1
Malam telah datang menjelang. Kegelapan pun mu-
lai menyelimuti persada. Suasana malam ini terasa
berbeda dengan sebelumnya. Tidak terdengar suara
kukuk burung hantu, kepak kelelawar, serta kerik
Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup me-
nyeramkan. Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah
keadaan malam ini. Langit merah membara seperti
terbakar! Tidak ada awan, bulan ataupun bintang di
angkasa raya Seluruh penjuru langit berwarna merah.
Keadaan ini sungguh berbeda dengan biasanya.
Peristiwa aneh ini membuat orang-orang yang me-
nyaksikan kaget bercampur ngeri. Orang-arang yang
tidak mengerti ilmu silat buru-buru masuk ke dalam
rumah lalu ditutupnya pintu dan jendela rapat-rapat.
Mereka semua merasa yakin keadaan alam yang demi-
kian suatu pertanda akan terjadi sesuatu yang menge-
rikan.
Berbeda dengan para penduduk desa itu, orang-
orang yang merasa memiliki ilmu bela diri tak bersem-
bunyi. Di antara mereka adalah tiga sosok tubuh yang
kini tengah berdiri di halaman rumah dengan kepala
menengadah menatap langit
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ayah?" tanya salah
satu dari ketiga sosok itu. Dia seorang gadis berusia
dua puluh tahun. Tubuhnya padat ramping dengan le-
kuk-lekuk yang menawan. Wajahnya cantik jelita, ber-
kulit halus dan putih.
"Aku juga tak mengerti, Wati," jawab sosok yang
dipanggil ayah. Sang ayah adalah seorang kakek tinggi
kurus berjenggot putih panjang mirip kambing. Sang-
gara namanya. "Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat
pasti akan terjadi," lanjut Sanggara.
Gadis cantik yang bernama lengkap Kusumawati
terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
"Kejadian apa, Ayah?" tanya Kusumawati kemu-
dian.
"Sabarlah, Wati," sergah sosok yang satu lagi. Seo-
rang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun
dan berpakaian putih.
"Maafkan aku, Kak Angruna," ucap Kusumawati
pelan sambil menundukkan kepala.
Angruna, pemuda bertubuh kekar itu, adalah ka-
kak kandung dari Kusumawati. Permintaan maaf
adiknya disambutnya dengan senyum penuh penger-
tian. Sanggara membiarkan saja keributan kecil itu
terjadi. Hal seperti itu memang sudah biasa. Meski ke-
duanya saling akrab satu sama lain, tapi perselisihan
kecil juga kadang terjadi. Itulah sebabnya, kakek ini
tak mau ikut campur.
"Kurasa...," ucap Sanggara sambil mengerutkan
kening, setelah berdiam diri beberapa saat lamanya.
"Kejadian seperti ini bukan disebabkan dari dunia kita.
Aku lebih condong menduga hal-hal seperti ini berasal
dari alam gaib."
"Apa yang kau katakan itu benar, Sanggara."
Hampir berbarengan Sanggara, Angruna, dan Ku-
sumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Ta-
hu-tahu saja, tak jauh dari tempat mereka berada te-
lah berdiri seorang kakek tinggi besar. Cambang bauk
berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya.
Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, kemu-
dian dibungkus dengan jubah hitam kelam.
"Ah...! Kiranya Setyaki...." sambung Sanggara. "Apa
maksud ucapanmu, Adi Setyaki?"
Kakek tinggi besar yang dipanggil Setyaki tidak se-
gera menjawab. Kakinya melangkah menghampiri
Sanggara.
"Dugaan yang kau katakan itu benar, Sanggara,"
tegas Setyaki.
Angruna dan Kusumawati mengerutkan alis meli-
hat Setyaki. Keduanya merasa seram melihat penampi-
lan Setyaki yang mengiriskan. Kendati demikian, ka-
kak beradik ini tak berkata apa-apa. Ayah mereka te-
lah bercerita cukup banyak tentang kakek itu.
Setyaki adalah kawan akrab Sanggara. Sejak muda
mereka sudah bersahabat Setyaki dan Sanggara per-
nah belajar silat dari guru yang sama, sebelum akhir-
nya mereka berpisah karena Setyaki lebih menyukai
ilmu-ilmu gaib. Puluhan tahun mereka berpisah. Me-
reka bertemu lagi sekitar tiga tahun lalu. Namun, baru
kali ini Setyaki mengunjungi Sanggara.
"Maksudmu..., semua keanehan alam ini karena
hal-hal gaib?" Sanggara menegaskan.
"Benar," Setyaki menganggukkan kepala. "Ada hal
yang luar biasa terjadi di mayapada ini sehingga me-
maksaku keluar dari tempat tinggalku."
"Ah...!" Sanggara berseru kaget Kakek berjenggot
kambing ini baru teringat kalau Setyaki tinggal agak
jauh dari tempat tinggalnya. Meski memang berada di
gunung yang sama, tapi di lereng yang berlawanan.
Keberadaannya di sini jelas karena adanya urusan
yang amat penting. Padahal, kakek itu sudah berkein-
ginan tak akan terjun lagi ke dunia ramai.
"Bisa kau ceritakan lebih jelas, Setyaki?" pinta
Sanggara penuh perasaan tertarik.
"Hhh...!"
Setyaki menghela napas berat. Sementara Sangga-
ra dan anak-anaknya menunggu keluarnya ucapan da-
ri mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tak men-
ceritakannya. Agar kalian tak ikut menjadi ngeri kare-
nanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang dikelua-
rkan Setyaki.
"Aku tak setuju dengan pendapatmu, Setyaki,"
bantah Sanggara. "Menurut pendapatku, lebih baik
kau katakan saja apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Dengan begitu mungkin kita bisa bersiap-siap untuk
menghadapinya."
Setyaki menghembuskan napas kuat-kuat setelah
terlebih dulu menariknya dalam-dalam.
"Sejak tiga hari yang lalu aku selalu merasa gelisah
tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu tak enak," Setyaki
memulai ceritanya dengan suara kering dan getir.
Sanggara, Angruna, dan Kusumawati mendengar-
kannya dengan sabar. Mereka tak ingin menyelak,
kendati Setyaki berhenti beberapa saat
"Dengan kemampuan yang kumiliki kucoba menca-
ri sebab kegelisahanku. Tapi hasilnya peralatan yang
kugunakan untuk menyelidiki porak-poranda. Tentu
saja hal ini membuatku kaget karena peristiwa seperti
ini tak pernah ku alami sebelumnya."
Setyaki menghentikan ceritanya lagi. Diperhati-
kannya satu persatu wajah-wajah yang berada di seke-
lilingnya. Wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu, di
samping rasa tegang yang tersirat jelas.
"Meskipun hasil yang ku peroleh mengejutkan, tapi
aku tidak kapok. Aku malah merasa ditantang," lanjut
Setyaki. "Baru ketika usahaku yang kedua juga men-
galami kegagalan, aku tak berani mencobanya lagi.
Terlalu dahsyat akibat yang kuterima. Tidak hanya pe-
ralatan ku yang hancur tapi tubuhku juga terpental ke
belakang...."
"Lalu dari mana kau tahu kalau penyebab keane-
han ini dari alam gaib?" kejar Sanggara tak puas.
"Hasil yang ku peroleh dari usahaku," jelas Setyaki.
"Meski memang tak memuaskan, tapi cukup meyakin-
kan aku kalau hal itu disebabkan dari ilmu gaib. Dan
menilik dari kekuatannya, aku merasa yakin bukan
manusia biasa yang menjadi penyebabnya...."
"Maksudmu siluman?" tanya Sanggara meminta
penegasan dengan suara seperti tercekik di tenggoro-
kan.
"Kira-kira demikian, Sanggara."
Sanggara tidak memberikan tanggapan lagi. Dalam
hal ilmu gaib Setyaki memang ahlinya. Dia sendiri tak
tahu apa-apa.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Setyaki?"
tanya Sanggara kebingungan.
Ucapan kakek berjenggot kambing memecahkan
keheningan yang menyelimuti tempat itu. Keheningan
yang menegangkan hati.
Setyaki terlihat menggelengkan kepala.
"Aku pun tak tahu, Sanggara. Meski demikian aku
akan tetap berusaha mencari tahu, sebelum nyawaku
keburu melayang."
"Apa maksudmu, Setyaki? Siapa yang mengancam
mu?!"
"Tak ada yang mengancamku, Sanggara," jawab Se-
tyaki sambil tersenyum pahit. "Hanya saja, aku merasa
yakin bahaya akan datang dari alam gaib. Sesuatu
yang menjadi penyebab keanehan alam ini pasti tahu
aku telah berusaha menyelidikinya. Aku akan dica-
rinya untuk dilenyapkan. Karena itu, sebelum terjadi
aku harus menyingkap rahasia ini."
Sanggara terdiam. Campur tangan Setyaki memang
bisa jadi telah diketahui oleh sesuatu dari alam gaib
itu. Campur tangan itu pasti tak menyenangkannya.
"Tidak adakah jalan untuk mengetahui bahaya
yang mengancam, Setyaki? Jika memang mencegahnya
merupakan hal yang tak mungkin, dengan mengetahui
berupa apakah bahaya itu kita akan lebih siap meng-
hadapinya."
"Karena itulah aku datang menjumpai mu, Sangga-
ra. Aku khawatir akan lebih dulu tewas sebelum mem-
beritahukan mu. Kau satu-satunya sahabatku. Nah,
dengarkan baik-baik. Juga kalian, Anak-anak Muda,"
ucap Setyaki seraya menatap Angruna dan Kusuma-
wati
Putra-putri Sanggara itu buru-buru menundukkan
kepala ketika bertemu pandang dengan Setyaki. Mere-
ka tak kuat menahan rasa ngeri melihat sepasang ma-
ta yang memiliki sinar aneh itu. Sinar dari orang yang
memiliki ilmu gaib tinggi.
"Setelah gagal mengungkapkan rahasia keanehan
alam itu, lalu kucoba mengalihkan usaha. Ku kerah-
kan seluruh kemampuan untuk mencari orang-orang
yang bisa mengungkapkan rahasia itu. Kali ini aku
mujur. Aku berhasil mengetahuinya."
"Syukurlah...!" desah Sanggara dengan wajah ber-
seri-seri, karena merasa lega.
"Jangan bergembira dulu, Sanggara. Bukan tak
mungkin orang-orang yang kumaksudkan ini tak akan
pernah kau temukan. Hhh...! Baru kali ini aku me-
nyesal karena jarang terjun ke dunia persilatan. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengetahui nama atau julu-
kan orang-orang ini."
"Bukankah kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" hi-
bur Sanggara.
"Itu memang benar, Sanggara," masih terasa nada
keluhan dalam ucapan Setyaki. "Orang yang pertama
kali muncul adalah seorang kakek kecil bertelanjang
dada dan hanya mengenakan celana pendek kumal."
Sanggara mengernyitkan kening. Dia berpikir un-
tuk mengingat-ingat. Barangkali saja pernah melihat
atau mendengar tentang tokoh persilatan yang memili-
ki ciri-ciri demikian. Tapi sampai dahinya berkeringat,
dia tak mampu menemukannya.
"Rupanya tokoh-tokoh itu termasuk orang seperti-
ku. Gemar bersembunyi juga. Kalau tidak, mana
mungkin kau yang berpengalaman luas tidak menge-
tahuinya," ujar Setyaki agak kecewa melihat ketidak-
tahuan Sanggara.
"Mungkinkah tokoh itu bukan seorang tokoh persi-
latan, Kek?" Kusumawati yang sejak tadi diam membe-
ranikan diri angkat bicara.
"Tokoh yang ku maksud bukan hanya orang persi-
latan saja, Nona Kecil. Dia seorang tokoh berilmu san-
gat tinggi. Sorot sepasang matanya yang tajam berkilat
menandakan kuatnya tenaga dalam yang dimiliki!"
tandas Setyaki.
"Barangkali saja dia merupakan tokoh sepertimu,
Kek?" Angruna membela adiknya. "Tokoh yang tak ter-
jun ke dunia persilatan. Meski memiliki kepandaian
tinggi dia cenderung menyembunyikan diri"
"Jawabanmu lebih bagus! Tapi itu tidak menjadi
alasan untuk berputus asa mencarinya. Sekarang ku-
beritahukan tokoh yang lain. Yang kedua seorang pe-
muda berambut putih keperakan dan berpakaian un-
gu. Kulihat ada guci perak tergantung di punggung-
nya."
"Dia pasti Dewa Arak!" sergah Kusumawati
"Dewa Arak?!" Setyaki mengernyitkan kening.
"Benar, Setyaki," Sanggara ikut memberikan jawa-
ban. "Seorang pendekar muda yang belakangan ini
menggemparkan dunia persilatan dengan tindakan-
tindakannya yang luar biasa."
"Bagus, kalau kau mengetahuinya Dengan demi-
kian lebih mudah untuk mencarinya. Kini sudah saat-
nya bagiku untuk mohon diri. Yang perlu kalian keta-
hui adalah aku tak akan tinggal diam. Selama nyawa-
ku masih melekat di tubuh, dua tokoh itu akan kuca-
ri!"
Setyaki kemudian melesat meninggalkan tempat
itu. Sanggara, Angruna, dan Kusumawati hanya mena-
tap kepergiannya.
"Sungguh tak kusangka tokoh yang selama ini
Ayah ceritakan sebagai orang yang tak pernah peduli
pada dunia persilatan ternyata mempunyai perhatian
penuh terhadap malapetaka yang akan menimpa per-
sada ini," gumam Kusumawati.
"Kau salah menduga. Wati," ralat Sanggara. "Dia
bersusah payah melakukan hal itu bukan demi orang
lain. Tapi karena rasa ingin tahunya akan kejadian
langka ini. Sebagai seorang yang mengerti ilmu-ilmu
gaib, kejadian aneh seperti ini bagai tantangan terha-
dapnya!"
Kusumawati mengernyitkan kening, bingung. Tapi
Angruna tidak. Pemuda itu bisa merasakan kebenaran
yang terkandung dalam ucapan ayahnya.
"Wati, Angruna, kurasa sudah tiba saatnya bagi ki-
ta menyumbangkan kemampuan yang kita miliki un-
tuk keamanan dunia persilatan," ajak Sanggara kemu-
dian pada anak-anaknya.
-k-k-k
"Hooop...!"
Seorang lelaki bertubuh kekar dan berpakaian lu-
suh menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu
gerbang sebuah bangunan megah. Tindakannya mem-
buat kuda coklat yang ditunggangi menghentikan
langkah. Dengan gerakan yang indah dan manis lelaki
berkumis, cambang, dan jenggot kasar tak teratur itu
melompat dari atas punggung kuda. Ringan tanpa sua-
ra kedua kakinya menjejak tanah.
Tingkah lelaki itu membuat dua orang berseragam
prajurit yang menjaga pintu gerbang memperhatikan
dengan penuh rasa curiga. Apalagi ketika melihat lela-
ki lusuh itu menghampiri pintu gerbang. Serentak ke-
duanya bergerak menghadang seraya meraba gagang
golok masing-masing. Kelihatan keduanya bersiap un-
tuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?" tanya lela-
ki lusuh. Nada suaranya sedikit mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang terlihat saling ber-
pandangan. Sorot mata mereka memancarkan kebin-
gungan. Tidak salahkah pendengaran mereka?
"Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kau, Sobat?
Apa maksudnya datang kemari?" tanya salah seorang
pengawal yang berkumis tapis dan jarang. Pertanyaan
itu dilontarkan dengan nada hati-hati.
"Kalian tak mengenalku? O ya, mungkin kalian
orang baru di sini. Apakah kalian pernah mendengar
nama Antaboga?" Lelaki lusuh itu malah balik ber-
tanya.
Wajah kedua penjaga itu langsung berubah. Meski
memang belum pernah melihat orang yang bernama
Antaboga, tapi namanya sering mereka dengar.
Kedua penjaga itu segera menganggukkan kepala.
"Benar," jawab pengawal yang bermuka hitam. "Apa
hubunganmu dengan Antaboga, Sobat?"
"Akulah orang yang bernama Antaboga itu!" tegas
lelaki lusuh.
"Ah...!"
Kedua penjaga itu mengeluarkan seruan kaget. Pe-
rasaan terkejut yang sangat menghias wajah mereka:
"Kalau begitu maafkan kami, Pangeran. Kami tidak
mengenal pangeran sehingga bersikap tidak sopan,"
ucap kedua pengawal itu sambil membungkukkan tu-
buh.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian lusuh yang mengaku
bernama Antaboga itu mendengus. "Menyingkirlah ka-
lian! Aku ingin lewat!"
Pengawal yang bermuka hitam segera beringsut
menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan pen-
gawal yang berkumis jarang-jarang. Dia tetap berdiri
menghadang jalan.
"Maafkan kami, Pangeran. Sebelum kami yakin ka-
lau Pangeran benar-benar Pangeran Antaboga, kami
tak bisa memperkenankan masuk. Maafkan kami,
Pangeran. Kami tak ingin terjadi sesuatu atas diri Ra-
den Ajeng Dewi Cipta Rasa."
Pengawal bermuka hitam tercekat. Ucapan rekan-
nya menyadarkan dirinya kalau lelaki lusuh itu belum
tentu Pangeran Antaboga. Maka, dia pun segera me-
langkah maju dan berdiri di sebelah temannya.
Pangeran Antaboga tersenyum.
"Bagus! Aku ingin tahu kepandaian kalian. Ingin
kulihat apakah kalian mampu menghalangiku," ujar
Pangeran Antaboga bernada menantang.
"Maafkan kami, Pangeran. Kami hanya menjalan-
kan tugas," pengawal bermuka hitam rupanya masih
merasa tidak enak dengan tindakan yang dilakukan-
nya.
"Tidak usah banyak berbasa-basi! Ayo, serang
aku!" bentak Pangeran Antaboga.
"Maafkan kami, Pangeran Hiyaaa...!"
Pengawal berkumis jarang-jarang lalu menyerang
Pangeran Antaboga. Kaki kanannya diayunkan dalam
bentuk tendangan miring.
Pangeran Antaboga hanya mendengus pelan. Tu-
buhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan
itu mengenai tempat kosong di depannya. Pada saat
yang bersamaan, tangan kanan Pangeran itu bergerak
cepat.
Tappp!
"Akh...!"
Pengawal berkumis jarang-jarang memekik kaget.
Pergelangan kakinya berhasil dicekal lawan, kemudian
disentakkan dengan keras. Kuat bukan main tenaga
sentakan itu. Tubuh lelaki Itu sampai terlempar ke
atas.
Pengawal bermuka hitam tentu saja terkejut meli-
hat rekannya dengan mudah ditanggulangi. Tanpa ra-
gu-ragu lagi goloknya segera dicabut. Lalu diputarnya
sambil mendekati Pangeran Antaboga yang tetap berdi-
ri tenang. Dengan mengeluarkan seruan melengking
nyaring, golok itu ditusukkannya ke arah perut Pange-
ran Antaboga. Tapi, lelaki lusuh itu, tidak bertindak
apa pun. Pangeran Antaboga tak mengelak atau pun
menangkis.
Pengawal bermuka hitam yang tidak bermaksud
untuk membunuh menjadi kaget Sedapat mungkin se-
rangannya diurungkan. Tapi dia tak mampu. Yang da-
pat dilakukannya hanya mengurangi tenaga!
Wukkk!
Kengerian pengawal bermuka hitam berganti den-
gan keterkejutan. Tampak jelas batang golok menem-
bus perut, tapi tidak terdengar suara apa pun. Tidak
ada darah yang keluar. Tubuh Pangeran Antaboga tak
ubahnya bayangan! Batang golok yang seharusnya se-
bagian tak terlihat karena masuk ke dalam perut, ter-
lihat semuanya.
Pengawal bermuka hitam terpaku bagai orang kena
sihir. Matanya membelalak lebar penuh ketidakper-
cayaan. Pemandangan yang disaksikannya ini terlalu
luar biasa. Malah, rekannya sendiri pun terkesima di
tempatnya dan tidak melanjutkan penyerangan.
"Nyi Marca...!" seru Pangeran Antaboga ketika me-
lihat sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di bagian
dalam pintu gerbang.
Sosok hitam yang ternyata seorang wanita berusia
sekitar lima puluh tahun. Wanita itu tertegun menden-
gar panggilan Pangeran Antaboga.
"Siapa kau, Sobat! Dari mana kau tahu namaku?"
tanya wanita berpakaian hitam. Kakinya diayunkan
mendekati Pangeran Antaboga. Wanita yang dipanggil
Nyi Marca ini menatap sekujur tubuh Pangeran Anta-
boga dengan penuh selidik.
Nyi Marca memang patut merasa heran. Nama
yang disebutkan Pangeran Antaboga adalah nama as-
linya. Nama itu jarang diketahui orang. Dia tak pernah
memperkenalkan namanya kecuali pada junjungannya
dan keluarganya. Selain keluarga junjungannya, orang
hanya mengenal dirinya sebagai Camar Hitam!
***
2
Pangeran Antaboga mengembangkan senyum geli.
Tapi karena keadaan wajahnya yang tak terurus dan
kotor berdebu, senyuman yang diukirnya terlihat se-
perti seringai kesakitan.
"Kau lupa padaku, Nyi Marca?" tanya Pangeran An-
taboga, tak dipedulikannya pertanyaan Camar Hitam.
Wajah Camar Hitam tampak menegang. Dahinya
berkerut-kerut. Wanita anggun yang menjadi pengawal
pribadi Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa ini kelihatan ber-
pikir keras.
"Rasanya aku memang seperti pernah mengenal-
mu, Anak Muda. Sayang, aku lupa...," gumam Nyi
Marca.
"Aku Antaboga, Nyi," sahut lelaki lusuh memberi -
tahu.
"Ya Allah...! Aku memang sudah pikun sehingga
tak mengenalmu lagi, Pangeran!" pekik Nyi Marca pe-
nuh rasa kaget. Kelihatan jelas rasa gembira membias
di wajah wanita tua itu. "Beliau adalah Pangeran Anta-
boga," beritahu Nyi Marca pada kedua pengawal yang
menjaga pintu gerbang.
"Ah...! Maafkan kami, Pangeran. Kami telah bertin-
dak lancang. Kami siap menerima hukuman," ucap
kedua pengawal itu buru-buru seraya membungkuk
hormat
"Lupakanlah. Aku bangga kalian berdua telah men-
jalankan tugas dengan baik," sahut Pangeran Antabo-
ga.
Tentu saja kedua pengawal itu menjadi girang bu-
kan main. Tadi ketika Camar Hitam memanggil lelaki
lusuh itu dengan Pangeran Antaboga, mereka menjadi
gelisah. Menurut dugaan mereka, sang pangeran akan
memberikan hukuman. Ternyata Pangeran Antaboga
sama sekali tak marah. Malah, mereka mendapat pu-
jian.
"Mari, Pangeran. Aku yakin Raden Ajeng akan
gembira melihat kedatangan Pangeran," ajak Camar
Hitam. Dibawanya Pangeran Antaboga memasuki ban-
gunan megah itu.
"Boga...! Antaboga, Anakku...!"
"Ibu...!"
Pangeran Antaboga memburu ke arah seorang wa-
nita berpakaian indah. Wanita yang kelihatan anggun
itu baru saja ke luar dari ruangan dalam. Sedangkan
Pangeran Antaboga berdiri baru memasuki ambang
pintu ruangan tengah yang mewah dan megah.
Pangeran Antaboga menjatuhkan tubuhnya duduk
bersimpuh di hadapan Ibunya. Dipeluknya kedua kaki
wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun itu.
"Ibu, betapa rindunya aku pada Ibu...," adu Pange-
ran Antaboga.
"Aku pun demikian, Boga," balas Raden Ajeng Dewi
Cipta Rasa sambil mengusap-usap rambut sang pan-
geran dengan penuh kasih sayang. "Aku hampir tak
percaya ketika mendengar berita kedatanganmu, Boga.
Kukira aku tak akan pernah bertemu dengan dirimu
lagi."
"Nasib baik berpihak kepadaku, Ibu," jawab Pange-
ran Antaboga. Wajahnya ditengadahkan untuk bisa
menatap wajah ibunya yang sudah lama tak dijum-
painya. "Aku tidak saja selamat. Tapi juga telah men-
dapatkan kepandaian, Ibu."
Pangeran Antaboga lalu perlahan-lahan bangkit
berdiri. Tubuhnya yang jangkung membuat Raden
Ajeng Dewi Cipta Rasa terpaksa agak menengadah agar
bisa menatap wajah putranya.
"Syukurlah kalau demikian, Boga," ujar Raden
Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Karena memandang muka
Ibu, mungkin Gusti Prabu tidak memperpanjang masa-
lah yang telah lalu."
"Dia boleh melupakan masalah itu, Ibu. Tapi aku
tak akan pernah lupa! Tua bangka yang tak tahu diri
dan telah menyengsarakan Ibu itu akan ku binasa-
kan!" tandas Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini mengepalkan tangan kanannya
sehingga menimbulkan bunyi bergemeretak nyaring.
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa kelihatan terkejut. Bu-
kan hanya karena sekitar ruangan itu bergetar seiring
dengan timbulnya bunyi itu, tapi juga karena sikap
Pangeran Antaboga.
"Apa maksudmu, Boga?" tanya Raden Ajeng Dewi
Cipta Rasa dengan suara bergetar.
"Artinya, aku akan kembali menyusun kekuatan
untuk meruntuhkan kekuasaan tua bangka itu, Ibu!"
tegas Pangeran Antaboga.
Sepasang mata Pangeran Antaboga memancarkan
hawa membunuh. Wajahnya yang meskipun tak tera-
wat tapi kelihatan gagah dan tampan itu tampak
membesi. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sampai me-
langkah mundur dengan bibir gemetar. Kentara jelas
keterkejutan melanda wanita itu
"Boga, Anakku...," setelah terdiam beberapa saat
akhirnya keluar juga ucapan dari mulut Raden Ajeng
Dewi Cipta Rasa. Suaranya terdengar sarat dengan
kekhawatiran. "Urungkan saja niatmu. Nak. Aku tak
ingin kehilangan kau. Kaulah satu-satunya anak ibu.
Gusti Prabu tak akan menyakitimu. Apalagi jika kau
datang kepadanya untuk meminta maaf. Dan...."
"Ibu!" Meski tetap lembut, tapi ucapan Pangeran
Antaboga dipenuhi tekanan. "Selama nyawa masih ada
di badan dan selama darahku masih berwarna merah,
tak akan pernah terjadi Pangeran Antaboga meminta
maaf pada tua bangka licik itu!"
Sekujur tubuh Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa lang-
sung menggigil. Air mata mengalir membasahi kedua
pipinya. Selir raja ini merasa sedih bukan main men-
dengar keputusan yang diambil putranya. Raden Ajeng
Dewi Cipta Rasa tahu maksud Pangeran Antaboga tak
bisa dicegah lagi. Dirasakan adanya kesungguhan yang
besar dalam ucapan lelaki jangkung itu.
"Boga, Anakku.... Apakah kau tak sayang lagi pada
Ibu, Nak? Tegakah kau melihat Ibu yang telah renta ini
tinggal sendiri? Kalau niatmu itu kau teruskan, Gusti
Prabu tak akan mengabulkan permintaan Ibu, Nak.
Gusti Prabu tak akan memaafkanmu lagi. Kau akan
dihukum mati, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Ra-
sa dengan suara tersendat dan air mata mengalir de-
ras.
"Aku tak perlu ampunan tua bangka gila itu, Ibu!
Aku lebih suka mati daripada beroleh maafnya. Maaf-
kan aku, Bu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu
yang satu ini. Apa pun yang terjadi, raja sialan itu
akan ku gulingkan!"
Tangis Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa semakin men-
jadi-jadi. Wanita ini sampai menutupi wajahnya den-
gan kedua tangan. Pangeran Antaboga yang amat
sayang pada ibunya menggertakkan gigi kuat-kuat
agar tak ikut terharu.
"Ingatlah, Boga...," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta
Rasa. "Biar bagaimanapun Gusti Prabu adalah ayah-
mu. Dia yang telah menyebabkan kau lahir ke dunia
ini. Tak baik seorang anak membunuh ayahnya sendi-
ri...."
"Aku tak pernah menganggapnya sebagai ayahku,
Bu!" geram Pangeran Antaboga dengan wajah merah
padam. "Sejak kecil aku tak pernah merasa kasih
sayangnya. Dia lebih sayang pada anak-anaknya yang
lain. Malah, kedudukan sebagai raja akan diberikan-
nya pada si keparat Kertasana! Padahal akulah pange-
ran yang paling tua di antara semua pangeran yang
ada. Tidakkah Ibu melihat semua ketidakadilan ini?!"
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa hanya membisu. Apa
yang dikatakan putranya memang benar. Raja telah
bertindak tak adil. Padahal menurut perhitungan Pan-
geran Antabogalah yang seharusnya diangkat sebagai
raja. Ibunya adalah selir pertama raja, sementara per-
maisuri tak mempunyai keturunan.
"Maafkan aku, Ibu. Aku tak bisa memenuhi per-
mintaanmu," ujar Pangeran Antaboga. Dia lalu me-
langkah meninggalkan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa
yang tenggelam dalam kedukaan.
kkk
"Ibu..."
Suara pelan mengandung isak tangis memecah ke-
sunyian pagi. Suara itu berasal dari seorang gadis ber-
pakaian kuning. Dia tengah duduk bersimpuh di de-
pan gundukan tanah merah sebuah kuburan.
"Aku dan Kakak Angruna akan pergi merantau un-
tuk menunaikan sebuah tugas suci, Ibu. Kami tak bisa
lagi menjengukmu setiap hari seperti biasanya. Kuha-
rap kau berbaring tenang di tempat istirahat mu, Bu.
Doakan agar aku dan Kakak Angruna berhasil menye-
lesaikan tugas suci itu. Aku mohon pamit, Bu"
Sosok yang bukan lain dari Kusumawati itu bang-
kit perlahan-lahan. Bunga di tangan ditaburkannya ke
atas makam ibunya. Angruna yang sejak tadi berdiri
dengan wajah ditundukkan ikut menaburkan bunga.
Setelah melepaskan pandangan berat yang terakhir ka-
linya, Kusumawati dan Angruna membalikkan tubuh.
Kaki-kaki mereka diayunkan meninggalkan area pe-
makaman.
Tapi baru beberapa langkah, ayunan kaki sepasang
muda-mudi ini terhenti. Pendengaran mereka menang-
kap bunyi-bunyi yang mencurigakan dari arah bela-
kang. Hampir berbarengan Kusumawati dan Angruna
menolehkan kepala ke sana. Dan... seketika mata me-
reka membelalak dengan mulut ternganga.
Pemandangan yang mereka saksikan terlalu mengi-
riskan hati! Permukaan gundukan semua tanah kubu-
ran yang ada di situ tak terkecuali makam ibu mereka,
bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak ke-
luar.
Kusumawati dan Angruna adalah pemuda-pemudi
gemblengan. Mereka telah memiliki kepandaian tinggi.
Menghadapi ancaman maut pun kakak beradik ini
akan dapat menghadapinya dengan hati tenang. Tapi
apa yang mereka saksikan ini terlalu mengerikan. An-
gruna dan Kusumawati terdiam di tempat dengan jan-
tung memukul keras. Wajah kakak beradik ini tampak
tegang bukan main!
Getaran pada makam-makam semakin menghebat
Angruna dan Kusumawati yang berdiri terpaku tak sa-
dar kalau kaki-kaki mereka menggigil keras. Rasa nye-
ri membersit baik dari sorot mata maupun wajah me-
reka.
"Oooh...!"
Kusumawati tak kuasa untuk menahan jeritan li-
rih. Gundukan-gundukan tanah kuburan ambrol ka-
rena ada tangan-tangan berkuku runcing kehitaman
menyembul dari dalamnya.
Angruna yang lebih tabah masih sempat mengga-
mit tangan Kusumawati. Meski demikian, kengerian
yang mencekam membuat tangan Angruna menggigil
seperti orang terkena demam tinggi.
Angruna dan Kusumawati hampir tak percaya akan
penglihatan mereka. Sosok-sosok tubuh tampak keluar
dari lubang kuburan! Sosok yang memiliki ciri-ciri
mengiriskan hati. Tubuh mereka kurus kering, tak
memiliki daging dan terbungkus pakaian koyak-koyak.
Sehelai pakaian yang telah rapuh terjatuh ke tanah ke-
tika angin berhembus agak keras.
Sosok-sosok itu adalah mayat-mayat yang bangkit
dari kuburnya! Ciri-ciri mereka, dan terutama sekali
bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuh, telah
menjadi bukti tak terbantahkan lagi!
Mayat-mayat itu dengan langkah kaku bergerak
mendekati Angruna dan Kusumawati. Jumlah mereka
puluhan. Bau busuk yang hampir membuat Angruna
dan Kusumawati muntah-muntah semakin menyengat,
seiring dengan mendekatnya mayat-mayat. Angruna
yang lebih tabah segera sadar akan adanya bahaya
mengancam.
"Kuatkanlah hatimu, Wati. Bangkitkan semangat
mu. Kalau tidak makhluk-makhluk jahanam itu akan
merencah-rencah kita," beritahu Angruna dengan sua-
ra bergetar, menahan perasaan ngeri.
Ucapan Angruna membangkitkan kesadaran Ku-
sumawati. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dibu-
sungkan kuat-kuat untuk menenangkan hati. Cara itu
memang berhasil mengurangi ketegangan yang melan-
da dirinya.
Angruna sendiri telah mencabut golok yang menja-
di senjata andalannya. Kusumawati segera mengikuti
dengan meloloskan sabuknya. Sabuk jingga berbau
harum.
Ctarrr!
Kusumawati yang tak ingin sabuknya menyentuh
tubuh mayat-mayat hidup, sengaja melecutkan senja-
tanya ke udara. Diharapkan lecutan nyaring yang ter-
cipta akan membuat makhluk-makhluk menjijikkan
itu menjauh.
Tapi harapan Kusumawati kandas. Mayat-mayat
hidup sama sekali tak mempedulikan bunyi sabuk.
Mereka terus bergerak menghampiri. Gerakan-gerakan
makhluk menjijikkan ini sekarang jauh lebih gesit.
Rupanya mereka mulai terbiasa bergerak.
Melihat kebandelan mayat-mayat hidup ini Kusu-
mawati tak mempunyai pilihan lain. Gadis ini tak ingin
bau busuk yang menyergap hidungnya semakin men-
jadi-jadi. Kusumawati segera melecutkan ujung sa-
buknya ke arah mayat hidup terdepan. Sabuk melun-
cur dan menghantam dada makhluk menjijikkan itu.
Ctarrr!
Mayat hidup yang sial itu terhuyung-huyung ke be-
lakang beberapa langkah. Pakaiannya hancur beranta-
kan pada bagian yang terkena lecutan. Mayat hidup itu
sendiri sedikit pun tak terluka! Begitu kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung punah, mahluk menji-
jikkan itu kembali merangsek maju.
Bukan hanya Kusumawati saja yang terkejut meli-
hat kekuatan mayat hidup itu, Angruna pun demikian.
Lecutan sabuk adiknya mampu menghancurkan batu
karang yang paling keras sekalipun. Dia sendiri bila
terkena lecutannya akan terluka berat. Tapi, mayat hi-
dup itu tak kurang suatu apa! Makhluk menjijikkan
itu bagai tak merasakan.
Angruna dan Kusumawati tak bisa berlama-lama
tenggelam dalam keheranannya. Mayat-mayat hidup
telah semakin dekat. Sambil berteriak keras untuk
menguatkan semangatnya, Angruna membolang-
balingkan golok di depan dada.
Seperti juga Kusumawati, Angruna menerima ke-
nyataan pahit. Serangan-serangannya sama sekali tak
berarti. Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaga
babatan, bacokan, dan tikaman goloknya tidak mampu
membuat buntung anggota tubuh makhluk-makhluk
menjijikkan itu. Malah serangan-serangan yang menu-
suk dada dan perut tak ubahnya menusuk batang pi-
sang. Amblas ke sasaran tapi tak membuahkan hasil
sama sekali!
Angruna dan Kusumawati tak putus asa. Kedua
anak Sanggara ini dengan gagah berani melakukan
perlawanan. Tak terhitung sudah senjata, tangan, atau
kaki mereka mengenai sasaran. Tapi, kesudahannya
hanya membuat tubuh makhluk-makhluk menjijikkan
itu terhuyung-huyung. Setelah itu, mayat-mayat hidup
kembali menyerbu. Dan meskipun Angruna serta Ku-
sumawati telah mempergunakan berbagai cara, hasil
yang didapat tetap sia-sia.
Kedua kakak beradik ini sadar benar lama-
kelamaan merekalah yang akan celaka. Tenaga mereka
mulai berkurang dan akan terus berkurang. Sementa-
ra makhluk-makhluk menjijikkan itu bagai memiliki
tenaga yang tak pernah habis. Kekuatan dan kegesitan
mereka sedikit pun tak berkurang.
Tak sampai dua puluh jurus Angruna dan Kusu-
mawati sudah terdesak. Serangan-serangan yang se-
mula gencar semakin tak terlihat. Gerakan senjata
yang mereka lakukan sebagian besar hanya untuk
menangkis serangan lawan.
"Wati...! Tak ada gunanya melakukan perlawanan!
Selamatkan dirimu...!"
Seiring dengan selesainya seruan itu Angruna me-
lesat menerjang dengan nekat. Tanpa mempedulikan
pertahanan diri pemuda ini mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang masih tersisa. Goloknya diputar laksa-
na kitiran kemudian dibabatkan ke arah lawan-
lawannya.
Kenekatan Angruna tidak sia-sia. Kerumunan
mayat hidup langsung membuyar. Beberapa di antara
mereka berpentalan tak tentu arah. Namun, tindakan
nekat itu harus ditebus cukup mahal oleh Angruna.
Dua di antara mayat-mayat hidup berhasil menya-
rangkan sampokan yang mengenai perut dan bahu ka-
nan.
Tidak ada jeritan atau keluhan dikeluarkan putra
Sanggara ini. Hanya seringai pada mulutnya menun-
jukkan kalau pemuda ini merasa kesakitan. Darah
mengalir dari bagian tubuh Angruna yang tersampok.
Bagian perut dan bahunya tergurat oleh kuku-kuku
mayat-mayat hidup yang runcing dan kehitaman.
"Kak Angruna...!" jerit Kusumawati kaget dan kha-
watir. Gadis ini segera bergerak untuk menolong ka-
kaknya.
"Jangan pedulikan aku! Cepat kau tinggalkan tem-
pat ini!" cegah Angruna sebelum Kusumawati mende-
kat.
Pemuda itu lalu kembali menyerang lawannya den-
gan membabi buta. Serangannya tidak ditujukan pada
seorang lawan, melainkan semuanya. Tindakan itu di-
lakukan untuk mengalihkan penyerangan mayat-
mayat hidup dari Kusumawati
"Tapi, Kak...!"
Ucapan Kusumawati terhenti di tengah jalan kare-
na dua mayat hidup menyerbunya. Gadis ini memain-
kan sabuknya hingga terbentuk gulungan-gulungan
seperti gelang besar. Dan, gelang-gelang itu menghan-
tam tubuh mayat-mayat hidup hingga terpental ke be-
lakang.
"Pergilah cepat, Wati! Aku akan menyusulmu...!"
perintah Angruna penuh tekanan.
Kusumawati tak membantah lagi. Dengan hati dia
melesat meninggalkan tempat itu. Dirasakan benar
ucapan Angruna tak menghendaki adanya bantahan.
Karena itu Kusumawati tak berani menentangnya. Ku-
sumawati amat menghormati kakaknya karena gadis
ini tahu kalau Angruna amat sayang padanya.
Tiga mayat hidup berusaha mencegah kepergian
Kusumawati. Tapi dengan lecutan sabuknya gadis ini
mampu membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu
mencium tanah. Angruna tersenyum lega melihat
adiknya berhasil lolos. Sekarang pemuda ini berjuang
sendiri untuk mempertahankan nyawanya.
Kusumawati terus berlari tanpa mengendurkan ke-
cepatannya. Sempat dilihatnya beberapa mayat hidup
mengejarnya. Lari mereka ternyata cukup cepat. Na-
mun demikian makhluk-makhluk menjijikkan itu tak
mampu menandingi kecepatan lari Kusumawati.
Gadis itu berlari menuju arah yang akan ditem-
puhnya bersama Angruna. Dengan begitu kakaknya
nanti akan bisa menemukannya. Kusumawati baru
menghentikan lari ketika tak melihat pengejaran dari
mayat-mayat hidup. Disandarkannya punggungnya
pada salah satu pohon yang ada di dekatnya. Peluh
yang membasahi sekujur wajah disusutnya dengan sa-
pu tangan warna jingga. Kusumawati memutuskan un-
tuk menunggu Angruna di tempat ini.
Sambil membayangkan kejadian mengerikan yang
ditemuinya, Kusumawati mengedarkan pandangan ke
sekitar. Tampak pohon besar yang rata-rata tingginya
sama. Dia rupanya tengah berada di hutan karet
Debaran jantung Kusumawati yang telah mulai me-
reda tiba-tiba berpacu dengan cepat lagi. Perasaan
khawatir kembali melanda ketika pendengarannya me-
nangkap suara langkah-langkah mendekati tempatnya
berada. Bunyi langkah bergemuruh seakan-akan ada
serombongan orang tengah bergerak. Nadanya terden-
gar tetap dan berirama.
Kusumawati memutar benaknya sebentar untuk
mencari jalan selamat. Pengalaman pertamanya terjun
ke dunia persilatan yang mengerikan tadi membuatnya
jadi bersikap lebih hati-hati. Setelah memperhatikan
keadaan sekitarnya sebentar, Kusumawati melompat
ke atas. Laksana seekor kera Kusumawati melompat
dari satu cabang ke cabang yang lain. Dan, pada ca-
bang pohon yang tinggi dan banyak ditumbuhi daun-
daun gadis ini berhenti melompat lalu duduk di da-
hannya.
Dari balik kerimbunan dedaunan Kusumawati
mengintai ke bawah. Tampak serombongan pasukan
berkuda tengah menuju ke tempat putri Sanggara ini
tadi berada. Jarak antara pasukan berkuda dengan
tempat Kusumawati berada tak kurang dari lima belas
tombak. Hanya karena terhalang banyak pohon mere-
ka tak bisa saling melihat
Pasukan berkuda itu berjumlah dua puluh orang.
Yang berkuda paling depan adalah dua orang bersera-
gam panglima.
"Benarkah Pangeran Antaboga telah kembali, So-
ka?" tanya panglima bermuka kuning.
"Hhh...!" Panglima Soka yang bertubuh tinggi besar
terlebih dulu menghela napas berat "Menurut berita
yang kudengar memang demikian, Gardika. Karena itu
Gusti Prabu menyuruh kita untuk mencek kebenaran-
nya, Gusti Prabu khawatir Pangeran Antaboga akan
kembali memberontak!"
"Aku sependapat dengan Gusti Prabu, Soka," ujar
Panglima Gardika. "Dulu aku tak setuju Gusti Prabu
menghukum buang pangeran pemberontak itu. Aku
cenderung menginginkan Pangeran Antaboga dihukum
mati agar peristiwa pemberontakan itu tak terulang la-
gi-"
"Gusti Prabu tak ingin mengecewakan Raden Ajeng
Dewi Cipta Rasa. Raden Ajenglah yang membuat Pan-
geran Antaboga lolos dari hukuman mati. Raden Ajeng
meminta pada Gusti Prabu agar Pangeran Antaboga
diampuni," sambung Panglima Soka setengah menye-
salkan keputusan rajanya.
"Apakah Gusti Prabu tak tahu kalau Pangeran An-
taboga merupakan orang yang amat berbahaya?" ujar
Panglima Gardika lagi "Padahal melihat keinginan dan
kepandaian Pangeran Antaboga sudah seharusnya dia
dihukum mati. Dulu pun tak ada tokoh kerajaan yang
mampu menandingi kepandaiannya. Entah sekarang
apakah kepandaian Pangeran Antaboga telah maju pe-
sat. Tapi aku yakin pangeran itu lebih berbahaya dari-
pada dulu."
Panglima Soka terlihat menganggukkan kepala.
"Terlepas dari kekhawatiran dan dugaan kita, aku
lebih suka kalau Pangeran Antaboga menyadari kekeli-
ruannya. Tentu saja jika berita mengenai kembalinya
Pangeran Antaboga itu benar."
"Aku pun berharap demikian, Soka," dukung Pan-
glima Gardika.
***
3
Brosss! Brosss! Brosss!
Panglima Soka dan Panglima Gardika bergegas
menghentikan langkah kuda mereka, ketika sekitar sa-
tu tombak di depan mereka muncul sosok-sosok dari
dalam tanah. Sosok mayat hidup!
Tindakan kedua panglima itu membuat pasukan di
belakang mereka menghentikan laju kudanya. Mereka
semua lalu mencabut pedang yang tergantung di ping-
gang. Bunyi-bunyi berdesing nyaring terdengar.
Keberanian rombongan di bawah pimpinan Pangli-
ma Soka dan Panglima Gardika rupanya tidak dimiliki
binatang tunggangan mereka. Kuda-kuda yang besar
dan kuat itu meringkik ketakutan. Kedua kaki depan-
nya diangkat tinggi-tinggi. Binatang-binatang itu ru-
panya merasa terancam.
Panglima Soka, Panglima Gardika, dan delapan be-
las prajurit kerajaan berusaha sekuat tenaga mene-
nangkan binatang tunggangannya. Tapi sia-sia belaka.
Kuda-kuda yang biasanya amat taat pada perintah ma-
jikannya itu, sekarang jadi tak terkendali. Malah, bina-
tang-binatang itu berusaha sekuat tenaga melempar-
kan majikannya.
"Biarkan binatang-binatang itu kabur!" seru Pan-
glima Soka untuk mengatasi riuh rendah ringkik kuda
yang ketakutan.
Binatang tunggangan itu sudah tak bisa dikendali-
kan lagi. Tindakan liar binatang-binatang itu akan
membuat mereka memusatkan perhatian untuk men-
gendalikannya. Padahal, mayat-mayat hidup telah ber-
siap untuk menyerang.
Perintah Panglima Soka langsung dituruti oleh se-
mua prajurit, tak terkecuali Panglima Gardika. Mereka
semua berlompatan ke tanah. Kuda-kuda yang mereka
tunggangi pun berlarian kalang kabut meninggalkan
tempat itu.
Panglima Soka segera memerintahkan para praju-
ritnya untuk membentuk lingkaran, karena mayat-
mayat hidup bermunculan dari dalam tanah di sekelil-
ing tempat mereka. Panglima Soka dan rombongannya
terkurung oleh puluhan mayat-mayat hidup itu.
"Astaga,..! Apakah mereka tak betah tinggal di da-
lam tanah sehingga beramai-ramai keluar?!" ujar Pan-
glima Gardika dengan suara tercekat di tenggorokan.
Panglima bermuka kuning ini telah menghunus
pedangnya. Demikian juga Panglima Soka. Dua pan-
glima ini dan seluruh prajurit kerajaan menatap mak-
hluk-makhluk menjijikkan yang mendekati mereka
dengan mata membelalak kaget. Mulut mereka tak
henti-hentinya memercikkan ludah. Bau busuk me-
nyengat hidung hingga membuat isi perut seperti hen-
dak keluar.
"Ini ada hubungannya dengan tanda aneh di langit
beberapa hari yang lalu aku rasa," ucap Panglima Soka
dengan suara kering karena perasaan tegang. Memang,
meskipun Panglima Soka telah puluhan kali berhada-
pan dengan bahaya kematian, tapi menghadapi mayat-
mayat hidup merupakan hal yang belum pernah di-
alaminya.
"Kau benar, Soka. Sekarang terjawab sudah teka-
teki keanehan angkasa itu," timpal Panglima Gardika
mendukung dugaan kawannya.
Tapi Panglima Soka dan Panglima Gardika tak bisa
berbincang-bincang lebih lama. Mayat-mayat hidup te-
lah menerjang mereka. Rombongan Panglima Soka pun
segera menyambutnya.
Wuttt!
Panglima Soka yang mendapat giliran diserang le-
bih dulu. Sesosok mayat hidup menerkam dengan ke-
dua cakar terkembang tak ubahnya tingkah seekor ha-
rimau.
Panglima Soka tak ingin maksud mayat hidup itu
tercapai. Di samping merasa ngeri terkena sambaran
kuku-kuku runcing dan hitam itu, dia juga merasa ji-
jik. Mayat hidup yang menyerang panglima ini memang
terlalu rusak keadaannya. Daging di sekujur tubuh
makhluk itu sebagian besar telah hilang. Mulutnya
mengeluarkan lendir kekuningan mirip nanah yang
berbau amat busuk.
Panglima Soka segera menyambut terkaman mayat
hidup itu dengan tusukan pedang ke arah leher!
Cappp!
Telak dan keras sekali serangan Panglima Soka
mendarat di sasaran. Batang pedang panglima tinggi
besar ini sampai amblas ke leher belakang. Tapi, hasil-
nya membuat Panglima Soka terperanjat
Bukan hanya tidak adanya darah yang keluar dari
leher mayat hidup yang tertembus pedang, tapi tak
terpengaruhnya mayat hidup itu oleh tusukan. Mayat
itu tetap meluncur ke arah Panglima Soka dengan ca-
kar-cakar siap menghunjam! Panglima Soka terpaksa
membanting tubuh ke tanah dan bergulingan. Pedang-
nya tertinggal di leher makhluk menjijikkan itu.
"Mayat hidup itu tak membiarkan buruannya lolos.
Tubuh Panglima Soka yang tengah bergulingan dike-
jarnya. Pedang yang masih menembus leher itu mem-
buatnya kerepotan untuk menyerang. Kejadian menak-
jubkan ini tak hanya melanda Panglima Soka. Semua
anggota rombongannya pun demikian. Mereka semua
terlibat dalam pertarungan aneh yang baru pertama
kali ini mereka alami.
Di atas pohon Kusumawati memperhatikan semua
yang terjadi dengan hati ngeri. Gadis ini tahu lambat
laun rombongan pasukan kerajaan akan hancur. Tan-
da-tanda ke arah itu sudah dilihatnya. Kusumawati
tak kuasa untuk terus melihat ketika beberapa orang
prajurit mengalami nasib naas.
Mereka tewas secara mengerikan, direncah-rencah
mayat-mayat hidup. Makhluk-makhluk menjijikkan itu
membunuh lawannya tak hanya dengan cakar. Gigi-
gigi mereka yang runcing dan hitam pun dipergunakan
untuk menggigit leher korbannya.
Pertarungan belum berlangsung dua puluh jurus.
Tapi, jerit kematian dari rombongan Panglima Soka tak
henti-hentinya berkumandang. Satu persatu mereka
roboh ke tanah. Tubuh-tubuh para prajurit yang ma-
lang itu bergeletakkan memenuhi sekitar tempat itu.
Panglima Soka dan Panglima Gardika yang paling he-
bat di antara rombongan itu hanya bisa menggertak-
kan gigi. Untuk menolong mereka tak mempunyai daya
sama sekali. Jangankan menolong, keadaan mereka
sendiri tengah terjepit
"Kurasa tak ada gunanya melawan mereka terus,
Gardika!" teriak Panglima Soka.
"Benar, Soka!" sambung Panglima Gardika yang ju-
ga tengah terjepit oleh keroyokan mayat-mayat hidup.
"Mereka bukan manusia! Mereka tak bisa kita binasa-
kan!"
"Gusti Prabu harus kita beritahu agar berjaga-jaga
dari serangan makhluk-makhluk jahanam ini, Gardi-
ka. Aku khawatir mereka akan menyebar ke mana-
mana dan menimbulkan kekacauan!"
Panglima Soka menyempatkan diri mengerling ke
arah anak buahnya yang masih tersisa.
"Tidak ada gunanya melawan. Tinggalkan mereka!
Selamatkan diri masing-masing. Kerajaan harus tahu
akan adanya makhluk-makhluk jahanam ini. Kembali
dan laporkan pada Gusti Prabu...!"
Seruan Panglima Soka itu keras bukan main. Pan-
glima ini memang mengerahkan tenaga dalam ketika
berteriak, agar bisa terdengar oleh semua anak buah-
nya. Seruan Panglima Soka membuat seluruh anggota
rombongan berusaha membebaskan diri dari kepun-
gan. Panglima Soka dan Panglima Gardika segera me-
nyusul. Dengan kemampuannya kedua panglima ini
berhasil meloloskan diri pari kepungan
Keberuntungan yang diterima Panglima Soka dan
Panglima Gardika tak dialami anak buah mereka. Ke-
mampuan para prajurit memang tak bisa dibanding-
kan dengan kedua panglima kosen itu. Meski kemam-
puan mayat-mayat hidup tak melebihi kepandaian pa-
ra prajurit, tapi jumlah mereka yang sudah menyusut
jauh membuat setiap prajurit berhadapan dengan tiga
mayat hidup. Satu persatu para prajurit itu roboh da-
lam usahanya membebaskan diri dari kepungan
Hanya Panglima Soka dan Panglima Gardika yang
berhasil lolos meninggalkan tempat itu. Untuk usaha
keras itu mereka berdua harus menebusnya dengan
luka-luka. Terhuyung-huyung keduanya berlari me-
ninggalkan lawan-lawannya. Panglima Soka setengah
menyeret Panglima Gardika yang menderita luka-luka
parah. Di belakang mereka mayat-mayat hidup ber-
bondong-bondong mengejar.
Rupanya, makhluk-makhluk menjijikkan itu tak
ingin melepaskan lawannya hidup-hidup.
"Aku sudah tak kuat lagi, Soka," ujar Panglima
Gardika dengan napas terengah.
Panglima bermuka kuning ini sudah tak kuat lagi
mengayunkan kaki. Darah yang mengalir deras dari
luka-luka di sekujur tubuhnya membuat panglima ini
lemas dengan cepat. Apa lagi dalam kuku-kuku mayat-
mayat hidup memang mengandung racun.
"Kuatkan dirimu, Gardika! Aku akan membawamu
ke kerajaan. Tabib-tabib istana akan mengobati luka-
lukamu," sahut Panglima Soka seraya terus berlari
dengan sebelah tangan mencekal pergelangan tangan
Panglima Gardika.
Keadaan Panglima Soka sendiri tak terlalu meng-
gembirakan. Luka-luka yang dideritanya memang tak
separah Panglima Gardika, tapi racun yang menyeruak
dari luka-luka akibat cakaran mayat-mayat hidup
membuatnya lemas dan pusing. Keadaan membuat ke-
cepatan larinya berkurang jauh.
Sementara itu mayat-mayat hidup memiliki kecepa-
tan lari di bawah Panglima Soka. Namun makhluk-
makhluk itu bagaikan mempunyai tenaga yang tak
pernah habis. Mereka tetap segar. Maka, jarak yang
memisahkan kedua panglima itu dengan mayat-mayat
hidup semakin dekat. Baik Panglima Soka maupun
Panglima Gardika menyadari keadaan yang gawat itu.
Meskipun demikian, Panglima Soka tetap membawa
rekannya berlari.
"Tinggalkan aku, Soka. Kau kembalilah ke kera-
jaan. Jangan sia-siakan nyawamu untuk membawaku.
Aku sudah tak kuat lagi," beritahu Panglima Gardika
lagi yang tak ingin rekannya karena ingin menyela-
matkan dirinya lalu ikut dikejar-kejar mayat hidup.
"Tidak!" bantah Panglima Soka berkeras dengan
maksudnya. "Apa pun yang akan terjadi tak akan ku-
biarkan kau sendiri menunggu maut. Kita akan kem-
bali ke kerajaan dengan selamat, Gardika. Berdua, kau
dan aku!"
Panglima Gardika menoleh ke belakang. Dilihatnya
rombongan mayat-mayat hidup semakin dekat. Dia ta-
hu tak lama lagi mayat-mayat hidup itu akan berhasil
menyusul. Dan bila itu terjadi, dia dan Panglima Soka
akan celaka. Panglima Gardika menggertakkan gigi.
Pedang yang masih tergenggam di tangan dibacokkan
ke arah tangannya yang dicekal Panglima Soka.
Panglima Soka sempat menangkap bunyi desir ge-
rakan pedang Panglima Gardika. Panglima tinggi besar
ini terkejut. Kepalanya cepat-cepat ditolehkan ke bela-
kang
"Gardika...!" seru Panglima Soka kaget. Dia tak
menyangka tindakan nekat rekannya.
Panglima Soka tak sempat mencegah perbuatan
Panglima Gardika. Dia hanya sempat melihat tangan
Panglima Gardika putus. Sehingga hanya potongan
tangan panglima bermuka kuning itu yang ada di
genggaman tangannya.
Panglima Soka yang cerdik segera bisa menerka
maksud Panglima Gardika. Dan, panglima ini tak mau
membiarkan maksud rekannya itu terlaksana. Segera
dihentikan larinya dan melesat untuk menangkap
Panglima Gardika.
Panglima Gardika lebih cepat bertindak. Tanpa
mempedulikan darah yang mengalir dari tangannya
yang buntung, dia menjejakkan kaki lalu melempar
tubuhnya ke belakang. Panglima bermuka kuning ini
malah terjun ke dalam kerumunan mayat-mayat hi-
dup!
"Selamat tinggal, Soka! Sampaikan hormatku un-
tuk Gusti Prabu...!" teriak Panglima Gardika sebelum
tubuhnya dihujani serangan cakar dan gigitan mayat-
mayat hidup yang berebut untuk menyambut kedatan-
gan tubuhnya.
"Gardika...!" seru Panglima Soka sekeras-kerasnya
melihat nasib yang menimpa Panglima Gardika.
Panglima tinggi besar ini bergerak untuk menyela-
matkan rekannya. Tapi, langkahnya terhenti ketika
menangkap ucapan Panglima Gardika.
"Jangan sia-siakan usahaku ini, Soka...."
Tubuh Panglima Soka menggigil melihat kematian
rekannya tanpa dia mampu berbuat apa pun untuk
menolong.
"Tak akan ku sia-siakan pengorbanan mu, Gardi-
ka. Aku akan selamat Tapi kelak akan kubalaskan
kematian mu..!" desis Panglima Soka penuh dendam.
Panglima tinggi besar ini kemudian membalikan
tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Mayat-
mayat hidup mengejarnya berbondong-bondong. Kali
ini makhluk-makhluk menjijikkan itu terus tertinggal.
Semakin lama jarak yang terentang semakin jauh. Te-
kad yang besar untuk selamat agar pengorbanan Pan-
glima Gardika tak sia-sia, menyebabkan Panglima So-
ka seperti mendapat tambahan tenaga baru.
Sementara itu, Kusumawati hampir jatuh dari ca-
bang pohon yang didudukinya. Seluruh tenaganya se-
perti lenyap. Ingin rasanya gadis ini menjerit-jerit men-
gingat nasib Angruna.
Kusumawati menggigit bibirnya keras-keras untuk
mengusir perasaan sedih dan haru yang menggelegak.
Dia tak ingin mengeluarkan bunyi sekalipun lirih. Ga-
dis ini khawatir keberadaannya di atas pohon akan di-
ketahui rombongan mayat hidup. Siapa tahu makhluk-
makhluk menjijikkan itu memiliki pendengaran yang
tajam.
Kusumawati sebenarnya tak takut mati. Tapi mati
di tangan mayat-mayat hidup dia merasakan ngeri bu-
kan main. Karena itu sedapat mungkin gadis ini beru-
saha untuk tak bergerak. Bahkan bernapas pun ham-
pir-hampir ditahan.
Kusumawati sudah merasa lega ketika melihat
mayat-mayat hidup berbondong-bondong mengejar
Panglima Soka. Panglima kerajaan itu berlari menuju
kerajaannya, arah semula dia dan rombongannya da-
tang. Arah itu menjauhi tempat di mana Kusumawati
berada.
Dengan hati tegang Kusumawati mengarahkan
pandangan ke arah di mana tadi dia meninggalkan An-
gruna. Putri Sanggara ini berharap kakaknya selamat
dan segera tiba di tempat ini. Dia akan mengajak An-
gruna bersembunyi dulu di atas pohon, menunggu
sampai mayat-mayat hidup tak ada lagi.
Kusumawati mengarahkan pandangan lagi ke arah
mayat-mayat hidup yang mengejar Panglima Soka.
Hampir jantung gadis ini lepas dari dada. Berbondong-
bondong makhluk-makhluk itu menuju kemari! Ku-
sumawati tak tahu apakah nasib yang menimpa Pan-
glima Soka. Berhasilkah panglima itu menyelamatkan
diri dari makhluk-makhluk yang haus darah ini.
Pertanyaan yang bergayut di benak Kusumawati itu
segera berganti dengan perasaan tegang, ketika meli-
hat mayat-mayat hidup mengedarkan pandangan ke
sekitar tempatnya berada. Tingkah makhluk-makhluk
menjijikkan itu seperti ada yang tengah dicarinya.
"Akukah yang dicari-cari mereka?" tanya Kusumawati
dalam hati
Kekhawatiran Kusumawati semakin membesar me-
lihat makhluk-makhluk menjijikkan itu melangkah
mendekati pohon tempatnya berada. Kepala mayat-
mayat hidup itu ditolehkan ke sana kemari, Semakin
mayat-mayat hidup mendekat semakin tegang pera-
saan Kusumawati. Detak jantungnya berpacu lebih ce-
pat. Semakin besarlah dugaannya kalau dialah yang
dicari mayat-mayat hidup itu!
"Grrrhhh...!"
Tepat di sekitar pohon di mana Kusumawati ber-
sembunyi, mayat-mayat hidup menghentikan langkah.
Mereka mengelilingi pohon dengan kepala didongak-
kan. Geraman yang dikeluarkan terdengar bergemuruh
karena dilakukan secara bersamaan.
Wajah Kusumawati langsung berubah putih laksa-
na kapur. Rasa ngeri yang mencekam hati membuat
seluruh kemampuannya buyar. Malah, kedua kaki dan
sekujur tubuh Kusumawati terasa lemas tak bertenaga.
Sambil menggeram laksana binatang buas salah
satu mayat hidup mencakari batang pohon. Kusuma-
wati semakin panik. Tapi, gadis ini tak mampu berbuat
apa pun. Kemudian dengan menggeram sekali lagi
mayat hidup itu mengerahkan tenaga untuk mengang-
kat. Batang pohon berguncang keras. Kusumawati ter-
paksa berpegangan agar tak jatuh. Gadis ini tak berani
melompat karena lemahnya tubuhnya. Bahkan, ketika
pohon itu tercabut dari tanah dengan membawa serta
akar-akarnya!
Untuk ke sekian kalinya mayat hidup itu mengge-
ram keras. Tangannya diayunkan. Seketika pohon di
mana Kusumawati berada meluncur cepat bak anak
panah lepas dari busur. Kusumawati sadar keadaan
amat berbahaya. Diusahakannya untuk menenangkan
hati. Ditariknya napas panjang berulang-ulang selagi
pohon itu meluncur. Usaha Kusumawati berhasil. Ke-
tenangannya berhasil dipulihkan dan seiring dengan
itu tenaganya mulai timbul kembali.
Kusumawati melompat ketika pohon tempatnya be-
rada hampir menghantam pohon lainnya. Berbarengan
dengan menjejaknya kedua kaki gadis ini di tanah,
bunyi hiruk-pikuk terdengar ketika pohon yang me-
luncur berbenturan dengan pohon tersebut. Begitu
menjejak tanah Kusumawati langsung berlari. Seluruh
kemampuannya dikerahkan. Gadis ini ingin sejauh
mungkin menghindari mayat-mayat hidup yang men-
gerikan. Sempat dilihatnya rombongan makhluk-
makhluk menjijikkan itu mengejarnya.
Kusumawati berlari sejadi-jadinya. Tak dipeduli-
kannya medan yang ditempuh. Beberapa kali gadis ini
hampir terhuyung karena terkait semak-semak kering
yang menghampar. Tapi semua itu tak dipedulikan.
Kusumawati tetap berlari dengan kepala sering dito-
lehkan ke belakang untuk melihat keadaan para pen-
gejarnya.
***
Seorang pemuda berambut putih keperakan me-
langkah hati-hati. Pandangannya ditujukan ke depan
mengintai melalui celah-celah kerimbunan semak.
Tampak seekor kijang tengah merumput. Binatang itu-
lah yang menarik perhatian pemuda berpakaian ungu
itu.
Pemuda yang bukan lain dari Arya Buana alias
Dewa Arak ini menudingkan jari telunjuknya ke arah
semak-semak yang masih satu tombak di depannya.
Terlihat salah satu daun putus dari tangkainya dan
melayang tanpa bunyi ke arah Arya. Pemuda ini segera
menangkapnya.
Arya lalu melangkah dua tindak. Daun dilontarkan
ke arah kijang yang masih sibuk dengan santapannya.
Daun itu meluncur tanpa bunyi sedikit pun, meski ke-
cepatannya bak anak panah lepas dari busur.
Sudah diperkirakan oleh Arya daun itu akan me-
nembus kepala sang kijang, kemudian hewan itu akan
menggelepar dan mati. Tapi., beberapa kaki lagi daun
akan mengenai sasarannya terdengar bunyi berkeroso-
kan nyaring. Si kijang terperanjat dan langsung berlari
secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Daun yang
dilontarkan Arya menancap di pohon yang berada di
samping binatang itu.
Arya hanya bisa menahan kecewa melihat buruan-
nya berhasil lolos. Sekelebatan muncul keinginan un-
tuk berlari mengejar binatang itu. Tapi maksudnya di-
urungkan ketika melihat seorang gadis berpakaian
kuning berlari menuju tempat kijang tadi berada.
Arya jadi memperhatikan si gadis. Dia ingin tahu
penyebab gadis itu berlari-lari sampai menimbulkan
bunyi gaduh. Melihat caranya berlari, Arya tiba-tiba
menjadi curiga. Semakin dekat dengan Arya semakin
kelihatan jelas sosok gadis itu. Arya mengernyitkan
dahi melihat wajah si gadis. Wajah itu tampak sarat
dengan kengerian.
Dari tempatnya berada Arya memang dan dengan
leluasa memperhatikan gadis itu tanpa perlu merasa
khawatir akan diketahui. Di samping kerimbunan se-
mak-semak melindungi tubuhnya, gadis itu sendiri
berlari tanpa mempedulikan kanan kirinya. Memang
sering dilihat Arya gadis itu menolehkan kepala. Tapi
tidak ke kanan atau ke kiri, melainkan ke belakang.
Sifat kependekaran Arya membuatnya memperha-
tikan terus kejadian aneh itu. Arya tahu tak akan
mungkin gadis itu kerap kali menoleh ke belakang ka-
lau tak ada apa-apa di sana. Kemungkinan besar gadis
itu tengah dikejar-kejar. Demikian dugaan pemuda
berpakaian ungu ini.
4
Gadis berpakaian kuning itu telah melewati depan
Arya dan kini berada di sebelah kanannya. Arya jadi
menujukan pandangannya ke sebelah kiri. Namun di
sana tidak terlihat apa pun.
"Aaawww...!"
Jerit keterkejutan si gadis membuat Arya buru-
buru mengalihkan perhatian. Sepasang mata pemuda
ini membelalak melihat penyebab keluarnya jeritan da-
ri mulut gadis itu. Dari dalam tanah, sekitar dua tom-
bak di depan gadis berpakaian kuning, menyembul
tangan-tangan kurus kering berkuku runcing kehita-
man. Sementara gadis berpakaian kuning itu kelihatan
ketakutan bukan main. Larinya dihentikan dan segera
dibelokkan arahnya ke kanan menerobos ke rimbunan
semak-semak
"Aaawww...!"
Lagi-lagi gadis itu menjerit setelah menerobos ke-
rimbunan semak-semak melihat adanya sesosok tubuh
di sana. Larinya langsung dihentikan. Tapi ketika me-
lihat perbedaan pada sosok-sosok di balik semak-
semak ini, kengeriannya mendadak sirna. Bahkan ada
kilatan harapan di wajah dan sorot matanya.
Sosok yang bukan lain dari Arya sempat kaget dan
melangkah mundur ketika mendapati gadis itu terpe-
kik ketakutan melihatnya. Untuk menghindari kesa-
lahpahaman, Arya buru-buru menjulurkan kedua tan-
gannya.
"Tenang, Nona. Aku bukan orang jahat, percaya-
lah," ucap Arya sungguh-sungguh agar si gadis per-
caya.
Hanya sampai di situ Arya berbicara, karena telah
dilihatnya kilatan harapan di mata dan wajah si gadis.
Sorot ketakutan terusir dari wajahnya. Arya tak me-
nyalahkan kalau gadis itu kaget. Dia tengah ketakutan
dan heran bukan main mendapati Arya berada di balik
semak-semak.
"Apakah kau Dewa Arak...?" tanya gadis itu tanpa
basa-basi lagi. Kilatan harapan semakin membesar di
wajah dan sorot matanya.
"Benar, Nona. Akulah yang dijuluki Dewa Arak,"
jawab Arya.
"Syukurlah...," desah si gadis gembira. "Aku me-
mang tengah mencari-carimu, Dewa Arak."
"Kurasa mengenai hal itu dapat diurus belakangan,
Nona. Yang penting sekarang mengapa kau kelihatan
demikian ketakutan? Apakah kau dikejar-kejar oleh
makhluk-makhluk itu?" tanya Arya sambil menunjuk
mayat-mayat hidup yang tengah bergerak ke arah dia
dan gadis berpakaian kuning berada.
Si gadis menoleh ke arah yang ditunjuk Arya.
Tampak olehnya mayat-mayat hidup yang semula
baru muncul tangan-tangannya telah berbondong-
bondong menuju tempatnya berada. Gerakan mak-
hluk-makhluk itu kaku dan lambat
"Memang, yang sejenis dengan mereka tengah
mengejar-ngejarku," jawab gadis itu. "Tapi bukan me-
reka. Nah, itu makhluk-makhluk yang mengejarku!"
Arya menoleh ke arah kiri, tempat di mana tadi
pandangannya sering ditujukan. Tanpa sadar pemuda
ini menggeleng-gelengkan kepala.
"Banyak juga jumlah makhluk-makhluk itu," desah
Arya ketika melihat rombongan mayat hidup.
Mayat-mayat hidup yang baru muncul dari dalam
tanah memang tak terlalu banyak. Hanya belasan jum-
lahnya.
"Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh,
Dewa Arak!" beritahu si gadis tanpa diminta. "Percuma
melawan mereka. Kulihat dengan mata kepalaku sen-
diri rombongan prajurit kerajaan mereka bantai."
Kemudian secara sangat singkat, karena khawatir
mayat-mayat hidup lebih dulu mencapai tempat mere-
ka berada, gadis itu menceritakan hal-hal yang baru
saja dialaminya.
"Entah bagaimana nasib kakakku, Dewa Arak. Aku
khawatir dia menjadi korban makhluk-makhluk jaha-
nam itu!" ujar si gadis menutup ceritanya.
Gadis ini memang bukan lain Kusumawati. Nasib
baik masih berpihak padanya. Dewa Arak berada di
hutan yang sama dengannya dan kebetulan melihat-
nya.
"Mumpung belum terlambat, kukira lebih baik kita
tinggalkan mereka, Dewa Arak. Mereka tak bisa dibu-
nuh!" beritahu Kusumawati lagi.
"Aku tak bisa membiarkan hal itu, Wati," kilah Arya
sambil menggelengkan kepala. Pemuda ini tak ragu-
ragu lagi untuk menyapa Kusumawati dengan na-
manya. Gadis itu tadi memang telah memperkenalkan
namanya.
"Mengapa Dewa Arak?"
"Aku khawatir makhluk-makhluk ini akan menye-
bar ke tempat lain dan menimbulkan korban. Akan
kucoba untuk mengirim mereka ke tempatnya semula."
"Tapi...."
"Mudah-mudahan saja caraku berhasil, Wati," sela
Arya buru-buru. "Menyingkirlah sedikit agar makhluk-
makhluk itu tak menyerangmu."
Tanpa banyak bantahan lagi Kusumawati melang-
kah mundur. Meski tahu mayat-mayat itu tak bisa di-
bunuh, Kusumawati agak berbesar hati juga. Julukan
Dewa Arak telah sering didengarnya. Tokoh muda itu
konon memiliki kepandaian tinggi. Siapa tahu Dewa
Arak mempunyai ilmu yang bisa membuat mayat-
mayat hidup itu mati?
"Ggrrrhhh...!"
Diawali geraman keras yang memekakkan telinga
dan menciutkan hati, dua makhluk menjijikkan itu
menerkam Dewa Arak.
Arya mendengus ketika mencium bau bangkai me-
nyengat hidungnya. Pemuda itu tak mau mencium
yang lebih bau lagi. Sebelum tubuh-tubuh mayat hi-
dup semakin mendekat, disambutnya dengan pukulan
jarak jauh yang dihentakkan dua kali.
Wusss!
Angin menderu keras keluar dari kepalan tangan
Dewa Arak. Seperti biasanya, mayat-mayat hidup tak
mempedulikan serangan itu.
Desss, desss!
Tubuh mayat-mayat hidup melayang jauh ke bela-
kang bagaikan daun kering dihembus angin keras ke-
tika terhantam pukulan jarak jauh Arya. Dan tepat se-
perti yang dikatakan Kusumawati, begitu luncuran tu-
buh itu terhenti makhluk-makhluk dari dalam bumi
ini kembali merangsek maju. Dewa Arak tak kaget me-
lihat kenyataan ini, kendati angin pukulannya yang
mengenai dada mayat-mayat hidup itu cukup untuk
menghancurleburkan batu-batu sebesar gajah.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap bersikap te-
nang, Kusumawati mulai merasa gelisah. Dilihatnya
sendiri Dewa Arak pun tak mampu membuat mayat-
mayat hidup mati meski dengan pukulan yang demi-
kian dahsyat. Sungguh pun demikian putri Sanggara
ini tak berkata apa pun. Dia hanya merasa ngeri ketika
melihat Dewa Arak diterkam oleh beberapa mayat hi-
dup sekaligus.
Dewa Arak sendiri tak bergeming dari tempatnya.
Pemuda ini mengibaskan kedua tangannya. Angin ke-
ras yang berhembus membuat mayat-mayat hidup
berpentalan tak tentu arah. Kejadian yang sama beru-
lang pada mayat-mayat hidup lainnya. Mereka berpen-
talan ke sana kemari sebelum berhasil menyentuh ku-
lit Dewa Arak.
Tapi semua itu tak membuat mayat-mayat hidup
kapok. Serangan-serangan terus dilakukan. Dan pan-
dangan yang terlihat bagaikan semut-semut menyerbu
api, rontok sebelum berhasil mendekat. Setelah bebe-
rapa gebrakan bertarung seperti itu, Dewa Arak melo-
loskan sabuknya. Dengan senjata di tangan pemuda
berambut putih keperakan itu menghadapi pengeroyo-
kan lawan-lawannya.
Kusumawati adalah gadis yang sangat mahir mem-
pergunakan sabuk. Dia menggunakan sabuk sebagai
senjata andalannya. Tapi ketika melihat permainan
sabuk Dewa Arak, gadis ini baru merasa kalau per-
mainan sabuknya belum apa-apa.
Di tangan Dewa Arak sabuk itu justru lebih berba-
haya dari pada senjata tajam lainnya. Terkadang Dewa
Arak membuat sabuk menegang kaku laksana pedang
atau golok. Tapi, tak jarang meliuk-liuk laksana ular
sehingga sukar diketahui arah yang dituju. Sering kali
pula sabuk itu dipergunakan seperti cambuk, melecut-
lecut memperdengarkan bunyi nyaring.
Ctarrr, ctarrr!
Lecutan ujung sabuk Dewa Arak menghantam ke-
pala dua mayat hidup yang sial. Terdengar bunyi ber-
derak keras ketika kepala makhluk-makhluk itu han-
cur. Kusumawati tak kuasa untuk tidak berteriak.
Mayat-mayat hidup itu ambruk ke tanah dan tak
bangkit lagi.
Tindakan Dewa Arak benar-benar mengiriskan. Ke
mana pun ujung sabuknya meluncur selalu mendarat
di kepala lawannya. Bunyi berderak keras terdengar
susul-menyusul. Tubuh-tubuh ambruk ke tanah dan
tak bangkit lagi. Hanya dalam waktu sebentar saja le-
bih dari separo mayat hidup tergolek di tanah.
Kusumawati tak henti-hentinya bersorak gembira
melihat keberhasilan Dewa Arak membinasakan la-
wan-lawannya. Tak sedikit pun menyeruak perasaan
miris melihat kepala-kepala mayat hidup yang hancur.
Dua lecutan terakhir mengakhiri pertarungan itu.
Dewa Arak lalu menggulung kembali sabuknya dan
mengikatkannya di pinggang. Sesaat pemuda ini mena-
tap mayat-mayat yang bergeletakan di tanah sebelum
membalikkan tubuh menghadap Kusumawati. Gadis
itu tampak memperhatikan Arya dengan sorot mata
kagum. Kepandaian Dewa Arak berada jauh di atas-
nya. Sempat dilihatnya ketika Arya menggulung sabuk,
tak ada noda sedikit pun pada kain berwarna ungu itu.
Padahal, puluhan kepala telah dihancurkan dengan
senjata lemas tersebut
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Kusumawati tak me-
nyembunyikan perasaan kagumnya. "Dari mana kau
tahu kalau kepala mereka merupakan kelemahannya?"
"Aku pernah menghadapi makhluk-makhluk seper-
ti ini sebelumnya," ujar Arya kalem. Sekarang mari kita
ke tempat kakakmu berada, Wati. Barangkali saja be-
lum terlambat untuk menolongnya," ajak Arya dengan
separo mengingatkan.
"Ah...! Mengapa aku bisa lupa?" sambut Kusuma-
wati. Dia baru teringat kembali dengan keadaan ka-
kaknya.
Arya dan Kusumawati pun melesat meninggalkan
tempat itu. Di tengah perjalanan Arya mendapati pa-
sukan kerajaan yang menjadi korban amukan mayat-
mayat hidup. Karena sepasang muda-mudi itu mem-
pergunakan ilmu lari cepat, tak lama kemudian areal
pemakaman yang dimaksud Kusumawati telah terlihat
"Mengapa sepi, Dewa Arak?" keluh Kusumawati
tanpa mampu menyembunyikan rasa khawatirnya.
Wajah dan sorot matanya menyiratkan kecemasan
yang menggelegak.
Arya tak memberikan tanggapan. Seperti juga Ku-
sumawati, pemuda ini mengkhawatirkan kedatangan
mereka terlambat. Areal pemakaman tampak lengang.
Kendati demikian, Arya dan Kusumawati tetap melan-
jutkan lari mereka untuk menuju ke tempat itu.
Apa yang mereka lihat dari kejauhan ternyata tak
berbeda dengan setelah berada di areal pemakaman.
Suasana tampak sunyi. Tidak terlihat sepotong mak-
hluk hidup pun di sana. Tempat itu porak poranda se-
perti telah terjadi pertarungan.
Kusumawati berdiri terpaku bagai patung. Wajah
gadis ini pucat bukan main. Sinar kesedihan yang
sangat tampak jelas pada sorot matanya yang seperti
lampu kehabisan minyak.
"Tenangkan hatimu, Wati," hibur Arya sebisa
mungkin. Suara pemuda ini penuh perasaan prihatin.
"Mudah-mudahan saja kakakmu selamat. Bukankah
tak ada mayatnya di sini?"
Kusumawati tak segera memberikan tanggapan.
Gadis ini malah menarik napas berulang-ulang. Bebe-
rapa kali hal itu dilakukan hingga ketenangannya pun
timbul. Seiring dengan itu Kusumawati dapat merasa-
kan kebenaran ucapan Dewa Arak. Benar. Bukankah
korban-korban mayat-mayat hidup dibiarkan begitu
saja? Dan, ketidakadaan mayat Angruna di sini bukan
tak mungkin karena pemuda itu berhasil meloloskan
diri!
"Tapi mengapa Kak Angruna tak segera menyusul?"
bantah Kusumawati mulai khawatir lagi.
"Barangkali saja karena jalan menuju tempatmu
dipenuhi makhluk-makhluk itu, Wati," jawab Arya se-
kenanya. "Atau mungkin karena usahanya untuk me-
nyelamatkan diri, Angruna tak memperhitungkan arah
lagi. Yang penting dia bisa selamat dari ancaman mak-
hluk-makhluk itu."
Kusumawati terdiam. Hiburan yang diberikan Arya
berhasil menenangkan hatinya yang resah.
"Menurut ceritamu, aku atau kakek bercelana pen-
dek yang akan mampu menyingkap rahasia aneh di
langit," ujar Arya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Begitulah menurut penuturan Kakek Setyaki, De-
wa Arak"
"Kau tahu di mana Kakek Setyaki tinggal?" tanya
Arya lebih jauh. "Kita akan coba untuk menemuinya."
Kusumawati menggeleng. "Kakek Setyaki tak mem-
beritahukan tempat tinggalnya. Tapi beliau memberi-
kan suatu tanda yang membuatnya akan mengetahui
kalau aku atau Kak Angruna bertemu dengan orang
yang kami cari. Setelah itu, dengan mempergunakan
ilmunya akan diberitahukan ke mana kami harus me-
nemuinya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang
apakah kau sudah mendapat pemberitahuan untuk
menuju ke mana, Wati?"
"Belum, Dewa Arak," jawab Kusumawati.
Arya menghela napas berat. Pemuda ini kelihatan
tidak tenang. Kusumawati jadi merasa heran melihat-
nya.
"Ada hal yang menyusahkan pikiranmu, Dewa
Arak?" tanya Kusumawati hati-hati, takut dianggap
bertindak lancang.
"Sebenarnya sih tidak, Wati. Aku hanya merasa
khawatir Kakek Setyaki tak akan pernah bisa meng-
hubungi mu."
"Aku belum mengerti maksudmu, Dewa Arak?" Ku-
sumawati tampak mengernyitkan kuning.
"Bukankah kau tahu semua usaha Kakek Setyaki
untuk menyingkap tanda aneh di langit selalu berakhir
dengan kegagalan?" Arya malah balas mengajukan per-
tanyaan. Ketika dilihatnya Kusumawati mengangguk,
perkataannya segera dilanjutkan. "Itu menunjukkan
kalau seseorang atau sesuatu yang berada di balik pe-
ristiwa aneh ini mengetahui tindak tanduknya. Semua
usaha Kakek Setyaki akan dihalanginya tak terkecuali
dengan pemberitahuan terhadap dirimu, Wati. Bahkan
aku khawatir Kakek Setyaki sudah tak ada lagi. Tokoh
yang berada di balik semua kejadian ini tahu pasti Ka-
kek Setyaki merupakan bahaya besar yang harus dile-
nyapkan dari muka bumi."
Kusumawati kelihatan terkejut mendengar penjela-
san Arya. Hal seperti itu tak pernah masuk dalam piki-
rannya.
"Kalau demikian halnya...," ucap Kusumawati ke-
mudian. "Aku dan Kak Angruna pun tak luput dari in-
caran bahaya itu?"
"Bisa jadi, Wati," jawab Arya sejujurnya. "Asal kau
tahu saja, mayat-mayat itu tak akan mampu hidup lagi
tanpa adanya campur tangan seseorang atau sesuatu.
Bukan tak mungkin penyerangan mayat-mayat hidup
terhadap kau dan kakakmu merupakan pekerjaannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Dewa
Arak?" tanya Kusumawati, bingung bercampur ngeri
mengingat kemungkinan mayat-mayat hidup akan
menyerangnya kembali.
"Bukan hanya kau saja, Wati, tapi juga aku. Kita
berdua akan bekerja sama untuk menyingkapkan ma-
salah ini. Untuk langkah pertama, kita jumpai dulu
ayahmu. Beliau sedikit banyak bisa memperkirakan
tempat tinggal Kakek Setyaki. Tentu saja sambil kita
selidiki ke mana Angruna pergi," usul Arya setelah
memperbaiki ucapan Kusumawati.
***
Malam ini tampak begitu cerah. Langit bersih tanpa
sepotong awan pun menggantung di sana. Binatang-
binatang leluasa memancarkan sinar lembutnya ke
persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan
semakin menambah indahnya suasana malam.
Dalam suasana seperti itu tampak sosok-sosok tu-
buh tengah bergerak. Mereka memiliki gerakan cepat
kendati tak ringan menjejak tanah. Bunyi langkah so-
sok-sosok itu berdebam-debam menghantam tanah tak
ubahnya segerombolan gajah liar yang tengah berlari.
Mereka memang tak patut disebut manusia. Sebagian
besar tak memiliki daging yang utuh melekat di tubuh.
Bau bangkai pun menyeruak dari tubuh-tubuh itu.
Sosok-sosok ini adalah mayat-mayat hidup!
Gerombolan mayat hidup berlari dengan pasti me-
nuju kelompok bangunan yang dikelilingi pagar tem-
bok tinggi menjulang. Istana kerajaan! Sinar bulan
yang memancar membuat rombongan mayat hidup se-
gera terlihat oleh prajurit-prajurit kerajaan yang berja-
ga-jaga di atas tembok istana.
"Makhluk-makhluk celaka yang dikatakan Pangli-
ma Soka menuju kemari. Sepertinya hendak menye-
rang istana. Gila!" teriak prajurit bertubuh gemuk den-
gan suara menyiratkan kengerian.
"Kita akan habisi mereka...!" sahut prajurit yang
berkumis mirip misai tikus.
Setelah berkata demikian, prajurit itu meniup te-
rompet dari tanduk menjangan. Bunyi khas yang men-
jadi pertanda adanya bahaya pun terdengar. Nyaring,
menguak kesunyian malam.
Sekejap kemudian suasana kalut melingkupi se isi
istana. Puluhan prajurit berlarian dari beberapa ban-
gunan. Gerakan mereka tangkas dan cepat. Dalam
waktu sebentar saja prajurit-prajurit itu telah berada
di atas tembok istana.
"Serang...!" Puluhan anak panah berapi melesat da-
ri busurnya ketika rombongan mayat hidup telah se-
makin dekat. Suasana mendadak menjadi terang ben-
derang bak siang hari.
Namun seperti biasanya, mayat-mayat hidup itu
tak mempedulikan akan adanya serangan. Makhluk-
makhluk menyeramkan ini terus berlari. Maka tak pe-
lak lagi panah-panah berapi menembus tubuh mereka.
Sebagian besar mayat-mayat hidup yang terkena se-
rangan dengan tubuhnya terbakar tetap merangsek
maju bersama rekan-rekannya. Kobaran api di tubuh
mereka sama sekali tak dirasakan.
"Gila!"
"Luar biasa!"
"Ajaib!"
Seruan-seruan bernada kaget dan ngeri keluar dari
mulut para prajurit kerajaan. Kendati demikian mere-
ka tak mempunyai pilihan lain kecuali terus melontar-
kan anak-anak panah itu. Tapi hasil yang didapat tak
berbeda dengan sebelumnya. Gelombang penyerbuan
mayat-mayat hidup tak bisa dicegah. Seluruh prajurit
menjadi panik.
"Panglima Soka benar. Makhluk-makhluk jahanam
itu tak bisa dibunuh," celetuk salah seorang prajurit
dengan nada putus asa.
"Mayat-mayat gila! Apakah dunia telah terbalik se-
hingga mereka bangkit dari kubur dan menyerbu kera-
jaan? Apakah makhluk-makhluk itu pun ingin mendi-
rikan kerajaan mayat hidup?" gerutu seorang prajurit
lain.
Dalam keadaan biasa ucapan prajurit itu akan
memancing rasa lucu di hati yang lain. Tapi karena
saat itu ketegangan menyelimuti, tak ada seorang pun
yang tersenyum, apalagi tertawa!
Para prajurit terpaksa membuang busur-busur dan
menggantinya dengan tombak ketika jarak lawan telah
semakin dekat. Bahkan beberapa mayat hidup mulai
berusaha memanjat dinding istana. Sebagian lagi me-
nuju pintu gerbang.
Brakkk!
Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati
tebal dan berukir hancur berantakan dilabrak bebera-
pa mayat hidup. Hancurnya pintu membuat mayat-
mayat hidup itu meluruk masuk ke dalam istana. Ser-
buan ini segera disambut oleh ratusan prajurit dengan
pedang dan tameng. Pertarungan besar-besaran pun
terjadi. Tak hanya di bawah, tapi juga di atas tembok
istana.
Korban di pihak pasukan kerajaan pun berjatuhan.
Mayat-mayat hidup itu terlalu tangguh untuk mereka
hadapi. Jeritan kematian terdengar silih berganti di-
ikuti dengan robohnya tubuh mereka ke tanah. Darah
membanjiri halaman istana!
Pasukan kerajaan berusaha keras untuk bertahan.
Tapi ketangguhan lawan-lawan yang mereka hadapi
membuatnya tak berdaya. Betapapun keras perlawa-
nan yang mereka berikan namun terus terdesak mun-
dur ke arah bangunan istana.
Di antara pasukan kerajaan terdapat Panglima So-
ka. Panglima yang telah sembuh dari luka-lukanya ini
tak kuasa pula untuk diam di tempatnya, Panglima
tinggi besar ini ikut bergerak mundur. Panglima Soka
menggertakkan gigi. Dia kesal dan geram. "Haruskah
kerajaan jatuh ke tangan mayat-mayat hidup itu?"
tanya sang panglima dalam hati.
Kekhawatiran Panglima Soka dan semua pasukan
kerajaan tampaknya akan terjadi. Mereka terus terde-
sak mundur. Namun sebuah keajaiban terjadi! Setelah
rombongan mayat-mayat hidup masuk lima tombak
dari pintu gerbang istana, makhluk-makhluk itu roboh
ke tanah dan tak bergerak lagi!
Kejadian itu menggembirakan pihak pasukan kera-
jaan, meski mereka tak mengerti apa yang telah terja-
di. Yang mereka ketahui, setiap kali mayat-mayat hi-
dup melewati jarak lima tombak dari daun pintu ger-
bang mereka lalu roboh dan mati! Panglima Soka sege-
ra memerintahkan pasukannya untuk berada di jarak
yang aman. Sorot-sorot kegembiraan dan kelegaan
tampak memancar di wajah pasukan kerajaan
Sisa rombongan mayat hidup rupanya merasa jeri.
Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu bergerak
mundur dan meninggalkan istana. Kegeraman rupanya
masih bersarang di hati makhluk-makhluk itu. Sambil
meninggalkan istana mereka mengeluarkan geraman-
geraman kemarahan.
***
5
"Hhh...!"
Prabu Rancamala menghela napas berat. Dahi raja
yang telah berusia hampir enam puluh lima tahun ini
berkernyit. Sepasang matanya kemudian beredar men-
gawasi sekelilingnya. Satu persatu dirayapinya wajah-
wajah orang yang duduk bersila di depannya.
"Tombak Panca Warna...," gumam Prabu Rancama-
la pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang kakek ber-
jenggot panjang dan berpakaian putih. "Benda itulah
yang membuat makhluk-makhluk jahanam itu tak
mampu mendekati bangunan istana. Jawaban ini
hamba dapatkan melalui semadi hamba, Gusti Prabu."
"Aku memang pernah mendengar kabar tentang
benda pusaka itu di kerajaan ini, Eyang," ujar Prabu
Rancamala lagi. "Tapi aku sendiri belum pernah meli-
hatnya. Jadi, ku sangsikan kebenaran berita itu."
"Menurut wangsit yang hamba terima, Gusti Pra-
bu," timpal Eyang Santer, ahli kebatinan kerajaan,
"Tombak Panca Warna dihadiahkan seorang ulama pe-
nyebar agama pada buyut Gusti Prabu. Berkat penga-
ruh Tombak Panca Warna buyut Gusti Prabu tidak
menghadapi gangguan apa pun dari makhluk-makhluk
halus yang dulu mendiami wilayah kerajaan ini, yang
di waktu zaman buyut Gusti Prabu masih berupa hu-
tan liar."
"Ayahanda pun pernah menceritakan hal itu,
Eyang. Tapi betapa pun kucari tak kutemukan pusaka
itu di sini. Apakah Eyang mampu menemukannya?"
tanya Prabu Rancamala penuh harap.
"Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Sejauh ini ham-
ba belum berhasil mengetahui tempat Tombak Panca
Warna berada," jawab Eyang Santer seraya memberi
hormat
Selebar wajah Prabu Rancamala menyiratkan ke-
kecewaan besar mendengar jawaban itu.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bi-
cara?" tanya Panglima Soka.
"Silakan, Panglima."
Panglima Soka kemudian mengalihkan perhatian
pada Eyang Santer.
"Aku menjumpai hal aneh, Eyang," ujar Panglima
Soka memulai pembicaraannya. "Ini sehubungan den-
gan mayat-mayat hidup itu. Mengapa mayat-mayat hi-
dup roboh pada jarak tertentu? Apakah Tombak Panca
Warna menyebarkan hawa yang dapat melumpuhkan
mayat-mayat hidup pada jarak tertentu? Misalnya...,
tiga tombak, Eyang? Dengan demikian kita bisa men-
carinya dalam jarak sekian dari batas di mana mayat-
mayat itu roboh."
"Tombak Panca Warna tidak mempunyai pengaruh
demikian, Panglima," jawab Eyang Santer. "Tewasnya
mayat-mayat hidup itu menurut wangsit yang kudapat
karena pada tempat yang mereka lalui, jarak lima tom-
bak dari pintu gerbang, telah dikucuri air berkhasiat
yang diberikan ulama ratusan tahun lalu. Dan sebe-
narnya tempat di mana air itu dikucurkan dulu adalah
dinding istana kerajaan. Karena istana diperluas, tem-
pat yang dikucuri air jadi berada di dalam dinding is-
tana. Air itu pun dimaksudkan untuk mencegah ma-
suknya makhluk-makhluk gaib yang bermaksud jahat
ke dalam lingkungan istana."
Eyang Santer lalu mengalihkan perhatian pada
Prabu Rancamala.
"Dan menurut pengetahuan hamba Gusti Prabu,
air itu berasal dari rendaman Tombak Panca Warna.
Tapi apabila Tombak Panca Warna lenyap dari ling-
kungan istana, air itu kehilangan kegunaannya. Pen-
garuh air bisa memudar oleh waktu. Keberadaan Tom-
bak Panca Warna yang membuat pengaruh air tetap
ada. Karena itu Gusti Prabu, hamba yakin sekali Tom-
bak Panca Warna masih berada di sini."
Prabu Rancamala mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti.
"Baiklah kalau demikian, Eyang. Panglima Soka!"
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Panglima Soka cepat
sambil memberi hormat.
"Kau perintahkan prajurit untuk mencari di mana
adanya Tombak Panca Warna itu!" titah sang raja yang
berkulit wajah kemerahan itu dengan penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu. Titah Gusti Prabu akan, se-
gera hamba laksanakan!"
"Bisa kau beritahukan ciri-ciri Tombak Panca War-
na itu, Eyang?" tanya Prabu Rancamala.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," Eyang Santer
memberi hormat "Hamba belum mengetahuinya. Akan
hamba usahakan untuk mengetahuinya, Gusti Prabu.
Hamba akan bersemadi lagi untuk mendapatkan
wangsit."
Prabu Rancamala terdengar menghela napas berat
mendengar jawaban ahli kebatinan istananya. Disan-
darkannya punggungnya ke singgasana yang mewah
dan indah.
***
Bangunan itu besar dan megah. Dinding batu se-
tinggi satu tombak mengelilingi bangunan yang memi-
liki halaman luas. Bunga berwarna-warni menghiasi
sebagian besar halaman. Jika melihat tempat ini tak
seorang pun akan menyangka pemiliknya seorang da-
tuk kaum sesat berhati kejam dan berwatak bengis. Ib-
lis Gelang Raksasa, julukannya.
Saat itu Iblis Gelang Raksasa, seorang kakek tinggi
besar berpakaian indah dan berkulit putih bersih, ten-
gah duduk di sebuah bangku di halaman samping
yang dipenuhi bunga-bungaan aneka warna. Iblis Ge-
lang Raksasa menarik napas dan mengeluarkan secara
berirama, sebagaimana layaknya orang yang tengah
bersemadi. Dan memang sesungguhnya demikian, ka-
kek yang telah berusia enam puluh lima tahun itu ten-
gah bersemadi. Dan tempatnya selalu di halaman
samping yang tertutup.
Setelah beberapa lama Iblis Gelang Raksasa men-
gatur jalan napasnya, tampaklah perubahan pada wa-
jah yang putih bersih itu. Wajah itu mulai memerah
dan akhirnya hitam kelam laksana arang. Kemudian
perlahan-lahan warna hitam memudar menjadi putih
seperti sediakala. Perubahan warna itu tak berhenti
hanya sampai di sini. Wajah Iblis Gelang Raksasa se-
makin putih pucat hingga akhirnya berwarna hijau!
Tokoh persilatan besar akan dapat mengetahui peru-
bahan seperti ini hanya dapat terjadi akibat pengua-
saan tenaga dalam berhawa dingin dan panas yang
sampai ke puncaknya!
Wajah Iblis Gelang Raksasa yang telah berubah hi-
jau kemudian kembali memudar. Namun sebelum
sampai seperti sediakala, tampak kerutan di sepasang
alis kakek ini, seakan-akan ada sesuatu yang meng-
ganggu pikirannya. Kendati demikian, latihannya tetap
diteruskan hingga warna wajahnya putih kembali se-
perti sediakala. Iblis Gelang Raksasa membuka sepa-
sang matanya. Peluh yang membasahi sedikit dahinya
dihapus dengan sapu tangan indah.
"Kunyuk-kunyuk itu rupanya sudah kepingin mati
lebih cepat!" desis Iblis Gelang Raksasa dengan sepa-
sang mata memancarkan hawa pembunuhan. "Berani-
beraninya mereka mengganggu latihanku dengan
bunyi-bunyi gaduh."
Iblis Gelang Raksasa lalu bangkit dari semadinya
dan melangkah lebar-lebar menuju pintu halaman
samping yang tertutup dan diselot. Tangan kakek ini
diulapkan seperti orang mengusir lalat. Selot di pintu
pun bergerak membuka bagai digerakkan oleh tangan
tak nampak. Padahal jarak kakek itu dengan daun pin-
tu masih dua tombak.
Iblis Gelang Raksasa terus melangkah seakan hen-
dak menabrak daun pintu yang belum membuka. Tapi
setengah tombak sebelum sampai, daun pintu itu telah
bergerak membuka sendiri. Dengan langkah-langkah
lebar dan wajah bengis Iblis Gelang Raksasa terus me-
langkahkan kakinya menuju keluar. Pendengarannya
yang tajam mengisyaratkan kalau bunyi gaduh itu be-
rasal dari halaman depan.
Puluhan langkah berjalan baru Iblis Gelang Raksa-
sa sampai diambang pintu yang berbatasan dengan te-
ras. Dari tempat itu tampak pemandangan yang mem-
buat kemarahannya yang berkobar berganti dengan
keterkejutan! Di halaman depan belasan anak buah Ib-
lis Gelang Raksasa tengah terlibat pertarungan meng-
hadapi seorang lelaki jangkung. Sepuluh anak buah
datuk kaum sesat ini dengan senjata di tangan, tapi
mereka terdesak oleh lawannya yang tak bersenjata.
Lelaki jangkung itu justru tak bergeming dari tem-
patnya. Hanya kedua tangannya yang digerakkan ke
sana kemari menangkis serangan-serangan yang da-
tang. Akibat tangkisan-tangkisan itu tubuh para pen-
geroyoknya berpentalan dan jatuh terguling-guling.
Lelaki jangkung tampak tak terpengaruh sama se-
kali akan tindakan yang dilakukannya. Tak terlihat
tanda-tanda dia merasa kesakitan akibat benturan
tangannya yang telanjang dengan senjata-senjata la-
wan. Malah, beberapa kali senjata lawan dibiarkan
mengenai sekujur tubuhnya. Akibatnya, senjata-
senjata itu berbalik dan berpentalan seperti mengenai
gumpalan karet kenyal.
"Minggir semua, kecoak-kecoak tak berguna!" seru
Iblis Gelang Raksasa seraya menghampiri kancah per-
tarungan.
Tanpa menunggu perintah dua kali anak-anak
buah Iblis Gelang Raksasa berbondong-bondong me-
ninggalkan kancah pertarungan. Yang tinggal hanya
lelaki jangkung berdiri dengan kedua tangan terlipat di
depan dada.
Lelaki jangkung itu menatap tak berkedip pada Ib-
lis Gelang Raksasa. Si iblis sendiri tak mau kalah ger-
tak. Sambil mengayunkan kaki tatapannya ditujukan
pada lelaki jangkung. Dua pasang mata yang sama-
sama tajam saling bertemu tanpa ada yang mau men-
galah.
"Selamat berjumpa lagi, Iblis Gelang Raksasa," ujar
lelaki jangkung ketika Iblis Gelang Raksasa telah
menghentikan langkahnya. Lelaki jangkung dan Iblis
Gelang Raksasa berdiri berhadapan dalam jarak tiga
tombak.
Iblis Gelang Raksasa terdengar mendengus marah.
Ucapan lelaki jangkung tidak dipedulikannya sama se-
kali.
"Apa yang mendorongmu datang kemari, Antabo-
ga?!" tanya Iblis Gelang Raksasa tak ramah. "Meminta
ku untuk membantu gerakan pemberontakan mu la-
gi?!"
Lelaki jangkung yang ternyata Pangeran Antaboga
langsung mengelam wajahnya. Sorot sepasang ma-
tanya seperti memancarkan api. Namun hanya seben-
tar, kemudian kembali seperti biasa. Tenang dan din-
gin.
"Kau keliru besar kalau menduga demikian, Iblis
Gelang!" dengus Pangeran Antaboga. "Aku tahu tak
ada gunanya mengajak orang yang takut. Kedatangan-
ku kemari hanya untuk menengok kawan lama."
"Tak usah berbasa-basi denganku, Antaboga! Ce-
patlah menyingkir dari tempat ini sebelum kesabaran-
ku habis. Aku tak butuh pangkat atau kedudukan ka-
rena keadaan sekarang sudah enak. Kau boleh menge-
jar keinginanmu, tapi jangan harap aku akan bersedia
membantu!" tandas Iblis Gelang Raksasa.
"Aku malah menunggu habisnya kesabaran mu, Ib-
lis Gelang!" sahut Pangeran Antaboga dengan berani.
"Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan terha-
dapku?"
"Kuperingatkan sekali lagi, Antaboga. Pergi dari si-
ni! Ini peringatan terakhir. Kau bukan seorang pange-
ran lagi. Raja Rancamala malah telah membuang mu
ke tempat terkutuk. Kendati berhasilnya kau lolos dari
tempat pembuangan itu merupakan teka-teki, namun
tak menjadikan ku gentar. Kalau aku masih mempedu-
likan kedudukan dan pangkat, kutangkap kau dan ku-
serahkan pada kerajaan. Tapi aku tak ingin melaku-
kan hal itu. Pergilah, Antaboga!"
"Sesumbar mu besar sekali, Iblis Gelang!" sambut
Pangeran Antaboga dengan suara keras. "Dua tahun
yang lalu mungkin kau bisa berkata demikian. Tapi
sekarang tak sepotong makhluk pun boleh menghina
Pangeran Antaboga. Majulah kau, Iblis! Ingin kulihat
sampai di mana kemampuanmu!"
"Keparat! kau mencari penyakit sendiri, Pangeran
Pemberontak! Di istana kau boleh ditakuti dengan ke-
mampuan yang kau miliki. Tapi semua kemampuanmu
tak ada artinya bila dipertunjukkan padaku. Sikap
lancang mu cukup membuatku untuk membawamu ke
hadapan raja. Aku yakin Raja Rancamala akan gembi-
ra mendapat oleh-oleh dariku. Kudengar kerajaan me-
mang bermaksud membawamu kembali ke sana seba-
gai tahanan!"
"Cuhhhh!"
Dengan kasar Pangeran Antaboga meludah. Bukan
ke tanah tapi ke wajah Iblis Gelang Raksasa. Terdengar
bunyi berdesing nyaring bak anak panah lepas dari
busur, ketika cairan yang kental menjijikkan itu me-
luncur ke arah wajah Iblis Gelang Raksasa.
Wajah Iblis Gelang Raksasa merah padam saking
marahnya mendapat serangan seperti itu. Meskipun
diakui serangan itu hanya seperti serangan anak pa-
nah, tapi Iblis Gelang Raksasa merasa terhina. Kema-
rahan yang sudah membakar hati berkobar semakin
besar!
Iblis Gelang Raksasa tak mengelakkan serangan itu
sama sekali. Tangan kanannya dijulurkan ke depan la-
lu diputar ke kiri. Angin menderu keras dari gerakan
itu. Akibatnya, semburan ludah terhenti di tengah ja-
lan dan rubuh ke tanah.
"Kau masih lihai seperti dulu, Iblis Gelang! Tapi
Pangeran Antaboga yang sekarang tak bisa disamakan
dengan yang dulu. Bersiaplah, Iblis Gelang!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu Pange-
ran Antaboga melesat menerjang Iblis Gelang Raksasa.
Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan
dilayangkan ke arah lawan. Cakar kanan mengancam
leher sedangkan yang kiri mengancam dada. Kedudu-
kan buku-buku jari tangan kanan menghadap ke lan-
git, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan
kiri yang menghadap ke bumi.
Iblis Gelang Raksasa tak mau kalah gertak. Seran-
gan itu segera di sambutnya dengan dorongan kedua
tangan terbuka. Jari-jari kedua tangannya lurus.
Ujung-ujung jari yang kanan menghadap ke langit se-
mentara yang kiri menghadap ke bumi. Gerakan kakek
ini mirip dengan gerakan Pangeran Antaboga. Hanya
saja berbeda kedudukan jari-jarinya.
Prattt!
Diiringi bunyi keras ketika dua pasang tangan ber-
benturan tubuh kedua tokoh itu terhuyung ke bela-
kang. Iblis Gelang Raksasa lebih jauh selangkah dari
Pangeran Antaboga.
Iblis Gelang Raksasa hampir-hampir tak percaya
akan kenyataan ini. Telah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya pada tangkisan tadi. Namun tetap saja Pan-
geran Antaboga lebih unggul. Hal ini benar-benar di
luar perhitungannya!
Pangeran Antaboga mengetahui keterkejutan la-
wannya. Maka, dibentuknya seulas senyuman menge-
jek. Tindakan pangeran ini membuat kemarahan Iblis
Gelang Raksasa menggelegak. Keheranan yang semula
menyelimuti segera berganti dengan kemarahan besar.
Perasaan ini mendorong Iblis Gelang Raksasa un-
tuk melancarkan serangan lebih dulu. Kakek ini men-
gerahkan ilmu andalan dan seluruh kemampuannya
dalam serangan itu. Pangeran Antaboga segera me-
nyambutnya sehingga pertarungan sengit pun terjadi.
Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung me-
nyemaraki jalannya pertarungan. Gerakan kedua to-
koh yang sama-sama cepat membuat bentuk tubuh
mereka tak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayan-
gan coklat dan keemasan saling belit.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi karena
perasaan geram dan penasaran. Pangeran Antaboga
tak bisa didesaknya kendati pertarungan telah melewa-
ti jurus kelima puluh. Sungguh tak disangkanya waktu
dua tahun telah membuat sang pangeran memperoleh
kemajuan yang demikian pesat
"Kurasa main-main ini sudah cukup, Iblis!"
Pangeran Antaboga kemudian mengubah gerakan-
nya. Dia tidak lagi mengirimkan serangan secara lang-
sung. Pangeran itu malah berlarian memutari Iblis Ge-
lang Raksasa.
Tingkah Pangeran Antaboga membuat Iblis Gelang
Raksasa merasa heran. Meski telah kenyang pengala-
man bertempur tapi baru kali ini Iblis Gelang Raksasa
menemui pertarungan semacam ini. Dia pun berdiam
diri di tempatnya dan tak melakukan tindakan apa
pun kecuali memperhatikan perbuatan Pangeran An-
taboga.
Mula-mula memang tidak ada hal aneh yang dida-
pati Iblis Gelang Raksasa. Tapi beberapa saat kemu-
dian kepalanya dirasakan pening. Pandangan matanya
pun berkunang-kunang karena terus dipergunakan
untuk melihat tubuh Pangeran Antaboga yang berpu-
taran di sekelilingnya. Sekarang Iblis Gelang Raksasa
baru mengetahui kedahsyatan yang terkandung dalam
cara pertarungan aneh itu. Kakek ini pun sadar kalau
terus diikutinya gerakan lawan dia akan roboh dengan
sendirinya.
Iblis Gelang Raksasa buru-buru berdiri tegak di
tempatnya sambil memejamkan mata. Indera pengliha-
tannya tak dipergunakan lagi. Sekarang yang dipa-
kainya adalah sepasang telinganya. Dengan pendenga-
rannya yang luar biasa tajam diikutinya setiap gerakan
Pangeran Antaboga.
Pertarungan unik pun terjadi. Iblis Gelang Raksasa
berdiam diri di tempatnya. Tapi ketika pendengarannya
menangkap bunyi serangan, ditangkis dan sekaligus
dilancarkannya serangan balasan. Di lain pihak, Pan-
geran Antaboga terus berlari mengitari lawannya sam-
bil sesekali melancarkan serangan.
Tak sampai sepuluh jurus pertarungan aneh itu
berlangsung Iblis Gelang Raksasa telah terdesak hebat.
Begitu menginjak jurus ketiga belas sebuah tendangan
Pangeran Antaboga mengenai lututnya
Iblis Gelang Raksasa terjengkang ke belakang. Ber-
kat kelihayannya kakek ini memang tak sampai terja-
tuh, tapi sambungan tulang lututnya terlepas. Iblis Ge-
lang Raksasa menggigit bibir menahan rasa nyeri yang
mendera. Kendati demikian, kakek ini bersiap untuk
menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Tapi Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan
lagi. Lelaki itu malah menatap lawannya dengan sorot
mata kemenangan. Pangeran Antaboga berdiri dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimana, Iblis? Apakah kau masih berkeras in-
gin melanjutkan pertarungan? Asal kau tahu saja, ma-
sih banyak ilmu-ilmu dahsyat lainnya yang kumiliki.
Kurasa hal ini telah cukup untuk membuatmu men-
gerti kalau kau bukan tandinganku!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga
dengan sorot yang sukar ditebak maksudnya. Namun
yang jelas datuk kaum sesat ini tak percaya akan apa
yang dialaminya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang kemari, Anta-
boga?" tanya Iblis Gelang Raksasa meminta kepastian.
"Hanya sebuah maksud kecil," jawab Pangeran An-
taboga ringan. "Memintamu untuk melaksanakan sua-
tu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" tanya Iblis Gelang Raksasa sete-
lah berpikir sebentar.
"Mengambil Tombak Panca Warna."
"Tombak Panca Warna?!" Iblis Gelang Raksasa
mengernyitkan dahi. Kakek ini telah mendengar ten-
tang senjata itu. Sebuah senjata pusaka di masa ratu-
san tahun silam. Namun, tak ada seorang pun yang
tahu bagaimana bentuknya. "Di mana harus kuda-
patkan benda itu?"
"Di kerajaan," jawab Pangeran Antaboga dengan si-
kap biasa. Tak dipedulikannya keterkejutan Iblis Ge-
lang Raksasa. "Bagaimana? Kau setuju dengan usulku
ini, Iblis? Kalau kau tidak mau, taruhannya adalah
nyawamu!" ujar Pangeran Antaboga mantap.
Iblis Gelang Raksasa tak mempunyai pilihan lain.
Dihelanya napas berat kemudian dianggukkan kepa-
lanya. Kaku dan perlahan-lahan gerakan itu dilaku-
kan.
"Bisa kau beritahukan di mana letaknya yang pas-
ti?" tanya Iblis Gelang Raksasa dengan suara yang
hampir tak terdengar.
Pangeran Antaboga mengangguk. Kemudian, seca-
ra gamblang diberitahukannya pada Iblis Gelang Rak-
sasa. Iblis itu mencatat semua keterangan Pangeran
Antaboga di benaknya.
"Ingat, Iblis Gelang," ujar Pangeran Antaboga pe-
nuh tekanan. "Jangan coba-coba untuk mempermain-
kan ku. Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Iblis Gelang Raksasa hanya tersenyum pahit. Kalau
menuruti perasaan, ingin diterjangnya Pangeran Anta-
boga untuk mengadu nyawa. Tapi segera ditekannya
keinginan itu karena akibatnya hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini dia tak
akan mungkin menang menghadapi Pangeran Antabo-
ga. Mengalah sedikit tak mengapa demi keuntungan,
demikian pikir kakek berpakaian keemasan ini.
6
Angin lembut yang membawa hawa dingin menu-
suk tulang berdesir di malam yang hanya diterangi si-
nar bulan sepotong. Kendati demikian suasana di per-
sada cukup terang. Bahkan bintang-bintang bertabu-
ran di langit.
Dalam suasana malam seperti itu Iblis Gelang Rak-
sasa melesat cepat menuju istana kerajaan. Gerakan-
nya yang cepat dengan kedua kaki bagai tak menginjak
tanah membuatnya cepat tiba di dinding tembok ista-
na. Berlainan dengan biasanya, prajurit-prajurit yang
bertugas di atas tembok istana tak melihat kedatangan
tamu tak diundang itu.
Iblis Gelang Raksasa merapatkan tubuh di dinding
beberapa saat. Kakek ini menanti saat yang mengun-
tungkan untuk dapat masuk ke dalam lingkungan is-
tana. Dan ketika saat yang dinantikannya tiba, dia me-
lesat ke atas. Berkat ilmu meringankan tubuh Iblis Ge-
lang Raksasa yang telah mencapai tingkatan tinggi, se-
kali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat melewa-
ti dinding istana.
Tanpa menimbulkan bunyi, Iblis Gelang Raksasa
menjejakkan kaki di tanah, di dalam lingkungan ista-
na. Untuk kedua kalinya keuntungan seperti berpihak
pada datuk sesat itu. Tak seorang pun anggota pasu-
kan kerajaan yang memergokinya. Prajurit-prajurit
yang berkeliling memperhatikan keadaan di sekitar is-
tana telah melewati tempat di mana Iblis Gelang Rak-
sasa mendarat
Iblis Gelang Raksasa menghela napas lega. Dia me-
rasa gembira melihat keberhasilannya di tahap-tahap
pertama. Kakek itu tak membuang-buang waktu. Ber-
gegas dia melesat ke arah salah satu bangunan. Begitu
tiba di bangunan yang dituju Iblis Gelang Raksasa me-
lompat ke atas genting. Kembali tak terdengar bunyi
yang berarti ketika kedua kakinya menjejak di sana.
Laksana seekor kucing Iblis Gelang Raksasa berla-
rian di atas genting menuju bagian belakang. Menurut
penuturan Pangeran Antaboga tepat di sebelah bawah
puncak genting tersimpan Tombak Panca Warna.
Baru juga mencapai pertengahan jalan, Iblis Gelang
Raksasa merasakan ada keanehan. Pendengaran ka-
kek ini yang tajam menangkap suara desah napas ha-
lus di tempat yang ditujunya. Tertangkap oleh penden-
garannya desah napas itu tak hanya keluar dari satu
hidung. Banyak lubang hidung yang menimbulkan
bunyi seperti itu! Kecurigaan yang timbul membuat Ib-
lis Gelang Raksasa menghentikan lari. Saat itulah dari
balik puncak genting bermunculan banyak busur da-
lam keadaan terentang.
"Matilah kau, Pencuri Hina...!"
Berbarengan dengan keluarnya teriakan yang me-
mecahkan kesunyian malam itu, terdengar bunyi ber-
desingan nyaring bertubi-tubi dari melesatnya belasan
anak panah menuju ke arah Iblis Gelang Raksasa!
Iblis Gelang Raksasa segera mengeluarkan senjata
andalannya. Sebuah baja putih besar berbentuk ge-
lang. Garis tengah gelang ini mencapai setengah tom-
bak. Tak aneh kalau datuk sesat ini berjuluk Iblis Ge-
lang Raksasa.
Trang, trang, trangngng!
Bunyi berdentang nyaring bertubi-tubi yang diikuti
dengan berpercikannya bunga-bunga api terjadi ketika
gelang raksasa memapaki anak-anak panah. Iblis Ge-
lang Raksasa tak berani mengandalkan kekuatan te-
naga dalamnya untuk menerima hunjaman anak-anak
panah. Dari desingan yang terdengar agaknya anak-
anak panah itu dilepaskan oleh tenaga dalam yang
amat kuat. Dan tampaknya bukan prajurit sembaran-
gan yang melepaskan.
Baru saja serangan itu berhasil dipatahkan Iblis
Gelang Raksasa, dari tempat di mana busur-busur ter-
lihat berlompatan belasan sosok yang memilik gerakan
gesit. Sosok-sosok dalam sekelebatan telah berada di
depan Iblis Gelang Raksasa. Sikap mereka terlihat pe-
nuh ancaman.
Iblis Gelang Raksasa dalam hati memaki Pangeran
Antaboga. Kakek ini yakin kedatangannya memang te-
lah ditunggu-tunggu. Dia telah dijebak Oleh siapa lagi
kalau bukan pangeran pemberontak itu?
Dugaan itu membuat Iblis Gelang Raksasa merasa
geram dan murka bukan main. Disadarinya kini tinda-
kan sang pangeran yang memintanya untuk mengam-
bil Tombak Panca Warna hanya sebuah siasat agar di-
rinya dimusuhi pihak kerajaan. Iblis Gelang Raksasa
tahu Pangeran Antaboga mempunyai alasan kuat un-
tuk melakukan hal itu. Bukankah dulu ketika sang
pangeran mengajaknya ikut dalam pemberontakan dia
tak mau?
Iblis Gelang Raksasa tak ingin terlibat keributan
dengan pasukan kerajaan. Maka, dibalikkan tubuhnya
untuk melesat meninggalkan tempat itu. Tapi niatnya
langsung diurungkan ketika melihat di bawahnya me-
nunggu puluhan pasukan kerajaan bersenjata leng-
kap. Di tangan para prajurit itu tergenggam perisai dan
pedang. Sebagian di antaranya bersenjatakan tombak
panjang. Hanya sebagian kecil yang menggenggam
anak panah.
Tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin bermun-
culan di wajah Iblis Gelang Raksasa. Dirinya benar-
benar telah masuk perangkap! Jalan lolos sepertinya
sudah tertutup! Satu-satunya cara untuk selamat
hanya melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
"Tak ada jalan keluar bagi tamu tak diundang, Iblis
Gelang Raksasa!" ejek Panglima Soka, salah seorang
dari belasan sosok di atas genting.
Iblis Gelang Raksasa hanya menggertakkan gigi se-
bagai tanggapan atas ucapan sang panglima. Bagi da-
tuk sesat ini Panglima Soka bukan lawan tangguh. Di-
akuinya panglima tinggi besar itu merupakan jago is-
tana. Tapi, seorang Panglima Soka tak berarti apa-apa
baginya!
Sementara sosok-sosok yang bersama Panglima
Soka memiliki kepandaian tak di bawah sang pangli-
ma. Melihat tanda-tanda khas di tubuh mereka, Iblis
Gelang Raksasa tahu lima sosok di antara mereka me-
rupakan pasukan khusus kerajaan. Pasukan-pasukan
pengawal Raja Rancamala! Tentu saja sebagai pasukan
khusus kepandaian mereka amat tinggi.
Di samping lima anggota pasukan khusus itu ma-
sih ada tujuh sosok yang bersikap gagah dan bermata
tajam berkilat. Sorot mata seperti itu hanya dimiliki
oleh tokoh-tokoh bertenaga dalam amat kuat. Dan, Ib-
lis Gelang Raksasa tahu kalau ketujuh sosok itu me-
mang lawan-lawan yang cukup tangguh. Setidak-
tidaknya seorang di antara mereka; memiliki kemam-
puan di atas Panglima Soka.
Iblis Gelang Raksasa, memang belum pernah men-
jajal kepandaian ketujuh sosok yang terdiri dari lelaki-
lelaki berusia tiga puluhan. Tapi nama besar Tujuh
Pendekar Gunung Harimau telah lama didengarnya
sebagai tokoh-tokoh jarang tandingan. Telah banyak
tokoh-tokoh sesat yang tewas di tangan ketujuh pen-
dekar ini. Tujuh Pendekar Gunung Harimau memang
mempunyai hubungan satu perguruan dengan Pangli-
ma Soka.
"Sungguh tak kusangka kau bermaksud tak baik
terhadap kerajaan, Iblis Gelang Raksasa," ucap Pan-
glima Soka lagi. "Padahal selama ini kerajaan bersikap
tak peduli dengan segala tindakan yang kau lakukan.
Kerajaan tahu, kau menjadi kaya raya dari hasil keja-
hatan anak-anak buahmu. Rumah-rumah judi dan
tempat pelacuran yang kau kelola. Perampokan-
perampokan atas perusahaan pengawalan barang, dan
masih banyak lagi. Tapi kau menyangka diamnya kera-
jaan karena takut, Iblis Gelang Raksasa. Sehingga se-
cara lancang kau masuk kemari. Sayang sekali mak-
sud burukmu itu berhasil kami ketahui. Sekarang ber-
siaplah untuk menerima kematian, Iblis Gelang Raksa-
sa!"
Iblis Gelang Raksasa hampir meledak dadanya
mendengar ucapan Panglima Soka. Yang membuat ka-
kek ini marah adalah tindakan licik sang pangeran
dengan menjerumuskannya ke dalam perangkap se-
perti ini.
"Pangeran Antaboga! Keparat licik! Keluar kau!
Jangan bersembunyi saja! Mari kita mengadu nyawa
sampai salah seorang di antara kita tergeletak tanpa
jiwa!" teriak Iblis Gelang Raksasa dengan pengerahan
tenaga dalamnya, sehingga suaranya berkumandang
ke seluruh penjuru. Bahkan terdengar sampai ke tem-
pat yang jauh.
Tingkah Iblis Gelang Raksasa membuat Panglima
Soka dan rekan-rekannya mengernyitkan alis. Mereka
kelihatan heran bercampur bingung.
"Jangan kira dapat mengalihkan perhatian kami
dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Iblis!" sentak Pan-
glima Soka setelah berpikir sejenak. Panglima tinggi
besar ini menduga tingkah Iblis Gelang Raksasa hanya
sebuah siasat belaka.
Iblis Gelang Raksasa kebingungan mendengar uca-
pan Panglima Soka. Sebagai datuk yang telah kenyang
pengalaman kakek ini tahu Panglima Soka bersung-
guh-sungguh dengan ucapannya.
"Benarkah bukan Pangeran Antaboga yang mem-
bocorkan kedatangannya? Kalau begitu, siapa?" tanya
hati Iblis Gelang Raksasa.
"Kelihatannya iblis itu tak bermain-main, Pangli-
ma," ujar salah satu tokoh dari Tujuh Pendekar Gu-
nung Harimau. "Barangkali saja Pangeran Antaboga
pun ikut menyelusup masuk kemari tanpa sepengeta-
huan kita."
"Andaikata benar demikian kedatangan pangeran
itu pun akan diketahui, Adi," sahut Panglima Soka.
"Seluruh sudut istana telah dijaga ketat oleh para pra-
jurit. Jangankan manusia, seekor burung pun akan
ketahuan jika masuk kemari."
Anggota Tujuh Pendekar Gunung Harimau pun di-
am. Jawaban Panglima Soka tak terlalu berlebihan.
Hal yang dikatakan panglima itu memang benar-benar
sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya.
Iblis Gelang Raksasa segera mempunyai pikiran
lain mendengar percakapan itu. Mungkinkah dirinya
dijadikan Pangeran Antaboga sebagai pengalih perha-
tian? Dia dijadikan umpan agar sang pangeran dapat
masuk ke istana tanpa mendapat gangguan!
Banyak pertanyaan yang menggayut di benak Iblis
Gelang Raksasa. Namun dia tak bisa berlama-lama
memikirkannya. Tujuh Pendekar Gunung Harimau te-
lah melancarkan serangan. Sesuai julukannya, tokoh-
tokoh golongan putih ini memang menyerang secara
bertujuh.
Lima anggota pasukan khusus hendak ikut ambil
bagian. Tapi tindakan itu mereka urungkan ketika me-
lihat Panglima Soka memberi isyarat untuk tidak men-
campuri jalannya pertarungan.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau ternyata bukan
hanya besar julukan saja. Kepandaian rata-rata mere-
ka pun hebat. Memang bila dibandingkan satu persatu
dengan Iblis Gelang Raksasa, mereka bukan tandingan
iblis itu. Tapi begitu maju bertubuh dan dengan meng-
gunakan golok yang menjadi senjata andalan mereka,
Iblis Gelang Raksasa dibuat kerepotan bukan main.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau mampu bekerja
sama secara baik. Mereka dapat menutup kekurangan
masing-masing rekannya dan kemudian menambah
kedahsyatan serangan yang dilancarkan.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi menahan
geram. Semula, menyadari keunggulannya baik dalam
kecepatan dan kekuatan tenaga, datuk sesat ini ber-
maksud sesering mungkin membenturkan senjata un-
tuk memperoleh kemenangan. Dengan tenaga dalam-
nya yang jauh lebih kuat mudah baginya untuk mem-
buat senjata lawan lepas dari genggaman. Bahkan,
dengan benturan yang terjadi Iblis Gelang Raksasa ya-
kin mampu mematahkan tangan lawan-lawannya.
Tapi, semua itu hanya dapat diwujudkan Iblis Ge-
lang Raksasa dalam angan-angan saja. Tujuh Pende-
kar Gunung Harimau tak kalah cerdik. Dalam bentu-
ran yang tak terelakkan dengan gelang raksasa lawan,
mereka tak sendiri-sendiri bertindak. Serangan yang
dilakukan selalu bertiga.
Hal itu membuat tangkisan Iblis Gelang Raksasa
selalu berbenturan dengan tiga senjata. Gabungan tiga
tokoh Pendekar Gunung Harimau dalam hal tenaga ini
ternyata terlalu kuat untuk dapat ditahan Iblis Gelang
Raksasa. Kakek ini selalu terhuyung setiap kali seran-
gan lawan-lawannya ditangkis.
Iblis Gelang Raksasa menguras seluruh kemam-
puannya. Tapi tetap saja harus diakui kalau penge-
royokan itu terlalu tangguh. Kalau saja tujuh pendekar
itu tak bekerja sama demikian baik, Iblis Gelang Rak-
sasa masih mempunyai harapan. Tapi kerja sama Tu-
juh Pendekar Gunung Harimau yang demikian baik
membuat harapan Iblis Gelang Raksasa pupus di ten-
gah jalan
Iblis Gelang Raksasa akhirnya memutuskan untuk
bertahan saja. Sebagai tokoh kawakan datuk sesat ini
merasakan kedudukan bertahan jauh lebih mengun-
tungkan daripada menyerang. Gelang raksasanya di-
putar mengelilingi tubuhnya bagaikan benteng. Andai-
kata saat itu hujan hebat pun tak setitik air akan
membasahi tubuhnya.
Iblis Gelang Raksasa sambil terus bertahan men-
coba mencari cara agar bisa meninggalkan lawan-
lawannya. Jika dia memaksakan diri untuk terus ber-
tahan, hanya akan memperoleh akibat yang merugi-
kan!
Di saat-saat genting bagi keselamatan Iblis Gelang
Raksasa itu terjadi kegaduhan di bawah. Pasukan ke-
rajaan yang semula menunggu di bawah dengan sikap
siaga kelihatan kalang kabut. Bunyi terompet tanda
bahaya menguak kesunyian malam, mengatasi riuh
rendah bunyi pertarungan.
Bunyi tanda bahaya dikeluarkan oleh prajurit-
prajurit yang berjaga-jaga di atas dinding istana. Mere-
ka melihat serombongan orang menuju ke istana.
Jumlah rombongan tak kurang dari seratus orang!
Rombongan yang sebagian besar mengenakan se-
ragam kerajaan itu berada di bawah pimpinan Pange-
ran Antaboga! Lelaki jangkung ini berlari paling depan,
meninggalkan rombongannya. Sepertinya, pangeran
pemberontak ini sudah tak sabar untuk merebut ista-
na kerajaan.
"Pasukan dari mana itu?" tanya seorang prajurit
yang bertubuh pendek gemuk
"Kalau melihat dari seragamnya sebagian besar pa-
sukan Kadipaten Bringin," jawab prajurit yang bertu-
buh tinggi kurus. "Tapi, sebagian lagi sepertinya orang-
orang persilatan!"
"Keparat!" Panglima Soka yang telah berada di atas
dinding istana, karena meninggalkan Tujuh Pendekar
Gunung Harimau bertempur dengan Iblis Gelang Rak-
sasa, memaki penuh kemurkaan. "Berani-beraninya
pasukan Kadipaten Bringin memberontak. Akan ku-
penggal kepala Adipati Menak!"
Sambil berkata demikian Panglima Soka menyi-
pitkan mata untuk dapat melihat sosok yang tengah
melesat dengan kecepatan menakjubkan. Kecepatan
gerakan Pangeran Antaboga membuat Panglima Soka
tak bisa melihatnya dengan jelas.
Seperti yang sudah diperkirakan Pangeran Antabo-
ga, begitu tubuhnya semakin mendekati tembok istana
dan telah berada dalam jangkauan luncuran anak pa-
nah, prajurit-prajurit kerajaan yang sejak semula telah
siap dengan busur terentang segera membidiknya.
Twang, twang, twangngng...!
Puluhan anak panah meluncur ke arahnya, namun
tak dipedulikan sedikit pun oleh Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini hanya mengerahkan tenaga da-
lamnya. Maka, anak-anak panah yang mendarat di se-
kujur tubuhnya berpentalan kembali bagai mengenai
gumpalan karet keras.
Puluhan prajurit istana, tak terkecuali Panglima
Soka, terkejut melihat kenyataan itu. Kendati demi-
kian, para prajurit tetap melepaskan anak-anak pa-
nah. Panglima Soka sendiri tak mencegahnya. Baru ke-
tika anak-anak panah kedua runtuh semua dalam
keadaan patah ketika membentur tubuh Pangeran An-
taboga, Panglima Soka memerintahkan sebagian praju-
ritnya untuk mengganti senjata dengan golok.
Bertepatan dengan sebagian prajurit itu menghu-
nus golok, Pangeran Antaboga menjejak dinding tem-
bok istana. Seketika itu pula belasan batang golok te-
lanjang menghujani sang pangeran.
Pangeran Antaboga hanya mendengus. Tangan dan
kakinya digerakkan ke sekitarnya. Bunyi berpatahan-
nya golok-golok pasukan kerajaan ketika membentur
sekujur tubuh Pangeran Antaboga terdengar berbaren-
gan dengan jeritan menyayat hati para pemiliknya. Tu-
buh-tubuh prajurit yang malang itu pun berjatuhan ke
tanah. Nyawa mereka telah melayang ke alam baka se-
belum tubuh mereka menimpa tanah.
Panglima Soka menggeram keras melihat tewasnya
prajurit-prajurit bawahannya. Dan, kegeramannya se-
makin bertambah ketika melihat tokoh yang menge-
jutkan itu.
"Pangeran Antaboga...!" desis Panglima Soka sea-
kan tak percaya dengan akan apa yang dilihatnya.
Sekarang Panglima Soka baru percaya kalau Pan-
geran Antaboga benar-benar telah lolos dari tempat
pengasingan.
"Syukur kau masih mampu mengenaliku, Soka,"
dengus Pangeran Antaboga setelah mengirim nyawa
lima orang prajurit yang mengeroyoknya dengan kiba-
san tangan dan kaki. "Kedatanganku kemari di samp-
ing ingin melenyapkan raja keparat itu juga untuk
membunuh antek-anteknya yang setia seperti kau!"
"Jangan mimpi, Antaboga! kaulah yang akan ter-
kubur di sini!" sergah Panglima Soka. Kemudian diki-
rimkannya tusukan pedang ke arah leher lelaki jang-
kung itu.
Serangan Panglima Soka berbahaya bukan main.
Ujung pedangnya kelihatan seperti berjumlah belasan
ketika meluncur ke arah Pangeran Antaboga. Namun
pangeran itu tetap bersikap tenang.
Kreppp!
Panglima Soka hampir tak percaya. Semula pan-
glima tinggi besar ini yakin betul pedangnya akan me-
nembus leher lawan. Tapi dengan gerakan, cepat yang
tak bisa diikuti mata, Pangeran Antaboga merendah-
kan tubuh dengan cara menekuk lututnya. Tusukan
pedang yang semula mengarah ke leher jadi menembus
mulut. Dan sebelum ujung pedang melukai tenggoro-
kan, Pangeran Antaboga telah lebih dulu memupusnya
dengan menggigitnya! Sekali gigi-gigi itu ditekankan
batang pedang Panglima Soka yang terbuat dari baja
pilihan patah dua!
Tindakan Pangeran Antaboga tak berhenti hanya
sampai di situ. Kepalanya kemudian diegoskan. Aki-
batnya, potongan pedang Panglima Soka yang berada
di giginya melayang ke arah panglima itu dengan kece-
patan yang luar biasa tinggi.
Panglima Soka terkejut bukan main. Sebisa-
bisanya dia berusaha mengelak. Tapi jarak yang demi-
kian dekat dan kecepatan meluncurnya potongan pe-
dang yang menakjubkan membuat panglima tinggi be-
sar ini tak terlalu berhasil dengan usahanya. Potongan
pedang yang semula mengincar jantung jadi menancap
di dada kiri atas Panglima Soka.
Tubuh Panglima Soka terjajar ke belakang akibat
hunjaman potongan pedang. Namun hal inilah yang
menyebabkan nyawa sang panglima lolos dari maut.
Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya po-
tongan pedang itu Pangeran Antaboga mengirimkan
tendangan ke arah pusar. Andaikata mengenai sasaran
seluruh isi perut Panglima Soka akan hancur beranta-
kan!
Terjajar tubuh Panglima Soka ke belakang mem-
buat tendangan Pangeran Antaboga mendarat di paha
kanan. Itu pun tidak telak. Kendati demikian cukup
untuk membuat tubuh Panglima Soka terjengkang ke
belakang dengan tulang paha remuk.
Untungnya Panglima Soka memiliki watak keras
hati. Tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya,
kendati rasa sakit yang amat sangat mendera-dera pa-
hanya. Bahkan panglima tinggi besar ini tak mengelua-
rkan keluhan kaget meski semangatnya seperti terbang
ketika kedua kakinya tak menginjak landasan lagi. Se-
saat kemudian, Panglima Soka baru tersadar kalau dia
telah terjatuh dari tembok istana
Pangeran Antaboga bergegas ikut melompat ke ba-
wah. Tapi tubuh Panglima Soka tak dipedulikannya.
Panglima Soka pingsan karena luka-luka yang dideri-
tanya terlalu menyakitkan. Dan Pangeran Antaboga
tak mengirimkan serangan susulan yang akan mem-
bawa sang panglima ke neraka. Tanpa dikirimkan se-
rangan susulan lagi pun nyawa Panglima Soka akan
sulit untuk diselamatkan. Luka-luka yang dideritanya
terlalu parah!
Bertepatan dengan menjejaknya kedua kaki Pange-
ran Antaboga di tanah, daun pintu gerbang hancur be-
rantakan dengan diiringi bunyi hiruk-pikuk yang me-
mekakkan telinga. Rupanya rombongan yang dipimpin
Pangeran Antaboga berhasil tiba di depan pintu ger-
bang dan menghancurkannya. Untuk kedua kalinya
daun pintu gerbang kerajaan hancur. Padahal baru
beberapa hari yang lalu daun pintu itu hancur berkep-
ing-keping.
Dengan hancurnya daun pintu gerbang rombongan
Pangeran Antaboga leluasa masuk ke dalam lingkun-
gan istana. Berbondong-bondong mereka masuk yang
segera disambut oleh rombongan pasukan kerajaan.
Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Seketika dentang senjata beradu, pekikan-pekikan
perang, dan jerit kematian terdengar saling susul. Tu-
buh-tubuh malang berjatuhan ke tanah dalam kea-
daan tak bernyawa. Tanah halaman kerajaan pun ber-
simbah darah.
Pangeran Antaboga tak mempedulikan pertempu-
ran itu. Lelaki jangkung ini merasa dirinya terlampau
tinggi untuk mencampuri pertarungan semacam itu.
Pertarungan keroco-keroco. Sang pangeran ini melesat
cepat menuju bangunan istana raja.
Beberapa kali lelaki jangkung ini terpaksa melem-
parkan tubuh-tubuh orang yang menghalangi jalan-
nya. Semua itu dilakukan hanya dengan mengibaskan
tangan atau kaki.
Pangeran Antaboga sama sekali tak ambil peduli
kalau rombongannya terdesak hebat. Rombongan yang
terdiri dari campuran pasukan Kadipaten Bringin dan
tokoh-tokoh persilatan golongan hitam itu terus dide-
sak mundur ke luar tembok yang melingkari bangu-
nan-bangunan istana. Rombongan Pangeran Antaboga
kalah banyak jumlahnya. Karena itu, rombongan ini
terdesak hebat!
7
Rombongan pasukan kerajaan sudah berbesar hati
melihat pihak penyerang berhasil mereka desak. Na-
mun kegembiraan itu hanya berlangsung sebentar sa-
ja. Perubahan besar-besaran segera terjadi! Gerombo-
lan mayat hidup muncul dan menyerang pihak mere-
ka. Sebuah hal yang aneh. Pihak penyerang tidak
mendapatkan serangan mayat-mayat hidup!
Kemunculan makhluk-makhluk menjijikkan itu
benar-benar merupakan malapetaka besar bagi pasu-
kan kerajaan. Hanya dalam sekejapan pihak kerajaan
ganti terdesak. Jeritan kematian terdengar saling susul
di antara mereka.
Pihak penyerang semula ikut menyerang pasukan
kerajaan. Tapi sesaat kemudian mereka bertindak se-
bagai penonton saja. Rombongan penyerang menyak-
sikan jalannya pertarungan yang lebih layak disebut
pembantaian besar-besaran.
Setapak demi setapak pasukan kerajaan terdesak
mundur. Malah ketika korban yang jatuh semakin ba-
nyak dan pasukan kerajaan telah putus asa, mereka
berbondong-bondong bergerak mundur untuk menca-
pai tempat di mana jarak lima tombak dari daun pintu
gerbang berada. Mereka ingin secepatnya berada di
tempat yang aman dari serangan mayat hidup.
Yakin akan keampuhan air bekas rendaman Tom-
bak Panca Warna yang dikucurkan mengitari tempat di
mana dulu dinding istana terdapat, rombongan pasu-
kan kerajaan berhenti mundur. Mereka semua berdiri
menanti tewasnya mayat-mayat hidup dalam jarak sa-
tu tombak dari batasan untuk makhluk itu. Rombon-
gan pasukan kerajaan baru kelabakan ketika menge-
tahui mayat-mayat hidup terus melangkah maju mele-
wati batas tersebut. Mayat-mayat hidup itu tak menga-
lami kejadian apa pun ketika melewati batas maut itu.
Malah, berbondong-bondong mereka melaluinya tanpa
terpengaruh sedikit pun!
Rombongan pasukan kerajaan tak mempunyai pili-
han lain kecuali terus bergerak mundur. Yang tak
sempat segera melakukan perlawanan semampunya.
Korban-korban di pihak kerajaan kembali berjatuhan.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Prabu Rancamala
yang menyaksikannya dari bangunan istana. Belasan
pasukan khusus berada di sekeliling raja yang masih
terlihat gagah di usianya yang senja itu.
"Apa yang terjadi, Eyang?" tanya Prabu Rancamala
tanpa mampu menyembunyikan kecemasan di wajah-
nya. "Mengapa makhluk-makhluk celaka itu mampu
melewati tempat yang telah dikucuri air sakti?"
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," jawab Eyang
Santer sambil memberi hormat "Ini berarti Tombak
Panca Warna telah tidak berada di lingkungan istana
lagi..."
"Maksud Eyang pusaka itu telah dicuri orang?!"
tanya Prabu Rancamala.
"Begitulah kira-kira, Gusti Prabu."
"Keparat!" geram Prabu Rancamala penuh kemara-
han. Jari-jari tangannya dikepalkan. "Apa kerjanya pa-
ra prajurit itu?!"
Tak ada yang memberikan tanggapan sama sekali.
Tak juga Eyang Santer. Mereka semua khawatir terke-
na pelampiasan kemarahan Prabu Rancamala yang
tengah murka.
"Menyesal dulu kubiarkan anak durhaka Antaboga
itu hidup. Kalau ku tahu akan seperti ini jadinya su-
dah ku hukum mati dia!" geram Prabu Rancamala lagi.
"Entah di mana dia memperoleh ilmu yang mampu
membuatnya melakukan hal-hal terkutuk itu!"
Di lain tempat Pangeran Antaboga yang tengah di-
maki-maki oleh Prabu Rancamala sedang melesat me-
nuju atas genting, di mana tengah terjadi pertarungan
sengit antara Iblis Gelang Raksasa dengan Tujuh Pen-
dekar Gunung Harimau.
Saat itu kedudukan Iblis Gelang Raksasa sangat
mengkhawatirkan. Gerakan kakek ini sudah tak sege-
sit sebelumnya. Iblis Gelang Raksasa kelelahan karena
terus menerus mengadu tenaga dengan lawan-
lawannya. Sekujur tubuh datuk sesat ini dibasahi pe-
luh. Gulungan gelang baja yang semula rapat melin-
dungi seluruh tubuhnya kini agak terbuka. Bunyi
mengaung yang mengiringi pergerakan gelangnya juga
semakin melemah.
Saat itulah Pangeran Antaboga muncul. Lelaki
jangkung ini langsung terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Sang pangeran melesat ke tengah-tengah an-
tara Iblis Gelang Raksasa dan ketujuh lawannya. Pa-
dahal saat itu tiga batang golok tengah meluncur ke
arah Iblis Gelang Raksasa. Dengan melesat masuknya
Pangeran Antaboga menjadikan lelaki ini sasaran se-
rangan!
Cap, cap, cappp!
Ujung tiga batang golok mengenai tiga sasaran di
tubuh Pangeran Antaboga dengan telak. Kendati me-
nyambar di tiga tempat, tenaga yang terkandung dalam
setiap serangan merupakan gabungan tenaga tiga
orang.
Semula tiga tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung
Harimau ini kaget mendapati sesosok bayangan coklat
melesat masuk ke dalam kancah pertarungan dan ter-
kena sasaran serangan mereka. Keterkejutan itu se-
makin membesar ketika melihat senjata-senjata mere-
ka tak mampu menembus tubuh Pangeran Antaboga!
Golok-golok itu hanya menembus pakaian sang pange-
ran tapi tak bisa melukai kulit. Mereka berusaha un-
tuk menarik senjatanya. Ternyata hal itu tak mampu
mereka lakukan.
Senjata itu seakan-akan telah bersatu dengan tu-
buh Pangeran Antaboga.
Di saat tokoh-tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung
Harimau berusaha keras menarik pulang senjatanya,
Pangeran Antaboga meludah tiga kali! Tiga gumpalan
cairan kental yang menjijikkan pun meluncur ke arah
dahi masing-masing tokoh golongan putih itu. Keti-
ganya kelihatan terperanjat. Serangan ludah itu amat
berbahaya. Terkena telak akan membuat dahi berlu-
bang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke
alam baka. Dengan hati terpaksa golok-golok di tangan
pun dilepaskan. Hampir berbarengan ketiganya me-
rendahkan tubuh sehingga serangan yang menjijikkan
itu lewat di atas kepala.
Pangeran Antaboga memang menunggu-nunggu
saat ini! Serangan dengan ludahnya itu hanya sekadar
tipuan belaka. Dan, serangan yang sesungguhnya ada-
lah tendangan kaki kanan bertubi-tubi ke arah perut
ketiga lawannya.
Des, des, desss!
Tiga kali berturut-turut tendangan Pangeran Anta-
boga mendarat di sasaran. Seketika tubuh tiga pende-
kar yang malang itu terjengkang ke belakang dengan
darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telin-
ga mereka, Di saat tubuh pendekar-pendekar itu me-
layang, nyawanya pun melayang!
Empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang
tersisa terkejut bukan main melihat hal ini
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat,
sehingga mereka tak sempat bertindak untuk mem-
bantu. Kemarahan terhadap Pangeran Antaboga pun
menyeruak. Dengan diiringi teriakan nyaring memba-
hana mereka menerjang sang pangeran. Golok-golok di
tangan empat tokoh golongan putih itu lenyap bentuk-
nya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata yang
mengancam keselamatan Pangeran Antaboga.
Tapi sebelum serangan empat dari Tujuh Pendekar
Gunung Harimau mengenai sasaran, dari belakang Ib-
lis Gelang Raksasa telah mengirimkan serangan den-
gan ayunan gelang bajanya ke arah kepala Pangeran
Antaboga! Sang pangeran terkejut bukan main men-
dengar deru angin keras dari arah belakangnya. Dalam
sekejapan benaknya memberitahukan akan adanya
bahaya maut. Buru-buru tubuhnya direndahkan.
Saat serangan gelang baja Iblis Gelang Raksasa le-
wat jauh di atas kepalanya, serangan golok-golok em-
pat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau meluncur
tiba. Pangeran Antaboga melesat cepat dengan mem-
pergunakan tangan dan kaki melalui bawah para pe-
nyerangnya.
Pangeran itu seperti telah berubah menjadi bina-
tang berkaki empat.
Tindakan Pangeran Antaboga membuatnya berada
di belakang lawan-lawannya. Dan sebagai akibatnya,
Iblis Gelang Raksasa yang mendapatkan serangan la-
wan-lawan Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa
yang tak mempunyai kesempatan mengelak segera
menangkis dengan senjata andalan.
Trangng!
Dentang beradunya dua macam senjata yang diiku-
ti berpercikannya bunga api mengiringi terhuyungnya
tubuh Iblis Gelang Raksasa. Kakek berpakaian indah
ini masih sempat mengirimkan pukulan jarak jauh
dengan tangan kirinya.
Serangan yang mendatangkan deru angin kuat itu
membuat empat pendekar dari Tujuh Pendekar Gu-
nung Harimau yang tengah berada di udara tak kuasa
untuk bertahan. Mereka tak terluka. Tapi, ketika men-
jejak tanah tubuh mereka limbung.
Di saat itulah Pangeran Antaboga mencabut pe-
dang yang selama ini tergantung di pinggang dan tak
pernah digunakan. Begitu dicabut pedang itu langsung
dikelebatkan. Tak terlihat bentuk pedang itu. Hanya
seleret sinar menyilaukan mata yang melesat. Sesaat
kemudian, empat dari Tujuh Pendekar Gunung Hari-
mau yang tersisa memekik meregang maut sebelum
ambruk ke tanah.
Di punggung empat tokoh golongan putih yang ma-
lang itu tampak guratan memanjang yang mengalirkan
darah. Pangeran Antaboga sendiri telah menyimpan
pedangnya kembali.
Pangeran Antaboga menatap Iblis Gelang Raksasa
dengan sorot tajam. Sinar sepasang matanya maupun
raut wajahnya demikian dingin.
Meski merasa gentar, namun karena kemarahan
yang melanda hati mengingat Pangeran Antaboga telah
menjebaknya, Iblis Gelang Raksasa balas menatap.
Dua pasang mata tajam mencorong penuh tenaga da-
lam kuat saling beradu.
"Rupanya kau benar-benar bermaksud untuk ber-
musuhan denganku, Iblis Gelang?!" rungut Pangeran
Antaboga, datar dan dingin suaranya. "Apakah kau te-
lah mempunyai andalan yang dapat kau pergunakan
untuk melawanku?"
"Cuhhh!"
Iblis Gelang Raksasa malah membuang ludah den-
gan pandang mata penuh tantangan.
Sikap Iblis Gelang Raksasa membuat kemarahan
Pangeran Antaboga semakin menjadi-jadi. Namun
pangeran ini masih mampu menahan diri karena ma-
sih mempunyai kepentingan terhadap datuk kaum se-
sat itu.
"Aku masih mempunyai persediaan kesabaran, Ib-
lis Gelang. Maka, tindakanmu sekarang dan juga yang
tadi ku maafkan. Kau bukan termasuk musuhku. Apa-
lagi kau telah memenuhi janji untuk menyatroni istana
ini dan mengambil Tombak Panca Warna. Kau terma-
suk rekan ku pula. Kita sahabat, Iblis Gelang. Karena
itu agar tak merusak persahabatan kita, kuharap kau
bersedia memberikan Tombak Panca Warna kepada-
ku!"
"Tak usah bermanis mulut di depanku, Antaboga!"
sentak Iblis Gelang Raksasa dengan nada tinggi. "Kua-
kui kau memiliki kemampuan dahsyat. Tapi itu tak be-
rarti kau dapat mempermainkan diriku. Majulah, Ke-
parat! Penghinaan yang kau timpakan padaku hanya
dapat ditebus dengan nyawamu!"
Pangeran Antaboga menggertakkan gigi mendapat
sambutan pedas. Kemarahan semakin membakar ha-
tinya. Tapi, besarnya kemarahan itu masih kalah den-
gan rasa heran dan bingung mendengar ucapan Iblis
Gelang Raksasa. Itulah sebabnya Pangeran Antaboga
masih bisa bersabar.
"Apa maksudmu, Iblis Gelang? Aku benar-benar ti-
dak mengerti."
"Tidak mengerti?!" ulang Iblis Gelang Raksasa den-
gan suara semakin meninggi. Sepasang matanya
membelalak lebar bagaikan hendak melompat keluar.
"Rupanya kau masih mencoba untuk terus berpura-
pura, Boga! Baiklah ku jelaskan agar kau tak me-
nyangka aku demikian bodoh. Permintaanmu untuk
mengambil Tombak Panca Warna hanya merupakan
sebuah jebakan?! Kau tak usah mungkir. Yang tahu
masalah ini hanya kau, aku dan sedikit anak buahku.
Tapi kenyataannya begitu aku tiba di sini langsung di-
kepung. Kalau tak beruntung mungkin nyawaku telah
melayang. Nah, dari mana pasukan kerajaan tahu aku
akan menyatroni tempat ini kalau bukan darimu?!"
"Jaga mulutmu, Iblis Gelang!" bentak Pangeran An-
taboga murka mendengar tuduhan keji yang diala-
matkan padanya. "Untuk apa aku melakukan hal itu?
Membunuhmu dengan tangan sendiri pun tidak sulit.
Untuk apa aku meminjam tangan keroco-keroco untuk
menghabisi nyawamu? Kau saja yang terlalu bodoh
sehingga keroco-keroco mengetahui kedatanganmu!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga
lekat-lekat, dicobanya melihat kesungguhan lelaki
jangkung itu melalui mata dan wajahnya. Pangeran
Antaboga balas menatap. Iblis Gelang Raksasa menjadi
bingung. Dilihatnya ada kesungguhan baik dalam uca-
pan maupun sikap Pangeran Antaboga.
"Kalau bukan kau yang membocorkan hal ini, siapa
lagi?" ujar Iblis Gelang Raksasa dengan suara melu-
nak. Nada ucapannya penuh pembelaan terhadap diri
sendiri
"Kau yakin bukan anak buahmu?" tanya Pangeran
Antaboga meminta kepastian.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk dengan pasti.
"Berarti ada orang lain yang mengetahui hal ini,"
sambut Pangeran Antaboga. "Tapi itu tak penting. Ba-
gaimana dengan Tombak Panca Warna itu? Berhasil
kau dapatkan?"
"Bagaimana mungkin aku mendapatkan pusaka itu
kalau sebelum tiba di tempatnya aku telah dikepung
oleh orang-orang kerajaan!" bantah Iblis Gelang Rak-
sasa memberikan alasan kegagalannya.
"Berarti kau belum ke tempat pusaka itu?!" Pange-
ran Antaboga meminta penegasan dengan sorot mata
lain.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk.
Tanpa membuang-buang waktu Pangeran Antaboga
melesat ke arah puncak genting. Hanya sesaat saja dia
di sana, dan kemudian kembali dengan sikap bingung
yang tak tersembunyikan.
Tanpa diberi penjelasan pun Iblis Gelang Raksasa
telah bisa menduga kalau Pangeran Antaboga tak ber-
hasil mendapatkan pusaka yang diinginkannya. Kakek
berpakaian indah itu pun lalu diam membisu.
"Benar kau belum mengambil Tombak Panca War-
na itu, Iblis Gelang?!" tanya Pangeran Antaboga den-
gan nada ucapan yang mengandung ancaman.
"Apakah perlu aku bersumpah, Antaboga?" Iblis
Gelang Raksasa malah balas mengajukan pertanyaan.
Pangeran Antaboga tak memberikan jawaban. Dia
merasa Iblis Gelang Raksasa tak berbohong dengan
ucapannya.
"Berarti ada orang ketiga yang mengetahui hal ini,"
desis Pangeran Antaboga penuh perasaan geram.
"Orang itu pula yang menyebabkan kau seperti terje-
bak, Iblis Gelang? Dan... orang itu pula yang telah
mengambil Tombak Panca Warna! Keparat! Pengecut
hina itu akan menyesali perbuatannya!"
Iblis Gelang Raksasa tak memberikan sambutan
sama sekali. Dia tak terlalu memusingkan masalah
ada atau tidaknya Tombak Panca Warna. Karena dia
pribadi tak membutuhkan pusaka itu.
Sorak-sorai kemenangan dari bawah menyadarkan
Pangeran Antaboga kalau dirinya masih mempunyai
urusan penting. Tanpa mempedulikan Iblis Gelang
Raksasa dilayangkan pandangannya ke bawah.
Wajah sang pangeran tampak membiaskan keter-
kejutan yang sangat. Pandangannya tertumbuk pada
gerombolan mayat hidup yang melesat berbondong-
bondong meninggalkan halaman istana. Di pinggir ber-
gerombolan rombongan yang dipimpinnya, bersorak-
sorak memekikkan kemenangan dan kegembiraan.
Pangeran Antaboga melesat ke bawah. Dalam hati
dimaki dirinya sendiri yang telah melupakan segala hal
karena terlalu memikirkan Tombak Panca Warna. Be-
gitu menjejak tanah Pangeran Antaboga langsung me-
layangkan pandangan ke sekelilingnya. Tak terlihat la-
gi pasukan kerajaan. Yang tampak di sana-sini dan di
dalam bangunan hanya rombongannya.
"Ke mana raja keparat itu?!" tanya Pangeran Anta-
boga pada seorang anggota rombongannya.
"Mereka semua melarikan diri melalui jalan raha-
sia, Gusti Pangeran," jawab yang ditanya.
"Keparat!" Pangeran Antaboga memukulkan kepa-
lan tangan kanan ke telapak tangan kirinya.
Kelihatan jelas pangeran itu merasa geram dan ke-
cewa dengan kegagalannya. Beberapa kali ditariknya
napas panjang untuk menenangkan hati. "Tak menga-
pa. Kelak pun masih ada kesempatan untuk mele-
nyapkan nyawa raja jahanam itu," gumam Pangeran
Antaboga pelan. "Tapi benarkah apa yang kulihat tadi?
Mayat-mayat hidup meninggalkan tempat ini?" tanya
sang pangeran ketika teringat lagi dengan pemandan-
gan yang menimbulkan keterkejutan di hatinya.
"Benar, Gusti Pangeran. Bahkan mayat-mayat hi-
dup itu membantu kami memerangi pasukan kerajaan.
Tanpa adanya bantuan makhluk-makhluk itu kami
akan dapat dilumpuhkan pasukan raja lalim itu!" ja-
wab orang yang ditanya.
Pangeran Antaboga mengernyitkan kening. Dia
memang memiliki kemampuan untuk membangunkan
mayat-mayat dan memerintahkannya melakukan per-
buatan yang dikehendakinya. Tapi tidak kali ini! Pan-
geran Antaboga baru melakukannya dua kali. Pertama,
mayat-mayat itu dibangunkan untuk mencegah keda-
tangan rombongan Panglima Soka untuk menemuinya.
Yang kedua, sewaktu menyerbu kerajaan sebagai uji
coba kekuatan bala tentara Prabu Rancamala sebelum
serangan sesungguhnya dilancarkan.
"Mungkinkah mayat-mayat hidup itu bangkit sen-
diri lalu melancarkan penyerangan?" tanya hati Pange-
ran Antaboga, bingung.
Tapi setelah tidak menemukan jawabannya cukup
lama, Pangeran Antaboga melupakannya. Yang meme-
nuhi benaknya sekarang adalah perasaan gembira ka-
rena telah berhasil memenuhi sebagian keinginannya,
merebut kerajaan!
8
"Relakanlah kepergiannya, Wati. Semua kejadian
yang ada di muka bumi ini atas kehendak Allah.
Ayahmu tewas pun demikian. Kalau kau terus-
menerus terlibat kesedihan seperti ini, sama saja ar-
tinya kau tak setuju dengan keputusan Allah. Itu tak
baik, Wati"
Ucapan yang sarat dengan nasihat itu dikeluarkan
Arya. Saat itu dia tengah berdiri di belakang seorang
gadis yang duduk bersimpuh di depan sebuah kubu-
ran. Gadis itu adalah Kusumawati.
"Aku akan dapat menerima kepedihan ini dengan
lapang dada kalau tidak demikian bertubi-tubi, Dewa
Arak," timpal Kusumawati. "Bagaimana mungkin aku
tak akan terpukul menerimanya. Baru saja Kak An-
gruna lenyap, telah muncul lagi musibah lain. Ayahku
tewas secara demikian mengerikan. Melihat keadaan
mayatnya, pasti beliau direncah-rencah oleh mayat-
mayat hidup jahanam itu! Terkutuk! Akan ku basmi
orang yang telah menggerakkan makhluk-makhluk ja-
hanam itu!"
Arya hanya menggelengkan kepala melihat sikap
Kusumawati. Di lubuk hatinya pemuda ini tak bisa
menyalahkan gadis itu. Arya bisa merasakan kepedi-
han hatinya. Tewasnya sang ayah saja sebenarnya su-
dah memukul perasaan. Apalagi tewasnya Sanggara
dengan cara yang mengenaskan. Tubuh ayah Kusu-
mawati itu cerai-berai seperti dikoyak-koyak binatang
buas.
"Sekarang dengan siapa aku harus tinggal, Dewa
Arak? Ayahku tak mempunyai kenalan lagi. Apakah
aku boleh ikut bersamamu merantau," tanya Kusu-
mawati setelah membalikkan tubuh dan berdiri mena-
tap wajah Arya lekat-lekat. Sinar mata gadis ini terlihat
penuh harapan.
Arya jadi kebingungan. Bagaimana mungkin per-
mintaan Kusumawati bisa diterimanya. Kusumawati
adalah seorang gadis. Akan tak baik akibatnya apabila
ikut bersamanya merantau. Apa tanggapan Melati nan-
ti? Tapi untuk menolak terang-terangan Arya tak bera-
ni. Pemuda ini takut Kusumawati akan tersinggung
dan semakin larut dalam kesedihan.
"Kita lihat saja nanti, Wati," jawab Aiya setelah
mempertimbangkannya sejenak. "Pada pokoknya aku
setuju saja kau ikut bersamaku merantau. Lagi pula
saat ini pun kita tengah bersama-sama merantau un-
tuk mencari jejak kakakmu yang lenyap dan mencari
siapa yang menjadi penyebab timbulnya tanda aneh di
langit. Bukankah demikian?"
Kusumawati mengangguk-anggukkan kepala. Ala-
san yang diajukan Arya bisa diterimanya. Bagi gadis
ini, asal Arya sudah setuju dia merasa sangat senang.
"Ssst...! Aku mendengar banyak langkah kaki men-
dekati tempat ini, Wati. Bersembunyilah dulu," berita-
hu Arya dengan suara lirih ketika dilihatnya Kusuma-
wati hendak berbicara lagi.
Kusumawati menahan ucapan yang hendak dike-
luarkannya. Dia bergegas berlindung di balik gundu-
kan batu yang cukup banyak berada di tempat itu.
Arya pun melakukan hal yang sama. Dari celah-celah
yang ada pasangan muda-mudi ini mengintai ke arah
asal suara.
Kusumawati yang belum mendengar bunyi yang
dimaksud Dewa Arak hanya mengikuti ke mana pe-
muda itu mengarahkan pandangan. Sepasang mata
Arya ternyata dilayangkan ke arah lubang sebuah gua
yang tadi berada di belakang mereka.
Sebentar kemudian Kusumawati pun mendengar
bunyi langkah yang tadi didengar Arya. Gadis ini se-
makin bertambah kagum. Kenyataan ini menunjukkan
ketinggian ilmu pemuda berambut putih keperakan
itu. Dengan hati berdebar tegang karena perasaan in-
gin tahu, Kusumawati menunggu.
Tak lama kemudian penyebab suara itu terlihat
muncul di depan gua. Sebagian besar adalah lelaki-
lelaki gagah dan kekar terbungkus pakaian kerajaan.
Seragam itu sama dengan seragam yang dikenakan
rombongan yang dipimpin Panglima Soka dan Pangli-
ma Gardika. Rombongan yang diserbu oleh gerombolan
mayat hidup!
Dugaan Kusumawati memang tak keliru. Rombon-
gan itu adalah pasukan kerajaan yang mengawal Pra-
bu Rancamala menyelamatkan diri. Di antara mereka
terdapat Eyang Santer.
"Kurasa tempat ini cocok untuk beristirahat. Aku
sangat lelah sekali," ujar Prabu Rancamala yang wa-
jahnya sudah dibasahi peluh.
Seketika itu pula rombongan pasukan khusus be-
kerja. Dengan gerak cepat mereka membersihkan tem-
pat itu dan menyediakan hal-hal yang pantas untuk
menyenangkan junjungan mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?"
tanya Prabu Rancamala
Raja yang kelelahan ini kelihatan mengantuk. Be-
liau duduk bersandar dengan dikipasi dua anggota pa-
sukan khususnya.
"Ampun, Gusti Prabu," sembah Eyang Santer. "Me-
nurut hemat hamba, yang penting sekarang adalah ki-
ta bersantai dulu. Dengan perut yang kenyang akan
mudah dan enak bagi kita untuk berpikir."
Wajah Prabu Rancamala kelihatan berseri. Sebuah
usul yang amat bagus, pikirnya. Saat ini dia memang
tengah lapar. Namun, perasaan takut yang besar akan
kehilangan nyawa membuat Prabu Rancamala seperti
lupa dengan hal itu. Dia baru teringat kembali ketika
diingatkan.
Prabu Rancamala dengan suara keras segera me-
merintahkan semua prajuritnya untuk mencari maka-
nan yang enak-enak. Yang disuruhnya tinggal hanya
dua orang, itu pun yang bertugas mengipasi tubuhnya.
"Sambil kita menunggu makanan tiba tak ada sa-
lahnya kalau perbincangan dilanjutkan, Eyang."
"Benar, Gusti Prabu. Tambahan lagi hamba me-
mang hendak membicarakan sesuatu. Hanya hamba
masih ragu."
"Mengapa mesti ragu? Apa yang harus diragukan?
Katakan saja, Eyang!" timpal Prabu Rancamala.
"Baiklah kalau begitu, Gusti Prabu," Eyang Santer
seperti terpaksa, menyerah. "Sebenarnya sudah lama
hamba hendak membicarakan hal ini. Sesungguhnya
hamba... maksudku, aku ingin membunuhmu, Raja
Keparat!"
Prabu Rancamala sampai terjingkat kaget menden-
gar ucapan itu. Dua pengawal khususnya pun tersen-
tak. Serentak keduanya maju ke depan dua langkah
sehingga berada di kanan dan kiri sang raja. Sikap me-
reka terlihat demikian melindungi.
"Perlu kuberitahukan padamu, Raja Kejam! In-
gatkah kau akan peristiwa pemberontakan Pangeran
Antaboga dan aku memintamu untuk membebaskan
seorang pemuda dari hukuman mati? Pemuda yang
menjadi anak buah pangeran itu kukatakan amat me-
narik hatiku. Ketahuilah, pemuda itu adalah cucuku!
Ayah dari pemuda itu adalah menantuku. Kau tak
akan mengenal anakku karena aku telah terpisah den-
gannya sebelum mengabdi kepadamu!"
Prabu Rancamala tak berkata apa pun selain
menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap bingung.
Dua pengawal khususnya telah mencabut senjata mas-
ing-masing untuk menghadapi serangan tak terduga
Eyang Santer.
"Aku dendam sekali akan kejadian itu! Kalau saja
dulu aku berani mengutarakan hal ini, aku khawatir
kedudukanku akan dicopot dan ikut kau hukum mati
sebagai seorang pemberontak. Maka meski sakit hati
aku mampu meredamnya."
Eyang Santer menghentikan ucapannya sebentar
untuk menelan liur, membasahi kerongkongannya
yang terasa kering.
"Sakit hati yang berhasil kutekan semakin menya-
kitkan ketika ku tahu anakku meninggal karena me-
nanggung kesedihan besar akibat tewasnya anaknya.
Aku sudah mulai berpikir untuk membunuhmu. Tapi,
sayang aku masih khawatir mati sebagai seorang pem-
berontak. Aku ingin hidup terhormat. Maka, ku buang
jauh-jauh lagi pikiran itu!"
Prabu Rancamala hanya diam. Raja ini terlalu ka-
get mendengar berita yang didapatnya.
"Tapi sekarang kau bukan lagi seorang Raja! Jadi,
aku tak mempunyai harapan apa pun lagi jika tetap
menjadi orangmu! Kau harus mati, Raja Lalim!"
Setelah berkata demikian, Eyang Santer menyerang
Prabu Rancamala. Kedua tangannya dipukulkan ber-
tubi-tubi berupa pukulan kanan dan kiri ke arah dada
orang nomor satu dalam kerajaan itu.
Dua orang anggota pasukan khusus tak tinggal di-
am. Mereka segera bergerak maju dan memapaki da-
tangnya serbuan. Tapi hanya dengan kibasan kedua
tangannya Eyang Santer berhasil membuat kedua pen-
gawal itu terpental ke kanan dan kiri. Prabu Rancama-
la terperanjat melihat kenyataan ini. Sementara Eyang
Santer melangkah lambat-lambat menghampirinya.
Kakek ini kembali mengirimkan serangan ketika jarak-
nya telah dekat.
Dewa Arak tak bisa tinggal diam lagi. Dari perbin-
cangan yang ditangkapnya bisa diketahui kalau Eyang
Santer bukan orang baik-baik. Kendati Prabu Ranca-
mala sendiri belum tentu merupakan raja yang baik,
tapi Dewa Arak lebih condong terhadap sang raja. Aiya
bergegas melompat keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Pemuda ini langsung memapaki serangan
Eyang Santer.
Plak, plak, plakkk!
Bunyi benturan berkali-kali terdengar ketika puku-
lan Eyang Santer berhasil ditangkis Dewa Arak. Tubuh
kakek itu terjengkang ke belakang dan terbanting di
tanah. Untung baginya Dewa Arak tak ingin mencela-
kainya. Papakan yang dikirimkannya hanya untuk me-
lumpuhkan serangan Eyang Santer.
Begitu berhasil bangkit Eyang Santer membelalak-
kan mata melihat Dewa Arak. Kakek ini sadar seorang
tokoh hebat telah datang untuk menolong Prabu Ran-
camala. Dan dirinya bukan tandingan pemuda itu.
Setelah melempar pandang sebentar pada Dewa
Arak, Eyang Santer menggigit lidahnya sendiri sampai
putus. Wajah kakek itu memperlihatkan kenyerian
yang besar. Darah tampak mengalir keluar dari mulut-
nya.
Dewa Arak terperanjat bukan main melihat tinda-
kan yang diambil Eyang Santer. Nyawa kakek itu tak
akan bisa diselamatkan lagi. Arya tak mengerti menga-
pa Eyang Santer membunuh diri? Padahal, dia tak
berniat membunuh kakek berjenggot panjang ini.
Dewa Arak tak tahu kalau Eyang Santer mempu-
nyai pendirian aneh. Dari pada terbunuh orang lain,
Eyang Santer lebih suka mati di tangan sendiri, mem-
bunuh diri!
Dewa Arak menghambur ke arah si kakek. Tapi se-
belum pemuda berambut putih keperakan ini berhasil
menyentuh tubuh Eyang Santer, kakek itu ambruk di
tanah dan diam tak bergerak lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kalau tak ada dirimu mungkin saat ini nyawaku telah
melayang ke alam baka. Boleh ku tahu nama atau ju-
lukanmu?" tanya Prabu Rancamala penuh rasa terima
kasih dan gembira. Sambil berkata demikian Prabu
Rancamala melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Lupakanlah, Gusti Prabu. Hanya sebuah pertolon-
gan kecil yang tak ada artinya. O ya, namaku Arya Bu-
ana. Panggil saja, Arya," ujar Arya memperkenalkan di-
ri tanpa menyebutkan julukannya.
"Dan aku Kusumawati, Gusti Prabu," sambung se-
buah suara yang melesat dari balik gundukan batu.
Prabu Rancamala menoleh lalu tertawa bergelak.
Raja ini merasa geli melihat tingkah Kusumawati.
"Kalian adalah pasangan pendekar muda yang sa-
ma-sama cakapnya. Senang bertemu kalian di sini."
"Kami pun senang bertemu dengan Gusti Prabu.
Entah apa gerangan keperluan Gusti Prabu di tempat
ini. Berburukah?" tanya Arya ingin tahu.
Wajah Prabu Rancamala jadi tertutup mendung
kedukaan. Tentu saja Arya dan Kusumawati terperan-
jat melihatnya. Sebenarnya, ucapan yang didengar dari
Eyang Santer sedikit membuat Arya bisa memperkira-
kan apa yang terjadi. Namun untuk kepastiannya per-
tanyaan itu diajukan juga.
"Malapetaka besar menimpa kerajaan kami, Arya,
Wati," beritahu Prabu Rancamala dengan suara sendu.
Kemudian secara singkat diceritakannya semua
yang menimpa kerajaan akibat ulah Pangeran Antabo-
ga. Dewa Arak dan Kusumawati mendengarkan dengan
penuh perhatian. Tak sekali pun pasangan pendekar
muda ini menyela cerita.
"Berbahaya sekali...!" cetus Arya ketika Prabu Ran-
camala telah selesai bercerita. "Lalu, apa tindakan
yang akan Gusti Prabu lakukan?"
"Entahlah," jawab Prabu Rancamala sambil meng-
geleng.
"Menurut pendapat hamba, kita minta bantuan
pada kerajaan tetangga. Kita serbu kembali para pem-
berontak itu," usul Kusumawati. "Hamba yakin Pange-
ran Antabogalah yang menjadi sumber kekacauan se-
lama ini. Maksudku, kau ingat perkataan Kakek Se-
tyaki, Dewa Arak?" tanyanya kemudian pada Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengang-
guk. Ketika dia akan memberikan jawaban, sebuah
suara lain mendahuluinya.
"Tapi sebelum mereka menyerbu, agar tak ada lagi
mayat hidup yang mengganggu dan ikut campur dalam
pertempuran, setiap prajurit harus mendapatkan ku-
curan air ini!"
Prabu Rancamala, Dewa Arak, dan Kusumawati
menolehkan kepala ke arah asal suara. Mereka melihat
dua sosok tubuh berjalan menghampiri. Dua sosok
yang masih berjarak sepuluh tombak.
Sosok yang pertama seorang kakek berkepala bo-
tak dan bertelanjang baju. Hanya sepotong celana
pendek membungkus bagian bawah tubuhnya. Kusu-
mawati dan Dewa Arak terkejut bercampur gembira.
Kakek inilah yang dimaksud Setyaki.
Sosok kedua tak dikenal Arya. Dia seorang pemu-
da. Tapi tidak demikian halnya dengan Kusumawati.
Wajah gadis ini terlihat menyiratkan kegembiraan yang
sangat. Bahkan, seruan kegembiraan terlontar dari
mulutnya.
"Kak Angruna...!" seru Kusumawati dalam luapan
kegembiraan yang besar.
"Kusumawati...!" panggil Angruna tak kalah keras.
Kakak beradik ini berlari menghambur dengan ke-
dua tangan terkembang. Sebentar kemudian tubuh
keduanya telah saling berangkulan.
"Syukurlah kau selamat, Kak Angruna. Aku sangat
gelisah sekali. Kupikir kau telah...," Kusumawati
menghentikan ucapannya di tengah jalan.
"Kakek yang bersamaku ini telah menolongku sebe-
lum mayat-mayat hidup mencelakai ku, Kusumawati,"
beritahu Angruna.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari? Apakah
hanya kebetulan saja?" tanya Kusumawati.
"Tidak, Wati," Angruna menggeleng.
Kakek Setyaki yang memberitahukan kami. Beliau
berhasil menemui kami karena tanda yang telah dibe-
rikannya pada kita berdua. Kau ingat kan, Wati?"
Kusumawati mengangguk.
"Kau mengenal benda ini, Gusti Prabu," tanya ka-
kek botak pada Prabu Rancamala. Gaya bicaranya se-
perti berbincang-bincang dengan seorang kawan yang
setingkatan.
Prabu Rancamala memperhatikan benda yang di-
angsurkan kakek botak. Sebuah benda yang aneh ka-
rena berbentuk bintang persegi lima. Ujung-ujungnya
mirip tombak kecil. Panjang tiap sisi tak kurang dari
dua jengkal.
"Aku tak pernah melihat benda seperti ini," jawab
Prabu Rancamala setelah memperhatikan beberapa
saat lamanya.
"Sekarang lihatlah lagi dengan kau kerahkan sedi-
kit tenaga dalam, Gusti Prabu," ucap kakek botak lagi.
"Ah...!"
Seruan kaget itu bukan hanya keluar dari mulut
Prabu Rancamala, tapi juga Dewa Arak. Tiap-tiap segi
pada benda berbentuk segi lima itu memancarkan
warna yang berbeda. Merah, kuning, hijau, biru, dan
putih. Lima macam warna.
"Apakah itu Tombak Panca Warna?!" tanya Prabu
Rancamala ketika teringat akan senjata pusaka kera-
jaan yang telah lenyap.
"Benar, Gusti Prabu. Aku mengambilnya sebelum
Pangeran Antaboga atau tokoh lainnya yang bersem-
bunyi di balik Pangeran Antaboga mencurinya. Aku ta-
hu, keduanya bermaksud mengambilnya. Jatuhnya
Tombak Panca Warna ke tangan salah satu di antara
mereka berarti malapetaka besar bagi dunia persila-
tan," jelas kakek botak.
Dewa Arak dan Prabu Rancamala hanya menden-
garkan semua keterangan kakek botak dengan sikap
takjub.
"Tombak Panca Warna ini akan ku rendam air dan
ku kucurkan pada setiap prajurit. Kemudian, kita ser-
bu kerajaan. Dengan kemukjizatan air rendaman tom-
bak ini mayat-mayat hidup tak akan berarti apa pun.
Nah, kau laksanakan penjelasanku tadi, Dewa Arak!"
Kakek botak melemparkan tombak itu pada Arya,
yang segera menangkapnya. Tapi, raut wajah Arya me-
nyiratkan keheranan.
"Mengapa harus aku, Kek?"
"Karena kaulah yang memiliki kepandaian seting-
kat dengan iblis-iblis penyebar bencana itu. Tak ada
lagi orang lain," jelas kakek botak tak sabaran.
Arya tak memberikan tanggapan lagi. Prabu Ran-
camala termangu. "Jadi, inikah tokoh yang berjuluk
Dewa Arak?" tanya raja ini dalam hati.
kkk
Bantuan kerajaan tetangga, tokoh-tokoh persilatan
aliran putih, dan sisa-sisa prajurit kerajaan cukup un-
tuk membuat pasukan yang dipimpin Prabu Rancama-
la menjadi besar. Berbondong-bondong mereka menuju
istana kerajaan.
Kedatangan rombongan penyerbu ini segera dike-
tahui oleh pasukan Kadipaten Bringin yang telah men-
guasai kerajaan. Anak-anak panah pun berhamburan
bagaikan hujan ke arah rombongan pasukan penyer-
bu. Tapi rombongan yang dipimpin Prabu Rancamala
memang telah bersiap sedia. Tameng-tameng yang me-
reka bawa segera dipergunakan untuk memapaki hu-
jan anak panah.
Dengan adanya tameng itu serangan anak panah
pasukan Kadipaten Bringin kandas. Pasukan kerajaan
terus meluruk maju. Pertempuran besar-besaran pun
terjadi ketika pintu gerbang berhasil didobrak Dewa
Arak.
Suasana siang yang semula hening dipecahkan
oleh teriakan-teriakan kemarahan, jerit kesakitan, dan
dentang senjata beradu. Darah mengalir membasahi
tanah seiring dengan robohnya beberapa sosok tubuh.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sengit. Se-
bagian besar memiliki kemampuan berimbang. Itu ter-
jadi karena masing-masing diri memilih lawan yang
seimbang. Hanya Iblis Gelang Raksasa seorang yang
bertarung bagai orang mencabuti rumput. Ke mana
pun tangan atau kakinya bergerak akan ada sesosok
tubuh jatuh tak bernyawa lagi.
Dewa Arak yang melihat hal ini tak bisa tinggal di-
am. Pemuda ini menerobos kerumunan orang-orang
yang sedang bertempur untuk menghampiri Iblis Ge-
lang Raksasa. Dan ketika kedua tokoh itu telah dekat,
pertarungan pun tak bisa dicegah lagi.
Senjata Iblis Gelang Raksasa memang hebat bukan
main. Apalagi di tangan seorang tokoh seperti datuk
sesat ini. Gelang itu dapat diperlakukan semaunya.
Tapi, lawan yang dihadapi datuk sesat itu adalah Dewa
Arak. Dengan gucinya pemuda ini mampu mengim-
bangi lawan, dan bahkan mengirimkan serangan tak
kalah dahsyat.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Sampai em-
pat puluh jurus jalannya pertarungan masih berlang-
sung imbang. Kedua belah pihak saling serang dan
tangkis.
Tapi ketika menginjak jurus keenam puluh, Iblis
Gelang Raksasa harus mengakui keunggulan lawan-
nya. Perlahan-lahan Dewa Arak mampu mendesak.
Arya mempergunakan kedua tangan, guci, dan sembu-
ran arak dari mulutnya. Dipadu dengan ilmu 'Belalang
Sakti' yang aneh serta jurus 'Delapan Langkah Bela-
lang' yang ajaib.
"Haaat!"
Di saat Iblis Gelang Raksasa menyorongkan gelang
dengan kedua tangan pada dada Dewa Arak, pemuda
itu melompat ke atas dan mengirimkan tendangan ke
arah dada.
Desss!
"Aaakh...!"
Iblis Gelang Raksasa meraung memilukan hati.
Tendangan Dewa Arak secara telak mengenai dadanya.
Tubuh datuk sesat ini melayang jauh ke belakang. Da-
rah menyembur dari mulut, hidung, dan kedua telin-
ganya. Saat itu juga nyawa Iblis Gelang Raksasa mela-
wat ke akhirat. Tulang-tulang dadanya hancur beran-
takan!
Dewa Arak tak peduli pada Iblis Gelang Raksasa.
Pemuda ini segera melesat ke atas genting dan mele-
takkan Tombak Panca Warna di tempat semula.
Terdengar raungan laksana puluhan ekor macan
terluka dari dalam bangunan istana. Sesaat kemudian
sesosok tubuh melesat keluar dengan kecepatan luar
biasa. Sekujur tubuhnya diselimuti kobaran api. Meski
begitu orang mengenalinya sebagai sosok Pangeran An-
taboga!
Baru beberapa tombak melalui anak tangga istana
yang paling bawah, terdengar bunyi letupan keras,
disusul dengan hancurnya tubuh Pangeran Antaboga.
Seulas senyum tersungging di mulut Dewa Arak.
Dia tak merasa heran melihat kejadian aneh itu. Kakek
botak telah memberitahukannya. Rupanya, Kakek Se-
tyaki bersama-sama dengan kakek botak telah berhasil
mengungkapkan rahasia tanda aneh di langit.
Tanda itu muncul karena sebuah lorong yang
menghubungkan alam gaib dan alam nyata terbuka.
Sebenarnya hal ini sering terjadi. Tapi, tanda itu mun-
cul karena adanya keinginan seorang manusia, Pange-
ran Antaboga. Melalui lorong itu dia meninggalkan
alam gaib dengan membawa ilmu dari alam itu. Dua
tahun yang lalu sang pangeran terjerumus ke sana se-
cara tak sengaja.
Arya kemudian mengalihkan perhatian pada perta-
rungan yang berlangsung. Keadaan sudah dikuasai
oleh pasukan kerajaan di bawah pimpinan Prabu Ran-
camala. Kemenangan yang akan dipetik hanya tinggal
menunggu waktu saja. Angruna dan Kusumawati ber-
laga dengan penuh semangat. Mereka seperti berlomba
untuk merobohkan lawan sebanyak-banyaknya.
Arya tersenyum lagi ketika teringat akan maksud
Kusumawati. Munculnya Angruna membuat gadis itu
tak mempunyai alasan untuk berpetualang dengannya.
Aiya merasa lega. Dia lebih suka bertualang dengan
Melati.
"Bagaimana kabar Melati sekarang?" tanya pemuda
ini dalam hati dengan rasa rindu yang menggebu-gebu.
Dengan benak masih membayangkan Melati, Dewa
Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Tak sampai
lima puluh tombak melangkah, kegaduhan yang ter-
dengar sejak tadi telah sirna. Kini yang terdengar
hanya pekik kemenangan dari pihak kerajaan.
Di antara kegaduhan itu tertangkap oleh telinga
Aiya seruan Kusumawati yang mencari-cari dirinya.
Arya hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan
kepala. Dia tetap meneruskan ayunan kakinya.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
IBLIS BERKABUNG
Emoticon