1
Seorang pemuda tampan bermuka persegi me-
langkah setengah berlari. Ia menghampiri pondok se-
derhana yang berada belasan tombak di depannya. Pe-
muda itu terlihat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan
persegi itu hanya mengenakan rompi dari kulit hari-
mau. Pondok yang dituju pemuda berompi kulit hari-
mau tidak dapat dikatakan bagus. Sekelilingnya di pa-
gari potongan-potongan bambu setinggi pinggang. Ru-
mah itu sendiri terletak di tengah-tengah. Kelihatan ke-
cil dan ringkih karena berada di hamparan tanah luas
yang ditumbuhi rumput-rumput liar.
Pemuda berwajah persegi menghentikan lang-
kahnya tepat di ambang pintu pagar bambu. Daun pin-
tunya sendiri sudah tidak menempel lagi, tapi tergolek
di bagian dalam.
Pemuda berompi kulit harimau itu memperhati-
kan sekeliling dengan wajah berduka. Sudut demi sudut
tempat itu dirayapi dengan sepasang matanya yang
mencorong tajam. Sorot sepasang mata yang terlindung
alis tebal berbentuk golok itu menyiratkan ketidakper-
cayaan.
"Ibu...!" desis pemuda berompi kulit harimau.
Suaranya agak tersendat "Apa yang telah terjadi pada-
mu?"
Pandangan pemuda itu berhenti pada tanaman
bunga yang berada di sisi kanan dan kiri rumah. Bun-
ga-bunga itu layu, bahkan beberapa di antaranya mati.
Padahal, ibunya amat sayang pada tanaman-tanaman
itu. Ibunyalah yang menanam dan merawatnya. Menga-
pa sekarang bunga-bunga itu sampai tidak terurus?
Perasaan khawatir terbit di hati pemuda berwa-
jah persegi. Setelah berhasil mengatasi sergapan rasa
harunya, pemuda itu bergegas melangkah memasuki
halaman.
Blosss!
"Hey!"
Pemuda berwajah persegi menjerit kaget. Tanah
berumput yang diinjaknya amblas ke bawah membawa
tubuhnya. Tanah yang dipijaknya ternyata tidak padat,
hanya berupa lapisan saja. Di bawahnya tampak tom-
bak-tombak berujung runcing siap menyate tubuh pe-
muda itu!
Meski kaget, pemuda berwajah persegi tidak ke-
hilangan kepandaian. Sebelum menimpa ujung-ujung
tombak yang runcing, ilmu meringankan tubuhnya se-
gera dikerahkan untuk membuat kecepatan luncuran
tubuhnya melambat. Kedua tangannya digerak-
gerakkan seperti seekor burung yang mengepakkan
sayap.
Ringan dan perlahan kedua kaki pemuda berwa-
jah persegi menjejak ujung-ujung tombak. Bahkan, alas
kakinya tidak tergores sedikit pun.
Pemuda berompi kulit harimau ini menghela na-
pas lega seraya menghapus keringat yang membasahi
dahinya. Perasaan kaget dan tegangnya sedikit berku-
rang. Kemudian ia mendongakkan kepala untuk melihat
permukaan lubang. Dalam lubang ini tak kurang dari
empat tombak. Jarak yang cukup tinggi. Bahkan, terla-
lu jauh untuk dapat di lompati.
Pemuda ini tidak terlalu lama berdiri di atas
ujung-ujung tombak. Seperti orang yang berjalan di
tempat datar, ia mengayunkan kaki mendekati sisi lu-
bang. Sejenak pemuda itu terdiam sebelum menempel-
kan kedua telapak tangannya yang terbuka ke dinding
lubang. Lalu, bagai seekor cecak pemuda berwajah per-
segi merayap naik ke atas!
Dalam waktu singkat saja pemuda berwajah
persegi telah mencapai mulut lubang dan keluar dari
dalamnya. Tampaknya sedikit peluh membasahi wajah-
nya.
"Ha ha ha...!"
Gemuruh suara tawa membuat pemuda berwa-
jah persegi menolehkan kepala ke belakang. Tawa men-
gejek itu pastilah ditujukan padanya.
Di luar pagar bambu berdiri sesosok tubuh yang
membuat mata pemuda berompi kulit harimau itu ter-
belalak lebar. Sosok itu kelihatan aneh. Bertubuh amat
pendek seperti anak berusia sepuluh tahun. Pendek dan
gemuk! Kepalanya tidak ditumbuhi rambut sehelai pun.
Wajahnya yang kelimis tampak seperti orang yang sela-
lu bergembira. Semua anggota tubuh sosok ini serba
bulat! Perutnya yang gendut terlihat jelas karena tidak
tertutup rompi merah yang dikenakannya.
"Aku tidak pernah mimpi melihat seekor monyet
cilik yang dungu terjeblos ke dalam sebuah lubang! Lu-
cu sekali! Ha ha ha...!"
Wajah pemuda berompi kulit harimau merah
padam. Ia merasa malu dan tersinggung. Pemuda itu
menduga sosok pendek gemuk yang meski bentuk tu-
buhnya kecil, tapi usianya tak kurang dari lima puluh
tahun. Pemuda berwajah persegi ini tidak tahu kalau
sosok pendek gemuk itu telah berusia delapan puluh
tahun lebih!
Pemuda berwajah persegi tidak berani lancang
menurutkan perasaan hatinya untuk balas memaki.
Kakek pendek gemuk itu bukan orang sembarangan.
Tawa yang dikeluarkan kakek itu membuat dadanya
bergetar hebat.
Setelah menatap kakek pendek gemuk sekilas,
pemuda berwajah persegi membalikkan tubuh dan
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana. Kakek
pendek gemuk tidak menghalangi maksud pemuda be-
rompi kulit harimau. Bahkan, dia mengiringi ayunan
kaki pemuda berwajah persegi dengan tawa mengejek.
"Ibu...!"
Pemuda berompi kulit harimau berteriak me-
manggil ketika telah berada di depan pintu pondok.
"Ibu...! Ini aku anakmu pulang...!"
Tidak terdengar sahutan meski pemuda itu me-
nunggu beberapa saat lamanya. Kesabaran pemuda itu
habis. Dengan kedua tangan didorongnya daun pintu.
Ternyata tidak terkunci. Namun ketika daun pintu ter-
kuak sedikit, terdengar bunyi nyaring di susul dengan
desingan tajam. "Ah...!"
Pemuda berwajah persegi berseru kaget melihat
beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya. Den-
gan sigap tubuhnya dilempar ke belakang sehingga
anak panah meluncur lewat tanpa mendapat hasil.
"Ha ha ha...!"
Kakek pendek gemuk yang masih berada di luar
pagar kembali tertawa bergelak. Menertawakan pemuda
berompi kulit harimau yang dua kali hampir mati.
"Lucu sekali...! Hampir saja monyet dungu ini
menjadi sate monyet. Ha ha ha...! Lucu...! Lucu seka-
li...!"
Kali ini pemuda berompi kulit harimau tidak bi-
sa menahan sabar lagi.
"Siapa kau, Kakek? Mengapa memperhatikan
gerak-gerikku? Tinggalkan tempat ini sebelum kesaba-
ranku habis! Aku tidak ingin menghajarmu. Tapi, bila
kau terus seperti ini jangan salahkan kalau aku yang
muda bertindak kasar terhadapmu!" tegur pemuda ber-
wajah persegi.
"Ha ha ha...!"
Sambutan kakek pendek gemuk malah tawa
bergelak. Sepasang matanya sejenak berkilat mengeri-
kan memancarkan hawa maut.
"Seekor monyet muda yang telah dua kali ham-
pir mati berani mengancamku? Ha ha ha...! Dunia be-
nar-benar sudah gila. Rupanya kau memiliki nyali ma-
can, Monyet Dungu! Aku jadi ingin melihat kesabaran
mu habis. Tapi, sebelum itu aku ingin mempertunjuk-
kan sebuah permainan yang menarik untukmu!"
Kakek pendek gemuk meletakkan ujung jari te-
lunjuknya di bawah pagar bambu yang malang. Pagar
itu memang terbuat dari belahan-belahan bambu yang
disusun malang melintang. Ada dua deretan bambu
yang malang. Kakek pendek gemuk meletakkan telun-
juknya pada bagian bambu yang di atas.
Kakek itu menggetarkan tangannya sejenak. Ti-
ba-tiba sebagian pagar bambu tercabut dari dalam ta-
nah. Panjang pagar bambu yang terpisah dari deretan
pagar kira-kira dua tombak. Kakek pendek gemuk lalu
menggerakkan jari telunjuknya ke atas. Pagar bambu
itu pun melayang ke atas bagai dilontarkan tenaga rak-
sasa.
Di saat pagar bambu kehabisan daya luncuran,
kakek pendek gemuk menjulurkan tangannya ke arah
pagar bambu itu. Terdengar bunyi berderak ketika ka-
wat yang mengikat batang-batang bambu tercerai-berai
dan melayang turun.
Kali ini kakek pendek gemuk menjulurkan tan-
gan kiri seraya memekik pelan. Bagai digerakkan orang,
bambu-bambu itu meluncur ke depan dan menancap
rapi di pinggir lubang tempat pemuda berwajah persegi
terperangkap!
Wajah pemuda berompi kulit harimau berubah
hebat. Pertunjukkan kakek pendek gemuk jelas meru-
pakan hal yang luar biasa. Kakek itu mempunyai tenaga
dalam yang sangat tinggi sehingga mampu memper-
mainkan batang-batang bambu itu sekehendak hatinya.
Tenaga dalam itu jadi bagai tangan tak nampak!
"Kau memang hebat, Kek." Pemuda berwajah
persegi menelan ludah untuk membasahi tenggorokan-
nya yang mendadak kering. "Tapi, bukan berarti kau bi-
sa seenaknya saja menghina diriku. Aku bukan orang
yang takut menghadapi kematian!"
"Bagus. Bagus. Kau menyenangkan hatiku.
Anak Muda. Kau tidak pantas lagi kupanggil monyet
dungu. Aku suka dengan orang-orang yang berjiwa
pemberani! Tidak mau merengek-rengek. Aku jadi lebih
ingin mengenalmu lebih jauh. Apa hubunganmu dengan
pemilik rumah itu?"
"Aku anaknya!" tandas pemuda berwajah perse-
gi-
"Ah...! Begitukah?"
Pemuda berwajah persegi diam-diam memperha-
tikan suatu keanehan pada diri kakek pendek gemuk.
Dalam keadaan apa pun wajah kakek itu tetap cerah
dan penuh senyum, seperti orang yang memiliki hati
welas asih. Mungkin dalam keadaan marah sekalipun
wajah kakek itu tetap penuh dengan senyum.
"Menurut berita yang kudengar rumah itu milik
istri Iblis Buta. Apakah kau anak dari tokoh yang ter-
kenal itu?" tanya kakek pendek gemuk dengan senyum
menghias bibir.
"Tak salah!" Pemuda berwajah persegi mengang-
guk. "Aku adalah anak Iblis Buta. Namaku Dirgantara!"
"Kalau begitu, sungguh merupakan hal yang
menguntungkan. Tidak mendapatkan ayahnya, anak-
nya pun jadi. Setidak-tidaknya, andaikata Iblis Buta
demikian pengecut dan tetap tidak berani memuncul-
kan diri, kau akan menjadi gantinya!"
"Apa maksudmu, Kek?" tanya Dirgantara dengan
perasaan tidak enak. Dia melihat adanya permusuhan
antara kakek pendek gemuk dengan ayahnya, Iblis Buta.
"Masih kurang jelaskah bagimu, Monyet Dungu?
Ayahmu telah melakukan sebuah kesalahan terha-
dapku. Dia telah lancang tangan membunuh muridku.
Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku kecuali turun gu-
nung dan membalaskan sakit hati ini. Karena kau orang
yang mempunyai hubungan darah dengan Iblis Buta,
kau harus menanggung akibat perbuatan ayahmu. Ha
ha ha...!"
Dirgantara mengepalkan kedua tinjunya yang kekar.
"Tidak semudah itu kau melakukannya, Kek!"
"Ha Ha ha...! Kau terlalu besar kepala, Monyet
Dungu! Jangankan kau, gurumu sendiri tidak akan
mampu melawanku. Pernahkah gurumu bercerita ten-
tang datuk sesat dunia persilatan yang sekitar tiga pu-
luh tahun lalu mengasingkan diri?"
Wajah Dirgantara berubah. Gurunya memang
pernah bercerita tentang hal itu. "Jadi..., kau.... Setan
Gila?!"
"Ha ha ha...! Benar sekali...!" Kakek pendek ge-
muk tertawa bergelak. "Mungkin sekarang kegilaan ku
telah jauh berkurang. Sudah hampir empat puluh ta-
hun aku mengasingkan diri, hingga banyak hal yang
kulupakan. Bahkan, kebiasaan-kebiasaan ku!"
Dirgantara memang telah mendengar mengenai
kakek pendek gemuk ini dari gurunya. Setan Gila yang
terkenal karena ketinggian ilmu dan kekejamannya.
Tanpa membuang-buang waktu, segera Dirgantara
mencabut tongkat bambu yang sejak tadi tersampir di
punggung sebagaimana pedang.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa melihat Dirgan-
tara mencabut senjatanya. "Jadi gurumu si Petani Be-
rambut Putih? Ha ha ha...! Bukankah dugaanku benar,
Monyet Dungu? Sejak kulihat bambu kuning itu di
punggungmu aku sudah bisa menduga siapa gurumu.
Asal kau tahu saja, Monyet Dungu, gurumu apabila
bertemu denganku akan berlutut dan meminta ampu-
nan. Dan...."
"Tutup mulutmu dan lihat senjata...!"
Dirgantara yang tidak senang mendengar gu-
runya dihina segera memutar bambu kuning sepanjang
pedang di tangannya. Bambu kuning itu lenyap menjadi
segulungan sinar kekuningan yang mengeluarkan bunyi
mengaung keras seperti sekelompok lebah murka.
Kakek pendek gemuk hanya tersenyum lebar.
Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Baru ketika
Dirgantara telah berada dekat dengannya dan serangan
bambu pemuda itu hampir mengenai tubuhnya, kakek
pendek gemuk bertepuk tangan sekali.
Glarrr!
Dirgantara yang tengah melayang di udara dan
siap menusukkan bambu kuningnya merasakan ada
halilintar menyambar dekat telinga. Keras bukan main
sehingga tidak hanya telinganya saja yang mendadak
tuli, tapi juga dadanya bergetar hebat. Tenaga yang ter-
kumpul buyar seketika karena tubuhnya mendadak le-
mas. Bahkan, tubuh pemuda ini sampai terhuyung-
huyung dan hampir jatuh ketika berhasil menjejak ta-
nah.
Kakek pendek gemuk membuka mulutnya dan
meniup. Angin luar biasa keras berhembus sehingga
Dirgantara yang masih dalam pengaruh tepukan itu ti-
dak kuat bertahan. Tubuh pemuda itu terjengkang ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Sambil tertawa bergelak, kakek Setan Gila me-
nudingkan jari telunjuknya. Dirgantara menyeringai ke-
tika merasakan sekujur tubuhnya lemas ketika bahu
kanannya terkena totokan. Setan Gila telah menotoknya
dari jauh, Bagi orang yang memiliki tingkat tenaga da-
lam seperti Setan Gila merupakan sesuatu yang mudah
untuk melakukan hal itu.
Setan Gila terkekeh girang. Kakinya yang pen-
dek dan bulat seperti kaki gajah dihentakkan ke tanah
sekali. Tubuh Dirgantara pun melayang ke arah kakek
pendek gemuk itu.
Setan Gila yang sudah mengembangkan kedua
tangan untuk menangkap tubuh Dirgantara terpaksa
menarik kembali ketika terdengar bunyi berdesing nyar-
ing. Kakek itu melihat benda-benda halus berwarna pu-
tih meluncur ke arahnya. Semula meluncur ke arah da-
da, tapi di tengah jalan berpencar. Masing-masing ben-
da halus yang diketahui Setan Gila sebagai rambut ma-
nusia itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan
di tubuhnya.
Setan Gila mundur selangkah seraya memper-
dengarkan tawa keras hingga perutnya berguncang.
Rambut-rambut yang semula menegang kaku bagai ja-
rum-jarum panjang itu melemas. Dan, ketika kakek
pendek gemuk meniupnya rambut-rambut itu runtuh
ke tanah.
Pada saat yang bersamaan tubuh Dirgantara
pun jatuh ke tanah dengan keras karena tidak ada yang
menyambutinya.
"Ha ha ha...! Kiranya kau penyabotnya. Pan
tas...! Apa gerangan yang membuatmu turun dari per-
tapaan, Jerangkong Penjagal Nyawa?!" seru Setan Gila
dengan senyum lebar, kendati hatinya terkejut bukan
main. Kaget dan dongkol karena tahu akan menghadapi
saingan berat. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah salah
satu dari dua datuk tua yang telah puluhan tahun
mengundurkan diri.
Jerangkong Penjagal Nyawa seorang kakek yang
berusia tak kurang dari seratus tahun. Ia mendengus
mendengar ucapan Setan Gila. Wajahnya yang berben-
tuk tirus dan selalu tampak muram bertambah keruh.
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa dan bentuk tubuh-
nya memang merupakan kebalikan dari Setan Gila. Je-
rangkong Penjagal Nyawa bertubuh tinggi kurus. Ting-
ginya hampir satu setengah kali tinggi manusia normal.
Ia kurus bukan main seperti tulang dibungkus kulit.
Pakaian yang dikenakannya putih bersih namun kebe-
saran hingga senantiasa berkibaran ketika tertiup an-
gin.
"Kau sendiri mengapa keluar dari tempat penga-
singanmu, Gendut?" Sambil berkata demikian, Jerang-
kong Penjagal Nyawa melirik tubuh Dirgantara yang ter-
golek di tanah. Tubuh pemuda berompi kulit harimau
itu tergolek tepat di antara kedua kakek ini.
Dirgantara yang mendengarkan adu mulut itu
hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia tahu keadaannya
amat berbahaya. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah
saingan berat Setan Gila. Setan Gila saja sudah tidak
bisa ditanggulangi. Maka, kedatangan Jerangkong Pen-
jagal Nyawa semakin memperburuk keadaan. Tubuhnya
yang lemas karena tertotok membuatnya hanya bisa
berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Yang dapat di-
lakukan Dirgantara hanya mendengarkan pertengkaran
Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila serta berha-
rap agar di antara mereka timbul pertarungan yang
akan membuatnya mendapat kesempatan untuk mela-
rikan diri.
Sementara, Setan Gila yang mendapat perta-
nyaan dari Jerangkong Penjagal Nyawa malah tertawa
bergelak.
"Keluarnya aku dari pertapaan mempunyai tu-
juan yang jelas, Kurus!" Setan Gila tak mau kalah ger-
tak. "Muridku tewas di tangan Iblis Buta. Mau tidak
mau terpaksa aku harus turun tangan untuk memba-
laskan kematiannya. Betapapun juga dengan tewasnya
muridku, Iblis Buta telah berani menantangku!"
"Alasan yang dibuat-buat!" tandas Jerangkong
Penjagal Nyawa, tajam. "Lalu, apa hubungannya dengan
pemuda ini? Aku tahu murid Petani Berambut Putih ini
anak Iblis Buta. Tapi, mengapa kau mempermainkan-
nya dan berusaha menjadikannya sandera agar Iblis
Buta tidak melakukan perlawanan?"
"Kau keliru, Kurus! Sama sekali tidak kusangka
kepalamu yang kecil itu sejak dulu tetap mempunyai
otak yang kecil pula. Setelah membunuh muridku, Iblis
Buta menyembunyikan diri karena takut pembalasan-
ku. Untuk memancing kedatangannya, aku terpaksa
menyandera anaknya!"
Cuhhh!
Dengan kasar Jerangkong Penjagal Nyawa melu-
dah ke tanah begitu Setan Gila menyelesaikan ucapan-
nya.
"Orang lain bisa kau bohongi, Gendut! Tapi, aku
tidak akan bisa kau tipu! Aku tahu betul maksudmu
menyandera anjing kecil ini untuk memaksa Iblis Buta
memberitahukan di mana benda yang kau idam-
idamkan."
"Apa maksudmu, Kurus?" tanya Setan Gila den-
gan tersenyum.
"Masih juga tidak mengaku. Aku tahu alasan-
mu mencari Iblis Buta untuk mendapatkan Telur Elang
Perak. Kau ingin kembali muda seperti dulu. Itulah se-
babnya kau mencari Iblis Buta. Telur Elang Perak me-
mang mampu membuat orang kembali muda!"
"Jadi kau pun menghendaki benda itu, Kurus?
Kalau begitu, kau yang lebih dulu akan kusingkirkan!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Gen-
dut! Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu!" Jerang-
kong Penjagal Nyawa tidak mau kalah gertak
Setan Gila maupun Jerangkong Penjagal Nyawa
tidak ada yang mendahului menyerang. Kedua belah
pihak sama-sama tahu lawan yang dihadapi amat berat.
Mereka tidak yakin akan dapat saling mengungguli.
Empat puluh tahun yang lalu ketika mereka bertarung
pun tidak bisa ditentukan siapa yang menang. Kepan-
daian mereka berimbang. Pertarungan baru berakhir
ketika mereka sama-sama terluka parah. Kalau saja
tempat mereka bertarung tidak terpencil dan kebetulan
ada musuh mereka yang lewat, nyawa kedua datuk se-
sat ini pasti akan melayang.
Luka-luka parah memaksa Jerangkong Penjagal
Nyawa dan Setan Gila menyembunyikan diri untuk me-
nyembuhkan lukanya. Luka yang amat parah itu mem-
butuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengobatinya.
Ketika akhirnya luka-luka itu sembuh, Jerang-
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila tidak berminat
lagi terjun ke dunia persilatan. Mereka memusatkan
perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu baru.
Sepuluh tahun setelah luka-luka itu sembuh Se-
tan Gila pergi menyatroni Jerangkong Penjagal Nyawa
untuk menantang pertarungan ulang. Pada saat yang
sama, Jerangkong Penjagal Nyawa juga mendatangi
tempat Setan Gila dengan tujuan yang sama. Jalan
yang mereka tempuh berlainan. Mereka tidak bertemu,
dan pertarungan pun tidak terjadi. Akhirnya, mereka
kembali ke tempat tinggal masing-masing dan terus
memperdalam ilmu.
Usia tua dan tidak adanya lawan yang seimbang
membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan
Setan Gila malas untuk terjun ke dunia persila-
tan lagi. Mereka menghabiskan usia di tempat penga-
singan. Sampai akhirnya mendengar kabar tentang Te-
lur Elang Perak!
Kini Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
kembali saling berhadapan. Mereka tahu kalau perta-
rungan dilakukan seperti dulu keduanya akan tewas
dengan napas putus. Mereka sudah terlalu tua.
"Aku mempunyai sebuah usul untuk pertarun-
gan kita kali ini, Kurus. Aku bosan bertarung sebagai-
mana tukang-tukang pukul. Taruhan dari pertarungan
ini adalah pemuda itu!" Setan Gila menawarkan seraya
menuding tubuh Dirgantara yang tergolek.
"Tidak usah banyak bicara, Gendut! Kemukakan
saja usulmu itu. Apa pun pertarungan yang kau ajukan
akan kuterima!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa. Di-
am-diam dia merasa gembira mendengar saran Setan
Gila. Kakek jangkung ini pun khawatir apabila perta-
rungan dilakukan dengan bertempur. Tapi, kegembi-
raan itu tidak terlihat pada wajahnya yang muram.
"Kita bermain tarik tambang!" seru Setan Gila
lantang. "Pada bagian tengahnya kita beri tanda.
Siapa yang tertarik terus hingga tanda itu tiba di
garis lawan, dinyatakan kalah. Dan, tentu saja tidak
berhak atas diri Monyet Dungu itu!"
"Setuju!" jawab Jerangkong Penjagal Nyawa tak
kalah lantang.
Jawaban Jerangkong Penjagal Nyawa membuat
Setan Gila sibuk membuat garis pada tanah. Sebuah
garis tengah di mana tanda tengah pada tambang bera-
da di atasnya, serta dua buah garis yang berada sejeng-
kal di kanan dan kiri garis tengah. Garis-garis tamba-
han ini yang akan menentukan siapa yang akan keluar
sebagai pemenang.
Tanpa banyak cakap Jerangkong Penjagal Nya-
wa segera memberikan rantai baja yang menjadi senjata
andalannya untuk dijadikan tambang. Setan Gila me-
lengkungkan sebatang pedang dan di taruh di tengah-
tengah rantai. Pedang yang dilengkungkan dan membe-
lit rantai itu berada tepat di tengah rantai. Kedua kakek
itu kemudian mengambil kedudukan yang menurut me-
reka menguntungkan.
Dada Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
berdebar tegang ketika mereka mulai menggenggam
ujung-ujung rantai. Rantai tampak menegang. Ketika
Setan Gila memberi aba-aba, kedua kakek ini menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk menarik.
Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar
segera dapat memperoleh kemenangan. Kekhawatiran
mereka memang beralasan. Pihak lawan ternyata tetap
tangguh seperti dulu. Kedua belah pihak telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalam, tapi tanda pada rantai te-
tap tidak bergeser.
Setelah beberapa saat lamanya keadaan tidak
berubah, Jerangkong Penjagal Nyawa jadi kehilangan
kesabaran. Tenaga dalam andalannya yang berhawa
panas segera dikerahkan. Hawa panas pun merayap
melalui rantai baja dan tiba di ujung rantai yang di-
genggam Setan Gila!
Sepasang mata Setan Gila tampak terkejut ken-
dati senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kakek pen-
dek gemuk ini sampai tersentak ketika merasakan hawa
panas menyengat telapak tangannya. Kekagetan ini
membuat pengerahan tenaga dalamnya mengendur.
Dan, Jerangkong Penjagal Nyawa yang sudah memper-
hitungkan hal itu segera menariknya dengan keras.
Kedudukan kaki Setan Gila tidak berubah. Tapi,
tubuhnya terseret ke arah Jerangkong Penjagal Nyawa
hampir setengah jengkal. Sebelum keadaan bertambah
buruk, Setan Gila segera mengerahkan tenaga dalam
berhawa dingin yang menjadi andalannya.
Kalau dari Jerangkong Penjagal Nyawa menge-
pul asap tipis saat tenaga berhawa panas dikerahkan.
Pada pengerahan tenaga dalam Setan Gila, muncul uap
tebal. Terdengar bunyi berdesis nyaring seperti besi pa-
nas dicelupkan ke dalam air ketika Setan Gila menge-
rahkan tenaga andalannya.
Seperti juga pertarungan tenaga dalam sebe-
lumnya, pertarungan antara dua tenaga dalam yang sal-
ing berlawanan ini pun seimbang. Kedudukan tetap ti-
dak berubah, kendati Setan Gila telah berada dalam
keadaan kritis. Jerangkong Penjagal Nyawa unggul se-
dikit di atasnya.
Setan Gila pun menyadari hal itu. Diam-diam
dia merasa dongkol karena berhasil dipencundangi Je-
rangkong Penjagal Nyawa. Kalau tidak kaget, lawan be-
lum tentu bisa menariknya. "Auuumm...!"
Tiba-tiba, bagai seekor singa Setan Gila men-
gaum keras. Akibatnya sungguh luar biasa! Jerangkong
Penjagal Nyawa merasakan tenaganya membuyar kare-
na rasa sakit pada telinga dan dadanya!
Auman Setan Gila memang mengandung tenaga
dalam luar biasa.
Keadaan yang dialami Jerangkong Penjagal
Nyawa sudah dapat diduga Setan Gila. Maka, saat itu
juga kakek pendek gemuk ini menarik rantai dengan
kuat.
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mampu berta-
han. Tubuhnya pun tertarik deras ke depan dan me-
layang ke arah Setan Gila.
Jerangkong Penjagal Nyawa tahu Setan Gila te-
lah keluar sebagai pemenang. Namun, dia tidak ingin
kalah mutlak. Maka, di saat tubuhnya melayang kakek
jangkung ini mengirimkan serangan melalui mulutnya.
Jerangkong Penjagal Nyawa meludah berkali-kali.
Ludah yang dikeluarkan tokoh ini bukan semba-
rang ludah. Ludah kental itu mampu melubangi baja
yang paling kuat. Itu diketahui dengan pasti oleh Setan
Gila. Kini ludah-ludah itu meluncur ke kepalanya. Ka-
kek pendek gemuk ini segera merundukkan tubuh.
Saat itu Jerangkong Penjagal Nyawa menghen-
tak rantai dengan keras. Tubuh Setan Gila melayang
keras ke depan seperti menyambuti tubuh kakek jang-
kung itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, Jerang-
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila melancarkan
pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Plak,
plakkk!
Kedua telapak tangan itu berbenturan dan sal-
ing menempel. Bahkan ketika tubuh keduanya sudah
melayang turun. Sekarang terjadi pertarungan jarak de-
kat.
Sesaat kemudian, dari atas kepala kedua kakek
ini mengepul uap putih yang kian lama kian tebal.
Tampaknya mereka sudah mengeluarkan tenaga yang
melampaui batas. Ini berarti nyawa Jerangkong Penjag-
al Nyawa dan Setan Gila berada di ujung maut. Baik
yang kalah maupun yang menang akan sulit lolos dari
kematian, karena selisih tenaga dalam mereka hanya
sedikit.
Sebelum keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa
dan Setan Gila semakin gawat keduanya melihat
adanya kejanggalan. Dirgantara yang semula tergolek
tak berapa jauh dari pinggir arena pertarungan kini ti-
dak ada! Padahal, tadi Setan Gila yang memindahkan-
nya ke sana agar tidak mengganggu jalannya pertarun-
gan.
Hilangnya tubuh Dirgantara membuat kedua
kakek ini menarik tenaga dalamnya. Dirgantara jauh le-
bih penting daripada pertarungan! Tindakan menarik
tenaga dalam yang bersamaan membuat Jerangkong
Penjagal Nyawa dan Setan Gila tidak mengalami luka
dalam akibat tenaga yang membalik.
"Keparat!"
Jerangkong Penjagal Nyawa memaki. Sepasang
matanya yang sipit dibelalakkan lebar-lebar mencari
Dirgantara. Barangkali saja pemuda berompi kulit ha-
rimau itu masih berada di sekitar itu.
Tindakan serupa pun dilakukan Setan Gila.
Dengan senyum mengembang di bibir, kakek pendek
gemuk itu mencari-cari dengan sepasang matanya yang
bulat besar.
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Dua ekor
anjing saling cakar-cakaran untuk memperebutkan tu-
lang. Tak tahunya tulang itu dibawa kabur anjing lain.
Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Gendut! Kau ingin perutmu ku
beset dan isinya ku sebar di sepanjang jalan?!" sergah
Jerangkong Penjagal Nyawa, dengan suara keras.
Setan Gila yang sebenarnya tak kalah kece-
wanya dengan Jerangkong Penjagal Nyawa, namun
mampu menyembunyikannya dalam sikapnya
yang gembira, semakin tertawa keras.
"Aku sudah bosan melayanimu, Anjing Kurus!
Apa artinya perkelahian denganmu. Nanti kalau uru-
sanku sudah selesai akan kucari kau dan ku patah-
patahkan tulangmu lalu kuberikan pada anjing-anjing
kelaparan untuk disantap!"
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berkata apa-
apa. Dia tahu ucapan Setan Gila benar. Tidak ada gu-
nanya pertarungan dilanjutkan. Dia sendiri pun lelah
bukan main. Tantangannya tadi hanya karena kemara-
han hatinya akibat ucapan kakek pendek gemuk. Me-
lanjutkan pertarungan sama saja dengan membunuh
diri.
Sambil tertawa lepas, Setan Gila melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tidak kelihatan kakek pendek
gemuk ini berlari. Ia seperti menggelinding bagai bola.
Dalam waktu singkat saja tubuhnya telah lenyap di ke-
jauhan.
Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus. Dia
pun berlari meninggalkan tempat itu. Kakek jangkung
bagai galah ini lebih aneh lagi. Dia berlari dengan mem-
pergunakan kaki-kakinya yang panjang. Tapi, tak ja-
rang Jerangkong Penjagal Nyawa menggunakan kedua
tangannya sebagai pengganti kaki.
Penggunaan tangan ini tidak memperlambat la-
rinya, malah menambah kecepatannya.
"Tolong turunkan aku, Sobat. Aku mampu berlari
sendiri. Tidak enak rasanya kau terus-terusan me-
manggul ku seperti itu. Bebaskan totokan pada tubuh-
ku biar aku berlari sendiri."
Ucapan itu keluar dari mulut Dirgantara. Pemu-
da berwajah persegi ini berada di atas bahu seorang
pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning menghentikan la-
rinya. Kemudian, diturunkannya tubuh Dirgantara dari
pondongan. Dengan sebuah tepukan pelan pada tubuh
Dirgantara dia berhasil membebaskan pemuda berompi
kulit harimau itu dari totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ujar
Dirgantara setelah berdiri tegak di tanah. Sepasang ma-
tanya merayapi pemuda di hadapannya. Dirgantara lalu
merangkapkan kedua tangan di depan dada dan mem-
bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Pertolongan apa?" pemuda berpakaian kuning
yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih terse-
nyum malu. "Yang kulakukan hanya melarikanmu di
saat kedua kakek itu tengah terlibat pertarungan."
"Itu pun namanya pertolongan, Sobat. Aku tidak
bisa mengharapkan bantuan lebih dari itu. Kedua ka-
kek yang tengah bertarung memperebutkan diriku itu
memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan, aku yakin
guruku sendiri tidak akan mampu menandingi salah
seorang di antara mereka. Bayangkan saja, hanya da-
lam segebrakan aku dibuat tidak berdaya oleh kakek
pendek gemuk," cerita Dirgantara. Ia langsung akrab
dengan pemuda berpakaian kuning. Dirgantara tidak
segan-segan untuk berterus terang.
"Ah...! Benarkah?" Sepasang mata pemuda ber-
pakaian kuning membelalak. "Siapakah kedua kakek
yang demikian lihai itu? Dan, kau sendiri siapa? Nama-
ku Jumpena."
"Aku Dirgantara, murid seorang kakek yang ber-
juluk Petani Berambut Putih. Sedangkan kedua kakek
itu adalah Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila,"
urai Dirgantara.
Sepasang mata Jumpena yang memang sudah
membelalak semakin melotot lebar.
"Luar biasa! Aku tidak pernah mimpi akan ber-
temu dengan tokoh-tokoh sakti yang sering diceritakan
ayahku. Ayah sering bercerita tentang Petani Berambut
Putih, demikian pula dengan dua datuk sesat itu. Jadi,
kau murid Petani Berambut Putih, Dirga?"
Dirgantara mengangguk.
"Kau sendiri, boleh ku tahu siapa ayahmu,
Jumpena?"
"Tentu saja," sahut Jumpena, cepat "Ayahku
kenal baik dengan gurumu. Beliau dikenal orang den-
gan julukan Pendekar Jari Maut!"
"Ah...!"
Kali ini Dirgantara yang terkejut. Menurut cerita
gurunya, Pendekar Jari Maut merupakan tokoh tingkat
tinggi golongan putih. Bahkan, Petani Berambut Putih,
kendati belum pernah bertarung dengan Pendekar Jari
Maut, mengatakan kepada Dirgantara kalau tingkat ke-
pandaian Pendekar Jari Maut berada di atasnya.
"Sungguh tidak disangka aku akan berjumpa
dengan putra seorang tokoh besar kaum putih yang ser-
ing diceritakan guruku dengan penuh kekaguman. Be-
liau pasti akan bangga bila tahu aku berjumpa den-
ganmu, Jumpena. Apalagi bila kuceritakan kalau kau
yang telah menolong nyawaku dari kematian."
Jumpena tersenyum, membuat sebaris kumis
melintang yang cukup lebat di atas bibirnya yang merah
bergerak-gerak lucu. Keadaan tubuh Jumpena memang
bertolak belakang dengan Dirgantara. Jumpena memili-
ki tubuh kecil, tapi tidak kurus. Berkulit putih dan keli-
hatan lemah lembut. Wajahnya tampak terlalu tampan.
Sedangkan Dirgantara memiliki tubuh tinggi besar. Ku-
litnya hitam kecoklatan. Sayang, ia tidak mempunyai
kumis. Berbeda dengan Jumpena yang meskipun keli-
hatan lemah lembut tapi berkumis cukup lebat.
"Kau terlalu memuji, Dirgantara," ujar Jumpena
dengan tersenyum, membuat Dirgantara semakin betah
berbincang-bincang dengan pemuda itu. Apalagi se-
nyumannya enak dilihat.
"Kau sebenarnya hendak ke mana, Jumpena?"
"Mengantarkan surat dari ayahku untuk Naga
Sakti Berwajah Hitam," jawab Jumpena. Ia mengambil
segulung surat dari balik bajunya, kemudian mema-
sukkannya kembali.
Dirgantara hanya mengangguk-angguk. Pemuda
berwajah persegi ini tidak tertarik untuk bertanya men-
genai isi surat. Dirgantara tahu kalau tidak merupakan
rahasia, Jumpena yang memiliki sifat terbuka pasti
akan memberitahukannya. Kemungkinan lain, pemuda
berkumis tebal itu tidak tahu isi surat ayahnya. Bukan-
kah surat itu ditujukan pada Naga Sakti Berwajah Hi-
tam?
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?"
Dirgantara yang tidak menyangka akan menda-
pat pertanyaan seperti itu hanya membisu. Semula tu-
juannya pulang setelah berguru selama belasan tahun
adalah untuk menemui ibunya. Tapi, ibunya ternyata
tidak ada di rumah. Dia tidak tahu ke mana ibunya per-
gi-
"Aku tidak tahu, Jumpena. Tujuanku semula in-
gin menemui ibuku setelah selesai berguru pada Petani
Berambut Putih. Tapi, ternyata beliau tidak ada. Bagai-
mana kalau aku ikut denganmu sekalian mencari cerita
mengenai ibuku? Apakah kau tidak merasa keberatan?"
tanya Dirgantara penuh harap.
"Tentu saja. Mengapa tidak?" sambut Jumpena
setelah tercenung sejenak. "Bukankah kalau ada kawan
perjalanan jadi lebih enak."
Dirgantara menyembunyikan kegembiraan yang
melanda hatinya dengan tersenyum. Entah mengapa,
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira ber-
sama Jumpena. Ada sesuatu dalam diri pemuda berpa-
kaian kuning itu yang membuat nya tertarik.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Jumpena. Kau
mengajakku menemui Naga Sakti Berwajah Hitam. Gu-
ruku banyak bercerita mengenai tokoh itu. Katanya ia
memiliki ilmu silat tangan kosong yang luar biasa."
Jumpena hanya mengangguk untuk membenarkan.
"Kurasa percakapan ini bisa kita lakukan den-
gan melakukan perjalanan, Dirga. Aku khawatir akan
terlambat tiba di tempat Naga Sakti Berwajah Hitam.
Ayahku berpesan agar surat ini segera tiba di tangan
tokoh itu." "Kalau begitu mari kita bergegas."
"Tunggu dulu, Dirga." Jumpena mencegah keti-
ka melihat Dirgantara mengayunkan kaki.
Dirgantara menoleh, heran. Mengapa sekarang
Jumpena malah mencegahnya, bukankah tadi pemuda
berpakaian kuning itu yang mengajaknya bergegas?
"Kau lihat tanda itu. Apakah sejak tadi sudah
berada di sini?" Jumpena menudingkan jari telunjuknya
ke sebelah kanan.
Dirgantara mengarahkan pandangan ke sana.
Pemuda berwajah persegi itu kelihatan terkejut. Di
tempat yang ditunjuk Jumpena tertancap seba-
tang tongkat yang pada bagian ujungnya terikat sehelai
kain berwarna merah dan bergambar tengkorak manu-
sia!
"Aku yakin tongkat berbendera itu tadi tidak ada
di sana, Jumpena," desis Dirgantara dengan perasaan
tegang.
"Berarti tongkat itu ditancapkan saat kita tengah
bercakap-cakap," bisik Jumpena, tak kalah tegang.
Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan.
Dalam adu pandang itu keduanya memahami isi hati
masing-masing. Orang yang telah menancapkan tongkat
tanpa sepengetahuan mereka menunjukkan kalau pela-
kunya memiliki kepandaian tinggi!
"Rasanya aku pernah mendengar cerita menge-
nai tokoh yang memiliki tanda seperti ini," Dirgantara
mengernyitkan kening. Ia mencoba mengingat-ingat.
"Aku ingat...!"
Hampir bersamaan perkataan itu keluar dari
mulut Dirgantara dan Jumpena. Sepasang mata itu
memancarkan kekhawatiran. Jumpena dan Dirgantara
saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Siapa tokoh yang kau maksudkan itu, Jumpe-
na?" Dirgantara memberi kesempatan pada pemuda
berpakaian kuning untuk memberikan jawaban lebih
dulu.
3
"Tengkorak Darah...," Jumpena berbisik seperti
khawatir ucapannya terdengar tokoh yang dimaksud.
"Kak kak kak...!"
Bagai menyambuti ucapan Jumpena, terdengar
suara tawa berkakakan. Nadanya tidak pantas keluar
dari mulut seorang manusia, melainkan burung gagak.
Jumpena dan Dirgantara sampai melangkah
mundur karena terkejut. Dua orang muda yang sama-
sama mendapat gemblengan tokoh golongan putih ini
kebingungan. Mereka mengedarkan pandangan berkelil-
ing mencari-cari pemilik tawa. Suara tawa itu seperti
berasal dari segala penjuru.
Kenyataan ini menyadarkan Jumpena dan Dir-
gantara kalau pemilik suara tawa memiliki tenaga da-
lam yang sangat tinggi. Hanya orang bertenaga dalam
tinggi saja serta memiliki ilmu memecah suara yang da-
pat melakukan hal ini. Baik Jumpena maupun Dirgan-
tara tidak akan mampu melakukannya.
"Kalian mencari aku...?"
Kali ini ucapan bernada aneh itu dapat diketa-
hui datangnya secara pasti oleh Jumpena dan Dirganta-
ra. Sosok yang mereka duga sebagai Tengkorak Darah
tidak mempergunakan tenaga dalam istimewanya lagi.
Bagai berlomba Jumpena dan Dirgantara mem-
balikkan tubuh. Kemudian, melompat ke belakang un-
tuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tapi ternyata tindakan mereka tidak beralasan.
Sosok yang mengeluarkan pertanyaan itu sama sekali
tidak melancarkan serangan. Wajahnya tertutup kedok
dari tengkorak manusia asli! Pakaian yang dikenakan-
nya merah dan serba longgar sehingga berkibaran di-
tiup angin. Pada bagian dadanya tersulam gambar
tengkorak manusia dengan benang emas. Terlihat me-
nyolok sekali dengan warna pakaiannya yang merah.
"Tengkorak Darah...?" desis Jumpena dan Dir-
gantara dengan suara tercekat di tenggorokan, karena
perasaan tegang. Apalagi ketika mereka mencium bau
kemenyan yang keras menusuk hidung. Perasaan te-
gang itu semakin besar.
"Rupanya kalian telah mengenaliku, heh...?"
Kembali suara yang tidak enak didengar berku-
mandang. Tidak terlihat kalau sosok bertopeng tengko-
rak manusia yang mengucapkannya. Tapi, cukup untuk
membuat Jumpena tahu kalau Tengkorak Darah itulah
yang berbicara. Dirgantara pun yakin akan hal itu.
"Bukan sesuatu yang aneh." Jumpena mengusik
ketegangan dengan suaranya yang lantang dan keras.
"Julukanmu amat terkenal. Bahkan kabarnya kau telah
berani menantang Iblis Buta untuk bertarung. Setelah
itu kabar mengenai dirimu tidak terdengar lagi. Kau hi-
lang ditelan bumi. Lenyap tanpa ketahuan di mana rim-
banya!"
"Tutup mulutmu, Bocah Lancang! Kau ingin aku
menelanjangi mu di depan kawanmu...?" "Keparat!"
Jumpena memekik penuh kemarahan.
"Kau kira karena kau berjuluk Tengkorak Darah
aku akan takut terhadapmu? Kali ini kau akan kujadi-
kan tengkorak sungguhan!"
Jumpena yang rupanya jengkel mendengar ma-
kian Tengkorak Darah segera menggerakkan kedua tan-
gannya. Seketika itu pula benda-benda kecil bersinar
meluncur ke arah Tengkorak Darah.
"Permainan anak-anak seperti ini dipertunjuk-
kan padaku?!" dengus Tengkorak Darah dengan suara
mengejek. Dia tidak mengelak sedikit pun sehingga
benda-benda kecil yang adalah jarum-jarum itu menan-
cap di sasaran.
Tengkorak Darah mendengus dengan kasar ke-
tika Jumpena menunggu hasil serangan jarumnya. Ja-
rum-jarum itu telah dibaluri racun, yang meskipun ti-
dak mematikan tapi cukup untuk membuat orang yang
tertusuk pingsan. Bersamaan dengan dengusan itu pa-
kaian Tengkorak Darah bergelombang keras seperti ter-
tiup hembusan angin. Jarum-jarum beracun itu runtuh
ke tanah. Kiranya, jarum-jarum beracun itu tidak me-
nembus kulit, hanya pakaiannya saja.
Wajah Jumpena berubah. Pemuda berpakaian
kuning ini sadar tidak ada gunanya lagi mengirimkan
serangan susulan. Tengkorak Darah mampu membuat
kulit tubuhnya tidak bisa ditembus benda tajam.
Seakan tidak peduli pada keterkejutan Jumpe-
na, Tengkorak Darah menjulurkan tangannya. Jari-
jarinya tidak terlihat karena terbungkus sarung tangan
merah. Sosok berpakaian merah ini menggerakkan tan-
gan sebentar seperti menyentak. Dan, sebatang ranting
yang tergolek di tanah melayang ke arahnya. Ranting itu
panjangnya tak kurang dari tiga jengkal.
Sebelum ranting itu berada dekat dan masih me-
layang-layang di udara, Tengkorak Darah menjejakkan
kaki. Tubuhnya melayang ke atas menyambut luncuran
ranting. Tapi, ternyata tidak. Tengkorak Darah menje-
jakkan kaki di atas ranting yang tengah melayang!
Dengan sekali menggoyangkan kaki, Tengkorak
Darah membuat arah luncuran ranting berbalik menuju
Jumpena! Karena sosok bertopeng tengkorak manusia
ini berada di atasnya, luncuran itu membawa tubuh
Tengkorak Darah meluncur pula.
Jumpena melempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menggagalkan se-
rangan Tengkorak Darah. Dan, ia berhasil. Sebelum
Tengkorak Darah mengirimkan serangan susulan, Dir-
gantara yang khawatir teman barunya terluka segera
melompat ke atas mengirimkan serangan dengan bam-
bunya yang berputar cepat hingga bentuknya lenyap
menjadi segundukan sinar kehijauan!
Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Ranting
yang berada di kakinya tertekan ke bawah. Tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala Dirgantara kemudian
hinggap pada sebatang bambu sepanjang tiga kaki yang
meluncur ke depan. Ternyata sebelum melompat tokoh
yang memiliki wajah penuh rahasia ini telah melempar-
kan sebatang kayu untuk tempat mendarat.
Dirgantara tidak melanjutkan serangannya.
Jumpena pun demikian. Keduanya membiarkan saja
Tengkorak Darah meluncur. Bahkan mereka mendiam-
kan ketika Tengkorak Darah berputar-putar mengelilin-
gi kepala mereka dengan berdiri di atas bambu.
Pertunjukan Tengkorak Darah berakhir, dengan
mengarahkan luncuran bambunya pada sebatang po-
hon. Bambu itu menembus batang pohon. Karena bam-
bu tidak panjang ketika menembus pohon, maka ber-
goyang-goyang seperti akan terlepas menahan berat tu-
buh Tengkorak Darah.
Dirgantara dan Jumpena yang sejak tadi mem-
perhatikan tingkah laku Tengkorak Darah hanya ber-
diam diri memperhatikan tindakan apa yang akan dila-
kukan Tengkorak Darah selanjutnya.
Tengkorak Darah sendiri bersikap tidak peduli.
Dengan tenang dikeluarkannya dua buah bone-
ka yang terbuat dari ranting kecil dan jerami. Kemu-
dian, dengan hati-hati pada bagian kepala yang mem-
punyai muka sekadarnya ditempelkan masing-masing
sehelai rambut. Jumpena maupun Dirgantara tidak ta-
hu kalau rambut yang ditempelkan pada dahi boneka
adalah rambut mereka! Tanpa setahu kedua orang mu-
da itu, Tengkorak Darah dengan mempergunakan keli-
hatannya mengambil rambut mereka.
Karena membuat boneka sederhana itulah
Tengkorak Darah baru muncul setelah Jumpena dan
Dirgantara meributkannya tadi, setelah melihat adanya
tanda yang ditancapkan. Memang, setelah menan-
capkan tanda keberadaan dirinya Tengkorak Darah per-
gi mencari ranting dan jerami untuk membuat boneka.
Boneka-boneka itu mewakili Jumpena dan Dirgantara.
Sementara itu Dirgantara dan Jumpena saling
berpandangan. Sinar mata mereka tampak bertanya-
tanya. Meskipun demikian, kedua pemuda itu bisa
memperkirakan Tengkorak Darah tengah merencana-
kan sesuatu yang tidak baik! Setidak-tidaknya akan
merugikan mereka. Jumpena maupun Dirgantara men-
getahui Tengkorak Darah ahli bermain sihir!
Keyakinan akan dugaan itu menyebabkan Dir-
gantara dan Jumpena menghunus senjata yang tadi te-
lah disimpan. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan
melengking nyaring mereka melesat ke arah Tengkorak
Darah dengan senjata di tangan.
Dirgantara memutar bambu kuningnya hingga
bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar yang mu-
la-mula kecil kemudian melebar. Jumpena mengelua-
rkan sepasang pisau yang putih berkilat. Dengan senja-
ta itu ia bersiap untuk membunuh Tengkorak Darah.
Tengkorak Darah tentu saja melihat tindakan
kedua pemuda itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Se-
perti tidak mengetahui adanya serangan ia tetap memu-
satkan perhatian pada boneka yang berada di tangan-
nya. Di saat Dirgantara dan Jumpena melalui setengah
jarak antara mereka, baru Tengkorak Darah dengan
mempergunakan jari telunjuknya menotok bagian bahu
kanan boneka-boneka itu.
Pada saat yang bersamaan dengan totokan yang
mengenai bahu kanan boneka-boneka, Jumpena dan
Dirgantara merasakan tubuh mereka tiba-tiba lumpuh.
Tanpa mampu berbuat apa pun lagi, luncuran tubuh
kedua pemuda itu terhenti di tengah jalan. Kemudian,
ambruk ke tanah bagaikan sehelai karung basah.
"Hak hak hak..!"
Tengkorak Darah tertawa berkakakan. Kemu-
dian, dengan gerakan kaki sederhana sosok berpakaian
serba merah itu melepaskan bambu yang menancap di
batang pohon. Dengan sekali sentak bambu itu me-
layang membawa tubuhnya menuju tempat Jumpena
dan Dirgantara berada. Tepat di depan kedua orang
muda itu luncuran bambu terhenti. Kemudian, menda-
rat turun perlahan-lahan seperti diatur oleh tangan ti-
dak nampak.
Tengkorak Darah menatap wajah Jumpena dan
Dirgantara berganti-ganti. Sorot sepasang matanya
memancarkan kesan menyeramkan, membuat kedua
pemuda yang sebenarnya memiliki nyali besar itu mera-
sa ngeri. Keduanya sadar kalau keadaan mereka amat
berbahaya. Kematian telah berada di depan mata. Wa-
laupun Jumpena dan Dirgantara bukan orang-orang
yang takut kematian, tapi tewas secara mengerikan bu-
kan persoalan main-main. Bagi orang seperti Tengkorak
Darah kematian lawan secara mengerikan merupakan
hal menyenangkan! Ini yang membuat kedua orang
muda itu ngeri. Meski demikian, keduanya tidak me-
nunjukkan perasaan gentar. Malah, dengan berani
Jumpena dan Dirgantara membalas tatapan Tengkorak
Darah dengan sorot mata penuh tantangan.
"Aku tahu kalian orang-orang muda yang berani
mati." Tengkorak Darah berkata dengan suara anehnya
setelah terlebih dulu melepas tawa mengerikan. Tawa
yang bukan timbul karena perasaan gembira. Jumpena
maupun Dirgantara merasakan kepedihan dalam tawa
itu. Ini membuat keduanya merasa heran. "Aku yakin
kalian tidak akan bertindak seberani itu, mengajukan
tantangan terhadapku dengan sinar mata, kalau tahu
kematian yang akan kalian terima!"
"Kau boleh mengajukan ancaman apa pun. Tapi
jangan harap aku akan gentar! Aku tak akan minta am-
punanmu, Manusia Iblis! Silakan lakukan sekehendak
hatimu!" sambut Jumpena yang ternyata memiliki wa-
tak pemberani dan tidak takut menghadapi ancaman.
"Apa yang dikatakan kawanku memang benar,
Tengkorak Darah!" Dirgantara ikut berbicara untuk me-
nyejukkan suasana tegang yang melanda. Dirgantara
lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memancing
kemarahan Tengkorak Darah. Dilihatnya kilatan kema-
rahan pada sepasang mata Tengkorak Darah begitu
mendengar ucapan Jumpena. Dirgantara memiliki wa-
tak lebih tenang. Yang lebih penting adalah mencari ja-
lan untuk menyelamatkan diri. "Kami bukan orang-
orang yang takut mati. Tapi kalau boleh kami tahu, ada
urusan apa di antara kita hingga kau berniat menja-
tuhkan tangan jahat terhadap kami. Sepanjang ingatan
kami tidak ada urusan di antara kita."
Tengkorak Darah menatap wajah Dirgantara sejenak.
"Kau lebih memiliki otak daripada kawanmu.
Memang, di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi itu
tidak menjadi alasan bagiku! Kalau kau meminta ala-
san, sesalilah kenapa kalian berada di sini pada saat
aku berada di sini! Kalau aku ingin membunuh orang,
kubunuh saja, habis perkara. Tanpa perlu alasan apa
pun. Kebetulan saat ini aku tengah ingin menyiksa
orang!"
"Mengapa bertele-tele, Tengkorak Darah!" Jum-
pena tidak senang melihat sikap Dirgantara, ia mengira
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gentar, se-
hingga langsung menyela. Suara dan nadanya lebih ke-
ras dari semula. "Kalau kau ingin bunuh, silakan bu-
nuh! Ingin menyiksa, siksa saja! Tidak perlu bertele-tele
dan berbicara panjang lebar seperti nenek-nenek ba-
wel!"
Tidak hanya Tengkorak Darah, Dirgantara pun
kaget mendengar perkataan Jumpena.
"Jumpena benar-benar seorang yang nekat!" de-
sis hati Dirgantara. Nekat dan tidak mengenai gelagat.
Tengkorak Darah menggeram keras. Terasa be-
tul nada kemarahan di dalamnya. Tapi, sebentar kemu-
dian berganti dengan tawa bergelak.
"Kau kelihatannya memiliki hati baja, Bocah Ba-
gus! Aku jadi ingin membuktikan kebenaran ucapanmu.
Apakah kau benar-benar memiliki hati keras dan tahan
uji, atau hanya sesumbar belaka?!"
Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan
mengeluarkan sebatang jarum panjang dari balik baju.
Setelah mengerling ke arah Jumpena dari balik topeng-
nya jarum itu diacungkan tinggi-tinggi. Kemudian, ditu-
runkan perlahan-lahan dengan sikap seperti akan me-
nusuk boneka sederhana yang ditempeli rambut Jum-
pena.
"Hentikan! Hentikan tindakan itu, Tengkorak Darah!"
Dirgantara yang meskipun tidak tahu pasti apa
yang akan terjadi, namun sedikit banyak ia bisa mem-
perkirakan. Pemuda itu berseru mencegah dengan nada
menyiratkan kekhawatiran.
Tengkorak Darah memalingkan kepala menatap
Dirgantara. Jumpena pun demikian. Tapi sebelum ke-
dua orang itu membuka mulut, Dirgantara telah lebih
dulu berseru.
"Kalau kau masih ingin menyiksa, siksalah aku!
Akulah yang lebih berhak untuk kau siksa. Bebaskan
dia, Tengkorak Darah! Biar aku yang menanggung se-
muanya. Aku rela kau siksa, bahkan kau bunuh sekali-
pun asal kau biarkan dia bebas!"
"Dirga!" Jumpena berseru kaget mendengar uca-
pan Dirgantara. Suara pemuda berpakaian kuning ini
agak serak karena rasa haru yang menyeruak menden-
gar pembelaan Dirgantara.
"Kau tenang-tenang saja, Jumpena. Bukankah
kau telah menolongku? Sekarang berikan aku kesempa-
tan untuk menolongmu."
"Tapi...."
"Bagaimana, Tengkorak Darah?" Dirgantara bu-
ru-buru memutus ucapan Jumpena. "Kau mau mene-
rima usulku...?"
Tengkorak Darah mendengus setelah tertegun
mendengar usul tidak masuk akalnya itu. Sungguh ti-
dak pernah terpikir olehnya ada orang yang mau meng-
gantikan untuk menerima hukuman. Sepengetahuan-
nya, orang lebih suka mengorbankan orang lain asal di-
rinya selamat.
"Usulmu gila!" tajam ucapan Tengkorak Darah.
"Aku tidak bisa menerimanya. SebaLiknya, aku maLah
akan membebaskan mu dan menyiksa sampai mati
orang yang bermulut lancang itu!"
"Kau mengambil keputusan yang tepat, Tengko-
rak Darah!" Jumpena mempunyai kesempatan untuk
berbicara. "Memang aku seharusnya orang yang kau
hukum. Akulah yang bersalah! Bisa juga kau mengam-
bil keputusan lain. Tapi bila hal itu kau lakukan, berarti
kau tidak memiliki otak yang baik. Otakmu telah ru-
sak!"
Dirgantara mengeluh dalam hati. Harus diakui
kalau dalam kepintaran berbicara Jumpena memang
luar biasa. Mungkin tidak kalah dengan perempuan!
Kata-katanya selalu tepat menyinggung perasaan orang
yang memojokkannya, sehingga orang yang diajak bica-
ra tidak bisa mengambil keputusan lain.
"Kau boleh rasakan sendiri keputusan yang te-
lah kau pilih, Bocah Liar!"
Dengan gemas Tengkorak Darah menusukkan
jarumnya pada kepala boneka yang ditempeli rambut
Jumpena. Dan, membiarkan jarum itu di sana.
Dirgantara sampai membelalakkan mata ketika
melihat pemandangan yang mustahil dan sangat men-
gerikan! Begitu Tengkorak Darah menusukkan jarum
pada kepala boneka, tubuh Jumpena kemudian meng-
gelepar-gelepar. Seringai kesakitan tampak jelas pada
wajahnya. Pemuda berpakaian kuning itu sampai mam-
pu memegangi kepalanya. Padahal saat itu Jumpena,
seperti juga dirinya, tengah berada dalam keadaan le-
mas terkena totokan! Rangsangan sakit yang demikian
kuat menjadikan Jumpena mampu bergerak tanpa sa-
dar. Tapi hanya sebatas tenaga kasar. Ia tidak mampu
mengerahkan tenaga dalam.
4
Dirgantara merasa bulu tengkuknya meremang.
Rasa sakit yang diderita Jumpena karena kepala bone-
ka yang ditempeli rambut Jumpena ditusuk jarum.
Meski tidak terlampau cerdik, pemuda berompi kulit
harimau itu tahu ada hubungan erat antara boneka
dengan diri Jumpena. Boneka itu merupakan cerminan
tubuh Jumpena. Dirgantara sebelumnya tidak pernah
menyaksikan ilmu keji seperti ini! Dirgantara tidak be-
rani membayangkan betapa mudahnya Tengkorak Darah
membunuh siapa saja yang diinginkannya lewat
boneka buatannya.
"Hentikan! Hentikan itu, Tengkorak Darah!
Kau... keji...!" Dirgantara berteriak-teriak begitu sadar
dari keterkejutannya. Suaranya keras dan lantang ka-
rena didorong perasaan khawatir dan ngeri. Ia tak tega
melihat Jumpena menggelepar-gelepar di tanah. Kedua
tangannya didekapkan ke kepala.
"Hak hak hak...!"
Tengkorak Darah malah tertawa terbahak-
bahak. Ia kelihatan gembira sekali melihat pemandan-
gan yang terpampang di depan matanya.
"Sekarang kau buktikan kehebatan ilmu dan
siksaanku, Bocah Lancang! Inilah ilmuku yang terbaru.
Dengan ilmu ini aku dapat membunuh siapa pun yang
ku mau. Hak hak hak...!"
"Hentikan, Tengkorak Darah!" Dirgantara sema-
kin kalap melihat sosok berpakaian merah itu tidak
mempedulikan teriakannya. "Kalau kau teruskan tinda-
kanmu ini, kau akan mendapat kesulitan besar. Be-
baskan dia, Tengkorak Darah!"
Tengkorak Darah menghentikan tawanya dan
menatap wajah Dirgantara lekat-lekat.
"Kalau tidak mengingat wajahmu yang mengin-
gatkan aku pada seseorang, sudah kuhancurkan mu-
lutmu karena berani mengancamku, Bocah Liar! Kau
kira Tengkorak Darah takut akan ancamanmu! Aku ju-
stru ingin mencari permusuhan dengan guru bocah
lancang itu, agar bisa terjadi pertempuran antara kami
dan aku bisa membunuhnya!"
"Tapi..., ayahnya adalah Pendekar Jari Maut!
Kau akan celaka di tangannya, Tengkorak Darah.
Dan...."
"Apa...?!"
Tengkorak Darah tersentak kaget mendengar
ucapan Dirgantara. Kenyataan ini membuat pemuda be-
rompi kulit harimau itu merasa gembira. Ia mengira ge-
rakannya berhasil. Tengkorak Darah akan merasa se-
gan bermusuhan dengan lawan berat seperti Pendekar
Jari Maut.
"Jadi..., bocah lancang itu anak dari Pendekar
Jari Maut? Manusia terkutuk itu? Kalau begitu aku
sangat beruntung. Untuk sementara aku bisa memba-
laskan sakit hatiku sebelum ayahnya sendiri menerima
ganjaran atas kekejian yang dilakukannya terhadapku!"
Dirgantara melongo. Dia tidak menyangka akibat
gertakannya akan begini. Tengkorak Darah ternyata
memiliki dendam pada Pendekar Jari Maut. Keadaan
Jumpena justru semakin gawat!
Sebelum Dirgantara berbuat sesuatu, Tengkorak
Darah telah lebih dulu bertindak. Boneka yang semula
dibiarkan dengan jarum menancap di kepala kini diam-
bilnya. Jarum panjang itu dicabut. Dan, dengan bertu-
bi-tubi jarum ditusukkan ke berbagai bagian tubuh bo-
neka! Jumpena semakin menggelepar-gelepar. Kendati
demikian, tak sedikit pun keluar keluhan dari mulut-
nya. Keringat dingin sebesar-besar biji jagung dan se-
ringai kesakitan di wajah menunjukkan kalau pemuda
berpakaian kuning ini tengah menderita hebat!
"Rasakan wahai Pendekar Jari Maut..,! Lihatlah
anakmu kusiksa...! Datanglah kemari.... Biar kau sendi-
ri yang menerima siksaan dariku!" seru Tengkorak Da-
rah dengan mengerahkan tenaga dalam. Tangannya
masih terus menusuk-nusuk berbagai bagian tubuh
boneka.
"Hentikan...! Hentikan, Keparat! Tengkorak Da-
rah...! Hentikan...! Keparat kau...! Aku bersumpah akan
membuat perhitungan denganmu. Aku akan membu-
nuhmu!" Dirgantara yang tidak menderita apa pun ber-
teriak-teriak bagai cacing kepanasan.
Teriakan Dirgantara ternyata manjur. Tengkorak
Darah menghentikan siksaannya. Kepalanya di toleh-
kan ke arah Dirgantara. Sepasang mata tajam berkilat-
kilat menatap Dirgantara dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Bulu kuduk Dirgantara sampai berdiri. Ta-
pi, Dirgantara menguatkan hati. Dia membalas tatapan
itu meski tidak dengan sorot menantang.
Dirgantara tiba-tiba melihat Tengkorak Darah
yang telah memperhatikannya terhuyung ke belakang.
Sepasang mata tajam di balik topeng itu terpejam seper-
ti tengah memusatkan perhatian pada sesuatu.
Dirgantara tidak tahu tubuh Tengkorak Darah
terhuyung karena ada serangan. Serangan dari jauh
yang hanya didengar Tengkorak Darah. Serangan itu
berupa bunyi dentang nyaring seperti logam kosong di-
pukul besi! Bunyinya menyakitkan telinga dan mem-
buat isi dada tergetar hebat
Tengkorak Darah yang mengetahui seseorang te-
lah menyerangnya tidak tinggal diam. Dia mengumpul-
kan hawa murni dan memusatkan perhatian. Sesaat
kemudian dari mulutnya terdengar siulan. Siulan me-
lengking yang tidak tertangkap telinga biasa, tapi lang-
sung melawan pengaruh bunyi yang menyerangnya!
Dirgantara yang semula keheranan semakin ber-
tambah heran melihat tokoh itu duduk bersila. Dia ti-
dak tahu apa yang tengah terjadi. Pemuda berompi kulit
harimau itu tidak tahu kalau saat ini telah terjadi perta-
rungan dahsyat tenaga dalam.
Dirgantara mulai dapat menduga apa yang ten-
gah terjadi ketika melihat uap tipis mengepul dari kepa-
la Tengkorak Darah. Uap itu hanya akan muncul apabi-
la seseorang mengerahkan tenaga dalam sampai mele-
wati kemampuan. Berarti Tengkorak Darah tengah ter-
libat pertarungan! Tapi, dengan siapa?
Pertanyaan yang bergayut memaksa Dirgantara
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda berwa-
jah persegi ini pun melihatnya. Belasan tombak dari
tempatnya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian
ungu dan berambut putih keperakan. Pemuda berpa-
kaian ungu ini duduk bersandar pada sebatang pohon
besar. Kelihatan santai, tapi tangan kanannya tak hen-
ti-hentinya menyentili badan guci. Begitu cepat jari-
jarinya bergerak hingga yang terlihat hanya bayangan
tak jelas. Anehnya, betapapun Dirgantara mengerahkan
tenaga dalam untuk mempertajam pendengaran namun
tidak terdengar bunyi guci yang disentil. Padahal, meli-
hat kecepatan jari itu bisa diperkirakan kerasnya bunyi
yang terdengar.
Dirgantara tidak tahu bunyi itu hanya ditujukan
pada Tengkorak Darah. Hanya orang-orang yang memi-
liki tenaga dalam tinggi saja yang bisa mendengarnya.
Dirgantara mengalihkan perhatian pada Tengkorak Da-
rah. Pemuda berompi kulit harimau ini bisa memperki-
rakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Kea-
daan Tengkorak Darah demikian mengkhawatirkan.
Uap yang mengepul dari atas kepalanya semakin tebal
dan berwarna putih. Pakaiannya yang terlalu besar itu
telah melekat dengan tubuh karena banyaknya peluh.
Bahkan, dari balik topeng mengalir keringat. "Hukh!"
Tubuh Tengkorak Darah terdorong agak ke be-
lakang kemudian tertunduk ke depan. Tengkorak Darah
terluka dalam. Ia memuntahkan darah segar. Topeng
yang menutupi wajah dan mulutnya membuat darah itu
tidak terlihat. Tengkorak Darah telah kalah!
Tengkorak Darah mengerling ke arah pemuda
berambut putih keperakan dari balik lubang topengnya.
Kemudian, ia bangkit dengan terhuyung-huyung dan
melesat meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian ungu tidak mengejarnya.
Dia menghela napas berat, lalu menyimpan guci ke
punggungnya dan mengusap peluh yang membasahi
sekujur wajah dengan punggung tangan. Baru setelah
itu ia mengalihkan perhatian pada tubuh Jumpena dan
Dirgantara.
Pemuda berpakaian ungu mengambil sebutir
buah ceremai yang banyak berserakan di dekatnya. Po-
hon di mana tubuhnya bersandar memang pohon cere-
mai. Dengan sembarangan disentilnya buah yang terse-
lip di antara jari-jari kanannya.
Dirgantara kagum bukan main merasakan aliran
darahnya kembali lancar ketika buah ceremai yang dis-
entil pemuda berpakaian ungu mengenai tubuhnya. To-
tokannya telah terbebas. Perbuatan yang dilakukan
pemuda berambut putih keperakan itu cukup sulit.
Membebaskan totokan dari jarak jauh dengan butiran
buah ceremai. Dia sendiri belum tentu mampu melaku-
kannya!
Sebelum pemuda berompi kulit harimau bangkit
berdiri dan membebaskan totokan Jumpena, pemuda
berpakaian ungu melakukan gerakan seperti menotok
dengan dua jari. Dirgantara melihat jelas arah yang di-
tuju jari-jari itu ke tubuh Jumpena.
Dirgantara hanya mendengar bunyi bercicitan
pelan. Sesaat kemudian, begitu pemuda berpakaian un-
gu menurunkan tangannya, Jumpena bergerak bangkit.
Dirgantara melongo. Pemuda berambut putih keperakan
itu mampu membebaskan totokan, dari jarak jauh!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kalau
tidak ada kau mungkin aku, Dirgantara, dan kawanku
ini, Jumpena, tidak akan berada di dunia ini. Boleh aku
mengenai nama atau julukanmu, Sobat?" tanya Dirgan-
tara setelah berada di depan pemuda berambut putih
keperakan. Dirgantara dengan tergopoh-gopoh berlari
menghampiri karena perasaan kagum.
"Benar, Sobat. Aku pun sangat berterima kasih.
Tengkorak Darah memang ganas dan keji. Benar seperti
yang dikabarkan orang!" Jumpena yang telah berada di
sebelah Dirgantara menambahkan.
Pemuda berpakaian ungu menatap wajah Dir-
gantara dan Jumpena berganti-ganti. Senyuman lebar
tersungging di bibirnya.
"Tidak usah banyak berterima kasih, Dirga,
Jumpena, hanya suatu kebetulan aku lewat tempat ini.
Itu pun karena mendengar seruan orang itu yang me-
nyebut-nyebut nama Pendekar Jari Maut. Kalau tidak
karena teriakan itu tak mungkin aku sampai di sini.
Jadi, orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah? O ya,
namaku Arya. Tapi, dunia persilatan memberikan julu-
kan Dewa Arak kepadaku."
"Benar, Arya." Jumpena yang pintar berbicara
memberikan jawaban. "Orang itu yang berjuluk Tengko-
rak Darah."
Pemuda berpakaian ungu yang memang Arya
Buana alias Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
Diam-diam ia merasa heran melihat sikap kedua orang
muda di hadapannya. Mereka tidak terkejut mendengar
julukannya. Apakah julukannya belum sampai ke dae-
rah ini?
Arya tidak tahu kalau tidak kenalnya Jumpena
dan Dirgantara dengan julukan Dewa Arak karena me-
reka baru terjun ke dunia persilatan. Jadi, belum men-
dengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan.
Guru-guru mereka pun tidak menceritakannya karena
terlalu lama menyembunyikan diri sehingga tidak per-
nah mendengar julukan itu.
"Kau hendak ke mana, Arya?" tanya Jumpena.
"Aku tidak punya tujuan. Hanya mengikuti ke
mana kaki ini melangkah, Jumpena," jawab Arya seraya
tersenyum.
"Mengapa kalian bisa bentrok dengan Tengkorak
Darah?"
"Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya, Arya,
Tengkorak Darah saja yang terlalu usilan," jelas Jum-
pena sekenanya.
Arya sampai tersenyum mendengar jawaban
yang sembarangan itu.
"Tapi, tadi kudengar Tengkorak Darah menye-
but-nyebut Pendekar Jari Maut."
"Beliau adalah ayahku, Arya," jawab Jumpena,
cepat.
"Ah...! Begitukah...?!" Arya kelihatan terkejut
"Benar!" Dirgantara yang menyahuti. "Jumpena itu
anak Pendekar Jari Maut Sedangkan aku murid Petani
Berambut Putih."
"Murid tokoh-tokoh terkenal rupanya," sambut
Arya yang telah mendengar nama besar Pendekar Jari
Maut dan Petani Berambut Putih sebagai tokoh-tokoh
besar golongan putih. Julukan Pendekar Jari Maut lebih
tenar daripada Petani Berambut Putih.
"Kami tengah dalam tugas untuk mengunjungi
Naga Sakti Berwajah Hitam," tambah Jumpena untuk
menambah kepercayaan Dewa Arak.
"Kalau begitu, silakan kalian berangkat. Mung-
kin kalian sudah ditunggu. Aku pergi dulu...."
Dirgantara dan Jumpena menggeleng-gelengkan
kepala ketika melihat tubuh pemuda berambut putih
keperakan sudah tidak terlihat lagi. Padahal, suaranya
masih bergema di sekitar tempat itu.
"Hebat sekali Dewa Arak itu!" Dirgantara mem-
buka percakapan. "Tidak kusangka seorang tokoh muda
telah memiliki kepandaian luar biasa. Dibandingkan
dengannya kepandaian yang kumiliki tidak berarti apa-
apa."
"Kau tidak perlu berkecil hati, Dirga," hibur
Jumpena yang merasakan nada keluhan dalam ucapan
pemuda berompi kulit harimau itu. "Jangankan kau
atau aku, Tengkorak Darah yang menggiriskan hati itu
saja bukan tandingannya. Dewa Arak memang hebat
bukan main. Entah mana yang lebih lihai bila diban-
dingkan dengan ayahku atau gurumu."
Dirgantara tidak memberikan tanggapan. Pemu-
da berompi kulit harimau ini masih terpukul ketika
mengingat berturut-turut dirobohkan orang yang memi-
liki kepandaian di atasnya. Kepandaiannya yang dipela-
jari dengan susah payah selama belasan tahun ternyata
tidak berguna!
Jumpena pun tengah digayut persoalan yang
sama. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan tanpa
berbincang-bincang lagi.
5
"Ayo kejar, Putih...! Cepat! Jangan sampai si hi-
tam mengalahkanmu...!"
Seruan-seman lantang bernada gembira itu ke-
luar dari mulut seorang kakek kurus berambut awut-
awutan. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat
rambut yang telah memutih juga jenggot dan kumisnya,
kakek kecil kurus ini tentu sudah sangat tua.
Sambil terus berteriak-teriak dengan penuh se-
mangat, ia mengayun-ayunkan tangan kanannya me-
nepuki kuda-kudaan dari kayu yang ditungganginya.
Bagian bawah kuda yang berbentuk melengkung seperti
busur membuat kuda-kudaan itu bergoyang-goyang ke-
tika kakek kecil kurus menggoyang-goyangkan tubuh-
nya.
Sejajar dengan kuda-kudaan putih yang ditung-
gangi kakek kecil kurus, sekitar satu tombak di sebe-
lahnya, terdapat kuda-kudaan kayu berwarna hitam.
Kuda-kudaan itu tidak bergoyang-goyang sebagaimana
halnya kuda-kudaan putih, karena tidak ada yang me-
nungganginya.
"Ayo, Putih...! Ya, sebentar lagi...! Cepat, kelua-
rkan seluruh kemampuanmu! Sebentar lagi kau akan
menang!"
Kakek kecil kurus yang mengenakan pakaian
coklat tapi terbalik, bagian dalam berada di luar, sema-
kin keras menggerak-gerakkan tubuh sehingga goyan-
gan pada kuda-kudaan putih bertambah keras.
"Ha ha ha...!" Serentetan tawa bergelak mengi-
ringi seruan-seruan kakek kecil kurus. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di dekat kakek kecil kurus telah
berdiri sesosok tubuh pendek gemuk! Sosok tubuh yang
teramat pendek dan kelewat gemuk, persis bola. Perut-
nya yang tidak tertutup rompi berguncang-guncang ke-
tika sosok itu tertawa. Tawa yang membuat daun-daun
bergetaran seperti hendak terlepas dari rantingnya.
"Peramal Gendeng...! Kau sungguh tidak adil.
Mana mungkin kuda hitam bisa menang kalau kau ber-
pihak pada kuda putih dan selalu menambah tenaga
untuknya? Biarlah aku yang membantu kuda hitam un-
tuk memperoleh kemenangan!"
Tanpa menunggu sambutan kakek kecil kurus
yang dipanggil Peramal Gendeng, sosok pendek
gemuk bergerak. Tubuhnya tahu-tahu telah be-
rada di atas punggung kuda-kudaan.
Sambil tertawa tanpa henti, kakek pendek ge-
muk ini mencengkeram tali yang dipasangkan pada ba-
gian leher kuda-kudaan. Ditariknya tali dengan keras.
Dan... kuda-kudaan itu melayang ke depan, lebih patut
dikatakan terbang!
"He he he...!"
Peramal Gendeng tak mau kalah dalam tawa.
Bersamaan dengan keluarnya tawa terkekeh itu tan-
gannya bergerak menyentak. Kuda-kudaan itu pun me-
lesat ke depan menjajari kuda-kudaan yang ditunggangi
kakek pendek gemuk.
"Setan Gila! Kau benar-benar seseorang yang
menyenangkan. Mari kita berlomba untuk mencapai
pohon nangka yang ada di sana!"
Dua kakek yang sama-sama memiliki watak
aneh itu pun saling berlomba 'terbang' dengan memper-
gunakan kuda-kudaan. Pohon nangka yang dimaksud
Peramal Gendeng letaknya tak kurang dari seratus
tombak!
Tentu saja karena kuda-kudaan itu tidak bisa
terbang, baru beberapa tombak melayang dan begitu
tenaga luncuran habis, kuda-kudaan itu melayang tu-
run. Tapi, hanya dengan sentakan tangan kiri pada tali
dan gerakan tangan kanan mengayun ke belakang se-
perti orang mengayun perahu, Setan Gila maupun Pe-
ramal Gendeng mampu membuat kuda-kudaan itu me-
layang kembali!
Peramal Gendeng ternyata tidak hanya sesum-
bar dengan berani mengajak Setan Gila berlomba. Ka-
kek berpakaian terbalik ini mampu mengimbangi luncu-
ran kuda-kudaan hitam Setan Gila. Bahkan, Peramal
Gendeng mampu melewati! Padahal, Setan Gila telah
membawa kuda-kudaannya melesat lebih dulu.
Betapapun Setan Gila mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk mengalahkan lawan, tetap saja
laju kuda-kudaan Peramal Gendeng tak terkejar. Sam-
pai akhirnya Peramal Gendeng mendaratkan kuda-
kudaannya dengan mantap di tanah!
"He he he...!"
Peramal Gendeng menertawakan Setan Gila
yang mendaratkan kuda-kudaannya belakangan.
"Bukankah sudah kukatakan, Setan Gendut!
Kuda putih milikku ini memang luar biasa. Telah bebe-
rapa kali kuda hitam itu bertarung lari dengan kuda pu-
tih, tapi tidak pernah menang. Kau membuktikannya
sekarang, bukan? He he he...!" ejek Peramal Gendeng
dengan gembira sebagaimana layaknya seorang bocah
yang memenangkan perlombaan.
Setan Gila meski merasa penasaran bukan main
namun mampu menyunggingkan senyum lebar. Malah,
dia pun kemudian tertawa keras sampai perut gendut-
nya terguncang-guncang.
"Kuda putihmu memang hebat, Ulat Kecil!" Se-
tan Gila tidak mau kalah mengeluarkan makian seraya
menggaruk-garuk pantatnya yang tidak gatal. "Di samp-
ing memiliki lari cepat, kekuatan napasnya pun tidak
bisa ditandingi kudaku. Tapi, rasanya kuda itu sakit
Aku yakin tubuhnya akan hancur lebur!"
Setan Gila dalam keadaan masih duduk di atas
kuda-kudaan hitam mengambil dua batang pisau dari
balik bajunya. Kemudian, batang-batang pisau itu digo-
sokkan satu sama lain hingga terdengar bunyi yang
mengilukan.
Peramal Gendeng tahu Setan Gila hendak mela-
kukan sesuatu. Tapi, mengapa bunyi yang mengilukan
itu tidak mempengaruhinya? Padahal, Setan Gila tengah
melancarkan serangan dengan mempergunakan tenaga
dalam tingkat tinggi.
Keyakinan kalau tindakan Setan Gila tidak di tu-
jukan padanya, Peramal Gendeng sibuk mengorek-
ngorek hidungnya untuk mengeluarkan kotoran. Bebe-
rapa kali gumpalan-gumpalan kecil yang menjijikkan
terbawa jari-jari tangan yang kumal dan kotor itu ketika
ditarik keluar dari lubang hidung!
Tiba-tiba ketika bunyi bergesekan dua batang
pisau itu semakin meninggi, Peramal Gendeng tersen-
tak. Dia teringat ucapan kakek pendek itu sebelum
menggesek-gesekkan pisaunya.
Tapi kesadaran Peramal Gendeng terlambat! Di
saat bunyi gesekan mencapai puncaknya terdengar
bunyi letupan cukup keras. Kuda-kudaan putih yang
ditungganginya hancur berantakan! Meski kaget, kakek
berpakaian terbalik ini tidak memperlihatkannya. Bah-
kan, ketika serpihan-serpihan kuda putih berjatuhan ke
tanah tubuhnya tidak bergeming! Peramal Gendeng te-
tap dalam posisi duduk menunggang kuda. Padahal,
tubuhnya maupun kedua kakinya tidak menyentuh ta-
nah. Kakek kecil kurus ini duduk di udara!
Namun itu hanya berlangsung sesaat. Tubuh
kecil kurus itu kemudian melayang turun.
"Putih...! Kudaku yang malang. Mengapa kau
pergi meninggalkan aku? Rupanya benar yang dikata-
kan gendut brengsek itu. Kau telah sangat tua dan sa-
kit-sakitan. Biarlah sebagai tanda hormatku kuantar
kepergianmu dengan lagu perpisahan!" keluh Peramal
Gendeng dengan suara sedih sebagaimana layaknya di-
tinggalkan orang yang dicintai.
Si putih....
Itulah namamu....
Kau selalu setia menemaniku....
Sejak aku muda Sampai tua ini. Sekarang aku
kesepian....
Tapi ada orang lain yang menemaniku sebentar
Sedangkan engkau sendirian menempuh perjalanan baru
Perjalanan yang sama sekali tidak pernah kau
tempuh
Aku tidak ingin kau takut atau kesepian Kau bu-
tuh kawan untuk berlomba dan berbincang-bincang
Biarlah kusuruh si hitam untuk menemanimu
Bersamaan dengan lenyapnya ucapan terakhir
dari lagu yang didendangkan Peramal Gendeng terden-
gar bunyi ledakan cukup keras. Kuda-kudaan hitam
yang ditunggangi Setan Gila hancur berkeping-keping.
Tapi seperti juga Peramal Gendeng, Setan Gila mampu
tetap duduk seperti ketika kuda-kudaan hitam itu ada.
"Ha ha ha...!"
Setan Gila yang telah berdiri tegak di tanah ter-
tawa bergelak untuk menutupi rasa kagetnya melihat
kekuatan tenaga dalam Peramal Gendeng. Tidak dis-
angkanya kakek kecil kurus itu mampu menghancur-
kan kuda-kudaan dengan hanya bernyanyi sembaran-
gan. Memang, kakek pendek gemuk ini telah merasakan
getaran-getaran tenaga dalam ketika Peramal Gendeng
bernyanyi. Getaran kuat yang tidak tertuju padanya,
tapi untuk menghancurkan kuda-kudaan hitam.
"Kau semakin lihai saja, Cacing Kurus!"
"He he he...!"
Peramal Gendeng terkekeh. Kotoran-kotoran hi-
dung yang tadi berada di ujung jari dilemparkannya ke
arah Setan Gila. Gumpalan-gumpalan menjijikkan itu
melayang dengan menimbulkan bunyi berdesing nyar-
ing. Tapi Setan Gila tidak mempedulikannya. Bahkan
ketika mengenai berbagai bagian tubuhnya. Beberapa di
antaranya mengenai wajah. Setan Gila sama sekali ti-
dak merasa jijik. Sedangkan rasa sakit tidak dirasakan
karena kakek pendek gemuk ini telah lebih dulu menge-
rahkan tenaga dalam.
"Kau pun masih seperti dulu, Gendut! Babi
Gendut! Kerbau Bunting! Gajah Bengkak! Bahkan, mu-
lutmu makin manis saja didengar telinga. Aku yakin
kedatanganmu kemari bukan untuk bermain-main. Kau
pasti tengah mencari kotoran ayam! Betulkan?!"
Setan Gila terkekeh.
"Kau memang tetap cerdik seperti dulu, Cacing
Kurus! Malah aku yakin kau telah bertambah pandai.
Sebagaimana kau memperlihatkan kepadaku betapa si-
kap jorokmu semakin bertambah!"
"Tidak usah berputar-putar, Gajah Bengkak!
Kau hendak memuji atau menghina? Atau, kau ingin
perutmu yang gendut itu kubuat kempes?!"
"Karena kau telah menanyakannya lebih dulu,
baiklah, aku akan memberikan jawaban. Kedatanganku
kemari hanya ingin menguji kemampuanmu, Cacing
Kurus! Aku ingin tahu apakah kau masih mempunyai
kemampuan yang dulu kau bangga-banggakan. Sampai
kau berani menempelkan gelar peramal di depan kela-
kuan gendengmu. Jangan-jangan kemampuanmu telah
lenyap. Sekarang aku membawa sebuah persoalan un-
tukmu, Cacing Kurus! Aku tak yakin kau mampu me-
nyelesaikannya. Ini persoalan besar! Beranikah kau
menerimanya, Cacing Kurus? Ingat, persoalan ini bukan
persoalan biasa, melainkan menyangkut julukanmu!
Apabila kau tidak bisa memecahkannya berarti kau ti-
dak pantas berjuluk Peramal Gendeng!"
"Kecoak Busuk! Kadal Buntung! Monyet Jelek!
Kucing Pincang!" Peramal Gendeng memaki-maki den-
gan kalap. Kakek kurus ini memang mempunyai sifat
kekanak-kanakan. Tantangan yang dikeluarkan Setan
Gila telah membuatnya kelabakan bukan main. "Berani
kau meragukan kemampuanku, Gendut Jelek?! Gajah
Bengkak! Ayo, katakan masalah mu. Akan kubuktikan
kalau gelar Peramal Gendeng yang kupakai bukan sem-
bar angan!"
"Ah..., begitukah?!" Setan Gila tertawa dengan
sikap mengejek. "Benar-benarkah kau menantang per-
soalan yang tengah kuhadapi, Cacing Kurus yang bera-
ni menggelari diri dengan gelar besar! Apakah nanti se-
telah ku kemukakan kau tidak akan menciut? Kau ti-
dak akan malu-malu mengundurkan diri karena tidak
mampu memberikan jawaban?!"
"Gendut Gila!" Peramal Gendeng semakin kalap.
"Bila sekali lagi kau keluarkan perkataan seperti itu, pe-
rutmu akan kukempesi!"
"Baik! Baiklah kalau kau telah yakin akan ke-
mampuanmu. Tapi ingat, apabila kau tidak berhasil
menyelesaikannya, lebih baik kau copot gelar peramal-
mu!" Setan Gila melancarkan serangan terakhir. Kakek
pendek gemuk ini memang sangat licik. Dia tahu Pe-
ramal Gendeng memiliki ilmu meramal yang luar biasa.
Tidak ada hal yang sulit bagi Peramal Gendeng. Tapi
sayang kakek kecil kurus itu memiliki watak aneh. Apa-
bila dia sedang tidak ingin, biar orang meminta-minta
sampai menyembah-nyembah dia tidak akan melayani.
"Saat ini aku tengah mencari seseorang. Dia telah le-
nyap begitu saja bagai ditelan bumi. Orang ini telah
sangat berani membunuh muridku!"
"Katakan saja siapa orangnya? Setidak-tidaknya
ciri-cirinya. Pakaian atau benda yang biasa di pakainya.
Akan kuberikan jawaban saat ini juga!" Peramal Gen-
deng yang berhasil dipanasi hatinya langsung memberi-
kan tanggapan.
"Dia seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh
tahun. Tubuhnya kurus. Sepasang matanya buta. Dan,
dia memiliki satu lengan. Pakaian yang dikenakannya
serba hitam. Tapi tongkatnya berwarna putih. Kurasa
keteranganku sudah cukup. Sekarang tinggal membuk-
tikan kebenaran sesumbarmu. Benarkah kau berhak
berjuluk Peramal Gendeng! Atau, lebih baik kau meng-
ganti julukan dengan Pembohong Gendeng!"
Peramal Gendeng tidak menyambuti ejekan Se-
tan Gila. Kakek kecil kurus ini duduk bersila dengan
kepala ditundukkan. Beberapa saat lamanya dia bersi-
kap seperti itu. Sementara Setan Gila memperhatikan
gerak-geriknya dengan sikap tak acuh.
Waktu berlalu tanpa terasa. Hampir setengah
hari Peramal Gendeng belum bergerak dari kedudukan-
nya. Duduk bersila dengan kepala tertunduk. Kedua
tangannya terbuka di atas paha. Sekujur wajah kakek
kecil kurus ini penuh dengan keringat. Bahkan, ada
uap putih mengepul dari kepalanya.
Ketika akhirnya uap itu semakin tebal tubuh Pe-
ramal Gendeng bergerak-gerak. Kepalanya didongakkan
menatap wajah Setan Gila yang sejak tadi memperhati-
kan gerak-geriknya dengan tidak sabar.
"Ha ha ha...!"
Setan Gila tertawa bergelak untuk menutupi ra-
sa kecewanya. Dia tahu Peramal Gendeng gagal dengan
usahanya. Meski demikian, kakek pendek gemuk ini ti-
dak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mu-
lut Peramal Gendeng.
"Bagaimana, Cacing Kurus? Bukankah persoa-
lan yang kuberikan padamu amat berat? Katakan kalau
kau tidak mampu menyelesaikannya. Katakan saja kau
bersedia menarik kembali gelar peramalmu. Bukankah
kau tidak mampu menjawab pertanyaanku?!"
"He he he...!" Peramal Gendeng malah terkekeh.
"Orang lain mungkin bisa kau tipu dengan akal bulus-
mu ini, Setan Gila! Tapi, jangan harap kau dapat mela-
kukannya terhadapku. Aku tak bisa kau kelabui!"
"Omongan gila macam apa ini?!" Setan Gila
meski keheranan tetap mampu menyunggingkan se-
nyum lebar. "Aku tidak mengerti maksudmu, Cacing
Gendeng!"
"Sejak dulu kau memang pandai berpura-pura
untuk menutupi kepahitan mulutmu yang berbau ma-
nis, Gendut Gila! Permainanmu sama sekali tidak ada
gunanya. Kau tidak bisa menipuku, Gendut Gila!"
"Menipumu?! Kau rupanya masih bisa bercanda,
Cacing Gendeng! Luar biasa! Sifatmu tidak juga beru-
bah meski telah puluhan tahun kita tidak bertemu!"
"Sudahlah, Gendut! Lebih baik kau segera
menggelinding dari sini sebelum perutmu kubikin
kempes!"
"Jadi..., kau menyerah, Cacing Kurus yang gen-
deng! Kau tidak berhasil menemukan orang yang kuca-
ri? Jadi, benar kau bersedia melepaskan julukan yang
kau sandang itu?!" Meski kaget bukan main, Setan Gila
masih mampu tersenyum lebar dengan wajah berseri-
seri.
"Menemukan orang? Rupanya kau masih juga
berpura-pura, Setan Gila! Gendut Air! Apakah perlu ku-
beritahukan? He he he...! Gendut, aku tidak bisa kau
tipu! Orang yang kau maksudkan itu tidak pernah ada.
Mungkin dia sudah mati. Tapi yang jelas, aku tidak me-
rasakan adanya getaran dari orang itu. Sudahlah, lebih
baik kau tinggalkan tempat ini!"
"He he he...!"
Tawa Setan Gila meledak! Perutnya berguncang-
guncang. Untuk menutupi guncangan pada perutnya
kedua tangannya didekapkan. Tapi, justru kedua tan-
gan itu yang bergerak-gerak terbawa gerakan perut.
"Lucu sekali! Benar-benar menggelikan. Sung-
guh tidak kusangka orang yang berjuluk Peramal Gen-
deng ternyata hanya besar julukannya saja. Setelah ti-
dak menemukan pesanan yang diberikan orang, enak
saja mengatakan kalau orang itu telah menipu! Pesanan
yang dimaksudkan tidak pernah ada dan segudang ala-
san lainnya!"
Senyum yang terkembang di mulut Peramal
Gendeng mulai lenyap.
"Setan Gila! Rupanya kedatanganmu ke tempat
ini memang untuk mencari permusuhan denganku! Kau
sudah bosan hidup, heh?!"
Tawa Setan Gila semakin membesar mendengar
ancaman Peramal Gendeng. Kakek pendek gemuk ini ti-
dak merasa takut atau gentar sedikit pun.
"Kegilaan yang semakin menjadi! Setelah puas
menipu dan orang yang ditipu tidak terima, enak saja
mengusir orang. Ternyata kau benar-benar gendeng!
Ucapan dan janjimu tidak ubahnya bunyi yang keluar
dari lubang dubur, Cacing Kurus! Setelah kau buang,
lalu kau lupakan!"
"Tutup mulutmu, Gendut Gila!" Peramal Gen-
deng semakin kalap. Kumisnya bergetar karena gejolak
amarah. "Kalau kau mengajukan orang yang bukan
khayalan otak bebalmu, di mana pun dia berada den-
gan mudah akan dapat kutemukan! Tapi, kau sengaja
mempermainkan ku. Mana mungkin bisa kutemukan
orang yang terjadi karena khayalanmu saja?!"
"Ha ha ha...! Perkataanmu semakin gila, Cacing
Kurus! Baiklah! Karena kau tidak mampu menemukan,
orang itu, biar kuberitahukan siapa dia. Orang yang ku-
cari karena telah berani meremehkanku dengan mem-
bunuh murid kesayanganku.... Iblis Buta!"
"Iblis Buta?!"
Peramal Gendeng mengulang julukan itu dengan
terkejut. Kakek kecil kurus ini memang telah menden-
gar julukan Iblis Buta yang menggemparkan dunia per-
silatan sepeninggal Setan Gila dan Jerangkong Penjagal
Nyawa.
Setan Gila hanya terkekeh sebagai tanda men-
giyakan. Sikapnya terlihat mengejek sekali.
"Apakah kau masih mau mengatakan kalau
orang yang kucari itu hanya khayalan belaka? Apakah
sekarang kau akan mengatakan Iblis Buta khayalanku
saja? Jangan kau katakan kau belum pernah menden-
gar julukan si, Peramal Bloon!"
Peramal Gendeng tidak menanggapi ejekan itu.
Dia melipat kedua tangan di depan dada dan memejam-
kan mata. Hanya sebentar saja, sepasang matanya
kembali dibuka.
"Mungkin aku harus menanggalkan gelarku,
Gendut Gila! Aku tidak bisa melacak di mana Iblis Buta
berada." Terasa jelas nada kegetiran dalam ucapan Pe-
ramal Gendeng.
"Mungkin kau benar, Cacing Kurus! Kau sudah
terlalu tua. Bukan tidak mungkin ilmu meramal yang
dulu hanya kau miliki sedikit itu telah lenyap bersa-
maan dengan semakin tuanya dirimu. Jangan kau ka-
takan kalau Iblis Buta memiliki kekuatan gaib yang
membuat usahamu mencari dirinya tidak berhasil. Ha
ha ha...! Betapa akan geger dunia persilatan kalau tahu
Peramal Gendeng ternyata tidak mampu meramal lagi!"
"Aku tidak serendah itu, Gendut!" Meski sebe-
narnya tersinggung, Peramal Gendeng tidak berkata
dengan nada keras seperti sebelumnya. Kemarahannya
langsung mengendur seiring dengan ketidak berhasi-
lannya menemukan Iblis Buta. "Sepanjang pengetahua-
nku dan memang sebenarnya, Iblis Buta tidak mempu-
nyai kekuatan gaib yang dapat menggagalkan usahaku.
Aku tidak menjumpai adanya tabir yang menghalangi.
Bahkan, aku merasa heran. Tokoh yang kau sebut itu
seperti tidak pernah ada. Tidak ada getaran-getarannya
sama sekali. Kalau kau mau bersabar menunggu bebe-
rapa hari, mungkin aku bisa mencari tahu mengapa hal
ini bisa terjadi. Dan...."
"Omongan kentut busuk!"
Seman tajam yang bernada ketus itu membuat
Setan dan Peramal Gendeng terperanjat. Serentak me-
reka menolehkan kepala. Pemilik seruan itu agaknya
memiliki kepandaian tinggi. Seruannya melengking
nyaring dan menyakitkan telinga.
6
"Kiranya kau, Tengkorak Berjalan...." Peramal
Gendeng mengangguk maklum mengapa seruan tadi
demikian menggetarkan hati. Dia tidak merasa heran
sekarang. Kakek jangkung bagai galah itu memang
memiliki ilmu amat tinggi. Tidak kalah dengan Setan Gi-
la.
"Ha ha ha...! Tulang hidup rupanya yang mem-
buat ulah!" Setan Gila ikut berbicara.
Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus keras
menunjukkan ketidaksenangan hatinya.
"Sungguh tidak kusangka sekarang kau mem-
punyai otak yang cukup baik, Gendut Gila! Padahal du-
lu kepalamu hanya berisi kotoran belaka! Sekarang ru-
panya sebagian kotoran itu telah berubah menjadi otak
sehingga kau bisa lebih dulu tiba di tempat ini...!"
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pujian mu, Tu-
lang Hidup! Orang yang paling tolol sekalipun akan ta-
hu aku akan lebih pintar dari kau! Kepalamu yang kecil
itu mana mungkin bisa ditempati otak yang besar. Ka-
lau otaknya saja kecil, tidak mungkin pemiliknya pintar
dan memiliki pandangan luas. Ha ha ha...!"
"Lebih baik kau tutup mulutmu yang berbau
busuk itu, Gendut Liar! Pusatkan perhatianmu pada tu-
juan semula. Bukankah kau ingin menemukan di mana
Iblis Buta? Peramal Gendeng yang berotak tak waras ini
mana mau menunjukkan tempatnya kalau tidak dipak-
sa!"
Peramal Gendeng memang tidak waras. Tapi, dia
tidak mau mengakuinya. Kakek kecil kurus ini malah
berpendapat orang-orang selain dirinya itulah yang ti-
dak waras. Peramal Gendeng paling tidak suka kalau
dikatakan tidak waras. Amarah kakek yang selalu men-
genakan pakaian terbalik ini langsung meluap.
"Tengkorak Berjalan! Kalau tidak segera diberi
hajaran keras kau memang tidak mau pergi. Rontok tu-
lang-tulangmu!"
Tidak kelihatan kakek kecil kurus ini mengge-
rakkan kaki, tapi kedua tangannya telah berada dekat
dengan dada Jerangkong Penjagal Nyawa. Tentu saja
untuk mengirimkan serangan ke arah dada Peramal
Gendeng yang memiliki tubuh separo tinggi tubuh Je-
rangkong Penjagal Nyawa harus melompat ke atas.
"Uh...!"
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa berubah he-
bat. Kedua tangannya yang panjang dan kurus mirip
batang bambu segera dijulurkan memapaki serangan
yang meluncur ke arahnya.
Pratttt!
Dua pasang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi saling berbenturan dan melekat! Peramal
Gendeng kaget bukan main. Jerangkong Penjagal Nya-
wa yang menyebabkan tangan mereka saling melekat.
Kakek jangkung itu menggunakan tenaga dalam yang
menyedot. Peramal Gendeng tidak memiliki pilihan lain
kecuali mengerahkan tenaga dalam untuk menandingi
serangan lawan.
Dalam waktu tak lama mulai terlihat keunggu-
lan berpihak pada Peramal Gendeng. Tangan Jerang-
kong Penjagal Nyawa yang menjulur turun karena Pe-
ramal Gendeng bertubuh pendek tampak menggigil ke-
ras. Dari kepalanya mengepul uap yang semakin lama
semakin tebal. Keringat laksana aliran anak sungai
mengucur deras pada wajahnya, membuat wajah yang
selalu terlihat keruh itu semakin tidak enak dipandang.
Keadaan Peramal Gendeng tidak separah Je-
rangkong Penjagal Nyawa. Wajah kakek kecil kurus ini
pun penuh dengan cucuran peluh dan kedua tangannya
menggigil, tapi tidak sedikit pun uap mengepul dari ke-
palanya.
Setan Gila terkekeh. Keadaan Jerangkong Pen-
jagal Nyawa amat mengkhawatirkan. Kekalahan sudah
pasti berada di pihak kakek jangkung itu. Dalam kea-
daan lain Setan Gila akan merasa gembira jika melihat
Peramal Gendeng kalah, apalagi bila sampai tewas.
Setan Gila bukan orang bodoh. Jerangkong Pen-
jagal Nyawa berani bertindak nekat karena mengandal-
kan dirinya. Seperti juga Setan Gila, Jerangkong Pen-
jagal Nyawa telah mengetahui kelihaian Peramal Gen-
deng karena dulu pernah bertarung dan mengalami ke-
kalahan. Keberanian kakek jangkung itu karena kebe-
radaan Setan Gila di tempat ini.
Setan Gila adalah seorang yang memiliki kelici-
kan luar biasa. Keanehan wataknya kadang-kadang
membuatnya bertingkah tak lazim. Kakek pendek ge-
muk ini tidak ragu-ragu untuk bertindak curang.
"Peramal Gendeng, kau tahu keadaanmu seka-
rang. Sekali aku ikut turun tangan, nyawamu akan me-
layang saat ini juga. Tapi, itu tidak akan kulakukan.
Kau akan kubiarkan hidup dalam keadaan cacat. Se-
dangkan monyet peliharaan mu akan ku panggang hi-
dup-hidup di depan matamu dan ku santap bersama
Jerangkong Penjagal Nyawa! Kecuali kalau kau mau
berjanji atas nama besarmu sebagai seorang tokoh per-
silatan, maka aku akan menarik maksudku itu!" Setan
Gila memulai ancamannya seraya mengembangkan se-
nyum.
"Tidak usah berbelit-belit, Setan Gila!" Peramal
Gendeng memaki.
Dari tindakan yang dilakukan Peramal Gendeng
ini saja bisa diketahui kalau kakek kecil kurus itu me-
miliki tenaga dalam di atas Jerangkong Penjagal Nyawa.
Di saat tengah mengadu tenaga dalam merupakan pan-
tangan besar untuk berbicara! Di samping perhatian
menjadi terbagi aliran tenaga dalam pun berkurang. Pe-
ramal Gendeng mampu melakukannya dan tetap men-
gungguli Jerangkong Penjagal Nyawa.
"Katakan di mana Iblis Buta, Cacing Kurus!" Se-
tan Gila cepat menyahut. "Aku yakin kau pasti menda-
pat sedikit jejaknya."
Peramal Gendeng tidak segera menjawab." Dia
tercenung sebentar.
"Kau memang memiliki otak licin seperti belut,
Gendut! Memang aku bisa melacak di mana tempat te-
rakhir Iblis Buta berada. Kau dapat mencarinya di tem-
pat itu, Perut Gendut!"
"Ha ha ha...! Kau pintar mengetahui keadaan,
Cacing Kurus! Peramal Komeng! Begitu keadaan mem-
buruk kau langsung membuka suara. Ha ha ha...! Ayo,
katakan di mana tempat terakhir Iblis Buta berada!" Se-
tan Gila tidak sabar lagi untuk segera mendapat jawa-
ban.
"Di Gunung Cikuray!" jawab Peramal Gendeng.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa terbahak-
bahak. Ia gembira bukan main. "Selamat tinggal, Cacing
Kurus, Tengkorak Hidup! Aku pergi dulu. Kalian boleh
meneruskan permainan itu!"
Jerangkong Penjagal Nyawa yang sedikit pun ti-
dak menyangka akan terjadi seperti ini hanya bisa me-
natap penuh perasaan geram pada Setan Gila yang te-
lah membalikkan tubuh dan siap melesat pergi. Tapi
baru beberapa langkah tubuhnya kembali dibalikkan.
Dari jarak sekitar lima belas tombak tangan kanan Se-
tan Gila dijulurkan ke depan. Pergelangan tangannya
kemudian digoyang-goyangkan.
Tidak terdengar hembusan angin. Tapi, Jerang-
kong Penjagal Nyawa langsung menerima akibatnya.
Dari balik punggungnya mengalir hawa hangat yang te-
rus menerobos ke dalam pusar bergabung dengan tena-
ga dalamnya lalu meluncur lewat kedua tangan. Dengan
tenaga bantuan itu Jerangkong Penjagal Nyawa berhasil
menahan tekanan Peramal Gendeng.
Di lain pihak, Peramal Gendeng merasakan
adanya tekanan kuat dari kedua tangan Jerangkong
Penjagal Nyawa. Sebagai tokoh tua yang telah kenyang
pengalaman dia segera tahu Jerangkong Penjagal Nyawa
mendapat bantuan dari tangan Setan Gila yang dijulur-
kan. Hal ini memaksa Peramal Gendeng mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya.
Setan Gila sendiri sehabis melakukan pertolon-
gan melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan ta-
wa bergelak. Dalam waktu singkat tubuhnya telah tidak
nampak lagi.
Dengan wajah berseri-seri Jumpena dan Dirgan-
tara mendaki lereng Gunung Cikuray. Medan yang cu-
kup curam dan dipenuhi batu-batu karang runcing
yang dapat merusakkan alas kaki dan melukai telapak
tidak menjadikan hambatan. Mereka tetap dapat berlari
dengan cepat seperti layaknya di tempat datar.
Dua orang muda itu berlari berjajar. Dahi dan
leher Dirgantara telah dibanjiri peluh. Napasnya mulai
memburu. Sementara Jumpena masih terlihat segar.
Hanya pada dahinya terlihat sedikit peluh. Napasnya
biasa saja.
Tiba-tiba, dengan masih mengayunkan kaki,
Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan. Mereka
mendengar bunyi bergemuruh dan getaran kuat pada
tanah yang mereka pijak.
"Hati-hati, Dirga! Aku yakin di atas sana terjadi
tanah longsor!" seru Jumpena, memperingatkan.
Dirgantara mengangguk. Pemuda berompi kulit
harimau ini memang mempunyai dugaan yang sama.
Sebentar kemudian, apa yang dikhawatirkan ke-
dua pemuda ini segera terlihat. Dari atas bergelindingan
batu-batu besar dan kecil menuju ke arah mereka. Be-
berapa di antaranya ada yang sebesar gajah bunting!
Dirgantara dan Jumpena bersikap waspada. Be-
tapa berbahayanya apabila tertabrak batu-batu itu. Tu-
buh mereka akan hancur seperti dendeng! Maka, kedua
pemuda itu melompat tinggi ke atas dan ketika melun-
cur turun menggunakan ujung kaki untuk menotok ba-
tu-batu besar yang lewat di bawah mereka. Dengan
mempergunakan tenaga benturan antara ujung kaki
dengan batu, mereka melenting ke atas dan hinggap di
atas batu yang lain. Cara ini membuat Jumpena dan
Dirgantara tetap dapat melanjutkan perjalanan meski
jauh lebih lama.
Ketika akhirnya kedua kaki Jumpena dan Dir-
gantara menjejak tanah, batu-batu telah berada jauh di
bawah mereka. Kedua pemuda ini saling berpandangan
sejenak. Mereka menghapus peluh yang membasahi
kening.
"Aku yakin runtuhan batu ini tidak terjadi den-
gan sewajarnya." Dirgantara memecah kebisuan dengan
sebuah dugaan.
Jumpena mengangguk.
"Aku sependapat denganmu, Dirga. Aku pun
menduga demikian. Ada orang yang bermaksud meng-
halangi kepergian kita. Entah apa maksudnya. Yang je-
las, orang itu berani mati. Kalau Naga Sakti Berwajah
Hitam sampai tahu, orang jahat itu akan mendapatkan
hukuman setimpal atas perbuatannya."
"Kau benar, Jumpena." Dirgantara mendukung
ucapan Jumpena. "Guru pernah bercerita kalau wilayah
kekuasaan Naga Sakti Berwajah Hitam meliputi seluruh
wilayah pegunungan ini!"
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras bernada ejekan bergema ke se-
luruh penjuru tempat itu, menimbulkan gaung panjang
yang nyaring. Jumpena dan Dirgantara bergegas meno-
leh. Saat itu mereka telah berada di bagian puncak yang
datar. Pada beberapa tempat terdapat gundukan-
gundukan batu sebesar rumah. Dari salah satu gundu-
kan batu itu keluarnya suara tawa. Kedua orang muda
ini segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
bagian dalam tubuhnya.
"Tidak kusangka hari ini aku akan bertemu den-
gan dua ekor tikus dungu. Mudah-mudahan saja kedua
tikus ini mampu memberikan perlawanan yang berarti
sebelum mati!"
Jumpena dan Dirgantara saling bertukar pan-
dangan dengan wajah merah dan sepasang mata berki-
lat-kilat memancarkan kemarahan. Ucapan itu jelas di-
tujukan pada mereka.
Dibandingkan dengan Dirgantara, Jumpena
memiliki hati yang lebih mudah terbakar emosi. Dengan
wajah merah padam kakinya diayunkan menuju salah
satu gundukan batu tempat suara itu berasal. Tapi,
Dirgantara segera menyentuh bahunya. Sayang, karena
gerakan Jumpena, jari-jari tangan Dirgantara tidak
mengenai bahu melainkan dada kanan pemuda berpa-
kaian kuning itu.
"Tunggu sebentar, Jumpena. Aku khawatir ini
merupakan jebakan."
"Ih...!"
Dirgantara terperanjat bukan main. Tahu-tahu
Jumpena membalikkan tubuh dan mengirimkan seran-
gan maut dengan dua buah jari yang mengeluarkan
bunyi mencicit nyaring! Tapi, bukan karena itu saja.
Pemuda berompi kulit harimau ini merasakan jari-
jarinya menyentuh gumpalan daging kenyal dan lunak,
sehingga ia segera menarik jari-jarinya dengan terkejut.
Saat itu pula dengan kecepatan menakjubkan Jumpena
menyerangnya. Untung saja Dirgantara telah lebih dulu
melempar tubuhnya ke belakang.
"Jumpena...! Apa kau sudah tidak waras...?
Mengapa menyerangku...?!" seru Dirgantara keras pe-
nuh keheranan. Ia melempar tubuhnya ke sana kemari
mengelakkan serangan Jumpena. Pemuda berpakaian
kuning ini menggunakan ilmu 'Jari Maut' yang diwarisi
Jumpena dari ayahnya, Pendekar Jari Maut.
Plakkk, plakkk!
Dirgantara terpaksa menangkis ketika tidak
memiliki kesempatan mengelak lagi. Serangan Jumpena
tidak bisa dibuat main-main. Pemuda berompi kulit ha-
rimau ini terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya. Kendati demikian, tubuh Dirgantara tetap ter-
huyung-huyung ke belakang dua langkah. Sedangkan
Jumpena terhuyung satu langkah.
Dirgantara merasakan tangannya yang diguna-
kan untuk menangkis terasa perih! Ada cairan hangat
mengalir, tapi itu tidak dipedulikannya. Seluruh perha-
tiannya dicurahkan pada Jumpena.
"Apa maksudmu, Jumpena? Mengapa kau me-
nyerangku seperti ini...?!" tegur Dirgantara, tidak terli-
hat kemarahan kecuali tekanan yang meminta penjela-
san.
Jumpena yang sudah siap kembali melancarkan
serangan segera menghentikan gerakannya. Ia merasa-
kan nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berompi
kulit harimau itu. Ditatapnya wajah Dirgantara lekat-
lekat seakan ingin mencari kebenaran dalam wajah jan-
tan itu. Dirgantara yang merasa tidak melakukan kesa-
lahan membalas tatapan itu dengan sinar mata penuh
pertanyaan.
Sesaat lamanya dua pasang mata saling berpan-
dangan. Baru kemudian Jumpena menghela napas be-
rat. Sorot sepasang matanya melunak. Wajahnya yang
tegang mulai mencair.
"Tidak ada apa-apa, Dirga," ucap pemuda berpa-
kaian kuning itu. Suaranya terdengar kaku, tidak seper-
ti biasanya. "Lain kali jangan sembarangan menyentuh-
ku. Aku mudah terkejut. Kalau tidak, akan terjadi hal
seperti ini lagi. Kau bisa memenuhi permintaanku ini,
Dirga?"
Meski sebenarnya merasa heran mendengar
permintaan Jumpena, Dirgantara mengangguk juga.
Pemuda berompi kulit harimau ini mengangguk pelan.
"Aku berjanji, Jumpena. Tapi, harap kau ingat
aku tidak bermaksud jahat atau hendak mengejutkan-
mu. Aku hanya khawatir kau mendapat celaka terjebak
orang yang bersembunyi di balik gundukan batu itu."
7
Ucapan Dirgantara membuat Jumpena teringat
kembali akan persoalan yang tengah dihadapi. Dia me-
nolehkan kepala ke arah gundukan batu yang menjadi
sumber suara tawa.
"Sudahkah urusan kalian beres, Tikus-tikus
Dungu?!"
Seperti tahu Jumpena telah mengalihkan perha-
tian pada dirinya, pemilik suara dari balik gundukan
batu kembali terdengar.
"Untuk lebih meyakinkan kalian bahwa aku ti-
dak memandang tikus-tikus seperti kalian sebagai se-
suatu yang perlu dikhawatirkan dan untuk menghi-
langkan kesan aku telah membuat perangkap, maka
aku akan keluar dari persembunyian ku untuk men-
jumpai kalian!"
Begitu ucapan itu selesai, Dirgantara serta Jum-
pena berdebar tegang. Mereka menduga-duga siapa so-
sok di balik gundukan batu itu. Meski dari nada sua-
ranya mereka bisa menebak pemilik suara itu masih
muda.
Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan
ketika mendengar langkah-langkah kaki yang tidak rin-
gan. Terdengar jelas oleh telinga Jumpena dan Dirgan-
tara yang tajam. Kenyataan ini sangat mengherankan
mereka. Langkah kaki yang tidak ringan itu menanda-
kan pemiliknya tidak memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi. Ini berarti kepandaian orang itu tidak ter-
lampau tinggi.
Kenyataan itu mengurangi perasaan tegang
Jumpena dan Dirgantara. Tapi ketika pemilik suara te-
lah keluar dari balik gundukan batu, wajah Jumpena
dan Dirgantara kembali tegang. Mata mereka menatap
dengan terbelalak lebar.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sosok
yang keluar dari balik gundukan batu. Seperti yang di-
perkirakan Jumpena dan Dirgantara, sosok itu memang
masih berusia muda. Umurnya tak lebih dari dua puluh
lima tahun. Wajahnya tampan, namun pesolek seperti
seorang wanita. Pakaiannya indah. Bau harum menye-
bar dari tubuhnya. Pemuda berpakaian indah ini ter-
nyata memakai harum-haruman seperti layaknya seo-
rang perempuan.
Kalau melihat keadaan demikian saja Jumpena
dan Dirgantara tidak akan terkejut Tapi, terdapat hal
lain. Di atas kepala pemuda berpakaian indah berteng-
ger sebongkah batu sebesar gajah. Pada bagian batu
yang menempel dengan kepala meruncing sepanjang sa-
tu jengkal. Pemuda berpakaian indah itu berjalan men-
dekati Jumpena dan Dirgantara tanpa menggoyangkan
batu.
Batu sebesar itu tentu berat bukan main. Mem-
butuhkan tenaga yang amat besar dan kemampuan
tinggi untuk bisa menjunjungnya di kepala. Sekarang
Jumpena dan Dirgantara mengerti mengapa langkah
kaki pemuda berpakaian indah terdengar jelas.
"Mengapa kalian bengong seperti sapi ompong,
Tikus-tikus Dungu!" pemuda pesolek mengeluarkan
perkataannya dengan penuh ejekan dan kesombongan.
"Tutup mulutmu, Banci!" Jumpena yang berwa-
tak berani tidak bisa berdiam diri lagi. Pemuda berpa-
kaian kuning ini tidak gentar. Meski tahu pemuda ber-
pakaian indah merupakan lawan yang amat tangguh.
Kemampuan pemuda itu membawa batu telah menjadi
bukti. Apalagi dengan masih mampunya ia melontarkan
kata-kata. Padahal berbicara membutuhkan tenaga da-
lam, sehingga akan mengurangi pengerahan tenaga
yang tertumpah pada batu.
"Mulutmu terlalu tajam! Terima ini kalau bera-
ni!" Pemuda pesolek menggerakkan lehernya sedemikian
rupa, seperti seekor banteng hendak menancapkan tan-
duknya.
Batu sebesar gajah itu terlempar dari kepala
pemuda berpakaian indah dengan mengeluarkan angin
menderu keras. Setelah beberapa tombak terlempar ke
atas dan tenaga luncurannya habis, batu itu meluncur
ke bawah. Padahal, tepat di bawahnya berdiri Jumpena.
Jumpena bersikap tenang. Ketika batu itu me-
luncur semakin dekat, kedua tangannya diulurkan un-
tuk menyambut. Pemuda berpakaian kuning itu ternya-
ta menangkis sambil mengikuti ayunan batu ke bawah
sehingga tidak mengadu kekuatan keras lawan keras.
Untuk menunjukkan kalau dia pun mampu me-
lakukan tindakan yang dilakukan pemuda berpakaian
indah, Jumpena mengangkat batu tinggi-tinggi di atas
kepala dengan kedua tangan. Wajah pemuda berpa-
kaian kuning ini sampai merah padam karena beratnya
batu.
Pemuda berpakaian indah tertawa mengejek. Di
saat Jumpena masih sibuk dengan batunya, dia melesat
cepat mengirimkan serangan. Kedua kepalannya yang
terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati,
dan pusar.
Jumpena terkejut sekali mendapat serangan itu.
Saat serangan dilancarkan dia tengah sibuk dengan ba-
tu. Seluruh tenaganya dikerahkan pada batu itu. Kalau
dikendurkan, dia akan celaka. Tubuhnya akan luluh
lantak tertimpa batu!
"Manusia Curang!"
Dirgantara yang melihat ancaman maut terha-
dap Jumpena tidak kuat untuk tidak berteriak memaki.
Pemuda berwajah persegi ini melompat memapaki se-
rangan licik pemuda berpakaian indah.
Plak, plak, plakkk!
Tubuh pemuda berpakaian indah dan tubuh
Dirgantara terjengkang ke belakang. Dirgantara lebih
jauh. Bahkan, ketika menjejakkan kaki di tanah, tu-
buhnya terhuyung-huyung. Pemuda berompi kulit ha-
rimau ini merasakan tangannya sakit.
Sementara itu, sebelum pemuda berpakaian in-
dah sempat berbuat sesuatu, Jumpena mengerahkan
seluruh kekuatannya untuk melemparkan batu ke arah
pemuda pesolek itu.
Pemuda berpakaian indah tidak tinggal diam.
Dia tahu bertindak lambat sedikit saja akan mati ter-
gencet batu. Kedua tangannya yang terkepal di hentak-
kan ke arah batu.
Blarrr!
Bunyi keras langsung terdengar. Batu besar itu
hancur berkeping-keping terhantam pukulan jarak jauh
pemuda berpakaian indah.
Saking kerasnya pukulan dan besarnya batu
kepingan-kepingan yang terjadi berpentalan ke sana
kemari. Jumpena, Dirgantara dan pemuda berpakaian
indah berusaha mengelakkan kepingan-kepingan batu
yang berpentalan. Tapi karena banyaknya, tetap saja
mengenai mereka dengan telak. Namun berkat tenaga
dalam yang mereka miliki hantaman tidak terlalu me-
nimbulkan masalah. Sedangkan yang menuju ke wajah
dan anggota-anggota tubuh lemah lainnya dipapaki
dengan tangan dan kaki.
Pemuda berpakaian indah berang. Dia semula
sudah membayangkan Jumpena akan roboh terkena
pukulan beruntunnya. Siapa kira Dirgantara akan maju
dan menggagalkannya.
Rasa berang membuat pemuda berpakaian in-
dah segera meloloskan sabuk yang melilit pinggang.
Sabuk berwarna keemasan dan terlihat jelas
terbuat dari benang-benang emas. Dengan sabuk di
tangan diterjangnya Dirgantara yang berada lebih dekat
darinya.
Jumpena dan Dirgantara memang sudah siap
tempur. Mereka langsung mencabut senjata masing-
masing. Dirgantara dengan sepasang bambunya. Se-
dangkan Jumpena dengan sepasang pisau putih meng-
kilat. Pertarungan sengit pun tak dapat dihindarkan.
Bunyi meledak-ledak dari sabuk pemuda berpa-
kaian indah bercampur bunyi mengaung dari bambu
Dirgantara yang diselingi dengan bunyi bercuitan nyar-
ing dari pisau Jumpena meramaikan jalannya pertarun-
gan. Sabuk pemuda pesolek ternyata hebat bukan
main. Sabuk itu seakan telah menjelma menjadi seekor
naga! Naga yang bermain-main di angkasa, meliuk-liuk.
Terkadang lemas seperti ular. Mematuk dan meluncur
dalam bentuk patukan-patukan ujung sabuk. Tak ja-
rang menegang kaku seperti pedang. Bahkan mampu
mengeluarkan bunyi meledak-ledak nyaring ketika pe-
muda berpakaian indah memainkannya seperti me-
mainkan sabuk. Di tangan pemuda pesolek sabuk itu
dapat dijadikan apa saja. Melibat, melilit untuk men-
gambil senjata lawan pun mampu!
Tapi lawan yang dihadapi pemuda berpakaian
indah bukan orang-orang sembarangan. Jumpena dan
Dirgantara memiliki kepandaian tinggi. Meskipun kalau
menghadapi seorang demi seorang mereka bukan tan-
dingan pemuda pesolek itu.
Tapi karena mereka maju berdua perlawanan
yang mereka berikan jauh lebih dahsyat. Meski belum
pernah bertarung bersama-sama, Dirgantara dan Jum-
pena mampu melakukan kerja sama yang baik.
Pemuda pesolek harus menerima kenyataan pa-
hit. Dia terdesak hebat. Kalau semula gulungan sabuk
pemuda ini lebar sekarang telah menyempit. Bahkan,
serangan-serangannya tidak segencar sebelumnya. Dia
lebih banyak bermain mundur.
Dirgantara dan Jumpena gembira sekali. Keme-
nangan telah berada di depan mata. Maka, keduanya
semakin bersemangat melancarkan serangan. Sudah ti-
dak sabar lagi mereka untuk meraih kemenangan.
Meskipun demikian, di dalam hatinya Jumpena
maupun Dirgantara merasa kagum. Kepandaian pemu-
da berpakaian indah itu lebih tinggi dari mereka. Diam-
diam kedua orang muda ini menduga-duga murid atau
anak siapakah pemuda pesolek itu?
Tiba-tiba, Dirgantara dan Jumpena terperanjat.
Pemuda berpakaian indah yang semula sudah terjepit
dan hanya mampu bermain mundur secara tak terduga
mampu melancarkan serangan-serangan luar biasa! Se-
rangan yang mampu membuat Jumpena dan Dirganta-
ra kelabakan. Bagian yang diserang adalah bagian-
bagian terlemah pada pertahanan mereka.
Semula Jumpena dan Dirgantara menduga hal
itu terjadi secara kebetulan. Tapi, ketika kenyataan itu
berlangsung terus mereka mulai merasa curiga. Dalam
keadaan sangat terjepit tak mungkin pemuda pesolek
bisa memperbaiki keadaan secara tak terduga. Sehingga
mampu berbalik mengancam dan berada di atas angin.
Sambil terpontang-panting mengelak, Jumpena
dan Dirgantara yang menduga ada orang pandai yang
telah membantu pemuda pesolek, mereka mengedarkan
pandangan. Dengan ilmu mengirim suara dari jauh
orang itu dapat memberikan petunjuk-petunjuk kepada
pemuda pesolek.
Dugaan Jumpena dan Dirgantara ternyata bera-
lasan. Beberapa tombak dari tempat pertarungan berdiri
seorang kakek bertubuh sedang. Wajahnya hitam. Pa-
kaiannya terbuat dari kulit ular. Kakek berwajah hitam
ini mengenakan ikat kepala dari bahan kulit ular pula.
Meski sekilas, Jumpena dan Dirgantara sempat
melihat mulut kakek berwajah hitam ini terkatup rapat-
rapat. Tidak terlihat dia tengah mengirimkan bisikan
dari jauh.
Tapi, justru hal itu yang sangat mengejutkan
Jumpena dan Dirgantara. Guru dan ayah mereka telah
bercerita kalau ilmu mengirim suara dari jauh membu-
tuhkan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Semakin
tinggi tenaga dalam pemiliknya semakin tidak terlihat
cara ia mengirimkan bisikannya. Kakek berwajah hitam
ini mampu melakukannya tanpa bibirnya berkemik se-
dikit pun.
Jumpena dan Dirgantara juga telah mendengar
tentang ciri-ciri yang dimiliki kakek berwajah hitam. Ci-
ri-ciri yang ada menunjuk pada Naga Sakti Berwajah Hi-
tam. Tokoh tingkat tinggi kaum putih yang tengah dica-
ri-cari Jumpena.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Naga Sakti
Berwajah Hitam membantu pemuda berpakaian indah?
Jangan-jangan ada hubungan antara pemuda berpa-
kaian indah dengan Naga Sakti Berwajah Hitam?
Apa yang diduga Dirgantara dan Jumpena me-
mang tidak keliru. Pemuda berpakaian indah memang
mendapat bantuan dari kakek berwajah hitam. Dan,
kakek itu memang Naga Sakti Berwajah Hitam.
Pemuda berpakaian indah mendengar bisikan-
bisikan di telinganya. Bisikan yang dikenal betul pemi-
liknya. Maka, pemuda pesolek ini menuruti. Hasilnya
ternyata menakjubkan!
"Akh...!"
Jumpena memekik kesakitan. Sabuk pemuda
pesolek dengan gerakan tidak terduga meliuk menotok
bahunya. Tubuhnya seketika terhuyung. Dirgantara
yang tidak ingin kawannya celaka langsung melompat
ingin menolong. Tapi, dengan sebuah tendangan kaki
kanan pemuda pesolek berhasil melemparkan Dirganta-
ra ke belakang dan jatuh terguling-guling.
Kekhawatiran akan keselamatan Jumpena
membuat Dirgantara buru-buru mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terlempar. Tapi ternyata tin-
dakannya tetap terlambat. Pemuda pesolek telah lebih
dulu mengirimkan totokan ke bahu kanan Jumpena
yang membuat tubuh pemuda berpakaian kuning itu
roboh terkulai.
"Dirga! Jangan pedulikan aku. Lari...!" Jumpena
yang tahu Dirgantara akan terus melanjutkan perlawa-
nan segera mencegah. Perlawanan Dirgantara tak akan
berarti. Bahkan akan mengakibatkan pemuda berompi
kulit harimau itu tertawan.
Dirgantara ternyata mau menerima saran Jum-
pena. Dengan terburu-buru tubuhnya dibalikkan. Dia
melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan kaki
terpincang-pincang. Dirgantara memang memiliki pan-
dangan cukup luas. Ia tidak hanya mementingkan pera-
saan. Maka, dia pun bisa menerima saran Jumpena.
Sebelum kabur pemuda berwajah persegi ini masih
sempat memungut gulungan surat Jumpena yang terja-
tuh sewaktu pemuda berpakaian kuning itu didesak
hebat oleh pemuda pesolek.
"Tidak usah dikejar, Lanang!" Seruan Naga Sakti
Berwajah Hitam membuat langkah kaki pemuda pesolek
yang ternyata bernama Lanang terhenti di tengah jalan.
Tanpa berkata apa-apa dihampirinya tubuh Jumpena
yang tergolek di tanah.
"Hey! Bukankah kau orang yang berjuluk Naga
Sakti Berwajah Hitam...?!"
Kakek berpakaian kulit ular yang memang Naga
Sakti Berwajah Hitam menatap pemuda itu dengan so-
rot mata menyelidik.
"Matamu ternyata awas juga, Nona Muda! Aku
memang orang yang berjuluk Naga Sakti Berwajah Hi-
tam. Mau apa kau dan kawanmu itu mendaki gunung
ini?"
Tidak hanya Jumpena yang terperanjat. Lanang
pun membelalakkan sepasang matanya. Mereka terke-
jut mendengar Naga Sakti Berwajah Hitam menyapa
Jumpena dengan panggilan 'Nona Muda'.
"Ayah..." Lanang menyapa Naga Sakti Berwajah
Hitam dengan suara tertahan. "Pemuda ini... seorang
perempuan...?"
Naga Sakti Berwajah Hitam mengangguk.
"Dia memang seorang wanita, Lanang. Dia
mampu melakukan penyamaran dengan baik. Tapi, te-
tap tidak bisa menipu sepasang mataku! O ya, Nona
Muda, sekarang jelaskan maksud kedatanganmu ke
tempat ini!"
Jumpena yang terkejut karena tidak menyangka
Naga Sakti Berwajah Hitam tahu rahasianya menatap
wajah kakek berpakaian kulit ular itu dengan pandan-
gan berani. Pemuda ini memang seorang wanita yang
menyamar sebagai lelaki untuk mencegah banyaknya
gangguan di perjalanan. Dengan penyamaran seperti itu
Jumpena merasa lebih bebas.
"Aku memang seorang wanita!" tandas Jumpena
tegas. "Aku menyamar sebagai lelaki karena ingin perja-
lananku lebih mudah. Dan, kedatanganku kemari di-
utus oleh ayahku untuk menyampaikan surat untuk-
mu, Naga Sakti!"
"Hmh...! Siapa ayahmu...?!" dengus Naga Sakti
Berwajah Hitam dengan nada meremehkan.
"Ayahku berjuluk Pendekar Jari Maut!" jawab
Jumpena lantang.
"Ha ha ha...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa bergelak.
Dia geli mendengar jawaban Jumpena yang penuh ke-
banggaan ketika menyebut julukan ayahnya.
"Jadi, kau putri Pendekar Jari Maut...? Ha ha
ha...! Ada urusan apa ayahmu berani menyuruhmu
kemari untuk mengantarkan surat. Cepat berikan surat
itu...!"
"Bagaimana mungkin aku bisa memberikan su-
rat kalau keadaanku seperti ini?!" sentak Jumpena kes-
al.
"Ooh..., begitu kiranya...?" Naga Sakti Berwajah
Hitam tertawa. "Biarlah kau kubebaskan. Lagi
pula kau tidak mungkin bisa berbuat sesuatu
selama ada aku di sini. Sekalian aku ingin melihat wa-
jah aslimu!"
Naga Sakti Berwajah Hitam mengibaskan tangan
kanannya. Terdengar bunyi angin bertiup pelan. Seketi-
ka itu pula Jumpena merasakan jalan darahnya kemba-
li mengalir lancar. Tapi, kibasan tangan Naga Sakti
Berwajah Hitam membuat dandanan rambutnya beran-
takan. Rambutnya yang semula digelung ke atas terle-
pas dari ikatan dan terurai.
Saat itu pula Lanang termangu-mangu.
"Kiranya dia seorang gadis yang luar biasa can-
tiknya...!" seru pemuda pesolek itu dengan suara terta-
han.
"Matamu memang tajam, Lanang! Kau tahu ma-
na wanita cantik dan mana yang tidak. Tapi ingat, wani-
ta seperti ini tidak menguntungkan apabila dijadikan
permainan seperti wanita-wanita lain yang biasa kau
dapatkan. Dia lebih baik kita pergunakan untuk me-
nambah ilmu."
Lanang langsung membisu. Kelihatan jelas pe-
muda pesolek ini amat takut pada ayahnya.
Tanpa mempedulikan putranya lagi, Naga Sakti
Berwajah Hitam mengalihkan perhatian pada Jumpena
yang telah berdiri tegak.
"Ayo, serahkan surat itu! Jangan coba-coba me-
nipuku. Kau akan mengalami nasib yang mengerikan!"
Jumpena yang memang memiliki watak pembe-
rani hanya tersenyum mengejek. Kemudian perhatian-
nya dialihkan pada bagian dalam bajunya. Tapi, beta-
papun dijelajahi seluruh bagian dalam pakaiannya tidak
ditemukan surat itu.
"Jangan katakan kau tidak menemukan surat
itu, Nona Muda. Aku tidak pernah main-main!" Naga
Sakti Berwajah Hitam membuka ucapannya dengan su-
ara angker.
"Barangkali saja terjatuh, Ayah." Lanang yang
merasa suka dengan Jumpena mengajukan pembelaan.
"Atau, barangkali kau kurang teliti mencarinya, Nona
Manis? Mungkin aku perlu turun tangan untuk mem-
bantumu."
"Diam kau, Lanang!" bentak Naga Sakti Berwa-
jah Hitam.
Seketika pemuda pesolek itu membungkam mu-
lutnya. Tapi, hanya sebentar saja. Pemuda pesolek itu
teringat sesuatu.
"Aku rasa dia berkata benar. Ayah. Tadi kulihat
kawannya memungut sesuatu di tanah. Pasti itu surat
yang dimaksudnya!"
Naga Sakti Berwajah Hitam yang sudah bersikap
mengancam karena paling tidak suka ditipu mengendur
kembali urat-urat di tubuhnya.
"Mungkin kau benar, Lanang. Tapi, biarlah un-
tuk sementara gadis ini menjadi tawanan kita!"
Naga Sakti Berwajah Hitam lalu melambaikan
tangan kanannya. Kelihatan sembarangan, tapi Jumpe-
na yang mencoba untuk mengelak tidak mampu. Tubuh
gadis berpakaian kuning ini ambruk ke tanah. Ia terke-
na totokan jarak jauh Naga Sakti Berwajah Hitam yang
mengenai bahu kanan.
"Bawa dia, Lanang!"
Naga Sakti Berwajah Hitam memberikan perin-
tah pada putranya. Kemudian, membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
"Tapi ingat, jangan berbuat macam-macam. Atau
kau akan kehilangan kepalamu!"
Lanang tidak berani banyak bicara. Tanpa suara
sedikit pun dari mulutnya dipanggulnya tubuh Jumpe-
na. Pemuda pesolek ini melangkah mengikuti ayahnya.
8
"Jumpena.... Ah... betapa malang nasibmu, Sa-
habatku...!" Dirgantara mengeluh seraya menyandarkan
tubuh di sebatang pohon besar. Pemuda berompi kulit
harimau ini telah berada jauh dari Puncak Gunung Ci-
kuray. Wajahnya dibanjiri peluh karena terus-menerus
berlari.
Dengan napas yang masih memburu Dirgantara
mengurut kakinya yang tertendang. Pemuda berompi
kulit harimau ini meringis kesakitan. Tapi terus saja di-
urutnya.
Beberapa saat kemudian, Dirgantara menera-
wang ke angkasa. Tatapannya kosong. Yang teringat
pemuda berwajah persegi ini hanya Jumpena. Keane-
han sikap Jumpena membuat Dirgantara tercenung.
Dirgantara merasa bingung dan bertanya-tanya
dalam hati. Mengapa dia merasakan ada sesuatu yang
hilang dari dalam dadanya setelah berpisah dengan
Jumpena? Mengapa sikap, senyum, dan cara pemuda
berpakaian kuning itu tertawa terbayang-bayang dalam
matanya. "Hhh...!"
Dirgantara menghela napas berat. Ternyata dia
menyukai Jumpena, bahkan terlalu menyukai, seba-
gaimana sukanya seseorang terhadap lawan jenisnya.
Padahal Jumpena seorang lelaki! Kalau pemuda berpa-
kaian kuning itu tahu tentu Dirgantara akan ditinggal-
kan setelah terlebih dulu dimaki habis-habisan.
"Rupanya aku telah gila...!" Dirgantara mengeluh
dengan suara tertahan. Kedua tangannya mendekap
wajah. Pemuda berompi kulit harimau ini kelihatan ter-
pukul sekali menyadari keanehan perasaannya.
Tiba-tiba Dirgantara teringat surat milik Jumpe-
na yang tadi berhasil dibawanya kabur. Dipandanginya
surat yang tergenggam di tangan kanan setelah diambil
dari selipan pinggangnya. Batin pemuda berwajah per-
segi ini berperang. Di satu pihak ingin membuka surat
itu, dan di lain pihak berusaha melarangnya karena hal
itu bukan urusannya.
Akhirnya, setelah beberapa saat termangu-
mangu ragu Dirgantara memutuskan untuk membuka
gulungan surat Siapa tahu ditemukannya suatu petun-
juk untuk menemukan Jumpena. Dengan harap harap
cemas pemuda berompi kulit harimau ini membuka gu-
lungan surat.
Sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam.
Bersamaan suratku ini aku ingin memberitahu-
kan kepadamu kalau aku berniat mengikat hubungan
kekeluargaan denganmu. Kebetulan aku mempunyai
seorang putri, Jumini, namanya. Dialah yang membawa
suratku ini untuk kuserahkan padamu. Kudengar kau
memiliki seorang putra. Aku bermaksud menjodohkan-
nya dengan putramu. Tentu saja sebelumnya kita harus
mengatur pertemuan agar tidak terjadi salah paham. Bi-
ar mereka saling mengenai lebih dulu.
Untuk semua itu kupercayakan padamu, So-
batku. Aku hanya tahu hasilnya. Tak lama lagi aku akan
berkunjung ke tempatmu, untuk melihat hasilnya. Sela-
mat berusaha, Sobatku! Semoga berhasil.
Kawanmu, Pendekar Jari Maut.
Sepasang mata Dirgantara membelalak lebar.
Banyak hal-hal mengejutkan yang diterimanya. Keterke-
jutan pertama yang bercampur kegembiraan adalah
Jumpena ternyata seorang wanita! Seorang perempuan
yang pasti cantik jelita. Ia bernama Jumini.
Tapi, keterkejutan lain yang menyakitkan hati
Jumini ternyata telah dijodohkan oleh Pendekar Jari
Maut, dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam! Ada
rasa sakit yang menikam hati pemuda berompi kulit ha-
rimau ini.
"Jumini...!"
Bagai orang kurang ingatan, Dirgantara berseru
keras memanggil nama Jumpena yang sebenarnya Ju-
mini. Dirgantara mengepalkan kedua tangannya dan
menengadahkan kepala menatap langit.
"Aku akan membebaskan mu, Jumini...! Apa
pun yang akan terjadi kau harus bebas...!"
Setelah mengeluarkan perkataan keras ini, Dir-
gantara melesat cepat menuruni lereng gunung. Pemu-
da ini menyadari benar apabila menolong Jumini sendi-
rian tidak akan berhasil. Kemungkinan besar ia hanya
akan menyerahkan nyawa. Maka, cara lain akan ditem-
puhnya.
"Tidak kelirukah kau, Dirga?!" Pertanyaan yang
bernada tidak percaya itu dikeluarkan seorang kakek
berpakaian sederhana.
Tubuhnya kekar dan berkulit hitam legam. Kulit
orang yang terbakar matahari. Usia kakek ini belum ter-
lalu tua, tapi seluruh rambutnya telah memutih.
Kakek berambut putih itu berjalan mondar-
mandir di depan seorang pemuda berompi kulit hari-
mau yang tengah duduk bersila dengan sikap hormat
Pemuda ini adalah Dirgantara.
"Aku yakin sekali, Guru," Dirgantara menyahut
pelan tapi penuh keyakinan. "Bukan hanya ciri-cirinya
saja yang sesuai. Kepandaiannya juga tinggi. Dan lagi,
bukankah tokoh yang memiliki ciri-ciri demikian dan
tinggal di tempat itu hanya Naga Sakti Berwajah Hitam,
Guru?"
Kakek berambut putih yang bukan lain Petani
Berambut Putih, guru Dirgantara, menghela napas be-
rat. Dia berdiri di depan muridnya dengan dahi berker-
nyit dalam.
"Meskipun demikian, kau tidak boleh bertindak
gegabah, Dirga. Naga Sakti Berwajah Hitam terkenal se-
bagai tokoh tingkat tinggi golongan putih. Tak mungkin
beliau bertindak serendah itu. Menghina dua orang
muda. Apalagi sampai menahan keturunan Pendekar
Jari Maut. Kau tahu, pendekar itu adalah sahabat karib
Naga Sakti Berwajah Hitam. Jadi, rasanya mustahil ka-
lau dia melakukan hal sekejam itu. Aku yakin ada se-
suatu yang tidak wajar di balik semua ini."
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Guru?
Mendiamkan saja Jump... Jumini ini dalam bahaya?"
Dirgantara hampir keseleo lidah menyebut nama Jum-
pena.
"Tentu saja tidak!" jawab Petani Berambut Putih
setelah tercenung sebentar. "Kurasa lebih baik kau
kembali ke tempat Jumini ditawan. Tapi, jangan bertin-
dak sembarangan. Aku sendiri yang akan pergi men-
jumpai Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan berita
ini. Dialah yang paling berkepentingan dalam masalah
ini. Kau mengerti, Dirga? Ingat, jangan bertindak gega-
bah. Masalah ini belum jelas. Siapa tahu pelaku semua
ini bukan Naga Sakti Berwajah Hitam, melainkan
orang-orang yang sengaja ingin menjatuhkan namanya.
Kita jangan sampai terkecoh.
"Aku mengerti. Guru. Tapi..., apakah rencana
Guru tidak terlalu memakan waktu? Bagaimana kalau
Jumpena telah lebih dulu dicelakai?" Dirgantara men-
gutarakan kekhawatirannya.
"Berdoalah agar hal itu tidak terjadi, Dirga." Pe-
tani Berambut Putih menyambuti dengan tenang. "Apa-
bila itu terjadi, anggap saja memang sudah seharusnya
terjadi. Kewajiban seorang manusia hanya berusaha
dan berikhtiar, tapi Tuhan-lah yang menentukan.
Dirgantara tidak berani memberikan bantahan.
Dia menyadari kebenaran ucapan gurunya. Tambahan
lagi, dia tidak berani berdebat lagi. Tindakan itu berarti
tidak mempercayai keputusan yang diambil Petani Be-
rambut Putih.
"Agar kau tidak menjadi resah, mungkin perlu
kuberitahu, Dirga," sambut Petani Berambut Putih yang
mengetahui keresahan hati muridnya. "Tempat tinggal
Pendekar Jari Maut berada di tengah perjalanan menu-
ju tempat tinggal Naga Sakti Berwajah Hitam. Hanya
menyimpang sedikit. Jadi, tidak terlalu membuang wak-
tu lama."
"Terserah Guru saja. Aku percaya Guru men-
gambil keputusan yang terbaik." Dirgantara pasrah.
"He he he....!" Petani Berambut Putih tertawa lu-
nak. "Kau jangan khawatir, Dirga. Percayalah padaku.
Aku tak akan membiarkan calon mantuku celaka."
"Apa maksudmu. Guru? Calon mantu?" Dirgan-
tara tersentak kaget. Ditatapnya wajah Petani Berambut
Putih dengan mata bertanya-tanya.
"Tidak usah menyembunyikan rahasia hatimu,
Dirga. Sejak kau berusia kurang dari sepuluh
tahun, aku telah mengenai betul watakmu. Aku pun
pernah muda. Pernah merasakan jatuh cinta. Kau me-
mang tidak salah pilih. Keturunan Pendekar Jari Maut
memang pantas untuk menjadi jodohmu. Biar aku yang
akan membicarakan masalah ini dengan Pendekar Jari
Maut. He he he...! Aku sudah ingin melihat kau meni-
kah dan mempunyai anak. Kau sudah cukup umur,
Dirga." "Guru...! Tapi...."
"Jangan katakan kau tidak mencintainya, Dir-
ga!" selak Petani Berambut Putih, tak sabar. "Kekhawa-
tiranmu yang terlalu berlebihan atas nasib gadis itu te-
lah menjadi bukti nyata kalau kau mencintainya.
Atau..., jangan-jangan gadis itu yang tidak mencintai-
mu? Kalau memang benar demikian, dia tentu seorang
gadis yang bodoh. Apa lagi yang kurang dari dirimu.
Tampan, gagah, memiliki kepandaian tinggi."
"Tapi Guru..., ayahnya...."
"Jangan kau pikirkan ayahnya!" potong Petani
Berambut Putih. "Ayahnya biar aku yang urus. Yang
penting, katakan padaku apakah gadis itu juga mencin-
taimu? Setidak-tidaknya menunjukkan tanda-tanda
menyukai. O ya, siapa nama gadis itu, Dirga? Aku lupa
lagi."
"Jumini, Guru," jawab Dirgantara dengan hati
berdebar tegang. Dia ingin mengatakan pada gurunya
kalau Jumini telah dijodohkan dengan putra Naga Sakti
Berwajah Hitam. Tapi, Petani Berambut Putih tidak
memberikan kesempatan. Dirgantara pun memutuskan
untuk membiarkan saja hal itu.
"O ya, Dirgantara. Bagaimana tanggapan Jumini
selama kau melakukan perjalanan bersamanya?"
"Baik sekali. Guru," kemudian Dirgantara men-
ceritakan semua kejadian yang dialaminya sehingga
bertemu dengan Jumini.
Petani Berambut Putih kelihatan terkejut men-
dengar pengalaman Dirgantara. Beberapa kali seruan
kaget keluar dari mulutnya.
"Tengkorak Darah...," desis Petani Berambut Pu-
tih hampir tidak percaya. "Sudah lama aku mendengar
julukannya. Tapi, dia lenyap setelah bertemu dengan Ib-
lis Buta. Entah apa yang terjadi antara mereka. Iblis
Buta pun demikian. Julukannya lenyap begitu saja dari
dunia persilatan. Kabarnya tokoh ini tak pernah kenal
ampun. Tidak hanya tokoh-tokoh golongan hitam saja
yang dimusuhi. Tokoh golongan putih pun demikian.
Banyak tokoh-tokoh golongan hitam yang tewas di tan-
gannya.
Mengingat kekejamannya, orang-orang mema-
sukkannya dalam kelompok golongan hitam. Padahal,
kebanyakan korbannya adalah orang-orang golongan
hitam. Entah apa yang dicarinya."
Dirgantara membiarkan saja gurunya tenggelam
dalam alun pikirannya. Sampai akhirnya kakek itu te-
ringat sendiri.
"Sudahlah, Dirga. Kurasa lebih baik kau cepat
pergi. Hanya pesanku, jangan bertindak gegabah. Usa-
hakan jangan turun tangan kecuali terpaksa sekali.
Tunggu kedatanganku dengan calon mertuamu, Pende-
kar Jari Maut. Nah, sekarang pergilah...!"
Setelah berkata demikian, kakek berambut putih
ini membalikkan tubuh dan masuk ke dalam ruangan
lain. Ruangan yang dijadikan tempatnya menyepi.
"Aku pergi dulu, Guru."
Dirgantara menghormat sekali lagi sebelum me-
lesat pergi. Dia yakin, gurunya akan pergi juga tak lama
sepeninggalnya. Ada sedikit perasaan lega dan girang di
hati Dirgantara. Gurunya akan turun tangan untuk
menyelamatkan Jumini. Dan, akan berbicara dengan
Pendekar Jari Maut mengenai perjodohannya dengan
Jumini. Meski Jumini telah dijodohkan dengan putra
Naga Sakti Berwajah Hitam, tapi maksud gurunya sedi-
kit banyak menimbulkan harapan di hati Dirgantara.
Harapan yang membuatnya selalu menyenangkan Ju-
mini. Bahkan di sepanjang perjalanan, Dirgantara
membayangkan bagaimana rupa gadis berpakaian kun-
ing itu dalam dandanan aslinya. Tidak dalam penyama-
ran sebagai seorang pemuda.
Dugaan Dirgantara ternyata tidak keliru. Sepe-
ninggal dirinya, Petani Berambut Putih melesat mening-
galkan tempat kediamannya. Ia bermaksud mencari
Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan perihal Jumini.
Berhasilkah Dirgantara membebaskan Jumpena
yang ternyata seorang gadis bernama Jumini? Benarkah
seperti yang dikatakan Peramal Gendeng, Iblis Buta se-
benarnya tidak pernah ada? Siapa pulakah Tengkorak
Darah?
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
Misteri Gadis Gila
Emoticon