1
Semut-semut besar berwarna merah merayap tu-
run dari pucuk pohon mangga yang sudah tak ber-
buah lagi. Binatang-binatang kecil itu kemudian ber-
bondong-bondong merayapi sekujur tubuh seorang
Semut-semut merah itu tak hanya merayapi, tapi
juga menggigit tubuh pemuda itu.
Tapi, pemuda berpakaian ungu itu tak terusik se-
dikit pun. Dia tetap duduk di tempatnya dengan pan-
dangan tertuju ke arah sebuah kedai. Antara kedai dan
pohon mangga dipisahkan jalan tanah yang cukup le-
bar.
Pemuda berpakaian ungu memiliki ciri-ciri aneh.
Wajahnya tampan dan menyiratkan kejantanan.
Usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi,
aneh rambutnya memiliki warna sebagaimana yang
dimiliki orang-orang berusia lanjut. Rambut pemuda
yang panjang tergerai ke bawah pundak itu berwarna
putih keperakan.
Pemuda berpakaian ungu ini bukan orang semba-
rangan. Dia merupakan tokoh besar dunia persilatan!
Seorang pendekar muda yang julukannya menggem-
parkan dunia persilatan. Ditakuti lawan dan disegani
kawan. Ia adalah Arya Buana. Lebih dikenal dengan
julukan Dewa Arak.
Arya sama sekali tak merasa terganggu dengan gi-
gitan semut-semut merah. Dengan tenaga dalamnya
yang telah mencapai tingkat sempurna, Arya mampu
membuat kulit tubuhnya menjadi kebal. Jangankan
gigitan semut, bacokan senjata tajam pun tak akan be-
rarti. Kecuali senjata itu berada di tangan tokoh yang
memiliki tenaga dalam lebih kuat.
Sang surya telah tergelincir dari titik tengahnya.
Arya tetap mengawasi kedai. Tindakan itu dilakukan-
nya sejak matahari belum mencapai titik tengah. Tapi
bukan kedai itu yang menjadi pusat perhatiannya, me-
lainkan sosok yang berada di emper kedai dekat pintu
masuk.
Sosok itu duduk bersandar pada dinding kedai
dengan kedua kaki terjulur ke depan. Pakaiannya
kumal dan koyak di beberapa tempat. Tubuhnya kurus
kering. Berwajah pucat dengan sepasang mata sayu.
Sosok yang memiliki jenggot jarang-jarang ini tampak-
nya telah beberapa hari tak makan.
"Kasihan, Den.... Kasihan, Tuan... Berilah aku
uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku
tak makan, Tuan. Berilah aku uang.... Aku akan mem-
balas dengan Ramalan yang jitu. Akan kuberikan pe-
tunjuk angka yang akan keluar dan dapat membuat-
mu kaya, Den," hiba lelaki kurus kering itu dengan su-
ara lemah dan bibir gemetar.
Entah sudah berapa puluh kali lelaki kurus kering
menggunakan kata-kata demikian, tapi tak ada seo-
rang pun yang mempedulikannya. Padahal, banyak
orang berdatangan ke kedai itu. Bunyi riuh rendah
menyeruak dari dalam kedai yang tak berapa besar.
"Ayo! Mari... Silakan pasang lagi. Pasang satu da-
pat tiga. Silakan pasang! Barangkali saja Tuan berun-
tung!"
Hibaan lelaki kurus kering maupun seruan-seruan
keras dari dalam kedai yang mengajak pengunjung
bermain judi terdengar jelas oleh Dewa Arak. Tapi,
sampai sekian jauh pemuda berambut putih kepera-
kan ini tak berbuat apa pun.
Arya mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak
demikian. Kalau menuruti perasaan, sudah sejak tadi
dia melompat turun dan memberikan uang pada lelaki
kurus kering. Arya jadi teringat kembali dengan keja-
dian yang dialaminya kemarin pagi. Saat itu Arya ten-
gah berjalan menyusuri tepian Sungai Brantas.
Arya melangkahkan kaki seenaknya. Beberapa kali
ujung kakinya menendangi batu-batu kecil yang dite-
muinya di jalan. Pemuda berpakaian putih keperakan
ini berjalan dengan pikiran menerawang.
"Melati... Oh, Melati... Betapa rindunya aku pada-
mu. Apakah kau pun demikian? Sabarlah, Melati. Saat
ini pun aku tengah dalam perjalanan untuk mene-
muimu," gumam Arya pelan. Sepasang mata menera-
wang ke angkasa, seakan-akan di sana gadis itu bera-
da.
Tak terlalu lama Arya tenggelam dalam pikirannya.
Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi riak air.
Sesuatu melalui permukaan Sungai Brantas. Dan,
bunyi itu berasal dari belakangnya.
Arya bersikap seakan-akan tak mengetahui. Ayu-
nan kakinya tetap dilanjutkan. Tapi, lamunannya se-
gera dihentikan. Semua perhatiannya kini dipusatkan
pada pendengaran. Bahkan, sekujur urat-urat saraf
dan otot-otot tubuhnya menegang penuh kewaspa-
daan.
Bunyi yang terdengar semakin keras. Sesuatu yang
menimbulkan bunyi itu semakin dekat. Tanpa meno-
lehkan kepala untuk melihat, Arya bisa mendengar
bunyi itu timbul dari laju perahu. Arya menangkap
bunyi kayuhan pada permukaan air.
Dewa Arak tetap bersikap tak peduli Bahkan ketika
perahu melewatinya, Arya hanya mengerling dengan
sudut matanya. Arya mulai merasa tertarik ketika me-
lihat satu-satunya penumpang perahu, terus menoleh
ke arahnya kendati perahu terus melaju.
Meski hanya melihat sekilas, tampaknya orang
yang berada di perahu bukan orang persilatan. Arya
sempat melihat adanya jala di perahu. Pakaian yang
dikenakan pemilik perahu pun pakaian seorang ne-
layan.
Arya tersenyum. Tindakan pemuda ini membuat
nelayan lebih berani. Dia mengayuh perahunya ke
pinggir sungai.
"Maafkan aku, Den," ujar nelayan itu seraya meng-
hampiri Arya. Perahunya ditambatkan di sebatang po-
hon di pinggir sungai. "Apakah kau orang yang berna-
ma Arya Buana, Den?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab Arya sambil tersenyum lebar. "Kau
mencariku, Paman? Apa yang bisa kubantu?"
"Sebenarnya bukan aku yang mencarimu, Den," ki-
lah si nelayan. "Aku hanya penyambung dari seseo-
rang. Tapi sebelum aku yakin kau orang yang dimak-
sudkannya, bisa kau sebutkan julukanmu?"
"Dewa Arak, itulah julukanku, Paman."
"Kalau begitu, memang kaulah orang yang dimak-
sudkan Kakek itu," sahut si nelayan penuh perasaan
gembira. "Ini titipan yang harus kuberikan padamu,
Den Arya."
Arya mengulurkan tangan menerima gulungan ku-
lit binatang yang diberikan lelaki berpakaian nelayan.
"Terima kasih, Paman," ucap Arya. Dibukanya gu-
lungan kulit binatang itu.
"Sama-sama, Den. Sekarang aku mohon diri."
"Silakan, Paman," jawab Arya seraya mengangguk-
kan kepala.
Arya memandangi hingga nelayan itu mengayuh
perahunya dan lenyap di kejauhan. Kemudian, perha-
tiannya dialihkan pada gulungan kulit binatang yang
terbentang lebar di kedua tangannya. Arya memba-
canya dalam hati.
Dewa Arak.
Selamat berjumpa lagi, meski hanya lewat tulisan.
Kuberitahukan padamu, aku mendapat petunjuk kalau
di daerah Pandakan tenagamu sangat dibutuhkan. Kau
dapat melibatkan diri dalam masalah di sana. Carilah
sebuah kedai di daerah Pandakan dan tunggulah hing-
ga tengah hari. Kedai itu merupakan tempat munculnya
urusan yang akan kau hadapi.
Tertanda,
Penyair Cengeng.
Arya menggulung kembali kulit binatang itu. Pe-
nyair Cengeng adalah seorang kakek berpakaian abu-
abu yang dikenalnya sebagai Ki Jaran Sangkar. Kakek
ini memiliki kepandaian tinggi. Juga kemampuan ilmu
gaib yang menakjubkan. Beberapa kali Dewa Arak
mendapatkan petunjuk darinya (Untuk jelasnya men-
genai tokoh Ki Jaran Sangkar alias Penyair Cengeng,
silakan baca episode 'Kembalinya Raja Tengkorak').
"Kurasa sudah saatnya aku pergi ke kedai itu dan
mengetahui masalah yang dimaksud Penyair Cengeng,"
pikir Arya, setelah memperhatikan matahari melalui
celah-celah daun mangga.
Arya lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan di-
alirkan ke sekujur tubuh. Seketika, semut-semut yang
tengah merayap di tubuhnya berjatuhan. Tanpa mem-
pedulikan binatang-binatang kecil itu, Dewa Arak me-
lompat dari cabang pohon. Tinggi tempat itu sekitar
empat tombak. Tapi, Arya mampu menjejak tanah tan-
pa menimbulkan bunyi sedikit pun. Padahal tanah
tempat kedua kaki Arya menjejak tertutupi daun-daun
kering!
Dengan langkah pasti Arya menghampiri kedai
yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya be-
rada. Seperti juga orang-orang yang hendak masuk ke
dalam kedai, Dewa Arak pun segera mendapat sambu-
tan dari lelaki kurus kering yang duduk di depan pintu
kedai.
"Kasihan, Den.... Berilah aku uang untuk membeli
makanan. Sudah tiga hari aku tak makan, Den. Kasi-
han, Den...."
Arya melepaskan buntalan kain hitam yang terselip
di pinggang, kemudian dilemparkannya pada lelaki ku-
rus kering.
"Terimalah ini, Paman. Gunakan untuk mengisi pe-
rutmu. Dan jangan kau hambur-hamburkan tanpa
guna," ujar pemuda berpakaian ungu itu bernada me-
nasihati.
Keluhan tertahan tanpa sadar dikeluarkan Arya.
Pemuda ini merasa kaget. Begitu buntalan kecil yang
diberikannya dipegang lelaki kurus kering, dirasakan
ada kekuatan menarik yang dahsyat. Kekuatan itu
membuat tangan Dewa Arak tak bisa ditarik kembali.
Pemuda itu memang telah mempunyai dugaan ka-
lau lelaki kurus kering bukan orang sembarangan.
Namun, sungguh di luar dugaannya akan memiliki ke-
kuatan tenaga dalam sekuat ini. Arya tak membiarkan
tenaga dalamnya disedot. Segera dikerahkan tenaga
dalamnya dan balas menarik. Adu tenaga dalam pun
berlangsung.
Arya semakin kaget. Lelaki kurus kering benar-
benar memiliki tenaga dalam amat kuat. Setelah Arya
mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, baru
berhasil mengungguli lawan. Perlahan-lahan tubuh le-
laki kurus kering ikut tertarik. Pantatnya yang semula
menempel di tanah sedikit demi sedikit terangkat ke
atas.
"Cukup, Den," ucap peminta-minta itu ketika tu-
buhnya terus terangkat naik.
Lelaki kurus kering ini rupanya sadar kalau Dewa
Arak lebih kuat daripadanya. Arya segera menarik
kembali tenaganya. Pada saat yang bersamaan lelaki
kurus kering menyimpan tenaganya pula.
"Aku tak mengerti maksud perbuatanmu ini, Pa-
man," ujar Arya.
"Tak perlu kau pusingkan hal yang tak berarti ini,
Den," kilah si peminta-minta. "Sekarang aku ingin
memenuhi janjiku. Kau akan kuberikan nomor agar
dapat memenangkan taruhan. Dan...."
"Terima kasih, Paman," potong Arya buru-buru.
"Tanpa mengurangi rasa hormatku akan janjimu, aku
tak bisa menerima kebaikan yang kau berikan padaku.
Aku tak menginginkan balasan atas apa yang kuberi-
kan padamu. Dan yang terpenting, aku tak suka ber-
main dadu. Jadi, dengan sangat menyesal kukatakan
aku tak bisa menerima kebaikanmu...,"
"Tunggu dulu, Den," sambut si peminta-minta ce-
pat. "Mungkin perlu kau tahu, bukan hanya kau saja
yang mempunyai aturan. Aku pun demikian. Sudah
menjadi sifatku tak bisa menerima pemberian seseo-
rang tanpa memberikan balasan. Aku, Kertapati, tak
suka berhutang budi. Kalau kau tak mau kuberikan
balasan, pemberianmu pun tak akan kuterima!"
Arya bisa merasakan kesungguhan dalam ucapan
Kertapati.
"Percayalah, Paman. Aku ikhlas memberikan uang
itu padamu. Dan aku tak menganggapnya sebagai bu-
di. Jadi, balasan yang kau berikan padaku tak bisa ku-
terima," bantah Arya, bersikeras dengan pendapatnya.
"O ya, perlu kuberitahukan, Paman. Kau tak usah
memanggilku dengan demikian hormat. Sapa saja aku
dengan namaku, Arya Buana."
Kertapati bangkit berdiri. Ada seri gembira di wa-
jahnya. Arya melihatnya dan pemuda ini merasa he-
ran.
"Apa yang membuat lelaki ini kelihatan gembira?
Mudah-mudahan bukan karena dia menemukan siasat
untuk memaksaku menerima pembalasan budinya,"
pikir Arya agak cemas.
Kertapati tak mengetahui kecemasan Arya. Nada
ucapan lelaki ini sarat dengan kegembiraan ketika ia
kembali berbicara.
"Kau katakan tak bisa menerima balas budiku ka-
rena kau tak suka main dadu. Bagaimana kalau kube-
rikan dalam bentuk lain? Bukan nomor yang akan ke-
luar dalam permainan judi di dalam kedai. Apakah kau
akan menerimanya, Arya?" tanya Kertapati ingin tahu.
"Tergantung," jawab Arya setelah berpikir sejenak.
"Aku tak bisa langsung menerimanya."
"Ha ha ha...!" Kertapati tertawa terkekeh. "Kau
memang cerdik sekali, Arya. Cerdik dan hati-hati. Kau
membuatku kagum. Nah! Dengar baik-baik. Balas budi
yang akan kuberikan padamu adalah Ramalan atas
nasib dirimu. Bagaimana?"
Arya tercenung sebentar memikirkan jawaban yang
akan diberikan. Sesaat kemudian kepalanya diangguk-
kan, kendati pemuda ini tak merasa tertarik sedikit
pun.
"Bagus! Kau memang orang yang tak mudah men-
gingkari janji, Aiya. Sekarang ulurkan tangan kanan-
mu. Buka telapaknya," ujar Kertapati penuh gairah,
Tanpa banyak bicara, pemuda berambut keperakan
ini memenuhi permintaan Kertapati. Dengan penuh
minat lelaki kurus kering memperhatikan garis-garis
telapak tangan Aiya. Beberapa kali ujung jarinya me-
nyentuh telapak tangan.
"Hhh...."
Kertapati menghela napas berat. Dahi lelaki ini
berkernyit dalam, seakan ada sesuatu yang membeba-
ni pikirannya. Arya jadi penasaran melihat tingkah
Kertapati. Tadi sewaktu memeriksa telapak tangannya
beberapa kali Kertapati menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau akan menghadapi berbagai macam bahaya,
Arya. Kau harus berhati-hati. Kulihat kau akan men-
dapat masalah yang membuatmu selalu dikelilingi ba-
haya besar. Malah, ada bahaya terbesar yang senan-
tiasa berada di dekatmu," beritahu Kertapati dengan
sungguh-sungguh.
"Terima kasih atas peringatanmu, Paman. Akan
kuingat baik-baik semua nasihatmu," Arya menarik
kembali tangannya. "O ya, bagaimana kalau kita ma-
suk ke dalam?"
Kertapati menatap Arya penuh selidik. Ada sorot
keheranan di sana. Semula Arya tak mempedulikan,
tapi ketika teringat sesuatu wajahnya jadi merah pa-
dam.
"Jangan kau salah menduga, Paman. Aku bukan
hendak bermain dadu, perutku kosong dan kerong-
konganku terasa kering kerontang," jelas Arya buru-
buru.
"Ah...!" seru Kertapati tertahan. Wajahnya meme-
rah oleh rasa malu. "Maafkan dugaanku yang buruk,
Arya."
"Lupakanlah, Paman. Mari, " ajak Arya. Kemudian
ia mendahului melangkahkan kaki ke pintu kedai.
2
Seorang gadis berpakaian kuning melangkah mon-
dar-mandir di hadapan seorang lelaki setengah baya
yang tengah duduk bersila. Sikap gadis itu kelihatan
gelisah bukan main. Lelaki bertubuh kurus kering dan
berpakaian abu-abu seperti tak tahu tingkah si gadis.
Dia tak bergeming dari duduknya. Sepasang matanya
terpejam. Padahal, lelaki ini tidak tengah bersemadi.
Gadis berusia dua puluh tahun dan berwajah can-
tik jelita dengan bentuk tubuh menggiurkan itu meng-
hentikan langkahnya tepat di depan lelaki berpakaian
abu-abu. Langkahnya tak dihentakkan, tapi dinding
ruangan bergetar. Debu-debu halus berguguran ke ta-
nah. Sepasang mata lelaki kurus kering bergerak
membuka. Sinarnya tampak penuh kelembutan dan
kasih sayang ketika menatap si gadis.
"Ada apa, Ratna?" tanya lelaki berpakaian abu-abu.
"Kau kelihatan gelisah sekali."
Jawaban yang diberikan si gadis yang bernama
lengkap Dewi Ratna, adalah meruncingkan bibirnya.
Meski demikian, tak terlihat buruk. Bentuk sepasang
bibir itu indah dan berwarna merah muda.
Lelaki kurus kering yang bernama Ardaraja terse-
nyum. Dia tak merasa kaget melihat sambutan Dewi
Ratna. Watak gadis itu memang manja sekali.
"Apakah keinginanmu yang dulu kambuh lagi?"
masih tetap lembut pertanyaan Ardaraja.
"Aku jemu terus-menerus tinggal di tempat ini,
Paman," jawab Dewi Ratna seraya mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Mereka berada di dalam sebuah
gua di lereng Gunung Welirang. "Apakah sampai ne-
nek-nenek aku tak boleh keluar?"
"Sabarlah, Ratna," hibur Ardaraja dengan senyum
terkembang di bibir. "Akan datang saatnya kau boleh
meninggalkan tempat ini. Bahkan ke mana pun kau
mau. Tapi tak sekarang. Ada beberapa alasan yang
membuatku tak bisa mengizinkan kau pergi."
"Kapan, Paman?" desak Dewi Ratna penasaran.
"Apakah setelah rambutku ini memutih?!"
"Tak perlu sampai selama itu, Ratna. Cukup sam-
pai kau mampu menahan hawa beracun yang menye-
bar di puncak Gunung Bromo."
"Bukankah itu sama artinya dengan memaksaku
tinggal di sini hingga rambutku memutih? Kau yang
sudah setua ini, Ayah, dan Paman Buluk Siwu tak
mampu menahan hawa beracun itu. Apalagi aku?" ke-
luh Ratna putus asa.
Wajah Ardaraja berubah muram. Kelihatan jelas
ucapan Dewi Ratna menyinggung perasaannya.
"Kau jangan berkecil hati dulu, Ratna. Ketidak-
mampuan kami menahan hawa racun itu karena tak
bersiap menghadapinya. Lain halnya dengan mu, Rat-
na. Selama hampir dua tahun kau kupersiapkan. Aku
yakin sebelum purnama tiba, kau akan sampai di tem-
pat manusia terkutuk itu. Jangan sia-siakan usahaku
selama bertahun-tahun hanya karena kau tak kerasan
tinggal di tempat yang memang tak menyenangkan ini,
Ratna. Jangan kecewakan harapan kami."
Kekerasan Dewi Ratna pun luluh mendengar uca-
pan bernada memelas itu. Selalu demikian akhirnya.
Setiap kali gadis ini mengutarakan keinginannya.
"Lagi pula apa untungnya keluar ke dunia bebas,
Ratna. Dunia persilatan amat keras. Kalau tak memili-
ki kepandaian tinggi, kau akan menjadi sasaran keja-
hatan. Juga, kau tak terkurung sepenuhnya di gua ini.
Setiap hari kau bisa keluar."
Dewi Ratna menundukkan kepala. Ucapan Ardara-
ja yang terakhir membuat keinginannya untuk meng-
hirup udara bebas semakin menciut. Gadis ini mera-
sakan kebenaran dalam nasihat-nasihat pamannya.
Sungguhpun demikian, masih ada yang mengganjal di
hati Dewi Ratna.
"Mengapa Paman seperti merendahkan kemam-
puan yang kumiliki? Bukankah seluruh ilmu Ayah te-
lah ku kuasai dengan baik? Aku telah pula menguasai
ilmu-ilmu yang Paman ajarkan."
Ardaraja terdiam sebentar mencari jawaban. Lalu
ditatapnya Dewi Ratna dalam-dalam.
"Jangan kau salah mengira, Ratna. Kepandaian
yang kau miliki memang telah cukup tinggi. Malah aku
yakin lebih tinggi dari kepandaian ayahmu. Kau telah
menguasai ilmu-ilmu ciptaanku. Namun camkan Rat-
na, dunia persilatan dipenuhi orang-orang sakti berke-
pandaian tinggi. Sekitar lima tahun lalu dunia persila-
tan di tanah Jawa Timur ini dikuasai tokoh-tokoh se-
sat beraliran hitam yang menamakan diri Kelompok
Penjagal Manusia. Kepandaian mereka tinggi-tinggi.
Terutama ketuanya yang berjuluk Iblis Penghisap Da-
rah. Kepandaiannya luar biasa dan mengiriskan hati!"
Dewi Ratna diam-diam tak senang mendengar ceri-
ta pamannya. Dia menganggap Ardaraja terlalu men-
ganggap tinggi Kelompok Penjagal Manusia. Apalagi,
karena dirasakan adanya nada kegentaran dalam uca-
pan lelaki kurus kering itu.
"Apa yang perlu dikagumi pada Kelompok Penjagal
Manusia?" pikir Dewi Ratna tak puas.
Setahunya Kelompok Penjagal Manusia telah di-
hancurkan Ardaraja, ayahnya, dan Buluk Siwu, yang
terkenal sebagai Pendekar-Pendekar Gunung Bromo.
Ketuanya-sendiri, Iblis Penghisap Darah, telah mereka
kalahkan dan ditawan di salah satu gua di puncak
Gunung Bromo.
"Bukankah kelompok mereka telah Paman hancur-
kan? Malah, Ketua Kelompok Penjagal Manusia sampai
sekarang tertawan di Gua Landak. Lalu... apa lagi yang
harus ditakuti?"
Ardaraja menghela napas berat.
"Aku tak menyalahkan kalau kau tak menganggap
mereka. Hal itu memang kami rahasiakan darimu
maupun putri Buluk Siwu, Winarni," beritahu lelaki
kurus kering dengan suara lirih.
Ardaraja menghentikan ucapannya. Sesaat ditarik-
nya napas berat. Dewi Ratna menunggu dengan pera-
saan tak sabar.
"Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikan lebih
lama lagi," sambung Ardaraja. "Kurasa sudah tiba wak-
tunya bagimu untuk mengetahui. Aku ingin kau tahu
betapa mengerikan Kelompok Penjagal Manusia. Juga
karena aku telah mendapat firasat jelek. Aku khawatir
apabila tak menyampaikannya sekarang, tak menda-
patkan kesempatan lagi...."
"Paman!" seru Dewi Ratna kaget. "Mengapa kau
berkata seperti itu. Kau tidak akan mati, Paman"
Ardaraja tersenyum melihat sikap Dewi Ratna yang
terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Apa yang kau katakan itu tak akan mungkin ter-
jadi, Ratna," ujar Ardaraja lembut. "Tak ada manusia
yang tak mati. Semua pasti akan mati. Kau tahu itu,
bukan?"
"Aku tahu, Paman," jawab Dewi Ratna. "Tapi, itu
tak berarti Paman harus mati dalam waktu dekat ini!"
"Apa kau lupa kalau aku telah terkena hawa bera-
cun di puncak Gunung Bromo? Hawa beracun itu
mengeram di dalam tubuhku dan tak dapat ku kelua-
rkan. Ayah dan ibumu serta ibu dari Winarni tewas ka-
rena hawa beracun itu. Kurasa kau tahu pula kalau
aku dan Buluk Siwu terkena akibatnya pula. Ilmu
yang kumiliki jadi semakin rendah karena hawa bera-
cun menghalangi peredaran tenaga dalamku. Masih
ingatkah kau akan semua ini, Ratna?"
Dengan sepasang mata berkaca-kaca Dewi Ratna
menganggukkan kepala. Bibir bawahnya digigit untuk
menekan rasa haru dan sedih yang tiba-tiba menye-
ruak.
"Mengapa kau menjadi manusia yang cengeng dan
mengikuti perasaan?" sentak Ardaraja. "Kalau almar-
hum Guru mengetahui, tentu beliau akan malu dan
marah. Kecengengan tak layak berada di batin orang
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo! Kau
harus tegar dan tabah, Ratna. Kalau tidak, aku tak
bersedia menceritakan Kelompok Penjagal Manusia
dan Iblis Penghisap Darah!"
Dewi Ratna mengepalkan jari-jari tangannya seraya
menggertakkan gigi.
"Aku tak apa-apa, Paman!" ujar gadis itu mantap
sekali. Dikuatkannya perasaan hatinya.
"Bagus!" puji Ardaraja dengan wajah berseri-seri.
"Kau memang tak memalukan menjadi keluarga Pen-
dekar Gunung Bromo yang terkenal gagah perkasa dan
tak takut mati! Sesuai janji yang ku ucapkan, akan
kuceritakan semuanya tentang Kelompok Penjagal Ma-
nusia dan Iblis Penghisap Darah!"
Ardaraja menghentikan ucapannya sejenak. Da-
hinya berkernyit karena berpikir, mencari kata-kata
yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sekitar sepuluh tahun lalu dunia persilatan di-
gemparkan dengan munculnya sekelompok tokoh sesat
yang menamakan dirinya Kelompok Penjagal Manusia.
Kepandaian mereka rata-rata tinggi. Mereka pun kejam
bukan main. Membunuh manusia bagi kelompok itu
tak ubahnya membunuh nyamuk. Tak terhitung sudah
orang-orang yang menjadi korban. Empat tahun sete-
lah merajalela dengan kebengisannya, Kelompok Pen-
jagal Manusia dicari oleh guru kami. Beliau adalah
pertapa di Gunung Bromo. Iblis Penghisap Darah yang
tahu kalau dirinya dicari, balas mencari. Pertarungan
pun tak bisa dielakkan."
Sesaat Ardaraja menghentikan ceritanya. Hendak
dilihatnya tanggapan Dewi Ratna. Tapi gadis cantik itu
tampak dengan bersungguh-sungguh mendengarkan
ceritanya.
"Iblis itu ternyata memiliki kepandaian menakjub-
kan! Kakek gurumu tewas, Ratna. Tentu saja kami tak
bisa berdiam diri. Kami ajukan tantangan terhadap Ib-
lis Penghisap Darah. Tokoh sesat yang yakin dirinya
tak terkalahkan itu memenuhi tantangan kami. Dia
datang sendiri. Iblis itu memang benar-benar sukar di-
tandingi. Meski telah mengeroyoknya, kami tak mam-
pu mengalahkannya. Di saat kami hampir celaka mun-
cullah sahabat kakek gurumu, Eyang Nararya. Beliau-
lah yang membuat pimpinan Kelompok Penjagal Ma-
nusia tak berdaya. Dengan sela aji yang tak kuketahui
apa namanya, kekuatan Iblis Penghisap Darah berku-
rang. Semakin lama kekuatan tokoh sesat itu semakin
menyusut. Sampai akhirnya dia rubuh di tanah. Itulah
kejadian sebenarnya, Ratna."
Dewi Ratna terdiam. Gadis ini tak tahu harus ber-
kata bagaimana. Dia terlalu terkejut mendengar cerita
selengkapnya mengenai kemenangan Pendekar-
Pendekar Gunung Bromo. Selama ini dia hanya tahu
pimpinan Kelompok Penjagal Manusia dikalahkan oleh
Pendekar Gunung Bromo.
"Lalu bagaimana dengan Kelompok Penjagal Manu-
sia itu, Paman? Apakah benar Paman telah menghan-
curkannya?" tanya Dewi Ratna, setengah tak yakin
akan kebenaran cerita yang pernah didengarnya.
"Memang kami datang mengunjungi markas mere-
ka untuk menghancurkannya. Tapi rupanya maksud
kedatangan kami telah diketahui Kelompok Penjagal
Manusia sudah merasa gentar. Mereka kehilangan ke-
beranian ketika mendengar ketuanya telah kami ka-
lahkan."
"Jadi Paman mendapati markas yang kosong?" du-
ga Dewi Ratna.
"Tidak sampai demikian, Ratna," kilah Ardaraja.
"Kami tetap menemukan sisa-sisa Kelompok Penjagal
Manusia. Kami pun menumpasnya. Setelah itu markas
mereka kami bakar habis."
Suasana jadi hening ketika Ardaraja menghentikan
ucapannya. Dewi Ratna terlihat agak terpukul. Cerita
yang disampaikan pamannya itu terlalu mengejutkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa Paman sangat
menginginkan aku dapat menguasai ilmu-ilmu warisan
Paman dan Ayah," ujar Dewi Ratna sambil mengang-
guk-anggukkan kepalanya. "Paman khawatir aku men-
jadi sasaran balas dendam Kelompok Penjagal Manu-
sia."
"Tidak terlalu tepat demikian, Ratna. Kuharapkan
kau tidak hanya bersiaga terhadap balas dendam me-
reka. Tapi juga berjaga-jaga kalau mereka mengacau-
kan dunia persilatan kembali. Kau pun harus menjaga
tawanan kami agar tak dapat dibebaskan. Jangan
khawatir, Ratna. Kau tak perlu menjaganya seumur
hidup. Apabila kau berhasil menjaganya hingga pur-
nama berakhir dan lewat dua pekan, kau boleh ting-
galkan tempat itu."
"Aku mengerti, Paman. Kepercayaan yang Paman
berikan tak akan ku sia-siakan. Akan ku coba meme-
nuhi semua harapan Paman. Akan kucari orang-orang
Kelompok Penjagal Manusia dan kuhancurkan!" janji
Dewi Ratna sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
Sepasang mata Ardaraja tampak berkaca-kaca. Le-
laki ini merasa terharu mendengar janji keponakan-
nya. Bahkan, suaranya terdengar agak serak ketika dia
berbicara.
"Aku bangga terhadapmu, Ratna. Aku yakin andai-
kata Mundarang masih hidup dia akan merasa bangga
pula."
Dewi Ratna tertunduk. Kesedihan mendadak me-
lingkupi hatinya. Ucapan Ardaraja mengingatkannya
akan kematian ayahnya. Mundarang tewas karena ke-
racunan dan mayatnya tertinggal di lereng Gunung
Bromo.
"Bukan hanya Mundarang saja, Ardaraja! Buluk
Siwu pun telah mati! Dan, sebentar lagi kau akan me-
nyusul mereka ke neraka!"
Ucapan itu menyambuti perkataan Ardaraja. Bu-
nyinya tidak keras. Tapi mampu membuat ruangan
tempat Ardaraja dan Ratna berada tergetar hebat.
Ardaraja terjingkat ke belakang bagai disengat ular
berbisa. Lelaki ini kelihatan tak mampu meredam rasa
kagetnya. Dewi Ratna tampak kebingungan. Gadis ini
menatap wajah Ardaraja.
"Siapa itu, Paman? Apa maksud ucapannya?"
tanya Dewi Ratna.
Ardaraja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu,
Ratna," ujar lelaki kurus kering itu. Sepasang matanya
tertuju ke luar gua. Tapi karena lorong gua tak lurus,
Pendekar Gunung Bromo ini tak bisa melihat apa pun.
"Siapa pun orang yang berada di luar itu, dia tak me-
miliki maksud baik. Aku mempunyai firasat tak enak,
Ratna. Mungkin aku akan menyusul ayahmu. Tapi aku
sudah ikhlas. Pergilah, Ratna. Aku tak ingin kau cela-
ka. Gunakan jalan belakang. Dan...."
"Keluar kau, Ardaraja! Aku tahu kau berada di da-
lam! Kau tak bisa bersembunyi lagi. Sudah tiba saat-
nya kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu lima
tahun lalu!"
Suara dari luar gua kembali berkumandang. Na-
danya tetap seperti semula. Tapi getaran pada bagian
dalam gua jauh lebih besar.
"Karena kau tak mau keluar, biar aku yang me-
maksamu, Ardaraja!" sambung sebuah suara lain dari
luar gua. Lebih lembut dari suara sebelumnya.
Ardaraja tampak cemas. Tamu tak diundangnya
tak hanya seorang. Padahal dari suaranya Ardaraja bi-
sa menilai orang-orang di luar gua memiliki kepan-
daian tinggi. Dia tak mencemaskan keselamatannya.
Yang dipikirkan hanya Dewi Ratna. Gadis itu masih
berdiam diri di tempatnya. Ardaraja segera mengi-
baskan tangan kanan.
"Cepat pergi, Ratna!" seru Ardaraja keras.
Angin keras yang berhembus dari tangan Ardaraja
membuat tubuh Dewi Ratna terpental ke belakang, Ar-
daraja sendiri segera melesat keluar.
Saat lelaki kurus kering ini melesat terdengar
bunyi mendenging seperti suara nyamuk. Guncangan
menghebat secara tiba-tiba. Lantai gua terbelah. Atap
gua runtuh membawa batu-batu dan debu yang ber-
hamburan.
"Ratna!"
Ardaraja memekik kaget, lesatannya keluar gua di-
hentikan. Ardaraja bermaksud menolong keponakan-
nya. Tapi tindakannya terpaksa diurungkan. Batu-
batu besar berguguran dari atap gua diiringi bunyi
bergemuruh.
Tak ada gunanya lagi menolong Dewi Ratna. Tem-
pat di mana tubuh gadis itu tergolek banyak dijatuhi
batu-batu besar. Debu tebal menghalangi pandangan.
Ardaraja terpaksa melesat keluar.
Lelaki kurus kering ini tak ingin mati konyol den-
gan terkubur hidup-hidup di dalam gua. Dia tak ingin
mati percuma seperti yang dialami Dewi Ratna. Dan,
kematian Dewi Ratna harus dibalaskannya.
3
Seorang lelaki pendek berperut buncit tampak ber-
gegas menghampiri Dewa Arak dan Kertapati. Kedua-
nya tengah duduk saling berhadapan dibatasi meja
berbentuk empat persegi panjang.
Lelaki pendek berperut gendut yang ternyata pemi-
lik kedai meletakkan pesanan tamunya. Arya maupun
Kertapati tak memperhatikan kehadiran pemilik kedai.
Pandangan mereka tertuju pada salah satu meja besar
yang banyak dikerumuni orang. Dari meja ini terden-
gar seruan-seruan keras.
"Ayo.... Mari...! Silakan pasang lagi! Pasang satu
keping dapat tiga keping. Silakan pasang. Barangkali
saja Tuan yang beruntung!" seru seorang lelaki gemuk.
Ia lelaki berusia enam puluh tahun. Tubuhnya
tinggi gemuk. Dia hanya mengenakan rompi dari bulu
burung garuda. Di depan lelaki gemuk duduk bebera-
pa orang lelaki. Mereka semua tokoh-tokoh persilatan.
Di permukaan meja besar tampak selembar kulit
kambing berbentuk bujur sangkar yang berukuran tiga
jengkal. Di atas kulit kambing tertera garis-garis yang
membentuk enam buah kotak. Pada tiap kotak terda-
pat noktah merah seukuran buah ceremei. Noktah pa-
da tiap kotak tidak sama jumlahnya. Angkanya beru-
rut mulai dari satu sampai enam. Pada kotak-kotak in-
ilah tokoh-tokoh persilatan itu meletakkan uangnya.
Lelaki gemuk memegang sebuah kotak kecil ber-
bentuk kubus. Kotak yang bersisi sama itu mempunyai
noktah-noktah seperti pada lembaran kulit kambing.
Di depannya terdapat sebuah mangkuk dari tempu-
rung kelapa. Lelaki gemuk mengambil mangkuk itu
dan menangkupkannya pada kotak bernoktah
"Tidak ada yang memasang lagi atau merubah pa-
sangan?" tanya lelaki gemuk. "Kalau sudah tidak ada,
kita tentukan siapa yang akan beruntung!"
Lelaki berompi bulu burung garuda itu memo-
nyongkan bibir, meniup bagian atas mangkuk. Tidak
terjadi apa-apa atas mangkuk tempurung kelapa. Tapi,
di dalamnya terdengar bunyi berkerotokan dari kotak
yang berputaran keras.
"Ayo! Kesempatan terakhir! Masih adakah yang in-
gin ikut serta atau merubah pilihannya? Masih ada ke-
sempatan sebelum mangkuk ini dibuka!" seru lelaki
gendut ketika bunyi putaran kotak kecil di dalam tem-
purung kelapa tak terdengar lagi.
Lelaki gemuk mengedarkan pandangan menatap
wajah-wajah penasaran di hadapannya. Tak satu pun
menunjukkan gelagat ingin merubah pilihan.
"Kalau sudah tak ada lagi, sekarang mangkuk ini
akan kubuka. Kita lihat bersama siapa yang akan be-
runtung!"
Lelaki gemuk ini batuk sekali begitu ucapannya se-
lesai. Semua orang yang ada di situ tahu kalau batuk
itu hanya buatan.
Dugaan mereka memang tak salah. Begitu batuk
lelaki gemuk usai, mangkuk melayang naik ke atas se-
tinggi tiga jengkal. Sebuah pertunjukan tenaga dalam!
Tapi, tak seorang pun yang mempedulikan. Mereka
semua menunjukkan perhatian pada kotak kecil yang
semula berada di dalam mangkuk.
"Bagaimana, Arya?" celetuk Kertapati sambil men-
gunyah makanannya. "Apakah kau berubah pikiran
dan merasa tertarik dengan permainan itu? Cobalah
Arya. Amat menyenangkan!"
Arya menggelengkan kepala seraya tersenyum.
"Aku tetap pada pendirianku, Paman. Kuakui aku
memang tertarik. Tapi, bukan berarti aku berminat un-
tuk main. Aku hanya ingin tahu mengapa orang-orang
menyukainya," jawab Arya.
Kertapati tersenyum mendengar jawaban Dewa
Arak. "Mereka bermain judi bukan untuk menda-
patkan uang, tapi karena kesenangan. Mereka telah
kecanduan bermain judi. Asal kau tahu saja Arya,
permainan itu berlangsung jujur. Tak ada yang ber-
main curang dengan mengakali putaran dadu. Terke-
cuali kalau mereka bermain berdua."
"Ha ha ha,..!"
Tawa bergelak penuh kegembiraan membuat Arya
dan Kertapati menolehkan kepala. Tindakan ini me-
nimbulkan kejadian yang lucu. Tangan mereka mem-
bawa makanan ke dekat mulut yang telah dibuka, tapi
gerakan itu tak berkelanjutan.
Tampak oleh mereka seorang lelaki kecil berpa-
kaian dari kulit macan tutul tertawa bergelak-gelak.
Lelaki yang memiliki keanehan pada matanya itu gem-
bira bukan main. Kedua tangannya diangkat-angkat ke
atas,
"Aku yang menang! Ha ha ha...! Aku yang menang!"
seru lelaki berpakaian kulit macan tutul. Mata kanan-
nya membengkak sebesar buah kedondong, sehingga
bola matanya tak kelihatan. Sedang mata kirinya begi-
tu kecil dan hampir merupakan satu garis.
Lelaki kecil ini menatap ke arah dadu yang menun-
jukkan noktah dua buah. Pada noktah ini lelaki ber-
pakaian dari kulit macan tutul meletakkan taruhan
uangnya.
"Kau kenal orang yang tengah tertawa gembira
itu?" bisik Kertapati.
Arya menggeleng.
"Pernah mendengar tokoh hitam yang berjuluk Ma-
ta Iblis?" tanya Kertapati lagi.
"Pernah, Paman," jawab Arya sambil mengingat-
ingat. "Kalau tak salah dia berasal dari Jawa Timur."
"Benar. Tepatnya dari Tuban. Di sana dia amat di-
takuti karena tindakan-tindakannya yang menggem-
parkan," sambung Kertapati menambahkan.
"Aku ingat," timpal Arya. "Bukankah dia bajak
laut?"
"Bajak laut tunggal yang merajai pesisir."
Arya mengangguk-angguk.
"Sungguh tak kusangka bajak laut itu berkelana
sampai ke tempat ini. Mungkinkah dia datang jauh-
jauh hanya untuk permainan ini?" gumam Arya tak
menyembunyikan rasa herannya.
"Kemungkinan itu kecil, Arya," bantah Kertapati.
"Kalau hanya untuk urusan demikian, tak akan
mungkin Mata Iblis sampai meninggalkan tempatnya.
Pasti ada alasan lain."
Arya tak memberikan tanggapan. Dengan tenang
makannya dilanjutkan. Kertapati pun demikian. Lelaki
ini mengunyah makanannya perlahan-lahan. Sikap
yang tak pantas ditunjukkan seorang gelandangan ke-
laparan.
Di meja judi permainan kembali berlangsung. Lela-
ki gemuk berteriak-teriak menyuruh orang-orang me-
masang. Kepingan-kepingan uang pun diletakkan di
dalam kotak-kotak. Bunyinya gaduh bercampur den-
gan tegukan-tegukan kasar dari mereka yang me-
nyempatkan diri untuk minum.
Di saat Arya dan Kertapati asyik menikmati maka-
nan, sementara di meja besar permainan terus ber-
langsung, terdengar bunyi gaduh yang semakin lama
semakin keras. Bunyinya bertubi-tubi menghantam
bumi. Suara langkah kaki kuda yang tengah berlari
cepat.
"Itu dia! Aku yakin kuda yang sebentar lagi lewat di
depan kedai ini ditunggangi gadis liar itu!" Ucap Mata
Iblis seraya bangkit dari kursinya.
"Tenang saja, Mata Iblis," sela lelaki gemuk agak
kesal. "Gadis itu tak akan pergi jauh. Kita saksikan du-
lu siapa yang akan beruntung kali ini!"
"Tapi, ada baiknya kalau kita pastikan dulu apa-
kah benar itu kuda tunggangan si gadis liar!" bantah
Mata Iblis tanpa menyembunyikan ketidaksenangan-
nya. Kendati demikian, Mata Iblis masih menyem-
patkan diri mengerling ke arah dadu yang masih ber-
putaran!
Ternyata tak hanya Mata Iblis yang bangkit dari
kursinya. Tokoh-tokoh lain pun demikian. Sebentar-
sebentar bola mata mereka berputar ke pintu kedai
kemudian beralih pada dadu yang masih berputar.
"Mengapa mesti bingung? Dari sini pun kita bisa
mengetahui siapa penunggang kuda yang sebentar lagi
akan lewat!"
Setelah mengeluarkan perkataan yang ditutup
dengan dengusan itu, lelaki gemuk menarik napas
panjang. Wajah dan tubuhnya menampakkan peruba-
han. Perut dan wajah lelaki itu menggembung seperti
balon ditiup. Kemudian, lelaki gemuk menghembuskan
udara yang berkumpul pada kedua pipinya.
"Puuuh...!"
Brakkk...!
Daun pintu kedai yang tertutup hancur berkeping-
keping. Pecahan papan berpentalan ke jalan. Pintu ke-
dai memang sengaja ditutup oleh pemiliknya karena di
luar angin keras musim kemarau bertiup membawa
debu.
Pemilik kedai dan pelayannya hanya bisa membela-
lakkan mata kaget. Di samping itu mereka pun merasa
ngeri. Mereka khawatir akan terjadi keributan yang
menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
Dewa Arak, Kertapati, Mata Iblis, dan tokoh-tokoh
lainnya kaget melihat pertunjukan tenaga dalam yang
amat kuat itu. Tapi, mereka semua mampu menyem-
bunyikan keterkejutan itu. Bahkan Arya dan Kertapati
memperlihatkan sikap seakan pertunjukan yang dila-
kukan lelaki gemuk adalah hal yang biasa.
"Kau tahu siapa lelaki gemuk itu?" tanya Kertapati
pelan pada Dewa Arak. Saat itu kegaduhan telah me-
reda. Kertapati tak berani bicara keras-keras.
"Tidak, Paman," jawab Arya dengan pelan pula.
"Wajar kalau kau tak mengenalnya, Arya. Lelaki
gemuk itu memang belum lama berada di tanah Jawa
Timur ini. Dia terkenal di daerah Madura dengan julu-
kan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Menurut kabar
yang tersiar, Raja Babi gemar berkelana ke tempat-
tempat asing."
"Kepandaiannya cukup tinggi. Terutama tenaga da-
lamnya," puji Arya sejujurnya.
"Bukan hanya itu saja, Arya," Kertapati menam-
bahkan. "Raja Babi pun banyak memiliki ilmu-ilmu
aneh. Ilmu-ilmu yang didapatkan dari orang-orang
aneh. Mereka memiliki tubuh seperti anak berusia be-
lasan tahun. Bicaranya pun aneh seperti orang ber-
kumur-kumur. "
Arya mengernyitkan alis mendengar penjelasan
Kertapati. Dia percaya cerita lelaki ini kemungkinan
besar benar. Arya sendiri telah beberapa kali bertemu
dengan orang-orang yang memiliki ciri-ciri aneh {Untuk
jelasnya, silakan baca episode "Pembantai Dari Mon-
gol" dan "Petualang-Petualang Dari Nepal"),
Raja Babi Bertenaga Raksasa sendiri bersikap tak
peduli dengan tanggapan orang-orang yang berada di
situ. Dengan nada datar tapi mengandung tekanan, le-
laki gemuk ini kembali berbicara.
"Kurasa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Be-
gitu gadis itu lewat, kita dapat melihatnya. Perlu ku
tekankan sekali-lagi, kita tak perlu khawatir dia akan
lolos. Di tempat yang akan dilaluinya telah ku tem-
patkan beberapa orangku."
"Di mana kau tempatkan orang-orangmu itu, Raja
Babi?" tanya lelaki berikat kain hitam di kepala.
"Sekitar dua puluh tombak dari tempat ini, puas?"
"Tidak!" sentak Mata Iblis keras. "Aku tak ingin ka-
rena kesombongan sikapmu, aku hanya membuang-
buang tenaga datang ke tempat ini!"
Sepasang mata Raja Babi berkilat-kilat memancar-
kan hawa maut. Mata Iblis yang telah lama berkecim-
pung di dunia persilatan dapat mengetahui artinya.
Tapi, tokoh tenar dari Tuban ini tak merasa gentar se-
dikit pun. Dibalasnya tatapan Raja Babi dengan sinar
mata penuh tantangan.
Sementara itu putaran dadu semakin lambat. Tapi
hampir tak ada yang memperhatikan lagi. Semua yang
duduk di depan Raja Babi Bertenaga Raksasa bersiap-
siap untuk meninggalkan kursi mereka. Sebentar lagi
akan terjadi keributan. Bukan tak mungkin mereka
akan terkena serangan nyasar.
"Apa pun pendapatmu, silakan kau tujukan untuk
dirimu sendiri! Aku datang jauh-jauh hanya untuk
mencari gadis itu. Aku akan keluar dan mencegah ga-
dis itu mencapai maksudnya. Siapa pun yang menen-
tang maksudku akan ku terjang. Tak terkecuali kau,
Raja Babi!" tandas Mata Iblis penuh tantangan.
Raja Babi mendengus. Sepasang alisnya terangkat
tinggi-tinggi melihat tanggapan Mata Iblis yang diang-
gapnya keterlaluan. Meskipun demikian, lelaki ini tak
bangkit dari kursinya.
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Mata Ib-
lis!" desis Raja Babi penuh tekanan. "Aku mempunyai
aturan yang selama ini kupegang teguh. Tak seorang
pun boleh meremehkan aturan ini. Dengar baik-baik,
Mata Iblis! Aturanku adalah, jika permainan belum se-
lesai maka tak seorang pun boleh pergi, kecuali orang
itu tak menyayangi nyawanya lagi. Jelas?!"
"Jelas sekali!" tegas Mata Iblis mantap. "Dengan ka-
ta lain, bila aku hendak meninggalkan tempat ini, kau
akan membunuhku?!"
"Kau memang cepat mengerti, Mata Iblis!"
"Kau boleh melakukan itu apabila kau mampu me-
lakukannya, Raja Babi! Sekarang aku akan pergi. Ingin
kulihat apa yang akan kau lakukan!"
"Aku ragu kau dapat meninggalkan tempat ini!"
ejek Raja Babi Bertenaga Raksasa penuh keyakinan.
Ketegangan yang semakin memuncak membuat to-
koh-tokoh persilatan lainnya meninggalkan kursi mas-
ing-masing. Raja Babi membiarkan saja. Saat itu puta-
ran dadu sudah berhenti. Tapi tak seorang pun yang
mempunyai keinginan melihat jumlah angka yang ter-
cipta.
Mata Iblis bergerak paling akhir. Dengan mata
tunggalnya yang terpaku menatap semua gerak-gerik
Raja Babi, bajak laut dari Tuban ini bergerak bangkit
dari kursinya. Semua pasang mata hampir tak berke-
dip menatap ke arah Raja Babi dan Mata Iblis. Mereka
terbelalak keheranan ketika melihat Mata Iblis tampak
terkejut.
Mata Iblis yang hendak bangkit dari kursinya me-
rasakan betapa kekuatan dahsyat yang tak nampak
membuat pantatnya sukar diangkat dari kursi. Mata
Iblis menatap Raja Babi. Tokoh yang terkenal di Madu-
ra itu tersenyum sinis. Mata Iblis tahu apa artinya. To-
koh itu telah membuktikan ancamannya!
Mata Iblis melihat kedua telapak tangan Raja Babi
yang terbuka ditempelkan ke daun meja. Melalui pe-
rantaraan kedua tangan itu Raja Babi membuatnya
tak bisa mengangkat pantat!
Bagi tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam
kuat, apa yang dilakukan Raja Babi bukan merupakan
hal yang luar biasa. Tenaga dalam dialirkan ke permu-
kaan meja terus ke kaki-kakinya, merambat melalui
lantai ke kaki kursi Mata Iblis.
Mata Iblis tak tinggal diam. Dia tak melakukan per-
lawanan langsung dengan mengarahkan tenaga dalam,
Mata tunggal tokoh dari Tuban ini membelalak, se-
hingga terlihat lebih besar dari biasanya. Sebentar ke-
mudian bagian matanya yang berwarna putih berubah
hijau.
Raja Babi yang memperhatikan semua gerak-gerik
Mata Iblis segera melihat hal yang mencurigakan itu.
Kewaspadaannya membisikkan akan adanya bahaya.
Kewaspadaan inilah yang menyelamatkan Raja Ba-
bi Bertenaga Raksasa. Karena, mata bajak laut dari
Tuban memancarkan sinar kehijauan yang menuju ke
arah dada Raja Babi! Melihat sinar kehijauan melun-
cur ke arahnya, Raja Babi segera bertindak. Lelaki ge-
muk itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk membe-
ratkan tubuh.
Blosss...!
Bunyi gaduh terdengar ketika empat kaki kursi
amblas ke dalam lantai. Amblasnya kaki kursi menye-
babkan sinar hijau dari mata bajak laut dari Tuban
meluncur di atas kepala Raja Babi.
Brakkk..!
Dinding papan yang berada beberapa tombak di be-
lakang Raja Babi menjadi sasaran sinar hijau. Dinding
itu hancur berkeping-keping diiringi bau hangus ter-
bakar. Asap tipis menyebar di tempat itu.
Tindakan yang dilakukan Raja Babi Bertenaga
Raksasa membuatnya melepaskan tenaga dalam untuk
menahan Mata Iblis dari tempat duduknya. Mata Iblis
merasakan kekuatan yang membelenggunya telah sir-
na. Buru-buru dia bangkit berdiri. Bertepatan dengan
itu di luar kedai terlihat seekor kuda hitam putih mele-
sat dengan kecepatan tinggi. Semua orang di dalam
kedai mengalihkan perhatian ke sana. Tampak oleh
mereka seorang gadis berpakaian merah duduk di
punggung binatang itu,
Bagai anjing-anjing kelaparan melihat tulang, to-
koh-tokoh persilatan tak terkecuali Mata Iblis dan Raja
Babi, melesat keluar kedai. Mereka bagai berlomba un-
tuk tiba lebih dulu di dekat gadis berpakaian merah.
Arya dan Kertapati saling berpandangan. Dalam per-
temuan mata itu keduanya mengerti apa yang berke-
camuk di benak masing-masing.
"Sekarang aku mengerti tujuan mereka berada di
sini, Paman," cetus Arya. "Rupanya mereka semua me-
nanti kemunculan gadis berpakaian merah itu."
"Kau baru mengetahui tujuannya, Arya. Tapi belum
tentang alasan mereka mencari gadis itu. Satu persoa-
lan berhasil kau pecahkan, tapi persoalan lain justru
muncul," sahut Kertapati kalem.
"Tak sulit untuk mengetahuinya, Paman," kilah
Arya. "Aku akan ikut mereka menjumpai gadis itu. Aku
yakin akan dapat mengetahui hal yang mereka ri-
butkan."
"Silakan, Arya. Dan selamat berpisah. Kuharap kau
berhasil dengan maksudmu itu. O ya, sampaikan sa-
lamku pada Jaran Sangkar. Terima kasih kuucapkan
atas kesediaannya mengirimmu kemari. Katakan dari
Eyang Nararya."
***
4
"Selamat tinggal, Paman."
Arya mengucapkan selamat berpisah sebelum me-
lesat meninggalkan tempat duduknya. Kertapati alias
Eyang Nararya menggeleng-gelengkan kepala kagum
melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat
begitu cepat. Dia tak melihat Arya mengambil ancang-
ancang, tapi tahu-tahu sudah tak berada di tempatnya
lagi.
"Seorang pemuda yang hebat!" puji Kertapati penuh
rasa kagum.
Sementara itu, gadis berpakaian merah sudah
hampir dua puluh lima tombak meninggalkan jalan di
depan kedai. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan
tinggi, sehingga menimbulkan gumpalan debu tebal di
belakangnya. Beberapa tombak di depan si gadis, tam-
pak di kanan kiri jalan sebatang pohon besar yang
mempunyai semak-semak di sekitarnya. Gadis berpa-
kaian merah tak ambil peduli. Pandangannya dituju-
kan lurus ke depan. Kedua tangan tak henti-hentinya
menggeprak tali kekang kuda.
Gadis itu tak melihat seutas tambang yang tergolek
di tanah memanjang dari pohon di kanan jalan ke po-
hon di sisi jalan lain. Tambang itu mempunyai warna
yang hampir sama dengan tanah hingga sulit dikenali.
"Ahhh...!"
Seruan keterkejutan gadis berpakaian merah ham-
pir berbarengan dengan ringkikan kuda. Tubuh bina-
tang dan penunggangnya terjungkal. Tambang yang
semula tergolek menegang tiba-tiba saat kuda si gadis
melewatinya.
Berbeda dengan binatang tunggangannya yang tak
mampu bangun lagi dari tanah, gadis berpakaian me-
rah tak semudah itu dapat dipecundangi. Dia bersalto
beberapa kali di udara dan menjejak tanah dengan
mantap.
"Kunyuk-kunyuk dari mana berani menjegal perja-
lananku?!" bentak gadis berpakaian merah seraya
mengedarkan pandangan berkeliling.
Tiga lelaki berompi hitam yang tahu-tahu mengu-
rung si gadis malah tersenyum mendapat makian itu.
Merekalah yang memasang tambang itu. Lalu langsung
bergerak mengurung ketika si gadis mendarat di ta-
nah.
"He he he...!" sahut lelaki yang bermuka hitam se-
perti arang. Digaruk-garuknya dada dengan kedua
tangan. "Matamu awas juga, Gadis Liar! Kami memang
kunyuk-kunyuk. Lebih tepat lagi Tiga Kunyuk Pangan-
daran! Kami bertiga anak buah Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Aku dijuluki Kunyuk Muka Hitam.
"Aku Kunyuk Muka Merah," sambung lelaki yang
kulit mukanya merah seperti udang direbus.
"Dan aku.... Kunyuk Muka Putih!" tandas lelaki te-
rakhir yang kulit mukanya putih seperti dikapur.
Gadis berpakaian merah memiliki wajah yang can-
tik. Kulitnya putih halus. Berhidung mancung dan bi-
bir tipis merah delima. Bentuk tubuhnya menggiurkan!
Seorang gadis yang sangat menarik.
Sayang, kecantikan wajah gadis ini terlihat agak
menyeramkan. Gadis berpakaian merah menampilkan
sikap yang diagung-agungkan. Itu terlihat jelas dari si-
kapnya yang sombong.
"Aku tak peduli siapa kalian! Kuperingatkan, kalau
masih ingin selamat tinggalkan tempat ini!" tandas ga-
dis berpakaian merah dengan kedua tangan di ping-
gang.
"Sombong!" bentak Kunyuk Muka Putih. Ia merasa
tersinggung melihat sikap yang ditunjukkan gadis ber-
pakaian merah. Sepasang mata anggota Tiga Kunyuk
Pangandaran ini bak hendak melompat keluar dari
rongganya. "Berani kau menghina kami Tiga Kunyuk
Pangandaran?!"
Dengan kedua tangan tetap bertolak pinggang, ga-
dis berpakaian merah mendengus. Sepasang matanya
yang bening indah menatap tiga pengepungnya dengan
sorot mata seperti majikan menatap budak-budaknya.
"Jangankan hanya Tiga Kunyuk Pangandaran yang
tak lebih dari kucing-kucing tua, raja setan sekalipun
tak akan membuat tokoh dari Gunung Bromo gentar!
Aku, Winarni, Pendekar dari Gunung Bromo tak per-
nah merasa gentar terhadap siapa pun! Jelas?!"
"Luar biasa! Luar biasa! Benar-benar tak percuma
menjadi salah satu Pendekar Gunung Bromo!"
Suara yang dikeluarkan dengan lantang itu lebih
dulu menyambuti ucapan Winarni. Tampak beberapa
lelaki menghampiri tempatnya berada. Mereka berasal
dari kedai yang tadi dilaluinya.
Winarni mengalihkan pandangan kepada orang
yang berbicara. Seorang lelaki gemuk yang memiliki
sorot mata mencorong tajam. Kendati demikian, gadis
yang memiliki watak tinggi hati ini tetap bersikap me-
mandang rendah. Seperti biasa, dia menatap seseorang
dengan agak mendongak. Memberitahukan kalau di-
rinya lebih tinggi dari orang lain.
Lelaki gemuk itu bukan lain Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Tokoh ini tak muncul sendiri. Di sebelah Raja
Babi berdiri Mata Iblis. Di belakang kedua tokoh sesat
itu berjalan mendekat beberapa tokoh hitam dunia
persilatan. Mereka memiliki maksud yang sama den-
gan Raja Babi dan Mata Iblis.
Tokoh-tokoh sesat yang berasal dari berbagai dae-
rah di Jawa Timur itu bersikap cerdik. Mereka tak in-
gin lebih dulu terlibat dalam bentrokan. Biarkan anj-
ing-anjing lain memperebutkan tulang, nanti apabila
anjing-anjing itu kelelahan, baru mereka turun tangan!
Begitu akal licik mereka.
"Tepat sekali berita yang kudengar selama ini,"
tandas Raja Babi Bertenaga Raksasa melanjutkan
ucapannya. "Tokoh-tokoh dari Gunung Bromo memiliki
kesombongan yang tak terukur. Mereka menganggap
keluarganya berbeda dengan kebanyakan orang. Seka-
rang aku melihat sendiri buktinya!"
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek ke-
habisan sirih! Kemukakan saja apa maksud kalian
menghadang perjalananku. Cepat! Aku tak punya ba-
nyak waktu!" tandas Winarni keras.
Wajah Raja Babi Bertenaga Raksasa mulai meme-
rah. Lelaki gemuk ini terbakar amarahnya. Sikap Wi-
narni yang demikian sombong sangat menyinggung
harga dirinya.
"Kau terlalu sombong, Gadis Liar! Orang seperti
kau harus diberi pelajaran. Agar tahu kalau yang me-
miliki kepandaian tinggi bukan hanya kau dan keluar-
gamu!" geram Raja Babi.
"Begitukah?" sambut Winarni tenang. "Buktikanlah
kebenaran ucapanmu, Gendut! Kalau kau tak berani
maju sendirian, boleh ajak gerombolanmu itu untuk
membantu!"
Hampir semua orang yang berada di tempat itu
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tak senang
mendengar ucapan sombong Winarni. Bahkan Arya
yang menguntit mereka menyayangkan sikap Winarni.
Dewa Arak bisa menilai Winarni memang memiliki
kepandaian. Tapi meskipun demikian, tak sepatutnya
gadis itu bertingkah demikian sombong. Padahal, se-
makin tinggi kepandaian seseorang seharusnya sema-
kin sadar kalau betapa banyaknya orang-orang pandai
di dunia ini. Padi pun semakin berisi semakin tunduk!
Raja Babi yang mendengar ucapan tajam Winarni
hampir-hampir tak bisa menahan kemarahan. Kalau
menuruti perasaan sudah diterjangnya Winarni. Tapi,
lelaki gemuk ini merasa malu menghadapi seorang la-
wan yang masih muda. Apalagi seorang gadis. Karena
itu, Raja Babi berpaling pada Tiga Kunyuk Panganda-
ran yang menjadi orang-orangnya.
"Serang wanita liar itu! Lakukan apa yang kalian
inginkan terhadapnya!"
"Baik, Raja Babi!" sahut Tiga Kunyuk Pangandaran
bersamaan. Serempak pula ketiga tokoh sesat berompi
hitam ini mempersempit ruang gerak Winarni.
Winarni hanya mendengus seraya menyunggingkan
senyum sinis. Meski lawan-lawannya telah bersiap
hendak menyerang, gadis ini tetap diam di tempatnya.
Malah, kedua tangannya yang berada di pinggang tak
dipindahkan. Bola matanya yang indah tertuju pada
Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sikapnya tetap seperti
semula, memandang rendah.
"Kiranya kau yang berjuluk Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Kudengar tempat tinggalmu di Madura.
Sungguh jauh perjalananmu hingga sampai di tempat
ini. Dan, semua itu kau lakukan untuk menemuiku.
Luar Biasa! Rupanya aku telah menjadi orang yang
demikian penting. Kulihat Mata Iblis dari Tuban pun
ada pula!"
"Jebol perutmu, Wanita Liar!" seru Kunyuk Muka
Hitam, bertepatan dengan selesainya ucapan Winarni.
Lelaki berkulit muka hitam ini mengirimkan ten-
dangan lurus ke arah perut Winarni. Deru keras yang
mengiringi serangan menunjukkan betapa kuatnya te-
naga yang terkandung. Batu karang yang keras sekali-
pun akan hancur jika terkena dengan telak.
Di saat Kunyuk Muka Hitam melancarkan seran-
gan, Kunyuk Muka Merah mengirimkan pukulan me-
nyamping ke arah kepala. Dari arah lain Kunyuk Muka
Putih bergulingan ke depan dan mengirimkan sapuan
ke arah kaki. Tiga buah serangan sekaligus tertuju ke
arah Winarni!
Tatapan semua orang terarah pada Winarni. Mere-
ka semua ingin melihat tindakan yang akan dilakukan
gadis itu. Ternyata Winarni tak bergeming dari tem-
patnya. Kendati demikian, kewaspadaannya terpasang
penuh. Winarni mengetahui bagian-bagian yang dija-
dikan serangan.
Tendangan Kunyuk Muka Hitam dipapaknya den-
gan gerakan yang sama. Serangan Kunyuk Muka Me-
rah ditangkis dengan mengangkat tangan kiri. Sedang-
kan sapuan Kunyuk Muka Putih dibiarkan menghan-
tam kaki kirinya. Gadis berpakaian merah ini tak lupa
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kakinya
yang kecil dan indah seperti berakar dengan tanah.
Desss, bukkk, desss...!
Tiga benturan terjadi hampir bersamaan. Jerit-jerit
kesakitan dari mulut Tiga Kunyuk Pangandaran pun
terdengar. Kunyuk Muka Hitam merasakan kaki ka-
nannya lumpuh. Tubuhnya terjengkang ke belakang.
Bahkan kemudian terbanting cukup keras di tanah.
Keadaan yang sama diterima Kunyuk Muka Merah.
Sekujur tangannya yang berbenturan dengan Winarni
sakit bukan main. Seakan bukan dengan tangan ma-
nusia, melainkan besi baja yang amat kuat. Akibat
benturan ini tubuh Kunyuk Muka Merah terputar!
Keadaan yang diterima Kunyuk Muka Putih tak le-
bih baik. Lelaki ini malah yang paling keras menjerit.
Dia seperti menyapu batang baja yang amat keras.
Kunyuk Muka Putih tak ingin memberi kesempatan
pada Winarni. Dia segera menggulingkan tubuh men-
jauh. Tindakan ini menyelamatkannya dari serangan
balasan yang akan dilancarkan Winarni.
Gadis itu mendengus dengan sikap yang menun-
jukkan kesombongan besar,
"Orang-orang dengan kepandaian seperti kalian in-
gin menangkapku? Kalian hanya bermimpi! Seperti
sudah kukatakan tadi, lebih baik julukan Tiga Kunyuk
Pangandaran diganti dengan Tiga Kucing Pincang Tua.
Kalian sama sekali tak punya kepandaian!" dengus
Winarni dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Tiga Kunyuk Pangandaran menggertakkan gigi me-
nahan perasaan geram. Tangan mereka mengepal ke-
ras. Ucapan Winarni terlalu menyakitkan hati.
"Tahan...!"
Seruan keras yang amat mereka kenal membuat
Tiga Kunyuk Pangandaran yang telah bersiap melan-
carkan serangan segera menghentikan gerakannya. Ti-
ga tokoh hitam itu mengalihkan perhatian pada pemi-
lik suara.
"Menyingkir kalian!" seru Raja Babi penuh wibawa.
"Biar aku yang menghadapi wanita liar itu!"
Berbarengan dengan langkah maju Raja Babi, Tiga
Kunyuk Pangandaran melangkah mundur. Namun me-
reka masih sempat mengarahkan pandangan penuh
ancaman kepada Winarni.
Raja Babi menghentikan ayunan kakinya pada ja-
rak lima tombak dari Winarni. Gadis itu sendiri tetap
berdiri tenang di tempatnya. Malah, sejak tadi me-
nyaksikan gerak-gerik Raja Babi dengan kedua tangan
terlipat di depan dada.
Raja Babi menatap Winarni. Gadis berpakaian me-
rah itu tak mau kalah gertak. Dia balas menatap den-
gan sorot mata penuh tantangan.
"Kalau menuruti perasaan...," ucap Raja Babi den-
gan suara bergetar menahan amarah. "Sikap dan uca-
panmu telah cukup untuk membuatku membunuhmu,
Wanita Liar! Setidak-tidaknya aku harus menghukum
mu. Tapi, hal itu tak akan kulakukan apabila kau ber-
sedia bekerja sama denganku. Bagaimana?!"
"Kerja sama?!" dengus Winarni penuh ejekan, "Sua-
tu penghinaan besar! Apakah kau pernah mendengar
ada anggota keluarga Gunung Bromo yang bekerja sa-
ma dengan penjahat?!"
"Orang seperti kau memang harus dikasari dulu
baru mau mendengarkan ucapan orang lain. Tapi se-
belum kuberikan hajaran, kuberitahukan padamu,
Wanita Sombong! Aku hanya ingin kau pergi bersama-
ku ke Gua Landak di Gunung Bromo! Bagaimana?" Ra-
ja Babi masih berusaha membujuk
"Rupanya kau mempunyai otak bebal dan telinga
yang tuli, Babi Gemuk!" sentak Winarni kasar. "Tidak-
kah kau dengar ucapanku?! Aku, selaku Pendekar dari
Gunung Bromo, tak akan mungkin bekerja sama den-
ganmu. Jelas?!"
"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita Liar!"
geram Raja Babi.
Berbarengan dengan terkatupnya mulut Raja Babi,
kedua tangannya ditempelkan di depan dada lalu sal-
ing digesekkan satu sama lain. Sesaat kemudian, pada
bagian telapak tangan itu tampak sinar kemerahan.
Winarni tetap bersikap seperti semula. Tenang dan
menatap dengan sinar mata merendahkan. Tapi orang-
orang yang bermata tajam seperti Raja Babi, Dewa
Arak, dan Mata Iblis sekilas dapat melihat sorot keter-
kejutan dalam sinar mata Winarni.
Sementara itu Raja Babi Bertenaga Raksasa tak
hanya saling menggesekkan kedua telapak tangannya.
Begitu warna merah semakin membara, kedua tan-
gannya dihentakkan bersama-sama ke arah Winarni.
Serangkum sinar kemerahan meluncur. Winarni me-
lompat ke atas lalu bersalto beberapa kali untuk men-
dekati Raja Babi. Tindakan gadis ini membuat sinar
kemerahan menghantam batang pohon besar. Pohon
yang sial itu pun ambruk ke tanah memperdengarkan
bunyi bergemuruh.
Saat tubuhnya tengah meluncur ke arah Raja Babi,
Winarni menghunus pedang dan membabatkannya ke
arah leher lelaki gemuk itu. Raja Babi menyadari
adanya ancaman maut ketika melihat kilatan sinar
menyilaukan menyambar ke arahnya. Tanpa banyak
membuang waktu dihunusnya ruduih (golok di Suma-
tera Barat) dari sarungnya. Secepat kilat diayunkan
memapak pedang lawan.
Trangngng...!
Bunga-bunga api berpercikan ke udara ketika pe-
dang dan ruduih berbenturan. Tubuh Winarni dan Ra-
ja Babi terpental ke belakang. Raja Babi merasakan
sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Lelaki gemuk itu penasaran bukan main melihat
hasil benturannya. Dia terkenal memiliki tenaga yang
amat kuat. Tapi mengapa berbenturan dengan seorang
gadis muda bisa kalah? Kenyataan ini benar-benar
menjatuhkan namanya!
Raja Babi Bertenaga Raksasa buru-buru mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung.
Ia ingin segera mengirimkan serangan balasan.
Sayang, ternyata dia kalah cepat. Winarni telah lebih
dulu melesat ke arahnya dan mengamuk dengan pe-
dang di tangan.
Bentuk pedang gadis itu lenyap menjadi segulun-
gan sinar menyilaukan mata. Berkelebatan dengan ce-
pat memperdengarkan bunyi berdesingan nyaring. Ra-
ja Babi tak mau kalah. Lelaki gemuk itu meluruk maju
memapaki serangan lawan.
Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi.
Kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan-
nya. Di jurus-jurus awal tampak pertarungan berlang-
sung sengit. Tapi ketika menginjak jurus kedua puluh,
Raja Babi mulai terdesak. Lelaki gemuk ini memang
kalah segala-galanya dibandingkan lawan. Sekarang
Raja Babi hanya bisa bertarung mundur. Jarang sekali
dia melancarkan serangan. Dan lebih sering mengelak
serta menangkis.
Desss!
Sebuah tendangan kaki kanan Winarni mendarat
telak di paha kanan Raja Babi. Tubuh lelaki itu ter-
jengkang ke belakang lalu terguling-guling di tanah.
Winarni tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera
memburu dengan pedang siap dihujamkan.
Mata Iblis yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan segera mengetahui kalau Winarni lawan
yang amat tangguh. Dirinya sendiri bukan tandingan
gadis itu. Maka di saat perhatian Winarni tengah ter-
pusat untuk segera merobohkan Raja Babi Bertenaga
Raksasa, Mata Iblis mengirimkan serangan dengan
mempergunakan mata tunggalnya.
Zooot...!
Sinar kehijauan meluncur ke arah Winarni. Cepat
bukan main lesatannya.
Ketika serangan maut itu menyambar dekat, Wi-
narni baru menyadari adanya bahaya mengancam. Ta-
pi tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda
ini sempat melihat ketika sinar hijau masih cukup
jauh.
Dewa Arak segera bertindak. Dikirimkannya puku-
lan jarak jauh ke arah sinar kehijauan.
Bresss...!
Pukulan jarak jauh Dewa Arak berhasil menghan-
tam sinar itu. Tapi karena pemuda berambut putih ke-
perakan ini terburu-buru, kekuatan pukulannya
hanya ditopang oleh sebagian kecil tenaga. Akibatnya
hanya membuat arah sinar kehijauan melenceng.
Kendati demikian, tindakan Dewa Arak berhasil
menyelamatkan nyawa Winarni. Sinar yang seharus-
nya tertuju ke tubuh gadis itu melesat beberapa jari di
sisi tubuhnya.
"Keparat...!" geram Mata Iblis melihat hasil seran-
gannya.
5
Mata Iblis memang gagal menyarangkan serangan.
Tapi, serangan yang dilancarkannya tadi membuat Wi-
narni gugup. Desakan gadis itu terhadap Raja Babi
Bertenaga Raksasa segera dihentikan. Winarni bersiap
menghadapi gempuran Mata Iblis selanjutnya.
Kegugupan itu harus dibayar mahal. Kesempatan
ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Babi. Lelaki
gemuk itu menghentakkan tangannya mengirimkan
pukulan jarak jauh.
Bresss...!
Tubuh Winarni terjengkang ke belakang dan me-
layang. Dari mulutnya muncrat darah segar. Mata Iblis
dan Raja Babi bagaikan berlomba ingin segera me-
nangkap tubuh Winarni.
Tappp...!
Sesosok bayangan Ungu telah terlebih dulu me-
nyambar tubuh gadis itu. Mata Iblis dan Raja Babi
Bertenaga Raksasa hanya bisa menatap dengan sorot
mata geram.
"Anjing kecil dari mana berani dengan lancang me-
nentang Raja Babi?!" bentak Raja Babi Bertenaga Rak-
sasa. "Kalau masih ingin selamat, serahkan wanita
yang kau panggul itu padaku!"
"Enak saja!" sentak Mata Iblis gusar. "Bukan pa-
danya harus kau serahkan wanita itu. Serahkan pada-
ku, Bocah!"
Dewa Arak menatap Raja Babi dan Mata Iblis ber-
gantian. Sikapnya terlihat tenang bukan main. Tubuh
Winarni ada di panggulannya. Winarni tak meronta-
ronta karena tubuhnya lemas bukan main.
"Kalian dengar baik-baik, Raja Babi dan Mata Iblis!
Aku tak akan memberikan wanita ini pada siapa pun.
Kalian dengar?! Biarkan aku pergi dari tempat ini. Aku
tak ingin membuat keributan dengan kalian. Bagaima-
na?"
"Kau boleh pergi, Bangsat Kecil! Tapi ke neraka!"
bentak Mara Iblis seraya menerjang Dewa Arak.
Tokoh sesat dari Tuban ini bersenjatakan clurit,
senjata khas wilayah Jawa Timur. Mata Iblis memang
tak seperti Raja Babi yang merantau ke berbagai dae-
rah, sehingga bisa mempunyai senjata dari daerah
lain.
Mata Iblis mengirimkan bacokan ke arah leher.
Clurit mengaung tanpa terlihat bentuk senjata itu.
Yang tampak hanya kelebatan sinar menyilaukan ma-
ta.
Wusss...!
Serangan Mata Iblis mengenai tempat kosong. Be-
berapa jari di depan sasaran ketika Dewa Arak mena-
rik kakinya ke belakang seraya mencondongkan tu-
buh.
Kegagalan serangan membuat Mata Iblis semakin
beringas. Kakinya dilayangkan ke perut Dewa Arak
dengan tendangan lurus yang telak. Tendangan yang
mampu menghancurkan batu karang.
Untuk kedua kalinya Arya mengelakkan serangan
itu. Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu me-
lompat tinggi ke atas melewati kepala Mata Iblis. Tepat
di atas kepala tokoh sesat bermata satu itu, Dewa Arak
berjungkir balik dan mengirimkan totokan ke arah
ubun-ubun.
Ternyata Mata Iblis bukan termasuk lawan yang
mudah dipecundangi. Serangan Dewa Arak tak mem-
buatnya gugup. Tubuhnya dicondongkan ke depan se-
raya mengayunkan cluritnya ke belakang melalui atas
kepala! Tokoh sesat dari Tuban ini tak hanya membuat
serangan Dewa Arak kandas, tapi juga mengancam
pemuda itu.
Kedudukan tubuhnya yang berada di udara mem-
buat Dewa Arak tak mempunyai kesempatan untuk
mengelak. Pemuda ini mengambil gucinya dan mema-
pak serangan Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Klangngng...!
Benturan keras yang terjadi menimbulkan berper-
cikannya bunga-bunga api dan muncratnya butiran
arak! Tubuh kedua petarung itu terhuyung-huyung.
Namun, Dewa Arak dan Mata Iblis segera dapat
memperbaiki kedudukan tubuhnya. Sekejap kemudian
kedua tokoh ini telah saling berhadapan kembali.
"Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah!" ge-
ram Mata Iblis sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Kiranya kau memiliki kepandaian lumayan. Tapi perlu
kau ketahui, tak ada seorang pun yang dapat menga-
lahkan Mata Iblis! Camkan itu!"
"Terima kasih atas pujian mu, Mata Iblis! Kau pun
tokoh yang luar biasa!" puji Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak sekadar
berbasa-basi. Telah dirasakan sendiri kuatnya tenaga
dalam lawan. Arya harus mengakui kalau tenaga da-
lamnya hanya sedikit lebih kuat dari Mata Iblis. Pa-
dahal lawan yang harus dihadapinya bukan hanya to-
koh dari Tuban itu. Masih ada Raja Babi Bertenaga
Raksasa.
Raja Babi yang berasal dari Madura ini tak berada
di bawah Mata Iblis. Sungguh merupakan lawan-lawan
yang amat berat! Apalagi di situ masih ada tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam lainnya.
"Aku benci dengan orang yang suka berbasa-basi
tanpa mau bertindak!"
Seruan keras itu dikeluarkan Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Seiring dengan seruannya tokoh sesat dari
Madura ini melesat menerjang Dewa Arak.
Di tangan kanannya telah tergenggam sebatang
piarit (tombak berujung tiga dari Sumatera Barat).
Dengan piarit itu Raja Babi melancarkan tusukan ke
arah perut!
Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan
kejadian seperti ini, melompat ke atas setinggi satu
tombak. Lalu menjejakkan kaki di atas piarit. Pemuda
berambut putih keperakan ini langsung mengerahkan
tenaga untuk memberatkan tubuhnya.
Raja Babi merasakan tekanan yang amat berat di
ujung piaritnya. Yang berdiri di atas senjata itu seperti
bukan seorang manusia, melainkan beberapa ekor ga-
jah besar. Tapi, tokoh dari Madura ini tak mau kalah
gertak. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam.
Raja Babi benar-benar memang memiliki tenaga
luar biasa! Ujung piarit yang sudah tertekan ke bawah
kembali naik ke atas dengan bagian ujung agak men-
dongak ke atas.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa
Arak! Sungguh tak disangkanya demikian besar tenaga
dalam Raja Babi.
"Ambrol dadamu!" seru Mata Iblis keras seraya
mengirimkan serangan sinar hijau melalui matanya
yang sebelah.
Dewa Arak mengetahui serangan maut itu. Seran-
gan yang datang dari arah belakang. Dewa Arak mem-
perhitungkan kejadian ini untuk keuntungan dirinya.
Raja Babi tepat berada di depannya. Arya lalu mengu-
rangi tenaga yang diarahkan di kedua kaki. Akibat tin-
dakannya itu piarit naik ke atas secara cepat. Arya
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke-
mudian bersalto beberapa kali di udara.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat seran-
gan sinar hijau lewat di bawah kakinya. Raja Babi pun
kehilangan keseimbangan. Dan, serangan Mata Iblis
meluncur ke arahnya! Kendati demikian, tokoh asal
Madura ini masih mampu mempertunjukkan keheba-
tan dirinya. Piarit yang agak terayun deras ke atas di-
putar untuk menangkis serangan sinar hijau.
Crattt...!
Wusss....!
Pada saat yang bersamaan dengan ayunan piarit-
nya. Raja Babi menghentakkan tangan mengirimkan
pukulan jarak jauh. Tepat di saat sinar hijau berbentu-
ran dengan ujung piarit, pukulan jarak jauh itu telah
terlontar setengah jalan.
Benturan antara sinar hijau dengan piarit menga-
kibatkan Raja Babi terjengkang ke belakang. Sekujur
tangannya terasa panas bukan main. Sementara Mata
Iblis menggulingkan tubuh di tanah untuk mengelak-
kan serangan pukulan jarak jauh Raja Babi.
Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan oleh De-
wa Arak. Maka ketika mengelakkan serangan sinar hi-
jau Mata Iblis, pemuda ini menyambungnya dengan le-
satan cepat meninggalkan tempat itu. Tokoh-tokoh
persilatan yang ada di situ mencoba mencegah. Tapi
mereka berpentalan ke sana kemari Ketika Dewa Arak
mengibaskan tangan kanannya.
"Keparat...!" maki Mata Iblis geram. "Bocah kurang
ajar itu telah mengecoh ku!"
"Ke mana pun kau lari akan kukejar, pemuda som-
bong!" seru Raja Babi Bertenaga Raksasa tak kalah
murka.
Kedua tokoh sesat yang merasa tertipu ini tak me-
lanjutkan pertarungan lagi. Mereka hanya saling ber-
pandangan sejenak sebelum melesat meninggalkan
tempat itu menuju arah yang ditempuh Dewa Arak
Arya yang tahu betapa berbahayanya Raja Babi
dan Mata Iblis, mengerahkan seluruh kemampuan la-
rinya. Dalam waktu sekejap saja ratusan tombak telah
dilalui. Pemuda berambut putih keperakan itu baru
memperlambat kecepatannya ketika merasakan ron-
taan di bahunya.
"Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri" Kata-kata
itu membuat Dewa Arak menghentikan lari. Lalu ditu-
runkanya tubuh Winarni
"Terima kasih atas pertolonganmu Sobat. Tapi, kau
terlalu tergesa-gesa campur tangan. Padahal aku ber-
maksud melenyapkan penjahat-penjahat kecil itu."
"Maaf, Nona. Bukan maksudku bertindak lancang
mencampuri urusanmu. Tapi, kulihat kau terancam
bahaya. Dan...."
"Siapa bilang aku terancam?!" potong Winarni ce-
pat. "Memang kuakui saat itu aku tengah terdesak.
Tapi itu bukan berarti aku akan kalah. Ilmu andalan
ku belum ku keluarkan! Tak ada kata kalah buat to-
koh persilatan dari Gunung Bromo! Aku adalah ketu-
runan dari Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang
amat terkenal di dunia persilatan!"
"Sayang sekali... gadis secantik ini memiliki watak
demikian tinggi hati," pikir Arya menyesalkan. Tapi di
mulutnya ia mengeluarkan perkataan lain. "Maaf, atas
kelancanganku. Kalau saja ku tahu kau keturunan to-
koh-tokoh itu, tak mungkin aku berani ikut campur
tangan! Dengan sedikit kepandaian yang kumiliki ini
mana mungkin aku berani tak tahu diri menolong ke-
turunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang ter-
kenal memiliki kepandaian setinggi langit!"
"Syukurlah kalau kau mengerti," sahut Winarni
tanpa mengurangi rasa sombongnya.
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa
berkata apa pun. Hanya, di dalam kepalanya bergayut
pertanyaan yang tak terkeluarkan.
"Siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang berjuluk Pen-
dekar Gunung Bromo? Kalau saja tak mengingat ke-
sombongan yang ditunjukkan gadis ini, akan kutanya-
kan padanya siapa sebenarnya mereka...."
"Kau tahu siapa diriku. Tapi, kau belum memper-
kenalkan siapa dirimu sebenarnya. Aku yakin meski
tingkat kepandaian yang kau miliki belum berapa ting-
gi, kau telah mempunyai cukup nama di dunia persila-
tan," ujar Winarni lagi berusaha mengetahui tentang
Dewa Arak.
"Orang sepertiku mana mungkin punya nama di
dunia persilatan, Nona," sahut Arya merendahkan diri.
"Terlalu banyak orang-orang sakti di dunia persilatan.
Apalah artinya aku ini? Tak ada gunanya diketahui
tentang diriku. Lain halnya dengan dirimu, Nona."
Winarni hanya mengangkat bahu dengan sikap tak
peduli, kendati rasa ingin tahunya meluap-luap. Se-
kuat tenaga perasaan itu ditahannya.
"Aku tak ingin menakut-nakuti. Tapi perlu kuberi-
tahukan padamu untuk berhati-hati. Orang-orang
yang bertarung denganku memiliki kepandaian amat
tinggi. Aku yakin tindakanmu mencampuri urusanku
dengan mereka akan berbuntut panjang. Mereka akan
mencarimu. Dan...."
"Kuucapkan terima kasih yang sebesarnya atas
perhatianmu, Nona," sela Arya tak sabar. "Meskipun
kepandaian yang kumiliki tak setingkat denganmu,
aku tak akan mundur jika orang-orang itu meminta
pertanggungjawaban. Sampai jumpa lagi, Nona.
Sayang, aku masih mempunyai urusan lain."
Tanpa banyak basa-basi lagi Arya meninggalkan
Winarni dengan langkah seenaknya. Winarni mengger-
takkan gigi. Geram melihat tingkah Dewa Arak yang
berani menyela ucapannya dan meninggalkan dirinya
begitu saja.
"Lancang sekali pemuda itu! Sungguh berani dia
bersikap seperti itu padaku. Lupakah dia kalau aku
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo?!" rutuk
Winarni dalam hati. Kemudian, tubuhnya dibalikkan
dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil memo-
nyongkan bibir.
***
Arya duduk di pinggir sungai dengan pandangan
tertuju ke permukaannya. Tatapannya yang tak per-
nah berubah menunjukkan kalau pemuda berambut
putih keperakan ini tengah tenggelam dalam lamunan.
"Tak salahkah Penyair Cengeng? Masalah apakah
yang dimaksudnya akan kutemui di daerah ini? Semu-
la kupikir ada hubungannya dengan gadis berpakaian
merah yang sombong itu. Tapi ternyata tidak! Masalah
gadis itu hanya kecil saja. Atau, sebaiknya ku tinggal-
kan daerah ini?" pikir Aiya dengan pandang mata tak
bergeming dari permukaan air sungai,
Pekikan melengking nyaring membuat Arya tersa-
dar dari lamunan. Kepalanya didongakkan ke atas.
Tampak sosok berwarna kuning keemasan tengah me-
layang-layang di angkasa, berputaran tepat di atasnya.
Arya harus mengerahkan tenaga dalam ke mata
agar dapat melihat lebih jelas sosok kuning keemasan
itu. Ternyata seekor burung garuda!
"Garuda Emas?!" desis Arya. "Bukankah binatang
itu yang ditunggangi Penyair Cengeng?"
Dewa Arak pernah berjumpa dengan Penyair Cen-
geng di saat tokoh itu menunggangi Garuda Emas.
(Untuk jelasnya, silakan baca episode "Angkara Si
Anak Naga").
"Hei! Apa itu?!"
Arya melihat sesuatu melayang jatuh dari burung
Garuda Emas. Sesuatu yang meluncur tepat ke arah
Dewa Arak. Semula Dewa Arak bersikap waspada.
Khawatir akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
Tapi ketika benda itu terlihat semakin jelas, kewaspa-
daan Arya berkurang. Benda itu ternyata segulungan
kulit binatang.
Setelah yakin gulungan kulit binatang itu tak ber-
bahaya, Dewa Arak menerimanya ketika telah hampir
menimpa kepala.
Dewa Arak
Untuk kedua kalinya kita berjumpa dengan cara ini.
Aku yakin sekarang kau telah terlihat dalam masalah
yang ku maksud. Kendati mungkin kau belum mengeta-
huinya secara pasti. Masalah yang kuharap dapat kau
selesaikan berawal pada lima tahun lalu antara Pende-
kar-Pendekar Gunung Bromo dengan musuh bebuyu-
tannya. Selamat bertugas, Dewa Arak. Kuharap dengan
pemberitahuan ini, kau akan mengetahui masalah yang
sebenarnya. Aku pun tahu tentang masalah ini dari
Eyang Nararya alias Kertapati. Sebenarnya dia ber-
maksud mengurusnya sendiri. Tapi, dia sudah jemu be-
rurusan dengan kekerasan! Sekali lagi selamat bertu-
gas, Arya!
Penyair cengeng.
Arya mendongakkan kepala menatap ke angkasa.
Tak ada sesuatu pun di sana. Kecuali langit biru dan
gumpalan awan putih. Pemuda ini mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Namun Garuda Emas sudah tak
ada.
"Kalau saja gadis itu tak demikian sombong," pikir
Arya menyesalkan. "Mungkin sudah kuketahui masa-
lah yang harus kuhadapi. Sikap gadis sombong itu
membuat semuanya berantakan! Tapi, akan ku coba
memenuhi harapan Penyair Cengeng"
Arya bangkit berdiri. Gulungan kulit binatang itu
diselipkannya ke pinggang. Kemudian, pemuda ini
membalikkan tubuh dan melesat pergi hendak menyu-
sul Winarni.
Maksud Arya terhenti di tengah jalan. Matanya se-
kilas melihat sesuatu timbul tenggelam di permukaan
sungai. Arya memperhatikan lebih teliti. Ternyata seo-
rang manusia! Arus sungai yang cukup deras mem-
buat sosok itu melaju cepat.
Arya segera bertindak. Tangan kanannya dijulur-
kan ke depan. Saat itu sosok kuning yang terapung le-
wat di depannya. Jarak antara Arya dan sosok itu tak
kurang dari lima tombak.
Juluran tangan Arya yang ditopang pengerahan te-
naga dalam membuat sosok itu tidak terbawa arus.
Aiya lalu memutar pergelangan tangannya. Seketika,
sosok berbaju kuning melayang deras ke arahnya. Se-
belum sosok itu jatuh menimpa pinggir sungai yang
berbatu-batu, Arya telah menangkapnya dengan sebe-
lah tangan. Seakan sosok itu tak lebih dari sehelai
daun!
Arya langsung merebahkan sosok berbaju kuning
di batu yang berpermukaan rata. Dia seorang gadis
cantik. Kulitnya putih halus. Tubuhnya yang montok
tampak jelas karena pakaiannya yang basah melekat
di badan.
"Seorang gadis yang sangat cantik...," pikir Arya
penuh kagum sambil mengamati sekujur tubuh sosok
kuning.
Pemuda berambut putih keperakan ini tak lang-
sung memberikan pertolongan.
"Gadis ini tak bernapas lagi. Jantungnya berhenti
berdenyut. Kalau kubiarkan lebih lama, tentu dia akan
mati. Tapi..., bagaimana mungkin aku menolongnya?
Jika dia sadar dan tahu tindakanku, dia akan marah
besar dan mendugaku yang bukan-bukan."
Arya benar-benar bingung. Di satu pihak dia ingin
menolong. Tapi kekhawatiran muncul di hatinya. Sete-
lah dipertimbangkan sejenak, akhirnya Arya mengam-
bil keputusan yang dirasanya tepat.
Jantung Arya berdetak cepat ketika mendekatkan
wajahnya ke wajah gadis berpakaian kuning. Tercium
oleh pemuda ini keharuman khas wanita dari tubuh si
gadis.
Arya memang seorang pemuda yang berhati dan
pikiran bersih. Tak pernah pemuda ini mengimpikan
untuk melakukan tindakan tak senonoh terhadap seo-
rang wanita. Apalagi di saat wanita tersebut tak sadar-
kan diri. Kendati demikian, dia seorang manusia biasa.
Tak luput dari serbuan berbagai macam perasaan dan
hawa nafsu. Dan, kali ini perasaan itu melandanya.
"Jangan bertindak bodoh, Arya," bisik setan di hati
pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan lagi
kau mendapatkan kesempatan seperti ini? Gadis di
depanmu cantik sekali. Bisa dihitung dengan jari wani-
ta yang memiliki kecantikan seperti dirinya. Bentuk
tubuhnya pun menggiurkan. Dia toh tak akan tahu.
Lagi pula, kau tak akan melakukan tindakan yang ke-
terlaluan terhadapnya."
Godaan setan di hati Arya membuat napas Arya
agak memburu. Sekelebat pikiran yang mendukung
gagasan tak baik itu muncul di benaknya.
"Benar! Kurasa tak ada salahnya melakukan hal
itu. Toh, gadis ini tak akan rugi apa pun! Hanya cium,
membelai. Lain tidak"
Pikiran-pikiran itu yang melanda Aiya di saat wa-
jahnya didekatkan ke wajah berpakaian kuning. Tapi
di saat wajah kedua muda-mudi itu semakin dekat,
akal sehat Arya bekerja.
Arya mampu menekan gejolak nafsu ketika bibir-
nya bertemu dengan bibir indah gadis berpakaian kun-
ing. Dengan mempergunakan mulutnya, Arya meng-
hembus udara ke dalam mulut gadis berpakaian kun-
ing yang terbuka.
Sambil menghembus, sesekali Arya mengiringinya
dengan menekan dada si gadis. Beberapa kali hal itu
dilakukan. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning
bernapas kembali. Arya pun menghentikan pertolon-
gannya.
Pada saat yang bersamaan dengan berhentinya
Arya melakukan pertolongan, gadis berpakaian kuning
membuka matanya. Seketika mata indah itu meman-
carkan keterkejutan.
"Sabar dulu. Nona. Sabar! Kau salah paham!" ujar
Arya dengan kedua tangan terjulur ke depan dan me-
langkah mundur-mundur. "Aku tak bermaksud kurang
ajar atau berbuat tak senonoh. Tapi,..."
"Manusia terkutuk!" sela gadis berpakaian kuning
geram seraya melompat bangun. Sepasang matanya
menyiratkan kemarahan. "Kau harus menebus keku-
rangajaranmu dengan nyawamu yang tak berharga!"
Gadis berpakaian kuning yang bukan lain Dewi
Ratna ini langsung mengirimkan serangan. Tangan
kanannya menegang kaku. Dengan sisi telapak tangan
gadis ini membacok leher Dewa Arak. Bunyi bercuitan
tajam mengiringi gerakan tangannya.
"Gila!" pikir Arya, kaget bercampur kagum. "Gadis
ini hebat juga! Tidak hanya tenaga dalamnya yang
kuat, juga ilmunya hebat. Ilmu yang dipergunakannya
mirip dengan ilmu Darba" (Untuk mengetahui lebih je-
las tentang tokoh yang bernama Darba, silakan baca
episode "Cinta Sang Pendekar").
Dengan berdasarkan pengalaman bertarung den-
gan Darba, Dewa Arak tahu kalau babatan tangan De-
wi Ratna tak kalah berbahayanya dengan babatan go-
lok pusaka! Karena itu Dewa Arak tak berani bertindak
gegabah. Kendati diyakini kalau menangkis dengan
tangan telanjang dia mampu, namun hal itu tak dila-
kukannya. Sudah menjadi sifat Arya untuk lebih dulu
melihat kedahsyatan ilmu lawan sebelum bertindak le-
bih jauh.
Wuttt...!
Beberapa helai rambut Dewa Arak putus. Tangan
Dewi Ratna memang lewat beberapa jari di atas kepala
Arya ketika pemuda berambut putih keperakan itu
mengelak dengan menundukkan kepala. Sambaran
angin serangan Dewi Ratna yang memutuskan ram-
but-rambut itu.
Kegagalan serangan pertama membuat Dewi Ratna
semakin sewot. Arya ternyata bukan lawan yang rin-
gan. Serangan lanjutan yang sudah dipersiapkannya
meluncur dalam bentuk tusukan jari tangan kiri ke
arah dada. Kali ini Dewa Arak tak mengelak.
***
6
Takkk...!
Benturan agak keras terdengar ketika Dewa Arak
melakukan tangkisan. Begitu tangan mereka beradu,
pemuda ini segera mengerahkan tenaga menyedot.
Dewi Ratna tak bisa menarik tangannya kembali.
"Heh...?!" Dewi Ratna tak kuasa untuk menahan
pekikan kaget. Kejadian ini sama sekali tak disangka-
sangkanya. Sesaat dia tertegun keheranan. "Apa yang
hendak dilakukan manusia kurang ajar ini?! Kepan-
daiannya boleh juga!"
Sadar kalau tangan kirinya tak bisa dibebaskan,
Dewi Ratna mengirimkan serangan susulan. Gadis ini
mengirimkan bacokan ke arah pelipis. Salah satu tem-
pat yang lemah di tubuh manusia. Kendati manusia
itu memiliki kesaktian setingkat dengan Dewa Arak!
Sebagai pendekar muda yang kenyang pengalaman,
tentu saja Arya mengetahui ancaman maut itu.
"Gadis ini benar-benar kalap. Dia tak main-main
lagi. Setiap serangannya berakibat maut bagiku," pikir
Dewa Arak. Bergegas Arya mengelakkan serangan Dewi
Ratna. Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tak
membutuhkan tenaga banyak. Hanya dengan mengge-
rakkan tubuh bagian atas Dewa Arak berhasil mem-
buat serangan Dewi Ratna tak mengenai sasaran. Sisi
tangan miring gadis berpakaian kuning itu hanya
mengenai pundak kanan Dewa Arak.
Dukkk....
Untuk kedua kalinya tangan Dewi Ratna tak bisa
ditarik kembali. Tangannya menempel pada bahu De-
wa Arak! Betapapun putri Mundarang ini berusaha ke-
ras menarik tangannya, tetap saja sepasang tangannya
tak bergeming.
Dewi Ratna tak putus asa. Dia meronta-ronta agar
dapat melepaskan diri. Sayang, usahanya sia-sia. Se-
pasang tangannya tetap tak bergeming.
"Sabarlah, Nona. Tenangkan hati. Jangan menuruti
amarah belaka. Aku sama sekali tak bermaksud bu-
ruk. Apa yang kulakukan karena ingin menyela-
matkanmu. Tak ada maksud-maksud lainnya," berita-
hu Arya tanpa mempedulikan Dewi Ratna yang terus
meronta-ronta.
Arya memang memiliki kesabaran yang cukup be-
sar. Kendati Dewi Ratna tak mempedulikan seruannya,
tetap saja ucapannya dilanjutkan. Tapi ketika terus
tak ada perubahan, Arya sadar kegagalan akan diteri-
manya.
Tanpa menggerakkan anggota tubuh dan hanya
mengerahkan tenaga dalam, Dewa Arak melemparkan
tubuh Dewi Ratna ke belakang. Di saat tubuh gadis itu
masih melayang Dewa Arak menjulurkan tangan. Dewi
Ratna merasakan sekujur tubuhnya lemas tak berte-
naga. Ia telah terkena totokan dari jarak jauh.
"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas, "Manusia ku-
rang ajar ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku jelas
bukan tandingannya. Apa akalku agar dapat selamat?
Paman Ardaraja memang tak berlebihan mengatakan
kalau di dunia persilatan banyak tokoh-tokoh sakti!"
Kedongkolan Dewi Ratna agak mengendur ketika
mengetahui tubuhnya mendarat di tanah secara perla-
han-lahan. Tidak terbanting begitu saja.
"A... apa yang hendak kau lakukan?" tanya Dewi
Ratna dengan tubuh masih tergolek di tanah ketika
melihat Dewa Arak mendekatinya.
"Buang jauh-jauh dugaan burukmu, Nona. Ingat-
lah baik-baik kejadian sebelum ini. Apa yang kau ala-
mi sebelum hanyut dibawa sungai?"
Ucapan Dewa Arak ternyata membawa pengaruh
besar. Dewi Ratna terjingkat bagai disengat ular berbi-
sa. Ucapan Arya mengingatkannya akan hal yang ter-
lupakan. Karena seluruh perhatiannya tercurah pada
amarah terhadap Dewa Arak.
Gadis berpakaian kuning ini mulai ragu dengan
dugaannya. Kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memang kurang ajar dan memiliki watak tak baik,
saat dirinya tak berdaya merupakan kesempatan ba-
gus. Tapi, kenyataannya tidak. Bahkan, beberapa kali
Arya mengingatkan akan terjadinya salah paham.
"Kau kutemukan hanyut di sungai ini," lanjut Arya
ketika dilihatnya Dewi Ratna tercenung. "Aku berusa-
ha menolong. Ternyata kau tak sadarkan diri. Detak
jantungmu pun tak terdengar lagi. Untuk menyela-
matkan nyawamu terpaksa kulakukan pernapasan
buatan. Aku yakin kesalahpahaman kemungkinan be-
sar akan terjadi. Tapi, kuambil kemungkinan buruk itu
untuk menyelamatkanmu...."
Penjelasan Dewa Arak terdengar samar-samar di
telinga Dewi Ratna. Sebagian besar perhatiannya ten-
gah tercurah pada kejadian yang dialaminya sebelum
hanyut ke sungai. Peristiwa itu terbayang kembali di
benak Dewi Ratna....
Dewi Ratna terhuyung-huyung ketika Ardaraja
mengibaskan tangan. Gadis yang berhati keras itu
hendak melesat keluar gua. Tapi, runtuhan atap gua
membuat gadis ini mengurungkan niatnya.
Dewi Ratna berlomba dengan batu-batu besar yang
berjatuhan dari atas untuk menyelamatkan nyawa. Dia
menggulingkan tubuh ke sisi sebelah kanan gua. Di
sana terdapat celah selebar satu tombak.
Dewi Ratna memang berhasil menghindar dari ba-
tu-batu besar. Tapi, batu-batu kecil sebesar kepala
manusia banyak yang menimpa sekujur tubuhnya.
Untung, tak satu pun yang mengenai kepala! Gadis ini
juga berhasil mencapai celah di dinding gua.
Dewi Ratna lalu merayap untuk tiba di ujung celah.
Belasan tombak dilalui akhirnya gadis itu berhasil
mencapai ujung celah rahasia. Ujung celah terlindungi
oleh lebatnya rerumputan dan semak, sehingga tak
terlihat dari luar.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang kotor
berdebu, Dewi Ratna menguak rerumputan dan se-
mak-semak. Gadis ini sudah tak sabar untuk segera
tiba di gua tempat tinggalnya. Agar dapat membantu
pamannya menghadapi tamu-tamu tak diundang yang
agaknya dari Kelompok Penjagal Manusia! Gadis yang
keras hati ini tak khawatir Ardaraja akan memara-
hinya habis-habisan. Dia lebih khawatir kehilangan
pamannya.
Di saat Dewi Ratna meninggalkan ujung celah ra-
hasia, Ardaraja telah berdiri berhadapan dengan lelaki
yang mempunyai ciri berbeda satu sama lain.
"Akhirnya kau menampakkan congormu juga, Ar-
daraja," ujar lelaki tinggi kurus bercelana pendek hi-
tam. Lelaki ini tak henti-hentinya mengipasi tubuhnya
yang berpeluh.
Lelaki kedua yang berdiri di belakang lelaki jang-
kung memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang.
Tubuhnya pendek gemuk. Dari ujung kaki sampai
kepala, kecuali wajah, tertutup oleh pakaian dari kulit
binatang. Kedua tangannya dilipat di depan dada se-
perti layaknya orang kedinginan. Padahal, keadaan ha-
ri itu sangat panas. Sang surya yang berada tepat di
atas kepala memancarkan sinarnya dengan terik
Ardaraja yang berdiri dua tombak dari mulut gua
menatap sengit lelaki kurus di depannya. Orang yang
ditatap terlihat tenang saja dan terus mengipasi tu-
buhnya.
"Itu berarti nyawamu akan pergi meninggalkan ra-
ga, Ardaraja," sambut lelaki pendek gemuk yang memi-
liki suara lembut seperti wanita, "Kau akan menyusul
Buluk Siwu yang tewas di tanganku! Sayang, putri Bu-
luk Siwu tak berada di tempat, sehingga bisa lolos dari
maut!"
"Tapi, kau akan selamat jika mau menunjukkan di
mana pimpinan kami," timpal lelaki jangkung yang
memiliki suara kasar.
"Kalian hanya dapat mengetahuinya bila telah me-
langkahi mayatku!" tandas Ardaraja. "Dan sebelum itu
terjadi, kalian berdua akan lebih dulu melayat ke lu-
bang kubur!"
Seiring dengan keluarnya bentakan itu, Ardaraja
mengeluarkan seuntai tasbih yang tersusun dari batu-
batu kecil. Lelaki yang tak kuasa menahan amarahnya
itu kemudian menyabetkan tasbih ke arah kepala lela-
ki bercelana pendek.
Wuttt...!
Serangan tasbih mengenai tempat kosong. Lelaki
jangkung telah merendahkan tubuhnya. Rambut dan
pakaiannya berkibaran keras ketika senjata Ardaraja
lewat di atas kepalanya.
Lelaki bercelana pendek hitam tak tinggal diam.
Kipas yang terbuat dari bulu binatang ternyata bergu-
na pula sebagai senjata. Bahkan tak kalah ampuhnya
dengan tasbih. Dua tokoh bersenjata aneh ini pun ter-
libat pertarungan sengit!
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semula tak
terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Ta-
pi, begitu menginjak puluhan jurus Ardaraja harus
mengakui keunggulan lawan. Dia mulai terdesak.
Saat Ardaraja hanya dapat bergerak mundur, Dewi
Ratna tiba. Dalam jarak beberapa tombak gadis itu
berseru penuh semangat.
"Jangan khawatir, Paman...! Aku datang memban-
tu!"
Trakkk...!
Tangkisan yang dibuat lelaki tinggi kurus membuat
Dewi Ratna terjengkang ke belakang. Pedang yang ter-
genggam hampir saja lepas dari pegangan.
Di lain pihak, lelaki bercelana pendek hitam yang
setiap gerakannya menyebarkan hawa panas luar bi-
asa tak terpengaruh sedikit pun. Waktu yang longgar
sedikit itu dipergunakan oleh Ardaraja untuk melan-
carkan serangan.
Serangan Ardaraja terlalu cepat datangnya. Lelaki
bercelana pendek hitam tak mempunyai kesempatan
untuk menangkis. Yang dilakukan hanya mengelak
dengan cara melempar tubuh ke belakang lalu bergu-
lingan menjauh.
Kesempatan itu kembali dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh Ardaraja. Dengan mempergunakan kiba-
san tangan, gulingan tubuh Dewi Ratna ditambahnya.
Kibasan tangan tokoh Gunung Bromo ini menimbul-
kan deru angin keras.
"Pergilah kau, Ratna. Jangan sia-siakan nyawamu!"
seru Ardaraja.
Lelaki ini ingin berbicara banyak. Tapi, kesempatan
yang tercipta sangat singkat. Ketika pemberitahuannya
terhadap Dewi Ratna baru saja selesai, lelaki pendek
gemuk melesat menerjangnya.
Berbeda dengan lelaki bercelana pendek hitam, se-
rangan lelaki pendek gemuk menimbulkan gelombang
hawa dingin luar biasa. Ardaraja mengelak seraya
mengerling ke arah keponakannya. Lelaki dari Gunung
Bromo ini terkejut melihat Dewi Ratna belum juga me-
ninggalkan tempat itu. Bahkan, gadis itu seperti akan
membantunya. Ardaraja merasa cemas. Apalagi ketika
melihat lelaki jangkung telah bersiap hendak menyer-
bunya kembali.
"Ratna! Pergilah cepat! Atau kau ingin aku mati
penasaran?!"
Ucapan yang dikeluarkan dengan nada keras itu
membuat Dewi Ratna kebingungan. Dia merasa bim-
bang. Sementara Ardaraja semakin kelabakan. Lelaki
jangkung kurus melesat menerjangnya. Sedangkan le-
laki pendek gemuk bergerak meninggalkannya.
"Urus dia! Biar aku yang akan menangkap gadis
liar itu!" ujar lelaki pendek gemuk yang berpakaian ku-
lit binatang.
Kenyataan ini membuat Ardaraja semakin cemas.
Tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri dia me-
lompat berusaha menghalangi maksud lelaki pendek
gemuk.
"Ratna! Lari! Apa aku harus membunuh diri di de-
pan matamu agar kau menuruti kehendakku?!" teriak
Ardaraja di tengah terjangan yang dilakukannya.
Perintah yang dikeluarkan dengan nada putus asa
ini membuat Dewi Ratna terisak. Gadis ini merasa ter-
haru sekali. Dia tahu pamannya menginginkan dia se-
lamat. Sebaliknya, Dewi Ratna lebih suka mati bersa-
ma-sama Ardaraja.
Dewi Ratna tak ingin mengecewakan pamannya.
Setelah melepas pandangan terakhir, tubuhnya diba-
likkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Gadis berpakaian kuning itu meninggalkan Ardaraja
dengan hati tak rela. Beberapa kali kepalanya ditoleh-
kan ke belakang. Ketika untuk kesekian kalinya ia
berpaling, gadis itu melihat Ardaraja roboh dan tak
bergerak lagi terkena hantaman lelaki Jangkung.
Dewi Ratna ingin segera kembali membalaskan
kematian Ardaraja. Tapi, akal sehat melarangnya. Dia
pun melesat terus. Bahkan menambah kecepatan la-
rinya. Apalagi ketika dilihatnya pembunuh-pembunuh
pamannya berlari mengejar.
Karena kecepatan lari dua orang pembunuh Arda-
raja itu berada di atas Dewi Ratna, jarak antara mere-
ka semakin dekat. Putri Mundarang ini menyadari
keadaan yang berbahaya itu. Lambat laun dirinya akan
tersusul. Maka segera dicarinya jalan keluar.
Dewi Ratna cukup mengenai daerah sekitar tempat
itu. Belasan tombak darinya terdapat jalan buntu. Ti-
dak ada jalan lagi. Di bawahnya ada sebuah sungai.
Beberapa puluh tombak dari atas tebing.
Tepat di saat Dewi Ratna melayang turun pengejar -
pengejarnya tiba di tepi tebing. Yang jangkung berdiam
diri saja. Hanya lelaki pendek yang bertindak. Kedua
tangannya dihentakkan ke depan menimbulkan deru
angin dingin yang meluncur ke arah tubuh Dewi Rat-
na!
Sampai di sini Dewi Ratna menghentikan lamu-
nannya. Dia masih ingat saat tubuhnya masih me-
layang sergapan hawa dingin yang luar biasa melanda.
Lalu dia pun tak ingat apa-apa lagi. Bahkan ketika tu-
buhnya menyentuh permukaan air.
"Kurasa...," ucapan Arya membuat Dewi Ratna
mengalihkan perhatian. "Kau telah berhasil mengingat
kejadian yang menimpamu, Nona."
Dewi Ratna tak memberikan tanggapan. Tapi, ke-
curigaanya telah lenyap. Saat itu Aiya mendengar jeri-
tan-jeritan menyayat hati. Bergegas pemuda ini bang-
kit dari duduknya. Dewi Ratna yang melihat tingkah
Arya sempat merasa kaget.
Arya menyadari keheranan Dewi Ratna. Tapi, dia
tak mempunyai waktu untuk menjelaskan. Dia ingin
segera tiba di tempat datangnya teriakan-teriakan me-
nyayat hati. Agaknya telah terjadi pembantaian di sa-
na.
"Selamat tinggal, Nona. Kuharap pertemuan antara
kita bisa terulang dalam suasana yang lebih menye-
nangkan!"
Arya membalikkan tubuh setelah terlebih dulu me-
lambaikan tangan seperti orang mengucapkan selamat
berpisah. Kemudian, pemuda ini melesat cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Dewi Ratna semula terkejut melihat tindakan Arya.
Demikian kejikah pemuda itu sehingga tega mening-
galkannya dalam keadaan seperti ini? Tapi, kecema-
sannya langsung buyar ketika dirasakan jalan darah-
nya kembali normal. Pemuda berambut putih kepera-
kan itu ternyata masih ingat untuk membebaskan di-
rinya dari totokan. Kenyataan ini semakin membuat
Dewi Ratna ragu kalau Dewa Arak bermaksud tak baik
terhadapnya.
"Mungkin yang dikatakannya benar," pikir Dewi
Ratna. "Sepertinya tak mungkin orang segagah dan se-
jantan dia memiliki watak demikian buruk!"
Masih dengan benak memikirkan Dewa Arak, Dewi
Ratna bangkit melesat ke arah yang ditempuh Arya.
Pada saat yang bersamaan dengan Dewa Arak me-
nemukan tubuh Dewi Ratna, Raja Babi Bertenaga
Raksasa dan Mata Iblis terus berlari melakukan penge-
jaran. Karena jarak yang tertinggal terlalu jauh, dua
tokoh sesat ini salah mengikuti jejak. Keduanya berlari
dengan arah lurus. Padahal Dewa Arak telah berbelok
pada suatu persimpangan. Dewa Arak berbelok ke
arah kiri.
Mata Iblis dan Raja Babi yang saling berlomba un-
tuk mendapatkan Winarni lebih dulu terus saja berlari.
Mata Iblis ternyata memiliki ilmu lari cepat di atas
saingannya. Raja Babi tertinggal belasan tombak di be-
lakang Mata Iblis.
Sekarang dua tokoh sesat tingkat tinggi itu berada
di jalan tanah selebar tiga tombak. Di kanan kirinya
terdapat semak-semak dan pepohonan. Biasanya
daun-daun pohon dan semak akan bergoyang jika an-
gin berhembus agak keras. Tapi, kali ini bukan hanya
daun-daun. Batang pohon yang besarnya tiga pelukan
orang dewasa itu pun bergoyang keras.
"Ada yang tak beres...," pikir Mata Iblis dan Raja
Babi ketika melihat keanehan ini.
Seperti telah disepakati sebelumnya, Raja Babi dan
Mata Iblis menghentikan lari. Kedua tokoh sesat ini
memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan penuh
waspada. Dan, kewaspadaan itulah yang menyebabkan
mereka berdua dapat mendengar bunyi-bunyi mencu-
rigakan. Serempak keduanya mengeluarkan senjata
masing-masing. Raja Babi mengeluarkan piaritnya, se-
dangkan Mata Iblis mencabut clurit!
Bertepatan dengan tindakan kedua tokoh sesat itu,
dari atas pohon di kanan kiri jalan melayang turun be-
berapa sosok tubuh. Di tangan mereka tergenggam se-
batang tombak yang pada dekat ujungnya dilekatkan
kain bendera. Kain berwarna merah darah bergambar
tengkorak kepala manusia yang ditunjang oleh sepa-
sang tulang yang saling bersilangan!
Berbeda dengan Mata Iblis yang masih memperha-
tikan sosok-sosok itu dengan pandang mata penuh se-
lidik, Raja Babi tampak memucat wajahnya. Memang,
dibanding tokoh dari Tuban itu Raja Babi Bertenaga
Raksasa yang memiliki pengalaman luas bisa memper-
kirakan siapa para penghadangnya.
"Tidak salah lihatkah aku? Apakah kalian orang-
orang dari Kelompok Penjagal Manusia?!" tanya Raja
Babi dengan suara menyiratkan ketegangan.
Mata Iblis kendati tak bisa menebak siapa tiga so-
sok yang menghadang perjalanannya, tapi begitu men-
dengar ucapan Raja Babi jadi terperanjat kaget. Julu-
kan Kelompok Penjagal Manusia telah pernah diden-
garnya. Namun Mata Iblis yang percaya akan kemam-
puan diri tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan, den-
gan sikap angker diperhatikannya tiga lawannya satu
persatu.
"Ternyata kau mempunyai pengetahuan yang cu-
kup luas, Gendut!" sambut salah seorang dari tiga
penghadang. Ia bertubuh tinggi kurus. Tinggi tubuh-
nya terlihat lebih jelas karena dia mengenakan celana
pendek hitam. Lelaki ini mempunyai kulit tubuh me-
rah kehitaman. "Memang, kami tokoh-tokoh dari Ke-
lompok Penjagal Manusia! Sudah tahu siapa adanya
kami, mengapa tak lekas berlutut dan memohon am-
punan?!"
"Tidakkah tindakan yang kau lakukan itu terlalu
keras, Setan Pembakar Jasad? Aku yakin ucapanmu
membuat mereka kaget dan ketakutan," sambung so-
sok lain yang memiliki suara lebih lembut.
Sosok kedua ini memiliki ciri-ciri yang bertolak be-
lakang dengan sosok pertama. Lelaki ini bertubuh
pendek gemuk. Tubuhnya tertutup pakaian tebal dari
bulu binatang.
7
Melihat sorot mata Setan Pembakar Jasad dan te-
mannya yang berjuluk Setan Pembeku Darah, Mata Ib-
lis serta Raja Babi tahu kalau kedua tokoh itu memiliki
tenaga dalam yang amat kuat. Sinar mata kedua
penghadangnya ini mencorong tajam bagai mata hari-
mau dalam gelap!
Sosok yang berdiri di belakang Setan Pembakar Ja-
sad dan Setan Pembeku Darah lebih mengiriskan hati.
Ia bertubuh tinggi besar dan kokoh laksana batu ka-
rang. Pakaian dan celananya berwarna merah darah.
Terbungkus jubah luar hitam pekat. Wajahnya dingin
tak membiaskan perasaan apa pun. Sepasang mata
tokoh berjubah hitam ini memancarkan warna hijau
kemerahan!
Tokoh yang memiliki mata mengerikan itu berdiri
diam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Si-
kapnya menunjukkan ketidakperhatian pada masalah
yang terpampang di depannya.
Ucapan Setan Pembakar Jasad segera mendapat
tanggapan dari Mata Iblis. Memang, tokoh dari Tuban
ini tak lebih berangasan dari Raja Babi. Tapi dia ku-
rang begitu mengenal Kelompok Penjagal Manusia. Ka-
rena itu, Mata Iblis lebih berani mengutarakan penda-
patnya.
"Kalian kira siapakah kalian sehingga dapat mem-
buatku merasa takut?!" bentak Mata Iblis dengan sua-
ra keras menggelegar. "Jangankan tokoh-tokoh dari
Kelompok Penjagal Manusia, Kelompok Penjagal Iblis
sekalipun Mata Iblis tak merasa gentar. "
"Sungguh berani kau bicara seperti itu, Picak? Ru-
panya kau sudah bosan hidup, heh?!" sergah Setan
Pembakar Jasad penuh kemarahan. Lelaki ini memang
memiliki watak mudah marah.
"Kaulah yang sudah tak ingin melihat matahari
terbit besok jika berani menentang Mata Iblis!" bentak
tokoh sesat dari Tuban tak kalah keras.
Usai berkata demikian, Mata Iblis menerjang Setan
Pembakar Jasad. Dikirimkannya pukulan lurus ke
arah dada. Pukulan itu langsung dipapak oleh tokoh
dari Kelompok Penjagal Manusia dengan gerakan yang
sama.
Desss...!
Bunyi keras seperti bertumbukannya dua benda
keras terjadi. Dua kepalan tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh
Mata Iblis terjengkang ke belakang dengan sekujur tu-
buh terasa sakit. Sementara Satan Pembakar Jasad
tak bergeming sama sekali!
Ketika berhasil mematahkan kekuatan yang mem-
buat tubuhnya terlontar, Mata Iblis tampak terkejut
bukan main. Bukan hanya karena mengetahui bentu-
rannya gagal. Tapi juga karena adanya rayapan hawa
panas di tangannya. Buru-buru dipunahkan hawa pa-
nas itu dengan mengerahkan tenaga dalam
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, Pi-
cak?!" ejek Setan Pembakar Jasad. "Hanya dengan ke-
mampuan seperti itu kau berani menentang Kelompok
Penjagal Manusia. Sungguh lucu!"
Terdengar bunyi gemeretak keras seperti tulang-
tulang berpatahan. Padahal Mata Iblis tak melakukan
tindakan apa pun. Lelaki itu hanya merasa geram bu-
kan main. Dan, itu membuat tenaga dalamnya menga-
lir sendiri sehingga menimbulkan bunyi keras.
"Sombong...!" rutuk Mata Iblis dengan suara berge-
tar. "Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Apa yang
ku keluarkan tadi belum seberapa!"
Mata Iblis menghimpun tenaga dalam. Matanya
yang semula hampir berupa garis mulai membeliak
dan memancarkan sorot kehijauan. Sorot itu semakin
lama semakin terang. Kemudian melesat ke arah Setan
Pembakar Jasad.
Setan Pembakar Jasad terperanjat kaget. Dia sama
sekali tak menyangka lawannya mempunyai ilmu se-
perti itu. Ilmu yang semula diyakininya hanya dimiliki
oleh dua orang. Iblis Penghisap Darah yang dulu men-
jadi ketuanya, dan seorang tokoh lagi yang sekarang
menjadi ketua baru.
Kendati demikian, tokoh dari Kelompok Penjagal
Manusia ini tak menjadi gugup. Kedua tangannya yang
terkepal disilangkan di depan dada untuk menghim-
pun seluruh tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, men-
gepul uap tipis disertai hawa panas menyengat menye-
bar dari sekujur tubuh Setan Pembakar Jasad!
Hawa yang tercipta ternyata cukup panas untuk
memaksa Raja Babi menjauhi kancah pertarungan.
Sementara lelaki tinggi besar dan Setan Pembeku Da-
rah tak beranjak dari tempat itu. Malah, Setan Pembe-
ku Darah tetap dengan kebiasaannya, menggigil kedin-
ginan tak peduli cuaca apa pun yang tengah dihada-
pinya.
Setan Pembakar Jasad menarik tangan kanannya
ke pinggang dalam kedudukan jari-jari terkepal. Lalu
dihentakkan ke depan dengan kekuatan dan kecepatan
penuh
Wusss...!
Bola api kemerahan meluncur ke arah sinar kehi-
jauan dari Mata iblis. Di tengah jalan kedua sinar
maut itu berbenturan menimbulkan bunyi ledakan
nyaring. Tokoh sesat dari Tuban terjengkang ke bela-
kang dan terbanting di tanah. Setan Pembakar Jasad
hanya terhuyung-huyung.
Setan Pembakar Jasad benar-benar tak mau mem-
beri kesempatan pada lawan, Dia segera melompat
tinggi ke atas dan turun tepat di atas tubuh Mata Iblis
yang baru berhasil bangkit. Setan Pembakar Jasad
mengirimkan pukulan kanan kiri ke arah kedua sisi
bahu Mata Iblis.
Mata Iblis tak mempunyai kesempatan lagi untuk
mengelak. Waktu yang dimilikinya terlalu sempit.
Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nya-
wanya. Mata Iblis nekat menghentakkan kedua tangan
terkepal ke atas menyambuti serangan Setan Pemba-
kar Jasad. Padahal, tokoh sesat dari Tuban ini tahu
kalau cara itu dapat mencelakakan dirinya. Kekuatan
tenaga lawan berada di atasnya.
Dukkk, dukkk...!
Tubuh Setan Pembakar Jasad agak terpental ke
atas. Tapi, kejadian yang dialami Mata Iblis lebih men-
gerikan. Tokoh ini terbenam ke dalam tanah sampai
sepinggang! Kedua tangannya terlepas sambungannya
pada pangkal tangan. Dan mulut, hidung, dan telinga
mengalir darah segar! Benturan kali ini terlalu dahsyat
untuk diterima Mata Iblis.
Mata Iblis segera menyadari keadaannya yang tak
menguntungkan. Maka buru-buru dia meloloskan diri
dari jeblosan dalam tanah. Tapi Setan Pembakar Jasad
tak membiarkan lawannya lolos dari maut. Dia bersal-
to lalu meluruk turun kembali ke arah Mata Iblis.
Desss...!
"Aaakh...!"
Jerit tertahan Mata Iblis terdengar ketika tendan-
gan kaki kanan Setan Pembakar Jasad mendarat telak
di dadanya.
Tubuh tokoh sesat dari Tuban ini terpental ke be-
lakang dan melayang jauh. Saat tubuhnya melayang
itulah nyawa Mata Iblis lepas dari raga. Tulang da-
danya hancur berantakan. Kulitnya hangus karena te-
naga dalam berhawa panas yang terkandung dalam se-
rangan Setan Pembakar Jasad!
Raja Babi Bertenaga Raksasa terperanjat melihat
kejadian yang menimpa Mata Iblis. Dengan sorot mata
bingung ditatapnya tubuh betas saingannya.
"Mata Iblis memang pantas mendapat nasib seperti
itu. Dia telah bertindak lancang meremehkan Kelom-
pok Penjagal Manusia yang terkenal," puji Raja Babi
Bertenaga Raksasa untuk menyelamatkan selembar
nyawanya.
"Bukan hanya dia saja," sahut Setan Pembakar Ja-
sad sinis. "Siapa pun orang yang berani mencari uru-
san dengan tokoh-tokoh dari Gunung Bromo akan me-
nerima nasib seperti orang tak tahu diri itu!"
Wajah Raja Babi langsung berubah memucat. Dia
mulai menyadari ancaman bahaya maut terhadap di-
rinya.
"Begitukah kiranya? Kalau demikian, biarlah saat
ini juga ku habiskan persoalanku dengan orang-orang
dari Gunung Bromo. Aku tak mengetahui kalau orang-
orang dari Gunung Bromo berurusan dengan Kelom-
pok Penjagal Manusia. Sekarang aku telah tahu dan
tak akan ikut campur lagi."
"He he he...!"
Sambutan berupa tawa itu keluar dari mulut Satan
Pembeku Darah. Lelaki berpakaian kulit binatang itu
segera menyela sebelum Setan Pembakar Jasad mem-
berikan tanggapan.
"Tak semudah itu, Kawan! Kelompok Penjagal Ma-
nusia telah mempunyai aturan. Siapa pun orang yang
mencampuri urusan kami, tahu atau tidak akan men-
dapat hukuman!"
"Maafkan aku kalau demikian," ucap Raja Babi bu-
ru-buru. "Aku mengaku salah. Dan, hanya bisa meng-
harapkan kebesaran hati Kelompok Penjagal Manusia
untuk memberikan kesempatan bagiku mencuci tan-
gan dalam masalah ini."
"Kebijaksanaan yang kami anut adalah mele-
nyapkan setiap orang yang mempunyai salah terhadap
kami, Jelas?! Jadi tak ada pilihan bagimu, Kawan. Kau
melawan atau tidak, bukan masalah. Kami akan tetap
mencabut nyawamu!" tandas Setan Pembeku Darah
dengan suara khasnya yang bernada lembut.
Sekujur tubuh Raja Babi menggigil hebat. Lelaki ini
tak kuat menahan amarahnya. Dirinya telah terlalu
mengalah, tapi tanggapan yang diterima semakin me-
rendahkan. Rasa takutnya segera terusir berganti den-
gan amarah! Biar bagaimanapun Raja Babi belum
membuktikan sendiri kehebatan tokoh-tokoh dari Ke-
lompok Penjagal Manusia.
Getaran pada tubuh yang timbul karena amarah
mengiringi bergolaknya tenaga dalam ke seluruh tubuh
Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sedikit demi sedikit tu-
buh Raja Babi terbenam ke dalam tanah.
"Rupanya kau mempunyai kepandaian lumayan.
Bagus! Aku suka karena aku mendapat perlawanan
yang lumayan," ujar Setan Pembeku Darah bernada
gembira.
Raja Babi meraung. Begitu usai raungan yang
mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat,
tokoh ini berlari mendekati Setan Pembeku Darah den-
gan kepala di depan seperti layaknya seekor babi me-
nyerang lawan.
Setan Pembeku Darah tetap berdiri tenang di tem-
patnya, menunggu hingga serangan mendekat. Lelaki
ini baru kehilangan senyumnya ketika merasakan ke-
kuatan dahsyat melandanya.
Sebagai tokoh tingkat tinggi Setan Pembeku Darah
segera menyadari lawan tengah menyerangnya dengan
sebuah ilmu mukjizat. Ilmu yang mempergunakan ke-
pala seperti layaknya binatang babi.
Tapi justru dengan kepala kedahsyatan serangan
jadi berlipat ganda.
Meskipun demikian Setan Pembeku Darah tak mau
beranjak dari tempatnya. Perasaan tinggi hati menye-
babkannya bersikap demikian. Dia malah mengum-
pulkan seluruh tenaga dalamnya, sehingga sekitar
tempat itu berhawa dingin luar biasa!
Serbuan hawa dingin yang amat dahsyat itu juga
melanda Raja Babi. Tapi karena tubuhnya terlindungi
pancaran kekuatan dahsyat yang menyebar dari seku-
jur tubuhnya, serbuan hawa dingin tadi tertahan ba-
nyak
Kenyataan ini cukup membuat Setan Pembeku Da-
rah kaget. Pancaran hawa dinginnya biasanya cukup
untuk membuat lawan tak bisa melanjutkan serangan.
Otot-ototnya akan kaku dan tak bisa digerakkan. Keti-
dakberhasilan pancaran hawa dingin kali ini menjadi
petunjuk kalau Raja Babi Bertenaga Raksasa memiliki
tenaga dalam yang amat kuat.
Ketika serangan kepala Raja Babi menyambar se-
makin mendekat, Setan Pembeku Darah menghentak-
kan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka. Tokoh
Kelompok Penjagal Manusia ini hendak mengadu keras
lawan keras.
Begitu kedua telapak tangannya hampir berbentu-
ran dengan batok kepala Raja Babi, Setan Pembeku
Darah terperanjat. Dirasakannya kekuatan luar biasa
dahsyat hendak melemparkan tubuhnya ke belakang.
Hal ini memaksa Setan Pembeku Darah mengerahkan
tenaga untuk memberatkan tubuhnya.
Desss...!
Benturan sangat keras yang terjadi membuat tu-
buh keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Bumi
dan benda-benda yang berada di sekitar tempat itu
bergetar hebat. Namun, kedua petarung itu kembali
saling menghampiri begitu kekuatan yang membuat
tubuh mereka terhuyung berhasil dipatahkan.
Di saat kedua tokoh yang terlibat perselisihan itu
saling menghampiri, Setan Pembakar Jasad melesat
meninggalkan tempatnya. Dihampirinya tokoh-tokoh
persilatan yang dilihatnya berlari menuju tempat me-
reka.
Setan Pembakar Jasad benar-benar memiliki watak
luar biasa kejam. Sambil melesat menghampiri, tangan
kanan dan kirinya bergantian dipukulkan ke depan
mengirimkan bola api.
Jeritan-jeritan menyayat hati pun menguak angka-
sa ketika bola-bola api menerpa tubuh tokoh-tokoh
persilatan.
Mereka yang sial terbungkus api menjerit sejadi-
jadinya. Jeritan mereka itulah yang terdengar oleh De-
wa Arak.
Tokoh-tokoh persilatan itu menghunus senjata
masing-masing dan memberikan perlawanan sekuat
tenaga. Tapi karena memang kemampuan mereka ter-
paut terlalu jauh, perlawanan yang diberikan tak
ubahnya semut-semut menerjang api. Mereka roboh
semua ketika telah dekat!
8
"Terkutuk...!"
Seruan keras bernada geram itu mengiringi lesatan
sesosok bayangan ungu. Sosok ini langsung melesat ke
dalam pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan ali-
ran hitam dengan Setan Pembakar Jasad!
Saat itu di kancah pertarungan hanya tinggal bebe-
rapa gelintir yang masih berdiri tegak dan melakukan
perlawanan. Sisanya telah bergeletakan di tanah dalam
keadaan tak bernyawa.
Begitu melesat masuk ke dalam kancah pertarun-
gan, sosok ungu langsung menyambuti serangan Setan
Pembakar Jasad yang tertuju pada sisa lawan-
lawannya.
Besss...!
Gedoran tangan terbuka Setan Pembakar Jasad di-
papak dengan hantaman tangan terbuka Dewa Arak.
Keduanya segera terhuyung-huyung ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh
tokoh-tokoh persilatan yang tersisa. Mereka berlari se-
cepat mungkin meninggalkan tempat itu, Setan Pem-
bakar Jasad tak mengejar. Perhatian tokoh kejam ini
ditujukan sepenuhnya pada sosok ungu yang bukan
lain Dewa Arak.
"Siapa kau, Anjing Kecil?! Sungguh berani men-
campuri urusanku! Apakah kau ingin buru-buru ting-
gal dl lubang kubur, heh?!" bentak Setan Pembakar
Jasad geram bercampur heran. Orang yang mampu
membuatnya terhuyung ternyata seorang pemuda.
"Namaku Arya. Bukan maksudku lancang men-
campuri urusanmu, Sobat. Aku hanya tak bisa melihat
tindak kekejaman di depanku!" tandas Arya mantap.
Bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dewa Arak tahu Setan Pembakar Jasad seorang
lawan yang teramat tangguh. Benturan tangan yang
terjadi tadi telah menunjukkan kalau tenaga dalam to-
koh Kelompok Penjagal Manusia ini tak berada di ba-
wahnya.
"Sombong sekali ucapanmu, Anjing Buduk!" geram
Setan Pembakar Jasad. "Tahukah kau siapa aku?"
Arya menggelengkan kepala.
"Biarpun aku tahu siapa adanya kau, tak mengu-
rangi tindakanku untuk ikut campur tangan dalam
masalah ini!" jawab Arya tegas.
"Keparat!" Setan Pembakar Jasad hampir tak bisa
menahan rasa murkanya lagi. "Aku adalah Setan Pem-
bakar Jasad, tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia!"
Harapan Setan Pembakar Jasad untuk bisa menci-
utkan nyali Dewa Arak dengan cara memperkenalkan
julukannya ternyata kandas. Pemuda berambut putih
keperakan itu tak merasa takut sama sekali.
"Mengapa anjing buduk ini tak merasa takut. Apa-
kah dia belum pernah mendengar julukan Setan Pem-
bakar Jasad dan Kelompok Penjagal Manusia?" tanya
lelaki jangkung kurus itu dalam hati.
Dugaan Setan Pembakar Jasad tak sepenuhnya
benar. Dewa Arak memang belum pernah mendengar
julukan Setan Pembakar Jasad. Tapi, nama Kelompok
Penjagal Manusia pernah didengarnya. Kelompok Pen-
jagal Manusia beranggotakan tokoh-tokoh sesat berke-
pandaian tinggi.
Setan Pembakar Jasad yang telah sewot langsung
menyerbu Dewa Arak Pukulan bertubi-tubi diarahkan
ke dada. Namun, dengan sekali jejak Dewa Arak me-
layang melewati kepala lawannya. Sebelum mengelak
Arya menyempatkan diri mengerling ke sekitar tempat
itu. Terlihat olehnya mayat Mata Iblis dan Raja Babi.
Sukar dibayangkan betapa tingginya kepandaian Setan
Pembakar Jasad mengingat kedua pentolan tokoh se-
sat itu bisa dikalahkan.
Arya sungguh tak mengira kalau Raja Babi bukan
tewas di tangan Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari
Madura itu tewas di tangan Setan Pembeku Darah.
Dan, Setan Pembeku Darah bersama ketuanya telah
meninggalkan tempat itu. Mereka melesat menuju Gu-
nung Bromo, meninggalkan Setan Pembakar Jasad
yang belum berhasil menghabiskan lawan-lawannya.
Karena itu, Arya hanya menjumpai Setan Pembakar
Jasad.
Sementara itu, begitu berada di atas Dewa Arak
berjumpalitan. Kemudian, tangan kanannya disam-
pokkan ke arah belakang kepala Setan Pembakar Ja-
sad.
Wuttt!
Sampokan Dewa Arak mengenai tempat kosong.
Setan Pembakar Jasad telah lebih dulu merendahkan
tubuhnya. Jari-jari tangan Arya lewat beberapa jari di
atas sasaran.
Kegagalan serangan ini sudah diperhitungan Dewa
Arak. Maka serangan susulan berupa sepakan kaki
kanan ke bawah segera dikirimkan.
Tappp...!
Dewa Arak hampir tak percaya akan apa yang ter-
jadi. Setan Pembakar Jasad membalikkan tubuh dan
mengulurkan tangan, mencekal pergelangan kaki De-
wa Arak.
Begitu berhasil Setan Pembakar Jasad segera me-
nyentakkannya. Arya bertindak tak kalah cepat. Di
saat lawan menyentakkan, dia pun ikut menyentak
pula sambil mengeraskan kemampuan yang membuat
kulit tubuhnya menjadi licin. Dewa Arak berhasil den-
gan usahanya. Pergelangan kakinya dapat dibebaskan
dari cekalan Setan Pembakar Jasad.
Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu
pula Dewa Arak menerjang lawannya. Di saat yang
bersamaan Setan Pembakar Jasad melakukan hal yang
sama. Pertarungan pun tak bisa dielakkan lagi.
Kedua belah pihak tak ragu-ragu lagi mengelua-
rkan seluruh kepandaiannya. Hawa yang luar biasa
panas menyebar ke sekitar tempat itu.
Di waktu pertarungan berlangsung sengit-
sengitnya Dewi Ratna muncul. Gadis ini tak berani ter-
lalu mendekat. Dari jarak beberapa belas tombak dia
memperhatikan jalannya pertarungan. Cepatnya gera-
kan Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad membuat
Dewi Ratna tak bisa melihat dengan jelas gerakan me-
reka.
Dewi Ratna memperhatikan dengan penuh minat.
Dia harus mengakui kalau orang-orang yang tengah
bertarung itu memiliki tingkat kepandaian di atasnya.
"Paman Ardaraja benar. Dunia persilatan dipenuhi
oleh banyak orang sakti. Arya saja telah memiliki ke-
pandaian di atasku. Kalau dia mempunyai maksud
yang tak baik, mungkin aku tak bisa berbuat apa pun
untuk mencegahnya," pikir Dewi Ratna, dengan pera-
saan ngeri.
Di kancah pertarungan kembali Dewa Arak dan Se-
tan Pembakar Jasad berbenturan tangan. Tubuh ke-
dua tokoh itu sama-sama terhuyung. Hal ini membuat
gerakan mereka lambat dan terlihat jelas oleh Dewi
Ratna.
"Dia...!" seru Dewi Ratna dalam hati ketika melihat
Setan Pembakar Jasad. "Dia orang yang telah membu-
nuh Paman Ardaraja!"
Teringat akan hal ini Dewi Ratna tak bisa menahan
perasaan lagi. Sambil mengeluarkan pekikan keras, dia
menghunus pedang dan meluruk ke arah Setan Pem-
bakar Jasad. Campur tangan orang luar itu membuat
Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad terperanjat. Se-
ketika pertarungan terhenti.
"Nona! Jangan...!" teriak Arya berusaha mencegah.
Tingkat kepandaian gadis itu belum bisa dibandingkan
dengan Setan Pembakar Jasad.
Setan Pembakar Jasad memang tak memiliki belas
kasihan sama sekali. Di saat Dewi Ratna tengah melu-
ruk ke arahnya, tinju kanannya dihentakkan. Bola api
merah pun meluruk ke arah gadis itu.
Dewi Ratna langsung pias wajahnya. Kalau seran-
gannya diteruskan, sebelum berhasil mengenai sasa-
ran dirinya akan lebih dulu terhantar bola api merah.
Tapi, dalam kesempatan yang demikian sempit Dewi
Ratna masih bisa menunjukkan kalau dirinya bukan
orang yang mudah dipecundangi. Putri Mundarang ini
membanting tubuhnya ke tanah sehingga lolos dari bo-
la api yang mematikan
"Kiranya kau, wanita sial! Sekarang jangan harap
kau dapat lolos dari tanganku!" seru Setan Pembakar
Jasad sambil melesat ke arah Dewi Ratna.
Tindakan tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia
mengejutkan Dewi Ratna. Gerakannya terlalu cepat.
Yang dapat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan da-
lam bentuk tak jelas.
Rasa gugup membuat Dewi Ratna meneruskan
bantingan tubuhnya dengan gulingan. Dia tak mem-
punyai kesempatan lagi untuk bangkit berdiri dan
menjauhi Setan Pembakar Jasad. Lelaki jangkung ber-
telanjang dada itu tak tinggal diam. Ia berdiri membu-
ru.
Dewa Arak tak bisa berpangku tangan melihat an-
caman terhadap Dewi Ratna. Apalagi setelah diyaki-
ninya gadis itu adalah orang baik-baik. Tanpa me-
nunggu lebih lama Dewa Arak melesat menghadang ge-
rak Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari Kelompok Pen-
jagal Manusia itu tak mempunyai pilihan ketika Dewa
Arak berada di depannya.
Setan Pembakar Jasad menghentakkan kedua tan-
gan terbuka ke arah dada Dewa Arak. Pendekar muda
itu tak diberi kesempatan nampaknya dengan gerakan
yang sama.
Plak, plakkkk...!
Benturan keras dua pasang tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam berhawa panas kali
ini tak membuat tubuh mereka terjengkang ke bela-
kang. Keduanya mengadu tenaga dalam secara lang-
sung dari jarak dekat. Tangan-tangan mereka bertem-
pelan.
Keriuhan yang semula tercipta dari pertarungan
Dewa Arak dengan Setan Pembakar Jasad berganti
dengan keheningan adu tenaga dalam. Kedua belah
pihak sama-sama mengerahkan tenaga dalam sampai
puncaknya. Sebuah pertarungan maut. Selisih tenaga
dalam sedikit saja cukup untuk membuat nyawa yang
unggul terluka parah, dan yang kalah tewas!
Mula-mula tak terjadi apa pun. Tapi beberapa saat
kemudian, wajah kedua lelaki itu mulai merah padam.
Peluh membanjir. Kian lama keadaan kedua tokoh itu
semakin mengkhawatirkan. Dari atas kepala Dewa
Arak maupun Setan Pembakar Jasad mengepul uap
putih.
"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas. "Pertarungan
ini telah mencapai puncaknya. Bukan hanya iblis ja-
hanam itu saja yang akan celaka. Pemuda itu pun de-
mikian. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Aku
harus berbuat sesuatu!"
Dewi Ratna yang tak menginginkan Dewa Arak ce-
laka segera melesat ke arah kancah pertarungan. Pe-
dang terhunus tercekal di tangannya. Gadis ini melesat
tanpa mempedulikan sengatan hawa panas luar biasa
yang menyebar dan pertarungan tenaga dalam antara
Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad.
Wajah Dewi Ratna merah padam dan dipenuhi cu-
curan peluh ketika berhasil mendekati Setan Pemba-
kar Jasad Tanpa banyak bicara pedang di tangannya
dibabatkan ke punggung tokoh Kelompok Penjagal
Manusia itu.
Takkk...!
Bukan hanya pedang saja yang terpental kembali
begitu berbenturan dengan punggung. Tapi tubuh De-
wi Ratna ikut terjengkang ke belakang, lalu terbanting
keras di tanah.
Kejadian yang menimpa Dewi Ratna membuat De-
wa Arak tak bisa bersikap lunak lagi. Kemampuan is-
timewa yang jarang dikeluarkannya dalam penggunaan
ilmu 'Tenaga Sakti Inti Sinar Matahari' kali ini diper-
gunakannya!
Sejak tadi Dewa Arak memang telah menggunakan
tenaga inti mataharinya. Tapi, itu hanya terbatas pada
tenaga yang berada di dalam dirinya. Hampir tak per-
nah Dewa Arak menggunakan tenaga yang berada di
luar dirinya. Tapi sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu menggunakannya. Ia mengambil tenaga
tambahan dari luar. Tenaga matahari! (Untuk jelasnya
mengenai hal tersebut, silakan baca episode "Pedang
Bintang")
Dewa Arak memusatkan perhatian. Ia membuat ge-
rakan di benaknya mengenai pengambilan kekuatan
dari matahari. Dibayangkan seakan-akan kekuatan
yang diambilnya itu berupa garis yang masuk ke dalam
dirinya, terus turun ke dalam dada dan diputarkan di
pusar.
Seketika itu pula Dewa Arak merasakan kekuatan
dahsyat bergolak di pusarnya. Kekuatan yang diyakini
Dewa Arak didapatkannya dari matahari itu segera di-
arahkan sebagian pada kedua tangannya.
"Aaakh...!"
Setan Pembakar Jasad meraung keras bagai bina-
tang disembelih. Tubuhnya melayang deras ke bela-
kang. Dari mulut, hidung, dan telinga tokoh Kelompok
Penjagal Manusia itu mengalir darah segar. Samar-
samar tercium bau hangus daging terbakar.
Tanpa mempedulikan nasib Setan Pembakar Ja-
sad, Arya melesat menghampiri tubuh Dewi Ratna.
Pemuda itu berjongkok di dekatnya untuk memeriksa.
Arya sampai terjingkat kaget ketika Dewi Ratna mem-
buka matanya.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Arya agak gugup.
"Tidak. Aku hanya terjengkang saja. Mungkin se-
bentar tak sadarkan diri akibat tenagaku sendiri yang
membalik. Aahhh...! Keparat-keparat itu ternyata be-
nar-benar lihai! Mungkin benar Paman Buluk Siwu te-
lah berhasil mereka tewaskan, sebagaimana Paman
Ardaraja. Sungguh menyedihkan! Pendekar-Pendekar
Gunung Bromo akhirnya berguguran di tangan mu-
suh-musuhnya. Keturunannya pun hanya tinggal me-
nunggu nasib," keluh Dewi Ratna.
"Maaf, Nona, "ujar Arya sopan, "Dari kawanku aku
pernah mendengar tentang Pendekar-Pendekar Gu-
nung Bromo. Tentang kepandaian dan kegagahan me-
reka. Malah, diceritakan pula tentang musuh bebuyu-
tan pendekar-pendekar itu. Sayang, kawanku tak ber-
cerita lebih jauh tentang musuh besar itu. Apakah mu-
suh bebuyutan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo
adalah Kelompok Penjagal Manusia?"
"Benar," angguk Dewi Ratna. "Orang yang telah
mati di tanganmu itu adalah salah satunya. Paman
Ardaraja tewas di tangan iblis yang satunya lagi, yang
berjuluk Setan Pembeku Darah. Demikian pula dengan
pamanku yang lain. Buluk Siwu namanya."
"Buluk Siwu!" ulang Arya dengan alis berkerut.
"Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Ah ya...!
Nama itu disebutkan oleh Raja Babi terhadap seorang
gadis yang dikejar-kejarnya. Menurut berita yang ku-
dapatkan, gadis itu dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh per-
silatan golongan hitam karena merupakan keturunan
Pendekar Gunung Bromo."
"Apakah gadis Itu berpakaian merah?" terka Dewi
Ratna dengan mata berbinar. Arya mengangguk.
"Gerak-gerik dan sikapnya memperlihatkan keya-
kinan hati, bukan?" kejar Dewi Ratna lagi.
Tanggapan yang diberikan Arya lebih dulu adalah
kerutan sepasang alisnya.
"Aku tak setuju dengan ucapanmu, Nona. Aku te-
lah cukup berbincang-bincang di saat nyawanya sela-
mat dari ancaman Raja Babi dan Mata Iblis. Dari per-
cakapan singkat dengannya, aku cenderung menilai
sikapnya bukan merupakan keyakinan hati yang besar
terhadap kemampuan sendiri, melainkan kesombon-
gan! Sombong karena kepandaian yang dimiliki dan
garis keturunan yang didapatkan!" tandas Arya karena
belum bisa melenyapkan rasa jengkelnya terhadap Wi-
narni.
Dewi Ratna hanya bisa tersenyum kecil melihat ke-
jengkelan Dewa Arak.
"Gadis itu bernama Winarni. Seperti juga aku, dia
pun termasuk keturunan Pendekar-Pendekar Gunung
Bromo."
Kemudian secara singkat Dewi Ratna menceritakan
semua yang berhubungan dengan Pendekar-Pendekar
Gunung Bromo. Juga mengenai sebab-sebab timbul-
nya permusuhan dengan Kelompok Penjagal Manusia.
"Kelompok Penjagal Manusia yang merasa sakit ha-
ti kemudian membalas dendam. Paman Ardaraja tewas
di tangan mereka. Aku lihat sendiri kematiannya. Bah-
kan, Paman Buluk Siwu pun telah berhasil mereka
bunuh. Aku berhasil kabur. Tapi Setan Pembeku Da-
rah sempat mengirimkan pukulan jarak jauh berhawa
dingin luar biasa. Setelah itu aku tak ingat apa-apa la-
gi," Dewi Ratna mengakhiri penjelasannya.
"Hawa dingin yang luar biasa menghentikan kerja
alat-alat tubuhmu, tak terkecuali jantung. Tubuhmu
pun dibawa arus sungai. Melihat dirimu masih bisa
diselamatkan, kutolong kau dengan napas buatan.
Dan..."
"Aku minta maaf atas piciknya pandanganku."
"Aku bisa memakluminya, Ratna," ujar Arya sambil
mengembangkan senyum. "Aku yakin setiap wanita
pun pasti akan melakukan tindakan yang sama bila
mendapat perlakuan seperti itu."
Dewi Ratna menundukkan kepala. Dia merasa ma-
lu. Di samping itu, di dalam hatinya timbul getar-getar
aneh. Getaran yang muncul ketika mengetahui betapa
gagahnya Arya.
"Kurasa kita harus bertindak cepat, Ratna. Aku ya-
kin pemimpin Kelompok Penjagal Manusia yang seka-
rang pasti akan berusaha menemukan bekas pimpi-
nannya. Kalau pimpinan kelompok itu, Raja Setan,
berhasil menemukan Winarni maka keadaan akan
menjadi kacau!"
"Kalau begitu kita harus segera pergi ke puncak
Gunung Bromo!"
"Tentu saja!"
***
Dua sosok berkelebatan cepat menuju puncak Gu-
nung Bromo. Gerakan kedua sosok itu demikian cepat.
Berlompatan dari satu batu ke batu lainnya.
Dua sosok itu terdiri dari lelaki dan wanita. Yang
lelaki memiliki tubuh tinggi besar. Sedangkan yang
wanita cantik dan mengenakan pakaian merah. Dua
sosok ini adalah Raja Setan atau pimpinan Kelompok
Penjagal Manusia, dan Winarni!
"Tidak bisakah kau bergerak lebih cepat lagi?" den-
gus Raja Setan, tak sabar mengikuti gerakan Winarni
yang dirasakannya terlalu lambat. "Awas kalau kau be-
rani mempermainkan ku! Akan ku jarah tubuhmu! Ku
permainkan!"
Wajah Winarni berubah. Tampak jelas kengerian
membias di wajahnya. Terbayang kembali kejadian
yang dialaminya sampai akhirnya bisa bersama-sama
dengan Raja Setan.
Gadis ini tengah duduk pada sebatang pohon besar
berdaun rindang. Dia beristirahat sejenak untuk
menghilangkan rasa lelahnya. Winarni telah berlari ri-
buan tombak, sejak berpisah dengan Dewa Arak di
persimpangan jalan.
Dengan punggung bersandar pada batang pohon,
Winarni memejamkan sepasang matanya. Winarni tak
tahu ketika di depannya telah berdiri dua sosok tubuh.
Mereka adalah Raja Setan dan Setan Pembeku Darah.
Raja Setan tak sabar menunggu Winarni membuka
matanya. Tokoh sesat ini melancarkan serangan den-
gan mempergunakan sinar kebiruan yang keluar dari
matanya untuk menghantam batang pohon tepat di
atas kepala Winarni.
Brakkk...!
Batang pohon itu hancur berantakan dan tumbang
di tanah memperdengarkan bunyi hiruk-pikuk. Tapi,
Winarni sudah tak berada di situ lagi. Gadis ini sudah
lebih dulu menggulingkan tubuh meninggalkan tem-
patnya.
"Kau putri Buluk Siwu bukan?!" tanya Raja Setan
dengan suara mengguntur.
Winarni benar-benar memiliki ketabahan hati yang
besar. Sebagian besar tokoh persilatan akan segera
memberikan jawaban bila mendapat pertanyaan dari
Raja Setan. Wibawa tokoh ini terlalu mengiriskan. Tapi
Winarni malah mendengus dan membuang ludah.
Raja Setan menggeram mendapat tanggapan yang
tak diharapkan. Tokoh tinggi besar ini murka bukan
main. Dia yang selalu dihormati dan ditakuti, Sekarang
mendapat hinaan dari seorang gadis muda! Tangannya
pun diulurkan dan bergerak seperti mencengkeram.
Terdengar bunyi kain robek. Pakaian Winarni di bagian
dada koyak. Tampaklah apa yang tersembunyi di ba-
liknya. Salah satu dari sepasang bukit kembar me-
nyembul keluar. Wajah gadis itu langsung pias.
"Kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku, selu-
ruh pakaianmu akan ku koyak-koyak. Bukan hanya
itu saja. Kau pun akan kuberikan pada anak buahku
agar diperkosa sampai mati! Nasibmu ditentukan oleh
sikapmu terhadap pertanyaanku!" gertak Raja Setan
yang tahu betul cara memberikan ancaman jitu.
"Aku berjanji akan memberikan jawaban yang kau
inginkan. Ku mohon kau bersedia memberikan kain
untuk menutupi bagian tubuhku yang terbuka," pinta
Winarni dengan suara gemetar. Tak terlihat lagi ke-
sombongan yang semula terlihat jelas pada sikapnya.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Dan jangan coba
mencari penyakit," ujar Raja Setan setelah memenuhi
permintaan Winarni.
"Aku memang putri dari Buluk Siwu," jawab Wi-
narni hati-hati. Khawatir sikapnya akan mengundang
kemarahan Raja Setan.
"Berarti kau keturunan dari tokoh-tokoh yang ter-
kenal dengan julukan Tiga Pendekar Gunung Bromo,"
Raja Setan mengangguk-anggukkan kepala. "Kau tentu
pernah mendengar cerita ayahmu mengenai kami, to-
koh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia?"
"Benar," Winarni mengangguk cepat. "Menurut ce-
rita Ayah, antara Kelompok Penjagal Manusia dengan
Tiga Pendekar Gunung Bromo terjadi permusuhan.
Ayah bersama dua saudaranya bentrok dengan pimpi-
nan Kelompok Penjagal Manusia yaitu Iblis Penghisap
Darah yang berjuluk Biang Setan. Tokoh itu lihai seka-
li dan tak dapat dibunuh. Namun, Ayah dan saudara-
saudaranya berhasil melumpuhkannya dengan sebuah
pusaka. Pusaka itu membuat Biang Setan kehilangan
semua tenaganya. Ayah dan saudara-saudaranya ke-
mudian mengurungnya di puncak Gunung Bromo."
"Kemudian ayahmu dan dua saudaramu itu me-
nyerbu markas Kelompok Penjagal Manusia. Memban-
tai semua orang yang ada di situ tanpa kenal ampun.
Hanya beberapa yang berhasil selamat. Inilah kami
semua yang berhasil selamat," sambung Raja Setan
tanpa menyembunyikan rasa sakit hatinya yang besar.
"Bukankah demikian?"
"Benar," jawab Winarni singkat.
"Sekarang aku ingin kau membawaku ke tempat
tahanan Biang Setan. Aku ingin kau membuang pusa-
ka yang membuatnya kehilangan tenaga. Ingat, aku
tak ingin kau berpikir terlalu lama. Kau sendiri tahu
akibatnya pada dirimu bila tak setuju!"
"Aku bersedia," jawab Winarni tanpa sempat berpi-
kir panjang lagi. Ancaman yang mengintai terlalu me-
nakutkan untuknya. Dia tak berani menghadapi.
Sampai di sini ingatan Winarni buyar. Gadis ini
kembali memusatkan perhatian pada perjalanannya.
Hal itu harus dilakukan kalau ia masih ingin sayang
pada nyawa. Jalan menuju tempat tahanan Biang Se-
tan penuh ancaman maut! Winarni masih ingat jalan-
jalan yang aman, kendati telah lima tahun tak mengin-
jak Gunung Bromo. Dulu sewaktu usianya masih bela-
san, ayahnya sering mengajaknya ke tempat itu.
Winarni juga masih ingat semua tempat-tempat
berbahaya. Sekarang dia melihat salah satu dari tem-
pat-tempat itu. Berupa hamparan padang pasir yang
terlihat bening. Winarni mulai berpikir menggunakan
tempat itu untuk melepaskan diri dari ancaman Raja
Setan.
Semakin dekat dengan padang pasir semakin te-
gang perasaan Winarni. Gadis ini sampai khawatir ka-
lau-kalau Raja Setan mengetahui kegalauan hatinya
dari bunyi detak jantungnya.
"Apakah harus kulakukan rencanaku menjebak ib-
lis ini? Tapi, bagaimana kalau gagal? Kelihatannya iblis
jelek ini terlalu sakti untuk dapat dijebak begitu saja?
Tapi kalau tak dipergunakan, bukan kesempatan na-
manya! Siapa tahu jebakan itu akan berhasil?" pikir
Winarni galau.
Bloss...!
Raja Setan tak kuasa untuk menahan pekik kaget-
nya. Kedua kakinya amblas ke dalam hamparan pasir
sampai sebatas betis. Pasir yang diinjaknya ternyata
empuk seperti bubur!
Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, Raja Setan
merasakan kekuatan aneh menarik kakinya terus ke
dalam hamparan pasir. Sementara Winarni terus saja
melesat tanpa terjadi apa pun.
"Lumpur hidup...!" desis Raja Setan geram. Tokoh
Kelompok Penjagal Manusia ini murka karena merasa
ditipu. Winarni sengaja menjebaknya. Terbukti, gadis
itu sama sekali tak peduli akan nasibnya.
Raja Setan bersikap tenang kendati tubuhnya terus
tertarik ke dalam hamparan pasir. Bahkan, pimpinan
tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini masih sempat
memperhatikan semua tingkah Winarni.
Raja Setan cukup cerdik. Dia tahu ada tempat-
tempat yang aman untuk dipijak dengan kaki. Dan,
Winarni menggunakan tempat yang aman itu. Dengan
mempergunakan benaknya, Raja Setan mencatat tem-
pat-tempat itu. Dengan goyangan kepalanya, dia mem-
buat beberapa helai rambutnya terbang dan mendarat
di tempat-tempat yang dijadikan pijakan kaki Winarni.
Tindakan yang dilakukan Raja Setan membuat tu-
buhnya terbenam semakin cepat. Sekarang bagian tu-
buh yang tenggelam mencapai pinggang. Kendati de-
mikian, Raja Setan tak merasa gugup
Tokoh puncak Kelompok Penjagal Manusia ini me-
narik napas dalam-dalam. Kedua telapak tangannya
yang terbuka dipertemukan di depan dada. Sesaat ke-
mudian, tubuhnya berputar. Mula-mula lambat, tapi
semakin lama semakin cepat. Lumpur pun berpercikan
ke sana kemari.
Permukaan lumpur hidup bergolak hebat terbawa
putaran tubuh Raja Setan. Putaran tubuh itu bergerak
ke atas sedikit demi sedikit. Tubuh Raja Setan terang-
kat naik.
Ketika tubuh yang terbenam dalam lumpur hidup
tinggal sebetis, Raja Setan membarengi putaran tu-
buhnya dengan lompatan ke arah tempat-tempat yang
telah diberi tanda dengan rambutnya.
Jliggg!
Raja Setan menghembuskan napas lega. Kakinya
mendarat di permukaan pasir tanpa terbenam. Tokoh
yang mengiriskan ini menggeram seraya menggerakkan
tubuhnya sedemikian rupa, seperti seekor ayam mem-
bersihkan tubuhnya dari debu. Sesaat kemudian,
lumpur yang menempel di sekujur tubuhnya berperci-
kan jatuh. Dalam waktu yang demikian singkat Raja
Setan telah kembali seperti sedia kala, seperti selesai
mandi dan mengeringkan tubuh!
Dengan sepasang mata seperti mengeluarkan api
Raja Setan menatap Winarni. Winarni mengetahui Raja
Setan berhasil lolos dari jebakannya. Gadis ini tahu
tak ada gunanya lagi terus berlari. Telah dilihat tanda-
tanda yang dibuat Raja Setan pada tempat-tempat di
mana kaki harus berpijak. Winarni sadar kalau terus
melarikan diri akan tertangkap juga. Jarak antara me-
reka berdua belum terlalu jauh. Itulah sebabnya Wi-
narni menghentikan lari dan membalikkan tubuh me-
nunggu kedatangan Raja Setan. Bahkan, gadis ini
memberi petunjuk di mana-seharusnya Raja Setan
menjejakkan kaki. Kalau saja tokoh sesat itu belum
memberi tanda, Winarni tak terlalu bodoh untuk me-
mutuskan menyerah!
Tak sampai sepuluh pijakan Raja Setan telah bera-
da di depan Winarni. Gadis itu menabah-nabahkan ha-
ti dengan tetap menatap wajah Raja Setan.
"Maafkan aku, Raja Setan. Bukan maksudku un-
tuk...."
Ucapan Winarni terhenti di tengah jalan. Tangan
Raja Setan dilambaikan padanya. Tubuh gadis berpa-
kaian merah itu tertarik ke arah Raja Setan secara ke-
ras. Raja Setan menyambut tubuh si gadis dengan ke-
dua tangan terkembang dan merengkuhnya dalam pe-
lukan.
Pelukan Raja Setan erat sekali. Winarni hampir tak
bisa bernapas. Pelukan itu saja sudah membuat se-
mangat Winarni seperti lenyap. Apalagi ketika Raja Se-
tan menciuminya dengan buas.
Tokoh yang kelihatannya tak menyukai wanita ini
ternyata memiliki nafsu yang besar. Dia menciumi se-
kujur wajah Winarni penuh nafsu. Buas dan liar! Bah-
kan, bibir Winarni yang indah dikulumnya habis-
habisan. Mulut Raja Setan lalu berpindah ke leher Wi-
narni. Tangannya yang sebelah menjelajah bagian-
bagian tubuh Winarni. Winarni meronta-ronta ngeri.
"Hentikan, Raja Setan! Hentikan! Aku tak akan
mengulangi perbuatanku...," rintih Winarni dengan su-
ara memelas.
Raja Setan mendengarnya dengan jelas. Tapi, tokoh
sesat ini tak mempedulikan. Dia hendak menumpah-
kan seluruh kemarahannya pada Winarni. Dia pun te-
lah dimabuk nafsunya sendiri!
"Hentikan, Raja Setan! Kalau tidak, aku tak akan
mau mengantarmu ke tempat hukuman Biang Setan!
Toh, aku bisa bunuh diri setelah kau menjarah tubuh-
ku!" pekik Winarni di tengah keputus-asaan nya.
Ancaman Winarni ternyata manjur juga. Raja Setan
seperti baru bangun dari mimpi buruk. Pelampiasan
nafsunya dihentikan. Malah, tubuh gadis itu didorong-
nya hingga terbanting ke tanah. Sepasang mata tokoh
sesat ini tampak memerah.
"Kali ini kau kuampuni. Tapi ingat, setelah kali ini
tak ada kelonggaran lagi. Kau akan kujadikan mainan,
dan tak akan kubiarkan membunuh diri! Camkan itu!"
desis Raja Setan dengan suara bergetar.
Winarni tak sanggup berkata-kata. Dia masih terla-
lu ngeri mengingat peristiwa yang hampir saja menim-
panya. Perutnya terasa mual. Kalau tak mengingat Ra-
ja Setan bisa tersinggung. Winarni tak akan menahan
isi perutnya yang ingin keluar.
"Mari kita lanjutkan perjalanan!" sentak Raja Setan
keras.
Winarni tak berani bergerak ayal-ayalan. Dikerah-
kan seluruh ilmu lari cepatnya untuk bisa mengim-
bangi lari Raja Setan!
Gundukan batu yang jauh lebih besar hancur lebur
menjadi kepingan ketika Raja Setan menyorot dengan
sinar matanya. Tampaklah sebuah lubang menganga.
Kiranya, gundukan batu itu menjadi penutup gua.
Dengan setengah menyeret Winarni, Raja Setan
memasuki gua di depannya. Ternyata gua itu mempu-
nyai lorong yang cukup panjang, sebelum berakhir di
ruangan yang lebih luas.
"Raja Setan...!" seru Sosok yang berada di atas se-
buah batu.
Sosok yang tengah duduk ini bergegas bangkit. So-
sok ini bertubuh kecil kurus. Potongan tubuhnya men-
gingatkan orang akan seekor kera. Inilah tokoh sesat
yang amat terkenal. Biang Setan!
"Matamu masih awas juga rupanya, Biang Setan!"
dengus Raja Setan tanpa kesan ramah sama sekali.
Pimpinan tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini
menatap pimpinannya terdahulu yang tampak kebin-
gungan. Raja Setan tak peduli. Winarni dicampakkan
begitu saja ke samping.
"Kiranya aku salah menduga...," Biang Setan men-
gangguk-anggukkan kepala. Dia bisa merasakan
adanya ancaman terhadap keselamatannya. "Kau da-
tang tidak dengan niat untuk menyelamatkanku, bu-
kan?"
"Syukur kau mengerti, Biang Setan Ompong!" sa-
hut Raja Setan sinis, "Apa untungnya kutolong dirimu.
Kedudukanku akan lenyap. Kau lagi yang akan menja-
di pimpinan. Dan aku menjadi pesuruh mu. Karena ku
tahu kepandaianmu masih di atasku! Aku tak mau
bertindak bodoh dengan membebaskan mu, Biang Se-
tan Ompong!"
"Kalau begitu..., untuk apa kau kemari?!" tanya Bi-
ang Setan kendati telah bisa memperkirakan maksud
bekas anak buahnya.
"Sederhana saja. Aku ingin melenyapkanmu sela-
ma-lamanya. Agar kau tak menjadi ancaman bagiku di
waktu nanti. Kaulah satu-satunya yang tahu kelema-
han ku. Sekarang terimalah kematianmu, Biang Setan
Ompong!"
Raja Setan mengirimkan serangan berupa larik si-
nar kebiruan. Dalam keadaan biasa Biang Setan tak
akan mengalami kesulitan memapak serangan itu. Ta-
pi, sekarang kekuatannya lenyap. Yang dimiliki bekas
tokoh datuk sesat ini hanya kekuatan manusia biasa.
Menghadapi serangan yang meluncur dalam kecepatan
yang menakjubkan itu, dia tak mampu berbuat apa
pun.
Di saat-saat yang mengkhawatirkan itu angin ber-
hembus keras ke arah Biang Setan. Angin yang mam-
pu membuat tubuh Biang Setan terpental dan tergul-
ing-guling.
Raja Setan menggeram mengetahui serangannya
kandas. Seseorang telah menolong Biang Setan dengan
mempergunakan dorongan angin pukulan. Pimpinan
Kelompok Penjagal Manusia ini juga tahu kalau peno-
long itu berada di belakangnya. Buru-buru tubuhnya
dibalikkan.
Di depan Raja Setan telah berdiri Dewa Arak dan
Dewi Ratna. Dewi Ratna yang tahu kalau lelaki kokoh
itu memiliki kepandaian menakjubkan, segera me-
nyingkir.
"Kurasa tindakan kejimu harus segera dihentikan,
Raja Setan!" tandas Arya mantap. "Kau harus menyu-
sul Setan Pembakar Jasad dan Setan Pembeku Darah
yang telah lebih dulu pergi ke akhirat!"
"Kaulah yang akan menemui malaikat maut, pe-
muda sombong!"
Raja Setan menjejakkan kakinya ke tanah. Tak ke-
lihatan dihentakkan. Malah, seperti diletakkan pelan-
pelan. Namun akibatnya tanah di dalam ruangan itu
bergetar hebat! Yang mengerikan adalah ketika tanah
retak memanjang menuju Dewa Arak.
Retaken tanah itu tak hanya memanjang, tapi juga
melebar. Sedikit demi sedikit terjadinya. Seiring den-
gan itu pula dari atap gua berjatuhan debu-debu.
Dinding-dinding gua bergetar hebat. Rubuhnya gua
hanya menunggu waktu saja.
Dewa Arak adalah seseorang yang kenyang penga-
laman. Dia tahu dirinya bisa masuk ke dalam tanah.
Arya menjejakkan kedua kakinya bergantian. Ta-
nah amblas sampai sedalam mata kaki. Dan, jejakan
kedua kaki Dewa Arak membuat retakan pada tanah
merapat kembali! Tanah retak yang semula berjarak
sejengkal dari Arya perlahan-lahan menjauh menjadi
tiga jengkal.
Raja Setan menggeram. Getaran pada dinding dan
atap gua semakin hebat. Batu-batu kecil serta debu
berjatuhan. Winarni dan Dewi Ratna yang tak ingin
terkubur hidup-hidup segera melesat keluar. Dewi
Ratna tak lupa menyambar tubuh Biang Setan dan
membawanya keluar gua.
Lawan ternyata memiliki tenaga dalam yang jauh
lebih kuat! Kalau diperturutkan hati terus melawan,
Arya akan celaka. Pemuda ini segera melesat keluar
gua.
Bumi bagaikan dilanda kiamat. Perginya Arya
membuat retakan pada tanah kembali melebar dan
memanjang secara cepat. Atap dan dinding gua lang-
sung ambruk. Beruntung Dewa Arak telah berhasil
melesat keluar.
"Hhh...!"
Arya melepas napas lega ketika menatap gundukan
tanah yang mengepulkan debu tebal. Pemuda ini ber-
syukur dalam hati karena berhasil lolos. Sukar di-
bayangkan bagaimana nasibnya apabila tidak berhasil
keluar. Dia akan terkubur hidup-hidup di dalam gua.
Kendati demikian, ada perasaan sangsi di hati Arya.
Benarkah Raja Setan telah binasa? Sulit untuk me-
mastikan kebenarannya! Tokoh itu begitu sakti untuk
tewas, begitu mudah dengan terkubur di dalam gua.
"Berakhir sudah riwayat tokoh yang mengerikan
itu!" desah Winarni gembira seraya mengerling ke arah
Dewa Arak.
Arya hanya menggumam perlahan. Dia segera te-
ringat akan janjinya dengan Kertapati beberapa waktu
yang lalu.
"Kalau kau berhasil menyelesaikan persoalan itu,
segera kunjungi aku, Dewa Arak. Akan kubuktikan
padamu kalau aku pandai bermain dadu. He he he...!
Kau bersedia kembali kemari, Arya?"
"Bersedia, Kek," jawab Arya mantap.
"Kalau begitu segeralah selesaikan urusan itu se-
cepatnya! Ajaklah Penyair Cengeng untuk ikut ambil
bagian dalam permainan ini!"
Dewa Arak tanpa sadar tersenyum sendiri. Dia tak
tahu kalau dua gadis yang berdiri di dekatnya tengah
memperhatikan. Kedua wanita yang sama-sama cantik
ini merasa tertarik pada Arya.
Pemuda itu sendiri tak tahu-menahu dengan gejo-
lak perasaan Winarni dan Dewi Ratna. Arya masih si-
buk memikirkan janjinya terhadap Kertapati alias
Eyang Nararya.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Empu Jangkar Bumi
Emoticon