mencegah tindakanku?! Apakah telah
mempunyai nyawa rangkap?!" tanya si Pedang Halilintar Sakti, penuh
ancaman.
"Tidak usah sesumbar di sini, Pedang Halilintar! Tanpa
adanya bantuanku, kau tidak akan mampu merobohkan Dewa Arak.
Dan sekarang begitu dia telah berhasil kurobohkan, kau tanpa tahu
malu hendak membunuhnya! Tidakkah kau sadari kalau perbuatanmu
merupakan tindakan pengecut?! Kau, seorang tokoh golongan putih
hendak membunuh seorang lawan yang tengah tidak berdaya! Luar
biasa! Hebat..!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung disertai senyum
sinis.
Ucapan-ucapan Setan Hitam Tak Berjantung tak ubahnya
pisau berkarat yang dihunjamkan pada tubuh Pedang Halilintar Sakti.
Wajahnya yang masih bersikap agung ini kontan berubah. Sebentar
pucat, sebentar merah. Dalam kemarahannya tadi, Pedang Halilintar
Sakti memang sampai melupakannya, sehingga bertindak tidak
pantas. Sekarang baru terasa, betapa pengecutnya tindakannya.
"Setan Hitam...!"
Sebelum si Pedang Halilintar Sakti atau Setan Hitam Tak
Berjantung berbicara atau bertindak sesuatu, terdengar suara keras
yang menggema ke sekitar tempat itu.
Sekalipun hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang dipanggil,
Pedang Halilintar Sakti, dan Bongsang ikut-ikutan mencari sumber
suara keras tadi. Tapi, tetap saja mereka tidak dapat mengetahui dari
mana asalnya. Suara itu seperti muncul dari seluruh penjuru. Bahkan
bergema ke selatar tempat itu.
"Siapa kau?!"
Setan Hitam Tak Berjantung mengedarkan pandanpn
berkeliling sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Tunjukkan rupamu kalau kau bukan seorang pengecut!"
bentak Setan Hitam Tak Berjantung
"Aku tidak bisa melalaikannya, Setan Hitam!" suara tanpa
wujud itu kembali bergema. "Karena aku berada di tempat yang jauh
dari sini! Di tempatmu. Rasanya, akan makan waktu berhari-hari
untuk sampai ke sana. Dan perlu kau ketahui, aku hanya hendak
memberitahukan sesuatu padamu. Jangan kau bunuh Dewa Arak.
Biarkan dia. Karena kemungkinan, dialah yang akan membasmi tokoh
jahat dari masa lima ratus tahun yang lalu. Kau sudah mengetahui hal
itu bukan?! Ketahuilah, Setan Hitam. Roh tokoh jahat dari masa lalu
itu tidak akan bisa dibunuh. Tapi, aku mempunyai harapan pada
Cermin Ajaib. Dan karena aku tidak berada di tempat Cermin Ajaib
berada, maka akan sulit bagiku untuk bertindak sesuatu. Kalau kau
tidak mau membebaskan Dewa Arak, kuharap kau pergi ke Cermin
Ajaib. Dan, berdirilah di dekat sana. Dengan cara demikian, Cermin
Ajaib akan terlihat olehmu dari sini. Dan aku akan dapat
berhubungan dengannya."
"Kalau aku tidak mau?!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung
sambil menyeringai
"Aku mohon, kau bebaskan Dewa Arak! Biar dia yang
melakukannya. Karena untuk itulah, dia berada di tempatmu!" pinta
suara tanpa wujud itu lagi.
"Kau hanya membuangbuang waktu saja!" sentak Setan
Hitam Tak Berjantung. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan
memenuhi permintaanmu. Jelas?!"
8
Suasana langsung hening, ketika Setan Hitam Tak Berjantung
selesai mengucapkan penolakannya.
"Apakah kau yang berjuluk Penjaga Alam Gaib?!" celetuk
Bongsang.
"Kira-kira demikian," jawab suara tanpa wujud.
"Siapa kau, Kisanak?! Maukah kau melakukan permintaanku
yang ditolak Setan Hitam?!"
"Tentu saja tidak!" jawab Bongsang cepat. "Bahkan kalau bisa
aku akan membunuhmu! Enak saja kau mengakui Cermin Ajaib
sebagai milik leluhurmu. Bahkan tanpa tahu malu kau berani
memakai julukan Penjaga Alam Gaib. Orang lain bisa kau tipu. Tapi
aku, Bongsang tidak akan tertipu. Aku tahu, siapa pemilik Cermin
Ajaib ini!"
"Ah...!" desah suara tanpa wujud, kaget. "Jadi kau kiranya
orang yang bernama Bongsang? Guru banyak bercerita tentang kau,
Bongsang. Kau termasuk kakak seperguruanku. Hanya saja, kau kini
menjadi murid murtad. Kau hendak membunuh guru hanya karena
beliau akan menghukummu. Kau menyeleweng dari aliran ilmu guru,
Bongsang. Beliau tidak pernah mengorbankan manusia untuk
menambah pengetahuan ilmu gaibnya. Tapi, kau? Kau banyak
menculik bayi-bayi dan mengambil otak dan darahnya, serta sumsum
tulangnya untuk mendapatkan...."
"Cukup! Aku tidak butuh ocehanmu! Jadi, kau dipunggut tua
bangka bau tanah itu untuk menjadi ahli warisnya, heh?! Sayang aku
gagal membunuhnya!"
"Sadarlah, Bongsang! Lebih baik kita bersatu untuk mencejph
munculnya terbentuknya iblis mengerikan yang berasal dari masa
lima ratus tahun yang silam. Sekarang kau tidak merasa aneh kalau
berita tentang makhluk itu telah tersebar luas. Bahkan kawan-
kawanku tewas di perjalanan. Rupanya kau yang berdiri di belakang
layar, Bongsang. Aku tidak merasa aneh sekarang mengapa
rencanaku berhasil kau ketahui. Aku tahu, dalam ilmu pengetahuan
gaib, aku masih jauh di bawahmu. Tanpa Cermin Ajaib kau telah bisa
mengetahui kalau peti bertuah yang berisikan jasad dari masa lima
ratus tahun lalu itu telah keluar ke dunia persilatan. Dan guru tidak
sempat menceritakan padaku tentang tokoh dari lima ratus tahun lalu
itu. Sedangkan kau, aku yakin telah pernah mendengar ceritanya...."
Suara tanpa wujud itu mendadak terhenti di tengah jalan.
Dan Bongsang menjadi heran Ucapan Penjaga Alam Gaib yang belum
selesai mengapa tiba-tiba terputus? Apakah terjadi sesuatu denpn
tokoh itu di tempat dia berada?
Pertanyaan yang sama menghinggapi benak si Pedang
Halilintar Sakti, dan Setan Hitam Tak Berjantung Namun,
Bongsanglah yang lebih dulu sadar dan mengetahui penyebabnya.
"Aku mencium ada hawa gaib di sekitar tempat ini. Pasti
inilah penyebab putusnya pembicaraan Penjaga Alam Gaib! Ada
seseorang atau sesuatu yang telah menggunakan ilmunya, untuk
memutuskan hubungan ini!" desis Bongsang dengan suara bergetar.
Bongsang jadi gentar. Sebagai tokoh ahli ilmu gaib, kakek
berhidung melengkung ini tahu kalau untuk melakukan hal itu
membutuhkan ilmu gaib yang amat tinggi. Dan bahkan, dia sendiri
pun tidak mampu melakukannya.
Baru saja ucapan Bongsang berakhir, terdengar suara
terkekeh menyeramkan. Suara itu terdengar dekat sekali, tapi tidak
nampak seorang pun di sekitarnya.
Mendadak terdengar bunyi berkesiutan nyaring disusul
meluncurnya beberapa benda sebesar kepala manusia. Semua tertuju
ke arah Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung.
Semula, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang
bermaksud menangkisnya. Tapi niat itu langsung diurungkan, ketika
sepasang mata mereka yang tajam melihat benda yang tenph
meluncur ternyata empat kepala manusia. Tangkisan yang akan
dilakukan langsung diganti dengan gerakan tangan berputar, untuk
mematahkan daya luncur. Sehingga, kepala-kepala manusia tanpa
tubuh itu berjatuhan di tanah, sebelum mengenai tubuh Setan Hitam
Tak Berjantung dan Bongsang.
Sepasang mata Setan Hitam Tak Beijantung dan Bongsang
hampir melompat keluar dari rongga ketika melihat kepala manusia
itu ternyata kepala bekas murid utama Kuru Sanca yang ditugaskan
untuk mencari raga tokoh di zaman lima ratus tahun silam.
"Kalian kaget?"
Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Setan Hitam Tak
Berjantung dan Bongsang, juga si Pedang Halilintar Sakti
mengarahkan pandangan ke arah asal suara. Dan seketika, wajah si
Pedang Halilintar Sakti memucat. Pemilik seruan itu dikenalinya
betul, sebagai suara Karpala, muridnya. Tapi pemuda itu telah
memiliki kepandaian luar biasa!
Bongsang yang memiliki kemampuan gaib tinggi, langsung
dapat merasakan keanehan dari sosok yang berdiri di depannya. Mata
batinnya langsung dapat melihat kalau Karpala telah ditumpangi
sejenis roh yang amat ganas! Roh yang berasal dari zaman lampau!
Seketika itu dia pun teringat akan roh dari lima ratus tahun silam.
"Kau... kau..., Garba Baureksa?!"
Bongsang yang tahu nama tokoh dari zaman lima ratus tahun
silam dari gurunya, langsung menyebut nama itu. Suaranya terdengar
bergetar karena guncangan perasaan.
"Ah...!"
Bukan hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang menjadi
terkejut. Tapi, juga si Pedang Halilintar Sakti. Nama Garba Baureksa
telah didengarnya juga, meski semula hanya dianggapnya sebagai
dongeng. Sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini mengerti
mengapa Karpala muridnya jadi memiliki kepandaian selihai itu!
Rupanya dia ditumpangi roh Garba Baureksa yang terkenal
menggiriskan.
"Rupanya kau masih mampu untuk mengenaliku, Bongsang?!
Bagaimana? Apakah kau masih mencari bayi-bayi untuk diambil
darah, otak, dan sumsumnya untuk keperluan ilmu gaibmu?! Yang
kutahu, kau masih melalaikannya. Seperti juga halnya Setan Hitam
Tak Berjantung yang berusaha mengambil ragaku lebih dulu. Untuk
kemudian, kalian akan memasang sesuatu di ragaku. Sehingga aku
nantinya mau tidak mau harus menuruti semua kehendak kalian.
Tentu saja kalau aku tidak mau, kalian dapat menyiksa. Dan, inilah
sebagian dari orang-orang yang kalian suruh untuk mengambil
ragaku. Sisanya kutinggalkan!"
Setan Hitam Tak,Berjantung dan Bongsang menelan ludahnya
sendiri untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering Sama
sekali tidak disangka kalau semua rencana yang disusun secara rapi,
telah diketahui Garba Baureksa.
"Bagaimana kau bisa tahu semuanya, Garba Baureksa?!
Bukankah kalau kau tidak berada di dalam ragamu yang asli,
kemampuanmu akan banyak yang lenyap? Dan andaikata kau
mampu, akan berkurang jauh bobotnya. Apakah aku tidak salah
duga?!" Bongsang mengutarakan keheranannya.
"Sebetulnya aku malas untuk menjawab. Tapi, biarlah.
Hitung-hitung agar kalian tidak mati penasaran," Garba Baureksa
mengalah. "Apa yang kau katakan itu memang benar, Bongsang Tapi,
kemampuanku yang dulu bisa kudapatkan kembali, meski di dalam
raga orang lain! Memang tidak akan sampai ke puncaknya seperti
yang dulu. Tapi, telah cukup lumayan toh?! Setiap aku melakukan
kejahatan, maka kemampuan yang dulu kumiliki kudapatkan lagi,
meski hanya sedikit. Toh, terbukti cukup untuk mengetahui rencana
kalian dan memberikan tabir. Sehingga, Penjaga Alam Gaib dan yang
lain-lain tidak bisa mengawasi kegiatanku! Ha ha ha...!"
"Kurasa kita bisa bekerja sama, Garba," Setan Hitam Tak
Berjantung yang belum apa-apa sudah merasa gentar, mengajukan
sebuah usul yang dianggap bagus.
"Sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya, Setan Hitam!"
jawab Garba Baureksa tegas. "Banyak alasannya. Pertama, kau adalah
datuk licik. Dan setiap orang licik tidak bisa dipercaya. Kedua, aku
terbiasa bekerja sendiri. Dan yang ketiga, kau telah menunjukkan
itikad tidak baikmu terhadapku! Juga dengan membunuhmu, aku
akan mendapatkan kembali sedikit kemampuan yang dulu pernah
kumiliki!"
Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang saling
berpandangan. Keduanya tahu kalau Garba Baureksa tidak akan
mengampuni jiwa mereka. Mau tidak mau mereka akan bertahan
mati-matian nanti.
"O, ya. Sebagai tambahan lagi, perlu kukatakan kalau raga
yang diambil oleh anak buahmu, Setan Hitam, bukan ragaku. Entah
mengapa, mereka bisa sampai terkecoh demikian."
"Bukankah kau memiliki kemampuan untuk mengetahui, di
mana adanya sesuatu?! Mengapa tidak kau gunakan untuk mencari
ragamu?!" celetuk Bongsang bingung.
Dia masih merasa heran mengetahui mayat yang diambil anak
buahnya bukan mayat Garba Baureksa. Padahal, dia telah
mengumpulkan keterangan dan berhasil mendapatkan petunjuk kalau
mayat itu berada di tangan sebuah keluarga pendekar. Dan karena
keturunan pendekar itu telah lenyap, anak buahnya mengambil di
pemakaman keluarga pendekar yang hidup lima ratus tahun lalu,
adalah orang yang pertama kali bertemu kakek aneh yang muncul
dalam mimpi. Tidak ada yang tahu siapa namanya.
"Aku tidak bisa melacaknya dengan ilmuku karena kakek
yang telah menyebabkan rohku terpisah dari raga, telah
menyembunyikannya tanpa aku mampu melacaknya. Biar
bagaimanapun, ilmu putih lebih unggul dari ilmu hitam, Bongsang!
Maka, aku tidak dapat menemukannya!"
Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung diam.
"Bersiaplah untuk melihat neraka!"
Garba Baureksa menudingkan telunjuk kanannya pada batu
sebesar kerbau yang berada di belakangnya. Sedangkan tangan kirinya
ditudingkan ke arah tubuh Setan Hitam Tak Berjantung.
Setan Hitam Tak Berjantung, Bongsang, dan si Pedang
Halilintar Sakti terbelalak ketika melihat batu sebesar kerbau
terangkat naik ke atas! Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis
tipis itu tidak mengerahkan tenaga sama sekali.
Dan keterkejutan ketiga tokoh sakti yang telah terjepit itu
semakin menjadi-jadi, ketika melihat batu besar itu melayang ke arah
mereka. Kali ini keterkejutan bercampur kekhawatiran.
Karena masih belum mengetahui perkembangan tindakan
yang akan dilakukan Garba Baureksa, Bongsang dan si Pedang
Halilintar Sakti melompat mundur.
"Setan Hitam, menyingkir...!"
Bongsang tidak kuasa untuk menahan teriakannya, ketika
melihat Setan Hitam Tak Beijantung tidak menjauh. Padahal, batu
besar itu telah meluncur mendekati. Bahkan sebentar lagi akan berada
di atas kepalanya.
Keterkejutan Bongsang semakin memuncak, begitu melihat
Setan Hitam Tak Berjantung tidak bertindak apa-apa. Tapi sesaat
kemudian dia tahu, apa penyebabnya. Telunjuk tangan kiri Garba
Baureksalah penyebabnya. Maka, Bongsang bertindak cepat. Kedua
tangannya dihentakkan ke arah batu besar itu
Blarrr!
Batu sebesar kerbau bunting itu kontan hancur berantakan
ketika terhantam angin pukulan Bongsang. Bahkan pecahannya
berpentalan ke sana kemari, tak tentu arah. Beberapa di antaranya
mengenai Setan Hitam Tak Berjantung
"Kau sudah kepingin mati duluan, rupanya! Minggat kau...!"
"Tidak!"
Bongsang yang mengerahkan selumh kemampuan ilmu gaib
berteriak keras untuk melawan pengaruh seruan Garba Baureksa.
Sebagai ahli ilmu gaib, dia tahu kalau kekuatan serangan pemuda
berkumis tipis itu tergantung teriakan dan pikiran! Maka seluruh
pikiran dipusatkan dan berseru keras.
Tapi usaha Bongsang bagaikan orang menangkap asap! Sia-
sia. Seruan Garba Baureksa yang disertai kibasan tangan kiri,
membuat tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering
dihempaskan angin.
Blakkk!
Bongsang mengeluh tertahan ketika luncuran tubuhnya
berhenti, di saat berbenturan dengan dinding batu yang menjulang
tinggi. Tubuhnya seperti dilem. Bahkan tidak tergoyahkan sama
sekali. Kendati berusaha keras melepaskan diri.
Rontaan Bongsang semakin diperkeras, ketika melihat sebuah
batu sebesar gajah yang paling besar, meluruk deras ke arahnya. Itu
terjadi ketika Garba Baureksa kembali menudingkan tangannya.
Dan....
Jrottt!
Bongsang tidak bisa menjerit lagi, begitu batu sebesar gajah
itu menghantamnya. Dan karena bagian belakang kakek berhidung
melengkung itu adalah dinding tebing, maka tubuhnya bajpi digencet
dari dua arah! Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, tubuh
Bongsang langsung luluh lantak. Kepalanya hancur, dengan badan
remuk. Nyawa-nya melayang saat itu juga
Setan Hitam Tak Berjantung yang semula dicekam pengaruh
ilmu gaib Garba Baureksa berhasil membebaskan diri dari pengaruh
sihir. Itu bisa terjadi, karena Garba Baureksa mengalihkan perhatian
ke arah Bongsang.
Pedang di tangan Pedang Halilintar Sakti menancap di perut
hingga tembus ke punggung. Sepasang mata Ketua Perguruan Pedang
Halilintar ini kelihatan tidak percaya melihat darah yang membanjir
keluar. Sementara Garba Baureksa tertawa terbahak penuh
kemenangan.
"Sekarang kalian bebas, Dewa Arak. Dan kau, Wanita Liar...!"
seru Garba Baureksa penuh pengaruh.
Hampir Dewa Arak tidak percaya. Pengarah totokan yang
membelenggu tubuh mereka tiba-tiba lenyap membuyar. Dan darah
kini menjplir secara lancar.
Buru-buru Dewa Arak dan Tungga Dewi bangkit berdiri, dan
langsung bersiap melancarkan serangan. Sepasang anak muda ini
telah tahu kalau Garba Baureksa merupakan sesosok makhluk
dahsyat.
"Menyingkirlah, Tungga Dewi! Selamatkan dirimu...!" seru
Dewa Arak pada murid Nelayan Tenaga Gajah.
"Tidak, Dewa Arak! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap
bersamamu! Aku lebih suka mati bersamamu, daripada hidup
sendirian di dunia ini!" tegas Tungga Dewi, jelas-jelas menyiratkan
perasaan isi hatinya.
"Ho ho ho...! Luar biasa...!" Garba Baureksa tertawa bergelak.
"Rupanya wanita liar ini mencintaimu, Dewa Arak. Bagus...! Sayang
sekali...! Kalian semua akan mati saat ini juga!"
Garba Baureksa langsung mengibaskan tangan kirinya. Maka
tubuh Dewa Arak pun terpental jauh ke belakang bagai daun kering
dihempaskan angin keras. Pentalan tubuhnya baru terhenti, ketika
membentur dinding sehingga hancur pada beberapa bagian. Memang
saat itu Arya sempat melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga
dalam.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tanpn
Garba Baureksa kembali bergerak. Seketika tubuh Dewa Arak tertarik
ke depan, tanpa mampu bertindak apa-apa.
Arya melihat adanya bahaya besar. Tapi, dia tidak mampu
berbuat apa-apa. Bahkan ketika tangan kanan Garba Baureksa telak
menghantam bahu kanannya, Dewa Arak hanya mampu mengeluh
tertahan.
Tubuh Dewa Arak terbanting di tanah dengan mulut
menyeringai, merasakan sakit. Pukulan Garba Baureksa ternyata
memang tidak bisa dianggap remeh. Dewa Arak tahu, tidak ada
gunanya melawan dengan kemampuan biasa. Tidak ada jalan lain,
Belalang Raksasa yang ada di alam gaib harus dipanggil untuk
menghadapi Garba Baureksa yang demikian luar biasa.
"Kakang Karpala...! Hentikan...!"
Seruan keras melengking nyaring membuat Dewa Arak
terpaksa menghentikan maksudnya. Bahkan Garba Baureksa pun ke
belakang. Tampak seorang gadis berpakaian coklat, berwajah cantik
jelita tengah berlari-lari cepat mendekati tempat itu.
"Kakang Karpala...! Jangan bunuh dia...!" ujar Dara.
Garba Baureksa alias Karpala tampak berubah-ubah
wajahnya. Bahkan sepasang matanya pun tidak lagi merah membara,
tapi berkerlip-kerlip. Pemuda berkumis tipis itu tampak terkejut,
melihat gadis berpakaian coklat ini.
"Dara... mengapa kau berada di sini?!" tanya Garba Baureksa
dengan suara yang membuat Arya dan Tungga Dewi heran. Suara itu
berbeda sekali dengan suara Garba Baureksa biasanya.
"Aku menyusulmu, Kakang Karpala. Aku kabur dari
perguruan, begitu kudengar ayah memerintahkan murid-murid
perguruan yang lain membinasakanmu. Tapi sekarang seorang kawan,
kudengar kau menjadi beringas dan membunuh orang-orang tidak
bersalah. Sadarlah, Kakang Karpala," pinta Dara.
Sepasang mata Garba Baureksa kembali merah membara.
Tidak lagi putih bercampur hitam seperti mata manusia umumnya.
"Ha ha ha..! Membunuhku?! Tidak akan ada satu pun orang
yang dapat membunuhku!"
Arya, Tungga Dewi, dan Dara tampak terkejut mendengar
perbedaan suara ini dengan suara sebelumnya. Dewa Arak dan
Tungga Dewi tahu, suara ini adalah suara yang biasa mereka dengar.
Suara Garba Ba u reksa.
Benak Arya yang cerdik langsung bisa memperkirakan,
mengapa hal itu terjadi. Roh Garba Baureksa ternyata belum
sepenuhnya menguasai raga dan pikiran Karpala Dan timbulnya
pikiran jernih Karpala justm ketika muncul Dara, wanita yang
dicintainya. Arya tahu, sekarang ini terjadi perang tanding antara
angkara murka Garba Baureksa, melawan cinta kasih Karpala. Dan ini
merupakan kesempatan baik. Barangkah saja, Karpala mampu
membebaskan diri dari kungkungan roh jahat Garba Baureksa.
"Karpala dirasuki roh jahat. Usahakan agar Karpala yang asli
dapat memenangkan pertarungan batin ini, Dara?!" jelas Arya pada
gadis berpakaian coklat itu.
Wajah Dara tampak berubah hebat. Memang gadis
berpakaian coklat ini tidak tahu kalau Karpala dimasuki roh jahat dari
tokoh lima ratus tahun yang silam. Dikiranya, Karpala hanya menjadi
kurang waras. Akibat tekanan perasaan yang menghimpit batinnya.
"Sadarlah, Kakang Karpala. Hanya kau satu-satunya yang
dapat kujadikan sandaran di dunia yang luas ini. Aku seorang diri
terlunta-lunta mencari-carimu, Kakang Karpala. Haruskah aku
terlunta-lunta terus selamanya?!"
Wajah dan keadaan Karpala tampak mengerikan. Sinar
sepasang matanya berubah berganti-ganti. Terkadang merah
membara, tapi tak jarang pulih kembali seperti biasa. Perang tanding
antara dua kekuatan itu tengah berlangsung
"Terus gugah batinnya, Dara," ujar Dewa Arak, lagi-lagi
memberikan saran dengan ilmu mengirim suara dari jauh.
"Apakah kau tidak sayang pada anak lata, Kakang Karpala...?!
Apakah aku harus membesarkannya sendiri?! Nasibku akan merana,
Kakang! Tidak ada orang yang akan membantu melahirkan dan
membesarkan anak kita...."
"Dara...!"
Setelah sekian lamanya berdiam diri dengan pertarunpn
keras di dalam batin, Karpala berseru keras sambil berlari meluruk ke
arah Dara. Tak lama, Arya, Tungga Dewi, serta Dara, melihat ada
kilatan cahaya hijau melesat dari atas kepala Karpala. Sinar itu
melayang ke udara.
Sementara, Karpala yang tengah berlari tiba-tiba ambruk ke
tanah sebelum berhasil mencapai Dara. Dara dengan penuh rasa
cemas cepat memeriksa.
"Bagaimana ini? Apa yang terjadi dengannya?!" tanya Dara,
penuh rasa cemas.
"Dia hanya pingsan. Roh jahat itu telah cukup lama berkuasa
di tubuhnya. Sehingga begitu pergi, akibatnya cukup berat buat
Karpala. Tapi, dia tidak apa-apa. Tak lama lagi akan sadar. Dia akan
kembali sebajpi Karpala yang dulu," jelas Arya panjang lebar.
"Terima kasih..., eh...! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa
Arak?!" tanya Dara sambil menatap rambut Arya yang putih.
"Benar. Kenapa?!"
"Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah mencari-
carimu. Kalau... tidak salah...."
Belum juga Dara menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak yang
telah bisa menduga siapa orang yang dimaksud segera melesat cepat.
Dia tidak ingin terlambat lagi. Karuan saja tindakan Dewa Arak
membuat Tungga Dewi kaget
"Dewa Arak! Tunggu...!" seru gadis berpakaian kuning ini
sambil melesat mengejar.
Tapi, kali ini Dewa Arak tidak mempedulikannya. Bahkan
terus mempercepat larinya. Di benaknya hanya ada Melati. Pikiran
semula mengenai kejadian yang baru saja terjadi, terlupakan. Arya
tahu, Karpala adalah seorang pemuda berhati lurus, dan berwatak
baik. Kalau tidak, tak akan nantinya bisa bebas dari cengkeraman roh
jahat itu. Roh jahat itu dapat masuk ke raganya, karena Karpala
tengah sakit hati.
Yang tinggal di tempat itu kini hanya Dara. Dan ketika
pandanpn mata gadis berpakaian coklat ini beredar, jeritan menyayat
hati pun keluar dari mulutnya. Ternyata dia melihat tubuh ayahnya,
Pedang Halilintar Sakti, tewas! Kontan saja Dara jatuh pingsan.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Petualang-petualang dari Nepal
Emoticon