Dewa Arak 62 - Perempuan Pembawa Maut


Suara senandung gembira keluar dari mulut seorang 
kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian longgar 
berwarna putih. Kakek ini tengah duduk di pinggir sungai. 
Sebatang joran tergenggam di tangan kanannya. 

Mendadak kakek tinggi kurus itu menarik jorannya. 
Tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik 
kakek ini tidak layak disebut joran karena tanpa tali, 
pelampung bahkan mata kail. Hanya sebatang kayu yang 
dibuat mirip joran. 

Sambil bersiul-siul, kakek tinggi kurus itu meraih 
ikan yang menggeliat di ujung joran, Lalu dimasukkannya ke 
dalam keranjang kecil yang telah berisi ikan hasil 
tangkapannya. Ketika dia bermaksud memasukkan jorannya 
ke dalam air, mendadak gerakan tangannya dihentikan, lalu 
ditolehkan kepalanya ke belakang. 

"Sumini...," desah kakek tinggi kurus itu dengan 
tarikan wajah menyiratkan kecemasan. 

Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek itu sudah 
bangkit secara cepat. Joran dan keranjang berisi ikan 
tangkapannya tidak dipedulikan lagi. Kemudian dengan 
sekali lesatan, dia telah berada dalam jarak belasan tombak 
dari tepi sungai. 

Dengan kecepatan yang tidak mengendur, kakek 
tinggi kurus itu melesat Tubuhnya yang terbalut pakaian 
putih sekejap saja telah lenyap. Kini yang tampak hanya 
kelebatan bayangan putih melesat menuju sebuah bangunan 
yang berada tak jauh dari sungai tempatnya memancing. 

"Sumini...," untuk yang kedua kalinya si Kakek tinggi 
kurus menyebutkan nama itu. Namun kali ini dengan sorot 
mata menyiratkan keterkejutan. 

Beberapa tombak di hadapan kakek tinggi kurus itu 
tampak empat sosok yang tengah menuju ke arahnya. 

"Kakek...!" 

Salah seorang dari keempat sosok, berseru memanggil 
si Kakek tinggi kurus. Dia seorang gadis berusia sekitar tujuh 
belas tahun. Wajahnya cantik. Tubuhnya yang ramping 
terbalut pakaian kuning. 

"Sumini...!" 

Kakek tinggi kurus berseru penuh kecemasan seraya 
melangkah maju. Namun langkahnya langsung terhenti 
karena salah satu dari tiga orang yang berada bersama 
Sumini segpra menariknya 1$ belakang, dan dua sosok lagi 
melangkah kc depan. Ketiganya menunjukkan sikap 
bermusuhan, bahkan siap bertarung. 

"Selangkah lagi kau maju, gadis ini akan kehilangan 
nyawanya, Jaya Katwang!" ancam lelaki berkepala botak dan 
beralis tebal. Dadanya yang terbuka memperlihatkan bulu 
tebal dan hitam. 

"Siapa kalian? Dan apa maksud kalian dengan semua 

ini?" 

Kakek tinggi kurus yang bernama Jaya Katwang tidak 
berani bergeming dari tempatnya karena menyadari 
kesungguhan ancaman itu. Matanya dengan tajam merayapi 
tiga lelaki berwajah kasar itu satu persatu, terutama sekali 
kepada lelaki berkepala botak dan rekannya yang bertubuh 
pendek kekar. Karena kedua orang inilah yang berdiri paling 
depan. 

"He he he...!" lelaki pendek kekar yang mengenakan 
rompi merah tertawa te rkc kc h. "Tindakanmu memang 
bijaksana, Jaya Katwang. Kau langsung berbicara pada 
pokok persoalan. Maka kami pun tidak mau berpanjang kata 
lagi. Cepat, serahkan pusaka peninggalan Raja Ftedang Langit 
Bumi, kalau ingin gadis ini selamat!" 

Wajah Jaya Katwang langsung berubah hebat. 

"Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa kalian 
meminta padaku? Apa hubungannya aku dengan Raja 
Pedang Langit Bumi?" 

Brettt! 

"Awww...!" 

Sumini memekik ketakutan ketika lelaki bermuka 
hitam yang menyanderanya, merenggut pakaiannya sehingga 
sobek! Dua buah bukit kembar pun mencuat menantang. 
Indah dan menggiurkan. 

"Kau lihat, Jaya Katwang?!" tanya lelaki berkepala 
botak, tenang tapi penuh ancaman. "Kami tidak hanya 
bergurau! Apabila tak kau serahkan pusaka-pusaka itu, gadis 
ini akan ditelanjangi oleh kawanku dan diperkosanya sampai 
mati di depanmu!" 

Jaya Katwang tidak langsung memberikan tanggapan. 
Ditatapnya Sumini dan tiga lelaki kasar itu sesaat dengan 
sorot mata menyiratkan kebingungan yang tidak dapat 
dise mbunyikan. 

"Hhh.... Baiklah," ujar Jaya Katwang setelah 
menghembuskan napas berat. Disadari tidak ada lagi pilihan 
lain baginya. "Aku akan memberikan pusaka itu pada kalian. 
Tapi, harap bebaskan gadis itu dulu." 

"Kau bersumpah tak akan mengingkari janjimu, Jaya 
Katwang?" ujar lelaki pendek kekar, tidak percaya 

"Aku bersumpah demi arwah leluhurku, dan 
majikanku yang mulia, Raja Pedang Langit Bumi!" tandas 
Jaya Katwang mantap. 

Wajah ketiga lelaki kasar langsung berseri. Mereka 
tahu Jaya Katwang tidak akan berani mengingkari janjinya. 
Maka tanpa ragu-ragu, lelaki berwajah hitam segera 
membebaskan totokannya pada Sumini dan mendorong 
tubuh gadis itu. 

Jaya Katwang bergegas melangkah maju dan 
menangkap tubuh Sumini Namun, gadis berpakaian kuning 
itu langsung melepaskan diri. Dan setelah merapikan 
pakaiannya sebentar, dipukulkan tinju kanannya ke perut 
lelaki berkepala botak yang kebetulan berada paling dekat 
dengannya. 

Blegkh! 

"Heh...?!" 

Tangan Sumini mengpnai perut yang lunak seolah- 
olah tenaganya amblas ke dalam air. Dan sekali, lelaki 
berkepala botak itu mengibaskan tangan secara 
sembarangan, tubuh Sumini terhuyung-huyung ke belakang 
seperti dihempaskan angin badai! 

Untung Jaya Katwang bertindak cepat menancap 
tubuh Sumini yang meluncur ke arahnya. 

"Ha ha ha...!" lelaki berkepala botak tertawa bergelak 
bernada meremehkan. "Itulah akibatnya bagi orang yang 
berani menjnrang Kerbau Bertenaga Raksasa! Ha ha ha...! " 

Seketika wajah Jaya Katwang berubah. Pernah 
didengarnya julukan Kerbau Bertenaga Raksasa. Seorang 
tokoh penting golongan hitam yang dulu pernah dikalahkan 
Raja Pedang Langit Bumi! 

"Hm.... Lelaki berkepala botak ini yang mempunyai 
julukan seperti itu," gumam Jaya Katwang dalam hati 

Berbeda dengan Jaya Katwang, Sumini tidak pernah 
mendengar julukan Kerbau Bertenaga Raksasa, maka dia 
tidak merasa kaget sama sekali. Meskipun demikian, dari 
serangan yang dilakukan tadi telah menyadarkannya kalau 
lelaki berkepala botak itu memiliki kepandaian yang tak bisa 
diremehkan. Dirinya jelas bukan apa-apanya jika 
dibandingkan tokoh ini. Maka, begitu berhasil ditangkap Jaya 
Katwang, dia langsung menyerang lelaki berompi merah. 

"Sumini! Lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan 
lemas, berlututlah!" seru lelaki berompi merah ketika gedoran 
kedua tangan Sumini hampir mengenai dadanya. 

Akibatnya benar-benar seperti yang dikatakan. 
Sumini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tanpa dapat 
ditahan lagi tubuhnya ambruk, dan berlutut di depan lelaki 
berompi merah. 

Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian 
tinggi, Jaya Katwang tahu kalau lelaki berompi merah itu 
pasti seorang yang ahli dalam ilmu sihir. Dia sadar kalau 
dalam ucapan itu terkandung kekuatan aneh yang mampu 
mempengaruhi orang yang dituju. Maka sebelum kejadian 
lebih buruk menimpa Sumini, dia langsung berkelebat dan 
berdiri di depan gadis itu, bersiap untuk memberikan 
perlindungan. 

"Aku telah beijanji untuk memberikan pusaka-pusaka 
yang kalian minta. Untuk apa kalian masih mencelakainya. 
Jangan kalian lakukan kalau tak ingin aku terpaksa menjilat 
ludahku sendiri!" tandas Jaya Katwang, tegas. 

"Ha ha ha...!" 

Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. 

"Jangan salah duga, Jaya Katwang! Kami tidak 
bermaksud mencelakai gadis ini. Dan kurasa kau pun 
mengetahuinya pula. Gadis itu sendiri yang telah menyerang 
kami. Kami tidak melakukan apa pun yang membahayakan 
nyawanya. Dan tentu saja akan dapat kami cabut dengan 
mudah kalau dikehendaki...." 

Jaya Katwang tidak bisa berkata apa-apa lagi karena 
dia pun tahu kalau Sumini yang melakukan penyerangan 
terlebih dahuhi. Sedangkan lelaki berkepala botak dan lelaki 
berompi merah yang diduganya sebagai Raja Sihir Berbaju 
Merah, hanya membela diri. Karena itu, tanpa banyak cakap 
ditariknya Sumini agar bangun. 

"Tidak ada gunanya melawan mereka, Sumini," ujar 
Jaya Katwang dengan suara perlahan, memberi tahu Sumini. 

Sumini tidak memberikan jawaban sama sekali. 
Namun dari sikapnya yang hanya diam, jelas kalau gadis itu 
pun menyadari kebenaran ucapan Jaya Katwang. Hanya 
tarikan wajah dan sorot matanya yang menyiratkan 
kebencian. Rasa penasaran dan sakit hati masih bersarang di 
hatinya. 

"Cepat berikan pusaka-pusaka itu, Jaya Katwang! 
Kami sudah tak sabar lagi menunggu. Jangan tunggu sampai 
kami kehilangan kesabaran!" tandas lelaki berwajah hitam 
yang berjuluk Setan Ular Karang. 

Jaya Katwang menghela napas berat seraya menatap 
wajah Setan Ular Karang sesaat. "Kalau begitu, mari ikut 
aku!" 

Dengan sikap waspada dan agak bergegas tiga 
pentolan golongan hitam itu mengikuti Jaya Katwang dan 
Sumini yang melangkah lebih dulu. 

Sesampainya di depan pintu sebuah bangunan 
sederhana tempat kediamannya, Jaya Katwang 
menghentikan langkah. 

"Kalian tunggu sebentar di sini! Karena tempat tinggal 
pusaka majikanku tidak boleh dimasuki orang lain kecuali 
keturunannya. Dan kalau kalian memaksa, biarlah aku 
bertindak bodoh dengan melawan kalian, setelah terlebih 
dulu kubunuh dia!" ucap kakek tinggi kurus itu seraya 
meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sumini. 

Kerbau Bertenaga Raksasa, Setan Ular Karang, dan 
Raja Sihir Berbaju Merah saling pandang sejenak. Lalu, 
perlahan Kerbau Bertenaga Raksasa menganggukkan kepala, 
menyetujui. Rupanya, lelaki berkepala botak ini secara tidak 
langsung telah didaulat rekan-rekannya untuk menjadi juru 
bicara. 

"Kami tidak keberatan dengan usulmu itu, Jaya 
Katwang. Tapi, Sumini tidak boleh kau ajak serta! Ingat, 
kalau kau berani bertindak macam-macam gadis ini 
menerima akibatnya!" tandas Kerbau Bertenaga Raksasa 
mengancam. 

Tanpa memberikan tanggapan sedikit pun, Jaya 
Katwang melangkah masuk. 

"Kau tunggu di sini, Sumini!" ujar Jaya Katwang 
sambil menoleh ke arah Sumini. 

Sebelum Sumini memberikan jawaban, Setan Ular 
Karang telah berdiri di sebelahnya, bersiap untuk mencegah 
gadis berpakaian kuning itu melarikan diri. Sumini tidak 
berani berkutik. Dia menyadari tiga tokoh gobngan hitam itu 
tidak segan-segan melakukan tindakan mengerikan apabila 
berani melakukan sesuatu yang mencurigakan mereka. 


•k-k-k 


"Lepaskan gadis itu dulu, baru pusaka ini akan 
kuserahkan," seru Jaya Katwang begitu muncul di ambang 
pintu dengan sebuah buntalan kain lusuh berwarna kuning. 

Tanpa memberikan bantahan sedikit pun, Setan Ular 
Karang langsung mendorong tubuh Sumini. Gadis 
berpakaian kuning itu pun menghambur kc arah Jaya 
Katwang. 

"Terima ini...!" 

Sambil berkata demikian, Jaya Katwang melemparkan 
buntalan kuning yang dijinjingnya. Lalu tangannya 
digunakan untuk memeluk Sumini. 

Mereka saling berlomba, Setan Ular Karang, Kerbau 
Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah 
mengururkan tangan untuk menyambuti. Namun, karena 
Setan Ular Karang yang berada paling dekat dengan Jaya 
Katwang, dialah yang berhasil menangkapnya. Tapi.... 

"Setan Ular Karang berikan padaku!" 

Pada saat yang bersamaan dengan itu, Kerbau 
Bertenaga Raksasa mengirimkan serangan berupa sapuan 
kaki kanan ke arah sepasang kaki Setan Ular Karang. 

Namun rupanya tokoh sesat bermuka hitam itu telah 
menduga. Dia segera melompat ke atas, kemudian ujung 
kakinya menendang ke arah tenggorokan Kerbau Bertenaga 
Raksasa. 

"Ukh...!" 

Lelaki botak bertelanjang dada itu terpekik kaget. 
Kemudian melompat ke belakang untuk menghindarkan 
serangan itu. 

Setan Ular Karang memang berhasil memaksa Kerbau 
Bertenaga Raksasa untuk mundur. Namun saat itu 
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Sihir Berbaju Merah 
untuk merampas buntalan kain kuning. 

Brettt! 

"Keparat!" 

Setan Ular Karang memaki penuh perasaan geram 
melihat buntalan yang berisi pusaka peninggalan Raja 
Pedang Langit Bumi berpindah tangan. 

Namun, di saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah masih 
berada di udara, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih 
memapaki. Lelaki berompi merah ini langsung mengetahui 
adanya ancaman terhadap buntalan di tangannya. Dan 
karena dua rekannya masih belum mungkin melakukan hal 
itu, pelakunya pasti Jaya Katwang. Maka dipercepat 
cekalannya terhadap buntalan kain itu. 

Brettt! 

Kain yang telah rapuh itu langsung robek-robek tak 
mampu menahan tarikan dua tangan bertenaga dalam tinggi 
yang memperebutkannya. Isi yang ada di dalam buntalan itu 
pun beijatuhan ke tanah. 

Untuk yang kedua kalinya perlombaan 
memperebutkan isi buntalan kain kuning itu terjadi. Setan 
Ular Karang dan Kerbau Bertenaga Raksasa yang berada 
dalam kedudukan lebih menguntungkan, langsung meluruk 
ke arah jatuhnya isi buntalan kain kuning. 

Kerbau Bertenaga Raksasa langsung melompat kc 
depan dan menggulingkan tubuhnya untuk mendekati 
pusaka yang diincarnya. Sedangkan Setan Ular Karang 
melesat 1$ atas laksana seekor burung garuda, dan dari sana 
menukik ke bawah! 

"Ikhhh...!" 

Kerbau Bertenaga Raksasa yang hampir saja berhasil 
mencekal kitab, langsung menarik kembali tangannya sambil 
mengeluarkan pekik kengerian. Karena Setan Ular Karang 
tahu kalau dirinya akan kalah, langsung melemparkan 
senjata andalannya. Seekor ular belang yang besarnya 
selengan manusia! 

Sehingga tidak ada satu pun yang berhasil mengambil 
kitab dan pedang yang tergolek di tanah. Karena masing- 
masing pihak tidak berani melakukannya, takut akan 
menjadi korban yang penyerang pihak lain. Beberapa saat 
keempat tokoh itu saling mengawasi satu sama lain sambil 
sesekali memperhatikan pusaka yang tergeletak di tanah. 

"Mengapa kau hendak mengambil kembali pusaka 
yang telah kau berikan, Jaya Katwang! Apa kau hendak 
mengingkari janji yang telah kau ucapkan?!" lantang suara 
Kerbau Bertenaga Raksasa tanpa mengalihkan perhatian dari 
pusaka dan dua orang rekannya. Dirinya khawatir mereka 
akan mendahului mengambil pusaka itu, kalau sampai 
lengah sekejap saja. 

"Aku telah memenuhi janjiku, menyerahkan pusaka 
itu pada kalian. Tapi, karena kulihat kalian 
memperebutkannya, kurasa tidak ada salahnya kalau aku 
ikut serta dalam perebutan ini!" jawab Jaya Katwang, kalem. 

Kerbau Bertenaga Raksasa langsung terdiam karena 
menyadari kebenaran ucapan kakek tinggi kurus itu. Sekilas 
diliriknya tempat Sumini tadi berada. Ternyata tempat itu 
telah kosong. Rupanya ketika dia dan rekannya 
memperebutkan pusaka ini, Jaya Katwang yang cerdik telah 
menyuruhnya kabur. 

Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah pun 
tampaknya mengetahui siasat Jaya Katwang. Setelah 
ketiganya saling pandang sejenak, masing-masing 
menganggukkan kepala seperti telah mengambil sebuah 
persetujuan. 

"Kau cerdik, Jaya Katwang! Rupanya kau bermaksud 
mencari kesempatan di dalam kesempitan! Mencoba 
memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan di 
saat kami tengah saling terpecah. Sayang, kami tidak 
sebodoh yang kau duga, Jaya Katwang! Hhh.... Ternyata kami 
harus menyingkirkan mu lebih dulu, Tua Bangka! Bukankah 
demikian, Setan Ular Karang, Raja Sihir Berbaju Merah?!" 

"Tidak salah!" sahut Setan Ular Karang dan Raja Sihir 
Berbaju Merah hampir berbarengan seraya menganggukkan 
kepala. 

"Aku sudah siap untuk kemungkinan itu! Majulah 
kalian semua!" tantang Jaya Katwang, mantap. 

"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa 
terbahak-bahak. "Kami bukan pengecut-pengecut yang hanya 
berani melakukan pengeroyokan, Jaya Katwang! Bukankah 
demikian, Setan Ular Karang?!" 

Setan Ular Karang yang tidak menyangka akan 
mendapat pertanyaan seperti itu, buru-buru mengpnggukkan 
kepala. 

"Nah! Kau lihat sendiri kan, Jaya Katwang? Setan Ular 
Karang berani menghadapimu sendirian! Kalau begitu biar 
aku dan Raja Sihir Berbaju Merah yang menjadi saksi 
pertarungan kalian!" ujar Kerbau Bertenaga Raksasa lagi. 

Setan Ular Karang menggertakkan gigi karena geram, 
merasa telah tertipu oleh Kerbau Bertenaga Raksasa. Dia 
diadu domba dengan Jaya Katwang! Tapi, apa boleh buat? 
Tidak mungkin dia mundur sekarang kalau tak ingin dicap 
pengecut! 

Begitu melihat kesediaan Setan .Ular Karang, Jaya 
Katwang segera mencabut pedangnya. Pelayan kepercayaan 
tokoh yang terkenal sebagai rajanya ilmu pedang itu merasa 
lebih berbesar hati bertarung mempergunakan senjata. 

"Hm...! Bedebah...!" gumam Setan Ular Karang dalam 

hati. 

Setelah menarik napas, perlahan-lahan kedua 
tangannya yang terbuka disilangkan di depan wajah, lalu 
ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berdesis dan menggetarkan, 
seperti suara belasan ekor ular yang tengah murka terdengar. 

Sesaat kemudian, kedua tangan lelaki berwajah hitam 
legam ini mulai dari ujung jari sampai pergelangan tangan 
berubah menghitam! Inilah ilmu 'Ular Karang' yang menjadi 
andalannya. 

Jaya Katwang tahu kalau lawan telah menggunakan 
ilmu andalan. Namun tak tampak perasaan gentar di 
wajahnya. Kakek tinggi kurus ini lalu menggerakkan 
pedangnya. Suara deru angin dari kibasannya terdengar 
seiring dengan berubahnya pedang itu menjadi sinar. 
Meluncur deras ke depan. 

"Heaaa...!" 

Tak! Tak! Tak! 

"Heh...!" 

Bunyi berdetak seperti benturan logam keras 
terdengar ketika Setan Ular Karang memapak serangan mata 
pedang lawan dengan tangan telanjang. Karuan saja hal ini 
membuat Jaya Katwang kaget bukan kepalang. Hatinya 
hampir tak percaya, melihat kedua tangan lawan tak 
mempan bacokan senjata tajam. 

Walaupun demikian, Jaya Katwang tetap melanjutkan 
serangan. Sebagai seorang yang telah banyak makan asam 
garam, dia tahu kalau bagian lainnya belum tentu akan kebal 
juga. Maka segera dialihkan serangannya agar tidak 
berbenturan dengan kedua tangan lawan. Pertarungan sengit 
pun berlangsung. 

Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki 
gerakan cepat, maka pertarungan itu berlangsung cepat. 
Tubuh kedua tokoh berkelebatan 1$ sana kemari. Hanya 
bayangan putih dan coklat yang tampak saling belit, dengan 
sesekali terpisah. Namun kemudian telah saling gempur 
dengan kecepatan tinggi. 

Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat 
puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda- 
tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya 
masih seimbang. 

Kerbau Bertenaga Raksasa dan Raja Sihir Berbaju 
Merah menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh 
minat. Kedua tokoh ini merasa kagum akan kepandaian Jaya 
Katwang dan Setan Ular Karang. Keduanya tidak yakin kalau 
kepandaian yang dimiliki berada di atas tokoh-tokoh yang 
tengah bertarung itu. 

"Heaaa...!" 

"Hih!" 

Pada jurus keenam puluh, Setan Ular Karang tiba-tiba 
mengibaskan tangannya. Seleret sinar kehitaman pun 
meluncur ke arah lawan, Jaya Katwang tampak tersentak 
kaget, tahu kalau sinar-sinar kehitaman itu ternyata ular- 
ular hitam yang mempunyai racun ganas. Dengan cepat 
pedangnya diputar untuk memapak! 

"Heaaa...!" 

Cra, erat, erat! 

Ular-ular hitam kelam itu terbelah hingga menjadi 
beberapa potong ketika pedang Jaya Katwang menebasnya. 
Namun, Setan Ular Karang tidak mempedulikannya. Pada 
saat yang bersamaan dengan meluncurnya ular-ular itu 
kedua telapak tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke dada 
Jaya Katwang! 

Jaya Katwang kembali terkejut bukan kepalang. 
Namun sebisa-bisanya laki-laki itu berusaha mengandaskan 
serangan lawan dengan pedangnya. 

"Hih...!" 

Tak, tak, tak! 

Bugkh! 

"Akh!" 

Jaya Katwang menjerit tertahan ketika tangan kiri 
Setan Ular Karang menghantam telak dadanya, setelah 
beberapa pukulan sebelumnya berhasil ditangkis. Tubuh 
kakek tinggi kurus ini pun terjengkang ke belakang 
kemudian ambruk di tanah untuk selama-lamanya. 




"Kakek...!" 

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan ketakutan dari 
dalam pondok. Sesosok ramping berpakaian kuning 
menghambur lalu bersimpuh di dekat tubuh Jaya Katwang 
yang tergolek. 

Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan 
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira melihat 
kehadiran Sumini. Semula mereka menyangka gadis itu telah 
kabur. 

Sebenarnya Sumini telah disuruh pergi oleh Jaya 
Katwang. Namun dirinya tak sampai hati meninggalkan 
kakek yang sangat disayanginya itu, menantang maut 
sendirian. Sumini tidak pergi justru mengintip semua 
kejadian itu dari dalam! Dapat dibayangkan betapa kagetnya 
hati Sumini ketika melihat Jaya Katwang tewas. Sehingga dia 
tidak bisa menahan diri dan berlari keluar. 

"Anak itu akan menjadi ancaman telak, biar kuhabisi 
dia sekalian! Toh, kurasa janji kita telah tidak berlaku lagi 
karena Jaya Katwang sendiri telah membatalkannya!" ucap 
Setan Ular Karang seraya mengayunkan kaki menghampiri 
Sumini yang masih duduk bersimpuh. 

"Tunggu, Setan Ular Karang!" cegah Raja Sihir Berbaju 
Merah sambil melompat menghadang. "Daripada kau bunuh 
percuma, lebih baik aku yang melakukannya!" 

"Sesukamulah!" 

Setan Ular Karang mengangkat bahu. Lalu kembali ke 
tempat semula. Dia tahu, mengapa lelaki berompi merah itu 
mau mengambil alih tugas. Apalagi kalau bukan karena 
tertarik pada tubuh montok menggiurkan Sumini? Raja Sihir 
Berbaju Merah mempunyai sifat mata teranjang. Jadi, sudah 
dapat diperkirakan kejadian yang akan menimpa Sumini 
sebelum dibunuh. 

Sambil tertawa terkekeh, Raja Sihr Berbaju Merah 
terus menghampiri Sumini. Sementara, gadis berpakaian 
kuning itu telah berhasil menguasai perasaan sedihnya. 
Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dengan wajah beringas 
menatap Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah 

me n de katinya. 

"Lihat siapa aku, Sumini? Aku Jaya Katwang!" ucap 
Raja Sihir Berbaju Merah seraya menatap kedua bola mata 
Sumini dengan sorot mata mengandung suatu kekuatan 
aneh. 

Wajah Sumini yang semula bengis dan penuh 
kebencian mendadak berubah redup dan memperlihatkan 
kesedihan. 

"Kakek...!" seru Sumini. Gadis itu langsung 
menghambur ke arah Raja Sihir Berbaju Merah yang telah 
menjelma menjadi Jaya Katwang. Kedua tangan terkembang 
menyambut Sumini. 

Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gpmbira 
menyambut tubuh Sumini dengan pelukan erat. Dengan 
napas memburu Jaya Katwang penjelmaan itu menciumi 
dengan buas pipi, leher, dan bibir mungil Sumini. 

Karuan saja Sumini kelabakan. Dia meronta tapi sia- 
sia. Pelukan kedua tangan Raja Sihir Berbaju Merah terlalu 
erat. Sumini semakin keras meronta ketika melihat orang 
yang memeluk dan menciuminya secara rakus ini bukan 
Jaya Katwang melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sumini 
tiba-tiba tersadar, karena Raja Sihir Berbaju Merah tidak 
terus menekankan ilmu sihirnya. Lelaki berompi merah itu 
larut dalam amukan nafsu birahinya. 

Brettt! 

"Aaakh...!" 

Pakaian Sumini mulai dari bagian dada sampai pusar 
langsung koyak ketika tangan Raja Sihir Berbaju Merah 
merenggutnya. Sumini menjerit penuh perasaan ngeri. 
Tubuhnya pun semakin kuat meronta-ronta. 

Namun tindakan Sumini tidak berarti sama sekali. 
Tanpa menemui kesulitan, Raja Sihir Berbaju Merah terus 
menjarah tubuh Sumini. Sekarang ciuman-ciumannya mulai 
turun ke leher. Ciuman campur gigitan gemas. 

Satu tangan Raja Sihir Berbaju Merah memeluk 
tubuh Sumini. Sedangkan yang lain digunakan untuk 
melucuti pakaian calon korbannya diselingi dengan remasan- 
remasan terhadap dua bukit kembar di dada Sumini yang 
telah menyembul keluar. 

Sumini memekik tertahan. Tubuhnya terjengkang ke 
belakang dan jatuh telentang di tanah ketika Raja Sihir 
Berbaju Merah mendorongnya. Kesempatan itu dipergunakan 
sebaik-baiknya oleh lelaki berompi merah untuk membuka 
pakaian lalu menubruk Sumini. 


•k-k-k 


"Binatang...!" 

Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan teras diiringi 
angjn kencang menderu dan menghantam tubuh Raja Sihir 
Berbaju Merah yang tengah menindih Sumini. Tubuh lelaki 
berompi merah itu terpental ke samping dan terguling-guling 
di tanah. Namun dengan manis Raja Sihir Berbaju Merah 
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya 
terlempar. Dengan cepat dia bangkit berdiri. 

"Keparat! Orang gila dari mana yang berani 
mengganggu kesenanganku?!" seru Raja Sihir Berbaju Merah 
penuh perasaan gram. 

"Menyingkirlah, Dik," terdengar suara memerintah 
Sumini agar menyingkir. 

Dengan raut wajah merah padam dan sorot mata 
penuh kebencian terhadap Raja Sihir Berbaju Merah, Sumini 
bangkit dan bergegas lari ke dalam rumah. Sekilas matanya 
melihat orang yang telah memberikan pertolongan atas 
dirinya. 

Penolong Sumini ternyata seorang pemuda tampan 
berambut putih keperakan hingga ke pinggang. Tubuhnya 
yang kekar terbungkus pakaian warna ungu. 

"Siapa kau, Anjing Kecil? Cepat katakan! Pantang 
bagiku membunuh orang yang tidak kukenal!" seru Raja Sihir 
Berbaju Merah dengan nada tinggi. 

"Aku Aiya, dan kesenanganku membunuh orang yang 
gemar bertindak biadab sepenjmu! Memperkosa wanita tak 
berdaya!" 

"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, 
Pemuda Gila! Heaaa...!" 

Raja Sihir Berbaju Merah langsung mengirimkan 
tusukan dengan tangan kiri ke arah mata pemuda berambut 
keperakan itu. 

Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Dewa Arak itu 
masih bersikap tenang. Padahal dia tahu lawannya memiliki 
kepandaian tinggi. Dari serangannya yang menimbulkan 
angin menderu keras menandakan terkandung tenaga dalam 
kuat Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke kiri 
sehingga serangan itu lewat di sebelah kanan wajahnya. 
Tangan kanannya bergerak cepat menangkap pergelangan 
tangan lawan. 

Gerakan Dewa Arak yang sangat cepat membuat Raja 
Sihir Berbaju Merah tersentak kaget. Matanya membelalak 
dengan kening mengkerut, seakan tak percaya. Kemudian 
dengan gerak cepat, tapi terlambat, pergelangan tangannya 
telah lebih dulu tercekal oleh Dewa Arak. 

Meskipun demikian, lelaki berompi merah tetap tegar. 
Tak tampak sedikit pun perasaan gugup. 

"Hih...!" 

Tangan kanannya dipukulkan ke dada Dewa Arak 
yang terbuka. 

Deb! 

"Heh...?!" 

Kali ini Raja Sihir Berbaju Merah tidak kuasa untuk 
menahan keluarnya jeritan. Tangannya menempel di dada 
lawan dan tak dapat ditarik kembali. Namun Raja Sihir 
Berbaju Merah tidak kehilangan akal. 

"Aiya, lihat siapa aku? Berani kau melakukan hal 
seperti ini pada gurumu?" ucap lelaki berompi merah ini 
seraya mengerahkan seluruh kekuatan ilmu sihir yang 
dimilikinya. Dia menyadari kalau lawan kali ini tidak akan 
dapat dipengaruhi segampang Sumini. 

"Hah...?!" 

Dewa Arak tersentak kaget ketika melihat yang dicekal 
ternyata lengan gurunya. Bagai disengat ular berbisa, 
pemuda beramput putih keperakan itu segera melepaskan 
cekalan dan kekuatan menyedotnya, lalu melompat ke 
belakang. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Raja 
Sihir Berbaju Merah untuk melompat ke belakang pula. 

Sekarang Aiya baru melihat kalau yang berdiri di 
belakangnya bukan Ki Gering Langit, gurunya, melainkan 
Raja Sihir Berbaju Merah. Sebagai seorang pendekar yang 
telah kenyang pengalaman, dia segera sadar kalau lawannya 
menggunakan ilmu sihir. Maka dia berusaha untuk tidak 
menatap mata lawannya. 

Sementara itu, Kerbau Bertenaga Raksasa dan Setan 
Ular Karang yang telah memperhatikan jalannya pertarungan 
segera tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu 
merupakan lawan yang amat tangguh. 

Mendadak Setan Ular Karang melesat ke arah kitab 
milik Raja Pedang Langit Bumi yang masih tergeletak di 
tanah, dan menyambarnya. Kemudian membawanya kabur. 
Kerbau Bertenaga Raksasa tentu saja tidak mau membiarkan 
hal itu. 

"Setan licik! Jangan harap niatmu yang busuk itu 
akan berhasil!" seru lelaki berkepala botak itu seraya melesat 
mengejar. 

Tindakan yang sama dilakukan Raja Sihir Berbaju 
Merah. Namun, hanya dengan sekali menggerakkan tubuh, 
Dewa Arak telah berdiri menghadangnya. 

"Jangan harap aku akan membiarkan orang 
sepertimu hidup lebih lama di dunia!" ujar Dewa Arak penuh 
tekanan. 

Raja Sihir Berbaju Merah menggeram karena tahu tak 
akan dapat meloloskan diri dari Dewa Arak. Dia memutuskan 
untuk melakukan perlawanan mati-matian. Namun, 
mendadak mulutnya menyeringai seperti merasa kesakitan. 
Lalu, kedua tangannya saling menggaruk. Yang kanan 
menggaruk telapak tangan kiri dan sebaliknya. 

Karuan saja Dewa Arak merasa heran melihat 
tindakan Raja Sihir Berbaju Merah. Dia merasa curiga kalau 
hal ini hanya merupakan siasat lawan, maka 
kewaspadaannya tetap tak ditinggalkan. Namun, 
kecurigaannya semakin memupus ketika melihat garukan 
Raja Sihir Berbaju Merah tidak hanya pada bagian itu, tapi 
juga mengarah pada mulutnya. 

"Ah...!" 

Tanpa sadar Aiya mengeluarkan jeritan bernada kaget 
ketika melihat kedua telapak tangan dan mulut Raja Sihir 
Berbaju Merah mulai menghitam. Gosong! Seakan-akan 
terbakar sesuatu. Dan sekarang, lelaki berompi merah itu 
mulai mengerang-erang sambil terus menggaruk tubuhnya 
yang lain. 

Tindakan Raja Sihir Berbaju Merah tak berlangsung 
lama. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah. 
Nyawanya melayang seketika. 

Setelah menunggu beberapa saat tubuh Raja Sihir 
Berbaju Merah tidak bergerak lagi, Dewa Arak 
menghampirinya. Memeriksanya dari jarak dua tombak. 
Hanya sekilas hal itu dilakukannya. Dewa Arak segera bisa 
mengetahui kalau Raja Sihir Berbaju Merah tewas karena 
racun yang amat ganas. 

Tapi, siapa yang telah melakukan hal keji ini? 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghembuskan napas berat. Lalu 
diarahkan pandangannya ke pondok di belakangnya, tempat 
Sumini tadi masuk. Ditunggunya beberapa saat agar gadis 
berpakaian kuning itu keluar. Namun tidak nampak adanya 
tanda-tanda kalau Sumini akan keluar. 

"Sumini...!" panggil Dewa Arak pelan seraya 
mengawasi pintu pondok. 

Tidak ada tanggapan sama sekali. Jangankan muncul, 
sahutan pun tidak. Perasaan tidak enak pun menyeruak di 
hati Aiya. Khawatir kalau-kalau di saat dia tengah terlibat 
pertarungan, ada orang yang memanfaatkan kesempatan 
untuk menoelakai gadis itu. Padahal, dia telah beijanji pada 
Raja Pedang Langit Bumi untuk menjaga Sumini hingga gadis 
itu kembali seperti sedia kala. 

Setelah menunggu beberapa saat Sumini tidak juga 
muncul, Dewa Arak tidak sabar. Dengan sekujur urat-urat 
syaraf menegang waspada, dilangkahkan kakinya menuju 
pondok. 


kkk 


"Sumini...!" 

Untuk yang kedua kalinya, Aiya memanggil putri Raja 
Pedang Langit Bumi itu. Kali ini dengan perasaan cemas 
karena ruang tengah dan kamar-kamar yang diperiksanya 
kosong. Tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan 
Sumini. 

"Sumini...! Aku Aiya! Disuruh ayahmu untuk 
menyampaikan hal penting. Keluarlah dan jangan 
bersembunyi!" seru Aiya lagi dengan suara lebih keras, 
sambil menyinggung-nyinggung nama Raja Pedang Langit 
Bumi. Karena ada sekelumit dugaan menyelinap di hati Aiya 
kalau Sumini takut menjumpainya dengan alasan dirinya 
termasuk orang yang bermaksud jahat. 

Setelah mencari akal lagi dan tidak juga menjumpai 
Sumini, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. 
Pantang baginya meremehkan amanat yang diberikan orang. 
Apalagi orang yang memberikan amanat itu telah meninggal 
dunia! 

Dugaan Aiya tidak keliru. Sumini memang 
menghindarinya. Sumini mengira kalau Aiya sama dengan 
tiga tokoh golongan hitam yang hendak merampas pusaka. 
Namun banyak alasan yang membuatnya menghindari 
pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa malu karena 
Aiya telah melihatnya dalam keadaan tanpa pakaian adalah 
penyebab utamanya. Sedangkan hal lainnya, keinginannya 
untuk menjumpai sang Ayah dan menceritakan nasib yang 
menimpa Jaya Katwang. 

Sumini kabur melalui pintu belakang karena khawatir 
bentrokan dengan Dewa Arak. Mula-mula dia mengendap- 
endap. Ketika telah melewati jalan setapak yang di kanan 
kirinya tumbuh pepohonan dan semak-semak cukup lebat, 
Sumini mulai mempergunakan ilmu lari cepatnya. Namun 
beberapa kali, larinya harus diperlambat karena keadaan 
jalan yang licin dan harus menembus kelebatan pepohonan. 
Memang, tempat tinggal Raja Ftedang Langit Bumi dekat 
dengan hutan. 

Sumini berlari dengan sepenuh tenaga karena 
keinginan untuk cepat-cepat menjauhkan diri dari Dewa Arak 
untuk segera bertemu dengan ayahnya. Namun, mendadak 
larinya dihentikan, sepasang matanya menatap tajam kc 
depan. 

Tampak oleh Sumini, dari jarak sekitar tiga puluh 
tombak belasan orang mengpnakan pakaian seragam prajurit. 
Sumini memperhatikan lebih teliti untuk mencari ketegasan 
kalau rombongan prajurit itu berasal dari Kerajaan Samodra. 
Seragam yang mereka kenakan diketahuinya betul. 

Sebuah keberuntungan bagi Sumini karena dia 
berada di tempat yang tinggi, sedangkan belasan orang 
prajurit itu berada di dataran rendah. Tempat putri Raja 
Pedang Langit Bumi berada merupakan sebuah hamparan 
tanah bemmput. Pada beberapa bagian terdapat pepohonan 
dan semak-semak lebat. Sehingga memungkinkan baginya 
bersembunyi untuk mengawasi mereka. 

Wajah Sumini berubah ketika melihat arah yang 
ditempuh rombongan prajurit itu adalah tempat yang 
ditinggalkannya. Jadi dia dan rombongan prajurit itu akan 
berpapasan di tengah jalan, Sumini tidak menghendaki hal 
itu terjadi karena dia tahu prajurit-prajurit Kerajaan Samodra 
itu akan menangkap apabila melihatnya. Hatinya yakin 
kehadiran rombongan prajurit itu karena hendak menangkap 
ayahnya dan dia. Memang, keluarganya telah menjadi 
buronan sejak sang Ayah memutuskan untuk memihak 
kaum Brahmana! 

Itulah sebabnya, Sumini bergegas melesat ke salah 
satu kerimbunan semak yang ada di sebelah kirinya, dan 
bersembunyi di sana. Dia tahu kalau rombongan prajurit itu 
bukan orang-orang rendahan. Hiasan-hiasan pada bagian 
leher dan seragam yang dikenakan, menunjukkan kalau 
rombongan itu terdiri dari orang-orang pilihan. Terutama 
sekali dua orang yang berada paling depan. 

Sumini tidak berani bertindak gegabah. 
Diusahakannya untuk tidak menimbulkan bunyi yang dapat 
menimbulkan kecurigaan. Bahkan bernapas pun dia berhati- 
hati sekali, khawatir terdengar rombongan prajurit Kerajaan 
Samodra yang semakin dekat jaraknya. 

"Tak lama lagi selesailah tugas kita. Hanya tinggal 
menangkap hidup atau mati putri Raja Ftedang Langit Bumi," 
ucap salah soerang dari rombongan prajurit yang beijalan 
paling depan. Dia bertubuh kecil kurus, tapi memiliki 
sepasang mata tajam, berkilat 

"Benar," sahut sosok yang beijalan di sebelahnya, 
bertubuh tegap dan berkulit kemerahan. "Sayang, mayatnya 
tidak dapat kita bawa ke istana sebagai bukti kepada Gusti 
Prabu Pancanala. Pemuda berambut putih keperakan itu 
terlalu eepat untuk dapat kita kejar. Aku jadi penasaran 
padanya." 

"Hukh!" 

Sumini merasakan dadanya sesak bukan kepalang 
seakan-akan telah habis diseruduk seekor kerbau liar. 
Percakapan kedua orang yang ada dalam rombongan 
Kerajaan Samodralah yang menjadi penyebabnya. 

Percakapan kedua orang itu memang sampai ke telinganya, 
karena tepat berada di dekatnya. 

Keterkejutan akibat mendengar berita ini membuat 
Sumini tanpa sadar menginjak dedaunan kering. Pelan saja 
bunyinya, tapi cukup keras bagi dua orang yang menjadi 
pemimpin rombongan Kerajaan Samodra itu. 

"Maling hina, tunjukkan dirimu!" Sambil berkata 
demikian, lelaki kecil kurus mengibaskan tangan kanannya. 
Seketika beberapa bilah benda berkilat meluncur ke arah 
semak-semak tempat persembunyian Sumini 

S rak! S rak! S rak! 

Tiga bilah pisau berkilat yang dilemparkan lelaki kecil 
kurus itu amblas ke dalam semak-semak. Namun tidak 
terdengar jeritan apa pun karena Sumini telah lebih dulu 
melompat keluar dari situ. 

"Ha ha ha...!" lelaki kecil kurus itu tertawa terbahak- 
bahak ketika melihat sosok yang sekarang telah berada di 
hadapannya. "Sungguh tak kusangka kalau kami akan 
menemukanmu di sini. Tak perlu bersusah payah 1$ 
rumahmu.... Menyerahlah, Pemberontak Hina sebelum kami 
terpaksa menggunakan kekerasan!" 

"Jangan mimpi, Anjing Penjilat! Kaulah yang harus 
melepaskan kepalamu sekarang!" 

Sumini melompat meneijang seraya menusukkan 
pedangnya ke arah ulu hati lelaki kecil kurus. Lelaki kecil 
kurus itu menangkisnya dengan pisau putih berkilat yang 
sejak tadi memang telah dipegangnya. 

Trang! 

Bunyi berdentang teras terdengar ketika pedang dan 
pisau berbenturan menimbulkan percikan bunga api. Tubuh 
Sumini terjengkang ke belakang. Senjatanya terlepas dari 
pegangan karena sekujur tangannya dirasakan bagaikan 
lumpuh seketika. 

Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang prajurit 
untuk meringkus Sumini. Rupanya dia tak ingin menyia- 
nyiakan tubuh Sumini yang ramping dan menggiurkan. Maka 
prajurit yang mata teranjang itu meluruk dan memeluk 
tubuh Sumini erat-erat. Namun.... 

"Wuaaa...!" 

Prajurit itu menjerit keras dan menyayat ketika kedua 
lengannya melingkari tubuh Sumini yang ramping. Tubuh 
montok itu langsung dilepaskannya. Dan wajahnya yang tadi 
menciumi sekujur wajah Sumini dengan buas tampak 
menghitam seperti terbakar. 

Sambil mengerang-erang kesakitan prajurit itu 
menggunakan kedua tangan untuk menggaruki wajahnya 
yang gosong. Karena di samping hangus, rasa gatal yang 
hebat menggerayangi sekujur wajahnya. Akibat yang lebih 
mengerikan pun teijadi, kedua tangannya yang dipakai 
menggaruk, berubah hitam! Sesaat kemudian, tubuhnya 
ambruk dalam keadaan tanpa nyawa. 

Kejadian ini membuat rombongan prajurit kerajaan 
terkejut bukan kepalang. Mereka terlongong bengong seperti 
melihat hantu, dengan sorot mata memanearkan kengerian. 

"Menyingkir semua...! Biar aku yang membunuh iblis 
keji ini...!" 

Saat itulah terdengar bunyi meledak-ledak keras, 
disusul dengan meluncurnya sinar kemerahan ke arah ubuh- 
ubun Sumini. Padahal saat itu putri Raja Pedang Langit Bumi 
ini tengah merasa heran melihat kejadian yang menimpa 
prajurit mata keranjang itu. 

Ctarrr! 

Sinar kemerahan yang ternyata sebuah cambuk, 
langsung meledak di udara. Tidak pada sasaran yang dituju. 
Ketika ujung cambuk hampir mengenai ubun-ubun Sumini, 
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ungu. Dengan 
kecepatan luar biasa hingga tak tertangkap pandangan mata 
biasa, sosok itu menyambar titbuh Sumini. 

"Keparat!" 

Lelaki bermuka kemerahan menggeram murka 
mengetahui ada orang yang menyelamatkan calon korbannya. 
Dengan geram pandangannya dialihkan ke arah sosok ungu 
itu melesat. Dan baik dia maupun rombongan langsung 
melihatnya. Orang yang baru saja mereka percakapkan, 
Dewa Arak. 

"Menyingkirfah, Sumini! Biar aku yang 
menghadapinya," ucap A iya seraya menurunkan tubuh gadis 
berpakaian kuning itu. 

Lalu tanpa mempedulikan Sumini, Dewa Arak segera 
menghadapi rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang 
telah mengurungnya dengan senjata di tangan. 

"Siapa kau, Anak Muda? Apakah kau salah satu dari 
para pemberontak itu?! Jangan harap dapat lolos dari tangan 
kami!" ancam lelaki berkulit kemerahan. 

"Menyingkirlah dari sini! Dan serahkan mayat Raja 
Pedang Langit Bumi, baru keselamatanmu akan kami 
pertimbangkan," tambah lelaki kecil kurus seraya menimang- 
nimang dua bilah pisau di tangannya. 

"Manusia-manusia berhati binatang!" ucap Aiya 
dengan suara berat kaiena amarah yang bergolak, 
menyaksikan ketelengasan sikap lelaki berkulit kemerahan 
itu. Sekejap saja tadi dia terlambat, nyawa Sumini pasti 
melayang. Kekejaman tindakan orang-orang Kerajaan 
Samodra ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk 
menentang. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan 
gila kalian! Lebih baik menyingkirlah, sebelum aku terpaksa 
mengusir kalian dari sini dengan kekerasan!" 

"Pemberontak Hina, mampuslah kau!" 

Ctar, etar, etar...! 

Cambuk merah panjang di tangan lelaki berkulit 
kemerahan melecut, seperti halilintar menyambar-nyambar 
ke arah kepala Dewa Arak. 

"Hea!" 

Trap! 

Unjung cambuk itu tersambar di tangan Dewa Arak 
yang memapaknya. Dengan cepat dicengkeramnya ujung 
cambuk, lalu ditarik. Tentu saja lelaki berkulit kemerahan itu 
tidak membiarkan senjata andalannya itu dirampas oleh 
lawan yang telah membetotnya. Keduanya saling bersitegang. 
Cambuk yang terbuat dari bahan ulet dan dapat mulur itu 
meregang, dan tiba-tiba Aiya melepaskannya. 

Sing! 

"Heh...?!" 

Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika ujung 
cambuk itu menyambar ke arah muka pemiliknya sendiri. 
Lelaki berkulit kemerahan terkejut bukan kepalang. Dengan 
cepat dia merendahkan tubuh sehingga lesatan ujung 
cambuk itu lewat di atas kepalanya. 

"Serang...!" 

"Bunuh dia...!" 

Sebelum Dewa Arak melancarkan serangan susulan, 
lelaki kecil kurus dan anak buahnya langsung melancarkan 
serangan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan itu 
mengalihkan perhatiannya. Karena dihujani berbagai macam 
senjata yang memburu tubuhnya. 

Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Dewa Arak 
langsung mempertunjukkan kemampuannya. Semua 
serangan yang mengancam, dipapaknya dengan tangan 
telanjang. Bunyi berdetak nyaring mengiringi berbenturannya 
tangan dan kaki Dewa Arak dengan senjata-senjata 
pengeroyoknya. 

Setiap kali tangan atau kakinya menangkis, selalu 
membuat penyerangnya sendiri yang terpental ke belakang. 
Namun, kekerasan hati para prajurit Kerajaan Samodra itu 
memang patut diacungi jempol. Setiap kali mereka terlempar, 
setiap kali pula kembali menerjang, meskipun untuk itu 
tubuhnya kembali terlempar. 

Karena tahu kalau di antara rombongan itu hanya 
lelaki kecil kurus dan lelaki berkulit kemerahan yang 
memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, Dewa Arak terus 
mencecar dengan melancarkan serangan yang lebih keras 
pada keduanya. 

Meskipun demikian, pemuda berambut putih 
keperakan itu tidak mau menjatuhkan tangan kejam pada 
lawan-lawannya. Disadari kalau mereka hanya orang-orang 
yang melakukan perintah pimpinan. Lagi pula tidak terbukti 
kalau mereka melakukan tindakan kejam, kecuali lelaki 
berkulit kemerahan. Itulah sebabnya, Dewa Arak selalu 
menjaga agar tangkisan atau serangannya tidak terlalu keras 
untuk mereka. 

Pertarungan berlangsung kurang menarik karena 
keadaan para prajurit Kerajaan Samodra itu bagaikan 
sekebmpok semut yang menerjang api. Mereka roboh 
sebelum sempat mencapai sasaran. Tak sampai tiga puluh 
jurus, tubuh-tubuh mereka telah bergelimpangan di tanah, 
tak mampu bangkit lagi hanya bisa mengeluarkan keluhan 
kesakitan. 

"Aku tak punya urusan dengan kalian. Maka 
menyingkirlah dari sini!" ucap Dewa Arak penuh perasaan 
wibawa, seraya menatap sosok-sosok yang bergelimpangan di 
sekelilingnya. 

Lelaki kecil dan lelaki berkulit kemerahan tahu kalau 
Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Maka setelah berhasil 
bangkit, meskipun dengan agak payah, segera memberi 
isyarat agar mundur pada rombongannya. Dihampirinya 
lelaki berkulit kemerahan itu, lalu dipapahnya untuk 
meninggalkan tempat Lelaki itulah yang menderita luka 
paling parah. 

Aiya hanya menatap rombongan prajurit Kerajaan 
Samodra yang melangkah terseok-seok meninggalkannya. 
Dan ketika pandangannya dialihkan, tampak Sumini tengah 
menatapnya. Kemudian diayunkan langkahnya mendekati 
gadis itu. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap 
Sumini seraya menundukkan kepala. Dia masih malu 
mengingat Aiya telah menjumpainya dalam keadaan tanpa 
berpakaian. 

"Lupakanlah, Sumini!" ujar Aiya perlahan, tidak 
merasa heran mengptahui Sumini telah mengenalnya. Dia 
menduga gadis itu telah mendengar percakapannya dengan 
Kerbau Bertenaga Raksasa dan rekan-rekannya. 

"Dewa Arak...," ucap Sumini tersendat-sendat dengan 
sepasang mata merembang berkaca-kaca. "Aku ingin 
mengajukan pertanyaan padamu. Boleh?" 

"Silakan, Sumini," jawab Aiya agak terharu. Dia bisa 
memperkirakan pertanyaan Sumini melihat sikapnya yang 
sedih. 

"Be..., benarkah ayahku telah tewas...?" tanya Sumini 
lagi dengan suara yang semakin terbata-bata. Bahkan 
sepasang bibirnya pun tampak bergetar. 

"Hhh...!" 

Setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat, 
Dewa Arak menganggukkan kepalanya secara perlahan- 
lahan. Dia tahu tidak ada gunanya menyimpan rahasia itu. 
Lebih cepat Sumini mengetahui nasib ayahnya, lebih baik. 

"Ayaaah...!" desah Sumini seraya mendekapkan kedua 
tangan di dengan wajahnya yang tertunduk. Ada air bening 
mengalir keluar dari celah-celah jarinya. 

Aiya membiarkan saja gadis itu menangis. Bahkan dia 
memberinya kesempatan dengan membalikkan tubuhnya 
membelakangi agar gadis itu tidak malu. Namun sempat 
dilihatnya tubuh Sumini terguncang-guncang karena tangis 
yang ditahan. 

Setelah beberapa saat lamanya tidak terdengar bunyi 
tangisan, Aiya membalikkan tubuh. Dilihatnya Sumini masih 
seperti semula, tubuhnya terguncang-guncang dan air mata 
bercucuran dari celah-celah jari kedua tangan. Rupanya 
gadis itu berusaha keras untuk menahan agar tangisnya 
tidak keluar. 

Aiya melangkah menghampiri. Pelan-pelan karena 
khawatir mengejutkan Sumini. 

"Jangan kau tahan tangismu, Sumini! Keluarkanlah! 
Karena dengan menangis tekanan batin yang menghimpitmu 
akan berkurang. Tak usah kau menahannya," ucap Aiya 
lembut. 

Ucapan Aiya bagaikan minyak menyambar api. 
Seketika tangis Sumini langsung meledak. Memang, saat itu 
Sumini membutuhkan orang yang dapat dijadikannya tempat 
mencurahkan perasaan sedih dan mengasihi kemalangannya. 

Setelah beberapa saat lamanya Dewa Arak menunggu, 
akhirnya tangis Sumini mulai mereda. 

"Maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah merepotkan 
dirimu...," ucap Sumini serak karena cukup lama menangis. 

"Tidak usah kau pikirkan itu, Sumini Aku merasa 
gembira dapat menolongmu karena dapat memenuhi amanat 
yang diberikan ayahmu sebelum meninggal. Beliau 
memintaku membawamu kepada Empu Pradaga. Beliau 
berdiam di salah satu goa di sebelah selatan Gunung 
Anjasmoro ini. 




Sumini tidak langsung memberikan tanggapan. 
Ditatapnya wajah Dewa Arak yang tengah menatapnya 
karena menunggu jawaban dari mulutnya. 

"Terima kasih atas jerih payahmu, Dewa Arak. Tapi.... 
Sebelum aku pergi dan ikut denganmu ke tempat ringgal 
Empu Pradaga, aku ingin mendengar secara jelas bagaimana 
kematian ayahku. Beliau memiliki kepandaian amat tinggi, 
Dewa Arak. Dan, belum pernah terkalahkan. Aku tidak 
percaya ada orang yang mampu membunuhnya!" 

Dewa Arak menatap wajah Sumini lekat-lekat 
Sikapnya terlihat sungguh-sungguh. 

"Kuakui. Aku percaya kepandaian ayahmu amat 
tinggi, dan jarang ada yang dapat menandinginya. Tapi, asal 
kau tahu saja, banyak tokoh dari persilatan yang memiliki 
kepandaian tinggi. Dan mungkin ayahmu harus menghadapi 
tokoh yang lebih tinggi ilmu dan kedigdayaannya. Sehingga 
ayahmu menemui ajalnya...." 

"Jadi.... Kau tidak tahu orang yang telah membunuh 
ayahku, Dewa Arak?" tanya Sumini, tanpa menyembunyikan 
rasa kecewanya. Semula disangkanya Dewa Arak tahu 
pembunuh ayahnya. "Sayang sekali, begitu kutemukan 
ayahmu tengah sekarat. Dan dia hanya menyebut namamu. 
Tak jauh dari tempat kejadian kutemukan segulung surat 
yang berisikan pesan agar.... Maaf, Sumini aku telah lancang 
membukanya. Untuk jelasnya silakan kau baca saja surat 
ini!" ujar Aiya seraya menyerahkan gulungan daun lontar 
pada Sumini. 

Tanpa bicara apa pun, Sumini menerima surat itu dan 
membacanya. 

Sumini, Anakku.... 
Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap 
diriku, kuharap kau pergi dan meminta perlindungan pada 
Empu Pradaga di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini. 
Ayahmu, 
Raja Pedang Langit Bumi. 

"Ayah...!" seru Sumini dengan suara serak karena rasa 
sedih yang menyeruak 1$ dalam hatinya. Gadis itu tak tahan 
mengenangkan sang Ayah yang telah pergi untuk selamanya. 

Dewa Arak membiarkan Sumini tenggelam dalam alun 
kesedihannya beberapa saat. 

"Sekarang kau mengerti mengapa aku harus 
membawamu kepada Empu Pradaga, Sumini? Dan, o ya..., 
ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau 
tahu kalau dalam tubuhmu tersembunyi racun ganas yang 
membahayakan orang lain, tapi anehnya tidak berpengaruh 
sedikit pun pada dirimu?!" 

"Jadi.... Itulah sebabnya prajurit kerajaan itu tewas 
setelah memeluk diriku?" sahut Sumini masih serak 
suaranya. "Aku..., aku sama sekali tidak mengetahui hal itu, 
Aiya." 

"Bukan hanya prajurit itu, Sumini. Tapi juga Raja 
Sihir Berbaju Merah. Hanya saja karena tenaga dalam Raja 
Sihir Berbaju Merah lebih kuat, dia mampu bertahan lebih 
lama," jelas Aiya, panjang lebar. "Kalau saja aku tidak 
melihat sendiri nasib prajurit yang tewas secara mengerikan 
tadi, mungkin teka-teki kematian Raja Sihir Berbaju Merah, 
tidak akan terjawab olehku. Ada apa..., Sumini?" 

"Ah..., eh... tidak ada apa-apa, Dewa Arak," jawab 
Sumini agak gugup, seraya menggeleng-gelengkan kepala. 

Dewa Arak diam, tidak ingin mendesak lagi setelah 
mendengar jawaban itu. Tadi dia menanyakan hal itu karena 
dilihatnya Sumini tengah termenung. Seperti ada sesuatu 
yang dipikirkannya. Namun, tentu saja meskipun yakin ada 
yang disembunyikan, Arya tidak mengajukan 
ketidakpercayaannya atas jawaban yang diberikan Sumini. 

"Kau tahu, mengapa racun ganas itu bisa berada di 
dalam dirimu tanpa mencelakaimu, Sumini?" 

"Tidak, Dewa Arak," jawab Sumini. 

Lagi-lagi jawaban yang diberikan Sumini membuat 
kecurigaan Dewa Arak semakin besar. Sebab dia tahu, 
meskipun tidak mengatakannya, Sumini tidak memusatkan 
perhatian pada percakapan mereka. Ada sesuatu yang tengah 
mengganggu pikiran gadis itu. Namun yang jelas masalah 
ayahnya. 

"Tapi, kurasa ayahmu tahu, Sumini," lanjut Aiya 
dengan sikap seolah-olah tidak tahu kalau Sumini tidak 
memperhatikan percakapan yang tengah berlangsung. "Itulah 
sebabnya dia bermaksud membawa pada Empu Pradaga. Aku 
yakin, kakek itu yang diandalkan ayahmu untuk mengobati 
penyakitmu yang aneh ini. Hhh...! Kalau tak melihatnya 
sendiri aku tidak percaya ada racun yang bersarang di tubuh 
orang dan mampu melukai orang lain. Tanpa melukai tubuh 
orang tempatnya bersarang. Seakan-akan kau ini ular atau 
binatang berbisa lainnya." 

Usai berkata demikian, Dewa Arak menolehkan kepala 
ke belakang karena mendadak mendengar adanya bunyi 
mencurigakan. Pendengarannya ternyata tidak salah. Dalam 
jarak sekitar lima tombak di belakangnya, berdiri dengan 
bersandar pada sebatang pohon, seorang nenek berpakaian 
serba hitam. Tubuhnya terbalut pakaian hitam, mengenakan 
topi berbentuk kerucut dan sebatang payung terkepit di 
ketiak kanannya. 

"Hik hik hik...!" nenek berpakaian hitam itu tertawa 
mengikik. "Tak kusangka di tempat seperti ini akan 
menemukan seorang hidung belang yang tengah merayu 
korbannya!" 

Wajah Dewa Arak kontan berubah. Meskipun nenek 
itu tidak menunjukkan ucapannya, tapi bisa diketahuinya 
kalau dirinyalah yang dimaksud. 

"Mulutmu ternyata tajam sekali, Nek. Tidak 
sepantasnya ucapan seperti itu keluar dari mulut orang setua 
dirimu!" sahut Dewa Arak berusaha sekuat tenaga untuk 
menahan amarah, agar ucapannya tidak menandakan 
kemarahan. 

"Kau masih mau menyangkal, Hidung Belang?! 
Rupanya kau ingin dihajar dulu baru mengaku?! Baiklah 
kalau itu yang kau mau!" 

Belum lagi lenyap ucapannya, nenek berpakaian 
hitam itu telah menubruk Dewa Arak dengan sebuah 
tusukan payung ke arah perut. Namun, dengan melompat 1$ 
belakang, Dewa Arak telah beihasil membuat serangan itu 
mengenai tempat kosong. Kemudian, dengan cepat 
mengirimkan tendangan kaki kanan kc leher perempuan tua 
itu. 

Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan. Kakinya 
membalik ketika nenek berpakaian hitam itu membuka 
payung untuk menangkal serangan lawan. Ketika tubuh 
pemuda berambut putih keperakan agak terhuyung, nenek 
itu kembali melancarkan serangan dengan sebuah tusukan 
ke ulu hati, pusar, dan dada secara bertubi-tubi. 

Meskipun berada dalam keadaan kurang 
menguntungkan, Dewa Arak masih berhasil mengelakkan 
serangan itu. Bahkan cepat mengirimkan serangan balasan 
yang tidak kalah dahsyat. Beberapa saat kemudian kedua 
belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit. 

Pada jurus-jurus awal Dewa Arak mengalami sedikit 
kesukaran menghadapi nenek berpakaian hitam itu. Senjata 
payung itulah yang membuatnya kelabakan, karena dengan 
cepat menguncup dan membuka seiring dengan serangan 
yang dilancarkan Dewa Arak. Dengan jurus seperti itu seakan 
memiliki pasangan senjata pedang dan perisai. 

Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh, 
mulai terlihat adanya perimbangan kekuatan. Kedua belah 
pihak mampu melancarkan serangan jumlah serangan yang 
sama. Saling serang dan menangkis. Padahal Dewa Arak 
belum mengeluarkan ilmu andalannya. Baik nenek 
bersenjata payung maupun Dewa Arak tampak berusaha 
saling mendesak pertahanan lawan. Hingga pada jurus 
kelima puluh, pertarungan belum berubah. Imbang. Belum 
tampak adanya tanda-tanda siapa yang bakal menang. 

Mendadak nenek berpakaian hitam melancarkan 
tusukan beruntun dengan ujung payungnya. Sehingga 
memaksa Dewa Arak melompat menjauh. Namun, nenek 
berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan lanjutan. 
Dia melompat jauh ke belakang dan melesat meninggalkan 
Dewa Arak. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya 
sudah lenyap dari pandangan mata. 

Dewa Arak yang memang tidak berniat mencari 
permusuhan tidak menghalangi, kepergian nenek itu. Setelah 
yakin musuhnya tidak kembali lagi untuk melancarkan 
serangan, ditolehkan kepalanya untuk membagi perhatian 
pada Sumini, 

"Heh...?!" 

Namun, betapa terkejutnya Dewa Arak ketika 
mendapati Sumini tidak berada di tempat. Rasa penasaran 
membuat pemuda berambut putih 1$ perakan itu 
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Namun tetap saja 
tidak menemukan adanya gadis berpakaian kuning itu. 

"Sumini...!" seru Dewa Arak seraya melangkahkan 
kakinya secara serampangan, karena tidak tahu ke mana 
Sumini lenyap. Lagi pula dia tidak tahu apakah Sumini pergi 
sendiri atau diculik orang lain. 

Sambil terus berseru, tanpa tujuan yang jelas Dewa 
Arak mencari-cari Sumini. Dia merasa bertanggung jawab 
atas nasib gadis itu, meskipun Raja Pedang Langit Bumi 
tidak memesannya secara langsung. Namun, demi 
ketenteraman roh Raja Pedang Langit Bumi, dirinya berniat 
menyelamatkan Sumini sampai berada di tangan Empu 
Pradaga. 


•k-k-k 


Sementara itu Sumini telah berada jauh dari tempat 
Dewa Arak. Gadis itu melarikan diri ketika Dewa Arak tengah 
terlibat pertarungan dengan nenek berpakaian hitam. Dia 
menunggu sampai pemuda berpakaian ungu itu benar-benar 
lengah. Dengan mengendap-endap dia meninggalkan tempat 
itu. Ketika telah beijarak cukup jauh baru berlari dengan 
mempergunakan ilmu lari cepatnya. 

Ehtah berapa lama berlari, Sumini tidak 
mengetahuinya. Namun yang jelas, larinya terhenti ketika 
mendengar bunyi tawa mengikik yang dikenalnya, karena 
tawa itu baru saja didengar. Tawa nenek berpakaian hitam. 

Sumini bermaksud menolehkan kepala 1$ belakang, 
arah asal suara itu. Namun, maksudnya diurungkan karena 
melihat kelebatan bayangan hitam melesat dari belakang, 
melewatinya. Dan ketika diarahkan pandangannya kc depan, 
tepat di hadapannya telah berdiri nenek berpakaian hitam 
yang tadi bertarung dengan Dewa Arak. 

"Syukurlah kau dapat bertindak cepat, Sumini," ucap 
nenek berpakaian hitam dengan nada suara seperti orang 
yang telah lama mengenal gadis berpakaian kuning itu. 

"Bukankah ini semua sesuai dengan siasatmu pula, 
Nek?!" Sumini balas memuji. "O ya, bagaimana dengan Dewa 
Arak? Apakah kau berhasil merobohkannya?" 

"Hikhikhik...!" 

Nenek berpakaian hitam tertawa mengikik dan 
tersenyum menggoda karena merasakan adanya nada 
kekhawatiran dalam ucapan Sumini. 

"Kau tidak usah khawatir, Cucuku. Dewa Arak tidak 
apa-apa. Dia lihai sekali. Lagi pula, andaikata aku mampu 
merobohkannya, tak akan mungkin kulukai orang yang telah 
beijasa menolongmu berkali-kali itu," ucap nenek berpakaian 
hitam bernada menghibur. 

"Kau..., kau mengetahui semua itu, Nek?" tanya 
Sumini setengah tidak percaya. 

"Tentu saja!" sahut nenek berpakaian hitam, tegas. 
"Sayang, kedatanganku terlambat hingga tidak sempat 
mencegah mereka membunuh Jaya Katwang, suamiku! Tapi, 
aku sempat melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah 
terhadap dirimu, hanya saja aku sengaja membiarkannya. 
Sebab aku mempunyai sebuah rencana terhadapmu!" 

"Rencana?!" ulang Sumini dengan alis ber-kerut. 
"Rencana apa, Nek?!" 

"Baiknya kuceritakan secara lengkap saja agar kau 
tidak terus bertanya-tanya dan masalahnya menjadi jelas," 
ucap nenek berpakaian hitam yang ternyata nenek Sumini. 
Sebab nenek itu ibu kandung Raja Pedang Langit Bumi. 

Kemudian secara singkat tapi jelas, nenek berpakaian 
hitam itu menceritakan semuanya. Berkali-kali Sumini yang 
mendengarkan cerita itu mengeluarkan jeritan kaget karena 
tidak menyangka akan seperti itu berita yang didengarnya. 

"Nah, begitulah ceritanya, Sumini," ujar nenek 
berpakaian hitam menutup ceritanya. "Sekarang, tibalah 
saatnya untuk merampungkan rencana yang telah lama 
kususun. Kau akan kujadikan orang sakti! Hik hik hik...!" 


•k-k-k 


Sumini berlari cepat meninggalkan tempat 
pertemuannya dengan nenek berpakaian hitam itu yang 
ternyata nenek kandungnya sendiri. Sungguh pun demikian, 
gadis berpakaian kuning itu tidak lupa untuk bertindak hati- 
hati karena jalan yang ditempuhnya menurun. Sumini 
memang bermaksud turun gunung. 

Selama ini Sumini tidak pernah turun gunung. 
Tinggal di Gunung Anjasmoro itu pun kaiena ikut ayahnya 
melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan, dan untuk 
yang pertama kalinya. Tambahan lagi, dia turun melewati 
jalan yang belum dikenal. Akibatnya dia tersesat karena tidak 
tahu arah. Sampai akhirnya tiba di sebuah anak bukit yang 
merupakan tanah pekuburan yang amat luas. 

Sumini berlari terus dengan maksud hendak melewati 
bukit tanah kuburan itu. Namun tiba-tiba bulu tengkuknya 
berdiri, dan kedua kakinya menggigil. Seolah sengaja dia 
berhenti. Hatinya terkejut merasa takut, mendengar suara 
tawa berkakakan, sedang orangnya belum tampak. Suara 
tawa itu tidak seperti biasa. Seolah-olah bukan suara 
manusia. Ibliskah atau suara mayat! 

Meskipun bukan gadis yang penakut, mendengar 
suara tawa mengprikan seperti itu Sumini tak dapat 
menahan. Tubuhnya merinding ketakutan. Apalagi tempat itu 
merupakan kuburan. Hampir saja gadis berpakaian kuning 
itu berlari tunggang langgang kalau tidak ingat bahwa saat 
itu siang hati. Dia yakin setan atau hantu takkan muncul di 
siang hari. 

Keyakinan itulah yang menumbuhkan keberanian di 
hati Sumini. Sekarang dia menduga kalau suara tawa itu 
keluar dari mulut seorang tokoh persilatan yang mempunyai 
tenaga dalam cukup kuat. Maka, tanpa ragu-ragu 
dilangkahkan kakinya menuju asal suara. 

Sebelum Sumini sampai di tempat yang dituju, dari 
balik salah satu kuburan tampak sesosok tubuh. Rupanya 
dia sejak tadi merebahkan diri sehingga tidak terlihat oleh 
Sumini. Dan ketika Sumini melihatnya, kontan dia 
menggeram. Dikenalinya betul sosok itu sebagai Setan Ular 
Karang! Orang yang hampir membuatnya menjadi orang 
terhina selamanya! 

"Iblis keji! Sekarang kau harus terima balasan atas 
kejadian yang kau lakukan!" seru Sumini keras penuh 
kemarahan. Dia teringat akan nasib yang hampir menimpa 
dirinya. Juga ke matian Jaya Katwang, kakeknya. 

Setan Ular Karang terperanjat mendengar bentakan 
gadis itu. Buru-buru tubuhnya dibalikkan! Ketika melihat 
siapa yang barusan membentaknya lelaki berpakaian coklat 
itu merasa lega. 

"Ah.... Kebetulan sekali kau datang kemari, Anak 
Manis. Aku memang tengah ingin menggeluti tubuh seorang 
wanita. Kemarilah, Anak Manis! Kita bermain cinta," ucap 
Setan Ular Karang sambil melambaikan tangan. 

Terlihat gembira sekali tokoh sesat yang berwajah 
hitam ini. Bukan hanya karena dia ingin bermain cinta 
dengan Sumini. Harinya merasa lega ketika mengetahui 
orang yang menegurnya ternyata Sumini. Semula 
disangkanya orang yang datang Raja Sihir Berbaju Merah 
atau Kerbau Bertenaga Raksasa untuk merampas pusaka 
Raja Pedang Langit Bumi dari tangannya. 

Memang, pusaka Raja Pedang Langit Bumi berada di 
tangan Setan Ular Karang. Tokoh sesat yang licik itu berhasil 
melarikan diri dengan membawa pusaka itu. Sedangkan 
Kerbau Bertenaga Raksasa yang mengejarnya, tidak berhasil 
karena telah kehilangan jejak lelaki berwajah hitam ini. 

Di tempat pekuburan yang letaknya tersembunyi ini, 
Setan Ular Karang tinggal dan mempelajari ilmu-ilmu 
peninggalan Raja Ftedang Langit Bumi. Dia berlatih keras agar 
cepat dapat mempelajari ilmu-ilmu Raja Ftedang Langit Bumi. 
Namun baru dua hari, tempat persembunyiannya yang 
terpencil berhasil diketemukan Sumini. 

Sementara itu Sumini menatap penuh kebengisan 
pada Setan Ular Karang. Kemarahan seketika terbangkit 
melihat lelaki berwajah hitam itu. 

"Temuilah setan-setan di neraka, Iblis Keji!" dengus 
Sumini sambil menubruk maju dengan jari-jari tangan kiri 
terbuka meluncur ke arah muka Setan Ular Karang. 
Gerakannya begitu cepat mengarah kedua bola mata lawan. 
Dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang 
kuat! Setan Ular Karang terkejut melihat serangan cepat 
Sumini. Namun dengan cepat pula tokoh berwajah hitam itu 
menarik tubuhnya ke belakang. 

Plak! 

Rrrt! 

"Hey! Kembalikan kitabku!" Setan Ular Karang berseru 
marah dan kaget ketika melihat Sumini dengan tenangnya 
memasukkan sebuah kitab ke balik baju. Setan Ular Karang 
tidak tahu bagaimana kitab milik Raja Pedang Langit Bumi 
yang berada di pinggangnya bisa diambilnya dengan begitu 
cepat. Dia hanya merasa ketika menarik tubuh ke belakang, 
kitab itu diserobot dengan kecepatan kilat. Dan tahu-tahu 
kitab itu telah lenyap dari pinggangnya. 

Dengan sepasang mata terbelalak marah bercampur 
kaget Setan Ular Karang menatap wajah Sumini lekat-lekat. 
Benarkah gadis ini telah menjadi demikian lihainya? Padahal, 
beberapa hari yang lalu, dengan sebelah tangan pun dia 
sanggup mengalahkan gadis itu. Tapi sekarang? Ataukah dia 
tadi yang bertindak terlalu memandang rendah? Pikiran- 
pikiran seperti itu berkecamuk di benak Setan Ular Karang. 

Memang dugaan Setan Ular Karang ada benarnya. 
Keberhasilan Sumini merampas kitab itu dari pinggangnya, 
sebagian besar teijadi karena Setan Ular Karang menganggap 
remeh. Di samping itu, tak jelas kalau Sumini ternyata 
memiliki gerakan yang sangat cepat. 

Sumini tersenyum tenang bercampur gembira melihat 
keberhasilan usahanya. Dia tidak merasa heran sama sekali 
meskipun telah berhasil merampas kitab dengan cara cukup 
menakjubkan. 

"Kitabmu? Lupakah kau kalau engkau mencuri kitab 
ini dari tempat tinggalku? Kitab ini milikku! Enak saja kau 
mengaku-aku...!" 

"Keparat! Rupanya kau ingin mati secara mengerikan, 
Wanita Sundal? Akan kuperkosa sampai mati!" 

Belum habis gema ucapan itu, Setan Ular Karang 
telah meluruk maju melancarkan serangan. Karena marah, 
dan tahu kalau Sumini telah memiliki kepandaian lebih hebat 
dari sebelumnya, dia langsung mengeluarkan ilmu 'Ular 
Karang' yang diandalkannya. Kedua tangannya hingga 
sebatas pergelangan berubah warna hitam legam. Suara 
berdesit dan menderu nyaring mengiringi tibanya 
serangannya. 

Tapi Sumini sekarang bukankah Sumini beberapa 
hari yang lalu, yang dapat dengan mudah diro-bohkan. 
Laksana bayangan tubuhnya berkelebat ke sana kemari di 
antara sambaran-sambaran kedua tangan Setan Ular Karang. 

Setan Ular Karang menggeram. Beberapa jurus sudah 
dilancarkan untuk menyerang, tapi tak satu pun yang 
mengenai sasaran. Serangan-serangan yang dilancarkan pun 
semakin dahsyat. 

Sejauh itu Sumini belum memperlihatkan perlawanan 
yang berarti. Dia hanya mengelakkan setiap serangan Setan 
Ular Karang dengan menggunakan kelincahannya. Hati 
Sumini merasa gembira sekali ketika melihat serangan- 
serangan lawan, tidak satu pun yang dapat menyentuh 
tubuhnya. Hal ini memang pertanda kalau kepandaiannya 
telah meningkat pesat 

Pada jurus kedua belas, untuk kesekian kalinya 
kedua tangan Setan Ular Karang meluncur ke arah leher. 
Dengan cepat Sumini memiringkan kepalanya sedikit, dan 
bersamaan dengan itu tangannya menampar. 

Plak! 

Sumini menampar dengan menggunakan sebagian 
tenaganya, dan mengenai pipi kiri Setan Ular Karang. Namun 
akibatnya cukup untuk membuat tubuh lelaki berwajah 
hitam itu terbanting dan bergulingan. Ketika Setan Ular 
Karang meloncat bangun, pipinya telah bengkak membiru, 
dan beberapa giginya di pinggir kiri copot! 

Sesaat Setan Ular Karang menggetarkan kepala, 
karena dirasakan pening sekali, sambil tangannya mengusap 
darah di mulut 

"Cuhhh!" 

Sambil meludahkan gigi dan darah, Setan Ular Karang 
menatap Sumini yang berdiri tenang, dengan amarah 
berkobar-kobar. Sekarang, tokoh sesat berwajah hitam ini 
tahu kalau entah dengan cara bagaimana Sumini telah 
mampu menguasai kepandaian tinggi. Diam-diam dia merasa 
gentar. Disadari kalau dirinya bukan tandingan Sumini. 
Meskipun demikian Setan Ular Karang tidak rela 
meninggalkan kitab Raja Pedang Langit Bumi yang baru 
sedikit dipelajarinya. Dia bertekad untuk melakukan 
perlawanan. 

Setan Ular Karang mengeluarkan sebatang suling 
kecil dari pinggangnya dan bermaksud meniupnya. Ini adalah 
salah satu keistimewaan ilmu yang dimilikinya. Dengan 
meniup suling kecil dari bambu itu dia mampu memanggil 
dan memerintahkan ular-ular agar membantu dirinya. 

"Heaaakh...!" 

Namun sebelum suling bambu kecil itu menempel di 
mulut mendadak Setan Ular Karang melolong menyayat hati 
sambil memegang dan kemudian menggeruk- garuk pipi 
kirinya yang telah menghitam. Sesaat kemudian tubuh Setan 
Ular Karang ambruk dan sampailah ajalnya. 

Sumini menatap tubuh lawannya yang tergolek di 
tanah setelah menabrak sebuah kuburan. Kemudian gadis 
berpakaian kuning ini mendongakkan kepalanya 1$ atas. 

"Tenanglah di alam baka, Kakek! Satu pembunuhmu 
telah berhasil kubinasakan! Aku beijanji akan mencari yang 
dua orang lagi...." 

Setelah menundukkan kepala beberapa saat untuk 
mengheningkan cipta atas arwah Jaya Katwang, Sumini 
melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya mencari dan 
membalas dendam terhadap pembunuh-pembunuh kakek 
dan ayahnya. 




Hari telah senja ketika Sumini memasuki mulut 
sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Rasa lapar 
membuatnya melangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang 
terletak di pinggir jalan. 

Namun baru sebelah kakinya memasuki ambang 
pintu kedai, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang 
bergelimpangan tak tentu arah di lantai. Meja dan kursi 
berserakan. Begitu pula perabotan kedai itu pecah dan 
berantakan. 

"Uhhh...!" 

Suara rintihan dari dalam kedai membuat Sumini 
melangkah masuk dan menghampiri seorang lelaki bertubuh 
kekar yang tengah berusaha bangkit. Lelaki inilah yang 
lukanya tidak terlalu parah. 

"Apa yang terjadi, Ki? Siapa yang melakukan hal ini?" 
tanya Sumini, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat 
lelaki kekar itu. Bunyi gemeretak teras dari mulutnya 
menandakan kalau gadis berpakaian kuning ini dilanda 
perasaan geram. 

"Seorang lelaki berkepala botak datang menanyakan 
tentang seorang lelaki berpakaian serba coklat dan bermuka 
hitam pada kami semua. Begitu mendapat jawaban tidak 
tahu, karena kami semua memang tidak mengptahuinya, dia 
mengamuk dan menganiaya kami semua. Beberapa orang 
yang mempunyai kemampuan mencoba untuk melawan, tapi 
dia lihai sekali. Dan juga tebal! Dengan mudah perlawanan 
orang-orang itu dipatahkannya," tutur lelaki kekar itu 
panjang lebar. 

"Sekarang ke mana perginya orang itu?" tanya Sumini. 
Dia dapat menduga kalau orang yang melakukan kekejian itu 
Kerbau Bertenaga Raksasa yang tengah mencari-cari Setan 
Ular Karang. 

"Dia baru saja pergi ke arah barat," jelas lelaki kekar 

itu. 

Sumini tersenyum gembira mendengar jawaban yang 
jelas itu. 

"Bukankah lelaki berkepala botak itu bertelanjang 
dada. Dan mempunyai bulu-bulu tebal di dadanya?" tanya 
Sumini untuk mencari kepastian. 

"Benar!" sahut lelaki kekar seraya mengangguk. 

Tanpa mengucapkan terima kasih lagi, Sumini 
melesat kabur meninggalkan kedai. Dan berlari cepat ke arah 
perginya lelaki berkepala botak yang diduganya Kerbau 
Bertenaga Raksasa itu. Lelaki kekar itu hanya bisa 
menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis di hadapannya 
tahu-tahu lenyap. Dia hanya melihat kelebatan bayangan 
kuning melesat keluar kedai dan seterusnya lenyap. 

Sumini terus berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki. Pemberitahuan kalau 
Kerbau Bertenaga Raksasa belum lama meninggalkan kedai, 
membuatnya ingin segera memburunya. Gadis berpakaian 
kuning itu telah lupa niatnya semula untuk makan di kedai. 

Ternyata pemberitahuan yang didapat tidak salah. 
Belum lama berlari, Sumini telah melihat sesosok tubuh di 
kejauhan. Kenyataan ini membuat Sumini semakin 
bersemangat, dan larinya pun semakin cepat. Sehingga jarak 
antara sosok di depan dengan dirinya semakin dekat. Betapa 
girang hatinya ketika mengetahui kalau sosok yang 
dikejarnya itu ternyata Kerbau Bertenaga Raksasa 

"Berhenti kau, Iblis Keji!" seru Sumini sambil terus 

berlari. 

Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut tersentak kagst 
mendengar bentakan itu. Belum juga kepalanya sempat 
ditolehkan tahu-tahu sosok bayangan kuning telah melesat 
melewati atas kepala, lalu beidiri menghadang di depannya. 
Laksana sehelai daun kering Sumini menjejak tanah. 

"Ha ha ha...!" 

Setelah tertegun sejenak, memperhatikan sosok yang 
berdiri di hadapannya, Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa 
bergelak. 

"Kiranya kau, Bocah Cilik?! Sungguh berani mati kau 
menghadang jalanku! Apakah kau telah mempunyai nyawa 
rangkap? Kudengar kau jadi buronan kerajaan..., biarlah kau 
kutangkap untuk kuserahkan pada mereka. Siapa tahu aku 
mendapat ganjaran kedudukan tinggi!" 

Sambil berkata demikian, Kerbau Bertenaga Raksasa 
melangkah menghampiri Sumini dengan sikap memandang 

rendah. Dia benar-benar tak menyadari bagaimana gadis 
berpakaian kuning itu mampu menghadang di depannya 
tanpa menimbulkan suara. Yang teringat olehnya, Sumini 
adalah seorang gadis lemah. 

Baru Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah beberapa 
tindak, sambil tersenyum sinis, Sumini mengambil sesuatu 
dari balik pakaiannya. 

"Apakah kau tidak tertarik dengan ini, Kerbau Gila?" 
tanya Sumini seraya mengacung-acungkan kitab milik 
ayahnya di depan wajah. 

Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut dengan mata 
terbelalak melihat kitab yang amat diinginkannya berada di 
tangan Sumini. Keterkejutan ini membuatnya tak sempat 
marah mendengar sapaan Sumini tadi 

"Dari mana kau dapatkan kitab itu?" tanya Kerbau 
Bertenaga Raksasa dengan suara bergetar karena perasaan 
tegang dan heran melanda hatinya. 

Kerbau Bertenaga Raksasa tidak langsung merampas 
kitab di tangan Sumini karena masih merasa heran dari 
mana dan bagaimana pusaka Raja Pedang Langit Bumi itu 
berada di tangan Sumini. Bukankah kitab itu berada di 
tangan Setan Ular Karang. Ataukah kitab yang diberikan 
kepada tokoh sesat berwajah hitam itu palsu belaka. Dan di 
tangan gadis inilah yang asli? 

"Tidak usah kau tahu dari mana aku 
mendapatkannya, Kerbau! Yang penting apakah kau tidak 
menginginkannya? Kalau kau mau cepatlah sebelum aku 
membakarnya!" tantang Sumini tenang. 

Ucapan Sumini menyadarkan Kerbau Bertenaga 
Raksasa akan hal yang harus dilakukannya. Maka sambil 
melangkah maju dengan cepat tangan kanannya bergerak 
merampas kitab yang ditimang-timang Sumini. 

Wuttt! 

Tangkapan Kerbau Bertenaga Raksasa mengenai 
angin ketika Sumini menarik tubuh bagian atasnya ke 
belakang tanpa menggeser kaki. Karuan saja hal itu 
membuat lelaki berkepala botak penasaran. Kembali 
tangannya diayunkan untuk merampas, tapi tidak hanya 
sekali digerakkan melainkan berkali-kali. 

Seperti juga sebelumnya, usaha Kerbau Bertenaga 
Raksasa mengalami kegagalan. Padahal Sumini sama sekali 
tidak bergeser dari tempatnya. Dia hanya menggerak- 
gerakkan kedua tangan dan tubuh bagian atasnya, kadang ke 
kiri dan kadang ke kanan, serta sesekali ke belakang. 

Kenyataan ini menyadarkan Kerbau Bertenaga 
Raksasa kalau Sumini ternyata memiliki kepandaian tinggi. 
Gadis itu memiliki kecepatan gprak yang menakjubkan. 

"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, 
Kerbau?" ejek Sumini yang memang bermaksud 
mempermainkan Kerbau Bertenaga Raksasa sebelum 
membunuhnya. 

Kerbau Bertenaga Raksasa mendengus teras, karena 
kemarahan yang menggelegak. Kemudian serangan-serangan 
lanjutan dengan pengerahan seluruh kemampuan pun 
dilancarkan. 

Melihat serangan lawan semakin ganas, Sumini pun 
tak tinggal diam. Dan, sesaat kemudian, kedua belah pihak 
telah terlibat dalam pertarungan sengit. Namun hanya 
beberapa jurus saja terbau Bertenaga Raksasa mampu 
melakukan perlawanan sengit. Menginjak jurus ketiga belas, 
serangan-serangan yang dilakukannya semakin berkurang. 
Dia lebih banyak mengelak, bahkan menangkis pun jarang 
dilakukan karena selalu mengakibatkannya bergetar hebat. 
Kerbau Bertenaga Raksasa kalah dalam hal tenaga dalam 
dan ilmu meringankan tubuh. Dengan keunggulan itulah 
Sumini dapat mendesaknya. 

Pada jurus ketujuh belas Sumini melancarkan 
tendangan lurus ke arah leher. Kerbau Bertenaga Raksasa 
mengelakkannya dengan menundukkan tubuh. Namun 
secepat kilat, Sumini menarik kakinya, dan meluncurkan lagi 
dengan sebuah tendangan ke arah kepala. 

Prak! 

"Aaakh...!" 

Kerbau Bertenaga Raksasa meraung teras ketika 
kepalanya remuk. Darah bercampur otak berhamburan dari 
kepala yang pecah. Tubuhnya ambruk saat itu juga. 

"Hhh...!" 

Sumini menghela napas lega melihat lawannya telah 
tewas berlumuran darah. Dihapus peluh yang membasahi 
dari pipi dan leher dengan lengan bajunya. 

"Bagus sekali...!" 

Tiba-tiba terdengar suara pelan tanpa pengerahan 
tenaga dalam. Meski begitu tetap membuat Sumini 
terperanjat dan menolehkan kepala 1$ belakang. Tampak 
seorang kakek berpakaian abu-abu, dan bermuka merah 
berdiri di belakang dengan melipat kedua tangan di dada. 

Jantung Sumini langsung berdebar keras ketika 
melihat sosok berpakaian abu-abu. Tubuh yang tinggi kekar 
dan sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung 
kelapa berwarna hitam yang bertengger di atas kepala. Sosok 
hitam itu mengingatkannya akan cerita ayahnya. 

"Inikah Barnaba, petapa di lereng Gunung Welirang 
yang turun gunung karena ingin membaktikan diri pada 
Kerajaan Samodra dengan menangkap ayahku? Setelah 
bertahun-tahun para prajurit tak berhasil menangkap Raja 
Pedang Langit Bumi. Hm.... Inikah tokoh sakti yang telah 
membunuh Ayah...?" pertanyaan-pertanyaan seperti itu seke¬ 
tika berkecamuk di benak Sumini. 

"Kaukah tokoh yang bernama Barnaba?" tanya Sumini 
dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang 
melanda. 

Raja Pedang Langit Bumi pernah cerita pada Sumini 
akan seorang tokoh sakti yang mempunyai ciri-ciri seperti ini. 

"Dan kau putri Raja Pedang Langit Bumi?!" sosok abu- 
abu itu malah balas mengajukan pertanyaan. "Kalau dirimu 
bukan seorang bocah ingusan, mungkin sudah kubawa ke 
kerajaan karena telah berani memberontak!" 

Sumini menggertakkan gigi menahan amarah yang 
menggelegak di dadanya. Dia tak heran sama sekali kalau 
kakek berpakaian abu-abu ini bisa menebak dirinya dengan 
tepat. Sebab hatinya yakin kakek ini telah menyaksikan 
pertarungannya tadi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa. 

"Kaukah pembunuh ayahku?!" tanya Sumini lagi 
dengan suara parau dan bergetar. Kemarahannya seakan 
sudah tak mampu dibendung lagi. Dan sekali saja, kakek 
berpakaian abu-abu itu menganggukkan kepala atau 
mengiyakan Sumini akan menerjangnya dengan hebat 

Kakek berpakaian abu-abu yang bernama Barnaba itu 
hanya tertawa terkekch, tidak mengiyakan atau membantah 
pertanyaan Sumini. Kemudian dibalikkan tubuhnya, 
bermaksud meninggalkan tempat itu. 

"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" 

Sumini melompat menerjang dan langsung me 
lancarkan serangan. 

Deru angin keras berhawa dingin yang menusuk 
tulang mengiringi ribanya serangan, dengan kedua tangan 
terbuka gadis itu menghantam ke arah dada Barnaba. 

"Hmh!" 

Sambil mendengus dibalikkan tubuhnya. Barnaba 
menyambut pukulan Sumini dengan dorongan kedua 
tangannya seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Tak 
pelak lagi, hawa panas yang menyengat melingkupi sekitar 
tempat itu ketika pertapa Gunung Welirang itu 
menghentakkan kedua tangannya. 

Bresss! 

Tumbukan teras antara dua pasang tangan yang 
sama-sama dialiri tenaga dalam kuat dan mengandung hawa 
berlawanan itu tak terelakkan. Sumini terjengkang kembali 
ke belakang dengan hawa panas menjalari sekujur badan. 
Sedangkan Barnaba hanya bergoyang-goyang tubuhnya. 

"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat dan 
langsung melancarkan serangan. 

"Hmh!" Sambil mendengus, Bamaba membalikkan 
tubuhnya. Lalu, kedua tangannya didorongkan menyambut 
pukulan Sumini. 

Bresss! 


Kemudian, tanpa mempedulikan Sumini yang masih 
berusaha untuk mengusir hawa panas di tubuhnya, Barnaba 
melesat meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan tenaga 
panas untuk mengusir hawa dingin yang menjalar ke dalam 
tubuhnya. 

Sumini hanya bisa menggertakkan gigi penuh 
perasaan kesal, sambil menatap tubuh Bamaba yang 
semakin menjauh. Dia tidak mampu mencegah kepergian 
Barnaba karena hawa panas masih dirasakan menyengat di 
tubuhnya. Andaikata dibiarkan bagian tubuhnya akan 
terluka dalam. Yang bisa dilakukan sekarang hams segera 
mengusir hawa panas itu keluar dari tubuhnya, sambil beru¬ 
saha untuk memulihkan tenaga. Dirinya sadar dalam 
keadaan seperti ini tidak mungkin mampu menandingi 
Bamaba yang sakti. Tenaganya telah berkurang jauh setelah 
bertarung menghadapi Kerbau Bertenaga Raksasa. 

Oleh karena itu, setelah berhasil mengusir hawa 
panas yang menyergap sekujur tubuh, dilangkahkan kakinya 
menghampiri semak-semak yang berada di sekitar tempat itu. 
Sumini bermaksud menjalankan semadi guna memulihkan 
tenaga dalamnya. Hatinya sudah tak sabar untuk 
menghadapi Barnaba. 


kkk 


"Itu dia orangnya!" 

Tiba-tiba terdengar seman keras yang membuat 
Sumini menghentikan semadi dan membuka sepasang 
matanya. Gadis berpakaian kuning ini tidak tahu berapa 
lama dia bersemadi, tapi yang jelas hari telah malam. Untung 
saja ada sang Dewi Malam bersinar cukup terang, sehingga 
keadaan di persada tidak gelap pekat. 

Dalam siraman sinar bulan terlihat oleh Sumini 
serombongan orang-orang berpakaian seragam prajurit 
kerajaan. 

Sumini buru-buru bangkit begitu rombongan prajurit 
Kerajaan Samodra itu bergerak mengepungnya. Sepasang 
matanya memancarkan kebengisan ketika melihat seorang 
pemuda tampan berkumis tipis berada di belakang 
rombongan prajurit itu. Sosok itu begitu dikenalinya. Dialah 
Pranacitra, Kakak seperguruan Sumini yang ketika terjadi 
pertikaian antara para Brahmana dengan kerajaan, justru 
memihak kerajaan. Meskipun harus bermusuhan dengan 
gurunya, Raja Pedang Langit Bumi. 

Pranacitra mengayunkan langkah menyibak beberapa 
orang prajurit yang menghalangi jalan. Sekarang dia berdiri 
paling depan, berhadapan dengan Sumini. Dalam sekilas 
saja, pemuda berkumis tipis ini telah mengpnali Sumini. 

"Apakah kau tidak keliru?" Pranacitra menoleh ke 
arah prajurit pendek kekar yang tadi menunjukkan 
keberadaan Sumini. "Benarkah gadis ini yang tadi berkelahi 
dengan Kerbau Bertenaga Raksasa, dan dia memegang 
sebuah kitab berwarna kuning?" 

"Benar, Panglima. Dialah yang telah membunuh 
Kerbau Bertenaga Raksasa," tegas prajurit pendek kekar 
penuh kesungguhan karena merasakan adanya nada 
ketidakpercayaan dalam pertanyaan Pranacitra. 

Sumini yang mendengar percakapan itu melongo. 
Pranacitra telah menjadi Panglima Kerajaan Samodra? Luar 
biasa? Kalau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri, dia 
tidak akan percaya. 

Sumini tidak tahu kalau Pranacitra diangkat menjadi 
salah satu Panglima Kerajaan Samodra atas jasanya 
Pranacitra selalu ikut campur dan membantu pasukan 
Kerajaan Samodra dalam menghadapi perlawanan orang- 
orang yang tidak mau menuruti perintah Raja Pancawala. 

Penguasa Kerajaan Samodra memerintahkan kepada 
semua orang di lingkungan kerajaan untuk menganggap 
dirinya sebagai dewa dan menyembahnya. Saat itu, para 
prajurit kerajaan kewalahan harus menghadapi banyak orang 
pandai. Dan karena jasa Pranacitra itulah rombongan 
prajurit kerajaan memperoleh kemenangan. Maka Pranacitra 
mendapat anugerah sebagai Panglima Kerajaan Samodra. Dia 
memimpin pasukan Kerajaan Samodra dalam menumpas 
orang-orang yang menentang perintah raja. 

Karena keheranan melihat Pranacitra menjadi 
Panglima Kerajaan Samodra, Sumini tampak tercengang 
keheranan. Dia masih berdiri dengan pikiran melayang ke 
sana kemari. 

Sementara itu, begitu mendengar jawaban bernada 
sungguh-sungguh dari prajurit pendek kekar, Pranacitra 
langsung mengerutkan alis. Dia bingung bukan kepalang. 
Benarkah Sumini yang telah membunuh Kerbau Bertenaga 
Raksasa? Rasanya mustahil! Dia tahu betul sampai di mana 
kemampuan ilmu gadis berpakaian kuning itu. Tapi, 
mungkinkah prajurit pendek kekar itu berbbhong? Rasanya 
tidak mungkin juga. Karena tahu, tak akan dapat menjawab 
pertanyaan itu dengan berpikir. Pranacitra membuang jauh- 
jauh pertanyaan yang menggayut di benaknya itu. 

"Menyerahlah Sumini! Tidak ada gunanya melawan. 
Percuma! Kau tidak bisa menang...! Kalau dulu kau dan 
ayahmu menuruti kehendak kerajaan, nasibmu tak akan 
sengsara seperti ini. Menyerahlah, Sumini! Biar 
bagaimanapun kau tetap adik seperguruanku. Kau tahu, aku 
tak ingin dirimu harus tersiksa. Percayalah, aku akan 
memohon ampunan kepada Baginda Raja Pancawala. Ya. 
Setidak-tidaknya agar hukuman yang akan dijatuhkan 
kepadamu, dapat diperingan.... Ayolah, Sumini!" dengan 
sopan dan lemah lembut Panglima Kerajaan Samodra itu 
berusaha membujuk Sumini. 

Mendengar bujuk rayu yang lembut itu Sumini 
tercenung. Pikirannya tiba-tiba merenung ke masa silam. 
Beberapa tahun lalu Pranacitra begitu baik kepadanya. Suatu 
masa-masa indah yang sulit dilupakannya. Pranacitralah 
yang sering membimbingnya. Diakui, memang pemuda 
tampan itulah yang sangat diakrabinya. Bahkan lebih erat 
dibanding terhadap ayahnya sendiri. 

Namun kenangan tinggallah kenangan. Hal itu terjadi 
jauh sebelum Pranacitra tergiur kedudukan dan mabuk 
jabatan. Kini Pranacitra telah menjadi pengkhiahat 
perguruan. Murid murtad yang tidak mendukung kesetiaan 
pada gurunya. Mengingat sikap yang menyakitkan itu Sumini 
menggertakkan gigi menahan geram. 

"Tutup mulutmu, Ftengkhianat...!" sahut Sumini 
dengan geram, "Aku bukan orang bejat sepertimu yang sudi 
menjilat pantat raja lalim itu. Kau telah mabuk kemewahan 
dan kedudukan, Prana! Kau telah lupa tanggung jawabmu 
sebagai seorang murid perguruan...!" 

Mendengar ucapan yang menyindir itu Panglima 
Pranacitra tersenyum sinis. 

"Hhh.... Dasar keras kepala...!" 

"Heaaa...!" 

Dengan diawali teriakan melengking nyaring, Sumini 
melompat meneriang bekas kakak seperguruannya. 

"Ah!" 

Pranacitra terpekik kaget tanpa sadar ketika 
merasakan adanya sambaran angin keras berhawa dingin 
keluar dari serangan Sumini. Meskipun demikian, dia tetap 
menganggap remeh. Sebab, dulu dia paham benar beberapa 
ilmu yang dimiliki Sumini. Tanpa ragu-ragu dipapaknya 
terjangan Sumini seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam 
yang dimiliki. Pranacitra bermaksud segera merobohkan 
Sumini dalam segebrakan! 

Bresss! 

"Aaakh...!" 

Panglima Kerajaan Samodra itu terpekik keras. 
Tubuhnya terlontar deras ke belakang seperti daun kering 
ditiup angin, lalu terbanting dan bergulingan di tanah. Dan 
ketika akhirnya berhasil bangkit, pemuda berkumis tipis ini 
menggigil karena adanya aliran hawa dingin menyerangnya. 

Belum juga rasa kagpt yang melandanya lenyap, 
Sumini telah melancarkan serangan susulan. Dengan cepat 
sekali tangannya menampar pelipis, sambil mencengkeram 
dengan tangan kiri ke pusar Pranacitra! Dua buah serangan 
maut yang dilancarkan secara cepat dan bersamaan. 

Pranacitra mengenal serangan maut itu. Maka buru- 
buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh. 
Namun Sumini mengpjamya. Untung saja belasan prajurit 
Kerajaan Samodra yang melihat adanya ancaman bahaya 
maut, segera bertindak cepat menghadang Sumini. Meieka 
langsung menghujaninya dengan serangan secara bersa¬ 
maan. 

Sumini marah, melihat tindakannya terhalang. 
Serangannya terhadap Pranacitra terpaksa dibatalkan. Dan 
sekarang kedua tangannya digunakan untuk menangkis 
hujan senjata yang mengancam keselamatan nyawanya. 
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mata mereka 
terbelalak, seakan tidak percaya melihat senjatanya 
berpatahan tersambar tangan Sumini. Bahkan para 
penyerangnya langsung terjengkang dan berjatuhan ke 
tanah. 

Lagi-lagi Sumini tidak sempat meneruskan tin- 
akannya. Karena Pranacitra telah lebih dulu melancarkan 
serangan. Pedang yang menjadi senjata andalannya 
ditusukkan ke leher Sumini. Namun tanpa menemui 
kesulitan putri Raja Pedang Langit Bumi ini mengelakkannya. 
Pertarungan semrawut pun berlangsung. 




Sekarang Pranacitra percaya akan keterangan prajurit 
pendek kekar, bahwa Sumini telah membunuh Kerbau 
Bertenaga Raksasa. Bekas adik seperguruannya itu ternyata 
sekarang telah memiliki kemampuan yang hebat. Padahal, 
dia dan prajurit kerajaan telah mengeroyoknya. Namun 
sedikit pun Sumini tidak terdesak. Bahkan pihak Pranacitra 
yang kewalahan. Beberapa prajurit telah bergelimpangan 
tanpa nyawa di tanah akibat amukan putri Raja Ftedang 
Langit Bumi itu. Pranacitra menyadari bahwa saat ini ilmu 
yang dimiliki Sumini bahkan berada di atas ayahnya. Entah 
bagaimana hal itu bisa teijadi, Pranacitra merasa tak habis 
pikir. 

Pranacitra mengeluarkan siulan nyaring dari 
mulutnya, seraya terus melakukan perlawanan. Sumini tahu 
kalau bekas kakak seperguruannya itu akan 
mempergunakan siasat, tapi sedikit pun dia tak gentar, 
bahkan seakan tidak mempedulikannya. Terus saja 

dilancarkan desakan, meskipun empat orang prajurit yang 
ikut mengeroyok, berlari meninggalkan kancah pertarungan. 

Perginya empat orang prajurit membuat kekuatan 
Pranacitra dan sisa anak buahnya semakin melemah. 
Namun, Panglima Kerajaan Samodra itu terus melakukan 
perlawanan, sungguhpun korban di pihaknya terus 
berjatuhan. 

Mendadak Pranacitra melemparkan serbuk dari 
tangan kirinya kc arah Sumini Terpaksa gadis ini melempar 
tubuh ke belakang khawatir serbuk itu beracun. 

Namun rupanya tindakan itu hanya merupakan siasat 
belaka. Karena begitu Sumini melompat mundur, Pranacitra 
melarikan diri. Menyusul empat prajuritnya. Melihat hal itu 
sisa dua prajurit yang mendampingi Pranacitra, ikut 
melarikan diri. Namun hanya dengan sekali lesatan, Sumini 
telah melewati mereka. Dengan cepat Sumini melancarkan 
serangan yang membuat nyawa kedua prajurit sial itu tewas 
seketika. 

Sumini tidak mempedulikan hal itu dan terus 
melakukan pengejaran terhadap Pranacitra. Berkat ilmu 
meringankan tubuhnya yang berada di atas Pranacitra, bekas 
kakak seperguruannya itu disusul. Mendadak... 

Rrrttt! 

"Heh...?!" 

Hati Sumini tersentak kagpt Tubuhnya terangkat 
dengan kaki di atas, ketika pergelangan kaki kanan teijerat 
sesuatu. Dan sebelum gadis berpakaian kuning itu sadar, 
tubuhnya telah tergantung dengan kepala di bawah. 

"Ha ha ha...!" 

Pranacitra membalikkan tubuh dan berlari 
mendekatinya ketika melihat tubuh Sumini tergantung di 
atas cabang pohon besar. Sumini tidak berdaya untuk 
melepaskan diri karena pedangnya telah teijatuh saat 
tubuhnya tergantung. Sedangkan tali jerat sangat kuat dan 
tidak bisa diputuskan dengan pengerahan tenaga dalam. 

Sumini menggertakkan gigi karena marah dan geram 
melihat kelicikan lawan. Dia tahu sekarang, empat prajurit 
yang pergi lebih dulu telah diperintahkan untuk membuat 
perangkap ini. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-sia 
Sumini masuk perangkap! Kemenangan pun berada di 
tangan Panglima Pranacitra. 

"Pranacitra, Pengecut Hina! Ftenjilat pantat raja lalim, 
pengkhianat busuk! Kalau kau mau, lekas bunuh! Kau kira 
aku takut mati?! Bunuhlah aku, Ftengecut Hina!" maki 
Sumini, sejadi-jadinya karena kesal. Hal itu hanya ditanggapi 
Pranacitra dengan tawa bergelak. 

Sumini yang semakin meluap amarahnya, segera 
melancarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauh 
kedua tangannya yang bebas. Namun dengan mudah 
serangan itu dielakkan oleh Pranacitra seraya terus tertawa- 
tawa penuh ejekan. 

"Tak semudah itu akan menghabisi nyawamu, 
Sumini. Kau akan kusiksa sampai setengah mati, baru 
kuhadapkan pada raja untuk menerima hukuman 
sebagaimana layaknya seorang pemberontak!" 

"Keparat!" Sumini hanya bisa memaki-maki penuh 
perasaan geram karena lelah melancarkan serangan tanpa 
hasil. 

Sing...! 

"Heh...?!" 

Mendadak Pranacitra menghentikan tawanya secara 
mendadak, karena mendengar bunyi mendesing nyaring. 
Belum sempat dia berbuat sesuatu.... 

Brettt! 

Tali yang menjerat kaki Sumini, putus tersambar 
sebuah kerikil tajam. Sehingga tubuh gadis berpakaian 
kuning itu melayang turun. Dan yang membuat Pranacitra 
semakin kelabakan, Sumini langsung bisa mempergunakan 
peluang itu sebaik-baiknya. Gadis itu melancarkan 
cengkeraman 1$ arah ubun-ubun Pranacitra. 

"Heaaa...!" 

Wuttt...! 

Meskipun dengan agak geragapan, Pranacitra mampu 
mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Namun, serangan 
lanjutan Sumini yang berupa tendangan kaki kanan ke arah 
dada, tidak mampu dielakkannya dan mendarat secara telak. 
Sehingga membuat dadanya hancur. Saat itu nyawa Prana¬ 
citra melayang ke alam baka. 


•k-k-k 


"Bagus...! Bagus...! Kau dapat mempergunakan 
kesempatan yang kuberikan. 

Sumini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. 
Di belakangnya telah berdiri dengan anggun seorang kakek 
berpakaian putih. Wajahnya yang bersih bercahaya terhias 
jenggot panjang sampai ke leher. Di tangannya tergantung 
menjuntai sebuah tasbih putih. Matanya tampak merah 
seakan kurang tidur. Dia tersenyum manis memandangi 
Sumini yang masih terbengong. 

"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, 
sehingga aku dapat membunuh orang terkutuk itu, Kek," 
ucap Sumini penuh hormat seraya menganggukkan kepala. 
Tak dipedulikannya empat prajurit anak buah Pranacitra 
yang melarikan diri ketika melihat pemuda pimpinan meieka 
tewas. "Kalau boleh kutahu siapa kau, Kek?" 

"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa 
lembut "Akulah orang yang tertulis di dalam surat dari 
ayahmu itu, Sumini." 

"Ah...! Jadi..., jadi... kau.... Eyang Pradaga?!" Sumini 
tersentak kaget bercampur gembira. 

"He he he...!" kakek beijubah putih yang ternyata 
Eyang Pradaga tertawa seraya mengangguk-anggukkan 
kepala. "Sekarang, tunggu apa lagi, Sumini?! Bukankah 
semua urusanmu sudah beres? Mari, pergi bersamaku untuk 
memenuhi permintaan ayahmu! Tempatku terpencil, dan tak 
mungkin pasukan kerajaan akan menemukannya! Kalau 
tidak mengingat kau adalah putri sahabat kentalku, tak 
mungkin aku bersusah payah turun gunung untuk 
membawamu ke tempatku." 

"Tapi, Kek...," Sumini meragu. "Aku belum berhasil 
menemukan pembunuh ayahku, tak mungkin aku bisa ikut 
denganmu. Hatiku tak akan pernah tenang." 

"Tidak usah repot-repot, Sumini," sahut Empu 
Pradaga, tetap dengan senyum lebar. "Aku baru saja bertemu 
dengan pembunuh ayahmu dalam perjalanan 1$ sini." 

"Benarkah itu, Kek?!" tanya Sumini dengan sepasang 
mata membelalak lebar. "Siapakah orang yang telah 
membunuh ayahku itu?" 

"Barnaba," jawab Eyang Pradaba, kalem. "Cepatlah! 
Nanti dia keburu pergi." 

Tapi sebelum Empu Pradaga dan Sumini melesat 
meninggalkan tempat itu, terdengar seruan teras. 

"Sumini...! Tunggu sebentar...!" 

Seruan itu berasal dari tempat yang jauh, di belakang 
Sumini dan Empu Pradaga. Tapi bunyinya seakan berada 
dekat. Dan begitu Sumini dan Empu Pradaga menoleh 
mereka melihat sebuah titik kecil di kejauhan tengah melesat 
cepat ke arah mereka. Hanya satu tarikan napas saja sosok 
itu telah sampai di dekat mereka. 

"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak," ucap Sumini dengan 
raut wajah memerah, teringat akan perjumpaannya pertama 
kali dengan perhuda berambut putih keperakan itu. 

"Maaf mengganggu sebentar, Kek!" ucap Arya sopan 
pada Empu Pradaga. "Tapi bolehkan kutahu ke mana kalian 
berdua akan pergi? Bukan bermaksud ikut campur, tapi aku 
telah mendapat amanat dari Raja Pedang Langit Bumi untuk 
mengantarkannya pada seorang yang beniama Empu Pra¬ 
daga." 

Terima kasih atas jerih payahmu, Anak Muda. Kau 
tak perlu repot-repot lagi mengantarkannya. Akulah Empu 
Pradaga yang kau maksudkan itu." 

"Ah...! Sungguh kebetulan sekali...!" seru Aiya dengan 
nada gembira. "Jadi, sekarang kalian akan pergi ke 
pertapaanmu, Empu?!" 

"Tidak, Aiya," Sumini menyelak. "Aku akan 
membalaskan kematian ayahku dulu pada Barnaba." 

Kemudian secara singkat tapi jelas, Sumini 
menerangkan semua percakapannya dengan Empu Pradaga. 

"Maaf, Anak Muda!" ujar Empu Pradaga ketika Sumini 
telah menghentikan ceritanya. "Kami hendak pergi dulu. 
Mari, Sumini. Kita harus bergegas sebelum dia pergi lebih 
jauh." 

Dewa Arak pun tidak bisa menahan keduanya. Dia 
hanya bisa menganggukkan kepala ketika kedua orang itu 
melesat meninggalkannya. Diam-diam hatinya merasa 
bersyukur karena tugas yang dibebankan kepadanya meski 
tanpa sengaja telah tuntas. Dengan hati lega dia melangkah 
menempuh arah berlawanan dengan yang ditempuh Sumini 
dan Empu Pradaga. 

"Barnaba...! Berhenti, kau...!" 

Kakek berpakaian abu-abu yang tengah beijalan di 
sebuah hamparan tanah lapang berumput, menghentikan 
langkah. Kemudian ditolehkan kepalanya ke belakang. 
Dilihatnya sosok bayangan melesat cepat dari kejauhan. 
Hanya dalam sekejapan saja telah berada di dekatnya. 

"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau 
memberhentikan langkahku...?! Sungguh besar nyalimu 
melakukan hal itu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!" 
tanya kakek berpakaian abu-abu yang ber-nama Barnaba 
memberondong. 

Pemuda berwajah tampan itu tersenyum. Meskipun, 
tengah mempunyai sebuah urusan yang sungguh-sungguh, 
tapi menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti itu, mau 
tidak mau dia agak merasa geli. Itulah sebabnya dia 
menyunggingkan senyum walaupun getir. 

"Aku Aiya. Aku tahu namamu dari seseorang gadis 
yang ayahnya kau bunuh. Aku tidak mempermasalahkan 
ayah kawanku yang telah kau bunuh itu. Aku hanya ingin 
meminta pertanggungjawabanmu atas nasib kawanku dan 
orang yang dipercayakan menjadi ayah angkatnya," jelas Aiya 
panjang lebar. 

"Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku 
berubah pikiran dan membunuhmu, Anak Muda! Aku tak 
mengerti maksud ucapanmu. Aku tidak kenal siapa 
kawanmu apalagi ayah kandungmu!" 

Usai berkata demikian, Bamaba membalikkan tubuh 
dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan Dewa Arak. 

"Tunggu, Bamaba!" sentak Dewa Arak. "Ayah 
kawanku itu bernama Raja Pedang Langit Bumi!" 

"Dan kawanmu yang kau maksudkan itu pasti putri 
Raja Pedang Langit Bumi yang cantik itu, bukan?" timpal 
Barnaba dengan suara dan sikap yang membuat Dewa Arak 
bembah dengan wajah memerah. Dia merasakan adanya 
sindiran dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu. 

"Benar!" sahut Aiya, pura-pura tidak mengetahui 
sindiran Bamaba. "Dan dia bersama ayah angkatnya hendak 
menemuimu. Aku yakin kau telah bertemu dengan mereka 
berdua. Katakan apa yang telah kau lakukan terhadap 
mereka, Barnaba?!" desak Dewa Arak dengan suara berat. 

"Keparat!" 

Barnaba yang mpanya telah kehilangan kesabaran, 
langsung menerjang dengan menghantamkan pukulan 
telapak tangan kiri. Kelihatannya hanya sembarangan saja, 
tapi ada hembusan angin teras yang mengiringi ribanya 
serangan kakek berpakaian abu-abu itu. 

Dewa Arak sadar kalau pukulan tangan kosong 
Bamaba amat dahsyat. Dia tahu sebatang pohon yang amat 
besar pun akan tumbang apabila terhantam. Namun Dewa 
Arak tanpa ragu-ragu memapak-serangan Barnaba dengan 
gerakan yang sama. Hal itu dilakukan karena rasa jengkel 
melihat sikap Bamaba yang meremehkannya. 

Plak! 

Dua buah tangan yang sama-sama mengandung 
tenaga dalam tinggi berhawa panas berbenturan. Akibatnya, 
tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa 
langkah ke belakang. 

"Kiranya kau lihai juga, Anak Muda," puji Bamaba 
sejujurnya. "Pantas kau membuat nama besar di dunia 
persilatan. Tapi, aku belum kalah!" 

"Kau benar hebat, Bamaba," timpal Aiya, dengan 
pujian yang sama. 

Memang, kedua belah pihak sama-sama kagum akan 
kelihaian lawan. Meskipun telah menduga sebelumnya 
mereka tak urung merasa terkejut merasakan kehebatan 
lawan masing-masing. 

Rasa penasaran membuat Barnaba tak sungkan- 
sungkan langsung melancarkan serangan lanjutan. 
Diterjangnya Dewa Arak. Pemuda beramput putih keperakan 
itu segera menyambutnya dengan sikap lebih hati-hati. 

Bentuk tubuh keduanya lenyap, yang terlihat kini 
hanya dua bayangan kelabu dan ungu. Dalam bentuk tidak 
jelas mereka saling belit, hanya kadang-kadang saja saling 
pisah, itu pun sebentar karena sesaat kemudian keduanya 
telah saling serang. Bahkan terkadang sukar untuk 
dibedakan saking cepatnya gerakan masing-masing pihak. 

Karena begitu cepatnya, tak terasa pertarungan telah 
berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun sejauh itu 
belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar 
sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling 
melancarkan serangan dahsyat. Beberapa kali benturan 
tangan dan kaki terjadi namun keduanya memang sama- 
sama tangguh. 

Kenyataan ini rupanya membuat kedua belah pihak 
jadi penasaran bercampur tidak sabar. Bagai telah disepakati 
sebelumnya, baik Barnaba maupun Dewa Arak pada jurus ke 
seratus tiga puluh lima, sama-sama mengeluarkan ilmu 
andalan. Barnaba mengeluarkan sebilah pedang batangnya 
berwarna kehijauan. Sedangkan Dewa Arak mengambil guci 
arak yang tersampir di punggung, lalu dituangkan ke mulut. 

Setelah terdengar bunyi tegukan, Dewa Arak 
merasakan adanya hawa hangat menjalar naik 1$ kepala 
setelah arak itu sampai di lambungnya. Sesaat kemudian, 
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai limbung 
karena kedua kakinya tidak menapak secara tetap di tanah. 

Barnaba tidak merasa heran melihat tingkah laku 
lawannya. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah 
kenyang pengalaman dia tahu, banyak orang memiliki ilmu 
aneh, tapi mengandung kedahsyatan luar biasa. Dia yakin 
Dewa Arak memiliki ilmu seperti itu. Maka, tanpa 
membuang-buang waktu dia melompat menerjang Dewa 
Arak. Pedangnya diputar seperti kitiran dan menyambar 
ganas ke arah dada lawan. Sedangkan tangan kiri bersiap 
untuk melancarkan serangan susulan. 

"Heaaa...!" 

Klang! 

Suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api, 
ketika Dewa Arak menangkis tusukan pedang lawan dengan 
ayunan guci araknya. Pada saat yang hampir bersamaan, 
tangan kiri Barnaba meluncur dengan sebuah totokan ke 
arah leher Dewa Arak. Namun pemuda berambut putih kepe¬ 
rakan itu berhasil mengelakkannya dengan memiringkan 
kepala. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kaki 
kanan ke arah pusar yang memaksa Barnaba melompat 
mundur! 

Kesempatan yang sebentar di saat berada cukup jauh 
dari lawan dipergunakan kedua belah pihak untuk 
memeriksa senjata masing-masing. Hati mereka lega ketika 
mengetahui tak ada kerusakan sedikit pun pada masing- 
masing pusaka. Kembali keduanya saling gebrak. 

Pertarungan yang lebih menggiriskan dan 
menyeramkan dari sebelumnya kembali berlangsung. Sinar 
kehijauan pedang Barnaba berkelebatan 1$ sana kemari 
seperti halilintar menyambar-nyambar, terkadang meliuk-liuk 
mirip ular. Memang, tak dapat diremehkan kehebatan ilmu 
pedang kakek tua berpakaian abu-abu ini. Setiap serangan 
yang dilancarkan selalu mengarah pada bagian-bagian 
mematikan. Sehingga apabila tergores sedikit saja sudah 
cukup untuk mengirim nyawa orang ke alam baka, karena 
racun yang terkandung di dalam batang pedang itu. 

Klang! 

"Heaaa...!" 

Pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Dewa Arak 
menangkis dengan guci. Kemudian mempergunakan tenaga 
tangkisan itu untuk bersalto 1$ atas melewati kepala 
Bemaba, ketika serangan pedang kakek itu meluncur ke arah 
leher. 

Barnaba yang dapat menduga maksud Dewa Arak, 
segera membalikkan tubuh sambil menyabetkan senjatanya 
ke belakang menangkal serangan susulan yang akan 
dilakukan Dewa Arak. 

Trikkk! 

"Heh...!" 

Barnaba memekik kaget ketika dengan perhitungan 
matang Dewa Arak berhasil mempergunakan batang pedang 
sebagai tempat landasan gucinya. Ftemuda itu tidak berani 
mempergunakan tangan atau kaki mendarat di batang 
pedang Barnaba yang beracun. 

Ketika itulah, sebelum Barnaba sempat berbuat 
sesuatu, tangan kiri Dewa Arak telah memukul bahu 
kanannya. Sehingga tubuh lelaki tua itu terjengkang ke 
belakang dengan darah menetes di sudut bibirnya. 

Dan, sebelum kakek berpakaian abu-abu itu sempat 
berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat ke arahnya. Dan 
tahu-tahu tangannya telah menempel di ubun-ubun 
Barnaba. Sekali saja Barnaba melakukan suatu gerakan yang 
mencurigakan, nyawanya akan lebih dulu melayang ke alam 
baka. 

"Aku tidak ada permusuhan denganmu, Barnaba. 
Tapi, tolong katakan padaku, apa yang telah kau lakukan 
pada diri Sumini dan Empu Pradaga?!" tanya pemuda 
berambut putih keperakan itu dengan nada ancaman. 

"Ha ha ha...!" Barnaba tertawa terkekeh. "Kau keliru, 
kalau mengira dengan ancaman ini aku takut dan 
mengatakan hal-hal yang ingin kau ketahui, Dewa Arak. Kau 
keliru. Mau bunuh silakan bunuh, siapa yang takut mati?" 

Mendengar ucapan ini Dewa Arak segera menarik 
kembali tangannya karena tahu kalau Barnaba bersungguh- 
sungguh dengan ucapannya. Aiya tahu bagi orang seperti 
Barnaba, dan bahkan dia sendiri, mati bukan hal yang perlu 
ditakuti! Setiap saat nyawa bisa melayang tanpa bisa dicegah. 

"Barnaba, seperti yang telah kukatakan tadi, di antara 
kita tidak ada permusuhan, dan aku tidak mau 
menciptakannya. Aku tidak ikut campur, dan bahkan tidak 
peduli dengan pembunuhan yang telah kau lakukan terhadap 
Raja Pedang Langit Bumi. Tapi, aku wajib tahu akan nasib 
yang menimpa Sumini dan Empu Pradaga!" 

Wajah Barnaba berubah hebat seketika. Karuan saja 
hal itu membuat Aiya merasa heran. Apakah ada yang salah 
pada ucapannya sehingga mebuat kakek berpakaian abu-abu 
itu merasa terkejut. 

"Itukah nama dua orang yang kau khawatirkan 
keselamatannya?" tanya Barnaba dengan suara bergetar. 

Tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan yang membayang 
jelas di wajahnya. 

"Benar," Aiya menganggukkan kepala. "Sumini adalah 
putri Raja Pedang Langit Bumi sedangkan Empu Pradaga, 
orang yang akan menjadi ayah angkatnya." 

"Bisa kau berikan sedikit ciri-cirinya padaku, Dewa 
Arak? Maksudku, ciri-ciri Empu Pradaga itu! Dan, mengapa 
kau menyangka mereka berdua kucelakai?" 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 
segera menoeritakan pertemuannya dengan Sumini dan 
Empu Pradaga. Juga ciri-ciri kakek berpakaian putih tadi. 
Pendekar muda itu merasakan ada hal-hal yang pelik di sini. 
Sehingga segpra diceritakannya secara gamblang, tanpa ada 
yang ditutup-tutupi. Sikap Barnaba yang seperti itu 
membuatnya merasa yakin ada hal-hal hebat yang 
tersembunyi di sini. 

"Celaka! Putri Raja Pedang Langit Bumi itu sekarang 
berada dalam bahaya, Dewa Arak!" desah Barnaba setelah 
mendengar penuturan Aiya sampai selesai. 

Kemudian, kate k berpakaian abu-abu ini men¬ 
ceritakan hal-hal sebenarnya yang diketahuinya. Hal itu 
membuat Dewa Arak merasa heran dan teikejut setengah 
mati mendengarnya. 

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menyusulnya, 
Barnaba. Maafkan atas kesalahanku!" 

"Lupakanlah, Dewa Arak. Aku tidak menganggap kau 
melakukan sebuah kesalahan padaku. Bahkan sebaliknya 
kau memberikan keuntungan. Karena dengan terjadinya 
pertarungan di antara kita dan kesalahpahaman ini, aku jadi 
mengetahui di mana adanya Empu Pradaga itu." 

Namun, Dewa Arak tidak bisa menyambuti ucapan 
Barnaba. Begitu mendengar kakek berpakaian abu-abu itu 
tidak menganggap kesalahannya sebagai hal yang perlu 
dipersoalkan, tubuhnya telah melesat. Dewa Arak ingin 
secepatnya bertemu dengan Sumini dan Empu Pradaga. 


kkk 


Sementara itu Sumini tengah berlari cepat dengan 
napas terengah-engah. Tanpa mempedulikan semak belukar 
dan rumput ilalang yang dilaluinya, gadis itu terus berlari. 

Bahkan onak berduri pun diterjangnya, sehingga pakaiannya 
banyak yang koyak-koyak. Saat itu, Sumini berada di dalam 
sebuah hutan yang tampaknya masih perawan, belum 
terjamah orang. 

Sumini baru menghentikan larinya dan bersembunyi, 
ketika menemukan sebuah semak-semak belukar yang lebat. 
Di sini, gadis berpakaian kuning itu berjongkok dan 
menenangkan deru napasnya yang memburu karena rasa 
takut dan tegang. 

Dengan menggeleng-gelengkan kepala, putri Raja 
Pedang Langit Bumi itu teringat kembali kejadian yang baru 
saja dialaminya. Kejadian bersama Empu Pradaga. 

"Di mana penjahat keji itu, Kek?!" tanya Sumini. 
Hatinya tak sabar setelah beberapa saat lamanya dia dan 
Empu Pradaga, berlari cepat untuk menuju tempat Barnaba, 
tidak juga bertemu. Bahkan tanda-tanda 1$beradaannya pun 
tidak terlihat. 

"Penjahat keji?!" 

Empu Pradaga malah balik bertanya tanpa 
mengalihkan pandangan, berlari di sebelah Sumini dengan 
tatapan tertuju ke depan. Kakek ini ternyata cukup lihai, 
mampu menjajari Sumini. Padahal putri Raja Ftedang Langit 
Bumi itu telah mengerahkan seluruh kemampuan yang 
dimiliki untuk berlari cepat. 

"Lho...?!" Sumini terperanjat mendengar jawaban yang 
tidak disangka-sangka itu. Tanpa sadar kecepatan larinya 
mengendur hingga dia tertinggal. Namun keadaan kembali 
seperti semula karena Empu Pradaga menghentikan lari dan 
membalikkan tubuh, menghadap Sumini. "Bukankah kau 
hendak mengajakku menemui Barnaba, orang yang telah 
membunuh ayahku, Kek?!" 

"Sayang sekali, Sumini," jawab Empu Pradaga seperti 
menyesalkan keadaan. "Sebenarnya dengan senang hati aku 
akan membawamu pada Barnaba, dan bahkan 
membunuhnya untukmu. Tapi..., bagaimana aku mempunyai 
urusan yang jauh lebih penting denganmu. Kau akan kubawa 
ke tempat tinggalku." 

Aku tidak mau!" sentak Sumini keras sambil 
mengayunkan kaki ke belakang, mundur-mundur. "Jangan 
harap aku sudi ke tempat tinggalmu sebelum aku berhasil 
membalaskan dendam atas ke matian ayahku! Bahkan 
menjumpai kuburnya pun belum kulakukan!" 

Empu Pradaga menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau 
saja aku mempunyai waktu lebih banyak lagi, mungkin aku 
akan membantumu mendapatkan Barnaba dan bahkan 
membunuhnya, Sumini. Tapi... sayang, waktu yang kumiliki 
terbatas. Tapi, percayalah aku akan mencari Barnaba dan 
membunuhnya setelah urusan ini selesai! Dan...." 

"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kapan pun 
tetap tidak. Bukankah kau mengatakan kalau Barnaba telah 
kau jumpai beberapa saat yang lalu?! Mengapa repot-repot 
mencarinya lagi?! Atau....", kau telah berbohong padaku?!" 

"Kau cerdik, Sumini! Memang, aku tidak bertemu 
dengan Barnaba. Tadi kukatakan telah bertemu hanya agar 
kau mau ikut pergi deriganku. Cepatlah, Sumini! Aku tidak 
punya banyak waktu, jangan sampai aku terpaksa 
membawamu dengan kekerasan." 

"Keparat! Lakukan kalau kau mampu, Empu 
Pembohong!" ujar Sumini, tegas. 

"He he he...!" Empu Pradaga tertawa bergelak merasa 
lucu melihat Sumini yang telah bersiap-siap melakukan 
perlawanan. Seakan-akan kakek ini tengah melihat seorang 
anak kecil yang tengah menantangnya. "Tidak ada gunanya 
kau melawan, Sumini. Aku tahu kau memiliki kepandaian 
tinggi, dan hal itu kuketahui dari keberhasilan mu membu¬ 
nuh Pranacitra secara mudah. Tapi, tidak ada gunanya. Tak 
akan ada satu pun tokoh persilatan yang dapat 
menghadapiku, Sumini! Camkan itu! Tidak juga Dewa Arak! 
Kalau aku mau, saat bertemu dengannya, telah kukirim 
nyawanya ke neraka!" 

Belum juga Empu Pradaga menutup mulutnya, 
Sumini telah melancarkan serangan. Kakinya menendang 
bertubi-tubi ke arah lambung yang mengeluarkan bunyi 
menderu teras karena didorong tenaga dalam kuat. 

Hanya dengan melangkahkan kaki kanan dan ke 
belakang, Empu Pradaga telah membuat semua serangan 
Sumini kandas. Kemudian kate k berpakaian putih itu- 
mengulurkan kedua tangan ke arah pinggang Sumini seperti 
hendak memeluk. 

Tappp! 

"Ikh!" 

Sumini memekik tertahan ketika pergelangan tangan 
kanannya tercekal Empu Pradaga yang bergerak demikian 
cepat. Hal itu dilakukan ketika Sumini menarik tubuhnya 
mengelak dari pelukannya. 

Meskipun demikian, Sumini tidak gugup. Buru-buru 
ditarik tangannya. Namun kalah cepat! Karena begitu 
tangannya tercekal Empu Pradaga, langsung melakukan 
gerakan lanjutan. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu 
kedua tangan kakek berpakaian putih itu telah menangkap 
kedua pinggang Sumini. 

Kelanjutan kejadian yang tidak tersangka-sangka ini 
membuat Sumini gugup. Sungguh pun demikian, karena 
telah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan lawan, 
Sumini mengerahkan tenaga untuk memperberat tubuhnya. 

Untuk ke sekian kalinya Sumini harus menelan 
kenyataan pahit. Usahanya gagal. Tubuh gadis itu terangkat 
ke atas dan Empu Pradaga memutar- mutamya sambil 
tertawa bergelak. 

Sumini tidak berdaya untuk berbuat apa pun ketika 
tubuhnya diputar-putar beberapa saat. Akhirnya kakek 
berpakaian putih itu melemparkannya ke depan dengan 
mengerahkan tenaga dalam. 

Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Sumini meluncur 
jauh ke depan akibat tenaga lemparan yang kuat itu. Namun, 
kali ini Sumini mampu mempertujukkan kalau dirinya tidak 
mudah dijadikan pecundang. Dengan manis diabeijungkir 
balik di udara, kemudian membalik dengan tenaga lontaran 
yang masih mendorongnya. Sehingga tubuhnya meluncur ke 
arah lawan, dan berdiri di depannya. 

Empu Pradaga membelalakkan sepasang mata heran 
melihat lawan mampu menggagalkan lemparannya. Sama 
sekali tidak disangka kalau Sumini mampu melakukan hal 
seperti itu. Semula kakek berpakaian putih ini menduga 
kalau tubuh Sumini akan melayang jauh dan akhirnya 
menumbuk pohon yang berada tak jauh dari situ. 

"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus...! Rupanya kau memiliki 
sedikit kepandaian juga, Anak Manis?! Baik, kita bersenang- 
senang dulu sebelum kau terpaksa ikut pergi denganku!" 
ucap Empu Pradaga, penuh perasaan gpmbira. 

Sumini yang telah berhasil memperbaiki 
kedudukannya, dan berdiri tegak berhadapan dengan kakek 
berpakaian putih itu, tidak mempedulikan ucapan yang 
tertuju padanya. Menyadari kalau lawan kali ini memiliki 
kepandaian tinggi, dicabut pedangnya. Sebagai seorang putri 
raja pedang, dengan pedang di tangannya itu Sumini tidak 
ubahnya seekor harimau bersayap. 




Serangan-serangan Sumini, benar-benar 
menakjubkan. Bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat 
sekarang hanya sinar-sinar berkilauan laksana halilintar 
menyambar-nyambar ke arah Empu Pradaga. Kadang- 
kadang, sinar itu memecah seperti membuat jalan sendiri- 
sendiri, tapi semuanya menuju ke satu arah, Empu Pradaga! 

"Hebat..!" 

Di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan, 
Empu Pradaga masih sempat mengeluarkan pujian. Kakek 
berpakaian putih ini sebenarnya merasa kagum menyaksikan 
permainan ilmu pedang Sumini 

Dengan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam 
yang luar biasa, Sumini benar-benar menggiriskan hati. 
Namun, toh Empu Pradaga mampu menangkal setiap 
serangannya. Tubuh kakek itu bagaikan asap, berkelebatan 
ke sana kemari di antara sambaran pedang Sumini. Ke mana 
saja pedang lawan menyambar, selalu berhasil dielakkan. 

Sumini menggertakkan gigi karena kesal ketika 
sampai empat puluh jurus melancarkan serangan, tak satu 
pun mengenai sasaran. Dan yang lebih menjengkelkan 
hatinya, kate k berpakaian putih itu belum melancarkan 
serangan sama sekali. 

Tiba-tiba Empu Pradaga menggeram keras laksana 
seekor harimau tengah murka. Getaran suaranya membuat 
Sumini terkejut. Dadanya terasa tergetar hebat, bahkan 
kedua kakinya menggigil. Sebelum dia sempat berbuat lebih 
jauh, tangan kakek itu telah bergerak. Sumini memekik 
tertahan ketika merasakan tangannya yang menggenggam 
pedang terasa lumpuh. Dia tidak mampu mencegah sama 
sekali ketika Empu Pradaga mengulurkan tangan merampas 
pedangnya. 

Wajah Sumini seketika pucat. Kenyataan ini 
menyadarkannya kalau Empu Pradaga benar-benar memiliki 
kepandaian tinggi. Dia mulai merasa gentar. Baru sekali ini 
ditemukannya lawan yang memiliki kepandaian tinggi. 

"Bagaimana, Anak Manis?" tanya Empu Pradaga 
dengan senyum mengejek sambil menimang-nimang pedang 
Sumini. 

Sumini mundur-mundur ketika Empu Pradaga 
melangkah perlahan ke arahnya. Dengan pedang di tangan 
saja dia tidak mampu menghadapi kakek yang luar biasa ini, 
apalagi tanpa senjata. Dia akan dapat dikalahkan secara 
mudah. 

"Subranta,..! Sungguh kau tidak tahu malu berani 
mengganggu seorang bocah ingusan...." 

Mendadak terdengar suara seseorang yang membuat 
Empu Pradaga terkejut. Begitu juga Sumini. Diam-diam 
perasaan gembira menyeruak di hati gadis berpakaian kuning 
ini karena mengenai pemilik suara itu. Pemilik suara inilah 
yang dulu membuatnya lolos dari Dewa Arak. Seorang 
perempuan tua berpakaian hitam yang sebenarnya nenek 
kandung Sumini. 

Tiba-tiba pula terdengar angin berkesiutan, dan di 
tengah-tengah antara Sumini dan Empu Pradaga, berdiri 
seorang nenek berpakaian hitam. 

"Kau...?!" Empu Pradaga membelalakkan mata 
keheranan. "Kau masih hidup?! Kau tidak mati?! Kau 
selamat, Durgandini?" 

"Ya," sahut nenek berpakaian hitam yang ternyata 
bernama Durgandini. "Tapi tidak dengan cara seperti yang 
kau lakukan, Subranta?! Mengorbankan banyak nyawa tidak 
berdosa! Dan sekarang kalau aku tidak segera datang, 
mungkin cucuku pun akan menjadi korban kebiadaban mu!" 

"Ah...!" Subranta alias Empu Pradaga terperanjat. 
"Jadi, bocah ini cucumu?! Kalau begitu Raja Ftedang Langit 
Bumi anakmu?!" 

"Mengapa? Kaget?" 

"Terus terang kukatakan iya, Durgandini. Tapi, aku 
tidak mau mengurus hal-hal kecil semacam itu. Yang 
penting, sekarang aku butuh cucumu ini! Menyingkirlah kau, 
Durgandini, jangan sampai aku lupa kalau kita pernah 
mempunyai hubungan baik!" 

"Lupakanlah hal itu, Subranta! Apa pun yang teijadi, 
aku tidak akan membiarkan cucuku jadi korban 
kebiadaban mu!" tegas Durgandini mantap. 

"Sumini! Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan 
dirimu!" 

"Tapi, Nek...!" Sumini masih mencoba membantah. 

"Cepat pergi kataku!" sergah Durgandini. Ketika 
Sumini hendak memberikan tanggapan lagi, Empu Pradaga 
alias Subranta telah menggeram hebat dan menubruk 
Durgandini dengan kedua tangan terpentang, seperti 
layaknya seekor harimau menerkam mangsanya. 

Kedahsyatan serangan ini membuat Sumini melompat 
mundur, tapi tidak demikian halnya dengan Durgandini. 
Dengan gagah berani nenek berpakaian hitam itu memapak 
datangnya serangan dengan kedua tangan hendak 
mencengkeram. 

Jglarrr...! 

Ledakan teras menggelegar seketika terdengar 
memekakkan telinga. Suasana di sekitar tempat itu bergetar 
hebat. Bahkan Sumini yang berada jauh dari tempat 
pertarungan pun merasakan sendiri kedahsyatan getarannya. 
Hal ini memaksa gadis berpakaian kuning itu untuk terus 
menjauhi dari tempat pertarungan karena menyadari 
bahayanya. 

Kini Sumini mulai mengetahui kekhawatiran 
neneknya, ketika melihat Durgandini terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang akibat benturan itu. Sumini 
tahu, tenaga dalam neneknya kalah kuat jika dibandingkan 
dengan Empu Pradaga. 

Sementara itu, Empu Pradaga tampaknya tidak main- 
main dengan ancamannya. Tanpa memberi kesempatan pada 
Durgandini untuk memperbaiki kedudukan, dia melakukan 
serangan susulan. Namun, Durgandini pun bukan orang 
yang gampang dipecundangi. Dengan cepat dia dapat 
mengelak, dan bahkan segpra melancarkan serangan tidak 
kalah dahsyat. Dia mulai mempergunakan payung yang 
menjadi senjata andalannya. 

Sesaat kemudian bentuk tubuh kedua tokoh sakti 
yang sama-sama tua itu lenyap. Sehingga yang tampak hanya 
bayangan hitam dan putih saling berkelebatan saling 
membelit. Pandangan mata Sumini yang tajam dapat melihat 
kalau Empu Pradaga memang terlalu tangguh untuk dilawan. 
Menginjak jurus ketiga puluh, dilihatnya Durgandini telah 
dapat bermain mundur. Serangan-serangan yang 
dilakukannya sudah mulai berkurang. Hanya mengelak dan 
menangkis yang dilakukan, bahkan menangkis pun sesekali 
saja karena merugikannya. 

Dalam keadaan terdesak, rupanya Durgandini masih 
sempat melihat kalau Sumini belum meninggalkan tempat 
itu. Maka dikeluarkan seruan-seruan untuk memaksa 
Sumini meninggalkan tempat itu secepatnya. 

Hal itu amat berbahaya, dan hampir saja tindakan 
yang cukup membagi perhatian ini membuatnya kehilangan 
nyawa. Sumini tahu kalau dia tetap di sini, neneknya akan 
menghadapi bahaya besar karena selalu 
mengkhawatirkannya. Maka meskipun tidak sampai hati, 
dikeraskan perasaan untuk meninggalkan tempat ini. 

Sungguhpun demikian, karena rasa khawatirnya yang 
masih berkecamuk, Sumini berkali-kali menolehkan kepala 
berusaha melihat keadaan neneknya. Tindakan itu 
dihentikan ketika tubuh kedua orang yang bertempur tidak 
terlihat lagi. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning itu 
tiba di kerimbunan semak-semak belukar. 

Baru saja deru napas Sumini mereda, terdengar bunyi 
berkerosakan yang semakin lama semakin keras pertanda 
ada sesuatu yang tengah mendekati tempatnya dengan 
menerobos kerimbunan semak-semak. Sumini merasakan 
jantungnya berdetak cepat lagi. 

"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?! Jangan harap 
dapat lolos dari tanganku! Aku tahu kau bersembunyi di 
sekitar tempat ini. Aku mencium baumu! Keluarlah, cepat! 
Sebelum aku kehilangan kesabaran dan merobek-robek 
tubuhmu sampai hancur...!" 

Sumini bukan seorang gadis penakut. Namun 
mendengar ancaman itu kakinya menggigil keras karena 
ngeri. Apalagi ketika didengarnya bunyi mendengus-dengus, 
seperti seekor anjing pelacak tengah mencari jejak. 
Kekhawatiran Sumini semakin memuncak! Suara dan bunyi 
mengendus-endus itu terdengar demikian dekat 

"Keluarlah kau, Bangsat Kecil!" 

Berbareng keluarnya teriakan itu, serentak angin 
keras berhembus. Semak-semak tempat sembunyi Sumini 
tercabut sampai ke akar-akarnya, bagai ditarik oleh tangan- 
tangan raksasa gaib. 

Hampir Sumini copot jantungnya ketika melihat 
tempat persembunyiannya dihancurkan. Apalagi ketika 
melihat Empu Pradaga dengan wajah dan sepasang mata 
yang semakin merah telah berdiri beberapa tombak di 
depannya. 

Meskipun demikian, Sumini tidak kehilangan akal 
untuk bertindak di saat-saat genting, dia masih ingat untuk 
menghentakkan tangannya melancarkan pukulan jarak jauh. 
Namun hanya dengan kibasan tangan kiri, Empu Pradaga 
yang tengan kalap membuat pupus serangan Sumini yang 
dahsyat itu. 

Sumini seakan tidak kuat berdiri karena hatinya 
ngeri. Dia tahu tidak ada jalan lolos lagi baginya untuk 
menyelamatkan selembar nyawa. Dan, Empu Pradaga yang 
tengah murka langsung menubruknya. Sumini tidak bisa 
bergerak lagi. Dengan rasa putus asa matanya terpejam, 
pasrah pada kenyataan yang akan menimpanya. 

Tapi, serangan Empu Pradaga tidak kunjung datang. 
Bahkan dia mendengar adanya seruan teras diikuti dengan 
berdesimya angin keras. 

"Pradaga...! Keparat keji, terimalah ajalmu! Heaaa...!" 

Sebuah benturan keras langsung terdengar ketika 
teriakan itu belum lenyap gemanya. Benturan yang membuat 
tempat berpijak Sumini tergetar hebat seperti terlanda 
gempa. Dan ketika gadis berpakaian kuning itu membuka 
mata dilihatnya sesosok tubuh berpakaian abu-abu melayang 
deras ke belakang, bahkan melewati kepalanya. Sementara 
Empu Pradaga hanya terhuyung-huyung beberapa langkah. 

Namun sosok berpakaian abu-abu itu rupanya bukan 
tokoh sembarangan. Dia mampu mematahkan kekuatan yang 
membuat tubuhnya terlontar, lalu meluruk kembali ke arah 
Empu Pradaga yang baru saja hendak menerkam Sumini lagi. 

"Keparat jahanam!" Empu Pradaga menggeram seperti 
harimau luka yang membuat dada Sumini tergetar keras. 
"Siapa kau, Anjing Kudisan! Sungguh berani mati kau 
mencampuri urusanku!" 

"Kaulah yang harus mati di tanganku, Pradaga! Demi 
membalas kematian murid-muridku yang telah kau bantai 
dan jadikan korban kebiadanmu yang terkutuk itu!" sahut 
kakek berpakaian abu-abu. Ingatkah kau akan perguruan 
kecil wanita di leher Gunung Welirang? Nah, akulah guru 
mereka. Kau telah melakukan kekejian iblis di saat aku tak 
ada di sana! Sekarang terimalah balasanku, Iblis Keji!" 

"Jadi, kau Barnaba?! Rupanya kau ingin menyusul 
murid-muridmu, heh?! Baiklah, terimalah kematianmu, 
Barnaba!" 

Empu Pradaga melancarkan serangan berturut-turut 
dengan kedua tangannya yang tertepai keras. Tapi, Barnaba 
mengelakkan serangan dengan membanting tubuh ke tanah 
dan bergulingan menjauh. 

"Menyingkirlah, Sumini! Pergi, tinggalkan tempat ini! 
Cari Dewa Arak dan minta perlindungan padanya! Iblis keji 
ini akan menjadikanmu korban kebiadaban nafsunya!" seru 
Barnaba sambil terus menggulingkan tubuh. 

Sumini tidak langsung mematuhi seruan itu. Hatinya 
berperang antara mengikuti perintah itu atau menyerang 
orang yang telah membunuh ayahnya. 

Dan Barnaba pun rupanya mengetahi keragu-raguan 
Sumini. Maka sambil bergulingan mengelakkan serangan 
maut Empu Pradaga, dia kembali berseru, "Pergilah, Sumini! 
Cepat! Percayalah, bukan aku yang membunuh ayahmu! 
Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Dewa Arak. Dia 
tahu pembunuhnya!" 

Kali ini Sumini tidak berani membuang waktu lebih 
lama. Dia merasakan adanya kesungguhan dalam ucapan 
kakek berpakaian abu-abu itu. Maka sambil menggertakkan 
gigi untuk lebih menambah kekuatan tenaga dalamnya, 
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya 
ingin menjumpai Dewa Arak untuk meminta pertolongan 
sekaligus keterangan mengenai ayahnya. 


•k-k-k 


Barnaba harus berjuang keras untuk menanggulangi 
serangan gencar Empu Pradaga. Harus diakuinya kalau saat 
ini kepandaiannya belum dapat diandalkan untuk dapat 
membalas dendam. Empu Pradaga memang seperti bukan 
manusia lagi. Serangan-serangan Barnaba baik pukulan 
maupun tendangan tidak dirasakan sama sekali. Beberapa 
kali serangannya mendarat di berbagai bagian tubuh lawan, 
tapi hanya mampu membuat Empu Pradaga terhuyung- 



huyung sebentar, kemudian kembali sigap seperti sediakala. 
Tidak terlihat kalau pukulan dan tendangannya berpengaruh. 

Sebaliknya, Barnaba harus berhati-hati menghadapi 
setiap serangan balasan Empu Pradaga. Karena, jangankan 
terkena secara telak, baru terserempet angin serangannya 
saja sudah cukup untuk membuat tubuh Barnaba 
terhuyung-huyung seperti diseruduk seekor banteng. 

Sadar akan ketinggian ilmu lawannya Barnaba tidak 
ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedangnya yang beracun. 
Dan setelah pedang itu dikeluarkan Empu Pradaga tidak 
berani menerima serangan. Rupanya dia telah mengetahui 
kalau pedang Barnaba mengandung racun yang tidak terkira 
ganasnya. 

Dengan pedang beracun di tangan, Barnaba dapat 
bernapas lebih lega. Empu Pradaga tidak bisa bersikap 
seperti sebelumnya, mengacuhkan setiap serangan. 
Sekarang, kakek berpakaian putih itu bertarung seperti 
layaknya, terkadang mengelak dan sesekali melancarkan 
serangan balasan. 

Lima puluh jurus telah berlalu. Selama itu Empu 
Pradaga tidak bisa melakukan tindakan berarti. Barnaba 
masih mampu melakukan perlawanan sengit. Empu Pradaga 
tidak mampu melakukan desakan karena lawan mampu 
mempergunakan pedang beracunnya di saat yang tepat. 

Wajah Empu Pradaga merah padam karena geram. 
Sambil mendengus segera dikeluarkan senjata andalannya, 
berupa seuntai tasbih. Kehebatannya tidak terperikan. 
Bentuk tasbih itu lenyap ketika digerakkan. Yang tampak 
kini hanya segulungan sinar putih yang meluncur ke arah 
Barnaba. 

Hanya dengan beberapa gerakan, dihitung dari Empu 
Pradaga menggunakan senjata, Barnaba dibuat kelabakan. 
Permainan tasbih Empu Pradaga benar-benar membuatnya 
bingung. Tasbih itu terkadang lepas dari tangan memburu 
dan menyambar tubuh lawan tapi kemudian bisa kembali lagi 
ke pemiliknya. 

Trakkk! 

"Aaakh...!" 

Barnaba mengeluarkan jeritan tertahan ketika tasbih 
Empu Pradaga membelit batang pedangnya. Dicobanya untuk 
melepaskan senjata andalan itu dari belitan senjata lawan. 



Tapi sia-sia. Sebelum Bamaba sempat berbuat sesuatu, 
Empu Pradaga mengirimkan serangan maut 1$ arah ulu hati 
dengan tusukan jari-jari tangan kirinya. 

Barnaba segera melangkah mundur seraya 
melakukan tarikan terhadap senjatanya agar dapat lepas dari 
belitan senjata lawan. Tindakan ini membuat tubuh, 
terutama bagian atas tergeser ke belakang sejauh beberapa 
kaki. Ini membuat jari-jari tangan Empu Pradaga tidak akan 
bisa menyentuh sasaran. 

Namun perhitungan Barnaba meleset sama sekali. 
Tangan Empu Pradaga terus mengejar dan akhirnya berhasil 
menembus ulu hatinya. Padahal Barnaba telah berusaha 
keras untuk mengelakkannya. Ternyata tangan Empu 
Pradaga bisa memanjang hampir dua kali lipat ukurannya. 
Inilah yang menyebabkan elakan Barnaba sia-sia. Dan kakek 
berpakaian abu-abu itu menjerit teras, ketika jari-jari tangan 
Empu Pradaga menembus dadanya hingga menimbulkan 
muncratan darah segar membasahi tubuhnya. 

Tanpa mempedulikan lawannya lagi, Empu Pradaga 
segera melesat untuk mengejar Sumini. 




Empu Pradaga yang sudah kalap itu berlari secepat- 
cepatnya sehingga kedua kakinya seperti tidak menapak 
tanah. Namun setelah beberapa saat lamanya berlari, kakek 
berpakaian putih ini menurutkan alis ketika melihat ada 
sesosok tubuh yang juga bergerak cepat. Hanya saja arah 
yang ditempuh sosok itu berlawanan dengannya. 

Karena kedua belah pihak bergerak saling mendekati, 
hanya dalam waktu sesaat saja, jaraknya telah semakin 
dekat. Dan Empu Pradaga menggeram hebat ketika melihat 
secara jelas kalau sosok yang bergerak cepat mendekatinya 
ternyata, Dewa Arak. 

Dan kegeraman Empu Pradaga semakin menjadi-jadi 
ketika melihat Dewa Arak sepertinya sengaja menghadang 
pe ij alan an nya. 

"Hendak ke mana, Empu?! Dan mengapa terburu- 
buru sekali?!" tanya Dewa Arak yang telah berdiri 
menghadangnya dijalan. "Ke mana Sumini?" 

Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak sebuah 
hentakkan kedua telapak tangan yang menimbulkan bunyi 
angin keras. Apabila mengenai sasaran mampu membuat 
tubuh hancur lebur, dan itu diketahui secara pasti oleh Dewa 
Arak. Pendekar muda itu segera melompat ke atas, sehingga 
serangan lewat di bawah kakinya. 

Empu Pradaga benar-benar tengah mengejar waktu. 
Begitu melihat Dewa Arak melompat kc atas, dia langsung 
melesat lari menerobos tempat Dewa Arak semula berada. 

Namun Dewa Arak tidak kalah cerdik. Ketika 
tubuhnya masih berada di atas langsung berputar tepat di 
saat Empu Pradaga tengah melewati tempatnya. Kedua 
tangannya diayunkan ke arah ubun-ubun kepala kakek 
berpakaian putih itu. 

Dewa Arak langsung melancarkan serangan maut. 
Dan itu bukan tanpa alasan karena dia telah mengetahui 
secara pasti siapa sebenarnya Empu Pradaga ini! 

Begitu meninggalkan Barnaba yang saat itu tengah 
terluka. Dewa Arak memacu larinya secepat mungkin. 

Maksudnya agar segera tiba di tempat pertapaan Empu 
Pradaga di sebelah selatan lereng Gunung Anjasmoro. 

Cukup lama Dewa Arak berlari cepat ketika 
pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi 
rintihan dari sebelah kanannya. Semula, pemuda berambut 
putih keperakan itu bermaksud membiarkannya saja 
mengingat dia sendiri tengah mengejar waktu. Namun, naluri 
kependekarannya tidak bisa diajak melakukan hal seperti itu. 
Maka, Aiya membelokkan arah, dan berlari menuju tempat 
suara rintihan itu berasal. 

Hanya beberapa kali lesatan, Dewa Arak telah berhasil 
mengetahui asal dan pemilik suara rintihan itu. Dan begitu 
melihatnya, Aiya sempat terperanjat. Langkahnya seketika 
terhenti di tengah jalan. Pemilik suara rintihan itu 
dikenalinya betul, nenek berpakaian hitam yang telah 
menyebabkan Sumini terpisah darinya, Durgandini. 

Durgandini juga melihat kedatangan Dewa Arak 
meskipun tubuhnya saat itu terkapar berlumur darah. 
Pendengarannya yang tajam, menangkap bunyi langkah kaki 
Dewa Arak dan ditolehkan kepalanya. Begitu dilihatnya 
pemuda itu, wajahnya tampak berseri gembira. 

"Dewa Arak...! Syukur kau datang, cepat selamatkan 
Sumini! Dia terancam bahaya mengerikan!" 

Seruan Durgandini membuat Dewa Arak 
mengernyitkan kening karena heran. Sebagai seorang 
pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia 
persilaan, dia dapat merasakan adanya nada kekhawatiran 
dalam ucapan nenek berpakaian hitam ini. Dan hal itu 
membuatnya merasa heran. Mengapa, Durgandini merasa 
khawatir akan nasib Sumini. 

Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam 
alun pertanyaan seperti itu. Begitu mendengar nama Sumini 
disebut, dia langsung melupakan tindakan Durgandini yang 
waktu itu telah menyebabkan Sumini lolos darinya? 
Keselamatan Sumini saat itu jauh lebih penting daripada 
meribiitkan masalah yang telah lalu! 

"Apa yang teijadi dengan Sumini? Aku tahu kalau 
Sumini pergi dengan Empu Pradaga yang berhati keji! Lalu, 
sekarang di mana dia?" tanya Dewa Arak tak sabar. 

"Kau sudah tahu hal itu, Dewa Arak?" tanya 
Durgandini setengah tidak percaya. 



"Aku sudah tahu dari Barnaba! Jangan buang-buang 
waktu, cepat katakan ke mana Sumini dibawa pergi!" 

"Sumini berhasil kuselamatkan dari tangan jahat 
Empu Pradaga itu. Aku bertarung dengannya dan kalah. 
Untung saja karena dia tengah terburu-buru aku tidak 
sempat dibunuhnya. Dia lebih mementingkan mengejar 
Sumini berlari ke arah sana!" 

"Siapakah kau ini, Nek?" tanya Dewa Arak tak kuasa 
menahan perasaan ingin tahunya. 

"Aku nenek kandung Sumini. Raja Pedang Langit 
Bumi adalah anakku!" 

"Ah...!" 

Dewa Arak kaget karena hal itu benar-benar tidak 
disangkanya. "Bisa kutinggalkan kau sebentar, Nek?! Kalau 
saja aku tidak tengah beradu cepat dengan waktu, dan 
Sumini tidak berada dalam keadaan gawat, aku akan 
menungguimu di sini sampai keadaanmu pulih seperti 
sediakala." 

"Tidak usah kau pedulikan aku, Dewa Arak! Aku tidak 
apa-apa. Yang penting, selamatkan Sumini." 

Dewa Arak sudah tidak sempat lagi mendengar 
sambutan Durgandini karena langsung melesat cepat 
meninggalkannya. Dan ternyata arah yang ditunjukkan 
nenek berpakaian hitam itu tidak keliru sama sekali. Baru 
beberapa saat berlari, di kejauhan dilihatnya sesosok tubuh 
tengah melesat cepat mendekati tempatnya berada. Dan tak 
lama kemudian Aiya tahu kalau sosok itu Sumini adanya. 

"Sumini! Syukurlah kau selamat!" seru Aiya seraya 
menghadang di depan Sumini yang tampak pucat pasi. "Di 
mana Empu Pradaga itu?! Dan mengapa kau lari kembali ke 
tempat semula. Cepat kau tolong nenekmu!" 

"Em... pu Pra... da... ga tengah berta... rung dengan 
Bar... naba...," jawab Sumini dengan suara terputus-putus 
karena napasnya yang terengah disebabkan rasa takut dan 
tegang. 

Perasaan takut dan tegang membuat Sumini tidak 
bisa memperhatikan arah lagi. Yang dipikirkannya berlari 
sejauh-jauhnya dari Empu Pradaga yang mengerikan. Sama 
sekali tidak sempat diingat kalau dia menuju ke tempat yang 
semula ditinggalkannya. Sehingga dia berpapasan dengan 
Dewa Arak. 

"Kau mau ke mana, Dewa Arak?" tanya Sumini ketika 
melihat Dewa Arak melesat ke tempat yang baru 
ditinggalkannya. Tempat Empu Pradaga dan Bamaba tengah 
bertarung keras. 

"Menjumpai Empu Pradaga dan menghentikan 
perbuatan kejinya yang telah meienggut nyawa tidak 
berdosa," jawab Aiya pelan, tapi mantap. 

"Lebih, baik kau urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar 
Sumini tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatir atas 
keselamatan Dewa Arak. "Akan sangat berbahaya bagi 
keselamatanmu. Empu Pradaga bukan manusia lagi, dia iblis! 
Kepandaian yang dimilikinya benar-benar tidak lumrah 
manusia! Kau akan tewas di tangannya, Dewa Arak!" 

"Biarlah kalau itu memang sudah nasibku, Sumini! 
Aku rela mempertaruhkan nyawa demi membasmi orang 
seperti Empu Pradaga!" 

Kemudian, tanpa menunggu jawaban Sumini, Dewa 
Arak melesat menuju tempat yang baru ditinggalkan Sumini. 
Dan akhirnya dia melihat Empu Pradaga yang tengah berlari 
cepat ke arahnya. Dari kenyataan ini saja dia sudah bisa 
menduga nasib yang diterima Barnaba. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi dan tanpa pikir 
panjang, Dewa Arak segera mengirimkan serangan maut. 
Sudah bisa diperkirakannya ketinggian ilmu Empu Pradaga 
dengan keberhasilannya mengalahkan Durgandini dan 
Bamaba. 

Namun serangan Dewa Arak kandas ketika Empu 
Pradaga dengan cepat merendahkan tubuhnya. Bahkan 
kakek berpakaian putih itu mampu mengirimkan serangan 
tidak terduga. Kaki kanannya ditendangkan ke belakang, 
seperti seekor kuda yang tengah menyepak! 

Karena tidak ada kesempatan untuk mengelak, Dewa 
Arak pun menangkisnya dengan kedua tangannya 
disilangkan. 

Dukkk! 

"Eh...!" 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 
segera mengirimkan serangan maut ke arah Empu Pradaga. 

Namun, serangan Dewa Arak kandas ketika kakek itu 
merendahkan tubuhnya. 

Dewa Arak menyeringai ketika sekujur tangannya 
terasa lumpuh, dan tubuhnya tergetar hebat. Di samping itu 
dia terpental kembali ke udara. Namun, Dewa Arak tak 
mudah untuk ditundukkan, pertarungan sengit pun 
berlangsung. 

Baru beberapa jurus saja, Dewa Arak telah me¬ 
ngetahui kebenaran Sumini mengkhawatirkan nasibnya. 
Empu Pradaga ternyata benar-benar lihai! Setiap kali terjadi 
benturan antara mereka, baik kaki maupun tangan selalu 
membuat tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang dengan 
rasa sakit yang menjalar 1$ sekujur tubuh. Sementara lawan 
hanya tergetar saja tubuhnya. 

Namun hal itu belum membuat Dewa Arak merasa 
takjub. Yang membuat pemuda berambut putih keperakan 
itu merasa kagum hanya ketika mengetahui lawan tidak 
pernah menalakkan setiap serangan yang mengarah 
berbagai bagian tubuhnya. Setiap serangan baik pukulan 
maupun tendangan yang mengenai berbagai bagian 
tubuhnya, tidak berpengaruh banyak. Tubuh Empu Pradaga 
hanya tergetar sedikit. Setelah itu kakek berpakaian putih ini 
langsung melancarkan serangan dahsyat. Hanya dalam 
beberapa jurus, Dewa Arak sudah dipaksa untuk 
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Pendekar muda itu 
merasa kewalahan. Setiap serangan tidak berarti bagi lawan, 
sedangkan serangan lawan membuatnya terpontang-panting. 

Dan setelah Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang 
Sakti' keadaannya jauh lebih menguntungkan daripada 
sebelumnya. Setidak-tidaknya dia tidak terlalu terpontang- 
panting dalam mengelakkan serangan. Dengan jurus 
'Delapan Langkah Belalang', serangan-serangan Empu 
Pradaga tidak terlalu sulit untuk dipupuskan. 

Namun Dewa Arak tetap saja terdesak ketika Empu 
Pradaga mulai menggunakan tasbihnya. Tasbih itu mampu 
saling bantu dengan tangan kiri yang senantiasa 
mengirimkan serangan berupa pukulan jarak jauh. Pukulan 
dahsyat yang membuat tanah, batu, dan pohon yang terkena 
sasaran hancur be-rantakan. 

"Hea...!" 

Duk! 

"Heaps...!" 

Tubuh Aiya terdorong jauh ke belakang ketika 
menangkis dengan guci tendangan Empu Pradaga yang 
mengarah ke perut. 

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Empu 
Pradaga. Dengan sinar mata bengis, dia bersiap melancarkan 
serangan mematikan. Namun, tindakannya mendadak 
tertahan ketika terdengar bunyi berdesing nyaring diikuti 
meluncurnya beberapa bilah pisau 1$ arah mata, 
tenggorokan, dan ulu hati. 

"Heh...! Haits...!" 

Sambil mengeluarkan pekikan tertahan, Empu 
Pradaga cepat menundukkan tubuh. Sehingga serangan dua 
bilah pisau yang mengarah sepasang mata lewat di atas 
kepalanya. Yang mengancam tenggorokan langsung 
tertangkap mulutnya. Sedangkan yang mengarah ulu hati 
disampokkan sehingga kembali ke tempat semula. 

Empu Pradaga belum sempat berbuat sesuatu, 
sesosok bayangan kuning melesat diiringi bunyi berdesing 
nyaring. Seleiet sinar berkilauan yang ternyata sebilah 
pedang meluncur ke tenggorokan Empu Pradaga. 

Trak! 

Dengan kecepatan yang mengagumkan Empu Pradaga 
berhasil menangkis pedang sosok bayangan kuning dengan 
tasbih, dan membelitnya. Tidak hanya sampai di situ, dengan 
satu sentakan, Empu Pradaga membuat tubuh sosok 
bayangan kuning itu tertarik ke depan. Kemudian 
disambutnya dengan gedoran telapak tangan kiri terbuka. 

"Uh...!" 

Sosok bayangan kuning yang ternyata Sumini 
terpekik. Namun berkat kelihaiannya, dia mampu 
menghentakkan kaki sehingga tubuhnya melenting ke atas 
dan serangan itu pun lewat di bawahnya. 

Sebelum keadaan Sumini semakin buruk Dewa Arak 
telah melesat menyelamatkannya dengan mengirimkan 
serangan yang membuat Empu Pradaga mengalihkan 
perhatian dari Sumini. Ffertarungan yang jauh lebih sengit 
berlanjut. Empu Pradaga kini menghadapi dua orang lawan. 

Meskipun dikeroyok oleh Dewa Arak dan Sumini, 
Empu Pradaga tidak terdesak Perlawanan sengit tetap dapat 
diberikan. Bahkan Dewa Arak diam-diam kaget karena 
merasakan kepandaian Empu Pradaga sepertinya bertambah. 

Kalau semula, serangan-serangan pedang Sumini tidak 
ditangkisnya dengan tangan, sekarang dilakukan hal itu. 
Begitu juga terhadap serangan-serangan yang dikirimkan. 
"Ikh!" 

Sumini menjerit tertahan ketika pedangnya berhasil 
dicengkeram tangan kiri Empu Pradaga. Semula meskipun 
beberapa kali tertangkis, tak pernah di tercengkeram karena 
Sumini bertindak lebih cepat. 

Jeritan pendek Sumini kembali terdengar ketika 
Empu Pradaga menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu 
ikut tertarik ke depan. Kemudian dengan kecepatan yang 
sulit untuk diikuti mata, kakek berpakaian putih itu 
mengirimkan totokan 1$ arah bahu kanan. Sumini yang tidak 
sempat mengelak langsung roboh lemas. 

Melihat hal itu Dewa Arak yang tadi dipaksa mundur 
menjauh oleh serangan jarak jauh Empu Pradaga segera 
melesat untuk menolong Sumini. Namun dia kalah cepat, 
kakek berpakaian putih itu telah lebih dulu menyambar 
tubuh Sumini dan memondongnya. Kemudian dengan sekali 
menjejakkan kaki, tubuh Empu Pradaga telah lewat di atas 
kepala Dewa Arak dan terus melesat cepat meninggalkan 
tempat itu. 

Dewa Arak tidak tinggal diam, dan langsung 
melakukan pengejaran. Namun ternyata untuk kesekian 
kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu harus 
menelan pil pahit. Kecepatan lari Empu Pradaga benar-benar 
tidak terjangkau olehnya. Kedua kaki kakek berpakaian putih 
itu seperti tidak bersentuhan dengan tanah, melainkan 
melayang. Dewa Arak meskipun telah mengerahkan seluruh 
kecepatan lari, tetap saja tertinggal, dan semakin lama 
semakin jauh. 

Sungguhpun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. 
Dia terus melakukan pengejaran. Di dalam hati, dirinya 
menyayangkan tindakan Sumini yang datang untuk 
menolongnya. Meskipun diakui tanpa adanya Sumini 
mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka. 

Semangat Dewa Arak untuk melakukan pengtjaran, 
semakin membara ketika melihat sosok tubuh tengah terlibat 
dalam pertarungan. Memang masih terlalu kecil untuk 
diketahui, tapi menilik gerakan-gerakan yang dilakukan, bisa 
diketahui kalau sosok yang tengah terlibat dalam 
pertarungan sengit itu Empu Pradaga dan Durgandini. 

Sesaat kemudian, Aiya telah bisa membuktikan 
kebenaran dugaannya. Durgandini dan Empu Pradaga tengah 
terlibat dalam pertarungan. Namun dalam sekilas dia tahu 
kalau keadaan nenek berpakaian hitam itu amat gawat. 
Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari. Dia tidak 
sempat melakukan serangan balasan, hanya mampu 
mengelak dengan susah payah. 

"Hih!" 

Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya, 
melakukan serangan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan 
Belalang'. Seterika itu pula angin berhawa panas menyengat, 
meluruk ke arah Empu Pradaga yang tengah memburu dan 
menghujani Durgandini dengan serangan-serangan maut. 

Glarrr! 

Ledakan teras laksana petir menyambar terdengar 
ketika Empu Pradaga menghentakkan kedua tangan pula 
untuk memapak serangan Dewa Arak. Akibatnya tubuh Dewa 
Arak terjengkang ke belakang dan terguling-guling dengan 
dada dirasakan sesak. Bahkan, dari sudut bibirnya mengalir 
darah segar tanda kalau dia terluka dalam. Sementara tubuh 
Empu Pradaga hanya tergetar. 

Saat itulah Durgandini melompat bangun dan 
menusukkan payungnya ke perut Empu Pradaga. 

Begitu cepat, payung itu dikembangkan. 

Pyarrr! 

Payung Durgandini langsung hahcur berantakan 
ketika tangan Empu Pradaga menangkisnya. Padahal, payung 
itu bukan senjata sembarangan melainkan pusaka yang 
sangat ampuh. Tubuh Durgandini pun terpental ke belakang. 

"Bertahanlah, Dewa Arak!" ujar Durgandini sambil 
mengerling Arya yang berada di sebelahnya. "Sebentar lagi 
kita akan memperoleh ke menangan." 

"Bagaimana kita akan memperolehnya, Nek?!" tanya 
Dewa Arak penuh perasaan tidak percaya. "Dia lihai sekali! 
Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang memiliki 
kepandaian setangguh ini!" 

"Lupakanlah hal itu, Dewa Arak!" sergah Durgandini 
cepat. "Sekarang yang penting kita harus memberikannya 
kejutan terakhir yang membuatnya pergi ke alam baka.... Kita 
gabungkan kekuatan! Kau siap?!" 

Tanpa menunggu persetujuan, Durgandini berdiri di 
belakang Dewa Arak dan menempelkan kedua tangannya ke 
punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Seketika 
Dewa Arak merasakan aliran kekuatan dahsyat yang 
menjalar dari kedua tangan yang menempel di punggung. 
Pendekar muda itu pun memusatkan kekuatan untuk 
mengalirkan tenaga dahsyat Durgandini ke pusar. 

"I Iih!" 

Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke 
depan. Dan segulungan angin dahsyat yang jauh lebih keras 
hembusannya dari sebelumnya, menyambar ke arah Empu 
Pradaga yang tengah terhuyung-huyung akibat serbuk- 
serbuk yang menyebar dari payung Durgandini yang hancur. 

Nenek berpakaian hitam itu menaruh serbuk-serbuk 
di payungnya. Serbuk yang mampu membuat orang pingsan 
seketika itu. Tapi, Empu Pradaga ternyata hanya terhuyung- 
huyung dan pusing beberapa saat karena begitu serangan 
Dewa Arak meluncur dia sudah sadar. Seperti semula, tanpa 
ragu dipapaknya serangan itu dengan hentakan kedua 
tangannya pula. 

Glarrr! 

Bunyi yang jauh lebih keras dari sebelumnya pun 
terdengar ketika dua hembusan angin dahsyat bertabrakan di 
udara. Tubuh Dewa Arak dan Durgandini serta Empu 
Pradaga sama-sama terhempas deras ke belakang seperti 
daun diterbangkan angin. Mereka jatuh terguling-guling, tapi 
segera bangkit meski dengan kepala digeleng-gelengkan 
akibat rasa pusing yang melanda. 

"Aaakh...!" 

Empu Pradaga mengeluarkan jeritan melengking 
tinggi dan menyayat hati. Tubuhnya ambruk ke tanah. 
Sekujur tubuhnya basah bersimbah darah yang keluar dari 
hidung, mulut, telinga, dan matanya. Lelaki tua beijubah 
putih itu seketika tewas dengan tubuh berubah merah bagai 
udang rebus. 

"Apa yang terjadi?! Mengapa dia tewas, Nek?!" tanya 
Dewa Arak, heran. 

"Ilmu yang dituntutnya, Dewa Arak," jawab 
Durgandini kalem. 

Kemudian secara singkat Durgandini menceritakan 
pada Dewa Arak. Empu Pradaga yang nama sebenarnya 
Subranta adalah kakak seperguruannya. Dulu, puluhan 
tahun lalu, bersama-sama dengan Durgandini menuntut ilmu 
mukjizat yang mampu membuat tenaga dalam meningkat 
pesat dan memiliki penciuman setajam anjing pelacak. 
Sehingga tahu di mana adanya orang yang dicari. Selain itu 
tubuhnya akan tebal segala macam senjata. 

Sayang, ilmu itu menuntut adanya pengorbanan 
manusia. Korban yang dibutuhkan adalah wanita dan lelaki 
muda belia. Empu Pradaga membutuhkan wanita, sedang 
Durgandini membutuhkan lelaki. Korban-korban itu diambil 
darahnya. 

"Aku berhasil melepaskan diri dari ketergantungan 
terhadap lelaki dengan bantuan suamiku. Tidak demikian 
halnya dengan Subranta. Akhirnya dia sial sendiri. Korban 
yang baru dicicipinya ternyata sudah tidak perawan lagi, 
akibatnya nyawanya terancam. Itulah sebabnya dia mencari- 
cari Sumini. Seorang gadis sesakti Sumini mempunyai darah 
yang bagus! Puluhan bahkan ratusan kali lebih bagus dari 
darah wanita lain." 

"Kini aku mengerti, Nek. Sepasang mata dan wajah 
Empu Pradaga yang merah tidak teijadi secara sewajarnya." 

"Benar. Semakin merah, berarti waktu hidupnya 
semakin sedikit, karena semakin banyak bagian tubuhnya 
keracunan akibat darah wanita yang tidak suci itu." 

"Pantas dia begitu bersemangat untuk mendapatkan 
Sumini," Aiya mengangguk-anggukkan kepala seraya 
menatap tubuh Sumini tergolek di sebatang bawah pohon. 

"Sayang," desah Aiya. "Dengan matinya Empu 
Pradaga tidak ada yang tahu siapa pembunuh Raja Ftedang 
Langit Bumi." 

"Empu Pradaga pembunuhnya. Dia mengakuinya 
padaku, Dewa Arak. Raja Pedang Langit Bumi memergokinya 
ketika tengah melakukan tindakan biadab terhadap wanita 
korbannya. Itulah sebabnya ayah Sumini bermaksud 
merobek surat yang dibuat sebelumnya. Rupanya anakku 
baru tahu kalau Subranta menginginkan Sumini untuk 
dikorbankan. Subranta memang selalu menginginkan korban 
yang tidak dalam keadaan cemas dan ketakutan. Karena 
korban yang dalam keadaan tenteram batinnya lebih mampu 
menimbulkan kekuatan yang hebat, berlipat kali daripada 
yang tengah ketakutan...." 

Kemudian Durgandini pun tak lupa menceritakan 
kepada Dewa Arak, bahwa selama beberapa hari ini 
kemampun Sumini telah mengalami kemajuan pesat. Hal itu 
teijadi karena adanya perubahan dari kekuatan racun aneh 
yang bersarang di tubuh Sumini menjadi tenaga dalam yang 
hebat. Dahulu ketika Sumini masih kecil, Durgandini sengaja 
menyuntikkan racun aneh ke tubuh cucunya itu. Maksudnya 
untuk melindungi tubuh Sumini. Sebab jika batin gadis itu 
mengalami rasa takut dan cemas, dengan sendirinya racun 
akan bekeija, bahkan mampu membunuh lawan secara 
mengerikan. 

Namun ketika mengetahui cucunya dalam bahaya, 
Durgandini dengan keahliannya telah mengubah racun di 
tubuh Sumini menjadi suatu kekuatan. Agar Sumini mampu 
menghadapi lawan yang akan menangkapnya. 

Kini Dewa Arak baru memahami keheranannya 
melihat Sumini dalam beberapa hari saja telah menguasai 
ilmu kemampuan tinggi. Juga tentang racun aneh yang telah 
menewaskan beberapa tokoh sakti secara mengerikan. 

Usai menjelaskan demikian, Durgandini menghampiri 
tubuh Sumini yang masih tergolek dalam keadaan pingsan. 
Rasa takut yang hebat telah menyebabkannya pingsan. 
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melesat 
pergi. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Angkara Si Anak Naga