Dewa Arak 57 - Perguruan Kera Emas(1)



"Hm..., harumnya...! Aku yakin masakanmu ini nikmat, Kang," ucap seorang gadis 
berpakaian putih sambil mengertibang-kempiskan hidung. Wajahnya yang cantik jelita, laksana 
bidadari dari khayangan. 

Sosok yang ditegur gadis berpakaian putih, ternyata seorang pemuda tampan Wajahnya 
yang memperlihatkan kejantanan, menoleh seraya tersenyum. Pakaian lengan panjang berwarna 
ungu yang membalut tubuh kekar itu, tampak sangat mencolok dengan rambut putih keperakan di 
kepalanya. Semua itu makin memperjelas kematangan pemuda tampan itu. 

"Jangan terlalu yakin, Melati," sambut pemuda berambut putih keperakan itu tetap dengan 
senyumnya yang menawan. 'Walaubaunya nikmat, bisa saja rasanya tidak enak..." 

"Aku yakin, Kang! Aku yakin masakanmu nikmat," ujar gadis cantik berambut panjang itu, 
yang ternyata bernama Melati. Suaranya kali ini lebih keras dan penuh tekanan. Tampak jelas 
adanya kepercayaan yang dalam pada ucapan gadis itu. 

Kini Melati mengalihkan matanya, melihat potongan-potongan daging ayam di tangan 
pemuda berambut putih keperakan itu. Daging ayam itu ditusuk kayu-kayu runcing dan diputar- 
putar di atas onggokanbara api. 

Bau daging ayam panggang yang telah matang itulah penyebab keluarnya pujian dari mulut 
Melati. Hidungnya menangkap rasa nikmat daging yang telah mulai berubah kecoklatan itn 

Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya Buana atau lebih dikenal dengan 
julukan Dewa Arak ini, masih membolak-balikkan potongan potongan ayam itu di atas bara api. 

"Nah, Melati! Sekarang boleh kau buktikan dugaanmn Dan... bersiap-siaplah untuk 
kecewa!" ujar Arya seraya menyodorkan satu tusuk kepada Melati yang berjongkok di sampingnya. 

"Kau ini selalu saja merendah, Kang! Hm..., ayam ini pasti nikmat!" ujar Melati seraya 
menyambut daging panggang itu. 

Kemudian setelah membiarkan potongan ayam panggang itu tertiup angin, sehingga tak 
terlalu panas, Melati mendekatkannya ke mulut dan menggigitnya. Lalu, pelan-pelan dikunyahnya. 

Semua tingkah Melati diperhatikan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu belum 
mencicipi masakannya. Dibiarkan Melati yang mencobanya lebih dulu. Ingin didengar apa 
tanggapan kekasihnya setelah merasakan ayam panggangnya. 

"Bagaimana, Melati?" tanya Arya, seperti tak sabar menunggu ucapan kekasihnya. Karena 
dilihatnya Melati telah menelan bagian yang digigitnya. 

Melati seakan-akan tak mendengar pertanyaan Dewa Arak. Dibiarkan saja kekasihnya itu 
dalam ketidaksabaran. Sambil menyembunyikan senyum, mulutnya kembali menggigit panggang 
ayam yang masih hangat itu. 

"Hm..., krukkk!" karuan saja hal itu membuat Arya penasaran Tidak mendengarkah 
Melati? Mustahil! Arya yakin ucapan yang dikeluarkannya cukup keras untuk didengar! 

"Bagaimana, Melati? Enak?" 

Pertanyaan kali ini dikeluarkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya. 

"Hi hi hik...!" 

Tidak juga terdengar jawaban. Melati hanya tertawa mengikik, terpingkal-pingkal seakan- 
akan merasa geli sekali. Hal itu terlihat dari tubuhnya yang sampai terbungkuk-bungkuk! 

Mendengar tawa panjang itu, Dewa Arak langsung sadar kalau dirinya telah menjadi 
korban permainan Melati. Gadis itu pasti telah mempermainkannya! Arya hafal betul dengan sikap 
kekasihnya. 

"Rupanya kau telah mempermainkanku, Melati. Sekarang, cepat katakan padaku! 
Bagaimana? Tidak enak, kan?!" 

"Enak! Enak sekali, Kang!" jawab Melati seraya memasang wajah sungguh-sungguh. Itu 
pun masih ditambah lagi dengan acungan ibu jari tangannya. 

Namun, Melati tiba-tiba merasa keheranan melihat sikap Arya. Dilihatnya wajah pemuda 
berambut putih keperakan itu menunjukkan keterkejutan, tapi tanpa suara dari mulutnya. Sebagai 



seorang yang telah bergaul lama, Melati tahu ada sesuatu yang menyebabkan kekasihnya bersikap 
demikian. 

"Mengapa, Kang? Ada apa?" tanya Melati, penuh rasa ingin tahu. 

"Tadi..., sepertinya kudengar ada suara jeritan menyayat. Tapi sekarang sudah tak 
terdengar lagi. Apa telingaku salah dengar?!" ujar Dewa Arak dengan kening agak berkerut. 

Melati langsung terdiam setelah mendengar jawaban Dewa Arak. Lalu, gadis berpakaian 
putih itu segera memasang pendengarannya. 

"Aaakh.J" 

Jeritan menyayat hati itu kembali terdengar. 

"Heh...! Kau benar, Kang! Ada sesuatu yang tengah terjadi. Kita harus bertindak!" 
terdengar mantap dan penuh semangat ucapan Melati. 

"Mari, kita ke sana!" ajak Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu. Ayam panggangnya 
ditancapkan di tanah. 

Melati pun melakukan hal yang sama. Namun, sebelum itu disempatkan untuk menggigit 
lagi ayam panggang itu. Kemudian, dengan mulut mengunyah masakan itu, tubuhnya melesat 
mengikuti Dewa Arak. 

Dengan berpatokan pada jeritan yang mereka dengar, Dewa Arak dan Melati melesat 
menuju tempat asal suara. Pasangan pendekar muda itu harus menempuh jalan setapak yang licin 
dan berkelok-kelok. Saat itu keduanya memang tengah berada di atas lereng sebuah bukit. 
Sehingga perjalanan itu membutuhkan kehati-hatian yang cukup. Sekali terpeleset, mereka akan 
terpelanting ke jurang yang cukup dalam. 

Cukup lama Dewa Arak dan Melati harus melalui jalan menurun dan berbahaya, sebelum 
akhirnya sampai di bagian tanah datar berumput pendek yang membentang luas. 

Pasangan pendekar muda itu tak perlu membuang-buang waktu untuk mencari. Karena 
begitu mencapai tempat itu keduanya segera melihat apa yang mereka cari. 

"Hhh...! Biadab!" dengus Dewa Arak dan Melati hampir bersamaan. Kemudian dengan sikap 
waspada, keduanya bergerak menghampiri. Tampaknya pasangan pendekar muda itu bersiap-siap 
menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan. 

Pemandangan yang terpampang memang cukup menggiriskan hati. Di atas jalan berumput 
tampak bergelimpangan mayat-mayat manusia bercampur beberapa ekor kuda yang telah terkapar 
berlumuran darah. Dua kuda tampak masih terikat dengan keretanya. Sungguh menggiriskan! 

•k'k'k 


Arya dan Melati berjongkok untuk dapat melihat lebih jelas sosok-sosok tubuh berlumuran 
darah itu. Di samping untuk mengenali, keduanya berharap ada di antara mereka yang masih 
hidup. 

Dewa Arak dan Melati memeriksa sosok-sosok tubuh itu satu persatu. Setiap kali mereka 
memeriksa, tampak keduanya menahan napas, menghindari bau amis darah, kemudian 
menghembuskannya kuat-kuat. Ternyata semua telah tewas. Dan di antara mayat itu ada yang 
terpenggal lehernya hingga putus. 

"Mereka berasal dari perguruan yang sama," ujar Dewa Arak bernada keluh seraya bangkit 
ber-diri. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. 

"Kukira juga demikian, Kang." 

Sambil bangkit berdiri, Melati mengajukan pendapatnya yang membenarkan pernyataan 
Dewa Arak. 

"Apakah kau tahu, perguruan yang mempunyai tanda seperti itu, Melati?" 

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dilayangkan pandangannya ke arah dada 
kiri salah satu mayat. Tampak sebuah tanda tertera di dada kiri mayat berlumur darah itu. Sebuah 
gambar kepala seekor kera yang disulam dengan benang emas. Sehingga tampak sangat mencolok 
di atas kain hitam pakaian mayat lelaki itu. 

"Tidak, Kang." sahutMelati seraya menggeleng perlahan. Matanya belum beralih dari 
gambar kepala kera itu. 



"Yang menjadi pertanyaan, apakah isi kereta kuda ini. Kalau tidak karena membawa 
sesuatu, tak mungkin kereta itu diikutsertakan," ujar Dewa Arak mencoba menduga-duga. 

"Hm.„, kurasa kereta itu berisi sesuatu, Kang?! Mungkin orang-orang itu bertugas 
mengawalnya," timpal Melati. "Rasanya kalau bukan karena sesuatu yang sangat penting dan 
menempuh perjalanan cukup jauh, tak akan mungkin perlu pengawal sebanyak ini, Kang." 

Arya mengernyitkan dahi. Dirasakan ucapan Melati benar. Jumlah mayat yang 
kemungkinan besar sebagai pengawal berjumlah sembilan orang berikut kusir kereta. 

Ketika tengah berpikir keras begitu, tiba-tiba Dewa Arak mendengar adanya bunyi langkah- 
langkah kaki. Dari bunyinya yang semakin keras, bisa diketahui kalau pemilik langkah itu tengah 
menuju ke tempat mereka. 

"Bersiap-siaplah, Melati! Sebentar lagi, akan muncul orang hebat di sini," ujar Dewa Arak 
memberitahukan Melati dengan suara lirih. 

Melati menoleh. Wajahnya tampak berubah seketika, mendengar ucapan Dewa Arak. 

"Aku belum mendengar bunyi apa pun, Kang," sahut Melati, dengan suara berbisik pula. 

"Oleh karena itu berhari-hatilah! Orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. 
Bersikaplah biasa saja! Ingat, bukan tak mungkin kalau orang ini pelaku semua kekejian itu," 
Dewa Arak terus memperingatkan Melati yang sama sekali belum mendengar suara itu. 

Melati menganggukkan kepala. Tampak keningnya berkerut. Kepalanya perlahan-lahan 
ditelengkan seakan hendak memastikan pendengaran terhadap suara yang dikatakan Dewa Arak. 

Ternyata benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Beberapa saat kemudian, telinga Melati 
pun telah mendengar suara langkah itu, disusul dengan munculnya sesosok bayangan kuning 
melangkah mendekat 

Pemilik langkah itu ternyata seorang pemuda tampan berpakaian kuning. Kulit wajahnya 
yang putih semakin memperlihatkan bentuk alis yang tebal dan hitam. Ketika sampai di dekat 
mayat-mayat yang bergelimpangan, mendadak langkahnya beihenti. Sepasang matanya terbelalak 
menatap pemandangan menggiriskan di hadapannya. 

Seperti juga Dewa Arak dan Melati, pemuda berpakaian kuning itu larut dalam perasaan 
kagetnya. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran, kakinya dilangkahkan mendekati mayat-mayat 
itu. 

"Hah....?!" 

Seruan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian kuning, ketika melihat tanda yang 
tertera di bagian dada kiri pakaian mayat-mayat itu. 

"Biadab!" makian geram terdengar. Pemuda berpakaian kuning itu segera melayangkan 
pandangan pada Dewa Arak dan Melati yang masih berdiri di dekat mayat-mayat itu. 

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Meskipun pemuda berpakaian kuning itu tak 
meneruskan pernyataannya, sepasang pendekar muda ini tahu, kalau mereka telah dituduh sebagai 
pelaku pembunuhan keji itu. 

Menyadari jika kesalahpahaman ini dibiarkan akan mengkhawatirkan, Dewa Arak 
memutuskan untuk menjelaskan masalahnya. Maka buru-buru disunggingkan sebentuk senyum di 
bibirnya. 

"Tenang, Kisanak! Kami bukan pelaku pembunuhan keji ini. Seperti juga kau, sewaktu 
kami tiba keadaan sudah seperti ini. Dan." 

"Tutup mulutmu, Bangsat!" bentak pemuda berpakaian kuning itu sebelum Dewa Arak 
sempat menyelesaikan ucapannya, "Jangan harap bisa membohongiku! Kau harus menerima 
ganjaran atas tindakan kejimu ini! Hiyaaat...!" 

Pemuda berpakaian kuning itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah lengkingan seraya 
bergerak hendak melancarkan serangan kepada Dewa Arak. Kemudian dengan begitu cepat 
tubuhnya telah melompat. Lesatan cepat itu disertai dengan gerakan tangannya yang telah 
membuka dengan jemari membentuk cakar. Laksana harimau lapar sosok berpakaian kuning itu 
berkelebat 

Wuttt! 





Deru angin keras mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menjadi pertanda kalau serangan 
itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang tidak sembarangan, Dewa Arak rupanya menyadari 
kedahsyatan serangan lawan. Maka dia tidak bertindak gegabah. 

"Hih!" 

Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak bergerak cepat ke samping kanan dengan lompatan 
harimau. Dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan cepat terus mengelakkan 
serangan lawan 

Tindakan Dewa Arak ternyata tak sia-sia. Serangan cepat yang dilancarkan pemuda 
berpakaian kuning itu kandas. 

"Hup!" 

Bersamaan dengan kembalinya kedudukan Dewa Arak, pemuda berpakaian kuning itu 
telah mendaratkan kaki. Dan secepat itu pula pemuda itu telah kembali siap melancarkan serangan 
susulan. 

Tentu saja Dewa Arak mengetahuinya. Maka buru-buru pemuda berambut putih keperakan 
ini mengulurkan kedua tangannya untuk mencegah. 

"Tahan dulu, Kisanak! Kau salah menuduh orang. Kamibukan...." 

"Haaat...!" 

Teriakan keras pemuda berpakaian kuning itu membuat Dewa Arak menghentikan 
ucapannya. Pemuda beralis tebal itu telah melancarkan serangan dengan sebuah tendangan 
terbang! 

Wuttt! 

"Hhh...!" 

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Disadari, kalau pemuda berpakaian kuning itu tak bisa 
ditenangkan lagi. Jadi, tidak ada gunanya lagi diberikan penjelasan. Sia-sia! Hanya ada satu 
pilihan bagi Dewa Arak kalau tetap ingin memberikan penjelasan. Robohkan dulu, setelah itu baru 
diberi penjelasan 

Dewa Arak mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan. Itulah sebabnya, kali ini 
dirinya tidak mengelakkan serangan lawan, melainkan berupaya melakukan gerakan untuk 
memapaknya. 

Sebenarnya, menangkis tendangan terbang, apalagi dari seorang yang ulung, merupakah 
tindakan berbahaya! Masalahnya, dengan siasat seperti itu kekuatan serangan berlipat karena 
ditambah tenaga luncuran! 

Bukan hanya itu saja. Apabila serangan kaki yang satu berhasil dipapak, masih ada kaki 
lainnya yang dapat dipergunakan untuk menyerang. Dalam jarak yang demikian dekat serangan 
susulan itu sangat berbahaya! 

Meskipun tahu hal itu, Dewa Arak tetap bersikeras memapaknya. Ditunggunya hingga 
serangan itu menyambar dekat Benar, ketika serangan itu sampai, kedua tangannya diangkat ke 
depan wajah, sambil mengerahkan hampir seperempat kekuatan tenaga dalamnya. Dan..., 

"Hiaaa.J" 

Plakkk! 

Suara keras seperti benturan dua logam terdengar, ketika tangan dan kaki yang sama-sama 
dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu. 

Tubuh Dewa Arak tampak tak bergeming sedikit pun. Padahal, dirinya berada pada pihak 
yang kurang menguntungkan. Dari sini dapat diketahui kalau tenaga yang dikerahkannya cukup 
untuk mengatasi tenaga lawan! 

Namun, serangan pemuda berpakaian kuning ternyata tak hanya terhenti sampai di situ. 
Setelah kaki kanan tertangkis, dan membuat luncurannya tertahan, kaki kirinya langsung 
disabetkan ke dada Dewa Arak. 

Namun serangan susulan itu telah diduga sebelumnya oleh Dewa Arak. Sehingga meskipun 
gerakan itu datang begitu cepat dirinya telah mempersiapkan tangkisan. 

Takkk! 

"Hih...!" 



Untuk kedua kalinya benturan keras terjadi. Serangan susulan lewat kaki kiri pemuda 
berpakaian kuning itu kandas. Dengan cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, memanfaatkan 
tenaga dorongan akibat benturan tadi. Dan setelah bersalto bebe-rapa kali di udara kedua kakinya 
meluncur dengan manis ke bawah. 

Jliggg! 

Laksana daun kering, pemuda berpakaian kuning mendaratkan kedua kakinya di tanah. 
Tidak ada halangan sama sekali baginya melakukan hal itu, karena Dewa Arak tak menggunakan 
kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya 
berdiam diri di tempatnya, bersikap menunggu. 

Pemuda berpakaian kuning menggeram karena tersinggung. Dianggapnya Dewa Arak 
memandang remeh dirinya dengan tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan 
serangan. 

"Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Aku belum kalah!" dengus pemuda berpakaian 
kuning keras. Lalu.... 

Srattt! 

Tiba-tiba pemuda berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di pinggangnya. 
Seberkas cahaya putih berkilatan keluar dari senjata tajam itu. 

Wuk! Wuk! Wuk! 

Deru angin yang menyakitkan telinga langsung terdengar, ketika pemuda berpakaian 
kuning itu memutar-mutarkan goloknya. Satu gerakan yang luar biasa. Karena gerakan yang 
begitu cepat, golok bagaikan lenyap. Yang tampak hanya cahaya putih yang melingkar di seputar 
tubuh pemuda berpakaian kuning itu. 

"Keluarkan senjatamu, Keparat!" seru pemuda berpakaian kuning, ditengah kesibukannya 
memutar-mutarkan golok. 

"Hm.„!" 

Dewa Arak menggumam mengisyaratkan rasa kagum terhadap pertunjukan ilmu golok 
lawan. Dan penyakitnya sebagai seorang ahli silat pun muncul, ingin menguji kepandaian pemuda 
berpakaian kuning itu. 

Tampak Dewa Arak mengedarkan pandangan ke tanah, seakan-akan ada sesuatu yang 
dicarinya. Benar, matanya langsung berbinar ketika melihat sebatang ranting sebesar ibu jari kaki 
di dekatnya. Kayu yang panjangnya hampir sedepa itu segera dipunggutnya. 

Kemudian Dewa Arak melintangkan ranting itu di depan dada. 

"Inilah senjataku, Kisanak," ucap Dewa Arak, tanpa bermaksud menyombongkan diri. 

"Sombong!" pemuda berpakaian kuning memekik keras, dengan suara bergetar karena 
perasaan marahnya. Tindakan Dewa Arak itu dianggapnya sebagai sikap meremehkan lawan. "Kau 
telah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Jangan salahkan kalau akhirnya kau mampus 
di tanganku karena kesombonganmu! Hiyaaat...!" 

Pemuda berpakaian kuning melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika tubuhnya telah 
berada di udara, di atas lawan, goloknya langsung dibabatkan ke leher Dewa Arak. 

Dewa Arak tentu saja tak ingin kepalanya terpisah dari tubuh karena serangan lawan. 
Dengan cepat ditariknya kaki kanan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. 

Wuttt! 

Golok pemuda berpakaian kuning menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari 
sasaran. 

Namun, sebelum pemuda berpakaian kuning kembali mengirimkan serangan lanjutan, 
Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Kayu kecil di tangannya ditusukkan ke leher lawan. 

"Hea...!" 

Wuttt! 

"Heh!" 

Tampaknya pemuda berpakaian kuning tak berani bertindak sembarangan. Dirinya tahu 
meskipun yang dipergunakan lawan hanya sebatang ranting, tak kalah ampuh dari senjata golok 
atau pedang. Kalau sampai kayu itu mengenai sasaran, bukan tak mungkin nyawa lawan akan 
melayang. 



Tanpa menunggu lebih lama, segera ditangkisnya serangan itu dengan sarung golok yang 
tergenggam di tangan kiri. Dikerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu dengan harapan 
dapat mematahkan senjata lawan Pemuda berpakaian kuning itu tahu, senjata Dewa Arak tidak 
bisa dibandingkan dengan sarung goloknya yang terbuat dari bahan pilihan. 





Trakkk! 

"Akh.J" 

Pemuda berpakaian kuning itu terpekik. Benturan yang terjadi membuat tangannya 
kesemutan. Kenyataan ini sungguh di luar dugaan. Hatinya benar-benar terkejut, hingga tanpa 
sadar melontarkan jeritan tertahan. 

Bukan hal itu saja yang membuatnya kaget bukan kepalang. Ranting kayu di tangan Dewa 
Arak tetap utuh. Padahal menurut dugaannya kayu itu pasti akan hancur kalau tersambar sarung 
goloknya. 

Namun, pemuda berpakaian kuning tak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun perasaan 
itu. Hal itu karena serangan lawan tidak terhenti sampai di situ saja. Setelah tusukan ranting 
kayunya terpapas dengan cepat dibelokkan dan langsung meluncur ke pelipis. 

Serangan yang dilakukan Dewa Arak benar-benar diluar dugaan. Begitu cepat dan susul- 
menyusul laksana ombak samudera. 

Pemuda berpakaian kuning sadar kalau kedudukannya sangat mengkhawatirkan. Kalau 
tidak cepat-cepat memperbaiki kedudukan, bukan tak mungkin dirinya akan tewas di tangan 
pemuda berambut putih keperakan itu. Diputuskan untuk melakukan tindakan penyelamatan 
secepat mungkin. Maka... 

Wuttt! 

Trakkk! 

Dengan secepat kilat golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak 
serangan lawan Benturan keras pun terjadi. 

"Hih!" 

Dengan memanfaatkan tenaga dari benturan itu, pemuda berpakaian kuning melempar 
tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Dan sebagai penjagaan atas serangan 
lanjutan, goloknya diputar cepat sehingga tampak membungkus seluruh tubuhnya. Sehingga ke 
mana pun serangan diarahkan, akan berbenturan dengan golok! 

Tindakan penyelamatan yang dilakukan pemuda berpakaian kuning ternyata tak sia-sia. 
Dewa Arak pun tampaknya menyadari rapatnya pertahanan itu sehingga mengurungkan serangan 
yang akan dilancarkan. Sehingga kalaupun tetap melakukan serangan, pasti akan terpapas putaran 
golok lawan. 

"Hih!" 

Jiiggg. 

Dengan ringan pemuda berpakaian kuning itu mendarat. Kemudian dengan cepat 
disilangkan goloknya di depan dada siap menghadapi serangan lawan. 

Sementara itu Melati yang menyaksikan pertarungan dari jarak sekitar sepuluh tombak 
tampak tersenyum kecut. Ada rasa geli dalam hatinya melihat sang Kekasih bertingkah aneh 
dengan memilih senjata berupa sebatang kayu kecil. 

Dewa Arak tampaknya tak ingin membuang-buang waktu percuma. Dengan cepat tubuhnya 
bergerak meluruk melakukan serangan. Senjata istimewa di tangannya diputar siap memburu 
tubuh lawan 

Pemuda berpakaian kuning pun tak tinggal diam. Dengan kedudukan mantap disambutnya 
terjangan Dewa Arak. Tak terelakkan lagi, pertarungan seru berlangsung kembali. 

Diam-diam pemuda berpakaian kuning itu mengeluh dalam hati. Sama sekali tak disangka 
kalau lawannya akan selihai ini. Meskipun hanya bersenjatakan sebatang kayu serangan- 
serangannya dahsyat, begitu cepat, dan susul-menyusul laksana gelombang laut! 

Pemuda berpakaian kuning itu tidak tahu kalau Dewa Arak menggunakan ilmu warisan 
ayahnya, 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga'. Bagi tokoh yang memiliki kemampuan tinggi seperti 
Dewa Arak bukan merupakan hal yang sulit untuk merubah sedikit dan mencoba menyesuaikannya 
dengan senjata yang dipergunakan. 




Secepat kilat, golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak serangan 
ranting Dewa Arak. 

Wurtt! 

Trakkk! 

"Akh...!" Pemuda berpakaian kuning terpekik. Benturan yang terjadi membuat tangannya 
kesemutan, dan benar-benar terkejut! 



Beberapa kali pemuda berpakaian kuning itu tampak tercengang, melihat serangan yang 
dilancarkan lawan 

Hebatnya, penyesuaian yang dilakukan Dewa Arak tak sampai mengurangi kedahsyatnya 
dan ciri utama 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga' yang menekankan pada gerakan untuk melakukan 
penyerangan. Tak aneh kalau pemuda berpakaian kuning itu tampak kelabakan karenanya. 
Serangan yang meluncur bagai tak pernah habis, membuatnya terus bergerak mundur. 

Semula pemuda berpakaian kuning merasa mendapat keuntungan dari senjata yang 
dipergunakan lawanya. Menurut perhitungannya, dengan mudah senjata Dewa Arak akan dapat 
dihancurkannya. Namun, harapan tinggal harapan. Beberapa kali telah terjadi benturan antara 
ranting kayu Dewa Arak dengan golok pusakanya. Dan ternyata senjata istimewa lawan tidak 
patah! 

Semua dapat terjadi karena kecerdikan Dewa Arak. Setiap kali senjatanya menghadapi 
benturan dengan golok lawan, dirinya menggunakan tenaga lembutnya. Dewa Arak berusaha 
menghindari pengerahan tenaga yang kuat. Sehingga tak terjadi beradunya tenaga keras dengan 
keras. Dengan taktik inilah, keutuhan senjatanya bisa dipertahankan. 

Pertarungan satu lawan satu itu tampak semakin seru. Beberapa kali serangan keduanya 
yang melesat membentur tanah, hingga berhamburan. Bahkan banyak rumput yang terpapas 
akibat sambaran angin serangan kedua tokoh sakti itu. Suara berdesing, teriakan keduanya, dan 
benturan senjata, seakan-akan hendak memecahkan suasana sepi lembah itu. 

Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat, hanya dalam waktu 
sebentar, pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama itu, pemuda berpakaian 
kuning terus-menerus didesak mundur. 

Pertarungan yang telah bergeser menjauh dari tempat semula tetap tak lepas dari 
perhatian Melati. Dari jarak sekitar tiga puluh tombak mata gadis cantik berambut panjang itu 
terus mengawasi jalannya pertarungan. Seakan-akan dirinya tidak ingin kehilangan satu jurus pun 
yang tengah mereka keluarkan. Padahal pertarungan itu berjalan begitu cepat. Sehingga kedua 
pemuda itu tampak seperti dua bayangan kuning dan ungu yang saling berkelebatan. Namun 
dengan jelas mata Melati melihat, kalau sang Kekasih mampu mendesak pertahanan lawan. 
Sehingga, cepat atau lambat pemuda berpakaian kuning itu pasti akan roboh. 

Perkiraan Melati memang beralasan. Kedudukan pemuda berpakaian kuning tampak 
semakin terjepit. 

"Hiaaa.J" 

"Heaaa...!" 

Pada jurus keenam puluh tiga, Dewa Arak melancarkan tusukan mengarah ke ulu hati 
lawan. Melihat serangan cepat itu, tanpa membuang waktu, pemuda berpakaian kuning segera 
menggerakkan golok untuk menangkis. 

Wuttt! 

Trakkk! 

Begitu tertangkis, ranting kayu di tangan Dewa Arak, berputar. Lalu dengan kecepatan 
tinggi senjata aneh itu meluncur ke ubun-ubun pemuda berpakaian kuning! 

Pemuda berpakaian kuning itu terkejut bukan kepalang. Terlihat jelas betapa wajahnya 
gugup. Meskipun demikian, pemuda tampan beralis tebal itu masih sanggup mempertunjukkan 
kalau dirinya tidak semudah itu dapat dipecundangi. Dengan cepat dirundukkan tubuhnya. 
"Halts.J" 

Wuttt! 

Ternyata gerakan Dewa Arak hanya merupakan serangan tipuan untuk mengalihkan 
perhatian lawan dari serangan yang sebenarnya. Babatan ranting itu tak berlanjut. Sebaliknya kaki 
kanan Dewa Arak dengan cepat bergerak menyapu. 

"Haaa...!" 

Dnkkk! 

"Ak b !” 

Pemuda berpakaian kuning terpekik kesakitan, ketika tendangan Dewa Arak mendarat 
telak di perutnya. Seketika itu tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh terlentang di 



rerumputan. Dan sebelum dirinya sempat bangkit, ujung senjata Dewa Arak telah menempel di 
ubun-ubunnya. Sekali saja ranting kayu itu dihentakkan pasti amblas di kepala lawan Dan 
melayanglah nyawanya! 

"Tunggu apa lagi, Biadab...?! Ayo, bunuhlah aku! Kau kira aku takut mati?!" ujar pemuda 
berpakaian kuning, lantang. Tak nampak adanya perasaan gentar, sekalipun maut telah berada di 
depan mata. 

"Siapa yang ingin membunuhmu, Kisanak?" jawab Dewa Arak, kalem, "Aku tahu kau salah 
paham. Dengar, bukan aku atau kawanku yang telah melakukan kekejian ini." 

"Mana ada maling ngaku?!" sahut pemuda berpakaian kuning, seraya menyunggingkan 
senyum sinis. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat. Disadari tak ada gunanya lagi memberikan penjelasan. 
Pemuda berpakaian kuning itu terlalu keras kepala. Mungkin amarahnya akan meluap dan Dewa 
Arak akan kesalahan tangan. 

Dewa Arak tak ingin hal itu terjadi. Maka segera ditariknya kembali ranting itu. Kemudian, 
tanpa menggerakkan sedikit pun jemari tangannya dihancurkan ranting kayu itu. Lalu dibalikkan 
tubuhnya menghampiri Melati yang tengah melangkah mendekatinya. 

"Keparat! Mengapa tak kau bunuh aku, Bangsat?! Kau kira aku takut mati?! Ayo, bunuh 
aku!" teriak pemuda berpakaian kuning kalap bercampur heran melihat lawan malah 
meninggalkan dirinya. 

Dewa Arak tak mempedulikan caci-maki itu. Tanpa menoleh kakinya terus melangkah 
meninggalkan pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat pemuda berpakaian kuning semakin kalap, 
karena merasa diremehkan sekali. Dengan cepat tubuhnya bangkit berdiri sambil menyambar 
goloknya. Apa yang bakal dilakukannya kalau bukan hendak membokong Dewa Arak dengan 
senjata tajam itu. 

Namun sebelum hal itu dilakukannya.... 

"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Melati dengan suara keras, karena tak mampu 
menahan kemarahan, "Hai, Manusia Berotak Udang...! Kau tahu, siapa yang telah kau tuduh dan 
caci-maki dengan mulutmu yang kotor itu?!" 

Pemuda berpakaian kuning langsung tersentak, mendengar bentakan keras Melati. Sama 
sekali tak diduga kalau yang menjadi kalap karena makian dan tindakannya justru gadis cantik itu. 
Bukan pemuda berambut keperakan yang telah mengalahkannya! 

"Sudahlah, Melati!" ujar Dewa Arak mencoba menyabarkan kekasihnya. 

Namun, kali ini Melati benar-benar tak bisa ditahan. Rupanya kemarahan yang melanda 
hati gadis berpakaian putih itu terlalu besar. 

"Tidak, Kang! Biar si dungu itu tahu dengan siapa dia berhadapan! Kalau tidak, dia akan 
semakin membabibuta dan berlarut-larut dalam ketololan!" 

Ucapan Melati berpengaruh hebat sekali. Wajah pemuda berpakaian kuning seketika 
berubah-ubah, pucat dan merah silih berganti. Sungguh pun demikian, tak sepatah kata pun yang 
keluar dari mulutnya. Tubuhnya terpaku dengan mulut kelu, bagai terkunci. 

"Kau tahu siapa yang kau maki-maki ini, Manusia Dungu? Dengar baik-baik! Pasang 
kupingmu! Dia si Dewa Arak! Kau dengar...?! Dewa Arak...!" ujar Melati dengan suara semakin 
meninggi. 

"Hahhh...?!" pemuda berpakaian kuning itu tersentak kaget. Matanya terbelalak, seakan- 
akan tak percaya mendengar ucapan gadis di depannya. Kemudian dengan jantung berdebar keras 
ditolehkan wajahnya menatap Dewa Arak yang masih membelakanginya meski telah berhenti 
melangkah. 

"Be... benarkah dia, Dewa Arak?!" tanya pemuda berpakaian kuning menggeragap. Matanya 
tetap terbelalak menyiratkan perasaan gentar di hatinya. 

"Terserah, mau percaya atau tidak! Aku hanya mengatakan kenyataan sebenarnya!" tandas 
Melati masih dengan nada tinggi! 






Sekali lagi pemuda berpakaian kuning mengalihkan pandang menatap Dewa Arak. 
Diperhatikannya sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan yang masih membelakanginya 
itu. Tampak sebuah guci tergantung di punggungnya. 

"Kalau begitu..., maafkan aku. Dewa Arak! Sungguh aku tak tahu. Aku telah bertindak 
demikian bodoh...," ucap pemuda berpakaian kuning itu, terbata-bata. 

Meskipun sebenarnya pemuda beralis tebal itu tak begitu mempercayai kata-kata Melati, 
hatinya yakin kalau lelaki muda yang telah mengalahkannya itu Dewa Arak. Hal itu setelah 
dengan seksama memperhatikannya. Dirinya pernah mendengar kalau Dewa Arak memang 
seorang pemuda berambut putih keperakan dan mengenakan pakaian ungu. Selain itu ciri khasnya 
selalu membawa guci arak. Semua ciri-ciri itu dimiliki orang di depannya. Itulah sebabnya pemuda 
berpakaian kuning itu yakin kalau tokoh yang baru saja mengalahkannya pasti Dewa Arak. 
Seorang tokoh begitu kesohor di dunia persilatan. 

Dewa Arak perlahan-lahan membalikkan tubuh, setelah mendengar ucapan pemuda itu. 

"Lupakanlah, Kisanak! Aku maklum kalau kau salah paham lalu menjatuhkan tuduhan 
kepada kami sebagai pelaku pembunuhan ini. E..., tapi ada hal yang membuatku heran melihat 
sikapmu. Kau tampak begitu dendam menyaksikan kejadian ini. Apakah kau mempunyai hubungan 
dengan orang-orang itu?" ujar Dewa Arak seraya menuding mayat-mayat yang tampak sudah mulai 
kaku. 

"Hhh...! Apa yang kau katakan tidak salah, Dewa Arak. Memang, ada hubungan antara 
diriku dengan mereka," jawab pemuda berpakaian kuning, bernada sedih. Sesaat matanya menatap 
nanar mayat-mayat itu. 

Wajah Dewa Arak tiba-tiba berseri, menyadari satu titik terang telah didapatnya. 
Sementara Melati, tetap berdiam diri. Rupanya, gadis berpakaian putih itu lebih suka menjadi 
pendengar. 

"Apa hubunganmu dengan mereka, Kisanak?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu. 

Pemuda berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditatapnya 
wajah Dewa Arak, kemudian Melati. 

"Hm.„, rasanya janggal mendengar panggilanmu terhadapku, Dewa Arak. Namaku 
Handaka," ujarnya seraya mengangguk perlahan. 

"Itu memang lebih baik, Handaka," sahut Dewa Arak gembira. "Kuminta kau pun jangan 
memanggilku Dewa Arak. Panggil saja Arya! Karena itulah namaku. Dan kawanku ini Melati. 
Sekarang, jelaskan semuanya, Handaka." 

Handaka mengalihkan pandang ke wajah Melati sebentar. 

"Baiklah, Arya," sambut Handaka. "Orang-orang itu adalah murid Perguruan Kera Emas. 
Dan Ketua Perguruan Kera Emas adalah ayahku. Ki Tapaksi Mandragunta, namanya. Beliau 
menyediakan jasa pengawalan atas barang maupun orang yang membutuhkannya." 

Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Keduanya mulai mengerti akan sikap 
dendam yang tadi ditunjukkan pemuda bernama Handaka itu. 

"Berarti..., kemungkinan besar rombongan murid-murid ayahmu ini dihadang gerombolan 
perampok yang menghendaki barang kawalan mereka. Dan tampaknya pihak perampok lebih 
kuat...," ujar Dewa Arak mencoba mengajukan dugaannya. 

"Jika dugaanmu benar, aku akan berusaha keras mencari mereka. Akan kuambil kembali 
barang yang telah mereka rampas. Jika tidak usaha ayahku akan hancur. Tidak akan ada orang 
yang mau menyewa jasa kami," urai Handaka mengungkapkan kekhawatirannya. 

Melati dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tahu, Handaka tidak 
berbohong. Memang, usaha Perguruan Kera Emas akan hancur apabila barang kawalan itu tak 
dapat ditemukan kembali. Di dalam hati, sepasang pendekar muda ini bertekad untuk membantu 
Handaka. 

Namun, Handaka tak tahu suara bati Dewa Arak, dan Melati. Setelah mengutarakan 
tekadnya, Handaka melangkah menghampiri sembilan mayat murid Perguruan Kera Emas. 
Diperiksanya satu persatu tubuh mereka. Hal yang sama pun dilakukan terhadap kuda-kuda dan 
kereta. 




Sewaktu memeriksa kuda penarik kereta, tampak Handaka tercenung. Tentu saja hal itu 
membuat Dewa Arak dan Melati merasa heran. Keduanya saling pandang. Ada suatu pertanyaan 
dalam tatapan mata mereka. Namun tak sepatah kata pun terncap di mulut keduanya. Kemudian 
Dewa Arak mengalihkan matanya, memperhatikan Handaka. 

Pemuda berpakaian kuning itu mencabut pisau-pisau yang bersarang di tubuh dua ekor 
kuda penarik kereta. Kemudian setelah dibersihkan dari darah yang melekat, pisau itu 
disimpannya di pinggang. 

Setelah menghela napas berat, Handaka mengayunkan langkah menuju sebatang pohon 
yang hanya satu-satunya di tempat itu. 

Sampai di dekat pohon itu Handaka mengeluarkan salah satu pisau yang tadi disimpannya. 
Lalu, tubuhnya dibungkukkan. Sesaat kemudian, tampak tangannya mulai sibuk menggali tanah. 

Dewa Arak dan Melati yang semula belum tahu tindakan Handaka, sekarang mengerti. 
Rupanya pemuda berpakaian kuning itu hendak membuat lubang untuk menguburkan mayat- 
mayat itu. Maka, tanpa diminta pasangan pendekar muda ini menghampiri dan membantu. 

Dengan mempergunakan pedang-pedang yang berserakan di tempat itu, Dewa Arak dan 
Melati menggali tanah, membantu Handaka. 

"Terima kasih, Arya, Melati!" ucap Handaka terharu melihat sikap pasangan pendekar 
muda ini. "Aku jadi malu dengan tindakanku tadi terhadap kalian...." 

"Lupakanlah, Handaka!" sahut Dewa Arak seraya terus mengayunkan pedang untuk 
membuat lubang. 

Suasana langsung hening ketika.Dewa Arak menghentikan ucapannya. Tak satu pun di 
antara mereka bertiga yang berbicara. Mereka sibuk meneruskan pekerjaan tanpa berbincang- 
bincang. Sehingga yang terdengar hanya bunyi pedang dan pisau yang berbenturan dengan tanah. 

Karena ketiga orang penggali itu memiliki tenaga dalam tinggi, dalam waktu yang tidak 
terlalu lama, telah terbentuk sebuah lubang yang besar dan dalam. Cukup untuk mengubur semua 
mayat yang ada di situ. 

Tak berapa lama kemudian, semua mayat itu telah dimasukkan ke lubang itu. Tempat 
istirahat mereka yang terakhir. 

"Sekarang..., apa yang hendak kaulakukan, Handaka?" tanya Dewa Arak. 

"Aku harus kembali ke perguruan dan memberitahukan kejadian ini pada ayahku. Lalu, 
setelah itu aku akan mencari pelaku kekejian ini!" jawab Handaka, "Dan kalian sendiri, hendak ke 
mana?" 

Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan mulut mengertibangkan senyum. 

"Kami tak pernah punya tujuan yang tetap, Handaka. Kami hanya menuruti ke mana kaki 
ini melangkah," jelas Dewa Arak seraya tersenyum. 

Handaka mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterimanya jawaban itu. 

"Bagaimana, kalau kalian ikut aku? Aku yakin ayah akan senang sekali. Bagaimana, Arya, 
Melati? Kalian setuju?" ajak Handaka. 

Dewa Arak tidak langsung memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar. "Bagaimana, 
Melati?" 

"Terserah padamu, Kang," sahut Melati. 

"Baiklah, Handaka. Kami ikut denganmu," ja wab Dewa Arak tersenyum pada Handaka. 

Sebenarnya, Dewa Arak tahu kaku Melati selalu menyerahkan keputusan kepadanya. 
Meskipun demikian, dirinya selalu memberi kesempatan pada kekasihnya itu untuk memberikan 
pendapat. 

"Kalau begitu, man kita berangkat!" ajak Handaka. 

Usai berkata demikkn pemuda berpakaian kuning itu lalu melesat ke depan. Tanpa ragu- 
ragu lagi dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam sekejap mata yang terlihat hanya 
sekelebatan bayangan kuning telah berada belasan tombak di depan. 

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Kemudian, mereka pun melesat, mengejar putra 
Ketua Perguruan Kera Emas itu. 



Handaka merasa yakin kaku Dewa Arak teru-tama sekali Melati tidak akan mampu 
menyusulnya. Dan ternyata keyakinan itu meleset, ketika kepalanya ditolehkan ke bekkang, 
terlihat Dewa Arak dan Melati telah berada sekitar enam tombak di bekkang. 

Melihat hal ini Handaka merasa penasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi, dan 
dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya agar tak tersusul pasangan pendekar muda itu. 

Namun usaha pemuda berpakaian kuning hanya membuahkan kegagalan. Sesaat 
kemudian, Dewa Arak dan Melati tekh berada di kanan kirinya. Dan sekarang, mereka bertiga 
berlari berjajar. 

Handaka terpukau melihat kenyataan ini. Dirinya tahu kalau dalam ilmu lari cepat, 
kemampuannya di bawah pasangan pendekar muda. Dan kaku mereka mau, pemuda berpakaian 
kuning itu sudah tertinggal di belakang. Sama sekali tak disangka kalau Melati, memiliki 
kemampuan setinggi itu. 

"O ya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Handaka," ucap Dewa Arak, di tengah- 
tengah ayunan kakinya. Suaranya terdengar biasa saja, seperti tidak tengahberlari cepat 

"Katakanlah, Arya," jawab Handaka mempersilakan. 

"Begini, Handaka. Mengapa kau bisa berada di tempat itu tadi? Apakah kau diutus ayahmu 
untuk mengawasi rombongan pengawal barang atau karena ada urusan lain?" 

Handaka tersenyum getir. 

"Keberadaanku di tempat itu sama sekali tidak karena kusengaja, Arya." 

"Aneh?! Maksudmu..., kau hanya secara kebetulan berada di sana?!" 

Pemuda berpakaian kuning itu menganggukkan kepala, membenarkan dugaan itu. 

"Mengapa bisa begitu, Handaka? Lalu..., sebenarnya hendak ke manakah tujuanmu?" desak 
Dewa Arak ingin tahu lebih jauh. 

Bukan hanya Dewa Arak yang merasa penasaran mendengarnya. Melati pun demikian. 
Meskipun kelihatan acuh, sebenarnya gadis berpakaian putih itu pun menaruh perhatian besar. 

"Aku tengah menuju markas Perguruan Kera Emas," jawab Handaka, kalem. 

"Hehhh...?!" Dewa Arak tersentak kaget, "Menuju markas Perguruan Kera Emas?! Kalau 
begitu..., kau dari mana?" 

"Dari hutan," jawab Handaka. "Berburu." 

Arya dan Melati menganggukkan kepala. Mereka tidak mengajukan pertanyaan lagi. 
Rupanya semua dirasakan telah jelas. Kini ketiga orang muda itu berlari cepat tanpa berbicara lagi. 






"Terkutuk!" 

Suara makian yang menggelegar keras terdengar memekakkan telinga, membuat atap dan 
dinding ruangan terasa bergetar hebat. Jelas suara bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan 
tenaga dalam tinggi. 

Sosok yang memaki itu ternyata seorang kakek bertubuh tinggi besar dan kekar berpakaian 
hitam. Wajahnya yang saat itu merah padam, dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna dua. 
Jelas, saat itu kakek tinggi besar itu tengah dilanda kemarahan yang hebat. 

"Jadi..., mereka semuanya tewas, Handaka?!" tanya kakek tinggi besar itu, dengan suara 
keras mengguntur. Sepasang matanya menatap tajam pada seorang pemuda berpakaian kuning 
yang tak lain Handaka. 

"Hhh...!" 

Handaka menghela napas berat. Kemudian perlahandahan kepalanya dianggukkan, 
pertanda membenarkan dugaan kakek tinggi besar itu. "Benar, Ayah! Tak satu pun yang selamat. 
Mereka semua tewas," jawab Handaka dengan suara lirih. 

"Keparat..!" 

Kakek tinggi besar yang ternyata ayahnya Handaka kembali mengumpat dengan suara 
keras. Ketua Perguruan Kera Emas yang bernama Ki Tapaksi Mandragunta murka setelah 
mendengar kabar dari Handaka. Betapa tidak! Para muridnya yang bertugas mengawal barang 
mengalami nasib yang mengenaskan 

Mengetahui kemurkaan sang Ayah, Handaka menundukkan kepala. Dirinya tahu betul 
watak ayahnya. Apabila tengah murka, sering melampiaskan pada orang-orang yang berada di 
dekatnya. Itulah sebabnya, Handaka berdiam diri. 

Dalam keadaan tegang, menghadapi kemurkaan Ketua Perguruan Kera Emas, ketika 
semua yang ada di ruangan itu membisu, tiba-tiba ada suara..., 

"Kurasa pembunuhan ini tak akan terungkap hanya dengan makian. Daripada 
menghambur-hamburkan tenaga dengan mulut, lebihbaik melakukan penyelidikan...." 

Wajah Ki Tapaksi Mandragunta seketika berubah, karena terperanjat Wajah tua itu 
tampak kian angker dan tegang. Tampaknya hati lelaki tua itu tersinggung mendengar ucapan 
bernada menasihati barusan. Ketua Perguruan Kera Emas ini paling pantang menerima nasihat. 
Apalagi ketika disadari orang yang telah mengeluarkan ucapan itu. Seorang gadis muda! 

Untung saja Ki Tapaksi Mandragunta ingat akan keberadaan orang berada di sebelah gadis 
berpakaian putih, Dewa Arak! Maka ditahan keinginan untuk mengeluarkan sambutan keras 
terhadap gadis berpakaian putih yang tak lain Melati itu. Dewa Arak merupakan tokoh persilatan 
yang amat dikaguminya. Dan sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam kehidupan 
dirinya tahu, antara Dewa Arak dan Melati ada hubungan istimewa. Dan kalau Melati mendapat 
sambutan keras darinya, kemungkinan besar Dewa Arak akan tersinggung. 

Ternyata bukan hanya Ki Tapaksi Mandragunta saja yang merasa kaget atas ucapan itu. 
Dewa Arak pun demikian. Meskipun perasaan yang melanda hati, tak nampak pada wajahnya. 

"Harap kau memakluminya, Ki! Kawanku ini memang mempunyai sifat terbuka. Apa yang 
ada di hati langsung dikeluarkannya. Maaf, kalau menyinggung perasaanmu!" 

Seketika mereda kemarahan Ki Tapaksi Mandragunta. Seorang tokoh besar seperti Dewa 
Arak memohon maaf padanya! Jangankan hanya kesalahan seperti itu, sekalipun lebih besar akan 
dimaafkannya! 

"E..., tidak apa-apa, Arya. Di antara kawan segolongan, tak ada gunanya terlalu terpaku 
pada adat. Hanya akan membuat keadaan menjadi kaku," sahut Ki Tapaksi Mandragunta dengan 
senyum terkembang dan wajah berseri-seri. "Seharusnya kau merasa bangga dengan kawanmu ini. 
Tidak banyak orang yang mempunyai keberanian seperti ini. Terima kasih, Melati! Nasihatmu 
telah membuka mataku." 



"Rasanya kurang patut kalau ucapan terima kasih itu diberikan padaku, Ki," ujar Melati, 
sambil mengulurkan tangan di depan dada. "Masalahnya, ucapan seperti itu tidak kudapatkan 
sendiri. Tapi berasal dari Kakang Arya." 

"Ha ha ha...!" tawa Ki Tapaksi Mandragunta langsung meledak begitu mendengar 
tanggapan Melati. "Bagus! Kau seorang wanita yang amat jujur, Melati." 

Kemudian kakek tinggi besar itu mengalihkan perhatian pada Handaka kembali. 

"Kau dengar ucapan Melati, Handaka?! Cepat selidiki peristiwa ini. Ingat, usahakan untuk 
mendapatkan barang kiriman itu kembali. Kalau tidak, usaha kita akan ambruk! Carilah hal-hal 
yang dapat membawamu ke penyelesaian teka-taki ini. Kau mengerti, Handaka?!" 

"Mengerti, Ayah!" jawab pemuda berpakaian kuning itu seraya menganggukkan kepala. 

"Bagus!" ucap Ki Tapaksi Mandragunta, gembira. 

"Handaka...!" 

"Ya. Ada apa, Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya menolehkan kepala 
kepada Dewa Arak, orang yang telah menyapanya. 

"Bukankah kau membawa pisau-pisau yang telah menewaskan kuda-kuda penarik kereta. 
Apa tak sebaiknya kau perlihatkan pada ayahmu. Barangkali saja beliau mengenalnya." 

"Kau benar, Arya. Mengapa aku sampai lupa?!" 

Usai berkata demikian, pemuda berpakaian kuning itu mengambil pisau yang diselipkan di 
pinggangnya. Hanya satu. Karena yang lain telah dibuangnya setelah dipergunakan untuk 
membuat lubang pekuburan. 

"Pisau ini menancap di punggang kuda penarik kereta, Ayah. Rasanya aku mengenalnya. 
Namun aku lupa, kapan dan di mana pernah melihatnya. Itulah sebabnya kubawa, barangkali saja 
nanti akan timbul kembali ingatanku," ucap Handaka sambil mengangsurkan pisau itu. 

Ki Tapaksi Mandragunta menerima, dan langsung memeriksanya. 

"Mustahil!" seru kakek tinggi besar ini penuh perasaan kaget. Gambaran perasaan yang 
sama, membayang jelas di wajah dan sinar matanya. 

"Mengapa, Ayah? Apakah kau mengenalinya?" tanya Handaka, ingin tahu. 

Meskipun hanya Handaka yang menanyakannya, tapi Dewa Arak, dan Melati pun ikut 
memasang telinga. Seperti juga Handaka, pasangan pendekar muda ini pun ingin tahu jawaban Ki 
Tapaksi Mandragunta. Mereka tahu, menilik dari tanggapannya, Ketua Perguruan Kera Emas jelas 
mengenal pisau itu dengan baik. Ini berarti, sebuah titik terang mulai mereka dapatkan. 

"Mengenalnya?!" Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. "Bukan hanya mengenalnya, 
Handaka. Aku tahubetul siapa pemiliknya! Jadi.,., kau benar-benar tidak ingat?!" 

Handaka menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat, Ayah. Padahal, sepanjang perjalanan 
pulang, telah kuusahakan untuk mengingat-ingatnya." 

"Hhh...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Kemudian dengan sikap sungguh-sungguh 
ditatapnya wajah Handaka. 

"Kau tidak keliru, Handaka?! Benarkah pisau ini kau ambil dari tubuh kuda itu?! 
Masalahnya, keliru sedikit berarti akibatnya gawat!" 

"Aku tidak bohong, Ayah! Pisau itu kuambil dari tubuh kuda penarik kereta. Sebenarnya 
ada dua, Ayah. Tapi, hanya sebuah yang kubawa. Arya dan Melati pun melihatnya!" ujar Handaka 
dengan mantap dan penuh keyakinan. 

"Apa yang dikatakan Handaka benar, Ki. Pisau itu dari kedua kuda penarik kereta. Aku 
dan kawanku pun melihatnya," ujar Dewa Arak memberi dukungan terhadap Handaka. 

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar pernyataan 
Dewa Arak. Hatinya percaya penuh akan kebenaran ucapan itu. Meskipun demikian, kemyitan 
dahinya tetap belum lenyap. Jelas, perasaan bimbang tetap bersarang di hatinya. 

"Sebenarnya..., siapakah pemilik pisau itu, Ayah?! Sehingga kau sepertinya berat untuk 
percaya," tanya Handaka merasa penasaran. 

Ki Tapaksi Mandragunta tak menjawab pertanyaan itu. Matanya memandang jauh lewat 
jendela rumah. Sekali terdengar, lelaki tua itu menghela napas dalam-dalam lalu 
menghembuskannya. Seakan-akan hendak menghempaskan beban yang mengganjal di hatinya. 



"Ini persoalan pelik sekali, Handaka. Aku tak berani bertindak gegabah," hanya itu jawaban 
yang diberikan Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Tapi..., kau belum memberikan jawabannya, Ayah! Kau belum mengatakan pemilik pisau 
itu?!" desak Handaka dengan nada penuh tuntutan. 

Ki Tapaksi Mandragunta menatap lekat-lekat wajah putranya. 

"Kau mau berjanji untuk tidak bertindak gegabah?! Maksudku..., jangan melakukan 
tindakan apa pun sebelum persoalan ini menjadi jelas?! Kalau kau berani berjanji, aku akan 
mengatakannya padamu. Bagaimana?!" 

Handaka tercenung mendapat tawaran seperti itu. Kemyitan pada dahinya, menjadi 
pertanda kalau pemuda itu tengah mempertimbangkannya. 

"Baiklah, Ayah. Aku berjanji," ujarnya kemudian. 

"Bagus! Dan, kau bersedia menyimpan rahasia ini rapat-rapat? Tidak memberitahukan 
pada siapa pun?!" 

"Pasti, Ayah! Biar aku disambar geledek apabila membocorkannya!" ujar Handaka, mantap. 

"Kalau begitu, sekarang dengarlah baik-baik. Pisau ini tidak dimiliki oleh seseorang, 
melainkan sebuah perguruan seperti kita. Kau tahu kan, kalau setiap senjata perguruan kita, selalu 
mempunyai ukiran kepala kera?!" 

Handaka menganggukkan kepala pertanda membenarkan. Tak lupa diliriknya pisau 
temuan yang kini telah tergeletak di meja. Gagang pisau itu berwarna hitam dengan ukiran kepala 
seekor burung. 

"Sekarang aku ingat, Ayah. Bukankah ukiran itu merupakan lambang Perguruan Camar 
Sakti?!" sentak Handaka, kaget. 

Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. Kemudian perlahan-lahan kepalanya 
dianggukkan. Jelas, kakek tinggi besar ini membenarkan dugaan putranya. 

Semua pembicaraan itu tak luput dari perhatian Dewa Arak, dan Melati Dan hal ini 
membuat pasangan pendekar muda ini kaget. Mereka berdua telah mendengar banyak mengenai 
Perguruan Camar Sakti! Sebuah perguruan silat beraliran putih yang cukup besar. 

Dan seperti juga Perguruan Kera Emas, perguruan ini memberikan jasa pengawalan atas 
barang dan manusia. Benarkah Perguruan Camar Sakti yang telah melakukan kekejian ini?! 

Sekarang Dewa Arak dan Melati baru mengerti, mengapa Ki Tapaksi Mandragunta masih 
bimbang dengan hasil yang mereka dapatkan. Diam-diam perasaan kagum bersemi di hati Dewa 
Arak, terhadap Ketua Perguruan Kera Emas ini. Ya! Kakek tinggi besar ini bertindak demikian 
bijaksana dan hati-hati. Buktinya, dia mencegah Handaka mengambil tindakan apa pun selama 
persoalan ini belum jelas. 

"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?! Apakah tindakan orang-orang 
Perguruan Camar Sakti itu harus kita biarkan saja?!" 

Pertanyaan lanjutan Handaka membuat lamunan Dewa Arak dan Melati buyar. Kembali 
mereka memusatkan perhatian pada percakapan yang tengah berlangsung. 

"Tentu saja tidak, Handaka," sahut Ki Tapaksi Mandragunta, berusaha bersikap tenang, 
"Aku sendiri yang akan datang ke Perguruan Camar Sakti. Akan kuberitahukan semua kejadian 
yang menimpa perguruan kita sambil membawa pisau ini sebagai bukti!" 

"Apakah tindakan itu tidak terlalu berbahaya, Ayah?! Bagaimana kalau mereka 
mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh Ayah?" dengan penuh kekhawatiran, Handaka 
mengermukakan dugaannya. 

"Buang jauh-jauh kekhawatiran itu, Handaka! Aku tahu betul sifat Ketua Perguruan Camar 
Sakti, Ki Liwung Perkasa. Dia tak akan bertindak sepengecut itu. Lagi pula, kau ada di sampingku. 
Apa lagi yang harus kita takutkan?!" 

"Jadi..., kau akan membawaku serta, Ayah?!" tanya Handaka setengah tak percaya. 

"Apakah kau tak ingin ikut serta?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta dengan bibir 
menyunggingkan senyum lebar. 

"Tentu saja aku mau, Ayah. Kapan kita akan berangkat?!" tanya Handaka, penuh gairah. 

"Lebih cepat kita menyelesaikan urusan ini lebih baik," hanya itu jawaban yang diberikan 
Ketua Perguruan Kera Emas. 



"Jadi...?!" Handaka menggantung ucapannya di tengah jalan. 

"Kita berangkat sekarang!" tandas KiTapaksiMandragunta, tegas. 

Handaka kontan terdiam. Terlihat jelas adanya keraguan pada sikapnya. Tentu saja hal itu 
membuat Ki Tapaksi Mandragunta merasa heran. 

Tapi sebelum Ketua Perguruan Kera Emas ini sempat mengajukan pertanyaan, Handaka 
telah lebih dulu mengutarakan keberatannya. 

"Bagaimana dengan Dewa Arak dan Melati, Ayah?!" 

"Kau benar, Handaka! Mengapa aku menjadi demikian pelupa?!" ucap Ki Tapaksi 
Mandragunta sambil menepak dahinya, "Maaf! Maafkan aku yang demikian pelupa ini, Arya, 
Melati!" 

"Tidak mengapa, Ki. Kami memakluminya. Lagi pula, rasanya telah cukup lama di sini. 
Jadi, kami hendak mohon diri. Lain kali, apabila ada waktu, kami akan singgah di sini," ujar Dewa 
Arak kalem. 

"Tidak, Arya! Kalian tak boleh pergi sekarang!" tandas Ki Tapaksi Mandragunta, tegas. 
"Kalian berdua tamu-tamuku. Dan kuharap dengan sangat, kalian sudi menginap di sini." 

"Tapi..., kami jadi tidak enak, Ki. Keberadaan kami di sini hanya menyebabkan urusanmu 
terganggu. Dan...." 

"Hentikan segala basa-basi yang tak ada gunanya itu, Arya," potong Ki Tapaksi 
Mandragunta, "Kami tak merasa terganggu dengan keberadaanmu di sini. Atau..,, kalian yang 
tidak suka berada di sini berlama-lama? Kalau memang demikian, tentu saja kami lepas tangan. 
Tapi, asal kau tahu saja. Kami akan menuju Perguruan Camar Sakti besok pagi! Kalau kalian 
berniat menginap, besok kita berangkat bersama-sama. Bagaimana, Arya, Melati?" 

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Lalu.... 

"Baiklah, Ki. Kuterima tawaranmu," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala. 

"Maksudmu...," kemudian Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucapannya sebelum 
selesai, untuk memberi kesempatan pada Dewa Arak memberikan jawaban. 

"Kita berangkat bersama-sama besok!" tandas Dewa Arak mantap. 

"Ha ha ha...! Itu lebih baik, Arya! Ha ha ha...!" Ki Tapaksi Mandragunta melepas tawa 
gembira. 

Dewa Arak dan Melati, serta Handaka hanya tersenyum lebar melihat kegembiraan kakek 
tinggi besar itu. 

Mendadak Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan tawa. Kemudian ditolehkan kepalanya 
ke wajah Handaka. 

"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!" 

"Baik, Ayah!" Handaka menganggukkan kepala. Lalu.... 

Plok! Plok! Plok! 

Pemuda berpakaian kuning itu bertepuk tangan tiga kali. Nyaring dan cukup memekakkan 
telinga karena tampaknya dikerahkan tenaga dalamnya pada tepukan itu. Sesaat kemudian..., 

Kriiittt! 

Diiringi bunyi bergerit pelan, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pemuda bertubuh kekar, 
berkulit wajah hitam, dan berpakaian hitam melangkah masuk kemudian memberi hormat pada Ki 
Tapaksi Mandragunta. 

"Apa yang harus kulakukan, Ketua?!" tanya pemuda berwajah hitam itu penuh hormat 

"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!" perintah Ki Tapaksi Mandragunta penuh 
wibawa. 

"Baik, Ketua!" 

Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam membalikkan tubuh dan melangkah 
meninggalkan tempat itu. Tak lupa ditutupnya kembali pintu ruangan. 

"Kelak, seandainya kau telah kuanggap pantas untuk menjadi Ketua Perguruan Kera Emas, 
kau harus mampu meniru sikapku ini, Handaka," ujar Ki Tapaksi Mandragunta memberitahu 
putranya. 

"Akan aku perhatikan semua nasihatmu, Ayah," jawab Handaka, patuh. 




Ki Tapaksi Mandragunta hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa maksud 
anggukannya itu, tak ada seorang pun yang tahu secara persis kecuali dirinya. 

Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. 
Sesaat kemudian, daun pintu terkuak, dan pemuda berwajah hitam itu muncul di ambang pintu. 

"Aku telah memanggil Kakang Gulimang dan Kakang Gembong, Ketua. Sekarang, mereka 
berdua menunggu di luar," ucap pemuda berwajah hitam itu mantap. 

"Bagus! Suruh mereka masuk, dan kau tunggu di luar!" 

"Baik, Ketua!" 

Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam itu membalikkan tubuh, dan melangkah 
keluar. Sesaat kemudian, dua sosok tubuh melangkah masuk ke dalam, dan memberi hormat pada 
Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Ketua memanggil kami?" tanya salah seorang di antara mereka yang bertubuh pendek 

kekar. 

"Benar, Gembong," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala. 

"Apa yang harus kami lakukan, Ketua?!" tanya sosok yang satu lagi. Dia seorang lelaki 
tinggi kurus bermata sipit 

"Majulah kemari! Dan duduk di sini, Gulimang. Kau juga Gembong." 

Tanpa menunggu perintah dua kali, Gulimang dan Gembong menghampiri tempat Ki 
Tapaksi Mandragunta. Kemudian, keduanya duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar besar. 

"Kalian sudah mengenal dua tamu istimewa ini?" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, seraya 
menunjuk Dewa Arak dan Melati. 

Gulimang dan Gembong menatap wajah pasangan muda-mudi itu sekilas. Kemudian 
hampir berbarengan, menganggukkan kepala. 

"Sudah, Ketua. Mereka tentunya Dewa Arak dan Melati. Keduanya kawan Handaka," jawab 
Gembong. 

"Bagaimana dengan kalian?" 

Kali ini pertanyaan Ketua Perguruan Kera Emas ini ditujukan pada Dewa Arak dan Melati. 

"Kami juga telah mengenal mereka, Ki," jawab Dewa Arak, tenang. "Bukankah mereka 
berdua ketua murid-muridmu, Gulimang dan Gembong?!" 

"Ha ha ha...!" Ki Tapaksi Mandragunta tertawa tergelak. "Syukurlah kalau kalian telah 
saling mengenal! Sekarang dengar baik-baik, Gulimang, Gembong!" 

"Ya, Ketua," sahut Gulimang dan Gembong, hampir bersamaan. 

"Besok aku dan Handaka akan meninggalkan perguruan untuk menyelesaikan sebuah 
urusan. Mungkin untuk beberapa hari. Yahhh...! Paling lama tiga hari. Dan selama itu, semua 
urusan mengenai Perguruan Kera Emas kuserahkan pada kalian. Mengerti?!" 

"Mengerti, Ketua." 

"Bagus! Sekarang, kalian siapkan dua buah kamar untuk tamu-tamu istimewa kita. Mereka 
akan menginap di sini untuk semalam. Apabila siap, beritahukan padaku. Mengerti?!" 

"Mengerti, Ketua." 

"Kalau begitu, cepat siapkan! Mungkin dua tamu istimewa ini telah ingin istirahat!" 

"Baik, Ketua!" 

Gulimang dan Gembong bangkit dari duduknya. 

"Mari, Dewa Arak, Melati, ikut kami!" ajak Gulimang yang lebih pintar bicara. 

"Terima kasih," sambut Dewa Arak seraya bangkit berdiri. Melati pun mengikutinya. "Kami 
permisi dulu, Ki!" Dewa Arak menoleh pada Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Silakan, Arya!" jawab Ketua Perguruan Kera Emas itu, mempersilakan. 





Malam itu langit kelihatan kelam. Bulan yang hanya sepotong tampak tak berdaya 
menembus awan hitam dan tebal yang bergumpal-gumpal menutupinya. Angin yang sesekali 
berhembus agak kencang meniupkan hawa dingin, kian menambah seram suasana malam. Dan 
dalam keadaan seperti itu, orang-orang merasa lebih suka tinggal di dalam rumah. Mereka lebih 
menikmati buaian mimpi di peraduannya, daripada berkeliaran di luar. 

Salah seorang di antara mereka yang tengah terbaring di peraduan adalah Dewa Arak. 
Tampak tubuh pemuda berambut putih keperakan ini tergolek di balai-balai bambu. Telentang 
dengan kedua mata terpejam. 

Mendadak kedua kelopak mata Dewa Arak terbuka. Tubuhnya menggeliat lalu bangkit dan 
duduk di tepi tempat tidurnya. Sesaat kemudian, sambil menghembuskan napas berat, ia bangkit 
dari balai-balai bambu dan berdiri. Kemudian berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Seperti ada 
sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya. 

"Aneh...," desisnya dalam hati, Dewa Arak tiba-tiba merasa ada sesuatu yang aneh. 
Matanya menatap langit-langit ruangan tempat tidurnya. "Mengapa sejak tadi perasaanku tak 
enak. Gelisah. Bahkan sekarang, perasaan ini terasa kian membesar.... Apa ada bahaya yang 
tengah mengintai?! Tapi kalau benar, dari mana datangnya?" 

Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak. Setelah beberapa kali dicoba, tak 
mampu dirinya menjawab dugaan itu. Kakinya melangkah kembali ke tempat tidur. Perlahan-lahan 
direbahkan tubuhnya, lalu dipejamkan kedua mata. Dewa Arak berusaha tidur untuk 
menghilangkan kegelisahan yang melanda. Namun setelah cukup lama Dewa Arak memejamkan 
mata dan mengosongkan pikirannya, berusaha untuk tidur, tetap sia-sia! Kegelisahan terus 
berkecamuk, padahal malam telah semakin larut. Suasana semakin sepi, hingga hanya napasnya 
sendiri yang terdengar. 

Saat itulah, pendengaran Dewa Arak yang tajam menangkap ada bunyi langkah mendekati 
ruangannya. Langkah itu demikian halus. Hampir tak terdengar. Tentu saja hal itu membuat 
jantungnya berdetak kencang. Dewa Arak menyadari kalau pemilik langkah ini bukan tokoh 
sembarangan. Pasti memiliki kepandaian tidak rendah. Setidak-tidaknya, ilmu meringankan tubuh 
luar biasa! 

Meskipun demikian, Dewa Arak berpura-pura tidak mengetahuinya. Sepasang matanya 
tetap dipejamkan. Bahkan napasnya pun diatur, hingga mirip pernapasan orang yang telah 
tertidur. Tenang dan berirama tetap! 

Namun bukan berarti Dewa Arak meremehkan pemilik langkah kaki itu. Meskipun 
sepasang matanya terpejam, seluruh otot dan urat saraf Dewa Arak menegang waspada, disiapkan 
guna menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. 

Dengan sekuat kemampuan dipusatkan hati dan pikiran untuk terus mewaspadai hal yang 
mencurigakan itu. 

Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Bunyi langkah kaki itu lenyap setelah sampai di depan 
pintu kamarnya. Rupanya si pemilik telah menghentikan langkah. Ini berarti memang dirinya yang 
dijadikan sasaran. 

Tak pelak lagi, seluruh urat saraf dan otot di sekujur tubuh Dewa Arak semakin menegang 
waspada. Satu bunyi kecil saja yang mencurigakan cukup membuat pemuda berambut putih 
keperakan itu melesat dari tempat peraduannya. 

Namun, Dewa Arak tak ingin bertindak gegabah, dengan langsung menyergap sosok yang 
telah berada di depan pintu itu. Dirinya khawatir lawan akan lebih dulu kabur sebelum berhasil 
diringkus. 

Oleh karena itu, Dewa Arak tetap meneruskan sikap diamnya seakan-akan tengah tertidur 

lelap. 

Tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdesis. Pelan sekali. Kalau saja Dewa Arak tidak 
tengah memusatkan perhatian pada kedua telinganya, bunyi itu tak akan terdengarnya. 



Dewa Arak kian merasa heran mendengar suara desisan pelan itu. Bunyi apakah gerangan? 
Hatinya yakin bunyi itu tidak keluar dari mulut ular. Bagi telinganya yang peka, desisan ular lebih 
tajam dan keras. Lagi pula sedikit pun tak tercium di hiungnya keberadaan binatang melata di situ. 
Lalu, bunyi apa gerangan? 

Rasa ingin tahu itu membuat Dewa Arak memutuskan untuk membuka kelopak matanya 
sedikit. Dan dari balik bulu-bulu mata, diliriknya daun pintu. Seketika itu pula hatinya terperanjat 
bukan kepalang! 

Dari celah-celah bawah daun pintu tampak asap putih tipis menyusup ke dalam ruangan. 
Dan sekarang asap itu telah cukup banyak yang masuk. Hanya saja belum mencapai pembaringan 
Dewa Arak! 

Ketajaman naluri serta pikirannya langsung mengetahui kalau asap itu bukan sembarang 
asap, melainkan asap beracun! Kalau tidak asap yang mampu melumpuhkan saraf, dan dapat 
membuat orang tertidur pulas. 

Menyadari keadaan yang sangat berbahaya itu, Dewa Arak segera menahan napasnya. 
Namun segera pula disadari, cara ini cukup berbahaya. Masalahnya, berapa lama sih dirinya 
mampu menahan napas? 

Namun, Dewa Arak bertindak nekat. Tetap dipilihnya cara itu. Dan tentu saja pemuda 
berambut putih keperakan itu tidak sembarangan melakukannya. Hal itu dilaksanakan setelah 
dipertimbangkan masak-masak. Dewa Arak yakin, dirinya masih sanggup menahan napas sampai 
sosok yang bermaksud jahat itu menyerbu ke dalam kamarnya. 

Karena Dewa Arak tak melakukan perlawanan sama sekali, hanya dalam waktu sebentar 
seisi ruangan itu telah dipenuhi asap. Tubuhnya tetap tergolek sambil menahan napas. Di dalam 
hatinya pemuda berambut putih keperakan itu berharap, lawan segera masuk untuk mengambil 
tubuhnya. Jika lawan ternyata tidak segera bertindak, terpaksa dirinya akan menerobos ke luar. 
Karena apabila tetap bertahan, jelas takkan sanggup! 

Ternyata benar, sosok yang berada di depan pintu menempelkan telapak tangan kanannya 
ke daun pintu. Sosok itu ternyata mengenakan pakaian serba hitam dengan selubung kain di 
wajahnya. 

Sosok berpakaian hitam itu sepertinya sama sekali tak mengerahkan tenaga, ketika 
menempelkan telapak tangan. Tapi..., 

Klakkk! 

Kriiittt! 

Bunyi berderak pelan terdengar ketika palang pintu kamar Dewa Arak patah. Maka ketika 
sosok berpakaian hitam itu mendorongnya lagi, daun pintu pun terkuak diiringi bunyi berderit 
pelan. 

"Hm.„!" 

Gumaman pelan terdengar dari mulut sosok berpakaian hitam. Matanya yang tak tertutup 
selubung, samar-samar melihat sesosok tubuhbergolek diam di balai-balai bambu. 

Kemudian dengan langkah perlahan sosok berpakaian hitam itu menghampiri balai bambu 
tempat tubuh Dewa Arak tergolek. Matanya berbinar diliputi kepuasan, karena berhasil melakukan 
tindakannya. 

Hanya dalam beberapa langkah, sosok berpakaian hitam itu telah berada di dekat balai- 
balai bambu. Di sini tubuhnya terdiam sejenak. Dengan sepasang matanya yang tajam berkilat, 
dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak. 

"Maafkan aku, Dewa Arak! Semula kau belum termasuk dalam calon korbanku. Tapi, apa 
boleh buat daripada rencanaku untuk membunuh tua bangka tua bangka itu berantakan, lebih baik 
kau kulenyapkan! Selamat tinggal, Dewa Arak! Hih!" 

Wuttt! 

Tiba-tiba sosok berpakaian hitam itu mengayunkan tangan ke kepala Dewa Arak. Dengan 
gerakan membacok, tangannya meluncur cepat ke pelipis Dewa Arak. Namun..., 

Brakkk! 

"Eh...?!" 

Jeritan kaget keluar dari mulut sosok berpakaian hitam ketika melihat, di saat-saat 
tangannya nyaris mengenai sasaran, mendadak tubuh Dewa Arak berguling ke kanan, sehingga 
tangannya menghantam balai bambu hingga hancur berantakan 

WWW 


Dalam sekejap saja sosok berpakaian hitam itu tahu kalau rencananya telah gagal. Dirinya 
belum mengetahui secara pasti, tapi bisa diperkirakan kalau Dewa Arak tak terbius asap racunnya. 
Pemuda berambut putih keperakan itu pasti telah berpura-pura. 

Menyadari keadaan yang tak menguntungkan, tanpa membuang-buang waktu, sosok 
berpakaian hitam itu membalikkan tubuh dan langsung melesat ke pintu keluar! 

Namun Dewa Arak tampaknya telah memperhitungkan tindakan yang akan dilakukan 
lawan. Maka, setelah berguling untuk mengelakkan serangan maut, tubuhnya langsung melenting 
ke atas. Dan setelah berputar dua kali di udara tubuhnya meluncur ke bawah. 

Jliggg! 

Dengan begitu ringan kedua kakinya mendarat tepat di ambang pintu. Pada saat itulah, 
sosok berpakaian hitam melesat keluar! 

Namun, sosok berpakaian hitam itu kehabisan akal. Begitu dilihat Dewa Arak telah 
menghadang jalan, gerakannya tidak dihentikan. Sambil terus melesat, dengan jari-jari terbuka 
tangannya dihentakkan ke depan! 

Dewa Arak agak kaget melihat gerakan itu. Mungkin hatinya tak menduga gerakan cepat 
itu akan dilakukan lawannya. Walaupun demikian, tidak berarti pemuda berambut putih 
keperakan itu gugup. Tanpa ragu-ragu, masih dalam keadaan menahan napas dipapaknya 
serangan sosok berpakaian hitam itu dengan hentakan kedua tangannya pula. Dewa Arak 
mengerahkan seperempat bagian tenaga dalamnya pada tangkisan ini! Sehingga..., 

Glarrr! 

Suara menggelegar keras memekakkan telinga terdengar, ketika benturan tangan keduanya 
terjadi. Dinding-dinding dan atap ruangan itu sampai tergetar hebat seperti dilanda gempa. 
Tampak keduanya terlontar ke belakang. Baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian hitam sama- 
sama bergulingan di lantai ruangan itu. Untung saja kedua tubuh membentur dinding kamar. 
Sehingga tenaga dorongan itu terhenti. 

’Aaakh...!" 

Brukkk! 

Brukkk! 

Dewa Arak dan sosok berpakaian hitam sama-sama menyeringai ketika bangkit berdiri. 
Tampaknya mereka merasakan kesakitan yang hebat akibat dari benturan keras itu. Keduanya 
merasakan nyeri di lengan masing-masing. Bahkan dirasakan bagaikan lumpuh! Sesaat tak mampu 
digerakkan 

Sosok berpakaian hitam tahu keadaan tidak menguntungkan pihaknya. Suara dahsyat yang 
timbul akibat benturan tadi akan memancing hadirnya murid-murid Perguruan Kera Emas. Dan 
bila itu teijadi, kemungkinannya untuk dapat lolos semakin kecil! 

Maka tanpa mempedulikan keadaan dirinya, langsung saja dijejakkan kaki. Seketika itu 
pula tubuhnya melesat begitu cepat menembus dinding kamar.... 

"Hih...!" 

Brakkk! 

Untuk yang kesekian kalinya suara keras terdengar. Kali ini diikuti dengan hancurnya 
dinding kamar. Dan sosok berpakaian hitam telah berada di luar bangunan itu. Karena perasaan 
cemas terhadap keadaan yang bakal dihadapi jika para murid Perguruan Kera Emas datang, 
tubuhnya langsung melesat menihggalkan markas itu 

Melihat sosok berpakaian hitam itu melesat kabur, Dewa Arak tidak bisa berdiam diri. 
Dirinya pun melesat mengejar! Namun, belum juga mencapai luar ruangan, tiba-tiba tubuhnya 
terasa berat Kepalanya mendadak terserang rasa pusing. Dengan pandangan agak berkunang- 
kunang langkahnya limbung. 

Rupanya Dewa Arak tanpa sadar telah menghirup napas. Padahal, udara di dalam ruangan 
itu belum bebas dari pengaruh asap beracun! Tak pelak lagi, kejadian seperti itu pun menimpa 
Dewa Arak! 

Kenyataan ini membuat Dewa Arak sadar kalau asap beracun itu telah dihisap olehnya. 
Maka buru-buru ditahannya lagi untuk tidak bernapas. Kemudian sambil berpegangan pada ujung 
balai bambu, Dewa Arak berusaha keras agar dapat berdiri. 

Di saat itulah, sesosok bayangan putih melesat masuk. Hal itu langsung membuat Dewa 
Arak terkesiap. Dikiranya, sosok bayangan itu orang jabat lainnya. Maka dirinya bersiap untuk 
mengadakan perlawanan 

Namun, urat-urat sarafnya yang semula sudah menegang, langsung mengendur kembali, 
ketika mengenali sosok bayangan putih itu. Ya! Meskipun pandangannya telah agak kabur, Dewa 
Arak masih mampu mengetahui kalau sosok itu ternyata Melati, kekasihnya! 

Dewa Arak pun pasrah ketika sosok bayangan putih yang memang Melati itu, memapah 
tubuhnya dan membawanya melesat keluar! 

"Hhh...!" 

Begitu berada di luar pintu, baru Melati menghembuskan napas. Namun, sebelum dirinya 
sempat berbuat sesuatu, terdengar bunyi kaki-kaki menghampiri tempatnya. Sesaat kemudian, 
muncul murid-murid Perguruan Kera Emas. Di antara mereka ada pula Gulimang dan Gembong. 

"Ada apa, Melati?! Apa yang terjadi dengan Dewa Arak?!" tanya Gulimang, dengan mata 
terbelalak kaget karena melihat Dewa Arak berada dalam papahan Melati. 

"Aku sendiri belum tahu pasti, Gulimang. Yang jelas ada pihak tertentu yang menghendaki 
kematian kawanku. Kau lihatlah sendiri di kamarnya!" sahut Melati, setengah tak peduli. 

Mendengar jawaban itu, Gulimang segera mengayunkan langkah mendekati kamar Dewa 
Arak yang telah terbuka lebar. Sepasang alisnya langsung berkerut ketika melihat asap yang 
membuat suasana kamar itu tampak remang-remang. 

Gembong dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya yang melihat hal itu pun merasa 
heran. Meskipun demikian diikuti juga tindakan Gulimang yang melangkahkan kaki masuk ke 
kamar Dewa Arak. 

Mendadak..., 

"Ukh...!" 

Terdengar keluhan dari mulut Gulimang. Hal itu membuat Gembong dan yang lainnya 
terkejut, dan langsung bersikap waspada. Mereka mengira lelaki pendek kekar itu melihat sesuatu. 
Maka mereka, terutama sekali Gembong, bergegas menghampiri. 

Namun tindakan mereka langsung diurungkan ketika mendengar seruan Gulimang. 

"Jangan maju! Cepat..., mundur! Kamar ini dipenuhi asap beracun!" 

Setelah berseru demikian, Gulimang langsung membalikkan tubuh untuk menjauhi kamar 
yang mengandung asap beracun itu. Dan sebenarnya, suara keluhannya tadi pun karena 
merasakan kepalanya mendadak pusing begitu berada di ambang pintu kamar Dewa Arak. 

Mendengar perintah Gulimang, para murid Perguruan Kera Emas dengan cepat 
berlompatan menjauhi kamar itu. 

Brukkk! 

Bunyi berdebuk keras pertanda ada sesuatu yang berat menimpa lantai, membuat Gembong 
dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya me-nolehkan kepala. 

"Kang Gulimang...!" teriak Gembong kaget bercampur khawatir. 

Lalu, buru-buru dia membalikkan tubuh, menghampiri Gulimang. Diangkatnya tubuh itu 
dan dibopongnya meninggalkan kamar Dewa Arak. 

Semua keributan itu tentu saja tak lepas dari perhatian Melati, yang masih berada di situ. 
Gadis berpakaian putih ini merasa khawatir korban akan semakin bertambah. Dengan 
mengerahkan kekuatan tenaga dalam Melati berteriak..., 

"Cepat..., menjungkir! Jauhi kamar itu! Biarkan angin meniup racun berbahaya itu!" 

Seruan Melati langsung mendapat sambutan. Semua murid Perguruan Kera Emas, tak 
terkecuali Gembong segera melesat meninggalkan tempat itu. Mereka tak berani meremehkan 
peringatan Melati. Telah disaksikan sendiri kehebatan racun dalam asap itu. 

Bukan hanya mereka saja yang bergegas meninggalkan tempat itu. Melati pun demikian. 
Sambil memapah tubuh Dewa Arak, tubuhnya dengan cepat melesat menjauhi tempat itu. Sedapat 
mungkin mereka ingin menghirup udara malam yang alami. 

Mereka semua harus melalui jalan lorong yang terapit kamar-kamar di kanan dan kiri. 
Panjang jalan itu tak kurang dari sepuluh tombak! 

Begitu sampai di halaman luar bangunan, mereka semua berpapasan dengan dua sosok 
yang tengah melesat cepat menuju tempat yang baru mereka tinggalkan. 

"Berhenti...!" 

Salah satu dari dua sosok itu berseru nyaring, penuh wibawa. Seketika itu pula, langkah 
murid-murid Perguruan Kera Emas terhenti. Mereka tahu, siapa pemilik seruan itu. Suara itu 
mereka kenal betul! Siapa lagi kalau bukan KiTapaksi Mandragunta? 

Dugaan itu tidak salah. Di hadapan mereka telah berdiri dua sosok tubuh. Yang satu Ki 
Tapaksi Mandragunta. Sedangkan yang lainnya Handaka, putranya! 

"Mengapa kalian berlari-lari seperti anjing hendak digebuk?!" tanya Ki Tapaksi 
Mandragunta agak keheranan Tampak jelas ada nada teguran dalam suaranya. 

"Ampun, Ketua! Bukan kami bermaksud untuk menjadi pengecut! Tapi, sebuah kejadian 
aneh, terjadi di kamar Dewa Arak!" jawab Gembong. Kemudian secara singkat tapi jelas, 
diceritakan semua kejadiannya. 

"Ah...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Sepasang matanya terbelalak lebar, dan tarikan 
wajahnya menyiratkan keterkejutan yang hebat. Hal yang sama pun dialami pula Handaka. 

"Lalu..., bagaimana keadaan Dewa Arak, Melati?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, ingin 

tahu. 

"Baru saja aku ingin memberinya pertolongan, Ki. Dia keracunan. Tapi, aku bisa 
mengobatinya. Ng...,bisa menyediakan arak untukku, Ki?" 

Melati sengaja mengajukan permintaan seperti itu. Masalahnya, di dalam guci kekasihnya 
tidak terdapat arak sama sekali. Rupanya semua araknya tumpah ketika tubuh Dewa Arak 
terguling-guling. Gadis itu tahu, arak biasa pun akan jadi penawar racun yang ampuh apabila 
dimasukkan ke dalam guci pusaka Dewa Arak. 

Namun, betapa kecewanya hati Melati ketika mendapat jawaban KiTapaksi Mandragunta. 

"Ah...! Sayang sekali aku tidak bisa menyediakannya, Melati! Arak merupakan barang 
terlarang di perguruan ini. Sekali lagi, maaf! Kalau boleh kutahu, apakah arak bisa menyembuhkan 
keracunan?! Rasanya..., aku belum pernah mendengarnya." 

"Kalaubegitu, tidak mengapa, Ki. Biarlah kucoba cara lainnya!" 

Usai berkata demikian, tanpa mempedulikan Ki Tapaksi Mandragunta yang kebingungan 
karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban, Melati memapah tubuh Dewa Arak menjauhi 
mereka. Gadis berpakaian putih ini ingin memberikan pertolongan pada kekasihnya. 

"Gembong, bagaimana keadaan Gulimang?" 

Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan pertanyaan kepada Gembong. 

"Aku belum tahu, Ketua. Yang jelas, dia hanya mencium asap itu sedikit. Dan...." 

"Biar kucoba mengobatinya, Ayah," selak Handaka, sebelum Gembong menyelesaikan 
penjelasannya. 

Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Ditatap wajah putranya lekat-lekat. "Apa 
yang akan kau lakukan, Handaka?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bernada menguji. 

"Mudah saja, Ayah," jawab Handaka merasa yakin. "Hanya mengeluarkan racun yang 
sempat terhisap olehnya, kan?!" 

"Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi bagaimana kau melakukannya?!" desak Ki 
Tapaksi Mandragunta karena belum yakin akan ke-mampuan Handaka. 

"Kusalurkan hawa mumi untuk mendorong racun itu keluar dari tubuhnya," jawab 
Handaka dengan suara datar. Seakan meremehkan kekuatan racun itu. 

"Ah!" Ki Tapaksi Mandragunta memekik kaget. "Mengapa kau bisa menduga demikian, 
Handaka?" 



Handaka tersenyum pahit. Dirasakan ada nada ketidakpercayaan sang Ayah atas jawaban 
yang diberikannya. 

"Jawab secara jujur, Handaka. Dari mana kau tahu, cara itu?! Asal kau tahu saja, hanya 
orang-orang yang telah berpengalaman merambah dunia persilatan dapat mengetahui cara itu. 
Pengalaman yang menjadi guru. Aku sendiri tahu, kau belum pernah terjun ke dunia persilatan. 
Lalu, dari mana kau mendapatkan dugaan seperti itu?!" 

Seketika itu pula wajah Handaka merah padam. 

"Aku mendapatkannya dari sana, Ayah," jawab pemuda berpakaian kuning itu malu-malu 
seraya menudingkan jari telunjuknya ke satu arah. 

Ki Tapaksi Mandragunta menoleh ke tempat yang ditunjuk putranya. Lelaki tua itu segera 
tahu yang dimaksud Handaka, ketika melihat pemandangan yang membuatnya mengerti, mengapa 
putranya dapat mengajukan usul demikian cemerlang. 

Di sana tampak dua sosok tubuh. Yang satu dalam keadaan telentang. Sedangkan yang satu 
lagi duduk bersila, seraya menempelkan kedua telapak tangan yang terbuka ke bagian dada. Kedua 
sosok itu tak lain dari Dewa Arak dan Melati! 

Tanpa diberitahukan pun, seperti juga Handaka, Ki Tapaksi Mandragunta mengerti kalau 
Melati tengah berusaha mengusir hawa beracun di tubuh Dewa Arak dengan pengerahan hawa 
murninya. 

Mula-mula memang tak tampak ada pengaruh. Namun semakin lama, terlihat ada 
perubahan. Ada asap kehijauan keluar dari kepala Dewa Arak. Mula-mula tipis dan sedikit, 
semakin lama semakin tebal dan banyak. Asap itu rupanya hawa beracun yang tadi masuk ke 
tubuh Dewa Arak. 

Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatiannya lagi pada Handaka. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Handaka?! Cepat selamatkan nyawa Gulimang!" 

"Baik, Ayah," jawab Handaka, gembira. Kemudian matanya menatap wajah Gembong, 
"Berikan Gulimang padaku, Gembong!" 

Tanpa berkata apa pun, Gembong segera melangkah maju dan menyerahkan tubuh 
Gulimang pada Handaka. Pemuda berpakaian kuning itu segera membawa tubuh Gulimang, 
menjauhi tempat itu. Sesaat kemudian, dia mulai sibuk dengan urusannya. 

"Hhh...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatian pada bangunan yang hendak 
didatanginya. Di bangunan inilah, kamar Dewa Arak dan Melati berada. 

Perguruan Kera Emas tergolong sebuah perguruan besar. Di dalam lingkungan perguruan 
itu terdapat banyak bangunan besar yang di dalamnya berisi kamar-kamar! Kamar tempat Dewa 
Arak dan Melati menginap berada dalam bangunan khusus untuk tamu-tamu Perguruan Kera 
Emas.