Dewa Arak 55 - Perintah Maut


Srakkk...! 

"Keparat!” 

Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh 
kejengkelan, merobek keheningan suasana yang masih diselimuti 
kegelapan. 

Sebenarnya, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah 
hampir usai. Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufiik 
timur. Meskipun demikian, kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok 
ayam jantan pun sesekali bersuara, seakan hendak menyambut pagi. 

Di tengah suasana seperti itulah suara makian tadi terdengar dari 
mulut sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena 
tertutup kain hitam dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan 
ke belakang kepala. Hal itu sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin 
dikenal. 

"Hih!" 

Dengan menggeram, sosok berpakai an hitam itu menarik kuat-kuat 
kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang 



yang tak terlihat karena tertutup semak-semak dan rerumputan. Lubang 
itu kecil tapi cukup dalam. Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa 
kesakitan, mungkin kalau tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis 
menahan nyeri di kaki yang terjepit lubang itu. Hanya matanya yang 
tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti ada yang tengah diawasi. 

Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit 
yang mendera. Begitu terbebas dari lubang, kakinya kembali 
metanjutkan peijalanan. Langkahnya terburu-buru sekali. Sehingga 
tampak agak terpincang-pincang. Karena kaki sebelah kanan yang 
terperosok di lubang tadi, dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan 
ke tanah. 

Srak! Srak! Srak! 

Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang 
dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti. 
Terlihat jelas, sosok berpakai an hitam itu tengah tergesa-gesa. 

Setelah cukup lama menerobos semak-semak dan rerumputan, 
akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang 
membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang menghalangi tempat 
itu, kecuali rumput-rumput pendek dan kering. 

Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah dan 
mengedarkan pandangan. Namun, hal itu hanya dilakukannya sebentar. 
Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari 
sebelumnya. Rupanya rasa sakit yang melanda kaki telah mulai 
berkurang. 

Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarang an. 
Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat 
dibuktikan dari larinya yang cepat dan gesit 

Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan 
sosok berpakaian hitam, samar-samar tampak sebuah bangunan. Ke 
tempat itulah kakinya diayunkan. Hanya dalam beberapa kali lesatan, 
tubuhnya telah berada tepat di depan bangunan itu. Sebuah bangunan 
yang tampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana pagi yang masih 
gelap dan sunyi seperti ini. 

Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya, 
mengawasi ke sekitar pekarangan yang luas. Bangunan tua itu 
tampaknya sudah tak beipenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari 
keadaannya yang terbengkalai seperti tak terawat. Pepohonan kecil 
tampak meranggas di tengah halaman luas yang kotor. 

Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu 
melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian 
itu. Di sana tampak tertancap sebatang tombak berwarna mengkilat. 

Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan 
betapa kuat tenaga dalam yang telah menghunjamkannya. 

Begitu berada di dekat tombak, sosok berpakaian hitam itu 
menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari. 
Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan 
dilakukanya. 

Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian 
hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian 
tangannya telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan 
sebuah kantung kain sebesar kepalan bayi. Kantung yang tampak 
menggembung itu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika 
dikeluarkan 

Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam 
itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke 
gagang tombak. 

"Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku Kini tinggal menunggu 
hasilnya. Ha ha ha...! Tunggulah kematianmu, BimaSeta! Ha ha ha...!" 
ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak, merasa puas dan bangga. Rasa 
gembira itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup 
kain. 

Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam 
segera meninggalkan tempat itu Hanya dalam beberapa kali lesatan, 
tubuhnya telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi 

*** 

"Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu. Kang." 

Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh 
sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu Suara itu 
berasal dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua. 

Ternyata pada salah satu cabang pohon besar di sebelah kanan 
bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan. 
Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap, 
membuat keberadaan mereka sulit untuk diketahui. 

"Aku juga tidak mengerti. Melati," timpal sosok lainnya. 'Tapi 
jelas..., ada seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu 
bernama Bima Seta. Sementara orang yang mengincar nyawanya, 
kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang 
dilakukannya seperti itu?" 

Terdengar jelas perbedaan kedua suara itu. Yang pertama lembut, 
dan agak melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap, 
dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita. 



"Mungkin ada hubungannya dengan benda-benda yang 
digantungkan pada gagang tombak itu. Kang," ujar wanita yang 
dipanggil Melati. 

"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara lelaki. "Tidak ada 
salahnya kalau kita memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan." 

Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon 
melesat turun dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan.... 

Jliggg- 

Seringan kapas, dua sosok yang tadi berada di atas pohon 
menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduanya mempunyai ilmu 
meringankan tubuh yang telah sempurna. 

Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian 
hitam menaruh benda-benda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka 
tidak begitu tergesa-gesa. 

Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas 
ciri-ciri mereka. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita. 
Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus 
tubuhnya yang ramping. 

Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan bemsia 
sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantanannya. 
Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu. 

Ada sebuah keanehan pada pemuda berpakaian ungu itu. 
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan. Warna rambut 
yang biasanya hanya dimiliki orang-orang bemsia lanjut. 

Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih 
keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan 
julukan Dewa Arak! 

Dengan pandangan tertuju pada benda-benda yang tergantung di 
batang tombak, Arya dan Melati tems melangkah mendekat. Namun, 
ketika jarak antara pasangan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga 
tombak lagi, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam yang melesat 
begitu cepat. Dan.... 

Brettt! 

Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap 
dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya! 
Kemudian dengan kecepatan luar biasa, sosok bayangan itu melesat 
meninggalkan tempat Dewa Arak dan Melati berada. 

Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk 
dirinci rentetannya. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru 
menyadari ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh. 



Meskipun demikian, sepasang pendekar ini sempat melihat kalau 
sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor 
bumng. 

Sepasang pendekar muda itu hanya bisa memperhatikan bumng itu 
melayang di bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin 
jauh, sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan 
dan suasana remang-malang malam menjelang pagi. 

Melihat kejadian barusan. Dewa Arak dan Melati hanya saling 
pandang. Ada sorot keheranan dan rasa penasaran memancar di mata 
mereka. 

"Aku jadi semakin tidak mengerti. Kang," ujar Melati, lirih tak 
ubahnya mirip bisikan. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak pun hanya menyahut dengan helaan napas panjang. 
Sedangkan tatapannya diarahkan ke langit, seperti tengah mencari 
jawaban atas pertanyaan kekasihnya di sana. 

"Bukan kau saja yang tak mengerti. Melati. Aku pun merasa heran. 
Apa arti semua kejadian aneh ini?! Hanya satu yang berhasil 
kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...." 

Dewa Arak menghentikan ucapannya. Ditatapnya sejenak wajah 
Melati. Sikap dan pandangan matanya seakan-akan tengah menunggu 
jawaban dari gadis berpakaian putih itu. 

"Apa itu. Kang?" 

Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan 
pertanyaan bernada penuh rasa ingin tahu. 

"Ada seseorang yang tengah terancam keselamatannya! Kau tahu 
kan siapa yang kumaksudkan?" 

"Maksudmu..., BimaSeta?!" tanya Melati, ragu-ragu. 

"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari. "Dialah 
yang kumaksudkan. Ada bahaya besar yang tengah mengancam 
keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya. Melati!" 

"Aku setuju saja. Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima 
Seta? Kita belum tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih 
repot lagi, kita belum pernah melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah 
mengenal nama Bima Seta. Lalu..., bagaimana cara kita mencegah 
pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan 
penceg ahan itu. 

"Hanya ada dua cara. Melati," sahut Dewa Arak cepat. "Pertama, 
kita cari orang yang tadi datang kemari." 

"Lalu..., apa cara yang satunya lagi. Kang?" desak Melati tidak 
sabar menunggu. 

"Mengejar burung yang telah mendahului kita, menyambar 
barang-barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang 
jelas, kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki. 
Mudah-mudahan saja, belum terlambat!" 

"Kalau begitu maksudmu, kita harus cepat bertindak. Kang! O, ya. 
Apa tindakan kita sekarang?" tanya Melati seraya menatap wajah 
kekasihnya. 

"Mengejar orang berpakaian serba hitam tadi!" jawab Aiya dengan 
suara tegas dan mantap. 

Usai berkata demikian. Dewa Arak langsung mengayunkan kaki 
dengan gerakan luar biasa. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah 
berada dalam jarak belasan tombak dari tempat semula. 

Melihat hal ini. Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera 
mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah 
melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda ini 
telah sama-sama melesat menuju arah yang ditempuh sosok berpakaian 
hitam. 

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang. Tuan Besar...!" 

Suara teriakan keras dan parau dengan logat yang aneh lerdengar 
beberapa kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai 
bambu terbangun. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka 

"Ah...! Kau rupanya. Raja," gumam sosok yang terbaring di atas 
balai-balai bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh. "Sepagi 
ini kau sudah membangunkanku. Apa ada pekeijaan yang harus 
kulakukan?" 

"Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawanya...!" sahut 
pemilik suara serak dengan logat aneh itu. 

"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok 
yang tergolek di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu 
perlahan-lahan duduk. 

Pemilik suara serak dan berlogat aneh itu pun langsung meluncur 
menuju balai-balai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu 
keluar dari mulut seekor bumng cukup besar. Sayapnya yang lebar 
terkepak. 

Wrettt! 

Jrabbb! 

Dalam sekejap bumng itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki 
yang dipanggil Tuan Besar. 

Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di 
pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu Kemudian 
tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan 
kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang 
dipanggil Raja telah menjatuhkan kedua benda itu di balai-balai bambu 
sebelum hinggap di bahu pemiliknya. 

Perlahan-lahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat 
dari kulit binatang itu Pada lembaran yang tampak halus tertera sederet 
tulisan hitam Lelaki berkumis tebal itu segera membacanya dalam hati. 

Utusan dari Akhirat. 

Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima 
Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu? Ya. Dia adalah Kepala Desa 
Jarak. Siang ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa 
menghabisi nyawanya di sana 

O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang 
imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup. 

Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal 
menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di 
bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di 
balai-balai bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu. 
Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluarkan isinya. 

Cring! Cring! 

Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika benda-benda logam 
yang ternyata uang itu beijatuhan di telapak tangannya. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang 
menyiratkan kegembiraan. 

"Kau tahu isi surat itu. Raja?!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada 
bumng hitam yang masih bertengger di pundaknya. 

"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan?!" sambut bumng berbulu 
hitam itu dengan suara serak dan logat yang aneh. 

"Ha ha ha...!" 

Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata beijuluk Utusan 
dari Akherat itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat 
seisi mangan bergetar hebat. Hal itu pertanda kalau dia mengerahkan 
tenaga dalam ketika mengumbar tawa yang bernada penuh kegembiraan 
itu. 



Masih dengan suara tawa yang belum putus. Utusan dari Akherat 
menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun 
tiba-tiba tawanya terhenti ketika burung hitam itu menyelak. 

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh 
tubuhku terasa gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!" 

"Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera 
mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!" 

Usai berkata demikian. Utusan dari Akherat langsung bangkit dari 
duduknya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya. 




Derap kaki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk 
keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya 
kicau burung dan teriakan-teriakan binatang penghuni hutan, kini 
gemuruh langkah kaki kuda seakan-akan hendak memecahkan suasana. 

Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak 
melangkah perlahan, karena penunggangnya tidak memacu cepat. 
Bahkan seperti memang disengaja agar binatang tunggangannya tidak 
beijalan cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu. 

Penunggang kuda itu ternyata seorang lelaki setengah baya, 
berpakaian coklat muda. Kepalanya menoleh ke sana kemari, 
seakan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Bahkan beberapa kali 
tali kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali 
langkah binatang tunggangannya berhenti. Mata lelaki itu jelalatan 
mengawasi tempat di sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi. 

Lelaki berpakaian coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di 
belakangnya, beijajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing 
ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang 
tampak menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda dengan lelaki 
berpakaian coklat muda, dua lelaki bertubuh kekar itu tampak begitu 
waspada. 

Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan 
Saragan. Namun lelaki berpakaian coklat muda yang berada di depan, 
tampaknya tak mempedulikan keadaan hutan itu. 

Lelaki berpakaian coklat muda menghentikan langkah kudanya 
ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah 
gerakan indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda. 

Jliggg! 

Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah. 
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih 
duduk di punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat 
turun. 

"Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda. 

Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera 
mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada 
lelaki berpakaian coklat muda. 

"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir tebal dan hitam itu, penuh 
hormat. 

Lelaki berpakaian coklat muda hanya menganggukkan kepala 
perlahan seraya menerima busur besar itu. Lalu, tanpa mempedulikan 
kudanya, segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di 
sebelah kiri mereka. 

Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda 
itu melolos anak panah dari kantung panjang yang tergantung di 
punggungnya. Ternyata bukan hanya sebatang, melainkan dua batang 
anak panah. Kemudian yang lebih mengherankan, keduanya dipasang 
pada tali busur. 

Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki 
berpakaian coklat muda itu berjalan mengendap-endap menyibak 
rerumputan. Namun tentu saja bukan karena rerumputan yang telah 
menghalangi langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali. 
Ternyata puluhan tombak di hadapannya ada beberapa ekor kijang yang 
tengah merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik 
perhatiannya. 

Lelaki berpakaian coklat muda bertindak hati-hati sekali. 
Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui 
kehadirannya. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat 
sampai pada jarak jangkauan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di 
balik pohon besar yang rumbuh di sekitar tempat itu 

Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rupanya pengawal 
lelaki berpakaian coklat muda itu, hanya mengawasi dari kejauhan. 
Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpakaian coklat muda, telah 
ditambatkan di bawah pohon. 

"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani?!" tanya Birawa setengah 
mengaj ak. 

Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan j awaban. 
Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa. 

"Bertaruh apa, Birawa?!" 

"Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah! 
Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil 
atau tidak?!" jawab Birawa seraya mengangguk-anggukkan kepala. 

"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani. "Kutebak, beliau 
akan berhasil memanah salah satu di antara kijang-kijang itu." 

Birawa tersenyum. Kepalanya kembali mengangguk-angguk. 

"Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa 
boleh buat, meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai 
kemampuan memanah yang luar biasa, terpaksa kuterima pilihan 
lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan 
kita!" 

"Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum 
gembira. Wajahnya menggambarkan keyakinan bahwa dia bakal 
memenangkan taruhan itu. 

Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pandangan, 
memperhatikan lelaki berpakai an coklat muda yang ternyata bernama Ki 
Bima Seta. 

Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta 
tengah beijalan mengendap-endap. Busur panahnya yang besar telah 
siap direntang di depan wajah. 

Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruhan. 
Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak 
panahnya, kijang-kijang itu tampak masih sibuk memmput. Mereka 
tampaknya tidak menyadari akan adanya ancaman maut yang tengah 
mengintai. 

Ki Bima Seta merasakan jantungnya berdebar tegang. Apalagi 
ketika mulai membidikkan panahnya. Sudah terbayang di benaknya 
betapa kedua anak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh 
salah satu kijang itu. Tentu saja kijang paling gemuk dan besar yang 
menjadi sasarannya. Namun tiba-tiba.... 

Srakkk! 

Blukkk! 

Sebuah batu sebesar kepalan meluncur dan jatuh di dekat 
sekawanan kijang itu Tentu saja kejadian itu membuat 
binatang-binatang itu terkejut bukan kepalang, dan langsung 
berhamburan melarikan diri. 

Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki 
Bima Seta terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang 
di benaknya betapa seekor kijang yang paling besar dan gemuk akan 
menggelepar tertembus anak panahnya. 

Maka secara untung-untungan, dilepaskan anak panah dari 
busurnya. 

Trakkk! Swing...! 

Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah 
sekawanan kijang yang tengah berlarian dari tempat itu. Hasilnya 
memang seperti yang diduga Ki BimaSeta. Kedua anak panah itu hanya 
menyambar angin! 

"Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan 
usahanya itu disebabkan adanya gangguan yang tidak terduga. "Monyet 
gila dari mana yang telah menggangguku hari ini, heh...?! Keluar kau. 
Pengecut! Jangan bersembunyi! Tampakkan dirimu!" 

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan geram bernada tantangan, 
Ki Bima Seta mengedarkan pandangan mengawasi sekelilingnya. 
Hatinya merasa penasaran ingin segera melihat orang yang telah berbuat 
usil tadi. 

"Siapa yang bersembunyi, Bima Seta?! Sejak tadi aku di sini!" sahut 
sebuah suara. 

Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa, 
masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja 
kepalanya didongakkan. 

Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu teijingkat 
kaget. Bahkan kali ini sampai tersumt mundur. Tepat di atas kepalanya, 
pada salah satu cabang pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh 
berpakaian hitam. 

Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian 
hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya Gerakan yang 
dilakukannya begitu cepat dan tampak indah. 

Jliggg! 

Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan 
kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan 
tubuhnya amat tinggi. 

"Siapa kau?!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari 
telunjuknya. Matanya yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar 
tiga tombak di depannya. Sesosok berpakaian serba hitam itu beitubuh 
tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang dikenakan membuat 
wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena 
tepat pada bagian mata, terdapat dua buah lubang. 

"Siapa diriku sebenarnya, nanti kujelaskan belakangan. Yang lebih 
penting lagi kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang 
kulakukan itu, Bima Seta?!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak 
acuh. 

"Dari mana kau tahu namaku. Keparat?!" tanya Ki Bima Seta, tak 
dapat menyembunyikan perasaan kagetnya. "Dan siapa sebenarnya 
dirimu? Aku belum pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri 
urusanku?!" 

"He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin 
memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam 
itu tertawa terkekeh, menyadari pancingannya berhasil. 

Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau 
dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu. 

"Hm..., ada apa kau mencariku?! Aku merasa tidak pernah punya 
urusan denganmu," ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata. 

Sebenarnya laki-laki berpakaian coklat muda ini bukan orang 
sembarang an. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam 
itu membuatnya harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan 
sendiri kemampuan sosok tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya 
jelas telah mencapai tingkat tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan 
tenaga dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa 
memperkirak annya. 

"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan 
sosok berselubung hitam. "Tapi, sekarang di antara kita ada urusan. 
Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi." 

Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur 
selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya 
tahu kalau sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena 
ada sebuah dugaan yang menyelinap di benaknya begitu mendapat 
jawaban itu. 


*** 

Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia 
persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekeijaan sebagai 
pembunuh bayaran. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa 
sebenarnya, karena tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang 
diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat! 

Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan 
dari Akherat itu?! Tanya Ki Bima Seta dalam hati. 

Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh 
bayaran yang beijuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian 
serba hitam. 

"Siapa kau, Kisanak?!" tanya Ki Bima Seta, ingin memastikan 
kebenaran dugaannya, setelah termenung beberapa saat. 

"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau 
boleh menyebutku sebagai Utusan dari Akherat," jawab sosok 
berselubung hitam yang ternyata memang Utusan dari Akherat. 

"Ah...!" 

Meskipun sudah menduga sebelumnya, Ki Bima Seta tak urung 
terkejut juga. 

"Kau pernah mendengar julukan itu?!" tanya Utusan dari Akherat, 
masih tetap bersikap tenang. 

"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala. "Bukankah kau 
pembunuh bayaran?" 

"Hehehe...!" 

Utusan dari Akherat menganggukkan kepala seraya tertawa 
terkekeh-kekeh. 

"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah 
sungguh-sungguh. "Aku berani membayarmu beberapa kali lipat dari 
orang yang telah menyewamu. Syaratnya, batalkan maksudmu. Dan 
bunuh orang yang menyuruh membunuhku!" 

"Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini 
menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku, 
tak dapat dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari 
penyewaku. Setiap perintah berlaku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar 
lagi!" jawab Utusan dari Akherat dengan tegas. 

Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel. 

"Jangan kaukira aku takut padamu. Utusan dari Akherat! Orang lain 
boleh takut mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!" 

"Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu 
sejak tadi. Kau tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah 
begitu saja. Nah, bersiaplah kau!" 

"Kaulah yang akan kami lenyapkan!" 

Seman keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir 
berbarengan. Ternyata dua lelaki bertubuh kekar ini telah berada di situ 
sejak tadi. Mereka ikut mendengarkan percakapan antara Ki Bima Seta 
dengan Utusan dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena 
melihat majikan mereka masih terlibat percakapan dengan pembunuh 
bayaran itu. 

Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak. 

Srat! Srat! 

Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa 
mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling 
sepakat mereka bergerak menghampiri Utusan dari Akherat dari arah 
berlawanan. Sempani dari kiri, danBirawa sebaliknya. Lalu.... 

"Hiyaaat..!" 

Diiringi teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu 
tergetar hebat, Sempani dan Birawa melancarkan serangan. 

Baik Birawa maupun Sempani menggerakkan pedang berputar 
laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan 
dari Akherat. Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan 
Birawa mengirimkan babatan ke leher. Bunyi menderu yang mengiringi 
tibanya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang 
mereka kerahkan. 

"Hmh...!" 

Utusan dari Akherat mengeluarkan dengusan bernada mengejek 
melihat serangan-serangan itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun 
bahaya maut tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada 
tanda-tanda akan dilakukannya tindakan pembelaan diri, baik mengelak 
ataupun menangkis. 

Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat 
tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah 
Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat 
pada sasarannya? Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah 
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia me¬ 
miliki ilmu yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam? 

Peratanyan-pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta 
Ki Bima Seta. Dan mereka tak perlu menunggu terlalu lama untuk 
mendapatkan j aw abanny a. 

Tak! Takkk! 

Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar ketika 
pedang Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya. 

"Hah...?!" 

"Akh...?!" 

Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasakan tangan 
mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan 
terhadap lawan. Mulut mereka meringis menahan rasa sakit yang 
mendera di tangan. 

"He he he...! Mengapa berhenti?!" ejek Utusan dari Akherat melihat 
kedua lawan menyeringai kesakitan, seraya menatap dirinya dengan 
pandangan takjub. "Pilihlah bagian yang empuk!" 

Usai berkata demikian, sosok berselubung hitam itu melipat kedua 
tangannya di depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap 
menerima serangan Sempani dan Birawa tanpa memberikan perlawanan. 

Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karena sesaat 
kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan. 

Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar menepati janjinya. Dia 
tak memberikan perlawanan sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan 
kedua lawannya. Tak pelak lagi, dua batang pedang yang dikerahkan 
dengan tenaga dalam, bertubi-tubi menghantam sekujur tubuhnya. 

Tak! Tak! Tak! 

Namun, seperti juga kejadian sebelumnya. Utusan dari Akherat tak 
terpengaruh sama sekali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena 
Sempani dan Birawa mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk 
melancarkan serangan secara terus-menerus, tak aneh kalau akibatnya 
mereka kelelahan bagai kehilangan daya. 

"Sudah puas?! Ha ha ha...!" 

Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak-bahak mengejek. 
Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri 
tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tampak pa-kaiannya 
terkoyak-koyak akibat rusukan, sabetan, dan bacokan kedua pedang 
lawan. 

Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap nanar Utusan dari 
Akherat. Keduanya seakan-akan tak mampu melakukan serangan. 
Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta iri telah menyadari kalau lawan 
terlalu tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga 
untuk memberi jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak 
tegak lagi telah menjadi bukti nyata kelelahan yang diderita. 

"Hehehe...!" 

Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemudian dengan tawa yang 
belum putus, pandangannya diarahkan ke arah Ki Bima Seta. 

Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan 
semua kejadian itu. 

"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ketahuilah, he he he...! Nasibmu 
tak sama dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding 
Sempani dan Birawa. "Aku hanya diperintah agar membunuhmu! 
Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!" 

Srat! Srat! 

Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggapan atas 
peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian 
coklat muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawanan. 

"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku. Bangsat!" dengus Ki 
Bima Seta sengit 

Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan 
sepasang goloknya di depan dada. 

Wunggg! Wunggg..! 

Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk 
kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai 
tenaga dalam yang amat kuat. 

Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta 
menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya. 
Kakinya melangkah perlahan-lahan, dengan pandangan tems tertuju 
pada lawannya. Ki Bima Seta tampaknya tengah mencari bagian dari 
tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan 

Hal yang sama pun dilakukan Utusan dari Akherat. Pembunuh 
bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa 
disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun 
kelihatannya sosok berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya 
kewaspadaan telah dipasang secara penuh. 

Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta 
dengan seksama. Memang, kedudukannya tetap tidak berubah. Namun, 
sepasang matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta. 




"Haaat..!" Sing! Sing! Sepasang golokKi Bima beta bergerak cepat 
seperti menggunting leher Utusan dari Akherat. 

Melihat serangan yang berbahaya ini, sosok berselubung hitam 
segera menarik kaki kanannya mundur, dan mencondongkan tubuhnya 
ke belakang! 

Beberapa saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan 
dari Akherat tetap berdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta 
terus melangkah menghampirinya dengan sepasang senjata siap untuk 
disarangkan pada sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati. 

Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya 
bertindak sebagai penonton. 

"Haaat...!" 

Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan 
yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian coklat itu membuka 
serangan dengan sebuah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak 
cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat. 

Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu 
karena lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian 
rupa. Sehingga golok yang berada di tangan kanan membabat dari kiri, 
sedangkan golok di tangan kiri membabat dari kanan. 

Sing! Sing! 

Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar, 
ketika sepasang golok itu saling berkelebat membum sasaran. 

Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam 
jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau 
perasaan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu Meskipun 
serangan lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya 
ternyata jauh lebih cepat. Kaki kanannya segera ditarik mundur, sambil 
tak lupa mencondongkan tubuh ke belakang. 

Wuttt! Wuttt! 

Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percuma. 
Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat 
tempat kosong. Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya 
yang tertutup selubung kain hitam. 

Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan 
pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan 
susulan. Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit. 
Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang 
lawan. 

"Hebat...!" 

Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian. 
Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini 
memang merasa kagum melihat kehebatan perkembangan ilmu golok 
lawannya. 

Meskipun demikian, bukan berarti Utusan dari Akhirat tak mampu 
mematahkan serangan dahsyat itu Sama sekali tidak! Meskipun 
serangan lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak 
terduga. 

"Hiyaaa...!" 

Wut! Wut! 

"Hih...!" 

Dengan cepat Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang, 
sehingga serangan Ki BimaSeta kembali kandas. 

Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan 
sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika 
tubuh Utusan dari Akherat tengah berada di udara, kakinya digenjotkan 
untuk memburu lawan seraya melancarkan serangan bertubi-tubi. 

Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang 
pantas disebut sebagai sebuah pertarungan. Masalahnya, Utusan dari 
Akherat terus-menerus bergerak menjauh, sementara Ki Bima Seta 
memburunya seraya tanpa henti menghujani serangan secara beruntun. 

Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan 
dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai 
sasaran. Semua berhasil dielakkan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal 
ini membuat lelaki berpakaian coklat muda itu merasa penasaran bukan 
kepalang. Sehingga, serangan-serangannya pun semakin dahsyat dan 
susul-menyusul laksana gelombang laut. 

Sebenarnya, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak 
menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemalsu. Kegagal an demi 
kegagalan serangan yang dilakukan dalam belasan jums, telah 
membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasnya. 
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh. 

Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala. 
Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak 
terpikirkan. Bukan menghentikan serangan dan mencari cara agar dapat 
meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar 
melancarkan serangan. 

Kembali limajums terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir 
mencapai dua puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil 
menyarangkan satu pun serangannya. 

"Sekarang giliranku, Bima Seta!" 

Terdengar seman Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan 
sepasang golok Ki Bima Seta. 

Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat 
mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya 
semakin mengendur. Hanya saja kali ini kewaspadaannya ditingkatkan. 
Disadari kalau ucapan itu mengandung pengertian kalau lawan akan 
mulai melancarkan serangan balasan. 

Ternyata benar. Utusan dari Akherat langsung memenuhi janjinya. 
Hal itu terbukti pada jums kesembilan belas, tepat ketika Ki Bima Seta 
menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung 
hitam cepat mengulurkan kedua tangannya. 

Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan. 
Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat 
menduga tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi 
kalau bukan hendak menangkap mata goloknya? Sudah gilakah Utusan 
dari Akherat?! Atau memang dirinya mempunyai tenaga dalam yang 
amat kuat sehingga dapat menangkap sepas ang goloknya tanpa terluka! 

Ki BimaSeta merasakan betapa jantungnya berdebar-debar. Hal itu 
karena hatinya yakin Utusan dari Akherat akan mengalami akibat yang 
tidak menyenangkan apabila tetap meneruskan maksudnya. 
Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka. 

Ki BimaSeta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan. Utusan 
dari Akherat terlalu yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki 
dan terlalu menganggap remeh kemampuan lawan. Padahal, Ki Bima 
Seta tahu pasti bahwa kemampuan dan tenaga dalamnya tak bisa 
disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya. 
Jangankan hanya dua orang, biar ada sepuluh Sempani atau Birawa pun 
tak dapat disamakan dengan dirinya! 

Karena keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk 
meneruskan serangannya. Bahkan lelaki berpakaian coklat muda itu 
menggertakkan gigi, seakan-akan berusaha meningkatkan kekuatan 
serangan sampai batas-batas tertinggi kemampuan yang dimilikinya. 

Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata 
memang bermaksud memapak serangan itu dengan kedua tangannya! 
Dan.... 

Kreppp! 

"Heh...?!" 

Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat 
kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil 
direnggut cengkeraman Utusan dari Akherat! Dan jari-jari tangan sosok 
berselubung hitam itu tampak tetap utuh! Jangankan putus, terlukapun 
tidak! Hal ini benar-benar di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya 
terbelalak kaget bercampur heran. 

Ki Bima Seta langsung menyadari akan keadaan yang kurang 
menguntungkan baginya. Lelaki setengah baya itu tidak ingin senjata 
andalan itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari 
cengkeraman tangan lawan. Lelaki berpakaian coklat muda itu tahu 
kalau hal itu dilakukan, setidak-tidaknya tangan Utusan dari Akherat 
akan terluka! 

Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak 
sesuai dengan kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming. 
Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan 
sebuah jepit baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahkan tenaga sampai 
terdengar suara ah-uh ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia! 

Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan 
tarikannya, tanpa diduga Utusan dari Akherat melepaskan 
cengkeramannya. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta 
terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. 

"Aaah...!" 

Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluarkan jeritan yang sebagian 
besar karena rasa kaget. 

Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan 
terhuyung-huyung. Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya 
ke balik baju. Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan 
menggenggam sebatang pisau kecil bergagang ukiran kepala tengkorak 
manusia. 

Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula 
Utusan dari Akherat mengibaskannya. 

Singgg! 

Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh 
Ki Bima Seta yang belum sempat memperbaiki kedudukannya. 

Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu. 
Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih 
terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan 
untuk mematahkan serangan itu. Tapi.... 

Crap! 

"Aaakh...!" 

Jeritan panjang menyayat hati keluar dari mulut Ki Bima Seta, 
ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya. 
Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total! 

Brukkk! 

Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelepar 
sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. 
Mati! 

"Ki...!" 

Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai 
diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta 
yang terkapar berlumur darah. 

"Ha ha ha...!" 

Berbeda dengan Sempani dan Birawa yang tampak sangat terpukul 
atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil 
memperhatikan mayat korbannya, dia tertawa terbahak-bahak. 

Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu 
melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa 
kali lesatan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam 
kecil tampak di kejauhan, yang akhirnya lenyap. 

Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi.Tidak terdengar lagi 
gemuruh pertarungan dan teriakan-teriakan keras. Keadaan pulih seperti 
sedia kala. 




Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan 
tempat terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit 
Dalam suasana seperti itulah tampak sepasang muda-mudi 
melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka 
mengenakan pakaian berwarna ungu dan putih Siapa lagi kalau bukan 
Dewa Arak dan Melati?! 

Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini 
menghentikan langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh 
mata memandang, yang terlihat hanya jajaran tanaman singkong. 



Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan 
lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang 
dada yang tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang, 
sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya. 

Hanya sebentar saja Dewa Arak dan Melati bersikap demikian. 
Kemudian dengan gerak isyarat. Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk 
menuju para petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian 
putih itu mengikuti. 

Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dewa Arak dan 
Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk 
dengan pekerjaannya Keduanya melangkah di atas jalan setapak yang 
membelah jajaran pepohonan. 

"Maaf Kisanak! bisa kami mengganggu sebentar?! Kami ingin 
menanyakan sesuatu," tanya Aiya sopan. 

Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering 
terbakar matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya sejenak 
menatap kedua muda-mudi di hadapannya. Sekilas tampak sorot 
keterkejutan pada wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar. 
Karena segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah. 

"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkah saja aku bisa 
membantu," sahut lelaki kekar itu ramah. 

"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari seseorang yang bernama 
Bima Seta. Apakah kau bisa menunjukkan pada kami tempat 
tinggalnya?!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi 
berkecamuk di hati. 

Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap. 
Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Arya. 

Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari 
perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat 
keduanya heran. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tak 
memperlihatkan perasaan itu. 

"Ada urusan apa mencarinya, Kisanak?!" tanya lelaki kekar itu 
dengan nada suara kurang ramah. 

Arya mengembangkan senyum lebar. 

"Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya. 
Hanya saja, di tengah peijalanan, kami mendengar ada orang yang 
bermaksud membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat 
mengetahuinya, dia telah kebum kabur," jelas Arya, tetap bersikap 
tenang. 

"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan 
adanya usaha pembunuhan itu, Kisanak?!" tukas lelaki kekar itu, cepat. 

"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kepala. 

Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar 
itu. 

"Urungkan saja niatmu, Kisanak!" tandas lelaki kekar itu dengan 
nada semakin tidak ramah. "Percayalah! Usaha pembunuhan itu tidak 
akan berhasil! Nah! Sekarang, pergilah!" 

Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat 
perlakuan seperti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti 
mempunyai alasan sehingga bersikap demikian. Dewa Arak menahan 
diri. Ditahannya amarah yang berkobar-kobar di dalam dada. 

Arya berhasil menekan kemarahannya. Akan tetapi, tidak demikian 
halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung 
bukan kepalang melihat perlakuan lelaki kasar itu pada kekasihnya. 
Arya telah bertanya baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu? 
Hatinya tak menerima. 

"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak?! Kawanku bertanya 
baik-baik, mengapa kau memperlakukannya seperti terhadap anjing 
kudisan?!" 

Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau 
sewaktu-waktu amarahnya dapat meledak. 

Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda 
berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk 
meredakan amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati 
turun tangan terhadap lelaki bertubuh kekar itu. 

Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala. 
Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli. 

"Sopan katamu?! Dengan tems meladeni kalian berdua saja aku 
sudah bersikap sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan 
sejak tadi" 

"Keparat! Menghadapi orang sepertimu memang harus 
menggunakan kekerasan!" 

Usai berkata demikian. Melati mengibaskan tangan kanannya. 
Kelihatannya pelan saja dan tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya 
benar-benar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke 
belakang, seperti dihembus angin badai! 

"Aaa...!" 

Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya 
melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis.... 

Srakkk! Brnkkk! 

Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon 
singkong langsung patah karena tertimpa. 



"Uh...!" 

Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit. 
Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya 
tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah. 

"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya dengan orang-orang 
yang telah lebih dulu tiba! Pura-pura menanyakan sesuatu, lalu akhirnya 
menyebar maut di desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram. 

Melati tersenyum sinis. 

"Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari 
kami melakukan tindakan demikian! Mereka tidak salah! Kaulah yang 
menjadi penyebabnya! Orang mana pun tentu akan marah apabila 
mendapat perlakuan seperti yang kami terima!" 

Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Aiya tidak bisa 
tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kekar 
itu. Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai. 

"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya 
buru-buru karena takut didahului. "Percayalah, Kisanak! Kami tidaklah 
sejahat yang kau sangka. Dan...." 

"Asal kau tahu saja. Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia 
daripada dirimu! Apakah kau pernah menyelamatkan nyawa orang lain? 
Tidak, kan? Nah! Dengar baik-baik, kawanku itu telah meyelamatkan 
nyawa puluhan ribu orang! Pemah kau dengan julukan Dewa Arak?!" 
selak Melati, berapi-api. 

Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak 
yang disebutkan Melati-1 ah yang menjadi penyebabnya. Memang, 
meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu 
Menurut kabar yang sampai ke telinganya. Dewa Arak seorang pendekar 
pembela kebenaran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini 
tokoh yang mempunyai julukan demikian? Rasanya sulit untuk 
dipercay a! 

"Benarkah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya lelaki 
kekar tak yakin. Nada suaranya pelan, tidak kasar seperti sebelumnya. 

Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali membenarkan pertanyaan 
itu. Dengan senyum terkembang kepalanya mengangguk. 

"Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan 
padaku. Sedangkan namaku Arya Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan 
kawanku ini Melati." 

"Ah...! Kalau begitu, maalkan kelakuanku. Dewa Arak! Aku telah 
salah menduga. Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima 
Seta, pasti merupakan konco-konconya," jelas lelaki kekar itu, membela 
diri. 

"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya, 
bijaksana. "Bukan begitu. Melati?!" 

Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat 
kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak 
sebesar sebelumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup 
meredakan amarahnya. 

"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Desa Kalisari, aku, Saraka, 
mengucapkan selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak 
terbata-bata. 

"Terima kasih atas sambutanmu. Kang Saraka!" Arya merubah 
panggilannya. "O, ya. Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja. 
Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarnya." 

Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan 
Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu. 

"Bagaimana, Kang Saraka?! Bisakah kau mem-eri keterangan atas 
sikap bencimu terhadap Bima Seta?!" tanya Arya, mengalihkan 
percakapan pada pokok permasalahan. 

"Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat. "Ceritanya panj ang, 
Arya. Aku khawatir kau tidak sabar mendengarkannya...." 

"Ceritakanlah, Kang! Percayalah, aku akan sabar 
mendengarkannya!" terdengar penuh keyakinan Arya memberikan 
j awabanny a. 

"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka 
terpaksa mengalah. "Sekarang dengarkan baik-baik." 

Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapannya. Dan termenung, 
memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai keterangannya. Arya 
dan Melati menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian 
pada cerita Saraka. 


*** 

"Sebenarnya Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia 
merupakan pendatang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas 
di mana. Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan. 
Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami 
sambut dengan tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritanya. 

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian, 
tidak ada ucapan yang mereka keluarkan. 

"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia 
pandai bergaul. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, seisi desa telah 
menyukainya," Saraka kembali melanjutkan ceritanya. "Sekitar satu 
minggu setelah kedatangan Bima Seta di desa kami, mulai bermunculan 
beberapa orang yang menilik gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh 
persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorangan mereka 
berdatangan kemari." 

Saraka menghentikan keterangannya untuk mengambil napas. 
Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering. 

"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan 
pun muncul di benak para warga desa. Mengapa orang-orang kasar itu 
berdatangan kemari. Saat itu kami belum merasa curiga terhadap Bima 
Seta." 

Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keterangannya. 

"Perasaan curiga terhadap Bima Seta mulai muncul ketika kami 
melihat adanya perubahan pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang 
jarak dengan penduduk desa. Sampai akhirnya, dia melakukan tindak 
kekerasan. Merampok, membunuh, dan memperkosa para wanita. Yang 
lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga 
para wanita yang telah bersuami!" 

"Apakah tidak ada perlawanan dari para penduduk desa ini. Kang?! 
Guru silat desa ini, misalnya? Atau..., kepala desa?" tanya Arya, 
menyelak. 

"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah. 
"Guru silat desa ini bersama beberapa orang muridnya melakukan 
perlawanan." 

"Lalu..., hasilnya?!" kejar Arya lagi. Meskipun dari jawaban dan 
sikap Saraka, bisa diperkirakan hasil perlawanan yang dilakukan 
terhadap Bima Seta. 

"Mereka semua tewas!" terasa jelas nada keluhan dalam ucapan 
Saraka. "Bima Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian 
amat tinggi. Apalagi, dia tidak bertindak sendiri. Orang-orang kasar 
yang berdatangan ke desa ini ternyata anak buahnya!" 

"Heh...?! Mengapa bisa demikian. Kang?!" tanya Aiya, tanpa 
menyembunyikan perasaan terkejutnya. 

"Mereka satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar, 
Bima Seta dan pengikut-pengikutnya merupakan sisa-sisa perampok 
yang telah dihancurkan pasukan kerajaan. Yang kusayangkan, mengapa 
mereka memilih desa ini sebagai tempat pelarian...." 

"Sekarang aku bisa mengerti mengapa kau bersikap kasar pada 
kami," ujar Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala. 

"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh 
perasaan syukur. "Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh 
penduduk Desa Jarak, kumohon kau bersedia melenyapkan keduijanaan 
Bima Seta dan kelompoknya. Bagaimana, Arya?! Maukah kau 
memenuhi permohonan kami?" 

"Tentu saja. Kang. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk 
melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap. 

"Kang...," Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara. 

"Ada apa. Melati?" tanya Aiya sambil menolehkan kepala. 

"Bukankah ada orang yang bermaksud membunuh Bima Seta?! 
Apakah kau lupa?!" 

"Aku yakin usaha itu akan gagal. Melati," dengan nada yakin Saraka 
mendahului memberikan jawaban. "Telah banyak usaha seperti itu 
dilakukan. Tapi hasilnya, sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu 
pasti gagal!" 

"Kita lihat saja hasilnya. Kang," sambut Arya tak berani 
memastikan. 'Tidak baik beiputus asa. Karena hal itu hanya akan 
melenyapkan semangat. Dan...." 

Ucapan Aiya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda. 
Ditolehkan kepalanya untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi 
itu. Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa. 

Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan memasuki jalan desa. 
Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saja ada 
perbedaan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang 
diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam 
keadaan tertelungkup. 

Dewa Arak dan Melati yang memiliki pandangan tajam, sepintas 
saja dapat mengetahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah 
tewas. 

"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-anak buah Bima Seta, 
Arya," ujar Saraka dengan suara bergetar. "Birawa dan Sempani nama 
mereka." 

Arya dan Melati saling pandang. 

"Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu. 
Kang?!" tanya Arya. "Sepertinya dia telah tewas...." 

"Benarkah itu, Aiya?!" tanya Saraka setengah tak percaya "Kalau 
melihat pakaian yang dikenakan dan kuda tunggangannya, pasti Bima 
Seta! Hanya Bima Seta yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna 
coklat." 

"Berarti..., pembunuh itu telah berhasil melaksanakan tugasnya," 
tukas Melati. 

"Benarkah itu?!" tanya Saraka masih tak percaya 

"Mari kita buktikan kebenarannya!" 

Setelah berkata demikian, Arya segera mengayunkan kaki, 
menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut 
serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangkah mengikuti Dewa 
Arak. 

Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bersama Melati dan Saraka 
segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli, 
terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak 
tersungging di bihir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap 
rendah tiga sosok yang menghampiri mereka. 

Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak menghampiri, 
dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga 
tombak. Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan 
langkah. 

"Hih!" 

Sempani melompat dari punggung kuda Lalu.... 

Srattt! 

Sinar terang mencuat ketika pedangnya dicabut. 

"Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh...?! Berani mencegat 
peijalanan kami!" sem Sempani mengancam. 

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung 
melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan 
marah akibat amukan Utusan dari Akherat. Maka langsung saja 
dilampiaskannya pada para penghadangnya. 

Wuttt! 

Sempani tidak bertindak setengah-setengah. Dalam serangan 
pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya 
diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama 
adalah Dewa Arak! 

Dewa Arak tetap bersikap tenang, meskipun melihat jelas adanya 
ancaman maut terhadap dirinya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau 
pemuda berambut putih keperakan ini akan melakukan gerakan untuk 
mengatasi serangan lawan. 

Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran, 
tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tangan. Sebuah gerakan yang sangat 
cepat. Orang kasar seperti Sempani mana mampu melihat jelas tangan 
Dewa Arak? Yang sempat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan tak 
jelas. Dan tahu-tahu . 

Kreppp! 

Batang pedang Sempani telah tercekal. Dan sebelum anak buah 
Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu. Dewa Arak telah lebih dulu 
bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan 
tangannya. 

Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terbawa 
putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalam untuk 
melawan. Namun ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa 
ditahan. Karena Sempani tak mau melepaskan cekalan pada gagang 
pedang hingga tubuhnya terbawa putaran tangan Dewa Arak. 

Wuk! Wuk! Wuk! 

Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laksana 
baling-baling. 

"Aaah...!" 

Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan jeritan panjang. 
Teriakan yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget. Tubuhnya 
terputar-putar di udara dengan kecepatan tinggi. 




Sempani merasa tersiksa bukan kepalang. Apalagi ketika dirasakan 
putaran itu semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing, 
pandangannya pun berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya 
berputaran secara cepat. 

Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat 
kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan 
dikocok-kocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan 
muntah-muntah. 

Rupanya Dewa Arak pun menyadari kemungkinan teijadinya hal 
seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah 
lebih melepaskan cekalan pada mata pedang lawan. 

Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan 
tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang 
mencekam di saat tubuhnya meluncur. 

Entah di mana tubuh Sempani jatuh. Dewa Arak tak mempedulikan 
lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan 
kakinya mendekati Birawa. 

Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya 
berdetak lebih cepat. Dia sadar pemuda berambut putih keperakan itu 
memiliki kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani 
dalam waktu yang demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai 
bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi! 

Birawa buru-buru melompat dari punggung kuda. Lalu, tanpa 
malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di 
punggung langsung dilemparkan begitu saja ke tanah. 

"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas 
kasihan. 

Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang 
berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak 
pendekar muda ini. 

Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kata-kata yang akan 
dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung 
mendekati Birawa. 

"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!" 

Saraka mengayunkan goloknya yang terselip di pinggang, ke arah 
leher Birawa. Nasib rekan Sempani ini sudah bisa diperkirakan apabila 
golok itu mendarat di sasarannya. 

Wuttt! Takkk! 

"Akh!" 

Singgg! 

Renteten kejadiannya berlangsung demikian cepat sehingga sulit 
untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar 
jauh. 

Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok 
hampir memenggal leher. Dewa Arak mengayunkan kaki kanan, 
memapak mata golok Saraka. Dengan pengerahan tenaga dalam yang 
dimiliki, kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya 
benturan yang terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras 
berada 

"Mengapa, Arya?! Mengapa kau mencegahku membunuhnya...?!" 
tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak. 
Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan 
ketidakpercayaan yang dalam. 

"Bukan merupakan tindakan ksatria membunuh lawan yang tak 
mengadakan perlawanan. Kang!" sahut Dewa Arak dengan suara pelan, 
tapi mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam 
karena malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus! 

"Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya?!" tanya Saraka 
lagi tanpa menyembunyikan rasa penasaran yang bergolak. 

Dewa Arak tersenyum lebar. 

"Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu. Kang. Kau dan 
penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab 
Arya, bijaksana. 

Saraka langsung diam. Jawaban Dewa Arak membuatnya merasa 
puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut 
putih keperakan itu pun semakin tumbuh subur. "Berita itu memang 
tidak berlebihan. Dewa Arak ternyata seorang pendekar besar yang 
dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki kekar ini dalam hati. 

"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima 
kasih atas bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa 
syukur. 

"Lupakanlah! O ya. Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan 
padanya." 

"Silakan, Arya!" 

Dewa Arak pun mengalihkan perhatiannya pada Birawa. 

"Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa?!" tanya Arya 
penuh wibawa. 

"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan 
Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya. 

"Utusan dari Akherat...?!" 

Arya mengulang julukan yang disebutkan Birawa. Dahinya 
berkemyit seakan-akan tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun 
dilakukan Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu 
Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya. 

"Dia seorang pembunuh bayaran. Tuan Pendekar," lanjut Birawa, 
seakan-akan mengetahui apa yang dipikirkan Dewa Arak. 

"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendengarnya. 
Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang telah 
menyewanya?!" tanya Arya, ingin tahu. 

"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengkan kepala. "Utusan 
dari Akherat tak memberitahukannya." 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu 
memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pemah berhubungan 
dengan urusan seperti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh 
bayaran memberitahukan siapa yang telah menyewanya. 

"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia padamu." 

"Terima kasih, Aiya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti 
katamu tadi, biar para penduduk yang akan menentukan hukuman 
terhadapny a." 

"Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka 
menyetujui usulnya. 


*** 

Penduduk Desa Jarak gempar mendengar kematian Ki Bima Seta. 
Mereka langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di 
depan setiap rumah terpasang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan 
dari Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya 
setinggi langit Di sana-sini orang membicarakan kehebatan tokoh itu. 

Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah 
yang telah melumpuhkan perlawanan Birawa dan Sempani, dua orang 
anak buah Ki Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun 
mendapat jamuan dan penghormatan dengan ditemani para sesepuh 
Desa Jarak. 

"Terima kasih atas bantuanmu. Dewa Arak. Bantuan yang kau 
berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang 
desa ini tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak 
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua 
pertolongan mu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih. 
Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki 
Baijanala, namanya. 

"Ah! Kau terlalu melebih-lebihkan, Ki. Tanpa bantuanku pun 
sebenarnya Sempani dan Birawa akan dapat kalian lumpuhkan. Kepada 
Utusan dari Akherat-lah seharusnya kalian berterima kasih," sahut Arya 
merendah. 

"Kau terlalu mengecilkan arti bantuanmu. Dewa Arak. Kalau tidak 
karena mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima 
Seta kabur dari sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut 
campur. Pemilik suara itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau. 
Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara. 

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak 
salah. Dewa Arak," tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan 
bercambang lebat. "Apa pun alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan 
berarti besar. Memang, kelihatannya jasa yang dibuat Utusan dari 
Akherat jauh lebih besar. Karena dia yang telah berhasil membunuh Ki 
Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan. Utusan dari Akherat membunuh 

Ki BimaSeta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Ja¬ 
rak. Pembunuhan yang dilakukannya karena suruhan seseorang." 

"Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanala setengah terpekik. 
"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu 
mendapatkan ucapan terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana 
mereka bertempat tinggal!" 

"Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasnya. 
"Seharusnya mereka pun kita jamu di sini sebagai tanda terimakasih atas 
tindakan yang telah mereka lakukan." 

"Apa yang dikatakan Ki Kuncara, tepat sekali!" Melati ikut pula 
menimpali karena merasa tidak enak berdiam diri tems. "Seharusnya 
Utusan dari Akherat dan orang yang menyewanya bisa berada di sini 
untuk merayakan pesta hancurnya kedurjanaan Bima Seta." 

"Tidak mengapa, Nisanak. Keberadaan kalian untuk menemani 
kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum 
pernah mendengar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan 
dunia persilatan?! Eh silakan dicicipi hidangannya. Jangan 
malu-malu...!" 

Sambil berkata demikian. Kepala Desa Jarak itu mendahului 
mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan 
memasukkan ke dalam mulutnya. 

Tindakan Ki Baijanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga 
sejenak pembicaraan terputus. Yang terdengar hanyalah suara kunyahan 
mereka. 


*** 

Hembusan angin sejuk menyibakkan rambut Aiya dan Melati, tapi 
mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti 
menikmatinya. Beberapa kali mereka menarik napas dalam-dalam 
sambil mengembangkan dada seakan ingin memasukkan udara segar itu 
sebanyak -banyakny a. 

Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan 
Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufitk timur 
masih berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir 
menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit 

"Mengapa harus sepagi ini kita meninggalkan Desa J arak. Kang?!" 
tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan 
pada kekasihnya. 

Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang, 
kedua pendekar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda 
hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang 
membelikannya. 

Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun, 
Kepala Desa Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa 
pasangan pendekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun 
berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan 
Birawa telah tewas di tangan penduduk Desa Jarak. 

Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa 
tidak? Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh 
mereka dengan batu. Masing-masing orang sekali! 

Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun, 
mereka tak mencampurinya, karena hukuman demikian sudah menjadi 
adat di tempat itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat 
hukuman. Tindak kekejian yang mereka lakukan telah melampaui batas. 

Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab 
pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam 
termenung. 

"Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan. 

"Eh, apa.... Nggg.. ya..., bukankah kau menanyakan sebab 
kepergian kita yang demikian cepat?!" sahut Dewa Arak menggeragap. 

"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Apakah ini ada 
hubungannya dengan Utusan dari Akherat?!" 

"Hhh...!" Arya menghela napas seraya menggeleng-gelengkan 
kepala. "Kau terlalu cerdik. Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang 
dapat kusembunyikan apabila kau berada di dekatku." 

"Gombal!" sergah Melati, berpura-pura tak senang dengan 
memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang 
berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu 
merasa gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang 
yang dicintainya? 

"Ha ha ha...!" 

Dewa Arak tertawa bergelak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya 
sebentar saja hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya 
menyiratkan kesungguhan. 

"Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terka, 
ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat. Hhh..., aku belum 
yakin akan kebenarannya!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati. 

"Katakanlah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak 
sabar. 

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat 
ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati 
memang memiliki watak keras. 

"Begini, Melati," Aiya mulai memberi penjelasan. "Ada beberapa 
hal yang membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian 
Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan 
dari Akherat membunuh Bima Seta?!" 

"Hm...," Melati menganggukkan kepala seraya menatap wajah 
Dewa Arak. "Menurut pendapatku orang itu tidak punya tujuan, kecuali 
imbalan yang didapatnya." 

"Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa atau pihak manakah 
yang telah menyewa Utusan dari Akherat?!" tanya Dewa Arak, kali ini 
wajahnya menoleh ke waj ah kekasihnya. 

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak 
tercenung. Otaknya diputar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan 
itu. 

"Kalau kau tanyakan orangnya..., rasanya sulit bagiku untuk 
menduganya. Kang. Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya. 
Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak." 

"Hhh...! Aku pun menduga demikian. T api, mengapa tak satu pun di 
antara mereka yang mengakui sebagai penyewa Utusan dari Akherat?!" 
untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertanyaan itu. 

"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa 
itu. Kang. Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada 
Utusan dari Akherat. Ki Baijanala dan Ki Kuncara pun berpendapat 
demikian," sambung Melati. 

"Tapi ada satu orang yang mengingatnya. Melati," timpal Aiya lagi. 
"Dan orang itu Sembada. Kau ingat?!" 

"Ya. Aku ingat. Kang! Dia menyebut-nyebut mengenai orang yang 
menyewa Utusan dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa 
Utusan dari Akherat, Kang?!" 

"Aku belum berani memastikan. Melati. Ada hal-hal yang 
mencurigakan di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil 
meneruskan perjalanan!" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang 
kudanya perlahan. 

Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun 
melakukan tindakan yang sama. 

"Menurut akal sehat," ujar Arya lagi menyambung ucapan 
sebelumnya. "Penyewa Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa 
Jarak. Kita kesampingkan dulu dugaan kita terhadap penyewa yang 
beras adati luar. Kurasa, kemungkinannya kecil sekali." 

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya hatinya 
menerima pendapat Dewa Arak. 

"Nah! Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan 
dari Akherat itu tak mau menonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu 
penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan 
dirinya. Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang 
diberikan penyewa itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu 
gembira, sehingga belum sempat terpikir kalau sebenarnya yang 
mempunyai jasa besar atas tewasnya Bima Seta adalah si penyewa. Hal 
itu teijadi karena kesalahan si penyewa sendiri yang tak 
memberitahukanny a." 

Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk menarik napas 
dan mencari kata-kata yang tepat sebagai pelanjut uraiannya. 

"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa 
penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan hal itu. Yang ada di 
benakku bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak 
terpikirkan akan hal lainnya. Aku baru teringat ketika Sembada 
mengatakannya. Dan saat itu pula aku merasakan adanya kejanggalan 
dalam masalah ini. Itulah sebabnya, kuputuskan untuk berpura-pura 
meninggalkan Desa Jarak." 

"Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa 
Jarak, Kang?!" tanya Melati, setengah tak percaya. 

Arya menganggukkan kepala. 

"Ah...! Aku mengerti. Kang...! Kau bertindak demikian, pasti 
karena ingin menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat 
bahwa kau telah meninggalkan Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka 
kesempatan bagi penyewa Utusan dari Akherat untuk melanjutkan 
tindakannya apabila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu. 
Kang?!" terka Melati. 

"Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," 'sahut Arya, 
membenarkan. "Aku yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa 
Utusan dari Akherat merasa akan terganggu untuk melakukan tindakan. 
Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan." 

"Dengan kata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai 
maksud tidak baik. Kang?!" celetuk Melati mencari kepastian. 

"Aku tak mengatakan demikian. Melati," sahut Arya. "Hanya saja 
tindakan yang dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau 
tidak ada sebab atau akibatnya, hhh.. kurasa janggal harus 
menyembunyikan tindak kebaikannya." 

"Bagaimana kalau penyewa Utusan dari Akherat itu tidak 
mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya. Kang?!" Melati 
mengajukan dugaan la-innya. "Yah.anggaplah seperti yang kita 
lakukan selama ini...!" 

"Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal. Melati. Terus 
terang, aku pun berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau 
kita bersikap waspada. Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di 
balik ini. Setidak-tidaknya ada maksud terselubung. Kalau tidak, untuk 
apa penyewa Utusan dari Akherat itu menyembunyikan diri?!" 

Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan 
kekasihnya. Demikian pula dengan Dewa Arak. Matanya menatap jauh 
ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya. 

"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah 
menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati kemudian, setelah 
keduanya diam sesaat 

"Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya. 
"Sebenarnya memang sudah. Tapi, aku masih belum yakin Bila dipikir 
dari satu sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan 
dari sisi lainnya, aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...." 

Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah. 

"Mengapa kau masih ragu, Kang?! Aku yakin dugaanmu tidak 
salah!" 

"Mengapa kau demikian yakin. Melati? Kau tahu orang yang 
kucurigai?!" tanya Arya. Ada saiyum dingin tersunggjng di bibirnya 
yang tipis itu. 

"Tentu saja!" jawab Melati, yakin "Bukankah orang yang kau 
curigai adalah Sembada?!" 

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda membenarkan tebakan 
Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya. 
Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan 
diberikan kekasihnya. 

"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu...?!" kejar 
Melati, penasaran. 

"Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah 
Sembada, Melati?" Aiya malah balas mengajukan pertanyaan. 

"Tentu saja!" sahut Melati tegas. 

"Dari mana kau mengambil kesimpulan seperti itu?i Atas dasar 
ucapannya?!" 

"Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepala. 
"Kalau kau sendiri, bagaimana?" 

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut 
putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam 
seakan-akan tengah ada yang dipikirkan. 

"Aku juga menaruh kecurigaan pada Sembada, Melati. Dan dasar 
kecurigaanku pun sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucapannya. Tapi, 
justm itulah yang membuatku merasa tak yakin dengan dugaan semula. 

"Aku tak mengerti maksudmu. Kang?! Katakan saja dengan jelas, 
jangan berputar-putar sepert itu!" sergah Melati, karena bingung 
mendengar penj elasan Dewa Arak yang dianggapnya kurang gambling. 

"Bagini, Melati," ucap Arya setelah tercenung sejenak. "Menurut 
perhitungan, rasanya aneh kalau Sambada pelakunya, ucapan seperti itu 
dikeluarkannya. Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud 
menyembunyikan diri? Mengapa mengeluarkan pernyataan seperti itu. 
Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan 
yang dikeluarkannya bisa mengundang kecurigaan orang lain terhadap 
dirinya." 

Melati tercenung dengan dahi berkemyit dalam. Gadis berpakaian 
putih ini merasakan adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam 
pernyataan Dewa Arak. Ya! Mengapa Sembada mengeluarkan ucapan 
seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat? Bukankah 
perbuatannya tidak ingin diketahui orang? 

Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia 
telah berpikir. Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari 
pandangan Dewa Arak. Namun, pemuda berambut putih keperakan itu 
membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya. 

"Itukah yang menyebabkanmu merasa ragu menuduh Sembada 
sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati. 

Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala. 

"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap 
mencurigainya sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" desak 
Melati, penuh semangat. 

"Ada alasan lainnya. Melati," jawab Arya. "Aku mempunyai dugaan 
kalau Sembada mengeluarkan pernyataan itu tanpa sengaja. Atas dasar 
itulah kecurigaanku terhadapnya tidak kuhilangkan." 

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tak ada senyum 
tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis cantik itu 
memaklumi kebenaran Dewa Arak. 

"Hanya usaha dan waktu yang dapat menjawabnya. Melati," ujar 
Arya kemudian. 

Melati kembali mengangguk-anggukkan kepala. 

"Kapan kau akan mulai menyelidikinya. Kang?!" 

"Nanti malam, Melati Kita selidiki Desa Jarak secara 
sembunyi-sembunyi. Kau siap?!" 

"Tak usah menanyakan hal itu. Kang!" jawab Melati penuh 
semangat 

"Ha ha ha...!" 

Dewa Arak hanya tertawa mendeng ar jawaban itu. 




Wusss! 

Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan 
cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam 
berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada 
pun tampak redup tanpa cahaya. 

Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin 
Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah 
larut, kian sunyi dan sepi. 

Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahaya bulan itu, 
tampak sesosok bayangan hitam melesat cepat memasuki Desa Jarak. 
Laksana hantu jahat yang sedang memburu mangsa, gerak-geriknya 
tampak begitu terburu-buru. 

Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia. 
Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan 
di balik pagar tembok sebuah bangunan cukup megah yang memiliki 
halaman luas. 

Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat 
kemudian kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke 
atas, melompati batas atas tembok Lalu.... 

■Jliggg! 

Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok 
berpakaian hitam itu mendarat di tanah. 

Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri. 
Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain. 

Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam 
itu melesat cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya 
dengan beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada di dekat pintu 
bangunan. 

Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu 
menghentikan gerakan. Api obor yang terpancang pada dinding depan 
rumah itu menerpa tubuhmu yang berpakaian serba hitam. 

Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya 
tampak kurang jelas, karena tertutup selubung kain hitam. Hanya 
sepasang matanya yang tampak dari dua lubang pada kain selubung 
kepala. Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat 

Sejenak sepasang matanya menatap tajam daun pintu. Seperti ada 
sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari 
Akherat menghentakkan keras telapak tangan kanannya ke depan. 

Wusss! 

.Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan 
dari Akherat, meluncur menuju daun pintu. Dan.... 

Brakkk! 

Suara berderak keras terdengar memekakkan telinga. Angin 
pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu menghancurkan daun 
pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu. 

Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung 
melesat ke dalam. Pada saat yang bersamaan, dari dalam sebuah kamar 
muncul sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala. 
Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjaga dari tidurnya karena 
mendengar dobrakan pintu rumah. 

Saat itu, Ki Baijanala memang telah mulai menempati bangunan 
yang semula ditempati Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja 
malam itu Ki Barjanala masih menempati sendiri. Kedua orang anaknya, 
belum ikut pindah ke tempat tinggal yang baru itu. 

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Ki Barjanala ketika melihat 
sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya. 

"Siapa kau?!" 

Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang 
sikap waspada Dia sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di 
hadapannya ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yanag 
dikenakannya menggambarkan bagaimana jiwanya saat itu. 

"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan padaku atas 
pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Baijanala?!" tanya Utusan dari 
Akherat tanpa mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap 
dirinya. 

"Penghormatan...? Membunuh Ki Bima Seta...?! Jadi..., 
maksudmu.... Kau adalah...," sahut Ki Barjanala dengan suara 
menggeragap karena perasaan takut, terkejut, dan keheranan. 

"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala 
Desa Jarak itu selanjutnya. "Hhh.., akulah Utusan dari Akherat!" 

Ki Baijanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya 
yang mendadak kering dan terasa getir. Sama sekali tak disangka kalau 
sosok yang beijuluk Utusan dari Akherat demikian angker seperti 
julukannya. 

Tapi yang membuat Ki Baijanala merasa tegang, bukan penampilan 
pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang 
menyebabkannya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikit pun tak mau 
menunjukkan perasaan bersahabat. Ataukah si pembunuh bayaran itu 
hendak membantai kepala desa itu, seperti yang dilakukannya terhadap 
Ki Bima Seta?! 

Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin 
bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti 
maksud kedatangan Utusan dari Akherat. Oleh karena itu, diputuskan 
untuk berpura-pura tidak tahu. 

"Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, 
kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk. Utusan 
dari Akherat!" ujar Ki Barjanala, berusah a bersikap ramah 

"Simpan saja semua keramahtamahanmu, Barjanala!" sergah 
Utusan dari Akherat, keras. "Aku datang bukan untuk 
berbincang-bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak 
mati sia-sia!" 

"Ap..., apa maksudmu. Utusan dari Akherat?!" Ki Baijanala masih 
mencoba untuk berpura-pura. 

"Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan 
atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiaplah, 
Baijanala! Aku akan memulainya!" 


*** 

Kini Ki Baijanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka 
diputuskan untuk melakukan perlawanan. Dia tak ingin mati percuma! 
maka.... 

Srattt! 

Ki Barjanala menghunus keris yang terselip di pinggang belakang. 
Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat! 

"Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Baijanala!" ujar Utusan dari 
Akherat, seraya tertawa mengejek. "Dengan demikian kau tak akan mati 
penasaran!" 

"Tutup mulutmu. Manusia Busuk!" bentak Ki Baijanala keras. 
Lalu.... 

"Hih!" 

Didahului gertakan gigi, Ki Baijanala langsung melancarkan 
serangan dengan kerisnya. Senjata yang sarat dengan pamor itu, 
ditusukkan lurus ke perut Utusan dari Akherari! 

Wuttt! 

Deru angin keras terdengar, seiring dengan meluncurnya serangan 
itu. 

Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak 
tampak adanya gelagat kalau dia akan melakukan tindakan 
penyelamatan diri, baik mengelak ataupun menangkis! 

Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut, 
sekaligus gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila? Kalau tidak 
mengapa dibiarkannya serangan dahsyat itu. 

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun 
demikian, tak menghambat serangannya. Bahkan kepala desa itu 
langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin 
urusannya cepat selesai. 

Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar tak melakukan tindakan 
apa pun terhadap serangan Ki Barjanala. 

"Hiaaa...!" 

Tukkk! 

Keris di tangan Ki Baijanala mendarat telak di perut lawan. Namun 
kepala desa itu tersentak kaget Matanya terbelalak, seakan-akan tak 
percaya dengan apa yang dilihatnya. Keris itu patah! 

Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanala, tiba-tiba.... 

Cappp! 

"Aaakh...!" 

Pekik kematian dari mulut Ki Baijanala terdengar memecah 
kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung 
ke belakang. Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang 
ukiran kepala tengkorak. 

Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Utusan dari Akherat 
berhasil menancapkan senjata khasnya. Darah segar mengalir deras dari 
kepala Ki Baijanala yang tertancap pisau. 

Brukkk! 
Setelah terhuyung-huyung beberapa saat lamanya, tubuh Ki 
Baijanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelepar lelaki berpakaian putih 
yang telah berlumuran darah itu tewas. 

"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya 
tubuh Ki Barjanala yang terkapar di atas lantai tempat tinggal batunya. 
Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya. 

Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang 
kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, ada sesuatu 
yang telah membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu. 
Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar 
mangan bangunan itu. 

Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba 
telah berdiri menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan 
kabur pembunuh bayaran ini telah tertutup. 

"Mau ke mana kau. Pembunuh Terkutuk?! Jangan harap dapat lolos 
dari tanganku!" tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis. 
Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang 
tergerai itu ternyata Melati. 

Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertanyaan Melati. 
Matanya yang tajam menatapi tubuh gadis berpakaian putih itu. 
Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa 
dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki 
Baijanala. Hal ini bisa diketahuinya dari tindakan kaki lawan yang 
demikian halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang 
telah terlatih baik sekalipun! 

"Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya 
urusan denganmu! Jangan kau membuatku harus membunuh seorang 
gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!" 

"Jangan banyak bicara. Utusan dari Akherat!" sahut Melati sengit 
"Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi 
mayat! Hih!" 

Seraya menggertakkan gigi. Melati melompat, menerjang Utusan 
dari Akherat Gadis berpakaian putih ini membuka serangan dengan 
sebuah kibasan kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh. 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan Melati 
membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahkannya. 

Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan 
dari Akherat tak merasa gentar Kemudian tanpa ragu-ragu dipapakinya 
serangan Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga... 

Plakkk! 

Bunyi keras terdengar, ketika kedua kaki yang sama-sama dialiri 
tenaga dalam kuat itu saling mem-bentur Melati terdorong ke belakang 
dengan tubuh berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung beberapa 
langkah. Dirasakan sakit yang hebat melanda kakinya yang berbenturan. 

Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba 
Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya 
dikibaskan! 

Singgg! 

Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil bergagang 
kepala tengkorak melesat membum Melati. 

Melati sadar akan adanya maut yang mengancam jiwanya. Gadis 
berpakaian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi 
serangan maut itu Dengan gerakan yang hanya dapat dilakukan tokoh 
berilmu meringankan tubuh tinggi. Melati menjejakkan kaki. 

Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan 
itu membuat tubuhnya melesat ke atas. Sehingga pisau yang 
dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengenai angin. 

Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan 
serangannya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk 
memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu 
saja dengan kedahsyatan melebihi serangan sebelumnya. 

Serbuan Utusan dari Akherat disambut baik oleh Melati. 
Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari 
Akherat maupun Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh ke¬ 
mampuan yang dimiliki. 

Keduanya langsung mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. 
Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Sedangkan 
Utusan dari Akherat menggunakan ilmu 'Jari Sakti'. 

Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah 
dahsyat dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuasai Melati. Bunyi 
berdesingan nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan 
pembunuh misterius itu bergerak. 

Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari 
Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat dahsyat dan 
menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya. Utusan dari Akherat 
kadang-kadang hanya menggunakan satu jari. Tapi tak jarang dua, 
empat, atau semua j ari tangannya. 

Yang sangat menakjubkan, jangankan sampai terkena langsung, 
angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit 
tubuh. Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat. 

Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama hebat ini memang 
luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan mendem selalu terdengar 
setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki 

Jurus demi jums berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan telah 
berlangsung dua puluh lima jurus. Dan selama itu. Melati tampak 
terus-menerus terdesak. Kenyataan itu tak mengherankan, karena 
tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan 
dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu 
meringankan tubuh. Dengan dua keunggulan inilah, pembunuh bayaran 
itu mampu menekan serangan lawan. 

Semakin lama keadaan Melati semakin mengkhawatirkan. 
Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis 
serangan dahsyat lawan. Namun tampaknya gadis cantik berpakaian 
putih itu tak ingin mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan 
yang dimiliki, dirinya tetap mengadakan perlawanan. 

Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Melati semakin 
gawat. Serangan-sereangan yang dilakukannya semakin mengendur. 
Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih 
sering banyak bergerak untuk mengelak. Tindakan inilah yang 
menyebabkan dirinya semakin terdesak hebat. 

Kalau keadaan tidak berubah. Utusan dari Akherat jelas akan 
mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu 
lagi melancarkan serangan yang berarti. 

Prattt! 

"Hih...!" 

Untuk yang kesekian kalinya. Melati terpaksa menangkis serangan 
lawan. Seperti pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu 
sangat kewalahan. Malah kali ini lebih parah dari sebelumnya. Tubuh 
Melati terjengkang, karena saat itu Melati berada dalam kedudukan yang 
tidak menguntungkan. 

Ketika itulah. Utusan dari Akherat langsung melancarkan serangan 
susulan. Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba 
hitam itu melesat menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang 
membentuk cakar. Keduanya mengincar dada Melati. 

"Ah!" 

Jeritan karena perasaan kaget, keluar dari mulut Melati. Matanya 
yang tajam menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap 
merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena 
disadarinya malaikat maut seakan-akan telah berada di depannya. 
Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan 
lawan. 

Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis. 
Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua 
tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari 
Akherat. 

Namun ketika keadaan gawat tengah mengancam keselamatan 
Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan. 
Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari 
Akherat. 

Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut. 
Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka.... 

Prattt! Prattt! 

Bunyi keras terdengar seperti logam-logam keras dibenturkan. 
Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu 
itu langsung terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah 
dan ringan, kedua belah pihak berhasil mengatasinya. Lalu mendarat di 
tanah. 

"Kau tidak apa-apa. Melati?" tanya sosok buangan ungu itu pada 
Melati yang telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya. 

"Tidak, Kang." 

Sambil tersenyum manis. Melati menjawab pertanyaan sosok 
bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak. 

Hanya sesaat Dewa Arak memperhatikan keadaan kekasihnya. 
Namun kesempatan pendek itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh 
Utusan dari Akherat. 

"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika 
dilihatnya lelaki berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat 
meninggalkan tempat pertarung an. 

Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat 
merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju, 
kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa 
mengendurkan kecepatan lari. 

"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...! Hih!" 

Sambil berkata begitu. Utusan dari Akherat melemparkan benda 
bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu. Dewa 
Arak menghentikan pengejarannya. Tubuhnya dilempar ke belakang 
untuk menghindar. Arya khawatir benda bulat kecil itu mengandung 
racun yang mematikan 

Darrr! 

Ledakan keras seketika terdengar begitu benda bulat kecil itu 
berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula muncul asap tebal hitam 
yang menghalangi pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak 
tak dapat meneruskan pengejarannya terhadap Utusan dari Akherat. 

Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap 
dari pandangan. Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi. 




"Sayang sekali.... Keparat itu berhasil meloloskan diri...," ujar 
Melati menyesal. 

Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah 
berada di sisinya. 

"Tak perlu kau sesali hal itu. Melati," ujar Dewa Arak menghibur. 
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting 
kau selamat." 

Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening 
dan indah menyiratkan ketidakpuasan. 

"Mengapa kau datang terlambat. Kang?! Kalau tidak..., kita telah 
berhasil membekuknya!" 

"Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah 
menyewa Utusan dari Akherat, di bangunan tua itu. Melati. Aku 
berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak 
muncul. Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang 
pada saat yang tepat...!" 

Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa 
Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat 
sosok bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki 
Baijanala. 

Penyelidikan terhadap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan 
kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia penyewa 
Utusan dari Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala 
desa. Ternyata dugaan itu tidak meleset! 

"Apakah tokoh yang bertarung denganmu itu Utusan dari Akherat, 
Melati?" tanya Aiya, mulai mengalihkan pokok persoalan. 

"Kurasa benar dia. Kang," jawab Melati tidak berani memastikan. 

"Lalu... bagaimana dengan Ki Baijanala? Apakah dia baik-baik 
saja?!" 

Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat 
jelas di mata Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu 
memang tengah memperhatikan wajah kekasihnya. Perasaan tidak enak 
pun melanda batin Dewa Arak. 

Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan. 
Melati telah menyahut. 

"Aku terlambat datang. Kang," ujarnya dengan suara lirih, 
seakan-akan merasa sangat menyesal. 

"Maksudmu...?" Aiya tidak berani melanjutkan ucapannya. 

"Dia telah tewas. Kang." 

"Hah...!" 

Dewa Arak tersentak kaget mendengar jawaban Melati. Hatinya 
sama sekali tak menduga kalau hal itu akan terj adi. Matanya terbelalak 
diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi. 
Dewa Arak melesat ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak 
itu terbujur di lantai berlumuran darah. 

Memperhatikan sekilas saj a. Dewa Arak mengetahui kalau Ki 
Baijanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala 
tengkorak yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak. 

"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa 
Arak dengan suara pelan. 

"Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula. Kang," 
timpal Melati memberikan kesimpulan. 

"Yahhh...," sahut Arya dengan suara mendesah. Kemudian 
membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. 

Hal yang sama dilakukan Melati. 

"Aku yakin hal ini berhubungan erat dengan kedudukan kepala 
desa. Melati," tukas Arya pelan. "Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa 
Utusan dan Akherat bertindak demikian cepat." 

"Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku. Kang," ujar Melati. 

"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada. 
Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa 
setelah Ki Barjanala tidak ada selain Sembada?" 

"Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada 
menduduki jabatan kepala desa itu. Kang," ujar Melati tiba-tiba. 

"Kau benar," sambut Arya setengah terpekik. 

"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk 
menyel amatkanny a." 

"Apa yang harus kita lakukan. Kang?" tanya Melati, setengah 
bingung. 

Dewa Arak tak segera menjawab. Dahinya berkemyit, pertanda 
tengah ada yang dipikirkan. 

"Jalan satu-satunya untuk mencegahnya hanya dengan mengamati 
bangunan tua itu, Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan 
penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewanya," ujar Arya 
menjelaskan. 

"Bagaimana kalau kita kecolongan lagi. Kang?!" tanya Melati, 
mengajukan kemungkinan yang tidak terduga. 

"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu tems-menems. Pagi, siang, 
sore, dan malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan." 

"Kapan kita memulainya. Kang?!" 

"Sekarang juga!" tandas Arya tegas. "Aku khawatir, penyewa itu 
telah meletakkan perintah kejinya di sana." 

"Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan. 

"Ada apa. Melati?! Katakan saja!" sahut Arya ketika melihat 
kekasihnya merasa ragu untuk meneruskan ucapannya. 

"Mengapa mesti bersusah payah mengawasi bangunan tua itu. 
Kang?! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran 
berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila 
ada bahaya mengancamnya, kita dapat memberikan pertolongan 
sesegera mungkin." 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala mendengar pendapat 
kekasihnya. 

"Pada dasarnya aku setuju dengan usulmu. Melati. Karena memang 
sebenarnya merupakan cara yang paling baik. Tapi ingat. Melati, ada 
satu hal yang kau lupakan. Orang yang telah menyewa Utusan dari 
Akherat belum tentu Sembada. Meskipun, kemungkinannya sangat 
besar." 

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil 
napas. 

"Itulah sebabnya, kuputuskan untuk mengawasi bangunan itu. Kau 
mengerti. Melati?!" 

Melati terpaksa menganggukkan kepala walaupun sebenarnya tidak 
merasa puas dengan keputusan yang diambil. 

"Lalu..., bagaimana dengan Utusan dari Akherat, Kang?! Apakah 
dia harus dibiarkan saja?!" 

"Dia akan menerima ganjarannya pula. Melati. Utusan dari Akherat 
termasuk orang yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan 
orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus 
dilenyapkan!" 

"Aku pun berpendapat demikian. Kang. Utusan dari Akherat tokoh 
yang amat berbahaya," ujar Melati memberikan dukungan 

"Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini. Melati!" ajak Arya 
seraya melesat meninggalkan tempat itu. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi. Melati pun segera menyusulnya. 
Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwajah elok ini telah saling 
berkejaran menuju bangunan tua. 


*** 

Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari 
tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata, 
memancarkan cahaya yang mulai menggigit kulit. 

Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah 
memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama 
kalinya bertemu sosok berpakaian hitam. 

Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun 
dedaunan sehingga keberadaannya sulit diketahui. Dari semalam. Dewa 
Arak berada di situ. Pandangannya tak lepas tems mengawasi bagian 
bangunan tempat sebatang tombak tertancap. 

Di tempat itulah pemah dilihatnya sesosok bayangan hitam yang 
sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat 
yang berisi perintah maut. 

Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah 
diatur saja, dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh. 

Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih 
keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju 
tempat dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih 
itu amat dikenalnya 

Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah 
sampai di bawah pohon tempat Dewa Aiak berada. Gadis itu langsung 
menggenjotkan kaki. Dan.... 

Jliggg! 

T anpa menimbulkan getaran sedikit pun. Melati hinggap di cabang 
pohon tempat Dewa Arak berada 

"Kita kecolongan lagi. Kang," ujar Melati, buru-buru. 

"Kecolongan?!" Arya mengernyitkan dahi. "Aku belum mengerti 
apa yang kau maksudkan. Melati?" 

"Ki Kuncara telah tewas!" 

"Apa?!" tanya Arya tersentak kaget "Bagaimana hal itu dapat 
terjadi. Melati?!" 

"Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam. Kang," 
jelas Melati. 

Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke 
depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali. 

"Berarti, setelah membunuh Ki Baijanala, Utusan dari Akherat 
langsung menyatroni Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati 
lagi. 

"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung 
meminta dua orang sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak 
setengah-setengah rupanya," gumam Arya pelan, seperti berbicara pada 
dirinya sendiri. 

"Keadaan di Desa Jarak kacau. Kang! Sekarang semua penduduk 
mengutuk Utusan dari Akherat sebagai pembunuh keji! Padahal, baru 
dua hari yang lalu mereka memuji-mujinya setinggi langit!" 

Melati menceritakan peristiwa yang diketahuinya. Memang, begitu 
pagi menjelang. Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat 
keadaan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 

"Kacau?!" Arya mengerutkan alis penuh perasaan heran. "Mengapa 
bisa demikian. Melati?! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh 
desa itu cukup mengejutkan, tidak perlu menyebabkan teijadinya 
kekacauan." 

"Putra Ki Baijanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad 
menuntut balas." 

"Itu wajar. Melati. Siapa yang tidak merasa dendam jika 
orangtuanya dibunuh orang?!" sambut Arya. "Tapi, bagaimana dia dapat 
memenuhi keinginannya itu? Di samping untuk mengetahui keberadaan 
Utusan dari Akherat sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan 
sanggup menghadapinya?" 

"Itulah masalah yang menyebabkan teijadinya kekacauan. Kang" 
lanjut Melati. "Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala 
bermaksud melampiaskan dendamnya!" 

"Heh?! Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan 
dilampiaskan?!" 

"Pada Sembada, Kang! Dia menganggap, bahwa Sembada yang 
telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua 
kekejian itu!" 

"Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget. "Mengapa 
dia dapat mengambil kesimpulan seperti itu?!" 

"Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala. "Menurut berita 
yang kudengar, dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang 
secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa 
mengenaskan itu menurut berita yang kudapat, ada kaitannya dengan 
jabatan kepala desa." 

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Kesimpulan yang 
didapat putra Ki Baijanala itu ternyata sama dengan kita. Melati. Tak 
bisa kusalahkan tindakan yang diambil putra Ki Barjanala. Memang, 
semua kejadian ini menunjuk Sembada sebagai pelakunya." 

Melati mengangguk-anggukkan kepal a pertanda menyetujui ucapan 
kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucapan kekasihnya. 

"Bagaimana denganmu sendiri. Kang? Apakah kau masih ragu 
kalau pelaku semua kekejian itu Sambada?!" tanya Melati, ingin tahu 
pendapat Aiya secara pasti. 

Bukan tanpa alasan gadis berpakaian putih ini menanyakannya. 
Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pemah meleset. 

"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di 
balik semua kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan 
kalau Sembada-lah yang telah memberikan perintah-perintah terhadap 
Utusan dari Akherat. Tapi, entah mengapa aku merasa ragu! Atau..., ini 
disebabkan karena belum kudapatkan bukti nyatanya...?" 

Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian 
gadis berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh Disadari kalau 
Arya telah berusaha untuk memberikan jawaban yang memuaskan. 

"Apakah putra Ki Baijanala telah melakukan penyerbuan secara 
terbuka pada Sembada?!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan. 

"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala. "Hanya perang 
dingin. Tapi aku yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara mereka. 
Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk 
dua kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada. 
Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi 
bentrokan, dengan mudah mereka akan dihancurkan." 

"Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak 
hanya menuruti kemarahannya saja," ujar Arya merasa kagum. 

"Pada putra Ki Baijanala yang mana kau tujukan pujian itu. Kang?!" 
tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat. 

"Apa maksudmu, Melati?! Apakah Ki Barjanala mempunyai 
banyak anak?!" 

"Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki. 
Yang tua bernama Jagapaksi. Sedangkan adiknya bernama Suraga. Dan 
yang menyebabkan tercegahnya pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia 
menyuruh Suraga yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan 
menunggu perkembangan selanjutnya," jelas Melati panjang lebar. 

Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya. 
Dewa Arak terdiam, tak memberikan tanggapan. Mereka berdua 
tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. 

"Kang..," sapa Melati memecahkan keheningan yang menyelimuti. 

"Hm...!" sahut Dewa Arak hanya dengan gumaman pelan sambil 
menoleh. 

"Untuk apa lagi kita berada di sini? Kurasa lebih baik kita pergi ke 
Desa Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang 
layar. Dan..." 

Ucapan Melati terhenti di tengah jalan secara mendadak. Hal itu 
karena Arya tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian 
jari telunjuknya ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan 
Melati tadi. 

Dengan perasaan heran. Melati mengalihkan pandangan ke arah 
yang ditunjukkan kekasihnya. Dan.... 

"Ah!" 

Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat 
sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berada. 

Gerakan sosok tubuh mengenakan pakaian kuning itu cukup cepat. 
Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya 
tertutup selembar kain hitam. 

"Meskipun warna pakaiannya berbeda, aku yakin kalau dialah yang 
kita lihat beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu. Melati?" 
bisik Arya. 

"Aku pun menduga demikian. Kang. Aku yakin orang inilah yang 
kita lihat waktu itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada?!" Melati balas 
bertanya dengan suara berbisik. 

"Entahlah," Arya mengangkat bahu. "Tapi..., sosok tubuhnya 
memang mirip dia." 

"Sebentar lagi akan kita saksikan kebenarannya. Kang! Aku yakin 
kalau dia Sembada." 

"Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem. 

Sampai di sini, percakapan sepasang pendekar muda ini terhenti. 
Keduanya tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui. 

Sementara itu sosok berpakaian kuning tems melanjutkan langkah. 
Tapi beberapa tombak sebelum mencapai bangunan tua dan tak terawat 
itu, langkahnya berhenti. Kepalanya ditolehkan ke sana dan kemari 
seperti tengah memastikan tak ada orang lain di tempat itu 

Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju 
tembok bangunan megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam. 
Sampai di situ, tangan kanannya segera dimasukkan ke balik baju. Dan 
begitu keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang. 
Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan 
kecil yang berisi uang. 

Saat itulah Dewa Arak dan Melati langsung bertindak. Keduanya 
dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat 
sosok berpakaian kuning berada. 

Sesuai kesepakatan. Dewa Arak menujukan sasaran pada gulungan 
surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian 
kuning. 

Karuan saja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut 
bukan kepalang. Menyadari adanya bahaya mengancam, orang itu 
segera melesat kabur. 

Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana 
mampu dia meloloskan diri dari Melati? Setelah bersalto beberapa kali 
di udara. Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning ita 

Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya. 
Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah 
lainnya. 

Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari 
terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba Melati telah menghadang di 
depannya. 

Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa. 
Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari. 

Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning 
gagal dengan usahanya. Melati telah berada di depannya kembali. 
Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat 
meloloskan diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya.... 

Srattt! 

Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut 
golok yang terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan, 
d-serangnya Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu. 

"Hmh!" 

Melati mengeluarkan dengusan mengejek seraya dengan cepat 
mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya, 
hal itu dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh 
berpakaian putih itu meliuk mengelakkan serangan lawan. 

Wuttt! 

Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari 
pinggang Melati. 

Saat itulah Melati melancarkan serangan balasan. Dengan cepat sisi 
tangan kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan. 

Wuttt! 

Orang berpakaian kuning itu terperanjat bukan kepalang, 
menyaksikan serangan balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari 
dem angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu 
mengandung tenaga dalam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki, 
dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi.... 

Bukkk! 

"Uh..,!” 

Menyadari dirinya tak mungkin meloloskan diri, lelaki berpakaian 
kuning itu menjadi nekat... 

Srat! Tangannya mencabut golok yang terselip di pinggang, dan 
langsung menusukkannya ke arah perut Melati. 

Ketika golok itu sudah sangat dekat, Melati segera mendoyongkan 
tubuhnya ke kanan! 

Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluhan tertahan dari 
mulut ketika tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju. 

Seiring dengan suara keluhannya, tubuh sosok berpakaian kuning 
itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan! 

*** 

"Kau tidak membunuhnya kan. Melati?!" tanya Arya seraya 
menghampiri kekasihnya. 

"Tentu sajatidak. Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga. "Aku 
pun tahu, ada pihak yang lebih berkepentingan terhadapnya." 

"Syukur kalau kau menyadarinya," ujar Arya lega. "Ini surat dan 
uang yang diletakkan di gagang tombak itu Bacalah! Agak keras sedikit 
agar aku mendeng amy a." 

Melati menerima gulungan surat itu. Dengan agak terburu-buru 
dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras. 

Utusan dari Akherat, 

Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini 
juga. Aku ingin masalah ini cepat selesai. Setelah iru semua masalah 
akan beres. 

"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu. Melati?" tanya Arya 
ingin tahu. 

Melati menganggukkan kepala. 

"Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan 
gelap ini Sembada, Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan. 

Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak. 

"Akan kubuktikan kebenaran ucapanku. Kang," ucap Melati lagi 
penuh semangat. 

Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya 
diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian 
kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan.... 

"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak 
percaya melihat sosok berpakaian kuning itu bukan Sembada. Yang 
terlihat ternyata wajah seorang pemuda berwajah bumk. 

Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula. 
Hidungnya besar, sedangkan kedua matanya seperti selalu terbelalak. 

"Ketidakyakinanku ternyata beralasan. Bukan Sembada 
pelakunya," ujar Aiya, tanpa menunjukkan rasa gembira atas 
kemenangannya bertaruh dengan Melati. 

Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian 
kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pernah meleset. 

"Kau mengenalnya. Melati?" tanya Arya ingin tahu. 

Melati hanya menggelengkan kepala. 

"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku ydcin, ada penduduk 
yang mengenalnya. Kalau tidak mempunyai hubungan di sana, untuk 
apa membuat onar desa itu?" ujar Arya meyakinkan. 

"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian. Kang," tukas Melati. 

Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak. 

"Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu. Melati. Beritahukan pada 
para penduduk kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa 
pembunuhan terhadap Kepala dan Calon Kepala Desa jarak, telah 
berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatangan. 
Dengan cara itu, masalah ini akan selesai dan ketegangan antara dua 
kelompok dapat teratasi." 

"Sebuah usul yang bagus. Kang," puji Melati sambil mengacungkan 
ibu jarinya. 

"Kau memang pandai memuji. Melati," ujar Arya sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!" 

"Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laksanakan," 
ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap 
sungguh-sungguh pada wajahnya. 

Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat 
cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, 
tubuhnya telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga 
berbentuk titik kecil hitam yang akhirnya lenyap. 

Dewa Arak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat 
kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian 
diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya. 
Lalu kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas. 

Desa Jarak. Karena ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi 
tahu seluruh penduduk Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahkan seluruh 
ilmu meringankan tubuhnya. 

Kesempatan yang diberikan Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. 
Beberapa puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak, 
dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa. 

Melihat hal ini. Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi. 
Segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki 
pemuda berambut putih keperakan itu seperti tak menginjak tanah, 
karena kecepatan gerakannya. 

Hanya dalam beberapa kali lesatan. Dewa Arak sampai sekitar lima 
tombak dari kerumunan penduduk Desa Jarak. 

Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya 
diedarkan. Hanya dalam sesaat saja, telah disaksikan kebenaran cerita 
Melati. Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok Yang satu 
dalam jumlah besar, sedangkan lainnya sedikit. 

Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling 
depan. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghembuskan napas berat dalam hati. Sama sekali 
tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Baijanala 
masih bersitegang. Padahal, bukankah Melati telah memberitahukan 
kalau penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil ditangkap? Dari 
kenyataan ini saja dapat diketahui kalau Desa Jarak belum mempunyai 
kepala desa! 

Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok 
bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati. 

"Sekarang tiba giliranmu. Kang," ujar Melati, mempersilakan. 
"Bagianku telah berhasil kuselesaikan. 

Dewa Arak hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. 
Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para 
penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya. 

"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucapanku...!" sem 
Dewa Arak dengan mengerahkan tenaga dalam agar terdengar di telinga 
semua orang yang berada di situ. "Aku mempunyai berita baik untuk 
kalian." 

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk 
melihat tanggapan dari para warga Desa Jarak. 

"Kupinta kau tidak bertele-tele. Dewa Arak," selak Sembada. "Kami 
telah tahu berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah 
kau telah berhasil menangkap orang yang berada di balik semua 
pembunuhan di Desa Jarak?! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi 
untuk membuktikan ketidakbersalahanku!" 

Sambil berkata demikian. Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi 
berada. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi 
sambutan. Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju 
lurus ke wajah Dewa Arak. 

"Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Sembada. Aku pun tak 
mau membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan 
kawanku tidak mengenalinya. Barangkali saja kalian kenal. Nih! Kalian 
perhatikan baik-baik!" 

Usai berkata demikian. Dewa Arak segera menurunkan tubuh yang 
terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan. 

Wuttt! 

Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula 
semua mata kecuali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok 
berpakaian kuning itu. 

Brukkk! 

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian 
kuning itu terbanting di tanah. 

Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua 
penduduk dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa 
gerak. Karena Dewa Arak telah menotok sebelum membawa ke Desa 
Jarak. 

Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan perasaan 
kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun 
memanearkan ketidakpercayaan yang mendalam. 

"Hah...?!" 

"Heh...?!" 

"Astaga...!" 

Jeritan-jeritan bernada kaget dan tak percaya keluar dari mulut para 
penduduk Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng 
kepala keheranan. 




Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada 
seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu 
adalah... Jagapaksi! Sepasang bola mata putra tertua Ki Baijanala itu 
seperti hendak keluar ketika menatap sosok berpakaian kuning yang 
tergolek di tanah. 

"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergeleng-geleng. 

Pemuda berpakai an kuning itu ternyata Suraga, adiknya. 

Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya 
secara mendadak pandangannya dialihkan kepada Dewa Arak. Matanya 
yang tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Apa yang membuatmu menarik kesimpulan sempit seperti ini. 
Dewa Arak?!" tanya Jagapaksi dengan suara keras. 

"Kesimpulan sempit?!" ulang Arya dengan kening berkernyit. 
Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini 
ternyata Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya. 

"Maksudmu..., penangkapan yang kulakukan atas diri adikmu ini 
kau katakan kesimpulan sempit?!" 

"Benar! Kau hanya mengada-ada. Dewa Arak! Aku yakin kau telah 
bersekongkol dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hanya orang 
gila yang mempercayai lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh 
ayahnya sendiri! Tipu muslihatmu tak masuk akal. Dewa Arak!" seru 
Jagapaksi berapi-api. 

"Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena 
tak kuat menahan amarah mendengar hinaan terhadap kekasihnya. 
"Dengar baik-baik. Kambing Dungu! Adikmu yang kau 
agung-agungkan itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami 
pergoki ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan 
dari Akherat!" 

"Bohong! Kau bohong Perempuan Liar! Kau akan mendapat 
balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" sem 
Jagapaksi dengan suara bergetar karena amarah yang melanda. 

"Bohong?!" Melati tersenyum mengejek. "Ini bukti-buktinya. 
Kambing Dungu! Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu? Dan ini uang 
yang seharusnya jatuh ke tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan." 

Sambil berkata demikian. Melati melemparkan gulungan surat dan 
buntalan kecil berisi uang. 

Plukkk! 

Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga. 

Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemudian mengambil kedua 
benda itu, lalu memeriksanya. 

"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percaya, setelah 
memeriksa surat dan uang itu. 



"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu 
dapat saja terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!" 

Terdengar sebuah suara menyambut ucapan ketidakpercayaan 
Jagapaksi. 

Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut 
lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak. 
Namun, sebelum dia sempat mengatakan sesuatu. Dewa Arak telah 
mendahuluinya. 

"Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini perisriwa 
apa pun dapat sajateijadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainya, 
lebih baik kau korek keterangan dari mulutnya! Tentu saja kalau kau 
ingin masalahnya menjadi jelas." 

Jagapaksi tercenung seperti tengah memikirkan usul Dewa Arak. 
Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga. 

"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam 
keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan. 

"Ah, maaf!" 

Seraya berkata demikian. Dewa Arak menghampiri tubuh Suraga. 
Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu Hanya sekali saja. 
Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat. 

"Uhhh...!" 

Suraga mengeluarkan keluhan tertahan. Perlahan-lahan kelopak 
matanya terbuka. 

"Kang Jagapaksi...!" ucap Suraga setengah teipekik, karena 
peras aan kaget yang melanda. 

Pemuda berpakaian kuning ini bergegas bangkit seraya 
mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu 

"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras. "Aku tidak sudi 
mempunyai seorang adik yang menjadi pembunuh keji!" 

"Kang!" seru Suraga, tak kalah keras. "Kau mempercayai tuduhan 
itu?! Itu fitnah. Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian 
keji, membunuh ayah kandung sendiri?!" 

"Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangka kau memiliki 
watak yang sekeji ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun 
bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api. 

"Fitnah!" bantah Suraga keras. "Dari mana kau mendengar tuduhan 
gila seperti itu. Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku 
sendiri?!" 

"Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta?!" 

Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat 
dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda 
berpakaian kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya. 

"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sama setelah 
membaca surat itu. "Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku 
yakin ada yang telah melakukan fitnahan terhadapku!" 

Usai berkata demikian, Suraga melayangkan pandangan ke wajah 
Sembada. 

"Kau...! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya 
membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang sepertimu layak 
mati! Hiyaaat...!" 

Suraga melumk ke tubuh Sembada. Tangan kanannya siap untuk 
dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja 
Sembada tak tinqqal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya 

Namun, sebelum hal itu teijadi. Dewa Arak telah lebih dulu 
bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tangannya dikibaskan. 
Mendadak tubuh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan 
pukulannya. 

"Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat 
kilat tangannya digerakkan ke pinggang. Tapi.... 

"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas, 
Jagapaksi?!" tanya Arya dengan suara datar. "Asal kau tahu saja, aku 
terpaksa bertindak seperti ini agar masalah yang tengah kita bahas bisa 
selesai!" 

Tangan Jagapaksi yang sudah menggenggam gagang golok pun 
mengendur kembali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluka, 
meskipun roboh secara mendadak karena lutut belakangnya dihantam 
pukulan jarak jauh Dewa Arak. 

"Rasanya alasan yang dikemukakan adikku masuk akal. Dewa 
Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan adanya 
kebenaran dalam ucapan Suraga. "Mana mungkin dia pelakunya? Sangat 
tak masuk akal adikku menjadi dalang atas semua kekejian yang teijadi 
di desa ini. Kau tahu, salah seorang di antara korban itu ayahku sendiri. 
Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah 
dia sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri?!" 

"Benar! Mengapa aku harus memerintahkan orang untuk 
membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk tahu kalau 
kebencianku tertuju pada Sembada! Kalau memang benar aku 
pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh 
Sembada, dan bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit. 

Bukan hanya Jagapaksi yang terpengaruh. Semua penduduk yang 
mendengarnya pun, dapat menerima kebenaran ucapan itu. Dewa Arak 
dan Melati pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan 
Dewa Arak namanya kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah 
gugup. Tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap dapat 
bersikap tenang. 

"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya 
dengan ucapan Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terkembang di 
bibir. "Aku tahu, mengapa Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat 
untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya? Ada beberapa hal yang 
menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!" 

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil 
napas. 

"Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan 
terhadap kelompok Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan 
Utusan dari Akherat membunuh Smebada, sama saja dengan membuka 
kedok sendiri." 

Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjelasannya. 

"Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan 
mendapat keuntungan ganda. Di samping tidak ada penghalang 
penyerbuan atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh 
Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka 
akan membunuh Sembada. Hasilnya. Jalan untuk menjadi kepala desa 
akan terbentang luas bagi Suraga!" 

"Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbarengan. 

Kakak beradik putra Ki Baijanala itu tampak geram bukan 
kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk desa para pengikut 
mereka. Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja 
mereka memilih sikap berdiam diri. 

"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang 
kuminta Suraga menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di 
dalam hutan, dan meletakkan gulungan surat serta buntalan uang itu 
Asal kau tahu saja, Jagapaksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya, 
menjelang terjadinya pembunuhan terhadap Bima Seta. Bukan kah 
demikian. Kang Saraka?!" 

"Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki 
bertubuh kekar ini berada pada kelompok Jagapaksi. 

"Dia bohong. Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak 
pemah tahu sama sekali semua yang dikatakannya. Yang kutahu, saat 
aku sadar tahu-tahu berada di sini!" bantah Suraga mencoba berhohong. 

Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan 
kemenang an. 

"Sayang sekali. Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan 
hasil sama sekali. Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki 
watak serendah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan 
mendengarnya!" 

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau 
kedudukan mereka sekarang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga 
seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan teijepit seperti itu 
masih mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri. 

Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cemerlang timbul di benak Dewa 
Arak. 

"Kuakui kalau alasan bohongmu telah membuat kami habis daya 
untuk membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan 
perintah-perintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada 
penduduk yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan 
membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa 
Jarak yang merasa melihat kepeigian Suraga ke hutan, silakan 
memberikan kesaksian. Apakah kalian rela melihat Sembada yang tidak 
bersalah menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus 
berlangsung! Dan kalianlah yang akan merasakan akibatnya" 

Kegaduhan langsung melanda penduduk Desa Jarak. Masalahnya 
sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan, 
dengan memakai pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada, 
tapi juga para pengikut Jagapaksi 

Kesaksian pertama kali diberikan Saraka. Lelaki bertubuh kekar itu 
mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk 
lainnya mengacungkan tangan. 

Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah 
pucat pasi. 

"Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga?!" tanya Melati penuh 
bernada ejekan. 

Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas 
ejekan Melati. 

Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah 
putra tertua Ki Barjanala ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang 
matanya pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan 
pada Melati, melainkan pada Suraga. 

"Manusiaberhati binatang!" desis Jagapaksi, penuh geram. "Malah 
binatang lebih baik daripada dirimu. Mereka tahu mengenal budi. 

Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan 
merawatnya! Tidak seperti kau. Iblis Berwajah Manusia!" 

Semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak dan 
Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi. 
Mereka sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu. 

Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia 
terdiam dengan raut wajah berubah-ubah. Sebentar pucat sebentar 
merah. 

"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya. Iblis?! Dulu kau 
seorang gembel kecil yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan 
menjadikanmu anak angkat! Kau hidup enak! Tapi apa balasanmu 
sekarang. Iblis?!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi. 

'Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri, 
Suraga balas memaki. "Kau terlalu melebih-1 ebihkannya! Selama aku 
dipungut menjadi anak, tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!" 

Suraga menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Perasaan 
marah yang menggeleg ak, membuat napasnya tereng ah-eng ah. 

"Dulu aku selalu bertanya-tanya, mengapa Ki Barjanala yang 
semula kuanggap ayah, membeda-bedakan kita. Dalam setiap 
perselisihan yang teijadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebe¬ 
narnya aku berada di pihak yang benar." 

Suraga kembali menghentikan ucapannya. Deru napasnya semakin 
memburu seperti orang yang habis berlari jauh. Diaturnya napas agar 
bisa melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di 
situ, sekarang mulai mengetahui pokok permasalahan yang tengah 
terjadi. 

"Salah besar, baru kuketahui kalau diriku hanyalah seorang anak 
angkat. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun 
berkobar. Harus kubalas tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah 
aku pergi meninggalkan kalian selama beberapa bulan. Aku terjun di 
dunia orang-orang golongan hitam. Sampai akhirnya kudapatkan berita 
adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat " 

Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk 
membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir. 

"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan d ari Akherat tengah berada tak 
jauh dari Desa Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya teijadi, 
persis seperti yang kurencanakan. Sayang, di saat terakhir usahaku 
gagal. Dan...!" 

"Mampuslah kau. Iblis!" 

Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah 
meluruk ke arahnya sambil menu-sukkan golok. Hal itu membuat 



Suraga kaget bukan kepalang Sedapat mungkin dia berusaha mengelak. 
Tapi... 

Jreppp! 

Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut 
Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra 
angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya membelalak 
lebar. 

Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun 
ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian pemtnya yang 
tersobek lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelepar di tanah sebelum 
akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

"Hhh...!" 

Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu. 
Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan 
pandangannya ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terkejut 
ketika dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ 

Bukan hanya Jagapaksi yang merasa kaget. Semua penduduk pun 
dilanda perasaan yang sama. Mereka tak tahu kapan Dewa Arak dan 
Melati pergi. 

Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati 
melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi 
menyarangkan goloknya di perut Suraga. 

Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di 
samping penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil dilenyapkan, 
mereka pun ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan. 
Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari 
Akherat. 

Untuk melaksanakan maksud itu hanya satu hal yang sapat mereka 
lakukan, memberikan sebuah tugas kepada pembunuh bayaran itu. Dan 
hal itu tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak 
menggunakan surat dan uang yang semula digunakan Suraga. Memang, 
dia telah mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu. 

*** 

Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya 
bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa 
terhalang sedikit pun. Di angkasa tidak terdapat awan sama sekali. 
Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang. 

Di saat seperti itulah. Dewa Arak dan Melati telah siap dengan 
tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon 
yang tersembunyi kerimbunan daun-daun. 

Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara 
Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat 
menceg ah hal-hal yang tidak diinginkan. 

Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak 
maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi 
itu merasa sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekeijaan 
yang paling menyebalkan. 

Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang 
kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian. 

"Jangan-jangan Utusan dari Akherat tak datang. Kang. Barangkali 
saja dia tahu kalau kita berniat menjebaknya?!" ucap Melati dengan 
menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh. 

"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangkan hati 
gadis berpakaian putih itu. "Aku yakin. Utusan dari Akherat itu akan 
datang. Mungkin..., ah! Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan 
hitam di kejauhan. Dia menuju ke tempat ini! Dia pasti Utusan dari 
Akherat!" 

"Kalau begitu..., aku akan ke sana. Kang!" sambut Melati penuh 
gairah. 

"Sabar sebentar. Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap 
di tempatmu!" cegah Aiya. 

Tanpa banyak membantah Melati mematuhinya. Kenyataan demi 
kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa 
Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera 
menurutinya. 

Sementara itu. Dewa Arak tems memusatkan perhatian pada sosok 
hitam yang tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik 
kerimbunan dedaunan, pemuda berambut putih keperakan itu 
memperhatikanny a. 

Dugaan Dewa Arak ternyata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata 
orang yang pernah bertarung dengannya meski hanya sebentar. 
Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan 
dari Akherat! 

Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akherat menolehkan 
kepalanya ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan. 
Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak mengenal ampun itu, 
melesat memasuki halaman rumah Jagapaksi 

Saat itulah. Dewa Arak melompat tumn dari pohon tempatnya 
bersembunyi. 

Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak 
sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu 
menolehkan kepalanya. Tampaknya, pembunuh bayaran ini mendengar 
desir angin! 

"Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari 
kerongkongannya begitu melihat sosok yang tengah melayang tumn itu 
Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin 
malam. 

Jliggg! 

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di 
hadapan Utusan dari Akherat, Dewa Arak langsung bersikap siaga. 
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki 
tingkat kepandaian yang tidak bisa diremehkan. 

"Beri aku jalan. Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi 
pekerjaanku kalau ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan 
suara pelan. 

"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk 
menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus 
dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Aiya, tegas. 

"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bernada tajam. "Terpaksa aku 
harus membunuhmu. Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi 
tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!" 

Usai berkata demikian. Utusan dari Akherat segera melesat 
meneijang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk 
cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang 
dilakukan, lelaki berpakaian serba hitam ini seakan-akan ingin merobek 
dada lawan dan mengambil isinya. 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, 
membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah 
bertarung dengan lelaki berpakaian hitam itu meski hanya dalam satu, 
atau dua jurus. 

Itulah sebabnya. Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya 
melayang ke atas melewati kepala lawannya. Dan ketika telah berada di 
atas Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih 
keperakan ini mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala 
lawannya. Apabila mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa 
pembunuh bayaran itu ke neraka. 

Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu 
merasakan desir angin di belakang, dia langsung tahu adanya bahaya 
mengancam. Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya 
disampokkan ke belakang. 

Prattt! 

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak 
dapat dielakkan. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama 
terhuyung ke arah yang beri awan an 

"Hup!" 

Pada saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah. Utusan dari 
Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat mereka saling 
pandang, tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa 
Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka 
sakit-sakit akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam 
mereka berimbang. 

Utusan dari Akherat ternyata tak mau membuang-buang waktu. 
Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan 
lawan, dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan. 

Wuk! Wuk! Wuk! 

Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan 
memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu 
cepat gerakan yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang 
terlihat hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco 
Utusan dari Akherat berwarna putih mengkilat! 

Melihat hal ini. Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung. 
Disadari kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Kalau tak 
diladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang 
akan lebih dulu melayang. 

Maka buru-buru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke 
mulutnya. 

Gluk.... Gluk.... Gluk..! 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan 
Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada 
hawa hangat berputar di dalam perutnya, yang kemudian merayap ke 
atas. Sesaat kemudian, kedua kaki Dewa Arak pun seperti tak mampu 
menapak secara tetap lagi di tanah. Oleng ke sana kemari. Hal itu 
sebagai pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' nya telah siap untuk 
dipergunakan. 

"Haaat...!" 

Seraya mengeluarkan teriakan keras yang membuat suasana di 
sekitar tempat itu tergetar hebat. Utusan dari Akherat meluruk 
mencrjang Dewa Arak. Ganco yang tergenggam di tangan, diayunkan 
untuk membabat kepala. 

Wukkk! 

Desau angin yang keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. 
Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak 
pun mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu 
untuk memapaknya dengan ayunan guci. 

Klanggg! 

Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci 
berbenturan secara keras hingga memekakkan telinga. Baik Dewa Arak 
maupun Utusan dari Akherat sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya 
saja Utusan dari Akherat terdorong lebih jauh. 

Namun, dengan sebuah gerakan sederhana, kedua tokoh yang 
sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan 
kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling 
terjang kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi. 

Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung, 
dan berdecit menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah 
terbongkar, disertai debu mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa 
pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula. 

Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun, 
menginjak jums keseratus. Utusan dari Akherat mulai tampak terdesak. 
Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak 
merupakan paduan kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan 
lawan. 

Perlahan-lahan Utusan dari Akherat semakin teijepit. 
Serangan-serangannya tampak semakin berkurang. Dia lebih banyak 
mengelak dan menangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya 
semakin terdesak. 

Melihat hal itu. Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan 
roboh di tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda 
itu berada di atasnya. Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka 
diputuskan kalau harus mati, maka matilah bersama lawannya. 

Setelah mantap dengan keputusan ini. Utusan dari Akherat 
bertindak nekat. Cara bertarungnya pun dirubah. Sekarang dipusatkan 
perhatiannya untuk melancarkan serangan. Tidak dipedulikan lagi 
pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya tems 
bergerak melancarkan serangan. 

Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari 
Akherat langsung berubah. Kedudukannya tak lagi terdesak. Hal itu 
mungkin karena Dewa Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya 



pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan 
dari Akherat yang sengaj a hendak mengadu nyawa. 

Betapa tidak? Begitu Dewa Arak melancarkan serangan, tak 
dipedulikannya sama sekali. Bahkan ikut melancarkan serangan pula. 
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni tindakan gila itu. Pemuda 
berambut putih keperakan itu mengalah sambil mencari celah-celah 
yang dapat dimanfaatkan. 

Pada jums keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat 
membabatkan ganconya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak. 
Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu 
melompat ke depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya 
bersalto seraya mengayunkan guci ke kepala Utusan dari Akherat. 

Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut 
yang mengancamnya. Dengan semampunya lelaki berpakaian hitam itu 
mencoba mengelak. 

Prakkk! 

Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat 
pecah. Darah menyembur deras dari bagian yang terhantam guci. 
Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas. 

Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak 
menghembuskan napas berat. Ada sedikit peras aan menyes al di hatinya 
melihat lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh 
buat?! 

Dewa Arak mengalihkan pandangannya. Tampak Melati dan 
Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi 
menyaksikan jalannya pertarungan. Jagapaksi keluar rumah karena 
mendengar suara gaduh perkelahian. 

Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya 
melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Sumpah Sepasang Harimau