1
Angin bertiup kencang. Hujan turun dengan
deras laksana dicurahkan dari langit. Kilat yang sese-
kali muncul di langit menyilaukan mata. Bunyinya
yang keras menggelegar mengiringi langkah kaki mun-
Pemilik sepasang kaki mungil berlari tanpa
mempedulikan keadaan alam yang seperti tengah
mengamuk. Tubuh sosok terbungkus pakaian hijau
yang telah basah kuyup itu sesekali menggigil, karena
dinginnya cuaca yang ditimbulkan oleh deru angin
kencang.
"Ukh...!
Pemilik kaki mungil itu ternyata seorang wani-
ta muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun. Ia men-
geluh tertahan ketika jatuh tertelungkup di tanah ka-
rena kakinya tersandung batu. Lari gadis berpakaian
hijau ini memang tidak tetap, terhuyung-huyung ke
sana kemari. Pandangannya tidak tertuju ke jalan me-
lainkan menatap ke depan dengan sinar mata kosong.
Matanya itu tampak sembab seperti habis menangis.
Wajahnya pun muram. Pendeknya, tidak terlihat kece-
riaan pada wajahnya.
"Ibu...!
Bukannya bergegas bangkit dari jatuhnya, ga-
dis berpakaian hijau ini malah berseru tertahan. Tera-
sa benar nada kepiluan dalam suaranya. Sarat dengan
kedukaan yang mendalam.
"Aku tidak tahan menanggung aib ini.... Lebih
baik aku pergi menyusulmu, Ibu...!" seru gadis berpa-
kaian hijau meremas-remas tanah berlumpur di de-
pannya. "Aku tak sanggup terus hidup.... Wahai, dewa
petir sambarlah aku...! Pertemukan aku dengan ibuku...!"
Seperti menyambuti ucapan gadis berpakaian
hijau, petir menyambar keras bagai hendak menghan-
curkan bumi. Tapi, tidak menyambar gadis berpakaian
hijau, melainkan menghantam sebatang pohon yang
berada cukup jauh dari tempat gadis itu berada.
Gadis berpakaian hijau terkejut dan menatap
ke arah pohon yang terbakar hangus menjadi arang.
Tiba-tiba dia menggertakkan gigi. Wajahnya tampak
beringas! Sinar matanya menyiratkan pembunuhan!
Andaikata saat itu ada orang yang dibencinya di situ,
mungkin telah diserangnya habis-habisan.
"Apabila aku mati, terlalu enak bagi bangsat
itu! Aku harus hidup dan membalas semua kekejian
yang ditimpakannya padaku. Akan ku cabik-cabik se-
luruh tubuhnya. Akan kubunuh dia! Akan ku jadikan
dia menyesal telah bermusuhan denganku!" desis ga-
dis berpakaian hijau geram.
Entah karena sambaran petir, atau kesadaran
yang timbul dari hatinya, gadis berpakaian hijau yang
semula tidak memperlihatkan kemauan untuk hidup
kini terlihat penuh semangat. Pada sinar mata dan ta-
rikan wajahnya terlihat perasaan kejam. Ada sesuatu
yang mengerikan di dalamnya.
Gadis berpakaian hijau bergegas bangkit berdi-
ri. Sesaat ia tegak di tempatnya. Matanya menatap ta-
jam ke depan dengan sinar mata penuh dendam. Ke-
dua tangannya terkepal dan mengejang kaku. Baru
sekarang terlihat kalau pakaian gadis berwajah cantik
dengan tahi lalat di pipi kanannya itu compang-
camping di beberapa bagian. Bagian anggota tubuhnya
yang tidak tertutup tampak terlihat mulus.
"Demi langit dan bumi aku bersumpah akan
membalas dendam perbuatan keji itu. Akan ku cabik-
cabik tubuhnya. Akan kubuat dia menyesal dilahirkan
ke dunia ini. Ha ha ha...!"
Bagai orang kurang ingatan, gadis berpakaian
hijau tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya ber-
gerak liar, terlihat mengerikan. Beberapa saat kemu-
dian, ia berlari cepat meninggalkan tempat itu menuju
puncak gunung!
Gadis berpakaian hijau tidak mempedulikan
hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Angin
dingin yang menusuk tulang serta kilatan petir yang
diselingi bunyi menggelegar. Langkah kakinya terus
diayunkan. Kali ini ia tidak terhuyung-huyung seperti
sebelumnya. Air kecoklatan bercampur tanah memer-
cik ke sana kemari ketika kaki-kaki gadis berpakaian
hijau menjejak tanah.
"Nenek...!"
Dengan mengeluarkan seruan yang cukup lan-
tang, gadis berpakaian hijau itu menubruk sebuah
gundukan tanah tidak terurus. Tidak dipedulikannya
pakaian dan sekujur tubuhnya yang semakin kotor
dan berlepotan tanah lumpur. Gadis itu men-jatuhkan
tubuhnya di sebuah gundukan tanah kuburan.
Saat itu hujan telah reda. Hanya tinggal geri-
mis saja. Angin pun tidak terlalu keras berhembus. Pe-
tir sudah tidak menyalak, hanya kilatan-kilatan me-
nyilaukan di langit. Gadis berpakaian hijau tiba di
tempat yang dituju. Ia berlari tanpa henti hampir se-
perempat hari. Padahal, gadis berpakaian hijau telah
menggunakan ilmu lari cepat
Pelan tapi meyakinkan, gelap mulai menyeli-
muti alam. Sang surya perlahan tenggelam di pera-
duannya. Hari telah petang. Gadis berpakaian hijau
telah berlari sejak siang hari. Sejak matahari seharus-
nya berada tepat di atas kepala.
"Nenek..."
Dengan terbata-bata karena menahan isak
tangis, gadis berpakaian hijau mengeluh tertahan.
"Cucumu sungguh bernasib amat malang, Nek.
Sekelompok penjahat datang menyatroni tempat ting-
gal kami. Ayah mereka bunuh. Sedangkan aku menga-
lami nasib yang mengerikan. Mereka memperkosa aku
secara brutal dan kasar...! Mereka menodai ku bergan-
tian, Nek. Tiga hari tiga malam mereka melakukannya.
Baru kemudian mereka meninggalkan aku pergi dan
memberi kesempatan padaku untuk membunuh diri."
Seperti mengadu pada seseorang yang masih
hidup dan tengah mendengar ucapannya, gadis ber-
pakaian hijau bercerita tersendat-sendat. Air matanya
mengalir laksana air sungai.
"Aku tidak mau bunuh diri, Nek.... Aku bukan
seorang pengecut. Meski sebelumnya aku merasa lebih
baik mati saja daripada hidup. Aku merasa diriku be-
gitu kotor sehingga aku jijik dengan diriku sendiri.
Aku jijik, Nek! Jijik...! Tapi, sekarang aku sadar. Aku
tidak boleh tenggelam dalam kedukaan ini. Aku harus
membalas perlakuan binatang-binatang itu. Untuk itu
aku harus memiliki kepandaian tinggi. Binatang-
binatang bermuka manusia itu memiliki kepandaian
tinggi, Nek. Karena itu, aku datang kepadamu. Aku in-
gin meminta bantuanmu agar dapat membalaskan sa-
kit hati ini. Bukankah kau dulu sering datang men-
jumpai ku dan mengatakan agar aku meminta perto-
longan padamu bila mendapat kesulitan? Malah, dulu
kau sering datang dan mengajarkan ku ilmu silat. Se-
karang mengapa kau tidak mengajarkan silat lagi pa-
daku, Nek?! Apakah kau takut terhadap Ayah, karena
aku mempelajari ilmu darimu? Jawablah, Nek, Tolon-
glah aku!"
Kedua tangan gadis itu memeluk gundukan ba-
tu nisan. Tubuh dan wajahnya menelungkupi gundu-
kan tanah. Gadis berpakaian hijau terus mengelua-
rkan semua uneg-uneg yang ada dalam dadanya.
Semakin lama seruan-seruan yang keluar dari
mulutnya semakin mengecil. Mungkin kelelahan kare-
na terlalu lama berlari dan menanggung beban yang
menghimpit batinnya. Gadis berpakaian hijau tertidur
sambil memeluk gundukan tanah. Dia tidak tahu ke-
gelapan telah turun. Langit tidak terhias bintang dan
bulan. Langit mendung.
Waktu terus merayap, Tengah malam pun tiba.
Tepat pada saat itu hembusan angin mendadak keras.
Bunyi anjing hutan melolong panjang. Gadis berpa-
kaian hijau yang sejak tadi tertidur dengan tenang kini
menggeliat gelisah.
Sesuatu dari alam lain masuk ke dalam mimpi
gadis itu. Gadis berpakaian hijau bermimpi bertemu
dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima
tahun. Tubuhnya padat menggiurkan. Wajahnya pun
cantik. Terlalu cantik malah. Penuh daya pikat dan
penarik yang amat kuat! Wanita yang diketahui gadis
berpakaian hijau sebagai neneknya dan memiliki usia
hampir tujuh puluh tahun! Gadis berpakaian hijau ti-
dak pernah tahu mengapa neneknya mampu membuat
dirinya terlihat awet muda.
"Nenek...!"
Dalam mimpinya gadis berpakaian hijau me-
manggil wanita cantik itu. Teriakannya tidak hanya
sarat dengan kegembiraan tapi juga keterkejutan. Ne-
neknya dijumpai tidak dalam keadaan seperti bi-
asanya. Tidak seperti dalam mimpi-mimpi sebelum-
nya.
Nenek yang dulu di dalam mimpi sering menga-
jarinya ilmu silat kini tampak sangat mengenaskan
keadaannya. Neneknya di kelilingi bambu-bambu se-
tinggi manusia. Bambu-bambu itu berduri. Bagian
atasnya tertutup oleh bambu yang sama. Neneknya
terlihat ketakutan. Ia berputaran ke sana kemari men-
cari jalan keluar.
"Arum...! Arum Sari...! Cucuku, tolong be-
baskan aku dari kurungan terkutuk ini. Aku ingin
menolongmu. Tapi, aku tidak bisa keluar dari penjara
keparat ini. Tolonglah aku, Arum. Tolong...! Bukakan
kurungan ini...!"
"Nenek...!"
Gadis berpakaian hijau yang bernama Arum
Sari menjerit di dalam tidurnya. Tidak hanya sekali,
tapi berkali-kali. Arum Sari yang merasa gelisah dalam
tidurnya menggeliat ke sana kemari. Terdengar kelu-
han tak jelas dari mulutnya.
"Uh...!
Arum Sari baru terbangun dari tidurnya ketika
tubuhnya terguling dari gundukan tanah.
Arum Sari tercenung begitu sadar sepenuhnya.
Mimpi menyeramkan itu melekat kuat di benaknya.
Mungkinkah mimpi itu hanya merupakan bunga tidur,
ataukah memang kenyataan yang sebenarnya?
Arum Sari bingung memikirkan hal itu. Karena
memikirkan mimpi yang menyeramkan itu, Arum Sari
jadi tidak terlalu memikirkan keadaan sekelilingnya.
Kalau saja pikirannya tidak dipenuhi mimpi buruk
tentu Arum Sari akan ketakutan sekali berada di pe-
kuburan sendiri. Betapapun beraninya Arum Sari ada-
lah seorang wanita. Masih muda lagi.
Tapi, tak lama Arum Sari memikirkan mimpi
itu. Kelelahan amat sangat yang mendera lahir dan ba-
tinnya membuat gadis berpakaian hijau itu merebah-
kan tubuhnya kembali di atas kuburan. Lagi-lagi
Arum Sari dihantui mimpi mengerikan itu. Mimpi bu-
ruk yang tadi mengganggunya datang kembali. Tidur
Arum Sari tidak tenang.
"Tolong, Arum...! Aku tidak betah dipenjara se-
perti ini. Aku ingin menolongmu, Arum. Aku ingin ber-
jumpa denganmu seperti dulu. Bebaskan aku dari
penjara ini, Arum...!"
Kembali neneknya Arum Sari yang awet muda
meminta tolong dengan suara meratap-ratap pilu.
"Bagaimana aku bisa membebaskan mu, Nek?"
Alam bawah sadar Arum Sari mengajukan pertanyaan.
"Aku ingin mengeluarkan mu, Nek. Tapi, bagaimana
caranya. Tubuhku lemah sekali. Urat-urat ku kaku
semua. Bahkan tenagaku seperti lenyap entah ke ma-
na. Aku tidak bisa menolongmu, Nek."
"Amat mudah kalau kau benar-benar ingin
menolongku, Arum!" Nenek gadis berpakaian hijau itu
memberi petunjuk. "Jika kau bangun dari tidurmu
nanti, galilah, kuburan ku. Ambillah bambu runcing
kuning yang ditancapkan di atas peti mati ku. Maka,
aku akan bebas."
Seperti disentakkan oleh sesuatu yang kasat
mata, Arum Sari tiba-riba membuka sepasang ma-
tanya. Gadis berpakaian hijau ini merasakan kantuk-
nya mendadak lenyap. Dia segera bertindak sigap.
Arum Sari tidak mempunyai pilihan lain. Dia
yakin mimpi yang dialaminya bukan sembarang mim-
pi, tapi sebuah petunjuk. Keyakinannya itu semakin
besar ketika teringat neneknya bukanlah orang sem-
barangan. Neneknya seorang tokoh yang lihai dalam
ilmu-ilmu gaib.
Arum Sari jadi berpikir. Beberapa puluh hari
yang lalu neneknya selalu hadir dalam mimpinya. Ia
mengajarkan ilmu-ilmu melalui mimpi. Tapi, hal itu
hanya berlangsung beberapa minggu, tepatnya dela-
pan belas hari. Ayahnya keburu mengetahui.
Ayahnya merasa curiga ketika melihat gadis
berpakaian hijau itu melatih ilmu silat yang diketa-
huinya tidak pernah diajarkannya. Setelah didesak
bertubi-tubi, Arum Sari akhirnya membuka rahasia
siapa yang telah memberi pelajaran itu padanya. Dua
hari kemudian neneknya Arum Sari tidak pernah da-
tang lagi di dalam mimpinya. Baru pada malam hari
ini, malam keempat puluh satu dari kematiannya,
Arum Sari bertemu kembali dengan neneknya dalam
mimpi. Itu pun setelah Arum Sari memanggil-manggil
neneknya dan tidur di kuburannya.
Arum Sari yang cukup cerdik mulai merasa ya-
kin ada hubungan antara ketidakhadiran neneknya di
dalam mimpi dengan terbukanya rahasia itu. Arum
Sari malah percaya neneknya terpenjara karena per-
buatan ayahnya. Gadis berpakaian hijau ini tahu
ayahnya tidak menyukai neneknya! Ayahnya Arum Sa-
ri memang seorang pendekar, sedangkan neneknya
Arum Sari seorang tokoh hitam.
Tanpa mempedulikan keadaan malam gelap
gulita, Arum Sari mulai menggali gundukan tanah ku-
buran neneknya. Ia mempergunakan sebatang ranting
yang ditemukannya berada di dekat tempat itu.
Arum Sari ternyata bukan seorang gadis le-
mah. Meski hanya dengan sebatang ranting, dia mam-
pu menggali tanah kuburan itu dengan cepat. Tidak
kalah cepat dengan lelaki bertenaga kuat yang meng-
gali dengan mempergunakan cangkul.
Dalam gelora semangat yang menggebu, Arum
Sari seperti mendapat tambahan tenaga baru. Tan-
gannya bergerak cepat bukan main. Tanah bergumpal-
gumpal berpindah ke sisi gundukan tanah kuburan.
Seperti telah bersepakat dengan Arum Sari,
langit yang semula tertutup awan hingga bintang-
bintang dan sang dewi malam tidak dapat menerangi
persada perlahan terusir pergi. Ketika gundukan ta-
nah sudah tergali cukup dalam, langit di atas tempat
Arum Sari berada telah bersih. Sungguh suatu keja-
dian yang aneh. Bulan bulat penuh pun muncul di
langit. Bulan purnama. Sinarnya kuning berkilauan.
Suasana di pekuburan menjadi cukup terang.
Dengan mudah Arum Sari segera dapat melihat
sebatang bambu kuning yang menancap di tutup peti
mati. Tidak panjang. Hanya sepanjang jari telunjuk!
Hati Arum Sari tercekat. Bambu kuning ini se-
makin mempertebal keyakinannya kalau mimpi itu
bukan sembarang mimpi. Tanpa ragu-ragu lagi, Arum
Sari segera mencabutnya!
Baru saja bambu kuning itu tercabut, dari se-
la-sela tutup peti mati keluar asap. Arum Sari yang ti-
dak menyangka hal ini terkejut bukan main. Dia sam-
pai melompat ke belakang. Sepasang matanya terbela-
lak lebar. Diperhatikannya asap tipis yang semakin
lama semakin tebal. Samar tapi pasti asap itu mem-
bentuk satu sosok tubuh manusia!
"Nenek...!" Arum Sari berseru tertahan ketika
melihat bentuk gumpalan asap.
"Arum Sari, Cucuku...!" Sosok berbentuk wani-
ta itu mengembangkan senyum lebar. Senyum ramah
penuh kasih.
"Nenek...!"
Arum Sari kembali berseru. Kali ini sambil
mengembangkan kedua lengannya, siap untuk meme-
luk. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar uca-
pan sosok itu. Lembut dan halus, tapi terkesan dingin
dan kaku. Kesan yang menimbulkan dugaan kalau se-
ruan itu bukan keluar dari mulut manusia. Hanya
pantas keluar dari mulut setan atau makhluk halus
lainnya.
"Tidak usah kau teruskan niatmu, Arum. Per-
cuma. Kau tidak akan dapat. Aku hanya dapat kau li-
hat tapi tidak dapat kau raba apalagi dipeluk."
"Ah...!"
Arum Sari berseru kaget. Tapi, sesaat kemu-
dian ia sadar kalau neneknya telah meninggal dunia
empat puluh satu hari yang lalu.
"Kau mungkin bertanya-tanya mengapa demi-
kian? Mungkin kau lupa kalau aku sudah meninggal
dunia?"
"Aku ingat, Nek," jawab Arum Sari tanpa mera-
sa takut sama sekali. Neneknya itu amat mencin-
tainya.
"Bagus! Tapi, apakah kau sudah tahu mengapa
aku tidak menjumpai mu lagi di dalam tidurmu dan
memberikan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?" Den-
gan suaranya yang berat tapi bergaung neneknya
Arum Sari kembali bertanya.
Arum Sari mengangguk.
"Semula aku tidak mengetahui mengapa kau
tidak lagi mengajarkan ilmu silat padaku. Tapi, seka-
rang aku sudah mengetahuinya."
"Hm..J" Neneknya Arum Sari menggumam pe-
lan. Sikap dan sinar matanya jelas menantikan jawa-
ban Arum Sari.
"Aku yakin ini ada hubungannya dengan ter-
bongkarnya rahasia kalau aku telah belajar ilmu silat
darimu, Nek. Semua ini ada hubungannya dengan
Ayah."
Neneknya Arum Sari tersenyum pahit. Senyum
yang keluar tidak dari hati yang gembira.
"Dugaanmu memang tidak meleset, Arum.
Ayahmu itulah yang membuatku tidak bisa keluar dan
menemuimu di dalam mimpi- Begitu mengetahui kau
belajar ilmu silat dariku, ayahmu lalu mendatangi
makamku. Ia menggalinya kemudian menancapkan
sebatang bambu kuning yang didapatnya dari seorang
ahli kebatinan untuk mencegah rohku keluar."
Wajah Arum Sari memucat mendengar kete-
rangan itu. Gadis berpakaian hijau ini merasa ayah-
nya telah bertindak terlalu kejam.
"Sungguh tidak kusangka Ayah dapat bertin-
dak sekejam itu. Mengurung mu di tempat yang demi-
kian mengerikan!" tandas Arum Sari. Ia bergidik seper-
ti orang ketakutan.
Neneknya Arum Sari yang sebenarnya telah be-
rusia tujuh puluh tahun tapi kelihatan seperti orang
yang berusia tiga puluh tahun menggelengkan kepala.
"Pendapatmu keliru, Arum. Ayahmu sama se-
kali tidak jahat. Justru dia melakukan hal itu karena
sayangnya padamu. Dia tidak ingin kau tersesat ke
lembah kehinaan. Aku juga tidak menghendakinya.
Biarlah aku saja yang tersesat!"
Wajah Arum Sari semakin memucat. Tapi, si-
nar sang dewi malam membuat perubahan wajah
Arum Sari tidak terlihat.
"Dengan jalan menyiksamu, Nek?!" Terdengar
penuh penasaran pertanyaan itu keluar dari mulut
gadis berpakaian hijau.
"Dia tidak bermaksud demikian, Arum. Dia
hanya ingin agar kau tidak tersesat. Hanya itu. Karena
itu aku memaklumi tindakannya."
2
Arum Sari menundukkan kepala. Kedua tan-
gannya memijat-mijat pelipisnya. Gadis berpakaian hi-
jau ini tampak kebingungan.
"Aku jadi semakin tidak mengerti, Nek. Aku
minta kau tidak berteka-teki. Ceritakan tentang diri-
mu dan Ayah secara jelas. Jangan sampai ada yang
disembunyikan. Aku ingin tahu mengapa kau dan
Ayah terlibat permusuhan."
Neneknya Arum Sari menatap ke langit Kemu-
dian pandangannya kembali di arahkan pada Arum
Sari, cucunya.
"Memang sebaiknya kau mendengar cerita ku
dulu sebelum kau menarik kesimpulan tentang siapa
yang salah, aku atau ayahmu," ujar nenek itu dengan
suara berat
"Aku memang bukan orang baik-baik, walau-
pun sebenarnya dulu aku tidak berkeinginan menjadi
orang jahat. Malah, aku bercita-cita menjadi seorang
pendekar wanita!" Neneknya Arum Sari memulai ceri-
tanya.
"Aku masih berusia sepuluh tahun ketika
ayahku meninggal dunia. Ibuku dan kawan-kawan se-
permainanku memanggilku Yayang, walaupun nama-
ku sebenarnya adalah Mayang. Tiga tahun setelah
kematian Ayah, ibuku menikah lagi. Aku mempunyai
ayah tiri. Sayang dia bukan manusia melainkan bina-
tang. Ketika umurku menginjak enam belas tahun, dia
membujuk ku untuk mau digaulinya. Aku menolak,
tapi dia memaksa. Pertarungan antara kami pun ter-
jadi. Aku memang mempunyai kepandaian silat yang
lumayan yang aku pelajari dari ibuku."
Sampai di sini neneknya Arum Sari yang ter-
nyata bernama Mayang menghentikan ceritanya. Tapi,
Arum Sari sudah bisa memperkirakan kelanjutan ke-
I jadian yang menimpa neneknya. Dia pun mengalami
hal serupa.
"Ayah tiriku itu ternyata lihai bukan main.
Apalagi saat itu dia tengah diamuk nafsu birahi. Tan-
pa mengalami kesulitan dia berhasil merubuhkanku.
Aku diperkosa ayah tiriku. Rupanya dia telah cukup
lama memendam hasrat birahi terhadapku. Hanya sa-
ja dia tidak pernah berhasil melampiaskannya karena
ada ibuku. Saat itu kebetulan ibuku tengah pergi ke
desa lain untuk mengobati seorang penduduk. Kesem-
patan itu dipergunakan ayah tiriku sebaik-baiknya.
Tanpa mengenal puas ayah tiriku memperkosaku."
Arum Sari bergidik. Dia sudah mengalami ke-
jadian seperti yang dikatakan Mayang. Arum Sari bisa
merasakan betapa ngeri dan takutnya sewaktu mala-
petaka itu akan terjadi. Dan, betapa hancur hatinya
ketika semua telah selesai.
"Di saat ayah tiriku yang tidak mengenal puas
itu menggeluti ku, ibu pulang! Beliau terperanjat meli-
hat keadaan kami. Melihat sepasang mataku yang
bengkak-bengkak karena terlalu banyak menangis,
ibuku langsung bisa menduga apa yang telah terjadi.
Dengan kemarahan meluap-luap ibu menyerang sua-
minya. Terpaksa ayah tiriku melayaninya. Tapi, ayah
tiriku memang lihai bukan main, ibu akhirnya tewas
di tangannya."
"Oh...!"
Arum Sari menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Sungguh tidak disangka kejadian yang me-
nimpa Mayang dan ibunya mirip dengan kejadian yang
diterimanya bersama ayahnya. Ayahnya pun tewas ke-
tika berusaha membela dia dari perkosaan!
"Dengan tewasnya Ibu," Mayang melanjutkan.
"Ayah tiriku mempunyai kesempatan seluas-luasnya
untuk mengangkangi diriku. Aku seperti istrinya saja.
Biadab sekali dia! Aku menjadi benci dan dendam. Pe-
rasaan tak tahan kadang memaksaku ingin melarikan
diri atau membunuh diri. Tapi, Ayah tiriku itu sangat
cerdik. Dia selalu menotok dan membelenggu ku apa-
bila nafsu birahinya telah di-lampiaskan. Makan pun
aku ditungguinya!"
Arum Sari tertegun. Sama sekali tidak pernah
disangka riwayat neneknya demikian mengenaskan.
Bahkan, jauh lebih menyedihkan dari kejadian yang
menimpanya.
"Kegilaan Ayah tiriku tidak berhenti sampai di
situ. Ketika dia terlibat dalam judi, aku disuruh me-
layani setiap orang yang diinginkannya. Dia menjadi-
kan ku sebagai pelacur dengan bayaran tinggi! Jadilah
tubuhku permainan orang-orang berduit. Aku me-
mang mempunyai daya tarik kuat yang membuat la-
wan jenisku terbangkit birahinya meski hanya melihat
rupaku atau mendengar suaraku. Tak aneh kalau pu-
tra Ayah tiriku pun tergila-gila dan menggauli ku! Mu-
la-mula secara diam-diam karena takut ketahuan
ayahnya. Tapi, lama-kelamaan secara terang-terangan.
Gilanya, Ayah tiriku membiarkannya saja. Dendam ku
pun semakin bertumpuk. Selama lima tahun lebih tu-
buhku menjadi permainan. Selama itu pula aku me-
nanggung dendam. Aku tidak ingin mati dulu. Aku in-
gin membalas semua sakit hati yang bertumpuk ini!
Jalan untuk itu akhirnya terbuka ketika seorang lelaki
hidung belang tidak hanya datang untuk menikmati
tubuhku.
Ia menawarkan jalan untuk membalas den-
dam. Dia seorang dukun! Dia tahu aku memendam
dendam karena dia telah menyelidikinya melalui ilmu
hitamnya!"
Arum Sari yang sejak tadi mendengarkan den-
gan perasaan ngeri mulai merasa lega. Mayang telah
mempunyai jalan untuk membalas dendam.
"Dia menawarkan kepadaku suatu kesaktian.
Tentu saja kesaktian yang tidak sewajarnya. Kesaktian
yang didapat dengan jalan hitam. Dengan syarat yang
amat berat. Aku berpikir cukup lama sampai akhirnya
memutuskan kalau lebih baik aku menerimanya. Demi
membalas dendam dan sakit hati bertahun-tahun, aku
rela menanggung syarat-syarat yang berat itu."
"Apa syarat-syarat itu, Nek?" tanya Arum Sari
ingin tahu.
"Bersetubuh dengan seekor ular yang sangat
besar!" jawab Mayang dengan nada pahit
"Ular?!" Arum Sari membelalakkan sepasang
matanya.
"Benar! Seekor ular jantan yang panjangnya
sekitar lima belas meter dan besarnya lebih dari paha
manusia dewasa!"
Arum Sari tercenung dengan hati jijik. Jangan-
kan bersetubuh, membayangkan saja dia sudah jijik
bukan main. Dan, Mayang melakukannya.
"Demikianlah! Setiap seminggu sekali di malam
Jum'at ular raksasa itu datang dan menggauli ku.
Ucapan dukun itu ternyata benar. Hanya dalam sebu-
lan aku telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ke-
pandaian silat dan juga ilmu gaib. Musuh-musuhku
semua berhasil ku binasakan. Tapi Ayah tiriku dan
anaknya tidak berhasil kubunuh. Mereka dapat melo-
loskan diri. Aku tidak tinggal diam. Terus ku-cari me-
reka hingga usiaku menjelang tiga puluh. Tapi, mere-
ka tetap tak kutemukan. Justru aku bertemu dengan
seorang petani gagah yang usianya beberapa tahun di
atasku. Kami saling jatuh cinta dan akhirnya meni-
kah! Sejak itu aku melupakan usahaku mencari Ayah
tiriku. Aku hidup seperti petani. Tenang. Kebahagiaan
ku bertambah ketika ibumu, Nuri, lahir. Dia tumbuh
menjadi gadis cantik sehingga menjadi rebutan ba-
nyak pemuda. Yang beruntung mendapatkannya ada-
lah seorang pendekar muda yang kemudian berjuluk
Pendekar Macan Hitam."
"Ayah...?!" ujar Arum Sari tanpa sadar.
"Benar." Mayang mengangguk. "Saat itu ibumu
berumur dua puluh tahun, dan aku telah berusia lima
puluh. Kebahagiaan ku mulai berkurang ketika ibumu
pergi mengikuti ayahmu. Sepuluh tahun kemudian
suamiku, Salaka, meninggal. Aku terpukul sekali. Aku
tidak betah sendirian. Aku kesepian. Maka, aku pergi
menjenguk ibumu. Nasibmu memang malang, Arum.
Ibumu meninggal saat melahirkan mu."
"Aku ingat itu, Nek. Kau baik sekali." Sepasang
mata Arum Sari menerawang ke langit, mengenang di-
rinya sewaktu masih menjadi gadis cilik.
"Kau amat menyenangkan, Arum. Kau lucu
dan lincah, membuat kesedihan ku berhasil kulupa-
kan. Aku merasa terhibur. Sayang, lagi-lagi gangguan
kembali muncul. Sepuluh tahun kemudian kudengar
berita mengenai musuh besarku. Tapi, mereka telah
berbeda jauh. Keduanya telah memiliki kepandaian
tinggi. Sialnya lagi bagiku, mereka berhasil menemu-
kan rahasia aku mendapatkan ilmu. Tempat tinggal
mereka pun dipasangi benda-benda penangkal ular.
Aku tidak bisa masuk ke tempat mereka. Apalagi
membunuhnya. Terlebih setelah mereka mengenakan
benda-benda anti ular. Aku tidak berdaya. Ketika aku
bersikeras untuk membunuhnya karena tak kuat me-
nanggung dendam, aku tewas di tangan mereka."
"Biar aku yang akan membalaskan dendammu,
Nek!" tandas Arum Sari geram.
"Bukan kau, Arum Sari." Mayang menggeleng-
kan kepala. "Tapi kita. Kita berdua yang akan mem-
basmi mereka. Bersiaplah menerima kedatanganku di
dalam dirimu, Arum!"
"Apa maksudmu, Nek?" Arum Sari tidak men-
gerti dengan perkataan neneknya.
"Itulah yang membuat ayahmu memutuskan
untuk memenjarakan ku, Arum. Ayahmu tahu raha-
siaku. Maka, ditancapkannya bambu kuning di atas
peti mati ku agar aku tidak bisa menitis ke dalam di-
rimu. Ayahmu tahu kalau empat puluh satu hari se-
I lama kematianku, aku bisa menitis ke dalam dirimu.
Lewat dari empat puluh satu hari aku tidak bisa ber-
buat apa-apa. Semula aku sudah putus asa. Tapi, sia-
pa sangka malapetaka menimpa kau dan ayahmu. Ke-
betulan kau datang kemari dan mengadu padaku.
Panggilanmu sampai ke alam tempat rohku. Panggi-
lanmu membuat aku memiliki sedikit kekuatan se-
hingga mampu timbul di dalam mimpimu. Inilah ha-
silnya, Arum."
Arum Sari mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang, bersiaplah menerima kedatanganku
ke dalam dirimu, Arum!"
Belum lenyap gema ucapan Mayang tubuhnya
telah lenyap dari pandangan. Dan, tiba-tiba tubuh
Arum Sari mengejang seperti orang terkena demam
tinggi.
Kejadian itu hanya berlangsung sesaat Arum
kembali seperti biasa. Hanya, ada sesuatu yang me-
nyeramkan memancar dari sorot mata dan biasan wa-
jahnya.
"Hi hi hi...!"
Arum Sari yang raganya telah dimasuki roh
Mayang tertawa terkekeh. Suara tawa itu lebih pantas
keluar dari mulut kuntilanak!
kkk
Tok, tok, tokkk!
"Ketua...! Ketua...!"
Ketukan keras pada pintu yang diiringi panggi-
lan tergesa-gesa membuat sesosok tubuh kekar berku-
lit hitam kecoklatan dan terbungkus pakaian putih
bergaris-garis hitam menoleh ke arah pintu yang tertu-
tup. Sorot mata lelaki berkumis tebal ini tampak me-
nyiratkan perasaan tidak senang.
Meski kepalanya ditolehkan, lelaki berkumis
tebal tidak menghentikan kegiatannya. Kedua tangan-
nya tetap dijulurkan ke depan dengan telapak tangan
menghadap ke atas. Ketika tangan itu digerakkan ke
atas, sebuah meja besar dan bulat terbuat dari kayu
jati hitam berukir ikut terangkat setinggi satu tombak!
Lelaki berkumis tebal berada di sebuah ruangan luas.
"Ketua...! Ketua...!"
Seruan itu kembali terdengar. Ketukan pada
daun pintu semakin gencar. Lelaki berkumis tebal
menggertakkan gigi, geram. Kedua tangannya yang di-
julurkan ditarik. Meja bundar itu pun jatuh ke lantai
menimbulkan bunyi hiruk-pikuk.
"Hih!"
Dengan wajah merah padam membayangkan
amarah, lelaki berkumis tebal berusia empat puluh li-
ma tahun itu mendorongkan kedua tangannya ke de-
pan. Seketika serangkum angin deras berhembus!
Blakkk!
Daun pintu langsung jebol. Lepas dari am-
bangnya dan melayang keluar menerpa orang yang be-
rada tepat di depannya. Karuan saja orang yang tidak
menyangka kejadian tersebut kaget. Ia hanya bisa
mengeluarkan seruan kaget ketika tubuhnya melayang
deras ke belakang dan jatuh di tanah tertimpa daun
pintu.
Orang yang malang itu berusaha bangkit sete-
lah terlebih dulu hendak menyingkirkan daun pintu
yang menindih tubuhnya. Tapi sebelum maksudnya
terlaksana, di atas daun pintu itu telah berdiri lelaki
berkumis tebal. Tidak terlihat lelaki berkumis tebal itu
bergerak, tahu-tahu ia telah berada di atas daun pintu.
"Monyet kecil! Sungguh berani kau menggang-
gu ketenanganku, heh?! Rupanya kau sudah kepingin
mampus!"
Lelaki bertubuh kecil kurus itu terengah-engah
menahan himpitan keras yang menyesakkan dadanya.
Wajahnya pucat pasi. Adanya ancaman maut dalam
ucapan lelaki berkumis tebal yang menjadi ketuanya.
"Tidak demikian maksudku, Ketua. Di luar sa-
na ada orang yang datang mencari Ketua. Dia lihai se-
kali! Kawan-kawan banyak yang tewas di tangannya!"
"Hmh!"
Lelaki berkumis tebal mendengus. Sekali men-
jejakkan kaki tubuhnya telah melesat ke depan. Pada
saat yang bersamaan, nyawa lelaki kecil kurus itu me-
layang ke alam baka. Tewas dengan dada remuk keti-
ka kaki lelaki berkumis tebal bergerak menekan.
Dalam beberapa kali lesatan, tubuh lelaki ber-
kumis tebal telah berada cukup jauh. Bangunan di
mana lelaki berkumis tebal berada, dikelilingi pagar
kayu bulat dan terletak agak jauh terpisah dari ban-
gunan-bangunan lainnya yang berada di depan.
Sekarang lelaki berkumis tebal telah berada di
halaman luar di mana terdapat pintu gerbang yang
terbuka lebar.
Lelaki berkumis tebal menggeram ketika meli-
hat beberapa sosok tubuh bergeletakan di tanah. Se-
mentara beberapa muridnya tengah bertarung dengan
sesosok bayangan putih. Orang-orang berpakaian pu-
tih bergaris-garis hitam itu bagaikan semut-semut
I yang menerjang api. Mereka tewas sebelum berhasil
mendekat.
"Mundur semua...!"
Lelaki berkumis tebal berseru keras mengge-
rakkan tenaga dalamnya. Suaranya terdengar bagai-
kan guntur. Ada kekuatan gaib yang membuat semua
orang yang tengah bertarung melompat ke belakang
dan menghentikan pertarungan.
Sosok bayangan putih yang ternyata seorang
lelaki setengah baya, berwajah gagah dengan kumis
dan jenggot terawat rapi, mengalihkan perhatian ke
arah lelaki berkumis tebal yang tengah melangkah ga-
gah mendekatinya.
"Kukira siapa, rupanya hanya seorang tikus
kecil dari tokoh-tokoh sombong yang berjulukan be-
sar! Kau datang hendak mengantar nyawa, Pendekar
Macan Putih?!" ejek lelaki berkumis tebal menghenti-
kan langkahnya tiga tombak di depan lelaki berpa-
kaian putih. Pada bagian dada kirinya tersulam gam-
bar kepala seekor macan dengan benang emas.
Lelaki berpakaian putih yang berjuluk Pende-
kar Macan Putih tersenyum pahit Dia tidak terlihat
marah atau tersinggung mendengar ejekan keras itu.
"Kau masih sombong dan besar mulut seperti
dulu, Serigala Belang. Sayang, waktu itu kami bertin-
dak kepalang tanggung sehingga kau dapat lolos. Tapi
sekarang, jangan harap kau akan bernasib baik seper-
ti dulu!"
"Kaulah yang akan mampus menyusul kawan-
mu, Pendekar Macan Putih yang malang!" tandas lela-
ki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Serigala Be-
lang.
"Mana mungkin seekor serigala mampu mem-
binasakan seekor macan, betapapun saktinya serigala
itu? Andaikata serigala berhasil menewaskan macan,
tentu tidak dengan cara yang jujur!" Pendekar Macan
Putih menyindir. Serigala Belang yang mengerti hinaan
halus lawannya menjadi kalap.
"Haattt...!"
Diawali teriakan nyaring, Serigala Belang men-
dorongkan kedua telapak tangannya. Gerakannya per-
lahan saja, seperti tengah mendorong sebuah benda
yang teramat berat
Tetapi, Pendekar Macan Putih merasakan satu
kekuatan meluncur ke arahnya. Ia pun tidak tinggal di-
am. Segera dilakukannya tindakan serupa.
Dengan diawali teriakan melengking nyaring
yang membuat belasan anak buahnya menutup telin-
ga, Serigala Belang melompat melakukan dorongan
kedua tangan. Gerakannya perlahan seperti tengah
mendorong sebuah benda besar yang amat berat.
"Hih!"
Pendekar Macan Putih merasakan kekuatan
tak nampak meluncur ke arahnya. Semakin lama se-
makin keras. Ia pun tidak tinggal diam. Segera dilaku-
kannya tindakan serupa. Pendekar Macan Putih tidak
ingin dianggap takut oleh Serigala Belang. Di samping
itu ia juga ingin menguji kemajuan pimpinan Gerom-
bolan Serigala Belang ini! Sepuluh tahun yang lalu ke-
pandaian mereka berimbang.
Blarrr!
Dua pukulan jarak jauh yang mengandung te-
naga dalam amat tinggi berbenturan di tengah jalan.
Terdengar bunyi menggelegar yang menggetarkan seki-
tar tempat itu. Tubuh Pendekar Macan Putih terjeng-
kang ke belakang dan terhuyung-huyung hampir ja-
tuh!
"Ha ha ha...!"
Serigala Belang tertawa bergelak. Sementara
wajah Pendekar Macan Putih berubah hebat melihat
hasil benturan itu. Dia sama sekali tidak menyangka.
Kekuatan tenaga dalam Serigala Belang benar-benar
mengejutkan.
"Bagaimana, Pendekar Macan Putih? Masihkah
kau ragu kalau serigala mampu mengalahkan seekor
harimau?!"
Pertanyaan yang mengandung ejekan itu mem-
buat wajah Pendekar Macan Putih semakin merah pa-
dam. Meski demikian, lelaki berpakaian putih ini ma-
sih tidak percaya kalau tenaga dalam lawan benar-
benar telah sehebat ini!
"Jangan berbesar hati dulu, Serigala Belang!"
Pendekar Macan Putih menutup ucapannya
dengan lemparan tiga batang logam berbentuk segiti-
ga. Senjata rahasia yang menjadi andalan Pendekar
Macan Putih meluncur ke arah Serigala Belang dengan
diiringi bunyi berdesing nyaring, pertanda kuatnya te-
naga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"Hmh!"
Serigala Belang mendengus penuh ejekan.
Dengan sikap sembarangan, kedua tangannya dijulur-
kan ke depan. Dan, akibat yang terjadi membuat se-
pasang mata Pendekar Macan Putih membelalak lebar.
Senjata rahasia itu membalik sebelum bertemu den-
gan kedua tangan yang dijulurkan. Seakan ada kekua-
tan tak tampak yang menahan luncuran bintang-
bintang segitiga dan membuatnya meluncur kembali
ke pemiliknya. Pendekar Macan Putih kini percaya Se-
rigala Belang memiliki kekuatan tenaga dalam yang
tinggi.
Kendati demikian, Pendekar Macan Putih tidak
menjadi gugup. Sebagai seorang ahli melempar senjata
rahasia dia tentu saja mampu menangkalnya. Ketika
bintang-bintang segitiga itu kembali ke arahnya, Pen-
dekar Macan Putih mengeluarkan tiga bintang segitiga
lainnya dan bergegas melemparkannya.
Bunyi berdentang pelan terdengar ketika enam
senjata rahasia berbenturan di udara. Semuanya run-
tuh ke tanah. Tapi, terlihat jelas akibat benturan itu
bintang-bintang segitiga yang dilepaskan Pendekar
Macan Putih terpental mundur. Ini menjadi pertanda
kalau bintang-bintang segitiga yang meluncur balik di-
topang oleh tenaga dalam tinggi! Padahal, Pendekar
Macan Putih hanya menjulurkan kedua tangannya,
bukan menangkis!
Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar
melihat kenyataan itu. Dia mencabut pedang berga-
gang kepala macan yang menjadi senjata andalannya.
Dengan pedang telanjang di tangan, lelaki berpakaian
putih ini menyerbu Serigala Belang.
Serigala Belang yang tahu kedahsyatan per-
mainan pedang Pendekar Macan Putih tidak berani
bertindak sembarangan. Dia pun mencabut senjata
andalannya. Sebatang golok yang bercabang. Dengan
senjata ini telah beberapa kali Serigala Belang berhasil
merampas senjata lawan dengan mengkaitnya.
Dalam sekejap dua lelaki itu telah terlibat per-
tarungan seru. Bunyi dentang senjata beradu yang di-
iringi percikan-percikan bunga api ke udara menyema-
raki jalannya pertarungan.
"Hih!"
Setelah hampir sepuluh jurus dan terjadi bebe-
rapa kali benturan, dengan akibat tubuh Pendekar
Macan Putih terhuyung mundur, Serigala Belang ber-
hasil menjepit pedang Pendekar Macan Putih di ten-
gah-tengah cabang senjatanya.
Pendekar Macan Putih kaget. Tapi sebelum ia
sempat berbuat sesuatu, Serigala Belang telah memu-
tar goloknya sedemikian rupa sehingga pedang Pende-
kar Macan Putih ikut terputar. Dan, ketika Serigala
Belang melakukan gerakan menyentak, senjata Pen-
dekar Macan Putih terlepas dari pegangan. Pedang itu
terlempar cukup jauh.
Di saat tubuh Pendekar Macan Putih ter-
huyung akibat sentakan, Serigala Belang memasuk-
I kan kembali goloknya ke dalam sarungnya di ping-
gang, kemudian melompat ke atas. Dari atas tubuhnya
menukik turun dengan kedua telapak tangan terbuka
menghantam pundak Pendekar Macan Putih.
Pendekar Macan Putih tidak mempunyai pili-
han lain kecuali memapaki serangan itu dengan kedua
telapak terbuka ke atas.
Plakkk!
Dua pasang telapak tangan berbenturan dan
saling melekat. Tubuh Serigala Belang berada di atas
Pendekar Macan Putih. Tubuh lelaki berkumis tebal
itu lurus ke atas dengan kedua tangan berada di ba-
wah, menempel dengan tangan Pendekar Macan Putih
yang terjulur ke atas.
Terjadilah pertarungan yang mendebarkan.
Pertarungan adu tenaga dalam. Mula-mula tidak terli-
hat hasilnya. Tapi sesaat kemudian, tampak kedua
tangan dan kaki Pendekar Macan Putih menggigil ke-
ras. Dari kepalanya mengepul uap putih. Tampaknya,
lelaki berpakaian putih ini telah mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya.
Meski tenaga dalamnya kalah jauh, Pendekar
Macan Putih tetap bersikeras bertahan. Dan kekera-
san hatinya membuatnya cukup lama bertahan.
Sayang landasan tempat kaki Pendekar Macan Putih
bertumpu tidak kuat menanggung kekuatan tenaga
dalam yang dahsyat itu. Dengan cepat tanah tempat-
nya berpijak amblas! Kedua kaki Pendekar Macan Pu-
tih tenggelam sampai ke betis.
"Hukh...!"
Pendekar Macan Putih akhirnya harus menye-
rah ketika darah segar memancur deras dari mulut-
nya. Pendekar ini telah terluka dalam yang amat pa-
rah. Kedua tangannya langsung terkulai. Patah! Dan
tangan-tangan Serigala Belang dengan keras meng-
hantam kedua bahunya. Pendekar Macan Putih tewas
dengan kedua kaki masih terbenam di dalam tanah!
"Ha ha ha...!"
Begitu berhasil menjejak tanah dengan mantap
setelah berjungkir balik beberapa kali di udara, Seriga-
la Belang tertawa bergelak. Tawa kemenangan. Kemu-
dian, tanpa mempedulikan mayat lawannya, lelaki
berkumis tebal ini melangkah pergi meninggalkan
tempat itu. Serigala Belang menuju bangunan tempat
tadi dia berada.
3
"Hiya...! Hiya...!"
Seruan-seruan keras yang dibarengi pecutan
bertubi-tubi memaksa seekor kuda coklat berlari sece-
pat mungkin. Keempat kaki binatang itu bagai tidak
menyentuh tanah. Debu mengepul tinggi di udara.
"Uh...!"
Seorang pemuda berambut putih keperakan
dan berpakaian ungu mengeluarkan seruan kaget ke-
tika melihat kuda coklat itu berlari cepat ke arahnya.
Padahal, saat itu dia tengah berada di sebuah jalan
tanah yang lebarnya tak lebih dari dua tombak. Di ka-
nan kiri jalan itu ditumbuhi semak-semak dan pepo-
honan kecil.
Pemuda berambut putih keperakan tidak ingin
wajah dan pakaiannya dikotori debu yang mengepul
tinggi karena lari kuda yang seperti kesetanan. Dia
bergegas melompat ke samping dan menggunakan
ujung-ujung atas semak-semak untuk berlompatan
menjauh.
"Luar biasa...!"
Teriakan penuh kagum itu keluar dari mulut
penunggang kuda coklat. Seorang pemuda berpakaian
kuning tua dengan warna ikat kepala yang sama. Wa-
jahnya tampan. Apalagi dengan adanya sebaris kumis
tipis di bawah hidungnya. Pemuda berpakaian kuning
tua sempat melihat tindakan pemuda berambut putih
keperakan. Dan, pemuda berpakaian kuning tahu ge-
rakan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang
tokoh persilatan tingkat tinggi.
I Tapi, hanya sampai di situ saja tanggapan pe-
muda berpakaian kuning tua. Lari kudanya sedikit
pun tidak diperlambat. Dalam sekejapan saja ia telah
jauh meninggalkan tempat itu.
Setelah debu yang mengepul sirna, baru pe-
muda berpakaian ungu melompat meninggalkan pu-
cuk semak-semak yang dihinggapinya. Semak-semak
itu bergoyang ketika tubuh pemuda berambut putih
keperakan menjejakkannya. Sebelum bersalto bebera-
pa kali di udara dan mendarat di tanah.
Pemuda berpakaian ungu menatap ke arah pe-
nunggang kuda coklat yang terus menggebah ku-
danya. Sepasang alisnya berkerut heran melihat ting-
kah pemuda berpakaian kuning tua yang seperti dike-
jar-kejar sesuatu.
Pemuda berpakaian ungu itu pun berdiri me-
natap ke arah yang tadi ditinggalkan pemuda berpa-
kaian kuning tua. Dia menduga akan melihat satu
atau sekelompok orang yang melakukan pengejaran.
Sementara, jauh di depan pemuda berbaju
kuning tua memperlambat lari kudanya ketika melihat
sebuah pondok kecil di kejauhan. Ketika telah berada
tepat di depannya, pemuda itu menarik tali kekang
kuda. Belum juga berhenti dia telah melompat turun.
Ketika pemuda berpakaian kuning tua hendak
mengetuk pintu, daun pintu telah lebih dulu dikua-
kkan dari dalam. Tersembullah seraut wajah wanita
I berusia sekitar empat puluh lima tahun. Meski demi-
kian, masih terlihat sisa kecantikannya di waktu mu-
da.
"Gunaran...!"
"Ibu...!"
Wanita setengah baya dan pemuda berpakaian
kuning tua saling berpelukan erat
"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya pemuda berpa-
kaian kuning setelah melepaskan pelukannya. "Ku-
dengar dari guru, Ibu mengirim seorang kurir untuk
menyuruhku pulang karena ada urusan yang sangat
penting."
"Itu memang tidak salah, Gunaran!" Ibunya
Gunaran yang mengenakan pakaian biru menyahut
seraya mengangguk. "Berita yang amat penting dan
menyangkut nasib ayahmu.. Karena itu, aku buru-
buru mengirim kabar padamu."
"Ayah?!" Gunaran rupanya baru teringat akan
ayahnya. "Mana Ayah, Ibu? Mengapa dia tidak datang
menemuiku?"
"Itulah, Gunaran." Wanita berpakaian biru itu
menghela napas berat. "Dua hari yang lalu ayahmu
pergi untuk menjumpai rekannya di masa muda. Kau
tahu kan siapa rekan ayahmu itu?"
"Ya." Gunaran mengangguk. "Bukankah orang
itu berjuluk Pendekar Macan Hitam?"
Wanita berpakaian biru mengiyakan.
"Seminggu yang lalu seorang lelaki datang ke-
mari menyampaikan berita mengenai Pendekar Macan
Hitam. Lelaki itu terhitung murid Pendekar Macan Hi-
tam, kendati pada kenyataan sebenarnya Pendekar
Macan Hitam tidak pernah mempunyai murid kecuali
putri tunggalnya. Arum Sari. Nah, lelaki itu menga-
barkan kalau Pendekar Macan Hitam dan putrinya
mengalami malapetaka karena perbuatan sekelompok
orang yang dipimpin Serigala Belang.
"Ah! Musuh besar Ayah yang waktu itu lolos
dari maut?!" Gunaran yang mendengar cerita itu dari
ayahnya, berseru kaget.
"Benar. Maka, ayahmu segera pergi ke sana. Ia
ingin mengecek sendiri kebenaran berita itu, juga hen-
dak membinasakan Serigala Belang dan komplotannya
apabila benar mereka berada di sana."
"Kalau benar demikian, Ibu tidak perlu khawa-
tir. Aku yakin Ayah akan berhasil mengirim nyawa Se-
rigala Belang dan komplotannya ke akherat. Aku ya-
kin!" tandas Gunaran mantap.
"Tidak baik kau bersikap seperti itu, Gunaran!"
cela wanita berpakaian biru. "Sikap memandang re-
meh hanya akan memperlemah kewaspadaan kita. Itu
bukan tidak mungkin akan berakibat buruk. Ingat,
kemenangan ayahmu dan kawannya itu terjadi pulu-
han tahun yang lalu. Banyak hal mengejutkan bisa
terjadi dalam waktu sepuluh tahun! Siapa tahu Seriga-
la Belang mendapat kemajuan pesat dalam kepan-
daiannya. Misalnya saja berhasil menciptakan ilmu-
ilmu tinggi. Kau perlu ingat, Gunaran. Pendekar Ma-
can Hitam berhasil ditewaskannya. Ini menjadi per-
tanda kalau Serigala Belang mempunyai andalan. In-
gat Gunaran. Jangan suka memandang rendah lawan.
Betapapun kau telah mengetahui tingkat kepandaian-
nya!"
"Ya, Ibu?!" Gunaran mengangguk dengan sikap
kagum. Dia tahu ibunya hanya memiliki kepandaian
silat sekadarnya. Tapi, ia mampu memberikan pan-
dangan yang demikian luar biasa.
"Sekarang pergilah dan susul ayahmu. Aku
khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku mempu-
nyai firasat buruk!"
"Tapi, bagaimana dengan, Ibu?" Gunaran ragu.
"Jangan pikirkan aku. Aku tidak apa-apa. Per-
gilah, Gunaran!"
Gunaran tidak membantah. Setelah berpami-
tan, ia segera melangkah keluar. Sesaat kemudian,
kuda coklat itu kembali melesat cepat membawa Gu-
naran di punggungnya.
Wanita berpakaian biru yang adalah istri Pen-
dekar Macan Putih tidak segera masuk ke dalam ru-
mah. Dia menatap Gunaran hingga tubuh putranya
bersama kudanya lenyap di ujung jalan, menimbulkan
kepulan debu tebal.
Lama istri Pendekar Macan Putih termenung di
depan rumah. Sebenarnya, hati wanita ini merasa be-
rat melepaskan putra tunggalnya setelah hampir sepu-
luh tahun belajar di tempat kakek gurunya. Yaitu guru
Pendekar Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam.
Tapi, apa daya? Tenaga Gunaran dibutuhkan untuk
membantu Pendekar Macan Putih. Istri Pendekar Ma-
can Putih baru saja hendak masuk kembali ke dalam
rumah, tapi terpaksa diurungkan ketika melihat kepu-
lan debu dikejauhan.
"Mungkinkah Gunaran balik kembali?" tanya
wanita berpakaian biru dalam hati. Istri Pendekar Ma-
can Putih pun berdiri menunggu.
Tapi, setelah beberapa saat kemudian penye-
bab kepulan debu tinggi itu mulai terlihat, istri Pende-
kar Macan Putih bergegas masuk ke dalam. Itu bukan
Gunaran. Kuda yang ditungganginya pun bukan cok-
lat melainkan hitam legam. Maka, buru-buru wanita
berpakaian biru membalikkan tubuh dan melangkah
cepat ke dalam rumah. Ia khawatir akan terjadi sesua-
tu yang tidak diinginkan.
Wanita berpakaian biru yang merasa lega keti-
ka berhasil menyentuh daun pintu dan siap mendo-
rongnya jadi terkejut setengah mati. Ada satu kekua-
tan yang memaksanya tertarik ke belakang. Betapa-
pun istri Pendekar Macan Putih berusaha berlari, ia
tetap tidak mampu berpindah tempat. Lari yang dila-
kukannya hanya di tempat saja.
Istri Pendekar Macan Putih menoleh. Dilihat-
nya penunggang kuda yang rupanya telah turun dari
kudanya berdiri lima tombak darinya. Ia tengah men-
julurkan kedua tangan ke arahnya. Tidak terlihat
mengerahkan tenaga, tapi wanita berpakaian biru ini
tahu kedua tangan itulah yang menyebabkan dia tidak
mampu berpindah tempat.
Istri Pendekar Macan Putih tidak putus asa. Ia
terus berusaha, sekuat tenaga untuk bebas. Tapi,
usahanya sia-sia belaka. Ketika sosok yang baru da-
tang itu melakukan gerak menarik dengan kedua tan-
gannya, tubuh wanita berpakaian biru dengan deras
tertarik ke belakang. Istri Pendekar Macan Putih men-
jerit kaget.
Brukkk!
Tubuh istri Pendekar Macan Putih ambruk di
tanah. Tepat di depan sosok yang baru datang. Wanita
itu merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit karena
terbanting keras. Dengan menguatkan diri dia memba-
likkan tubuh dan berdiri menatap sosok di hadapan-
nya.
"Siapa kau? Mengapa mempertunjukkan sulap
untuk anak-anak terhadapku?!" bentak wanita berpa-
kaian biru dengan berani.
Sosok yang semula dikira Gunaran oleh wanita
berpakaian biru tampak tersenyum lebar. Wajahnya
yang hitam legam seperti juga kulit tubuhnya menam-
pakkan deretan gigi yang kuning dan besar-besar.
Kumis, jenggot, dan cambang bauk kasar menghias
wajahnya yang penuh ditumbuhi jerawat.
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku kawan dari
musuh suamimu! Serigala Belang adalah kawanku.
Sekarang kurasa kau tahu mengapa aku mempertun-
jukkan sulap anak-anak terhadapmu!" Lelaki berkulit
hitam legam membuka suaranya yang keras dan
mengguntur. "Namaku Malisang!"
Wajah wanita berpakaian biru kelihatan beru-
bah. Ia menyadari adanya bahaya mengancam dari so-
sok yang berdiri di hadapannya. Meski demikian, istri
Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar.
"Kalau begitu apa maksudmu datang kemari,
Malisang? Kalau untuk menemui suamiku perlu kube-
ritahu kalau dia tengah menuju tempat Serigala Be-
lang berada. Kawanmu itu akan dibinasakan oleh su-
amiku. Bahkan mungkin sekarang dia telah binasa!"
tandas istri Pendekar Macan Putih berapi-api.
"Ah! Begitu kiranya?" Malisang tersenyum le-
bar. "Berarti sekarang suamimu telah pergi ke alam
baka. Kau pun akan mengalami nasib yang sama.
Bahkan, mungkin lebih menyedihkan apabila tidak
mau menjawab pertanyaanku!"
"Chuih!"
Istri Pendekar Macan Putih meludah dengan
sikap memandang rendah.
"Jangan kau kira aku takut dengan ancaman-
mu! Aku bukan seorang pengecut!"
"Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku sebe-
lum kau menderita. Aku bukan seorang pengecut yang
hanya berani dengan wanita lemah seperti kau!" tegas
Malisang dengan senyuman yang telah lenyap dari bi-
birnya. "Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku
Seribu!"
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai mati
pun tetap tidak!" jawab istri Pendekar Macan Putih se-
tengah menjerit. Tokoh yang ditanyakan Malisang ada-
lah guru suaminya! Juga guru dari Pendekar Macan
Hitam dan Gunaran.
"Rupanya kau termasuk seorang wanita yang
ingin dikasari dulu sebelum tunduk! Baik kalau itu
yang kau inginkan!" ancam Malisang dengan wajah
bengis.
Malisang lalu mengambil dua buah batu sebe-
sar kepalan tangan dan mengamang-amangkannya di
depan istri Pendekar Macan Putih. Wanita berpakaian
biru yang berhati tabah itu tampak bersikap tidak pe-
duli, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ber-
tanya-tanya apa yang hendak dilakukan Malisang?
Malisang yang sengaja bertindak lambat untuk
melihat tanggapan istri Pendekar Macan Putih jadi ge-
ram bukan main melihat sikap tidak acuh wanita ber-
pakaian biru. Dia merasa ditantang. Kemarahan lelaki
berkulit hitam legam ini pun meledak. Siksaan yang
diancamkan terhadap calon korbannya langsung di-
mulai! Batu-batu itu dibenturkan satu sama lain.
Tak, tak, tak!
Bunyi berdetak pun terdengar ketika batu-batu
itu saling berbenturan. Kelihatannya tidak ada hal
yang aneh. Tapi, tidak demikian yang dialami istri
Pendekar Macan Putih. Ketika batu itu pertama kali
berbenturan seperti ada yang menumbuk dadanya.
Bahkan, sepasang telinganya berdenging hebat! Sakit
bukan main.
Istri Pendekar Macan Putih segera mendekap
telinganya dengan kedua tangan untuk mencegah ma-
suknya bunyi menyakitkan itu. Tapi usaha wanita itu
sia-sia. Betapapun kuat telinganya didekap bunyi yang
tidak mengenakkan itu tetap saja merasuk dan me-
nyerangnya.
Semakin lama pengaruh benturan baru itu se-
makin menghebat. Sekarang istri Pendekar Macan Pu-
tih tidak hanya menutup kedua telinganya. Tapi, ber-
gulingan di tanah karena tidak kuat menahan siksaan
yang melanda. Wanita berpakaian biru itu merasakan
telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum panas yang
amat tajam. Demikian pula dengan bagian dalam da-
danya.
"Bagaimana? Apakah kau masih mencoba un-
tuk bertahan?!" Di tengah gemuruh benturan dua batu
dan jerit menyayat istri Pendekar Macan Putih, Mali-
sang menawarkan keringanan hukuman.
Tapi, istri Pendekar Macan Putih benar-benar
seorang wanita yang tahan uji. Meski tidak mampu
menjawab karena rasa sakit yang melanda, dia mem-
beri isyarat tidak mau dengan gelengan kepalanya.
"Keparat!"
Malisang yang sudah merendahkan diri menga-
jukan tawaran jadi semakin kalap. Dia memutuskan
untuk memberi siksaan yang lebih menyakitkan. Ben-
turan batu-batuan semakin dipergencar.
"Terimalah kematianmu, Wanita Keras Kepala!
Kau akan mati dengan mata, telinga, dan hidung yang
mengeluarkan darah karena urat-urat syaraf mu pe-
cah tak kuat menahan siksaan ini!"
Malisang memang tidak main-main dengan an-
camannya. Begitu benturan batu-batunya dipergencar,
istri Pendekar Macan Putih mendadak meraung memi-
lukan. Ia menggelepar-gelepar di tanah seperti cacing
dilempar ke abu panas!
"Ha ha ha...!"
Malisang tertawa bergelak melihat istri Pende-
kar Macan Putih tersiksa seperti itu. Kedongkolannya
yang menggebu-gebu tersalurkan melihat korbannya
yang keras kepala demikian menderita.
"Manusia Keji! Manusia Berhati Binatang...!"
Tawa Malisang terhenti di tengah jalan karena
seruan keras yang mampu menindih gelak tawanya.
Teriakan keras itu jelas-jelas memakinya.
Di saat Malisang hendak mencari asal suara
itu, angin tiba-tiba berhembus cukup keras. Tahu-
tahu di depan Malisang dan istri Pendekar Macan Pu-
tih telah berdiri seorang gadis berpakaian merah me-
nyala. Seorang gadis yang amat cantik. Berkulit putih,
halus, dan mulus. Beberapa tahi lalat menghias wa-
jahnya, menambah kecantikannya.
Tanpa menunggu lebih lama, gadis berpakaian
merah mengambil sebatang kipas yang terselip di
pinggang. Kemudian, ia mengirimkan totokan bertubi-
tubi ke berbagai bagian tubuh Malisang!
Malisang melompat jauh ke belakang dan me-
lemparkan batu-batu di tangannya pada gadis berpa-
kaian merah! Kedatangan gadis itu membuat Malisang
menghentikan serangannya terhadap istri Pendekar
Macan Putih.
4
Gadis berpakaian merah mengembangkan ki-
pasnya dan mengebutkan hingga batu-batu itu terpu-
kul runtuh. Tapi, saking kerasnya tenaga Malisang,
tubuh gadis berpakaian merah terhuyung dan tan-
gannya bergetar hebat.
Kesempatan emas itu tak dibiarkan begitu saja
oleh Malisang. Malisang segera meloloskan sabuknya.
Kemudian, dilemparkan ke arah gadis berpakaian me-
rah. Bagaikan memiliki nyawa, sabuk hitam pekat mi-
lik Malisang meluncur dan melibat erat gadis itu sebe-
lum sempat berbuat sesuatu. Bahkan, sabuk itu
membuat simpulan yang erat dari pangkal lengan
sampai ke bawah pinggang. Kejadian itu terjadi demi-
kian cepat.
Gadis berpakaian merah berusaha melepaskan
diri dengan mengerahkan tenaga dalam. Tapi, sabuk
itu bukan sabuk sembarangan. Walaupun gadis itu te-
lah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sabuk la-
wan tetap tidak mampu diputuskan. Sabuk itu lentur
seperti karet!
Malisang tidak berani menanggung akibat bila
gadis berpakaian merah sampai lepas. Di saat gadis
itu tengah berjuang untuk membebaskan diri dari beli-
tan sabuk. Lelaki berkulit hitam menudingkan jari te-
lunjuk kanannya.
Tidak terlihat Malisang bergerak mendekat un-
tuk melakukan totokan, tapi gadis berpakaian merah
mengeluarkan keluhan tertahan ketika tudingan jari
telunjuk Malisang mengenai salah satu jalan darah-
nya. Tubuh gadis berpakaian merah pun ambruk ke
tanah seperti karung basah.
Gadis berpakaian merah tampak kaget bukan
main. Malisang ternyata memiliki ilmu totokan jarak
jauh. Dengan mempergunakan angin serangannya sa-
ja, lelaki berkulit hitam ini mampu merobohkan lawan!
"He he he...!"
Malisang terkekeh melihat gadis berpakaian
merah sudah tidak berdaya. Masih dengan kekeh yang
tidak lenyap dari mulutnya, Malisang melakukan ge-
rakan menarik dengan kedua tangan kepada istri Pen-
dekar Macan Putih.
Wanita berpakaian biru yang memperhatikan
jalannya pertarungan terkejut bukan main merasakan
adanya tarikan yang luar biasa dari kedua tangan Ma-
lisang. Istri Pendekar Macan Putih ini tahu gadis ber-
pakaian merah tidak bisa diandalkan lagi untuk me-
nyelamatkan nyawanya. Sayang, Malisang telah lang-
sung bertindak sebelum istri Pendekar Macan Putih
mengambil tindakan penyelamatan.
I Dari pandangan mata Malisang, wanita itu ta-
hu maut telah dekat dengan dirinya. Ia tidak mampu
berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Wanita
berpakaian biru ini hanya bisa pasrah menanti da-
tangnya maut.
Gadis berpakaian merah meski sudah tidak
berdaya tidak menghalangi pandangannya ke arah
Malisang dan istri Pendekar Macan Putih. Matanya
terbelalak melihat tubuh Ibunya Gunaran tertarik de-
ras ke arah Malisang.
Gadis berpakaian merah menduga Malisang
akan menyambuti datangnya tubuh wanita berpakaian
biru dengan tusukan jari tangan atau pukulan. Po-
koknya serangan mematikan yang dapat mengirim
nyawa istri Pendekar Macan Putih ke neraka. Tapi,
dugaannya ternyata meleset. Malisang menjulurkan
kedua tangannya ke arah sebatang pohon besar ber-
daun rimbun yang berada tak jauh darinya. Sesaat
tangan lelaki berkulit hitam legam ini bergetar dan
daun-daun pohon itu berguguran. Cukup banyak ba-
gai dilanda angin topan.
Tindakan Malisang tidak berhenti sampai di si-
tu. Dengan kedua tangannya dia melakukan gerakan
mengibas ke arah istri Pendekar Macan Putih. Seketi-
ka itu pula daun-daun meluncur ke arah wanita ber-
pakaian biru dengan kecepatan menakjubkan. Bunyi
mencicit yang menyayat telinga terdengar ketika daun-
daun meluncur menyambut luncuran tubuh istri Pen-
dekar Macan Putih.
Cap, cap, cappp!
Laksana benda-benda dari logam, daun-daun
pohon itu menancapi sekujur tubuh istri Pendekar
Macan Putih, mulai dari kepala sampai ke pinggang.
Wanita berpakaian biru itu tidak tahan untuk tidak
mengeluarkan jeritan menyayat. Darah pun deras
I mengalir dari bagian tubuh yang ditancap daun-daun
yang tak ubahnya mata pisau akibat pengerahan te-
naga dalam Malisang yang luar biasa.
Nyawa wanita berpakaian biru pun melayang
ke alam baka dengan tubuh masih meluncur deras ke
arah Malisang. Tapi, hanya dengan menjulurkan ke-
dua tangan ke depan, Malisang telah membuat tubuh
istri Pendekar Macan Putih kembali terpental ke bela-
kang. Dari kedua tangan yang dijulurkan itu keluar
angin keras.
"Sekarang giliranmu, Gadis Liar!" Malisang me-
nyorotkan tatapan dingin pada gadis berpakaian me-
rah.
Bukannya takut, gadis berpakaian merah ma-
lah menentang tatapan Malisang, Hal ini membuat
Malisang semakin merasa tidak senang. Terlebih ia
gagal mendapatkan keterangan tentang Harimau Ter-
bang Berkuku Seribu.
"Aku tidak mau berpanjang kata, Gadis Liar!
Aku bukan orang yang sabar. Cepat jawab atau kau
akan mengalami hal yang mengerikan di tanganku!
Kau akan ku telanjangi dan tubuhmu yang bagus itu
kuumpankan pada gerombolan semut merah yang ku-
bawa!"
Malisang menghentikan ucapannya ketika me-
lihat perubahan di wajah gadis berpakaian merah. Dia
tahu hati gadis itu terguncang. Kalau tidak karena an-
caman dengan semut, tentu karena takut ditelanjangi!
Sebagai seorang tokoh persilatan yang berpengalaman,
Malisang tahu ancaman siksaan yang paling mengeri-
kan bagi seorang gadis adalah perkosaan. Tapi, sayang
Malisang bukan orang semacam itu. Dia tidak mem-
punyai keinginan untuk menguasai tubuh seorang
wanita secara paksa.
"Apa... yang hendak kau tanyakan padaku...?"
tanya gadis berpakaian merah.
Suaranya agak bergetar karena perasaan te-
gang yang melanda hati.
"Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku
Seribu!" tandas Malisang cepat
Wajah gadis berpakaian merah berubah pias.
Mungkin kalau gadis ini dapat bergerak, ia akan ber-
jingkat ke belakang seperti orang disengat kalajengk-
ing!
Melihat gadis berpakaian merah tercenung bin-
gung malah seperti kaget Malisang jadi kalap.
"Cepat jawab sebelum aku kehilangan kesaba-
ran dan memberikan hukuman terhadapmu! Jangan
paksa aku untuk membuktikan ancaman ku!" desak
Malisang tidak sabar.
Gadis berpakaian merah tidak juga memberi-
kan keputusan meski ucapan Malisang terdengar se-
makin keras. Rupanya, pertanyaan yang diajukan Ma-
lisang terlalu rahasia. Sehingga, sukar bagi gadis ber-
pakaian merah untuk memberikan jawaban.
Tindakan gadis itu membuat kesabaran Mali-
sang habis. Lelaki berkulit hitam ini tahu gadis berpa-
kaian merah mengetahui jawabannya. Karena itu, Ma-
lisang jadi geram ketika melihat gadis itu tidak juga
memberikan jawaban.
Malisang murka bukan main. Dia merasa di-
tantang untuk membuktikan kebenaran ancamannya.
Maka, segera tangan kanannya dijulurkan ke arah
punggung kudanya yang sejak tadi dengan tenang me-
rumput. Lelaki berkulit hitam itu menggetarkan tan-
gannya mengerahkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian, sebuah buntalan sebesar
kepala yang berada di atas punggung kuda melayang
ke arah Malisang. Pada saat yang bersamaan, dari
atas pohon melinjo yang berada di sebelah kiri Mali-
sang dan berlawanan arah dengan kuda Malisang, me-
layang dua butir buah melinjo ke arah gadis berpa-
kaian merah.
Malisang meski tengah sibuk tidak kehilangan
kewaspadaan. Bunyi luncuran buah melinjo yang
I mencicit cukup nyaring membuat kepalanya menoleh.
Lelaki berkulit hitam legam ini melihat luncuran dua
buah melinjo dari atas pohon. Sayang, Malisang tidak
dapat berbuat apa-apa.
Tuk, tukkk!
Begitu buah-buah melinjo mengenai tubuh ga-
dis berpakaian merah, ia merasa totokan yang membe-
lenggu buyar. Jalan darahnya kembali lancar. Dengan
sekali lentingan, gadis berpakaian merah langsung
dapat berdiri meski kedua tangannya masih terbeleng-
gu.
Melihat hal ini Malisang jadi naik darah. Begitu
buntalannya berhasil ditangkap. Tangan kanannya se-
gera digunakan untuk mengirimkan pukulan jarak
jauh ke atas pohon tempat buah melinjo tadi berasal!
Hembusan angin deras yang menandakan kekuatan
tenaga dalam dahsyat pun meluncur ke atas pohon.
Sebelum pukulan jarak jauh Malisang tiba
yang akan mengakibatkan sebagian besar daun-daun
dan ranting pohon berguguran, dari balik kerimbunan
dedaunan mencuat dua buah telapak tangan. Yang
kanan mengarah pada luncuran pukulan jarak jauh
Malisang. Sedangkan tangan kirinya tertuju pada tem-
pat gadis berpakaian merah berada.
Malisang hampir tidak percaya dengan pengli-
hatannya ketika pukulan jarak jauhnya berhasil di-
kandaskan. Malah tidak pantas disebut kandas, me-
lainkan lenyap begitu saja bagai tertelan tangan kanan
yang keluar dari kerimbunan pohon. Tidak terjadi ben-
turan tenaga dalam yang seperti biasanya terjadi.
Yang lebih gila lagi, tangan kiri yang mengarah
ke tubuh gadis berpakaian merah kelihatan bergetar
sesaat. Sabuk yang melilit tubuh gadis itu pun ter-
lepas. Kejadian ini lebih membuat Malisang kaget
Malisang bukan orang bodoh! Ia tahu sosok
yang bersembunyi di atas pohon memiliki kepandaian
sangat tinggi. Hanya dengan sebelah tangan ia mampu
menelan pukulan jarak jauhnya. Hebatnya lagi, pada
saat yang bersamaan ia mampu membebaskan gadis
berpakaian merah dari belenggu lilitan sabuknya. Sua-
tu tindakan yang Malisang sendiri tak akan mampu
melakukannya meski dengan kedua tangan. Membuka
ikatan lebih sulit daripada mengikatnya.
Yang lebih membuat Malisang yakin akan ke-
tangguhan sosok yang berada di atas pohon adalah
karena kedua tangan itu berasal dari satu orang. Ka-
rena gerakan itu dilakukan pada waktu yang bersa-
maan, sosok yang berada di atas pohon pasti membagi
tenaganya untuk memunahkan pukulan jarak jauh
dan melepaskan belenggu gadis berpakaian merah.
Jadi, tiap tangan mengandung separo dari pengerahan
tenaga dalamnya. Kalau separo saja mampu meneng-
gelamkan pukulan jarak jauhnya, bagaimana pula
dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya? Pikir Ma-
lisang. Maka setelah me-lempar pandangan gentar pa-
da sosok yang tersembunyi di balik pohon, lelaki ber-
kulit hitam legam ini melompat ke atas punggung ku-
da dan menggebahnya untuk segera meninggalkan
tempat itu.
•klt'k
"Kalau bukan seorang pengecut dan memang
memiliki maksud baik mengapa tidak turun dari atas
pohon...?!"
Gadis berpakaian merah yang merasa kagum
melihat Malisang yang demikian lihai lari ketakutan,
sengaja mengeluarkan ucapan pedas untuk memaksa
penolongnya keluar dari tempat persembunyian.
Gertakan gadis berpakaian merah ternyata
berhasil. Sesaat kemudian, dengan didahului helaan
napas berat, melayang turun sesosok bayangan yang
mendarat ringan bagai sehelai daun jatuh.
"Ah...!"
Gadis berpakaian merah tidak mampu mena-
han keterkejutannya melihat sosok di atas pohon yang
telah berdiri empat tombak di depannya. Sepasang
mata gadis itu membelalak lebar seperti tengah meli-
hat hantu.
Tentu saja tindakan gadis berpakaian merah
membuat sosok yang baru turun dari pohon kebin-
gungan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan di-
rinya? Sosok itu bertanya sendiri dalam hati. Barang-
kali ada sesuatu yang tanpa diketahui menempel di
wajah atau kepalanya? Kotoran atau sarang burung
barangkali?
Karena pandangan gadis itu sebagian besar di-
tujukan pada wajah dan kepalanya, sosok yang baru
turun dari atas pohon menggunakan kedua tangannya
untuk menyeka kepala serta wajahnya.
"Apa yang kau lakukan, Sobat?" Gadis berpa-
kaian merah merasa heran.
Pertanyaan ini menyadarkan penolong gadis
berpakaian merah kalau pada wajah dan kepalanya ti-
dak terdapat apa-apa. Dia telah salah duga.
"Hanya iseng saja, Nisanak. Bukankah lebih
baik mengusap-usap wajah dan kepala daripada aku
mengisap-isap jempol?" Untuk menutupi perasaan ma-
lunya, pemuda yang baru turun dari atas pohon dan
berambut putih keperakan itu mencoba berkelakar.
"Hi hi hi...!"
Gadis berpakaian merah tertawa lucu menden-
gar jawaban itu. Dia tahu bukan itu jawaban yang se-
benarnya. Tapi, dia tidak mempedulikannya dan tidak
bertanya lebih lanjut.
Pemuda berambut putih keperakan ikut terse-
nyum lebar. Apalagi gadis itu kelihatan geli sekali. Pe-
muda berambut putih keperakan tidak menduga kalau
tadi gadis berpakaian merah terkesima bukan karena
ada sesuatu pada wajah dan kepalanya. Tapi, karena
heran melihat orang yang telah menyebabkan Mali-
sang pergi adalah seorang yang masih sangat muda!
Tadi, gadis berpakaian merah menduga kalau yang
melompat turun adalah seorang kakek yang sudah
sangat tua, mengingat kesaktian yang dipertunjuk-
kannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Ka-
lau tidak ada kau mungkin aku telah celaka di tan-
gannya," ujar gadis berpakaian merah kemudian. "Ke-
nalkan namaku Pergiwa. Kau boleh memanggilku Gi-
wa. Asal jangan kau panggil aku dengan sapaan Pergi
saja. Aku tidak akan menoleh. Hi hi hi...
Pemuda berambut putih keperakan itu tertawa.
Bukan karena lelucon gadis berpakaian merah yang
bernama Pergiwa. Lelucon itu sama sekali tidak lucu.
Tapi, pemuda berambut putih keperakan tertawa ka-
rena melihat betapa gelinya Pergiwa tertawa. Pergiwa
tidak tahu hal itu. Gadis berpakaian merah itu men-
duga pemuda berambut putih keperakan tertawa ka-
rena leluconnya.
"Lupakanlah, Pergiwa." Pemuda berambut pu-
tih keperakan menyapa secara lengkap. "Tolong meno-
long sudah merupakan kewajiban setiap manusia. Ja-
di, tidak perlu dibesar-besarkan. Lagi pula hanya ke-
betulan aku lewat tempat ini. Karena aku tidak tahu
permasalahannya, aku menolong secara sembunyi-
sembunyi. Aku tidak mau mencari permusuhan den-
gan orang yang tidak mempunyai urusan denganku."
Pemuda itu memang baru saja tiba setelah me-
nunggu orang-orang yang disangkanya mengejar pe-
muda berpakaian kuning tua. Cukup lama ia menung-
gu sebelum akhirnya menempuh arah yang dituju pe-
muda berpakaian kuning. Dia melakukan perjalanan
seenaknya sehingga tiba di tempat ini dengan mema-
kan waktu cukup lama. Apalagi karena agak kesulitan
mengikuti jejak kuda yang sebagian besar telah hilang
akibat tiupan angin keras.
"Meskipun orang itu telah membunuh wanita
tua yang tidak bersalah?" Pergiwa meminta penegasan.
"Benarkah demikian?"
Pemuda berambut putih keperakan kelihatan
agak terkejut. Ia mengalihkan pandangannya ke arah
istri Pendekar Macan Putih yang tergolek tanpa nyawa
di tanah. Memang, pemuda tampan berwajah jantan
itu telah melihatnya. Hanya ia tidak tahu siapa yang
telah membunuhnya.
"Tentu saja!" tandas Pergiwa keras. "Kau kira
aku orang yang suka berbohong? Apakah aku tampak
seperti orang yang suka menipu orang?!"
"Tentu saja tidak!" jawab pemuda berambut
putih keperakan cepat, khawatir Pergiwa meledak
amarahnya. "Siapa pun yang melihatmu bisa segera
mengetahui kalau kau seorang wanita yang jujur. Kau
tidak terlihat mempunyai sifat pembohong. Apalagi ja-
hat dan sampai membunuh orang."
"Benarkah demikian?" Wajah Pergiwa berubah
cerah. Lenyap sudah bayang kemarahan dari wajah-
nya.
Pemuda berambut putih keperakan menahan
geli. Dia memasang wajah serius. Kepalanya diang-
gukkan.
"Kau pun baik. Maksudku... aku yakin kau
pun bukan orang jahat. Setidak-tidaknya demikian
perkiraan ku. Apakah... kau seorang pendekar yang
terkenal? O, ya. Aku belum mengetahui siapa nama-
mu. Kau curang! Sejak tadi kau belum memperkenal-
kan nama. Padahal, aku sudah memperkenalkan diri
sejak tadi."
Pemuda berambut putih keperakan hampir sa-
ja tidak kuat menahan rasa geli yang menggelitik ha-
tinya. Baru saja Pergiwa memujinya dengan mengata-
kan baik, tapi belakangan mengatakannya curang.
Siapa yang tidak merasa geli.
"Ayo! Cepat katakan siapa dirimu!" desak Per-
giwa tidak sabar.
5
"Namaku Arya Buana. Tapi, lebih baik kau
panggil aku Arya." Pemuda berambut putih keperakan
itu memperkenalkan diri dengan suara pelan.
"Arya...." Pergiwa mengulang nama itu seraya
mengernyitkan dahi. Ia tengah mengingat-ingat sesua-
tu.
Melihat sikap gadis berpakaian merah, pemuda
berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana
atau yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak ini
tahu tak lama lagi Pergiwa akan mengenal siapa di-
rinya. Gadis berpakaian merah ini jelas telah mengen-
al namanya.
Kekhawatiran pemuda itu memang tidak berle-
bihan. Sesaat kemudian kernyitan pada dahi yang ha-
lus itu lenyap. Wajah Pergiwa berseri-seri. Dengan se-
pasang matanya yang bening dan berbinar-binar, ga-
dis berpakaian merah ini menatap Arya lekat-lekat da-
ri ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepasang mata
itu lebih lama berhenti pada rambut dan pakaian
Arya. Kemudian, dengan sikap sungguh-sungguh Per-
giwa berjalan mengelilingi Arya. Ia berhenti di bela-
kang pemuda itu. Arya tahu apa yang dilakukannya.
Apalagi kalau bukan memperhatikan guci di pung-
gungnya.
"Sekarang aku tahu siapa dirimu, Arya," jawab
Pergiwa seraya menyunggingkan senyum lucu setelah
kembali berada di depan Arya. "Ciri-ciri mu sering se-
kali kudengar dari Guru. Beliau pernah bercerita ten-
tang seorang pendekar muda yang memiliki kepan-
daian amat tinggi. Ia telah merobohkan banyak penja-
hat-penjahat sakti! Orang itu berjuluk Dewa Arak!
Pasti kau Dewa Arak. Betul kan?!"
"Kalau boleh ku tahu siapa gurumu, Pergiwa?"
Arya berusaha mengalihkan pembicaraan karena dia
merasa tidak enak Pergiwa memuji-mujinya.
"Guruku berjuluk Harimau Terbang Berkuku
Seribu. Orang yang dicari-cari Malisang!" jawab Pergi-
wa kurang bersemangat. Ingatan tentang gurunya
mengingatkan dia akan kakak seperguruannya, Guna-
ran. Dia telah dijodohkan dengan Gunaran.
Semula Pergiwa tidak terlalu menganggap pus-
ing masalah perjodohan itu. Kakak seperguruannya
tampan, lihai, dan juga baik hati. Apalagi yang ku-
rang? Tapi sekarang setelah melihat Dewa Arak, Per-
giwa mulai ragu dan menyesalkan perjodohan itu. Di-
bandingkan dengan Dewa Arak, Gunaran sama sekali
tidak ada artinya. Gunaran kalah segala-galanya.
Dewa Arak tidak hanya unggul dalam kesak-
tian. Dalam ketampanan pun pemuda berambut putih
keperakan ini tidak kalah dengan Gunaran. Malah, ke-
tampanan Arya dianggap Pergiwa lebih menarik. Jan-
tan dan matang! Terlihat jelas kalau pemuda beram-
but putih keperakan itu telah kenyang dengan penga-
laman hidup. Sikapnya demikian tenang dan meya-
kinkan. Kebaikan Dewa Arak pun tidak kalah dengan
Gunaran. Pemuda di hadapannya ini telah menyum-
bangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghan-
curkan angkara murka yang merajalela di persada.
"Ada yang salah dengan ucapanku, Pergiwa?"
tanya Arya ingin tahu karena melihat gadis berpakaian
merah tercenung. Ia tampak kurang bersemangat.
"Ah...! Sama sekali tidak, Dewa Arak!" jawab
Pergiwa gugup. Gadis cantik itu berusaha tersenyum,
tapi terlihat janggal.
"Syukurlah!" Meski tahu Pergiwa berbohong
Dewa Arak tidak mendesak. "Aku sudah khawatir
ucapanku menyinggung perasaanmu. Dan, panggil sa-
ja aku Arya. Tidak usah Dewa Arak segala. Tidak enak
rasanya."
Pergiwa diam saja. Wajahnya masih terlihat
muram.
"Kau belum menceritakan mengapa kau ben-
trok dengan lelaki berkulit hitam legam tadi. Apakah
dia yang bernama Malisang? Tempat tinggalmu di sini?
Dan, apa hubungannya kau dengan wanita yang tewas
itu? Jawablah kalau kau mau menjawabnya, Pergiwa.
Kalau kau tidak ingin, lupakan saja pertanyaanku."
"Tidak ada yang rahasia, Arya. Jadi, kurasa ti-
dak ada salahnya kalau kuceritakan padamu. Aku
tinggal bersama guruku, Harimau Terbang Berkuku
Seribu dan kakak seperguruanku yang bernama Gu-
naran. Sebelum mempunyai murid kami, guruku telah
mempunyai dua orang murid yang telah cukup ter-
kenal di dunia persilatan. Mereka berjuluk Pendekar
Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam. Gunaran
adalah anak dari Pendekar Macan Putih."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah
mendengar julukan sepasang pendekar itu, yang ter-
kenal belasan tahun lalu sebagai pembela-pembela
kebenaran.
"Beberapa hari yang lalu Gunaran kedatangan
seorang kurir yang diutus ibunya. Entah apa yang ter-
jadi sehingga Gunaran dipanggil pulang. Aku yang
khawatir akan terjadi sesuatu segera menyusul Guna-
ran. Wanita yang tewas itu adalah ibunya Gunaran.
Sedangkan rumah ini tempat tinggal Gunaran dan ke-
luarganya. Aku tahu tempat ini karena Gunaran per-
nah menceritakannya. Sayang, aku terlampau bodoh
sehingga tidak mampu menyelamatkan nyawa ibunya
Gunaran. Bahkan kalau tidak ada kau, aku pun akan
tewas." Pergiwa menutup ceritanya dengan suara pe-
nuh rasa penyesalan.
Arya termenung sejenak memikirkan kejadian
itu. "Aku rasa ini ada hubungannya dengan Harimau
Terbang Berkuku Seribu. Bukankah Malisang, lelaki
yang tadi hendak membunuhmu, bermaksud mencari
Harimau Terbang Berkuku Seribu?!" Arya menyatakan
dugaannya.
"Mungkin saja." Pergiwa menjawab tidak pasti.
"Kalau begitu mari kita kuburkan ibunya Gu-
naran. Setelah itu baru menyelidiki penyebab peristi-
wa ini!" ajak Arya.
kkk
Usai menguburkan mayat ibunya Gunaran,
Arya dan Pergiwa meninggalkan tempat itu. Mereka
memutuskan untuk mengusut kejadian itu lewat Gu-
naran. Baik Arya maupun Pergiwa merasa yakin sebe-
lum meninggal ibunya Gunaran telah memberitahu-
kan sesuatu yang menyebabkan Gunaran di-panggil
pulang. Sesuatu itu yang telah mendorong Gunaran
pergi meninggalkan rumah.
Arya dan Pergiwa menggunakan ilmu lari cepat
agar dapat menyusul Gunaran. Mereka telah mempu-
nyai perkiraan ke mana Gunaran pergi, karena jalan
yang ada di depan rumah Gunaran hanya menuju ke
dua arah! Yang satu arah yang ditinggalkan, sedang-
kan yang lain arah kedatangan Malisang.
Mengetahui kepandaian Pergiwa tidak bisa di-
bandingkan dengan dirinya, Arya tidak mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Hanya sekadar
untuk membuat larinya bersisian dengan Pergiwa.
"Kau yakin wanita itu murid Harimau Terbang
Berkuku Seribu, Pasu?!"
Seruan tidak keras tapi bergema ke sekitar
tempat di mana Arya dan Pergiwa berada mengagetkan
sepasang muda-mudi itu. Saat itu Arya dan Pergiwa
berada di jalan setapak yang di kanan kirinya banyak
ditumbuhi pohon besar berdaun rim-bun.
"Aku yakin, Ayah. Bukankah setiap murid ka-
kek bongkok itu mempunyai ciri khusus? Kulihat di
punggung tangan kirinya tergambar kepala seekor ha-
rimau!"
Sebuah suara lain menyambuti. Sama seperti
sebelumnya, suara kedua ini pun sukar untuk diketa-
hui dari mana asalnya. Suara itu bagaikan muncul
dari segenap penjuru.
Arya dan Pergiwa menghentikan langkah. Me-
reka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lebih te-
patnya lagi, Arya yang mengedarkan pandangan se-
dangkan Pergiwa hanya mengikuti ke mana pemuda
berambut putih keperakan itu mengarahkan pandan-
gan.
"Kau tahu di mana mereka, Arya?" tanya Per-
giwa setelah melihat pemuda itu tidak segera menuju-
kan pandangannya ke satu arah. Pergiwa tidak meli-
hat apa pun kecuali pohon-pohon besar berdaun rim-
bun.
"Belum bisa kupastikan, Pergiwa. Yang jelas
mereka mengetahui tempat kita berada. Sedangkan ki-
ta tidak mengetahui tempat mereka. Celakanya lagi
mereka mengenalmu. Dan, tampaknya mempunyai
urusan dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu," bi-
sik Arya lirih.
"Aneh...!" Pergiwa berujar tanpa menyembunyi-
kan rasa herannya. "Aku tahu kau memiliki kepan-
daian tinggi. Bahkan guruku amat mengagumimu.
Mengapa kau tidak bisa mengetahui di mana pemilik
suara-suara itu berada, Arya?"
"Kalau kau telah terjun ke dunia persilatan se-
perti aku, tentu kau tidak akan menganggapku memi-
liki kepandaian tinggi. Asal kau tahu saja, Pergiwa. Di
dunia ini amat banyak tokoh-tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi, bahkan jauh lebih tinggi
daripada ku. Bukan tidak mungkin orang-orang yang
baru saja bersuara itu termasuk di antara tokoh-tokoh
yang lebih tinggi kepandaiannya dari aku!"
"Tidak mungkin!" bantah Pergiwa tidak per-
caya. "Kalau benar banyak tokoh persilatan yang me-
miliki kepandaian melebihi mu, sudah sejak lama kau
tewas, Dewa Arak! Kau terlalu merendah diri!"
"Lalu, bagaimana jawabmu mengenai ketidak-
tahuan ku akan keberadaan mereka yang tengah ber-
cakap-cakap itu?" pancing Arya ingin tahu.
Pergiwa membisu.
"Mungkin kau bisa memberitahukannya pada-
ku, Arya. Yang jelas aku tidak setuju dengan sikapmu.
Memiliki sifat sombong memang tidak baik, tapi terlalu
memandang tinggi lawan dan merendahkan diri terus
pun tidak bagus. Itu akan membuat nyali kita kecil!"
Arya tersenyum lebar mengetahui kebenaran
pendapat Pergiwa. Dia tidak memiliki nyali kecil.
Hanya hendak membuka kesadaran Pergiwa kalau di
dunia ini tidak hanya Dewa Arak saja tokoh yang pal-
ing sakti. Masih banyak tokoh-tokoh lainnya. Agar
nanti apabila Dewa Arak roboh di tangan salah satu
tokoh persilatan, Pergiwa tidak terlampau kaget yang
mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan. Dia mera-
sa bersyukur mendengar pendapat gadis berpakaian
merah itu.
"Aku banyak menjumpai hal-hal seperti ini,
Pergiwa. Memang tidak selalu orang yang dapat mem-
buat sumber suaranya tidak diketahui memiliki ke-
pandaian tinggi. Tapi, yang jelas dia memiliki kepan-
daian luar biasa. Setidak-tidaknya tenaga dalam yang
dimilikinya amat kuat. Cara dia menyampaikan se-
ruan tadi menggunakan ilmu memindahkan suara,
sehingga suaranya seperti berasal dari delapan penju-
ru angin."
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang benar-
benar lihai, Dewa Arak! Berita yang kudengar menge-
nai kesaktianmu ternyata tidak berlebihan. Buktinya
kau tahu ilmu yang kupergunakan!" sambut suara
pertama yang tadi terdengar.
"Tidak usah banyak bicara!" Pergiwa segera
menyambuti, mendahului Dewa Arak. "Kalau kau me-
mang bukan seorang pengecut tunjukkan dirimu!"
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Wanita
Liar!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, terdengar
bunyi berkerosokan dari sebatang pohon besar yang
berada di sebelah kanan Arya dan Pergiwa. Sesaat
kemudian, dua sosok bayangan melesat ke bawah dan
menjejak tanah tanpa menimbulkan bunyi.
Arya dan Pergiwa segera memperhatikan dua
sosok tubuh itu. Seorang kakek yang telah sangat tua.
Usianya tak kurang dari seratus tahun. Tubuhnya te-
lah bungkuk, meski terlihat agak kekar untuk ukuran
seorang kakek. Rambut kumis, alis, dan jenggotnya te-
lah memutih! Sepintas lalu kakek ini tidak menimbul-
kan kesan menyeramkan. Apalagi tegak tubuh bong-
koknya karena ditunjang sebatang tongkat pada tan-
gan kanan.
Sosok kedua lebih menimbulkan keangkeran
bagi orang yang melihatnya. Tubuhnya tinggi besar.
Pakaiannya berupa rompi coklat. Kulit wajahnya me-
rah. Sekujur tangan dan dadanya yang tidak ter-tutup
rompi dipenuhi bulu-bulu hitam lebat
Berbeda dengan Pergiwa, Arya tahu kakek
bongkok itu jauh lebih berbahaya daripada lelaki be-
rompi coklat yang mungkin berusia tujuh puluh ta-
hun. Pemuda berambut putih keperakan itu pun me-
musatkan perhatian pada kakek bongkok.
"Akhirnya kalian berani menunjukkan hidung
juga! Jangan kalian kira dengan demikian aku akan
menganggap kalian tidak bersikap pengecut. Aku tahu
kalian merasa terpaksa memunculkan diri. Malu kare-
na takut kami anggap pengecut bukan? Padahal, ka-
lian memang tak lebih dari pengecut-pengecut keji!"
Tajam dan pedas bukan main kata-kata Pergi-
wa. Gadis berpakaian merah ini memang memiliki ke-
beranian yang besar. Tidak takut akan akibat apa
pun. Yang diperbuatnya hanya satu, mengeluarkan
perkataan semuanya tanpa dipikir. Arya sendiri yang
tidak menduga hal itu kaget bukan main mendengar-
nya. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan
ini menyesalkan sikap Pergiwa yang ceroboh. Pergiwa
terlalu berani. Padahal, Arya tahu dua tokoh yang
berdiri di depannya ini tokoh-tokoh tingkat atas. Tapi,
apa daya? Nasi telah menjadi bubur. Ucapan telah di-
keluarkan. Tak mungkin ditarik kembali. Yang dapat
mereka lakukan hanya menanti akibatnya.
Arya semakin bersikap waspada ketika melihat
pembahan pada wajah kedua lelaki di hadapannya.
"Iiih...!"
Pergiwa sendiri tanpa sadar mengeluarkan pe-
kikan tertahan ketika melihat kakek bongkok yang se-
jak tadi menatap ke bawah seperti mencari sesuatu
mengangkat kepalanya. Gadis berpakaian merah ini
melihat sepasang mata yang mencorong tajam, seperti
mata harimau dalam gelap! Hijau dan menyilaukan!
Pergiwa sampai melangkah mundur setindak
karena kagetnya. Sedangkan Arya yang sejak tadi ber-
siap siaga makin mempertebal kewaspadaannya. Sinar
sepasang mata yang mencorong kehijauan dan seperti
itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalamnya yang
luar bisa.
"Sungguh berani kau mengeluarkan ucapan
seperti itu, Wanita Liar!" Pelan dan satu persatu kakek
bongkok mengeluarkan kata-katanya. Tapi yang mem-
buat hati Arya berdebar tegang adalah karena tidak
terlihat bibir kakek itu bergerak! Padahal, suara yang
keluar terdengar jelas. Meski tidak terlalu keras, tapi
getarannya sampai ke dada.
"Padahal, gurumu sendiri tak akan berani ber-
kata seperti ini! Malah, sejak puluhan tahun dia ber-
sembunyi dariku. Kalau kau tidak mau memberi pe-
tunjuk di mana dia berada, jangan harap kau akan se-
lamat dari tanganku! Ingin kulihat apa yang bisa di-
perbuat Dewa Arak untuk menyelamatkanmu!"
"Kakek bongkok tidak tahu malu!" Pergiwa
yang tidak mudah digertak, menjadi semakin meluap
amarahnya. "Orang seusia kau seharusnya sudah ti-
dak memikirkan kekerasan lagi. Hidup tenang sambil
menimang-nimang cucu!"
"Mulutmu semakin kurang ajar, Wanita Liar!
Biarlah aku yang mewakili gurumu untuk menghan-
curkan mulutmu!"
Usai berkata demikian, kakek bongkok mengu-
lurkan tangan kanannya bergerak hendak mencengke-
ram mulut yang memiliki bibir indah itu. Jarak antara
kakek bongkok dengan Pergiwa tak kurang dari satu
tombak. Tapi, tangan kakek bongkok ternyata dapat
mulur dan terus mengancam mulut Pergiwa.
Pergiwa tentu saja tidak membiarkan mulutnya
diremas hancur. Dia bersiap hendak melompat ke be-
lakang ketika melihat tangan kakek bongkok bisa mu-
lur. Tapi, sebelum gerakan itu dilakukan, gadis berpa-
kaian merah ini melihat jari telunjuk kiri kakek bong-
kok menjentik perlahan. Sesaat kemudian, Pergiwa
merasakan sekujur tubuhnya lemas. Jalan darahnya
telah tertotok. Ini menyebabkan ia hanya bisa menanti
tibanya serangan dengan sepasang mata membelalak
ngeri. Sungguh tidak disangka kakek bongkok ini de-
mikian lihai. Ingin Pergiwa menjerit minta tolong pada
Dewa Arak, tapi suaranya seperti tercekik di tenggoro-
kan!
"Jangan terlalu kejam terhadap seorang muda,
Kek." Arya yang memiliki mata tajam dan tahu Pergiwa
tidak berdaya segera membuka suara. Dengan berani
pemuda berambut putih keperakan ini memapaki lun-
curan tangan kakek bongkok dengan hantaman tan-
gan kanan. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya.
Prattt!
Tubuh kedua belah pihak terhuyung ke bela-
kang akibat benturan keras itu. Dewa Arak dua lang-
kah lebih jauh terhuyungnya dari kakek bongkok.
Kenyataan ini sangat mengejutkan Arya. Me-
mang sudah dapat diduga kakek bongkok ini memiliki
tenaga dalam luar biasa mengingat umurnya yang su-
I dah sangat lanjut. Paling tidak kekuatan tenaga dalam
telah dihimpun hampir seratus tahun! Sedangkan
Arya tidak sampai dua puluh tahun.
Meski demikian, Arya sungguh tidak menyang-
ka akan sedahsyat ini tenaga dalam yang dimiliki ka-
kek bongkok. Benturan yang terjadi membuat tangan
Arya kesemutan dan seperti lumpuh!
"He he he...!"
Kakek bongkok terkekeh, mulutnya yang su-
dah ompong dan tidak bergigi lagi terbuka lebar.
"Hanya sampai di Situ sajakah kemampuan
yang kau miliki, Dewa Arak? Kali ini kau akan tewas
di tanganku. He he he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, kakek bongkok
melakukan gerakan mendorong dengan tangan kanan.
Dari telapak tangan yang terbuka itu meluncur se-
rangkum angin keras ke arah dada Dewa Arak.
Arya tidak berani bertindak sembrono. Berge-
gas ia melompat menghindar seraya tak lupa memba-
wa tubuh Pergiwa ke tempat yang aman dan membe-
baskan totokannya.
"Hati-hati, Pergiwa," demikian bisikan yang di-
berikan oleh pemuda berambut putih keperakan itu
sebelum melompat menjauhi Pergiwa, khawatir gadis
berpakaian merah itu akan terkena serangan nyasar.
Tahu kalau lawan yang dihadapinya bukan
orang sembarangan, Dewa Arak segera menggunakan
I ilmu andalan 'Belalang Sakti'! Dengan ilmu itu amu-
kan kakek bongkok dihadapinya.
Pada awalnya Dewa Arak tidak berani mema-
pah serangan-serangan lawan. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini hanya berlompatan ke sana kemari
menghindar. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-
huyung ketika angin pukulan jarak jauh kakek bong-
kok lewat di dekatnya.
Sambil terus berlompatan, Dewa Arak memutar
benaknya. Pemuda berambut putih keperakan itu
memikirkan cara untuk menangkal serangan lawan.
Memapaki dengan kekerasan hanya akan merugikan
dirinya karena tenaga dalam kakek bongkok jelas be-
rada di atasnya. Tapi, mengelak terus-menerus pun ti-
dak baik. Bukan tidak mungkin akhirnya ia akan ter-
kena serangan-serangan lawan yang demikian gencar.
Semula Dewa Arak bermaksud menguras tena-
ga dalam lawan. Dia tahu serangan jarak jauh banyak
menguras tenaga. Tapi, dugaan pemuda berambut pu-
tih keperakan ini keliru. Kakek bongkok meski telah
belasan kali melancarkan pukulan jarak jauh tidak
terlihat lelah. Bahkan, serangan-serangannya semakin
bertubi-tubi.
Melihat kenyataan ini, Arya segera tahu kakek
bongkok agaknya telah mengkhususkan diri menda-
lami ilmu pukulan jarak jauh. Sehingga, meski sering
digunakan tidak berpengaruh buruk terhadapnya.
Bahkan, mungkin ilmu pukulan jarak jauh merupa-
kan ilmu simpanannya.
Yang membuat Dewa Arak semakin kagum
adalah tenaga dalam kakek bongkok seperti tidak per-
nah habis. Pukulan-pukulannya pun tidak pernah di-
lancarkan dengan menggunakan kedua tangan, me-
lainkan dengan satu tangan tapi silih berganti. Dewa
Arak jadi kewalahan karena tidak mempunyai kesem-
patan untuk melancarkan serangan.
Beberapa kali, di waktu mempunyai kesempa-
tan baik, Dewa Arak melancarkan serangan balasan.
Tapi, selalu kandas karena di sekeliling tubuh kakek
bongkok seperti ada dinding kasat mata yang mem-
buat serangannya tidak dapat mengenai tubuh kakek
itu.
Akibatnya, sejak pertarungan terjadi Dewa
Arak hanya bisa bermain kucing-kucingan.
Kenyataan ini membuat kesabaran Dewa Arak
hampir habis. Ternyata perasaan yang sama pun me-
landa hati kakek bongkok.
"Ternyata julukan Dewa Arak yang terkenal
hanya kabar bohong belaka! Apakah tidak ada cara
lain yang bisa kau lakukan selain bermain kucing-
kucingan seperti ini, Dewa Arak?!"
Ejekan kakek bongkok bagaikan minyak yang
disiramkan ke api. Dewa Arak yang memang sudah
hampir habis kesabaran jadi semakin kalap. Berun-
tung, akal sehatnya masih menahannya untuk tidak
bertindak gegabah.
Sebagai seorang pemuda yang telah kenyang
pengalaman, Dewa Arak menyadari kalau kakek bong-
kok itu memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat
tapi usia tua tidak dapat dikalahkannya.
Kakek bongkok itu akan cepat lelah dan tidak
memiliki napas panjang. Urat-uratnya pun tidak se-
kuat orang yang masih muda. Jelas, kakek bongkok
itu akan sukar untuk bergerak lincah. Apalagi mem-
buru Dewa Arak yang memiliki ilmu mukjizat 'Belalang
Sakti' dengan ilmu jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Selain Dewa Arak dan kakek bongkok ternyata
masih ada orang lain yang tidak sabar menyaksikan
jalannya pertarungan. Orang itu adalah kakek berkulit
muka merah.
"Ayah, biarlah aku yang menangkap gadis liar
itu!"
Tanpa menunggu tanggapan kakek bongkok
yang menjadi ayahnya, kakek bermuka merah me-
langkah lebar menghampiri Pergiwa.
Pergiwa agak panik melihatnya. Pengalaman
dengan kakek bongkok membuatnya sadar kalau ke-
pandaian yang dimilikinya hampir tidak berarti. Rasa
percaya dirinya berkurang. Maka, ketika kakek ber-
muka merah yang memiliki perbawa angker meng-
hampirinya, Pergiwa menjadi gugup. Meski demikian,
gadis berpakaian merah ini tidak kehilangan akal un-
tuk menyelamatkan diri.
"Tidak tahu malu! Pengecut hina! Apakah kau
hanya berani terhadap seorang gadis muda? Kalau
kau berani, nanti hadapi Dewa Arak setelah pendekar
perkasa itu mengalahkan ayahmu yang ringkih! Tentu
saja kalau kau takut terhadapnya dan kau memang
berwatak pengecut, aku tidak bisa berkata apa-apa!"
Langkah kakek bermuka merah terhenti. Wa-
jah putra kakek bongkok itu jadi semakin merah. Per-
giwa memang ahli dalam hal memaki-maki orang. Se-
kali ucap saja, gadis berpakaian merah itu menyebut
kata-kata pengecut beberapa kali! Makian ini mem-
buat kakek bermuka merah bimbang. Tapi hal itu ti-
dak berlangsung lama. Kakek bermuka merah kembali
mengayunkan langkah menghampiri Pergiwa.
Pergiwa tahu makiannya tidak manjur lagi.
Maka, tanpa berani menunggu lebih lama, tangan ka-
nannya segera dimasukkan ke dalam buntalan kecil
yang berada di selipan ikat pinggangnya. Pergiwa
mengambil senjata-senjata rahasianya yang berupa ja-
rum-jarum tajam!
"Hih!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang
dilemparkan Pergiwa. Ketika dilepaskan jarum-jarum
itu bergerombolan, tapi di pertengahan jalan mereka
memisahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri-
sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah
mematikan.
"Hmh.J"
Kakek bermuka merah mendengus. Ia meman-
dang remeh serangan Pergiwa.
"Permainan seperti ini kau pertunjukkan pada
Iblis Muka Merah?!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang
dilemparkan Pergiwa. Ketika dilepas, jarum-jarum itu
bergerombolan. Tapi di pertengahan jalan mereka me-
misahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri-
sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah me-
matikan!
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, ka-
kek bermuka merah yang mengaku berjuluk Iblis Mu-
ka Merah mendorong kedua tangannya terbuka ke de-
pan. Tampak kedua tangan itu bergetar ketika Iblis
Muka Merah mengerahkan tenaga dalam. Sesaat ke-
mudian, pemandangan yang menakjubkan pun terja-
di.
Benar-benar menakjubkan! Bahkan, sepasang
mata Pergiwa terbelalak heran. Gadis berpakaian me-
rah ini tidak percaya akan pemandangan yang ter-
pampang di hadapannya. Jarum-jarum tersedot ke
arah kedua tangan yang dijulurkan itu. Jarum-jarum
yang telah berpencar mencari sasaran serangan sendi-
ri-sendiri mendadak meluncur ke satu arah, menuju
kedua telapak tangan Iblis Muka Merah yang terbuka.
Tapi, sebelum jarum-jarum itu menembus tela-
pak tangan Iblis Muka Merah, kedua tangan yang diju-
lurkan itu bergetar keras. Jarum-jarum Pergiwa seka-
rang berbalik arah menyerbu pemiliknya sendiri!
Pergiwa tidak mau mencari penyakit. Buru-
buru dia melompat ke samping kanan. Tapi, betapa
kaget gadis berpakaian merah itu melihat jarum-jarum
beracun tetap meluncur ke arahnya. Jarum-jarum itu
seperti mempunyai nyawa. Mereka mengejar Pergiwa.
Jarum-jarum itu meluncur mengikuti arah gerakan
tangan Iblis Muka Merah!
Pergiwa bersalto beberapa kali di udara setelah
melempar tubuhnya ke belakang. Begitu kedua ka-
kinya menjejak tanah dilihatnya jarum-jarum itu ma-
sih meluncur ke arahnya. Padahal, gadis berpakaian
merah ini telah berada cukup jauh.
Kenyataan ini menyadarkan Pergiwa kalau
mengelak tidak berguna sama sekali. Tindakan itu
hanya akan menyebabkan dirinya terus dikejar jarum-
jarum itu. Maka, kali ini Pergiwa tidak mengelak lagi.
Dengan modal nekat, gadis berpakaian merah itu men-
julurkan kedua tangannya. Dia bermaksud mencegah
laju jarum-jarum dengan tenaga dalamnya.
Pergiwa mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Gerakan jarum-
jarum itu tertahan. Dan terhenti sama sekali bagai ada
tangan tak nampak yang menahan lajunya.
Namun hal itu hanya berlangsung sebentar sa-
ja. Begitu Iblis Muka Merah menambah kekuatan te-
naga dalamnya, jarum-jarum itu bergerak kembali ke
arah Pergiwa dengan kecepatan lebih lambat.
Pergiwa menggertakkan gigi dalam usahanya
mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncak. Kenda-
ti demikian, usahanya boleh dibilang tidak membua-
hkan hasil. Jarum-jarum itu terus meluncur ke arah-
nya. Bahkan lebih cepat ketika Iblis Muka Merah me-
nambah sedikit tenaganya.
Keadaan Pergiwa yang terdesak hebat tidak lu-
put dari perhatian Dewa Arak. Memang, meski tengah
sibuk menghadapi hujan serangan lawan, Dewa Arak
tidak lengah terhadap nasib Pergiwa. Beberapa kali
pemuda berambut putih keperakan ini mengerling ke
arah Pergiwa.
Dewa Arak tahu Pergiwa telah bermain api!
Adu tenaga dalam antara Pergiwa dan Iblis Muka Me-
rah hanya akan berakhir apabila salah satu di antara
mereka tewas. Apabila perbedaan tenaga dalam kedua
orang itu tidak terlampau jauh mungkin yang kalah
I hanya akan terluka parah. Padahal, Dewa Arak tahu
pasti Iblis Muka Merah memiliki tenaga dalam jauh di
atas Pergiwa. Dengan kata lain, Pergiwa pasti akan ce-
laka!
Dewa Arak tidak menginginkan Pergiwa tewas.
Maka begitu mendapat kesempatan mengelakkan se-
rangan kakek bongkok, pemuda berambut putih kepe-
rakan itu mengirimkan pukulan jarak jauh dengan
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang' memapaki
jarum-jarum yang semakin mendekati tubuh Pergiwa.
Bresss!
Bunyi letupan tertahan terdengar. Pukulan ja-
rak jauh Dewa Arak menumbuk jarum-jarum yang
tengah dipermainkan dua kekuatan tenaga dalam.
Benturan itu menyebabkan jarum-jarum berpentalan
dan melenyapkan dua tenaga dalam yang telah saling
melekat
"Uh...!"
Iblis Muka Merah maupun Pergiwa mengelua-
rkan keluhan ketika tubuh mereka terhuyung-huyung
ke belakang.
Dewa Arak tanpa membuang waktu segera me-
lesat menyambar tubuh Pergiwa dan berlari secepat
mungkin meninggalkan tempat itu. Iblis Muka Merah
tidak tinggal diam. Bergegas dia melesat mengejar. Ta-
pi, baru beberapa tindak kakinya langsung dihentikan
ketika mendengar seruan mencegah.
"Tidak usah dikejar! Kita masih mempunyai
urusan yang lebih penting! Membunuh seorang seperti
Dewa Arak dapat dilakukan belakangan!"
Iblis Muka Merah tidak membantah. Tubuhnya
dibalikkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu
mengikuti langkah kakek bongkok.
"Kau yakin akan dapat menemukan tempat ke-
diaman Harimau Terbang Berkuku Seribu, Ayah?"
tanya Iblis Muka Merah tidak yakin.
"Selama wanita liar itu belum meninggalkan je-
jaknya selama tujuh hari, bekas perjalanan yang dila-
luinya akan bisa ku telusuri. Dan, tempat tinggal Ha-
rimau Terbang Berkuku Seribu pun akan dapat kita
temukan!"
Iblis Muka Merah mengangguk-anggukkan ke-
pala. Entah apa arti anggukkannya. Hanya kakek ber-
kulit merah itu sendiri yang mengetahuinya.
Gunaran mengernyitkan alis. Heran melihat
suasana lengang yang meliputi bagian dalam bangu-
nan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Daun
pintu gerbang terkuak sedikit. Dari celah-celah itu
pemuda berpakaian kuning tua mengintai. Tidak di-
jumpainya seorang pun di dalam halaman yang luas
dan di bagian depan bangunan.
Gunaran mulai merasa ragu akan kebenaran
berita yang didapatnya. Benarkah ini tempat tinggal
Pendekar Macan Hitam dan anaknya yang dikuasai
oleh Gerombolan Serigala Belang? Kalau benar demi-
kian, mengapa kelihatan demikian sepi? Bukankah
menurut para penduduk yang tinggal tidak jauh dari
tempat ini Gerombolan Serigala Belang berjumlah cu-
kup banyak. Apakah ayahnya, Pendekar Macan Putih,
telah membasmi mereka semua?
Setelah tercenung beberapa saat lamanya di
depan pintu gerbang, Gunaran memutuskan untuk
masuk ke dalam. Dengan hati-hati dan penuh sikap
waspada, pemuda berpakaian kuning tua melangkah
perlahan. Urat-urat sarafnya saat itu menegang siap
menghadapi kemungkinan yang tidak diharapkan.
Tapi, kehati-hatian Gunaran ternyata tidak be-
ralasan. Tidak terjadi apa pun yang dikhawatirkannya.
Bahkan, ketika dia telah melewati pintu gerbang. Ma-
lah pemandangan tak terduga yang menyambutnya di
halaman depan, tepat di balik pintu gerbang. Mayat-
mayat bergelimpangan dalam keadaan mengenaskan.
Semuanya sudah tidak memiliki daging lagi. Tinggal
tulang-tulang. Lebih jelasnya lagi kerangka manusia!
Gunaran sampai bergidik melihat pemandan-
gan ini. Benaknya menduga-duga. Makhluk apakah
yang telah memakan habis bagian tubuh mayat-mayat
itu?
Di saat Gunaran tengah kebingungan terden-
gar jeritan menyayat hati. Jeritan kesakitan. Asalnya
dari bagian belakang. Tanpa menunggu lebih lama
Gunaran segera melesat ke belakang. Sikap hati-hati
membuat pemuda berpakaian kuning tua ini kendati
tengah tergesa-gesa tidak meninggalkan kewaspa-
daannya.
Jantung Gunaran berdetak lebih cepat ketika
melihat sebuah bangunan kecil yang terletak agak
jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Dari sinilah
suara jeritan menyayat itu berasal. Dengan langkah
semakin hati-hati pemuda itu melangkah mendekati
pintu.
Sungguh suatu hal yang kebetulan. Daun pin-
tu itu memiliki lubang sebesar ibu jari tangan. Melalui
lubang ini Gunaran mengintip ke dalam. Seketika hati
pemuda berpakaian kuning tua ini tercekat ketika me-
lihat pemandangan di dalam ruangan yang tidak be-
sar.
Pemandangan yang terlihat Gunaran sungguh
mengejutkan. Terlebih berada di tempat yang me-
mungkinkan untuk dilihat jelas.
Di salah satu sisi dinding bangunan tampak
menempel sesosok tubuh berkulit hitam kecoklatan
dan berkumis tebal melintang. Sosok yang usianya tak
kurang dari empat puluh lima tahun ini bertelanjang
dada. Pakaiannya yang berwarna putih dengan garis-
garis hitam teronggok di lantai.
Semula Gunaran mengira sosok itu bersandar
di dinding. Ternyata tidak. Ia ditempelkan di dinding
dengan kedua tangan terentang ke samping dan kaki
agak terpentang. Pada telapak tangan dan kakinya di-
pakukan sebatang pisau yang merah membara! Pisau
yang telah digarang di api panas.
Pemandangan ini saja mungkin tidak akan
membuat Gunaran terlalu ngeri. Ada pemandangan
lain yang membuat pemuda berpakaian kuning ini
bergidik. Pada sekujur tubuh telanjang itu menempel
ulat-ulat bulu yang dikenal Gunaran sebagai ulat yang
gatal bukan main. Ulat-ulat itu berwarna hitam, ber-
bulu lebar, dan berjumlah tak kurang dari dua puluh
ulat. Mereka berkeliaran ke sana kemari. Lelaki ber-
kumis melintang menggeliat-geliat dan menjerit-jerit
tersiksa perasaan gatal yang bukan main!
"Hik hikhik...!"
Tawa merdu seorang wanita muda, tapi dengan
nada yang membuat bulu kuduk merinding, terdengar
dari sudut lain. Wanita berwajah cantik dengan ben-
tuk tubuh menggiurkan. Sayang, memiliki wajah be-
ringas dan sinar mata yang menyiratkan kekejaman.
Wanita itu berpakaian hijau. Gunaran seperti
pernah melihat wajah itu. Hanya dia lupa kapan dan
di mana.
"Serigala Belang! Bagaimana rasanya menjadi
orang yang kalah? Nikmat bukan? Ah...! Sekarang aku
baru mengerti mengapa dulu jeritan dan rintihanku
I sedikit pun tidak kau pedulikan. Ternyata jeritan dan
rintihan itu nikmat didengar."
Gunaran terperanjat begitu mendengar lelaki
berkumis tebal yang tengah disiksa itu adalah Serigala
Belang, orang yang hendak dibunuh ayahnya. Serigala
Belang ternyata masih hidup! Lalu, ke mana ayahnya?
Pertanyaan itu menimbulkan kekhawatiran di hati
Gunaran. Kalau ayahnya telah bertemu dengan Seri-
gala Belang dan tokoh sesat itu masih hidup, hanya
ada satu kemungkinan, ayahnya telah tewas di tangan
Serigala Belang. Dugaan ini membuat Gunaran geli-
sah.
Seruan wanita berpakaian hijau yang usianya
tak lebih dari dua puluh tahun membuat Gunaran
memperhatikan lelaki berkumis tebal yang berjuluk
Serigala Belang. Tokoh sesat ini tampak tersiksa seka-
li. Ulat-ulat itu memang dahsyat. Gatal dan lagi men-
gisap darah, meski hanya sedikit
"Kurasa siksaan yang kau alami belum seband-
ing dengan derita yang kuterima, Serigala Belang. Apa-
lagi jika kuperhitungkan dengan nyawa ayahku, Pen-
dekar Macan Hitam yang harus kau bayar. Siksaan
seperti ini tidak berarti sama sekali. Aku punya per-
mainan lain yang lebih menarik!"
Wanita berpakaian hijau yang ternyata putri
Pendekar Macan Hitam yang bukan lain Arum Sari,
mengambil sebuah cambuk lemas yang ujung-
ujungnya dipasangi paku-paku berkarat berwarna ke-
hijauan, pertanda telah dialiri racun.
Wanita berpakaian hijau itu masih duduk ber-
sila. Dengan tenang, cambuk itu dilecutkan secara
sembarangan. Cambuk pun melayang ke arah Serigala
Belang dan menghantam tubuhnya dengan telak. Un-
niknya, cambuk itu bagai dilekukkan dengan tangan.
Menghantam dada Serigala Belang dengan ujungnya
yang penuh dipasang paku! Serigala Belang meraung
menyayat hati. Lecutan cambuk membuat darah men-
gucur karena dagingnya terkoyak. Bersamaan dengan
itu rasa gatal serta panas yang luar biasa langsung
melanda.
Dalam cekaman rasa sakit dan gatal Serigala
Belang meronta-ronta. Tapi, karena sekujur tubuhnya
telah tidak bertenaga, hanya geliatan lemah yang
mampu dilakukannya.
Tindakan Arum Sari terus berlanjut. Gadis
berpakaian hijau itu mengulurkan tangan kanan ke
depan dan menggetarkan cambuknya yang masih be-
rada di udara. Cambuk itu melayang kembali ke ba-
gian tubuh lain dari Serigala Belang. Lelaki itu me-
raung kesakitan. Begitu seterusnya. Sementara ulat-
ulat hitam terus berpesta-pora. Binatang-binatang itu
tidak merasa terganggu sama sekali. Cambuk itu tidak
menghantam mereka, menyentuh sedikit pun tidak.
Semua itu telah diatur oleh Arum Sari.
Gunaran hanya bisa menatap dengan sepasang
mata terbelalak. Apalagi setelah mendengar perkataan
gadis berpakaian hijau. Dia sekarang ingat siapa wani-
ta berpakaian hijau. Dia adalah Arum Sari, putri Pen-
dekar Macan Hitam.
Ingat akan Arum Sari, Gunaran merasakan
jantungnya berdetak kencang. Gurunya pernah berce-
rita tentang Arum Sari. Beliau menasihati agar bila
bertemu dengan Arum Sari supaya bersikap hati-hati.
Apabila Arum Sari memiliki watak jahat, Gunaran ha-
rus segera pulang memberitahukan Harimau Terbang
Berkuku Seribu. Barangkali saja Arum Sari dapat dis-
elamatkan!
Gunaran yang telah mengenal Arum Sari di
waktu kecil tentu saja tidak menginginkan gadis itu
menjadi orang jahat. Harimau Terbang Berkuku Seri-
bu pernah sedikit menyinggung kalau Arum Sari se-
benarnya tidak ingin berlaku jahat. Gadis berpakaian
hijau itu bertindak demikian karena pengaruh dari da-
lam tubuhnya. Karena itu, Gunaran bermaksud mem-
beritahukan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Bu-
kankah gurunya akan mengobati gadis berpakaian hi-
jau itu?
Gunaran terlalu terburu-buru bertindak. Dia
memandang enteng Arum Sari. Ketika baru saja berla-
ri meninggalkan daun pintu, pemuda berpakaian kun-
ing tua ini hampir terlonjak saking kagetnya menden-
gar bentakan nyaring yang menggetarkan jantung.
"Manusia tidak tahu diri dari mana yang berani
mengintai kesenanganku? Jangan harap kau dapat lo-
los dari tanganku!"
Gunaran mengenal betul suara Arum Sari ka-
rena tadi telah mendengarnya. Dan, Gunaran tidak in-
gin terlibat keributan dengan Arum Sari. Ia tidak
mempedulikan seruan itu dan terus berlari.
***
Di dalam bangunan, sehabis mengeluarkan
bentakan dan tahu pengintai itu tidak kembali, Arum
Sari menjadi beringas. Sekali tangan kirinya dijulur-
kan ke depan dan disentakkan, cambuk yang masih
melayang-layang, di atas tubuh Serigala Belang mele-
sat keluar dengan kecepatan mengagumkan.
Brakkk!
Daun pintu hancur berantakan ketika cambuk
berujung paku itu menghantam keras. Kemudian,
cambuk melesat keluar secepat kilat. Arum Sari ter-
paksa menggunakan kedua tangannya untuk men-
gendalikan cambuk itu. Kedua tangannya yang kekar
dan berotot dijulurkan ke depan dan digetarkan penuh
pengerahan tenaga!
Arum Sari yang sekarang memang berbeda
dengan Arum Sari beberapa hari yang lalu. Arum Sari
yang dulu biar dibantu ayahnya, Pendekar Macan Hi-
tam, tidak akan mampu mengungguli Serigala Belang.
Sedangkan bagi Arum Sari sekarang Serigala Belang
sama sekali tidak ada artinya!
Arum Sari mendapat kemajuan pesat Tidak
hanya kepandaian, tapi juga tenaga dalam! Karena itu,
gadis berpakaian hijau ini mampu mengendalikan
cambuk dari jauh dengan mempergunakan tenaga da-
lamnya.
Luncuran cambuk terdengar oleh Gunaran
yang mempunyai telinga tajam. Ketika menengok pe-
muda berpakaian kuning tua itu kaget bukan main, ia
melihat cambuk melayang mengejarnya, sedangkan
Arum Sari telah duduk di ambang pintu yang daunnya
hancur berantakan.
Gunaran yang memang tidak ingin meladeni
keinginan Arum Sari menggertakkan gigi dan menam-
bah kecepatan larinya. Dalam sekejap saja cambuk
berujung paku milik Arum Sari tertinggal jauh.
Arum Sari menggeram menahan marah. Dia
tahu kalau tetap bersikeras menggunakan cambuk-
nya, Gunaran akan berhasil kabur. Maka, dengan
mengibaskan kedua tangannya Arum Sari melayang
ke depan mengejar Gunaran! Kedudukan tubuh Arum
Sari masih dalam keadaan bersila.
Gunaran yang tengah asyik-asyiknya berlari
agak terkejut ketika merasakan hembusan angin di
dekatnya. Tapi dia tidak ambil peduli. Dan, terus ber-
lari.
Gunaran baru memperlambat larinya ketika
melihat sesosok tubuh telah berada di depannya, ma-
sih dalam keadaan melayang dan memunggunginya.
Sosok tubuh berpakaian hijau dalam keadaan duduk
bersila! Siapa lagi kalau bukan Arum Sari.
Karena jalan keluar telah dihadang, Gunaran
terpaksa menghentikan langkah. Pemuda berpakaian
kuning tua ini tidak merasa gentar sedikit pun kendati
tahu kepandaian Arum Sari sungguh luar biasa. Ke-
nyataan kalau Arum Sari mampu menyusul larinya
menunjukkan ilmu meringankan tubuh Arum Sari be-
rada di atasnya. Padahal, Arum Sari tidak menggerak-
kan kaki!
Ketidakgentaran sikap Gunaran di samping ka-
rena memang wataknya sebagai seorang gagah juga
karena Arum Sari bukan orang yang pantas untuk di-
takuti. Gunaran telah pernah bertemu dengan Arum
Sari sewaktu mereka masih kecil. Arum Sari seorang
gadis cilik yang menyenangkan. Perasa dan mudah
kasihan terhadap sesuatu. Jangankan membunuh
orang, membunuh tikus pun rasanya Arum Sari tidak
akan sampai hati.
Gunaran membelalakkan mata melihat Arum
Sari menjejakkan kaki di tanah hanya dengan menu-
runkan kedua kakinya dari lipatan. Gadis berpakaian
hijau itu kemudian membalikkan tubuh. Gunaran dan
Arum Sari saling beradu pandang.
"Siapa kau, Pengecut Hina...?!" Arum Sari men-
gajukan pertanyaan dengan suara melengking nyaring.
Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke wajah Gu-
naran. Sikapnya terlihat merendahkan. "Besar sekali
nyalimu hingga berani mengintai perbuatanku? Hm..„
Rasanya aku pernah melihat wajahmu..."
"Bukan hanya rasanya saja, Arum Sari. Kita
memang pernah bertemu." Gunaran menjawab dengan
suara pahit. Dia merasa tersinggung sekali melihat si-
kap Arum Sari yang demikian sombong. "Ayahmu ada-
lah sahabat karib ayahku."
"Jadi, rupanya kau Gunaran!" Tidak terdengar
nada kegembiraan dan keterkejutan dalam ucapan itu.
Biasa saja. Sehingga, Gunaran diam-diam merasa ke-
cewa. Tapi, pemuda berpakaian kuning tua ini meng-
hibur hati dengan anggapan Arum Sari memang ten-
gah dilihat masalah.
Gunaran hanya mengangguk mengiyakan per-
tanyaan Arum Sari.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini?!" tanya
Arum Sari ketus.
Memang, meskipun telah disusupi roh Mayang,
Arum Sari tidak kehilangan kesadarannya. Bahkan
gadis itu seperti mempunyai pribadi ganda. Ia dapat
bersikap sebagai Arum Sari dan Mayang secara ber-
ganti-ganti, tergantung keadaan yang dihadapi. Saat
ini Arum Sari tengah terguncang batinnya, sehingga
sifatnya jadi agak liar dan beringas. Bahkan, terhadap
Gunaran yang merupakan kawannya sewaktu kecil.
"Aku ingin mengetahui kejadian yang menimpa
kau dan ayahmu, serta melihat nasib ayahku. Asal
kau tahu saja, Arum Sari. Ayahku datang kemari un-
tuk membalaskan kematian ayahmu!"
"Hhh...!" Arum Sari mendengus. "Suatu tinda-
kan yang tolol! Hanya mengantar nyawa dengan per-
cuma!"
Merah padam wajah Gunaran. Dia tersinggung
sekali mendengar ayahnya dimaki. Boleh jadi Arum
Sari tengah dilanda masalah, tapi tetap saja Gunaran
tidak akan membiarkan ayahnya dihina orang seme-
na-mena.
"Kau terlalu, Arum! Kau pikir aku takut pada-
mu?!" suara Gunaran tiba-tiba meninggi.
"Hi hi hi...!" Arum Sari malah tertawa. "Siapa
suruh kau takut padaku, Gunaran yang bodoh?"
"Kau..., sungguh tak kusangka ayahmu mem-
punyai anak sesat sepertimu, Arum! Biarlah aku me-
wakili almarhum ayahmu untuk menghukum mu!"
Usai berkata, Gunaran melompat menerjang
Arum Sari. Ia langsung mengirimkan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada. Dalam luapan amarah Gunaran
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Angin puku-
lannya terdengar berciutan cukup nyaring.
Gunaran memperkirakan Arum Sari akan
mengelak atau menangkis. Maka, pemuda berpakaian
kuning tua ini terperanjat ketika melihat putri Pende-
kar Macan Hitam tidak bergeming. Arum Sari mem-
biarkan saja serangan Gunaran.
Gunaran yang sungguh pun marah tidak ber-
niat mencelakakan Arum Sari bergegas mengurangi
tenaganya. Karena, untuk menarik pulang serangan-
nya sudah tidak memungkinkan lagi.
Buk, bukk, bukkk!
Berturut-turut tinju Gunaran bersarang di sa-
saran. Tapi akibatnya bukan Arum Sari yang roboh.
Gunaran berteriak kesakitan merasakan tangannya
seperti bukan berbenturan dengan tubuh manusia,
melainkan gumpalan baja yang amat keras.
"Hi hi hi...!" Lagi-lagi Arum Sari terkekeh. "Ma-
nusia sombong juga rupanya kau, Gunaran! Kau kira
aku selemah kau? Tidak usah mengurangi tenagamu.
Kau kerahkan semuanya pun tidak akan berarti apa-
apa buatku!"
Gunaran yang masih merasakan sakit pada
tangannya setelah membentur dada Arum Sari tampak
terkejut mendengar ucapan itu. Arum Sari mengetahui
kalau ia mengurangi tenaganya. Gunaran tak bisa
membayangkan ketinggian ilmu Arum Sari.
Pemuda itu segera memutuskan untuk tidak
main-main lain. Di samping merasa tersinggung den-
gan ucapan gadis berpakaian hijau itu, Gunaran juga
ingin membuka mata Arum Sari kalau ia tidak memili-
ki kepandaian rendah.
Wuk, wuk, wuk!
Bunyi menderu langsung terdengar ketika Gu-
naran memutar senjata andalannya. Ruyung berba-
tang dua yang dihubungkan dengan rantai baja. Sen-
jata andalan itu semula terselip di pinggang.
"Haaatt...!"
Diawali teriakan keras yang mendirikan bulu
roma, Gunaran menghantamkan senjatanya ke arah
kepala Arum Sari. Pukulan itu dilancarkan dari atas.
Tapi, Arum Sari tetap bertindak seperti sebe-
lumnya, memandang remeh Gunaran. Ketika ruyung
itu menyambar kepalanya, dia sedikit pun tidak beru-
saha mengelak. Ditangkisnya serangan itu dengan ja-
ri-jari tangan terbuka, lalu menangkapnya.
Kreppp!
Gunaran mengerahkan seluruh tenaganya un-
tuk menarik ruyungnya dari cekalan tangan Arum Sa-
ri. Tapi tidak berhasil. Padahal Gunaran telah meng-
gunakan kedua tangannya, sementara Arum Sari
hanya memakai tangan kiri.
"Hih!"
Di saat Arum Sari bergerak memutar tubuh,
Gunaran langsung melayang ke arah gadis itu. Saat
itulah tangan kanan Arum Sari dihentakkan ke depan.
Bresss!
Tubuh Gunaran melayang ke belakang ketika
pukulan jarak jauh Arum Sari menggedor dadanya.
Ruyung yang semula tergenggam di tangan terlepas
dari pegangan.
"Hukh...!"
Gunaran memuntahkan darah segar ketika tu-
buhnya jatuh ke tanah setelah melayang beberapa
tombak. Pemuda berpakaian kuning tua ini muntah
darah karena memaksakan diri untuk bangkit.
"Kalau saja kau dulu bukan sahabatku, mung-
kin nyawamu sudah kukirim ke akherat, Gunaran!
Berbahagialah karena kau pernah berkenalan dengan-
ku!" tandas Arum Sari sombong. Kemudian, ia mem-
banting ruyung Gunaran ke tanah hingga amblas ke
dalamnya.
"Kejam sekali...!"
Sambutan lirih tapi terdengar jelas menyesal-
kan ucapan Arum Sari. Bagai telah disepakati sebe-
lumnya, Arum Sari dan Gunaran langsung mengalih-
kan pandangan ke arah asal suara. Kalau Arum Sari
belum bisa menebak siapa pemilik suara itu, tidak
demikian halnya dengan Gunaran. Pemuda berpa-
kaian kuning tua itu langsung berseri-seri wajahnya.
Pemilik suara itu adalah gurunya, Harimau Terbang
Berkuku Seribu.
"Kau...?!"
Arum Sari mengeluarkan seruan tertahan. Se-
pasang matanya membelalak lebar. Wajahnya menyi-
ratkan keterkejutan yang sangat. Gadis berpakaian hi-
jau ini melangkah mundur karena kagetnya.
"Kau terkejut, Mayang?"
Pemilik suara lembut itu ternyata seorang ka-
kek kecil kurus. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi
melihat penampilannya tak kurang dari seratus sepu-
luh tahun. Ia mengangguk sehingga rambutnya yang
putih dan gondrong bergoyang-goyang. Demikian pula
dengan kumis dan jenggot putihnya yang tidak teru-
rus.
Kakek ini tidak hanya pandai dalam ilmu ke-
pandaian silat, tapi juga ilmu kebatinan. Dengan mata
batinnya ia mampu melihat jelas bayangan roh
Mayang dalam diri Arum Sari. Kakek ini pula yang
menyuruh Pendekar Macan Hitam untuk menan-
capkan bambu kuning pada peti mati Mayang ketika
ayah Arum Sari mengadukan perihal Mayang padanya.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Paru-
gi?!" sentak Arum Sari yang dipanggil Harimau Ter-
bang Berkuku Seribu sebagai Mayang. "Kuharap kau
jangan ikut campur!"
"Bagaimana mungkin, Mayang? Tubuh orang
yang kau tumpangi itu adalah cucu muridku. Jadi,
bagaimana mungkin aku bisa tinggal diam? Apalagi
setelah kau melukai muridku juga. Aku lebih tidak bi-
sa tinggal diam. Tinggalkan raga cucu muridku itu,
Mayang. Kau akan kubiarkan pergi. Tapi, apabila pe-
ringatanku ini tidak kau indahkan, jangan salahkan
aku kalau kau akan tersiksa. Mungkin kau masih in-
gat aku adalah penangkap roh!"
Wajah Arum Sari berubah pucat. Sinar ma-
tanya menyiratkan rasa takut yang tidak bisa disem-
bunyikan.
"Aku mohon dengan sangat, Parugi. Biarkan
aku menempati jasad ini dulu. Aku ingin memba-
laskan sakit hatiku yang tengah sekian puluh tahun
kupendam terhadap Raga Pasu dan Raga Pitu," pinta
Mayang melalui mulut Arum Sari.
"Sayang sekali, Mayang. Aku tidak bisa menga-
bulkan permintaanmu. Cepat kau pergi dari raga cucu
muridku sebelum aku terpaksa bertindak kasar terha-
dapmu!" tegas Parugi alias Harimau Terbang Berkuku
Seribu.
"Sebentar saja, Parugi," Arum Sari yang sebe-
narnya adalah Mayang masih berusaha membujuk.
"Jangan tunggu kesabaranku habis, Mayang.
Ini peringatan terakhir. Cepat pergi atau kau terpaksa
menderita selamanya!"
Arum Sari mengeluarkan keluhan panjang
yang sarat dengan kekecewaan dan kepiluan hati.
Mayang yang berada dalam raga Arum Sari tahu tidak
ada gunanya lagi berlama-lama di sini. Tidak ada jalan
lain kecuali meninggalkan raga Arum Sari. Padahal,
dendamnya belum tuntas. Baru dendam Arum Sari
yang dilampiaskannya.
Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Guna-
ran melihat seleret sinar hijau melesat dari atas kepala
Arum Sari. Kemudian, melesat menjauh dengan kece-
patan yang menakjubkan! Sekelebatan dan langsung
lenyap.
Begitu seberkas sinar kehijauan keluar dari
atas kepalanya dan lenyap, Arum Sari mengeluh. Tu-
buhnya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
Gunaran hendak bergerak bangkit untuk me-
meriksa keadaan Arum Sari, tapi maksudnya segera
dihentikan oleh gurunya. Harimau Terbang Berkuku
Seribu memberikan isyarat padanya untuk diam saja,
tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
Gunaran tidak membantah. Diperhatikannya
Harimau Terbang Berkuku Seribu mendekati tubuh
Arum Sari yang tergolek di tanah. Harimau Terbang
Berkuku Seribu berdiri dengan menekuk lutut seraya
mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemu-
dian, tangan kanannya diusapkan ke seluruh bagian
tubuh Arum Sari mulai dari ujung kepala sampai
ujung kaki. Hanya, tapak tangan kakek kecil kurus ini
tidak bersentuhan dengan kulit Arum Sari, kira-kira
tiga jari di atasnya. Harimau Terbang Berkuku Seribu
tengah membuat pelindung gaib agar makhluk halus
tidak bisa masuk ke dalam tubuh gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Harimau Terbang
Berkuku Seribu bangkit berdiri. "Sekarang Mayang ti-
dak akan bisa masuk lagi ke dalam raga Arum Sari.
Apa pun yang terjadi. Kalau dia memaksakan kehen-
dak, akan celaka sendiri," ujar kakek itu seraya me-
mandang wajah Gunaran.
Belum juga Gunaran sempat memberikan
tanggapan, Harimau Terbang Berkuku Seribu menoleh
ke belakang, ke arah pintu gerbang. Gunaran pun se-
gera mengarahkan pandangannya ke sana. Dia yakin
kakek kecil kurus itu mempunyai alasan bertindak
demikian.
Dugaan Gunaran tidak keliru. Dari balik pintu
gerbang muncul sesosok tubuh berkulit hitam legam.
Malisang!
"Kau, Harimau Terbang Berkuku Seribu?!"
tanya Malisang seraya menghampiri kakek kecil kurus
dengan tergesa. Tenang dan tanpa ragu-ragu, kendati
belum mengenal lelaki berkulit hitam legam itu.
Dari gerak-geriknya, Harimau Terbang Berku-
ku Seribu tahu orang ini bukanlah orang baik-baik.
"Siapa kau?"
"Benar," jawab Harimau Terbang Berkuku Se-
ribu.
"Aku langsung saja pada pokok persoalannya,
Harimau Terbang," sergah Malisang tidak sabar, "Aku
hanya ingin agar kau tidak mau memenuhi permin-
taan Raga Pasu dan Raga Pitu. Mereka ingin meminta
kau supaya menangkap roh Mayang. Atau, mengelua-
rkan roh Mayang dari dalam raga cucunya. Kuharap
kau jangan melakukan hal itu. Biarkan Mayang me-
laksanakan pembalasan dendamnya yang bertumpuk
sejak puluhan tahun."
Harimau Terbang Berkuku Seribu menger-
nyitkan alis.
"Tidak usah bertele-tele, Sobat. Aku tahu kau
bukan orang baik-baik. Tak mungkin kau melakukan
tindakan ini untuk kepentingan Mayang. Katakan apa
alasanmu yang sebenarnya sebelum kau menyudahi
pembicaraan kita."
Lelaki berkulit hitam legam itu tahu hanya
akan merugikan diri sendiri kalau menyembunyikan
persoalan dari kakek bermata tajam seperti Harimau
Terbang Berkuku Seribu. Apalagi saat ini dia tengah
memerlukan bantuan kakek itu. Maka, setelah meng-
hela napas berat lelaki berkulit hitam legam ini mulai
bercerita.
"Namaku Malisang. Aku tidak mempunyai hu-
bungan apa pun dengan Mayang. Mendengar nama
dan semua urusannya pun dari guru dan kakek se-
perguruanku. Mereka adalah Raga Pitu dan Raga Pa-
su."
"Seorang murid hendak membunuh kakek se-
perguruan dan gurunya? Luar biasa!" timpal Harimau
Terbang Berkuku Seribu, tajam. Ia tidak merasa heran
karena dapat memperkirakan tokoh golongan apa Ma-
lisang.
Tapi, Malisang tidak mempedulikan hal itu.
"Aku menjadi murid Raga Pitu seperti halnya
Serigala Belang. Hanya aku menjadi muridnya dua ta-
hun lebih dulu dari Serigala Belang. Ayah dan anak
itu mempunyai watak seperti iblis. Keduanya gila wa-
nita! Entah sudah berapa ratus wanita yang menjadi
korbannya. Bahkan, beberapa tahun lalu ketika aku
berjumpa dengan seorang wanita yang menarik hatiku
dan ingin kujadikan istriku, ayah dan anak yang telah
gila itu merampasnya dan mempermainkannya sampai
mati! Aku tidak ingin kejadian itu terulang pada wani-
ta lain yang saat ini telah mencuri hatiku. Kami ber-
niat untuk menikah!"
"Agar niatmu itu tercapai, kau akan membu-
nuh guru dan kakek seperguruanmu itu?!" tukas Ha-
rimau Terbang Berkuku Seribu.
"Begitulah, Harimau Terbang." Malisang kemu-
dian mengangguk. "Jalan satu-satunya hanyalah
Mayang. Tidak ada seorang tokoh pun yang sanggup
mengalahkan Raga Pasu. Tua bangka itu memiliki ke-
pandaian iblis!"
"Hhh...!"
Harimau Terbang Berkuku Seribu menghela
napas berat.
"Sayang sekali, Malisang. Roh Mayang telah
kuusir pergi dari tubuh Arum Sari. Bahkan, tubuh
Arum Sari telah kupasangi benteng hingga roh Mayang
tidak bisa masuk lagi. Perlu waktu yang cukup lama
untuk membuka kembali benteng itu agar roh Mayang
bisa masuk. Dan...."
"Sayangnya kau tidak punya waktu untuk itu,
Harimau Terbang!" sambut sebuah suara yang disusul
dengan kekehnya. Suara itu berasal dari mulut seo-
rang yang telah lanjut usia.
"Benar, Ayah!" sambut sebuah suara lain lebih
keras.
"Roh perempuan jahanam itu tidak akan bisa
berbuat apa-apa lagi terhadap kita. Dan, dengan ma-
tinya Harimau Terbang Berkuku Seribu serta dua mo-
nyet kecil ini kita akan aman selama-lamanya."
Malisang langsung melompat mundur melihat
kemunculan dua sosok yang tidak lain kakek bongkok
dengan anaknya, Iblis Muka Merah. Kakek bongkok
itu bernama Raga Pitu sedangkan Iblis Muka Merah
bernama Raga Pasu.
Raga Pitu menatap tiga sosok yang berdiri di
hadapannya dengan sepasang matanya yang menco-
rong mengerikan. Tatapannya berhenti agak lama pa-
da Malisang.
Tubuh Malisang kontan menggigil keras seperti
terkena demam tinggi. Ia bisa memperkirakan nasib
yang akan menimpanya. Dia tahu tidak ada satu ke-
kuatan pun yang sanggup melawan Raga Pitu, kecua-
li... roh Mayang! Tapi, sekarang roh Mayang telah ti-
dak berdaya pula!
"Celaka aku sekarang, Harimau Terbang. Kita
semua akan celaka. Sungguh tidak kusangka kau
akan bertindak demikian ceroboh," sesal Malisang.
Harimau Terbang Berkuku Seribu yang berdiri
paling depan, tersenyum tenang. Nama Raga Pitu telah
lama didengarnya sebagai tokoh lihai yang memiliki
kepandaian luar biasa. Terutama tenaga dalamnya.
Tapi, Raga Pitu kemudian mengasing-kan diri. Baru
sekarang ia keluar lagi. Harimau Terbang Berkuku Se-
ribu tidak takut dengan Raga Pitu.
Hanya saja Harimau Terbang Berkuku Seribu
mengkhawatirkan keselamatan muridnya. Gunaran
yang tengah terluka bukan tandingan Raga Pasu yang
berjuluk Iblis Muka Merah.
"Malisang!" Raga Pitu berkata keras, tapi mu-
lutnya sama sekali tidak bergerak. "Kau barangkali te-
lah memiliki nyawa rangkap sehingga berani mencoba
mengkhianatiku. Kemarilah, Malisang...."
Raga Pitu memanggil dengan lemah lembut se-
bagaimana layaknya seorang kakek memanggil cu-
cunya. Tapi, Malisang malah mundur dengan wajah
pucat-pasi. Ia menyadari benar ada ancaman bahaya
maut
Sepasang mata Raga Pitu berkilat-kilat menyi-
ratkan hawa maut. Kemudian, kedua tangannya di-
kembangkan. Dia melakukan gerak menarik.
"Ah...!"
Malisang menjerit tertahan ketika merasakan
ada kekuatan dahsyat menariknya ke arah Raga Pitu.
Seakan-akan ada tangan tak nampak.
Malisang tidak mau berdiam diri menghadapi
ancaman maut itu. Dia berusaha keras untuk berta-
han. Tapi hanya sebentar saja kekuatan yang menarik
itu terhenti. Kemudian, tubuhnya kembali melayang
deras ke arah Raga Pitu.
Prokkk!
Malisang tidak sempat lagi menjerit. Tubuhnya
yang meluncur deras ke arah Raga Pitu disambut den-
gan tamparan tangan kanan ke pelipisnya. Kepala itu
langsung pecah mengeluarkan darah bercampur otak.
Malisang tewas seketika.
"Keji...!"
Meski Malisang bukan apa-apanya, Harimau
Terbang Berkuku Seribu geram juga melihat kekeja-
man Raga Pitu. Maka, sambil mengeluarkan auman
keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Harimau
Terbang Berkuku Seribu melompat menerkam Raga
Pitu. Jari-jari kedua tangannya mengambang mem-
bentuk cakar harimau. Bunyi bercicitan nyaring dari
udara yang terobek kuku-kuku jari tangan Parugi tak
kalah dengan jeritan puluhan ekor tikus.
Prat, prat, prat!
Berturut-turut cakar Harimau Terbang Berku-
ku Seribu berbenturan dengan tangan Raga Pitu yang
memapaknya. Akibatnya, tubuh Harimau Terbang
Berkuku Seribu terpental ke belakang. Sedangkan Ra-
ga Pitu berdiri tidak bergeming. Kendati demikian, len-
gan bajunya dan baju di bagian dadanya koyak-koyak
terkena sambaran angin serangan cakaran Harimau
Terbang Berkuku Seribu. Demikian hebatnya Parugi.
Tidak percuma dia berjuluk Harimau Terbang Berku-
ku Seribu. Angin serangannya saja cukup untuk me-
lukai kulit tubuh lawan dan merobek pakaiannya. Ta-
pi, kulit tangan Raga Pitu tidak mampu ditembus!
Raga Pitu menggeram murka. Meski kulitnya
tidak terluka tapi pakaiannya yang koyak cukup
membuatnya berang. Maka, di saat tubuh Harimau
Terbang Berkuku Seribu ke belakang, Raga Pitu
menghujaninya dengan pukulan-pukulan jarak jauh-
nya yang menggiriskan hati.
Raga Pitu memang seorang tokoh sesat yang li-
cik dan cerdik. Agar serangan lebih gencar, setiap pu-
kulan jarak jauh dilakukan dengan satu tangan. Hem-
busan angin keras pun silih berganti menghujani tu-
buh Harimau Terbang Berkuku Seribu. Kakek kecil
kurus itu terpontang-panting ke sana kemari menge-
lakkan serangan-serangan gancar itu. Padahal, tubuh
Harimau Terbang Berkuku Seribu tengah berada di
udara.
Bresss!
Harimau Terbang Berkuku Seribu menjerit ter-
tahan ketika salah satu pukulan jarak jauh lawan
menghantam paha kanannya. Seketika tubuh kakek
kecil kurus ini terlempar ke belakang dan jatuh berde-
buk di tanah. Darah segar langsung muncrat dari mu-
lutnya.
"Ha ha ha...!"
Iblis Muka Merah tertawa bergelak. Ia berjalan
menghampiri tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu
yang kebetulan tergolek di sebelah Gunaran yang su-
dah mampu duduk dengan kedua kaki dijulurkan.
Baik Gunaran maupun Harimau Terbang Berkuku Se-
ribu berdiam diri saja, tidak berusaha melakukan per-
lawanan lagi. Mereka seperti sudah pasrah akan da-
tangnya maut
Tapi ketika jarak antara Iblis Muka Merah den-
gan tubuh guru dan murid itu masih sekitar empat
tombak, sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu di
depan Iblis Muka Merah, membelakangi Harimau Ter-
bang Berkuku Seribu dan muridnya, Dewa Arak berdi-
ri dengan sikap gagah.
"Kau lagi?!" Iblis Muka Merah menggeram.
"Rupanya kau sudah ingin mampus!"
Iblis Muka Merah langsung mengirimkan se-
rangan dahsyat Namun Dewa Arak yang sudah sejak
tadi bersiap menyambutinya dengan ilmu 'Belalang
Sakti'. Pertarungan dahsyat pun terjadi. Iblis Muka
Merah ternyata lihai bukan main.
Di lain tempat, Raga Pitu tengah beristirahat
memulihkan tenaga. Ia terlalu lelah setelah menguras
sebagian besar tenaganya dengan cecaran-cecaran
pukulan jarak jauh.
Beberapa saat setelah Dewa Arak terlibat perta-
rungan dengan Iblis Muka Merah, Pergiwa yang mela-
kukan perjalanan bersama Dewa Arak pun tiba. Gadis
itu segera menghambur ke arah guru dan kakak se-
perguruannya. Ketiga orang itu terlibat dalam perte-
muan yang mengharukan.
"Sungguh tidak disangka kau telah bertemu
dengan pendekar yang nama harumnya telah meng-
goncangkan dunia persilatan, Pergiwa," ujar Harimau
Terbang Berkuku Seribu tanpa menyembunyikan rasa
kagumnya.
Pergiwa hanya menundukkan kepala. Dari ba-
lik bulu matanya ia mengerling ke arah gurunya. Ingin
ia mendengar Harimau Terbang Berkuku Seribu me-
lanjutkan pembicaraan mengenai Dewa Arak. Entah
mengapa setiap pembicaraan mengenai Dewa Arak
amat menyenangkan hati Pergiwa.
Pergiwa kecewa ketika melihat gurunya tidak
melanjutkan pembicaraan. Malah, mengalihkan perha-
tian pada pertarungan yang tengah berlangsung. Be-
berapa kali kakek kecil kurus itu memuji Dewa Arak.
Harimau Terbang Berkuku Seribu merasa kagum me-
lihat ilmu Dewa Arak yang demikian aneh.
Pergiwa yang tidak tertarik dengan jalannya
pertarungan mengedarkan pandangan berkeliling.
Dia melihat Raga Pitu tengah duduk bersila.
Kakek itu sedang bersemadi.
"Mumpung kakek sakti itu tengah sibuk den-
gan semadinya biar kubunuh saja dia, Guru. Biarlah
aku dianggap pengecut daripada kita semua tewas di
tangannya!" ujar Pergiwa. Kemudian melesat meng-
hampiri Raga Pitu.
Harimau Terbang Berkuku Seribu terkejut bu-
kan main melihat tindakan yang dilakukan Pergiwa.
"Pergiwa! Jangan...!"
Tapi, Pergiwa tidak mempedulikan seruan gu-
runya. Dengan kedua tangan terkepal dilancarkannya
pukulan ke dada Raga Pitu.
Desss!
"Akh...!"
Pergiwa menjerit keras ketika pukulannya
membentur sasaran. Ada aliran tenaga dalam yang
amat dahsyat menangkisnya. Tubuhnya melayang ke
belakang dengan darah segar berhamburan dari mu-
lutnya. Pergiwa salah menduga! Saat itu Raga Pitu
tengah dalam keadaan membahayakan karena seluruh
I tenaga dalamnya sedang berputaran! Maka, Pergiwa
pun mengalami nasib naas.
"Pergiwa...!" Hampir bersamaan seruan itu ke-
luar dari mulut Harimau Terbang Berkuku Seribu dan
Gunaran. Harimau Terbang Berkuku Seribu tahu
nyawa muridnya tak akan bisa diselamatkan. Luka
'dalam Pergiwa sangat parah.
Di saat tubuh Pergiwa tengah melayang itu,
tanpa bisa dilihat oleh seorang pun karena saking ce-
patnya, sinar kehijauan menumbuk tubuh gadis ber-
pakaian merah itu dan lenyap masuk ke dalam tubuh
Pergiwa. Roh Mayang! Akibatnya, sesaat kemudian
Pergiwa mampu melakukan salto beberapa kali ke be-
lakang dan menjejak tanah dengan ringan.
Karuan saja semua orang yang melihat keja-
dian ini menjadi heran. Tapi, Pergiwa sendiri tidak
ambil peduli. Dia mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak yang mulai berhasil mendesak Iblis Muka Merah.
"Dewa Arak...! Mundur...!"
Seruan keras laksana guntur itu keluar dari
mulut Pergiwa. Bukan hanya keras, tapi mempunyai
pengaruh aneh yang membuat tokoh sesakti Dewa
Arak tanpa sadar bergerak mundur.
"Terimalah kematian kalian, Raga Pitu dan Ra-
ga Pasu...!" seru Pergiwa dengan suara melengking
nyaring, menyeramkan. Gadis berpakaian merah ini
mengepalkan kedua tangannya ke atas.
Dewa Arak, Gunaran, dan Harimau Terbang
Berkuku Seribu menatap dengan sinar mata tak per-
caya. Sementara wajah Raga Pitu dan Raga Pasu me-
mucat mengetahui siapa yang telah mengeluarkan se-
ruan itu. Mayang! Orang yang telah mereka permain-
kan habis-habisan dulu! Raga Pitu adalah ayah tiri
Mayang. Dan Raga Pasu adalah anak dari Raga Pitu.
Mereka hafal betul dengan suara Mayang. Maka, me-
reka langsung bisa mengenalinya.
Tapi, ayah dan anak ini tidak sempat berbuat
sesuatu. Langit tiba-tiba menjadi gelap. Petir dan ba-
dai bersahutan. Angin yang luar biasa kencangnya
berhembus.
Raga Pitu dan Rasa Pasu tidak tinggal diam.
Keduanya mengerahkan tenaga pada kedua kaki agar
angin keras itu tidak membuat tubuh mereka me-
layang. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi tak lama
kemudian dari mulut, hidung, dan telinga mereka
mengalir darah segar. Agaknya kedua kakek itu telah
mengerahkan tenaga dalam sampai melewati batas.
Dengan diiringi jeritan menyayat hati, kedua tokoh
sakti yang jahat itu pun tewas mengerikan! Kulit me-
reka terkelupas akibat terpaan angin yang sangat ken-
cang.
"Uh...!"
Tubuh Pergiwa ambruk ketika dari kepalanya
melesat keluar sinar kehijauan yang kemudian me-
ninggalkan tempat itu. Gunaran, Harimau Terbang
Berkuku Seribu serta Dewa Arak melihatnya. Gunaran
menatap gurunya meminta penjelasan. Tapi, Harimau
Terbang Berkuku Seribu hanya mengangkat bahu
kendati tahu mengapa Mayang yang seharusnya tidak
bisa masuk ke dalam tubuh Pergiwa karena bukan ti-
tisannya ternyata bisa masuk. Saat itu Pergiwa sudah
hampir mati. Rohnya lemah. Roh Mayang jadi bisa
masuk karena lebih kuat. Kejadian ini membuat nya-
wa Pergiwa terselamatkan.
Setelah memeriksa dan yakin kalau Pergiwa ti-
dak tewas, Dewa Arak pun mohon diri. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini tidak tahu kalau setelah
sadar Pergiwa langsung mencari-carinya. Pertanyaan
pertama yang diajukan Pergiwa pada Harimau Terbang
Berkuku Seribu dan Gunaran adalah....
"Mana, Dewa Arak?"
Harimau Terbang Berkuku Seribu terutama
Gunaran, hanya bisa menghela napas berat Kecewa,
mereka tahu Pergiwa tertarik pada Dewa Arak.
Harimau Terbang Berkuku Seribu maupun
Gunaran tidak dapat menyalahkan Pergiwa atau Dewa
Arak. Suatu hal yang wajar kalau Pergiwa jatuh hati
pada Dewa Arak, seorang pendekar yang luar biasa.
Dewa Arak pun tidak bisa disalahkan. Pemuda beram-
but putih keperakan itu tidak bermaksud menjerat
Pergiwa.
Sementara di sebuah tempat yang jauh, Arya
tengah berlari cepat meski benaknya masih memikir-
kan kejadian yang menimpa Raga Pitu dan Raga Pasu.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak merasa
heran. Tapi, kagum. Dia tahu banyak kekuatan tak
masuk akal di alam gaib, di alam roh. Dan, Arya tahu
Mayang yang telah meninggal tidak mendapat kesuli-
tan menggunakan ilmu-ilmu yang berada di alam gaib!
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Racun Kelabang Merah
Emoticon