1
Kereta itu kecil namun indah, bahkan terkesan
mewah. Dua ekor kuda yang menarik kereta berjalan
dengan lambatnya. Rupanya, tali kendali dilepaskan
Sang kusir kereta itu seorang pemuda berpe-
nampilan rapi. Ia mengenakan pakaian yang mewah
dan indah. Wajahnya tampan dengan kulit putih ke-
merahan. Pemuda itu tampak seperti seorang wanita!
Pemuda berpakaian mewah itu duduk seenaknya di
atas kereta sambil meniup suling yang tergenggam
dengan kedua tangan. Terdengar alunan nada-nada
indah yang enak didengar.
Paduan bunyi langkah kaki kuda, derit roda ke-
reta, dan bunyi suling mengiringi perjalanan kereta
kuda memasuki sebuah desa. Beberapa orang yang
kebetulan berpapasan meluangkan waktu untuk meli-
hat kusir kereta itu.
Pemuda berpakaian mewah itu baru menghen-
tikan permainan sulingnya ketika telah berada di de-
pan sebuah rumah makan. Suling segera diselipkan di
pinggang yang dilingkari sehelai sabuk lebar yang ter-
buat dari benang keemasan. Ditariknya tali kekang
kuda untuk menghentikan laju kereta.
Setelah menambatkan kudanya pada sebatang
pohon yang berada di dekat tempat itu dan membiar-
kan kudanya merumput, pemuda berpakaian mewah
itu mengayunkan kaki memasuki rumah makan. Den-
gan dada membusung, pemuda itu menghampiri se-
buah meja bundar yang terlihat masih kosong. Terlebih
dulu ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai
yang cukup ramai dipenuhi pengunjung.
Seorang lelaki berkulit hitam dengan tergopoh-
gopoh menghampiri pemuda berpakaian mewah itu.
"Mau pesan apa, Tuan?" tanya lelaki berkulit hitam
yang adalah pelayan rumah makan
"Bawa kemari semua masakan yang paling
enak dan paling mahal!" tandas pemuda berpakaian
mewah angkuh. Lalu, tanpa mempedulikan pelayan
yang mengangguk mengiyakan, pemuda itu mengambil
sebatang cangklong dari selipan pinggangnya.
Pemuda berpakaian mewah tidak menoleh keti-
ka pelayan kedai membalikkan tubuh untuk me-
nyiapkan pesanannya. Dia sibuk dengan cangklong
yang telah diselipkan di celah-celah bibirnya. Ujung
cangklong yang berbentuk seperti mangkok kecil dima-
sukkan racikan-racikan tembakau. Dengan sepasang
batu api, dinyalakannya cangklong itu. Sesaat kemu-
dian tercium bau semerbak yang aneh dan keras. Bau
itu memenuhi rumah makan.
"Aku yakin kau yang akan menjadi pemenang
dalam pertandingan nanti, Ketua. Bukankah demikian,
Baroksa?"
Terdengar percakapan dari meja di sebelah kiri
pemuda berpakaian mewah. Terlihat riak pada wajah
pemuda itu. Rupanya, percakapan yang didengarnya
cukup menarik perhatiannya. Bahkan, meski wajah-
nya tertuju ke depan, ekor matanya melirik ke arah
meja tempat percakapan itu berasal.
"Benar, Ketua."
Orang yang dipanggil Baroksa mengangguk. Di
sebelah Baroksa duduk seorang laki-laki bertubuh ku-
rus jangkung. Sedangkan di depannya, duduk seorang
lelaki kekar berkumis melintang. Ketiga orang ini men-
gelilingi sebuah meja bundar yang dipenuhi makanan
dan minuman.
"Kalian terlalu menganggap remeh orang lain."
lelaki berkumis melintang yang dipanggil ketua, me-
nanggapi dengan suara berat dan berwibawa. "Orang-
orang pandai di dunia ini terlampau banyak. Seperti
Raja Racun Sakti di utara dan Raja Sihir Penyebar
Maut di selatan. Dua tokoh tingkat tinggi itu tak akan
mungkin bisa ku tandingi."
"Apa yang Ketua katakan memang tidak salah.
Di samping utara, Raja Racun Sakti pun menguasai
barat. Sedangkan wilayah timur juga dikuasai Raja Si-
hir Penyebar Maut, di samping daerah selatan yang
memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi, bukankah
kedua datuk itu telah mengundurkan diri karena telah
berusia lanjut? Mereka sudah bukan merupakan la-
wan lagi?" Baroksa mengajukan bantahan. Tapi, terasa
betul sikap hati-hatinya.
Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Barok-
sa mengangguk, mendukung ucapan rekannya. Malah,
dengan sikap bangga dia menambahkan.
"Siapa sih yang tidak mengenal kita, Ketua?
Perkumpulan kita, Perkumpulan Iblis Merah, amat
terkenal di dunia persilatan. Disegani kawan dan dita-
kuti lawan. Jangankan Ketua, kami berdua atau bah-
kan salah seorang di antara kami jika maju, tokoh-
tokoh persilatan akan mundur teratur. Mereka akan
berpikir beberapa kali sebelum maju menandingi kami"
Lelaki tinggi kurus mengucapkannya dengan
suara lantang sambil berdiri dan membusungkan da-
da. Tapi karena dadanya memang tidak berdaging,
tingkahnya jadi kelihatan menggelikan. Meski demi-
kian, tidak mengurangi kadar kesombongan yang ter-
kandung dalam ucapan dan sikapnya.
Ketua Perkumpulan Iblis Merah tersenyum le-
bar. Kesombongannya bangkit melihat sikap yang di-
tunjukkan anak buahnya. Sepasang matanya diedar-
kan ke sekeliling ruangan kedai. Diperhatikannya
orang-orang yang berada di ruangan itu. Sinar ma-
tanya seperti mengajukan tantangan.
"Pelayan...!"
Pemuda berpakaian mewah melambaikan tan-
gan. Di saat pelayan kedai tergopoh-gopoh mengham-
piri, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan indah pe-
nuh sulaman dari bagian dalam bajunya. Diperguna-
kannya sapu tangan itu untuk menyeka mulutnya
yang agak berminyak. Rupanya, ia telah selesai dengan
makannya. Memang, di saat pemuda itu mendengar-
kan pembicaraan orang-orang Perguruan Iblis Merah
makanan telah siap dihidangkan di meja. Pemuda ber-
pakaian mewah itu menyantap hidangannya sambil
mendengarkan. Makanan yang dipesannya banyak, ta-
pi tidak dihabiskan. Sebagian besar hanya dicicipinya.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan kedai seraya
membungkuk hormat.
Tingkah pemuda berpakaian mewah dan pe-
layan kedai sempat dilihat oleh para pengunjung yang
menikmati hidangan di meja masing-masing. Teriakan
pemuda berpakaian mewah yang cukup lantang tadi
membuat mereka mengalihkan perhatian. Tidak terke-
cuali orang-orang Perkumpulan Iblis Merah. Bahkan,
alis Ketua Perkumpulan Iblis Merah berkerut. Ia mera-
sa seruan lantang pemuda berpakaian mewah itu dike-
luarkan untuk menimpali seruan anak buahnya tadi.
Pemuda berpakaian mewah tidak segera mem-
berikan jawaban. Dengan sikap tenang dan penuh
keangkuhan, diselipkannya cangklong yang tadi dile-
takkan di meja ke dalam mulutnya. Kemudian, dinya-
lakan dan menyedotkannya dalam-dalam. Ia menge-
pulkan asapnya pada sisa makanan yang berada di
atas meja.
"Berikan sisa makanan ini pada orang-orang
kurang makan di depan sana!" ujar pemuda berpa-
kaian mewah dengan angkuh.
"Baik, Tuan!" Pelayan kedai mengangguk dan
segera merapikan makanan di atas meja. Dibawanya
makanan itu keluar untuk diberikan pada para pen-
gemis yang berkerumun di luar kedai.
"Besar lagak...!" Lelaki tinggi kurus yang men-
jadi kawan Baroksa mendengus gemas. Rupanya, dia
merasa jengkel melihat tingkah pemuda berpakaian
mewah yang angkuh. "Ingin rasanya kuhajar dia agar
berkurang sombongnya!"
"Kau jangan bersikap sembarangan, Tangkaran.
Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia pasti
mempunyai kepandaian yang cukup hingga berani ber-
tindak seperti itu," ujar lelaki berkumis melintang.
Ucapan itu bagaikan minyak menyambar api.
Lelaki tinggi kurus yang bernama Tangkaran semakin
merasa tidak senang. Ucapan ketuanya tidak hanya
membuatnya kesal karena seakan-akan memberikan
pembelaan terhadap pemuda berpakaian mewah, tapi
juga seperti memukulnya! Tangkaran merasakan ketu-
anya meragukan kepandaiannya.
Tangkaran bangkit dari kursinya dengan wajah
merah padam.
"Biar aku yang akan menghentikan sikap som-
bongnya, Ketua! Pemuda tidak tahu aturan itu kalau
tidak diberi pelajaran akan besar kepala dan mengang-
gap di dunia ini hanya dia yang memiliki kepandaian!"
Lelaki berkumis melintang tidak memberikan
tanggapan sama sekali. Bahkan, seperti tidak menden-
gar ucapan Tangkaran. Dengan tenang dia menikmati
makanannya. Sikap lelaki berkumis melintang itu di-
anggap oleh Tangkaran sebagai tanda perkenan atas
tindakan yang akan dilakukannya. Maka, dengan
langkah lebar, kakinya diayunkan menuju meja pemu-
da berpakaian mewah.
"Sungguh tidak kusangka kalau di rumah ma-
kan seperti ini ada seekor anjing merah kurus kering
yang suka menyalak!"
Ucapan yang cukup keras dan lantang itu ke-
luar dari mulut pemuda berpakaian mewah. Dia men-
gucapkannya setelah menghembuskan asap dari mu-
lutnya. Kelihatannya, ucapan itu tak tertuju jelas pada
siapa. Tapi Tangkaran merasakan dadanya seperti
hendak meledak. Dia tahu ucapan pemuda itu dituju-
kan padanya.
"Pemuda sombong! Berani kau menghinaku?
Rupanya, kau ingin merasakan kehebatan orang-orang
Perkumpulan Iblis Merah!" teriak Tangkaran dengan
suara menggelegar ketika telah berada di depan pemu-
da berpakaian mewah, yang masih enak-enakan du-
duk di kursinya bermain dengan asap tembakau. Bah-
kan, seperti tidak mempedulikan Tangkaran yang telah
berdiri di depannya dan hanya terpisah oleh meja
bundar.
"Menyingkirlah dari depanku dan berhentilah
menyalak, Anjing Kurus!" sentak pemuda berpakaian
mewah. Ditudingnya Tangkaran dengan cangklongnya.
"Kalau tidak, aku akan memukulmu hingga kau ter-
kaing-kaing pergi dari sini sambil menggulung ekor
mu!"
"Keparat!"
Perkataan pemuda berpakaian mewah yang te-
rakhir membuat Tangkaran tidak bisa menahan sabar
lagi. Dengan sepasang mata membelalak lebar seperti
hendak melompat keluar dari rongganya, dia membuka
serangan dengan sebuah pukulan keras ke arah wajah
pemuda berpakaian mewah. Dalam kemarahannya,
Tangkaran mengerahkan seluruh tenaga dan kecepa-
tannya. Terdengar bunyi berdesing ketika tangannya
yang kurus meluncur datang.
Sudah terbayang dalam benak Tangkaran kepa-
la pemuda yang sombong dan besar mulut ini akan
hancur berantakan. Karena, jangankan kepala manu-
sia, batu karang yang paling keras pun akan hancur
terhantam tangannya.
Wukkk!
Dugaan Tangkaran ternyata tidak sesuai den-
gan kenyataan. Pukulannya mengenai tempat kosong.
Pemuda berpakaian mewah itu sudah tidak berada di
tempatnya. Padahal, dia tidak kelihatan bergerak atau
melakukan tindakan apa pun. Tapi, tubuhnya berikut
kursi yang didudukinya bergeser jauh ke belakang se-
perti memiliki roda. Bunyi berkerit tajam mengiringi
bergesernya kursi.
Amarah Tangkaran semakin berkobar. Dengan
tangan kirinya, didorongnya meja bundar yang berada
di depannya. Meja itu pun meluncur ke arah pemuda
berpakaian mewah yang enak-enakan duduk di kur-
sinya sambil mengisap cangklong.
Semua pasang mata pengunjung kedai, tak ter-
kecuali lelaki berkumis melintang dan Baroksa, mulai
tertarik untuk menyaksikan keributan kecil ini. Mere-
ka ingin tahu bagaimana caranya pemuda berpakaian
mewah itu meloloskan diri dari luncuran meja.
Sedikit lagi meja bundar itu menghantam pe-
muda berpakaian mewah, tiba-tiba pemuda itu bersa-
ma dengan kursinya terangkat tinggi ke atas! Meja itu
pun meluncur di bawah keempat kaki kursi yang di-
duduki pemuda berpakaian mewah! Padahal, pemuda
itu hanya menjejakkan kaki kanannya pelan ke lantai.
Tapi, tindakan itu mampu mengangkat tubuh dan
kursinya melayang ke atas setinggi hampir tiga tom-
bak!
Yang lebih mengherankan Tangkaran dan ham-
pir semua pengunjung kedai adalah ketika kursi yang
diduduki pemuda berpakaian mewah itu mampu hing-
gap di atas meja tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Bagaikan sehelai daun kering mendarat di tanah! Pe-
muda itu sendiri dengan sikap tidak peduli enak-
enakan bermain dengan asap cangklongnya.
Tindakan pemuda ini lagi-lagi membuat para
pengunjung membelalakkan mata. Bahaya yang men-
gancam pemuda itu belum lagi sirna. Meja itu masih
meluncur. Bahkan kini dengan membawahi pemuda
berpakaian mewah bersama kursinya, meja itu melun-
cur menuju meja-meja para pengunjung, yang berada
di belakang meja pemuda berpakaian mewah.
Pengunjung yang berada di belakang dan kha-
watir tertabrak meja yang meluncur cepat itu bergegas
meninggalkan tempat mereka. Ketika meja itu mena-
brak meja yang ada di belakangnya terdengar bunyi
berderit tajam. Lantai kedai tergurat se-dalam bebera-
pa jari sepanjang luncuran itu. Keempat kaki meja
tampak amblas sedalam beberapa jari di lantai!
Sekujur tubuh Tangkaran bergetar hebat kare-
na perasaan geram. Dia merasa dipermainkan! Apalagi,
ketika dilihatnya pemuda berpakaian mewah itu masih
dengan tenang mengisap cangklongnya.
"Tangkaran! Mundur...!"
Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi
memperhatikan peristiwa itu memerintahkan dengan
suara keras. Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu
pemuda berpakaian mewah itu terlalu tangguh untuk
muridnya. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diingin-
kan, lelaki berkumis melintang segera mencegah.
Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu calon
lawannya memiliki ilmu meringankan tubuh dan tena-
ga dalam yang sangat tinggi. Pemuda berpakaian me-
wah itu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh
untuk mengangkat kursinya. Dan, untuk menghenti-
kan luncuran meja ia harus mengerahkan tenaga da-
lamnya.
Seruan lelaki berkumis melintang terdengar je-
las oleh Tangkaran. Meski-masih merasa penasaran,
lelaki tinggi kurus ini tidak berani membantah. Setelah
melepaskan pandangan penuh ancaman dan sikap
terpaksa, Tangkaran membalikkan tubuhnya.
"Anjing merah yang kurus dan buduk hendak
pergi begitu saja setelah membuang kotorannya yang
busuk dekat seorang tuan muda? Rasanya tidak adil
kalau tuan muda itu tidak memberikan balasan yang
setimpal."
Tangkaran bergegas membalikkan tubuhnya
kembali. Ia khawatir pemuda berpakaian mewah itu
menyerangnya secara gelap. Kemarahan yang belum
sirna dari hatinya semakin membesar.
Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak me-
nampakkan tanda-tanda akan menyerang. Dengan te-
nang pemuda itu menyelipkan cangklongnya ke ping-
gang, setelah membuang sisa-sisa tembakau. Kemu-
dian, diambilnya suling dan diselipkan di bibirnya.
Tangkaran mengerutkan sepasang alisnya. Ia
heran melihat tingkah pemuda itu. Apakah ia hendak
bermain suling? Bukankah katanya hendak memberi-
kan pembalasan setimpal atas tindakannya?
Perasaan heran juga membelit hati para pen-
gunjung lainnya. Mereka semula sudah memperkira-
kan pemuda berpakaian mewah itu akan menghukum
Tangkaran. Maka, hati mereka pun kecewa ketika me-
lihat pemuda itu malah hendak bermain suling.
"Pemuda itu sudah gila," pikir para pengunjung
yang sebagian besar tokoh-tokoh persilatan. "Ini sih
bukannya menghukum tapi menghibur."
Namun lelaki berkumis melintang tidak sepen-
dapat dengan mereka. Wajah Ketua Perkumpulan Iblis
Merah ini berubah ketika melihat tindakan pemuda
berpakaian mewah. "Menyingkir, Tangkaran!" seru le-
laki itu keras. Sekali kaki lelaki empat puluh lima ta-
hun ini bergerak mengungkit, meja yang berada di de-
pannya melayang ke arah pemuda berpakaian mewah.
Makanan dan minuman yang berada di atas meja ber-
serakan di lantai dengan suara riuh rendah.
"Hih...!"
Pemuda berpakaian mewah mendengus marah.
Sepasang matanya yang tajam berkilat melirik sejenak
ke arah meja yang tengah meluncur. Kemudian, den-
gan tangan kanan masih memegang suling yang terse-
lip di celah-celah bibir, tangan kirinya digerakkan ke
arah meja yang tengah meluncur.
Dari tangan kiri pemuda berpakaian mewah
yang kelihatan lembut itu berhembus angin dahsyat
laksana badai. Meja yang tengah meluncur ke arahnya
melaju lambat. Begitu sampai di tengah jalan, meja itu
meluncur kembali ke pemiliknya, lelaki berkumis me-
lintang. Mula-mula lambat, tapi semakin lama semakin
cepat!
"Uh...!"
Lelaki berkumis melintang mengeluarkan kelu-
han tertahan. Tangannya pun segera dijulurkan ke de-
pan, agak menyerong ke atas. Seperti juga yang terjadi
pada pemuda berpakaian mewah, dari tangan Ketua
Perkumpulan Iblis Merah keluar angin dahsyat yang
menahan luncuran meja, untuk kemudian meluncur
kembali ke arah pemuda berpakaian mewah.
Pemuda berpakaian mewah itu pun sadar lawannya
kali ini tidak bisa disamakan dengan Tangkaran.
Maka sebelum meja itu meluncur lebih dekat ke
arahnya, tambahan tenaga untuk tangan kirinya sege-
ra dikirimkan. Meja itu kembali meluncur ke arah la-
wan. Lelaki berkumis melintang bersikeras bertahan.
Tak pelak lagi, pemandangan yang unik pun terjadi.
Meja bundar itu meluncur berganti-ganti. Terkadang
ke arah pemuda berpakaian mewah, dan tak jarang ke
arah lelaki berkumis melintang.
Tangkaran dan Baroksa serta semua pengun-
jung kedai berdebar tegang. Mereka semua tahu antara
pemuda berpakaian mewah dengan Ketua Perkumpu-
lan Iblis Merah tengah terjadi pertarungan mengadu
kekuatan tenaga dalam. Siapa yang lebih unggul akan
memenangkan pertarungan ini.
Di antara para penonton, Tangkaran yang pal-
ing tegang. Sekarang dia mengerti mengapa gurunya
memerintahkannya mundur. Pemuda itu terlalu tang-
guh untuk dilawan. Jangankan dirinya, gurunya sen-
diri tidak mudah mengalahkannya. Bahkan, Tangka-
ran merasa ragu gurunya akan keluar sebagai peme-
nang. Pemuda berpakaian mewah itu sepertinya belum
mengeluarkan semua kemampuannya. Sikapnya terli-
hat demikian sembarangan. Tangan yang diperguna-
kan hanya sebelah kiri. Padahal, Ketua Perkumpulan
Iblis Merah telah menggunakan kedua tangannya!
Kekhawatiran Tangkaran ternyata beralasan.
Setelah beberapa saat lamanya meja itu meluncur ber-
gantian, sekarang terlihat jelas meja itu lebih sering
meluncur ke arah gurunya. Bahkan, jaraknya telah le-
bih dekat dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah itu.
Bukan hanya Tangkaran yang sekarang men-
duga kekalahan akan terjadi di pihak gurunya. Para
pengunjung lainnya pun demikian. Apalagi ketika me-
reka melihat keadaan Pimpinan Perkumpulan Iblis Me-
rah itu. Sekujur tubuh lelaki berkumis melintang
menggigil keras. Wajahnya penuh dibanjiri peluh. Ada
asap tipis mengepul dari kepalanya. Semua itu mem-
buktikan kalau Ketua Perkumpulan Iblis Merah telah
mengerahkan tenaga dalam melebihi batas kemam-
puannya!
Di lain pihak, pemuda berpakaian mewah terli-
hat masih biasa-biasa saja. Hanya pada dahinya tam-
pak sedikit peluh. Pertanda kalau dia telah mengelua-
rkan tenaga cukup banyak.
"Huakh...!"
Ketua Perkumpulan Iblis Merah memuntahkan
darah segar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke bela-
kang. Kekerasan hati lelaki berkumis melintang untuk
tetap bertahan melanjutkan pertarungan tidak diim-
bangi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Pengerahan
tenaga dalam yang melampaui batas membuatnya ter-
luka dalam sehingga memuntahkan darah segar.
Kejadian yang menimpa Ketua Perkumpulan Ib-
lis Merah dengan sendirinya menghentikan pertarun-
gan. Karena terjadi secara mendadak, aliran tenaga da-
lam yang dikeluarkan pemuda berpakaian mewah ti-
dak menghadapi hambatan sama sekali. Meja itu me-
luncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ketua Per-
kumpulan Iblis Merah yang masih terhuyung-huyung
dengan kedua tangan mendekap dada.
Baroksa yang melihat adanya bahaya yang
mengancam ketuanya, tidak tinggal diam. Kedua tan-
gannya segera dihentakkan ke arah meja yang tengah
meluncur. Lelaki pendek gemuk ini mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya.
Brakkk!
I Meja itu hancur berkeping-keping sebelum
mencapai sasaran. Pecahannya berpentalan ke segala
penjuru. Tapi, tanpa menemui kesulitan sedikit pun
dapat dihindarkan oleh para pengunjung yang seba-
gian besar orang-orang persilatan. Meskipun tidak bisa
disamakan dengan Baroksa, Tangkaran, apalagi Ketua
Perkumpulan Iblis Merah dan pemuda berpakaian
mewah.
Wajah Ketua Perkumpulan Iblis Merah yang ta-
di memucat kini tampak lega. Meskipun sinar kekha-
watiran belum sirna dari wajahnya. Lelaki berkumis
melintang itu tahu nyawanya dan nyawa kedua mu-
ridnya bergantung pada pemuda berpakaian mewah
itu. Tidak ada yang dapat dilakukan Ketua Perkumpu-
lan Iblis Merah.
Lelaki berkumis melintang itu hanya menatap
pemuda berpakaian mewah untuk melihat tindakan
yang akan dilakukannya. Dilihatnya pemuda itu den-
gan tenang mengeluarkan sehelai sapu tangan indah.
Dengan sapu tangan itu dibasuhnya keringat yang
membasahi keningnya.
Baru setelah itu, pemuda berpakaian mewah
menyimpan kembali sapu tangannya. Kemudian, den-
gan sekali mengibaskan tangan dan tanpa menggerak-
kan kaki, pemuda itu mampu membuat tubuh dan
kursinya melayang meninggalkan meja. Ia mendarat di
dekat Ketua Perkumpulan Iblis Merah.
I "Kau Ketua Perkumpulan Iblis Merah?" tanya
pemuda berpakaian mewah dengan sikap angkuh yang
tidak bisa disembunyikan.
"Benar. Namaku Marong Jurig!" jawab lelaki
berkumis melintang tegas. Dia berusaha untuk me-
nunjukkan kalau keadaan dirinya biasa-biasa saja, ti-
dak terluka sama sekali. Tapi sayang maksud itu tidak
terkabul. Seringai kesakitan menghias wajahnya.
"Kudengar kau ingin ikut dalam perebutan ke-
dudukan menjadi datuk untuk wilayah timur ini?" de-
sak pemuda berpakaian mewah. Sinar matanya tajam
menusuk wajah Marong Jung. Sikap pemuda itu se-
perti ingin membaca perasaan yang terkandung di da-
lam hati Marong Jurig.
"Benar. Karena kudengar kabar Raja Sihir Pe-
nyebar Maut lenyap entah ke mana. Apa salahnya ka-
lau aku mencoba untuk menjadi datuk? Andaikata ti-
dak bisa menguasai timur dan selatan seperti yang di-
kuasai Raja Sihir Penyebar Maut, setidak-tidaknya wi-
layah timur ini dapat ku kuasai," jelas Marong Jurig.
"Keinginanmu terlalu muluk, Marong!" kecam
pemuda berpakaian mewah keras. "Lebih baik kau
urungkan niatmu. Karena, aku akan ikut mempere-
butkan kedudukan itu. Aku tidak akan membiarkan
wilayah kekuasaan ayahku jatuh ke tangan orang lain.
Dan, kudengar pertarungan untuk memperebutkan
kedudukan datuk itu diadakan di puncak Gunung
Atap Langit Apakah benar demikian?"
"Benar!" Marong Jurig masih dapat menjawab
dengan agak keras. Meski jantung dalam dadanya ber-
detak lebih cepat. Ia tidak menyangka sedikit pun pe-
muda berpakaian mewah ini adalah putra Raja Sihir
Penyebar Maut.
"Kapan pertemuan itu dilangsungkan?" desak
pemuda berpakaian mewah.
"Tiga hari lagi. Tepat pada waktu malam bulan
purnama. Tapi, pertemuan di puncak Gunung Atap
Langit itu hanya untuk memperebutkan kedudukan
datuk wilayah timur. Sedangkan wilayah-wilayah lain,
bukan di sana tempatnya," Marong Jurig menambah-
kan.
Pemuda berpakaian mewah itu tidak memberi-
kan tanggapan. Dia telah tahu kalau di empat wilayah
terjadi persaingan untuk memperebutkan kedudukan
datuk kaum sesat. Sehubungan dengan santernya be-
rita yang tersiar di dunia persilatan, bahwa Raja Sihir
Penyebar Maut dan Raja Racun Sakti lenyap tanpa ke-
tahuan rimbanya, seperti di telan bumi!
"Bersyukurlah kau, Marong." Pemuda berpa-
kaian mewah berujar dengan wajah dan sikap dingin.
"Keterangan yang kau berikan membuat aku mengu-
rungkan niat untuk mencabut nyawamu. Tapi, hanya
kau yang mendapatkannya, sedangkan anjing merah
kurus itu akan mendapatkan hukuman yang setim-
pal!"
Tangkaran yang dituding oleh pemuda berpa-
kaian mewah menjadi pucat pasi wajahnya. Dengan
sinar mata minta tolong, lelaki tinggi kurus ini mena-
tap wajah gurunya. Tapi yang ditatap hanya menun-
dukkan kepala dengan wajah muram. Melihat hal ini,
Tangkaran tahu Marong Jurig tidak mampu meno-
longnya.
Pemuda berpakaian mewah hanya tersenyum
keji melihat tindakan Tangkaran. Sekilas ditatapnya
Baroksa yang kebingungan mengetahui rekannya be-
rada dalam bahaya. Baroksa pun menatap Marong Ju-
rig. Tapi, wajah lelaki berkumis melintang itu tertutup
oleh rambutnya yang tergerai karena kepalanya ditun-
dukkan dalam-dalam.
Baroksa beralih menatap pemuda berpakaian
mewah. Dilihatnya pemuda tampan yang pesolek itu
mengeluarkan suling yang tadi telah diselipkan di
punggungnya. Ditempelkannya suling yang indah itu
di bibirnya. Kemudian, mulai ditiupnya.
Nada tinggi dan melengking yang mengusik te-
linga pun menyebar. Semakin lama semakin tinggi.
Semua orang yang berada di dalam kedai mendekap
telinga untuk menahan masuknya bunyi yang menya-
kitkan itu.
Tangkaran pun demikian. Lelaki tinggi kurus
ini mendekap kedua telinganya kuat-kuat. Tapi, ber-
beda dengan orang-orang lain yang sepertinya tidak
terlalu terpengaruh, Tangkaran merasa tersiksa bukan
main. Telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit
dan nyeri. Kian lama kian sakit. Sehingga, Tangkaran
duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh suara suling. Tangkaran yang dija-
dikan sasaran serangan kelihatan sangat tersiksa.
Hanya dalam waktu singkat sekujur tubuh
Tangkaran menggigil keras. Dia tidak lagi duduk bersi-
la. Tangkaran tidak kuat menahan sakit yang melanda.
Lelaki tinggi kurus ini berguling-guling di tanah sambil
menjerit-jerit. Dari hidung, mulut, dan telinganya
mengalir darah segar.
Beberapa saat lamanya Tangkaran berada da-
lam keadaan tersiksa. Berguling-guling, berkelojotan,
seperti ayam disembelih sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi. Ia tewas dengan seluruh pembuluh da-
rah pecah karena tak kuat menahan serangan tenaga
dalam yang keluar dari suara suling.
Dengan wajah dingin, pemuda berpakaian me-
wah menyimpan kembali sulingnya. Tatapannya ke-
mudian beredar menyapu isi ruangan. Sinar matanya
tampak penuh tantangan.
"Barang siapa yang tidak senang dengan tinda-
I kanku dan merasa penasaran, silakan maju!" tantang
pemuda berpakaian mewah itu.
Tidak seorang pun membuka suara apalagi
mengajukan diri untuk menandingi pemuda itu. Seba-
gian besar dari mereka menundukkan kepala, takut
bertemu pandang dengannya. Siapa tahu akibat hal itu
akan mengerikan. Pemuda berpakaian mewah itu akan
membunuh mereka. Hal seperti itu tidak aneh mengin-
gat pemuda ini adalah putra Raja Sihir Penyebar Maut.
Hati semua tokoh persilatan yang berada di da-
lam kedai menjadi tegang ketika pemuda berpakaian
mewah menatap semua yang berada di situ dengan so-
rot mata tajam berkilat.
"Akh...! Aaa...! Aaa...!"
Para pengunjung kedai, tak terkecuali Marong
Jurig dan Baroksa, terlonjak kaget. Jeritan-jeritan me-
nyayat yang terdengar susul-menyusul itu menge-
jutkan semua orang yang berada di dalam rumah ma-
kan.
Jeritan-jeritan itu ternyata berasal dari luar
rumah makan. Dari ambang pintu kedai yang tidak di-
tutup terlihat sebagian dari pemilik jeritan. Mereka
adalah orang-orang berpakaian compang-camping.
Pengemis!
Pemuda berpakaian mewah tersenyum keji.
Tanpa berkata apa-apa dia melangkah meninggalkan
rumah makan. Ketika telah berada di luar dan tubuh
para pengemis yang tergolek di tanah menghalangi
langkahnya, dengan tanpa peduli dilangkahinya. Bah-
kan, beberapa sosok yang masih menggelepar-gelepar
menahan kesakitan dengan tenang diinjaknya tanpa
mengenal kasihan sedikit pun. Terdengar bunyi berke-
rotokan tulang-tulang yang patah. Tak pelak lagi, jeri-
tan kesakitan mereka pun semakin bertambah.
Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak mempe-
dulikannya. Ia mengayunkan kaki menuju kereta dan
melajukan keretanya yang mewah secara perlahan. Ba-
ru ketika pemuda itu dan keretanya telah jauh me-
ninggalkan rumah makan, para pengunjung kedai ber-
larian keluar untuk melihat. Mereka bergidik ngeri ke-
tika tahu para pengemis yang jumlahnya belasan itu
mati keracunan. Pasti makanan yang diberikan para
orang-orang melarat itu telah diberi racun lebih dulu.
"Tunggu sebentar, Nisanak? Tidak boleh sem-
barangan orang boleh masuk ke dalam!"
Seruan itu membuat seorang gadis berpakaian
biru yang tergesa-gesa mengayunkan langkah menuju
pintu gerbang sebuah bangunan besar, menghentikan
langkahnya. Apalagi, karena dua lelaki kekar berpa-
kaian rompi hitam yang menjaga pintu gerbang, berdiri
tepat di depan jalan yang akan dilalui gadis berpakaian
biru.
Gadis berwajah cantik dengan bentuk tubuh
menggiurkan itu membelalakkan sepasang matanya
yang indah. "Kalian berani melarangku masuk?!" tegur
gadis itu ketus sambil bertolak pinggang. "Tahukah ka-
lian siapa aku?"
Dua lelaki kekar berompi hitam itu saling ber-
tukar pandang. Sikap gadis berpakaian biru membuat
mereka agak ragu.
"Cepat kalian menyingkir sebelum kesabaranku
habis!" seru gadis berpakaian biru. Nada suaranya ter-
dengar lebih tinggi. "Aku ingin bertemu dengan Danar
Jati secepatnya! Ada urusan penting!"
"Sayang sekali, Nisanak." Salah satu dari dua
penjaga, yang memiliki rajahan bergambar cakar bu-
rung di pangkal lengan kanan, berkata dengan nada
menyesal. "Permohonan mu tidak bisa kami kabulkan.
Tidak ada orang yang bernama Danar Jati di tempat
ini!"
"O, begitu...." Gadis berpakaian biru mengang-
guk-anggukkan kepala seraya tersenyum sinis. "Ru-
panya sekarang dia tidak memakai nama aslinya lagi.
Baiklah kalau kalian tidak mengenal nama Danar Jati.
Mungkin perlu kuberitahu kalau Danar Jati itu seka-
I rang telah berjuluk Malaikat Utara. Jelas?! Sekarang
cepat panggil dia kemari! Katakan aku, Citra Sari, da-
tang untuk menghukumnya karena tindakannya yang
lancang!"
"Mulutmu semakin kurang ajar, Nisanak Can-
tik!"
Lelaki berompi hitam yang satunya mulai bera-
ni bertindak kurang ajar. Sepasang matanya menatap
pada bagian-bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian
biru dengan sinar mata penuh minat. Semula, kedua
lelaki ini tidak berani bertindak demikian karena kha-
watir gadis berpakaian biru ini merupakan kawan baik
pimpinan mereka. "Sekali lagi kau berani menghina
pimpinan kami, kau akan ku telanjangi!" lanjut lelaki
itu
"Keparat!"
Gadis berpakaian biru mengeluarkan makian
keras. Dia melesat menerjang. Tidak kelihatan tangan-
nya bergerak, tahu-tahu tubuh kedua lelaki berompi
hitam itu telah terlempar ke sana kemari. Gadis ber-
pakaian biru itu dengan kecepatan kilat menggerakkan
tangan mengirimkan tamparan-tamparan. Beruntung
gadis itu tidak bermaksud membunuh sehingga tam-
paran-tamparannya hanya ditujukan pada bagian-
bagian yang tidak berbahaya. Kendati demikian, cukup
untuk membuat kedua penjaga itu tidak mampu
bangkit lagi. Mereka menderita luka dalam yang cukup
parah.
Tanpa mempedulikan nasib kedua lawannya,
gadis berpakaian biru melangkah lebar memasuki pin-
tu gerbang. Dalam beberapa langkah tubuhnya telah
berada di halaman depan sebuah bangunan besar
yang kokoh dan indah. Pada bagian sebelah kiri ban-
gunan besar itu terdapat hamparan taman yang indah
dan enak dipandang. Taman itu penuh dengan bunga-
bunga dan patung-patung yang indah.
"Danar Jati...! Murid Murtad! Keluar kau...!" se-
ru gadis berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga
dalam sehingga suaranya terdengar sampai jauh.
Belum juga gema ucapan Citra Sari lenyap,
daun pintu bangunan yang terbuat dari kayu jati be-
rukir bergerak membuka. Dari dalamnya keluar seso-
sok tubuh berpakaian serba putih. Di belakang sosok
berpakaian putih ini tampak beberapa sosok lain. Dari
gerak-geriknya dan sorot mata mereka, Citra Sari da-
pat mengetahui mereka adalah orang-orang golongan
hitam.
Tapi Citra Sari tidak mempedulikan mereka.
Pandangan gadis berpakaian biru itu tertuju pada so-
sok berpakaian putih. Jari-jari tangannya yang lentik
bergerak menuding.
"Danar Jati...! Manusia tidak kenal budi! Ber-
siaplah untuk menerima hukuman!"
Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
lelaki tinggi besar dengan wajah persegi seperti wajah
singa, tidak menunjukkan rasa marah mendengar ma-
kian tajam itu. Dia terkekeh pelan seraya melangkah
menghampiri Citra Sari.
"Kukira siapa. Rupanya kau, Citra Sari. Silakan
masuk dan bergabung dengan kami. Dengan adanya
kau, kedudukan kami menjadi lebih kuat. Bukan tidak
mungkin kalau aku menjadi datuk nomor satu, per-
kumpulan yang akan kita dirikan menjadi sebuah per-
kumpulan terkuat!" Lelaki berwajah singa yang berusia
tidak lebih dari tiga puluh lima tahun dan bernama
Danar Jati itu berkata dengan tenang.
"Tutup mulutmu, Danar Jati! Kedatanganku
kemari untuk membunuhmu. Kau telah murtad. An-
daikata guru-guru tahu semua tindakanmu, mereka
akan bangkit dari lubang kuburnya!"
"Ah...! Rupanya begitu menurutmu, Citra Sari
yang manis?" Danar Jati malah mengejek. "Keyakinan-
ku tidak sepaham denganmu. Aku yakin guru-guru ju-
stru merasa bangga aku berhasil menjadi datuk wi-
layah utara. Tapi, tak akan lama lagi aku akan menjadi
datuk nomor satu di seluruh penjuru dunia! Ha ha
ha...!"
"Itu tidak akan terlaksana karena kau akan
mampus di tanganku, Danar Jati Keparat!"
Begitu ucapannya selesai, Citra Sari mencabut
sepasang pisau yang berkilat tajam dari balik bajunya.
Kemudian, melesat menerjang Danar Jati dengan tu-
sukan pisaunya yang kanan ke arah ulu hati! Bunyi
berdesing nyaring yang mengiringi luncuran pisau me-
nunjukkan kekuatan tenaga dalam serangan Citra Sa-
ri.
"Biar aku yang mewakilimu menaklukkan kuda
betina liar ini, Malaikat Utara!"
Salah seorang dari perkumpulan orang-orang
yang berada di belakang Danar Jati menyeruak maju.
Dia adalah seorang lelaki bertubuh kecil kurus tapi
memiliki kumis tebal dan hitam. Bibirnya tampak sela-
lu menyunggingkan senyum. Pakaian yang dikenakan-
nya kuning bergaris-garis hitam. Sehelai kipas indah
dan lebar tercekal di tangan kanan dan selalu dikebut-
kebutkan pelan di wajahnya.
Malaikat Utara menatap lelaki kecil kurus itu
sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Silakan, Se-
tan Kipas. Kuserahkan dia padamu. Kau boleh bertin-
dak apa saja padanya." ujar Malaikat Utara seraya me-
langkah ke belakang. Sehingga, serangan Citra Sari
mengenai tempat kosong.
Sebelum Citra Sari sempat melancarkan serang-
an susulan, lelaki berkumis tebal itu telah lebih dulu
mendahuluinya. Ia melancarkan serangkaian serangan
I dahsyat dengan totokan ujung kipasnya yang dikun-
cupkan.
Trak, trakk, trakkk!
Citra Sari yang tidak mempunyai kesempatan
mengelak, menangkis serangan itu dengan sepasang
pisaunya. Akibat benturan yang cukup keras itu tubuh
keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Setan Kipas
terhuyung dua langkah lebih jauh. Se tan Kipas yang
sejak semula yakin akan mampu menundukkan Citra
Sari jadi berubah wajahnya.
Kenyataan ini sangat memalukan Setan Kipas.
Ia bertekad akan menutup kekalahannya. Serangan
bertubi-tubi yang tidak terduga-duga pun dilancarkan.
Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali berubah
bentuk. Terkadang menutup, terkadang mengembang.
Namun, Citra Sari bukan dara sembarangan. Dia
mampu mengimbangi permainan kipas si Setan Kipas.
Bahkan, mengirimkan serangan yang tidak kalah dah-
syatnya.
Setelah bertempur beberapa jurus, Setan Kipas
mulai merasa ragu dapat mengalahkan Citra Sari. La-
wannya ini meski masih muda tapi memiliki kepan-
daian demikian hebat. Baik dalam hal tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuh. Hanya karena Citra
Sari kurang banyak pengalaman bertanding maka ga-
dis itu tidak bisa mengembangkan permainannya.
Hingga, Setan Kipas mampu bertahan cukup lama.
I Setan Kipas penasaran bukan main. Di samp-
ing itu dia pun merasa malu. Di hadapan sekian ba-
nyak tokoh-tokoh persilatan dia didesak. Mau ditaruh
di mana mukanya? Perasaan malu ini yang mendorong
Setan Kipas untuk terus melakukan perlawanan.
Setan Kipas menyerang bertubi-tubi ke arah ga-
dis itu. Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali be-
rubah bentuk. Terkadang menutup, di lain waktu sudah
mengembang. Namun, Citra Sari bukan dara sembaran-
gan. Dia mampu mengimbangi permainan kipas lelaki
kurus itu. Bahkan, sesekali mengirimkan serangan den-
gan sepasang pisaunya!
Dan, kalau bisa mengalahkan lawan.
Setan Kipas adalah seorang tokoh hitam yang
telah lama malang-melintang di dunia persilatan.
Telah puluhan kali dia terlibat pertarungan.
Sebagian besar dapat dimenangkan. Dalam kemenan-
gan itu tidak sedikit yang didapatnya dengan cara ti-
dak wajar. Setan Kipas berlaku curang. Kali ini pun dia
bermaksud bertindak demikian.
Desss!
Sebuah tendangan kaki kanan Citra Sari yang
mengenai paha kanan Setan Kipas membuat lelaki
berkumis tebal itu terlempar dan jatuh terguling-
guling. Citra Sari yang marah segera memburu. Setan
Kipas segera bangkit dan berjungkir balik beberapa
kali di udara. Citra Sari yang mengetahui maksud la-
wannya segera mengejar. Tapi dia terlambat Setan Ki-
pas telah lebih dulu menjejak tanah di saat Citra Sari
meluruk maju dengan tusukan pisaunya.
Setan Kipas menggesek-gesekkan kedua ka-
kinya di tanah. Hingga, tanah yang cukup keras itu
terkikis cukup banyak. Citra Sari yang tengah mener-
jang melihatnya. Tapi dia tidak mempedulikan-nya.
Gadis itu tidak tahu maksud tindakan lawannya.
Wusss!
Setan Kipas baru mengebutkan kipasnya ketika
Citra Sari telah semakin dekat. Kali ini kipasnya men-
gebut tempat yang berbeda. Tanah! Akibat kebutan
yang keras itu, debu tanah yang telah terkikis beter-
bangan ke arah Citra Sari.
Citra Sari kaget bukan main. Buru-buru ma-
tanya dipejamkan. Takut kalau-kalau matanya kema-
sukan debu. Ini memang kesempatan yang ditunggu-
tunggu Setan Kipas. Tindakan Citra Sari sudah masuk
perhitungannya. Secepat kilat, Setan Kipas melompat
mengirimkan sebuah tendangan.
Citra Sari tahu serangan terhadap dirinya. Pen-
dengarannya yang tajam dapat mendengar bunyi men-
deru serangan Setan Kipas.
Desss!
"Hukh...!"
Citra Sari mengeluarkan seman kesakitan. Ka-
ki Setan Kipas dengan telak mendarat di perutnya.
Gadis berpakaian biru ini tidak mempunyai kesempa-
tan untuk mengelak. Di samping keadaan tubuhnya
yang tengah berada di udara, serangan lawan pun tiba
demikian cepat. Citra Sari hanya dapat mengerahkan
tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam tubuh-
nya. Meskipun demikian, gadis berpakaian biru ini ter-
lempar jauh ke belakang. Darah segar membasahi su-
dut-sudut mulutnya. Kalau saja saat ini Citra Sari ti-
dak mengerahkan tenaga dalam, nyawanya akan me-
layang saat itu juga.
Setan Kipas yang dalam cekaman perasaan ma-
lu dan marah karena sempat terdesak oleh Citra Sari
kini menjadi beringas. Citra Sari yang tengah tidak
berdaya dan tubuhnya melayang deras, diburunya. Ki-
pasnya ditotokkan ke arah leher gadis berpakaian biru
itu.
Trakkk!
"Uh...!"
Setan Kipas mengeluarkan keluhan tertahan.
Di saat ujung kipasnya hampir berhasil mengenai sa-
saran, dari arah yang berlawanan melesat bayangan
hitam dengan disertai bunyi berdesing nyaring. Cepat
bukan main dan membentur ujung kipasnya. Setan
Kipas merasakan kedua tangannya bergetar hebat
Setan Kipas berjungkir balik ke belakang. Begi-
tu menjejak tanah, dilihatnya sesosok tubuh kekar
berpakaian ungu tengah menurunkan tubuh Citra Ha-
ri dari kedua tangannya. Gadis berpakaian biru itu te-
lah ditangkap sosok tubuh kekar berambut putih pan-
jang sebelum membentur tanah.
Setan Kipas menatap sosok berpakaian ungu
yang sekarang telah membalikkan tubuh menghadap-
nya. Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe-
muda berambut putih keperakan dan berwajah tam-
pan. Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Ini bisa
diperkirakan Setan Kipas dari hebatnya getaran tan-
gannya yang memegang kipas ketika benda gelap yang
ternyata sebutir kerikil sebesar ibu jari kaki memben-
turnya.
"Siapa kau, Keparat?! Berani betul mencampuri
urusan Setan Kipas?!" gertak Setan Kipas penuh an-
caman.
"Dia pasti Dewa Arak...!"
Seruan itu keluar dari mulut seorang nenek
berpakaian penuh tambalan yang berada di belakang
Malaikat Utara. "Ah...!"
Hampir semua yang berada di situ terlonjak ka-
get mendengar siapa yang telah menolong Citra Sari.
Hanya beberapa di antara mereka yang kelihatan tidak
terkejut. Mereka mampu menguasai perasaannya se-
hingga tidak terlihat di wajah. Salah satu di antara me-
reka adalah Malaikat Utara. Dia tetap berdiri tegak
dengan sikap angkuhnya.
"Benarkah kau tokoh yang sombong itu, Pemu-
da Usilan?!" Setan Kipas meminta penegasan seraya
menudingkan kipasnya.
"Tidak salah! Akulah Dewa Arak!" jawab pemu-
da berambut putih keperakan yang tidak lain Arya
alias Dewa Arak. Suaranya mantap dan tegas.
"Ha ha ha...!"
Setan Kipas tertawa terbahak. "Rupanya benar
berita yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak.
Kau memang sombong dan usilan. Merasa diri sendiri
paling hebat sehingga berani mencampuri urusan
orang lain. Selama ini kau boleh beruntung. Tapi seka-
rang, setelah bertemu dengan aku, Setan Kipas, kebe-
runtunganmu akan berakhir! Namamu yang besar dan
menggemparkan dunia persilatan akan pupus di sini!"
Wukkk!
Setan Kipas menutup ucapannya dengan se-
buah kebutan kipasnya. Cara yang telah berhasil
memperdaya Citra Sari dipergunakan lagi terhadap
Dewa Arak. Debu mengepul tinggi dan meluruk ke
arah Dewa Arak seperti ingin membungkus tubuhnya.
Meski terperanjat melihat serangan yang dila-
kukan secara tiba-tiba dan demikian curang ini, Arya
tidak kelihatan bingung apalagi gugup. Dia terlalu ser-
ing berhadapan dengan bahaya dan ancaman maut.
Sehingga, menghadapi ancaman tiba-tiba seperti ini ia
tidak kehilangan akal.
Pemuda berambut putih keperakan itu mela-
kukan gerakan mendorong ke depan. Hembusan angin
keras bertiup melemparkan sekumpulan debu yang
menuju ke arahnya berbalik ke arah pemiliknya. Kha-
watir tidak semua debu terusir pergi, Arya membarengi
dorongannya itu dengan tiupan mulutnya. Debu-debu
itu pun melayang kembali ke arah Setan Kipas.
Lelaki berkumis tebal itu yang baru saja menje-
jakkan kaki untuk melancarkan serangan gelap terke-
jut bukan main. Debu-debu yang meluncur ke arah
Dewa Arak berbalik ke arahnya. Buru-buru dia meme-
jamkan mata dan melempar tubuhnya ke belakang
dengan sebuah letikan laksana seekor lumba-lumba.
"Hik hik hik...! Kurasa sudah waktunya bagimu
untuk mundur, Setan Kipas! Kau bukan tandingan
Dewa Arak. Lagi pula kau sudah bertarung melawan
gadis ingusan itu. Sekarang menyingkirlah. Biar aku
yang menghadapi Dewa Arak!"
Setan Kipas hendak membantah, tapi niatnya
segera diurungkan. Orang yang berbicara itu adalah
I nenek berpakaian penuh tambalan. Nenek yang ter-
kenal dengan julukan Pengemis Tongkat Merah itu
berwatak aneh. Ia akan marah dan menyerang apabila
niatnya dihalangi. Setan Kipas tidak mau hal itu terja-
di. Pengemis Tongkat Merah memiliki kemampuan di
atasnya. Apalagi ketika diliriknya Malaikat Utara men-
ganggukkan kepala dan memberikan isyarat agar dia
mundur. Tanpa banyak cakap lagi, Setan Kipas pun
melangkah mundur.
"Aku rasa kalian semua salah menduga dengan
maksud kedatanganku." Arya buru-buru berujar se-
raya menatap Pengemis Tongkat Merah, Malaikat Uta-
ra dan tokoh-tokoh persilatan yang berada di belakang
datuk wilayah utara. "Aku datang kemari tidak untuk
bermusuhan dengan kalian. Aku datang kemari tidak
sengaja, karena mendengar bunyi riuh-rendah suara
pertempuran. Jadi...."
"Kau takut Dewa Arak...?!" Pengemis Tongkat
Merah menukas tak sabar.
Merah padam wajah Dewa Arak. "Dalam kamus
hidupku tidak ada kata takut, Nek! Hanya saja aku ti-
dak ingin bertarung dan menanam permusuhan tanpa
alasan yang jelas."
"Alasan!" Pengemis Tongkat Merah membentak.
"Kau kira menolong wanita itu dari tangan Setan Kipas
tidak membuatmu jadi mempunyai urusan dengan
kami? Katakan saja kalau kau takut! Aku tidak akan
menyerangmu, Dewa Arak!"
"Majulah, Nek! Buktikan kalau sesumbar mu
sesuai dengan kemampuan yang kau miliki!" tandas
Arya mantap.
"Pemuda Sombong!" Sepasang mata nenek ber-
pakaian penuh tambalan membelalak lebar. "Aku su-
dah terkenal di dunia persilatan. Dan, menjadi tokoh
yang tak tertandingi sebelum kau lahir! Terimalah ini,
Pemuda Sombong!"
Wukkk!
Babatan tongkat kayu merah di tangan Penge-
mis Tongkat Merah yang mengancam pinggangnya
berhasil dielakkan. Arya menjejakkan kaki dan tubuh-
nya melayang ke atas. Tongkat itu menyambar bebera-
pa jari di bawah kaki pemuda berambut putih kepera-
kan itu.
Tapi, nenek berpakaian penuh tambalan tidak
percuma mendapat julukan Pengemis Tongkat Merah.
Permainan tongkatnya memang menakjubkan. Begitu
berhasil dielakkan Dewa Arak, tongkat itu berputar
melingkar dan meluncur dengan sebuah tusukan ke
arah dada. Serangan ini memaksa pemuda berambut
putih keperakan melompat jauh ke belakang. Pengemis
Tongkat Merah segera mengejar.
Debu mengepul tinggi. Bunyi mengaung dan
menderu-deru mengiringi gerakan tongkat Pengemis
Tongkat Merah. Tongkat itu lenyap menjadi kelebatan
bayangan merah yang bergulung-gulung seperti hen-
dak membungkus tubuh Dewa Arak. Tapi, dengan lin-
cahnya pemuda berambut putih keperakan itu meng-
hindar. Bahkan, beberapa kali melancarkan serangan
balasan. Dewa Arak menghadapi amukan Pengemis
Tongkat Merah dengan tangan kosong.
Tappp!
Pengemis Tongkat Merah terperanjat. Ujung
tongkat merahnya tertangkap oleh lawan saat ia mela-
kukan sodokan ke arah ulu hati. Nenek berpakaian
penuh tambalan ini tidak tinggal diam. Dengan menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya, sodokannya dite-
ruskan. Ketika tidak bergeming juga segera ditariknya
pulang. Tapi gagal. Tongkat itu seperti dicengkeram je-
pitan baja. Padahal, jelas terlihat oleh Pengemis Tong-
kat Merah kalau Dewa Arak hanya memegangnya den-
gan satu tangan.
"Ah...!"
Pengemis Tongkat Merah mengeluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya terangkat ketika Arya menggerak-
kan tongkatnya ke atas. Betapa pun nenek bertongkat
merah ini mengerahkan tenaga dalam untuk membe-
ratkan tubuhnya, usahanya sia-sia. Tubuhnya sema-
kin terangkat ke atas.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan yang
mencengkeram tongkat disodokkan ke depan. Tongkat
itu pun dengan telak menghantam perut Pengemis
Tongkat Merah. Terdengar bunyi keluh kesakitan dari
mulut nenek berpakaian penuh tambalan.
Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang.
Tongkat merah di tangannya terlempar dari pegangan
dan jatuh ke tanah. Karena Arya yang menggenggam-
nya melepaskan pegangan pada tongkat begitu tubuh
Pengemis Tongkat Merah terpental.
Malang bagi Pengemis Tongkat Merah. Tidak
ada seorang pun tokoh persilatan yang sudi menolong-
nya. Maka, ketika dia berusaha mendarat dengan ke-
dua kaki, tubuhnya terhuyung-huyung belakang dan
jatuh dengan menggunakan kedua lututnya.
"Kurasa sudah cukup sampai di sini," ujar De-
wa Arak. Ditentangnya pandang mata Malaikat Utara
yang diyakininya sebagai pemimpin tokoh persilatan
yang berada di situ. "Aku pergi!"
Dengan sikap yakin kalau lawan-lawannya ti-
dak akan membokongnya, Arya membalikkan tubuh.
Langkahnya terayun mendekati Citra Sari yang masih
tergolek di tanah. Arya memutuskan untuk membawa
Citra Sari meninggalkan tempat itu. Meski ia belum
merasa jelas dengan masalah mereka. Tapi, melihat si-
kap Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah, Arya
lebih condong untuk membela Citra Sari.
"Tunggu, Dewa Arak!"
Terdengar teriakan lantang. Arya terpaksa
menghentikan ayunan kakinya. Tapi, pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak membalikkan tubuh. Ia
berdiri tenang dengan sekujur urat syaraf menegang
waspada.
Belum lenyap gema teriakan itu, Arya menden-
gar bunyi angin mendesir di atas kepalanya. Tapi pe-
muda itu tetap bersikap tenang. Ia tahu itu bukan
bunyi angin yang ditimbulkan oleh serangan.
Sekejap kemudian, tanpa menimbulkan bunyi
berarti, beberapa tombak di depan Arya telah berdiri
lelaki berpakaian serba putih. Dialah Malaikat Utara
alias Danar Jati.
"Kau memang hebat, Dewa Arak!" puji Malaikat
Utara. Kemenangan demi kemenangan yang diraih De-
wa Arak atas Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Me-
rah telah membuatnya kagum. Seorang yang masih be-
rusia demikian muda telah mempunyai kepandaian
tinggi.
Sama sekali tidak, Sobat. Orang-orang yang
kuhadapi kebetulan telah berbaik hati mau mengalah.
Kalau tidak, mana mungkin aku akan dapat mengung-
guli mereka?" sambut Arya merendah.
"Ha ha ha...!" Malaikat Utara tertawa bergelak.
Keras sekali. Tapi hanya sebentar. Kemudian langsung
ditutup dengan dengusan. Wajahnya kembali dingin
seperti semula. "Kau memang pandai merendah, Dewa
Arak. Tapi, itu tidak penting! Perkenalkan, aku adalah
Malaikat Utara!"
Arya terkejut mendengar pemberitahuan ini.
Dia telah mendengar berita kalau telah muncul seo-
rang tokoh kaum sesat yang merajai wilayah utara. Ia
berjuluk Malaikat Utara. Jadi, inikah tokoh yang ter-
kenal itu? Meski demikian, pada wajah tampan Arya
tidak terlihat bias perasaannya. Wajahnya tampak te-
tap tenang.
"Kiranya kau datuk sesat wilayah utara ini, Ma-
laikat Utara." Datar dan ringan ucapan yang dikelua-
rkan Arya. "Maaf kalau aku mengacau tempat mu. Ini
sungguh tidak ku sengaja. Kuharap kau mau berbesar
hati membiarkan aku pergi dari sini. Untuk itu, aku
mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya."
Kembali Malaikat Utara tertawa bergelak. Dan
diakhiri dengan dengusan tajam.
"Sayang sekali, Dewa Arak. Aku tidak mungkin
melakukan hal seperti itu. Kau sudah memasuki tem-
pat tinggalku, menimbulkan kekacauan dan meroboh-
kan pengikut-pengikut ku. Kalau kubiarkan pergi, apa
kata orang nanti? Mereka akan menganggap aku takut
padamu. Ini akan menjatuhkan namaku. Orang-orang
akan berani keluar masuk tempat tinggalku dengan
seenaknya."
"Jadi...." Arya menggantungkan ucapannya. Di-
tunggunya jawaban Malaikat Utara. Sekujur urat-urat
syarafnya menegang penuh kewaspadaan. Arya tahu
betapa pun lihai dirinya, tapi apabila Malaikat Utara
dan semua pengikutnya turun tangan dia tidak akan
bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup.
"Kau boleh keluar dari tempat ini bila mampu
I memenuhi persyaratan ku!" tandas Malaikat Utara pe-
nuh wibawa. "Bagaimana? Kau setuju?"
"Tergantung persyaratan yang kau ajukan, Ma-
laikat Utara!" Arya menjawab tak kalah tegas. "Aku ti-
dak langsung menyetujui bila tidak mengetahui syarat
yang akan kau ajukan!"
"Tidak berat. Dewa Arak. Kau hanya mencoba
untuk memenangkan adu ketrampilan dengan seorang
anak buahku. Apabila kau menang, aku akan mem-
biarkan kau pergi dari sini dengan membawa gadis liar
itu! Tapi bila kau kalah, kau harus berhadapan den-
ganku! Kau berani?"
"Tidak ada kata tidak bagi sebuah tantangan
yang diajukan padaku!" Dengan lantang Arya menja-
wab. Hatinya panas karena mendapat pertanyaan apa-
kah dirinya berani menerima tantangan yang diajukan
Malaikat Utara.
"Bagus!" Malaikat Utara berseru gembira. Hal
itu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi dalam
pandangan para pengikutnya. Dia mampu memaksa
Dewa Arak untuk mengikuti aturannya. Itu keuntun-
gan pertama. Yang kedua, dia telah mengangkat di-
rinya karena Dewa Arak hanya akan dapat menghada-
pinya bila memenangkan pertarungan dari anak buah-
nya. Malaikat Utara telah dengan cerdiknya menem-
patkan diri di atas Dewa Arak.
Dengan senyum lebar karena merasa yakin
akan kemenangan di pihaknya, Malaikat Utara mengu-
lapkan tangan pada seorang pengikutnya. Ia seorang
lelaki kekar memakai rompi dari kulit harimau. Kulit-
nya hitam kecoklatan dengan rambut kemerahan. Di
belakang punggungnya tampak sebilah busur dengan
sekotak panjang anak panah.
"Pengikut ku ini berjuluk Raja Panah Berbaju
Emas." Malaikat Utara memperkenalkan lelaki ber-
rambut kemerahan pada Arya. "Dialah yang akan men-
jadi lawanmu, Dewa Arak."
Meski terkejut melihat calon lawannya, Dewa
Arak tetap bersikap tenang. Dalam hati dia memuji ke-
cerdikan Malaikat Utara. Tapi, Arya tidak berkecil hati.
Kalau hanya permainan panah, dia mampu melaku -
kannya. Bagi orang seperti Dewa Arak, memanah bu-
kan merupakan kepandaian asing. Pemuda berambut
putih keperakan itu mampu melakukannya dengan
baik.
"Silakan kalian bertarung," ujar Malaikat Utara.
Ditinggalkannya Arya dan Raja Panah Berbaju Emas.
"Pertarungan macam apa yang kau inginkan
Raja Panah?" tanya Arya. Ditatapnya wajah lelaki be-
rambut kemerahan itu sejenak.
Raja Panah Berbaju Emas tidak segera menja-
wab. Dia melangkah dengan menengadahkan kepala,
seperti ada yang dicarinya. Dan, wajahnya berseri keti-
ka melihat titik-titik hitam di angkasa. Burung-burung
yang tengah beterbangan.
"Itulah yang akan kita pertarungkan!" Raja Pa-
nah Berbaju Emas ke angkasa. "Kau sanggup?"
"Mengapa tidak?" jawab Dewa Arak cepat. Pe-
muda berambut putih keperakan ini merasa yakin. Ka-
lau hanya membidik burung-burung itu, Arya yakin
akan mampu melakukannya.
"Kalau begitu, kita mulai!"
Raja Panah Berbaju Emas mengeluarkan seba-
tang anak panah dari kantong yang tergantung di
punggungnya. Kemudian, dipasangnya pada tali busur
dan dibidikkan ke angkasa mencari sasaran. Tampak
burung-burung terbang berkelompok hendak pulang
ke sarang. Memang waktu itu hari telah sore. Matahari
mulai terbenam di kaki langit. Terdengar bunyi berdes-
ing dari luncuran anak panah. Sesaat kemudian, terli-
hat sesuatu melayang jatuh dan berdebuk di tanah.
Seketika orang-orang berdecak kagum ketika melihat
seekor burung telah terpanggang lehernya oleh panah
Raja Panah Berbaju Emas.
"Lakukanlah seperti yang kulakukan." Raja Pa-
nah Berbaju Emas menyerahkan anak panah dan bu-
surnya pada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu mema-
sang anak panah pada tali busur dan membidikkan ke
atas. Agak lama baru terdengar suara berdesing ketika
anak panah itu lepas dari busurnya. Sesaat kemudian,
terdengar bunyi berdebuk. Seekor burung jatuh ke ta-
nah dengan dada tertembus panah. Raja Panah Berba-
ju Emas tersenyum gembira. Dia tidak merasa gusar
dengan keberhasilan Dewa Arak. Ia mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Kalau dalam segebrakan
saja pemuda berambut putih keperakan itu berhasil
dikalahkan, dia malah akan kecewa.
"Kau boleh juga, Dewa Arak. Tapi, sekarang
aku yakin kau tidak akan mampu menandingi ku. Tadi
hanya permulaan saja. Hanya untuk menguji apakah
kau pantas berhadapan denganku. Raja Panah Berba-
ju Emas!"
Begitu menerima angsuran busur dari Dewa
Arak, Raja Panah Berbaju Emas segera mengambil tiga
batang anak panah dan memasangkan ke busurnya.
Aiya menatapnya dengan sepasang mata heran. Pe-
muda berambut putih keperakan ini menduga-duga
dalam hati. Apakah Raja Panah Berbaju Emas ber-
maksud melepaskan tiga batang anak panah itu ber-
samaan?
Tanpa mempedulikan keheranan Dewa Arak,
Raja Panah Berbaju Emas menarik tali busurnya. Ke-
mudian, dilepaskannya hingga terdengar bunyi berdes-
ing nyaring. Tiga batang anak panah itu melesat ke
atas. Dan, tak lama kemudian terdengar bunyi berde-
buk dari jatuhnya tiga ekor burung di tanah.
Sekarang Dewa Arak benar-benar melihat buk-
ti. Julukan yang disandang lelaki berambut kemera-
han itu tidak berlebihan kalau julukan Raja Panah
Berbaju Emas diberikan padanya. Kemampuannya da-
lam memanah memang luar biasa. Tiga ekor burung
itu terpanggang anak panah pada bagian yang sulit.
Leher!
Dengan perasaan bimbang, Dewa Arak meneri-
ma busur dan tiga batang anak panah yang diangsur-
kan Raja Panah Berbaju Emas. Arya tahu kemungki-
nan untuk dapat melakukan hal seperti Raja Panah
Berbaju Emas kecil sekali. Memanah dengan tiga ba-
tang anak panah sekaligus, dan ketiga-tiganya menge-
nai sasaran yang berbeda, merupakan pekerjaan yang
amat sulit.
'Apakah Malaikat Utara, datuk yang merajai wi-
layah utara berada di dalam? Kami harap kau keluar
dan menemui kami. Atau, kami yang akan masuk ke
dalam!"
Seruan keras itu menggema ke seluruh penjuru
kediaman Malaikat Utara. Getarannya sanggup meng-
guncangkan isi dada. Hingga, semua tokoh persilatan
yang berada di situ mengerahkan tenaga dalam untuk
mencegah getaran yang dapat merusak isi dada.
Seruan itu tidak hanya mengejutkan Malaikat
Utara, tapi juga semua pengikutnya. Bahkan Dewa
Arak pun demikian. Pemilik suara itu memiliki kepan-
daian tinggi, terutama tenaga dalamnya.
"Tidak perlu banyak basa-basi, Sobat! Jika kau
ingin menemuiku, silakan masuk!"
Malaikat Utara tak mau kalah gertak. Ia menge-
rahkan kemampuan tenaga dalamnya. Tidak terlihat
lelaki itu berteriak. Hanya sedikit menggerakkan bibir,
tapi bunyi yang keluar dari mulutnya laksana halilin-
tar! Keras bukan main.
Baru saja seman Malaikat Utara keluar, dari
arah pintu gerbang tampak berkelebat sesosok bayan-
gan. Tahu-tahu di tempat itu telah berdiri tegak seso-
sok tubuh yang mengejutkan semua orang. Bukan ka-
rena kecepatan gerakannya, tapi karena jati dirinya!
Sosok itu memiliki tubuh kekar terbungkus pa-
kaian dari bulu binatang, semacam kambing. Sepa-
sang matanya agak sipit. Wajahnya kokoh. Tampak ke-
ras, dan kasar. Tapi, memperlihatkan perbedaan yang
menyolok dengan kerasnya wajah Malaikat Utara. Dan
lagi, sosok yang baru datang ini mengenakan sebuah
topi baja bundar setengah tempurung kelapa.
Tepat pada bagian tengah topi baja itu terdapat
besi runcing sepanjang dua jari. Pada bagian bawah-
nya, di sekelilingnya, terdapat hiasan-hiasan dari bulu
binatang. Pada bagian belakang topi baja itu, menutup
tengkuk dan bagian belakang lehernya, ada sehelai
kain hitam dari kulit harimau kumbang. Lebar dan
panjang kulit itu tak lebih dari dua jengkal.
"Siapa kau, Sobat? Aku yakin kau berasal dari
tempat yang jauh...." Malaikat Utara membuka pembi-
caraan dengan suara berwibawa. Dia sudah mampu
mengusir perasaan kaget yang semula mendera ha-
tinya. Sejak pertama kali terdengar seruan sosok itu,
Malaikat Utara sudah merasa heran. Logat yang ter-
dengar demikian aneh. Ternyata pemiliknya memang
orang aneh.
"Namaku Targoutai! Aku berasal dari negeri
yang jauh dari tempat ini. Mongol, nama negeri ku"
sahut lelaki kekar berusia empat puluh lima tahun dan
bertopi baja bundar itu. Suaranya patah-patah dan
kaku.
"Mongol?!" Malaikat Utara mengernyitkan dahi.
Sikapnya seperti orang yang tengah berpikir keras.
"Aku pernah mendengar akan adanya pasukan tentara
Mongol yang datang ke negeri ini"
"Memang benar!" Targoutai menjawab cepat.
"Aku datang bersama rombongan tentara itu tanpa se-
pengetahuan mereka. Tapi aku tidak terus mengikuti
mereka. Aku memisahkan diri. Kedatangan mereka ka-
rena urusan kerajaan, sedangkan aku tidak. Aku da-
tang karena ingin membuktikan sendiri berita yang
kudengar. Di negeri ku, aku merupakan salah seorang
tokoh yang hampir tidak pernah tertandingi. Kesenan-
ganku yang utama adalah bertarung. Kudengar kau
merupakan tokoh terkenal wilayah utara, maka aku
datang kemari."
"Kau tidak salah, Sobat!" Malaikat Utara men-
jawab sambil membusungkan dada, menampakkan
kesombongan. "Aku bukan hanya tokoh terkenal di wi-
layah utara ini. Tapi, juga tokoh nomor satu di wilayah
utara! Tak lama lagi aku akan menjadi tokoh nomor
satu untuk semua wilayah. Aku akan menjadi tokoh
tersakti di seluruh penjuru mata angin! Ha ha ha...!"
"Syukurlah kalau demikian. Memang kedatan-
ganku untuk mencari tokoh-tokoh nomor satu!"
"Ku turuti kemauanmu, Targoutai!" timpal Ma-
laikat Utara angkuh.
"Hih!"
Targoutai membuka serangannya dengan se-
buah pukulan sederhana. Tangan kanannya terkepal
dihantamkan ke arah dada Malaikat Utara. Meski ter-
lihat sederhana, bunyi mengaung keras mengiringi
luncuran kepalannya yang cukup besar.
Malaikat Utara yang tidak ingin dianggap pen-
gecut, di samping ingin menunjukkan kalau dirinya ja-
go nomor satu wilayah utara, tanpa pikir-pikir panjang
lagi menyambuti serangan Targoutai dengan sikap se-
rupa.
Bresss!
Sepasang mata Malaikat Utara membelalak le-
bar. Akibat benturan itu Targoutai hanya terhuyung-
huyung dua langkah. Padahal, dia sendiri terhuyung
sampai tiga langkah! Jari-jari tangannya yang berben-
turan dengan jari lawan terasa sakit bukan main, se-
perti membentur gumpalan besi.
Kalau Malaikat Utara sangat terkejut, tidak
demikian halnya dengan Targoutai. Lelaki kekar Mon-
gol ini malah tertawa bergelak. Ia kelihatan gembira
sekali.
"Kau hebat, Malaikat Utara. Kau merupakan
seorang lawan yang amat menyenangkan! Tapi keta-
huilah. Aku tidak bertindak main-main. Sekali aku
bertarung, tidak akan berhenti sampai lawanku meng-
geletak tak berdaya!"
"Tidak usah banyak cakap, Targoutai!" Malaikat
Utara hampir saja keseleo lidahnya. Nama lelaki Mon-
gol itu memang sulit untuk dihafalkan. "Aku belum ka-
lah!"
Malaikat Utara membuka serangan dengan se-
buah tendangan ke arah perut Pada saat itu Targoutai
tengah berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Ke-
dua tangannya terkembang di sisi pinggang. Dan, se-
pasang matanya mengintai dari bawah.
Desss!
Tubuh Targoutai terhuyung-huyung ke bela-
kang ketika kaki Malaikat Utara dengan telak bersa-
rang di sasaran. Tapi, lelaki Mongol ini seakan-akan
memiliki tubuh dari baja. Begitu kekuatan yang mem-
I buat tubuhnya terhuyung usai, dia berdiri seperti se-
mula. Bahkan kemudian menubruk ke arah pinggang
Malaikat Utara dengan kedua tangannya.
Malaikat Utara kaget melihat bentuk penyeran-
gan yang tampak aneh itu. Dia tidak berani bertindak
gegabah. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh, dielakkannya serangan itu. Bahkan, kemudian
balas menyerang dengan tak kalah dahsyatnya.
Pertarungan unik pun berlangsung. Malaikat
Utara harus mengakui kalau baru pertama kali ini dia
menemukan lawan yang memiliki ilmu demikian aneh
seperti ini. Malaikat Utara tidak tahu kalau Targoutai
memiliki ilmu khas suku Mongol, yaitu ilmu gulat!
Dengan ilmu itu, Targoutai berusaha secepat mungkin
mengalahkan Malaikat Utara.
Tappp!
"Uh...!"
Malaikat Utara mengeluarkan keluhan terta-
han. Pergelangan tangannya berhasil dicekal tangan
Targoutai. Dan, kekagetannya semakin bertambah ke-
tika dengan sigap dan sangat cepat, Targoutai memu-
tar tangannya. Tubuh Malaikat Utara pun ter-paksa
berbalik kalau tidak ingin tangannya patah.
Malaikat Utara baru menyadari kehebatan ilmu
gulat Targoutai. Ia tahu keadaan amat berbahaya. Ke-
dudukannya sekarang membelakangi Targoutai! Tan-
gan kanannya telah ditelikung dan ditekan ke atas.
Malaikat Utara mati kutu. Mudah saja bagi Targoutai
untuk mengirimkan serangan susulan yang memati-
kan!
Tapi Malaikat Utara ternyata bukan sembaran-
gan tokoh. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu,
dia mampu menunjukkan kalau dirinya pantas berge-
lar tokoh nomor satu wilayah utara. Setelah menjejak-
kan kaki, dia mampu membuat tubuhnya jungkir balik
di udara. Kemudian, hinggap di belakang tubuh Tar-
goutai! Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Tangan
Targoutai bergerak menyentak ke depan. Tubuh Malai-
kat Utara pun terbawa ke depan dan terbanting ke ta-
nah!
Meski kepalanya terasa pening bukan main,
Malaikat Utara menggulingkan tubuhnya menjauh.
Malaikat Utara menyeringai ketika merasakan sakit
yang sangat mendera pada bagian kiri tubuhnya.
Mungkin salah satu tulang iganya ada yang patah. Pa-
dahal, tadi Malaikat Utara telah mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuhnya.
Targoutai tidak tinggal diam. Tangannya segera
digerakkan mengambil busur dan anak panah yang
tersampir di punggung. Sesaat kemudian, terdengar
bunyi berdesing nyaring ketika tiga batang anak panah
meluncur ke arah tubuh Malaikat Utara yang tengah
bergulingan.
Malaikat Utara mendengar bunyi desingan ta-
jam yang mengiris telinga itu. Dia pun tahu apa ar-
tinya. Tapi apa dayanya? Saat itu dia tengah bergulin-
gan. Tidak ada yang dapat dilakukannya. Di saat ber-
bahaya itu, terdengar bunyi tali busur berdentang
nyaring. Raja Panah Berbaju Emas melepaskan tiga
batang anak panah untuk mencegah anak-anak panah
Targoutai! Tiga pasang anak panah itu berbenturan di
udara. Anak-anak panah Raja Panah Berbaju Emas
agak terpental ke belakang, dan runtuh ke tanah! Se-
dangkan anak panah Targoutai hanya melenceng
arahnya. Dari benturan ini bisa diketahui kalau tenaga
dalam Raja Panah Berbaju Emas tidak bisa diperban-
dingkan dengan Targoutai.
Targoutai menggeram keras. Dia tampak marah
sekali. Bukan karena kegagalannya membunuh Malai-
kat Utara, tapi karena campur tangan Raja Panah Ber-
I baju Emas. Sebagai seorang Mongol, ia mempunyai
aturan aneh di negerinya. Dalam sebuah pertandingan
satu lawan satu, tidak boleh seorang pun membantu!
Begitu pun andaikata dirinya yang terdesak oleh lawan
dan terancam maut, dan kebetulan dia mempunyai
teman. Targoutai dan suku bangsanya lebih memen-
tingkan kegagahan daripada nyawa! Itu sebabnya dia
geram bukan main terhadap Raja Panah Berbaju
I Emas. Targoutai menganggap Raja Panah Berbaju
Emas sebagai seorang pengecut. Targoutai sangat
membenci hal itu.
"Kau ingin mengadu kepandaian memanah
denganku, Pengecut Hina?!" bentak Targoutai menan-
tang dengan suara kaku.
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak.
Orang Asing!" tandas Raja Panah Berbaju dengan sua-
ra keras. Terbakar amarah atas hinaan penuh tantan-
gan itu.
"Bagus!" Targoutai agak berkurang rasa sebal-
nya. Sambutan lelaki berambut kemerahan terhadap
tantangannya membuat lelaki kekar dari Mongol ini
menjadi lebih hormat. Sikap Raja Panah Berbaju Emas
menunjukkan kegagahan.
Hampir bersamaan dua lelaki gagah yang sa-
ma-sama memiliki keahlian memanah itu mundur be-
berapa langkah untuk mengambil jarak. Kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Utara
untuk menepi. Lelaki ini sebenarnya mengalami luka
dalam yang cukup parah. Pergelangan tangan kanan-
nya patah.
"Sekarang, semua pasang mata tertuju ke arah
Raja Panah Berbaju Emas dan Targoutai. Semuanya
merasakan jantung dalam dadanya berdetak lebih ce-
pat. Biasanya para pengikut Malaikat Utara tidak per-
nah meragukan kemampuan Raja Panah Berbaju
Emas. Tapi sekarang mereka semua meragukannya.
Telah mereka saksikan sendiri kemampuan Targoutai
mempergunakan anak panah.
Setelah saling menatap lawan di hadapannya
dengan mata tidak berkedip, anak-anak panah yang
telah dipasang di busur pun dilepaskan. Tidak tang-
gung-tanggung. Tiga batang anak panah sekaligus.
Masing-masing tertuju pada bagian-bagian berbahaya
di tubuh lawan.
Untuk pertama kalinya semua tokoh yang be-
rada di situ membelalakkan mata melihat pertarungan
memanah. Tiga anak panah yang dilepaskan dari arah
yang berlawanan itu berbenturan di udara. Tepat di
tengah-tengah kedua jago panah itu. Seperti sebelum-
nya, karena Targoutai memiliki tenaga dalam yang
jauh lebih kuat, tiga batang anak panahnya berhasil
melemparkan panah lawan. Meski demikian, tiga ba-
tang anak panah Targoutai kemudian runtuh karena
lajunya telah terhambat.
Tapi masing-masing pihak tidak mempedulikan
hal itu. Mereka segera mengambil anak panah dan me-
lepaskannya kembali, saling adu cepat. Untuk kedua
kalinya, tiga pasang anak panah itu berbenturan di
tengah jalan, tapi agak lebih dekat pada Raja Panah
Berbaju Emas. Dan ketiga kalinya, benturan itu lebih
dekat lagi dengan Raja Panah Berbaju Emas. Agaknya,
tokoh golongan hitam pengikut Malaikat Utara ini ka-
lah cepat dalam mengambil anak panah! Kalah gesit di
samping kalah tenaga.
Cappp!
"Aaakh...!"
Raja Panah Berbaju Emas menjerit keras. Tiga
batang anak panah yang dilepaskan Targoutai menem-
bus leher, dada, dan pusarnya. Lelaki berambut keme-
rahan ini baru saja selesai memasang anak-anak pa-
nah pada busurnya. Rupanya dia kalah cepat. Anak-
anak panah itu melesat ke udara karena. Raja Panah
Berbaju Emas roboh ke tanah. Dia tewas!
"Ah...!"
Meski telah menduga sebelumnya, Malaikat
Utara, Setan Kipas, Pengemis Tongkat Merah, dan te-
man-temannya berseru kaget. Kehidupan Raja Panah
Berbaju Emas berakhir menyedihkan. Tewas di ujung
anak panah!
Targoutai dengan wajah dingin menyimpan bu-
surnya kembali. Kemudian, tatapannya tertuju pada
Malaikat Utara.
"Kita masih mempunyai urusan, Malaikat Uta-
ra. Sudah kukatakan aku tidak akan bertindak tang-
gung-tanggung bila telah bertarung denganku!" tandas
Targoutai dingin.
Tanpa sadar Malaikat Utara bergerak mundur
selangkah. Meski sebenarnya dia bukan seorang pen-
gecut, tapi sikap Targoutai benar-benar mengerikan.
Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah serta bela-
san tokoh-tokoh persilatan lain segera melangkah ma-
ju. Senjata-senjata mereka terhunus di tangan.
"Ha ha ha...!"
Targoutai langsung tertawa bergelak. Dia tidak
kelihatan gentar. Bahkan, merasa gembira melihat si-
kap pengikut-pengikut Malaikat Utara.
"Tidak usah ragu-ragu. Ayo maju! Hadapi aku!
Seorang demi seorang hanya akan memakan waktu sa-
ja! Majulah!"
Targoutai segera melangkah mundur dan men-
gambil sebatang lembing yang tadi ditancapkan di ta-
nah ketika dia bertarung dengan Malaikat Utara. Dekat
bagian ujung lembing yang tajam berkilat terhias bulu-
bulu binatang, sejenis kambing.
Baru saja Targoutai menggenggam lembing, be-
lasan tokoh persilatan itu menerjang maju seraya
mengayunkan senjata masing-masing. Sambil tertawa
bergelak, Targoutai menyambutnya. Pertarungan tak
seimbang pun terjadi.
Malaikat Utara yang tidak ikut dalam penge-
I royokan memperhatikan tanpa berkedip. Sebagai seo-
rang tokoh besar, tentu saja lelaki ini tidak mau mela-
kukan pengeroyokan. Baginya, lebih baik mati daripa-
da melakukan tindakan pengecut seperti itu. Apalagi
saat ini keadaannya tidak mengizinkan untuk melaku-
kan hal seperti itu
Malaikat Utara ingin membuktikan kebenaran
dugaannya. Tadi dia mendapati kenyataan yang men-
gejutkan sewaktu bertarung dengan Targoutai.
Lelaki dari Mongol itu tidak terluka meski ter-
kena tendangan telak. Malaikat Utara seperti meng-
hantam gumpalan karet keras yang kenyal.
Malaikat Utara tahu pengeroyokan Setan Kipas
dan yang lain-lain, bila dia sendiri yang menghadapi
tak akan bisa ditanggulangi. Mereka terlalu tangguh
untuk ditanggulangi sendiri. Targoutai pun tak akan
mampu menghadapi mereka. Tapi, itu dalam keadaan
biasa. Padahal, Malaikat Utara tahu Targoutai memiliki
kekuatan lain yang membuatnya jadi luar biasa.
Malaikat Utara tengah menanti hal yang luar
biasa itu. Sesuatu yang ditunggu-tunggu Malaikat Uta-
ra ternyata tidak muncul begitu saja. Dalam gebrakan-
gebrakan pertama yang terlihat adalah ramainya perta-
rungan. Tapi, Malaikat Utara sudah dapat melihat hal-
hal yang mencurigakan.
Terlihat jelas oleh Malaikat Utara, Targoutai
hampir tidak mempedulikan pertahanan. Yang dilaku-
kan lelaki kekar dari Mongol ini adalah menyerang!
Bahkan ketika lawan mengirimkan serangan memati-
kan, dia tidak mempedulikan sama sekali. Ia balas
menyerang seperti hendak mengajak mati bersama.
Hal itu membuat lawan yang menyerang membatalkan
serangan.
Sepasang mata Malaikat Utara yang tajam me-
lihat kalau Targoutai hanya mengelak bila serangan itu
tertuju ke arah sepasang matanya. Tak jarang seran-
gan yang meluncur ke bagian itu ditangkisnya. Pada
hal, serangan terhadap mata paling parah hanya akan
membuat sepasang mata itu buta. Tapi Targoutai
menghindarinya! Serangan yang mematikan justru di-
biarkan meluncur ke arah sasaran.
Hal itu sepertinya mengherankan. Tapi, tidak
demikian halnya dengan Malaikat Utara. Datuk wi-
layah utara ini tahu dugaannya benar. Targoutai me-
miliki tubuh yang kebal! Itulah sebabnya serang-an-
serangan mematikan dibiarkan saja. Sedangkan seran-
gan terhadap mata tidak disepelekan. Karena, betapa-
pun saktinya seseorang tak mungkin mampu membuat
sepasang mata menjadi kebal.
Dan, keyakinan Malaikat Utara menjadi kenya-
taan. Berbagai macam senjata yang mendarat di tubuh
Targoutai hanya menyebabkan senjata-senjata itu
membalik seperti berbenturan dengan karet keras yang
kenyal.
Kenyataan itu rupanya mengejutkan pengikut-
pengikut Malaikat Utara. Mereka baru menyadari Tar-
goutai memiliki tubuh yang kebal. Tidak mempan ter-
hadap segala macam senjata. Setan Kipas dan yang
lain-lainnya jadi hanya mempunyai sasaran serangan
yang sedikit. Berbeda dengan Targoutai. Hingga, tak
sampai menginjak jurus kedelapan salah seorang di
antara mereka tewas tertusuk lembing Targoutai.
I Beberapa jurus kemudian, seorang lagi tewas
karena tertangkap Targoutai kemudian dibantingnya
keras-keras. Jeritan menyayat terdengar susul menyu-
sul. Tak sampai dua puluh lima jurus tidak ada satu
pun di antara mereka yang masih berdiri tegak. Mere-
ka semua tewas dengan mengerikan. Malaikat Utara
tidak berubah wajahnya meski melihat semua pengi-
kutnya tewas. Dia tidak sudi melarikan diri. Apalagi,
keadaannya memang tidak memungkinkan. Malaikat
Utara lebih suka tewas sebagai harimau daripada mati
sebagai babi! Dia tidak takut mati. Hanya saja lelaki ini
merasa kecewa karena impiannya untuk menjadi jago
nomor satu harus kandas sebelum tercapai. Justru di
saat dia baru merintis!
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak keras yang bernada meremehkan
terdengar memecah suasana malam yang dingin. Tawa
itu berasal dari dalam sebuah ruangan yang luas dan
megah di dalam bangunan besar. Tampak seorang pe-
muda tampan berpakaian mewah. Kulitnya halus dan
mulus seperti kulit wanita. Sebuah cangklong yang
mengepulkan asap ter-genggam di tangan kanannya.
Pemuda itu tidak lain putra dari Raja Sihir Penyebar
Maut. Pemuda yang telah menggemparkan rumah ma-
kan dengan tindakannya yang luar biasa.
"Kalau tidak mendengar sendiri dari mulutmu,
aku tidak akan percaya, Setan Timur! Kau yang men-
guasai wilayah timur dan menjadi datuk nomor satu di
sana datang ke tempatku untuk menceritakan hal ini?
Ha ha ha...! Lucu! Lucu sekali...!"
"Kau terlalu menganggap remeh persoalan ini,
Dewa Tampan!" sambut sebuah suara yang nyata-
nyata menyiratkan kekesalan. "Aku tahu kau datuk wi-
layah selatan sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau
mampu menandingi ku. Dan...."
"Bisa kau buktikan sendiri nanti. Dua hari lagi
kita akan mengadakan pertemuan untuk menentukan
siapa yang lebih sakti di antara kita. Ia pantas berjuluk
jago nomor satu." sambut pemuda berpakaian mewah
cepat seraya menghembuskan asap cangklongnya.
"Bukan itu maksudku, Dewa Tampan." sergah
Setan Timur. Ia seorang lelaki berusia sekitar empat
puluh lima tahun. Berkepala botak dan bercambar
bauk lebat. Pakaiannya berwarna coklat dengan lengan
baju sampai di bawah siku. Tampak gelang hitam meli-
lit pergelangan tangan kanan dan kirinya. "Aku hanya
memperbandingkan saja. Harap kau ingat. Bukan be-
rarti aku takut padamu. Tapi, biar bagaimanapun juga
kau perlu kuberitahu."
"Hm..J"
Dewa Tampan yang julukan lengkapnya Dewa
Tampan Dari Selatan, yang mendapat julukan itu sete-
lah kemenangannya dalam memperebutkan kedudu-
kan datuk wilayah selatan yang berlangsung di Puncak
Kabut Putih, menggumam. Sikapnya memperlihatkan
dia mulai tertarik mendengarkan pernyataan Setan
Timur.
"Kau tahu Malaikat Utara dan Raksasa Barat,
kan?" Setan Timur yang pandai mempergunakan ke-
sempatan segera memotong. Tidak ada jawaban dari
mulut Dewa Tampan Dari Selatan. Tapi dia tidak pedu-
li. "Raksasa Barat bisa kita perkirakan kepandaiannya.
Dia adalah murid terkasih Raja Racun Sakti. Malaikat
Utara tidak perlu kita perhitungkan dulu karena dia
tidak bisa kita perkirakan kepandaiannya, meski dari
keberhasilannya menjadi datuk di wilayah utara sudah
cukup untuk membuktikan kelihaiannya. Tapi kita ti-
dak bisa mencari patokan. Berbeda dengan Raksasa
Barat"
Dewa Tampan Dari Selatan hanya menggerak-
kan alisnya ke atas dan mengepulkan asap cangklong-
nya. Dia tidak berbicara sedikit pun untuk memberi-
kan tanggapan terhadap pernyataan rekannya.
I "Kita tahu, Raja Racun Sakti memiliki kemam-
puan setaraf dengan gurumu, Raja Sihir Penyebar
Maut. Karena itu mereka hanya dapat menguasai dua
wilayah yang memang sebelumnya telah dikuasai me-
reka. Jadi, kita bisa memperkirakan kemampuan Rak-
sasa Barat sebagai murid terkasih Raja Racun Sakti
yang tidak berselisih jauh denganmu sebagai putra Ra-
ja Sihir Penyebar Maut" Setan Timur menyambung.
"Dan, perlu kau ketahui, Dewa Tampan. Raksasa Barat
seperti juga halnya Malaikat Utara telah tewas di tan-
gan tokoh baru dunia persilatan."
"Aku telah mendengar berita itu. Apa anehnya?"
Dewa Tampan Dari Selatan yang memiliki watak som-
bong langsung menimpali. "Justru apabila hal itu be-
nar, aku tidak perlu lagi bersusah payah mengalahkan
mereka untuk mendapatkan wilayah kekuasaan mere-
ka. Meskipun andaikata mereka masih hidup aku
mampu merebut wilayah mereka, itu menjadikan aku
datuk nomor satu di seluruh penjuru mata angin"
"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" Setan
Timur tak kuasa menahan rasa kesalnya. "Aku tidak
heran kalau kau akhirnya akan tewas di tangan tokoh
sakti yang telah menewaskan Raksasa Barat dan Ma-
laikat Utara. Mengapa aku berani berkesimpulan de-
mikian? Karena kau memiliki kemampuan di bawah
Raksasa Barat!"
"Keparat!"
Dewa Tampan Dari Selatan yang tidak boleh
tersinggung sedikit pun langsung mengirimkan gedo-
ran telapak tangan terbuka ke arah dada Setan Timur.
Tapi, Setan Timur memang sudah menduga. Tanpa ra-
gu disambutinya serangan itu dengan sikap serupa.
Plakkk!
Benturan keras yang terjadi mengguncangkan
tubuh Dewa Tampan Dari Selatan dan Setan Timur.
Saat itu mereka tengah duduk di kursi, saling berha-
dapan dan hanya dibatasi sebuah meja bundar yang
indah.
Kegagalan serangan ini membuat Dewa Tampan
Dari Selatan tak kuasa menahan amarah.
Cangklongnya diayunkan ke arah pelipis Setan
Timur. Meskipun hanya cangklong, tapi di tangan De-
wa Tampan Dari Selatan tak kalah berbahayanya den-
gan hantaman sebuah tongkat baja!
Trakkk!
Lagi-lagi serangan itu kandas. Setan Timur
memapakinya dengan pisau belati di tangan kiri. Dewa
Tampan Dari Selatan bergegas menyusuknya dengan
tiupan mulutnya. Bukan sembarang tiupan. Tadi dia
baru saja mengisap tembakaunya. Sehingga, sekarang
asap itu meluncur ke arah wajah Setan Timur. Asap
yang dapat membuat mata perih dan pandangan ter-
halang. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya ka-
rena dilakukan dalam jarak dekat. Dua datuk sesat ini
melakukan pertarungan di atas kursi dalam keadaan
masih duduk.
Setan Timur memang seorang tokoh sesat yang
luar biasa. Tidak percuma tokoh ini menjadi jago no-
mor satu wilayah timur. Menghadapi serangan Dewa
Tampan Dari Selatan, dia tidak menjadi gugup. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Setan Timur mengambil
sesuatu dari balik bajunya, kemudian dikebutkan.
Asap yang semula menghambur ke arahnya berbalik
kembali ke arah Dewa Tampan Dari Selatan. Sesuatu
yang diambil Setan Timur adalah sebuah kipas.
Tentu saja serangan asap yang membalik itu ti-
dak ada artinya bagi Dewa Tampan Dari Selatan.
Serbuan asap yang menuju ke arahnya tidak
pedulikan. Dewa Tampan Dari Selatan pusatkan per-
hatian pada serangan lain. Dan ketika asap itu berha-
I sil diusirnya, Setan Timur membarengi dengan totokan
kipasnya ke arah hati. Namun serangan itu berhasil
dipunahkan Dewa Tampan Dari Selatan dengan tang-
kisannya.
Tidak hanya kedua tangan saja yang dipergu-
nakan kedua datuk itu. Tapi, juga kedua kaki mereka.
Kaki-kaki mereka saling menendang dan menangkis di
bawah meja. Cukup lama juga pertarungan itu ber-
langsung.
Ketika untuk kesekian kalinya tubuh kedua da-
tuk itu terguncang, Setan Timur segera mengambil ke-
sempatan.
"Apakah kau ingin kita terlibat dalam pertarun-
gan, Dewa Tampan? Tahukah kau di saat kita lemah,
tokoh baru itu akan datang dan membantai kita den-
gan mudah?"
"Aku tidak takut!" sentak Dewa Tampan Dari
Selatan keras. "Akan kubunuh dia di sini, apabila be-
rani datang!"
"Kaulah yang akan mati, Dewa Tampan!" sergah
Setan Timur. "Kau tahu, tokoh yang kudengar berasal
dari negeri seberang itu memiliki kemampuan luar bi-
asa. Seorang diri dia mampu membinasakan Malaikat
Utara dengan kelompoknya. Juga Raksasa Barat dan
pengikut-pengikutnya. Di tempat kediaman kedua da-
tuk itu pula. Markas mereka kemudian, dibumihan-
guskan!"
Dewa Tampan Dari Selatan terdiam. Dia me-
mang belum mendengar berita ini. Dia buru-buru me-
nyuruh anak buahnya berhenti bicara ketika mereka
memberitahukan tentang kematian Malaikat Utara dan
Raksasa Barat. Padahal, Dewa Tampan Dari Selatan
yang menyuruh pengikut-pengikutnya mencari berita
yang tersebar di dunia persilatan. Tapi, watak som-
bongnya tidak mengizinkan untuk mendengar berita
tentang keunggulan seseorang. Baru sekarang Dewa
Tampan Dari Selatan mendengar berita ini dari mulut
Setan Timur.
"Apakah kedua datuk itu tewas dalam perta-
rungan satu lawan satu?" tanya Dewa Tampan Dari
Selatan.
"Mula-mula demikian." Setan Timur mengang-
gukkan kepala. "Setelah datuk-datuk itu kalah dan te-
was, pengikut-pengikutnya langsung mengeroyok to-
koh asing itu. Tapi, mereka semua habis dibantai"
"Tokoh asing?!" Dewa Tampan Dari Selatan
mengernyitkan kening. "Dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah, dari Mongol. Tokoh itu
bernama Targoutai. Kedatangannya kemari adalah un-
tuk mencari jago-jago nomor satu. Ia ingin menandin-
ginya dalam hal ilmu silat. Targoutai haus pertarun-
gan."
"Dari Mongol?" Dewa Tampan Dari Sela meng-
gumam. Keningnya berkerut dalam.
"Benar...!" Setan Timur mengiyakan. "Ku dengar
dari penyelidik-penyelidik yang kukirim, di samping
ilmu silatnya tinggi, jago dari Mongol itu memiliki ilmu
kebal yang luar biasa. Ilmu gulat, ilmu memanah, dan
permainan lembing yang amat mahir. Bahkan, Raja
Panah Berbaju Emas tewas dalam pertandingan adu
panah dengan Targoutai."
"Ah...!"
Kali ini Dewa Tampan Dari Selatan tidak mam-
pu menahan keterkejutannya. Berita tentang tewasnya
Raja Panah Berbaju Emas di tangan Targoutai sangat
mengejutkan putra Raja Sihir Penyebar Maut ini.
Dewa Tampan Dari Selatan tahu siapa Raja Pa-
nah Berbaju Emas. Seorang ahli panah yang boleh di-
bilang tidak tertandingi. Tak ada seorang tokoh persila-
tan pun yang mampu menandinginya apalagi menga-
lahkannya. Tapi kenyataannya? Targoutai mampu me-
lakukan hal itu. Berarti Targoutai memiliki ilmu me-
manah yang sungguh luar biasa!
"Perlu kau ketahui, Dewa Tampan." Setan Ti-
mur menyambung perkataannya. "Aku datang kemari
dan menceritakan semua ini karena aku tidak ingin
orang asing itu menjadi jagoan di tempat kita. Biar ba-
gaimanapun juga, andaikata aku tidak men-jadi datuk
nomor satu di dunia persilatan, aku tidak ingin gelar
itu jatuh ke tangan orang dari negeri seberang!"
Dewa Tampan Dari Selatan menatap wajah Se-
tan Timur lekat-lekat, seperti ingin mencari kebenaran
ucapan tokoh nomor satu wilayah timur itu.
"Karena itu, aku ingin perebutan gelar antar ki-
ta ditunda lebih dulu. Bukankah sesuai kesepakatan
akan diadakan minggu depan?"
"Kalau itu keinginanmu, apa boleh buat?" Dewa
Tampan Dari Selatan mengangkat bahunya. "Asal kau
tahu saja, Setan Timur. Aku tidak takut dengan orang
yang bernama Targoutai. Bahkan, aku akan meroboh-
kan tokoh-tokoh di daerah barat dan utara supaya wi-
layah kekuasaanku tidak hanya meliputi daerah sela-
tan!"
"Lakukan apa yang kau mau, Dewa Tampan.
Dan, selamat melawat ke akherat!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, tu-
buh Setan Timur melayang ke belakang bersama den-
gan kursinya. Padahal, lelaki berkepala botak itu
hanya mengibaskan kedua tangannya ke bawah.
"Tunggu sebentar, Setan Timur! Jelaskan mak-
sud ucapanmu!"
Dewa Tampan Dari Selatan tidak mau kalah
melakukan unjuk kepandaian. Dia pun menekan ke-
dua tangannya ke bawah. Tubuhnya bersama kursi
yang didudukinya mencelat ke atas melewati meja dan
melayang mengejar kursi Setan Timur. Tepat ketika
kaki-kaki kursi Setan Timur hinggap di lantai, kaki-
kaki kursi Dewa Tampan Selatan pun mendarat pula.
"Aku hanya mengucapkan tanda bukti ikut
berduka cita atas kematianmu, Dewa Tampan. Kau ti-
dak akan mampu mengungguli Targoutai! Dia miliki
kulit tubuh yang amat kuat. Jangankan tangan, senja-
ta tajam pun tidak mampu melukainya. Selamat ting-
gal."
Tanpa mempedulikan Dewa Tampan Dari Sela-
tan yang masih termangu-mangu, Setan Timur melesat
meninggalkan ruangan itu. Dalam sekelebatan bayan-
gannya sudah tidak terlihat lagi.
"Tolong turunkan aku, Dewa Arak! Aku berjalan
sendiri."
Seruan itu diucapkan seorang gadis berpakaian
biru yang berada dalam bopongan Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu tengah berlari cepat
meninggalkan bangunan mewah dan megah tempat
tinggal Malaikat Utara. Arya mempergunakan kesem-
patan di saat kemunculan Targoutai untuk pergi.
"Ah.... Kalau demikian, bagus sekali, Nisanak,"
Arya menyahuti. Kebetulan tempat tinggal Malaikat
Utara sudah tertinggal jauh.
Sebenarnya Arya tahu Citra Sari tidak akan bi-
sa berjalan akibat luka yang dideritanya. Tapi, karena
gadis itu memaksa, permohonan Citra Sari pun dipe-
nuhi. Gadis itu dibawa Arya ke tempat yang agak rin-
dang dan dipenuhi pohon-pohon, baru kemudian ditu-
runkan.
Citra Sari terhuyung ketika berdiri dengan ke-
dua kakinya. Arya sudah bersiap hendak menangkap
apabila gadis itu terjatuh. Tapi, ternyata tidak. Citra
Sari mampu berdiri tegak. Gadis itu lalu duduk bersila,
ia bersemadi untuk memulihkan lukanya.
Terpaksa Arya berdiri menunggu. Di dalam hati
pemuda berambut putih keperakan ini merasa bersyu-
kur kebetulan lewat di tempat itu. Di depan bangunan
besar milik Malaikat Utara, ia merasa heran melihat
dua sosok tubuh tergolek di tanah. Arya mendeka-
tinya. Kemudian, terdengar bunyi riuh rendah pertem-
puran. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya me-
lesat ke dalam dan melihat Citra Sari tengah terancam
bahaya. Dia pun bergegas menolongnya.
Arya mengeluh dalam hati ketika teringat Ma-
laikat Utara. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang telah mendengar selentingan kabar di dunia
persilatan. Telah didengarnya kalau dua datuk kaum
sesat yaitu Raja Racun Sakti dan Raja Sesat Penyebar
Maut telah lenyap. Terjadi pergolakan dunia kaum se-
sat untuk menjadi pengganti kedua datuk tersebut.
Arya tahu perebutan kedudukan telah berlangsung di
empat wilayah. Di utara keluar sebagai pemenang, Ma-
laikat Utara. Di timur, Setan Timur. Di selatan, Dewa
Tampan Dari Selatan, sedangkan di barat, Raksasa
Barat. Dua nama terakhir adalah putra dan murid dua
datuk terdahulu. Arya mengeluh bukan karena takut,
tapi karena risau. Malaikat Utara saja sudah merupa-
kan lawan yang demikian berat. Bisa diperkirakan ka-
lau ditambah dengan tiga datuk yang lain. Kepandaian
mereka pasti tidak berbeda jauh. Bahkan mungkin im-
bang. Kalau mereka bergabung, ini merupakan anca-
man berat bagi keamanan dunia persilatan.
Benak Arya kemudian disibukkan dengan to-
koh Mongol yang sempat dilihatnya. Tokoh Mongol itu
memiliki kepandaian tinggi. Apakah tokoh itu terma-
suk salah seorang di antara datuk-datuk lainnya?
Raksasa Barat barangkali? Atau tokoh yang berjuluk
Setan Timur?
Kesibukan berpikir membuat Arya tidak tahu
Citra Sari telah lama tenggelam dalam semadinya. Pe-
muda berambut putih keperakan itu hanya tahu Citra
Sari menyelesaikan semadi ketika mendengar helaan
napas gadis itu.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nisanak?"
"Lebih baik dari sebelumnya," jawab Citra Sari
lembut. "Tapi kuharap kau tidak memanggilku
'Nisanak', Dewa Arak. Panggil saja aku Citra, atau Sa-
ri."
"Kaupun harus demikian, Ni... eh, Citra." Arya
ikut membetulkan,
"Kau tidak usah memanggilku dengan sebutan
yang membuat telingaku gatal mendengarnya. Panggil
saja aku, Aiya. Namaku adalah Arya Buana. Jadi, kau
mempunyai nama lengkap Citra Sari?"
Gadis berpakaian biru itu mengangguk.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-
kan, Arya. Kalau tidak ada kau, mungkin nyawaku su-
dah tidak berdiam di raga lagi. Benar juga peringatan
ayahku."
"Peringatan ayahmu?"
"Ya. Beliau mengingatkan aku agar tidak usah
menyatroni tempat kediaman Malaikat Utara. Karena
itu hanya akan mencelakakan nyawaku sendiri. Tapi,
aku memang keras kepala. Aku sudah kesal bukan
main pada murid murtad itu. Secara diam-diam aku
pergi untuk menghukum Malaikat Utara. Tapi jangan-
kan menghadapinya, baru bertarung dengan pengikut-
nya saja aku sudah tidak berdaya," Citra Sari menge-
luh.
"Jadi.... Malaikat Utara itu kakak sepergu-
ruanmu?" duga Arya agak ragu.
"Bukan." Citra Sari menggelengkan ke "Dia bu-
kan kakak seperguruanku. Tapi paman perguruan."
"Jadi..., Malaikat Utara itu adik seperguruan
ayahmu?" tanya Arya lagi. Ketika dilihatnya Citra Sari
mengangguk, ucapannya kembali diteruskan. "Bisa ku
perkirakan betapa tingginya kepandaian ayahmu, Ci-
tra. Malaikat Utara saja yang menjadi adik sepergu-
ruannya memiliki kepandaian demikian tinggi."
"Tidak demikian, Arya," ujar Citra Sari. "Meski
memang ayahku termasuk kakak seperguruannya, tapi
bila diperbandingkan, kepandaian Malaikat Utara lebih
tinggi. Bahkan mungkin berselisih jauh. Dia tidak
hanya memiliki satu guru saja."
Arya mengernyitkan alis, bingung mendengar
penjelasan Citra Sari.
"Ayahku mempunyai seorang guru." Citra Sari
memutuskan untuk menerangkan semuanya agar je-
las. "Guru Ayah itu seorang pertapa di sebuah pegu-
nungan. Entah di gunung mana aku tidak tahu. Seki-
tar dua puluh lima tahun yang lalu, Ayah selesai bela-
jar dan turun gunung. Kemudian, dia mempunyai seo-
rang keturunan, aku. Saat aku berusia lima tahun,
Ayah mengajakku untuk menemui gurunya. Di tengah
perjalanan kami menemukan seorang anak lelaki be-
rusia sekitar lima belas tahun yang dikejar-kejar see-
kor macan. Ayah segera menolongnya. Karena anak itu
sudah tidak punya keluarga, Ayah lalu membawanya
serta kepada gurunya. Ternyata guru Ayah tertarik un-
tuk mengangkat anak lelaki yang bernama Danar Jati
itu menjadi murid. Bahkan, dua pertapa lain yang ke-
betulan tengah mengunjungi guru Ayah ikut tertarik
untuk menjadikan Danar Jati sebagai murid. Danar
Jati pun menjadi murid tiga pertapa sekaligus.
Citra Sari menghentikan ceritanya sejenak. Di-
tatapnya Arya yang asyik mendengarkan. Melihat Arya
tampak berminat untuk terus mendengarkan, Citra
Sari pun melanjutkan ceritanya.
"Aku dan Ayah tinggal di situ hanya tiga bulan.
Kemudian kami kembali. Sedangkan Danar Jati tinggal
di sana. Tapi, ketika dua bulan yang lalu aku datang
ke sana, kujumpai tiga pertapa itu telah lumpuh dan
buta semua. Danar Jati telah sampai hati meracuni
mereka. Anak itu ternyata tidak berwatak baik. Setelah
melapor pada Ayah, aku lalu mencari Danar Jati. Ber-
minggu-minggu aku mencarinya. Sampai aku menda-
pat berita kalau Danar Jati telah menjadi datuk di wi-
layah utara dan berjuluk Malaikat Utara. Aku datang
untuk membunuhnya. Tapi hasilnya?"
Dewa Arak menghela napas berat
"Apa rencanamu sekarang, Citra?"
"Memberitahukan ayahku mengenai hal ini.
Kau mau ikut Aiya? Ayahku sudah cukup lama men-
dengar kebesaran namamu. Dia ingin sekali bertemu
denganmu. Sayang belum kesampaian."
"Ayolah kalau demikian."
Wajah Citra Sari langsung berseri mendengar
kesediaan Arya untuk menemui ayahnya.
"Hey...!"
Citra Sari menudingkan jari telunjuknya ke de-
pan. Menunjuk seseorang yang tengah melesat keluar
dari pintu gerbang sebuah rumah yang daun pintunya
terbuka lebar. Gerakan sosok itu gesit bukan main.
Kebetulan arah yang ditujunya adalah arah yang di-
tinggalkan Citra Sari bersama Dewa Arak. Saat itu me-
reka sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal
ayahnya Citra Sari.
"Ada apa, Citra?" tanya Arya seraya menatap
sosok bayangan yang semakin dekat dengan tempat-
nya. Ia tidak bisa melihat orang itu dengan jelas kare-
na cepatnya gerakan larinya.
"Sosok bayangan itu baru keluar dari tempat
tinggalku!" jawab Citra Sari penuh kekhawatiran. "Aku
jadi mencemaskan keadaan Ayah...!"
"Kalau demikian, jangan kita biarkan sosok itu
lolos sebelum kita mendapat keterangan apa yang te-
lah dilakukannya di tempat kediaman ayahmu."
Usai berkata, Arya segera menghentikan jalan-
nya dan berdiri di tengah jalan. Dihadangnya arah
yang akan dilalui sosok bayangan yang tengah melaju
cepat itu.
"Perlahan dulu, Sobat. Aku mau bicara." Untuk
menarik perhatian sosok yang tengah meluncur den-
gan cepat itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu mengerah-
kan tenaga dalamnya. Tindakan itu membuat ucapan-
nya terdengar menggema, seperti berteriak di pegu-
nungan.
Sosok yang tengah melesat itu mendadak men-
gurangi kecepatannya. Bahkan, beberapa saat kemu-
dian menghentikan larinya. Ia berdiri tegak dalam ja-
rak tiga tombak dari Arya dan Citra Sari.
Wajah Arya dan Citra Sari berubah ketika meli-
hat sosok di depan mereka. Sosok itu bertubuh kekar
dengan pakaian terbuat dari kulit binatang. Wajahnya
keras. Ia mengenakan topi baja bulat yang pada bagian
atasnya tepat di tengah tampak besi runcing. Sedang-
kan pada bagian bawahnya terdapat hiasan dari bulu
binatang. Wajah yang keras itu tampak asing, sosok ini
adalah Targoutai! Pendekar Mongol yang sakti.
Seperti halnya Arya dan Citra Sari, Targoutai
pun agak berubah wajahnya. Targoutai merasa pernah
melihat Dewa Arak. Sedangkan Citra Sari meski dari
tempatnya yang agak tersembunyi dan tengah terluka,
di tempat kediaman Malaikat Utara tetapi ia melihat
kedatangan Targoutai.
"Bukankah kau orang yang akan bertarung
dengan Raja Panah Berbaju Emas?" Targoutai membu-
ka suara dengan logat aneh. "Apa maksudmu meng-
hentikan perjalananku?!"
"Tidak ada maksud apa pun kecuali untuk
mengajukan sebuah pertanyaan. Aku yakin kau bisa
menjawabnya, Saudara...."
"Targoutai. Namaku Targoutai. Jago dari negeri
seberang, Mongol. Aku sengaja datang kemari untuk
menjajal kelihaian jagoan-jagoan negeri ini. Sayang,
tak ada seorang pun lawan yang benar-benar tangguh.
Hanya tinggal dua tokoh lagi yang namanya kudengar
cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi aku tidak
yakin mereka akan mampu melawanku. Dua orang
yang mempunyai kedudukan setingkat dengan mereka
berhasil kukalahkan tanpa banyak mendapat kesuka-
ran!"
"Targoutai?!" Arya dan Citra Sari saling berpan-
dangan mendengar nama asing itu. Tapi, perasaan he-
ran itu masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan
rasa tersinggung mendengar ucapan Targoutai yang
merendahkan jago-jago negeri mereka. Hati sepasang
muda-mudi ini panas seperti terbakar api!
"Boleh ku tahu dua tokoh terkenal yang kau
maksudkan, dan dua tokoh setingkat mereka yang te-
lah kau kalahkan?" Arya lebih dulu membuka suara
sebelum Citra Sari mengajukan pertanyaan Pemuda
berambut putih keperakan ini khawatir Citra Sari akan
bertindak macam-macam dengan pertanyaannya.
"Dua tokoh yang telah kukalahkan itu adalah
Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Sedangkan dua to-
koh setingkatan mereka yang akan kucari dan tandingi
adalah...."
"Setan Timur dan Dewa Tampan Dari Selatan!"
potong Citra Sari cepat.
"Benar!" Targoutai sama sekali tidak marah
ucapannya dipotong dengan kasar seperti itu.
Mendengar jawaban ini, Dewa Arak merasa jan-
tungnya berdetak lebih cepat. Kalau benar Malaikat
Utara dan Raksasa Barat berhasil dikalahkan oleh
Targoutai, berarti lelaki Mongol ini memiliki tingkat
kepandaian yang amat tinggi. Arya sendiri tidak berani
memutuskan kalau kepandaian yang dimilikinya bera-
da di atas Malaikat Utara. Ia hanya tahu Malaikat Uta-
ra merupakan lawan yang amat tangguh.
"Jadi..., sewaktu kau kulihat berada di tempat
kediaman Malaikat Utara, kau sedang menantang Ma-
laikat Utara untuk bertarung?" Arya mulai mengerti
dengan duduk persoalannya.
"Benar!" Targoutai menjawab singkat.
"Lalu, bagaimana dengan pengikut-pengikut
Malaikat Utara?" desak Arya.
"Karena mereka mencabut senjata dan menye-
rangku, aku tidak mempunyai pilihan lain selain
menghadapi mereka dan membinasakannya. Mereka
terpaksa bernasib sama seperti Malaikat Utara!"
Arya menahan nafasnya. Sekarang dia baru ta-
hu: Malaikat Utara telah tewas. Pemuda itu menelan
keterkejutannya mendengar pengikut-pengikut Malai-
kat Utara tewas semua. Berita ini membuat pemuda
berambut putih keperakan ini sukar untuk memperki-
rakan ketinggian ilmu yang dimiliki Targoutai. Arya
sendiri tidak yakin akan mampu menghadapi keroyo-
kan pengikut-pengikut Malaikat Utara yang diketa-
huinya memiliki kepandaian tinggi.
"Kau sendiri siapa, Anak Muda? Kulihat kau
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tenaga dalam
yang kau kerahkan dalam teriakan tadi cukup kuat.
Mungkin tingkat kepandaianmu tidak berada di bawah
tua bangka tidak berguna yang baru saja kubunuh!"
Targoutai baru teringat untuk mengajukan perta-
nyaan.
"Siapa yang kau maksudkan, Orang Asing Ke-
parat?!" Citra Sari telah lebih dulu memotong sebelum
Arya sempat mengajukan pertanyaan.
"Pendekar Golok Salju! Dia...."
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Citra Sari yang sudah setengah menduga tokoh
yang dimaksudkan Targoutai langsung menggeram
murka. Ia mendengar dengan telinganya sendiri tokoh
yang baru saja tewas di tangan Targoutai lah Pendekar
Golok Salju, ayahnya. Gadis kaian biru itu menerjang
dengan pukulan-pukulan berantai ke arah dada dan
ulu hati. Serangan-serangan yang mematikan dan da-
pat mengirim nyawa Targoutai ke akherat
"Hmh...!"
Targoutai mengeluarkan dengusan menghindari
hidungnya. Kemudian, dengan kecepatan gerak yang
mengejutkan, tangan kanan lelaki berpakaian dari bu-
lu binatang itu terulur. Arya tampak kaget ketika meli-
hat tangan Targoutai mampu menangkap pergelangan
Citra Sari.
Dengan kesigapan yang mengagumkan, Targou-
tai membanting tubuh Citra Sari melewati kepala lelaki
Mongol itu sendiri. Targoutai melakukan bantingan itu
sambil membalikkan tubuh.
Dewa Arak yang sudah sejak tadi bersikap sia-
ga untuk menjaga keselamatan Citra Sari, karena tidak
sempat mencegah gadis berpakaian biru itu menye-
rang, tidak tinggal diam. Pemuda berambut putih ke-
perakan ini tahu bantingan seorang tokoh seperti Tar-
goutai tidak bisa dianggap ringan. Meski Citra Sari
memiliki kepandaian tinggi dan tenaga dalam yang lu-
mayan, tulang-tulangnya akan hancur berantakan.
Itu sebabnya, Arya segera bertindak cepat. Be-
gitu tubuh Citra Sari diayunkan untuk dibanting pe-
muda itu menghentakkan kedua tangannya ke arah
Citra Sari.
Wusss!
Dari dua tangan yang dipukulkan terbuka itu
meluncur segundukan angin keras. Hembusan angin
itu tidak berbahaya karena Arya mengirimkan untuk
melemparkan tubuh Citra Sari jauh-jauh. Setidak-
tidaknya membuat daya banting tubuh Citra Sari pu-
pus tertiup pukulan jarak jauh itu.
Meski maksud Arya tidak terpenuhi sepenuh-
nya, tapi karena hembusan angin keras itu ayunan tu-
buh Citra Sari ke tanah berkurang jauh. Ada kekuatan
lain yang berusaha membawanya melayang ke samp-
ing. Kekuatan ini sedikit banyak mengurangi lontaran
tubuh Citra Sari ke tanah. Maka meski tubuh Citra
Sari tetap terbanting, kekuatan bantingannya telah
berkurang amat banyak.
Targoutai tidak mempedulikan Citra Sari yang
bergulingan menjauh. Pandangan dan perhatian lelaki
Mongol ini tertuju pada Arya.
"Kau lawan yang cukup berharga juga, Anak
Muda." Targoutai berkata sedikit gembira. "Sejak tadi
kau belum memperkenalkan diri. Apakah kau tak
punya nama atau julukan? Atau, kau takut menye-
butkannya barangkali? Aku yakin orang dengan ke-
pandaian seperti kau pasti memiliki julukan. Tua
bangka tolol yang baru saja kubunuh itu pun mempu-
nyai julukan. Pendekar Golok Salju. Hmh! Sebuah ju-
lukan yang terlalu berlebihan!"
"Aku bukan seorang pengecut, Targoutai!" tan-
das Arya agak keras, tersinggung dengan ejekan Tar-
goutai. "Kalau kau ingin tahu namaku, akan kuberi-
kan. Namaku Arya Buana. Tapi, lebih dikenal dengan
panggilan Arya saja. Singkat bukan?"
"Arya Buana? Nama yang cukup bagus!" puji
Targoutai datar. "Apakah kau hanya mempunyai nama
saja, Buana? Tidak julukan? Apakah kau tidak punya
julukan, Buana? Eh, bolehkan kalau aku memanggil-
mu Buana?"
Arya tersenyum getir.
"Aku tidak keberatan, Targoutai!. Kau bebas
untuk memanggilku. Mengenai julukan memang kua-
kui aku memilikinya. Tapi aku yakin tidak terlalu be-
rarti." Arya memutuskan untuk lebih dulu mengecil-
kan diri sebelum memberikan julukannya. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini yakin Targoutai telah
mendengar julukannya. Bukankah julukan Dewa Arak
telah tersebar di dunia persilatan sebelum julukan Ma-
laikat Utara dan yang lain-lainnya?
"Biarlah, Buana. Aku yakin julukan yang kau
sandang cukup bagus. Mungkin Pendekar Berambut
Perak atau Pendekar Berambut Siluman. Boleh jadi
malah Pendekar Berambut Tua." Targoutai mengaju-
kan dugaan yang lucu-lucu.
"Salah semua, Targoutai!" Arya menggeleng.
"Yang benar, julukanku adalah.... Dewa Arak...!"
"Apa...?!"
Targoutai terjingkat ke belakang seperti disen-
gat ular berbisa. Sepasang mata lelaki Mongol ini
membelalak lebar. Wajahnya menampakkan keterkeju-
tan.
"Dewa Arak...?!"
"Benar. Itulah julukanku, Targoutai. Sebuah ju-
lukan yang sederhana. Sesederhana kepandaian yang
kumiliki," Arya merendahkan diri.
"Kurasa tidak!" Targoutai menggelengkan kepa-
la. "Sebelum mati Pendekar Golok Salju berkata kepa-
daku, kalau aku berniat menjajagi kepandaian jago
nomor satu dunia persilatan negeri ini, aku harus
mencari seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak. To-
koh ini masih muda tapi memiliki kepandaian hebat.
Bahkan, kata Pendekar Golok Salju kepandaian empat
datuk sesat masih berada di bawah Dewa Arak! Jadi,
kalau aku telah mengalahkan Dewa Arak, katanya ba-
ru aku boleh menganggap diriku jago tidak terkalah-
kan di negeri ini! Sungguh tidak kusangka aku dapat
bertemu denganmu, Dewa Arak! Silakan bersiap untuk
bertarung!"
"Berita yang kau dapat terlalu berlebihan, Tar-
goutai. Banyak tokoh persilatan negeri ini yang memi-
liki kepandaian melebihi ku. Malah beberapa tokoh
yang kutemui mampu mengalahkanku tanpa berkerin-
gat sama sekali. Tanpa menggeser kaki dari tempatnya
berdiri. Jadi, ucapan Pendekar Golok Salju mengenai
kepandaian yang kumiliki dan tokoh tersakti negeri ini
adalah aku, hanya isapan jempol belaka. Tapi, tentu
saja aku tidak takut untuk meladeni mu bertarung!"
"Bagus! Silakan jaga ini, Dewa Arak!"
Targoutai membuka serangan dengan sebuah
tusukan tangan kanan. Jari telunjuk dan tengahnya
diluruskan, menotok ke arah dahi Arya. Bunyi berdecit
nyaring mengiringi luncuran jari-jari tangan itu. Jari-
jari itu mampu melubangi dahi Dewa Arak.
Arya tidak ingin membuat lawannya berbesar
hati. Ia memiringkan kepala sedikit. Lalu, menangkis
dari dalam dengan tangan kirinya.
Trakkk! Rrrttt!
"Eh...?!"
Dewa Arak terperanjat ketika pergelangan tan-
gan kirinya membentur tangan lawan. Dengan gerakan
laksana ular, tangan Targoutai berhasil mencekal per-
gelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum Arya sempat
berbuat sesuatu, tubuhnya telah di-angkat ke atas dan
dibanting ke tanah.
Tapi Targoutai kecewa kalau mengira akan se
mudah itu menaklukkan Dewa Arak. Ketika tubuhnya
dibanting, karena tidak sempat mengerahkan tenaga
dalam untuk memberatkan tubuh, Dewa Arak sempat
mengirimkan sebuah tendangan belakang!
Laksana ular, tangan Targoutai berhasil membe-
lit salah satu pergelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum
Arya sempat berbuat sesuatu, tubuhnya telah diangkat
tinggi-tinggi ke atas oleh tokoh dari mongol itu! Dan...
siap dibanting ke tanah!.
Desss!
Tendangan Dewa Arak itu keras bukan main.
Dan mendarat di sasaran dengan telak, di dada. Tar-
goutai terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan
Aiya sebelum tubuhnya membentur tanah telah men-
gerahkan tenaga dalam untuk mencegah kerusakan
tulang-tulang dan bagian dalam tubuhnya. Bagi orang
dengan tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, mela-
kukan hal seperti itu tidak terlalu sulit. Tubuhnya jadi
selunak kapas ketika berbenturan dengan tanah. Pe-
muda berambut putih keperakan ini langsung menggu-
lingkan tubuh.
Ketika Dewa Arak telah berdiri tegak, dilihatnya
Targoutai telah bersiap untuk melancarkan serangan
kembali. Arya sempat kaget. Sikap Targoutai menun-
jukkan tokoh dari Mongol ini biasa-biasa saja. Segar -
bugar seperti tidak terluka. Padahal, Dewa Arak yakin
tendangannya bersarang dengan telak. Ataukah tadi
hanya perasaannya saja? Arya jadi bingung sendiri.
Targoutai kelihatan tidak terluka. Padahal, tendangan
itu cukup untuk menghancurkan batu karang paling
keras sampai hancur berkeping-keping! Tapi, kenya-
taannya?
Aiya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir
lebih lama. Targoutai telah kembali menerjang. Seran-
gan-serangan lelaki dari Mongol ini sempat membuat
Arya gelagapan karena penuh dengan gerakan-gerakan
aneh. Tidak hanya menangkis, mengelak, memukul,
atau menendang, tapi sering dipenuhi dengan tangka-
pan-tangkapan. Diikuti dengan gerakan membanting
atau memuntir yang sanggup mematahkan tulang-
tulang lawan. Dewa Arak tidak tahu ilmu yang diguna-
kan lawannya. Tapi, dia tahu Targoutai seorang lawan
yang amat tangguh! Maka, Arya segera menggunakan
I ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.
Begitu bergebrak beberapa jurus, baik Targou-
tai maupun Dewa Arak harus mengakui di dalam hati,
lawan yang dihadapi tangguh bukan main. Targoutai
merasa sempat gembira mendapat lawan yang setim-
pal. Lelaki dari Mongol ini telah menguras seluruh ke-
mampuan dan kecepatannya. Tapi, ia tetap tidak
mampu menangkap dan melumpuhkan Dewa Arak.
Malah serangan-serangannya banyak yang kandas.
Dewa Arak demikian licin laksana belut!
Yang membuat Targoutai lebih penasaran ada-
lah ketika melihat gaya Dewa Arak mengandaskan se-
rangannya. Dengan gerakan aneh yang sebagian besar
dilakukan dengan langkah terhuyung-huyung, Arya
berhasil mengelakkan semua serangan. Kadang-
kadang pemuda itu berlari-lari di tempat, berputar
mengelilingi Targoutai. Namun yang lebih gila adalah
ketika Dewa Arak memapaki datangnya serangan den-
gan tubuhnya. Tapi hebatnya, justru dengan gerakan
itu Dewa Arak dapat lolos dari serangan!
Hal lain yang membuat Targoutai kagum ada-
lah karena Dewa Arak tidak hanya memiliki kehebatan
dalam mengelak. Serangan-serangannya pun luar bi-
asa. Bila mengelak tubuh pemuda berambut putih ke-
perakan itu seperti lemas tidak bertulang. Dan, sewak-
tu melancarkan serangan tampak kokoh dan kuat. Ti-
dak hanya tangan, kaki, atau gucinya yang digerakkan
I Arya, tapi juga semburan araknya! Targoutai harus
mengakui Dewa Arak adalah lawan paling berat yang
pernah dihadapinya.
Tapi, bukan hanya Targoutai saja yang merasa
kagum. Dewa Arak pun demikian. Berkali-kali seran-
gan yang dilancarkan mendarat di berbagai bagian tu-
buh yang berbahaya, tapi hasilnya tidak terlihat sama
sekali. Tubuh Targoutai bagaikan terbuat dari baja. Ti-
dak bergeming sedikit pun. Meski setiap kali serangan
Arya mendarat, tubuh lelaki dari Mongol ini terjeng-
kang ke belakang. Namun, ia segera maju kembali
dengan semangat berlipat ganda.
Untuk kesekian kalinya, Dewa Arak dan Tar-
goutai terhuyung mundur ketika tangan-tangan mere-
ka berbenturan. Tubuh mereka terhuyung tiga langkah
ke belakang.
"Kau hebat, Dewa Arak!" Targoutai yang berwa-
tak jantan, tak lupa untuk memuji. Tulus dari lubuk
hatinya yang paling dalam. Karena untuk pertama ka-
linya dia bertemu lawan yang demikian tangguh.
"Kau pun tak kalah hebat, Targoutai!" Arya ba-
las memuji.
Kedua tokoh itu tidak saling gebrak kembali.
Mereka berpandangan dalam jarak sekitar dua tom-
bak. Sepasang mata kedua orang itu memancarkan
kekaguman terhadap orang yang berdiri di hadapan-
nya. Tapi, di dalam kekaguman itu terpancar perasaan
penasaran.
Targoutai memutar lembingnya di atas kepala
hingga mengeluarkan bunyi mengaung. Kemudian,
dengan langkah silang dan satu-satu, didekatinya De-
wa Arak yang tetap berdiri di tempatnya.
Tapi, tiba-tiba Targoutai menghentikan lang-
kahnya. Bahkan, ayunan lembingnya dihentikan. Se-
pasang matanya menatap lurus ke belakang Dewa
Arak. Arya yang tahu kegagahan Targoutai dan tak
mungkin tokoh ini akan membokongnya, tanpa curiga
segera menolehkan kepala ke belakang untuk melihat
apa yang telah membuat Targoutai bertindak demi-
kian.
Beberapa tombak, mungkin sekitar sepuluh
tombak lebih di belakang Dewa Arak tampak berdiri
dua sosok lelaki yang mengenakan seragam pasukan
kerajaan. Melihat topi dan hiasan yang dikenakan di
atas kepala, Dewa Arak yakin kedua orang ini adalah
Bangsa Mongol. Bangsanya Targoutai!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak
berdetak lebih cepat. Satu lawan saja belum bisa dis-
elesaikan sekarang muncul dua lagi. Meski belum ke-
tahuan kemampuannya, tapi sedikit banyak menam-
bah kekuatan lawan. Dan lagi, Dewa Arak jadi khawa-
tir akan keselamatan Citra Sari.
Tampak salah seorang dari kedua lelaki berse-
ragam aneh itu menuding. Kepada siapa sosok itu me-
nunjuk, Arya bisa memperkirakan. Tapi, yang jelas
sambil menunjuk kedua lelaki itu berseru. Karena ter-
lalu pelan, Arya tidak mampu mendengarnya.
Saat itulah Dewa Arak mendengar seruan yang
membuatnya merasa heran.
"Sayang sekali ada gangguan, Dewa Arak. Lain
kali aku akan mencarimu untuk meneruskan perta-
rungan kita!"
Arya telah hafal siapa pemilik suara itu meski
baru mendengarnya beberapa kali. Secepat kilat kepa-
lanya ditolehkan ke tempat Targoutai berdiri. Tapi,
Targoutai hanya melemparkan senyum sebelum mem-
balikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu.
Dalam beberapa kali lompatan, tubuh lelaki perkasa
dari Mongol itu telah berubah menjadi titik hitam yang
semakin mengecil di kejauhan.
Aiya yang masih kebingungan dan heran meli-
hat sikap Targoutai yang seperti ketakutan, tidak
mampu mencegah kepergian lelaki dari Mongol itu. Dia
hanya dapat menatap kepergian Targoutai dengan
pandangan kagum.
Pemuda berambut putih keperakan ini baru
menolehkan kepala ketika mendengar bunyi langkah
kaki mendekati tempatnya. Ternyata dua orang yang
mengenakan seragam pasukan aneh itu.
"Sayang sekali.... Lagi-lagi dia lolos...!" ujar sa-
lah seorang yang bertubuh agak kurus.
"Ini berarti banyak lagi orang yang akan menja-
di korbannya," sambung temannya. Seperti juga re-
kannya, logat bicara orang kedua ini pun terdengar
aneh dan menggelitik di telinga.
"Sebenarnya ada apa, Tuan-tuan?" tanya Arya
ingin tahu, setelah yakin kedua orang prajurit Mongol
ini tidak bermaksud jahat. Mereka agaknya bukan ka-
wan Targoutai.
"Sebenarnya ini urusan pribadi kami". Pasukan
Mongol yang bertubuh agak kurus menjawab setelah
terlebih dulu menghela napas panjang. Ucapan yang
dikeluarkannya satu-satu dan terputus-putus. Terlihat
kalau dia sulit mencari kata-kata, "Tapi... karena Tar-
goutai telah bentrok dengan saudara, tidak ada salah-
nya kalau kami menceritakannya...."
"Benar." Prajurit Mongol yang satu membantu
rekannya yang terdiam dengan kening berkerut "Tar-
goutai adalah anggota suku kami. Dia seorang jagoan
nomor satu di negeri kami. Kegemarannya adalah
mengadu ilmu. Tanpa sepengetahuan pemerintah ka-
mi, Targoutai ikut rombongan pasukan. Untung kami
dapat mengetahui dia ikut pergi meninggalkan negeri.
Maka, kami diperintahkan untuk membawa Targoutai
kembali agar tidak menimbulkan bencana di negeri ini,
khususnya terhadap orang-orang persilatan."
"Sayang, kami terlambat." Prajurit Mongol yang
bertubuh agak kurus kembali berbicara. "Dia telah
menimbulkan cukup banyak malapetaka. Tapi, berun-
tung kami lebih dulu datang sebelum kau dicelakai."
"Terima kasih atas pertolongan Tuan-tuan. Ka-
rena kedatangan Tuan-tuan, aku bisa selamat. Terima
kasih," ujar Arya dengan sikap dongkol yang disembu-
nyikan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa
jengkel. Ucapan Prajurit Mongol itu menunjukkan ia
memandang rendah dirinya. Padahal, dia yakin belum
tentu kalah menghadapi Targoutai yang orang asing!
"Tidak mengapa. Sudah kewajiban kami untuk
mencegah tindakan sewenang-wenang Targoutai," sa-
hut Prajurit Mongol yang bertubuh agak kurus. Ia ter-
senyum seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Arya semakin jengkel melihatnya. "Bagaimana
mungkin Targoutai bisa kalian tangkap? Menurut pen-
glihatanku, kalian berdua bukan tandingan Targoutai
yang demikian lihai!" Perasaan jengkel membuat Arya
tidak ragu-ragu menyatakan penilaiannya.
"Tidak perlu heran," prajurit Mongol yang ber-
tubuh kurus memberikan jawaban. "Meski kami ber-
dua bukan tandingan Targoutai, tapi Targoutai tidak
berani melawan kami. Dia tidak ingin melawan pasu-
kan kerajaan, pasukan pemerintah. Targoutai tidak
mau menjadi pemberontak. Jadi, apabila terjepit dia
pasti akan menyerah. Dan, selama bisa kabur, dia
akan kabur!"
Sekarang Arya baru mengerti. Saat itu pula dia
teringat pada Citra Sari. Betapa kagetnya hati pemuda
berambut putih keperakan itu. Ia tidak melihat kebe-
radaan Citra Sari di situ.
"Citra...!" Arya mengerahkan tenaga agar pang-
gilannya bisa terdengar sampai jauh.
Dua prajurit Mongol tampak terperanjat men-
dengar teriakan yang seperti ledakan halilintar itu. Me-
reka saling berpandangan dengan sikap takjub. Kemu-
dian, bergegas melanjutkan langkah melakukan penge-
jaran terhadap Targoutai!
Sementara Arya sambil memanggil-manggil
mengedarkan pandangan. Pemuda berambut kepera-
kan ini merasa khawatir akan keselamatan Citra Sari.
Ketika pandangan Arya tertumbuk pada bangunan cu-
kup megah di kejauhan, kekhawatirannya pun mulai
berkurang. Dia yakin Citra Sari berada di sana. Pemu-
da itu segera melangkah menuju ke sana.
Dugaan Arya ternyata tepat Begitu mendekati
tembok yang mengelilingi bangunan, dari dalam ter-
dengar isak tangis. Ketika Arya tiba di depan pintu
gerbang yang terbuka lebar, terlihat Citra Sari tengah
menangis seraya memangku sesosok tubuh yang telah
terkulai lemas.
Dewa Arak tahu tidak ada yang bisa dilaku-
kannya sekarang ini. Obat yang paling baik bagi Citra
Sari saat ini adalah menangis. Maka, Arya tidak meng-
ganggunya. Bahkan tidak masuk ke dalam pintu ger-
bang. Ia malah mengayunkan kaki meninggalkan tem-
pat itu.
Arya sibuk dengan alun pikirannya. Bagaimana
caranya dia dapat menaklukkan Targoutai yang demi-
kian lihai?
Lapangan tanah yang ditumbuhi rumput-
rumput kecil dan tidak hijau itu cukup luas. Bahkan
sangat luas. Tapi, saat itu tanah lapang yang luas ti-
dak cukup untuk menampung banyaknya orang yang
berkumpul. Orang-orang dengan berbagai macam ku-
lit, beraneka model pakaian, dan berlainan rupa dan
tingkah laku. Tapi, yang jelas mereka semua adalah
orang-orang persilatan. Dan, yang lebih jelas lagi dari
golongan hitam.
Jumlah orang-orang golongan hitam itu kurang
lebih dua ratus orang. Mereka semua berdiri mengeli-
lingi sebuah panggung berbentuk persegi panjang.
Tinggi panggung itu dua tombak. Cukup tinggi!
"Hih!"
Dari kerumunan ratusan orang tokoh golongan
hitam itu meloncat ke atas sesosok bayangan. Ia ber-
salto beberapa kali di udara sebelum menjejakkan kaki
dengan ringan di lantai panggung.
"Wahai kawan-kawan sehaluan, dengarkan
baik-baik...!"
Sosok yang ternyata seorang pemuda berpa-
kaian mewah dan berwajah tampan membuka suara
seraya mengangkat tangannya ke atas tinggi-tinggi.
Bunyi riuh-rendah seperti tawon marah yang
tadi terdengar pun segera terhenti. Suasana mendadak
senyap. Pemuda berpakaian mewah yang mengenakan
sabuk dari benang emas, yang terselip suling dan
cangklong di sana, memang mengerahkan tenaga da-
lam. Hingga, suaranya tak kalah dengan ledakan hali-
lintar.
"Aku adalah Dewa Tampan Dari Selatan. Datuk
wilayah selatan. Aku berdiri di sini karena ingin men-
gajukan diriku sebagai datuk tidak hanya di wilayah
selatan saja, tapi juga di tiga mata angin lainnya. Aku
telah menguasai satu mata angin. Dan, dua mata an-
gin lain tidak dikuasai oleh seorang datuk pun. Maka,
aku mengajukan diri untuk menjadi penguasa atau da-
tuk yang merajai wilayah utara dan barat pula. Siapa
yang tidak setuju harap maju untuk menjajal kemam-
puanku!"
Ratusan tokoh persilatan yang datang karena
mendengar kabar akan dilangsungkan pemilihan da-
tuk nomor satu, tentu saja tidak memenuhi tantangan
itu. Sebagian besar di antara mereka hanya ingin me-
nyaksikan jalannya pertarungan. Sebagian lain karena
ingin mendapat seorang pemimpin untuk dijadikan
tempat meminta tolong bila berhadapan dengan kaum
golongan putih.
"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!"
Terdengar seruan parau menyambuti tantangan
Dewa Tampan Dari Selatan, setelah beberapa saat la-
manya tantangan itu tidak mendapat tanggapan. Be-
lum juga gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh mele-
sat cepat melompat ke atas panggung. Ia bersalto be-
berapa kali di udara. Kemudian, melemparkan seutas
tambang ke lantai panggung.
Cappp!
Laksana sebatang tombak, tambang yang pan-
jangnya tak lebih dari empat tombak itu menancap di
lantai panggung yang terbuat dari papan tebal dan
kuat. Sekejap kemudian, pemilik seruan itu telah men-
jejakkan salah satu telapak kakinya di ujung tambang
yang menegang seperti sebatang tombak.
Seketika tepuk tangan membahana menyambut
pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa ini.
Sosok yang hinggap di atas tambang yang me-
negang kaku itu adalah seorang lelaki setengah baya.
Berkepala botak dan berpakaian coklat. Gelang-gelang
hitam melingkari pergelangan tangan kanan dan ki-
rinya.
"Setan Timur...!" desis beberapa mulut dari ba-
wah panggung.
Setan Timur membusungkan dadanya. Sepa-
sang matanya merayapi wajah-wajah yang berada di
bawah panggung dengan sinar menantang. Tapi, setiap
tokoh yang menerima tantangan Setan Timur menun-
I dukkan kepala, khawatir akan disuruh maju atau ter-
kena amukan lelaki berkepala botak itu. Seorang tokoh
sesat seperti Setan Timur memiliki perangai yang su-
kar ditebak. Bisa saja tanpa alasan membunuh orang
yang kebetulan tidak menyenangkan hatinya.
"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa-
tu untuk seluruh mata angin! Barang siapa yang tidak
setuju silakan maju dan melawanku!" teriak Setan Ti-
mur lantang.
Suasana langsung hening ketika datuk nomor
satu wilayah timur itu menyelesaikan perkataannya.
Tak ada seorang pun yang memberikan sambutan. Se-
bagian besar tokoh malah saling pandang. Sisanya
menundukkan kepala dan mencari-cari tokoh yang
merupakan tandingan Setan Timur, yaitu Dewa Tam-
pan Dari Selatan.
Dewa Tampan Dari Selatan sendiri tetap bersi-
kap tenang. Pemuda berpakaian mewah yang datang
bersama pengikutnya, seperti juga Setan Timur, den-
gan sikap angkuh bermain-main dengan cangklong-
nya. Kepulan asap sesekali dikeluarkan dari mulutnya.
Keheningan suasana langsung pecah dan se-
mua kepala, tak terkecuali datuk timur dan selatan,
menoleh ke atas ketika terdengar bunyi mendesing ta-
jam yang menyakitkan telinga.
Dari belakang kumpulan tokoh-tokoh persila-
tan melesat sesosok tubuh berpakaian bulu binatang
dengan kecepatan menakjubkan! Semua mata membe-
lalak penuh kekaguman. Sosok itu berdiri di atas bu-
sur anak panah yang tengah meluncur.
Ketika telah berada di atas kepala kumpulan
tokoh persilatan yang berada di sekitar panggung, so-
sok yang tidak lain Targoutai menekan kaki kanannya
yang berada di depan. Maka, luncuran anak panah
menukik ke bawah, ke arah punggung.
"Aku yang akan maju dan menjajal kepan-
daianmu, Setan Timur!" seru Targoutai lantang.
Setan Timur telah dapat menguasai rasa kaget-
nya. Ketika melihat anak panah yang dikendalikan
Targoutai meluncur ke arahnya, buru-buru tubuhnya
dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara. Ia mendarat di pinggir lantai panggung.
Targoutai tidak meneruskan serangannya. Dia
berhasil mendaratkan anak panah itu di lantai pang-
gung secara menakjubkan. Kemudian, berdiri di ten-
gah-tengah menatap di sekitar bawah panggung.
"Aku dari Mongol. Sebuah negeri yang jauh.
Kedatanganku kemari untuk menantang jago-jago no-
mor satu negeri ini! Siapa yang merasa memiliki ke-
pandaian, silakan maju! Tapi, sebelumnya aku akan
menghadapi Setan Timur lebih dulu!"
Setan Timur melangkah mendekati Targoutai
yang berdiri tegak di tengah panggung.
"Jadi..., kau rupanya tokoh yang telah membu-
nuh Raksasa Barat dan Malaikat Utara?!" tanya Setan
Timur mencoba bersikap penuh wibawa meski jan-
tungnya berdebar. Diam-diam lelaki berkepala botak
ini memang telah mengkhawatirkan kedatangan Tar-
goutai. Dan, ternyata kekhawatirannya beralasan!
"Benar!" Targoutai mengangguk. Dicabutnya
lembing yang tadi diselipkan di belakang punggung-
nya. "Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian
di tangan Targoutai!"
"Orang asing yang sombong! Kaulah yang akan
tewas di sini! Mati tanpa ada yang mengurusi kubu-
ranmu!"
Setan Timur mendahului mengirimkan seran-
gan. Pisau yang telah tergenggam di tangan sewaktu
dia maju menghampiri Targoutai langsung ditusukkan
bertubi-tubi ke arah sepasang mata lelaki perkasa dari
Mongol ini. Setan Timur yang telah mendengar kekeba-
lan tubuh Targoutai tidak berani bertindak gegabah. Ia
langsung mengirimkan serangan pada bagian tubuh
yang diketahuinya tidak akan bisa dibuat kebal!
Targoutai melompat ke belakang dan mengi-
rimkan serangan dengan tusukan lembingnya. Setan
Timur terpaksa melompat ke atas. Lelaki berkepala bo-
tak ini bersalto beberapa kali untuk mendekati Targou-
tai. Dari atas ia mengirimkan tusukan-tusukan ke
arah mata lelaki dari Mongol.
Targoutai yang banyak berpengalaman dalam
pertarungan segera bisa menduga maksud Setan Ti-
mur. Lelaki dari Mongol ini tahu lawan mengajaknya
bertarung dalam jarak dekat. Hal itu tidak diinginkan
Targoutai. Dia melompat mundur dan mengandalkan
jangkauan senjatanya yang panjang untuk mengirim-
kan serangan. Targoutai berusaha memaksa lawannya
terlibat dalam pertarungan jarak jauh. Senjata Targou-
tai yang berupa lembing memang memiliki jangkauan
lebih jauh daripada sepasang pisau Setan Timur.
Pertarungan dua tokoh yang sama-sama hebat
itu segera saja menyita perhatian semua tokoh persila-
tan. Terutama Dewa Tampan Dari Selatan. Pemuda in-
ilah yang kelihatan paling tertarik dengan jalannya
pertarungan. Sepasang matanya yang tajam hampir ti-
dak berkedip.
Diam-diam Dewa Tampan Dari Selatan harus
mengakui kekhawatiran Setan Timur. Lelaki dari Mon-
gol, Targoutai itu, memang memiliki kemampuan luar
biasa. Beberapa kali dilihatnya apabila terjadi bentu-
ran senjata, tubuh Setan Timur terhuyung-huyung ke
belakang sambil menyeringai kesakitan.
Bukan hanya itu saja keunggulan Targoutai.
Dewa Tampan Dari Selatan melihat keanehan ilmu-
ilmu Targoutai, di samping kekebalan tubuh dan kelin-
cahan gerakannya. Ilmu aneh yang membuat Setan
Timur kelabakan!
Dewa Tampan Dari Selatan tahu robohnya Se-
tan Timur hanya tinggal menunggu waktu saja. Tar-
goutai memang hebat bukan main. Ia memiliki ke-
mampuan di atas Setan Timur. Bahkan, Dewa Tampan
Dari Selatan pun menyadari tingkat kepandaiannya
masih berada di bawah Targoutai. Kecemasan pun me-
landa hati datuk wilayah selatan ini.
"Arrrggghhh...!"
Setan Timur menjerit memilukan hati. Lembing
Targoutai menembus perutnya hingga ke punggung.
Ketika lelaki dari Mongol itu menarik kembali lembing-
nya darah beserta usus Setan Timur terburai keluar.
Setan Timur menatap tak percaya. Dia berdiri
gontai sebelum akhirnya ambruk untuk tidak pernah
bangkit lagi.
Targoutai mengangkat lembingnya tinggi-tinggi.
Ditatapnya wajah-wajah tokoh persilatan yang berada
di bawah panggung. Lembingnya yang dipenuhi darah
menetes-netes di lantai panggung.
"Siapa lagi yang bersedia bertarung dengan
Targoutai?! Tidak ada lagikah tokoh sakti di negeri ini?
Hanya sampai di sini sajakah kemampuan datuk-
datuk persilatan negeri ini? Mengecewakan sekali!"
Tantangan bernada penghinaan dari Targoutai
membuat wajah orang-orang persilatan berubah me-
rah. Mereka merasa terhina oleh ucapan orang asing
seperti Targoutai yang meremehkan kemampuan jago-
jago negeri mereka.
Tapi hanya sampai di situ saja tindakan tokoh-
tokoh persilatan itu. Mereka tahu Targoutai amat pan-
dai dan tidak akan dapat ditandingi. Tanpa sadar se-
mua pasang mata tertuju ke arah Dewa Tampan Dari
Selatan dan kelompoknya berada. Sebuah tempat yang
dibangun kelompok datuk selatan itu dengan memiliki
atap dan kursi untuk pemuda berpakaian mewah itu
duduk
Dewa Tampan Dari Selatan tentu saja menge-
tahui maksud tatapan tokoh-tokoh persilatan, tapi dia
tidak peduli. Pemuda ini berpura-pura tidak tahu.
Dengan tenang, Dewa Tampan Dari Selatan menyibuk-
kan diri dengan cangklongnya.
Ketegangan terasa sekali melingkupi sekitar
tempat itu. Masing-masing tokoh merasakan jantung-
nya berdetak lebih cepat. Terutama sekali Dewa Tam-
pan Dari Selatan. Mau tidak mau ia harus berhadapan
dengan Targoutai, kalau tidak ingin nama besarnya
hancur berantakan karena dia dianggap takut!
"Aku yang akan menghadapimu, Targoutai!"
Seruan lantang dan nyaring memecahkan ke-
heningan. Dewa Tampan Dari Selatan yang bermaksud
bangkit dari kursinya dan menghadapi Targoutai jadi
menahan keinginannya. Ia duduk kembali di kursinya.
Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok
bayangan ungu berkelebat. Di hadapan Targoutai telah
berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan.
I "Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak! Memang kau-
lah lawan yang kutunggu-tunggu!" seru Targoutai
gembira.
Dewa Arak tersenyum pahit. Pemuda ini tidak
menanggapi seruan gembira lelaki dari Mongol itu.
Bahkan, Arya tidak mempedulikan pekikan-pekikan
tertahan tokoh-tokoh persilatan. Hampir sebagian be-
sar tokoh persilatan telah mendengar julukan Dewa
Arak yang menggemparkan. Dewa Tampan Dari Sela-
tan sendiri sampai menyipitkan sepasang matanya un-
tuk melihat lebih jelas tokoh yang telah lama didengar
nama besarnya itu.
"Tidak usah banyak cakap lagi, Targoutai!" tan-
das Dewa Arak. "Bukankah kau menantang jago-jago
negeri ini? Meski aku bukan orang yang tersakti di ne-
geri ini, aku maju untuk memenuhi tantanganmu!"
"Apa pun katamu, Dewa Arak. Apabila aku te-
lah berhasil mengalahkanmu, berarti aku telah menga-
lahkan seluruh jago di negerimu. Kau lawan terlihai
yang pernah kuhadapi. Aku akan berbangga hati bila
sampai kalah di tanganmu, Dewa Arak!"
Targoutai menutup kata-katanya dengan se-
buah tusukan lembing ke arah lambung Dewa Arak.
Serangan itu berhasil dipatahkan Arya dengan men-
gayunkan gucinya ke depan. Ketika benturan terjadi,
tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang.
Targoutai yang bernafsu dapat merobohkan
Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi.
Dewa Arak menghadapinya dengan ilmu 'Belalang Sak-
ti'. Pertarungan tingkat tinggi pun berlangsung.
Hanya dalam sebentar saja pertarungan telah
memakan puluhan jurus. Dewa Arak mengeluh dalam
hati. Telah beberapa kali pukulan dan tendangannya
bersarang di tubuh Targoutai, tapi tak satu pun yang
menimbulkan hasil. Sebaliknya, beberapa kali pemuda
berambut putih keperakan ini harus menguras ke-
mampuannya agar mampu lolos dari tangkapan kedua
tangan Targoutai. Arya tahu, sekali tertangkap bahaya
besar akan mengancamnya.
Dewa Arak sadar jika keadaan berlangsung se-
perti ini terus, dia akan menderita kerugian. Harus di-
carinya cara lain agar dapat mengalahkan Targoutai.
Tapi, kekebalan Targoutai belum diketemukan kele-
mahannya. Serangan-serangannya dibiarkan saja oleh
Targoutai. Sebaliknya, serangan-serangan Targoutai
memaksanya untuk menangkis atau mengelak.
"Seranganmu bila kau lakukan melalui pukulan
atau tendangan akan bertemu dengan kulit tubuh
yang keras laksana kulit badak. Pergunakan serangan
yang mampu mendarat di sasaran tanpa terhalang
oleh kulit tubuhnya!"
Suara itu terdengar di telinga Dewa Arak. Arya
tahu suara itu dikirimkan dari jarak jauh. Ada seseo-
rang yang memberi petunjuk padanya.
"Lihat ke belakang, Dewa Arak. Aku akan men-
gangkat tinggi-tinggi senjata yang dapat menembus
kekebalan tubuh orang Mongol itu. Ambillah." Lagi-lagi
suara itu tertangkap telinga Arya, saat pemuda itu ba-
ru saja mengelakkan serangan Targoutai.
Aiya melompat ke belakang menjauhi Targou-
tai. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke belakang.
Tampak di bawah punggung, di deretan belakang, se-
batang bambu sepanjang hampir dua jengkal teracung
tinggi-tinggi ke atas. Arya tahu bambu itu adalah seba-
tang suling.
Pemuda berambut putih keperakan ini segera
bertindak cepat. Dia tahu kalau mengambil suling itu
membutuhkan sedikit waktu. Maka, kedatangan Tar-
goutai yang memburunya dengan lembing di tangan,
disambutnya dengan pukulan jarak jauh dari jurus
'Pukulan Belalang'!
Bresss!
Tubuh Targoutai terpental ke belakang ketika
hembusan angin keras berhawa panas menerpa tu-
buhnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Arya untuk mengambil suling yang teracung. Pe-
muda ini menjulurkan tangannya ke arah deretan ba-
wah punggung. Bagai ditarik oleh tangan tak nampak,
suling yang berada sepuluh tombak dari Arya terbang
melayang! Lalu, Dewa Arak segera menangkapnya.
Dewa Arak segera duduk bersila dan menem-
pelkan suling itu ke bibirnya. Tepat pada saat itu Tar-
goutai yang tidak terpengaruh sedikit pun akibat pu-
kulan jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang' bergerak
bangkit dan melesat ke arah Dewa Arak. Padahal, bi-
asanya jurus 'Pukulan Belalang' telah cukup untuk
membuat melayang tokoh yang bagaimanapun tang-
guhnya. Tubuh korban akan menghitam menjadi
arang.
Terjangan Targoutai langsung terhenti di ten-
gah jalan ketika bunyi suling yang ditiup Dewa Arak
mulai terdengar. Bunyi yang mengalun laksana gen-
dang perang. Dalam tiupan suling itu seakan terdengar
derap kaki puluhan ekor kuda, dentang senjata bera-
du, dan jeritan kematian yang menyayat hati.
Bunyi seperti itu yang didengar orang-orang
yang berada di bawah panggung. Tapi tidak demikian
halnya dengan Targoutai. Tidak hanya bunyi itu yang
tertangkap telinganya. Tapi, kehebatan serangan yang
terkandung di dalamnya. Bunyi yang bagi orang lain
terdengar mengasyikkan bagi Targoutai amat mengeri-
kan. Tidak hanya telinganya saja yang sakit, isi da-
danya pun seperti dikoyak-koyak!
Targoutai tahu adanya ancaman bahaya. Maka,
terjangannya dihentikan. Lelaki perkasa dari Mongol
ini lalu mencabut dua batang anak panah dan meng-
gosok-gosokkannya. Terdengar bunyi bergerit nyaring
yang semakin lama semakin meninggi. Targoutai beru-
saha menahan gelombang serangan bunyi suling Dewa
Arak dengan suara gesekan anak panahnya.
Tokoh-tokoh rendahan dan sebagian besar to-
koh persilatan menatap pertarungan ini dengan pera-
saan heran. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa
Tampan Dari Selatan dan beberapa tokoh tingkat ting-
gi. Mereka tahu antara Dewa Arak dan Targoutai ten-
gah terjadi pertarungan mati-matian. Pertarungan te-
naga dalam. Selisih tenaga dalam yang sedikit akan
membuat nyawa salah seorang di antara mereka me-
layang ke alam baka.
Keadaan Dewa Arak dan Targoutai semakin
mengkhawatirkan. Wajah kedua tokoh itu dipenuhi pe-
luh sebesar biji jagung. Bahkan, dari atas kepala me-
reka mengepul uap putih yang semakin lama semakin
tebal.
Terlihat kepulan uap di atas kepala Dewa Arak
jauh lebih sedikit. Kedudukan pemuda itu memang le-
bih menguntungkan. Alat yang digunakan memung-
kinkan ia untuk dengan mudah mengubah bentuk pe-
nyerangan. Kenyataan ini membuat Targoutai kewala-
han!
Pyarrr!
Bersamaan dengan patahnya anak-anak panah,
tubuh Targoutai terjengkang ke belakang. Darah segar
memancur deras dari mulutnya. Namun, Targoutai be-
nar-benar seorang tokoh yang mengagumkan. Dia ma-
sih mampu berdiri meski kedua kakinya menggigil ke-
ras.
"Kau..., kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku
kalah...!" Targoutai masih sempat memberikan pujian
sebelum tubuhnya ambruk ke tanah. Targoutai yang
perkasa itu tewas.
Dewa Arak pun buru-buru bersemadi untuk
memulihkan tenaganya. Pemuda ini pun memuntah-
kan darah segar dari mulutnya. Bila ia tidak bertindak
cepat dan segera mengobati luka dalamnya bukan tak
mungkin dia akan pergi menyusul Targoutai.
Tewasnya Targoutai menimbulkan kegembiraan
pada orang-orang yang menyaksikan jalannya perta-
rungan. Tewasnya Targoutai telah menolong muka ja-
go-jago negeri ini. Telah terbukti kalau jago negeri ini
tak kalah oleh jago dari negeri Mongol!
Saat itulah Dewa Tampan Dari Selatan melom-
pat dari kursinya. Dengan gerakan manis, pemuda ini
bersalto beberapa kali kemudian menjejak lantai pang-
gung tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.
"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa-
tu dunia persilatan! Siapa yang tidak setuju silakan
maju dan tandingi aku!" seru Dewa Tampan Dari Sela-
tan lantang seraya mengepulkan asap cangklongnya.
Tidak ada tanggapan apa pun dari bawah pang-
gung. Mereka semua tahu siapa adanya Dewa Tampan
Dari Selatan. Melawan hanya mencari mati belaka. Da-
lam hati sebagian besar di antara mereka memaki-
maki Dewa Tampan Dari Selatan yang licik. Tadi ketika
Targoutai berdiri sebagai penantang, pemuda pesolek
ini berdiam diri saja mengulur-ulur waktu. Sekarang
setelah Targoutai tewas dan Dewa Arak terluka parah,
baru Dewa Tampan Dari Selatan maju. Sungguh licik!
Dewa Tampan Dari Selatan tertawa bergelak.
Gembira.
"Jadi, tak ada orang yang berani melawanku?!
Berarti sekarang akulah datuk nomor satu untuk selu-
ruh wilayah. Datuk golongan hitam! Dan, kalian semua
adalah pengikut ku! Ingat, siapa yang tidak taat akan
kubunuh! Kalian mengerti?!"
Dewa Tampan Dari Selatan mengedarkan pan-
dangan ke bawah punggung. Ditatapnya wajah-wajah
yang ada di sana dengan sinar mata bengis. Sedikit sa-
ja terlihat adanya tantangan, pemuda pesolek ini akan
menurunkan tangan kejam!
"Dan perintah pertama ku adalah... bunuh pe-
muda ini!" Dewa Tampan Dari Selatan menuding ke
arah Dewa Arak. "Dia seorang tokoh tingkat tinggi go-
longan putih! Tak terhitung sudah rekan-rekan kita
yang tewas di tangannya. Bukan tidak mungkin kalau
kalian yang akan menjadi giliran selanjutnya. Maka,
daripada dia menimbulkan korban lagi di kalangan ki-
ta, cepat lenyapkan saja!"
Seketika belasan tokoh-tokoh persilatan yang
berada di situ berlompatan ke atas punggung untuk
memenuhi perintah Dewa Tampan Dari Selatan. Sedi-
kit pun tidak terbit di hati mereka rasa terima kasih
atas jerih payah Dewa Arak. Memang, bagi orang-orang
golongan hitam seperti mereka tidak ada yang na-
manya balas budi. Yang ada hanya bertindak demi
keuntungan diri sendiri.
Begitu menjejak lantai panggung, belasan tokoh
persilatan itu langsung mencabut senjata masing-
masing dan mengayunkannya ke tubuh Arya yang ma-
sih sibuk mengobati luka dalamnya.
Dewa Tampan Dari Selatan sudah bisa mem-
perkirakan Dewa Arak akan tewas. Maka, dengan si-
kap tidak peduli dibalikkannya tubuhnya sambil ter-
senyum lebar. Pemuda ini menunjukkan kesan kalau
tewasnya Dewa Arak bukan merupakan masalah besar
baginya. Sehingga, tidak perlu diperhatikan.
Tapi, senyum Dewa Tampan Dari Selatan lang-
sung lenyap ketika mendengar teriakan-teriakan kesa-
kitan yang susul-menyusul. Tubuh-tubuh tokoh persi-
latan yang tadi menyerbu Dewa Arak berpentalan ke
sana kemari seperti daun-daun kering diterbangkan
angin.
Dewa Tampan Dari Selatan membalikkan tu-
buhnya kembali untuk melihat keanehan itu. Wajah
pemuda ini pun langsung pias. Berdiri membelakangi
Dewa Arak yang masih duduk bersemadi, dua orang
kakek. Yang seorang berbadan besar dan bermuka mi-
rip kuda. Sedangkan yang satunya lagi bermuka kun-
ing.
"Aa... Ayah...?!" desis Dewa Tampan Dari Sela-
tan dengan suara terbata-bata.
Sepasang mata pemuda pesolek itu menatap
penuh rasa tak percaya pada kakek bermuka dua. Ka-
kek yang tak lain Raja Sihir Penyebar Maut ini tertawa.
Suara tawanya lebih mendekati ringkik kuda!
"Masih ada muka kau memanggil Ayah, Anak
Tak Tahu Diuntung?!" bentak Raja Sihir Penyebar
Maut. Suaranya parau dan lantang. "Kau sadar siapa
kau sebelumnya? Hanya anak terlantar! Ku pungut
dan ku asuh kau sebagai anak sendiri! Ku wariskan
ilmu-ilmu tinggi. Tapi, setelah besar kau balas semua-
nya dengan memenjarakan aku dan Raja Racun Sakti
yang tengah mengadakan pertemuan. Kau pikir aku
mati? Aku berhasil keluar bersama Raja Racun Sakti
dengan menggali sebuah terowongan! Sekarang aku
datang untuk membinasakan mu!"
Dewa Tampan Dari Selatan tahu tak ada am-
punan untuknya dari Raja Sihir Penyebar Maut yang
sebenarnya adalah ayah angkatnya. Kakek bermuka
kuda itu memiliki watak keji! Tak akan ada ampunan
bagi orang yang mengkhianatinya! Dewa Tampan Dari
Selatan teringat kembali akan tindakannya. Ayah ang-
katnya dan Raja Racun Sakti mengadakan pertemuan
di sebuah goa di suatu puncak gunung. Dengan long-
soran, pemuda pesolek ini menutup pintu keluar goa.
Hal itu dilakukannya agar dia dapat mengambil pusa-
ka-pusaka milik Ayah angkatnya. Karena telah lama
dia menginginkannya tapi tak diberikan oleh Raja Sihir
Penyebar Maut.
Sekarang, Dewa Tampan Dari Selatan segera
melompat menerjang Ayah angkatnya dengan
cangklongnya. Raja Sihir Penyebar Maut menyambut-
nya. Pertarungan pun berlangsung.
Di lain pihak, Raja Racun Sakti dengan men-
gandalkan nama besar dan kekuasaannya memerin-
tahkan semua tokoh persilatan yang berada di situ un-
tuk pergi. Kakek ini yang telah memberi petunjuk pada
Dewa Arak dan juga memberikan suling untuk menga-
lahkan Targoutai. Tokoh-tokoh persilatan pun mening-
galkan tempat itu.
Tapi, perasaan tertarik membuat mereka sese-
kali menoleh ke belakang. Mereka ingin mengetahui
akhir pertarungan Raja Sihir Penyebar Maut dengan
Dewa Tampan Dari Selatan.
Niat mereka kesampaian. Belum berapa jauh
mereka melangkah terdengar jeritan menyayat hati.
Dewa Tampan Dari Selatan tewas dengan kepala re-
muk terhantam cakar Raja Sihir Penyebar Maut.
Dengan kemunculan Raja Sihir Penyebar Maut
dan Raja Racun Sakti, pertarungan untuk mempere-
butkan kedudukan datuk pun berakhir. Bertepatan
dengan tewasnya Dewa Tampan Dari Selatan, Dewa
Arak menyelesaikan semadinya.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Raja Sihir Penye-
bar Maut. "Tanpa adanya kau, mungkin orang asing
itu akan mengira tidak ada tokoh negeri ini yang mam-
pu menandinginya. Kau telah menutup kesombongan-
nya."
"Atas bantuanmu juga, Kek." Arya merendah.
Dia tahu kalau dua datuk ini yang telah memberikan
jalan padanya untuk mengalahkan Targoutai.
"Tak perlu merendah," Raja Racun Sakti mem-
bantah. "Bukan tidak mungkin suatu saat kita akan
berhadapan sebagai lawan. Sekarang, kami akan pergi.
Tapi bila terjadi pertemuan di antara kita, aku akan
menantangmu bertarung!"
Dewa Arak hanya menghela napas berat. Dia
tetap diam ketika dua datuk golongan hitam itu berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggallah Dewa
Arak dan mayat Targoutai di atas panggung. Mayat
lainnya telah dibawa pergi oleh kelompoknya masing-
masing.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Panggilan ke Alam Roh
Emoticon