Dewa Arak 66 - Pembunuh Gelap



"Amm..., betapa malangnya nasibmu, Anakku. 
Ohhh...!" 

Keluhan-keluhan penuh perasaan sedih yang 
terdengar parau itu keluar dari mulut seorang lelaki 
setengah baya berpakaian coklat. Tanpa sadar tangan- 
nya mengepal-ngepalkan tanah merah dari sebuah 
gundukan kuburan yang masih baru. 

"Haruskah kutinggalkan tempat ini, Arum...? 
Haruskah aku membalaskan kematianmu pada orang- 
orang yang telah membunuhmu?! Kalau saja dulu aku 
tak pernah berjanji di depan jenazah mendiang ibumu 
tentu sekarang aku telah turun gunung. Maafkan 
Ayah, Arum! Ayah tak bisa mengingkari sumpah," ucap 
lelaki berpakaian coklat itu lagi, tetap dengan nada se- 
dih. 

"Tidak perlu hal itu harus kau lakukan, Sala- 

ban!" 

Lelaki berpakaian coklat menolehkan kepala ke 
arah asal suara dengan perasaan kaget Dia tidak men- 
dengar bunyi langkah, tapi tahu-tahu tepat di bela- 
kangnya, hanya berjarak satu tombak, telah berdiri se- 
sosok tubuh tinggi kurus, orang itu menatap ke arah- 
nya dengan sorot kebencian! Sosok tinggi kurus inilah 
yang telah memotong ucapannya secara ketus. 

"Kau...?!" Suara lelaki berpakaian coklat terce- 
kat di tenggorokan. Raut wajahnya membiaskan keter- 
kejutan yang tidak tersembunyikan. 

"Benar, Salaban. Ini aku! Kau kaget?!" sambut 
sosok tinggi kurus itu dengan nada sinis. 

"Mengapa kau bersikap seperti ini?! Dan apa 
maksud ucapanmu tadi?!" tanya lelaki berpakaian cok- 
lat yang ternyata bernama Salaban setelah berhasil 
menenangkan diri. 

Sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki 
itu mendengus dengan kasar. 

"Sebenarnya pertanyaan seperti itu tak perlu 
kau ajukan, Salaban. Sadarilah dirimu! Arum telah te- 
was, tapi orang yang telah menyebabkan dia terbunuh 
kau biarkan pergi begitu saja! Dan kau berlindung di 
balik sumpahmu. Menjijikkan sekali!" Ucapan tajam le- 
laki tinggi kurus itu membuat wajah Salaban berubah 
merah padam. 

Sayang, Salaban tidak pandai berdebat seperti 
halnya lelaki tinggi kurus itu. Maka mendapat desakan 
dengan kata-kata tajam, dia tidak mampu memberikan 
tanggapan, sanggahan, atau bantahan. Dia hanya ter- 
tegun dengan tarikan wajah kebingungan. 

"Memang kau memiliki nasib malang, Arum," 
lelaki tinggi kurus meneruskan ucapannya, tapi kali ini 
seperti ditujukan pada orang yang telah tertidur di da- 
lam gundukan tanah merah yang masih baru. "Kau 
mati secara mengenaskan, tapi ayahmu sendiri tidak 
berbuat apa-apa untuk menenteramkan rohmu agar 
tidak penasaran di alam baka!" 

Tubuh Salaban menggigil mendengar ucapan 
lelaki bertubuh tinggi kurus. 

Ucapan itu dengan telak menghujam ke lubuk 
hatinya yang paling dalam. Sakit sekali rasanya seperti 
luka berdarah tersiram air garam. 

"Tapi, kau tidak usah khawatir, Arum. Meski- 
pun ayahmu sendiri tidak mau membalaskan rasa pe- 
nasaran yang membuat rohmu tidak bisa kembali ke 
alam kekal, masih ada aku! Akulah yang akan mem- 
buat jiwamu tenteram di sana Arum !" 

"Diaaam...!" Akhirnya keluar juga kata-kata 
yang tertekan di hati Salaban. Mencuat begitu saja da- 
lam bentuk pekikan keras. "Cepat menyingkir dari sini, 
sebelum aku lupa diri dan membunuhmu, Keparat!" 

Lelaki tinggi kurus tidak bergeming sama sekali 
dari tempatnya. 

Padahal dia tahu kalau ucapan yang dikelua- 
rkan Salaban tidak main-main. Bahkan dia balas me- 
natap dengan tajam. 

"Dan... orang yang pertama kali mendapatkan 
balasannya adalah ayahmu sendiri, Arum! Karena aku 
tahu, hatimu merasa kecewa dan sakit hati terhadap- 
nya!" 

Ucapan lelaki tinggi kurus langsung disergap 
oleh teriakan nyaring Salaban. Lelaki berpakaian cok- 
lat ini langsung mengirimkan serangan mematikan da- 
ri sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis. 

"Hmh...!" 

Lelaki tinggi kurus itu hanya mendengus meli- 
hat serangan Salaban. Lalu dengan gerakan semba- 
rangan dipapaknya serangan itu. Tangan kirinya men- 
gibas sebelum serangan mendarat pada sasaran. 

Plakkk! Rrrtt! 

Salaban mengeluh tertahan ketika tangannya 
tidak hanya tertangkis dan sakit akibat benturan itu. 
Namun dengan gerakan aneh, dan kecepatan yang 
mengagetkan, pergelangan tangannya telah kena ceng- 
keram. Tidak hanya sampai di situ tindakan lelaki 
tinggi kurus itu. Jari-jari tangannya kemudian berge- 
rak meremas. 

Wajah Salaban langsung pucat pasi. Keringat 
dingin bersembulan memenuhi selebar wajahnya yang 
putih laksana kertas. Tulang pergelangan tangannya 
dirasakan seperti remuk. Kemudian terdengar bunyi 
gemeretak keras ketika tulang-tulang jarinya hancur! 
Salaban melolong menyayat hati. Rasa sakit 
yang diderita membuatnya tidak kuasa untuk mena- 
han jerit. Dan sebelum tindakan sesuatu sempat dila- 
kukannya, lelaki tinggi kurus itu menarik tangannya. 

Salaban berusaha mempertahankan, meski tin- 
dakan yang dilakukan lelaki tinggi kurus itu terlalu 
cepat untuk dapat diikuti. Akhirnya ia harus menerima 
kenyataan yang mengejutkan hati. Dia tidak mampu 
mempertahankan diri, karena ternyata tenaga lawan 
demikian kuat. 

Saat itu tangan kanan lelaki tinggi kurus berge- 
rak secara cepat. Dan Salaban pun tewas dengan 
ubun-ubun pecah. Darah bercampur otak keluar dari 
bagian yang terluka, mengiringi ambruknya tubuh Sa- 
laban di tanah, tepat di samping kuburan Sekar Arum. 

Lelaki tinggi kurus menatap mayat Salaban se- 
kilas, kemudian mengalihkan perhatian pada kuburan 
Sekar Arum. 

"Lihatlah, Arum !" ucap lelaki tinggi kurus itu 
dengan suara parau sambil sesekali mendongak ke 
langit. "Salah seorang di antara mereka yang terlibat 
kematianmu telah menerima pembalasannya! Yang 
lainnya pun akan menyusul pula!" 

Lelaki tinggi kurus terdiam di depan kuburan 
itu setelah selesai mengucapkan katanya. Kemudian 
dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada jauh dari 
tempat itu. 


*** 


Baru saja tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap 
di kejauhan, dari arah yang berlawanan, melesat cepat 
bagaikan kilat sesosok tubuh. Dan hanya dalam seke- 
jap sosok itu telah berada di dekat kuburan Sekar 
Arum. 

"Ah...!" Sosok yang ternyata seorang pemuda 
tampan gagah berambut panjang itu, berseru kaget. 
Sepasang matanya tertuju pada sosok berpakaian co- 
klat yang tergeletak tak bergerak dengan ceceran darah 
dan otak, di kepalanya. Sekali lihat pemuda ini tahu 
kalau sosok yang tak lain Salaban itu telah tewas. 

Pemuda tampan itu berjongkok di dekat mayat 
Salaban, dan memeriksanya sebentar. Kemudian sam- 
bil menghela napas berat pemuda itu kembali berdiri 
tegak. 

"Malang sekali nasibmu, Kang Salaban," ucap 
pemuda tampan sambil menundukkan kepala. "Baru 
saja kau kehilangan putrimu..., sekarang harus kehi- 
langan nyawamu pula. Tapi..., percayalah, Kang! Akan 
kucari orang yang telah melakukan kekejian ini! Aku 
percaya dia belum jauh dan...." 

Pemuda tampan ini menghentikan ucapannya 
secara mendadak, lalu menelengkan kepala dengan 
kening berkenit. Mendadak pendengarannya yang ta- 
jam menangkap bunyi langkah di sebelah kanannya. 

Tampak di kejauhan sesosok tubuh bergerak 
menuju ke arahnya. Tanpa sadar hati pemuda tampan 
ini berdebar tegang. Segumpal dugaan bergulat di ha- 
tinya. "Apakah sosok ini yang telah membunuh Sa- 
laban?" 

Sosok yang ternyata seorang gadis cantik ber- 
tubuh montok dan menggiurkan, dengan pakaian war- 
na merahnya menyolok, menghentikan larinya. Kemu- 
dian menatap wajah pemuda tampan di hadapannya 
penuh selidik. 

"Siapa kau? Mengapa berada di tempat pema- 
kamam keluargaku?" tanya gadis berpakaian merah 
dengan tatapan penuh curiga. 

Pemuda berambut panjang tidak langsung 
memberikan jawaban. Dia malah tersenyum lebar ka- 
rena tahu kalau gadis berpakaian merah ini bukan 
orang yang telah membunuh Salaban. Bahkan mung- 
kin anggota keluarganya. Itulah sebabnya dia me- 
nyunggingkan senyum. 

"Jadi... kau anggota keluarga dari orang-orang 
yang telah menjadi penghuni alam kekal ini?" tanya 
pemuda tampan meminta kepastian, agak mengha- 
luskan kata-katanya. 

"Benar," gadis berpakaian merah mengangguk- 
kan kepala, tapi tetap tak menghilangkan kecurigaan- 
nya. "Kau siapa?" tanyanya kemudian. 

"Aku salah seorang dari sahabat... maaf, kau 
kenal dengan orang yang bernama Salaban?!" 

"Tentu saja!" sahut wanita berpakaian merah 
itu. "Aku anaknya!" 

"Ah...! Kalau begitu... kau Sekardati...?!" terka 
pemuda tampan berambut panjang, agak heran dan ti- 
dak percaya. "Ayahku banyak bercerita tentangmu, 
Sekardati." 

"Kau siapa?" 

Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu keluar 
dari mulut gadis berpakaian merah yang ternyata ber- 
nama Sekardati, karena sejak tadi belum mendapat 
jawaban. 

"Ah, maaf. Namaku Arya Buana... tapi bisa kau 
panggil Arya!" pemuda berambut panjang itu memberi- 
kan jawaban. 

Sekardati mengangguk-anggukkan kepala. Se- 
jak tadi dia merasa heran melihat ciri-ciri pemuda 
tampan di hadapannya ini. Kalau melihat wajah dan 
perawakannya sih, masuk golongan pemuda. Tapi, 
rambutnya yang panjang itu berwarna putih kepera- 
kan. Warna rambut yang hanya dimiliki orang berusia 
lanjut! 

Tapi anggukan kepala Sekardati terhenti ketika 
melihat sikap Arya. Pemuda berpakaian ungu itu tam- 
pak bingung. 

"Jadi..., kau sahabat ayahku, Arya?" tanya Se- 
kardati, tanpa canggung lagi langsung memanggil na- 
ma pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Tapi..., 
tahukah kau apa yang telah terjadi dengan ayah dan 
saudaramu?" 

Pemuda berambut putih keperakan itu hati-hati 
sekali mengatakannya karena khawatir akan menge- 
jutkan Sekardati. Toh, tak urung wajah gadis berpa- 
kaian merah itu berubah hebat. Sepasang matanya 
yang indah menyiratkan kekhawatiran yang dalam. 

"Apa..., apa maksudmu, Arya?" tanya Sekardati 
terbata-bata. Meskipun belum jelas, tapi telah bisa di- 
perkirakan hal yang akan diberitakan pemuda beram- 
but putih keperakan itu. 

"Arum, saudaramu itu dan juga ayahmu telah 
pergi mendahuluimu, Sekardati," ujar Arya lirih. 

"Tidak...!" Sekardati menangis dan menjerit 
menyayat hati mendengar pemberitahuan Arya. "Tidak 
mungkin Ayah dan Arum meninggalkanku seorang diri 
di dunia ini. Tidak mungkin! Katakan kalau kau bo- 
hong, Arya! Katakan!" 

Arya diam saja ketika dengan kalap Sekardati 
mencengkeram baju dan mengguncang- 
guncangkannya. Air mata bercucuran membasahi pi- 
pinya yang halus. 

"Aku tidak bohong, Sekardati. Dan aku tidak 
akan pernah berbohong, ayahmu memang telah tiada. 
Begitu juga dengan Arum, saudaramu," ucap Arya, 
masih tetap lembut tapi lebih keras daripada sebelum- 
nya. "Lihatlah sendiri!" 

Arya bergeser dari tempatnya sehingga tubuh 
Salaban yang tergolek di tanah tidak terhalang lagi 
oleh tubuhnya. Dan Sekardati langsung melihatnya. 
Dia meraung keras dan menubruk tubuh yang sudah 
tidak bernyawa itu. 

"Ayah...! Mengapa kau tinggalkan aku, Ayah...!" 
seru gadis berpakaian merah itu, keras. 

Arya hanya bisa berdiri diam di tempatnya dan 
memandangi Sekardati dengan perasaan terharu. Dia 
tahu tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mem- 
biarkan saja Sekardati menangis. Hanya itu jalan satu- 
satunya yang terbaik. 

Mendadak dengan cepat, Sekardati bangkit dan 
menoleh ke arah Arya dengan wajah beringas dan se- 
pasang mata seperti mengeluarkan api. 

"Pasti kau yang telah membunuhnya! Mayat 
ayahku masih hangat pertanda belum lama mati, bah- 
kan mungkin baru saja. Satu-satunya orang yang ada 
di sini hanya kau, Arya! Pasti kau yang telah membu- 
nuhnya! Kubunuh kau...!" 

"Tunggu, Sekar! Aku...!" 

Aiya terpaksa menghentikan ucapannya karena 
Sekardati telah menerjangnya dengan serangan dah- 
syat. Sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati yang 
keras dan mengeluarkan angin menderu hebat diki- 
rimkan gadis berpakaian merah itu. 

Menyadari akan adanya serangan maut, Arya 
segera melompat ke belakang, sehingga tendangan Se- 
kardati mengenai tempat kosong. Tapi, Sekardati yang 
telah kalap, tidak berhenti hanya sampai di situ. Sam- 
bil memekik nyaring, tangan kanannya bergerak. Dan 
Arya melihat sinar terang menyilaukan mata meluncur 
deras ke arahnya. Sebagai seorang pendekar yang te- 
lah kenyang pengalaman dia tahu kalau sinar terang 
itu berupa senjata tajam yang ampuh! 

Wuttt! 

Hampir saja kepala Arya terpisah dari tubuh- 
nya kalau dia tidak segera merunduk dengan cepat. 
Dan pedang di tangan Sekardati yang semula mengan- 
cam Arya pun meluncur tipis sekali di atas kepalanya. 
Sehingga beberapa helai rambutnya yang putih kepe- 
rakan putus tersambar! 

Pada gebrakan-gebrakan selanjutnya Arya di- 
paksa mengeluarkan kemampuannya untuk menyela- 
matkan selembar nyawa. Sekardati ternyata memiliki 
ilmu kepandaian hebat. Serangan-serangannya dah- 
syat dan selalu mengarah bagian yang mematikan. 

Arya tahu Sekardati salah paham sehingga ti- 
dak bisa disalahkan. Ingin dia melawan, tapi tidak 
sampai hati mengingat gadis berpakaian merah itu ba- 
ru saja menerima pukulan batin yang amat berat. Na- 
mun, membiarkannya pun bukan tindakan yang baik, 
mengingat serangan gadis itu tak tanggung-tanggung 
memburunya terus. 

Itu sebabnya, begitu mendapat sebuah kesem- 
patan, Arya segera melemparkan tubuh ke belakang 
dan berlari meninggalkan tempat itu. Dikerahkan selu- 
ruh ilmu lari cepat yang dimiliki karena khawatir Se- 
kardati yang lihai akan menyusulnya. 

"Keparat! Jangan lari kau, Pengecut..!" seru Se- 
kardati keras seraya berlari mengejar. Tapi hanya se- 
bentar dilakukan karena jarak antara mereka semakin 
menjauh. 

Sekardati hanya bisa melampiaskan amarahnya 
pada benda-benda di sekitarnya. Pukulan-pukulan ja- 
rak jauh dan kepalan tangan serta kakinya membuat 
tempat-tempat di sekitar pemakaman keluarganya 
hancur berantakan. 

kkk 

Sambil menggigit dan mengunyah potongan 
ayam yang baru saja matang, Arya berpikir keras. Na- 
mun, sampai beberapa kali mengunyah dan menelan 
potongan daging ayam panggang itu, belum juga dite- 
mukan cara yang tepat 

"Rupanya di sini kau bersembunyi, Orang Sok 

Suci!" 

Aiya sampai terjingkat kaget dari duduk ber- 
sandarnya di batang pohon mendapat teguran seperti 
itu. Cepat kepalanya ditolehkan ke samping kanan. 
Dalam jarak sekitar dua tombak berdiri angker seorang 
kakek berkepala botak dengan tangan menggenggam 
sebatang tongkat besar yang batangnya melingkar- 
lingkar. 

"Maaf, siapa kau, Kek?! Dan, apa maksud uca- 
panmu?" tanya Arya seraya bangkit berdiri. Pemuda 
berambut putih keperakan ini bisa menduga bahkan 
yakin kalau ucapan tadi ditujukan padanya. Tapi, sifat 
hati-hati dan rasa sopan membuatnya tidak langsung 
bertindak keras. 

"'Tidak usah berpura-pura sopan dan tahu atu- 
ran, Orang Usilan!" sahut kakek berkepala botak, tetap 
dengan nada tinggi. Bahkan semakin meningkat 

Meskipun demikian, Aiya tetap bersikap te- 
nang. Memang, rasa tidak puas bergelora di hatinya, 
tapi berusaha ditindasnya karena menduga ada hal- 
hal tidak beres di sini. Barangkali saja kakek berkepala 
botak ini salah paham. 

"Aku tidak mau berpanjang kata." Kakek berke- 
pala botak itu melanjutkan ucapannya, "Cukup hanya 
kukatakan kalau kedatanganku kemari untuk memba- 
laskan sakit hati muridku! Ingin kurasakan sendiri ke- 
lihaianmu yang telah menggemparkan dunia persila- 
tan, Dewa Arak! Sehingga kau sampai begitu lancang 
berani membunuh murid orang, tanpa memandang 
muka gurunya! Bersiaplah kau, Dewa Arak!" 

Sekarang Arya mengerti kalau masalah yang 
dihadapi bukan sekadar salah paham seperti halnya 
dengan Sekardati. 

"Tunggu sebentar, Kek," ucap Arya buru-buru 
karena khawatir kakek berkepala botak itu akan lebih 
dulu menyerangnya. "Bisa kau jelaskan siapa murid- 
mu yang kau katakan terbunuh di tanganku?!" 

"Muridku adalah salah seorang anggota Pasu- 
kan Iblis Neraka!" tandas kakek berkepala botak, "Ku- 
akui kau benar, dan dia telah salah jalan. Tapi, masih 
ada aku yang akan menghukumnya. Tidak perlu kau 
harus membunuhnya dengan melewati kepalaku! Awas 
serangan!" 

Kakek berkepala botak menubruk maju. Kemu- 
dian tongkat besar di tangannya ditusukkan sehingga 
menimbulkan bunyi angin menderu keras. 

Aiya sadar tindakan kakek berkepala botak itu 
tidak bisa dicegahnya lagi. Tidak ada jalan lain baginya 
kecuali membela diri kalau tidak ingin mati konyol. 
Maka, kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melent- 
ing ke atas. 

Brakkk! 

Pohon yang berada di belakang Dewa Arak ber- 
getar hebat. Tongkat si Kakek Botak sampai hampir se- 
tengahnya lebih amblas ke dalam batang pohon. Ka- 
ruan saja Arya kaget bukan kepalang, karena kenya- 
taan itu memperlihatkan kalau kakek berkepala botak 
ini memiliki tenaga dalam tinggi dan terarah. Sehingga 
semua tenaga serangan berpusat pada ujung tongkat. 
Pada serangan biasa, mungkin pohon itu akan hancur 
berantakan. 

Namun ternyata kakek berkepala botak itu ti- 
dak hanya memiliki tenaga besar, melainkan juga ge- 
rakan gesit. Begitu serangannya tidak mengenai sasa- 
ran dan langsung amblas ke batang pohon, tangannya 
bergerak menyentak. Secepat itu dikirimkan ayunan 
secara mendatar ke belakang seraya membalikkan tu- 
buh. Sebagai orang yang kenyang pengalaman, dia ta- 
hu kalau lawan pasti berada di belakangnya. 

Serangan susulan ini membuat Dewa Arak yang 
baru saja menjejakkan kaki, terpaksa melompat lagi. 
Dan hanya itu yang dapat dilakukannya dalam bebera- 
pa saat, karena kakek berkepala botak, secara gencar 
dan terus mengirimkan serangan-serangan laksana ge- 
lombang laut. 

Dewa Arak dipaksa untuk menguras ilmu me- 
ringankan tubuhnya. Serangan-serangan lawan terlalu 
gencar sehingga membuatnya belum memperoleh ke- 
sempatan melancarkan serangan balasan. 

Di saat Dewa Arak bermaksud mengirimkan se- 
rangan balasan, mendadak terdengar pekikan me- 
lengking tinggi, panjang, dan berturut-turut. Secara ti- 
ba-tiba, kakek berkepala botak melompat mundur dan 
bersalto beberapa kali di udara, lalu menjejak tanah. 
Sikapnya terlihat masih penasaran bukan kepalang. 

"Untuk kali ini kau boleh bernapas lega, Dewa 
Arak. Aku masih mempunyai urusan lain yang lebih 
penting. Kau kuberi kesempatan untuk hidup lebih 
lama di dunia ini. Manfaatkanlah sebaik-baiknya! Ka- 
rena bila kita ketemu lagi, aku akan mencabut nya- 
wamu!" 

Setelah berkata demikian, tanpa memberi ke- 
sempatan pada Arya, yang sekarang telah bisa berna- 
pas lega untuk memberikan tanggapan, kakek berke- 
pala botak itu melesat cepat meninggalkannya. Sekali 
lihat saja Arya tahu kalau kakek berkepala botak itu 
menuju ke arah asal suara lengkingan keras tadi. 

Arya menghela napas berat. Sama sekali tidak 
pernah disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja 
dia telah mendapatkan dua orang musuh yang cukup 
berat. Ditatapnya sekali lagi, tubuh kakek berkepala 
botak yang semakin mengecil di kejauhan. Baru sete- 
lah itu diayunkan kaki menuju tempat ayam pang- 
gangnya yang masih tersisa. Sesaat kemudian, mulut- 
nya telah sibuk menggerogoti daging ayam panggang 
itu. 




"Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Manis?! 
Sampai di ujung dunia pun kau pergi dan bersem- 
bunyi, akan kukejar dan kutangkap! Ha ha ha...!" 

Suara itu membuat Arya yang baru saja meng- 
habiskan ayam panggangnya buru-buru bangkit. Dite- 
lengkan kepalanya agar dapat lebih jelas mengetahui 
arah suara itu berasal. Suara itu seperti berasal dari 
berbagai arah, sukar untuk diperkirakan dengan pasti. 
Hal ini membuat Dewa Arak bersikap waspada karena 
tahu kalau pemilik suara itu adalah seorang yang me- 
miliki tenaga dalam dan kepandaian tinggi. Hanya 
orang-orang yang memiliki kepandaian sukar diukur- 
lah yang mampu membuat suara yang dikeluarkan ti- 
dak jelas asalnya. 

"Ah...! Apa kubilang?! Lebih baik menyerah sa- 
ja, Manis. Tidak ada gunanya melarikan diri dariku. 
Percuma, karena aku akan berhasil menangkapmu!" 

Jantung dalam dada Arya semakin cepat berde- 
tak karena rasa tegang yang melanda, dia tahu ada se- 
seorang yang pasti wanita tengah menghadapi bahaya. 
Tapi sialnya, meski telah dua kali mendengar, pemuda 
berambut putih keperakan itu tetap belum dapat me- 
nentukan arahnya. 

"Hih!" 

Dewa Arak menjejakkan kaki sehingga tubuh- 
nya melayang ke atas dan hinggap di sebuah cabang 
pohon yang tinggi. Dan dari sana diedarkan pandan- 
gannya ke sekeliling. Tempat yang tinggi memungkin- 
kan dirinya untuk melihat ke sekitar tempat itu den- 
gan leluasa. 

Tak berapa jauh dari pohon tempat Dewa Arak 
berada tampak sebuah bangunan, atau lebih tepatnya 
bekas bangunan karena yang tinggal hanya bagian lan- 
tainya. Atap dan dinding bangunan itu sudah tidak 
ada lagi, mungkin karena terlalu tua hingga roboh 
tinggal puing-puingnya. 

Bekas bangunan itu tidak akan tampak kalau 
tidak dilihat dari tempat tinggi, karena letaknya cukup 
tersembunyi oleh kerimbunan semak-semak yang cu- 
kup lebat. Namun bukan hal itu yang membuat Arya 
merasa heran dan tertarik. Melainkan sesosok tubuh 
kecil berpakaian teramat sederhana yang warna kain- 
nya telah tidak tampak lagi. Sosok itu berlutut dan 
menelungkup dengan menempelkan telinganya di lantai. 

"Keparat!" 

Terdengar oleh Arya mulut sosok kecil itu men- 
geluarkan makian. Suaranya ternyata sama dengan 
dua buah suara pertama yang didengarnya. Maka pe- 
muda berambut putih keperakan itu tahu kalau sosok 
kecil inilah yang tadi mengeluarkan seruan-seruan 
yang tidak dapat ditangkap di mana asalnya. 

Arya mengedarkan pandangan ke sekitar tem- 
pat sosok kecil itu berada, mencari-cari wanita yang 
membutuhkan pertolongan. Namun tetap saja tidak di- 
jumpainya. Hatinya merasa heran. Bukankah mestinya 
wanita itu berada di dekat sekitar situ, karena katanya 
sudah tidak dapat meloloskan diri lagi? Tapi, mana? 

"Rupanya kau tetap tidak mau keluar, Manis?! 
Rupanya kau ingin kupaksa, ya?! Ha ha ha...!" 

Sosok kecil berpakaian sederhana itu lalu me- 
nepuk-nepuk lantai tempat kepalanya tadi ditempel- 
kan. Seketika itu pula Arya terlongo keheranan. Berarti 
wanita yang dipanggil manis oleh sosok kecil itu bera- 
da di dalam tanah! "Tapi, mungkinkah itu?" pikir Dewa 
Arak keheranan. 

Perasaan tertarik dan ingin tahu yang amat 
kuat, membuat Arya melompat turun dari atas pohon. 
Kemudian dengan hati-hati karena takut ketahuan dan 
tidak ingin mencari permusuhan, bergerak mendekati 
sosok itu berada. 

"Terkutuk! Kadal Busuk! Kucing Pincang! Lalat 
Gemuk! Rupanya kau benar-benar bermaksud mem- 
permainkan aku, Manis?!" 

Kembali sosok kecil itu mengeluarkan makian- 
makian aneh ketika Arya telah berada dekat tempat 
sosok Itu berada. Pemuda berambut putih keperakan 
ini bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak. 

"Kalau begitu terpaksa kau kusuruh keluar 
dengan ini!" 

Sosok kecil itu bangkit, kemudian membuka ce- 
lananya dan mengencingi tempat telinganya tadi ditem- 
pelkan. Di situ ternyata ada sebuah lubang kecil. 

Wajah Arya seketika memerah ketika melihat 
kelakuan sosok kecil yang ternyata seorang lelaki su- 
dah tua. Rambutnya tampak riap-riapan. Kumis serta 
jenggotnya telah memutih semua dan tidak terurus, 
awut-awutan. Ternyata orang gila! 

"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa bergelak- 
gelak penuh kegembiraan setelah mengencingi tempat 
telinganya tadi ditempelkan. "Benar tidak kalau kau ti- 
dak bisa lari dariku, Manis?!" 

Kakek kecil itu lalu menjulurkan tangan men- 
gambil sebuah benda kehitaman yang terapung di atas 
air kencingnya. Rupanya lubang kecil itu tidak dalam, 
sehingga langsung penuh ketika dikencingi kakek kecil 
itu, dan si Manis buruan kakek itu pun terbawa ke- 
luar. 

Aiya menjadi geli ketika melihat si Manis bu- 
ruan kakek kecil itu ternyata seekor jangkrik. Hampir 
kepalanya digeleng-gelengkan karena tak kuat mena- 
han rasa geli. Untung saja dia bisa menahannya kare- 
na tahu kalau gerakan itu bisa mengakibatkan kebe- 
radaannya diketahui. Dirinya tahu kakek kecil itu me- 
miliki kepandaian luar biasa. 

"Sebenarnya aku ingin mengadumu dengan 
jangkrik milikku, Manis," ucap kakek kecil itu sambil 
menatap jangkrik hitam di tangannya. "Tapi sayang, 
kau telah mengecewakanku. Lagi pula, di sini ada 
orang muda yang dapat kuajak bermain-main. Perta- 
rungan antara kau dengan jangkrik milikku terpaksa 
kubatalkan!" 

Kakek itu lalu memasukkan jangkrik kecil hi- 
tam itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya penuh 
perasaan nikmat. Sehingga terdengar bunyi gemeretuk 
ketika gigi kakek kecil itu beradu dengan badan jang- 
krik. 

Arya terkejut bukan main di persembunyian- 
nya. Bukan karena kakek kecil itu memakan jangkrik 
secara bulat-bulat seperti itu, karena dia tahu banyak 
tokoh persilatan yang memiliki tingkah dan kebiasaan 
aneh-aneh. Dewa Arak kaget karena menyadari kalau 
kakek kecil itu ternyata mengetahui keberadaan di- 
rinya. 

"Ha ha ha...! Tidak usah malu-malu seperti pe- 
rawan tingting, Anak Muda. Keluarlah, dan mari kita 
bermain-main! Ha ha ha...! Setelah sekian lamanya ti- 
dak bermain-main, akhirnya kutemukan juga seorang 
kawan main yang aneh." 

Mendengar ucapan kakek kecil ini, Arya tahu 
kalau tidak ada gunanya lagi terus berdiam di tempat 
persembunyiannya. Maka dengan wajah merah padam 
karena malu ketahuan mengintai orang, dia melang- 
kah keluar. 

"Maafkan aku, Kek! Bukan maksudku untuk 
mengintai perbuatanmu. Tapi...!" 

"Kentut busuk! Siapa peduli ceritamu?! Ayo, 
cepat kita bermain!" potong kakek kecil itu tidak sabar. 

"Bermain-main?!" Arya mengerutkan alisnya. 
Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang, apalagi 
seorang kakek mengajaknya bermain-main. Memang- 
nya anak kecil? Tapi karena tahu kalau kakek kecil 
yang berada di hadapannya bukan orang sembaran- 
gan, melainkan tokoh persilatan yang memiliki watak 
aneh, dia tidak mau melakukan tindakan yang dapat 
menyebabkan terjadinya suatu permusuhan di antara 
mereka. 

"Rupanya kau tuli, Anak Muda. Kasihan sekali! 
Tapi, tak apa! Yang penting kau merupakan orang sa- 
tu-satunya yang kujumpai di sini. Ayo, kita bermain! 
Kau mau bermain apa?" 

Lagi-lagi Arya melongo. Tanpa sadar dia men- 
gernyitkan dahi. Main apa? Kakek ini benar-benar 
aneh! 

"Sayang sekali, Kek Aku tidak tahu kita harus 
main apa..., maksudku... aku tidak pernah bermain- 
main...." 

"Ah...! Sudahlah...! Biar aku yang tentukan!" 
sentak kakek itu penuh perasaan tidak sabar. 

Lalu, tanpa mempedulikan Dewa Arak yang 
masih kebingungan mendapatkan pengalaman tidak 
disangka-sangka itu, kakek kecil telah memunguti ba- 
tu-batu kecil di sekitarnya. Batu-batu sebesar buah 
ceremei. 

"Ayo, tunggu apa lagi?! Mengapa masih ben- 
gong? Apakah kau takut kalah? Jangan khawatir, hu- 
kuman bagi yang kalah tidak berat" 

"Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanya Arya, 
akhirnya. 

Kakek itu menghentikan kegiatannya mencari 
batu-batu kecil dan menatap Arya dengan sewot. 

"Rupanya kau ini tidak hanya tuli, tapi juga bo- 
doh! Kalau saja ada orang lain, tak akan kuajak kau 
bermain-main. Tentu saja mencari batu-batu kecil ini, 
Tolol! Terpaksa pantatmu harus kutendang agar keto- 
lolanmu pergi!" 

Setelah berkata demikian, kakek kecil itu men- 
gayunkan kakinya dan benar-benar bermaksud me- 
nendang pantat Arya. Tentu saja pemuda berambut 
putih keperakan ini tidak membiarkannya, dan segera 
mengelak. Tapi, entah dengan cara bagaimana, kaki 
kakek itu tetap mendarat di pantat Aiya dengan keras. 
Tubuhnya langsung terpental jauh dan terguling- 
guling. 

Arya bangkit dengan wajah berubah. Kenyataan 
ini menyadarkannya kalau kakek kecil memiliki kepan- 
daian luar biasa. Untung saja tidak bermaksud jahat. 
Kalau tidak, dia sudah terluka akibat tendangan itu. Si 
Kakek Kecil hanya bermaksud membuatnya terlempar 
tanpa terluka. 

"Nah! Sekarang sifat tololmu itu pasti sudah le- 
nyap. Cepat, kumpulkan batu-batu, dan kita bermain!" 
perintah kakek kecil itu tanpa mempedulikan keheran- 
an Arya. "Tapi..., bagaimana kalau sebelum bermain 
batu kita bermain tebak-tebakan dulu?" 

Aiya diam, tidak memberikan tanggapan. Di- 
rinya tengah sibuk memutar akal untuk mencari cara 
agar dapat melarikan diri dari kakek kecil yang aneh 
itu. 

"Batu kecil ini," kakek kecil itu berkata tanpa 
mempedulikan Arya yang tidak memperhatikan sikap- 
nya. "Kalau kulemparkan jadi apa. Ayo tebak, Anak 
Muda! Apabila kau tak bisa menjawabnya harus meng- 
gendongku sampai ke pohon sana!" 

Tanpa sadar, Aiya mengarahkan pandangan ke 
arah telunjuk kakek kecil itu menuding. Ternyata yang 
dimaksud pohon tempatnya bersandar tadi. 

"Ayo, jawab! Cepat, kalau tidak bisa... kau ha- 
rus menggendongku...!" 

Arya pun terpaksa harus meladeni kemauan 
kakek kecil itu. Dia memutar otak untuk mencari ja- 
waban. 

"Tapi... kalau aku bisa menjawabnya kau harus 
membiarkanku pergi dari sini. Kau mau berjanji, 
Kek?!" 

"Itu soal mudah! Yang penting jawab dulu!" 

"Tentu saja tetap jadi batu," jawab Arya, mantap. 

"Salah!" seru kakek kecil itu penuh perasaan 
gembira seperti seorang anak kecil. 

"Bagaimana mungkin bisa salah?!" Arya bersi- 
keras. "Kecuali kalau kau menggunakan ilmu sihir!" 

"Ini tebak-tebakan, Anak Muda. Tidak ada hu- 
bungannya dengan sihir. Ayo, cari jawabannya yang 
tepat. Atau... kau harus menggendongku ke sana!" 

Aiya mengarahkan seluruh kemampuan berpi- 
kirnya untuk menjawab pertanyaan kakek itu. Tapi, te- 
tap saja tidak menemukan jawaban yang mungkin se- 
suai dan disetujui kakek itu. 

"Aku menyerah," ucap Arya, akhirnya dengan 
dahi berkeringat karena berpikir keras. 

"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa penuh pe- 
rasaan gembira. "Jawaban yang benar, batu ini apabila 
kulemparkan akan jadi... jauh! Ha ha ha...! Ayo, gen- 
dong aku, Anak Muda!" 

Arya melongo. Dia sadar kalau kakek kecil ber- 
maksud mencari kemenangan sendiri dengan teba- 
kannya yang unik itu. Tapi, bagaimanapun janji ada- 
lah janji. Dan dia tidak mau mengingkarinya. Maka dia 
berdiam diri saja ketika kakek itu melompat cepat dan 
mendarat di punggungnya. 

Arya menghela napas lega ketika merasakan 
tubuh kakek itu ringan sekali tak ubahnya kapas. Ma- 
ka bergegas diayunkan kaki agar segera tiba di tempat 
pohon yang dimaksud. Tapi, Arya hampir berteriak 
saking kagetnya ketika secara mendadak tubuh kakek 
kecil itu menjadi berat. Bahkan amat berat, sehingga 
jangankan untuk membawanya melangkah, tetap 
mempertahankan tubuh kakek itu dengan berdiam diri 
di tempat saja, seakan tak kuasa. Dewa Arak terpaksa 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mena- 
han bobot tubuh kakek itu. Dia seperti bukan meng- 
gendong seorang kakek kecil. Tubuhnya dirasakan se- 
perti tergencet dua buah bukit! 

Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tubuh 
Arya tampak menggigil keras. Keringat sebesar-besar 
biji jagung membasahi wajahnya yang merah padam. 
Pemuda berambut putih keperakan ini telah menge- 
rahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk 
menahan bobot tubuh kakek kecil yang diketahuinya 
telah mengerahkan tenaga dalam sehingga menjadi 
sangat berat 

Perlahan-lahan kedua kaki Arya mulai amblas 
ke dalam tanah. Bahkan dengan cepat telah sampai 
mata kaki. Adu tenaga dalam tingkat tinggi itu ru- 
panya tidak kuat ditanggung oleh tanah! 

Dewa Arak menggertakkan gigi untuk menge- 
rahkan seluruh tenaga dalam sampai tingkatan terak- 
hir. Bahkan pemuda berambut putih keperakan ini te- 
lah mengeluarkan 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang 
membuat tubuhnya panas, sehingga mengepulkan uap 
tipis dari sekujur tubuh. Tapi, kakek kecil itu seperti 
tidak merasakannya dan tetap enak-enakan bertengger 
di punggung Arya, 

Aiya hampir putus asa, sadar kalau keselama- 
tannya bagai telur di ujung tanduk! Dia dapat terkubur 
hidup-hidup oleh kakek kecil yang luar biasa ini. Se- 
karang sampai hampir lutut kakinya terbenam di da- 
lam tanah. 

"Tidak mengecewakan... tidak mengecewakan!" 
di tengah-tengah pertarungan tenaga dalam itu, kakek 
kecil berucap. Dan ini membuat Dewa Arak kaget bu- 
kan kepalang. Dalam pertarungan tenaga dalam seper- 
ti ini merupakan pantangan terbesar untuk berbicara. 
Karena tenaga jadi mengendur, dan terbagi, sehingga 
kemungkinan untuk terluka dalam akibat tenaga sen- 
diri yang membalik. Tapi, toh, kakek kecil itu melaku- 
kannya! 

Dan begitu kakek kecil itu selesai berbicara, tu- 
buhnya melesat dari gendongan Arya, bersalto bebe- 
rapa kali di udara dan kemudian hinggap berjarak be- 
berapa tombak dari tempat semula. 

"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak bisa me- 
neruskan permainan karena ada permainan lebih me- 
narik yang menungguku!" 

Tanpa menunggu tanggapan Arya, kakek kecil 
melesat meninggalkan tempat itu. Dan Arya yang sem- 
pat melihatnya terbelalak kaget. Kakek kecil itu ternya- 
ta berlari dengan mempergunakan kedua tangannya! 
Tapi, kecepatan larinya mengagumkan! 

Diam-diam Arya merasa heran melihat kela- 
kuan si Kakek Kecil. Tadi, kakek itu begitu berhasrat 
untuk mengajaknya bermain, tapi mengapa malah per- 
gi. Padahal, sekali lihat saja Arya tahu kalau kakek itu 
masih ingin bermain. 

Namun pertanyaan itu langsung terjawab keti- 
ka Arya mendengar bunyi geraman keras dari kejau- 
han, tempat yang dituju kakek kecil itu. Sebagai seo- 
rang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya 
tahu kalau suara itu bukan berasal dari mulut hari- 
mau atau binatang buas lainnya, melainkan dari mu- 
lut tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam tinggi. 

Rasa tertarik dan ingin tahu membuat Arya me- 
lesat menuju ke arah asal suara! 


kkk 


Jantung Arya berdetak lebih cepat dari semula 
ketika melihat pemandangan yang terpampang di ha- 
dapannya. Tiga sosok tengah terlibat dalam pertarung- 
an sengit yang amat dahsyat. Sedangkan tak jauh dari 
tempat itu, si Kakek Kecil yang aneh tadi tengah me- 
nyaksikan jalannya pertarungan sambil bermain batu- 
batu kecil yang dijadikannya kelereng! 

Arya merasa kaget bercampur gembira ketika 
mengenali dua di antara tiga orang yang tengah berta- 
rung itu. Satu seorang kakek berkepala botak yang ta- 
di telah menyerangnya kalang kabut untuk menuntut 
balas kematian muridnya. Sedangkan satu lagi, yang 
justru membuatnya merasa gembira, seorang nenek 
bertubuh tinggi kurus dan berhidung melengkung se- 
perti burung kakaktua. Rambutnya yang panjang tam- 
pak besar-besar dan tebal karena beberapa helai ram- 
but dipilin menjadi satu. Nenek ini ternyata orang yang 
tengah dicari-cari oleh Arya. 

Namun Arya tidak langsung secara sembrono 
terjun dalam kancah pertarungan, sungguhpun telah 
melihat orang yang tengah dicari-carinya. Diperhati- 
kannya jalan pertarungan secara seksama. Sebentar 
saja telah diketahuinya kalau nenek berhidung me- 
lengkung dan kakek berkepala botak berjuang bahu- 
membahu menghadapi lawannya. 

Baik nenek berhidung melengkung maupun 
kakek berkepala botak sama-sama memiliki kepan- 
daian yang amat tinggi. Namun harus diakui oleh Arya 
bahwa lawan kedua orang ini, seorang kakek kurus 
kering seperti mayat hidup, tampaknya memiliki ilmu 
lebih tinggi ketimbang kedua lawannya. Kakek kurus 
yang hanya mengenakan celana pendek kusam, tanpa 
baju itu mampu mengimbangi keroyokan kedua la- 
wannya, meskipun terlihat kerepotan. 

Sekarang Arya mengerti mengapa kakek berke- 
pala botak meninggalkannya begitu mendengar leng- 
kingan. Rupanya lengkingan tadi merupakan isyarat 
permintaan bantuan dari nenek berhidung meleng- 
kung. Jelas mereka berdua merupakan kawan baik. 
Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi Arya mengapa ka- 
kek kecil itu ikut kemari begitu mendengar geraman. 
Apakah ada hubungan antara kakek kecil dengan ka- 
kek kurus kering yang berilmu tinggi itu. 

Di kancah pertarungan kakek berkepala botak 
mengamuk dengan ayunan senjata andalannya. Tong- 
kat besar dan berat di tangannya berkelebatan cepat 
laksana tangan-tangan malaikat maut ke arah si Ka- 
kek Kurus Kering. Tapi, ke mana pun tongkat itu me- 
nyambar baik dalam bentuk tusukan maupun gebu- 
kan selalu berbenturan dengan tangan atau kaki yang 
kurus dari kakek kurus kering itu. Hal ini membuat 
Dewa Arak kagum bukan kepalang. Dia tahu untuk 
kesekian kalinya bertemu dengan tokoh yang luar bi- 
asa. Menangkis tongkat kakek berkepala botak dengan 
tangan atau kaki telanjang membuktikan kalau kakek 
itu memiliki kekuatan yang menakjubkan. 

Namun yang lebih membuat Arya merasa ka- 
gum, ketika melihat kakek kurus kering melakukan 
hal yang sama terhadap serangan-serangan dari nenek 
berhidung melengkung. Padahal, senjata nenek itu be- 
rupa dua batang anak panah yang ujung-ujungnya 
berwarna kehijauan pertanda mengandung racun jahat 

Kenyataan ini membuat Arya menduga kalau 
kakek kurus kering itu memiliki kekebalan tubuh yang 
hebat dan luar biasa. Kekebalan yang terjadi bukan 
karena tenaga dalam kuat, melainkan karena sebuah 
ilmu mukjizat 

Desss! 

Gebukan tongkat kakek berkepala botak den- 
gan telak dan keras menghantam paha kanan kakek 
kurus kering hingga tubuhnya terpental ke belakang 
dan terguling-guling. Namun, dengan cepat bangkit 
tanpa kurang suatu apa. Sepertinya pukulan tongkat 
yang sanggup menghancurkan batu karang itu tidak 
berarti apa-apa baginya. 

Sebelum kakek kurus kering itu sempat ber- 
buat sesuatu, anak panah nenek berhidung meleng- 
kung telah lebih dulu menyerempet lehernya. Seperti 
juga serangan tongkat, anak panah itu sama sekali ti- 
dak menimbulkan akibat yang berarti! Tubuh kakek 
kurus kering itu hanya terjajar ke belakang, tanpa ter- 
luka sama sekali! 

Hal ini membuat kakek berkepala botak dan 
nenek berhidung melengkung penasaran bukan main. 
Mereka menyerbu dengan lebih gencar dan kali ini 
menjatuhkan serangan pada bagian-bagian yang ber- 
bahaya dan lemah seperti mata dan ubun-ubun. Pili- 
han mereka ternyata tepat. Sekarang kakek kurus ke- 
ring itu tidak berani bertindak gegabah. Bahkan kini 
mulai terdesak semakin hebat. 

"Rongga...! Bantu aku...! Cepat, apa lagi yang 
kau tunggu?!" 

Kakek kurus kering itu berseru keras di ten- 
gah-tengah kesibukannya menangkis dan mengelak- 
kan serangan. Kepalanya ditolehkan pada kakek kecil 
yang saat itu tengah sibuk bermain-main dengan lu- 
dah, mencoba membuat bulatan-bulatan dengan 
mempergunakan ludah dibantu bibir. 

"Aku tak ingin bermain-main, Barureksa! Aku 
sedang jenuh! Kau saja menghadapi mereka. Nanti ka- 
lau aku mau, pasti aku akan turut campur tanpa kau 
minta," sahut kakek kecil yang ternyata bernama 
Rongga, tetap dengan kesibukannya bermain-main air 
ludahnya. 

Kakek kurus kering menggeram. Tapi geraman- 
nya langsung terhenti ketika tongkat kakek berkepala 
botak dengan keras menghantam perutnya hingga tu- 
buhnya terjengkang ke belakang. Waktu yang ada di- 
pergunakan sebaik-baiknya oleh kakek berkepala bo- 
tak dan nenek berhidung melengkung untuk melesat 
meninggalkan lawannya. Keduanya sadar dan merasa 
percuma untuk terus melanjutkan pertarungan karena 
keadaan yang tidak menguntungkan itu. 

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, baik nenek 
berhidung melengkung maupun kakek berkepala botak 
tahu kalau kakek kecil yang merupakan kawan kakek 
kurus kering merupakan lawan yang amat tangguh. 
Sehingga apabila kakek kecil yang bernama Rongga itu 
ikut campur tangan, keadaan mereka akan sangat ti- 
dak menguntungkan. Itulah sebabnya mereka melesat 
mengambil langkah seribu. 

Barureksa menggeram hebat penuh kemurkaan 
melihat kedua lawannya melarikan diri. Jarak yang su- 
dah jauh, membuatnya berhenti. Baginya menyusul 
mereka merupakan hal yang mustahil. Maka dia hanya 
bisa menimpakan kesalahan itu pada kakek kecil. Ka- 
kek kurus kering menatap Rongga penuh selidik. 

"Kalau saja kau ikut campur tangan, mereka ti- 
dak akan bisa kabur, Rongga. Tindakanmu telah 
membuat mereka berdua lolos. Ingat Rongga, kalau 
lain kali kau bertemu denganku, jangan harap nyawa- 
mu kuampuni!" 

Kakek kurus kering melesat meninggalkan ka- 
kek bernama Rongga setelah mengucapkan ancaman 
itu. Tapi, Rongga bersikap tidak peduli. Dia seperti 
tidak mendengar nada ancaman dalam ucapan Baru- 
reksa. Dia masih saja tenggelam dalam permainan lu- 
dahnya. 

Arya tidak berani bertindak gegabah. Begitu di- 
lihatnya kakek kecil kurus kering telah pergi jauh, dan 
Rongga tenggelam dalam permainannya, dia melesat 
cepat menyusul kakek berkepala botak dan nenek ber- 
hidung melengkung, berlari. 



Setelah berlari beberapa saat lamanya tidak ju- 
ga menjumpai adanya sepotong tubuh pun, Arya ter- 
paksa berhenti. Jangankan nenek berhidung meleng- 
kung dan kakek berkepala botak, kakek kurus kering 
pun tidak dijumpainya. Mereka lenyap seperti ditelan 
bumi. 

Sekarang, pemuda berambut putih keperakan 
ini berada di daerah yang kering karena berupa ham- 
paran pasir. Gundukan-gundukan batu besar kecil, 
dan bukit yang menjulang tampak di sekitar tempat 
itu. 

Arya mengedarkan pandangan sekali lagi untuk 
meyakinkan hati kalau usaha pengejarannya tidak 
akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pe- 
muda berambut putih keperakan itu pun memutuskan 
untuk membatalkan maksudnya. Di samping mempu- 
nyai tugas untuk mencari nenek berhidung meleng- 
kung yang merupakan pimpinan tertinggi gerombolan 
sesat yang telah berhasil dihancurkannya, Arya masih 
mempunyai sebuah tugas, yaitu memenuhi amanat 
Sekar Arum. Gadis itu tewas karena menyelamatkan- 
nya. Sekar Arum menjadi tameng dirinya, menerima 
hunjaman ratusan anak panah yang mengancam diri- 
nya. 

Ingat akan Sekar Arum wajah Arya menjadi 
murung. Ada perasaan sedih dan marah menusuk di 
hatinya. 

"Jangan khawatir, Arum. Pesanmu ini akan ku- 
sampaikan!" 

Dewa Arak melesat meninggalkan tempat beru- 
pa hamparan pasir itu. Tujuannya ke tempat pergu- 
ruan Sekar Arum! 

Meski Arya mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya dan jarang istirahat, setelah dua hari dua malam 
dirinya baru sampai di kaki bukit tempat perguruan 
yang dituju. Sebuah perjalanan cukup panjang telah 
ditempuhnya. Menyusuri hutan belantara, menyebe- 
rangi sungai serta naik turun perbukitan terjal. 

Tak membutuhkan waktu banyak bagi Dewa 
Arak untuk mendaki lereng, tempat perguruan itu. Se- 
telah beberapa saat berjalan mendaki, pondok pergu- 
ruan tempat Sekar Arum menjadi murid itu pun telah 
terlihat. 

Namun sepasang alis pemuda berambut putih 
keperakan itu berkerut dalam ketika melihat adanya 
keanehan di sekitar bangunan perguruan. Keadaannya 
sepi sekali, tidak terdengar suara apa pun. Hening se- 
perti mati. Arya memang telah mendengar cerita dari 
Sekar Arum kalau perguruannya hanya mempunyai 
beberapa orang murid. Selain dirinya, ada enam orang 
belajar di perguruan itu. Tapi, mungkinkah akan se- 
perti ini keadaannya? Hening dan seperti tanpa peng- 
huni? 

Melihat kenyataan yang mencurigakan ini, De- 
wa Arak berusaha mendekati pondok yang terkurung 
papan kayu bulat. Dengan hati-hati pemuda berpa- 
kaian ungu itu mengendap-endap mendekati sekelom- 
pok bangunan pondok. Padahal, semula dia bermak- 
sud datang secara terus terang. 

Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbuka 
lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya 
mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera mema- 
lingkan wajah dengan perut terasa mual! Jelas sekali 
terlihat oleh Dewa Arak, sesosok ramping berpakaian 
merah tengah lahap memakan benda putih bergumpal- 
gumpal sebesar kepalan! 

Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbu- 
ka lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya 
mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera mema- 
lingkan wajah dengan perut terasa mual! Secara jelas 
sekali terlihat olehnya, sesosok ramping berpakaian 
merah tengah dengan lahapnya memakan benda putih 
bergumpal-gumpal sebesar kepalan. Pada beberapa 
bagian terdapat cairan merah kental. 

Karena di dekat tubuh sosok berpakaian merah 
itu tergolek sosok tubuh dengan kepala terbelah men- 
jadi dua, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau 
benda putih bergumpal sebesar kepalan itu tentunya 
otak manusia! 

Seketika itu pula timbul perasaan geram di da- 
lam hati Arya terhadap sosok berpakaian merah. Na- 
mun, terselip juga rasa iba dan tidak sampai hati. 
Meskipun hanya sekali melihatnya, dia yakin kalau so- 
sok berpakaian merah itu adalah Sekardati! 

Namun naluri kependekarannya yang tidak 
pernah bisa membiarkan kekejian berlangsung di de- 
pan matanya, langsung membuat Arya dapat mengam- 
bil keputusan cepat. 

"Tak pernah kusangka kalau dirimu akan ter- 
sesat seperti ini, Sekardati!" seru Arya sambil melang- 
kah keluar dari tempat pengintaiannya. 

Sosok berpakaian merah itu membalikkan tu- 
buh dengan kaget karena tidak menyangka kalau ke- 
lakuannya diketahui orang. 

Namun ternyata bukan hanya sosok berpa- 
kaian merah itu yang merasa kaget, Aryapun demi- 
kian. 

Bahkan tubuh pemuda berpakaian ungu itu 
sampai terjingkat ke belakang karena kagetnya. Hanya 
saja ada tarikan kegembiraan pada sorot matanya di 
samping keterkejutan yang melanda. Dan hal ini terja- 
di karena Arya melihat sosok berpakaian merah ter- 
nyata bukanlah Sekardati. Memang, dandanan ram- 
butnya sama. Demikian juga potongan tubuh serta 
model pakaiannya ketika terlihat dari belakang. Tapi, 
wajah yang tampak bukan wajah Sekardati! Sekardati 
memiliki wajah cantik manis dengan kulit halus. Se- 
dangkan sosok berpakaian merah itu memiliki kulit 
wajah penuh keriput. Wajah seorang nenek. 

"Siapa kau, Bocah?! Menyingkirlah kalau tidak 
ingin mengalami nasib sama dengan mereka ini!" ben- 
tak nenek berpakaian merah seraya menuding sosok- 
sosok yang bergelimpangan berlumuran darah. 

Arya menggertakkan gigi. Dengan sepasang ma- 
ta dihitungnya jumlah mayat yang tergolek di sana, tu- 
juh orang! Berarti semua penghuni rumah perguruan 
ini telah dibunuh oleh nenek berpakaian merah ini. Ti- 
dak terkecuali guru Sekar Arum! 

"Keji!" desis Arya tajam seraya mengalihkan 
perhatian pada nenek berpakaian merah yang masih 
sibuk menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan da- 
rah dan otak. "Semula kukira kau kawanku, dan aku 
bimbang untuk membasmimu agar kekejian ini tidak 
terulang. Tapi kini lenyap keraguanku.... Orang seper- 
timu harus segera dilenyapkan dari muka bumi!" 

"Kaulah yang akan menerima kematian di tan- 
ganku, Bocah Usilan!" 

Nenek berpakaian merah mendahului menye- 
rang Dewa Arak dengan tendangan kaki kanan kiri 
bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi mengaung ke- 
ras. 

Dewa Arak menyadari serangan itu berbahaya. 
Sekali saja terkena kaki yang kelihatannya indah itu 
nyawanya akan berada di pintu alam baka. Maka dia 
bertindak cepat. Dengan kedua tangan ditangkisnya. 

Plak, plak, plak! 

Suara benturan terdengar berkali-kali ketika ta- 
ngan dan kaki itu beradu. Dan setiap kali benturan 
terjadi, tubuh kedua belah pihak sama-sama ter- 
huyung-huyung ke belakang. Bahkan pada benturan 
terakhir keduanya hampir terjengkang, karena begitu 
kuatnya benturan itu terjadi. 

Namun nenek berpakaian merah itu benar- 
benar bermaksud membuktikan ancamannya. Dia 
langsung mematahkan kekuatan yang membuat tu- 
buhnya terhuyung, lalu melancarkan serangan susu- 
lan yang tak kalah dahsyat. Setiap serangan yang dila- 
kukan mengeluarkan bunyi angin menderu. 

Dewa Arak yang tengah dilanda amarah karena 
perbuatan keji nenek berpakaian merah itu memu- 
tuskan untuk melawan dengan keras. Oleh karena itu 
serangan susulan ini akan dipapakinya lagi. Namun 
pemuda berpakaian ungu ini terkejut ketika menyadari 
kedua tangan yang hendak digunakan memapak tidak 
dapat digerakkan secara normal! Begitu dikerahkan 
tenaga dalam, kedua tangannya terasa ngilu bukan ke- 
palang. 

Melihat kedua tangannya mulai berwarna kela- 
bu, Arya langsung tahu kalau kedua tangannya telah 
terkena racun jahat. Ternyata kaki perempuan tua itu 
mengandung racun jahat. 

Itulah sebabnya Dewa Arak tidak berani mela- 
kukan tangkisan lagi. Di samping memang tidak bisa 
karena kedua tangannya berada dalam keadaan ngilu 
dan nyeri. Akhirnya dia hanya menggunakan kelinca- 
hannya untuk mengelak. 

Nenek berpakaian merah tidak tinggal diam. 
Malah serangan gencar yang dilancarkannya semakin 
menjadi-jadi setelah tahu hal yang telah dialami pe- 
muda itu. 

"Untung kau tidak terluka, Anak Muda. Kecil 
saja kulitmu berdarah, racun itu akan terbawa aliran 
darah menuju ke jantung. Apabila itu terjadi, nyawa- 
mu akan melayang ke neraka! Hi hi hi...!" 

Arya tahu kalau nenek berpakaian merah itu 
tidak berbohong. Namun dia tidak merasa gentar, ka- 
rena baginya mati bukan merupakan persoalan. Kehi- 
dupannya sebagai seorang pembela kebenaran, mem- 
buat hidupnya selalu terancam maut. Sewaktu-waktu 
nyawanya bisa melayang. Luka merupakan hal yang 
biasa. 

Dalam keadaan seperti itu Dewa Arak tidak 
mampu mempergunakan kedua tangannya. Yang dipa- 
kainya, sekarang, hanya kedua kaki untuk melancar- 
kan serangan. Itu pun langsung ditariknya kembali ke- 
tika melihat lawan berusaha menangkis. 

Tentu saja keberadaan pemuda berambut putih 
keperakan itu sangat tidak menguntungkan. Betapa 
pun kuatnya pertahanan, apabila tanpa penyerangan 
sama sekali akan bobol juga. Lama-kelamaan Dewa 
Arak tampak semakin kewalahan. Keadaannya sema- 
kin mengkhawatirkan ketika rasa pusing mulai melan- 
danya. Semula Arya bingung mengapa hal itu bisa ter- 
jadi. Namun segera disadari bahwa serangan-serangan 
yang dilakukan perempuan tua itu menimbulkan angin 
yang membawa uap racun. 

Kalau saja kedua tangannya tidak dalam kea- 
daan seperti itu, mungkin Arya mempunyai kesempa- 
tan untuk mengambil guci dan mengobati luka racun- 
nya. 

Desss! 

Akhirnya pukulan telapak tangan terbuka ne- 
nek berpakaian merah berhasil mendarat di bagian kiri 
dada Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih ke- 
perakan itu terjengkang ke belakang dan menabrak 
pagar kayu bulat hingga jebol! 

Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan jeritan 
ketika tubuhnya melayang deras ke bawah. Di bela- 
kang pagar kayu bulat itu ternyata menganga sebuah 
jurang curam dan dalam. Tak pelak lagi, tubuh Dewa 
Arak melayang ke jurang itu. 

Nenek berpakaian merah kaget mendengar te- 
riakan Arya. Dia pun melesat mengejar untuk melihat- 
nya. Bulu kuduknya langsung berdiri ketika melihat 
jurang menganga tampak kelihatan dasarnya itu. Se- 
perti Arya, dia pun tidak menyangka kalau bagian be- 
lakang perguruan ini ternyata sebuah jurang. Tanpa 
berkata apa pun, nenek berpakaian merah itu men- 
jauh. Kemudian, dia telah sibuk kembali memakan 
otak mayat-mayat guru dan saudara seperguruan Se- 
kar Arum. 

kkk 


Setelah melayang-layang beberapa saat la- 
manya, tubuh Arya jatuh di atas permukaan air. Tu- 
buh pemuda itu terus meluncur ke dalam air. Tak la- 
ma kemudian, berkat ilmu meringankan tubuhnya 
pemuda berambut putih keperakan itu berhasil men- 
gapung di atas permukaan air. Arya masih tetap sadar, 
meskipun telah melayang jatuh dari ketinggian jurang. 

Dan sekarang, meskipun dalam keadaan terlu- 
ka parah akibat racun dan pukulan pada dada kiri 
yang juga beracun, Arya berusaha keras untuk menye- 
lamatkan selembar nyawanya. Dengan keadaan tangan 
hampir lumpuh, dia berjuang keras. 

Namun dasar jurang yang ternyata air, dan me- 
rupakan badan sungai itu mempunyai arus kuat seka- 
li. Arya yang tengah berada dalam keadaan lemas, tak 
mampu bertahan dari arus sungai yang sangat deras. 
Tubuhnya terbawa arus, meskipun kedua kakinya 
menjejak-jejak ke sana kemari berusaha menahan. 

Entah berapa lama Dewa Arak yang dalam kea- 
daan setengah pingsan terus terbawa arus air sampai 
jauh. Ketika akhirnya sepasang matanya membuka 
disadari kalau tubuhnya telah tidak terbawa air lagi. 
Tapi, dia tahu kalau tubuhnya masih berada di dalam 
sungai. 

Ketika Arya memperhatikan sekelilingnya, baru 
dia sadar tubuhnya tersangkut pada sebuah batu yang 
menonjol di tengah permukaan sungai. Dengan susah 
payah Arya beringsut mendaki gundukan batu itu, 
agar tidak terendam di aliran air. Dan ketika akhirnya 
berada di atas batu yang kebetulan mempunyai per- 
mukaan rata, pemuda itu duduk bersila. Dia bersiap 
untuk mengobati luka dalamnya. 

Sebuah keuntungan masih berpihak pada Arya. 
Guci araknya, sumber penangkal racun tidak terlepas 
dari punggung. Bahkan isinya masih ada sungguhpun 
tidak penuh. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian 
ungu itu telah sibuk dengan pengobatannya, luka da- 
lam dan keracunan. 

Cukup lama juga hal itu dilakukan, sejak ma- 
tahari belum mencapai titik tengahnya sampai con- 
dong ke barat, baru Aiya merasakan luka di dalam tu- 
buhnya telah mulai pulih. Bahkan kedua tangannya 
telah kembali seperti sediakala. 

Pemuda berambut putih keperakan ini mem- 
perhatikan keadaan di sekelilingnya. Tempatnya bera- 
da ternyata diapit oleh dinding tebing yang cukup ting- 
gi. Dinding-dinding yang di atasnya banyak tumbuh 
pepohonan besar kecil. Sungai ini ternyata berada di 
dalam hutan. 

Dengan sorot matanya Aiya mengukur keting- 
gian tebing di kanan kirinya. Sekali lihat saja dia tahu 
kalau tebing di sebelah kanan jauh lebih rendah. Maka 
dia segera memutuskan untuk menujukan tindakan ke 
sana 


Meskipun demikian, Arya tahu untuk mencapai 
atas tebing dengan sekali atau dua kali lompatan me- 
rupakan sebuah perbuatan mustahil. Tinggi tebing itu 
tak kurang dari dua puluh tombak. Tapi, Arya tidak 
kehilangan akal. Dipungutnya beberapa buah batu ke- 
cil yang didapatkan dari tempat dirinya berada. 

"Hih!" 

Arya langsung melemparkan sebuah batu ke 
atas. Kemudian tubuhnya menyusul melompat, lalu 
menjejak batu itu untuk melompat lagi ke atas. Pada 
saat yang bersamaan, batu kedua dilemparkannya, 
dan hal serupa pun dilakukan. Begitu seterusnya, 
hingga dapat mendarat di atas tebing dengan selamat 

"Hihihi...!" 

Sebuah tawa bergelak langsung menyambut ke- 
tika Arya baru saja menjejakkan kaki di tanah tepian 
tebing. Karuan saja hal ini membuat pemuda beram- 
but putih keperakan itu langsung bersikap waspada. 

Sesaat kemudian sekujur urat saraf dan otot- 
otot tubuhnya kembali mengendur setelah sekian la- 
manya menunggu, dan juga memperhatikan suasana 
sekitar, tidak nampak adanya seseorang tadi tertawa. 

Namun tiba-tiba Arya kaget lagi mendengar 
pemilik suara itu kembali mengumandangkan kata- 
katanya yang sarat dengan perasaan gembira. 

"Hi hi hi...! Sebentar lagi usahaku ini akan ber- 
hasil. Aku tidak akan pernah tua. Aku akan hidup se- 
ribu tahun lagi. Hi hi hi...!" 

Arya mengernyitkan dahi mendengar ucapan 
itu. Kemudian setelah memperkirakan dari mana asal 
suara, diayunkan kaki menuju ke tempat itu. Dia ingin 
tahu orang yang telah mengeluarkan perkataan seperti 
itu. Apalagi di tempat terpencil seperti ini! 

Dengan cerdik, Arya memperhatikan jalan yang 
ditempuhnya. Medan yang berupa kumpulan semak- 
semak dan ilalang serta pepohonan liar seperti tidak 
pernah terjamah manusia itu, membuatnya hati-hati 
memilih langkah. Sekali menyentuh dahan kering, ke- 
beradaannya akan diketahui oleh pemilik suara itu. 
Dan hal ini tidak diinginkannya. 

Ternyata asal suara itu berasal dari tempat 
yang cukup jauh. Setelah cukup lama berjalan, pemu- 
da berambut putih keperakan itu baru melihat pemilik 
suara itu. Arya kaget ketika mengenali sosok yang ten- 
gah tertawa-tawa gembira di depan mulut sebuah goa. 
Aiya yang mengintai dari balik sebatang pohon men- 
genal betul siapa sosok yang tertawa-tawa itu. Ternya- 
ta dialah yang selama ini tengah dicari-carinya, nenek 
berhidung melengkung! Pimpinan tertinggi Pasukan Ib- 
lis Neraka yang telah berhasil dihancurkannya bersa- 
ma para pendekar lain. Segerombolan tokoh jahat yang 
melakukan tindakan-tindakan keji, menculiki wanita- 
wanita perawan dan bayi-bayi yang masih kecil. Entah 
untuk apa hal itu dilakukannya. Arya tidak tahu, bah- 
kan sampai pimpinan tertinggi, yaitu nenek berhidung 
melengkung itu, melarikan diri! 

Kemarahan Arya bangkit ketika melihat nenek 
berhidung melengkung. Apalagi disadari kalau ke- 
mungkinan besar nenek ini baru saja melakukan keja- 
hatan keji lagi. Tapi, sebelum pendekar muda itu ke- 
luar dari tempat persembunyiannya untuk melakukan 
penyerbuan, dari arah sebelah kanan melesat sesosok 
bayangan biru. Dan tahu-tahu di depan nenek berhi- 
dung melengkung berdiri seorang pemuda berwajah ti- 
rus berpakaian biru. Sikapnya terlihat menantang se- 
kali. 

"Rupanya kau bersembunyi di sini, Nenek Pe- 
nyihir!" bentak pemuda berpakaian biru, sambil me- 
nudingkan jari telunjuknya ke muka nenek berhidung 
melengkung. "Asal kau tahu saja, ke mana pun kau 
pergi tetap akan kucari!" 

Nenek berhidung melengkung seketika murka 
melihat sikap pemuda berpakaian biru di hadapannya. 
Kaki kanannya bergerak menjejak tanah, dan seketika 
itu pula tanah amblas hampir sedalam betis! 

"Siapa kau, Pemuda Lancang?! Sungguh berani 
kau bersikap seperti itu di depanku! Apa kau telah bo- 
san hidup?" 

"Hmh!" Pemuda berpakaian biru mendengus 
melihat kemarahan nenek berhidung melengkung. Dia 
tidak kelihatan merasa kaget atau gentar. "Siapa 
adanya aku tidak perlu kau tahu. Yang perlu kau tahu 
maksud kedatanganku kemari. Aku ingin membu- 
nuhmu, Nenek Tua!" 

"Keparat!" Nenek berhidung melengkung mem- 
bentak keras. "Rupanya kau sudah kepingin mati, Mo- 
nyet Jelek! Pergilah ke neraka!" 

Nenek berhidung melengkung mengibaskan ta- 
ngan kanannya. Bunyi berdesir pun langsung terden- 
gar berbarengan dengan meluncurnya benda-benda 
halus ke arah pemuda berpakaian biru. 

Arya yang memperhatikan secara seksama, ta- 
hu kalau nenek berhidung melengkung mengirimkan 
serangan dengan mempergunakan senjata berupa ja- 
rum. Tidak kurang dari sepuluh banyaknya. Dan meli- 
hat bagaimana keadaan nenek berhidung melengkung, 
jarum-jarum itu sudah pasti mengandung racun jahat 
Aiya mengkhawatirkan keselamatan pemuda berpa- 
kaian biru itu. 

Arya yang sudah bersiap-siap untuk memberi- 
kan pertolongan apabila pemuda berpakaian biru itu 
tidak melihat serangan atau tidak mampu mengelak- 
kan, jadi terkejut. Ternyata kekhawatirannya tidak be- 
ralasan sama sekali. Dengan sikap tenang, pemuda 
berpakaian biru itu memutar-mutarkan kedua tangan. 
Seketika jarum-jarum itu runtuh sebelum mencapai 
sasaran. 

Nenek berhidung melengkung kembali menge- 
luarkan jeritan melengking sambil melancarkan seran- 
gan susulan. Kali ini serangannya lebih ganas, karena 
menggunakan anak panah. 

Pemuda berpakaian biru rupanya tahu keli- 
haian lawan, sehingga dia tidak berani bertindak gega- 
bah. Begitu nenek berhidung melengkung mengelua- 
rkan anak-anak panah yang ujungnya beracun, dia 
pun mencabut senjatanya. Sebatang golok berwarna 
merah membara seperti besi dibakar! Dengan adanya 
senjata andalan di masing-masing pihak pertarungan 
semakin sengit. 




Arya yang menyaksikan dari jarak jauh dengan 
penuh minat merasa kagum melihat pertarungan itu. 
Untuk kesekian kali kembali dijumpai tokoh-tokoh per- 
silatan yang berilmu tinggi. Pengalaman ini membuat- 
nya harus mengakui bahwa banyak tokoh berilmu 
tinggi di permukaan bumi ini. 

Sementara di kancah pertarungan nenek berhi- 
dung melengkung dan pemuda berpakaian biru masih 
terlibat dalam pertarungan sengit. Tapi lambat laun 
mulai tampak keunggulan si Nenek. Pemuda berpa- 
kaian biru ternyata kurang memiliki pengalaman ber- 
tempur, sehingga dengan mudah dapat dibaca lawan. 

Dengan mengandalkan kelebihan jumlah senjatanya, 
nenek berhidung melengkung menekan pemuda ber- 
pakaian biru. Golok pemuda berpakaian biru selalu di- 
apit dan ditempel oleh anak panah yang satu, se- 
dangkan anak panah sisanya digunakan untuk melan- 
carkan serangan. Cara ini membuat pemuda berpakai- 
an biru selalu dalam kedudukan terdesak. 

Trakkk! 

Pemuda berpakaian biru mengeluarkan kelu- 
han tertahan ketika golok merahnya tertempel anak 
panah di tangan kiri lawan. Dan ketika nenek itu me- 
mutarkan anak panahnya, golok di tangan pemuda 
berpakaian biru ikut terputar tanpa dapat dicegah. Go- 
lok itu seperti telah melekat dengan anak panah lawan. 

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya 
oleh nenek berhidung melengkung. Anak panah di tan- 
gan kanannya ditusukkan ke tenggorokan lawan. Se- 
rangan ini memaksa pemuda berpakaian biru melem- 
parkan tubuh ke belakang, dan dengan berat hati sen- 
jata andalannya dilepaskan. 

Nenek berhidung melengkung tidak berhenti 
sampai di situ saja dalam bertindak. Dengan dua buah 
anak panahnya dia terus memburu lawan dan meng- 
hujaninya dengan serangan gencar. Sekali saja terke- 
na, nyawa pemuda berpakaian biru akan terancam 
bahaya maut. 

Trakkk! 

Di saat ujung anak panah di tangan kanan la- 
wan hampir menembus ulu hati pemuda berpakaian 
biru, melesat sesosok bayangan ungu, menyelak di an- 
tara mereka dan menangkis dengan gucinya. 

"Keparat! Lagi-lagi kau!" seru nenek berhidung 
melengkung penuh perasaan geram ketika melihat so- 
sok yang berdiri di depannya dengan tangan kanan 
memegang guci. 

"Benar, aku! Akhirnya kita bertemu lagi, Ken- 
cana Wungu," ucap Dewa Arak, sosok berpakaian un- 
gu itu, tersenyum sinis. "Dan ini berarti penentuan te- 
rakhir di antara kita. Kalau bukan kau, tentu aku yang 
akan mati! Bersiaplah, Kencana Wungu!" 

"Kaulah yang akan mati, Pemuda Usilan!" 

Sambil menjerit nyaring, nenek berhidung me- 
lengkung yang ternyata bernama Kencana Wungu me- 
nerjang Dewa Arak. Anak panah di tangan kanan diso- 
dorkan ke arah leher, sedangkan yang kiri mengarah 
ke lambung. Namun hanya dengan menarik tubuh ke 
belakang, Arya telah membuat kedua serangan itu 
kandas. Bahkan kemudian langsung mengirimkan se- 
rangan balasan dengan sebuah tendangan kaki kiri ke 
arah ulu hati lawan. 

Namun, serangan itu buru-buru ditarik kembali 
karena sebelum mencapai sasaran, anak panah di tan- 
gan kanan Kencana Wungu digunakan untuk menang- 
kal tendangan itu. Kalau Dewa Arak bersikeras untuk 
meneruskan serangan, sebelum berhasil mendarat di 
sasaran kakinya akan tertusuk anak panah yang men- 
gandung racun. Sesaat kemudian, baik Dewa Arak 
maupun Kencana Wungu telah saling melancarkan se- 
rangan dan menggelakkannya. 

Tak berapa jauh dari tempat mereka, pemuda 
berpakaian biru menghapus keringat yang membasahi 
keningnya. Kalau saja Dewa Arak tidak cepat bertin- 
dak, nyawanya tentu sudah melayang. Dia memperha- 
tikan jalannya pertarungan sesaat sebelum men- 
gayunkan kaki mengambil golok merahnya yang tadi 
dilemparkan Kencana Wungu begitu saja. 

Pemuda berpakaian biru menimang-nimang go- 
loknya sambil mengarahkan pandangan ke kancah 
pertarungan. Dilihatnya masih berlangsung seimbang. 
Meskipun demikian sepasang matanya yang tajam, da- 
pat mengetahui kalau kemungkinan Dewa Arak keluar 
sebagai pemenang besar sekali. Pemuda berambut pu- 
tih keperakan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, 
ilmunya aneh. Setiap serangan Kencana Wungu, beta- 
papun hebatnya, selalu dapat dielakkan dengan cara 
aneh. Sebaliknya, serangan-serangan balasan yang di- 
kirimkan, bertubi-tubi dan penuh mengandung teka- 
nan tak ubahnya gelombang lautan. 

Beratnya serangan-serangan Dewa Arak dira- 
sakan sendiri oleh Kencana Wungu. Dia terus didesak 
dan dihimpit 

"Kuhitung sampai tiga, Kencana Wungu. Dan 
kau harus melancarkan serangan berantai. Usahakan! 
Pada saat yang sama aku pun melancarkan serangan. 
Aku yakin Dewa Goblok itu akan berhasil kita binasa- 
kan!" 

Kencana Wungu agak tersentak begitu men- 
dengar suara di telinganya. Bukan karena suara itu 
dikeluarkan dengan ilmu mengirim suara dari jauh, 
yang menjadi bukti kehebatan pengirimnya, tapi kare- 
na mengenal siapa pemilik suara itu, sungguhpun dia 
mendengarnya baru sekali. Mendengar adanya ke- 
sungguhan dalam suara itu dia memutuskan untuk 
menurutinya. 

Maka begitu suara itu terdengar telah menghi- 
tung sampai tiga, tanpa peduli keselamatan, nenek 
berhidung melengkung itu melompat menerjang Dewa 
Arak. Dua anak panah di tangannya ditusukkan ber- 
tubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh lawan. 

Bertepatan dengan meluncurnya serangan Ken- 
cana Wungu, dari arah sebelah kanan melesat sesosok 
bayangan ke arah Dewa Arak. Dalam sekejap tampak 
segundukan sinar merah membara berputaran mende- 
kati pemuda berambut putih keperakan itu. Dan ke- 
mudian berubah menjadi seleret sinar merah yang me- 
luncur cepat ke arah leher. 

Arya yang tidak menyangka akan terjadinya hal 
seperti ini kaget bukan kepalang. Serangan Kencana 
Wungu saja sudah membuatnya repot, ini masih di- 
tambah dengan serangan tak kalah dahsyat yang me- 
luncur dari arah kanannya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini pun mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya dan melemparkan tubuh ke belakang. 

Namun, rupanya baik Kencana Wungu maupun 
sosok yang mengirim serangan belakangan, sudah 
memperhitungkan hal itu. Tubuh mereka pun mela- 
yang mengikuti Arya sambil terus menghujani serang- 
an secara gencar. 

Wajah Arya berubah tegang, tapi masih beru- 
saha keras untuk menyelamatkan dirinya. Dengan ce- 
pat dipalangkan gucinya di depan dada, sedangkan 
kepalanya digelengkan ke kanan. 

Crat, crattt! Srettt! 

Arya tidak tahu apa yang terjadi, hanya dirasa- 
kan sakit dan perih menyengat bahu kanan, serta ke- 
dua pergelangan tangannya. Seketika itu pula, hawa 
yang sangat panas dirasakan menjalar dari bahu ka- 
nan, sedangkan dari pergelangan tangan mengalir ce- 
pat hawa dingin! Kedua sergapan hawa ini membuat 
pemuda berambut putih keperakan ini pusing. Namun, 
nalurinya membisikkan adanya bahaya lanjutan yang 
masih mengancam. Maka begitu berhasil menjejak ta- 
nah, walau dengan agak terhuyung, tubuhnya lang- 
sung bergulingan cepat. 

Perhitungan Dewa Arak ternyata benar, begitu 
melihat serangan tadi tidak membuahkan hasil seperti 
yang diharapkan, Kencana Wungu dan penyerang sa- 
tunya lagi, memburu Dewa Arak yang tengah bergulin- 
gan di tanah. 

Dewa Arak meskipun berada dalam cengkera- 
man rasa pusing, masih sempat melihat samar-samar 
dua sosok yang memburunya. Maka gulingan tubuh- 
nya terus dilanjutkan. Tapi, hanya sebentar saja. Ka- 
rena sesaat kemudian pandangan berubah gelap pekat 

kkk 

"Uhhh...!" 

Arya mengeluh dengan mulut menyeringai ke- 
sakitan ketika merasakan sakit laksana ditusuk-tusuk 
oleh pisau mendera pergelangan tangannya. Sedang- 
kan hawa yang sangat panas seakan tengah membakar 
bahu kanannya. 

"Tenanglah, kau tidak boleh banyak bergerak 
dulu. Biarkan obatnya meresap dulu. Memang perih, 
tapi tahanlah sebentar." 

Terdengar sebuah suara halus dan lembut keti- 
ka pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud 
untuk bangkit. 

Aiya mematuhi ucapan halus itu. Perlahan- 
lahan dia membelalakkan matanya berusaha melihat 
orang itu. Namun, usahanya sia-sia. Sepasang ma- 
tanya belum bisa melihat jelas. Pemandangan yang 
tampak hanya sesosok tubuh samar-samar berwarna 
hijau. Meskipun demikian, menilik warna pakaian dan 
suaranya yang lembut, sosok ini pasti seorang wanita. 

Terpaksa Aiya menutup mata lagi karena kepa- 
lanya dirasakan pusing kembali. Meskipun demikian, 
dia berusaha untuk mengingat-ingat mengapa bisa be- 
rada bersama sosok berpakaian hijau yang diduganya 
seorang wanita dan tentu berwajah cantik molek serta 
bertubuh montok menggiurkan. Namun, betapapun 
Dewa Arak mengorek ingatannya, yang didapat dan 
sempat diingat hanya di saat dia menggulingkan tubuh 
dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan selembar 
nyawanya. Setelah itu tidak ada lagi yang bisa diingat- 
nya. Ataukah sosok hijau ini yang telah menyela- 
matkannya dari tangan maut Kencana Wungu dan 
penjahat satu lagi yang tidak disangka-sangkanya? 
Tapi mungkinkah itu? Benarkah sosok hijau ini memi- 
liki kepandaian melebihi Kencana Wungu dan kawan- 
nya? Rasanya tidak mungkin! Kakek kurus kering yang 
memiliki kepandaian dan berilmu tinggi saja tidak 
sanggup menghadapi pengeroyokan Kencana Wungu 
dan kakek berkepala botak. Padahal Arya berani berta- 
ruh kalau penjahat yang membantu Kencana Wungu 
memiliki kemampuan tak kalah hebat dengan kakek 
berkepala botak 

Teringat akan kakek kurus kering, Arya tanpa 
sadar bergidik. Mau tidak mau harus diakui dalam ha- 
ti kalau kepandaiannya tak akan cukup jika dipergu- 
nakan untuk menghadapi kakek kurus kering yang 
luar biasa itu. Belum lagi kakek kecil yang berwatak 
seperti anak kecil! Kalau saja kedua tokoh sakti yang 
sepertinya saling kenal itu melakukan tindak kejaha- 
tan, dia tidak akan mampu menanggulangi. 

Mendadak hati Arya tercekat ketika berhasil 
mengingat-ingat sesuatu yang membuat hatinya ber- 
debar tegang. Gerakan-gerakan pemuda berpakaian bi- 
ru itu ternyata memiliki persamaan dengan kakek ku- 
rus kering! Dan ini baru terpikirkan olehnya. Mengapa 
dia begitu pelupa? Apakah ada hubungan antara ke- 
dua orang itu? 

Namun hanya sampai di situ Dewa Arak dapat 
mengingat-ingat dan berpikir, karena sepasang mata- 
nya mendadak berat. Dan tanpa mampu bertahan lagi, 
dia tertidur. 

Begitu terbangun, tubuhnya dirasakan enak 
sekali. Tidak ada lagi rasa sakit, baik pada kedua per- 
gelangan tangan maupun bahu kanan. Bahkan semua 
luka itu telah sembuh. Arya tidak merasa heran meli- 
hat hal ini, karena dia tahu banyak tokoh memiliki ob- 
at luka yang amat mujarab, bahkan dia pun memili- 
kinya. 

Aiya mengedarkan pandangan, tapi tetap tidak 
ditemukan sosok hijau yang dilihatnya sewaktu dia 
masih belum sadar betul. Hal ini membuat hatinya 
merasa penasaran sekali. Apakah sosok hijau itu lang- 
sung pergi meninggalkannya begitu dia sembuh, tanpa 
menunggunya bangun? Berpikir demikian, Dewa Arak 
bergegas bangkit berdiri. 

Baru saja Arya memutuskan untuk meninggal- 
kan tempat itu, guna mencari sosok hijau, telinganya 
menangkap adanya langkah-langkah halus pertanda 
ada tokoh berkepandaian tinggi mendekati tempatnya. 
Arya pun bersikap waspada. Barangkali saja pemilik 
langkah itu si Nenek Kencana Wungu atau penjahat 
yang membantu nenek berhidung melengkung itu me- 
nyerangnya. 

Tapi, urat-urat sarafnya yang telah mengejang 
itu mengendur kembali ketika melihat sosok pemilik 
langkah. Arya terpesona ketika menatapnya. Sosok 
berpakaian hijau ini seperti yang diduga Arya memang 
cantik, bahkan melebihi apa yang diperkirakan Arya. 
Tidak hanya tubuhnya yang ramping indah dan meng- 
giurkan. Kulit tubuhnya halus dan mulus, serta bersih 
sekali. 

"Ah...! Kiranya kau sudah bangun!" 

Ucapan gadis berpakaian hijau itu membuat 
Aiya sadar dari ketidakpantasan sikapnya, buru-buru 
ditundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah- 
nya yang memerah. Dan ketika diangkat kembali wa- 
jah itu telah kembali seperti semula. 

"Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Arya. 
"Kuucapkan terima kasih, atas segala jerih payahmu." 

"Lupakanlah," ujar gadis berpakaian hijau 
sambil mengulapkan tangan kanannya, sedangkan 
tangan kirinya sibuk menjinjing setandan pisang yang 
telah masak. "Hanya sebuah pertolongan kecil. Kalau 
aku tidak salah kau Arya bukan?" 

Aiya langsung melongo. Dari mana gadis berpa- 
kaian hijau ini tahu namanya kalau bertemu saja baru 
kali ini? 

"Tidak perlu heran, Arya. Nanti kuceritakan. 
Sekarang lebih baik kalau kita, terutama sekali kau... 
makan dulu. Kau lapar kan? Pasti! Karena sudah se- 
hari semalam kau tidak makan." 

"Sehari semalam?" ulang Arya dalam hati. Be- 
rarti dirinya pingsan sampai selama itu. Dan ini benar- 
benar di luar dugaannya. 

Sementara gadis berpakaian hijau langsung 
duduk dan mengajak Arya untuk melakukan hal yang 
sama. Tanpa banyak membantah, pemuda itu melaku- 
kannya. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi ini te- 
lah sibuk dengan pisang yang tergenggam di tangan. 

"Bagaimana dengan Kencana Wungu dan ka- 
wannya, Nisanak..?" tanya Arya berusaha untuk men- 
gorek keterangan sehingga dirinya ditolong gadis ber- 
pakaian hijau. 

"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian hijau 
seraya mengangkat bahu, dan menelan pisang yang te- 
lah dimasukkan ke dalam mulutnya. "Begitu kulem- 
parkan bahan peledak yang membuat mereka kelaba- 
kan dan mundur, kusambar tubuhmu dan kubawa 
kabur. Sayang sekali, Arya, aku datang terlambat. Ka- 
lau tidak, kita berdua akan menghadapi mereka ber- 
sama-sama." 

Arya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepa- 
la dengan perasaan bingung. Gadis berpakaian hijau 
ini bercakap-cakap seolah Arya adalah kenalan la- 
manya. Hal ini membuatnya merasa bingung dan si- 
buk menduga-duga. 

"Aku telah banyak mendengar tentang dirimu, 
Arya. Jadi kau tidak perlu merasa heran," ucap gadis 
berpakaian hijau, yang rupanya mengetahui perasaan 
hati Dewa Arak. "Tapi, untuk tidak mengacaukan sua- 
sana, baiknya kuperkenalkan diriku. Aku, Sekardati, 
dan..." 

Sekardati terpaksa menghentikan ucapannya di 
tengah jalan ketika melihat Arya terbatuk-batuk kare- 
na pisang yang telah berada di tenggorokan tidak sege- 
ra ditelannya. Gadis berpakaian hijau ini menjadi he- 
ran. Ia tahu, orang seperti Arya tidak mungkin menga- 
lami hal itu sebenarnya kalau tidak mengalami keter- 
kejutan, dan itu pasti karena ucapannya. 

"Apakah ada ucapanku yang salah?" tanya Se- 
kardati, hati-hati. 

"Sebenarnya tidak," sahut Arya sambil menatap 
tajam gadis berpakaian hijau di depannya. "Tapi kalau 
kau maksudkan dirimu adalah Sekardati saudara 
kandung Arum, dan putri sahabatku, Salaban, kea- 
daan menjadi lain." 

"Lho?! Memangnya kenapa, Arya?" Sekarang 
gadis berpakaian hijau yang mengaku sebagai Sekar- 
dati itu yang kebingungan. "Memang aku Sekardati 
saudara kandung Sekar Arum, anak dari Salaban." 

"Kalau boleh kutahu, sebenarnya Salaban itu 
mempunyai berapa orang anak bernama Sekardati?!" 
Arya malah balas bertanya. 

Sekardati bangkit dengan perasaan berang. Pi- 
sang yang baru saja digigit separo, dibantingnya ke ta- 
nah dengan perasaan kesal. 

"Apa maksudmu, Arya?! Apakah kau hendak 
mempermainkan aku?! Tentu saja Sekardati hanya ada 
satu, aku! Aku hanya mempunyai satu saudara kan- 
dung, yaitu Sekar Arum! Apa maksud ucapanmu!" 

Aiya menghela napas berat. Melihat sikap Se- 
kardati, dia tahu ada sebuah kesalahpahaman di sini. 
Atau lebih tepatnya lagi ada hal-hal unik yang tersem- 
bunyi. Menuruti kemarahan akan menimbulkan per- 
masalahan baru yang tidak akan pernah kunjung sele- 
sai. Maka diberinya isyarat pada Sekardati untuk du- 
duk. Untung, gadis itu menurutinya meskipun dengan 
mulut masih monyong. 

"Dengar baik-baik, Sekardati atau siapa pun 
namamu," Arya memulai ucapannya yang membuat 
Sekardati tak senang mendengarnya. Tapi pemuda be- 
rambut putih keperakan itu berpura-pura tidak tahu. 
"Beberapa hari yang lalu, di tempat pemakaman ke- 
luargamu, aku bertemu dengan seorang gadis menga- 
ku bernama Sekardati. Tentu saja aku percaya karena 
dia kenal dengan Sekar Arum dan Salaban. Namun 
kemudian dia menyerangku dengan kemarahan karena 
kesalahpahaman, dan sampai sekarang permasalahan 
ini belum selesai!" 

"Keparat! Sungguh berani orang itu memalsu- 
kan diriku...!" seru Sekardati penuh perasaan geram. 

"Yang membuatku merasa heran," sambung 
Aiya atas ucapannya yang belum tuntas. "Peran yang 
dibawakannya sebagai Sekardati sangat pas sekali se- 
hingga aku yakin kebenaran pengakuannya. Di samp- 
ing dia mengetahui keluargamu, juga dia benar-benar 
marah dan berniat membunuhku karena kesalahpa- 
haman.... maksudku salah duga...." 

"Apakah yang menyebabkannya salah paham 
itu?" tanya Sekardati penasaran. Keningnya berkerut 
menatap Dewa Arak yang duduk tenang di depannya. 

Arya pun menatap wajah Sekardati lekat-lekat 
sebelum mengutarakannya. Dan seperti yang telah di- 
duganya, Sekardati kaget bahkan amat berduka, tapi 
rupanya hati gadis itu tetap tegar sehingga tidak men- 
jatuhkan air mata. Dia hanya terkesima dan mendadak 
diam. Sementara sepasang matanya berkaca-kaca. 

Arya tahu kalau gadis berpakaian hijau itu ten- 
gah berusaha menahan gejolak perasaan, maka dia ti- 
dak ingin mengusiknya. 

"Aku pun, kalau tidak mendengar tentang diri- 
mu dari Sekar Arum apalagi melihat keberadaanmu di 
tempat itu, akan menduga demikian. Kesimpulan yang 
diambil orang yang memalsukan aku tidak salah... 
maksudku tidak bisa disalahkan...," ucap Sekardati, 
akhirnya dengan suara mengambang, tidak berirama. 
Sedangkan sepasang matanya menerawang jauh ke 
atas. Kelincahannya lenyap. 

"Hhh...!" Arya menghela napas berat, dan men- 
gangguk-anggukkan kepala, menyetujui pendapat ga- 
dis berpakaian hijau itu. "Kalau boleh kuberikan sa- 
ran, keluarkan saja kesedihanmu, Sekardati. Tidak 
baik menyimpannya di dalam dada kalau memang be- 
rat. Lebih baik kau tumpahkan, keluarkan sampai ha- 
bis biar dadamu ringan. Dan...." 

"Maksudmu... menangis, Arya?!" potong Sekar- 
dati dengan suara tetap datar, sedangkan sepasang 
matanya meski melihat pada Arya, tapi tatapannya ko- 
song. "Kau tahu, pantang bagiku untuk meneteskan 
air mata. Aku tidak ingin menangis, dan tidak akan 
pernah menangis. Jelas?!" 

Arya terdiam, tidak memberikan tanggapan sa- 
ma sekali. 

"Kalau boleh, aku ingin kau memberikan ciri- 
ciri wanita yang telah menyamar sebagai diriku, Arya. 
Aku ingin menyelidikinya. Aku ingin tahu maksud 
yang terkandung dalam penyalahgunaan nama ini." 

"Dia seorang gadis berpakaian serba merah, 
cantik, muda, dan berambut dikuncir satu. Pada wa- 
jahnya, di bagian pipi atas...." 

"Cukup..., Arya," potong Sekardati, cepat suara- 
nya tetap datar. 

"Kau mengenalnya, Sekardati?" tanya Arya, 
yang dijawab dengan anggukan Sekardati. 

"Dia kakak seperguruanku. Baik hati. Tapi 
sayang, nasibnya buruk. Aku harap, apabila kau ber- 
temu dengannya lagi, kau tidak menyakitinya, Arya. 
Dia baik hati, tidak jahat. Dan sebagai tambahan, ka- 
kak seperguruanku itu amat menyayangiku dan ayah- 
ku. Semula dia anak yang terlantar, ditemukan oleh 
ayahku lalu dipelihara secara baik dan penuh kasih 
sayang sampai berusia sepuluh tahun. Jadi keluarga- 
ku telah dianggap keluarganya sendiri." 

"Akan kuingat, Sekardati," janji Arya, mantap. 
"O ya, hampir aku lupa. Sekar Arum menitipkan ini 
padaku, pesannya untuk diberikan pada guru atau 
saudara seperguruannya, karena mereka sangat men- 
ginginkannya. Tapi, ketika aku pergi ke sana, mereka 
semua telah menjadi mayat. Yang kujumpai di sana 
hanya seorang nenek berpakaian merah yang mengeri- 
kan. Dia tengah memakan otak mayat-mayat itu. Se- 
mula dia kusangka Sekardati, karena pakaian dan se- 
mua ciri-cirinya mirip, tapi itu karena kulihat dari be- 
lakang. Nenek itu biadab sekali. Tidak hanya membu- 
nuh dan memakan otak mereka. Keji sekali! Semula 
aku merasa ragu untuk bertindak keras karena mengi- 
ra dia itu..., maaf Sekardati, dirimu. Itulah yang dibe- 
rikan nama gadis berpakaian merah. Tapi ketika kuta- 
hu bukan... Sekardati.... Maka aku bertindak dengan 
maksud melenyapkannya...." 

"Lalu...?!" potong Sekardati dengan suara berge- 
tar, dan rasa ingin tahu yang begitu besar. Melihat hal 
itu Arya merasa tidak enak. Mengapa Sekardati begitu 
tertarik dengan cerita ini? 

"Sayang, aku gagal. Dia terlalu lihai, dan lagi 
aku kena pengaruh racunnya yang ganas...." Kemu- 
dian secara singkat Arya menceritakan tentang dirinya 
yang jatuh ke dalam jurang. 

"Syukurlah kau tidak membunuhnya, Arya," 
ucap Sekardati, penuh perasaan lega, tapi tetap den- 
gan wajah murung. 

"Mengapa, Sekardati?! Nenek itu benar-benar 
biadab. Dia tidak hanya membunuh, tapi juga mema- 
kan otak mereka," bantah Arya seraya menatap wajah 
Sekardati. 

Tapi Sekardati menggeleng-gelengkan kepala. 

"Kau tidak tahu, Arya," ucap Sekardati dengan 
air matanya yang hampir menetes. "Nenek itu tidak ja- 
hat. Aku yakin betul. Dan juga orang-orang perguruan 
Sekar Arum yang tewas bukan oleh tangannya. Aku 
yakin...!" 

"Tapi, Sekardati...," Arya mencoba untuk mem- 
bantah. Tapi ketika teringat akan ucapan Sekardati, 
jantungnya berdetak lebih cepat. "Sekardati..., apakah 
nenek itu kakak seperguruanmu yang telah menyamar 
jadi dirimu?!" 

Sekardati mengangguk-anggukkan kepala ke- 
mudian melesat meninggalkan Arya. 

"Sekardati...! Tunggu...!" seru Arya keras. 

Sekardati tak mempedulikan teriakan Dewa 
Arak. Dia terus berlari. Dan Arya semula bermaksud 
mengejar. Tapi, langsung diurungkan. Dia tahu kese- 
dihan Sekardati telah tak mampu ditahannya. Mung- 
kin gadis itu pun akan menangis. Namun karena Se- 
kardati memiliki hati yang keras dan telah berkata di 
depannya untuk tidak akan pernah menangis tentu dia 
akan berusaha untuk menahannya. Kalau Arya tidak 
berada di depan Sekardati, gadis itu tidak mempunyai 
alasan untuk tidak menangis. Maka, Arya tidak menge- 
jarnya dan membiarkan saja Sekardati kabur. 



Tapi, Arya bimbang dengan keputusan itu keti- 
ka pandangannya tertumbuk pada suling kecil dari 
bambu yang ada di tangan kanannya. Benda ini yang 
akan diberikannya pada Sekardati, tapi gadis berpa- 
kaian hijau itu rupanya lupa untuk menerimanya. 

Akhirnya, setelah mempertimbangkannya se- 
bentar, Aiya memutuskan ingin menyusul Sekardati 
untuk memberikan suling itu. Dia ingin tidak ada lagi 
beban yang menghambat perjalanannya. Setelah dis- 
ampaikannya amanat dari Sekar Arum, tinggal satu 
tugas yang harus diselesaikan, membunuh Kencana 
Wungu! Oleh karena itu, Arya melesat mengejar ke 
arah perginya Sekardati. 

Arya berhasil menyusul Sekardati hanya den- 
gan perkiraan saja. Diakui kalau kemungkinan kecil 
sekali untuk dapat menemukan gadis itu. Hutan ini 
sangat luas dan dipenuhi pohon besar kecil serta ke- 
rimbunan semak-semak. Tidaklah mudah untuk me- 
nemukan orang di situ. Mungkin lebih mudah mene- 
mukan jarum di dalam tumpukan jerami! Tapi, toh 
Arya terus melakukannya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini mempunyai patokan. Sekardati pasti 
akan kembali ke tempat tinggal ayahnya. Dia pasti 
menuju ke pekuburan keluarga. 

Hampir Arya tertawa gembira ketika mendengar 
isak tangis lapat-lapat dari kejauhan. Hal ini menjadi 
pertanda kalau dia menempuh arah yang benar. Ber- 
gegas ayunan kakinya dipercepat. Dan ketika suara 
tangis itu semakin terdengar jelas, Arya bertindak hati- 
hati. Bahkan dia melompat ke atas pohon, hinggap di 
salah satu cabang dan mengintai dari sana. 

"Ayah...! Arum...! Mengapa kalian begitu tega 
pergi lebih dulu...! Mengapa kalian tidak mau menung- 
guku...!" 

Tampak oleh Arya, Sekardati duduk bersimpuh 
di tanah sambil menangis. Suara tangisannya cukup 
keras terdengar karena suasana di hutan itu memang 
sunyi. Kedua tangannya yang mungil dipukulkan ke 
tanah berkali-kali. 

Seketika Arya merasa dadanya sesak karena 
terharu. Ada hawa yang membuat tenggorokannya te- 
rasa gatal, bahkan sepasang matanya pun berkaca- 
kaca. Ratap Sekardati memang terdengar sangat memi- 
lukan hati, menyuarakan kesedihan yang telah dita- 
han-tahan. 

Tanpa sadar, Arya mengerjap-ngerjapkan sepa- 
sang matanya yang tiba-tiba dirasakan gatal. 

Kalau tidak mengingat akan kekerasan hati Se- 
kardati yang tidak ingin kelemahan hatinya diketahui 
orang, ingin rasanya Arya turun dan menghibur se- 
mampunya. 

Sementara Sekardati yang tidak tahu akan 
adanya pengintai gelap itu, terus saja mengeluarkan 
tangis yang sejak tadi ditahan-tahan. Dia tidak tahu 
kalau di atas pohon, seorang pendekar muda yang ju- 
lukannya menggemparkan dunia persilatan, telah ke- 
nyang melihat penderitaan, hampir tak tahan mena- 
han rasa harunya. Padahal, pendekar muda ini belum 
pernah menjatuhkan air matanya. 

Aiya yang tengah dilihat perasaan haru itu 
mendadak kaget ketika melihat dua sosok tengah me- 
lesat di kejauhan. Tempat yang tinggi memungkinkan 
dirinya dapat melihat suasana di sekitar lebih dulu. 
Hatinya terkejut karena sosok itu ternyata orang yang 
telah membantu Kencana Wungu mencelakainya seca- 
ra curang! 

Tapi keberadaan sosok ini tidak terlalu dikha- 
watirkannya. Yang membuat Arya merasa tegang ju- 
stru ketika melihat sosok yang satu lagi. Sosok itu tak 
lain kakek kurus kering yang memiliki kepandaian il- 
mu mengiriskan. Bahkan mungkin di atas kakek kecil 
yang telah menjatuhkannya secara mudah itu! 

Dewa Arak semakin merasa khawatir dan was- 
was ketika melihat arah yang ditempuh kedua sosok 
itu bakal melalui tempat Sekardati berada. Mereka 
pasti akan menjumpai Sekardati. Arya tahu, apabila 
hal itu terjadi, penjahat yang kemarin membantu Ken- 
cana Wungu mencelakainya, pasti akan mencelakai 
Sekardati! Mungkin tak akan membiarkan Sekardati 
begitu saja. 

Arya bimbang. Di satu pihak dia ingin memberi- 
tahu pada Sekardati akan adanya bahaya mengancam, 
tapi di lain pihak, merasa khawatir gadis itu akan ma- 
rah karena malu, kelemahan hatinya diketahui. Arya 
bingung bercampur khawatir. 

Namun ketika kakek bertubuh kurus kering 
dan penjahat kawan tak terduga Kencana Wungu, se- 
makin dekat, Aiya mengambil keputusan nekat. 

"Sekardati, cepat menyingkir dari situ. Ada dua 
tokoh sakti luar biasa yang tengah menuju kemari dan 
akan melewati tempatmu. Cepat, menyingkirlah sebe- 
lum terlambat!" beritahu Aiya dengan penggunaan il- 
mu mengirim suara dari jauh. 

Tepat seperti yang diperhitungkan Arya, Sekar- 
dati terkejut bukan main. Tangisnya langsung berhen- 
ti. Bahkan bekas-bekas air mata dibersihkan. Bibirnya 
yang mungil indah membisikkan satu nama. Terlihat 
jelas oleh Arya kalau gadis itu membisikkan namanya. 

Namun sayangnya, Sekardati tidak langsung 
melaksanakan perintah pemuda berambut putih kepe- 
rakan. Bahkan dia mendongakkan kepala dan me- 
mandang ke sekitarnya. 

"Arya, di mana pun kau berada sekarang, kau 
pasti mendengar ucapanku ini. Aku tidak suka dikun- 
tit, dan kau telah melakukannya, maka apabila kita 
bertemu aku akan membuat perhitungan denganmu! 
Kau dengar, Arya?!" 

Suara Sekardati terdengar keras dan bergema 
ke seluruh penjuru hutan itu karena gadis berpakaian 
hijau itu mengerahkan tenaga dalam pada seruannya. 
Karuan saja tindakan tak tersangka-sangka itu mem- 
buat Arya kaget. Dan sebelum dia sempat memberikan 
peringatan lagi, kakek kurus kering dan kawan tak ter- 
duga Kencana Wungu telah keburu tiba di tempat itu. 
Mereka langsung melihat keberadaan Sekardati. 

Tepat seperti yang diduga Arya, dua sosok itu 
menghentikan langkah. 

"Aha...! Sungguh tak kusangka akan bertemu di 
sini denganmu, Anak Manis. Kau harus bertanggung 
jawab atas lepasnya Dewa Arak dari tanganku!" 

Setelah berkata demikian, kawan tak terduga 
Kencana Wungu itu melompat menerjang dan mengi- 
rimkan serangan dengan cengkeraman ke arah dada 
Sekardati. Karuan saja gadis berpakaian hijau itu 
mendelik, dan buru-buru menggeser tubuh ke samping 
untuk mengelakkan serangan kurang ajar itu. Dari sa- 
na dikirimkan serangan berupa tendangan ke arah 
pinggang. Tapi, secara mudah kawan tak terduga Ken- 
cana Wungu itu menangkisnya dengan kaki pula. 

Dukkk! 

Kedua kaki yang sama-sama mengandung te- 
naga dalam bertemu di udara. Tubuh kedua belah pi- 
hak sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja, 
Sekardati terhuyung selangkah lebih jauh. 

Sekardati merasa geram bukan main melihat 
keunggulan lawan dalam hal tenaga itu. Maka, sambil 
mengeluarkan pekikan melengking nyaring, dia me- 
lompat dan mengirimkan sebuah tendangan terbang ke 
arah kepala. 

Terdengar pekikan tertahan karena kaget. Tapi 
bukan keluar dari mulut Sekardati atau kawan tak ter- 
duga Kencana Wungu, melainkan dari mulut kakek 
kurus kering. Dan sekali kakinya bergerak melangkah, 
tubuhnya telah berada di antara Sekardati dan kawan 
tak terduga Kencana Wungu. Kakek ini bergerak men- 
gibas. Seketika tubuh Sekardati terpental kembali ke 
belakang. Hanya dengan sebuah salto ke belakang be- 
berapa kali gadis itu berhasil mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya terlempar dan hinggap di ta- 
nah secara tidak tetap. 

"Tahan!" seru kakek kurus kering dengan suara 
serak. Jari telunjuknya yang kurus kering dan tidak 
berdaging, ditudingkan ke arah Sekardati. "Apa hu- 
bunganmu dengan si Rongga Pendek?! 1 ' 

"Mau apa kau tanya-tanya guruku, Manusia 
Tulang...?" ejek Sekardati dengan berani. Meskipun dia 
tahu kalau sekali gebrakan saja kakek kurus kering itu 
tak akan mungkin dapat dilawannya. 

Tapi, kakek kurus kering sama sekali tidak ma- 
rah. Dia malah mengalihkan perhatian pada kawan tak 
terduga Kencana Wungu yang terpaksa berdiam diri 
dan memperhatikan percakapan itu. 

"Biarkan dia pergi, Sangkuni! Dia murid Rong- 
ga," ujar kakek kurus kering itu, datar. 

"Memangnya kenapa kalau dia adalah murid 
Rongga pendek itu, Guru?!" tanya kawan tak terduga 
Kencana Wungu yang ternyata murid kakek kurus ke- 
ring itu. "Apakah Guru takut padanya?!" 

"Cuhhh!" Kakek kurus kering itu meludah ke 
tanah. "Siapa takut padanya! Kalau sekarang si Pen- 
dek Jelek itu berada di sini pun akan kutekan tubuh- 
nya biar tambah pendek!" 

"Kalau begitu, mengapa Guru menyuruhku 
membiarkan gadis binal murid Rongga pendek itu per- 
gi?! Kalau si Pendek itu mendengar hal ini, disang- 
kanya Guru takut padanya!" ujar kawan tak terduga 
Kencana Wungu yang bernama Sangkuni. 

"Hm.... Kau benar," gumam kakek kurus kering 
sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Lakukanlah 
apa yang kau mau! Tunjukkan pada Rongga pendek 
kalau aku tidak takut padanya!" 

Sangkuni tersenyum simpul. Kemudian, dialing 
perhatiannya pada Sekardati yang sejak tadi menden- 
garkan percakapan itu dengan hati bergolak penuh 
kemarahan. Dan saking tak kuatnya menahan amarah 
begitu murid kakek kurus kering itu mengalihkan per- 
hatian, langsung saja diserangnya. Sangkuni menyam- 
butnya dengan hangat, dan pertarungan sengit pun 
berlangsung. 


kkk 

Di atas pohon, sudah sejak tadi, Arya hampir 
saja turun tangan. Namun diurungkan karena melihat 
perkembangan tak terduga, di mana kakek kurus ker- 
ing hampir membiarkan Sekardati pergi. Dan sekarang 
dia hanya bisa menyaksikan jalannya pertarungan 
dengan hati berdebar tegang. Pemuda berambut putih 
keperakan itu bermaksud menolong Sekardati apabila 
keadaan memungkinkan, dan kabur. Karena tak 
mungkin dirinya dan Sekardati mampu menghadapi 
Barureksa dan Sangkuni itu. Mereka terlalu kuat un- 
tuk dilawan. 

Arya tahu Sangkuni yang pernah membantu 
Kencana Wungu, memiliki kepandaian tinggi. Bahkan 
tidak kalah dengan nenek berhidung melengkung itu 
sendiri kalau saja tidak kalah pengalaman. Kepan- 
daiannya boleh dibilang setingkat dengan Kencana 
Wungu. Karena Sangkuni itulah orang yang bermak- 
sud membunuh Kencana Wungu sendiri, tapi gagal 
dan hampir tewas kalau tidak ditolong Arya. Sama se- 
kali tidak di sangka oleh Dewa Arak kalau balasan 
yang diterima adalah bergabungnya orang yang pernah 
ditolong dengan Kencana Wungu. Mereka bersama 
mengeroyoknya. Dan kawan tak terduga Kencana 
Wungu itu tak lain adalah pemuda berpakaian biru, 
yang ternyata bernama Sangkuni. 

Jalannya pertarungan semakin menarik karena 
kedua belah pihak telah mengeluarkan senjata mas- 
ing-masing. Sekardati yang memulainya begitu menya- 
dari kalau lawan lebih unggul darinya dalam ilmu tan- 
gan kosong. Sangkuni memiliki tenaga dalam lebih 
kuat, sehingga begitu terjadi benturan, Sekardati sela- 
lu tampak kewalahan. Celakanya lagi, Sangkuni mem- 
pergunakan kelebihannya dengan baik untuk menekan 
pertahanan lawan. 

Namun sekarang pertempuran kembali berjalan 
seimbang setelah masing-masing pihak menggunakan 
senjata. Sekardati menggunakan sabuk berwarna hijau 
sedangkan Sangkuni mengeluarkan golok merahnya 
yang beracun. 

Bagaimanapun Sekardati harus mengakui 
keunggulan Sangkuni. Begitu pertarungan menginjak 
jurus ketiga puluh, perlahan-lahan pemuda berpa- 
kaian biru itu berhasil mendesaknya. Sekardati kem- 
bali terhimpit. 

Yang lebih membuat Sekardati terdesak adalah 
kelicikan Sangkuni. Sepanjang pertarungan pemuda 
berpakaian biru itu selalu memecah perhatian lawan 
dengan ucapan-ucapan kotornya. 

"Kau harus mendapatkan imbalan atas kelan- 
canganmu membebaskan Dewa Arak, Kuda Betina 
Liar. Kau akan kuperkosa! Kau akan kutelanjangi...! 
Akan kubiarkan semut-semut merah yang besar 
menggigiti tubuhmu yang telah telanjang setelah puas 
kuperkosa. Ha ha ha...! Nikmat bukan?!" 

Sekardati memekik kaget ketika tanpa terduga 
kaki Sangkuni telah menyapunya, sehingga dia ter- 
jengkang ke belakang. Namun gadis berpakaian hijau 
itu memang cerdik. Begitu terjengkang, langsung saja 
diteruskan dengan membanting tubuhnya ke tanah, 
lalu bergulingan menjauh. Tindakan yang diambilnya 
tepat, karena Sangkuni langsung memburunya dan 
menghujaninya dengan serangan gencar. 

Melihat keadaan gawat Sekardati, Dewa Arak 
tak bisa tinggal diam lagi. Tangannya segera menjum- 
pul daun yang ada di dekatnya, tidak tanggung- 
tanggung langsung segenggam. Tapi.... 

"Pengecut Hina...! Keluar kau...!" Kakek kurus 
kering memutar-mutarkan tangan kanannya yang diju- 
lurkan ke depan. Dan serangkum angin pukulan keras 
yang berputar meluruk ke tempat Dewa Arak berada. 
Pemuda berambut putih keperakan itu kaget namun 
tetap tidak kehilangan akal. Buru-buru dia melompat 
turun seraya melemparkan daun-daun yang digeng- 
gamnya ke arah Sangkuni. 

Brakkk! 

Pohon tempat Dewa Arak tadi berdiam, lang- 
sung hancur berantakan. Dedaunan dan ranting- 
ranting yang berpatahan berjatuhan ke tanah. Namun 
Dewa Arak telah lebih dulu melesat sebelum serangan 
itu menghantamnya. Sehingga terlepaslah dirinya dari 
reruntuhan pohon. Sebaliknya dedaunan yang dile- 
paskannya meluruk cepat ke arah Sangkuni laksana 
pisau terbang! Melihat serangan itu pemuda berpa- 
kaian biru buru-buru melemparkan tubuh ke samping 
untuk menyelamatkan diri dari puluhan dedaunan 
yang tak kalah berbahaya dengan serangan senjata ta- 
jam lainnya. 

Cap, cap, cappp! 

Puluhan daun itu menancap di tanah tempat 
Sangkuni tadi berada. Pada saat yang bersamaan, De- 
wa Arak mendarat dengan ringannya. 

"Cepat lari, Sekardati! Cepat selamatkan diri- 
mu!" Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera me- 
lompat menerjang Sangkuni yang baru saja berdiri te- 
gak di tanah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, De- 
wa Arak langsung mengeluarkan ilmu 'Sepasang Ta- 
ngan Penakluk Naga' yang menjadi andalan ayahnya. 
(Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode "Pedang Bintang"). 

Sangkuni kelabakan begitu mendapat serangan 
bertubi-tubi dan dahsyat itu. Memang, ilmu 'Sepasang 
Tangan Penakluk Naga' memiliki kekuatan dahsyat da- 
lam hal penyerangan. 

Plak, plak, plak! 

Tubuh keduanya sama-sama terhuyung- 
huyung ke belakang ketika Sangkuni menangkis se- 
rangan gencar yang dilancarkan Dewa Arak. 

Dewa Arak rupanya sudah memperhitungkan 
hal itu. Bahkan sudah merencanakannya meskipun 
dalam waktu yang demikian sempit. Tatkala tubuhnya 
terhuyung ke belakang dia segera menambahkan tena- 
ga dorong itu untuk melesat. Sehingga tubuh pemuda 
berambut putih keperakan itu melesat ke arah kakek 
kurus kering yang bermaksud mencegat Sekardati me- 
larikan diri. 

Kakek kurus kering mengeluarkan keluhan ter- 
tahan ketika Dewa Arak membarengi tubuhnya yang 
melesat ke arahnya dengan serangan-serangan mema- 
tikan. Kedua tangan Arya meluncur ke ulu hati dan 
tenggorokan, dua bagian terlemah di tubuh manusia. 
Namun kakek kurus kering itu tak mempedulikan se- 
rangan Dewa Arak. Tidak menangkis maupun menge- 
lak. Sedangkan Sekardati mempergunakan kesempa- 
tan itu untuk melanjutkan larinya. Kekerasan hatinya 
lumer ketika teringat akan ancaman yang mengerikan 
dari Sangkuni. Dirinya menyadari tidak akan menang 
melawan Sangkuni. Apalagi di belakang pemuda ber- 
pakaian biru itu masih ada gurunya yang sangat men- 
giriskan. Sekardati semakin gentar kecut hatinya keti- 
ka teringat akan cerita Rongga, gurunya, mengenai ka- 
kek kurus kering ini. Semula dia tidak tahu, tapi per- 
cakapan Sangkuni dan kakek yang hanya memakai ce- 
lana pendek itu, membuatnya teringat. 

Kakek kurus kering sebenarnya boleh dibilang 
saudara seperguruan dengan guru Sekardati. Kedua- 
nya termasuk dari sekian banyak orang-orang buan- 
gan yang telah melanggar aturan perguruan, kemudian 
dihukum atau lebih tepat lagi menghukum diri sendiri 
selama lima puluh tahun lebih di sebuah pulau ko- 
song. Dan kini setelah lima puluh tahun, mereka ke- 
luar. Apalagi karena adanya sesuatu yang tengah me- 
reka cari-cari. 

Di pulau kosong itu, dua kakek yang sebelum- 
nya sudah memiliki ilmu dan kedigdayaan, saling ber- 
latih keras. Keduanya mampu menciptakan ilmu sen- 
diri melalui caranya masing-masing. Cara-cara aneh 
yang tidak lumrah manusia. Terlebih-lebih lagi si Ka- 
kek Kurus Kering. Dirinya melakukan semadi dengan 
cara tidur bersama mayat di kuburan-kuburan. Perbu- 
atan aneh itu membuatnya memiliki ilmu-ilmu aneh, 
di antaranya ilmu kebal yang tidak lumrah dimiliki 
manusia biasa. 

Sekardati telah mendapat cerita itu dari Rong- 
ga. Rongga mengatakan kalau bertemu dengan kakek 
kurus kering lebih baik menjauhkan diri. Sebab, dia 
memiliki watak tidak bisa ditebak. Kalau timbul kein- 
ginan membunuhnya, tanpa sungkan-sungkan akan 
membunuh orang. Itulah sebabnya, Sekardati lang- 
sung lari begitu tahu kalau kakek kurus kering ini 
adalah orang yang diceritakan gurunya. 


*** 

Tuk, tukkk! 

Aiya tercekat kaget ketika kedua tangannya 
yang mengenai ulu hati dan tenggorokan lawan, mem- 
balik seperti menghantam benda keras yang kenyal. 
Dua tempat kematian itu pun tidak sanggup ditem- 
busnya. Hal ini menyadarkan Arya bahwa pengliha- 
tannya sewaktu menyaksikan pertarungan kakek ku- 
rus kering yang dikeroyok Kencana Wungu dan kakek 
berkepala botak, ternyata tidak keliru. Kakek yang di- 
ketahuinya bernama Barureksa memang memiliki ilmu 
kebal yang luar biasa. 

Sebelum hilang kekagetan Dewa Arak, kakek 
kurus kering itu mengibaskan kedua tangannya. Angin 
yang amat kuat keluar dari kedua tangan itu dan 
membuat tubuh Dewa Arak terpental ke belakang se- 
perti daun kering dihembus angin. Meski dengan agak 
terhuyung-huyung pemuda berambut putih keperakan 
itu berhasil mendaratkan kaki di tanah. 

Dan belum lagi sempat Arya memperbaiki ke- 
dudukan, mendadak Sangkuni telah meluruk ke arah- 
nya dengan golok di tangan. Mau tidak mau Arya ha- 
rus meladeninya. 

Di lain pihak, begitu berhasil membuat tubuh 
Arya terlempar, kakek kurus kering menjulurkan ke- 
dua tangannya ke depan. Seketika itu pula Sekardati 
yang tengah berlari, tertahan! Betapapun gadis itu 
mengerahkan segenap tenaganya, dan bahkan men- 
gayunkan kaki, dia hanya dapat berlari di tempat. 

Namun Sekardati benar-benar gadis yang keras 
hati. Meskipun tahu tindakannya tertahan, tetap saja 
diteruskan. Dia tahu Barureksa pasti mengerahkan 
banyak tenaga dalam untuk menahan larinya. Dia 
akan mengajak kakek itu untuk menentukan siapa 
yang lebih kuat bertahan. 

Kakek kurus kering itu bukan orang bodoh. Dia 
tahu, biar bagaimanapun Sekardati berada di pihak 
yang lebih menguntungkan. Keberhasilannya menahan 
lari gadis itu pun karena harus mengerahkan seluruh 
tenaga dalam. Dan itu tidak bisa dilakukannya terus- 
menerus. Sekardati telah memiliki tenaga dalam cukup 
tinggi, tambahan lagi jarak antara mereka cukup jauh. 
Ini memegang peranan. Kalau kemauan Sekardati di- 
ikuti, dia bisa terluka dalam. Oleh karena itu kakek 
kurus kering berlaku cerdik. 

"Grrrhhh...!" 

Sebuah gerengan keras yang penuh pengerahan 
tenaga dalam, dikeluarkannya. Dan akibatnya memang 
luar biasa. Tidak hanya Sekardati yang menerima pen- 
garuhnya, Sangkuni dan bahkan Dewa Arak pun men- 
galaminya. Kaki-kaki mereka menggigil karena menda- 
dak terasa lemas. Bahkan dada mereka pun tergetar 
hebat. Untung saja ketiga orang itu telah memiliki te- 
naga dalam kuat, sehingga getaran yang berasal dari 
gerengan kakek kurus kering itu tidak menghancurkan 
isi dada mereka. 

Di antara ketiga orang itu, Dewa Arak yang pal- 
ing ringan terkena pengaruhnya. Kesempatan itu di- 
pergunakan sebaik-baiknya untuk melesat ke arah 
Sangkuni dengan sebuah tamparan ke arah pelipis. 
Sehingga membuat pemuda berpakaian biru itu ter- 
pental dan terhuyung ketika terpaksa menangkis. 

Dewa Arak tidak mempedulikan Sangkuni lagi. 
Dia melesat ke arah Barureksa dan mengirimkan ten- 
dangan bertubi-tubi. Pada saat yang bersamaan, kakek 
kurus kering itu mengibaskan tangan kiri. Sehingga 
tubuh Sekardati yang karena pengaruh gerengan tadi 
tak bisa mengerahkan tenaga dalam, langsung terbawa 
tarikan Barureksa dan terlempar ke arah Sangkuni. 

Kemudian dengan cepat sekali tangan Barurek- 
sa berkelebat. Secepat itu pula kedua kaki Dewa Arak 
telah berhasil dicekalnya. Sekali kakek kurus kering 
ini bergerak membanting, tubuh Dewa Arak jatuh ber- 
debuk keras di tanah. Untung, pemuda berambut pu- 
tih keperakan itu sempat mengerahkan tenaga hingga 
tubuhnya tidak luluh lantak. 

Barureksa tidak memberikan kesempatan pada 
Dewa Arak untuk menolong Sekardati lagi. Dia terus 
menyerbu dengan ganas. Dewa Arak terpaksa harus 
mengerahkan seluruh kemampuan dan memusatkan 
perhatian untuk menghadapi kakek kurus kering ini. 
Disadari benar kalau serangan-serangan lawan sangat 
membahayakan keselamatannya. 

Gluk... Gluk... Gluk...! 

Arya langsung menenggak araknya hingga me- 
nimbulkan bunyi tegukan ketika arak itu melewati 
tenggorokan dalam perjalanan menuju perut. Sesaat 
kemudian, pemuda itu telah siap dengan ilmu 
'Belalang Sakti'nya. 

Di lain pihak, Sekardati telah lemah akibat 
pengaruh gerengan yang memang ditujukan padanya. 
Tambahan lagi, pengaruh teriakan dan juga kibasan 
tangan Barureksa sehingga membuat tubuhnya ter- 
lempar, mengakibatkan pusing tak karuan. Tanpa me- 
nemui kesulitan Sangkuni yang berada di dekatnya se- 
gera dapat melumpuhkan Sekardati. Pemuda itu sege- 
ra menotok tubuh Sekardati hingga roboh dan terkulai 
lemas. 

"Ha ha ha...!" 

Sambil memanggul tubuh Sekardati di bahu 
kanan, Sangkuni tertawa terbahak-bahak. 

"Akan kau lihat dan rasakan sendiri ancaman 
yang tadi kukatakan padamu, Gadis Liar!" 

Brettt! 

Sekardati tidak kuasa untuk menahan jeritan 
ketika tangan Sangkuni merenggut bajunya di bagian 
dada hingga robek lebar. Dan dua bukit kembar pun 
mencuat keluar! Indah, mulus, dan menggiurkan! De- 
ngan kasar, Sangkuni langsung meremas-remasnya. 

"Keparat! Lepaskan aku! Mari, kita bertarung 
sampai mati...!" seru Sekardati yang masih lemah ka- 
rena pengaruh totokan. 

Sangkuni tidak mempedulikannya sama sekali. 
Sambil terus meremas-remas payudara Sekardati de- 
ngan kasar dia melesat meninggalkan tempat itu. Se- 
panjang perjalanan, di samping meremas-remas dan 
menjarah sekujur tubuh Sekardati, dikoyaknya pa- 
kaian gadis itu sepotong demi sepotong. 

Meskipun tidak melihat kejadian itu, Dewa 
Arak dapat mendengarnya. Hal itu membuatnya mera- 
sa cemas bukan main. Dia tahu, Sangkuni pasti akan 
melaksanakan ancamannya. Pemuda itu sudah seperti 
orang yang mempunyai kelainan jiwa. Alias gila! 

Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir menahan 
perasaan geram dan kasihan. Geram pada Sangkuni 
dan tak sampai hati terhadap Sekardati. Dia bisa me- 
rasakan betapa takutnya hati gadis itu menerima 
pembuktian ancaman Sangkuni. Suara-suara lemah 
yang keluar dari mulut Sekardati terdengar. Dari uca- 
pan bernada tantangan sampai mohon dibunuh saja 
daripada dihina seperti itu, telah menjelaskan sega- 
lanya pada Dewa Arak yang berada jauh dari gadis itu. 

Hati Dewa Arak diiris-iris mendengar semua ke- 
luhan Sekardati yang semakin kecil dan pelan tertang- 
kap telinganya karena jarak yang semakin jauh. Dan 
kemarahan serta kegeraman terhadap Sangkuni itu di- 
lampiaskan pada kakek kurus kering. Dewa Arak men- 
gerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke puncaknya. 




Ilmu 'Belalang Sakti' memang merupakan ilmu 
mukjizat. Baik bagi pertahanan maupun penyerangan, 
sama-sama luar biasa. Dan ini bukan hal aneh karena 
guru Dewa Arak, Ki Gering Langit yang memiliki ke- 
pandaian tak masuk akal manusia, mengambilnya 
sendiri dari alam gaib secara lengkap. Tidak seperti 
layaknya ilmu ciptaan manusia pada umumnya. 

Namun, betapapun hebatnya ilmu itu, karena 
baik dalam hal tenaga maupun ilmu meringankan tu- 
buh Arya berada di bawah Barureksa, keampuhan il- 
mu itu seakan jadi tertutupi. Memang, sampai sekian 
jauh, kakek kurus kering itu belum mampu mema- 
sukkan satu pun serangan pada Dewa Arak. Namun 
setiap kali serangan Dewa Arak tertangkis, selalu men- 
gakibatkan tubuh pemuda itu yang terjengkang ke be- 
lakang dan terguling-guling. 

Terkadang, serangan Dewa Arak mengenai sa- 
saran, baik karena lawan tidak mampu mengelakkan, 
atau memang sengaja, tapi tidak menimbulkan akibat 
apa pun. Hal itu bukan hanya membuat Dewa Arak 
kebingungan dalam menghadapinya, tapi juga menga- 
kibatkan kedudukannya kian terdesak hebat. Lawan 
kali ini diakuinya benar-benar tangguh. Memiliki ilmu 
kebal dan kekuatan yang luar biasa. 

Dewa Arak yang tengah dilanda perasaan kalap 
karena mengingat nasib Sekardati, mengambil keputu- 
san untuk memanggil belalang raksasa di alam gaib 
guna mengalahkan lawan yang luar biasa itu. Dia ya- 
kin dengan keberadaan binatang gaib itu di dalam tu- 
buhnya, lawan akan dapat dikalahkan dan bahkan di- 
binasakan. 

Plakkk! 

Untuk kesekian kalinya terjadi benturan antara 
Dewa Arak dan kakek kurus kering yang mengaki- 
batkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu 
terpental jauh dan terguling. Tangannya dirasakan sa- 
kit-sakit dan dadanya sesak untuk menarik napas. 

Kakek kurus kering tertawa terkekeh. Kemu- 
dian dengan kecepatan yang membuat Arya tercekat 
dia menubruk! Arya kaget, tapi dia sudah mantap 
mengambil keputusan untuk memanggil belalang rak- 
sasa. 

Namun sebelum kedua tangan Barureksa ber- 
hasil mengenai sasaran, dari belakang Arya, meluncur 
sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan 
kakek kurus kering itu. 

Glarrr! 

Benturan keras langsung terdengar. Sekitar 
tempat itu langsung tergetar hebat. Bahkan getaran- 
nya terasa oleh Arya yang masih tergolek di tanah. 
Baik tubuh kakek kurus kering maupun sosok yang 
menolong Arya sama-sama terjengkang ke belakang. 

"Rongga...!" Kakek kurus kering menggeram 
marah. "Mengapa kau menghalangi tindakanku?! Apa 
kau mengajakku bertarung?!" 

"He he he...!" Sosok penolong Arya yang ternya- 
ta kakek kecil tertawa terkekeh sambil mempermain- 
kan ludahnya. "Siapa menantang siapa, Barureksa?! 
Aku melihat adanya sobekan-sobekan pakaian murid- 
ku di sini. Katakan, apa yang terjadi dengannya?! Dan 
di mana muridku itu, Barureksa?! Aku tahu kau ber- 
samanya belum lama ini. Katakan! Ingat, apabila terja- 
di sesuatu atas Sekardati jangan salahkan aku kalau 
mukamu itu kukencingi!" 

"Keparat!" Barureksa yang selalu berwajah mu- 
ram, menggeram. "Rupanya kau sudah ingin mampus 
Rongga!" 

Sebelum kakek kecil yang berwatak kekanak- 
kanakan itu menjawab, Dewa Arak lebih dulu menye- 
lak 

"Sekardati ditawan oleh muridnya, Kek. Dia 
akan mengalami penghinaan. Dan..." 

"Aku sudah tahu, Anak Muda," potong kakek 
kecil dengan muka muram. "Itu memang sudah meru- 
pakan garis nasibnya. Tapi, kaulah yang akan men- 
gakhiri petualangan keji Sangkuni. Dia akan tewas di 
tanganmu. Tapi hati-hatilah, kau akan terlibat salah 
paham dengan kakak seperguruan Sekardati. Dia pun 
akan menjadi korban kebiadaban Sangkuni kalau kau 
tidak bertindak cerdik. Pergilah, temui Sekardati. Ka- 
lau nasibnya baik kau mungkin berhasil menyela- 
matkannya, dari penghinaan itu." 

Dewa Arak ingin memberikan tanggapan, tapi 
segera menahannya karena kakek kurus kering yang 
tampak sangat murka itu telah melancarkan serangan 
terhadap Rongga. Dan pemuda berambut putih kepe- 
rakan ini terbelalak ketika melihat serangan Barurek- 
sa. Tubuh kakek kurus itu lurus dan menegang kaku 
laksana sebatang tombak, meluncur dengan kepala le- 
bih dulu ke arah Rongga. 

Rongga tertawa terkekeh. Kemudian sekali ka- 
kinya digerakkan tubuh kecil itu telah menggelinding 
laksana bola ke samping kanan, dan serangan Baru- 
reksa mengenai tempat kosong. Namun, dengan kece- 
patan tak kalah dengan semula, tubuh kakek kurus 
kering itu membalik dan meluncur seperti semula. Per- 
tarungan sengit dan unik yang membuat Dewa Arak 
mengernyitkan alis karena heran dan tertarik pun ter- 
jadi. 

Kalau saja tidak mengingat akan nasib Sekar- 
dati, Dewa Arak ingin menyaksikan jalannya pertarun- 
gan antara dua tokoh yang memiliki kepandaian hebat 
itu. Namun, kali ini tidak ada pilihan lain baginya. Ma- 
ka, meski dengan perasaan sayang, dia melesat me- 
ninggalkan tempat itu untuk menyelamatkan Sekarda- 
ti. Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengikuti jejak 
Sangkuni yang membawa kabur Sekardati. Sobekan- 
sobekan pakaian gadis berpakaian hijau itu menun- 
tunnya untuk menemukan jalan yang harus ditempuh. 
Dan sobekan kain berwarna hijau itu terakhir berada 
di dekat sebuah semak-semak yang rimbun. 

Dengan hati berdebar-debar dan sikap waspa- 
da, Dewa Arak menyibak kerimbunan semak-semak 
itu. Seketika sepasang matanya langsung membelalak 
kaget. Sesaat kemudian buru-buru dipalingkan, kemu- 
dian dengan cepat dibuka pakaiannya sendiri. Namun, 
ketika hendak melakukan tindakan lanjutan dirinya 
tampak kebingungan. 

"Maafkan aku, Sekardati," hanya itu yang dapat 
diucapkan Dewa Arak dengan suara penuh penyesalan 
seraya melangkah maju. 

Di hadapan pemuda berambut putih keperakan 
itu, dalam jarak sekitar satu tombak tergolek sesosok 
tubuh polos yang montok, molek, dan menggiurkan. 
Hanya sayangnya berada dalam keadaan mengenaskan 
hati. Sosok itu memang Sekardati. Tubuhnya telanjang 
bulat penuh luka, baik gigitan maupun cakaran di 
berbagai bagian, terutama dada dan paha. Arya segera 
dapat mengetahui kalau Sekardati telah diperkosa se- 
cara keji! 

"A... Arya...," bisik Sekardati lirih dengan bibir 
bergetar dan sepasang mata basah 

"Sekardati.... Ah... betapa malangnya nasibmu, 
Sekardati," ucap Arya masih dengan suara menggigil 
karena cekaman perasaan haru dan iba melihat ke- 
adaan Sekardati. "Akan kuhancurkan seluruh tubuh si 
Keparat Sangkuni!" 

Dewa Arak kemudian menghentakkan kedua 
tangannya secara bergantian. Sehingga semut-semut 
merah besar yang merajalela di atas tubuh Sekardati 
berpentalan karena dari kedua tangan pemuda itu ke- 
luar angin keras yang membuat mereka beterbangan. 
Baru setelah itu, Arya menyelimuti tubuh Sekardati 
dengan pakaiannya. 

"Terima kasih, Arya," ujar Sekardati lemah. 
"Kau baik sekali. Tak salah Sekar Arum mencintaimu. 
Dia banyak bercerita dan memuji-muji dirimu." 

"Dari mana kau mendapat berita itu, Sekarda- 
ti," tanya Arya sambil membopong tubuh Sekardati un- 
tuk dibawa menghadap Rongga. Arya tahu keadaan 
gadis itu sangat parah, bahkan mungkin sekali tak 
akan tertolong. 

Di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar sa- 
tu tombak, tergolek sosok tubuh Sekardati dalam kea- 
daan mengenaskan. Tubuhnya telanjang bulat penuh 
luka, baik gigitan maupun cakaran di berbagai bagian, 
terutama dada dan paha. Semut-semut merah besar 
pun merajalela di atas tubuhnya. Melihat ini, Arya sege- 
ra tahu kalau Sekardati telah diperkosa secara keji! 

"Kami berhubungan dan saling mengirimkan 
surat dengan mempergunakan burung merpati. Setiap 
kali hendak mengirimkan surat Sekar Arum selalu 
meniup suling bambunya untuk memanggil merpa- 
tinya. Bukankah suling itu yang akan kau berikan pa- 
daku. Suling itu banyak diminati orang, maksudku, 
saudara-saudara seperguruan Sekar Arum. Itulah se- 
babnya, Sekar Arum memintamu memberikannya pada 
mereka." 

"Sudahlah, Sekardati. Lebih baik kau istirahat 
dulu. Jangan bicara. Akan kucincang Sangkuni!" ucap 
Arya memberi nasihat pada gadis berpakaian hijau itu 
yang keadaannya memang amat payah, bahkan berbi- 
cara pun tampak kesulitan. 

"Tidak, Arya. Aku malah ingin banyak bicara 
sebelum meninggalkan dunia ini. Aku mengerti men- 
gapa Sekar Arum berani berkorban nyawa untukmu. 
Kau memang pemuda yang hebat. Arya..., aku cinta 
padamu." 

Dewa Arak tersentak kaget. Hampir saja tubuh 
Sekardati terjatuh dari bopongannya kalau dia tidak 
segera menguatkan perasaan. 

"Aku tidak main-main, Arya. Tapi..., apa artinya 
seorang wanita yang sudah ternoda sepertiku. Aku ti- 
dak berharga lagi, Arya. Aku terlalu hina untuk men- 
dapatkan cintamu." 

"Jangan berkata begitu, Sekardati," ucap Arya 
sambil terus mengayunkan kaki. "Bagiku kau tetap 
Sekardati yang kukenal sebelumnya. Sekardati yang 
lincah dan suci. Aku justru merasa berharga sekali 
mendapatkan cinta dari seorang wanita secantik dan 
sehebat dirimu. Aku... aku merasa bangga." 

"Benarkah itu, Arya?" tanya Sekardati dengan 
sepasang mata berbinar-binar penuh perasaan gembi- 
ra dan tidak percaya. 

"Aku tidak pernah berbohong, Sekardati," ucap 
Arya, mantap. 

Kemudian dengan lembut dan penuh kasih di- 
kecupnya kening Sekardati. Gadis berpakaian hijau itu 
pun segera melingkarkan kedua tangannya ke leher 
Dewa Arak 

Tapi, hanya sebentar saja kedua tangan halus 
mulus itu melingkari leher Arya. Sebab, begitu pemuda 
berambut putih keperakan itu melangkah dua tindak, 
kedua tangan Sekardati terlepas dari leher dan jatuh 
terkulai. Seketika Arya menghentikan langkah, karena 
tahu apa artinya ini. Dan ketika diperhatikannya Se- 
kardati untuk memastikan, nyawa gadis itu telah pergi 
meninggalkan raga. Sekardati meninggal dengan mulut 
menyunggingkan senyum. 

Arya menggertakkan gigi untuk menguatkan 
hati melihat kematian Sekardati yang berada dalam 
bopongannya. Dadanya terasa sesak oleh isak yang 
tertahan di tenggorokan. Sepasang matanya berkaca- 
kaca. Kalau saja tidak malu dan lupa akan pantangan, 
pemuda berambut putih keperakan ini sudah menan- 
gis melolong-lolong mengingat nasib buruk Sekardati. 

"Sangkuni...!" Arya berteriak dengan pengera- 
han seluruh tenaga dalamnya, menyalurkan keinginan 
untuk menangis dalam teriakan keras. "Aku bersum- 
pah untuk meluluhlantakkan tubuhmu!" 

Kemudian dengan hati penuh gelora amarah, 
Dewa Arak melesat cepat menuju tempat Rongga. Ha- 
tinya merasa khawatir kalau kakek kecil itu tidak 
mampu menanggulangi Barureksa yang memiliki ilmu 
tinggi dan kekebalan tubuh yang luar biasa. 

•k-k-k 


Sementara itu pertarungan Rongga melawan 
kakek kurus kering masih terus berlangsung sengit. 
Baik, Rongga maupun Barureksa tahu kalau lawan 
yang dihadapi merupakan tokoh amat tangguh. Maka 
masing-masing pihak segera mengeluarkan seluruh 
kemampuannya. Beberapa kali kedua tokoh tua itu 
saling melakukan gebrakan. Setiap gebrakan selalu 
mengakibatkan tubuh keduanya terhuyung-huyung ke 
belakang. Namun segera berdiri berhadapan dalam ja- 
rak lima tombak. Kini tampak masing-masing pihak 
menggerakkan tangan, melakukan pukulan dan tang- 
kisan tapi tanpa bergeser dari tempatnya. 

Kelihatannya aneh dan menggelikan, bahkan 
mungkin apabila ada orang yang menyaksikan akan 
merasa heran. Namun sebenarnya pertarungan dengan 
cara ini tidak kalah berbahayanya dengan saling se- 
rang dari jarak dekat dan berbenturan satu sama lain. 
Bunyi angin menderu dan berdesing mengiringi setiap 
gerakan tangan, baik sewaktu melakukan serangan 
maupun tangkisan. 

Beberapa saat lamanya kedua belah pihak ber- 
tarung seperti ini. Kemudian, seperti telah disepakati 
sebelumnya, masing-masing saling lompat menerjang 
lawan, dengan kedua tangan terbuka dan terjulur ke 
depan. 

Plakkk! 

Di udara, kedua pasang tangan itu berbenturan 
dan saling melekat. Dengan kedua tangan saling me- 
nempel, tubuh kedua tokoh tua itu meluncur turun 
dan menjejak tanah. Dan di sini pertarungan yang le- 
bih menegangkan kembali berlangsung. Sekarang, 
Rongga dan Barureksa mengadu tenaga dalam secara 
langsung. Sebuah pertarungan yang diakui oleh kedua 
belah pihak sebagai pertarungan sangat berbahaya. 
Karena, baik yang kalah maupun yang menang akan 
mengalami kerugian. Yang kalah tewas, sedangkan 
yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam 
amat parah, paling tidak cacat seumur hidup! Ini dis- 
ebabkan kedua kakek sakti itu memiliki tenaga dalam 
hampir setaraf. 

Semula keadaan kedua belah pihak sama. Na- 
mun beberapa saat kemudian terlihat wajah Rongga 
penuh dibanjiri keringat sebesar biji-biji jagung. Uap 
tebal mengepul dari atas kepalanya. Sementara itu Ba- 
rureksa, meskipun juga penuh keringat di wajah, tapi 
uap yang mengepul di kepalanya hanya tipis! 

Pada saat menegangkan ini, Dewa Arak yang 
membopong Sekardati, tiba di tempat pertarungan. 
Dan hanya dengan sekali lihat, dirinya langsung tahu 
kalau kekhawatirannya terbukti. Rongga ternyata tetap 
tidak mampu menghadapi Barureksa yang mengeri- 
kan. 

Dengan perasaan gelisah, Dewa Arak menu- 
runkan tubuh Sekardati dan menyaksikan jalannya 
pertarungan. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukan- 
nya saat ini. Pertarungan yang terjadi berupa adu te- 
naga dalam antara dua tokoh yang memiliki tenaga da- 
lam di atasnya. Apabila memaksakan untuk memisah- 
kan pun hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Tena- 
ga dalam kedua kakek itu akan menghantamnya, dan 
akibatnya dia akan tewas dengan seluruh isi dada 
hancur berantakan. 

Kecemasan Arya semakin menjadi-jadi ketika 
melihat kedua tangan Rongga tampak mulai menggigil. 
Uap yang menguap di atas kepalanya semakin meneb- 
al. Barureksa rupanya tahu hal itu. Dia berniat mem- 
berikan pukulan terakhir yang mematikan lawan, atau 
paling tidak terluka dalam amat parah sedangkan di- 
rinya tidak mengalami kerugian sedikit pun. Kalau pu- 
kulan terakhir tidak dilakukan, dan adu tenaga ini di- 
teruskan, memang dirinya akan keluar sebagai peme- 
nang dengan menewaskan Rongga. Namun dia tetap 
tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah, ka- 
rena Barureksa merasakan tenaganya mulai mengen- 
dur. 


"Grrrhhh...!" 

Barureksa mengeluarkan suara menggereng ke- 
ras dari tenggorokannya. Dan seketika terdengar bunyi 
menggelogok dari mulut Rongga disusul dengan me- 
nyemburnya darah segar. Tapi sialnya, semburan da- 
rah itu justru mengancam wajah Barureksa. 

Karuan saja Barureksa kelabakan karena tidak 
menyangka akan terjadi hal seperti itu. Ditariknya tu- 
buhnya ke belakang untuk menghindarkan semburan 
darah dari mulut lawan. Dia khawatir semburan darah 
itu mengenai mata. Meskipun hanya percikan tapi da- 
rah yang keluar dari mulut Rongga tidak ubahnya 
sambaran senjata rahasia. Apabila mengenai mata bisa 
mengakibatkan kebutaan seketika. 

Pada saat yang bersamaan tubuh Rongga pun 
terjengkang ke belakang akibat pengaruh gerengan 
menggelegar tadi. Namun, kakek kecil ini memang 
memiliki banyak ilmu aneh yang mengandung gera- 
kan-gerakan tidak lumrah. Tubuhnya yang terjengkang 
ke belakang, justru dimanfaatkan untuk membarengi 
dengan totokan kedua ibu jari kakinya ke arah wajah 
lawan. 

Barureksa mengeluarkan keluhan tertahan. Se- 
rangan Rongga sama sekali tidak disangkanya. Selain 
itu gerakannya berlangsung begitu cepat, sehingga Ba- 
rureksa yang tengah kelabakan mengelakkan sem- 
buran darah, tak sempat menangkis dan menghindar. 

Meskipun demikian, Barureksa masih berusaha 
keras untuk mengelak. Namun.... 

Jrot, jrot...! 

Barureksa meraung laksana binatang buas ter- 
luka, ketika ibu jari kaki Rongga, mengenai biji ma- 
tanya. Tak pelak lagi, kedua matanya langsung pecah! 

Seketika itu pula tubuh Barureksa yang hanya menge- 
nakan celana pendek kumal itu terhuyung-huyung. 
Darah segar membasahi kedua pipinya. Kepalanya ter- 
getar-getar seperti menahan rasa sakit yang hebat. 

"Cepat sudahi riwayatnya...! Jangan biarkan dia 
lolos...!" seru Rongga pada Dewa Arak. 

Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi. 
Dia sadar kakek kecil itu lebih tahu daripada dirinya 
mengenai keadaan Barureksa. Perintah itu tanpa ragu- 
ragu langsung dilaksanakannya. Pemuda berambut 
putih keperakan itu segera mengirimkan serangan 
dengan sebuah sampokan ke arah pelipis. 

Barureksa yang masih meraung-raung mena- 
han rasa sakit, rupanya sempat juga merasakan 
adanya bahaya mengancam. Maka tangan kirinya dige- 
rakkan untuk menangkis. 

Prattt! 

Tubuh Arya terpelanting ke belakang. Tapi, ka- 
kek kurus kering itu pun terhuyung-huyung dan ham- 
pir jatuh. Dan hal ini membuat Dewa Arak girang da- 
lam hati. Kenyataan itu menunjukkan padanya kalau 
Barureksa tidak setangguh sebelumnya. Mungkin ka- 
rena pengaruh luka, dan karena telah terkuras tenaga 
dalamnya selama pertarungan habis-habisan melawan 
Rongga. Sekarang Arya mengerti mengapa Rongga me- 
nyuruhnya segera bertindak. 

Karena itu, tanpa mempedulikan rasa sakit 
yang mendera tangannya Dewa Arak langsung melon- 
tarkan serangan gencar bertubi-tubi dengan kedua ka- 
kinya. Namun seperti semula, meskipun telah buta, 
Barureksa masih mampu melakukan tangkisan secara 
tepat. Sayangnya satu di antara serangan itu tidak da- 
pat ditangkis, dan mengenai pangkal paha kanannya. 

Hampir Arya bersorak penuh perasaan gembira 
ketika melihat tubuh Barureksa terpental ke belakang. 
Bukan terpentalnya itu yang membuatnya gembira, 
melainkan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut ka- 
kek kurus kering itu. Ini menandakan kalau Barureksa 
sudah tidak kebal lagi, sehingga tendangan Dewa Arak 
membuatnya merasa sakit. 

Hasil serangannya membuat Dewa Arak sema- 
kin bersemangat. Tanpa membuang-buang waktu se- 
gera digunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Kemudian 
pemuda berambut putih keperakan itu mengamuk se- 
cara dahsyat. 

Namun, meskipun sepasang matanya telah bu- 
ta dan keadaan tubuhnya telah lelah sehingga tenaga 
dalamnya merosot jauh, Barureksa tetap merupakan 
lawan yang amat tangguh. Apalagi ilmunya aneh-aneh. 
Karena itu, meski Dewa Arak telah menggunakan ilmu 
andalan 'Belalang Sakti', tetap mengalami kesulitan 
untuk merobohkannya. 

Wuttt! 

Ketika Barureksa melemparkan tubuh ke bela- 
kang untuk mengelakkan serangan ayunan guci Dewa 
Arak, pemuda berambut putih keperakan itu segera 
menyusulinya dengan serangan jurus 'Pukulan Bela- 
lang'. Tidak hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dan 
gencar sekali. Dewa Arak tidak ingin serangannya gag- 
al. 

Bresss! 

Barureksa mengeluarkan jeritan menyayat hati, 
ketika salah satu dari beberapa pukulan jarak jauh 
yang dilepaskan Dewa Arak menghantam telak da- 
danya. Seketika, samar-samar pada bagian yang ter- 
hantam, seperti timbul nyala api. Tubuh kakek kurus 
kering itu pun melayang ke belakang. Kemudian ter- 
cium bau amis seperti daging terbakar. Tokoh tua yang 
memiliki daya kekebalan tubuh serta ilmu tinggi itu se- 
ketika tewas. Tubuhnya yang kurus tanpa baju meng- 
gelepar sesaat di atas tanah berumput. 

Arya menghapus keringat yang membasahi wa- 
jahnya dengan punggung tangan. Sekilas dipandan- 
ginya mayat Barureksa sebelum mengalihkan perha- 
tiannya pada si Kakek Kecil, Rongga. 

"Kau hebat, Dewa Arak. Tidak mengecewakan," 
ucap kakek kecil itu tanpa bangkit dari bergoleknya di 
tanah. 

"Kalau tidak ada kau, mana mungkin aku bisa 
membunuhnya, Kek," ujar Arya memuji seraya me- 
langkah menghampiri Rongga. Dewa Arak tahu kalau 
guru Sekardati itu bukannya tidak mau bangkit, tap 
karena memang tidak mampu. Luka-lukanya terlam- 
pau parah. Bahkan untuk berbicara pun dia kelihatan 
sangat parah. Arya tahu, nyawa kakek kecil ini tidak 
akan bisa diselamatkan. Meskipun demikian, dia sege- 
ra menghampirinya dan menyalurkan hawa murni un- 
tuk mengurangi penderitaan Rongga, di samping un- 
tuk menguatkannya. 

"He he he...! Bagus...! Bagus...! Memang ini 
yang kutunggu darimu, Dewa Arak. Aku belum ingin 
mati. Bukankah kita belum menuntaskan permainan 
tempo hari?!" 

Arya tidak bisa menyambutnya karena segera 
tenggelam dalam kesibukan menyalurkan hawa mur- 
ninya. Cukup lama juga, sebelum akhirnya usaha itu 
dihentikan. Kemudian dihapusnya peluh yang memba- 
sahi kening dan lehernya. 

"Kau memang pendekar tulen, Dewa Arak. Se- 
karang agak lega rasanya dadaku." 

Arya tahu kalau kakek kecil ini tidak berbo- 
hong. Dilihatnya sendiri Rongga sudah tidak begitu 
payah lagi ketika berbicara, bahkan dia telah mampu 
untuk duduk. Namun Arya tahu, seperti juga kakek 
kecil itu tahu, kalau hal ini hanya berlangsung seben- 
tar saja. Kakek kecil itu tetap akan pergi ke alam baka. 

"Ada satu hal yang masih merupakan teka-teki 
bagiku, Kek," ucap Arya cepat menyadari waktu yang 
dimiliki kakek kecil itu terbatas. "Mengapa kekebalan 
Barureksa tidak terlihat lagi. Apakah ini karena dia 
terluka atau lelah?" 

"He he he...!" Rongga tertawa terkekeh. Ru- 
panya tawa merupakan bagian dari kebiasaannya. 
"Bukan, Dewa Arak. Rahasia kekebalannya ada pada 
mata. Apabila matanya terluka, atau buta, kekebalan- 
nya pun musnah. Sudahlah, untuk apa kau pusingkan 
masalah itu. Lebih baik kita teruskan permainan yang 
tertunda. Ah, sama sekali tidak kusangka kalau aku 
pergi bersamaan dengan muridku." 

Rongga menoleh ke arah mayat Sekardati. Arya 
tahu, kakek kecil ini amat berduka dengan kematian 
muridnya yang demikian mengenaskan, meskipun ke- 
sedihannya itu tersembunyi dalam sikapnya yang sela- 
lu dipenuhi gelak tawa. 

"Aku mempunyai dua buah tebakan, Dewa 
Arak. Apabila kau berhasil menebak, aku tidak akan 
mengajukan permohonan apa pun padamu. Tapi, ka- 
lau kau tidak bisa menjawab, kau harus memenuhi 
permintaanku. Bagaimana, adil kan, peraturan yang 
kubuat?" 

Dewa Arak hampir tertawa mendengar peratu- 
ran Rongga. Bagaimana bisa adil kalau taruhannya 
hanya sepihak? Tapi, karena mengetahui watak kakek 
kecil yang memang aneh, tambahan lagi usianya yang 
sudah tidak lama lagi, Arya tidak sampai hati untuk 
membantah. 

"Sangat adil, Kek," jawab Arya dengan suara 
sungguh-sungguh. 

"Bagus! Sekarang dengarkan pertanyaanku 
baik-baik! Apa bedanya kacang panjang dengan celana 
panjang?! Ayo, cepat jawab!" ucap kakek kecil itu de- 
ngan sepasang mata tampak berbinar-binar laksana 
seorang anak kecil yang merasa gembira karena yakin 
kalau pertanyaannya tak akan bisa terjawab. 



Arya mengerutkan alis. Hampir dia tertawa 
mendengar pertanyaan yang dianggapnya aneh dan 
remeh untuk dipermasalahkan oleh orang dewasa, 
apalagi tokoh persilatan seperti mereka. Namun ketika 
teringat kalau Rongga memiliki watak tak ubahnya 
anak kecil, Arya kembali memusatkan pikiran untuk 
memecahkan jawaban bagi pertanyaan yang keliha- 
tannya remeh itu. 

"Sebuah pertanyaan sederhana dan mudah ja- 
wabannya, Kek," ucap Arya tenang dan penuh keyaki- 
nan. "Kau pasti kalah. Nah, dengarkan jawabanku 
baik-baik! Perbedaan antara kacang panjang dengan 
celana panjang adalah, kalau kacang panjang bisa di- 
makan sedangkan celana panjang tidak." 

"He he he...!" Rongga terkekeh penuh kemenan- 
gan. "Jawabanmu memang benar, Dewa Arak tapi ti- 
dak tepat untuk jawaban bagi pertanyaan ini." 

"Kalau begitu, pasti karena celana panjang na- 
ma pakaian sedangkan kacang panjang jenis sayuran," 
jawab Aiya lagi. 

"Masih salah!" 

"Habis... apa jawabannya, Kek? Aku menyerah," 
ucap Arya, mengalah. 

Dengan sikap penuh kemenangan, Rongga me- 
natap Arya. 

"Dengarkan jawaban pertanyaan ini, Dewa 
Arak. Beda antara celana panjang dengan kacang pan- 
jang. Kalau kacang panjang sungguhpun dipotong 
pendek-pendek tetap bernama kacang panjang, se- 
dangkan celana panjang apabila dipotong menjadi ce- 
lana pendek. Jawabannya tepat dan sesuai dengan 
pertanyaannyakan?" 

Mau tidak mau Arya mengangguk-anggukkan 
kepala membenarkan jawaban yang diberikan kakek 
kecil itu. 

"O ya, Dewa Arak." Kali ini sikap kakek kecil ini 
tampak sungguh-sungguh sehingga Dewa Arak menja- 
di tertarik dan memperhatikan baik-baik. "Andaikata 
sekarang kita berdua berjalan bersama kemudian di 
tengah perjalanan bertemu dengan setumpuk tai kuda 
maukah kau membagi dua denganku?" 

"Tentu saja tidak, Kek!" jawab Arya, cepat. 

"Astaga...! Tidak kusangka kau penggemar tai 
kuda, Dewa Arak, sehingga mau menyerakahinya sen- 
diri," ucap kakek kecil itu kalem tapi dengan nada geli 
dan penuh kemenangan. 

Arya melongo, berpikir sejenak sebelum berha- 
sil mendapatkan jawaban kalau pertanyaan kakek itu 
dimaksudkan untuk menjebaknya. Dan pemuda be- 
rambut putih keperakan itu ikut tertawa geli kare- 
nanya. 

Sesaat kemudian, suasana di tempat itu dipe- 
cahkan oleh dua buah tawa, tawa Arya dan Rongga. 
Namun tak berapa lama, tawa kakek kecil diganggu 
oleh batuk-batuk kecil. Napasnya kemudian memburu 
secara cepat. Baik Arya maupun kakek kecil itu tahu 
kalau saat perpisahan antara mereka untuk selama- 
lamanya akan segera tiba. 

Arya pun menghentikan tawa. 

"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Kek?" 
tanya Arya hati-hati. 

"Seperti yang pernah kukatakan tadi, Dewa 
Arak. Kuharap kau berhati-hati, karena kau akan ter- 
libat salah paham dengan kakak seperguruan Sekarda- 
ti. Kau mengenalnya, kan? Dan apabila mungkin kuin- 
gin kau membantunya untuk mendapatkan obat yang 
dapat menyembuhkannya. Kau tahu kan penyakit 
dia?" Dewa Arak menggelengkan kepala. 

"Hhh...!" Rongga menghela napas berat. "Karena 
kesalahan dalam mempelajari sebuah ilmu, dia beru- 
bah menjadi seorang nenek. Tapi wujudnya akan kem- 
bali seperti sediakala apabila memakan otak manusia. 
Kasihan dia.... Padahal, dulu, sebelum mempelajari il- 
mu itu pernah aku memperingatkannya, bahwa ting- 
katan ilmunya belum cukup. Tapi dia memang berke- 
ras hati. Sifatnya hampir mirip dengan Sekardati. Dan 
itulah hasilnya.... Maklumlah, ilmu-ilmu ciptaanku 
memang bukan ilmu-ilmu bersih. Kau mengerti...?" 

Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan ke- 
pala. 

"Nah! Dengan obat yang berhasil diciptakan 
oleh Kencana Wungu, penyakitnya akan dapat disem- 
buhkan. Tapi sayangnya, bukan hanya dia yang men- 
ginginkan obat itu. Banyak tokoh persilatan lain men- 
carinya. Seperti halnya Kencana Wungu sendiri mau- 
pun Sangkuni. Obat-obatan buatan Kencana Wungu 
itu memang banyak gunanya. Itulah sebabnya aku dan 
Barureksa keluar dari tempat persembunyian untuk 
mendapatkan obat itu. Obat panjang usia.... Selamat 
tinggal, Dewa Arak...!" Tiba-tiba kepala kakek kecil 
yang lucu dan berilmu tinggi ini pun terkulai ketika 
nyawanya melayang meninggalkan raga. 

Arya menghela napas berat. Kemudian dibuat- 
nya dua buah lubang kuburan untuk Rongga dan Ba- 
rureksa berdampingan. Kemudian setelah itu dibo- 
pongnya Sekardati untuk dikuburkan di pemakaman 
keluarga gadis ini. Akan dibaringkannya Sekardati 
berdekatan dengan ayah dan adiknya. 

Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu 
cukup lama, bahkan mungkin lebih dari dua hari. Un- 
tung Arya memiliki obat untuk mengawetkan tubuh 
Sekardati agar tidak keburu berbau di tengah jalan. 

kkk 


Baru sehari melakukan perjalanan, ketika me- 
lintasi sebuah hamparan padang pasir yang luas dan 
berbukit-bukit, Dewa Arak melihat dua sosok tengah 
terlibat dalam pertarungan sengit. Meskipun jaraknya 
masih cukup jauh, tapi karena ciri-ciri salah satu pi- 
hak amat menyolok, Arya langsung dapat memperkira- 
kannya. Sosok yang satu itu kakak seperguruan Se- 
kardati. Pakaian merah yang dikenakan langsung 
membuat pemuda berambut putih keperakan itu bisa 
mengenalinya. 

Dewa Arak pun semakin mempercepat larinya. 
Meskipun jaraknya masih jauh, dirinya tahu kalau la- 
wan yang dihadapi kakak seperguruan Sekardati yang 
bernama Anyelir itu memiliki kepandaian tinggi. 

Hal itu bisa diketahui Arya dari serunya perta- 
rungan yang berlangsung di kejauhan. 

Begitu semakin dekat, Dewa Arak tidak merasa 
heran mengapa lawan Anyelir memiliki kepandaian 
tinggi. Ternyata lawan kakak seperguruan Sekardati 
itu tidak lain Kencana Wungu, pimpinan gerombolan 
Pasukan Iblis Neraka yang dulu pernah mengganas, 
melihat hal ini, Arya pun semakin mempercepat lari- 
nya. 

Tak lama kemudian, pemuda yang tanpa men- 
genakan baju ini telah berada dekat dengan mereka. 
Dan sekarang dia bisa melihat adanya sosok yang se- 
mula tidak dilihatnya. 

"Sosok itu tak lain si Kakek Berkepala Botak, 
tapi kenapa dia tergeletak di tanah?" tanya Arya dalam 
hati. "Tewaskah dia? Kalau tewas siapa yang telah 
membunuhnya? Bukankah kakek botak itu memiliki 
kepandaian tinggi pula? Bahkan mungkin tidak kalah 
dengan Kencana Wungu." 

Plak, plakkk! 

Benturan keras yang terjadi ketika kedua belah 
pihak saling beradu tangan secara keras membuat tu- 
buh kedua wanita yang berbeda usia itu sama-sama 
terhuyung ke belakang. Kejadian itu membuat Kenca- 
na Wungu dan Anyelir melihat keberadaan Dewa Arak 
di situ. 

Baik Kencana Wungu maupun Anyelir tampak 
kaget melihat kehadiran pemuda itu. Perasaan geram 
dan kebencian pun tercampur di sana. 

"Sekardati...!" seru Anyelir ketika melihat sosok 
yang dipondong Dewa Arak yang bertelanjang baju. 
Nada suara gadis berpakaian merah itu menyiratkan 
keterkejutan dan kekagetan, juga kemarahan. "Benar, 
dia Sekardati...." 

"Kalau begitu, kau harus tujuh kali mampus 
untuk menebus semua dosa-dosamu, Manusia Keji!" 

Setelah berkata demikian, memotong ucapan 
Arya, Anyelir langsung menubruk maju. Kedua tangan- 
nya meluncur deras ke arah Dewa Arak dengan sam- 
pokan bertubi-tubi ke arah kepala dari kanan kiri de- 
ngan mengeluarkan bunyi mengaung keras. 

"Anyelir...! Tunggu dulu...! Aku...!" Arya terpak- 
sa menghentikan ucapannya karena serangan Anyelir 
telah meluncur ke arahnya. Dia tak ingin mati konyol, 
maka langsung merendahkan tubuh hingga serangan 
bertubi-tubi Anyelir lewat di atas kepalanya. Namun 
Anyelir memang hebat, dia langsung mengirimkan se- 
rangan susulan dengan sebuah tendangan kanan-kiri 
secara gencar ke arah kepala Arya yang tengah me- 
nunduk. 

Kali ini Arya terpaksa melempar tubuh ke bela- 
kang, bersalto beberapa kali di udara untuk terus 
menjauh karena Anyelir tidak memberikan kesempa- 
tan dan terus mengejarnya sambil menghujani dengan 
serangan-serangan berbahaya. Untuk ketiga kalinya, 
pemuda berambut putih keperakan ini bertarung den- 
gan Anyelir. 

Dewa Arak benar-benar kerepotan. Adanya tu- 
buh Sekardati dipondongan membuatnya kurang lelu- 
asa. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak 
mungkin mengirimkan serangan dengan kedua tangan. 
Yang dapat dilakukannya hanya mengelak. Memang, 
dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan 
kaki, tapi menghadapi Anyelir dengan kaki saja sama 
dengan mencari mati konyol! 

Akibatnya hanya dalam beberapa gebrakan, 
Dewa Arak sudah terdesak hebat. 

Sementara Kencana Wungu yang melihat Any- 
elir telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa 
Arak, segera mempergunakan kesempatan sebaik- 
baiknya untuk melesat kabur. Mumpung kedua lawan 
tangguh itu tengah sibuk cakar-cakaran. Menunggu 
lebih lama di tempat itu hanya mencari penyakit. Ken- 
cana Wungu tahu banyak tokoh yang menginginkan- 
nya untuk mendapatkan ramuan-ramuan hasil cip- 
taannya. Dia tidak takut, baik pada Anyelir maupun 
Dewa Arak tapi dia terlalu cerdik untuk menuruti ke- 
kerasan hatinya. Karena sikap itu akan membuatnya 
kemungkinan besar kehilangan ramuan-ramuannya. 

Kencana Wungu tahu, pertarungan dengan sa- 
lah seorang di antara mereka saja akan membutuhkan 
waktu cukup lama baginya untuk memperoleh keme- 
nangan, itu andaikata berhasil menang. Dan waktu la- 
ma itu cukup untuk membuat banyak lawan tangguh 
berdatangan. Kencana Wungu ngeri kalau memikirkan 
kakek kurus kering, Barureksa. Dia merasa kapok. Itu- 
lah sebabnya, di saat Arya dan Anyelir sibuk ber- 
tarung, dia melarikan diri. 

Hanya dalam beberapa kali lesatan, tempat 
Dewa Arak dan murid Rongga bertarung, sudah tidak 
terlihat lagi. Namun Kencana Wungu tidak menjadi be- 
sar hati, melainkan terus berlari. Tak lama kemudian, 
dia telah memasuki daerah yang berbatu-batu cadas. 

"Terburu-buru sekali, Kencana Wungu? Hendak 
ke mana, sih?!" 

Sebuah suara membuat Kencana Wungu yang 
tengah gelisah, terjingkat kaget bagai disengat kala- 
jengking. Segera ditolehnya kepalanya ke arah kiri 
tempat banyak gundukan batu-batu besar. Beberapa 
di antaranya sebesar rumah! 

Dan di salah satu gundukan batu yang besar- 
nya tak kalah dengan seekor gajah besar, tampak ber- 
tengger duduk berjongkok sesosok tubuh berpakaian 
biru. Pemuda berwajah tirus, Sangkuni! 

"Kau...?!" 

Ucapan Kencana Wungu tercekat di tenggoro- 
kan, penuh perasaan gentar dan jerih. Sepasang ma- 
tanya beredar berkeliling, seperti mencari-cari sesuatu 
di situ. 

"Tidak usah khawatir, Kencana Wungu. Guru- 
ku tak ada di sini. Di tempat ini yang ada hanya kita 
berdua, kau dan aku!" ujar Sangkuni yang tahu pe- 
nyebab sikap nenek berhidung melengkung itu. 

Mendengar ucapan ini, dan tahu kalau ucapan 
itu bisa dipercaya, Kencana Wungu berbesar hati. Me- 
mang, dia tidak merasa takut terhadap Sangkuni. Yang 
ditakutinya hanya Barureksa seorang. Dia tahu, apabi- 
la ada kakek kurus kering di sini, dirinya tak akan bisa 
berdaya sama sekali. 

"Sungguh berani mati kau menghadang jalan- 
ku, Anak Muda!" tandas Kencana Wungu, yakin kalau 
dirinya akan bisa mengungguli murid Barureksa itu. 

Nenek berhidung melengkung itu mengelua- 
rkan ucapan sambil mengayunkan kaki menuju se- 
buah gundukan batu sebesar rumah, meletakkan 
mayat kakek botak yang sejak tadi dipanggulnya. 

"Rupanya kau merasa yakin akan dapat menga- 
lahkanku dengan keberhasilanmu tempo hari, Nenek 
Sombong?!" 

Bersamaan keluarnya ucapan itu, Sangkuni 
melompat dari atas gundukan batu. Untuk sesaat tu- 
buhnya melayang-layang di udara laksana seekor bu- 
rung sebelum akhirnya turun dan menjejak tanah. 

"Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu, 
Anak Muda!" 

Belum hilang gema ucapannya, Kencana Wun- 
gu telah melancarkan serangan terhadap Sangkuni. 
Sepasang anak panah di tangannya meluncur bertubi- 
tubi ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berpa- 
kaian biru itu dengan mengeluarkan bunyi bercicitan 
nyaring. 

Namun Sangkuni bukan lawan lemah. Golok 
merah di pinggang segera dikeluarkan, diputar laksana 
kitiran untuk memapas perjalanan anak-anak panah 
itu. 

Trak, trakkkk! 

Kencana Wungu menggeram keras ketika se- 
rangannya berhasil dipatahkan. Dengan tak kalah ga- 
nas serangan susulan segera dilancarkan. Dan anak 
panahnya seakan lenyap berubah sinar kecoklatan 
yang tidak jelas bentuknya. Kedua panah itu meluncur 
ke berbagai bagian tubuh Sangkuni laksana kilat me- 
nyambar. Pertarungan sengit pun berlangsung begitu 
dahsyat 

Kencana Wungu melancarkan serangan sambil 
memekik-mekik nyaring penuh kemarahan. Tindakan- 
nya mencerminkan dendam terpendam terhadap 
Sangkuni. Terbayang kembali di benak nenek berhi- 
dung melengkung itu kejadian yang menyebabkan ka- 
kek botak, yang tak lain suaminya, tewas. 


kkk 


"Keparat! Siapa pun adanya orang itu, apabila 
bertemu akan merasakan sendiri hukuman dariku, 
Sangkuni! Dia akan menyesal seumur hidup berani 
mencampuri urusanku!" tandas nenek berhidung me- 
lengkung penuh perasaan geram ketika melihat sosok 
berpakaian hijau lenyap. Hal itu terjadi setelah benda 
bulat yang dilemparkan itu meledak dan menimbulkan 
asap tebal. 

Sangkuni mengalihkan pandangan ke arah 
Kencana Wungu. Pada saat yang bersamaan nenek 
berhidung melengkung itu tengah menatapnya pula. 

Mereka berdua saling tatap sejenak. 

"Biarlah...!" Sangkuni mengeluarkan ucapan 
yang lebih mirip desahan. "Biarlah sekarang Dewa 
Arak lolos dari tanganku, tapi ada orang yang akan 
menggantikannya menerima kematian saat ini. Kau, 
Kencana Wungu!" 

Kencana Wungu seketika melangkah mundur. 
Nenek berhidung melengkung itu langsung memasang 
sikap waspada dan siap tempur. 

"Sebenarnya..., mengapa kau demikian mem- 
benciku, Anak Muda?! Sepanjang pengetahuanku, aku 
tak pernah bermusuhan denganmu. Jangankan berta- 
rung bertemu pun baru kali ini! Lalu, bagaimana 
mungkin kita bisa bermusuhan. Mungkinkah kau sa- 
lah mengenal orang!" 

"Tidak, Kencana Wungu!" Sangkuni mengge- 
lengkan kepala, keras. "Aku tidak salah. Kau memang 
salah satu di antara sekian banyak musuh besarku. 
Salah seorang yang telah menyebabkan seseorang yang 
kusayangi tewas! Kau harus menerima akibatnya." 

Sangkuni langsung melompat menerjang Ken- 
cana Wungu. Golok merah di tangannya ditusukkan 
cepat ke arah leher. Namun, kandas karena nenek 
berhidung melengkung itu berhasil menangkalnya 
dengan jepitan batang anak panahnya. 

Sangkuni menyusulinya dengan sebuah ten- 
dangan kaki kanan ke arah dada agar Kencana Wungu 
melepaskan jepitan terhadap goloknya. Dan usahanya 
tidak sia-sia. Kencana Wungu melempar tubuh ke be- 
lakang untuk menghindarkan tendangan yang mampu 
menghancurkan tulang-belulang dan juga isi dadanya 
itu. Sangkuni memburu, hingga pertarungan sengit 
berlangsung secara cepat 

Berbeda dengan Sangkuni, Kencana Wungu 
bertarung dengan adanya beban batin di hatinya. Dia 
tidak ingin bertempur dengan siapa pun saat-saat se- 
karang ini. Jangankan bertempur, bertemu pun diusa- 
hakannya tidak terjadi. Nenek berhidung melengkung 
ini mengkhawatirkan keselamatan ramuan- 
ramuannya. Maka begitu bertarung beberapa gebra- 
kan, dia melarikan diri setelah terlebih dulu melem- 
parkan jarum-jarum beracun untuk menghadang pen- 
gejaran Sangkuni. Dengan mengandalkan lebatnya hu- 
tan dan dipenuhi pepohonan dan semak-semak belu- 
kar, Kencana Wungu berhasil meloloskan diri dari 
pengejaran Sangkuni. 

Kencana Wungu berlari melalui tempat-tempat 
yang sulit untuk dilalui. Melalui celah-celah pohon, ke- 
rimbunan semak-semak, kumpulan anak duri yang 
menghadang. Itu semua diterjangnya agar Sangkuni 
tidak dapat menemukannya. Bukan karena Kencana 
Wungu takut, tapi khawatir kalau pertempurannya de- 
ngan pemuda berpakaian biru itu akan mengundang 
munculnya tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dan itu be- 
rarti, bahaya bagi keselamatan ramuan-ramuannya. 

"Ikh...!" 

Namun tanpa sadar Kencana Wungu terpekik 
kaget. Dia yang tengah sibuk memperhatikan kanan- 
kiri dan belakang karena takut ada orang yang meli- 
hatnya, jadi tanpa sadar mengeluarkan pekikan ketika 
pandangannya diarahkan ke depan. Dalam jarak seki- 
tar satu tombak terpampang pemandangan yang 
menggetarkan hati. 

Dekat pohon beringin tampak sesosok tubuh. 
Anehnya dia berdiri dengan kepala, tidak dengan kaki. 
Berdirinya pun bukan di tanah melainkan di hampa- 
ran tengkorak kepala manusia yang disusun teratur. 
Bagian terbawah berisi lebih banyak daripada atasnya. 

Makin ke atas makin sedikit. Sampai di tempat paling 
atas hanya ada sebuah tengkorak kepala manusia. 
Dan pada tengkorak ini, kepala sosok itu bertengger. 
Tenang. Tidak oleng maupun bergetar sedikit pun. 

Semula Kencana Wungu tidak bisa mengetahui 
secara persis siapa sosok yang berdiri secara aneh dan 
di tempat yang aneh pula itu. Kedudukan tubuh itu 
yang membuat nenek berhidung melengkung tidak da- 
pat segera mengenalinya. Namun ketika akhirnya ber- 
hasil mengenali setelah memperhatikan lebih teliti, 
jantung Kencana Wungu seperti berhenti berdenyut. 
Tanpa sadar Kencana Wungu melangkah mundur den- 
gan wajah berubah hebat. 

Sosok yang berdiri secara aneh itu ternyata 
adalah kakek kurus kering yang tak lain Barureksa! 
Kencana Wungu sampai menahan napas agar tidak 
terdengar atau diketahui Barureksa keberadaannya di 
situ. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa harus 
lari dari Sangkuni. Ini namanya kabur dari mulut anj- 
ing tapi masuk dalam mulut macan lapar! 

Kencana Wungu membalikkan tubuh dengan 
hati-hati bermaksud melarikan diri dari kakek kurus 
kering yang diketahui memiliki kepandaian luar biasa 
itu. Dan ketika telah beberapa langkah tidak ada gera- 
kan dari Barureksa, dia melesat cepat dari tempat itu 
dengan hati lega. Aman, pekiknya dalam hati. 

Tapi, jantungnya yang semula telah tenang itu 
kembali berdetak kencang ketika melihat sesosok tu- 
buh yang berada jauh di depannya. Sosok itu seperti 
juga sosok yang tadi ditemuinya, berdiri dengan kaki di 
atas. Hanya bedanya tidak di atas tumpukan teng- 
korak, melainkan sebatang tongkat kecil yang terhun- 
jam di tanah. Ujung tongkat itu berada setengah tom- 
bak dari permukaan tanah. 

Jantung Kencana Wungu berdebar keras ketika 
mengetahui sosok yang berdiri di atas batang tongkat 
itu ternyata Barureksa! Nenek berhidung melengkung 
itu terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Bukankah 
Banureksa tengah sibuk dengan dirinya yang aneh, ta- 
pi mengapa bisa berada di depannya tanpa diketahui 
kapan bergerak dan bagaimana hal itu dilakukan. 

Perasaan penasaran membuat nenek berhidung 
melengkung itu kembali ke tempat semula, dilihatnya 
kakek kurus kering berdiri dengan kepala di atas tum- 
pukan tengkorak. Dan hatinya terkejut bukan kepa- 
lang ketika melihat sosok itu ada! "Apakah pandan- 
ganku tidak tertipu?" tanya Kencana Wungu di dalam 
hati. Berarti ada dua sosok kakek kurus kering! Seba- 
gai tokoh yang telah banyak pengalamannya, Kencana 
Wungu langsung mengetahui kalau hanya ada satu so- 
sok yang asli! Dipertimbangkannya, masak-masak ma- 
na kemungkinan sosok yang asli dari kakek kurus ker- 
ing itu. 

Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepan- 
daian tinggi, Kencana Wungu tahu kalau saat itu dia 
menyerang sosok yang asli, apabila mengenai sasaran 
kemungkinan besar Barureksa akan tewas! 

Kencana Wungu cukup lama mempertimbang- 
kannya karena tidak ingin gagal. Dia berpikir, Baru- 
reksa pasti akan memilih tempat yang lebih tersem- 
bunyi untuk melindungi keselamatannya, dan tubuh 
palsunya pasti terletak di tempat terbuka, yang gam- 
pang dilihat orang. 

Setelah mempertimbangkannya baik-baik, Ken- 
cana Wungu menghentakkan kedua tangannya ke de- 
pan ke arah sosok Barureksa yang berada di atas tum- 
pukan tengkorak. Hembusan angin keras meluruk ke 
arah tubuh kakek kurus kering itu. 

Brakkk! 

Pohon beringin besar yang ada di belakang tu- 
buh kakek kurus kering itu langsung hancur beranta- 
kan terhantam pukulan jarak jauh Kencana Wungu 
yang luar biasa. Sedangkan tubuh Barureksa yang be- 
rada di bawah pohon itu telah lenyap entah ke mana 
seperti asap dihembus angin. 

Kencana Wungu kaget. Namun, secepat itu pu- 
la dia bertindak, menghentakkan kedua tangannya lagi 
ke arah sosok Barureksa yang berdiri di atas tongkat 

Bresss! 

Kali ini semak-semak yang berada di belakang 
sosok kakek kurus kering itu hancur berantakan, po- 
rak-poranda seperti diterjang kelompok gajah liar. Se- 
perti juga semula, pukulan jarak jauh Kencana Wungu 
me-embus begitu saja tubuh Barureksa yang seakan- 
akan berupa segumpal asal. 

Melihat hal ini wajah Kencana Wungu jadi se- 
perti tidak berdarah. Hatinya menjadi kalap dan geram 
bukan main karena tahu kalau dua sosok yang dili- 
hatnya hanya berupa jelmaan Barureksa. Sedangkan 
sosok yang asli tidak berada di situ. 

"He he he...!" 

Suara tawa terkekeh menyambut munculnya 
dugaan di hati Kencana Wungu. Suara itu tidak jelas 
dari mana datangnya. Kencana Wungu sendiri tidak 
tahu dari mana asal tawa itu. Mendadak... 

Brakkkk! 

Tengkorak manusia yang semula tersusun rapi 
mendadak bergetar keras dan bergelindingan ke tanah. 
Seakan-akan ada sesuatu yang bergerak dari bawah- 
nya. 

Kencana Wungu dengan hati berdebar tegang. 
Sepasang matanya menatap tak berkedip pada kumpu- 
lan tengkorak manusia yang berguguran jatuh itu. In- 
gin diketahuinya mengapa semua ini bisa terjadi 




Hanya dalam sekejap saja tidak ada lagi teng- 
korak kepala manusia yang bertumpukan. Bahkan 
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berada pal- 
ing bawah pun berpentalan ke sana kemari. 

Semula Kencana Wungu tidak mengerti menga- 
pa hal itu bisa terjadi. Namun ketika melihat tanah te- 
pat di bawah tumpukan tengkorak itu retak-retak dan 
bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar 
dari dalamnya, dia mengerti. Hanya saja yang tidak 
dimengertinya, apakah yang hendak keluar dari dalam 
tanah itu? Mayat hidup? 

Brulll! 

Diiringi dengan berhamburannya tanah ber- 
gumpal-gumpal dan debu mengepul tinggi, dari dalam 
tanah yang retak-retak itu melayang naik sebuah peti 
mati. Setelah berada setinggi setengah tombak dari ta- 
nah, peti itu berhenti bergerak dan turun perlahan- 
lahan ke tanah. 

Sepasang mata Kencana Wungu hampir ter- 
lompat keluar dari rongganya melihat pemandangan 
mendebarkan hati ini. Kedua kakinya terasa lemas. 
Benarkah ia akan berhadapan dengan mayat hidup? 
Jantungnya memukul-mukul keras ketika peti mati itu 
bergerak membuka. Dan dari dalamnya keluar Baru- 
reksa! 

"Jangan harap kau akan bisa membunuh Baru- 
reksa, Nenek Dungu! Kau sendiri yang akan mampus 
di tanganku!" 

Kakek kurus kering itu mengulurkan tangan 
kanan hendak mencengkeram. Tentu saja, Kencana 
Wungu tidak membiarkannya dan segera melompat 
mundur. Tapi, hatinya langsung mencelos ketika meli- 
hat tangan itu tetap mengancam ubun-ubunnya. Pa- 
dahal, dia telah berada dalam jarak yang aman dari 
cengkeraman betapapun panjangnya tangan manusia. 

Kencana Wungu kian tegang dan kebingungan. 
Tangan itu tetap mengancamnya. Dia baru menyadari 
kini, bahwa Barureksa memiliki ilmu yang membuat 
tangannya mampu memanjang sampai dua kali pan- 
jang semula. 

Namun kesadaran Kencana Wungu datang ter- 
lambat, tangan Barureksa tak akan tertahan lagi me- 
nyambar ubun-ubunnya. Saat itu, sesosok benda hi- 
tam meluncur deras dan.... 

Takkk! 

Benda hitam yang ternyata sebuah tongkat be- 
sar dan berat dengan bentuk batang melingkar-lingkar 
itu terpental kembali ketika berbenturan dengan tan- 
gan. Sungguhpun demikian, tindakan itu telah cukup 
untuk membuat nyawa nenek berhidung melengkung 
lepas dari cengkeraman malaikat maut. 

Kakek kurus kering menggeram. Pandangannya 
langsung dialihkan ke arah dari mana tongkat berat 
dan besar itu berasal. Dari sana tampak melesat sosok 
tubuh. Barureksa perlu memperhatikan beberapa saat 
untuk mengenali sosok yang telah mengacaukan ren- 
cananya itu. Namun tidak demikian halnya dengan 
nenek berhidung melengkung, tongkat berat dan besar 
itu telah memberitahukan padanya kalau pemiliknya 
adalah kakek botak, suaminya. 

Dan memang, ketika akhirnya sosok itu berada 
dekat, Barureksa yang ternyata matanya tidak dapat 
melihat jauh, baru dapat mengenali kalau sosok itu 
kakek botak. Dulu, bersama-sama dengan Kencana 
Wungu, kakek botak ini berhasil mendesaknya. Tapi, 
Barureksa tidak akan membiarkan mereka bertindak 
begitu untuk kedua kalinya. 

"Ke mana saja kau, Wungu?" Begitu tiba kakek 
botak itu langsung mengajukan pertanyaan. "Lenyap 
begitu saja. Susah payah kucari kau, untung kali ini 
berhasil bertemu. Kalau tidak, nyawamu tentu sudah 
melayang." 

Kencana Wungu yang tersenyum getir, tidak 
memberikan jawaban sama sekali karena dirinya me- 
mang bermaksud meninggalkan kakek botak itu. 

Namun kedua orang ini tidak mempunyai wak- 
tu lama untuk berbincang-bincang karena Barureksa 
telah kembali melancarkan serangan. Kali ini yang di- 
tuju si Kakek Botak. Meskipun demikian, Kencana 
Wungu langsung turun tangan membantu. Pertarun- 
gan dua lawan satu untuk yang kedua kalinya pun 
berlangsung. 

Kencana Wungu berusaha menyerang dengan 
anak-anak panahnya. Sedangkan kakek botak dengan 
tongkatnya yang besar dan berat terus menggempur 
lawan. Sementara Barureksa menghadapi mereka de- 
ngan tangan kosong. 

Meskipun tanpa senjata, tapi keampuhan tan- 
gan Barureksa itu tidak kalah dengan kekuatan senja- 
ta yang bagaimanapun. Kedua tangan yang kurus ker- 
ing dan seperti tidak memiliki daging itu, mampu men- 
jadi pedang, golok, bahkan tongkat, malah terkadang 
menjadi catut baja! 

Bunyi berdetak keras senantiasa terdengar se- 
tiap kali tangan kurus kering itu berbenturan dengan 
tongkat atau anak-anak panah. Tanpa terluka sedikit 
pun. Bahkan jarum-jarum beracun Kencana Wungu 
roboh sendiri ketika menancap di tubuh Barureksa. 

Kencana Wungu dan kakek botak mengeluh da- 
lam hati, karena kemampuan kakek itu seperti me- 
ningkat dibanding beberapa waktu lalu. Mereka tidak 
tahu kalau itu karena Barureksa baru saja selesai 
mengubur diri hidup-hidup di dalam tanah. Dan ketika 
pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Kencana 
Wungu dan kakek botak harus mengakui kalau mere- 
ka tak akan bisa menang terhadap Barureksa. Tubuh 
kakek itu yang kebal menyulitkan keduanya untuk 
memperoleh kemenangan. Beberapa kali senjata- 
senjata mereka mengenai sasaran, tapi tanpa hasil 
sama sekali. Sedangkan terhadap setiap serangan Ba- 
rureksa keduanya harus berhati-hati kalau tidak ingin 
mati konyol. 

Mendadak Barureksa menggeram keras sehing- 
ga membuat tubuh Kencana Wungu dan kakek botak 
tergetar hebat. Bahkan kaki mereka menggigil. Saat 
itu, Barureksa yang rupanya merasa geram terhadap 
kakek botak segera melesat menyerang. 

Kakek botak kaget, tapi cepat melemparkan tu- 
buh dan bergulingan untuk menyelamatkan nyawa. 
Barureksa mengejarnya. Sementara Kencana Wungu 
yang melihat ancaman maut terhadap suaminya, bu- 
kan membantu malah melarikan diri. Nenek yang cer- 
dik ini tahu kalau tidak ada gunanya lagi pertarungan 
itu diteruskan, karena suaminya itu tetap tidak akan 
pernah menang terhadap Barureksa. 

Kencana Wungu terus berlari meskipun samar- 
samar didengarnya jeritan menyayat hati dari mulut 
kakek botak. Tanpa melihat pun, nenek berhidung me- 
lengkung ini tahu kalau nasib suaminya itu telah be- 
rakhir di tangan Barureksa. 

Setelah menunggu hingga hari menjadi gelap, 
baru Kencana Wungu datang dan mengambil mayat 
kakek botak. Saat itu Barureksa sudah tidak berada di 
situ. Namun, dasar nasibnya sedang sial, di tengah 
perjalanan setelah sehari melakukan perjalanan, dia 
bertemu dengan Anyelir yang membuat mereka terlibat 
dalam pertarungan. Anyelir ingin mengambil mayat 
yang berada di tangan Kencana Wungu. 

kkk 

Kencana Wungu menggertakkan gigi karena pe- 
rasaan geram bercampur penasaran. Kini dia tahu me- 
ngapa Sangkuni begitu yakin akan dapat mengalah- 
kannya. Kepandaian Sangkuni telah meningkat diban- 
ding beberapa hari lalu ketika pertarungan antara me- 
reka terjadi. Kencana Wungu tidak tahu kalau dalam 
waktu beberapa hari, pemuda berpakaian biru itu 
mendapat tambahan ilmu dari Barureksa. Gurunya itu 
memang luar biasa, meski dalam waktu sehari, dia 
sanggup membuat kepandaian Sangkuni meningkat 
cukup pesat. 

Sekarang, Sangkuni tidak mengalami kesulitan 
sama sekali meskipun Kencana Wungu berusaha me- 
nekannya dengan mempergunakan senjata andalan 
yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan nenek berhi- 
dung melengkung ini yang terdesak hebat. 

Trakkk! 

Lagi-lagi Kencana Wungu yang ingin mendapat- 
kan kemenangan, menggunting golok Sangkuni yang 
tengah meluncur ke arah lehernya. Namun kali ini 
Sangkuni tidak kalah cepat bergerak. Begitu lawannya 
bergerak hendak memutar-mutarkan senjata, dia pun 
melakukan hal yang sama, dengan arah berlawanan. 
Akibatnya, tidak terjadi putaran sama sekali karena 
gerak yang saling berlawanan itu membuat keduanya 
saling mematikan. 

Kencana Wungu menggertakkan gigi karena 
merasa geram melihat lawan mempergunakan cara 
sendiri untuk melawannya. Dikerahkan seluruh tenaga 
dalam untuk memenangkan adu putaran ini. 

Kencana Wungu tercekat hatinya ketika mera- 
sa-an putaran yang dilakukannya tidak mendapatkan 
perlawanan sama sekali. Rupanya pada saat yang ber- 
samaan Sangkuni malah mengendurkan tenaga. Aki- 
batnya putaran yang dilakukan Kencana Wungu terla- 
lu cepat, dan hampir tidak terkuasai lagi. Saat itu, 
Sangkuni bertindak cepat mengerahkan tenaga untuk 
menambah kekuatan pada perputaran, sehingga mem- 
buat putaran pun semakin cepat. 

Crottt! 

Kencana Wungu membelalakkan sepasang ma- 
ta ketika golok Sangkuni menghujam perutnya hingga 
tembus ke punggung. Di saat, nenek berhidung me- 
lengkung itu kehilangan kendali, Sangkuni langsung 
menusuknya. Darah pun menyembur deras dari bagi- 
an yang terluka. 

Tubuh Kencana Wungu mengejang sesaat, me- 
regang maut sebelum akhirnya ambruk dan tidak ban- 
gun lagi untuk selamanya. Baru, Sangkuni mencabut 
goloknya yang tertinggal di perut Kencana Wungu, se- 
telah yakin kalau nenek itu sudah tidak bernyawa lagi. 
Sangkuni memang cerdik. Dia khawatir kalau Kencana 
Wungu akan melakukan serangan dengan mengguna- 
kan sisa-sisa tenaga terakhir. Maka begitu goloknya 
berhasil menembus perut lawan, lalu dia langsung me- 
lompat menjauh. 

"Ha ha ha...!" 

Sangkuni tertawa bergelak penuh kegembiraan 
sambil menyeka goloknya yang berlumuran darah de- 
ngan pakaian lawan. Ditatapnya tubuh nenek berhi- 
dung melengkung itu dengan sorot mata puas. 

"Arum, lihatlah...!" seru Sangkuni sambil me- 
nengadahkan kepala ke langit seakan-akan orang yang 
disebutnya berada di sana. "Salah seorang dari penye- 
bab terbunuhnya kau telah berhasil kutumpas. Kini 
tinggal satu orang lagi. Musuh terbesar, Dewa Arak! 
Dia akan mengalami kematian yang lebih mengerikan 
daripada Sekardati! Ha ha ha...!" 

Tiba-tiba Sangkuni menghentikan tawa karena 
pandangan matanya menangkap adanya dua titik di 
kejauhan. Mula-mula kecil tapi semakin lama, secara 
cepat sekali menjadi besar. Sepasang mata Sangkuni 
yang telah terlatih langsung bisa mengetahui kalau ti- 
tik itu merupakan dua tokoh persilatan yang bergerak 
cepat menuju tempatnya berada. Menilik dari keadaan 
mereka, Sangkuni dapat menduga kalau dua sosok itu 
tengah saling berkejaran. 

Jantung Sangkuni berdetak lebih cepat dari bi- 
asa karena perasaan tegang dan gembira ketika meli- 
hat kalau sosok yang berada di depan mengenakan 
pakaian ungu, sedangkan yang di belakangnya berpa- 
kaian merah. 

Sangkuni tidak terlalu memperhatikan sosok 
berpakaian merah. Seluruh perhatiannya ditumpah- 
kan pada sosok yang satu lagi. Rambutnya yang putih 
keperakan dan berkibar-kibar itu mengingatkan Sang- 
kuni kepada Dewa Arak. Mungkinkah sosok itu Dewa 
Arak, musuh terbesarnya? 

Sangkuni gembira sekali ketika melihat sosok 
itu benar Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepera- 
kan itu bertelanjang baju karena pakaiannya dipergu- 
nakan untuk menutupi tubuh Sekardati yang berada 
di bopongannya. 

Begitu tahu kalau sosok itu ternyata Dewa 
Arak, tanpa membuang-buang waktu lagi, Sangkuni 
segera melesat menyambuti. Tak tanggung-tanggung 
lagi, golok merahnya dicabut dan ditusukkan ke arah 
leher pemuda berambut putih keperakan itu. 

Bukan hanya Sangkuni saja yang merasa gem- 
bira dengan pertemuan itu, Arya pun demikian. Ketika 
pemuda berpakaian biru itu menyambutnya dengan 
tusukan, kakinya dijejakkan. Sehingga tubuh Dewa 
Arak melayang melewati kepala Sangkuni. Kemudian 
kaki kanannya dijejakkan ke arah kepala. 

Sangkuni yang melihat adanya ancaman ba- 
haya itu langsung melompat ke depan dan bergulin- 
gan. Ketika akhirnya berhasil bangkit, wajahnya agak 
pucat karena dalam segebrakan saja nyawanya hampir 
melayang. 

Pada saat yang sama dengan bangkitnya Sang- 
kuni, sosok berpakaian merah yang ternyata Anyelir 
telah tiba di sebelah Sangkuni. Dia merasa heran me- 
lihat pemuda berpakaian biru itu menyerang Dewa 
Arak. Namun sebelum pertanyaan sempat diajukan, 
pemuda berpakaian biru itu telah lebih dulu meluruk 
ke arah Dewa Arak dengan golok di tangan mengelua- 
rkan bunyi mengaung keras di saat diputar-putarkan 
sebelum dihunjamkan ke tubuh lawan. 

Untung saja saat itu, Arya telah meletakkan tu- 
buh Sekardati di tempat yang aman. Maka terjangan 
Sangkuni langsung disambutnya. 

"Sangkuni...! Sekarang juga akan kuhancurle- 
burkan tubuhmu!" 

"Kaulah yang akan mati atas tindakanmu yang 
menyebabkan kematian Sekar Arum!" teriak Sangkuni 
tak mau kalah. 

Klangngng! 

Bunga api berpijar ketika golok Sangkuni ber- 
benturan dengan guci di tangan lawan. Seketika itu ju- 
ga Dewa Arak ternyata langsung menggunakan ilmu 
'Belalang Sakti'-nya, serta dengan guci menangkis ba- 
batan yang mengancam leher. 

Tubuh kedua tokoh muda yang sama berke- 
mampuan tinggi itu terhuyung-huyung ke belakang. 
Dan sebelum keduanya saling gebrak kembali, Anyelir 
telah lebih dulu menyelak melakukan serangan dengan 
melontarkan pisau-pisau terbangnya. Gadis berpa- 
kaian merah ini memang memiliki kemampuan me- 
lempar pisau. 

Dewa Arak agak terkejut ketika melihat lima 
buah pisau terbang meluncur ke arahnya. Masing- 
masing menuju ke bagian yang berbahaya. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini sempat terkejut ketika me- 
lihat kehebatan ilmu melempar pisau Anyelir. Mula- 
mula pisau itu berkelompok tapi ketika berada di ten- 
gah perjalanan langsung berpencar menjadi tiga ba- 
gian. 

Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat 
membanting tubuh ke tanah dan bergulingan men- 
jauh. Sangkuni segera menyusuknya dengan serangan 
goloknya begitu pisau-pisau terbang Anyelir tak me- 
nemui sasaran. Kini tanpa direncanakan lebih dulu, 
Anyelir dan Sangkuni sama-sama melakukan penye- 
rangan terhadap Dewa Arak. 

Dewa Arak kaget bukan kepalang. Jangankan 
pengeroyokan, menghadapi satu orang di antara mere- 
ka saja, agak sulit baginya untuk mencapai kemenan- 
gan. 

Sambil terus mengerahkan seluruh kemam- 
puan menghadapi pengeroyokan, Dewa Arak memutar 
pikiran untuk mencari penyelesaian yang baik atas 
pertarungan ini. Masalahnya, Dewa Arak hanya mem- 
punyai urusan dengan Sangkuni. Sedangkan Anyelir 
hanya salah paham. Itulah sebabnya, pemuda beram- 
but putih keperakan itu mengirimkan serangan- 
serangan mematikan hanya pada Sangkuni. Sedang- 
kan pada Anyelir sekadar mengimbangi serangan gadis 
itu. Tentu saja Anyelir mengetahuinya tapi dia tidak 
peduli. Yang ada di benaknya adalah melancarkan se- 
rangan mematikan terhadap Dewa Arak. 

Menghadapi perlawanan sengit dari Anyelir dan 
Sangkuni yang seperti tak kenal ampun itu Dewa Arak 
tampak kewalahan juga. Apalagi dirinya tidaklah sepe- 
nuh hati melayani gempuran dari Anyelir kakak seper- 
guruan Sekardati. Sementara wanita itu seperti kese- 
tanan terus merangseknya. Dewa Arak pun kian terde- 
sak hebat menghadapi gempuran bertubi-tubi itu. 

Untung saja Dewa Arak mempunyai jurus 
'Delapan Langkah Belalang'. Jurus ini cukup memban- 
tunya dalam mengelakkan setiap serangan yang da- 
tang. Dirinya lebih banyak mengelak daripada melaku- 
kan penyerangan. 

Tukkk! 

Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan ke- 
tika tangan kiri Sangkuni berhasil hinggap di bahu 
kanannya dalam sebuah totokan dua jari. Seketika tu- 
buh pemuda berambut putih keperakan ini terkulai di 
tanah seperti sehelai karung basah. 

"Ha ha ha...!" 

Sangkuni tertawa bergelak mempertunjukkan 
kegembiraan melihat Dewa Arak yang menjadi musuh 
besarnya itu roboh tidak berdaya. Pertarungan lang- 
sung berhenti. 

"Biarkan aku yang menghukum keparat ini!" 
ujar Anyelir menyelak Sangkuni yang berdiri di depan- 
nya. 

Gadis berpakaian merah itu meskipun keliha- 
tannya sembarangan saja bertindak namun sebenar- 
nya bersikap hati-hati. Dirinya tetap khawatir akan 
terjadi sesuatu yang tak diinginkan dari Sangkuni. 

Namun pemuda berpakaian biru itu tersenyum, 
kemudian menggeser kaki seperti hendak menyingkir 
dan memberi jalan pada Anyelir. Hal ini membuat ga- 
dis berpakaian merah ini merasa lega. 

Tiba-tiba Sangkuni mengirimkan babatan go- 
loknya ke arah leher Anyelir. Tentu saja hal ini mem- 
buat gadis berpakaian merah itu kaget karena tidak 
menyangkanya. Semua ini terjadi begitu cepat. Sung- 
guhpun demikian, Anyelir masih sanggup membukti- 
kan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecun- 
dangi. Bergegas dilemparkan tubuhnya ke belakang. 
Namun, Sangkuni yang cerdik memang sudah mem- 
perhitungkan kemungkinan itu. Dia pun melompat 
mengejar. Dengan cepat dilancarkan totokan bertubi- 
tubi melalui tangan kirinya. Beberapa di antaranya da- 
pat dielakkan oleh Anyelir. Namun, akhirnya satu di 
antaranya berhasil membuat tubuh gadis itu roboh 
lemas. Ambruk seperti orang yang dilolosi tulang- 
belulangnya. 

"Ha ha ha...!" 

Untuk yang kedua kalinya Sangkuni melepas 
tawa bergelak. Sepasang matanya menatap berganti- 
ganti pada Anyelir dan Dewa Arak yang sama-sama 
tergolek di tanah. 

"Keparat! Pengecut, ayo bebaskan aku, Penge- 
cut! Kita bertarung, sampai di antara kita ada yang 
tergeletak di tanah!" tantang Anyelir penuh kemara- 
han. 

"Ha ha ha...! Aku bukan seorang anak kecil 
yang gampang kau tipu, Anak Manis! Untuk apa aku 
bercapai lelah, kalau dengan cara mudah dapat me- 
nangkapmu. Melihat ilmumu aku yakin kau murid 
Rongga si Pendek. Kau akan mengalami nasib seperti 
adik seperguruanmu. Bukankah wanita yang dipon- 
dong-pondong Dewa Arak itu adik seperguruanmu? 
Kau mau tahu apa yang dialaminya? Dia mati kelela- 
han setelah kuperkosa! Kau dengar, kuperkosa! Dan 
setelah kenyang, kuberikan tubuhnya yang mulus pa- 
da semut-semut merah yang gigitannya mengandung 
racun mematikan! Kau pun akan mengalami nasib se- 
rupa, Anak Manis!" 

Wajah Anyelir berubah pucat pasi seperti 
mayat. Dia merasa ngeri mendengar ucapan Sangkuni 
yang diketahuinya bukan ancaman kosong belaka. Di 
samping itu timbul perasaan bersalah terhadap Dewa 
Arak. Dia telah salah menuduh. Perasaan geram pun 
muncul terhadap Sangkuni. Kalau saja bebas, akan di- 
terjangnya Sangkuni mati-matian. 

"Sekarang kau tenang-tenanglah dulu, Manis! 
Aku akan berurusan dengan Dewa Arak dulu." Kemu- 
dian, Sangkuni mengalihkan perhatian pada Dewa 
Arak. "Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku 
memusuhimu, Dewa Arak? Kau ingat, Arum. Sekar 
Arum!" 

Dewa Arak tidak menjawab hanya kepalanya 
yang mengangguk perlahan. 

"Asal kau tahu saja, aku adalah tunangan 
Arum. Aku dendam karena kau telah menyebabkan 
Arum yang kusayangi tewas...." 

"Tapi bukan aku yang telah membunuhnya, 
Sangkuni," bantah Arya tenang. "Dia tewas karena 
perbuatan orang-orang dari gerombolan Pasukan Iblis 
Neraka!" 

"Aku tahu!" tandas Sangkuni, beringas. "Tapi 
kaulah yang menyebabkan kematiannya. Pokoknya, 
siapa pun yang telah menyebabkan kematiannya aka 
mendapatkan balasan dariku!" 

Arya terdiam. Disadari bahwa tidak ada gu- 
nanya berdebat dengan Sangkuni. Pemuda berpakaian 
biru itu telah mempunyai pikiran tidak waras. Dan 
mendadak dia teringat akan ucapan Salaban. Diperha- 
tikannya tubuh Sangkuni. 

"Sekarang aku mengerti, kaulah yang telah 
membunuh Salaban!" tandas Arya yakin. 

"Ha ha ha...!" Sangkuni tertawa bergelak. "Syu- 
kur kalau kau telah mengetahuinya, Dewa Arak. Orang 
tua gila itu kubunuh karena dia tidak mau memba- 
laskan dendam Arum kepadamu! Aku pula yang telah 
membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan 
Arum, karena mereka pun lepas tangan atas kematian 
Arum! Begitu pula Kencana Wungu, dan tinggal kau 
yang belum kubunuh! Bersiaplah, Dewa Arak!" 

Ucapan demi ucapan Sangkuni membuat wajah 
Anyelir semakin menampakkan kekagetan. Sama se- 
kali tidak disangka kalau dia benar-benar salah duga 
terhadap Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu ternyata tidak bersalah sama sekali. Sang- 
kuni pelaku semua kekejian yang disangkanya dilaku- 
kan oleh Dewa Arak. 

"Tapi, sebelum kuhukum, kau harus menyak- 
sikan sebuah pertunjukan menarik, Dewa Arak. Kau 
akan melihat bagaimana aku mempermainkan anak 
manis itu!" 

Kemudian Sangkuni menghampiri Anyelir yang 
langsung menjadi pucat wajahnya karena menyadari 
adanya bahaya mengerikan akan mengancam. Dike- 
rahkan seluruh tenaga dalam yang tersisa untuk 
membebaskan diri. Tapi, sia-sia. 

Brettt! 

Anyelir tidak bisa menyembunyikan kengerian 
di wajahnya ketika tangan Sangkuni merobek bajunya 
di bagian dada hingga salah satu bukit kembarnya 
yang montok dan mulus mencuat keluar. Gadis berpa- 
kaian merah itu menjerit kecil penuh perasaan takut, 
tapi Sangkuni malah tertawa-tawa gembira. 

"Lepaskan dia, Sangkuni!" Seruan yang amat 
dikenal Sangkuni itu membuatnya menoleh, tanpa bisa 
menghilangkan keterkejutan di wajahnya. Ternyata te- 
linganya tidak salah dengar. Tepat di belakangnya ber- 
diri Dewa Arak dengan guci di tangan dan siap dengan 
ilmu 'Belalang Sakti'-nya. 

"Kau... kau mampu bebas dari totokanku?!" 
tanya Sangkuni terbata-bata. 

"Aku sengaja mengecohmu, Sangkuni. Sejak 
tadi pun sebenarnya aku tidak apa-apa. Aku berpura- 
pura saja. Hal ini kulakukan agar bisa menyadarkan 
Anyelir dari kekeliruannya. Aku punya ilmu yang dapat 
memindahkan jalan darah, Sangkuni!" 

"Keparat!" Sangkuni menggeram, dan kemudian 
dengan golok merahnya melancarkan penyerangan. 
Arya menyambutnya, sehingga pertarungan sengit pun 
terjadi. Mereka saling serang dengan hebatnya. 

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Bahkan 
bayangan kedua tokoh muda itu pun lenyap karena 
cepatnya bergerak. Yang terdengar hanya bunyi men- 
gaung dan mendesing nyaring dari gerakan-gerakan 
kedua belah pihak. 

Untuk kesekian kalinya, pada jurus ketujuh 
puluh, golok merah Sangkuni menghantam guci Dewa 
Arak. Hanya saja kali ini langsung menempel. Sangku- 
ni yang tidak menyangka tampak gugup bukan main. 
Dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh 
Dewa Arak untuk melancarkan gedoran tangan kiri ke 
dada pemuda berpakaian biru itu. Seketika Sangkuni 
mengeluarkan jeritan mengerikan yang menyayat hati, 
ketika tubuhnya melayang dengan darah menyembur 
deras dari mulut. Pemuda berpakaian biru itu pun te- 
was setelah tubuhnya terbanting ke tanah. 

Tanpa berkata apa pun Dewa Arak segera 
membebaskan totokan di tubuh Anyelir. Gadis berpa- 
kaian merah itu hampir menangis karena merasa ter- 
haru. Hampir dia memeluk Arya untuk mengucapkan 
terima kasihnya yang tidak terhingga. 

"Ambillah ramuan yang ada pada Kencana Wu- 
ngu, Anyelir! Menurut gurumu, obat itu dapat me- 
nyembuhkan penyakitmu. Aku pergi dulu. Aku akan 
membawa Sekardati dan menguburkan di tengah- 
tengah keluarganya." 

"Aku ikut, Dewa Arak!" 

Arya hanya mengangkat bahu, lalu melangkah 
diikuti Anyelir meninggalkan tempat itu.... 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Makhluk Jejadian