1
"Hhh...!"
Satu helaan berat keluar dari mulut sesosok bertubuh sedang, di
sebuah ruangan luas dalam sebuah goa. Dengan langkah tertatih-tatih karena
memang telah termakan usia, sosok itu mondar-mandir di mangan yang
cukup pengap ini. Wajahnya menunduk dengan tangan kiri mengelus-elus
"Aku yakin ada sesuatu yang aneh.... Sesuatu mengerikan, yang
mungkin akan teijadi. Benar! Aku yakin...," desah sosok yang ternyata
seorang laki-laki tua beijubah putih.
Kini kakek itu berdiri diam dengan sikap tubuh agak miring.
Memang kaki kirinya sampai sebatas pangkal paha sudah tidak ada lagi, dan
diganti sebatang tongkat besi yang ditekankan ke tanah dengan tangan kiri.
Usia kakek ini tidak kurang dari tujuh puluh lima lahun. Meski tidak
memiliki kumis atau jenggot, tapi semua rambutnya yang panjang terurai
telah berwarna putih laksana benang-benang perak.
Kini kakek berkaki buntung ini kembali melangkah tertatih-tatih.
Langkahnya yang bergelombang seperti berjalan di dataran tidak rata, tertuju
pada mulut goa yang hanya satu-satunya terlihat di sini. Bagian lainnya
merupakan dinding gua dari batu cadas yang tidak memiliki lubang sama
sekali.
Lorong yang dimasuki kakek berkaki tunggal itu ternyata cukup
panjang. Tapi, langkahnya tidak diteruskan sampai akhir lorong goa. Pada
salah satu dinding di lorong terdapat mulut goa yang lebih kecil, langkahnya
berbelok. Dan ternyata lorong ini menembus ke sebuah mangan berbentuk
segi empat yang jauh lebih kecil dari mangan sebelumnya. Tidak ada apa-apa
di mangan itu, kecuali sebuah danau kecil berbentuk lingkaran, bergaris
tengah setengah tombak. Airnya yang jernih membuat dasar danau kecil ini
terlihat jelas. Di dalamnya banyak terdapat benda sebesar ibu jari kaki yang
berkilauan. Mungkin intan berlian. Tapi kakek berkaki tunggal itu tidak
mempedulikannya. Dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk, menatap
permukaan air danau kecil sesaat.
"Cermin Ajaib...! Cermin Sakti...! Beberapa hari ini hatiku tidak
tenang. Aku tidak bisa bersemadi seperti sebelumnya. Jantungku terasa
berdebar-debar.... Tidurku pun gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang akan
terjadi. Tolonglah tunjukkan padaku, apa yang menjadi penyebab semua ini,
wahai Cermin Sakti...!" pinta kakek beijubah putih itu dengan suara pelan
dan bergetar, penuh kekuatan
Sekejap setelah ucapan kakek berkaki tunggal ini lenyap,
permukaan air di dalam danau kecil bergolak hebat, seakan-akan ada sesuatu
yang akan timbul ke permukaan. Air berbuncah-buncah, menimbulkan
gelembung-gelembung udara. Permukaan air seperti mendidih! Dan ketika
semua keanehan itu lenyap, pada permukaan air tampak bayangan gambar
sebuah pulau berwarna hitam kelam, penuh diliputi kabut. Tak lama
kemudian berganti sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat dengan
panjang sekitar dua jengkal dan lebar satu setengah jengkal.
Bayangan gambar ini pun tidak lama karena segera berganti
bayangan mayat-mayat bergeletakan berkubang darah! Kemudian,
permukaan air dalam danau kecil itu bergolak dahsyat kembali, sebelum
akhirnya tenang seperti sedia kala. Jernih dengan batu-batu berkilauan di
dasamy a.
Kakek berkaki sebelah mengernyitkan dahinya seperti tengah
berpikir keras. Beberapa saat lamanya dia bertindak demikian.
"Cermin Sakti...! Cermin Ajaib.... Aku belum jelas dengan semua
keteranganmu. Tunjukkanlah padaku penjelasan yang dapat kumengerti...!"
Permintaan kakek berkaki tunggal langsung mendapatkan sambutan
seperti sebelumnya. Tapi, bayangan gambar-gambar yang ditunjukkan danau
kecil yang disebut Cermin Ajaib itu tidak berubah. Tetap seperti yang
pertama kali.
Kenyataan ini membuat kerut-merut di dahi kakek berkaki tunggal
semakin bertambah. Kemudian kakek berkaki tunggal ini kembali
melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu dengan sepasang mata
yang disipitkan, dan pandangan yang tertunduk ke bawah.
"Aneh sekali..,! Mengapa Cermin Ajaib tidak mampu memberi
keterangan yang jelas? Apakah yang tersembunyi di balik pulau dan peti itu,
sehingga Cermin Sakti tidak mampu mengungkapnya sama sekali! Gila! Ini
benar-benar gila! Aku yakin, apa pun ini, merupakan ancaman besar bagi
kelangsungan dunia persilatan! Aku harus bertindak...!" desis kakek ini.
***
"Kau harus menjelaskan maksud tindakanmu ini. Penjaga Alam
Gaib?! Kalau tidak, aku akan segera pergi dari sini! Kau tahu, aku telah
kerasan hidup menyepi seperti ini. Bersatu dengan alam dan jauh dari
kekerasan dunia persilatan!" tegur seorang laki-laki tua bertubuh kerdil dan
bulat.
Pendek dan gemuk kakek ini lebih mirip bola daripada manusia.
Apalagi, pakaiannya yang sempit. Sehingga semakin mempeijelas bentuk
tubuhnya.
"Apa yang dikatakan Guraksa tepat sekali, Penjaga Alam Gaib! Aku
pun telah merasakan nikmatnya hidup menyendiri di tempat sunyi seperti ini.
Ilmu-ilmu racunku telah lama kulupakan. Dan malah, aku berusaha
menciptakan ilmu-ilmu pengobatan. Itu sebabnya, aku merasa penasaran
sekali atas panggilanmu untuk berkumpul di tempat ini!" timpal laki-laki tua
yang bertubuh kurus kering seperti orang kelaparan, mendukung ucapan
kakek pendek gemuk yang dipanggil Guraksa.
Kakek bertubuh kurus kering itu wajahnya berbentuk tirus dan
meruncing laksana muka seekor tikus. Jelek. Bisa dibayangkan kalau budi
pekertinya tidak baik. Apalagi ditambah sepasang mata sipit yang selalu
berputaran liar, pertanda memiliki sifat licik.
Dan sekarang, sepasang mata kakek kurus kering yang panjang ke
samping, dan sepasang mata kakek pendek gemuk yang bulat besar
sama-sama tertuju lurus pada sosok yang duduk di depan, mengandung rasa
penasaran.
Sosok yang dipanggil Penjaga Alam Gaib menatap wajah-wajah
penasaran di depannya berganti-ganti. Kakinya yang sebelah, ditekuk seperti
duduk bersila.
"Kalian ini kan sahabat-sahabatku terbaik. Mengapa berlaku
sungkan-sungkan dengan memanggilku seperti orang-orang bodoh dari
dunia persilatan?! Penjaga Alam Gaib. Sungguh sebuah julukan luar biasa!
Padahal, apa sih yang kuketahui tentang alam gaib?!" mngut kakek berkaki
tunggal dan berpakaian jubah putih longgar disertai senyum pahit. "Hm..„
Kalian sepertinya tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan yang
bertele-tele. Maka, terpaksa aku langsung pada pokok permasalahan.
Begini...."
Sebentar Penjaga Alam Gaib terdiam, dengan mata menerawang
jauh. Sepertinya, dia tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat, untuk
kemudian dituturkannya kembali.
"Beberapa hari ini, secara berturut-rurut aku mendapatkan mimpi
mengerikan. Dalam tidurku, kulihat dunia persilatan dibanjiri darah! Semula,
aku tidak ambil pusing. Karena begitu bangun, aku telah lupa dengan
mimpiku. Tapi perasaan tidak nyaman dan rasa gelisah yang aneh,
membuatku berpikir. Sehingga aku teringat kembali pada mimpi yang
kualami. Maka segera kutanyakan masalah ini pada Cermin Ajaibku. Dan
ternyata, jawaban yang kudapat amat aneh. Cermin Ajaib-ku tidak mampu
mencari jawabannya. Bahkan seperti mendapat halangan. Jawaban yang
kudapat lama sekali, jauh lebih lama dari biasanya. Seakan-akan pertanyaan
itu amat sukar, sampai-sampai tak terjawab. Aku merasa aneh. Makanya
kuputuskan untuk mencari jawaban bagi masalah aneh ini."
"Kau tidak tengah bergurau. Penjaga Alam Gaib?!" celetuk kakek
kurus kering, setengah tidak percaya, "Cermin Ajaib-mu tidak dapat
menemukan jawabnya? Pasti ini sebuah persoalan luar biasa. Maksudku...
tokoh yang berdiri di balik pulau dan peti iri memiliki ilmu-ilmu gaib luar
biasa!"
"Ha ha ha...!" kakek yang bertubuh mirip gentong air tertawa,
terkekeh. "Andaikata demikian pun, mengapa? Toh, tidak akan merubah arti
apa pun. Maksudku..., kau tidak berubah pikiran dan meninggalkan tempat
ini kan. Penjaga Alam Gaib?!"
"Justru sebaliknya, Guraksa," jawab Penjaga Alam Gaib, setelah
tercenung beberapa saat. "Aku malah berkeinginan untuk meninggalkan
tempat ini, dan mencoba menyelidiki rahasia aneh ini. Aku merasa tertantang
untuk memecahkannya."
Guraksa menatap kakek kurus kering. Dan yang ditatap juga tengah
memandangnya. Ada sorot ketidakpercayaan memancar dari masing-masing
pemilik mata.
"Kalau tidak mendengar sendiri, mungkin aku tidak akan percaya.
Penjaga Alam Gaib," ujar kakek kurus kering, mendesah. "Kaulah yang dulu
mengajak kami berdua untuk menyasingkan diri dari dunia persilatan ke
lereng gunung ini. Sekarang setelah kami linggal di sini selama belasan tahun
dan kami mulai kerasan, malah kau juga yang hendak meninggalkan tempat
ini untuk mencampuri kerasnya dunia persilatan. Kau membuatku kecewa.
Penjaga Alam Gaib!"
"Apa yang dikatakan Kum Sanca tidak berlebihan. Penjaga Alam
Gaib. Terus terang saja, aku merasa kecewa mendengar keputusanmu. Kau
tahu, keputusan ini dapat menyebabkan semuanya berubah. Maksudku, aku
dan Kuru Sanca akan terdorong untuk beitindak sempa. Kau tahu, dunia
kami sebelumnya penuh kekerasan. Dan keberhasilan kami menahan diri
untuk tidak terjun kembali ke dunia seperti itu, adalah karena keberadaanmu
di sini. Kau tahu, tidak gampang melawan pengaruh kuat untuk teijun ke
dunia persilatan kembali. Dan apabila kau meninggalkan tempat ini, maka
kami tidak memiliki patokan lagi," urai Guraksa panjang lebar.
"Hhh...!" Penjaga Alam Gaib menghela napas berat "Bisa
kumaklumi keberatan kalian. Dan asal kalian tahu saja, aku pun merasa
demikian. Tapi entah mengapa..., aku yakin kalau berdiam diri saja, dunia
persilatan akan dibanjiri darah. Kalian kan tahu, aku memiliki banyak ilmu
gaib yang tidak masuk akal. Dengan Cermin Ajaib-ku, aku bisa tahu sesuatu
yang ingin kuketahui. Itu biasanya. Tapi kenyataannya, kali ini cermin itu
tidak berdaya. Inilah yang membuatku jadi penasaran. Aku jadi ingin tahu,
benarkah sesuatu yang kuhadapi akan sedahsyat ini! Aku yakin petunjuk
yang kudapat satu dengan yang lain berhubungan. Maka kuputuskan untuk
menyelidikinya tanpa hams ikut campur dalam kerasnya dunia persilatan.
Aku hanya ingin mengetahuinya saja. Setelah itu, aku bisa mewakilkannya
pada orang lain yang lebih berkepentingan. Batas campur tanganku hanya
sampai pada menyingkap masalah yang tersembunyi. Lain tidak! Urusan
selanjutnya, kuserahkan pada tokoh yang memang bertugas untuk
menegakkan kebenaran."
"Bisa kau katakan padaku tokoh itu. Penjaga Alam Gaib?!"
"Tentu saja, Guraksa!" jawab Penjaga Alam Gaib, cepat. 'Tokoh itu
masih sangat muda. Tapi, telah membuat dunia persilatan gempar karena
tindakannya. Julukannya, Dewa Arak!"
"Dewa Arak?!"
Hampir berbareng seman itu keluar dari mulut Guraksa dan laki-laki
kurus bernama Kum Sanca. Bahkan di saat yang hampir bersamaan, kedua
kakek ini saling berpandangan. Dan dalam pertemuan pandang yang hanya
sebentar itu, mereka seperti telah mengambil kesepakatan.
"Aku tidak pernah mendengar julukan seperti itu. Penjaga Alam
Gaib," kata Guraksa yang lebih gemar berbicara daripada Kum Sanca.
"Itu sudah pasti, Guraksa. Tokoh muda itu belum lama
menggemparkan dunia persilatan. Sedangkan kalian telah belasan tahun
mengundurkan diri. Menyepi di sini menjauhi dunia ramai. Bagaimana
mungkin bisa mendengar julukannya?! Aku sendiri, kalau tidak karena
keisenganku menanyakannya pada Cermin Ajaib, tidak akan tahu. Jelas?!"
Guraksa dan Kum Sanca diam. Keduanya tidak membantah sama
sekali. Sekarang, kedua kakek itu telah bisa mengerti akan tugas yang
diemban Penjaga Alam Gaib.
***
"Dasar nasib sial! Enak-enakan menyepi di tempat tenang, eh
mendapat tugas keluar kembali ke dunia persilatan. Penjaga Alam Gaib
memang selalu membuat jalan hidupku terombang-ambing. Mudah-mudahan
saja tidak terjadi hal-hal yang membuat penyakit lamaku kumat!"
Gerutuan -gemtu an itu keluar dari mulut sesosok tubuh pendek
gemuk, dan gendut. Kaki dan tangannya juga pendek-pendek dan bulat-bulat.
Sehingga ketika berjalan, sosok yang lebih mirip gentong air ketimbang
manusia ini bagaikan menggelinding! Siapa lagi kalau bukan Guraksa!
Meskipun bentuk tubuhnya aneh dan kelihatan menggelikan, namun
Guraksa memiliki ilmu aneh. Walau kedua kakinya pendek-pendek, tapi
ketika berlari tak kalah dibanding orang-orang yang memiliki kaki
sewajarnya. Bahkan boleh dibilang lebih cepat. Sampai-sampai bentuk
tubuhnya lenyap ketika berlari. Dan yang terlihat, hanya sekelebatan
bayangan dalam bentuk tidak jelas.
Guraksa baru memperlambat larinya dan menggantinya dengan
beijalan biasa, ketika telah berada di sebuah jalan tanah yang kanan kirinya
diapit hamparan rerumputan menjulang tinggi. Sejauh mata meman-dang
yang terlihat hanya rumput di sana-sini.
Sosok pendek gemuk itu, menekankan caping bambu yang menutup
kepalanya. Tindakan yang dilakukan seperti hendak menyembunyikan
wajah.
Baru beberapa tombak Guraksa beij alan biasa, mendadak terdengar
bunyi gemerisik nyaring. Dan di depannya, beijarak tiga tembak, tahu-tahu
telah beijajar beberapa sosok tubuh bersenjata di tangan. Sikap mereka
mengisyaratkan siap untuk tarung.
"Hnr...!"
Guraksa menggumam pelan, melihat hambatan di perjalanannya
Dengan gerak tidak kentara, ekor matanya memperhatikan belakangnya.
Ternyata dalam jarak yang sama di belakangnya, telah beijajar sosok-sosok
tubuh yang bersenjata di tangan. Jelas, sosok pendek gemuk ini merasa kalau
dirinya telah terkurung. Tidak ada lagi jalan keluar, kecuali menerobos
kerimbunan rerumputan yang tinggi dan luas ita
Walaupun keadaannya telah terkurung, sosok mirip gentong air itu
tidak kelihatan gugup. Guraksa berdiri diam di tempatnya, tidak melangkah
maju atau mundur. Kepalanya malah semakin dibenamkan dalam
kungkungan caping bambunya yang tems ditekankan.
"Hehehe...!"
Sambil mengumbar tawa terkekeh, tiga lelaki kekar berkulit hitam
legam di depan Guraksa melangkah maju.
"Tidak ada gunanya menyembunyikan wajah di balik caping itu,
Guraksa! Meski tubuhmu kau bungkus dengan gundukan kotoran manusia
pun, kami akan tahu! Tubuhmu yang bulat seperti babi buntinglah yang
membuat kami gampang menebak, siapa dirimu. He he he...!"
Salah satu lelaki kekar berkulit hitam bertahi lalat besar yang
ditumbuhi berambut di pipi berkata sombong sambil menudingkan pisau di
tangannya pada sosok pendek gemuk di hadapannya.
"Ha ha ha...!"
Guraksa tertawa bergelak. Caping bambu yang menutup wajah
ditengadahkan, sehingga sekarang wajahnya yang bulat, terlihat jelas.
"Rupanya matamu masih tajam. Tompel! Bahkan sepertinya lebih
tajam lagi. Apakah tuanmu yang sekarang memberi lebih banyak tulang?!
Kudengar gonggonganmu lebih berisi daripada dulu!" ejek Guraksa.
"Keparat!" geram lelaki hitam bertompel, penuh kemarahan.
Hatinya kontan terbakar mendengar ejekan Guraksa. "Rupanya kau sudah
kepingin mati. Babi Gemuk!"
Belum lenyap gema ucapan itu, serangan-serangan lelaki hitam
bertompel ini telah lebih dulu menyambar. Sepasang tangannya bergerak
cepat mengibas. Maka seketika beberapa batang pisau tajam mengkilat yang
berada di balik pakaiannya meluncur ke arah Guraksa, diiringi bunyi
berdesing nyaring.
Guraksa meski bertubuh gemuk dan gendut, ternyata memiliki
gerakan gesit. Sebelum sambaran pisau-pisau itu mendekat, tangan kanannya
bergerak meraih camping di kepalanya. Langsung dilemparkannya caping itu
untuk memapak pisau-pisau yang meluncur ke arahnya. Dengan didahului
bunyi mengaung nyaring laksana puluhan ekor lebah mengamuk, caping
bambu itu meluncur ke arah tujuan.
Bahkan sebelum masing-masing benda yang dilepaskan
berbenturan di tengah jalan, dua orang yang bertikai ini melesat dari
tempatnya. Begitu tubuhnya bergerak, lelaki hitam bertompel itu
mengeluarkan perintah pada rekan-rekannya untuk menyerbu. Dan ketika
beberapa orang kekar menyerbu, Guraksa pun meluruk dari tempatnya.
Guraksa memang memiliki watak aneh. Dia terlalu gemar tertawa.
Sehingga selalu saja mampu tertawa di saat tengah dilanda kemurkaan yang
amat sangat. Seperti kali ini. Sebenarnya begitu mendengar makian lelaki
bertompel, hatinya marah bukan kepalang. Tapi ternyata dia tetap mampu
tertawa. Dan bahkan balas mengejek, sehingga membuat lelaki bertompel
hilang sabar dan marah.
Sebenarnya, Guraksa pantas untuk amarah. Betapa tidak? Lelaki
bertompel bersama rekan-rekan yang dibawa itu sebenarnya adalah
murid-murid Guraksa, meski bukan dalam arti penuh. Mereka menjadi anak
buah kakek pendek gemuk ini setelah mendirikan sebuah perkumpulan.
Sebagai anak buah, mereka semuanya dididik Guraksa, meski tidak secara
sungguh-sungguh.
Puluhan tahun lalu, Guraksa merupakan tokoh hitam. Bahkan
termasuk datuk yang sangat ditakuti karena kesaktian dan kekejamannya.
Namun sebuah peristiwa membuatnya bertobat dan meninggalkan
perkumpulan.
Kini sama sekali Guraksa tidak pemah mimpi, betapa anak buahnya
sendiri berani menghadang peijalanannya. Dan bahkan mengeluarkan
makian kotor! Karuan saja dia menjadi naik darah. Kemarahan ini membuat
Guraksa memutuskan untuk memberi hajaran keras pada bekas anak-anak
buahnya!
Pyarrr!
Sebelum kedua belah pihak saling terjun dalam pertarungan, caping
dan pisau-pisau yang meluncur telah lebih dulu berbenturan. Namun,
rupanya Guraksa telah memperhitungkannya. Sehingga capingnya tidak
berbenturan secara penuh. Dengan tingkat kepandaiannya yang sudah amat
tinggi dan tenaga dalam tinggi. Capingnya telah diatur agar membentur pisau
dengan serempetan keras, tapi tepat. Sehingga senjata-senjata itu jadi
berbalik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda! Sedangkan
camping itu sendiri meluncur balik ke arah Guraksa. Luncurannya pun sudah
diperhitungkan, sehingga bisa ditangkap Guraksa. Dan seketika itu pula,
capingnya dilemparkannya kembali ke arah para pengepung. Sementara pi¬
sau-pisau yang meluncur balik, juga mengancam mereka.
Trang, trang, trang!
"Uh...!"
Seruan-seruan itu keluar dari penyerang Guraksa yang berada di
depan, begitu berhasil menghalau pisau-pisau itu dengan pisau yang
tergenggam di tangan. Tapi kesudahannya tangan mereka bergetar hebat.
Sementara serangan caping yang berputar aneh membuat mereka kaget.
Maka terpaksa mereka berlompatan mundur.
Kesempatan itu dipergunakan Guraksa sebaik-baiknya. Tanpa
menemui kesulitan sama sekali, caping bambunya yang berbalik ditangkap.
Kemudian dengan gerakan cepat tubuhnya berbalik, berhadapan dengan para
penyerangnya yang meluncur dari belakang. Secepat kilat laksana bola,
tubuh Guraksa menggelinding ke arah lawan-lawannya. Akibatnya pun
hebat, seketika terdengar teriakan-teriakan kesakitan di sana-sini, disusul
berpentalannya tubuh-tubuh para pengeroyok. Mereka semuanya roboh
pingsan, tergolek di tanah dengan senjata berpentalan entah ke mana.
Hanya dalam segebrakan saja, para pengeroyok yang berjumlah tak
kurang dari delapan orang itu sudah tidak ada yang berdiri tegak. Guraksa
yang berpengalaman, tidak terpaku di situ. Langsung tubuhnya berbalik
menghadapi serangan berikut yang berasal dari lelaki hitam bertompel,
bersama anak buahnya.
Sepasang alis Guraksa berkemt dalam ketika melihat kenyataan
aneh. Lelaki bertompel dan anak buahnya ternyata tidak melakukan tindakan
apa-apa. Mereka semuanya berdiam diri, tidak melakukan serangan.
Sebaliknya mereka berdiri sambil tersenyum gembira. Terutama sekali,
lelaki hitam bertompel.
2
Guraksa bukan tokoh kemarin sore. Sebagai bekas datum kaum
sesat, kakek pendek gemuk ini langsung dapat merasakan ada hal-hal yang
mencurigakan di sini. Kalau tidak ada apa-apa, mustahil lawan-lawannya
berhenti menyerang. Apalagi tersenyum-senyum gembira bernada penuh
kemenang an.
Namun sebelum Guraksa berhasil menemukan jawabannya, kedua
tangannya telah terasa ngilu dan sakit. Itulah jawabannya, dan dia merasa
kaget bukan kepalang. Sekilas dia memperhatikan kedua tangannya. Dan
seketika, matanya langsung terbelalak kaget. Kedua tangannya sampai
sebatas siku kini telah berwarna kelabu! Yang lebih hebat lagi, pada telapak
tangannya telah berubah hitam pekat laksana arang!
Dalam waktu singkat, Guraksa telah tahu kalau dirinya keracunan.
Suatu racun yang amat ganas! Dan itu bisa diketahuinya dari daya keijanya
yang demikian cepat.
Namun kakek pendek gemuk ini tidak kalang kabut melihat
kenyataan ini. Memang bagi tokoh seperti Guraksa, kematian bukan sesuatu
yang menakutkan. Namun tentu saja Guraksa tidak ingin mati konyol seperti
ini. Mau ditaruh mana mukanya apabila dunia persilatan tahu kalau dirinya
tewas di tangan bekas anak buahnya?!
Perasaan tenang itulah yang membuat Guraksa dapat berpikir jernih.
Segera kedua tangannya digerakkan untuk mendesak pengaruh racun,
mempergunakan tenaga dalamnya. Guraksa yakin, hawa beracun itu dapat
diusir dengan tenaga dalamnya.
Sayang, keyakinan Guraksa langsung membuyar. Ternyata, kedua
tangannya tidak mampu digerakkan sama sekali! Lumpuh! Dan yang lebih
gila lagi, hawa murninya tidak bisa di arahkan ke kedua tangannya.
"Hehehe...!"
Tawa yang bergelak bernada penuh kemenangan, membuat Guraksa
menoleh. Sinar matanya nampak berkilat. Kendati demikian, secara luar
biasa Guraksa masih mampu tertawa bergelak! Padahal, sorot sepasang
matanya terlihat jelas menyiratkan hawa maut pada lelaki hitam bertompel,
yang mengeluarkan tawa mengejek itu.
"Bagaimana, Babi Gemuk?! Sekarang kau baru tahu kehebatan
anggota Gerombolan Setan Hitam, heh...?! Nyawamu hanya tinggal
menunggu perginya saja. Babi Gemuk! He he he...!"
"Ha ha ha...!"
Guraksa ikut tertawa bergelak. Bahkan jauh lebih keras. Sepasang
matanya pun menyambar lebih tajam, menyapu sekujur tubuh lelaki
bertompel. Andaikata, sinar matanya dianggap sebagai sebuah serangan,
maka lelaki bertompel itu sudah menghadapi serangan mematikan!
"Kau kira mudah membunuhku. Tompel Pengkhianat! Aku
memang tidak akan lolos dari maut. Tapi, kau pun tidak akan selamat!" desis
laki-laki pendek gemuk ini.
Menyadari akan keadaannya yang sudah mengkhawatirkan,
Guraksa bertindak tidak kepalang tanggung lagi. Segera dia berlari
mendekati lawan untuk persiapan melakukan tendangan kedua kakinya. Ha¬
nya itu yang dapat dilakukan Guraksa, karena kedua tangan telah tidak
berguna.
Namun lelaki bertompel benar-benar mengagumkan. Rupanya dia
telah membuat persiapan matang untuk merobohkan Guraksa. Baru saja,
beberapa langkah Guraksa bertindak terdengar bunyi berkerosakan nyaring.
Kemudian disusul amblasnya tanah yang diinjak Guraksa. Dan seketika
tubuh kakek pendek gemuk ini langsung meluncur ke dalam lubang di
bawahnya. Tanah yang dipijak Guraksa ternyata hanya selapis saja. Di
bawahnya telah menganga sebuah lubang cukup dalam, dasarnya dipasangi
besi-besi runcing, siap menyate yang terjatuh ke dalamnya.
Tetapi kali ini yang teijatuh ke dalam lubang maut ini adalah
Guraksa bekas datuk kaum sesat. Maka meski agak gugup, dia langsung bisa
bertindak tepat untuk menyelamatkan diri. Dengan memperguitakan ilmu
meringankan tubuhnya yang menakjubkan, kakinya menjejak pada
ujung-ujung besi mncing dengan ringan tanpa terluka sedikit pun.
Gerakan luar biasa Guiaksa tidak hanya sampai di situ. Hanya
sedikit menekuk lututnya kakek ini kembali melayang ke atas lubang.
Guraksa memperhitungkan kalau lawan-lawannya tidak akan
tinggal diam, dan akan menunggunya di atas sana. Dia yakin, saat ini
lawan-lawannya yang hanya tinggal tujuh orang itu tengah bersiap
mengirimkan serangan pisau-pisau terbang.
Walaupun keadaannya mengkhawatirkan karena kedua tangannya
tak berguna, tapi Guraksa masih tidak kehilangan akal. Dia akan
menggunakan mulutnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi untuk
meniup serangan-serangan pisau terbang. Dengan demikian semua serangan
akan dapat dipudarkan. Tapi kenyataannya....
Wirrr, wirrr, wrttt!
"Akh...!"
Guraksa memekik kaget, dan persiapannya buyar.
Serangan-serangan pisau terbang yang diharapkan ternyata tidak muncul.
Dan yang membuatnya terkejut adalah serangan-serangan berupa tali-tali
hitam alot yang meluncur dari kerimbunan rerumputan di kanan kirinya.
Kejadian yang demikian cepat, di saat tubuh Guraksa tengah berada di udara,
membuat serangan-serangan tali itu berhasil membelit pergelangan kaki
Guraksa.
Dan begitu berhasil melilit, tali-tali hitam itu langsung menegang
kuat, mengikat kaki Guraksa. Tubuh Guraksa pun kini terentang ke kanan
dan ke kiri.
"Hih!"
Sekali Guraksa mengerahkan tenaga dan merapatkan kedua kaki
secara mendadak, tubuh-tubuh para pemilik tali cepat tertarik ke arahnya.
Kedua kaki Guraksa langsung dipentangkan ke kanan dan ke kiri. Maka
seketika jeritan menyayat pun terdengar berturut-turut, ketika kaki Guraksa
mendarat di dada para pemilik tali yang sial itu. Mereka kontan ambruk di ta¬
nah, dan tewas seketika.
Tapi tindakan ini harus ditebus mahal oleh Guraksa. Seketika
tubuhnya melayang kembali ke bawah, karena tidak ada landasan berpijak.
Dan kali ini, kakek pendek gemuk ini pasrah. Dia tidak berusaha melakukan
tindakan apa pun, karena kedua kakinya pun langsung lumpuh seperti kedua
tangannya. Ternyata, tali-tali hitam yang melilit kakinya telah ditaburi racun
yang sama.
"Ha ha ha...!"
Tawa tergelak lelaki hitam bertompel mengiringi melayangnya
tubuh Guraksa yang telah tidak berdaya ke dalam lubang. Mereka semua
yakin, kalau kali ini kakek pendek gemuk yang sakti itu akan tewas di dasar
lubang.
Tapi meskipun nyawa telah berada di ujung tanduk, kalau Allah
belum berkenan, ada sajajalan untuk selamat. Dan hal ini dialami Guraksa.
Di saat tubuhnya hampir masuk ke dalam lubang, tiba-tiba sesosok bayangan
meleset cepat. Langsung disambarnya tubuh seperti gentong itu dan
dibawanya meles at meninggalkan lubang maut.
***
Begitu menjejak tanah, sosok penolong Guraksa langsung
melepaskan leher baju kakek pendek gemuk yang tadi di cekalnya. Dan tubuh
Guraksa pun kini tergolek di tanah.
"Keparat..!"
Lelaki hitam bertompel memaki penuh geram ketika melihat
Guraksa yang diyakininya tewas, berhasil lolos dari maut. Sepasang matanya
hampir keluar ketika menatap penolong Guraksa.
"Anjing kurap dari mana berani ikut campur urusan Gerombolan
Setan Hitam?! Atau kau telah mempunyai nyawa rangkap?!" dengus laki-laki
itu.
Sang Penolong Guraksa, ternyata seorang pemuda berpakaian ungu.
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, berkibar ditiup angin.
Wajahnya yang tampan dan jantan, tersenyum mendengar makian laki-laki
bertompel itu.
"Aku tidak perlu nyawa rangkap, kalau hanya untuk menantang
Gerombolan Setan Hitam. Dan justru, aku telah lama mencari-cari kalian
untuk kumusnahkan, kareka terlalu banyak mengotori dunia dengan
perbuatan-perbuatan keji!"
Jawaban pemuda berpakaian ungu ini membuat kemarahan lelaki
bertompel semakin berkobar. Tangan kanannya langsung digerakkan
memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk menyerbu pemuda itu. Lelaki
bertompel ini tahu, pemuda ini tidak bisa dipandang remeh. Itulah sebabnya,
langsung diputuskan untuk menyerbu secara serentak.
"Anak Muda.... Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak...?! Pesanku,
jangan sampai tangan atau kakimu bersentuhan dengan anggota tubuh
mereka, karena telah dibaluti racun mematikan. Aku sendiri terjebak!
Hati-haulah, Dewa Arak...!"
Hanya sampai di sini pesan Guraksa. Sebentar pemuda berambut
putih keperakan yang tak lain dari Dewa Arak menoleh dengan kening
berkemyit. Namun cepat dimengerti pesan itu. Maka sebelum
serangan-serangan tujuh orang lawannya menyambar lebih dekat lagi. Dewa
Arak atau Arya Buana telah lebih dulu mengeluarkan lengkingan nyaring.
Sebentar saja, tapi cukup membuat tubuh tujuh orang itu seketika lemas
ambruk ke tanah. Memang mendadak saja kedua kaki mereka terasa lemas!
Sayangnya pengaruh teriakan Dewa Arak tidak berlangsung lama,
karena tujuh orang itu termasuk tokoh bertenaga dalam tinggi. Mereka
serentak bangkit. Dan setengah melempar pandangan, mereka melesat
meninggalkan tempat itu. Rupanya cukup disadari kalau pemuda berbaju
ungu ini merupakan suatu ancaman.
Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran sama sekali.
Ditatapnya tujuh lawannya yang telah melarikan diri sejenak, sebelum
mengalihkan perhatian pada Guraksa. Kemudian dia berjongkok memeriksa
keadaan kakek bertubuh mirip gentong ini.
"Sayang sekali. Kakek Yang Baik. Aku tidak bisa menolongmu,"
ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Pemuda berwajah tampan ini
pun bangkit berdiri. "Racunnya telah hampir mencapai jantung. Dan lagi,
jenis racun ini tidak bisa disembuhkan oleh arak dalam guciku. Kalau saja
tidak, mungkin aku akan dapat menyelamatkan nyawamu."
"Tidak usah kau pedulikan itu. Dewa Arak. O ya. Kau orang yang
beijuluk Dewa Arak, bukan?! Ciri-cirimu mirip dengan berita yang
kudapatkan dari salah seorang kawan terbaikku."
Guraksa menghentikan ucapannya sejenak ditatapnya pemuda
berpakaian ungu dengan sinar mata menyiratkan pertanyaan besar. Sedang
pemuda tampan berwajah jantan itu pun menganggukkan kepala pertanda
membenarkan
"Aku sudah merasa bahagia sekali meninggalkan dunia ini, apabila
telah berhasil menyelesaikan amanat yang ditujukan padaku," lanjut
Guraksa.
Sampai di sini Guraksa terpaksa menghentikan ucapannya.
Napasnya terengah-engah hebat, bagai orang tengah berlari jauh. Padahal,
racun itu belum lama merasuk ke dalam tubuhnya.
"Seorang kawan baikku..., ahli dalam ilmu gaib..., bermimpi dan
mendapat firasat kalau dunia persilatan akan dibanjiri darah.... Makanya, dia
menyuruhku untuk menemuimu. Dia tahu kalau kau akan melalui tempat ini.
Dewa Arak. T api, sayang. Orang-orang licik itu lebih dulu tiba. Hhh...! Entah
setan mana yang membawa mereka ke tempat ini. Ha ha ha...!" jelas Guraksa,
malah ditambah dengan tawanya.
"Lebih baik segera kau katakan, apa yang ingin kau sampaikan,
Kek," selak Arya.
Dewa Arak tidak sabar melihat Guraksa masih sempat tertawa,
padahal keadaannya sudah amat payah.
"Ha ha ha...! Tidak usah khawatir. Dewa Arak. Aku yakin akan
mampu menyampaikan amanat ini padamu, sebelum nyawaku melayang ke
alam baka. Penjaga Alam Gaib ternyata tidak berlebihan. Kau memang masih
sangat muda. Dewa Arak. Ha ha ha...! Dalam usia semuda ini kau telah
memiliki nama besar dan kepandaian tinggi! Menakjubkan!"
Kakek pendek gemuk ini menghentikan ucapannya dengan napas
tersengal-sengal. Tertawa di saat nyawa di ujung tanduk itu, sebenarnya
memang membutuhkan tenaga besar. Dan Guraksa tahu. Tapi sikapnya
benar-benar tidak peduli.
"Dewa Arak.... Kau harus menyusul kawanku ke Pulau Setan. Aku
yakin, dia akan mendapat masalah di sana. Sesuatu yang mengerikan tengah
menunggunya. Selamat bertugas. Dewa Arak. Ha ha ha...!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Sebentar kepalanya tertunduk untuk
memberi penghormatan terakhir pada Guraksa. Kakek pendek gemuk itu
meninggal dengan mulut tersenyum lebar. Tewas di saat tertawa.
***
Dengan kecepatan tinggi, Arya berlari meninggalkan tempat
Guraksa tewas. Seiring kakinya terayun, otaknya pun bekeija keras
memikirkan semua pesan kakek pendek gemuk yang tidak sempat diketahui
jati dirinya. Siapa sahabat yang dimaksud Guraksa? Penjaga Alam Gaibkah?
Rasanya tidak mungkin! Pemuda berambut putih keperakan itu membantah
dalam hati. Karena, julukan Penjaga Alam Gaib lebih mendekati dongeng,
daripada kenyataan sesungguhnya. Apalagi sejak ratusan tahun lalu, julukan
itu telah ada dan menggetarkan dunia persilatan. Berarti kalau yang
dimaksud adalah tokoh itu saat ini usianya telah ratusan tahun! Sebuah hal
yang mustahil untuk bisa dipercaya!
Karena tidak berhasil menemukan jawabannya. Dewa Arak
memutuskan untuk mencari jawaban bagi pertanyaan kedua. Tentang Pulau
Setan. Namun pulau itu pun merupakan teka-teki bagi dunia persilatan.
Karena hanya pernah terdengar, tapi tak seorang pun yang berhasil
menemukannya. Benarkah ucapan Guraksa? Atau hanya sekadar ucapan
orang yang ingin meninggal, dan berkata ngawur?
Entah sudah berapa lama Arya berlari dengan benak diganggu
pernyataan Guraksa tentang Pulau Setan. Sampai akhirnya. Dewa Arak
mencoba menyelidiki kebenarannya. T oh, hanya titik terang ini satu-satunya
yang didapatkan. Tidak ada celah lain yang dapat dijadikannya patokan
untuk mengusut persoalan ini, kecuali Pulau Setan dan Penjaga Alam Gaib,
serta Gerombolan Setan Hitam. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran
Dewa Arak, ternyata walaupun Gerombolan Setan Hitam terkenal dalam
dunia persilatan, namnun tidak jelas di mana markasnya. Maka satu-satunya
jalan, Arya memutuskan untuk menyelidiki Pulau Setan!
Arya berlari disertai pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam
waktu seperempat hari, jarak yang ditempuh telah demikian jauh. Beberapa
medan telah dilalui. Jalan turun naik, setapak, berbatu-batu, dan hutan lebat
telah dilampaui.
Dan Dewa Arak mendadak saja memperlambat larinya, begitu
melihat adanya sekelebatan bayangan di depannya yang tems berlari ke arah
kanannya. Gerakannya gesit bukan kepalang. Meskipun demikian, pandang
mata Arya yang tajam dapat mengetahui kalau sosok yang melesat di
depannya berpakaian coklat
Belum sempat Aiya berpikir apa-apa, tiba-tiba berkelebat lagi tiga
sosok lain melewati depannya dan tems menempuh arah yang sama dengan
sosok berpakaian coklat tadi.
Sementara sosok berpakaian coklat maupun tiga sosok yang
mengejar, tidak melihat keberadaan Dewa Arak. Karena di samping tengah
sibuk dengan urusannya, keadaan mereka memang menyulitkan untuk
melihat Arya. Kecuali kalau mereka menoleh ke kanan. Tapi, agaknya
sosok-sosok itu tidak mempedulikannya.
Dengan kecepatan lari yang semakin diperlambat, Arya memutar
benaknya. Apakah sosok-sosok yang tengah berkejaran itu harus diikuti, atau
bersikap tidak peduli, dan tems melanjutkan peijalanan ke Pulau Setan?
Sebentar Arya berpikir untuk mengambil keputusan. Dan mendadak
saja, arah larinya dibelokkan, dan melesat cepat mengejar sosok-sosok coklat
yang tengah saling berkejaran. Naluri kependekaran Aryalah yang
menyebabkan keputusan itu diambil. Barangkali saja, sosok yang dikejar itu
membutuhkan pertolongan.
Tanpa menemui kesulitan sama sekali, Arya membayangi
sosok-sosok yang tengah kejar-kejaran ini. Dengan keunggulan ilmu
meringankan tubuhnya, Arya hampir mendekati mereka. Bahkan pemuda
berambut keperakan ini melihat sosok yang berlari paling depan tampak
seperti kalap.
Srakkk!
"Akh...!"
Begitu telah memasuki hutan lebat, sosok coklat yang dikejar itu
menjerit tertahan, ketika kakinya menginjak jebakan binatang. Seketika itu
pula tubuhnya langsung terangkat ke atas, bagian pergelangan kaki kirinya
terjerat tali yang sengaja dipasang. Kejar-kejaran itu memang telah masuk
dalam sebuah hutan yang cukup lebat
Dalam keadaan gawat itu, ternyata sosok yang dikejar mampu
bertindak sigap. Begitu tubuhnya melayang ke atas dengan kepala di bawah,
secepat kilat tangannya meraih gagang pedang di punggung Sehingga,
senjata tajam itu tidak kebum jatuh ke tanah. Dan seketika, pedangnya
diayunkan ke arah tali.
Tasss!
Begitu tali putus, dengan gerakan manis sosok itu bersalto dan
menjejak di tanah secara mantap dengan pedang telanjang tercekal di tangan.
Namun, sebelum berlari kembali, tiga sosok coklat yang mengejarnya telah
bergerak cepat. Sehingga, dia terkurung dari tigajumsan. Kini tidak mungkin
dia bisa melarikan diri lagi.
"Mau kabur ke mana lagi. Manusia Tak Kenal Budi...!" desis salah
satu dari tiga sosok coklat yang bertubuh kekar. Sehelai ikat kepala berwarna
coklat membelit dahinya.
Seman lelaki ini terdengar angker. Dan keangkeran itu semakin
terasa ketika melihat wajahnya yang berahang kokoh dengan alis tebal dan
hitam. Kumis dan jenggotnya pun hitam dan tebal.
"Jangan harap akan dapat lolos dari tangan kami, Karpala!" timpal
pengejar lainnya tak kalah geram sambil menudingkan ujung pedangnya.
Tubuh laki-laki ini tinggi besar dengan bahu lebar. Tidak berkumis atau
jenggot, tapi cambangnya yang lebat cukup membuat angker wajahnya.
"Kau akan kami bawa ke hadapan guru. Hidup atau mati. Manusia
Terkutuk!" seru lelaki tinggi kurus berkulit kuning dan bermata redup seperti
orang me-ngantuk. "Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, Karpala."
Sosok yang dipanggil Karpala ternyata seorang pemuda seperti tiga
pengejarnya. Dan dia hanya tersenyum sinis. Tubuh Karpala tegap dan kekar,
menunjukkan ketegarannya. Wajahnya tampan dan gagah. Sebaris kumis
tipis yang menghias bawah hidung semakin menambah ketampanannya.
Karpala memperhatikan tiga pengepungnya dengan sinar mata tajam.
"Jangan harap aku akan sudi kembali dalam keadaan hidup! Kalian
hanya akan dapat membawa mayatku ke sana!" dengus Karpala.
Usai berkata demikian, Karpala mengirimkan tusukan ke arah
pemuda tinggi kurus di depannya.
T rangngng!
Bunga api berpijar ketika pemuda tinggi kurus itu menangkis
serangan. Seketika tubuh masing-masing terhuyung sejauh dua langkah. Tapi
sebelum Karpala memperb aiki kedudukan, datang dua serangan dari pemuda
beralis tebal dan pemuda bercambang.
"Jangan dipikir kami pengecut dengan melakukan pengeroyokan
atas dirimu. Manusia Tidak Beijantung! Tapi, guru menyuruh kami
membawamu ke sana secepatnya untuk dijatuhi hukuman!" sem pemuda
beralis tebal, dibarengi dengan serangannya.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Karpala. Hujan serangan yang
silih berganti datang, membuatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk
memberi tanggapan. Seluruh perhatian harus dipusatkan pada pertarungan,
kalau ingin selamat
3
Karpala beijuang keras untuk mempertahankan selembar
nyawanya. Tapi, tingkat kepandaiannya boleh dibilang setingkat dengan
lawan-lawannya. Sedangkan sekarang, yang dihadapi tiga orang sekaligus.
Padahal, menghadapi satu orang saja, dia belum tentu menang. Maka, tak
heran kalau tak sampai lima jurus, pemuda berkumis tipis ini sudah terdesak.
Menginjak jurus ke enam, serangan-serangan Karpala sudah tidak terlihat
lagi. Dia sudah terlalu repot untuk menghalau hujan serangan yang muncul
bertubi-tubi, sehingga tidak kebagian kesempatan untuk mengirimkan
serang an.
Crttt!
Karpala menggigit bibirnya sendiri ketika ujung pedang pemuda
berkumis tebal menggurat bahu kirinya cukup dalam. Dan seketika darah
mengalir keluar. Tubuh pemuda berkumis tipis itu pun terhuyung.
Desss!
Kembali sebuah tendangan dari pemuda bercambang lebat secara
telak mendarat di perut Karpala yang belum sempat memperbaiki
keseimbangannya. Akibat serangan ini, tubuh pemuda berkumis tipis itu pun
terhempas ke belakang. Sedangkan pedang di tangan yang tadi masih
tergenggam, terlepas dari pegangan.
"Hiyattt..!"
Sementara itu pemuda yang bertubuh tinggi kurus tidak mau
ketinggalan. Dia langsung melompat me-nyusul tubuh Karpala yang
terhuyung-huyung, dengan sebuah tusukan ke arah leher. Dan pemuda
berkumis tipis ini hanya bisa terbelalak melihat serangan maut itu Tidak ada
yang bisa dilakukannya untuk menyela-matkan diri dengan keadaan yang
tidak menguntungkan seperti ini.
Dalam keadaan yang gawat ini, mendadak saja berkelebat sebuah
bayangan hitam sebesar ibu jari yang demikian cepat. Lalu....
Trikkk!
"Akh...!!"
Jeritan tertahan yang penuh nada kaget itu terdengar bukan dari
mulut Karpala, melainkan dari pemuda tinggi kurus. Pedang yang semula
ditusukkan ke arah leher Karpala langsung menyeleweng jauh, karena sudah
terlepas dari pegangan ketika sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki
menghantamnya dari arah samping.
"Orang usilan! Harap keluar dari persembunyianmu! Jangan
bertindak pengecut, hanya berani main sembunyi!" teriak pemuda beralis
tebal yang bersikap tanggap, langsung mengajukan tantangan. Dia tahu, apa
yang teijadi dengan serangan kawannya.
Pemuda beralis tebal dan dua rekannya yang sd<arang sudah tidak
mempedulikan Karpala lagi, mengalihkan perhatian ke arah asalnya baru
kerikil tadi. Sikap mereka jelas penuh ancaman.
Tiga pemuda gagah berpakaian coklat ini tidak perlu menunggu
lama, karana dari atas sebatang pohon berdaun rimbun di depan mereka
melayang turun sesosok bayangan ungu. Kemudian, bayangan itu menjejak
mantap tanah.
"Aku bukan pengecut atau orang usilan, Kisanak semua! Hanya
saja, aku paling tidak suka melihat adanya tindak ketidakadilan di depan
mataku. Kalianlah yang bersikap pengecut dengan melakukan
pengeroyokan!" kilah sosok yang baru saja turun dari atas pohon, penuh
ketegasan. Dia adalah seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa lagi
dia kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Sementara tiga pemuda berpakaian coklat itu saling berpandangan
dengan wajah merah padam. Agaknya, ucapan balik Dewa Arak mengenai
sasaran.
"Apa pun katamu, Hei Orang Asing! Semua ini adalah urusan kami.
Urusan perguruan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu...!" timpal
lelaki beralis tebal, yang lebih banyak bicara. Maka kuperingatkan, pergilah
dari sini. Dan, jangan campuri urusan kami kalau tidak ingin lerlibat
keributan!"
Pemuda beralis tebal ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu,
pemuda berambut putih keperakan itu bukan orang sembarangan. Malah,
pasti kepandaiannya di atas tingkat mereka. Buktinya, dia mampu
menjatuhkan pedang pemuda kawannya yang dicekal kuat hanya dengan
sebutir baru kecil. Dan ini membuktikan kalau dia memiliki tenaga dalam
tinggi. Bahkan jauh lebih kuat daripada tenaga dalam mereka. Itulah
sebabnya, pemuda beralis tebal memberi kesempatan pada Ary a untuk pergi
tanpa harus terjadi keributan.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku bukan orang semacam itu. Sekali
telah mencampuri sebuah urusan, aku tidak akan pergi sebelum selesai! Aku
hanya akan pergi, apabila kalian bersedia menyudahi urusan dengan dia!"
tuding Arya pada Karpala. "Aku pun tidak mau mencampuri, apahila kalian
bertindak kesatria. Bertarunglah satu lawan satu. Kalau tidak, silakan kalian
pergi dari sini! Yang jelas, aku tidak akan pernah mau pergi!"
"Keparat!" dengus pemuda bercambang lebat itu penuh kegeraman.
"Kau sudah merasa jago, ya?! Keberhasilan lemparanmu menjatuhkan
senjata kawan kami, rupanya telah membuatmu besar kepala! Baik! Sebelum
kami singkirkan buruan kami, kau lebih dulu yang akan mendapatkan
balasan setimpal atas perbuatanmu!"
Cit, cit, cittt.!
Tappp!
Dengan kecepatan gerak ya gsukar diikuti mata. Dewa Arak telah
bisa menangkap mata pedang lawan dengan tangan kanannya. Kemudian
secepat kilat langsung ditekukunya batang pedang itu hingga patah dua!
T rakkk!
Bunyi bercicitan nyaring seketika terdengar menusuk telinga ketika
pemuda bercambang lebat itu mengirimkan serangan pedang. Senjata tajam
itu menusuk-nusuk berkali-kali ke arah leher, ulu hati, pusar, dan dada!
Kecepatan gerakannya membuat batang pedang itu jadi beijumlah banyak!
"Ilmu pedang yang bagus...!" puji Arya, tanpa maksud
merendahkan atau menunjukkan kelebihan tingkat kepandaiannya.
Tapi rnpanya, pujian Aiya disalah artikan oleh pemuda bercambang
lebat dan rekan-rekannya. Dan Arya dianggap hendak menunjukkan
kelebihan tingkat kepandaiannya dengan pujian itu.
Sementara, meski memuji bagus, tidak berarti Arya kebingungan
menghadapi serangan lawannya. Memang bagi pandangan mata orang lain,
batang pedang pemuda bercambang lebat yang sudah berjumlah banyak itu
bakal menyulitkan Dewa Arak. T api, sebenarnya pand angan mata pemuda
berambut putih keperakan itu jauh lebih tajam daripada pemuda-pemuda
berpakaian coklat itu. Dengan jelas, dia melihat kalau batang pedang itu
hanya satu. Bahkan tahu, bagian mana yang lebih dulu menjadi sasaran
serang an.
T appp!
Dengan kecepatan gerakan yang sukar diikuti mata. Dewa Arak
telah bisa menangkap mata pedang la-wan dengan tangan kanannya.
Kemudian secepat kilat langsung ditekuknya batang pedang itu hingga patah
dua!
T rakkk!
Wajah pemuda bercambang lebat itu sampai menjadi pucat pasi
saking kagetnya. Keterkejutan yang sama melanda dua rekannya. Mereka
sadar kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi. Namun, sungguh
tidak disangka akan seperti ini, sehingga mampu membuat pemuda
bercambang lebat itu tidak berdaya hanya dalam segebrakan.
Baik pemuda bercambang lebat, maupun dua rekannya tidak bisa
menerima kenyataan ini Mereka benar-benar tidak percaya. Bahkan guru
mereka saja, rasanya tidak akan mampu melakukannya. Mungkinkah
pemuda seusia dia mampu bertindak seperti itu. Ketiga orang ini, terutama
sekali pemuda bercambang lebat, lebih yakin kalau kejadian itu hanya
kebetulan belaka!
Rasa penasaran membuat tiga orang itu maju serentak, menghampiri
Dewa Arak dengan senjata terhunus. Dan pemuda bercambang lebat telah
mengganti pedangnya dengan pedang milik pemuda berkumis tipis yang tadi
terpental. Sedangkan pemuda tinggi kurus telah mengambil pedangnya yang
tadi terjatuh.
Dan diawali teriakan keras sebagai isyarat menyerang, ketiga
pemuda berpakaian coklat ini melurnk menerjang Dewa Arak.
Kilatan-kilatan menyilaukan mata langsung membeset udara, ketika
pedang-pedang itu meluncur ke arah sasaran.
Gerakan mereka cepat bukan main. Namun tanpa menemui
kesulitan sama sekali. Dewa Arak mengelakkannya. Selama beberapa
gebrakan, pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak. Tapi
ketika mulai balas menyerang, keadaan langsung berubah hebat! Seketika
terdengar pekikan-pekikan kesakitan ketika tubuh tiga pemuda berpakaian
coklat itu satu persatu berpentalan keluar arena pertarungan. Dari mulut
mereka masing-masing terdengar suara rintihan kesakitan dengan senjata
terpental entah ke mana.
"Bagaimana? Masih ingin diteruskan?!" lanya Arya, tenang tanpa
nada mengejek.
Lalu ditatap wajah-wajah lawannya satu persatu. Wajah-wajah yang
dihiasi seringai kesakitan, karena masing-masing telah terluka. Meskipun,
hanya tulang-tulang tangan dan kaki yang terlepas dari sambungannya. Arya
tidak ingin bertindak keras terhadap tiga orang yang diyakininya berasal dari
perguruan golongan putih. Sikap mereka yang sombong dan berkesan
mengagungkan diri sendiri, membuat Arya menjatuhkan hajaran kepada
mereka.
Pemuda beralis tebal itu menggertakkan gigi. Sepasang matanya
menatap Arya dengan sorot mengancam. Sorot yang sama memancar dari
mata-mata dua pemuda lainnya.
"Kali ini kami mengaku kalah. Orang AsingiTapi, ingat! Urusan ini
tidak berhenti sampai di sini! Kami akan membuat perhitungan! Camkan,
Perguruan Pedang Halilintar pantang dihina orang!"
Setelah mengucapkan kata-kata ancaman, pemuda beralis tebal dan
kedua kawannya melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat ini.
Sedangkan Arya hanya memandangi saja, tanpa perasaan apa-apa. Dia tahu,
tiga orang itu berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, ketika melihat
serangan pemuda bercambang lebat pertama kali. Itulah sebabnya, dia tidak
menjatuhkan tangan jahat pada mereka.
Sambil menghela napas berat karena disadari kalau sebuah bibit
permusuhan telah tertanam dengan Perguruan Pedang Halilintar, pemuda
berambut putih keperakan ini mengalihkan pandangan ke arah Karpala di
belakangnya. Arya ingin menanyakan sebab musabab keributan ini. Padahal,
diyakini pula kalau pemuda berkumis tipis itu termasuk murid Perguruan
Pedang Halilintar.
Arya tanpa sadar terjingkat dari tempatnya, ketika melihat
belakangnya telah kosong, tanpa seorang pun terlihat Yang ada hanya
kerimbunan semak dan pepohonan di sekitarnya.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas berat Sekali lihat saja, bisa diketahui
kalau pemuda berkumis tipis itu sudah tidak ada lagi. Kabur. Tak jelas, kapan
Kaipala kabur. Yang jelas, kepergiannya menyebabkan masalah yang
dihadapi Arya kali ini, jadi gelap!
Rasa penasaran untuk mengetahui masalah yang menyebabkan
pemuda-pemuda berpakaian coklat itu terlibat keributan, membuat Arya
memutuskan mengej ar Karp ala untuk mencari j awab annya.
***
Sebuah perahu kecil melaju, di permukaan laut luas yang
bergelombang kecil. Gerak perahu itu cepat meskipun melawan arus air.
Bahkan kelihatan bagaikan melesat membelah permukaan air. Yang
mengejutkan, orang yang mendayungnya adalah seorang wanita muda
berwajah cantik jelita, berpakaian kuning cerah. Rambutnya yang tergerai
lepas tampak berkibar-kibar dihembus angin yang bertentangan dengan arah
yang ditempuhnya. Tangannya kecil dan halus. Dan meski mengayuhkan
dayungnya secara perlahan saja, tapi perahu itu mampu melaju cepat
Di sebelah gadis berpakaian kuning itu duduk seorang kakek kurus
laksana tengkorak, bertelanjang dada. Dan dia hanya mengenakan celana
panjang hitam sebatas bawah lutut Tampak serat-serat celananya terjutai
seperti akar gantung.
"Rasanya sudah tiba waktunya kau kembali pada orangtuamu, dan
terjun ke dunia persilatan mengamalkan ilmu-ilmu yang dipelajari dariku,
Tungga Dewi," ucap kakek kurus berpipi cekung dan berambut tipis ini.
"Tapi, Guru," gadis berpakaian kuning yang dipanggil Tungga
Dewi mencoba membantah, menandakan ketidaksetujuannya atas usul kakek
kurus laksana tengkorak "Aku lebih suka tinggal bersama Guru. Guru
sekarang sudah tua, lalu siapa yang akan merawat Guru apabila aku pergi?!"
"Ha ha ha...!" kakek kurus laksana tengkorak itu malah tertawa
bergelak. Seakan-akan hatinya merasa geli mendengar ucapan Tungga Dewi.
"Kau ini lucu, Tungga Dewi. Aku tidak perlu diurus. Apakah kau ingin
sampai tua tinggal bersamaku. Menghabiskan umur di tempat yang jauh dari
keramaian? Jangan bertindak bodoh, Tungga Dewi!"
"Tapi... aku tidak mau pergi. Guru!" Tungga Dewi berkeras dengan
keputusannya.
"Tidak ada tapi-tapian, Tungga Dewi! Andaikata tidak mau, berarti
kau tidak menjadi murid yang berbakti. Kau telah membantah perintah
gurumu. Apakah kau ingin menjadi murid yang murtad?!" Dengan
cerdiknya, kakek kurus laksana tengkorak ini membuka sebuah masalah.
"Tentu saja tidak. Guru. Aku tidak ingin menjadi murid murtad.
Tapi...."
"Kalau begitu, pergilah. Dan, terjunlah ke dunia persilatan!"
Tungga Dewi terdiam. Kakek laksana tengkorak itu demikian
pandai membuatnya tersudut. Dan mau tidak mau, peimintaan itu harus
dipenuhi. Dengan pandang mata resah karena rasa berat untuk meninggalkan
kakek laksana tengkorak ini, Tungga Dewi mengarahkan pandangan ke
depan, ke hamparan di laut luas yang membentang di depan. Dan, seketika
Tungga Dewi tersentak kaget.
"Guru...! Lihat...! Apakah yang mengapung di sana itu?!" hiding
Tungga Dewi.
Ucapan Tungga Dewi memaksa kakek kurus laksana tengkorak
yang sejak tadi duduk bermalas-malasan, melenggut di lantai perahu,
mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk muridnya. Sepasang matanya
yang sejak tadi terpejam, terbuka. Luar biasa! Kakek yang kelihatannya
seperti orang lemah itu, ternyata memiliki sepasang mata yang mendebarkan
jantung. Mencorong tajam berwarna kehijauan seperti mata seekor harimau
dalam gelap!
"Sebuah peti...," kata kakek kurus laksana tengkorak dengan alis
berkemt dalam. "Tapi, mengapa tidak tenggelam ke dasar laut?! Mengapa
bisa mengapung di permukaan air?! Aneh...!"
"Kita ambil ya. Guru?!" pinta Tungga Dewi, dengan sorot mata
memancarkan keinginan besar.
Sepasang mata gadis itu seperti lekat dengan peti berwarna hitam
mengkilat, tapi berukir indah ini. Dan peti itu terus mengapung di permukaan
air, terbawa arus laut menghatnpiri perahu yang ditumpangi Tungga Dewi
dan gurunya.
"Jangan sembrono, Tungga Dewi!" cegah kakek kurus laksana
tengkorak, cepat "Aku merasakan ada hal-hal yang aneh pada peti itu."
"Hal aneh apa. Guru?!" bantah Tungga Dewi. "Aku yakin, tidak ada
yang aneh dengan peti itu. Malah aku menduga keras kalau pen itu berisi
harta karun atau kitab pusaka ilmu-ilmu silat tinggi!"
"Kau masih belum berpengalaman, Tungga Dewi!" tegur kakek
kurus laksana tengkorak, bernada halus. "Kau tidak melihat keanehannya,
bisa kumaklumi. Ada dua keanehan peti itu, kalau kau ingin tahu"
"Apa saja keanehan yang kau maksudkan. Guru?!" desak Tungga Dewi.
Tungga Dewi memang kelewat dimanja oleh gurunya. Sehingga
gadis ini tidak sungkan-sungkan lagi untuk mengemukakan pendapatnya
terhadap gurunya.
"Aku tidak melihat keanehannya sama sekali," gumam Tungga
Dewi.
"Kau bukannya tidak melihat keanehan itu. Dewi. Tapi benakmu
telah tertutup keinginan untuk memperoleh peti itu. Bukankah demikian?!"
Kakek kurus laksana tengkorak menatap wajah muridnya penuh
selidik. Tapi Tungga Dewi tidak memberi sambutan sama sekali. Meskipun
demikian, di dalam hatinya menyadari kebenaran ucapan gurunya. Diakui,
memang ada dorongan kuat untuk segera mengambil peti itu.
"Kau tidak perlu heran. Dewi. Karena aku pun dilanda perasaan
yang sama. Hanya pengalamanlah yang membuatku tidak langsung
menurutinya. Tapi, memikirkan keanehannya. Pertama, peti itu tidak
tenggelam di dalam air. Padahal sepatutnya tenggelam. Kedua, ada dorongan
kuat untuk segera mengambil peti itu Dorongan yang mengingatkan aku
pada keanehan-keanehan ilmu gaib. Kalau pada manusia, ilmuitu dinamakan
ilmu 'pelet'!"
"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan?" tanya Tungga Dewi. Dia
telah pasrah, pada keputusan gumnya meski sepasang matanya tetap
menyiratkan kei nginan berkobar-kob ar.
"Mengambil peti itu, tapi tidak dengan cara sembrono, Tungga
Dewi," jawab kakek kurus laksana tengkorak setelah tercenung sejenak
"Bagaimana menurutmu. Kau setuju?!"
Cepat-cepat Tungga Dewi mengangguk
Kakek kurus laksana tengkorak tersenyum lebar melihat
kegembiraan Tungga Dewi.
"Kau tunggu di sini. Dewi. Aku akan mengambilnya. Ingat,
hati-hati!"
Byurrr!
Belum juga pesan itu lenyap, air telah muncrat tinggi karena tubuh
kakek kurus laksana tengkorak itu telah menusuk permukaan air laut.
"Guru...! Lihat..!"
Tungga Dewi berseru keras, ketika melihat sebuah perahu yang
lebih besar daripada miliknya melaju cepat menuju arahnya. Sebuah dugaan
bermain di benak Tungga Dewi. Jangan-jangan orang-orang yang berada di
dalam perahu besar itu mempunyai maksud sama. Mengambil peti itu
Kakek kurus laksana tengkorak itu tentu saja mendengar seman
muridnya. Meski tengah sibuk mengarungi lautan, melawan arus gelombang
dengan berenang, pendengarannya yang tajam menangkap seman Tungga
Dewi. Dan sebenarnya seman itu tidak perlu, karena kakek kurus laksana
tengkorak ini pun sudah melihat adanya sebuah perahu yang lebih besar me¬
luncur cepat ke arah peti!
Kekhawatiran kalau pemilik perahu yang hadir itu mempunyai
maksud sama, kakek kurus itu semakin mempercepat laju berenangnya. Dan
ternyata, guru Tungga Dewi ini memiliki kemampuan renang luar bi asa, tak
kalah dengan seekor ikan hiu. Tubuhnya begitu gesit menyibak permukaan
air laut.
Kreppp!
Begitu peti hitam berukir indah telah terpegang di tangan, secepat
kilat kakek kurus laksana tengkorak itu kembali! Berenang dengan cepat
menuju perahu yang ditinggalkan
"Keparat! Pencuri Hina! Jangan lari kau...!"
Sebuah seman keras langsung terdengar ketika guru Tungga Dewi
itu berenang secara cepat menuju perahu tempat muridnya berada. Dan sesaat
kemudian, dari atas perahu-perahu yang baru tiba, meluncur tiga sosok tubuh
yang langsung terjun ke dalam permukaan air laut.
Semula, kakek kums laksana tengkorak tidak ambit peduli. Bahkan
berkesan meremehkan, ketika melihat tiga sosok itu mengejarnya dengan
berenang. Namun keterkejutan langsung muncul, ketika melihat tiga sosok
itu memiliki kemampuan renang yang mengejutkan!
Kakek kums laksana tengkorak menggemtukkan rahang ketika
melihat jarak antara dirinya dengan tiga orang pengejarnya semakin dekat.
Hatinya merasa penasaran diyakini melihat kenyataan ini. Padahal ilmu
renangnya tidak akan kalah dibanding tiga orang pengejarnya. Tapi saat ini,
dia berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Karena sebelah tangannya
digunakan untuk memegang peri hitam yang cukup besar, dengan panjang
kurang lebih dari satu tombak. Sedangkan lebarnya kurang lebih setengah
tombak. Dengan sebelah tangan yang hampir tidak berguna, kecepatan
luncurannya jadi merosot jauh. Tak heran kalau tiga sosok pengejar yang
memiliki ilmu renang mengagumkan itu, mampu mengej amya!
4
Ketika jarak para pengejarnya semakin dekat, kakek kurus laksana
tengkorak itu tahu kalau tak akan lama lagi akan tersusul. Dan dia tidak
menginginkan hal ituteijadi. Maka....
"Dewi...! Tangkap ini...!"
Seiring seman itu, guru TunggaDewi ini mengayunkan tangan yang
memegang peti ke arah muridnya yang berada di perahu dengan pengerahan
tenaga dalam.
Tappp!
Setelah beberapa saat peti hitam itu melayang-layang di angkasa,
dengan pengerahan tenaga dalam, kedua tangan Tungga Dewi berhasil
menangkapnya. Pada saat yang bersamaan, kakek kurus laksana tengkorak
berbalik menghadapi para pengejarnya.
"Hey...!"
Kakek kurus laksana tengkorak ini berseru kaget ketika salah
seorang pengejar menjauhinya. Dan orang itu langsung berenang cepat
menuju perahu Tungga Dewi. Kakek kurus ini berusaha menghadang, tapi
maksudnya dihalangi dua sosok pengejar lainnya.
"Dewi...! Cepat pergi ke pantai...!" sem kakek itu sambil
menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke arah dua pengejarnya
yang menghadang maksudnya. Dua kali kedua tangan itu dihentakkan ke
arah dua lawannya, maka seketika terdengar bunyi berkesiutan nyaring yang
diikuti beberapa tetes air menuju sasaran. Kakek ini memang tengah
melepaskan pukulan jarak jauh.
Pyanr! Blarrr!
Salah seorang pengejar rupanya tidak bersiap dalam menghadapi
serangan. Namun dia segera menyelam, sehingga pukulan jarak jauh itu
menghantam permukaan air. Seketika benda-benda cair itu pun
bermuncratan ke udara. Sementara sosok yang satu lagi menangkis serangan
itu dengan pukulan jarak jauh.
Blarrr...!
Udara langsung bergetar hebat, akibat benturan dua pukulan jarak
jauh. Tubuh kedua belah pihak pun teijengkang ke belakang, dan agak
terbenam ke dalam air. Namun kakek kurus itu lebih beruntung. Dengan
mudah, kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar, berhasil dipatahkan.
Lalu, dia segera menyelam dan mendekati kedua pengejarnya. Dan kini
pertarungan pun berlangsung semakin sengit.
Sementara itu, Tungga Dewi benar-benar dipaksa mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk memacu laju perahunya secepat mungkin.
Untungnya, perahu itu sekarang dikemudikan pada tempat yang searah
dengan arus angin dan gelombang laut. Sehingga, kayuhan tenaganya
mendapat tambahan kekuatan yang tidak sedikit Namun, pengejarnya
benar-benar seorang perenang luar biasa! Tubuhnya laksana ikan, cepat dan
lincah bukan kepalang menyelinap di celah-celah gelombang air.
Tungga Dewi agak jadi kalap ketika melihat j araknya dengan orang
yang mengejarnya semakin dekat. Memang, kecepatan berenang orang itu
jauh lebih cepat daripada laju perahu. Untungnya pantai sudah tidak begitu
jauh.
Sosok pengejar Tungga Dewi menyadari keadaannya. Maka ketika
timbul di dalam air, kedua tangannya langsung dihendakkan melancarkan
pukul an j arak j auh!
Tungga Dewi sejak tadi memang bersikap waspada. Dan dia juga
mendengar bunyi mengaung dari belakangnya. Dia tahu, orang itu telah
mengirimkan pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan tinggi. Maka
segera diambil keputusan cepat, setelah melihat pantai sudah tidak j auh lagi.
Begitu pukulan jarak jauh hampir menghantam perahu, tubuhnya langsung
melesat ke atas dan berputaran beberapa kali.
Brakkk!
Perahu kecil itu langsung hancur berantakan, ketika pukulan jarak
jauh pengejar Tungga Dewi telak menghantamnya. Tapi, Tungga Dewi
sendiri sudah mendarat mantap di pasir pantai.
Tapi belum sempat Tungga Dewi berbuat sesuatu, mendadak
terdengar bunyi berdesing nyaring. Tungga Dewi kaget bukan kepalang.
Namun di saat yang amat gawat itu, dia masih sempat menyelamatkan
nyawa. Buru-buru kakinya digeser ke samping.
Takkk!
"Akh...!"
Tungga Dewi terpekik kaget ketika sebatang pisau merah darah
yang meluncur ke arahnya, menghantam peti yang berada di atas kepalanya.
Keras bukan kepalang, sehingga peti itu sampai terlepas dari pegangan dan
terbawa melayang ke belakang. Lalu, peti itu meluncur, jatuh berdebuk keras
di pasir.
Tungga Dewi tidak mau membiarkan peti jatuh ke tangan
pengejarnya yang diyakini telah melepaskan pisau mengancamnya. Maka,
buru-buru tubuhnya melumk untuk mengambil peti yang sekarang telah
tergolek di tanah.
Lagi-lagi Tungga Dewi harus membatalkan maksudnya. Karena
sebelum berhasil mencapai tujuan, beberapa benda berkilat telah meluncur
memotong jalannya. Apabila Tungga Dewi nekat meneruskan maksudnya,
pasti benda-benda berkilat yang terdiri dan beberapa batang pisau merah
darah itu lebih dulu menembus tubuhnya. Maka mau tidak mau gerakannya
dihentikan. Dan seketika kakinya melangkah ke belakang.
Sementara itu sesosok bayangan telah melesat ke arah peti yang
masih tergolek di pasir pantai. Dan Tungga Dewi pun tidak membiarkannya.
Langsung diserangnya sosok bayangan yang tak lain pengeja-nya. Maka kini
kedua orang ini terlibat dalam pertarungan sengit
Maka kini di tempat itu terjadi dua kancah pertarungan. Hanya saja,
yang satu berada di laut. Dan ternyata baik pertarungan antara Tungga Dewi
maupun kakek kurus laksana tengkorak, berlangsung seimbang.
Kakek guru Tungga Dewi itu sebenarnya memiliki kepandaian lebih
tinggi. Namun, karena dikeroyok, pertarungan jadi beijalan imbang. Namun,
tingkat kepandaian kedua lawannya tidak setingkat. Yang berkulit hijau
memiliki kemampuan di bawah berkulit kuning.
Memang tiga orang pengej ar peti hitam mengkilat itu memiliki
warna kulit aneh, tidak seperti umumnya manusia. Bahkan lawan yang
dihadapi Tungga Dewi memiliki warna kulit merah!
Pertarungan yang berlangsung di laut benar-benar membuat tenaga
terkuras dan jantung berdetak lebih cepat. Beberapa kali di saat tengah
sibuk-sibuknya, muncul gelombang setinggi rumah yang membuat tubuh tiga
orang sakti itu terbenam dan terbawa arus air beberapa saat. Hanya berkat
tingginya kepandaian merekalah yang membuat selembar nyawa mereka
selamat.
Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Tungga Dewi
melawan orang berkulit merah, berlangsung seru. Apalagi, seperti
kawan-kawannya, wajah dan sikapnya kasar. Laki-laki berbaju rompi dan
celana pendek abu-abu itu, memiliki ilmu-ilmu aneh, tapi dahsyat. Dan
Tungga Dewi pun harus berjuang keras untuk menghadapinya.
Yang lebih menggiriskan lawan Tungga Dewi ini memiliki senjata
mengerikan! Sebuah belincong. Namun Tungga Dewi juga menggunakan
senjata yang tidak kalah anehnya, yakni sebatang dayung dari besi baja!
Bunyi mengaung selalu mengiringi ayunan dayung yang berat itu.
Cringngng!
Untuk yang kesekian kalinya, benturan antara senjata berat itu
terjadi. Dan akibatnya Tungga Dewi kontan menyeringai. Tangannya terasa
bergetar hebat dan terasa agak nyeri. Tungga Dewi sadar, tenaga dalam lelaki
berkulit merah ini sedikit lebih besar. Untungnya, gadis berkulit kuning ini
memiliki gerakan lebih cepat. Dan dengan kelebihan ilmu meringankan
tubuh mili-nyalah membuat pertarungan seimbang.
Di lain pihak, karena senantiasa dipukul gelombang menuju ke
pantai, pertarungan yang terjadi di laut pun mulai bergeser ke pantai. Apalagi
kakek kurus laksana tengkorak yang merasa khawatir akan nasib muridnya
ini juga berusaha keras untuk membuat pertarungan berlangsung di dekat
Tungga Dewi. Dan setelah berlangsung beberapa lama, pertarungan kini be-
nar-b enar tiba di pantai!
"Ha ha ha...!"
Di saat dua kancah pertarungan tengah berlangsung sengit, meledak
tawa keras membahana, sarat dengan rasa gembira. Tapi, ternyata di
dalamnya terkandung sesuatu yang mengerikan! Seakan-akan tawa itu keluar
dari mulut makhluk halus, sehingga terdengar begitu aneh!
Bagai ada kata sepakat sebelumnya, pertarungan yang tengah
berlangsung kontan terhenti. Dan mereka sama-sama menoleh ke arah asal
suara tawa. Bukan hanya pengaruh menyeramkan yang menyebar dari suara
tawa, tapi juga karena getaran suara itu pula yang membuat seluruh tenaga
dalam mereka lenyap. Bahkan tulang-tulang dan otot-otot tubuh mereka te¬
rasa lumpuh, bagaikan dilolosi!
Beberapa tombak dari tempat mereka berdiri, tampak seorang
pemuda berwajah tampan berpakaian coklat. Dia tengah berdiri dengan
kedua tangan berkacak pinggang. Tampak angkuh sekali. Wajah tampannya
semakin menyolok dengan adanya sebaris bulu-bulu tipis halus di bawah
hidungnya. Ketampanannya semakin memikat dengan tubuhnya yang kekar,
berisi, dan padat!
Seharusnya, Tungga Dewi, gurunya, dan tiga lelaki berkulit aneh
tidak merasa takut sama sekali terhadap seorang secakap pemuda berkumis
tipis itu Tapi kenyataan mengatakan lain. Seketika bulu tengkuk mereka
semua terasa meremang. Entah kenapa, mereka semua tidak tahu Yangjelas,
ada sorot mengerikan yang terpancar dari pemuda berkumis tipis itu. Tidak
hanya dari sepasang matanya yang mencorong kemerahan dan membiaskan
sinar aneh, tapi juga pancaran aneh pada sekujur tubuhnya. Sehingga
menimbulkan kesan menyeramkan.
"Ha ha ha...!" Pemuda berkumis tipis kembali tertawa bergelak.
"Mengapa kalian semua terbengong bengong?! Ayo! Teruskan pertarungan
kalian!"
Suara itu membuat lima orang yang tadi bertarung sadar dari
keteipakuannya. Mereka saling berpandang sejenak, dengan wajah merah
padam. Jelas perasaan mereka tersinggung. Memang, ucapan pemuda
berkumis tipis itu kelewatan!
"Begitukah anggapanmu. Pemuda Sombong?!" dengus kakek kurus
laksana tengkorak ini "Sekarang, coba sambut seranganku!"
Kakek kurus guru Tungga Dewi ini langsung menghentakkan kedua
tangannya yang terbuka ke depan secara berbarengan. Maka seketika angin
keras berhembus ke arah pemuda berkumis tipis. Kekuatan kakek ini
memang telah pulih kembali. Demikian jugaTungga Dewi dan tiga lelaki
yang memburu peti.
Pemuda berkumis tipis menyeringai. Sebuah seringai mengandung
sesuatu yang mengerikan. Kemudian, tangan kanannya dilonjorkan ke depan,
dan digoyang-goyangkan. Lalu....
Blarrr!
Seketika terdengar ledakan keras yang disusul terpelantingnya
tubuh kurus itu ke belakang dan jatuh terduduk di tanah. Dadanya kontan
terasa sesak bukan kepalang. Bahkan sakit yang amat sangat melanda kedua
tangannya.
Kakek kurus guru Tungga Dewi ini bangkit dengan pandangan
nanar. Dengan hati kaget dia melihat pemuda berkumis tipis itu tidak
bergeming sama sekali. Dan ini membuatnya terkejut setengah mati. Selama
malang melintang belasan tahun, dalam dunia persilatan, belum pernah dia
mengalami kejadian seperti ini! Sungguh sukar dipercaya ada orang semuda
itu, mampu membuatnya terbanting dalam adu pukulan jarak jauh. Bahkan
pemuda itu tidak bergeming sama sekali. Padahal, terlihat jelas kalau pemuda
berkumis tipis itu seperti tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Andaikata
mengerahkan pun, hanya sekadarnya!
"Ha ha ha...! Bagaimana, Nelayan Tenaga Gajah?! Masih mau
melanjutkan pertarungan?!" ejek pemuda berkumis tipis sambil menatap
kakek kurus laksana tengkorak dengan pandang mata penuh ejekan.
"Aku belum kalah!" jawab kakek kurus laksana tengkorak yang
beijuluk Nelayan Tenaga Gajah, setengah berteriak.
Julukan itu melekat karena tinggalnya sebagian besar memang di
air. Gerakannya pun bagai ikan saja. Dan sekarang tokoh yang merupakan
salah satu datuk besar persilatan golongan putih ini marah bukan kepalang
mendapat ejekan seperti itu. Dan kemarahan yang amat sangat membuatnya
meneijang pemuda berkumis tipis dengan ilmu andalan. Tubuhnya langsung
menggelinding ke tanah, dan langsung melenting seraya mengirimkan
serangan dahsyat berupa pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi.
Namun pemuda berkumis tipis hanya tersenyum mengejek. Dengan
masih bersikap memandang remeh, tangan kanannya dijulurkan dengan
tapak menghadap ke depan, tepat ketika serangan Nelayan Tenaga Gajah
hampir menyentuh tubuhnya.
"Hukh!"
Nelayan Tenaga Gajah mengeluarkan keluhan tertahan.
Serangannya tertahan sebelum mencapai sasaran. Bahkan tubuhnya berbalik
kembali ke belakang, bagaikan membentur dinding yang tidak tampak.
Dengan keras datuk golongan putih ini jatuh di tanah dan terguling-guling ke
belakang.
"He he he...!" Pemuda berkumis tipis hanya tertawa tawa melihat
papakannya membawa hasil.
"Guru...!" seru Tungga Dewi penuh rasa kaget dan khawatir. Dan
dengan rasa cemas akan kesel ama-an gurunya, gadis berpakaian kuning ini
menghambur ke arah Nelayan Tenaga Gaj ah.
"He he he...!"
Sementara pemuda berkumis tipis itu hanya tertawa
terkekeh-kekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya tiga lelaki berkulit
warna-warni yang menatap ke arahnya dengan sinar mata ngeri. Sebagai
tokoh silat berpengalaman, ketiga orang ini tahu kalau bukan tandingan
pemuda berkumis tipis yang demikian sakti! Melihat betapa mudahnya
Nelayan Tenaga Gajah dirobohkan, sudah bisa diperikirakan kalau mereka
pun akan dapat dibuat sempa.
Sayangnya, tiga lelaki berkulit aneh ini tidak sigap segera bertindak.
Mereka baru merasa cemas ketika melihat tawa pemuda berkumis tipis
mendadak terhenti, dan sekarang menatap ke arah mereka dengan sorot mata
penuh ancaman.
"Kalian membuat perutku mual!"
Pemuda berkumis tipis lalu melambaikan tangannya dengan
gerakan terlihat perlahan. Namun, mendadak saja tubuh ketiga lelaki berkulit
aneh itu tertarik ke arah pemuda berpakaian coklat tanpa mampu menahan.
Karuan saja hal ini membuat tiga lelaki itu ktget bukan kepalang.
Dan sebelum tiga lelaki berkulit aneh ini sempat bertindak sesuatu,
tangan pemuda berkumis tipis bergerak mengibas. Maka seketika tubuh
ketiga lelaki yang sial itu terlempar ke belakang, melayang bagaikan sehelai
daun kering yang terhembus angin keras! Rasa ngeri membuat mereka
mengeluarkan jeritan tertahan.
Di saat tubuh tiga lelaki berkulit wama-wami itu melayang, tangan
pemuda berkumis tipis ini kembali bergerak melambai. Kali ini, giliran tubuh
Tungga Dewi tertarik ke arahnya! Karuan saja, gadis yang telah tiba di dekat
gurunya itu terkejut bukan kepalang!
"Guru...! Tolong...!" teriak Tungga Dewi, keras.
Nelayan Tenaga Gajah yang bam saja berhasil bangkit menggeram
keras melihat keadaan muridnya.
Maka tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Nelayan
Tenaga Gajah melompat menerkam pemuda berkumis tipis itu. Tindakannya
mirip seekor garuda yang hendak menerkam mangsanya.
Tapi, lagi-lagi maksud kakek kurus laksana tengkorak ini kandas.
Hanya dengan mengibaskan tangan kiri, tanpa menurunkan tangan kanan
yang tengah melambai-lambai menarik tubuh Tungga Dewi, pemuda
berkumis tipis ini telah membuat tubuh Nelayan Tenaga Gajah kembali
terlempar ke belakang. Bahkan kali ini lebih jauh, laksana sehelai daun
kering diterbangkan angin.
T appp!
Tubuh Tungga Dewi telah berhasil ditangkap pemuda berkumis
tipis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuh gadis berpakaian kuning
diletakkan di bahu kanannya. Sama sekali tidak dipedulikan jeritan Tungga
Dewi.
"Lepaskan aku. Manusia Terkutuk...! Lepaskan...! Tolooong...!
Guru..,! Tolong aku...!"
Rontaan Tungga Dewi langsung mengendur ketika tangan lari
pemuda berkumis tipis ini menotok bahu kanannya. Dan gadis ini hanya
dapat berteriak minta tolong. Tapi, siapa yang akan menolong Tungga Dewi?
Sementara, tubuh gurunya sendiri Nelayan Tenaga Gajah tengah
melayang-layang di udara, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk
menghentikannya.
***
"Tolooong..! Lepaskan aku...! Manusia Keji...! Manusia Jahat...!
Lepaskan aku...!"
Sepanjang perjalanan saat dibawa lari pemuda berkumis tipis,
Tungga Dewi tak henti-hentinya berteriak. Padahal, sekarang dia telah
berada jauh dari tempat semula.
"He he he...! Berteriaklah, Manis. Ingin kulihat, siapa yang dapat
membebaskanmu dari tanganku, Karpala...! He he he...!" sambut pemuda
berkumis tipis yang ternyata Karpala ini, penuh kegembiraan.
"Aku yang akan membebaskannya...!" Dan mendadak saja
terdengar suara keras menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap,
mendadak sesosok bayangan berkelebat. Sekejap kemudian, di depan
pemuda bernama Karpala berdiri tegak seorang pemuda berambut putih
keperakan. Sikap pemuda yang tak lain Aiya alis Dewa Arak ini terlihat
angker.
"He he he...!" Pemuda berkumis tipis tertawa bergelak. Kemudian
tawanya berhenti mendadak sambil mendengus. "Kau...?! Kau yang akan
membebaskannya?!"
"Benar! Aku yang akan membebaskannya!" tandas Aiya, tegas.
"Ternyata kau benar-benar manusia terkutuk! Menyesal dulu aku telah
menolongmu dari tangan tiga orang pengejarmu! Kau ternyata orang yang
memiliki watak hina!"
"Hehe he...!"
Kaipala hanya tertawa terkekeh, kemudian menatap Arya penuh
selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepasang matanya yang
berwarna merah darah tampak agak menyipit. Dahinya punberkemyit dalam.
"Jadi..., rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak...?! Tidak
berlebihan julukan itu! Kau memang memiliki kepandaian tinggi, Arya
Buana! Namamu, Arya Buana, kan?! Dan gurumu..., Ki Gering Langit?!
Ayahmu, Tri Buana. Dan ibumu, S ani...?! Kau mempunyai kekasih putri
angkat Raja Nalanda di Kerajaan Bojong Gading. Melati kan, namanya?
Tapi, aku tahu kalau nama itu bukan nama aslinya. Bukankah dia bernama
Seruni?"
Sepasang mata Arya kontan terbelalak lebar. Mulutnya terbuka.
Andaikata saat itu ada lalat, mungkin tanpa sadar pemuda berambut putih
keperakan ini akan menelannya! Untuk pertama kalinya, Arya tidak bisa
menyembunyikan gejolak perasaan yang melanda hati, sehingga tampak
pada waj ahny a.
"Kau..., siapa kau...?! Dan dari mana kau tahu semua itu..?!" desak
Arya dengan suara terbata-bata. Perasaan kaget telah membuat suara pemuda
berambut putih keperakan ini bergetar.
Wajar saja kalau Arya terkejut. Kalau orang tahu siapa dirinya,
gurunya, dan ayahnya, dia tidak akan merasa heran. Karena hampir semua
tokoh persilatan yang telah cukup mengenalnya, tahu mengenai hal itu. Tapi
asal-usul Melati, siapa Melati sebenarnya, dan nama ibunya Arya, tidak
seorang pun yang tahu kecuali beberapa orang. Itu pun hanya orang-orang
terdekat. Tapi, pemuda berkumis tipis ini ternyata mengetahuinya. Siapa
sebenarnya pemuda ini? Paling tidak, dari mana dia tahu akan hal itu?!
"Kau kaget. Dewa Arak...?!" tanya Karpala bernada mengejek "Kau
akan lebih terkejut lagi kalau aku menyebutkan secara jelas, siapa guru
Melati. Bahkan asal-usulmu?!"
5
"Kau.... Kau pasti mengada-ada...!" seru Arya, hampir berteriak
karena perasaan kaget dan tidak percaya.
"He he he...! Karpala tidak pernah omong besar tanpa bukti. Dewa
Arak! Kalau ingin bukti, baik segera kujelaskan! Gum Melati adalah Ki
Julaga, dan tewas di tangan Ruksamurka. Sedangkan kakek gurumu. Eyang
Tapakjati, tewas di tanganTiga Macan Lembah Neraka di Gunung Jawi. Kau
sendiri merupakan keturunan terakhir dari Keraj aan Pulau Es. Kau cucu dari
Sangga Buana. Sedangkan ayahmu, Tri Buana, tewas di tangan Siluman
Tengkorak Putih! He he he...! Apa lagi yang ingin kau ketahui. Dewa Arak?!
He he he...!"
"Ti... ti... tidak mungkin..! Tidak mungkin..! Mustahil...! Dati
mana kau tahu semua itu. Keparat! Dari mana kau mengorek keterangan
itu?!" desak Arya, dengan suara makin bergetar.
Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu hanya
mengulang-ulang perkataannya. Dia terlampau kaget melihat kenyataan
betapa Karpala tahu secara jelas semua riwayat keluarganya. Bahkan juga
Melati. Mungkin ada orang yang memberitahukannya. Kalau tidak demikian,
dari mana?
"Aku...? Dati mana aku tahu semua itu...? Ha ha ha... Dewa Arak,
bagi Karpala tidak ada perkara yang tertutup. Sekali lihat seseorang, aku tahu
riwayat hidupnya! He he he...!" pemuda berpakaian coklat itu tertawa
bergelak. Sebuah tawa kemenangan melihat Arya dicekam kebingungan.
Cukup keras Karpala mengatakannya. Tapi, bagi Arya suara itu
bagaikan berasal dari jauh hingga terdengar samar-samar sekali. Terlalu
halus. Bahkan sama sekali tidak tertangkap otaknya. Arya bagai kehilangan
akal melihat Karpala berhasil menelanjangi masa lalunya.
"Hey...! Pemuda berambut putih..! Bukankah kau ingin
menolongku...?! Mengapa malah termenung seperti ayam tertelen telurnya
sendiri...?!" tiba-tiba TunggaDewi berteriak keras, membuat Arya tersadar
dari ketermenung annya.
"Lepaskan gadis itu, Karpala! Kau tidak lebih dari seorang pengecut
yang hanya berani menghadapi seorang wanita tidak berdaya! Lepaskan dia.
Dan, kita bertarung secara jantan! Ingin kubuktikan kehebatan tokoh yang
telah bersesumbar demikian hebat!" tantang Arya, menyanjung sekaligus
membanting
"He he he...!" Karpala tertawa bergelak. "Kau cerdik. Dewa Arak.
Kau pura-pura memuji dan mengangkat-angkat kebanggaan pada diriku
untuk mengambil keuntungan. Aku tahu, kau bermain-main akal-akalan.
Tapi, sudah telanjur! Untuk membuktikan kalau aku bukan orang yang hanya
berani terhadap wanita, dan juga untuk menghadapi tantanganmu secara
jantan, biarlah aku rela ditipu!"
Karpala mengulurkan tangan, menepuk-nepuk tubuh Tungga Dewi.
Kelihatan sembarangan saja, tapi gadis berpakaian kuning itu merasakan
tenaganya kembali pulih Jalan darahnya mengalir lancar, setelah totokan
atas dirinya telah punah!
Kelegaan hati Tungga Dewi semakin berkobar ketika Karpala
melemparkan tubuhnya, untuk memenuhi janji pada Dewa Arak. Tungga
Dewi yang telah bebas dari totokan, tidak ingin tubuhnya terbanting di tanah.
Maka dengan menggunakan kelihaiannya, kedua kakinya mendarat di tanah.
Tanpa diberi penntah, Tungga Dewi menyingkir. Gadis ini telah bisa
mengetahui kalau pertarungan antara kedua tokoh akan berlangsung. Dia
tidak ingin terkena serangan nyasar.
Tungga Dewi sendiri telah lama mendengar nama besar Dewa Arak
yang menggemparkan. Bahkan menumt gurunya, kepandaian pemuda itu
lebih tinggi daripada gurunya. Maka gadis berpakaian kuning ini bisa
membayangkan kalau pertarungan akan berjalan lebih menarik daripada
ketika pertarungan antara Karpala menghadapi gurunya.
Sementara, Dewa Arak langsung bersikap waspada, ketika melihat
Karpala telah membebaskan Tungga Dewi. Pemuda berambut putih
keperakan ini langsung terkejut, saat melihat gerakan Karpala yang jauh
berbeda dengan saat Arya menyelamatkannya dari kepungan tiga pemuda
murid Perguruan Pedang Halilintar! Pandang mata Dewa Arak yang tajam
segera dapat mengetahui kalau pemuda berkumis tipis yang berdiri di
hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Meskipun demikian. Dewa Arak
belum yakin kalau belum membuktikannya sendiri
"Lihat serangan...!"
Arya memperingatkan untuk menunjukkan kalau pertarungan telah
siap dimulai. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini telah
melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar,
menggunakan ujung-ujung jarinya.
"Hmh...!"
Pemuda berkumis tipis mendengus dengan tarikan wajah dan sinar
mata memancarkan kemarahan. Dan seketika tangan kanannya dikibaskan.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang, seperti menabrak
sebuah dinding kasatmata. Hanya berkat kemampuannya yang tinggi,
kekuatan yang membuat tubuhnya membalik berhasil dipatahkan.
Dewa Arak menatap wajah Karpala dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Pendekar muda ini tidak tergesa-gesa melakukan serangan susulan.
Sebagai tokoh besar dunia persilatan, dia tahu ada hal-hal aneh tersembunyi
di sini. Memang agaknya Karpala bertindak tidak jantan. Pemuda berkumis
tipis itu tidak menghadapi serangannya secara langsung, tapi menggunakan
ilmu gaib! Dan karena pernah mengalaminya sendiri, Arya jadi langsung
mengetahuinya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Penganut Ilmu Hitam").
"Rupanya kau mahir menggunakan ilmu-ilmu gaib, Karpala!" tebak
Arya dengan suara serak
Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini merasa bersyukur kalau
tadi tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melancarkan serangan
pertama. Dan itu didasari oleh ketidakyakinanny a kalau pemuda berkumis
tipis ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, dia hanya menggunakan jums
yang ada dalam ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'!
"Kau ingin tahu lebih banyak. Dewa Arak!" balas Karpala. "Akan
kutunjukkan yang lebih banyak. Tapi sayang, kemampuanku masih terbatas.
Tapi, tak lama lagi kau akan melihat kemampuanku yang sebenarnya! Dan
kau akan terkejut karenanya. Karena, tidak ada seorang pun yang akan dapat
mengalahkanku! Apalagi, seorang tokoh hijau sepertimu! Ha ha ha...! Dan
sedikit tambahan, kaujangan merasa bangga dengan bisa menebak kalau aku
menggunakan kemampuan gaib. Dewa Arak. Itu hanya sebagian kecil saja!
Lihat...! Aku menyerangmu...!"
Kini sepasang mata Tungga Dewi pun terbelalak lebar ketika
melihat pemandangan yang terlihat di depannya. T ampak Dewa Arak tengah
sibuk sekali bergerak ke sana kemari. Beberapa kali, gerakannya seperti
orang menangkis ataupun mengelak. Tapi, tak jarang pula seperti orang
tengah melakukan serangan. Yang membuat Tungga Dewi kaget adalah
karena tidak ada lawan yang dihadapi Arya!
Karpala sama sekali tidak melakukan serangan. Dia hanya berseru
keras seperti memberi peringatan, kalau sedang menyerang. Padahal, sejak
tadi hanya berdiri diam di tempatnya. Bahkan, pemuda berkumis tipis itu
sempat-sempatnya mengedipkan sebelah mata pada Tungga Dewi sambil
menyeringai lebar! Sementara beberapa tombak di depannya, tampak Dewa
Arak yang tengah sibuk bertarung.
"He he he...! Apa yang tengah kau lakukan. Dewa Arak?! Siapa
yang kau hadapi?!"
Karpala mengeluarkan seman demikian, ketika Dewa Arak telah
bertarung hampir dua puluh jurus menghadapi lawan yang tak terlihat. Napas
pemuda berambut putih keperakan itu agak memburu karena, lawan semua
yang dihadapi mengajaknya bertarung cepat dan dengan pengerahan tenaga
dalam penuh.
Ucapan Karpala membuat lawan semu yang dihadapi Dewa Arak
mendadak lenyap. Maka seketika Dewa Arak menghentikan perlawanannya
dengan mata tampak terbelalak sebentar. Dia melihat, Karpala berdiri
seenaknya beberapa tombak darinya. Padahal, pemuda berkumis tipis itu
tidak terlihat berpindah dari tempatnya bertarung. Tapi ketika melihat wajah
Karpala yang tidak berpeluh seperti bayangan Karpala yang jadi lawannya
langsung bisa disadari kalau untuk kedua kalinya berhasil dipengaruhi ilmu
gaib.
Dua kali terkena pengaruh ilmu gaib Karpala, membuat Dewa Arak
mulai was-was. Dia tidak yakin akan dapat menandingi, apalagi
mengalahkan pemuda berkumis tipis ini. Dan apabila kalah, itu berarti
keselamatan Tungga Dewi terancam!
"Lebih baik kau pergi dari tempat ini, Nisanak. Dia terlalu lihai.
Bukan tidak mungkin aku akan kalah di tangannya. Mumpung itu belum
terjadi, lebih baik segera pergi tinggalkan tempat ini!"
Tungga Dewi hampir terlonjak kaget mendengar peringatan seperti
itu di telinganya. Dia tahu, suara itu milik Dewa Arak. Dari suara itu memang
telah dikenalnya sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini terlibat
percakapan dengan Karpala. Tapi, mungkinkah itu? Padahal, jelas-jelas
terlihat kalau bibir pemuda berpakaian ungu itu tidak bergerak sama sekali.
Bukankah orang yang mengirimkan suara dari jauh, mulutnya akan
berkemak-kemik?! Tapi, mengapa Arya tidak sama sekali?
"Tunggu apalagi, Nisanak?!" Kembali suara Dewa Arak mengaung
di pinggir telinga Tungga Dewi.
"Apakah kau ingin tertangkap olehnya lagi? Ingat! Apabila itu
terjadi, aku tidak akan sanggup untuk membebaskanmu. Carilah kesempatan
di saat aku akan membuatnya sibuk!"
"Hih...!"
Tungga Dewi melihat Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya
ke arah Karpala. Meski jaraknya agak jauh, gadis berpakaian kuning ini
merasakan ada-nya hembusan angin panas menyebar ke tempatnya berdiri.
Dan gadis ini jadi takjub bukan kepalang, melihat kedahsyatan serangan
jarak jauh Dewa Arak. Hanya saja, dia tidak tahu kalau sebenarnya Dewa
Arak telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', dalam jurus 'Pukulan
Belalang'!
Dengan sikap tenang, Karpala menjulurkan tangan kananya ke
depan, sedikit lebih tinggi dari kepala. Kemudian, tangan itu digerakkan
mendatar ke kiri sejauh setengah tombak. Lalu, digerakkan ke bawah,
mendatar lagi ke kanan, dan naik ke atas. Pemuda berkumis tipis ini seperti
tengah membuat empat persegi panjang di depan tubuhnya. Kemudian....
Blammm!
Dewa Arak kontan terperanjat ketika melihat pukulan jarak jauhnya
meluncur kembali ke arahnya. Deru angin keras berhawa panas menyengat
langsung mendahului menyambar, sebelum serangan itu sendiri tiba. Ya!
Pukulan jarak jauh Dewa Arak berbalik seperti menghantam dinding karet
yang kasat mata!
Dewa Arak telah tahu kedahsyatan pukulan jarak jauhnya, dan tentu
saja tidak ingin jadi korban. Maka Arya segera melompat ke atas, sehingga
pukulan jarak jauhnya yang berbalik meluncur lewat di bawah kakinya,
langsung menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang dan hangus
seperti tersambar petir!
"He he he...! Sebuah ilmu pukulan jarak jauh yang hebat. Dewa
Arak! Akan berakibat menggiriskan. Bahkan menjadi pembicaraan hangat di
dunia persilatan, apalagi yang menjadi korban adalah tuannya sendiri!" ejek
Kaipal a.
Dewa Arak tersenyum pahit. Sama sekali tidak dipedulikannya
ejekan lawannya, sungguhpun terasa panas hatinya.
"Kau telah menyerang sebanyak dua kali. Dewa Arak. Tapi, aku
baru sekali. Maka aku masih mempunyai kesempatan untuk menyerangmu
sekali. Bersiaplah, Dewa Arak!"
Dewa Arak merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat.
Hatinya terasa tegang bukan kepalang. Pemuda berambut putih keperakan ini
sudah bisa memperkirakan kedahsyatan serangan yang akan dikirimkan
Kaipal a! Tapi belum juga pemuda berpakaian coklat itu menyerang....
C ring, ering, ering!
Mendadak terdengar bunyi bergemerincing nyaring. Tidak terlalu
keras. Tapi karena saat itu tengah dilingkupi kesunyian, bunyi itu jadi
terdengar jelas.
Dan Arya s ama sekali tidak mempedulikan bunyi itu. Perhatiannya
tengah terpusat pada serangan yang akan dilancarkan Karpala. Dan memang.
Dewa Arak tidak berani berlaku sembrono terhadap seorang lawan seperti
Karpal a yang diketahuinya banyak memiliki ilmu gaib.
Namun, tidak demikian halnya Kaipal a. Begitu mendengar bunyi
berkerincingan tadi, wajahnya kontan berubah hebat. Dan Aiya yang bermata
tajam langsung melihatnya. Ternyata wajah Karpala berubah pucat pasi!
Sinar matanya pun meliar, menampakkan kegelisahan yang sangat.
"Rupanya kau masih beruntung. Dewa Arak! Nyawamu tidak jadi
melayang hari ini! Aku masih mempunyai urusan yang jauh lebih penting
daripada ini!"
Setelah berkata demikian, Karpala melesat meninggalkan tempat
itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah begitu jauh dan
lama-kelam aan lenyap ditelan keremangan hutan.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas antara lega dan kecewa. Di satu sisi
dia merasa berpantang untuk memaksa seorang lawan yang tidak mau
bertarung. Dan di sisi lain ada perasaan bersyukur di hati Arya, melihat
Karpala pergi. Karena Dewa Arak sendiri memang tidak yakin akan mampu
menghadapi tokoh yang menggiriskan itu.
***
"Mengapa kau masih di sini, Nisanak?! Apakah kau tidak tahu
betapa berbahayanya? Kalau aku kalah, apalagi tewas oleh Karpala, kau akan
kembali menjadi tawanan!" tegur Arya, ketika melihat Tungga Dewi masih
berdiri di sita
"Aku bukan seorang pengecut yang tega meninggalkan penolongku
menghadapi bahaya sendirian! Apabila kau mati, aku tidak ingin hidup!
Pantaskah aku melarikan diri, padahal orang yang menolongku beijuang
mati-matian! Bagi guruku, dia akan marah besar padaku!" sambut Tungga
Dewi, mantap.
Perasaan mendongkol di hati Aiya yang tadi sempat timbul meski
hanya sedikit, langsung menguap. Sikap Tungga Dewi yang ksatna itulah
yang menyebabkannya demikian. Ternyata, Tungga Dewi adalah seorang
gadis yang tahu berterima kasih! Seorang gadis beijiwa ksatna yang sudah
pasti merupakan seorang murid tokoh besar persilatan!
"Kurasa tidak demikian, Nisanak. Aku tidak yakin kalau gurumu
akan marah. Sebagai seorang tokoh besar, beliau pasti berpikir panjang.
Tidak ada gunanya tems melawan, kalau kenyataan musuh jauh lebih kuat.
Itu bukan pengecut namanya, Nisanak. Tapi, bijaksana! Justm kalau
melawan tems, akan mengakibatkan kematian sia-sia!" kilah Aiya sambil
tersenyum lebar. Sikap Tungga Dewi yang keras hati, mengingatkannya akan
sikap Melati, kekasihnya.
"Namaku Tungga Dewi, Dewa Arak. Kurasa lebih baik kau panggil
namaku saja," pinta Tungga Dewi sambil menyebutkan namanya. "Dan...,
dari mana kau bisa tahu kalau guruku seorang tokoh besar?!"
"Melihat sikapmu, Ni... eh! Dewi. Kalau muridnya bersikap
demikian ksatria, tentu mempunyai seorang guru yang ksatria pula. Boleh
kutahu nama atau julukan beliau? Namaku sendiri, Aiya. Aiya Buana. Jadi,
kau tidak perlu memanggilku Dewa Arak lagi."
"Nah! Begini kan lebih baik. Dewa... eh! Arya," celetuk Tungga
Dewi gembira. "Oh ya, guruku sering membicarakan dirimu dengan penuh
kebanggaan. Beliau mengagumimu. Bahkan beliau menyuruhku agar
bersikap sepertimu. O ya, beliau beijuluk Nelayan Taiaga Gajah."
"Ah...! Kiranya kau murid tokoh sakti yang pandai renang itu.
Dewi?!" desah Arya kaget
"Kau mengenal gumku, Arya?" tanya Tungga Dewi, gembira
melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Mengenalnya sih, tidak. Tapi, nama besar gurumu telah lama
kudengar. Bukankah beliau, merupakan salah satu di antara datuk-datuk
dunia persilatan waktu itu? Maksudku, puluhan tahun lalu? Kalau tidak salah,
dua puluh tahun yang lalu gummu telah mengukir nama besar dalam dunia
persilatan. Bahkan sampai sekarang, julukannya masih bergaung. Beliau
ditakuti dan disegani tokoh-tokoh dunia persilatan, terutama dari golongan
hitam," kilah Arya. "Julukan beliau masih terkenal. Padahal, tokoh-tokoh
besar dua puluh tahun yang lalu, sebagian besar tidak terdengar namanya
lagi. Ng..., Guraksa dan Kum Sanca. Mereka adalah dua di antara
datuk-datuk yang telah tidak terdengar namanya lagi."
"Gumku juga pernah bercerita tentang dua tokoh itu, Aiya. Tapi,
menumt cerita beliau, Guraksa dan Kum Sanca adalah tokoh..., maksudku
datuk golongan hitam," bantah Tungga Dewi, bermaksud memperbaiki.
"Apa yang dikatakan gummu memang benar. Dewi. Aku juga
mendengarnya demikian," sahut Arya menganggukkan kepala.
Tapi, mendadak pemuda itu tersentak kaget, sehingga membuat
Tungga Dewi merasa heran karenanya. Dan sebelum, gadis berpakaian
kuning ini berkata apa-apa. Dewa Arak telah lebih dulu menatapnya.
"Mengapa aku demikian pelupa?!"
"Ada apa. Dewa Arak?!" tanya Tungga Dewi melihat sikap Aiya,
membuat gadis itu lupa, sehingga menyapa Arya dengan julukan.
"Bunyi kerincingan itu," jawab Aiya sambil mengarahkan
pandangan ke sekitarnya.
Tapi, di sekitar tempat itu tidak terlihat apa-apa. Bahkan bunyi
kerincingan itu sudah tidak terdengar lagi. Percakapan dengan Tungga Dewi
membuatnya tidak ingat akan bunyi kerincingan.
"Kau tadi mendengar bunyi itu. Dewi?!" tanya Dewa Arak.
Tungga Dewi mengangguk. "Memang kenapa, Aiya?"
"Kau tidak tahu?!" tanya Aiya setengah tidak percaya. "Bunyi
kerincingan itulah yang membuat Karpala melarikan diri! Dia takut pada
bunyi kerincingan itu!"
"Ah..., begitukah?!" Tungga Dewi kaget
"Kalau begitu..., kita berpisah di sini. Dewi. Aku ingin mencari
pemilik kerincingan itu. Ingin kusingkap mengapa Karpala yang demikian
sakti, kelihatannya memendam rasa takut terhadap bunyi ita Siapa gerangan
tokoh yang memakainya."
"Aku ikut, Aiya," celetuk Tungga Dewi cepat.
"Tapi...," Aiya mencoba menolak.
"Jangan khawatir, Arya!" selak Tungga Dewi. "Aku bisa menjadi
diri! Percayalah. Aku tidak akan merepotkanmu! Lagi pula, siapa tahu dalam
peijalananku bertemu gumku. O, ya. Kau belum tahukan kenapa aku bisa
ditangkap Karpala?!"
Teipaksa Arya menggel eng.
"Kalau begitu, aku akan menceritakannya sambil kita mencari
pemilik kerincingan itu. Bagaimana? Kalau kau tidak sudi melakukan
perialanan bersamaku sih tidak apa-apa."
"Tapi, Dewi... Mungkin arah kita akan berlawanan. Dan...."
"Kau menempuh arah mana, Arya?!" selak Tungga Dewi, cepat.
Sama sekali tak dipedulikannya ucapan pemuda berpakaian ungu itu yang
belum selesai.
"Utara...," jawab Arya, setelah tercenung sejenak
"Kalau begitu kita sama!" sambut Tungga Dewi, dengan wajah
berseri. "Tentu saja aku tidak akan memaksamu untuk tems bersama, Arya.
Begitu bertemu pemilik kerincingan yang kau maksud, dan jika nanti arah
yang kita tuju berbeda, kita berpisah. Bagaimana?!"
Arya mengeluh dalam hati. Gadis berpakaian kuning ini memang
terlalu pintar untuk membuat orang teipojok. Tentu saja sekarang, Arya tidak
mempunyai alasan untuk menolak. Toh, kebetulan mereka menempuh arah
peijalanan yang sama.
"Kalau begitu, mari kita bergegas. Dewi. Aku khawatir, pemilik
kerincingan itu telah pergi jauh," ujar Aiya.
Sesaat kemudian, Arya dan Tungga Dewi telah melesat
meninggalkan tempat itu. Dewa Arak yang semula merasa khawatir kalau
dengan adanya murid Nelayan Tenaga Gajah itu peijalanannya akan
terhambat, menjadi besar hatinya ketika mengetahui Tungga Dewi
benar-benar membuktikan tekadnya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu
meringankan tubuh yang telah tinggi, sehingga Arya tidak terlalu banyak
mengurangi kecepatan larinya.
6
Arya memang seorang pendekar muda beipengalaman. Maka meski
hanya mendengar sebentar, dia bisa memperkirakan asal bunyi kerincingan
tadi. Dan, ke arah mana menghilangnya. Tak heran kalau tak lama kemudian,
bunyi kerincingan itu kini sudah terdengar lagi di depannya. Memang masih
samar. Tapi telah cukup membesarkan hati kalau arah yang ditujunya sudah
benar.
"Kita berhasil, Arya," ujarTungga Dewi yang berlari di sebelah kiri
Arya.
Nada suara gadis itu menyiratkan kegembiraan besar, tapi
mengundang iba pemuda berpakaian ungu itu. Deru napas yang hebat,
menjadi pertanda kalau sejak tadi Tungga Dewi berlari sampai di batas
terakhir kemampuannya. Hal ini membuatnya cepat lelah. Tapi yang
membuat hati Arya kagum, tidak sedikit pun Tungga Dewi menampakkan
kelelahannya. Apalagi sampai mengeluh! Murid Nelayan Tenaga Gajah ini
memang membuktikan ucapannya, kalau tidak akan merepotkan Dewa Arak.
Rasa iba itulah yang membuat Aiya mengendurkan kecepatan
larinya sedikit agar Tungga Dewi tidak mengerahkan kemampuannya. Toh
sampai habis, bunyi kerincingan itu sudah terdengar, bahkan semakin jelas.
Dan berarti, jejak pemilik kerincingan itu sudah diketahui.
Namun, kini bunyi kerincingan itu sekarang sudah tidak terdengar
lagi. Sehingga membuat Arya agak gelisah. Meski demikian, kecepatan
larinya tetap tidak ditambah. Arah yang dituju adalah tempat yang tadi
terdengar bunyi kerincingan terakhir kali.
Di saat Arya hampir putus asa, bunyi kerincingan itu terdengar lagi.
Bahkan jauh lebih nyaring, pertanda jaraknya telah dekat Arya dan Tungga
Dewi sampai berpandang an saking gembiranya. Dengan semangat baru yang
kembali muncul, sepasang anak muda ini mengayunkan kaki ke arah asal
bunyi kerincingan tadi.
Lagi-lagi bunyi kerincingan itu lenyap. Tapi, Arya dan Tungga
Dewi tidak kebingungan lagi, karena telah mempunyai patokan untuk
mengejar. Dan sebentar kemudian, sepasang anak muda berwajah elok ini
telah melihat sesosok tubuh di kejauhan, beijarak tidak kurang dari dua puluh
tombak
Meski jarak masih cukup jauh dan sosok itu berdiri memunggungi.
Dewa Arak dapat memperkirakan kalau sosok itu ternyata seorang
perempuan tua. Pakaiannya sederhana bercorak kembang-kembang.
Rambutnya yang putih campur hitam tampak digelung ke atas. Dan kini jelas
terlihat oleh Arya.
Sosok berpakaian kembang-kembang yang diduga Arya seorang
perempuan tua itu, tengah berdiri di depan sekumpulan tanaman sambil
bersenandung. Kedua tangannya yang keriput dan kecil, memetiki beberapa
tumbuh-tumbuhan di depannya dan dimasukkan ke dalam keranjang kecil di
pergelangan tangan kirinya. Terkadang yang diambil pucuk daunnya,
buahnya, dan tidak jarang kulit pohonnya.
Hanya sekali lihat Dewa Arak bisa menduga kalau sosok yang
diduga seorang perempuan tua itu tengah mencari tumbuh-tumbuhan yang
dapat dijadikan sebagai ramuan pengobatan.
Beberapa tombak sebelum Arya danTungga Dewi tiba di dekatnya,
sosok berpakaian kembang-kembang itu berbalik. Kedatangan Dewa Arak
dan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya telah didengarnya.
Sosok berpakaian kembang-kembang yang ternyata benar seorang
nenek itu, tersenyum. Sehingga mulutnya yang keriput memperlihatkan
barisan gigi yang sudah tidak bergigi lagi.
"Maaikan kalau kami mengganggumu, Nek," Arya buru-buru
angkat bicara sambil tersenyum lebar.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kalau nenek
berpakaian kembang itu menduga yang tidak-tidak. Maka buru-buru
mendahului.
"Tapi, percayalah. Kami tidak memiliki maksud jelek," sambung
Dewa Arak.
"Benar, Nek," timpal Tungga Dewi. "Kami tidak bermaksud jelek.
Namaku Tungga Dewi. Dan iri kawanku, Aiya. Tapi, julukannya di dunia
persilatan tidak main-main lho, Nek?!"
"Ah...! Kawanku ini memang gemar becanda, Nek," potong Arya
buru-buru.
Dewa Arak khawatir, Tungga Dewi akan segera memperkenalkan
julukannya. Tungga Dewi memang mirip Melati, gemar bertindak gegabah
dan suka menonjolkan diri. Tapi anehnya, Arya yang selalu ditonjolkan!
Bukan diri gadis itu sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin kalau sikap
gegabahnya akan membawa Aiya pada permusuhan yang tidak diinginkan.
Siapa tahu, nenek berpakaian kembang-kembang itu mempunyai hubungan
dengan tokoh sesat yang pernah tewas di tangan Arya. Misalnya!
"Hi hi hi...!"
Nenek berpakaian kembang-kembang itu tertawa. Terlihat lucu,
karena sudah tidak memiliki gigi lagi. Bahkan suaranya terdengar aneh di
telinga.
"Kawanmu itu tidak bercanda. Nak Arya. Siapa sih, yang tidak
kenal Dewa Arak yang telah membuat kolong langit geger?! Hi hi hi...!
Selamat bertemu denganku. Dewa Arak. Kau memang telah
kutunggu-tunggu," kata nenek itu.
Arya kontan melongo. Sambutan nenek berpakaian
kembang-kembang itu sama sekali tidak disangka-sangka. Sehingga,
membuatnya kebingungan. Bahkan Tungga Dewi pun agak heran. Hanya
saja karena sikap lincahnya, perasaan itu cepat temsir.
"Agar kedudukan kita sama lebih baik kuperkenalkan diri. Namaku
Lestari, Arya. O, ya. Berbicara sambil berdiri tidak enak. Lebih baik kita
berbicara di sana saja.
Tanpa memberi kesempatan pada Arya atau Tungga Dewi untuk
memberikan tanggapan, nenek yang mengaku bernama Lestari mengayunkan
kakinya menuju sebatang pohon besar. Dan kebetulan, pohon itu mempunyai
akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Tempat yang dipilih Nenek
Lestari ini ternyata cocok untuk duduk sambil berbincang-bincang.
Arya dan Tungga Dewi saling berpandangan, sebelum akhirnya
mengikuti kemauan Nenek Lestari. Sebentar kemudian, ketiga orang ini telah
duduk bersama di atas akar pohon itu.
"Aku belum mengerti maksud ucapanmu tadi, Nek. Bisakah kau
menjelaskannya?!" pinta Arya, setelah memberi kesempata nenek berpakaian
kembang itu untuk beristirahat sejenak.
"Masalah penjelasan urusan gampang, Arya!" jawab Nenek Lestari
bernada meremehkan. "Yang penting sekarang, katakana maksud tujuanmu,
Arya. Apalagi bersama Tungga Dewi ini. Aku yakin, kau tidak kebetulan saja
berada di sini. Apakah kau memang bermaksud menemuiku?! "
"Memang begitu, Nek," sahut Aiya mengangguk.
Lalau Dewa Arak menceritakan semua kejadian yang dialami
bersama Tungga Dewi. Tentu saja, tentang cerita mengenai Tungga Dewi
yang dilarikan Karpala sejak bersama Nelayan Tenaga Gajah tidak
diceritakan. Karena, gadis berpakaian kuning itu sendiri baru saja
menceriakannya pada Arya. Dan lagi, Arya merasa tidak berhak
menceritakannya
"Seorang pemuda berkumis tipis?!" ulang Nenek Lestari, ketika
Arya telah menyelesaikan ceritanya. "Dia takut mendengar kerincinganku?!
Aneh! Kau tahu, mengapa Arya?"
"Tidak, Nek!" sahut Arya menggelengkan kepala. "Karena ingin
tahu jawabannya itulah aku ingin menemuimu, Nek. Kupikir, kau
mengetahuinya. Dia sakti bukan kepalang, Nek. Maksudku, ilmu-ilmu
gaibnya. Karena, ilmu silatnya kulihat belum digunakannya"
"Kau membuatku pusing, Arya, " gumam Nenek Lestari bernada
mengomel, tapi tidak marah. "Mana mungkin ada seroang tokoh muda takut
hanya karena mendengar bunyi kerincinganku? Padahal, aku tidak pernah
mengukir nama besar dalam dunia persilatan dengan sepak teijangku seperti
yang kau lakukan misalnya. Dan lagi..., sepengeetahuanku kerincingan
ini..., maksudku... memang untuk menakut-nakuti seseorang. Karena,
kerincingan ini telah dikelilingi pamor sedemikian rupa, sehingga membuat
seorang tokoh akan lemah tenaganya. Hilang kemampuannya. "
"Jangan-jangan, karena itulah pemuda berpakaian coklat itu
melarikan diri.... Namanya... ah! Mengapa mendadak aku lupan namanya?!
" Arya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kau ingat nama
pemuda berkumis tipi situ. Dewi! "
Tungga Dewi melengak. Sepasang alisnya dikerutkan dalam-dalam,
dalam upayanya berpikir keras untuk mengingat-ingat nama itu. tapi, seperti
juga Arya, di tidak ingat sama sekali.
"Entahlah, Arya. Tadi, aku memang ingat betul Dan entah mengapa
mendadak lupa. Padahal, aku bukan sejenis orang pelupa lho?!" sahut
Tungga Dewi tampak kebingungan sekali.
"Sudahlah! Kalau tidak ingat, tidak usah terlalu dipikirkan. Lagi
pula, si apa yang ingin mengetahui namanya? Hanya saja, perlu kutekankan
sekali lagi, Arya. Kerincingan ini ialah benda peninggalan leluhurku yang
kudapat dari ayahku. Kalau tidak salah, kerincingan ini sudah berumur
hampir lima ratus tahun. Dan kerincingan ini dibuat memang untuk
melumpuhkan seseorang yang memiliki ilmu-ilmumenggiriskan. Tidak ada
suatu kekuatan pun yang dapat membunuh atau melumpuhkannya, kecuali
kerincingan ini. Tapi benda ini pun hanya mampu melumpuhkannya seben¬
tar. Jadi, singkatnya orang itu tidak bisa dibunuh!" jelas Nenek Lestari.
Pandangan Arya dan Tungga Dewi tanpa sadar beralih ke
kerincingan yang melilit pergelangan tangan dan kaki Lestari. Kerincingan
itu mirip gelang tangan dan gelang kaki. Hanya saja tersusun dari logam
kosong sebesar mata, di dalamnya berisi baja bulat kecil padat. Setiap kali
tangan dan kaki itu bergerak, kerincingan pun berbunyi nyaring. Dan
sepasang anak muda ini jadi takjub, setelah mengetahui kerincingan itu telah
bemmur lima ratus tahun.
"Bisa kau ceritakan tokoh yang luar basa itu, Nek?!" tanya Aiya,
makin tertarik.
Sementara dalam hati. Dewa Arak tidak percaya kalau ada seorang
manusia yang tidak bsa dibunuh Mustahil! Arya yakin, setiap ilmu ada
kelemahanny a.
"Baiklah. Kalau tidak kuceritakan, kalian akan terus penasaran.
Sekarang, dengarkan baik-baik." Nenek Lestari termenung sejenak.
Diingat-ingatnya cerita yang akan diuraikan pada Aiya dan Tungga Dewi.
Cerita yang didengar dari mulut leluhurnya.
"Sekitar lima ratus tahun yang lalu, di dunia persilatan merajalela
seorang tokoh hitam yang keji dan ganas. Setiap hari, selalu jatuh korban
pembunuhan, tidak peduli laki atau perempuan. Kalau tidak salah, malah
jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Yang jelas, dia membutuhkan
sepuluh tong besar darah yang segar untuk dituangkan ke dalam lubang di se¬
buah gunung. Sayang aku lupa nama gunung itu"
Arya dan Tungga Dewi saling berpandang dengan tengkuk
meremang. Tokoh hitam itu pasti tidak waras!
Nenek Lestari tidak mempedulikan kedua anak muda itu. Setelah
menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering, ceritanya
dilanjutkan.
"Dunia persilatan geger. Para tokoh golongan putih angkat senjata,
bersepakat untuk melenyapkan sumber kekejian itu. Tapi, tokoh keji itu
ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Banyak tokoh pendekar yang
bermaksud baik itu roboh di tangannya. Tewas, dan kemudian menjadi
tambahan darah yang dibutuhkan. Bisa kau perkirakan, Arya, Tungga Dewi.
Sekali tokoh keji itu tumn tangan, penduduk satu desa langsung lenyap.
Karena, mereka semua dibantai dan darahnya ditampung dalam sepuluh
tong. Hanya dalam beberapa minggu, ribuan orang telah menjadi korban
tindakan kejinya. Tapi tokoh-tokoh pendekar ini tidak membuat putus asa.
Mereka mencari tahu, mengapa tokoh keji itu melakukan tindak kebiadaban
demikian.
Kemudian Nenek Lestari menghentikan ceritanya sejenak suasana
jadi hening. Sepertinya, Dewa Arak dan Tungga Dewi tengah
membayangkan, betapa menggiriskan tokoh keji itu.
"Ternyata tokoh keji itu seorang pengabdi dan pemuja setan!
Penguasa gunung yang tadi aku lupa namanya. Dan korban-korban darah
sepuluh tong itu diperuntukkan sebagai persembahan, agar dia diberikan ilmu
kepandaian tinggi. Dan kenyataannya, tokoh itu memang memiliki
kepandaian tinggi! Dan tidak masuk akal! Dia mampu mengetahui segala
sesuatu mengenai seseorang, hanya sekali lihat saja. Tahu keluarganya,
asal-usulnya, guru, ilmu-ilmu yang dimiliki, dan kelemahannya! Di samping
itu, dia memiliki banyak ilmu gaib dan kesaktian lain. Bahkan juga tidak
mempan segala macam senjata, walau senjata itu terkenal ampuh menangkal
ilmu-ilmu hitam! Pokoknya, tokoh keji itu merajalela tanpa tertandingi,"
'Tunggu sebentar, Nek!" selak Arya ketika Nenek Lestari
menghentikan cerita.
"Hmmm.J"
Nenek berpakaian kembang-kembang itu hanya bergumam pelan
sebagai sambutannya.
"Pemuda berpakaian coklat yang kuceritakan tadi juga memiliki
kemampuan seperti yang kau utarakan itu, Nek. Dan mampu menebak
asal-usulku. Bahkan semua yang berhubungan denganku!" tutur Arya,
dengan jantung berdetak kencang.
"Benar, Nek!" ucap Tungga Dewi membenarkan.
"Aku mendengarnya!"
Raut wajah nenek berpakaian kembang-kembang berubah hebat.
Terlihat jelas adanya kekhawatiran di sana.
"Sampingkan dulu masalah itu! Kita teruskan cerita sebelum aku
lupa!" ujar Nenek Lestari. Terdengar agak bergetar suaranya. Bahkan
bibirnya pun bergetar. "Beberapa tokoh golongan putih yang terkenal di masa
itu, tanpa mengenal lelah berusaha mencari cara melenyapkan tokoh keji ita
Perguruan-perguruan besar mengutus muridnya untuk mencari
peitapa-pertapa sakti yang memiliki ilmu gaib, untuk dapat digunakan
menghadapi ilmu gaib tokoh keji itu. Tapi, semuanya hancur berantakan.
Mereka semuanya tewas. Bahkan dukun-dukun ahli kebatinan diminta
bantuannya mencari ilham, untuk mengetahui kelemahan ilmu tokoh keji ita
Tapi, sekali lagi mereka semuanya tewas secara mengerikan!"
Arya mengerling Tungga Dewi. Tampak wajah gadis berpakaian
kuning itu menyiratkan kengerian. Sementara pemuda berambut putih
keperakan ini pun merasakan betapa dahsyatnya kepandaian tokoh keji itu,
meski hanya dari cerita Nenek Lestari.
"Akhirnya, di sebuah masjid, seorang tokoh persilatan golongan
putih yang baru selesai bershalat tahajud untuk meminta petunjuk bertemu
seorang kakek yang wajahnya tidak tampak jelas. Tapi kakek itu
mengenakan pakaian panjang serba putih sampai hampir ke lutut Kepalanya
tertutup lilitan-lilitan kain. Kakek yang sekujur tubuhnya seperti bersinar itu
memberi petunjuk padanya, untuk menemui orang-orang yang akan
ditunjukkannya. Sementara, orang-orang yang dipilih kakek aneh itu sendiri,
malam itu juga langsung bermimpi. Dalam mimpi, mereka bertemu kakek
yang sama dan diberi petunjuk bagaimana cara mengalahkan tokoh keji yang
merajalela itu."
"Dan tokoh yang dipilih kakek aneh itu adalah leluhurmu.
Bukankah begitu, Nek?!" tebak Tungga Dewi, tidak sabar.
"Tidak tepat benar. Meskipun, memang tidak salah!" jawab Nenek
Lestari.
"Lho...?!" Tungga Dewi melongo. 'Bukankah leluhurmu yang telah
mengalahkan tokoh keji itu?!"
Ada nada penasaran dalam pertanyaan Tungga Dewi yang lebih
cocok berupa kecaman ini. Aiya hanya berdiam diri. T api sepasang matanya
menyiratkan tuntutan. Pemuda berambut putih keperakan ini memang
menduga sama seperti Tungga Dewi.
"Tidak hanya leluhurku!" jawab Nenek Lestari. "Masih ada dua
tokoh lain yang juga mendapat petunjuk kakek aneh ita Berkat petunjuk
kakek aneh itu pula mereka bisa bertemu, berkumpul. Bahkan ketiga kakek,
yang salah satunya adalah leluhurku, berhasil membunuh tokoh keji ita T api,
sebuah kenyataan tidak terduga terjadi. Ternyata tokoh keji itu meski mati.
tapi tetap hidup! Mungkin karena dia telah menjadi pengabdi setan, sehingga
meski mati, sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Rohnya dapat masuk ke
dalam diri seseorang. Dan.... Astaga...! Mengapa aku demikian pelupa?!"
"Ada apa, Nek?!"
Arya dan Tungga Dewi yang sempat teijingkat ke belakang ketika
melihat nenek berpakaian kembang-kembang ini teijingkat seperti disengat
ular berbisa.
"Pemuda yang kalian hadapi itu pasti titisan tokoh keji itu Dan ini
berarti roh tokoh keji itu telah masuk ke dalam diri pemuda berpakaian
coklat! Ya, tidak salah lagi!" sem Nenek Lestari keras sambil bangkit dari
duduknya "Celaka...! Celaka...! Malapetaka besar pasti akan teijadi kembali.
Dan aku tidak mampu berbuat sesuatu. Dengan mudah tokoh keji itu dapat
membunuhku!"
"Jangan khawatir, Nek. Percayalah. Tokoh keji itu tidak akan dapat
bertindak semaunya. Bukankah Nenek telah mendapat bekal kerincingan
sakti ini?!" hibur Arya menenangkan hati Nenek Lestari.
"Kau tidak tahu kedahsyatan tokoh keji itu, Arya!" keluh Nenek
Lestari. "Kalau mendengar cerita ayahku, yang jauh lebih pintar bercerita
daripada aku, kau akan merasa ngeri. Kau tahu, dari jarak jauh, tokoh keji itu
mampu membunuhku. Dia dapat memerintahkan orang untuk membunuh
orang lain, hanya dengan pikiran! Bahkan dari jarak jauh. Asal syaratnya
orang yang diberi perintah dikenali wajah dan namanya. Misalnya, kau ini.
Bisa saja diperintahkan tokoh keji itu untuk membunuhku! Kau tidak akan
bisa melawan pengarah perintah itu, Arya!"
Arya yang bam hendak membantah jadi mengurungkan niatnya
begitu mendengar penegasan Nenek Lestari yang terakhir.
"Tapi, kan dia tidak tahu kalau kau bersamaku saat ini Mengapa
harus khawatir, Nek?!" bantah Arya.
"Kau terlalu meremehkan kemampuannya, Arya!" omel Nenek
Lestari. Dia bisa tahu berada di mana orang yang dicarinya, hanya dengan
melihat sebuah tong berisi air dan beberapa jenis kembang. Di situ, akan
terpampang orang yang dicarinya. Di mana adanya. Dan, bersama siapa.
Jelas?"
"Hehkh...!"
Arya merasakan kerongkongannya seperti tercekik mendengar
penjelasan panjang lebar Nenek Lestari. Kalau benar demikian, benar-benar
berbahaya tokoh keji itu. Pantas kalau ratusan tahun yang lalu, dunia
persilatan bisa geger.
"Menurut leluhurku, tokoh keji itu tewas untuk selama-lamanya,
apabila keturunan dari tokoh-tokoh yang dulu melenyapkannya bers atu. Dan
itu pun harus dibantu oleh seorang pendekar muda yang telah muncul dalam
dunia persilatan. Seorang pendekar yang berjuluk Dewa Arak. Tapi,
bagaimana mungkin hal itu terlaksana, Aiya? Aku tidak tahu, di mana
keturunan pemusnah tokoh keji itu? Dan apakah mereka benar-benar ada?
Waktu lima ratus tahun sudah cukup untuk melenyapkan silsilah seseorang!
Dan bila itu terjadi, bagaimana mungkin tokoh keji itu bisa dilenyapkan. Lagi
pula, andaikata dua keturunan dari tokoh-tokoh yang menewaskanny a masih
ada, tokoh keji yang telah menitis kembali itu tidak akan tinggal diam. Dia
akan mencari cara untuk membinasakan! Aku yakin itu. Dengan kemampuan
yang dimilikinya, dia akan lebih beruntung dibanding kami!"
Arya dan Tungga Dewi saling berpandangan. Dalam sorot mata
gadis berpakaian kuning itu terlihat kengerian yang menggelegak. Dan Arya
pun memakluminya. Karena dia sendiri juga merasa tegang bukan kepalang.
Dewa Arak yakin cerita iiu ada benarnya. Dan ini terbukti ketika bertarung
dengan pemuda berkumis tipis itu
"Apakah..., roh tokoh keji itu akan berdiam selamanya di dalam raga
pemuda berkumis tipis itu, Nek?!" tanya Arya, setelah tercenung beberapa
saat.
"Ah...! Hampir saja aku lupa! Untung kau mengajukan pertanyaan
amat bagus, Arya!" puji Nenek Lestari, gembira. "Begini, Arya. Meski roh
tokoh keji itumampu berbuat banyak dalam raga yang disusupinya, tapi tetap
saja mempunyai keterbatasan. Jelasnya, di dalam raga yang baru itu
kemampuannya bisa berkurang jauh. Bila di dalam raga aslinya dia dapat
melakukan banyak hal, tapi di dalam raga yang baru akan sulit dikeijakan.
Menurut perhitunganku, roh tokoh keji itu akan mencari raganya yang asli.
Dan apabila telah diketemukan, aku yakin raganya yang baru akan
ditinggalkan. Makanya mumpung sekarang kemampuannya belum penuh,
lebih baik dibinasakan. Dan harus cepat-cepat bergabung dengan dua
keturunan pembasmi tokoh keji itu. Lalu bersamamu, kita harus mencari cara
yang tepat untuk mengirim tokoh pemuja setan itu ke alam baka untuk
selamanya! Hanya saja, sekarang aku tidak mampu berbuat banyak. Mungkin
bila bersama dua keturunan pembasmi tokoh keji lainnya, aku bisa
melakukan hal-hal yang lebih berarti. Hhh...! Sama sekali tidak kusangka
kalau tokoh keji itu akan dapat tumn ke dunia ramai lagi. Ternyata,
kekhawatiran leluhurku beralasan!"
Suasana langsung hening ketika Nenek Lestari menghentikan
ucapannya. Tidak ada yang bersuara. Masing-masing terlibat dalam alun
pikiran.
"Tunggu sebentar, Nek!" celetuk Arya tiba-tiba, dengan suara keras.
Sehingga membuat Nenek Lestari, dan Tungga Dewi, tersentak kaget.
"Hmmm.J Ada apa, Arya?! Tampaknya kau bersemangat
sekali...?!" sindir Nenek Lestari.
"Sebelum ke sini, aku bertemu seseorang tokoh yang sudah hampir
mati, karena dikeroyok tokoh-tokoh jahat dari Gerombolan Setan Hitam.
Sebelum tewas, tokoh itu mengatakan kalau keberadaanku di tempat itu
sudah diketahui. Dan bahkan keberadaannya di tempat itu untuk mencegat
petjalananku. Tapi sayang. Sebelum aku tiba, orang-orang Gerombolan
Setan Hitam lebih dulu mengeroyoknya hingga hampir tewas. Untungnya dia
sempat menyampaikan pesan dari seorang tokoh yang berjuluk Penjaga
Alam Gaib. Katanya, aku diminta pergi menyusul Penjaga Alam Gaib ke
Pulau Setan, untuk mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan!"
"Pulau Setan?!"
Nenek berpakaian kembang-kembang itu terpekik dengan sepasang
mata terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang sangat.
"Kau tidak salah dengar, Arya?!" lanjut Nenek Lestari.
"Tidak, Nek! Aku yakin sekali!" tegas Arya, mantap.
"Mengapa kau tampaknya terkejut sewaktu Arya menyebut Pulau
Setan, Nek?! Apakah ada yang aneh dengan pulau itu? Menumt cerita
gumku. Pulau Setan merupakan sebuah pulau yang penuh teka-teki. Bahkan
guruku belum pernah berhasil menemukannya. Menumt guru, pulau itu
letaknya tidak tetap. Selalu berpindah-pindah," urai Tungga Dewi.
"Gurumu benar, Tungga Dewi. Pulau Setan tidak pernah
mempunyai tempat yang tetap. Tapi yang jelas, pulau itu selalu berada di
tengah lautan. Dan letaknya selalu tersembunyi. Pulau itu merupakan pulau
yang terapung-apung di atas permukaan air laut!" jelas Nenek Lestari. "Dan
asal kalian tahu saja, di Pulau Setanlah jasad tokoh keji itu dibuang!"
"Ah...!" desah Arya kaget, tapi mulai mengerti masalah yang
dihadapi. "Berarti sejak semula, sebenarnya aku telah terlibat dengan
masalah roh dari masa lampau ini. Sebelum dan di saat roh itu baru
melakukan sepak terj angnya, seseorang yang tahu hal itu berusaha
mencegahnya. Dan dia kemungkinan besar si Penjaga Alam Gaib yang
menyuruh kawannya untuk meminta bantuanku. Kemungkinan besar, karena
Penjaga Alam Gaib tahu pula tentang sepak terjang roh tokoh keji itu. Aku
menduga, kalau dia merupakan keturunan satu dari dua tokoh putih yang
membuat tokoh keji itu tidak berdaya!"
"Kau benar, Arya!" sahut Nenek Lestari mengangguk. "Sekarang,
satu titik terang telah kita dapat Penjaga Alam Gaib pergi ke Pulau Setan.
Dan kemungkinan besar, dia yang pertama kali tahu mengenai berhasilnya
jasad tokoh keji itu lolos. Kalau begitu, roh tokoh keji itu belum lama masuk
ke dalam raga pemuda berpakaian coklat... Bisa kau terima dugaanku ini,
Arya?!"
"Bukan hanya bisa, Nek. Tapi, memang demikian. Beberapa hari
yang lalu, pemuda berpakaian coklat itu hampir tewas di tangan
saudara-saudara sepergu-mannya. Entah karena apa, aku menolongnya
hingga dia tidak jadi tewas. Celakanya, sewaktu aku sibuk bertarung, dia
langsung kabur. Aku mengejarnya, karena ingin mengorek rahasia mengapa
dia bentrok dengan saudara-saudara seperguruannya. Sialnya aku kehilangan
jejak. Untungnya di tengah jalan, aku berhasil bertemu dengannya di saat dia
tengah menculik Tungga Dewi!" tutur Arya terpaksa mengulang ceritanya
lagi dengan lebih teliti. Karena dia mulai melihat adanya titik terang. "Jadi
waktu yang beberapa hari itu, dia telah dimasuki roh tokoh keji! Karena
dipeitemuan kedua ini, dia memiliki kepandaian puluhan kali lipat daripada
semula! Tak heran kalau dia jadi lihai bukan kepalang! Nah! Sekarang kau
ceritakan pengalamanmu, Tungga Dewi!"
Tanpa ragu-ragu Tungga Dewi pun menceritakan semua kejadian
yang dialaminya sejak menemukan peti hitam sampai terlibat pertarungan
dan muncul pemuda berpakaian coklat
"Astaga...!"
Nenek Lestari menepak dahinya keras-keras sambil berseru keras.
Sehingga membuat Aiya dan Tungga Dewi menoleh kaget. Diam-diam
sepasang anak muda ini agak geli melihat tingkah nenek berpakaian kem¬
bang-kembang yang selalu bertingkah mengejutkan ketika teringat pada satu
masalah.
"Mengapa aku demikian pelupa?! Ah! Rupanya aku telah pikun...!
Mengapa sejak tadi aku tidak mengatakan pada kalian?! Dengar baik-baik.
Terutama kau, Tungga Dewi. Peti yang menarik perhatianmu itu, sebenarnya
berisi..., jasad tokoh keji di masa lalu!"
"Kalau saja tahu, tak akan bakal aku sudi membukanya. Ternyata
peti yang kelihatan menarik berisikan sesuatu yang mengerikan. Benar, apa
yang dikatakan guruku!"
Tungga Dewi langsung mengelus tengkuknya yang bulu-bulunya
berdiri semua, karena rasa ngeri yang mencekam.
"Kalau begitu..., kita harus secepatnya pergi ke Pulau Setan, Nek?!"
Arya mengingatkan karena khawatir Nenek Lestari yang rupanya telah pikun
itu lupa lagi.
"Tentu saja, Arya!" tegas Nenek Lestari mantap. "Kita cari Penjaga
Alam Gaib. Mudah-mudahan saja dia tahu, di mana keturunan tokoh
pembasmi tokoh jahat yang satunya lagi berada. Dan setelah itu, kami akan
rundingkan untuk menemukan cara, agar tokoh keji yang telah bangkit
kembali itu tidak berhasil menemukan raganya dulu. Dengan demikian,
kemampuannya tidak akan sampai pada puncaknya. Baru setelah itu, dicari
cara untuk membuatnya tidak kembali lagi untuk selamanya. Dan aku yakin,
kuncinya ada pada dirimu. Dewa Arak. Kalau tidak, leluhurku tidak akan
mengatakan demikian. Apalagi, pemberitahuan ini datangnya langsung dari
kakek aneh itu. Sudah! Ayo, kita segera pergi ke Pulau Setan!"
7
"Aha...! Sebentar lagi percobaan rampung...! Tak lama lagi, sebuah
kejutan akan kubuat. Penjaga Alam Gaib dan Guraksa akan terkagum-kagum
melihat hasil percobaanku ini! Pasti mereka akan mengatakan, mana
mungkin orang yang sudah mati bisa hidup kembali?! Si Kerdil Guraksa akan
keheranan. Matanya yang bulat besar akan semakin terbelalak lebar!" seru
seorang kakek kurus mirip cecak kelaparan.
Tarikan wajahnya menyiratkan kegembiraan. Mulutnya
menyunggingkan senyum. Tapi karena wajahnya yang tims mirip wajah
tikus, dan sinar matanya liar selalu berputaran, membuat senyum yang
tampak lebih cocok seringai.
"Sekarang pergilah kau. Manis! Kabarkan berita gembira ini pada
keluargamu!" ujar kakek itu kembali. Maksudnya bernada gembira. Tapi,
raut wajahnya yang seperti ini tidak menampakkan kegembiraan sama sekali!
Belum lenyap gema suara kakek kurus kering itu, seekor kelinci
melesat cepat dari depannya. Beberapa saat sebelumnya, kelinci itu telah
tewas, karena kakek kurus kering telah membunuhnya. Hal itu dilakukan
untuk membuktikan kebenaran percobaan yang telah ditekuninya selama
bertahun-tahun. Dan ternyata diaberhasil! Binatang yang lucu itu berhasil
bangkit dari kematian!
Kakek kurus kering bangkit dari bersilanya. Sejenak pandangannya
beredar ke sekitar. Tapi yang tampak hanya gundukan batu, dan tebing di
sana-sini. Kakek berwaj ah tirus ini berada di sebuah tempat berbatu-batu di
lereng gunung, yang mempunyai dataran tidak rata. Pada beberapa tempat
tampak gundukan batu-batu sebesar kerbau.
Plok, plok, plokkk!
Sebuah tepuk tangan yang terdengar nyaring, membuat kakek
berwaj ah tims itu menoleh ke arah asal suara dengan sikap kaget. Sepanjang
pengetahuannya, tempat di mana dia berada tidak pernah dikunjungi orang!
"Sebuah percobaan yang baik. Tapi, sayang tidak akan pernah ada
orang yang menyaksikannya!" ujar sosok yang tadi bertepuk tangan. Dengan
sikap pongah, dia berdiri di atas sebuah gundukan batu sebesar kerbau, yang
berada di sebelah kanan kakek kurus kering ini
"Kau...?!" Wajah kakek kurus kering itu berubah. "Mengapa kau
bisa datang kemari? Dan..., apa maumu. Setan HitamTak Beijantung...?!"
"Ha ha ha...! Tidak usah begitu tegang, Kuru Sanca! Tenang saja!
Nikmatilah saat-saat terakhirmu. Jangan bersikap seperti itu!" timpal sosok
yang disebut Setan Hitam Tak Beijantung.
Sementara sosok bertubuh kurus kering yang memang Kuru Sanca,
sahabat Penjaga Alam Gaib. Seperti juga Guraksa, Kum Sanca mendapat
tugas dari Penjaga Alam Gaib. Bila Guraksa bertugas mencari Dewa Arak,
maka Kum Sanca bertugas menjaga tempat tinggal mereka bertjga. Terutama
sekali, tempat tinggal Penjaga Alam Gaib. Ketiga sahabat ini tinggal di
sebuah goa besar yang mempunyai banyak cabang dan goa-goa kecil!
"Jadi maksud kedatanganmu kemari untuk membunuhku. Setan
Hitam?!" sambut Kum Sanca dengan sebuah seringai di bibir. "Kuusulkan,
lebih baik urungkan niatmu. Percuma saja, karena tidak akan berhasil! Sejak
dulu kau tidak pernah berhasil. Pergilah! Cepat, sebelum pikiranku berubah!"
Setan Hitam Tak Beijantung. Memang pas sekali dia mendapat
julukan seperti itu. Kulit tubuhnya hitam legam laksana arang. Rambutnya
keriting. Dan dia hanya mengenakan sehelai cawat sebagai penutup tubuh.
Dengan tampang yang menyeramkan, dia tertawa mengejek
"Luar biasa! Meski sudah ompong, kau masih saja berusaha
menggonggong, Kum Sanca! Kau tidak usah galak-galak, karena sekarang
sudah tidak mempunyai gigi lagi! Setan Hitam yang sekarang, tidak bisa
disamakan dengan Setan Hitam Tak Beijantung puluhan tahun lalu. Aku
masih mempunyai gigi. Malah, lebih runcing. Sedangkan kulihat, kau tidak
memiliki gigi sebuah pun, kecuali yang telah keropos. Gigi-gigi yang tidak
bisa digunakan untuk menggigit! Ha ha ha...!"
Wajah Kum Sanca merah padam karena amarah yang bergolak.
Meski demikian, dalam hati dibenarkannya kata-kata Setan Hitam Tak
Beijantung. Selama belasan tahun mengasingkan diri, bisa dihitung beberapa
kali dia berlatih. Semadi pun jarang dilakukan. Perhatiannya terlalu
dipusatkan pada penemuan pengobatan terhadap penyakit. Jadi setelah
belasan tahun, kemungkinan besar tingkat kepandaian Kum Sanca tidak akan
berubah! Malah bisa jadi turun! Lain halnya dengan Setan Hitam Tak
Beijantung, dia selalu memusatkan ilmu kedigdayaan!
"O, ya! Hampir aku lupa...! Aku mempunyai oleh-oleh untukmu!
Kuharap kau mau menerimanya!"
Setelah berkata demikian. Setan Hitam Tak Beijantung
menggerakkan kakinya, mencongkel. Maka sebuah peti kayu kecil yang
sejak tadi di depan ujung kaki kanannya, terlempar deras ke arah Kum Sanca.
Kum Sanca memperhatikan peti bututitu sejenak, sebelum akhirnya
yakin kalau Setan Hitam Tak Beijantung tidak bermaksud curang. Kakek
kurus kering ini melihat adanya sorot kejujuran dalam sinar mata dan tarikan
wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dan lagi, bukankah tokoh sesat berkulit
hitam legam itu yakin akan keunggulan dirinya? Lantas, untuk apa lagi
bertindak curang?
Karena keyakinan atas dugaannya, Kuru Sanca tidak ragu-ragu lagi
mengulurkan tangan kanan, menerima peti itu. Tentu saja kakek berwajah
tirus ini mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya saat menangkap. Ingin
ditunjukkan kalau dirinya masih belum terlalu ompong seperti yang
dikatakan Setan Hitam TakBeijantung.
Tappp!
"Hukh...!"
Kuru Sanca sampai berseru kaget, ketika peti kumal itu berhasil
ditangkapnya. Tangannya yang menangkap kontan tergetar hebat. Dan
bahkan tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Kenyataan ini
membuat Kuru Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung dengan
raut wajah berubah hebat. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berkulit
hitam legam ini memiliki tenaga dalam demikian kuat! Sungguh melebihi
perkiraannya! Ataukah tenaga dalamnya yang telah menurun?!
"He he he...! Kaget, Macan Ompong?!" ejek Setan Hitam Tak
Beijantung melihat pembahan pada wajah kakek kurus kering itu 'Tapi...,
kujamin kalau keterkejutanmu sekarang ini masih tidak seberapa, bila
dibandingkan keterkejutan yang akan kau terima apabila mengetahui isi peti
itu. He he he...!"
Kum Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung beberapa
saat, untuk membaca maksud perkataan lawannya meiaiui wajahnya. Tapi,
tidak ada yang dapat diketemukannya. Ditatapnya lagi peti yang telah berada
di tangannya dengan sorot mata curiga. Ucapan Setan Hitam TakBeijantung
yang belakangan inilah yang menyebabkan keraguannya timbul kembali
untuk membuka peti!
Tapi, akhirnya Kum Sanca memutuskan untuk membukanya.
Meskipun demikian, perhatiannya terhadap Setan Hitam Tak Beijantung
tidak kendur. Dia tahu, bila melihat sikapnya, kakek berambut pendek dan
keriting itu tidak akan bertindak curang. Tapi tentu saja Kum Sanca tidak
berani bertindak gegabah. Orang seperti Setan Hitam Tak Beijantung
memang sulit diduga. Bisa saja dia melakukan hal yang tak dikira.
Krittt!
"Ah...?!"
Brakkk!
Peti kecil itu teijatuh ke tanah, ketika Kum Sanca tidak dapat
menahan diri begitu melihat isi kotaknya. Di dalam peti itu ternyata
terdapat..., kepala Guraksa! Kenyataan yang tidak tersangka-sangka ini
sungguh mengejutkan hati Kum Sanca. Kedua tangannya yang menggigil
hebat, dan disertai rasa terkejut yang amat sangat, membuat peti itu jatuh ke
tanah dan isinya bergelinding keluar.
"He he he...! Bagaimana, Macan Ompong?! Sebuah oleh-oleh yang
menarik dan mengejutkan bukan?!" kata Setan Hitam Tak Berjantung, tanpa
peduli pada Kum Sanca yang masih terbelalak kaget.
"Kau... kau.... Biadab...! Kubunuh kau...!" Dengan suara bergetar
hebat karena cekaman perasaan marah, Kum Sanca menubruk maju. Kedua
tangannya yang terkepal kuat segera dihentakkan ke arah batu sebesar kerbau
yang menjadi tempat berdiri Setan Hitam Tak Beijantung.
Blarrr!
Diiringi bunyi memekakan telinga, baru besar yang terlihat amat
keras itu hancur berantakan. Pecah-pecahannya terpentalan ke segala arah
saking kerasnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan Kum Sanca. Seketika
debu pun mengepul tinggi di udara.
Dengan perasaan geram yang masih berkobar-kobar, Kum Sanca
menunggu. Dia tadi tidak melihat adanya kelebatan bayangan yang menjadi
pertanda kalau Setan Hitam Tak Berjantung meninggalkan tempatnya. Dan
ketika debu tebal mulai menipis, tampak Setan HitamTak Beijantung berdiri
di tempat semula, tepat di atas batu besar yang hancur tadi. Bahkan tidak
terlihat adanya tanda-tanda kalau kakek berambut keriting ini terluka!
"He he he...! Ternyata kau masih besar kepala seperti dulu, Kum
Sanca...?!" Tapi, percayalah. Kau tidak akan unggul melawanku! Kau akan
kukirim ke neraka seperti halnya Guraksa! Tapi perlu kau tahu, Guraksa
Gendut Pendek itu tewas tidak di tanganku. Tapi, di tangan bekas anak
buahnya sendiri. Dan kau pun demikian nantinya! Rasakanlah sakitnya mati
di tangan orang asuhanmu sendiri! He he he...!"
Setan HitamTak Beijantung menutup ucapannya dengan sebuah
tepuk tangan tiga kali. Meski kelihatannya pelan saj a, bunyi menggelegar
seperti ada halilintar menggema di sekitar penjuru pegunungan itu. Kemudi¬
an disusul bunyi yang gema tepukan itu sendiri!
Kum Sanca yang sudah bermaksud melancarkan serangan lagi, jadi
mengurungkan gerakannya. Dia mengerti maksud ucapan Setan Hitam Tak
Beijantung. Tapi di sisi lain ada satu hal yang masih tidak dimengerti.
Bukankah gerombolannya dulu, seperti juga gerombolan Guraksa,
dibubarkan karena mereka berdua ingin mengundurkan diri?
Kum Sanca tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan
jawabannya. Sesaat kemudian, pendengarannya yang tajam menangkap
bunyi banyak langkah kaki mendekati tempatnya. Begitu pandangannya
menyapu ke sekitar, tampak belasan sosok tubuh telah berdiri di belakang
Setan Hitam Tak Berjantung. Hati Kum Sanca kontan geram. Dia melihat
sebagian besar ternyata memang bekas anak buahnya! Bahkan beberapa
orang di antaranya adalah orang kepercayaannya. Bahkan murid andalannya
sendiri! Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar tidak berdusta.
"Kau... kau..., Keparat...!" maki Kuru Sanca penuh kemarahan.
Andaikata bisa, kakek berwajah tirus itu ingin membunuh Setan Hitam Tak
Beijantung dengan sinar matanya.
"Tenanglah, Kuru Sanca," ujar Setan Hitam Tak Berjantung
langsung menatap wajah Kuru Sanca. Terutama sekali, kedua tangan kakek
kurus kering itu yang terkepal kencang! "Sebelum mati, apakah kau tidak
ingin tahu masalahnya? Apakah kau ingin seperti Guraksa yang mati tanpa
tahu apa-apa? Guraksa Gendut Pendek itu mati penasaran! Dia hanya tahu
kalau akulah yang menyebabkan kematiannya. Tapi, dia tidak pernah tahu,
mengapa hal ini kulakukan! Mungkin kau juga mempunyai dugaan
sepertinya. Ingatkah kau pada persoalan dua puluh tahun lalu?!"
Kuru Sanca tidak memberi tanggapan sama sekali.
Padahal dia tahu. Setan Hitam Tak Berjantung menghentikan
ucapannya karena sengaja memberikan kesempatan untuk menanggapi.
Keinginan itu menyala-nyala di dalam hati Kum Sanca. Hanya saja, kakek
berwaj ah tirus ini berusaha menahannya.
"Kau seperti juga Guraksa akan keliru bila mengira kalau semua
tindakanku melenyapkan kalian adalah untuk memuaskan dendamku
puluhan tahun yang lalu, karena kalian telah berhasil mematahkan
keinginanku untuk menjadi salah seorang datuk! Kalian telah
mengalahkanku! Tidak! Bukan karena itu! Itu hanya sebuah persoalan kecil.
Yang jelas aku punya sebuah cita-cita besar. Dan ini ada hubungannya
dengan tugas kau dan Guraksa emban!"
Wajah Kuru Sanca kontan berubah, walau hanya sesaat saja.
Dengan pandainya, kakek berwajah tirus ini mengendalikan perasaannya.
Sehingga, wajahnya tampak seperti semula, penuh perasaan marah terhadap
sosok yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu yang ngawur itu. Setan
Hitam! Kalau mau bunuh silakan bunuh. Kau kira aku takut mati?! Dan
dikira semudah itu membunuhku?!" jawab Kum Sanca.
Kata-kata itu terlontar untuk mengalihkan pembicaraan yang
membuat jantung Kum Sanca berdebar tidak enak. Diam-diam, kakek kurus
kering ini mengkhawatirkan keselamatan Penjaga Alam Gaib! Dia yakin.
Setan Hitam Tak Berjantung telah mengetahui persoalan ini. Tapi hatinya
berusaha dihibur dengan keyakinan kalau Penjaga Alam Gaib belum berhasil
dibunuh. Kalau sudah dibunuh, tentu Setan Hitam Tak Beijantung akan
mengunjukkannya pula seperti mengunjukkan mayat kepala Guraksa.
"Hehehe...!"
Setan Hitam Tak Beijantung yang merasa menang, tertawa gembira
penuh ejekan. Tawa untuk menyindir lawan yang menyembunyikan sesuatu,
tapi telah diketahuinya.
Kum Sanca adalah bekas datuk kaum sesat yang penuh pengalaman.
Makanya, dia bisa tahu kalau tawa Setan Hitam TakBerjantung ini memang
bermaksud mengejek jawabannya.
"Aku tidak peduli kau hendak bicara apa. Macan Ompong! Kau
boleh berpura-pura tidak tahu masalahnya. Tapi, aku tidak ambil pusing.
Karena aku telah mengetahui semuanya. Bahkan aku jauh lebih tahu daripada
Penjaga Alam Gaib mengenai masalah yang hendak dicari di Pulau Setan! Ha
ha ha...! Aku tahu, kau ditugaskan menjaga tempat ini. Terutama sekali,
karena adanya Cermin Ajaib milik kawanmu itu. Dan karena itulah aku
datang kemari. Penjaga Alam Gaib bermaksud mencegah terjadinya banjir
darah di dunia persilatan, kan?"
Setan Hitam Tak Beijantung menghentikan ucapannya langsung
menatap wajah Kum Sanca yang tidak bisa lagi menyembunyikan
kegelisahannya mendengar perkataan Setan Hitam Tak Beijantung yang
benar-benar tepat. Tokoh sesat ini juga melihat jawaban yang diberikan Kum
Sanca. Tapi ternyata Kum Sanca diam saja.
"Asal kau tahu saja. Macan Ompong! Penjaga Alam Gaib tidak tahu
apa yang tengah dihadapinya. Tapi, aku tahu! Aku yakin kau pemah
mendengar seorang tokoh keji yang hidup lima ratus tahun lalu, dan
membantai puluhan orang setiap hari? Nah! Tokoh itulah yang akan dihadapi
Penjaga Alam Gaib. Dia telah menitis dalam diri seorang manusia! Dan aku
akan menguasai dunia persilatan, dengan menjadikan titisan tokoh keji itu
sebagai budak yang senantiasa melaksanakan segala perintahku! Tentu saja,
untuk itu aku membutuhkan Cermin Ajaib!"
"Biadab kau. Setan Hitam!" Kum Sanca tidak kuasa menahan
marahnya. Seketika dia menubruk maju dengan kedua tangannya yang
terbuka digedor ke arah dua bagian dada lawan.
"Sayang kau harus mati di tangan anak buahmu sendiri. Kalau tidak,
kau akan kubinasakan sendiri. Macan Ompong!"
Setan Hitam Tak Beijantung juga menghentakkan kedua tangannya
ke depan seperti yang dilakukan Kum Sanca. Tak pelak lagi benturan keras
yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi punteijadi. Maka seketika
tubuh mereka terdorong ke belakang.
Setan Hitam Tak Beijantung hanya terhuyung dua langkah, tapi
Kum Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Sebentar
kemudian dia berhasil bangkit dengan wajah pucat pasi. Bahkan ada darah
segar menetes dari sudut bibirnya.
"Bereskan dia..!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung bernada kesal
sambil mengibaskan tangan kanan ke depan.
Benturan keras akibat hentakan tangan Setan Hitam Tak
Berjantung dan Kuru Sanca pun terjadi. Seketika tubuh mereka terdorong
mundur ke belakang.
Setan Hitam Tak Berjantung terhuyung dua langkah, sedangkan
Kuru Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah!
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan sosok yang berada di
belakang kakek berambut keriting ini berlompatan turun dari puncak
gundukan-gundukan batu dengan senjata terhunus.
Kuru Sanca menatap empat sosok berpakaian hitam yang
berlompatan lebih dulu. Tampak rasa sakit hati yang terpancar dari sepasang
mata kakek kurus kering ini. Karena empat sosok itu adalah orang-orang
kepercayaannya. Bahkan seorang pemuda yang berwajah dingin dengan
bentuk wajah mirip singa itu bekas muridnya! Padahal, kepada pemuda
berwaj ah singa ini seluruh kemampuannya telah diwariskan! Dan sekarang,
mereka hendak membunuhnya untuk memenuhi perintah Setan Hitam Tak
Beijantung yang merupakan musuh besarnya!
Kum Sanca tahu kalau keadaan tidak memungkinkan lagi untuk
melakukan perlawanan. Dan benturan tenaga dalam secara langsung dengan
Setan HitamTak Beijantung, dia telah terluka parah. Dan bilamelawan terus,
hanya akan mencari kematian sia-sia. Akibatnya Cermin Ajaib tetap tidak
bisa dipertahankan. Tidak! Kum Sanca tidak ingin mati sekarang! Dia ingin
membalas dendam lebih dulu terhadap orang-orang kepercayaannya yang
telah menyakiti hatinya. Perasaan dendam, kekejaman, dan kekerasan yang
sudah sejak lama ditahan tanpa dapat dicegah Kum Sanca lagi. Dan perasaan
inilah yang mendorongnya untuk tetap hidup.
Kum Sanca menggertakkan gigi. Dengan menguatkan perasaan,
diambilnya beberapa benda kecil berbentuk bulat dari kantung kain hitam di
pinggang. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dilemparkan ke depan
lawan-lawannya.
Melihat benda-benda kecil itu, empat orang bekas kepercayaan
Kum Sanca yang berada paling depan kaget bukan kepalang. Mereka tahu,
benda-benda bulat kecil itu adalah mengandung racun yang tidak memiliki
penawar. Dengan kalap mereka berlompatan mundur, membatalkan
penyerbuan terhadap Kum Sanca. Tindakan serupa dilakukan oleh yang lain.
Blup, bluppp, tusss!
Letupan-letupan kecil terdengar ketika benda-benda bulat kecil itu
menyentuh tanah. Seketika asap tebal berwarna putih dan pekat pun
membumbung ke angkasa. Setan HitamTak Beijantung dan semua anak
buahnya berlarian menyelamatkan diri. Terisap sedikit saja, berarti nyawa
mereka berada di ujung tanduk!
Setan Hitam Tak Berjantung dengan rombongannya baru kembali
ke tempat semula ketika melihat asap putih tebal itu telah benar-benar bersih.
Dan seperti yang diduga, Kum Sanca sudah tidak berada di situ lagi.
"Keparat!" maki Setan HitamTak Berjantung kalang kabut. Dia
tampak penasaran dan merasa menyesal. "Kalau tahu begini akhirnya, sudah
kubereskan saja sejak tadi Macan Ompong itu! Sekarang dia merupakan
orang yang amat berbahaya, karena telah tahu rahasia kita! Sama sekali tidak
kusangka kalau dia masih menyimpan senjata-senjata mautnya. Bukankah
dia telah menyucikan diri dan tidak ingin terlibat kekerasan lagi! Sial!
Keparat!"
"Kurasa dia tidak akan berbahaya. Setan Hitam!" sahut pemuda
berwaj ah singa. Ucapannya terdengar yakin. "Racun yang terkandung dalam
benda-benda bulat kecil itu sama sekali tidak ada obatnya. Bahkan, dia pun
tidak memilikinya. Tak heran kalau dia hampir tidak pernah
menggunakannya. Jadi, aku yakin kalau dia tewas terkena asap dari
senjatanya sendiri!"
Tiga orang kepercayaan Kuru Sanca yang kini telah membalik
mengabdi Setan Hitam Tak Beijantung mengangguk. Mereka terdiri dari
lelaki-lelaki bertampang seram berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Tampaknya mereka mendukung pernyataan pemuda berwajah mirip singa
ini!
"Walaupun demikian, jangan bertindak ceroboh! Cari dia...!
Temukan mayatnya! Kalau saja tadi Bongsang ada, tidak akan begini repot.
Dengan kemampuannya, tidak sulit untuk menemukan Macan Ompong itu!"
ujar Setan Hitam Tak Beijantung, tetap uring-uringan.
"Baik, Setan Hitam! Akan kami cari mayat Keparat Kum Sanca itu
sampai dapat!" tegas pemuda berwajah mirip singa.
"Jangan semuanya! Empat di antara kalian suruh tinggal di sini,
untuk memeriksa goa."
"Baik, Setan Hitam!"
8
"Berhenti...! Siapa kau...?! Tidak boleh sembarangan orang masuk
ke perguruan ini tanpa izin!"
Dua orang pemuda berpakaian coklat berwajah dan bersikap gagah,
segera menggeser kaki menutupi pintu gerbang yang pintunya agak terbuka
sedikit.
Sosok yang hendak melangkah masuk ke dalam langsung berhenti.
Dia adalah seorang kakek kurus laksana tengkorak, bertelanjang dada. Siapa
lagi kalau bukan Nelayan Tenaga Gajah. Hanya saja saat ini, kakek yang
biasanya bergerak loyo seperti orang lemah itu tampak beringas. Sepasang
matanya yang lebih banyak terpej am, kali ini terbelalak lebar memancarkan
kemarahan menggelegak.
"Aku tidak berurusan dengan kalian! Menyingkirlah! Aku ingin
bertemu ketua kalian. Si Pedang Halilintar Sakti!" ujar Nelayan Tenaga
Gajah dengan suara bergetar menahan amarah.
"Tidak bisa!" sanggah pemuda bertahi lalat kecil di dahi, sambil
menggelengkan kepala. "Saat ini beliau tidak ingin diganggu. Beliau tengah
ada suatu urusan! Lebih baik, kau pergi! Siapa pun juga, tidak boleh
menghadapnya! Begitu pesan beliau!"
"Kalau begitu, aku harus memaksa masuk!"
Setelah berkata demikian. Nelayan Tenaga Gajah mengayunkan
kaki untuk meneruskan maksudnya yang tertunda. Tindakannya tentu saja
tidak bisa dibiarkan oleh dua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar itu
Seketika keduanya mencabut pedang dan memalangkannya di depan dada.
"Orang Tua Gila! Apakah kau tidak tahu, dengan perguruan apa
berhadapan?! Perguruan Pedang Halilintar sangat ditakuti kawan dan lawan!
Menyingkirlah sebelum kau terluka oleh pedang kami!" ancam pemuda
bermata sipit, penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar yang
satunya lagi. Nadanya terdengar angkuh sambil menegakkan kepala.
"Ketua yang tidak baik, mana mungkin menelurkan murid-murid
yang benar?!" sentak Nelayan Tenaga Gajah.
Ucapan penuh kemarahan dari Nelayan Tenaga Gajah, dan sikap
yang tems memaksa masuk, membuat dua orang pemuda berpakaian coklat
itu terpaksa melayangkan pedang yang telah terhunus dari kanan dan kiri.
Yang satu menusuk perut. Sedangkan yang lain membabat leher. Terdengar
bunyi cukup nyaring mengisyaratkan tenaga orang yang menggerakkannya
tidak rendah.
"Hmh...!"
Nelayan Tenaga Gajah hanya mendengus melihat
serangan-serangan seperti itu. Tanpa mempedulikan sama sekali, kakinya
terus terayun. Sehingga, dua batang pedang itu dengan telak mengenai
sasaran.
Tak, takkk!
"Aaakh...!"
Bukannya Nelayan Tenaga Gajah yang mengeluarkan jeritan, tapi
pemuda-pemuda penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar itulah
yang bersuara. Mereka merasakan pedang-pedang tadi seperti membentur
karet keras, sehingga berbalik. Bahkan tangan mereka pun sakit-sakit.
Sebelum mereka berbuat sesuatu, tangan Nelayan Tenaga Gajah telah
bergerak cepat bukan main. Sehingga, dua pemuda murid Perguruan Pedang
Halilintar yang sial itu hanya melihat sekelebatan bayangan menyambar. Dan
tahu-tahu, tubuh mereka terlempar ke belakang dan jatuh terbanting di tanah
dengan luka dalam cukup parah.
Nelayan Tenaga Gajah memang telah menghantam pemt mereka
dengan pengerahan tenaga sekadarnya. Karena jika dikerahkan seluruhnya,
bukan mustahil kedua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar ini akan
tewas dengan isi perut hancur!
Tanpa mempedulikan dua orang penjaga pintu gerbang yang sial itu.
Nelayan Tenaga Gaj ah melangkah lebar ke dai am.
"Pedang Halilintar Sakti yang sombong! Keluar kau...! Atau... aku
akan mengobrak-abrik tempat tinggalmu...!"
Seman yang dikeluarkan Nelayan Tenaga Gajah dalam keadaan
marah, membuat semua bangunan bergetar, seakan-akan terlanda gempa.
Nelayan Tenaga Gajah dalam puncak kekesalannya, mengerahkan seluruh
tenaga yang dimiliki dalam teriakannya.
Akibat ucapan keras itu, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar
yang tengah berada di dalam bangunan berkelebatan. Tak terkecuali,
murid-murid yang tengah berlatih.
Dalam herannya. Nelayan Tenaga Gajah masih bersikap tidak
peduli. Dia berdiri tegah di tengah-tengah halaman sambil berteriak-teriak.
Sehingga dalam sekejap saja, tempatnya berdiri telah dikumng tidak kurang
dari dua puluh lima orang murid Perguruan Pedang Halilintar.
"Siapa kau. Orang Tua?! Mengapa mulutmu lancang
memanggil-manggil ketua kami secara sembarangan seperti itu?! Tidak
tahukah kau, kalau beliau merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih?!"
ujar seorang pemuda berkumis melintang. Dan melihat gelagatnya, dia
adalah pimpinan dari para pengepung Nelayan Tenaga Gajah. Seperti juga
sikap-sikap yang lainnya, ucapan pemuda berkumis melintang menyiratkan
kesombongan yang sangat.
"Aku tidak sudi berurusan dengan anjing kurap seperti kau! Panggil
si Pedang Halilintar Sakti untuk menemui aku, dan meminta maaf atas
perbuatan muridnya yang demikian kurang ajar menculik muridku. Dan aku
ingin, dia mengembalikan muridku tanpa terluka sedikit pun. Apabila tidak,
seluruh isi perguruan ini akan kuhancurleburkan rata dengan tanah!" tandas
Nelayan Tenaga Gaj ah keras.
Tentu saja orang seaneh kakek kurus laksana tengkorak ini tidak
bermain-main dengan ucapannya. Bukan tidak mungkin hal itu akan
dilakukannya apa bila permintaannya tidak dituruti. Demi keselamatan
muridnya yang bernama Tungga Dewi, apa pun akan dilakukan Nelayan
Tenaga Gajah! Dan kakek kurus ini pergi ke Perguruan Pedang Halilintar,
setelah kehabisan kesabaran untuk mencari Kaipala. Dia tahu kalau pemuda
berkumis tipis itu merupakan murid Perguruan Pedang Halilintar. Makanya,
dia pergi ke tempat ini. Kekhawatiran akan nasib Tungga Dewi, membuatnya
tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
"Kakek Kurus! Rupanya kau sudah bosan hidup?! Berani kau
menghina seperti itu?! Apakah...."
Belum sempat pemuda berkumis melintang ini meneruskan
ucapannya. Nelayan Tenaga Gajah yang sudah tidak bisa menahan
kesabarannya lagi. Langsung mengibaskan tangannya. Maka seketika angin
keras keluar dari kibasan tangannya, membuat tubuh pemuda berkumis
melintang itu terlempar jauh ke belakang seperti daun kering dihembus
angin!
Kejadian terhadap pemuda berkumis melintang, yang demikian
mudah dirobohkan, membuat puluhan murid Perguruan Pedang Halilintar
lainnya terkejut bercampur marah. Mereka memang tidak menyangka kalau
Nelayan Tenaga Gajah selihai itu sampai-sampai seperguruan mereka yang
merupakan orang terlihai setelah guru mereka, bisa dirobohkan hanya dalam
sekali kibasan tangan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka mencabut
pedang masing-masing dan menyerbu secara berbareng.
Seketika bunyi berdesing nyaring menyertai sinar-sinar berkilatan
dari batang-batang pedang yang berkelebatan mencari sasaran. Namun, itu
tidak membuat kakek kurus laksana tengkorak ini gugup. Sikapnya tetap
tenang. Bahkan seperti tidak memandang pusing serangan itu. Sebagian
besar serangan dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Hanya serangan-serangan
yang meluncur ke arah mata, yang ditangkis dengan kedua tangannya secara
sembarangan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya yang tinggi kedua
tangannya jadi tak kalah keras dibanding besi baja!
Bunyi berdetak keras seperti logam-logam keras beradu terdengar,
ketika pedang-ped ang murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berbenturan
dengan tubuh, tangan, atau kaki Nelayan Tenaga Gajah. Akibatnya, tubuh
pemuda-pemuda berpakaian coklat itu berpentalan ke belakang. Bahkan
ketika Nelayan Tenaga Gajah balas menyerang, hanya dalam beberapa
gebrakan saja tubuh murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berpentalan
ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kesakitan. Mereka tidak
mampu bangkit lagi, meskipun hanya pingsan. Dan selama melakukan
perlawanan. Nelayan Tenaga Gajah tidak henti-hentinya mengeluarkan
panggilan terhadap Ketua Perguruan Pedang Halilintar.
"Pedang Halilintar! Keluar kau. Cepat! Atau murid-muridmu ini
kuhabisi!"
Tak sampai lima jurus, sebagian besar murid Perguruan Pedang
Halilintar telah bergeletakan di tanah.
"Luar biasa! Tidak kusangka Nelayan Tenaga Gajah yang terkenal
berada di golongan putih, sampai hati bertindak demikian kejam terhadap
orang-orang yang tidak berdaya dan bukan tandingannya! Kalau berani
lawan aku. Nelayan Sombong!"
Nelayan Tenaga Gajah langsung menghentikan perlawanannya,
ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya. Tampak sesosok bayangan
berkelebat, dan tahu-tahu berdiri seorang lelaki bertubuh tegap. Wajahnya
gagah, berikat kepala coklat dan berb adan lebar.
"Aku sebenarnya tak ingin bertarung! Cepat kembalikan muridku
yang telah diculik oleh muridmu. Dan aku akan pergi dari sini!" ujar Nelayan
Tenaga Gajah setelah menatap laki-laki gagah yang memang si Pedang
Halilintar Sakti sesaat. Terdengar kaku nada suaranya.
"Enak saja kau bicara. Nelayan Tenaga Gajah! Tidak ada seorang
pun muridku yang telah menculik muridmu! Dan kau, telah lancang melukai
banyak muridku. Majulah! Aku akan memberi hajaran padamu!" tandas si
Pedang Halilintar Sakti, penuh wibawa.
"Apa boleh buat? Ternyata kau keras kepala. Pedang Halilintar
Sakti! Pantang bagi Nelayan Tenaga Gajah untuk mundur dan menolak
tantangan! Apalagi, untuk membela seorang murid. Biarlah aku menerima
pelajaran berharga darimu!" sambut Nelayan Tenaga Gajah tak mau kalah,
meski dalam ucapannya terkandung nada merendah.
Dia memang telah lama tidak suka terhadap Pedang Halilintar Sakti.
Meski termasuk datuk golongan putih seperti dirinya, tapi wataknya
sombong dan merendahkan orang lain. Sungguhpun harus diakui,
kesombongan itu mungkin tercipta karena memang sejak kecil Pedang
Halilintar Sakti hidup dalam dunia yang serba mewah! Datuk golongan putih
yang berwatak agung ini merupakan keturunan seorang raja.
"Lihat serangan!"
Dengan nada angkuh. Pendekar Pedang Halilintar Sakti yang lebih
dulu membuka serangan, memberi peringatan seperti layaknya seorang tokoh
lebih tinggi memperingatkan tokoh yang lebih rendah. Kedua tangannya
yang terkepal seperti berubah menjadi banyak, ketika meluncur ke arah
Nelayan Tenaga Gajah. Namun, kakek kurus laksana tengkorak itu tidak
kebingungan. Tanpa menemui kesulitan dipapaki serangan itu. Sehingga,
terdengar bunyi berdetak keras berkali-kali ketika dua pasang tangan yang
sama-sama telah berubah menjadi banyak itu berbenturan di tengah jalan.
Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terdorong ke belakang. Tapi,
si Pedang Halilintar Sakti terhuyung selangkah lebih jauh. Bahkan dengan
mulut menyeringai kesakitan.
Si Pedang Halilintar Sakti jadi berubah wajahnya karena rasa
terkejut dan penasaran melihat keunggulan lawannya.
Srattt!
Tidak kelihatan kakek bersikap agung ini menggerakkan tangan,
tapi tahu-tahu di dalam genggaman tangan kanannya tercekal sebatang
pedang terhunus. Namun sebelum Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini
melancarkan serangan....
Brakkk!
Tiba-tiba bunyi berderak keras membuat si Pedang Halilintar Sakti
dan Nelayan Tenaga Gajah tanpa disepakati lebih dulu, menoleh ke arah asal
suara. Tampak daun pintu gerbang yang tebal dan kokoh kuat itu hancur
berantakan, seperti didobrak seekor gajah besar dari luar.
Pecahan-pecahannya berhamburan, bahkan beberapa di antaranya ada yang
hampir mengenai kedua datuk golongan putih itu. Namun hanya dengan
mengibaskan tangan, baik Nelayan Tenaga Gajah maupun Pedang Halilintar
Sakti telah membuat pecahan-pecahan kayu itu berpentalan kembali ke arah
semula.
Dan kini di belakang pecahan daun pintu gerbang itu berjalan
sesospk tubuh dengan sikap angker. Sehingga membuat mata Nelayan
Tenaga Gajah dan si Pedang Halilintar Sakti terbelalak
"Kau...?!" Hampir berbarengan dua datuk golongan putih itu
mengucapkan perkataan seperti itu.
"Itukah orang yang kau katakan menculik muridmu itu. Nelayan
Tenaga Gajah?!"
Si Pedang Halilintar Sakti langsung cepat sadar dari
keterkejutannya. Dan sekarang dia bisa mengerti duduk masalah yang
sebenarnya. Makanya pertanyaan itu langsung diajukan pada Nelayan
Tenaga Gajah. Dan ketika mendapat anggukan dari kakek kurus laksana
tengkorak itu. Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini makin yakin.
"Ketahuilah, aku pun telah lama menyuruh tiga orang muridku
untuk membunuhnya, karena telah melakukan tindakan tercela. Dengan
berani, dia mencoba merayu dan mempengaruhi putriku, agar menolak
lamaran calon suaminya. Bahkan murid keparat itu m-ngajak putriku
bertindak tak senonoh, dengan menggunakan obat perangsang. Dan sekarang
karena perasaan malunya, putriku kabur dari sini! Maka aku pun telah
mengutus orang-orang untuk mencarinya! Sekarang, kuserahkan murid
murtad itu padamu. Nelayan Tenaga Gajah!"
Nelayan Tenaga Gajah hanya mengangguk pelan, menyambuti
ucapan di Pedang Halilintar Sakti. Kakek kurus ini masih terlalu kaget dan
menyesal, ketika melihat orang yang menculik muridnya ternyata
mempunyai urusan pula dengan Perguruan Pedang Halilintar! Hati Nelayan
Tenaga Gajah jadi tidak karuan rasanya.
Sementara sosok yang telah menghancurkan daun pintu gerbang itu
ternyata seorang pemuda berkumis tipis. Pemuda bernama Karpala itu tems
melangkah dengan sikap tenang. Dan ayunan kakinya baru terhenti, ketika
telah berada beberapa tombak di depan kedua datuk sakti itu
"Kedatanganku kemari untuk membuat perhitungan. Pedang
Halilintar Sakti! Cepat! Serahkan Dara padaku! Ayah macam apa kau ini,
sehingga begitu tega menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam
kesengsaraan. Kau tahu. Dara cinta padaku! Tapi, kenapa kau serahkan juga
pada lelaki mata keranjang yang melamarnya! Kedatanganku kemari untuk
membahagiakannya, tahu?! Ha ha ha...!" Karpala tertawa bergelak.
"Tutup mulutmu. Murid Murtad!" maki si Pedang Halilintar Sakti
sambil menudingjari telunjuk kirinya.
Wajah Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini me-rah padam
pertanda tengah dibalur kemarahan yang sangat.
"Nelayan Tenaga Gajah! Kau tidak cepat bertindak!? Atau kau
berikan keparat ini kepadaku?!" lanjut Ketua Perguruan Pedang Halilintar
ini.
"Kaulah yang akan menerima pembalasan dan sakit hatiku. Pedang
Halilintar! Kau lihat..!"
Karpala langsung mengalihkan pandangan ke arah sekumpulan
murid Perguruan Pedang Halilintar yang sejak tadi masih berdiri di sekitar
tempat itu. Sekarang mereka juga menatap Karpala dengan sorot mata ngeri!
Sebagai kawan seperguruan, mereka tahu kalau Karpala telah mengalami
pembahan. Pemuda berkumis tipis itu kelihatan demikian mengerikan!
Sepasang matanya merah, seperti orang sakit mata! Bahkan ada sorot yang
membuat tengkuk mereka meremang, ketika menatap pemuda berkumis tipis
itu.
Dan hal itu sebenarnya dirasakan pula oleh si Pedang Halilintar
Sakti. Dan datuk yang telah kenyang pengalaman ini segera merasakan
adanya sesuatu yang tidak beres. Hanya saja, perasaan angkuhnya membuat
dia sikapnya seakan-akan tidak ada kelainan.
"Pergilah kalian ke neraka!" desis Karpala dengan suara bergetar ke
arah murid-murid itu. Sepasang matanya yang merah tampak seperti
memancarkan api ketika mengucapkan kata-kata seperti itu.
Nelayan Tenaga Gajah dan di Pedang Halilintar Sakti merasakan
adanya getaran kuat dalam perkataan itu. Sebuah kekuatan yang memaksa
alam bawah sadar seseorang untuk mengikuti perintahnya. Dan kedua datuk
golongan putih ini terutama sekali, si Pedang Halilintar Sakti yang belum
merasakan kelihaian Karpala, merasa terkejut. Apalagi ketika melihat tubuh
sisa muridnya yang masih berdiri tegak, melayang dengan kepala lebih dulu
menuju pagar yang mengelilingi perguruan!
Si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa mengelus dada melihat kepala
murid-muridnya hancur berantakan ketika berbenturan dengan pagar yang
mengelilingi areal perguruan. Darah bercampur otak tampak
muncrat-muncrat, ketika kepala itu hancur!
Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mencegah. Karena, dia pun tengah berada dalam kungkungan
pengaruh suara Karpala! Padahal, ucapan itu tidak ditujukan kepadanya!
"Ha ha ha...!"
Karpala tertawa bergelak penuh kepuasan ketika melihat belasan
murid Perguruan Pedang Halilintar pergi ke alam baka dengan kepala pecah.
Gemuruh suara tawanya mengiringi bunyi berderak keras kepala-kepala yang
pecah!
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Si Pedang Halilintar Sakti yang baru sadar dari keterpakuan,
menggeram keras dengan sekujur tubuh menggigil karena murka. Dia telah
siap melancarkan serangan, tapi kalah cepat dengan Nelayan Tenaga Gajah!
Kakek kurus laksana tengkorak itu telah lebih dulu meneijang.
Sementara Karpala hanya mendengus, seperti meremehkan
serangan itu. Namun tangan kanannya cepat ditudingkan ke arah tubuh yang
tengah meluncur ke arahnya. Dan Pedang Halilintar Sakti jadi tak kuasa
untuk membelalakkan matanya. Dia melihat dari jari telunjuk yang
ditudingkan, meluncur seleret sinar. Dan tahu-tahu, tubuh Nelayan Tenaga
Gajah yang masih berada di udara telah terbungkus api yang berkobar-kobar.
Tubuh Nelayan Tenaga Gajah kontan ambruk ke tanah, dan
langsung menggelepar-gelepar seperti ikan dilempar ke darat. Sementara,
Karpala tertawa bergelak penuh kegembiraan seperti melihat sebuah
pemandangan menyenangkan. Di lain pihak, si Pedang Halilintar Sakti dan
murid-muridnya yang tengah tergeletak tak berdaya di tanah, menatap
dengan sorot mata ngeri! Ilmu apa yang dipergunakan Karpala yang
mendadak j adi memiliki kesaktian demikian?
Di saat. Nelayan Tenaga Gajah tengah meregang nyawa, tangan
Karpala kembali menuding. Dan kali ini, murid-murid Perguruan Pedang
Halilintar yang tergolek tanpa daya menjadi sasaran. Tubuh mereka kontan
terbungkus api yang berkobar-kobar. Dan rasa panas itu membuat
tubuh-tubuh yang tadi tidak mampu berbuat apa-apa, kini menggeliat-geliat
di ambang maut!
"Keparat! Keji...!" si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa
mengeluarkan makian. Kengerian yang mencekam dan keterkejutan yang
melihat keperkasaan Karpala, membuatnya tidak mampu bertindak apa-apa
selain memaki. Sekujur tenaganya seperti lenyap oleh kengerian yang
memancar dari tubuh Karpala!
Kini Karpala menatap Pedang Halilintar Sakti lekat-lekat.
"Aku sengaja tidak mau membunuhmu sekarang. Biar kau rasakan
melihat semua orang yang kau cintai tewas! Kalau merasa memiliki
kemampuan, boleh kau cari aku nanti! Selamat tinggal. Pedang Halilintar
Sakti! Aku akan pergi mencari Dara! Aku tahu, dia telah pergi dari sini!"
"Jangan pergi kau. Murid Jahanam!"
Si Pedang Halilintar Sakti bergegas melesat, mengejar Karpala yang
telah melesat meninggalkan tempat itu sambil melepas tawa gembira bernada
penuh kemenangan. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh pemuda
berkumis tipis itu telah lenyap dari pandangan. Yang tinggal hanya si Pedang
Halilintar Sakti dengan hati hancur, menatap semua yang terpampang di
hadapannya! Dia bertekad dalam hati, akan membuat perhitungan atas semua
kejadian ini!
Benarkah roh di dalam tubuh Karpala akan mencari raganya yang
asli? Dan berhasilkah dia? Bagaimana pula tugas Penjaga Alam Gaib ke
Pulau Setan?
Apa yang teijadi terhadap Dewa Arak bersama rombongan yang
menyusul Penjaga Alam Gaib ke Pulau Setan? Ke mana pula perginya Dara,
putri Pedang Halilintar Sakti? Dan berhasilkah Karpala menyebar maut di
dunia persilatan?
Ikuti kelanjutan, kisah ini dalam.episode:
PULAU SETAN
SELESAI
Emoticon