1
Seekor kuda coklat berpacu cepat melintasi ja-
lan berumput di kaki gunung. Penunggangnya seorang
gadis cantik berpakaian hijau yang bertingkah seperti
orang kesetanan. Kendati binatang tunggangannya te-
lah berlari demikian cepat, tetap saja cambuk yang
tergenggam di tangan berkali-kali dilecutkan pada ba-
Saat itu matahari bersinar dengan terik. Keti-
dakadaan awan-awan di langit membuat suasana
siang itu panas bukan main. Angin yang bertiup pun
tak membuat kulit dan tubuh terasa nyaman. Namun
keadaan itu tampaknya tak dipedulikan oleh si gadis.
Sekarang dia tengah melalui jalan selebar dua
tombak yang di kanan kirinya terhampar rumput se-
tinggi satu tombak. Kecepatan lari kuda coklat tetap
tak berubah. Debu mengepul tinggi tercipta di tempat
yang ditinggalkan kuda itu.
Sing, sing, singng...!
Tiba-tiba bunyi berdesing nyaring yang mengi-
ringi meluncurnya benda-benda berkilat mengejutkan
si gadis. Apalagi ketika diketahuinya benda-benda ber-
kilat yang bukan lain pisau-pisau tajam itu meluncur
ke arah kuda tunggangannya,
Gadis berpakaian hijau semakin mempergencar
lecutannya untuk mendahului agar serangan pisau-
pisau tak mengenai sasaran. Tapi ketika disadari tin-
dakannya tak akan membawa hasil, karena pisau-
pisau yang meluncur terlalu banyak dan sebagian me-
luncur ke arah yang akan dilalui kuda coklat, si gadis
segera melakukan tindakan lain.
Gadis berusia sekitar dua puluh tahun dan
berwajah cantik itu mengepitkan kedua kakinya ke pe-
rut binatang tunggangannya. Lalu, mulutnya yang
memiliki sepasang bibir merah basah mengeluarkan
lengkingan tinggi. Maka... kuda coklat terbawa naik ke
atas dan meluncur ke depan bak terbang. Kuda coklat
itu baru mendarat kembali di tanah setelah melayang-
layang di udara sejauh lima tombak. Belasan batang
pisau meluncur di bawah kaki binatang itu. Seakan-
akan binatang tunggangan si gadis melompati pisau-
pisau.
Begitu kuda coklat berhasil mendarat tanpa
menimbulkan bunyi gaduh si gadis tak segera memacu
binatang tunggangannya. Dia malah menarik tali ke-
kang kuda. Sementara kuda coklat yang menyadari
adanya bahaya mengancam bermaksud untuk melari-
kan diri sejauh-jauhnya dari tempat itu. Namun betapa
pun keras usahanya untuk kabur binatang itu tak
mampu bergeming dari tempatnya!
Melalui nalurinya akhirnya kuda coklat pun
mengerti kalau penunggangnya memiliki kekuatan
jauh di atas bahaya itu. Jadi tak ada gunanya bersike-
ras. Maka meski ringkikan-ringkikan ketakutan dike-
luarkan binatang itu tak memaksakan diri untuk ka-
bur lagi. Baru saja kuda coklat itu tenang, dari balik
kerimbunan semak keluarlah puluhan sosok yang di-
dahului dengan bunyi riuh-rendah rerumputan dis-
ibakkan.
Si gadis tampak tetap tenang duduk di atas ku-
da coklatnya. Dengan sepasang matanya yang bening
diperhatikannya sosok-sosok yang membentuk lingka-
ran untuk mengurungnya. Sosok-sosok yang jumlah-
nya tak kurang dari dua puluh lima orang itu rata-rata
bersikap liar dan berwajah kasar. Di tangan mereka
tergenggam senjata yang terhunus siap untuk diper-
gunakan.
"Sungguh tak kusangka gerombolan tikus-tikus
buduk kembali muncul di tempat ini!" dengus gadis
berpakaian hijau. "Rupanya waktu lima tahun telah
cukup untuk membuat tempat ini kalian jadikan dae-
rah untuk melakukan tindakan keji!"
"Ha ha ha...!"
Bagai telah disepakati sebelumnya puluhan
orang kasar itu tertawa bergelak. Ucapan si gadis me-
reka anggap seperti hal yang lucu dan mengundang
kegelian di hati.
Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam legam
melangkah maju menghampiri si gadis.
"Rupanya kau cukup tahu daerah ini, Anak
Manis? Sayangnya kau ketinggalan berita. Tempat ini
telah menjadi wilayah kekuasaan kami sejak beberapa
bulan lalu. Tak boleh seekor makhluk pun lewat tem-
pat ini tanpa perkenan dari kami!" tandas lelaki hitam
yang merupakan pimpinan rombongan penghadang.
"Kalian mencari penyakit sendiri dengan berani
menghadangku!" sahut si gadis penuh keyakinan akan
kemampuan diri.
Kemudian, gadis berpakaian hijau itu melompat
turun dari punggung kuda. Mulutnya berdecak pelan
memberikan perintah pada binatang tunggangannya.
Kuda coklat yang memang sejak tadi sudah gelisah itu
segera berlari congklang meninggalkan tempat itu.
Rombongan penghadang menyibak memberi jalan sete-
lah melihat isyarat dari lelaki tinggi besar. Kuda coklat
itu pun melaju tanpa mendapatkan gangguan.
"Sekarang aku ingin tahu maksud kalian
menghadang perjalananku. Asal kalian tahu saja aku
tak senang dengan gangguan ini. Karena saat ini aku
mempunyai keperluan yang amat penting!" tegas gadis
berpakaian hijau. "Perbuatan kalian cukup untuk
membuatku bertindak keras!"
"Wanita sombong! Kau akan menyesali uca-
panmu itu. Mulutmu yang lancang itu akan mem-
buatmu ku perkosa habis-habisan!" Lelaki berkulit hi-
tam menghardik dengan tak kalah sengitnya. Didahu-
lui geraman keras bak binatang buas terluka, lelaki itu
kemudian meluruk ke arah si gadis. Kedua tangannya
terkembang dan digerakkan untuk meringkus lawan-
nya.
Gadis berpakaian hijau mengerutkan sepasang
alisnya melihat cara penyerangan yang kurang ajar itu.
Tentu saja dia tak ingin tubuhnya dipeluk lelaki tinggi
besar yang bau badannya apek. Si gadis segera meng-
genjot kan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas.
Lelaki berkulit hitam pun hanya memeluk angin kare-
na orang yang dijadikan sasaran telah berada beberapa
jari di atasnya.
Kenyataan itu saja sudah membuat lelaki tinggi
besar menjadi geram. Dan kegeraman itu semakin
menjadi-jadi ketika mengetahui tingkah si gadis. Gadis
berpakaian hijau itu mempergunakan kesempatan di
saat berada di atas lawannya untuk mendorong kepala
lelaki tinggi besar. Kemudian, dia bersalto beberapa
kali dan menjejak tanah dengan mantap sekitar satu
tombak di belakang sang pemimpin para penghadang.
Berbeda dengan si gadis, yang mendarat den-
gan nyaman, lelaki berkulit hitam terhuyung-huyung
ke depan akibat serangan gadis berpakaian hijau. Do-
rongan itu keras bukan main. Untungnya dia mampu
mematahkan kekuatan adu dorong itu. Kalau tidak
wajahnya pasti akan terjerembab mencium tanah.
"Setan!" maki lelaki tinggi besar penuh geram.
Tubuhnya segera dibalikkan menatap ke arah si gadis
yang berdiri tenang seakan menunggunya. Sepasang
mata lelaki itu menyiratkan kemarahan yang sangat.
"Kau harus menebus mahal kelancanganmu
ini, Perempuan Setan! Tak seorang pun boleh mem-
permainkan Bangkalan!"
Lelaki tinggi besar yang bernama Bangkalan ini
mencabut golok besar yang tergantung di punggung.
Diawali teriakan keras yang membuat sebagian besar
anak buahnya mendekap telinga. Bangkalan men-
gayunkan goloknya.
Wusss!
Lagi-lagi serangan Bangkalan mengenai tempat
kosong! Golok besar yang diayunkan ke arah pinggang
si gadis berhasil dielakkan lawan. Begitu serangan le-
wat, kaki kiri si gadis bergerak mencuat ke arah perut.
Cepat bukan main serangan itu dilancarkan.
Bukkk!
"Hugh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Bangkalan.
Kaki mungil lawannya ternyata mendarat telak di sasa-
ran yang dituju. Seketika tubuh lelaki ini terhuyung-
huyung ke belakang bak ditumbuk seekor kerbau.
Kenyataan pahit ini membuat Bangkalan sema-
kin mata gelap. Dia tahu kalau si gadis memiliki ke-
pandaian tinggi. Tapi hal itu tetap tak membuatnya
mundur. Begitu berhasil tegak kembali dengan sedapat
mungkin dia menyembunyikan rasa sakit yang mende-
ra. Kemudian buru-buru dikeluarkannya perintah
yang menggeledek.
"Bereskan perempuan liar itu!"
Tanpa menunggu perintah dua kali puluhan
anak buah Bangkalan meluruk ke arah gadis berpa-
kaian hijau. Senjata beraneka ragam pun terayun
mencari sasaran empuk di tubuh gadis itu.
Gadis berpakaian hijau tetap berdiri bertolak
pinggang. Dia tak kelihatan khawatir sama sekali.
Yang ada di benak gadis ini adalah sedikit keheranan
melihat Bangkalan masih mampu berdiri tegak. Pa-
dahal tendangannya itu cukup untuk membuat seekor
badak roboh. Tapi Bangkalan tidak! Ini berarti lelaki
hitam itu memiliki kulit tubuh yang kuat.
Serangan-serangan berbagai senjata dari segala
arah yang semakin dekat membuat si gadis segera me-
lupakan masalah Bangkalan. Lagi-lagi kelihayannya
dipertunjukkan. Lincah laksana kera dan gesit laksana
bayangan tubuhnya berkelebatan ke sana kemari.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun gadis berpa-
kaian hijau menyelinap di antara kelebatan serangan
lawan.
Jerit-jerit kesakitan diikuti dengan bermenta-
lannya tubuh-tubuh para penghadang tercipta ketika
si gadis mulai balas menyerang. Setiap kali tangan
atau kakinya bergerak seorang lawan terpental keluar
dari kancah pertarungan. Orang yang sial itu roboh
dan tak melanjutkan pertarungan lagi. Memang tak
tewas, namun luka yang mereka derita cukup parah!
Bangkalan menggeram melihat nasib yang me-
nimpa anak buahnya. Tapi apa dayanya? Disadarinya
kalau saat ini dia dan gerombolannya keliru memilih
korban. Gadis berpakaian hijau terlalu tangguh untuk
dihadapi. Bangkalan tahu jika perlawanan ini terus di-
lakukan hanya akan merugikan diri sendiri.
Karena itu Bangkalan segera mengeluarkan si-
ulan nyaring. Sebuah isyarat pada anak buahnya un-
tuk bergerak mundur. Anak buah Bangkalan yang
memang sudah merasa gentar melihat banyaknya re-
kan-rekan mereka yang roboh, buru-buru meninggal-
kan kancah pertarungan. Mereka lalu menyelinap ma-
suk di kelebatan hamparan rumput.
Hanya dalam waktu sebentar saja suasana ga-
duh yang semula melanda tempat itu kini hening kem-
bali. Yang tinggal di situ hanya gadis berpakaian hijau
dan hampir separo anak buah Bangkalan. Si gadis
menyusut peluh didahinya dengan sapu tangan hijau.
Dia tak melakukan pengejaran sama sekali terhadap
lawan-lawannya. Malah kemudian ditinggalkannya
tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya yang tadi
tertunda.
kkk
"Keparat!"
Suara makian keras penuh kemarahan dan ke-
geraman terdengar menggelegar. Atap dan dinding ser-
ta lantai ruangan di mana sosok pemilik seruan itu be-
rada sampai tergetar keras.
Sosok yang memaki itu adalah seorang gadis
cantik jelita berkulit putih dan halus. Tubuhnya yang
padat ramping terbungkus pakaian hijau. Seorang ga-
dis yang menarik!
Gadis berpakaian hijau ini adalah gadis yang
beberapa waktu lalu menghajar Bangkalan dan gerom-
bolannya. Di hadapan si gadis yang hanya terpisah
oleh meja berbentuk persegi panjang duduk dua orang
lelaki berusia tiga puluhan.
Lelaki ini sama-sama bersikap dan berwajah
gagah. Pakaian keduanya berwarna putih yang pada
dada sebelah kiri atas terdapat sulaman telapak tan-
gan dengan benang merah. Pada wajah yang menyi-
ratkan kejantanan itu tampak kesedihan besar.
"Mengapa aku tak diberitahu mengenai keja-
dian ini, Kak Sandaka?!" tanya si gadis penasaran
sambil menatap lelaki yang berkumis melintang.
Sandaka terdengar menghela napas berat sea-
kan-akan tengah berusaha membuang ganjalan yang
menyesakkan dadanya.
"Maafkan kalau tindakan yang kami ambil ini
salah, Inani. Tapi percayalah, kami bermaksud baik.
Kami tak ingin membuatmu memikirkan kejadian ini
yang akan mengganggu latihanmu. Lagipula kami pikir
tak lama lagi kau akan menyelesaikan latihanmu dan
kembali ke sini," jawab Sandaka lirih karena merasa
bersalah.
Inani hanya terdiam. Agaknya bisa diterimanya
alasan yang dikemukakan Sandaka.
"Ada hal lain yang membuat kami mengambil
keputusan seperti itu, Inani," tambah lelaki gagah sa-
tunya yang berwajah persegi mirip muka singa.
Inani mengalihkan pandangannya ke arah lela-
ki bermuka singa.
"Tolong beritahukan padaku, Kak Kalaban. Dan
juga tolong ceritakan semua kejadian yang kalian ke-
tahui hingga ayahku diculik orang. Andaikata berita ini
terdengar sampai di dunia persilatan, bukankah akan
membuat nama Perkumpulan Tapak Darah jadi bahan
tertawaan?"
"Itulah alasan yang kami maksudkan, Inani,"
jawab Kalaban. "Karena itu meskipun dengan berat ha-
ti masalah itu kami usahakan untuk tidak sampai di
telingamu sebelum kau sendiri tiba di sini. Biarlah pe-
ristiwa ini hanya diketahui oleh perkumpulan kita sa-
ja-"
"Sebagai tambahan, Inani," sela Sandaka. "Ka-
mi tak berdiam diri saja. Beberapa murid yang memili-
ki kepandaian cukup telah kami utus untuk mencari
tahu nasib ayahmu. Tapi beberapa hari yang lalu
hanya seorang di antara mereka yang kembali dalam
keadaan terluka parah. Sebelum tewas dia sempat
memberitahukan kalau rombongan mereka dihadang
oleh gerombolan golongan hitam yang dipimpin oleh
seorang tokoh yang bernama Bangkalan. Lawan yang
lebih banyak jumlahnya membuat murid-murid yang
kami utus tak mampu bertahan."
"Keparat! Kalau ku tahu hal itu sebelumnya tak
akan kuampuni mereka semua!" desis Inani sambil
mengepalkan jari-jari tangannya yang halus dan lentik.
Kelihatan jelas kalau gadis ini merasa geram.
"Kau telah berjumpa dengan mereka, Inani?!"
Hampir berbarengan Sandaka dan Kalahan mengaju-
kan pertanyaan tanpa menyembunyikan rasa kaget-
nya.
"Benar," Inani mengangguk. "Mereka mencoba
menghadang perjalananku. Tapi kemudian mereka me-
larikan diri ketika tahu aku bukan tokoh yang bisa
mereka buat permainan."
Sandaka dan Kalahan tak merasa heran men-
dengar Inani mampu membuat rombongan Bangkalan
kocar-kacir. Mereka bisa memperkirakan ketinggian
tingkat kepandaian yang dimiliki Inani. Gadis itu men-
jadi murid seorang tokoh golongan putih yang memiliki
kepandaian amat tinggi dan berjuluk Singa Berbulu
Emas. Sedangkan dari ayahnya, Ketua Perkumpulan
Tapak Darah, Inani hanya mempelajari dasar-dasar il-
mu silat saja. Ketua Perkumpulan Tapak Darah me-
mang memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi tentu saja
tidak dapat dijajarkan dengan Singa Berbulu Emas
yang merupakan salah seorang datuk golongan putih.
Inani sendiri tampak bersikap tak peduli den-
gan kekaguman kedua lelaki yang terhitung kakak se-
perguruannya itu. Benaknya masih dipenuhi pikiran
mengenai kejadian yang menimpa ayahnya.
"Kalau menurut pendapatku, maaf, bukannya
hendak meremehkan kemampuan Kak Sandaka dan
Kak Kalahan, gerombolan Bangkalan akan bisa di-
musnahkan. Keberadaan gerombolan itu di sana akan
membuat tercemarnya perkumpulan kita. Bukankah
tempat yang dijadikan daerah kekuasaan gerombolan
itu tak jauh dari perkumpulan ini? Apa kata orang-
orang persilatan nanti? Aku yakin mereka akan men-
ganggap Perkumpulan Tapak Darah takut atau tak
mampu membasmi mereka. Padahal aku yakin tak
demikian adanya," sambung Inani.
Sandaka dan Kalahan saling berpandangan.
"Memang demikian kenyataannya, Inani," ujar
Sandaka pelan.
Inani terjingkat kaget mendengar jawaban yang
tak disangka-sangkanya itu.
"Apa maksudmu, Kak Sandaka?! Kalian tak
mampu melenyapkan atau setidak-tidaknya mengusir
gerombolan Bangkalan?!" Inani kelihatan begitu heran
dan penasaran.
Sandaka dan Kalaban tampak menganggukkan
kepala.
"Tidak mungkin!" sentak Inani keras sehingga
membuat seisi ruangan bergetar. Debu-debu berjatu-
han dari atap ruangan pertemuan.
"Memang kedengarannya tak masuk akal, In-
ani," kilah Sandaka dengan sabar. "Tapi itulah kenya-
taannya. Apakah kau tak melihat kehadiran kami di
sini hanya berdua?"
Wajah Inani tampak pias. Dia tahu murid uta-
ma ayahnya memang bukan hanya Sandaka dan Kala-
ban. Masih ada dua orang lagi. Tapi kejadian yang me-
nimpa ayahnya membuat gadis itu tak sempat memi-
kirkan dan melihat keanehan yang terjadi.
"Maksudmu, Kak Sandaka...?" ujar Inani den-
gan suara kering. Ia mulai bisa menduga-duga nasib
yang telah menimpa dua murid utama yang lainnya.
"Mereka berdua tewas?"
"Mereka berdua tewas bersama dengan belasan
murid perkumpulan ini sewaktu hendak membasmi
gerombolan Bangkalan, Inani," jawab Kalaban lirih
tanpa menyembunyikan kedukaan yang melanda ha-
tinya.
"Begitu tinggikah kemampuan Bangkalan?"
gumam Inani seperti bicara pada dirinya sendiri. "Pa-
dahal baru kemarin aku mengalahkannya secara mu-
dah. Dan ku nilai kemampuannya biasa-biasa saja."
"Kepandaian Bangkalan memang tak terlalu
tinggi, Inani. Salah seorang di antara kami pun akan
mampu mengimbangi atau mungkin mengalahkan-
nya," timpal Sandaka cepat "Hanya saja yang tak
mampu kami hadapi adalah tokoh yang berdiri di bela-
kang Bangkalan."
"Ahhh...! Jadi Bangkalan bukan pimpinan ge-
rombolan itu?!" Inani terkejut bukan main. Sekarang
murid tunggal Singa Berbulu Emas ini maklum men-
gapa dua murid utama ayahnya tewas.
"Justru tokoh di belakang Bangkalan yang
membuatnya berani menantang secara terang-
terangan. Perlu kau ketahui Inani, di dunia persilatan
telah muncul tokoh-tokoh hebat golongan hitam. Ke-
munculan mereka membuat orang-orang semacam
Bangkalan merasa memiliki pelindung, sehingga mere-
ka berani muncul dan mengacau," jelas Sandaka.
"Begitukah, Kak Sandaka? Sayang aku belum
pernah mendengarnya. Aku yakin guruku pun tidak
mengetahuinya. Bisa kau beritahukan tokoh-tokoh hi-
tam itu, Kak?"
"Tentu saja, Inani. Hanya saja sepanjang yang
kuketahui. Tapi kurasa itu telah cukup. Karena tokoh-
tokoh golongan hitam yang akan kusebutkan ini begitu
muncul telah merajai golongan itu dengan kemam-
puannya yang luar biasa. Celakanya lagi tokoh-tokoh
hitam ini tak hendak berdiri sendiri, melainkan hendak
menjadi pemimpin bagi golongannya. Dengan demikian
kekuatan yang terhimpun akan semakin kuat bukan
main. Dan bila itu terjadi celaka besar akan menimpa
golongan kita dan dunia persilatan. Kekacauan dan
angkara murka akan merajalela di mana-mana!"
Sandaka menghentikan keterangannya seben-
tar untuk mengatur napas. Wajah lelaki ini tampak
menyiratkan kegentaran dan kengerian.
"Tokoh-tokoh itu berjuluk Raja Serigala Hitam
dan Raja Laut Bermuka Setan. Raja Laut Bermuka Se-
tan begitu muncul langsung menundukkan tokoh-
tokoh golongan hitam yang selama ini melakukan ke-
jahatan secara sembunyi-sembunyi. Tokoh sesat itu
kemudian mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Ke-
mudian dengan tokoh-tokoh hitam yang telah ditak-
lukkan nya, diserbunya perkumpulan-perkumpulan
golongan putih dan para pendekar. Tingkat kepan-
daiannya yang tinggi membuat banyak pendekar dan
tokoh-tokoh persilatan golongan putih ditewaskannya.
Raja Laut Bermuka Setan muncul dari daerah selatan."
Sandaka kembali menghentikan ceritanya. Di-
teguknya air liur untuk membasahi tenggorokannya
yang kering. Kalahan segera memutuskan untuk
menggantikan saudara seperguruannya bercerita.
"Sedangkan Raja Serigala Hitam muncul dari
daerah utara. Tindakannya sama dengan Raja Laut
Bermuka Setan. Mungkin jika terjadi pertemuan anta-
ra mereka akan tercipta pertarungan untuk mempere-
butkan kedudukan sebagai pimpinan tunggal bagi se-
mua tokoh aliran hitam. Dan Bangkalan serta gerom-
bolannya termasuk tokoh-tokoh hitam taklukan Raja
Serigala Hitam."
"Apakah Kak Sandaka dan Kak Kalahan pernah
menyaksikan sendiri kelihaian tokoh-tokoh hitam itu?"
tanya Inani ingin tahu.
"Hanya Raja Serigala Hitam, Inani," jawab San-
daka. "Raja Laut Bermuka Setan belum kami saksikan.
Kau tahu sendiri tempat kita termasuk dalam wilayah
Raja Serigala Hitam, lagi pula Laut Selatan jauh dari
tempat ini."
"Bagaimana, Kak? Maksudku kepandaian Raja
Serigala Hitam. Apakah benar tingkat kepandaiannya
amat tinggi?"
Sandaka menganggukkan kepala. "Raja Serigala
Hitam menyerbu tempat ini seorang diri, Inani. Bebe-
rapa murid menjadi korban amukannya. Namun
ayahmu keburu menghadangnya. Ayahmu dan tokoh
lihai itu bertarung. Tak ada yang menang atau kalah.
Raja Serigala Hitam yang tahu kedudukannya tak
menguntungkan karena dia datang sendirian kabur
meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Raja Serigala Hi-
tam ayahmu jatuh sakit. Rupanya beliau terluka pa-
rah. Dan kurasa tokoh hitam itu pun demikian. Bebe-
rapa hari setelah itu ayahmu menghilang. Padahal be-
liau belum sembuh dari lukanya. Mengingat keadaan-
nya kami tahu kalau beliau tak menghilang atas ke-
mauannya sendiri. Apalagi pada malam lenyapnya
ayahmu beberapa murid tewas dibunuh oleh penye-
rang gelap."
Inani tercenung. Cerita tentang lenyapnya
ayahnya dan tokoh hitam berjuluk Raja Serigala Hitam
membuatnya berpikir keras. Gadis ini sekarang telah
bisa memperkirakan ketinggian ilmu Raja Serigala Hi-
tam. Harus diakuinya kalau tingkat kepandaian tokoh
hitam itu amat tinggi. Ayahnya sendiri sampai terluka
parah. Padahal hanya bisa dihitung dengan jari tokoh
golongan putih yang memiliki kepandaian setingkat
dengan ayahnya. Tentu saja gurunya, Singa Berbulu
Emas, tak masuk dalam hitungan.
"Yang kami khawatirkan," lanjut Sandaka tan-
pa peduli pada Inani yang tengah tercenung sehingga
terpaksa gadis itu membuyarkan lamunannya. "Keda-
tangan Raja Serigala Hitam kembali. Ketidak-beradaan
ayahmu akan membuat perkumpulan ini hancur. Dan
bila hal itu terjadi tokoh-tokoh golongan hitam sema-
kin leluasa menyebar angkara murka. Apalagi yang
mereka takuti kalau Perkumpulan Tapak Darah saja
dapat dihancurkan?!"
Inani terdiam. Disadarinya kekhawatiran San-
daka beralasan. Perkumpulan Tapak Darah memang
merupakan perkumpulan aliran putih terbesar. Ke-
hancuran perkumpulan ini akan menimbulkan puku-
lan berat bagi golongan putih. Sebaliknya, golongan hi-
tam akan semakin berbesar hati. Itu berarti mereka
akan semakin berani menyebar angkara murka di ma-
na-mana.
"Kurasa hal itu tak perlu terlalu kalian risau-
kan, Kak Sandaka. Aku akan berusaha sekuat tenaga
untuk mencegah tindakan Raja Serigala Hitam. Demi
Perkumpulan Tapak Darah dan terutama sekali demi
tegaknya kebenaran dan keadilan, akan ku pertaruh-
kan nyawaku untuk menentang Raja Serigala Hitam!"
tegas Inani penuh semangat.
"Syukurlah kalau demikian, Inani. Tenagamu
memang amat berarti. Kaulah yang menjadi andalan
kami untuk menghadapi keangkaramurkaan Raja Se-
rigala Hitam," sahut Sandaka sambil mengembangkan
senyum gembira.
Inani tak memberikan tanggapan. Sementara
kendati di wajah dan mulut Sandaka serta Kalaban
menampakkan kegembiraan, namun di dalam hati me-
reka timbul kekhawatiran besar. Apakah Inani akan
mampu menghadapi Raja Serigala Hitam yang demi-
kian lihai. Memang mereka tahu guru Inani, Singa
Berbulu Emas, merupakan tokoh golongan putih yang
memiliki tingkat kepandaian tak terukur tingginya. Ta-
pi Inani? Gadis itu tak akan mungkin sehebat gu-
runya. Dan lagi sebagai seorang gadis muda yang baru
tamat berguru pengalaman bertarungnya boleh dibi-
lang tak ada. Padahal kemenangan dalam pertarungan
tak hanya didasarkan pada ketinggian ilmu. Pengala-
man bertarung pun amat menentukan.
Sandaka dan Kalaban tahu, sebagai datuk
kaum sesat wilayah utara Raja Serigala Hitam, seba-
gaimana tokoh sesat lainnya, memiliki sifat licik. Perta-
rungan yang dilakukannya penuh dengan siasat dan
tipuan. Mampukah Inani yang masih hijau itu me-
nangkalnya?
Kalau saja Singa Berbulu Emas yang turun
tangan, dua murid utama Perkumpulan Tapak Darah
ini akan merasa yakin Raja Serigala Hitam tak akan
mampu bertindak seenaknya. Sayangnya tokoh golon-
gan putih yang telah merasa dirinya tua itu tak mau
ikut campur lagi dalam kancah kerasnya dunia persila-
tan.
"O ya Kak Sandaka, Kak Kalaban," ujar Inani
setelah terdiam beberapa lama. Ucapan ini membuat
Kalaban dan Sandaka menghentikan alun pikiran me-
reka. Perhatiannya kini dialihkan pada Inani.
"Ada apa, Inani?" Kalaban yang mendahului
mengajukan pertanyaan.
"Selama menunggu Raja Serigala Hitam me-
nyerbu tempat ini, aku bermaksud memberikan petun-
juk-petunjuk pada murid-murid. Bagaimana, Kak?"
usul Inani dengan mata berbinar-binar. Gadis itu terli-
hat penuh semangat.
"Sebuah gagasan yang bagus sekali!" puji San-
daka dan Kalaban berbarengan dengan perasaan gem-
bira yang tampak jelas pada wajah dan sorot mata me-
reka.
"Apakah kami pun termasuk dalam orang-
orang yang akan kau beri petunjuk itu, Inani?" tanya
Kalaban setengah bercanda.
"Tentu saja!" tandas Inani cepat dengan sikap
bersungguh-sungguh.
Kalaban dan Sandaka mengeluh dalam hati. Ini
adalah salah satu sifat pada diri Inani yang sangat me-
reka sayangkan.
Inani terlalu menganggap dirinya berkemam-
puan tinggi. Gadis itu memiliki watak angkuh. Padahal
sifat seperti ini seharusnya tak ada pada diri seorang
pendekar. Karena keangkuhan dan memandang tinggi
diri sendiri akan membuat sikap hati-hatinya berku-
rang. Dan lagi sifat itu dapat mengurangi kesungguhan
nya dalam berlatih.
Kendati demikian Kalaban dan Sandaka tak be-
rani mengutarakan perasaannya itu. Mereka khawatir
Inani akan tersinggung. Biarlah pengalaman yang akan
membuka mata gadis itu kalau di bumi ini banyak to-
koh-tokoh lihai. Kalaban dan Sandaka malah menun-
jukkan sikap gembira atas jawaban yang diberikan In-
ani.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Inani,"
ujar Kalaban. Yang disambut dengan anggukan kepala
oleh Sandaka sebagai tanda menyetujui ucapan Kala-
ban.
***
2
Glarrr!
Untuk yang kesekian kalinya halilintar mengge-
legar di angkasa. Beberapa saat lamanya suasana
siang yang agak kelam, karena sinar sang surya terha-
lang gumpalan awan hitam pekat yang memenuhi ang-
kasa menjadi terang-benderang. Titik-titik hujan per-
lahan turun membasahi bumi dengan diiringi hembu-
san angin dingin yang membekukan tulang.
Dalam suasana seperti itu rasanya orang lebih
suka tinggal di dalam rumah. Tapi tak demikian hal-
nya dengan sosok bayangan serba hitam yang tengah
berlari di bawah curahan air hujan. Tubuhnya kecil
kurus namun gerakannya cepat bukan main, sehingga
tak terlihat bentuk tubuhnya selain bayangan tak je-
las!
Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang ka-
kek berusia sekitar enam puluh tahun. Kulitnya hitam
legam bak arang. Tubuhnya yang kecil kurus dibung-
kus pakaian hitam pekat, Kakek ini kelihatan angker
bukan main. Apalagi dengan adanya dua buah taring
di sisi-sisi kiri dan kanan mulutnya.
Kakek berpakaian hitam itu ternyata tak hanya
sendirian berlari di waktu keadaan alam sedang tak
menyenangkan seperti itu. Di belakangnya berkeleba-
tan puluhan sosok yang mengenakan pakaian aneka
ragam dan bentuk tubuh bermacam-macam, namun
rata-rata memiliki gerakan gesit.
Kakek berpakaian hitam berlari terus tanpa
mempedulikan puluhan sosok di belakangnya. Sepa-
sang matanya menatap tajam di depan. Tampak se-
buah bangunan besar dan megah yang dikelilingi pa-
gar kayu bulat. Pada bagian atas pintu gerbangnya
terdapat sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan
huruf-huruf yang berbunyi 'Perkumpulan Tapak Da-
rah'.
Kakek berpakaian hitam ini rupanya tengah
menuju bangunan itu. Demikian juga dengan puluhan
sosok yang menilik sikap mereka agaknya berasal dari
golongan hitam. Di antara mereka tampak Bangkalan!
Kakek berpakaian hitam merupakan orang per-
tama yang mendekati pintu gerbang. Sayang kedatan-
gannya telah diketahui oleh murid-murid Perkumpulan
Tapak Darah di saat si kakek dan rombongannya ma-
sih jauh di luar pagar.
Dari dalam bangunan-bangunan yang terdapat
salam markas Perkumpulan Tapak Darah berkelebatan
belasan orang. Di antara mereka terdapat Kalaban dan
Sandaka. Karena telah terlebih dulu diketahui, begitu
kakek berpakaian hitam menjejak tanah setelah me-
lompati pagar kayu bulat, di depannya telah berdiri
puluhan murid Perkumpulan Tapak Darah.
Kakek berpakaian hitam segera mengedarkan
pandangan memperhatikan satu persatu wajah-wajah
di depannya. Ada sesuatu yang tengah dicari si kakek
"Mengapa hanya keroco-keroco seperti kalian
yang muncul? Mana Sokapanca? Suruh dia keluar!"
seru kakek berpakaian hitam keras.
"Beliau tengah mempunyai satu urusan. Tapi
andaikata kau bersedia menunggu tak lama lagi pun
beliau akan menjumpaimu," jawab Sandaka dengan
berusaha bersikap tenang.
Lelaki berkumis tebal ini diam-diam merasa te-
gang dan gelisah bukan main. Kakek berpakaian hitam
yang bukan lain dari Raja Serigala Hitam telah mun-
cul. Tapi Inani yang dijadikan andalan saat ini tengah
mandi. Dia dan seluruh murid Perkumpulan Tapak
Darah hanya bisa berharap agar murid Singa Berbulu
Emas itu segera selesai dengan urusannya. Atau, seti-
dak-tidaknya Raja Serigala Hitam bersedia menunggu.
Raja Serigala Hitam mendengus. Tarikan wa-
jahnya menyiratkan ketidaksabaran. Kelihatan jelas
kalau tokoh ini merasa bimbang untuk bertindak. Saat
itulah terdengar bunyi derap kaki bergemuruh meng-
hantam bumi. Sesaat kemudian puluhan rombongan
tokoh hitam di bawah pimpinan Bangkalan meluruk
masuk ke halaman Perkumpulan Tapak Darah. Meli-
hat kenyataan ini murid-murid Perkumpulan Tapak
Darah tak bisa tinggal diam. Mereka segera menghu-
nus senjata masing-masing dan menyambut serbuan
Bangkalan dan gerombolannya.
Dentang senjata beradu pun mulai menyema-
raki suasana yang semula hening. Sesekali terdengar
jerit tertahan dari sosok-sosok yang terkena serangan
lawan. Darah mengalir membasahi halaman Perkum-
pulan Tapak Darah. Tubuh-tubuh bertumbangan ke
bumi. Tak hanya di pihak Perkumpulan Tapak Darah,
tapi juga korban dari pihak rombongan Bangkalan. Je-
ritan kematian terdengar paling susul-menyusul.
Raja Serigala Hitam yang semula hanya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan tenang tam-
pak mengernyitkan alis. Kakek ini segera tahu kalau
tingkat kemampuan anak buah Bangkalan masih be-
rada di bawah murid-murid Perkumpulan Tapak Da-
rah.
Hanya Bangkalan seorang yang memiliki ke-
mampuan di atas tingkat rata-rata murid Perkumpulan
Tapak Darah itu. Tapi kelebihan Bangkalan pun tak
berarti. Karena baru saja dia mengamuk Sebentar se-
gera dihadang oleh Kalaban. Dua pentolan kelompok
masing-masing ini dalam waktu singkat telah terlibat
dalam pertarungan sengit.
Raja Serigala Hitam menggeram keras. Kakek
ini kelihatan marah bukan main. Sekejap kemudian
tubuhnya melesat ke dalam kancah pertarungan. Raja
Serigala Hitam mengamuk. Dan akibatnya memang
mengiriskan hati. Ke mana saja tangan atau kakinya
bergerak sudah dapat dipastikan ada murid Perkum-
pulan Tapak Darah yang roboh tanpa nyawa. Hanya
dalam waktu sebentar saja telah lima orang tewas di
tangannya.
"Keparat Keji...! Akulah lawanmu...!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu se-
kelebatan bayangan hijau melesat masuk ke dalam
kancah pertarungan. Sosok hijau itu langsung menye-
rang Raja Serigala Hitam dengan serangan-serangan
dahsyat.
Raja Serigala Hitam mengenal serangan berba-
haya. Dia tahu ada lawan tangguh yang menyerang-
nya. Maka buru-buru kakek ini melompat mundur
menjauhi kancah pertarungan. Serangan sosok hijau
itu pun mengenai tempat kosong.
"Siapa kau?!" tanya Raja Serigala Hitam ketika
melihat jelas penyerangnya dan mendapati dia adalah
seorang gadis berpakaian hijau.
Semula Raja Serigala Hitam menyangka penye-
rangnya adalah Sokapanca, Ketua Perkumpulan Tapak
Darah. Sungguh pun bentakan yang mengawali seran-
gan itu dikenalinya sebagai suara seorang perempuan!
Inani menentang pandang mata Raja Serigala
Hitam dengan berani. Dadanya dibusungkan ketika
memberikan jawaban. Tindakan itu membuat bukit
kembar yang menonjol di dada Inani semakin terlihat
jelas.
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah putri
tunggal dari Ketua Perkumpulan Tapak Darah!" tandas
Inani mantap.
"Ha ha ha,..!"
Raja Serigala Hitam tertawa terbahak-bahak.
Kakek ini merasa geli setelah tahu siapa yang akan
menghadapinya.
"Lucu sekali! Apakah si keparat Sokapanca su-
dah kehabisan orang untuk menandingiku sehingga
mengutus bocah yang masih bau kencur seperti kau?
Bocah, cepat kau panggil Sokapanca keluar dan
menghadapiku sebelum aku lupa kalau kau hanya
seorang gadis muda!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu ayah-
ku. Aku sendiri yang akan mengirim nyawamu ke ak-
hirat, Serigala Hangus!" sesumbar Inani.
Gadis itu menutup ucapannya dengan persia-
pan untuk menyerang. Jari-jari tangannya terkembang
membentuk cakar. Kemudian dengan didahului leng-
kingan keras tangan kanannya meluruk ke arah ulu
hati. Sementara cakar tangan kiri menempel di perge-
langan tangan. Kedudukan tangan kiri terpalang di de-
pan dada.
Raja Serigala Hitam terperanjat ketika menden-
gar bunyi bercicitan tajam yang mendahului serangan
Inani. Kakek yang telah kenyang pengalaman ini sege-
ra tahu kalau lawannya yang masih muda ini memiliki
tenaga dalam kuat. Hanya orang yang memiliki tenaga
dalam kuat saja mampu menimbulkan bunyi bercici-
tan nyaring dalam serangannya.
Kenyataan ini menyadarkan Raja Serigala Hi-
tam kalau Inani memiliki kemampuan tinggi. Maka,
datuk kaum sesat ini tak bertindak setengah-setengah
lagi. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh dipapa-
kinya serangan putri Sokapanca.
Prattt!
Tubuh Inani terhuyung dua langkah. Sementa-
ra Raja Serigala Hitam hanya terdorong satu langkah.
Inani dan Raja Serigala Hitam segera memper-
baiki kedudukan yang tak menguntungkan itu. Kenda-
ti demikian keduanya tak saling bergebrak kembali.
Baik Inani maupun Raja Serigala Hitam masih terpe-
ranjat dengan hasil benturan yang terjadi.
Raja Serigala Hitam tak menyangka lawannya
yang masih muda ternyata memiliki tenaga dalam de-
mikian kuat. Rasanya sulit untuk dipercaya kalau So-
kapanca mampu mendidik putrinya sampai memiliki
kepandaian seperti ini.
Di lain pihak Inani tak kalah terkejutnya. Gadis
ini tak menyangka Raja Serigala Hitam demikian lihai.
Sehingga dalam adu tenaga mampu mengunggulinya.
Kenyataan ini memukul perasaan Inani yang selama
ini mengira kepandaiannya sulit menemukan tandin-
gan. Gadis ini baru percaya kalau Sandaka dan Kala-
han tak melebih-lebihkan berita mengenai kemampuan
Raja Serigala Hitam.
Meskipun demikian Inani tak merasa gentar
sedikit pun. Bak macan luka gadis ini mendahului
menyerang Raja Serigala Hitam, Inani mengerahkan
seluruh kemampuannya. Bahkan ilmu andalan gu-
runya langsung dipergunakan. Pertarungan sengit pun
terjadi ketika Raja Serigala Hitam menyambutinya.
Hanya dalam waktu sebentar saja sepuluh jurus telah
terlampaui.
Lewat lima belas jurus Inani mulai terdesak.
Gadis ini memang bukan tandingan Raja Serigala Hi-
tam. Tak hanya dalam tenaga Inani harus mengakui
keunggulan lawannya, tapi juga dalam pengalaman
bertempur. Untungnya putri Sokapanca itu masih
memiliki kelebihan dalam ilmu meringankan tubuh.
Mutu ilmu silatnya pun setingkat di atas lawan. Itu se-
babnya Inani masih mampu mempertahankan diri.
"Gadis Liar! Apa hubunganmu dengan Singa
Berbulu Emas?!" tanya Raja Serigala Hitam sambil te-
rus melancarkan desakan-desakan berbahaya.
Kakek berpakaian hitam ini berhasil mengeta-
hui kalau Inani tidak menggunakan ilmu-ilmu Soka-
panca. Selewat sepuluh jurus Raja Serigala Hitam
mempunyai dugaan tentang pemilik ilmu yang dimain-
kan Inani. Gerakan-gerakan Inani mengingatkannya
pada tokoh persilatan aliran putih yang telah beberapa
tahun ini tak terdengar lagi beritanya.
"Untuk apa kau bertanya-tanya tentang guru-
ku, Serigala Hangus? Apakah kau ingin nyawamu le-
pas dari badan?!" sahut Inani masih ketus kendati
keadaannya sudah terhimpit
"Ha ha ha...!"
Raja Serigala Hitam memperdengarkan tawa
mengejek.
"Kalau tua bangka tolol yang menjadi gurumu
itu tak keburu menyembunyikan diri sudah lama nya-
wanya kukirim ke neraka!"
"Tutup mulutmu, Keparat!"
Baru saja Inani mengeluarkan makian menden-
gar ucapan Raja Serigala Hitam terhadap gurunya, se-
buah pukulan si kakek bersarang di perutnya.
"Hugh...!"
Sambil memperdengarkan keluhan tertahan
tubuh Inani terjengkang ke belakang. Cairan merah
kental mengalir dari sudut mulutnya.
Raja Serigala Hitam benar-benar tokoh kawa-
kan berdarah dingin. Inani yang telah tak berdaya aki-
bat serangannya bergegas diburunya. Kakek ini ber-
maksud mengirim nyawa gadis itu ke neraka agar bisa
segera membantu gerombolan Bangkalan yang tengah
terdesak.
Raja Serigala Hitam melompat memburu Inani
yang masih terhuyung-huyung. Di pertengahan jalan
tubuhnya dibalikkan sambil mengirimkan kibasan ka-
ki ke arah pelipis. Kakek ini ingin menghancurkan ke-
pala putri Sokapanca!
Wuttt!
"Heh...?!"
Raja Serigala Hitam mengeluarkan seruan. Ki-
basannya mengenai tempat kosong! Inani telah tak be-
rada di tempatnya lagi ketika kaki kakek ini melayang.
Raja Serigala Hitam murka bukan main. Dia
tahu ada seseorang yang telah menyelamatkan calon
korbannya. Dugaan si kakek memang tak salah. Sebe-
lum kepala Inani hancur terhantam kaki Raja Serigala
Hitam, sehelai sabuk melayang dan melilit tubuh Inani
lalu menariknya ke belakang. Tarikan sabuk ini yang
membuat serangan Raja Serigala Hitam mengenai tem-
pat kosong.
Raja Serigala Hitam menatap dengan sorot ma-
ta penuh kemarahan pada tokoh yang telah menolong
Inani. Tokoh itu terlihat duduk mencangkung di atas
genting salah satu bangunan. Sang penolong yang ter-
nyata seorang pemuda berpakaian abu-abu balas me-
natap Raja Serigala Hitam sambil menggulung sabuk
yang tadi dipakai membelit tubuh Inani.
Inani sendiri berdiri bersandar di dinding ban-
gunan tepat di bawah penolongnya. Gadis itu tampak
tak berdaya. Serangan Raja Serigala Hitam memang
dahsyat bukan main. Inani agaknya terluka parah!
"Siapa kau, Monyet Kurap?! Sungguh berani
mencampuri urusan Raja Serigala Hitam!" bentak Raja
Serigala Hitam seraya memperhatikan pemuda berpa-
kaian abu-abu lekat-lekat.
Raja Serigala Hitam tak segera melancarkan se-
rangan. Kakek ini tak berani memandang rendah pe-
muda itu setelah menghadapi kenyataan kalau Inani
yang demikian muda telah memiliki kepandaian tinggi.
Bukan tak mungkin pemuda berpakaian abu-abu itu
memiliki kepandaian tinggi pula. Raja Serigala Hitam
rupanya kini bertindak hati-hati.
"Mengapa harus takut terhadap tua bangka
yang beraninya hanya terhadap seorang gadis?" ejek
pemuda berpakaian abu-abu.
Usai berkata demikian pemuda itu melayang
turun dari atas genting. Raja Serigala Hitam sampai
membelalakkan mata karena kaget melihat cara pe-
muda itu turun. Kedua tangannya hanya dikibaskan
ke belakang tanpa adanya gerakan pada tubuh atau
kaki. Tapi toh tubuh pemuda itu meluncur turun den-
gan sangat ringannya.
"Kalau begitu kau harus mampus!" bentak Raja
Serigala Hitam. Bersamaan dengan ucapan itu dia
mengirimkan gedoran kedua tangan terbuka ke arah
dada pemuda berpakaian abu-abu yang baru saja
menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ganas sekali...!" ucap pemuda berpakaian abu-
abu dengan wajah memancarkan kengerian yang di-
buat-buat.
Pemuda itu lalu melompat tinggi ke atas. Lagi-
lagi gerakan itu dilakukannya tanpa menjejakkan kaki
yang berarti. Raja Serigala Hitam hanya melihat seke-
lebatan bayangan menyambar ke atas dan serangan
yang dilancarkannya pun mengenai tempat kosong.
Raja Serigala Hitam marah karena merasa di-
permainkan. Dengan amarah meluap-luap kembali di-
kirimkannya serangan lanjutan. Serangan ini lebih
dahsyat daripada sebelumnya.
"Jangan! Tolong...! Tolooong...!" Seperti layak-
nya orang ketakutan pemuda berpakaian abu-abu
menjerit-jerit dengan sikap ngeri. Wajahnya kelihatan
kebingungan ketika serangan Raja Serigala Hitam me-
nyambar ke arahnya.
Raja Serigala Hitam merasa heran melihat ting-
kat pemuda itu. Apalagi ketika melihat sampai seran-
gan yang dikirimkannya hampir mengenai sasaran si
pemuda belum mengelak atau menangkis, setidak-
tidaknya membuat persiapan. Pemuda itu malah me-
nutupi wajahnya seperti orang yang merasa ngeri. Ba-
ru ketika serangan hampir mendarat di sasaran, den-
gan gerakan seperti tak disengaja dan asal-asalan se-
rangan Raja Serigala Hitam dibuat punah!
Raja Serigala Hitam jadi penasaran. Benaknya
digayuti pertanyaan besar. Benarkah pemuda ini tak
memiliki kepandaian yang berarti? Rasa penasaran
menyebabkan Raja Serigala Hitam terus melancarkan
serangan.
Sampai lima jurus Raja Serigala Hitam melan-
carkan serangkaian serangan dahsyat susul-menyusul.
Tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Pemuda
berpakaian abu-abu selalu berhasil mengelakkan se-
tiap serangan kendati dengan gerakan seperti asal-
asalan. Sementara mulutnya senantiasa menyerukan
teriakan ketakutan.
Raja Serigala Hitam pun sadar kalau pemuda
itu seorang tokoh berkepandaian tinggi. Hanya saja
kemampuannya disembunyikan dengan tingkahnya
yang aneh. Tiba-tiba, masih dengan serangan yang te-
rus dilancarkan, Raja Serigala Hitam teringat akan se-
suatu yang membuat detak jantungnya bertambah ce-
pat.
Tokoh hitam itu teringat pada datuk golongan
putih yang setingkatan dengan Singa Berbulu Emas.
Tokoh ini terkenal akan ilmu-ilmunya yang aneh dan
wataknya yang ganjil. Di samping tokoh aneh ini me-
miliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerak
yang luar biasa. Itulah sebabnya dunia persilatan men-
julukinya Dewa Gila Tanpa Bayangan! Mungkinkah
pemuda ini mempunyai hubungan dengan datuk yang
aneh itu? Tanya Raja Serigala Hitam dalam hati.
"Hey, Pemuda Gila! Apakah kemampuanmu
hanya bergerak ke sana kemari seperti monyet lapar?
Apakah kau tak mempunyai kemampuan lain? Atau-
kah kau takut bertempur denganku?!"
Raja Serigala Hitam memanas-manasi agar pe-
muda yang menjadi lawannya mau melakukan perla-
wanan. Dengan demikian dia dapat menilai kemam-
puan lawan. Setelah itu bisa diketahui apakah pemuda
berpakaian abu-abu ini mempunyai hubungan dengan
Dewa Gila Tanpa Bayangan.
Raja Serigala Hitam melambung tinggi ke uda-
ra. Kemudian dari atas dia menukik turun menyerang
ubun-ubun si pemuda dengan jari-jari tangan terpen-
tang lebar.
"Gila! Raja Serigala Hitam, seharusnya kau
mengganti julukanmu dengan burung hitam! Hi hi...!"
Pemuda berpakaian abu-abu masih sempat ter-
tawa-tawa. Sebelum melakukan, tindakan yang sejak
tadi tak dilakukannya. Dia memapaki serangan Raja
Serigala Hitam!
Plakkk!
Benturan yang menimbulkan bunyi keras terja-
di. Tubuh Raja Serigala Hitam terpental balik ke udara
sedangkan si pemuda tak bergeming sedikit pun. Tapi,
kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai melewa-
ti mata kaki! Rupanya tekanan dari atas yang terlalu
dahsyat tak mampu ditahan oleh tanah.
"Hi hi hi...! Kau hebat, Burung Hitam. Sekarang
ganti aku yang menyerang!"
Gema ucapannya belum habis tapi tubuh pe-
muda berpakaian abu-abu telah melesat ke arah Raja
Serigala Hitam yang baru saja menjejak tanah. Tubuh
pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan. Namun
Raja Serigala Hitam sempat melihat pemuda berpa-
kaian abu-abu mengirimkan serangan dengan gedoran
kedua tangan terbuka.
Raja Serigala Hitam masih penasaran dengan
benturan yang baru saja terjadi. Dia tak yakin lawan-
nya memiliki tenaga dalam yang demikian kuat dan
mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Ketidakpua-
san dan ketidakyakinan itu mendorongnya untuk me-
lakukan tindakan nekat!
Sambil mengeluarkan teriakan yang mengge-
tarkan sekitar tempat itu Raja Serigala Hitam melesat
menyambuti kedatangan lawannya. Kedua tangan ka-
kek ini pun didorongkan ke depan.
Bresss!
Benturan yang kedua kalinya ini jauh lebih
dahsyat dari sebelumnya. Getaran yang terjadi terasa
oleh semua orang yang berada di situ, juga bangunan-
bangunan bergetar keras. Namun akibat yang lebih
hebat diterima oleh Raja Serigala Hitam dan pemuda
berpakaian abu-abu. Tubuh kedua tokoh itu sama-
sama terhuyung-huyung empat langkah ke belakang
dengan kedua tangan terasa nyeri.
Sekarang Raja Serigala Hitam sadar kalau la-
wannya benar-benar tangguh bukan main. Maka keti-
ka dilihatnya Inani berhasil memulihkan kekuatannya
Raja Serigala Hitam mengeluarkan pekikan yang me-
rupakan isyarat pada gerombolan Bangkalan untuk
meninggalkan tempat itu.
Raja Serigala Hitam sendiri melesat cepat lebih
dulu. Bangkalan dan gerombolan sesaat kemudian me-
lakukan hal yang sama. Untuk itu anak buah Bangka-
lan harus membuka jalan darah. Beberapa di antara
mereka yang tak mampu melakukan tindakan itu ak-
hirnya harus menemui nasib sial tewas di tangan mu-
rid-murid Perkumpulan Tapak Darah. Yang berhasil lo-
los hanya Bangkalan dan hampir separo anak buah-
nya. Sisanya tewas dalam pertempuran.
"Ayo mau lari ke mana kau, Burung Hitam?
Sampai ke mana pun kau lari akan kukejar! Ayo...!"
Pemuda berpakaian abu-abu berlari-larian di
tempatnya hingga membuat tanah tergetar hebat. Mu-
lutnya tak henti-hentinya mengeluarkan seruan untuk
menakut-nakuti lawan.
Raja Serigala Hitam hanya bisa menahan kema-
rahan di hati. Dia tahu pemuda itu tak mengejarnya.
Tapi ucapan-ucapan yang dikeluarkannya membuat
kakek itu seperti berlari karena ketakutan! Di dalam
hatinya Raja Serigala Hitam berjanji akan membuat
perhitungan dengan pemuda aneh itu.
Sebenarnya kalau saja Inani tak ada atau gadis
itu terluka parah Raja Serigala Hitam tak akan kabur.
Tapi karena luka Inani ternyata tak begitu parah se-
mentara pemuda aneh itu amat tangguh, sudah pasti
dibutuhkan waktu cukup lama bagi Raja Serigala Hi-
tam untuk mengalahkannya.
Apabila hal itu terjadi dan Inani ikut terjun da-
lam kancah pertarungan Raja Serigala Hitam yakin di-
rinya akan berhasil dikalahkan sepasang muda-mudi
itu. Maka tokoh sesat yang cerdik ini memutuskan un-
tuk kabur. "Masih banyak waktu dan kesempatan un-
tuk membuat perhitungan," hibur kakek itu dalam ha-
ti.
Sandaka dan Kalahan menghela napas lega me-
lihat keberhasilan mereka mengusir penyerbuan Raja
Serigala Hitam. Keberuntungan mereka tak lepas dari
pertolongan pemuda aneh. Maka setelah memerintah-
kan adik-adik seperguruan mereka untuk membe-
reskan halaman dari mayat-mayat dan darah, kedua
murid utama Perkumpulan Tapak Darah ini mendekati
pemuda berpakaian abu-abu.
"Terima kasih atas pertolongan Anda, sahabat
muda yang perkasa. Tanpa pertolonganmu mungkin
gerombolan penjahat itu tak akan dapat kami usir de-
mikian mudah. Boleh kami tahu namamu, Sahabat?"
tanya Sandaka penuh hormat.
Pemuda itu terlihat tersenyum-senyum sendiri
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apa yang kulakukan? Aku hanya meladeni
monyet hitam tadi bermain-main. Jadi, tindakanku itu
merupakan pertolongan pada kalian? Syukurlah kalau
demikian," jawab pemuda itu. "Mengenai nama pang-
gillah aku Banterang."
"Jangan kau besar kepala, Banterang!" sergah
Inani seraya mengayunkan kaki mendekati. "Aku pun
belum tentu kalah oleh Raja Serigala Hitam. Sayang
kau keburu datang dan menggempurnya. Padahal aku
belum mengerahkan seluruh kemampuanku!"
Sandaka dan Kalahan hanya bisa mengeluh da-
lam hati melihat tingkah Inani. Mereka merasa tak
enak pada Banterang. Tapi untuk menegur Inani me-
reka lebih tak berani lagi. Maka, kedua murid utama
ini hanya bisa berharap Banterang tak tersinggung.
Harapan Sandaka dan Kalahan ternyata terpe-
nuhi. Banterang tak merasa tersinggung atas ucapan
Inani. Pemuda itu malah tersenyum lebar.
"Benar-benar pemuda yang memiliki watak
aneh!" ucap Sandaka dan Kalahan dalam hati.
"Kau benar, Nona," sambut Banterang dengan
ringannya. "Burung hitam tadi memang hampir berha-
sil kau kalahkan. Lagi pula apa susahnya mengalah-
kan burung?"
"Tak usah berbelit-belit bicara, Banterang!" ser-
gah Inani ketus. "Benarkah kau murid Dewa Gila Tan-
pa Bayangan?!"
"Luar biasa! Kau ternyata tak hanya lihai saja,
Nona. Tapi juga cerdik. Aku memang murid Dewa Gila
Tanpa Bayangan."
"Buang puji-pujian kosong itu, Banterang! Ke-
tahuilah, aku bernama Inani. Guruku adalah Singa
Berbulu Emas. Kurasa kau tahu apa artinya bukan?"
sela Inani lagi seraya menatap wajah Banterang lekat-
lekat. Sinar mata gadis ini terlihat penuh tantangan.
"Tentu saja, Inani," jawab Banterang masih ka-
lem, kendati Inani selalu bicara dengan nada tinggi
dan ketus. "Bukankah kau, aku dan murid datuk-
datuk lainnya harus bertarung untuk menentukan
guru siapa yang lebih unggul?"
"Benar!" jawab Inani cepat "Dan waktunya ada-
lah dua minggu lagi di Puncak Dunia. Aku harap kau
tak lupa untuk pergi ke sana agar bisa ditentukan sia-
pa yang lebih unggul!"
Banterang hanya tertawa.
"Waktunya masih cukup lama, Inani. Aku akan
pergunakan sisa waktu itu untuk bermain-main dulu
menikmati dunia indah ciptaan Tuhan ini; Tapi apabila
waktunya tiba, aku akan datang!"
Ucapan Banterang masih terdengar. Tapi tu-
buhnya sudah tak berada di situ lagi. Sandaka dan Ka-
lahan tanpa sadar berdecak kagum melihat kenyataan
ini. Mereka tak melihat Banterang bergerak tapi tahu-
tahu pemuda itu sudah tak ada di situ lagi! Inani se-
benarnya terkejut juga. Tapi keangkuhan mendorong-
nya untuk tak memperlihatkan perasaan itu. Bahkan
gadis itu malah mendengus.
"Kemampuan seperti itu saja dipamerkan di de-
panku!" ucap gadis berpakaian hijau ini sambil mem-
balikkan tubuh dan melangkah pergi.
Sandaka dan Kalaban saling berpandangan.
Kedua murid utama Perkumpulan Tapak Darah ini
sangat menyayangkan sikap tinggi hati Inani. Sayang-
nya mereka merasa tak enak hati untuk menegurnya.
Sandaka dan Kalaban hanya bisa menatap punggung
putri ketua mereka dengan sorot mata penyesalan.
***
3
Lelaki itu berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun. Tubuhnya kurus dengan kumis tipis dan jarang-
jarang menghiasi wajahnya yang berbentuk tirus mirip
tikus. Hidungnya memiliki ujung yang melengkung se-
dikit ke bawah mirip paruh burung. Lelaki ini keliha-
tan angker bukan main. Apalagi karena sepasang ma-
tanya yang sipit menyorot tajam dan memancarkan
kekejaman.
Lelaki yang mengenakan pakaian rompi dari
benang emas ini tengah duduk di atas sebuah kursi
indah. Kepalanya disandarkan pada sandaran kursi
yang layaknya hanya dimiliki seorang raja, karena tan-
gan-tangan kursi dihiasi taburan permata.
Di kanan-kiri lelaki kurus itu berdiri dua orang
wanita muda berwajah cantik. Keduanya hanya men-
genakan penutup tubuh ala kadarnya untuk menutupi
dada dan bagian bawah pusar sehingga kelihatan jelas
kulit tubuhnya yang putih halus.
Dua wanita muda itu memegang kipas bertang-
kai panjang. Kipas yang terbuat dari bulu-bulu burung
itu digerakkan tak henti-hentinya mengipasi lelaki be-
rompi indah. Beberapa kali dua wanita muda ini tam-
pak menggigit bibir ketika tangan-tangan lelaki kurus
merayapi tubuh mereka. Mereka hanya diam membisu
tak bisa bertindak apa pun. Hanya sorot sepasang ma-
ta keduanya yang menyatakan kalau tindakan lelaki
kurus tak berkenan di hati mereka.
Di sudut ruangan besar dan megah itu duduk
seorang wanita muda yang juga berpakaian ala kadar-
nya. Wanita ini tengah memainkan kecapi. Petikan na-
da-nadanya terdengar merdu di telinga.
Tok, tok, tok...!
Bunyi ketukan pelan pada daun pintu ruangan
itu membuat lelaki berompi indah menegakkan kepala.
Sepasang matanya terlihat menyiratkan kemarahan
karena keasyikannya merasa terganggu.
"Apakah kau sudah tak sayang nyawa lagi se-
hingga berani mengganggu istirahatku?!" dengus lelaki
kurus pada orang yang mengetuk daun pintu.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia Raja Laut," ja-
wab suara dari balik daun pintu penuh rasa takut.
"Hamba tak bermaksud mengganggu. Tapi...."
"Kalau begitu, cepat menyingkir dari sini sebe-
lum kesabaranku hilang dan kau mendapat hukuman
yang besar!" potong lelaki kurus yang bukan lain dari
Raja Laut Bermuka Setan.
Ucapan datuk sesat wilayah selatan ini mem-
buat sekitar ruangan itu bergetar keras. Akibat yang
tak kalah dahsyat terjadi pada tiga wanita muda yang
berada di ruangan itu. Tubuh mereka menggigil keras
sehingga kipas-kipas di tangan lepas dari cekalan dan
bahkan salah satu tali kecapi putus!
Raja Laut Bermuka Setan tahu hal itu. Tapi dia
sama sekali tak peduli. Sepasang matanya yang me-
nyorot penuh kemarahan tetap tertuju pada daun pin-
tu.
"Ka belum beranjak dari tempatmu, Keparat!
Apakah kau tak sayang nyawamu?!" seru Raja Laut
Barmuka Setan dengan suara semakin meninggi.
Datuk sesat yang sebelumnya merupakan ke-
pala bajak laut ini dengan pendengarannya yang tajam
tahu kalau pengetuk pintu belum beranjak dari tem-
patnya. Hal itu yang membuat kemarahannya semakin
berkobar.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia Raja Laut,"
ujar sosok dari balik daun pintu dengan suara menggi-
gil. "Tapi di luar ada orang yang hendak bertemu den-
gan Yang Mulia."
"Goblok! Tolol! Tidak bisakah kau menyuruh-
nya menunggu, Bego?!" bentak Raja Laut Bermuka Se-
tan. "Aku sedang istirahat!"
"Orang itu tak mau menunggu, Yang Mulia.
Hamba telah menyuruhnya menunggu, tapi dia tetap
berkeras hendak menjumpai Yang Mulia. Maka...."
"Bodoh! Manusia tak berotak!" Lagi-lagi Raja
Laut Bermuka Setan memotong dengan makian. "Ka-
lau orang itu tak mau menunggu usir saja! Kalau perlu
bunuh!"
"Orang itu lihai sekali, Yang Mulia. Saat ini dia
tengah dikeroyok. Tapi kawan-kawan roboh di tangan-
nya," jawab pemilik suara dari balik daun pintu.
"Keparat! Kau tahu siapa orang yang tak tahu
diri dan mencari penyakit itu?!"
"Dia memperkenalkan diri sebagai Raja Serigala
Hitam, Yang Mulia!"
Raja Laut Bermuka Setan terdiam. Keningnya
berkernyit dalam. Dia telah mendengar berita kalau di
wilayah utara telah muncul tokoh sesat yang berjuluk
Raja Serigala Hitam. Raja Laut Bermuka Setan pun ta-
hu kalau Raja Serigala Hitam mempunyai maksud
yang sama dengannya, merajai dunia kaum sesat dan
mengangkat diri sebagai datuk. Namun sungguh tak
disangka secepat ini Raja Serigala Hitam bertindak
menyatroni tempat kediamannya.
"Kembali ke tempatmu, Manusia Tolol! Aku
akan ke sana dan mengambil nyawa tokoh tak tahu di-
ri itu!"
Terdengar langkah-langkah kaki menjauhi
daun pintu. Raja Laut Bermuka Setan bangkit dari
kursinya lalu mengambil dayung baja berlapis emas.
Kemudian, dia melangkah meninggalkan ruangan.
Di halaman depan bangunan megah dan indah
milik Raja Laut Bermuka Setan memang tengah terjadi
pertarungan sengit.
Raja Serigala Hitam mengamuk menghadapi
keroyokan anak buah Raja Laut Bermuka Setan yang
sebagian besar adalah para bajak laut. Sekitar dua pu-
luh orang yang mengeroyok Raja Serigala Hitam. Tapi
tokoh ini tak tampak terdesak, bahkan beberapa la-
wannya telah bergeletakan di tanah.
Raja Laut Bermuka Setan berdiri tegak di am-
bang pintu bangunan tempat tinggalnya yang besar.
Dayung yang menjadi senjata andalannya dipegang
oleh lelaki bermata satu di sebelah kirinya. Raja Laut
Bermuka Setan memperhatikan jalannya pertarungan
sebentar dengan sepasang alis berkerut.
Kepala bajak laut selatan ini harus mengakui
kalau Raja Serigala Hitam memiliki kepandaian tinggi.
Dia merasa tidak yakin akan mampu mengalahkan to-
koh wilayah utara itu. Namun tentu saja. Raja Laut
Bermuka Setan tak menjadi gentar karenanya. Dengan
langkah lebar diayunkan kakinya menuruni tangga ba-
tu yang menuju ke halaman luas di depannya.
"Mundur semua...!" seru Raja Laut Bermuka
Setan keras begitu telah berada di halaman.
Belasan anak buah Raja Laut Bermuka Setan
berlompatan mundur dan menjauhi Raja Serigala Hi-
tam. Raja Laut Bermuka Setan menatap wajah tamu
tak diundang itu tajam-tajam. Raja Serigala Hitam tak
mau kalah. Dia balas menatap dengar tak kalah ga-
rangnya. Untuk sesaat kedua pimpinan kaum sesat
dari wilayah yang berbeda ini saling bertatapan, sea-
kan-akan tengah mengadu kekuatan melalui sinar ma-
ta.
"Kau terlalu lancang, Serigala Hitam," dengus
Raja Laut Bermuka Setan. "Di wilayahmu boleh kau
bertingkah seenakmu. Tapi di wilayah ini, apalagi di
tempat kediamanku, kau sama saja dengan mengantar
nyawa bila melakukan tindakan seperti ini!"
"Kau terlalu sombong, Muka Setan!" sahut Raja
Serigala Hitam tak mau kalah gertak. Saingannya me-
nyapanya dengan membuang gelar raja. Maka dia pun
melakukan hal yang sama. "Perlu kau ketahui, aku tak
takut terhadapmu! Tapi perlu kukatakan kalau keda-
tanganku kemari tak bermaksud untuk mencari per-
musuhan denganmu!"
Raja Laut Bermuka Setan tersenyum mengejek.
"Tak ingin mencari permusuhan katamu, Seri-
gala Hitam? Tapi di sini kau menyebar kekacauan, me-
lukai banyak anak buahku! Dan katamu bukan hen-
dak mencari permusuhan? Ucapan macam apa itu?!"
"Kalau saja anak buahmu tak terlalu berkeras
mencegahku tentu aku tak perlu melakukan tindakan
ini, Muka Setan!" tandas Raja Serigala Hitam. "Namun
perlu kau catat keteranganku ini bukan berarti aku
membela diri. Aku tak takut terhadapmu, Muka Se-
tan!"
"Aku pun tak takut, Serigala Hitam!" balas Raja
Laut Bermuka Setan tak mau kalah. "Kau ingin berta-
rung sekarang?!"
Raja Laut Bermuka Setan segera melangkah
untuk mengatur jarak bertarung. Tapi Raja Serigala
Hitam tetap diam di tempat. Lelaki berompi hitam ini
malah menggelengkan kepala.
"Bertarung itu mudah, Muka Setan. Kapan pun
kau inginkan aku siap, tapi tidak sekarang! Bukan ka-
rena apa-apa. Aku datang kemari membawa urusan
penting. Urusan yang menyangkut golongan kita," ki-
lah Raja Serigala Hitam.
Raja Laut Bermuka Setan mengendurkan kem-
bali urat-urat sarafnya yang tadi menegang. Dilihatnya
ada kesungguhan yang besar dalam ucapan kakek be-
rompi hitam itu.
"Urusan apa, Serigala Hitam?"
"Kurasa kau tak keberatan kalau kita bicara di
dalam saja, Muka Setan," Raja Serigala Hitam menga-
jukan usul. "Makan waktu yang cukup panjang untuk
mengatakannya. Atau kau lebih suka kita bicara di sini
sambil berdiri? Barangkali saja kau takut mengajakku
ke dalam istanamu."
Sepasang mata Raja Laut Bermuka Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan. Dia merasa tersinggung
dikatakan takut oleh Raja Serigala Hitam. Kendati de-
mikian kalau langsung diturutinya perkataan datuk
sesat wilayah utara itu, apa kata anak buahnya?
"Masuk dan berbicara soal gampang. Tapi aku
ingin tahu persoalan apakah yang akan kau bicarakan.
Tidak semua persoalan dapat dengan mudah dibicara-
kan di istanaku. Ingin kuketahui dulu pantas tidaknya
persoalan yang kau bawa itu," ujar Raja Laut Bermuka
Setan dengan nada meremehkan.
Raja Serigala Hitam merasakan hatinya terba-
kar. Dia merasa terhina sekali oleh sikap Raja Laut
Bermuka Setan. Kedudukannya tak kalah tinggi den-
gan kepala bajak laut itu. Tapi perlakuan yang diteri-
manya amat merendahkan dirinya. Kalau menuruti pe-
rasaan Raja Serigala Hitam ingin menerjang saingan
beratnya memperebutkan kedudukan sebagai datuk
kaum sesat itu. Tapi mengingat pentingnya urusan
yang dibawa maka maksudnya cepat-cepat diurung-
kan.
"Kau tentu mendengar tentang datuk-datuk
persilatan pada puluhan tahun yang lalu," ujar Raja
Serigala Hitam separo mengingatkan.
"Tentu saja," jawab Raja Laut Bermuka Setan
kalem. "Lalu mengapa?"
Raja Serigala Hitam menggertakkan gigi karena
geram melihat sambutan Raja Laut Bermuka Setan
yang dingin. Ingin diludahinya wajah lelaki kurus itu
kalau tak mengingat akibat yang terjadi.
"Datuk-datuk persilatan itu ternyata mempu-
nyai murid-murid, Muka Setan. Dua di antara mereka
telah kutemui. Entah datuk-datuk lainnya apakah me-
reka mempunyai murid atau tidak aku belum tahu..."
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan memotong ucapan
Raja Serigala Hitam dengan tawa bergelak bernada me-
rendahkan.
"Kukira persoalan apa, tak tahunya hanya ma-
salah bocah-bocah yang baru kemarin kenal dunia
persilatan. Ha ha ha...! Lucu sekali, Kau katakan ini
persoalan penting, Serigala Hitam? Jangankan hanya
murid-muridnya, biar datuk-datuk persilatan itu sen-
diri yang keluar dari tempat persembunyiannya dan
sekaligus mengeroyokku, Raja Laut Bermuka Setan tak
akan mundur selangkah pun. Mereka akan ku basmi.
Ha ha ha...!"
Wajah Raja Serigala Hitam tampak merah pa-
dam. Kemarahan yang sejak tadi sudah melanda ma-
kin bergolak. Namun dengan sekuat tenaga amarah
yang hendak terlontar itu ditahannya.
"Serigala Hitam," ucap Raja Laut Bermuka Se-
tan lagi setelah puas mengumbar tawa. "Kalau belum
apa-apa kau sudah ketakutan setengah mati, copot sa-
ja gelar raja dari julukanmu. Setelah itu mundurlah
kau dari dunia persilatan. Kau tak pantas menjadi da-
tuk kaum sesat wilayah utara!"
Terdengar bunyi berkerotokan dari sekujur tu-
buh Raja Serigala Hitam. Padahal kakek ini tak meng-
gerakkan anggota tubuhnya sama sekali. Aliran tenaga
dalamnya yang menyebar sendiri karena kemarahan
yang melanda menyebabkan bunyi itu terjadi.
"Sungguh tak kusangka tanggapan seperti ini
yang ku peroleh darimu, Muka Setan," agak bergetar
ucapan Raja Serigala Hitam karena menahan kemara-
han. "Ucapan dan sikap yang kau pertunjukkan se-
layaknya keluar dari mulut bocah ingusan yang baru
belajar satu dua macam pukulan. Kau tak ubahnya
katak dalam tempurung, Muka Setan! Orang-orang
berpikiran kerdil sepertimu yang membuat golongan
kita tak pernah berjaya dan selalu menjadi pihak yang
dikalahkan!"
"Keparat! Tutup mulutmu, Serigala Hitam!"
Raja Laut Bermuka Setan yang merasa sangat
tersinggung dengan ucapan Raja Serigala Hitam lang-
sung memuntahkan amarahnya dengan melancarkan
serangan. Lelaki kurus ini mengawali serangannya
dengan sebuah tendangan lurus kaki kanan ke arah
perut.
Raja Serigala Hitam tak menjadi gugup melihat
serangan itu. Sejak tadi dia memang sudah bersiap
siaga menghadapi hal-hal seperti ini. Maka tanpa ragu-
ragu ditangkisnya tendangan itu dengan sabetan tan-
gan kanan.
"Heh?!"
Raja Serigala Hitam mengeluarkan seruan ka-
get melihat Raja Laut Bermuka Setan menarik pulang
serangannya di tengah jalan. Secara cepat dan tak ter-
duga-duga kemudian pimpinan tokoh sesat wilayah se-
latan ini menggantikannya dengan tendangan miring
ke arah dada.
Serangan ini memaksa Raja Serigala Hitam
mencondongkan tubuh ke belakang, sehingga seran-
gan lawan hanya mengenai tempat kosong. Saat itulah
tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan
ke arah mata kaki Raja Laut Bermuka Setan. Totokan
yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring bak bela-
san ekor tikus mencicit.
Raja Laut Bermuka Setan tak menginginkan
mata kakinya hancur oleh totokan Raja Serigala Hitam.
Buru-buru kakinya ditarik pulang. Namun Raja Seriga-
la Hitam tak berhenti sampai di situ saja. Begitu se-
rangan pertamanya tak mengenai sasaran segera diki-
rimkannya serangan bertubi-tubi dengan gedoran tan-
gan kanan dan kiri.
Kali ini Raja Laut Bermuka Setan tak mengelak.
Dengan kedua jari-jari tangan terbuka dipapakinya se-
rangan-serangan itu.
Plak, plakkk!
Berturut-turut serangan itu tertangkis hingga
menimbulkan bunyi riuh rendah. Akibatnya, tubuh
kedua tokoh itu terhuyung-huyung tiga langkah ke be-
lakang.
"Dengan kemampuan seperti ini kau berani me-
remehkan datuk-datuk persilatan? Hanya menghadapi
salah satu dari murid datuk itu saja kau tak akan
mampu menang, Muka Setan?!" ejek Raja Serigala Hi-
tam setelah berhasil mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Raja Laut Bermuka Setan memberikan isyarat
dengan suitan nyaring. Lelaki bermata picak yang se-
jak tadi menggenggam dayung pimpinannya segera me-
lemparkan senjata itu. Tanpa membalikkan tubuh dan
bahkan tanpa melihatnya sedikit pun Raja Laut Ber-
muka Setan menangkapnya dengan tangan kiri!
"Kalau kau mampu bertahan menghadapi sen-
jataku ini selama lima puluh jurus, maksudmu mene-
muiku akan kudengar dan kupertimbangkan. Tapi bila
tidak, menggelindinglah dari sini dengan selamat apa-
bila kau berhasil melakukannya!" tandas Raja Laut
Bermuka Setan.
Wuk, wuk, wukkk!
Deru angin yang menyakitkan telinga langsung
terdengar ketika kepala bajak laut selatan itu memutar
dayungnya. Cepat bukan main sehingga membuat ben-
tuk dayung lenyap. Yang kelihatan hanya cahaya kee-
masan melingkar di seputar tubuh lelaki kurus.
"Keluarkan senjatamu, Serigala Hitam!" sera
Raja Laut Bermuka Setan di tengah kesibukannya
memutar dayung.
Raja Serigala Hitam tersenyum pahit Bukannya
mencabut atau mengeluarkan senjatanya dia malah
membuang ludah ke tanah dengan sikap kasar. Cairan
kental itu menghantam tanah dan tembus ke dalam!
"Simpan senjatamu, Muka Setan! Kemam-
puanmu itu hanya akan berarti bila kau pertunjukkan
pada keroco-keroco dan anak buahmu. Aku tak kera-
san berlama-lama berdekatan dengan orang berpikiran
kerdil sepertimu. Kelak setelah sarangmu diobrak-
abrik mereka, kau akan mengerti!"
Setelah berkata demikian Raja Serigala Hitam
membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat
itu. Kakek ini tak hendak meladeni keinginan lawan-
nya. Karena bila hal itu dilakukan menurutnya sama
saja dengan merendahkan diri. Padahal kedudukannya
setingkat dengan Raja Laut Bermuka Setan.
"Jangan lari kau, Pengecut...!" bentak Raja Laut
Bermuka Setan seraya bergerak mengejar.
Tapi Raja Serigala Hitam tak mempedulikan
makian saingannya. Kakek itu terus berlari. Tindakan
itu memaksa Raja Laut Bermuka Setan yang terlanjur
murka terus mengejarnya. Pemimpin bajak Laut sela-
tan ini baru menghentikan pengejarannya setelah ra-
tusan tombak mengejar dan jarak antara dirinya den-
gan buruannya tetap tak berubah. Dengan hati dong-
kol lelaki kurus ini kembali ke tempat tinggalnya. Dis-
adarinya tak akan mungkin bisa menyusul Raja Seri-
gala Hitam. Ilmu lari cepat tokoh Wilayah utara itu tak
berada di bawahnya.
kkk
"Iblis Berhati Manusia! Berhenti...!"
Bentakan keras penuh kemarahan membuat la-
ri Raja Laut Bermuka Setan tertahan. Dia merasa se-
ruan dari arah belakangnya itu ditujukan untuk di-
rinya. Dengan kemarahan yang memuncak segera di-
balikkan tubuhnya.
Tampak sesosok tubuh tengah berlari menuju
ke arahnya. Gerakannya cepat. Sehingga dalam waktu
sebentar saja sosok yang ternyata seorang gadis ber-
pakaian merah telah berada tiga tombak di depan Raja
Laut Bermuka Setan.
Amarah Raja Laut Bermuka Setan berkurang
banyak ketika melihat orang yang mengeluarkan ben-
takan. Gadis berpakaian merah itu memiliki wajah
yang luar biasa cantik. Kulitnya halus putih. Bentuk
tubuhnya ramping padat dan begitu menawan. Raja
Laut Bermuka Setan yang gemar pada perempuan can-
tik langsung tertarik.
"Siapa kau, Nona Cantik? Apakah aku orang
yang kau minta untuk berhenti?" tanya Raja Laut
Bermuka Setan dengan pandang mata seperti hendak
menelan bulat-bulat sosok di depannya.
"Tidak salah!" sahut gadis cantik itu mantap.
"Bukankah kau orang yang berjuluk Raja Laut Bermu-
ka Setan? Orang yang gemar menculik gadis-gadis un-
tuk memenuhi keinginan terkutukmu!"
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan tertawa. Dia tidak
marah mendengar ucapan gadis berpakaian merah
yang ketus dan kasar.
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu.
Nona Cantik? Dan aku memang gemar dengan gadis-
gadis cantik sepertimu. Tentu saja kalau kau bersedia
ikut denganku aku tak perlu menyuruh anak buahku
untuk menculik mu. Nah, bagaimana? Apakah kau
bersedia ikut denganku?"
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Binatang! Ke-
tahuilah, aku datang untuk melenyapkan kau dari
muka bumi ini agar kekejian yang kau lakukan hilang
dari mayapada. Sebetulnya aku bermaksud menyatro-
ni tempat tinggalmu. Tapi karena kau telah kutemu-
kan, maka di sini pun kurasa cocok untuk menjadi
tempat akhir hidupmu. Bersiaplah untuk menjumpai
malaikat maut, Manusia Binatang!"
Seiring dengan selesainya ucapan itu gadis ber-
pakaian merah melompat. Dari atas tangan kanannya
yang berbentuk cakar meluncur ke arah ubun-ubun
Raja Laut Bermuka Setan, sementara tangan kirinya
diletakkan di pinggang.
Raja Laut Bermuka Setan tampak terperanjat
kaget. Dia tak berani memandang remeh gadis cantik
itu lagi. Dari bunyi bercicitan nyaring yang mengiringi
serangan itu bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
yang terkandung di dalamnya. Lelaki kurus ini tahu
apabila serangan mengenai sasaran nyawanya akan
melayang ke alam baka!
Buru-buru Raja Laut Bermuka Setan melang-
kah mundur setindak seraya menarik kepalanya ke be-
lakang. Sederhana saja gerakan yang dilakukan lelaki
kurus itu. Kendati demikian, serangan maut lawan jadi
lewat di atas kepalanya. Seluruh rambut dan pakaian
pimpinan bajak laut selatan ini berkibaran keras keti-
ka serangan cakar lawannya lewat.
Tapi serangan si gadis tak hanya berhenti sam-
pai di situ saja. Begitu serangan pertamanya lolos kaki
kanannya menyambar cepat ke arah dada. Tidak ada
pilihan lain bagi Raja Laut Bermuka Setan kecuali me-
lempar tubuh ke belakang lalu berputaran beberapa
kali di udara. Tindakan ini membuat serangan gadis
berpakaian merah kembali lolos.
Gadis cantik itu ternyata benar-benar luar bi-
asa. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah langsung
dijejakkan lagi hingga tubuhnya kembali melesat ke
arah lelaki kurus. Kedua tangan yang jari-jarinya ter-
buka lurus ditotokkan bertubi-tubi ke arah ulu hati
dan dada. Sebuah pertarungan aneh pun terjadi. Gadis
berpakaian merah yang terus memburu dengan seran-
gan-serangan maut sementara Raja Laut Bermuka Se-
tan tak henti-hentinya bersalto ke belakang untuk me-
nyelamatkan diri.
Raja Laut Bermuka Setan akhirnya menyadari
jika keadaan seperti ini tak segera diubahnya dia bisa
celaka. Diserang terus-menerus tanpa mempunyai ke-
sempatan untuk menangkis atau balas melancarkan
serangan akan mencelakakan dirinya.
Sungguh tak disangkanya seorang gadis muda
mampu memiliki kepandaian demikian tinggi!
Sekelebatan dugaan mencuat di benak Raja
Laut Bermuka Setan. Gadis inikah yang dimaksud Ra-
ja Serigala Hitam? Ataukah gadis lainnya lagi yang me-
rupakan murid salah satu dari empat datuk golongan
putih?
Sekarang pikiran Raja Laut Bermuka Setan ba-
ru terbuka. Kalau gadis ini saja sudah selihai ini ba-
gaimana pula dengan ayah atau guru yang mendidik-
nya? Benarkah tingkat kepandaian datuk-datuk golon-
gan putih demikian tinggi?
"Kraaakh...!"
Sambil bersalto untuk menyelamatkan nya-
wanya Raja Laut Bermuka Setan memekik bagai see-
kor burung garuda yang tengah murka. Bukan semba-
rang teriakan, melainkan didasari dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Lenguhan tertahan dikeluarkan gadis berpa-
kaian merah. Tubuhnya yang tengah melayang mengi-
kuti ke mana lawannya bergerak terhenti di tengah ja-
lan dan melayang turun. Gadis berpakaian merah ini
merasakan telinganya sakit bukan main seperti ditu-
suki jarum-jarum panas yang amat banyak. Dadanya
pun bergetar hebat sehingga membuat aliran tenaga
dalamnya terganggu. Untungnya dia masih memiliki
kemampuan cukup hingga mampu mendarat di tanah
dengan kedua kaki. Memang agak terhuyung-huyung,
tapi tak terjerembab di tanah.
Raja Laut Bermuka Setan yang telah kenyang
pengalaman bertarung segera mengetahui lawannya
belum mampu mengusir pengaruh teriakannya. Maka
begitu berhasil tegak di tanah dayungnya dibolang-
balingkan di depan dada. Bunyi mengaung timbul
mengiringi lenyapnya bentuk dayung. Sinar kuning
keemasan seakan membungkus tubuh datuk Wilayah
selatan ini saking cepatnya dayung berputar.
Gadis berpakaian merah meski memiliki ke-
mampuan tinggi rupanya belum mempunyai pengala-
man bertarung, sehingga pengaruh teriakan Raja Laut
Bermuka Setan tak segera mampu diusirnya. Saat itu
justru datuk wilayah selatan ini kembali melancarkan
serangan melalui bunyi dayungnya.
Bunyi mengaung meluncur masuk ke telinga si
gadis. Sakit bukan main kedua telinganya seperti ditu-
suk-tusuk paku berani. Rasa yang sama melanda ba-
gian dalam tubuh gadis itu.
Gadis berpakaian merah menggeliat-geliat da-
lam cekaman rasa sakit yang mendera. Sesaat kemu-
dian ketika rasa yang diderita semakin menggila dia
duduk bersila mengerahkan tenaga dalam untuk
membendung pengaruh bunyi dayung lawan
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan
wajah yang memiliki kulit halus. Raja Laut Bermuka
Setan sendiri merasa gembira bukan main melihat tin-
dakan yang diambil gadis itu. Tindakan itu menanda-
kan gadis berpakaian merah belum berpengalaman
bertempur.
Tindakan yang dilakukan si gadis andaikata te-
naga dalamnya setingkat dengan Raja Laut Bermuka
Setan tetap akan menimbulkan kerugian pada dirinya.
Gadis cantik itu hanya bertahan. Lain halnya apabila
gadis berpakaian merah menghadapi serangan Raja
Laut Bermuka Setan dengan bunyi pula. Akibat yang
diterima tidak hanya tertuju pada diri gadis itu tapi ju-
ga pada Raja Laut Bermuka Setan.
Baru sebentar merebahkan tubuh
Baru sekejap memicingkan mata
Keributan dan keonaran telah tercipta
Tak dapatkah aku beristirahat sebentar saja?
Kata-kara gerutuan yang dikeluarkan secara
berirama itu sebenarnya pelan. Tapi mampu mengatasi
kegaduhan yang ditimbulkan oleh bunyi dayung Raja
Laut Bermuka Setan.
Kenyataan ini saja sudah membuat Raja Laut
Bermuka Setan terperanjat setengah mati. Yang lebih
mengejutkan adalah ketika mengetahui getaran-
getaran yang keluar dari gerutuan menimbulkan pen-
garuh dahsyat yang membendung bunyi putaran
dayungnya. Malah, getaran yang terkandung dalam ge-
rutuan itu mampu menekan bunyi dayung!
Meski tahu ada tokoh pandai yang telah mem-
bantu lawannya, Raja Laut Bermuka Setan tak mun-
dur. Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam puta-
ran tongkatnya diperdahsyat. Bunyi yang ditimbulkan
pun semakin keras.
Seperti hendak mengimbangi bunyi dayung, ge-
rutuan yang terdengar dari salah satu pohon di dekat
Raja Laut Bermuka Setan terus terdengar. Isi gerutuan
itu sama dengan sebelumnya. Hanya saja pengaruh
yang muncul jauh lebih dahsyat. Raja Laut Bermuka
Setan menggertakkan gigi dan memaksakan diri untuk
terus bertahan melakukan perlawanan. Tapi keadaan
itu tak berlangsung lama.
"Huakh...!"
Raja Laut Bermuka Setan memuntahkan darah
segar dari mulutnya. Tubuhnya pun terhuyung-
huyung ke belakang. Dayung yang tergenggam di tan-
gan hampir-hampir lepas dari cekalan.
Bunyi gerutuan pun terhenti. Raja Laut Ber-
muka Setan mendekap dadanya yang dirasakan sakit
dan nyeri bukan main. Lelaki kurus itu sadar kalau di-
rinya telah terluka dalam. Pemilik gerutuan yang bera-
da di atas pohon ternyata memiliki tenaga dalam di
atasnya. Pimpinan bajak laut selatan ini menjadi ge-
ram sekali. Raja Laut Bermuka Setan segera menga-
rahkan pandangan ke tempat suatu gerutuan berasal.
"Kalau bukan pengecut tunjukkan wajahmu,
Orang Usilan!" seru Raja Laut Bermuka Setan sambil
mendekap dadanya yang terasa semakin sakit karena
memaksakan diri berbicara.
Dari atas pohon sesaat kemudian tampak me-
layang turun sesosok bayangan ungu. Sosok itu men-
jejak tanah sekitar dua tombak di depan Raja Laut
Bermuka Setan. Raja Laut Bermuka Setan memperha-
tikan sosok di depannya dengan penuh selidik.
"Kau... kau Dewa Arak...?!" tanya Raja Laut
Bermuka Setan dengan suara tercekat di tenggorokan.
Lelaki kurus ini sedikit pun tak menyangka so-
sok di atas pohon adalah seorang pemuda berwajah
tampan dan berambut putih keperakan. Tubuh pemu-
da yang tegap dan kekar itu terbungkus pakaian war-
na ungu. Di punggungnya tergantung guci arak yang
terbuat dari perak.
Raja Laut Bermuka Setan memang telah men-
dengar kabar tentang Dewa Arak yang menggegerkan
dunia persilatan. Maka sekali melihat ciri-cirinya da-
tuk sesat wilayah selatan ini telah bisa menduga, Ken-
dati demikian ketika melihat betapa tokoh yang meng-
gemparkan itu demikian muda, Raja Laut Bermuka Se-
tan jadi tak yakin juga.
Sosok yang bukan lain Dewa Arak alias Aiya
Buana tersenyum lebar tanpa memberikan jawaban.
Tapi hal itu sudah cukup bagi Raja Laut Bermuka Se-
tan.
"Kali ini aku mengaku kalah, Dewa Arak. Tapi
lain kali apabila berjumpa kembali kekalahan ini akan
ku tebus!"
Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Raja
Laut Bermuka Setan berlari terhuyung-huyung me-
ninggalkan tempat itu. Arya tak berusaha mengejar-
nya. Dia tak tahu urusan yang terjadi antara dua
orang yang bertempur itu. Ikut campurnya Arya kare-
na tak ingin melihat gadis berpakaian merah tewas.
Karena menilik dari ciri-ciri dan sikap keduanya, Arya
sedikit banyak bisa memperkirakan gadis itu berada di
pihak yang benar.
***
4
"Huakh...!"
Gadis berpakaian merah memuntahkan darah
segar ketika Arya baru saja mengayunkan kaki meng-
hampirinya. Buru-buru pemuda itu mempercepat
langkah. Tapi tepat ketika Arya berada di dekatnya ga-
dis itu mengeluh tertahan. Tubuhnya lalu terkulai le-
mas.
Arya segera memeriksanya karena merasa he-
ran. Kalau gadis berpakaian merah itu memuntahkan
darah, bukan persoalan. Barangkali saja sewaktu ber-
tarung dengan Raja Laut Bermuka Setan gadis itu
mengerahkan tenaga yang melampaui batas. Tapi
mengapa harus pingsan?
Arya tiba-tiba berseru kaget ketika melihat wa-
jah si gadis bersemu kehijauan. Sebelum sebuah du-
gaan sempat didapatkan pemuda ini merasakan kepa-
lanya pusing. Tubuhnya pun lemas dan pandangan
matanya mulai berkunang-kunang. Sebagai pendekar
muda yang telah kenyang pengalaman Arya segera ta-
hu apa artinya semua ini
"Racun," desis Arya dalam hati. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini buru-buru duduk berse-
madi. Hawa murninya dikerahkan untuk mengusir ra-
cun di dalam tubuh. Meski hanya mempunyai waktu
sebentar dia segera tahu racun itu menyebar melalui
udara. Racun yang cepat daya kerjanya tapi tidak tera-
sa dan berbau. Keracunan itu baru ketahuan setelah
tanda-tanda muncul.
Arya bersemadi beberapa saat lamanya. Uap
berwarna kehijauan pun keluar dari lubang hidung.
Baru ketika dirasakan racun itu telah terusir dari tu-
buh Arya menghentikan semadinya.
Pemuda berambut putih keperakan ini bangkit
dari duduknya dan memeriksa keadaan gadis berpa-
kaian merah. Benak Arya bertanya-tanya sendiri ten-
tang asal racun itu. Mungkinkah Raja Laut Bermuka
Setan yang menyebarkannya sebelum melesat pergi
meninggalkan tempat itu?
Tapi Dewa Arak tak bisa berlama-lama tengge-
lam dalam alun pikirannya. Gadis berpakaian merah
bisa melayang nyawanya apabila tidak lekas-lekas dito-
long. Maka tanpa membuang-buang waktu Arya me-
nempelkan kedua tangannya ke tubuh si gadis. Dia
mengerahkan hawa murninya untuk mendorong ke-
luar racun yang masuk ke dalam tubuh gadis berpa-
kaian merah.
Sebentar kemudian dari hidung, mulut, dan te-
linga gadis ini keluar uap berwarna hijau. Mula-mula
tipis dan sedikit tapi lama-kelamaan menebal dan ak-
hirnya menipis lagi sampai akhirnya tak ada lagi uap
hijau yang keluar.
Arya segera menghentikan penyaluran hawa
murninya. Pemuda ini kemudian bangkit berdiri. Tapi
baru saja tegak tubuhnya limbung karena sekujur tu-
buhnya seperti lunglai tak bertenaga. Arya pun sadar
kalau racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum se-
luruhnya terusir keluar. Dan itu berarti demikian pula
dengan gadis berpakaian merah.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa
Arak. Sama sekali tak disangka akan didapatkannya
racun seperti ini. Maka buru-buru diteguk araknya
yang mampu menawarkan berbagai macam racun.
Kendati demikian dalam pengalamannya Arya menda-
pati banyak racun yang tak berhasil dipunahkan oleh
araknya.
Seteguk Arya menenggak araknya. Dan sesaat
kemudian dirasakan sebagian besar tenaganya kemba-
li. Arak dalam gucinya ternyata mampu memunahkan
racun tersebut.
Tentu saja Arya tak berani meminumkan arak
pada gadis berpakaian merah. Di samping khawatir
akan menimbulkan urusan dengan gadis itu juga ka-
rena nyawanya telah berhasil diselamatkan, kendati
pengaruh racun masih bercokol di dalam tubuhnya.
Mereka berdua agaknya harus menemukan
orang yang mempunyai ilmu pengobatan tinggi agar
dapat mengusir racun seluruhnya. Dan hal itu bukan
merupakan masalah. Arya memang bermaksud untuk
menemui tokoh yang di samping mahir dalam ilmu
pengobatan juga memiliki kepandaian yang amat ting-
gi. Dewa Arak tengah dalam perjalanan untuk men-
jumpai tokoh yang berjuluk Malaikat Obat Sakti!
Malaikat Obat Sakti adalah termasuk salah sa-
tu dari empat datuk golongan putih yang telah men-
gundurkan diri dari dunia persilatan. Arya ingin me-
nemui datuk itu karena puluhan tahun yang lalu
ayahnya, Tribuana yang berjuluk Pendekar Ruyung
Maut, mendapat pertolongan dari Malaikat Obat Sakti
sewaktu terluka keracunan akibat bertarung mengha-
dapi seorang tokoh sesat
Maka tanpa membuang-buang waktu, karena
menyadari akan bahayanya racun itu, Dewa Arak sege-
ra membopong tubuh gadis berpakaian merah dan
membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Tak
sampai seribu tombak berlari Arya mengalami kejadian
yang mengejutkan. Tenaganya terus menyusut secara
cepat. Rasa lemas kembali menyerangnya. Arya tahu
keadaan ini akibat pengaruh racun. Ini berarti arak
yang diminumnya tak mampu memunahkan racun se-
cara keseluruhan!
Namun karena untuk mencapai tempat tinggal
Malaikat Obat Sakti dibutuhkan kemampuan dengan
pengerahan tenaga dalam, Arya menenggak araknya
sekadar untuk memulihkan sebagian besar tenaganya.
Setiap kali tenaganya menyusut dan rasa lemas me-
nyerang Dewa Arak menenggak araknya kembali.
Hanya itu yang bisa dilakukan Dewa Arak sebelum tiba
di tempat tinggal Malaikat Obat Sakti.
Arya bersyukur setelah melewati hutan karet
matanya melihat pondok yang atapnya berbentuk se-
tengah lingkaran. Arya tahu pondok itu adalah tempat
tinggal Malaikat Obat Sakti karena ayahnya pernah
menceritakannya. Melihat pondok itu semangat Arya
yang semula mengendur timbul kembali. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini menggertakkan gigi untuk
mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa agar dapat
segera mencapai pondok.
Saat itu keadaan Dewa Arak memang
mengkhawatirkan. Tenaganya terus menyusut padahal
arak dalam gucinya telah habis. Maka, pemuda be-
rambut putih keperakan ini berusaha sekuat tenaga
agar bisa mencapai pondok yang jaraknya masih ratu-
san tombak.
Lari Dewa Arak sudah tak sewajarnya lagi. Pe-
muda berambut putih keperakan ini berlari terhuyung-
huyung seperti akan jatuh. Arya sampai menggigit bi-
bir erat-erat karena usahanya yang keras untuk men-
gerahkan tenaga yang tersisa.
Brukkk!
Arya tak mampu lagi bertahan ketika pondok
yang dituju tinggal lima belas tombak. Pemuda itu ja-
tuh terjerembab dengan membawa serta tubuh gadis
berpakaian merah. Seperti disengaja, tubuh gadis itu
berada di bawah dalam keadaan telentang dan Aiya
berada di atas menindih tubuhnya. Memang tidak ter-
lalu tepat benar tapi wajah Dewa Arak berada di atas
dada si gadis.
Karuan saja hal ini membuat Arya kelabakan.
Dia adalah seorang pemuda. Darahnya masih panas.
Kenyataan seperti ini membuat darahnya bergolak.
Apalagi ketika mencium keharuman khas tubuh wani-
ta yang memabukkan.
Kalau saja saat itu Arya masih memiliki tenaga
pemuda ini akan segera bangkit berdiri. Arya khawatir
gadis berpakaian merah keburu sadar. Apabila hal itu
terjadi kesalahpahaman tak akan mungkin bisa dihin-
darkan lagi. Arya berusaha sekuat tenaga agar bisa
bangkit. Tapi ketidakadaan tenaga dan lemasnya selu-
ruh otot dan urat tubuhnya membuat usaha pemuda
berambut putih keperakan itu sia-sia. Kenyataan ini
membuat Arya gelisah bukan main.
"Apa yang tengah kau lakukan di sini, Anak
Muda Berambut Aneh?!"
Kalau saja Arya mampu bergerak teguran itu
akan membuatnya terjingkat. Arya tak mendengar
bunyi apa pun tapi tahu-tahu tepat di depannya telah
berdiri sepasang kaki. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini bisa memperkirakan ketinggian ilmu merin-
gankan tubuh pemilik sepasang kaki itu, hingga keda-
tangannya tak tertangkap telinga Arya yang memiliki
pendengaran luar biasa tajam.
Arya ingin mendongakkan kepala untuk dapat
melihat wajah pemilik sepasang kaki itu. Tapi otot-otot
lehernya tak mempunyai daya sama sekali. Jangankan
menggerakkan leher, ujung jari kelingking pun Arya
tak mampu!
"Ahhh...!"
Pemilik sepasang kaki ternyata seorang kakek
berjenggot putih yang panjang sampai ke dada. Kakek
yang memiliki wajah segar seperti, layaknya kulit wa-
jah orang muda itu mengeluarkan seruan keterkejutan
ketika melihat wajah gadis berpakaian merah. Dia ba-
ru melihat wajah gadis itu karena tadi perhatiannya di-
tujukan pada Arya. Lagi pula wajah gadis berpakaian
merah sebelumnya tertutup oleh rambut Arya yang
tergerai.
Rasa penasaran melihat keberadaan dua sosok
yang bertumpukan itu membuat kakek berwajah legar
menyibakkan rambut yang menutupi wajah si gadis.
Kakek itu hanya menggerakkan tangan seperti orang
mengusir nyamuk dan rambut Arya pun tersibak
memperlihatkan wajah gadis berpakaian merah.
"Kiranya kalian berdua keracunan hebat," desis
kakek berjenggot panjang.
Kakek itu kembali mengibaskan kedua tangan-
nya. Tubuh Arya dan gadis berpakaian merah segera
melayang naik ke atas dan diterimanya dengan kedua
tangan. Arya di tangan kanan dan si gadis di tangan
kiri. Kakek itu tak tampak keberatan seakan-akan tu-
buh sepasang muda-mudi itu segumpal kapas.
Kakek berpakaian putih kemudian melesat ke
arah pondok yang atapnya berbentuk setengah lingka-
ran. Gerakannya cepat bukan main. Keberadaan tubuh
Aiya dan gadis berpakaian merah sedikit pun tak
mempengaruhi kecepatan larinya.
Kakek berjenggot panjang ini adalah tokoh yang
hendak ditemui Arya. Dialah yang berjuluk Malaikat
Obat Sakti. Salah satu dari datuk-datuk persilatan
kaum putih. Hanya dalam sekejapan kakek berwajah
segar ini telah berada di dalam rumah. Dengan ceka-
tan tubuh Arya dan gadis berpakaian merah diletak-
kan di atas balai-balai yang ada di ruangan tengah.
Kemudian kakek itu masuk ke ruangan khu-
susnya. Dia kembali dengan membawa dua baki berisi
ramuan obat-obatan yang masih mengepulkan asap.
kkk
"Sekarang kalian berdua telah bebas dari mara
bahaya," ujar Malaikat Obat Sakti seraya menatap
Arya dan gadis berpakaian merah berganti-gantian.
Kakek berjenggot panjang ini duduk di sebuah kursi
kayu di dekat balai-balai bambu.
Arya dan gadis berpakaian merah menatap Ma-
laikat Obat Sakti dengan sinar mata penuh terima ka-
sih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap
Arya dengan suara lemah. Tenaga pemuda berambut
putih keperakan ini memang belum pulih benar.
"Aku pun mengucapkan terima kasih, Kek. Aku
berjanji apabila mempunyai kesempatan akan berusa-
ha membalas budi baikmu ini," ucap gadis berpakaian
merah lirih. "O ya namaku Sumbi, Kek."
Malaikat Obat Sakti terkekeh pelan. "Tak usah
kau berjanji demikian, Sumbi. Aku menolong tidak un-
tuk menanam budi atau meminta balas jasa. Ini meru-
pakan kewajibanku selaku manusia. Kebetulan aku
mampu untuk menolong kalian. Bukankah manusia
hidup harus tolong-menolong?"
"Aku Arya, Kek," Arya memperkenalkan diri.
"Kalau aku tak salah terka bukankah kau Malaikat
Obat Sakti? Ayahku banyak bercerita tentang dirimu.
Dan aku pun sebenarnya dalam perjalanan untuk
mengunjungimu. Sayang, di tengah jalan aku menda-
pat masalah ini."
"Apakah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak
itu, Arya?" terka Malaikat Obat Sakti. "Aku telah ba-
nyak mendengar tentang dirimu. Tindakan-tindakan
terpujimu telah sampai ke telingaku. Aku bersyukur
sekali ada tokoh muda yang akan meneruskan tugas
orang-orang tua dan sudah tak berguna seperti aku
dan sahabat-sahabatku."
"Jadi..., sekarang aku tengah berhadapan den-
gan Malaikat Obat Sakti," ujar Sumbi dengan suara
bergetar dan terbata-bata karena rasa kagetnya. "Gu-
ruku banyak bercerita tentang dirimu, Kek."
"Begitukah, Sumbi?" sambut Malaikat Oban
Sakti dengan senyum tersungging di bibir. "Boleh ku
tahu siapa gurumu itu?"
"Kau pasti mengenalnya dengan amat baik,
Kek. Guruku berkata kalau beliau termasuk salah seo-
rang sahabatmu. Pendekar Seribu Tangan, julukan-
nya," beritahu Sumbi dengan wajah berseri-seri.
"Ahhh...!" seru Malaikat Obat Sakti kaget. "Kau
muridnya, Sumbi?"
Sumbi tersenyum lebar dan menganggukkan
kepala.
"Betapa beruntungnya Seribu Tangan itu," ke-
luh Malaikat Obat Sakti dengan wajah mulai dirayapi
kedukaan. Helaan napas berat beberapa kali dikelua-
rkannya. "Mungkin si Singa dan si Gila pun telah
mempunyai ahli waris pula...."
"Apakah kau tidak mempunyai murid, Kek?"
tanya Arya yang bisa menerka penyebab kemurungan
Malaikat Obat Sakti. "Aku yakin kalau kau mau siapa
pun ingin menjadikanmu sebagai guru untuk anak-
anaknya."
"Aku terlalu sibuk dengan urusan obat-obatan,
Arya. Sehingga tak sempat terpikirkan seorang murid
pun untuk kuangkat sebagai pewaris ilmu-ilmuku. Pa-
dahal, meski kemampuanku tak seberapa tapi aku tak
ingin membawa ilmu-ilmu ini ke lubang kubur bersa-
ma diriku."
Sumbi yang semula terpaku melihat kesedihan
Malaikat Obat Sakti terlihat mengernyitkan alis. Ada
sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tapi sebelum
hal itu diutarakan, Arya telah mendahuluinya.
"Menurut pendapatku masih terbuka kesempa-
tan bagimu untuk mewariskan ilmu-ilmu yang kau mi-
liki itu, Kek."
"Mungkin kau benar, Arya," jawab Malaikat Ob-
at Sakti bernada tak yakin.
"Kek...!"
Ucapan Sumbi membuat keheningan yang me-
lingkupi tempat itu sesaat setelah Malaikat Obat Sakti
memberikan tanggapan, terpecahkan. Malaikat Obat
Sakti menoleh ke arah Sumbi. Aiya pun mengalihkan
perhatiannya pula.
"Kau tadi mengatakan kemampuanmu tak se-
berapa. Lalu bagaimana pula denganku? Kalau boleh
ku tahu, ucapan itu hanya sekadar sikap rendah hati
atau karena ada hal-hal lainnya?" Sumbi mengelua-
rkan perasaan yang mengganjal dadanya. Arya merasa
geli di dalam hati mendengar ucapan Sumbi. Sebagai
orang yang terbiasa merendahkan diri. Arya lebih con-
dong menduga kalau ucapan Malaikat Obat Sakti se-
bagai tanda sifat rendah hatinya. Lagi pula memang
harus diakui kalau di dunia persilatan terlalu banyak
orang pandai. Sikap yang ditunjukkan Malaikat Obat
Sakti adalah sikap yang biasa dimiliki tokoh-tokoh
yang tak merasa dirinya besar sendiri.
Malaikat Obat Sakti tak segera memberikan ja-
waban. Kakek itu malah menatap lekat-lekat wajah
Sumbi seperti hendak membaca isi hati gadis itu den-
gan sepasang matanya yang tajam mencorong bak ma-
ta harimau dalam gelap.
"Apakah gurumu tak pernah menceritakan se-
suatu yang berkaitan dengan ucapanku ini?" Malaikat
Obat Sakti malah balas bertanya
Jawaban kakek berjenggot panjang membuat
Dewa Arak terkejut. Hal ini sama sekali tak disang-
kanya. Arya jadi merasa tertarik. Ingin diketahuinya
rahasia besar apakah yang membuat kakek ahli pen-
gobatan ini merasa kepandaian yang dimilikinya tak
berarti. Arya yakin hal ini sebuah rahasia karena
Sumbi sendiri tak diberitahu oleh gurunya.
Aiya melihat dengan jelas Sumbi menggeleng,
Bahkan telinganya menangkap dengan jelas jawaban
Sumbi yang bernada keheranan.
"Tidak, Kek. Guru tak pernah bercerita apa-apa
sehubungan dengan ucapanmu itu. Guru hanya men-
ceritakan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Juga
sahabat-sahabatnya seperti kau, Singa Berbulu Emas,
dan Dewa Gila Tanpa Bayangan. Diingatkan pula ka-
lau beliau dan sahabat-sahabatnya bersepakat untuk
menentukan siapa yang lebih unggul melalui pertarun-
gan murid masing-masing di Puncak Dunia. Lain dari
itu tidak!"
Malaikat Obat Sakti menghela napas berat. Ka-
kek yang telah berusia hampir sembilan puluh tahun
namun masih memiliki kulit segar itu termenung se-
perti ada sesuatu yang memberatkan pikirannya.
"Apakah gurumu tak bercerita tantang tokoh
yang berjuluk Iblis Berkabung?" tanya Malaikat Obat
Sakti yang rupanya masih tak yakin dengan jawaban
Sumbi.
Sumbi dengan tegas menggeleng.
"Kau pernah mendengar tokoh yang berjuluk
Iblis Berkabung, Arya?" Malaikat Obat Sakti mengalih-
kan pertanyaannya pada Dewa Arak.
"Tidak, Kek. Mendengarnya pun baru kali ini,"
Jawab Arya sejujurnya.
"Tak aneh kalau kau tak pernah mendengar
tentang tokoh yang berjuluk Iblis Berkabung itu, Arya,"
ucap Malaikat Obat Sakti setelah menghela napas be-
rat. "Karena memang telah hampir seratus tahun julu-
kannya tak pernah terdengar lagi. Mungkin yang ma-
sih ingat dengan tokoh yang luar biasa lihai itu hanya
aku dan tiga datuk lainnya termasuk gurumu, Sumbi."
"Sudah hampir seratus tahun tak pernah ter-
dengar lagi, Kek?!" Sumbi mengulang sebagian ucapan
Malaikat Obat Sakti dengan kening berkernyit dalam.
Nada suaranya pun menyiratkan keheranan besar.
Sumbi malah menganggap Malaikat Obat Sakti keliru
menyebutkan tahun.
"Benar, Sumbi. Seratus tahun," jawab kakek
ahli obat itu menegaskan.
"Kalau demikian...," kali ini Arya yang membe-
rikan tanggapan. "Iblis Berkabung telah muncul di du-
nia persilatan sejak kau masih kecil, Kek?"
"Bukan hanya itu, Arya," kilah Malaikat Obat
Sakti. "Iblis Berkabung telah merajalela di dunia persi-
latan jauh sebelum aku lahir ke dunia ini!"
"Ahhh...!"
Arya dan Sumbi berdesah kaget hampir berba-
rengan.
"Iblis Berkabung telah membuat kegemparan
sekitar dua ratus tahun lalu," tegas Malaikat Obat Sak-
ti, "Ayahku yang menceritakannya. Tepatnya, tokoh
yang mengiriskan itu telah malang-melintang di dunia
persilatan di masa guru dari ayahku. Saat itu Iblis
Berkabung benar-benar di puncak kejayaannya. Tokoh
itu bukan hanya menjadi raja kaum sesat tapi juga
memiliki kerajaan. Belasan tahun Iblis Berkabung
menjadi raja di raja sebelum akhirnya kejayaannya be-
rakhir. Beberapa buah kerajaan bergabung dan ditam-
bah lagi dengan ratusan pendekar menyerbu kera-
jaannya, membuat Iblis Berkabung terlunta-lunta me-
larikan diri. Di pelariannya tokoh itu tewas di tangan
belasan pendekar yang mengeroyoknya. Dan salah sa-
tu pengeroyoknya adalah guru dari ayahku."
"Jadi Iblis Berkabung telah tewas, Kek?!" tanya
Sumbi dengan suara bergetar.
"Semula guru dari ayahku dan belasan tokoh
golongan putih lainnya menyangka demikian. Memang
setelah itu keadaan dunia persilatan tak sekacau sebe-
lumnya. Jarang terjadi tindak kejahatan yang semula
terjadi di mana-mana. Tapi lima belas tahun kemudian
muncul lagi julukan Iblis Berkabung. Saat itu ayahku
masih berguru pada gurunya. Pembantaian terhadap
tokoh-tokoh golongan putih terjadi di mana-mana ka-
rena balas dendam Iblis Berkabung."
"Apakah Iblis Berkabung yang muncul belakan-
gan itu adalah Iblis Berkabung yang telah mati, Kek?"
tanya Sumbi lagi.
"Bukan."
"Lalu, mengapa julukannya sama dengan tokoh
terdahulu yang telah tewas?" desak Sumbi penasaran.
"Karena tokoh yang baru muncul ini memiliki
ciri-ciri dan ilmu yang sama dengan Iblis Berkabung
sebelumnya. Tokoh ini pun menggelari dirinya sendiri
dengan julukan demikian. Mungkin Iblis Berkabung
yang kedua ini merupakan keturunan atau murid dari
Iblis Berkabung yang telah meninggal!" jelas Malaikat
Obat Sakti.
Sumbi mengangguk-anggukkan kepala seperti
layaknya orang yang telah mengerti
"Dunia persilatan kembali kacau. Apalagi mun-
culnya Iblis Berkabung membuat tokoh-tokoh hitam
yang selama ini merasa gentar untuk membuat keka-
cauan muncul lagi dan menimbulkan korban di sana-
sini. Semula tokoh-tokoh hitam itu melakukan keka-
cauan secara sembunyi-sembunyi. Tapi kemunculan
Iblis Berkabung membuat mereka berani menciptakan
kekacauan secara terang-terangan."
Malaikat Obat Sakti menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas.
"Guru ayahku kembali turun gunung. Bersama
dengan belasan tokoh golongan putih yang dulu mem-
bunuh Iblis Berkabung dibuatnya perangkap untuk
menjebak Iblis Berkabung yang baru. Jebakan yang
dibuat ternyata berhasil. Iblis Berkabung kedua ini
pun tewas di tangan belasan tokoh golongan putih."
"Syukurlah kalau demikian," ujar Sumbi den-
gan wajah berseri.
"Dunia kembali tenang. Tapi tiga puluh tahun
setelah itu kembali muncul Iblis Berkabung. Peristiwa
seperti sebelumnya terulang. Tokoh-tokoh golongan
putih yang telah bersiap-siap untuk beristirahat kem-
bali turun tangan. Kemunculan Iblis Berkabung yang
ketiga ini tak beda dengan yang kedua. Tokoh-tokoh
persilatan yang menyebabkan kematian Iblis Berka-
bung sebelumnya dibantai. Tokoh yang sudah tak ada
lagi yang mendapat pembalasan dendam adalah ketu-
runannya. Saat itu guru dari ayahku telah tewas kare-
na usia tua. Ayahkulah yang turun tangan. Ayahku
bekerja sama dengan enam tokoh golongan putih. Tiga
di antaranya adalah guru dari Singa Berbulu Emas,
ayah dari Pendekar Tangan Maut, dan guru dari Dewa
Gila Tanpa Bayangan."
"Apakah Iblis Berkabung berhasil dibunuh
Kek?" Sumbi yang tak sabaran segera mengajukan per-
tanyaan ketika dilihatnya Malaikat Obat Sakti terdiam.
Malaikat Obat Sakti mengangguk. "Iblis Berka-
bung kali ini bernasib lebih sial. Dia belum lama mun-
cul dan merajai dunia kaum sesat. Tapi telah lebih du-
lu tewas di tangan tujuh tokoh golongan putih yang
merupakan pentolan-pentolan dunia persilatan.
Sayang tiga di antara mereka harus gugur. Yang ber-
hasil selamat adalah ayah dan guru dari kami berem-
pat," ujar Malaikat Obat Sakti menutup ceritanya.
"Setelah itu apakah Iblis Berkabung muncul la-
gi?" kali ini Dewa Arak yang bertanya.
"Sampai saat ini belum, Arya," jawab Malaikat
Obat Sakti. "Tapi aku yakin tokoh itu akan muncul la-
gi. Hanya entah kapan waktunya aku tak tahu."
"Menurutmu apakah Iblis Berkabung yang
muncul kedua dan seterusnya merupakan keturunan
dari Iblis Berkabung yang pertama, Kek?" tanya Arya
lagi.
"Entahlah, Arya. Semula guru dari ayahku
mengira demikian. Tapi mengapa keturunan itu tak
pernah putus? Mungkinkah setiap Iblis Berkabung
yang muncul selalu meninggalkan anak atau murid le-
laki? Aku sendiri jadi merasa heran. Tapi mudah-
mudahan saja demikian dan ketidakmunculan Iblis
Berkabung selanjutnya karena tak ada lagi keturu-
nannya," harap Malaikat Obat Sakti.
Suasana menjadi hening setelah Malaikat Obat
Sakti selesai berbicara. Masing-masing tenggelam da-
lam alun pikirannya.
"Itukah alasannya kau menganggap kemam-
puan yang kau miliki tak seberapa, Kek?" celetuk
Sumbi memecahkan keheningan yang mencekik.
"Benar, Sumbi. Kemampuan yang kumiliki te-
rus terang masih belum mencapai tingkatan ayahku.
Dan menurut dugaanku tingkat gurumu dan dua da-
tuk lainnya pun demikian. Padahal Iblis Berkabung sa-
ja dulu dikeroyok oleh tujuh pentolan persilatan baru
bisa dikalahkan. Bagaimana pula jika hanya aku sen-
diri yang diperbandingkan dengan Iblis Berkabung?"
urai Malaikat Obat Sakti.
"Tapi bukan mustahil Iblis Berkabung yang
akan muncul ke dunia persilatan nanti kepandaian
yang dimilikinya lebih rendah dari yang sebelumnya,"
Sumbi mengajukan pendapatnya.
"Itulah yang aneh untuk dipikirkan, Sumbi,
Arya," keluh Malaikat Obat Sakti. "Tingkat kepandaian
Iblis Berkabung dari yang pertama sampai yang terak-
hir tidak semakin rendah melainkan semakin mening-
gi. Guru dari ayahku lebih lihai dan gurunya, karena
ayah belajar tidak pada satu guru. Mungkin tingkatku
hanya menyamai guru ayahku. Kalau Iblis Berkabung
muncul lagi dengan kemampuan seperti yang pertama
saja aku bukanlah apa, apa baginya."
Sumbi pun diam karena bisa merasakan kebe-
naran yang tak dapat dibantah dalam ucapan Malaikat
Obat Sakti. Arya juga membisu memikirkan ucapan
Malaikat Obat Sakti. Tiba-tiba terbersit satu pikiran di
benak Arya.
"Kok, tadi kau katakan aku telah bebas dari
pengaruh racun. Bagaimana aku bisa yakin kalau
ucapanmu benar. Maaf Kek, bukannya aku tak mem-
percayai ucapanmu atau meragukan kemampuan pen-
gobatanmu. Tapi aku sudah dua kali tertipu." Secara
singkat dan jelas Aiya kemudian menceritakan keja-
dian yang dialaminya.
"Sewaktu tenagamu pulih kembali setelah men-
gusir racun itu dengan semadi dan juga dengan arak
dari gucimu, bukankah kau mengerahkan tenaga da-
lam?"
Pertanyaan Malaikat Obat Sakti itu dijawab
Arya dengan anggukan kepala.
"Apakah kau merasakan adanya denyut di ma-
tamu, meski hanya sebentar?"
"Benar, Kek," jawab Arya singkat.
"Nah! Itulah pertanda kalau racun masih bersa-
rang di tubuhmu, Arya. Racun ini memang luar biasa.
Tak bisa terusir tuntas oleh pengerahan hawa murni
atau sembarang obat. Obat itu harus khusus karena
racun ini pun jarang didapat. Adanya hanya di sekitar
Laut Selatan dan terdapat pada seekor ikan pari yang
muncul setiap lima tahun sekali. Ikan pari merah! Ikan
yang mungkin belum pernah kau lihat seumur hidup-
mu."
Arya dan Sumbi tampak mengerahkan tenaga
dalam mereka. Denyut seperti yang dikatakan Malaikat
Obat Sakti tak dirasakan lagi.
"Kau harus menunggu beberapa hari agar tena-
gamu pulih kembali seperti sedia kala, Arya. Racun itu
memang tak bisa terusir seluruhnya secara sekaligus.
Racun itu keluar sedikit demi sedikit di saat kau ber-
napas," tambah Malaikat Obat Sakti.
Arya dan Sumbi mengangguk-anggukan kepala
mengerti.
"Ah, ya...! Aku hampir lupa akan dirimu, Arya.
Apakah maksud kedatanganmu kemari? O ya, aku in-
gat. Tapi aku masih belum tahu tokoh yang kau mak-
sudkan sebagai ayahmu itu."
"Beliau berjuluk Pendekar Ruyung Maut, tapi
namanya adalah Tribuana," beritahu Arya.
"Tribuana?" ulang Malaikat Obat Sakti dengan
wajah berseri. "Ah betapa pikunnya aku, Arya. Padahal
sejak pertama kali melihatmu aku merasa mengenal
dirimu. Wajahmu amat mirip sekali dengan Tribuana.
Beliau seorang pendekar yang mengagumkan, Arya.
Dulu sebelum meninggalkan tempat ini memintaku
untuk memberikan nama pada anaknya jika dia meni-
kah nanti. Lalu ku usulkan saja nama Arya. Tribuana
berjanji untuk memenuhi usulku. Malah dia bermak-
sud menambahkan kata Buana di belakang nama
Arya. Apakah kau mempunyai nama lengkap Arya Bu-
ana?"
Arya mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Sungguh tak kusangka Tribuana akan mene-
pati janjinya," gumam Malaikat Obat Sakti setengah
tak percaya. Sepasang matanya dilayangkan ke langit-
langit seakan di sana tertera gambar Pendekar Ruyung
Maut. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk
Pendekar Ruyung Maut, silakan baca serial Dewa Arak
episode: "Pedang Bintang").
Aiya membiarkan saja Malaikat Obat Sakti
tenggelam dalam lamunannya.
"Bagaimana kabar Tribuana sekarang, Arya?
Ah, betapa rinduku kepadanya. Puluhan tahun la-
manya dia meninggalkan tempat ini. Ayahmu seorang
yang berwatak baik, Arya. Berbanggalah kau memiliki
ayah sepertinya," ujar Malaikat Obat Sakti kemudian
setelah tersadar dari lamunannya.
"Beliau telah gugur, Kek," beritahu Arya tenang.
Luka hatinya akibat kematian ayahnya telah tak terasa
lagi. Kendati memang harus diakui Arya kalau rasa se-
dihnya sulit untuk dilenyapkan.
Seperti yang telah diduga Aiya, Malaikat Obat
Sakti tak terlihat menampakkan keterkejutan di wa-
jahnya. Bagi orang seperti kakek berjenggot panjang ini
guncangan perasaan yang melanda hati bisa diredam-
nya hingga tak tampak di wajah. Tanpa dimintai Arya
kemudian menceritakan semua kejadian yang menye-
babkan ayahnya tewas. Malaikat Obat Sakti menden-
garkannya dengan penuh perhatian (Untuk jelasnya si-
lakan baca episode perdana Dewa Arak: "Pedang Bin-
tang").
"Aku bangga dan merasa ikut bahagia Tribuana
bisa menurunkan seorang pendekar muda sepertinya.
Kau tak ubahnya dia di waktu muda, Arya," ucap Ma-
laikat Obat Sakti setelah Arya menyelesaikan ceri-
tanya.
Arya hanya tersenyum. Sumbi pun ikut terse-
nyum. Kemudian gadis ini mengerling ke arah Arya.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-
kan padaku, Arya," ucap Sumbi.
Murid Pendekar Seribu Tangan ini memang ta-
hu kalau Dewa Arak yang menolongnya dari ancaman
maut Raja Laut Bermuka Setan. Hanya saja dia tak ta-
hu kalau wajah Dewa Arak pernah mampir di dadanya!
"Pertolongan macam apa, Sumbi? Aku pun
mendapatkan pertolongan yang sama dari Malaikat
Obat Sakti. Beliaulah yang patut kau ucapkan terima
kasih."
Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya, ter-
dengarlah bunyi tawa yang menggelegar. Keras bukan
main sehingga mampu membuat pondok tempat Ma-
laikat Obat Sakti, Arya, dan Sumbi berada berguncang
bagai digoyang-goyangkan.
Arya saling berpandangan dengan Malaikat Ob-
at Sakti. Wajah kedua tokoh ini tampak memancarkan
keterkejutan besar. Bunyi tawa yang membuat pondok
itu bergoncang keras dan mungkin akan roboh menja-
di pertanda kalau pemilik tawa memiliki tenaga dalam
sukar diukur. Yang lebih mengagetkan lagi adalah tak
adanya pengaruh sedikit pun pada diri mereka bertiga!
Kenyataan ini menunjukkan pada Dewa Arak
dan Malaikat Obat Sakti kalau pemilik tawa benar-
benar memiliki kepandaian yang tak masuk di akal.
Tenaga dalamnya dapat digunakan untuk memporak-
porandakan pondok tanpa mengganggu penghuninya!
***
5
Sumbi yang masih kurang pengalaman segera
bangkit dari berbaringnya. Wajah gadis ini menampak-
kan ketegangan hebat Dia duduk di atas balai-balai
dengan kedua kaki terjulur. Ditatapnya Dewa Arak dan
Malaikat Obat Sakti. Dua tokoh itu tetap tenang di
tempatnya. Arya masih terbaring di balai-balai, se-
dangkan Malaikat Obat Sakti tetap duduk di kursinya.
Kedua tokoh ini bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.
Sumbi jadi malu hati. Maka maksudnya untuk me-
ninggalkan balai-balai diurungkan. Gadis ini tetap du-
duk dengan kedua kaki terjulur.
Ketenangan sikap Arya dan Malaikat Obat Sakti
karena tahu kalau pemilik tawa hanya bermaksud
memporak-porandakan pondok, tapi tidak untuk me-
robohkannya. Pengalaman yang mengajarkan pada
dua tokoh ini untuk bisa mengetahuinya. Rupanya ada
tokoh hebat yang hendak menjumpai mereka dengan
lebih dulu mempertunjukkan kemampuannya.
Dugaan Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti
memang tak keliru. Setelah beberapa saat terguncang-
guncang bagian pondok itu beterbangan meninggalkan
tempatnya. Mula-mula atap pondok yang terbuat dari
rumbia, kemudian disusul dengan dinding-dindingnya
yang terbuat dari papan.
Sumbi sampai terlonjak kaget ketika melihat
bahan pondok beterbangan. Hal ini membuat Malaikat
Obat Sakti dan kedua tamunya tak tertutup pondok
lagi. Ketiganya tegap di tempat masing-masing, di ba-
lai-balai dan kursi. Hanya saja sekarang sekeliling me-
reka adalah hamparan tanah lapang yang luas.
Sumbi tak tahan untuk tidak membelalakkan
sepasang matanya. Potongan-potongan pondok yang
beterbangan itu membentuk pondok lagi! Jarak pon-
dok baru ini sekitar sepuluh tombak dari tempat se-
mula.
Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti terlihat tak
menunjukkan kekaguman. Padahal, di dalam hati ke-
dua tokoh ini merasa terkejut bukan main. Pertunju-
kan yang dilakukan oleh pemilik tawa itu memang ter-
lalu luar biasa. Dengan hanya mempergunakan tawa
mampu memporak-porandakan pondok dan melem-
parkannya sejauh beberapa tombak untuk kemudian
membentuknya kembali! Benar-benar sebuah pertun-
jukan tenaga dalam yang amat luar biasa.
Malaikat Obat Sakti merasakan ketegangan be-
sar merayapi hatinya. Harus diakuinya kalau dirinya
tak akan sanggup melakukan tindakan demikian. Di
lain pihak, Dewa Arak pun merasa ragu akan dapat
berbuat seperti itu.
Tempat di mana seharusnya terdapat pintu
pondok berdiri sesosok tubuh tinggi kurus. Pakaiannya
serba putih dan berkibaran ditiup oleh angin. Sosok
yang diyakini Malaikat Obat Sakti, Dewa Arak, dan
Sumbi sebagai lelaki ini sukar untuk diterka usianya.
Wajahnya terlihat amat putih seperti dicat dengan ka-
pur. Sepasang matanya yang bersinar kehijauan dan
menyorotkan sinar tajam menusuk tampak menye-
ramkan, karena sepasang alisnya menukik tajam ke
tengah-tengah. Lelaki ini kelihatan mengiriskan jan-
tung.
Sumbi merasa ngeri melihatnya. Di dalam hati
dia hams mengakui kalau bertemu lelaki berpakaian
putih ini sendirian di malam hari, akan ketakutan se-
tengah mati. Lelaki berpakaian serba putih ini lebih
mirip siluman daripada seorang manusia.
"Iblis Berkabung...!" desis Malaikat Obat Sakti
dengan suara tercekik di tenggorokan. Nada ucapan
kakek ini menyiratkan kegentaran.
Sumbi yang memang sudah merasa gentar me-
lihat tindakan dan ciri-ciri pemilik tawa semakin ciut
nyalinya begitu mengetahui kalau lelaki berpakaian
serba putih ini adalah Iblis Berkabung.
Dewa Arak juga terkejut bukan main menden-
garnya. Sekarang baru disaksikan sendiri kebenaran
ucapan Malaikat Obat Sakti. Iblis Berkabung memang
seorang tokoh sesat yang luar biasa lihai. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini merasa menyesal saat ini
keadaannya tak memungkinkan untuk bertarung. Apa-
lagi jika lawan yang dihadapi sehebat Iblis Berkabung.
Arya tiba-tiba mengkhawatirkan keselamatan Malaikat
Obat Sakti.
"Inikah Iblis Berkabung yang kau ceritakan itu,
Kek?" tanya Aiya untuk memastikan.
"Benar," jawab Malaikat Obat Sakti dengan su-
ara seperti keluhan. "Dialah Iblis Berkabung. Ayahku
telah menceritakan semua ciri-cirinya. Selagi masih
ada kesempatan segeralah kabur dari sini, Arya. Ajak
pula Sumbi. Aku akan mencoba untuk menahannya.
Cepat. Sebelum terlambat...!"
"Ha ha ha....!"
Iblis Berkabung tertawa bergelak. Tokoh yang
mengerikan ini sejak tadi tak segera melakukan tinda-
kan. Dia malah menyapu wajah-wajah yang berada di
depannya dengan pandangan mata. Baru setelah dira-
sa cukup perhatiannya dialihkan pada Malaikat Obat
Sakti seraya mengumbar tawa.
"Apakah kau yang berjuluk Malaikat Obat Sak-
ti? Keturunan dari tokoh-tokoh pengecut yang telah
membunuh Iblis Berkabung terdahulu?!"
"Tidak salah!" jawab Malaikat Obat Sakti me-
mantapkan suaranya. "Aku memang Malaikat Obat
Sakti, dan keturunan dari pendekar yang telah mele-
nyapkan Iblis Berkabung leluhurmu.!"
"Begitukah?!" dengus Iblis Berkabung dengan
suara yang tak mirip manusia, tapi seperti hantu
penghuni kuburan, "Sekarang kau yang akan menebus
kesalahan leluhurmu itu, Manusia Goblok!"
"Kau keliru, Iblis!" sentak Malaikat Obat Sakti
tak mau kalah gertak. "Akulah yang akan mengirim
kau ke neraka menyusul leluhur-leluhurmu!"
Malaikat Obat Sakti kemudian melompat me-
nerjang. Tapi di pertengahan jalan tubuhnya diguling-
kan dan begitu bangkit, masih dengan kuda-kuda ren-
dah, dikirimkannya gedoran ke arah pusar Iblis Berka-
bung dengan jari-jari terkepal!
Iblis Berkabung yang sejak tadi tak bergeming
dari tempatnya mendengus melihat serangan itu. Ke-
mudian kepalan tangannya dihentakkan memapaki se-
rangan Malaikat Obat Sakti.
Bresss!
"Kek...!"
Seruan bernada kekhawatiran itu keluar dari
mulut Dewa Arak dan Sumbi. Mereka melihat tubuh
Malaikat Obat Sakti terpental dan terguling-guling ke
belakang setelah benturan terjadi. Di lain pihak, Iblis
Berkabung sedikit pun tak bergeming!
Aiya dan Sumbi bangkit dari balai-balai dan
bersiap untuk membantu Malaikat Obat Sakti mela-
wan tokoh sesat yang demikian tangguh itu. Kedua
muda-mudi ini tak memperhatikan lagi kalau keadaan
mereka tak memungkinkan untuk bertarung.
Apalagi menghadapi tokoh selihai Iblis Berka-
bung. Malah, Sumbi lupa dengan rasa takutnya karena
kekhawatiran yang besar terhadap keselamatan Malai-
kat Obat Sakti.
"Tidak usah pikirkan aku!" sentak Malaikat Ob-
at Sakti. "Cepat kalian tinggalkan tempat ini!"
Malaikat Obat Sakti kembali menerjang Iblis
Berkabung. Kali ini mempergunakan sepasang ka-
kinya. Sedapat mungkin kakek ini berusaha untuk
menyembunyikan dari pandangan Arya dan Sumbi
akan malapetaka yang menimpa tangan kanannya.
Tangan itu hancur lebur tulang-tulangnya dan rasa
nyeri yang luar biasa mendera. Namun Malaikat Obat
Sakti berusaha keras tak mengeluarkan keluhan. Bah-
kan menyeringai pun, tidak!
Dewa Arak dan Sumbi saling berpandangan.
Sepasang muda-mudi ini teringat kembali den-
gan keadaan mereka setelah mendengar seruan Malai-
kat Obat Sakti. Mereka tahu kalau kemampuannya se-
karang tak ada artinya sama sekali. Sungguh pun
demikian untuk membiarkan saja Malaikat Obat Sakti
menentang maut sendirian mereka merasa tak tega.
Bagaimana mungkin meninggalkan Malaikat Obat Sak-
ti yang telah menyelamatkan nyawa mereka dari ma-
laikat maut?
"Kurasa kau saja yang pergi, Sumbi. Akan ku
usahakan untuk membantu Malaikat Obat Sakti," ujar
Arya memberi saran.
"Enak saja! Kau kira hanya dirimu saja yang
berwatak gagah, Dewa Arak? Aku pun bukan seorang
pengecut! Kau saja yang menyelamatkan diri biar aku
yang membantu Malaikat Obat Sakti!" bantah Sumbi
tak mau kalah.
Arya pun terdiam. Disadari tak ada gunanya
melanjutkan perdebatan. Pemuda berambut putih ke-
perakan ini segera melesat menghampiri kancah perta-
rungan dengan diikuti oleh Sumbi.
Malaikat Obat Sakti tentu saja melihat tinda-
kan itu, namun kakek ini tak berkata apa-apa lagi.
Akan sia-sia saja menyuruh kedua muda-mudi itu per-
gi. Mereka tak akan mau menurutinya. Maka tak dis-
erukannya lagi teriakan untuk mencegah. Dia malah
kemudian memusatkan perhatian untuk menyerang
Iblis Berkabung.
Selama beberapa gebrakan Iblis Berkabung
mengelak ke sana kemari. Hanya gerakan-gerakan se-
derhana yang dilakukannya karena tanpa berpindah
tempat. Tapi tak satu pun serangan Malaikat Obat
Sakti yang mengenai sasaran. Semuanya kandas dan
menghantam tempat kosong.
"Kuras seluruh kemampuanmu, Tua Bangka?
Hanya sampai di sini sajakah kemampuan yang kau
miliki?!" ejek Iblis Berkabung sambil mengelakkan se-
tiap serangan yang datang.
Tokoh sesat yang mengiriskan itu rupanya tak
ingin segera menamatkan riwayat Malaikat Obat Sakti.
Kakek ahli pengobatan itu dipermainkannya lebih dulu
sebelum dibunuh, persis tingkah seekor kucing sewak-
tu mendapatkan mangsa.
Lima jurus Malaikat Obat Sakti menyerang
tanpa hasil. Dan kenyataan ini membuat datuk persi-
latan golongan putih ini merasa tersinggung bukan
main. Tingkah Iblis Berkabung jelas-jelas meremehkan
dirinya. Maka serangan-serangan yang dilancarkan
kemudian lebih dahsyat. Kakek berjenggot panjang ini
tak mempedulikan pertahanan diri lagi, yang dititikbe-
ratkan hanya pada menyerang.
Beberapa tombak dari kancah pertarungan De-
wa Arak dan Sumbi memperhatikan jalannya pertem-
puran. Sepasang muda-mudi ini belum terjun mem-
bantu Malaikat Obat Sakti. Masing-masing mempunyai
alasan yang berbeda.
Sumbi tak segera turun tangan karena merasa
heran. Menurut penglihatannya, Malaikat Obat Sakti
berada di pihak yang mendesak. Pandangan Sumbi
memang belum mampu untuk dapat melihat dengan
jelas gerakan tokoh-tokoh yang tengah terlibat perta-
rungan. Gerakan Malaikat Obat Sakti dan Iblis Berka-
bung terlalu cepat untuk diikuti sepasang matanya.
Yang dilihatnya hanya bayangan kecoklatan yang te-
rus-menerus bergerak melancarkan serangan.
Tak demikian penilaian yang didapat Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu harus
mengakui dalam hati kalau Iblis Berkabung merupa-
kan tokoh yang tak ada taranya. Disaksikannya sendiri
kedahsyatan dan kecepatan setiap serangan Malaikat
Obat Sakti. Tapi, toh Iblis Berkabung mampu menge-
lakkannya secara mudah.
Dewa Arak yakin benar dirinya tak akan mam-
pu melakukan tindakan seperti yang diperbuat Iblis
Berkabung. Serangan-serangan Malaikat Obat Sakti
datang terlalu cepat dan penuh gerakan-gerakan lanju-
tan yang tak terduga. Merupakan hal yang berbahaya
mengelakkan serangan-serangan seperti itu tanpa ber-
pindah kedudukan. Namun, Iblis Berkabung mampu
melakukannya!
Ketidakadaan serangan balasan dari Iblis Ber-
kabung yang membuat Dewa Arak tak turun tangan
membantu. Pemuda ini memperhatikan jalannya per-
tarungan dengan sepasang mata hampir tak berkedip.
"Kurasa sudah cukup permainan ini, Tua
Bangka!"
Iblis Berkabung berseru keras ketika Malaikat
Obat Sakti telah melancarkan serangan sampai sepu-
luh jurus. Dan pada jurus ke sebelas Malaikat Obat
Sakti mengirimkan bacokan sisi tangan kanan ke arah
leher Iblis Berkabung.
Wuttt!
Serangan Malaikat Obat Sakti mengenai angin
ketika Iblis Berkabung merendahkan tubuhnya. Gera-
kan itu disusuli dengan gedoran tapak tangan kanan
terbuka ke arah dada.
Desss!
"Aaaakh...!"
Malaikat Obat Sakti yang tak bisa mengelakkan
serangan itu karena terlalu bernafsu menyerang, men-
geluarkan jeritan menyayat hati. Gedoran Iblis Berka-
bung secara telak menghantam dadanya.
Tubuh Malaikat Obat Sakti melayang deras ke
belakang laksana daun kering diterbangkan angin.
Semburan darah kental muncrat dari mulutnya.
"Kek...!"
Untuk kedua kalinya Dewa Arak dan Sumbi
berseru kaget dan khawatir. Seakan berlomba Sumbi
dan Dewa Arak melesat mengejar tubuh Malaikat Obat
Sakti yang masih melayang-layang. Iblis Berkabung
hanya tersenyum mengejek melihat tindakan mereka
yang terlalu mengkhawatirkan keselamatan Malaikat
Obat Sakti. Tokoh sesat ini tahu pukulannya telah cu-
kup untuk mengirim nyawa Malaikat Obat Sakti ke ne-
raka.
Kendati demikian, Iblis Berkabung yang memi-
liki watak kejam merasa tidak puas. Kekhawatiran
Dewa Arak dan Sumbi yang besar terhadap keselama-
tan Malaikat Obat Sakti menimbulkan maksud keji di
hatinya. Iblis Berkabung segera mengembangkan jari-
jari tangan kanannya, Sekejap jari yang semula ber-
warna putih seperti dikapur itu merah membara. To-
koh sesat ini kemudian menjentikkan jari-jari itu.
Lima leret sinar kebiruan meluncur dari ujung
jari Iblis Berkabung. Cepat luar biasa sinar-sinar itu
mengarah ke tubuh Malaikat Obat Sakti yang masih
melayang-layang di udara.
Zzzbbb...!
Bunyi letupan tak keras terdengar ketika lima
larik sinar kebiruan menghantam tubuh Malaikat Obat
Sakti. Kakek berjenggot panjang itu memekik memilu-
kan. Lima bagian depan tubuhnya langsung terbakar
seiring dengan bolongnya bagian-bagian tubuh yang
terkena sinar. Hanya dalam sekejap api yang timbul
membakar sekujur tubuh Malaikat Obat Sakti.
"Kek...!"
Kembali jeritan itu dikeluarkan Arya dan Sum-
bi. Mereka terasa terpukul sekali melihat tubuh Malai-
kat Obat Sakti telah lebih dulu dibungkus kobaran api
sebelum berhasil mereka tangkap.
Dewa Arak benar-benar dilibat penyesalan yang
amat besar. Seperti juga Sumbi, pemuda ini menghen-
tikan larinya dan menatap tubuh yang terbungkus ko-
baran api itu hingga jatuh di tanah. Arya dan Sumbi
terpaku kaku di tempatnya.
"Ha ha ha...!"
Iblis Berkabung tertawa bergelak melihat kese-
dihan yang diderita kedua muda mudi itu. Maksud ha-
tinya untuk memukul perasaan mereka berhasil den-
gan baik.
Sekujur tubuh Dewa Arak menggigil keras se-
perti orang terkena demam tinggi. Pemuda berambut
putih keperakan ini geram bukan main melihat keke-
jaman Iblis Berkabung. Arya tahu tanpa diberikan se-
rangan terakhir tadi nyawa Malaikat Obat Sakti pun
belum tentu dapat diselamatkan. Tak selayaknya kalau
Iblis Berkabung mengirimkan serangan susulan.
"Terkutuk!" maki Arya dengan wajah merah pa-
dam.
"Ha ha ha...!"
Tawa Iblis Berkabung dengan nada yang tak
pantas keluar dari mulut manusia menyambuti ma-
kian Dewa Arak. Lelaki berpakaian serba putih ini ke-
lihatan gembira bukan main melihat Arya tengah mur-
ka.
"Kau tak senang kalau kakek yang sudah mau
mati itu kubunuh? Mau membalas dendam? Lebih
baik kau urungkan saja niatmu. Anjing kecil. Kau tak
termasuk orang-orang yang harus menjadi korbanku!
Tapi apabila kau memaksa, aku pun tak keberatan
mengirim nyawamu ke neraka!"
"Keparat!"
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang tak
memungkinkan untuk menghadapi tokoh selihay Iblis
Berkabung, Dewa Arak melesat menerjang.
Guci araknya diayunkan siap untuk dihantam-
kan ke kepala lawan. Melihat Dewa Arak telah mengi-
rimkan serangan, Sumbi tak tinggal diam. Gadis ber-
pakaian merah ini pun meluruk ke arah Iblis Berka-
bung.
Dengusan merendahkan dikeluarkan Iblis Ber-
kabung. Kekuatan dan kedahsyatan serangan sepa-
sang muda-mudi itu amat jauh di bawah serangan Ma-
laikat Obat Sakti. Padahal, kakek berjenggot panjang
itu saja serangannya hampir tak berarti apa-apa ba-
ginya.
"Cecoro-cecoro seperti kalian tak layak untuk
berhadapan denganku!"
Iblis Berkabung mengibaskan tangannya seper-
ti orang mengusir nyamuk. Angin keras yang keluar
dari gerakannya membuat Arya dan Sumbi terdorong
ke belakang dan jatuh terguling-guling. Tapi mereka
bukan termasuk orang-orang yang mudah digertak.
Begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka jatuh
terguling-guling habis, keduanya bergegas bangkit
berdiri hendak menyerang kembali.
"Huakh...!"
Dewa Arak dan Sumbi memuntahkan darah se-
gar dari mulutnya. Angin serangan Iblis Berkabung te-
lah membuat sepasang muda-mudi ini terluka parah.
Maksud hati untuk kembali menyerang pun terpaksa
diurungkan.
Kalau mereka memaksakan diri menyerang, lu-
ka yang diderita akan semakin parah dan mungkin
dapat membawa mereka ke lubang kubur. Sementara
untuk mengerahkan tenaga dalam bisa membuat luka
itu semakin parah. Yang dapat dilakukan sepasang
muda-mudi ini hanya menatap Iblis Berkabung dengan
sorot mata dendam.
"Ha ha ha...!"
Iblis Berkabung hanya tertawa bergelak. Den-
gan sorot mata penuh kemenangan dan ejekan dita-
tapnya Arya dan Sumbi.
"Kalian beruntung aku telah cukup gembira
dengan berhasil menewaskan tua bangka itu. Sehing-
ga, aku tak berselera lagi untuk mengirim kalian ber-
dua ke akhirat. Apalagi aku telah bersumpah untuk
lebih dulu mengurus keturunan dan ahli waris penge-
cut-pengecut yang telah membunuh Iblis Berkabung
terdahulu. Kelak apabila seleraku timbul, kalian akan
kubunuh! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa Iblis Berkabung memba-
likkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak dan Sumbi tak bisa berbuat apa pun untuk
mencegahnya. Kedua orang muda yang tak berdaya ini
hanya bisa menatap kepergian tokoh sesat mengi-
riskan hati itu dengan sorot mata penuh kemarahan!
kkk
Angin malam yang dingin berhembus menusuk
sampai ke tulang. Lolong anjing hutan yang mengaung
panjang menambah keseraman suasana malam. Saat
itu langit cukup cerah. Sang dewi malam yang me-
nampakkan diri di langit secara utuh membuat kea-
daan di persada kelihatan terang. Bahkan sinar bulan
purnama mampu menerangi gelapnya hutan.
Di hutan kecil itu tampak dua sosok tubuh
berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar lima
tombak.
Yang satu bertolak pinggang, sedangkan yang
lain bersedekap. Masing-masing saling menatap sosok
di depannya dengan sinar mata yang sulit untuk diter-
ka. Yang jelas, mata kedua sosok ini mencorong tajam
bak mata harimau dalam gelap.
"Apa maksudmu mengirim utusan untuk me-
mintaku datang ke tempat ini, Muka Setan?" tanya so-
sok yang bertolak pinggang.
Ucapan ini sebenarnya pelan, tapi ternyata
mampu bergema ke seluruh penjuru tempat itu. Bina-
tang-binatang malam yang tengah berkeliaran ke sana
kemari tampak terkejut. Mereka bergegas menjauhkan
diri dari tempat pertemuan kedua tokoh yang sama-
sama memiliki ciri-ciri mengiriskan itu.
"Apa maksudmu sewaktu datang ke istanaku
Serigala Hitam?" sosok yang bersedekap malah balas
bertanya.
"Maksudku memerintahkanmu untuk datang
ke hutan ini pun demikian."
Dua sosok itu bukan lain dari Raja Serigala Hi-
tam dan Raja Laut Bermuka Setan. Dua tokoh yang
menjadi dedengkot di wilayah masing-masing. Mereka
mengangkat diri sendiri di atas pihak yang diajak bica-
ra. Oleh karena Raja Serigala Hitam menggunakan ka-
ta Raja Laut Bermuka Setan meminta kedatangannya.
Sebaliknya, Raja Laut Bermuka Setan mempergunakan
kata memerintahkan.
"Begitukah?!" ejek Raja Serigala Hitam sinis.
"Bukankah kau semula meremehkan dan bahkan me-
nolak usulku? Mengapa kau mendadak berubah pen-
dirian? Apakah bocah-bocah ingusan yang kau kata-
kan tak ada artinya itu datang menyatroni sarangmu
dan mengobrak-abriknya?!"
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan meledakkan tawa.
Lelaki kurus ini merasa geli mendengar ucapan sain-
gannya.
"Mana mungkin mereka berani menyatroni is-
tanaku! Apakah mereka sudah mempunyai nyawa
rangkap? Jangankan bocah-bocah yang belum hilang
dari bau kencur itu, setan sekalipun tak akan berani
mendatangi sarangku!"
Raja Serigala Hitam mendengus. Tawa menge-
jek pun dikeluarkannya. Dia tahu Raja Laut Bermuka
Setan menyembunyikan sesuatu. Kalau tak ada apa-
apanya tak akan mungkin pendirian lelaki kurus itu
berubah begitu cepat.
"Aku berubah pendirian karena terpikir olehku
dengan penggabungan kita berdua akan bisa lebih
menguntungkan. Kedudukan kita semakin kuat. Dan
itu berarti kita akan bisa berbuat lebih banyak. Bah-
kan, penggabungan kita akan membuat golongan hi-
tam berjaya!" lanjut pimpinan bajak laut selatan men-
gajukan alasan yang dicari-cari.
Alasan sebenarnya Raja Laut Bermuka Setan
ini adalah pertemuannya dengan Sumbi dan Dewa
Arak yang mengakibatkan nya terluka dalam beberapa
hari yang lalu. Memang benar dia telah menyebarkan
racun berbahaya sebelum pergi meninggalkan Dewa
Arak. Tapi, lelaki kurus ini tak yakin Sumbi dan Dewa
Arak akan mati. Tingkat kepandaian Sumbi membuat
Raja Laut Bermuka Setan terbuka pikirannya. Kalau
Sumbi saja sudah sehebat itu, bagaimana pula gu-
runya? Padahal tokoh setingkatan guru Sumbi masih
ada tiga orang lagi. Dan tokoh setingkatan Sumbi ke-
mungkinan lebih dari satu orang. Belum lagi diperhi-
tungkan keberadaan Dewa Arak. Itulah sebabnya sete-
lah berpikir beberapa hari, Raja Laut Bermuka Satan
memutuskan untuk menerima tawaran bergabung dari
Raja Serigala Hitam.
"Aku bersedia menerima usulmu itu, Muka Se-
tan...," ucap Raja Serigala Hitam menggantung uca-
pannya di tengah jalan.
Raja Laut Bermuka Setan mendengus. Lelaki
ini tahu ucapan yang dihentikan itu menjadi pertanda
kalau usul yang dikemukakannya tak akan demikian
mudah diterima oleh Raja Serigala Hitam. Tokoh sesat
pimpinan wilayah utara ini rupanya merasa sakit hati
dengan sikapnya waktu itu. Dan sikap Raja Serigala
Hitam yang berbalik enggan membuat Raja Laut Ber-
muka Setan merasa geram.
"Rupanya kau mengajukan syarat pula, Seriga-
la Hitam? Kau meniru tingkah ku waktu itu, heh?!"
"Hanya sedikit mirip, Muka Setan," jawab Raja
Serigala Hitam kalem. "Hanya saja persyaratannya
berbeda denganmu. Nah, dengarkan baik-baik. Aku
bersedia untuk bergabung denganmu asal aku yang
menjadi pimpinan tertinggi!"
"Syarat gila!" rutuk Raja Laut Bermuka Setan
dengan sorot mata berkilat-kilat karena kemarahan
yang melanda. "Seharusnya malah sebaliknya, Serigala
Hitam. Apabila kita bergabung aku yang harus menjadi
pimpinan tertinggi. Dan kau kuberi kedudukan yang
terhormat menjadi wakilku. Bagaimana? Enak bukan?"
"Hal itu hanya bisa terjadi apabila aku telah
menjadi mayat, Muka Setan!" tandas Raja Serigala Hi-
tam keras.
"Apa susahnya melakukan hal itu?!" sergah Ra-
ja Laut Bermuka Setan tak kalah kerasnya.
"Kaulah yang akan kubuat menjadi mayat tak
berarti, Muka Setan!"
Raja Serigala Hitam yang tak kuasa menahan
amarahnya lagi segera melompat, menerjang Raja Laut
Bermuka Setan. Di tengah jalan tubuhnya diputar
mengikuti putaran kaki kanannya yang laksana bal-
ing-baling. Suasana yang semula hening segera terpe-
cahkan oleh deru angin bercicitan tajam dari putaran
kaki Raja Serigala Hitam. Dengan tubuh serta kaki
berputaran tokoh sesat itu meluncur ke arah lawan-
nya. Arah yang dijadikan sasaran serangan adalah ke-
pala Raja Laut Bermuka Setan!
Raja Laut Bermuka Setan mengenal benar sua-
tu serangan maut. Buru-buru tubuhnya dilempar ke
belakang sehingga serangan perdana lawannya men-
genai tempat kosong. Tapi, Raja Serigala Hitam segera
menyusulinya dengan serangan lanjutan. Raja Laut
Bermuka Setan menyambutnya dengan hangat. Perta-
rungan antara dua pimpinan wilayah yang berbeda ini
pun segera berlangsung.
Hanya berbeda waktu sebentar saja dua datuk
sesat yang semula saling berbincang-bincang untuk
bersatu kini telah saling serang untuk membunuh. Tak
puas hanya dengan bertangan kosong, masing-masing
pihak menggunakan senjata andalan. Raja Laut Ber-
muka Setan menggunakan dayung. Sementara Raja
Serigala Hitam mempergunakan sepasang cakar baja
yang memiliki tangkai sebagai pegangan. Dengan
adanya senjata andalan di tangan kedua tokoh ini tak
ubahnya harimau yang tumbuh sayap. Kedahsyatan
serangan mereka berlipat ganda.
Ternyata tingkat kepandaian kedua datuk
kaum sesat ini berimbang. Puluhan jurus telah ber-
langsung namun belum ada pihak yang berhasil men-
desak lawan, jalannya pertarungan tetap sengit. Kedua
belah pihak saling berganti melancarkan serangan.
"Manusia-manusia Goblok...? Mengapa harus
saling bentrok sendiri?!"
Tiba-tiba ucapan bernada penuh teguran ter-
dengar mengatasi kegaduhan yang tercipta dari perta-
rungan Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hi-
tam. Kedua tokoh itu tampak terkejut. Ucapan yang
diyakini ditujukan untuk mereka itu mampu membuat
isi dada tergetar hebat. Bahkan, aliran tenaga mereka
pun tersumpal meski hanya sebentar.
Belum lagi lenyap keterkejutan yang mendera
hati, terdengar bunyi mendesing nyaring diiringi den-
gan berkelebatannya sinar-sinar kehijauan ke arah
mereka. Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka
Setan tak mempunyai pilihan lain kecuali menghenti-
kan pertarungan. Sinar-sinar kehijauan itu meluncur
ke arah pelipis mereka. Mendengar dari bunyinya, ke-
dua tokoh itu tahu nyawa mereka bisa melayang apa-
bila terkena sasaran. Pelipis mereka bisa hancur be-
rantakan.
Dua datuk sesat pimpinan wilayah yang berbe-
da itu bergegas menggerakkan senjata di tangan untuk
memapaki serangan sinar-sinar kehijauan.
Trang, trangng...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika ca-
kar Raja Serigala Hitam dan dayung Raja Laut Bermu-
ka Setan membentur sinar-sinar. Tubuh kedua datuk
sesat itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah. Tangan mereka terasa kesemutan dan lum-
puh sesaat. Cakar baja dan dayung kedua datuk kaum
sesat itu jatuh ke tanah. Tangan yang lumpuh mem-
buat jari-jari mereka tak bisa lagi mencekal senjata.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan terkejut bukan main melihat kenyataan ini. Kedu-
anya segera sadar kalau tokoh yang mencampuri uru-
san mereka memiliki tenaga dalam amat kuat. Terbuk-
ti, benturan yang terjadi membuat senjata mereka le-
pas dari pegangan dan tangan yang mencekal menjadi
lumpuh.
Keterkejutan Raja Serigala Hitam dan Raja Laut
Bermuka Setan semakin menjadi-jadi ketika melihat
sinar-sinar kehijauan yang telah membuat senjata me-
reka lepas. Sinar-sinar itu ternyata hanya daun! Ham-
pir dua datuk sesat ini tak percaya akan penglihatan
mereka. Dua helai daun yang besarnya tak lebih dari
telapak tangan bayi itu ternyata mampu membuat tan-
gan mereka lumpuh. Hati Raja Laut Bermuka Setan
dan Raja Serigala Hitam bergidik membayangkan ke-
kuatan tenaga dalam orang yang melontarkannya.
Mereka saling berpandangan sebentar. Tapi da-
ri pertemuan mata itu keduanya telah bermufakat un-
tuk menghadapi tokoh yang mencampuri urusan me-
reka.
Bak hantu saja, karena tanpa mengeluarkan
bunyi sedikit pun, sesosok bayangan putih menjejak-
kan kaki di tanah. Sekitar dua tombak dari dua datuk
sesat. Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan yang tak sadar kalau berdiri berdampingan mena-
tap pendatang baru itu penuh selidik.
"Mengapa harus bertarung dengan orang sego-
longan?!" tegur sosok yang bukan lain dari Iblis Berka-
bung sambil merayapi wajah-wajah di depannya. "Su-
dahi pertarungan kalian. Mulai sekarang kalian adalah
sahabat. Meski kepandaian kalian tak seberapa, kalian
kuangkat sebagai wakil-wakilku!" lanjutnya dengan si-
kap angkuh.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan saling mengerling satu sama lain.
"Siapa kau, Sobat? Apa hakmu sehingga berani
mencampuri urusan Kami? Bahkan kau telah berani-
beraninya mengatur kami. Tahukah kau siapa adanya
kami?!" bentak Raja Serigala Hitam seraya menatap
wajah Iblis Berkabung lekat-lekat.
Di lubuk hatinya Raja Serigala Hitam yang
hampir tak mengenai rasa takut itu merasa ngeri juga
melihat Iblis Berkabung. Tokoh yang terkenal sejak ra-
tusan tahun lalu itu memang memiliki wibawa yang
mengiriskan.
"Aku adalah Raja Laut Bermuka Setan!" sam-
bung Raja Laut Bermuka Setan tak kalah keren. Bah-
kan dadanya dibusungkan ketika mengucapkan kata-
kata demikian. Tapi karena memang kurus, yang tam-
pak malah tulang-tulangnya. "Belasan tahun aku dan
kelompokku merajalela di Laut Selatan tanpa ada yang
mampu menghalangi. Tapi sekarang aku adalah datuk
sesat wilayah selatan. Semua tokoh golongan hitam
yang berada di wilayah itu mengakuiku sebagai datuk
mereka!"
"Dan, aku berjuluk Raja Serigala Hitam! Kekua-
saanku adalah wilayah utara. Sebagian besar tokoh-
tokoh golongan hitam telah menjadi pengikutnya. Aku-
lah datuk sesat wilayah utara!" Raja Serigala Hitam
buru-buru menyambung.
"Pertarungan yang terjadi antara kami adalah
untuk menentukan siapa yang lebih berhak menjadi
datuk sesat di delapan penjuru mata angin!" beritahu
Raja Laut Bermuka Setan.
Iblis Berkabung terlihat hanya tersenyum men-
gejek.
"Hentikan saja pertarungan tak berguna itu.
Aku yang akan menjadi datuk kalian dan semua tokoh
golongan hitam. Aku yang akan membuat golongan ki-
ta berjaya seperti pada masa dua ratus tahun silam!"
tandas Iblis Berkabung mantap.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan merasa heran. Apakah julukan mereka belum per-
nah didengar oleh Iblis Berkabung sehingga tokoh itu
tak menjadi gentar?
"Aku cukup gembira karena kalian telah mem-
punyai banyak pengikut," lanjut Iblis Berkabung tanpa
mempedulikan keheranan kedua datuk di depannya.
"Tapi jangan berpuas diri dulu. Cari lagi pengikut se-
banyak-banyaknya. Bagi yang tak mau bergabung,
bunuh saja! Dan apabila kalian menemui kesulitan,
aku yang akan turun tangan. Nanti setelah pengikut
yang kalian kumpulkan telah banyak, kita serbu kera-
jaan. Satu demi satu kerajaan kita taklukkan, hingga
kita akan mempunyai sebuah kerajaan yang amat be-
sar. Kerajaan Setan, demikian namanya! Ha ha ha...!"
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan terpaku keheranan. Mereka tak pernah berpikir
sampai sejauh itu. Merebut kerajaan dan membentuk
kerajaan sendiri, kerajaan dari golongan mereka! Luar
biasa! Sungguh sebuah usul yang cemerlang. Selama
ini mereka hanya berkeinginan untuk mencari pengi-
kut yang banyak, agar bisa menekan golongan putih
yang menjadi musuh bebuyutan. Usul Iblis Berkabung
menimbulkan keinginan di benak kedua datuk sesat
itu.
"Kau bicara seakan-akan kami ini bersedia
memenuhi keinginanmu, Sobat?" ujar Raja Laut Ber-
muka Setan dengan suara dan sikap keren. "Kau tahu
ucapanmu itu sebenarnya telah cukup menjadi alasan
bagi kami untuk membunuhmu. Tapi karena saat ini
kami tengah mempunyai urusan lain, kami beri ke-
sempatan padamu meninggalkan tempat ini dengan
nyawa di badan!"
Sepasang mata Iblis Berkabung seperti meman-
carkan api ketika Raja Laut Bermuka Setan menyele-
saikan ucapannya. Terlihat sekali tokoh luar biasa ini
merasa tersinggung.
***
6
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Buduk! Mu-
kamu yang sudah buruk itu akan kubuat semakin bu-
ruk sebagai ganjaran atas kekurangajaranmu. Setidak-
tidaknya hal ini akan menjadi peringatan bagi yang
lain untuk tak bertingkah seenaknya!"
Iblis Berkabung menutup ucapannya dengan
sebuah lesatan ke arah Raja Laut Bermuka Setan. Da-
tuk wilayah selatan yang diserang memang sudah ber-
siaga sejak tadi. Dayung yang sudah dipungutnya dari
tanah diayunkan ke arah tubuh Iblis Berkabung.
Hati Raja Laut Bermuka Setan agak tercekat
ketika dia hanya melihat sesosok bayangan melesat ke
arahnya. Lelaki ini tak bisa melihat jelas. Maka,
dayung yang dihantamkan digerakkan menurut nalu-
rinya saja.
"Akh...!"
Raja Laut Bermuka Setan memekik ketika me-
rasakan sakit dan nyeri pada telinganya sebelah ka-
nan. Iblis Berkabung sendiri sudah berada di tempat-
nya lagi. Entah kapan lelaki berpakaian serba putih itu
kembali ke tempatnya. Raja Laut Bermuka Setan ham-
pir memekik kaget melihat benda yang dipamerkan Ib-
lis Berkabung. Benda itu diangkat sejajar dengan wa-
jahnya.
"Inilah hukuman atas kelancangan mulutmu,
Monyet!" ujar Iblis Berkabung dingin.
Raja Laut Bermuka Setan mengenali benda ter-
sebut. Itu adalah daun telinganya! Sekarang Raja Laut
Bermuka Setan tahu kalau rasa sakit yang melanda te-
linga kanannya adalah karena daun telinga itu telah
dibikin penggal! Bergegas Raja Laut Bermuka Setan
menotok jalan darah di sekitar luka untuk menghenti-
kan mengalirnya darah. Kemudian, dengan didahului
gertakkan giginya lelaki kurus ini memutar dayungnya,
bersiap untuk melancarkan serangan.
Raja Laut Bermuka Setan dilanda amarah yang
amat sangat. Hal-hal lain tak dipikirkannya lagi. Yang
ada di benaknya hanya membalas perlakuan Iblis Ber-
kabung. Sedikit pun tak terpikirkan olehnya kalau Iblis
Berkabung memiliki kepandaian lebih tinggi daripa-
danya!
Raja Serigala Hitam tidak demikian. Kakek ini
melihat dengan hati ngeri dan telinga Raja Laut Ber-
muka Setan yang dipertunjukkan Iblis Berkabung.
Bukan bendanya yang membuat datuk utara ini mera-
sa ngeri. Tapi, dia tak melihat kapan Iblis Berkabung
melakukannya! Padahal Raja Serigala Hitam tak per-
nah lekang memperhatikan tindak-tanduk Iblis Berka-
bung.
Memang Raja Serigala Hitam melihat sekeleba-
tan sinar putih, namun bentuknya amat tak jelas. Tak
bisa tokoh sesat itu melihatnya. Kalau Iblis Berkabung
berkehendak, bukan hanya daun telinga Raja Laut
Bermuka Setan yang diambilnya, tapi juga nyawanya.
Mudah baginya untuk menghantam pelipis Raja Laut
Bermuka Setan dalam sekali serang. Kenyataannya da-
tuk selatan itu tak bisa mempertahankan telinganya.
Jangankan mempertahankan, tahu terancam pun ti-
dak.
"Simpan dulu kemarahanmu, Muka Setan," be-
ritahu Raja Serigala Hitam sebelum Raja Laut Bermu-
ka Setan mengirimkan serangan. Raja Serigala Hitam
bukan khawatir atas keselamatan Raja Laut Bermuka
Setan. Justru dia akan lebih gembira jika datuk sela-
tan itu tak ada.
Kalau datuk utara ini mencegah tindakan Raja
Laut Bermuka Setan hanyalah karena rasa khawatir
hal itu akan menimbulkan kemarahan Iblis Berka-
bung. Dirinya bisa jadi ikut terancam apabila Iblis
Berkabung murka.
Raja Laut Bermuka Setan menoleh dan mena-
tap saingannya lekat-lekat. Lelaki ini baru ingat kalau
dia dan Raja Serigala Hitam akan bergabung untuk
menentang Iblis Berkabung. Tapi mengapa Raja Seriga-
la Hitam belum bersiap-siap?
"Apakah kau takut, Serigala Hitam?" tanya Raja
Laut Bermuka Setan. Sedapat mungkin dia menyem-
bunyikan kekhawatirannya kalau Raja Serigala Hitam
membenarkan pertanyaan itu.
"Bukan masalah takut atau tidak, Muka Setan,"
kilah Raja Serigala Hitam. "Kita belum tahu siapa
adanya tokoh ini. Aku ingin tahu siapa dia. Orang ini
pasti memiliki julukan. Kepandaiannya tinggi!"
"Aku memang lupa menjawab pertanyaan ka-
lian tadi," sambut Iblis Berkabung dengan tenang. "Ta-
pi tak ada salahnya jika jawaban itu kuberikan seka-
rang. Pernahkah kalian mendengar julukan Iblis Ber-
kabung? Nah, akulah orangnya!"
Kalau saja saat itu ada halilintar menyambar
tepat di depan mereka, tak akan Raja Laut Bermuka
Setan dan Raja Serigala Hitam seterkejut ini. Kedua
datuk sesat itu sampai terlonjak ke belakang bagai di-
putar ular berbisa. Keduanya menatap Iblis Berkabung
dengan sepasang mata seakan ingin melompat keluar
dari rongganya.
"Iblis Berkabung?!" desis kedua datuk kaum se-
sat itu dengan bibir bergetar dan suara menggigil. Ter-
lihat jelas kegentaran melanda hati.
Memang, Raja Laut Bermuka Setan maupun
Raja Serigala Hitam pernah mendengar julukan Iblis
Berkabung. Tokoh itu merupakan cerita yang mereka
dengar turun-temurun. Hanya saja ketika sampai ke
telinga mereka tidak didengar bagaimana ciri-ciri Iblis
Berkabung. Semula kedua datuk sesat ini lebih con-
dong menduga cerita mengenai Iblis Berkabung hanya
sebuah dongeng. Sama sekali tak disangka tokoh yang
luar biasa itu muncul kembali dan sekarang berada di
depan mereka.
"Benar. Akulah Iblis Berkabung. Aku akan me-
mimpin kalian dan pengikut-pengikut kalian serta se-
mua kawan-kawan segolongan untuk berjaya seperti
pada masa dua ratus tahun lalu!" tandas Iblis Berka-
bung.
"Bagaimana kami bisa yakin kau adalah Iblis
Berkabung? Sepanjang yang kami dengar Iblis Berka-
bung telah lama tewas," ujar Raja Serigala Hitam hati-
hati.
"Iblis Berkabung tak akan pernah lenyap dari
muka bumi. Iblis Berkabung akan selalu muncul ke
dunia persilatan. Memang benar Iblis Berkabung dulu
telah tewas. Bahkan tidak hanya seorang, melainkan
tiga. Tapi aku, Iblis Berkabung yang keempat, tak akan
bernasib seperti mereka. Aku akan membuat kekua-
saan Iblis Berkabung lebih jaya dari masa dua ratus
tahun silam!" ujar Iblis Berkabung mantap.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan kelihatan bingung. Jawaban Iblis Berkabung
hanya sebagian kecil saja yang mereka mengerti. Ja-
waban itu tak menyingkap rahasia besar yang menye-
limuti Iblis Berkabung.
"Untuk lebih meyakinkan kalian kalau aku ada-
lah Iblis Berkabung yang memiliki kepandaian tak ada
taranya di muka bumi ini, kalian berdua boleh maju
dan menyerangku. Tak sampai tiga jurus kalian dapat
kurobohkan!"
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan hampir memaki mendengar ucapan yang menurut
mereka keterlaluan itu. Jangankan bersama, baru seo-
rang dari mereka saja jarang tokoh persilatan yang
mampu mengimbangi. Andaikata pun ada belum per-
nah ada yang mampu mengalahkan dalam tiga jurus.
Namun Iblis Berkabung sesumbar akan merobohkan
mereka berdua dalam tiga jurus!
"Bagaimana kalau dalam tiga jurus kau belum
bisa mengalahkan kami?" pancing Raja Serigala Hitam,
ingin tahu tanggapan Iblis Berkabung.
"Itu tak akan terjadi!" tandas Iblis Berkabung
penuh keyakinan. "Dan andaikata terjadi, aku akan
melupakan semua ucapanku sebelumnya. Aku tak
akan pernah mencampuri urusan kalian lagi!"
"Baik! Kami terima janjimu ini, Iblis Berka-
bung," Raja Laut Bermuka Setan yang memberikan ja-
waban.
Raja Serigala Hitam langsung menggerak-
gerakkan cakar bajanya ketika saingannya telah sele-
sai memberikan sambutan. Raja Laut Bermuka Setan
sendiri menggenggam dayungnya erat-erat. Kedua da-
tuk kaum sesat ini lebih dulu saling bertukar pandang.
Keduanya setuju untuk mempergunakan cara yang le-
bih aman agar selama tiga jurus pertarungan Iblis
Berkabung tak berhasil memenuhi janjinya.
"Kami telah siap, Iblis Berkabung!" beritahu Raja
Serigala Hitam.
Iblis Berkabung tertawa bergelak ketika me-
nunggu beberapa saat tak terlihat tanda-tanda dua da-
tuk kaum sesat itu akan menyerangnya. Tokoh sesat
yang tak ubahnya dongeng itu segera paham akan tin-
dakan yang diambil lawan-lawannya.
"Buatlah pertahanan yang paling kuat. Akan
kubuktikan kalau tak sampai tiga jurus kalian akan
berhasil kurobohkan!"
Belum lagi gema ucapannya lenyap. Iblis Ber-
kabung telah melesat menerjang dua lawannya. Lelaki
berambut merah darah ini terpaksa menyerang karena
Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hitam
mengambil kedudukan bertahan. Rupanya demi untuk
memenangkan pertaruhan, kedua datuk kaum sesat
itu tak mau melancarkan serangan lebih dulu. Dengan
menyerang kemungkinan untuk dirobohkan lawan le-
bih cepat. Karena setiap penyerangan menimbulkan
celah-celah yang dapat dipergunakan lawan untuk
memasukkan serangan.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan terperanjat ketika hanya melihat sekelebatan sinar
putih menyambar ke arah mereka. Demikian cepat le-
satan sinar putih itu, sehingga jangankan arah seran-
gan yang dituju oleh Iblis Berkabung, bentuk serangan
yang dilancarkan pun tak mampu mereka lihat.
Kendati demikian kedua datuk kaum sesat ini
tak kehilangan akal. Senjata-senjata yang ada di tan-
gan diputar sekuat mungkin untuk membungkus selu-
ruh tubuh mereka. Seekor lalat pun tak akan bisa me-
nembus gulungan senjata mereka tanpa terkena!
"Ha...!"
Iblis Berkabung membentak keras di saat ten-
gah melesat menyerbu lawan-lawannya. Bukan samba-
ran bentakan. Tapi dialiri tenaga dalam tinggi. Akibat-
nya memang luar biasa. Raja Serigala Hitam dan Raja
Laut Bermuka Setan merasakan dada mereka tergetar
hebat. Aliran tenaga dalam keduanya tiba-tiba terhen-
ti. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi mereka terhuyung-
huyung.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan ternyata mampu mempertunjukkan kalau mereka
tak memalukan mendapat julukan datuk-datuk kaum
sesat. Keadaan yang tak menguntungkan itu segera
mereka perbaiki dengan melempar tubuh ke tanah dan
bergulingan menjauh.
Seakan telah dirundingkan lebih dulu sebe-
lumnya, dua datuk kaum sesat ini melempar tubuh ke
arah yang saling berlawanan. Raja Serigala Hitam ke
kiri sedangkan ke kanan diambil oleh Raja Laut Ber-
muka Setan. Iblis Berkabung tak memusingkan masa-
lah itu. Laksana hantu dia mengejar Raja Serigala Hi-
tam dan menghujaninya dengan serangan.
Raja Serigala Hitam mengetahui datangnya ba-
haya. Cakar baja di tangannya diputar untuk melin-
dungi tubuh. Tapi hanya sebentar saja tindakan itu bi-
sa dilakukan. Dirasakan ada sesuatu menyentuh bela-
kang sikunya. Siku itu lumpuh sesaat, dan cakar baja
datuk utara itu berpindah tangan.
Sebelum Raja Serigala Hitam sempat bertindak
lebih jauh, dirasakan bahu kanannya disentuh. Maka
seketika itu juga tubuh Raja Serigala Hitam ambruk ke
tanah bagai sehelai karung basah. Dengan mempergu-
nakan kecepatan geraknya rupanya Iblis Berkabung
telah menotok siku dan bahu kanan Raja Serigala Hi-
tam.
Tanpa mempedulikan Raja Serigala Hitam, Iblis
Berkabung melesat ke arah Raja Laut Bermuka Setan
yang baru saja bangkit dari bergulingnya. Raja Laut
Bermuka Setan berusaha sekuat tenaga untuk berta-
han. Namun seperti juga saingannya, lelaki kurus ini
dirobohkan secara mudah oleh Iblis Berkabung.
Iblis Berkabung menatap kedua lawannya yang
terkapar di tanah. Kedua tangan lelaki berpakaian ser-
ba putih ini terlipat di depan dada.
"Bagaimana? Apakah kalian masih meragukan
kalau aku adalah Iblis Berkabung? Hanya dalam dua
jurus kalian berdua dapat kurobohkan!" dengus Iblis
Berkabung.
"Kami mengaku kalah. Sekarang kami yakin
kau memang Iblis Berkabung. Kami bersedia untuk
bekerja sama denganmu dan setuju kau menjadi pim-
pinan kami," jawab Raja Serigala Hitam.
"Ha ha ha...!" Iblis Berkabung tertawa bergelak
penuh kegembiraan. "Sekarang kalian boleh bangkit,"
ujar lelaki berambut merah darah ini sambil menden-
gus.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-
tan hampir tak percaya akan apa yang mereka alami.
Totokan yang membelenggu mereka langsung bebas
ketika Iblis Berkabung mendengus. Baru kali ini mere-
ka temui ada tokoh yang mampu membebaskan pen-
garuh totokan dengan dengusan! Ini berarti dengan ca-
ra yang sama Iblis Berkabung dapat melumpuhkan
mereka.
Dengan penuh rasa gentar dan takjub Raja Se-
rigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan bangkit
berdiri. Mereka telah takluk sepenuhnya. Keduanya
merasa yakin dengan pemimpin selihai Iblis Berkabung
jalan mencapai keinginan mereka untuk membentuk
kerajaan sesat akan terlaksana.
***
Hembusan angin siang yang panas menerbang-
kan debu tebal di sebuah dataran luas di atas puncak
sebuah gunung. Tempat ini dinamai Puncak Dunia!
Dari lereng sebelah barat dan timur berkelebat
sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya se-
hingga membuat bentuk tubuhnya tak terlihat jelas.
Hanya kelebatan bayangan kuning dan bayangan biru
dalam bentuk yang samar. Dua sosok bayangan itu
bergerak lincah melalui medan yang sulit. Beberapa
kali dua sosok itu melompat-lompat tinggi tak jarang
pula melompat jauh menyeberangi jurang-jurang yang
tak begitu lebar. Tak lama kemudian kedua sosok itu
telah berada di puncak gunung. Mereka bertemu di
hamparan tanah lapang yang berdebu.
Sosok bayangan coklat ternyata seorang kakek
berpakaian coklat. Usianya sekitar enam puluh tahun,
tapi tubuhnya yang pendek masih terlihat kekar. Wa-
jahnya yang agak kecoklatan mempunyai sebelah mata
yang selalu berkedip-kedip. Hal ini membuat kakek itu
kelihatan lucu. Padahal dia adalah seorang tokoh be-
sar golongan putih. Pendekar Seribu Kepalan, julu-
kannya.
Sosok bayangan kuning memiliki ciri-ciri yang
mengiriskan hati. Dia juga seorang kakek. Wajahnya
persegi dan ditumbuhi kumis. Serta cambang lebat.
Pakaiannya serba kuning keemasan. Sekujur tubuh-
nya yang tak tertutup pakaian terlihat ditumbuhi bulu-
bulu agak kekuningan. Karena inilah kakek ini dijuluki
orang sebagai Singa Berbulu Emas.
"Mengapa kau kelihatan gelisah, Singa?" tanya
Pendengar Seribu Kepalan. "Apakah kau khawatir mu-
ridmu akan dapat dikalahkan oleh muridku?"
"Lupakan soal pertandingan itu dulu, Kepalan,"
sahut Singa Berbulu Emas dengan menyiratkan kegeli-
sahan besar di wajahnya. "Ada masalah yang lebih
penting dan gawat."
"Masalah apa, Singa? Merupakan sebuah masa-
lah besar kukira sehingga mampu membuat orang se-
pertimu gelisah. Sayang, aku terlalu banyak bersem-
bunyi di sarang hingga tak mengetahui atau terlihat
masalah apa pun. Apalagi tempat tinggalku tak jauh
dari tempat ini. Jadi tak bisa mengetahui masalah apa
yang terjadi di tengah jalan."
"Iblis Berkabung muncul lagi," desis Singa Ber-
bulu Emas dengan suara lirih seakan-akan takut ter-
dengar orang lain.
"Apa?!" Pendekar Seribu Kepalan terjingkat ka-
get seperti disengat ular berbisa. Ucapan lirih Singa
Berbulu Emas di telinganya tak kalah mengejutkan da-
ri meledaknya halilintar.
"Kudengar dan kulihat sendiri bukti-bukti ke-
munculan tokoh yang mengerikan itu. Beberapa per-
kumpulan telah dihancurkannya. Tentu saja perkum-
pulan golongan kita. Kekacauan terjadi di mana-mana.
Pengikut-pengikut iblis itu telah tak terhitung lagi jum-
lahnya," urai Singa Berbulu Emas.
"Tak kusangka...," desah Pendekar Seribu Ke-
palan setengah tak percaya. "Padahal kukira iblis itu
tak akan muncul lagi. Oleh karena itu Sumbi, murid-
ku, tak kuceritakan dengan tokoh ini."
"Aku pun menduga begitu, Kepalan. Tak kuceri-
takan juga pada Inani, muridku," sambut Singa Berbu-
lu Emas.
"Mudah-mudahan saja si Obat dan si Gila men-
getahui hal ini lalu menceritakan pada murid-
muridnya," harap Pendekar Seribu Kepalan.
"Itulah sebabnya aku bergegas ke tempat ini
untuk memberitahukanmu dan juga mengusulkan
agar pertandingan untuk sementara ditunda. Aku ya-
kin kau telah berada di sini, Kepalan. Kau yang mem-
punyai tempat ini dan sudah pasti akan memper-
siapkannya agar dapat terpakai untuk pertandingan."
"Kalau demikian halnya kurasa tempat ini akan
menjadi kuburan kita semua, Singa. Iblis Berkabung
pasti telah mengetahui rencana kita dan berencana
menyerbu tempat ini. Mudah-mudahan saja mereka
lebih dulu datang agar kita dapat bersama-sama me-
nyusun kekuatan untuk menghadapinya. Bila mereka
tiba cepat, kita harus segera meninggalkan tempat ini
dan menentukan tempat-tempat yang dapat kita jadi-
kan pemusatan kekuatan."
"Aku pun bermaksud demikian, Kepalan," sam-
but Singa Berbulu Emas. "Setelah selesai mengambil
kata sepakat, kita semua pergi sebelum Iblis Berka-
bung menyatroni tempat ini."
"Sebuah rencana yang bagus sekali. Sayang,
tak berjalan sesuai kehendak kalian...!"
Suara yang terdengar jelas di tempat itu me-
nyambuti ucapan Singa Berbulu Emas. Singa Berbulu
Emas dan Pendekar Seribu Kepalan terkejut. Mereka
mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mengetahui
orang yang telah berbicara. Tapi tak ada seorang pun
yang mereka jumpai. Hanya ada sesosok tubuh yang
belum terlihat jelas di kejauhan dan tengah melesat
menuju tempat mereka.
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Ke-
palan saling berpandangan. Jantung keduanya berde-
tak kencang karena hati mereka dilanda ketegangan.
Berbagai pertanyaan bergayut di benak kedua datuk
golongan putih ini.
Benarkah sosok itu yang berbicara? Berbicara
dari jauh sekali tapi terdengar jelas bukan hal yang
mengejutkan bagi Singa Berbulu Emas dan Pendekar
Seribu Kepalan, tapi mendengar ucapan orang dari ja-
rak yang masih amat jauh merupakan hal yang menge-
jutkan!
Bila benar sosok yang tengah melesat ke arah
mereka yang berbicara, berarti sosok itu mendengar
pembicaraan mereka. Inilah hal yang membuat kedua
datuk golongan putih itu merasa tegang. Begitu sosok
itu terlihat jelas, wajah Singa Berbulu Emas dan Pen-
dekar Seribu Kepalan langsung berubah hebat.
"Iblis Berkabung!" desis kedua pendekar tua ini
tanpa menyembunyikan keterkejutan yang melanda
hati.
Iblis Berkabung sendiri menghentikan lari keti-
ka telah berjarak tiga tombak dari dua datuk golongan
putih itu. Tokoh sesat yang penuh rahasia ini menatap
kedua pendekar di depannya sambil tertawa bergelak.
"Kalian kaget?" dengus Iblis Berkabung penuh
ejekan. "Kalian pasti tak menyangka aku akan muncul
lagi. Si tua bangka tukang obat pun demikian sebelum
nyawanya kukirim ke neraka!"
Deggg!
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Ke-
palan bagai ditubruk kerbau mendengar berita itu. Ke-
duanya tahu tukang obat yang dimaksud Iblis Berka-
bung itu pasti rekan mereka, Malaikat Obat Sakti.
"Kalian kaget?" Ejekan itu dikeluarkan lagi oleh
Iblis Berkabung. Keterkejutan kedua kakek itu keliha-
tan menggembirakan hatinya. "Kalian akan lebih kaget
lagi kalau kukatakan tokoh-tokoh yang akan bertemu
di tempat ini tak akan pernah ada yang sampai. Seki-
tar jalan menuju tempat ini telah dijaga oleh pengikut-
pengikutku. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi.
Betapapun hebatnya mereka tak akan mampu meng-
hadapi ratusan pengikutku!"
"Keparat!" maki Singa Berbulu Emas murka.
"Terkutuk!" geram Pendekar Seribu Kepalan.
"Ha ha ha...! Iblis Berkabung malah mengum-
bar tawa gembira. "Di sana murid-murid kalian diban-
tai, dan di sini kalian akan kujadikan kerak neraka!"
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Ke-
palan yang tak kuasa lagi menahan amarah langsung
melesat menerjang. Iblis Berkabung sambil tertawa ter-
lihat mengelak. Lelaki berambut merah darah ini
menghadapi kedua lawannya seperti ketika mengha-
dapi Malaikat Obat Sakti. Dia tak sungguh-sungguh
bertarung. Kedua lawannya dipermainkan dulu seenak
hatinya.
kkk
"Kau lihat itu, Pemuda Ajaib?!" Pertanyaan itu
dikeluarkan oleh seorang kakek kecil kurus berpa-
kaian lusuh dan kumal. Wajahnya yang kotor berdebu
dan rambutnya yang berantakan membuat si kakek
tak ubahnya orang gila.
Keadaan kakek itu sudah mengherankan. Tapi
yang lebih mengejutkan lagi adalah sepasang matanya.
Biji matanya yang kiri tertuju lurus ke depan. Sedang
yang kanan berkeliaran ke sana kemari. Itu pun masih
ditambah dengan adanya asap dua warna yang men-
gepul dari atas kepala. Sebelah kiri putih dan sebelah
kanan merah. Asap yang kanan meluncur ke arah
dinding ruangan di mana si kakek berada. Di dinding
yang dituju oleh asap merah tampak terlihat gambar.
Puncak Dunia, di mana saat itu Iblis Berkabung ten-
gah terlibat pertarungan dengan Singa Berbulu Emas
dan Pendekar Seribu Kepalan.
"Kedua orang yang tengah bertarung dengan Ib-
lis Berkabung itukah yang berjuluk Singa Berbulu
Emas dan Pendekar Seribu Kepalan, Kek?" tanya pe-
muda yang disapa si kakek sebagai pemuda ajaib.
Pemuda itu bukan lain dari Aiya Buana alias
Dewa Arak. Di sebelah kiri si kakek, Arya duduk bersi-
la. Sedangkan di sebelah kanan duduk Sumbi. Seperti
juga Dewa Arak, Sumbi tengah mengarahkan pandan-
gan pada dinding di mana terpampang pertarungan Ib-
lis Berkabung dan dua datuk golongan putih.
"Benar," jawab si kakek yang tak henti-hentinya
tersenyum. "Sekarang jangan sampai kau lengah dari
pertarungan itu sekejap pun. Tunggu hingga Iblis Ber-
kabung menyerang, dan akan kau lihat di mana kele-
mahannya. "
Arya tak berani menjawab. Dia hanya men-
gangguk untuk menunjukkan pada kakek itu kalau dia
mengerti. Sepasang matanya tak berkedip memperha-
tikan jalannya pertarungan di dinding ruangan. Ruan-
gan itu sebenarnya adalah sebuah gua di dalam tanah,
di atas Puncak Dunia.
Sumbi pun menujukan pandangan dengan pe-
nuh rasa tertarik pada gambar-gambar di dinding gua.
Tapi, sesekali dengan sembunyi-sembunyi matanya di-
kerlingkan pada Dewa Arak. Gadis berpakaian merah
ini telah jatuh hati pada Arya. Semula memang hanya
tertarik saja. Tapi semakin lama setelah mengenal sifat
dan pribadi Arya, Sumbi tak bisa mengelak dari ser-
buan panah-panah asmara! Setiap kali mengerling di
benak Sumbi terbayang semua pengalamannya. Teru-
tama sekali ketika mereka berdua terluka parah oleh
Iblis Berkabung. Pengalaman ini dan seterusnya terca-
tat di benak Sumbi.
"Kau tak apa-apa, Sumbi?"
Masih terngiang di telinga Sumbi pertanyaan
yang diajukan Dewa Arak ketika Iblis Berkabung telah
lenyap dari pandang mata mereka.
Sumbi hanya mampu menggeleng. Perhatian
yang diberikan Arya menimbulkan rasa aneh di ha-
tinya. Sumbi merasa tersanjung. Dan saat memberikan
jawaban dia menatap Arya yang saat itu tengah me-
mandangnya untuk menanti jawaban.
Sumbi baru sadar kalau Arya memiliki wajah
tampan dan terlihat jantan. Rambut pemuda itu yang
putih panjang dan tergerai di mata Sumbi semakin
membuat Arya menarik. Rambut itu membuat Arya ke-
lihatan matang.
"Syukurlah," hanya itu yang dikatakan Arya.
Tapi Sumbi merasakan dalam ucapan itu terpapar rasa
lega.
Usai berkata demikian Arya lalu duduk berse-
madi. Sepasang matanya dipejamkan dan kedua tan-
gannya yang terbuka dipertemukan di depan dada.
Sumbi mempergunakan kesempatan itu untuk mem-
perhatikan Arya secara leluasa. Wajah Sumbi bak ter-
bakar ketika tengah larut memperhatikan, orang yang
diperhatikan membuka matanya. Sumbi buru-buru
membuang pandangannya ke arah lain. Dia merasa
malu sekali karena tertangkap basah tengah memper-
hatikan Arya dengan penuh minat
"Kau tak bersemadi untuk mengobati lukamu,
Sumbi? Setelah pulih kita cari Iblis Berkabung dan ki-
ta balaskan kematian Kakek Malaikat Obat Sakti," ujar
Arya seakan tak merasakan sikap Sumbi sebagai hal
yang aneh.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Arya.
Aku memang masih terkenang akan kematian Malaikat
Obat Sakti. Dan aku benci sekali terhadap Iblis Berka-
bung," timpal Sumbi sekenanya.
"Aku bisa mengerti apa yang tengah kau rasa-
kan, Sumbi," sahut Arya, "Aku pun demikian. Tapi ka-
lau kita hanya bersikap begitu saja, kapan akan dapat
membuat perhitungan dengan Iblis Berkabung? Iblis
itu akan menyebar bencana lebih banyak. Obati dulu
lukamu Sumbi, setelah itu baru kita pikirkan hal lain-
nya."
Tanpa banyak bicara Sumbi segera bersemadi.
Sikap Arya yang seakan tak tahu tingkah Sumbi dan
justru mengalihkan pada persoalan lain membuat ke-
kaguman Sumbi semakin membesar. "Benar-benar
seorang pemuda yang bijaksana," puji Sumbi dalam
hati.
Cukup lama sepasang muda-mudi ini bersema-
di. Semadi itu baru terhenti karena ada ucapan yang
masuk ke telinga mereka. Ucapan yang diselingi tawa
mengekeh.
"Luar biasa...! Luar biasa...! Tak kusangka ada
sepasang muda-mudi yang memiliki wajah elok lebih
suka bersemadi ketimbang bermesraan. He he he...!"
Arya dan Sumbi membuka mata. Di depan me-
reka yang duduk bersemadi bersebelahan berdiri seo-
rang kakek kecil kurus. Kakek ini menatap Arya dan
Sumbi berganti-ganti. Kepalanya digeleng-gelengkan
dengan senyum terkembang di bibir.
Arya terkejut bukan main melihat kenyataan
ini. Kakek yang kelihatannya kurang waras itu mampu
berada di depannya tanpa dia mendengar kehadiran-
nya. Padahal dalam semadi pendengarannya jauh lebih
tajam! Toh, si kakek mampu ada di dekatnya tanpa di-
dengar langkahnya.
Kenyataan ini mengingatkan Arya pada Malai-
kat Obat Sakti, Kakek yang ahli pengobatan itu pun
mampu berada di dekatnya tanpa dia ketahui. "Apakah
kakek kecil kurus ini salah satu dari datuk-datuk go-
longan putih?" tanya Arya dalam hati.
"Kalau aku tak salah menebak...." tanpa peduli
pada keheranan Arya juga kemarahan yang terpancar
dari sepasang mata Sumbi, si kakek terus bicara den-
gan senyum-senyum memamerkan giginya yang telah
banyak tanggal. "Iblis Berkabung yang telah datang
kemari dan menyebarkan kejadian ini, bukan? Dan
aku yakin sahabatku si tukang obat itu sekarang tentu
telah mengadakan perjalanan ke nirwana. Bukankah
demikian, Pemuda Ajaib?"
Arya hampir tersenyum mendengar panggilan
yang ditujukan padanya. Tapi pemuda ini mampu me-
nahannya. Sebuah dugaan melintas di benaknya ten-
tang siapa adanya kakek itu.
"Apakah aku tengah berhadapan dengan tokoh
yang berjuluk Dewa Gila Tanpa Bayangan, yang meru-
pakan salah satu datuk golongan putih?" tanya Arya.
"He he he...! Julukan kentut. Pemuda Ajaib,
mana mungkin manusia seperti aku kau anggap dewa.
Lagi pula mana ada dewa yang gila dan tak mempu-
nyai bayangan? He he he...! Sungguh lucu...!"
Arya dan Sumbi saling berpandangan melihat
tanggapan kakek yang memang berjuluk Dewa Gila
Tanpa Bayangan. Tak heran kalau ada kata-kata gila
untuk julukan kakek itu. Sikapnya memang tak layak
seperti manusia waras.
"Pemuda Ajaib dan kau juga Nona yang tengah
kasmaran, kita tak mempunyai waktu banyak. Dunia
persilatan tengah berada dalam bahaya besar. Golon-
gan hitam tak lama lagi akan berjaya. Cepat ikut
aku...!"
Kakek kecil kurus lalu membalikkan tubuh dan
melesat ke arah dari mana tadi dia datang. Hanya da-
lam sekejapan tubuhnya telah mengecil sebesar ibu ja-
ri.
Arya dan Sumbi kembali saling berpandangan.
Hampir tawa keduanya meledak. Bagaimana mungkin
mereka mengikuti si kakek kalau dalam sekejapan saja
telah tertinggal demikian jauh. Dalam keadaan tenaga
mereka pulih seluruhnya pun mereka tak akan bisa
mengikuti lari kakek itu yang luar biasa cepatnya. Tak
heran jika julukan yang didapatnya tanpa bayangan!
"Hey...!"
Bentakan itu membuat Arya dan Sumbi hampir
terlempar karena kagetnya. Si kakek tadi telah berada
di depan mereka lagi. Kedua tangannya berkacak di
pinggang dan wajahnya dipasang seangker mungkin.
Sepasang matanya tampak dibelalakkan selebar-
lebarnya seperti tingkah orang dewasa yang sedang
memarahi anak kecil.
"Mengapa kalian malah bengong? Ah! Kalau
menuruti kalian berdua urusan ini tak akan pernah
selesai!"
Setelah berkata demikian Dewa Gila Tanpa
Bayangan mengulurkan tangan dan membawa Arya
dan Sumbi melesat. Pasangan muda-mudi ini ingin
meronta, tapi begitu si kakek berdehem, sekujur tubuh
mereka langsung lemas bagai tertotok.
Sumbi sampai memejamkan mata karena me-
rasa ngeri melihat betapa cepatnya si kakek berlari.
Entah berapa lama berlari, gadis ini tak tahu. Matanya
baru dibuka ketika tak ada lagi angin keras menerpa
tubuhnya. Mereka rupanya telah sampai di tempat
yang dituju si kakek.
"Lihat, Pemuda Ajaib...!"
Seruan Dewa Gila Tanpa Bayangan membuat
Sumbi tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Iblis Ber-
kabung tengah melancarkan serangan. Tentu saja pa-
da gambar di dinding. Terlihat pula Pendekar Seribu
Kepalan berhasil mengelak. Tapi tak demikian halnya
dengan Singa Berbulu Emas. Tokoh itu terkena gedo-
ran pada dadanya.
Singa Berbulu Emas ambruk ke tanah dan di-
am tak bergerak-gerak lagi. Mati. Gedoran pada dada
itu rupanya membuat tulang-tulangnya hancur beran-
takan dan nyawanya melayang meninggalkan raga.
"Kau lihat itu, Pemuda Ajaib?" tanya Dewa Gila
Tanpa Bayangan untuk memastikan.
Arya mengangguk.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Datangi tempat
itu lalu bereskan Iblis Berkabung dengan menyerang
kelemahannya!" sentak Dewa Gila Tanpa Bayangan.
Dewa Arak tidak membantah sedikit pun. Dia
segera melesat meninggalkan tempat itu. Sumbi ingin
ikut bergerak menyusul, tapi dicegah oleh Dewa Gila
Tanpa Bayangan. Sumbi pun membatalkan maksud-
nya. Gadis itu mengarahkan pandangan lagi pada
dinding. Tak lama kemudian dilihatnya Dewa Arak
tengah bertarung dengan Iblis Berkabung untuk mem-
bantu Pendekar Seribu Kepalan.
Masuknya Dewa Arak dalam kancah pertarun-
gan membuat kedudukan Iblis Berkabung terdesak.
Berkali-kali Iblis Berkabung mengeluarkan seruan ka-
get ketika melihat serangan Dewa Arak tertuju pada
kelemahannya. Rasa khawatirnya semakin memuncak
ketika Pendekar Seribu Kepalan mengikuti tindakan
Dewa Arak. Iblis Berkabung terus-menerus didesak.
Tokoh sesat yang mengiriskan hati ini tak mempunyai
kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang.
Saat itu di dinding tampak pasangan muda-
mudi melesat menuju kancah pertarungan. Sumbi tak
mengenalnya. Tapi tidak demikian halnya dengan De-
wa Gila Tanpa Bayangan. Kakek itu terlihat tersenyum
lebar. "Syukurlah muridku yang gendeng itu, si Bante-
rang, mengingat pesanku," gumamnya dengan gembi-
ra.
"Pesan apa, Kek?" tanya Sumbi ingin tahu.
"Tentang adanya penyerbuan besar-besaran ke
tempat ini. Jauh-jauh hari ku pesan padanya untuk
mencari pendekar-pendekar guna menentang rombon-
gan hitam itu," beritahu Dewa Gila Tanpa Bayangan
yang rupanya sudah menduga akan terjadi penyer-
buan ini.
Pemuda yang dilihat Sumbi dan kakek itu me-
mang Banterang. Sedangkan si gadis adalah Inani, pu-
tri Ketua Perguruan Tapak Darah. Pasangan muda-
mudi ini bertemu di kaki gunung saat terlibat perta-
rungan dengan rombongan Iblis Berkabung. Inani dan
Banterang segera melesat ke puncak ketika dilihatnya
rombongan pendekar ada di atas angin. Keduanya tiba
pada saat pertarungan tengah berlangsung.
"Haat...!"
Tendangan Pendekar Seribu Kepalan ke ping-
gang sebelah kiri membuat Iblis Berkabung melempar
tubuh ke belakang. Kesempatan ini yang ditunggu-
tunggu Dewa Arak. Pemuda itu melompat menerjang.
Guci araknya diayunkan ke arah pinggang sebelah kiri.
Blarrr!
Bunyi keras seperti halilintar menyambar ter-
dengar begitu guci menghantam pinggang Iblis Berka-
bung. Baik tubuh Dewa Arak maupun Iblis Berkabung
terpental ke arah yang berlawanan. Sedangkan tempat
di bawah tubuh Iblis Berkabung semula tampak se-
buah gambar kepala manusia bertanduk. Pada kedua
sisinya dililit rantai sepanjang kira-kira satu tombak.
Gambar dari logam dan rantai itu hancur berantakan!
Rantai bergambar manusia bertanduk itulah
yang dilihat Arya di saat Iblis Berkabung menyerang.
Itulah kelemahan Iblis Berkabung. Arya segera bangkit
berdiri dengan lunglai. Akibat benturan tadi membuat-
nya merasa lemas sekali.
Kendati demikian Arya merasa lega. Dia terse-
nyum. Tapi bukan pada Pendekar Seribu Kepalan. Pe-
muda ini tersenyum untuk Dewa Gila Tanpa Bayangan
yang diyakininya melihatnya dari gambar di dinding
gua. Tapi Arya melongo dan merasa malu. Dewa Gila
Tanpa Bayangan dan Sumbi tengah berlari menuju ke
arahnya!
Senyum Arya yang lenyap segera terganti den-
gan helaan napas berat begitu didengarnya jeritan pilu.
"Ayaaah...!"
Inani yang mengeluarkan seruan itu. Gadis ini
menghambur ke arah tubuh Iblis Berkabung sambil
menangis terisak-isak. Dipeluknya mayat Iblis Berka-
bung yang ternyata adalah Sokapanca, Ketua Pergu-
ruan Tapak Darah yang lenyap secara aneh!
Arya tak merasa heran karena Dewa Gila Tanpa
Bayangan telah memberitahukannya. Rantai bergam-
bar manusia bertanduk itulah yang menciptakan Iblis-
Iblis Berkabung. Rantai yang mengandung roh jahat
dan selalu berkelana mencari tokoh yang tengah seka-
rat untuk dijadikan Iblis Berkabung! Dan kali ini yang
menjadi korban adalah Sokapanca.
Banterang, Sumbi, Dewa Gila Tanpa Bayangan,
dan Dewa Arak hanya bisa diam. Mereka ikut merasa-
kan kesedihan. Mereka bahkan hanya mengerling keti-
ka sisa rombongan kaum pendekar yang bertarung
bergerak mendatangi tempat itu. Pertarungan rupanya
telah selesai dengan kemenangan di pihak pendekar.
Tak terdengar lagi dentang senjata beradu atau jerit
kemarahan dan pekik kematian. Yang terdengar seka-
rang hanya tangisan sedih Inani.
SELESAI
Ikuti episode selannjutnya
SAPU JAGAD
Emoticon