Dewa Arak 53 - Penjarah Perawan



"Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmu 
menghilang. Kang?" sebuah suara lembut menguak 
keheningan malam yang sudah mendekati dini hari. 

Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaan 
tidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan. 
Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian 
putih, tengah menyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa. 
Tampaknya mereka tidak sedang tergesa- gesa. 

"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi 
kalau menurut pendapatku, tidak," jawab pemuda berpakaian 
ungu yang berambut putih keperakan seraya menoleh. 

Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidak 
memberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah, 
seperti tengah menghitung langkahnya. 

Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudi 
itu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak, 
dan Melati. Di bahu kanan Melati terpanggul tubuh seorang 
wanita berpakaian biru. Wanita itu adalah Trijati. (Untuk 
lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode Manusia 
Kelelawar'). 

"Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin dia 
bisa lenyap begitu saja. Kang?!" tanya Melati setelah 
beberapa saat tercenung. 

"Aku sendiri belum bisa menduganya. Melati," Arya 
mengangkat bahu. "Hhh.J Kalau nanti bertemu lagi, tak 
akan kubiarkan dia lolos!" 

"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudah 
sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati 
geram. 

Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan 
kekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya, 
suasana pun jadi hening. Yang terdengar hanya suara 
serangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkan 
langkah tanpa berkata-kata. Mendadak... 

"Kakang.J Lihat...!" seru Melati menudingkan jari 
telunjuknya ke depan. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya 
tanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan 
kekasihnya adalah serombongan orang yang tengah bergerak 
menuju ke arah mereka berdua. Sekali lihat, Arya dan Melati 
dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua 
puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor. 

"Apakah mereka orang-orang yang melakukan 
pengejaran terhadap penjahat keji itu. Kang?!" tanya Melati 
meminta kepastian. 

"Kurasa demikian. Melati," jawab Arya, "Bukankah 
berkat petunjuk mereka kita dapat menemukan penjahat keji 
itu?!" 

"Aku agak ragu. Kang. Tadi jumlah mereka tidak 
sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah 
Melati. 

"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak 
orang," jelas Arya. 

Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu 
menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan 
yang diajukan. Maka dengan berdiam diri, Arya dan Melati 
melanjutkan peijalanan. 

Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang 
tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan 
rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya 
mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya 
bertemu di tengah perjalanan. 

"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur 
penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan 
pada salah seorang di antara dua kakek yang berada di baris 
terdepan dalam rombongan yang cukup besar itu. 

Pandangan anggota rombongan itu serentak 
mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu 
menurunkan tubuh Trijati dari panggulannya. Maka orang- 
orang itu pun mengarahkan pandangannya pada Trijati yang 
masih tak sadarkan diri. 

"Benar," jawab orang yang ditanya sambil 
menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi 
besar dan terlihat angker karena kumis, jenggot, dan 
cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng 
Praja. 

"Terima kasih atas pertolonganmu. Anak Muda," ujar 
kakek berkumis melintang yang berdiri di sebelah Jayeng 
Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut. 

"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana. 
"Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong. 
Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan 
mempelai wanita." 

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut mengangguk- 
angguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya 
saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah 
cukup untuk mengetahui perasaan masing-masing. 

Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka 
sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil 
membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun 
Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin 
merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda- 
mudi itu. Arya dan Melati pasti membawa Trijati dengan 
kekerasan! 

Mungkinkah itu? Pertanyaan itu bergayut di benak 
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti 
Arya dan Melati telah berhasil mengalahkan Sangkala! 
Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya 
pasangan muda itu mampu mengalahkan Sangkala. Mereka 
saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak 
mampu menghalangi kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya 
dan Melati mampu? 


*** 

"Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri. 
Peijalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya 
ketika telah menyerahkan Trijati pada Jayeng Praja. 

"Ah! Mengapa terburu-buru. Anak Muda," ujar Ki 
Rawung. "Kalian berdua baru saja tiba. Tentu masih lelah. 
Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk 
beberapa hari?" 

"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja, 
"Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa 
memberikan balasan.'' 

'Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan 
ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat 
balasan," jelas Arya sopan tapi tegas. 

"Kami pun tidak menganggap kau memberikan 
pertolongan dengan pamrih. Anak Muda," lanjut Jayeng 
Praja cepat karena menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi..., 
maksud kami begini. Anak Muda. Hm.... Rasanya tidak 
pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah 
memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja." 

"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut. 

"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki 
Rawung. 

"Namaku Arya dan kawanku ini. Melati," balas Arya 
memperkenalkan diri. 

"Arya...." 

Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju 
Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu 
sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah 
mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut 
berhasil mengingatnya. 

"Arya...?! Rasanya aku pernah mendengar nama 
itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut 
menggantung ucapannya. 

"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa 
Arya mengakuinya. 

"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan 
seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat 
persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju 
Maut bersamaan. "Bukankah kau Dewa Arak...?!" 

Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena 
malu dan tidak enak. 

"Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...." 

"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau 
harus tinggal di desa ini dulu. Dewa Arak," potong Pendekar 
Tinju Maut yang memang mempunyai watak sangat terbuka. 
"Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami 
yakin kau akan berminat mendengarkannya. Sebab ini ada 
hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar! 
Bagaimana? Kau setuju?!" 

Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda 
itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat 
kemudian kepalanya dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju 
Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar 
persetujuan pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas 
kesediaanmu memenuhi ajakan kami. Dewa Arak," ujar 
Jayeng Praja gembira. 

"Lupakanlah, Ki." 

"Kalau demikian, mari ikut kami. Dewa Arak," lanjut 
Jayeng Praja. 

Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung 
bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak 
dari sebelumnya. Rombongan itu bertambah dua orang. Arya 
dan Melati. 


*** 

"Ki...." 

Arya membuka pembicaraan ketika dirinya. Melati, 
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan 
dua orang murid utama Perguruan Banteng Putih telah 
duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng 
Putih. 

"Ada apa. Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan 

Ucapan Arya memang ditujukan pada Ketua 
Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua 
yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui 
masalah yang akan dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng 
Praja. 

"Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa 
Arak hati-hati. 

"Tentu saja boleh. Dewa Arak," jawab Jayeng Praja 
cepat, "Dengan senang hati aku akan menjawabnya. Tapi..., 
tentu saja sebatas pengetahuanku...." 

"Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan," 
janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam peijalanan kami berdua 
menemukan beberapa mayat yang masih baru. Kalau tidak 
salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka 
mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama 
dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya 
kebetulan... atau memang ada hubungannya?" 

"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam 
Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta 
penegasan setelah termenung sejenak. 

"Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga 
mengetahui kejadian itu?" 

"Hhh.J" 

Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang 
beban yang mengganjal hatinya. 

"Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada 
hubungannya denganku. Dewa Arak. Mereka murid- 
muridku," kemudian dengan singkat tapi jelas. Ketua 
Perguruan Harimau Terbang itu menceritakan tentang usaha 
sampingan perguruan silat yang dikelolanya. 

"Jadi..., begitulah akhirnya. Dewa Arak. Putri 
saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya. 
Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang 
membunuhnya. Begitu pengakuannya," tutur Jayeng Praja 
mengakhiri kisahnya. 

'' Sangkala... ?!" Arya mengernyitkan kening. 

Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejar- 
kejarnya bernama Sangkala. 

"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama 
Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang 
memberikan j awaban. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. 

"Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati 
ikut berbicara. 

"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk 
Pendekar Tinju Maut, "Kami bukan penduduk sini. Tapi 
kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena 
mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan." 

"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini?!" Arya 
melanjutkan pertanyaan kekasihnya. 

"Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti, 
"Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng 
Putih." 

Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua 
kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan 
dengan penuh perhatian. Mereka tidak memotong hingga Ki 
Rawung menyelesaikan ceritanya. 

Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng 
Putih, murid-murid perguruan itu tampak beijaga-jaga. Sikap 
mereka sangat waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid- 
murid Perguruan Banteng Putih. Padahal saat itu suasana di 
persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas ke¬ 
pala memancarkan sinarnya dengan garang. 

Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan,
tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam 
Ketua Perguruan Banteng Putih tewas di tangan Sangkala. 
Baru tadi pagi mereka memakamkan nya. 

Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam 
menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih 
berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan 
Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda 
berwajah bopeng itu pasti akan terus merongrong hingga 
sakit hatinya terbalas. 

Karena itu mereka terus beijaga-jaga. Mata mereka 
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi 
kelihatannya keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan 
ada orang menyatroni Perguruan Banteng Putih. 

Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok 
manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak 
menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar 
kepalan tangan melesat masuk wilayah perguruan. Padahal, 
beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu adalah 
kelelawar! Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru 
sekaligus ketua membuat mereka tidak menyadari keanehan 
itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari? Maka 
leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala 
melaksanakan keinginannya. 

Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala. 
Dengan bentuknya yang kedi, pemuda itu tidak mengalami 
kesulitan memasuki setiap kamar melalui jendela. Baik yang 
terbuka lebar maupun yang terkuak sedikit. 

Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam 
ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala 
akhirnya menjumpai mangan yang dihuni Trijati. Kilatan 
aneh tampak pada sepasang mata kelelawar jadi-jadian itu 
melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya 
guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya 
cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati 
belum juga sadarkan diri. 

Bluppp! 

Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu 
berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis 
menyebar. 

Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati 
pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak 
membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngeijap pelan. 
Sepasang mata Trijati terbuka. Namun seketika itu pula 
membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat. 

Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan, 
Sangkala telah lebih dulu bertindak. J ari telunjuk kanannya 
ditudingkan! Dan.... 

Tukkk! 

Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung 
lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil 
menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang 
mulgizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'. 

Hehehe.J 

Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya 
berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, 
mengingat kesempatan yang tidak memungkinkan, 
dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar. 

Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu 
yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat 
bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan 
suara sedikit pun. 

"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan, 
"Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..." 

Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih 
Trijati. Dengan kasar dan buas diduminya wajah putri Ki 
Ageng Sera. Tidak hanya itu. Bagaikan bermata, kedua 
tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu 
persatu. 

Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas, 
Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati. 
Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa 
selembar benang pun menutupi. 

Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan 
Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat. 
Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas, 
kasar, dan penuh nafsu diciuminya juga leher Trijati, terus 
turun ke dada. 

Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar 
ada yang datang menolong. Tapi ada daya? Tidak ada sedikit 
pun suara keluar dari kerongkongannya. Karena takut dan 
ngeri akan bahaya yang tengah mengancam, Trijati menangis 
tanpa suara Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke 
hancuran hatinya. 




Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh 
ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk 
bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas. 
Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang 
beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali. 

Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh 
Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh, 
tanpa mempedulikan Trijati yang merasa dunia mendadak 
gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda 
kehancuran hati putri Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala 
tengah sibuk dengan pekerjaannya, pendengarannya yang 
tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati 
tempat itu. 

Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu 
kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi 
pemuda itu tidak berani menganggap remeh. J ika 
keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di 
situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka 
mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala 
tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, Sangkala buru- 
buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan 
tergesa-gesa. 

Kriiittt...! 

Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaian 
terdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun 
pintu kamar. 

Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada 
kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi. 
Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok 
tubuh kekar seorang pemuda. Ranjita! 

"Kau...! Keparat...!" 

Ranjita bukan main terkejutnya melihat 
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah 
Sangkala mengibaskan tangan kirinya. 

Wusss! 

Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah 
Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat 
itu putra Ki Rawung sedang tidak bersiap. Maka.... 

Desss! 

"Aaakh...!" 

Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita. 
Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar 
deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa 
Ranjita melayang ke alam baka. 

Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas. 
Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak 
menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala 
bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki 
watak keji! Dalam kedudukan seperti itu, masih sempat juga 
dikirimkan totokan jarakjauh ke arah Trijati. 

Cittt, tasss! 

Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah 
ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang. 

Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya! 

Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu. 
J eritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang 
lainnya, yang masih terlibat percakapan. Serempak mereka 
melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah yang tiba lebih 
dulu. 

Sekarang, begitu berada di ambang pintu dan melihat 
Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera 
dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan 
j arah jauh. 

Wusss! 

Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah 
Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut. 
Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa 
Arak. 

Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu 
dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga.... 

Blarrr! 

Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar 
terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan. 
Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa 
Arak terjengkang ke belakang. Demikian pula Sangkala. 
Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke 
depan menabrak sebagian jendela. 

Brakkk! 

Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar 
Trijati memang berada di lantai dua. 

Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di 
saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan 
Banteng Putih yang sudah mengetahui ada keributan di 
dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala 
dengan tusukan senjata. 

Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu 
dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan 
tangan dan kaki telanjang! 

Tak, tak, takkk! 

Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan 
kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh 
murid-murid Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke 
belakang dengan tangan terasa sakit. 

Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga 
benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian 
mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat 
meninggalkan tempat itu. Tentu saja murid-murid Perguruan 
Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka bergegas 
mengejar. 

Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak! 
Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya 
menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang 
Sangkala. 

Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja, 
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar. 
Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak 
maupun Sangkala, tapi tetap saja pengejaran terus dilakukan. 
Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya 
kecepatan larinya ditambah. 

Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika 
melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji 
itu tidak melesat ke depan? Pemuda berambut putih 
keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana 
lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang. 

Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih 
Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan. 
Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat 
yang kumuh karena jarang dibersihkan. Malah dibiarkan 
begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju! Masih berjarak 
beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah 
menghentakkan kedua tangannya. 

Wusss! Brakkk! 

Daun pintu gudang langsung hancur berantakan. 

Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu 
menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat. 

Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke 
dalam dan menyelinap! Dewa Arak tidak berani bertindak 
gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin 
Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda 
itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam 
gudang. Tapi sikap Dewa Arak sia-sia. Tidak teijadi hal-hal 
yang dikhawatirkan saat telah berada di dalam. 

"Hm...." 

Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi 
tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu 
sudah lama tidak terurus. Debu tebal memenuhi ruangan. 
Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut. 

Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya 
kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan 
kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak 
ada yang tinggi atau besar. J adi, tak ada yang dapat dijadikan 
tempat untuk bersembunyi. Demikian kesimpulan pemuda 
berambut putih keperakan itu. 

Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala 
berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali 
seperti sebelumnya! 

"Apa yang teijadi. Kang?" tanya Melati yang telah 
berada di belakang Arya. 

"Si keparat itu lenyap lagi. Melati," jawab Arya putus 
asa. 

Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di 
gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela 
tertutup rapat serta dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan 
tidak ada seorang pun yang telah keluar dari dalam gudang. 
"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut 
di benak Dewa Arak. 

"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja 
mengajukan pertanyaan. Sementara pandangannya 
diedarkan ke sekeliling mangan. 

Dewa Arak hanya mengangkat bahu. 

"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga 
telah tiba. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan, 
'Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?" 

"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu 
meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa 
menyembunyikan rasa takut dan ngeri yang mencekam 
hatinya. 

"Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak 
mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus 
dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak. 

Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung 
segera mengalihkan tatapannya. 

"Mengapa kau berpendapat demikian. Dewa Arak?" 
tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng 
Praja dan Ki Rawung menganggukkan kepala mendukung 
pertanyaan itu. 

Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam 
beberapa saat 

"Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat," 
ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama, 
berdasarkan pengalamanku sendiri ketika untuk pertama kali 
dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh. Kedua adalah 
sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan 
maksud-ku menggurui." 

"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu. Dewa 
Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti 
maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut. 

"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali 
Sangkala berhasil meloloskan diri dariku adalah ketika dia 
menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu rasanya 
tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat 
raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu 
digunakan? Tubuhnya tetap terlihat. J adi, kemungkinan dia 
menggunakan ilmu 'Halimun'." 

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya. 
Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, 
dan yang lainnya mengangguk-angguk membenarkan 
pendapatnya. 

"Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila 
Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam 
pertarungan. Dengan tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah 
baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut Arya. "Rasanya 
hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin 
lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'." 

"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan 
itu. Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut 

"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak 
membuat raga kita menghilang. Tapi hanya menipu 
pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang 
bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang 
lain tidak melihatnya. Jadi... bila Sangkala mempergunakan 
ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini! Apakah kalian 
semua yakin dia masih berada di sini?!" 

Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan. 
Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan 
orang-orang yang hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu 
pun memberikan tanggapan. 

"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia 
ada..., tentu kita akan diserangnya. Dengan keadaannya yang 
tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh kita satu 
persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya. 

Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali 
mengangguk-anggukkan kepala. 

"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa 
berada di kamar Trijati, Dewa Arak?! Padahal, penjagaan 
sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan cara yang 
wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara. 

Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak 
mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka 
mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan 
tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk 
juga? Itu yang tidak mereka mengerti. 

"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar 
Dewa Arak cepat, "Perlu kalian ketahui, menurut dugaanku 
kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke tempat ini 
dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa 
ditebak. Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat 
beragam. Banyak! Bahkan tidak terhitung. Banyak di 
antaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin 
mengajukan pertanyaan pada para penjaga. Apa kalian tidak 
melihat sesuatu selama beijaga-jaga. Apa saja, masuk akal 
maupun tidak!" 

Suasana langsung hening ketika Dewa Arak 
menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan 
Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkemyit 
mencoba mengingat-ingat 

"Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka 
yang bertubuh kedi kurus. Ucapan yang dikeluarkan 
setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke 
arahnya. 

"Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar. 

"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam 
sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak 
peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala. 
Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan 
Banteng Putih yang bernama Tambu. 

"Sosok hitam sebesar kepalan tangan?! Apa kau tidak 
melihat dengan lebih jelas, Tambu?" tanya Arya meminta 
penegasan. 

Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu 
untuk mengatakannya. 

"Katakanlah, Tambu. J angan ragu-ragu. Percayalah. 
Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna 
banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya," 
dukung Arya. 

"Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu. 
Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut 
memberi semangat. 

"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam 
itu terbang sangat cepat. Tapi, dari cara terbangnya bisa 
kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!" 

"Kelelawar?!" 

Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang 
yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati. 

"Apa kau tidak salah lihat, Tambu?!" sergah Ki 
Rawung. "Kelelawar? Di siang hari seperti ini?! Ah! Kurasa 
kau mengada-ada!" 

Seketika itu pula wajah Tambu merah padam 
menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan 
yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang. 

"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni 
Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu 
mungkin saja kelelawar. Sedang kemunculannya pada waktu 
yang tidak tepat karena binatang itu bukan kelelawar biasa. 
Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya. 

"Kau mempercayai keterangannya. Dewa Arak?" 
tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya. 

"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemudi 
berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alas an bagiku 
meragukannya, Ki. Bukti-bukti yang kutemukan cukup 
mendukung keterangan Tambu!" 

"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud. 
Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya. 

"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala, 
"Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik 
semak-semak dan pepohonan aku menemukan beberapa ekor 
kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan 
Sangkala. Kedua, lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan 
sendiri, hanya binatang kedi seperti kelelawar yang mampu 
melewati lubang kedi di atas pintu itu" 

Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja, 
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian, 
beberapa murid Perguruan Banteng Putih yang bertugas di 
bagian belakang angkat bicara. 

"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor 
kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak 
tahu kelelawar itu penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah 
kami sate dia!" geram lelaki bertahi lalat besar di pipi kanan. 

"Ah...! Benar demikian?!" tanya Arya penuh 
semangat. 

"Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil 
menganggukkan kepala. 

"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara 
Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun 
yang membocorkannya. Bila hal ini sampai terdengar 
Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa 
Arak mengingatkan. 

"Apa yang kau katakan benar. Dewa Arak. Lebih baik 
kita bersikap seolah-olah tidak mengetahui cara dia 
meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat 
kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan 
meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!" 
dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng?" 

"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi... 
kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus 
penjahat keji itu...." 

"Mengapa, Jayeng? tanya Pendekar Tinju Mau heran. 

"Hhh.J" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan 
tahu. Loka. Perguruanku tengah dilanda musibah. Aku harus 
kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar itu 
akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana 
jadinya...." 

Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa 
menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan 
Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahan- 
nahan kepergian Jayeng Praja. 

"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda 
dengan di perguruanku. Di sana kehadiran dan tenagaku 
sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini, 
sepuluh orang sepertiku pun sudah tidak berarti. Sekarang 
juga aku mohon diri kepada kalian semua...," usai berkata, 
Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. 
Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap 
kepergiannya. 

"Hhh.J" 

Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung 
yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di 
sini. Ranjita anakku, telah meninggal. Aku harus mengurus 
pemakamannya." 

"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih 
baik kita mengurusnya bersama-sama. Bukan hanya Ranjita 
yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun demikian. Biarlah 
aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus 
perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan." 

Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju 
Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan 
gudang. Tujuan mereka jelas. Tempat pemakaman. 




Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih, 
orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah 
dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni. 
Tampaknya Sangkala terluka. 

"Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah 
kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu" Desis 
Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu 
mengusap dadanya. Bagian itu terasa sesak akibat 
berbenturan pukulan j arak jauh dengan Dewa Arak. 

Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala 
berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa 
Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat 
mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan 
dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan. 

"Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan 
kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!" Desis 
Sangkala penuh dendam. 

"Hhh...!" 

Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya 
angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu. 
Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu 
dia sedang dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang 
dipimpin Ki Ageng Sora. 

Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut teijun 
ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita 
tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang 
dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa. 
Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya. 
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode "Manusia Kelelawar") 

Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala? 
Benarkah seperti yang diduga Ranjita? Benarkah Sangkala 
masuk ke dalam rongga di salah satu dinding danau? 

Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak 
keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena 
sengaja, tapi secara kebetulan! 

Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat 
keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala! 
Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala 
bertindak nekat. Tanpa kenal takut didekatinya lubang itu. 

Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak, 
tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah 
nekat dan lebih rela mati di danau itu tidak melakukan 
perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya tertarik ke 
lubang hingga masuk ke dalamnya. 

Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih 
dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka- 
lukanya tidak kuat bertahan. Dia pingsan! 

Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri. 
Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah 
ruangan berhawa lembab. Di dekatnya terdapat sebuah 
sumur yang airnya bergolak ke atas. 

Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik 
kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang 
bergolak ke atas itu. Sangkala memperhatikan keadaan 
sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling 
ruangan. 

"Akh.J" 

Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha 
bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang 
dideritanya. Ya! Pada empat bagian tubuhnya telah 
menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora. 

Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan 
pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng 
itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana. 
Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya? 
Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi? 

Rasa penasaran membuatnya memeriksa pung¬ 
gungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau- 
pisau yang menancap punggung kanan dan kirinya juga 
sudah tidak ada, vralaupun rasa sakit masih mendera. 
Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya 
tertarik ke rongga dinding danau kecil itu? Tanya Sangkala 
dalam hati. Atau ada kemungkinan lain? 

Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya 
dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian 
dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya. 

Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan 
tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur 
tubuh dan tenaga yang ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda 
itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih dan lebih 
mendekati merangkak daripada berjalan, Sangkala 
meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai 
memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar- 
benar mengejutkan! 

Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar. 
Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris 
tengah hampir satu tombak dan berjarak sekitar enam 
tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu 
besar dari luar. Besar dan tampak kokoh. 

Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan 
tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih 
kecil dari yang pertama menghubungkan ruangan tempat 
Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kedi, 
berbentuk persegi panjang. Ukurannya tak lebih dari tiga dua 
tombak. 

Tapi justru karena tempat yang kedi itu Sangkala 
terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang. 
Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap 
ke salah satu dinding ruangan itu. Pemandangan yang 
mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah 
kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua 
tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut. 

Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala 
mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat 
ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti 
milik seorang tokoh persilatan. Yang aneh, mengapa meski 
telah mati tengkoraknya tidak rubuh? Ini merupakan 
peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu 
sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas 
dalam keadaan seperti itu? 

Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan 
pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah 
ruangan dilihatnya guratan-guratan berbentuk tulisan. 

Perasaan ingin tahu membuat Sangkala 
mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya 
dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu. 
Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang 
berupa tulisan. Bekas murid Perguruan Banteng Putih itu 
sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu dibuat dengan jari 
tangan manusia! 

Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah 
menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi. 
Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk 
mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari 
batu keras itu. 

*** 

Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan 
yang tertera di dinding. 

Belasan tahun menanggung rindu 
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu 
Semua itu demi si dara ayu 
Yang menembakkan panah asmara di hatiku 
Harapan hanya tinggal angan 
Si dara ayu menolak pinangan 
Tak ada guna semua kepandaian 
Lebih baik kutemui kematian 

"Hhh...!" 

Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan 
itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang 
telah menjadi tengkorak itu. 

Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk 
menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang 
tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu 
patah hati. Putus asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul 
di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama benar dengan dirinya. 

Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak 
membuat Sangkala mengalihkan pandangan; ke arahnya. 
Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya 
dilangkahkan mendekat. 

"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru 
ingat akan dirinya sendiri. "Kau hidup sendirian. Tidak ada 
yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih tersiksa. 
Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan 
kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu." 

Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam 
ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang. 
Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah 
payah Sangkala melakukan sema itu. Keadaan dirinya 
memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di 
tempat itu keras bukan main. 

Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama 
terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu. 
Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya 
mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala 
kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang 
malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu. 

Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan 
ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya. 
Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak 
hati-hati sekali. Dicarinya bagian yang sekiranya tidak 
menimbulkan kerusakan bila kerangka itu diangkat. 

Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya, 
Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya 
kerangka itu dan diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu 
terangkat sedikit, tiba-tiba.... 

Grrrggghhh...! 

Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat 
dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar. 
Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian 
selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya 
ruangan itu terjadi karena bergesernya lantai ruangan 
sehingga terdpta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti 
kedi berwarna hitam dan berukir. 

Pemandangan yang terpampang di hadapannya 
membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu? 
Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak 
memikirkan lebih jauh. Diputuskannya untuk mengubur 
kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala 
memasukkan kerangka itu dengan hati-hati. 

Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari 
bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat 
peti hitam berada meluncur puluhan batang tombak! Bunyi 
mendesing nyaring mengiringi luncuran tombak-tombak 
hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya 
mengenai peti! 

"Ah...!" 

Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia 
bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil 
peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur 
sangkar dengan panjang sisi satu tombak itu dipenuhi 
luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh 
batang! Bagaimana dia bisa selamat? 

Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang 
tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan 
batu-batu dan tanah. Tak lupa dipasangnya sebuah batu 
berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala 
mengalihkan perhatian pada lubang tempat peti hitam 
berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena 
dipenuhi tancapan tombak. 

Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala. 
Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu. 
Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng 
itu melihat ujung tombak bersemu kehijauan pertanda 
mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya 
menjadi sasaran tombak-tombak itu. 

*** 

Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu 
berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi. 
Demikian pula peti kedi berukir itu. 

"Hhh.J" 

Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan 
sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah 
bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat 
itu keadaannya kurang menguntungkan. Tak heran bila dia 
dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak terlalu lama 
beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang, 
diputuskannya untuk meneruskan maksudnya. 

"Hih!" 

Jiiggg! 

Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil 
hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti 
itu, dan dibawanya naik ke atas. Apa isi peti kedi ini? 
Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya. 

Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak, 
Sangkala membukanya. Peti kedi itu ternyata tidak dikund. 
Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan. 

Klakkk! 

Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk 
lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala 
mengambil lembar pertama dan membacanya. 

Muridku... 

Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah 
menjadi muridku. Kuucapkan selamat! Karena kau akan 
mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya kau 
membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang 
kuberikan. Sekali lagi, selamat. 

Tertanda: Gurumu. 

Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti. 
Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat 
yang dipergunakan tokoh misterius itu. J ika tadi dia bersikap 
tidak peduli pada kerangka nya, pasti tidak akan menjadi 
murid tokoh itu. 

Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila 
dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu 
dia sampai terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah 
menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan 
mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya. 

Muridku.... 

Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu 
yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini 
kunamakan jurus 'Kelelawar'. Karena kuambil dan 
kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam 
mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh 
maupun calon korbannya. 

Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan 
belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa 
sehingga kau hanya membutuhkan waktu empat puluh satu 
hari untuk menguasainya. 

Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat 
puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk 
bersemadi sampai ajal menjemputku. 

Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa 
akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap 
kali lulus dari satu cobaan, kau akan mendapat ganjaran. 

Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku. 
Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu. 

Gurumu. 

Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran 
kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan 
dikembalikan ke tempat semula. 



Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang 
diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa. 
Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk 
bersila dengan punggung lurus. Tapi kedua tangan Sangkala 
tidak diletakkan di depan dada. Melainkan ditaruh di atas 
kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan 
seperti orang bersemadi. 

Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata 
bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala 
tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang. 

Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda 
berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti 
melihat jelas cobaan yang melanda. 

Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar 
tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah. 
Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main. 
Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadi- 
jadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar. 

Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah 
menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang 
yang mengucilkan kehidupannya membuat semangatnya 
berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu 
memutuskan tidak akan menyerah. 

Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran 
terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi, 
Sangkala terus bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu 
melanda, Sangkala tidak tahu. Yang dirasakan hanya satu, 
rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil dan 
padam sama sekali. 

Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama 
sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin 
puyuh datang dan menyergap Sangkala. Kemudian 
menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati. 

Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan 
tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat 
pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya, 
angin topan itu akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya 
angin topan, Sangkala merasakan dirinya berada di sebuah 
tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan bukit, 
gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya 
hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di 
atas tanah itu. 

Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa 
diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah 
berdiri seorang kakek bertubuh sedang berpakaian coklat. 
Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu 
gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua 
itu tertutup oleh keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh 
bopeng seperti bekas kena penyakit cacar! 

"Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat. 

Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian 
pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan 
milik manusia! 

Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi 
ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua 
bibirnya tidak bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu 
yang unik dan tidak masuk akal. Demikian pendapat 
Sangkala. 

"Mengapa bengong, Sangkala?!" tegur kakek bopeng 
tetap dengan nada dingin, "J angan membuang-buang waktu. 
Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap 
menerimanya?" 

"Si... siap. Guru!" 

Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi 
karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti 
orang demam. 

Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak 
mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala. 
Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan, 
langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus 
'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada 
lahirnya dia bertapa, tapi badan halus atau apa pun namanya 
tengah mendapat bimbingan gurunya. 

Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal 
selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras 
mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat 
mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun, 
ketika dirasakan Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar' 
dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata. 

"Sangkala...!" 

"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat. 

"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti 
waktu perpisahan telah tiba. Jagalah dirimu baik-baik, 
Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!" 
kakek berpakaian coklat yang selama ini telah 
membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan. 

Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan 
teijadi secepat ini tampak kaget bukan main, 

"Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan 
aku. Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!" 

Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya. 
Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri. 
Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek 
bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja 
tidak terlihat tanda-tanda gurunya akan muncul. 

"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala 
setengah putus asa. 

Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya 
dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap 
demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya 
telah pergi. Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya. 
Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian 
selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan 
mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat 
dia menemukan kerangka. Bahkan masih duduk tempat 
kerangka itu semula berada. 

"Ahhh...!" 

Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan 
ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua 
kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan 
benar-benar nyata? Benarkah dia telah mempelajari jurus 
'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun 
di sebuah tempat yang aneh? Tapi, mengapa sekarang dia 
berada di tempat ini? 

Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang 
semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian 
dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat. 
Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam 
waktu singkat. Apakah ini berarti tapanya telah selesai dan 
dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'? 

Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala 
untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu 
ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang 
berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu 
hawa yang berputar itu adalah tenaga dalam. 

"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?" 

Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin 
dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus 
'Kelelawar' dengan cara yang aneh? 

Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika 
melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak 
berdaging. Hanya tinggal tulang dibungkus kulit! 

Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu 
baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh 
satu hari hanya bertapa tanpa makan dan minum. Itu 
sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir 
dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya. 

Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin 
mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya 
seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu 
yang dapat dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari, 
tetap saja tidak diketemukan. Maka dengan terpaksa 
dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ. 

Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan 
rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu. 
Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara 
menghancurkan batu besar yang menutup lubang keluar 
ruangan itu. 


*** 


"Hhh...!" 

Sangkala menghela napas berat ketika teringat 
kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tunggang- 
langgang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu teijadi 
karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya. 

Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa 
Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan 
leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan 
tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih 
keperakan itu tidak sendiri, masih banyak kawan-kawannya 
yang lain. Kalau mereka semua turun tangan, pasti dia akan 
celaka. 

Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang 
lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu 
kalah. Sekarang pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka 
otaknya diputar mencari jalan keluar memecahkan masalah 
ini. 

Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai 
akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya 
sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa 
dia tidak? Ya! Dia harus mempunyai pengikut agar dapat 
mengimbangi kedudukan! 

Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi 
untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan 
lebih dulu. Memang, tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau 
meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid Perguruan 
Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya. 

*** 

Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk 
timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan 
sinar lembut ke bumi. Tiupan angin semilir, kicau burung, 
serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana pagi yang 
sejuk. 

Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang 
yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau 
Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok 
tubuh itu. Dua di antara mereka berpakaian kuning kentang 
dengan sulaman kepala seekor harimau di bagian dada kiri. 

Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau 
Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki 
setengah baya bertubuh kedi kurus dan berpakaian indah, 
didampingi dua orang bertubuh tinggi besar dan bertampang 
seram. 

"Sayang sekali. Tuan. Aku tidak bisa memberikan 
keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng 
Praja kembali," kata murid Perguruan Harimau Terbangyang 
berambut kemerahan. 

"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah 
dengan nada tinggi. "Aku harus menunggu?! Hey! Dengar 
baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan 
jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku 
bertindak sendiri !' 1 

"Keparat!" 

Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain 
menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia 
sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya 
yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya 
menyipitkan mata jika sedang marah. 

"Hehhh?! Kau berani memakiku?!" sergah lelaki 
berpakaian indah. Lelaki setengah baya itu adalah saudagar 
yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid 
Perguruan Harimau Terbang. 

"Bodong! Beri dia pelajaran!" 

Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi 
besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua 
tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu 
dilakukan sambil mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah 
murid Perguruan Harimau Terbangyang bermata sipit. 

Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa 
gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan 
hangat. Dia ikut melangkah maju. Hingga mereka saling 
mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan 
murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton. 

Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya. 

Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu 
menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau 
Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap 
sejenak dalam jarak satu tombak. 

Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang 
mata. Dan sesaat kemudian. Bodong membuka serangan 
dengan teriakan keras membahana. 

Wuttt! 

Angin menderu cukup keras ketika Bodong 
mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu 
hati! 

"Hmh!" 

Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus. 
Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan 
Bodong suatu ancaman yang membahayakan. 

"Hih!" 

Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu 
menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan 
tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan 
gerakan dari luar ke dalam! Maka, 

Takkk! 

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam 
tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung 
mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara 
lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah 
murid Perguruan Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong 
ternyata lebih unggul. J uga dalam kekuatan tulang 
tangannya. 

"Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari 
kelebihannya. "Sebentar lagi bukan tanganmu, tapi kepalamu 
yang akan kuhancurkan!" 

Usai berkata. Bodong melancarkan serangan bertubi- 
tubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang 
diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin 
membuktikan sesumbarnya. 

Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan 
tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan 
memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan 
tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara 
lain. 

Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan 
rencananya. 

"Hih!" 

Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat 
kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid 
Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata 
sipit itu melompat ke atas untuk mengelakkan serangan 
lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas, 
kakinya dijejakkan ke arah kepala Bodong. 

Wuttt! 

Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam. 
Lelaki tinggi besar itu tahu j ejakan kaki murid Perguruan 
Harimau Terbang bisa menghancurkan kepalanya. Maka 
buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan 
lompatan harimau. 

"Hup!" 

Dengan bertumpu pada kedua tangan. Bodong 
menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit 
dengan cepat. 

Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki 
kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan 
serangan susulan. Keduanya bertukar pandang sekilas 
dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak 
dapat dipandang ringan. 

Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang 
memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu 
saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan 
lagi. Kedua belah pihak tampak memiliki kemampuan 
seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang 
berlainan. 

Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan 
kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih 
unggul. Dan karena kedua belah pihak menyadari 
kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka 
pertarungan pun berlangsung seimbang. 




Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan 
sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum 
tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai 
pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi 
perubahan yang cukup menyolok. Orang yang menyaksikan 
jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan 
orang. Riuhnya bunyi pertarungan mengundang murid- 
murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk 
mendatangi tempat itu. 

"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan 
pernah berakhir," ujar murid Perguruan Harimau Terbang 
yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian, lelaki itu 
mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot 
tubuhnya melayang memasuki kancah pertarungan. Dan.... 

Jiiggg! 

Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot 
panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di 
tengah-tengah arena pertarungan. 

Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan 
tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong 
dan laki-laki bermata sipit tengah berjauhan. Agaknya dia 
telah memperhitungkan tindakannya. Keberadaan lelaki itu 
membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi. 

"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit 
terkejut. 

Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama 
Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab..., 

"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok?!" ejek 
Bodong. "Silakan! Silakan...! Jangan kalian kira aku akan 
gentar!" 

"Tutup mulutmu. Kerbau Goblok!" maki Subali 
geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong. 
"Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini 
sebelum hilangkesabaranku!" 

"Ha ha ha...!" 

Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa 
tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak 
memandang sebelah mata pun pada Subali. 

"Kau kira aku gampang ditakut-takuti?! Ho ho ho.J 
Kau keliru. Kambing Tua! J angankan hanya gertak sambal, 
ancaman maut sekalipun aku tidak gentar!" 

Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah 
Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat 
menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari 
mulutnya. 

"Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu 
kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. J angan salahkan aku 
j ika bertindak keras terhadapmu!'' 

"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik 
terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!" 

Diiringi teriakan keras. Bodong meluruk ke arah 
Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi- 
tubi ke arah dada lawan. 

Bet, bet, bet! 

Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya 
pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan 
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi! 

Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga 

serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki 
berjenggot panjang itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan 
ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Hasilnya memang 
jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa 
jari di sebelah kirinya. 

Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya 
diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan 
main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak. 

Dukkk! 

"Uh...!" 

Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke 
tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali. 
Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat 

*** 

Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan. 
Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian 
indah dan rekan Bodong yang sejak tadi hanya menonton. 

"Apa arti semua ini, J uragan Bilawa?" tanya Subali 
seraya menghampiri mereka. 

"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah 
laki-laki berpakaian indah. "Cepat beritahukan kedatanganku 
pada Jayeng Praj a!" 

"Sayang sekali, J uragan Bilawa! Guruku sedang tidak 
berada di tempat. Mari kita ke dalam dan membicarakan 
urusan ini!" 

"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di 
sini! Cepat, panggil Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia 
akan bertindak sepengecut ini! " seru Juragan Bilawa dengan 
suara semakin meninggi. 

Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang 
tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara 
mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala 
orang yang telah mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua 
perguruan mereka. 

Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena 
dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki beijenggot 
panjang itu tidak mau bertindak sembrono. Tangan kanannya 
segera diangkat untuk menenangkan rekan-rekannya. 

"Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali kata- 
katamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing 
buduk?!" ujar Subali dengan suara bergetar. 

J uragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan 
ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di 
dalam dada, diputuskan untuk sedikit menenangkan diri. 
Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali 

"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin 
berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan 
Jayeng Praja, ketuamu!" tandas J uragan Bilawa tetap dengan 
nada tinggi. 

"Harus berapa kali kukatakan padamu. Juragan 
Bilawa?! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku, 
murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus 
perguruan ini. Apa pun masalah pribadi guruku!" jelas Subali. 

"Hhh.J" 

J uragan Bilawa menghembuskan napas berat. 
Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan 
Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di 
tempatnya. 

Kelakuan J uragan Bilawa menjadi perhatian murid- 
murid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya. 
Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian..., 

"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang 
untuk mengetahui nasib putriku...." 

"Aku tidak mengerti maksudmu. Juragan Bilawa?" 
tanya Subali pura-pura tidak tahu. 

"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding 
Juragan Bilawa. "Aku datang kemari untuk menanyakan 
bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan 
putriku?! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang 
dituju?!" 

"Hhh.J" 

Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya 
lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus 
memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan 
semua yang diketahuinya tanpa ada yang disembunyikan. 

"Jadi... putriku belum ditemukan?! Ohhh.J" keluh 
Juragan Bilawa. Wajahnya pucat pasi, "Sutini..., apa yang 
terjadi dengan dirimu...?" 

Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam 
kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai 
perasaan. Dengan wajah beringas, pandangannya diedarkan 
berkeliling. 

"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal 
ini! Kalian harus bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!" 

Setelah mengeluarkan kata-kata itu, J uragan Bilawa 
membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu. 
Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil 
memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda. 
Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian 
kereta kuda yang bagus dan indah milik J uragan Bilawa. 
Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta 
hingga lenyap di kejauhan. 

"Hhh...!" 

Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu 
adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam 
kesulitan besar. Aku tidak yakin guru dapat menemukan 
putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin. 

Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid 
Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali, 
mereka merasa prihatin dengan musibah yang menimpa 
perguruannya. 

"Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan 
Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak teijadi sesuatu yang 
menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya. 

Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki 
memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya 
memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan 
Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan 
ucapannya. Nada ketidakyakman dapat ditangkap jelas dalam 
perkataannya. 

Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka 
membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin 
membuat mereka kehilangan semangat untuk berbicara. 

Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan 
Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan 
Bilawa selamat. Walau mereka tahu harapan itu sangat kedi. 
Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau 
Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda 
buruk. 

Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa, 
murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke 
tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hiruk- 
pikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi 
ketika pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang ditutup. 

*** 


"Hiya...! Hiyaaa...!" 

Ctarrr! 

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk 
memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan 
pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua 
Perguruan Harimau Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda 
hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya. 

Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena 
ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin 
segera menjelaskan permasalahan sebenarnya kepada 
Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan 
dilakukan orangtua Surini itu padanya. 

Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu 
kudanya seperti orang kurang waras. Peijalanan yang 
dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia 
telah keluar dari Desa Karang Gantung. Itu membuat 
semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah 
hutan kedi. Setelah itu. Desa Karang Awang akan 
dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada. 

Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya 
ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kedi. Hutan yang 
dikenal dengan nama Hutan Kapur. Meskipun di dalam 
hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya. 
Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna 
hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang 
ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak... 

Rrrttt! 

"Hieeeh.J" 

"Hey!" 

Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya 
terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua 
Perguruan Harimau Terbang itu pun ikut terjungkal ke 
depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah 
dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong 
tubuhnya. Dan.... 

"Hup!" 

Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan 
kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang 
sikap waspada. 

Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang 
tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya 
binatang itu mengalami luka yang cukup parah. 

"Paling tidak beberapa kakinya patah!" 

Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan. 
Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam 
itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin 
ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang 
seutas tambang. Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu 
diikatkan pada dua batang pohon yang mengapit jalan yang 
dilalui kuda Jayeng Praja. 

Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera 
mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di 
rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja 
ingin menghalangi perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan 
yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan pandangan ke 
arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di 
sekitar tempat itu. 

"Keluar kau. Pengecut! Jangan beraninya hanya 
bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terang- 
terangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke 
seluruh penjuru hutan. Ketua Perguruan Harimau Terbang 
itu mengerahkan tenaga dalamnya. 

Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da 
pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan. 
Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki 
perawakan dan raut wajah kasar. Begitu muncul, sosok-sosok 
kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam sekejap Jayeng 
Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan 
berkeliling menghitungjumlah mereka. 

Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati. 

Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud 
baik. Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap 
waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. 
Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak 
diinginkan. 

Tapi kelima belas orang kasar itu tidak 
menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan. 
Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat 
tingkah para pengepungnya. Mengapa mereka tidak 
menyerang? Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat 
jawabannya. 

"Ha ha ha...!" 

Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar 
tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki 
tenaga dalam yang sangat kuat. Dan sebelum gema tawa itu 
lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat. Tahu-tahu di 
belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok 
tubuh. 

"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng?! 
Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek 
sosok yang bam datang 

Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya 
yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular 
berwarna kuning coklat. 

"Ular Muka Kuning...! " desis Jayeng Praja kaget. 
Agaknya mengenal tokoh itu. 

Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala 
rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal 
itu yang menyebabkan setiap orang takut kepadanya. Tapi 
tindakannya yang keji dan telengas! Sepengetahuan Jayeng 
Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini. 
Mengapa dia berada di sini? 

"Mengapa, Jayeng? Kau kaget?!" tanya Ular Muka 
Kuning. Nada suaranya terdengar merendahkan lawan 
bicaranya. 

Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja 
terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang 
terkejut. Sepengetahuanku tempat ini tidak termasuk daerah 
j arahanmu." 




"Ha ha ha...!" 

Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh 
kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini 
memang bukan wilayahku. Aku juga tidak berminat menjarah 
daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang akan 
kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk 
miskin?!" 

"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di 
sini?" 

"Karena sebuah pekeijaan yang menjanjikan hadiah 
besar,'' j awab Ular Muka Kuning tenang. 

"Pekeijaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja 
mengernyitkan dahi. 

"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular 
Muka Kuning. "Apa kau tidak dapat menerka pekeijaan yang 
kumaksud?" 

Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap 
Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan, 
sudah dapat diperkirakan pekeijaan itu. Tapi, Jayeng Praja 
belum yakin. Benarkah pekeijaan itu ada hubungannya 
dengan dirinya? Kalau benar, mengapa? 

"Apakah pekeijaanmu ada hubungannya dengan 
diriku. Ular Muka Kuning?" 

"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka 
Kuning tertawa geli. "Bukan hanya berhubungan. Tapi 
memang menyangkut dirimu! Pekeijaan dengan imbalan 
besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu 
untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari 
muka bumi! Ha ha ha...!" 

"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata 
itu. 

"Kau kaget, Jayeng?" 

"Bukan hanya kaget. Ular Muka Kuning. Tapi juga 
heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak 
ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa 
saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu?!" 

'' Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai 
penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka 
Kuning. "Sebagai seorang pemilik jasa pengawalan, 
seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang 
telah memberi tugas! Apalagi bila yang menanyakan calon 
korban itu sendiri!" 

Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang 
tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning. 

"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan 
memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular 
Muka Kuning terdengar penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap 
dia!" 

Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang 
kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan 
pembicaraan itu langsung bertindak. 

Srat, srat! 

Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka 
Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata 
golok! 

"Uh!" 

Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang 
golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan 
memantul ke wajahnya. Sinarnya menyilaukan mata. Yang 
lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning 
membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar 
sang Surya mendarat tepat di wajah Jayeng Praja. 

"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!" 

Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera 
mengeluarkan perintah susulan. 

Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar 
yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat 
meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar 
teriakan-teriakan keras membahana. 

Singsingsing! 

Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu 
menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja. 

*** 

Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya 
dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari 
berbagai arah. Malah sebagian dari belakang, tempat yang tak 
teijangkau sepasang matanya. Kalau mengandalkan 
penglihatan saja, pasti dia akan celaka. 

Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat, 
Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata 
andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan. 
Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu 
dengan lainnya disambung dengan sebuah rantai baja. 
Jayeng Praja memutar senjatanya. 

Wuk, wuk, wuk! 

Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera 
terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua 
Perguruan Harimau Terbang itu. 

Trang, trang, trang! 

Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golok- 
golok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang 
ruyung. 

Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah 
Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa 
panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari 
genggaman. 

"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi 
lawanku adalah pimpinan kalian. Ular Muka Kuning," ucap 
Jayeng Praja penuh wibawa. Sambil memberikan peringatan, 
Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya. 

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan 
terlalu cepat berbangga diri, Jayeng! Asal kau tahu saja... itu 
belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru sebagian kedi dari 
kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan 
melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan 
julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan 
kemampuan kalian!" 

Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya, 
anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah 
bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng 
Praja tidak mengetahui dari mana asalnya. Yang jelas dari 
salah seorang di antara anggota gerombolan itu. 

Begitu bunyi siulan lenyap, teijadi perubahan besar 
dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota 
meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di 
depan Jayeng Praj a. 

Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai 
tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian, 
terlihat ada gerakan-gerakan dari para pengeroyoknya. Ketua 
Perguruan Harimau Terbang itu pun langsung waspada. 
Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja 
menghentikan tindakannya ketika mengetahui lawan- 
lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di depannya. 

Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, 
Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik 
pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari 
kedudukan yang dibentuk lawan-lawannya. Belasan orang 
kasar itu menyusun diri menjadi dua baris. 

Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama 
untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap 
kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu. 

"Haaat...!" 

Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit 
kemerahan, serangan perdana mereka meluncur. 

Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan 
anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menegang 
Jayeng Praja. Dari atas, golok yang tercekal diayunkan ke 
bagian tubuh atas lawan. 

"Hmh...!" 

Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk pe¬ 
nyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang 
dibanggakan Ular Muka Kuning?! Kalau benar, betapa picik 
pandangannya! 

Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya 
dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya! 
Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi 
keroyokan lawan. 

"Hih!" 

Wuttt! Trangngng! 

Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang 
ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan. 
Kemudian seperti sebelumnya pun teijadi. Tubuh tujuh 
anggota Gerombolan Ular Maut terj engkang ke belakang 
dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak 
bergeming sedikit pun. 

Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu 
berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu 
berasal dari delapan orang yang berada di baris kedua! 
Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka 
Kuning itu melancarkan serangan lewat bawah. Dengan 
bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh. 

Delapan anak buah Ular Muka Kuning bam bangkit 
berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula 
mereka melancarkan serangan. Yang lebih gila sebagian dari 
mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya melancarkan 
serangan ke bagian sekitar perut. 

Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main. 
Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali 
dengan serangan pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak 
mempunyai kesempatan untuk menangkis. Terpaksa dia 
melompat mundur menyelamatkan diri. 

Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau 
Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil 
dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, 
ketika Jayeng Praja belum sempat berbuat lebih jauh, 
serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang 
penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti. 

Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular 
Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata 
pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut 
memang sungguh luar biasa. Mereka mampu bekeija sama 
dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali 
pun tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan 
balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh 
menangkis. Yangjelas, dia terus dipaksa mundur! 

Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan 
seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya 
tinggal menunggu waktu. Sayang dirinya tidak mampu 
berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan 
padanya untuk memperbaiki diri. 

Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas 
Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah 
lanjut dan dari sejak jurus pertama terus dipaksa 
mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus 
ke tiga puluh tujuh.... 

Srat, sret! 

"Akh!" 

Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan 
lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet 
pahanya. 

Darah tampak merembas keluar dari bagian yang 
terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak 
terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang 
berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam 
bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa 
tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan. 

Buk, buk, buk! 

Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkang nya 
tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung- 
huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di tanah. 

"Cukup...!" 

Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng 
Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak 
mereka menghentikan gerakan. 

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah 
berada di dekat Jayeng Praja. "Bagaimana, Jayeng?! Apakah 
kau masih meragukan kemampuan anak buahku? Masih 
banyak kemampuan lain yang mereka miliki!" 

"Aku sudah kalah. Ular Muka Kuning! Mau bunuh? 
Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun. 
Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan. 

Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya 
terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka 
yang dideritanya cukup parah! 

"Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat 
melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang 
melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan. 

"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut. Ular 
Muka Kuning. Siapa orang yang telah menyuruhmu, sehingga 
kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja seraya 
tersenyum mengejek 

"Tutup mulutmu. Bangsat! Hih!" 

Tukkk! 

"Akh!" 

Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka 
Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang 
mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat! 
Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah 
mengalir keluar. 

Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi 
gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah, 
dipaksakan juga untuk mengulas senyum mengejek. 

"Perlu kau ketahui. Manusia Dungu!" lanjut Ular 
Muka Kuning dengan nada tinggi, "Aku adalah orang yang 
sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu 
hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu. 
Manusia Dungu?!'' 

Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng 
Praja untuk memberikan tanggapan. Ular Muka Kuning 
mengalihkan perhatian pada anak buahnya. 

"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular 
Maut itu penuh wibawa. 

Salah seorang anak buahnya segera mendekati 
Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua 
Perguruan Harimau Terbang untuk mencegah hal-hal yang 
tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas. 

"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata. Ular 
Muka Kuning mengayun langkah meninggalkan tempat itu. 
Diikuti semua anak buahnya. 

Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak 
ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata. 

*** 

Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang 
dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan 
dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar 
tegang. Dia merasa pasti tempat yang dituju rombongan Ular 
Muka Kuning adalah Perguruan Harimau Terbang! 

Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning 
memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang. 
Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah 
berada di luar bangunan perguruan. 

Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan 
mendatangi perguruannya? Jayeng Praja bertanya dalam 
hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang 
akan menarik perhatian murid-murid Perguruan Harimau 
Terbang? 

Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular 
Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan 
perguruan. Apakah ini tidak salah? Tindakan ini akan 
menyulut sebuah pertarungan! 

Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak 
beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka 
Kuning dan rombongannya berhasil memasuki Perguruan 
Harimau Terbang. 

Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada 
seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya? 
Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu 
menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang. 

Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus 
mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan. 
Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti. 

"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil?!" 
terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan 
Ular Muka Kuning. 

Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya 
menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng 
Praja mendengarnya. Sepasang alisnya tampak berkerut. 
Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan 
dan di mana. 

Meskipun demikian. Ketua Perguruan Harimau 
Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingat- 
ingat. Barangkali saja akan berhasil 

*** 

Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar 
tawa khas Ular Muka Kuning. 

"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja, 
tidak ada kata gagal bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!" 

"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga 
kau akan berhasil. Ular Muka Kuning," sambut pemilik suara 
pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja sebagai orang 
yang telah menyewa Ular Muka Kuning. 

"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau 
berikan. O... ya, Ludira! Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!" 
perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang 
memanggul Jayeng Praja. 

"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira 
melemparkan tubuh Jayeng Praja. 

Brukkk! 

Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng 
Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun 
tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya. 

Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di 
tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu 
berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata 
Jayeng Praja membelalak lebar. Tarikan wajahnya 
menyiratkan keterkejutan yang sangat 

"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja 
mengeluarkan kata-kata karena lidahnya mendadak kelu. 

"Benar, aku! Mengapa kaget?!" tanya si pemilik suara 
mengejek. 

Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi 
tenggorokannya yang mendadak kering. 

"Mengapa kau lakukan semua ini. Juragan Bilawa?! 
Apa artinya?!" terdengar jelas, nada penasaran dalam 
pertanyaan Ketua Perguruan Harimau Terbang. 

"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang 
yang menyewa rombongan Ular Muka Kuning, yang ternyata 
Juragan Bilawa. "Manaanakku?!" 

"Hhh...!" 

Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak 
disangka J uragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu. 

"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar 

J uragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata. 
"Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan 
orangtuaku datang menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu 
telah teijadi sesuatu atas dirinya!" 

Lelaki berpakaian indah itu menghentikan 
ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah 
cukup untuk membuatku sakit hati! Apalagi ketika kutahu 
kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah 
menyembunyikannya, Jayeng Praja!" 

"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat, 
"Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu. Juragan! 
Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku 
sedang mencari kepastiannya!" 

"Ooo.... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu... 
bagaimana hasilnya?!" 

Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu 
tercenung seperti sedang mempertimbangkan. 

"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya, 
Jayeng! Putriku tidak selamat kari?!" 

Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk 

"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti 
harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku, 
Jayeng! Tak akan kubiarkan kau hidup. Kau harus mati. 
Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya 
tinggal kau saja yang belum mendapat giliran. Semua 
muridmu telah ku binasakan!" 

' 'Apa?!" j erit Jayeng Praj a kaget. 

Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya 
begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan 
Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya. 
Dia tahu mengapa J uragan Bilawa dapat melakukan semua 
itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning. 

"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!" 

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, J uragan 
Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang 
leher Jayeng Praja! 

Wuttt! 

Crasss! 

"Aaakh...!" 

Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok 
Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu 
juga, nyawanya melayang ke alam baka. 

J uragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas. 
Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya. "Sutini..., 
tenanglah kau di alam baka. Dendammu telah berhasil 
kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan 
pandangan ke langit. 

Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal 
hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya 
telah meninggalkan tempat itu. 

*** 

"Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin 
Sangkala telah pergi dari sini" 

Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada 
di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat 
pemuda berambut putih keperakan itu duduk Melati, Ki 
Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar 
Tinju Maut tampak saling bertukar pandang. 

"Aku tidak yakin. Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju 
Maut "Memang beberapa hari ini tidak ada kejadian yang 
dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi tanda 
keadaan sudah aman." 

"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki," 
Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat 
yang sekiranya dijadikan persembunyian Sangkala telah kita 
periksa. Tapi tetap saja tidak kita temukan dirinya." 

Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya. 

"Aku tidak sependapat denganmu. Melati," Ki 
Rawung membela Pendekar Tinju Maut "Aku lebih condong 
pada pendapat Pendekar Tinju Maut" 

"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat 
yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya. 

"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut 
mengangguk 

"Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala 
tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali. 

Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung 
lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan. 
Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah 
menunggu j awaban. 

"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki 
Rawung memulai penjelasannya. "Aku yakin dia tidak 
menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang 
telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran 
pembalasan." 

Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya. 
Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat 
tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan 
mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan 
mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas. 

"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada 
semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit 
atinya yang paling besar hanya ditujukan pada empat orang! 
Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung. 

"Empat orang, Ki?!" akhirnya Melati tak kuat 
menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?" 

Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara 
empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati. 
Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa?!" 

Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih 
itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki?!" duga Melati 
agak ragu. 

"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan 
yang satunya Ki Ageng Sora." 

Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah 
mengetahui siapa Ki Ageng Sora. J uga Sangkala. Ki Rawung 
telah menceritakan semua kejadian itu. 

"Lalu... yang dua lagi, Ki?!" desak Melati. 

"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung 
menunjuk dadanya. 

"Ah...!" 

Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati. 
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki 
Rawung termasuk orang yang diincar Sangkala. Berbeda 
dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa 
kaget sedikit pun. Dia telah mendengar cerita itu sebelumnya 
dari Ki Ageng Sora. 

Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa 
Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum 
aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala 
hanya karena menunggu kesempatan? Tak adakah 
kemungkinan lain? 

"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin 
dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu 
kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa 
hari? Rasanya dugaan ini kurang masuk akal!" ujar Arya. 

Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung. 
Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang 
menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang 
rasanya hampir tidak masuk akal. 

"Kau mempunyai dugaan lain. Dewa Arak?!" tanya 
Pendekar Tinju Maut. 

"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala. 

"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya. 
Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung. 

Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya. 
Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang 
tepat. 

"Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa 
kuperidrakan besarnya keinginan Sangkala untuk 
melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun 
menurutku sebagian kedi dipengaruhi dendam. Tapi, 
kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak 
yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat 
untuknya. Karena itu, dia bermain kudng-kudngan. Sangkala 
melakukan siasat menyerang lalu lari." 

Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar 
Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin 
mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya. 

"Sekarang aku mengerti. Dewa Arak," potong 
Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya. 
"Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror 
Sangkala karena dia sedang mencari tambahan kekuatan! 
Bukankah begitu maksudmu. Dewa Arak?!" 

"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin 
Sangkala tengah mencari pengikut. Tapi, mudah-mudahan 
saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan 
ucapannya ketika melihat seorang murid Perguruan Banteng 
Putih bergegas masuk 

"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik. 

"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...." 

"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang 
menuju kemari!" 

Serentak semua orang yang hadir saling 
berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki 
Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya 
dipotong Bongara langsung terlupa. 

"Sangkala?!" desis Ki Rawung, "Terang-terangan?!" 

"Benar, Ki," Bongara mengangguk 

"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara 
terbuka...." 

"Sangkala tidak datang sendirian, Ki." 

"Maksudmu..?!" 

Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa 
Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara 
tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu, 
tahu-tahu Sangkala telah muncul dengan membawa 
rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan? 

"Dia datang bersama serombongan orang-orang 
wajah kasar, Ki. J umlah mereka tak kurang dari lima puluh 
orang. Kulihat sebagian di antara mereka berpakaian kulit 
ular," j elas Bongara. 

"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut?!" celetuk 
Pendekar Tinju Maut. 

"Gerombolan Ular Maut?!" ulang Dewa Arak seraya 
mengarahkan tatapannya pada Pendekar Tinju Maut 

"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin 
seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning 
julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut 

"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus 
bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan," 
sambil berkata. Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar. 
Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ. 

"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya. 
Pendekar Tinju Maut menyempatkan diri menyapa Arya. 

"Ada apa, Ki?!" tanya pemuda berambut putih 
keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki. 

'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk 
bagi pihak kita?!" 

Dewa Arak menganggukkan kepala. 

"Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu, 
"Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia 
merasa pihaknya lebih unggul. Kurasa sikap yang 
ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar 
perkiraanku. Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?! Mencari 
bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan? Rasanya 
sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali 
menghadapi mereka, Ki!" 

"Aku dapat menyediakan bala bantuan itu. Dewa 
Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin 
rekan-rekanku telah tiba. Maaf, aku lupa 
memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku 
dan beberapa kawan segolongan mempunyai sebuah 
gagasan." 

Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya 
sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam 
tokoh golongan putih. Mengenai pemimpinnya belum 
dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang 
memang seharusnya aku pergi ke sana. Tapi, dengan 
kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan 
maksudku." 

"Benar demikian, Ki?!" Dewa Arak memekik gembira. 
Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau 
boleh kutahu, di mana tempat berkumpulnya?" 

"Legakan hatimu. Dewa Arak. Tempat mereka 
berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas 
di dalam Hutan Kawung." 

"Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi 
mereka, Ki?! Kurasa tidak mungkin jika kau harus 
mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari." 

"Memang tidak. Dewa Arak. Aku tinggal melepas 
sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah...! Aku 
sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti. 
Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada 
mereka." 

Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah 
busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak 
panah kecil tergenggam di tangannya. Tanpa menunggu lebih 
lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anak-anak panah 
itu pada tali busur. Dan.... 

Twang, twang, twang...! 

Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anak- 
anak panah itu meluncur ke angkasa. 

Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun teijadi. 
Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong 
anak panah itu habis, muncul bunga api berwarna-warni. 

Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan 
Pendekar Tinju Maut Tapi berkali-kali dengan selang waktu 
tertentu. Saat itulah Dewa Arak memerintahkan Bongara 
untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera 
melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk 
mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak 
tinggal diam. Mereka ikut maju. 

Di saat semua orang yang berada di Perguruan 
Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah 
lapang luas yang terletak di dalam hutan pun teijadi 
kegemparan. Itu teijadi ketika salah satu dari belasan orang 
yang ada di situ menunjukkan jarinya ke angkasa. 

"Aneh...! Apa yang teijadi? Mengapa di langit sana 
berperdkan bunga-bunga api beraneka warna?! Sepertinya... 
bunga api itu merupakan isyarat..." 

Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah 
menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula 
duduk bersila membentuk lingkaran. Sementara tak jauh dari 
tempat mereka terpancang obor- obor di tiang-tiang kayu. 

"Ah!" 

Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut 

gendut. 

"Kau lihat itu. Pedang Kilat?!" tanya kakek berperut 
gendut menudingkan jari telunjuknya. 




Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnya 
mempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan 
pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu 
pula wajahnya berubah. 

"Gajah kedi! Bukankah itu isyarat meminta bantuan. 
Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia 
berada dalam bahaya. Kita harus cepat menolongnya. Kau 
bisa menebak dari mana arahnya?!" 

Kakek gendut yang beijuluk Gajah Kedi mengang¬ 
gukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah, 
dari Desa Kawung!" jawab Gajah Kedi mantap. 

"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan 
Pendekar Tinju Maut!" ajak Pendekar Pedang Kilat penuh 
semangat 

"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan. 
Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam 
bahaya. Ayo!" 

Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silat 
aliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian 
rombongan itu, dengan dipimpin Gajah Kedi dan Pendekar 
Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju Desa Kawung. 

*** 

Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kedi yang 
melihat perdkan bunga api berwarna-warni di angkasa. 
Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian? 

"Apa arti semua itu. Ular Muka Kuning?!" tanya 
Sangkala tidak mengerti. 

"Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular Muka 
Kuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si 
pelepas isyarat. Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untuk 
menyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti 
permintaan bantuan." 

"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau 
begitu, itu isyarat untuk meminta bantuan. Aku yakin! Asal 
tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng Putih!" 

"Kalau demikian, kita harus bergegas. Ketua!" sergah 
seorang lelaki berkulit hitam kelam. Pakaian yang terbuat 
dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya. "Sebelum bala 
bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng 
Putih." 

"Kau benar. Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala. 
"Usulmu bagus. Mari kita bergegas!" 

Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatan 
kembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari 
pemimpinnya. 

Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkan 
pengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rom¬ 
bongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada 
di bawah pimpinan Buaya Kulit Besi. Jumlah anak buah 
Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka 
Kuning. 

Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Tak 
berapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih 
telah terlihat. Ini membuat semangat Sangkala dan 
rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan 
teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu 
menyerbu. 

Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan 
hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang 
dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki 
Rawung. 

Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh 
langsung memilih lawan-lawannya. Dewa Arak bertemu 
dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan 
Pendekar Tinju Maut berhadapan dengan Ular Muka Kuning. 
Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang 
dibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok 
dan bajak sungai. 

"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusia 
keji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak 
lantang. 

"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku. 
Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang 
tidak ada lagi orang yang akan menghalangiku untuk 
melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut 
Sangkala tak kalah garang. 

Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan. 
Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya 
jurus 'Kelelawar' andalannya. 

"Hih!" 

Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkala 
melayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh 
meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan 
itu! 

Cit, cit, dt! 

Bunyi mencidt terdengar seiring meluncurnya 
serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi 
itu tidak hanya keluar karena jari-jari tangan Sangkala yang 
merobek udara. Tapi juga berasal dari mulutnya. Inilah dri 
khas penggunaan jurus 'Kelelawar' 

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah 
dirasakannya kepandaian Sangkala. J angankan terkena 
langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk 
melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagian 
yang mematikan seperti lehernya! 

Itu sebabnya. Dewa Arak segera melompat ke 
samping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang 
tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di 
saat serangan itu tiba. Dewa Arak sudah tidak berada di 
tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu sedang 
melayang di udara. 

"Hup!" 

Dengan bertumpu pada kedua tangan. Dewa Arak 
menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan 
dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri 

Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci 
dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu 
diambil dari pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas.... 

Gluk.... Gluk.... Gluk...! 

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melalui 
tenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa 
hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan 
merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak 
tidak menapak dengan mantap di tanah. 

Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda 
berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang 
remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap 
dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali 
meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sana 
kemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan 
tangan kanan ke pelipis Dewa Arak. 

Wusss! 

Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya 
lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi 
karena Dewa Arak menarik mundur kakinya dengan gerakan 
seperti orang mau jatuh. 

Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala 
cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak 
berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu. 

Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu 
sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan 
lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan. 
Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah 
dapat dipastikan nyawa Dewa Arak melayang ke alam baka. 

Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan 
kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun, 
punggungnya ditekuk ke belakang sampai bagian pinggang ke 
atas mendatar. Maka, tusukan tangan Sangkala menggapai 
angin beberapa jari di atas dada Dewa Arak! 

Dan sebelum Sangkala sempat bertindak. Dewa Arak 
telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itu 
dikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya 
dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu. 

Wuttt! 

"Hehhh?!" 

Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya 
dalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan 
serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan 
Dewa Arak mampu menghancurkan tulang-tulang dadanya. 

Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidak 
mampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba- 
tiba dan tidak disangka-sangka. Ditambah dengan jaraknya 
yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat itu sanggup 
menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah 
dipecundangi. 

Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan 
kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu 
membuat serangan Dewa Arak tidak berhasil mendarat di 
tempat yang semestinya. 

Jiiggg! 

Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya di 
tanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya. 
Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap 
kemudian. Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibat 
pertarungan sengit. 


* * * 

Pertarungan yang berlangsung bukan saja antara 
Dewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh 
rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung 
saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga 
cukup untuk menampung mereka. Padahal, beberapa 
kelompok yang bertarung. 

Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling 
menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan 
Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak 
seimbang. Meskipun menarik untuk disaksikan. 

Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi 
terlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkan 
senjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang 
Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit 
Besi dengan tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus- 
menerus didesak dan dihimpit. Padahal, pertarungan belum 
sampai lima belas jurus! 

Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar Tinju 
Maut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga 
pertarungan Dewa Arak, pertarungan kedua tokoh tua 
berbeda aliran ini pun berlangsung seimbang. 

Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-murid 
Perguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi 
berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora. 
Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih 
banyak, bahkan lebih dua kali lipat, mereka terdesak hebat. 
Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan. 

Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas 
jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas 
beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu 
pun hasil kerja keras Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak 
lama lagi murid-murid Perguruan Banteng Putih dan Ki 
Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat. 

Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesak 
hebat oleh Melati memanggil anak buahnya. 

"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku! 
Betina ini alot juga...!" 

Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolan 
bajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian 
teijun ke dalam kancah pertarungan Melati. 

Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu 
Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati 
menghentikan desakannya. Gadis berpakaian putih itu 
terpaksa melakukannya. 

Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas. 
Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan 
bajak sungai langsung melancarkan serangan ke Melati 
dengan senjata di tangan. 

Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai, 
pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah 
lagi. Sekarang pimpinan bajak sungai dapat melancarkan 
serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi. 

Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng 
Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya, 
meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena 
Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik. 

Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit 
Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan keija 
sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan 
kancah pertarungan, mereka menggunakannya. 

Hasilnya memang luar biasa! Murid-murid 
Perguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki 
Rawung pun tidak mampu. J adi, kepergian anak buah Buaya 
Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Murid-murid Perguruan 
Banteng Putih tetap terdesak hebat. 

Bahkan sekarang keadaan jauh lebih 
mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu. 
Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng 
Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba 
untuk mengeluarkan lolong kematian. 

"Aaa...!" 

Untuk yang kesekian kali seorang murid Perguruan 
\
Banteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak 
buah Ular Muka Kuning menebas batang lehernya hingga 
putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi 
persada. 

Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram 
bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka 
teijun ke dalam kancah pertarungan itu. Tapi apa daya? 
Mereka sendiri sedang beijuang keras agar tidak mati konyol 
di tangan lawan. 

Di antara ketiga orang itu. Pendekar Tinju Mautlah 
yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan 
membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan 
pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning. 
Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga.... 

Bukkk! 

"Akh...!" 

Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketika 
pukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya. 

Tubuh lelaki tua itu teij engkang ke belakang. 

"Terimalah kematianmu. Tua Bangka!" seru Ular 
Muka Kuning seraya melompat menegang lawan yang masih 
terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada Pendekar 
Tinju Maut. 

Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia 
memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka. 
Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk 
mengelak maupun menangkis. 

Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari 
kepungan lawan. Dan selagi tubuhnya melayang, tangan 
kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah 
Membuang Mustika' 

Wusss! Bresss! 

"Aaakh...!" 

Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular Muka 
Kuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan 
telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan 
telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika! 

Memang mengenaskan sekali kematian Ular Muka 
Kuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka 
dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya 
untuk mengelak. Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas 
mengerikan! 

"Ketua...!" 

Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putih 
langsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh 
ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh 
lawan-lawannya. 

Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut 
meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar Tinju 
Maut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan. 
Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid 
Perguruan Banteng Putih ikut ambil bagian. 

Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaat 
kemudian. Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kedi, dan 
rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera 
teijun ke dalam kancah pertarungan. 

Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat. 
Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut. 
Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya Kulit 
Besi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi. 

Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri dari 
tokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar 
Tinju Maut. Jumlah mereka pun cukup banyak. Dengan 
mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan 
perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan Ular 
Maut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, de¬ 
ngan cerdik membuat mereka terpisah-pisah. Kemudian 
dengan mudah mereka dirobohkan. 

Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti. 
Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah. 
Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari 
mereka tewas. 

Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan 
senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata 
suara itu dikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak 
sungai itu tewas dengan tulang dada hancur terkena 
tendangan Melati. 

Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi. 
Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih 
berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatap 
jalannya pertarungan tanpa berkedip. 

"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan. 
Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa 
syukurnya. 

"Lupakanlah," sahut Gajah Kedi tanpa mengalihkan 
pandangan dari pertarungan. 

Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahu 
hanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan. 
Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari 
Dewa Arak tidak akan mungkin dapat dikalahkan. Telah 
seratus lima puluh jurus berlalu. Dewa Arak tetap tidak dapat 
didesak. Bahkan dia yang mulai berhasil dijepit lawan. 

Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat 
lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu 
memutuskan untuk kabur. Namun sayang kesempatan itu 
tidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin 
didapatkan bila tidak dia sendiri yang membuatnya. 

Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat. 
Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada 
lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk 
mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatan 
melarikan diri. 

Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapi 
melompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda 
berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan 
kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap 
membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu 
menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya 
mengelakkan serangan lawan. Tapi.... 

Plakkk! 

"Ukh!" 

Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkan 
Sangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga. 
Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak. 

Jiiggg! 

Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa 
Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah. 

"Hhh.J" 

Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarang 
perasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam 
dada. Sumpahnya pada Sutini telah ditunaikan. Dia tidak 
mempunyai hutang lagi. 

"Kakang...!" 

Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuat 
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya 
Melati, kekasihnya, tersenyum. Arya balas tersenyum. 

Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan 
berkokok. Tak lama lagi sang Surya akan muncul di ufuk 
timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Kabut di Bukit Gondang