1
Seorang pemuda berpakaian ungu dengan tenang menggeragoti
potongan daging panggang di tangannya. Kelihatannya nikmat sekali.
Beberapa batang ranting bekas tusukan daging panggang berserakan di
"Sedap sekali baunya...!"
Ucapan nyaring yang diiringi dengusan bunyi hidung membuat
pemuda berpakaian ungu menghentikan makannya. Dengan tangan masih
menggenggam ranting tempat daging panggang, kepalanya ditolehkan ke
arah asal suara.
Sayang, pemilik suara itu tidak terlihat. Kerimbunan semak-semak
yang lebat menghalangi pandangan pemuda berpakaian ungu.
"Kau lapar. Sahabat?!"
Suara yang sama dengan sebelumnya kembali terdengar. Kali ini
nadanya seperti tengah bertanya pada seseorang.
"Ternyata kita sama. Aku pun lapar. Sayang aku tidak punya
sesuatu yang bisa dimakan. Tahan sebentar laparmu. Atau, kau ingin daging
panggang yang berbau enak itu? Oh, tidak. Jadi apa yang kau mau? Buah-
buahan? Baik. Akan kucarikan untukmu"
Suara itu tidak terdengar lagi. Yang ada hanya bunyi senandung
tanpa kata.
Pemuda berpakaian ungu mengernyitkan dahi. Meski belum bisa
melihat, dia bisa memperkirakan pemilik suara itu orang yang telah bemsia
lanjut. Tepatnya lagi salah satu di antaranya. Pemilik suara itu tengah
bercakap-cakap. Berarti dia tidak sendirian. Pemuda berpakaian ungu yang
memiliki wajah tampan tapi berambut putih keperakan itu bangkit dari
duduknya. Dia adalah Arya Buana atau yang beijuluk Dewa Arak.
"Aha...! Lihat, Sahabat. Rupanya peruntungan kita baik sekali hari
ini. Jambu-jambu air telah matang. Mari, Sahabat. Kita sikat sampai
tuntas!"
Pemuda berambut putih keperakan tersenyum. Geli mendengar
perkataan itu. Didengarnya jelas langkah-langkah kaki yang menghantam
bumi. Agaknya pemilik suara tengah berlari. Kendati perasaan geli melanda
hati, dia tidak mampu mengusir perasaan herannya. Langkah-langkah yang
terdengar hanya sepasang! Lalu, orang yang diajak bicara itu?
Rasa heran menumbuhkan rasa ingin tahu. Arya mengayunkan
kaki menuju tempat pemilik suara. Mungkinkah orang yang diajak bicara
memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi sehingga bunyi
langkahnya tidak terdengar?
Begitu menerobos kerimbunan semak, pemuda itu telah bisa
melihat apa yang terjadi. Sepasang alisnya berkemt menyaksikan
pemandangan yang terpampang di depan matanya. Di hadapan pemuda
berpakaian ungu, sampai jarak belasan tombak, tidak terhalang apa pun.
Tanah di situ hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan kering.
Sepasang mata Aiya yang mencorong tajam hanya melihat sesosok
tubuh. Bukan dua seperti yang diduganya semula. Seorang kakek bertubuh
bungkuk berjalan dibantu tongkat butut. Pakaiannya penuh tambalan. Ia
kelihatan ringkih dan miskin!
Pemuda berambut putih keperakan menggelengkan kepala seraya
mengembangkan senyum di bibir ketika melihat tingkah kakek bungkuk.
"Sabar, Sahabat. Biar kuambilkan buah-buah itu untukmu," ucap
kakek itu sambil menoleh ke sebelah kiri.
Kakek bungkuk lalu mendongak. Buah yang dimaksudnya
memang banyak bergantungan di dahan. Daun pohon yang lebat tidak
terlihat karena banyaknya buah jambu berwarna merah segar.
Senyuman geli Arya buyar ketika kakek bungkuk tidak segera
mengambil buah-buah segar itu. Ia hanya mendongak ke atas,
memperhatikan buah-buah yang letaknya tak kurang tiga tombak dari tanah.
Apakah kakek bungkuk itu kebingungan untuk mengambilnya?
Kakek bungkuk lalu mengalihkan pandangannya ke bawah.
Tingkahnya menunjukkan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Pemuda
berambut putih keperakan mengurut dada melihat kakek itu memungut
sebongkah batu sebesar kepalan bayi. Rasa iba menyergap harinya, dia bisa
mengira tindakan yang akan dilakukan kakek bungkuk. Kakek itu agaknya
tidak memiliki ilmu silat.
Kakek bungkuk melemparkan batu ke arah buah-buah jambu
bergantungan. Bunyi berkerosakan terdengar ketika batu menerobos
dedaunan dan jatuh kembali ke tanah. Beberapa helai daun berhamburan.
Namun, tak satu pun buah jambu yang jatuh. Kakek bungkuk mengulangi
tindakannya sampai beberapa kali. Hasilnya tetap nihil. Kendati demikian
dia tidak putus asa. Batu itu tetap dipungutnya kembali.
"Sabar, Sahabat. Percayalah. Tak lama lagi buah-buah itu akan
jatuh. Kita akan menikmatinya sampai puas...!"
Terdengar agak membum napas kakek bungkuk. Rupanya
perbuatan yang dilakukannya cukup melelahkan.
Pemuda berambut putih keperakan tak kuat lagi menahan rasa
kasihan. Dia segera melesat menghampiri kakek bungkuk.
"Istirahatlah, Sobat. Biar kucoba mengambilkannya untukmu," ujar
Arya seraya menyentuh bahu kakek bungkuk.
Kakek bungkuk itu tersenyum melihat keberadaan pemuda
berpakaian ungu di belakangnya.
"Terima kasih. T erima kasih atas bantuan yang kau berikan padaku
dan sahabatku," kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya seakan-akan di situ
ada seseorang yang disebutnya sebagai sahabat.
Arya tidak merasa heran lagi melihat kelakuan kakek bungkuk.
Kakek itu berwajah kehijauan. Sepasang matanya selalu berputar liar seperti
mata orang tak waras. Arya menolehkan kepala ke tempat kakek berwajah
kehijauan itu menoleh.
"Boleh kutahu siapa kau dan..., sahabatmu ini, Kek?" Pemuda
berpakaian ungu mengulurkan tangan. "Namaku Arya. Arya Buana.
Seorang pengelana."
Kakek bungkuk terkekeh memperlihatkan gigi-giginya yang
kuning dan sebagian menghitam
"Namaku? Aku sudah tidak ingat lagi. Anak Muda. Atau, jangan-
jangan orang tuaku tak memberikan nama padaku. Tapi, panggil saja aku
Muka Hijau. Ya, si Muka Hijau! Adapun sahabatku ini.., panggil saja si Tak
Punya Bentuk. Tapi...." Kakek bermuka hijau tercenung bingung.
"Sepertinya terlalu panjang nama-nama yang kuberikan."
Arya tersenyum.
"Kalau begitu panggil saja aku. Hijau. Dan kawanku ini. Sahabat.
Lebih pendek dan enak diucapkan."
Arya mengangguk. Lalu katanya, "Sekarang bagaimana. Hijau.
Dan juga kau. Sahabat? Bolehkah aku membantu kalian. Kebetulan aku pun
hendak menikmati jambu-jambu yang kelihatannya enak itu."
"Tentu saja!" Hijau mengangguk "Bukankah demikian. Sahabat?
Tidak usah ragu-ragu. Anak Muda. Ambilkan jambu-jambu itu untuk
kami."
"Gunakan bajumu untuk menadahi jatuhnya jambu-jambu. Hijau."
Tanpa banyak cakap, si kakek segera melakukan perintah Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menjulurkan tangannya ke arah
batang pohon jambu
Si kakek terjingkat ke belakang sambil menjulurkan tangan ke
sebelahnya, seperti layaknya tengah membawa seseorang untuk melompat
ke belakang. Kelihatan jelas Hijau terkejut
Sepasang mata Hijau membelalak lebar memperhatikan pohon
jambu yang bergetar keras bagai diguncang-guncangkan tenaga raksasa.
Guncangan itu demikian keras sehingga jambu-jambu beijatuhan dari
tangkainya. Buah-buhan berguguran ke bawah. Tidak hanya pada bagian di
mana Hijau dan Arya berada, tapi juga di bagian lain.
Kendati demikian, semua jambu yang jatuh meluncur ke tempat
Hijau berdiri dengan baju dikembangkan. Pemandangan yang menakjubkan.
Buah-buahan merah menggiurkan itu meluncur menyerong, seakan baju
Hijau mempunyai daya tarik yang amat kuat.
"Luar biasa...! Tidak salahkah yang kita lihat ini. Sahabat? Jambu-
jambu itu semuanya menuju kita. Luar biasa...! Kita akan kenyang. Sahabat.
Kita akan kenyang...!" seru Hijau sambil tertawa kegirang an.
Arya tersenyum melihat tingkah Hijau. Kakek itu tertawa-tawa
gembira sebagaimana seorang anak kecil yang menemukan mainan. Dia
berkali-kali menoleh ke sebelahnya. "Cukupkah itu, untuk kau. Sahabat, dan
aku?" tanya Arya.
"Cukup. Cukup, Anak Muda. Bukankah demikian. Sahabat?" Lagi-
lagi kakek bungkuk itu menoleh ke sebelahnya. "Anak muda. Sahabat
mengatakan sudah cukup. O ya, bisa kau beritahu bagaimana cara
melakukan keajaiban seperti itu?"
Arya tercenung sesaat. "Sulit untuk mengatakannya. Hijau,"
katanya kemudian.
"Katakan saja. Anak Muda. Aku ingin memiliki kemampuan
seperti itu. Ah, betapa senangnya. Aku tidak perlu takut kelaparan lagi.
Katakan saja, Arya," desak Hijau.
Arya membisu. Bagaimana mungkin kakek itu bisa
mempelajarinya. Yang dilakukannya tadi membutuhkan tenaga dalam amat
kuat. Tidak sembarang tokoh persilatan mampu melakukan hal itu. Tenaga
dalam sekuat dirinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipelajari.
Apalagi orang se-emah Hijau yang tidak memiliki tenaga dalam sama
sekali.
"Ayolah, Arya. Jangan pelit padaku. Kalau kau tidak mau
mengajarinya, pandanglah Sahabat, pandanglah muka kawanku ini.
Kuharap kau bersedia mengajariku, Aiya. Aku ingin memiliki kemampuan
seperti yang kau lakukan agar Sahabat tidak kelaparan."
Arya tidak punya pilihan lagi untuk mengelak.
"Baiklah, Hijau. Aku akan memberitahu caranya. Tapi, bagaimana
kalau kau tidak bisa melakukannya? Kau membutuhkan tenaga dalam untuk
melakukan hal seperti yang kulakukan."
"Tenaga dalam?!" Hijau menyelak "Apa itu, Arya?"
"Sesuatu yang tersimpan di pusar. Seperti angin, berputaran di
sana," jelas Arya. "Tenaga dalam ini dengan kekuatan pikiran kita arahkan
ke mana yang kita mau. Tangan, kaki, atau apa saja yang diingini. Karena
memiliki tenaga dalam kupusatkan perhatian pada tangan kananku yang
kujulurkan ke pohon. Dan, itulah hasilnya. Hijau."
Hijau membisu. Sepasang matanya berputaran liar. Dahinya yang
berkemyit dalam menjadi pertanda kakek ini tengah berpikir.
"Jadi, semuanya berpokok pada sesuatu yang berputaran di pusar?"
Hijau meminta penjelasan.
Arya mengangkat bahu.
"Di pusarku tidak ada sesuatu yang kau maksudkan itu, Arya.
Tidak ada yang berputaran. Bagaimana aku bisa mengarahkannya ke tangan
atau kaki?" tanya Hijau lagi sambil menatap Arya penuh rasa ingin tahu.
Arya tidak merasa heran mendengar pertanyaan itu. Ia telah
menduga sebelumnya. Orang seaneh Hijau sulit untuk diberi pengertian.
"Pusatkan pikiranmu pada pusar. Bayangkan seakan-akan di
dalamnya ada tali. Lalu tali di pusar itu berputar. Kalau tidak timbul putaran
sesuatu, berarti kau tidak bisa melakukan seperti yang aku lakukan tadi,"
jelas Arya.
Hijau tertegun. Ia mengangguk-anggukkan kepala seperti mengerti
apa yang disampaikan Aiya. Sepasang matanya lalu dipejamkan. Wajahnya
ditundukkan. Agaknya dia tengah memusatkan pikiran untuk melaksanakan
anjuran Aiya.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Timbul rasa kasihan dalam
hatinya. Bagaimana mungkin akan ada putaran di pusarnya kalau tenaga
dalam saja tidak dimiliki?
"Ah...!"
Jeritan kaget Hijau mengejutkan Arya. Pandangannya segera
dialihkan pada Hijau yang tampak bingung bercampur gembira. Matanya
yang berputaran liar terlihat berbinar-binar.
"Apa yang terjadi. Hijau?!" tanya Arya. Khawatir terjadi sesuatu
yang tidak diharapkan.
Hijau tidak mempedulikan pertanyaan Arya. Dia malah menoleh
ke sebelahnya, tempat Sahabat berada. Sepasang mata kakek bungkuk ini
berbinar-binar. Suaranya sarat dengan kegembiraan.
"Sahabat, kau tahu apa yang kualami? Di dalam pusarku tengah
berputaran. Ah, tidak tepat. Maksudku bergejolak sesuatu yang amat
dahsyat. Aku dan kau tidak akan kelaparan lagi. Menyenangkan bukan?
Kau setuju? Bagus!"
"Benarkah yang kau katakan itu. Hijau?" tanya Arya, buru-buru
"Tentu saja, Aiya! Untuk apa aku berbohong?!" tandas Hijau.
"Bagaimana caraku untuk membuktikannya?"
Arya berpikir sejenak.
"Pusatkan pikiranmu untuk mengarahkan tenaga dalam pada
tangan kanan. Aku akan melemparkan batu kepadamu. Kau harus
menerimanya. Setelah itu, pusatkan pikiranmu ke jari-jari untuk meremas.
Jelas?!"
Hijau mengiyakan.
Arya mengibaskan tangan kanannya. Batu sebesar kepatan yang
ada di tanah meluncur ke arah Hijau. Aiya tentu saja tidak bertindak
gegabah. Tenaga yang dikerahkan hanya untuk membuat batu mempunyai
bobot seekor kambing.
Pemuda ini baru merasa yakin dengan ucapan Hijau ketika melihat
dia dengan enak saja menerima batu. Seakan batu itu tak ubahnya daun
kering, ketika jari-jari Hijau digerakkan untuk meremas, batu pun hancur
berantakan!
Wajah Arya berubah hebat. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Bukankah tadi telah dilihatnya sendiri Hijau tidak memiliki tenaga dalam.
Hijau seperti tidak mengetahui keterkejutan Arya. Dia terlalu
gembira dengan hasil yang dicapainya. Kakek ini terkekeh-kekeh sambil
sesekali berbicara pada Sahabat.
Arya menatap wajah Hijau lekat-lekat. Untuk kedua kalinya dia
terperanjat. Sepasang mata Hijau tajam mencorong dan bersinar kehijauan.
Demikian tajamnya sehingga Arya kaget sekali. Sorot seperti itu hanya
keluar dari orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Hijau tems tertawa-tawa dengan biji mata berputaran liar. Ia lalu
menjulurkan tangannya ke batang pohon jambu. Pohon itu terguncang-
guncang hebat dan menjatuhkan buah-buahnya, seperti yang Arya lakukan
tadi. Buah-buah itu semua meluncur ke arah si kakek.
Arya terbengong-bengong. Dia belum bisa berkata-kata ketika
Hijau sibuk menyantapi buah-buah merah segar itu. Sesekali Hijau
memberikannya pada Sahabat. Bertindak seakan-akan Sahabat menerima
dan memakannya. Padahal, dia sendiri yang menyantap buah-buah itu. Tak
sedikit pun keluar kata-kata yang ditujukan pada Arya. Baik itu berupa
tawaran maupun basa-basi karena makan sendirian.
Cukup lama Aiya menunggu Hijau selesai dengan santapannya.
Sambil berdesah-desah kekenyangan dan mengusap-usap perutnya, kakek
itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Aiya.
"Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan, Arya. Kemampuan
yang kumiliki ini akan membuatku tidak kelaparan lagi. Begitu juga
Sahabat. Terima kasih, Arya. Dan..., tunggu sebentar."
Tanpa peduli pada keheranan Aiya melihatnya menghentikan
ucapan. Hijau memejamkan mata. Arya yang telah tertarik dengan kakek ini
jadi memperhatikan gerak-gerik Hijau. Hanya sebentar saja Hijau
memejamkan mata. Lalu dengan biji mata berputaran ditatapnya wajah
pemuda berpakaian ungu lekat-lekat
"Kau harus berhati-hati, Arya. Aku melihat bahaya akan
menimpamu. Maut berkeliling di sekitarmu. Hanya yang mengherankan,
asal bahaya itu datang dari orang-orang yang kau kenal. Berhati-hatilah."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Hijau? Bahaya apa? Mengapa kau
bisa mengetahuinya?" tanya Arya kebingungan.
Hijau tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat.
"Aku juga semula tidak mengetahuinya, Arya. Mungkin inilah
keanehanku. Setiap kali akan teijadi bahaya baik padaku atau orang di
dekatku, telinga sebelah kananku akan berdenging nyaring. Maka
kupejamkan. Dan aku mencoba bercakap-cakap dengan Sahabat. Dari
Sahabatlah aku mengetahuinya. Katanya, ada bahay a yang mengancammu.
Berhati-hatilah, Arya. Maalj aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku
mempunyai urusan yang sangat penting. Sekali lagi terima kasih atas
pelajaranmu. Apabila ada kesempatan pasti kita akan bertemu lagi. Selamat
tinggal! Mari, Sahabat...!"
Tanpa memberi kesempatan pada Arya untuk memberikan
tanggapan, kakek bungkuk melesat meninggalkan tempat itu. Ucapannya
masih bergema, tapi tubuhnya sudah berada jauh.
Arya menghela napas berat sebelum meng-yunkan kaki, pergi.
Tubuh Hijau sudah tidak terlihat lagi. Tapi, benak Arya masih dipenuhi
pikiran mengenai Hijau yang penuh rahasia.
2
Arya menghentikan langkahnya. Pemuda itu tengah berlari cepat
melintasi hamparan pasir. Se-auh mata memandang yang kelihatan hanya
pasir belaka.
Tapi, ada sesuatu di sana. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Seluruh tubuhnya terbungkus. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Yang
terlihat oleh Arya hanya bagian belakang tubuhnya. Sosok jangkung ini
yang menyebabkan pemuda berpakaian ungu itu menghentikan langkah.
Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia mengenai bentuk tubuh
sosok serba hitam ini. Sosok ini meninggalkan kenangan yang mendalam.
Pertemuannya dengan sosok serba hitam amat membekas dalam jiwanya. Di
tangan sosok inilah nyawanya pernah hampir melayang.
"Iblis Hitam...!" desis Arya, agak keras.
Sosok serba hitam seperti mendengar ucapan Arya. Tubuhnya
dibalikkan. Sosok ini terlihat teijingkat kaget melihat keberadaan Dewa
Arak delapan tombak di depannya.
Sosok ini angker bukan main. Sekujur tubuhnya terlihat hitam.
Ada dua lubang tepat di bagian mata untuk melihat. Tangannya terbungkus
sarung tangan hitam. Kakinya juga tertutup sepatu hitam. Julukan Iblis
Hitam memang sesuai untuknya.
"Dewa Arak...!"
Iblis Hitam berseru. Terasa jelas nada kegembiraan dan
keterkejutan di dalamnya.
Arya tersenyum lebar. Dia ikut melesat ketika Iblis Hitam
menghambur ke arahnya (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang beijuluk
Iblis Hitam ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peninggalan
Iblis Hitam").
"Apa yang teijadi. Iblis Hitam? Mengapa kau bisa berada di tempat
ini? Tempat yang amat jauh dari asalmu. Apakah ada keperluan penting?
Kau seperti tengah menungguku. Kau tahu aku lewat tempat ini dan sengaja
hendak memberikan kejutan?" tanya Arya bertubi-tubi setelah berjabatan
tangan dengan Iblis Hitam.
Iblis Hitam menghela napas berat. Tindakannya membuat Arya
menjadi heran. Perasaan tidak enak mulai muncul dalam hatinya.
Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Pendekar Golok Baja yang
menjadi kakak kandung Iblis Hitam? Apakah telah terjadi sesuatu terhadap
Pendekar Golok Baja?" tanya Arya dalam hati.
"Kalau kukatakan hal yang sebenarnya mungkin kau tidak percaya,
Arya," ucap Iblis Hitam hampir berupa keluhan. "Aku merasa seperti orang
bodoh."
"Tidak ada salahnya kau menceritakan. Iblis Hitam," ujar Arya
memberi semangat. "Apakah ini ada hubungannya dengan kakakmu?"
Iblis Hitam menggeleng.
"kii menyangkut diriku sendiri. Aku merasa aneh mengapa bisa
berada di tempat ini. Bahkan, berdiri saja di tempat ini. Seperti ada yang
kutunggu. Padahal, tidak tahu apa yang tengah kutunggu-tunggu. Dan...."
Arya heran melihat Iblis Hitam menghentikan ucapannya. Tokoh
angker ini seperti terkesima. Kekagetan Arya berganti kecurigaan melihat
kilatan maut dalam pandangan Iblis Hitam.
Kecurigaan inilah yang menyelamatkan Dewa Arak dari maut.
Dengan kecepatan yang menakjubkan Iblis Hitam telah mencabut sepasang
kapaknya dan mengayunkan ke leher Dewa Arak. Yang kiri menyambar
dari kanan, sedangkan yang di tangan kanan membabat dari kiri, saling
bersilang!
Untung Arya telah lebih dulu melompat sebelum sepasang kapak
Iblis Hitam yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan hawa dingin me¬
nyambar. Kalau tidak, pemuda berambut putih keperakan itu telah ambruk
tak bernyawa.
"Iblis Hitam! Apa artinya ini?!"
Dewa Arak berseru kaget ketika berhasil menjejak tanah. Sikap
Iblis Hitam bisa berubah demikian cepat.
Tapi, pertanyaan Dewa Arak dijawab oleh Iblis Hitam dengan
serangan sepasang kapaknya. Susul-menyusul dengan diiringi bunyi
kesiutan angin menderu-dem. Mengerikan!
Hal ini menyadarkan Dewa Arak kalau ucapannya tidak akan
berguna. Kalau dia masih sayang nyawa, memberikan perlawananlah yang
harus dilakukan. Kalau tidak dia akan mati konyol. Pemuda berambut putih
keperakan ini segera meraih guci arak dan menenggak isinya.
Dewa Arak tahu betapa besar pengaruh sepasang kapak hitam di
tangan lawan Kapak itu mengeluarkan hawa dingin yang dapat
membekukan otot-otot. Arya pernah mengalaminya dulu. Maka, dia tidak
berani bertindak gegabah. Pemuda ini bertarung dengan membuat jarak,
tidak berani terlalu dekat. Arya terpaksa menggunakan pukulan-pukulan
jarak jauh.
Iblis Hitam mengetahui siasat yang dipergunakan Dewa Arak. Dia
pun berusaha sedapat mungkin memperpendek jarak. Pertarungan jadi
terlihat aneh, seperti orang yang tengah berkejaran. Dewa Arak bertarung
secara mundur, sedangkan lawannya tems mendesak maju. Jalannya
pertarungan membuat tempat berlaga bergeser jauh.
Buk!
Des!
Hampir berbarengan dua serangan yang dilancarkan kedua
petarung itu bersarang di sasaran. Guci Dewa Arak menghantam dada Iblis
Hitam dengan telak. Sebaliknya, tendangan Iblis Hitam mengenai pangkal
lengan kiri pemuda berambut putih keperakan.
Tubuh keduanya terlempar ke belakang. Iblis Hitam mampu
bangkit dengan cepat setelah bergulingan di tanah. Namun, Dewa Ar ak tak
mampu bangkit lagi. Tubuh pemuda itu tergolek diam tidak bergerak-gerak.
Iblis Hitam yang semula sudah bersiap melancarkan serangan
kembali segera mengurungkannya. Sepasang matanya menatap penuh
selidik pada Dewa Arak yang tergolek di tanah. Hanya sebentar Iblis Hitam
bersikap seperti itu. Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan melengking
nyaring, tokoh angker itu melompat. Sepasang kapaknya diayunkan.
Hal ini sudah diperhitungkan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan ini tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya secara bergantian.
Dewa Arak melancarkan pukulan jarak jauh dengan jums 'Pukulan
Belalang'
Iblis Hitam menggeram penuh perasaan kaget dan marah. Ia
merasakan sambaran hawa panas menyengat. Tapi, tokoh ini memang
memiliki kemampuan luar biasa. Sambaran angin berhawa panas
dipapakinya dengan kedua kapak Iblis Hitam memang luar biasa! Tenaga
benturan itu digunakan untuk salto ke depan. Setelah beberapa kali ber¬
putaran di udara, tubuhnya menukik tumn ke arah Arya dengan sambaran
sepasang kapaknya.
Dewa Arak menggulingkan tubuh untuk menyelamatkan diri. Iblis
Hitam yang rupanya sudah bertekad membunuh pemuda berambut putih
keperakan itu memburunya dengan serangan kapak Cepat dan bertubi-tubi.
Ini membuat Aiya tidak mempunyai kesempatan untuk bertindak apa pun
selain bergulingan di tanah.
"Uhhh...!"
Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan. Gulingan tubuhnya
terhenti. Ada sebuah benda yang tertabrak sehingga gulingannya tertahan.
Pemuda ini mengerling. Sebatang pohon besar. Sekejap pemuda itu
memutar benaknya mencari jalan untuk menyelamarkan diri.
Arya ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Sepasang
kapak Iblis Hitam telah lebih dulu meluruk ke arahnya. Pemuda berpakaian
ungu itu belum mau mati. Dewa Arak memutuskan untuk menangkis
dengan menghantam pergelangan tangan Iblis Hitam. Sebuah tindakan yang
amat berbahaya. Bagi seorang ahli kapak seperti Iblis Hitam mudah saja
menggerakkan kapak, meski hanya dengan berporos pada pergelangan
tangan. Kedua tangan Arya bisa teipapas buntung!
Trang, trang!
Terdengar bunyi nyaring dibarengi berpercikannya bunga api. Itu
terjadi setelah ada bunyi berdesing yang mengiringi melesatnya sinar-sinar
gelap memapaki sepasang kapak Iblis Hitam.
Benda-benda berwarna gelap yang ternyata dua butir kerikil itu
langsung hancur, begitu berbenturan dengan sepasang kapak. Tubuh Iblis
Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang. Iblis Hitam meraung seperti
binatang terluka. Tokoh angker ini marah bercampur kaget merasakan
getaran kuat pada tangannya.
Dengan kilatan maut pada sepasang matanya. Iblis Hitam
mengarahkan pandangan ke arah belakang Arya. Dalam jarak sekitar tiga
tombak dari pemuda berambut putih keperakan berdiri seorang kakek
berpakaian penuh tambalan. Anehnya, sobekan pakaian yang ditempelkan
masih baru! Dalam model pakaian aneh itu terbungkus tubuh tua renta.
Kelihatan ringkih dan lemah. Tidak hanya rambutnya yang telah memutih,
tapi juga kumis, jenggot, dan alisnya. Tubuh kakek itu pun agak bungkuk.
"Tua bangka gila! Rupanya kau sudah ingin mati. Mampuslah!"
Iblis Hitam tidak terlihat menjejakkan kaki untuk melakukan
lompatan. Tubuhnya melayang cepat ke arah kakek berpakaian tambalan.
Dalam keadaan tubuhnya di udara, lelaki itu menyelipkan kedua kapaknya
di pinggang. Rupanya, meski amat geram dan bermaksud membunuh. Iblis
Hitam masih memiliki rasa malu untuk menyerang lawan tak bersenjata
dengan pusaka andalannya.
Iblis Hitam melancarkan serangan dengan dorongan kedua telapak
tangan terbuka. Si kakek tidak menunjukkan gambaran perasaan apa pun
pada wajahnya. Tidak kelihatan kaget atau gentar meski dorongan kedua
tangan Iblis Hitam menimbulkan bunyi seperti suara geledek.
Malah, si kakek memberikan tanggapan menakjubkan. Dia ikut
melompat dan melakukan gerakan yang sama. Tak pelak lagi, benturan dua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa
dihindarkan lagi. Tubuh keduanya lalu teijengkang ke belakang.
Iblis Hitam maupun si kakek seperti telah bersepakat sebelumnya.
Mereka bersalto di udara kemudian kembali melakukan serangan seperti
sebelumnya. Benturan kembali teijadi. Kali ini mereka melakukan dengan
cara lain.
Iblis Hitam dan si kakek mengerahkan tenaga dalam menarik. Iblis
Hitam yang melakukan pertama kali. Si kakek hanya mengikuti. Akibatnya,
tangan mereka saling melekat satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu,
tubuh keduanya melayang turun hingga menjejak tanah.
Di sini pertarungan yang lebih menegangkan teijadi. Masing-
masing berusaha sekuat tenaga memenangkan tarik-menarik itu. Yang kalah
kuat akan mati lemas kehabisan tenaga karena tersedot lawan.
Beberapa saat lamanya tidak terlihat siapa yang berada di atas
angin. Tapi kemudian kedua kaki dan tangan Iblis Hitam menggigil.
Semakin lama semakin keras. Si kakek masih belum menampakkan gejala
seperti Iblis Hitam, meski wajahnya telah memerah.
Dewa Arak yang memperhatikan serangan Iblis Hitam pertama
kali terhadap si kakek sudah tahu keadaan tokoh itu kurang
menguntungkan. Apabila pertempuran terus berlangsung, nyawa Iblis
Hitam bisa melayang. Arya bergegas menghampiri tempat pertarungan.
Melalui ilmu mengirim suara dari jauh, dilontarkan pemberitahuan pada
kakek berpakaian tambalan.
"Maalkan aku, Kek. Bukannya tidak menghargai pertolonganmu.
Tapi, kuharap kau bersedia mengampuni lawanmu. Dia kawanku. Aku
sendiri tidak mengera mengapa tiba-tiba dia hendak membunuhku. Aku
yakin ada hal yang tidak wajar di sini. Maka, kuharap kau menyudahi
persoalan ini. Sekali lagi aku minta maaf atas kelancanganku ini. Tak lupa
kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolongan yang kau
berikan."
Si kakek menatap wajah Arya. Arya tersenyum sambil
menganggukkan kepala. Kakek itu tidak memberikan tanggapan sama
sekali. Tapi, hal ini tidak membuat Arya berkecil hati. Pemuda berambut
putih keperakan ini merasakan kakek berpakaian tambalan menyetujui
permintaannya.
Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menghampiri Iblis Hitam. Hanya
dengan sekali menggerakkan jari menotok bahu kanan, pemuda ini berhasil
membuat Iblis Hitam lemas. Tak ubahnya sehelai kain basah tubuh Iblis
Hitam terkulai ke tanah.
Pada saat yang bersamaan dengan tertotoknya Iblis Hitam si kakek
menghentikan aliran tenaga dalamnya. Kalau itu tidak dilakukan nyawa
Iblis Hitam akan melayang!
Dewa Arak membiarkan tubuh Iblis Hitam ambruk ke tanah. Ia
buru-buru melompat ke samping ketika mendengar bisikan yang jelas di
telinganya. Bisikan yang dikirim melalui ilmu mengirim suara dari j auh.
Bisikan yang berupa perintah.
Baru saja Dewa Arak melompat si kakek telah memutar rambutnya
yang panjang. Itu terjadi hanya dengan sedikit menggerakkan leher. Dari
putaran rambut putih itu meluncur angin keras. Demikian kerasnya angin
yang timbul sehingga tubuh Iblis Hitam sampai terguling-guling ke
belakang. Cukup jauh. Tak kurang dari sepuluh tombak.
Arya memperhatikan saja tindakan kakek itu. Si kakek tidak
hendak mencelakai Iblis Hitam. Hanya membuat tubuh Iblis Hitam
terpental. Dugaan Arya tidak keliru. Begitu kekuatan yang menggulingkan
tubuh Iblis Hitam telah habis, tokoh itu mampu bangkit berdiri.
Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena Iblis Hitam yang
menatap kakek berpakaian tambalan dengan sorot penuh ancaman. Tapi,
karena Iblis Hitam telah berhasil bebas dari pengaruh totokan. Iblis Hitam
tidak akan mampu bebas dari totokan secepat itu. Berarti si kakek yang
membebaskanny a.
Kenyataan ini menyadarkan Dewa Arak akan ketinggian ilmu si
kakek. Dalam putaran rambut untuk melemparkan Iblis Hitam, dia bisa
membebaskan totokannya. Arya sendiri tidak yakin akan dapat melakukan
hal itu.
Iblis Hitam rupanya menyadari keadaannya yang tidak
menguntungkan. Setelah melempar pandang penuh kebencian pada kakek
berpakaian tambalan dan melayangkan tatapan penuh ancaman pada Dewa
Arak, dia membalikkan tubuh lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Arya diam saja. Begitu juga si kakek. Hanya kalau saja Dewa Arak
menatap hingga tubuh Iblis Hitam lenyap di kejauhan, si kakek tidak
mempedulikannya sama sekali. Wajahnya ditundukkan menekuri tanah.
Beberapa kali helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Dewa Arak yang tidak ingin menggangu keasyikan si kakek
membiarkan saj a. Arya hanya memperhatikan tanpa berani mengusik. Baru
ketika si kakek mengangkat wajah dan menatap ke arahnya. Dewa Arak
menyunggingkan senyum lebar. Kembali si kakek tidak memberikan
tanggapan. Wajahnya tetap dingin. Sinar matanya pun tidak terlihat beriak.
Arya tidak merasa tersinggung. Pemuda ini malah memakluminya. Banyak
tokoh persilatan yang memiliki watak aneh. Terutama yang telah memiliki
kepandaian sukar diukur dan bemsia lanjut. Meski Arya tidak mengerti
mengapa seperti itu, tapi dia bisa memahaminya.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau
berikan, Kek. Kalau tidak ada kau mungkin aku sudah tidak ada di dunia
ini," Arya membuka pembicaraan dengan wajah penuh persahabatan.
"Kau Dewa Arak, bukan?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan
ucapan terima kasih Arya.
"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku, Kek," Arya
mengangguk. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan namaku. Arya Buana
namaku, Kek. Orang biasa menyapaku Arya."
"Apalah artinya panggilan nama atau julukan?" si kakek
menggumam sendiri. Tapi, Arya yang memiliki pendengaran tajam dapat
menangkapny a.
Kakek berpakaian tambalan lalu menatap ke langit.
"Aku sendiri sudah lupa namaku. Malah, aku merasa benci dengan
diriku sendiri. Yang kutahu, aku adalah ketua perkumpulan yang
menjijikkan. Perkumpulan yang telah dibawa oleh orang-orang asuhanku ke
jalan sesat Ahhh...! Betapa memalukan bila mengingatnya...."
Kembali Dewa Arak tidak mengusik keasyikan si kakek. Arya
malah menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan keadaan
penolongnya. Hati pemuda ini tercekat ketika melihat tangan si kakek yang
berwarna merah darah. Merah sampai sebatas pergelangan tangan!
Tanda ini membuat Arya yang semula tidak bisa menduga siapa
kakek itu kini mempunyai gambaran sedikit. Dia telah mendengar kabar
yang te-siar di dunia persilatan mengenai perkumpulan pengemis yang
memiliki ciri-ciri demikian pada setiap anggotanya. Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah demikian namanya.
"Apakah kau ketua perkumpulan Pengemis Tangan Merah, Kek?"
tanya Arya ketika si kakek mengalihkan pandangan ke arahnya.
Kakek berpakaian tambalan mengangguk sambil menghela napas
berat setelah beberapa saat menatap Dewa Arak lekat-lekat.
"Mungkin pertanyaanmu perlu sedikit kuperbaiki. Anak Muda.
Aku bukan lagi seorang ketua, melainkan orang buangan. Semua ini
memang kesalahanku. Aku telah membuat perkumpulan itu jatuh ke dalam
lumpur kehinaan. Entah bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan
semua ini pada saudara seperguruanku...."
Kakek itu menggantung perkataannya. Wajahnya yang dingin
terhias kabut kedukaan. T ampaknya kakek itu menderita tekanan batin.
"Mengapa kau tidak berusaha meluruskan kembali perkumpulan
itu, Kek? Aku yakin dengan kemampuanmu tidak sulit melakukannya,"
Arya mengajukan saran.
"Apa yang kau ketahui tentang perkumpulan kami. Anak Muda?"
tanya si kakek, dingin
"Maaf Kek. Bukannya maksudku untuk menggurui. Tentu saja
bila dibandingkan denganmu sebagai tokoh puncak perkumpulan itu,
pengetahuan yang kumiliki mengenai perkumpulanmu amatlah sedikit,"
kilah Arya buru-buru untuk meredakan suasana yang mulai memanas.
Kakek berpakaian tambalan ini kelihatannya terlalu pemarah.
"Syukurlah kalau kau menyadari hal itu," suara si kakek melunak.
"Tapi karena kau telah telanjur bicara dan membuat rasa ingin tahuku
muncul, aku ingin kau kemukakan hal-hal yang kau ketahui tentang
Perkumpulan Pengemis T angan Merah."
Arya tidak punya pilihan lain kecuali menuruti kehendak si kakek.
Dia merasakan adanya tekanan yang tidak menghendaki bantahan dalam
ucapan kakek itu.
"Yang kuketahui tidak banyak, Kek. Kalau kau bersikeras
memaksa, aku tidak punya pilihan lain. Kuharap apabila yang kukemukakan
ini berlainan dengan kenyataan kau tidak menjadi gusar karenanya. Dan...."
"Lupakan basa-basi itu! Aku bukan anak kecil yang mudah marah
oleh hal-hal yang tidak berarti. Katakan saja apa yang kau ingin
sampaikan!" potong si kakek tidak sabar.
3
"Sepanjang pengetahuanku. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah
beijalan di jalur sesat. Telah banyak kudengar perbuatan tidak patut yang
dilakukan anggota-anggotanya. Di samping banyak melakukan tindak
kejahatan, perkumpulan itu pun telah banyak menewaskan para pendekar.
Karena hendak mencegah merajalelanya Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah itulah aku berada di sini."
Arya menghentikan ucapannya. Dengan penuh selidik pemuda
berambut putih keperakan ini mengawasi wajah kakek di depannya. Arya
berusaha membaca perasaan yang tersirat di wajah si kakek
Tapi, Aiya tidak bisa menyimpulkan apa pun. Wajah kakek itu
tidak berubah sedikit pun. Tetap dingin bagai tertutup topeng.
"Dan...," Arya melanjutkan ucapannya. "Menurut berita yang
kudapat. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah adalah tokoh yang
beijuluk Pengemis Tua Berbulu Putih. Itulah yang bisakukatakan padamu."
"Semua yang kau katakan itu benar. Anak Muda," lesu ucapan
kakek berpakaian tambalan. Selesu sinar matanya yang kuyu. "Memang
demikianlah keadaan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah, mengacau
dunia persilatan. Patut kuacungi jempol pengetahuanmu mengenai
perkumpulan itu. Kau tahu pula mengenai tokoh yang beijuluk Pengemis
Tua Berbulu Putih. Apakah kau tidak bisa mengira-ngira siapa tokoh yang
kau sebutkan itu?"
Arya membisu. Pemuda ini memperhatikan sekujur tubuh si kakek.
Tatapannya beberapa kali berhenti pada rambut, kumis, alis, dan jenggot ka¬
kek berpakaian tambalan yang putih bersih.
"Benar, Anak Muda," seperti mengetahui dugaan dalam benak
Dewa Arak, si kakek mengangguk. "Akulah orang yang kau sebutkan itu.
Akulah Pengemis Tua Berbulu Putih. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah. Tapi itu dulu. Sudah lama jabatan itu kuserahkan pada orang yang
kupercaya. Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya akan seperti ini."
Arya tidak merasa kaget mendengar penjelasan kakek itu. Dia
sudah menduga sebelumnya. Perasaan iba menyemak di hati Dewa Arak.
Dia bisa merasakan kehancuran hati Pengemis Tua Berbulu Putih.
"Maaf Kek. Bukannya aku lancang atau menggumi. Tapi seperti
yang kukatakan tadi, mengapa kau tidak berusaha meluruskan jalan
perkumpulan itu? Aku yakin kau mampu. Apalagi mengingat jabatan yang
dulu kau sandang."
Pengemis Tua Berbulu Putih mengumt dada dengan sikap prihatin.
Dia tidak kelihatan gembira mendengar usul Arya.
"Seperti juga yang kukatakan tadi. Anak Muda. Kau hanya tahu
kulitnya saja mengenai perkumpulan kami. Mungkin perlu kujelaskan kalau
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah mempunyai aturan yang amat keras.
Setiap anggotanya harus taat sepenuhnya pada orang yang memegang
pusaka lambang perkumpulan. Pusaka itu dipegang oleh sang ketua. Baik
bumknya perkumpulan ditentukan oleh dia. Apabila sang ketua telah
bertitah dengan mengangkat tongkat lambang perkumpulan, tidak boleh ada
bantahan apa pun dari para anggota. Itu sudah merupakan aturan mati.
Anggota yang membantah akan dihukum dengan jalan bunuh diri di
hadapan semua anggota perkumpulan!"
"Tidak terkecuali kau, Kek?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak ada kecualinya. Anak Muda!" tandas Pengemis Tua
Berbulu Putih. "Karena tidak tahan melihat kesesatan yang terjadi, aku
memilih pergi meninggalkan perkumpulan. Aku hanya bisa mendengar dan
menyaksikan semuanya dengan batin merintih sedih."
"Yang kuherankan, mengapa kau bisa salah memilih orang untuk
menjadi ketua? Dan, mengapa kau mengundurkan diri dari jabatan itu kalau
kau tahu malapetaka akan teijadi? Menumtku kau belum terlalu tua untuk
menjabat pimpinan perkumpulan."
"Mungkin menurut penilaianmu belum terlalu tua. Anak Muda.
Tapi, aku merasa sebaliknya. Aku sudah jenuh mengurus perkumpulan. Aku
ingin menyepi dan bebas dari urusan. Kupilih muridku yang terbaik. Aku
tidak salah memilih orang. Tapi karena ada orang yang berhati keji, semua
ini teijadi. Ketua yang kuangkat terpengaruh ilmu hitam yang dilancarkan
seseorang. Dia lalu bertindak bukan dari hatinya sendiri," jelas Pengemis
Tua Berbulu Putih
Arya mengeluarkan seman kaget mendengarnya. Dia sungguh
tidak menyangka hal itu. Meski demikian, dia tidak merasa heran. Banyak
ilmu-ilmu aneh di dunia ini. Hal yang wajar jika Ketua Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah terkena pengamh ilmu hitam seseorang.
"Apakah kau tahu siapa orangnya, Kek?" desak Aiya penuh rasa
ingin tahu.
Pengemis Tua Berbulu Putih mengangguk pelan
"Seorang musuh besarku. Ia dendam padaku karena pemah
kukalahkan belasan tahun yang lalu. Seorang tokoh sesat yang beijuluk
Penunggu Alam Kubur."
"Penunggu Alam Kubur?!" ulang Arya dengan alis berkerut.
"Kau mengenalnya. Anak Muda?" tanya Pengemis Tua Berbulu
Putih penuh gairah, berbeda dengan sebelumnya yang dingin dan tak acuh.
Arya menggeleng.
"Aku hanya mendengar beritanya saja, Kek. Kudengar dia seorang
tokoh sesat yang amat sakti. Kabarnya dia telah mengundurkan diri dari
dunia persilatan. Lenyap begitu saja tanpa ada yang tahu ke mana. Tokoh
itu tidak pernah terlihat wajah maupun tubuhnya karena selalu berada di
dalam peti mati. Ketika bertarung pun dia tetap tidak keluar dari tempatnya.
Apa benar demikian, Kek?"
"Benar, Anak Muda. Tapi ketika bentrok denganku, peti matinya
berhasil kuhancurkan! Dia dapat lolos dengan menyebarkan uap beracun.
Karena kekalahannya itu dia tidak pernah muncul lagi ke dunia persilatan.
Kendati demikian, aku kenal semua ilmu-ilmunya. Karena itu aku yakin
kejadian yang menimpa perkumpulanku adalah ulahnya"
Suasana hening ketika Pengemis Tua Berbulu Putih menyelesaikan
ceritanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan, Kek?"
"Mencari dan membunuhnya. Anak Muda. Hanya itulah satu-
satunya jalan agar Perkumpulan Pengemis Tangan Merah berhenti
melakukan tindak kekejian!" jawab Pengemis Tua Berbulu Putih. Tegas dan
mantap suaranya.
"Kau mempunyai dugaan di mana Penunggu Alam Kubur itu
berada?"
Sorot mata yang semula berbinar-binar penuh semangat itu kini
redup. Aiya segera tahu jawaban yang akan didapatkannya. Kakek
berpakaian tambalan menggelengkan kepala.
Arya menghembuskan napas berat. Bagaimana mungkin mencari
seseorang di dunia yang begini luas? Tanpa ada perkiraan sama sekali!
Kapan akan bisa ditemukan? Sebulan? Setahun? Selama itu Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah akan merajalela tanpa dapat dicegah.
"Aku mempunyai seorang kenalan, Kek. Seorang tokoh aneh yang
dapat meramalkan keberadaan seseorang hanya dengan kita menyebutkan
ciri-cirinya. Dia beijuluk Peramal Gendeng. Sayang, tokoh itu sudah
meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain, karena
tempat pengasingannya sudah diketahui orang," beritahu Arya setengah
mengeluh (Untuk jelasnya mengenai tokoh aneh itu silakan baca episode:
"Iblis Buta". Setelah bertempur dengan Jerangkong Penjagal Nyawa yang
berakibat tokoh aneh itu celaka kalau tidak ditolong Dewa Arak, Peramal
Gendeng pergi meninggalkan tempatnya).
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan tanggapan.
"Meski demikian, bukan berarti aku tinggal diam, Kek. Aku akan
berusaha menemukan Penunggu Alam Kubur," janji Arya.
Bekas Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah menatap
wajah Aiya lekat-lekat.
"Benarkah kau ingin membantu kami. Anak Muda?"
"Tentu saja, Kek!" tandas Arya.
"Mungkin kau tidak perlu bersusah-susah mencarinya. Meski tidak
berani mengaku pandai dalam hal ilmu gaib, aku mampu merasakan
getaran-getaran bila seseorang memiliki ilmu gaib. Kemampuan yang
kumiliki hanya sampai di situ. T api itu kurasa lebih dari cukup. Perlu kau
ketahui, Anak Muda. Pada dirimu kurasakan getaran-getaran itu. Kau
memiliki ilmu gaib. Apakah dugaanku ini benar?"
"Maaf Kek. Kurasa kau salah alamat. Aku tidak memiliki ilmu
gaib!" bantah Aiya.
"Benarkah demikian. Anak Muda?" Pengemis Tua Berbulu Putin
tidak percaya. "Kurasakan getaran-getaran itu. Kuat bukan main. Ingat-
ingatlah. Mungkin kau tidak menyadarinya. Andaikata benar kau tidak
memiliki ilmu gaib, tak mungkin getarannya kurasakan. Apalagi demikian
kuat!"
Keyakinan yang sangat dalam pernyataan Pengemis Tua Berbulu
Putih membuat Arya merenung. Pemuda berambut putih keperakan ini
kemudian teringat sesuatu. Dia memang tidak memiliki ilmu gaib. Tapi,
pemah berhubungan dengan hal-hal gaib. Lebih tepatnya lagi dengan
makhluk dari alam gaib. Beberapa kali makhluk yang berupa belalang
raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya.
"Mungkinkah yang kau maksudkan itu pernah masuknya makhluk
dari alam gaib ke dalam tubuhku, Kek?" tanya Arya, meminta kepastian.
"Makhluk alam gaib masuk ke dalam tubuhmu. Anak Muda?
Mungkinkah itu?! Kalau benar demikian tidak aneh getaran-getaran yang
kualami demikian besar. Ini benar-benar luar biasa! Bisa kau ceritakan
mengapa makhluk alam gaib itu bisa masuk ke dalam dirimu? Boleh kutahu
berbentuk apakah makhluk itu? Jin, raksasa, binatang, atau roh orang yang
meninggal?"
Arya menghembuskan napas berat. Suaranya terdengar penuh
penyesalan ketika berbicara.
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa menceritakannya. Ini
merupakan rahasia diriku. Maaikan aku. Bukannya aku tidak percaya
padamu. Aku tidak bisa menceritakannya pada orang lain..."
"Aku bisa mengerti. Anak Muda. Kau tidak usah khawatir aku
akan tersinggung. Kau tidak perlu meminta maaf Itu hakmu!" sambut
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan nada datar. "Tapi, boleh aku
mengajukan pertanyaan padamu?"
"Kemukakan saja, Kek. Barangkali aku bisa menjawabnya," jawab
Arya, hah hati. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani langsung
menyanggupi.
"Makhluk alam gaib itu masuk ke dalam dirimu sekehendak
hatinya atau karena kau inginkan? Misalnya, kau panggil begitu?"
"Dia masuk apabila kupanggil."
"Sudah cukup. Anak Muda! Hanya itu pertanyaanku! Kalau kau
benar-benar hendak membantuku, kuharap kau mau memanggil makhluk
itu. Dari jawaban makhluk alam gaib itu kita bisa tahu di mana Penunggu
Alam Kubur."
Arya termenung. Tidak langsung mengiyakan atau menolak.
"Bagaimana, Anak Muda? Kalau kau setuju cepat berikan jawaban.
Aku bukan termasuk orang yang sabar. Jika tidak, aku akan pergi dan
mencarinya sendiri," desak si kakek.
"Aku setuju, Kek." Aiya segera mengambil keputusan. "Tapi, aku
masih tidak tahu rencanamu."
"Sederhana saja," timpal Pengemis Tua Berbulu Putih. "Kau
panggil makhluk itu dan perintahkan masuk ke dalam batu ini. Setelah itu
tanyakan di mana Penunggu Alam Kubur. Nanti makhluk itu akan
memberikan jawaban berupa tulisan di tanah!"
Tanpa menunggu jawaban Arya, si kakek menaruh sebuah batu
yang tadi dipungutnya dari tanah. Sebutir batu sebesar kepalan tangan yang
berujung runcing.
Arya masih bingung. Pemuda ini tidak yakin akan keberhasilan
rencana Pengemis Tua Berbulu Putih. Memang diakui dia beberapa kali
pemah memanggil belalang raksasa. Tapi untuk masuk ke dalam dirinya.
Bukan ke dalam batu seperti yang dipinta si kakek
Namun Arya sudah menyanggupi. Segera dipusatkan pikirannya
dan memanggil belalang raksasa di alam gaib agar masuk ke dalam batu.
Beberapa saat kemudian angin berhembus. Pelan tapi dingin. Perasaan
gembira bercampur lega muncul di hati Arya ketika melihat batu yang
semula diam kini bergerak-gerak. Gerakan itu terhenti ketika batu berdiri
dengan ujungnya yang runcing menempel di tanah.
"Sekarang perintahkan padanya untuk memberitahukan di mana
Penunggu Alam Kubur, Anak Muda." Pengemis Tua Berbulu Putih segera
berkata.
Kembali, Dewa Arak memusatkan pikiran. Dia berbicara di dalam
hati untuk memerintahkan belalang raksasa yang telah berada di dalam batu.
Begitu Aiya selesai berbicara, batu itu bergerak-gerak. Ujungnya yang
runcing menggurat-gurat tanah seperti ada tangan tak nampak yang
menggerakk annya.
Arya dan Pengemis Tua Berbulu Putih memperhatikannya dengan
penuh minat. Mata mereka seperti menempel pada gerakan batu. Ketika
gerakan batu berhenti, di tanah terdapat sebaris tulisan. Arya dan Pengemis
Tua Berbulu Putih membacanya cukup keras.
"Penunggu Alam Kubur berada di pegunungan kapur. Di salah satu
gua yang dindingnya berupa tebing berbentuk gambar kepala harimau!"
Hampir berbarengan Arya dan si kakek menyelesaikan ucapannya.
Arya menatap bekas pemimpin Perkumpulan Pengemis Tangan Merah.
Tapi, si kakek tak mempedulikan. Dia malah mengeluarkan sehelai kain
hitam sepanjang duajengkal. Cepat batu runcing diikat dengan kain hitam.
Arya mengernyitkan alisnya. Tidak mengerti dengan tindakan
Pengemis Tua Berbulu Putih. "Apa yang hendak kau lakukan, Kek?" tanya
Arya.
"Membawa batu ini. Anak Muda. Batu bekas tempat makhluk
gaibmu akan menuntunku ke tempat yang benar. Apabila aku salah jalan,
dengan adanya batu ini aku bisa merasakan getaran-getaran yang
menunjukkan kesalahanku," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih
"Apakah keterangan itu sudah cukup, Kek?" tanya Arya setelah
mengangguk-anggukkan kepala memahami penjelasan si kakek.
"Petunjuk itu cukup jelas. Anak Muda."
"Kalau begitu, sudah saatnya makhluk gaib itu kuminta pergi."
Arya segera memejamkan mata untuk memusatkan perhatian. T api,
segera dibukanya lagi ketika mendengar ucapan Pengemis Tua Berbulu
Putih.
"Kau benar-benar buta dengan ilmu-ilmu gaib. Anak Muda?!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek?" jawab Arya.
"Makhluk gaib itu sudah pergi!" tegas Pengemis Tua Berbulu
Putih. "Makhluk itu pergi begitu selesai menuliskan petunjuk Kukira kau
mengetahuinya...."
"Aku tidak mengetahuinya, Kek. Aku tidak tahu makhluk itu telah
pergi. Aku tahu kepergiannya kalau makhluk itu masuk ke dalam tubuhku."
Pengemis Tua Berbulu Putih menatap Arya lekat-lekat. Dia tengah
mencari kesungguhan ucapan Arya dalam wajahnya.
"Kalau tidak mendengar sendiri, aku tidak akan percaya orang
yang buta ilmu gaib sepertimu bisa memanggil makhluk dari alam gaib.
Sulit untuk dipercaya," ujar si kakek kemudian.
Arya tersenyum simpul. Dia tidak memberikan jawaban. Di
samping memang tidak perlu, pemuda berambut putih keperakan ini pun
tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan, Kek? Mengejar Penunggu
Alam Kubur?"
"Begitulah, Anak Muda. Tapi sebelum itu aku ingin menengok
perkumpulanku!" ujar si kekek.
"Aku ikut, Kek!" Arya mengajukan diri. "Barangkali tenagaku
yang kurang berarti ini dapat kusumbangkan untuk membantumu."
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan jawaban. Yang
dilakukan kakek berpakaian tambalan itu malah melesat pergi. Arya
mengangkat kedua bahunya kemudian melesat menyusul si kakek. Meski
tidak ada jawaban sedikit pun, menurut perkiraan Arya, kakek itu tidak
keberatan dia ikut serta.
Dewa Arak merasakan kehebatan Pengemis Tua Berbulu Putih
Betapapun Arya telah mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara
dia dan kakek itu tidak berubah. Sekitar delapan tombak. Arya yang terus
menujukan pandangan ke depan jadi mengerutkan sepasang alisnya ketika
melihat di kejauhan tampak beberapa orang tengah terlibat pertarungan
Seorang kakek yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya karena cukup
jauh tengah menghadapi lima orang lelaki berpakaian penuh tambalan.
Tangan kelima lelaki yang merah menunjukkan kalau mereka anggota
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Arya bertambah heran melihat
gerakan ilmu golok lawan kelompok pengemis. Ilmu golok kakek itu tidak
asing bagi Arya.
Ternyata bukan hanya Arya yang tertarik dengan pertarungan itu.
Pengemis Tua Berbulu Putih pun demikian. Kakek itu menghentikan larinya
ketika jarak dengan kancah pertarungan tinggal lima tombak.
Arya menghentikan langkah di sebelah kiri kakek berpakaian
tambalan itu. Dikerlingnya sejenak Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum
mengarahkan perhatian pada pertarungan. Dilihatnya wajah bekas Ketua
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah itu biasa saja. Napasnya pun tidak
memburu walau ada sedikit keringat di keningnya. Sementara Aiya
wajahnya agak memerah. Keringat pun tidak hanya di dahi, melainkan juga
di leher dan di bawah hidung!
Ketika Arya mengalihkan perhatian pada kakek yang tengah
bertarung, dia bertambah heran. Tidak salah dugaannya. Ilmu golok itu
pernah dikenalnya. Kakek itu pun dikenalnya dengan cukup baik. Kakek
yang wajahnya berbintik-bintik putih itu tidak lain Pandora. Pelayan
kepercayaan Pendekar Golok Baja yang menjadi kakek kandung Iblis Hitam
alias Kala Sunggi!
Yang menjadi pertanyaan Aiya, mengapa Pandora berada di
tempat ini? Adakah hubungannya dengan keberadaan Iblis Hitam? Padahal
tempat tinggal kedua orang itu cukup jauh dari sini!
Meski tengah memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh
minat. Pengemis Tua Berbulu Putih sempat melihat ke arah Arya. Kakek itu
menolehkan kepala menatap wajah Dewa Arak penuh selidik.
"Kau kenal kakek bergolok itu. Anak Muda?"
"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Dia kawan baikku"
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Dia segera mengalihkan perhatian pada jalannya pertarungan. Arya pun
demikian.
4
Arya mengerutkan alis. Pemuda ini khawatir dengan keselamatan
Pandora. Jika pertarungan ini tems berlangsung, keselamatan pelayan
Pendekar Golok Baja itu terancam.
Terlihat jelas oleh Arya gulungan sinar golok Pandora semakin
menyempit, terdesak oleh gulungan sinar tongkat lawan-lawannya. Memang
kepandaian Pandora berada di atas lawan-lawannya, tapi lima orang terlalu
berat bagi Pandora. Apalagi kelima lawannya itu mampu bekeija sama
dengan baik
Kekhawatiran Dewa Arak beralasan. Dengan sebuah gerak tipu
yang baik dua orang anggota Pengemis Tangan Merah berhasil menjepit
golok Pandora. Sebelum kakek berwajah bintik-bintik putih itu sempat
berbuat sesuatu, tiga batang tongkat lawannya telah meluruk datang.
Pandora tidak punya pilihan lain. Jika dia bersikeras
mempertahankan golok, nyawanya akan melayang. Maka meski dengan
berat hati senjata andalannya itu dilepaskan. Kakek ini lalu melempar
tubuhnya ke belakang.
Gerakan Pandora ternyata kurang cepat! Salah satu tongkat lawan
tetap bersarang di tubuhnya. Pangkal lengan kanan Pandora kena gebuk.
Telak dan keras. Tubuh Pandora terjengkang dan terbanting di tanah. Kakek
ini memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebelum sempat bangkit, lima
lawannya telah meluruk maju dengan tongkat diayunkan. Pandora hanya
bisa membelalakkan mata untuk menghadapi maut
Pada kejadian ini, Arya tidak bisa tinggal diam lagi. Betapapun
tidak diketahui penyebab pertarungan itu, tapi sudah jelas pihak yang
diketahui Dewa Arak berada di jalan benar tengah terancam. Laksana
seekor burung, pemuda berambut putih keperakan ini melayang ke dalam
kancah pertarungan. Tubuhnya menyelinap di antara lima orang pengemis
dan Pandora.
Bunyi berdentang nyaring beberapa kali terdengar ketika guci
Dewa Arak berbenturan dengan tongkat para pengemis. Tongkat-tongkat itu
langsung berlepasan dari pegangan. Tubuh pemiliknya teijengkang ke
belakang.
Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Arya segera membalikkan
tubuh dan berjongkok memeriksa keadaan Pandora. Terlihat wajah kakek
itu berseri-seri gembira. Bibirnya berkemik menyebut satu nama.
"Dewa Arak! Tidak kusangka bisa beijumpa di sini...."
"Selamat bertemu lagi, Pandora. Aku pun tidak menyangka akan
bertemu denganmu. Biar kuperiksa dulu lukamu."
Cepat Arya memeriksa bagian tangan yang terkena pukulan
tongkat. Ternyata tidak terlalu parah. Dengan beberapa totokan napas sesak
Pandora pulih kembali. Bahkan, rasa sakit di dadanya pun langsung lenyap.
Walau sibuk mengurusi Pandora, Arya tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Pendengarannya dipertajam untuk mengetahui gerak-
gerik lima pengemis di belakangnya. Karena itulah dia tahu mereka telah
menggenggam tongkat masing-masing dan siap melancarkan serangan.
"Dewa Arak! Awas di belakangmu...!" sem Pandora ketika
Pengemis-pengemis Tangan Merah menerjang Dewa Arak dengan ayunan
tongkat.
Sebenarnya, Pandora tidak perlu memberi peringatan. Arya telah
mengetahuinya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera membalikkan
tubuh seraya mengembangkan kedua tangannya. Akibatnya benar-benar
menakjubkan. Kelima Pengemis Tangan Merah tak ubahnya terhantam
angin badai. Tubuh mereka beipentalan ke sana kemari seperti daun-daun
kering.
Bemntung Dewa Arak masih memandang Pengemis Tua Berbulu
Putih. Betapapun telah didengarnya tindak-tanduk anggota Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah yang keji, namun dengan adanya Pengemis Tua
Berbulu Putih di situ kakek inilah yang lebih berhak untuk bertindak. Biar
bagaimanapun kakek ini sesepuh perkumpulan pengemis itu Memberikan
hajaran terhadap mereka dengan adanya Pengemis Tua Berbulu Putih sama
artinya tidak menganggap keberadaan beliau.
Seperti yang diduga Dewa Arak, lima Pengemis Tangan Merah
tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka tidak tahu Arya telah berlaku
sangat mengalah. Begitu berhasil bangkit dari bergulingannya, mereka
langsung bersiap untuk menerjang kembali.
Arya memutar benaknya. Pemuda ini jadi serba salah. Pengemis
Tua Berbulu Putih belum juga melakukan tindakan.
Di saat Arya telah mengambil keputusan untuk memberikan
hajaran lebih keras, pendengarannya menangkap kesiuran angin dingin.
Arya merasa lega. Pengemis Tua Berbulu Putih telah siap untuk bertindak.
Sekejap kemudian, di antara lima pengemis dan Arya, berdiri
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan kedua tangan di pinggang. Sikapnya
kelihatan penuh wibawa.
Lima Pengemis Tangan Merah terperanjat kaget. Tangan-tangan
yang semula menegang siap melancarkan serangan, melemas kembali.
Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan sikap serba salah.
"Pengemis Tua, mengapa menghalangi maksud kami? Dia telah
lancang mencampuri urusan kami?" tanya pengemis yang berhidung besar,
suaranya terdengar pelan.
"Siapa yang hendak menghalangi maksud kalian? Aku malah
menawarkan diri untuk kalian serang. Tidak usah tanggung-tanggung kalau
bertindak. Ayo! Sekalian serang aku!"
Tongkat-tongkat yang tergenggam di tangan dijatuhkan ke tanah.
Salah satu ujungnya menyentuh tanah, sedangkan ujung lainnya tetap
berada di cekalan. Terlihat jelas kelima pengemis itu tidak berani meladeni
tantangan Pengemis Tua Berbulu Putih
"Mana kami berani?" lagi-lagi pengemis berhidung besar yang
memberikan jawaban. Rupanya, kawan-kawannya telah memilihnya sebagai
juru bicara mereka.
"Kalau begitu lekas kalian pergi dari sini. Sampaikan pada murid
durhaka itu kalau aku akan mengunjunginya dan mencabut nyawanya!
Cepat! Jangan tunggu kesabaranku hilang dan kalian kubunuh!" teriak
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan suara menggeledek.
Lima pengemis itu kembali saling berpandangan. Dalam adu
pandang itu satu kesepakatan telah mereka capai. Setelah mengangguk
hormat pada Pengemis Tua Berbulu Putih, mereka membalikkan tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu. Tak lupa sebelum melesat pandangan
penuh kebencian dan ancaman dilayangkan pada Dewa Arak dan Pandora.
T api, kedua orang itu tidak mempedulikannya.
Arya mengalihkan perhatian pada Pandora. Kakek itu telah berdiri
tegak. Goloknya yang tergeletak di tanah telah disarungkan kembali dan
diletakkan di belakang punggungnya.
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mempedulikan Arya dan
Pandora. Dia masih terpaku menatap kepergian lima Pengemis Tangan
Merah.
***
"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apa pula masalahnya
sehingga kau bentrok dengan para Pengemis Tangan Merah itu?" tanya
Arya.
"Panjang sekali ceritanya. Dewa Arak," jawab Pandora. Dihelanya
napas berat. Kakek itu lalu menengadahkan wajah menatap angkasa. Kemu¬
dian katanya setelah menatap Arya sejenak, "Beberapa waktu yang lalu
Tuan Prajasena mendapat kiriman surat melalui seekor bumng. Surat itu
berisikan pesan agar Tuan Praj asena segera datang ke sebuah tempat. Ada
masalah penting yang harus dibicarakan segera. Tuan Prajasena pun pergi.
Dia berpesan agar aku menyampaikan berita kepergiannya pada Tuan Kala
Sunggi. Katakan saja ada masalah penting dengan kawan lama, pesan Tuan
Prajasena padaku untuk disampaikan pada Tuan Kala Sunggi."
"Kau tidak tahu di mana tempat yang dimaksud kawan lama Tuan
Prajasena itu, Kek?" Pandora menggeleng. "Barangkali kau tahu orang yang
akan ditemuinya?" tanya Arya lagi.
"Sayang sekali. Dewa Arak," keluh Pandora "Tuan Prajasena tidak
memberitahuku. Mungkin masalah yang tengah dihadapinya amat rahasia.
Kalau tidak pasti akan diceritakannya pad aku."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang, dia sudah bisa
mengira-ngira apa yang tengah leijadi. Pandora dan Iblis Hitam berada di
tempat ini ada hubungannya dengan Prajasena alias Pendekar Golok Baja.
"Setelah batas waktu yang ditentukan Tuan Prajasena terlewat,
kutemui Tuan Kala Sunggi yang tengah menyepi untuk mengasah batin.
Kusampaikan surat Tuan Prajasena padanya. Tuan Kala Sunggi segera pergi
menyusul."
Arya bertambah yakin kini. Sesuatu telah menimpa Iblis Hitam.
Telah dilihatnya sendiri keanehan sikap Iblis Hitam. Berarti, sesuatu telah
terjadi pula atas diri Pendekar Golok Baja.
"Tuan Kala Sunggi pergi," lanjut Pandora. "Beberapa hari
kemudian dia kembali. Sikapnya berbeda sekali. Dewa Arak. Aku jadi
khawatir dan cem as."
"Berubah bagaimana, Kek? Apakah dia menjadi jahat?" Arya
teringat percobaan pembunuhan yang dilakukan Iblis Hitam terhadapnya.
"Tidak sampai separah itu," Pandora menggelengkan kepala. "Dia
jadi sering termenung. Ketika kutanyakan mengenai nasib Tuan Prajasena,
dijawabnya dia tidak pernah bertemu. Tempat yang dimaksud dalam surat
ternyata kosong. Beberapa hari kemudian dia pergi. Tuan Kala Sunggi
pamit padaku. Aku yang khawatir dengan keadaan Tuan Kala Sunggi serta
mencemaskan keselamatan Tuan Prajasena, memutuskan untuk pergi.
Niatku hanya satu. Dewa Arak. Mencarimu dan meminta bantuanmu untuk
menyelamatkan nasib tuan-tuanku itu."
Arya tercenung sebentar. "Ada rahasia besar di sini, Kek. Semua
itu aku yakin berawal dari surat yang datang. Apakah kau sempat
membacany a?"
"Tidak, Dewa Arak. Aku tidak berani bertindak selancang itu.
Kalau tuan-tuanku memberi izin, mungkin keadaannya akan menjadi lain.
Tapi ini tidak," keluh Pandora. Terasa benar nada penyesalan dalam
suarany a.
"Aku telah beijumpa dengan Kala Sunggi, Kek," beritahu Arya
dengan suara pelan, takut memberi kejutan.
"Benarkah?!" Pandora setengah terpekik. Dia kelihatan kaget dan
gembira. "Lalu..., bagaimana. Dewa Arak?"
"Seperti yang kau ceritakan padaku. Kala Sunggi menjadi manusia
baru."
Dengan singkat. Dewa Arak menceritakan pengalamannya
beijumpa dengan Iblis Hitam. Pandora menarik napas berulang-ulang
dengan sikap prihatin yang tidak bisa disembunyikan. Di dekat mereka.
Pengemis Tua Berbulu Putih masih menatap ke tempat lima Pengemis
Tangan Merah pergi.
"Hampir aku lupa, Kek," ucap Aiya setelah menyelesaikan
ceritanya. "Mengapa kau bentrok dengan Pengemis-pengemis Tangan
Merah?"
"Mana mungkin aku berdiam diri melihat mereka membawa
seorang wanita muda. Dewa Arak?" ujar Pandora dengan geram. "Meski
nyawaku hampir melayang, tapi wanita muda itu bisa kuselamatkan. Dia
telah pulang ke tempat tinggalnya."
"Hm.„!"
Arya dan Pandora menoleh menatap Pengemis Tua Berbulu Putih.
Kakek ini baru menggumam ketika mendengar percakapan Pandora dan
Arya sampai pada permasalahan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah.
Kakek ini merasa terusik.
Pandora mengernyitkan alis, tak senang melihat pakaian Pengemis
Tua Berbulu Putih. Dia baru menyadari kakek yang datang bersama Aiya
mengenakan pakaian sama dengan lawan-lawannya tadi.
Pandora meraba hulu goloknya ketika tatapannya sampai pada
tangan Pengemis Tua Berbulu Putih yang berwarna merah. Tidak keliru
lagi, kakek ini pasti ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah, pikir Pandora.
Arya buru-buru menyentuh pergelangan tangan Pandora yang
menggenggam golok. Kepalanya digelengkan memberi isyarat untuk tidak
meneruskan maksud Pandora.
"Jangan samakan dia dengan para pengeroyokmu, Kek. Dia
berbeda. Aku dan dia akan pergi ke perkumpulan itu untuk mencegah
terjadinya kejahatan baru," jelas Arya.
Pandora menurunkan tangannya. Sekujur urat-urat syaraf yang
menegang kaku melemas kembali. Dia percaya penuh pada kejujuran Dewa
Arak.
"Apakah kau akan ikut bersama kami?" Arya menawarkan.
"Sayang sekali. Dewa Arak. Aku lebih suka mencari Tuan
Prajasena. Mudah-mudahan dia belum pergi jauh. Syukur kalau beliau mau
mendengar ucapanku," tolak Pandora.
"Mungkin lebih baik demikian, Kek," timpal Arya setel ah berpikir
sebentar. "Kita berpencar untuk memecahkan masalah mi. Aku yakin.
semua ini ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah."
"Terima kasih atas bantuanmu. Dewa Arak. Kalau ada umur pasti
kita bertemu lagi. Selamat tinggal!"
Pandora lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya
dianggukkan kepalanya sedikit, meski dengan kaku, ke arah Pengemis Tua
Berbulu Putih Rasa kurang senang Pandora semakin menjadi ketika melihat
anggukannya tidak mendapat balasan. Kejengkelan itu dilampiaskan dengan
mempercepat larinya. Di dalam hati kakek berwajah bintik-bintik putih ini
memaki-maki
***
"Sehabis hutan kecil ini beberapa ratus tombak di depan, di balik
sebuah bukit kecil, tempat yang menjadi markas Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih, tanpa menoleh.
Saat itu Pengemis Tua Berbulu Putih dan Dewa Arak tengah
berlari cepat agar bisa sesegera mungkin tiba di Perkumpulan Pengemis
T angan Merah.
"Tak lama lagi kita harus bekerja keras. Bukankah demikian,
Kek?" timpal Aiya.
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberi jawaban. Tapi
sebentar kemudian, ketika pandangannya membentur sesuatu di depan,
mulutnya bergerak membuka.
"Tak perlu nanti. Sekarang juga kurasa kita sudah harus bekerja
keras!"
Di mulut hutan sana berdiri tiga sosok tubuh. Sikap mereka
kelihatan penuh ancaman. Jantung Aiya berdetak lebih cepat ketika
mengenali salah satu di antara mereka adalah Iblis Hitam! Dua sosok
lainnya tidak dikenalnya. Melihat sorot mata mereka yang mencorong
tajam. Dewa Arak tahu sosok-sosok yang berdiri di kanan-kiri Iblis Hitam
memiliki kepandaian tinggi.
"Kau mengenail mereka, Kek? Salah satu dari mereka, yang
berpakaian serba hitam, kukenal. Entah yang dua lagi," ujar Aiya sambil
terus berlari di sebelah Pengemis Tua Berbulu Putih. Jarak mereka dengan
para penghadang masih berkisar lima belas tombak.
"Mereka bukan tokoh-tokoh sembarangan. Dewa Arak. Yang
bertangan sebelah beijuluk Naga Berekor Tiga. Sedangkan yang berkulit
hitam Macan Kumbang Maut!"
Arya kaget juga mendengar keterangan itu. Pengemis Tua Berbulu
Putih memang tidak berlebih-lebihan. Dua tokoh di sebelah Iblis Hitam
memang tokoh-tokoh besar.
Naga Berekor Tiga merupakan datuk golongan putih. Dia amat
terkenal. Nama besarnya tidak kalah tenar dengan julukan Iblis Hitam yang
telah melegenda. Telah puluhan tokoh hitam roboh di tangan Naga Berekor
Tiga.
Tokoh yang berjuluk Macan Kumbang Maut tak kalah hebat.
Kalau Naga Berekor Tiga merupakan pentolan kaum putih. Macan
Kumbang Maut merupakan dedengkot kaum sesat. Tak terhitung tokoh-
tokoh golongan putih yang dibantainya. Bahkan, pentolan-pentolan kaum
hitam yang menentangnya pun banyak yang tewas di tangannya. Menurut
kabar yang tersiar di rimba persilatan. Naga Berekor Tiga dan Macan
Kumbang Maut telah bentrok. Namun tidak ada yang kalah ataupun yang
menang. Keduanya sama-sama menderita luka berat
Sekarang, tiga tokoh besar itu bergabung menghadang peijalanan
Dewa Arak dan Pengemis Tua Berbulu Putih
Arya menghentikan larinya ketika Pengemis Tua Berbulu Putih
berhenti, larak mereka delapan tombak dengan para penghadang. Mengapa
Naga Berekor Tiga dan Macan Kumbang Maut bergabung? Bukankah dua
tokoh itu saling bertentangan? Tanya Arya dalam hati. Tidak pernah
terdengar mereka bisa bersatu. Dua tokoh itu bagai minyak dan air.
Teka-teki itu semakin besar ketika melihat para penghadang tidak
bertindak apapun. Merekaberdiri saja seperti orang kebingungan.
"Dewa Arak...!"
Seman penuh kegembiraan Iblis Hitam membuat Arya heran
bukan main. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam dunia
persilatan, Arya tahu panggilan penuh kegembiraan itu keluar dari lubuk
hati yang tulus. Bukan tipuan.
Bersamaan dengan dikeluarkannya panggilan itu. Iblis Hitam
menghambur ke arah Dewa Arak. Tingkahnya seperti kawan lama yang tak
menyangka akan dapat beijumpa. Aiya terkesima. Dia bingung hendak
bertindak bagaimana. Pemuda ini diam di tempatnya seperti orang dungu.
"Dewa Arak..?!"
Ucapan penuh keheranan itu dikeluarkan Naga Berekor Tiga.
Sepasang mata tokoh ini yang bersinar kehijauan menatap Arya penuh
selidik.
"Inikah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu? Masih
begini muda. Luar biasa! Semuda ini sudah membuat nama besar...!"
Lain lagi sikap Macan Kumbang Maut. Dia tidak mempedulikan
Dewa Arak. Pandangannya tertuju pada Pengemis Tua Berbulu Putih Sinar
matanya kelihatan garang.
"Kiranya kau di sini. Gembel Busuk? Sekaranglah saatnya bagiku
untuk membuat perhitungan!" geram Macan Kumbang Maut seraya
melangkah mendekati Pengemis Tua Berbulu Putih
Baru beberapa tindak, langkah Iblis Hitam dan Macan Kumbang
Maut terhenti. Tiba-tiba mereka terpaku. Lalu, kilatan hawa maut memancar
pada sepasang mata mereka.
Arya yang sudah waspada sejak tadi langsung melompat ke
belakang melihat keanehan pada Iblis Hitam. Tindakan ini membuat Dewa
Arak lolos dan maut. Pada saat yang bersamaan dengan melompatnya dia ke
belakang. Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut melancarkan serangan
terhadapny a.
Iblis Hitam yang lebih dulu menyerang. Tokoh berpakaian serba
gelap ini menggulingkan tubuh dan begitu bangkit berdiri langsung
mengirimkan pukulan kedua tangan ke arah pusar Aiya.
Tindak Macan Kumbang Maut lebih menakjubkan lagi. Tokoh
sesat berkulit hitam legam ini mengeluarkan geraman keras seperti harimau
murka. Sesaat kemudian, dia melompat dan mengirimkan sampokan tangan
ke arah pelipis Dewa Arak.
5
Arya menghembuskan napas lega. Bersyukur karena tidak
meninggalkan kewaspadaan. Kalau tidak nyawanya pasti sudah melayang
ke alam baka. Serangan mendadak tokoh-tokoh seperti Iblis Hitam dan
Macan Kumbang Maut tidak bisa dibuat main-main!
Dewa Arak segera menenggak araknya. Sesaat kemudian tubuhnya
mulai limbung. Kedua kakinya tidak menapak tanah dengan tetap. Pertanda
ilmu Belalang Sakti'telah siap untuk dipergunakan.
Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam.
Keduanya langsung meneijang Dewa Arak. Iblis Hitam dengan sepasang
kapak, sedangkan Macan Kumbang Maut mempergunakan sepasang cakar
baja yang mempunyai pegangan. Pertarungan sengit pun segera pecah.
Bukan hanya Dewa Arak yang mendapat serangan. Pengemis Tua
Berbulu Putih pun demikian. Naga Berekor Tiga meluruk ke arahnya
dengan totokan bertubi-tubi. Tokoh bertangan satu ini mempergunakan
lengan bajunya yang kosong. Mematuk-matuk bak seekor ular!
Pengemis Tua Berbulu Putih melompat jauh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Di samping untuk mengelakkan serangan
juga untuk membentuk kancah pertarungan lain yang tidak terlalu dekat
dengan pertarungan Dewa Arak.
Dalam sekejap hutan yang semula hening berubah hingar-bingar.
Bunyi berdesing, dan mengaung serta teriakan menyentakkan kesunyian.
Kelompok penghadang memang memiliki kemampuan
menggiriskan. Pengemis Tua Berbulu Putih, terutama Dewa Arak, dibuat
kewalahan.
Merupakan hal yang wajar kalau Dewa Arak terdesak hebat.
Kedua lawannya memiliki kepandaian yang dibilang sejajar dengannya.
Sepasang kapak Iblis Hitam yang mengeluarkan hawa dingin benar-benar
membuatnya kerepotan. Hawa yang mampu membekukan otot-otot itu
anehnya tidak berpengaruh terhadap Iblis Hitam dan Macan Kumbang
Maut. Mungkin karena dirinya yang diserang, duga Arya.
Sergapan hawa dingin dan serangan lawan-lawannya membuat
Arya bertarung mundur. Dalam waktu singkat kancah pertarungan bergeser
jauh Beruntung Dewa Arak memiliki langkah ajaib jurus 'Delapan Langkah
Belalang'.
Sambil tems mengadakan perlawanan, lebih tepatnya bertahan,
serangan Dewa Arak semakin lama semakin berkurang. Ia kini lebih sering
mengelak atau menangkis, kalau dia nekat mau mengadu nyawa, bisa
membawa salah satu lawannya ke akherat. Tapi Arya tidak mau melakukan
hal itu. Mereka tidak ada urusan sama sekali. Jadi, tidak perlu
membahayakan nyawa. Apalagi terhadap Iblis Hitam. Tokoh ini tidak
membencinya. Iblis Hitam terlihat gembira dengan pertemuan mereka.
Sebelum mengambil keputusan yang diyakininya benar. Dewa
Arak mengerling ke tempat pertarungan Pengemis Tua Berbulu Putih dan
Naga Berekor Tiga. Kedua tokoh itu sudah tidak berada di situ lagi.
Jalannya pertarungan telah membawa mereka terpisah dengan pertarungan
Dewa Arak.
Arya menemukan akal yang bagus ketika pertarungan bergeser ke
lapangan mmput yang luas. Lapangan yang ditumbuhi rumput setinggi
pinggang. Pemuda ini menggulingkan tubuh setelah terlebih dulu
membanting diri ke tanah mengelakkan serangan lawan.
Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tems membum. Tapi,
sambil mengeluarkan keluhan kaget, mendadak keduanya melempar tubuh
ke belakang. Gulingan tubuh Dewa Arak di mmput membuat tanaman itu
meluncur ke arah mereka.
Bresss...!
Meski hanya mmput dan serangan itu tercipta berkat kemampuan
Dewa Arak yang luar biasa. Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak
berani memandang remeh. Rumput-rumput itu mampu menembus dinding
karang yang paling keras sekali pun.
Karena menangkis serbuan mmput yang demikian banyak bisa
berakibat fatal, mengelaklah yang mereka pilih. Tindakan yang sudah
diduga Dewa Arak itu segera dimanfaatkan sebaik-baiknya Pemuda itu
melesat meninggalkan lawan-lawannya. Arya mengerahkan kemampuan
larinya yang tertinggi. Hanya dalam beberapa lesatan tubuhnya telah berada
belasan tombak di depan.
Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam. Sambil
menggeram marah mereka melesat, mengejar. Dewa Arak tidak mau
menanggung akibat buruk. Dicarinya tempat-tempat yang penuh ditumbuhi
pepohonan dan semak-semak agar para pengejarnya kehilangan jejak. Dia
memang yakin ilmu larinya tidak kalah dari lawan-lawannya. Tapi, kalau
diikuti tems membuatnya tidak nyaman.
Meski telah yakin Macan Kumbang Maut dan Iblis Hitam sudah
tidak mengejar lagi. Dewa Arak tidak mengurangi kecepatan larinya.
Kerimbunan semak-semak diterobos. Kerimbunan semak menguak
membuat jalan setapak ketika Dewa Arak telah berjarak dua tombak.
Semak-semak itu rebah ke kanan dan kiri.
Sambil tems berlari. Dewa Arak menyayangkan terjadinya
penghadang itu. Ini membuatnya gagal untuk mengunjungi Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah. Sekarang dia telah kehilangan arah menuju
tempat itu.
Krusak...!
Arya memperlambat lari. Perhatiannya dipusatkan pada
pendengaran. Telinganya menangkap bunyi bergemerisik. Ada seseorang di
tempat ini!
Arya meningkatkan kewaspadaan. Siapa tahu Iblis Hitam atau
Macan Kumbang Maut. Dugaan itu membuat Arya menghentikan lari dan
melangkah hati-hati mendekati sumber suara. Arya tahu betapa lihainya dua
pengeroyoknya. Bunyi yang lirih pun telah cukup untuk membuat mereka
mendengar.
Arya mengernyitkan alis ketika mendengar bunyi itu semakin
jelas. Pendengarannya yang amat peka bisa memperkirakan bunyi yang
timbul, bukan dari langkah kaki, melainkan bunyi yang tercipta bila
seseorang memetik buah atau daun!
Arya terus bergerak. Bunyi itu berasal dari balik kerimbunan
semak. Melalui celah-celah semak pemuda ini mengintai.
Tampak sosok ramping terbungkus pakaian serba merah. Sosok
yang diyakini Arya milik seorang wanita muda berwajah cantik jelita. Tidak
mungkin rasanya seorang yang memiliki bentuk tubuh seindah itu terdapat
pada orang yang tidak berwajah cantik
Sosok berpakaian merah yang berdiri membelakangi itu tengah
memetik daun-daun. Arya tidak tahu nama daunnya, tapi biasa
dipergunakan untuk pengobatan. Jari-jari lentik serta halus itu meletakkan
daun-daun yang telah dipetiknya ke dalam keranj ang rotan yang terjinjing di
tangan kiri. Keranjang itu hampir penuh oleh berbagai macam akar-akaran,
daun-daunan, serta biji-bijian.
"Ehem...!"
Arya berdehem pelan untuk memberitahukan keberadaannya di
tempat itu. Tapi, pemuda ini tidak menyangka sosok itu demikian terkejut.
Dia sampai kaget dan bergegas beijingkat membalikkan tubuh.
"Maaikan kalau aku telah mengejutkanmu. Nona. Tapi,
percayalah. Aku bukan orang jahat," ujar Arya buru-buru sambil menyibak
semak dan memunculkan diri.
Sosok berpakaian merah memperbaiki sikapnya yang telah siap
tarung. Kendati demikian, sinar kecurigaan tidak hilang dari sepasang
matanya yang bening indah.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini? Apakah kau tidak tahu
kalau di sini jarang didatangi orang? Tempat ini terpencil dan j arang orang
tahu."
Suara itu demikian lembut dan merdu. Seindah bentuk tubuhnya.
Sayang, wajahnya tidak demikian. Wajah itu buruk. Penuh totol-totol hitam.
Bopeng!
"Tidak ada maksud apa pun. Nona," jawab Arya. Di dalam hatinya
pemuda ini merasa kasihan dengan wanita muda berpakaian merah.
Wajahnya itu pasti yang menyebabkan dia menyepi. "Aku hanya kebetulan
lewat di sini. Aku dikejar-kejar orang jahat. Namaku Arya "
Sepasang mata bening indah itu membelalak kaget. "Arya?! Arya
Buanakah namamu?" tanya gadis berpakaian merah.
"Benar, Nona. Apakah Nona pernah mengenalku? Atau, barangkali
kita pernah bertemu?"
"Tidak!" Gadis bopeng itu menggelengkan kepala. "Kita tidak
pernah bertemu. Aku pun belum pernah mengenalmu. Kau berjuluk Dewa
Arak, bukan?"
Arya tersenyum seraya menganggukkan kepala.
"Kalau begitu cepat ikuti aku. Dewa Arak!" Seperti terhadap
kenalan lama, gadis bopeng itu mengajak Arya. Dia berlari lebih dulu.
Kelihatan terburu-bum.
Meski tidak mengerti dengan tindakan si gadis, tapi melihat
sikapnya yang bersungguh-sungguh, Arya jadi tertarik. Dia ingin tahu apa
yang akan ditunjukkan gadis itu
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji gadis berpakaian merah ketika
dengan sekali lesatan Aiya berhasil mensejaj arinya. Padahal, pemuda ini
telah ketinggalan sepuluh tombak. 'Tidak aneh kakek yang tengah terluka
itu menyebut-nyebut dirimu terus."
"Kakek?! Tengah terluka?" Arya mengernyitkan alisnya.
Sekelebatan dia teringat pada Pengemis Tua Berbulu Putih. Mungkinkah
kakek itu terluka? Bukankah Naga Berekor Tiga terkenal memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Lagi pula, siapa lagi kalau bukan kakek itu
"Apakah dia mengenakan pakaian penuh tambalan yang bahannya
masih baru...?"
Si gadis cepat berpaling menatap Arya tajam-tajam dan penuh
selidik.
"Kakek yang kau sebutkan itu sahabatmu?!" tanyanya kemudian.
"Bisa dikatakan begitu."
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Bersamaan dengan keluarnya ucapan penuh kebencian itu, si gadis
melompat menerjang Dewa Arak. Sekali menyerang gadis itu telah
mengirimkan serangan mematikan. Tusukan tangan bertubi-tubi dilancarkan
ke ulu hati Dewa Arak
Arya memuji dalam hati begitu merasakan kekuatan serangan.
Diakui kecepatan dan kekuatan tenaga dalam gadis bopeng itu
mengagumkan. Tidak berada di bawah kepandaian Melati.
Walaupun begitu, Arya tidak menemui kesulitan untuk
menangkalnya. Dikerahkannya tenaga dalam seraya menarik tubuhnya ke
belakang se-hingga serangan mengenai perut. Akibatnya, sangat
mengejutkan si gadis. Jari-jari tangannya seperti bukan membentur kulit
manusia, melainkan besi baja yang sangat keras. Meski sakit si gadis
ternyata memiliki kekerasan hati. Dia tidak mengeluh. Hanya seringai
kesakitan menghiasi wajahnya.
"Kau benar-benar hebat, Penjahat Keji! Tapi jangan kira aku,
Suliasih, akan gentar karenanya. Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
geram gadis bopeng sambil menghunus pedangnya yang tersampir di
pinggang.
"Hiaaat...!"
Diawali teriakan melengking nyaring gadis itu membabatkan
pedangnya ke leher Arya. Sebuah serangan yang terlalu sadis untuk
dilakukan seorang wanita. Apabila mengenai sasaran, kepala Dewa Arak
akan terlepas dari tubuhnya!
Arya menggeleng-gelengkan kepala melihat serangan si gadis.
Bisa diperkirakan besarnya kebencian gadis itu pada Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah. Apa yang telah dilakukan mereka terhadap gadis
ini? Tanya Arya dalam hati.
Seperti juga terhadap serangan sebelumnya, menghadapi serangan
kali ini pun Dewa Arak bersikap tenang. Pemuda itu menunggu datangnya
serangan. Ketika serangan menyambar dekat. Dewa Arak menggerakkan
kepalanya. Rambutnya yang putih keperakan dan panjang melayang ke
depan, menegang kaku bagai sebatang tongkat.
Prat!
Begitu mata pedang si gadis bertemu rambut Dewa Arak, rambut
itu melemas kembali. Kemudian, melilit batang pedang.
Gadis bopeng tidak tinggal diam. Dikerahkannya tenaga untuk
menarik agar rambut Dewa Arak putus terbabat mata pedang. Tapi,
usahanya sia-sia. Jangankan memutuskan rambut, membuat pedang itu
bergeming saja tidak mampu!
Rasa penasaran membuat gadis itu bersikeras untuk menarik. Dewa
Arak mengeluh dalam hati melihat sikap keras kepala si gadis. Lillian
rambutnya dikendurkan. Tak pelak lagi, tubuh gadis bopeng terjengkang ke
belakang terbawa tenaga tarikannya.
Di saat tubuh si gadis melayang, dengan kemampuannya yang luar
biasa Dewa Arak melecutkan ujung rambutnya tiga kali.
Tuk! Tuk! Tuk!
Terdengar bunyi ketukan cukup keras. Si gadis mengeluh tertahan.
Bahu kanannya bagai ditotok jari tangan. Padahal, Dewa Arak mengirimkan
totokan jarak jauh dengan mempergunakan ujung rambutnya.
Akibat totokan itu sekujur tubuh si gadis langsung lemas.
Tenaganya lenyap entah ke mana. Dia tidak bisa berbuat apa pun untuk
mengatur jatuh tubuhnya. Gadis itu terjengkang dan jatuh terbanting keras
di tanah. Gadis bopeng menyeringai kesakitan.
Arya mengembangkan senyum persahabatan. Dengan langkah
lebar diayunkan kaki mendekati si gadis. Gadis bopeng memasang wajah
perang! Sinar matanya menyambar waj ah Arya dengan kebencian.
"Maalkan kalau tindakanku agak kasar. Nona." Arya berkata
dengan suara lunak. "Aku terpaksa melakukan hal ini. Hanya dengan cara
inilah aku bisa menjelaskan duduk permasalahannya padamu."
Gadis bopeng tidak memberikan tanggapan yang mengenakkan
hati. Pandangan dan biasan wajahnya tetap seperti semula, penuh
permusuhan.
"Kuakui aku telah bersahabat dengan kakek itu. Tapi perlu kau
ketahui, Nona, sahabatku itu tidak bisa disamakan dengan orang-orang
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah lainnya. Dia berbeda dengan yang
lain."
"Belum pemah kudengar ada anggota Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah memiliki watak lain. Mereka semuanya bajingan! Penjahat-
penjahat berkedok pengemis!" tandas gadis bopeng
"Mungkin kau benar. Tapi, aku juga yakin kalau diriku tidak salah
menilai. Telah kusaksikan sendiri sepak terjangnya Kakek itu bekas
pimpinan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Dia mengundurkan diri
karena sudah merasa tua..."
Wajah gadis bopeng beriak. Terlihat jelas pemberitahuan Aiya
mempunyai pengaruh. "Apakah aku tidak salah dengar?" katanya.
"Tidak!" tegas Arya. "Kau tahu Ketua Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah yang dulu?"
"Tentu saja!" tandas si gadis. "Beliau seorang yang memiliki watak
mulia. Di bawah pimpinannya. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah
berada di jalan lurus. Beliau beijulukPengemis Tua...."
"Berbulu Putih," sambung Arya, cepat. "Nah! Beliaulah kakek
yang kumaksudkan!"
"Bohong! Kau bohong. Dewa Arak! Kau penipu...!" geram gadis
bopeng "Beliau telah lenyap dari dunia persilatan. Menurut kabar, beliau
tewas di tangan Penunggu Alam Kubur!"
"Lalu, siapa yang kujumpai. Nona?" tanya Arya. "Mungkinkah ada
orang yang iseng mengaku-aku sebagai Pengemis Tua Berbulu Putih?
Kulihat sendiri pengemis-pengemis tersesat itu gentar ketika bertemu
dengan beliau."
Arya lalu menceritakan semua yang dialaminya dengan Pengemis
Tua Berbulu Putih sampai akhirnya bertemu Pandora. Gadis bopeng
mengernyitkan alis ketika Arya menyelesaikan ceritanya. Dia kelihatan
takjub.
"Seorang kakek bersenjatakan golok. Dewa Arak?" tanya si gadis,
meminta penegasan.
"Benar!"
"Wajahnya penuh bintik-bintik putih?"
"Kau mengenalnya. Nona? Asal kau tahu saja, dia adalah
kenalanku," beritahu Arya. Kemudian, menyambung ucapannya dengan
gurauan. "Mudah-mudahan kau tidak menyerangku lagi karena tahu kakek
itu adalah kawanku"
Gadis bopeng tersenyum. Arya harus mengakui senyum itu manis
sekali.
"Bagaimana mungkin aku bisa menyerangmu dengan keadaan
seperti ini. Dewa Arak? Lagi pula andaikata bisa pun tak akan kulakukan.
Mana mungkin aku menyerang kenalan baik penolongku."
Arya membelalakkan mata. Pemuda ini kaget mendapat jawaban
yang tidak disangka-sangka itu.
"Kalau begitu...," Arya menggantung ucapannya. "Kurasa sudah
saatnya kau menanggalkan penyamaranmu. Nona. Tidak sepantasnya
menyembunyikan wajah yang cantik di balik wajah menyeramkan itu."
Gadis bopeng kelihatan gelagapan. Wajahnya merah padam. Malu.
Bukannya memberikan jawaban atau melaksanakan permintaan Arya, dia
malah terdiam.
"Dari mana kau bisa menduga wajah burukku ini hanya samaran.
Dewa Arak? Kau sudah menduganya sejak tadi?" ujar gadis itu kemudian.
Suaranya agak terbata.
"Tidak, Nona. Aku tidak tahu kalau wajahmu hanya bikinan.
Samaranmu baik sekali sehingga mampu mengecohku. Aku dapat menduga
demikian karena ket erang anmu."
"Keteranganku?" si gadis mengerutkan alisnya.
"Benar. Keteranganmu yang mengatakan kalau kau adalah gadis
yang ditolong Kakek Pandora. Yakin Pengemis-pengemis Tangan Merah
tak akan mau mengganggumu kalau wajahmu buruk!" jelas Arya.
Gadis bopeng mengangguk-anggukkan kepala. Dia kelihatan puas
mendengar jawaban Arya.
"Kurasa sudah saatnya aku membebaskanmu. Nona. Aku yakin
kau tidak akan menyerangku lagi."
Arya menutup ucapannya dengan senyum. Si gadis ikut tersenyum
Arya menjentikkan jari. Gadis bopeng merasakan sesuatu menyentuh
bagian tubuhnya. Aliran darahnya yang semula tertahan mulai mengalir
lancar.
Si gadis mengerahkan tenaga dalam untuk membantu mempercepat
aliran jalan darahnya. Sekarang, dengan wajah berseri-seri dan penuh
persahabatan dia bangkit berdiri. "Maalkan tindakanku yang tidak patut.
Dewa Arak!" ujarnya.
6
"Lupakanlah, Nona. Aku justru kagum melihat sikapmu. Kau
seorang pendekar wanita yang lihai!"
Kembali wajah gadis bopeng menyemburat merah.
"Kau memang pandai memuji. Dewa Arak. Apalah artinya
kemampuan yang kumiliki bila dibandingkan denganmu. Tidak ada apa-
apanya. O ya, hampir lupa. Namaku Suliasih. Kau boleh memanggilku Suli
atau Asih."
"Kuharap kau memanggilku dengan nama pula. Asih," ujar Arya
tidak mau ketinggalan.
"Baiklah kalau begitu. Mari, De..., eh. Buana. Kita temui kakek
yang selalu menyebut-nyebut namamu."
Suliasih melesat, mendahului. Arya menyusul setelah tersenyum
geli mendengar sapaan Suliasih. Sapaan itu mengingatkannya pada
Targoutai, tokoh Mongol yang amat sakti.
Dewa Arak agaknya harus mengakui kebenaran ucapan Suliasih.
Tempat ini memang tersembunyi dan jarang didatangi orang. Dia melihat
sendiri buktinya. Suliasih berlari tidak menuruti jalan yang ada. Terkadang
dia menerobos kerimbunan tanaman berduri. Gadis itu berlari melalui
bawah tebing sungai. Sungguh sebuah tempat persembunyian yang amat
bagus!
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, akhirnya Arya melihat
sebuah pondok sederhana.
"Paman...! Aku datang!"
Suliasih berseru nyaring begitu tiba di depan pondok. Suliasih
mendorong pintu pondok. Kemudian melangkah masuk, diikuti Arya.
Tampak di ruangan tengah sesosok tubuh berpakaian putih
terbaring di balai-balai bambu. Seorang lelaki gagah bemsia lima puluhan.
Wajahnya yang keras dihiasi cambang bauk lebat.
Wajah Arya seketika berubah hebat. Ia mengenali lelaki yang
tergolek itu. Lelaki gagah itu pun tampak terkejut melihat Arya. Seulas
senyum lega tersungging di bibirnya.
Suliasih tersenyum melihat sikap lelaki beipakaian putih. Dia tidak
merasa kecil hati meski keberadaannya seperti tidak dipedulikan.
"Dewa Arak, syukurlah kau datang kemari. Aku sudah hampir
putus asa," ucap lelaki bercambang lebat.
"Pendekar Golok Baja...!" sahut Arya. Suaranya agak bergetar.
Rasa haru menguasai perasaannya, membuat Arya tidak mampu
mengendalikan suara.
Lelaki gagah yang bukan lain Pendekar Golok Baja, tersenyum
getir.
"Mengapa kau seperti ini. Pendekar Golok Baja? Apa yang teijadi
pada dirimu?"
"Ceritanya cukup panjang. Dewa Arak," hampir berbisik Pendekar
Golok Baja yang memiliki nama asli Prajasena itu berkata.
"Kurasa sebaiknya kau istirahat saja. Pendekar Golok Baja," usul
Arya ketika melihat Suliasih datang membawa baki berisi godokan akar,
daun dan biji-bijian. Arya menyingkir dari tepi balai-balai bambu, memberi
tempat untuk Suliasih.
Arya sempat tercengang melihat wajah asli Suliasih. Cantik bukan
main! Totol-totol di wajahnya sudah lenyap. Wajah itu kiri putih dan halus.
Dugaan Aiya tidak meleset. Sosok yang memiliki bentuk tubuh
menggiurkan itu memang berwajah jelita.
Suliasih mengerling ke arah Arya. Sempat ditangkapnya sorot
kekaguman pemuda itu. Suliasih merasakan jantungnya berdegup kencang.
Gadis itu segera menghapus bopeng buatannya agar Arya melihat
kecantikanny a.
Suliasih telah jatuh hati pada Dewa Arak. Karena itu, dia berusaha
mengeluarkan seluruh daya tariknya. Suliasih memberikan godokan obat-
obatan pada Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu segera meminumnya.
Dengan langkah gemulai Suliasih lalu membawa bokor yang telah kosong
ke dalam. Arya sempat melirik pinggul Suliasih yang bergoyang-goyang.
***
"Apa yang diceritakan Pandora memang tidak salah. Dewa Arak."
Prajasena membuka suara setelah beristirahat cukup lama. Arya
telah menceritakan semua pengalamannya pada lelaki gagah itu.
"Mengapa kau bisa jadi seperti ini. Pendekar Golok Baja?" Arya
mengulang pertanyaannya yang tadi belum mendapat jawaban.
"Aku tertipu. Dewa Arak." Pendekar Golok Baja mulai bercerita.
"Seperti yang diceritakan Pandora, aku mendapat kiriman surat. Kukira
seorang sahabat baik yang mengirimkannya."
"Jadi..., bukan sahabat baikmu yang mengirim surat itu. Paman?"
Arya mengubah panggilannya agar lebih akrab.
"Benar." Pendekar Golok Baja mengangguk. "Di tempat yang
tersebut dalam surat tidak kujumpai kawanku itu. Yang ada hanya sebuah
peti mati hitam berukir."
"Peti mati?!" Arya teringat tokoh yang selalu bersembunyi dalam
peti mati. Tokoh yang diceritakan Pengemis Tua Berbulu Putih "Tokohitu
yang berjuluk Penunggu Alam Kubur?"
"Siapa lagi?!" Pendekar Golok Baja menyambuti. "Dia mempunyai
maksud buruk terhadapku. Kami terlibat pertarungan. Ternyata dia memang
lihai. Tanpa menemui kesulitan aku dirobohkannya. Kemudian, dia keluar
dari peti. Kau tahu, Arya. Tokoh itu ternyata memiliki ciri-ciri yang
mengerikan. Sekujur tubuhnya dibalut kain kuning sebesar sabuk. Yang
kelihatan hanya sepasang matanya saja. Matanya hijau dan mencorong
seperti mata harimau dalam gelap!"
"Kau beruntung. Paman. Kau bisa melihat Penunggu Alam Kubur
di luar peti matinya. Menurut berita yang kudengar, dia tidak pernah keluar
dari tempatnya itu," timpal Arya.
"Dengan suaranya yang menyeramkan tokoh mengerikan itu
memintaku menyerahkan titipan yang diberikan sahabat baikku. Tentu saja
aku merasa heran. Meski bersahabat baik, kawanku itu tidak pemah
menitipkan apa pun padaku," sambung Pendekar Golok Baja. "Penunggu
Alam Kubur tidak percaya. Dia menyiksaku sampai hampir mati. Setelah itu
aku ditinggalkannya."
"Kau tahu titipan yang dimaksudnya itu. Paman?"
"Semula tidak. Tapi belakangan, karena dikiranya aku pura-pura
tidak mengerti, diberitahu oleh Penunggu Alam Kubur. Sebuah ilmu aneh
yang tertulis dalam lembaran daun lontar. Menurut iblis itu pada lembaran
daun tertulis pelajaran ilmu 'Perampas Sukma'. Ilmu yang diciptakan
sahabat baikku. Entah mengapa Penunggu Alam Kubur tidak mencarinya
langsung pada kawanku. Hhh...! Aku juga tidak mengerti mengapa
kawanku lenyap."
"Boleh kutahu siapa kawanmu?" Arya tidak bisa menahan rasa
ingin tahunya.
"Pengemis Tua Berbulu Putih."
"Ah...! Beliaukah orang yang kau maksudkan? Aku belum lama ini
melakukan peijalanan bersamanya. Pertemuanku dengan pelayan setiamu
justru di saat aku melakukan perjalanan dengannya!"
"Begitukah, Arya?!" Pendekar Golok Baja sete-ngah tak percaya.
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?"
"Dia sehat. Paman."
"Sekarang aku bisa mengira-ngira mengenai ilmu 'Perampas
Sukma' itu, Arya."
Pendekar Golok Baja mengelus-elus cambangnya. Arya menatap
lelaki gagah itu. Sejak tadi dia sebenarnya ingin menanyakan mengenai
ilmu 'Perampas Sukma'.
"Bagaimana, Paman?" tanya Aiya kemudian.
"Kau sendiri bagaimana?" Pendekar Golok Baja balik bertanya.
Arya tidak segera memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar.
"Sejak semula aku sudah menduga Iblis Hitam menyerangku
karena dipengaruhi sesuatu, ilmu gaib atau ilmu hitam. Pengemis Tua
Berbulu Putih pun menduga demikian. Sayang, aku tidak tahu ilmu apa
yang menyebabkan Iblis Hitam lupa segalanya. Aku hanya menduga
pikirannya dikuasai seseorang. Itulah pendapatku. Paman."
"Pendapatku juga demikian, Arya," sahut Pendekar Golok Baja
sambil tersenyum "lelas sudah kalau penyebab semua itu adalah ilmu
'Perampas Sukma'. Hanya yang masih menjadi teka-teki, bagaimana hal itu
bisa terjadi."
"Itulah yang membingungkan. Paman," sambut Arya,
membenarkan. "Sebelum menyerangku dengan membabi buta Iblis Hitam
masih sempat menegurku. Dia kelihatan gembira. Sekejap kemudian dia
seperti terkesima, setelah itu menyerangku dengan kalap."
"Berarti..., di saat dia terkesima itu perintah untuk membunuhmu
datang, Arya."
"Itu sudah pasti. Paman. Tapi, bagaimana hal itu teijadi? Apakah
melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh?" kilah Arya.
"Pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab kalau kita hanya
berdiam diri di sini. Kita harus melakukan sesuatu. Menyelidiki rahasia
besar ini"
"Kurasa bukan kita. Paman. Tapi aku!" timpal Arya, memperbaiki
perkataan Pendekar Golok Baja. "Kau masih perlu beristirahat agar segera
pulih seperti sedia kala. Biar aku yang menyelidiki masalah itu!"
"Aku sudah pulih, Arya! Aku telah sehat. Kita pergi bersama!"
tandas Pendekar Golok Baja.
"Tapi, Paman...."
"Tidak ada tapi-tapian! Aku telah sehat. Obat-obatan yang
diberikan Suliasih benar-benar menakjubkan. Tidak percuma gadis itu
menjadi keturunan terakhir Malaikat Penyembuh yang terkenal sebagai
tukang obat jempolan!"
Arya tidak membantah lagi.
Pemuda berambut putih keperakan ini lebih memusatkan perhatian
pada ucapan Pendekar Golok Baja mengenai Suliasih. Gadis itu keturunan
seorang ahli pengobatan. Pantas demikian ahli mencari dan meramu bahan-
bahan obat. Sayang, Arya tidak pernah mendengar tokoh yang beijuluk Ma¬
laikat Penyembuh.
"Kau hendak ikut dengan kami atau tinggal di sini saja, Suliasih?"
tanya Pendekar Golok Baja ketika gadis itu muncul kembali di mang
tengah.
"Paman hendak pergi ke mana? Apakah sudah merasa sehat
kembali?" Suliasih ganti bertanya, bukannya memberikan jawaban atas
pertanyaan yang diajukan padanya.
"Berkat kepandaianmu dalam pengobatan aku telah sehat
kembali!" jawab Pendekar Golok Baja seraya tersenyum lebar. "Mengenai
kepergian kami, aku sendiri belum tahu. Kau bagaimana, Arya?"
"Kurasa kita akan pergi ke pegunungan kapur. Mencari sebuah gua
yang dinding tebingnya berbentuk kepala harimau. Itulah tempat tinggal Pe¬
nunggu Alam Kubur," jawab Arya setelah tercenung sebentar.
"Mengapa menemui Penunggu Alam Kubur?"
"Karena, tokoh itu yang menjadi kunci rahasia ini, "jelas Arya.
"Nah! Bagaimana, Suliasih? Kau mau ikut?" tanya Pendekar Golok
Baja lagi.
"Sayang sekali. Paman," terdengar penuh penyesalan ucapan
Suliasih. "Nanti malam aku akan memberikan penghormatan dua belas
purnama kematian ayahku. Aku tidak bisa ikut. T api, seusai umsanku nanti
aku akan menyusul ke tempat itu"
Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan.
"Kalau begitu urusan kami bisa dilakukan belakangan. Biar kami
ikut menghadiri peringatan itu. Anggaplah sebagai tanda penghormatan
kami terhadap mendiang ayahmu. Asih. Bagaimana, Paman?" ujar Arya.
"Sebuah usul yang bagus! Aku setuju sekali! Nah, Suli kepergian
kami diundur. Kau bisa ikut!"
"Maafkalau aku harus mengecewakan kau dan Paman. Bukahnya
aku tidak suka. Tapi, menurut tradisi tumn-temumn peringatan ini hanya
dihadiri anggota keluarga. Tidak boleh ada orang luar. Aku tidak berani
merubah tradisi itu. Aku pribadi senang apabila Paman dan Arya mau ikut.
Tapi bagaimana? Aku khawatir dianggap tidak menghormati tradisi."
"Kalau begitu lupakan ucapan kami. Anggap saja tidak pernah ada.
Kami berdua memaklumi alasanmu. Kau tidak perlu merasa bersalah,"
hibur Pendekar Golok Baja.
"Benar, Asih. Lupakan usulanku tadi. Tidak baik merubah tradisi,"
timpal Arya.
"Terima kasih atas pengertian Paman dan Arya. Aku hanya bisa
mendoakan agar urusan kalian lancar."
Arya dan Pendekar Golok Baja menyunggingkan senyum lebar
"Di seberang sungai ini tempat yang kau maksudkan itu, Arya.
Memang, masih harus melalui hamparan padang rumput yang tingginya tak
kurang dari dua meter. Tapi, tak jauh dari situ akan terlihat dinding kapur
berbentuk kepala harimau!" jelas Pendekar Golok Baja seraya menudingkan
jari telunjuknya.
Arya melayangkan pandangan ke depan. Menatap deretan gunung
kapur yang membentang. Jantungnya berdebar tegang mengingat di tempat
itu bercokol tokoh sesat yang menggiriskan hati.
"Kelihatannya sepi-sepi saja." Lagi-lagi, Pendekar Golok Baja
yang berbicara.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekitar tempat itu memang
tidak terlihat sepotong makhluk hidup pun
"Siapa sangka kalau di balik kesunyian ini tersembunyi tokoh yang
luar biasa," gumam Arya, pelan.
Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Ia kelihatan resah.
Lelaki ini teringat nasib adik kandungnya. Kala Sunggi alias Iblis Hitam
berada dalam pengaruh Penunggu Alam Kubur.
"Paman, lihat...! Siapa yang bergerak mendatangi? Bukankah itu
adik kandungmu?"
Arya yang tanpa sengaj a menoleh ke belakang, berseru agak keras.
Laksana disengat ular berbisa Pendekar Golok Baja membalikkan
tubuh. Apa yang dikatakan Arya memang tidak salah. Sesosok tubuh serba
hitam melesat ke tempat dia dan Arya berada. Pendekar Golok Baja merasa
tegang bukan main. Meski jaraknya masih seratus tombak, dia tahu sosok
yang tengah berlari cepat itu adalah Iblis Hitam alias Kala Sunggi, adik
kandungnya.
Seperti juga Pendekar Golok Baja, Arya dililit perasaan yang sama.
Sebuah pertanyaan bergayut di benaknya. Bagaimana keadaan pikiran Iblis
Hitam saat ini?
"Dewa Arak...? Kakang Prajasena...!" Seman yang terdengar keras
sekali membuat Arya dan Pendekar Golok Baja saling bertukar pandang
dengan perasaan lega. Iblis Hitam terus berlari mendekati mereka.
"Kurasa kita tidak boleh membuang-buang waktu. Paman," bisik
Arya. "Mumpung pikirannya sedang normal. Mungkin kita bisa mencari
tahu penyebab kejadian yang menimpa dirinya."
"Aku pun tengah menimbang-nimbang hal itu, Arya. Syukur kalau
kau berpendapat sama. Aku merasa lebih mantap melakukannya."
Begitu Pendekar Golok Baja selesai dengan ucapannya. Iblis
Hitam telah berada di hadapan mereka. Sepasang mata tokoh yang luar
biasa ini tampak berbinar-binar.
"Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kau dan Dewa
Arak, Kakang. Adakah urusan yang amat penting sehingga kalian berdua
bisa melakukan perjalanan bersama?"
"Mengenai hal itu bisa kuberitahukan belakangan, Sunggi," kilah
Pendekar Golok Baja, buru-buru. "Sekarang, katakan tujuanmu datang ke
tempat ini!"
Iblis Hitam terdiam. Meski wajahnya tidak terlihat, tapi dari
gerakan dan sinar matanya kelihatan kalau tokoh ini kebingungan.
"Tujuanku, Kakang?" ulang Iblis Hitam dengan suara mengambang.
"Aku..., tidak tahu. Yang jelas aku ingin pergi ke deretan pegunungan kapur
di sana."
Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan sesaat. Jelas,
pegunungan itu tempat tinggal Penunggu Alam Kubur. Pembahan sikap
Iblis Hitam bertalian erat deng an Penunggu Alam Kubur.
"Apakah kau tidak merasakan hal ini sebagai sesuatu keanehan.
Kala Sunggi?" ujar Arya, cepat. Khawatir tokoh yang dulu menjadi lawan
beratnya ini keburu lupa ingatan. "Kau menuju ke sana tanpa alasan! Ingat-
ingatlah. Kala Sunggi. Aku yakin kau mampu mengingatnya."
Kala Sunggi membisu. Pandang matanya menatap tajam pada satu
titik. Tokoh ini tampaknya tengah berpikir.
"Mengapa sejak tadi aku tidak merasakan keanehan ini? Kau
benar. Dewa Arak. Ini terasa ganjil?"
"bigat-ingatlah, Sunggi," ucap Pendekar Golok Baja. "Kau pergi
ke tempat itu atas dasar keinginan hatimu atau bukan?"
Arya mengangguk-anggukkan kepala mendengar pertanyaan yang
diajukan lelaki gagah itu. Sebuah pertanyaan yang tepat.
"Keinginan hati?" gumam Iblis Hitam setelah berdiam cukup lama
dengan kepala tertunduk. "Rasanya tidak, Kakang. Benar. Tidak!
Keinginanku pergi ke tempat itu muncul tiba-tiba. Ya, mengapa aku tidak
memperhatikan keanehan-keanehan ini?"
"Selama ini pikiranmu tertutup oleh ilmu langka yang dikuasai
seorang tokoh hitam yang berjuluk Penunggu Alam Kubur!" jelas Pendekar
Golok Baja.
"Kau sering bertindak tanpa sadar. Kala Sunggi" Arya
menambahkan. "Dua kali kau berusaha membunuhku."
"Ahhh...!" Kala Sunggi berseru kaget. "Benarkah itu , Dewa Arak,
Kakang Prajasena? Benarkah aku telah menjadi demikian pikun?"
"Aku sendiri tidak melihatmu melakukan tindakan itu. Tapi
mungkinkah Dewa Arak berbohong, Sunggi? Lagi pula, kulihat sendiri
sekarang keanehan sikapmu. Kau pun telah menyadari keanehan itu," urai
Pendekar Golok Baja.
Iblis Hitam membisu. Telah dibuktikannya sendiri keanehan
sikapnya. Sesuatu yang mengerikan telah teijadi pada dirinya. Dia telah
menjadi budak seseorang!
7
"Aku menyesal sekali atas kejadian itu. Dewa Arak," ujar Iblis
Hitam dengan suara berat. Aku merasa tidak pernah menyerangmu. Aku
tidak ingat sama sekali kejadian itu"
"Lupakanlah, Kala Sunggi. Waktu itu kau berada dalam keadaan
tidak sadar. Kau berada di bawah pengaruh seseorang," sahut Arya,
bijaksana.
"Yang penting sekarang," Pendekar Golok Baja menambahi. "Kau
ingat-ingat semua kejadian yang telah kau alami. Mulailah dengan peristiwa
yang kau temui setelah Pandora memberitahukan kepergianku."
"Aku ingat, Kakang!" sentak Iblis Hitam setelah tercenung
sebentar. "Begitu menerima kab ar d ari Pandora, dengan berbekal surat yang
dikirimkan Pengemis Tua Berbulu Putih, aku pergi menyusulmu. Ternyata
di sana tidak kujumpai siapa pun. Tidak sahabatmu juga dirimu, Kakang."
"Mungkin saat itu aku sudah mendapat pertolongan," jawab
Pendekar Golok Baja.
"Setelah mencari sekitar tempat itu, aku berniat kembali.
Pencarianku gagal. Kupikir kau mungkin telah kembali ke rumah. Mungkin
saja di tengah jalan berselisihan karena kita berdua menempuh arah yang
berlainan."
Iblis Hitam menghentikan ceritanya untuk menelan ludah,
membasahi tenggorokannya yang kering. Pendekar Golok Baja dan Dewa
Arak menunggu kelanjutan ceritanya dengan sabar.
"Tapi, di tengah perjalanan kembali aku dicegat sebuah peti yang
melayang-layang di udara dan mendarat di depanku," lanjut Iblis Hitam
Arya dan Pendekar Golok Baja menganggukkan kepala. Dugaan
mereka ternyata tidak keliru. Penunggu Alam Kubur mempunyai andil besar
dalam rahasia ini.
"Aku terlibat pertarungan dengan peti hitam berukir itu. Penghuni
peti mati itu ternyata lihai bukan main. Ahhh...! Sekarang aku ingat!"
"Apa yang kau ingat, Sunggi?" tanya Pendekar Golok Baja, penuh
harap.
"Aku menangkap bunyi mendenging tinggi yang hampir tidak
terdengar telingaku. Saat itu aku merasa pusing sekali. Aku berusaha
melawan dengan mengerahkan tenaga dalam. Usahaku sia-sia."
"Apa yang teijadi setelah itu. Kala Sunggi?" Arya tidak kuasa
menahan perasan tertariknya. Iblis Hitam terdiam. Wajahnya yang tertutup
selubung menekuri tanah.
"Entahlah, Dewa Arak" Tokoh menggiriskan hati ini menggeleng
kepala. "Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu."
Pendekar Golok Baja menatap Arya. Lelaki ini tidak bisa menarik
kesimpulan apapun. Semuanya masih diliputi rahasia. Iblis Hitam lupa diri
setelah mendengar lengkingan tinggi. Mungkinkah itu ilmu 'Perampas
Sukma’?
"Sekarang aku sedikit mengerti. Paman." Arya membuka suara.
Pendekar Golok Baja menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu
"Bagaimana, Arya?"
"Kemungkinan besar nada yang melengking tinggi itu merupakan
cara untuk menguasai pikiran Iblis Hitam."
"Mungkin itu benar, Arya. Tapi bagaimana dengan perintah-
perintahnya? Tak mungkin bila lengkingan itu mengandung pengertian yang
beragam. Menyerangmu, pergi ke tempat ini, menunggu di mulut hutan, dan
sebagainya." Pendekar Golok Baja membantah. Agaknya dia kurang setuju
dengan pendap at Arya.
"Apa yang kau kemukakan memang tidak salah. Paman. Namun,
mungkin perlu kujelaskan sedikit. Lengkingan itu tidak berisikan
perintah...."
"Aku mengerti maksudmu, Arya." Pendekar Golok Baja tak sabar
menunggu Arya selesai dengan ucapannya. "Lengkingan tinggi itu hanya
untuk menghilangkan kesadaran sebelum orang itu dipengaruhi.
Perintahnya diberikan kemudian. Dengan demikian, tidak ada hal yang
diingat oleh Iblis Hitam. Karena, kejadian atau hal-hal yang dilakukannya
terjadi di saat dia sedang tidak sadar."
"Begitulah maksudku. Paman," ujar Arya. "Perintah-perintah
dilakukan dengan cara mengirim suara dari jauh. Atau melalui pikiran. Ini
bisa terjadi karena sudah ada hubungan sebelumnya antara mereka."
"Apakah saat diserang Kala Sunggi kau mendengar bunyi
lengkingan itu, Arya?" tanya Pendekar Golok Baja.
Arya mengernyitkan kening. Perlahan-lahan kepalanya
digelengkan.
"Kurasa setelah berhasil mempengaruhi seseorang dengan
lengkingan pertama kali bunyi itu tidak diperlukan lagi."
"Mengapa?"
"Karena tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan!" tandas
Arya. "Berapa jauh jarak yang bisa dicapai seorang manusia, betapapun
tinggi kepandaiannya kalau hanya mempergunakan lengkingan?"
Pendekar Golok Baja merenung. Sesaat kemudian, meski dengan
kaku dan pelan-pelan, kepalanya dianggukkan.
"Berarti untuk mencapai hasil yang memuaskan cara yang
digunakan adalah melalui pikiran."
"Tepat sekali. Aku pun berpendapat demikian. Seperti yang
kukatakan tadi, bukankah telah terbentuk semacam hubungan batin antara
Iblis Hitam dengan pelaku kekejian itu! Jadi, melalui pikiran perintah-
perintah dapat dengan mudah diberikan."
"Satu masalah telah teratasi, Arya," ujar Pendekar Golok Baja,
gembira. "Tinggal masalah yang besarnya. Setelah ini kau akan terbebas
dari pengaruh tokoh keji itu, Sunggi."
Senyum yang menghias bibir Pendekar Golok Baja langsung buyar
ketika menoleh pada Iblis Hitam. Adik kandungnya tengah terkesima
seperti memikirkan sesuatu. Pendekar Golok Baja segera tahu perintah-
perintah untuk Ibiis Hitam sedang diberikan.
Pendekar Golok Baja mengerling pada Dewa Arak. Pemuda itu
pun tengah memperhatikan Iblis Hitam. Arya lalu menoleh menatap
Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu mengerti arti tatapan Dewa Arak.
Dia pun sadar tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali menunggu
peristiwa yang akan teijadi.
"Mau ke mana, Sunggi?"
Hanya dengan sedikit menggeser kaki. Pendekar Golok Baj a telah
berdiri di hadapan Iblis Hitam Tokoh berpakaian serba hitam ini hendak
meninggalkan tempat itu. Pendekar Golok Baja yang memperhatikan gerak-
geriknya cepat bertindak.
Arya dan Pendekar Golok Baja melihat sepasang mata Iblis Hitam
seperti mengeluarkan api. Terlihat sorot tidak senang yang sangat
"Siapa pun kau, menyingkirlah! Jangan halangi jalanku. Jangan
tunggu sampai kesabaranku habis!"
Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Resah hatinya melihat
Iblis Hitam tidak mengenalinya lagi. Perkataan yang ditujukan padanya
sarat dengan ancaman.
Pendekar Golok Baja meraba hulu golok. Iblis Hitam mulai
mencekal gagang sepasang kapaknya. Arya yang melihat ketegangan mulai
tercipta segera bertindak. Disentuhnya pergelangan tangan Pendekar Golok
Baja, kemudian digelengkan kepalanya.
"Kurasa tidak perlu kekerasan seperti ini. Paman," ujar Arya pelan.
"Bagaimanapun juga dia adikmu, tambahan lagi tengah berada dalam
pengaruh tokoh jahat. Selama dia tidak menyerang kurasa tidak menjadi
masalah. Yang penting, kita harus cepat mengirim biang keladi semua ini ke
alam baka!"
Otot-otot Pendekar Golok Baja melemas kembali. Disadarinya
kebenaran ucapan Arya. Memang, yang penting adalah Penunggu Alam
Kubur. Apa bila tokoh itu telah dilenyapkan dengan sendirinya pengaruh
ilmu kejinya akan pupus.
Seperti mengetahui kalau Pendekar Golok Baja menyelesaikan
persoalan, Iblis Hitam menjauhkan jari-jarinya dari sepasang kapaknya.
Ketika lelaki bercambang lebat itu menyingkir untuk memberi jalan. Iblis
Hitam melompat melewati kepala Pendekar Golok Baja! Rupanya dia sudah
tidak sabar lagi.
Bagai tengah melompat-lompat di tanah datar yang keras. Iblis
Hitam menotok permukaan air sungai dengan kakinya. Beberapa kali hal itu
dilakukan agar bisa sampai di seberang sungai yang cukup lebar. Semua
tingkah Iblis Hitam hanya bisa dipandang dengan sorot mata duka oleh
Pendekar Golok Baja dan Arya.
"Mengapa dia tidak menyerang kita, Arya?" tanya Pendekar Golok
Baja kemudian setelah Iblis Hitam menjauh. Beberapa kali Iblis Hitam
hendak membunuh Aiya. Bukankah itu berarti orang yang menguasai Iblis
Hitam mempunyai dendam terhadap Dewa Arak. Tapi, mengapa kali ini ia
tidak menyerang pemuda itu?
"Aku sendiri tidak mengerti. Paman." Arya menggelengkan kepala.
"Padahal biasanya dia menyerangku. Mungkin karena keberadaanmu di
sini."
"Apa hubungannya?" bantah Pendekar Golok Baja. "Aku lebih
condong dan menduga orang yang menguasai Iblis Hitam mempunyai
urusan lain yang lebih penting!"
Wajah Arya beriak.
"Kurasa kau benar. Paman," timpal Arya dengan bersungguh-
sungguh. "Mungkin Penunggu Alam Kubur telah menemukan lawan yang
tangguh."
"Siapa orang yang kau maksudkan, Arya?"
"Pengemis Tua Berbulu Putih!" jawab Arya. "Beliau memang
bermaksud menyatroni Penunggu Alam Kubur untuk membuat anggota-
anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah tidak terus melakukan
kejahatan."
"Kalau begitu.., mari kita bergegas!" sambut Pendekar Golok Baja
penuh gairah. "Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengannya.
Belasan tahun lamanya tidak berjumpa."
"Aku pun sudah tidak sabar lagi menyaksikan jalannya pertarungan
mereka. Kabarnya, Penunggu Alam Kubur dan Pengemis Tua Berbulu Putih
telah terlibat pertarungan beberapa waktu yang lalu."
"Aku pun mendengar beritanya, Arya. Bahkan menumt kabar yang
kudengar, karena pertarungan itu Pengemis Tua Berbulu Putih lenyap dari
dunia persilatan. Banyak suara-suara mengatakan dia tewas di tangan
Penunggu Alam Kubur. Tapi nyatanya? Kau sendiri melihat Pengemis Tua
Berbulu Putih sehat walafiat"
Arya mengangguk.
"Ada hal yang aneh di sini, Arya," ujar Pendekar Golok Baja
setelah terdiam sesaat.
"Apa itu. Paman?"
"Mengenai Penunggu Alam Kubur. Sepengetahuanku, dia
memiliki kesombongan luar biasa. Mungkin karena merasa dirinya seorang
dedengkot kaum hitam. Belum pernah kudengar dia mencari bantuan untuk
menghadapi lawannya. Keangkuhannya membuat dia lebih rela mati
daripada mengeroyok lawan. Apalagi dia amat percaya akan kesaktiannya."
"Mungkin saja dia tahu Pengemis Tua Berbulu Putih seorang
lawan yang amat tangguh. Karena tidak yakin dapat mengalahkan lawannya
kali ini, diputuskan memanggil tokoh-tokoh yang telah dikuasai
pikirannya." Arya memberikan pemikiran lain.
Pendekar Golok Baja mengangkat kedua bahunya. Ia tidak
memberikan tanggapan. Alasan yang diajukan Arya agaknya masuk
pemikirannya juga, meski tidak menggoyahkan pendapatnya.
"Untuk jelasnya, sebaiknya kita segera ke sana. Benarkah
Penunggu Alam Kubur melakukan pengeroyokan untuk memperoleh
kemenangannya?" ujar Arya.
"Memang itu satu-satunya cara, A iya," jawab Pendekar Golok
Baja.
***
Arya dan Pendekar Golok Baja memandang dengan tatapan
membelalak. Sepuluh tombak dari tempat mereka berada terlihat
pemandangan yang cukup mengejutkan. Mereka segera menghentikan
ayunan kaki. Dua sosok tubuh tergolek di tanah. Dan, sebuah peti mati
hitam berukir!
Berbeda dengan Arya, Pendekar Golok Baja tidak mengenali dua
sosok tubuh yang tergolek. Lelaki gagah itu hanya menatap sebentar.
Kemudian perhatiannya lebih ditujukan pada peti mati. Peti yang beberapa
waktu lalu dijumpainya. Tempat tinggal tokoh menggiriskan yang beijuluk
Penunggu Alam Kubur.
Arya mengenai dua sosok yang tergolek di tanah. Naga Berekor
Tiga dan Macan Kumbang Maut. Menilik keadaannya, mereka berdua telah
tewas.
Arya dan Pendekar Golok Baja lalu mengedarkan pandangan
berkeliling. Mereka mencari Iblis Hitam. Bukankah Iblis Hitam
bersekongkol dengan Penunggu Alam Kubur? Serta Macan Kumbang Maut
dan Naga Berekor T iga?
Perasaan khawatir yang berkecamuk mulai berkurang ketika tidak
menemukan sosok Iblis Hitam Berarti, tokoh serba hitam itu selamat.
"Tak kusangka kau akan keluar dari tempat persembunyianmu.
Penunggu Alam Kubur! Sudah kukatakan tidak ada gunanya mengeluarkan
segala macam keroco untuk menghadapiku. Mereka semua akan kukirim ke
neraka!"
Seman lantang itu mengejutkan Arya dan Pendekar Golok Baja.
Asalnya dari belakang mereka. Hampir berbarengan Arya dan Pendekar
Golok Baja menoleh.
Pada sebuah cabang pohon sebesar paha manusia dewasa, berdiri
sesosok tubuh ringkih berpakaian putih penuh tambalan bahan yang masih
baru. Cara berdiri sosok yang tidak lain Pengemis Tua Berbulu Putih sangat
unik. Kakek berpakaian penuh tambalan ini berdiri di bagian bawah cabang
pohon. Kedua telapak kaki di atas dan kepala di bawah. Kekek ini berdiri
bergantung bagai seekar kelelawar.
Pertunjukan ini tidak terlalu mengherankan bagi tokoh-tokoh
selihai Dewa Arak atau Pendekar Golok Baja. Dengan pengerahan tenaga
dalam yang kuat tidak terlalu sulit melakukan hal itu.
"Pengemis Tua...!" tegur Pendekar Golok Baja, penuh perasaan
gembira.
"Selamat berjumpa lagi. Pendekar Golok," balas Pengemis Tua
Berbulu Putih. Kakek ini kemudian melayang berputaran meninggalkan
tempat bertenggemya. Dengan kepalanya didaratkan tubuhnya di tanah.
Tepat di depan peti mati berukir.
"Tidak usah banyak berbasa-basi! Aku sudah tidak sabar lagi
bertemu deng anmu. Kita ulangi pertamng an waktu 1 alu. Kupikir kau sudah
meninggalkan dunia ini. Gembel Tua..!" terdengar gaung ucapan Penunggu
Alam Kubur dari dalam peti.
Arya memperhatikan peti mati dengan penuh selidik. Pengemis
Tua Berbulu Putih segera menggerakkan sedikit kakinya. Tubuhnya
beijungkir batik. Sekarang dia berdiri tegak di tanah dengan kedua kaki
Tidak tedihat kakek ini mengayunkan kaki, tapi tubuhnya
melayang mendekati peti mati bemkir. Arya dan Pendekar Golok Baja
melangkah mundur Sebentar lagi akan terjadi pertarungan sengit.
"Apakah tidak sebaiknya kita membantu Pengemis Tua, Arya?"
tanya Pendekar Golok Baja.
"Kita lihat saja dulu. Paman. Kalau terbukti Pengemis Tua tidak
bisa menanggulanginya, mungkin kita harus menghadapinya bersama-sama.
Demi tenangnya dunia persilatan kurasa tindakan kita tidak terlalu jelek!"
sahut Arya.
Pendekar Golok Baja mengiyakan. Dia setuju dengan usul pemuda
berambut putih keperakan itu. Perhatiannya kini dicurahkan pada
pertarungan yang akan berlangsung.
"Uhhh...!"
Keluhan tertahan Pengemis Tua Berbulu Putih yang diikuti dengan
limbungnya tubuh kakek itu, membuat Arya dan Pendekar Golok Baja
terkejut. Apalagi ketika melihat kakek itu mendekapkan kedua tangannya di
dada.
"Rupanya kali ini aku tidak bisa bertempur denganmu. Penunggu.
Dalam keadaan seperti ini kau dengan mudah bisa membantaiku," ujar Pe¬
ngemis Tua Berbulu Putih dengan sedikit terbata.
Arya dan Pendekar Golok Baja bagai berlomba melesat ke depan.
Mereka keheranan melihat wajah Pengemis Tua Berbulu Putih bersemu
kehijauan. Wajah orang yang keracunan hebat. Peluh membasahi selebar
wajahnya yang putih laksana kertas.
"Kurasa sebaiknya kau mundur, Kek. Biar aku yang menghadapi
iblis keji ini!" ujar Arya.
"Kita bersama-sama. Dewa Arak!"
Tawaran Pendekar Golok Baja yang penuh semangat ditanggapi
Arya dengan gel engan kepal a.
"Biar aku menghadapinya sendiri. Paman. Apabila aku sudah tidak
sanggup, baru kau turun tangan. Kita tumpas bersama-sama pengacau dunia
persilatan ini. Sekarang, lebih baik kau bawa kawanmu ini ke tempat yang
aman."
Pendekar Golok Baja mengalah. Disadari betul seorang tokoh
besar seperti Dewa Arak tidak mungkin mau melakukan pengeroyokan
sebelum membuktikan sendiri lawan yang dihadapinya terlalu tangguh.
Dengan hati-hati, mengingat keadaan Pengemis Tua Berbulu Putih,
dibawanya kakek itu ke tempat yang sekiranya tak akan teijangkau bahaya
pertempuran.
Dewa Arak segera menurunkan guci yang berada di punggungnya.
Dengan tenang, meski jantungnya berdebar kencang, ditenggaknya arak
yang menjadi sumber tenaganya. Ketegangan menyelimuti hati pemuda
berpakaian ungu. Lawan yang akan dihadapi sangat tangguh. Kalau tidak.
Iblis Hitam tak akan mungkin kena dipecundangi!
8
"Tikus-tikus menjemukan! Kalau tidak diberikan hajaran kalian
akan terus mengganggu ketenteramanku. Perkenalkan dirimu. Pemuda
Berambut Setan! Aku tidak ingin membunuh orang yang tidak
memperkenalkan nama atau julukannya!"
"Kalau itu maumu, kutumti. Namaku Arya Buana. Dunia
persilatan memberikan julukan Dewa Arak!" jawab Arya.
"Dewa Arak?!" gaung suara dari dalam peti mati. "Julukan yang
aneh. Mungkin karena guci murahan yang selalu kau bawa ke mana-mana
itu."
"Mungkin," jawab Arya sambil menyembunyikan kekagetan yang
melilit hatinya. Bagaimana mungkin tokoh dalam peri mati itu bisa
melihatnya? Lalu cara bertempurnya nanti?
"Rupanya kau sudah siap masuk liang kubur. Dewa Arak. Berani-
beraninya kau menantangku bertarung. Sayangilah usiamu yang masih
muda. Kau bisa pergi dari sini. Kelancanganmu kuampuni. Pergilah
sebelum kesabaranku habis!"
"Sayang sekali. Penunggu Alam Kubur. Aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu. Aku lebih suka mati daripada membiarkan kejahatan terus
berlangsung!" jawab Arya tanpa rasa gentar.
Dari dalam peti mati terdengar suara tawa, berat dan bergaung.
Mirip tawa hantu kuburan.
"Gagah sekali! Ucapanmu mengingatkan aku pada Pengemis Tua.
Sayang sekali pendirianmu akan membuat kau cepat melihat alam kubur."
"Kurasa percakapan yang bertele-tele ini telah cukup. Atau, kau
nenek-nenek bawel yang lebih suka mengoceh daripada berbicara dengan
tangan atau kaki?" sindir Arya.
"Kau yang merasa lelaki perkasa, maju dan serang aku! Pantang
bagiku menyerang lawan lebih dulu. Apalagi terhadap anak yang masih
belum lepas dari tetek ibunya sepertimu. Dewa Arak!"
"Jaga setanganku. Penunggu! Heaaat...!"
Arya mengirimkan serangan pendahuluan berupa pukulan jarak
jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Arah yang ditujunya peti mati
berukir.
Brak!
Tebing batu kapur berguguran ketika pukulan jarak jauh Dewa
Arak yang panas menyengat menghantamnya. Sebelum pukulan itu
mengenai sasaran, peti mati berukir telah melayang naik dan mengambang
di udara satu tombak dari tanah!
Belum sempat Arya mengirimkan serangan susulan, peti telah
meluncur dalam kecepatan tinggi ke arahnya. Deru angin keras mengiringi.
Apabila peti menghantamnya, sekujur tubuh Arya akan hancur luluh.
Hantaman peti tak ubahnya serudukan sepuluh ekor gajah liar.
Dewa Arak tidak berani gegabah menyambuti. Dia belum tahu
kekuatan lawan. Diputuskan untuk melompat ke samping, mengelakkan
serangan itu. Tapi, betapa kagetnya pemuda ini. Tubuhnya malah tertarik ke
depan, ke arah peti yang tengah meluncur keras. Saat itu tubuh Aiya
melayang di udara.
Arya tidak bisa bertahan. Dia Tidak mempunyai tempat berpijak.
Tambahan lagi, daya tarik peti demikian kuat. Guci yang tercekal di tangan
segera dihantamkannya ke arah peti. Dengan cara itu diharapkan tubuh
Arya T idak akan tertumbuk peti!
"Ukh...!"
Arya merasakan dadanya bagai menumbuk dinding kokoh.
Sebelum mengenai peti, guci yang diayunkan membalik seperti membentur
dinding tidak nampak. Dinding itu mengeluarkan hawa mendorong yang
amat kuat.
Dewa Arak teijengkang ke belakang dan melayang-layang bagai
daun kering diterbangkan angin. Pemuda ini terkejut bukan main. Dadanya
dirasakan sesak. Sekujur otot-otot dan urat sarafnya lumpuh.
Dalam keadaan melayang-layang itu Dewa Arak memutar otak.
Lawannya memiliki ilmu aneh. Apabila Penunggu Alam Kubur menyerang,
orang yang menjadi sasaran akan tersedot ke arahnya. Sebaliknya, jika
Penunggu Alam Kubur yang diserang, muncul kekuatan dahsyat yang
menolak! Tenaga tolakan itu luar biasa kuat.
Meski dalam keadaan kurang menguntungkan. Dewa Arak masih
mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Pemuda ini berhasil mendarat di
tanah dengan kedua kaki.
Wusss...!
Penunggu Alam Kubur benar-benar tak kenal ampun. Tanpa
mendarat di tanah, peti matinya meluncur ke arah Dewa Arak lagi. Arya
terpaksa menguras seluruh kemampuannya. Segenap ilmu 'Belalang Sakti’
dikeluarkannya.
Pertarungan sengit pun berlangsung, tapi terlihat jelas tidak
seimbang. Dewa Arak dipaksa berlari ke sana kemari dikejar’ peti mati
berukir.
Pendekar Golok Baja meremas-remas jari tangannya karena
merasa tegang. Dewa Arak tengah terjepit. Tokoh muda perkasa itu
kemungkinan besar akan tewas di tangan penghuni peti mati.
Di kancah pertarungan, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk
menghadapi lawannya. Daya tolak dan daya tarik lawan timbul karena
Penunggu Alam Kubur memiliki ilmu gaib. Bisa pada Penunggu Alam
Kubur atau pada peti matinya
Arya teringat ia mempunyai penangkal ilmu-ilmu gaib. Gurunya,
Ki Gering Langit, memberikan ilmu itu padanya di waktu menghadapi
lawan yang memiliki ilmu tarik dan tolak raga (Untuk jelasnya, silakan baca
episode: "Penganut Ilmu Hiram").
Dewa Arak memutuskan untuk menggunakannya. Meski tahu akan
berakibat besar terhadap dirinya, tapi tidak ada jalan lain lagi.
Ketika peti meluncur ke arahnya, yang mengakibatkan tubuh Dewa
Arak tertarik, pemuda itu berpura-pura melawan. Sikap pura-pura ini
sengaja dilakukan. Kalau dia membiarkan saja tubuhnya tertarik ke arah
lawan, akan menimbulkan kecurigaan Penunggu Alam Kubur.
Begitu tubuh hampir mencapai peti, Arya langsung mengirimkan
pukulan keras. Tepat seperti yang diduga Arya, muncul hawa luar biasa
yang menolak tubuhnya. Pemuda ini segera menahan napas. Kemudian,
dengan pemusatan pikiran ia membuat garis di depan tubuhnya.
Hasil yang dicapai Dewa Arak memang tidak mengecewakan.
Tolakan itu punah! Dati dalam peti keluar lenguhan kaget.
"Kiranya kau memiliki sedikit kemampuan. Bocah!"
Bersamaan dengan keluarnya suara bergaung itu, peti bemkir
melayang ke atas. Serangan Dewa Arak gagal. Arya tidak putus asa. Ia tems
memburu.
Pertarungan sekarang kelihatan seimbang. Dewa Arak tidak bisa
dibuat maju mundur seperti sebelumnya. Pemuda ini telah mampu
menguasai keadaan.
Belasan jurus telah berlalu. Arya memang tidak menjadi permainan
lawan seperti sebelumnya, tap dia terdesak. Tingkat kemampuan Penunggu
Alam Kubur masih berada di atasnya. Meski demikian, beberapa kali Dewa
Arak berhasil menyarangkan pukulan dan tendangannya. Namun, jangankan
peri hancur, retak pun tidak.
Ada sesuatu yang membuat peti mati jadi kuat. Tenaga dalam yang
berasal dari Penunggu Alam Kubur. Aliran tenaga dalam Penunggu Alam
Kubur yang menangkal tenaga dalam Arya lewat pukulan dan
tendangannya.
Keadaan ini menyebabkan jalannya pertarungan lebih timpang.
Penunggu Alam Kubur enak saja membiarkan serangan-serangan Dewa
Arak menemui sasaran. Di lain pihak. Dewa Arak harus mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan lawan. Dewa Arak berkali-kali
melempar tubuh ke belakang mengelakkan serangan peti. Sampai berapa
lama dia bisa bertahan?
Pertarungan bergeser jauh dari tempat semula. Perlahan namun
pasti Arya terus terhimpit menuju dinding kapur. Pendekar Golok Baja dan
Pengemis Tua Berbulu Putih mau tidak mau ikut berpindah tempat. Mereka
tidak ingin kehilangan pertarungan menarik itu.
Dewa Arak pun menyadari lama-kelamaan dia akan terhimpit.
Sempat dilihat tebing kapur di belakangnya. Tapi, dia tidak memiliki
kesempatan untuk melepaskan diri dari cecaran lawan.
Untuk kesekian kali peti mati meluncur dengan deras ke arah Arya.
Dewa Arak terpaksa memapaki dengan kedua tangan.
Bres!
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang dan terguling-guling
menabrak tebing kapur. Hantaman peti keras bukan main. Sebelum Arya
sempat berbuat sesuatu, peti telah kembali meluncur datang.
Wajah Dewa Arak pucat pasi. Dia tidak mempunyai kesempatan
untuk mengelak. Menangkis pun tidak menguntungkan. Waktunya
demikian singkat. Apalagi tulang-tulangnya masih terasa ngilu akibat
benturan tadi.
Di saat kritis itu Dewa Arak tiba-tiba merasakan hembusan angin
dingin. Tubuhnya bergetar sesaat. Kemudian, seraya mengeluarkan geraman
keras, Aiya mendorong kedua tangannya.
Pengemis Tua Berbulu Putih dan Pendekar Golok B aja menerima
akibat geraman Dewa Arak. Tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke
belakang. Wajah Pendekar Golok Baja tampak pucat.
Darrr...!
Hanya berselisih waktu demikian singkat, terdengar bunyi yang
tidak kalah keras. Bunyi itu berasal dari benturan tangan Dewa Arak dengan
peti mati Penunggu Alam Kubur.
Peti mati yang sejak tadi tidak mampu dihancurkan oleh Arya, kini
hancur berkeping-keping. Dari dalam peti terpental sesosok tubuh kecil
seraya memperdengarkan jeritan melengking suara wanita!
Arya tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat kemudian tubuh
pemuda ini terhuyung ke belakang. Tangan kirinya mendekap dada,
sedangkan tangan kanan memegangi kepala. Dewa Arak menyeringai
merasakan sakit di dada dan pusing di kepalanya.
Dalam keadaan seperti itu, pemuda berambut putih keperakan itu
merasa heran dan bingung dengan keberadaan belalang raksasa di alam gaib
di dalam tubuhnya. Dia yakin betul tidak memanggil belalang raksasa itu.
Tapi, mengapa belalang itu masuk ke dalam tubuhnya? Mungkinkah
sekarang tanpa dipanggil binatang itu mampu masuk ke dalam dirinya di
saat dia terancam bahaya? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul dalam
pikirannya.
Kebingungan lain yang melanda Arya adalah rasa nyeri di dada
dan pusing di kepala begitu belalang raksasa meninggalkannya! Arya tahu
betul belalang itu penyebabnya. Bukan akibat benturan dengan peti mati
Penunggu Alam Kubur. Betapapun kuat lawan apabila belalang raksasa ada
dalam tubuhnya. Dewa Arak tidak akan merasakan sakit. Belalang akan
langsung turun tangan!
***
"Kau licik. Dewa Arak. Kau mempergunakan makhluk alam gaib
untuk memenangkan pertarungan ini!" kecam nenek kurus kering berwajah
pucat dan berpakaian hitam. Sosok yang tadi terlempar dari dalam peti mati.
"Aku tidak bermaksud seperti itu. Nek," jawab Arya. "Kuakui
memang aku memiliki makhluk gaib, aku tidak berniat menggunakannya
untuk menghadapimu."
'Tapi kenyataannya?" si nenek menyeringai. "Kau memanggilnya,
bukan?"
"Tidak, Nek!" Arya menggelengkan kepala.
"Aku tidak memanggilnya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa
binatang itu masuk ke dalam diriku tanpa kupanggil. Biasanya aku
memanggilnya!"
"Dewa Arak...!"
Seman keras membuat Arya dan nenek berpakaian hitam menoleh
ke arah Pendekar Golok Baja. Wajah lelaki ini kelihatan tegang bukan
main.
"Dia bukan Penunggu Alam Kubur, Dewa Arak!"
Arya tersentak. Ini membuat rasa sakit dan nyeri yang diderita
bertambah parah. Supaya tidak dilihat orang, diusahakan bersikap biasa
saja. Bahkan kedua tangannya terkulai di kanan dan kiri pinggang.
"Aku tidak mengerti maksud Paman?" ujar Arya kemudian.
"Aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mungkin bukan dia yang
menculik adikku. Penunggu Alam Kubur yang merobohkanku tidak seperti
ini!" jelas Pendekar Golok Baja. "Tubuhnya dari ujung rambut sampai
ujung kaki tertutup libatan kain mirip sabuk. Yang terlihat hanya matanya.
Ah! Kini aku ingat, mengapa kepandaian Penunggu Alam Kubur sekarang
jauh lebih dahsyat. Kiranya bukan penunggu yang dahulu!"
Perasaan tidak enak mulai mencekam hati Arya. Dia khawatir
salah tangan. Sekali lihat saja pemuda ini tahu si nenek terluka cukup parah
"Ha ha ha...!"
Pengemis Tua Berbulu Putih tertawa bergelak. Nadanya
menyiratkan kegembiraan dan kemenangan besar. Arya dan Pendekar
Golok Baja mengernyitkan alis. Dugaan jelek muncul di benak Aiya.
"Dugaanmu benar. Pendekar Golok Baja Karatan! Rupanya kau
punya otak juga. Yang mempengamhi adikmu bukan Penunggu Alam
Kubur sungguhan. Tapi, Penunggu Alam Kubur tiruan! Akulah yang telah
menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur! Ha ha ha...!"
Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si nenek berpakaian hitam
geram bukan main. Mereka menggert akkan gigi menahan amarah.
Sungguh tidak kusangka kau menjadi jahat. Gembel Tua! Kau
berubah sama sekali! Menyesal aku menjadi kawanmu. Kau kirimi aku
surat dan menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur untuk memfitnahnya.
Bajingan kau!" maki Pendekar Golok Baja, kalap.
Pengemis Tua Berbulu Putih hanya tertawa. Dia tidak marah
dengan makian yang dilontarkan Pendekar Golok Baja.
"Kau pun buta. Dewa Arak! Kau tidak tahu penghadang-
penghadang atas dirimu karena ulahku. Tidakkah kau melihat aku
termenung saat kau bercakap-cakap dengan Pandora? Saat itu melalui
pikiran kuperintahkan, agar kita tidak sampai di Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah. Kita terpisah. Aku pergi ke sini. Sungguh tidak kusangka
kau akan demikian cepat tiba di sini. Untung aku masih bisa mengatur
seakan-akan dua budakku tewas oleh Penunggu Alam Kubur. Kau tertipu
lagi. Dewa Arak! Ha ha ha...!"
"Terkutuk kau. Gembel Tua!" maki Pendekar Golok Baja.
"Aku tidak yakin kau Pengemis Tua Berbulu Putih. Aku lupa kau
telah menjadi botak akibat bertarung denganku. Dan, botak itu tak akan bisa
diobati agar bisa ditumbuhi rambut lagi. Kau pasti bukan Pengemis Tua
Berbulu Putih! Buka topengmu!" sem si nenek yang sejak tadi berdiam diri.
Pengemis Tua Berbulu Putih kembali terrawa berkakakan.
"Rupanya kau belum terlalu pikun. Biarlah aku mengaku. Aku
memang bukan pengemis jelek itu. Aku adalah Iblis Seribu Muka!" ujarnya
usai tertawa.
Kakek itu lalu menanggalkan rambut, kumis, kulit wajah, dan yang
lainnya. Sekarang di hadapan Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si
nenek berpakaian hitam berdiri seorang lelaki berwajah persegi. Codet
menghias pipinya. Wajahnya kelihatan menyeramkan!
"Keparat!" Lagi-lagi Pendekar Golok Baja memaki. "Mengapa kau
menyamar sebagai kawanku. Iblis?!"
"Karena kawanmu si gembel busuk itu telah membunuh kakak
kandungku! Iblis Bermuka Dewa telah dibunuhnya. Maka, kurusak
namanya. Sekalian kupergunakan kesempatan ini untuk membunuh
Penunggu Alam Kubur. Karena aku tidak mampu melakukannya, kupanas-
panasi Dewa Arak. Rencanaku pun berlangsung mulus. Sebentar lagi aku
akan menjadi datuk persilatan! Ha ha ha...! Kalian semua akan kubunuh!"
Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan nenek berpakaian hitam
sadar betul Iblis Seribu Muka akan memenuhi ancamannya. Mereka tidak
mungkin bisa mencegah. Yang tidak terluka hanya Pendekar Golok Baja.
Tapi, tingkat kepandaian lelaki ini masih rendah bila dibandingkan dengan
Iblis Seribu Muka!
"Sedikit tambahan untukmu. Dewa Arak. Belalang raksasamu ada
dalam kekuasaanku. Kukumng di dalam batu. Karena akulah belalang itu
masuk ke dalam tubuhmu. Tapi sebelum kuperintahkan masuk,
kutempelkan dulu serangan-serangan gaib terhadapmu. Sekarang,
bersiaplah untuk menerima kematian. Kau mendapat kehormatan mendapat
giliran lebih dulu!"
Dewa Arak menggertakkan gigi. Belalang raksasa pasti disiksa
atau setidak-tidaknya amat tersiksa dalam kurungan Iblis Seribu Muka.
Kalau tidak, tak akan binatang itu mau diperintah tokoh sesat tersebut
Iblis Seribu Muka sudah bersiap untuk melancarkan serangan. Saat
itulah terdengar ucapan seseorang seperti tengah berbincang-bincang de¬
ngan rekan sepeijalanannya. Wajah Arya berubah begitu menyimak ucapan
itu.
"Bagaimana, Sahabat? Orang yang telah berani memalsukan diriku
pantasnya dijatuhi hukuman apa? Mati? Pilihan yang tepat. Sahabat.
Apalagi orang itu hendak membunuh orang yang telah menyelamatkan kita
dari kelaparan!"
Semua kepala menoleh. Seketika itu pulamereka termangu-mangu,
kecuali Dewa Arak. Orang yang mereka kira berdua ternyata hanya
sendirian. Tapi, tingkahnya seperti tengah beijalan berdua. Seorang kakek
bungkuk berkepal a botak dan berwajah hijau. Sepasang matanya berputaran
liar, seperti mata orang kurang waras.
"Dialah Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli," beritahu nenek
berpakaian hitam pada mereka yang berada di tempat itu. "Karena
pertarungan kami yang dahsyat, inilah akibatnya. Kepalanya botak, wajah
menjadi hijau, dan otak kurang waras."
Iblis Seribu Muka tiba-tiba menggeram. Dia melompat seraya
mengirimkan serangan maut pada kakek yang baru datang, yang ternyata
Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli. Kakek itu memperkenalkan diri
sebagai Hijau saat beijumpa dengan Dewa Arak beberapa waktu yang lalu
"Sekaranglah saatnya pengacau ini kita lenyapkan. Sahabat.
Kurasa tidak sesulit membereskan kekacauan di perkumpulan!" ujar
Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum menyambuti serangan lawan.
Pertarungan mati-matian tidak bisa dihindarkan lagi. Tingkat
kepandaian mereka sama-sama tinggi. Jalannya pertarungan berjalan
seimbang. Hanya dalam beberapa belas jurus. Pengemis Tua Berbulu Putih
dengan cepat mendesak lawannya.
Iblis Seribu Muka tampaknya harus mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk menghadapi Pengemis Tua Berbulu Putih Kakek itu
tidak bisa dihadapinya dengan setengah hati. Dia tidak diberi kesempatan
sama sekali untuk melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu
andalannya. Serangan Pengemis Tua Berbulu Putih begitu beruntun dan
susul-menyusul.
Pada satu kesempatan Iblis Seribu Muka mendapat peluang untuk
melancarkan serangan. Dengan mempergunakan kaki kanannya ia
memberikan tendangan telak ke kepala Pengemis Tua Berbulu Putih.
Namun, hanya dengan menarik kepalanya ke belakang dan memiringkan
tubuhnya ke kiri. Pengemis Tua Berbulu Putih mampu mengelakkan
serangan itu. Bahkan, kemudian dia menyusulinya dengan pukulan sisi
telapak tangan kanan yang mengenai kaki kanan Iblis Seribu Muka.
Tubuh Iblis Seribu Muka langsung berputar. Dan karena kerasnya
pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih, keseimbangan tubuhnya tidak bisa
dipertahankan. Dia teijengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di
tanah.
Pertempuran sengit kembali berlangsung. Iblis Seribu Muka
semakin terdesak hebat.
Di jurus kesembilan belas, pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih
mendarat telak di dada Iblis Seribu Muka. Pada saat yang bersamaan, kaki
kanan kakek bermuka hijau ini mendarat di perut.
Buk! Des!
Iblis Seribu Muka mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya
terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sesaat dia
menggelepar meregang nyawa, sebelum diam tak bergerak-gerak lagi.
"Bagaimana, Sahabat?" Kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya. Ia
bersikap seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. "Bukankah
masalah ini berhasil kita bereskan? Orang yang menjadi pengacau telah kita
kirim ke neraka!"
"Pengemis Tua...," tegur Pendekar Golok Baja penuh haru melihat
keadaan sahabatnya.
"Si Badut Golok rupanya! Sahabat, kau lihat. Si Badut Golok telah
muncul lagi. He he he...!"
Pendekar Golok Baja sedikit pun tidak marah mendengar ucapan
Pengemis Tua Berbulu Putih. Keadaan kakek ini telah kurang waras.
"Kiranya kau masih hidup, Manusia Peti...!" Pengemis Tua
Berbulu Putih mengalihkan pandangan pada Penunggu Alam Kubur.
Nenek baru kering berwajah pucat itu tersenyum. Tapi, yang
terlihat justm seringai.
"Akulah yang tidak menyangka kalau kau masih hidup. Gembel
Busuk!" balas Penunggu Alam Kubur seraya bersandar pada sebatang
pohon.
Dewa Arak dengan susah payah tersenyum. Pemuda itu merasa
lega melihat masalah ini telah berhasil diselesaikan. Pengemis Tua Berbulu
Putih timan dapat dilenyapkan. Sambil mendekap dadanya, pemuda
berambut putih keperakan itu menggeleng-gelengkan kepala.
Pengemis Tua Berbulu Putih memandang Dewa Arak dengan
sepasang matanya yang berputaran liar.
"Sahabat, masih ingatkah kau pada pemuda berambut aneh itu?
Ingat? Bagus! Mumpung bertemu lagi dengannya, bagaimana kalau kita
meminta pelajaran yang lain. Jangan hanya pelajaran untuk merontokkan
jambu dari pohonnya Kau setuju? Bagus!"
Arya tersenyum. Dia teringat kembali pertemuannya dengan kakek
ini. "Tentu saja dengan senang hati aku mau mengajarimu. Hijau. Kau dan
Sahabat akan kuberi pelajaran baru. Menempelkan kembali jambu-jambu
itu ke pohonnya. Bagus bukan?"
"Bagus..., bagus...! Segera ajari aku ilmu itu. Anak Muda."
Pendekar Golok Baja, Penunggu Alam Kubur, dan yang tidak
mengerti pertemuan antara Dewa Arak dengan Pengemis Tua Berbulu Putih
hanya terbengong-bengong keheranan mendengar percakapan mereka.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Nyawa Kedua dari Langit
Emoticon