1
Hujan turun begitu deras, bagai ditumpah-
kan dari langit. Angin berhembus kencang menya-
pu apa saja yang dilalui. Sesekali kilat menjilat
angkasa, membuat yang semula gelap gulita men-
jadi terang-benderang meski hanya sekilas. Alam
seperti tengah murka. Malam yang gelap pekat
Keadaan demikian seperti tidak dipeduli-
« kan oleh sebuah kereta sederhana yang ditarik
kuda hitam tinggi besar. Pengendaranya adalah
seorang lelaki kekar bertelanjang dada. Tanpa
henti-henti cambuknya dilecutkan, membuat kuda
penarik kereta terus berlari semakin cepat. Bunyi
lecutan cambuk senantiasa terdengar, tapi nyaris
tertindih oleh suasana alam yang tengah menga-
muk.
Kelihatannya sang kusir ingin segera mela-
kukan perjalanan secepat mungkin. Kendati demi-
kian, keadaan alam yang tidak bersahabat dan ta-
nah lunak karena hujan, membuat perjalanannya
terhambat
"Masih jauhkah perjalanan kita, Gempita?!"
Terdengar suara serak dan parau dari da-
lam kereta, berusaha menyeruak riuh-rendahnya
bunyi air hujan dan desir angin yang keras.
"Tidak! Sebentar lagi pun kita akan sam-
pai...!" teriak sang kusir tidak kalah keras.
Kusir yang dipanggil Gempita memiliki
cambang bauk lebat itu terlihat ketika alam terang
benderang sejenak oleh kilatan di langit.
Berat dan mantap suara Gempita. Tidak
terlihat gemetar atau tersendat-sendat, seperti
layaknya orang kedinginan! Padahal, saat ini uda-
ra dingin menusuk hingga ke tulang sumsum!
Bahkan lelaki bercambang bauk lebat itu malah
bertelanjang dada!
Tidak terdengar sahutan sama sekali dari
dalam kereta. Rupanya, jawaban Gempita tadi cu-
kup memuaskan hati orang di dalam kereta. Se-
mentara kereta terus melaju terseok-seok melalui
jalan tanah becek
"Kita telah sampai...!" seru Gempita, seraya
menarik tali kekang kudanya.
Tanpa mempedulikan kudanya yang terus
meringkik, lelaki bertelanjang dada dan bercam-
• bang bauk lebat itu melompat. Pada saat yang
hampir bersamaan, dari belakang kereta melompat
sesosok tubuh lain sambil membopong sebuah pe-
ti mati!
"Kita harus bertindak cepat..! Kalau ter-
lambat, akan celaka...!" ujar Gempita sambil berla-
ri cepat menuju hamparan tanah luas yang berja-
rak beberapa tombak di depan.
Di belakangnya, mengikuti sosok yang tadi
di dalam kereta sambil membopong peti mati. Si-
nar bulan sepotong cukup menerangi sekitarnya.
Sebuah tempat yang pemandangannya cukup
mendirikan bulu roma. Hamparan tanah itu ter-
nyata tidak kosong sama sekali. Pada beberapa
bagian, tampak gundukan-gundukan tanah. Ya...
tempat ini memang kuburan liar!
Pada bagian lapangan yang tidak terdapat
gundukan, Gempita menghentikan langkahnya.
Cangkul yang tadi diambil dari kereta, langsung
dihunjamkan ke bumi.
"Uhhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru terta-
han ketika ayunan cangkulnya yang sekuat tenaga
bagai tertahan secara mendadak. Ketika meng-
hunjam tanah, hanya sebagian mata cangkulnya
yang amblas, Gempita penasaran bukan main.
Sambil menggertakkan gigi seluruh kekuatannya
dikerahkan, hendak mencangkul kembali. Tapi,
hasilnya sama saja. Rasa penasaran dan heran
mulai berganti rasa takut. Dan dia tetap saja me-
neruskan pekerjaannya.
"Cepat sedikit, Gempita! Jangan main-
main! Waktu kita sedikit. Lihat! Bulan sudah me-
nampakkan diri, dan hujan mulai mereda. Kalau
sampai hujan berhenti dan peti ini belum ditanam,
malapetaka besar akan terjadi!" kata lelaki yang
• membopong peti, berseru tak sabar.
Nada suara lelaki bertubuh kecil kurus ini
menyiratkan kegelisahan yang tidak bisa disem-
bunyikan. Dan memang bukan tanpa alasan dia
memberi teguran. Apalagi, dia tahu, siapa Gempi-
ta. Bukan saja memiliki tenaga dalam luar biasa,
tapi kepandaiannya juga boleh dibanggakan. Jan-
gankan menggali tanah yang telah menjadi lunak
karena tersiram hujan dengan cangkul! Menggali
tanah keras dengan sebatang kayu pun dapat ce-
pat dilakukannya. Tapi sekarang mengapa dengan
cangkul justru pekerjaannya demikian lambat?!
"Aku tidak bermain-main, Marong! Seluruh
kemampuanku telah kukerahkan! Tapi, memang
ada sesuatu yang aneh di sini! Sesuatu yang
membuat tenagaku seperti lenyap!" jelas Gempita,
tanpa menghentikan pekerjaannya.
Jawaban itu membuat laki-laki kecil kurus
yang dipanggil Marong merasa jantungnya seperti
berhenti berdetak. Dia tahu, Gempita tidak main-
main dan berkata benar. Begitu tiba di tempat ini
pun, Marong telah merasa sesuatu yang aneh. Ra-
sa takut tanpa sebab mendadak muncul di ha-
tinya. Bulu-bulu di tubuhnya, terutama sekali di
tengkuk kontan berdiri!
Marong seketika merasakan tenggorokan-
nya kering. Malah dengan susah payah ludahnya
baru dapat ditelan. Keringat sebesar-besar biji ja-
gung mulai mengalir di wajahnya. Padahal, kenda-
ti hujan semakin mereda, udara masih amat din-
gin!
Baik Marong maupun Gempita mulai bisa
menarik napas lega ketika akhirnya lubang yang
hendak digunakan untuk mengubur peti mati se-
lesai digali. Tapi bertepatan dengan itu, hujan
yang sejak tadi telah terus mereda, berhenti sama
sekali.
"Celaka, Gempita! Hujan telah berhenti...!
Usaha yang kita lakukan sia-sia belaka...!" keluh
Marong, tanpa mampu menyembunyikan rasa ge-
lisahnya.
"Nasi telah menjadi bubur, Marong," jawab
Gempita, bernada keluhan. "Kita tidak mempunyai
pilihan lain lagi, kecuali menguburkan peti ini. Ti-
dak mungkin kita bertindak setengah jalan. Mu-
dah-mudahan saja, perkiraan guru meleset!"
Marong tidak berkata apa-apa lagi. Dengan
perasaan dicekam rasa takut, kedua lelaki ini me-
naruh peti mati ke dalam lubang dan mengubur-
kannya.
"Mudah-mudahan saja perkiraan guru me-
leset. Bukankah itu hanya perkiraan saja!" hibur
Marong, seperti untuk diri sendiri.
Marong mulai menjatuhkan gundukan de-
mi gundukan tanah ke dalam lubang. Sebenarnya,
mereka tidak perlu menggunakan kaki, mendorong
gundukan tanah yang tadi berada di sisi lubang
yang baru dibuat. Tapi, mereka tidak mempunyai
pilihan lagi. Tadi, dorongan angin pukulan mereka
untuk pertama kalinya tidak membuahkan hasil,
karena tanah-tanah itu seperti tak ingin bergem-
ing.
"Jangan bicara hal-hal yang menyeramkan,
Marong," tegur Gempita dengan tengkuk terasa
dingin. Sementara bulu-bulu kuduknya terus ber-
diri semakin banyak. Percakapan yang dibuka Ma-
rong semakin membuat memperseram keadaan.
"Aku pun sebenarnya tidak ingin membica-
rakan hal ini, Gempita. Tapi, berdiam diri saja
membuatku tidak enak. Aku bisa mati ketakutan!"
sahut Marong.
"Bisa saja kau buat percakapan lainnya.
Jangan percakapan tentang hal-hal yang membuat
keadaan semakin seram," tangkis Gempita.
Marong diam. Bisa dirasakan kebenaran
ucapan kawannya. Hal ini membuat suasana men-
jadi hening.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda.
Sehingga membuat dua lelaki ini terperanjat kaget
dengan jantung seperti berhenti berdetak. Kalau
saja suasana tidak remang-remang, akan terlihat
wajah masing-masing yang pucat bagai tak dialiri
darah. Rasa takut dan seram, membuat bunyi
yang dalam keadaan biasa seperti berubah lain
dan aneh. Malah sepertinya mampu membuat
nyawa terbang sesaat
Sementara itu ringkikan yang ternyata dari
mulut kuda yang telah membawa mereka ke tem-
pat itu seperti bernada ketakutan. Bahkan setelah
mengeluarkan ringkikan, kuda itu berlari cepat
bagai tengah dikejar sesuatu yang menakutkan,
berikut membawa kereta yang ditariknya.
Kejadian ini membuat Marong dan Gempita
kaget bukan main. Padahal, kuda hitam itu bukan
kuda sembarangan. Tapi, merupakan kuda pilihan
yang amat taat pada majikan. Tapi, mengapa kali
ini sampai berani meninggalkan tempat itu sebe-
lum diperintah?
"Hitam...! Kembali...!"
Gempita berseru keras memanggil kudanya
yang terus berlari membawa kereta. Padahal bi-
asanya, setiap kali diberi perintah, kuda hitam itu
menurut dan mengerti. Tapi, kali ini perintah itu
tidak dipedulikan sama sekali.
"Heran..., apa yang terjadi dengan si Hi-
tam...,?! Tidak biasanya dia beriaku seperti itu...?!"
gumam Gempita kebingungan.
"Sepertinya dia sangat ketakutan, Gempi-
ta," bisik Marong, membuat Gempita terperanjat
Marong sadar kalau ketelepasan bicara.
Karena kata-katanya akan membuat mereka se-
makin ketakutan. Tapi dia tahu, tidak ada gu-
nanya lagi. Karena, perkataannya telah keluar.
Malah kebenarannya tidak diragukan. Si Hitam
memang ketakutan. Tapi, ketakutan terhadap
apa?!
Gempita dan Marong saling berpandangan.
Mereka tahu, binatang mempunyai naluri amat ta-
jam. Bahkan kabarnya, binatang-binatang akan
berteriak ketakutan kalau ada makhluk halus le-
wat. Dengan tingkah si Hitam kali ini?! Gempita
dan Marong sama sekali tidak mempedulikan ka-
lau pakaian bagian bawah mereka mendadak ba-
sah. Dan....
"Gempita...! Lihat..!"
Marong berusaha berseru. Tapi yang keluar
hanya keluhan bagai orang yang tengah sekarat.
Bahkan tangan kanannya yang ditudingkan ke
atas, tampak menggigil hebat
Sementara, Gempita mengarahkan pan-
dangan ke arah yang ditunjuk Marong. Dan wa-
jahnya pun seketika berubah pucat. Bulan tampak
berwarna merah seperti tersiram darah. Bahkan
sekeliling permukaan bulan pun merah membara.
Apa yang mereka takuti ternyata terjadi
"Bulan Merah...," desis Gempita lebih mirip
keluhan. "Berarti malapetaka itu akan muncul.
Cepat kita tinggalkan tempat ini, Marong...!"
Saat itu juga, bagai tengah berlomba lari,
Marong dan Gempita berlari cepat meninggalkan
• tempat ini. Perasaan takut yang amat sangat,
membuat kedua lelaki ini mengerahkan seluruh
kemampuannya.
Baik Gempita maupun Marong merasa lega
ketika berlari beberapa saat, tidak terlihat adanya
tanda-tanda akan adanya sesuatu yang mengejar.
Kendati demikian, karena rasa penasaran dan un-
tuk lebih meyakinkan, kepala mereka menoleh ke
belakang.
Dan mendadak saja jantung Marong dan
Gempita bagai berhenti berdetak, begitu melihat
ke belakang. Ternyata apa yang mereka lihat ma-
sih berupa gundukan tanah yang baru saja dibuat.
Padahal, mereka telah berlari sekian lama! Ketika
kedua pandangan mereka diarahkan ke kaki dan
tanah, baru disadari kalau sejak tadi hanya berla-
ri-lari di tempat.
Rasa takut dan cemas yang mencekam ba-
gai membuat kedua lelaki ini menjadi gila. Lari
mereka pun semakin dipercepat. Tapi kesudahan-
nya tidak berbeda. Sepasang kaki mereka hanya
bermain-main di tempat semula.
Marong dan Gempita terkenal sebagai to-
koh persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan
mereka tahu, kejadian ini tidak wajar. Ada kekua-
tan tak nampak yang tidak dimengerti.
Sebagai tokoh yang telah memiliki kepan-
daian tinggi, Marong dan Gempita tahu kalau ke-
jadian ini hanya dapat dilakukan oleh tokoh ber-
tenaga dalam tinggi hanya dengan menjulurkan
tangan. Tapi, di belakang mereka tidak terlihat
seorang tokoh pun! Jadi, siapa yang telah melaku-
kannya.
Akhirnya, setelah tahu kalau tindakan
yang dilakukan sama sekali tidak berarti, Gempita
dan Marong bertindak nekat. Mereka menghenti-
* kan lari, dan langsung mencabut senjata masing-
masing. Gempita meloloskan goloknya, sedang
Marong mencabut sepasang trisulanya.
"Siapa pun adanya kau, Siluman atau bu-
kan, jangan bertindak pengecut begini. Silakan ke-
luar! Tunjukkan rupamu, Pengecut! Jangan dikira
kami takut mati...!" bentak Gempita keras sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perasaan
takut yang melanda berubah menjadi nekat!
Marong tidak ikut berteriak Tapi, pandan-
gannya beredar ke sana kemari dengan sikap was-
pada. Jantung yang berdetak dalam dadanya dira-
sakan bagai dentum tambur.
Keadaan menjadi hening setelah Gempita
berteriak. Ternyata memang tidak ada sambutan
sama sekali atas seruannya. Suasana jadi terasa
menegangkan bagi Marong dan Gempita. Menung-
gu hal-hal yang tidak diketahui, membuat kete-
gangan memuncak. Bahkan keringat dingin makin
mengalir membasahi sekujur wajah! Padahal, cua-
ca amat dingin menusuk tulang! Dan tiba-tiba....
Blarrr!
Terdengar ledakan yang tidak terlalu keras,
membuat Gempita dan Marong yang tengah tegang
menunggu, kontan terlompat ke belakang. Mereka
terkejut bukan main. Bahkan seketika itu pula,
nyawa dua lelaki perkasa itu bagai melayang ke
alam baka.
Setelah perasaan kaget yang melanda be-
rangsur lenyap, dengan mata terbelalak kaget Ma-
rong dan Gempita menatap ke arah gundukan ta-
nah yang menjadi sumber ledakan keras tadi. Ka-
rena, di situlah tempat peti mati yang dibawa di-
kuburkan! Tampak tanah bergumpal-gumpal ber-
pentalan ke atas ketika ledakan terjadi!
Belalakan mata mereka semakin membesar
ketika dari dalam lubang kuburan yang telah
menganga keluar sesuatu. Mula-mula hanya dua
buah tangan yang mencekal pinggir lubang. Ke-
mudian disusul kepala berwajah pucat dengan
mata bersinar kehijauan mirip mata kucing, liar!
Sehingga membuat wajah itu semakin mengerikan!
"Ambar...," desis Marong dan Gempita
hampir berbarengan. Suara dan sorot mata mere-
ka seperti tidak percaya. Nama yang disebutkan
adalah nama dari mayat dalam peti yang baru saja
mereka kuburkan!
"Hi hi hi...!"
Terdengar tawa mengikik dari sosok men-
gerikan dari lubang kubur yang ternyata seorang
gadis muda. Seram mengiris telinga dan menyayat
jantung.
"Aku memang Ambar. Tapi, bukan Ambar
seperti yang kalian kenal dulu. Kebangkitanku la-
gi, adalah untuk membalaskan semua sakit hati-
ku. Hi hi hi...! Dan, kalian adalah orang-orang
yang pertama kali mendapatkan giliran untuk me-
nerima kematian!" kata sosok mayat hidup yang
bernama Ambar dengan suara menggiriskan.
"Tidak akan semudah itu kau dapat mela-
kukannya, Setan Penasaran!" sentak Gempita
yang telah bangkit keberaniannya. "Justru kaulah
yang akan kami binasakan, untuk tidak bisa
bangkit lagi selamanya!"
Gempita tanpa berpikir panjang lagi segera
melompat menerjang. Goloknya diputar bagai kiti-
ran, kemudian ditusukkan secara cepat ke arah
perut manusia yang telah bangkit dari kematian-
nya.
Zebbb!
Secara telak dan keras, golok Gempita
mengenai sasaran dan menghunjam. Tapi, ternya-
ta Ambar sama sekali tidak menjerit kesakitan.
Gadis ini malah tertawa cekikikan. Tawa yang se-
patutnya tidak keluar dari mulut manusia!
Gempita membaui adanya bahaya. Maka
goloknya yang amblas menembus sampai ke
punggung Ambar segera ditarik kembali. Tapi, hati
lelaki ini mencelos ketika mengetahui senjatanya
tidak bisa ditarik kembali.
Gempita menjadi gugup, sehingga mem-
buatnya kehilangan akal. Dan tiba-tiba Ambar
menggerakkan kepalanya ke depan, membentur-
kan pada kepala Gempita. Dan....
Prakkk!
Gempita tidak bisa mengeluarkan jeritan
lagi, ketika kepalanya hancur berantakan berben-
turan dengan kepala Ambar. Darah bercampur
otak langsung muncrat-muncrat dari kepalanya
yang hancur berkeping-keping! Sebagian dari da-
rah itu malah menempel di dahi dan wajah Ambar
yang terus tertawa kegirangan.
"Gempita...!"
Marong menjerit kaget bercampur marah,
ketika melihat kematian kawannya secara demi-
kian mudah dan mengenaskan! Kejadian itu ber-
langsung cepat, sehingga lelaki kecil kurus ini ti-
dak sempat berbuat sesuatu untuk menyela-
matkan Gempita.
"Kau harus mampus, Siluman Penasaran!
Nyawa kawanku harus kau tebus dengan nyawa-
mu!" dengus Marong.
Ambar berhenti tertawa. Kini sepasang ma-
tanya menatap Marong yang mulai bergerak men-
dekatinya sambil mempermainkan sepasang trisu-
• la. Bunyi mengaung mengiringi gerakan trisula
Meski diliputi marah meluap Marong bersi-
kap hati-hati dan tidak mau sembarangan menye-
rang. Telah disaksikannya sendiri kehebatan
mayat hidup itu. Dia tidak ingin mati konyol se-
perti Gempita. Maka kakinya melangkah hati-hati
mendekati lawannya.
Namun tiba-tiba Marong menghentikan
langkahnya ketika melihat perut Ambar bergolak.
Bergerak turun naik, bergelombang! Ada bunyi
menggelogok seperti air tengah mendidih hebat!
Marong tak tahu, apa yang akan dilakukan mayat
hidup ini.
Tapi, dengan sebentar saja Marong terpaku
selanjutnya diawali teriakan melengking nyaring,
lelaki ini melompat menerjang Ambar. Sepasang
trisula di tangan dikelebatkan bertubi-tubi ke arah
berbagai bagian berbahaya di tubuh mayat hidup
itu.
"Huakh...!"
Pada saat yang sama, dari mulut Ambar
melesat keluar segumpal cairan merah kental, se-
belum serangan Marong tiba.
Marong terperanjat saat gumpalan cairan
merah yang diketahui sebagai darah itu meluncur
cepat, laksana anak panah lepas dari busur, tu-
buhnya tengah berada di udara. Tidak ada pilihan
lain bagi Marong, kecuali menangkis serangan.
Lelaki kecil kurus ini terpaksa membatal-
kan serangannya. Sementara sepasang trisulanya
segera dipergunakan untuk memapak kedatangan
gumpalan darah itu. Marong tahu, meski hanya
gumpalan darah, tapi menilik bunyinya yang ber-
desing nyaring, bisa diketahuinya kalau serangan
itu tak kalah berbahayanya dengan lemparan batu
karang! Apabila mengenai sasaran, akan berakibat
sangat parah. Apalagi bagian yang dijadikan tu-
juan adalah kepala!
Jantung Marong bagai berhenti berdetak,
ketika melihat gumpalan darah itu bagaikan hi-
dup. Sebelum tertangkis trisula, darah itu meliuk
ke bawah bak seekor kelelawar. Hal ini membuat
sepasang trisula yang hendak dipergunakan men-
jepit gumpalan darah, saling berbenturan mener-
bitkan bunyi nyaring. Sementara, gumpalan darah
itu sendiri meluncur deras ke arah leher. Dan....
"Akh...!"
Marong hanya mampu menjerit tertahan
ketika gumpalan darah itu menghantam lehernya.
Tulang lehernya kontan hancur berantakan men-
geluarkan bunyi berderak keras. Begitu ambruk di
tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebe-
lum diam tidak bergerak lagi. Marong tewas me-
nyusul Gempita.
"Hihihi...!"
Ambar yang berupa sosok mayat hidup ter-
tawa cekikikan. Penuh kegembiraan. Dengan pe-
nuh rasa puas, ditatapnya mayat dua orang kor-
bannya.
"Dukun keparat! Setiaji! Kalian pun akan
mengalami nasib seperti dua monyet ini! Kalian
bahkan akan menerima kematian yang lebih men-
gerikan! Tunggulah saatnya! Hi hi hi..!"
Glarrr!
Mendadak saja terdengar bunyi halilintar
yang luar biasa keras begitu Ambar tertawa. Sua-
ranya bagaikan akan menghancurkan persada!
Dan dengan tawa yang tidak terputus-putus, tu-
buhnya melesat meninggalkan tempat itu. Me-
ninggalkan dua sosok mayat yang telah menjadi
korban kebuasannya.
Sementara bulan telah kembali seperti bi-
asa, berwarna kuning keemasan. Langit pun kem-
bali cerah, seakan-akan tadi tidak pernah terjadi
apa-apa. Bahkan bintang-bintang yang sejak tadi
tidak terlihat, seperti saling berlomba untuk me-
nampakkan diri. Awan tebal yang tadi menggan-
tung di langit pun telah sirna ditiup angin.
2
Sang surya mengintip malu-malu di ufuk
timur, mengusir kegelapan malam yang melingku-
pi persada. Kehadirannya disambut kicau riang
burung-burung dan binatang-binatang lainnya.
Bertepatan dengan itu, sesosok tubuh berpakaian
coklat yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya tampak-
nya melesat cepat memasuki hutan kecil. Gera-
kannya cepat bukan main, sehingga sulit dikenali.
"Uh...!"
Sosok berpakaian coklat itu mengeluarkan
keluhan tertahan, seraya menghentikan larinya.
Dan dengan penuh rasa heran, matanya menatap
ke arah jejeran pepohonan yang berada di depan-
nya. Namun yang membuat tertarik sosok yang
ternyata seorang kakek ini bukan pepohonan di
depannya. Laki-laki yang telah tidak mempunyai
sepasang kaki itu menatap heran ke arah mayat
seekor kuda hitam bertubuh kekar dan besar yang
tergolek di tanah dengan kepala hancur!
Kakek berpakaian coklat berlompatan
mendekati bangkai kuda, Gerakannya sama sekali
tidak terlihat mengalami kesulitan, kendati tidak
memiliki kaki lagi. Karena pada kedua ketiaknya
terselip dua batang tongkat penyangga yang ber-
guna sebagai pengganti kaki.
Sepasang alis putih lelaki berusia amat
• lanjut itu bertautan, seperti tengah berpikir keras.
Hanya dengan melihat sekilas, dia tahu kalau ku-
da hitam itu bukan kuda liar. Karena di bagian be-
lakangnya, bersambung dengan sebuah kereta.
Kakek berpakaian coklat ini tidak merasa
heran melihat kuda itu tewas.
Tapi melihat keadaannya yang menge-
naskan, membuat keningnya berkerut Kuda itu
agaknya habis dilanda ketakutan hebat, sampai-
sampai tidak memperhatikan keadaan sekitarnya.
Binatang itu berlari sejadi-jadinya, melewati celah
dua batang pohon. Meskipun cukup untuk lewat
tubuhnya, tapi tidak bisa dilewati kereta yang di-
bawanya. Akibatnya, kereta itu tertahan. Dengan
sendirinya, lari kuda itu tertahan. Dan kakek ini
yakin, kuda hitam itu telah berusaha cukup keras
untuk meloloskan diri sebelum maut menjemput-
nya, melalui tangan kejam orang yang menghan-
curkan kepalanya.
"Sungguh kejam orang yang membunuh-
nya!" desis kakek berpakaian coklat ini penuh pe-
rasaan penasaran, seraya mengarahkan pandan-
gan ke tempat kuda itu berasal.
Tidak sulit bagi kakek ini untuk memasti-
kannya. Karena di samping terjawab oleh arah bi-
natang itu dan keretanya, juga oleh jejak kaki dan
bekas roda kereta yang tampak jelas di tanah be-
cek akibat hujan deras semalam. Dari bekas-bekas
yang ada, memang tidak ada hambatan untuk
mengikuti arah awal kuda hitam itu. Dan semakin
jauh tempat kuda tergeletak ditinggalkannya, se-
makin banyak kerutan pada dahinya.
"Ah...!"
Kakek berpakaian coklat berseru kaget, be-
gitu melihat tempat asal kuda itu berlari. Bebera-
pa tombak di depannya, tampak hamparan tanah
• lapang yang sedikit ditumbuhi rumput mengering.
Pada beberapa bagian, tampak gundukan-
gundukan tanah agak memanjang. Dan tempat ini
memang sebuah makam!
Bukan hanya makam-makam itu saja yang
ada di hamparan tanah lapang itu. Tapi, juga dua
sosok tubuh yang tergolek di tanah dalam keadaan
tewas menyedihkan.
"Ya, Tuhan...!"
Seruan bernada kaget dan penyesalan di-
keluarkan kakek itu, seiring lesatan tubuhnya ke
depan menghampiri dua sosok mayat yang tergo-
lek.
Tanpa memeriksa lagi pun, kakek berpa-
kaian coklat ini telah mengenali dua sosok itu te-
lah jadi mayat. Yang seorang bertelanjang dada
dengan kepala pecah. Sedangkan yang satu lagi
kecil kurus, dengan leher terkulai. Dan tepat pada
bagian lehernya, tampak lubang besar menganga!
Pemandangan ini saja sudah membuat ka-
kek berpakaian coklat terkejut. Dan lebih terkejut
lagi ketika melihat adanya lubang kuburan yang
menganga beberapa tombak dari situ. Maka den-
gan wajah pucat dan tergesa-gesa, dihampirinya
lubang itu. Lalu dengan bertopang pada sepasang
tongkat di ketiaknya, kepalanya dilongokkan ke
dasar lubang.
"Apa yang aku khawatirkan akhirnya terja-
di juga. Tuan Muda terbebas dari kungkungan.
Malapetaka besar akan merajalela di dunia persi-
latan. Ahhh...! Haruskah aku melakukan tindakan
seperti yang diperintahkan tuan besar? Sang-
gupkah aku?!" gumam kakek itu dalam hati.
Kakek berpakaian coklat ini termenung be-
berapa saat di pinggir lubang. Kelihatannya dia
bingung sekali. Bahkan beberapa kali menghela
• napas berat, seperti ada beban yang mengganjal
dalam batinnya.
Dan, setelah menarik napas beberapa kali
untuk menenangkan batinnya, kakek ini melang-
kah tertatih-tatih mendekati sebuah gundukan ta-
nah lain yang lebih besar. Pada bagian tengah ma-
kam ini, tampak sebongkah batu hitam mengkilat.
"Tuan Besar," kata kakek ini dengan kepala
tertunduk hormat. Seakan-akan orang yang dis-
apa berada di depannya. "Apa yang kau khawatir-
kan, akhirnya terjadi. Tuan Muda telah lolos dari
kungkungan. Dan aku khawatir dia akan menye-
bar maut di dunia persilatan. Banyak gadis cantik
yang akan jadi korbannya lagi. Aku mohon restu-
mu, Tuan Besar. Aku akan mencoba memenuhi ti-
tahmu untuk mencegah angkara murka Tuan Mu-
da."
Kakek berpakaian coklat lalu membungkuk
beberapa kali, sebelum berdiri tegak seperti sedia
kala.
"Maafkan aku, Tuan Muda. Aku terpaksa
mengganggu istirahat mu."
Kakek itu menutup ucapannya dengan ti-
upan pelan dari mulutnya. Tapi, yang terjadi ada-
lah hembusan angin keras yang mampu membuat
batu hitam mengkilat sebesar kepala kerbau itu
berpentalan jauh bagaikan dilempar tokoh persila-
tan yang memiliki tenaga raksasa!
Kakek berpakaian coklat ini lalu duduk
bersila, berjarak satu tombak dari makam. Sepa-
sang matanya yang semula sayu sarat dengan pe-
nyesalan, mencorong dengan sinar kehijauan se-
perti mata kucing dalam gelap. Sekejap kemudian,
mulutnya meniup.
Seketika kembali angin keras, berhembus
dari mulut si kakek. Gundukan tanah itu ber-
• goyang-goyang keras. Kian lama kian keras. Bong-
kahan-bongkahan tanah lembek berpentalan ter-
pisah dari gundukannya. Semakin banyak, seiring
tiupan kakek itu. Dan ketika wajah kakek berpa-
kaian coklat telah dibasahi keringat, gundukan
tanah itu sudah tidak nampak lagi. Yang tinggal
hanya lubang besar menganga memperlihatkan
sebuah peti mati di dalamnya.
Kakek ini kemudian menghembuskan na-
pas lega, seraya bangkit berdiri. Dengan memper-
gunakan tongkat yang tadi ditaruhnya di tanah
ketika duduk bersila, dia mulai melangkah.
Tapi baru juga beberapa langkah kakek itu
menghampiri lubang, terdengar bunyi berkesiutan
nyaring dari sebuah benda. Dia tahu pemilik lem-
paran benda itu mempunyai tenaga dalam luar bi-
asa. Kendati demikian, hatinya tidak menjadi gen-
tar untuk memapaknya dengan tongkat yang se-
mula terjepit di ketiaknya.
Sebelum menangkis, kakek berpakaian
coklat masih sempat melihat kalau benda yang
meluncur ke arahnya mirip batu berbentuk agak
bulat, sebesar kepalan tangan. Maka tanpa ragu-
ragu dipapaknya.
Pyarrr...!
Kejadian selanjutnya benar-benar mem-
buat kakek ini kaget bukan kepalang. Ternyata
benda itu meledak, walaupun pelan. Tapi berba-
reng ledakannya, berhamburan benda-benda ha-
lus ke arahnya.
Kejadian yang berlangsung demikian cepat
ini tidak membuat kakek itu gugup. Dan tampak-
nya sepasang matanya awas bukan main. Meski
meluncurnya benda-benda halus yang cepat bu-
• kan main, masih mampu ia lihat kalau itu adalah
jarum yang puluhan jumlahnya!
Kakek berpakaian coklat tidak memiliki ke-
sempatan sedikit pun untuk mengelak. Maka selu-
ruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk
membuat kulit tubuhnya kebal. Tapi belum juga
tenaga dalamnya penuh dikeluarkan, mendadak....
Blammm!
Tiba-tiba terdengar bunyi berdebam nyar-
ing, bagai bunyi halilintar!
Kakek berpakaian coklat ini mengeluh da-
lam hati. Bunyi berdetak keras tadi tidak hanya
membuat telinganya tuli, tapi juga membuat pen-
gerahan tenaga dalamnya buyar. Sekujur tubuh-
nya kontan lemas. Bahkan dia hampir jatuh, ka-
rena tenaga yang tidak tersedia membuat goyah
tongkat yang terjepit di ketiak. Dan saat itulah,
puluhan jarum beracun menghunjaminya!
Seketika itu pula, tubuh kakek ini ambruk
ke tanah. Namun dia tidak putus asa. Dicobanya
untuk bangkit hendak membalas orang yang telah
melakukan penyerangan secara gelap dan licik.
Tapi maksudnya segera diurungkan, karena tidak
mampu melakukannya. Seluruh tenaga dalamnya
seperti lenyap. Bahkan sekujur otot tubuhnya ti-
dak bisa digerakkan lagi. Kaku dan lemas.
Kakek itu tersenyum pahit. Tanpa berpikir
lebih jauh lagi, bisa ditebak kalau pengaruh ja-
rum-jarum beracun dahsyat yang menancap di se-
kujur tubuhnya telah menjalar. Daya kerjanya
demikian cepat, sehingga langsung bisa melum-
puhkan sekujur tubuhnya.
Begitu kakek ini menghentikan maksud-
nya, mendadak terdengar angin berkesiut pelan.
Dan tahu-tahu di dekatnya telah berdiri seorang
kakek tinggi besar berkepala botak. Ciri-ciri seperti
seekor monyet, dengan tubuh dipenuhi bulu. Pada
kedua tangannya tergenggam kecer yang saling di-
benturkan satu sama lain, hingga menimbulkan
bunyi berdentam nyaring.
"Siapa kau? Mengapa melakukan tindakan
sekeji itu terhadapku?!" tanya kakek berpakaian
coklat ini lemah, kendati sebenarnya bermaksud
untuk bertindak tegas.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berkepala botak mirip monyet itu
tertawa bergelak.
"Mungkin kau tidak mengenalku, karena
kesibukanmu melayani orang lain. Tapi aku men-
genalmu. Bukankah kau Wara Kuri, budak ke-
luarga Wiraraja? Tapi tidak apa-apa aku memper-
kenalkan diri, agar kau tidak mati penasaran.
Namaku, Buluk Pitu. Dan kedatanganku kemari
sama dengan tujuanmu. Aku ingin menguasai bo-
cah gila keturunan dari Wiraraja. Ha ha ha...!" ka-
ta laki-laki mirip monyet yang mengaku bernama
Buluk Pitu.
"Iblis Jahanam! Jangan kau kira aku akan
membiarkan saja!" tegas kakek berpakaian coklat
yang ternyata Wara Kuri penuh rasa geram.
"Lalu kau ingin melakukan apa, Wara Kuri?!
Membunuhku?! Silakan! Percayalah, aku tidak
akan melawan sama sekali!" sambut Buluk Pitu,
mengejek.
Wara Kuri hanya bisa mengutuk habis-
habisan. Memang disadari, Buluk Pitu berani
mengucapkan tantangan demikian, karena Wara
Kuri sudah tidak berdaya sama sekali untuk ber-
buat apa-apa. Jarum-jarum itu telah melumpuh-
kan sekujur uratnya. Dan dia hanya tinggal me-
nanti ajal saja!
"Mengapa kau diam saja, Wara Kuri?! Ayo
• laksanakan ancamanmu! Ini dadaku. Pukul. Han-
tam! Pecahkan!" kata Buluk Pitu, semakin mema-
nas-manasi dengan membusung-busungkan da-
danya.
Melihat hal ini, Wara Kuri sadar kalau Bu-
luk Pitu memang hendak mengejeknya habis-
habisan. Kalau menunjukkan sikap tersinggung
atau terpengaruh ejek itu, lelaki tinggi besar mirip
monyet itu akan semakin menjadi-jadi. Maka be-
tapapun panas hati, diredamnya semua amarah
sekuat tenaga.
"Kau boleh berteriak-teriak sampai mulut-
mu keluar kotoran, Buluk Pitu. Tapi aku tidak
akan meladenimu! Hanya satu hal yang menggan-
jal hatiku. Tentu saja kalau kau tidak terlalu pen-
gecut untuk memberi jawaban." pancing Wara Ku-
ri.
Wajah Buluk Pitu kontan merah padam.
Tampak jelas kalau hatinya merasa tersinggung
oleh ucapan Wara Kuri.
"Aku tahu, kau mencoba mencari keuntun-
gan dengan berdalih perkataan pengecut! Tapi,
apa ruginya untuk memberi jawaban pada orang
yang telah dekat liang kubur! Ayo, ajukan perta-
nyaanmu, Wara Kuri! Dan aku akan memberi ja-
waban sampai kau puas!"
Wara Kuri tidak kelihatan gembira men-
dengar Buluk Pitu bersedia memenuhi tantangan-
nya.
"Hanya sebuah pertanyaan tak berarti, Bu-
luk Pitu. Dari mana kau tahu mengenai putra
Tuan Besar Wiraraja. Kau tahu, hal itu amat dira-
hasiakan! Hanya keluarga saja yang tahu."
Buluk Pitu tertawa terkekeh. Kemudian
dengan suara berbisik, diberitahukannya orang
yang dimaksud.
"Tidak mungkin...!" sentak Wara Kuri ter-
bata-bata, ketika Buluk Pitu selesai memberi ja-
waban. "Aku tidak percaya! Kau bohong...!"
Buluk Pitu hanya mengangkat bahu den-
gan sikap tidak peduli.
"Aku tidak peduli apa pun tanggapanmu,
Wara Kuri. Yang jelas, aku telah mengatakan yang
sebenarnya. Mau percaya atau tidak, terserah.
Sayang sekali aku tidak bisa menemanimu lama-
lama di sini. Aku masih punya urusan yang lebih
penting. Mungkin kau tahu, apa yang harus kula-
kukan. Benar, Wara Kuri. Mengendalikan bocah
gila majikan mudamu dengan mayat tuan besar-
mu!"
"Demi Tuhan, Buluk Pitu. Jangan lakukan
itu!" teriak Wara Kuri meski yang terdengar hanya
seruan lemah. "Jangan ganggu makam Tuan Be-
sarku!"
Tapi, Buluk Pitu tidak mempedulikan se-
ruan Wara Kuri. Kakinya malah melangkah lebar,
menghampiri kuburan yang telah menjadi lubang
menganga. Setibanya di pinggir lubang, kaki ka-
nannya dihentakkan.
Wara Kuri hanya bisa mengeluh panjang
pendek, ketika melihat dari dalam lubang melesat
keluar sebuah peti mati hitam yang telah bercam-
pur gumpalan-gumpalan tanah.
Dengan gerakan bagai menangkap segum-
pal kecil daun kering, Buluk Pitu mengulurkan
tangan, menangkap peti mati itu. Kemudian sete-
lah melepas tawa dan senyum mengejek pada Wa-
ra Kuri, tubuhnya melesat meninggalkan tempat
itu.
"Buluk Pitu, kembalikan...! Kembalikan,
Buluk Pitu...!"
Wara Kuri merintih-rintih. Dan akhirnya
kedua tangannya didekapkan pada wajah ketika
melihat tubuh lelaki botak itu tidak berada di situ
lagi. Hatinya benar-benar merasa terpukul bukan
main melihat peti mati tuan besarnya dibawa ka-
bur Buluk Pitu. Dalam waktu berturut-turut dua
makam yang berada dalam penjagaannya telah be-
rantakan!
"Maafkan kebodohan ku, Tuan Besar. Aku,
orang tua bodoh. Aku tak mampu memenuhi
amanat. Aku lebih pantas mati...!"
Wara Kuri lantas mengambil ranting kering
dan runcing yang berada di dekatnya. Dengan si-
sa-sisa tenaga yang dimiliki, dihunjamkan ranting
itu ke tenggorokannya. Tapi....
"Trakkk!"
Wara Kuri memekik tertahan, ketika rant-
ing di tangannya terlempar jauh tersambar oleh
sebutir tomat sebesar buah ceremai. Benturan
bahkan mampu membuat tangannya terlempar ke
sisi pinggang!
"Hanya orang pengecut yang melakukan
tindakan bodoh seperti itu!"
Berbarengan terdengarnya seman yang di-
keluarkan bernada tajam dan penuh teguran, di
depan Wara Kuri telah berdiri seorang pemuda be-
rambut putih keperakan. Sinar matanya tampak
penuh dengan teguran.
Wara Kuri balas menatap. Dua pasang ma-
ta yang sama-sama tajam pun bertemu. Tapi
hanya beberapa saat, karena Wara Kuri langsung
menundukkan kepala.
Kakek berpakaian coklat ini tak kuat ber-
lama-lama beradu pandang dengan pemuda tam-
• pan berpakaian ungu itu. Bukan karena sinar ma-
ta pemuda itu 4 lebih tajam, tapi karena sinar tegu-
ran dan penyesalan dalam pandang mata pemuda
itu yang ditujukan terhadapnya. "Aku khilaf, Anak
Muda. Ahhh...! Hampir saja aku melakukan tinda-
kan bodoh untuk yang kedua kalinya. Terima ka-
sih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak campur
tangan, bagaimana aku nanti berhadapan dengan
Tuan Besarku di akherat?!" keluh Wara Kuri.
Sinar mata pemuda berpakaian ungu itu
melembut. Namun sesaat kemudian malah terbe-
lalak lebar, ketika melihat pukulan jarum yang
menancap di sekujur tubuh Wara Kuri. Tapi, ka-
rena sibuk dan terlalu memusatkan perhatian pa-
da tindakan kakek ini, pemuda itu tidak melihat
hal-hal lainnya.
"Kau..., keracunan Kek. Jarum-jarum itu
beracun!" seru pemuda berpakaian ungu itu, kaget
bercampur khawatir.
Jarum-jarum berwarna hitam bersemu ke-
hijauan. Sementara wajah Wara Kuri yang mulai
mengelam, membuat pemuda itu langsung tahu
kalau kakek berpakaian coklat ini tengah menderi-
ta keracunan.
Wara Kuri tersenyum pahit.
"Tidak perlu repot-repot menolongku, Anak
Muda. Aku yakin nyawaku tidak akan tertolong la-
gi. Racun ini luar biasa sekali," ucap Wara Kuri
tenang, ketika melihat pemuda berambut putih
keperakan itu sibuk memeriksanya.
"Mungkin kau benar, Kek," sambut pemu-
da berpakaian ungu. "Tapi, hal ini tidak pantas
untuk dijadikan alasan tindakanmu yang tak pan-
tas itu! Allah mengaruniai kita kehidupan. Lantas
mengapa harus disia-siakan? Apalagi dengan tin-
dakan bodoh seperti itu." kata pemuda itu, bijak-
• sana.
"Aku tidak sepengecut itu, Anak Muda.
Meskipun memang harus kuakui kalau tindakan
yang hampir saja kulakukan, merupakan bukti
nyata sikap pengecutku."
"Mengapa kau mencoba untuk membunuh
diri, Kek?! Apakah kau mempunyai alasan lain-
nya?!" tanya pemuda itu.
Wara Kuri mengangguk sambil tersenyum.
Tapi pemuda berpakaian ungu ini tahu senyum itu
tidak keluar dari hati yang gembira.
"Boleh kutahu masalah yang tengah kau
hadapi, Kek?!" tanya pemuda itu hati-hati.
Wara Kuri tidak langsung menjawab. Dia
malah menatap pemuda itu lekat-lekat
"Pertanyaan itu tidak perlu dijawab seka-
rang, Kek. Sekarang yang lebih penting adalah
menyelamatkan nyawamu," ujar pemuda beram-
but keperakan itu.
Tanpa menunggu tanggapan Wara Kuri,
pemuda itu mengambil guci perak yang tersampir
di punggungnya. Dan dengan kedua tangannya,
mulut guci itu didekatkan ke mulut si kakek.
"Minumlah ini, Kek. Mudah-mudahan saja
bisa melenyapkan keganasan racun yang tengah
menggerogoti nyawamu," ujar pemuda itu lagi.
Wara Kuri menatap wajah pemuda di de-
pannya lekat-lekat. Dia berusaha mencari kesung-
guhan dalam ucapan pemuda berambut putih ke-
perakan itu. Hatinya merasa tindakan pemuda itu
amat janggal. Tubuhnya tengah keracunan hebat
yang mungkin akan merenggut nyawanya. Tapi,
malah ditawari minum arak dengan harapan agar
bisa sembuh! Apakah ini bukan sebuah ejekan?!
Wara Kuri akhirnya mengalah. Pandangan
matanya yang telah kenyang makan garam kehi-
• dupan, langsung bisa melihat adanya kesunggu-
han. Baik dalam sikap, maupun suara pemuda be-
rambut putih keperakan ini. Maka akhirnya ditu-
ruti juga kemauan pemuda itu. Hati kecilnya sem-
pat meragukan kewarasan akal pemuda itu.
"Gluk... gluk... gluk...."
Terdengar bunyi tegukan beberapa kali, ke-
tika arak dari guci perak itu berpindah ke dalam
perut Wara Kuri.
"Sekarang kau istirahat saja dulu, Kek.
Mudah-mudahan saja nyawamu bisa tersela-
matkan," ujar pemuda berpakaian ungu berharap
sambil menaruh kembali guci araknya di pung-
gung.
Wara Kuri hanya tersenyum getir. Pemuda
di hadapannya masih dianggapnya kurang waras.
Atau, sengaja melakukan tindakan itu untuk
menghibur hatinya.
Sementara itu pemuda berpakaian ungu ini
bangkit berdiri tegak. Tubuhnya lantas dibung-
kukkan separo berjongkok untuk meminumkan
arak pada Wara Kuri.
Dan kini, pemuda itu memperhatikan ke
sekeliling. Sepasang alisnya bertautan, ketika me-
lihat dua sosok yang tergolek dalam keadaan te-
was mengenaskan. Dan kerutan itu semakin da-
lam, ketika menjumpai adanya sebuah lubang ku-
buran menganga yang menunjukkan kalau isinya
telah diambil orang. Dia tidak merasa aneh. Bah-
kan tahu kalau maksud yang terkandung di dalam
melakukan pencurian itu banyak macamnya. Tapi
yang jelas, kemungkinan terbesar digunakan me-
lakukan kejahatan.
"Boleh kutahu siapa kau, Anak Muda?!
Dan, atas dasar apa kau memberi pertolongan pa-
daku?!"
Pertanyaan dari arah belakang membuat
pemuda itu berbalik. Bibirnya lantas tersenyum
lebar. Dirasakan adanya nada kecurigaan dalam
pertanyaan kakek berpakaian coklat. Memang bisa
dimaklumi, mengapa kakek ini bersikap seperti
itu. Dasarnya, karena berdua tidak saling kenal
"Kau tidak perlu khawatir, Kek. Aku meno-
longmu bukan karena alasan tertentu yang bisa
merugikanmu atau menguntungkanku. Yang jelas,
aku tidak pernah bisa diam jika melihat adanya
sesuatu yang tidak berkenan di hatiku. Selama
aku bisa menolong, dan kupandang pertolongan
itu sesuai kaidah-kaidah kebenaran, maka aku ti-
dak segan-segan melakukannya. Jadi kau tidak
perlu khawatir."
Sorot mata penuh curiga yang memancar
pada sepasang mata Wara Kuri mulai berkurang.
Lagi-lagi dia merasakan adanya kesungguhan da-
lam jawaban yang diberikan pemuda di hadapan-
nya. Pengalaman hidup dan usia setua ini, mem-
buat Wara Kuri sedikit banyak bisa memperkira-
kan jawaban tulus pemuda itu.
Dan ketika Wara Kuri merasa kan adanya
perubahan pada tubuhnya, keyakinannya makin
bertambah. Kini sekujur tubuhnya yang tadi tera-
sa sakit menggigit-gigit bak digigit puluhan semut
api, telah jauh berkurang. Kalau tidak merasakan
sendiri, hatinya tidak akan percaya kalau arak
mampu menyembuhkan luka akibat racun di tu-
buhnya. Apalagi ketika dirasakan, tenaganya mu-
lai berangsur timbul. Kalau tadi berbicara sangat
menyakitkan dada dan tenggorokan. Bahkan ha-
rus dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga.
Sekarang, tidak lagi. Meskipun memang diakui
masih agak sukar, tapi jauh lebih baik daripada
sebelumnya.
"Rupanya kau seorang pendekar, Anak
Muda?!" ujar Wara Kuri sekenanya.
Kakek ini tidak yakin akan pertanyaannya
sendiri. Kalau melihat dari keadaannya yang ma-
sih muda, pemuda berambut putih keperakan itu
mungkin baru keluar dari perguruan silat.
3
Pemuda berambut putih keperakan itu ter-
senyum malu.
"Sebutan pendekar terlalu tinggi untukku,
Kek. Apa sih yang telah kulakukan? Aku hanya
seorang pemuda biasa yang selalu berkelana me-
nuruti langkah kakiku ini. Memang harus kuakui,
aku tidak pernah bisa berdiam diri jika melihat se-
suatu yang menurutku tidak sesuai kaidah-kaidah
kebenaran."
Perasaan kagum mulai timbul di hati Wara
Kuri. Sekarang, sedikit banyak sudah bisa diraba-
raba watak pemuda di hadapannya. Tidak som-
bong atau menyombongkan tindakannya. Bersikap
rendah hati, dan tidak berbohong!
"Boleh kutahu namamu, Anak Muda?! Per-
kenalkan, aku Wara Kuri."
Kakek berpakaian coklat ini lebih dulu
mengulurkan tangan. Tindakannya dilakukan
sambil bangkit dari berbaringnya. Lalu dia duduk
bersila di tanah. Bahkan kini tenaganya telah se-
makin pulih.
"Aku Arya Buana, Kek. Tapi, panggil saja
Arya," sahut pemuda berpakaian ungu itu buru-
buru, seraya menyambut uluran tangan Wara Kuri
dengan agak membungkukkan tubuh sedikit.
Wara Kuri tersentak kaget. Bahkan geng-
• gaman tangannya pada tangan pemuda berambut
putih keperakan itu terlepas tanpa sadar. Ditatap-
nya sekujur tubuh pemuda berambut putih kepe-
rakan yang ternyata Arya alias Dewa Arak dari
atas sampai ke bawah.
"Ada yang salah, Kek?!" tanya Arya Buana.
"Sama sekali tidak," sahut Wara Kuri sam-
bil menggeleng dengan sikap kaku karena terlalu
terburu-buru. "Hanya saja, namamu mengin-
gatkan aku pada tokoh yang saat ini tengah men-
julang namanya di tengah rimba persilatan karena
tindakan-tindakannya yang perkasa. Namamu
sama benar dengan namanya. Bahkan sekarang,
aku ingat kalau ciri-cirimu semua sama dengan
tokoh itu. Maka jangan katakan kalau kau bukan
Dewa Arak, Anak Muda?!"
Arya tersenyum lebar.
"Memang, aku orang yang kau maksudkan
itu, Kek. Tapi sebagian besar berita yang terdengar
terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pemuda bi-
asa yang sering mengembara. Dan..."
"Kau terlalu merendah, Dewa Arak!" sergah
Wara Kuri dengan perasaan girang. "Justru aku
percaya kalau semua berita yang tersebar di dunia
persilatan benar. Ahhh! Aku jadi malu hati, karena
telah mencurigaimu. Bahkan aku menganggapmu
sebagai seorang pemuda hijau yang tidak tahu ke-
rasnya dunia persilatan. Semula, kukira kau seo-
rang pemuda yang baru selesai berguru dan ten-
gah mencari pengalaman. Tapi, nyatanya?"
"Nyatanya benar kan, Kek?!" potong Arya
sambil tertawa bergelak, sehingga membuat Wara
Kuri pun tergelak,
"Setelah tahu siapa dirimu, aku tidak ragu-
ragu lagi menceritakan masalah yang tengah ku-
hadapi, Arya. Barangkali saja, kau bisa menolong.
• Meskipun harus kuakui, semua ini merupakan
tanggung jawabku. Tapi banyaknya masalah,
membuatku terpaksa membutuhkan bantuan
orang lain. Kini aku percaya kepadamu. Dan aku
yakin, Tuan Besar tidak akan marah bila menge-
tahui. Bahkan aku yakin, beliau akan merasa se-
tuju sekali. Kini, aku meminta bantuanmu untuk
menyelesaikan masalah ini," jelas Wara Kuri, mu-
lai membeberkan masalah yang tengah dihada-
pinya.
Melihat Wara Kuri bermaksud mengutara-
kan masalah yang dihadapinya, Arya segera du-
duk bersila di hadapannya. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini sudah bisa memperkirakan ka-
lau penuturan yang akan didengarnya cukup pan-
jang.
"Yang akan kuceritakan ini adalah suatu
rahasia. Maka, kuharap kau tidak menceritakan-
nya pada orang lain, Arya. Aku tidak memintamu
untuk berjanji. Karena aku tahu, orang macam
apa kau ini,"
"Mudah-mudahan aku bisa melaksanakan
amanatmu, Kek," jawab Aiya singkat, sudah cu-
kup memuaskan hati Wara Kuri
Kakek ini tahu, bagi orang seperti Dewa
Arak, ucapan itu sudah lebih bisa dipercaya dari-
pada sumpah orang lain!
"Aku sendiri tidak tahu pasti, kejadian-
kejadian sebelumnya. Yang kuceritakan hanya
hal-hal yang kuketahui. Dan kurasa, hal ini cukup
untuk diceritakan, karena memang menyangkut
ketenteraman dunia persilatan."
Sampai di sini, Wara Kuri terdiam. Dan
Arya melihat adanya sinar kecemasan baik dalam
wajah maupun sikap kakek itu. Hatinya pun agak
khawatir dan ikut tidak enak. Arya tahu, Wara Ku-
« ri bukan seorang kakek lemah. Sinar mata yang
mencorong tajam dan bersinar kehijauan, telah
menguatkan dugaan Arya kalau Wara Kuri berke-
pandaian sangat tinggi. Toh, kakek ini masih me-
rasa cemas. Sedikit banyak, Arya bisa memperki-
rakan masalah berat yang tengah dialaminya.
"Kira-kira lima belas tahun yang lalu aku
hanya seorang penebang kayu. Aku sebatang kara,
Arya," tutur Wara Kuri, memulai kisahnya dengan
pandang mata menerawang ke angkasa. Seakan-
akan di sana terpampang kejadian belasan tahun
yang lalu.
"Biasanya saat menebang kayu tidak terja-
di apa-apa. Tapi suatu saat aku terjebak hujan
yang membuatku terpaksa berteduh di bawah se-
batang pohon yang berbatang besar, empat kali
pelukan orang dewasa. Usiaku yang telah menje-
lang senja, tak memungkinkan untuk berhujan-
hujan bila kembali ke pondokku. Tapi belum lama
berada di sana, halilintar menyambar. Aku masih
sempat melihat kalau halilintar itu menuju ke
arah pohon tempatku berteduh. Bergegas aku me-
lompat meninggalkan tempat itu untuk menyela-
matkan nyawa dari sambaran halilintar. Tapi,
usahaku ternyata tidak berhasil sepenuhya. Pohon
yang tersambar halilintar itu tumbang ke arahku.
Aku berusaha mengelak sedapat mungkin, tapi te-
tap saja batang pohon itu menimpaku. Aku hanya
merasakan sakit amat sangat pada kaki, sebelum
semuanya menjadi gelap. Begitu sadar, aku telah
berada dalam sebuah rumah besar. Sementara
kedua kakiku ini telah tidak ada lagi."
Arya menghela napas berat. Hatinya dapat
merasakan betapa hancur hati Wara Kuri ketika
menerima musibah itu. Tapi, Dewa Arak tidak me-
nyelak. Dia terus diam mendengarkan.
"Orang yang menolongku itu adalah seo-
rang kakek berusia lebih tua daripada usiaku. Ka-
tanya, kedua kakiku remuk sehingga untuk meno-
long nyawaku terpaksa harus dipotong. Kakek
bernama Wiraraja itu merawatku secara telaten.
Sampai akhirnya, lukaku pulih. Suatu saat, dia
menawarkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa
banyak pikir lagi tawaran itu kuterima. Sejak saat
itu, aku pun tinggal dengannya.
Wiraraja adalah seorang yang baik hati.
Bahkan tak segan-segan untuk menurunkan se-
mua ilmunya padaku. Sayang, aku terlalu bodoh.
Maka meski telah belajar mati-matian, dan Tuan
Besar mengajarku sungguh-sungguh, hanya seba-
gian saja ilmunya yang berhasil kuserap," lanjut
Wara Kuri.
Arya mengangguk-angguk. Dalam hati, dia
tidak menganggap Wara Kuri seorang yang bebal.
Saat pertama kali belajar ilmu silat, kakek itu te-
lah berusia paling sedikit enam puluh tahun. Ba-
gaimana mungkin akan dapat belajar dengan ce-
pat?!
"Di tempat itu, ternyata tidak hanya aku.
Masih ada dua orang bocah berusia sekitar sepu-
luh tahun, dan seorang wanita cantik berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun. Belakangan kuketahui,
kalau wanita itu adalah istri Tuan Besar Wiraraja.
Sayang, salah satu dari dua bocah itu memiliki
otak yang tidak waras. Kendati demikian, dia me-
miliki bakat luar biasa. Meski belajar berbarengan,
bocah yang tidak waras itu jauh meninggalkan bo-
cah yang satunya lagi dalam pelajaran ilmu silat-
nya."
Sampai di sini, Wara Kuri menghela napas
berat Arya yang kenyang pengalaman bisa mene-
bak kalau sumber malapetaka yang dimaksudkan
kakek ini pasti berasal dari salah satu di antara
dua bocah itu. Meski demikian, dugaannya tidak
diutarakan.
"Sekitar sepuluh tahun kemudian, kedua
bocah itu menjelma menjadi pemuda perkasa. Bo-
cah tak waras itu ternyata putra Tuan Besar Wira-
raja. Sedangkan bocah satunya lagi adalah anak
telantar yang dipungut untuk menjadi kawan
bermain anaknya. Dan ketika bocah-bocah itu be-
sar, malapetaka mulai timbul. Putra Tuan Besar
Wiraraja yang bernama Tuan Muda Gautama, si-
kap tak warasnya semakin menjadi-jadi. Maka ke-
kacauan demi kekacauan pun ditimbulkan. Un-
tung sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengkha-
watirkan, Tuan Besar Wiraraja telah memperhi-
tungkannya. Dan aku diperintahkan untuk men-
gawasi setiap gerak-gerik Tuan Muda Gautama.
Setiap menimbulkan kekacauan, aku datang dan
membujuknya dengan baik-baik. Bocah itu ternya-
ta patuh padaku. Aku sendiri tak tahu kenapa.
Mungkin karena aku selalu mengurusnya sejak
masih kecil. Tuan Besar Wiraraja dengan hati
hancur terpaksa mengurung Tuan Muda Gauta-
ma. Dia tidak ingin kejadian memalukan terhadap
dirinya terjadi kembali."
"Kak Setiaji."
Panggilan itu datangnya dari seorang wani-
ta muda berpakaian biru. Lembut dan mesra sua-
ranya.
Lelaki tampan dan gagah berpakaian kun-
ing yang berkuda di sebelah wanita berpakaian bi-
ru, menoleh. Tali kekang kuda tunggangannya di-
tarik agak melangkah lambat-lambat
"Ada apa, Marni?!" sahut lelaki berpakaian
kuning, yang dipanggil Setiaji. Suaranya juga ter-
dengar lembut dan mesra.
Wanita berpakaian biru yang bernama
Marni tidak segera menjawab. Terlihat jelas kalau
hatinya merasa ragu untuk mengutarakan sesuatu
yang akan disampaikannya.
Setelah menatap sesaat, Setiaji tahu ada
perasaan yang berkecamuk di hati Marni. Seketika
langkah kudanya dihentikan. Dibalikkannya arah
binatang itu, hingga berada di hadapan kuda Mar-
ni. Seulas senyum penuh rasa sabar dilemparkan-
nya.
"Kau tidak usah ragu-ragu, Marni. Katakan
saja, apa yang hendak kau sampaikan. Tidak baik
memendam persoalan. Apalagi kau telah hamil
muda. Aku khawatir, hal itu akan berakibat buruk
pada bayi yang tengah kau kandung. Bayi kita,"
ujar Setiaji panjang lebar, tetap tenang dan penuh
kesabaran.
Wajah Marni kelihatan bersemu merah.
Malu. Pandangannya pun ditujukan pada perut-
nya yang mulai agak menonjol ke depan. Kemu-
dian perhatiannya dialihkan pada Setiaji, sua-
minya.
"Kau benar, Kak Setiaji. Tapi.., aku khawa-
tir apa yang akan kusampaikan ini tidak menye-
nangkan hatimu,"
Senyum Setiaji semakin lebar.
"Ingat-ingatlah, Marni. Apakah selama per-
kawinan kita, aku pernah marah-marah?!"
Marni tersenyum tipis. Perlahan-lahan ke-
palanya menggeleng.
"Nah! Kalau begitu, apa lagi yang dikhawa-
tirkan. Katakan saja."
Marni menatap wajah Setiaji lekat-lekat.
Dia yakin betul akan cinta kasih suaminya. Sela-
ma hampir enam bulan berumah tangga, tak per-
nah suaminya itu marah padanya. Kehidupan ru-
mah tangga mereka selalu rukun, tenang, dan pe-
nuh kebahagiaan. Dan Marni tidak sampai hati
menuduh Setiaji akan marah karena masalah
yang hendak diutarakannya. Justru tanggapan
lainnya yang merisaukan hati Marni.
"Sebetulnya aku tidak ingin mengatakan-
nya, Kak. Tapi karena sudah telanjur, apa boleh
buat," kata Marni seraya menghela napas berat,
seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal batin-
nya. "Beberapa hari belakangan ini, aku selalu di-
landa perasaan cemas yang tidak ku mengerti. Ma-
lah, setiap tidur aku selalu bermimpi buruk. Aku
khawatir sekali, Kak. Aku takut kecemasan ini
merupakan sebuah firasat..."
Setiaji hampir tertawa begitu mendengar
masalah yang diutarakan istrinya. Semula dikira
masalah besar. Tak tahunya, hanya persoalan se-
pele. Tapi untuk menjaga perasaan Marni, dia me-
nelan rasa geli dan memasang wajah sungguh-
sungguh.
"Sudah cukup lama juga kau diganggu pe-
rasaan itu rupanya, Marni. Mengapa kau simpan
saja? Bukankah lebih baik kalau diberitahukan
padaku sejak dulu? Barangkali saja aku bisa me-
mecahkan persoalan ini," ujar Setiaji, sengaja me-
ladeni ucapan Marni. Padahal, bisa saja istrinya
disuruh untuk tidak usah memikirkannya. Apalagi
mimpi-mimpi yang dianggap sebagai penghias ti-
dur.
Tapi Setiaji tahu, tindakan seperti itu tidak
akan menyelesaikan masalah. Lebih bagus diba-
has dan dicarikan jalan keluar, agar Marni terbe-
bas dari rasa takutnya. Jalan satu-satunya adalah
• dengan membahas masalah itu.
"Beberapa hari sebelum keberangkatan kita
untuk mengirimkan barang Tuan Marjuki, pera-
saan demikian muncul. Kemudian dituruti mimpi-
mimpi yang menyeramkan. Aku khawatir sekali
akan adanya ancaman bahaya terhadap kita," pa-
par Marni.
Setiaji tersenyum lebar. Hal yang sengaja
dilakukan untuk menenangkan hati istrinya;
"Tenangkan hatimu, Marni. Bukankah
urusan mengantar barang Tuan Marjuki telah se-
lesai dikerjakan dengan baik. Jelas, kekhawati-
ranmu tidak beralasan. Mungkin saja itu tercipta,
karena kecemasanmu menanti saat-saat lahirnya
bayi kita. Meskipun demikian, untuk menenang-
kan hatimu, aku tidak akan menerima pesanan
lagi. Mulai sekarang hingga bayi ini lahir, aku ti-
dak pergi-pergi lagi. Tidak Juga denganmu. Kita
beristirahat, sampai bayi kita lahir. Kita habiskan
waktu di rumah," janji Setiaji, mantap.
Wajah Marni kontan berseri-seri. Tampak
jelas kalau pernyataan Setiaji amat melegakan ha-
tinya. Laki-laki ini telah hafal betul watak istrinya,
merasa terharu melihat sambutan ini. Dan di da-
lam hatinya, dia bertekad untuk memenuhi jan-
jinya meski apa pun yang akan terjadi.
"Benarkah, Kak?! Ah! Betapa girang dan le-
ganya hatiku. Aku memang was-was dengan kese-
lamatanmu, Kak. Pekerjaan yang kau lakoni ini
penuh bahaya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu
padamu. Aku takut kehilangan mu, Kak."
"Tenangkanlah hatimu, Marni. Dan mari
kita pulang. Rumah menunggu kita."
Setaji langsung memutuskan pembicaraan.
Apalagi tidak ada lagi masalah lain lagi yang lebih
besar.
Sepasang suami-istri berusia muda yang
penuh kebahagiaan ini pun meneruskan perjala-
nan yang tadi tertunda. Seperti juga sebelumnya,
percakapan dl perjalanan berlangsung seenaknya.
Tidak terburu-buru
Tapi baru juga beberapa belas tombak per-
jalanan dilakukan, pasangan suami-istri yang ma-
sih baru ini menarik tali kekang kudanya. Maka
seketika binatang-binatang itu pun menghentikan
langkahnya.
Sekitar enam tombak di depan pasangan
suami-istri ini, berdiri sesosok tubuh dengan ke-
dua tangan berkacak di pinggang. Wajah Setiaji
dan Marni tampak beriak. Mereka kenal betul
dengan orang yang berdiri menghadang perjala-
nan.
"Bukankah dia wanita yang tak tahu malu
itu, Kak Setiaji?!" bisik Marni, khawatir terdengar
oleh sosok yang berdiri menghadang jalan.
Setiap mengangguk kaku. Suaranya ter-
dengar kering dan kaku ketika memberi jawaban.
"Benar, Marni. Dia Ambar."
Wajah Marni membesi. Sinar matanya ber-
kilat memancarkan kemarahan dan kebencian ke-
tika menatap sosok yang menghadang jalan. Sosok
yang dikatakannya sebagai Ambar.
Sebelum Setiaji memberi tanggapan, Marni
dengan gerakan lincah dan manis melompat dari
punggung kuda. Langkah kakinya lebar-lebar, ke-
tika menghampiri sosok yang berdiri di depannya.
"Marni! Tunggu...!" cegah Setiap ketika is-
trinya telah menempuh jarak dua tombak.
Lelaki berpakaian kuning ini melompat tu-
run dari punggung kuda, langsung mengejar Mar-
ni
Marni yang telah menghentikan langkah
• langsung berbalik. Ditatapnya wajah suaminya le-
kat-lekat. Sorot penentangan terlihat jelas me-
mancar dari sepasang matanya yang bening dan
indah.
"Jangan kau menghalangi tindakanku, Kak
Setiaji. Wanita tak tahu malu ini tidak patut untuk
mendapat perlakuan layak. Kalau tidak diberikan
tindakan tegas, dia akan terus datang dan meron-
grong kehidupan kita!"
"Mungkin kau benar, Marni. Tapi biar ba-
gaimanapun juga, dia adalah teman bermain ku
sewaktu kecil. Ayahnya adalah kawan baik ayah-
ku. Mana mungkin aku akan membiarkan kau
membunuhnya?! Apa kata ayahnya dan juga
ayahku nanti?!" Jelas Setiaji dengan sikap serba
salah dan bingung.
"Kau tidak perlu merasa bertanggung ja-
wab atas keselamatannya, Kak Setiaji. Dan kau ti-
dak perlu khawatir akan disalahkan ayahmu dan
ayahnya. Karena, bukan wanita tak tahu malu itu
yang akan mati. Tapi, aku! Kematianku tidak akan
membuatmu disalahkan orang!"
Setiaji kontan melongo mendengar jawaban
Marni. Dia sama sekali tidak bermaksud menying-
gung perasaan istrinya. Tapi dari nada jawaban
Marni, bisa diketahui kalau perasaannya terluka.
Sakit hati! Jawaban Marni meski diutarakan den-
gan keras, tapi jelas mengandung isak tangis!
Setiaji terkesima di tempatnya beberapa
saat. Jawaban Marni yang ketus, membuatnya
menelan kembali ucapan yang tadi dikeluarkan.
Dia yakin hal ini karena ucapannya sendiri.
4
Setiaji membutuhkan waktu cukup lama
untuk mengetahui keanehan sikap Marni. Sebuah
dugaan yang diyakini benar menyeruak di hatinya.
Marni pasti cemburu dan tersinggung. Ucapan Se-
tiaji tadi, terasa jelas adanya perhatian dan kek-
hawatiran terhadap Ambar. Di lain pihak, sedikit
pun tidak terlihat adanya kekhawatiran atau per-
hatian atas nasib yang akan menimpa Marni. Itu-
lah sebabnya, Marni tadi kehilangan akal sehat-
nya.
Sementara itu Marni, malah bergegas
menghampiri Ambar yang tetap dalam sikap semu-
la. Berdiri tegak dengan kedua tangan berkacak di
pinggang, mirip patung batu. Sikapnya kelihatan
angker bukan main.
Begitu jarak antara kedua wanita itu ting-
gal tiga tombak lagi, Marni menghentikan ayunan
kakinya. Dengan wajah merah padam dan dada
turun naik menahan gejolak amarah, jari telun-
juknya ditudingkan ke arah wajah Ambar.
"Hey, Wanita tak tahu malu! Sekarang kita
buktikan, siapa yang akan terus hidup! Kau, atau
aku!" kini Marni dengan suara bergetar dan sepa-
sang mata seperti akan keluar dari rongganya.
Ambar yang meski berdiri tegak dengan
wajah tertunduk dan sepasang mata menekuri ta-
nah, perlahan mengangkat kepala. Sepasang ma-
tanya diarahkan pada orang yang telah memaki
dan mengajaknya bertarung.
"Ihhh...!"
Seketika jeritan tertahan yang sarat pera-
saan kaget keluar dari mulut Marni. Dan seiring
terdengar jeritan, wanita berpakaian biru itu me-
langkah mundur dua tindak. Sepasang matanya
yang bening indah sekarang bergantian redup, bak
sorot mata seekor kelinci melihat kedatangan see-
kor harimau lapar.
Tepat dengan keluarnya jeritan, Setiaji te-
lah berhasil sadar dari terkesimanya. Kini lelaki ini
mampu menemukan jawaban dari keanehan sikap
Marni. Bagaikan disengat ular berbisa, tubuhnya
melesat ke depan menyusul Marni. Dan hanya
dengan sekali lesatan, dia telah berada di sebelah
istrinya.
Laki-laki itu kontan merasakan jantungnya
berhenti berdenyut, begitu melihat sepasang mata
Ambar! Mata yang dulu bening indah, sekarang
berubah mengerikan! Bentuknya telah menyipit
dengan sorot menggiriskan. Rasanya, bukan mata
yang dimiliki manusia! Bahkan tengkuk Setiaji te-
rasa dingin!
"Kau berani memakiku, Perempuan Peram-
pas Jodoh Orang?!"
Ucapan Ambar terdengar parau dan me-
nyakitkan telinga. Nadanya seperti tidak patut ke-
luar dari mulut seorang wanita. Apalagi, wanita
yang masih muda seperti Ambar.
Setiaji dan Marni saling berpandang. Pa-
sangan suami-istri ini mulai merasakan adanya
sesuatu yang aneh dan tidak wajar terhadap diri
Ambar. Bukan hanya nada suaranya yang beru-
bah jauh. Cara Ambar mengucapkannya pun
membuat mereka bergidik! Ambar tidak kelihatan
membuka mulut atau mengemikkan bibir. Tapi,
suara yang keluar demikian lantang dan penuh
ancaman!
"Dulu kau boleh menang terhadapku. Tapi
sekarang, jangan harap! Hari ini semua sakit hati-
ku yang berbulan-bulan kupendam, akan terlam-
piaskan! Bersiaplah untuk menerima pembalasan
dariku, Wanita Jalang!" dengus Ambar.
Makian Ambar membuat Marni berhasil
• mengusir perasaan takutnya. Perasaan marah dan
tersinggung yang besar, mengalahkan rasa takut-
nya. Dengan tangkas, Marni mengeluarkan senjata
andalannya yang terselip di pinggang. Sebuah ke-
butan!
"Kaulah yang akan kukirim ke akherat,
Wanita Gila Lelaki!"
Berbarengan teriakannya, Marni melompat
menerjang Ambar. Bulu-bulu kebutan di tangan-
nya yang semula lemas, menegang kaku bak ja-
rum-jarum. Dan dengan keadaan seperti itu, istri
Setiaji ini mengirimkan totokan bertubi-tubi ke
arah leher, bawah hidung, dan ubun-ubun. Dalam
sekali gerak, Marni mampu mengirimkan tiga se-
rangan mematikan!
Sementara, Ambar tidak bergeming dari
tempatnya. Bahkan kedua tangannya yang berada
di pinggang pun tetap dibiarkan. Padahal, seran-
gan, Marni menimbulkan bunyi bercicitan nyaring,
yang menandakan kuatnya tenaga dalam yang
terkandung.
Baru ketika ujung kebutan itu menyambar
dekat, Ambar mengembungkan mulutnya. Seketi-
ka ditiupnya kebutan yang tengah meluncur ke
arahnya.
Marni terperanjat. Seketika dirasakannya
ada hembusan angin yang luar biasa kuatnya dari
mulut Ambar. Bulu-bulu kebutannya yang semula
menegang kaku, kontan melemas dan membuyar.
Dengan sendirinya, serangan Marni kandas.
Dan bahkan tiupan Ambar tidak hanya se-
kali. Wanita yang telah bangkit dari kematiannya
kembali meniup. Sasarannya masih ditujukan pa-
da kebutan Marni.
Bak dicabuti tangan kuat yang tidak tam-
pak, bulu-bulu kebutan itu meluncur ke arah pe-
miliknya dalam keadaan menegang kaku, laksana
jarum-jarum kuat.
Melihat hal itu wajah Marni seketika me-
mucat. Saat itu tubuhnya tengah berada di udara.
Dan lagi, rentetan serangan itu berlangsung demi-
kian cepat. Maka hal ini membuat Marni gugup.
Disadari betul kalau tidak apa waktu yang cukup.
Untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan di-
ri.
Pada saat yang genting itu, Setiaji cepat
bertindak. Dia memang tidak sempat mencegah
tindakan istrinya. Maka tidak ada pilihan lain, ke-
cuali berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak di-
harapkan. Setiaji khawatir, Marni akan celaka.
Keanehan diri Ambar, membuat Setiaji jadi mera-
gukan kalau Marni bisa berhasil keluar sebagai
pemenang dalam pertarungan itu.
Karena kewaspadaan ini, Setiaji dapat ber-
tindak cepat ketika Marni tengah kelabakan. Maka
langsung dikirimkannya pukulan jarak jauh den-
gan kedua tangannya untuk meruntuhkan bulu-
bulu kebutan yang akan mencelakakan istrinya.
Deb! Deb!
Seketika itu pula arah bulu-bulu kebutan
itu melenceng terkena dorongan pukulan Setiap.
Sepasang mata Ambar yang sudah menco-
rong, terlihat semakin berkilatan ketika menatap
Setiaji yang telah membawa Marni untuk me-
nyingkir.
Marni meronta pelan, berusaha mele-
paskan cekalan tangan Setiaji pada pergelangan
tangannya. Tindakan itu karena rasa kesal terha-
dap suaminya.
Hanya sampai di situ tindakan Marni. Dan
sebenarnya bila menuruti perasaan, dia ingin
• menggerutu habis-habisan mengingat pembelaan
Setiaji terhadap Ambar. Tapi rasa hormat dan cin-
ta, tambahan lagi Setiaji telah turun tangan me-
nyelamatkannya dari ancaman, membuat Marni
tidak sampai hati untuk menuruti ledakan pera-
saannya.
Setiaji merasakan adanya penolakan itu.
Maka untuk tidak membuat keributan bertambah
besar, pegangannya dilepaskan. Perhatiannya
kembali dialihkan pada Ambar. Tampak gadis
yang dulu mencintainya habis-habisan tengah
menatapnya dengan sinar mata bengis.
"Rupanya kau masih membela perempuan
perampas itu, Setiaji?!" dengus Ambar dingin pe-
nuh ancaman.
"Itu sudah merupakan kewajibanku seba-
gai suami, sekaligus orang yang mencintainya,
Ambar. Kuharap kau mau memahaminya. Masih
banyak orang lain yang jauh lebih gagah dan tam-
pan daripadaku. Dan aku yakin, kau akan dengan
mudah menemukan dan mendapatkannya. Orang
secantik kau, tidak sulit untuk mendapatkan
penggantiku," ujar Setiaji kalem dan tenang.
"Tutup mulutmu, Setiaji!" bentak Ambar,
keras. "Aku tidak butuh nasihatmu! Aku hanya
butuh jawaban. Dan perlu kau ketahui, kedatan-
ganku kemari tidak untuk membicarakan masalah
cinta! Aku mempunyai urusan lain yang lebih
penting!"
Wajah Setiaji langsung berubah berseri-
seri. Jawaban Ambar sedikit banyak melegakan
hatinya. Karena itu berarti, dara ini telah berhasil
mengusir rasa cinta terhadap dirinya. Perasaan
yang keras membuatnya merasa bersalah. Le-
nyapnya rasa cinta di hati Ambar, membuat ba-
tinnya lega.
"Syukurlah kalau demikian, Ambar. Aku
turut bergembira karenanya. Sejak semula, aku
sudah yakin. Lambat laun, kau akan menyadari
kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan," desah Se-
tiaji.
"Telan dulu rasa gembiramu, Setiaji!" ser-
gah Ambar keras dan kasar.
Saat itu juga, kening Setiaji berkerut. Se-
dangkan Marni menggertakkan gigi karena marah.
"Aku memang tidak berurusan dengan
yang namanya cinta. Aku ada di sini adalah untuk
mencegat perjalananmu. Juga, wanita tak tahu
malu itu. Semua ini karena urusan dendam!"
Seri di wajah Setiaji lenyap. Sedangkan di
belakang, Marni semakin keras menggertakkan gi-
gi. Sikap Ambar yang kasar meski Setiaji telah be-
rusaha bersikap selembut mungkin, membuat ke-
sabaran Marni hampir hilang. Dan dia bermaksud
menerjang Ambar.
"Apa yang hendak kau lakukan, Ambar?!"
tanya Setiaji lagi.
"Melenyapkan kalian dari muka bumi den-
gan cara menyedihkan. Sehingga, membuat kalian
menyesal dilahirkan di dunia ini!" desis Ambar
dingin.
"Keparat!"
Marni yang tidak bisa menahan kesaba-
rannya lagi berseru keras, dan bersikap mener-
jang. Tapi Setiaji lebih dulu bertindak mencegah-
nya.
"Biar aku yang akan menyelesaikan masa-
lah ini, Marni,". ujar Setiaji lembut.
Marni tidak berani membantah suaminya.
Dia hanya bisa melempar pandangan penuh ke-
bencian pada Ambar.
Sementara dara yang sudah berupa mayat
hidup itu tidak memberi tanggapan sama sekali.
Dingin seperti patung batu!
Perhatiannya malah dialihkan pada Setiaji
yang telah mencabut sebilah golok besar di pung-
gung.
Sinar terang berkelebat dari golok Setiaji.
Lalu pinggulnya digerak-gerakkan sedemikian ru-
pa seperti seekor kuda. Senjatanya yang kelihatan
cukup berat tampak melayang naik ke atas. Tanpa
melihat sama sekali, Setiaji mengulurkan tangan
untuk menangkap golok tepat pada gagangnya.
"Keluarkan senjatamu, Ambar. Terpaksa
aku harus mengusirmu dengan kekerasan seperti
dulu."
Setiaji tak lupa untuk memberi kesempa-
tan pada calon lawannya untuk mengeluarkan
senjata. Dia adalah seorang lelaki berjiwa ksatria,
Pantang baginya untuk menyerang lawan yang ti-
dak bersenjata! Apalagi, lawannya adalah seorang
wanita!
Ambar tersenyum, tapi tidak terlihat ma-
nis. Raut wajahnya dingin. Sorot sepasang ma-
tanya mengerikan. Kulit wajahnya pucat Dan se-
nyumnya lebih mirip seringai.
Setiaji mengeluh dalam hati. Sama sekali
tidak disangka kalau kegagalan cinta, membuat
Ambar yang dulu berwajah manis jadi demikian
mengerikan.
"Aku tidak menggunakan senjata lagi, Se-
tiaji. Meskipun demikian, jangan dikira akan
mampu menundukkanku seperti dulu?! Jangan
harap! Majulah! Serang aku!" sambut Ambar.
Setiaji bimbang. Kegagahan telah mela-
rangnya untuk memenuhi permintaan yang tidak
wajar. Lelaki ini berdiri di tempatnya dengan tan-
gan menggenggam senjata. Tapi benaknya bingung
"Kalau kau tidak sampai hati untuk me-
nyerang, biar aku yang maju!" dengus Marni, man-
tap.
Seruan ketus dari Marni di belakangnya,
membuat Setiaji mengambil keputusan cepat. Go-
lok yang telah terhunus dilemparkan sembaran-
gan. Tapi di udara, golok itu meliuk secara aneh.
Lalu, meluncur turun dengan batang lebih dulu
dan mendarat tepat di dalam sarungnya seperti
dimasukkan oleh tangan saja!
Kini, Setiaji tidak ragu-ragu lagi menye-
rang. Walau diakui kalau Ambar bukan tergolong
gadis jahat, tapi sikap dan tindakannya telah ke-
lewat batas. Mudah-mudahan tindakannya akan
membuat gadis itu kapok dan tidak akan meng-
ganggu diri atau istrinya.
Seperti juga ketika menghadapi serangan
Marni, Ambar tidak bergeming dari tempatnya se-
mula. Padahal, Setiaji tengah menyerangnya den-
gan pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke
arah perut sampai mengeluarkan bunyi mendem.
Setiaji terperanjat melihat Ambar tidak
bergeming dari tempatnya. Dan dia bukan orang
kejam yang tega memukul orang tanpa perlawa-
nan. Maka secepat itu pula serangan berusaha ke-
ras untuk dibatalkan.
"Manusia Tolol! Jangan merasa paling sakti
di kolong langit ini...?!" ejek Ambar.
Dara yang telah bangkit dari kematiannya
ini menutup ucapannya dengan gelengan kepala
secara keras. Saat itu juga rambutnya yang pan-
jang bergerak ke depan.
Setiaji kaget bukan main, begitu melihat
adanya sekelebatan rambut hitam yang melayang
ke arah kepalanya. Padahal jaraknya telah dekat.
Bahkan kecepatan gerak rambut hitam itu luar bi-
• asa.
Melihat serangan mendadak ini, lelaki itu
gugup. Sehingga....
Prattt!
Setiaji menjerit tertahan, ketika rambut
Ambar menampar telak pipinya. Kepalanya sampai
tertolak keras ke samping dengan pipi terasa pa-
nas dan perih bukan main. Tubuhnya sampai ter-
gempur terhuyung-huyung.
Ketika berhasil memperbaiki keseimban-
gannya, Setiaji mengusap pipinya yang terasa pe-
rih. Dan seketika matanya terbelalak begitu meli-
hat cairan kental pada telapak tangannya. Tampa-
ran rambut Ambar telah membuat kulit wajahnya
pecah-pecah mengeluarkan darah. Sakit dan perih
menyengat!
"Rupanya kau telah berlatih habis-habisan
selama ini, Ambar. Baik! Ku ladeni kemauanmu!"
dengus Setiaji.
Setiaji memutuskan untuk bertindak keras.
Dia tahu, Ambar tidak bisa dipandang rendah. Da-
ra berpakaian serba hitam ini pasti telah menda-
patkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Buktinya
dia mampu membuat Marni hampir celaka dalam
segebrakan. Bahkan juga dapat menyarangkan
sebuah serangan yang menyebabkan Setiaji terke-
jut setengah mati. Maka seketika tubuhnya melu-
ruk ke arah Ambar dengan tendangan kaki kanan
lurus bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pu-
sar.
Plak, plak, Rrrttt!
Setiaji hampir tidak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri. Ternyata tendangan bertubi-
tubinya mudah sekali dipatahkan dengan rambut
Ambar. Berkali-kali rambut itu bergerak-gerak
memapak. Malah ketika serangannya berakhir,
rambut Ambar! bergerak membelit!
Setiaji sampai menggigit bibir ketika perge-
langan kaki yang dilibat rambut terasa sakit bu-
kan main. Libatannya tak kalah dengan libatan
seekor ular sawah!
Saat itu juga Setiaji mengerahkan seluruh
tenaga dalam untuk mempertahankan agar tu-
lang-tulang pergelangan kakinya tidak hancur be-
rantakan akibat belitan rambut. Sekujur tubuhnya
tampak, menggigil keras. Peluh mengalir deras
membasahi wajahnya.
Di lain pihak, Ambar terlihat biasa-biasa
saja. Sepertinya, dara ini tidak mengerahkan tena-
ga sedikit pun.
Marni yang memperhatikan jalannya perta-
rungan segera mengerti kalau suaminya berada
dalam bahaya. Sambil mengeluarkan pekik me-
lengking nyaring wanita itu mengirimkan totokan
ke arah ubun-ubun Ambar dengan bulu-bulu ke-
butan yang menegang kaku.
"Hmh...!"
Tapi Ambar rupanya sudah memperhi-
tungkannya. Ketika serangan Marni semakin de-
kat, dia mendengus. Sementara gumpalan ram-
butnya yang masih terasa di kepala dikibaskan,
hingga meluncur ke arah kebutan yang meluruk
ke arahnya.
Namun Marni tidak terkejut. Telah disaksi-
kan sendiri keanehan ini sebelum mendapatkan
serangan secara langsung. Maka kebutannya ce-
pat ditarik kembali. Dia tidak ingin senjatanya ter-
belit rambut. Dan, berbarengan dengan itu, kaki
kanannya diayunkan ke arah dada Ambar
Serangan susulan Marni dilakukan secara
cepat. Dia yakin, kalau serangannya berhasil, liba-
tan terhadap kaki Setiaji akan terlepas.
Tapi, lagi-lagi sebelum serangan Marni
mengenai sasaran, rambut Ambar meliuk aneh.
Ujung-ujungnya meluncur ke arah lututnya.
Tuk, tukkk!
Dua kali lutut Marni tertotok ujung rambut
yang telah menegang laksana rotan. Akibatnya,
kaki itu pun lumpuh. Seketika gerakan Marni ter-
henti seketika. Padahal pada saat yang sama
gumpalan rambut Ambar kembali bergerak. Kali
ini mengibas ke arah perut Dan....
Crasss...!
"Aaaa...!"
Darah segar muncrat dari mulut Marni, ke-
tika kibasan rambut Ambar telak mengenai sasa-
rannya. Tubuh Marni terhuyung dan jatuh ter-
jengkang, karena salah satu kakinya tidak bisa di-
gunakan lagi.
"Marni...!" jerit Setiaji kaget melihat keja-
dian yang menimpa istrinya.
Perasaan khawatir, membuat Setiaji yang
tengah berusaha melepaskan diri, tidak bertindak
setengah-setengah lagi. Dan dia tidak memikirkan
masalah tindakan ksatria lagi.
Maka dengan tangan yang bebas diambil-
nya goloknya yang tersampir di punggung. Dan
dengan amarah meluap-luap, senjata itu dilem-
parkan ke arah kepala Ambar.
"Hmmm...!"
Ambar mendengus! Sepasang matanya jadi
lebih terang dari sebelumnya, dan semakin meng-
hijau. Setiaji sampai melongo melihatnya. Apalagi
ketika menyaksikan kejadian selanjutnya. Ternya-
ta dari sepasang mata Ambar, meluncur dua leret
sinar kehijauan yang secara telak menghantam go-
lok Setiaji.
Bagai lilin bertemu api. Demikian yang me-
nimpa golok Setiaji! Golok yang terbuat dari baja
pilihan itu kontan lumer sebelum menyentuh sa-
saran.
"Kau lihat, Setiaji. Bila aku hendak mem-
bunuhmu dan wanita tak tahu malu itu, mudah
sekali! Tapi, aku tidak mau melakukannya. Terlalu
enak bagimu, kalau mati secara demikian. Terlalu
nikmat! Pembalasan seperti itu tidak sebanding
dengan penderitaan yang ku alami. Kita harus se-
timpal, Setiaji!"
Berbareng dengan usainya ucapan Ambar,
terdengar bunyi berderak keras ketika tulang per-
gelangan kaki Setiaji remuk akibat belitan rambut
tadi. Baru setelah dara yang telah bangkit dari
kematiannya ini melepaskan belitan, rambut itu
meluncur ke arah bahu kanan Setiaji.
Tuk! Tuk!
Bak sehelai karung basah, tubuh Setiaji
terkulai jatuh ke tanah tertotok rambut Ambar.
Lelaki ini tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Se-
kujur tubuh lemas. Dia hanya mampu melihat dan
mendengar tapi tidak kuasa bertindak apa pun.
"Kak Setiaji.,.!" seru Marni lemah.
Setiaji hanya bisa menatap dengan sorot
mata sedih. Dia tahu, dirinya dan juga istrinya te-
rancam bahaya besar. Tapi, yang dipikirkan hanya
keselamatan Marni.
"Pergilah, Marni. Tinggalkan aku! Cepat se-
lagi ada kesempatan!" seru Setiaji, bernada khawa-
tir.
Perintah itu lebih mudah diucapkan dari-
pada dilaksanakan. Jangankan berlari cepat me-
ninggalkan tempat itu, berdiri saja Marni belum
mampu. Dia tertatih-tatih ketika berusaha untuk
bangkit. Luka yang dideritanya memang cukup
parah.
"Tidak, Kak Setiaji. Apa pun yang akan ter-
jadi, aku akan berada di sampingmu," sahut Marni
lemah.
Setiaji merasa terharu mendengar ucapan
istrinya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru
yang menyeruak. Kalau menuruti perasaan, ingin
rasanya menangis meraung-raung. Tapi rasa ma-
lunya sebagai seorang laki-laki, membuatnya ber-
sikeras untuk bertahan.
"Kalau begitu, biarlah kita mati bersama,
Marni. Tidak hanya di alam dunia saja kita bersa-
ma. Tapi, di akherat pun kita akan berkumpul
kembali." tandas Setiaji.
"Jangan kalian kira mimpi itu bisa terlak-
sana!"
Ambar yang merasa kesal mendengar per-
cakapan Setiaji dan Marni membentak keras.
"Aku tidak begitu bodoh untuk membunuh
kalian berdua! Salah satu di antara kalian, harus
mati secara mengerikan! Sedangkan yang lainnya
akan hidup. Tapi, dengan keadaan menyedihkan!"
ujar Ambar.
Setiaji dan Marni hampir berbareng meno-
leh ke arah Ambar yang tertawa-tawa mengerikan.
"Wanita Iblis!" maki Marni, geram.
"Kejam!" Setiaji juga ikut memaki.
Tapi makian sepasang suami-istri itu
hanya ditimpali tawa bergelak dari mulut Ambar
sebuah tawa yang mengerikan.
"Kalian boleh memaki apa saja. Yang jelas,
keputusanku akan tetap kulaksanakan! Kau,
Marni! Akan menerima kematian di tanganku se-
cara menyedihkan. Sedangkan kau, Setiaji! Kau
akan kujadikan budak pemuas nafsuku, mau atau
tidak mau. Setelah itu, hukuman mengerikan lain
akan kau terima! Hi hi hi...!"
5
Ambar yang sudah sangat dirasuk dendam,
segera menggerakkan rambutnya disertai tawa
terkikik tanpa putus. Kali ini rambutnya yang su-
dah di jadikan satu gumpalan lebar segera dike-
butkan ke arah Marni.
Angin yang luar biasa keras seketika ber-
hembus ke arah Marni. Istri Setiaji yang masih da-
lam keadaan lemah, tidak mampu bertahan. Tu-
buhnya terlempar ke belakang, langsung terguling-
guling. Padahal, dia tadi telah bisa bangkit berdiri,
walaupun masih sempoyongan.
Marni baru berhenti bergulingan ketika
menghantam sebuah pepohonan dalam kerimbu-
nan semak-semak.
Raakkk!
"Marni..!" jerit Setiaji penuh kekhawatiran
melihat keadaan istrinya. "Jahanam kau, Ambar!
Kau bukan manusia! Tapi iblis! Lepaskan dia! Bu-
nuh saja aku! Akulah yang bersalah atas semua
kejadian pada dirimu. Bukan dia!"
Tapi Ambar tidak mempedulikan teriakan-
teriakan Setiap. Bahkan malah tertawa terkekeh-
kekeh, begitu gembira.
"Kau lihatlah kejadian yang akan menimpa
perempuan tak tahu malu itu, Setiaji!"
Saat itu juga, Ambar menatap ke arah
Marni yang masih tergolek.
"Marni...!"
Setiaji tak tahan untuk tidak berteriak ke-
ras, begitu melihat dua larik sinar kehijauan me-
mancar dari sepasang mata Ambar menuju ke
arah Marni. Lelaki ini telah tahu, bagaimana ke-
dahsyatan sinar-sinar hijau itu. Golok baja pilihan
saja bisa luluh. Apalagi, Marni!
Ternyata Ambar tidak ingin menghancur-
kan tubuh Marni dengan sinar maut dari sepasang
matanya. Dua larik sinar yang melesat ternyata di-
tujukan pada kerimbunan semak-semak yang
menghalangi istri Setiaji berada.
Kerimbunan semak langsung terbakar ke-
tika dua larik sinar dari mata Ambar menerpa.
Angin yang saat itu cukup keras berhembus,
membuat api yang timbul dalam sekejap saja ber-
kobar besar.
Setiaji menjerit-jerit meneriakkan nama is-
trinya diseling makian-makian terhadap Ambar.
Sekarang bisa diketahui malapetaka apa yang
akan mengancam Marni.
Berbeda dengan Setiaji, Marni tidak menge-
luarkan teriakan sama sekali. Dia memang paling
menderita. Tapi keinginan kuat untuk tidak mem-
buat Ambar semakin gembira, membuat Marni
mampu bertahan untuk tidak mengeluh.
Teriakan-teriakan Setiaji dan tawa Ambar
mengiringi gemeretaknya api memakan kerimbu-
nan semak-semak. Hanya dalam waktu singkat,
kumpulan semak-semak tempat Marni berada te-
lah terbakar habis. Di antara kepulan asap yang
masih mengepul, tercium bau hangus daging ter-
bakar.
Kini tinggal Setiaji yang menatap sisa-sisa
kebakaran dengan wajah pucat pasi bagai tidak
dialiri darah. Lelaki yang hampir saja menjadi seo-
rang ayah ini merasa terpukul bukan main, meli-
hat kematian istrinya di depan mata tanpa mampu
memberi pertolongan sama sekali.
"Hik hik hik...! Bagaimana rasanya kehi-
langan orang yang sangat dicintai, Setiaji?! Me-
nyakitkan bukan?!" ejek Ambar, penuh kepuasan.
"Dan, sekarang kau akan menerima bagiannya!"
Setiaji tidak memberi tanggapan. Pera-
saannya terlampau terpukul. Pikirannya bagaikan
buntu. Jiwanya terasa telah mati terbawa pergi
Marni.
Setiaji tidak teringat sama sekali akan keadaan di-
rinya. Bahkan tidak merasa peduli akan apa yang
hendak dialami. Tubuhnya diam tidak bergeming,
ketika Ambar dengan langkah satu-satu meng-
hampirinya dengan sikap terlihat penuh ancaman.
Alis Arya berkernyit ketika melihat sesuatu
di depan yang jaraknya tak kurang dari lima puluh
tombak. Pemuda berjuluk Dewa Arak ini tengah
dalam perjalanan untuk melacak mayat Tuan Mu-
da Gautama yang bangkit dari kuburnya. Karena
dikhawatirkan, mayat itu akan menyebar keka-
cauan di dunia persilatan.
Di perjalanannya ini, Arya bertemu keane-
han. Sesuatu yang sudah pasti adalah seorang
manusia, namun tetap saja membuat hatinya agak
heran. Ternyata sosok itu terlalu pendek untuk
ukuran seorang manusia. Tambahan lagi gera-
kannya terlihat janggal. Maka sambil terus melan-
jutkan perjalanan, Arya terus memperhatikan so-
sok di hadapannya.
Semakin lama jarak antara Arya dengan
sosok itu semakin dekat Pandangan yang tertang-
kap pun kian jelas. Dan seiring itu, timbul pera-
saan kasihan di hati Dewa Arak
Sosok di depan Arya sebenarnya juga me-
lakukan perjalanan searah. Tapi karena kalah ce-
pat, Dewa Arak bisa menyusulnya. Sosok yang
memang manusia itu ternyata tidak memiliki se-
pasang kaki! Buntung sampai ke pangkal paha.
Dan hebatnya, dia berlari mempergunakan kedua
tangan. Tapi melihat gerakannya, Arya tahu kalau
• sosok itu belum lama mengalami cacat demikian.
Penggunaan tangannya tampak masih kaku. Bah-
kan beberapa kali terguling ke tanah ketika berla-
ri.
Sambil terus berlari mengejar, benak Dewa
Arak berputar keras. Pandangan matanya meneliti
sosok di depannya penuh perhatian. Dan Arya
yang telah kenyang pengalaman ini, langsung tahu
kalau sosok di depannya ternyata masih berusia
muda. Tubuhnya kelihatan kekar, dan terlihat pas
dengan pakaian kuningnya. Yang masih menjadi
pertanyaan di kepala Arya adalah, mengapa sosok
yang buntung kedua kakinya ini kelihatan demi-
kian tergesa-gesa. Adakah sesuatu yang amat
mendesak sehingga membuatnya tersiksa?
Ketika untuk yang kesekian kalinya sosok
berpakaian kuning itu tersungkur, Dewa Arak me-
lesat mendahului dan berdiri menghadang di de-
pannya.
"Mengapa demikian terburu-buru, Sobat?!"
tanya Arya. Pelan dan tenang.
Sosok berpakaian kuning yang tidak memi-
liki kaki, ternyata adalah seorang lelaki berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Kini matanya mena-
tap wajah Arya penuh selidik
"Kau siapa?! Dan, apa maksudmu meng-
hadang perjalananku?!" lelaki berpakaian kuning
ini malah balas bertanya.
Arya tersenyum tenang. Hatinya tidak me-
rasa tersinggung kendati pertanyaannya tidak ter-
jawab, Dia maklum lelaki berkaki buntung ini ma-
sih menaruh curiga.
"Aku Arya, Sobat. Aku seorang pengelana
yang tidak sengaja menghadang perjalananmu.
Kebetulan, aku melihatmu. Karena merasa aneh
melihat kau demikian terburu-buru, aku menyu-
• sulmu. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa ku-
lakukan untukmu," jelas Dewa Arak, hati-hati.
"Maafkan atas sikapku yang terlalu curiga,
Arya. Namaku, Setiaji. Dan seperti yang kau duga,
aku memang tengah terburu-buru. Ada sebuah
urusan penting yang harus secepatnya kuselesai-
kan. Itulah sebabnya aku bertindak seperti ini,"
sahut lelaki berkaki buntung yang ternyata Setiaji.
"Begitu pentingkah hingga kau memaksa-
kan diri untuk melakukannya? Tidakkah kau me-
nunggu, hingga luka-luka yang kau derita sem-
buh! Maaf, bukannya aku bermaksud mencampu-
ri. Tapi, aku yakin lukamu itu belum lama."
Setiaji menghela napas berat. Kembali se-
pasang matanya menelusuri sekujur tubuh Arya
penuh selidik. Seakan-akan, lelaki yang baru
mendapat kemalangan ini tengah menilai Arya
dengan pandangan matanya.
"Mungkin aku harus menceritakannya pa-
damu, Arya. Seperti yang kau katakan tadi, aku
mungkin butuh bantuan. Masalah penting yang
harus segera kuurus ini tak akan mungkin bisa
diselesaikan, dengan keadaan tubuh seperti ini.
Dengan bantuanmu, aku yakin masalah ini akan
lebih cepat terurus. Tapi, aku ingin kepastian da-
rimu, Arya. Benarkah kau ingin membantuku?!"
tanya Setiaji.
"Dengan catatan, urusan yang kau maksud
ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebena-
ran," jawab Arya mantap.
Setiaji tersenyum lebar.
"Kau kira aku orang macam apa, Arya?! Je-
lek-jelek begini, dulu aku bekas seorang pendekar.
Jadi jangan khawatir kalau urusan yang ku mak-
sud akan menjerumuskanmu ke jalan hitam. Ti-
dak, Arya. Bahkan urusan ini akan membuat na-
• mamu terkenal di dunia persilatan."
"Terima kasih, Setiaji. Tapi sayang sekali,
aku tidak butuh nama besar. Aku hanya ingin
membantumu. Lain tidak. Nah, sekarang katakan-
lah."
Setiaji tercenung sebentar. Kelihatan kalau
lelaki ini tampak ragu untuk berbicara.
"Sebenarnya aku tidak ingin mencerita-
kannya pada siapa pun. Tapi karena aku tidak
mungkin bisa menyelesaikannya, dan kebetulan
kau bersedia membantu, mau tidak mau cerita ini
terpaksa ku tuturkan padamu. Agar kau menjadi
jelas dengar jalannya kejadian," Setiaji mulai den-
gan ceritanya.
"Puluhan tahun lalu, ayahku adalah seo-
rang pendekar. Telah banyak tokoh hitam yang di-
kalahkan, bahkan ditewaskan dalam upayanya
menumpas angkara murka yang bersemayam di
dunia ini. Pada suatu hari, ayahku bertemu bebe-
rapa tokoh sesat yang menjadi kawan baik dari
orang-orang yang telah tewas di tangannya. Sebe-
narnya, ayahku tidak akan kalah kalau saja mere-
ka bertarung secara jantan. Tapi, mereka berta-
rung secara keroyokan. Ayahku terdesak, dan
mungkin akan tewas kalau tidak muncul seorang
tokoh golongan putih lain. Berdua, mereka bahu-
membahu mengusir penjahat-penjahat hingga
tuntas. Dari situ terjalinlah persahabatan di anta-
ra mereka. Bahkan lalu saling berjanji untuk men-
geratkan persahabatan ini dengan menjodohkan
anak-anak mereka, apabila mempunyai anak yang
berlainan jenis."
Arya diam meski pada saat itu Setiaji
menghentikan ceritanya. Dewa Arak merasakan
adanya nada penyesalan dalam ucapan lelaki ber-
pakaian kuning ini ketika bercerita tentang perjo-
dohan. Arya yang memiliki otak cerdas langsung
bisa memperkirakan kalau masalah yang dimak-
sud Setiaji, sedikit banyak berpangkal dari ikatan
jodoh itu.
"Keinginan ayah dan kawannya terkabul.
Ayah mendapatkanku, seorang anak lelaki. Se-
dangkan kawannya mendapat seorang anak pe-
rempuan. Ketika berumur sepuluh tahun, anak
yang bernama Ambar itu dibawa ayahnya men-
gunjungi kami. Selama beberapa lama, Ambar
menjadi kawan bermain ku. Namun akhirnya kami
berpisah kembali."
Sampai di sini, Setiaji menghentikan ceri-
tanya. Dia termenung agak lama. Raut wajahnya
menyiratkan gambaran berbagai macam perasaan.
Kecewa, gembira, marah, dan sedih. Semuanya
tercampur menjadi satu.
"Ketika aku dewasa, Ayah menyuruhku tu-
run gunung sekaligus memerintahkan pergi ke
tempat Ambar dan ayahnya. Saat itu pula aku di-
beritahukan mengenai jodohku. Namun diam-
diam aku tidak puas, walau tidak ingin menentang
ayahku. Dan sama sekali tidak kusangka kalau
dalam perjalanan aku bertemu seorang gadis can-
tik yang berhasil mencuri hatiku. Namanya, Mar-
ni. Rasa cinta padanya, menyebabkan perjodohan
itu kutolak mentah-mentah. Akibatnya seperti
yang kuperkirakan. Ayah marah dan mengusirku.
Dia tidak menganggapku sebagai anak lagi, karena
merasa malu pada sahabatnya."
"Sahabat ayah tidak bertindak apa-apa, se-
lain membiarkan semua yang telah terjadi. Tapi,
Ambar tidak demikian. Rupanya, dia memang te-
lah mencintai ku. Mengetahui hal yang sebenar-
nya, dia kabur dari rumahnya dan pergi mencari-
ku. Berbulan-bulan dia mencari tanpa hasil, kare-
« na aku saat itu tengah sibuk bertualang bersama
Marni. Tapi, akhirnya kami berhasil diketemukan.
Ambar marah bukan main pada Marni. Sehingga
pertarungan antara mereka pun terjadi. Mereka
sama-sama lihai. Aku yang tidak ingin Marni ter-
luka, ikut campur dan mengusir Ambar. Sejak
saat itu, kabar tentang Ambar tidak terdengar lagi.
Dia bagai lenyap ditelan bumi. Sedangkan kami,
beberapa minggu kemudian menikah. Ayahku ti-
dak menghadiri pernikahanku. Yang ada hanya
pamannya Marni. Beliau pun pergi ke alam baka,
tak lama setelah kami menikah. Aku dan Marni
mencari nafkah dengan menyediakan jasa penga-
walan bagi orang-orang yang ingin bepergian jauh,
atau menyuruh mengantarkan barang. Kami sela-
lu bernasib baik. Sampai akhirnya, tanpa kami
duga-duga dia datang lagi...."
"Ambar...?!" terka Arya, tanpa ragu-ragu.
Setiaji mengangguk pelan.
"Tapi, Ambar kali itu sangat berbeda den-
gan sebelumnya. Dia telah memiliki kemampuan
mengerikan. Dengan mudah, aku dan Marni dika-
lahkan. Kemudian dengan kejam, Marni dibunuh
bahkan aku dibuat cacat seperti ini dengan sabe-
tan rambutnya. Tapi, dasar wanita iblis! Kendati
telah menghancurkan hatiku dengan siksaan, dia
masih belum puas. Sengaja hatiku disiksa lagi
dengan mengatakan akan menghabisi nyawa
ayahku."
Arya mengangguk-angguk. Sekarang baru
dimengerti, mengapa Setiaji berusaha keras untuk
melaksanakan urusannya. Ternyata memang se-
buah tugas penting. Lelaki yang telah buntung se-
pasang kakinya ini harus berlomba dengan waktu,
agar nyawa ayahnya bisa diselamatkan.
"Meski ayah tidak menganggapku sebagai
anak lagi, tapi aku masih tetap menghormatinya.
Kuakui, aku memang bertindak salah. Untuk me-
nebus rasa salahku ini, aku bermaksud memberi-
tahukan adanya ancaman bahaya yang akan da-
tang dari Ambar! Orang yang sama sekali tidak
disangka-sangka, tapi kini telah memiliki kepan-
daian menakjubkan!"
Arya menatap Setiaji dengan sinar mata
kagum. Dia setuju sekali pada pendirian lelaki ini
yang tetap menghormati ayah kandungnya. Bah-
kan menyiksa diri untuk memberitahukan adanya
bahaya mengancam.
"Seperti yang kukatakan semula, aku ber-
sedia menolongmu, Setiaji. Dalam keadaan biasa,
mungkin kau akan dapat cepat memberitahukan
adanya bahaya terhadap ayahmu. Tapi sekarang?
Mau tidak mau kau membutuhkan bantuan. Ku-
rasa, kau lebih baik naik di leherku. Dan aku ber-
lari cepat untuk segera tiba di sana! Bagaimana?!"
"Terserah kau saja, Arya. Aku menurut sa-
ja. Aku percaya kau akan memberi usulan yang
baik!" sahut Setiaji, memberi pilihan pada Arya
untuk menentukan cara.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat naik
ke pundakku, dengan segera."
Setiaji tersenyum. Kedua tangannya segera
menekan tanah. Lalu tiba-tiba tubuhnya melayang
ke atas dan hinggap di tengkuk Arya. Tanpa mem-
buang waktu, Dewa Arak melesat meninggalkan
tempat itu, berlari menuju arah yang ditunjuk Se-
tiaji.
Satu sosok ramping berpakaian hitam ten-
gah berlari cepat, melalui dataran beralas padang
• rumput pendek. Medan itu tidak rata, bergelom-
bang seperti permukaan air laut.
Mendadak sosok ramping itu menghenti-
kan langkahnya. Ketika di depannya telah berdiri
sesosok tubuh tinggi besar. Kepalanya botak den-
gan cambang bauk lebat. Pada punggungnya tam-
pak menyembul dua buah kecer berbentuk bulat
tipis.
"Orang hutan! Cepat menyingkir dari ha-
dapanku sebelum amarahku timbul!" desis sosok
ramping berpakaian hitam yang ternyata seorang
gadis berwajah pucat seperti tak berdarah, dengan
mata mengerikan. Siapa lagi sosok itu kalau bu-
kan Ambar.
"Kau kira aku bisa kau bunuh, sesudah
membunuh kakek-kakek jompo yang dulunya me-
rupakan seorang pendekar yang cukup terkenal
itu?" sahut kakek yang mirip orang hutan itu
sambil tertawa gembira. "Aku Buluk Pitu tak akan
semudah itu dapat ditaklukkan. Bahkan kau yang
akan menjadi hamba sahayaku, Tuan Muda. Ken-
dati demikian, biarlah. Sebelum kau kujadikan
budak, tidak ada salahnya kalau kita bermain-
main sebentar. Aku ingin tahu, sampai di mana
kesaktianmu!"
Tanpa mempedulikan kemarahan Ambar,
laki-laki yang ternyata bernama Buluk Pitu segera
mengambil sepasang kecer yang tergantung di
punggung. Biasanya, setiap tokoh yang mendengar
bunyi kecernya, akan kehilangan tenaga dalamnya
meski untuk sementara. Kaki lemas, karena jan-
tung bergetar hebat
Blammm!
Bunyi berdentam nyaring terdengar, ketika
Buluk Pitu mengadu sepasang kecernya. Bumi ba-
gaikan tergetar hebat. Bahkan batang-batang po-
• hon yang ada di sekitar tempat itu bergetar, sea-
kan gemetar mendengar bunyi kecer itu.
Tapi ternyata bunyi itu sama sekali tidak
mempengaruhi Ambar. Padahal, dara ini hanya
mengebut-ngebutkan rambutnya, ketika kecer itu
dibenturkan! Bahkan dari kebutan rambutnya
timbul angin menderu keras. Tidak keras bila di-
bandingkan bunyi kecer. Tapi, bunyi sudah cukup
untuk meredam pengaruh dahsyat yang timbul
dari bunyi kecer!
Buluk Pitu yang merasa penasaran, segera
mengulangi serangannya. Tapi, hasilnya tetap sa-
ma. Bunyi kecernya tidak berpengaruh apa pun
bagi Ambar. Dan ini membuatnya penasaran bu-
kan main. Maka sambil membentak nyaring, sepa-
sang senjata andalannya dilemparkan! Seketika
bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika dua
benda itu melesat, menyambar dari arah kanan
dan kiri dara berpakaian hitam itu.
Kali ini, Ambar cepat menjulurkan kedua
tangannya ke depan. Maka dua buah kecer berpu-
tar kembali ke pemiliknya sebelum bertemu sepa-
sang tangan yang jari-jarinya terbuka. Malah ke-
cepatan luncurannya jauh lebih cepat dari semula!
Buluk Pitu terperanjat. Kalau bertindak
ayal sedikit saja, senjata akan menghirup darah
tuannya sendiri. Maka luncuran sepasang kecer-
nya disambut dengan kedua tangan terbuka. Se-
bagai pemilik senjata, tentu saja Buluk Pitu den-
gan mudah bisa menaklukkannya.
Tap! Tapp!
Buluk Pitu terhuyung mundur dua lang-
kah, ketika berhasil menangkap sepasang kecer-
nya. Kedua tangannya bergetar hebat. Dari sini
kakek berkepala botak ini benar-benar membuat
gentar bukan main. Buluk Pitu sadar, Ambar me-
miliki kemampuan di atasnya. Melakukan perla-
wanan sama dengan mencari mati! Maka dia mulai
bersiap melaksanakan rencananya.
"Tuan Muda Gautama! Lihat, apa yang ada
di tanganku. Kau harus tunduk!" seru Buluk Pitu
dengan suara penuh pengaruh, sambil mengelua-
rkan sebuah keris kecil bergagang dan berbatang
kuning mengkilat. Benda ini didapatkan Buluk Pi-
tu dari peti mati Tuan Besar Wiraraja.
Tubuh Ambar yang dipanggil sebagai Tuan
Muda Gautama tampak tergetar. Ucapan Buluk Pi-
tu terlihat mempunyai pengaruh terhadap dirinya.
Sepasang matanya yang tadi liar dan penuh hawa
pembunuhan, perlahan melembut. Tapi hal itu
hanya berlangsung sebentar saja. Tak lama dia
menggeram keras. Dan dari sepasang matanya
meluncur cepat dua larik sinar kehijauan ke arah
Buluk Pitu.
6
Buluk Pitu memang belum pernah me-
nyaksikan kedahsyatan sinar hijau yang meluncur
dari kedua bola mata sosok yang dipanggilnya
Tuan Muda Gautama. Tapi sebagai seorang yang
telah kenyang makan asam garam, dia tidak bera-
ni bertindak gegabah. Maka sebelum sinar-sinar
itu menghantam, tubuhnya melompat ke samping
dan bergulingan menjauh.
Benar saja. Dua buah gundukan batu be-
rukuran sedang yang kebetulan berada di bela-
kang Buluk Pitu hancur lebur menjadi sasaran
seiring terdengarnya bunyi ledakan keras. Mata
Buluk Pitu sampai terbelalak saking kagetnya me-
lihat kedahsyatan sinar-sinar hijau itu.
Tapi, Ambar tidak berhenti sampai di situ
saja. Serangan-serangan sinar kehijauan terus di-
lanjutkan. Kini dua larik sinar itu bagaikan tidak
pernah berhenti, terus-menerus mencecar tubuh
Buluk Pitu. Sehingga memaksa kakek itu untuk
bermain kucing-kucingan, melompat ke sana ke-
mari untuk menyelamatkan selembar nyawa.
Tindakan Buluk Pitu menyebabkan sekitar
tempat itu porak-poranda. Rerumputan banyak
yang hangus terbakar, tersambar angin serangan
Ambar. Tanah terbongkar di sana-sini. Asap men-
gepul ke angkasa. Dan pada beberapa tempat, api
berkobar meski hanya kecil saja.
Sambil tetap berlompatan mengelakkan
tangan-tangan maut dari sinar-sinar hijau, Buluk
Pitu memeras otaknya. Dia merasa heran, ketika
sosok yang dipanggilnya Tuan Muda Gautama ti-
dak terpengaruh sama sekali dengan keris dan pe-
rintahnya. Padahal, demikianlah cara yang harus
dilakukan, untuk menguasai roh Tuan Besar Gau-
tama yang telah bangkit lagi
Buluk Pitu tahu, keadaan seperti ini tidak
bisa dibiarkan. Bahkan bukan tidak mungkin ka-
lau nyawanya akan melayang ke alam baka. Pa-
dahal, dia belum ingin melihat alam akherat ken-
dati usianya telah amat tua.
Itulah sebabnya, ketika untuk kesekian
kali serangan sinar-sinar hijau meluncur, sambil
melompat mengelak Buluk Pitu melemparkan se-
pasang kecernya. Sengaja kecer itu dilepas satu
persatu, agar lawannya menyediakan waktu lebih
banyak untuk mematahkan serangan-
serangannya.
Buluk Pitu masih sempat melihat ketika
kecer yang pertama kali dilepaskan terhantam si-
nar hijau dari mata Ambar. Hebatnya, senjata
• yang terbuat dari baja pilihan itu leleh! Dan kecer
kedua tidak sempat dilihat karena Buluk Pitu te-
lah melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan
kecepatan menakjubkan!
Ambar alias Tuan Muda Gautama hanya
bisa memaki kalang kabut ketika calon korbannya
telah lenyap begitu sepasang kecer itu berhasil di-
hancurkannya. Amarahnya yang telah bangkit
membuatnya tidak mau berhenti bertindak sebe-
lum Buluk Pitu binasa. Maka tubuhnya juga mele-
sat mengejar ke arah kepergian Buluk Pitu tadi.
Tapi baru saja beberapa kali lesatan, Am-
bar mendengar bentakan nyaring dari belakang-
nya.
"Berhenti...! Wahai orang yang berlari di
depan, berhenti! Berhenti kau, Pengecut...!"
Kata-kata terakhir membuat Ambar yang
semula tidak ambil peduli jadi menghentikan
langkahnya. Meski telah bukan manusia sewajar-
nya lagi, Ambar tetap memiliki keangkuhan yang
pantang dianggap pengecut. Dengan cepat tubuh-
nya berbalik. Sikapnya terlihat mengancam.
Hanya dalam sekejap, orang yang menegur
itu telah berada di depan Ambar berjarak empat
tombak. Dia ternyata seorang kakek berpakaian
coklat. Kedua kakinya buntung sampai pangkal
paha, digantikan oleh dua batang tongkat. Seperti
juga Ambar, dia terperanjat atas pertemuan ini.
Kini masing-masing pihak saling pandang dengan
alis berkerut seakan saling mengenal,
"Kau..., kau siapa...?! Rasanya aku pernah
melihat wajahmu...?!"
Kakek berpakaian coklat terlebih dulu
membuka percakapan dengan suara bergetar. Se-
pasang matanya terbelalak lebar penuh rasa kaget
ketika melihat wajah Ambar.
"Aku pun rasanya mengenalmu, Kakek!
Hanya saja aku lupa, kapan dan di mana perte-
muan itu berakhir."
Dua pasang mata saling pandang, sebelum
akhirnya berisikan nada-nada kecurigaan.
"Tua Bangka tidak tahu diri! Hentikan uca-
pan tololmu. Aku bukan apa-apamu. Cepat kau
pergi dari sini, sebelum kesabaranku habis!"
Ambar yang lebih dulu sadar dari kesi-
manya, membentak keras setelah yakin kalau ka-
kek berpakaian coklat ini tidak mempunyai hu-
bungan dengannya.
Kakek berpakaian coklat tersenyum getir.
"Pergi itu urusan mudah, apabila semua
urusan telah bisa diselesaikan. Tapi sayang, uru-
san antara kita belum selesai. Aku punya satu
pertanyaan padamu, Nona," balas kakek berkaki
buntung itu.
Sepasang mata Ambar mulai berkilat te-
rang. Sinar kehijauan semakin jelas terlihat. Ka-
kek berpakaian coklat itu tersentak, begitu melihat
adanya sesuatu yang aneh. Namun kakek ini pu-
ra-pura bersikap tidak peduli.
"Beberapa puluh tombak dari tempat ini,
aku menemukan mayat seorang kakek gagah per-
kasa. Aku tahu betul kalau dia dulunya seorang
pendekar besar. Menilik dari keadaan mayatnya,
aku yakin orang yang membunuhnya belum lari
jauh. Dan ternyata, hanya kau yang berada dekat
dengan tempat mayat kakek itu. Jelas, kau mem-
punyai hubungan yang erat dengan tewasnya ka-
kek pendekar itu, Nona."
"Kau memang cerdik, Tua Bangka bau ta-
nah! Akulah yang telah membunuhnya. Tapi,
orang itu memang pantas dibunuh. Aku punya
semboyan hidup. Tidak ada tempat bagi orang
• yang mengkhianati janji. Dan kakek jompo itu te-
lah mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri.
Maka, aku pun membunuhnya! Kalau kau tidak
senang, silakan maju. Biar kuhabisi sekalian
orang-orang yang berani menentangku!"
Kakek berpakaian coklat menghela napas
berat. Kepalanya menggeleng-geleng seperti layak-
nya orang yang merasa prihatin.
"Sayang sekali, Nona. Kau sebenarnya ma-
sih muda. Jalan hidupmu masih panjang. Menga-
pa memilih jalan sesat dan bukan jalan lurus?!
Sadarlah! Jangan kau jerumuskan dirimu ke da-
lam jurang kehancuran!"
"Tutup mulutmu!"
Ambar yang merasa tidak senang diberi
nasihat, segera melancarkan serangan mempergu-
nakan sepasang matanya. Dua sinar yang memili-
ki kekuatan daya hancur luar biasa seketika melu-
ruk ke arah sang kakek.
"Uts...!"
Kakek berpakaian coklat melompat meng-
hindari serangan. Dia tahu, sinar hijau itu memi-
liki kekuatan dahsyat Rasanya tidak akan ada
senjata apa pun yang mampu menahannya!
Serangan-serangan gencar sinar hijau yang
keluar dari sepasang mata Ambar benar-benar
membuat kakek berpakaian coklat yang tak lain
Wara Kuri untuk berlompatan ke sana kemari.
Tindakannya membuat keadaan sekitar itu menja-
di porak-poranda.
"Ih...!"
Wara Kuri terperanjat ketika merasakan
adanya tarikan kuat ketika baru saja melompat
untuk mengelakkan serangan sinar hijau dari ma-
ta Ambar. Sementara, dara berpakaian hitam itu
terus menjulurkan tangan dengan kedua telapak
• terkembang, melakukan gerak menarik.
Wara Kuri yang tengah berada di udara, ti-
dak mampu berbuat sesuatu untuk bertahan.
Apalagi tidak ada pijakan.
Pada saat yang merugikan bagi Wara Kuri,
Ambar mengirimkan serangan maut dengan sinar
matanya!
Wesss...!
Dua larik sinar hijau meluncur, menghan-
tam luncuran tubuh Wara Kuri yang tertarik ke
arah Ambar.
Wara Kuri benar-benar berada dalam pili-
han sulit. Keadaannya tidak memungkinkan un-
tuk mengelak. Jalan satu-satunya untuk menye-
lamatkan diri, hanya menangkis. Tapi bila me-
nangkis sinar maut dalam jarak yang demikian
dekat, memiliki kemungkinan untuk menerima
akibat yang sangat parah.
Di saat yang amat gawat bagi keselamatan
nyawa Wara Kuri, terdengar bunyi hembusan ke-
ras diiringi hawa panas menyengat. Datangnya,
dari belakang Wara Kuri terus meluncur memapak
dua larik sinar hijau!
Bresss! Blarrr...!
Bumi bagaikan tergetar begitu dua larik si-
nar hijau dari mata Ambar berbenturan dengan
hembusan angin panas yang keras. Sekitar tempat
itu bagaikan digoyang tangan raksasa. Sedang
akibatnya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam ke-
jadian itu, lebih hebat lagi.
Tubuh Ambar terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang. Tapi, tubuh sosok bayangan
ungu yang melancarkan pukulan jarak jauh ber-
• hawa panas dari belakang Wara Kuri, melayang
deras ke belakang bagai daun kering dipermain-
kan angin!
Wara Kuri yang berada dalam kancah per-
tarungan ketika dua kekuatan dahsyat bertemu
sekujur tubuhnya terasa seperti dimasuki ribuan
semut. Saat itu, Ambar menggerakkan tangan me-
nyerang perut Wara Kuri. Jarak antara mereka se-
benarnya tidak memungkinkan bagi Ambar untuk
mengirimkan serangan. Apalagi Ambar melancar-
kan serangan tanpa bergeming dan tempatnya.
Tapi, Ambar ternyata sudah memperhi-
tungkan. Tangannya ternyata dapat memanjang
seperti karet. Jarak yang seharusnya tidak ter-
jangkau berhasil dilompati. Dan....
Bresss...!
"Aaaa...!"
Tak pelak lagi, jari-jari tangan gadis berpa-
kaian hitam ini menembus perut Wara Kuri hingga
tembus ke punggung. Darah berhamburan dari
bagian yang robek lebar.
Kakek itu kontan menjerit memilukan. Ta-
pi, Ambar sama sekali tidak peduli. Tanpa ada pe-
rubahan sedikit pun pada wajahnya yang pucat
pasi, tangannya ditarik kembali dengan gerakan
mengoyak. Sehingga, membuat luka Wara Kuri
semakin parah. Kemudian, sambil tertawa terkikih
tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Am-
bar sama sekali tidak ingat pada orang yang telah
memapak sinar hijau dari matanya.
Tak lama sepeninggalnya, dari balik kerim-
bunan semak-semak tempat terlemparnya sosok
yang tadi memapak serangan, melangkah ter-
huyung-huyung dua sosok yang bertumpuk men-
jadi satu. Sosok yang satu berada di atas sosok
yang lain. Mereka adalah Dewa Arak dan Setiaji
• yang berada diatas pundaknya.
Dengan langkah terhuyung-huyung karena
rasa pusing amat sangat yang masih melanda,
Arya memaksakan diri menghampiri Wara Kuri
tergolek. Pemuda berambut putih keperakan ini
tahu, keadaan kakek itu telah amat mengkhawa-
tirkan. Kalau tidak bertindak cepat, nyawanya ke-
buru melayang ke alam baka. Kendati Arya tahu,
Wara Kuri tak bakal bisa diselamatkan mengingat
keadaannya yang terlalu mengkhawatirkan. Tapi
setidak-tidaknya, kakek itu mungkin akan me-
ninggalkan pesan.
Sebelum Arya berada di dekat Wara Kuri,
dari arah yang berlawanan melesat sesosok
bayangan serba merah. Gerakannya cepat bukan
main. Hanya dalam sekejapan, sosok itu telah be-
rada di dekat tubuh Wara Kuri
Bahkan dia berjongkok, memperhatikan
luka kakek berpakaian coklat itu penuh selidik.
Helaan napas berat keluar dari mulut so-
sok ini. Kepalanya pun menggeleng. Kemudian
tangan kanannya diulurkan. Dan dengan kecepa-
tan menakjubkan, tangannya bergerak menotok
sekitar luka untuk menghentikan aliran darah
agar Wara Kuri tidak mati lemas.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat.
Sayang, aku tidak akan bisa membalasnya. Tapi
aku, Wara Kuri, bukan orang yang tidak kenal bu-
di. Bila di dunia ini aku tidak mampu membalas,
maka di penghidupan yang lain, akan kucoba un-
tuk membalas budimu ini," ujar Wara Kuri terpa-
tah-patah.
"Tidak usah memikirkan masalah itu, Wara
Kuri. Aku tidak membutuhkan balas budi. Kehadi-
ranku di tempat ini pun, hanya sebuah kebetulan.
Aku sebenarnya sudah tidak berhasrat untuk ter-
• jun dalam dunia persilatan. Tapi karena sesuatu
hal, dan karena keteledoran dua orang muridku,
terpaksa aku turun gunung meninggalkan tempat
pengasinganku yang nikmat. Dan aku terjun kem-
bali ke dalam kerasnya kancah dunia persilatan
yang menjijikkan," sahut laki-laki berbaju merah
ini.
Wara Kuri tertawa terkekeh walau dengan
susah payah.
"Kita ternyata mempunyai nasib yang sa-
ma, Sobat. Kita tidak termasuk orang-orang yang
beruntung. Aku pun sebenarnya sudah tidak ingin
terjun dalam dunia persilatan. Tapi sebuah keja-
dian yang mengerikan dan amanat dari majikan-
ku, membuat aku tidak bisa mengelak. Akhirnya
aku harus mengalah pada nasib. Aku harus me-
ninggalkan dunia ini, tanpa bisa menyelesaikan
amanat majikanku. Nasib memang mempermain-
kan manusia, Sobat"
Sosok berpakaian merah ternyata seorang
lelaki berjenggot panjang sampai ke dada. Usianya
sekitar enam puluhan tahun, tapi masih tampak
gagah. Kumisnya yang masih hitam dan melintang
menambah kegagahannya. Di waktu mudanya, dia
pasti seorang pemuda yang amat tampan dan gagah.
"Ternyata kita mempunyai masalah yang
sama, Wara Kuri. Hanya saja kau harus pergi se-
belum masalahmu berhasil diselesaikan. Sedang-
kan aku masih terus mencari. Entah sampai ka-
pan hal ini baru bisa terungkap. Atau mungkin
aku akan mengalami kejadian sepertimu. Mening-
galkan dunia ini tanpa berhasil mengupas masa-
lah yang menggayuti benakku," kata laki-laki ber-
pakaian merah.
"Boleh kutahu, apa yang mendorongmu
terjun ke dalam dunia persilatan, Sobat?!" tanya
Wara Kuri ingin tahu.
"Bangkitnya mayat dari kematiannya," ja-
wab lelaki berpakaian merah, langsung pada sasa-
ran.
Wara Kuri mengeluarkan keluhan tertahan.
"Mengapa?!" tanya lelaki berpakaian merah
ini heran.
"Masalah yang tengah kita hadapi ternyata
sama," jelas Wara Kuri cepat
"Jadi..., kau pun...."
"Benar," Wara Kuri mengangguk. Kemu-
dian secara singkat tapi jelas, kakek berpakaian
coklat ini menceritakan semuanya. Sampai lawan
bicaranya mengerti dengan masalah yang tengah
dihadapinya.
"Kau sendiri bagaimana?!" tanya Wara Ku-
ri.
"Hampir sama," jawab lelaki berpakaian
merah. Dahinya tampak berkerut dalam seperti
tengah berpikir keras. "Aku mempunyai dua orang
murid. Yang pertama, bernama Gempita. Dan yang
satu lagi, bernama Marong. Pada suatu hari, me-
reka datang membawa seorang wanita yang ham-
pir mati. Keadaannya tidak terurus. Bahkan boleh
dibilang tak ubahnya gembel. Ingatannya hampir
hilang. Aku yakin wanita ini telah mendapatkan
guncangan batin yang berat, sehingga membuat-
nya seperti gila. Menilik dari gerak-geriknya, aku
tahu wanita ini bukan orang sembarangan. Seti-
dak-tidaknya murid seorang sakti. Terbukti meski
dalam keadaan kurang ingatan, ilmunya masih
cukup hebat. Wanita itu bernama Ambar."
Arya dan terutama sekali Setiaji yang juga
mendengarkan percakapan itu, merasa kaget bu-
kan main. Jantung Setiaji bahkan seperti berhenti
berdetak mendengar cerita itu. Jadi, Ambar benar-
benar menderita!
"Karena perawatan kami yang tak kenal le-
lah, Ambar berhasil disembuhkan. Tapi sayang se-
ribu kali sayang, Ambar terjatuh dalam tangan
seorang ahli ilmu hitam yang berhati keji. Ambar
menuntut ilmu hitam yang aneh-aneh. Bahkan
sampai akhirnya, Ambar tewas dalam mempelajari
ilmu itu. Syarat yang terlalu berat, membuat nya-
wanya melayang. Tapi justru itu sebenarnya yang
diinginkan gurunya yang memang berhati keji. Dia
ingin menciptakan budak yang mau melakukan
semua perintahnya, tanpa membantah sedikit
pun. Dan itu hanya dapat diperoleh, bila Ambar
telah menjadi mayat kemudian bangkit lagi. Tentu
saja begitu telah menjadi mayat hidup, kesaktian
Ambar akan berlipat ganda. Dengan demikian, pe-
nyihir jahat itu jadi memiliki seorang budak yang
amat taat, sekaligus luar biasa sakti."
Wara Kuri diam. Dia merasa takjub men-
dengar cerita itu. Sedangkan Arya dan terutama
sekali Setiaji baru menyadari mengapa Ambar jadi
demikian sakti. Rupanya, Ambar telah mati. Am-
bar telah menjadi semacam budak yang hanya ta-
hu melaksanakan perintah. Tanpa sadar, sepa-
sang mata Setiaji berkaca-kaca, karena rasa haru.
Betapapun juga, lelaki ini merasa bertanggung ja-
wab atas malapetaka yang menimpa Ambar.
"Dengan sebuah siasat, aku berhasil men-
curi mayat Ambar. Aku tidak ingin, dia dijadikan
budak. Setelah berhasil, aku mencari tahu bagai-
mana caranya untuk menghentikan semua kegi-
laan itu. Akhirnya, aku pun mendapatkannya.
Ambar harus dikubur, sebelum hujan lebat ber-
henti. Bahkan sebelum sinar bulan berwarna me-
rah. Karena bila itu terjadi, malapetaka akan
muncul. Dari tempat tinggalku kupantau keadaan
muridku. Sebenarnya, aku yakin mereka akan
berhasil. Tapi ternyata gagal. Dari tempatku, aku
tahu kalau dua muridku itu telah tewas."
"Apakah orang yang dimaksud muridmu
itu seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada,
dan seorang lelaki kecil kurus? Dan mereka pun
naik kereta?!" tanya Wara Kuri, untuk memastikan
ketika teringat akan hal mayat yang ditemukan-
nya.
"Benar," sahut lelaki berpakaian merah itu
mengangguk.
"Mereka memang telah tewas. Dan tempat
terjadinya adalah di makam milik keluarga maji-
kanku. Asal tahu saja, tempat itu sebenarnya ter-
larang bagi orang luar. Pemakaman itu adalah
pemakaman keluarga. Dan, tidak untuk orang
lain. Tapi, murid-muridmu telah lancang mengu-
bur mayat Ambar di sana. Dan aku bisa memper-
kirakan apa yang terjadi, " papar Wara Kuri, men-
geluh panjang pendek.
"Apa?" lelaki berpakaian merah jadi ingin
tahu.
"Wanita muda itu berhasil hidup, karena
adanya roh milik Tuan Muda Gautama yang diku-
bur di situ. Pada saat-saat tertentu, roh itu me-
mang muncul ke permukaan. Biasanya, itu terjadi
setiap sebulan sekali. Dan aku yakin, roh itulah
yang membuat mayat Ambar hidup kembali."
"Mungkin kau benar, Wara Kuri. Tapi,
mungkin kau mau mendengar penjelasanku.
Mayat Ambar itu tidak untuk dikuburkan di tem-
pat makam majikanmu. Aku tidak tahu. Bahkan
muridku juga tak tahu kalau di sana ada makam.
Mereka dan aku telah sepakat untuk mengubur-
kannya di sebuah tempat. Tapi, entah mengapa
mereka memilih makam milik majikanmu. Aku ti-
dak mengerti maksud mereka. Tapi yang jelas, apa
yang ku takuti telah terjadi. Mereka menanam
mayat setelah hujan berhenti dan juga sinar bulan
merah telah muncul. Padahal, aku telah berpesan
berkali-kali agar jangan sampai itu terjadi. Karena
jika sampai demikian, nyawa mereka tak akan se-
lamat"
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan?!"
tanya Wara Kuri, ingin tahu.
"Aku belum tahu," desah lelaki berpakaian
merah menggeleng. "Entah nanti."
"Sayang sekali, Sobat," desah Wara Kuri
dengan suara penuh sesal. "Kalau saja aku tidak
ceroboh, aku mungkin akan dapat melenyapkan
angkara murka Ambar dengan mudah. Majikan
tuanku telah meninggalkan pusaka untuk melum-
puhkan kekuatan roh anaknya. Pusaka itu berupa
keris bergagang kuning. Demikian juga batangnya.
Sayang, senjata itu telah diambil Buluk Pitu. Aku
khawatir dengan senjata itu, Buluk Pitu akan ber-
hasil mengendalikan Ambar."
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar.
"Jangan khawatir, Wara Kuri. Apa yang
kau khawatirkan tidak akan terjadi. Senjata yang
kau sebutkan, tidak mempan terhadap Ambar. Di
perjalanan aku melihat Buluk Pitu sampai memaki
kalang kabut dan membuang sebuah benda yang
ternyata bernama Keris Emas. Bahkan sempat
kudengar dia memaki-maki Ambar. Berarti, keris
itu tidak bisa digunakan untuk mempengaru-
hinya."
Wajah Wara Kuri berubah, membesi. Bi-
asan wajah dan sinar matanya memancarkan rasa
tersinggung yang besar.
7
"Kau terlalu merendahkan pusaka keluarga
Wiraraja, Sobat. Apakah pusaka kau yang lebih
ampuh daripada pusaka itu? Kau tahu, Tuan Be-
sarku yang bernama Tuan Wiraraja memiliki pen-
getahuan luas. Dan keris yang kau rendahkan itu-
lah yang dikatakan Tuan Wiraraja, akan berhasil
membuat mayat hidup itu tidak bangkit lagi untuk
selamanya," kata Wara Kuri, berapi-api.
Rasa tersinggung membuat ucapan Wara
Kuri kelihatan menggebu-gebu. Dan itu terlalu
memaksakan keadaan diri. Padahal, keadaannya
telah sangat payah, sehingga membuatnya batuk-
batuk darah.
"Maaf, maaf. Bukannya aku bermaksud
demikian, Wara Kuri. Aku yakin pusaka itu am-
puh. Bahkan aku percaya, Tuan Wiraraja berkata
benar. Mayat Gautama akan roboh untuk selama-
lamanya, apabila terhunjam Keris Emas. Tapi per-
lu kau ketahui, mayat yang bangkit itu bukan
mayat Gautama. Tapi, mayat orang lain. Ambar
namanya."
"Sama saja!" cela Wara Kuri "Bukankah
bangkitnya mayat itu, karena roh Tuan Muda
Gautama?!"
"Ucapanmu hanya benar sedikit, Wara Ku-
ri. Mayat Ambar tidak bangkit karena roh Tuan
Muda Gautama. Mayat itu bangkit karena ulah to-
koh seperti yang kuceritakan. Roh Gautama hanya
mempercepat bangkitnya mayat itu. Seharusnya,
sehari setelah dikuburkan, baru Ambar akan
bangkit. Tapi keberadaan roh Gautama, memper-
cepat kebangkitannya. Aku mempunyai alasan
kuat untuk hal ini. Buktinya, yang dicari mayat
Ambar adalah orang-orang yang telah membuat-
nya sakit hati. Kalau roh Gautama yang berada
dalam diri Ambar, pasti yang didahulukan adalah
kepentingan Gautama!" jelas lelaki berpakaian me-
rah dengan sabar!
Wara Kuri diam.
"Mungkin kau benar, Sobat," kata kakek ini
setelah terdiam sejenak. "Maafkan atas sikapku
yang tidak patut."
"Lupakanlah, Wara Kuri. Aku memaklumi
perasaanmu. Pergilah dengan tenang. Percayalah.
Kau tidak mempunyai beban batin lagi. Karena,
roh Gautama belum keluar. Dan mudah-mudahan
tidak keluar. Ada pun mengenai peti mati Wirara-
ja, biar aku yang mengurusnya," janji lelaki berpa-
kaian merah.
"Terima kasih, Sobat"
Dan kepala Wara Kuri pun terkulai. Kakek
ini meninggalkan dunia dengan hati belum tenang.
Sambil menghembuskan napas berat, lelaki ber-
pakaian merah itu bangkit. Kemudian kepalanya
menoleh ke belakang, pada Arya dan Setiaji yang
sejak tadi menyaksikan perdebatan.
"Siapa kalian?! Apakah mempunyai hu-
bungan dengan urusan yang tengah kami hada-
pi?!" tanya lelaki berpakaian merah, penuh selidik.
"Aku Arya, dan kawanku ini Setiaji," jawab
Aiya, cepat
"Gadis yang kau sebut sebagai Ambar, ada-
lah bekas tunanganku. Sebelumnya, aku tidak ter-
libat dalam urusan ini. Tapi, karena dia telah
membunuh istriku dan melakukan kekejian den-
gan membuntungi kakiku maka aku harus terlibat
dalam urusan ini. Bahkan dia mengancam akan
membinasakan ayahku. Hal inilah yang memba-
waku kemari. Mudah-mudahan saja beliau belum
mengalami kejadian yang ku khawatirkan."
Lelaki berpakaian merah menghela napas
berat
"Lebih baik kalian urungkan niat kalau in-
gin selamat. Mayat hidup itu tidak akan bisa di-
tandingi. Dia memiliki kemampuan tak masuk ak-
al. Bahkan aku pun tak yakin akan bisa menga-
lahkannya. Meskipun demikian, tetap akan ku
usahakan untuk melenyapkannya selama-
lamanya."
"Demikian pula denganku, Kek," timpal
Arya, tenang. "Memang kuakui, Ambar memiliki
kemampuan luar biasa. Tapi, kewajiban untuk
mencegah terjadinya angkara murka di dunia per-
silatan, membuatku tidak mempunyai alasan lain.
Aku rela kehilangan nyawa untuk menegakkan
keadilan," tandas Dewa Arak.
"Begitu pula denganku!" sambut Setiaji
mantap dan tegas.
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar.
Matanya menatap Arya dan Setiaji dengan sorot
mata kagum. Dia tahu, tengah berhadapan dengan
orang-orang muda berjiwa gagah dan tidak takut
menghadapi kematian.
"Kalian pemuda hebat! Pendekar-pendekar
yang tidak mementingkan diri sendiri. Aku senang
berkenalan dengan kalian. Namaku, Kerta Bumi.
Nama yang tidak terkenal karena aku hanya seo-
rang yang tinggal di gunung dan tidak pernah ber-
kiprah dalam dunia persilatan. Sayang, karena
keadaan yang tidak memungkinkan, aku tidak bi-
sa berlama-lama bercakap-cakap dengan kalian.
Aku harus pergi untuk mencegah terjadinya hal
yang lebih mengerikan!"
"Apa yang hendak kau lakukan, Kek?!"
tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Mencegah ahli ilmu hitam yang kejam itu
dalam memperbudak Ambar demi kepentingannya
sendiri! Nah! Selamat tinggal!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya dan Se-
tiap, Kerta Bumi melesat. Hanya dalam beberapa
kali lesatan, tubuhnya telah berubah menjadi titik
hitam yang semakin lama semakin kecil. Dan ak-
hirnya, lenyap di kejauhan.
"Mari, Arya. Kita harus bergegas. Aku kha-
watir, Ambar akan tiba lebih dulu menjumpai
ayahku."
"Mudah-mudahan saja tidak, Setiaji. Bu-
kankah dia tidak tahu tempat tinggal ayahmu se-
karang? Akan makan banyak waktu baginya un-
tuk menemukan ayahmu. Aku yakin, kita akan ti-
ba lebih dulu darinya."
Mulutnya berkata demikian, tapi Dewa
Arak mengayunkan kaki juga meninggalkan tem-
pat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini me-
lesat cepat, mengerahkan seluruh kemampuan-
nya.
"Ayah...!"
Begitu melihat pondok kecil yang diketahui
sebagai tempat tinggal ayahnya, Setiaji telah berte-
riak keras. Meski Dewa Arak saat itu tengah mele-
sat menuju ke tempat itu, lelaki yang sudah tidak
sabar lagi langsung melompat dari atas pundak
Arya.
"Ayah...!"
Setiaji kembali berseru tanpa menyembu-
nyikan perasaan khawatirnya, begitu telah tiba di
ambang pintu. Sementara Arya yang menyusul se-
kejap kemudian, mengerutkan kening ketika meli-
hat bagian dalam pondok yang porak-poranda ba-
gai dilanda angin besar. Pemuda ini tahu, ada
orang yang telah datang ke tempat ini dan menim-
bulkan kerusakan. Mungkinkah Ambar?!
Sedangkan Setiaji segera masuk ke dalam
pondok, memeriksa setiap ruangan yang ada sam-
bil berseru-seru memanggil ayahnya. Tapi sampai
semua tempat dijelajahi, yang dicari tetap tidak di-
temukan.
"Ayahku tidak ada Arya," desah lelaki ber-
pakaian kuning ini pada Arya yang menatap ke
arahnya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Syukurlah. Itu berarti ayahmu selamat,"
sahut Arya, kalem.
"Hm..., Atas dasar apa kau berani menga-
takan demikian, Arya? Ketidakberadaan mayat
ayahku di sini?! Tidakkah kau lihat keadaan yang
berantakan?! Dari sini saja bisa diketahui ada
orang yang telah datang ke tempat ini, dan mem-
porak-porandakannya. Siapa lagi kalau bukan
Ambar?! Aku yakin, ketidakberadaan mayat ayah-
ku di sini, karena telah dibawa gadis liar itu untuk
disiksa sebelum mati!" tandas Setiaji berapi-api.
"Aku tidak yakin dengan tanggapanmu itu,
Setiaji," Arya bersikeras dengan pendapatnya. "Ka-
lau benar Ambar hendak menyiksanya untuk apa
ayahmu dibawanya. Dan itu hanya menyusahkan
diri. Aku lebih condong kalau dia menyiksa dan
membunuhnya di tempat ini. Tapi, itu bila benar
seperti yang kau duga."
Arya dan Setiaji berbareng mengalihkan
perhatian ke luar pondok, begitu terdengar bunyi
langkah kaki berat yang mendekati tempat mereka
berada. Dari sini bisa diduga kalau orang itu tidak
memiliki ilmu meringankan tubuh. Andaikata
punya paling hanya sekadarnya saja.
Sungguh pun demikian, Setiaji dan Arya ti-
dak kehilangan semangat untuk memeriksanya.
Mereka cepat melesat ke depan. Dan hanya den-
gan sekali lesatan, telah berada di depan pintu.
Orang yang melangkah sampai terjingkat
ke belakang bagai disengat binatang berbisa, keti-
ka tahu-tahu dua sosok tubuh berada di depan-
nya.
"Paman Nanggal!" seru Setiaji gembira.
Sapaan itu membuat seorang lelaki berusia
sekitar empat puluh lima tahun wajahnya hitam
kecoklatan tak mampu menutupi pucat pasinya.
Yang semula kelihatan terkejut bukan main, jadi
memperhatikan dua sosok di depannya. Dia mena-
tap tak percaya pada sosok Setiaji yang mengelua-
rkan teguran.
"Kau...,kau..., Aden Setiaji...?!" tanya
Nanggal setengah tidak percaya.
Terutama sekali, ketika pandangannya ter-
tumbuk pada sepasang kaki lelaki itu yang telah
buntung.
"Benar, Paman. Aku Setiaji. Bagaimana ka-
barmu, Paman. Apakah baik-baik saja?! Di mana,
Ayah?! Mengapa rumah ini demikian beranta-
kan?!" tanya Setiaji bertubi-tubi.
Wajah Nanggal berubah. Kelihatan bingung
sekali.
"Aku baik-baik saja, Den. Tapi, tidak demi-
kian ayahmu. Beliau mempunyai nasib buruk se-
perti juga kau. Ah, Den Setiaji. Apa yang telah ter-
jadi atas dirimu?! Mengapa kedua kakimu bisa
demikian, Den?!"
"Nanti akan kuceritakan, apabila aku telah
mempunyai kesempatan, Paman. Saat ini aku ten-
gah tergesa-gesa. Aku tidak ingin sesuatu terjadi
atas diri Ayah. Katakan, apa yang telah terjadi ter-
• hadap ayahku, Paman Nanggal?!"
"Kejadiannya belum lama terjadi, Den.
Hanya berbeda waktu setengah hari denganmu.
Iblis itu datang dan mencari ayahmu. Aku tidak
tahu, apa yang terjadi sebelumnya. Karena aku ti-
dak mau mencampuri urusan antara mereka. Tapi
sesaat kemudian, kudengar bunyi ribut-ribut. Ter-
nyata, ayahmu telah bertarung melawan iblis itu
yang berkepandaian hebat sekali. Sebentar saja,
ayahmu terdesak hebat Dan akhirnya, dia roboh.
Kemudian, iblis itu membawanya. Aku takut seka-
li, Den. Maka, aku bersembunyi. Aku baru keluar,
ketika kudengar bunyi gaduh dari tempat ini lagi.
Kukira, iblis itu datang lagi untuk membunuhku.
Aku menjadi nekat, mendekati tempat ini. Dan
aku telah siap menyabung nyawa. Tak tahunya,
malah kau dan kawanmu ini yang datang. Ah! Be-
tapa leganya hatiku, Den. Hanya saja...."
"Bisa kau beritahukan padaku, bagaimana
ciri-ciri iblis itu, Paman?!" selak Setiap tak saba-
ran. "Apakah dia seorang wanita?!"
"Benar, Den," Nanggal mengangguk. "Masih
muda lagi...! Pakaiannya serba hitam. Tetapi sepa-
sang matanya yang mengerikan membuatku ta-
kut!"
Setiaji dan Arya saling berpandangan. Da-
lam adu tatap yang hanya sebentar, mereka sama-
sama bisa menduga siapa orang yang membawa
mayat ayahnya Setiaji. Iblis yang dimaksud Nang-
gal itu adalah Ambar!
"Kau tahu ke arah mana iblis itu memba-
wanya lari, Paman?!" tanya Arya, tak sungkan-
sungkan lagi menyapa seperti halnya Setiaji.
Arya tahu, kalau Nanggal ini sebenarnya
bukan Pamannya Setiaji. Melainkan, pembantu se-
jak Setiaji kecil.
Nanggal menggeleng. Setiaji dan Arya men-
geluh dalam hati. Tanpa adanya petunjuk yang je-
las, mereka akan kehilangan jejak Ambar.
"Tapi, aku sempat mendengar ucapannya
setelah iblis itu berhasil membunuh dan memba-
wa ayahnya Den Setiaji. Di antara derai tawanya,
iblis itu mengatakan kalau akan membawa ayah-
mu pada ayahnya untuk mempertanggungjawab-
kan tindakannya."
Wajah Setiaji kontan berseri-seri.
"Terima kasih, Paman."
"Kau tahu, di mana tempat tinggal dua
orang tua Ambar, Setiaji?!" tanya Arya.
"Tentu saja! Mari kita ke sana!"
Brukkk!
Bunyi berdebuk nyaring yang menjadi per-
tanda jatuhnya benda berat ke tanah, membuat
seorang lelaki tinggi tegap berkumis melintang
yang tengah bersemadi membuka matanya dengan
sikap kaget. Lelaki yang telah berusia sekitar lima
puluh lima tahun ini langsung melompat ke bela-
kang, bersiap menghadapi sesuatu yang tidak di-
inginkan.
"Kaget, Ayah?!"
Seruan melengking nyaring membuat lelaki
berkumis melintang ini semakin kaget. Suara itu
amat akrab di telinganya, sejak belasan tahun
yang lalu. Suara yang selama ini dirindukannya.
Pandangannya di arahkan pada sosok yang men-
geluarkan seruan, setelah terlebih dulu menatap
benda, yang menimbulkan bunyi gaduh tadi.
Benda itu ternyata sosok manusia yang te-
lah cukup dimakan usia. Bahkan ternyata dikenal
baik oleh lelaki berkumis melintang ini. Maka un-
tuk ketiga kalinya lelaki ini terperanjat.
"Kau..., kau..., Ambar...?!" tanya lelaki ber-
kumis melintang itu. Suaranya menyiratkan keti-
dak-percayaan yang mendalam. Sepasang ma-
tanya menelusuri sekujur tubuh gadis berpakaian
hitam yang berdiri di hadapannya.
"Ayah kira siapa?! Apakah Ayah mempu-
nyai anak lagi selain aku..."!
Sepasang mata lelaki berkumis melintang
berkaca-kaca. Bibirnya pun bergetar keras.
"Anakku..., Ambar.... Ah! Akhirnya kau
kembali juga, Nak...?!"
Lelaki ini bergerak menghampiri. Sementa-
ra Ambar menghambur menubruk tubuh ayahnya
dan membenamkan diri di pelukannya. Ayah dan
anak ini saling rangkul. Hanya saja, bila lelaki
berkumis melintang tampak terharu bukan main,
Ambar biasa-biasa saja. Tetap dingin.
Gadis ini diam saja ketika ayahnya sibuk
memelukinya. Bahkan beberapa saat kemudian,
tubuh lelaki tua itu didorongnya. Pelan tapi terasa.
"Ah...! Apa yang terjadi denganmu Ambar?!
Kau pergi demikian lama. Ayah berusaha menca-
rimu ke mana-mana, tapi selalu gagal. Karena pu-
tus asa, Ayah kembali kemari. Ayah pikir, apabila
kau suatu saat merasa rindu pasti akan datang ke
tempat ini. Kau tahu, hanya ini tempat tinggal ki-
ta."
"Aku datang kemari untuk memberi orang
yang telah ingkar janji pada ayah. Barangkali saja
Ayah ingin menghukumnya," Ambar mengalihkan
persoalan.
Lelaki berkumis melintang yang ternyata
ayahnya Ambar menautkan alis. Sekarang dia ba-
ru merasakan adanya kejanggalan ini. Tapi, dia ti-
dak terlalu larut oleh perasaan kaget dan tidak
percaya. Sehingga, tidak melihat adanya keane-
han. Sekarang setelah perasaan-perasaan itu me-
reda, baru terlihat jelas.
"Apa maksudmu, Ambar?!" tanya lelaki
berkumis melintang, belum mengerti permasala-
han.
Lelaki ini mengajukan pertanyaan sambil
menatap wajah anaknya penuh selidik. Perasaan
heran, takut, dan ngeri pun timbul. Ambar jauh
berbeda dengan yang dulu. Kendati wajahnya ma-
sih tetap cantik, tapi hiasan wajah menyiratkan
kebengisan. Bahkan sepasang matanya meman-
carkan sorot mengerikan. Lelaki tegap ini bergidik.
Apa yang telah terjadi dengan putrinya?
8
"Kurasa lebih baik Ayah periksa bangsat
itu!" tuding Ambar pada sosok yang tadi dijatuh-
kannya di depan ayahnya.
Lelaki berkumis melintang semakin heran.
Nada ucapan Ambar berbeda dengan yang dulu.
Demikian kasar! Kendati demikian, keinginan agar
tidak menimbulkan masalah di saat pertemuan
yang seharusnya dirayakan dengan gembira,
membuat dia mengikuti perintah putrinya.
Tambah lagi, lelaki ini belum sempat mem-
perhatikan lebih seksama sosok yang tadi mem-
buat semadinya buyar. Lelaki ini merasakan jan-
tungnya berdetak jauh lebih cepat ketika baru dis-
adari kalau telinganya tadi tidak mampu menden-
gar bunyi langkah Ambar. Bahkan kedatangannya
pun sama sekali tidak diketahuinya, sampai gadis
itu sendiri yang memberitahukan kedatangannya.
Ini berarti, Ambar memiliki ilmu meringankan tu-
buh luar biasa dahsyatnya! Sampai sedemikian
tinggikah kemajuan yang didapat Ambar dalam
waktu singkat?
Dan pertanyaan dalam hatinya kontan
membuyar ketika lelaki berkumis melintang ini
mulai memperhatikan sosok yang berada di de-
pannya dalam keadaan menelungkup. Bentuk tu-
buh itu serasa dikenalnya.
Perasaan itu, membuat lelaki ini mengge-
rakkan kaki kanan ke tanah satu kali. Maka tu-
buh yang tertelungkup segera terguling hingga
menelentang.
"Garuda Mata Emas...?!" desis lelaki ber-
kumis melintang kaget, ketika mengenali sosok
yang telentang. Seorang kakek kecil kurus, ber-
muka merah dan bermata kuning.
"Benar, Ayah," Ambar mengangguk. "Dia
Garuda Mata Emas. Kawan Ayah yang telah bera-
ni-beranian menghina keluarga kita, dengan men-
gingkari janji yang telah dibuatnya sendiri."
Lelaki berkumis melintang ini tertegun se-
bentar. Pandangannya berganti-ganti menatap
Ambar dan Garuda Mata Emas. Dia masih bin-
gung, membayangkan mengapa Ambar bisa mem-
bawa Garuda Mata Emas sebagai tawanan. Pa-
dahal lelaki ini tahu betul, siapa Garuda Mata
Emas. Seorang tokoh golongan putih yang memili-
ki kepandaian tinggi. Bahkan hatinya tidak yakin
mampu mengalahkan kakek bermata kuning itu.
Lalu, bagaimana caranya Ambar bisa menjadikan-
nya sebagai tawanan?! Mungkinkah Ambar telah
memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Garuda
Mata Emas?! Tapi, mungkinkah itu?! Rasanya
mustahil!
"Bagaimana, Ayah? Mengapa Ayah malah
tercenung? Tidak senangkah Ayah akan tindakan-
ku ini? Aku sengaja membawa si keparat ini ke-
mari agar Ayah sendiri yang memberi hukuman
padanya," tegur Ambar membuat pertanyaan di
hati laki-laki itu buyar.
Lelaki berkumis melintang bergidik. Dira-
sakannya ada nada dingin dalam kata-kata Am-
bar. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung
dalam dunia persilatan, dia tahu kalau nada se-
perti itu biasa keluar dari mulut orang-orang go-
longan hitam. Orang-orang yang telah kehilangan
perasaannya. Hal ini membuatnya semakin heran.
Apa yang telah terjadi dengan putrinya hingga
sampai seperti ini?
Lelaki berkumis melintang mulai memper-
hatikan lebih jauh. Dan dia pun mulai menemu-
kan keanehan lain. Wajah Ambar tampak pucat
dan dingin, sehingga kelihatan menyeramkan.
Apalagi, jika ditambah sepasang mata yang memi-
liki sorot aneh mengerikan. Seketika bulu kuduk-
nya meremang berdiri.
"Berilah keputusan, Ayah. Atau, Ayah me-
nyerahkan hukuman itu padaku?! Jangan khawa-
tir, Ayah. Aku akan memberi siksaan yang akan
membuat tua bangka itu menyesal!" kata Ambar
lagi dengan nada tidak sabar melihat ayahnya be-
lum juga memberi tanggapan.
"Omongan macam apa itu, Ambar?!"
Kemarahan lelaki berkumis melintang ini
akhirnya meledak.
"Kau terlalu buta oleh dendam dan sakit
hati! Itulah sebabnya, kau tidak bisa membedakan
mana yang benar dan mana yang salah! Dendam
membuatmu kurang ajar dan lancang! Justru kau-
lah yang akan ku hukum atas hinaan-hinaan yang
kau lontarkan pada Garuda Mata Emas!" dengus
• laki-laki ini.
Sepasang mata Ambar kontan berkilat-
kilat. Sinarnya mulai bersemu kehijauan. Ayahnya
sampai tercekat melihat hal ini.
"Keanehan apa lagi yang akan kulihat?" ba-
tin lelaki ini berbicara.
Namun dengan cepat, lelaki ini menghi-
langkan rasa aneh yang dialami.
"Kau tahu, Ambar. Garuda Mata Emas ti-
dak bersalah! Dia telah berusaha semampunya
agar janjinya bisa terwujud. Tapi, Setiaji, calon jo-
dohmu itu tetap berkeras dengan penolakannya.
Bahkan dia rela diancam untuk tidak diakui seba-
gai anak! Garuda Mata Emas tak kalah menderita
daripada kita, Ambar. Dia malu karena tak bisa
memenuhi janji. Bahkan sampai kehilangan seo-
rang anak. Penderitaan batinnya berat. Dan seka-
rang, kau masih hendak menghukumnya?! Kau
pun telah dengan lancang memaki-makinya! Be-
baskan dia, Ambar. Dan kau pun harus minta
maaf padanya."
Tanpa menyahuti, Ambar segera berbalik.
Pandangannya ditujukan pada sebuah batu di luar
rumah. Lalu...
Blarrr!
Sebongkah batu sebesar gajah yang berada
empat tombak di sebelah kiri depan Ambar hancur
lebur. Ternyata sinar hijau dari mata gadis itu
menerpanya. Ambar yang tidak bisa lagi menahan
amarahnya, menujukan sinar hijau itu pada batu
untuk melampiaskan amarahnya.
Lelaki berkumis melintang sampai terjing-
kat kaget melihat hal ini. Apa yang dilihat, baru
pertama kali dalam hidupnya. Belum pernah ada
tokoh persilatan yang sakti bagaimanapun, mam-
pu menghancurkan batu besar dengan sinar dari
• mata! Tapi, kenyataannya Ambar mampu melaku-
kannya!
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu,
Ayah. Kedatanganku kemari bukan meminta nasi-
hat. Apalagi, ceramahmu. Aku datang untuk me-
nyerahkan keparat yang telah ingkar janji ini pada
Ayah. Dan kau harus menghukumnya. Kalau kau
tidak bersedia, biar aku yang akan melakukan-
nya."
"Tidak, Ambar!" cegah lelaki berkumis me-
lintang tegas, seraya berdiri di antara Ambar dan
tubuh Garuda Mata Emas. "Tak akan kubiarkan
kau melakukan tindakan tersesat itu! Sebelum
kau membunuh Garuda Mata Emas, kau harus
melangkahi mayatku dulu!"
Ambar mundur selangkah. Tanggapan
ayahnya benar-benar di luar dugaannya. Semula
dikiranya, ayahnya akan dengan senang melaku-
kan tindakan untuk membalas sakit hati. Nya-
tanya, Ambar kecele!
Ambar memang telah menjadi mayat hi-
dup. Tapi rasa hormat terhadap ayahnya di saat
masih hidup, ternyata tidak sirna. Oleh karena itu,
tantangan lelaki berkumis melintang membuatnya
bingung.
"Mengapa mundur?! Bukankah sekarang
kau telah menjadi orang sakti?! Mengapa takut?!
Ayo maju! Bunuh aku!"
Lelaki berkumis melintang malah mende-
sak-desak. Dia terus melangkah maju. Tindakan
ini memaksa Ambar untuk mundur terus.
"Ha ha ha...!"
Terdengar bunyi tawa bergelak. Mendadak
di saat Ambar terus mundur. Sementara, ayahnya
terus maju mendesak.
Ambar dan ayahnya terkejut. Hampir ber-
* bareng, keduanya menoleh ke arah asal suara. Di
sana telah berdiri seorang kakek kecil kurus ber-
jenggot panjang. Tangan kanannya buntung mulai
dari pergelangan.
"Diam kau...!" Lelaki berkumis melintang
membentak. "Segera tinggalkan tempat ini, Sobat.
Tidak pantas mencampuri urusan antara seorang
ayah dan anaknya!"
Kakek berjenggot panjang tertawa bergelak.
"Sudah mau mampus masih banyak lagak!
Ambar! Bunuh dia...!"
Ambar yang sejak kedatangan kakek ber-
jenggot panjang itu menatap dengan sinar mata
penuh dendam, tubuhnya langsung tersentak ke-
tika mendengar kata-kata si kakek. Perhatiannya
terkesima bagai patung batu. Tapi, hanya sebentar
saja.
Kini Ambar menatap ayahnya.
"Ayah, cepat tinggalkan tempat ini! Cepat,
sebelum terlambat!" seru Ambar. Tiba-tiba timbul
rasa kekhawatiran di hatinya.
Lelaki berkumis melintang membaui
adanya bahaya. Dia tahu, pasti ada hubungannya
dengan kedatangan kakek berjenggot panjang ini.
Maka setelah menatap kakek itu dan Ambar ber-
ganti-ganti
"Heaaa...!"
Ayah Ambar berteriak keras laksana bina-
tang buas terluka. Kemudian dia melompat mener-
jang.
"Ambar...! Cegah dia! Bunuh..,!"
Kakek berjenggot panjang berteriak dengan
suara mengandung getaran kuat.
Ambar yang sejak tadi merasa khawatir,
sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi bergetar. Lalu
dengan geraman keras, tangan kanannya dijulur-
* kan seperti karet hingga panjangnya dua kali lipat.
Arah yang dituju adalah ayahnya.
Tappp!
Lelaki berkumis melintang tercekat hatinya
ketika pergelangan kakinya yang sebelah kiri tera-
sa ada yang menangkap. Hal ini membuat lompa-
tannya terhenti di tengah jalan.
Bresss!
Tanpa memberi kesempatan lagi, Ambar
langsung membanting tubuh ayahnya
Bantingan yang keras, membuat sekujur
tulang-belulang lelaki berkumis melintang itu te-
rasa bagai rontok. Saat itu, Ambar yang telah be-
rada dalam pengaruh kakek berjenggot panjang
mengirimkan serangan maut dengan mempergu-
nakan matanya.
Namun belum sempat sinar itu menghan-
tam, tubuh ayahnya Ambar tahu-tahu bergerak
bagai ditarik sesuatu yang tak nampak.
Blarrr!
Tanah tempat kakek berkumis melintang
tadi ambrol ketika sinar hijau itu menghantam.
"Ambar...! Kau benar-benar anak durha-
ka...!" seru sesosok bayangan.
Ambar menggeram keras penuh kemarahan
melihat campur tangan dua sosok yang telah
menolong ayahnya. Yang seorang duduk di pun-
dak seorang pemuda berambut putih keperakan.
Dan mereka tak lain dari Dewa Arak dan Setiaji!
Baru saja Setiaji membentak, kembali
membersit sinar hijau dari mata Ambar. Sasaran-
nya, jelas dia dan Dewa Arak.
"Awas, Arya...!" seru Setiaji memperin-
gatkan.
Dewa Arak yang telah mengetahui kedah-
syatan dua larik sinar itu tidak berani bertindak
gegabah. Maka cepat dia melompat menghinda-
rinya.
Ambar merasa geram bukan kepalang keti-
ka melihat serangannya gagal menemui sasaran.
Segera disusulinya dengan serangan berikut seca-
ra bertubi-tubi. Maka, Dewa Arak pun dibuat si-
buk bukan main. Tubuhnya berlompatan ke sana
kemari untuk menyelamatkan diri.
Cukup menarik gerakan-gerakan Dewa
Arak. Dia seperti bermain-main dalam menghinda-
ri sinar-sinar hijau yang berasal dari sepasang ma-
ta Ambar. Terlambat sedikit untuk mengelak, be-
rarti maut
"Gautama...!"
Di antara sibuknya pertarungan yang ter-
jadi antara Dewa Arak dengan Ambar, terdengar
panggilan. Tidak keras, tapi mampu mengatasi ke-
riuh-rendahan yang ada.
Aneh! Ambar tiba-tiba menghentikan se-
rangannya. Kepalanya cepat menoleh ke arah asal
suara sapaan.
Arya dan Setiaji yang ikut menoleh juga,
tercekat hatinya ketika melihat ke arah asal suara.
Mereka melihat satu sosok dengan sekujur tubuh-
nya telah rusak dan tidak bisa dikenali. Bau bu-
suk yang menyengat hidung menjadi pertanda ka-
lau sosok ini adalah mayat hidup. Bahkan sempat,
beberapa ekor belatung menggeliat-geliat di bebe-
rapa bagian tubuh sosok yang telah rusak itu
"Ayah...."
Terdengar suara serak dan parau, yang
ternyata berasal dari mulut Ambar. Sebuah suara
yang pantas dikeluarkan seorang lelaki.
Sementara itu kakek berwajah kuning yang
memiliki jenggot panjang kelihatan gelisah bukan
main. Dia mulai membaui adanya hal-hal yang ti-
• dak beres. Menurutnya mayat hidup yang baru da-
tang ini, bisa membuat segalanya menjadi kacau.
Di lain pihak, Setiaji dan Arya memperha-
tikan penuh rasa tertarik. Mereka agak heran dan
bingung melihat perkembangan yang tidak dis-
angka-sangka. Mengapa Ambar disapa dengan
nama Gautama? Dan anehnya, mengapa gadis itu
menyapa mayat hidup yang baru datang ini seba-
gai ayah?
Arya yang cerdik langsung teringat cerita
Wara Kuri. Gautama yang dimaksud mayat hidup
yang sekujur tubuhnya telah hancur ini, pasti
Tuan Muda Gautama. Dan berarti mayat hidup ini
yang tiba-tiba muncul adalah Tuan Besar Wirara-
ja? Yang menjadi pertanyaan, mengapa Ambar ta-
hu-tahu bertindak sebagai Gautama?
Sementara itu, kakek berjenggot panjang
yang melihat adanya ancaman terhadap keberha-
silan usahanya, tidak membuang-buang waktu la-
gi. Sambil mengeluarkan teriakan keras menggele-
gar, diterkamnya mayat hidup yang diduga Tuan
Besar Wiraraja.
"Gautama, cepat bertindak. Tunggu apa
lag!?! Cepat! Ini kesempatan terakhir! Atau..., kau
ingin rohmu menderita selamanya?!" ujar mayat
hidup yang telah membusuk itu lagi.
Ambar yang dipanggil Gautama, bergetar
sekujur tubuhnya seperti terkena demam tinggi.
Jelas, kata-kata mayat yang telah membusuk itu
mempunyai pengaruh besar terhadapnya.
Beberapa saat sebelum serangan kakek
berjenggot panjang yang berupa babatan golok be-
sar ke arah leher mencapai sasaran, Ambar ber-
tindak cepat menggiriskan. Langsung dikirimnya
serangan berupa dua larik sinar hijau ke arah ka-
kek berjenggot panjang. Keberadaan tubuhnya di
« udara, dan tidak adanya tempat berpijak, yang
membuat serangan Ambar tidak bisa dielakkan-
nya.
Wesss...! Crasss!
"Aaaa...!"
Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh
kakek berjenggot panjang hancur lebur terterpa
sinar hijau. Kepingan tubuhnya yang berceceran
jatuh di muka bumi. Mati.
"Sekarang, kembalilah ke tempatmu semu-
la berada, Gautama," ujar mayat hidup itu lagi.
"Baik, Ayah," sahut roh Gautama yang ti-
dak mempunyai pilihan lain lagi, karena takut
dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan pa-
danya.
Sekejap kemudian, dari atas kepala Ambar
melesat cepat sinar berwarna terang kekuningan
ke udara kemudian lenyap.
Saat yang tepat, mayat hidup yang dikenal
sebagai Tuan Besar Wiraraja bertindak cepat. Di-
ambilnya sebatang pisau dari selipan pinggangnya.
Kemudian, senjata tajam itu dilemparkan ke arah
Ambar yang masih berdiam diri.
Settt!
Dewa Arak dan Setiaji kaget bukan main.
Mereka ingin berbuat sesuatu untuk mencegah,
tapi tidak sempat yang dapat dilakukan hanya
menatap dengan mata terbelalak lebar. Dan....
Crapp!
"Aaakh...!"
Ambar yang masih berdiri di tempatnya ba-
gai patung, menjerit tertahan ketika pisau me-
nembus dada kirinya, tepat menusuk jantung. Se-
telah menggigil sejenak, tubuhnya roboh ke tanah
seperti sehelai karung basah dengan mata melolot.
Tewas untuk yang kedua kalinya.
"Ambar...!"
Lelaki berkumis melintang yang juga ayah-
nya Ambar menghambur sambil menjerit memilu-
kan.
"Ayah...!"
Setiaji juga ikut menghambur. Hanya saja
tujuannya ke arah Garuda Mata Emas.
Sedangkan Arya menatap mayat hidup
pembunuh Ambar. Sikapnya siap tarung.
"Masalah sudah selesai, Arya. Ingat! Aku
adalah lelaki berpakaian merah. Terpaksa rohku
kulepas dan masuk ke dalam mayat Tuan Wiraraja
untuk membereskan keangkaramurkaan ini," jelas
mayat hidup yang telah membusuk itu.
"Bukankah katamu yang merajalela me-
nyebar maut adalah Ambar yang akan dijadikan
budak oleh seorang ahli ilmu hitam?!" desak Arya,
ingin tahu.
"Benar. Dan orang yang mati hancur itu
adalah ahli ilmu hitam yang ku maksud. Dia ber-
juluk Iblis Pemuja Setan. Niat jahatnya iblis itu ti-
dak berhasil baik. Bahkan menjadi bumerang buat
dirinya sendiri. Itu karena kelalaiannya. Dia tidak
tahu kalau di samping roh Ambar, masih ada roh
Gautama. Dan roh Gautamalah yang menyebab-
kan Ambar bangkit kembali lebih cepat dari seha-
rusnya. Meski demikian, roh Ambar tetap berkua-
sa. Apalagi, Gautama juga tidak ingin menyeraka-
hi tempat yang bukan miliknya."
"Sekarang aku mengerti," kata Arya sambil
mengangguk. "Ambar yang memang sudah dipatok
oleh Iblis Pemuja Setan untuk menjadi budaknya,
tidak bisa menolak. Maka, kau tadi mengancam
roh Gautama yang tidak berada di bawah penga-
ruh ahli ilmu hitam itu. Dan juga, kekuatan roh
Gautama cukup dahsyat. Sewaktu roh Gautama
* pergi, roh Ambar masih belum pulih kesadaran-
nya. Saat itulah kau bertindak. Luar biasa! Kau
memang hebat, Sobat"
"Terima kasih atas pujiannya. Meski demi-
kian, tanpa bantuanmu mana mungkin aku bisa
berhasil?!"
Usai berkata demikian, mayat hidup Tuan
Wiraraja mengalihkan perhatian ke arah lain.
Tampak Setiaji dan lelaki berkumis melintang ten-
gah sibuk dengan urusan masing-masing.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Iblis Buta
Emoticon