1
Seorang pemuda kekar terbungkus pakaian merah
dengan ikat kepala juga berwarna merah duduk di atas
sebongkah batu karang yang berada di pantai Teluk
Menjangan. Kedua kakinya menjuntai, ke permukaan
laut. Sehingga setiap kali ombak datang, sepasang ka-
kinya terhantam air. Namun, semua itu tidak dipeduli-
kannya, sikapnya tetap tenang dengan mata tajam
Dengan pandangan yang tidak beralih sedikit pun,
pemuda itu menggerakkan tangannya, menyapu per-
mukaan bongkahan karang yang didudukinya. Gera-
kan tangan itu terhenti, ketika menyentuh bagian ka-
rang yang menonjol. Kemudian dengan gerak pelan, ja-
ri-jari tangannya mengepal.
Broll...!
Tonjolan batu karang yang keras itu tanggal. Pe-
muda berpakaian merah ini membawanya ke depan
dada. Sekilas batu itu diperhatikan, lalu dilemparkan-
nya ke atas.
Potongan karang itu meluncur turun kembali, sete-
lah kekuatan lemparan habis. Pada saat yang sama,
pemuda ini menggerak-gerakkan tangannya di atas
kepala seperti orang tengah memainkan pedang.
Wuk! Wuk!
Terdengar bunyi menderu tajam, ketika tangan
pemuda ini bergerak. Dan begitu potongan karang ja-
tuh kembali tepat di atas paha kanannya, telah menja-
di beberapa potongan! Seakan-akan telah dibabat pe-
dang pusaka yang amat tajam.
Tepat ketika pemuda ini menatap ke depan kemba-
li, di tengah laut terlihat satu sosok seperti tengah me-
lesat di atas permukaan air yang bergelombang. Dan
pandangan matanya yang tajam segera saja mengeta-
hui kalau sosok itu memang tengah melesat. Namun
dia tidak terkejut sama sekali, kendati cara berlari so-
sok itu demikian enaknya, seperti tengah berlari di ta-
nah datar.
Semakin dekat semakin jelas kalau sosok yang me-
lesat di tengah laut itu adalah seorang lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun. Walaupun sudah dimakan
usia, tubuhnya masih terlihat kokoh kuat Badannya
yang telanjang terlihat kekar. Penuh otot dan bulu-
bulu hitam tebal. Celananya hitam. Dan yang lebih
menarik perhatian, sebelah matanya tertutup kain hi-
tam.
Lelaki tua bertubuh kekar ini sedikit berkerut wa-
jahnya ketika melihat seorang pemuda berpakaian me-
rah di tepi pantai. Meski demikian lesatannya yang
ternyata mengenakan dua bilah papan lebar di bawah
alas kakinya, tetap diteruskan. Papan-papan inilah
yang membuatnya mampu melesat di atas permukaan
air.
Begitu dekat pantai, dengan bantuan gelombang le-
laki bertelanjang dada itu melompat ke depan.
"Hup!"
Di udara, tubuh lelaki itu bersalto beberapa kali,
melewati kepala pemuda berpakaian merah. Dan
agaknya dia ingin mendarat di belakang pemuda itu
untuk berjaga-jaga dari kemungkinan buruk yang
bakal terjadi. Keberadaan pemuda ini dengan sikap se-
perti itu, telah menimbulkan perasaan curiga di ha-
tinya.
Namun hampir lelaki bertelanjang dada ini terpe-
kik, begitu menjejakkan kaki di tanah. Ternyata, pe-
muda berpakaian merah itu sudah duduk dengan te-
nang di depan. Artinya, lelaki tua itu tidak mampu me-
lewati atas kepala pemuda ini. Sikapnya tidak peduli
dengan wajah menunduk menekuri tanah. Kini pemu-
da itu sudah berpindah duduk di batang sebuah pohon
kelapa yang tumbang.
Mata lelaki bertelanjang dada yang hanya tinggal
sebelah itu menyipit. Bagaimana mungkin pemuda
berpakaian merah itu bisa berada di tempat ini tanpa
terlihat bergeraknya? Padahal tadi, saat melewati kepa-
lanya, pemuda ini masih duduk tenang di tempatnya?
Perasaan tidak yakin, membuat lelaki ini menoleh
ke belakang, ke tempat tadi pemuda itu berada. Ba-
rangkali saja ada dua orang muda yang mirip pakaian
dan potongan tubuhnya.
Tapi dugaan lelaki bertelanjang dada ini pupus se-
ketika, karena di tempat itu tidak ada apa-apa sama
sekali. Kosong! Berarti pemuda ini telah pindah, entah
dengan cara bagaimana!
Lelaki bertelanjang dada ini kembali mengalihkan
perhatian ke depan. Kewaspadaannya mulai diting-
katkan. Disadari, di samping telah terbukti kalau pe-
muda yang sikapnya tidak peduli ini memiliki kepan-
daian tinggi, pasti juga bermaksud tak baik. Kalau ti-
dak, untuk apa mencegatnya?
Sungguhpun demikian, lelaki bertelanjang dada ini
pura-pura tidak tahu. Bagaikan orang yang tidak meli-
hat adanya siapa pun di situ kakinya terayun hendak
pergi. Pandangannya diarahkan ke depan, lalu terus
berjalan secara biasa melewati bagian kanan pemuda
ini. Jaraknya sekitar satu tombak dan sisi lelaki ber-
mata satu ini.
Lelaki bertelanjang dada menghela napas lega keti-
ka telah puluhan tindak kakinya melangkah, tidak ju-
ga merasakan apa-apa. Maka kemampuannya segera
dikeluarkan, berlari cepat disertai seluruh ilmu merin-
gankan tubuhnya.
Kini dengan kedua kaki bagai tidak menginjak ta-
nah, tubuh lelaki bertelanjang dada ini jadi tak jelas
saat melesat. Yang kelihatan hanya kelebatan bayan-
gan yang bagaikan hantu tengah terbang mencari
mangsa!
"Heh?!"
Tapi belum jauh berlari, mendadak lelaki ini ber-
henti. Matanya langsung menatap terbelalak ke depan,
tanpa dapat menyembunyikan sinar keterkejutan dan
kengerian. Sekitar sepuluh tombak di depannya, tam-
pak pemuda berpakaian merah yang tadi ditinggalkan-
nya!
Seperti juga sebelumnya, pemuda itu tampak da-
lam sikap tak acuh! Kali ini tubuhnya rebah miring di
atas batang sebuah pohon yang juga telah tumbang di
tanah.
Lelaki bertelanjang dada ini merasakan bulu ku-
duknya berdiri. Dirasakannya adanya ancaman ba-
haya. Sebagai seorang waras, dia tahu kalau pemuda
berpakaian merah itu sengaja mencari urusan den-
gannya!
Juga amat disadari pemuda ini memiliki kepan-
daian amat tinggi! Setidak-tidaknya ilmu lari cepatnya!
Sehingga tak heran kalau pemuda itu selalu berada
di depannya, tanpa kelihatan melakukan pengejaran!
Dan disadari pula, tidak ada gunanya terus menghin-
dari orang yang luar biasa ini.
Dan meski gentar bukan main, lelaki telanjang da-
da ini mengayunkan kaki mendekati pemuda di de-
pannya. Langkahnya hati-hati, takut membuat pemu-
da aneh itu marah! Padahal, pemuda berpakaian me-
rah ini tidur miring dengan tubuh memunggungi.
"Bukankah kau orang yang berjuluk Singa Laut?"
Tiba-tiba terdengar suara bernada pertanyaan,
membuat lelaki bermata satu ini sampai menghentikan
ayunan kakinya. Saat ini jarak antara mereka berseli-
sih dua tombak. Meski tidak melihat, lelaki ini yakin
kalau ucapan itu keluar dari mulut pemuda di depan-
nya;
"Benar! Akulah orang yang kau maksudkan itu.
Dan kau sendiri, siapa Anak Muda?"
Suara lelaki bermata satu ini terdengar kering. Pe-
rasaan ngeri yang mencekam semakin besar, begitu
mendengar nada suara yang demikian dingin.
"Namaku Lingga. Hm... Apakah kau masih kepingin
hidup lebih lama lagi?!" gumam pemuda yang mengaku
bernama Lingga. Nada suaranya semakin dingin saja.
Lelaki bermata satu yang berjuluk Singa Laut men-
gerutkan keningnya. Sepanjang ingatannya, dia belum
pernah bertemu dengan pemuda berbaju merah yang
bernama Lingga ini. Lalu, kenapa pemuda ini menga-
jukan pertanyaan yang bernada ancaman seperti itu?
"Apa maksudmu, Anak Muda? Aku yakin, antara
kita tidak pernah ada urusan. Jadi, kuharap kau sudi
membiarkanku lewat," sahut Singa Laut, setelah mene-
lan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering karena perasaan tegang.
Singa Laut sebenarnya bukan seorang tokoh ko-
song. Belasan tahun yang lalu, julukannya amat ter-
kenal sebagai kepala bajak laut yang amat ditakuti. Di
samping kepandaiannya tinggi, anak buahnya pun ba-
nyak. Tapi keberadaan pemuda berpakaian merah
yang demikian luar biasa, serta sikapnya yang berwi-
bawa, mampu membuat ciut nyali orang sekejam dan
seberani Singa Laut!
"Cuhhh...!"
Pemuda berpakaian merah itu meludah.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Singa
Laut? Di antara kita memang tidak ada urusan. Tapi
bisa saja sebaliknya, apabila aku menghendaki. Dan
mungkin perlu kuberitahukan, Singa Laut. Setiap
orang yang berurusan denganku, pasti akan mengala-
mi kematian mengerikan!" tukas Lingga bernada an-
caman.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu pemuda
berpakaian merah ini menutup pembicaraannya. Singa
Laut masih terdiam, tidak mengerti maksud pemuda
itu. Tadi memang terdengar antara mereka memang ti-
dak ada urusan. Lalu, untuk apa pemuda ini mencegat
perjalanannya? Aneh!
Di samping itu, Singa Laut sadar kalau tengah ber-
hadapan dengan seorang pemuda berwatak kejam!
Seorang yang mungkin mampu membunuh manusia,
tak ubahnya membunuh nyamuk! Dugaan itu timbul,
karena dia pun orang semacam itu dulunya. Maka si-
kapnya harus berhati-hati terhadap Lingga.
"Aku tahu, kau mempunyai sebuah senjata berna-
ma Golok Kilat! Dan aku bersedia untuk meninggalkan
tempat ini, tanpa mengganggumu. Tapi serahkanlah
pedang itu padaku, Singa Laut! Bagaimana?!" Linggar
menawarkan.
Singa Laut sampai terjingkat ke belakang bagai
disengat ular berbisa, saking kagetnya. Bukan hanya
karena mendengar pemuda berpakaian merah tahu
mengenai golok itu. Tapi juga karena melihat kejadian
yang baginya amat luar biasa!
Singa Laut melihat jelas kalau Lingga tidak bertin-
dak apa-apa. Tapi batang pohon yang ditidurinya lang-
sung hancur berantakan menjadi tepung! Kejadian ini
saja sudah cukup membuat hatinya bergidik! Itu pun
masih ditambah kejadian menakjubkan, ketika tubuh
pemuda berpakaian merah itu mengambang sekitar
dua jengkal dari tanah saat batang pohon yang ditidu-
rinya hancur.
"Bagaimana Singa Laut?!" tanya Lingga, setelah
membalikkan tubuhnya dan berdiri tegak menghadap
lelaki bertelanjang dada itu. Kedua orang ini sekarang
berdiri berhadapan dalam jarak dua tombak.
Wajah Singa Laut semakin pias. Dirasakan adanya
ancaman dalam pertanyaan yang kedengarannya se-
pele.
"Aku bukan sejenis orang sabar, Singa Laut! Apabi-
la kau tidak memberi jawaban sama sekali, jangan se-
sali tindakanmu itu!" lanjut Lingga dengan suara te-
nang bernada semakin dingin.
Singa Laut menelan ludah beberapa kali, untuk
membasahi tenggorokannya agar bisa berkata-kata
lancar.
"Bukannya aku tidak mau memberi senjata itu pa-
damu, Anak Muda. Tapi, ketahuilah. Aku tidak memi-
likinya. Senjata itu..."
"Rupanya kau menganggapku bermain dengan an-
caman yang kukatakan, Singa Laut?!" selak Lingga
membuat kata-kata Singa Laut terhenti. Sepasang ma-
tanya beringas seperti mata seekor harimau lapar
mencium darah. "Kau berani membohongiku?! Dikira
aku tidak tahu, kalau kau merampasnya dari pasukan
kerajaan yang hendak mempersembahkannya kepada
kerajaan seberang sebagai hadiah?!"
"Hal itu memang tidak ku sangkal, Anak Muda," ki-
lah Singa Laut, cepat-cepat. "Tapi, senjata itu telah di-
rampas seorang pendekar..."
"Seorang pendekar...?!" ulang pemuda berpakaian
merah ini. "Siapa orang itu?!"
"Raja Golok Bertangan Baja!" jelas Singa Laut, pe-
nuh perasaan dendam dan sakit hati.
Lingga tersenyum sinis.
"Apakah kau hendak membalas dendam pa-
danya?!" tanya Lingga.
Singa Laut mengangguk pasti.
"Itulah sebabnya aku keluar dari pulau tempat pe-
nyepianku. Lima tahun yang lalu, aku dikalahkan. Go-
lokku pun dirampas. Sesuai perjanjian, sekarang saat-
nya kami bertarung lagi. Karena, aku telah berjanji un-
tuk menebus kekalahan lima tahun yang lalu," jelas
Singa Laut
"Di mana kalian berjanji untuk bertemu?!" desak
Lingga, agak bernafsu. Jelas sekali kalau dia sangat
menginginkan Golok Kilat itu.
"Di Lembah Iblis," jawab Singa Laut
"Dan..., kau yakin bisa mengalahkannya?!" tanya
Lingga bernada mengejek.
Tidak sembarangan Lingga dengan perkataannya.
Karena, dia telah mendengar tentang tokoh yang berju-
luk Raja Golok Bertangan Baja, yang merupakan da-
tuknya golongan putih! Mana mungkin tokoh seperti
Singa Laut yang hanya pemimpin bajak laut mampu
mengunggulinya?! Jangankan berlatih lima tahun. Biar
berlatih sampai lima puluh tahun pun, tak akan
mungkin bisa menandingi datuk kaum putih itu.
"Tidak," jawab Singa Laut jujur. "Tapi, barangkali
saja nasibku tengah mujur. Tambahan lagi..., aku ti-
dak sendirian. Ada beberapa orang kawan segolongan
yang bersedia bekerja sama denganku. Mereka juga
mempunyai urusan dengan Raja Golok Bertangan Baja
Lingga terdiam sejenak. Dahinya berkernyit dalam.
Sepasang matanya yang tajam berputar sebentar.
"Hm.,.. Aku mendengar adanya langkah-langkah
kaki mendekati tempat ini. Mungkin mereka orang-
orang yang kau maksudkan," gumam Lingga tenang.
Pemuda itu tidak merasa khawatir sedikit pun ka-
lau nanti Singa Laut akan mengeroyok bersama ka-
wan-kawannya.
Wajah Singa Laut berseri bercampur heran. Kete-
rangan pemuda ini jelas membuatnya gembira. Dan
senyumnya melebar ketika melihat dua sosok tengah
melesat cepat dari bagian depan, atau dari arah bela-
kang Lingga. Dan keheranannya yang bercampur rasa
terkejut, ketika melihat dua sosok yang tengah menda-
tangi itu memang kawannya. Sungguh tidak disangka
kalau Lingga bisa mengetahui kehadiran mereka. Pa-
dahal, jaraknya masih amat jauh.
"Singa Laut...!"
Dua sosok yang bergerak mendatangi itu langsung
berseru, ketika telah berada lebih dari delapan tombak.
Sambil terus berlari, dua sosok itu menyempatkan diri
untuk melirik pada pemuda berpakaian merah yang
sekarang berdiri bersandar pada sebatang pohon den-
gan sikap tidak peduli.
"Syukur kalian telah datang, Braja, Gintung!" sam-
but Singa Laut, gembira.
"Kau meragukan janji kami?" tanya yang berkulit
hijau. Suaranya parau. Dan lehernya berkedut-kedut
keras, ketika berbicara seperti leher katak! Dialah yang
bernama Braja.
"Apa yang dikatakan saudaraku ini benar, Singa
Laut! Bagi kami, janji adalah segalanya! Apalagi, bila
janji itu sudah menyangkut orang usilan yang berjuluk
Raja Golok Bertangan Baja," sahut sosok yang berkulit
hitam. Namanya, Gintung.
Gintung mempunyai satu tangan. Sedang tangan
yang satu mulai dari pergelangan tangan, diganti baja
yang ujungnya berkait. Sehingga penampilannya cu-
kup mengiriskan.
"Tentu saja kau tidak meragukan janji orang-orang
seperti kalian?! Mana mungkin pemimpin Perampok
Gunung Wilis akan mengingkari janji?! Tunggu apa la-
gi?! Mari lata berangkat!" ajak Singa Laut.
Dua lelaki yang merupakan dedengkot Perampok
Gunung Wilis saling berpandang dengan senyum men-
gembang. Kemudian, seperti diatur, mereka mengang-
guk bersamaan.
Singa Laut pun tersenyum. Kemudian tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, ketiga dedengkot rampok ini
segera melesat meninggalkan tempat itu, didahului
Singa Laut. Sedangkan Braja dan Gintung mengikuti di
belakangnya.
Sementara itu keheranan mulai menggayuti hati
Braja dan Gintung, ketika menyadari kalau hanya me-
reka bertiga yang berangkat. Sedangkan pemuda ber-
pakaian merah yang berada di tempat itu tidak ikut!
Padahal, semula mereka mengira kalau pemuda itu
merupakan kawan. Atau paling tidak, murid Singa
Laut! Kalau bukan, mengapa pemuda tadi berada di si-
tu, tanpa tindakan apa-apa dari Singa Laut?
Dua pemimpin Perampok Gunung Wilis ini sebe-
narnya ingin menanyakan. Tapi karena Singa Laut se-
perti tidak memberikan kesempatan, mereka pun di-
am.
***
"Aneh...."
Sebuah suara mendesah bernada heran meluncur
dari mulut seorang kakek tinggi kurus berpakaian
abu-abu. Kepalanya menengadah, memandang langit.
Kedua tangannya di belakang punggung.
"Benarkah pusaka yang kudapatkan itu golok Ki-
lat?! Kalau benar, mengapa tidak kutemukan kedah-
syatannya seperti yang dulu tersisa? Apakah ini golok
palsu??" lanjut kakek tinggi kurus ini, seperti bertanya
sendiri.
Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan
pinggulnya sedemikian rupa. Maka golok di dalam sa-
rung yang tersampir di punggung pun melesat ke atas.
Seketika, kakek itu mengulurkan tangan, menangkap
begitu senjata tajam itu meluruk turun. Tindakannya
bagaikan tanpa melihat sama sekali.
Kakek berpakaian abu-abu itu mendekatkan golok
ke wajahnya, mencium beberapa saat. Kemudian di-
perhatikannya adanya ukiran-ukiran di bagian sisi ka-
nan dan kiri batang golok. Cukup lama.
"Tidak salah lagi," desah kakek ini lagi, penuh
keyakinan. "Inilah Golok Kilat itu. Aku bisa merasakan
pengaruhnya. Tapi, mengapa kedahsyatannya tidak
pernah muncul?!"
Setelah menutup ucapan dengan pertanyaan yang
entah kapan bisa terjawabnya, golok itu ditudingkan
pada sebatang pohon yang berada dalam jarak lima be-
las tombak darinya.
"Tidak terjadi apa-apa," keluh kakek ini sambil me-
nurunkan tangannya yang memegang golok ke sisi
pinggang. "Ataukah, kedahsyatan yang dikatakan itu
hanya sekadar desas-desus belaka? Ataukah..., ada
rahasia yang harus kupecahkan di sini?!"
"Katakili...!"
Mendadak terdengar seman keras, membuat kakek
berpakaian abu-abu menoleh ke kanan, arah asal sua-
ra itu. Sebentar sepasang matanya terbelalak ketika
mengetahui pemilik suara. Ternyata sosok itu adalah
kakek berpakaian coklat dengan jenggot panjang men-
juntai.
"Malimbong...," desis kakek berpakaian abu-abu
yang dipanggil Katakili. "Apa maksudmu datang kema-
ri?! Jangan katakan kalau si Golok Emas yang menyu-
ruhmu. Ataukah, dia telah begitu tak tahu malu. Se-
hingga, dia berani mengingkari janji yang telah dibuat-
nya sendiri?"
Kakek berpakaian coklat berjenggot panjang yang
dipanggil Malimbong tersenyum sambil mengelus jeng-
gotnya.
"Tidak ada yang menyuruhku untuk datang kema-
ri, Katakili. Dan tidak akan pernah ada yang akan me-
nyuruhku!" tandas Malimbong, mantap.
"Apa maksudmu, Malimbong?!" tanya Katakili
sambil mengerutkan sepasang alisnya. Heran. "Keda-
tanganmu kemari tanpa sepengetahuan si Golok
Emas?!"
"Tanpa sepengetahuan si Golok Emas!" ulang Ma-
limbong sambil tertawa terkekeh. "Kau lucu sekali, Ka-
takili! Apakah kau tidak melihat ini?!"
Malimbong langsung menghunus golok yang terse-
lip di pinggang.
Sring!
Terdengar bunyi nyaring, begitu muncul sinar ke-
kuningan yang menyilaukan mata.
"Golok Emas...?!" desis Katakili kaget, sambil me-
natap tangan kanan Malimbong yang menggenggam
golok berbatang kuning. Golok Emas!.
"Syukur kau masih mengenalnya, Katakili. Dan
agar kau tidak semakin larut dalam kebingungan, per-
lu kuberitahukan bahwa orang yang berhak memegang
golok emas ini adalah aku! Malimbong! Si Golok Emas
yang dulu kau kalahkan, telah kukalahkan! Jadi, aku
sekarang yang berhak menyandang julukan si Golok
Emas! Akulah yang menjadi Ketua Perguruan Golok
Maut!"
Katakili menghela napas berat, tidak merasa heran
lagi sekarang. Dia telah tahu kalau Perguruan Golok
Maut mempunyai peraturan aneh. Setiap anggota per-
guruan dapat menjadi ketua bila mampu mengalahkan
sang ketua. Bila sang ketua dapat dikalahkan, golok
emas akan jatuh di tangan si pemenang. Yang nan-
tinya juga akan berjuluk si Golok Emas, sekaligus
menjadi ketua baru Perguruan Golok Maut (Untuk je-
lasnya, silakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Jadi..., kedatanganmu sekarang untuk menan-
tangku bertarung, Malimbong?!" tanya Katakili dengan
nada pahit.
"Lalu..., kau pikir apa?! Berbincang-bincang den-
ganmu? Buang-buang waktu saja! Aku datang untuk
membuktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar
Raja Golok! Hai, Raja Golok Bertangan Baja! Siapkah
kau menerima tantanganku ini?!"
"Tentu saja, Golok Emas!" sambut Katakili yang
berjuluk Raja Golok Bertangan Baja dengan mantap.
Kali ini Malimbong pun dipanggil dengan julukan, ka-
rena kakek jenggot panjang itu memanggilnya demi-
kian.
"Kalau begitu, bersiaplah, Raja Golok! Aku ingin
membuktikan, kalau Ketua Perguruan Golok Maut le-
bih berhak menyandang julukan Raja Golok daripada
kau! Akan ku tebus kekalahan Golok Emas terdahulu!"
"Tunggu sebentar, Golok Emas!" cegah Raja Golok,
ketika melihat Malimbong sudah bersiap membuka se-
rangan.
Si Golok Emas mengurungkan maksudnya. Dita-
tapnya wajah Katakili lekat-lekat.
"Ada apa lagi, Raja Golok?! Jangan katakan kalau
kau belum siap menghadapiku!"
2
Raja Golok Bertangan Baja menatap wajah si Golok
Emas tak kalah tajam. Dua pasang mata yang sama-
sama berkilatan mengandung kekuatan tenaga dalam
tinggi, saling bentrok. Seakan-akan mereka hendak
mengadu kekuatan melalui pandang mata.
"Aku bukan seorang pengecut, Golok Emas! Setiap
tantangan yang tertuju padaku, pasti akan ku sambut!
Tapi perlu kau ketahui. Kedatanganmu tanpa perjan-
jian. Padahal, sekarang-sekarang ini ada tokoh hitam
yang juga ingin membalaskan kekalahannya padaku.
Dia berjuluk Singa Laut. Jadi, kuharap kau sabar me-
nunggu sebentar. Dan..."
"Aku tidak peduli dengan urusanmu, Raja Golok!"
potong si Golok Emas, cepat sambil mengibaskan tan-
gan kirinya. "Jangankan hanya Singa Laut. Biar Malai-
kat Laut pun, aku tidak akan mau mengalah. Aku da-
tang duluan. Jadi, akulah yang lebih dulu bertarung.
Kecuali..., bila kau mengaku kalah dan menyerahkan
Julukan Raja Golok padaku...."
"Pandanganmu benar-benar picik, Golok Emas.
Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa. Apalagi nyawa-
ku! Yang ku takutkan, hanya apabila Singa Laut me-
narik keuntungan dalam hal ini! Di saat kau dan aku
telah lelah bertarung, dia datang. Maka dengan mudah
kau dan aku akan habis digilasnya. Apalagi kalau dia
datang bersama kawan-kawannya. Pikirkanlah, Golok
Emas?!"
Ketua Perguruan Golok Maut itu terdiam sebentar.
"Apa boleh buat, Raja Golok! Bila itu terjadi, ang-
gap saja satu kesialan. Biar bagaimanapun juga, itu
lebih baik daripada pertarungan kita nanti tak seim-
bang. Sebab, kau kehabisan tenaga, setelah melawan
Singa Laut!" tandas si Golok Emas.
"Kalau begitu keinginanmu, apa boleh buat! Aku
sudah siap, Golok Emas!" sambut Raja Golok, merasa
tak ada pilihan lain lagi.
Baru saja kata-kata Raja Golok Bertangan Baja se-
lesai, si Golok Emas telah menerjangnya.
"Hiaaat..!"
Golok di tangan Ketua Perguruan Golok Maut itu
lenyap bentuknya ketika diputar-putar. Yang terlihat
hanya segulungan sinar kuning keemasan yang me-
luncur ke arah Raja Golok.
"Ilmu golok yang bagus sekali...!" puji Raja Golok
Bertangan Baja, tulus. Golok baja yang tadi telah di-
masukkan, kembali dikeluarkan dan dipergunakan un-
tuk menangkis serangan.
Trang! Trang!
Terdengar bunyi berdentang nyaring beberapa kali
ketika dua batang golok berbenturan.
Si Golok Emas menggeram penuh perasaan pena-
saran ketika tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah
dengan tangan bergetar hebat. Sementara, Raja Golok
Bertangan Baja tampak hanya bergeming sedikit.
"Kau memang hebat, Katakili. Tak aneh kakak se-
perguruanku dulu kalah di tanganmu. Tapi, aku be-
lum kalah!" dengus Golok Emas.
"Chiaaa...!"
Begitu gema ucapan itu lenyap, si Golok Emas
kembali menerjang. Gerakannya lambat, tapi penuh
tenaga seperti gerak seekor gajah! Tapi anehnya, ba-
tang goloknya kelihatan jadi banyak! Bahkan itu pun
ditingkahi bunyi mendesing nyaring melengking, seba-
gaimana bunyi yang keluar dari seruling.
Untuk kesekian kalinya Raja Golok Bertangan Baja
merasa kagum. Dia sadar, Malimbong jauh lebih lihai
daripada si Golok Emas yang dulu dikalahkannya. Ba-
tang golok yang seperti berjumlah banyak dan bunyi
seruling, seharusnya akan terjadi bila Malimbong
menggerakkan goloknya dengan cepat! Tapi nyatanya,
dia mampu melakukannya dengan gerakan lambat.
Tapi Katakili tidak akan mendapat gelar Raja Golok
bila mendapat serangan seperti ini saja sudah kelaba-
kan. Dia hanya berdiri tegak dengan golok diacungkan
ke atas tinggi-tinggi. Sepasang matanya terpejam. Ti-
dak terlihat kakek ini menggetarkan tangan, tapi ba-
tang goloknya bergetar keras hingga memperdengarkan
bunyi mengaung.
Dan bunyi mengaung ini langsung menindih bunyi
melengking yang timbul dari getaran golok Malimbong.
Sedangkan serangan-serangan si Golok Emas sendiri,
berhasil dipunahkan Raja Golok Bertangan Baja tanpa
menggeser kedudukan sama sekali. Dan masih dengan
mata terpejam, kakek bernama Katakili itu mengelak-
kan setiap serangan. Tubuhnya doyong ke kanan dan
kiri, sehingga belum ada satu serangan pun yang
mendarat di tubuhnya.
Sementara itu si Golok Emas dan Raja Golok Ber-
tangan Baja sama sekali tidak tahu kalau saat perta-
rungan dimulai, telah ada beberapa sosok tengah men-
gawasi. Tiga sosok berada di kerimbunan semak-
semak. Sedangkan satu sosok lagi, berada di atas se-
batang pohon."
Dan disaat terdengar bunyi mendesing akibat se-
rangan si Golok Emas, tiga sosok yang tak lain dari
Singa Laut, Braja, dan Gintung yang merupakan pe-
mimpin Perampok Gunung Wilis ini merasa tersiksa
bukan main. Mereka sampai duduk bersila dan menge-
rahkan seluruh tenaga dalam untuk melawan penga-
ruh yang menyakitkan. Tapi, toh mereka tetap kewala-
han.
Sekujur tubuh mereka menggigil keras. Peluh se-
besar biji jagung telah membanjiri wajah yang menye-
ringai kesakitan. Apabila siksaan ini terus berlang-
sung, Singa Laut dan kedua kawannya akan terluka
dalam yang amat parah! Bahkan, bukan tidak mung-
kin akan tewas!
"Auuung... "
Di saat yang mengkhawatirkan, mendadak terden-
gar bunyi mengaung, menekan bunyi desingan yang
menyiksa. Singa Laut dan kedua kawannya langsung
merasakan kalau pengaruh yang membuat penderi-
taan hebat, semakin berkurang. Dan kini berganti rasa
nyaman yang membuat mereka terbuai nikmat!
Singa Laut dan dua Pemimpin Perampok Gunung
Wilis tidak segera menyadari akan kedahsyatan penga-
ruh bunyi mengaung. Mereka tidak melakukan perla-
wanan sama sekali. Rasa yang diterima demikian nik-
mat, sehingga membuat mereka malah mengikuti.
Ketiga tokoh sesat ini baru menyadari ketidakbere-
san ini ketika merasakan sekujur otot-otot dan urat-
urat syaraf terasa lelah bukan main. Demikian pula
mata mereka. Tidak ada keinginan lain lagi bagi mere-
ka, kecuali merebahkan diri dan tidur. Hanya itu yang
dibutuhkan, karena mata sudah hampir tidak dapat
lagi dibuka!
Penderitaan yang sama juga dialami si Golok Emas!
Dicobanya sekuat tenaga untuk semakin memperkuat
bunyi desingan goloknya. Tapi, ternyata dia tidak kua-
sa! Bunyi mengaung yang ditimbulkan Raja Golok be-
nar-benar tidak mampu ditanggulangi, dan merasuk
tanpa bisa tertahan. Halus tapi pasti. Dan anehnya,
langsung menyerang bagian-bagian tertentu yang ber-
hubungan dengan syaraf istirahat!
Kini serangan-serangan si Golok Emas mengendur
dengan cepat. Bahkan terlihat ngawur karena rasa ke-
lelahan yang amat sangat. Dan bila hal ini terus ber-
langsung, Ketua Perguruan Golok Maut ini akan roboh.
Meskipun demikian, bila dibandingkan Singa Laut
dan kedua kawannya, keadaan si Golok Emas jauh le-
bih baik. Ketiga tokoh sesat itu telah rebah di tanah
berumput, setelah beberapa kali menggeliat dan men-
guap! Mereka telah tertidur!
Tak, tak, takkk...!
Mendadak terdengar bunyi bergemeletak seperti
ada dua batang logam beradu, saat keadaan si Golok
Emas telah semakin mengkhawatirkan. Bunyi yang di-
yakini berasal dari campur tangan orang lain, menye-
ruak mengatasi bunyi mengaung yang timbul dari ge-
taran golok si Raja Golok! Bunyi itu bahkan mampu
menekan pengaruh bunyi mengaung. Sehingga, kea-
daan si Golok Emas berangsur-angsur pulih. Seran-
gan-serangan pun semakin menghebat
Raja Golok menyadari kalau ada orang yang telah
ikut campur tangan dalam pertempuran. Rasa tidak
senangnya pun timbul. Apalagi, karena mengetahui
kalau orang usilan itu membantu si Golok Emas.
Sambil melempar tubuh ke belakang, Raja Golok
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia tahu ka-
lau orang yang membantu Ketua Perguruan Golok
Maut itu memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa dike-
tahui tak hanya dari bunyi bergemeletak yang telah
mampu menekan bunyi aungan goloknya, tapi asalnya
pun tidak bisa dilacak. Itu berarti orang yang ikut
campur tangan memiliki ilmu 'Memindahkan Suara'.
Padahal, ilmu itu hanya bisa dimiliki tokoh yang memi-
liki tenaga dalam sukar diukur.
Jantung Raja Golok berdetak lebih cepat, ketika
akhirnya berhasil mengetahui orang usil yang ikut
campur tangan dalam urusannya. Orang itu ternyata
duduk bersila di atas sebatang cabang pohon, tiga
tombak di depannya. Tapi hebatnya, cabang yang
hanya sebesar ibu jari kaki itu tidak melengkung sama
sekali! Seakan-akan yang berada di atasnya adalah
seekor burung gereja!
Dari sini saja bisa diketahui kalau sosok usilan itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat luar bi-
asa. Dan keterkejutan Raja Golok makin bertambah
ketika melihat sosok yang ternyata seorang pemuda
tampan berpakaian merah dengan ikat kepala juga me-
rah itu, tengah membenturkan dua helai daun. Ru-
panya, bunyi gemeletak keras berasal dari benturan
dua helai daun itu. Gila!
Sementara itu, pemuda berpakaian merah yang tak
lain Lingga hanya tersenyum dingin ketiga beradu
pandang dengan Raja Golok Bertangan Baja. Senyum-
nya hanya sebentar saja, karena Raja Golok Bertangan
Baja telah kembali disibukkan oleh serangan-serangan
si Golok Emas yang semakin gencar.
Pemuda berpakaian merah itu kembali tersenyum
dingin. Sementara matanya tak lepas dari pertarungan
yang tengah berlangsung, tangan kanannya menjulur
ke atas dengan jari-jari terbuka.
Brrr...!
Bagaikan dihembus angin keras, puluhan daun
pohon yang berada di atas kepala Lingga berguguran.
Tapi, semuanya melayang ke arah tangannya yang ter-
buka dan jatuh bertumpuk-tumpuk!
Masih tanpa mengalihkan pandangan, pemuda ini
mengibaskan tangannya.
Wesss...!
Seketika, puluhan daun itu melayang dengan ke-
cepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi berdesing
nyaring. Arah yang dituju kali ini adalah si Golok
Emas.
Si Golok Emas terkejut bukan main, ketika menya-
dari adanya serangan gelap. Buru-buru dipapaknya
daun-daun itu dengan golok!
Brettt...! Brettt...!
Bunyi sayatan keras terdengar berkali-kali ketika
batang golok si Golok Emas berbenturan dengan daun-
daun yang bertubi-tubi meluncur ke arahnya secara
satu persatu. Setiap terjadi benturan, tangan si Golok
Emas kontan bergetar hebat
Bret!
"Aaakh...!"
Pada benturan kelima jari-jari tangan si Golok
Emas tak kuat lagi mencekal golok, hingga terlepas da-
ri pegangan. Dan ini sampai membuat seruan tertahan
dari mulutnya. Sementara serangan daun-daun itu
masih meluncur ke arahnya.
Cepat bagai kilat Ketua Perguruan Golok Maut ini
membanting tubuhnya ke tanah, lalui menjauhkan diri
dengan bergulingan.
Sementara itu si Raja Golok Bertangan Baja sendiri
tidak luput dari serangan. Begitu melihat adanya se-
rangan, segera dia melompat ke belakang.
"Heaaat...!"
Saat itu Singa Laut dan dua kawannya yang sudah
terbangun dari tidurnya melompat keluar dari semak-
semak dan langsung mengirimkan serangan.
Singa Laut mempergunakan golok bermata gergaji.
Sedangkan Braja dan Gintung memakai tombak pen-
dek dan trisula.
Raja Golok Bertangan Baja cukup terkejut menda-
pat serangan mendadak ini. Maka cepat goloknya ber-
gerak memapak bertubi-tubi.
Trang, trang, trang!
Tangkisan Raja Golok Bertangan Baja membuat
tubuh para penyerangnya terhuyung-huyung ke bela-
kang, karena kalah tenaga dalam.
Namun sebelum kedua belah pihak saling gebrak
kembali, Lingga telah lebih dulu melayang turun, lalu
hinggap di tengah-tengah,
"Monyet-monyet kecil! Lebih baik kalian menying-
kir, sebelum aku lupa diri!" dengus Lingga dingin pada
Singa Laut, Braja dan Gintung tanpa menoleh sedikit
pun.
Singa Laut tahu diri. Telah dirasakannya sendiri
kehebatan pemuda berpakaian merah ini. Maka buru-
buru dia melompat mundur. Tapi, tidak demikian hal-
nya Braja dan Gintung. Mereka malah marah menden-
gar kata-kata yang diucapkan seorang pemuda kema-
rin sore. Siapa yang tidak menjadi kalap?
"Pemuda gila! Mampuslah kau...!" bentak Braja.
Hampir berbareng dengan keluarnya bentakan pe-
nuh kemarahan, dua Pemimpin Perampok Gunung Wi-
lis itu menyerbu. Golok dan trisula mereka meluncur
ke arah dada dan perut Lingga.
Wut, wuttt!
Namun pemuda berpakaian merah ini tidak menge-
lak sama sekali. Akibatnya, serangan-serangan itu
mendarat telak dan keras.
Buk! Duk!
Trak! Trak!
Tapi, malah dua senjata itu yang patah-patah.
Lingga tersenyum mengejek melihat keterkejutan dua
orang yang menyerangnya. Kemudian....
"Cuhhh, cuhhh...!"
Begitu Lingga meludah, dua gumpalan yang sebe-
narnya adalah cairan menjijikkan, meluncur ke arah
dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis itu.
Braja dan Gintung tahu akan bahaya. Maka mere-
ka segera melompat menyamping, agar serangan ludah
itu lolos dari sasaran.
"Heh?!"
Jantung dua tokoh rampok ini seperti berhenti
berdetak, ketika melihat ludah-ludah itu bagaikan
bernyawa! Cairan-cairan menjijikkan yang menggum-
pal itu ikut berbelok arah, tetap mengancam keselama-
tan mereka.
Kejadian yang tidak terduga ini membuat dua ka-
wan Singa Laut ini kelabakan. Mereka terpontang-
panting untuk mengelak. Tapi, gumpalan-gumpalan
ludah itu tetap mengikuti. Padahal kini, keadaan me-
reka benar-benar terpojok. Sehingga....
Cr as, cras!
"Aaa...! Aaakh...!"
Keduanya hanya menjerit tertahan, ketika dahi me-
reka ambrol ditembus gumpalan ludah yang sebenar-
nya mampu menembus batu karang.
Singa Laut, si Golok Emas yang telah bebas dari
kejaran daun, dan Raja Golok, terkesima melihat keja-
dian itu. Apa yang terlihat merupakan bukti nyata dari
kekuatan tenaga dalam tak terukur milik pemuda ber-
baju merah ini. Sampai-sampai mampu membuat
gumpalan ludah seperti, mempunyai nyawa!
Singa Laut semakin mundur. Dia khawatir, menja-
di korban pemuda yang bersikap dingin tapi berhati
keji. Lelaki bertelanjang dada ini sempat menghem-
buskan napas lega ketika melihat Lingga tidak mem-
perhatikannya sama sekali. Karena yang dijadikan sa-
saran perhatian adalah Raja Golok Bertangan Baja!
Raja Golok Bertangan Baja tahu, pemuda itu men-
gincarnya. Disadari betul kalau nyalinya tidak ciut.
Bahkan begitu tahu pemuda ini tidak bersenjata, sen-
jatanya segera dimasukkan kembali ke warangkanya.
"Berikan senjata itu, Raja Golok! Dan aku berjanji
tidak akan mengambil nyawamu!" gertak Lingga, Datar
dan dingin suaranya.
"Aku hanya akan memberikannya, apabila nyawa-
ku telah terlepas dari badan, pemuda keji!" balas Kata-
kili, tak mau kalah gertak.
"Hih...!"
Wuttt...!
Raja Golok Bertangan Baja langsung mengirimkan
tamparan tangan kanan ke arah pelipis. Serangan
yang akan mampu mengirim nyawa tokoh berkepan-
daian rendah ke alam baka, walaupun hanya terkena
sedikit saja!
"Huh...!"
Namun Lingga hanya mendengus. Tangan kanan-
nya pun diayunkan untuk memapak serangan.
Melihat hal ini, Raja Golok Bertangan Baja terse-
nyum, mengejek dalam hati. Pikirnya, pemuda ini be-
nar-benar masih hijau, dan hanya mengandalkan ke-
sombongan belaka. Tidak tahukah pemuda itu kalau di
samping berjuluk Raja Golok, Katakili pun mendapat
gelar Bertangan Baja, karena memiliki tangan amat
kuat?
Plak!
"Heh?!"
Kegembiraan Raja Golok Bertangan Baja mendadak
sirna, ketika tangan pemuda ini tidak patah sama se-
kali. Bahkan, justru Raja Golok Bertangan Baja sendiri
yang mengalami kejadian mengejutkan! Tangannya
seakan berbenturan dengan gumpalan kapuk! Sehing-
ga, tenaganya menjadi lenyap entah ke mana!
Belum lagi keterkejutannya sirna, Katakili telah
menerima kenyataan yang mengagetkan. Ternyata tan-
gannya yang berbenturan tidak bisa ditariknya kemba-
li, melekat dengan tangan pemuda ini.
Raja Golok Bertangan Baja terkejut bukan main.
Diusahakannya sedapat mungkin untuk menarik, tapi
tetap sia-sia. Hatinya menjadi cemas bukan main. Apa-
lagi ketika tiba-tiba merasakan adanya aliran hawa
panas dari tangan pemuda itu yang amat dahsyat.
Seakan-akan tangannya diletakkan dalam bubur besi
yang membara!
Hanya dalam waktu sebentar saja, wajah Raja Go-
lok Bertangan Baja merah padam seperti udang rebus.
Peluh sebesar biji jagung menetes-netes dari wajahnya.
"Hih!"
Katakili mencoba mengirimkan serangan lain,
menggunakan tangan yang masih bebas, dan juga ka-
ki.
Tapi sebelum maksud itu berhasil, hanya dengan
tudingan jari tangan kiri....
Tuk, tuk!
Lingga telah membuat bagian tubuh yang hendak
digerakkan Raja Golok Bertangan Baja lumpuh. Ru-
panya pemuda berpakaian merah ini menggunakan to-
tokan jarak jauh.
Raja Golok Bertangan Baja gelisah bukan main.
Rasa panas yang diderita telah semakin dahsyat. Dan
dia mulai tidak tahan lagi. Sepasang matanya bahkan
telah merah seperti orang sakit mata. Tak lama lagi,
tokoh golongan putih ini akan tewas secara mengeri-
kan!
Kejadian ini pun diketahui si Golok Emas. Dan dia
pun tidak sampai hati membiarkannya. Antara si Go-
lok Emas dengan Raja Golok Bertangan Baja memang
ada urusan. Tapi bukan berarti membenci, menden-
dam, apalagi memusuhi. Urusan yang ada hanya
memperebutkan gelar. Maka melihat keadaan Raja Go-
lok Bertangan Baja, Ketua Perguruan Golok Maut ini
berani membantu. Karenanya bukan tidak mungkin,
apabila berhasil membunuh Raja Golok, pemuda itu
akan membunuhnya pula. Si Golok Emas sadar kalau
pemuda berpakaian merah ini memiliki watak keji!
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Golok Emas
tahu bagaimana caranya menyelamatkan Raja Golok
Bertangan Baja. Maka dengan tenang, dihampirinya
dua tokoh yang tengah berkutat itu.
Kalau saja si Golok Emas memiliki watak licik, ke-
sempatan seperti itu akan dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk mengirim serangan. Tapi, dia tak mela-
kukan. Bertindak seperti ini saja, hatinya malu. Hanya
saja perasaan itu ditekan dengan bantahan, kalau tin-
dakan yang hendak dilakukannya semata-mata untuk
menolong Raja Golok!
Begitu berada di dekat dua tokoh yang tengah ber-
seteru, si Golok Emas meluruskan dua jarinya. Kemu-
dian jari-jarinya digerakkan.
Bagian yang dituju si Golok Emas adalah bawah
siku, untuk membuat tangan kanan Raja Golok Ber-
tangan Baja lumpuh sejenak. Dengan demikian aliran
tenaga dalam dari pemuda itu putus. Bila hal ini terja-
di, maka kekuatan yang menyedot tangan Raja Golok
Bertangan Baja terlepas!
3
Tuk, tukkk!
Telak dan keras sekali jari-jari tangan si Golok
Emas mendarat di sasaran. Namun kesudahannya, dia
sendiri yang menjadi kaget. Ujung-ujung jarinya sea-
kan menghantam karet yang keras dan kenyal. Se-
hingga membuat tenaganya seperti tenggelam.
Sementara, Lingga hanya melirik. Terlihat adanya
ancaman yang mampu membuat detak jantung orang
seperti si Golok Emas terasa bertambah cepat.
"Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka Dungu!
Kau akan menerima balasannya, setelah kakek ini ku-
bereskan!"
Usai berkata demikian, Lingga segera mengerahkan
tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Raja Golok Ber-
tangan Baja terjengkang ke belakang. Darah menyem-
bur deras dari mulutnya. Ketika jatuh mencium tanah,
tubuhnya tak bergerak lagi.
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
gannya. Kemudian dibuatnya gerakan menarik secara
keras.
Srang.
Wesss!
Seketika golok yang berada di punggung Raja Go-
lok Bertangan Baja melayang keluar dari rongganya,
langsung meluncur ke arah Lingga bagai ditarik tangan
tak nampak!
Saat golok itu tengah melayang, si Golok Emas me-
lancarkan babatan dengan senjata andalan ke arah
leher Lingga. Dan diyakininya betul kalau pemuda
berpakaian merah itu mendengar kedatangan seran-
gannya. Tapi yang diherankannya, pemuda itu tidak
hendak untuk mengelak atau menangkis.
Kenyataan ini membuat si Golok Emas merasa he-
ran. Dalam hatinya, bergayut pertanyaan. Apakah pe-
muda itu demikian yakin akan kekuatan tenaga da-
lamnya, sehingga tidak mau mengelakkan serangan?
Takkk!
Si Golok Emas baru yakin dengan kekuatan tenaga
dalam si pemuda ini ketika mata goloknya tidak mam-
pu membuat leher itu buntung. Goloknya kontan ter-
pental kembali. Bahkan tangannya bergetar hebat.
Si Golok Emas kaget. Tapi lebih kaget lagi ketika
golok milik Katakili berhasil ditangkap Lingga. Bahkan
pemuda berpakaian merah itu menyerang tiba-tiba.
Goloknya langsung diayunkan ke arah perut. Begitu
cepat gerakannya sehingga....
Brettt!
"Aaakh...!"
Si Golok Emas memekik memilukan ketika ujung
golok Lingga merobek lebar perutnya secara mendatar.
Darah segar langsung memancur deras. Golok Emas
limbung mendekap luka dengan mata terbelalak me-
mancarkan ketidakpercayaan.
Sementara pemuda berpakaian merah tidak mem-
pedulikannya. Bahkan tangan kirinya cepat mengibas.
Wesss!
Plak!
"Aaakh!"
Si Golok Emas mengeluh kesakitan ketika tangan-
nya yang menggenggam golok seperti terhantam baja!
Dia tahu, itu akibat pukulan jarak jauh yang dile-
paskan pemuda ini lewat kibasannya.
Si Golok Emas yang telah jatuh terbaring di tanah
tidak teringat lagi akan golok emasnya yang terpental
akibat pukulan jarak jauh pemuda itu. Goloknya sen-
diri melayang deras bagai dilemparkan. Dan arah yang
ditujunya adalah tempat Singa Laut berdiri
Singa Laut cepat menyadari akan adanya bahaya.
Maka dia cepat melompat ke samping untuk menyela-
matkan diri. Tapi betapa kaget hatinya ketika menya-
dari tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali! Pa-
dahal, dia tidak melihat Lingga menggerakkan tangan
ke arahnya. Memang, dengan gerakan yang sukar di-
ikuti mata, pemuda ini telah mengirimkan totokan ja-
rak jauh terhadapnya, sehingga tubuhnya tak bisa di-
gerakkan lagi.
Dan Singa Laut hanya bisa menatap dengan mata
terbelalak lebar, menanti datangnya maut melalui go-
lok emas milik Malimbong! Dan....
Crap!
"Aaakh...!"
Tak bisa dihindari lagi golok emas itu menancap di
dahi Singa Laut. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya
menggelepar bergelimang darah. Kemudian, diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya! Mati!
"Ha ha ha...!?
Lingga tertawa bergelak penuh kegembiraan. Pan-
dangannya dilayangkan pada mayat-mayat dengan wa-
jah menyiratkan kepuasan.
"Dewa Arak...! Di mana pun kau berada..., dengar-
lah. Kau akan mati di tanganku! Tunggulah saat kema-
tianmu...!"
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
tangan dengan menghadapkan wajah ke empat penju-
ru.
Setelah unek-uneknya keluar, Lingga menyelipkan
golok milik Raja Golok di pinggang. Kemudian kakinya
terayun meninggalkan tempat ini.
***
Derrr!
Getaran keras pada tanah yang dipijak, membuat
seorang pemuda berambut putih keperakan me-
nautkan alisnya. Wajahnya yang tampan dihadapkan
ke depan, tempat asal getaran pada tanah. Langkah-
nya yang semula lambat, kini agak dipercepat, sema-
kin memasuki kawasan hutan yang cukup lebat ini.
Pemuda bertubuh kekar terbungkus pakaian ungu
ini yakin getaran sedahsyat tadi tidak akan terjadi be-
gitu saja. Yang jelas, ada penyebabnya. Kalau tidak
ada pohon tumbang, pasti ada batu sebesar gajah yang
jatuh ke tanah. Atau mungkin juga, jejakan kaki seo-
rang tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam
amat tinggi.
Saat ini, jarak pemuda berpakaian ungu ini dengan
penyebab getaran itu cukup jauh juga. Rimbunnya
semak-semak dan onak duri beberapa kali harus dile-
wati dan disibaknya. Baru kemudian dia menemukan
penyebabnya,
Sekitar lima tombak di depan pemuda ini, tampak
beberapa pohon yang batangnya tak kurang dari tiga
pelukan tangan orang dewasa tergolek. Satu di anta-
ranya masih utuh, tapi yang lain tengah dikerjakan so-
sok tubuh tinggi besar terbungkus pakaian sederhana
berwarna gelap, untuk dijadikan potongan kecil.
Sosok tubuh tinggi besar ini berdiri membelakangi
pemuda berpakaian ungu. Dan rupanya, telinganya ti-
dak mendengar kedatangan pemuda itu. Dia terus si-
buk mengurusi pohon-pohonnya.
Melihat pakaiannya, pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau sosok itu adalah seorang pendu-
duk biasa saja. Tapi, tindakan yang dilakukan mem-
buat pemuda ini tahu kalau sosok tinggi besar itu bu-
kan orang biasa.
Ternyata sosok tinggi besar, itu membelah-belah
batang pohon dengan cara luar biasa. Kaki kanannya
mencungkil batang pohon itu, sehingga terlempar ke
atas. Kemudian batang pohon itu disampok dengan
kedua sisi telapak tangan;
Cepat bukan main gerakan tangan sosok itu, se-
hingga yang terlihat hanya bayangan tak jelas diikuti
dengan bunyi bergemuruh. Sekejap kemudian batang
pohon itu telah jatuh ke tanah dalam bentuk poton-
gan-potongan berbentuk tongkat pendek. Bertumpuk
seperti diatur tangan terampil.
Pemuda berpakaian ungu ini mendesah kagum da-
lam hati. Tindakan ini saja sudah membuktikan keli-
haian sosok tinggi besar di depannya. Dan ini mem-
buat sikapnya waspada. Dia belum yakin, dari golon-
gan mana sosok tinggi besar itu. Seketika jalannya di-
perlambat kembali, seperti jalan biasa.
Sosok tinggi besar itu rupanya merasakan kehadi-
ran orang lain. Seketika tubuhnya berbalik ketika pe-
muda berpakaian ungu itu baru saja berhenti tiga tin-
dak di belakangnya.
Pemuda berambut putih menatap wajah sosok
tinggi besar yang juga menatapnya. Kini dua pasang
mata yang sama-sama tajam saling menatap penuh se-
lidik.
"Ah!"
Kedua belah pihak sama-sama mendesah begitu
saling beradu pandang. Sorot mata masing-masing pi-
hak menyiratkan keterkejutan yang besar.
"Dewa Arak...?!" sebut sosok tinggi dengan kepala
botak itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Arya Buana
atau Dewa Arak ini masih menatap sosok lelaki berwa-
jah bersih tanpa kumis, jenggot, atau cambang, da-
hinya berkerut, karena merasa pernah mengenalinya.
Maka dicobanya untuk mengingat-ingat.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkepala botak itu tertawa bergelak penuh
rasa gembira. Tawanya keras dan lepas, namun sama
sekali tak ada nada ejekan atau permusuhan di da-
lamnya.
"Menakjubkan sekali! Kau telah lupa padaku, Dewa
Arak?! Kau yang telah pikun atau aku yang terlalu ba-
nyak berubah! Ingat-ingatlah, Dewa Arak...!"
Alis Dewa Arak makin bertaut dalam. Suara itu
pun seperti pernah didengarnya. Berarti dia telah per-
nah bertemu dan bercakap-cakap dengan lelaki berke-
pala botak ini.
"Ha ha ha...! Rupanya kau perlu bantuanku untuk
mengingat-ingat, Dewa Arak. Baiklah. Aku akan sedikit
membantu ingatanmu!"
Lelaki berkepala botak ini segera menggerakkan
tubuhnya, seperti seekor ayam membersihkan debu
yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya lepas dari tu-
buh dan melayang ke atas. Sehingga tubuhnya yang
kekar dan dipenuhi otot-otot melingkar terlihat. Keliha-
tan kokoh kuat, laksana batu karang!
"Ah..!"
Sepasang mata Arya terbelalak semakin lebar. Tapi,
wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang.
"Setan Kepala Besi rupanya.... Luar biasa.... Kau
telah sangat berbeda, Kek. Aku sampai pangling. Kau
benar-benar berubah jauh...," desah Arya, setelah te-
ringat siapa lelaki botak di depannya.
Lelaki tinggi besar yang ternyata Setan Kepala Besi
tertawa bergelak. Suaranya keras, sehingga membuat
sekitar tempat ini bergetar keras. Daun-daun sampai
berguguran dari pohonnya.
"Syukur kau masih mengingatku, Dewa Arak, Ku-
pikir kau telah lupa. Lagi pula, apa untungnya men-
gingat-ingat orang sepertiku. Tidak ada yang luar bi-
asa," sambut Setan Kepala Besi, tenang. Arya ikut ter-
tawa.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengingat, kalau
kau telah berubah demikian jauh, Kek. Perbandingan-
nya bagaikan bumi dan langit. Kau telah berubah de-
mikian jauh! "
"Kau masih saja tidak berubah, Dewa Arak. Pandai
merendah. Ha ha ha....!"
Dua tokoh yang saling mengenal itu tanpa sadar
teringat kembali akan masa perkenalan mereka (Untuk
jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Setan Kepala
Besi silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Memburu Putri Datuk" dan "Jamur Sisik Nagaj.
"Beginilah keadaanku sekarang, Dewa Arak," Setan
Kepala Besi kembali membuka percakapan, setelah
cukup lama termenung. "Aku telah menjauhkan diri
dari kancah persilatan. Hidup di tempat ini menjadi
seorang penebang kayu agar bisa hidup. Hasil dari
usahaku ini kujual dan ku belikan makanan. Terka-
dang, aku mencari binatang-binatang untuk disantap.
Menggelikan, bila mengingat dulu aku tidak perlu re-
pot seperti ini hanya untuk makan saja. Tapi, yahhh....
Nikmat sekali hidup seperti ini. Batin jadi terang te-
nang."
Arya mengangguk-angguk. Hatinya merasa bahagia
mendengar tokoh yang dulu merupakan pentolan du-
nia hitam, dan telah hampir membuatnya kelabakan
untuk mengalahkannya, sekarang telah sadar dan
menjauhi jalan sesat. Dewa Arak kagum bukan main.
Disadari betul kalau untuk melakukan hal demikian,
bukan suatu yang mudah.
"Apakah ada keperluan, sehingga kau bisa berada
di daerah ini, Dewa Arak?!" tanya Setan Kepala Besi,
ingin tahu. Sepasang matanya tetap tajam mencorong,
namun telah kehilangan sinar kebuasannya. Ditatap-
nya wajah Arya penuh selidik. Seakan-akan ingin di-
baca, apa yang tersembunyi di hati pemuda berambut
putih keperakan di depannya.
"Sama sekali tidak, Kek. Aku di sini hanya mengi-
kuti kemauan kakiku saja. Meneruskan pengemba-
raan...."
"Memberantas kejahatan dan tindak ketidakadilan
dl muka bumi ini. Bukankah demikian, Dewa Arak?!"
Sambung Setan Kepala Besi, memotong ucapan pemu-
da berambut putih keperakan itu.
Arya hanya tersenyum, tanpa memberi jawaban
sama sekali.
"Karena tidak mempunyai urusan yang penting dan
mendesak, aku ingin kau sudi mampir di tempatku,
Dewa Arak. Kita rayakan pertemuan ini. Bagaimana?
Ingat, apa pun pilihan mu aku tidak peduli. Apa pun
jawaban yang kau berikan, setuju atau tidak, kau te-
tap harus mampir ke tempatku. Akan kusediakan ma-
kanan dan hidangan istimewa!" desah Setan Kepala
Besi.
Arya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir
mengulum senyum.
"Ternyata masih ada sifatmu yang belum berubah,
Setan Kepala Besi," kata Arya merubah sapaannya.
Lelaki berkepala botak yang sebenarnya telah be-
rusia sekitar enam puluh tahun tapi masih memiliki
tubuh kekar itu menatap Dewa Arak dengan sinar ma-
ta penuh selidik.
"Kau masih suka memaksakan keinginanmu sendi-
ri."
Wajah Setan Kepala Besi berseri-seri mendengar
jawaban itu.
"Tidak ada salahnya kan, Dewa Arak? Toh, aku
memaksakan kehendak untuk membuat hal yang
baik," kilah lelaki berkepala botak itu, membela diri.
Arya mengangkat kedua bahunya. Dan Setan Kepa-
la Besi pun tersenyum lebar. Baginya, jawaban Dewa
Arak itu telah lebih dari cukup sebagai tanda persetu-
juan.
"Mari, Dewa Arak. Aku yakin Nuri akan gembira
melihatmu. Aku banyak cerita tentangmu padanya,"
ajak Setan Kepala Besi.
"Nuri?!" Arya mengernyitkan dahi, bingung dan he-
ran.
"Muridku, Dewa Arak," jawab Setan Kepala Besi
sambil tertawa bergelak. "Tidak usah kau pikirkan, ka-
rena sebentar lagi akan melihatnya. Ayo!"
Arya tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena Setan
Kepala Besi telah melesat cepat meninggalkan tempat
ini. Dia tidak membawa kayu-kayu yang telah selesai
dibelah-belahnya. Mungkin lupa. Arya hanya men-
gangkat bahu, kemudian melesat menyusul.
"Nah! Inilah muridku, Dewa Arak. Nuri, yang ku ce-
ritakan padamu itu," jelas Setan Kepala Besi begitu
mereka tiba di pondok. Sebuah rumah sederhana ber-
dinding papan dan beratap rumbia.
Sementara itu seorang gadis cantik berpakaian
serba merah tampak tersenyum manis. Dialah Nuri.
Tahi lalat di bawah hidung sebelah kiri menambah
manis wajahnya kala tersenyum.
Arya balas tersenyum sambil mengangkat tangan
kanannya ke atas sedikit.
"Inilah tokoh besar yang sering kuceritakan itu,
Nuri. Dia adalah pendekar yang memiliki kepandaian
amat tinggi, tapi memiliki watak rendah hati. Dewa
Arak!" kata lelaki berkepala botak itu, ganti memper-
kenalkan Arya pada muridnya
Nuri menatap Arya tanpa menyembunyikan sinar
kekaguman yang memancar pada wajahnya. Dan ini
membuat selebar wajah pemuda berpakaian ungu itu
seperti panas.
"Setan Kepala Besi memang pandai memuji, Nuri.
Padahal, apalah artinya kepandaianku bila dibanding
dengannya," timpal Arya merendah.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Sekarang, kuharap kau bersedia menunggu di sini
sebentar, Dewa Arak. Aku akan mencarikan hidangan
yang istimewa untukmu. Kalau perlu apa-apa, bilang
saja pada Nuri. Dan kau, Nuri. Layani baik-baik tamu
agung ini," pesan Setan Kepala Besi pada muridnya.
Nuri mengangguk, mengiyakan. Tapi, Setan Kepala
Besi tidak melihat anggukannya karena telah keburu
melesat meninggalkan tempat ini. Yang tinggal hanya
Arya dan Nuri.
"Biar ku ambilkan minuman dulu untukmu, Dewa
Arak," kata Nuri, segera berbalik dan masuk ke dalam.
Arya tidak sempat menimpali, dan hanya sempat
melihat bagian belakang tubuh gadis itu. Tak sengaja
Dewa Arak memandang pinggul Nuri. Sehingga tanpa
sadar, dia menelan ludahnya sendiri melihat pinggul
padat yang bergerak naik turun, ketika gadis berpa-
kaian merah itu berjalan. Hanya sebentar saja Nuri le-
nyap ke dalam, tak lama sudah kembali dengan mem-
bawa sebuah guci kecil dan gelas bambu. Arya saat ini
sudah duduk di kursi dengan kedua tangan terletak di
meja. Pandangannya tertuju ke bagian dalam ruangan.
Begitu melihat Nuri, jantungnya kontan berdenyut ke-
tika terbentur pada dua buah tonjolan di bagian dada.
Gadis ini terlihat manis dan menggiurkan. Buru-buru
Arya mengalihkan pandangan ke lantai.
"Sudah lama kau menjadi murid Setan Kepala Besi,
Nuri?!" tanya Arya, begitu gadis itu meletakkan guci
dan gelas.
Kini Nuri duduk di depan Arya, dibatasi meja ber-
bentuk empat persegi panjang. Meja sederhana dari
kayu biasa.
"Hampir lima belas tahun, Dewa Arak," jawab Nuri
sambil menatap wajah Arya. Sikapnya tenang, tidak
malu-malu dan penuh percaya diri.
Arya mengangguk-angguk kepala lebih dulu. Entah
apa arti anggukannya. Yang jelas, pertanyaannya tidak
langsung disambung.
"Mungkin kau kenal tokoh yang berjuluk Dewi Pen-
cabut Nyawa?!" tanya Arya lebih jauh. "Oh, ya. Hampir
aku lupa. Tolong panggil aku dengan nama saja, Nuri.
Bukankah sapaan Arya lebih mengandung keakraban
daripada Dewa Arak?"
Nuri tersenyum. Manis sekali. Bibirnya yang mun-
gil dan merah membasah jadi terlihat menggiurkan.
"Aku tidak keberatan dengan usulmu itu, De..., eh!
Arya. Tapi, aku pun punya usul juga untukmu."
"Apa itu, Nuri?!"
"Kau meminum apa yang tersaji di meja, tapi ada
syaratnya. Tentu saja kalau kau setuju," ujar Nuri,
menggantung lanjutan perkataan di tengah jalan.
"Katakan saja, Nuri. Kalau tidak berat, bukan tidak
mungkin ku penuhi," jawab Arya, tak berani menjanji-
kan. Terhadap gadis yang bersikap terbuka tapi tenang
seperti Nuri, Dewa Arak memang tidak berani berkata
sembar angan.
"Aku ingin kau meminum arak ini tidak secara bi-
asa. Maksudku minum dengan cara tidak bisa dilaku-
kan sembarang orang," jelas Nuri.
Arya terdiam sebentar, kemudian tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tidak berbeda dengan gurumu, Nuri. Benar
kata pepatah. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya"
kata Dewa Arak, seperti meledek.
"Apa maksudmu, Arya?" tanya Nuri sambil menge-
rutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah. Dia
masih belum paham maksud perkataan pemuda ini.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawab Arya, kalem.
"Aku hanya sedikit kagum dengan kesamaan sikapmu
dengan Setan Kepala Besi. Begitu bertemu, gurumu
kan mengujiku. Dan kau pun bertindak serupa. Tapi...,
tak apalah. Hitung-hitung menikmati hidangan sambil
mengadakan pertunjukan."
Wajah Nuri berseri. Dan Arya harus mengakui ka-
lau gadis ini jadi bertambah cantik. Kulit wajahnya
yang putih, halus, dan mulus, jadi terlihat semakin
cemerlang.
"Sekarang, lihatlah baik-baik, Nuri. Aku ingin me-
minum jamuan yang kau berikan."
Arya segera meruncingkan mulutnya. Sementara
Nuri memperhatikan penuh perhatian dengan sepa-
sang mata tanpa berkedip. Sepertinya, gadis ini merasa
khawatir, bila matanya berkejap, tidak akan melihat
pertunjukan yang luar bisa dan menakjubkan. Dan....
"Sruppp...!"
Sepasang mata Nuri yang bening indah jadi terbela-
lak lebar, menampakkan keterkejutan ketika dari da-
lam guci meluncur keluar arak yang disediakan. Ben-
tuknya memanjang, hingga kelihatan seperti sehelai
tambang, mulai dari bibir guci sampai mulut Aiya.
Pemuda berambut putih keperakan itu sendiri den-
gan nekatnya merubah bentuk mulutnya untuk mene-
rima luncuran arak.
Gluk! Gluk!
Terdengar bunyi tegukan seiring bergerak turun
naiknya tenggorokan Arya saat menelan yang masuk
ke dalam mulutnya. Dan tak lama, arak pun tandas.
Dewa Arak segera mengusap mulut dengan pung-
gung tangannya.
"Hebat! Kau benar-benar, hebat, Arya. Pantas guru
amat kagum terhadapmu," puji Nuri, tulus. "Tapi, apa-
kah hanya cara itu saja? Apa tidak ada cara lainnya?"
Arya tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangannya
yang tidak tergantung di sisi pinggang diletakkan di
bagian pinggir.
Dan lagi-lagi mata Nuri membelalak. Bahkan seka-
rang lebih lebar dari sebelumnya. Gadis ini melihat
arak itu melayang naik ke atas perlahan-lahan, bagai
diangkat tangan kasat mata. Setelah mencapai keting-
gian tiga jengkal dari daun meja, guci itu terdiam. Ke-
mudian, guci berisi arak ini bergerak miring dengan
ujung atas mengarah pada cangkir bambu. Begitu
ujung guci menyentuh bibir bambu, dari dalamnya ke-
luar arak dan langsung masuk ke dalam cangkir bam-
bu.
Nuri menatap penuh tidak percaya. Apalagi ketika
melihat guci itu kembali tegak, setelah arak di dalam
cangkir bambu telah penuh. Dengan cara sama guci ini
kembali ke daun meja. Pelan bagai diletakkan tangan
manusia.
Sekarang ganti cangkir bambu itu yang terangkat
naik, melayang menghampiri Dewa Arak, lalu bergerak
miring bagai dilakukan tangan. Maka arak yang berada
di dalam cangkir meluncur turun ke mulut Arya yang
terbuka dengan kepala menengadah.
Plok, plok, plok...!
Nuri tak kuasa untuk tidak bertepuk tangan, keti-
ka Dewa Arak menyelesaikan pertunjukannya dengan
cara luar biasa. Sorot kekaguman yang memancar dari
sepasang matanya pada Dewa Arak semakin bertam-
bah besar.
"Kau benar-benar hebat, De, eh, aa...," puji Nuri
sambil menggeleng-geleng kepala.
Arya hanya tersenyum, tapi langsung dihentikan.
Kini ganti sepasang alisnya yang dikerutkan. Nuri
menjadi heran melihatnya. Tapi sebelum gadis itu
sempat berkata, Dewa Arak telah lebih dulu memberi
isyarat untuk diam.
"Waspadalah, Nuri. Aku mendengar adanya lang-
kah-langkah kaki yang mendekati tempat ini. Gerakan
mereka hampir tidak tertangkap telingaku. Jelas, me-
reka orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi."
Penjelasan Arya terdengar Nuri di pinggir telin-
ganya. Gadis ini tahu kalau Arya memberitahukannya
lewat ilmu mengirim suara. Karena pemuda itu tidak
terlihat menggerakkan bibir sama sekali.
Sedangkan Aiya sendiri, sudah langsung menga-
lihkan perhatian pada daun pintu yang tertutup. De-
mikian pula Nuri, hati gadis ini tegang bercampur
gembira. Ingin disaksikannya Dewa Arak yang sakti itu
bertempur.
***
"Setan Kepala Besi...! Keluarlah kau, Pengecut..!
Tidak ada gunanya lagi bersembunyi! Kami telah men-
getahui kalau kau berada di dalam...! Keluar...! Jangan
tunggu sampai kesabaran kami habis...!"
Seketika terdengar suara keras bagai halilintar.
Bahkan Nuri yang telah bangkit berdiri kontan ter-
huyung dan jatuh terduduk kembali di atas kursinya.
Teriakan yang berasal dari luar itu menyelusup ke da-
lam telinga, menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Bahkan di kursinya pun, gadis itu masih mende-
kapkan kedua tangannya pada telinga. Pengaruh teria-
kan itu memang hebat bukan main. Bahkan, rumah
tempat Arya dan Nuri berada bergetar hebat seperti di-
guncang gempa!
"Cepat keluar, Setan Kepala Besi...! Turuti perintah
kawanku...! Atau... kami bertindak kasar dengan men-
gobrak-abrik rumahmu...!"
Kali ini suara lain menyambung. Namun tak kalah
keras dan dahsyat akibatnya dari sebelumnya. Nuri
yang telah mendekapkan kedua telinga masih mengge-
liat pertanda terkena pengaruh suara yang benar-
benar menggetarkan.
Tentu saja pengaruh teriakan itu tidak menimpa
Dewa Arak yang telah memiliki tenaga dalam sukar di-
ukur, saking kuatnya. Hanya dengan mengerahkan te-
naga dalamnya, pengaruh itu pupus.
Meski perhatiannya ditujukan pada pemilik suara
di depan rumah, Arya tidak lupa membagi perhatian
terhadap Nuri. Maka begitu melihat kejadian yang me-
nimpa gadis ini, tanpa membuang-buang waktu. Tan-
gan kanannya dijulurkan ke depan ke arah Nuri.
Nuri yang melihat tindakan Arya, mendadak mera-
sakan adanya sesuatu yang kasat mata merayap di se-
kujur tubuhnya. Sekejap kemudian, telah dirasakan
adanya kenyamanan di dalam dirinya. Lenyap sudah
siksaan yang tadi menyergap dada dan telinganya.
"Kau menghabiskan kesabaran kami, Setan Kepala
Besi...." Kembali terdengar suara, lebih lantang dari
sebelumnya. Tapi sekarang, Nuri tidak merasa tersiksa
sama sekali. Perasaan nyaman tetap melindunginya.
Di dalam hatinya, Nuri berterima kasih sekali pada
Arya. Karena dia tahu, lenyapnya siksaan dan timbul-
nya rasa nyaman, adalah dari tangan Dewa Arak yang
dijulurkan padanya. Kekagumannya terhadap pemuda
berambut putih keperakan itu semakin menggebu-
gebu.
Sementara di luar rumah, kesabaran sosok-sosok
yang menyatroni rumah Setan Kepala Besi agaknya
sudah habis. Maka....
Blarrr, blarrr!
Saat itu juga terdengar bunyi menggelegar, mirip
bunyi geledek.
Kendati demikian, baik Aiya maupun Nuri bisa ta-
hu kalau bunyi itu berasal dari benturan telapak tan-
gan sosok-sosok yang berada di luar. Nuri sampai me-
rinding bulu kuduknya ketika melihat meja dan kursi
yang tidak diduduki terguncang-guncang turun naik.
Rumah itu semakin bergetar. Gadis ini sadar betul, bi-
la Dewa Arak tidak menolongnya, pasti telah pingsan!
Memang pengaruh kali ini lebih dahsyat daripada sebe-
lumnya.
Blarrr!
Daun pintu hancur berantakan bagai ditabrak ga-
jah liar ketika berbenturan telapak tangan itu berlang-
sung tiga kali. Nuri sampai terlonjak dari duduknya
Karena rasa kaget melihat kejadian yang mengiriskan
hatinya.
"Sobat-sobat di luar... Harap hentikan permainan
tidak lucu itu...!" teriak Dewa Arak.
Dewa Arak sadar kalau keadaan ini terus dibiarkan
akan semakin tidak karuan. Belum lagi gema ucapan-
nya lenyap, tubuhnya telah berada di luar. Arya berdiri
berhadapan dengan dua sosok yang berdiri berjarak
empat tombak dari pintu rumah Setan Kepala Besi.
Dua sosok yang ternyata dua lelaki tua berpakaian
hitam bergambar bola-bola merah itu agak terperanjat
ketika melihat kehadiran Dewa Arak. Tadi mereka
hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tak je-
las. Dan kini tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda
berpakaian ungu di depan mereka dalam jarak dua
tombak
Dewa Arak dan dua kakek berpakaian hitam saling
pandang penuh selidik. Namun Arya agak heran meli-
hat pakaian aneh yang dikenakan dua sosok itu. Teru-
tama sekali coraknya. Bahkan ciri-ciri mereka pun
aneh, saling berlawanan.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk dengar kulit
merah. Mirip seekor babi. Jenggotnya panjang sampai
melewati pusar, juga berwarna merah. Sementara ka-
kek yang satunya lagi bertubuh tinggi kurus dengan
kulit putih. Jenggotnya pendek dan putih warnanya.
"Siapa kau, Anak Muda?! Aku yakin kau bukan
orang yang kami maksud," tegur kakek cebol berkata
tenang. Suaranya yang parau bernada dingin.
Arya tersenyum, seraya menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu memang tidak salah
Kek. Namaku Arya. Aku hanya sekadar mampir di sini
dan memang bukan orang yang kau cari," jawab Arya,
sopan. "Oh, ya. Kakek berdua sendiri siapa?"
"Kuharap, setelah mendengar julukan kami, pergi-
lah secepatnya dari sini. Aku Kumbayan. Sedangkan
temanku Sembada. Kami berdua berjuluk Sepasang
Malaikat Maut. Nah, sekarang menyingkirlah, Arya,"
ujar kakek kurus berkulit putih yang mengaku Kum-
bayan. Suaranya kering dan melengking seperti suara
kuda meringkik
"Kami tidak ingin kesalahan tangan dan membu-
nuhmu!"
"Benar!" sambung kakek pendek gemuk yang ber-
nama Sembada. "Kami hanya mencari Setan Kepala
Besi. Kami mempunyai urusan dengannya. Menying-
kirlah. Kami akan lewat."
Arya tersenyum dan mengangguk sekali lagi. "Maaf,
Kek. Bukannya aku bermaksud mencampuri urusan
kalian. Tapi, percayalah. Orang yang kalian cari tidak
berada di sini. Setan Kepala Besi sedang pergi. Dan se-
belum itu, dia berpesan padaku untuk tunggu di tem-
patnya. Jadi, aku memiliki kekuasaan atas rumah itu.
Dengan demikian, sebelum ada perkenan dari Setan
Kepala Besi siapa pun tidak akan kubiarkan masuk!"
tandas Arya, mantap.
Dua kakek berpakaian hitam berjuluk. Sepasang
Malaikat Maut menatap Arya. Sepasang mata mereka
seperti hendak mencari kebenaran dalam ucapan pe-
muda berambut putih keperakan itu.
"Jadi..., benar Setan Kepala Besi tidak berada di
sini...?!" tanya Sembada.
Arya mengangguk mantap. Sepasang Malaikat
Maut saling berpandangan sebentar.
"Kau sendiri..., apa hubunganmu dengan Setan
Kepala Besi?! Sepertinya kau dipercaya sekali?!" tanya
kakek pendek gemuk yang rupanya lebih cerdik dari-
pada kawannya.
"Hanya sekadar kenalan," jawab Arya sambi men-
gangkat kedua bahunya. "Beberapa waktu yang lalu,
kami pernah terlibat pertarungan. Dan Setan Kepala
Besi akhirnya merasa senang padaku. Pertarungan
terhenti. Dan kami menjadi sahabat."
"Boleh ku tahu, masalah apa yang menyebabkan
hal itu terjadi!" desak Sembada.
"Dia hendak mencelakai kawanku," jawab Arya se-
tengah benar.
Kakek pendek gemuk itu terdiam. Jawaban bagi
pertanyaannya rupanya telah cukup memuaskan ha-
tinya.
"Dan..., setelah kau menjadi kawannya..., apakah
dia tidak bercerita sesuatu padamu...?!"
Kali ini Kumbayan yang mengajukan pertanyaan.
Nadanya penuh selidik.
Arya mengernyitkan kening.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek...."
"Kalau begitu..., lupakan saja, Arya. Dan, ketahui-
lah. Kami akan pergi dari sini. Tapi syaratnya, kau ha-
rus menahan dari serangan kami. Bagaimana? Kalau
kau tidak mau menerimanya, menyingkirlah dari situ.
Apabila kau pernah berhadapan dengan Seta Kepala
Besi tanpa kehilangan nyawa, berarti kau telah cukup
berharga untuk kami. Kau menerimanya bukan?!"
Arya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengang-
gukkan kepala. Kaku dan pelan-pelan. Karena me-
mang pemuda berambut putih keperakan itu merasa
berat menerimanya.
"Bagus!" sambut Sembada, gembira. "Biarlah seka-
rang giliranku sebagai penyerang pertama. Bersiap-
siaplah, Arya. Buktikan kalau kau berhasil lolos dari
tangan maut Setan Kepala Besi."
"Aku siap!"
Kakek pendek gemuk itu berjongkok, seperti seekor
katak. Tenggorokannya menggembung.
"Kok! Kok!"
Terdengar bunyi berkokokan seperti ayam betina
tengah bertelur.
Melihat hal ini, Arya bersikap waspada. Pengala-
mannya yang segudang, membuatnya langsung men-
getahui kalau kakek pendek gemuk itu hendak menge-
luarkan ilmu andalan. Maka sikapnya hati-hati.
Sembada segera mendorongkan kedua tangannya,
secara bergantian. Maka dari kedua tangannya melun-
cur angin berciutan.
Wesss! Wesss!
Dewa Arak bersikap tenang. Kemudian, kedua tan-
gannya dihentakkan untuk memapak.
Prat!
"Uh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengeluh
tertahan, ketika merasakan hawa pukulan jarak jauh
kakek pendek gemuk tidak meluncur secara lurus, tapi
berputaran. Hal itu membuat papakan pukulannya le-
nyap bagai ditelan sesuatu yang tidak tampak. Puku-
lan jarak jauh yang meluncur secara berputar itulah
yang menyebabkan pukulan jarak jauh Dewa Arak se-
perti lenyap.
Arya terkejut bukan main. Apalagi ketika pukulan
jarak jauh kakek bernama Sembada terus meluncur ke
arahnya, tetap dalam keadaan berputaran seperti an-
gin puting beliung.
Lebih terkejut lagi ketika Arya merasakan, sekujur
tubuh otot-ototnya terasa ngilu sebelum serangan la-
wannya tiba. Tenaga dalamnya sendiri seperti lenyap!
Tapi, Dewa Arak adalah pendekar yang telah ke-
nyang pengalaman. Maka menghadapi keadaan seperti
ini, dia tidak menjadi gugup. Dan dia cepat sadar ka-
lau serangan kakek pendek gemuk itu tidak berba-
haya. Paling tidak hanya untuk melempar tubuhnya
saja. Dari sini bisa ditebak kalau kakek bernama Sem-
bada bukan tokoh jahat.
5
Dewa Arak segera bertindak cepat. Dengan sebuah
sentakan, tenaganya yang telah lenyap jadi timbul
kembali. Kemudian dikeluarkan ilmu 'Pasak Bumi'nya
yang membuat kedua kakinya seakan-akan bersatu
dengan bumi.
Tepat pada saat yang bersamaan, serangan kakek
Sembada tiba dan menghantamnya dengan telak
Wesss...!
Arya merasa seakan tubuhnya dihantam pusaran
angin puting beliung yang kemudian membelit dan
membawa tubuhnya berputar.
Ilmu 'Pasak Bumi’ memang hebat Namun, sergapan
yang menyelubungi Dewa Arak pun dahsyat bukan
main! Arya memang tidak sampai terpental. Tapi tanah
tempatnya berpijak tidak mampu menahan dua kekua-
tan dahsyat yang bertemu. Dan ini membuat Dewa
Arak berputar, meski dengan kedudukan seperti semu-
la. Dan putarannya baru terhenti, ketika kedua ka-
kinya terbenam sampai mata kaki!
"Luar biasa...!"
Kakek Sembada berseru penuh kagum, sambil ber-
diri tegak kembali. Pandang matanya memancarkan
kekaguman. Sementara sorot yang sama memancar
dari mata Kumbayan,
"Kau benar-benar luar biasa, Aiya. Tidak banyak
orang yang mampu berdiam di tempatnya terhadap se-
ranganku ini. Pantas kau mampu mempertahankan
nyawamu, meski telah berhadapan dengan Setan Ke-
pala Besi. Aku mengaku kalah," kata Sembada.
Arya hanya mengangguk.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Kek. Kalau
kau bertindak sungguh-sungguh, mana mungkin saat
ini aku masih bisa hidup?" kata Dewa Arak, merendah.
"Tidak usah banyak bicara, Anak Muda," potong
Kumbayan. "Kau boleh berbangga hati atas keberhasi-
lanmu bertahan dari serangan rekan ku. Tapi, bukan
berarti akan menang pula terhadapku!"
"Silakan, Kek. Aku sudah siap!" jawab Arya. Kata-
katanya mantap, sambil berpindah dari tempatnya se-
mula. Karena dia sudah tidak mungkin lagi berdiri te-
nang, akibat lubang yang tercipta.
Dewa Arak kali ini bersikap lebih waspada. Dia ta-
hu, kakek tinggi kurus ini tidak kalah lihai dibanding
rekannya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, kakek
tinggi kurus ini memiliki watak kasar. Mungkin tidak
kejam, tapi yang jelas tidak akan bertindak lunak se-
perti rekannya.
Kumbayan menatap tajam Arya. Pada saat yang
sama, pemuda itu pun menatapnya. Dua pasang mata
bertemu. Kakek tinggi kurus menyeringai bersiap me-
nyerang. Sedangkan Aiya bersiap menghadapinya.
"Siapa itu?!"
Pertanyaan yang dikeluarkan Sembada secara pe-
lan, membuat Kumbayan mengurungkan maksudnya.
Pandangannya seketika diarahkan ke rumah Setan
Kepala Besi.
Aiya pun ikut memandang ke sana. Dia tidak kha-
watir bila kakek tinggi kurus akan membokong. Dewa
Arak tahu, sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi
tidak akan mungkin melakukan tindakan rendah. Apa-
lagi terhadap seorang tokoh muda yang belum diketa-
hui secara pasti tingkat kepandaiannya.
Arya merutuk dalam hati ketika melihat Nuri berdi-
ri di ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. De-
wa Arak tidak menyalahkan gadis itu. Dialah yang sa-
lah, karena tidak melarangnya. Walaupun Aiya tidak
yakin kalau Nuri akan mematuhinya.
"Siapa gadis itu, Anak Muda?!" tanya kakek Kum-
bayan penuh tuntutan. Sepasang matanya yang sipit
menatap wajah Arya seperti hendak mengupas kulit
wajah dan menguaknya.
Arya menghela napas berat. Pantang baginya un-
tuk berbohong. Maka meskipun berate dia harus men-
gatakannya.
"Dia murid Setan Kepala Besi," jelas Arya, pelan
dan tidak bersemangat.
Sepasang Malaikat Maut saling berpandangan. Wa-
jah mereka mendadak berubah. Arya jadi tidak enak
melihatnya.
"Perjanjian batal, Anak Muda. Ada hal-hal yang ti-
dak terduga. Aku tidak perlu lagi berurusan dengan-
mu," ujar Kumbayan dengan nada dingin.
"Begitu mudahnya, Kek?!" kata Arya, seperti ingin
ketegasan.
"Benar!" sahut Sembada menambahkan. "Karena,
ada orang lain yang mempunyai hubungan dengan Se-
tan Kepala Besi. Kami yakin, apabila tahu muridnya
ada pada kami, Setan Kepala Besi akan mencari. Tidak
seperti sebelumnya, kami yang pontang-panting men-
carinya."
Sementara Kumbayan tidak mempedulikan Arya
sama sekali. Di saat pemuda berambut putih kepera-
kan itu tengah mendengarkan ucapan rekannya, dia
menghampiri Nuri. Hanya dengan sekali ayunan kaki,
dia telah mencapai jarak tiga tombak di depan Nuri.
Dari sini bisa dilihat betapa tingginya ilmu meringan-
kan tubuh Kumbayan.
Arya bertindak cepat. Dia tahu maksud kakek ting-
gi kurus itu. Apalagi kalau bukan ingin menjadikan
Nuri sebagai sandera? Dan Dewa Arak tidak akan
membiarkan hal itu terjadi. Sekali menggerakkan kaki,
maka Aiya telah berada di depan kakek tinggi kurus
itu lagi.
Sembada menggeram, tak menyukai hadangan
yang dilakukan terhadapnya. Keberadaan Dewa Arak
di depannya, membuat langkahnya terhalang.
"Apa maksudmu, Anak Muda?!" tanya kakek ini ke-
ras, penuh ancaman.
Arya tahu kakek inilah yang memiliki suara paling
menggelegar. Berarti dialah yang telah menghancurkan
daun pintu, mengingat wataknya yang tidak sabaran.
"Apakah kau hendak menghalangi kami? Kau hen-
dak ikut campur dalam urusan ini?!" lanjut Kum-
bayan.
"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek. Sebe-
narnya aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi apabi-
la kau dan rekanmu ini bermaksud menyandera gadis
itu, terpaksa aku tidak tinggal diam. Sebelum pergi,
Setan Kepala Besi telah menitipkan muridnya padaku.
Jadi, aku berkewajiban menjaganya. Apapun yang ter-
jadi, aku tidak akan membiarkan satu orang pun men-
celakainya. Nyawaku adalah taruhannya!" tandas Arya,
tenang dan mantap.
"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus ku-
singkirkan! Hih!"
Kakek Kumbayan menutup ucapannya dengan se-
buah cengkeraman tangan kanan ke arah ubun-ubun.
Arya cepat melompat ke belakang.
"Hih?!"
Betapa kaget Dewa Arak melihat serangan itu terus
mengejarnya. Padahal, kakek itu tidak bergerak sedikit
pun dari tempatnya. Arya langsung menyadari kalau
tangan kakek ini bisa mulur! Sebuah ilmu aneh! Mau
tak mau Dewa Arak cepat menggerakkan tangannya,
menangkis.
Plak!
Tangkisan Dewa Arak ternyata membuat kakek
tinggi kurus mengkerut kembali. Namun tak urung
Arya merasakan tangannya bergetar hebat.
Arya semakin terkejut ketika bermaksud balas me-
nyerang. Mendadak, tangannya yang berbenturan tadi
tidak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh! Segera te-
naga dalamnya dikerahkan untuk memulihkan. Tapi,
bagian yang lumpuh malah bertambah. Malah, kini ra-
sa pusing pun menyerangnya. Demikian hebatnya, se-
hingga pemuda berambut putih keperakan ini tidak bi-
sa berdiri tegak lagi.
Tubuh Arya terhuyung-huyung ke sana kemari
sambil memegangi kepala. Semua yang terlihat seperti
berputar. Pemuda ini tidak kuasa bertahan, lalu am-
bruk di tanah.
Meski pandangannya berkunang-kunang dan tu-
buhnya terasa lemas bukan main, Arya masih sempat
melihat kakek Kumbayan yang menjadi lawannya me-
langkah menghampiri. Arya yakin, kakek itu hendak
melancarkan pukulan terakhir tanpa bisa dicegahnya.
Dan dia akan mati konyol di tangannya.
"Kurasa tidak ada gunanya membunuh pemuda
itu. Dia memiliki kepandaian tinggi. Berarti, gurunya
pun mempunyai kesaktian luar biasa. Matinya pemuda
ini, hanya akan membuat kita terlibat dalam permu-
suhan dengan tokoh tingkat tinggi. Bukankah kita
hanya berurusan dengan Setan Kepala Besi?! Dan se-
karang, muridnya akan berhasil kita dapatkan."
Meski samar-samar, Arya dapat menangkap uca-
pan-ucapan kakek Sembada yang ditujukan pada re-
kannya. Tampak, kakek Kumbayan yang tadi seperti
banyak menoleh ke arah kakek Sembada. Sepasang
Malaikat Maut ini saling tatap sebelum akhirnya, ka-
kek Kumbayan membantingkan kaki ke tanah karena
kesal.
"Sebenarnya..., sikap usilnya saja sudah cukup be-
ralasan untuk membunuhnya! Tapi, biarlah, sekarang
kuampuni. Dan apabila kelak kujumpai dan masih
menentangku, aku tidak mempunyai pilihan lain lagi!"
desis Kumbayan.
Kakek Sembada hanya mengangkat bahu. Sikap-
nya tidak peduli.
"Nuri...! Cepat pergi...JTinggalkan tempat ini...!"
Arya bermaksud berteriak. Bahkan seluruh tena-
ganya dikerahkan untuk berteriak. Tapi karena saat
itu keadaannya lemah, sehingga yang terdengar hanya
seman tak ubahnya keluhan. Meski demikian, Nuri
yang memiliki kepandaian tinggi mendengarnya.
Nuri yang sejak tadi terpaku kontan tersadar begitu
mendengar teriakan Dewa Arak yang lirih. Sesaat dita-
tapnya Arya dan dua kakek sakti yang memiliki ciri-ciri
aneh itu. Disadari betul kalau dirinya bukan tandingan
dua kakek yang memiliki maksud tidak baik. Dewa
Arak saja tidak berdaya. Apalagi dirinya. Maka Nuri
segera berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah.
Gadis ini bermaksud untuk kabur melalui pintu bela-
kang. Tapi, Nuri jadi terperanjat ketika mengetahui di-
rinya hanya berlari-lari di tempatnya. Betapapun selu-
ruh kemampuannya telah dikerahkan, tetap saja ke-
nyataan itu tidak bisa dimbah.
Murid Setan Kepala Besi ini menjadi heran ber-
campur ngeri. Kepalanya cepat ke belakang. Dan ma-
tanya jadi terbelalak, ketika melihat kakek pendek ge-
muk itu mengulurkan kedua tangan ke arahnya. Sea-
kan ada kekuatan menarik yang amat kuat muncul
dari kedua tangan yang terjulur, membuat Nuri tak
mampu meninggalkan tempat.
"Mau lari ke mana, Cah Ayu? Jangan harap kau bi-
sa meninggalkan tempat ini," ejek Sembada.
Nuri tidak putus asa. Seluruh kemampuannya di-
kerahkan, tapi keadaan tidak berubah. Bahkan ketika
kakek pendek gemuk itu menggerakkan tangan me-
lambai, tubuhnya kontan tertarik ke belakang tanpa
mampu dicegah.
"Aaauuu...."'
Nuri menjerit tertahan begitu tubuhnya melayang
keras ke arah kakek Sembada. Sementara Arya yang
melihat hanya bisa mengeluh dalam hati. Saat ini dia
memang tidak mampu berbuat apa-apa, karena penga-
ruh yang menimpa masih mengungkungi.
Nuri memaki-maki sambil meronta-ronta. Bahkan
sambil memanggil-manggil gurunya. Tapi sekali tangan
kakek pendek gemuk menyentuhnya, semua tinda-
kannya terhenti. Gadis ini tertotok, sampai pingsan.
Sembada menyerahkan Nuri pada rekannya. Ke-
mudian kepalanya menoleh pada Arya.
"Dengar, Aiya. Kalau Setan Kepala Besi kembali,
katakan kalau muridnya berada di tangan kami. Mu-
ridnya tidak akan kami celakai. Tapi kalau muridnya
ingin dikembalikan, dia harus menyerahkan benda
yang diambilnya. Katakan, agar dia pergi ke Gua
Ayam. Kami menunggu di sana. Selamat tinggal, Arya."
Kakek Sembada berbalik, lalu melesat meninggal-
kan tempat itu. Di belakangnya, kakek Kumbayara
berkelebat menyusul.
Sementara Arya hanya menghela napas berat. Di-
ingatnya baik-baik semua perkataan kakek Sembada
untuk disampaikan pada Setan Kepala Besi.
Arya berdiam diri di tempatnya, tanpa berani ber-
gerak atau mengeluarkan tenaga dalam. Dia tahu se-
mua ini akan membuat pengaruh ilmu kakek tinggi
kurus itu semakin menjadi-jadi. Kalau dibiarkan saja
pengaruhnya akan lenyap sendiri. Meskipun memang
harus diakui membutuhkan waktu lama. Tapi, me-
mang tidak ada pilihan lain baginya.
***
Arya berdiri penuh perasaan tidak sabar. Sebentar-
sebentar, kakinya melangkah mondar-mandir di tem-
patnya. Sepasang matanya sudah tidak terhitung lagi,
diarahkan ke tempat lenyapnya Setan Kepala Besi.
Dewa Arak memang sudah sejak tadi berhasil be-
bas dari pengaruh ilmu kakek Kumbayan. Dan seka-
rang dia tengah menanti kembalinya Setan Kepala besi
untuk mengabarkan peristiwa yang menimpa Nuri.
Arya yakin Setan Kepala Besi tahu letak Gua Ayam itu.
Wajah Arya berseri, ketika melihat adanya sesosok
tubuh di kejauhan yang tengah meluncur ke arahnya.
Siapa lagi kalau bukan Setan Kepala Besi. Demikian
dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sesaat kemudian, dugaan itu pupus dari be-
nak Arya. Sosok yang bergerak cepat mendatangi itu
ternyata mengenakan pakaian merah! Padahal, Arya
yakin kalau Setan Kepala Besi tadi tidak mengenakan
pakaian berwarna demikian.
Semakin dekat sosok itu, Dewa Arak semakin yakin
kalau dia bukan Setan Kepala Besi. Sosok itu adalah
seorang pemuda yang cukup dikenal Arya. Ternyata
sosok itu memang seorang berpakaian merah dengan
ikat kepala juga berwarna merah.
Jantung Arya berdetak jauh lebih cepat, ketika lari
pemuda berpakaian merah itu berhenti berjarak lima
tombak di depannya. Seperti juga dirinya, pemuda itu
tampak kaget. Kendati demikian tidak terlihat pera-
saan itu pada bias wajah maupun sorot matanya. Wa-
jah dan sorot mata pemuda itu kelihatan dingin, me-
mancarkan sesuatu yang mengerikan!
"Dewa Arak...!"
Pemuda berpakaian merah mendesis, setelah ber-
hasil menguasai perasaannya. Terasa benar adanya
kebencian dalam nada ucapannya.
"Sama sekali tidak kusangka akan jumpa dengan-
mu di sini, Orang Usil! Aku memang tengah mencari-
carimu. Kelancanganmu mencampuri urusanku akan
kau tebus mahal, Pemuda Sombong!" lanjut pemuda
berpakaian merah itu.
"Atau kau yang akan menggeletak tak bernyawa di
sini, Manusia Biadab! Orang bejat sepertimu, seharus-
nya menyusul gurumu ke neraka, Lingga! Dan kali ini,
kau tak akan seberuntung dulu. Sekarang kau tidak
akan bisa meloloskan diri sambil terkaing-kaing seperti
dulu!" desis Dewa Arak, tak kalah tajam.
Pemuda berpakaian merah itu ternyata memang
Lingga. Dan Aiya memang mengenalnya karena pernah
bertarung dengan pemuda kejam dan berhati keji ini,
Sayangnya, waktu itu Lingga lolos dari tangannya.
Waktu itu Lingga sempat digagalkan Dewa Arak ketika
hampir menggarap kegadisan putri Pendekar Tangan
Sepuluh, Sri Kunti (Untuk jelasnya, silakan baca epi-
sode: "Petualang-petualang dari Nepal").
"Kau bermimpi, Dewa Usil. Kaulah yang akan bina-
sa di tanganku!"
Lingga menjejakkan kaki kanannya ke tanah seka-
li. Sementara Arya heran melihatnya. Apa maksud tin-
dakan pemuda berhati keji itu? Apalagi ketika melihat
tidak adanya akibat apa-apa pada tanah yang di jejak
Lingga. Tapi....
"Ukh!"
Mendadak Arya mengeluarkan keluhan tertahan
ketika merasakan dadanya sakit bukan main seperti
ditumbuk sebatang tongkat besi. Seketika pemuda ini
tahu kalau Lingga telah menyerang mempergunakan
ilmu gaib! Seringnya Arya menemukan hal-hal aneh
dalam petualangan, membuatnya segera bisa menduga
demikian.
Arya bertindak cepat. Tenaga dalamnya segera di-
kerahkan untuk melenyapkan rasa sakitnya. Namun
dia menjadi kaget bukan kepalang, ketika merasakan
sakit yang menyerang dadanya jadi menyebar! Keja-
diannya hampir mirip yang dialaminya ketika bertemu
dengan kakek tinggi kurus.
"Ha ha ha..!"
Lingga tertawa terbahak-bahak, ketika melihat De-
wa Arak menyeringai dan kelihatan kaget. Pemuda ini
yakin, sekarang Dewa Arak telah tidak berdaya. Seran-
gan gaibnya diketahui betul keampuhannya. Maka dia
tidak buru-buru melancarkan serangan.
"Bagaimana, Dewa Sombong?! Masih yakinkah kau
akan kemenanganmu kali ini?!" ejek Lingga penuh ke-
menangan.
Arya tidak menanggapi. Perhatiannya dipusatkan
pada luka aneh yang dideritanya. Pemuda itu teringat
akan kejadian yang dulu dialami ketika menghadapi
Setan Merah. Gurunya, Ki Gering Langit, memberi cik-
al bakal ilmu gaib. Dan dengan diiringi beberapa kali
masuknya belalang raksasa ke dalam dirinya, mem-
buat pemberian itu semakin menampakkan kegu-
naannya. Jauh lebih berarti dibanding ketika pertama
kali diberikan gurunya (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode: "Penganut Ilmu Hi-
tam").
Sewaktu pertama kali diberikan Ki Gering Langit,
kegunaan yang dapat dilakukan Arya hanya menang-
kal serangan gaib lawan. Memang pemberian ilmu itu
tidak membuat Arya jadi mampu menghilangkan pen-
garuh serangan gaib lawan.
Dan di saat Lingga tengah tertawa-tawa penuh
gembira, Aiya tengah menumbuhkan cikal bakal ilmu
gaib yang diberikan gurunya. Perhatiannya segera di-
pusatkan untuk menyembuhkannya.
Lingga yang masih tertawa-tawa kontan terdiam
ketika melihat Arya tersenyum. Perasaan curiganya
timbul. Matanya menyiratkan tanda tanya besar ketika
menatap musuh bebuyutannya.
Arya sekarang ganti yang tersenyum mengejek.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah bisa men-
getahui, mengapa Lingga kelihatan menatapnya lekat-
lekat.
"Kau kelihatan kaget bukan main, Lingga. Apakah
ada perubahan pada diriku? Wajahku yang menjadi le-
bih tampan, barangkali?!" seloroh Arya untuk mema-
nas-manasi.
•kirk
6
Lingga menggeram bak seekor harimau luka. Sepa-
sang matanya memancarkan sinar kebencian, ketika
menatap Dewa Arak.
"Rupanya kau memiliki kemampuan untuk bebas
dari pengaruh ilmuku, Orang Usil. Tapi jangan ber-
bangga hati dulu! Masih banyak ilmuku yang dapat di-
pergunakan untuk mengirim nyawamu ke akherat!"
desis Lingga.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Lingga membuka se-
rangan dengan sebuah tendangan terbang.
Namun Arya tidak mau kalah dengan orang yang
dibencinya. Begitu Lingga melompat dan menerjang ke
arahnya, disambutnya dengan tendangan terbang pu-
la.
Blarrr...!
Benturan dua kaki yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi
keras menggelegar terdengar. Tubuh masing-masing
terjengkang ke belakang. Namun dengan manis, kedua
pemuda perkasa itu mampu mematahkan daya luncu-
ran lalu menjejak tanah secara manis.
Arya terkejut bukan main. Dalam benturan yang
terjadi dirasakan betapa kuat tenaga dalam Lingga.
Kakinya sampai bergetar hebat begitu menjejak tanah.
Padahal, dalam bentrokan kaki, seluruh tenaga da-
lamnya telah dikerahkan. Tidak salahkah yang dirasa-
kannya?
Dewa Arak benar-benar tidak yakin akan hasil
yang didapat, karena telah pernah bertarung melawan
Lingga sebelumnya. Dan telah bisa diketahui, sampai
di mana kemampuan pemuda bengis ini. Dan kenya-
taan kalau Arya sendiri yang terlempar lebih jauh, be-
nar-benar membuatnya kaget bukan kepalang. Mung-
kinkah Lingga mendapatkan kemajuan tenaga dalam
waktu yang demikian singkat? Rasanya mustahil!
"Heaaat..!"
Arya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk
berpikir lebih lama. Lingga yang juga merasa penasa-
ran, telah meluruk maju melepaskan serangan-
serangan mematikan!
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi, kecuali
mengelak dan balas menyerang. Pertarungan sengit
antara kedua pemuda sakti itu pun terulang. Dan ka-
rena sama-sama tahu kelihaian satu sama lain, ilmu-
ilmu andalan pun langsung dikeluarkan.
Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Sedangkan Lingga mengeluarkan ilmu 'Dewa Ma-
buk'nya. Kedua ilmu itu boleh dibilang mirip, membuat
pertarungan terlihat aneh. Sepertinya bukan dua
orang sakti yang tengah bertempur, tapi dua orang
mabuk yang tengah berjoget!
Sebenarnya, ilmu Dewa Arak jauh lebih sempurna,
karena selaras dengan senjata gucinya. Bahkan juga
karenanya adanya semburan arak di sela-sela perta-
rungan.
Tapi kesempurnaan ilmu Dewa Arak tertutupi oleh
keunggulan tenaga dalam dan ilmu meringankan tu-
buh Lingga. Arya sendiri masih bingung memikirkan,
mengapa pemuda kejam ini dapat meningkatkan ke-
mampuan demikian cepat?
Desss!
Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak berhasil
menghantamkan gucinya ke dada Lingga. Begitu keras
dan telaknya, sehingga tubuh pemuda itu terlempar
jauh ke belakang.
Arya menghela napas lega. Sudah terbayang di be-
naknya kalau Lingga akan tergolek tanpa daya di ta-
nah dengan luka parah yang tidak bisa membuatnya
bangun lagi.
Tapi kelegaan pemuda berambut putih keperakan
itu langsung sirna, ketika melihat Lingga tidak menga-
lami kejadian seperti yang dibayangkan. Tubuh pemu-
da berpakaian merah itu memang terbanting di tanah,
tapi langsung bergulingan menjauh. Kemudian, dia
bangkit dan siap bertarung lagi.
Arya menatap Lingga dengan sepasang mata terbe-
lalak lebar. Ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda berhati
keji ini? Bulu tengkuk Dewa Arak langsung meremang.
Begitu banyak kemajuan yang diperoleh pemuda telen-
gas itu dalam waktu singkat.
"Ha ha ha...!"
Lingga malah tertawa terbahak-bahak melihat De-
wa Arak kebingungan
"Heran, Dewa Sombong?! Kau kira akan begitu
mudah membunuhku?! Jangan mimpi! Kau tahu, se-
ranganmu tak ubahnya belaian tangan seorang nenek
yang tidak kuat lagi menyirih!" ejek Lingga
Gluk! Gluk! Gluk!
Arya menenggak araknya untuk meredakan kega-
lauan hatinya. Benaknya digayuti pertanyaan menge-
nai kekuatan tubuh Lingga yang menakjubkan. Na-
mun Dewa Arak yakin, kekebalan Lingga tidak berhu-
bungan dengan tenaga dalam. Dengan kata lain, tidak
dari hasil latihan. Arya merasakan, kalau kekebalan
itu ada unsur gaibnya.
Dan ketika kedua tokoh itu hendak saling gebrak,
mendadak...
"Hey...!"
Sebuah teriakan melengking keras terdengar jelas
oleh Dewa Arak dan Lingga. Seketika kedua tokoh sak-
ti yang masih muda itu mengurungkan niat, dan me-
noleh ke arah teriakan tadi
Lingga tersentak. Disadari kalau orang yang berte-
riak memiliki kepandaian tinggi. Ini dibuktikan dengan
kekuatan suaranya. Seakan-akan, orang yang berte-
riak berada dekat, padahal masih berada amat jauh.
Karena jauhnya, sehingga sulit dikenali.
Sementara Arya tidak merasa terkejut. Dari suara
tadi, dia yakin kalau yang datang adalah Setan Kepala
Besi.
"Arya...! Dewa Arak...! Apa yang terjadi...?!"
Seruan yang kedua, kali ini tidak bisa disangsikan
Dewa Arak, kalau yang datang adalah Setan Kepala
Besi. Arya merasa gembira. Bukan karena akan men-
dapatkan bantuan, tapi karena akan segera memberi-
tahukan tentang kejadian yang menimpa Nuri.
Tapi Arya tahu, penjelasannya hanya akan dapat
diberitahukan apabila telah berhasil mengalahkan
Lingga.
Pikiran ini membuat Dewa Arak bermaksud mener-
jang pemuda berpakaian merah itu. Namun maksud-
nya tertunda, karena Lingga telah lebih dulu melesat
meninggalkan tempat ini. Pemuda yang memiliki watak
cerdik ini tahu kalau keberadaannya di tempat ini su-
dah tidak menguntungkan. Ada seorang lawan kuat
yang berdiri di pihak Dewa Arak. Jadi bila terus berada
di situ, hanya akan mencelakakan diri sendiri.
"Lagi-lagi kau bernasib baik, Dewa Arak. Tapi, In-
gat. Keberuntungan tidak akan sampai tiga kali. Apabi-
la kita bertemu lagi, berarti akhir ajalmu telah tiba!
Kau akan menghadap malaikat maut! Selamat tinggal,
Dewa Arak! Kutitipkan dulu nyawa itu padamu!" kata
Lingga sambil berlari.
"Hey! Mau lari ke mana kau...?!" Sosok yang me-
mang Setan Kepala Besi langsung berseru keras dan
mengejar Lingga. Tapi....
"Kek...!"
Baru beberapa tombak, terdengar seruan Dewa
Arak. Seketika langkahnya berhenti dan langsung ber-
balik.
"Tidak usah dikejar, Kek! Ada masalah lain yang
lebih penting!" ujar Arya.
Setan Kepala Besi menatap Arya dan menghampi-
rinya. Pandang matanya penuh pertanyaan.
"Apa artinya, Dewa Arak?! Apa yang terjadi?! Siapa
orang itu?! Dan apa yang terjadi pada pintu rumahku?!
Bagaimana dengan Nuri? Mana dia, Dewa Arak? Mana
Nuri?!" berondong Setan Kepala Besi.
Arya menghela napas berat. Kemudian secara sing-
kat dan jelas diceritakan semuanya. Setan Kepala Besi
mendengarkan penuh perhatian. Beberapa kali dia
berseru kaget dengan wajah berubah. Ada kemarahan,
kegeraman, tapi juga penyesalan.
Setan Kepala Besi menundukkan kepala sambil
mengepal tinju, ketika Arya menyelesaikan ceritanya.
Dia tampak bingung bukan kepalang. Berulang-ulang
ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan per-
lahan-lahan.
"Apakah kau tahu, di mana tempat yang dimak-
sudkan mereka, Kek?!"
Arya tidak tahan untuk berdiam diri melihat Setan
Kepala Besi tidak segera melakukan sebuah tindakan.
Sedang lelaki botak itu mengangguk lemah. Bahkan
tanpa mengangkat wajah sama sekali.
"Tampaknya Sepasang Malaikat Maut mengenali-
mu, Kek. Apakah kau mempunyai urusan dengan me-
reka?!" tanya Arya lebih jauh.
Lagi-lagi Setan Kepala Besi hanya mengangguk
sambil mengepal-ngepalkan kedua tangannya. Arya ja-
di tidak sabar melihatnya. Meski disadari kakek itu ti-
dak kalah khawatir dengan dirinya. Tapi kenyataannya
tindakan lelaki berkepala botak itu membuatnya pena-
saran dan kecewa bukan main.
"Apakah ada hal lain yang kau lakukan, Kek? Teru-
tama yang lebih baik dan berarti daripada hanya ber-
diam diri?"
Setan Kepala Besi sampai terlonjak dan mengang-
kat kepala mendengar kata-kata Dewa Arak yang tajam
bukan main. Apalagi keluar dari hati yang penasaran
dan dicekam kekhawatiran. Hanya sebentar Setan Ke-
pala Besi menatap, lalu kembali menunduk. Dia meli-
hat sepasang mata pemuda itu begitu tajam menusuk,
penuh teguran.
"Tentu saja ada, Dewa Arak," desah Setan Kepala
Besi, lirih seperti orang yang merasa bersalah. "Tapi,
itu berarti aku akan melibatkan diri dalam kancah du-
nia persilatan lagi...."
"Aku rasa tidak sampai demikian, Kek," sergah
Arya mengajukan keberatan pendapatnya setelah ter-
menung sejenak.
"Dua orang kakek itu sepertinya tidak menyukai
kekerasan. Aku yakin tindakan mereka karena terpak-
sa. Kalau aku tidak salah dengar, mereka bertindak
demikian untuk meminta padamu agar menyerahkan
sesuatu benda. Sayangnya, ketika kutanyakan mereka
tidak mau memberitahukannya...."
"Itulah, Dewa Arak. Peristiwa ini mau tidak mau
akan menyeretku ke dalam kancah persilatan lagi,"
timpal Setan Kepala Besi bernada pahit. "Benda yang
mereka maksudkan, sudah tidak ada di tanganku. Pa-
dahal, mereka amat bernafsu untuk mendapatkannya.
Keterangan yang kuberikan tak akan dipercaya. Mere-
ka pasti akan menganggapku berdusta."
Arya kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka
kalau persoalan akan menjadi pelik begini. Semula di-
kira akan mudah saja. Maka sekarang ganti Dewa Arak
yang tercenung bingung.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Kek?!" tanya
Arya memecahkan kebisuan yang mencekam.
"Aku belum tahu, Dewa Arak," jawab Setan Kepala
Besi, ragu. "Mungkin akan kusatroni tempat mereka
dan meminta membebaskan muridku. Toh, Nuri tidak
ada sangkut pautnya dengan urusan kami."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang bisa
diterima usul Setan Kepala Besi. Agaknya ini jalan
yang paling baik.
"Maaf, Kek.... Bukannya hendak ikut campuri uru-
san atau ingin mau tahu. Hanya saja mungkin aku bi-
sa membantu. Maksudku..., benda apakah yang di-
maksud Sepasang Malaikat Maut? Dan sebenarnya
siapakah pemiliknya?!"
Setan Kepala Besi tidak segera memberi jawaban.
Dia malah menghela napas berulang-ulang sambil
mengepal-ngepalkan tangan.
"Sebenarnya aku malu menceritakannya, Dewa
Arak. Karena ini menyangkut masa laluku. Masa yang
tidak menyenangkan untuk diingat..."
"Maaf, Kek. Bukannya aku bermaksud menggurui.
Tapi kurasa, saat ini yang paling penting adalah kese-
lamatan muridmu. Tidak ada salahnya kalau kau
buang dulu rasa malumu. Sementara ini saja, demi
muridmu! Bagaimana, Kek?!" usul Arya.
Setan Kepala Besi mengangguk-angguk setelah ter-
lebih dulu tercenung seperti ada sesuatu yang tengah
dipikirkan.
"Kurasa kau benar, Dewa Arak. Barangkali saja
kau bisa menolongku untuk menemukan kembali ben-
da yang dimaksudkan dua kakek itu," kata Setan Ke-
pala Besi.
Arya diam. Ditunggunya kelanjutan ucapan Setan
Kepala Besi yang hendak menceritakan masa lalunya
"Puluhan tahun yang lalu, aku terkenal sebagai da-
tuk kaum sesat yang ditakuti lawan dan disegani ka-
wan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilatan yang
tewas di tanganku. Aku memang gemar mengadu ke-
saktian."
Setan Kepala Besi memulai ceritanya. Sementara,
Aiya mendengarkannya tanpa memberi tanggapan. Dia
tidak heran mendengar awal cerita lelaki berkepala bo-
tak ini, karena memang telah mengetahui sebelumnya.
"Tapi aku menelan kenyataan pahit, ketika menga-
cau di Perguruan Pedang Ular. Aku yang sudah merasa
sebagai tokoh tak terkalahkan, telah dikalahkan seo-
rang pentolan dunia hitam. Kami, aku dan tokoh itu,
memang berasal dari tempat yang jauh berbeda. Aku di
barat, dan tokoh itu di timur. Antara kami tak pernah
ada silang sengketa sebelumnya, sehingga tak pernah
terjadi bentrokan. Baru di Perguruan Pedang Ular aku
dan tokoh itu bentrok. Dan aku dikalahkan. Itu untuk
pertama kalinya aku menderita kekalahan. Beruntung,
aku berhasil menyelamatkan diri sehingga tidak tewas
percuma."
"Apakah tokoh yang kau maksudkan itu Kalapati,
Kek?!" tanya Arya, setengah menduga. Dia memang te-
lah mendengar cerita seperti itu sebelumnya, dari putri
Kalapati sendiri. Karmila, namanya (Untuk jelasnya, si-
lakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Rupanya kau telah mendengar cerita itu, Dewa
Arak?!" Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Apakah
Karmila yang menceritakannya padamu?!" Arya terse-
nyum dan mengangguk. "Kekalahan untuk pertama
kalinya itu, membuatku penasaran bukan main," lan-
jut Setan Kepala Besi. "Aku bertekad menebusnya.
Maka aku segera mengundurkan diri dari dunia persi-
latan untuk menambah kepandaian. Bertahun-tahun
aku merambah ke seluruh tempat. Sampai akhirnya,
ku pilih Gunung..., sayang sekali aku lupa namanya.
Di sana aku menggembleng diri dan mempertinggi ke-
pandaian."
Sampai di sini, Setan Kepala Besi menghentikan
ceritanya. Sedangkan Arya tidak memberi tanggapan,
tetap seperti semula. Diam dan mendengarkan.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau di tempat itu
ada tokoh-tokoh lain yang menyepi. Hanya bedanya,
mereka berada di situ memang untuk menjauhi keras-
nya kancah dunia persilatan. Mereka mengira kalau
aku bermaksud demikian. Maka dengan tangan terbu-
ka, aku diperlakukan sebagai kawan. Dua di antara
mereka, adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri se-
perti yang kau sebutkan, Dewa Arak. Sedangkan yang
satunya lagi, seorang ahli nujum. Tokoh yang terakhir
ini ternyata memiliki pengetahuan luas. Terutama, di
bidang pusaka-pusaka persilatan ampuh yang jarang
tandingannya dan masih beredar di dunia persilatan.
Salah satu di antaranya adalah Golok Kilat. Hanya saja
menurut ahli nujum itu, golok ini mempunyai sebuah
kelemahan. Yaitu apabila lama tidak dipergunakan,
meski kekuatannya tidak berkurang, tapi keistime-
waannya akan lenyap. Ahli nujum itu menuliskan di
dalam lembaran-lembaran daun lontar, mengenai keis-
timewaan pusaka ini. Kau tahu keistimewaan Golok
Kilat itu, Dewa Arak?!"
Arya menggeleng.
"Tidak bisa memperkirakan sama sekali?!" desak
Setan Kepala Besi, ingin tahu.
"Sedikit," jawab Arya, setelah terlebih dulu berpikir.
"Mungkin dari ujung golok itu keluar cahaya kilat yang
menghanguskan seperti halnya kilat."
"Itu hanya salah satunya, Dewa Arak," sambung
Setan Kepala Besi penuh semangat. "Keistimewaan
lainnya, mampu menyedot tenaga dalam lawan. Se-
hingga, lawan akan cepat lelah. Bisa juga untuk me-
nangkal sihir. Dapat pula untuk menarik keluar racun
dari dalam tubuh. Dan yang lebih mengerikan lagi, go-
lok itu konon dapat berubah menjadi lidah kilat yang
dapat terbang sendiri menyerang lawan."
Jantung Arya seperti berhenti berdetak. Sungguh
sebuah pusaka yang amat berbahaya. Apalagi, bila ja-
tuh ke tangan orang yang berwatak telengas. Jelas,
akan membuat dunia persilatan kacau!
"Aku merasa tertarik mendengar penuturan ahli
nujum itu. Maka ku putuskan untuk mendapat cata-
tan ahli nujum itu mengenai Golok Kilat. Jika memin-
ta, jelas tidak mungkin. Maka jalan satu-satunya ada-
lah mencuri. Dan itulah yang kulakukan. Di tengah ja-
lan catatan itu ku baca. Tapi, malang. Sebelum tuntas,
aku terlibat pertarungan dengan seorang tokoh persila-
tan yang memiliki watak aneh. Tokoh itu memiliki tan-
gan amat kuat, mungkin lebih kuat daripada baja. Se-
tiap kali berbenturan, tulang-tulangku terasa ngilu."
Setan Kepala Besi menyeringai. Seakan-akan rasa
ngilu yang melanda itu terasa kembali,
"Pertarungan dengan tokoh aneh itu membuatku
menyesal bukan kepalang. Catatan di daun lontar yang
kubawa terjatuh ke dalam laut. Memang, waktu itu
aku bertemu di tengah laut. Asal mulanya, perahu
yang ku kemudikan patah layarnya akibat angin keras.
Sehingga laju perahu ku tak terkendalikan lagi, lalu
menabrak perahunya. Saat itu, badai memang baru
saja reda. Pertarungan kami mungkin akan berlang-
sung lama. Namun ketika mendengar tangisan bayi,
perhatian tokoh aneh itu jadi beralih. Dan dia lebih
mementingkan sang bayi. Pertarungan pun terhenti.
Dia sibuk mengurus bayi itu. Sedangkan aku sibuk
mencari-cari kitab daun lontar yang hanya beberapa
lembar itu. Sialnya, tak pernah kutemukan."
Arya tersenyum kecut. Sekarang, bisa mengerti
mengapa Setan Kepala Besi kebingungan. Bagaimana
mungkin catatan daun lontar itu dikembalikan, kalau
sudah tidak berada di tangan lelaki berkepala botak
itu?!
"Hilangnya catatan itu, membuat kesadaranku se-
dikit timbul. Aku membatin dalam hati. Mungkin ini
hukuman atas tindakanku. Maka, aku kembali memu-
tuskan untuk menjauhkan diri dari kancah persilatan.
Segera ku pilih tempat ini, sebagai tempat tinggalku.
Dan aku hidup tenang sebagai pencari kayu bakar.
Tapi seperti sudah merupakan hukum alam, sebagai
seorang ahli silat duniaku tidak bisa ditinggalkan. Ada
saja penyebab yang membuatku menggunakan kekera-
san. Di waktu aku mencari kayu bakar, kudengar sua-
ra ribut-ribut. Ternyata, rombongan bangsawan tengah
terlihat keributan dengan rombongan perampok yang
mengingini hartanya. Pertarungan antara para prajurit
dengan kelompok perampok ku saksikan tanpa ada
maksud mencampuri. Bahkan ketika semua pengawal
dan suami istri keturunan bangsawan itu terbunuh,
aku tidak bertindak apa-apa. Tapi, ketika seorang
anak perempuan berusia sekitar tiga tahun hendak di-
bantai pula, aku tidak bisa tinggal diam. Aku turun
tangan dan langsung mengamuk. Semua perampok
kubunuh. Anak itu langsung kubawa dan kuangkat
sebagai muridku sendiri. Nuri, nama yang kuberikan
padanya."
Arya melongo. Pengalaman Setan Kepala Besi ini
benar-benar menakjubkan.
"Aku hidup tenang bersama Nuri sampai dua puluh
tahun lebih. Hanya sampai di situ, karena aku tertarik
lagi untuk terjun ke dunia persilatan begitu mendengar
adanya benda mukjizat yang bernama Jamur Sisik Na-
ga. Sebelumnya, sekitar tiga tahun sebelumnya, hatiku
telah goncang karena berkelana dengan seorang tokoh
hitam wanita setengah tua yang berjuluk Dewi Penca-
but Nyawa. Hanya saja, aku masih mempunyai per-
timbangan. Baru ketika mendengar tentang Jamur Si-
sik Naga, aku tidak tahan lagi untuk terjun ke dunia
persilatan. Ku tinggalkan Nuri. Apalagi Dewi Pencabut
Nyawa juga punya andil besar dalam menarik aku ke
dunia persilatan setelah jadi istriku. Dia sering mem-
bujuk ku. Dan karena aku suaminya, aku berhasil di-
bujuk. Maksudku bercabang, ketika mengetahui Ja-
mur Sisik Naga itu berada di tempat kediaman Kalapa-
ti. Aku ingin membalas dendam. Maka kufitnahlah dia
melalui perantara Waji. Kurasa sampai di sini kau te-
lah tahu kelanjutannya, Dewa Arak"
Arya mengangguk.
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Kek?!"
tanya Arya, ingin tahu. "Mungkin tenagaku bisa dis-
ambungkan."
Setan Kepala Besi diam. Lelaki ini berpikir keras
untuk menemukan cara paling baik
"Bagaimana kalau kita satroni dulu tempat pencu-
lik-penculik Nuri itu, Kek," usul Arya.
"Kurasa tidak ada salahnya. Toh, di sana bisa kita
pikirkan cara selanjutnya untuk menolong Nuri," sam-
but Setan Kepala Besi, menyatakan persetujuannya.
7
Tang, ting, tang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika seorang
kakek berkain lusuh yang dilibat-libatkan ke sekujur
tubuh, menghantamkan penggada pada sebatang besi
yang telah berbentuk golok. Batang besi itu tampak
merah membara.
"Uh...!"
Namun, pandai besi bertubuh kurus kering berku-
lit coklat kemerahan itu mendadak mengeluh tertahan,
sarat keterkejutan dan kesakitan. Pergelangan tangan
kanannya terasa sakit bukan main, ketika ada sesuatu
yang menghantam secara keras. Bahkan penggadanya
terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Pandai besi itu melayangkan pandangannya ke ta-
nah, mencari-cari sesuatu yang mungkin telah meng-
hantam pergelangan tangannya. Tapi dia tidak mene-
mukan apa-apa, sehingga membuatnya heran. Bagai-
mana mungkin tangannya terbentur sesuatu, tapi ti-
dak terlihat yang membenturnya?
"Apa yang kau cari, Tua Bangka?! Aku tidak mem-
butuhkan apa-apa untuk membuat gada milikmu, ter-
lempar. Bahkan untuk mematahkan tanganmu sekali-
pun!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada dingin dan
berkesan menyeramkan. Seketika kakek pandai besi
ini mengalihkan pandangan ke pintu tempat suara itu
berasal. Dua tombak di depan pintu, tampak berdiri
angkuh sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpa-
kaian merah dengan ikat kepala berwarna merah juga.
Siapa lagi kalau bukan Lingga.
"Siapa kau, Anak Muda? Apa maksud kedatan-
ganmu kemari dengan cara sedemikian lancang?! Kau
kira bisa menggertak ku dengan permainan konyol
itu?!" sambut kakek pandai besi berani, tanpa bergem-
ing dari sikapnya. Tangan kirinya masih menggenggam
golok yang belum selesai dibuat. Wajah Lingga yang
dingin tidak bergeming sama sekali. Tapi pada sepa-
sang matanya tampak kilatan hawa maut.
"Rupanya kau membutuhkan bukti kalau tindakan
yang kulakukan sesuai yang kuucapkan?!" desis Ling-
ga-
Seketika pemuda berbaju merah ini menjentikkan
jari telunjuknya.
Sing...!
"Aaakh...!"
Bunyi mendesing seperti ada benda meluncur ter-
dengar, lalu disusul pekikan si pandai besi. Saat itu
juga, kakek ini merasakan pergelangan tangannya
seakan terhantam sesuatu seperti batu kecil. Karena
kali ini yang terkena tangan kiri, maka golok dalam
genggaman yang belum selesai kontan terlepas.
"Sudah percaya, Tua Bangka Sombong?!" dengus
Lingga, dingin.
"Pemuda telengas!" maki kakek ini tajam dan lan-
tang. Tidak terlihat adanya kegentaran sedikit pun.
Baik pada wajah maupun sorot matanya
"Kau kira permainan konyol mu ini membuatku ta-
kut?! Kau mimpi, Anak Muda! Jangan dikira aku takut
mati! Apalagi di tangan orang konyol sepertimu! Mau
bunuh, silakan bunuh!"
Lingga menyeringai kejam.
"Kau keliru, Tua Bangka! Kau tahu, aku memang
haus darah! Aku gemar membunuh! Tapi, tidak den-
gan cara mudah! Jangan dikira aku akan menewaskan
mu begitu saja! Mungkin kau akan mati di tanganku,
tapi setelah mengalami siksaan yang mengerikan.
Bahkan siksaan yang akan membuatmu menyesal ber-
temu denganku!"
Kakek kurus kering ini kontan merasakan bulu
kuduknya berdiri. Dirasakan adanya nada kesunggu-
han dalam ucapan pemuda itu. Sebagai orang yang te-
lah banyak makan garam kehidupan, pandai besi ini
tahu kalau pemuda di hadapannya tidak main-main.
Sorot mata pemuda itu yang memancarkan sinar men-
gerikan, semakin memperjelas dugaan si pandai besi
akan kesungguhan ancaman yang diterimanya.
"Tapi, aku mungkin akan mencabut ancaman itu
apabila kau bersedia memenuhi permintaanku," tam-
bah Lingga lagi, tetap dingin dan datar.
Si kakek diam, tidak memberi jawaban apa-apa.
Lingga mengambil sebatang golok sekaligus sa-
rungnya dari belakang punggung. Bagian bawah sa-
rung golok itu dipegang dengan tangan kanan, agak
jauh dari wajah.
"Aku hanya menginginkan agar kau menerima pu-
sakaku ini. Dan, katakan pendapatmu!" ujar Lingga,
"Bagaimana?!"
Si Kakek diam sebentar, kemudian perlahan-lahan
kepalanya mengangguk. Usul yang dikemukakan Ling-
ga disetujui, kendati dengan perasaan terpaksa. Ang-
gukannya saja terlihat kaku. Malah tidak berseri di wa-
jahnya.
Tapi, pemuda itu rupanya tidak peduli. Yang pent-
ing adalah keinginannya terlaksana. Masalah si pandai
besi rela atau tidak, bukan jadi masalahnya.
Dengan raut wajah masih dingin, Lingga meniup
golok yang masih diacungkan sejajar wajahnya.
"Phuih!"
Srang!
Seketika golok itu melesat keluar dari sarung, me-
luncur ke arah kakek kurus kering dalam keadaan
berputaran.
Mata kakek pandai besi terbelalak ketika melihat
golok itu hinggap dalam keadaan tegak di atas tonggak
besi yang menancap di tanah. Tonggak yang besarnya
tak lebih dari jari kelingking! Golok itu berdiri dengan
ujungnya, tapi hanya menempel saja, tidak jatuh ke
tanah.
"Periksalah, Tua Bangka! Dan katakan pendapat-
mu mengenai pusakaku. Tapi, ingat! Jangan coba-coba
mempermainkan! Kau tahu, akibatnya. Aku tidak mau
dipermainkan orang! Mengerti?!" ujar Lingga, sarat an-
caman.
Si kakek tidak memberi jawaban sama sekali. Den-
gan sikap masih angkuh, dihampirinya tempat golok
Lingga bertengger. Dicekalnya gagang golok dan dita-
riknya.
Tapi, lagi-lagi keterkejutan dialami si kakek pandai
besi. Golok yang kelihatan jelas hanya menempel ba-
gian ujungnya pada tongkat, ternyata tidak mampu di-
tariknya. Seakan-akan senjata tajam itu telah bersatu
dengan tonggak besi!
Kakek kurus kering tidak putus asa. Tenaga da-
lamnya dikerahkan untuk menarik. Tapi sampai sele-
bar wajahnya merah padam, golok itu tetap tidak ber-
geming. Dan dia pun menyerah.
Lingga mendengus, terlihat penuh nada meremeh-
kan. Tangan kanannya yang masih menggenggam sa-
rung golok digerakkan ke samping, sehingga sarung
golok memalangi,
"Hih!"
Kakek pandai besi yang masih bersikeras menarik
kontan terjengkang ke belakang terbawa tenaga tari-
kannya sendiri. Karena golok yang semula seperti me-
nyatu dengan tonggak besi, dapat dicabutnya dengan
mudah!
Namun, kakek ini ternyata bukan orang sembaran-
gan. Kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang
dan hampir menabrak tembok mampu dipatahkan
dengan sebuah gerakan kaki sederhana.
Kakek pandai besi menatap Lingga dengan sorot
mata menyiratkan kebencian. Tapi yang ditatap malah
menatap dengan sinar mata penuh ejekan.
Kemarahan kakek tinggi kurus tidak bisa ditahan
lagi. Tindakan pemuda ini telah melampaui batas. Ma-
ka dengan penuh kegeraman yang tidak bisa disembu-
nyikan, golok milik Lingga dibantingkan keras ke lan-
tai.
Jleb!
Golok itu kontan amblas ke lantai sampai hampir
setengahnya! Padahal, lantai itu tersusun dari batu
padas yang amat kuat!
Sementara sepasang mata Lingga seperti meman-
carkan api ketika menatap kakek pandai besi. Kema-
rahan yang amat sangat memancar jelas di sana.
"Pungut kembali golok itu. Periksa dan berikan
pendapatmu. Atau kau akan menyesal karena melaku-
kan tindakan seperti itu terhadapku!" perintah Lingga
dalam kemarahannya.
Cuhhh!
Si kakek pandai besi yang telah dikuasai marah
karena perasaan tersinggung, memberi tanggapan
dengan meludah ke tanah. Sebuah tantangan telah di-
lakukan!
Maka dengan wajah dingin, Lingga menudingkan
dua jari tengahnya.
Kakek kurus kering itu mencoba mengelak atau
menangkis. Tapi sayangnya, dia tidak tahu bagian
yang diserang. Walaupun demikian dia tetap berusaha
mengelak, meski secara sembarangan. Namun
Tuk!
"Aaakh...!"
Kakek kurus kering menyeringai ketika merasakan
ada rasa sakit sesaat, seperti kena totok. Rasa nyeri
yang amat sangat langsung mendera. Tubuhnya yang
terjatuh di tanah menggeliat-geliat bagaikan ayam dis-
embelih.
Lingga tertawa bergelak. Suaranya sarat kegembi-
raan. Sepasang matanya pun berbinar-binar, seakan-
akan tengah melihat pemandangan yang menarik dan
menyenangkan.
Tubuh kakek pandai besi ini terus menggelepar-
gelepar ke sana kemari. Tak peduli keadaan sekitar-
nya. Bahkan ketika beberapa kali tubuhnya berbentu-
ran dengan dinding, sama sekali tidak dirasakan! Wa-
jahnya menyiratkan kenyerian hebat
Lingga memang mulai membuktikan ancamannya.
Kakek kurus kering itu ditotok dari jarak jauh pada
bagian yang membuat sekujur tubuh sakit dan nyeri
tak tertahan, bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum
berkarat!
"Bagaimana, Tua Bangka Sombong?!" tanya Lingga
dengan nada dingin tanpa gambaran perasaan apa-
apa. "Apakah kau masih bersikeras untuk menentang-
ku?! Syarat yang ku ajukan mudah saja. Dan perlu
kau ingat, Kakek Dungu! Ini tawaran terakhir! Bila kau
masih tidak mau mendengarnya, aku akan pergi. Tapi
kau akan tewas dengan cara menyedihkan dan sangat
tersiksa. Bagaimana?!"
"Kau memang bukan manusia! Kau iblis yang ber-
hati keji! Kau tidak memberi ku pilihan lain!" desis ka-
kek kurus kering dengan susah-payah karena rasa sa-
kit masih menderanya.
Lingga tidak memberi tanggapan apa-apa. Tapi so-
rot sepasang matanya terlihat jelas memancarkan si-
nar kemenangan. Meski, kakek ini belum memberi ja-
waban pasti, tapi perkataannya telah menunjukkan
kalau tawarannya diterima.
Tik!
Lingga menjentikkan jari telunjuknya. Maka rasa
nyeri yang mendera tubuh kakek pandai itu pun le-
nyap. Geleparnya pun terhenti. Meski demikian, tu-
buhnya terlihat lunglai ketika bangkit. Peluh sebesar
biji-biji jagung tampak membasahi wajahnya, akibat
rasa nyeri yang hebat.
"Kudengar kau seorang pembuat senjata yang ter-
pandai. Kau mengenal banyak senjata pusaka dan bisa
tahu dengan memperhatikannya. Kau orang yang di-
kenal dengan nama Empu Lahang Samedi, bukan?!"
Lingga membuka suara.
Kakek kurus kering mengangguk tanpa menoleh.
Masih dengan langkah limbung, kakinya terayun
menghampiri tempat golok Lingga yang tertancap di
lantai. Dengan kedua tangan, karena masih lemah
akibat siksaan tadi, golok itu berusaha dicabut. Tapi
ternyata, si pandai besi yang bernama Empu Lahang
Samedi ini tidak mampu! Tenaganya telah terkuras
habis. Bahkan golok itu tidak bergeming sama sekali.
Melihat hal ini, Lingga menjadi tidak sabar. Maka
tangan kanannya cepat dikibaskan.
Werrr...!
Seketika angin keras menderu. Sehingga tidak
hanya golok yang tertancap, tubuh Empu Lahang Sa-
medi pun terlempar. Sedangkan golok yang tercekal
erat dengan kedua tangannya tetap tergenggam, sam-
pai tubuh kakek itu menubruk dinding.
Empu Lahang Samedi merayap lemah. Kendati la-
hir dan batinnya sakit akibat perlakuan Lingga, na-
mun dia tidak berani lagi membangkang. Golok yang
berada di tangan diperhatikannya penuh selidik.
Sepasang mata Empu Lahang Samedi berbinar-
binar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan dan keti-
dakpercayaan. Kedua tangannya tampak menggigil ke-
ras, ketika berbicara.
"Tidak salahkah penglihatanku...?! bukankah ini
Golok Kilat yang ajaib itu?!" gumam Empu Lahang
Samedi sarat keterkejutan. Bahkan suaranya terden-
gar bergerak.
"Kau memang tidak salah, Empu Lahang!"
Untuk pertama kalinya, Lingga menyapa kakek ku-
rus kering itu dengan namanya. Tidak dengan panggi-
lan penuh hinaan.
"Golok itu memang golok keramat yang tadi kau
sebutkan. Sekarang katakan, apa lagi pendapatmu
mengenai Golok Kilat itu?!" sambung Lingga.
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung untuk
mengutarakan pendapatnya. Sementara Lingga yang
memang berwatak pemarah, kesabarannya habis.
"Apakah aku perlu melakukan kekerasan seperti
tadi, Empu?!"
Empu Lahang Samedi menghela napas berat
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya.
Telah kehilangan kedahsyatannya, kendati kekuatan-
nya tidak lenyap..."
"Aku juga telah mengalaminya sendiri, Empu, Dan
bagaimana caranya untuk membuat pusaka itu kem-
bali seperti semula?! Maksudku..., keampuhan dan
ke d ahsy atan nya.''
Kembali Empu Lahang Samedi terdiam. Kali ini
Lingga tidak memberi ancaman dan hanya menunggu.
Tapi, ternyata diamnya Empu Lahang Samedi kali ini
lebih lama daripada sebelumnya.
"Kau jangan mencoba mempermainkan ku, Empu.
Ingat! Aku bukan sejenis orang yang mudah diper-
mainkan. Apabila kesabaranku hilang, aku bisa-bisa
tidak membutuhkan mu lagi. Toh, masih banyak ahli
senjata lain yang bisa kuminta pendapatnya mengenai
pusakaku. Ini peringatan terakhir, Empu. Mau menga-
takan apa pendapatmu..., atau..., semuanya berakhir
di sini?!" desak Lingga.
Empu Lahang Samedi yang sejak tadi hanya me-
nunduk, menatap Lingga dengan sinar mata tajam.
Penuh tantangan!
"Kau boleh bunuh aku, Pemuda Gila! Siksa aku se-
puas hatimu! Tapi, Ingat! Kau tidak bisa memaksakan
untuk melakukan perintahmu! Nah! Tunggu apa lagi?!
Cepat lakukan hal yang kau inginkan!"
Sepasang mata Lingga kontan mengeluarkan sinar
berkilatan yang sarat ancaman. Pemuda ini memang
memiliki watak aneh, tidak suka kalau keinginannya
dibantah. Apabila menginginkan sesuatu, orang harus
melakukannya
Tapi, kali ini Empu Lahang Samedi ternyata sudah
nekat. Dibalasnya tatapan pemuda itu dengan berani.
Kakek ini ternyata lebih suka mati secara mengerikan
daripada memberi pendapat mengenai Golok Kilat.
***
"Ayah...!"
Sebuah panggilan nyaring melengking membuat
suasana tegang antara Empu Lahang Samedi dan
Lingga yang tengah saling tatap sedikit terpecahkan.
Wajah kedua tokoh itu berubah. Bila Lingga kelihatan
gembira dengan sepasang mata berbinar-binar, tapi
Empu Lahang Samedi sebaliknya.
"Priyani...! Pergi dari sini...! Cepat..!" seru Empu
Lahang Samedi yang membaui adanya bahaya atas diri
gadis bernama Priyani yang ternyata putrinya. Na-
danya menyiratkan kekhawatiran yang besar.
Kalau menuruti keinginan, ingin rasanya pandai
besi ini melesat ke tempat putrinya berada, dan mem-
bawanya kabur meninggalkan tempat itu. Paling tidak
menjauhi Lingga yang ganas dan keji.
Sayangnya, niat itu lebih mudah dipikirkan dari-
pada dilaksanakan. Untuk menuju ke tempat Priyani,
harus melalui Lingga lebih dulu. Karena pemuda itu
lebih dekat pintu daripada dirinya.
Sementara di luar sana gadis berpakaian kuning,
melangkah memasuki rumah Empu Lahang Samedi
ini. Rambutnya sebahu, dengan tahi lalat kecil di pipi
sebelah kiri.
Priyani tadi memang mendengar seruan Empu La-
hang Samedi, dan sempat membuat langkahnya ter-
henti. Bisa dirasakan adanya kekhawatiran yang besar
dalam seruan tadi. Dia tahu, Empu Lahang Samedi ti-
dak akan mengeluarkan peringatan seperti itu, kalau
memang tidak ada sesuatu yang tidak berbahaya.
Sungguhpun demikian, gadis ini tidak segera me-
nuruti anjuran ayahnya untuk meninggalkan tempat
itu selekasnya. Rasa ingin tahu sampai ayahnya demi-
kian khawatir, membuatnya masih tetap ingin mema-
suki ruangan tempat pembuatan senjata milik ayah-
nya. Dan lagi, Priyani memang tidak ingin pergi. An-
daikata benar ada bahaya yang mengancam, mana
mungkin ayahnya ditinggal sendirian menghadapinya.
"Ayah...? Apa yang terjadi...?! Apakah Ayah baik-
baik saja?!"
Priyani tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia
langsung bertanya, sebelum memasuki ruangan ayah-
nya.
"Aku baik-baik saja, Priyani.,.! Kau masuklah...!
Tadi, Ayah hanya bergurau. Ayah hanya ingin melihat
bagaimana kalau ada bahaya mengancam. Apakah kau
akan meninggalkan Ayah. Atau, bersama-sama mela-
wan bahaya itu?"
Seruan ini membuat keragu-raguan Priyani pupus.
Dengan langkah-langkah lebar, maksudnya diteruskan
untuk masuk ke dalam ruangan khusus ayahnya,
Begitu masuk, seketika itu juga wajah Priyani yang
berseri-seri berubah. Dia melihat Empu Lahang Same-
di menempel di dinding dengan kedua tangan dan kaki
terentang. Semula, disangka ayahnya bergurau lagi.
Tapi ketika melihat wajah dan sinar matanya, Priyani
bisa menduga akan adanya hal-hal yang tidak beres.
Tanpa menyadari adanya kehadiran sosok lain di
mangan ayahnya ini, Priyani mendekati Empu Lahang
Samedi.
"Ayah...! Apa yang terjadi...?!" tanya Priyani kaget,
sambil menghampiri.
Namun mendadak langkah Priyani terhenti satu
tombak di depan Empu Lahang Samedi, yang berarti
telah melewati sosok Lingga yang berdiri di belakang-
nya. Pemuda itu hanya tersenyum dengan tangan ber-
sedekap. Dan berhentinya Priyani bukan karena ke-
mauannya, tapi karena kedua kakinya tidak bisa dige-
rakkan. Sepasang kakinya tidak mampu diangkat,
seakan-akan digayuti batu sebesar gajah. Amat berat!
"Aku tidak apa-apa, Priyani. Aku hanya bergurau
saja."
Priyani yang terkejut bukan main, makin terperan-
gah ketika mendengar ucapan terhadapnya. Jelas ter-
dengar bahwa suara itu milik ayahnya. Tapi, mulut
Empu Lahang Samedi tidak berkemik sama sekali.
Priyani memang gadis gemblengan dengan kepan-
daian cukup tinggi. Dan dia tahu, ayahnya juga berke-
pandaian tinggi. Dia pun telah mendengar tentang il-
mu yang membuat orang berbicara tanpa menggerak-
kan bibir. Tapi, disadari betul kalau ayahnya tidak
memiliki ilmu ini karena tingkat kepandaiannya tidak
setinggi itu. Ini berarti bukan ayahnya yang berbicara.
Yang lebih mengejutkan suara itu ternyata berasal
dari belakang Priyani. Dengan gerakan perlahan-lahan,
gadis ini berbalik. Kalau saja gadis ini mampu mengge-
rakkan kaki, tentu sudah terlompat ke belakang. Tapi
karena tidak, tubuhnya saja yang terlonjak.
Di depan Priyani, tampak Lingga berdiri dengan
wajah dingin sambil menyeringai keji.
Priyani sekarang mengerti, dua ucapan terakhir ta-
di keluar dari mulut Lingga. Sedangkan Ayahnya
hanya bicara sekali. Setelah itu, Lingga yang bicara.
Tentu saja setelah lebih dulu membuat Empu Lahang
Samedi tidak berkutik.
Kakek kurus kering itu tak mampu berbuat apa-
apa, karena kaki, tangan, maupun mulutnya seperti
lumpuh. Entah dengan cara bagaimana, Priyani tidak
tahu. Yang jelas, gadis ini tahu kalau Lingga memiliki
kepandaian tinggi. Ayahnya yang dilumpuhkan oleh
pemuda itu, menjadi bukti nyata kebenaran dugaan-
nya.
Kendati demikian, Priyani tidak menjadi gentar.
Dengan sorot mata penuh kebencian, ditatapnya Ling-
ga. Namun yang ditatap malah tenang-tenang saja,
membuat kemarahan gadis itu berkobar hebat.
8
"Manusia jahat! Apa salah ayahku, sehingga kau
berlaku kejam terhadapnya?! Kalau memang jantan,
bebaskan dia! Lepaskan juga aku dari pengaruh sihir-
mu ini! Kita bertarung sampai salah satu ada yang
menggeletak tak bernyawa!" desis Priyani, kalap.
Lingga tidak menunjukkan gambaran perasaan
apa-apa mendengar kata-kata gadis itu yang lantang
dan keras berisi jiwa ksatria! Kalau menuruti keingi-
nan, Lingga malas meladeninya. Yang penting baginya
adalah Golok Kilat harus segera mampu mengeluarkan
kedahsyatannya lagi. Sesegera mungkin! Agar dia da-
pat pula melenyapkan Dewa Arak, orang yang paling
dibencinya.
Tapi, Lingga memang berwatak keji. Tantangan
yang diberikan Priyani, membuat benaknya berputar.
Dicarinya cara mengenai tindakan yang akan dilaku-
kan terhadap gadis berpakaian kuning itu.
"Kalau itu yang kau mau, ku penuhi permintaan-
mu, Nona Manis," sambut Lingga, tenang dan datar.
Pemuda itu kemudian mengepretkan jari-jari kedua
tangannya, Seperti orang yang membuat tetesan air
yang menempel.
Tes! Tes!
Baik Empu Lahang Samedi, maupun Priyani seke-
tika merasakan beberapa bagian tubuh mereka seperti
tersentuh jari-jari tangan. Kini mereka pun mampu
bergerak kembali seperti sediakala.
"Priyani! Cepat pergi dan selamatkan dirimu! Biar
Ayah yang mencoba menahannya!" ujar Empu Lahang
Samedi, keras sarat kekhawatiran.
Berbareng keluarnya ucapan itu, Empu Lahang
Samedi melompat ke depan. Dia berdiri di depan pu-
trinya. Sikapnya terlihat melindungi sekali.
"Tapi, Ayah...," Priyani mencoba untuk memban-
tah. "Aku telah berjanji bertarung dengannya sampai
mati. Tidak mungkin aku mengingkari janji yang telah
kubuat sendiri."
"Jangan bodoh, Priyani! Bagi orang jahat seperti
pemuda itu, janji tak ubahnya kotoran! Tak ada harga
lagi! Cepatlah pergi tinggalkan tempat ini!" sergah Em-
pu Lahang Semadi, tak sabar.
Priyani bimbang. Hatinya berperang antara meme-
gang janji dengan memenuhi perintah ayahnya..!
Sementara Lingga yang melihat dan mendengar
pertengkaran ayah dan anak itu menatap wajah dan
sinar mata dingin, bagaikan patung batu. Dia tidak
khawatir kalau Priyani kabur dari situ. Karena Lingga
yakin, akan dapat mencegahnya.
Empu Lahang Samedi semakin merasa khawatir
akan nasib putrinya. Maka kesabarannya jadi hilang
melihat gadis itu malah berdiam diri. Dan....
"Heaaat...!"
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, kakek ini
melompat menerjang Lingga, setelah menyambar seba-
tang tombak pendek.
Namun Lingga tidak mengelak sedikit pun. Maka....
Tak!
Telak sekali ujung tombak baja hitam yang kuat
milik Empu Lahang Samedi mendarat telak di dada
pemuda itu.
Empu Lahang Samedi dan Priyani yang semula
gembira melihat keberhasilan serangan itu, berganti
kaget ketika melihat serangan tidak berpengaruh apa-
apa terhadap Lingga. Ujung tombak yang tajam itu ti-
dak mampu menembus kulit tubuhnya, kecuali hanya
menempel saja!
"Heh?!"
Empu Lahang Samedi cepat sadar dari kagetnya.
Dia tahu, pemuda ini memiliki kekebalan. Entah kare-
na kuatnya tenaga dalam yang dimiliki, atau karena
memang mempunyai ilmu aneh!
Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek kurus
kering ini menggerakkan tangan.
Empu Lahang Samedi bermaksud menyerang ba-
gian pelipis kiri melalui sebuah babatan. Namun, mak-
sudnya tidak kesampaian. Tombaknya bagai menyatu
dengan dada Lingga. Jangankan bisa dibabatkan. Un-
tuk digerakkan pun tidak dapat!
"Heaaat...!"
Empu Lahang Samedi masih nekat. Dipaksakannya
juga untuk meneruskan maksudnya. Tapi, kegagalan
pula yang didapatkan.
Lingga menyeringai kejam. Empu Lahang Samedi
jadi gentar bukan main. Pegangannya terhadap gagang
tombak segera dilepaskan untuk dapat menyela-
matkan diri. Tapi....
"Heh?!"
Empu Lahang Samedi kebingungan ketika telapak
tangannya tidak bisa dilepaskan dengan batang tom-
bak. Maka hatinya, mulai merasakan adanya bahaya
besar. Tampak perut pemuda itu mulai bergolak. Naik
turun bergelombang. Karena tangannya menempel
dengan tombak, Empu Lahang Samedi mulai meneri-
ma akibatnya. Tubuhnya kontan berguncang-guncang.
"Huk! Uhugkh!"
Guncangan itu ternyata membuat Empu Lahang
Samedi terbatuk-batuk. Dan pada setiap batuk yang
keluar, memercikkan darah segar. Jelas, dia telah ter-
luka dalam.
Priyani kaget, melihat betapa mudahnya Lingga
melumpuhkan ayahnya. Dia terkesima di tempatnya
tak tahu harus bertindak bagaimana.
Sementara guncangan pada Empu Lahang Samedi
semakin keras.
"Ohhh...!"
Dan bertepatan dengan terdengarnya keluhan ter-
tahan dari mulut Priyani, tubuh Empu Lahang Samedi
terlempar deras ke belakang, langsung menghantam
dinding dengan keras.
"Ayah...!"
Priyani berseru kaget, berniat menghambur menu-
ju ayahnya. Tapi maksudnya kandas, ketika Lingga
mengembangkan kedua tangan. Tindakannya seperti
orang tengah menarik. Maka seketika tubuh gadis ber-
pakaian kuning itu tertarik ke arah Lingga.
"Auuu www.,.!"
Priyani meronta-ronta ketika tubuhnya tahu-tahu
telah berada dalam rangkulan Lingga. Tapi tindakan-
nya langsung berhenti, ketika Lingga menekan ba-
hunya. Tubuhnya langsung lunglai.
"Lepaskan dia, Pemuda Telengas! Dia tidak ada
sangkut pautnya dengan urusan kita!" teriak Empu
Lahang Samedi berusaha bangkit dengan limbung.
Langkahnya gontai ketika berusaha berjalan.
"Bagiku tidak demikian, Empu Lahang!" ejek Lingga
penuh kemenangan. "Mungkin menurutmu, gadis ini
tidak ada urusannya dengan kita. Tapi bila aku men-
ganggap sebaliknya, kau mau apa Tua Bangka?!"
"Biadab!" desis Empu Lahang Samedi penuh kege-
raman. Hanya sampai sebatas demikian tindakan yang
dilakukannya.
"Kau boleh bicara apa saja, Empu Lahang! Tapi, in-
gat! Keselamatan putrimu ini berada di tanganmu.
Apabila kau mau memenuhi permintaanku, mengata-
kan apa yang kau ketahui tentang golok di tanganmu,
aku akan membebaskannya. Kubiarkan dia pergi dari
sini dalam keadaan hidup!" ancam Lingga.
Lingga menutup ucapannya dengan mengeratkan
pelukan tangan kiri. Wajahnya disusupkan di leher
Priyani, menciumi leher mulus berkulit putih halus itu.
Empu Lahang Samedi menggertakkan gerahamnya
melihat pemandangan ini. Dia tahu Priyani terancam
bahaya mengerikan. Gadis itu sendiri tidak mampu
berbuat apa-apa untuk mencegah selain keluhan-
keluhan lirih.
Tingkah Lingga semakin menggila. Hanya sekali
renggut.
Brettt!
Pakaian Priyani di bagian dada sampai ke perut
koyak lebar. Seketika bukit kembar yang berbentuk
indah menggiurkan dengan puting susu merah segar
segera menyembul keluar.
Lingga semakin buas dalam cekaman nafsunya.
Wajahnya disusupkan di antara dua bukit kembar
yang berbentuk indah menggiurkan itu.
"Hentikan...!" teriak Empu Lahang Samedi, tak
kuat lagi bertahan.
Maksud hati kakek ini hendak berteriak keras. Tapi
karena keadaannya memang tengah payah, teriakan-
nya tak ubahnya keluhan lirih orang menjelang ajal.
Meski demikian, Lingga mendengar. Dan tindakan-
nya pun dihentikan. Sepasang matanya yang memerah
dan napasnya yang memburu, menjadi pertanda kalau
nafsunya tengah bergolak. Tapi keinginannya yang le-
bih besar untuk mengetahui pendapat Empu Lahang
Samedi mengenai Golok Kilat, membuatnya mampu
meredamnya.
"Bagaimana, Empu?! Kau masih bersikeras meno-
lak?!" tanya Lingga, mengambang.
"Kau memang licik, Pemuda Telengas!" Empu La-
hang Samedi malah memaki. Tidak mempedulikan
ucapan Lingga. "Kau tidak memberi ku pilihan lain!
Tapi, apakah kau bisa memegang janji?"
"Tentu saja!" tandas Lingga, mantap. "Aku berjanji
akan membebaskan Priyani jika kau mau memberi
pendapat mengenai Golok Kilat!"
Empu Lahang Samedi tercenung setelah menden-
gar janji Lingga. Dia tahu betul, orang macam apa
Lingga ini. Tindakannya harus sangat hati-hati kalau
tidak ingin tertipu mentah-mentah!
"Masih kurang, Manusia Keji! Ucapkan juga sang-
sinya, apabila kau melanggar!"
Sepasang mata Lingga berkilat penuh hawa maut
Pemuda ini memang paling tidak senang diatur. Tapi
perasaan ingin tahu atas pendapat Empu Lahang Sa-
medi tentang Golok Kilat, membuatnya mampu mene-
lan perasaan marah.
"Baik!" geram Lingga. "Apabila aku melanggar janji
dengan tidak membebaskan Priyani, maka leherku
akan kugorok sendiri. Janjiku ini kubuat berdasarkan
kehormatanku!"
Empu Lahang Samedi tersenyum puas. Dia tahu,
betapapun bejatnya Lingga, tidak akan mungkin me-
langgar janjinya yang bersangsi mengerikan!
Dan memang, Lingga langsung membuktikannya.
Pemuda ini langsung mendorong tubuh Priyani ke arah
orang tuanya, setelah membebaskan totokan yang
membuat gadis itu lemas.
Empu Lahang Samedi buru-buru mengulurkan
tangan, menangkap tubuh putrinya.
Priyani yang telah berhasil bebas dari totokan,
hanya membiarkan tubuhnya dipeluk ayahnya seben-
tar. Namun dengan halus tapi penuh tekanan gadis ini
meronta.
Empu Lahang Samedi tidak menghalangi sama se-
kali. Dibiarkan saja ulah putrinya. Tapi tindakan
Priyani ternyata tidak berhenti hanya sampai di situ.
Pisau putih berkilat yang terselip di pinggangnya lang-
sung dicabut. Kemudian dia hendak bergerak ke arah
Lingga.
"Hih...!" .
Keinginan Priyani ternyata tidak sesuai perkiraan
nya. Sebelum maksudnya terlaksana, Empu Lahang
Samedi yang meskipun telah melepaskan putrinya dari
pelukan, tapi tidak mengendurkan kewaspadaan. Begi-
tu melihat Priyani bergerak, lebih dulu tangannya ce-
pat mencekal pergelangan tangan putrinya ini.
"Lepaskan, Ayah...! Lepaskan...! Biar kubunuh pe-
muda jahanam itu...!" jerit Priyani sambil meronta-
ronta.
"Tidak akan kulepaskan kau, Priyani. Kecuali kalau
menginginkan ayahmu menjadi seorang pengecut hina
yang menjilat ludahnya sendiri. Apabila kau suka,
dengan senang hati maksudmu ku penuhi," sahut Em-
pu Lahang Samedi, tenang. Kendati demikian di dalam
ketenangan itu terkandung ketegasan.
Mendengar ucapan ayahnya, Priyani pun lemas.
Urat-urat dan otot-ototnya yang tadi menegang kaku
melemas kembali. Tentu saja dia tidak ingin ayahnya
jadi seorang pengecut. Maka meski dengan hati berat,
maksudnya diurungkan.
"Ayah tidak memberi ku pilihan lain," keluh Priya-
ni, bernada menyalahkan.
"Lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini,
Priyani. Aku masih mempunyai urusan lain dengan-
nya," perintah Empu Lahang Samedi, meski diusaha-
kan tidak kentara. Maksudnya tentu saja untuk me-
nyelamatkan Priyani. Karena, meski percaya kesung-
guhan janji Lingga, kakek kurus kering ini tidak berani
mengambil bahaya terlalu besar.
"Apakah Ayah tidak suka aku berada di sini...?!
Ayah lebih suka aku pergi dari sini?!"
Priyani menatap wajah ayahnya lekat-lekat sambil
mengucapkan perkataan demikian. Sengaja diguna-
kannya kalimat demikian, untuk membuat ayahnya
mati kutu. Priyani ingin menemani ayahnya. Dia ingin
tahu, urusan apa yang menyebabkan Lingga begitu
bersemangat memaksa ayahnya berbicara.
"Mengapa kau bisa menarik kesimpulan seperti itu,
Priyani?!" tanya Empu Lahang Samedi sambil menge-
rutkan kening. Heran atas dugaan putrinya terhadap-
nya.
"Kalau tidak, tentu Ayah akan membiarkanku di
sini. Ayah, seharusnya merasa senang ku temani," sa-
hut Priyani, cepat.
Empu Lahang Samedi tidak bisa memberi banta-
han lagi, kecuali mengangkat kedua bahunya. Dia ka-
lah pandai bicara.
Memang, Priyani bukan jenis gadis yang pandai
berbicara. Tapi bila dibandingkan Empu Lahang Sa-
medi, tentu saja gadis itu lebih unggul.
Lingga tidak memberi gambaran perasaan apa-apa
melihat akhir silang pendapat antara Empu Lahang
Samedi dengan putrinya. Sejak tadi dia malah me-
nunggu berakhirnya adu pendapat itu dengan pera-
saan sabar.
"Sudah selesai urusan kalian?!" tanya Lingga sete-
lah Priyani dan ayahnya tidak bersuara lagi. Nadanya
datar dan dingin. "Kalau memang sudah selesai, seka-
rang penuhi janjimu, Lahang!"
Sambil menghela napas berat beberapa kali, Empu
Lahang Samedi mulai memperhatikan Golok Kilat di
tangannya. Hanya sebentar saja, kemudian pandan-
gannya dialihkan pada Lingga.
Lingga sendiri sejak tadi memang memperhatikan
semua gerak-gerik Empu Lahang Samedi. Terlihat jelas
adanya sorot keingintahuan dalam pandang mata pe-
muda berpakaian merah itu.
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya.
Hal seperti ini terjadi, karena telah lama tidak diper-
gunakan," jelas Empu Lahang Samedi, satu-satu.
"Aku telah mengetahui hal itu, Empu Lahang," sa-
hut Lingga, dingin. "Lalu, yang lainnya...?"
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung.
"Katakan cepat, Empu! Atau..., kau lebih suka me-
lihat kesabaranku hilang? Begitu?!"
"Untuk memulihkan kembali keistimewaannya, di-
butuhkan polesan yang mempergunakan campuran
otak bayi dan darah perawan. Polesan terus dilakukan
sampai khasiatnya muncul. Dan itu bisa diketahui
dengan adanya bunyi guntur di langit!"
Lingga mengangguk-angguk, merasa puas dengan
keterangan yang diberikan. Sekali tangannya diulur-
kan, golok yang berada di tangan Empu Lahang Same-
di melayang ke arahnya. Dan dengan enaknya pemuda
ini menangkapnya.
"Apakah keterangan yang kuberikan cukup?!"
tanya Empu Lahang Samedi sambil tersenyum pahit.
Di dalam hati, kakek kurus kering ini merasa me-
nyesal telah memberi keterangan itu. Hal ini berarti
ancaman maut bagi bayi-bayi dan perawan-perawan,
mengingat Lingga memang berwatak keji!
Lingga hanya mengangguk kaku.
"Berarti urusan antara kita sudah selesai bukan?"
tanya Empu Lahang Samedi, meminta kepastian.
"Siapa bilang?!" kilah Lingga, membuat Empu La-
hang Samedi terlonjak kaget bagai disengat kalajengk-
ing. "Urusan kita tetap ada! Bahkan terhadap nona
cantik itu."
Wajah Empu Lahang Samedi berubah. Gigi-giginya
bergemelutuk, menahan geram karena merasa diper-
mainkan. Di lain pihak, Priyani mendelik! Sekujur otot-
otot dan urat tubuhnya menegang kembali.
"Kau hendak mengingkari janjimu, Anak Muda?!
Apakah sangsi yang kau tujukan atas dirimu sendiri
hanya omong kosong belaka?! Haruskah aku men-
ganggap ucapanmu tak ubahnya salakan seekor anjing
buduk?!"
Lingga mendengus.
"Rupanya kau tidak menyimak ucapanku, Tua
Bangka! Ingat-ingatlah semua ucapanku!"
"Aku bukan bocah kemarin sore yang tidak men-
gerti perkataan orang, Pemuda Sombong! Jelas terden-
gar dan tertangkap telingaku, kau mengatakan akan
membebaskan putriku apabila bersedia menuruti pe-
rintahmu!"
"Itu memang benar!" sambung Lingga, cepat
"Lalu, mengapa kau sekarang hendak melanggar
janjimu sendiri?!" desak Empu Lahang Samedi, tanpa
menyembunyikan rasa penasarannya.
"Aku tidak melanggar janjiku, dan tidak akan per-
nah! Putrimu sesuai perjanjian, akan kubebaskan!
Hanya saja waktunya tidak sekarang! Nanti setelah
urusanku dengannya selesai, baru dia kulepaskan!
Apakah itu artinya aku melanggar janji?! Tidak bu-
kan?! Kau saja yang tidak teliti!"
"Keparat licik! Aku akan mengadu nyawa dengan-
mu! Hiaaat..!"
Empu Lahang Samedi melompat menerjang, dis-
usul Priyani di belakangnya.
"Hih!"
Tapi hanya dua kibasan tangan, Lingga mampu
membuat tubuh Empu Lahang Samedi terjengkang ke
belakang. Sedangkan tubuh Priyani tertarik ke depan.
Tepat ketika tubuh Empu Lahang Samedi memben-
tur dinding, tubuh Priyani terjatuh ke dalam pelukan
Lingga. Gadis berpakaian kuning ini meronta-ronta,
namun hasilnya sia-sia belaka.
Rontaan Priyani berhenti ketika tangan Lingga me-
nekan bahunya.
"Chuh!"
Sambil membuang ludah, pemuda berpakaian me-
rah itu melesat meninggalkan tempat ini.
"Penjahat keji! Hendak lari ke mana kau...?! Jan-
gan harap aku akan membiarkanmu bertindak seme-
na-mena...!" teriak Empu Lahang Samedi, terhuyung-
huyung ketika bangkit
Empu Lahang Samedi tak mempedulikan kepa-
lanya yang masih pening dan pandangannya yang ma-
sih berkunang-kunang. Segera, dikejarnya pemuda
yang menculik putrinya.
Empu Lahang Samedi tak menghentikan pengeja-
rannya, kendati tubuh Lingga semakin mengecil di ke-
jauhan. Sambil mengejar, dia memaki-maki tak ka-
ruan.
***
9
"Itulah Gua Iblis, Dewa Arak!"
Seruan bernada pemberitahuan yang diikuti tudin-
gan jari keluar dari mulut Setan Kepala Besi. Saat itu,
lelaki berkepala botak itu bersama Dewa Arak berada
berjarak sepuluh tombak dari sebuah tebing berbentuk
tengkorak yang mempunyai sebuah gua yang kelihatan
gelap pekat.
Arya harus mengakui kalau nama Gua Iblis tidak
terlalu berlebihan. Sesuai sekali nama dengan kenya-
taannya. Di sinikah tempat tinggal dua kakek penculik
Nuri? Begitu batin pemuda ini.
"Apa yang akan kau lakukan, Kek?!" tanya Arya,
ingin tahu.
"Aku akan masuk ke dalam sana. Kau tunggu saja
dulu di sini. Aku ingin mencoba membujuk mereka un-
tuk tidak membawa-bawa Nuri dalam masalah ini. Kau
tidak keberatan, Dewa Arak?!" sahut Setan Kepala Be-
si.
Arya tersenyum dan menggeleng. Dalam hati, pe-
muda berambut putih keperakan ini merasa kagum
bukan main dengan kemajuan Setan Kepala Besi! Le-
laki ini benar-benar telah berpaling dari jalan sesatnya.
Sampai-sampai, sifatnya demikian berubah. Hanya un-
tuk menyuruhnya menunggu, lelaki ini menanyakan
lebih dulu!
"Terima kasih, Dewa Arak! Percayalah, aku tidak
akan lama...!"
Gema suaranya masih terdengar, tapi tubuh Setan
Kepala Besi telah melesat cepat mendekati mulut gua!
Arya memperhatikan hingga Setan Kepala Besi le-
nyap di dalam gua. Ketajaman sepasang telinganya di-
kerahkan, agar bisa mendengar bunyi-bunyi tak wajar
dari dalam gua. Apabila itu terjadi, Dewa Arak tidak
bisa tinggal diam lagi. Terpaksa kesepakatan yang di-
buatnya bersama Setan Kepala Besi tadi dilanggar.
Kening Arya berkerut. Keheranan melingkupi ha-
tinya, ketika melihat Setan Kepala Besi keluar dari da-
lam gua. Padahal, dia baru saja masuk.
Meski merasa ingin tahu, pemuda berambut putih
keperakan ini tetap diam. Bahkan ketika akhirnya Se-
tan Kepala Besi berhenti didekatnya, Aiya tidak men-
gajukan pertanyaan sama sekali.
"Benarkah mereka mengatakan tempat ini, Dewa
Arak? Apakah bukan tempat lain?!" tanya Setan Kepala
Besi sambil menatap wajah Arya penuh selidik.
"Aku tidak keliru, Kek. Jelas sekali kutangkap per-
kataannya. Gua Iblis! Apakah saya yang salah?!" Arya
ganti bertanya, meski telah bisa memperkirakan akan
apa yang telah terjadi.
"Gua itu kosong, Dewa Arak! Tidak ada siapa pun
di dalamnya!" sahut Setan Kepala Besi tandas dengan
suara kering.
Wajah Arya tidak berubah sungguhpun perasaan
kaget yang luar biasa menyergapnya. Pemuda ini me-
mang pandai menguasai perasaan. Sehingga apa yang
bergejolak di hati, tidak terlihat pada wajahnya.
"Mungkinkah mereka sengaja berbohong?!" duga
Arya.
Setan Kepala Besi menggeleng lemah.
"Mereka bukan sejenis orang-orang berwatak se-
perti itu."
Suasana hening. Masing-masing tenggelam dalam
alun pikirannya. Pada wajah Setan Kepala Besi terlihat
jelas adanya gambaran kecemasan.
"Hanya ada dua kemungkinan, Kek," ujar Arya
memecah keheningan. "Pertama, mereka berubah piki-
ran. Sedangkan yang kedua, ada halangan yang meng-
hadang mereka. Memang, kedua kemungkinan itu pun
rasanya mustahil. Tapi, tidak ada jawaban lainnya."
Setan Kepala Besi diam. Di lubuk hatinya, harus
diakui kalau kemungkinan yang diberikan Dewa Arak
bisa saja terjadi.
"Kurasa rencana mereka berubah, Dewa Arak. Aku
tidak bisa berdiam diri menunggu di sini tanpa adanya
kepastian mengenai keadaan muridku. Aku akan men-
cari tahu keadaannya sekarang juga!"
"Boleh aku menyumbang tenaga, Kek?!" tanya
Arya, karena melihat lelaki berkepala botak itu seperti
tidak memerlukannya.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tapi kurasa, lebih baik ki-
ta berpencar agar kemungkinan untuk menemukannya
menjadi lebih besar. Kau boleh melakukan tindakan
apa saja. Yang penting, Nuri selamat! Aku pergi dulu,
Dewa Arak!"
Arya hanya bisa mengangguk. Namun Setan Kepala
Besi tidak bisa melihatnya, karena telah berada bebe-
rapa tombak di depan.
Arya memandangi hingga tubuh Setan Kepala Besi
sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, setelah menghela
napas berat, tubuhnya berbalik dan melesat ke arah
yang berbeda.
***
Aduhai dunia
Dari dulu sampai sekarang
Kau tidak pernah berubah
Selalu bergolak tak pernah tenang
Angkara murka merajalela
Hawa maut melingkupi bumi
Akankah sang Pendekar Perkasa
Mampu mempertunjukkan gigi
Nyanyian yang didendangkan berirama dengan na-
da enak didengar menyelusup masuk ke dalam telinga
Dewa Arak. Tidak keras bunyinya, tapi pemuda be-
rambut putih keperakan ini terkejut bukan main.
Keterkejutan Arya karena bunyi yang tidak keras
itu mampu membuat dadanya bergetar. Setiap kata
dalam nyanyian, menimbulkan getaran pada dada se-
bagaimana layaknya jika orang mendengar bunyi be-
duk! Kalau bunyi pelan saja dapat menimbulkan pen-
garuh seperti ini, apa pula akibatnya bila bunyi itu ke-
ras?!
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat
dari biasanya. Pemuda ini yakin pasti pemilik nyanyian
itu memiliki tenaga dalam amat kuat. Dan seketika
pendengarannya dipusatkan untuk bisa mengetahui
asal bunyi itu. Tapi walau telah seluruh kemampuan-
nya dikerahkan, yang dapat ditangkap benar-benar ti-
dak masuk akal! Bunyi itu berasal dari atas!
Dewa Arak sadar, pemilik nyanyian itu sengaja
mengecoh. Dan kenyataan ini semakin menambah ke-
terkejutannya. Pemuda ini semakin yakin, pemilik
nyanyian itu memiliki tenaga dalam luar biasa kuat.
Karena hanya tokoh yang memiliki kekuatan tenaga
dalam sukar diukurlah yang dapat memindahkan te-
naga dalam.
"Mengapa harus menujukan pandangan ke tempat
yang tidak mungkin? Teruskan langkahmu. Dan, tuju-
kan pandanganmu ke arah langkah kakimu. Maka kau
akan menemukan apa yang kau cari, Pendekar Muda."
Wajah Arya memerah karena malu mendengar te-
guran itu. Kepalanya memang menengadah untuk me-
lihat ke langit. Dia menduga barangkali pemilik nya-
nyian itu menaiki burung. Namun sama sekali tidak
disangka kalau tingkahnya diketahui. Secara membuta
Arya mengikuti petunjuk itu yang diyakini berasal dari
mulut yang sama dengan suara nyanyian itu.
Seraya mengayunkan kaki, benak Dewa Arak men-
duga-duga siapa pemilik nyanyian itu. Dia memang
merasa telah mengenai Atau, setidak-tidaknya telah
pernah mendengar suara seperti itu. Bukan dalam
bentuk nyanyian, tapi dalam percakapan biasa, seperti
teguran yang berisi petunjuk tadi.
Mendadak saja Arya sampai terjingkat ke belakang,
tanpa sadar ketika menatap lurus ke depan dengan
mata terbelalak. Sorot keterkejutan tampak jelas pada
sinar matanya.
Sekitar empat tombak di depan Arya, tampak seso-
sok tubuh kurus terbaring membelakangi. Dan yang
membuatnya kaget bukan main, sosok yang terbung-
kus pakaian abu-abu itu berbaring di atas selembar
daun pisang yang kebetulan pohonnya tidak terlalu
tinggi.
Untuk kedua kalinya Arya terkejut. Dan dia yakin,
sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang de-
mikian tinggi, sampai-sampai daun pisang yang ditidu-
rinya tidak melengkung sama sekali! Seakan-akan
yang berada di atasnya hanyalah sehelai daun kering
Dan Arya semakin yakin kalau pernah bertemu,
ketika memperhatikan lebih seksama sosok di atas
daun pisang itu. Hanya saja kapan dan di mana, dia
lupa.
Dengan pandang mata tak lepas dari sosok abu-
abu itu, Arya terus melangkah mendekat. Dan ketika
jaraknya tinggal tiga tombak lagi...
Tas!
Pelepah daun pisang tempat tubuh sosok abu-abu
berada putus seperti terbabat benda tajam.
Arya terpaksa menghentikan langkahnya ketika
melihat pelepah daun pisang itu melayang membawa
sosok abu-abu, ke arahnya.
Seperti memiliki nyawa, daun pisang itu mendarat
di tanah dalam keadaan berdiri mempergunakan ujung
pelepahnya.
Hal ini membuat sosok abu-abu yang rebah miring,
jadi ikut berdiri.
"Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya gembira, begitu
melihat wajah sosok abu-abu itu.
Arya bisa mengenali setelah sosok itu menghadap-
nya.
Sosok abu-abu yang ternyata seorang kakek yang
selama ini dikenal Dewa Arak sebagai Jaran Sangkar,
tersenyum getir.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Mudah-
mudahan saja kau tidak jemu bertemu denganku,"
sambut kakek berpakaian abu-abu ini sambil terse-
nyum. Senyum khasnya yang telah amat dikenal Dewa
Arak.
"Kau pandai bergurau, Ki. Pantas dalam usia setua
ini kau tetap kelihatan sehat," balas Arya berbasa-basi.
"O, ya. Aku hampir tidak pernah menyangka-nyangka
kalau kau pandai bersyair...."
"Sayangnya suaraku jelek. Bukan begitu, Dewa
Arak?!"
"Sama sekali tidak, Ki!" sergah Arya menggeleng.
"Bahkan sebaliknya. Indah. Kalau saja aku tidak men-
genalmu lebih dulu, mungkin kau yang kuanggap se-
bagai si Penyair Cengeng...."
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu, De-
wa Arak"
Wajah Arya berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar, Ki?! Kau.... Mak-
sudku..., kau tokoh yang berjuluk si Penyair Cengeng
itu?!"
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
pernah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Pe-
nyair Cengeng. Seorang tokoh sakti yang julukannya
lima puluh tahun menjulang tinggi di dunia persilatan.
Tokoh berkepandaian tinggi itu senantiasa menden-
dangkan syair-syair sedih, sehingga dijuluki Penyair
Cengeng. Tapi julukannya langsung lenyap begitu saja
bagai ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu,
ke mana perginya tokoh aneh itu. Dan sekarang Jaran
Sangkar mengaku kalau dirinya yang berjuluk Penyair
Cengeng!
"Benar, Dewa Arak," sahut Jaran Sangkar men-
gangguk. "Akulah tokoh yang kau maksudkan. Karena
merasa tua dan jemu dengan dunia persilatan yang se-
lalu berbau darah, aku mengundurkan diri ke Gunung
Jawul. Dan aku menamakan diri sebagai Jaran Sang-
kar yang kau kenal. Masalahnya, aku telah lupa den-
gan nama asliku sendiri...."
Arya diam, karena terlalu kaget mendengar kete-
rangan yang sama sekali tidak disangka-sangka.
"Lalu.... Maksud kedatanganmu ke tempat ini...?
Dan, keberadaanmu yang aneh itu, Ki.... Eh! Bagaima-
na aku harus menyebutmu?! Jaran Sangkar atau Pe-
nyair Cengeng?!" tanya Dewa Arak, agak terpatah-
patah.
"Aku sebenarnya tidak terlalu mementingkan ma-
salah sebutan, Dewa Arak. Apa pun jadi," jawab si Pe-
nyair Cengeng sambil menghela napas berat "Tapi un-
tuk menghilangkan kesan pengecut karena selama ini
aku menyembunyikan julukan, dan juga karena aku
mencoba jujur, tidak hanya padamu, tapi lebih khusus
pada diriku sendiri..., lebih baik kau sapa aku dengan
panggilan Penyair Cengeng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda
mengerti.
"Kedatanganku kemari hanya untuk memberitahu-
kan mu, Dewa Arak," tambah Penyair Cengeng. "Se-
buah pusaka yang dulu dibuat seorang pandai besi
yang sesat, dan selama ini berada di tangan seorang
pendekar golongan putih, telah jatuh ke tangan seo-
rang yang berwatak keji. Banjir darah kembali akan
berlangsung, Dewa Arak. Kau harus mencegahnya!"
"Tentu saja, Penyair Cengeng. Itu sudah merupa-
kan kewajibanku selaku seorang pendekar. Aku akan
berusaha mencegah terjadinya angkara murka di du-
nia persilatan. Hanya saja, aku belum jelas dengan
pernyataan yang kau berikan. Bisa lebih diperjelas?!"
tandas Dewa Arak, mantap.
"Begini. Puluhan tahun lalu, seorang pandai besi
membuat sebuah pusaka yang diberinya nama Golok
Kilat. Sesuai namanya, golok itu benar-benar mengeri-
kan. Bahan dasar pusaka itu sebenarnya biasa saja.
Namun campurannya, membuat golok itu menjadi sen-
jata pusaka yang ampuh! Kau tahu apa campurannya,
Dewa Arak?"
Arya menggeleng.
"Darah wanita yang masih perawan dan otak bayi!"
tandas Penyair Cengeng, setengah mengutuk.
Arya kontan menahan rasa mual mendengarnya.
"Golok Kilat itu," sambung Penyair Cengeng, tak
sabar. "Selama beberapa belas tahun terakhir, berada
di tangan Raja Golok Bertangan Baja. Tapi beberapa
waktu yang lalu, seorang pemuda berpakaian merah
dan ikat kepala merah telah merampasnya."
Wajah Arya berubah hebat. Ciri-ciri seperti yang
disebutkan Penyair Cengeng, tidak asing baginya.
Penyair Cengeng melihat perubahan muka pende-
kar muda itu. Dan bibirnya tersenyum dikulum.
"Aku yakin kau mengenal pemuda itu, Dewa Arak.
Bukankah demikian?!" tebak Penyair Cengeng.
"Benar, Penyair Cengeng. Bahkan dia menjadi mu-
suh besarku. Lingga namanya. Kepandaiannya luar bi-
asa! Ah! Aku ingat, Lingga membawa sebuah golok
yang kelihatannya ampuh. Tapi..., seingatku tidak ada
pengaruh seperti yang kau maksudkan itu, Penyair
Cengeng."
"Itu hanya sementara saja, Dewa Arak," tukas Pe-
nyair Cengeng. "Tak akan lama lagi, Lingga akan
mampu membuat golok itu memiliki keistimewaan se-
perti dulu. Dan caranya, adalah dengan campuran se-
perti yang dulu dibuat penciptanya?"
"Maksudmu...?!" tanya Dewa Arak, merasakan
tenggorokannya tercekat.
"Benar," Penyair Cengeng yang bisa menduga arah
jawaban Arya, segera mengangguk. "Golok itu sebentar
lagi akan kembali kedahsyatannya! Dan hingga saat ini
tengah memburu bayi-bayi dan perawan-perawan!"
"Biadab...!" desis Arya penuh perasaan geram. Ter-
dengar bunyi berkerotokan nyaring ketika tenaga da-
lam pemuda ini bergerak dengan sendirinya. "Tak akan
kubiarkan dia melakukan kekejian seperti itu."
"Sudah kuduga, kau akan mengucapkan kata-kata
seperti itu. Selamat bertugas, Dewa Arak!"
Penyair Cengeng mengedipkan sebelah matanya.
Kepalanya digerakkan sedikit. Maka pelepah daun pi-
sang itu bergerak naik membawa tubuh Penyair Cen-
geng yang punggungnya seperti menempel dengan
daun. Setelah mencapai ketinggian setengah tombak,
pelepah daun itu berbalik sampai mendatar. Dan den-
gan cara yang luar biasa, tubuhnya berhasil dibuat da-
lam keadaan duduk bersila di atas pelepah daun pi-
sang.
Meski kagum, Arya tidak merasa kaget lagi. Telah
diketahuinya sendiri kepandaian Penyair Cengeng yang
sangat tinggi. Dan dia tetap tidak kelihatan terkejut,
ketika Penyair Cengeng mampu membuat pelepah
daun pisang itu meluncur terbang ke depan setelah
mengibaskan tangannya.
"Penyair Cengeng...," gumam Arya pelan sambil te-
rus menatap tubuh kakek yang mengagumkan itu
sampai tidak terlihat.
Seperti memberi tanggapan terhadap ucapan Dewa
Arak, di sekitar tempat itu terdengar nyanyian lantang.
Tapi, tetap saja tidak mampu menyembunyikan nada
sedih. Cengeng!
Arya menggeleng-geleng tanpa sadar. Penyair Cen-
geng itu sendiri sudah tidak terlihat lagi batang hi-
dungnya. Tapi, nyanyiannya malah terdengar demikian
lantang. Pemuda ini mendengarkannya dengan seksa-
ma, karena merasa tertarik.
Ribuan tempat kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
***
"Oaa...!"
Tangis bayi berkepanjangan menguak dari sebuah
rumah sederhana yang letaknya agak terpencil dari pe-
rumahan penduduk di Desa Sangiran. Demikian nyar-
ing melengking, tanpa terputus-putus.
Seorang wanita muda berusia dua puluh lima ta-
hun, sambil menggendong berusaha sekuat tenaga
menghentikan tangisan bayinya. Tapi hasilnya sia-sia.
"Barangkali dia ingin tidur, Lastri," kata seorang le-
laki berumur tiga puluh tahun. Wajahnya persegi. Ka-
ta-katanya ditujukan pada wanita yang menggendong
bayi. Lelaki ini duduk di dekat wanita yang tak lain is-
trinya, di sebuah bangku panjang.
Di depan kedua orang yang sebenarnya sepasang
suami istri itu, hanya dipisahkan sebuah meja, duduk
sepasang muda belia. Seorang pemuda berkumis tipis,
dan seorang gadis bertahi lalat di ujung hidungnya.
Wanita yang menggendong bayi dan bernama Lastri
rupanya bisa menerima saran suaminya. Setelah lebih
dulu mengangguk dan memberi senyuman sebagai
permintaan maaf, dia bangkit dari duduknya dan ber-
jalan ke dalam.
"Ada-ada saja...," ujar lelaki wajah persegi sambil
mengalihkan perhatian pada dua orang muda di de-
pannya. "Percakapan kita jadi tertahan..."
"Hanya tertahan sebentar, Kak Wiryadi. Bukan ma-
salah. Lagi pula, menurut pendapatku, wajar saja bila
seorang bayi sering-sering menangis. Bukankah menu-
rut kata orang tua tangisan bayi berarti ada sesuatu
yang diminta?"
Laki-laki berwajah persegi yang dipanggil Wiiyadi
tertawa ganda.
"Rupanya kau telah siap untuk menjadi seorang
ayah, Gurit? Kapan hubunganmu dengan Linasih ini
diresmikan?!" sambut Wiryadi sambil tersenyum
menggoda.
Wajah pemuda berkumis tipis bernama Gurit, dan
gadis bertahi lalat yang bernama Linasih tampak me-
nyemburat merah. Kelihatan jelas kalau mereka masih
risih.
"Kak Wiryadi memang pintar menggoda orang. Lagi
pula, siapa orangnya yang sudi menikah denganku?!"
kata Gurit, seraya melirik Linasih.
Wiryadi batuk-batuk untuk menghilangkan ke-
canggungan akibat gurauannya.
"O, ya. Hampir aku lupa, Gurit."
Wiryadi buru-buru bersuara begitu sebuah bahan
pembicaraan melintas di benaknya. Dia ingin secepat-
nya menepis suasana yang tidak nikmat.
"Perlu kau ketahui, anakku itu bukan tergolong
bayi cengeng. Dan andaikata menangis karena ingin
tidur, lapar, ataupun buang air, tangisnya tidak keras.
Hm.... Aku menduga ada sesuatu yang aneh di sini,"
sambung Wiryadi, menduga.
Linasih saling berpandangan dengan Gurit. Wajah
mereka mulai cerah kembali. Sebuah pertanda kalau
kata-kata Wiryadi, berhasil mengusir kecanggungan.
Malah wajah Linasih kelihatan amat sungguh-
sungguh.
"Kalau benar demikian..., berarti ada hal aneh di
sini, Kak Wiiyadi...," kata Linasih agak ragu-ragu men-
gutarakannya.
10
Wiryadi terdiam. Tapi nyata kalau perkataan Lina-
sih sangat dipikirkannya. Dia mengerti maksud gadis
itu. Tangis anaknya merupakan firasat akan adanya
sesuatu yang akan terjadi. Bayi memang memiliki ba-
tin yang masih bersih, sehingga mempunyai perasaan
tajam. Bukan tidak mungkin kalau bayi akan mampu
membaui adanya bahaya yang mengancam.
Sementara Gurit merasakan jantungnya berdetak
lebih cepat. Ucapan Linasih dan sikap Wiryadi, mem-
buatnya merasa tegang. Semua itu ditambah masih
terdengarnya tangisan bayi. Tangis yang melengking
keras dan panjang. Sedangkan suara-suara Lastri yang
berusaha meredakan tangis si jabang bayi jadi tengge-
lam.
Suasana jadi terasa menyeramkan, penuh ketegan-
gan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Wiryadi yang dikeluarkan secara tiba-tiba,
membuat Linasih dan Gurit terlonjak kaget bukan
main. Tapi hanya sebentar, karena mereka segera bisa
menekan perasaan itu. Dengan pandangan heran, ke-
duanya menatap Wiryadi.
"Mengapa kita jadi seperti sekumpulan bocah pen-
gecut?! Andaikata firasat bayi itu benar, apa yang ha-
rus ditakuti?!" kata Wiryadi mantap.
Linasih dan Gurit saling berpandangan, lantas ter-
senyum. Ucapan Wiryadi membuat mereka ingat kalau
ketakutan itu hampir tidak beralasan. Karena mereka
bukan orang-orang lemah! Masing-masing memiliki
kepandaian tinggi. Jika benar ada bahaya mengancam,
mungkinkah mereka bertiga tidak mampu mengha-
launya?!
"Apa yang kau katakan itu benar, Kak Wiryadi. Kita
di sini bertiga. Belum terhitung Lastri, istrimu. Siapa
yang akan berani mati mengacau?!" sahut Gurit.
Wajah Gurit yang penuh ketegangan dan pucat te-
lah mengendur. Keberaniannya telah muncul kembali.
Di akhir ucapan, kepalan tangan kanannya kontan se-
cara keras.
Dan baru saja salah seorang hendak bicara lagi,
mendadak....
"Omongan kosong tanpa bukti sama sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara melecehkan, membuat
Wiryadi, Gurit, dan Linasih terkejut bukan main.
Serentak ketiga orang itu menengok berbareng,
dengan arah berlainan. Suara yang terdengar dan sea-
kan berasal dari delapan penjuru mata angin, mem-
buat mereka semuanya kebingungan.
"Siapa kau...?! Kalau bukan pengecut, cepat mun-
culkan wujud mu! Hadapilah kami secara jantan. Dan,
jangan bermain gelap-gelapan Seperti itu!" seru Wirya-
di keras, seraya bangkit dari kursinya.
Gurit dan Linasih segera menyadari kalau orang
yang tadi menyahuti percakapan mereka memiliki ke-
mampuan tinggi. Tanpa pikir panjang lagi mereka telah
siap mencabut golok yang terselip di pinggang.
"Hmh.J"
Suara tanpa wujud itu memberi sambutan berupa
dengusan bernada mengejek.
Tapi, ternyata dengusan itu membuat Wiryadi dan
kedua tamunya terhuyung-huyung ke belakang. Seke-
tika tangan kanan masing-masing mendekap dada
yang terasa seperti ditumbuk kerbau liar. Sakit bukan
main.
Terdengar suara Wiryadi dan kedua tamunya lang-
sung merasa gentar. Dengan dengusan saja, sudah
mampu membuat mereka terjajar. Bagaimana pula ka-
lau serangan yang dilancarkan?!
"Kalian ingin aku menampakkan diri?! Baik! Kein-
ginan kalian ku penuhi!"
Kali ini tidak ada sedikit pun pengaruh atas Wirya-
di, Gurit, dan Linasih. Rupanya pemilik suara tanpa
wujud itu, tidak lagi melancarkan serangan dengan
mempergunakan suara.
Krittt...!
Bunyi bergerit pintu, membuat pandangan Wiryadi
dan kedua tamunya diarahkan ke sana. Dan mata me-
reka pun terbelalak ketika melihat pintu tidak terbuka
ke samping, tapi terbuka ke atas. Seakan-akan engsel
daun pintu ada di atas.
Begitu pintu bergerak membuka perlahan-lahan,
meluncur sesosok tubuh kekar milik seorang pemuda
berpakaian merah dalam keadaan duduk bersila. Wa-
jahnya dingin, menyiratkan kebengisan. Siapa lagi ka-
lau bukan Lingga!
Kembali Wiryadi dan dua tamunya terkejut! Tubuh
Lingga dalam keadaan duduk bersila, meluncur berja-
rak satu tombak dari lantai dengan kedua tangan dili-
pat di depan dada.
Begitu tubuh Lingga melewati ambang pintu, baru
daun pintu itu bergerak menutup. Pelan-pelan seperti
digerakkan tangan kasatmata.
"Sekarang aku telah berada di depan kalian. Nah!
Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!" tantang Ling-
ga, setelah berdiri tegak di lantai.
"Kami bukan orang-orang yang gemar mencari
urusan, Sobat!" sambut Wiryadi, tenang. Walaupun
jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Malah, dia khawatir kalau-kalau Lingga mendengar-
nya.
"Hm..., jadi bagaimana maksudmu...?!" desis Ling-
ga, dingin. Nadanya memandang remeh sekali.
Sikap Lingga membuat wajah Gurit dan Linasih
merah padam. Mereka merasa marah bukan main. Ka-
lau saja tidak ingat Wiryadi yang lebih berhak bersikap
terhadap tamunya yang tidak diundang, mungkin me-
reka telah menerjangnya.
Wiryadi pun terbangkit amarahnya, tapi tetap men-
coba menahan diri. Disadari, tidak ada gunanya menu-
ruti kemarahan semata. Selama jalan kekerasan belum
terlalu mendesak, tak akan digunakannya.
"Maksudku begini, Sobat! Kalau kau tidak bermak-
sud menimbulkan keributan di sini, tentu saja kami ti-
dak akan bertindak aneh. Sebaliknya dengan kedua
tangan terbuka, kau kuterima sebagai tamu istimewa,"
jelas Wiryadi sambil mengembangkan senyum di akhir
ucapannya.
Cuhhh!
Jleb!
Lingga meludah dengan sikap kasar, membuat lan-
tai langsung amblas. Gurit, Linasih, dan terutama Wi-
ryadi, melihat. Tapi kemarahan yang hebat membuat
pamer kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu tidak
sempat diperhatikan.
Wiryadi menggertakkan gigi.
"Rupanya kedatanganmu kemari hanya untuk
mencari keributan, Sobat! Kalau itu maumu, dengan
senang hati akan ku penuhi. Aku, Wiryadi, tidak akan
sudi dihina demikian. Majulah kau...!"
Lingga tersenyum dingin, tidak kelihatan marah
atau tersinggung. Hanya saja sepasang matanya seper-
ti mengeluarkan sinar berapi.
"Aku tidak ingin membuat keributan di sini, Wirya-
di. Bahkan kedatanganku dengan niat baik. Kalau saja
kau mau memenuhi permintaanku, dengan tenang aku
akan pergi, setelah memberi tanda mata pada kau dan
dia!" tuding Lingga pada Gurit.
Gurit sampai melangkah maju karena geram meli-
hat tudingan terhadapnya yang jelas merendahkannya!
Tapi langkahnya terhenti, ketika Wiryadi memberi isya-
rat padanya untuk menahan sabar.
"Katakan permintaanmu, Sobat. Kalau saja bisa,
pasti akan kuberikan," ujar Wiryadi yang lebih suka ti-
dak terjadi keributan. Suaranya lebih lunak dari sebe-
lumnya.
"Tidak banyak," jawab Lingga dengan senyum din-
gin, menyiratkan kekejian. "Aku hanya minta otak
anakmu. Dan, gadis itu ikut denganku. Aku yakin, tu-
buhnya yang hangat akan membuat malam-malam
yang dingin tidak terlalu menyiksaku lagi."
"Keparat!" bentak Wiryadi keras.
Amarah lelaki ini langsung meluap. Disadari kalau
Lingga memang memperhatikannya. Berbareng benta-
kannya, dia melompat menerjang dengan pukulan ka-
nan kiri bertubi-tubi.
Buk! Buk!
"Aaakh..
Bunyi keras terdengar dua kali, ketika kepalan Wi-
ryadi tepat mendarat di sasarannya, karena Lingga ti-
dak mengelak sama sekali. Akibatnya, justru Wiryadi
yang memekik. Pekikan kaget dan ngeri.
Gurit Dan Linasih menatap terbelalak, antara he-
ran dan ngeri. Semula sepasang kekasih ini mengira
Lingga yang mengeluarkan jeritan. Tapi sama sekali ti-
dak disangka kalau 1 Wiryadilah yang menjerit-jerit.
Tampak Wiryadi meronta-ronta seperti hendak me-
lepaskan diri. Tapi, kedua tangannya seakan telah me-
lekat dengan tubuh Lingga.
Wiryadi tampak terkesiap bukan main. Lelaki ini
merasakan tenaga dalamnya membanjir ke arah Lingga
tanpa bisa dicegahnya sama sekali.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Wiryadi merasa
lemas. Dan kalau dibiarkan terus, dia akan mati lemas
kehabisan tenaga.
Gurit dan Linasih bisa memperkirakan, apa yang
tengah terjadi terhadap Wiryadi yang semakin lemas.
Kedua kakinya telah menggigil hebat. Dan mereka ti-
dak mau membiarkan Wiryadi mati lemas.
Hampir berbareng, Gurit dan Linasih mencabut
pedang yang tersampir di punggung.
Sring! Sring!
Mereka langsung melompat dan mengayunkan sen-
jata ke arah Lingga. Dalam kecemasan melihat kesela-
matan Wiryadi terancam sampai terlupakan kalau tin-
dakan mereka tidak layak sebagaimana orang-orang
golongan putih.
Tak, takkk!
Pedang Gurit tepat menghantam batang leher Ling-
ga. Sedangkan ujung pedang Linasih menghujam ulu
hati. Tapi kedua senjata pusaka itu tidak mampu me-
lukai Lingga sedikit pun. Seakan-akan tubuh Lingga
terdiri dari batu karang!
Tidak hanya itu saja. Kejadian yang menimpa Wi-
lyadi pun terjadi pula pada Gurit dan Linasih. Pedang
mereka menempel di tubuh Lingga. Betapapun seluruh
tenaga dalam dikerahkan, usaha mereka tidak berhasil
untuk melepaskan pedang.
Sementara, Lingga tenang-tenang saja. Tidak terli-
hat sedikit pun tanda-tanda kalau mengerahkan tena-
ga dalam. Wajahnya pun dihiasi senyum ejekan penuh
hawa maut ,
"Menyingkirlah kalian...!"
Lingga menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa,
seperti ayam membersihkan tubuh sehabis bermandi
abu. Akibatnya, tubuh Wiryadi, Linasih, dan Gurit,
terpental ke belakang seperti daun-daun kering diter-
bangkan angin.
Brak! Brak! Brak!
Luncuran tubuh mereka baru berhenti ketika me-
nabrak dinding ruangan. Linasih, Gurit, dan Wiryadi
menyeringai kesakitan. Tidak hanya nyeri dan linu
yang dirasakan, tapi juga lemas yang amat. Seluruh
urat-urat mereka seakan dilolosi.
Lingga tidak mempedulikan tiga pengeroyoknya
sama sekali. Kini kakinya terayun menuju sebuah
ruangan lain yang digunakan Lastri untuk mendiam-
kan bayinya.
Sementara tangis bayi itu tetap terdengar semakin
keras. Apalagi ketika Lingga mengayunkan kaki menu-
ju ke sana. Rupanya naluri sang jabang bayi yang ma-
sih suci membisikkan adanya ancaman.
Wiryadi bukannya hendak mendiamkan saja. Tapi
dia sudah tidak berdaya lagi. Seluruh tenaganya telah
lenyap. Memang dialah yang paling parah menderita
serangan Lingga.
Meskipun demikian, kekhawatiran yang amat san-
gat akan keselamatan bayinya, membuat Wiryadi men-
dapat tenaga bantuan entah dari mana. Dia yang tadi
tidak mampu berkutik sedikit pun, sekarang mampu
berdiri. Bahkan, mampu menerjang Lingga.
"Lastri...! Cepat tinggalkan tempat ini...! Pergi...!"
seru Wiryadi ketika tubuhnya melayang menerjang
Lingga.
Lingga yang mengetahui akan adanya serangan da-
ri belakang, tidak mempedulikannya sama sekali. Baru
ketika serangan telah menyambar dekat, tanpa mem-
balikkan tubuh sedikit pun tangan kirinya mengibas!
Plak!
Brak!
Untuk yang kedua kalinya, tubuh Wiryadi terhem-
pas ke belakang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya
dan menabrak dinding!
Tapi, Wiryadi benar-benar tidak mempedulikan
keadaan dirinya. Begitu tubuhnya menyentuh lantai,
dia berusaha menghalangi Lingga. Keadaannya yang
tidak memungkinkan, membuatnya merayap seperti
ular.
Gurit dan Linasih hanya bisa menatap tingkah Wi-
ryadi dengan hati trenyuh. Mereka tidak mempunyai
daya sedikit pun untuk memberikan pertolongan.
Keadaan mereka sendiri pun, belum tentu aman
dari bahaya. Terutama sekali Linasih!
Sementara itu, teriakan Wiryadi memang terdengar
Lastri di dalam kamar. Sejak tadi pun, wanita itu men-
dengar akan adanya keributan. Bahkan sejak terja-
dinya ribut-ribut mulut. Hanya saja, dia tidak mempe-
dulikannya. Pikirnya, suaminya ada. Itu pun ditambah
Linasih dan Gurit. Dan mereka juga tak kalah lihai.
Jadi apa lagi yang dikhawatirkan? Lastri pun meneng-
gelamkan diri dengan urusan pada bayinya.
Ibu muda ini baru terkejut ketika mendengar se-
ruan suaminya yang sarat kekhawatiran. Sambil
menggendong tubuh bayinya yang masih menangis ke-
ras, Lastri berlari keluar kamar.
"Ohhh...?!"
Tapi langkah Lastri langsung terhenti di ambang
pintu, ketika di depannya telah berdiri Lingga yang pe-
nuh ancaman. Lastri berdiri terpaku dengan wajah pu-
cat. Apalagi ketika melihat suaminya, Gurit, dan Lina-
sih tergolek tanpa daya. Lastri tahu ketiga orang itu te-
lah dikalahkan pemuda di depannya.
"Berikan bayi itu padaku," perintah Lingga, berin-
gas sambil mengulurkan tangan seperti orang memin-
ta.
Bukannya memenuhi permintaan itu, Lastri malah
mundur-mundur dengan wajah pucat sambil tetap
memegangi bayinya. Melihat ini, Lingga jadi kehabisan
sabar. Wajahnya berubah, bengis penuh hawa maut.
Tangan Lingga yang terjulur, digerakkan secara, ti-
ba-tiba dengan gerakan menarik.
"Auuuw...!"
Lastri menjerit ketika bayi di tangannya seperti di-
tarik tangan raksasa kasatmata. Bayi itu kontan terle-
pas dari pelukannya dan melayang ke arah Lingga!
"Kembalikan, Anakku...!" jerit Lastri kalap sambil
menghambur ke arah Lingga dengan kedua tangan
terkembang, siap menerima bayinya kembali.
"Hih...!"
Lingga mendengus sambil mengibaskan tangan ki-
rinya.
Buk!
Tubuh Lastri melayang ke atas dan menempel lan-
git-langit kamar. Dan sekali lagi tangan pemuda keji
ini bergerak. Maka tiga batang pedang yang tergeletak
di lantai melayang ke arah tangan kiri Lingga.
Dengan tangan kanan telah memegang bayi secara
sembarangan, Lingga meniup tiga batang pedang itu.
"Phuh...!"
Bagai dilemparkan tangan terlatih, pedang-pedang
itu melayang ke atas dan menancap di tubuh Lastri.
Crap! Crap! Crap!
"Aaakh...!"
Lastri memekik tertahan. Sedangkan Wiryadi me-
maki-maki Lingga dengan keras, setelah terlebih dulu
meratap-ratap memanggil istrinya yang malang itu.
Lastri menggelepar sejenak, kemudian diam untuk
selamanya. Darah pun mengucur ke bawah dengan de-
ras.
Lingga tidak mempedulikan Lastri lagi. Dia malah
masuk ke ruangan dalam. Namun baru beberapa lang-
kah...
Ribuan tempat telah kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
Tiba-tiba terdengar bunyi syair yang dikeluarkan
dengan penuh perasaan sedih dan meratap-ratap itu.
Seketika suasana terobek. Semua kepala menoleh ke
arah daun pintu, karena asal suara dari sana.
"Penyair Cengeng...!" desis Wiryadi. Ada harapan
membayang pada sepasang matanya yang berselaput
duka tebal.
Benarkah Penyair Cengeng yang datang? Benarkah
Linasih akan lolos dari kekejian Lingga?
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
Penyair Cengeng
Emoticon