Dewa Arak 61 - Raja Iblis Tanpa Tanding(1)


Brakkk...! 

Pintu sebuah rumah besar berdinding papan 
hancur berantakan, saat sebuah kaki kokoh menghan- 
tamnya. Diiringi bunyi hiruk-pikuk, kepingan- 
kepingan pintu itu jatuh berderai di tanah. Seorang le- 
laki berusia sekitar lima puluh tahun yang tengah ber- 
baring di dipan bambu tersentak kaget. Ia bangkit, dan 
langsung bersikap waspada. Untung saja senjatanya 
tidak pernah lepas, walaupun sedang berbaring. 

"Mana Singa Hitam Tangan Sepuluh?! Cepat 
suruh keluar! Atau..., kepalamu kuremukkan!" bentak 
lelaki tinggi besar berkepala botak yang tadi menen- 
dang pintu. Pandangannya seketika beredar ke seluruh 
penjuru ruangan yang tak begitu luas ini. 

Dia berdiri paling depan. Di belakangnya, berdi- 
ri dua lelaki yang juga berwajah kasar. Mereka berpa- 
kaian sama, berwarna hitam. Menilik sikapnya, ra- 
sanya lelaki tinggi besar itu bertindak sebagai pemim- 
pin. 

"Maaf. Kurasa Ki sanak semua keliru. Di sini ti- 
dak ada orang yang bernama Singa Hitam Tangan Se- 
puluh. Yang ada hanya aku, Prataksa," jawab si pemi- 
lik rumah yang bertubuh tegap dan berpakaian coklat. 

"Keparat! Kau berani berdusta, Prataksa?! Ru- 
panya sudah bosan hidup, heh?! Rangkuti, Panca! Ge- 
ledah rumah ini!" perintah lelaki tinggi besar pada dua 
anak buahnya. 

Tanpa banyak cakap lagi, dua orang berpakaian 
hitam yang bernama, Rangkuti dan Panca bergegas 
melaksanakan perintah itu. Tapi sebelum maksud me- 
reka terkabul, laki-laki tua bernama Prataksa telah 
menggeser tubuh menutupi satu-satunya pintu yang 
menghubungkan ruangan ini dengan ruangan yang 
lainnya. 

"Kalian hanya dapat melakukannya, apabila 
aku telah menjadi mayat!" tandas Prataksa mantap. 

"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus, 
Tua Bangka! Hih...!" 

Seiring keluarnya ucapan itu, Rangkuti yang 
bertubuh pendek kekar, menerjang Prataksa. Goloknya 
langsung ke arah perut lelaki berpakaian coklat itu. 

Wuttt! 

Serangan Rangkuti mengenai tempat kosong, 
ketika Prataksa menarik kaki kanannya ke belakang 
sambil doyong ke belakang. Dan begitu serangan 
Rangkuti berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung 
dikibaskan. Sungguh suatu serangan tak terduga, se- 
hingga... 

Prattt! 

"Akh...!" 

Rangkuti memekik keras ketika tangan Pratak- 
sa menghantam telak tangan kanannya. Mulutnya 
kontan meringis, merasakan sakit bukan kepalang. 
Seakan-akan tulang-belulang remuk-remuk. Begitu ke- 
rasnya hantaman lelaki berpakaian coklat itu, se- 
hingga golok Rangkuti pun sampai terlempar. 

Tapi sebelum Prataksa melancarkan serangan 
susulan terhadap Rangkuti, Panca telah lebih dulu 
menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher. 

Wuttt, wuttt! 

Kembali serangan anak buah lelaki tinggi besar 
itu hanya menemukan tempat kosong. Prataksa ru- 
panya lebih cepat melompat mundur, sehingga semua 
serangan hanya lewat di hadapannya. 

"Keparat!" geram lelaki tinggi besar itu sambil 
mengepalkan tangannya melihat kegagalan serangan 
anak buahnya. 

Rupanya lelaki berkepala botak itu tidak bisa 
menahan sabar lagi. Belum lagi gema ucapannya le- 
nyap, dia telah melompat menerjang Prataksa. Dengan 
kelincahan dan kekuatan pergelangan tangan, golok- 
nya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke 
arah leher Prataksa. 

Wungngng! 

Kali ini Prataksa tidak berani bertindak semba- 
rangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung 
di punggung dicabutnya. Dan seketika dipapaknya 
luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang 
saling menyilang. 

Trangngng! 

Bunga api berpijar, ketika senjata yang berbeda 
jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Begitu kuat- 
nya benturan itu, mengakibatkan tubuh Prataksa ter- 
huyung-huyung ke belakang. Sementara, laki-laki bo- 
tak itu langsung melenting ke belakang. 

Tepat ketika kedua kaki lelaki tinggi besar itu 
mendarat di tanah, Prataksa pun telah berhasil mem- 
perbaiki keseimbangan tubuhnya. Dan secepat itu pula 
kedua belah pihak saling gebrak kembali. 

Kedua orang yang bertarung itu memang memi- 
liki kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Ten- 
tu saja mereka tidak berani bertindak main-main. Ma- 
ka dalam gebrakan selanjutnya, seluruh kemampuan 
yang dimiliki telah dikerahkan. 

Tak heran kalau di ruangan yang tak begitu lu- 
as ini, semua jadi begitu ramai di sekitar tempat itu. 
Desing dan dentang senjata beradu meningkahi teria- 
kan-teriakan pertarungan. Meja dan kursi bermentalan 
ke sana kemari. Dinding dan langit-langit mangan pun 
tergetar hebat, akibat angin-angin serangan. Untung 
mangan itu cukup, untuk sebuah pertarungan satu 
lawan satu. 

Namun ketika pertarungan sudah memakai ju- 
rus-jurus tinggi, mereka agaknya kurang merasa lelua- 
sa di ruangan ini. Dan seperti telah disepakati bersa- 
ma, mereka melesat keluar. Sehingga kini pertamngan 
sengit pun berlanjut di halaman. 

Sementara Rangkuti dan Panca juga bergegas 
ke luar. Mereka tidak ingin ketinggalan menyaksikan 
pertarungan yang menarik ini. Sehingga mereka men- 
gundurkan diri dari kancah pertarungan, dan lebih 
tertarik untuk menjadi penonton saja. Meskipun demi- 
kian golok telanjang tetap tercekal di tangan. Mereka 
memang harus bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu 
yang tidak diinginkan atas pemimpin mereka. 

Sementara itu, tanpa diketahui seorang pun, 
sepasang mata lain tampak menyaksikan semua perta- 
rungan itu secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata 
yang memiliki bulu mata lentik itu mengintai dari balik 
dedaunan di atas cabang pohon tinggi yang tak jauh 
dari situ. 

Menilik dari sorot matanya, jelas dia sangat 
menaruh perhatian atas pertarungan itu. 

Pertarungan telah berlangsung lebih dari lima 
puluh jurus. Namun tidak nampak adanya tanda- 
tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pada ke- 
nyataannya, pertarungan memang berlangsung seim- 
bang. Meskipun demikian, tidak berarti kepandaian sa- 
tu sama lain berimbang. Sebenarnya tenaga dalam 
Prataksa masih lebih unggul sedikit daripada lelaki 
tinggi besar itu. Tapi dia masih harus mengakui 
keunggulan ilmu meringankan tubuh lawannya. 

Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus 
ketujuh puluh dua. Tapi, keadaan masih tetap ber- 
langsung seimbang. Namun, justru keadaan ini mem- 
buat kesabaran lelaki tinggi besar itu hilang. Disadari 
kalau tidak membuat sebuah perubahan, pertarungan 
akan tetap berlangsung alot. Maka tanpa terlalu lama 
memutar otak, lelaki berkepala botak ini telah mene- 
mukan suatu cara yang dianggapnya jitu. 

Meskipun demikian, lelaki tinggi besar tidak 
terlalu terburu-buru untuk melaksanakan rencananya, 
karena hasilnya nanti kurang baik. Maka dengan sabar 
ditunggunya sampai keadaan menguntungkan. 

"Hih!" 

Di jurus kedelapan puluh dua, lelaki tinggi be- 
sar baru mulai melancarkan rencananya. Pada kesem- 
patan yang tepat, dilepaskannya satu tendangan ber- 
putar ke kepala Prataksa. Mendapat serangan ini, Pra- 
taksa cepat melenting ke belakang, berusaha meng- 
hindari. Tepat ketika Prataksa berada di udara, jari-jari 
tangan kanan memijit satu benjolan yang ada di ga- 
gang goloknya. Dan... 

Trekkk! 

Mengerikan! Mata golok yang semula menempel 
pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah Prataksa 
yang tengah berada di udara. 

Munculnya serangan itu membuat Prataksa ke- 
labakan bukan kepalang. Tambahan lagi tibanya se- 
rangan itu terlalu mendadak. Sulit baginya untuk 
menghindar dalam keadaan begini. Dan.... 

Cappp! 

"Akh...!" 

Lolong kesakitan terdengar dari mulut Pratak- 
sa, ketika mata golok lelaki tinggi besar itu menancap 
di dada sebelah kirinya. 

Dan sebelum Prataksa sempat berbuat sesuatu, 
lelaki tinggi besar kembali memijit benjolan lain pada 
gagang goloknya. Dan.... 

Brettt! 

Seketika mata golok yang semula tertancap di 
dada kiri Prataksa, kembali meluncur ke arah lelaki 
tinggi besar ini. Ternyata antara gagang dengan batang 
golok, terdapat pegas yang dapat memanjang dan me- 
mendek, apabila benjolan pada gagang golok dipencet. 

"Hugh!" 

Dengan agak sempoyongan, Prataksa hinggap 
di tanah. Dan tanpa mempedulikan keadaannya yang 
terhuyung-huyung, pedang yang terpegang di tangan 
kanan disimpannya ke punggung. Kemudian, tangan 
kanannya yang kosong menotok jalan darah di sekitar 
luka yang cukup besar dan dalam. Sehingga tidak ada 
lagi darah yang mengalir dari lukanya. Tapi.... 


"Aaakh...!" 

Mendadak tubuh Prataksa kembali terhuyung- 
huyung ke belakang, dengan pedang terlempar dari 
tangannya. Kedua tangannya langsung digunakan un- 
tuk mendekap luka di perutnya. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak 
melihat keadaan Prataksa. 

"Manusia Licik!" maki Prataksa dengan suara 
berdesis. Bibirnya menyeringai, menderita sakit yang 
amat sangat. "Kau membubuhi racun di senjatamu. 
Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melan- 
carkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak 
memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! 

Segala macam cara akan digunakan untuk mencapai 
kemenangan." 

"Ha ha ha...!" 

Tawa keras bernada ejekan dari lelaki tinggi be- 
sar itu yang menyambuti ucapan Prataksa. 

"Syukurlah kalau kau sudah mengerti, Pratak- 
sa! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di 
mana Singa Hitam Tangan Sepuluh! Cepat katakan, 
sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar 
lebih jauh, jangan harap nyawamu akan tertolong!" 

Prataksa mengeretakkan gigi, menahan geram. 
Juga ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang mem- 
bakar di bagian perut. 

"Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan bila tahu 
pun, jangan harap akan kukatakan padamu! Kau pikir 
aku takut mati heh?! Kau salah sangka!" cibir Prataksa 
cukup lantang meskipun terdengar bergetar. 

Lelaki tinggi besar itu mendengus geram men- 
dengar anggapan sepele Prataksa. 

"Baik kalau itu maumu, Keparat! Aku tahu, kau 
tidak takut mati. Tapi, apakah kau mampu menang- 
gung siksa racun yang bersarang di tubuhmu?!" 

"Apa?! Bangsat! Licik, kau!" 

Prataksa seketika merasakan dadanya berdebar 
tegang. Sudah bisa diduga, maksud kata-kata berbau 
ancaman dari lelaki tinggi besar ini. Dirinya akan mati 
secara perlahan-lahan, diiringi siksaan yang memilu- 
kan. Siapa yang sanggup mendapat kematian seperti 
itu? 

Lelaki tinggi besar itu menyunggingkan senyum 
kemenangan. Sambil melipat tangan di depan dada, 
dia terus memperhatikan wajah Prataksa. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak 
melihat keadaan Prataksa. 

"Manusia licik!" maki Prataksa dengan suara 
berdesis. Bibirnya menyeringai, menahan rasa panas 
yang membakar bagian perutnya. "Kau membubuhi 
racun di senjatamu. Hhh...!" 

"Apabila racun itu telah menyebar dalam da- 
rahmu, kau akan menerima penderitaan yang hebat 
sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan me- 
nyertai kematianmu!" 

Prataksa merasakan bulu kuduknya mere- 
mang! Disadari benar kalau lelaki tinggi besar ini tidak 
hanya sekadar mengertaknya. Perlahan-lahan rasa 
ngeri mulai merasuki hatinya. Semakin lama perasaan 
ngeri itu semakin membesar. Sampai akhirnya, pera- 
saan nekatlah yang meledak! 

"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! 
Hiyaaa..., ugh!" 

Tubuh Prataksa kontan limbung sebelum ber- 
hasil menyerang lelaki tinggi besar itu. Kedua ta- 
ngannya yang semula mengepal keras penuh kekua- 
tan, kini didekapkan di perut. Seringai kesakitan yang 
tampak menggurat di wajahnya. Tubuh Prataksa 
membungkuk, merasakan rasa sakit yang menghebat. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. 
Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, dita- 
tapnya wajah Prataksa lekat-lekat. 

"Perlu kau ketahui, Prataksa. Racun itu akan 
menjalar sangat cepat, apabila kau mengerahkan tena- 
ga dalam. Kau telah merasakannya sendiri, bukan?" 

Prataksa sama sekali tidak menanggapi. Di 
samping rasa sakit yang tengah mendera, dia juga tak 
merasa perlu menanggapi. Dan tubuhnya terus mem- 
bungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit. 
Perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak 
menyerang lelaki berkepala botak tadi. 

Tapi dekapan kedua tangan Prataksa pun tidak 
berlangsung lama. Sebentar saja tangannya sudah si- 
buk menggaruk-garuk, begitu rasa gatal mulai melan- 
da sekujur tubuhnya, yang disertai rasa panas mem- 
bakar. 

Bahkan kini rasa panas dan gatal itu makin la- 
ma semakin menjadi-jadi. 

Prataksa terus menggaruk-garuk. Dan begitu 
digaruk, rasa gatal yang melanda malah semakin men- 
jadi-jadi. Bahkan, bagian tubuh yang terasa gatal se- 
makin meluas. 

"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sam- 
pai kulit dan dagingmu habis tercakar, Manusia Bo- 
doh! Ha ha ha...!" ejek lelaki tinggi besar itu. 

"Ha ha ha...!" 

Rangkuti dan Panca juga ikut menyemaraki. 

Kedua orang ini sepertinya ikut merasa senang 
melihat penderitaan Prataksa. Sedikit pun tak ada be- 
las kasihan di hati mereka. Namun mendadak... 

"Bontang! Manusia terkutuk! Jangan harap 
kuampuni nyawamu!" 

Suara makian keras, membuat tawa lelaki ting- 
gi besar dan dua anak buahnya itu berhenti. Dengan 
wajah berubah, mereka berpaling ke arah asal suara. 
Sikap mereka tampak penuh kewaspadaan, karena 
mengenali suara itu. 

Wusss! 

Diiringi hembusan angin yang cukup keras, so- 
sok bayangan hitam berkelebat. Kemudian tanpa me- 
nimbulkan suara berarti, sesosok bayangan hitam 
mendarat di tanah, di depan laki-laki tinggi besar yang 
dipanggil Bontang. 

"Rupanya kau masih berani menemui kami, 
Singa Hitam?! Kukira akan tetap bersembunyi sampai 
kami meninggalkan tempat ini!" ejek lelaki tinggi besar 
bernama Bontang, tajam. 

Bontang menyunggingkan seulas senyum pe- 
nuh ejekan di bibirnya. Dengan sikap memandang 
rendah ditatapnya sosok berpakaian hitam yang berdi- 
ri di hadapannya. 

Sosok yang baru tiba itu memang pantas di- 
panggil Singa Hitam. Wajahnya mirip singa. Kulitnya 
hitam seperti pakaian yang membungkus tubuhnya 
yang pendek kekar! Dialah yang dijuluki Singa Hitam 
Tangan Sepuluh! 

"Mulutmu terlalu kotor, Bontang! Kau harus 
dihajar!" 

Lelaki bermuka singa yang berjuluk Singa Hi- 
tam Tangan Sepuluh menggeram. Wajahnya merah 
padam menyiratkan kemarahan hatinya. 

Usai berkata demikian Singa Hitam Tangan Se- 
puluh mengambil kantong kecil dari kain hitam di 
pinggangnya. Lalu dilemparkannya kantong itu ke be- 
lakang, tanpa mengalihkan pandangan dari Bontang. 

"Telan itu untuk menghilangkan rasa gatal yang 
kau derita, Prataksa," ujar Singa Hitam Tangan Se- 
puluh. 

"Singa Hitam Tangan Sepuluh! Kedatanganku 
kemari, karena Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan 
nyawamu! Bersiaplah menghadapi maut!" ungkap Bon- 
tang. 

Srattt! 

Sinar terang tampak memendar ketika Bontang 
mencabut golok pendeknya. 

Melihat hal ini, Rangkuti dan Panca pun me- 
langkah maju dengan golok sudah terhunus. 

"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba 
menjinakkan anjing liar ini," cegah Bontang yang men- 
getahui tindakan dua anak buahnya. 

Mendengar ucapan pemimpin mereka, Rangkuti 
dan Panca kembali ke tempat semula. Meskipun demi- 
kian, golok-golok telanjang masih tetap tergenggam, 
siap digunakan. Sikap mereka pun tetap waspada. 
Sementara itu, diawali teriakan nyaring, Bontang me- 
lompat menerjang Singa Hitam Tangan Sepuluh. Pada 
saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tan- 
gannya dikelebatkan secara mendatar, mengarah tepat 
ke leher lelaki bermuka singa itu. 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengiringi tibanya se- 
rangan menjadi pertanda, betapa hebatnya tenaga da- 
lamnya. 

Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak berani ber- 
tindak gegabah. Dia tahu betul tokoh yang bernama 
Bontang ini cukup lihai. Tak heran kalau Bontang kini 
menguasai perkumpulan kecil yang bernama Perkum- 
pulan Iblis Merah. Maka, ditunggunya serangan itu 
hingga menyambar dekat. Kemudian kakinya melang- 
kah ke belakang, seraya mencondongkan tubuhnya. 




Wusss! 

Mata golok Bontang menyambar, lewat bebera- 
pa jengkal dari leher Singa Hitam Tangan Sepuluh. 

Namun, Bontang memang sudah memperhi- 
tungkannya. Maka begitu serangan pertamanya gagal, 
segera disusulinya dengan sebuah tusukan. Masih leh- 
er Singa Hitam Tangan Sepuluh yang dijadikan sasa- 
ran. 

Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan 
Bontang hanya menggapai angin. Singa Hitam Tangan 
Sepuluh lebih cepat merendahkan tubuhnya, dengan 
menekuk lutut. Sehingga serangan itu meluncur bebe- 
rapa jari di atas kepalanya. 

Ternyata, kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh 
tidak hanya bertahan saja melayani serangan lawan- 
nya. Secepat tusukan golok Bontang berhasil dielak- 
kan, secepat itu pula dikirimkan serangan balasan. 

Lelaki bermuka singa ini melancarkan gedoran 
dua telapak tangan terbuka ke arah dada. Cepat bu- 
kan kepalang gerakannya, sehingga yang terlihat 
hanya sekelebatan bayangan yang tidak jelas. Tak 
aneh kalau tokoh ini mendapat julukan Tangan Se- 
puluh, di samping julukan Singa Hitam! 

"Hehhh...?!" 

Bontang langsung terpekik kaget, mendapat se- 
rangan cepat dan sama sekali tidak disangka-sangka. 
Namun sebagai tokoh yang sudah terbiasa menghadapi 
pertarungan, otaknya dengan cepat memberi perintah 
untuk membuat gerakan kilat. 

Patut dipuji kecepatan gerak Bontang. Dalam 
waktu yang demikian singkat, dia melompat dengan 
kedua kaki tertekuk untuk melindungi dada. 

Dukkk! 

Benturan keras antara sepasang tangan dan 
kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Seketika tubuh Bon- 
tang terjengkang ke belakang. Rupanya pertahanan le- 
laki bermuka singa ini lebih menguntungkan daripada 
lawannya. Kedudukan kakinya cukup kokoh, sehingga 
hanya terjajar. 

Jliggg! 

Dengan mulut menyeringai, Bontang mendarat 
di tanah. Dan secepat itu pula kembali diserangnya 
Singa Hitam Tangan Sepuluh. Rupanya serangan itu 
mendapat perlawanan gigih dari lelaki bermuka singa 
ini. Maka kembali pertarungan sengit tidak bisa di- 
elakkan lagi. Kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh te- 
lah pula mengeluarkan senjatanya, sebuah tombak 
pendek berwarna hitam mengkilat! 

Menarik dan begitu sengit pertarungan antara 
Bontang dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Apalagi 
masing-masing telah mengeluarkan seluruh kemam- 
puan sejak gebrakan-gebrakan awal. 

Sementara itu, walau sulit melihat jelas jalan- 
nya pertarungan, Rangkuti dan Panca terus berusaha 
memelototkan mata untuk menyaksikan. 

Memang gerakan Bontang dan Singa Hitam 
Tangan Sepuluh terlalu cepat untuk bisa dilihat secara 
jelas. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan bayangan 
merah dan hitam yang saling belit, dan sesekali terpi- 
sah. 

Tidak terasa, pertarungan telah berlangsung 
hampir empat puluh jurus. Dan selama itu, belum 
nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai 
pemenang. 

Melihat jalannya pertarungan yang demikian la- 
ma, Rangkuti dan Panca tidak bisa tinggal diam lagi. 
Padahal, Raja Iblis Tanpa Tanding yang merupakan 
pucuk pimpinan tertinggi telah memerintahkan untuk 
melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh secepat- 
nya. Atas dasar pemikiran itulah, Rangkuti dan Panca 
ikut terjun dalam kancah pertarungan. 

"Haaat...!" 

Rangkuti mendahului serangan dari arah sebe- 
lah kiri, disusul Panca dari kanan. 

Singa Hitam Tangan Sepuluh terkejut bukan 
kepalang. Apalagi saat itu, Bontang tengah melancar- 
kan serangan dari atas kepala. Itu pun masih ditam- 

bah lagi dengan kedudukannya yang tidak mengun- 
tungkan, ketika baru saja menghindari serangan ber- 
tubi-tubi dari Bontang. 

Dalam waktu yang demikian singkat, Singa Hi- 
tam Tangan Sepuluh memutar otak mencari cara un- 
tuk menyelamatkan diri. Disadari keadaannya memang 
amat berbahaya! 

"Hih!" 

Singa Hitam Tangan Sepuluh bertindak nekat. 
Seketika kakinya menjejak tanah, lalu tubuhnya di- 
lemparkan kebelakang. Pada saat yang sama pula 
tombaknya diayunkan untuk menangkis serangan 
Bontang! 

Trangngng! 

Srattt! 

"Akh!" 

Singa Hitam Tangan Sepuluh memekik terta- 
han. Memang serangan Bontang berhasil dipatahkan. 
Sementara babatan golok Rangkuti juga berhasil di- 
elakkan. Tapi sayang, babatan Panca gagal dihindar- 
kan. Ujung golok anak buah Bontang itu sempat me- 
robek lebar kulit perutnya. Darah pun langsung me- 
nyembur deras dari bagian yang terluka 

Meskipun agak terhuyung-huyung, begitu ber- 
hasil menjejak tanah, Singa Hitam Tangan Sepuluh 
langsung menotok sekitar lukanya. Sehingga darah 
langsung berhenti mengalir. Dan sebelum Bontang dan 
anak buahnya melancarkan serangan susulan, lelaki 
bermuka singa telah lebih dulu melemparkan sebuah 
benda berwarna coklat berbentuk telur itik 

Darrr! 

Untung saja Bontang, Panca, dan Rangkuti te- 
lah lebih dulu melempar tubuh ke belakang, menjauhi 
benda yang langsung meledak menghantam tanah 
mengepul menghalangi pandangan. Dan begitu asap 
lenyap disapu angin, Singa Hitam Tangan Sepuluh su- 
dah tidak berada di situ lagi. Demikian pula tubuh 
Prataksa yang tadi tergolek Jelas, lelaki bermuka singa 
itulah yang membawanya kabur. 

"Keparat!" 

Bontang memaki kalang-kabut menyadari bu- 
ruannya berhasil meloloskan diri. Kini yang terlihat 
hanya titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan, 
dan akhirnya lenyap. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bontang, 
Rangkuti dan Panca melesat mengejar. 

kkk 


"Hhh...!" 

Disertai helaan napas berat, Singa Hitam Ta- 
ngan Sepuluh menatap Prataksa yang tengah tergolek 
di tanah berumput yang dikelilingi semak-semak dan 
pepohonan lebat, sehingga sulit terlihat Raut wajahnya 
menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan. 

"Maafkan aku, Prataksa. Aku tidak bisa berbuat 
lebih banyak lagi. Racun itu telah menyebar di seluruh 
aliran darahmu, sebelum obat kuberikan," ucap Singa 
Hitam Tangan Sepuluh bernada penyesalan. 

Lelaki bermuka singa itu memang menyesal se- 
kali, karena tidak dapat menolong Prataksa lebih jauh 
lagi. Sepasang matanya yang tertuju pada Prataksa, 
menyorotkan penyesalan yang mendalam. 

"Kau tidak usah menyesali apa yang terjadi, 
Singa Hitam. Malah, akulah yang justru berterima ka- 
sih padamu. Pertolongan yang kau berikan pada ku, 
lebih dari cukup. Obatmu telah mengusir perasaan 
gatal pada sekujur tubuhku. Sehingga, aku tidak mati 
secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan. Kalau saja 
kau tidak menolongku, pasti aku akan tewas dalam 
keadaan daging hancur tercacah!" 

Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak menyahuti. 
Meski pun kata-kata Prataksa benar adanya, tapi tetap 
saja penyesalan yang bersemayam di hati tidak mampu 
diusirnya.. Andaikata dia tiba lebih cepat, tentu Pra- 
taksa tidak akan bernasib seperti ini. Ditatapnya seku- 
jur kulit tubuh Prataksa yang telah memerah dengan 
sorot mata iba. 

Memang obat Singa Hitam Tangan Sepuluh 
berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang menyiksa 
Prataksa. Tapi, ternyata hawa panas membakar akibat 
pengaruh racun itu, tidak bisa ditanggulangi. Yang le- 
bih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin 
menyengat. Tak aneh kalau kulit tubuh Prataksa jadi 
merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa 
dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Pra- 
taksa mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit 
pun. Jelas hatinya benar-benar teguh. 

"Tidak usah dipusingkan tentang keadaan diri- 
ku lagi, Singa Hitam! 

Percayalah, aku telah siap mati. Dan karena 
aku tidak ingin mati penasaran, maukah kau meme- 
nuhi permintaan terakhir ku?" pinta Prataksa semakin 
lirih suaranya. 

"Katakan, apa permintaan terakhirmu, Pratak- 
sa. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Singa 
Hitam Tangan Sepuluh lembut 

"Terima kasih, Singa Hitam. Kau memang sa- 
habatku yang baik. Aku yakin, kau mampu meme- 
nuhinya. Permintaanku sama sekali tidak sulit" 

"Apa permintaanmu, Prataksa? Cepat katakan," 
ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak sabar. Dia 
memang khawatir, lelaki berpakaian coklat ini keburu 
tewas! 

"Jaga dan lindungilah anakku, Singa Hitam...." 

"Wintari?!" Singa Hitam Tangan Sepuluh ter- 
sentak, "Mengapa aku demikian pelupa? Ya! Tadi aku 
tidak melihatnya. Di mana dia sekarang, Prataksa?!" 

Prataksa tersenyum kaku melihat tanggapan 
Singa Hitam Tangan Sepuluh yang demikian penuh 
keikhlasan. 

"Katanya, dia tadi akan pergi ke hutan untuk 
mencari binatang buruan. Dia ingin makan daging ke- 
linci," jawab Prataksa terbata-bata. "Cari dan temukan- 
lah dia, Singa Hitam. Anggaplah Wintari anakmu sen- 
diri. Syukur-syukur, jika kau bersedia mengantarkan- 
nya pada kakek gurunya." 

"Akan kujalankan permintaanmu, Prataksa. 
Ah...! Aku menyesal sekali! Kalau saja aku tidak sing- 
gah di rumahmu, mungkin kau tidak akan mendapat 
musibah seperti ini...." 

"Lupakankah, Singa Hitam. Kau tidak bersalah. 
O, ya. Mengapa kau kembali lagi?" 

Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak langsung 
menjawab pertanyaan. Dia tercenung sejenak. 

"Aku kembali karena bermaksud memintamu 
untuk menjadi perantara yang menjelaskan bahaya ini 
pada para guru-guru dan semua saudara sepergurua- 
nku. Karena kalau aku sendiri yang melaksanakannya 
khawatir tidak akan sampai. Kau tahu kan sebabnya?" 

Prataksa mengangguk-angguk. Namun menda- 
dak saja perutnya terasa mual yang kemudian me- 
rayap cepat ke atas. Dan.... 

"Huaaakh...!" 

Prataksa memuntahkan darah kental berwarna 
kehitaman dari mulutnya. 

"Prataksa...!" pekik Singa Hitam Tangan Sepu- 
luh cemas. Dia tahu, hidup lelaki berpakaian coklat ini 
tidak akan lama lagi. 

Prataksa berusaha tersenyum untuk menun- 
jukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu ten- 
gah merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya, 
senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai 
kesakitan. 

"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!" 
Prataksa menghembuskan napas terakhir sebelum 
sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meski- 
pun demikian, sudah bisa diduga oleh Singa Hitam 
Tangan Sepuluh kelanjutannya. 

Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap mayat 
sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak 
ada pekik atau air mata kedukaan, tapi hatinya benar- 
benar sedih bukan kepalang. Dia lantas berdiri, sambil 
tetap menundukkan kepala sebagai penghormatan te- 
rakhir pada rekannya. 

Sang Surya sudah sejak tadi menampakkan di- 
ri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias- 
bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah 
daun. Sehingga, membentuk garis-garis sinar yang ter- 
lihat indah dipandang mata. 

Kicau burung dan teriakan penghuni hutan 
lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir be- 
ranjak siang. Di saat seperti itu tampak seorang gadis 
cantik berpakaian kuning tengah melangkah melewati 
deretan pepohonan. Kulitnya yang putih, halus, dan 
mulus dijilati sinar-sinar matahari pagi yang menye- 
jukkan. Dengan rambutnya yang berwarna hitam 
mengkilat dan berkepang, dia semakin cantik untuk 
dinikmati. Usianya tak akan lebih dari dua puluh ta- 
hun. 

"Hhh..., sial! Sejak tadi tak terlihat kijang see- 
kor pun. Hhh...! Bisa-bisa aku pulang dengan tangan 
kosong," keluh gadis berpakaian kuning itu dengan 
wajah muram, seraya menghenyakkan pantatnya di re- 
rumputan. 

Mendadak gadis berpakaian kuning menoleh ke 
belakang, ketika pendengarannya yang tajam menang- 
kap adanya langkah-langkah kaki dari arah belakang. 
Seketika itu pula, jantungnya berdebar tegang. Namun 
secercah harapan timbul di hatinya. Dia berharap, 
mudah-mudahan saja itu adalah langkah kijang! 

Ternyata, harapan gadis berpakaian kuning itu 
langsung pupus, ketika mendapatkan di belakangnya 
hanya berdiri serombongan orang yang memiliki wajah 
dan penampilan kasar. Pakaian yang mereka kenakan 
seragam, yakni rompi terbuat dari kulit beruang. Ber- 
gegas gadis berpakaian kuning bangkit. Disadari kalau 
orang-orang yang baru datang itu tidak bermaksud 
baik. Seketika dipasangnya sikap waspada. 

"Siapa kalian? Dan, apa maksud kalian datang 
kemari?!" tanya gadis berpakaian kuning itu berusaha 
bersikap tenang. Namun jari-jari tangan kanannya su- 
dah meraba pinggang sebelah kanan, yang terselip se- 
buah kipas hitam. Rupanya dia telah siap bertempur. 

"Ha ha ha...!" 

Namun pertanyaan gadis berpakaian kuning itu 
malah disambut tawa bergelak dari orang-orang ber- 
tampang beringas ini. Karuan saja gadis berpakaian 
kuning itu jadi merasa heran bercampur marah. Dia 
telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan 
tawa keras dan tidak sedap didengar. Meskipun demi- 
kian, dicobanya untuk tetap bersabar. 

"Kau keliru, Ni sanak! Seharusnya bukan kau 
yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seo- 
rang yang berdiri paling depan, setelah terlebih dulu 
mengangkat tangan kanannya ke atas. Sehingga, suara 
gelak tawa itu langsung terhenti. Agaknya, orang ini 
adalah pemimpin dari orang-orang ini. 

Si pemimpin ini bertubuh kekar, penuh otot 
melingkar. Kepalanya botak. Di tangan kanannya ter- 
genggam sebuah gada panjang dan berduri. Melihat 
dari bentuknya, sekali lihat saja orang tahu kalau gada 
itu berat sekali! Namun hebatnya, lelaki kekar berotot 
itu tidak terlihat keberatan sama sekali. Dari sini saja 
mudah bisa diketahui kalau tenaga dalamnya tinggi. 

"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, 
Kisanak?" kata gadis berpakaian kuning dengan alis 
berkernyit dalam. 

"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, 
Ni sanak. Perlu kuberitahu kami tengah mempunyai 
sebuah persoalan. Dan kami tidak suka kau malah 
meruwetkan persoalan itu. Maka jangan berpura-pura, 
sebelum nasibmu kuserahkan kepada anak buahku!" 

Seiring selesai ucapannya, lelaki kekar berotot 
itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai 
diperintah, gadis berpakaian kuning itu mengikuti 
arah tudingan jari telunjuk itu. Dan seketika itu pula, 
hatinya mengkelap. Belasan orang yang berpakaian 
dari kulit beruang itu memandangi dengan tatapan ba- 
gai menjilati tubuhnya. Sorot mata mereka bagai seri- 
gala melihat anak domba gemuk! Liar dan penuh naf- 
su! 

Agaknya lelaki kekar berotot itu memang ke- 
nyang pengalaman. Maka dia langsung tahu perasaan 
yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian 
kuning yang sepertinya masih polos dan lugu. 

"Nah! Sekarang kuceritakan persoalannya," lan- 
jut lelaki kekar berotot penuh nada kemenangan. "Ka- 
mi tengah mengejar-ngejar seorang lelaki setengah tua 
berwajah mirip singa. Dia berpakaian hitam dan ber- 
tubuh pendek. Aku yakin, kau melihatnya. Karena 
kami tahu jelas, kalau arah larinya adalah kemari. Se- 
karang, katakanlah. Di mana dia sekarang?" 

"Ke arah sana!" jawab gadis berpakaian kuning 
itu seraya menudingkan jari telunjuknya ke selatan, ke 
arah rumahnya sendiri. "Semula dia berada di rumah 
yang ada di sana. Tapi, terus menempuh perjalanan ke 
selatan" 

"Terima kasih atas keteranganmu, Ni sanak. 
Sekarang, kemarilah. Mendekat padaku," ujar lelaki 
kekar berotot dengan pandang mata menyiratkan gai- 
rah. 

"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sergah gadis 
berpakaian kuning itu keras, karena menyadari akan 
adanya bahaya mengerikan yang siap mengancam. 

"Bukankah kau telah berjanji?!" 

Laki-laki kekar berpakaian kulit beruang itu 
terkekeh. 

"Rupanya kau tuli, Ni sanak! Janjiku itu hanya 
menyangkut anak buahku! Bukan denganku. Kau 
mendengarnya, kan?!" 

"Kau curang! Licik!" maki gadis berpakaian ku- 
ning itu kalap sambil melangkah mundur. 

Wajah lelaki kekar berotot itu berubah kelam. 

"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, 
Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, akan ku turu- 
ti!" 

Setelah berkata demikian, lelaki kekar berotot 
itu melangkah maju. Kedua tangannya seketika di- 
ulurkan untuk memeluk tubuh gadis berpakaian ku- 
ning. 

Wuttt! 

Namun lelaki kekar berotot itu hanya memeluk 
angin, karena sasarannya telah melangkah mundur 
sambil menghunuskan senjatanya. 

Trekkk! 

Di tangan kanan gadis berpakaian kuning telah 
tergenggam sebuah kipas berwarna hitam, yang rang- 
kanya terbuat dari baja-baja berujung runcing. 

"Keparat! Berani kau mempermainkan Beruang 
Kepala Baja?" bentak lelaki kekar berotot, marah. 

Lelaki kekar berotot yang ternyata berjuluk Be- 
ruang Kepala Baja kembali melancarkan serangan. 
Hanya saja kali ini serangan yang dikirimkan tidak se- 
lunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian 
kuning itu bukan orang lemah. 

Wut, wut, wut! 

Beruang Kepala Baja melancarkan sampokan 
bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian kuning ini. 
Namun rupanya meskipun tengah dilanda amarah, le- 
laki kekar berotot itu masih merasa sayang untuk 
membunuh korbannya yang demikian cantik 

Gadis berpakaian kuning gugup menghadapi 
serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tan- 
gan Beruang Kepala Baja seperti berubah puluhan ba- 
nyaknya. Sehingga membuat pandangannya berku- 
nang-kunang 

Meskipun demikian, gadis berpakaian kuning 
itu tidak pasrah begitu saja menerima nasib yang akan 
menimpa dirinya. Memang, dia tidak bisa melihat jelas 
serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi 
keinginan untuk menyelamatkan diri, membuatnya be- 
rusaha sekuat tenaga menjegal serangan Beruang Ke- 
pala Baja. Kipas bajanya seketika dikibas-kibaskan 
untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke 
arahnya. Namun... 

Wut, wut, wuttt! 

Tappp! 

Tukkk! 

"Akh...!" 

Rentetan kejadian yang berlangsung sukar un- 
tuk bisa diikuti mata biasa. Tahu-tahu, gadis berpa- 
kaian kuning itu memekik pelan, kemudian tubuhnya 
roboh di tanah. Memang, dengan kecepatan luar biasa, 
Beruang Kepala Baja telah menangkap pergelangan 
tangan gadis berpakaian kuning, lalu membuatnya ter- 
totok lemas. 

"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian 
Beruang Kepala Baja, Wanita Bodoh! Dan atas penola- 
kanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Kau 
akan kuperkosa sampai aku puas. Kemudian, digilir 
oleh semua anak buahku sampai kau mati!" 

"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" 
teriak gadis berpakaian kuning itu penuh rasa takut. 

Kalau saja mampu bergerak, tentu lelaki kekar 
berotot itu akan diserangnya mati-matian. Tapi, sayang 
hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa 
lemas bukan kepalang. Jangankan menyerang, untuk 
menggerakkan ujung jarinya pun tidak mampu. 

"Ha ha ha...! Membunuhmu? Hanya orang bo- 
doh yang akan membunuh seorang dara cantik seper- 
timu, tanpa memanfaatkannya lebih dulu! Dan aku 
bukan orang bodoh! Ha ha ha...!" 

Masih dengan tawa yang belum putus, Beruang 
Kepala Baja membungkuk. Kemudian tangannya pun 
bergerak. 

Brettt! 

"Auw...!" 

Bunyi kain yang terobek terdengar ketika ta- 
ngan Beruang Kepala Baja yang berotot dan penuh bu- 
lu, menjambret baju gadis berpakaian kuning itu di 
bagian dada. Seketika, dua bukit kembar indah me- 
nantang pun menyembul keluar. 

"Iblis keji! Bunuh saja aku!" jerit gadis berpa- 
kaian kuning dengan suara mengandung isak, karena 
rasa takutnya. 



"Ha ha ha...!" 

Hanya tawa gelak dari Beruang Kepala Baja dan 
anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis 
berpakaian kuning ini. Tawa penuh nafsu birahi yang 
telah menyelimuti hati dan pikiran, begitu melihat ku- 
lit tubuh gadis berpakaian kuning ini, yang putih mu- 
lus! 

Gadis berpakaian kuning ini semakin ketaku- 
tan saja. Apalagi ketika tangan Beruang Kepala Baja 
kembali terulur ke pakaian bagian bawah. 

Tapi sebelum jari-jari tangan itu mencapai sa- 
saran... 

Wuttt! Tukkk! 

"Akh!" 

Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan ketika 
sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak 
punggung tangannya. Seketika rasa sakit yang amat 
sangat menyerang bagian yang terkena timpukan tadi 
itu. Sehingga, maksud untuk menjarah sekujur tubuh 
gadis berpakaian kuning diurungkannya. 

"Keparat! Orang gila dari mana yang berani 
mengganggu Beruang Kepala Baja?!" teriak lelaki kekar 
berotot ini keras bernada ancaman. Seketika pandan- 
gan ditujukan ke arah batu tadi berasal. Sementara se- 
luruh anak buahnya juga menoleh ke arah yang sama. 
Dengan sendirinya, gadis berpakaian kuning terlupa- 
kan. 

Kini dalam jarak kira-kira empat tombak dari 
mereka, terlihat sepasang anak muda. Yang seorang 
adalah pemuda tampan berpakaian ungu. Wajahnya 
yang jantan memiliki rambut berwarna putih kepera- 
kan! Mirip rambut yang dimiliki orang berusia lanjut! 
Rambutnya yang seperti benang-benang perak itu te- 
rurai sampai ke pinggang. Sehingga guci yang terletak 
di punggung jadi tertutupi. 

Sementara di sebelahnya berdiri seorang gadis 
cantik dengan kulit putih dan halus. Pakaiannya pu- 
tih. Rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. 
Sehingga semakin menambah keelokan wajahnya. Na- 
mun bertenggernya sebatang pedang di punggung, 
menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan 
wanita lemah. 

Dan dengan langkah tenang menyorotkan ke- 
percayaan din yang besar, sepasang anak muda yang 
sama-sama berwajah elok ini menghampiri Beruang 
Kepala Baja dan gerombolannya. 

Sementara Beruang Kepala Baja yang memang 
tengah murka bukan kepalang kontan menggeram. 

"Gggrrrhhh...! Akan kuhancurkan seluruh tu- 
lang-belulang kalian," desis lelaki kekar berotot ini 
sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan 
pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak me- 
maksakan kehendaknya pada gadis berpakaian kun- 
ing. 

"Kau selamatkan gadis itu, Melati," ujar pemu- 
da berambut putih keperakan itu pada gadis berpa- 
kaian putih itu. 

"Baik, Kang," sahut gadis yang dipanggil Melati, 

patuh. 

Memang, gadis berpakaian putih itu bukan lain 
dari Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Se- 
mentara pemuda berambut putih keperakan itu tak 
lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa 
Arak. 

Dengan sikap tenang, Dewa Arak menghampiri 
Beruang Kepala Baja yang juga tengah melangkah ke 
arahnya. 

Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa 
langkah lagi, Beruang Kepala Baja berhenti. Dengan 
senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti. 

"Kau..., kau.... Apakah kau orang yang berjuluk 
Dewa Arak?" tanya Beruang Kepala Baja setengah ter- 
bata-bata. 

Entah bagaimana, lelaki kekar berotot ini men- 
dadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh 
muda yang julukannya menggemparkan dunia persila- 
tan. 

"Kalau benar, mengapa? Dan kalau tidak, ke- 
napa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya. 

"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat kecil! Siapa 
pun adanya kau, apabila aku tengah bertanya, haram 
hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau wa- 
jib menjawab, tahu?!" sergah Beruang Kepala Baja be- 
rang. 

"Tidak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah 
cepat! Aku sudah tidak sabar lagi untuk mematahkan 
tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa" Arak, 
tak kalah marah. 

Pemuda berambut putih keperakan ini memang 
mudah marah, apabila melihat penjahat yang suka 
memperkosa wanita. Dia memang sudah bertekad un- 
tuk membasmi penjahat semacam itu! Maka tak heran 
kalau dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan. 

"Keparat! Siapa pun adanya kau, rupanya perlu 
merasakan kerasnya gada Beruang Kepala Baja! Ba- 
rangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan! 
Hiyaaat...!" 

Tanpa memberi kesempatan lagi pada Dewa 
Arak untuk bersiap-siap, Beruang Kepala Baja lang- 
sung melancarkan serangan. Gada berduri yang ter- 
genggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke 
arah kepala Dewa Arak 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengawali meluncurnya 
serangan, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam di- 
kerahkannya. Begitu kuatnya, sehingga hanya sekali 
hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau 
bunting mampu diluncurkan dengan hanya sekali pu- 
kul. Maka bisa dibayangkan apabila menimpa diri ma- 
nusia. 

Tapi orang yang dihadapi adalah Dewa Arak! 
Seorang tokoh sakti yang sungguhpun memiliki usia 
demikian muda, namun memiliki pengalaman amat 
luas. Maka menghadapi serangan itu, Arya sama sekali 
tidak menjadi gugup. 

"Hup!" 

Wusss! 

Hanya melangkahkan kaki kanan ke belakang 
sambil mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah mem- 
buat serangan gada berduri Beruang Kepala Baja 
hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang menge- 
rikan itu lewat beberapa jari dari wajahnya. Sehingga, 
sambaran anginnya yang keras, membuat sekujur pa- 
kaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan 
itu berkibar keras. 

Sementara Dewa Arak tidak hanya sampai di si- 
tu. Begitu gada lawan telah bergerak meluncur lewat di 
depan wajahnya, tangan kanannya cepat digerakkan 
untuk menangkap pergelangan tangan kanan lawan. 

Tappp! 

Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa 
Arak. Sehingga sebelum Beruang Kepala Baja menya- 
dari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal. 

"Heh?!" 

Beruang Kepala Baja berseru kaget, namun ti- 
dak menjadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur 
selama ratusan kali, langsung disambutnya cekalan 
tangan Dewa Arak. Tangannya seketika ditarik agar bi- 
sa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi mak- 
sudnya ternyata sia-sia. Jangankan melepas, untuk 
mengguncangkannya tidak mampu. 

Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali ti- 
dak membuahkan hasil, Beruang Kepala Baja tidak 
menyerah begitu saja. Apalagi dia terhitung orang ke- 
ras kepala yang sukar menyadari kalau orang lain ter- 
nyata memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebab- 
nya dia terus memaksakan diri untuk membebaskan 
tangannya dari cekalan Dewa Arak. Namun saking 
memaksakan diri, sampai-sampai terdengar suara me- 
lenguh dari mulutnya. 

Sementara itu, wajah Dewa Arak tampak malah 
biasa-biasa saja. Apalagi tangannya yang sedikit pun 
tidak terlihat ada tanda-tanda kalau sedang menge- 
rahkan tenaga. 

"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak 
setelah membiarkan Beruang Kepala Baja berusaha 
keras untuk membebaskan diri dari cekalannya bebe- 
rapa saat 

Usai berkata demikian jari-jari tangan Dewa A- 
rak bergerak meremas. 

Krrrkkk! 

"Aaakh...!" 

Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan, seiring 
terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan 
tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman 
jari tangannya pada gada mengendur. Sehingga senjata 
berat itu pun jatuh berdebuk di tanah. 

Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ 
saja. Sehabis mencengkeram, tangannya langsung ber- 
gerak membetot 
"Akh...!" 

Untuk yang kedua kali Beruang Kepala Baja 
mengeluarkan jerit tertahan. Tulang sambungan siku 
dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak me- 
lancarkan betotan. Akibatnya, tubuhnya tertarik ke 
arah Dewa Arak. Maka saat itulah kaki kanan Dewa 
Arak mencuat ke arah perutnya, dan tidak bisa dihin- 
dari lagi. Sehingga.... 

Wuttt! Bukkk! 

"Hughk!" 

Beruang Kepala Baja kontan menjerit tertahan, 
begitu kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya. 

Tubuh lelaki kekar berotot itu langsung terlipat 
ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang ma- 
tanya melotot. Namun, hal itu hanya berlangsung se- 
bentar saja. Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai dan 
ambruk di tanah. Tendangan Dewa Arak yang telah 
menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya, 
membuatnya harus pergi untuk selama-lamanya me- 
ninggalkan dunia ini. 

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian ce- 
pat, sehingga gerombolan anak buah Beruang Kepala 
Baja tidak sempat berbuat apa-apa. Hanya dalam be- 
berapa gebrakan saja, Beruang Kepala Baja telah ke- 
buru tewas! Sehingga, anak buahnya tak sempat 
membantu. 

Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata pe- 
nuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari selu- 
ruh anak buah gerombolan Beruang Kepala Baja. Nya- 
tanya mereka memang belum menerima kalau Beruang 
Kepala Baja telah tewas hanya dalam beberapa gebra- 
kan saja! Sulit dipercaya! 

Untuk beberapa saat, anak buah Beruang Ke- 
pala Baja hanya terpaku. Namun ketika kesadaran te- 
lah kembali, mereka yang berjumlah tak kurang dari 
dua belas orang itu kontan murka! 

Srat, srattt, sringngng! 

Suara denting dan gerakan senjata kontan ter- 
dengar begitu belasan anak buah Beruang Kepala Baja 
mengeluarkan senjata masing-masing. Lalu diiringi te- 
riakan keras memekakkan telinga, mereka menyerbu 
Dewa Arak. 

Maka seketika itu pula belasan senjata tajam 
yang terdiri dari pedang dan golok berkelebatan me- 
nyambar berbagai bagian tubuh Arya. 

Tapi, ternyata Dewa Arak tetap bersikap te- 
nang. Malah sedikit pun tidak nampak adanya tanda- 
tanda akan menangkis atau mengelakkan serangan. 

Tentu saja hal ini membuat anak buah Beruang 
Kepala Baja heran. Meskipun demikian, mereka tetap 
saja melanjutkan serangan pada Dewa Arak disertai 
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. 

Tak, tak, takkk! 

Bunyi keras terdengar ketika mata senjata- 
senjata itu menghantam berbagai bagian tubuh Dewa 
Arak. Namun hasilnya? Nyatanya tubuh Dewa Arak, 
seperti tidak terdiri atas kulit dan daging, melainkan, 
tersusun dari logam keras! 

"Hehhh...?!" 

Suara keterkejutan langsung terdengar susul- 
menyusul dari mulut belasan orang anak buah Be- 
ruang Kepala Baja. Dengan mata kepala sendiri, mere- 
ka melihat senjata-senjata itu mendarat di tubuh Dewa 
Arak. Tapi apa yang terjadi? Bahkan sebaliknya tangan 
yang menggenggam senjata jadi terasa lumpuh. Dan 
yang lebih gila lagi, mata senjata mereka sudah gom- 
pal! Berganti-ganti mereka memandang Dewa Arak, la- 
lu kembali memandang senjata masing-masing. 

"Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa nada ejekan. 

Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang 
bertampang kasar yang masih terpaku takjub disertai 
rasa sakit pada tangan. Dan seiring timbulnya kesada- 
ran, belasan orang itu saling berpandang satu sama 
lain. Lalu sebentar saja mereka telah membuat kata 
sepakat dalam tatapan tadi. 

Sing, sing, sing! 

Suara berdesingnya senjata-senjata kembali 
mengiringi meluncurnya serangan. Dan seperti juga 
sebelumnya, anak buah Beruang Kepala Baja me- 
nerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru. 

Namun kali ini Dewa Arak tidak berdiam diri 
saja. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada 
jauh di atas lawan-lawannya, mudah saja semua se- 
rangan yang tertuju ke arahnya dielakkan. Bagaikan 
bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran 
senjata-senjata lawannya. 

Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan se- 
rangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tan- 
gannya berkelebat cepat! Ke mana pun tangan dan ka- 
ki tokoh muda yang menggemparkan itu meluncur, 
pasti ada satu tubuh yang terpental ke belakang diirin- 
gi jerit kesakitan. 

Satu persatu anak buah Beruang Kepala Baja 
roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Mes- 
kipun demikian, tidak ada satu pun yang mati! Dewa 
Arak hanya membuat mereka tidak mampu melan- 
jutkan pertarungan saja. 

Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu 
pun anak buah Beruang Kepala Baja yang masih ber- 
diri tegak di tanah. Mereka semua tergolek di tanah 
dalam keadaan pingsan. Namun ada juga yang merin- 
tih-rintih kesakitan karena luka-lukanya. Sementara, 
senjata-senjata mereka bergeletakan di sana-sini. 

Tentu saja sekarang hanya tinggal Dewa Arak 
seorang yang berdiri tegak di kancah pertarungan. Se- 
telah merayapi keadaan lawan-lawannya sejenak, per- 
hatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai 
berbincang-bincang dengan gadis berpakaian kuning 
yang ditolong Dewa Arak tadi. 

Tadi, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi la- 
wan-lawannya, Melati telah membebaskan gadis ber- 
pakaian kuning ini dari totokan. Bahkan Melati ru- 
panya telah memberi pakaian ganti pada gadis itu. 

Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Me- 
lati dan gadis berpakaian kuning ini. 

"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya pada ke- 
kasihnya. 

"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati 
sambil menggelengkan kepala. "Nah, Wintari! Se- 
karang, ceritakan mengapa kau bisa bentrok dengan 
mereka?" 

Gadis berpakaian kuning yang ternyata berna- 
ma Wintari, tidak langsung menjawab. Ditatapnya wa- 
jah Arya dan Melati berganti-ganti. 

"Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan 
banyak terima kasih atas pertolongan yang kalian be- 
rikan. Hhh..., entah apa jadinya kalau tidak ada kalian 
berdua." 

"Lupakanlah, Wintari," ujar Melati, seperti me- 
wakili Dewa Arak "Orang hidup memang saling mem- 
butuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. 
Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti 
menolong kami. Jadi, jangan dipikirkan masalah budi. 
Dan sekarang, ceritakan saja semua kejadian yang kau 
alami." 

"Baiklah," desah Wintari, sambil menelan liur 
sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru sete- 
lah itu, semua kejadian yang menimpa diceritakannya. 

Arya dan Melati mendengarkan semua cerita 
Wintari penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, 
hingga gadis berpakaian kuning itu mengakhiri penu- 
turannya. 

"Singa Hitam Tangan Sepuluh?" tanya Arya, 
alisnya tampak bertaut, karena merasa heran. 

Dan sebenarnya, meskipun belum pernah ber- 
temu langsung, tapi pemuda berambut putih kepe- 
rakan ini tahu kalau Singa Hitam Tangan Sepuluh 
adalah seorang tokoh golongan hitam. Tapi, mengapa 
dikejar-kejar oleh Beruang Kepala Baja dan anak 
buahnya yang juga berasal dari golongan sama? 

Dewa Arak jadi termenung memikirkan. Se- 
mentara Melati juga ikut berpikir, karena pernah men- 
dengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berju- 
luk Singa Hitam Tangan Sepuluh itu. Itulah sebabnya, 
seperti juga Dewa Arak, dia pun merasa bingung men- 
dengar penuturan Wintari. 

Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa berhenti 
memikirkannya, begitu mendengar banyak bunyi lang- 
kah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam seke- 
jap saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat 
menduga kalau jumlah mereka banyak dan berkepan- 
daian beragam. 

Dewa Arak dan Melati saling berpandangan se- 
bentar. Tapi dalam waktu sesingkat itu, masing- 
masing telah bisa menebak kalau satu sama lain sa- 
ma-sama heran. Mengapa demikian banyak orang yang 
tengah menuju tempat ini? 

Karena semakin lama terdengar semakin jelas 
dan mendekat, Wintari pun mendengar langkah- 
langkah itu pula. Tak bisa dipungkiri kalau para pemi- 
lik langkah itu benar-benar menuju tempat ini. 

"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" 
Wintari yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, 
langsung mengajukan pertanyaan 

Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Melati 
menganggukkan kepala. Sebuah senyum lebar ter- 
sungging di mulut sepasang pendekar muda itu, untuk 
menenangkan hati Wintari. 

"Rasa-rasanya jumlahnya lebih banyak dari 
mereka," kata Wintari lagi sambil menudingkan jari te- 
lunjuknya ke arah gerombolan Beruang Kepala Baja 
yang masih bergeletakan di tanah. 

Dewa Arak menganggukkan kepala. Kemudian, 
jari telunjuknya menuding ke depan, yang berarti ke 
belakang Wintari. Gadis itu menoleh ke belakang. Dan 
seketika itu pula, dia terjingkat kaget ketika melihat 
rombongan orang yang sudah berjarak sekitar sepuluh 
tombak darinya. 

Sementara Dewa Arak dan Melati sebenarnya 
juga terkejut. Hanya saja sepasang pendekar muda itu 
mampu menguasai diri, sehingga tidak tampak pada 
wajahnya. 

Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan 
Wintari sampai terkejut. Jumlah orang yang tengah 
bergerak mendekati tempat ini tidak kurang dari sera- 
tus orang! Menilik dari macam-macam pakaian yang 
dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari 
para tokoh persilatan. Lantas apa tujuan orang-orang 
itu datang ke sini? Itulah yang bergayut di hati Dewa 
Arak dan Melati. 

Belum lagi rasa kaget sirna, Dewa Arak kembali 
terkejut bercampur khawatir begitu melihat gerakan- 
gerakan beberapa orang yang rata-rata berwajah ka- 
sar. Memang sebagian memiliki ilmu meringankan tu- 
buh tingkat rendahan. Tapi, ternyata ada beberapa 
orang yang membuat Dewa Arak tercekat. Terutama 
sekali, sosok yang berada paling depan. Gerakannya 
ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua 
kakinya seperti tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu 
meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai ting- 
kat kesempurnaan. 

Sosok yang berlari paling depan ini mendapat 
perhatian khusus dari Dewa Arak. Sosok itu berpa- 
kaian dari kulit ular berwarna kuning keemasan. Tu- 
buh kekar berotot, selaras wajahnya yang kasar dan 
dipenuhi cambang bauk lebat. Sepasang mata yang 
terletak jauh di dalam rongga, tampak tajam berkilat. 
Ada pengaruh aneh yang mengerikan dari sepasang 
mata yang terkadang mencorong kehijauan seperti ma- 
ta harimau dalam gelap. 

Dan kini orang-orang yang berjumlah lebih ku- 
rang seratus itu telah berada di hadapan Dewa Arak, 
Melati, dan Wintari. Menilik dari tindak-tanduknya, bi- 
sa diketahui kalau laki-laki berpakaian kulit ular itu 
bertindak sebagai pemimpin, Dan kini dia berdiri ber- 
jarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan rekan- 
rekannya. 

"Ikh...!" 

Jerit tertahan bernada kengerian keluar dari 
mulut Melati dan Wintari ketika melihat mata lelaki 
berpakaian kulit ular itu. Tanpa sadar, keduanya me- 
langkah mundur. Sehingga, Dewa Araklah yang berdiri 
paling depan. 

Sikap ngeri Melati dan Wintari terlihat jelas. 
Namun raut wajah lelaki bermata mengerikan itu sama 
sekali tidak menampilkan kemarahan. Tarikan wa- 
jahnya tetap seperti biasa. Dingin tanpa gambaran pe- 
rasaan apa pun di sana. 

Tetap dengan raut wajah dingin, dirayapinya 
satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya. 
Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir 
Wintari. Hal ini membuat kedua gadis itu merinding 
bulu kuduknya. Ngeri! Hanya Dewa Arak yang masih 
tetap terlihat tenang. Bahkan pemuda berambut putih 
keperakan itu balas menatap dan memperhatikan, 
sungguhpun ada perasaan tegang menggayuti hati. 




"Ha ha ha...!" 

Mendadak lelaki bermata mengerikan itu terta- 
wa keras menggelegar, sehingga membuat suasana jadi 
bergetar hebat bagai ada halilintar menyambar. Bisa 
dirasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pen- 
gerahan tenaga dalam sempurna. 

Dan yang lebih mengejutkan seketika kedua lu- 
tut sebagian besar orang yang berada di situ langsung 
terasa lemas. Bahkan mereka langsung jatuh terdu- 
duk. Hanya beberapa orang saja yang mampu berta- 
han, yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah 
Dewa Arak, Melati, dan beberapa orang anak buah le- 
laki bermata mengerikan ini. 

"Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau 
Dewa Arak, Pemuda Sombong?!" tegur lelaki bermata 
mengerikan itu dengan suara keras menggelegar. 

"Itulah julukan yang diberikan orang kepadaku, 
Kisanak. Kalau boleh tahu, siapa dirimu? Dan menga- 
pa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" 
masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas menga- 
jukan pertanyaan. 

"Aku? Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa 
Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang 
telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, den- 
gan siapa berhadapan sekarang?! Akulah si Raja Iblis 
Tanpa Tanding! Aku adalah raja dari semua tokoh go- 
longan hitam yang ada di seluruh permukaan bumi ini! 
Kau dengar?!" jawab lelaki bermata mengerikan itu, 
dengan suara keras dan mengguntur. 

Meskipun tidak ada perubahan pada parasnya, 
namun ia sebenarnya merasa terkejut bukan kepalang 
mendengar jawaban orang yang mengaku berjuluk Ra- 
ja Iblis Tanpa Tanding. Baru pertama kali Arya men- 
dengar ada tokoh yang berani memiliki julukan Tanpa 
Tanding! Sombong bukan kepalang! Dan lagi, sepenge- 
tahuannya, raja dari golongan hitam itu empat orang. 
Mereka memang datuk-datuk sesat yang merajai di 
tiap penjuru mata angin! 

Arya sebenarnya tidak tahu kalau datuk-datuk 
sesat yang masing-masing merajai satu mata angin itu, 
telah berhasil dikalahkan oleh Raja Iblis Tanpa Tand- 
ing! Malah satu di antara mereka terpaksa dibunuh 
oleh tokoh hitam bermata mengerikan ini, karena tidak 
bersedia takluk! Memang, itulah ganjaran bagi tokoh 
yang tidak bersedia menjadi taklukan Raja Iblis Tanpa 
Tanding! 

"Dan sekarang kau telah melukai anak buahku. 
Berarti, kau telah mengajukan tantangan terhadapku. 
Bersiaplah menerima balasannya, Dewa Arak!" sam- 
bung Raja Iblis Tanpa Tanding, membuyarkan lamu- 
nan Dewa Arak. 

"Tidak usah berbasa-basi, Raja Iblis! Aku me- 
mang bermaksud melenyapkanmu untuk selama- 
lamanya, agar dunia menjadi tenang!" tegas Dewa 
Arak, mantap. 

"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Raja Iblis 
Tanpa Tanding keras. "Ayo! Kalian tangkap kelinci- 
kelinci muda itu." 

Usai memberi perintah pada anak buahnya, Ra- 
ja Iblis Tanpa Tanding langsung menerjang Dewa Arak. 
Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, 
sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan 
buku-buku jarinya dilancarkannya serangan ke arah 
leher dan bawah hidung Dewa Arak Dua buah jalan 
darah kematian! 

Wut, wut, wut! 

Deru angin keras yang terdengar bersama me- 
luncurnya serangan itu, menjadi pertanda kuatnya te- 
naga dalam yang terkandung di dalamnya. Dan ini 
membuat Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. 
Maka buru-buru tubuhnya dilemparkan ke belakang, 
lalu bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, seran- 
gan Raja Iblis Tanpa Tanding hanya mengenai tempat 
kosong. 

Tapi melihat serangannya berhasil dielakkan, 
Raja Iblis Tanpa Tanding tidak berdiam diri saja. 

Dalam keadaan masih berada di udara, tubuh- 
nya masih mampu melenting ke depan. Padahal, tidak 
ada landasan bagi kakinya untuk menotol. Raja Iblis 
Tanpa Tanding langsung menyusul Dewa Arak. Dan 
pada saat itu pula, kembali kedua tangannya dilun- 
curkan ke arah dada Dewa Arak 

Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan 
lawannya. Disadari kalau sebelum kedua kakinya 
hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu 
mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya 
kecuali menangkis serangan. 

"Hih!" 

Dewa Arak cepat menghentakkan kedua ta- 
ngannya ke depan, untuk memapak serangan yang 
tengah meluncur ke arahnya. Dan... 

Prattt! 

Bunyi seperti ada dua benda berat beradu lang- 
sung terdengar, ketika dua pasang tangan berbentu- 
ran. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tem- 
pat itu sampai bergetar hebat! 

Sementara, tubuh Dewa Arak dan Raja Iblis 
Tanpa Tanding sama-sama terjengkang ke belakang. 
Namun berkat kepandaian yang sudah mencapai ting- 
katan tinggi, luncuran itu tidak sulit untuk dipatah- 
kan. 

Baik Dewa Arak maupun Raja Iblis Tanpa Tan- 
ding, berjumpalitan beberapa kali di udara, mem- 
pergunakan kekuatan yang melemparkan tubuh mere- 
ka. Lalu.... 

Hampir bersamaan, Dewa Arak dan Raja Iblis 
Tanpa Tanding mendarat di tanah, ringan laksana 
daun kering. Dan kini, mereka berdiri berhadapan da- 
lam jarak enam tombak. 


kkk 


Di saat Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tan- 
ding saling menatap tajam seperti sedang mengukur 
kemampuan masing-masing Melati dan Wintari mulai 
diganggu anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi ti- 
dak semua menuju ke arah Melati dan Wintari, karena 
sebagian harus menolong yang terluka. 

Melati tahu, Wintari sedikit banyak punya ke- 
pandaian. Tapi kalau kepandaian yang sekadarnya sa- 
ja, mana mungkin mampu menghadapi tiga orang ang- 
gota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian se- 
kadarnya juga? 

Maka Melati segera melangkah maju. Sehingga, 
dia kini berada di depan Wintari, bermaksud melin- 
dungi. 

"He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga 
bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek ," 
kata salah seorang dari dua anggota gerombolan di ba- 
risan terdepan. 

Orang itu bertubuh pendek, gemuk. Kepalanya 
botak dan berperut gendut. Saking gendutnya, rompi 
abu-abu yang dikenakan tidak mampu menutupi pe- 
rutnya. Ciri-ciri tubuhnya setidak-tidaknya mirip see- 
kor katak. Laki-laki dengan wajah selalu berseri-seri 
ini berjuluk Dewa Sesat Pemetik Bunga. Disebut Dewa 
Sesat karena siapa sangka kalau wajah yang senantia- 
sa ramah itu memiliki hati yang demikian kejam. 

"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat 
wajah cantik, Dewa Sesat," ledek orang yang berdiri di 
sebelah Dewa Sesat Pemetik Bunga. 

Orang itu bertubuh tinggi kurus, laksana bam- 
bu. Berbeda dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga, tokoh 

ini memiliki raut wajah muram. Sehingga, seakan- 
akan tengah dililit kesulitan. 

"Itulah sebabnya aku berjuluk Dewa Sesat Pe- 
metik Bunga, Siluman Pencabut Nyawa?!" sahut Dewa 
Sesat Pemetik Bunga. 

Semua pembicaraan itu dilakukan dengan sua- 
ra keras. Maka tentu saja seluruh orang yang berada 
di situ mendengarnya. Tak terkecuali, Melati dan Win- 
tari. 

Dan mendengar pembicaraan itu Melati jadi 
terperanjat. Bukan karena isi pembicaraan, tapi kare- 
na mendengar sapaan mereka satu sama lain. Julu- 
kan-julukan mereka sudah pernah didengarnya seba- 
gai datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata 
angin. Dewa Sesat Pemetik Bunga adalah datuk kaum 
hitam di wilayah timur. Sedangkan Siluman Pencabut 
Nyawa di barat! 

Kedua tokoh itu seperti yang lain, terkenal akan 
kesaktian dan kekejamannya di wilayah masing- 
masing selama belasan tahun, tanpa ada yang mampu 
mengalahkan. Dan karena kekejamannya itu masing- 
masing dianggap menjadi datuk sesat di wilayahnya. 

Begitu tahu secara pasti tokoh-tokoh yang akan 
menjadi lawannya, Melati semakin meningkatkan ke- 
waspadaannya. Dengan sendirinya, seluruh urat sa- 
rafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala ke- 
mungkinan. Dia tahu, dua orang ini memiliki kepan- 
daian amat tinggi! 

Melati menyadari bila salah satu datuk sesat ini 
mendapat kesempatan menyerang Wintari, maka akan 
mudah sekali gadis itu ditundukkan. Dan Melati tidak 
menginginkan hal itu terjadi. Maka sebelum mereka 
bertindak, dia yang melancarkan serangan lebih dulu. 

"Hih!" 

Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telin- 
ga, putri angkat Raja Bojong Gading itu melompat, me- 
lancarkan serangan pada Dewa Sesat Pemetik Bunga 
yang berdiri lebih dekat dengan Wintari. Melati mem- 
buka serangan dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan 
Ekor'. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik 
sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju Melati 
adalah pelipis, salah satu bagian yang mematikan. 

Wuttt! 

"Hebat," puji Dewa Sesat Pemetik Bunga, girang 
bercampur kagum. 

Sesungguhnya datuk pendek gemuk ini menga- 
gumi serangan Melati. Dia tahu, serangan itu tidak bi- 
sa dipandang ringan. Dari deru angin keras yang men- 
giringi tibanya serangannya, sudah bisa diperkirakan 
kekuatan tenaga yang terkandung. 

Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Sesat 
Pemetik Bunga gentar. Malahan tanpa ragu-ragu dipa- 
paknya kibasan kaki Melati, mempergunakan tangan 
kirinya dengan arah gerakan kilat dari dalam ke luar. 

Benturan antara tangan dan kaki yang sama- 
sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielak- 
kan lagi. Sehingga.... 

Plak! 

Melati yang berada di udara kontan terpental 
balik ke belakang. Sedangkan Dewa Sesat Pemetik 
Bunga terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan 
manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan 
golongan ini berhasil mematahkan daya dorong itu. 
Dan hampir bersamaan mereka sama-sama hinggap di 
tanah tanpa suara. 

"Kau hebat, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pe- 
metik Bunga bernada memuji. 

Pujian ini bukan tanpa alas an. Tangan kanan- 
nya yang berbenturan dengan kaki Melati memang te- 
rasa kesemutan. Agaknya tenaga dalam kekasih Dewa 
Arak ini ampuh juga. Walaupun disadari keadaan Me- 
lati mungkin lebih parah, tapi memang sesuatu yang 
mengagumkan bila semuda itu sudah mampu memiliki 
tenaga dalam sedemikian tingginya. 

Usai berkata demikian, Dewa Sesat Pemetik 
Bunga langsung mengirimkan cengkeraman ke arah 
ubun-ubun Melati. 

Cit, cit, cit! 

Decit angin tajam dari udara yang terobek oleh 
serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga, menjadi bukti 
nyata kalau serangan yang dikirimkannya amat berba- 
haya. 

Tapi Melati bukan wanita sembarangan. Bah- 
kan dulu sewaktu terjun dalam dunia persilatan, julu- 
kan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan 
dunia persilatan. Maka menghadapi serangan seperti 
itu, dia tidak gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke be- 
lakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, seran- 
gan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tem- 
pat kosong, beberapa jari di depan sasaran. 

Dewa Sesat Pemetik Bunga menduga kalau Me- 
lati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka 
begitu berhasil dielakkan, kembali dikirimkannya se- 
rangan susulan. Tentu saja Melati pun tidak tinggal 
diam. Dan kini pertarungan sengit pun tidak bisa di- 
elakkan lagi. 

Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan 
yang berlangsung antara Melati melawan Dewa Sesat 
Pemetik Bunga. Sehingga, Siluman Pencabut Nyata ja- 
di sampai lupa dengan maksudnya semula, yaitu me- 
nangkap Wintari Segera dijauhinya kancah pertarun- 
gan dan menonton seperti halnya yang lain. 

Melati yang tahu kalau keadaan sama sekali ti- 
dak menguntungkan pihaknya, tanpa ragu-ragu lagi 
mengeluarkan seluruh kemampuan. Demikian pula 
Dewa Sesat Pemetik Bunga. Hal ini membuat per- 
tarungan yang berlangsung semakin enak ditonton. 

Sementara itu di pertarungan lain yang ber- 
langsung antara Dewa Arak melawan Raja Iblis Tanpa 
Tanding, juga tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang 
sama-sama berkepandaian amat tinggi itu sudah ber- 
tarung hampir lima puluh jurus. Namun sampai sela- 
ma itu, masing-masing pihak belum ada yang menge- 
luarkan ilmu andalan. 

Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. 
Jurus demi jurus yang digelar berlangsung cepat, ka- 
rena gerakan dua tokoh yang bertarung memang cepat. 
Bahkan jalannya pertarungan pun hampir tidak bisa 
dilihat secara jelas oleh orang-orang berkepandaian 
rendah. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan kun- 
ing dan ungu yang saling belit tapi terkadang saling pi- 
sah. 

Meskipun sibuk menghadapi Raja Iblis Tanpa 
Tanding, Dewa Arak masih sempat mengalihkan perha- 
tian pada Melati dan Wintari sesekali. Dan ini menum- 
buhkan perasaan khawatir begitu melihat keadaan 
mereka yang tidak menguntungkan. 

Jelas sekali Dewa Arak melihat Melati tetap saja 
belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas- 
jelas gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan 
seluruh kemampuannya. Ini membuktikan kalau la- 
wan yang dihadapi memiliki kepandaian mengagum- 
kan. 

Hal ini tentu saja membuat Dewa Arak gelisah. 
Dia dan Melati masing-masing menghadapi satu orang 
lawan saja, namun belum mampu berbuat banyak se- 
telah semakin lama. Padahal di belakang masih me- 
nunggu calon lawan-lawan lain yang memiliki kepan- 
daian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun ber- 
sama-sama, entah apa jadinya bagi Dewa Arak, Melati, 
dan Wintari. 

Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memu- 
tuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan 
Melati dan Wintari 

"Hih!" 

Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar 
tubuh ke belakang kemudian bersalto. Dan saat itulah 
pemuda berambut putih keperakan ini menghentakkan 
kedua tangannya ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding. 

Wusss! 

Deru angin keras berhawa panas menyengat 
meluruk ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding. Lelaki yang 
bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. Tapi 
dengan ketenangan mengagumkan tubuhnya dibanting 
ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga, serangan 
Dewa Arak mengenai tempat kosong. 

Namun Dewa Arak memang tidak memikirkan 
keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan 
untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tu- 
buh Raja Iblis Tanpa Tanding masih bergulingan di ta- 
nah, dia melompat menerjang Dewa Sesat Pemetik 
Bunga. 

"Minggir, Melati!" 

Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa 
Arak mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor 
garuda menerkam mangsa, diserangnya Dewa Sesat 
Pemetik Bunga dengan sebuah sergapan. 

Dewa Sesat Pemetik Bunga terkejut bukan ke- 
palang. Padahal, saat itu dia baru saja menghindari se- 
rangan maut Melati. Sehingga, tidak ada lagi kesempa- 
tan baginya untuk mengelak. Terpaksa dipapaknya se- 
rangan yang dilancarkan Dewa Arak dengan sampokan 
kedua tangan. 

Prattt! 

"Aaakh...!" 

Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik kaget. Tu- 
buhnya terhuyung, dengan kedua tangan terasa sakit 
akibat benturan barusan. 

Hanya Dewa Sesat Pemetik Bunga seorang yang 
merasakan akibat benturan itu, karena bagi Dewa 
Arak benturan itu sama sekali tidak berpengaruh apa- 
apa. Bahkan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, 
Dewa Arak langsung menggenjotnya. Sehingga tubuh- 
nya kembali melenting. Hanya saja, kali ini arahnya 
tertuju ke arah Melati dan Wintari. 

"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak. 

Dan.... 

Tappp! Tappp! 

Secepat pergelangan tangan Melati dan Wintari 
tercekal, secepat itu pula dibawanya meninggalkan 
tempat itu. Pergelangan tangan Melati dicekal dengan 
tangan kanan, sedangkan Wintari dengan tangan kiri. 

Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik 
Bunga, serta semua anak buah gerombolan Raja Iblis 
Tanpa Tanding bergerak mengejar. Tapi baru juga be- 
berapa langkah.... 

"Tahan!" 

Seketika itu pula, semua ayunan langkah kaki 
terhenti, begitu tahu siapa orang yang membentak. 

Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tand- 
ing? 

"Biarkan mereka pergi," kata Raja Iblis Tanpa 
Tanding lagi. "Tak usah dikejar. Kita masih punya uru- 
san yang lebih penting." 

Begitu kata-katanya selesai, Raja Iblis Tanpa 
Tanding mengayunkan langkah meninggalkan tempat 
itu, diikuti Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman 
Pencabut Nyawa. Baru di belakang kedua orang ini 
rombongan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding lain- 
nya. 

k-k-k 

Sementara itu Dewa Arak terus berlari. Baru 
ketika diyakini telah jauh dan lawan tidak mengejar, 
larinya dihentikan. Lalu cekalannya pada tangan Win- 
tari dilepaskan. 

"Berbahaya sekali...," ucap pemuda berambut 
putih keperakan itu setelah menghembuskan napas 
berat. 

"Kau benar, Kang," sambut Melati. Gadis ber- 
pakaian putih ini juga telah menghentikan larinya. 
"Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan per- 
caya. Persekutuan tokoh aliran hitam dalam jumlah 
yang besar, pergi berbondong-bondong. Entah apa 
yang dicari." 

"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari- 
cari orang yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepu- 
luh," celetuk Wintari. 

"Mungkin kau benar, Wintari. Tapi, mengapa 
mereka pergi secara bergerombolan begitu? Menurut 
pemikiranku, seharusnya membuat kelompok- 
kelompok. Karena dengan cara seperti itu, buruan 
akan lebih mudah diketemukan," bantah Arya kurang 
setuju. 

Wintari langsung diam. Disadari adanya kebe- 
naran dalam ucapan Dewa Arak Melati pun terlihat 
mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui 
pendapat itu. 

"Lalu..., apa yang akan dikerjakan mereka?" 
tanya Wintari, ingin tahu. 

"Aku sendiri tidak tahu, Wintari. Tapi aku kha- 
watir keamanan dunia persilatan. Dengan jumlah se- 
banyak itu, dan dengan adanya Raja Iblis Tanpa Tand- 
ing dan datuk-datuk kaum sesat, gerombolan itu bisa 
berbuat banyak. Jelas, malapetaka akan timbul di ma- 
na-mana!" 

"Kau benar, Kang," sambut Melati membenar- 
kan. Dirasakan kekhawatiran kekasihnya mempunyai 
alasan kuat. 

"Kunci satu-satunya hanya pada Singa Hitam 
Tangan Sepuluh. Aku yakin, dia mengetahui rencana 
Raja Iblis Tanpa Tanding, sehingga dicari-cari." 

"Mungkin kau benar, Kang. Apakah tidak se- 
baiknya kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh?" 

Dewa Arak tersenyum sabar. 

"Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam be- 
nakku, Melati. Tapi, bagaimana dengan rombongan 
Raja Iblis Tanpa Tanding? Haruskah kita mencari Sin- 
ga Hitam Tangan Sepuluh, dan kita biarkan gerombo- 
lan Raja Iblis Tanpa Tanding merajalela?!" 

Kontan Melati menutup mulutnya dengan wa- 
jah memerah. Sungguh hal seperti itu sama sekali ti- 
dak dipikirkan. 

"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Kang?" 
tanya Melati, lirih dan putus asa. "Apa harus mengun- 
tit Raja Iblis Tanpa Tanding dan anak buahnya? Lalu, 
bagaimana dengan Wintari? Apakah dia ikut dengan 
kita?" 

Wajah Wintari kontan memerah mendengar 
ucapan Melati. Dirasakan adanya nada keberatan da- 
lam ucapan gadis berpakaian putih tadi. 

"Kalian tidak usah terlalu memikirkan. Aku bi- 
sa kembali sendiri. Toh, rumahku tak terlalu jauh dari 
sini. Terima kasih atas pertolongan kalian. Selamat 
tinggal!" 

Setelah terbata-bata mengucapkan kata-kata- 
nya Wintari berbalik, dan kemudian berlari meninggal- 
kan Dewa Arak dan Melati. 

Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam. 

"Wintari! Tunggu sebentar!" cegah pemuda be- 
rambut putih keperakan itu. 

Sementara, Melati hanya diam saja. Gadis ber- 
pakaian putih itu masih merasa bingung untuk mela- 
kukan tindakan tepat. 

"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya ketika me- 
lihat Wintari sama sekali tidak mempedulikan panggi- 
lannya dan terus berlari. 

Melati tidak langsung melaksanakan permin- 
taan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah 
Dewa Arak. Ada sorot keheranan di sana. 

"Mengapa harus mengejarnya?! Bukankah lebih 
baik demikian?" tandas Melati. Hatinya tiba-tiba panas 
terbakar cemburu melihat kekasihnya terlihat 
mengkhawatirkan keselamatan Wintari. 

"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Melati? 
Kau ingin pertolongan kita sia-sia? Bagaimana kalau 
dia bertemu gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding lagi? 
Percayalah, Melati. Wintari tidak akan lama bersama 
kita. Kita hanya akan mengantarkannya, hingga sela- 
mat ke rumah. Maukah mencegahnya pergi, Melati?" 

Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan pa- 
da Melati. Tapi Melati masih tetap diam. Meskipun ka- 
ta-kata Dewa Arak ada benarnya tapi perasaan cembu- 
ru membuatnya tidak langsung mengiyakan kata-kata 
Arya. 

Sambil berkata begitu, Arya mengulurkan tan- 
gannya membelai rambut Melati. 

"Huh! Kau memang paling pintar membujuk 
orang!" dengus Melati, pura-pura marah. Kemudian 
tubuhnya melesat mengejar Wintari yang sudah jauh. 

"Ha ha ha...!" 

Arya hanya tertawa dengan lunak. Dipandan- 
ginya punggung Melati yang telah berada beberapa 
tombak di depan.