1
"Siluman Harimau...! Manusia licik...! Jangan lari
kau...!"
Seorang kakek berpakaian putih berteriak-teriak
Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak
mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia
terus berlari cepat
Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan
bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main.
Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau
menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit
semakin bertambah sipit. Kakek itu meengsrahkan seluruh
ilmu larinya.
Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak
berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga
tubuhnya terlihat sebagai kelebatan saja, jarak antara
mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga memiliki
kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti
tidak menjejak tanah karena cepatnya digerakkan
Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan
tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum
bisa merubah jarak. Kakek ini semakin gpram. Beberapa kali
kedua tangannya dihentakkan bergantian ke depan. Angin
luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi,
serangan itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau
melompat ke atas sehingga angin deras itu lewat di bawah
kedua kakinya.
Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika
melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang
dituju si kakek dan Siluman Harimau memang puncak
gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng
Gunung Kidul!
Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya.
Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat
ke atas hingga pukulan jarak jauh itu lewat di bawah kedua
kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau menjejakkan kaki di
tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih
pun teijadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang
terkena pukulan jarak jauh kakek berpakaian putih
meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu.
Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia
menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu
yang mengancamnya berpentalan ke berbagai arah sebelum
berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan di sekitar tubuh
Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar
biasa!
Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia
tahu batu-batu itu tak akan dapat melukai, apalagi sampai
membunuh Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki
kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan.
Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk
menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya
sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul
lawannya.
"Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik?!" ejek
kakek berpakaian putih.
Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya
saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih
yang telah berada di depannya. Dua pasang mata saling
berpandangan dengan sorot penuh tantangan. Sikap mereka
tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman
Harimau. Tawa yang membuat tubuhnya berguncang-
guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau,
apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut
mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati.
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala?
Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran,
cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Aku akan menyingkir apabila kau mengsmbaliain
kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu
atas kekurangajaranmu mempermainkanku, Siluman
Harimau!" tandas Donggala, dingin.
Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman
Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini
tidak marah atau pun tersinggung. Wataknya yang periang
membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah.
"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit
wajahmu sehingga kau begitu tak tahu malu menyebut-
nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai
majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik
malah mencelakai dan mencuri kitabnya! Seekor anjing pun
tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya, Donggala! Kau
lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan
kuberikan padamu! Sekarang kau mau apa?!"
Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman
Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan
baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak
melalui perkelahian.
"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau
yang memaksaku untuk menjadikanmu harimau mati! Aku
tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau!
Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala,
keras.
Siluman Harimau kembali tertawa keras. Ancaman
Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan tawanya
berkesan melecehkan.
"Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan
kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku!
Orang macam kau mana bisa dipercaya?! Jangankan aku
yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang
demikian baik hati padamu saja kau balas dengan perbuatan
keji!"
Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau.
Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah
mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara
perlahan. Angin dingin yang diiringi bau busuk menyengat
berhembus ke arah Siluman Harimau.
"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman
Harimau begitu merasakan akibat pukulan Donggala.
"Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala,
kendati kau lama menjadi budak tua bangka yang telah kau
khianati itu...!"
Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto
beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya
dipukulkan bertubi-tubi ke depan secara cepat. Seterika deru
angin berhawa panas disertai bau sangit menguak. Bunyi
letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di
udara. Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula
putih kekuningan langsung berubah hitam pekat seperti
terbakar ketika terkena tetesan air.
Donggala, yang seperti juga Siluman Harimau,
terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia
mendengus mengejek.
'Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus,
Siluman Harimau...!"
Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau
tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa.
Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau!
Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia
mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang
menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya.
Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi.
Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai
ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya
pertarungan tampak seru sekali. Siluman Harimau
mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan
penyerangan. Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada
pertahanan. Gerakannya lambat tapi penuh dengan tenaga!
Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama
itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu
sama-sama tangguh!
***
"Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus
mendapat hukuman atas kekejian yang kau lakukan
terhadap Guru...!"
Seruan lantang penuh gptaran kemarahan itu
berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding-
dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara
Donggala dan Siluman Harimau langsung terhenti. Kedua
kakek itu bersamaan melompat mundur dan mengalihkan
perhatian pada si pendatang baru.
"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu
mengejarku, Bocah Bau Kencur? Pergilah cepat! Tinggalkan
tempat ini! Atau, kau ingin kujadikan seperti tua bangka
dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut Donggala dengan
sikap meremehkan.
Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh
tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang
matanya menatap tajam ke arah Donggala, bak mata seekor
burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main dan
penuh ancaman!
"Kaulah yang akan kuseret 1$ hadapan Guru untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan biadabmu. Cepat
serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu
sampai aku merampasnya dari mu!"
"Ha ha ha...!" Siluman Hanmau tertawa bergelak.
Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala...
Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari
tetek ibunya berani mengancammu seperti itu!"
"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala
dengan wajah merah padam menahan amarah.
"Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang
ajar ini, kau pun akan kubereskan!"
Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman
Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu.
Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat
tinggi. Kejam dan memiliki ilmu racun hebat! Jantung
Lesmana berdebar tegang.
"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah
Sombong?!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan
bertemu dengan Siluman Harimau? Sebagai tambahan dan
untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau
aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua
bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!"
"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi...?!"
"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala
tak lain dari Mayat Sejuta Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak
Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan jawaban.
Lesmana teijingkat ke belakang saking kagptnya.
Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek
itu hanya mendengus.
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong!
Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak
akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak
kau gunakan. Bersiaplah menerima kematian! Tapi, bisa jadi
aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu saja dengan
satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu
mungkin aku akan memperbincangkan untuk tidak
membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil.
Bagaimana?!"
"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira
aku takut. Apa pun yang terjadi kau akan kubawa 1$
hadapan guruku, Donggala!"
"Kalau begitu, mampuslah...!"
Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka
serangan dengan ilmu andalan. Lesmana tidak gentar.
Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya
didorongkan ke depan.
Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau
pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik.
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu!
Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa
malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat
pun dilancarkan. Tapi, Lesmana memang seorang pemuda
luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik.
Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung,
Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya
penuh keistimewaan. Kekuatan tenaga dalam Lesmana
membuat serangannya membalik sebelum mendekati
sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri
yang mengisap hawa beracun dari serangannya. Tentu saja
sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti apa-apa.
Siluman Harimau kendati terkejut melihat
kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan
ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan
Mayat Sejuta Bunga semakin berkobar. Karena yakin Mayat
Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana dengan
cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya
meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan
main. Tapi, apa dayanya? Lesmana tidak membiarkan dia
meninggalkan kancah pertarungan.
Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap
kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya
kitab yang dibawa Siluman Harimau dapat direbutnya. Itu
terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada pemuda itu
luapan amarahnya dilampiaskan!
Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang
menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap
melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah
memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan,
langsung bertindak.
Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan
kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat
dihembuskannya. Wangi bunga yang aneh menyebar dari
sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak
memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun,
tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu
dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya
langsung lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum
serangannya dirampungkan!
Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat.
Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga.
Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan teijepit.
Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan
kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras
tenaga.
Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana.
Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman.
"Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu
yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!"
***
"Sebenarnya untuk apakah kita 1$ sana, Nek?
Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari
sudah kita melakukan perjalanan dan kau hanya
menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan
kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan
penuh penasaran.
Sang nenek yang menjadi tumpahan
kekurangsenangan gadis berpakaian kuning itu hanya
terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan
dibantu tongkat bututnya. Di sebelah si nenek, gadis
berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan
tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya.
Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar
gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar
lagi. Ia rupanya memiliki watak manja. Dengan mulut
meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si
gadis menghentikan langkah.
"Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan,
sarat dengan kasih sayang. Ia sedikit pun tidak marah
melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah.
Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan.
"Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo,
teruskan perjalanan."
"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut
"Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai
kepergian kita, aku tidak akan beranjak dari sini!"
Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di
tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu
membuat celananya kotor.
Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana.
Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya
yang bening indah dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat
hanya batu kapur.
"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi
permintaanmu."
"Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana.
Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut
Cendana dengan gembira. Ia bangkit berdiri dan mencium
pipi si nenek
Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian
mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi.
"Kau memang pandai membuat orang menuruti
kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi
Cendana dengan tawa. "Dengar baik-baik," si nenek mulai
dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke Puncak Bukit
Angsa, di balik Gunung Kidul ini, untuk menemui seorang
pendekar besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun
lalu. Sayang, pendekar ini memiliki satu cacat."
Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada
keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang
gadis yang cerdik. Dia segera dapat menduga kalau si nenek
memiliki hubungan yang cukup erat dengan sang pendekar.
"Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung
si nenek dengan nada getir.
"Jidat licin, Nek? Apa itu?" tanya Cendana bingung.
Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya.
"Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya
wanita cantik."
Cendana mengangguk-anggukkan kepala sambil
membulatkan bibirnya.
"Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?"
"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas
si nenek "Kau tahu, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat
cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan para pemuda."
"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut
Cendana.
"Heh? Mengapa begitu, Cendana?!"
"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan
benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal
bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan
merawat Nenek kalau bukan aku!"
Sang nenek te rke ke h geli. Kepalanya digoyang-
goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun
"Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari
kodrat. Akan tiba masanya kau jatuh hati pada lelaki.
Dan...."
"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki!
Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian
kita!" potong Cendana yang merasa kurang senang
mendengar uraian sang Nenek.
"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam
mengalah. 'Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang
mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia
terpincuk. Pendekar itu memang gila wanita cantik. Anehnya,
entah mengapa setiap wanita selalu mencintainya. Karena
itu, dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar
Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik
yang patah hati karena tindakannya."
"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau
bertemu nanti, akan kuketuk kepalanya!"
Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman
Cendana.
"Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang
mau hidup bersamanya, harus rela menekan perasaan.
Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar
Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu
daripada kehilangan pendekar itu."
Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak
senangnya
"Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?"
"Mempertemukanmu dengan Ftendekar Penyebar
Asmara."
"Untuk apa, Nek?"
"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang
nenek dengan suara agak bergetar. Sepasang mata tuanya
tampak dipenuhi air.
Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada
rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak
menuruti ucapan si nenek, Cendana menyayanginya.
Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu
mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya.
"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh
perbuatan Ftendekar Mata Bongsang itu?"
"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia
lupa pada kesedihannya.
"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita
cantik disebut mata teranjang, Nek? Dan, keranjang masih
ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya kalau
kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana.
Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak
tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas
keluar dari mulutnya. Tingkah Cendana yang lucu dan polos
membuatnya tak bisa menahan tawa. Fterasaan sedih tak
pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu
menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya.
2
"Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak
termasuk dalam deretan wanita-wanita yang tertarik pada
Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki itu
memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku
lebih muda dua puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik
padanya."
"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?"
kejar Cendana, penasaran.
"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan
sepenuhnya kesalahan Pendekar Ftenyebar Asmara, tap dia
bertanggung jawab atas ke matian muridku!" tegas di nenek
sambil mengarahkan pandangan kc langit. Seakan-akan di
sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih
membekas di hatinya.
"Bagaimana kejadiannya, Nek? Mengapa selama ini
Nenek tak pernah menceritakannya padaku? Mengenai
peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku."
"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab
si nenek tanpa mengalihkan pandangan. "Aku tidak ingin
mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya, aku
seperti lupa akan hal itu. Apalagi ke beradaan mu lebih berarti
dari pada muridku yang dulu"
Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat-
lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Pe¬
nyebar Asmara telah menjerahkan jiwa dan raganya pada
pendekar itu. Tapi, ketika muridku meminta Pendekar
Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si
pendekar itu mengajukan syarat. Muridku tidak bisa
mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Ftenyebar Asmara
boleh memiliki istri semaunya, asal wanita yang diingininya
bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa
dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu
me nin ggalkan nya."
"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid
Nenek itu tidak menghalangi kepergiannya?"
"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku
Pendekar Penyebar Asmara? Tanpa menemui kesulitan
pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam
cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu
membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup,
katanya."
"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru
hendak membalas dendam, Nek?" tanya Cendana dengan
tidak senang.
"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara
keras, Cendana. Kepandaian Ftendekar Penyebar Asmara
terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah
kematian muridku, aku yang mencari-cari pendekar itu
berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami teijadi.
Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar
Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan
penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang
menimpa muridku," si nenek mengakhiri kisahnya.
Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian
hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam
dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?"
tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik.
"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat
cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh
cinta padamu. Pendekar Mata Bongsang itu pun akan
terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku
dengan berpura-pura menyukainya. Kau harus
mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya.
Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai
lelaki, benar adanya."
"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan
padaku, Nek? Bukankah kepandaiannya amat tinggi? Tidak
akan sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana
mengutarakan kckhawanrannya.
Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala.
"Itu tidak akan teijadi, Cendana. Meski gemar wajah-
wajah cantik, Pendekar Penyebar Asmara tidak pernah
melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita
yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal
serendah itu. Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan
putih. Pantangan besar bagi seorang pendekar melakukan
hal seperti itu" Cendana membisu
"Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu
sekarang masih hendak mogok jalan?"
"Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan
ikut denganmu. Ceritamu mengenai Pendekar Bermata
Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk
ikut. Aku jadi ingin tahu sampai di mana ketampanan
pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!"
Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira
bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula
melanda hatinya, bak awan tertiup angin.
•k-k-k
"Lurik...! Kembali...!" seru seorang gadis.
Pandangannya diarahkan ke angkasa. Di sana yang
dipanggilnya berada.
Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam
berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu.
Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di
deretan Pegunungan Sewu.
Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan
main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke
arah yang dituju burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki
wajah cantik dengan bentuk wajah bulat telur harus
beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak.
Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan
perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan
seruannya. Biasanya binatang itu amat penurut. Malah, tidak
pernah meninggalkan tempatnya bertengger di cabang pohon
dekat pondok si gadis.
"Larasati, hendak ke mana kau...?!" seru seorang
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berkulit hitam legam
dan bergigi tonggos.
Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar
karena mendengar kegaduhan di depan.
Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh
sebentar.
"Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya
kelihatan aneh bukan main!" jawab Larasati.
"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi.
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun
demikian, lelaki ini tidak menjadi kecil hati. Dia yakin
Larasati mendengar seruannya. Itu sudah cukup. Larasati
adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama
sekali ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu
diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak
mendapatkan jawaban, lelaki itu tidak menjadi khawatir.
"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang
wanita setengah baya ketika lelaki bergigi tonggos melangkah
ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya
untuk membawanya pulang," jawab lelaki itu.
"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita
berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh
tuntutan.
"Mengapa tidak, Sakini? Larasati bukan gadis
sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk
menghadapi bahaya di jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak
pernah dikunjungi orang. Untuk apa dicemaskan?" bantah
Tanggur, ringan.
"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan,
bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak
begitu khawatir.
Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak
menyalahkan sikap istrinya yang terlalu mencemaskan
Larasati.
"Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga
diri. Dan lagi kepergiannya tidak jauh. Ingat, Sakini. Tak
lama lagi Larasati harus terjun ke dunia persilatan untuk
mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping
itu, agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak
ingin segera menimang cucu?"
Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya
masuk akalnya juga.
"Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur.
Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan
demikian kejam dan tak kenal ampun...."
"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak
apabila saatnya turun gunung tiba, aku akan memberikan
nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya. Berdoa
saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan."
Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan
kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah
ketika Tanggur mengajaknya ke dalam.
Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras
seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik.
Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya.
Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang
terjal dan curam membuatnya harus mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika tidak ingin
celaka.
Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar
bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu,
melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai
pekikan Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk
secepatnya tiba di puncak. Ftekikan Lurik yang didengarnya
adalah pekik kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang
membuatnya marah.
Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi
tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu
tampak Lurik tengah berusaha untuk terbang. Ia mengepak-
ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu tidak mampu
terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap
te rke pak-ke pak
Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri-
ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet
besar. Mulutnya membentuk sedemikian rupa, mirip orang
yang tengah mengisap sesuatu.
Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui
kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah
bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak
bisa terbang! Kakek gorilla itu agaknya memiliki kepandaian
tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga dalam. Tapi,
Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan
nasib Lurik membuatnya berani!
"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati.
Kemudian mebmpat mengirimkan tendangan bertubi-tubi te
arah dada si kakek. Tendangan yang menimbulkan deru
angin keras.
Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan
matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot
melainkan meniup! Kembali Lurik mengeluarkan pekikan
nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh 1$ atas bagai
dihembus angin yang luar biasa keras.
Des, des, desss!
Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan
telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali.
Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru
Larasati yang memekik tertahan karena kaget dan sakit.
Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang
memiliki sepasang bibir indah mengsluarkan jeritan. Larasati
merasakan seolah yang ditendangnya bukan tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan gumpalan
karet yang keras dan kenyal!
"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang
dapat digunakan untuk menguji kemampuan kita! Sekarang,
kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk menduduki
tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!"
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip
bola, membuka suara.
"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil
Kelabang Merah. Tokoh ini memiliki bentuk tubuh luar biasa.
Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi
dipanaskan.
Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya
berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek
itu. Ayahnya telah bercerita banyak tentang tokoh-tokoh
dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih.
Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja
Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu,
Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh
terbesar kaum hitam! Saking besarnya, mereka sampai malu
untuk teijun ke dunia persilatan. Mereka merasa tidak
memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal
dengan sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka!
Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa
bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah
menjauhkan diri dari dunia persilatan ini. Menurut kabar,
Tiga Binatang Iblis Neraka lebih sibuk menentukan siapa di
antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas
tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan
pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang
terlihai dan patut disebut datuk sesat nomor satu.
Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu
kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan
tiga tokoh sesat itu. Larasati tidak menginginkan hal itu
terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah bebas dari
pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati
segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera
dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga
Binatang Iblis Neraka dalam sikap yang sama saat
ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap.
Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga
Binatang Iblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi.
Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu
terjadi, Larasati tidak mengerti. Dia tidak melihat ketiga
kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu mereka telah
berada di depannya.
Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih
yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki
kepandaian luar biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin
melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka,
Larasati memasang senyum manis di bibir.
"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku
hendak pulang dan menemui orangtuaku. Aku yakin
sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas,"
ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin.
Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang
hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis
mengkirik bulu kuduknya melihat sepasang mata yang
menyorot kehijauan itu!
"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau
tidak bisa pergi sebelum urusanmu dengan kami selesai!"
"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa
meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut
menimpali sambil tersenyum lebar. Kakek ini memang
terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum.
"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya
jika dibandingkan dengan kepandaian kalian, Orang-orang
Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian menakjubkan!"
bantah Larasati sedikit memuji.
"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet
Bertangan Seribu tak mau ketinggalan. Kakek ini berbicara
dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan. "Harus
kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami
tidak akan menarik keuntungan dari kelebihan yang kami
miliki. Asal kau mampu bertahan dan serangan kami sejurus
saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh
melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau
tidak roboh dalam sejurus. Bagaimana?"
Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran.
Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki ciri-ciri
mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus.
Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar
dari tokoh sesat sakti yang mirip monyet besar itu.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati
untuk mengetahui kelanjutan tindakan yang akan diambil
Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet Bertangan
Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu.
"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet
Bertangan Seribu masih dengan suara halus. "Hanya saja
kami, terutama aku, akan memintamu memberikan tanda
mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah
bertemu."
"Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati
penuh rasa ingin tahu.
"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji
matamu, dan potongan ujung hidungmu, serta dua kakimu.
Itu saja sudah cukup."
Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan
Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan-
ucapannya yang sopan dan lembut. Kakek gorila ini memiliki
hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan dirinya bila
tanda mata untuk kakek itu diberikan? Berdiri bulu kuduk
Larasati membayangkannya.
Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya
dipermainkan. Tapi, keoerdikannya melarangnya untuk
mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan
dirinya.
"Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu
jurus, Kek. Tapi, apakah janji yang kau ucapkan bisa
dipercaya? Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan
sejurus, kau akan menjilat ludah dan mengingkari janji?"
"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah
Kecil memberikan jawaban lebih dulu. "Tidak hanya kami
biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha ha
ha...!"
"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut La-
rasati cepat dengan hati lega. Secercah harapan bersemi di
hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu
bertahan.
Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur
jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat
"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara
kalian yang akan maju?!" beritahu Larasati setengah
menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai
penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar.
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka
dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya
lebih mudah untuk dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk
pertahanan. Semua celah yang ada tertutup!
"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan
Seribu dengan mulut menyunggingkan senyum. Hanya,
senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si
kakek yang mengerikan "Tapi, kecerdikan seperti itu tidak
ada artinya bila ditujukan padaku."
Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet
Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam
keadaan masih bersila! Kakek ini tak ubahnya melayang.
Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi
langsung melompat ke belakang. Raja Monyet Bertangan
Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gprakan
menghindar Larasati. Begitu jarak antara mereka telah
masuk dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu
melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar
dan berbulu!
Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet
Hertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk
diketahuinya mana yang asli dan bagian yang akan dijadikan
sasaran serangan. Dengan sekenanya digerakkan kedua
tangannya untuk membuat pertahanan!
Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya
lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh
sikunya. Sebelum keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain
telah menotok bahunya.
Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah
tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu
memenuhi janjinya, merobohkan Larasati sebelum satu jurus
usai!
"'Ilmu Tangan Bayangan'-mu masih memiliki
keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah
bersikap merendahkan.
"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu
Kelabang Terbang'-mu, Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet
Bertangan Seribu.
"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang
juga?!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan
segera melangkah maju.
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja.
Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil
cepat-cepat menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip
menggelinding, mengelak di antara kedua saingannya.
"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan
hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan
kedudukan pertama. Aku juga!"
"Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera
mencoba kedahsyatan ilmu 'Kelabang Terbang'ku!" rutuk
Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut
"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi,
salah seorang dari kalian pasti akan mendapat dua lawan.
Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya
lawan. Seperti biasanya, kita tentukan siapa yang lebih
berhak untuk bertarung lebih dulu!"
Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Kaja
Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan
gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing.
"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan
Seribu. "Bagaimana pelaksanaannya?"
"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai
pertarungan?" dengus Kelabang Merah.
"Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang?!"
Gajah Kecil malah menantang. Kelabang Merah melotot,
marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal
dikeluarkan dari hidungnya.
3
Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki
seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin
yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan
rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak
tersampir di punggung. Pemuda ini tidak lain Dewa Arak.
Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang
memiliki nama asli Aiya Buana.
Ketenangan Aiya terusik ketika di kejauhan, di lereng
bukit kapur, melesat tiga titik yang semakin membesar
dengan cepat. Ftemuda yang selalu bertindak hati-hati ini
segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari
tempat ini Aiya mengintai!
Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat
dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan
jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening
karena kaget dan heran.
Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan
berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang
kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi
terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua
tangannya. Cara ini tidak membuat lari kakek jangkung
berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah cepat!
Sosok kedua bertubuh pendek gpmuk dan berperut
gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung.
Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi!
Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola
menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju!
Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek
yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih
banyak melompat-lompat daripada mengayunkan kaki. Cara
yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu tidak
bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar!
Aiya merasakan detak jantungnya bertambah cepat.
Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek
ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi.
Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga
Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih
keperakan ini semakin menegang. Jika ketiga kakek itu terus
berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan diketahui!
Bukan tidak mungkin akan teijadi bentrokan. Aiya tahu,
banyak tokoh-tokoh aneh di dunia ini yang meskipun tidak
ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir dengan
pertarungan.
Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan.
Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek
yang seperti tengah berlomba itu terlihat tidak akan turun
lebih ke bawah. Mereka mengalihkan perhatian pada batu-
batu kapur sebesar gajah yang beijajar di lereng gunung.
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya.
Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar
itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak.
Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. T angannya yang
memang sudah lebih panjang dari tangan manusia
umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang
hampir lima tombak jauhnya.
Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila!
Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak
hancur atau terguling kc kaki gunung. Batu itu malah
bertengger di atas kepalanya.
Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga
membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya
batu dengan menggunakan kepala. Batu itu mendarat
dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat
seperti direkatkan!
Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini
membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu
sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski
dengan beban seberat itu, kecepatan lari mereka tidak
berkurang.
Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang
Iblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini
menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian
luar biasa itu. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk
mengikuti meieka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud
tindakan mereka. Barangkali saja ada sesuatu yang tidak
menyenangkan yang akan mereka lakukan. Dengan hati-hati,
karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa
Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah
didengarnya teriakan-teriakan mereka. Aiya sempat
menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh
Raja Monyet Bertangan Seribu. Sedangkan Kelabang Merah
dan Gajah Kecil, seri!
Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap
ke gundukan batu besar yang ada di situ. Ftemuda berambut
putih keperakan ini memang telah mengincar tempat itu
sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini diamatinya
sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka.
Aiya menghela napas berat ketika melihat 1$beradaan
seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek
lemas di tanah. Gadis yang bukan lain Larasati itu tertotok
lemas.
Tak jauh dari tubuh Larasati, tergolek bangkai dua
ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain
adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik
dengan nalurinya tahu akan adanya ancaman terhadap
kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung
Sewu ini untuk menolong. Tapi, binatang ini pun menjadi
korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet Bertangan
Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena
sikap dan gerak-geriknya yang lemah lembut.
Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa
tombak. Larasati yang semula mengira binatang
kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa
keliru kalau mengira Raja Monyet Bertangan Seribu akan
melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor burung,
nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa
nyamuk!
***
"Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk
menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil
menatap kedua saingannya bergantian. "Seperti yang telah
disetujui bersama, pertarungan tenaga dalam yang akan
kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan
tubuh, kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah
satu di antara kalian pantas untuk melawan aku!"
Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk
yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka
percakapan
"Biar aku yang mulai lebih dulu...!"
Kelabang Merah kemudian membuat sepasang ta¬
ngannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran
adalah tubuh Larasati. Tangan-tangan Kelabang Merah yang
memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam mencekal kedua
pinggang Larasati.
Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget
dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti
dengan makian ketika jari-jari tangan Kelabang Merah
dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di
dadanya.
"Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan,
Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai
menentukan keunggulanku?!" ejek Gajah Kecil.
Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu
bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama
sekali tidak! Malah, kate k ini suka melihat Larasati merasa
malu dan menderita. Tapi, yang lebih penting baginya
sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar
segera bisa bertarung dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata
geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak
lupa, dibebaskan dulu totokan yang membuat gadis itu tak
bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja melakukan hal itu
untuk membuat Gajah Kecil agak repot!
Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil.
Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh
Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah.
Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar!
Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki-
maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di
dadanya tercekal tangan Kelabang Merah maupun Gajah
Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan
serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah
dipatahkan dan tubuhnya diterima kemudian dilontarkan
kembali.
Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati
lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar
dia telah menerima kembali. Ini menandakan Gajah Kecil
masih kalah kuat tenaga disbanding saingannya, Kelabang
Merah!
Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang
lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya
semakin memburu dengan cepat. Ketika kembali tubuh
Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan
tangan. Tubuh Larasati pun melayang. Ke tanah.
"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja
Monyet Bertangan Seribu, gembira. "Sudah sejak tadi
tanganku gatal-gatal!"
"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan
memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah
menukas dengan suara agak memburu. Pertandingan dengan
Gajah Kecil cukup membuatnya lelah.
"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet
Bertangan Seribu, halus. "Tanganku gatal-gatal bukan untuk
bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan hajaran pada
orang yang berani mengintai pertemuan kita!"
Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan
sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di
persembunyiannya, Dewa Arak bersikap waspada.
Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui
adanya orang yang mengintai pertemuan mereka. Meski
demikian, pemuda berambut putih 1$perakan ini tidak mau
keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai
yang dimaksud adalah orang lain.
Kendati ada dugaan demikian, Aiya tidak berani
bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang
penuh kewaspadaan. Ia bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan.
Aiya berusaha sedapat mungkin untuk tidak me¬
ngeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya.
Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan
pendengaran untuk mengetahui pengintai yang dimaksud
Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Pengintip Hina, keluarlah kau...!"
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan
kecemya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak
terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras
menggelegar. Tapi, berasal dari gundukan batu tempat Aiya
bersembunyi yang hancur berkeping-keping.
Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang sakting
kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya
berkat kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang
untuk menghindari serangan itu.
Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar
ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya.
Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka
yang diderita Dewa Arak. Malah, batu-batu itu yang
berpentalan begitu mengpnai tubuhnya.
Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Aiya
berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak
kelihatan kesal atau marah melihat kegagalan terangannya.
Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang
dianggapnya cukup tangguh.
"Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan
otot-ototku yang kaku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu
seraya menyimpan kecemya dan melangkah mendekati Aiya.
"Huh! Hebat apanya?!" rutuk Kelabang Merah, tak
senang. "Tokoh rendahan pun tidak akan menemui kesulitan
mengelakkan serangan itu!"
Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang
menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya
pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan
main! Tahunya Raja Monyet Bertangan Seribu akan tempat
persembunyiannya telah menjadi bukti ketinggian tingkat
kepandaiannya.
Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati
yang harus segera menolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa
merenggut nyawa gadis itu. Maka, di luar kebiasaannya,
Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu.
Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu.
Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring.
Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan
giginya yang tidak enak dilihat saking gembiranya
mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit
lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh,
muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan
Aiya.
Duk, duk, du***!
Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar
ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet
Bertangan Seribu terhuyung selangkah ke belakang,
sedangkan Dewa Arak terpental ke udara.
Dewa Arak memang sudah memperhitungkan
kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan untuk
melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke
belakang dan melesat 1$ arah di mana tubuh Larasati
tergolek.
Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak
menduga hal ini akan teijadi, kedua kakek ini mampu
bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang.
Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam
menghadang Dewa Arak!
Aiya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah
memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah
Kecil meluruk ke arahnya dengan gedoran kedua tangan,
segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak langsung
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat!
Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari
kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan
Dewa Arak akan lebih dulu menghantamnya. Dia sedikit pun
tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang demikian
singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang
sangat dahsyat!
Gajah Kecil segpra membanting tubuh dan
bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan
Dewa Arak langsung menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan
dengan bergulingan 1$ depan, melewati kolong kedua kaki
Kelabang Merah!
Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk
menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah
lebih dulu meletik bangkit sehingga tanah kapur amblas
sedalam betis Kelabang Merah. Aiya sendiri segera
menyambar tubuh Larasati dan melarikannya secepat
mungkin menuruni puncak.
Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu
berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian,
tidak cukup untuk blos dari sergapan Raja Monyet
Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan
mengirimkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan
kanan!
Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di
belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan
kirinya yang bebas untuk memapak serangan Raja Monjet
Bertangan Seribu.
Blarrr!
Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan
jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal
saat itu ia tengah berada di udara. Keseimbangannya kurang
terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa Arak
pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya.
Gulingan tubuh Dewa Arak hanya berlangsung
sebentar. Dengan jejakan kaki pemuda ini kembali tegak
berdiri dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Kelabang Merah dan Gajah Kecil melesat mengejar.
Tapi, keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu di hadapan
mereka membuat maksud itu terhalang. Gajah Kecil terutama
Kelabang Merah, penasaran bukan main. Keduanya menatap
Raja Monyet Bertangan Seribu dengan sorot penasaran.
"Apakah kalian hendak menjatuhkan julukan Tiga
Bimatang Iblis Neraka dengan melakukan pengeroyokan
terhadap seorang pemuda yang tidak terkenal?!" ujar Raja
Monyet Bertangan Seribu dengan suara lembut tapi sarat
dengan teguran.
"Jadi, menurutmu lebih baik kita biarkan pemuda
usilan itu pergi?" sentak Kelabang Merah. 'Tidakkah tindakan
itu akan lebih menghancurkan julukan kita? Apa kata orang-
orang persilatan bila tahu seorang pemuda tak terkenal
mampu merampas tawanan Tiga Hlnatang Iblis Neraka di
depan hidung kita?!"
"Itu tidak akan terjadi, Kelabang Merah. Aku akan
mencarinya! Aku yakin, tidak sulit mencari pemuda yang
mempunyai ciri-ciri demikian menyolok. Tanganku sudah
gatal-gatal untuk bertarung dengannya!" tandas Raja Monyet
Bertangan Seribu
"Aku pun demikian, Monyet'" timpal Gajah Kecil.
"Kurasa sudah saatnya bagiku untuk turun gunung dan
kembali ke dunia persilatan. Aku yakin, sekarang banyak
tokoh-tokoh hebat telah muncul. Buktinya, orang seusia
pemuda itu telah memiliki kepandaian demikian tinggi!"
Kelabang Merah tersenyum mengejek. Kakek ini
kelihatan tidak senang mendengar ucapan rekan-rekannya
yang memuji-muji Aiya.
"Kelak akan kubuktikan kalau pemuda yang kalian
puji-puji itu sebenarnya tak berarti. Akan kurobek-robek
tubuhnya dan kubawa kepalanya ke hadapan kalian!"
"Bagus sekali!" Gajah Kecil bersorak. "Bagaimana
kalau pemuda itu kita jadikan syarat untuk menentukan
siapa di antara kita yang patut menjadi orang pertama?"
"Bagaimana maksudmu, Gajah?" tanya Raja Monyet
Bertangan Seribu. Kelabang Merah hanya mendengus tak
peduli.
"Siapa yang lebih dulu membawa kepala pemuda itu,
akan menjadi tokoh sesat tanpa tanding. Bagaimana?"
"Sebuah usul yang bagus!" puji Raja Monyet
Bertangan Seribu, gembira.
"Tidak terlalu jelek," gumam Kelabang Merah sambil
bersungut-sungut. "Bersiap-siaplah untuk mengangkatku
sebagai tokoh sesat tanpa tanding!"
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum lebar.
Sedangkan Gajah Kecil tertawa terbahak-bahak mendengar
sesumbar Kelabang Merah.
"Kalian enak tidak mempunyai urusan lain. Aku
masih ada urusan lainnya," keluh Gajah Kecil, iri. "Di
samping mencari pemuda itu, aku harus menemui Pendekar
Penyebar Asmara. Pendekar kemaruk wanita itu harus
menerima balasan atas perbuatannya berani-beranian
menggauli muridku."
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum,
tidak kelihatan tertarik dengan cerita itu. Dia hanya
memberikan tanggapan singkat
"Apakah kau akan balas perbuatannya dengan
menggaulinya pula?"
"Mungkin." Gajah Kecil mengangkat bahu. "Yang jelas,
muridku tidak bisa dipermainkan begitu saja!"
"Aku masih kurang jelas, Gajah. Yang digauli
pendekar cabul itu muridmu atau gundikmu? Kudengar,
orang yang kau sebut muridmu itu gila lelaki!" selak Kelabang
Merah, sinis.
"Apa salahnya kalau aku menggauli muridku sendiri,
Kelabang? Di samping dia menikmati hubungan itu, dia
mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat dariku!" kilah Gajah Kecil
sambil tersenyum lebar. "Sayang, umurnya demikian singkat.
Murid kesayanganku itu tewas akibat pendekar kemaruk
perempuan itu!"
"Tidak salah dengarkah aku? Bukankah kau sendiri
yang membunuh muridmu ketika dia memintamu untuk
menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi karena Pendekar
cabul itu menolak keinginannya untuk menjadikannya istri?"
ejek Kelabang Merah terus menekan saingannya.
Gajah Kecil tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan sedih
atau geram mengingat kematian murid sekaligus gundiknya.
Bahkan, ketika menceritakannya pun wajahnya biasa saja.
Tidak kelihatan ada duka sedikit pun.
"Pendengaranmu rupanya masih cukup baik, Ke¬
labang Merah. Muridku mati di tanganku. Tapi, semua itu
akibat ulah Pendekar Penyebar Asrama. Penghinaan ini harus
kubalas! Apa kata orang-orang persilatan bila tahu kematian
muridku tidak kubalaskan? Mereka akan mengira aku, Gajah
Kecil, takut terhadap Pendekar Penyebar Asmara!"
Setelah berkata demikian, Gajah Kecil melesat
meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Raja Monyet
Bertangan Seribu berdiam diri saja. Mereka tidak berusaha
mencegah. Malah, keduanya saling bertatapan dengan sinar
mata penuh tantangan. Terutama Kelabang Merah. Di
samping kakek jangkung memang memiliki watak pemarah,
dia sudah tak sabar lagi untuk segera menempati urutan
pertama di kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka. Tidak nomor
dua seperti lima tahun sebelumnya.
"Apakah kau ingin bertarung sekarang, Kelabang?
Inginkah kau melanggar ketentuan yang telah dibuat. Bukan
hanya kau, aku pun tak sabar lagi untuk menentukan
tempat teratas di antara kita. Tapi, aku masih bisa menahan
sabar. Yang penting bagiku adalah pemuda berambut putih
itu. Tak pernah ada orang yang bisa lolos dari Raja Monyet
Bertangan Seribu. Pemuda itu secepatnya harus mati di
tanganku!"
Raja Monyet Bertangan Seribu melompat-lompat
meninggalkan Kelabang Merah. Kakek jangkung ini tak
menghalangi kepergian saingan beratnya. Dipandanginya
sesaat sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu pula.
4
Aiya baru menghentikan lari ketika dirasakan
jaraknya telah jauh dari puncak gunung. Ia telah tiba di
hamparan hutan pohon jati, di kaki gunung.
Larasati segera melompat turun. Wajah gadis itu
merah padam. Amarah yang menyebabkan wajahnya
berwarna demikian. Aiya rupanya telah menyentuh-nyentuh
pinggulnya di kala memondongnya. Larasati menganggap
Aiya sengaja memanfaatkan kesempatan. Maka begitu
totokan yang membuatnya lemas berangsur hilang dan
kebetulan Aiya berhenti berlari, dia melompat turun dari
pondongan.
"Manusia kurang ajar...!" maki Larasati geram. Lalu
mengirimkan tendangan ke arah perut Aiya. Serangan itu
dikirimkan Larasati berbarengan dengan keluarnya makian
dari mulutnya.
Di saat kaki Larasati terayun, gadis ini baru melihat
cairan merah kental mengalir dari mulut Aiya. Pemandangan
ini membuat Larasati terkejut dan hampir terpekik. Sedapat
mungkin serangannya dialihkan, karena untuk
membatalkannya sudah tidak mungkin lagi. Tenaga yang
dikeluarkan pun dikurangi.
Desss!
Usaha Larasati tidak sia-sia. Sasaran yang dihantam
kakinya adalah paha kanan Aiya. Tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu teijengkang ke belakang dan terguling-
guling. Ketika gulingannya berhenti, diam tidak bergerak-
gerak! Darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak.
Larasati bergegas memburu. Setengah beijongkok ia
memeriksa keadaan Aiya dengan penuh rasa khawatir.
Tarikan wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Larasati yang sedikit banyak mengptahui pengobatan
sadar kalau Dewa Arak terluka dalam cukup parah. Larasati
tidak tahu mengapa penolongnya ini terluka. Yang dilihatnya,
Dewa Arak selalu berhasil blos dari jegalan Tiga Binatang
Iblis Neraka. Larasati tidak melihat kalau meski jejakan
Kelabang Merah berhasil dielakkan, kibasan tangan kakek
jangkung itu sempat menyerempet bahu kanan Aiya.
Akibat serangan Kelabang Merah telah cukup
membuat Dewa Arak terluka dalam. Luka itu semakin
menjadi ketika Aiya dalam keadaan terjepit memapaki
serangan jarak jauh Raja Monyet Bertangan Seribu. Padahal,
pantangan besar bagi orang yang telah terluka dalam untuk
mengerahkan tenaga dalam. Tindakan itu tidak hanya akan
membuat luka bertambah parah. Tapi, juga dapat menyeret
jiwa ke lubang kubur!
Melihat penolongnya rebah dengan wajah pucat
laksana mayat, Larasati menyesal bukan main telah
menyerang. Arya sudah mempertaruhkan nyawa untuk
menyelamatkannya. Tindakan pemuda itu untuk harus
berlari dengan tidak mempedulikan seruan-seruannya yang
minta diturunkan, karena ingin selekasnya bebas dari
cengkeraman Tiga Binatang Iblis Neraka. Apabila terkejar
pemuda itu pasti akan dengan mudah digilas lawan-lawan
tangguhnya. Dalam 1$ adaan tidak dipengaruhi amarah
Larasati dapat berpikir jernih.
Mengingat akan pertolongan Dewa Arak, Larasati
tidak ragu-ragu untuk menempelkan kedua tangannya dan
mengalirkan tenaga dalam untuk mengobati luka Arya. Tapi,
baru sebentar segera diurungkan karena Larasati tidak
merasakan adanya detak jantung.
Larasati kebingungan. Bukan karena tidak tahu cara
untuk membuat jantung berdetak dan napas kembali normal.
Tapi, karena cara yang akan dilakukannya. Gadis ini
berperang dengan perasaannya sendiri. Beberapa saat
peperangan batin itu berlangsung, sebelum akhirnya Larasati
memutuskan untuk melakukannya! Diedarkan pandangan ke
sekelilingnya untuk membuktikan kalau di sekitar tempat itu
tidak ada orang lain.
Dengan wajah merah padam hingga kedua telinganya,
Larasati kemudian menempelkan mulutnya ke mulut Arya.
Larasati menghembuskan napasnya untuk membuat Arya
kembali bernapas. Beberapa saat dia meniup, kemudian
menghentikannya, dan menekan-nekan dada Arya agar detak
jantung kembali timbul. Beberapa kali gerakan pertolongan
itu dilakukan sampai detak jantung Arya kembali normal.
Larasati menghentikan pertolongannya. Sesaat
ditatapnya wajah Arya dengan wajah menyemburat merah.
Sebuah perasaan aneh muncul ketika melihat wajah tampan
yang tarlihat matang dan tenang itu. Perasaan yang belum
pernah dirasakan selama ini. Perasaan suka yang besar!
Perasaan itu berkembang semakin besar ketika teringat
tindakan Dewa Arak yang lelah menyelamatkan nyawanya.
Rasa takut akan kehilangan dan tidak bertemu lagi dengan
Aiya muncul di hatinya.
Setelah puas memperhatikan pemuda berpakaian
ungu itu, Larasati baru memberikan pertolongan untuk
menyembuhkan luka dalam Aiya. Gadis ini menyalurkan
hawa mumi di dalam tubuhnya.
***
"Arrrggghhh...."
Cendana menatap wajah gurunya. Yang ditatap
kelihatan tenang-tenang saja. Cendana jadi penasaran.
Apakah nenek baju hitam ini tidak mendengarnya? Geraman
yang berasal dari kejauhan tapi mampu menimbulkan
getaran pada tanah yang dipijaknya!
"Suara apakah itu, Nek? Mungkinkah suara binatang
buas yang tengah murka?"
Cendana yang tidak kuat menahan rasa ingin tahu
din herannya, mengajukan pertanyaan itu tanpa
menghentikan lari. Si nenek bersikap seperti tidak
mendengarnya dan tems mengayunkan kaki dengan cepat.
"Aku yakin bukan, Cendana," jawab si nenek. "Suara
itu keluar dari mulut manusia. Seorang yang memiliki
kekuatan tenaga dalam luar biasa!"
"Itu sudah pasti, Nek. Kurasakan sendiri getarannya
di tanah," dukung Cendana. "Kira-kira dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah duga, di sana," jawab si nenek
sambil menudingkan jarinya ke sebelah kiri depan.
Cendana diam. Dia tems berlari mengikuti si nenek
yang beberapa kaki di depannya. Benak gadis ini dipenuhi
pikiran tentang bunyi geraman keras itu. Cendana gadis
manja yang selalu ingin tahu. Maka, bunyi itu menimbulkan
rasa ingin tahu yang besar.
"Tidakkah kita lihat dulu penyebab bunyi itu, Nek?"
"Kurasa lebih baik tidak, Cendana. Barangkali saja
bunyi itu keluar dari mulut seorang tokoh sakti berwatak
aneh yang tengah berlatih. Kemunculan kita bisa diartikan
sebagai gangguan. Itu bisa dijadikannya alasan untuk
menyerang kita. Lebih baik kita menjauhi tempat itu, bukan
malah mendekatinya," si nenek memberi nasihat.
"Tapi, Nek," dengan dua kaki terus terayun agar tidak
tertinggal oleh si nenek baju hitam, Cendana mengajukan
bantahan. Bukan karena yakin lebih tahu dari gurunya, tapi
karena rasa ingin tahunya yang besar. "Kita kan tidak
bermaksud jahat. Mana mungkin akan diserang atau
dicelakai. Toh, belum tentu tokoh yang menjadi pemiliknya
orang golongan hitam, bagai mana kalau di sana ada orang
teraniaya yang membutuhkan pertolongan?"
Nenek baju hitam diam. Sambil terus berlari dia
menimbang-nimbang. Harus diakui bantahan Cendana
mungkin ada benarnya. Bukan tidak mungkin geraman yang
layak keluar dari mulut binatang buas itu, berasal dari orang
yang tengah membutuhkan pertolongan.
"Ayolah, Nek. Kita lihat dulu," desak Cendana. Gadis
ini yakin si nenek akan memenuhi keinginannya. Biasanya, si
nenek tidak pernah menolak keinginannya. Dan, apabila itu
terjadi, si nenek akan diam seperti saat sekarang ini.
"Tapi kita tengah mempunyai urusan lain, Cendana.
Urusan penting." Si nenek masih mencoba untuk
membantah. Tapi, pelan dan sekadarnya.
"Apa salahnya, Nek. Kita hanya sebentar saja
membuang waktu. Pendekar Mata Bongsang itu pun tidak
akan pergi jauh. Begitu tahu aku dan nenek akan datang, dia
pasti akan sabar menunggu. Bukankah dia gemar wajah
cantik berjidat licin sepertiku? Aku yakin dia akan sabar
menunggu," ujar Cendana.
"Dia tidak tahu akan kedatangan kita, Cendana," kilah
si nenek seraya menghentikan lari.
"Itu lebih bagus lagi, Nek. Kita jadi tidak terikat, dan
mempunyai waktu lebih banyak untuk mengetahui si milik
geraman keras itu!" Cendana tidak kurang akal untuk
memberikan bantahan.
"Baiklah." Si nenek mengangguk dengan hati kurang
setuju. Permintaan Cendana hampir tidak pernah bisa
ditolaknya. Gadis itu terlalu pintar membujuknya. Dan, si
nenek tidak sampai hati untuk menolak. "Tapi ingat, jangan
melakukan tindakan macam-macam. Kau mau berjanji?
Kalau tidak, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhinya."
"Aku beijanji, Nek," jawab Cendana tanpa pikir
panjang lagi, karena terlalu gembiranya. "Aku sudah yakin
nenek akan mengabulkan permintaanku. Nenek sungguh
bijaksana dan baik hati, karena itu pasti akan
memenuhinya."
Si nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala
mendengar ucapan Cendana. Bafinnya bertanya-tanya dalam
hati. Bagaimana nasib Cendana kelak sepeninggalnya? Gadis
itu terlalu polos dan lugu, sedangkan dunia persilatan amat
keras dan penuh tipu. Perasaan si nenek selalu gundah jika
mengingat hal ini
Meskipun demikian, nenek berpakaian hitam ini
mampu menyembunyikan kegalauan perasaannya. Pada
wajahnya tidak terlihat gambaran perasaan itu. Dia tidak
ingin Cendana mengptahuinya. Ditunggunya saat yang baik
untuk menasihati gadis ini.
"Ayolah, Nek. Tunggu apalagi? Nanti pemilik suara itu
keburu pergi." Cendana mengingatkan dengan nada merajuk.
Nenek berpakaian hitam tersenyum. Satu hal lagi
yang membuatnya tidak pernah menolak keinginan Cendana.
Cendana tidak pernah berani mendahuluinya melakukan
sesuatu, kendati telah diizinkan. Padahal, seperti kali ini,
bisa saja Cendana karena telah mendapat izin, melesat lebih
dulu ke tempat itu. Tapi Cendana tidak melakukannya. Dia
tidak berani bertindak lancang. Hal ini yang membuat rasa
sayang si nenek semakin besar.
"Jangan khawatir, Cendana. Aku yakin pemilik suara
itu tidak akan pergi," ucap si nenek dengan bersungguh-
sungguh.
"Benarkah itu, Nek?" tanya Cendana, agak heran.
"Aku yakin demikian."
"Mengapa, Nek?" kejar Cendana.
"Dia ingin melihat jidatmu yang licin, Cendana. Hi hi
hi..." jawab si nenek sambil melesat meninggalkan Cendana.
Cendana sadar kalau si nenek menggodanya. Dia pun
melesat mengpjar dengan mulut cemberut Berpura-pura
marah dan tidak senang!
***
"Jangan membuat bunyi gaduh, Cendana," bisik si
nenek pelan. Tangannya yang keriput disentuhkan
kepergelangan tangan kiri muridnya untuk lebih menguatkan
peringatannya.
Cendana tidak berani membantah. Dirasakan nada
kesungguhan dan ketegangan dalam ucapan gurunya.
Napasnya hampir ditahan ketika melayangkan pandangan ke
arah yang ditatap si nenek.
Si nenek dan Cendana saat itu berada di pinggir
tebing bukit kapur. Di hadapan keduanya terhampar dataran
kapur yang rata, sekitar sepuluh tombak di bawah dasar
tebing.
Bukan tanah kapur datar itu yang menjadi pusat
perhatian Cendana dan gurunya. Melainkan sesosok tubuh
tegap milik seorang pemuda berahang kokoh. Lesmana!
Pemuda ini tengah mengamuk. Memukul dan menendang ke
sana kemari sambil mengeluarkan bunyi geraman keras.
Lesmana tidak sendirian. Di sekitarnya tengah
meluruk ke arahnya puluhan ekor ular dari berbagai jenis.
Ular-ular itu berdesis-desis menyeramkan!
Cendana merasa perutnya mual melihat ular
sebanyak itu. Gadis ini merasa jijik bukan main. Perasaan
yang dialami si gadis tidak dialami nenek baju hitam.
Sementara di bawah sana Lesmana kembali
menggeram keras sehingga membuat sekitar tempat itu
bergetar hebat. Ular-ular itu pun menerima pengaruhnya.
Beberapa di antaranya berkelojotan meregang maut
Tindakan Lesmana tidak berhenti sampai di situ.
Tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Tidak mengenai ular-
ular itu sebenarnya. Tapi, cukup untuk membuat binatang-
binatang itu berpentalan bagai daun kering diterbangkan
angin.
"Seorang pemuda yang hebat..."
Cendana mendengar ucapan itu di dalam telinganya.
Gadis ini tahu kalau nenek baju hitam mengucapkannya
dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Sehingga, hanya Cendana seorang yang mendengarnya.
"Sayang, ada sesuatu yang membuat akal sehatnya
tidak beijalan sebagaimana mestinya. Sayang sekali....
Pemuda hebat ini akan menjadi ancaman bagi orang lain. Dia
akan menyebar bahaya tanpa menyadarinya. Sungguh keji
orang yang menyebabkan dia melakukan perbuatan seperti
ini...."
"Apa yang terjadi dengan pemuda itu, Nek?" bisik
Cendana
Belum sempat si nenek memberikan jawaban,
Lesmana menengok ke atas. Adu pandang pun tidak bisa
dihindarkan lagi. Cendana dan si nenek tengah
me mpe rh atikannya.
Sekarang Cendana baru bisa memahami mengapa
nenek baju hitam memberikan peringatan terhadapnya.
Lesmana memiliki pendengaran luar biasa tajam. Begitu
bersitatap, Cendana merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata
Lesmana merah membara, seperti mata binatang buas yang
tengah murka. Wajahnya pun beringas menyiratkan hawa
pembunuhan.
"Bersiap-siaplah, Cendana. Pemuda itu akan
menyerang kita," beritahu si nenek yang telah kenyang
pengalaman itu. Nenek baju hitam ini tahu tidak ada
gunanya menyesalkan kecerobohan Cendana. Nasi telah
menjadi bubur! Yang lebih penting sekarang adalah
bagaimana menghadapi Lesmana.
Baru saja mulut si nenek terkatup. Lesmana
menggeram keras. Kali ini geraman yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi itu ditujukan pada Cendana
dan gurunya. Si nenek tidak terlalu terpengaruh karena telah
memiliki tenaga dalam amat kuat. Tapi, tidak demikian
dengan Cendana. Gadis ini seperti mendengar bunyi
halilintar yang meledak dekat telinganya!
Dada Cendana tergetar hebat. Kedua kakinya
menggigil keras sehingga tidak bisa menunjang tubuhnya.
Cendana limbung dengan wajah pucat pasi.
"Cendana...!" seru si nenek khawatir melihat keadaan
muridnya.
Hanya sampai di situ tindakan si nenek. Lesmana
telah melompat ke atas dan menyerangnya dengan hantaman
ke arah dada. Si nenek yang tadi mengalihkan perhatian kc
arah Cendana, jadi tidak memiliki kesempatan untuk
mengelak. Dipapakinya serangan itu dengan tinju kirinya.
Dukkk!
Tubuh si nenek terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Lesmana
seperti tidak terpengaruh sama sekali. Pemuda itu meluruk
dengan serangan-serangan lanjutan yang tak kalah dahsyat
Si nenek tidak punya pilihan lain kecuali membela
diri. Dengan seluruh kemampuan dihadapinya serangan
Lesmana. Pertarungan sengit pun berlangsung!
Cendana yang telah berhasil menguasai diri
memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar
tegang. Perasaan oemas dan menyesal melanda hati. Cemas
akan keselamatan gurunya dan menyesal karena telah
melanggar larangan nenek itu untuk tidak berbicara.
Saking cepatnya gerakan dua pihak yang bertarung,
Cendana tidak bisa melihat secara jelas. Tapi, dari bayangan
si nenek dan Lesmana yang saling gebrak, bisa
diperkirakannya siapa yang berada di pihak menguntungkan.
Dan si nenek kelihatan kewalahan bukan main.
Penilaian Cendana memang tidak keliru. Meski nenek
baju hitam telah menggunakan tongkatnya dan Lesmana
bertangan kosong, tetap saja Lesmana yang berada di atas
angin. Pemuda itu memiliki keunggulan di semua hal. Tidak
hanya tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, tapi juga
ilmu-ilmu silatnya dan usianya yang masih muda. Tak
sampai lima belas jurus Lesmana berhasil mendesak si
nenek.
"Cendana...! Lari...! Tinggalkan tempat ini!"
Dalam keadaan tenepit si nenek mengingatkan
muridnya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu bertahan
terus.
Namun, bukannya menuruti seruan si nenek, Cen¬
dana malah mencabut pedang dan melompat masuk dalam
kancah pertarungan. Bertepatan dengan itu, si nenek
menyabetkan tongkatnya ke arah leher Lesmana!
Trakkk!
Tongkat patah tiga ketika Lesmana menyampoknya
dengan teras. Tubuh si nenek terhuyung ke belakang. Saat
itu pula Lesmana mengirimkan gedoran ke arah dada!
Cendana yang melihat ancaman itu segera merubah
arah serangannya. Tusukan yang semula ditujukan ke dada
Lesmana, dialihkan ke pergelangan tangan si pemuda yang
tengah meluncur ke arah dada nennek baju hitam!
Takkk!
Desss!
Cendana memekik tertahan. Mata pedangnya tidak
mampu membuat tangan Lesmana buntung. Pedang itu
malah membalik dan gadis ini merasakan tangannya
lumpuh. Kibasan tangan kiri Lesmana yang mengeluarkan
deru angin dahsyat membuat tubuh Cendana terlempar ke
belakang.
Di saat yang bersamaan, tubuh nenek baju hitam pun
terjengkang ke belakang. Tubuh murid dan guru ini jatuh di
tanah secara berbarengan. Hanya saja, kalau Cendana meski
terhuyung-huyung mampu mendarat dengan kedua kakinya,
si nenek mendarat di tanah dengan punggungnya!
"Nenek...!"
Tanpa mempedulikan Lesmana lagi, Cendana
menghambur ke arah tubuh si nenek yang tergolek. Suaranya
sarat dengan kesedihan dan penyesalan.
"Cendana...," sahut si nenek, berusaha menyugingkan
senyum untuk menenangkan hati muridnya. Tapi, justru
membuat Cendana semakin dililit perasa sedih. Darah
mengalir dari sudut mulut si nenek.
"Maafkan aku, Nek. Aku selalu menentang ucapanmu.
Aku yang salah, Nek. Akulah yang menyebabkan nenek jadi
seperti ini," ueap Cendana tersendat-sendat menahan isak di
tenggorokan. Gadis ini duduk bersimpuh di dekat si nenek.
Nenek baju hitam masih mampu menggelengkan kepala.
"Kau tidak bersalah, Cendana. Ini yang namanya
nasib. Malah, kau telah berjasa besar. Kalau tidak karena
pedangmu yang membabat serangan pemuda itu, mungkin
nyawaku telah melayang ke alam baka. Tindakan yang kau
lakukan membuat tenaga serangan yang mengenai dadaku
berkurang jauh. Kau telah menyelamatkanku, Cendana,"
hibur si nenek.
Cendana semakin terpuruk dalam kesedihan. Hiburan
si nenek menambah kesedihannya. Ia menyadari betapa
besar kasih sayang si nenek terhadapnya, sedangkan
balasannya selalu sikap yang membangkang.
Bahu Cendana terguncang-guncang karena tangis
yang tersendat. Cendana berusaha teras untuk bertahan
agar tidak menangis. Tapi, kodratnya sebagai wanita yang
memiliki perasaan lembut membuatnya harus berjuang
keras.
"Sudah lama aku mendapat firasat ajalku akan
datang. Aku sudah bersiap-siap untuk memberitahukan mu
beberapa hal, Cendana," ujar nenek baju hitam.
Cendana mulai meneteskan air mata. Tidak ada suara
tangisan yang keluar. Gadis yang memiliki watak periang dan
manja ini ternyata memiliki kekerasan hati luar biasa. Dia
malu untuk menangis.
"Kuharap kau tidak menangis, Cendana. Relakan saja
kepergianku. Hanya pesanku, kau tidak boleh berlarut-larut
tenggelam dalam kesedihan. Dan, kau harus berhati-hati
menghadapi orang-orang persilatan. Jangan sampai kau
tertipu. Waspadalah selalu," si nenek mulai dengan
wejangannya.
Sementara Lesmana seperti terkesima melihat adegan
mengharukan itu. Sepasang matanya yang semula merah
membara mulai agak meredup. Bahkan, geraman-geraman
yang dikeluarkan sudah tidak sekeras sebelumnya. Rupanya,
adegan yang terpampang di depan matanya berhasil merasuk
ke dalam lubuk hatinya! Karena, pada dasarnya pemuda ini
memang bukan orang jahat.
Ketika melihat Cendana meneteskan air mata, sinar
mata Lesmana melembut. Ada penyesalan di dalamnya.
Sambil mengeluarkan bunyi seperti keluhan, tubuhnya
dibalikkan lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
5
Cendana duduk tercenung di atas gundukan batu
sebesar terbau yang permukaannya datar dan rata.
Wajahnya muram. Sepasang matanya yang biasanya berseri-
seri penuh kehidupan, kini layu bagaikan lampu kehabisan
minyak. Ada gumpalan kabut kedukaan di sepasang
matanya.
Terngiang-ngiang kembali ucapan gurunya sebelum
menghembuskan napas penghabisan di pelukannya.
"Jangan kau mendendam pada pemuda itu, Cendana.
Dia tidak bersalah. Tindakan yang dilakukannya tidak
disadarinya. Aku yakin pemuda itu orang baik-baik.
Gerakan-gerakan pemuda itu kukenali milik seorang
pendekar yang disegani. Kalau bisa, tolong dia. Sembuhkan
dari penyakitnya yang membuatnya menjadi buas. Mungkin
karena diracuni orang. Kau mau memenuhi permintaan
terakhirku ini, Cendana?"
Tanpa sadar Cendana mengangguk seperti yang
dilakukannya waktu itu. Anggukan yang dirasakan gadis ini
berat bukan main. Bagaimana mungkin pembunuh gurunya
tidak dibalas, bahkan malah ditolong? Tapi, saat itu Cendana
tidak punya pilihan lain. Si nenek hanya akan meninggalkan
dunia dengan hati tenang bila permohonannya dikabulkan.
Cendana menggertakkan gigi. Geram. Itu selalu terjadi
setiap kali teringat wajah Lesmana. Tindakannya kali ini
membuatnya sadar dari lamunan.
Cendana melayangkan pandangan ke bawah, ke
lereng gunung. Di bagian yang datar dilihatnya sebuah
pondok sederhana. Pondok yang menjadi sebab gurunya
keluar dari tempat tinggal dan akhirnya menemui ajal.
Pondok yang menjadi tempat tinggal Pendekar Penyebar
Asmara!
Semangat Cendana bangkit kembali. Semula, ke-
matian gurunya membuatnya tidak bersemangat untuk
hidup. Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Gurunya telah
menjadi bagian yang amat penting dari kehidupannya.
Bangkitnya semangat Cendana karena menyada
masih ada tugas yang dibebankan di pundaknya. Tugas yang
mungkin akan dapat menebus perasaan bersalah karena
merasa telah menjadi penjebab kematian gurunya. Tugas itu
adalah membalaskan sakit hati gurunya pada Pendekar
Penyebar Asmara!
Tugas ini membuat Cendana bagai bangkit kematian.
Meski kedukaan tidak sirna dari wajahnya, langkahnya tidak
selesu sebelumnya. Cendana melesa menuruni puncak
dengan cepat.
Tak berapa lama, pondok itu telah beijarak sepuluh
tombak lagi. Tapi, Cendana terpaksa menghentikan lari
karena mendengar bentakan keras.
"Hey...! Berhenti...!"
Dari dalam pondok melesat sesosok bayangan merah.
Tidak terlihat jelas oleh Cendana karena cepatnya sosok itu
bergerak. Hanya, mendengar suaranya yang melengking
tinggi dan nyaring, gadis ini tahu pemilik suara itu adalah
seorang wanita.
Dugaan Cendana memang tidak keliru. Dua tombak di
depannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh
tahun. Wajahnya yang cantik terlihat matang. Apalagi karena
model rambutnya yang digelung 1$ atas. Sebuah tahi lalat
yang cukup besar menempel di ujung hidungnya. Seorang
wanita yang cukup menarik, puji Cendana dalam hati.
Apalagi ketika melihat bentuk tubuh wanita itu yang
menggiurkan.
"Mau apa kau kemari, Wanita Centil? Cepat pergi dari
sini!" usir wanita berpakaian merah, ketus.
Cendana yang tengah gusar karena kematian gu¬
runya, jadi marah bukan main melihat sikap kasar itu.
Sepasang matanya menyambar wajah wanita di depannya
dengan kilatan kemarahan.
"Kau yang centil! Centil dan gila! Kalau tidak,
mengapa tidak ada hujan atau angin memaki-maki orang?"
balas Cendana, tak mau kalah memaki.
"Tak perlu ada hujan atau angin untuk memakimu!
Kau memang centil. Kalau tidak, untuk apa kau kemari?!"
Wanita berpakaian merah menimpali lagi sambil bertolak
pinggang.
"Ada apa, Mirah? Mengapa ribut-ribut di luar?"
sambut sebuah suara sebelum Cendana memberikan
tanggapan.
"Tidak ada apa-apa, Kak. Hanya gangguan kecil.
Dapat kuatasi. Kau tidak usah keluar!" sambut Mirah, cepat.
Cendana tersenyum mengejek. Kemudian, kepalanya
diangguk-anggukkan.
"Sekarang aku mengprti mengapa kau kelihatan
khawatir sekali, nenek bawel dan galak!" ujar Cendana,
seenaknya. "Kau pasti istri si Pendekar Mata Bongsang!
Wanita tak tahu malu. Kemaruk lelaki seakan-akan di dunia
ini hanya ada satu lelaki, tidak ada lainnya kecuali Pendekar
Mata Bongsang yang tidak tahan melihat jidat licin! Kau
takut dia melihatku yang beijidat sangat licin, hingga akan
membuatnya tertarik padaku. Begitu kan?!"
Wajah Mirah memerah sampai ke daun telinganya.
Dia kelihatan marah sekali. Marah dan malu. Semula wanita
ini bingung mendengar julukan Pendekar Mata Bongsang.
Tapi, begitu mendengar ucapan-ucapan selanjutnya, dia jadi
mengerti!
"Rupanya di samping berwatak centil, kau pun
memiliki mulut tajam. Kalau tidak dihajar, sifat kurang
ajarmu semakin menjadi-jadi!"
Mirah memenuhi ancamannya. Dia menyerang
Cendana dengan sebuah tamparan 1$ arah mulut gadis
berpakaian kuning itu. Bunyi yang mengiringi gerakan
tangannya menjadi petunjuk kalau bibir menggiurkan milik
Cendana akan kehilangan keindahannya jika menjadi
sasaran.
Cendana tidak mau hal itu teijadi. Tubuhnya ditarik
ke belakang sehingga serangan Mirah luput. Tendangan kaki
kanan dikirimkan Cendana ke arah lambung lawan sebagai
balasannya.
Mirah memekik pelan karena kaget. Serangan itu
memaksanya melompat mundur. Amarahnya semakin
meluap. Ini membuat teijangannya yang berikut lebih
dahsyat. Cendana menimpali. Pertarungan pun berlangsung
sengit.
Dua perempuan yang sama-sama cantik dan galak ini
bertarung dengan menggunakan senjata. Tapi, lewat
beberapa jurus keduanya segpra mengeluarkan senjata
masing-masing. Cendana dengan pedangnya. Sedangkan
Mirah menggunakan sepasang belati berwarna merah seperti
warna pakaiannya.
Cendana memang lihai. Tapi, Mirah tak kalah lihai!
Satu kelebihan Mirah adalah wanita ini lebih menang
pengalaman. Sikapnya bertarung menunjukkan kalau dia
telah kenyang pengalaman bertarung. Bisa diperkirakan jika
mengingat usianya. Sementara Cendana baru turun gunung
dan belum pernah terlibat dalam pertarungan. Lewat
beberapa belas jurus gadis ini mulai terdesak.
"Jangan hiraukan tangan kanan. Tangan kiri akan
ditujukan pada leher, tendang perutnya," terdengar sebuah
suara di telinga Cendana. Suara yang diyakini gadis ini
dikirimkan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.
Cendana berpikir cepat. Dia yakin si pengirim suara
bermaksud membantunya. Maka, dengan membuta
diikutinya petunjuk itu. Serangan tangan kanan Mirah
dibiarkannya. Dia malah beijaga-jaga terhadap yang kiri.
Serangan yang dilancarkannya pun mengikuti petunjuk
pemilik suara tanpa wujud itu.
Pastinya memang menggembirakan Cendana. Meski
serangannya tidak berhasil, tapi bukan karena kesalahan
pemilik suara. Dia yang bertindak kurang cepat karena tadi
berpikir sebentar. Yang jelas, semua pemberitahuan itu
benar.
Kenyataan ini membuat Cendana mengikuti semua
petunjuk yang diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dan
memang, sejak itu Mirah berhasil dibuatnya kalang kabut.
Bahkan, sekarang ganti Mirah yang terdesak.
•k-k-k
"Ha ha ha...! Sungguh tidak kuduga Pendekar
Penyebar Asmara membiarkan gundik-gundiknya saling
bertarung!"
Sosok tubuh pendek gpmuk teijun ke dalam kancah
pertempuran. Dia tidak ikut bertarung, apalagi melancarkan
serangan. Sosok itu melesat begitu saja di antara Cendana
dan Mirah tanpa khawatir akan menjadi korban serangan
nyasar.
Hal itu memang tidak teijadi. Begitu sosok gemuk itu
menyelak di tengah-tengah, tubuh Cendana dan Mirah
terjengkang ke belakang bagai didorong kekuatan tak
nampak.
Cendana tidak menjadi gentar. Begitu berhasil
memperbaiki kedudukan, dia melesat menerjang sosok
pendek gemuk dengan bacokan ke arah leher. Cendana sakit
hati sekali mendengar makian sosok itu yang mengatakan dia
gundik Pendekar Penyebar Asmara.
"Jangan ceroboh! Kau mencari penyakit sendiri,
Nona," pemilik suara tanpa wujud memberikan peringatan.
Tapi, peringatan itu datangnya tertambat. Cendana
telah lebih dulu melancarkan serangan. Memang, andaikata
gadis itu menghendaki, bisa saja serangan itu dibatalkan.
Tapi, Cendana sudah terlalu marah. Peringatan suara tanpa
wujud itu tidak dipedulikannya lagi.
Sosok pendek yang bukan lain Gajah Kecil, tertawa
terbahak-bahak. Kakek ini memang memiliki sifat mudah
tertawa. Bahkan, dalam marahnya pun dia tertawa. Seakan-
akan Gajah Kecil hidup di satu dunia, yaitu dunia yang
penuh dengan kegembiraan.
"Gundik si Pemadat Perempuan berani
menyerangku?!"
Gajah Kecil mendorongkan tangan kanannya ke
depan. Cendana merasakan sekujur tubuhnya lemas.
Tenaganya lenyap entah kc mana. Dan, sebelum dia mengerti
apa yang telah teriadi, Gajah Kecil mengibaskan tangan kiri
seperti orang mengusir nyamuk!
Untuk kedua kalinya tubuh Cendana terlempar ke
belakang. Kali ini bahkan lebih jauh dari sebelumnya.
Cendana tidak bisa mendarat dengan kedua kaki. Ia
mendarat di tanah dengan punggungnya!
Cendana mengernyitkan alis ketika tidak merasakan
sakit kendati dirasakan punggungnya menempel dengan
sesuatu, yang diyakininya tanah. Sebuah tangan yang
menyentuh bahu belakangnya dan menyebarkan hawa
hangat sehingga tenaga Cendana kembali pulih,
menyadarkan gadis ini akan keanehan itu. Dia ternyata tidak
berada di tanah, melainkan beberapa kaki di atasnya.
Punggungnya menempel pada tongkat yang berada di tangan
seseorang yang berada di belakangnya!
Kalau saja Cendana bukan orang yang berhati besar
tentu agak kagpt melihat si pemegang tongkat. Sosok itu
memiliki wajah demikian buruk. Wajahnya lebih mirip wajah
kera! Matanya bundar kecil dan berwarna kehijauan.
Hidungnya pesek dengan mulut lebar serta wajah dipenuhi
bulu. Seorang manusia berwajah setan! Wajah itu lebih
buruk dari pada wajah monyet. Di sana-sini terlihat guratan
luka.
Cacat pemilik tongkat itu masih ditambah lagi dengan
tubuhnya yang tidak normal. Punggungnya bungkuk!
Tongkat itu mungkin untuk menahan tubuhnya agar tidak
roboh.
"Menyingkiriah, Nona. Iblis itu bukan lawanmu," ujar
sosok berwajah mirip setan itu, lembut.
Cendana tidak membantah. Dia percaya penuh.
Bukan karena menyadari Gajah Kecil jauh lebih tangguh
daripadanya. Tapi, karena suara yang keluar dari mulut
sosok berwajah setan ini adalah suara orang yang memberi
petunjuk kepadanya ketika menghadapi Mirah. Sosok
berwajah setan ini adalah penolongnya!
"Ha ha ha...!" Gajah Kecil tertawa bergelak "Kau ini
manusia atau setan? Dibilang manusia kau lebih mirip setan.
Benar! Kau... Setan Bongkok! Itu julukan yang tepat
untukmu. Ha ha ha...!"
Sosok yang disebut Setan Bongkok tidak memberikan
tanggapan sedikit pun. Dia menatap Gajah Kecil penuh
selidik dan waspada. Terlihat jelas sikap hati-hatinya.
"Sebelumnya, kedatanganku kemari hanya untuk
mengirim nyawa Pendekar Ftemadat Wanita kc neraka. Tapi,
karena kau berani bersikap menantangku, aku jadi ingin
membuatmu bepergian 1$ alam baka. Mudah-mudahan saja
kau senang!" ujar Gajah Kecil.
Gajah Kecil lalu mengambil napas panjang-panjang.
Dia ingin menyedot udara sebanyak-banyaknya. Setan
Bongkok memperhatikannya dengan kewaspadaan tidak
berkurang. Cendana dan Mirah pun demikian. Kedua wanita
ini ingin tahu apa yang akan dilakukan Gajah Kecil.
Mirah dan Cendana membelalakkan mata ketika
melihat tubuh Gajah Kecil melembung seperti balon ditiup!
Tubuhnya yang memang sudah bulat jadi bertambah bundar.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi berkerotokan seperti
tulang-tulang patah. Padahal, Gajah Kecil tidak
menggerakkan tangan atau kakinya. Dia tetap diam di
tempatnya sambil tems menarik napas dalam-dalam.
Tindakan ini membuat tubuhnya semakin melembung.
Mirah dan Cendana tidak mengerti maksud tindakan
Gajah Kecil. Tapi mereka segera mengetahuinya ketika bunyi-
bunyi yang terdengar itu mulai menimbulkan akibat. Bunyi-
bunyi itu sebenarnya tidak keras. Namun akibatnya tidak
sesederhana bunyi yang terdengar. Mirah dan Cendana
merasakan kelelahan merayapi sekujur otot-otot di tubuhnya.
Semakin lama rasa lelah yang mendera semakin besar.
Seiring dengan semakin membesarnya kele lahan
menyergap, rasa kantuk pun timbul. Kantuk yang luar biasa
hebatnya. Sehingga, meski Cendana dan Mirah berusaha
keras untuk bertahan, keduanya tidak mampu. Sepasang
mata mereka memejam sendiri.
Kesadaran yang masih tersisa membuat Mirah dan
Cendana berusaha untuk mengadakan perlawanan. Tapi, sia-
sia saja. Pengaruh bunyi yang menyerang langsungmeneijang
urat saraf yang berhubungan dengan kelelahan. Tenaga yang
hendak dikerahkan kedua wanita perkasa ini jadi pupus.
Cendana dan Mirah akhirnya tertidur dalam sikap berdiri!
Kalau pengaruh yang melanda Mirah dan Cendana
saja demikian hebatnya, apalagi yang dialami Setan Bongkok.
Setan Bongkoklah sebenarnya yang menjadi sasaran
penyerangan. Pengaruh yang melanda sosok berwajah
mengerikan ini berlipat kali lebih dahsyat!
Tapi, Setan Bongkok tidak sampai terpengaruh seperti
halnya Mirah dan Cendana. Di samping tokoh berwajah
mengerikan ini memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat,
sejak semula dia sudah bersikap waspada. Begitu mendengar
adanya bunyi ia segera mengetuk-ngetukkan ujung
tongkatnya ke tanah secara berirama. Bunyi yang terdengar
dari beradunya ujung tongkat dengan tanah kapur
berpengaruh untuk melawan serangan bunyi yang diciptakan
Gajah Kecil!
"Haaa...!"
Gajah Kecil membuka mulutnya lebar-lebar sambil
mengeluarkan seruan teras. Setan Bongkok bagai disambar
halilintar! Tubuh sosok berwajah kacau balau ini terjengkang
ke belakang. Tongkatnya terpental entah ke mana. Pengaruh
seruan Gajah Kecil yang sudah luar biasa itu masih ditambah
dengan hembusan angin dahsyat. Dua serangan gabungan
ini yang menyebabkan tubuh Setan Bongkok lintang pukang!
Bukan hanya Setan Bongkok yang menerima aki¬
batnya. Mirah dan Cendana pun tidak luput. Tubuh kedua
wanita ini tersentak seperti orang terkena demam tinggi.
Kemudian, jatuh ambruk ke tanah bagai sehelai karung
basah. Meski demikian, keduanya tidak tergugah dari
tidurnya!
Di lain pihak, Gajah Kecil tidak menunggu lebih lama.
Kakek ini sadar kalau Setan Bongkok merupakan lawan
tangguh. Maka, langsung dia menggelinding memburu
lawannya.
Perhitungan Gajah Kecil memang tidak keliru. Setan
Bongkok tidak terluka sama sekali kendati tubuhnya
terjengkang dan terguling-guling.
Sebelum tubuh Gajah Kecil mendekat, Setan Bongkok
melompat ke atas dan melancarkan serangan balasan. Dua
tokoh yang sama-sama memiliki ciri-ciri aneh ini pun terlibat
pertarungan sengit
•k-k-k
Saat Setan Bongkok dan Gajah Kecil terlibat dalam
pertarungan, dari dalam pondok melesat sesosok bayangan
putih. Sosok yang ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga
puluh tujuh tahun ini berdiri di dekat tubuh Mirah dan
Cendana yang tergolek di tanah. Kendati demikian,
pandangannya tertuju pada pertarungan yang tengah
berlangsung.
"Sungguh berbahaya sekali...," desis lelaki berpakaian
putih yang memiliki wajah tampan dan bertubuh tegap berisi
dengan bau wangi menyebar dari sekujur badan. Kepalanya
digeleng-gelengkan. "Gajah Kecil telah keluar dari
persembunyian. Bukan tidak mungkin dua yang lain dari
Tiga Binatang Iblis Neraka telah meninggalkan sarang.
Kepandaian Gajah Kecil tidak berkurang. Malah, bertambah
dahsyat."
Lelaki ganteng yang bukan lain Pendekar Penyebar
Asmara ini mengalihkan perhatian pada Setan Bongkok.
"Siapa tokoh luar biasa ini? Gerakan-gerakannya
mengingatkanku pada tokoh penuh rahasia yang beijuluk
Elang Malaikat. Mungkinkah ada hubungan perguruan
dengannya?"
Cukup lama Pendekar Penyebar Asmara
memperhatikan jalannya pertarungan sebelum akhirnya
perhatiannya dialihkan pada Mirah dan Cendana.
Sepasang mata Ftendekar Penyebar Asmara
menyiratkan rasa kagum ketika menatap Cendana. Bagai
orang yang kehausan melihat air, tatapannya menjelajahi
sekujur tubuh Cendana mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
"Mirah...," sapa Pendekar Penyebar Asmara, lembut
seperti layaknya orang yang memanggil buah hati yang
sangat dikasihi. "Sudah cukup kau tenggelam dalam tidur.
Bangun. Mari kita pergi. Ada urusan lain yang menunggu."
Aneh bin ajaib! Mirah yang sejak tadi bagaikan orang
mati, tak bangun kendati jatuh secara keras di tanah dan
adanya bunyi menggelegar di telinga, membuka mata.
"Apa yang terjadi, Kak? Mengapa aku tiduran di
tanah?" tanya Mirah kebingungan. Kepalanya ditolehkan ke
sana kemari. Terlihat olehnya Cendana yang tadi telah
berhasil mendesaknya secara mendadak. Tampak juga Setan
Bongkok tengah bertarung dengan Gajah Kecil.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu, Mirah," jawab
Pendekar Penyebar Asmara tetap lembut sambil tersenyum
manis. "Sekarang, yang penting kita harus segera tinggalkan
tempat ini."
Tanpa memberi kesempatan pada Mirah untuk
berpikir lebih lama, Pendekar Penyebar Asmara menadahkan
kedua tangannya seperti orang tengah berdoa. Mendadak,
tubuh Cendana melayang ke arahnya dan hinggap di kedua
tangannya. Seakan ada daya tarik yang amat kuat dari kedua
tangan itu.
"Apa artinya ini, Kak? Mengapa wanita centil itu kau
bawa?!" kecam Mirah. Pandang matanya dikerlingkan pada
Cendana dengan penuh kebencian.
Pendekar Penyebar Asmara hanya tersenyum kalem.
"Nanti pun kau akan tahu, Mirah."
Hanya itu jawaban Ftendekar Penyebar Asmara
sebelum melesat meninggalkan tempat itu. Mirah tidak punya
pilihan lain kecuali mengikuti, meski dengan bersungut-
sungut tidak senang.
Setan Bongkok sempat melihat kejadian itu. Ini
membuatnya cemas. Tapi, apa dayanya? Saat itu dia tengah
sibuk menghadapi Gajah Kecil. Mengalihkan perhatian hanya
akan mengirim nyawanya ke neraka!
Meski demikian, sekarang Setan Bongkok sulit untuk
memusatkan perhatian. Dia tahu siapa adanya Pendekar
Penyebar Asmara. Cendana akan menjadi korbannya. Tokoh
aneh ini jadi gelisah bukan main. Ini membuat keadaannya
semakin tidak menguntungkan.
Tingkat kepandaian Setan Bongkok memang masih di
bawah Gajah Kecil. Bertarung dengan sepenuh hati pun dia
kewalahan. Untungnya, mutu ilmu silat yang dimilikinya
lebih unggul dari ilmu Gajah Kecil. Ini yang membuatnya
berhasil untuk bertahan. Apalagi ilmunya memang cukup
mempunyai pertahanan yang kokoh hingga Gajah Kecil sulit
untuk merobohkan. Pertarungan jadi berlangsung alot!
Tapi setelah kejadian yang menimpa Cendana, Setan
Bongkok merubah cara bertarung. Tokoh ini mulai
melancarkan serangan-serangan. Tak tanggung-tanggung lagi
yang dipergunakan. Serangan yang terdahsyat dan
merupakan ilmu andalannya!
Gajah Kecil sempat berubah wajahnya ketika melihat
Setan Bongkok menerjang sambil mengeluarkan pekikan
melengking nyaring. Pekikan itu membuat nyawanya untuk
sesaat seperti melayang ke alam baka. Isi dadanya sampai
terguncang! Buru-buru dikerahkan tenaga dalam untuk
menangkalnya. Pada saat yang hampir bersamaan dia
melompat memapaki serangan Setan Bongkok!
Bresss!
Tubuh Setan Bongkok dan Gajah Kecil sama-sama
terpental 1$ belakang dan terbanting teras di tanah. Namun,
keduanya segpra bangkit berdiri.
Pertarungan terhenti. Kedua belah pihak tidak ada
yang memulai serangan. Yang dilakukan hanya saling tatap
dengan sinar mata penuh tantangan.
"Kau hendak mengadu nyawa, Gajah Kecil?!" tanya
Setan Bongkok, angker.
Gajah Kecil adalah seorang tokoh kawakan. Dia segera
tahu lawan tangguhnya ini memberikan pilihan padanya
untuk menghabiskan masalah ini sampai di situ saja. Setan
Bongkok tidak ingin memperpanjang masalah. Gajah Kecil
yang cerdik ini pun bisa melihat adanya keuntungan dengan
tawaran itu. Setan Bongjcok benar. Tidak ada gunanya
meneruskan pertarungan.
"Kalau kau menginginkannya apa boleh buat,
Bongkok? Aku, Gajah Kecil, bukan orang yang takut mati!
Lagi pula, kaulah yang lebih dulu mencampuri urusanku. Ha
ha ha...!"
"Itu kulakukan kaiena kau hendak mencelakai gadis
yang berada dalam perlindunganku. Tak satu pun makhluk
yang bisa mencelakainya selama aku ada!" tandas Setan
Bongkok.
Gajah Kecil tersenyum penuh kemenangan. Ucapan
lawannya yang terakhir menunjukkan kalau Setan Bongkok
enggan bermusuhan dengannya. Setan Bongkok hanya
terpaksa melawannya. Meski sebenarnya tak takut terhadap
Setan Bongkok, tapi Gajah Kecil tahu untuk membunuh
lawannya ini bukan perkara yang mudah. Padahal, dia
mempunyai urusan yang lebih penting. Mencari dan
membalaskan sakit hati muridnya pada Pendekar Penyebar
Asmara.
Satu hal yang menggembirakan hati Gajah Kecil
adalah sikap Setan Bongkok yang mengalah. Hal ini
dianggapnya karena keunggulannya. Kendati, dia belum
menang secara mutlak.
"Kalau itu maumu, lain kali urusan ini kita
perpanjang lagi, Bongkok! Ha ha ha...!"
Gajah Kecil menggelinding meninggalkan tempat itu.
Setan Bongkok pun bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar
lagi untuk menobng Cendana.
6
"Nona, bangunlah. Tidak baik tidur terlalu lama," ujar
Pendekar Penyebar Asmara lembut.
Cendana bagaikan orang tidur yang diguyur seember
air dingin. Dia tersentak bangun. Yang pertama kali
dilihatnya adalah seraut wajah ganteng yang tersenyum
penuh daya pikat. Kumis tipis, sedikit jenggot, dan cambang
yang teratur rapi membuat wajah itu semakin menarik.
Cendana merasakan hatinya terguncang. Sebuah
perasaan aneh muncul di hatinya. Perasaan tertarik. Lelaki
yang duduk bersila sekitar satu tombak di depannya ini amat
menarik! Tidak hanya wajah, suaranya pun penuh daya tank.
Demikian lembut dan menggetarkan hati. Aroma wangi yang
nikmat di hidung semakin menambah ketertarikan hati
Cendana. Aroma itu keluar dari tubuh Pendekar Penyebar As¬
mara.
Malu karena hanya berdua saja di dalam gua yang
cukup luas ini, Cendana menundukkan kepala. Gadis ini
sempat merasa aneh. Inikah dirinya, Cendana yang periang?
Mengapa sekarang seperti seorang gadis pemalu dilamar
orang?
Sekarang Cendana baru menyadari kebenaran ucapan
gurunya yang menyatakan akan tiba masanya dia jatuh hati
pada seorang lelaki. Cendana tidak menyalahkan dirinya.
Lelaki di hadapannya ini memang amat menarik! Cendana
sungguh tidak tahu kalau lelaki di hadapannya itu adalah
Pendekar Penyebar Asmara. O rang yang dicari- carinya!
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Cendana
lirih tanpa berani mengangkat wajah. Samar-sama dia mulai
teringat kejadian-kejadian yang dialaminya.
"Aku yang membawamu kemari, Nona. Kuliha kau
tergeletak di tanah," jawab Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana bagaikan dibuai. Suara Pendekar Penyebar
Asmara terasa nyaman di dada. Sejuk! Ingin didengarnya lagi
suara itu.
Pendekar Penyebar Asmara bangkit dari duduk
bersilanya dan turun dari gundukan batu yang didudukinya.
Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Cendana yang
tetap berdiri dengan wajah tertunduk. Dada gadis itu
berombak keras menandakan besarnya ketegangan yang
melanda hati.
Cendana hampir saja teijingkat ketika Pendekar
Penyebar Asmara menyentuh kedua bahunya. Cendana tiba-
tiba merasakan sekujur tubuhnya lemas bagai tak bertulang.
Cendana tidak memberikan penolakan ketika Pen¬
dekar Penyebar Asmara mengangkat wajahnya. Bahkan,
ketika lelaki itu mendekatkan wajah. Cendana malah pasrah!
Ketika bibir Pendekar Ftenyebar Asmara mengulum bibirnya,
gadis ini mengeluh tertahan.
Cendana malah balas memagut. Dua insan yang
berbeda jenis ini saling cium dengan tubuh berpelukan erat.
Cendana hanya sedikit meronta ketika Ftendekar Penyebar
Asmara merebahkan tubuhnya ke tanah. Tapi, itu hanya
sebentar. Sesaat kemudian hal itu dibiarkannya.
"Hentikan, Jahanam...!"
Teriakan keras penuh kemarahan membuat Pendekar
Penyebar Asmara dan Cendana tersentak bagai disengat
kalajengking! Pendekar Penyebar Asmara segera bangkit dari
atas tubuh Cendana. Gadis ini lalu bergegas bangkit dan
membereskan pakaiannya yang telah terbuka di sana sini.
Cendana seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk.
"Menyingkirlah, Nona," ucap Setan Bongkok, pemilik
bentakan tadi Lelaki ini berdiri tegak di mulut gua. "Tutup
matamu dan pergunakan mata hatimu. Ftendekar Penyebar
Asmara memang memiliki suatu pengaruh aneh yang
membuat setiap wanita tidak berdaya untuk menolak
keinginan bejatnya."
Bagai ada halilintar menggelegar di tempat itu ketika
Cendana mendengar ucapan Setan Bongkok. Jadi, lelaki
ganteng itu adalah Ftendekar Penyebar Asmara? Orang yang
telah banyak menjatuhkan hati wanita dan orang yang
tengah dicari-carinya untuk membalaskan sakit hati
gurunya! Hampir saja dia menjadi korban!
Sekarang Cendana baru mengerti mengapa gurunya
begitu khawatir dia akan terpikat pada Ftendekar Penyebar
Asmara. Nenek baju hitam benar. Setan Bongkok juga benar.
Pendekar Penyebar Asmar mempunyai pengaruh aneh yang
membuat lawan jenisnya tertarik dan tak berdaya menolak
kehendaknya.
Cendana teringat lagi akan dugaan gurunya. Nenek
baju hitam ini mengatakan Ftendekar Penyebar Asmara
mungkin menuntut sebuah ilmu aneh. Ilmu yang membuat
lawan jenisnya tertarik dan lupa diri. Ilmu yang jauh lebih
dahsyat dan memiliki pengaruh lebih dari susuk atau pelet!
Cendana gpram bukan main. Marah karena hampir
saja menjadi korban seperti halnya murid gurunya sebelum
dia. Perasaan geram membuatnya mencabut pedang dan
menyerang Ftendekar Penyebar Asmara. Cendana harus
menggertakkan gigi untuk mengusir perasaan tertariknya.
"Mengapa mencabut pedang, Nona? Bukankah lebih
baik kalau kita bersahabat daripada bermusuhan," ucap
Pendekar Penyebar Asmara lembut dengan senyum memikat.
Pendekar Penyebar Asmara mengulurkan tangan,
menangkap pedang Cendana. Dan, sekali tarik tubuh gadis
itu kembali jatuh ke pelukannya.
Cendana hendak meronta. Tapi seperti juga
sebelumnya, pengaruh aneh yang menyabar dari Pendekar
Penyebar Asmara melarangnya melakukan hal itu. Cendana
pasrah!
Sepasang mata Setan Bongkok berkilat-kilat melihat
hal ini. Laksana seekor burung yang tengah murka, dia
memekik nyaring. Pekikan yang membuat Cendana sadar
kembali ciri kungkungan perasaan aneh Cendana meronta.
Pendekar Penyebar Asmara sedikit pun tidak menahannya,
sehingga gadis itu berhasil melepaskan diri. Wajah Cendana
merah padam.
***
Setan Bongkok melesat ke depan dan berdiri di antara
Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana.
"Menyingkirlah, Nona. Pengaruh aneh yang
ditimbulkan Pendekar Penyebar Asmara terlalu kuat
untukmu," Setan Bongkok memberi nasihat dengan suara
halus.
Cendana yang sudah merasakan sendiri
kenyataannya, melangkah mundur. Dia bergidik
membayangkan dirinya menjadi korban seperti wanita-
wanita lain. Gadis ini berdiri bersandar di dinding gua.
Diperhatikannya jalannya peristiwa yang akan teijadi antara
Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara.
Pendekar Penyebar Asmara tersenyum. Dia tidak
marah dengan kcgagalannya menikmati kegadisan Cendana.
Senyumnya yang memikat bahkan tidak hanya ditujukan
pada Cendana, tapi juga pada Setan Bongkok.
"Kukira kau sudah mati di tangan Gajah Kecil, Sobat,"
ujar Pendekar Ftenyebar Asmara tanpa ada nada permusuhan
sama sekali. "Apakah kau berhasil mengalahkannya?"
"Tidak usah mengalihkan persoalan, Pendekar Bejat!"
bentak Setan Bongkok, keras. "Bersiaplah untuk menerima
hukuman atas kekejian yang kau lakukan!"
"Ha ha ha...!" Pendekar Penjebar Asmara tertawa.
Tidak keras. Cendana harus mengakui kalau tawa pendekar
itu terasa nikmat menyelusup ke dalam dadanya.
"Kekejian yang mana, Sobat? Kau lihat sendiri
kenyataannya., Ftermainan asmara yang kami lakukan
berdasarkan saling suka. Aku tidak pernah memaksa,
meskipun kalau kumau bukan hal yang sulit!"
Setan Bongkok diam. Apa yang diucapkan Pendekar
Penyebar Asmara memang bukan bualan belaka. Ini
membuatnya bingung untuk melakukan tindakan.
"Kuakui apa yang kau katakan itu benar, Pendekar.
Tapi, perlu kau sadari dan mungkin telah kau ketahui
sendiri, perbuatanmu tidak layak dilakukan oleh seseorang
pendekar. Perbuatan yang kau lakukan ini terkutuk!" tandas
Setan Bongkok, tegas.
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak menganggap
perbuatanku terkutuk! Yang kulakukan dengan wanita-
wanita yang menyukaiku adalah atas dasar suka sama suka.
Bahkan, bagi wanita yang mengerti sifatku dan mau
mencintaiku, aku tak segan-segan untuk menjadikannya
istri. Perlu kau ketahui, wanita berpakaian merah yang kau
temui di muka gua adalah istriku. Aku yakin kau
menjumpainya sebelum masuk kemari. Entah apa yang kau
lakukan terhadapnya."
"Tenangkan hatimu, Pendekar. Aku tidak melakukan
apa pun terhadapnya. Aku melesat masuk tanpa dia mampu
mencegahku," beritahu Setan Bongkok.
"Bagus!" puji Pendekar Penyebar Asmara dengan hati
lega. "Karena bila sampai kau melukainya, aku tidak akan
berdiam diri begitu saja. Sekalipun kau mempunyai nyawa
rangkap, tak akan kubiarkan kau hidup!"
Usai berkata demikian, dengan sikap tenang Pendekar
Penyebar Asmara mengayunkan kaki meninggalkan gua.
Tidak kelihatan lelaki ganteng ini berwaspada ketika melalui
Setan Bongkok. Pendekar Penyebar Asmara yakin betul Setan
Bongkok tidak akan menyerangnya. Dan memang, Setan
Bongkok tidak berbuat apa pun untuk mencegah kepergian
Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana yang tidak bisa tinggal diam. Gadis ini
bergerak untuk menghadang. Tapi, tindakan itu segera
dihentikan ketika didengarnya ucapan Setan Bongkok.
"Jangan cegah kepergiannya, Nona. Lupakan saja
kemarahanmu. Jangan sampai kejadian yang kau alami
berulang kembali."
Cendana sampai bergidik mengingat hal itu. Maka,
meski hatinya penasaran bukan main, dibiarkannya
Pendekar Penyebar Asmara meninggalkan tempat itu dengan
senyum menghias bibir. Senyum yang penuh daya pikat!
•k-k-k
Cendana berdiri menengadah 1$ langit dengan kedua
tangan di punggung. Bola matanya tidak bergerak-gerak.
Seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di angkasa.
Padahal, kendati menatap ke langit pikiran gadis berpakaian
kuning ini melayang-layang mengingat semua kejadian yang
dialami.
Segumpal penyesalan masih bergayut di hati Cendana
ketika teringat gurunya. Gadis ini trenyuh mengingat
ketidakberhasilannya memenuhi permintaan nenek baju
hitam itu. Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dibunuhnya!
Pembunuh gurunya pun tidak mungkin dijadikan sasaran
balas dendam. Dua keinginannya kandas!
"Hendak 1$ mana lagi kau pergi, Laras? Setengah mati
kami mencarimu, kau enak-enakan di sini. Tidakkah kau
tahu kami mengkhawatirkan keselamatan mu?!"
Seruan yang terdengar dekat itu membuat Cendana
terkejut bukan main. Apalagi ketika kedua bahunya disentuh
sepasang tangan. Lamunan Cendana buyar seketika. Dengan
cepat ditampiknya sepasang tangan yang menempel di
bahunya. Dan, sambil membalikkan tubuh gadis ini
menyampokkan tangannya ke arah orang yang memiliki
tangan usil itu.
Sang pemilik tangan mengeluarkan seruan kagpt
mendapat serangan tidak disangka-sangka ini. Lelaki berkulit
hitam dengan gigi tonggos ini untungnya masih sempat
melompat ke belakang. Kalau tidak, wajahnya akan porak-
poranda terkena sampokan Cendana yang mampu
menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu
"Manusia kurang ajar...!" seru Cendana keras, penuh
kemarahan. Apalagi ketika serangannya gagal mengenai
sasaran.
Cendana langsung mengirimkan tendangan ke pusar.
Lagi-lagi lelaki tonggos yang bukan lain Tanggur, ayah
Larasati cepat mengplak.
"Hentikan, Nona. Kau salah paham. Aku tidak
bermaksud demikian," beritahu Tanggur sambil mengelak ke
samping sehingga serangan Cendana kembali luput.
Tapi, Cendana tidak menghentikan tindakannya.
Bahkan dia menyerang semakin kalang kabut. Gadis ini tidak
mempedulikan pemberitahuan Tanggur. Kemarahan yang
timbul karena tindakan Tanggur yang dianggapnya kurang
ajar dan Cendana memang tengah uring-uringan,
membuatnya terus mengumbar kemarahan.
Dalam waktu sebentar saja Cendana telah menyerang
beberapa jurus. Tapi, semua dapat dipunahkan Tanggur
tanpa menemui kesulitan. Tanggur bergerak ke sana kemari.
Ia hanya mengelak dan tak sedikit pun melancarkan
serangan balasan. Berkali-kali dari mulutnya keluar ucapan
yang menyatakan kalau kejadian tadi hanya salah paham.
Namun, Cendana tetap menyerang bertubi-tubi
Setelah berlangsung lima belas jurus dan Cendana
terus menyerang. Tanggur sadar penjelasannya sia-sia
belaka. Cendana bukan gadis yang mudah diberikan
pengertian. Cara lain pun terpaksa digunakan. Tanggur
memutuskan untuk merobohkan Cendana. Baru setelah itu
diberikan penjelasan. Mungkin dengan cara itu Cendana
mengerti karena terpaksa mendengarkan penjelasannya.
Sebenarnya bisa saja Tanggur melarikan diri. Dengan
nhgkat kepandaiannya yang berada di atas Cendana,
merupakan hal yang mudah untuknya. Tapi Tanggur tidak
mau melakukan hal demikian. Tindakan itu dianggapnya
perbuatan pengecut, dan melarikan diri hanya menunjukkan
kalau sangkaan Cendana benar adanya.
Pada satu kesempatan, Tanggur mendorong tubuh
Cendana hingga jatuh terjengkang di tanah. Cendana bangkit
dengan cepat. Tapi, Tanggur lebih cepat lagi. Lelaki ini
menyerang dengan sebuah totokan arah bahu kanan lawan.
Cendana kaget. Gadis ini tahu dia kalah cepat
bergerak. Tapi sebelum kejadian yang tak diharap menimpa
Cendana, dari samping melesat sesosok bayangan memapaki
serangan T anggur!
"Sungguh tidak pantas seorang tua menghina yang
muda!" seru sosok bayangan itu.
Plakkk!
Tubuh Tanggur terhuyung-huyung akibat tangkisan
sosok yang menolong Cendana. Lelaki tonggos merasakan
sekujur tangannya sakit.
Di depan Tanggur berdiri membelakangi Cendana,
sosok yang bukan lain Setan Bongkok. Sikapnya tampak
angker bukan main.
"Menyingkirlah, Cendana. Dia bukan lawanmu. Biar
aku yang menghadapinya," ujar Setan Bongkok. "Apa yang
terjadi, Cendana?"
"Dia hendak berbuat kurang ajar padaku!" tandas
Cendana berapi-api.
"Itu tidak benar!" bantah Tanggur. "Hanya salah
paham saja. Aku tidak bermaksud demikian!"
"Kalau tidak hendak berbuat kurang ajar, mengppa
menyentuh-nyentuh bahuku?!" kejar Cendana tak kalah
gertak.
"Kukira kau anakku, Nona," jelas Tanggur. "Potongan
tubuhmu dari belakang mirip sekali dengan Larasati, putriku.
Dia pergi dan belum kembali sampai sekarang. Aku dan
istriku mencari-carinya."
"Alasan! Dusta! Kau memang tua-tua cabul!"
Cendana mebmpat menerjang Tanggur dengan
pukulan bertubi-tubi. Setan Bongkok ingin mencegahnya,
tapi terlambat Cendana telah lebih dulu melesat.
Tanggur kali ini tidak sesabar sebelumnya. Dia telah
terlalu banyak mengalah. Cendana pun mengetahuinya. Tapi,
tetap saja tindakannya kasar dan mulutnya tajam. Tanggur
jadi tidak senang.
Tanpa pikir panjang lagi, dengan niat untuk mem¬
berikan hajaran, serangan Cendana ditangkisnya. Akibatnya,
tubuh gadis itu terjengkang ke belakang dan terbanting di
tanah. Berbeda dengan sebelumnya, Cendana tidak langsung
bangkit. Kedua tangannya yang berbentoran dengan tangan
Tanggur terasa sakit bukan main.
Setan Bongkok berkilat-kilat sepasang matanya.
Lelaki ini sangat marah melihat tindakan Tanggur. Kendati
diakui sikap Cendana sudah kelewatan, tapi tindakan
Tanggur pun dinilai Setan Bongkok terlalu teras!
"Mengandalkan kepandaian untuk melakukan tin¬
dakan tak adil terhadap orang lemah bukan tindakan terpuji.
Aku, Setan Bongkok, tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.
Majulah, Sobat. Lawan aku! Jangan kau tekan gadis yang
bukan tandinganmu itu kalau kau bukan seorang pengpcut!"
Tanggur membusungkan dada. Harga dirinya
tersinggung mendengar tantangan yang diajukan Setan
Bongkok. Dengan sorot mata penuh tantangan ditatapnya
Setan Bongkok.
"Apa boleh buat. Kalau kau memang hendak membela
wanita liar bermulut kurang ajar itu, aku pun, Tanggur
bukan orang berwatak pengecut! Kuterima tantanganmu,
Setan Bongkok!" mantap dan tegas kata-kata yang
dikeluarkan Tanggur.
"Hajar orang kurang ajar itu, Paman Bongkok!" seru
Cendana. Ia bangkit berdiri dan memberi semangat pada
Setan Bongkok.
Mata Setan Bongkok berbinar. Memang hanya sesaat
terlihat, tapi bisa diketahui kalau tokoh aneh ini gembira. Itu
tidak terlalu berlebihan. Sejak pertemuannya dengan
Cendana, sewaktu menobng gadis itu dari tangan Gajah
Kecil, Cendana tidak pernah mengajaknya bicara.
Bahkan ketika mereka melakukan perjalanan berdua
setelah Setan Bongkok menyelamatkan Cendana dari
Pendekar Penyebar Asmara, Cendana juga tidak bicara. Gadis
ini banyak termenung ketika beristirahat. Setan Bongkok
yang tidak mau mengganggunya, meninggalkannya untuk
mencari makanan. Ketika kembali Cendana ternyata telah
terlibat keributan dengan Tanggur. Setan Bongkok pun ikut
campur.
•k-k-k
Ucapan Cendana membuat semangat Setan Bongkok
bergelora. Lelaki ini menerjang Tanggur. Tanggur yang
memang sudah bersiap sedia segera menyambutinya.
Pertarungan antara dua tokoh ini pun berlangsung.
Setan Bongkok ternyata terlalu tangguh untuk
Tanggur. Setelah bergebrak beberapa kali lelaki tonggos ini
segera berada di bawah angin. Setan Bongkok unggul dalam
segala hal. Tidak hanya dalam kecepatan gerak. Tapi juga
tenaga dalam dan mutu ilmu silatnya. Meski demikian,
Tanggur berusaha sekuat tenaga melakukan perlawanan.
Beberapa kali dia terpontang-panting!
Cendana yang melihat keunggulan Setan Bongjeok
kelihatan gpmbira bukan main. Dia bertepuk tangan sambil
tak henti-hentinya memberi semangat.
"Ayo, Paman Bongkok! Hajar lelaki kurang ajar itu!
Gebuk saja pantatnya!"
Hampir Setan Bongkok tertawa karena geli mendengar
ucapan Cendana yang terdengar lucu dan menggelikan.
Semangatnya semakin membara. Gerakan-gerakannya
semakin dahsyat dan menggiriskan.
Tanggur semakin terdesak. Di samping itu, lelaki
tonggos ini juga merasa sakit hati dengan ucapan Cendana.
"Mengapa pantatnya yang disebut-sebut?" rutuk Tanggur
dalam hati.
Di saat keadaan Tanggur semakin mengkhawatirkan
dan lebih sering terbanting ke sana kemari, terdengar
teriakan melengking nyaring dari kejauhan.
"Ayah...!"
"Kak Tanggur...!"
Dua seruan itu keluar hampir bersamaan. Yang satu
berasal dari mulut Larasati. Sedangkan yang satunya lagi
diserukan Nilam Sakini, istri Tanggur.
Ibu dan anak ini masih beijarak tak kurang dua
puluh tombak. Tapi, seruan keras itu telah mereka keluarkan
dan sambil terus berlari mendekat. Di sebelah Larasati dan
Sakini tampak berdiri orang lain, seorang pemuda berpakaian
ungu dengan rambut putih panjang berkibaran. Arya Buana
alias Dewa Arak.
Hampir bersamaan Larasati dan Sakini melompat
menyerang Setan Bongkok yang tengah mendesak Tanggur
dengan hebat. Setan Bongkok mendengus. Kedua tangannya
dikibaskan. Bagaikan diterpa angin teras, tubuh ibu dan
anak itu terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah.
Tanggur menggeram. Lelaki ini marah bukan main
melihat kejadian yang menimpa anak dan istrinya. Namun
sebuah sapuan kaki Setan Bongkok telah melemparkan
tubuhnya. Tanggur masih mampu menunjukkan
keperkasaannya dengan menjejakkan kedua kaki di tanah.
Tanggur tidak menjadi gentar. Lelaki tonggos ini bertekad
untuk terus bertarung sampai tetes darah penghabisan!
Sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat
Tanggur mengurungkan niat itu. Ditolehnya kepalanya ke
belakang. Tidak tergesa-gesa. Sebab, Tanggur tahu orang
yang menyentuh itu tidak bermaksud jahat. Apabila tidak,
saat itu nyawanya sudah melayang!
"Boleh aku mewakilimu untuk menghadapinya,
Paman?" sapa Aiya Buana, yang menyentuh bahu Tanggur.
Tanggur membutuhkan waktu sejenak untuk
mengangguk. Lelaki ini tertegun melihat ciri-ciri pemuda di
hadapannya. Wajah dan potongan tubuhnya pemuda. Tapi,
rambutnya milik orang berusia lanjut!
"Dia memiliki kepandaian amat tinggi, Anak Muda,
Kau harus berhati-hati." Tanggur masih sempat untuk
berpesan. Agak ragu-ragu lelaki tonggos ini menyapa Aiya
sebagai pemuda.
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Paman," jawab Aiya
sopan seraya tersenyum.
Dewa Arak lalu mengalihkan perhatian ke arah Setan
Bongkok. Tokoh ini tidak melakukan tindakan apa pun
setelah T anggur tidak menyerangnya.
Agak jauh ke belakang Setan Bongkok, Cendana
memperhatikan Dewa Arak dengan perasaan lain. Pemuda ini
kelihatan matang dan dewasa karena sikapnya yang tenang
dan rambutnya yang putih. Wajah dan potongan tubuhnya
pun menarik. Cendana mulai menaruh perhatian. Sungguh
amat jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit jika
dibandingkan dengan Setan Bongkok.
7
Setan Bongkok sadar Dewa Arak tidak bisa disamakan
dengan lawan-lawan sebelumnya. Kendati menilik usianya
dia merupakan lawan paling muda dari lawan-lawan tangguh
yang pernah dihadapinya, tapi dari sorot mata Dewa Arak
yang tajam mencorong laksana mata seekor naga dalam
gelap, Setan Bongjrok bisa mengetahui ketangguhan
lawannya.
Bukan hanya Setan Bongkok yang bersikap waspada.
Dewa Arak pun demikian. Untuk sesaat kedua tokoh ini
saling memperhatikan gerak-gerik lawan.
Setan Bongkok yang pertama kali membuka serangan.
Dia melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk
cakar, siap untuk dikirimkan ke arah Dewa Arak dalam
bentuk serangan dahsyat. Kedua kakinya agak didekatkan kc
perut dengan menekuk lututnya.
Dewa Arak melangkah mundur seraya mengangjeat
wajah untuk memperhatikan gerakan lawan. Pemuda ini
melompat agak jauh ke belakang ketika Setan Bongkok
melancarkan serangan bertubi-tubi dalam bentuk sampokan.
Tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan,
Dewa Arak segera menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Setelah beberapa kali mengelak, serangan ba lasan pun
dilancarkan.
Plak, plakkk, plakkk!
Berturut-turut benturan teijadi ketika pertarungan
berlangsung beberapa jurus. Tubuh Dewa Arak terhuyung-
huyung dua langkah. Tapi, Setan Bongkok terhuyung tiga
langkah ke belakang.
Cendana bengong melihat hal ini. Sebaliknya, Larasati
dan Tanggur serta Sakini tampak gembira. Pemandangan
yang terpampang menjadi pertanda kalau jagoan mereka
berada di pihak yang unggul.
Setan Bongkok penasaran bukan main. Seluruh
ilmunya dikerahkan. Tubuhnya bagai tidak pernah menjejak
tanah. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan pekikan
nyaring. Setan Bongkok tidak ingin peristiwa yang
memalukan tadi terulang kembali. Dia tidak ingin Cendana
merasa kecewa.
Tapi, betapa pun besarnya semangat Setan Bongkok
untuk menang, kemampuan yang tertinggi yang menentukan.
Ternyata kemampuan puncak Setan Bongkok masih belum
mampu menandingi Dewa Arak yang mempergunakan ilmu
'Belalang Sakti'. Setan Bongkok tetap tidak mampu mendesak
lawannya.
Di lain pihak, Dewa Arak dapat mendesak Setan
Bongkok. Sementara desakan-desakan lawan dapat
dipunahkan dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Tak sampai lima puluh jurus pertarungan Setan
Bongkok telah dipaksa untuk bertarung mundur. Ilmunya
yang biasa menang dalam mutu sekarang mati kutu. Ilmu
'Belalang Sakti' milik Dewa Arak tidak kalah tinggi mutunya!
Di saat Setan Bongkok terus bergerak mundur tiba-
tiba terdengar geraman keras. Dari bunyi yang tertangkap,
Setan Bongkok dan Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu
sudah pasti manusia. Ia berada di tempat yang jauh dari
mereka.
Geraman itu cukup menarik perhatian. Tidak hanya
Larasati, Sakini, maupun Tanggur. Juga Dewa Arak, Setan
Bongkok, dan terutama. Cendana. Pertarungan antara Dewa
Arak dan Setan Bongkok seketika terhenti.
Tindakan Cendana lebih hebat lagi. Wajah gadis itu
pucat pasi laksana mayat. Tapi, sinar mata dan tarikan
mulutnya menyiratkan kebencian dan dendam. Cendana
menduga pemilik geraman ini adalah pemuda gila yang telah
menewaskan gurunya.
Sesaat tubuh gadis ini menggigil keras seperti orang
terkena demam tinggi. Kemudian, sambil mengeluarkan
keluhan tertahan ia melesat menuju sumber suara geraman.
"Cendana...! Hentikan...!" seru Setan Bongkok Dalam
teriakannya tersirat kekhawatiran yang dalam.
"Sobat, di antara kita tidak pernah ada urusan. Dan,
aku bukan orang jahat. Mungkin aku telah bertindak terlalu
kasar pada kawan-kawanmu. Tapi, itu kulakukan karena
tidak ada pilihan lain. Aku mohon kau biarkan aku pergi
untuk menyusul kawanku agar dia tidak celaka di tangan
orang jahat. Bagaimana?" pinta Setan Bongkok penuh harap.
Setan Bongkok sebenarnya tidak gentar. Bahkan,
andaikata mati sekalipun dalam pertarungan ini. Tapi, dia
tidak ingin Cendana celaka. Apabila pertarungan ini
dilanjutkan mungkin Cendana sudah pergi terlalu jauh dan
dia akan kehilangan jejak. Tidak ada pilihan lain kecuali
meminta kebijaksanaan Dewa Arak.
"Pergilah. Selamatkan kawanmu," timpal Aiya sambil
menyimpan gucinya dan melangkah mundur.
Setan Bongkok menatap Aiya dengan pandangan
penuh terima kasih sebelum membalikkan tubuh dan
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanggur beserta
anak dan istrinya menyaksikan kejadian itu dengan alis
berkerut "Mengapa Dewa Arak membebaskan tokoh jahat
itu?" tanya mereka dalam hati.
•k-k-k
Cendana berlari bagaikan dikejar hantu. Gadis ini
ingin segera tiba di tempat geraman tadi berasal. Geraman
yang diyakininya keluar dari mulut Lesmana. Perasaan benci
membuat Cendana lupa akan nasihat gurunya untuk tidak
membalas dendam.
Setelah berlari beberapa lama, di kejauhan sekitar
delapan tombak di depannya, Cendana melihat dua sosok
tengah berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak. Meieka
memiliki ciri-ciri yang amat aneh. Wajah sosok yang satu
mirip harimau. Sedangkan yang satu lagi mirip kera besar.
Cendana merasa kecewa sekali melihat hal ini. Apalagi
ketika mengetahui geraman itu dikeluarkan kakek berwajah
harimau. Dialah Siluman Harimau. Tokoh sesat yang
memiliki kepandaian amat tinggi.
Kakek yang satu lagi lebih mengerikan dari pada
Siluman Harimau. Kakek ini tidak lain dari Raja Monyet
Bertangan Seribu. Tokoh teratas dalam kelompok Tiga
Binatang Iblis Neraka.
Kendati tahu pemilik geraman itu bukan Lesmana,
Cendana tidak meninggalkan tempat itu. Gadis ini malah
tertarik untuk mengetahui kelanjutan kejadian yang tengah
disaksikan nya.
Tampak oleh Cendana, Siluman Harimau melompat
menerjang Raja Monyet Bertangan Seribu. Serangannya
ganas bukan main. Tapi, dengan gerak kaku Raja Monyet
Bertangan Seribu mengelakkannya. Ketika tangannya
diayunkan secara sembarangan, kakek yang memiliki wajah
mirip kera besar itu berhasil membuat tubuh Siluman
Harimau terhuyung-huyung ke belakang. Padahal, yang
melanda Siluman Harimau hanya angin pukulannya saja!
Cendana membelalakkan mata saking kagumnya
melihat kepandaian Raja Monyet Bertangan Seribu. Meski
melihat gerakan-gerakan Siluman Harimau, gadis ini tahu
kalau tingkat kepandaian kakek itu jauh di atas tingkatnya,
bahkan mungkin tidak kalah dengan Setan Bongkok. Namun
kenyataannya Siluman Harimau bagai seekor semut
bertarung melawan api.
Setelah beberapa kali dibuat permainan lawan, Si¬
luman Harimau mengeluarkan senjatanya. Sepasang cakar
yang memiliki pegangan. Cakar yang terbuat dari baja pilihan
itu pada ujung-ujungnya dibubuhi racun mematikan. Dengan
senjata andalan di tangan Siluman Harimau bagai seekor
harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin
dahsyat.
Siluman Harimau berhasil menyerang selama tiga
jurus. Tapi semua itu berhasil dielakkan Raja Monjet
Bertangan Seribu dengan tanpa kesulitan. Bahkan seperti
sebelumnya, Siluman Harimau dibuat terhuyung-huyung
dengan angin pukulannya. Raja Monyet Bertangan Seribu
lalu mengeluarkan senjatanya. Sepasang kece r!
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan se¬
pasang kecemya dengan pengerahan seluruh tenaga.
Menurut perhitungan akan terdengar bunyi menggelegar yang
luar biasa keras, mengingat kakek ini memiliki tenaga dalam
amat kuat. Namun, tidak terdengar bunyi sedikit pun!
Cendana yang sudah siap untuk menutup telinga
mengernyitkan alis. Heran.
Cendana hampir tak kuat menahan pekikannya ketika
melihat kejadian yang terpampang kemudian. Siluman
Harimau terkesima sebentar. Kemudian, tertawa terbahak-
bahak. Demikian gelinya sampai tubuhnya terbungkuk-
bungkuk.
Semula Cendana menduga Siluman Harimau
menertawakan serangan Raja Monyet Bertangan Seribu. Tapi
ketika melihat wajah Siluman Harimau, gadis ini mulai
menaruh curiga. Wajah Siluman Harimau seperti bukan
wajah orang yang tengah tertawa. Hanya mulutnya yang
menganga mengeluarkan tawa, tapi wajah dan sinar matanya
tidak! Wajah itu menyiratkan rasa takut yang besar.
Kelihatan tegang bukan main!
Kecurigaan Cendana semakin besar ketika melihat
Siluman Harimau terus saja tertawa seperti tidak
mempedulikan keberadaan Raja Monjet Bertangan Seribu
yang menjadi lawannya. Raja Monyet Bertangan Seribu
sendiri dengan tenang menyimpan kembali kecemya lalu
menyaksikan perbuatan lawan.
Raja Monyet Bertangan Seribu tentu saja melihat
keberadaan Cendana karena medan pertarungan berupa
tanah datar yang luas tanpa ada penghalang sampai belasan
tombak. Tapi, kakek monyet itu bersikap tidak peduli, seakan
Cendana tidak berada di situ. Seluruh perhatiannya
ditujukan pada Siluman Harimau.
Siluman Harimau sendiri terus saja tertawa. Sampai
suara tawanya semakin pelan dan sekujur urat-urat
menonjol di sekitar wajah dan leher. Wajahnya pun merah
padam. Matanya telah mengeluarkan air. Tak lama lagi tokoh
ini akan tewas dengan pembuluh darah pecah dan napas
putus!
Sekarang Cendana mulai merasa ngeri. Gadis ini tahu
Siluman Harimau akan tewas dalam keadaan mengerikan.
Semua itu teijadi akibat berbenturannya sepasang kecer yang
tidak berbunyi itu.
Cendana merasa ngeri. Raja Monyet Bertangan Seribu
ternyata memiliki watak yang luar biasa keji. Sebelum dia
menjadi korban pula, maka dibalikkan tubuhnya. Cendana
mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi
ternyata tidak mudah rencana itu dilaksanakan. Terdengar
oleh Cendana, Raja Monyet Bertangan Seribu menegurnya
dengan suara tanpa kemarahan.
"Mengapa tergesa-gesa, Nona Cilik? Tidakkah kau
ingin menyaksikan pertunjukan ini terus. Belum selesai,
bukan?"
Cendana tidak mempedulikan ucapan itu. Ia tetap
meneruskan maksudnya. Tapi begitu ucapan Raja Monyet
Bertangan Seribu selesai, dia tidak bisa menggerakkan
kakinya. Padahai Cendana ingin berlari sejauh-jauhnya.
Cendana tidak mengerti bagaimana itu bisa teijadi. Dia tidak
merasakan adanya sentuhan jari tangan atau totokan pada
bagian tubuhnya.
Cendana tidak tahu kalau begitu menegur, Raja
Monyet Bertangan Seribu mengambil kecer dan
membenturkannya satu sama lain seperti yang dilakukan
terhadap Siluman Harimau!
"Yang jantan ada, betina pun sekarang datang. Si
jantan telah tertawa. Alangkah baiknya kalau si betina
menangis. Hey, wanita usilan yang terlalu mau tahu urusan
orang, kau akan bersedih untuk menimpali Siluman
Harimau!"
Raja Monyet Bertangan Seribu kembali
membenturkan sepasang kecemya. Tidak terdengar oleh Cen¬
dana. Bahkan terlihat pun tidak. Gadis ini berdiri
membelakangi. Tapi, akibatnya tetap berlangsung
sebagaimana yang dikehendaki Raja Monyet Bertangan Seri¬
bu.
Cendana mampu bergerak kembali. Tapi gadis itu
tidak memanfaatkannya untuk melarikan diri, melainkan
menangis dengan sedihnya sambil menjatuhkan diri di tanah.
Di lain pihak, Siluman Harimau sudah tidak terdengar
lagi suaranya. Tokoh itu telah tergeletak di tanah. Diam tidak
bergerak-gerak lagi Siluman Harimau telah tewas dengan
mulut masih menganga lebar. Pembuluh darahnya telah
pecah!
***
"Khraaak...!"
Pekikan yang mirip burung marah itu terdengar keras
bukan main. Keras dan melengking nyaring. Cendana yang
tengah menangis menggerung-gerung, tapi dengan tidak
adanya kesedihan baik di wajah maupun matanya, langsung
menghentikan tangis. Secepat itu pula Cendana melesat ke
arah orang yang mengeluarkan pekikan. Orang yang tadi
masih beijarak belasan tombak ketika Raja Monyet
Bertangan Seribu mulai membenturkan sepasang keoemya.
Dewa penolong Cendana yang sekarang telah berdiri
di depan gadis itu dalam jarak dua tombak tidak lain Setan
Bongkok! Tokoh yang tertinggal Cendana cukup jauh ini
berhasil menyusul dan menemukan buruannya setelah
tersaruk-saruk cukup lama. Tangis Cendana yang
membuatnya dapat menemukan gadis itu.
Setan Bongkok mengembangkan kedua tangan ketika
Cendana menghambur ke arahnya. Sesaat kemudian, tubuh
mungil itu telah berada di pelukan Setan Bongkok yang
merengkuhnya dengan penuh kasih sayang. Setan Bongkok
malah membelai-belai rambut Cendana.
Cendana adalah seorang gadis manja. Selama ini
nenek baju hitam ke lewat menyayanginya. Boleh dikata,
Cendana hidup dan tumbuh besar dalam limpahan kasih
sayang yang besar. Hilangnya si nenek membuat Cendana
kehausan kasih sayang. Sekarang Setan Bongkok
dirasakannya memberikan kasih sayang itu. Ini membuat
Cendana tidak segera menarik dirinya dari pelukan Setan
Bongkok.
Sebelum munculnya Setan Bongkok, Cendana merasa
ngeri sekali. Gadis ini takut mati dengan cara mengerikan.
Mati karena kebanyakan menangis. Dicobanya untuk
menghentikan tangis atau mengatupkan mulutnya, tapi hai
itu tidak bisa dilakukan. Urat-urat sarafnya seperti bukan
menjadi miliknya lagi sehingga tidak mau diperintah.
"Alangkah mengharukannya pertemuan ini tidakkah
aku merupakan gangguan di sini?" celetuk Raja Monyet
Bertangan Seribu dengan suara khasnya, lembut seperti
orang yang berwatak welas asih dan memiliki sopan santun
tinggi.
Teguran Raja Monyet Bertangan Seribu membuat
Cendana melepaskan pelukan. Dengan muka ditundukkan
dia berdiri diam di tempatnya. Cendana tidak berani
mengangkat wajah, lalu!
"Minggirlah, Cendana. Biar aku yang menghadapi
monyet besar ini." Setan Bongkok menyentuh bahu Cendana
dan mendorongnya ke belakangnya dengan halus.
Raja Monyet Bertangan Seribu tidak kelihatan marah
atau tersinggung, meski dia dimaki monyet besar. Kakek ini
malah tersenyum memperlihatkan gjgi-giginya yang runcing
dan kuning.
"Kau cukup menarik hatiku sebagai lawan, Sobat.
Meskipun bukan tandinganku, biasanya aku tidak bergairah
bertarung dengan orang yang jauh dari tingkatanku. Kau
merupakan kekecualian, Sobat. Pekik yang kau keluarkan
mengingatkan aku pada seorang tokoh penuh rahasia yang
beijuluk Elang Malaikat. Tokoh yang tinggal di daerah
pegunungan ini, tapi tidak pernah ketahuan di mana
tempatnya yang pasti. Aku akan bertempur denganmu!"
"Elang Malaikat? Kau mengpnal tokoh luar biasa itu,
Raja Monyet?" Setan Bongkok mengutarakan rasa ingin
tahunya.
"Mengenalnya? Ha ha ha...! Kau lucu, Sobat. Aku
bukan saja mengenalnya, tapi amat kenal! Aku telah pernah
bertarung dengannya dan berhasil dikalahkan. Elang
Malaikat memang hebat. Aku jumpa dengannya secara tidak
sengaja di saat tengah mencari tempat kediamannya.
Sekarang, ingin kutahu apakah kakek bongkok itu memiliki
ilmu yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Bukan tidak
mungkin ketuaannya telah membuat ilmu-ilmunya
berkurang. Mataku tidak lamur untuk bisa mengetahui kitab
yang tengah dibaca Siluman Harimau adalah kitab milik
Elang Malaikat Seribu Satu Obat Langit Bumi terkenal
sebagai kitab Elang Malaikat"
"Kau pasti tak perlu menunggu lebih lama untuk
mengambilnya, bukan? Aku tahu pasti tokoh-tokoh sesat
seperti kau atau Siluman Harimau tak pernah puas dengan
ilmu-ilmu yang kalian miliki!" tandas Setan Bongkok berapi-
api.
"Apa hubunganmu dengan Elang Malaikat? Aku yakin
ada. Kalau tidak, mengapa kau terlalu mementingkan kitab
palsu itu?"
"Kitab palsu?!" ulang Setan Bongkok. Tokoh itu
kelihatan terkejut bukan main.
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya te rkc ke h sambil
menggaruk-garuk dadanya. Tindakan khas binatang
bertangan panjang itu.
"Ketidaktahuanmu akan hal ini menunjukkan kalau
hubunganmu dengan Elang Malaikat cukup jauh," timpal
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang. "Telah menjadi rahasia
umum kalau Elang Malaikat mempunyai watak yang luar
biasa pelit. Terlebih di dalam ilmu. Tidak pernah ada orang
yang mendapatkan oepretan ilmunya kecuali orang-orang
yang teramat dekat dengannya. Andaikata seorang tokoh
seperti Siluman Harimau berhasil membawa kitab miliknya,
apalagi kitab Seribu Satu Racun Langit Bumi, tidak ada hal
lain kecuali kitab itu palsu!"
"Mana mungkin palsu. Raja Monyet!" tandas Setan
Bongkok, tidak setuju dengan kakek gorilla itu. "Kitab itu
diambil sendiri oleh pelayannya."
Raja Monyet Bertangan Seribu te rke ke h. Nadanya
meremehkan sekali.
"Jangankan terhadap pelayannya, kepada muridnya
sekalipun aku yakin Elang Maiaikat tidak akan menunjukkan
kitab-kitab miliknya. Dia lebih sayang kitab-kitabnya
daripada nyawanya sendiri!"
Setan Bongkok terdiam. Ia tidak memberikan ban¬
tahan sedikit pun.
"Dan lagi," sambung Raja Monyet Bertangan Seribu
"Tokoh-tokoh macam Siluman Harimau mana bisa membawa
pergi kitab itu? Tanpa menemui kesulitan sama sekali Elang
Malaikat akan mengambilnya kembali seandainya kitab itu
asli!"
Setelah berkata demikian, Raja Monyet Bertangan
Seribu melompat menerjang Setan Bongkok. Sepasang
kecemya disimpan. Kakek gorilla ini menggunakan tangan
kosong. Gerak-geriknya kelihatan kaku dan lambat, tapi
ternyata tetap cepat dan kuat!
Cendana segera melompat menjauh. Tapi, tak urung
serempetan angin serangan membuat tubuhnya terguling-
guling. Setan Bongkok sendiri telah melompat ke atas. Dari
sana Setan Bongkok melancarkan serangan balasan!
Gerakannya cepat dan ganas. Kendati demikian, Raja Monyet
Bertangan Seribu yang tampak bergerak lambat mampu
mengelakkan serangannya! Kakek gorilla ini lalu balas
menyerang.
Setan Bongkok harus mengakui Raja Monyet Ber¬
tangan Seribu merupakan lawan tertangguh yang pernah
ditemuinya. Bahkan mungkin lebih tangguh dari Dewa Arak.
Setiap gerakan kakek gorilla ini menimbulkan angin kuat dan
cukup untuk membuat tubuh Setan Bongkok terhuyung-
huyung. Sekitar tempat itu pun dipenuhi gelombang angin
serangan Raja Monyel Bertangan Seribu.
Meski demikian, Setan Bongkok berusaha keras
melakukan perlawanan. Dia berkali-kali memekik nyaring
mengeluarkan ilmu andalan yang mengingatkan orang akan
tingkah laku burung yang tengah murka.
Setan Bongkok tahu Raja Monyet Bertangan Seribu
unggul dalam segala hal. Tenaga dalam, kecepatan, maupun
ilmu silat. Untungnya, di bidang lompat-mebmpat Setan
Bongkok, meski keadaan tubuhnya demikian, mampu
melompat ke sana kcmari dengan lincahnya.
Satu yang dikhawatirkan Setan Bongkok adalah
benturan antara meieka. Sedapat mungkin hal itu
dihindarkannya. Perbedaan tingkat tenaga dalam mereka
terlalu jauh. Akan teijadi hal yang tak menguntungkan pada
Setan Bongkok bila benturan itu teijadi.
Blarrr!
Apa yang ditakutkan Setan Bongkok terjadi juga.
Benturan antara mereka tak bisa dielakkan lagi. Itu terpaksa
dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Setan Bongkok
memapaki sampokan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan
kakinya. Akibatnya, tubuh tokoh aneh ini terpental ke
belakang dan jatuh terbanting keras di tanah.
"Cendana...! Cepat lari,..! Tinggalkan tempat ini.
Cepat...!"
Di saat tubuhnya melayang, Setan Bongkok masih
sempat memberikan peringatan. Cendana hampir menangis
melihat dalam keadaan terjepit Setan Bongkok masih ingat
akan nasibnya, bukan nasib dirinya sendiri. Sikap Setan
Bongkok sama betul dengan nenek baju hitam. Kedua tokoh
itu menyayanginya dan menginginkan keselamatannya.
Untuk pertama kalinya Cendana yang gemar
membantah tidak menentang perintah Setan Bongkok sedikit
pun. Gadis ini melesat dengan kecepatan tinggi meninggaikan
tempat itu.
Setan Bongkok, yang bertepatan dengan melesatnya
Cendana jatuh ke tanah, merasa lega melihat kepergian
Cendana tapi juga sedikit kecewa. Cendana tidak bertimbang
sama sekali tidak ada perasaan berat sedikit pun
meninggalkan dirinya. Bahkan, gadis itu berlari secepat
mungkin. Meski menginginkan Cendana mengikuti
perintahnya, Setan Bongkok akan lebih gembira kalau
Cendana menampakkan perasaan berat untuk pergi. Setidak-
tidaknya bila hal itu dilakukan menjadi pertanda kalau
keselamatan Setan Bongkok dipikirkan gadis itu.
Setan Bongkok tidak bisa berpikir lebih lama karena
Raja Monyet Bertangan Seribu telah menyerbunya. Tokoh
berwajah buruk ini pun kembali berjuang teras untuk
menyelamatkan selembar nyawa. Kali ini lebih sulit dari
sebelumnya. Benturan tadi menyebabkan kakinya sakit dan
sulit digerakkan.
Setan Bongkok sadar nasibnya akan segera diten¬
tukan. Dan, perhitungannya sama sekali tidak meleset Raja
Monyet Bertangan Seribu berhasil menghimpitnya
sedemikian rupa kemudian mengirimkan sampokan tangan
kanan dan kiri secara bergantian
Setan Bongkok yang telah terjepit tidak dapat berbuat
lain kecuali berdiam diri menanti datangnya maut,
Menangkis ia tidak sempat, apalagi mengelak!
8
Wusss!
Deru angin keras meluncur dari samping. Hawanya
panas bukan main. Padahal, pukulan itu sendiri masih
cukup jauh. Serangan jarak jauh itu memotong di tengah-
tengah antara Setan Bongkok dengan Raja Monyet Bertangan
Seribu.
Andaikata Raja Monyet Bertangan Seribu meneruskan
maksudnya, sebelum serangan yang dilancarkannya
mendarat di sasaran akan terlebih dulu terlanda serangan
angin pukulan berhawa panas menyengat itu. Raja Monyet
Bertangan Seribu tidak punya pilihan lain kecuali
membatalkan serangannya. Kakek gorilla ini malah
menambahkannya dengan melompat ke belakang.
Sekejap kemudian, melesat sesosok bayangan ungu.
Di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh lagi. Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini menatap Setan
Bongkok sebentar, lalu mengalihkan perhatian pada Raja
Monyet Bertangan Seribu.
"Ternyata dunia ini sempit, Anak muda," Raja Monyet
Bertangan Seribu berkata setengah berfilsafat "Belum lama
kita bertemu sekarang sudah bersua lagi di sini. Mungkin
sudah menjadi jalan nasib kita untuk meneruskan
pertarungan yang waktu itu belum tuntas."
Dewa Arak tersenyum pahit.
"Dan, senantiasa di setiap pertemuan kita kulihat kau
selalu membuat keonaran, Raja Monyet!" tandas Dewa Arak.
Raja Monyet Bertangan Seribu tertawa lembut.
"Siang malam. Ada gelap ada terang. Disebut
pendekar karena adanya penjahat. Tanpa adanya orang yang
selalu menyebar kejahatan mana mungkin orang-orang
seperti kau mendapat nama harum sebagai seorang yang
berada di jalan lurus dan gemar menegakkan kebenaran.
Seharusnya kau berterima kasih terhadap golonganku, Anak
Muda. Tanpa adanya kami mana mungkin kau akan
memperoleh nama harum?"
"Kurasa tidak ada gunanya perdebatan ini diteruskan,
Raja Monyet. Atau, kau memang lebih gpmar berbicara dari
pada bertarung?"
Sambutan Raja Monyet Bertangan Seribu adalah
sambaran kedua tangannya yang memiliki ukuran panjang di
atas tangan manusia umumnya. Kakek gorilla ini memang
memiliki ilmu silat yang sebagian besar bertumpu pada
kedua tangan. Jarang sekali kakinya dipergunakan untuk
menyerang.
Dewa Arak tak ragu-ragu lagi untuk menyambutnya
dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi
andalannya. Dua tokoh lihai ini sesaat kemudian telah
terlibat dalam pertempuran dahsyat!
Setan Bongkok menghela napas berat. Sungguh tidak
disangka nyawanya akan tertolong oleh Dewa Arak. Semakin
bertumpuk budi yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu
terhadapnya. Entah bagaimana Dewa Arak bisa berada di sini
dalam waktu yang tepat dan cepat Atau, pemuda berpakaian
ungu ini mengikuti peijalanannya?
Setan Bongkok tidak perlu berpikir lebih lama untuk
menemukan jawabannya. Di kejauhan dilihatnya Cendana
melesat cepat menuju tempat ini. Pasti Cendana yang
memberitahukan hai ini pada Dewa Arak, duga Setan
Bongkok.
"Syukur kau berhasil selamat, Paman Bongkok," ujar
Cendana sambil berlari mendekat. Tak sabar menunggu
dirinya lebih dekat dengan Setan Bongkok yang sekarang
telah berdiri tegak. "Aku sudah khawatir sekali usahaku akan
terlambat "
Setan Bongkok tersenyum. Senyum yang lebih pantas
disebut seringai.
"Jadi, kau yang menyebabkan pemuda itu sampai di
sini dan menolongku pada saat yang tepat?" Setan Bongkok
berusaha mencari kepastian mengenai dugaannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Paman Bongkok,"
Cendana memberikan jawaban sambil menundukkan kepala.
Ia merasa bersalah telah meminta pertolongan pada orang
yang semula justru menjadi lawan tarung Setan Bongkok.
"Aku rela kau marahi daripada harus kehilanganmu, Paman.
Kaulah yang selama ini melindungiku. Tanpa adanya kau
mungkin aku telah celaka. Cukup sudah aku kehilangan
Guru. Aku tidak ingin kau pun pergi dari sisiku."
Sepasang mata Setan Bongkok mengerjap beberapa
kali untuk mencegah runtuhnya air mata. Fterasaan haru
melanda hatinya Kini dia mengerti mengapa tadi Cendana
berlari bagai dikejar hantu. Rupanya, untuk mencari
pertolongan! Agak menyesal Setan Bongkok karena telah
menduga jelek terhadap Cendana.
Memang Cendana bernasib baik. Tepat pada saat dia
tiba di tempat semula dirinya terlibat keributan dengan
Tanggur. Dewa Arak baru hendak berpamitan meninggalkan
keluarga Tanggur. Berkumpulnya lagi Tanggur bersama anak
dan istrinya menjadi alasan Aiya untuk selekasnya berpisah
dengan Larasati. Aiya melihat adanya benih-benih asmara
dalam hati gadis itu. Dan, Aiya tidak ingin perasaan suka
Larasati terhadapnya semakin membesar.
Seperti dugaan Dewa Arak, Larasati terlihat
keberatan. Tapi, sifatnya yang tenang membuat gadis itu
berdiam diri saja. Ia tidak mengajukan keberatannya. Saat
itulah Cendana datang membawa kabar mengenai ancaman
maut terhadap Setan Bongkok. Aiya jadi mempunyai alasan
kuat untuk meninggalkan tempat itu.
Karena keadaan sudah gawat, demikian menurut
penuturan Cendana, Aiya berlari mendahului agar tidak
terlambat. Usaha pemuda berambut putih keperakan itu
ternyata berhasil. Setan Bongkok berhasil diselamatkannya.
"Aku tidak marah, Cendana. Malah sebaliknya,
berterima kasih sekali atas usahamu. Aku terlalu rendah
untuk mendapatkan pertolonganmu, Cendana. Aku orang
yang telah berlumuran darah dan dosa. Tidak pantas untuk
ditolong. Apalagi oleh gadis secantik dan segagah kau!"
Cendana mengibaskan tangan.
"Apa pun katamu, Paman Bongkok. Bagiku kau
merupakan orang yang paling mulia. Akan kuteijang orang
yang berani menghinamu. Orang sedunia boleh
menganggapmu jahat, tapi aku tidak!" lantang dan penuh
semangat ucapan Cendana.
Setan Bongkok tidak kelihatan gembira. Dia bahkan
semakin menundukkan kepala. Terpuruk dalam kesedihan
yang mendera. Karuan saja hal ini membuat Cendana heran.
Tapi sebelum Cendana yang penasaran melihat sikap
Setan Bongkok mendesak lebih jauh, terdengar bentakan-
bentakan nyaring. Kedengarannya berasal dari tempat yang
cukup jauh. Terdengar derap langkah kaki sekejap telah
menyusul. Tidak hanya satu, tapi beberapa pasang.
Setan Bongkok langsung sadar dari cengkeraman
perasaannya. Tokoh ini segpra mengetahui ada orang-orang
berkepandaian luar biasa tinggi tengah menuju 1$ tempat ini.
Cepatnya mereka mendekat, padahal dari teriakan-teriakan
yang terdengar jaraknya masih jauh, telah menjadi pertanda
ketinggian ilmu mereka.
Setan Bongkok bersikap waspada. Dia bertindak
cepat, berdiri di depan Cendana dengan sikap melindungi.
Padahal lelaki ini teiah terluka! Gempuran-gempuran Raja
Monyet Bertangan Seribu yang dahsyat telah melukai bagian
dalam tubuhnya.
Hampir berbarengan dengan pindahnya Setan
Bongkok, melesat tiga sosok yang saling berkejaran. Sosok
paling depan dikenali Cendana dan Setan Bongkok sebagai
Pendekar Penyebar Asmara!
Pendekar Penyebar Asmara berlari sambil membopong
tubuh Mirah, istrinya. Di belakangnya mengejar Kelabang
Merah dan Gajah Kecil.
Setan Bongkok melihat dari sudut mulut Pendekar
Penyebar Asmara menetes cairan merah kental. Kiranya
pendekar ganteng itu telah terluka dalam. Karena telah
terluka, tambahan lagi tengah membopong istrinya, dengan
satu lompatan, Kelabang Merah berhasil mencegah
perjalanan Pendekar Fbnyebar Asmara. Mau tidak mau
Pendekar Penyebar Asmara menghentikan lari.
Sekarang, Ftendekar Penyebar Asmara dikepung dari
dua arah. Pendekar ganteng yang masih bisa tersenyum itu
menurunkan tubuh Mirah. "Menyingkirlah dari sini, Mirah!"
ucapnya lembut tapi penuh tekanan. Terasa jelas nadanya
yang tak menghendaki bantahan
Mirah tahu lawan-lawan suaminya amat tangguh. Dia
pun tidak akan berarti banyak andaikata memberikan
bantuan. Bahaya maut tengah mengancam suaminya.
Dengan terisak Mirah menyingkir.
"Bersiaplah untuk menghadap malaikat maut,
Pendekar Pemadat Wanita!" sentak Gajah Kecil penuh
kegembiraan, karena menyadari sakit hatinya kali ini
mungkin akan terbalaskan.
"Belum tentu, Gajah Kecil!" bantah Ftendekar Penyebar
Asmara. "Andaikata pun aku harus menghadap malaikat
maut, setidak-tidaknya kau akan kubawa serta!"
Ucapan Pendekar Penyebar Asmara ini sebagian besar
hanya berupa ancaman. Saat itu dia telah terluka. Itu teijadi
karena pengeroyokan dua lawannya. Semula Pendekar
Penyebar Asmara berhasil mendesak Gajah Kecil, tapi
Kelabang Merah muncul dan membantu saingan beratnya
itu. Pendekar Penyebar Asmara tak mampu menghadapi
keroyokan mereka. Untungnya, dia sempat kabur sambil
membawa Mirah.
Sayang, lukanya yang semakin parah karena dipaksa
mengerahkan kemampuan untuk terus berlari membuat
Kelabang Merah berhasil menghadangnya. Kelabang Merah
yang memiliki watak tidak sabaran langsung menyerang
Pendekar Penyebar Asmara dengan ilmu andalan.
Gajah Kecil tidak bisa tinggal diam. Dengan
gelindingan yang menjadi ciri khasnya, dia ikut ambil bagian.
Sebentar saja Pendekar Penyebar Asmara telah dikeroyok dan
langsung terdesak.
Setan Bongkok tidak bisa berpangku tangan melihat
hal ini. Meski sebenarnya kurang suka dengan Pendekar
Penyebar Asmara, lelaki ganteng itu tengah diperlakukan
tidak adil. Dikeroyok. Terlepas dari sifat pendekar itu yang
jelek, Pendekar Penyebar Asmara adalah seorang tokoh
golongan putih yang sejak bertahun-tahun lalu menentang
kejahatan! Nama dan tingkat kepandaiannya tidak berada di
bawah tingkat kepandaian salah satu anggota Tiga Binatang
Iblis Neraka. Pendekar Penjnbar Asmara berada di atas
tingkatan tokoh-tokoh seperti Siluman Harimau atau Mayat
Sejuta Bunga.
Maka, melihat Pendekar Penyebar Asmara didesak
hebat, Setan Bongkok teijun dalam kancah pertarungan. Dia
menyerang Gajah Kecil! Dengan terjunnya Setan Bongkok di
tempat itu teijadi tiga kancah pertarungan.
Pertarungan yang paling dahsyat berlangsung antara
Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu. Ilmu tokoh
tertinggi dalam kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka ini
memang luar biasa. Dewa Arak kendati telah menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti' masih juga kewalahan menghadapinya.
Apalagi ketika Raja Monyet Bertangan Seribu
menggunakan sepasang kecemya. Dewa Arak sempat
kelabakan. Benturan kecer lawan yang tidak berbunyi tapi
menimbulkan akibat-akibat dahsyat sempat
membingungkan nya.
Tingkat penguasaan tenaga dalam Raja Monyet
Bertangan Seribu memang telah mencapai puncak. Itu masih
ditambah lagi dengan seperti adanya hubungan batin antara
kakek gorilla itu dengan senjatanya. Kedua hal itu membuat
Raja Monyet Bertangan Seribu mampu menyalurkan
keinginannya terhadap lawan lewat benturan sepasang
kecemya. Menotok lumpuh, menidurkan, membuat lawan
menangis, atau tertawa.
Dewa Arak sempat dibuat menangis. Untungnya,
berkat pengalamannya yang banyak, pemuda berambut putih
keperakan ini segera sadar dan mengusir pengamh tak wajar
itu dengan teriakan nyaring. Setelah itu setiap kali lawan
membenturkan keoer, Dewa Arak berkumur-kumur dengan
araknya. Bunyi kumur-kumur itu menangkal pengamh
benturan keoer yang tidak bersuara.
Berbeda dengan pertarungan Dewa Arak dengan Raja
Monyet Bertangan Seribu yang tetap berlangsung sengit,
pertarungan Ftendekar Ftenyebar Asmara dan Setan Bongkok
menghadapi lawan lawannya mulai menghadapi puncak!
Lawan-lawan Ftendekar Penyebar Asmara dan Setan
Bongkok lebih menguntungkan. Mereka belum terduka.
Apalagi tidak diambil jalan nekat, pertarungan lambat-laun
akan dimenangkan kedua tokoh sesat itu.
Pendekar Penyebar Asmara dengan tingkat ke¬
pandaiannya yang hampir sejajar dan menarahkan seluruh
kemampuan terakhirnya segera membuat lawannya tersudut,
hingga tidak bisa berbuat apa pun kecuali menangkis.
Pendekar Penyebar Asmara menggunakan kesempatan ini
untuk melancarkan serangan yang mengadu nyawa!
"Kak...!" sem Mirah melihat tindakan yang diambil
Pendekar Penyebar Asmara. Wanita ini kaget bukan main.
"Paman Bongkok...! Jangan...!" Cendana berseru
penuh kekhawatiran pula ketika melihat Setan Bongkok,
dengan mengandalkan ilmunya yang istimewa, mengirimkan
serangan mengadu nyawa yang menutup semua jalan keluar
bagi Gajah Kecil.
Maksud Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar
Asmara memang tidak sia-sia. Gajah Kecil dan Kelabang
Merah demi untuk menyelamatkan nyawa memapaki
serangan itu dengan seluruh tenaga mereka.
Bresss! Blarrr!
Dua benturan keras yang membuat sekitar tempat itu
bagai dilanda gempa bumi pun terdengar. Tubuh empat
tokoh yang bertindak nekat itu berpentalan ke belakang
sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati!
Dengan berteriak kaget dan khawatir, Mirah serta
Cendana meluruk 1$ arah tubuh Setan Bongkok dan
Pendekar Penyebar Asmara. Kekhawatiran mereka meledak
menjadi kesedihan ketika mendapati tubuh kedua tokoh
perkasa itu tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya!
Dari mulut, hidung, telinga, bahkan mata Pendekar
Penyebar Asmara dan Setan Bongkok mengalir darah segar.
Di tempat yang terpisah, belasan tombak jauhnya, Gajah
Kecil dan Kelabang Merah pun menemui ajal! Keadaan
mereka tidak berbeda dengan Setan Bongkok.
Akibat benturan teras itu, pertarungan Dewa Arak
dan Raja Monyet Bertangan Seribu terhenti. Keduanya lebih
tertarik untuk memeriksa keadaan tokoh-tokoh yang
bertindak nekat itu.
Raja Monyet Bertangan Seribu tercenung melihat
mayat dua orang saingannya. Sementara Dewa Arak hanya
memandangi dua wanita yang tengah berduka. Pandang mata
Arya yang tajam melihat adanya keanehan pada mayat Setan
Bongkok.
Arya menegasi lebih seksama. Ternyata tidak salah.
Ada bagian wajah Setan Bongkok, pada kening sebelah kanan
terdapat kulit yang berbeda dengan sekitarnya.
Arya menghampiri dan duduk bersimpuh. Setelah
melempar senyum duka pada Cendana, diulurkan tangannya
memeriksa selebar wajah Setan Bongkok. Cendana yang
bingung melihat tingkah Arya memperhatikannya dengan
setengah hati. Dia masih terlalu sedih untuk memikirkan hal-
hal lain
Aiya tidak hanya memeriksa wajah, tapi juga leher
dari kulit tubuh lainnya. Tidak sulit bagi Aiya untuk
mengetahui kalau Setan Bongkok tidak setua kelihatannya.
"Dia memakai topeng, Nona. Mungkin kau, sebagai
orang yang paling dekat dengannya ingin mengetahui siapa
dia sebenarnya? Hidupnya pasti menyedihkan sehingga dia
harus bersembunyi di balik topeng." beritahu Aiya.
Cendana tidak langsung menanggapi pemberitahuan
Aiya. Dia masih dibalut kesedihan. Membutuhkan waktu
yang cukup untuk mencerna kata-kata Aiya. Kepalanya
terasa pusing hingga tidak bisa diajak berpikir. Bahunya pun
masih terguncang-guncang oleh tangis yang siap meledak.
Kemudian, dengan tangan gemetar Cendana
mengikuti anjurah Aiya. Dia pun melihat kalau Setan
Bongkok ternyata mengenakan topeng. Kulit yang berbeda di
kening kanan itu adalah kulit asli. Mungkin kulit topeng
terkoyak akibat pertarungan.
"Aaa...!"
Cendana mengeluarkan jeritan tertahan ketika
melihat wajah lain di balik topeng itu. Wajah yang amat
dikenalnya. Wajah Lesmana! Hanya saja wajah itu tidak
beringas seperti dulu. Lembut. Sinar sepasang matanya pun
tampak lembut.
Cendana kaget bukan main. Sepasang matanya
membelalak lebar. Mulutnya pun menganga seperti orang
melihat hantu. Beberapa saat dia bersikap demikian, sebelum
akhirnya dengan mengeluarkan keluhan tertahan, gadis itu
roboh ke tanah. Cendana pingsan! Dia tak kuat menahan
guncangan batin yang bertubi-tubi itu.
Dewa Arak dan Mirah terkejut melihat kejadian yang
menimpa Cendana. Untung, Aiya sempat menyambut
sebelum tubuh Cendana ambruk ke tanah.
Pada saat itu Raja Monyet Bertangan Seribu rupanya
berhasil menguasai perasaannya. Dengan langkah lebar
dihampirinya Dewa Arak untuk diajak bertarung kembali!
Aiya kaget. Apalagi ketika melihat Raja Monjet
Bertangan Seribu mengeluarkan keoer. Saat itu tangannya
tengah memondong tubuh Cendana. Dewa Arak tidak punya
kesempatan untuk bertindak.
Tepat di saat Raja Monyet Bertangan Seribu
membenturkan keoer, mendadak saja, entah datang dari
mana di tempat itu telah berdiri seorang kakek yang luar
biasa pendek. Kepalanya botak mirip tuyul. Tanpa berkata
apa pun kakek ini bertepuk tangan.
Seperti juga kecer, tepukan tangan kakek cebol tidak
berbunyi. Tapi, akibatnya sepasang kecer Raja Monyet
Bertangan Seribu hancur berkeping-keping. Tubuh Raja
Monyet Bertangan Seribu sendiri terjengkang ke belakang
sambil memuntahkan darah segar.
"Kali ini aku mengaku kalah lagi, Elang Malaikat Tapi
kelak aku akan kembali," rutuk Raja Monyet Bertangan
Seribu. Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat
itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ujar Dewa
Arak dengan tersenyum.
Kakek cebol tidak menyambuti. Dipanggulnya tubuh
Setan Bongkok alias Lesmana.
"Dia muridku, Anak Muda. Untuk membenrinya
pengalaman aku pura-pura terluka parah ketika Mayat
Sejuta Bunga dan Siluman Harimau kupergoki mencuri
kitab. Padahal, luka-luka yang kuderita hanya sandiwara
saja. Demikian pula kitab yang dicuri. Hanya kitab palsu.
Aku memang membiarkan diriku dipukul oleh mereka.
Sungguh tidak kusangka kalau perkembangannya akan jadi
demikian jauh. Muridku dibuat gila oleh Mayat Sejuta Bunga.
Maksud tokoh itu untuk dijadikan budak. Malang, dia malah
tewas diamuk muridku. Untung aku segera mengobatinya
sebelum angkara murka yang ditimbulkan muridku
bertambah." Arya sempat termangu. Kakek itu kelihatan acuh
saja.
"Sayangnya, muridku telah membuat guru gadis itu
tewas. Untuk menebus kesalahan dia mencoba menjadi
pelindungnya. Tentu saja untuk itu dia harus menyamar.
Namun, segalanya harus berakhir seperti ini." Kakek cebol
yang ternyata Elang Malaikat, mengakhiri ceritanya.
Tanpa permisi lagi, Elang Malaikat kemudian melesat
meninggalkan Dewa Arak. Angin bertiup sepoi-sepoi. Aiya
menatap kepergjan si kakek dengan tubuh Cendana masih
dibopongnya.
Tunggu serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode:
PUTRI TERATAI MERAH
SELESAI
Emoticon