1
Wajah Lingga terlihat menampakkan ke tegangan.
Meski belum lama menerjunkan diri di dunia persilatan, tapi
pemuda ini telah banyak mendengar tentang tokoh yang
berjuluk Penyair Cengpng. Tapi sepengetahuannya, tokoh itu
Mungkinkah sekarang tokoh itu telah keluar dari tempatnya
mengasingkan diri? Apa yang menjadi penyebabnya?
Sementara lantunan syair dari Penyair Cengeng terus
berkumandang (Untuk lebih jelasnya mengenai kejadian ini,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Golok Kilat").
Sampai tiba-tiba terdengar hantaman keras...
Brakkk!
Beberapa langkah dari ambang pintu tampak brrdiri
dengan tenang seorang kakek. Rambut yang tumbuh di
kepala dan di sekitar wajahnya telah memutih semua.
Pakaian abu-abu membungkus tubuhnya yang ringkih.
Kakek yang bukan lain Ki Jaran Sangkar alias Penyair
Cengeng ini tidak berubah wajahnya. Dia kelihatan begitu
tenang kendati di depannya terpampang pemandangan yang
cukup mendebarkan. Wiiyadi, Linasih, dan Gurit menatap kc
arahnya penuh harapan. Ketiga orang ini sedikit mempunyai
harapan kalau Penyair Cengeng akan dapat menobng
mereka.
Lingga menggertakkan gigi penuh perasaan gpram.
Sepasang matanya seakan bernyala ketika menatap Penyair
Cengeng. Pemuda ini marah bukan main karena merasa
terganggu.
'"Tua bangka gila...!" maki Lingga. "Rupanya, kau
sudah tidak sabar untuk menemui 1$matian sehingga begitu
berani mencampuri urusanku! Menyingkirlah dari sini, cepat!
Jangan tunggu kesabaran ku habis...!"
Lingga memang cerdik bukan main. Dia tahu Penyair
Cengeng memiliki kemampuan tinggi. Seorang lawan yang
amat tangguh! Walaupun dia tidak takut, tapi demi
keberhasilan usahanya, lebih baik tidak terjadi keributan
antara mereka. Perasaan marah yang mencekam hati segera
ditekannya.
Penyair Cengeng tetap tenang. Dia tidak menjadi
marah melihat makian dan sikap Lingga yang demikian
kurang ajar.
Ilmu yang tinggi membuat manusia lupa
Menyebar maut dan bencana di mana-mana
Sadarlah, Tuhan tidak buta
Kelak akan diturunkan hukumannya
Rangkaian syair itu didendangkan Penyair Cengeng.
Memang tak aneh kalau tokoh itu mendapat gelar demikian.
Nada syairnya sangat sendu. Sarat dengan kedukaan dan
keprihatinan. Malah, lebih cenderung meratap-ratap.
Perlahan saja Penyair Cengeng menyanyikannya. Tapi,
pengaruh yang ditimbulkannya tidak sesederhana yang
terdengar. Semua orang yang berada di sini larut dengan
kesedihan yang mendalam.
Wiiyadi hampir menangis ketika teringat akan ke-
matian istri dan anaknya yang demikian menyedihkan. Gurit
dan Linasih pun dilanda perasaan yang sama. Mereka
teringat kedua orang tua mereka dan seluruh anggota
keluarga yang tidak tersisa lagi akibat ulah perampok-
perampok. Perasaan yang sama dialami pula oleh Lingga.
Pemuda berpakaian merah ini merasakan gplombang
rasa sedih dan iba pada dirinya sendiri menyarangnya
dengan hebat. Nada syair Penyair Cengeng membuamya
terkenang kcmbali akan nasib dirinya. Dia orang yang tidak
mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Bahkan, orang tuanya
sendiri pun tidak dikenalnya.
Suasana terasa hening yang mengharukan. Masing-
masing dari mereka merenung dengan mata berkaca-kaca.
Malah Wiryadi kemudian menangis terisak kendati lelaki ini
telah mencoba untuk menahannya. Isakan Wiryadi membuat
Lingga tersadar. Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini
segera tahu pengaruh syair Penyair Cengeng telah
mencengkeramnya. Kesadaran yang timbul membuat Lingga
menggertakkan gigi, mengerahkan seluruh kekuatan batin
untuk mengenyahkan perasaan ganjil itu.
"Tua bangka gila...!" seru Lingga keras. Tapi, masih
terasa ada getaran pada suaranya. "Rupanya kali memang
berniat mencari keributan denganku!"
Keributan ada di mana-mana
Ribuan kali aku terlibat
Sekarang aku telah bertobat
Tak mau aku ada di dalamnya
Lingga tidak bisa menahan diri lagi. Kemarahan yang
amat sangat membakar hatinya. Sambil mengeluarkan
pekikan keras, kedua tangannya cepat dihentakkan ke
depan!
Hembusan angin yang luar biasa dingin menyerbu ke
arah Penyair Cengeng. Karena dinginnya, angin itu sampai
mampu membuat Wiryadi dan yang lainnya
menggemelutukkan gigi. Padahal, bukan mereka yang
dijadikan sasaran serangan!
Penyair Cengpng mendendangkan nada tanpa syair
melalui lubang hidungnya, mirip orang bergumam. Lingga
hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pukulannya lenyap begitu saja. Hawa di dalam rumah itu
yang semula dingin bagai di atas puncak gunung salju, kini
menjadi hangat. Seakan-akan tempat itu disorot sinar
matahari menjelang siang!
Penyair Cengeng mengangkat tangannya di depan
wajah, agak lebih tinggi sedikit dari kepala. Bagai diambil
oleh tangan, Gobk Kilat yang ada di punggung Lingga
melayang ke arah tangan kakek itu. Tidak hanya goloknya
saja tapi berikut warangkanya
Lingga tentu saja tidak ingin benda pusaka itu jatuh
ke tangan orang lain. Kedua tangannya buru-buru
dijulurkan. Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki
untuk menarik kembali Golok Kilat
Lagi-lagi Lingga harus menelan kenyataan yang
mengejutkan! Golok Kilat tetap meluncur ke tangan Penyair
Cengeng. Lajunya tidak tertahan sedikit pun. Tenaga tarikan
Lingga seperti lenyap di tengah jalan tanpa mempedulikan
Lingga yang masih terlibat dalam keheranan, Penyair
Cengeng menghunus Golok Kilat dari sarungnya.
Diperhatikannya beberapa saat, lalu diciumnya.
Golok Kilat
Sekian lamanya kau istirahat
Orang laknat berhati bangsat
Akan membuatmu kembali bejat
Golok Kilat
Kau hanya menunggu saat
Seorang pendekar muda berhati bersih
Akan membuatmu menjadi suci
Wiiyadi, Gurit, dan Linasih menangis keras. Wiiyadi
malah melolong-lolong sambil menyebut-nyebut nama
istrinya yang telah meninggal. Pengaruh nada Penyair
Cengeng yang belum sirna dan semakin menjadi-jadi yang
menyebabkannya demikian.
Lingga pun mendapatkan pengaruh syair Penyair
Cengeng. Tapi, karena sejak sadarnya pemuda ini telah
mengerahkan kekuatan batin dan berusaha menulikan
telinga, pengaruh yang melandanya tidak seberapa besar.
Dan pengaruh itu mampu dihilangkan dengan gertak gigi
kemarahan.
Lingga sudah bersiap untuk melancarkan serangan
lagi. Namun, terpaksa dihentikan ketika mendengar ucapan
dan tindakan Penyair Cengeng.
"Akan kukembalikan golok ini, Anak Muda. Aku tidak
mau mengambilnya. Seperti yang kukatakan, akan tiba
masanya golok ini tidak dijadikan penyebar bencana untuk
se lama-lamanya."
Golok Kilat melayang ke arah Lingga tanpa Penyair
Cengeng melemparkannya. Senjata mengerikan itu seperti
mempunyai nyawa dan terbang sendiri. Lingga segera
menangkapnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Tapi, tetap saja begitu golok berada di tangan, tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Golok itu sendiri hampir
terlepas dari pegangan.
Lingga sadar kalau Penyair Cengeng terlalu sakti
untuk dilawan. Tanpa malu-malu tubuhnya segera
dibalikkan. Kemudian, dia melesat kabur meninggalkan
rumah itu melalui pintu belakang
Penyair Cengeng menatap kepergian Lingga tanpa
berusaha hendak mengejar. Setelah memandang Gurit,
Wiiyadi, dan Linasih, dia pun meninggalkan rumah itu
sambil bersenandung. Tinggallah Gurit dan yang lainnya
merasa bersyukur atas pertolongannya. Mereka sampai tak
sempat mengucapkan terima kasih karena begitu terkesima
menyaksikan Lingga yang lari ketakutan.
***
Aiya mendengus-denguskan hidung. Bau sedap yang
tercium hidungnya membuat rasa lapar yang sejak tadi
melilit perut terasa semakin menjadi-jadi.
Memang, bunyi nyaring terdengar dari dalam perut
Aiya. Bunyi yang membuat pemuda ini menoleh ke kanan
dan ke kiri karena khawatir ada orang yang mendekatinya.
Hati pemuda ini menjadi lega ketika melihat tak ada
orang di dekatnya. Perhatiannya lalu kembali dipusatkan
pada bau sedap yang mampir ke hidungnya. Kemudian, kaki
Aiya terayun menuju asal bau itu.
Semakin lama bau wangi daging panggang itu
semakin keras. Dan setelah Aiya bergerak dari tempatnya
semula sampai belasan tombak dalam jarak lima tombak di
depannya, duduk bersandar pada sisa sebatang pohon yang
telah ditebang seorang kakek berpakaian kuning kentang.
Aiya yang memiliki mata tajam segera bisa
memperkirakan kalau kakek yang memiliki wajah persegi dan
penuh ditumbuhi cambang bauk, kumis, serta jenggot lebat
ini memiliki kepandaian tinggi. Tubuhnya yang kekar
mengingatkan Aiya akan seekor singa jantan. Suatu hal yang
tidak berlebihan karena wajahnya pun mirip wajah singa.
Dan, pakaian yang dikenakan kakek itu adalah kulit seekor
singa!
Kakek bermuka singa sepertinya tidak tahu akan
kehadiran Aiya. Dia tetap saja tenggelam dalam
kesibukannya memutar-mutarkan daging yang berada di atas
tumpukan arang menyala. Tangan kirinya mencekal sehelai
daun nangka. Dengan daun itu arang dikipasinya agar terus
menyala. Dari daging yang tengah dipanggang si kakek itulah
bau sedap berasal.
"Tidak pantas memperhatikan seperti itu, Anak Muda.
Kemarilah. Aku tahu kau lapar. Mari kita santap bersama.
Lagi pula, aku tidak akan bisa menghabiskannya sendiri."
Perkataan itu terdengar oleh Aiya. Namun, pemuda ini
tidak menjadi kaget karenanya. Meskipun ucapan itu keluar
dari mulut si kakek yang tetap tidak mengalihkan
pandangannya sedikit pun.
Dari mana si kakek tahu keberadaannya, dan dengan
tepat menduga kalau dia adalah seorang pemuda? Padahal
sejak tadi kakek itu belum melihat Aiya. Dan, dari mana
kakek itu tahu kalau Aiya sedang lapar? Pertanyaan-
pertanyaan itu tidak begitu menggayuti hati Aiya. Pemuda ini
telah maklum kalau si kakek seorang yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Maaf, kalau tindakanku tidak berkenan di hatimu,
Kek," ucap Aiya sopan. "Tak lupa kuucapkan terima kasih
atas tawaran yang kau berikan. Memang aku tengah lapar.
Dan, bau daging panggangmu yang nikmat yang membawaku
kemari."
Si kakek tidak memberikan sambutan. Dengan tenang
didekatkan daging panggangnya ke wajah. Diciumnya dalam-
dalam bau wangi yang menyebar. Nikmat sekali kelihatannya.
Aiya sampai menelan ludah melihatnya.
Tanpa bergerak dari duduknya, si kakek
memindahkan ranting di mana daging panggang tertusuk ke
tangan kiri. Tangan kanannya lalu diulurkan pada Aiya.
"Siapa namamu, Anak Muda Berambut Aneh? Aku
cukup kau kenal sebagai Singa Air. Namaku sendiri aku tidak
ingat lagi. Sudah belasan bahkan mungkin puluhan tahun
tak ada orang yang memanggil namaku. Julukan aku tidak
punya. Jadi, hanya itu yang bisa kuperkcnaikan agar kau
bisa menyapaku," si kakek memperkenalkan diri.
"Namaku Aiya, Kek. Aiya Buana," jawab Aiya sambil
mendekat dan menyambut uluran tangan Singa Air
Senyum lebar tersungging di bibir pemuda berambut
putih keperakan itu. Tapi, senyum Aiya langsung memupus
ketika merasakan ada gelombang aliran tenaga dalam
menyerbunya. Aiya menjadi heran. Ditatapnya wajah Singa
Air. Usaha Aiya sia-sia. Dia tidak mampu membaca perasaan
hati kakek itu. Apakah si kakek bermaksud menguji atau
memang sungguh-sungguh berniat menyerangnya, Aiya tidak
tahu.
Aiya tidak mempunyai pilihan lain. Dikerahkannya
tenaga dalam untuk melawan gplombang serangan tenaga
dalam Singa Air. Pertarungan adu tenaga dalam kini
berlangsung.
Pertarungan itu tidak teriihat meskipun jika kebetulan
ada yang menyaksikan. Yang tampak hanya jabatan tangan
yang lebih lama dari biasanya.
Kedua belah pihak ternyata sama-sama kuat. Namun
ketika berlangsung agak lama, dari kepala Dewa Arak mulai
mengepul uap tipis. Sedangkan si kakek hanya
mengeluarkan peluh banyak di wajahnya yang merah!
Pertarungan tenaga dalam itu rupanya demikian
dahsyat sehingga tanah tidak mampu menahan. Perlahan
tapi meyakinkan kedua kaki Dewa Arak dan Singa Air amhlas
ke tanah. Mula-mula hanya setelapak kaki lalu terus lebih ke
dalam hingga betis!
Baik Dewa Arak maupun Singa Air rupanya tidak
menginginkan tubuh mereka tenggelam lebih dalam lagi.
Keduanya tahu apabila diteruskan bukan tidak mungkin
tubuh mereka akan tenggelam seluruhnya. Sesaat kemudian
bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak dan Singa Air
menarik tangannya masing-masing.
"Kau hebat, Aiya. Kau seorang pemuda yang luar
biasa," puji Singa Air sejujurnya. Sinar kekaguman tampak
pada sorot sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Kau memiliki tenaga dalam yang amat kuat!"
Aiya mendengar nada persahabatan dalam ucapan
Singa Air. Kecurigaannya terhadap Singa Air pun berkurang.
Timbul dugaan kalau kakek ini hanya bermaksud
mengujinya. Aiya lalu menyunggingkan senyum.
Tapi, baru juga mulut Dewa Arak terkembang
setengah jalan, Singa Air telah melancarkan serangan berupa
bacokan sisi tangan ke arah leher. Bunyi berciutan tajam
yang mengiringi meluncurnya serangan menunjukkan pada
Aiya kalau bacokan itu sanggup membuat benda yang paling
keras sekalipun menjadi punggal!
Aiya pun marah! Singa Air benar-benar keterlaluan.
Andaikata benar kakek itu bermain-main, juga tetap
kelewatan! Permainannya terlalu berbahaya karena berakibat
membawa ke matian. Kalau bukan dia sejak tadi diperlakukan
seperti itu, tentu telah menggeletak tanpa nyawa melekat di
badan.
Kemarahan yang timbul membuat Dewa Arak segera
mengambil ke putusan yang dipandangnya tepat. Sambil
merendahkan tubuh sehingga membuat serangan Singa Air
lewat di atas kepala, pemuda ini mengirimkan gedoran
tangan kanan ke arah dada.
Blarrr!
Tubuh Dewa Arak dan Singa Air terhuyung-huyung ke
belakang. Aiya selangkah lebih jauh ketika Singa Air
memapaki serangannya dengan cara serupa! Begitu berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung,
Aiya langsung melesat untuk mengirimkan serangan
berikutnya. Pemuda ini tidak mau lagi dijadikan sasaran
serangan. Namun, serangannya terhenti di tengah jalan.
Singa Air bukannya bersiap untuk mengelak atau memapaki.
Kakek ini malah menjulurkan kedua tangannya ke depan.
"Cukup, Aiya...!" seru kakek bermuka singa itu.
"Permainan ini sudah cukup!"
Aiya menatap tajam wajah Singa Air. Perasaan tidak
senang memancar jelas dari sepasang matanya.
"Mungkin benar kau bermain-main, Kek. Tapi ini
permainan yang amat berbahaya. Taruhannya adalah nyawa!
Dua permainan yang kau suguhkan terlalu dahsyat. Kalau
aku tidak memiliki kepandaian yang cukup, mungkin saat ini
nyawaku sudah pergi meninggalkan badan. Tidak bisa
kubayangkan berapa banyaknya orang yang tewas di
tanganmu akibat permainan yang keterlaluan ini!"
Singa Air tidak marah atau tersinggung mendengar
ucapan Aiya yang dikeluarkan dengan agak keras dan
bernada tidak senang. Kakek ini malah tersenyum
"Dugaanmu keliru, Anak Muda," sahut Singa Air
tenang. "Aku tidak seperti dugaanmu. Aku tidak pernah
bermain-main seperti ini terhadap sembarang, orang! Apalagi
dengan serangan-serangan berbahaya seperti tadi. Hanya
padamulah hal ini kulakukan! Itu pun karena aku yakin kau
mampu menangkalnya."
Aiya mengernyitkan alis. Penjelasan si kate k
membuat kemarahannya mereda. Singa Air tampaknya tidak
berbohong. Terdengar jelas nada kesungguhan dalam
ucapannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!"
"Permainan yang kau katakan itu, Anak Muda dan
kau anggap amat berbahaya ini tidak sembarangan
kulakukan. Aku telah memperhitungkan sebelumnya. Aku
yakin kau akan mampu menghadapinya. Kau memiliki
kepandaian tinggi," jelas Singa Air.
"Maksudmu..., kau telah bisa menduga siapa
sebenarnya aku?" tanya Aiya. Ia tidak begitu kaget karena
tahu dirinya cukup terkenal di kalangan tokoh tokoh rimba
persilatan.
Singa Air mengangguk.
"Muridku telah menceritakan cukup banyak hal
mengenai dirimu sekembalinya dari merantau. Dia banyak
memujimu, Aiya. Katanya, kau memiliki tingkat kepandaian
tidak berada di bawahnya..."
"Sekarang aku mengerti," Aiya mengangguk-
anggukkan kepala. "Kau mengujiku sesuai dengan
kemampuan muridmu itu. Benarkah dugaanku ini kek?"
Singa Air hanya tersenyum. Tidak mengiyakan atau
mengangguk. Tapi, jawaban ini telah cukup bagi Aiya.
Kemarahannya pun seterika pupus bak awan tersapu angin.
"Boleh kutahu siapa muridmu yang terlalu melebih-
lebihkan cerita mengenai diriku, Kek?"
"Dia seorang pemuda gagah sepertimu, Aiya. Menurut
ceritanya, dia berhasil menunaikan tugas dariku karena
pertolonganmu." Singa Air masih mencoba berahasia.
Aiya tercenung mengingat-ingat apa yang pernah
dilakukannya. Tapi sulit sekali. Terlalu banyak orang yang
telah ditolongnya.
"Aku tidak mampu mengingatnya, Kek. Maaf,
bukannya aku tidak mempedulikan masalah ini. Tapi karena
terlalu banyaknya aku terlibat dalam masalah seperti itu.
Sekali lagi, maaf. Bukannya aku bermaksdu menyombongkan
diri dengan menceritakan hal ini."
"Aku bisa mengerti, Aiya," sahut Singa Air, bijaksana.
"Aku tahu kau bukanlah orang yang sombong. Kalau tidak,
pasti kau telah memberitahukan julukanmu. Orang dengan
kepandaian sepertimu, dan sikap tenang yang mencerminkan
kematangan telah menunjukkan seringnya kau terlibat dalam
masalah. Kau pasti punya julukan. Pemberitahuan sedikit
dariku pasti akan membuatmu teringat. Kau dan muridku itu
terlibat dalam masalah Kerajaan Kujang."
Wajah Aiya berubah. Pemuda ini segera teringat
pengalaman beberapa waktu yang lalu itu berkesan di
hatinya.
2
"Mungkin aku tahu sekarang siapa muridmu itu, kek,"
ujar Aiya. Terbayang kembali di benaknya seorang pemuda
berpakaian kuning, bercambang lebat, dan bertangan kuat.
Singa Air tersenyum.
"Silakan katakan, Aiya. Aku ingin mendengarnya.
Benar atau tidak jawaban yang akan kau berikan."
"Muridmu itu adalah Pendekar Tangan Baja!"
'Pendekar Tangan Baja?" ulang Singa Air setengah
tertawa. "Jadi..., itukah julukannya? Dia tidak pernah
menceritakan hal itu padaku. Atau..., jangan-jangan kau
salah mengpnali orang."
"Kurasa tidak, Kek. Bukankah Gumintang nama
muridmu itu?" tanya Aiya untuk memastikan kebenarannya.
Ketika dilihatnya si kakek mengangguk, ucapannya segera
dilanjutkan. "Dialah Pendekar Tangan Baja"
Singa Air menggeleng-gelengkan kepala kagum. Bisa
diperkirakannya, mengapa muridnya yang mendapat julukan
seperti itu (Untuk jelasnya mengenai Gumintang alais
Pendekar Tangan Baja, silakan baca episode yang beijudul:
"Pendekar Tangan Baja").
"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apakah
Pendekar Tangan Baja mendapat masalah?"
"Tidak!" Singa Air kembali menggelengkan kepala. "Dia
tengah berlatih sebuah ilmu yang membuatnya harus
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Masih membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Sialnya,
pada saat itu pula aku menemukan masalah besar! Aku
yakin ini ada hubungannya dengan kejadian pada puluhan
tahun lalu. Di saat aku tengah bertarung dengan seorang
tokoh berkepala botak yang amat sakti."
"Masalah? Masalah apa, Kek?" tanya Aiya, ingin tahu.
Tapi ketika disadarinya kalau mungkin dia bertindak
lancang, buru-buru ucapannya dibetulkan. "Maaf, kalau aku
terlalu ingin tahu, Kek."
"Tidak mengapa, Aiya. Justru aku menaruh harapan
padamu. Urusan ini kurasa memang sebaiknya kuberikan
padamu. Aku sudah lama tidak terlibat dengan kekerasan.
Dan, memang aku tidak ingin terlibat. Tapi, mengetahui akan
adanya ancaman besar terhadap dunia persilatan, aku tidak
bisa berpangku tangan. Daripada aku gelisah di tempatku
lebih baik aku turun. Masalah aku akhirnya mencampuri
urusan itu atau tidak, bukan hal yang penting. Di hatiku
timbul harapan agar bisa bertemu denganmu untuk memberi
tahukan masalah ini. Jiwa kependekaran tidak bisa
kusangsikan lagi. Gumintang banyak memuji-mujimu dalam
hal ini"
"Bisa kutahu masalah itu, Ke k?" tanya Aiya buru-
buru. Dia merasa risih mendapat pujian terus-menerus.
Singa Air mengeluarkan lembaran-lembaran dari balik
bajunya dan menyerahkannya pada Aiya. Dengan sigap
pemuda itu menerimanya ketika si kakek berkata dengan
nada keluh.
"Inilah masalah itu, Aiya Kau bacalah."
Aiya segera membacanya halaman demi halaman.
Beberapa kali alisnya berkerut membaca tulisan itu. Setelah
selesai, diberikannya lagi lembaran-lembaran daun lontar
bertulis itu pada Singa Air. Tapi, si kakek menolaknya.
"Kurasa, lebih baik daun-daun lontar itu ada padamu,
Aiya. Aku tahu kau adalah orang yang paling tepat untuk
mengurus masalah ini. Aku pergi dulu, Aiya. Aku akan
kembali ke tempatku yang tenang dan nyaman. Ini
bagianmu...!"
Singa Air melemparkan separuh daging panggangnya
pada Aiya sebelum melesat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Singa Air, Aiya tercenung. Dia teringat akan
tulisan yang tertera di daun lontar. Tulisan itu berisikan
keterangan mengenai Golok Kilat. Sebagian besar dari
keterangan itu cocok dengan cerita Setan Kepala Besi dan
uraian Penyair Cengeng. Malah, tulisan di daun lontar ini
lebih lengkap.
Sebenarnya, kalau saja Singa Air mau tinggal lebih
Lima, Aiya ingin bertanya satu hal. Apakah Singa Air yang
dulu menyerang Setan Kepala Besi? Tapi, bukankah Singa Air
tidak berwatak aneh? Kalau melihat dari uraian masing-
masing pihak, baik Singa Air maupun Setan Kepala Besi,
tidak salah lagi Singa Air-lah tokoh aneh yang dulu
bertempur dengan Setan Kepala Besi.
Sekarang Aiya lebih memusatkan perhatian pada
tulisan di lembaran-lembaran daun lontar. Aiya bisa
memperkirakan mengapa Lintang tahu mengenai Gobk Kilat.
Dari mana lagi kalau bukan dari lembaran-lembaran ini!
Lembaran daun lontar ini ada beberapa halaman yang hilang.
Entah bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin karena arus air
laut sehingga ikatan lembarannya itu terpisah-pisah. Tidak
ada jawaban pasti yang didapatkan Aiya.
Bunyi halilintar bersahut-sahutan yang terdengar
tiba-tiba membuat Aiya merasa heran bukan main. Hari
cerah begini mengapa ada bunyi guntur? Dengan cekaman
rasa heran yang melanda pemuda ini mengpdarkan
pandangan ke langit.
Tercekat hati Aiya ketika melihat pemandangan di
angkasa. Kilat yang bermain di angkasa disertai bunyi
menggelegar yang tak henti-henti itu ternyata bercabang tiga!
Yang luar biasa, pada saat yang bersamaan tiga kilatan
menyilaukan mata dari halilintar muncul dari tiga arah, dan
masing-masing menuju ke satu tempat!
Petir bercabang tiga, petir tiga arah menuju ke satu
tempat, serta bunyi guruh yang tak henti-henti tertulis dalam
lembaran daun lontar! Itu berarti Golok Kilat telah kembali
memiliki keistimewaannya!
Jantung Aiya berdetak lebih cepat melihat semua
kejadian ini. Kecepatan detak jantungnya tetap tidak berubah
kendati setelah petir dari tiga arah itu lenyap dan keadaan
alam kembali tenang. Terbayang kembali di benak Dewa Arak
barisan kalimat di dalam lembaran daun lontar. Kalimat yang
membuat Aiya gelisah bukan main.
Apabila karena satu dan lain hal Golok Kilat kembali
muncul dan memiliki keistimewaan, ini merupakan ancaman
besar bagi tokoh-tokoh persilatan. Karena sekali pun senjata
itu ada di tangan tokoh yang berpandaian rendah, tokoh yang
memiliki kepandaian bagaimanapun tingginya akan tewas.
Cahaya yang keluar dari Golok Kilat akan memburu ke mana
pun tokoh yang dimaksud melarikan diri.
Aiya tanpa sadar bergidik ngeri. Apabila di tangan
tokoh berkepandaian rendah saja demikian
hebatnyabagaimana pula jika Golok Kilat berada di tangan
seorang tokoh sakti seperti Lingga? Sudah pasti bahaya yang
ditimbulkannya akan berlipat ganda!
"Aiya..."
Sapaan lembut yang menyejukkan hati Dewa Arak
dan menebarkan kedamaian, terdengar. Berbarengan dengan
itu di hadapan Aiya telah berdiri seorang kakek berpakaian
putih bersih berusia tak kurang dari tujuh puluh lima tahun.
Seluruh tubuhnya seperti memancarkan cahaya. Terutama
wajahnya yang ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot putih. Di
tangannya tergenggam seuntai tasbih.
"Guru...," panggil pemuda berambut putih 1$perakan
pada kakek yang tahu-tahu berdiri di depannya itu dalam
jarak satu tombak.
Kakek yang bukan lain Ki Gering Langit, guru Aiya
terlihat tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Aiya yang berdiri
dengan mempergunakan lututnya.
"Apa yang membuat Guru keluar dari tempat
pertapaan?" tanya Aiya sambil bangkit berdiri. Aiya dan
kakek berpakaian putih itu memang telah cukup lama tidak
beijumpa.
"Kurasa kau telah mengetahuinya, Aiya," jawab Ki
Gering Langit, lembut "Bukankah kau telah membaca
lembaran-lembaran daun lontar?"
"Benar, Guru," jawab Aiya, tanpa merasa heran dari
mana gurunya tahu. Kakek berpakaian putih bersih ini
memiliki ilmu gaib yang sukar diukur tingginya. Sehingga
sepertinya, ada ke jadian apa pun kate k itu pasti
mengetahuinya.
"Ketahuilah, Aiya. Golok Kilat memiliki keistimewaan
lebih dari yang dikatakan Setan Kepala Besi atau Penyair
Cengeng. Golok itu tak ubahnya makhluk hidup!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Guru?" tanya Aiya.
Penjelasan gurunya rupanya masih terasa membingungkan
Ki Gering Langit tersenyum, la kelihatan sabar sekali.
Kakek yang memiliki kepandaian sukar untuk dijajaki ini pun
seperti tidak memiliki amarah sama sekali.
"Golok Kilat tak ubahnya manusia seperti kita, Aiya.
Bisa kukatakan seperti itu karena Golok Kilat dapat
diperintahkan untuk membunuh seseorang yang kita ingini
meski jaraknya teramat jauh. Bila itu teijadi, kau bisa
bayangkan sendiri akibatnya, Aiya," beritahu Ki Gering Langit
Aiya menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering. Keterangan yang
diberikan Ki Gering Langit benar-benar tidak disangka.
Sekarang dia mengerti mengapa dalam lembaran daun lontar
tertulis kalimat yang mengatakan kalau tokoh berkepandaian
rendah sekalipun akan dapat membunuh tokoh yang
memiliki kepandaian amat tinggi.
"Lalu bagaimana cara untuk menghentikannya,
Guru?" tanya Aiya dengan suara kering "Apakah Guru
mengetahuinya?"
Ki Gering Langit mengangguk.
"Tapi, aku telah bersumpah untuk tidak terlibat
langsung dalam urusan dunia persilatan. Jadi, aku tidak bisa
memberitahukannya. Kau tidak perlu berkecil hati dulu,
Aiya. Untuk membuat Golok Kilat hidup sehingga dapat
disuruh untuk melakukan tindakan apa pun membutuhkan
cara yang tidak mudah. Kau boleh tenangkan hati karena
orang yang telah berhasil membuat Golok Kilat timbul
kembali keistimewaannya belum mengetahui hal ini."
Aiya menghembuskan napas lagi. Kalau begitu tidak
terlalu berbahaya, pikir pemuda berambut putih keperakan
ini.
Ki Gering Langit tersenyum. Kakek ini dapat membaca
pikiran yang terkandung di kepala Aiya.
"Kau jangan merasa tenang dulu, Aiya. Golok Kilat
sendiri sudah amat berbahaya. Hanya dengan diacungkan
pada lawan, dari ujung golok akan melesat cahaya
menyilaukan laksana halilintar. Sinar itu akan mengejar ke
mana pun lawan yang dituju menghindar. Membutuhkan
kecerdikan luar biasa dan kemampuan yang sangat tinggi
untuk melobskan diri dari kejaran cahaya maut itu."
"Benar-benar senjata yang amat berbahaya, Guru.
Tidak bisa kubayangkan mengapa ada orang yang sampai
hati membuatnya. Sebuah senjata yang akan menyebar maut
di mana-mana. Hhh...! Manusia macam bagaimana yang
mampu menciptakan senjata sehebat itu, Guru?"
Ki Gering Langit tersenyum. "Kelak kau akan
mengetahuinya sendiri, Aiya. Tidak baik kalau hal itu
kuberitahukan sekarang. Lagi pula seperti yang kukatakan
sebelumnya, aku hanya ikut campur tangan sebatas di luar
garis. Kaulah yang harus memecahkan semua masalah ini.
Semoga kau berhasil, Aiya."
"Selamat jalan, Guru. Dan, terima kasih atas
pemberitahuanmu. Akan kuperhatikan baik-baik semua yang
kau katakan," ujar Aiya seraya memberi hormat
Ki Gering Langit tersenyum. Sesaat kemudian,
tubuhnya raib dari pandangan.
Aiya tercenung sepeninggal Ki Gering Langit.
Disadarinya kalau kali ini tugas yang terpikul di pundaknya
amat berat. Semua urusan ini, meski telah jelas, tetap masih
terselimut rahasia besar. Di dalam diri pemuda berambut
putih keperakan itu bertekad akan secepatnya mengirim
Lingga ke akhirat. Karena, pemuda berpakaian merah itu
seorang lawan yang amat berbahaya.
Aiya tahu dia harus bertindak cepat. Disadari betul
lambat laun Lingga akan mengetahui kalau Gobk Kilat dapat
hidup tak ubahnya manusia! Sekelebat pertanyaan bergayut
di benak pemuda berambut putih keperakan ini. Apakah ada
orang lain yang tahu rahasia ini? Penciptanya mungkin?
Diam-diam Aiya memaki dirinya sendiri. Mengapa dia
bisa lupa? Dia tidak ingat untuk menanyakan tadi apakah
pencipta Golok Kilat masih hidup? Selama ini memang belum
ada yang memberitahukannya. Tidak Setan Kepala Besi,
Penyair Cengeng, tidak juga gurunya. Bagaimana kalau
pencipta Gobk Kilat masih hidup? Bukankah itu berarti
bahaya yang jauh lebih besar akan mengancam dunia
persilatan!
Dengan benak dipenuhi pertanyaan yang tidak
teijawab dan kekhawatiran besar, Dewa Arak meninggalkan
tempat itu. Tujuannya sudah pasti, mencari Lingga untuk
merampas Golok Kilat. Kalau bisa, sekaligus dengan nyawa
pemuda berpakaian merah itu. Membiarkan Lingga berada di
dunia persilatan hanya akan menyebarkan malapetaka di
mana-mana.
***
Hari sudah siang. Kicau burung tidak terdengar lagi.
Angin yang bertiup pun terasa tidak nikmat di kulit. Sebuah
kereta kuda yang dikawal delapan penunggang kuda bergerak
memasuki mulut sebuah hutan.
Para pengiring kereta rata-rata memiliki wajah dan
sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata tidak memakai kusir.
Jalannya kereta karena tali kekang kuda penariknya ditarik
oleh seorang pengawal yang berada depan. Para pengiring itu
masing-masing empat berada di depan dan yang empat lagi
berada di belakang. Semuanya mengenakan seragam
pasukan kerajaan. Sedangkan kereta kuda yang dikawal
kelihatan indah dan mewah. Kereta khas bangsawan atau
pejabat kerajaan.
Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal
rupanya menjadi pemimpin rombongan ini. Terbukti dialah
yang berkuda paling depan sambil memberi aba-aba.
"Pertinggi kewaspadaan kalian!" ujar lelaki berkumis
tebal dengan suara penuh wibawa. "Jaga baik-baik
keselamatan Gusti Adipati. Aku mendapat tirasat tidak baik.
Tapi, mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu. Meski
demikian, jangan lengah!"
Lelaki berkumis tebal ini mengedarkan pandangan
pada tujuh orang berseragam pasukan kerajaan lainnya.
Lelaki ini membalapkan kudanya mendahului rombongan
kemudian membalikkan arah kudanya hingga berhadapan
dengan tujuh orang lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum
melanjutkan perjalanan.
Bunyi langkah kaki kuda dan gerit roda kereta
menggilas jalan tanah terdengar kembali. Tapi, baru juga
beberapa tombak meninggalkan tempat di mana sang
pemimpin rombongan memberikan peringatan, terdengar
bunyi berdesing nyaring yang disusul dengan menancapnya
sebatang tombak di hadapan empat orang berseragam
kerajaan yang berada di depan kereta.
Seketika itu pala kesibukan melanda delapan orang
perajurit kerajaan. Masing-masing mencabut pedang yang
tergantung di pinggang, Dan, dengan kesigapan khas
pasukan yang terlatih, mereka bergerak mengelilingi kereta.
Delapan pasang mata beredar. Masing-masing
mengarahkan pandangan ke arah kerimbunan semak-semak
yang berada di kanan kiri jalan selebar dua tombak. Sikap
mereka kelihatan penuh kewaspadaan. Bunyi sedikit saja
sudah cukup untuk membuat masing-masing bertindak!
Tapi ternyata gangguan yang dikhawatirkan tidak
muncul dari kerimbunan semak-semak. Bunyi berkerosakan
akibat terlandanya semak-semak dan pepohonan kecil
memang terdengar, tapi asalnya tidak dari rerimbunan semak
itu melainkan beberapa tombak di depan. Hanya berselisih
waktu demikian singkat dengan bunyi gaduh yang timbul,
belasan sosok bermunculan.
Lelaki berkumis tebal segera memajukan kudanya.
Dengan sikap tenang diperhatikannya belasan penghadan
itu. Mereka bertampang kasar dan berpakaian sembarangan.
Pakaian khas orang-orang golongan hitam!
"Maafkan kami, Sobat Sekalian. Bisakah kalian
menyingkir sebentar? Kami hendak lewat. Dan, kami tengah
memburu waktu. Atas kesediaan sobat-sobat sekalian telak
kami akan datang menghaturkan terima kasih. Tentu saja
dengan sedikit oleh-oleh!" ujar lelaki berkumis tebal. Sikap
dan suaranya tampak ramah. "Aku, Sokananta, pimpinan
rombongan ini"
"Bagaimana kalau kami tidak mau?!" sahut lelaki
berkepala botak yang bertubuh besar dan berperut gendut
dengan nada mengejek. Dialah pimpinan rombongan belasan
penghadang.
"Maaf, Sobat," kilah Sokananta dengan suara tidak
sehormat sebelumnya, kendati tidak kasar. Sikap lelaki botak
dan tawa rombongan penghadang yang penuh ejekan
membuatnya membuang sikap mengalah. "Rupanya, kalian
semua tidak mengenal siapa adanya kami dan orang yang
tengah kami kawal sekarang "
Lelaki botak mengalihkan pandangan ke arah kereta
kuda. Pada saat itu, dari jendela kereta melongok satu kepala
yang memiliki wajah tirus dan garis-garis penderitaan batin
di wajah. Pemilik kepala itu adalah sang adipati. Ia
melongokkan kepala dari jendela karena ingin mengetahui
hal yang tengah terjadi.
"Cuhhh!"
Lelaki botak membuang ludah dengan sikap kasar
dan menjijikkan. Kemudian, pandangannya dialihkan pada
Sokananta.
"Kami tahu siapa kalian, Pengecut-pengscut Hina!
Bukankah kalian semua melarikan diri dari serbuan pasukan
kerajaan? Dan, bukankah yang berada di dalam kereta itu
adalah sang adipati yang pengecut dan hendak
memberontak?!"
Wajah Sokananta langsung berubah. Pedang yang tadi
sudah dimasukkan ke sarung segera dicabutnya lagi.
Sikapnya terlihat penuh wibawa dan ketegasan ketika
kemudian berbicara.
"Aku tidak percaya kalau kalian perampok-perampok
biasa. Pasti ada rahasia besar di balik semua ini. Kalian tahu
kalau kami diserbu pasukan kerajaan yang menganggap
junjungan kami yang selalu setia pada kerajaan sebagai
pemberontak. Padahal, masalah ini belum diketahui orang
luar. Bahkan kami pun tahu hal itu sewaktu teijadi
penyerbuan pasukan kerajaan. Aku yakin kehadiran kalian di
sini pun tidak secara kebetulan!"
"Kau memang tidak sedungu yang kukira, Sokananta!
Kedunguanmu, hanya kau mengabdi pada orang yang salah!"
Sokananta membelalakkan sepasang matanya ketika
melihat sesosok tubuh muncul dari balik pepohonan di
belakang rombongan penghadang.
"Kau rupanya, Wisoka...," ujar Sokananta sambil
mengangguk-anggukkan kepala, maklum. Sosok itu berusia
tiga puluhan dan berpakaian seragam pasukan kerajaan.
"Sekarang aku tahu siapa yang berdiri di balik penyerbuan
pasukan kerajaan. Pasti ulah Patih Liwung yang tidak
menyukai junjunganku sejak dulu. Entah mengapa, Gusti
Prabu mudah sekali dihasut."
"Apa susahnya melakukan hal itu, Sokananta yang
dungu?!" ejek Wisoka. "Kami melakukan rencana yang amat
rapi. Seorang dayang raja kami ancam, seluruh keluarganya
akan dibasmi apabila dia tidak mau melaksanakan perintah
kami untuk membunuh Gusti Prabu. Dia tidak punya pilihan
lain kecuali melaksanakan perintah itu. Seperti yang kami
duga dayang itu gagal. Dan sesuai dengan perintah kami,
dayang itu mengaku disuruh oleh junjunganmu! Dengan
alasan geram karena tindakan dayang itu, salah seorang dari
kami membunuhnya. Tidak ada lagi yang akan membuka
rahasia. Hasilnya, seperti yang kalian alami sendiri! Ha ha
ha...!"
"Keparat!" Sokananta meraung seperti harimau luka.
Dia melompat dari punggung kudanya dan meluruk ke arah
Wisoka.
Tapi, lelaki botak dan rombongannya tidak
membiarkan tindakan itu. Mereka beramai-ramai
menyambuti. Melihat hal ini, prajurit bawahan Sokananta
tidak tinggal diam. Mereka pun ikut teijun dalam kancah
pertarungan.
Hanya dalam sekejapan suasana hutan yang semula
hening jadi gaduh oleh bunyi dentang senjata beradu dan
teriakan-teriakan. Namun, tak lama kemudian teriakan-
teriakan keras itu mulai berganti jerit kesakitan. Malah,
lolong kematian yang memilukan pun telah terdengar!
Dalam waktu sebentar saja telah jatuh korban
setengah lebih di pihak Sokananta. Sedangkan di pihak
Wisoka hanya satu orang yang roboh. Itu pun tidak tewas.
Wisoka dan lelaki botak segera mundur dari kancah
pertarungan. Mereka menghampiri kereta adipati. Karena,
dengan mundurnya mereka dari kancah pertarungan pun
tidak akan menguntungkan pihak Sokananta. Sokananta dan
seorang anak buahnya yang tersisa akhirnya tewas dengan
cara mengerikan. Tubuh mereka hancur menjadi cacahan
daging yang tidak berbentuk lagi karena dihujani belasan
senjata tajam.
"Gili...! Keluar kau...! Bersiaplah untuk menerima
kematian!" seru Wisoka tanpa nada penghormatan sedikit
pun. Bahkan, tidak memanggil Gili dengan jabatannya
sebagai adipati.
Brakkk!
Daun pintu kereta hancur berantakan, disusul
dengan turunnya dari dalam kereta seorang lelaki berpakaian
mentereng. Tubuhnya kecil kurus. Wajahnya muram seperti
lampu kehabisan minyak. Tarikan wajahnya tampak
menyiratkan seseorang yang menderita tekanan batin.
"Apa yang terjadi denganmu, Gili? Ketidaktenangan
hidup?" ejek Wisoka sambil menyeringai. "Kulihat wajahmu
layu seperti pohon yang tidak pernah kena air. Apakah
kematian istri, adik, dan putrimu yang menjadi
pe nye babnya?"
Mata Adipati Gili yang sejak tadi terlihat hampa bagai
orang yang kehilangan semangat hidup, seketika berkilau
tajam! Seakan ada cahaya yang mengusir kabut duka di
wajahnya. Rahang lelaki ini mengeras. Suaranya pun
terdengar penuh kemarahan dan ancaman
"Sepertinya kau tahu banyak mengenai peristiwa yang
menimpa mereka, Wisoka?!"
"Sepertinya, Gili? Ha ha ha...! Kau memang bebal!
Peristiwa yang menimpa anak, istri, dan adikmu itu adalah
hasil rencana Patih Sura Banggai. Beliau yang menyewa
perampok-perampok untuk membunuh keluargamu! Tentu
saja dengan bayaran yang luar biasa mahal. Setelah itu,
rombongan perampok yang tersisa kami bereskan. Dengan
demikian, rahasia terteijaga! Ha ha ha...!"
"Keparat!"
Adipati Gili menggeram bak singa teduka. Keras yang
terselip di belakang tubuhnya langsung dicabut. Kemudian,
ditusukkan ke arah Wisoka! Wisoka mengelak dan segera
balas menyerang. Pertarungan kembali terjadi.
Wisoka yang mempergunakan trisula memiliki
kepandaian tidak rendah. Tapi yang dihadapinya Adipati Gili.
Seorang patih kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi, dan
memiliki kemampuan untuk mengatur pemerintahan dengan
baik. Oleh karena itu, Patih Gili diangkat menjadi Adipati.
Menghadapi Adipati Gili yang lihai ini, Wisoka segera
saja terdesak. Melihat hal itu, lelaki botak tidak tinggal diam.
Dia ikut terjun dalam kancah pertarungan dengan
mempergunakan tongkat baja.
Ikut campurnya lelaki botak dengan cepat merubah
jalannya pertarungan. Adipati Gili segera terdesak.
Kepandaian si botak memang tinggi. Malah sedikit lebih tinggi
dari Wisoka. Tapi bila dibandingkan dengan Adipati Gili,
lelaki botak ini tetap kalah sedikit.
Adipati Gili bertarung bagai binatang buas terluka.
Lelaki itu begitu penuh semangat! Tapi, modal itu saja tak
cukup untuk dipakai menghadapi pengeroyokan lawan-
lawannya. Tak sampai dua puluh jurus ujung trisula Wtsoka
menyerempet perutnya. Susulan serangan berupa tendangan
lelaki botak membuat tubuhnya terlempar dan terguling-
guling di tanah.
"Terimalah kematianmu Gili!"
Sambi berseru keras. Wisoka melontarkan trisulanya.
Senjata itu meluncur deras kea rah Adipati Gili yang saat itu
tengah terguling-guling!
3
Trakkk!
Beberapa jengkal sebelum trisula Wisoka menghujam
tubuh Adipati Gili, sehelai sabuk meluncur dan
memapakinya. Trisula itu terpental jauh ketika terbentur
ujung sabuk berwarna merah muda!
Tidak hanya Wisoka, lelaki botak pun terkejut.
Serentak keduanya menoleh ke arah belakang Adipati Gili.
Terlihat seorang gadis cantik jelita berpakaian merah berdiri
dengan sikap gagah! Tahi lalat di bawah lubang hidungnya
sebelah kiri menambah kejelitaan wajahnya
"Menyingkirlah. Paman. Biar aku yang mewakilimu
menghajar pengscut-pengecut hina yang beraninya main
keroyok ini!" ujar gadis berpakaian merah itu.
Si gadis melangkah maju dan bersiap menghadapi
Wisoka serta lelaki botak. Pada saat yang bersamaan, Adipati
Gili segera bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menjauhi
arena pertarungan. Lelaki ini menyadari lawan-lawannya
terlalu tangguh untuk bisa dirobohkan.
Adipati Gili tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika
menatap si gadis. Sepasang matanya membelalak lebar.
Wajahnya pun pucat pasi seperti melihat hantu di tengah
hari. Lelaki kecil kurus ini terkesima seperti orang kena sihir!
Si gadis mengerutkan alisnya. Dia merasa heran
melihat tingkah Adipati Gili. Apakah ada yang salah dengan
dirinya sehingga membuat Adipati Gili bersikap seperti itu?
Barangkali ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Dengan
punggung tangan kiri diusap wajahnya secara asal.
"Ada apa, Paman?" tanya si gadis yang merasa risih
mendapat tatapan sedemikian rupa dari Adipati Gili.
Pertanyaan si gadis membuat Adipati Gili tersadar.
Dia tahu sikapnya itu tidak pantas. Maka, dengan gugup
digeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah..., ti..., tidak ada apa-apa, Nona. Tidak apa-apa... "
Gadis berpakaian merah melanjutkan langkahnya.
Adipati Gili bertindak serupa. Bedanya, kalau si gadis
mendekati Wisoka dan lelaki botak, Adipati Gili malah
sebaliknya. Lelaki berpakaian indah itu menjauhi tempat
pertarungan.
Tapi, setibanya di tempat yang aman Adipati Gili terus
memperhatikan si gadis dengan penuh selidik. Ada sesuatu
pada diri si gadis yang menarik perhatiannya. Gadis
berpakaian merah sendiri telah menghentikan langkahnya
ketika jaraknya dengan Wisoka dan lelaki botak tinggal tiga
tombak lagi. Kedua tangannya yang beijari-jari lentik
mempermainkan sabuk merah muda.
Wisoka dan lelaki botak segera menyadari lawannya
kali ini jauh lebih tangguh daripada Adipati Gili. Keduanya
pun bersikap lebih hati-hati. Senjata-senjata yang
tergenggam di tangan telah siap untuk dipergunakan. Wisoka
telah mengambil trisulanya yang tadi terlempar. Seandainya
Wisoka dan lelaki botak melihat tingkah Adipati Gili tadi,
mereka pasti akan keheranan. Tapi, perhatian mereka tengah
dipusatkan untuk menghadapi gadis yang telah siap
bertarung. Meski demikian, Wisoka sempat merasa heran.
Dia seperti pernah melihat gadis berpakaian merah ini.
Hanya kapan dan di mana tempatnya dia lupa.
"Apamukah keparat ini, Nona, sehingga kau sampai
membelanya? Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu! Tidak
sayangkah kau dengan usiamu yang masih muda?
Menyingkirlah dari sini, mumpung kami masih mau
bermurah hati," ujar Wisoka.
Wisoka tidak takut sekalipun tahu si gadis memiliki
kepandaian tinggi. Atau, setidak-tidaknya tenaga dalam yang
amat kuat, mengingat dengan ujung sabuk yang lemas
mampu membuat trisulanya terlempar jauh. Padahal, trisula
itu diluncurkan dengan tenaga penuh! Wisoka hanya tidak
ingin maksudnya untuk membunuh Adipati Gili gagal karena
lelaki itu kabur
"Aku memang tidak mempunyai hubungan apa pun
dengan orang yang kalian keroyok! Tapi, keperkasaannya
melawan kalian yang merupakan pengecut-pengacu t hina ini
telah mengagumkan hatiku. Dan aku, Nuri, tahu mana yang
harus kubela!" tandas si gadis penuh semangat.
"Sombong! Lihatlah nasib yang akan menimpamu,
Gadis Konyol!" maki Wisoka marah mendengar jawaban si
gadis. "Kau akan kuberikan pada belasan orang gagah di
belakang. Mereka akan memperkosamu habis-habisan
sampai kau mati kelelahan!"
Belasan anak buah lelaki botak menelan air liur
mendengar ucapan Wisoka. Sudah terbayang di benak
mereka nikmatnya menggeluti tubuh montok Nuri. Mata-
mata mereka merayapi sekujur tubuh Nuri seperti mata
seekor serigala kelaparan melihat anak domba gemuk.
Gadis berpakaian merah yang bukan lain murid Setan
Kepala Besi menjerit penuh kemarahan mendengar ucapan
Wisoka. Tangannya digerakkan sehingga membuat sabuknya
meliuk-liuk ke arah Wisoka sambil memperdengarkan bunyi
meledak-ledak seperti halilintar.
Wisoka segera mebmpat ke belakang mengelakkan
serangan itu. Di saat yang bersamaan, lelaki botak
mengayunkan tongkatnya untuk menyapu lutut Nuri.
Nuri melompat ke atas menghindari serangan lawan.
Kemudian, dia melancarkan serangan balasan yang tidak
kalah dahsyat. Sekejapan saja pertarungan yang jauh lebih
sengit segera tercipta!
Adipati Gili menatap Nuri dengan sepasang mata
berkaca-kaca. Tanpa sepengetahuan siapa pun, begitu Nuri
memperkenalkan namanya, lelaki ini hampir berteriak karena
kaget. Untung dia cepat menutup mulut sehingga seruan
yang hampir dikeluarkan tertelan kembali.
Meski demikian, Adipati Gili tidak mau berkedip
sekejap pun. Padahal, dengan berkaca-kacanya matanya
terasa panas. Tapi kekhawatiran kalau kedipan itu akan
membuatnya sekejap tidak menyaksikan jalannya
pertarungan memaksa Adipati Gili berkeras untuk terus
membuka mata.
Nuri ternyata terlalu tangguh untuk dilawan olel
Wisoka dan si lelaki botak. Kemampuannya yang tinggi
membuat Nuri mampu mendesak kedua lawannya. Dan
senjatanya yang lemas sehingga mudah menerima aliran
tenaga dalam itu semakin menambah kebingungan mereka.
Sabuk merah muda di tangan Nuri menjadi senjata
yang amat berbahaya. Begitu mudah dan cepat berubah
bentuk! Terkadang menegang kaku laksana pedang atau
golok. Tapi, tak jarang melecut-lecut seperti cambuk dan
mengeluarkan bunyi menggelegar. Di lain waktu, meliuk-liuk
seperti ular. Tak terduga ke mana arah yang dituju. Persis
seekor ular sungguhan! Itu pun masih ditambah lagi dengan
mampu membelit dengan kuat hingga tak kalah dengan
jepitan baja.
Tahu kalau berdua tidak akan dapat menghadapi
Nuri, lelaki botak segera memerintahkan anak buahnya
untuk membantu mengeroyok. Belasan orang itu pun
menghunus senjata masing-masing dan terjun 1$ dalam
kancah pertarungan. Bantuan mereka ternyata hampir tidak
berarti. Tingkat kepandaian mereka terlalu rendah. Hanya
dalam beberapa gebrakan saja orang-orang yang sial itu
berpentalan satu persatu ke belakang ketika ujung sabuk
Nuri melecut. Tidak membuat mereka tewas memang, tapi
cukup untuk memaksa para lelaki bengis itu tidak mampu
bangkit dan mengeroyok lagi.
Lelaki botak dan Wisoka mendapat giliran belakangan.
Ujung sabuk Nuri melecut dada mereka dengan keras.
Keduanya pun roboh dengan terluka dalam yang parah,
seperti belasan rombongan anak buah lelaki botak.
Nuri menatapi lawan-lawannya satu persatu sambil
membelitkan sabuknya kembali 1$ pinggangnya yang
ramping.
"Untunglah kalian," ucap Nuri penuh wibawa. "Aku
bukan orang yang berhati kejam. Dan lagi, aku tidak
mempunyai urusan dengan kalian. Maka aku tidak akan
membunuh kalian. Tapi, ingat! Bila lain kali bertemu dengan
kalian lagi dan sikap kalian masih seperti ini, aku tidak bisa
bermurah hati lagi. Camkan itu baik baik!"
"Nuri...."
Sapaan yang sarat dengan getaran perasaan itu
membuat Nuri membalikkan tubuh. Asal sapaan datang dari
belakang tubuhnya. Rasa heran karena mampu menangkap
getaran perasaan yang amat besar dalam sapaan itu
membuat Nuri cepat memberikan tanggapan.
Tepat seperti dugaan Nuri. Orang yang memanggilnya
adalah Adipati Gili. Suara adipati itu telah dikenalnya. Nuri
merasa heran ketika melihat sepasang mata Adipati Gili
tampak berkaca-kaca. Apa pula ini? Tanya si gadis dalam
hati. Apakah Adipati Gili demikian cengeng? Menangis karena
luka yang diderita? Dugaan ini membuat Nuri kecewa
"Benar namamu Nuri...?" tanya Adipati Gili kemudian.
Suaranya terdengar lebih gemetar karena bibir-bibimya
menggigil.
"Benar, Paman? Kenapa?" tanya Nuri dengan rasaan
heran yang menjadi.
"Kau tahu siapa ibu dan ayahmu?"
Nuri mulai bisa menduga arah pertanyaan Adipati
Gili. Jantung gadis ini pun berdetak lebih cepat dari
biasanya.
"Tidak, Paman. Aku tidak tahu siapa orang tuaku.
Sejak kecil aku dipelihara dan dibesarkan oleh guruku.
Menurut beliau, ayah dan ibuku tewas di tangan para
perampok," suara Nuri gemetar ketika menjawab. "Apakah
kau tahu siapa ayah ibuku, Paman?"
Sekarang tidak hanya suara Adipati Gili yang
menggigil. Kedua kakinya pun goyah! Rupanya, guncangan
perasaan yang melandanya demikian hebat
"Apakah gurumu itu menceritakan di mana tewasnya
orang tuamu itu, Nuri? Apakah di hutan karet...?"
"Benar, Paman. Dari mana kau tahu hal ini? Siapakah
kau sebenarnya?"
"Nuri, Anakku...!"
Adipati Gili berseru. Serak. Penuh perasaan haru dan
gembira yang besar. Kedua tangan lelaki itu terkembang
ketika melangkah tertatih-tatih ke arah Nuri.
Nuri melangkah mundur selangkah. "Kau jangan
membohongiku, Paman. Orang tuaku telah mati di tangan
perampok. Kau jangan mengaku-aku sembarangan saja. Aku
bisa marah dan menghajarmu, Paman!"
Adipati Gili merasakan nada kesungguhan dalam
nada dan sikap Nuri. Maka, dia menghentikan langkahnya.
Wajahnya berubah sedih ketika melihat penolakan gadis
berpakaian merah itu.
"Percayalah, Nuri. Kau benar anakku. Aku tidak
berdusta. Sungguh, Nak. Bertahun-tahun kau kucari.
Bahkan seluruh prajurit kadipaten kupesan dan
kuperintahkan untuk mencarimu ketika tidak kutemukan
mayatmu di sana. Yang ada hanya mayat para prajurit,
ibumu, dan adikku yang kuperintahkan untuk menemani
ibumu pergi, Nuri," urai Adipati Gili untuk menimbulkan
kepercayaan Nuri.
Nuri tetap diam. Sikapnya belum bembah. Malah, jadi
terkesima seperti orang terkena sihir. Rupanya cerita yang
didengarnya terlalu mengejutkan hati.
"Mungkin adikku yang dianggap gurumu sebagai
ayahmu, Nuri. Kau tahu, Anakku. Wajahmu sangat mirip
dengan mendiang ibumu. Karena itu, aku kaget ketika
melihatmu tadi. Kukira kau istriku yang bangkit kembali dari
kuburnya. Tapi, akal sehatku segera membuatku sadar kalau
hal itu tidak mungkin terjadi. Orang yang telah mati tidak
mungkin akan bangkit kembali. Lagi pula, antara kau dan
ibumu ada perbedaan yang amat menyolok. Ibumu menyukai
warna putih. Karena itu pakaian yang dikenakannya selalu
putih. Sedangkan kau sejak kecil suka dengan warna merah!"
Adipati Gili menghentikan ceritanya untuk mengambil
napas. Guncangan perasaan yang melanda membuatnya
cepat lelah. Juga luka akibat serangan Wisoka dan lelaki
botak belum diobatinya.
Nuri masih membeku di tempatnya. Gadis ini seakan
telah berubah menjadi patung batu yang amat cantik.
Wajahnya beku. Sinar matanya hampa. Kendati demikian,
semua keterangan Adipati Gili didengarnya dengan jelas.
"Kau anak yang lama kami nantikan kehadirannya.
Kau lahir setelah kami menikah lima tahun. Kami amat
menyayangimu Nuri, untuk menyatakan rasa sayang itu
kami membuat sapu tangan yang berbeda. Ibumu sapu
tangan putih dengan sulaman namamu berwarna merah. Aku
mempunyai sapu tangan kuning bertuliskan namamu dengan
benang merah. Sedangkan kau Nuri, sapu tanganmu merah.
Tapi nama yang tersulam, meski namamu, tersulam atas dua
warna. Kuning dan putih! Ketika kau menyebutkan nama,
aku yakin kalau kau adalah Nuri-ku yang hilang.
Sekujur tubuh Nuri menggigil. Penjelasan Adipati Gili
yang terakhir begitu menusuk hatinya. Meski demikian, dia
tetap tidak beranjak dari tempatnya.
"Apakah kau masih menyimpan sapu tangan itu,
Nak?" tanya Adipati Gili sarat dengan perasaan haru. "Aku
masih menyimpannya. Kuanggap sapu tangan ini adalah
dirimu, Nuri. Apabila aku rindu padamu kupandangi sapu
tangan ini. Rupanya, Tuhan berkenan memperkenankan
keinginanku untuk bertemu denganmu. Aku tidak meminta
banyak-banyak. Hanya, sebelum pergi dipanggil-Nya aku
ingin bertemu utanmu, Anakku. Itu saja pintaku Sungguh
tidak disangka permintaanku dikabulkan-Nya. Aku bahagia
sekali melihat kau yang dulu kecil dan lincah kini tumbuh
menjadi seorang gadis cantik jelita seperti mendiang ibumu.
Memiliki kepandaian tinggi lagi. Kalau ibumu masih hidup
dia pasti akan sangat bahagia dan bangga, Nuri."
Adipati Gili mengeluarkan sehelai sapu tangan kuning
bersulamkan benang merah yang bertuliskan nama Nuri
Kali ini Nuri tidak bisa bertahan lagi dengan sikapnya.
Dengan jari-jari tangan menggigil dikeluarkan dua helai sapu
tangan yang memiliki ciri-ciri seperti yang dikatakan Adipati
Gili. Sapu tangan yang sejak dulu menjadi tanda tanya besar
bagi Nuri, namun sekarang telah terpecahkan rahasianya!
"Kau benar Nuri, Anakku," rintih Adipati Gili.
"Ayaaah...!"
Nuri berseru nyaring sambil menghambur ke arah
Adipati Gili dengan kedua tangan terkembang. Wajah Adipati
Gili jadi berseri-seri. Matanya seperti menyiratkan cahaya.
Lenyap sudah gumpalan kabut duka yang belasa tahun
menutupi sepasang mata dan wajahnya. Lelaki ini
mengembangkan kedua tangan dan membiarkan tubuh Nuri
masuk ke dalam pelukannya. Dipeluknya gadis itu dengan
penuh kegembiraan, dan rasa sayang yang besar. Dua titik
air mata mengalir dari mata Adipati Gili. Air mata
kegembiraan.
Hanya dua titik! Namun, sangat berharga bagi Adipati
Gili. Lelaki ini tidak pernah menangis sebelumnya. Bagi
Adipati Gili, lebih baik berhamburan darah daripada
meneteskan setitik air mata. Tapi kali ini keadaannya lain. Itu
terjadi begitu saja. Bagaimanapun juga lelaki ini seorang
manusia yang tidak luput dari landaan berbagai macam
perasaan.
"Apakah Ayah tahu orang-orang yang telah
membunuh ibu?" tanya Nuri setelah gelombang rasa harunya
terlampiaskan. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan
Adipati Gili bagai disengat ular berbisa. Dia telah lupa
segala hal. Yang diingatnya hanya tentang Nuri. Baru
sekarang dia teringat lagi. Cepat pandangannya dialihkan
pada tempat Wisoka dan kelompoknya tergolek.
Ternyata Wisoka dan teman-temannya masih ada di
situ. Mereka tidak bisa menggunakan kesempatan di saat
ayah dan anak itu lamt dalam pertemuannya untuk
melarikan diri. Keadaan mereka tidak mendukung!
Sejak tadi Wisoka dan kelompoknya mengeluh
mendengar perbincangan Adipati Gili dengan Nuri. Terutama
Wisoka. Begitu mendengar Adipati Gili memanggil Nuri
sebagai anaknya, sebelum Nuri sendiri mengakuinya, Wisoka
segera tahu kalau Nuri adalah putri Adipati Gili. Pengakuan
sang adipati itu telah membuatnya sadar kalau dia belum
pernah melihat Nuri sebelumnya. Yang pernah dilihatnya
adalah orarg lain yang mirip dengan Nuri. Dan, orang itu
adalah istri Adipati Gili, ibu Nuri!
"Mereka semualah yang telah membunuh ibumu,
Nuri. Mungkin juga kau akan menjadi korban apabila
gurumu tidak datang dan menyelamatkanmu!" beritau
Adipati Gili sambil menunjuk Wisoka dan rombongannya.
"Tapi, orang yang paling jahat di antara mereka adalah dia!"
tunjuk Adipati Gili pada Wisoka. Nuri menggertakkan gigi.
Sepasang matanya berkilat memancarkan kemarahan. Tak
ubahnya seekor harimau betina yang diganggu anaknya.
"Apa yang seharusnya aku lakukan terhadap mereka
Ayah?" desis Nuri penuh ancaman maut.
Adipati Gili mengangkat bahu
"Entahlah, Nuri. Begitu bertemu denganmu dan kau
mengakuiku sebagai Ayah, hilang sudah rasa sakit hati yang
bertumpuk-tumpuk selama belasan tahun ini
"Tapi bila mereka kita biarkan begitu saja terlalu
enak. Ayah!" bantah Nuri. "Di samping itu, bukan tidak
mungkin mereka akan melakukan tindakan serupa. Kurasa,
orang-orang berhati binatang seperti mereka tidak patut
dibiarkan berkeliaran lebih lama di muka bumi!"
Adipati Gili mengangguk-anggukkan kepala. Dia
menyetujui pendapat putrinya. Bisa dirasakan sakit hati yniig
diderita Nuri. Karena perbuatan mereka, Nuri tidak
merasakan kasih sayang orang tua. Terlalu enak memang
kalau dibiarkan begitu saja. Nuri benar!
"Aku harus meminta ganti rugi atas hilangnya kasilh
sayang Ayah dan Ibu. Tambahan lagi rasa sakit hati Ayah.
Belum lagi penderitaan batin yang Ayah alami selama belasan
tahun. Mati sepuluh kali pun belum cukup untuk membayar
semua hutang-hutang itu!"
Dengan pandang mata beringas seperti harimau lapar
mencium bau darah. Nuri mebloskan sabuknya. Gerakan
gadis itu diperhatikan Wisoka dan kelompoknya dengan
wajah pucat. Meieka telah bisa memperkirakan apa yang
akan menimpa.
Nuri melecutkan sabuknya. Wisoka dan kelompoknya
merasakan nyali mereka melayang pergi meninggalkan
tubuh. Sabuk di tangan Nuri tak kalah ampuh dengan
senjata tajam. Bisa diperkirakan akan mengirim nyawa
mereka ke alam baka!
Semua melongo ketika melihat sabuk tidak meluncur
ke arah mereka, tapi menuju sebatang pohon. Ujung sabuk
yang menghantam sasaran menimbulkan ledakan keras.
Pohon bergoyang keras bagai didorong-dorong seekor gajah
liar
Wisoka dan kebmpoknya, tidak terkecuali Adipati Gili,
merasa takjub bercampur ngeri melihat daun-daun pohon
berguguran. Apalagi ketika melihat daun-daun itu tidak jatuh
ke tanah. Tapi, melayang dengan kecepatan menakjubkan ke
arah Wisoka dan kelompoknya. Bunyi berdesing nyaring yang
terdengar menjadi pertanda cepatnya luncuran daun-daun.
Wisoka dan semua anggota kebmpoknya memekik
memilukan ketika daun-daun menghujam dahi mereka.
Sekejap kemudian, belasan orang itu menggelepar-gelepar
sekarat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Mati!
Nuri menyimpan sabuknya kembali. Wajah gadis itu
agak pucat karena ini untuk pertama kalinya dia membunuh
orang! Tidak hanya satu, melainkan belasan! Tapi,
dikeraskan hatinya untuk membuang rasa nyeri yang
melanda.
Adipati Gili memaklumi perasaan yang tengah
berkecamuk di hati putrinya. Disentuhnya bahu Nuri.
Perlahan Nuri menobh dan tersenyum dipaksakan ketika
melihat ayahnya tersenyum.
"Mari kita cari tempat yang tenang untuk saling
bercerita mengenai pengalaman masing-masing. Aku sudah
tidak sabar lagi mendengarkan pengalamanmu yang luar
biasa, Nuri."
Nuri mengangguk. Ayah dan anak yang tengah diliputi
rasa gembira itu pun melesat pergi meninggalkan tempat itu.
***
"Ke manakah kita harus mencari bangsat penculik itu.
Ayah?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pemuda
berpakaian cokat dan bertubuh pendek kekar. Alis pemuda
ini tebal, hitam, dan berbetuk golok.
Sosok yang disapa si ayah, dan tengah berlari cepat di
sebelah si pemuda, menoleh sebentar.
"Ke mana saja, Gentala," jawab sang ayah. Seiring
lelaki berusia lima puluhan, berkumis melintang dan bermata
picak. "Tapi, aku yakin dengan ciri-ciri yang dimilikinya tidak
terlalu sulit untuk mengikuti jejaknya. Pemuda yang
mengenakan pakaian serba merah dan berikat kepala merah
tidak banyak. Jadi kita bisa mencari keterangan itu di
sepanjangjalan".
Gentala, si pemuda beralis tebal, tidak bertanya lagi.
Namun, kelihatan jelas kalau dia geram bukan main. Tinju
kanannya dipukulkan ke telapak tangan kiri sehingga
menimbulkan bunyi keras. Samar-samar terlihat kepulan
asap tipis. Gerakan itu dilakukan sambil terus berlari.
"Kalau kutemukan, akan kuhancurkan kepala
penculik terkutuk itu. Apalagi kalau dia berani-berani
mengganggu Priyani. Akan kubuat hancur seluruh tulang-
belulangnya!"
"Jangan kau terlalu memandang rendah penculik itu,
Gentala!" tegur lelaki bermata picak.
"Aku heran mengapa Ayah demikian meremehkanku?
Aku jadi ingin tahu sampai di mana kemampuan penculik
itu? Sampai-sampai Ayah tidak mau melepaskan aku
mencari penculik Priyani itu sendiri!" terdengar penuh
penasaran ucapan yang dikeluarkan Gentala. Sepasang
alisnya yang tebal berkerut dalam menandakan
ketidaksenangan hatinya.
"Tidak kau dengar cerita Empu Lahang Samedi,
Gentala?" tukas lelaki bemnata picak. "Kau tahu sendiri
Priyani, adik seperguruanmu itu, memiliki kepandaian tidak
rendah. Malah hanya berselisih sedikit saja denganmu. Kau
saja yang telah mengenal semua ilmu dan gerakannya tidak
mudah untuk merobohkannya. Sedangkan penculik itu?
Tanpa bergeming dari tempatnya dia telah membuat Priyani
bersama-sama Empu Lahang Samedi tidak berdaya! Bisa kau
bayangkan betapa tinggi kepandaiannya. Jangankan kau,
aku sendiri tidak yakin akan mampu menghadapinya, apalagi
untuk merobohkannya!"
"Tapi, Empu Lahang Samedi tidak masuk hitungan.
Ayah!" bantah Gentala, tidak puas. "Apa hebatnya kakek itu?
Kalau kepandaiannya tinggi, untuk apa dititipkannya pada
Ayah?"
Lelaki bermata picak menghentikan lari dengan tiba-
tiba. Ini membuat Gentala bertindak serupa. Napas ayah dan
anak ini biasa saja kendati telah berlari cepat tanpa berhenti.
Hanya, peluh membasahi dahi dan leher Gentala. Sedangkan
pada ayahnya hanya di dahi.
"Kau tahu, Gentala, sikapmu yang terlalu menganggap
diri sendiri paling hebat yang tidak kusukai!" tandas lelaki
bermata picak sambil menatap putranya dengan pandangan
tajam.
Gentala diam. Bahkan, menundukkan kepala. Kaki
kanannya tampak digurat-guratkannya ke tanah.
"Asal kau tahu saja, sikap sombong akan membuatmu
menyesal nantinya. Kau menganggap dirimu sudah tidak
memiliki lawan lagi. Itu akan mengurangi kegiatanmu
menuntut ilmu. Perlu kau sadari, Gentala. Di dunia
persilatan tak terhitung jumlahnya tokoh-tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi. Jangankan hanya kau, aku
sendiri pun tak akan lebih dari setitik debu di dunia
persilatan. Tidakkah kau ingat kalau di atas langit masih ada
langit?!"
Gentala tetap diam. Ia tidak memberikan tanggapan.
Wajahnya pun tidak diangkat sedikit pun.
Lelaki picak terdengar menghela napas berat. Disadari
kalau dia telah keliru mendidik. Dan, ini memang salahnya
sendiri. Sejak kecil apa pun yang diinginkan Gentala selalu
dipenuhinya. Gentala amat dimanjanya! Ini dilakukannya
karena Gentala tidak mempunyai ibu lagi. Istri lelaki ini
meninggal saat melahirkan Gentala.
"Sekarang, dengan telingaku sendiri kudengar kau
memandang rendah Empu Lahang Samedi! Jangar kau
merasa aku lebih hebat daripadanya karena dia mengirim
putrinya belajar padaku. Kau keliru, Gentala!"
"Tapi, bukankah Ayah sendiri yang mengatakan
begitu? Kudengar sendiri ketika dulu kutanyakan hal itu
pada Ayah. Bahkan, Ayah bercerita kalau Ayah terhitung
tokoh besar dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenai
Malaikat Picak? Sekarang Ayah justru bicara sebaliknya.
Mana ucapan Ayah yang benar?"
"Semuanya benar!" jawab sang ayah yang beijuluk
Malaikat Picak. "Dan, tidak ada satu pun yang paling
bertentangan. Hanya kau saja yang mengartikannya lain.
Memang benar Empu Lahang Samedi memiliki kepandaian di
bawahku. Tapi, hanya berselisih sedikit saja. Kalau
dibandingkan dengan kau tentu saja masih lebih tinggi
kepandaiannya. Itu hal pertama. Yang kedua benar aku
Malaikat Picat memang terhitung tokoh besar dunia
persilatan. Tapi, itu tidak berarti kalau aku jago nomor satu
atau tokoh tak terkalahkan. Kau musti tahu hal itu, Gentala.
Ada yang besr pasti ada yang lebih besar. Yang lebih besar
lagi dan tak terhitung banyaknya. Nah, apakah ucapanku
saling bertentangan?"
Gentala tampak tidak puas dengan penjelasan
ayahnya. Dia menatap wajah ayahnya sejenak
"Aku memang salah! Sombong, memandang rendah
orang lain, dan selalu salah menilai orang. Meski demikian,
walau Ayah merendah-rendahkan diriku dan selalu
menganggap penculik hina itu memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi daripadaku, aku akan tetap memburunya.
Apa pun yang akan teijadi terhadap diriku. Kuharap kau
membiarkanku pergi melaksanakan maksudku, Ayah!
Selamat tinggal!"
Tanpa memberikan kesempatan pada ayahnya untuk
memberikan tanggapan, Gentala melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Pemuda ini mengerahkan seluruh ilmu lari
cepatnya sehingga dalam sekejapan telah berada jauh di
depan.
"Gentala...!"
Malaikat Picak berseru memanggil putranya. Tapi
Gentala tetap terus berlari. Jangankan berhenti, menoleh pun
tidak.
Malaikat Picak menghela napas berat. Dia merasa
khawatir sekali dengan keselamatan putranya. Namun
disadarinya kalau Gentala tidak bisa dicegah lagi. Watak
emuda itu terlalu keras. Apa yang diinginkannya harus
terlaksana, apa pun hambatannya!
Lelaki bermata picak ini hanya mengawasi Gentala
hingga tubuh pemuda itu lenyap di kejauhan. Baru setelah
itu Malaikat Picak melesat menuju tempat yang tadi dituju
putranya. Perasaan kawatir yang membuat Malaikat Picak
bersikeras mengikuti.
4
Aiya mengernyitkan alis. Seluruh perhatiannya
dipusatkan pada pendengaran. Sekilas tadi ia menangkap
bunyi napas yang berirama teratur. Seperti napas yang
keluar dari orang yang tengah bersemadi.
Sambil memusatkan perhatian pada telinga, Aiya
mengedarkan pandangan ke kanan dan kirinya. Pemuda
berambut putih keperakan ini tengah berada dijalan berbatu
selebar dua tombak. Pada bagian kanan kiri jalan menjulang
tinggi dinding batu seakan hendak mencapai langit.
Anehnya, pada dinding tebing itu banyak terdapat
lubang-lubang bergaris tengah setengah tombak. Banyak
sekali lubang itu. Berderet-deret tak ubahnya lubang-lubang
sarang tawon. Tinggi lubang terendah dari tanah tak kurang
dari lima tombak.
Hanya dalam waktu sebentar saja Aiya telah tahu
kalau bunyi halus yang didengarnya berasal dari lubang-
lubang di dinding tebing. Namun, sulit untuk memastikan
lubang yang tepat.
Tapi, ternyata Aiya tidak perlu icpot-iepot untuk
mencarinya. Dari lubang-lubang yang ada di tengah melesat
dua sosok tubuh. Tidak dari satu lubang, melainkan dua.
Cepatnya gprakan sosok itu membuat Dewa Arak tidak bisa
melihamya secara jelas. Dia hanya melihat bayangan merah
dan putih
Jantung Aiya langsung berdetak cepat. Baju merah
itulah yang menyebabkannya bagai tercekat. Bahkan,
pemuda ini sampai melompat mundur dengan kewaspadaan
penuh. Benak Aiya langsung menduga kalau sosok bayangan
itu adalah Lingga! Bukankah dia mengenakan pakaian serba
merah? Hanya saja yang menjadi pertanyaan Aiya adalah
sosok bayangan putih itu. Kawan Lingga-kah?
Sepengstahuannya, Lingga tidak pernah bertindak bersama-
sama. Pemuda itu selalu berusaha sendiri. Keangkuhannya
yang membuatnya demikian.
Ketika dua sosok bayangan itu menjejak tanah baru
Aiya melihatnya dengan jelas. Dua sosok itu salah satunya
bukan Lingga. Kendati demikian Aiya mengenalnya. Meieka
dua orang kakek yang memiliki ciri-ciri saling bertolak
belakang.
Kakek yang satu kurus tinggi, berkulit putih dam
mengenakan pakaian warna putih. Jenggotnya yang pendek
berwarna putih. Tampangnya tampak angker. Sedangkan
kakek yang satu pendek gemuk, berkulit merah dan
beijenggot panjang merah. Warna yang sama membungkus
tubuhnya. Kakek inilah yang menimbulkan bayangan merah
dan membuat Aiya mengira kalau dirinya adalah Lingga.
"Kalian rupanya...," desis Aiya. Ada kegembiraan dan
kekecewaan sekaligus dalam suaranya. Gembira karena
bertemu dengan orang yang memang dicari-carinya. Dua
kakek inilah yang telah menculik Nuri, murid Setan Kepala
Besi (Untukjelasnya, silakan baca episode: "Golok Kilat").
Rasa kecewa yang timbul adalah karena sosok
bayangan merah itu bukan Lingga. Dewa Arak amat ingin
segera bertemu Lingga agar bencana yang menyabar bisa
cepat dihentikan. Apakah malapetaka itu akan lenyap dengan
berhasilnya Aiya menumpasnya? Atau, Dewa Arak yang akan
tertumpas dan bencana terus berkecamuk sampai
munculnya orang yang akan bisa meredamnya?
"Rupanya matamu masih awas, Aiya," sahut kakek
pendek gemuk, yang memiliki watak lebih ramah daripada
rekannya yang tinggi kurus. "Kau masih bisa mengenali
kami."
"Aku masih ingat karena sikap kalian yang
menimbulkan kesan di hati," jawab Aiya dengan bersungguh-
sungguh seraya memandang wajah kedua kakek itu
bergantian.
Kakek pendek gemuk tersenyum. Sedangkan re¬
kannya mendengus. Watak kedua kakek ini pun hampir
bertentangan satu sama lain, seperti halnya pakaian din ciri-
ciri tubuhnya.
"Sikap kami? Sikap mana yang kau maksudkan?"
tanya kakek pendek, ingin tahu.
"Penculikan terhadap murid Setan Kepala Besi," jawab
Aiya. "Itu tidak aneh atau luar biasa. Yang membuat
berkesan adalah petunjuk palsu untuk Setan Kepala Besi
yang kalian titipkan padaku. Kalian menyebut Gua Iblis. Tapi
ketika Setan Kepala Besi datang ke sana, kalian tidak ada.
Hanya tempat kosong yang ditemui oleh Setan Kepala Besi.
Jangankan dua orang manusia, lalat gemuk pun tidak ada di
sana!!'
"Jadi, kau kira kami bohong..?!" dengus kakek
jangkung kurus, menyiratkan perasaan tidak senang. "Kau
dan Setan Kepala Besi mengira kami menipu begitu?"
"Lalu, apa lagi?" Aiya mengangkat kedua bahunya.
"Haruskah kukatakan kalau aku salah dengar atau kalian
masih dalam perjalanan? Atau..., kalian salah menyebutkan
tempat, begitukah?"
"Kau besar kepala, Anak Muda!" sentak kakek
jangkung kurus "Rupanya, sedikit kepandaian yang dimiliki
membuatmu merasa yakin akan dapat dipergunakan untuk
menekan kami. Kau mimpi! Sebaliknya kau akan mengalami
kejadian seperti sebelumnya. Bahkan mungkin kali ini
nyawamu yang hanya satu itu tidak bisa kau selamatkan
lagi!"
"Kalau itu terjadi padaku, apa boleh buat. Akibat
seperti itu jauh-jauh hari telah kuketahui," timpal Arya.
Sekujur urat-urat syaraf pemuda ini menegang waspada
Kakek jangkung kurus menggertakkan gigi. Jawaban
Dewa Arak dianggapnya sebagai tantangan. Melihat sikap si
kakek, Arya pun bersiap-siap.
Kakek pendek gemuk tertawa berkakakan.
"Dasar orang-orang hutan. Yang dipikirkan hanya
berkelahi saja. Merah!" tegur kakek pendek pada rekannya.
"Kau sendiri kelewatan! Sudah tahu pemuda itu
menghendaki alasan kita kau malah mengajaknya
bertarung."
Kakek jangkung yang dipanggil Merah mendengus
kesal. Kakek gemuk tidak mempedulikannya sama sekali.
Perhariannya sekarang dialihkan pada Arya.
"Kau jangan terburu nafsu, Anak Muda. Buang jauh-
jauh prasangka tidak baikmu itu. Ketahuilah, semua
dugaanmu itu salah. Kami tidak bisa memenuhi janji itu
karena adanya hambatan di perjalanan. Hambatan itu pula
yang menyebabkan tawanan kami, murid Setan Kepala Besi,
lolos. Ah..., tidak pantas disebut lolos karena sengaja dia
kami lepaskan agar selamat dari bahaya. Aku yakin pemuda
luar biasa yang menghadang perjalanan kami itu bermaksud
jahat kepadanya."
"Pemuda luar biasa...?!" ulang Arya, kaget. Bayangan
wajah Lingga melintas di benaknya. "Jadi, kalian dihadang
pemuda itu dan kalian dikalahkannya?"
Kakek jangkung mendengus.
"Kami dikalahkan? Lelucon macam apa itu! Mana
mungkin kami bisa dikalahkan. Apalagi kalau orang itu
adalah seorang pemuda."
"Ya, bila pemuda yang kalian maksudkan itu adalah
Lingga. Dia bukan pemuda sembarangan! Kepandaiannya tak
terukur. Itu masih ditambah lagi dengan kecerdikannya. Ini
membuatnya menjadi seorang lawan yang amat berbahaya
dan berat!"
"Lingga?!"
Kakek gemuk mengulang nama yang diucapkan Aiya.
Sedangkan kakek jangkung hanya mendengus dan bersikap
tak peduli.
"Benar. Lingga seorang pemuda sakti yang licik serta
kejam. Dia selalu mengenakan pakaian serba merah. Ikat
kepala merah membelit dahinya...."
"Seperti itukah ciri-ciri orang yang bernama Lingga?
Kalau begitu, pemuda yang kami hadapi adalah Lingga. Kau
kenal dia, Anak Muda?" selak kakek pendek.
"Bukan kenal lagi, Kek," jawab Aiya. "Begitu
mendengar kalau orang yang menghadang kalian hingga
membuat tawanan itu lolos adalah seorang pemuda, aku
sudah bisa menduga dia tak lain Lingga. Lingga tidak patut
dikatakan manusia. Dia lebih tepat disebut iblis!"
"Kalau dia tidak memiliki ilmu aneh yang membuat
serangan-serangan kami tidak berarti, jangan harap lolos dari
tangan kami!" kakek jangkung masih menyombong. Dia lupa
kalau perkataannya sekarat sama dengan mengatakan kalau
sejak tadi dia berbohong.
"Lingga memang luar biasa!" dukung Aiya, memuji
kehebatan seterunya. "Dia mampu mendapatkan ilmu-ilmu
menggiriskan dalam waktu yang demikian cepat. Padahal,
pada pertemuan pertama dia belum memiliki ilmu luar biasa.
Kepandaiannya memang lual biasa, tapi aku masih bisa
me nan ggulan ginya."
"Kau kira kami anak kecil yang mudah dibohongi
dengan cerita murahan seperti itu, Anak Muda?!" kecam
kakek jangkung, pedas.
Aiya tidak mempedulikan ucapan kate k itu. Pemuda
ini dengan tenang melanjutkan ceritanya.
"Tapi pada pertemuan kedua, mungkin nyawaku telah
lepas dari badan kalau Setan Kepala Besi tidak segera
datang. Lingga dengan ilmunya yang baru bagaikan seekor
harimau yang tumbuh sayap. Amat berbahaya! Dia datang
tak lama setelah kalian pergi. Untungnya aku telah berhasil
bebas dari pengaruh serangan kalian. Kalau tidak, Lingga
dengan mudah akan membantaiku! Perlu kalian ketahui,
Kek, Lingga amat benci padaku karena beberapa waktu yang
lalu kejahatannya pernah kuhalangi!"
Kakek pendek dan kakek jangkung kali ini tidak
memberikan tanggapan. Mereka mulai percaya setelah
mendengar uraian Aiya.
"Kurasa kalian harus cepat-cepat menemui Setan
Kepala Besi untuk menjelaskan kejadian sebenarnya, agar
tidak terjadi salah paham yang lebih besar. Lagi pula kulihat
luka dalam yang kalian derita telah hampir pulih. Maaf, aku
tidak bisa menemani lebih lama karena harus segera mencari
Lingga, untuk mencegah terjadinya angkara murka yang
lebih besar lagi. Selamat tinggal, Kek."
Dewa Arak melesat dengan pengerahan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Dua kakek itu menggeleng-
gelengkan kepala penuh rasa kagum ketika melihat Arya
telah berada belasan tombak dalam sekali lesatan. Kakek
jangkung yang selalu bersikap sinis malah meleletkan lidah
saking kagumnya. Dia pun tahu Arya berbicara benar kalau
dulu pernah mengalahkan Lingga. Dan, ia pun sadar kalau
keberhasilannya melukai pemuda itu karena kelengahan
Arya. Jika terjadi bentrokan kedua belum tentu Dewa Arak
akan dapat dirobohkannya.
Kakek pendek mendecak-decak lidahnya.
"Dunia semakin dipenuhi orang-orang pandai. Tokoh-
tokoh muda telah memiliki kepandaian sedemikian tingginya.
Bukan main...!"
Kakek jangkung mendengus, meremehkan ucapan
rekannya. Dia tidak ingat kalau tadi ikut merasa kagum.
Kakek pendek rupanya tidak peduli dengan sikap rekannya.
Tanpa banyak bicara dia melesat ke depan. Tidak mirip
berlari, tapi lebih condong menggelinding. Tubuhnya yang
pendek gemuk bak bola yang menyebabkan kakek gemuk ini
kelihatan seperti menggelinding
Kakek jangkung mendengus. Kemudian, melesat
menyusul si gemuk. Berbeda dengan kakek pendek, si
jangkung ini berlari dengan mengandalkan kecepatan pada
langkahnya yang lebar-lebar. Kendati demikian, jarak antara
dirinya dengan kate k pendek tidak berubah. Padahal, kaki-
kaki si gemuk pendek-pendek!
***
"Ha ha ha...!"
Tawa teras membuat sekitar tempat sang pemilik
suara berada tergetar hebat bagai dilanda gempa. Daun-daun
berguguran dari pohon. Beberapa burung melesat tinggi-
tinggi ke udara sambil memperdengarkan cicit ketakutan.
Tawa berpengaruh besar itu keluar dari mulut Lingga.
Pemuda sakti berhati keji ini duduk bersila di atas sebuah
batu sabesar kerbau yang permukaannya rata.
Pandangannya yang berbinar-binar penuh kegembiraan
tertuju ke depan.
Dalam jarak sekitar lima tombak di depan Lingga, juga
di atas gundukan batu sebesar kerbau yang berpermukaan
rata, tegak sebatang golok! Bagian gagangnya menempel pada
batu sedangkan ujung batangnya menunjuk langit. Di
sekeliling batang golok bertebaran berbagai macam kembang
dalam garis tengah sekitar dua jengkal. Bunga-bunga itu
tampak hangus! Asap masih mengepul dari bunga-bunga itu.
Ada sesuatu yang menghanguskannya belum lama berselang!
"Akulah sekarang tokoh sakti tidak terkalahkan. Ha
ha ha...!" Lingga tertawa semakin teras. Kemudian,
dihentikannya secara tiba-tiba. Raut wajahnya yang semula
menyiratkan kegembiraan besar sekarang berganti dengan
kebengisan. "Dan kalian, Dewa Arak serta Penyair Cengeng,
akan mendapatkan bagiannya. Kalian akan kukirim ke
neraka dengan perantaraan pusaka yang kudapatkan dari
setan-setan neraka ini. Tunggulah saat kematianmu, Dewa
Arak! Juga kau, Penyair Cengeng! Biar kalian berdua menjadi
contoh orang yang berani menentang Lingga. Jago nomor sa¬
tu langit bumi! Benar, sekarang aku akan menjuluki diri
sebagai Jago Nomor Satu Langit Bumi! Ha ha ha...!"
Lingga menatap 1$ arah golok yang tegak di
hadapannya dengan pandangan mata penuh minat. Golok itu
adalah Golok Kilat. Dan, pemuda ini ingin segera
mengambilnya. Tapi, asap yang masih mengepul menjadi
pertanda kalau golok masih sangat berbahaya untuk
didekati, apalagi disentuh. Kematian secara mengprikan akan
dialami oleh orang yang bertindak nekat. Rangkaian kata-
kata itu masih terpampang jelas di benak Lingga. Seakan-
akan lembaran daun lontar itu ada di depannya. Memang,
rangkaian peringatan itu dibaca Lingga dari lembaran daun
lontar. Lembaran-lembaran yang terpisah dari lembaran-
lembaran yang ada di tangan Dewa Arak!
Lingga menemukan lembaran-lembaran daun lontar
di pinggir laut. Gelombang membawanya ke pantai. Sungguh
kebetulan Lingga tertarik untuk memunguat dan
membacanya. Pemuda bejat yang memendam dendam pada
Dewa Arak dan haus akan hal-hal yang membuatnya mampu
mengalahkan seterunya itu, merasa tertarik ketika
mengetahui daun lontar mengisahkan tentang pusaka luar
biasa yang beijuluk Golok Kilat.
Pada lembaran daun lontar yang ditemukan Lingga
berisi kisah tentang Golok Kilat. Keistimewaan dan
kedahsyatannya serta keterangan-keterangan tentang di
mana adanya senjata pusaka itu. Dengan petunjuk dari daun
lontar itu Lingga datang ke tempat tinggal Raja Golok
Bertangan Baja, sehingga tokoh besar golongan putih itu
menemui ajal secara mengenaskan.
Pada lembaran-lembaran daun lontar yang ditemukan
Lingga juga terdapat cara-cara untuk mengetahui apakah
Golok Kilat masih mempunyai keistimewaan seperti sediakala
atau tidak, dan cara-cara untuk menimbulkan
kedahsyatannya kembali apabila memang telah lenyap.
Lingga hampir putus asa untuk menghidupkan
kembali Golok Kilat karena tidak tahu ramuan yang tertulis
di lembaran daun lontar. Cara-cara untuk menghidupkan
golok itu ada lengkap. Tapi, penjelasan tentang ramuan itu
tidak diketemukan. Namun, Lingga yang cerdik segera tahu
kalau penjelasan tentang ramuan itu pasti ada di lembaran
daun lontar yang tidak didapatkannya. Mencari lembaran
yang lain? Mana mungkin! Lautan demikian luas. Tak akan
ada gunanya usaha itu dilakukan!
Sebuah pikiran cemerlang diketemukan Lingga.
Dicarinya pandai besi yang terkenal. Dan, diketemukannya
Empu Lahan g Samedi. Sekarang, jerih payah Lingga
membuahkan hasil. Golok Kilat telah disambar oleh tiga
halilintar yang datang dari tiga arah. Golok Kilat kembali
memiliki kedahsyatan seperti sebelumnya! Lingga hanya
tinggal menunggu asap dari batang golok sirna.
"Tapi sepertinya...," Lingga bicara sendiri. "Julukan
Jago Nomor Satu Langit Bumi kurang mencerminkan diriku.
Tidak sesuai untuk seorang seperti Lingga. Kurasa, julukan
yang lebih cocok adalah Dewa Kematian. Ya, Dewa Kematian!
Bukankah itu lebih menonjolkan sosok Lingga. Lagi pula, apa
yang lebih sakti dari Dewa Kematian! Bukankah semua
makhluk hidup dicabut nyawanya oleh Dewa Kematian.
Benar! Dewa Kematian adalah julukan baru untukku!"
Begitu asap yang mengepul dari batang golok sudah
tidak ada lagi, Lingga mengulurkan tangan. Gobk Kilat
melayang ke arahnya dan hinggap dalam genggaman pemuda
itu
Lingga menatap sekujur permukaan golok di
tangannya dengan perasaan puas. Kemudian, ditudingnya
batu besar tempat golok tadi berada dengan ujung golok.
Sinar putih menyilaukan pun segera meluncur. Terdengar
bunyi riuh rendah disusul dengan hancur leburnya batu itu
ketika sinar yang berasal dari Golok Kilat menghantamnya.
"Luar biasa...!" gumam Lingga, kagum dan takjub.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Pandangannya bercampur
ngeri ketika menatap gundukan batu yang telah menjadi abu.
Di angkasa seekor burung terbang melintas. Lingga
melihatnya. Ujung goloknya segera diarahkan pada binatang
itu. Untuk kedua kalinya sinar menyilaukan melesat. Burung
yang dituju rupanya dengan nalurinya mengetahui adanya
bahaya maut. Dengan lincah binatang itu mengelak dari
luncuran sinar yang mematikan!
Pemandangan yang menakjubkan segera dilihat oleh
Lingga yang sepasang matanya memancarkan sinar
kekaguman. Menurut akal sehat, begitu burung berkelit sinar
itu akan menyambar tempat kosong dan binatang itu
selamat. Tapi, tidak demikian halnya yang terjadi. Sinar
menyilaukan itu bagaikan hidup! Ia mengikuti ke mana
binatang itu mengplak. Binatang yang terancam itu rupanya
tahu maut masih membayangi. Kecepatan terbangnya
ditambah. Tapi, sinar menyilaukan itu memiliki kecepatan
luncuran yang menakjubkan. Tak sampai belasan tombak
terbang burung itu harus menyerah pada malaikat maut.
Sinar itu telah menghantamnya! Sang binatang yang malang
meluncur jatuh ke tanah dalam keadaan gosong! Nyawa
burung itu sudah melayang.
Lingga tertawa bergelak. Nada gembira dan puas
terdengar jelas di dalamnya.
"Dewa Arak...! Penyair Cengeng...! Tunggulah. Dewa
Kematian akan menjemput nyawa kalian dari tubuh...!" teriak
Lingga lantang sambil menyarungkan goloknya dan
meletakkannya di pinggang.
Lingga bangkit berdiri. Kemudian, melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Apa lagi tujuannya kalau bukan
hendak memenuhi ancamannya itu?
Suasana menjadi hening ketika Lingga tidak berada di
situ lagi. Keheningan yang mengerikan! Karena, baik dari abu
gundukan batu maupun dari bekas tubuh burung masih
mengepul asap tipis.
Tak lama setelah Lingga lenyap di kejauhan, dari arah
yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Lingga tampak
mendatangi tempat itu sesosok tubuh yang semakin lama
semakin dekat. Dalam waktu yang demikian singkat ia telah
tiba di tempat tadi Lingga berada. Sosok itu ternyata seorang
kakek bertubuh kekar. Kepalanya botak. Sepasang matanya
mencorong tajam dan bersinar kehijauan Setan Kepala Besi!
Setan Kepala Besi mengedarkan pandangan
berkeliling. Pandangannya segera tertumbuk pada tumpukan
abu gosong di tanah, bekas gundukan batu.
Pandangan mata kakek yang telah kenyang
pengalaman ini segpra bisa mengetahui ada hal yang tidak
wajar.
"Aku yakin petir dari tiga jurusan tadi menyambar
sekitar tempat ini. Tapi, mengapa tidak ada bekas-bekasnya?"
gumam Setan Kepala Besi dengan dahi berkemyit. "Tidak
mungkin kalau akibat sambari petir itu hanya gundukan abu
ini... "
Setan Kepala Besi kcmbali mengedarkan pandangan
untuk mencari hal-hal yang membuatnya tertarik kc tempat
itu. Kakek ini berada di tempat yang cukup jauh ketika
melihat petir dari tiga jurusn menyambar ke satu tempat.
Perasaan heran dan ingin tahu yang mendorongnya melesat
cepat menuju yang dituju petir.
Setan Kepala Besi segera menaruh curiga pada
gundukan batu berpermukaan rata yang tadi dijadikan
tempat duduk Lingga. Ciri-cirinya berbeda dengan batu-batu
di sekitarnya. Setan Kepala Besi segera dapat mengira kalau
batu itu tidak berasal dari tempat ini. Dengan kata lain, ada
orang yang membawanya dan meletakkannya di sini. Tapi,
untuk apa? Pertanyaan itu bergayut di benak kakek
berkepala botak ini.
Hal kedua yang membuat Setan Kepala Besi masih
menaruh kecurigaan pada batu itu adalah letaknya. Batu ini
terletak di tengah-tengah jalan!
Setan Kepala Besi mengembangkan dada untuk
mengisinya dengan udara sepenuh-penuhnya. Setelah
dirasanya penuh, baru dikeluarkan melalui mulutnya.
Hembusan angin teras pun menghambur keluar dan
menerpa batu.
Tak ubahnya segumpal kapas yang ditiup, batu itu
menggelinding jauh dari tempatnya. Kecurigaan Setan Kepala
Besi ternyata tidak meleset. Tepat di bawah batu itu berada
terdapat sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak!
Setan Kepala Besi tidak berani bertindak sembrono.
Dengan sikap penuh kewaspadaan didekatinya lubang itu.
Kakek ini khawatir akan adanya serangan mendadak dari
dalam lubang.
Tapi kecurigaan Setan Kepala Besi kali ini tidak
beralasan. Tidak ada apa pun sampai dia tiba di pinggir
lubang. Bahkan, ketika kepalanya dilongokkan ke dalamnya
terlihat kalau lubang itu ternyata tidak dalam. Keadaan
cuaca yang cerah membuat Setan Kepala Besi dapat melihat
dasar lubang. Setelah yakin tidak ada bahaya yang
mengancam kakek itu pun melompat turun.
Lubang jtu ternyata hanya mempunyai satu lorong,
berbentuk bulat dan bergaris tengah hampir satu tombak.
Sisi-sisi lainnya adalah dinding batu. Dengan langkah pasti
dan tetap tidak meninggalkan kewaspadaan, Setan Kepala
Besi mengayunkan kaki menyusuri lorong.
Lorong itu tidak lurus melainkan agak melengkung ke
kiri. Setan Kepala Besi tidak mengira kalau lorong itu tidak
terlalu panjang. Tak sampai lima belas tombak telah bertemu
dinding. Tidak ada jalan lagi!
Setan Kepala Besi membelalakkan mata, kaget. Bukan
karena lorong yang buntu, tapi karena melihat
bergeletakannya tiga sosok tanpa busana. Semuanya wanita-
wanita bertubuh montok dan berkulit halus mulus.
Setan Kepala Besi mengutuk di dalam hati. Kakek ini
tahu kalau ketiga wanita cantik itu adalah korban-korban
nafsu birahi seorang lelaki cabul. Dua di antara tiga wanita
itu telah tewas. Sedangkan yang seorang masih hidup.
Wanita yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun itu
dalam keadaan tertotok, sehingga tidak dapat bergerak
Setan Kepala Besi segera menjentikkan jari
telunjuknya. Angin yang keluar dari jari Setan Kepala Besi,
membuat jalan darah si gadis kembali normal. Kakek ini
sendiri segera membalikkan tubuh dan memberi kesempatan
pada gadis ini untuk mengenakan pakaian.
Meski kelihatannya tidak peduli, Setan Kepala Besi
mengamati gerak gerik si gadis dengan mempergunakan
telinganya. Didengarnya gadis itu bangkit dan mengenakan
pakaian sambil terisak. Tangis yang keluar dari hati yang
hancur.
Tindakan yang diambil Setan Kepala Besi ini tidak
berlebihan. Telinganya tiba-tiba menangkap bunyi angin
tajam, tapi bukan tertuju ke arahnya. Setan Kepala Besi
bertindak cepat. Tubuhnya dibalikkan sambil mengibaskan
tangan.
Si gadis yang mengenakan pakaian kuning mengeluh
tertahan karena sakit dan kagpt. Kibasan tangan Setan
Kepala Besi mengsluarkan angin yang menghantam
pergelangan tangan si gadis yang menggenggam pedang.
Akibatnya, pedang yang ditujukan si gadis untuk menggorok
lehernya sendiri terpental dan jatuh berkerontangan di tanah!
"Hanya pengecut hina yang mengambil jalan seperti
ini untuk mengakhiri sebuah persoalan," ujar Setan Kepala
Besi, pelan tapi penuh kecaman. Gadis berpakaian kuning
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari celah-celah
jarinya mengalir air bening. Gadis itu menangis terisak-isak.
"Apa artinya aku hidup apabila terlumur aib seperti
ini? Tak sanggup aku memandang dunia dengan seluruh
tubuh bernoda najis!" keluh si gadis agak memekik.
Setan Kepala Besi menghela napas berat. Hatinya
tersentuh merasakan kehancuran hati yang sangat dalam
keluhan si gadis. Kakek ini diam-diam merasa heran sendiri.
Dulu ia tak pernah merasa terharu melihat penderitaan orang
lain. Malah, justru semakin orang menderita hatinya semakin
gembira. Sekarang ternyata sangat berbeda.
"Aku bisa memaklumi perasaanmu. Nona," ujar Setan
Kepala Besi, lirih. Suara orang yang ikut merasa prihatin.
"Kendati demikian, kurasa bunuh diri bukan jalan keluar
yang baik. Aku yakin orang yang melakukan kekejian
terhadapmu akan merasa gembira melihat kau mengambil
jalan pintas ini. Tidakkah lebih baik kalau kau berusaha
membalaskan sakit hatimu?"
"Mana mungkin hal itu bisa kulakukan?" Gadis itu
menjauhkan kedua tangannya dari wajah "Iblis keji itu
memiliki kepandaian jauh di atasku. Jangankan aku sendiri,
di saat bersama ayah saja aku tidak berdaya."
"Kau tidak perlu khawatir, Nona," hibur Setan Kepala
Besi. Ia sedikit gembira karena tahu nasihatnya telah
mengenai sasaran "Ffcrcayalah, aku akan membantumu. Aku
yakin dengan bekeija sama kita bisa membalaskan kekejian
orang itu."
Gadis berpakaian kuning menyusut air matanya. Mata
yang bening indah itu menatap sekujur tubuh Setan Kepala
Besi dengan penuh selidik.
"Apakah kau mempunyai kepandaian lebih tinggi
daripada ayahku, Kek? Kalau tidak, percuma saja, iblis itu
amat sakti!"
Setan Kepala Besi mengangkat bahunya.
"Aku tidak keberatan kalau kau mau mengujiku,
Nona. Setidak-tidaknya kau bisa menilai kemampuanku.
Bukankah kau mengetahui tingkat kepandaian ayahmu?"
Si gadis mengangguk
"Hanya sedikit lebih tinggi dariku, Kek. Kenalkah kau
dengan nama Empu Lahang Samedi? Beliau ayahku. Aku
Priyani, putri tunggalnya."
Setan Kepala Besi menggeleng.
"Iblis keji itu mampu membuatku tak berdaya dengan
tanpa menyentuhku sama sekali. Mampukah kau
melakukannya, Kek?" tantang Priyani penuh harap.
"Akan kucoba untuk melakukannya, Nona."
Setan Kepala Besi bertekad untuk mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Inilah harapan satu-satunya untuk
mengembalikan semangat hidup Priyani.
Priyani sendiri setelah memungut pedangnya lang¬
sung melompat, menerjang. Dalam sekali serang gadis Ini
telah mengeluarkan serangan paling dahsyat. Pedangnya
lenyap! Yang terlihat hanya gulungan sinar yang bergulung-
gulung. Sukar untuk diketahui bagian tubuh lawan yang
akan dijadikan sasaran serangan.
Setan Kepala Besi segera mengibaskan tangan ka¬
nannya. Hembusan angin yang luar biasa keras menyambar.
Priyani bagaikan membentur benteng angin. Lompatannya
tertahan. Bahkan, tubuh gadis ini terjengkang ke belakang.
Priyani masih mampu menunjukkan kelihaiannya.
Dia mendarat di tanah dengan kedua kaki, kendati dengan
limbung. Bertepatan dengan itu Setan Kepala Besi
menggerakkan tangan kiri dengan gerakan seakan menarik
sesuatu. Untuk yang kedua kalinya angin teras berhembus.
Priyani berusaha keras untuk bertahan dari hem¬
busan angin yang menariknya ke arah Setan Kepala Besi.
Tapi, usahanya gagal. Tubuhnya tetap tertarik ke arah si
kakek. Sekejap kemudian, kedua telapak tangan Setan
Kepala Besi yang besar telah memegang kedua bahunya.
Setan Kepala Besi sesaat kemudian melepaskan
pegangannya.
"Bagaimana, Nona? Apakah aku cukup berharga
untuk membantumu?"
Wajah Priyani berseri-seri. Pedangnya diletakkan
kembali di sarungnya.
"Kau hebat, Kek!" puji Priyani, gembira. Kendati
demikian, lapisan kabut duka yang tebal masih menutupi
sepasang matanya hingga terlihat sayu. "Aku yakin dengan
adanya kau untuk membantuku, keparat keji itu akan
berhasil kubinasakan!"
Setan Kepala Besi tersenyum. Priyani ikut tersenyum.
Tapi, tidak bebas lepas. Pengalaman hebat yang diterimanya
membuat kegembiraan yang alaminya terasa semu.
5
"Tunggu sebentar, Ayah."
Adipati Gili menghentikan larinya. Di samping karena
mendengar seruan putrinya, juga melihat tindakan Nuri
sendiri. Gadis itu berhenti berlari.
"Ada apa, Nuri?" tanya Adipati Gili sambil menatap
wajah putrinya yang menatap jauh ke depan dan
menyiratkan kecemasan.
"Sosok yang tengah bergerak mendatangi ke arah kita
itu mengenakan pakaian serba merahkan, Ayah?" Nuri malah
balas bertanya.
Adipati Gili tidak merasa kecil hati. Diturutinya
permintaan putrinya untuk memperhatikan sosok yang
masih jauh di depan.
"Kelihatannya iya, Nuri. Mengapa?"
"Kalau benar demikian, celaka!" desis Nuri dengan
wajah berubah pucat "Kita harus segera meninggalkan
tempat ini, Ayah. Kita harus berlari sejauh mungkin. Sosok
berpakaian merah itu bukan manusia melainkan iblis!"
"Jadi..., diakah orang muda yang telah melukai kedua
kakek yang menawanmu?" tanya Adipab Gili, teringat
kembali akan cerita Nuri. Memang, gadis berpakaian merah
itu telah menceritakan pengalaman yang dialaminya.
Nuri mengangguk. Wajahnya menyiratkan kegelisahan
besar. Sepasang matanya yang bening indah diedarkan ke
sekitarnya untuk mencari tempat persembunyian. Tapi,
bagaimana mungkin Nuri dan ayahnya bisa bersembunyi?
Tempat di mana mereka berada merupakan hamparan tanah
lapang berdebu yang amat luas. Sejauh mata memandang di
keempat penjuru yang kelihatan hanya kaki langit.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Nuri? Mumpung masih
ada waktu. Mari lari...!"
Usul Adipati Gili menyadarkan Nuri yang hilang akal
karena perasaan takut yang sangat. Takut akan terjadi
sesuatu yang mengerikan terhadapnya. Nuri bisa melihat
ancaman apa yang akan timbul dari sosok yang bukan lain
Lingga. Sinar mata pemuda itu ketika merayapi sekujur
tubuhnya bak orang kelaparan melihat makanan lezat!
Demikian penuh keinginan dan minat.
Tanpa pikir panjang lagi Nuri segera berlari. Adipati
Gili pun demikian. Tapi, lari ayah Nuri ini terlalu lambat jika
dibandingkan dengan Nuri. Maka, agar Adipati Gili tidak
tertinggal Nuri hanya mengerahkan sebagian ilmu larinya.
Gadis ini tidak tega meninggalkan ayahnya.
Adipati Gili sadar kalau dengan adanya dirinya Nuri
tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Maka,
sambil mengerahkan seluruh kecepatannya lelaki ini berseru
pada anaknya.
"Larilah, Nuri. Lari yang cepat. Tidak usah kau
pikirkan, Ayah. Ayah tidak akan apa-apa. Iblis keji itu hanya
memburumu. Kau larilah...!"
"Tidak, Ayah!" bantah Nuri mantap sambil
menggelengkan kepala. "Apa pun yang akan teijadi aku tidak
mau berpisah dengan Ayah lagi. Cukup hanya sekali saja!"
Adipati Gili merasakan dadanya sesak oleh rasa haru
yang menggumpal. Dia merasa berbahagia sekali mendengar
ucapan Nuri. Ucapan yang hanya keluar dari seorang anak
yang berbakti dan mencintai orang tuanya.
Adipati Gili menundukkan wajah agar Nuri tidak
melihat perubahan di sana. Memang, Adipati Gili tidak yakin
akan teijadi perubahan pada wajahnya. Tapi, perasaan
khawatir mendorongnya bertindak demikian. Dan, Adipati
Gili mengangkat wajah ketika mendengar seruan kaget Nuri.
Wajahnya kembali diarahkan kc depan. Lelaki kecil kurus ini
tanpa sadar membuka mulutnya lebar-lebar. Sepasang
matanya pun membelalak lebar.
Adipati Gili berhenti berlari seperti juga Nuri. Sekitar
sepuluh tombak di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh
kekar terbungkus pakaian serba merah! Kedudukannya
membelakangi mereka. Kelihatannya dia tidak tahu akan
kedatangan Nuri dan Adipati Gili. Sosok yang mengenakan
ikat kepala merah itu menatap lurus ke depan
Hampir bersamaan Adipati Gili dan Nuri menoleh kc
belakang. Arah di mana sosok berpakaian merah tadi meieka
lihat. Sebuah dugaan bermain di benak mereka. Barangkali
saja sosok yang tadi mereka lihat bukan Lingga. Lingga yang
mereka takuti adalah yang sekarang berdiri di depan mereka!
Di belakang Nuri dan Adipati Gili tidak ada sosok
tubuh pun! Jelas, sosok kekar di hadapan mereka ini adalah
sosok yang tadi berada di belakang mereka. Nuri, apalagi
Adipati Gili, terkejut bukan main menyadari kenyataan ini.
Bagaimana mungkin sosok merah itu bisa berada di depan
mereka tanpa diketahui waktu menyusul keduanya?
Nuri dan Adipati Gili saling berpandangan. Wajah Nuri
pucat pasi bagaikan kertas. Sosok merah itu adalah Lingga
yang amat ditakutinya. Potongan tubuh pemuda itu cukup
dikenalnya, di samping pakaian serba merah dan ikat kepala
yang menjadi ciri khas Lingga.
Seakan-akan takut diketahui dan Lingga belum tahu
keberadaan dirinya serta ayahnya di belakang pemuda itu,
Nuri melangkah mundur tanpa membalikkan tubuh.
Sikapnya hati-hati sekali. Hal yang sama dilakukan pula oleh
Adipati Gili.
Selangkah demi selangkah Lingga semakin mereka
jauhi. Telah hampir lima tombak Nuri dan ayahnya menjauhi
tempat semula. Hati mereka agak lega melihat Lingga tetap
dengan sikapnya. Diam bagai patung batu.
Setelah mencapai jarak lima belas tombak lagi, Nuri
memberi isyarat pada ayahnya untuk membalikkan tubuh
dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Hampir
berbarengan, ayah dan anak ini membalikkan tubuh dan
berlari cepat! Namun, Nuri dan Adipati Gili langsung
menghentikan larinya ketika melihat di depan mereka telah
berdiri Lingga! Kali ini pemuda itu berdiri menghadap
mereka.
Sekarang Adipati Gili bisa mengerti mengapa Nuri
demikian cemas dan takut terhadap Lingga. Pemuda
berpakaian merah ini memang memiliki kepandaian yang
merindingkan bulu kuduk. Meieka tidak melihat kapan
Lingga bergerak. Tapi, kini telah berada di depan mereka.
Apakah pemuda ini pandai menghilang? Tanya Adipati Gili
dalam hati.
***
"Selamat beijumpa lagi, Nona Cantik," sapa Lingga
dengan sepasang mata merayapi sekujur tubuh Nuri.
Pandang mata pemuda ini beberapa kali hinggap di bagian-
bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian merah itu
"Sungguh tidak kusangka kita akan bertemu lagi. Atau, kau
yang memang me n cari-cariku?"
Wajah Nuri menyemburat merah karena perasaan
marah dan malu. Adipati Gili yang melihat keadaan kurang
menguntungkan ini buru-buru melangkah maju dan memberi
hormat.
"Boleh kutahu siapakah kau, Pendekar Perkasa? Aku,
Gili. Dulu seorang adipati. Tapi, sekarang tidak lebih dari
ayah gadis ini. Aku ayah Nuri," pelan dan lembut Adipati Gili
mengucapkannya.
"Menyingkirlah kau, Anjing Kurap!" tandas Lingga,
dingin. "Mengingat kau ayah Nuri, aku bisa memaafkan
ucapanmu barusan. Tapi ingat, sekali lagi kau ikut campur
tahu sendiri akibatnya!"
"Ayah, menyingkirlah," ucap Nuri penuh perasaa
khawarir. Gadis ini merasa ngeri kalau Lingga mencelakai
orang tuanya yang tinggal semata wayang baru saja
ditemukannya itu.
Tapi, Adipati Gili bukan orang yang mudah digertak.
Dan lagi dia tidak takut menghadapi mati. Apalagi bila untuk
membela Nuri!
"Kuharap kau mau membebaskan putriku, Tuan
Pendekar. Apabila putriku memang mempunyai salah
padamu, biar aku yang mintakan maaf padamu. Dan kalau
hal itu belum membuatmu puas, aku rela memberikan
nyawaku ini sebagai gantinya asal kau mau membiarkannya
pergi dari sini...."
"Ayah...! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan
tindakan seperti itu!" sela Nuri keras karena kaget.
Lingga tersenyum. Bukan senyum yang
menyenangkan untuk dilihat. Pemuda ini tahu Nuri dan
ayahnya saling mengkhawatirkan satu sama lain. Benaknya
yang dipenuhi berbagai macam kelicikan diputar untuk
mencari hal-hal yang dapat menguntungkan dirinya.
Sebentar kemudian, pikiran itu telah didapatkannya.
Lingga melesat 1$ depan. Adipati Gili kagst bukan
main melihat serangan yang meluncur ke arahnya. Dia tidak
melihat pemuda itu melompat atau menjejakkan kaki. Tapi,
tubuh Lingga telah melesat ke arahnya.
Adipati Gili segera mencabut keris yang terselip
punggung. Kemudian, ditusukkannya ke arah Lingga yang
kelihatan hanya berupa bayangan merah. Tapi, keluhan
tertahan yang dikeluarkan Adipati Gili. Dirasakan siku
belakangnya tersentuh jari-jari tangan Lingga. Seterika itu
pula tangan Adipati Gili terasa lumpuh. Keris di tangannya
langsung terlepas dan jatuh ke tanah. Tubuhnya pun ditarik
tangan kuat yang mencengkeram bahu kirinya. Adipati Gili
langsung lemas!
"Ayah...!" seru Nuri sangat cemas. Ketika melihat
Adipati Gili telah dibuat tak berdaya, pandangan gadis ini
segera dialihkan pada Lingga. Terlihat penuh kemarahan dan
kebencian yang mendalam. "Lepaskan dia, Jahanam! Ayahku
sama sekali tidak ada urusan dengan kita. Kalau kau
memang bukan seorang pengecut, mari bertarung denganku!"
Lingga tersenyum mengejek. Tentu saja dia tidak
takut atau gentar bertarung dengan Nuri. Tingkat kepandaian
gadis itu masih jauh di bawahnya.
"Sayang sekali, Nona Cantik. Saat ini aku tengah tidak
berselera untuk bertarung. Aku mempunyai sebuah
permainan lain yang kuyakini menarik."
Nuri meloloskan sabuknya. Tapi, kedua tangannya
tidak mengejang karena aliran tenaga dalam. Keberadaan
ayahnya yang menjadi tawanan Lingga menyadarkan gadis
itu kalau keadaannya tidak menguntungkan.
Lingga menjilat bibirnya. Rupanya, permainan yang di
laksudnya amat menarik hati sehingga membuat jakunnya
turun naik.
"Mungkin perlu kau ketahui, Nona Canik," ujar Lingga
dengan suara agak memburu. "Aku termasuk orang yang
tidak suka main-main. Sekali kukatakan sesuatu, pasti akan
kulaksanakan! Nah, kalau kau ingin tidak teijadi sesuatu
atas diri ayahmu, kau harus turuti apa yang kukatakan.
Jelas?"
Nuri menggertakkan gigi. Jantungnya berdetak lebih
cepat karena luapan perasaan marah dan tegang. Marah
karena mengingat kelicikan Lingga. Dan, tegang karena telah
bisa memperkirakan apa yang ada di benak Lingga.
Pandangan mata pemuda itu yang penuh nafsu telah
menjelaskan semuanya.
Lingga menelan ludah dengan susah-payah ketika
melihat dua bukit kembar di dada Nuri semakin membusung
akibat detak jantung si gadis yang bertambah cepat.
"Dengarkan baik-baik ucapanku ini, Nona Cantik,"
Lingga memulai pembicaraannya. "Lepaskan pakaianmu!"
Sekujur tubuh Nuri menegang. Kedua tangannya yang
memegang sabuk pun demikian. Dalam ke adaan lain ucapan
Lingga sudah cukup untuk membuat gadis itu melancarkan
serangan dengan senjata andalannya itu.
"Jangan kau turuti keinginannya yang gila, Nuri!
Tidak usah kau pedulikan aku. Serang dia...!" seru Adipati
Gili, kalap.
Lingga tersenyum keji. Dia tahu Nuri bimbang. Dan,
pemuda ini telah memperhitungkan kejadian ini "Mungkin
kau perlu mendapat bukti kalau aku tidak bermain-main
dengan ancamanku, Nona Cantik,"
Begitu selesai berkata demikian, Lingga menekuk jari
tangan Adipati Gili. Pelan-pelan. Rasa nyeri yang luar biasa
pun mendera lelaki kecil kurus ini. Kendati demikian, tidak
terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya. Bahkan ketika
jari tangannya itu patah! Hanya keringat sebesar besar biji
jagung menjadi petunjuk kalau Adipati Gili menahan rasa
sakit yang sangat
"Jahanam!"
Nuri menjerit dengan kaki hampir diayunkan. Tapi,
hal itu tidak jadi dilakukan. Pandangan matanya yang
memancar ke arah Lingga penuh dengan kebencian!
Andaikata sorot mata tak ubahnya serangan, tentu saat itu
serangan maut yang dihadapi Lingga.
"Tetaplah berkeras dengan sikapmu itu, Nona Cantik.
Dan, ayahmu akan mengalami siksaan demi siksaan yang
menyakitkan sampai akhirnya seluruh tulang-belulangnya
kupatahkan di depan hidungmu! Tapi, itu tidak berarti dia
akan mati. Tidak! Aku tidak bisa bertindak demikian. Aku
mempunyai kemampuan untuk menyiksa seseorang tanpa
membuatnya mati. Kau boleh menyaksikan hal itu kalau
tetap bersikeras dengan pendirianmu!"
"Biadab! Kau bukan manusia! Kau binatang!" maki
Nuri karena tak tahu harus bertindak bagaimana "Jangan
kau turuti kemauannya, Nuri. Aku lebih suka mati daripada
melihatmu memenuhi permintaannya. Dan..., akh...!"
Ucapan Adipati Gili terhenti di tengah jalan dan
berganti dengan keluhan kesakitan. Lingga telah
mematahkan satu lagi jarinya. Keluhan itu keluar tanpa
disengaja. Dan, hal ini membuat Nuri kebingungan. Peluh
membasahi dahi gadis itu.
Lingga sendiri, tidak memberikan ancaman lagi.
Dengan sikap tidak peduli, siksaannya dilanjutkan. Jari demi
jari Adipati Gili dipatahkan dengan pelan-pelan agar
kenyerian yang tercipta semakin besar. Dia seakan-akan
tidak mendengar jeritan-jeritan Nuri yang menyuruhnya
menghentikan kebiadaban itu.
"Sekarang akan kucabut daun telinga ayahmu," ujar
Lingga ketika lima jari tangan Adipati Gili telah patah semua.
"Setelah itu kucungkil keluar biji matanya."
Lingga menempelkan jari-jari tangannya 1$ daun
telinga kanan Adipati Gili. Lelaki kecil kurus itu sudah
setengah pingsan karena rasa nyeri yang bertubi-tubi
menimpanya. Kendati demikian, dari mulutnya masih
terdengar suara-suara yang menyuruh Nuri agar tidak
menyerah!
Kedua kaki Nuri menggigil. Ngeri dia membayangkan
siksaan yang diderita ayahnya. Matanya yang indah
membelalak semakin lebar menatap jari-jari tangan Lingga
yang telah berada di telinga Adipati Gili.
"Tahan...!"
Nuri akhirnya tidak tahan ketika melihat jari-jari
tangan Lingga mulai bergerak memutar daun telinga. Dan,
Adipati Gili telah kelojotan!
"Kau setuju dengan syaratku?" tanya Lingga penuh
nada 1$menangan dengan jari-jari tangan tetap di daun
telinga Adipati Gili.
Nuri menggigit bibir, kemudian menganggukkan
kepala. Pelan dan hampir tidak teriihat. Tapi, itu telah cukup
buat Lingga. Tanggapan Nuri telah menyatakan persetujuan.
"Lepaskan dulu ayahku." Hampir tidak terdengar
suara yang keluar dari mulut Nuri.
"Itu bukan masalah, Nona Cantik. Tapi ingat, kalau
kau bertindak macam-macam aku tidak akan ingat
persyaratanku tadi. Ayahmu akan kusiksa habis-habisan di
depanmu sebelum kau sendiri kuperkosa ampai mati! Kau
camkan baik-baik. Aku tidak pemah bermain-main dengan
ancaman!"
Nuri tidak memberikan tanggapan. Sambil menggigit
bibir dan dengan jari-jari tangan menggigil dilucutinya
pakaiannya. Lingga mengikuti setiap gerakan jari Nuri
dengan mata tidak berkedip, seakan-akan khawatir
pemandangan indah di hadapannya akan lenyap. Adipati Gili
sendiri telah didorongnya hingga jatuh tertelungkup di tanah.
Lelaki kecil kurus itu tidak bangkit karena sudah setengah
pingsan.
Dalam waktu sebentar saja Nuri telah berdiri di
hadapan Lingga dengan tubuh bagian atas telanjang! Kulit
tubuhnya tampak putih dan mulus. Lingga menelan ludah
beberapa kali melihatnya. Apalagi ketika melihat dua bukit
kembar di dada Nuri yang membusung indah dengan puling
susu merah segar. Sepasang mata pemuda ini seakan hendak
melompat keluar dari rongganya. Nuri sendiri tidak berani
mengangkat wajah. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam
sampai-sampai dagunya menempel ke dada.
"Tunggu apa lagi?!" desis Lingga dengan suara
bergetar dan napas memburu. "Cepat buka celanamu...."
Nuri menggigil sekujur tubuhnya. Perintah Lingga
membuatnya berperang dengan perasaan sendiri. Kalau
menuruti keinginan sudah diterjangnya pemuda itu. Tapi,
Nuri tidak berani menanggung akibatnya. Ngeri akan nasib
yang menimpa ayahnya.
Maka, sebelum Lingga yang berwatak keji itu
kehilangan kesabaran, dengan wajah yang semaki
ditundukkan seakan dagunya hendak dibenamkan ke dalam
dada, celananya pun dilucuti. Sekejap kemudian Nuri telah
telanjang bulat!
Lingga menelan ludah beberapa kali. Sebelum
akhirnya sambil mengeluarkan bunyi dari tenggorokan
seperti geraman seekor harimau, dia melompat menubruk
Nuri.
Kali ini Nuri tidak bisa menahan diri lagi. Keterkejutan
dan kengerian yang melanda membuatnya bergerak
mengelak. Tapi, dia kalah cepat. Tubuh Lingga telah lebih
dulu menerpanya hingga dia dan pemuda itu terguling-guling
di tanah.
Nuri meronta-ronta ketika Lingga dengan buas
menciumi sekujur wajah dan meremas-remas semua bagian
tubuhnya dengan kasar. Satu tangan pemuda itu melucuti
pakaiannya sendiri.
Adipati Gili hanya bisa menangis dalam hati melihat
pergumulan di depan matanya. Dia tidak mau bertindak apa
pun kecuali menatap dengan hati ngilu. Lelaki ini tahu,
lambat laun pergumulan itu akan dimenangkan oleh Lingga.
Pemuda cabul itu akan memporak-porandakan kegadisan
Nuri!
Lingga yang mendapat perlawanan dalam usahanya
kelihatan tidak marah. Rontaan-rontaan yang dilakukan Nuri
malah membuatnya semakin bergairah. Dia tahu perlawanan
Nuri tak akan berlangsung lama. Lingga memang lebih suka
adanya perlawanan daripada Nuri pasrah saja seperti mayat!
"Iblis keji! Lepaskan dia...!" Seruan teras menggeledek
yang sarat dengan ke marah an terdengar di saat perlawanan
Nuri telah melemah.
Desss!
Sebuah tongkat menghantam punggung Lingga!
Memang, berbarengan dengan keluarnya teriakan itu sang
pemilik seruan mengayunkan tongkatnya ke arah punggung
Lingga. Lingga sendiri tentu saja mengetahui adanya
serangan itu. Tapi, dibiarkannya karena perasaan nikmat
yang tengah diterimanya. Sebentar lagi dia akan berhasil
merenggut kegadisan Nuri. Maka, serangan itu dibiarkannya.
Lingga tidak ingin meninggalkan daging yang telah digigitnya
lepas dari mulut!
Sang penyerang, seorang pemuda beralis tebal,
terkejut bukan main ketika serangannya tidak membuahkan
hasil. Malah, tongkatnya berbalik dan mengarah ke
wajahnya. Seakan-akan yang dihantamnya bukan tubuh
manusia melainkan gumpalan karet keras dan kenyal.
Lingga sendiri tidak mempedulikan serangan itu.
Tubuhnya sedikit pun tidak bergeming. Perbuatannya
terhadap Nuri terus dilanjutkan!
Sang penyerang yang bukan lain Gentala, putra
Malaikat Picak, terkesima sebentar Lalu Kembali tongkatnya
diayunkan. Kali ini yang dituju adalah kepala Lingga.
Kekhawatiran akan nasib gadis yang kiranya Priyani
membuat Gentala bertindak cepat. Pemuda ini mengira Nuri
adalah Priyani. Karena, Gentala melihat pakaian serba merah
berserakan di tanah. Bukankah pemuda berpakaian serba
merah yang menculik Priyani?
Untuk kedua kalinya Gentala terkejut ketika
tongkatnya membalik! Kepala Lingga tidak pecah seperti yang
diduganya. Malah, tangan Gentala yang terasa sakit. Hampir-
hampir tongkatnya lepas dari genggaman.
Serangan kedua ini pun sebenarnya tidak dirasakan
oleh Lingga yang memiliki kekebalan luar biasa tapi dia
merasa terganggu. Serangan serangan itu membuat
kenikmatannya menggarap tubuh Nuri jadi terhambat. Dan,
ini membuat pemuda cabul itu murka.
Lingga bangkit dari tubuh Nuri. Sepasang matanya
seperti mengeluarkan api karena kemarahan yang sangat.
Saat itu serangan Gentala menyambar lagi. Tongkat itu
ditusukkan putra Malaikat Picak ke arah sepasang mata
Lingga!
Dalam kemarahan yang menggelegak, Lingga
menangkap tongkat itu dan balas menusukkan ke arah
pemiliknya! Gentala menjerit ngeri sambil mengeluarkan
semburan darah segar ketika tongkat miliknya menghantam
perut dengan telak
Tubuh Gentala melayang jauh ke belakang seperti
diseruduk gajah liar. Tongkatnya terlepas dari pegangan.
Senjata itu kini berada di tangan Lingga. Namun, Lingga yang
geram bukan main segera menyambitkan longkat. Gentala
membelalakkan mata karena ngpri! Dan, ketakutan pemuda
beralis tebal itu teijadi. Tongkat yang dilemparkan menembus
perutnya hingga ke punggung. Saat itu tubuhnya masih
dalam keadaan melayang.
Darah muncrat-muncrat mengiringi jerit kematian
yang keluar dari mulut Gentala. Malangnya lagi, tongkat yang
menembus terlalu dalam hingga membuat tubuh Gentala
tidak bersentuhan dengan bumi ketika jatuh ke tanah karena
terganjal tongkat!
Lingga tersenyum puas. Senyum itu mengendur
ketika melihat titik hitam kejauhan yang semakin lama
semakin membesar. Ada orang lain yang tengah menuju ke
tempatnya berada. Niat Lingga untuk meneruskan
tindakannya terhadap Nuri segera diurungkan. Sosok itu
ingin dibereskannya lebih dulu sebelum mengganggu
kesibukannya nanti.
Dalam waktu sebentar saja sosok itu kini terlihat
jelas. Seorang lelaki setengah tua, bertubuh pendek kekar
dan bermata picak Pandang mata Malaikat Picak tertuju 1$
arah mayat Gentala, putranya. Sinar sepasang matanya
menyiratkan kesedihan besar dan ketidakpercayaan.
"Gentala...!"
Malaikat Picak meratap. Tidak keras. Hampir mirip
keluhan. Lelaki ini bersimpuh di dekat tubuh putranya.
Kenyataan ini telah mengatakan pada Lingga kalau
Malaikat Picak adalah seorang lawan. Tidak salah lagi.
Malaikat Picak pasti akan membalaskan ke matian putranya.
Lingga tak ingin menunggu lebih lama. Sambil
mengeluarkan dengusan, dia melompat menerjang lelaki tua
ini. Dikirimkannya tamparan ke arah pelipis.
"Susullah anakmu ke neraka!"
Malaikat Picak mendengar adanya ancaman maut dari
suara berdesing nyaring. Dia pun memapaki dengan gprakan
serupa.
Plakkk!
Tubuh Malaikat Picak terhuyung-huyung ke belakang.
Lingga sendiri terlempar. Meski demikian, kedua belah pihak
sama-sama tahu kalau dalam benturan itu Lingga lebih
unggul.
Malaikat Picak tak ragu-ragu lagi mengeluarkan
senjata andalannya. Sebuah ruyung berbatang dua. Lingga
pun tak mau membuang waktu. Dengan tenaga dalamnya
yang luar biasa dan dalam keadaan tubuh masih di udara,
diambilnya golok yang terselip di bawah tumpukan pakaian.
Malaikat Picak yang masih memutar-mutarkan
ruyungnya membelalak kaget melihat Lingga ketika menjejak
tanah telah menghunus golok. Batang golok memancarkan
sinar berkilauan yang menyilaukan mata
"Golok Kilat..!"
Malaikat Picak yang kenyang pengalaman dan pernah
mendengar desas-desus tentang senjata mengerikan itu,
berseru kaget dan gentar
"Bagus! Kau mengenal senjata pusakaku, Kakek Tua!
Berban ggalah karena kau akan menjadi korban ku
pertamanya...!"
Lingga menujukan ujung gobknya pada Malaikat
Picak. Seleret sinar menyilaukan mata pun meluncur ke arah
ayah Gentala. Lelaki ini tidak berani bertindak gegabah.
Cepat dia mebmpat ke samping untuk mengelak. Kekuatan
sinar itu belum diketahui sehingga Malaikat Picak
memutuskan untuk mengelakkannya!
Malaikat Picak hampir terpekik kaget ketika melihat
sinar dari Golok Kilat mengikuti ke arah mana dia mengelak.
Kakek ini merasa penasaran dan mengplak lagi. Tapi, sinar
itu tetap mengikutinya.
Kenyataan ini membuat Malaikat Picak sadar kalau ke
mana pun dia bergerak sinar itu akan mengikuti. Bila itu
terjadi, dia akan kehabisan tenaga! Maka, setelah mengelak
beberapa kali Malaikat Picak memutuskan untuk memapaki!
Ruyungnya pun diayunkan memapaki sinar yang meluncur
ke arahnya!
6
Darrr!
Malaikat Picak tak kuasa menahan jeritan ketika sinar
menyilaukan itu berbenturan dengan salah satu batang
ruyungnya. Batang ruyung langsung lenyap! Hancur menjadi
debu dan langsung beterbangan tertiup angin! Tubuh
Malaikat Picak sendiri terbanting ke belakang saking kuatnya
tenaga dorongan sinar itu.
Malaikat Picak segera bangkit berdiri. Sekilas
dipandangnya potongan ruyung yang berada di tangannya.
Tinggal sebatang. Lelaki ini tidak akan percaya kalau tidak
melihatnya sendiri. Ruyungnya terbuat dari bahan yang amat
kuat. Campuran dari baja tulen dan bahan-bahan lain. Tapi
sekarang pusaka itu hancur berantakan.
"Ruyungmu yang hancur, Tua Bangka! Kali ini
tubuhmu yang akan luluh!"
Lingga menudingkan ujung Golok Kilatnya lagi. Sinar
menyilaukan kcmbali meluncur ke arah Malaikat Picak. Dan,
belum juga sinar itu mengenai sasaran Lingga
menudingkannya lagi sehingga sinar kedua menyambar.
Kemudian, ketiga dan ke empat!
Pucat wajah Malaikat Picak Satu sinar saja telah
membuatnya kelabakan, apalagi empat buah! Dalam waktu
yang demikian singkat benaknya diputar. Kemudian,
Malaikat Picak membanting tubuhnya 1$ tanah dan
bergulingan. Seperti yang diduga, sinar-sinar itu
mengejarnya. Lelaki kekar ini menyambuti sinar itu dengan
lemparan sekepal tanah yang diambilnya saat bergulingan!
Empat kali berturut-turut Malaikat Picak
melemparkan tanah. Dan, empat kali pula terdengar bunyi
ledakan. Nyawa Malaikat Picak pun terselamatkan!
Lingga menggertakkan gigi melihat lawannya masih
dapat selamat. Tidak disangkanya Malaikat Picak cukup alot
untuk dibunuh. Padahal, dia sudah ingin segera
menuntaskan maksudnya terhadap Nuri. Masih terasa
kenikmatan tubuh gadis itu.
Kemarahan Lingga semakin menjadi-jadi ketika
melihat di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan
kedatangan Malaikat Picak, melesat cepat dua sosok tubuh.
Memang tak secepat lari Malaikat Picak, tapi membuat Lingga
sadar kalau keadaan semakin tidak menguntungkan bagi
dirinya.
Kemarahan Lingga pun memuncak! Dan, itu
dilampiaskannya pada Malaikat Picak. Berkali-kali sinar-
sinar menyilaukan diluncurkan dari ujung goloknya.
Berbarengan dengan itu dia melompat meneijang,
mengirimkan serangan dengan senjata pusaka itu.
Malaikat Picak memang seorang tokoh besar!
Serangan sinar-sinar kilat Lingga kembali dapat
dilumpuhkannya. Demikian pula dengan serangan goloknya.
Lelaki itu kembali mengorbankan tanah. Sedangkan untuk
serangan golok, ruyungnya yang tinggal sebatang ikut
dikorbankan.
Meski demikian, serangan susulan Lingga tidak dapat
dielakkan. Kaki pemuda itu dengan telak menghantam paha
kanannya. Bunyi gemeretak tulang ya patah mengiringi
terpentalnya tubuh Malaikat Ficak.
"Itu dia penjahat keji itu, Kek...!" Seruan itu keluar
dari mulut salah satu dari kedua sosok yang baru datang.
Dia adalah Priyani. Gadis yang sudah dinodai Lingga ini
menunjuk pemuda itu.
Sosok yang satu lagi bukan lain Setan Kepala Besi. Ia
langsung menerkam ke arah Lingga! Tidak patut disebut
menerkam sebenarnya. Kakek itu mengirimkan serangan
dengan mempergunakan kepala! Tak ubahnya seekor
kambing atau kerbau.
Lingga geram bukan main melihat gangguan ini. Saat
itu dia tengah hendak mengirimkan serangan susulan
terhadap Malaikat Picak, untuk mengirim nyawa ayah
Gentala kc neraka. Serangan Setan Kepala Besi membuatnya
membatalkan maksudnya.
Pemuda itu terkejut bukan main ketika merasakan
hembusan angin yang luar biasa keras meluncur ke arahnya
sebelum serangan kepala itu sendiri tiba. Angin luar biasa
dahsyat ini cukup untuk menghancurkan sebatang pohon
besar! Inilah keistimewaan Setan Kepala Besi. Kepalanya
yang kuat mengandung kedahsyatan luar biasa ketika
melancarkan serangan!
Lingga tidak berani bertindak sembarangan.
Keterbatasan waktu membuat pemuda itu terpaksa
mengelak, karena Lingga tidak sempat mempergunakan
goloknya. Setelah berhasil menghindari serangan itu, kembali
Lingga mempergunakan goloknya dan sinar menyilaukan
segera diluncurkan!
Pertarungan pun teijadi antara Setan Kepala Besi
bersama Malaikat Picak yang menghadap Lingga. Priyani
tidak ikut campur. Di samping kepandaiannya terlalu rendah,
dia pun risih melihat keadaan Lingga yang tanpa pakaian.
Priyani segera menghampiri Nuri. Dibantunya gadis
itu mengobati luka-luka Adipati Gili. Nuri telah mengenakan
pakaiannya kembali.
Setelah berupaya meringankan derita Adipati Gili, dua
gadis cantik itu memperhatikan jalannya pertarungan. Tidak
dapat mereka saksikan secara jelas, tapi cukup untuk
mengetahui kalau Lingga tetap berada di pihak yang lebih
menguntungkan. Dua jago tua yang menjadi lawannya
tampak kelabakan.
Kenyataan ini membuat Nuri dan Priyani khawatir
bukan main. Dan, kecemasan mereka beralasan. Malaikat
Picak yang tidak leluasa bergerak karena luka pada kakinya
menjerit memilukan ketika sinar menyilaukan dari Golok
Kilat menerpanya. Tubuh lelaki kekar itu langsung lenyap
menjadi debu kering yang segera diterbangkan angin!
Setan Kepala Besi melompat mundur saking kagpt
dan ngerinya. Lingga menghentikan serangan dan tertawa
bergelak. Sedangkan Priyani mengisak lirih melihat kematian
gurunya yang mengenaskan.
"Sekarang kau yang akan menerima kematian, Monyet
Botak!" seru Lingga penuh kesombongan pada Setan Kepala
Besi.
Kakek itu merasakan debaran jantungnya bertambah
cepat. Di dalam hati ia mengakui kalau Lingga tedalu
tangguh untuk dilawan. Apalagi dengan adanya senjata maut
di tangannya.
Setan Kepala Besi tidak berani bergerak ketika
melihat Lingga mengarahkan ujung golok kepadanya. Lelaki
ini menunggu untuk bisa memastikan ke mana harus
mengelak. Dia tidak berani menyerang atau bergerak
Tapi, sinar menyilaukan yang ditunggunya tidak
kunjung datang. Dilihatnya wajah Lingga menegang. Pemuda
itu kelihatan mendapat masalah! Kendati demikian, Setan
Kepala Besi tidak berani mengambil tindakan apa pun. Setan
Kepala Besi khawatir kalau sikap Lingga hanya merupakan
siasat. Pemuda ini ingin membuatnya lengah lalu
mengirimkan serangan.
"Jahanam...!"
Teriakan Lingga yang penuh kcgcraman membuat
Setan Kepala Besi mulai bimbang dengan kecurigaannya.
Dilihatnya tangan Lingga mengejang penuh kekuatan. Golok
Kilat seperti ditarik oleh tangan tak nampak! Tingkah Lingga
menunjukkan kalau pemuda itu tengah berusaha
mempertahankan senjatanya dari sesuatu yang menariknya.
Setan Kepala Besi cepat mengambil keputusan.
Dikumpulkan seluruh tenaganya. Kemudian, kedua ta¬
ngannya dihentakkan ke depan mengirimkan pukulan jarak
jauh. Kakek ini yakin Lingga tidak bersiasat dengan
tingkahnya yang aneh.
Lingga tidak mempedulikan serangan Setan Kepala
Besi. Dia lebih mementingkan kejadian yang menimpa
goloknya.
Bresss!
Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh Setan
Kepala Besi menghantam Lingga. Tubuh pemuda ini
melayang ke belakang bagai diseruduk kerbau liar. Kendati
demikian, goloknya tidak terlepas dari tangan. Hanya saja
cekalannya mengendur jauh.
Akibat dari mengendurnya cekalan, Lingga tidak
kuasa untuk mempertahankan goloknya. Senjata itu
melayang ke depan dengan kecepatan tinggi, agak menyerong
ke atas. Baru ketika mencapai ketinggian tiga tombak dari
tanah benda pusaka itu meluncur secara mendatar 1$ depan
dengan cepatnya.
Lingga meraung bak macan terluka. Begitu berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar,
pemuda ini segpra melesat cepat memburu ke arah Golok
Kilatnya pergi. Tak lupa dijumputnya pakaiannya yang
berserakan di tanah.
Tindakan Lingga tidak berusaha dicegah oleh Setan
Kepala Besi. Kakek ini masih terkesima melihat Lingga tidak
tewas atau terluka berat akibat serangannya. Padahal,
serangan itu sudah cukup untuk membuat tokoh yang
bagaimanapun lihainya melayang ke alam baka. Tapi,
kenyataan Lingga tidak terpengaruh sama sekali.
Priyani menghambur ke arah Setan Kepala Besi.
"Mengapa kau biarkan bangsat keji itu pergi, Kek?
Kejar dan bunuh dia! Bukankah kau telah berjanji untuk
membunuhnya demi aku?" tagih Priyani.
Setan Kepala Besi menghela napas berat. Ditatapnya
wajah Priyani sebentar lalu digelengkan kepalanya.
"Penjahat keji itu terialu tangguh untukku, Nona. Aku
tidak akan mampu mengalahkannya, apalagi membunuhnya.
Dia mempunyai ilmu luar biasa di senjata yang mengerikan.
Tapi percayalah, meski aku tidak bisa membunuhnya akan
ada orang lain yang melenyapkannya dari muka bumi ini,"
hibur Setan Kepala Besi.
Priyani menutup wajah dengan kedua tangannya
karena perasaan sedih. Kalau Setan Kepala Besi yang
demikian lihai saja tidak mampu menghadapi Lingga, siapa
lagi yang akan dapat membunuh pemuda berhati iblis itu?
Rintih Priyani dalam hati. Gurunya sendiri telah tewas.
Setan Kepala Besi merasa tidak ada gunanya lagi
mengucapkan kata-kata hiburan. Maka, dibiarkannya saja
tingkah Priyani. Bahkan ketika gadis itu menangis di tempat
tadi Malaikat Picak berdiri. Kakek ini malah melangkah
menghampiri Nuri. Muridnya itu berlari menghambur ke
arahnya. Ia terisak di dada Setan Kepala Besi.
Setan Kepala Besi membiarkan saja Nuri
menumpahkan seluruh perasaan yang sejak tadi ditahan-
tahannya. Ia tahu pengalaman yang diterima Nuri terlalu
dahsyat. Baru setelah tangis Nuri mereda kakek itu
memeriksa luka Adipati Gili.
***
Dewa Arak merasakan debaran jantungnya berdetak
tak menentu. Itu teijadi ketika melihat titik yang kian lama
kian membesar dengan cepat. Terlihat jelas oleh mata Aiya
yang tajam kalau titik yang sekarang terlihat seorang
manusia itu mengenakan pakaian serba merah. Lingga! Jerit
hati Dewa Arak.
Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada Aiya.
Rasa gembira karena berhasil menemukan Lingga. Dan, rasa
tegang mengingat pemuda yang menjadi seterunya itu belum
tentu berhasil dikalahkan.
Namun, perasaan itu sempat terusir ketika melihat
benda yang diketahui Dewa Arak sebagai golok melayang di
udara dengan kecepatan menakjubkan. Aiya segera bisa
mengetahui Lingga tengah mengejar-ngejar golok itu. Inikah
Golok Kilat? Tanya Aiya dalam hati.
Tidak berbeda dengan Dewa Arak, Lingga pun melihat
keberadaan pemuda berambut purih keperakan itu. Di dalam
hatinya pemuda berpakaian merah ini memaki-maki
mengutuk keberuntungan Dewa Arak yang bertemu
dengannya di saat Golok Kilat lepas dari tangannya.
Ketidakadaan Gdok Kilat membuat Lingga tidak yakin dapat
membunuh Dewa Arak. Setidak-tidaknya, dengan tidak
adanya Golok Kilat, Aiya memiliki kemungkinan untuk lolos
dari maut.
"Jangan pikirkan soal Lingga dulu, Dewa Arak,"
terdengar suara tanpa wujud di telinga Dewa Arak. Suara
yang dikenali Aiya sebagai milik Penyair Cengeng. "Yang lebih
penting, cegah jangan sampai senjata mengerikan itu jatuh
ke tangan penciptanya. Malapetaka yang lebih besar menanti.
Dunia persilatan akan bersimbah darah. Golok Kilat akan
jauh lebih berbahaya dan mengprikan bila jatuh ke tangan
penciptanya, karena dia tahu lebih banyak mengenai
istimewaan golok itu."
Aiya tersentak kaget. Teka-teki yang menggumpal di
benaknya sekarang teijawab. Pencipta Golok Kilat ternyata
masih hidup. Rupanya, sang pencipta senjata itu sekarang
bermaksud mengambil miliknya kembali. Jelas sudah
mengapa Golok Kilat bisa terbang sendiri laksana burung.
Pasti itu tejadi karena ulah sang pencipta Golok Kilat.
Dewa Arak tidak berani meremehkan peringatan
Penyair Cengeng. Buru-buru diloloskan sabuknya. Kemudian,
dilemparkannya ke arah Golok Kilat yang masih berada
beberapa belas tombak di depannya. Sabuk ungu Dewa Arak
meluncur bagai seekor ular, bergulung-gulung siap untuk
melibat Golok Kilat yang akan lewat.
Usaha Dewa Arak ternyata berhasil. Sabuknya dengan
tepat melilit batang golok. Aiya bermaksud menariknya, tapi
terpaksa diurungkan. Lingga yang meluncur tiba telah
mengirimkan pukulan jarak jauh. Ia rupanya tidak
membiarkan pusaka itu jatuh ke tangan seterunya. Aiya
buru-buru memapaki serangan itu dengan pukulan jarak
jauh pula.
Blarrr!
Bumi berguncang ketika dua pukulan jarak jauh yang
memiliki kekuatan dahsyat tak terkira bertemu di tengah
jalan. Baik Aiya maupun Lingga terhuyung ke belakang. Aiya
selangkah lebih jauh!
Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena
benturan itu. Pemuda berambut putih 1$perakan ini telah
tahu kehebatan kekuatan tenaga Lingga. Yang membuatnya
kaget adalah ketika melihat Golok Kiat memancarkan sinar
menyilaukan dan memercikkan api.
Api yang muncul demikian mengejutkan itu ternyata
memiliki kekuatan panas yang mengerikan. Di saat Dewa
Arak dan Lingga belum sempat mematahkan kekuatan yang
membuat tubuh mereka terhuyung, sabuk ungu yang melilit
golok habis terbakar! Dengan demikian Golok Kilat kembali
bebas. Dan, sebelum Dewa Arak dan Lingga sempat berbuat
sesuatu, Golok Kilat kembali melesat dengan keoepatan
tinggi!
Lingga lebih dulu bertindak. Kedua tangannya cepat
dijulurkan ke depan. Ia mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menarik golok itu. Setidak-tidaknya,
menahan luncurannya.
Tindakan Lingga tidak sia-sia. Luncuran Golok Kilat
tertahan. Memang tidak tertarik ke arah Lingga, tapi
luncurannya terhenti seakan-akan hulu golok dipegang oleh
tangan.
Dewa Arak tidak mau ketinggalan. Pemuda berambut
putih keperakan ini melompat untuk menangkap golok yang
terapung-apung di udara itu. Karena kekhawatiran Golok
Kilat jatuh ke tangan penciptanya, Dewa Arak sampai tidak
ingat kalau tindakannya bagai menangguk ikan di air keruh.
Lingga menggeram marah. Pemuda ini tahu kalau
Dewa Arak berhasil menangkap Golok Kilat sudah pasti akan
mendapatkannya. Jarak yang jauh akan membuat tenaga
dalamnya yang hanya lebih kuat sedikit dari Dewa Arak tidak
berarti sama sekali!. Dan, Lingga tidak menginginkan hal itu
terjadi.
"Uhhh...!"
Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika
tangkapannya mengenai tempat kosong. Golok Kilat telah
melesat cepat dari tempat semula. Lebih cepat daripada
sebelumnya!
Dewa Arak tidak merasa heran melihat hal ini. Lingga
pasti telah menghentikan tarikannya. Itu membuat Golok
Kilat yang sejak tadi berkutat untuk membebaskan diri dari
tarikan Lingga meluncur bagai anak panah lepas dari busur.
Lingga sendiri begitu melepaskan tarikannya melesat cepat
mengejar golok itu. Tapi, pemuda ini tertinggal cukup jauh
karena luncuran Golok Kilat yang demikian pesat.
Dewa Arak pun segera bertindak. Pemuda berambut
putih keperakan ini ikut melesat mengejar. Pemandangan
yang unik pun terpampang. Golok Kilat berada di depan,
disusul Lingga dan kemudian Dewa Arak. Jarak antara
mereka masing-masing cukup jauh. Dan, semakin lama
semakin jauh.
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sungguh tidak
disangkanya dalam ilmu lari cepat pun Lingga masih lebih
unggul daripadanya. Jarak antara dia dan Lingga semakin
lebar.
Tidak hanya Dewa Arak, Lingga pun mengutuk di
dalam hati melihat jaraknya yang semakin jauh dengan Golok
Kilat. Medan tempuh sang golok yang tidak mengenal
kesulitan membuat luncurannya tidak terhambat sedikit pun.
Sementara Lingga terkadang harus melewati medan yang
sulit.
Lingga pucat pasi wajahnya ketika melihat sebuah
hutan berada puluhan tombak di depannya. Apabila masuk
hutan, pupus sudah harapannya untuk dapat memperoleh
senjata itu lagi. Kelebatan hutan akan menyembunyikan
Golok Kilat dari pandangan. Dedaunan rindang yang
menghalangi pandangan banyak menghampar. Maka,
meskipun rasa lelah yang sangat mendera dan napasnya
sudah memburu, dikuatkan hatinya untuk terus mengejar.
Malah diusahakan untuk mengerahkan kekuatan lari yang
lebih dari sebelumnya.
Usaha Lingga sia-sia. Kemauannya tidak terdukung
oleh kemampuan yang cukup. Golok Kilat telah lebih dulu
masuk ke dalam hutan. Lingga tertinggal beberapa tombak di
belakangnya. Hampir sepuluh tombak!
Meski demikian, Lingga tetap menyusul masuk ke
dalam hutan. Dia terus melanjurkan pengejaran. Dewa Arak
menyusul beberapa saat kemudian. Tapi, sesampainya di
dalam hutan pemuda berambut putih keperakan ini
menghela napas berat. Lingga sudah tidak kelihatan lagi.
Sementara itu, terpisah beberapa belas tombak di
depan, Lingga pun tengah kebingungan. Pandangan mata
pemuda ini liar merayapi sekitar tempatnya beiada untuk
melihat barangkali Golok Kilat ada di sana.
Tapi harapannya sia-sia! Golok Kilat tidak terlihat.
Mungkin sudah meninggalkan tempat itu.
***
Setan Kepala Besi menoleh ke arah Nuri yang
melangkah lesu di sebelahnya. Kedua tangan gadis ini
ditaruh di belakang. Sementara Setan Kepala Besi
membopong tubuh Adipati Gili.
"Kita telah sampai, Nuri," ujar Setan Kepala Besi
lembut sambil mengarahkan pandangan ke sebuah pondok
sederhana beratapkan rumbia dan berdinding pagar bambu.
Nuri hanya tersenyum samar setelah lebih dulu
mengangkat wajah dan memandang gurunya. Kemudian,
tatapannya diturunkan kembali menekuri tanah.
Setan Kepala Besi tidak berkecil hati melihat tingkah
muridnya. Nuri masih terpukul dengan kejadian yang
menimpanya akibat ulah Lingga. Sejak kemarin gadis ini
berdiam diri saja. Tidak bicara kecuali ditanya. Itu pun
jawaban yang diberikan singkat-singkat saja
Khawatir akan ancaman Lingga, Setan Kepala Besi
tidak mengajak Nuri dan Adipati Gili ke tempatnya yang dulu.
Dibawanya ayah dan anak itu ke tempat yang tersembunyi
Setan Kepala Besi mendorong daun pintu yang terbuat dari
bambu. Daun pintu pun terkuak. Cahaya sang suiya
menyorot menyinari bagian dalam rumah.
"Selamat bertemu lagi, Setan Kepala Besi."
Setan Kepala Besi sampai tanpa sadar teijingkat ke
belakang. Ia terkejut bukan main. Suara itu pernah
didengarnya. Bahkan cukup akrab di telinganya. Tapi,
membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Setan Kepala
Besi untuk mengingatnya.
Keberadaan pemilik suara yang langsung terlihat oleh
Setan Kepala Besi membuat kakek ini tidak perlu bersusah-
payah mengingat-ingat. Si pemilik suara duduk di balai-balai
bambu yang ada di tengah ruangan.
"Kaget, Setan Kepala Besi?"
Pemilik suara menyapa dengan senyum terkembang
lebar. Tampak deretan giginya yang kuning dan beberapa di
antaranya hitam. Terlihat cukup menyolok deretan gigi itu
karena kulit sosok ini hitam legam.
"Sejujurnya iya, Eyang," jawab Setan Kepala Besi
setelah bisa menguasai perasaannya. "Aku tidak menyangka
Eyang sampai keluar dari pertapaan. Apalagi bisa tiba di sini.
Dari mana Eyang tahu tempat ini?"
"Itu tidak penting, Setan Kepala Besi." jawab kate k
hitam legam itu sambil mengibaskan tangan. 'Tapi, agar kau
tidak penasaran kuberitahukan sekilas. Aku keluar dari
pertapaan karena memang sudah waktunya untuk keluar.
Dan, tahunya aku tempat ini karena kau juga, Setan Kepala
Be si?"
Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Karena aku
mencuri lembaran-lembaran daun lontar yang kau buat dari
hasil semadimu, Eyang?"
Kakek hitam legam tersenyum dan menggelengkan
kepala.
"Lalu, karena apa? Kakek Merah dan Putih pun keluar
dari pertapaan karena hendak meminta lembaran daun
lontar itu."
"Aku tahu mereka pergi. Tapi, itu mereka lakukan
karena bakti mereka padaku. Padahal aku tidak
menginginkan mereka bertindak demikian. Bahkan aku tidak
pernah bercerita kalau lembaran daun lontar telah kau curi.
Bertahun-tahun kusimpan rapat-rapat rahasia itu sampai
akhirnya mereka mengetahuinya sendiri. Dan, begitulah
akibatnya. Meski kularang teras, tapi apa dayaku? Kau tahu
sendirikan keadaanku?"
Setan Kepala Besi mengangguk. Kakek hitam legam
yang dikenalnya dengan nama Eyang Keling ini telah
kehilangan seluruh tenaga dalamnya. Setan Kepala Besi tidak
tahu mengapa. Yang jelas, Eyang Keling diketahuinya
memiliki ilmu nujum yang hebat. Menyepi bertahun-tahun
seorang diri sebelum akhirnya sepasang kakek yang
memperkenalkan diri dengan nama Merah dan Putih datang
menemani. Bertahun kemudian Setan Kepala Besi datang
pula ke tempat itu. Sungguh sebuah hal yang kebetulan!
"Apakah kau telah bertemu dengan mereka, Setan
Kepala Besi?"
"Tidak, Eyang. Tapi, meieka telah menawan muridku
agar aku datang menemuinya. Ternyata sebelum kubebaskan
muridku ini telah lebih dulu bebas," Setan Kepala Besi
menunjuk pada Nuri.
Eyang Keling menatap Nuri sebentar. Kemudian,
tersenyum ramah Nuri membalas senyum itu kendati sedang
tidak ingin tersenyum. Itu dilakukannya untuk menghormati
Eyang Keling yang demikian dihormati gurunya.
"Apakah ada hal yang penting sehingga kau datang
menemuiku, Eyang?" tanya Setan Kepala Besi setelah selesai
menceritakan kisah Nuri hingga bisa selamat dari tawanan
kakek Merah dan Putih.
"Tentu saja, Setan Kepala Besi," Eyang Keling
menganggukkan kepala
7
"Biadab...!"
Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan makiannya
ketika melihat pemandangan yang terpampang di
hadapannya. Dua sosok terpantek di dua batang pohon
dalam keadaan mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh
guratan senjata tajam. Cukup dalam karena beberapa di
antaranya memperlihatkan tulang yang putih. Bercak-bercak
darah yang mengering menyebar di sekujur tubuh. Tapi
anehnya, tak ada setitik pun yang jatuh di tanah.
Aiya bergegas menghampiri. Diperkirakannya kedua
sosok tubuh itu dengan hati panas terbakar amarah yang
menggelegak melihat penyiksaan yang demikian mendirikan
bulu kuduk. Bercak-bercak darah membuat pakaian kedua
sosok itu tidak terlihat lagi warnanya. Tapi, Aiya tahu kalau
mereka adalah dua orang kakek yang menculik Nuri. Lalu,
siapakah yang telah melakukan kekejian itu?
Pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dua
dugaan mengpnai si pelaku terbersit di benaknya. Dua orang
yang mempunyai kemungkinan besar bertindak seperti ini.
Setan Kepala Besi yang mungkin karena sakit hatinya
melakukan penyiksaan, dan Lingga!
Dua tokoh itu memang memiliki kemungkinan besar.
Setan Kepala Besi dulunya adalah seorang pentolan kaum
sesat. Bukan tidak mungkin karena saking marah dan sakit
hatinya lelaki itu khilaf dan berlaku seperti ini.
Di lain pihak, Lingga pun demikian. Kakek Merah dan
Putih telah mencari urusan dengannya. Jangankan orang
yang berurusan, yang tidak pun bisa saja mendapat sial
disiksa oleh Lingga yang memang memiliki hati kejam luar
biasa.
Dewa Arak lebih condong pada Lingga. Telah dua hari
dia mengikuti jejak Lingga, sejak pemuda itu dan dirinya
mengejar-ngejar Golok Kilat. Dan, menurut perhitungannya
arah yang diikutinya ini adalah arah yang dituju Lingga. Jadi,
kemungkinan besar kakek Merah dan Putih dibunuh
olehnya! Hal itu bukan tidak mungkin bagi Lingga. Di
samping berkepandaian amat tinggi, pemuda ini pun
memiliki ilmu yang membuat kulit tubuhnya tidak bisa
dilukai!
"Dewa Arak..."
Sapaan itu membuat Dewa Arak bergegas
membalikkan tubuh dan bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan yang teijadi. Pemuda ini sempat kaget karena
tidak mendengar adanya bunyi sedikit pun. Keterkejutan
kedua adalah karena saat itu ia tengah tegang melihat
pemandangan yang menggiriskan.
Sekujur urat-urat saraf di tubuh Dewa Arak langsung
mengendur ketika mengetahui orang yang menegurnya.
Orang itu adalah Penyair Cengpng. Tokoh luar biasa.
Aiya heran melihat wajah Penyair Cengeng demikian
tegang. Tidak biasanya kakek itu bersikap demikian.
"Malapetaka besar telah berada di ambang pintu,
Dewa Arak," ucap Penyair Cengeng dengan suara
mengandung keprihatinan mendalam. "Satu tahun lagi Golok
Kilat akan menjadi pusaka maha ampuh! Jauh lebih dahsyat
dan mengprikan daripada yang dulu. Aku mengetahui hal ini
setelah mengerahkan seluruh kemampuan batinku. Ada
kekuatan kasatmata yang menghalangi maksudku mencari
tahu mengpnai Golok Kilat. Ini berarti pencipta Golok Kilat
telah campur tangan. Hanya itu yang bisa kuketahui, Dewa
Arak! Aku tidak tahu tahap apa lagi yang akan dilalui agar
Golok Kilat menjadi pusaka yang sangat mengerikan. Bila ta¬
hap itu selesai, tak akan ada seorang tokoh pun yang bisa
tidur nyenyak, Dewa Arak. Seriap tokoh yang bagaimanapun
saktinya, kecuali mungkin gurumu yang luar biasa itu, bisa
mati setiap saat tanpa mereka tahu siapa yang
membunuhnya."
"Apa yang harus kulakukan, Penyair Cengeng?" tanya
Aiya dengan cemas. Ia khawatir sekali mendengar cerita
Penyair Cengeng.
"Apa saja, Dewa Arak. Intinya, usahakan agar tahap
terakhir dari usaha pencipta Golok Kilat itu gagal. Bila
sampai teijadi, meski Golok Kilat tetap merupakan pusaka
sangat mengerikan, tak terlalu mengancam keselamatan
tokoh-tokoh persilatan."
Aiya sebenarnya hendak menanyakan banyak hal.
Terutama mengenai ancaman yang teramat berbahaya dan
yang tidak. Tapi, melihat sikap Penyair Cengeng yang tergesa-
gesa diputuskan untuk mengajukan masalah yang penting
saja.
"Aku memutuskan untuk mencari pencipta Golok
Kilat itu, Penyair Cengeng. Bisa kau memberikan sedikit
petunjuk?"
"Aku tidak bisa memberi banyak petunjuk, Dewa
Arak. Aku sendiri tengah berusaha menemukan di mana
adanya si pencipta itu. Tapi, hasilnya sia-sia. Ilmu batinku
pun tidak mampu membantuku. Jadi, yang bisa kubantu
hanya memberikan ciri-ciri pencipta Golok Kilat, agar kau
lebih mudah menemukannya. Dia memiliki kulit kuning.
Tubuhnya gemuk pendek. Itu yang bisa kuberitahukan, Dewa
Arak. Dan...."
"Penyair Cengpng...! Awaaasss...!"
Seruan itu dikeluarkan Dewa Arak ketika melihat
seleret sinar menyilaukan mata bak kilat meluncur ke arah
Penyair Cengeng. Arahnya dari belakang kakek itu.
Sebenarnya, seruan Dewa Arak tidak perlu. Meski
bunyi lesatan sinar yang sebetulnya berasal dari Golok Kilat
itu amat pelan, tapi cukup untuk tertangkap telinga Penyair
Cengeng.
Kakek itu segera membanting tubuh dan
menggulingkan diri di tanah. Dewa Arak sendiri ikut
menjauh. Pemuda ini agak heran melihat Penyair Cengpng
demikian repot-iepot mengelak. Sedikit menggeser kaki pun
sudah cukup, pikir Dewa Arak.
Aiya baru mengetahui alasan Penyair Cengeng
melakukan elakan yang demikian merepotkan ketika melihat
kilatan sinar yang seharusnya mengenai tempat kosong
mengikuti arah ke mana Penyair Cengpng mengplak
Kali ini Penyair Cengeng melenting ke atas. Sinar itu
pun mengikutinya. Aiya yang melihatnya jadi berdebar
tegang. Pemuda ini, yang telah bisa menduga kalau sinar
menyilaukan itu berasal dari Golok Kilat, baru menyadari
mengapa Penyair Cengeng dan Ki Gering Langit demikian
khawatir.
Dewa Arak melihat sendiri ke mana pun Penyair
Cengeng mengelak sinar kilat itu tetap memburu. Mengapa
Penyair Cengeng tidak menangkisnya saja? Tanya Dewa Arak
dalam hati.
Aiya memperhatikan pemandangan yang terpampang
dengan perasaan tertarik bercampur tegang. Ketika teringat
akan sinar kilat yang dulu pernah dialaminya, yang mungkin
akan membuatnya tewas, kalau tidak ada guci pusakanya,
Dewa Arak menemukan sendiri jawaban mengapa Penyair
Cengeng tidak menangkisnya (Untuk jelasnya silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode: "Batu Kematian").
Aiya kaget ketika tiba-tiba Penyair Cengeng menubruk
tanah seperti orang terjun ke sungai. Apa yang hendak
dilakukan kakek ini?
Aiya hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tubuh Penyair Cengeng amblas ke dalam tanah! Itu masih
belum mengejutkan. Yang membuat Aiya kaget bukan main
adalah ketika melihat tidak adanya bekas sedikit pun pada
tanah! Seakan-akan Penyair Cengpng tidak pernah masuk ke
dalamnya.
Blarrr!
Debu mengepul tinggi ketika sinar kilat itu
menghantam tanah di mana tubuh Penyair Cengeng lenyap.
Dan begitu debu tersapu angin, tampak lubang besar
menganga. Lubang yang mampu untuk menimbun mayat
seekor gajah besar.
Berbarengan dengan lenyapnya debu, Penyair
Cengeng muncul kembali ke permukaan tanah. Tidak teriihat
sedikit pun bagian tubuhnya yang kotor. Ilmu apakah yang
dipergunakan Penyair Cengeng? Tanya Arya dalam hati.
Pemuda ini merasa risih untuk menanyakannya. Yang
diketahui Arya, Penyair Ccngong memang banyak memiliki
ilmu-ilmu gaib.
"Kau lihat sendiri kedahsyatan Golok Kilat itu, Dewa
Arak?" ujar Penyair Cengeng setengah memberi tahu.
"Padahal, tahap terakhir belum dilaksanakan oleh pencipta
Golok Kilat. Bila tahap itu sudah selesai, tindakan yang
kulakukan tadi tidak akan ada artinya. Sinar maut itu
mampu menembus tanah tanpa bekas sedikit pun seperti
halnya aku. Jadi, tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi.
Sinar itu akan terus mengejarku sampai aku berhasil
disambarnya."
Dewa Arak menelan ludah karena perasaan tegang.
Sungguh tidak disangkanya akan demikian dahsyat akibat
yang ditimbulkan Golok Kilat.
"Kalau demikian, aku akan secepatnya mencari
pencipta gdok itu, Penyair Cengeng," jawab Aiya segera
mengambil sebuah keputusan. 'Tapi sebelum itu..., boleh
kutahu mengapa pencipta Golok Kilat kelihatannya
memusuhimu?"
Penyair Cengeng tersenyum pahit.
"Semua itu karena salahku juga. Dulu aku sepertimu.
Tidak tahan untuk berdiam diri melihat tindak ketidakadilan
terjadi di depan mata. Pencipta Golok Kilat menyebar
malapetaka di dunia persilatan. Tapi waktu itu kedahsyatan
Golok Kilat tidak seperti sekarang. Sinar maut yang keluar
dari ujung golok tidak mampu mencari sasaran sendiri. Itu
pun harus dilakukan dari jarak dekat, misalnya sewaktu
bertarung. Tidak seperti sekarang sangat mengprikan!
Pencipta Golok Kilat berhasil kukalahkan. Golok itu sendiri
kutenggelamkan di laut untuk membuang pengaruhnya.
Entah bagaimana bisa keluar dari sana. Mungkin ditemukan
nelayan dan dijual pada prajurit kerajaan. Hal itu aku tidak
begitu tahu. Yang jelas, beban berat ada di pundakmu, Dewa
Arak."
"Doakan aku, Penyair Cengeng. Semoga aku berhasil
menunaikan tugas ini seperti halnya kau dulu."
Penyair Cengeng mengangguk sambil tersenyum.
Meski demikian, sorot kekhawatiran belum lenyap dari
wajahnya.
Penyair Cengeng melangkah pelan dan lambat.
Namun, tubuhnya dengan cepat telah berada puluhan
tombak di depan. Dan yang menarik perhatian Aiya,
beberapa kali telapak kaki si kakek tidak menginjak tanah.
Luar biasa!
***
Bunyi gaduh yang dikenal baik oleh Aiya sebagai
akibat dari teijadinya pertarungan menarik perhatian
pemuda berambut putih ke perakan itu. Ia segera melesat
pergi ke sana.
Jantung Aiya berdebar tegang ketika akhirnya melihat
orang-orang yang terlibat dalam pertarungan di balik
gundukan batu besar di pinggir sungai. Salah satu di
antaranya adalah Lingga! Sedangkan sosok yang satu lagi
tidak dikenal Aiya. Seorang kakek berkulit hitam legam.
Kakek ini bukan lain Eyang Keling.
Pertempuran ini hebat bukan main. Aiya sendiri
sampai takjub melihatnya. Lingga diketahui Dewa Arak
memiliki kepandaian ringgi. Tapi, lawannya tidak kalah lihai.
Lingga yang memiliki ilmu 'Dewa Mabuk' tampak tidak
mampu mendesak lawan. Eyang Keling memiliki ilmu tangan
kosong yang mengagumkan. Kedua tangannya seperti
berjumlah belasan.
Beberapa kali Eyang Keling dan Lingga mengadu
tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terhuyung-huyung.
Tenaga dalam mereka ternyata berimbang.
Namun, lambat laun Eyang Keling mulai terdesak.
Kekebalan tubuh Lingga yang menjadi penyebabnya. Kakek
ini terus dipaksa bermain mundur. Bila hal itu terus
dibiarkan Eyang Keling akan tewas.
Eyang Keling pun rupanya menyadari hal itu. Begitu
mendapat kesempatan, dia melempar tubuhnya ke belakang.
Dan, ketika menjejak tanah di tangannya telah tergenggam
sebatang pedang.
Lingga tersenyum mengejek. Tanpa mempedulikan
keselamatan diri dia melompat bagai seekor harimau
menerkam mangsa!
Eyang Keling berdiri tegak menanti datangnya
serangan. Ketika telah dekat, batang pedangnya diludahi!
Baru setelah itu dibabatkan 1$ arah kedua tangan Lingga
yang meluncur ke arahnya.
Lingga mengeluarkan pekikan tertahan! Pemuda keji
ini merasakan desir angin tajam yang membuat ngilu
tubuhnya. Dalam waktu yang demikian singkat dia segera
menyadari adanya hal-hal yang mencurigakan.
Lingga menarik kedua tangannya untuk membatalkan
serangan. Pertama kalinya sejak menerima warisan ilmu
hebat dari tokoh-tokoh sakti yang berasal dari Nepal, Lingga
tidak berani memapaki senjata dengan tangannya (Untuk
jelasnya mengenal tokoh-tokoh Nepal, silakan baca episode:
"Petualang-petualang dari Nepal").
Crattt!
Darah mengucur ketika pergelangan tangan kiri
Lingga terserempet ujung pedang. Elakan yang dilakukan
Lingga kurang cepat. Untungnya, tidak mengenai urat nadi!
"Ha ha ha...!"
Eyang Keling tertawa terbahak-bahak. Kakek ini tidak
segera melanjutkan serangan. Sikapnya seperti orang yang
yakin akan keunggulannya.
Aiya terkejut melihat Lingga bisa dilukai. Namun,
lebih terkejut lagi ketika melihat pemuda yang tangguh itu
terhuyung-huyung limbung bagaikan orang terluka parah.
Padahal, luka yang dideritanya hanya kecil saja. Itu pun
sudah tidak mengalirkan darah lagi. Lingga telah menotok
jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.
"Mungkinkah ujung pedang Eyang Keling beracun?"
Pertanyaan itu bergayut di benak Aiya. Namun, segera
terbantah ketika pemuda itu melihat darah yang mengucur
dari pergelangan tangan Lingga berwarna merah segar. Tanda
darah sehat
"Di depan orang lain kau boleh membanggakan
kekebalan tubuhmu, Pemuda Sombong! Tapi, tidak di
hadapan Eyang Keling. Kekebalanmu tidak ada artinya
bagiku. Aku telah membuat penangkalnya. Meski hanya
terluka sedikit, tapi akibatnya besar! Seluruh tenagamu akan
lenyap meski cuma sebentar. Rasa pusing pun akan
melandamu. Bukankah demikian?"
Dewa Arak baru mengerti mengapa Lingga kelihatan
seperti orang terluka parah Rupanya, Eyang Keling telah
menemukan kelemahannya.
Lingga tidak memberikan tanggapan. Pemuda ini
memegangi kepalanya dan terhuyung-huyung seperti orang
mabuk. Rupanya, apa yang dikatakan Eyang Keling tidak
berlebihan.
Eyang Keling menghampiri Lingga dengan pedang
terhunus di tangan. Sikapnya sembarangan saja, tidak
terlihat waspada sedikit pun.
"Arrrggghhh...!"
Laksana seekor harimau luka, Lingga menggeram.
Akibatnya, tanah dan sekitar tempat itu bergetar hebat. Dewa
Arak yang memang masih menaruh curiga terhadap Lingga
dan tidak yakin pemuda licik itu demikian mudah
dilumpuhkan, tidak terpengaruh karena segera mengerahkan
tenaga dalam untuk menekan pengaruh teriakan.
Tidak demikian halnya dengan Eyang Keling. Kakek
ini tidak bersiap sama sekali. Tubuhnya mendadak lemas dan
hampir ambruk di tanah karena kedua kakinya menggigil.
Dadanya pun terguncang hebat!
Lingga yang sudah memperhitungkan hal itu segera
melompat sambil mengirimkan tamparan 1$ arah pelipis
Eyang Keling. Kakek hitam legam ini meski dalam keadaan
tidak menguntungkan masih mampu menunjukkan kalau
dirinya bukan orang sembarangan. Dia mengegoskan
tubuhnya. Dan, ini cukup berarti. Serangan Lingga mendarat
di bahu kanan.
Plakkk!
Tubuh Eyang Keling terlempar ke samping. Lalu,
jatuh terguling-guling di tanah.
Lingga tidak tinggal diam. Pemuda ini melesat untuk
mengirimkan serangan mematikan. Tapi, Dewa Arak yang
merasa geram melihat kelicikan Lingga tidak dapat tinggal
diam. Ia melompat memotong lompatan Lingga seraya
mengirimkan tamparan ke arah bahu.
Kalau menuruti perasaan, Dewa Arak ingin mengi¬
rimkan serangan ke arah kepala agar bisa memukul mati
Lingga. Tapi karena serangan yang dilakukan secara
membokong, niat itu dibatalkan. Kalau tidak hendak
menyelamatkan Eyang Keling pun Dewa Arak tak mau
membokong seperti ini.
Dalam keadaan biasa Lingga akan membiarkan
serangan ini. Tapi kaiena luka yang terjadi membuat
kekebalan tubuhnya musnah, Lingga memapaki serangan itu
kemudian mengirimkan tendangan ke perut Arya! Pada saat
yang bersamaan Dewa Arak mengirimkan gedoran ke arah
dada Lingga.
Plak! Duk! Des!
Hampir berbarengan dengan terjadinya benturan dua
tangan, tendangan Lingga mendarat di paha kanan Dewa
Arak. Sebaliknya, gedoran Arya menghantam dada atas
Lingga. Masing-masing pihak serangannya meleset karena
sempat berkelit.
Tubuh Dewa Arak dan Lingga sama-sama terjengkang
ke belakang. Lingga yang lebih parah lukanya terbanting
keras di tanah. Sedangkan Dewa Arak masih mampu
menjejak tanah meski dengan agak limbung.
Tapi, keberuntungan Dewa Arak hanya sampai di situ.
Begitu kakinya menjejak tanah Eyang Keling yang rupanya
tidak terluka parah mengirimkan pukulan jarak jauh.
Kejadian itu demikian cepat dan tidak terduga-duga. Padahal,
Aiya berada dalam keadaan yang kurang menguntungkan.
Karena itu Dewa Arak tidak mampu mengelak.
Aiya hanya sempat mengerahkan tenaga dalam untuk
membuat isi dadanya tidak hancur oleh pukulan jarak jauh
yang dahsyat itu. Sungguhpun demikian, ketika pukulan itu
melandanya, tubuh Dewa Arak melayang ke belakang
laksana daun kering dihempas angin teras. Darah
menyembur deras dari mulutnya!
Eyang Keling tidak mempedulikan Dewa Arak lagi.
Pemuda berambut putih ke perakan itu memang tidak
pingsan. Tapi, tergolek tak berdaya di tanah. Luka dalam
Aiya memang parah!
Aiya hanya dapat melihat Eyang Keling mendekati
Lingga. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa
Eyang Keling malah menyerangnya? Bukankah dia telah
membantu kakek itu menghadapi Lingga? Malah, Dewa Arak
yang menyelamatkannya! Di pihak manakah kakek itu
berdiri? Kalau juga golongan hitam, mengapa bentrok dengan
Lingga?
"Ha ha ha...!"
Eyang Keling tertawa bergelak. Tawa yang sarat
dengan kegembiraan. Dia berdiri di dekat Lingga. Wajahnya
didongakkan ke langit dengan penuh kesombongan.
"Penyair Cengeng...! Sebentar lagi kau akan menerima
pembalasan dendamku yang kutahan selama puluhan tahun.
Dengan berhasilnya kuambil darah pemuda sombong ini,
rampunglah sudah tahap terakhir dan aku akan menjadi jago
tak terkalahkan di kolong langit ini. Ha ha ha...!"
Dewa Arak yang masih sadar terasa bagai disambar
halilintar mendengar ucapan Eyang Keling! Ucapan kakek
hitam legam ini mengingatkannya akan cerita Penyair
Cengeng tentang seorang tokoh sesat yang menjadi pencipta
Golok Kilat. Jadi, Eyang Keling inilah pencipta golok yang
mengerikan itu!
"Jadi...," ucap Aiya pelan tapi cukup jelas terdengar.
"Kau orang yang menciptakan Gobk Kilat itu?"
"Kalau bukan aku siapa lagi...?" jawab Eyang Keling.
"Menurut berita yang kudapat, pencipta Gobk Kilat
memiliki kulit kuning dan bertubuh gemuk pendek," bantah
Aiya dengan suara lemah. Karena, ia menyadari merubah
kulit dan potongan tubuh bukan hal yang sulit bagi seorang
tokoh besar persilatan.
"Apa susahnya mengubah semua itu, Dewa Arak? Kau
Dewa Arak bukan? Aku tahu, kau pasti mengetahui
tentangku dari Penyair Cengeng. Beberapa waktu yang lalu
dia boleh selamat dari maut. Tapi, setelah hari ini tidak akan
mungkin terulang keberuntungannya."
"Boleh kutahu tahap terakhir itu?" tanya Aiya, ingin
tahu.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tidak ada ruginya mem¬
berikan keterangan pada orang yang sudah dekat dengan
malaikat maut. Dengar baik-baik. Tahap pertama adalah
mengambil Golok Kilat yang telah mendapat keampuhannya
lagi dengan mempergunakan sarungnya yang memang
kusimpan. Kedua, mengambil darah orang-orang yang
sebelumnya telah kuberikan ramuan yang membuat
keampuhan Golok Kilat bertambah. Darah mereka akan
diserap habis oleh Golok Kilat. Karena darah itulah sinar
yang keluar dari Golok Kilat mampu mengikuti ke mana
orang yang dituju bergerak. Sedangkan tahap terakhir, Golok
Kilat harus meminum habis darah orang yang membuatnya
bangkit dari istirahat panjang. Setelah tahap ini, orang yang
dituju oleh sinar maut Golok Kilat tak akan mampu lolos lagi.
Apa pun yang menghalangi akan ditembus oleh sinar itu."
"Jadi.. , kau yang membunuh dua kakek berkulit
merah dan putih, lalu mengikatnya di pohon?" tanya Aiya,
teringat akan mayat-mayat yang ditemuinya.
"Benar. Mereka dan Setan Kepala Besi. Ketiga orang
itulah yang meminum ramuan untuk menambah
keistimewaan Golok Kilat. Ramuan itu hanya berkhasiat bila
bercampur darah orang yang memiliki tenaga dalam kuat.
Bertahun-tahun mereka kucekoki ramuan itu tanpa mereka
tahu. Aku memang mencari orang-orang seperti mereka.
Kebetulan mereka hendak mengasingkan diri. Dengan ilmu
batinku kutarik mereka ke tempatku. Bertahun-tahun
kemudian baru Setan Kepala Besi kuberikan catatan tentang
Golok Kilat di lembaran daun lontar. Seperti dugaanku,
semuanya beijalan lancar. Dengan adanya ramuan di tubuh
mereka dan bekas bau Gobk Kilat pada pemuda sial ini,
mudah saja kutemukan keberadaan mereka. Dan, mereka
pun kubunuh!"
"Tapi, menurut Setan Kepala Besi kau tidak memiiiki
tenaga dalam?" bantah Aiya. Ia penasaran setelah
mengetahui banyaknya rahasia di kehidupan Eyang Keling.
Nama yang sudah pasti samaran.
"Tentu saja! Bukankah Golok Kilat pun baru
mempunyai keistimewaan lagi belum lama ini?" sentak Eyang
Keling. Dan ketika melihat Dewa Arak kebi-ngungan, segera
dilanjutkan penjelasannya. "Antara aku dengan Golok Kilat
seperti satu nyawa. Begitu Golok Kilat kehilangan daya, aku
pun demikian. Aku kembali segar setelah Golok Kilat
memiliki keistimewaannya lagi. Nah, kurasa sudah cukup
basa-basi ini, Dewa Arak. Kau satu-satunya orang yang tahu
rahasia ini. Bahkan, kau pula orang pertama sekaligus
terakhir yang melihatku menyelesaikan tahap terakhir untuk
membuat Golok Kilat memiliki keistimewaan tidak terhingga!"
Setelah berkata demikian, tanpa peduli pada Dewa
Arak lagi Eyang Keling mengalihkan perhatian pada Lingga.
Golok Kilat dikeluarkan dari balik bajunya dan perlahan-
lahan dihunus. Sinar terang membersit keluar, menyilaukan
mata dan menggiriskan hati.
Dewa Arak tahu ke adaan yang amat
mengkhawatirkan telah tercipta. Hanya dalam waktu sekejap
lagi nyawa tokoh persilatan di mana pun berada akan
terancam. Terutama Penyair Cengeng!
Dewa Arak tidak punya pilihan lagi kecuali memanggil
belalang raksasa di alam gaib. Ia pun segera memusatkan
pikirannya. Seketika itu juga tenaganya yang telah sirna
pulih kembali. Luka dalamnya yang sejak tadi terasa nyeri
saat itu menguap entah ke mana.
Aiya mengeluarkan bunyi menggeram keras dari
mulutnya. Tak patut suara yang keluar dari mulut manusia.
Begitu menyeramkan! Seiring dengan itu, pemuda berambut
putih keperakan ini melompat menerjang Eyang Keling.
Eyang Keling merasakan sekujur tubuhnya bagai
dirayapi ribuan semut. Dia gemetar! Kejadian yang tidak
disangka-sangka ini membuatnya membalikkan tubuh
dengan perasaan kaget tak terkira. Itu pun setelah terlebih
dulu mengerahkan tenaga dalam untuk membuat pengaruh
teriakan Aiya pupus.
Eyang Keling segera mengirimkan sinar-sinar
mematikan dari ujung Golok Kilat nya ke arah Dewa Arak.
Perasaan gugup masih melanda kakek itu.
Dewa Arak dalam keadaan disusupi belalang raksasa
dari alam gaib. Sedikit pun tidak mempedulikan sinar maut
Golok Kilat. Dengan guci araknya sambaran sinar itu
dipakaki. Pada saat yang bersamaan, dikirimkan pukulan
jarak jauh dengan penggunaan jurus 'Pukulan Belalang'.
Eyang keling tidak mau kalah! Pukulan jarak jauh
Dewa Arak segera dipapakinya dengan sinar mautnya
Biang!
Bumi bagai dilanda gempa ketika dua benturan keras
terjadi. Yang pertama ketika sinar maut berbenturan dengan
guci. Ini membuat tubuh Dewa Arak melayang jauh bagai
daun kering dihembus angin teras. Benturan kedua
menimbulkan bunyi yang tak kalah keras ketika pukulan
jarak jauh Arya bertemu sinar maut Gobk Kilat yang
me mapakinya.
Cras!
"Akh...!"
Eyang Keling menjerit menyayat hati, saat pengaruh
benturan belum sirna, sebuah benda tajam membabat kedua
kakinya. Tak pelak lagi, kedua kakinya pun buntung sebatas
lutut. Darah segar memancur deras.
Eyang Keling meraung. Dia tidak mendengar angin
serangan senjata tajam itu karena Lingga yang cerdik
menunggu hingga terjadi benturan antara serangan Dewa
Arak dengan papakan Eyang Keling. Keberadaan Lingga di
bawah semakin menguntungkan pemuda itu.
Kejadian yang mengejutkan hati pun terjadi. Golok
Kilat memancarkan sinar menyilaukan mata. Dan, darah
yang mengucur keluar dari kedua kaki Eyang Keling tersedot
ke batang golok, menempel dan lenyap bagai masuk ke
dalam.
Eyang Keling meraung-raung. Dia berusaha keras
mencegah kejadian itu. Tapi, usahanya sia-sia. Darah terus
mengucur dengan deras dari kedua kakinya ke arah batang
golok.
Lingga memperhatikan dengan perasaan puas
bercampur takjub. Demikian pula Dewa Arak. Kedua pemuda
itu memperhatikan bagaimana Eyang Keling sekarat sebelum
akhirnya tubuh kakek itu meledak!
Bertepatan dengan itu terdengar letupan kedua. Golok
Kilat hancur berkeping-keping. Hanya berselisih waktu
sebentar dengan semua itu, Dewa Arak jatuh pingsan!
Benturan yang dialaminya terlalu hebat. Kendati belalang
raksasa ada di dalam tubuhnya, tetapi Aiya tetap
terpengaruh. Belalang raksasa menerima akibat pula dari
sinar maut. Binatang itu telah pergi. Tentu saja kekuatan
yang dimiliki Dewa Arak lenyap kembali
Entah berapa lama Dewa Arak pingsan, ia tidak tahu.
Yang jelas, begitu sadar masih sempat dilihatnya Lingga
beijalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Kau berhasil, Dewa Arak. Bahkan, Golok Kilat telah
musnah! Eyang Keling termakan permainannya sendiri. Dia
tidak tahu kalau yang menyebabkan Golok Kilat hidup
adalah sejenis jin yang ada di dalamnya. Makhluk itu tidak
kerasan hidup di dalam golok. Untuk menentang Eyang
Keling, ia tidak berani karena keadaannya yang jadi tahanan.
Maka begitu mendapat kesempatan untuk membunuh,
langsung dilakukannya. Kesempatan yang amat baik telah
didapatkan n ya."
Aiya tersenyum dalam cekaman rasa sakit. Di
depannya Penyair Cengeng bicara dengan nada gemetar dan
lega. Dewa Arak pun merasa lega. Eyang Keling sudah tidak
bisa mengacau dunia persilatan lagi. Tapi, Aiya masih belum
puas. Lingga masih hidup. Ditatapnya Lingga yang tengah
bergerak meninggalkan tempat itu. Aiya bertekad dalam hati
akan melenyapkan pemuda itu di kemudian hari bila bersua
lagi.
Satu hal yang merisaukan Dewa Arak adalah
tewasnya Setan Kepala Besi. Bagaimana dengan Nuri, apakah
ikut tewas? Nuri pun meninggal dibunuh Eyang Keling yang
takut rahasianya terbongkar.
Di kejauhan Lingga menatap Aiya. Sorot matanya
terlihat penuh tantangan!
Aiya membalas tatapan itu. Sorot matanya seperti
mewakili tekad dalam hatinya.
"Tunggu kau, Lingga. Suatu hari kita harus membuat
perhitungan!"
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
SETAN BONGKOK
Emoticon