Dewa Arak 65 - Si Linglung Sakti


Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang 
menggantung. Bulan yang bersinar penuh di angkasa menambah 
terang suasana persada. T erang dan hening. 

Namun keheningan itu tidak berlangsung lama. Bunyi lecutan 
cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah 
mengganggu malam yang begitu indah. Sesaat kemudian, muncullah 
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa lelaki gagah 
berkuda mengiringi kereta. Mereka berjumlah dua belas orang. Enam 
di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan 
dan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan. 

"Hooop" 

Penunggang kuda terdepan yang berkumis melintang, tiba-tiba 
mengangkat tangan kanannya ke atas. Sedangkan tangan kirinya 
menarik tali kekang kuda hingga langkahnya terhenti. Iring-iringan 
yang berada di belakangnya jadi ikit berhenti. 

"Kita beristirahat di sini dulu," ujar lelaki berkumis melintang 
yang menjadi kepala rombongan. Binatang tunggangannya 
dibalikkan menghadap rombongan. 

Usai lelaki berkumis melintang mengeluarkan perintah, kesibukan 
pun langsung terjadi. Belasan lelaki gagah yang mengenakan 
seragam prajurit berlompatan dari punggung kuda. Gerakan mereka 
cukup gesit dan lincah. Terutama lelaki berkumis melintang. 

Tanpa banyak bicara, rombongan prajurit itu segera bertindak. 
Kereta mereka ditaruh di tempat yang terlindung, di tengah-tengah. 
Sedangkan di empat penjuru, mereka berjaga. Ini dimaksudkan agar 
bila ada serangan dari arah mana pun, akan berhadapan dengan para 
prajurit terlebih dahulu. Kusir kereta itu seorang pemuda yang 
bertubuh kekar dan tegap. Ia ikut berjaga-jaga meskipun dia bukan 
seorang prajurit. 

Setelah mengawasi semua persiapan rombongannya, lelaki 
berkumis melintang lalu masuk ke sebuah tenda kecil untuk 
beristirahat. Tapi, baru saja sepasang matanya dipejamkan, tiba-tiba 

dibukanya kembali dengan cepat. Lelaki itu melompat dari 
pembaringan dan melesat ke luar tenda. 

"Ada apa, Sancaka?" tanya seorang prajurit yang merasa heran 
melihat lelaki berkumis melintang itu keluar dari tendanya kembali. 

"Kau dengar bunyi burung hantu saling bersahutan?" lelaki 
berkumis melintang malah mengajukan pertanyaan. 

Prajurit itu mengangguk. 

"Celaka!" seru lelaki berkumis melintang yang bernama Sancaka. 
"Musuh telah berada di sekeliling kita. Semuanya waspada!" 

Baru saja ucapan Sancaka selesai, terdengar bunyi berkerosakan. 
Dari atas pohon dan semak-semak di sekitar tempat itu keluarlah 
sosok-sosok bayangan. Senjatatelanjang terhunus di tangan mereka. 

T anpa memberikan kesempatan sedikit pun, sosok-sosok yang 
keluar dari tempat tersembunyi itu segera menyerbu. Para prajurit di 
bawah pimpinan Sancaka langsung menyambutnya. Pertarungan pun 
tidak bisa dielakkan lagi. 

Malam yang semula hening kini riuh rendah oleh bunyi dentang 
senjata beradu, yang dibarengi dengan teriakan-teriakan keras. Sesaat 
kemudian, jeritan menyayat pun terdengar. Seorang anak buah 
Sancaka telah menjadi korban 

Kelompok penyerang yang meskipun hanya berjumlah empat 
orang, namun rata-rata berkepandaian tinggi. Mereka tidak 
mengalami kesulitan untuk membunuh lawan-lawannya Padahal, 
masing-masing dari mereka paling sedikit menghadapi tiga orang 
lawan. 

Hanya dalam waktu singkat yang masih bisa bertahan cuma lelaki 
berkumis melintang. Meskipun demikian, pimpinan rombongan itu 
tidak gentar. Ia terus mengadakan perlawanan sengit. Tapi, tetap saja 
Sancaka terdesak. 

Sementara tiga orang penyerbu yang sudah tidak mendapat lawan 
lagi, dengan langkah tenang dan tertawa-tawa menghampiri kereta. 
Kereta itu sudah tidak ada yang menjaga lagi. Kecuali si Kusir kereta 
yang sejak pertempuran terjadi menyembunyikan wajahnya dengan 
kedua tangan. Ia tidak berani menyaksikan jalannya pertarungan. 

"Keparat! Pengecut-pengecut hina. Jangan ganggu kereta itu. 
Kalau kalian berani, hadapi aku!" seru Sancaka kalap melihat tiga 
lawannya bergerak mendekati kereta. 

Tindakan itu harus dibayar mahal oleh lelaki berkumis melintang. 
Perhatiannya jadi terpecah meskipun hanya sebentar. Tapi karena 
kedudukannya yang tengah terjepit, sebuah sabetan pisau lawan 
merobek lehernya. Nyawa Sancaka pun langsung melayang. 
Kemudian, tanpa mempedulikan korbannya, lawan Sancaka yang 
mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti pakaian wanita 
itu berjalan menghampiri kereta. 

*** 

Salah seorang dari tiga lelaki berpakaian kembang, mengulurkan 
tangan kiri, mencengkeram baju sang Kusir kemudian 
melemparkannya dengan mudah laksana membuang kain basah, 
membuat sang Kusir pingsan seketika. 

Tiba-tiba lelaki berwajah hitam itu berlari mengejar dua orang 
penumpang kereta. Memang, di saat belasan prajurit pengawal 
bertarung dengan empat lelaki berpakaian kembang-kembang, 
penumpang kereta yang adalah dua orang wanita itu mengintai 
jalannya pertarungan dari dalam kereta kuda. Melihat kenyataan 
kalau para penyerang jauh lebih kuat, mereka keluar dari kereta dan 
melarikan diri. 

"He he he.J Mau lari ke mana, Manis?!" tanya lelaki berwajah 
hitam ketika berhasil menghadang mereka. 

"He he he...!" tiga orang kawan lelaki berwajah hitam yang tidak 
ikut mengejar hanya memperhatikan dengan tertawa-tawa. 

"Keparat busuk!" 

Salah seorang wanita, yang muda dan cantik, menusukkan 
pedangnya yang dipegang dengan tangan kiri. T angan kanannya 
menuntun wanita yang lebih tua. Senjata tajam itu cepat ditusukkan 
ke arah leher. 

"Rupanya kau memiliki kepandaian juga, Manis? Tapi jangan 
harap kau dapat menang dariku?" 

Sambil berkata demikian, lelaki berwajah hitam memiringkan 
kepala. Serangan itu berhasil dielakkan. Lalu secepatnya tendangan 
kaki kanannya meluncur menuju perut lawan. 

Buk! 

Telak dan keras sekali kaki, lelaki berwajah hitam mendarat di 
sasaran. Tubuh wanita cantik berpakaian indah itu sampai terlempar 
dan jatuh bergulingan di tanah. 

"Jangan sakiti dia...!" seru wanita yang lebih tua. Ia bergerak 
menghadang langkah lelaki berwajah hitam yang akan menghampiri 
si Wanita muda. 

"Minggir kau, Tua Bangka Jelek!" 

Tanpa menaruh rasa kasihan sedikit pun, lelaki berwajah hitam 
mengulurkan tangan menangkap tubuh wanita tua itu, lalu 
dibantingnya dengan keras hingga terdengar bunyi berdebuk. 

"Ibuuu...!" 

Wanita muda berwajah cantik dengan agak terbungkuk karena 
masih merasakan sakit pada perutnya berlari mendekati ibunya T api, 
sebelum maksudnya terlaksana, sebuah tangan kuat telah menarik 
pakaiannya. 

"Rupanyakau tidak sabar menunggu giliran, Anak Manis?!" ucap 
lelaki berwajah hitam sambil mendekatkan wajah si Gadis ke 
wajahnya. Setelah mengangkat tubuh gadis itu dengan sebelah 
tangan, karena lelaki berwajah hitam itu mempunyai tubuh yang jauh 
lebih tinggi dan kuat. 

"Jangan makan sendirian saja, Dusena!" seru salah seorang dari 
tiga lelaki berpakaian kembang-kembang yang bertubuh pendek 
kekar. 

"Jangan khawatir," ucap lelaki berwajah hitam. "Tapi kalian 
makan saja dulu ini!" 

Dusena mengayunkan kaki menendang tubuh wanita setengah 
baya yang masih meringkuk kesakitan di tanah. Tubuh wanita 
malang itu pun melayang ke arah tiga lelaki berpakaian kembang. 
Untung, Dusena tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

"Siapa sudi daging yang sudah alot!" sergah lelaki pendek kekar 
sambil mendengus. Tangannya m cm a p aki tubuh yang meluncur ke 
arahnya. Terdengar bunyi berderak keras ketika kepala wanita 
setengah baya itu pecah berantakan terkena hantaman tangannya. 

"Ibuuu...!" 

Wanita cantik jelita itu menjerit keras melihat nasib yang 
menimpa ibunya. Tapi jeritannya hanya sampai di situ saja. 
Mulutnya telah ditutup dengan buas oleh mulut lelaki berwajah 
hitam, yang menciuminya dengan penuh nafsu. Tidak hanya mulut 
saja, tapi juga pipi dan hidungnya. 

Brettt! 

Bunyi kain robek terdengar ketika tangan lelaki berwajah hitam 
merenggut baju si Wanita cantik hingga robek dari leher sampai ke 
pusar. 

Dengan napas memburu Dusena mencampakkan tubuh wanita 
cantik itu ke tanah, ia segera melepas bajunya dan bersiap untuk 
menggagahi. Namun mendadak terdengar bunyi geraman yang 
sangat keras, seperti auman harimau. 

Akibatnya hebat bukan main! Dusena dan ketiga kawannya 
merasakan sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Bahkan, kedua kaki 
mereka menggigil keras. Tanpa dapat ditahan lagi ketiga orang itu 
ambruk ke tanah. 

Sebelum Dusena sempat berbuat sesuatu, terasa angin dingin 
berdesir. Di sebelahnya telah berdiri si Kusir kereta yang tadi 
dicampakkannya Kali ini sikap dan keadaan lelaki bertubuh kekar 
itu amat jauh berbeda dengan sebelumnya Wajahnya tampak 
beringas. Sepasang matanya menatap liar pai uh nafsu membunuh! 

Kusir kereta itu mengangkat tubuh wanita cantik jelita dengan 
cara luar biasa. Cepat bukan main gerakannya, sehingga Dusena 
yang berada di dekatnya tidak melihat bagaimana lelaki kekar itu 
bergerak. T ahu-tahu tubuh wanita itu telah berada di bahu kanannya. 

"Sukaesih.... Ah, Sukaesih," desah kusir kereta seraya mengelus- 
elus tubuh wanita cantik yang ada di pondongannya dengan penuh 
kasih. 

Tentu saja tindakan kusir kereta itu membuat wanita cantik jelita 
yang sudah hampir pingsan akibat tindakan Dusena, jadi tak 
sadarkan diri. 

Tapi si Kusir kereta tidak mempedulikan hal itu. Perhatiannya 
dialihkan pada Dusena yang masih setengah berlutut di tanah karena 
belum dapat menghilangkan pengaruh geraman tadi. Lelaki kekar itu 
mengayunkan kakinya ke arah kepala Dusena dengan telak dan 
keras. Maka, tanpa dapat bersambat lagi, nyawa lelaki berwajah 
hitam itu melayang ke akherat dengan kepala pecah. 

"Dusena...!" 

Ketiga rekan lelaki berwajah hitam berseru kaget. Dengan 
teriakan-teriakan marah, ketiganya bangkit dan meluruk ke arah sang 
Kusir dengan senjata di tangan. Saat itu, pengaruh teriakan yang 
membuat sekujur tubuh mereka lemas telah berangsur lenyap. 

Desir angin tajam mengiringi tibanya serangan golok ketiga orang 
berpakaian kembang. Tapi, sang Kusir yang dijadikan sasaran 
serangan hanya mendengus tanpa memberikan tanggapan. Ia tidak 
mengelak maupun menangkis serangan itu. 

Tak, tak, tak! 

Tiga rekan Dusena memekik kaget. Mata-mata golok yang 
berhasil mendarat di tubuh sang Kusir tidak mampu melukai 
kulitnya, hanya merobek pakaian. Bahkan, golok-golok itu terpental 
balik dan tangan mereka terasa sakit. Tubuh lelaki kekar itu bagaikan 
terbuat dari karet yang keras dan kenyal. 

Kenyataan itu membuat tiga lelaki berpakaian kembang-kembang 
kaget bukan main. Mereka tidak tahu kalau sang Kusir memiliki 
tenaga dalam sangat kuat kulit tubuhnya tidak mampu tertembus 
golok. Namun, perasaan itu hanya sebentar saja menghinggapi 
mereka. Saat berikutnya, ketiganya mengeluarkan jeritan menyayat 
ketika dengan kecepatan yang luar biasa, sang Kusir mendaratkan 
jari telunjuknya pada dahi mereka, hingga berlubang. Nyawa tiga 
rekan Dusena itu pun melayang. 

*** 

"Suhita...! Suhita, bangun...! Jangan mati, Suhita.J Aku takut...!" 

Wanita cantik jelita beipakaian jingga yang tadi hampir menjadi 
korban kebiadan nafsu Dusena, mengguncang-guncang tubuh kusir 
kereta yang t a'golek di tanah. Suara wanita itu terdengar penuh 
ketakutan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang 
mata liar menatap ke sekelilingnya. 

"Uhhh...," terdengar keluhan dari mulut kusir kereta. Matanya 
mengerjap-ngerjap, membuat wanita berpakaian jingga tersenyum 
lega. 

"Apa yang terjadi, Nona? Ah, kau tidak apa-apa? Syukurlah.... 
Aku khawatir - sekali tadi. Mereka jahat dan kejam sekali. Dan... eh..., 
siapa yang membunuh mereka, Nona?" tanya Suhita linglung, kusir 
kereta itu kelihatan kaget sekali melihat tubuh-tubuh lelaki 
berpakaian kembang-kembang bergeletakan di tanah tidak bernyawa. 

Wanita berpakaian jingga mengerutkan alisnya yang indah 
mendengar jawaban itu. 

"Kau tidak usah berpura-pura, Suhita. Bukankah kau yang telah 
membunuh mereka?!" 

"Aku?!" Suhita membelalakkan sepasang matanya yang masih 
kelihatan linglung. "Aku yang membunuh mereka, Nona? Apakah 
kau tidak main-main? Bagaimana mungkin aku bisa membunuh 
mereka yang berkepandaian tinggi? Sedangkan para prajurit saja 
dapat mereka kalahkan, apalagi aku yang tidak memiliki kepandaian 
apa pun. Bukankah kau melihat sendiri aku juga pingsan? Orang 
yang berwajah hitam itu telah melempar aku seperti membuang 
sehelai kain basah. Tapi...." 

"Tapi apa, Suhita?" tanya wanita berpakaian jingga melihat Suhita 
menghentikan ucapannya dengan wajah kelinglungan. 

"Ti... tidak ada apa-apa, Nona," Suhita menggeleng-gelengkan 
kepala cepat. "Tapi yang jelas, bukan aku yang telah membunuh 
mereka. Percayalah, Nona. Aku tidak mempunyai kepandaian silat 
sedikit pun." 

Wanita berpakaian jingga tidak mendesak lagi. Dia hanya 
menghela napas berat untuk menghempaskan kekecewaannya karena 
Suhita tidak mau berterus terang. 

"Baiklah, Suhita. Kalau kau tidak percaya padaku, tidak mengapa. 
Yang penting, sekarang temani aku pulang." 

"Tapi Nona.... Bukankah Tuan Besar menyuruh Nona pergi, dan 
tidak usah kembali ke sana lagi karena sangat berbahaya? Tujuan 
kita adalah tempat kediaman paman Nona," Suhita mencoba 
membantah. 

"Untuk apa aku ke sana kalau hanya sendirian, Suhita? Lagi pula 
aku harus mengabarkan kejadian ini pada ayahku. Setidaknya Ayah 
harus tahu kalau pelaku kekejian ini adalah Perguruan Lembah 
Seribu Bunga," wanita berpakaian jingga bersikeras pada 
keinginannya. 

"Tapi..." 

"Sudahlah, Suhita. Kau tinggal pilih, mau ikut atau tidak? Jika 
tidak, biar aku pergi sendiri!" tandas wanita berpakaian jingga agak 
kesal. 

"Tentu saja aku akan ikut denganmu. Nona. Tapi, perjalanan yang 
telah kitatempuh cukup jauh. Akan membutuhkan waktu yang cukup 
lama untuk kembali. Paling tidak kita akan sampai di rumah 
menjelang siang. Dan...." 

"Akutidak peduli!" ujar wanita beipakaian jingga. "Yangpenting, 
kita harus beritahukan kejadian ini pada Ayah!" 

Suhita mengangkat bahu mendengar kata-kata majikan mudanya. 
Sesaat kemudian, Suhita dan wanita berpakaian jingga telah memacu 
kudanya kembali ke arah semula. Tentu saja setelah terlebih dulu 
mengubur mayat-mayat para prajurit dan ibunya. 

Matahari telah bergeser mendekati tengah hari. Sinarnya 
memancar cukup terik. Tapi semua itu tidak dipedulikan sesosok 
tubuh ramping berpakaian hijau. Ia berdiri tegak dan bertolak 
pinggang di sebuah jalan tanah berdebu di kaki gunung. Pada kanan 
kiri jalan terdapat tebing yang menjulang tinggi ke atas bagai tiang- 
tiang alam yang hendak menggapai langit. 

Sosok berpakaian hijau yang ternyata seorang wanita muda 
berwajah cantik dan berambut dikuncir itu menatap ke depan tanpa 
berkedip. Sepasang matanya berseri ketika melihat sesuatu bergerak 
di depan sana. Pedang yang tergantung di punggung segera 
dicabutnya. 

Srat! 

Sinar yang menyilaukan mata berpendar ketika pedang itu keluar 
dari sarungnya. Tidak terlihat bentuk senjata itu, hanya seleret sinar 
putih menyilaukan. 

Bentuk sesuatu di depan sana semakin lama semakin tampak 
jelas. T crnyata serombongan orang yang terdiri dari para prajurit dan 
orang-orang rimba persilatan. Sebagian di antara mereka berkuda, 
sisanya berjalan kaki. 

Rombongan yang terdiri dari pasukan kerajaan dan orang-orang 
persilatan itu melihat wanita berpakaian hijau yang berdiri 
menghadang jalan. Seorang berpakaian panglima segera memberi 
tanda pada anggota rombongan untuk berhenti Mereka berada lima 
tombak dari wanita berpakaian hijau. 

"Menyingkirlah, Gadis Kecil! Kami ingin lewat. Apakah kau 
telah mempunyai nyali demikian besar sehingga berani menghadang 
perjalanan pasukan kerajaan?" ujar panglima beitubuh tinggi besar 
dan bercambang bauk lebat. 

"Aku tidak akan menyingkir sebelum kalian membebaskan 
ayahku. Dan membalas dendam atas kekejian yang telah kalian 
lakukan pada keluargaku!" tandas wanita berpakaian hijau seraya 
menudingkan jari telunjuknya pada sesosok tubuh tegap lelaki 
setengah baya, yang duduk di atas punggung kuda. Kedua tangannya 
diikat ke belakang. Lelaki setengah baya itu berada di tengah-tengah 
rombongan. Jelas, ia adalah tawanan. 

"Ha ha ha...!" 

Panglima bercambang bauk lebat tertawa bergelak hingga 
dadanya berguncang-guncang. "Jadi... kau putri pemberontak keparat 
ini? Sungguh kebetulan. Kami tidak perlu repot-repot mencarimu. 
Tangkap dia!" seru lelaki tinggi besar itu dari atas punggung 
kudanya. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang tidak 
menunggang kuda meluruk ke arah wanita berpakaian hijau dengan 
senjata di tangan. Hanya dalam sekejap wanita berpakaian hijau 
sudah terkurung. 

Teriakan-teriakan keras yang dikeluarkan enam orang prajurit 
terdengar saat mengayunkan golok ke berbagai bagian tubuh wanita 
berpakaian hijau. Tapi, serangan-serangan itu hanya mengenai 
tempat kosong. Wanita berpakaian hijau itu berhasil mengelakkan 
setiap serangan. T ubuhnya menyelinap di antara hujan serangan 
lawan. Kemudian, sekali pedang di tangannya digerakkan, terdengar 
jeritan kesakitan lawan. Para prajurit itu berjatuhan satu persatu. 
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tiga orang prajurit tergeletak 
di tanah tanpa mampu bangun lagi untuk selamanya. 

"Keparat! Wanita liar itu ternyata lihai juga!" geram panglima 
bercambang bauk lebat marah. 

"Tidak akan lama lagi tiga orang prajuritmu itu pun akan 
menyusul rekan-rekannya, Panglima," ucap kakek berambut panjang 
putih dan memiliki wajah mirip kuda. Ia duduk di atas punggung 
kuda di sebelah kiri panglima. Nada ucapannya terdengar paruh 
keyakinan dan kesombongan. 

"Hehehe...!" 

Lelaki pendek gemuk dan berperut gendut yang mukanya selalu 
tampak tersenyum, terkekeh-kekeh. Sungguh pun demikian, terlihat 
kalau dia mendukung ucapan kakek berwajah mirip kuda. Lelaki 
pendek gemuk yang perutnya tidak tertutup rompi coklat yang 
dikenakannya itu, duduk di atas punggung kuda di sebelah kanan 
panglima. Usianya sekitar empat puluh lima, tahun. 



Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. "Rupanya 
wanita liar itu ingin merasakan kelihaian pasukan khusus kerajaan!" 
usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu menoleh ke belakang 
untuk memberi perintah pada para perwira yang berada di 
belakangnya 

"Tidak usah, Panglima," cegah kakek bermuka kuda tenang. "Biar 
aku yang menghadapi dan menangkap kuda betina liar itu. Bukankah 
kita harus segera tiba di istana untuk menghukum mati pemberontak 
keparat itu?!" 

Tanpa menunggu jawaban panglima bercambang bauk lebat, 
kakek bermuka kuda melompat dari punggung kuda. T ubuhnya 
bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat di tanah satu tombak di 
hadapan wanita berpakaian hijau yang masih mengamuk. 

"Mundurlah kalian!" ucap kakek beimuka kuda seraya 
menjulurkan kedua tangannya ke depan. 

Akibatnya membuat para prajurit, panglima, dan perwira-perwira 
pasukan khusus kerajaan terkejut serta takjub. Tubuh tiga prajurit 
yang tengah bertarung, tiba-tiba tertarik ke belakang seperti ada 
tangan tidak nampak yang menariktubuh mereka. 

Tapi ini malah menguntungkan tiga prajurit itu. Karena di saat 
yang bersamaan wanita berpakaian hijau membabatkan pedangnya. 
Kalau tubuh mereka tidak tertarik ke belakang oleh tindakan kakek 
bermuka kuda, nyawa mereka pasti telah melayang ke alam baka. 
Pedang wanita berpakaian hijau akan merobek perut mereka. 

Tanpa membantah sedikit pun, tiga prajurit itu berlari kembali ke 
kelompoknya dengan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas. 
Kini, wanita berpakaian hijau berdiri berhadapan dengan kakek 
bermuka kuda. 

"Srini...! Cepat lari...! Tinggalkan tempat ini. Jangan coba-coba 
menolongku.... Cepat, tinggalkan tempat ini!" 

Lelaki setengah baya yang menjadi tawanan berteriak-teriak 
khawatir. Melihat putrinya hendak bertarung dengan kakek bermuka 
kuda yang diketahui berilmu sangat tinggi, ia merasa cemas akan 
keselamatan anaknya itu. 

T api wanita berpakaian hijau yang bernama Srini ternyata 
mempunyai sifat keras kepala. Sambil menyilangkan pedangnya di 
depan dada, kepalanya digelengkan. 

"Tidak, Ayah! Aku tidak akan pergi dari sini kalau tidak bersama 
denganmu. Akutidak takut mati!" 

Srini lalu meluruk maju dengan tusukan pedang ke arah leher 
kakek bermuka kuda. Angin bercicit tajam mengiringi tibanya 
serangan itu. 

T api, kakek bermuka kuda hanya mendengus mengejek. Dia 
menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Dan begitu 
meluncur turun, kedua kakinya mendarat di batang pedang Srini! 

Srini terkejut melihat pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang 
menakjubkan itu. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk membuat 
tubuh lawan terpental. Pedangnya disentakkan secara tiba-tiba ke 
atas. Namun, usahanya sia-sia. Jangankan membuat kakek bermuka 
kuda terpental, pedangnya bergeming pun tidak. Tubuh kakek itu 
ternyata berat sekali. Pedang Srini sampai tertekan ke bawah. 
Rupanya, kakek bermuka kuda itu mengerahkan tenaga dalam untuk 
memberatkan tubuhnya 

Srini sadar tidak ada gunanya meneruskan maksudnya. Maka, 
sarung pedang yang tersampir di punggung diambil dan ditusukkan 
ke arah selangkangan kakek bermuka kuda ini. 

Kakek beimuka kuda menggenjot kakinya seraya mengerahkan 
tenaga dalam. Tubuhnya terlonjak ke atas. Dan, tubuh Srini 
terhuyung ke depan terbawa genjotan kaki lawan. Saat itu, kakek 
bermuka kuda melancarkan tendangan kaki kanan ke kepala Srini. 

Buk! 

Meskipun Srini telah berusaha mengelak, namun karena serangan 
itu meluncur dengan cepat, tidak urung pundak kanannya kena 
tendangan juga. Tak pelak lagi, sambungan tulang bahunya pun 
lepas. Pedang yang tergenggam di tangan terlempar. Malah, saking 
kerasnya serangan itu mendarat, tubuh Srini sampai terbanting ke 
tanah dan bergulingan. 

Kakek bermuka kuda yang bermaksud melenyapkan nyawa Srini 
bergegas memburu untuk melancarkan serangan susulan. Tapi.... 

"Branta Wali...! Sungguh kau tidak tahu malu. Beraninya hanya 
menghadapi gadis ingusan. Ayo, hadapi aku! Tua berhadapan dengan 
tua!" 

Seruan keras yang dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga 
dalam bergema ke sekitar tempat itu. Tidak hanya kakek bermuka 
kuda bernama Branta Wali saja yang terkejut, tapi juga semua 
anggota rombongan. T ermasuk Srini, gadis berpakaian hijau. 

Sepuluh tombak dari tempat itu tampak berdiri dengan tenang 
seorang kakek kecil kurus bermata satu. Di tangan kanannya 
tergenggam sebuah kebutan. 

"Guru...!" seru Srini kaget bercampur gembira melihat orang yang 
telah menyelamatkannya dari ancaman maut Branta Wali. Gadis 
berpakaian hijau itu menghambur ke arah gurunya dan memberi 
hormat. 

"Kau terlalu gegabah Srini!" tegur kakek bermata satu. Dibelai- 
belainya rambut Srini dengan penuh sayang. "Kenapa tidak 
menungguku?" 

"Aku tidak sabar lagi, Guru. Lagi pula, kupikir Guru masih lama 
selesai dari semadinya. Jadi aku pergi lebih dulu dan meninggalkan 
surat untukmu." 

Kakek bermata satu menggeleng-gelengkan kepala Diam-diam 
dia bersyukur karena segera menyusul ketika melihat muridnya tidak 
ada, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang isinya 
memberitahukan kepergiannya untuk m cm bebaskan ayahnya. 

Terlambat sedikit saja, nyawa Srini tentu sudah melayang ke akheral. 

*** 

"Kiranya kau. Resi Sindu Laga," ujar Branta Wali mengenali 
kakek bermata satu, setelah memperhatikannya beberapa saat 

"Benar, Branta Wali." Resi Sindu Laga mengangguk. "Rupanya 
meskipun telah menjadi penjilat pantat raja lalim, kau masih 
mempunyai mata yang cukup awas." 

"Tutup mulutmu, Sindu Laga!" sergah Branta Wali keras. 
Sepasang matanya membelalak marah mendengar ejekan kakek 
bermata satu. "Terimalah ajalmu!" 

Branta Wali menerjang Resi Sindu Laga dengan pukulan kedua 
tangannya secara bertubi-tubi. Sasarannya adalah dada, ulu hati, dan 
perut. Angin serangan ke luar dari dorongan tenaga dalam cukup 
tinggi. 

Srini yang melihat serangan berbahaya itu segera menjauh. 
Sedangkan Resi Sindu Laga cepat menyimpan kebutannya di 
pinggang. Ia memapaki serangan itu dengan jari-jari tangan terkepal. 

Buk, buk, buk! 

Benturan terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan terkepal 
itu bertemu. Setiap kali terjadi benturan, tubuh Branta Wali tergetar 
hebat. Malah, pada benturan terakhir dia terhuyung-huyung ke 
belakang dengan mulut menyeringai kesakitan. 

Branta Wali menggeram keras karena marah dan penasaran. Dia 
tahu Resi Sindu Laga memiliki tenaga dalam di atasnya Itu 
diketahui dari benturan yang terjadi. Begitu berhasil memperbaiki 
kedudukan tubuhnya yang terhuyung-huyung, senjatanya yang unik 
berupa sepasang sumpit dari gading gajah segera dikeluarkan. 

Resi Sindu Laga yang tahu kelihaian lawan tidak mau kalah. 
Dengan kebutan di tangan kanan disambutnya serangan Branta Wali. 
Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. 

Branta Wali yang tengah dilanda rasa penasaran mengerahkan 
seluruh kemampuannya untuk melakukan penyerangan. Sepasang 
sumpit di tangannya berubah menjadi sinar-sinar pitih berkitaran, 
menyambar-nyambar ke berbagai bagian tubuh Resi Sindu Laga. 

T api Resi Sindu Laga bukan orang sembarangan. T anpa kesulitan, 
setiap serangan sumpit Branta Wali dapat dipatahkannya. Bahkan dia 
mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. 
Kebutan di tangannya terkadang lemas, hingga dapat dipergunakan 
untuk melibat maupun mengebut. T api, tak jarang bulu-bulu kebutan 
itu menegang kaku memapaki serangan sumpit lawan. 

Hanya dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung lima 
puluh jurus lebih. Menginjak jurus kelima puluh lima Branta Wali 
mulai terdesak. Kakek bermuka kuda itu sekarang hanya dapat 
bermain mundur. Serangan-serangan jauh berkurang. Yang banyak 
dilakukan Branta Wali hanya mengelak dan menghindar. Menangkis 
jarang dilakukannya. 

Prat! 

"Akh!" 

Branta Wali memekik kesakitan ketika kebutan Resi Sindu Laga 
menampar pundak kanannya. Baju dan kulit di bagian itu pun koyak. 
Darah mengalir ke luar. Seketika itu pula tangan kanan kakek 
bermuka kuda lumpuh. Sumpit di tangannyaterlepas. 

Khawatir akan ada serangan susulan di saat keadaannya tidak 
menguntungkan, Branta Wali melempar tubuhnya ke belakang. 
Bersalto beberapa kali di udara menjauhi lawan. Pada saat yang 
bersamaan, lelaki pendek gemuk yang sejak tadi menyaksikan 
jalannya pertarungan dengan wajah cerah dan mulut tersenyum, 
melompat dari punggung kuda. 

"Akulah lawanmu. Resi Sindu Laga," ujar lelaki pendek gemuk 
sambil tertawa terkekeh. Lelaki berperut gendut itu berada di antara 
Resi Sindu Laga dan Branta Wali. 

Keberadaan lelaki pendek gemuk membuat Resi Sindu Laga 
mengurungkan niatnya untuk melancarkan serangan lanjutan pada 
Branta Wali. 

"Siapa kau?" tanya Resi Sindu Laga. Kebutannya ditudingkan ke 
arah lawan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, bulu-bulu 
kebutannya menegang kaku. 

"Hehehe...!" 

Lelaki pendek gemuk kembali terkekeh hingga perut gendutnya 
bergoyang-goyang. Tawanya kelihatan biasa saja. Tapi tidak 
demikian halnya yang dirasakan Resi Sindu Laga. Dadanya tergetar 
hebat sepeiti kena pukul. 

Kenyataan ini membuat kakek bermata satu itu berdebar tegang. 
Dia tahu, lelaki pendek gemuk ini memiliki kepandaian amat tinggi 
dan kemungkinan besar berada di atasnya. Suara tawanya saja 
mampu mengguncangkan dadanya. Perasaan khwatir pun 
berkecamuk di hati Resi Sindu Laga. Bukan mencemaskan 
keselamatannya, tapi muridnya Rombongan pasukan kerajaan itu 
ternyata memiliki banyak orang pandai. 

"Srini...! Pergilah kau...! Tinggalkan tempat ini. Biar aku yang 
akan membebaskan ayahmu!" seru kakek bermata satu pada 
muridnya. 

Srini merasa heran mendengar perintah itu. T api, dia tahu gurunya 
tidak akan berkata begitu kalau tidak ada hal-hal yang 
mengkhawatirkannya. Maka, Srini tidak berani membantah. Dia pun 
tadi sempat merasakan kedua kakinya menggigil ketika lelaki pendek 
gemuk teitawa. Padahal, suara tawa yang dikeluarkan dengan 
pengerahan tenaga dalam itu tidak ditujukan kepadanya, tapi pada 
gurunya. 

Srini membal ik kan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. 
Tapi, panglima bercambang bauk tidak membiarkan hal itu terjadi. 
Diperintahnya para perwira untuk mencegah Srini kabur. 

Resi Sindu Laga tidak berpangku tangan ketika melihat para 
perwira kerajaan dan juga Branta Wali mencegat perjalanan 
muridnya. Dia segera bergerak untuk menahan mereka. Tapi tiba-tiba 
terdengar bunyi tawa terkekeh. Dan, di depannya telah berdiri lelaki 
pendek gemuk. 

"Mau ke mana, Sindu Laga?" tanya lelaki itu tanpa meninggalkan 
kebiasaan tertawanya. "Bukankah kau belum mendapatkan jawaban 
atas pertanyaan yang kau ajukan padaku?" 

Resi Sindu Laga menggertakkan gigi menahan perasaan 
geramnya. Apalagi ketika dilihatnya, Srini gagal melarikan diri 
karena Branta Wali telah mencegat jalannya. Wanita berpakaian 
hijau itu tengah menghadapi keroyokan tiga orang perwira kerajaan 
yang merupakan anggota pasukan khusus. 

Resi Sindu Laga sadar kalau lelaki pendek gemuk tidak segera 
dirobohkan, dia tidak akan pernah bisa menolong muridnya. Tanpa 
menunggu lebih lama, kakek itu melompat menerjang lelaki pendek 
gemuk dengan tusukan kebutannya ke arah ubun-ubun dan sepasang 
mata lawan. 

Lelaki pendek gemuk tertawa terkekeh. Kedua tangannya yang 
terbuka didorongkan ke depan. Maka, serangkum hembusan angin 
kuat pun menyerbu Resi Sindu Laga, membuat bulu-bulu kebutan 
yang semula menegang kaku melemas kembali. Dengan sendirinya, 
serangan Resi Sindu Laga pun pupus. 

Tidak hanya itu saja yang diderita Resi Sindu Laga. Dadanya 
terasa sesak bukan main. "Ilmu Pukulan Gelombang Laut',” desah 
Resi Sindu Laga terkejut. 

"Kaget, Sindu Laga?" tanya lelaki gemuk tetap dengan wajah 
cerah. "Memang. Aku salah seorang ahli waris Perguruan Laut 
Mati." 

"Tidak mungkin. Perguruan Laut Mati sudah lama musnah. Aku 
tahu betul tentang itu. Ramuji, keturunan terakhir Perguruan Laut 
Mati tidak memiliki ilmu itu. Ilmu Pukulan Gelombang Laut' 
musnah sejak generasi di atas Ramuji tidak ada!" bantah Resi Sindu 
Laga yang yakin tahu betul tentang Perguruan Laut Mati. 

"Ramuji memang tidak memiliki ilmu khas Perguruan Laut Mati, 
Sindu Laga. Tapi aku memilikinya. Akulah ahli waris Perguruan 
Laut Mati. Menyerahlah. Tidak ada gunanya kau melakukan 
perlawanan. Kau bukan lawanku!" jawab lelaki pendek gemuk. 

"Tak kusangka ahli waris Perguruan Laut Mati sudi menjadi 
penjilat pantat raja lalim!" ujar Resi Sindu Laga menyesalkan. 

"Tidak perlu banyak bicara, Sindu Laga. Nenek moyangku turun- 
temurun adalah abdi-abdi setia kerajaan. Maka aku pun mengikuti 
jejak mereka. Menyerahlah sebelum kau menerima perlakuan yang 
tidak sepantasnya!" 

"Jangan harap! Aku lebih baik mati daripada menyerah! Hih!" 

Resi Sindu Laga menerjang maju. Kebutan di tangannya yang 
menegang kaku ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian 
berbahaya tubuh lelaki pendek gemuk. Tapi dengan kecepatan yang 
mengagumkan, ahli waris Perguruan Laut Mati itu berkelebat di 
antara serangan-serangan lawan. Ke mana pun serangan Resi Sindu 
Laga meluncur, hanya akan menjumpai tempat kosong. Tubuh lelaki 
pendek gemuk sudah lebih dulu lenyap. Sebaliknya, setiap kali ahli 
waris Perguruan Laut Mati melancarkan serangan, Resi Sindu Laga 
kelabakan. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja 
sudah cukup membuat tubuh kakek bermata satu itu terhuyung- 
huyung. T ak sampai dua puluh lima jurus. Resi Sindu Laga terdesak 
hebat. 

Di jurus kedua puluh tujuh, di saat Resi Sindu Laga kembali 
terhuyung-huyung, tangan lelaki pendek gemuk bergerak cepat 
merampas kebutan kakek itu. Sedangkan tangan yang lain menampar 
dada kiri lawan. 

Plak! 

Resi Sindu Laga mengeluarkan seruan tertahan. Serangan lelaki 
pendek gemuk tepat mengenai sasaran. Tubuhnya terhuyung dengan 
darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Kakek bermata satu 
itu tewas seketika dengan dada pecah. 

Di saat yang bersamaan, Srini berhasil diringkus lawan-lawannya. 
Pedang di tangannya telah terlepas. Sebelum dia sempat berbuat 
sesuatu, beberapa bilah pedang telah tertuju ke lehernya dan siap 
ditusukkan. Wanita berpakaian hijau itu tidak bisa berbuat apa-apa 
lagi. 

"Guru...," Srini merintih lirih, meskipun sebenarnya wanita itu 
ingin berteriak sekerasnya. T api rasa sedih yang sangat membuat 
suaranya tercekat di kerongkongan. 

Kalau saja Branta Wali tidak cepat melumpuhkannya dengan 
totokan dan segera membelenggunya, mungkin Srini akan 
menerobos kepungan para perwira kerajaan untuk menghambur ke 
arah gurunya, walau nyawanya akan melayang. Tapi, keadaan 
menghendaki lain. 

Panglima bercambang bauk lebat tersenyum gembira melihat 
kerusuhan itu berhasil ditanggulangi. Setelah mendudukkan Srini 
yang telah dibebaskan dari totokan di atas punggung kuda, 
rombongan kerajaan itu kembali bergerak melanjutkan perjalanan. Di 
tempat itu yang tinggal hanya mayat Resi Sindu Laga. Debu 
mengepul tinggi ke udara ketika rombongan kerajaan bergerak pergi. 

*** 

"Rasanya akan ada hambatan lagi di depan," ujar panglima 
bercambang bauk lebat sedikit khawatir. Pandangan matanya 
menatap lurus ke depan. 

"Aku tidak sependapat denganmu. Panglima," ucap Branta Wali. 

"Aku sependapat dengan Branta Wali, Panglima," lelaki pendek 
gemuk ikut bicara. "Sosok-sosok yang di depan itu bukankah hanya 
mayat-mayat yang tidak berarti?" 

"Lagi pula, andaikata benar ada hambatan pun, apa yang harus 
kami takutkan? Dengan adanya kalian berdua yang memiliki 
kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghambat rombongan kita?" 
sambut panglima yang mulai menemukan ketenangannya kembali 
ketika teringat di dalam rombongannya ada dua orang tokoh tingkat 
tinggi. 

Rombongan yang dipimpin panglima bercambang bauk lebat 
akhirnya tiba di tempat itu. Ucapan lelaki pendek gemuk memang 
benar. Yang ada hanya sosok-sosok tubuh tak bernyawa yang 
bergeletakan di sana-sini. 

Rombongan kerajaan itu menghentikan perjalanan sejenak karena 
panglima, Baranta Wali, dan lelaki pendek gemuk menyempatkan 
diri memperhatikan sosok-sosok mayat itu. 

"Tindakan sepeiti ini hanya dapat dilakukan tokoh persilatan yang 
memiliki kepandaian tinggi," gumam Branta Wali dengan kening 
berkerut seraya mengelus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi 
jenggot. 

Lelaki pendek gemuk mengangguk-angguk membenarkan 
pendapat rekannya. "Kalau aku tidak salah, mereka adalah 
perampok-perampok yang berdiam di hutan-hutan," ucap lelaki 
pendek gemuk dengan sinar mata menyiratkan keterkejutan. 

"Hey...?!" 

Sambil berseru kaget, lelaki pai dek gemuk menjulurkan kedua 
tangannya ke atas pohon yang berada tak jauh di sebelah kanannya. 
"Keluar kau, Pengkhianat Hina...!" 

Dari kedua tangan yang dijulurkan itu berhembus angin keras. 
Disusul dengan terdengarnya bunyi gemerisik riuh daun-daun 
pepohonan dan ranting-ranting berguguran ke tanah. 

Pada saat itulah dari atas pohon melesat sesosok bayangan yang 
kemudian mendarat di tanah setelah bersalto beberapa kali di udara. 
Seketika rombongan prajurit kerajaan bergerak melindungi tawanan. 
Mereka khwatir sosok itu orang yang ingin membebaskan tawanan. 

"Siapa kau. Anak Muda?" tanya lelaki pendek gemuk tidak 
melanjutkan serangannya. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia 
langsung mengetahui kalau sosok yang baru saja lolos dari 
serangannya itu berkepandaian tinggi. Maka, dia tidak berani 
sembarangan menyerang lagi. Tampaknya lelaki gemuk paidek tidak 
ingin menanam permusuhan. Lagi pula, dia tidak yakin sosok itu 
bermaksud ingin membebaskan tawanan. 

Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan bertubuh kekar 
tersenyum lebar. "Maaf. Bukannya aku tidak mau mempa'kenalkan 
diri, Sobat. T api.... memang demikian adanya Sekali lagi, maaf." 

"Keparat!" 

Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. Jawaban itu 
dianggap menujukkan kesombongan. Dia sudah bersiap memberikan 
perintah untuk menangkap si Pemuda tampan. Tapi lelaki pendek 
gemuk memberikan isyarat agar tindakan itu tidak perlu dilakukan. 

Terpaksa, dengan hati tidak puas, panglima tinggi besar 
mengurungkan niat Dia merasa heran mengapa lelaki pendek gemuk 
tidak marah menerima perlakuan seperti itu. Padahal, dia saja tidak 
kuat menahan sabar. 

Memang, lelaki pendek gemuk tidak marah dengan sambutan 
pemuda tampan itu. Sebagai tokoh persilatan, lelaki pendek gemuk 
tahu akan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang memiliki watak 
aneh dan tidak mau dikenal orang. Mungkin pemuda tampan di 
hadapannya termasuk orang yang demikian. Karena itu, dia 
memakluminya. 

"Kalau begitu..., mengapa kau mengintai kami?" kejar lelaki 
pendek gemuk dengan sorot mata penuh selidik. 

"Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengintai kalian," ucap 
pemuda tampan itu sambil mengedarkan pandangan berkeliling. 
Sekilas diperhatikannya semua anggota rombongan. "Perlu kalian 
ketahui, tamtama sekali kau. Sobat. Aku lebih dulu berada di sini 
daripada kalian." 

"Hhh.J" lelaki pendek gemuk menghela napas berat. "Aku 
percaya dengan keteranganmu, Anak Muda. T api, sayang sekali saat 
ini kami sedang dalam tugas penting. Aku tidak mau mengambil 
risiko dengan membiarkan kau pergi. Siapa tahu kau salah satu dari 
pemberontak-pemberontak yang ingin menghambat perjalanan kami. 
Maka dengan menyesal aku terpaksa harus menangkapmu. Tapi 
sebelumnya aku ingin tahu, apakah kau yang telah membunuh orang- 
orang ini?" 

Pemuda tampan itu mengalihkan tatapannya ke arah mayat-mayat 
yang bergeletakkan di tanah. Kemudian perlahan-lahan kepalanya 
digelengkan. 

"T api kau tahukan siapa pembunuh mereka?" desak lelaki pendek 
gemuk. 


Pemuda tampan itu secara tidak langsung menjawab pertanyaan 
lelaki pendek gemuk. Dia tercenung, hingga membuat orang yang 
bertanya jadi tidak sabar. 

"Kau tidak usah mungkir, Anak Muda!" tandas lelaki pendek 
gemuk keras. "Kau kira aku dapat kau bohongi? Aku tahu kau telah 
terlibat pertempuran yang membuatmu terluka dalam. Mungkin 
sekarang lukamu sudah sembuh. Tapitetesan darah di bibirmu yang 
belum sempat kau bersihkan telah menjelaskan semuanya." 



Pemuda tampan itu terkejut. Tanpa sadar punggung tangan 
kanannya digunakan untuk menghapus sisi mulut. Di punggung 
tangannya tampak sedikit cairan merah kental. Darah! 

"Bisa kaujelaskan apa yang telah terjadi, Anak Muda? Barangkali 
saja penjelasanmu itu membuatku mempertimbangkan apakah kau 
akan kami biarkan pergi." 

"Sayang sekali," sahut pemuda tampan dengan wajah menyesal. 
"Akutidak bisa mengatakannya." 

"Sombong!" bentak lelaki pendek gemuk kehilangan kesabaran. 
"Rupanya karena memiliki sedikit kepandaian kau menjadi besar 
kepala. Tidakkah kau sadari kalau kejadian yang baru menimpamu 
akan terulang kembali bila kau bertempur denganku? Kenalkan aku 
Gempar, pewaris terakhir Perguruan Laut Mati!" 

Wajah pemuda tampan itu berubah ketika mendengar ucapan 
lelaki pendek gemuk. Memang, pernah didengarnya nama Perguruan 
Laut Mati. Sebuah perguruan yang hanya mempunyai seorang ahli 
waris dalam setiap generasi. Namun hebatnya, setiap murid atau ahli 
waris yang turun gunung, langsung menggemparkan karena 
kesaktian dan ilmu-ilmunya yang tinggi. 

"Kau kaget, Anak Muda Sombong?" tanya Gempar ketika melihat 
perubahan mimik wajah pemuda tampan di hadapannya "Apakah 
kau pemah mendengar namaku?" 

"Tidak," jawab pemuda tampan menggeleng-gelengkan kepala. 
"Tapi perguruanmu. Perguruan Laut Mati telah sering kudengar." 

"Bagus! Kalau begitu lebih baik kau menyerah. Percuma kau 
melakukan perlawanan. Kau tidak akan menang melawanku!" 

"Aku bukan seorang pengecut. Gempar. Majulah. Biar kurasakan 
sendiri kelihaian ilmumu!" tandas pemuda tampan seraya 
menggertakkan gigi. 

"Sombong!" seru lelaki pendek gemuk keras. Kedua tangannya 
yang gemuk didorong ke depan. Dari kedua tangan itu meluncurlah 
angin keras berputaran. 

Pemuda tampan itu merasakan serbuan angin dahsyat. Dadanya 
terasa sesak. Bahkan, kakinya terasa lemas. Hembusan angin 
bergulungan itu membuat tenaga dalamnya tersedot. 

Tapi, pemuda itu ternyata bukan tokoh persilatan yang gampang 
dipecundangi. Dalam saat yang kritis dia mampu menghimpun 
tenaga dalam dengan menggertakkan gigi. Sesaat kemudian, 
tubuhnya melayang ke atas. Dari sana, dikirimnya serangan berupa 
tendangan ke kepala lawan. 

"Hmh.J" 

Gempar mendengus keras. Kedua tangannya digerak-gerakkan di 
atas kepala. Angin keras berputaran yang muncul dari kedua 
tangannya telah melencengkan serangan pemuda tampan. Kenyataan 
ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi ketika tangan kanan lelaki 
pendek gemuk meluncur bagai ular terbang ke arah ulu hatinya. 
Tidak ada waktu lagi untuk melakukan tangkisan. 

Benturan kedua tangan itu membuat tubuh keduanya terjungkal ke 
belakang dengan tangan tergetar hebat. Seketika itu pula mereka 
maklum kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang 
berimbang. Namun, itu tidak menghalangi keduanya untuk saling 
terjang dan gempur kembali. 

Branta Wali dan panglima tinggi besar serta pasukan kerajaan 
lainnya menyaksikan dalam jarak beberapa tombak. Mereka tidak 
ingin mencari bahaya dengan menyaksikan dari jarak dekat. Angin 
serangan kedua orang yang beitarung itu sudah cukup untuk 
mengirim nyawa mereka ke akherat. 

Gempar menggertakkan gigi ketika pertarungan menginjak jurus 
kesepuluh. Dia belum juga berhasil mendesak lawannya. Padahal, 
ilmu andalannya telah dipergunakan. Ilmu mukjizat yang jarang ada 
orang mampu menandinginya Bahkan, tokoh-tokoh tua dan tingkat 
atas dari dunia persilatan. Tapi sekarang? Hanya seorang pemuda 
telah mampu menahannya sampai sepuluh jurus. Ini membuatnya 
penasaran bukan main. Kedua tangannya bergerak semakin cepat. 

Di lain pihak, pemuda tampan itu tidak kalah kagumnya. Ilmu 
yang dipergunakan lawan benar-benar dirasakan sendiri 
kedahsyatannya. Padahal, Gempar jarang mempergunakan sepasang 
kakinya. Dia menitik beratkan ilmunya pada kedua tangan. Tapi 
hebatnya memiliki kedahsyatan yang menggiriskan. Setiap gerakan 
tangan lawan membuat napasnya terasa sesak bukan main. Sekujur 
otot dan urat-urat saraf di tubuhnya hampir lumpuh. 

Kalau saja pemuda tampan itu tidak mengerahkan tenaga 
dalamnya, sudah sejak tadi dia roboh di tangan lawan. T api tentu saja 
dengan terbaginya tenaga itu, tenaga yang dipergunakan untuk 
menghadapi Gempar jadi tidak penuh. Itu sebabnya pemuda tampan 
itu tidak berani menangkis. Serangan-serangan yang dilancarkan 
Gempar sedapat mungkin dielakkannya Untung saja ilmu 
meringankan tubuh pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan juga, 
dengan hampir tidak dipergunakannya sepasang kaki Gempar, 
gerakan lelaki pendek gemuk itu jadi tidak terlalu cepat. Ini 
menguntungkan si Pemuda tampan untuk melakukan elakan. 

T api, perlawanan yang dilakukan pemuda tampan ternyata tidak 
berarti. Sampai berapa lama dia dapat bertahan dari serangan tokoh 
tingkat tinggi seperti Gempar? 

Di jurus ketiga belas, pemuda tampan itu terpaksa menangkis. Dia 
sudah tidak sempat lagi untuk mengelak. Akibatnya, tubuh pemuda 
itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. 

Gempar tertawa bergelak melihat lawannya tak berdaya. 
Kemudian dia melesat memburu pemuda tampan yang masih 
bergulingan. Sesaat kemudian, pertarungan yang unik pun terjadi. 
Pemuda tampan itu terus berguling-gulingan di tanah, dan Gempar 
mengejarnya dengan serangan yang siap dijatuhkan. Nyawa pemuda 
tampan itu bagai telur di ujung tanduk. 

"Ha ha ha...! Itukah ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'? Buruk..! 
Buruk sekali...!" 

Di saat Gempar tengah memburu si Pemuda tampan dan siap 
menjatuhkan serangan maut, terdengar seruan keras yang 
menggetarkan sekitar tempat itu. Tidak hanya Gempar saja yang 
terkejut. Semua yang berada di tempat itu berpaling mengedar 
pandangan. 

Berbeda dengan rombongan kerajaan yang kelihatan bingung, 
Branta Wah dan Gempar segera bisa mengetahui pemilik suara itu 
mempergunakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya yang 
menggema menyulitkan orang untuk mengetahui sumber suara itu. 

Gempar mengurungkan niatnya untuk terus mendesak si Pemuda 
tampan. Dia melempar tubuhnya ke belakang dan menjauh. Hampir 
pada waktu yang bersamaan Branta Wah melompat turun dari atas 
punggung kuda. 

"Tunjukkan rupamu kalau bukan pengecut. Keparat!" teriak 
Branta Wah. Sepasang matanya terus berkeliaran ke sana kemari 
karena belum juga bisa memperkirakan asal seruan itu. 

"Kau terlalu hina untuk bertemu denganku. Kuda Tua!" sambut 
suara tanpa wujud. 

"Keparat!" Branta Wah menghentakkan kedua tangannya ke arah 
pohon tempat pemuda tampan berada. "Tunjukkan mukamu. 
Pengecut!" 

Brakkk! 

Batang pohon sebesar sepelukan orang dewasa itu langsung 
tumbang. Tapi tidak terlihat adanya sesosok tubuh yang melesat 
keluar ketika pohon itu ambruk ke tanah dengan mengeluarkan bunyi 
hiruk pikuk. Ini membuat kakek bermuka mirip kuda itu penasaran. 
Dia siap mengarahkan sasarannya pada pohon lain. Namun, tindakan 
itu diurungkan ketika Gempar mencegahnya. 

"Jangan kau lakukan itu, Branta Wali. Percuma. Kau hanya 
menghabiskan tenagamu saja. Itulah yang diinginkan orang ini Dia 
takut menghadapi kita yang saat ini masih bertenaga penuh. Karma 
itu, dilakukannya tindakan kucing-kucingan ini!" 

"Keparat! Rupanyakau sudah ingin mampus, Gempar!" 

Seruan tanpa wujud itu kembali terdengar. Ejekan Gempar 
rupanya termakan pemilik suara itu. Tapi, seruan kali ini tidak 
menggunakan tenaga dalam. Semua orang, tidak terkecuali si 
Pemuda tampan, mencari-cari pemilik suara. Suara tanpa wujud itu 
berasal dari dekat mereka. Ketika mereka menoleh untuk 
mempertegasnya, ternyata salah seorang dari anggota pasukan 
kerajaan yang digantikan oleh sesosok tubuh berpakaian serba putih. 

Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang juga berwarna putih. 

Rasa kaget yang melanda pasukan kerajaan hanya berlangsung 
sesaat. Mereka segera tersadar dan langsung berseru keras seraya 
mengirimkan serangan dengan senjata di tangan. 

T anpa merubah kedudukannya di atas punggung kuda, sosok 
berpakaian serba putih menghadapi serbuan belasan senjata yang 
mengancam berbagai bagian tubuhnya. Kedua tangannya bergerak 
cepat bukan main. Hingga, yang terlihat hanya kelebatan bayangan 
putih dalam bentuk yang tidak jelas. Tahu-tahu terdengar keluhan- 
keluhan dari mulut pasukan kerajaan. Tubuh mereka terhuyung 
mundur dengan senjata terlepas dari pegangan. Sebagian senjata itu 
berpindah ke tangan sosok berpakaian serba putih, sedangkan 
sisanya bertebaran di tanah. 

Para prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi tidak 
dengan Gempar, Branta Wali, dan pemuda tampan. Mereka melihat 
dengan jelas sosok berpakaian serba putih melumpuhkan tangan 
lawan-lawannya dengan totokan pada belakang lutut, kemudian 
merampas senjata mereka. 

"Keparat!" 

Branta Wali yang berwatak berangasan, apalagi tadi diejek sosok 
serba putih itu, tidak bisa menahan kesabaran lagi. Dia menjejakkan 
kaki hingga tubuhnya melayang ke arah sosok serba putih. Tapi, 
sebelum maksudnya terlaksana, sosok berpakaian serba putih telah 
melakukan hal yang sama. Tubuhnya melayang dari atas punggung 
kuda. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Srini disambarnya. Lalu, 
dengan kibasan tangan kiri ke bawah, sosok serba putih berhasil 
melewati kepala Branta Wali. 

"Mau lari ke mana, Keparat! Jangan harap dapat lolos dari sini!" 

Seruan itu keluar dari mulut Gempar. T ubuh lelaki pendek gemuk 
ini melesat cepat menghadang sosok berpakaian serba putih. Kedua 
tangannya bergerak-gerak melancarkan serangan dengan 
mempergunakan ilmu Tangan Gelombang Laut'. 

"Hmh.J" 

Sosok serba putih mendengus. Tangan kanannya segera 
dikibaskan. Letupan pelan pun terdengar. T ubuh Gempar terhuyung- 
huyung ke belakang, sementara tubuh sosok berpakaian serba putih 
hanya tergetar saja. 

Gempar yang biasanya teitawa, kali ini tidak mampu tersenyum 
karena kagetnya. Belum pernah dalam penggunaan ilmu 'Pukulan 
Gelombang Laut' dia dibuat terhuyung oleh lawan. Betapapun kuat 
tenaga dalam lawan, bila berbenturan dengan ilmu Pukulan 
Gelombang Laut' pasti akan mencelakakan lawan. Andaikata dia 
terhuyung, lawannya akan terjengkang ke belakang dan terguling- 
tuling. Tapi kenyataannya sekarang sangat berbeda. Mungkinkah 
sosok berpakaian serba putih itu memiliki kepandaian yang sangat 
tinggi? 

Belum lagi Gempar memperbaiki kedudukannya, sosok 
berpakaian serba putih telah mengirimkan serangan balasan dengan 
tendangan beitubi-tubi. Tendangan yang mengeluarkan angin 
berkesiutan tajam. Sambil menggertakkan gigi Gempar menggerak- 
gerakkan kedua tangannya. Dia ingin membuat serangan lawan 
meleset, kemudian mengirimkan serangan balasan. 

Tapi, lagi-lagi Gempar berteriak kaget. Kaki lawan sedikit pun 
tidak meleset dari sasaran. Kedahsyatan ilmu Pukulan Gelombang 
Laut' tidak terlihat sama sekali. Dengan sendirinya, kedua kaki yang 
meluncur bertubi-tubi itu berbenturan dengan kedua tangan Gempar. 

Untuk kedua kalinya tubuh Gempar terjengkang ke belakang. 
Benturan tangan dan kaki itu menimbulkan bunyi keras seperti 
beradunya logam. Celakanya lagi, serangan kedua kaki sosok 
berpakaian serba putih tidak berhenti sampai di situ. Dia terus 
melayang menyerang dada dan ulu hati Gempar. 

Di saat keselamatan Gempar terancam, Branta Wali dari samping 
mengirimkan totokan ke arah pelipis dan lutut sosok serba putih. 
Apabila sosok berpakaian serba putih masih terus melanjutkan 
serangannya, sebelum mencapai sasaran kedua bagian tubuhnya itu 
akan tertembus sepasang sumpit Branta Wali. 

Sosok serba putih rupanya mengetahui hal itu. Maka serangannya 
dibatalkan. Lalu, dikirimkannya serangan pada Branta Wali. Sekejap 
kemudian sosok berpakaian serta putih itu telah terlibat pertarungan 
menghadapi keroyokan Gempar dan Branta Wali. 

Pertarungan yang menggiriskan itu disaksikan dengan penuh 
kagum oleh pemuda tampan, yang merupakan satu-satunya orang 
yang dapat melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sedangkan 
rombongan pasukan kerajaan, meskipun tak kalah sungguh- 
sungguhnya memperhatikan, tidak melihat secara jelas. Bahkan 
beberapa kali pandangan mereka ditundukkan. Gerakan ketiga tokoh 
itu demikian cepat, hingga membuat mata mereka lelah dan panas. 
Padahal yang mampu mereka saksikan hanya kelebatan bayangan 
putih, hijau, dan coklat. Yang saling belit dan kadang-kadang 
terpisah. 

Pemuda tampan yang hampir saja celaka di tangan Gempar 
menggeleng-gelengkan kepala, takjub menyaksikan jalannya 
pertarungan. Dia kagum bukan main kepada sosok berpakaian serba 
putih. Meskipun Srini di pondongannya, dia tetap mampu melakukan 
perlawanan sengit. 

"Hhh..!" 

Pemuda tampan itu menghela napas berat. Sama sekali tidak 
disangkanya dalam sehari ini ia sudah bertemu dengan tiga orang 
tokoh tingkat tinggi. Bahkan satu di antara mereka telah membuatnya 
hampir melayang ke akherat. Kalau saja sosok berpakaian serba 
putih tidak muncul, bukan tidak mungkin dia telah tewas di tangan 
Gempar. Tanpa sadar, dengan tatapan masih tertuju pada pertarungan 
sosok berpakaian serba putih, Branta Wali, dan Gempar, ingatan 
pemuda tampan itu melayang pada kejadian pagi tadi.... 

Sambil mengembangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri untuk 
melonggarkan rongga dada, pemuda tampan itu menarik napas 
dalam-dalam. Dihirupnya udara pagi yang segar dan jernih. Kedua 
kakinya yang kokoh melangkah ringan di tanah yang ditumbuhi 
rumput-rumput pendek. Pohon-pohon besar dan kecil berada di 
sekitarnya. 

Tiba-tiba pemuda tampan itu mengarahkan pandangannya ke satu 
arah. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi dentang senjata 
beradu. Juga teriakan-teriakan orang-orang bertempur. Khawatir 
terjadi sesuatu tindakan sewenang-wenang, pemuda tampan itu 
membelokkan langkahnya dan melesat menuju asal suara. 

Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, pandangan pemuda 
tampan itu telah tertumbuk pada sekelompok lelaki berwajah kasar. 
Mereka tengah mengeroyok seorang wanita berpakaian jingga. 
Sementara di belakang wanita itu tampak tergolek sesosok tubuh 
kekar. 

Sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau para pengeroyok 
tidak bermaksud membunuh wanita berpakaian jingga. Kalau 
demikian tujuan mereka, sudah sejak tadi wanita itu terbunuh. Meski 
wanita berpakaian jingga memiliki kepandaian di atas para 
pengeroyoknya, tapi untuk menghadapi enam orang sekaligus dia 
akan kewalahan juga. Padahal, wanita berpakaian jingga 
melancarkan serangan dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan 
lawan-lawannya melayani tanpa maksud membunuh. 

Serangan-serangan keenam lelaki berwajah kasar itu bukan 
berdasarkan hati yang baik dan tidak ingin membunuh lawan. Tapi, 
karena ada maksud jahat dan keji yang tersembunyi 

Ini bisa diketahui dari serangan-serangan mereka yang tertuju 
pada bagian terlarang di tubuh wanita berpakaian jingga. Tidak 
hanya leher, tapi juga dada. Terutama sekali pada bagian di mana 
terdapat dua buah dada, paha, serta pinggul. Sering pula serangan 
mereka berupa pelukan. 

"Menyerah saja, Manis. Percayalah, meskipun kau musuh kami, 
tapi tak akan kami turunkan tangan kejam. He he he...!" ucap salah 
seorang di antara mereka seraya menyeringai. 

"Lebih baik aku mati!" tandas wanita berpakaian jingga keras. 
Perlawanan lebih sengit segera dilancarkannya. 

T api sia-sia saja usaha yang dilakukan wanita itu. Saat dia kurang 
waspada, seorang pengeroyok berhasil menyambar pergelangan 
tangan kirinya. 

Wanita berpakaian jingga menjerit kaget. Namun dia tidak 
kehilangan akal Buru-buru dikerahkannya tenaga untuk menarik 
tangannya. Tapi sayang, cekalan tangan lelaki kasar tidak terlepas. 
Bahkan sebelum wanita berpakaian jingga berbuat sesuatu, lima 
orang lawannya yang lain telah menyerbu dengan tubrukan seperti 
seekor harimau menerkam kambing. 

Kali ini wanita berpakaian jingga gugup. Ini membuatnya tidak 
bisa melakukan tindakan penyelamatan. Saat itulah, sebuah benda 
berwarna gelap meluncur, dan menghantam pergelangan tangan 
lelaki kasar yang mencekal tangannya. Lelaki kasar itu menjerit 
keras. Pegangannya terlepas. Dengan sendirinya wanita berpakaian 
jingga terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. 
Tapi, ini justru membuatnya lolos dari sergapan lima orang 
lawannya. 

Saat wanita berpakaian jingga hendak melompat bangun dan 
mengadakan perlawanan di depan telah berdiri membelakangi 
sesosok tubuh kekar seorangpemuda berambut panjang tergerai. 

"Keparat! Kadal bunting! Kecoak busuk!" 

Lelaki kasar yang tadi mencekal tangan wanita berpakaian jingga 
berteriak memaki-maki. Tatapannya penuh kemarahan tertuju lurus 
ke wajah pemuda tampan berambut panjang yang berdiri di 
hadapannya. 

"Keluarkan seluruh makian yang kau miliki sebelum kukirim 
kalian semua ke neraka!" tandas pemuda tampan itu tegas. 

Ucapan pemuda tampan ini membuat lelaki kasar itu semakin 
murka. Begitu juga kelima temannya. Bagai diberi perintah mereka 
mencabut senjata masing-masing, golok pendek berwarna merah 
membara seperti besi dibakar. 

"Rupanya kau ingin mampus, Kambing!" seru lelaki kasar keras. 
Sebelum gema makiannya lenyap, dia melompat menerjang pemuda 
tampan dengan golok dibabatkan mendatar ke arah leher. 

Tindakan ini diikuti kelima rekannya. Dalam sekejap, pemuda 
tampan itu telah menghadapi hujan serangan enam lawannya. Sinar- 
sinar kemerahan bagai malaikat maut menyambar-nyambar ke 
arahnya. 

Tapi, pemuda berambut panjang itu tidak menjadi gugup. Tanpa 
menggeser kedudukannya dipapakinya semua serangan dengan 
sentilan-sentilan jari tangan. Bunyi berdenting nyaring terdengar 
berkali-kali ketika jari telunjuk pemuda itu berbenturan dengan mata- 
mata golok, yang kemudian langsung gompal. Tubuh orang-orang 
kasar itu pun terhuyung-huyung ke belakang. 

Namun, mereka ternyata tidak mudah ciut nyalinya. Meski telah 
merasakan sendiri sentilan tangan lawan mampu membuat tubuh 
mereka terhuyung dan batang golok gompal, mereka tidak gentar dan 
siap untuk melancarkan serangan kembali. 

"Grrrhhh...!" 

Tiba-tiba terdengar geraman keras seperti keluar dari mulut 
binatang buas. Sekitar tempat itu tergetar hebat, kedua kaki keenam 
lelaki kasar yang telah siap melancarkan serangan menggigil oleh 
geraman yang dikeluarkan dengan tenaga dalam tinggi itu. 

Tidak hanya mereka saja yang menerima akibatnya. Pemuda 
berambut panjang pun demikian. Hanya saja, begitu merasakan 
getaran kuat yang membuat kedua kakinya menggigil, pemuda itu 
segera mengerahkan tenaga dalam. Dan, usahanya beibasil sehingga 
dia tidak mengalami kejadian seperti yang diderita enam lelaki kasar. 
Mereka ambruk di tanah dan tidak mampu bangun lagi. 



Pemuda berambut panjang itu mengalihkan pandangannya dengan 
raut wajah berubah. Dia kaget bukan main ketika melihat seorang 
pemuda bertubuh kekar menatap ke arahnya dengan sorot mata 
bengis. Sepasang mata pemuda itu merah membara. Wajahnya 
beringas penuh ancaman. 

"Sabar, Sobat. Aku tidak bermaksud buruk...," pemuda berambut 
panjang tergerai itu mengenali pemuda bertubuh kekar sebagai orang 
yang tadi tergeletak di tanah. Tapi ia tidak bisa berkata lebih lama 
karena pemuda bertubuh kekar menubruknya dengan kedua tangan 
terkembang. Jari-jaritangannyamembentuk cakar. 

"Suhita...! Jangan...!" gadis berpakaian jingga berseru kaget 
melihat pemuda bertubuh kekar menyerang orang yang telah 
menolongnya. 

Tapi seruan gadis berpakaian jingga sudah terlambat. Pemuda 
bertubuh kekar telah melancarkan serangan dahsyat yang tidak 
mungkin dapat ditarik lagi. Serangan dahsyat yang cepat dan 
memaksa pemuda berambut panjang memapaki dengan jari-jari 
terbuka. 

Blarrr! 

Benturan yang terjadi menimbulkan bunyi keras seperti halilintar. 
Tubuh kedua pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan, 
pemuda tampan berambut panjang meriap lebih sial lagi. Dia tidak 
hanya terhuyung, tapi terjengkang ke belakang dan terguling-guling. 
Dadanya terasa sesak bukan main. T angannya sakit. Dan dari sudut 
bibirnya meleleh cairan merah. Benturan itu menyebabkan pemuda 
berambut panjang menderita luka dalam. 

Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi, ketika melihat 
pemuda bertubuh kekar itu tidak mengalami luka-luka. Malah, ia 
segera mengirimkan serangan susulan yang memaksa pemuda 
berambut panjang tergerai, menggulingkan tubuhnya menjauhi 
serangan. Pada saat yang bersamaan, enam orang lelaki kasar 
menyerbu gadis berpakaian jingga. Rupanya mereka berhasil 
melepaskan diri dari pengaruh teriakan pemuda bertubuh kekar. 

"Suhita...! Tolong...!" wanita berpakaian jingga berteriak seraya 
memutar pedangnya untuk mencegah maksud enam orang lawannya. 

Pemuda bertubuh kekar yang memang tidak lain Suhita kembali 
menggeram. Kali ini ia tidak mengerahkan tenaga dalam seperti 
sebelumnya. Laksana terbang, dia melesat ke arah wanita berpakaian 
jingga yang tengah menghadapi keroyokan enam lelaki Mereka 
rupanya menyadari akan adanya bahaya. Maka begitu mendengar 
bunyi geraman, mereka langsung membalikkan tubuh dan 
menyambut kedatangan pemuda bertubuh dengan ayunan senjata. 

Tak, tak, tak...! 

Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar. Disusul 
dengan jeritan menyayat hati dari mulut keenam lelaki kasar. Senjata 
berikut tubuh mereka berpentalan ke sana kemari seperti daun-daun 
kering ditiup angin. Mereka tewas dengan dahi berlubang! 

Pemuda tampan berambut panjang tidak sempat lagi berbuat 
sesuatu. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh 
keenam lelaki kasar telah berterbangantak tentu arah. 

Dan, sebelum pemuda berambut panjang itu sadar sepenuhnya 
dari terkesimanya, Suhita telah menyambar tubuh wanita berpakaian 
jingga dan membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda 
berambut panjang ingin mengejarnya, tapi baru beberapa langkah 
segera diurungkan. Dadanya terasa sakit bukan main. Dia tahu ini 
terjadi karena luka dalam yang dideritanya. Teipaksa dibiarkan 
Suhita berlari Dalam waktu singkat ia telah lenyap di kejauhan. 

Sesaat kemudian, pemuda berambut panjang menggenjot kakinya 
dan hinggap di salah satu cabang pohon yang rimbun. Ia bersemadi 
untuk mengobati luka dalamnya sampai kemudian Gempar 
membuatnya keluar dari tempat persembunyiannya. 

Pemuda berambut panjang tergerai itu menghela napas berat. 
Lamunannya buyar. Dia kagum dengan kepandaian Suhita. Namun 
lebih kagum lagi pada sosok berpakaian serba putih ini. Ketinggian 
ilmunya benar-benar membuat pemuda berambut panjang takjub. 
Terutama ilmu meringankan tubuhnya. Sosok berpakaian serba putih 
berkelebat ke sana kemari di antara serangan-seranga Gempar dan 
Branta Wali. 

"Akh.J" 

Tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Disusul dengan 
terlemparnya tubuh Branta Wali dari kancah pertarungan. Ia jatuh 
berdebuk di tanah tanpa mampu bangun lagi. Kakek berwajah mirip 
kuda itu tewas dengan dahi berlubang! 

Tampak tubuh Gempar pun terhuyung-huyung. Wajahnya 
menyeringai kesakitan. Mendadak, sosok berpakaian serba putih 
melesat meninggalkan tempat itu. 

"Kejar...!" 

Panglima bercambang bauk lebat segera mengeluarkan perintah. 

"Tidak usah dikejar...!" seru Gempar keras dengan mulut masih 
menyeringai. 

Tapi peringatan Gempar terlambat. Tiga orang perwira anggota 
pasukan khusus telah melemparkan pisau-pisau terbang yang sejak 
tadi mereka genggam. Seketika itu pula, sembilan batang pisau 
menyambar ke arah sosok serba putih yang tengah berlari. 

Kembali sosok itu mendengus menghina. Tangan kirinya diputar 
seraya menolehkan kepala. Akibatnya, sungguh menakjubkan. Pisau- 
pisau itu berputar balik ke arah semula dengan kecepatan berlipat 
ganda. 

Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat rombongan 
kerajaan kelabakan. Pisau-pisau itu tidak hanya mengarah pada tiga 
perwira, tapi juga anggota rombongan yang lain. Tidak terkecuali 
panglima tinggi besar. Sebisanya mereka mengelakkan serangan itu. 
Tapi tak urung, jeritan-jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul 
ketika dua perwira dan lima prajurit kerajaan tewas tertembus pisau 
di dahinya! Panglima bercambang bauk lebat dapat menangkis 
serangan pisau itu. Sedangkan perwira yang satu lagi telah lebih dulu 
melompat dari punggung kuda. 

"Keparat!" 

Panglima tinggi besar menggeram keras menyaksikan kematian 
anggota rombongannya. Sementara Gempar menghampiri dengan 
wajah lesu. Terlihat jelas lelaki pendek gemuk itu terpukul sekali. 

"Belum pernah kutemui tokoh persilatan yang memiliki 
kepandaian setinggi ini," ucap Gempar tanpa mengumandangkan 
tawanya. "Tapi aku belum kalah. Satu waktu akan kucari dia dan 
kuajak bertarung sampai salah seorang di antara kami menggeletak 
di tanah." 

Panglima tinggi besar menghela napas berat. Dia tidak 
menanggapi ucapan Gempar. Diperintahkannya anggota rombongan 
untuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan tewas. 

"Aku mempunyai sebuah gagasan, Gempar," ujar panglima tinggi 
besar kemudian dengan sungguh-sungguh. "Apakah tidak lebih baik 
kalau pemberontak hina ini kita pancung saja?" 

Gempar tidak segera memberikan jawaban. Ditatapnya wajah 
panglima bercambang bauk lebat lekat-lekat. 

"Aku khawatir ada penyerbuan lagi. Dan pemberontak ini berhasil 
dibebaskan. Lalu...." 

"Cukup...!" 

Gempar memotong. Tangannya kemudian bergerak cepat. 
Terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi benda jatuh ke tanah. Tahu- 
tahu di depan panglima tinggi besar telah tergeletak kepala lelaki 
setengah baya berwajah gagah, yang menjadi tawanannya. 

Panglima bercambang bauk lebat menelan ludah membasahi 
kerongkongannya yang mendadak kering. Dia kenal betul dengan 
pedang yang berada di tangan Gempar. Itu adalah pedangnya! 
Kenyataan lelaki pendek gemuk itu mampu mengambilnya tanpa 
diketahui, lalu membabat leher tawanannya menunjukkan betapa 
lihainya Gempar. Gempar tampaknya tersinggung dengan ucapannya 
yang bernada meremehkan kemampuannya. 

Dengan keringat dingin membasahi dahi, panglima bercambang 
bauk lebat menerima pedang yang diangsurkan Gempar. Dan, 
memanggil anak buahnya untuk membersihkan senjatanya. 
Kemudian, tanpa peduli pada tubuh lelaki setengah baya yang tanpa 
kepala mereka meneruskan perjalanan. Perjalanan jauh yang 
memakan waktu berhari-hari untuk sampai di pusat kerajaan. Tidak 
seorang pun yang teringat pada pemuda berambut panjang. 

Pemuda tampan itu memang sudah tidak berada di situ. Begitu 
melihat sosok berpakaian serba putih melesat kabur, dia segera 
mengejarnya. Naluri kependekarannya mengatakan, kepergian sosok 
berpakaian serba putih bertujuan tidak baik! 

Jliggg! 

"Ha ha ha...!" 

T awa keras yang bergema di sekitar tempat itu, menyambut 
kedatangan sepasang kaki sosok berpakaian serba putih yang 
menjejakkan kakinya di lembah curam itu. 

T api sosok berpakaian serba putih tidak tampak terkejut sedikit 
pun. Sikapnya terlihat sangat tenang. Dia berdiri tegak di tempatnya. 
Sikapnya masih tetap tenang ketika dari sekelilingnya bermunculan 
sosok-sosok yang berpakaian kembang-kembang. 

Semula sosok berpakaian serba putih agak kecut juga ketika 
melihat sosok-sosok berpakaian kembang muncul begitu saja. 
Padahal, tidak ada tempat persembunyian baik berupa semak, pohon, 
atau pun batu-batu besar. Paling-paling hanya rumput-rumput kecil. 
Tapi, pandangannya yang tajam dapat melihat kalau sosok-sosok itu 
muncul dari dalam tanah. Mereka rupanya telah membuat lubang lalu 
menutupinya dengan tanah berumput. 

"Akhirnya kau masuk juga dalam perangkap kami, Manusia 
Sombong!" seru salah seorang dari sosok berpakaian kembang. Dia 
adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun. Tubuhnya tinggi 
besar dan memiliki luka melintang di pipinya. "Sudah sejak lama aku 
ingin mencincang jantungmu!" lanjutnya. 

Sosok serba putih hanya memperhatikan kakek berpakaian kuning 
lusuh sekilas. Kemudian diperhatikannya orang-orang yang berada di 
sekeliling nya. Mereka berjumlah dua belas orang. Sebagian besar 
mengenakan pakaian kembang-kembang berwarna hijau muda. 
Berarti masih lebih rendah dari tingkat kepandaian Branta Wali yang mengenakan pakaian hijau tua. 

"Apakah ini ada hubungannya dengan tewasnya Branta Wali di 
tanganku?" tanya sosok berpakaian serba putih tanpa nada gentar 
sedikit pun. 

"Syukur kalau kau mengetahuinya, pengecut yang berlindung di 
balik selubung!" sahut kakek berpakaian kuning. Warna pakaian 
tingkat tertinggi dari Perguruan Lembah Seribu Bunga, yang 
memiliki aturan tingkatan sebagaimana usia dedaunan. "Telah tiga 
hari kami mencarimu tanpa hasil. Syukur, sekarang kau dapat kami 
pancing kemari!" 

"Kau mencari mati, Kakek Tua!" dengus sosok berpakaian serba 
putih. 

"Kaulah yang akan tewas di tanganku. Pengecut!" 

Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning mengirimkan 
serangan dengan sebuah sampokan ke arah kepala lawan. Hembusan 
angin keras bertiup mengiringi tibanya serangan. 

Sosok berpakaian serba putih hanya mendengus. Sekali kakinya 
dilangkahkan ke belakang, serangan lawan menyambar lewat di 
depan wajahnya. Lalu, dia mengirimkan tendangan kaki kanan ke 
arah pusar. 

Duk! 

T ubuh kakek berpakaian kuning terhuyung-huyung tiga langkah 
ke belakang ketika menangkis serangan dengan tangan kanannya. 
Sedangkan lawan terdorong mundur satu langkah. Kenyataan ini 
membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga murka. Sepasang 
sumpit terbuat dari gading gajah yang menjadi senjata andalannya 
dikeluarkan. Dengan senjata unik itu disambutnya serbuan sosok 
berpakaian serba putih. 

T api, lagi-lagi kakek berpakaian kuning kecewa. Lawannya itu 
ternyata sungguh luar biasa. Ia gesit sekali hingga tubuhnya dapat 
berkelebatan di antara tusukan-tusukan sepasang sumpitnya. 
Sebaliknya, setiap serangan balasan sosok berpakaian serba putih 
membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga pontang-panting 
menyelamatkan selembar nyawanya. 

Sebelas orang murid-murid Perguruan Lembah Seribu Bunga pun 
tahu kalau pimpinan mereka menghadapi bahaya. Maka, tanpa diberi 
perintah lagi, mereka mencabut senjata dan menyerbu ke dalam 
kancah pertarungan. 

Tapi ternyata masuknya sebelas orang murid-murid pilihan itu 
tidak membuat keadaan berubah jauh. Sosok berpakaian serba putih 
tetap tidak bisa didesak. Meskipun demikian, kedudukan kakek 
berpakaian kuning tidak kewalahan lagi. Sosok berpakaian serba 
putih memang menggiriskan. Betapapun lawan-lawannya telah 
berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan, namun tetap saja sulit. 
Gerakannya terlalu cepat sehingga tak ubahnya bayangan. 

Tiba-tiba muncul sinar terang yang sangat menyilaukan. Lawan- 
lawan sosok berpakaian serba putih terpaksa memejamkan mata. 
Sebagian di antara mereka mengalihkan pandangan. Tapi, kakek 
berpakaian kuning yang telah kenyang pengalaman ini tidak berbuat 
seperti yang dilakukan murid-muridnya. Dia melompat ke belakang 
seraya memutar sepasang sumpitnya di depan dada. 

Tindakan yang diambil Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga 
mamang tepat. Sosok berpakaian serba putih telah melakukan 
tindakan licik untuk mencapai kemenangan dalam waktu singkat. 
Dia telah mengeluarkan perisai berbentuk bulat sebesar lingkaran 
kepala. Perisai dari logam putih berkilat itu tentu saja memantulkan sinar matahari 

Secepatnya tangan sosok berpakaian serba putih berkelebat. Dan, 
terdengarlah jeritan menyayat ketika jari telunjuk sosok yang berjiwa telengas itu mendarat di dahi empat orang murid Perguruan Lembah Seribu Bunga. Dahi mereka berlubang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka 

Tidak hanya it u saja tindakan sosok berpakaian serba putih. Sekali tangannya bergerak seorang murid yang masih muda dan 
cantik telah kena cekal dan dipondong di bahu kanan. 
Kemudian, ia melesat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa. 

"Keparat!" 

Kakek berpakaian kuning menggeram keras. Tanpa pikir panjang 
lagi dikejarnya sosok berpakaian serba putih. 

"Sudah kubilang, jangan coba-coba memancingku. Tidak ada 
gunanya. Sekarang kubawa umpan kalian!" 

Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga semakin geram 
mendengar seruan itu. Sambil menggertakkan gigi, kakek berpakaian 
kuning itu mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya agar tidak 
kehilangan buruannya. 

T api usaha kakek berpakaian kuning sia-sia. Semakin lama jarak 
antara mereka semakin jauh. Sosok berpakaian serba putih telah 
hilang di kejauhan membawa murid wanita Perguruan Lembah 
Seribu Bunga. Wanita yang semula digunakan kakek berpakaian 
kuning untuk memancing sosok berpakaian serba putih agar turun ke 
dalam lembah. Murid wanita itu disuruhnya berlatih di bagian 
lembah yang agak tinggi. 

Ia belajar silat sambil berteriak-teriak nyaring. Dan sepati 
yang sudah direncanakan, sosok berpakaian serba putih yang diduganya akan segera melihat wanita itu. Sosok berpakaian serba putih pun turun ke dalam lembah. 

Rupanya, ia tertarik melihat seorang wanita cantik berlatih 
silat seorang diri di dalam lembah. Pengeroyokan di lembah itu dimaksudkan agar sosok berpakaian serba putih sulit untuk meloloskan diri. Ternyata dugaan itu keliru. 

"Keparat!" 

Begitu tiba di depan pondok sederhana yang terletak jauh di 
dalam hutan, sosok berpakaian serba putih mengeluarkan makian 
penuh kegeraman. Sepasang matanya mencorong tajam dan 
berwarna kehijauan sepeiti mata harimau dalam gelap. Dengan 
sepasang mata tertuju ke pondok, dilemparkannya tubuh wanita 
dalam pondongannya. Tubuh wanita itu dicampakkan begitu saja, 
sehingga jatuh berdebuk di tanah. Seringai di wajahnya 
menunjukkan betapa sakit tubuhnya Tanpa mempedulikan wanita itu 
yang menggeletak di tanah karena telah ditotok, sosok berpakaian 
serba putih mengayunkan langkah menuju pintu pondok. Jari-jari 
kedua tangannya mengepal keras. 

"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan bersembunyi seperti 
maling!" 

Seiring dengan seruan itu sosok berpakaian serba putih 
mendorong tangan kanannya ke depan. Tidak terdengar bunyi 
menderu sepati pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam 
tinggi. Tapi kesudahannya benar-benar mengejutkan. Daun pintu 
pondok yang tertutup rapat hancur berkeping-keping mengeluarkan 
bunyi bergemuruh. 

Begitu hiruk-pikuk itu reda, di ambang pintu telah berdiri tegak 
seorang pemuda tampan berambut panjang tergerai. Sikap pemuda 
itu kelihatan tenang sekali. 

"Rupanya kau malingnya...," ujar sosok beipakaian serba putih 
marah. "Apa yang kau lakukan terhadap tawananku. Maling Hina? 
Tidakkah kau ingat, kalau aku tidak turun tangan, nyawamu sudah 
melayang di tangan Gempar!" 

"Tidak kusangkal sedikit pun hal itu," ucap pemuda tampan 
tenang. "Tapi..., aku tahu kau tidak berniat menolongku. Jadi 
andaikata masuk hitunganku pun nilainya tidak besar. Sementara 
perbuatan yang akan kau lakukan memiliki kesalahan besar. Jadi, 
pertolonganmu itu tidak berarti sama sekali!" 

"Kalau begitu... teipaksa aku mencabut nyawamu!" geram sosok 
berpakaian serba putih. "Tapi..., terlebih dahulu aku ingin tahu dua 
hal." 

"Silakan," sambut pemuda tampan. "Untuk menghargai 
pertolonganmu, aku bersedia memberikan jawaban. Asal 
pertanyaanmu tidak bertentangan dengan kebenaran dan aku sanggup 
menjawabnya." 



Sosok berpakaian serba putih tersenyum mengejek. 

"Pertama, apa yang telah kau lakukan terhadap tawananku? 
Mencicipitubuhnya? Dan... siapakau sebenarnya?" 

"Dugaanmu keliru, Sobat. Aku tidak melakukan hal serendah itu. 
Justru aku menolongnya dari perlakukan keji yang akan kau lakukan. 
Selanjutnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Arya. 
Tepatnya Arya Buana...." 

"Dan kau terkenal dengan julukan Dewa Arak yang sakti?" 
potong sosok berpakaian serba putih dengan nada mengejek. 
Diperhatikannya sosok berpakaian ungu dan berambut panjang putih 
keperakan itu. "Sejak tadi aku sudah menduga demikian. Hanya aku 
tidak yakin. Baru setelah kau menyebutkan namamu, aku percaya 
kau memang Dewa Arak." 

"Dan kau siapakah, Sobat?" tanya pemuda tampan yang ternyata 
Arya Buana. "Kepandaianmu luar biasa. Tapi, sayang kau tersesat. 
Menggunakan ketinggian ilmumu untuk melakukan hal yang tidak 
baik." 

"Tutup mulutmu! Kau boleh berbangga hati dan merasa sakti di 
hadapan orang lain. Tapi di hadapanku jangan coba-coba bersikap 
seperti itu. Kau bukan lawanku, Dewa Arak! Bersiaplah menerima 
kemalian atas tindakan lancangmu!" 

"Hih!" 

Sosok berpakaian serba putih meluruk ke arah Dewa Arak dengan 
mengirimkan tusukan mematikan ke dahi. Bunyi mendesing yang 
menyakitkan telinga mengiringi serangan itu. 

"Heh...?!" 

T anpa sadar Arya mengeluar kan.seruan kaget. Dia pernah melihat 
gerakan penyerangan sepati itu sebelumnya. Tapi kapan dan di 
mana dia lupa. Yang jelas, bentuk serangan itu tidak dilihatnya dari 
sosok berpakaian serba putih, melainkan orang lain! 

Sosok berpakaian serba putih menggeram keras melihat 
serangannya mengenai tempat kosong, karena Arya telah melompat 
melewati atas kepala. T api dengan kecerdikan luar biasa. Dia segera 
memalangkan kedua tangannya di atas kepala, berjaga-jaga terhadap 
serangan yang akan dilancarkan lawan. Tindakan itu membuat Dewa 
Arak tidak bisa melakukan serangan. 

Bertepatan dengan Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, sosok 
berpakaian serba putih telah membal ik kan tubuh. Hingga, mereka 
berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga tombak. Sepasang mata 
sosok berpakaian serba putih merah membara ketika menatap wajah 
Arya. Sekilas sempat dilihatnya keadaan di dalam pondok. Tidak 
dijumpainya Srini yang menjadi tawanannya. Dia tahu, Srini telah 
kabur. Ini menjadikan kemarahannya semakin bertambah. 

Sosok berpakaian serba putih lalu memalangkan kedua tangannya 
di depan dada sebelum menariknya ke sisi pinggang. Kemudian 
perlahan-lahan kedua tangan itu didorong ke depan bergantian. 
Terdengar bunyi angin bertiup sangat lemah. Bahkan, hampir tidak 
tertangkap telinga. 

Arya kelihatan terkejut. Sebagai tokoh persilatan yang telah 
cukup punya nama, dia tahu betapa berbahayanya serangan lawan. 

Semakin halus bunyi yang terdengar berarti semakin kuat tenaga 
dalam yang terkandung. Kesadaran akan adanya bahaya membuat 
Arya tidak berani menangkis. Dia belum mengetahui kekuatan 
tenaga dalam itu. 

T api, wajah pemuda berambut putih keperakan itu langsung pucat 
ketika menyadari kedua kakinya tidak mampu digeser dari 
tempatnya. Ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak telah 
membelenggunya. Betapapun Arya memaksa, tetap saja sia-sia. 
Maka, dengan sangat terpaksa dipapaknya serangan itu dengan jurus 
'Pukulan Belalang'. 

Bresss! 

Keluhan tatahan dikeluarkan Dewa Arak ketika benturan terjadi. 
Tubuh pemuda itu terpental jauh ke belakang dan melayang-layang, 
lalu jatuh terguling-guling di tanah. Sementara lawannya terhuyung- 
huyung beberapa langkah ke belakang, dan mampu memperbaiki 
kedudukannya kembali. 

Gulingan tubuh Arya terhenti ketika menabrak sepasang kaki 
bulat pendek yang berdiri morjejak tanah. Dengan pandangan mata 
nanar pemuda itu menengok ke atas. Dilihatnya dua raut wajah. 
Salah satu di antaranya dikenalinya. Pemilik kaki bulat pendek itu 
adalah Gempar! 

Sementara sosok yang satu tidak diketahui Aiya. Tapi pemuda 
yang cerdik itu tahu kalau sosok yang berdiri di sebelah Gempar dan memiliki sikap tidak kalah angker mempunyai hubungan dengan 
Branta Wali. Ini bisa diketahui pakaian kakek itu yang berkembang- 
kembang, meskipun berwarna kuning. 

T anpa mempedulikan keadaan Arya, Gempar, dan Ketua 
Perguruan Lembah Seribu Bunga melewati tubuh pemuda berambut 
putih keperakan itu. Dihampirinya sosok berpakaian serba putih yang masih berdiri di tempatnya dengan sikap tenang. 

"Hehehe...!" 

Sosok berpakaian serba putih tertawa terkekeh. "Rupanya kalian 
sudah ingin melayat ke akherat, heh? Sehingga tidak sabar lagi untuk segera kubunuh." 

"Manusia terkutuk! Kaulah yang harus mati atas tindakan kejimu 
yang telah membunuh murid-muridku!" tandas kakek berpakaian 
kuning marah. 

"Serahkan tawanan itu padaku, Penculik Hina!" ujar Gempar tak 
kalah keras sambil tersenyum lebar yang merupakan ciri khasnya. 
"Barangkali saja dengan tindakan itu aku bisa mengampunimu. T api, 
tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu!" 

"Kalian singa-singa ompong. Berani benar memamerkan mulut 
yang bau di hadapanku? Mumpung aku masih bersikap baik, 
cepatlah pergi dari sini! Jangan tunggu sampai aku berubah pikiran!" 

"Sombong!" maki Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga. 
"Kaulah yang harus mampus!" 

Seperti telah disepakati sebelumnya, kedua tokoh itu melompat 
menerjang sosok berpakaian serba putih. Gempar menyerang dari 
kanan, sementara kakek berpakaian kuning dari arah kiri. Masing- 
masing mengeluarkan ilmu andalannya. 

Namun lawan yang memang memiliki kepandaian tinggi. Sekali 
kakinya digerakkan dia telah membuat serangan kedua tokoh itu 
mengenai tempat kosong. Bahkan, mampu mengirimkan serangan 
balasan yangtidak kalah dahsyat. Dalam sekejap ketiga tokoh tingkat tinggi itu telah terlibat pertarungan sengit. 

Jalannya pertarungan sempat disaksikan Arya. Meskipun hanya 
sebentar karena kemudian pemuda itu memutuskan untuk 
menyembuhkan luka di dada. Arya yakin dia tidak terluka dalam 
yang parah. Pemuda berambut putih keperakan itu tenggelam dalam 
semadinya, setelah sempat merasa bingung memikirkan mengapa 
Gempar bisa berada di sini bersama seorang kawan yang memiliki 
kepandaian tinggi pula. 

Pertarungan berlangsung secara cepat. Yang terlihat hanya 
kelebatan bayangan hitam, kuning, dan coklat. Dalam waktu singkat 
pertarungan telah berlangsung sepuluh jurus. 

Dan, selama itu belum satu pun serangan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga dan ahli waris Perguruan Laut Mati mendarat di sasaran. Tusukan-tusukan sumpit kakek beipakaian kuning selalu mengenai tempat kosong. 

Kenyataan ini membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga 
penasaran bukan main. Dan perasaan itu pula yang melanda Gempar, 
karena ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang menjadi andalannya 
mati kutu. Kedahsyatan ilmu itu lenyap seperti api termakan air. 
Bahkan beberapa kali ketika sosok berpakaian serba putih 
mengayunkan tangan memapak, tubuhnya terhuyung-huyung ke 
belakang dengan dada terasa sesak. 

"Haaat.J" 

Hampir bersamaan kakek berpakaian kuning dan Gempar 
mengeluarkan teriakan keras. Belum lagi gema teriakan itu pupus, 
tubuh kedua tokoh itu melesat ke arah sosok berpakaian putih. 

Dalam puncak kegeramannya, Ketua Perguruan Lembah Seribu 
Bunga maupun Gempar mengeluarkan ilmu andalan untuk mengadu 
nyawa. Serangan yang mereka lakukan menutup jalan keluar bagi 
lawan. T api tidak memiliki pertahanan sama sekali. Agaknya, kedua 
tokoh tingkat tinggi itu mulai putus asa. 

"Uhhh...!" 

Seruan kaget terlontar dari mulut sosok berpakaian serba putih. 
Dia tahu kedua lawannya telah bertindak nekat, sedangkan dia 
sendiri bingung mencari jalan keluar. Maka.... 

Tuk, plak, desss! 

"Akh.J" 

Jerit kesakitan pun terdengar. Ketiga tokoh persilatan itu 
terjengkang ke belakang. Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga 
jatuh terguling-guling di tanah. Dia diam tidak bergerak lagi untuk 
selamanya. Nyawanya telah melayang saat itu juga. Dada kiri kakek 
itu pecah terkena hantaman tangan kanan sosok berpakaian serba 
putih. 

Gempar terhuyung-huyung dan hampir jatuh, namun masih dapat 
bertahan. Walaupun demikian, dari sudut-sudut mulutnya mengalir 
darah segar. Dia terluka dalam karena serangan kedua tangannya 


berhasil ditangkis lawan. Tenaga dalam Gempar masih di bawah 
sosok berpakaian serba putih. 

Sedangkan sosok itu hanya teihuyung-huyung dengan agak 
terpincang-pincang. Sepasang sumpit kakek berpakaian kuning 
mendarat di tubuhnya meskipun meleset dari tujuan semula. 
Sasarannya pada pelipis hanya mengenai pangkal bahu kanan. 
Sementara yang tertuju ke arah ulu hati menghantam pangkal paha 
kiri. Kedua bagian itu langsung terasa lumpuh. 

Rupanya sosok berpakaian serba putih menyadari keadaannya 
yangtidak menguntungkan. Walau keadaannya masih lebih baik dari 
kedua lawannya. Tapi kalau Dewa Arak sampai ikut campur tangan, 
dia bisa celaka. Maka, segera sosok berpakaian serba putih itu 
melesat pergi menyambar tubuh murid wanita Perguruan Lembah 
Seribu Bunga yang tadi dilemparkannya di atas tanah. 

Arya tahu maksud sosok berpakaian putih melarikan wanita 
bertubuh montok itu. Pemuda itu tidak membiarkannya kabur. 
Kebetulan saat itu dia telah selesai dengan semadinya. Buru-buru 
Arya melesat mengejar. 

Gempar yang menyadari keadaannya sangat lemah hanya bisa 
menatap kepergian Dewa Arak. Kemudian, dicarinya tempat yang 
tersembunyi dan aman untuk mengobati lukanya seraya memanggul 
tubuh Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga. 

Sempat terbayang pertemuannya dengan Ketua Perguruan 
Lembah Seribu Bunga yang menyebabkan mereka bekerja sama 

Gempar penasaran bukan main atas kejadian yang menimpa 
rombongannya sewaktu mengawal tawanan beberapa hari yang lalu. 
Maka, begitu rombongan telah sampai di kerajaan, dia mohon diri 
untuk mencari sosok berpakaian serba putih guna membuat 
perhitungan. Pada saat yang sama, beberapa prajurit kerajaan diutus 
untuk menyampaikan berita kematian Branta Wali ke Perguruan 
Lembah Seribu Bunga. 

Baru tiga hari kemudian, dia melihat kakek berpakaian kuning 
tengah berlari cepat sambil menampakkan sikap marah. Setelah 


disusul dan ditanya, mereka bersepakat akan menghadapi sosok 
berpakaian serba putih bersama-sama. 

Semula kedua tokoh itu yakin sekali akan dapat menamatkan 
riwayat tokoh tingkat tinggi itu. Tapi, ternyata harapan hanya tinggal 
harapan. Usaha mereka kandas. Entah bagaimana lagi cara 
membinasakan sosok berpakaian serba putih. Gempar menggeleng- 
gelengkan kepalanya 

"Hup.J" 

Dengan melompat tinggi melewati kepala sosok berpakaian serba 
putih, Arya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat 
beberapa tombak di depannya. Dewa Arak berhasil menghadang lari 
sosok berpakaian serba putih. Itu pun setelah terjadi kejar-mengejar 
yang cukup lama dan melelahkan. 

Sosok berpakaian serba putih itu terpaksa menghentikan larinya. 
Dengan sorot mata beringas ditatapnya pemuda berambut putih 
keperakan yang berada di depannya 

"Kau merasa yakin mampu mengalahkanku. Dewa Arak? Begitu 
beraninya kau menghadang perjalananku. Apakah karena luka yang 
kuderita? Kau keliru kalau begitu. Meskipun terduka, aku masih 
mampu membunuhmu!" 

Usai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Arya, sosok 
berpakaian serba putih menurunkan tubuh yang terpanggul di bahu 
kanannya. Arya segera bersiap. Dia tahu lawannya luar biasa 
tangguh meski telahterluka. 

"Eh...?!" 

Arya tidak tahan untuk menahan jeritan ketika sosok berpakaian 
serba putih dengan tidak disangka-sangka melemparkan tubuh yang 
dipanggulnya ke arah Dewa Arak. Tentu saja pemuda itu kelabakan 
karena tidak menyangkanya. Tanpa pikir panjang lagi diulurkannya 
kedua tangan untuk menerima, agar tubuh wanita cantik itu tidak 
t erluka bila jat uh ke t anah. 

T appp! 

Baru saja tubuh wanita itu berhasil ditangkapnya, sosok 
berpakaian serba putih melakukan gerakan mendorong dengan 
tangan kiri. Untuk kedua kalinya Dewa Arak kewalahan. Tapi 
meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak 
kehilangan akal. Dia melakukan gerakan yang sama. Sayang, Arya 
tidak sempat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Blarrr! 

Tubuh Arya terlempar jauh. Murid wanita Perguruan Lembah 
Seribu Bunga yang berada di bahunya terjatuh. 

Byurrr! 

Setelah meluncur beberapa lama Aiya jatuh ke dalam sebuah 
sungai yang berada sepuluh tombak di belakangnya. Dan, tubuh yang 
tak sadarkan diri itu segera dibawa arus sungai yang deras. 

Sepasang mata sosok berpakaian serba putih berbinar gembira. 
Tapi, kemudian tubuhnya agak terbungkuk seraya menekan dada. 
Kalau saja tidak ada selubung yang menutup wajahnya akan terlihat 
ada seringai di sana. Sebenarnya, benturan dengan Dewa Arak tidak 
akan mempengaruhinya kalau saja saat itu dia tidak sedang terluka. 

Dengan langkah agak terhuyung sosok berpakaian serba putih 
menghampiri tubuh murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga. 
Dipondongn ya tubuh itu dan dibawa pergi meninggalkan tempat itu. 

"Tolong...! Tolooong...!" 

Jeritan melengking penuh ketakutan dan suara derap langkah 
kaki, memecah kesunyian di dalam hutan lebat itu. 

Tampak seorang wanita muda yang berusia sekitar dua puluh 
tahun berlari kencang. Napasnya terdengar memburu. Namun, 
kakinya terus saja diayunkan. Beberapa tombak di belakang wanita 
cantik yang berpakaian biru itu berlari beberapa lelaki berwajah 
kasar. Sambil teitawa-tawa mereka mengejai'. 

"Larilah terus, Manis. Lari..," ucap lelaki berkumis tebal yang 
berlari paling depan. 


Sementara itu, wanita berpakaian biru terus saja berlari sambil 
menjerit-jerit minta tolong. Tapi rupanya dia telah merasa lelah. 
Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Sehingga 
mengundang gelak tawa para pengejarnya. 

Namun, ayunan kaki wanita itu mendadak cepat dan bersemangat 
ketika melihat dua sosok tubuh di depannya. Mereka tengah berjalan, 
ke arahnya. 

"Tolooong...!" seru wanita berpakaian, biru sambil melambaikan 
tangan. 

Rupanya, orang yang dimintai tolong mendengar jeritan itu. 
Langkah mereka yang hanya semula bergerak lambat menjadi cepat. 
Bahkan, terlihat mereka berlari. Sosok yang berpakaian jingga dan 
bertubuh rampingtampak lebih lihai dari rekannya. Dengan cepat dia 
meninggalkan rekannya, seorang pemuda bertubuh kekar. Ini 
memaksa wanita berpakaian jingga beberapa kali memperlambat 
larinya agar dapat mensejajari langkah kawannya. 

"Ah...!" 

Wanita berpakaian biru mengeluarkan seruan tertahan. Sepasang 
matanya menatap tidak percaya pada pemuda kekar yang berada di 
sebelah wanita berpakaian jingga. 

"Tuan Muda Bandawa...!" 

Seruan dan sikap wanita berpakaian biru membuat kedua orang 
yang hendak menolongnya terkejut bercampur heran. Tanpa sadar 
keduanya menoleh ke belakang karena mengira ada orang yang 
berlari di belakang mereka. Orang itulah yang dipanggil wanita 
berpakaian biru sebagai Tuan Muda Bandawa. Tapi, tidak ada 
seorang pun yang terlihat. Di belakang mereka tidak ada siapa-siapa. 
Jadi, siapa yang dipanggil wanita berpakaian biru itu? 

Pertanyaan itu baru terjawab ketika wanita berpakaian biru segera 
memberi hormat di hadapan pemuda bertubuh kekar. "Tuan Muda...! 
Syukur, aku dapat bertemu denganmu di sini. Ah.... Ke mana Tuan 
Muda dan Tuan Besar pergi? Perkebunan tidak terurus sejak tidak 
ada T uan Muda dan T uan Besar...," ucap wanita itu penuh hormat 

Pemuda bertubuh kekar yang diajak bicara tampak kebingungan. 
Kepalanya menoleh menatap wanita berpakaian jingga yang berdiri 
di sebelahnya. Wanita itu segera bertindak. 

"Maaf.... Kalau boleh aku tahu siapa Anda, Nona? Mengapa 
memanggil kawanku dengan sebutan seperti itu? Perlu Nona ketahui, 
nama kawanku ini bukan Bandawa, apalagi dengan embel-embel 
Tuan Muda segala. Namanya adalah Suhita. Dan aku sendiri 
Kemboja." 

"Ah...! Maaf, maalkan sikapku yang tidak pantas, Nona Kemboja. 
Namaku Sukaesih. Panggil saja Esih. Mengenai kawanmu ini, aku 
yakin sekali kalau dia adalah Tuan Muda Bandawa, majikan kami. 
Semuanya mengenai dirinya persis sekali," ujar wanita berpakaian 
biru. 

Wanita berpakaian jingga yang ternyata bernama Kemboja, dan 
pemuda bertubuh kekar yang tidak lain Suhita kembali saling 
berpandangan. 

"Maaf. Dik," Suhita terpaksa turun tangan. "Kurasa perkataan 
Nona Kemboja tidak salah. Aku memang bukan orang yang kau 
maksud. Namaku bukan Bandawa, tapi Suhita." 

"Tapi..," Sukaesih bimbang. "Mengapa potongan tubuh, wajah, 
dan ucapanmu mirip betul dengan Tuan Muda Bandawa? Aku yakin 
kau Tuan Muda Bandawa yang telah lama hilang." 

Kemboja mengernyitkan kening. Dia percaya Sukaesih tidak 
berbohong. Tapi benarkah Suhita ternyata bernama Bandawa, dan 
seorang juragan muda berkebunan yang memiliki banyak anak buah? 
Rasanya mungkin saja. Kemboja teringat kembali saat kedatangan 
Suhita di tempatnya untuk meminta kerja. Pemuda kekar itu 
mengatakan dia hanya ingat bernama Suhita dan lupa asal-usulnya. 
Maka, ketika dilihatnya Suhita hendak membantah ucapan Sukaesih, 
dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk diam. 

"Kau yakin kawanku ini memang juragan mudamu yang bernama 
Bandawa?" tanya Kemboja seraya menatap Sukaesih penuh selidik. 

"Yakin sekali!" jawab Sukaesih mantap. 

"Bisa kau tunjukkan buktinya? Yah.... Misalnya ciri-ciri 
khususnya." 

Sukaesih terdiam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. 
Tampak semburat merah menyergap wajahnya. Sukaesih kelihatan 
malu-malu. 

"Juragan Bandawa mempunyai tanda khusus di kedua pangkal 
lengannya. Itu kuketahui ketika beliau berlatih silat. Maaf, aku 
memergokinya secara tak sengaja. Tuan Muda Bandawa memiliki 
kepandaian silat amat tinggi." 

"Coba ceritakan tanda khusus yang kau maksudkan itu," desak 
Kemboja dengan suara bergetar. Dia merasakan misteri kehidupan 
kusir keretanya itu akan terungkap. 

Sekarang Kemboja mulai merasa yakin kalau Suhita sebenarnya 
adalah Tuan Muda Bandawa. Telah disaksikan sendiri pemuda 
bertubuh kekar itu memiliki kepandaian tinggi, seperti yang 
dikatakan Sukaesih. 

"Di pangkal lengan kanan bergambar naga. Sedangkan di sebelah 
kiri bergambar harimau," jelas Sukaesih. 

"Coba kulihat, Suhita" 

Sambil berkata demikian, Kemboja mengeluarkan pedangnya. 
Lalu disentaknya dengan sekali gerakan. Pakaian Suhita pada kedua 
pangkal lengannya tersayat dan jatuh ke tanah tanpa meninggalkan 
luka sedikit pun di kulitnya. Tiga pasang mata itu langsung 
terbelalak. Terlihat jelas gambar yang dimaksud Sukaesih tertera di 
kedua pangkal lengan Suhita. 

"Tuan Muda...!" seru Sukaesih keras. Wajahnya tampak berseri. 
"Aku bersyukur sekali dapat menemukan Tuan. Dan.... Akh....!" 

"Esih...!" 

Kemboja memekik kaget melihat tubuh Esih tiba-tiba terkulai. 
Mata Kemboja yang tajam dapat melihat seleret sinar terang melesat 
sebelum wanita berpakaian biru itu memekik kesakitan. Secepat kilat 
Kemboja menarik tubuh Sukaesih dan memeriksanya.... 

Kemboja mengeluh dalam hati menemukan di punggung Sukaesih 
tertancap sebatang pedang yang menembus dada kirinya. Tanpa 
memeriksa lebih jauh dia segera bisa mengetahui pedang itu 
menembus jantung Sukaesih. 

"Esih.J" 

Suhita alias Tuan Muda Bandawa ikut berseru. Sejak tadi pemuda 
bertubuh kekar itu mematung dengan sorot mata linglung. Hanya 
dahinya bc r kerut yang menjadi pertanda kalau Suhita tengah 
berpikir. 

"Tu....Tuan.... Mu... mu.... Muda...." 

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Sukaesih terkulai 
karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga. Wanita 
berpakaian biru itu tewas. 

Kemboja menggertakkan gigi. Dia marah bukan main melihat 
kematian Sukaesih yang mengenaskan. Ini menyebabkan asal-usul 
Suhita kembali tertutup. Sebab, hanya Sukaesih yang dapat 
menunjukkan di mana tempat tinggal Bandawa alias Suhita. Siapa 
gurunya dan mengapa Bandawa bisa jadi seperti ini. Juga, dari mana 
dia mendapatkan nama Suhita. 

Dengan hati-hati Kemboja membaringkan tubuh Sukaesih. 
Kemudian pandangannya dilayangkan pada tempat melesatnya 
pedang. Di sana dilihatnya sesosok tubuh ramping berpakaian hijau 
tengah bertarung menghadapi rombongan lelaki kasar yang tadi 
mengejar-ngejar Sukaesih. 

Kemboja menggertakkan gigi. Dia merasa sangat menyesal, 
mengapa bisa melupakan pengejar-pengejar Sukaesih. Dia sampai 
tak tahu kalau para pengejar itu telah bertarung dengan wanita 
berpakaian hijau. 

Kemboja tidak tahu kalau di saat dia, Suhita, dan Sukaesih terlibat 
pembicaraan, rombongan pengejar sudah hampir tiba. Namun 
sebelum maksud rombongan itu terlaksana.... 

"Anjing-anjing kelaparan! Tindakan kalian sungguh 
menjijikkan!" 

Bersamaan dengan teriakan itu, sesosok tubuh ramping 


berpakaian hijau bersalto beberapa kali di atas kepala mereka dan 
mendarat ringan di depan laki-laki itu. Sebuah pedang telanjang 
tergenggam di tangannya. 

Rombongan lelaki kasar itu langsung menghentikan lari. 
Ditatapnya sosok di hadapan mereka sejenak sebelum akhirnya 
mengumbar tawa gembira penuh ejekan. 

"Luar biasa sekali, Kawan-kawan," seru lelaki berkumis tebal 
yang menjadi pimpinan sambil menoleh ke belakang. "Hari ini kita 
amat beruntung. Belum juga kelinci lunak berhasil kita dapatkan, 
sudah ada lagi kuda betina liar yang minta dijinakkan! Ha haha...!" 

Jawaban bagi ucapan lelaki berkumis tebal itu adalah tusukan 
pedang wanita cantik berpakaian hijau yang mengarah ke lehernya. 
Kenyataan ini membuat pimpinan lelaki kasar terkejut bukan main. 
Namun cepat dia bertindak dengan melempar tubuhnya ke belakang. 

"Keparat!" 

Lelaki berkumis tebal menggeram keras ketika berhasil lolos dari 
maut. Hampir saja nyawanya melayang ke alam baka. "Kuda liar ini 
cukup alot juga rupanya. Mari kita taklukan dia, Kawan-kawan...!" 

Lelaki berkumis tebal mencabut senjatanya. Lalu, bersama 
dengan lima rekannya mereka meluruk maju menerjang gadis 
berpakaian hijau. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun terjadi. 

Wanita berpakaian hijau ternyata memiliki kepandaian 
mengagumkan. Pedang di tangannya menyabar-nyambar laksana 
halilintar. Kalau saja orang-orang kasar itu tidak melakukan 
pengeroyokan, dengan mudah wanita berpakaian hijau akan dapat 
merobohkan mereka. Namun kenyataan menghendaki lain. 
Tambahan lagi, orang-orang kasar itu telah terbiasa bertarung untuk 
menyabung nyawa, sehingga penuh pengalaman dan tipu daya. Ini 
menjadikan keunggulan wanita berpakaian hijau tertutupi. 

Setelah pertarungan berlangsung sepuluh jurus, dengan gerak luar 
biasa wanita berpakaian hijau melakukan gerakan mengait, sehingga 
pedang di tangan lelaki berkumis tebal terlepas. T api sayangnya, dia kurang memperhitungkan keberadaan orang di belakangnya. Maka, 
pedang lelaki berkumis tebal itu pun meluncur deras menembus 
punggung Sukaesih. 

*** 


Diawali teriakan melengking nyaring, dengan pedang di tangan, 
Kemboja melompat memasuki arena pertarungan. Tapi, sebelum 
gadis berpakaian jingga itu berhasil masuk, terdor gar geraman keras 
yang telah sering didengarnya Geraman seperti seekor binatang buas 
murka. Walaupun sebenarnya keluar dari mulut Suhita alis Tuan 
Muda Bandawa. 

Dan sebelum Kemboja sempat menoleh, di sebelahnya bertiup 
angin dingin. Kelebatan sosok yang tidak jelas melesat memasuki 
arena pertempuran. Sosok yang tidak lain Suhita langsung bertindak. 
Kedua tangannya yang terkepal kecuali jari telunjuk, melancarkan 
totokan-totokan dahsyat. 

Tentu saja keoiam lelaki kasar itu tidak membiarkan begitu saja 
serangan Suhita mendarat di tubuh mereka. Maka, sedapat mungkin 
dipapakinya. Bahkan mengirimkan serangan balasan. Tapi, sayang 
sebagian dari mereka gagal. Gerakan tangan Suhita alias Bandawa 
terlalu cepat untuk dapat diikuti mata mereka. Jari telunjuk Bandawa 
telah lebih dulu membuat lubang di dahi mereka Dengan jeritan 
menyayat hati tubuh orang-orang kasar itu pun roboh ke tanah. 
T ewas. 

Tiga di antara orang-orang kasar yang berhasil menangkis 
mengalami keterkejutan tidak kalah hebat. Golok yang dipakai untuk 
menangkis jadi berlubang. Bahkan senjata itu sampai terlempar dari 
genggaman. Sebelum ketiga orang itu tersadar dari keterkejutannya, 
tangan-tangan Bandawa telah kembali meluncur. Dan, ketiga orang 
itu pun menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu melayat ke 
akherat. 

Kejadian itu hanya berlangsung satu gebrakan saja. Sehingga 
wanita berpakaian hijau tidak sempat berbuat sesuatu. Dia terkejut 
bukan main melihat lawan-lawannya telah bergeletakan tanpa nyawa. 
Dan sebelum wanita itu menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, 
Suhita telah menerjang ke arahnya dengan jari telunjuk lurus terbuka. 

Wanita berpakaian hijau tidak melihat dengan jelas jari telunjuk 
yang meluncur ke arah dahinya. Tapi, dia sempat melihat kelebatan 
sesosok bayangan. Wanita itu segera tahu ada bahaya yang tengah 
mengancamnya. Maka, dengan untung-untungan pedang dibabatkan 
ke arah sosok yang berkelebat itu. 

Takkk! 

Babatan pedang wanita berpakaian hijau membentur pergelangan 
tangan Bandawa. Pedang itu pun langsung terlepas dari pegangan 
dan terlempar jauh. Sedang tangan pemiliknya tergetar hebat. Tapi 
akibat tangkisan itu jari telunjuk Bandawa tertahan sejenak. Dan 
ketika meluncur lagi, wanita berpakaian hijau telah mempunyai 
kesempatan untuk mengelak dengan melempar tubuhnya ke 
belakang. 

Namun Bandawa benar-benar mempunyai kepandaian 
menggiriskan dan tidak masuk akaL Meski lawannya telah melempar 
tubuh ke belakang, jari telunjuk Bandawa terus meluncur mengikuti 
ke mana wanita itu pergi! 

"Bandawa...! Tahan...!" Seruan keras dan tinggi yang diucapkan 
dengan penuh kekhawatiran itu membuat Bandawa, yang jari 
telunjuknya baru saja akan menembus dahi wanita berpakaian hijau, 
tertahan di udara. Dengan pandang mata masih beringas ditatapnya 
wanita berpakaian hijau kelinglungan. T api rupanya pemilik suara itu 
cukup mempunyai pengaruh t cih ada p dirinya, hingga Bandawa tidak 
berani melanjutkan serangannya. Jika pemuda bertubuh kekar ini 
meneruskan, nyawa wanita berpakaian hijau itu pasti akan melayang. 

Ini disadari oleh lawan Bandawa. Karena itu dahinya dipenuhi 
keringat dingin sebesar biji-biji jagung. Sedangkan pemilik seruan 
tadi yang ternyata Kemboja, mengayunkan langkah mendekati. 

Tiba-tiba Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua 
tangannya sibuk memegangi kepala Tubuhnya limbung ke sana 
kemari. Karuan saja wanita berpakaian hijau sangat heran. Meskipun 
wajahnya menyiratkan kelegaan karena nyawanya telah lolos dari 
lubang jarum, dia bingung melihat keadaan lawannya yang 
mendadak seperti orang sakit. Dengan disertai keluhan panjang 
tubuh Bandawa ambruk ke tanah. Wanita berpakaian hijau itu pun 
tahu Bandawa jatuh pingsan. 

"Srini...!" 

Sapaan itu membuat wanita berpakaian hijau menolehkan kepala. 
Dia merasakan ada getaran aneh pada suara itu. Ditatapnya lekat- 
lekat wajah Kemboja. 

"Kemboja...!" pekik wanita berpakaian hijau. "Kaukah itu? Ah! 
Sungguh tidak disangka kau berada di sini. Lalu..., mana yang 
lainnya?" 

Kemboja tidak menjawab. Kedua tangannya terkembang hendak 
memeluk wanita berpakaian hijau. Srini segera menyambutnya, 
kedua wanita itu pun saling berpelukan erat. 

"Panjang ceritanya, Srini," jawab Kemboja setelah melepaskan 
pelukannya Kemboja dan Srini adalah anak kandung lelaki setengah 
baya yang dipenggal kepalanya oleh Gempar. Mereka berdua anak 
kembar. 

"Aku akan sabar mendengarkannya, Kemboja. Ceritakanlah," ujar 
Srini penuh minat. 

"Aku sendiri tidak tahu pasti cerita sebenarnya. Ayah tidak pernah 
memberitahukannya padaku," ujar Kemboja memulai ceritanya 
setelah menghela napas berat. "Tapi, suatu malam Ayah menyuruhku 
membawa Ibu pergi meninggalkan rumah. Pasukan kerajaan akan 
datang untuk menangkap atau membunuh Ayah sekeluarga dengan 
tuduhan melakukan pemberontakan. Dengan berat hati aku terpaksa 
memenuhi permintaannya Kami berangkat dengan pengawalan dua 
belas orang prajurit dan kusir kereta yang bernama Suhita alias 
Bandawa." 

"Dia?!" Srini menunjuk Bandawa yang tergolek di tanah. 
Kemboja mengangguk. 

"Di tengah jalan rombongan kami dicegat oleh orang-orang 
Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kami kalah kuat. Semua para 
pengawal binasa, begitu juga Ibu. Sedangkan aku akan dijadikan 
pemuas nafsu mereka Untung, Suhita yang semula tidak memiliki 
kepandaian, entah dengan cara bagaimana ia mendapat kepandaian 
luar biasa, mampu membinasakan orang-orang Perguruan Lembah 
Seribu Bunga. Kejadian itu membuatku merasa tidak ada gunanya 
lagi melanjutkan perjalanan. Maka, kuputuskan untuk kembali pada 
Ayah. Sayang sekali...." 

"Mengapa, Kemboja?" tanya Srini tak sabar. Kemboja tidak 
segera menjawab. Dia tercenung teringat pengalamannya beberapa 
hari yang lalu. Terbayang kembali di benaknya ketika dia mengajak 
Suhita kembali ke rumah ayahnya. 

"Cepat, Suhita...!" Kemboja tidak sabar di tengah derap kaki 
binatang tunggangannya Wanita berpakaian jingga itu menoleh ke 
belakang karena Suhita agak tertinggal. 

Seruan Kemboja membuat Suhita berusaha keras mensejajari lari 
binatang tunggangan wanita itu. Tapi, tetap saja sia-sia. Hingga 
Kemboja beberapa kali terpaksa memperlambat lari kudanya untuk 
menunggu Suhita. 

Hari menjelang fajar ketika Suhita dan Kemboja berada di mulut 
sebuah hutan. Menurut perhitungan Suhita, menjelang petang mereka 
akan tiba di tempat kediaman ayah Kemboja. Itu kalau perjalanan 
terus dilakukan dengan cepat. 

T api sebelum kuda-kuda Suhita dan Kemboja berbasil keluar dari 
hutan, terdengar bunyi berdesing nyaring. Tahu-tahu di depan 
mereka telah menancap sebatang tombak yang pada gagangnya dililit 
rantai baja berhias t ulang tengkorak manusia. Melihat besarnya yang 
tidak wajar, agaknya tengkorak itu adalah tengkorak anak kecil. 

Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat Suhita dan 
Kemboja menarik tali kekang untuk menghentikan lari binatang- 
binatang itu. Baru saja kuda-kuda itu berhenti, terdengar bunyi 
berkerosak. Di sekeliling mereka telah berdiri banyak orang-orang 
berwajah kasar. Suhita dan Kemboja segera tahu mereka tengah 
berhadapan dengan gerombolan perampok. 

"Hehehe...!" 

Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot kuat laksana 
seekor banteng tertawa terkekeh menatap Kemboja dengan kurang 
ajar. 

"Mimpi apa aku semalam sehingga sekarang bertemu dengan 
seorang bidadari? Turunlah, Manis. Dan mari ikut aku. Percayalah. 
Kau akan bahagia bila bersama denganku. T inggalkan orang jelek 
itu!" 

Ucapan lelaki tinggi besar langsung disambut dengan tawa kurang 
ajar lelaki kasar lainnya. Seperti juga lelaki tinggi besar, mereka 
memandang Kemboja dengan penuh minat. 

Kemboja yang menjadi sasaran kekaguman penuh nafsu birahi 
laki-laki kasar itu jadi mual perutnya. Dia kesal bukan main. Sejak 
tadi dia sudah menghunus pedangnya. Tapi ditahannya karena 
menunggu tindakan Suhita. Dia yakin Suhita memiliki kepandaian, 
namun sengaja disembunyikan. Ingin diketahui, apakah pemuda itu 
akan tetap berpura-pura tidak bisa bersilat bila gerombolan perampok 
mulai menyerang. 

"Harap kalian sudi menyingkir dan memberi jalan pada kami," 
ucap Suhita seraya memajukan kuda hingga berdekatan dengan lelaki 
tinggi besar yang menjadi pimpinan orang-orang kasar. "Kami 
sedang buru-buru. Atas pengertian kalian kuucapkan terima kasih 
y ang t ak t erhingga." 

"Ah, begitu kiranya?" sambut lelaki tinggi besar dengan 
mengulum senyum. Sinar matanya penuh ejekan. "Tentu saja aku 
tidak akan menghalangi kepergianmu. Pergilah. Kami tidak akan 
menghalangi." 

"Ah.... Terima kasih atas kebaikanmu. Sobat. Sudah kuduga kau 
adalah orang yang bijaksana," ucap Suhita sambil m cm beri hormat. 

"Mari, Nona. Kita tinggalkan tempat ini. Kita h arus bergegas agar 
tiba di sana pada waktunya." 

Kemboja pun bersiap-siap akan menggebah kudanya. T api.... 

"Tunggu dulu, Anak Muda!" sergah lelaki tinggi besar membuat 
Suhita mengalihkan pandangan ke arahnya. "Rupanya kau tidak 
menyimak ucapanku. Kukatakan, kau boleh meninggalkan tempat 
ini. T api mengapa harus mengajaknya? Dia akan tetap tinggal di sini 
karena harus menjadi istriku." 

"Keparat!" 

Kemboja sudah tidak tahan lagi menahan sabar. Dihunus 
pedangnya hingga menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan 
mata. Sambil memegang tali kekang kuda dengan tangan kiri, senjata 
itu ditusukkan ke leher lelakitinggi besar. 

"Lihai!" 

Lelaki itu berteriak memuji. Tapi dia tidak berdiam diri. 
Tangannya bergerak cepat. Tahu-tahu di tangan kirinya tergenggam 
sebuah perisai berbentuk bulat. Dengan alat pertahanan itu 
dipapaknya serangan Kemboja. 

Trang! 

Kemboja menyeringai ketika merasakan tangannya tergetar hebat. 
Dia tahu tenaga dalam lawan jauh lebih kuat. Dan sebelum gadis 
berpakaian jingga itu melancarkan serangan kembali, tangan kanan 
lelaki tinggi besar telah bergerak meraih sehelai cambuk. Senjata itu 
langsung dilecutkan pada Kemboja. Meluncurlah ujung cambuk ke 
arah bahu kanan gadis itu. Rupanya, lelaki tinggi besar ingin 
melumpuhkan perlawanan Kemboja. 

Serangan ini memaksa Kemboja untuk melompat dari punggung 
kudanya dan mendarat di tanah. Sangat sulit baginya bertarung di 
atas punggung binatang itu. Sesaat kedua kakinya menjejak tanah, 
Suhita yang melihat majikannya diserang segera bertindak. Pemuda 
bertubuh kekar itu memajukan kudanya menghalangi langkah lelaki 
tinggi besar. Karuan saja pemimpin orang-orang kasar itu marah. 
Serangan susulan cambuk yang semula ditujukan pada Kemboja kini 

dikarahkan pada Suhita. 

Ctarrr! 

Suhita linglung melihat kelebatan sinar hitam kemerahan 
meluncur ke arah kepalanya. Dia tidak tahu kalau yang diserang 
lawan adalah ubun-ubunnya, bagian yang mematikan. Yang 
dilakukan Suhita hanya tertegun. Taktahu harus berbuat apa 

Rupanya, malaikat maut belum berminat mengambil nyawa 
Suhita. Di saat yang gawat itu muncullah binatang penolong. Kuda 
tunggangan Suhita yang kaget dan ketakutan mendengar bunyi 
ledakan cambuk merasakan bahaya mengancam bila orang yang 
berada di punggungnya tetap di situ. Ia meringkik panjang seraya 
mengangkat kedua kaki depannya tinggi ke udara. 

Tindakan kuda itu membuat tubuh Suhita jatuh berdebuk ke 
tanah. Maka, dia pun selamat dari bahaya maut. Tapi, pemuda itu 
benar-benar tidak mampu berbuat apa pun. Saat tubuhnya jatuh ke 
tanah dia tidak melakukan gerakan yang membuat kedua kakinya 
mendarat lebih dulu. Akibatnya, belakang kepalanya lebih dulu 
membentur tanah. Seketika itu juga Suhita tak sadarkan diri. 

Kemboja menggeram keras melihat Suhita tidak berdaya. Dia 
khawatir pemuda bertubuh kekar yang diyakininya pandai bermain 
silat itu tewas. Maka, dengan kemarahan yang memuncak 
diserangnya lelaki tinggi besar itu. 

Seperti juga sebelumnya, pimpinan perampok itu langsung 
menyambutnya. Pertarungan pun kembali berlangsung. Kemboja 
berjuang keras mengirimkan serangan-serangan maut. Sedangkan 
lelaki tinggi besar melayani dengan sikap tenang. Serangan-serangan 
yang dikirimkannya tidak ada yang mematikan, karena memang 
ingin menangkap Kemboja hidup-hidup. Ujung cambuknya selalu 
meluncur menuju tempat-tempat yang tidak berbahaya. 

Tindakan yang dilakukan lelaki tinggi besar membuatnya rugi 
sendiri. Karena sikap mengalahnya, perisai dan cambuknya dapat 
dijatuhkan Kemboja. Sehingga ia terpaksa mengeluarkan golok dan 
memerintahkan anak buahnya untuk membantu. Kemboja pun 
dikeroyok enam orang lelaki kasar. Dalam beberapa gebrakan saja 
dia sudah terdesak hebat. 

"Tapi karena mereka ingin menangkapku hidup-hidup, jalannya 
pertarungan jadi lama," ujar Kemboja terus melanjutkan ceritanya. 
"Pertarungan berlangsung hingga matahari muncul. Saat itulah 
pertolongan tidak terduga-duga datang. Seorang pemuda berambut 
aneh muncul dan langsung menghadapi mereka...." 

"Apakah yang kau maksudkan itu seorang pemuda berambut 
putih keperakan dan mengenakan pakaian ungu?" potong Srini tak 
sabar. 

"Kau mengenalnya, Srini?" tanya Kemboja tak kalah kagetnya. 

"Kenal sih, tidak," jawab Srini dengan wajah merah. "Tapi.... Dia 
pun pernah menolongku. Nanti aku ceritakan. Sekarang, teruskan 
saja ceritamu." 

"Di saat pemuda berambut putih keperakan itu hampir 
merobohkan lawan-lawannya. Tiba-tiba terdengar geraman keras 
yang pernah kudengar sebelumnya. Suhita,telah bangkit dari 
tergoleknya. Dia menjelma sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi. 
Sehingga, pemuda berambut aneh itu pun tidak berdaya 
menghadapinya. Dengan keji Suhita membunuh keenam perampok 
itu. Dahi mereka semua berlubang. Kemudian, Suhita berlari dengan 
membawaku setelah kugagalkan maksudnya yang hampir saja 
membunuh pemuda penolongku itu." 

Kemboja menghentikan ceritanya sejarak. Ditatapnya Srini 
dalam-dalam. 

"Setelah itu terjadilah hal yang aneh lagi, Srini," lanjut Kemboja. 
"Setelah berlari dengan membawaku beberapa saat lamanya, Suhita 
berhenti dan memegangi kepala dorgan kedua tangan. Tubuhnya 
terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Ketika 
kuperiksa dia ternyata pingsan. Tapi anehnya, begitu sadar kembali 
Suhita linglung melihatku selamat. Dia malah menanyakan siapa 
yang telah moiolongku dan bersyukur aku selamat." 

"Ah...!" Srini berseru kaget. "Dan kejadian seperti itu selalu 
terulang kembali, Kemboja?" Srini menatap wajah saudara 
kembarnya lekat-lekat. Sekilas diliriknya Suhita alias Bandawa yang 
masih tergolek pingsan. "Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi, 
Kemboja." 

"Bukan tersembunyi, Srini," bantah Kemboja. "Tapi aneh. Semula 
aku mengira Suhita sengaja menyembunyikan kepandaiannya. Tapi 
ternyata tidak. Kepandaiannya yang tinggi itu hanya muncul di saat- 
saat tertentu saja. Aku baru menyadarinya, Srini." 

"Kau bisa menarik kesimpulan mengapa terjadi hal aneh itu, 
Kemboja?" Srini ingin tahu. 

"Kira-kira begini," jawab Kemboja setelah terdiam beberapa saat. 
"Suhita berubah menjadi orang yang memiliki kepandaian silat tinggi 
bila sedang marah. Tidakkah kau melihatnya, Srini?" 

"Hhh...," Srini menarik napas berat. "Ya. Aku melihatnya. Tapi 
karena aku baru pertama kali berjumpa, aku tidak bisa menarik 
kesimpulan seperti itu. Malah, aku mempunyai dugaan yang 
mungkin tidak mengenakkan hatimu, Kemboja. Ini berdasarkan 
pengalamanku" 

"Katakan Srini. Tidak usah ragu-ragu," Kemboja memberi 
kesempatan. 

"Aku mempunyai dugaan bahwa Suhita alias Bandawa adalah 
seorang penjahat keji. Dia seorang tokoh alat tingkat tinggi yang 
selalu menyembunyikan wajahnya di balik selubung putih. Aku tidak 
sembarangan saja melemparkan dugaan ini, Kemboja. Tokoh yang 
kusebutkan itu pun sengaja merahasiakan dirinya. Sosok berpakaian 
serba putih itu selalu membunuh lawannya dengan mempergunakan 
sebuah jari. Dia memiliki kepandaian yang menakjubkan. Dan, 
seperti yang kau katakan tadi, pemuda berambut aneh itu juga 
menjadi musuh besar sosok berpakaian serba putih. Cocok, bukan?" 

Kemboja mengernyitkan alisnya. Gadis itu tampak berpikir. 
"Kurasa lebih baik kau ceritakan pengalamanmu, Srini." 

"Dari kawan-kawan Guru, kudengar Ayah telah ditangkap oleh 
pasukan kerajaan, karena tekadnya yang ingin keluar dari kelompok 
ajaan terdapat dua tokoh 
tingkat tinggi. Yang seorang bernama Branta Wali, murid Perguruan 
Lembah Seribu Bunga yang memang telah lama membantu kerajaan. 
Yang satu lagi seorang tokoh yang lebih tinggi ilmunya dari Branta 
Wali. Sayang, mereka tidak tahu siapa dia. Tapi belakangan aku tahu 
kalau tokoh pendek gemuk itu adalah ahli waris terakhir Perguruan 
Laut Mati. Gempar namanya. Dia memang memiliki kepandaian 
yang menakjubkan. T api aku tidak peduli. Demi untuk membebaskan 
Ayah, aku rela melepas nyawa. Kuhadang pasukan kerajaan dan 
kucoba membebaskan Ayah. Aku hampir celaka, tapi untung guruku 
cepat datang. Beliau tewas di tangan Gempar, dan aku tertawan." 

"Resi Sindu Laga tewas?" tanya Kemboja hampir tidak percaya. 
Ia tahu betul ketinggian ilmu kakek yang menjadi gurunya Srini itu. 
Sehingga dia heran sekali mendengar Resi Sindu Laga tewas. 
Memang, sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayah mereka mengirim 
Srini pada Resi Sindu Laga, sahabat karibnya. Srini diangkat menjadi 
murid tokoh itu. Sedangkan Kemboja tetap tinggal bersama ayahnya 
Srini menganggukkan kepala. Kemudian, melanjutkan ceritanya 
"Itulah, Kemboja," ujar wanita berpakaian hijau itu ketika sampai 
pada cerita tentang sosok berpakaian serba putih. "Dia membawaku 
kabur, dan aku yakin ia mempunyai maksud jahat dan keji, karena 
sepanjang perjalanan tangannya selalu menggerayangi tubuhku. Dia 
membawaku ke sebuah pondok. Di sana dimintainya aku menjadi 
istrinya. Rupanya, dia jatuh cinta kepadaku. Katanya, kalau sampai 
aku tidak memberikan jawaban dalam waktu lima hari, aku akan 
menjadi korban seperti wanita-wanita lainnya. Diperkosa dan 
dibunuh setelah dia merasa puas. Untung di hari ketiga muncul 
pemuda berambut putih keperakan. Dia membebaskan aku dan 
menyuruhkku pergi setelah mendengar kedatangan sosok berpakaian 
serba putih." 


"Lalu..., bagaimana selanjutnya, Srini?" 

Srini mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu, Kemboja. Aku 
langsung pergi setelah mengucapkan terima kasih. Aku takut akan 
jatuh lagi ke tangan sosok berpakaian serba putih. Karena, pemuda 
berambut putih keperakan itu bukan tandingannya." 

Kemboja mengangguk-anggukkan kepala membenarkan pendapat 
saudara kembarnya. Dari cerita Srini bisa diketahui kalau pemuda 
berambut putih keperakan itu memang bukan tandingan sosok 
berpakaian serba putih. Dan juga, bukan tidak mungkin sosok itu 
adalah Suhita!" 

Suasana menjadi hening ketka Srini maupun Kemboja tidak 
berkata-kata lagi. Namun, itu tidak berlangsung lama karena 
dipecahkan oleh keluhan Suhita. Pemuda bertubuh kekar itu rupanya 
mulai sadar dari pingsannya. 

"Ah...!" begitu sepasang matanya terbuka, Suhita alias Bandawa 
segera berseru kaget ketika melihat Kemboja. "Syukurlah kau 
selamat, Nona. Dan... maaf. Siapakah Nona ini?" 

Srini tersenyum. "Namaku Srini, Bandawa." 

"Bandawa...?!" pemuda itu mengulang ucapan Srini dengan dahi 
berkerut linglung. Tapi hanya sesaat saja. "O ya, aku ingat. Namaku 
bukan Suhita tapi Bandawa. Seseorang yang bernama Sukaesih telah 
memberitahukannya padaku. Ya. Mungkin itu memang benar 
namaku. Sepertinya nama Bandawa dan Sukaesih mempunyai arti 
bagiku" 

Kemboja saling berpandangan dengan Srini. 

"O ya, Bandawa," ucap Kemboja kemudian. "Perlu kau ketahui, 
Srini ini adalah saudara kembarku. Kau ingat?" 

"Ah, ya...!" seru Bandawa linglung, seraya tersenyum lebar dan 
menepuk dahinya. "Mengapa aku begitu pelupa. Maafkan sikapku 
yang tidak pantas tadi, Nona Srini." 

"Lupakan," ucap Srini cepat. "O ya, Kemboja. Bagaimana kalau 
kita pergi menjumpai pemuda berambut aneh itu, maksudku ke 
tempat di mana aku ditahan. Barang kali saja mereka masih ada. 

Setidak-tidaknya jika penolong kita itu tewas, kita dapat mengurus 
mayatnya. Hitung-hitung sebagai balas budi kita." 

"Aku sih setuju saja, Srini. Dia memang tampan, kok," goda 
Kemboja. "T api, jauhkah tempat itu?" 

"Kau ngaco, Kemboja!" sergah Srini dengan wajah memerah. 
"Kalau kau mau tahu juga, perjalanan ke sana membutuhkan waktu 
sehari penuh." 

"Jadi...," ucap Kemboja setelah tercenung. "Kitatelah ketinggalan 
waktu sehari semalam." 

Srini terdiam. Apa yang dikatakan saudara kembarnya memang 
benar. 

"Lalu..., bagaimana kalau kita bertemu sosok berpakaian serba 
putih di tengah jalan? Apa yang akan kau lakukan, Srini? Menunggu 
pemuda berambut aneh itu menolongmu?" Kemboja kelihatan 
bimbang. 

"Mengapa kau begini bodoh, Kemboja!" ujar Srini sambil melirik 
Bandawa. 

Sejenak Kemboja membisu. Tapi akhirnya dia mengerti maksud 
lirikan Srini. "Tapi bagaimana membuatnya seperti itu, Srini? 
Menunggu kita celaka lebih dulu?" 

"Tenang, Kemboja. Aku tahu caranya. Andaikata semua cerita 
yang kau tuturkan padaku benar, aku yakin caraku ini pasti berhasil!" 
tandas Srini yakin. 

Sikap wanita berpakaian hijau ini membuat Kemboja mengangkat 
bahu. Dia tidak membantah lagi. Disadari kalau Srini memang jauh 
lebih cerdas darinya. Itu sebabnya ayahnya mengirim Srini pada Resi 
Sindu Laga. 

Sambil masih terus bercakap-cakap tentang Bandawa tanpa yang 
bersangkutan mengetahui, ketiga orang muda itu melanjutkan 
perjalanan menuju tempat Srini pernah ditahan. Perjalanan itu 
sengaja dilakukan Srini dan Kemboja, untuk membuktikan apakah 
Suhita alias Bandawa adalah sosok berpakaian serba putih yang keji 
dan memiliki kepandaian tinggi itu? 


* * * 



"Kau lihat pondok di depan itu, Kemboja?" tanya Srini seraya 
menudingkan jari telunjuknya ke sebuah rumah sederhana tempat 
dulu dia disekap. 

Kemboja, dan bahkan Bandawa mengarahkan pandangan ke arah 
yang ditunjuk Srini. Tidak hanya ke tempat itu saja, tapi juga ke 
sekitarnya. 

"Sepi saja, Srini," ucap Kembojapelan. "Kurasa tidak ada seorang 
pun di sini." 

Srini tidak memberikan tanggapan. Yang dilakukannya adalah 
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana di depan sana. Mau 
tidak mau Kemboja dan Bandawa mengikuti. 

"Ha ha ha...! Ternyata untungku. Nasib baikku kembali datang.... 
Sungguh tidak kusangka kalau di tempat sepeiti ini akan bisa 
kutemui putri keparat pemberontak. Ha ha ha...! Raja pasti akan 
sangat gembira melihatnya Ha ha ha...!" 

Hampir bersamaan Srini, Kemboja, serta Bandawa menolehkan 
ke belakang. Dari salah satu cabang pohon yang mereka lewati tadi 
melompat turun sesosok tubuh pendek gemuk yang berwajah 
senantiasa teitawa. Dialah Gempar, ahli waris terakhir - Perguruan 
Laut Mati 

Srini yang telah mengetahui betapa lihainya lelaki pendek gemuk 
ini, tanpa membuang-buang waktu lagi segera menghunus 
pedangnya. Tindakan ini segera ditiru Kemboja. Hanya Bandawa 
yang berdiam diri dengan tatapan linglung. 

"Ah...!" Gempar mengeluarkan seruan kaget bercampur gembira. 
Ternyata putri pemberontak yangtelah dibunuhnya itu ada dua. "Kau 
pun anaknya juga, Cah Ayu?" 

Lelaki pendek gemuk itu mengajukan pertanyaan pada Kemboja, 
seraya memperhatikan wajah Srini dan Kemboja yang mirip dengan 
bergantian. 


"Kaukah yang telah membunuh guru saudaraku, Manusia Katak? 
Mampuslah!" 

Kemboja meluruk ke arah Gempar dengan tusukan pedang yang 
bertubi-tubi. Ke arah ulu hati pusar, dan dada. Saking cepatnya 
gerakan pedang, mata pedangnya seperti berubah menjadi banyak. 

Tapi serangan itu tidak dianggap Gempar sebagai ancaman 
bahaya. Diatertawa bergelak. 

"Bukan hanya Resi Sindu Laga saja yang kubunuh, Anak Manis. 
Tapi ayahmu juga. Kepalanya telah kupenggal. Dan, tubuhnya 
kubuang di tengah jalan!" 

Terdengar teriakan melengking nyaring. Srini menyusul saudara 
kembarnya melakukan serangan. Pedang di tangannya lenyap 
menjadi segulungan sinar menyilaukan membungkus tubuhnya. 
Kemudian, diluncurkan ke berbagai bagian tubuh Gempar. 

Sekali lihat saja Gempar tahu serangan Srini jauh lebih berbahaya 
daripada serangan Kemboja. Tapi, dia pun tahu serangan Kemboja 
tiba lebih dulu. Maka, ditariknya napas dalam-dalam. Seketika itu 
pula perutnya yang memang sudah gendut menggembung seperti 
balon. Ketika itulah ujung pedang Kemboja menghantam sasaran 
dengan tepat. 

"Akh.J" 

Kemboja memekik tatahan. Pedangnya terpental balik ketika 
mengenai perut Gempar. Sasaran yang dihantamnya bagaikan 
segundukan karet keras. Sehingga tangannya tergetar hebat. Sampai- 
sampai senjata andalannya terlepas dari genggaman. 

Pada saat yang hampir bersamaan serangan Srini datang 
menyusul. Tapi sebelum mencapai sasaran, Gempar telah lebih dulu 
menggerakkan kedua tangannya mempergunakan ilmu Pukulan 
Gelombang Laut'. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, Srini 
merasakan tubuhnya lemas seakan-akan tulang-tulangnya dilolosi. 
Tenaganya lenyap oitah ke mana. Kekuatan serangannya menjadi 
lumpuh. Gadis itu kemudian ambruk ke tanah sebelum berhasil 
mengirimkan serangan. 


"Srini...!" Kemboja berteriak melihat keadaan saudara kembarnya. 

"Ha ha ha...!" Gempar tertawa bergelak penuh kemenangan. 
Keyakinannya akan dapat menangkap Srini dan Kemboja 
membuatnya membiarkan kedua gadis itu, dan tidak melakuan 
serangan susulan yang dapat melumpuhkan mereka. 

Dengan susah payah Srini bangkit. Masih terhuyung-huyung 
karena pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut', Srini menghampiri 
Bandawa. Sebelumnya ia memberikan isyarat pada Kemboja agar 
mengikuti. 

Meski merasa heran Kemboja mengikuti kemauan Srini. Dia 
yakin saudara kembarnya tidak bermain-main dalam saat genting 
seperti ini. Begitu Kemboja telah berada di dekat Bandawa yang 
keheranan melihat kedua gadis itu mendekatinya. Srini memberi 
tanda. Kemboja bimbang meskipun dia mengerti maksud isyarat itu. 
Namun ketika melihat sorot mata Srini yang begitu memaksa, mau 
tidak mau perintah itu dilakukannya. Kemboja tahu andaikata Srini 
dalam keadaan biasa, gadis itu akan melaksanakannya sendiri. 

Dukkk! 

"Hukh!" 

Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan sebelum roboh ke tanah 
dan tidak sadarkan diri. Pukulan sisi tangan yang dihantamkan 
Kemboja mendarat telak di kuduknya. 

Kelakuan kedua gadis muda yang cantik itu tidak lepas dari 
perhatian Gempar. Tentu saja lelaki pendek gemuk itu heran bukan 
main. "Apa yang dilakukan putri-putri pemberontak ini?" tanyanya 
dalam hati. Apakah karena rasa takut yang sangat lantas mereka 
menjadi gila dan tidak tahu harus berbuat apa? 

"Mengapa kau menyuruhku melakukan hal ini, Srini?" tanya 
Kemboja tak dapat menahan rasa ingin tahunya. 

Baru saja Srini hendak memberikan jawaban, Gempar telah lebih 
dulu menyelak. "Bersiaplah, Putri-putri Pemberontak! Kalian akan 
kuhadapkan pada raja!" 

"Boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanya Srini seraya 


menatap wajah lelaki pendek gemuk itu lekat-lekat 

Gempar tercenung, bingung. Kesempatan itu tidak disia-siakan 
oleh Srini yang cerdik. 

"Kami berdua tahu, sebagai putri-putri pemberontak tidak akan 
mungkin mendapatkan ampunan. Kami akan dihukum mati. 
Bukankah pantas kalau kami mempunyai permintaan? Sebuah saja. 
Untuk... yahhh... anggaplah sebagai permintaan terakhir kami." 

"Baiklah. Selama tidak mengada-ada dan masuk akal aku akan 
mengabulkannya," jawab Gempar setelah berpikir sejenak. 

"Terima kasih," jawab Srini dengan wajah gembira. "Aku hanya 
meminta agar kami maksudku aku dan saudaraku diberi kesempatan 
berbincang-bincang untuk yang terakhir kali." 

Kemudian, tanpa menunggu tanggapan Gempar, Srini kembali 
mengalihkan perhatiannya pada Kemboja. "Kau ingat semua 
ceritamu, Kemboja?" tanya Srini mengingatkan. "Bukankah 
Bandawa selalu berubah pandai dan beringas setelah sadar dari 
pingsan atau sedang murka?" 

"Ahhh.... Jadi, itukah maksudmu menyuruhku memukulnya?" 
Kemboja kini mengerti. "Tapi, mengapa bisa seperti itu, Srini?" 

"Entahlah." Srini menggelengkan kepala. "Tapi, kalau melihat 
tindak-tanduknya yang tidak gila dan hanya lupa pada masa lalunya, 
kurasa dia telah mendapatkan guncangan jiwa. Batinnya terguncang 
hebat hingga tak kuat ditanggung oleh sarafnya. Mungkin itu yang 
membuatnya lupa pada masa lalu. Hebatnya, kepandaiannya sampai 
dia lupakan. Dia kembali teringat akan kepandaiannya saat mendapat 
guncangan di kepala. Karena terpukul atau terbentur batu 
membuatnya linglung, misalnya." 

"Tapi, mengapa setiap kali dia teringat selalu dalam keadaan 
beringas? Dan, perubahan itu hanya berlangsung sebentar saja? 
Karena guncangan jiwa yang hebat dia lupa pada masa lalunya, 
namanya, dan kepandaiannya. Tapi, seharusnya begitu mendapat 
guncangan selanjutnya, semua yang terlupa akan teringat kembali, 
bukankah begitu, Srini?" 


"Hhh.J" Srini menghela napas berat. "Memang seharusnya 
demikian, Kemboja. Aku juga heran. Tapi..." 

"Waktu untuk kalian sudah habis!" Teriakan Gempar membuat 
Srini menghentikan ucapannya. Dengan terkejut kedua gadis itu 
menatap Gempar yang berjalan menghampiri mereka. Srini dan 
Kemboja dengan harap-harap cemas memandang Bandawa yang 
masih tergolek di tanah. Kedua saudara kembar itu kemudian jadi 
nekat. Pedang yang semula telah disimpan dikeluarkan kembali. 
Mereka bertekad untuk melakukan perlawanan sampai titik darah 
penghabisan. 

"Haaat..!" 

Sebelum Gempar mengirimkan serangan, Srini dan Kembojatelah 
lebih dulu menyerang. Kedua gadis itu melancarkan serangan dari 
arah yang berlawanan. Srini dari kanan sedangkan Kemboja dari arah 
kiri. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengirimkan 
serangan-serangan mematikan. 

Tapi, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya secara 
sembarangan saja, Gempar telah mengkandaskan serangan Srini dan 
Kemboja. Bahkan, tubuh kedua gadis itu terhuyung-huyung ke 
belakang dengan tangan tergetar. 

Tidak hanya berhenti di situ saja tindakan Gempar. Dia bergerak 
meluruk ke arah Srini untuk melumpuhkannya. Srini berusaha sekuat 
tenaga menangkis serangan Gempar. Pedangnya diputar untuk 
melindungi diri. Namun, hanya dengan tangan telanjang, entah 
dengan cara bagaimana, lelaki pendek gemuk itu berhasil membuat 
pedang Srini terlempar. Tangan Gempar terus meluncur ke bahu 
kanan gadis berpakaian hijau itu. 

Kemboja melihat bahaya mengancam diri saudara kembarnya. 
Maka, dia pun melesat untuk menolong dengan sebuah tusukan ke 
arah ubun-ubun Gempar. T api, melihat jarak dan kecepatan wanita 
berpakaian jingga itu usahanya pasti akan gagal. 

"Grrrhhh...!" 

Di saat tangan Gempar hampir menyentuh bahu kanan Srini, dan 
tubuh Kemboja tengah berada di tengah jalan, terdengar geraman 
keras bagai binatang buas terluka. Keras sekali sehingga Srini dan 
Kemboja merasakan seluruh tenaga mereka lenyap. Gempar pun 
merasakan dadanya tergetar hebat dan kedua kakinya menggigil. 
Kalau saja dia tidak bertindak cepat mengerahkan tenaga dalam, 
tentu tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sungguh pun demikian, tak 
urung wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi! 

Gempar adalah seorang tokoh persilatan tingkat tinggi yang telah 
kenyang dengan pengalaman. Maka dia segera mengetahui akan ada 
seorang lawan tangguh yang muncul di situ. Karma itu, perhatiannya 
segera dialihkan ke arah asal geraman. Dan, seketika lelaki pendek 
gemuk itu terperanjat. 

Beberapa tombak di sebelah kirinya berdiri dengan sepasang mata 
merah membara dan wajah menyiratkan keganasan, seorang pemuda 
bertubuh kekar yang tadi bersama Srini dan Kemboja. Pemuda yang 
tadi dipukul Kemboja hingga pingsan. 

Sejenak Gempar terpaku di tempatnya. Benarkah pemuda kekar 
yang tadi kelihatan linglung dan tidak bisa ilmu silat memiliki tenaga 
dalam yang demikian dahsyat? Rasanya mustahil! Bahkan tadi dia 
tidak mampu mengelakkan serangan Kemboja Apalagi 
melindunginya dengan tenaga dalam sehingga serangan itu tidak 
membuatnya pingsan. Lalu, bagaimana sekarang dia bisa mempunyai 
tenaga dalam demikian hebat. 

Gempar tidak mempunyai waktu lebih lama untuk berpikir. Sesaat 
kemudian. Bandawa telah menerjangnya dengan kecepatan yang 
menggiriskan. Luar biasa. T ak ubahnya angin yang berhembus 
kencang. 

Dan ketika tubuh pemuda kekar itu hampir mencapai tempatnya, 
kedua tangan Bandawa mengirimkan tusukan-tusukan ke dahi 
dengan mempergunakan jari telunjuk! Bunyi berdecit tajam dan 
udara yang terobek mengiringi tibanya serangan. 

Wajah Gempar seketika berubah. Bukan karena kedahsyatan 
serangan itu, tapi karena dia pernah melihat serangan seperti itu dari 


seorang tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan hati. Seorang 
tokoh misterius! Mengapa Bandawa juga memiliki ilmu serupa? 
Adakah hubungan antara mereka? Atau... jangan-jangan keduanya 
adalah orang yang sama? 

Prattt! 

Tubuh Gempar terjengkang ke belakang dan jatuh terguling- 
guling ketika memapaki serangan Bandawa. Cepatnya serangan yang 
dilancarkan Bandawa membuat lelaki pendek gemuk itu 
memaksakan diri untuk menangkis. Tidak tanggung-tanggung lagi. 
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dengan memainkan ilmu 
'Pukulan Gelombang Laut'. Tapi toh akibatnya tetap saja tubuhnya 
terguling-guling dengan dada terasa sesak dan tangan sakit-sakit. 
Sementara lawannya hanya terhuyung ke belakang. Itu pun sebentar 
saja. Serangan lanjutan yang tidak kalah dahsyatnya kembali 
dilancarkan. 

Terpaksa Gempar mengerahkan seluruh kemampuannya untuk 
menyelamatkan selembar nyawanya. Ilmu Pukulan Gelombang Laut' 
dikerahkan sampai ke puncak kemampuan. Tapi untuk kesekian 
kalinya Gempar harus menelan kepahitan. Ilmu yang menjadi 
andalannya mati kutu dan tidak berguna. Seperti ketika menghadapi 
sosok berpakaian serba putih, ilmunya pun kembali pupus. Beberapa 
kali ketika terpaksa berbenturan tangan, Gempar terhuyung-huyung 
ke belakang. Sementara lawannya seperti tidak menderita sedikit 
pun. Padahal, belum pernah dalam penggunaan ilmu andalannya itu 
Gempar dapat dijatuhkan lawan. 

Setiap kali ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dipergunakan, angin 
serangannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawannya karena 
tenaganya terkuras. Bahkan, Dewa Arak yang terkenal itu pun 
mengalami kejadian yang sama. T api mengapa sekarang seperti 
ketika menghadapi sosok berpakaian serba putih? Ilmu andalannya 
tidak berarti. Ilmu yang dikeluarkan Bandawa dapat membuat 
pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang dimilikinya pupus. 

Hanya dalam beberapa gebrakan saja Gempar sudah kewalahan. 


Lelaki pendek gemuk itu terpaksa bermain mundur. Mengelak lebih 
banyak dilakukannya. Karena untuk menangkis akan sangat 
merugikan dirinya. 

Plak! Plak! 

Gempar terpaksa menangkis serangan Bandawa yang datang 
bertubi-tubi karena tidak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh lelaki 
pendek gemuk itu kembali terjungkal ke belakang. Saat itu pula 
dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Bandawa menggerakkan 
kedua tangannya. Gempar yang menyadari adanya serangan maut 
dengan gugup menggerakkan kedua tangannya di depan wajah untuk 
menangkis. Beberapa kali tangkisan itu berhasil dilakukan, tapi pada 
totokan yang entah keberapa, jari telunjuk Bandawa berhasil 
membuat lubang di dahi Gempar. Pewaris terakhir Perguruan Laut 
Mati itupun pergi ke akherat. 

Srini dan Kemboja gembira bukan main melihat Gempar berhasil 
ditewaskan. Keduanya bergegas mendekati Bandawa yang tengah 
limbung. Kedua gadis kembar itu tahu kalau saat itu Bandawa tengah 
berada dalam masa lalunya. Mereka ingin mengorek keterangan 
tentang siapa sebenarnya Bandawa sebelum pemuda itu roboh tak 
sadarkan diri. 

"Siapakah namamu. Sobat?" tanya Kemboja yang lebih dikenal 
oleh alam bawah sadar Bandawa karena telah sering didengar 
suaranya. 

"Aku...? Namaku.... Bandawa...," jawab pemuda bertubuh kekar 
itu dengan suara mengambang. Kedua tangannya memegangi kepala. 

Srini dan Kemboja merasa cemas Bandawa akan keburu pingsan. 

"Kau memiliki ilmu silat ini dengan berguru pada siapa, 
Bandawa?" 

"Ayahku," jawab Bandawa. Suaranya semakin tidak jelas. 

"Siapa ayahmu? Maksudku..., nama atau julukannya?" 

Tidak ada jawaban dari Bandawa. Tubuh pemuda itu mulai 
terhuyung-huyung. Kedua tangannya sibuk memegangi kepala. 
Sedangkan tarikan wajahnya menyiratkan kesakitan. 

"Kenalkah kau dengan seorang gadis yang bernama Sukaesih, 
Bandawa?" tanya Srini hati-hati. 

"Dia... calon istriku...," sampai di sini tubuh Bandawa ambruk. 
Tapi sebelum terjerembab ke tanah, Kemboja sudah lebih dulu 
menangkapnya. Bandawa telah jatuh pingsan. 

Srini dan Kemboja saling bertukar pandang. Mereka cukup puas 
meskipun belum dapat mengorek banyak keterangan dari Bandawa. 
Tapi, sedikit banyak sudah dapat diketahui kalau cerita Sukaesih 
memang benar. Hanya yang masih menjadi tanda tanya, mengapa 
Bandawa memakai nama Suhita. Dari mana nama itu didapatkannya? 

Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan karena orang yang 
seharusnya memberikan jawaban tidak sadarkan diri. Dengan hati- 
hati Kemboja membaringkan tubuh Bandawa di tanah. Rasa kasihan 
kalau pemuda itu akan kepanasan oleh terik sinar matahari, Kemboja 
membawanya ke sebatang pohon dan membaringkannya di sana. 

*** 

"Rupanya kita memang berjodoh, Anak Manis. Kenyataannya kita 
berjumpa lagi." 

Seruan yang diucapkan pelan tapi menggaung ke sekitar tempat 
itu mengejutkan Srini dan Kemboja. Terutama Srini yang masih 
ingat betul siapa pemilik suara itu. Wajah gadis berpakaian hijau itu 
mendadak berubah pucat. 

Tiupan angin dingin berhembus. Dan, di dekat kedua gadis cantik 
itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih. Tokoh misterius 
yang menggiriskan. Seketika itu pula Srini melangkah mundur. 
Kemboja yang telah mendengar dari saudara kembarnya mengenai 
tokoh tingkat tinggi yang keji ini meremang bulu kuduknya. Diakui 
kalau sosok berpakaian serba putih memilliki perbawa yang 
menyeramkan. Terutama sepasang matanya yang tajam mencorong 
dan berwarna kehijauan. Kemboja melangkah mundur seraya 
mengerling ke arah tempat Bandawa diletakkan. Ia berharap pemuda 
kekar itu segera sadar dari pingsannya. 


"Ha ha ha..!" 

Tawa sosok berpakaian serba putih membahana melihat 
keberadaan Kemboja. "Sungguh besar untungku kali ini. Tidak 
hanya satu bidadari yang kujumpai, tapi dua. Ah.... Luar biasa...! 
Baru saja kunikmati tubuh empuk murid wanita Perguruan Lembah 
Seribu Bunga. Kini sudah ada lagi dua kuda betina liar yang minta 
ditunggangi. Betapa beruntungnya aku." 

Sosok berpakaian serba putih kemudian mengayunkan kaki 
mendekati. T anpa sadar, dalam cekaman rasa takut Srini dan 
Kemboja melangkah mundur, sehingga jarak antara mereka dengan 
sosok berpakaian serba putih tetap seperti semula. Bahkan, 
bertambah jauh karenakedua gadis itu melangkah lebih banyak. 

"Kemarilah, Manis. Kalian berdua memang berwajah manis- 
manis. Bahkan, beberapa ciri-ciri kalian mirip dengan Sukaesih. 
Kemarilah, Sukaesih-Sukaesihku...!" 

Srini dan Kemboja saling berpandangan. Sukaesih! Jadi, sosok 
berpakaian serba putih ini kenal dengan Sukaesih? Bukan tidak 
mungkin kalau sosok berpakaian serba putih juga kenal dengan 
Bandawa! Tapi, apa hubungannya dengan Bandawa? Dan dengan 
Sukaesih? 

"Kau kenal dengan Sukaesih?" tanya Srini ingin tahu. 

Pertanyaan Srini rupanya mengejutkan sosok beipakaian serba 
putih. Tubuhnya sampai terjingkat ke belakang. "Dari mana kautahu 
nama Sukaesih? Apakah kau mengenalnya?" tanyanya dengan penuh 
ancaman. 

"Aku tidak mengenalnya Tapi tahu kalau Sukaesih adalah 
seorang gadis yang berhati mulia. Dan..." 

"Keparat!" 

Sosok berpakaian serba putih menggeram. Tidak tampak kalau 
dia menggerakkan tangan atau kakinya. Tapi akibatnya, tubuh Srini 
terpental jauh ke belakang dan terbanting ke tanah. Ketika bangkit 
wajah gadis berpakaian hijau itu pucat pasi. Beruntung sosok 
berpakaian serba putih tidak bermaksud melukainya. Kalau tidak 
nyawa Srini tentu sudah melayang ke alam baka. 

"Srini...!" Kemboja berseru kaget. Dia menghambur ke arah 
saudara kembarnya. Hatinya lega ketika melihat Srini tidak terluka. 

Sosok berpakaian serba putih yang telah bangkit amarahnya tidak 
menghentikan tindakannya hanya sampai di situ. Kakinya 
dilangkahkan. Kelihatannya perlahan dan sembarangan saja, tapi 
akibatnya tubuhnya tiba-tiba telah berada di dekat kedua gadis itu. 

"Kalian berdua rupanya ingin aku bertindak kasar," desis sosok 
berpakaian serba putih dingin. 

Mendadak terdengar seruan keras menyambuti ucapan sosok 
berpakaian serba putih. Teriakan itu dikeluarkan dengan suara agak 
bergetar penuh perasaan. 

"Siapa kau? Rasanya akupemah mendengar suara seperti itu...!" 

Bukan hanya sosok berpakaian serba putih yang menoleh. Srini 
dan Kemboja pun demikian. Berbeda dengan sosok berpakaian serba 
putih, kedua gadis itu telah tahu siapapemilik suara itu. 

"Kau...?!" 

Srini dan Kemboja terkejut melihat sikap sosok berpakaian serba 
putih. Seruan yang dikeluarkan sosok itu begitu terkejut dan tidak 
percaya. Ada nada gentar di dalamnya. 

"Siapa kau? Katakan...! Rasanya suaramu tidak asing di 
telingaku...!" suara Bandawa semakin meninggi, menuntut jawaban 
lawan bicaranya. Kedua kakinya kemudian melangkah menghampiri 
tempat sosok berpakaian serba putih berdiri. 

Jawaban yang diberikan sosok itu adalah sebuah terjangan yang 
dilakukan dengan sangat cepat. Kedua tangannya dengan jari 
telunjuk teracung ditusukkan bertubi-tubi ke dahi Bandawa. 

"Ihhh...!" 

Hampir berbarengan Kemboja dan Srini menjerit tertahan. 
Mereka tidak mampu memberikan pertolongan. Sementara Bandawa 
masih tetap melangkah dengan berkerut. Tampaknya pemuda itu 
tengah berpikir. Jelas, dia tidak tahu kalau dirinya diserang. 
Rupanya, pertemuannya dengan sosok berpakaian serba putih 
membuat Bandawa teringat akan masa lalunya. Saat itu segenap 
ingatannya tengah berusaha masuk ke dalam benaknya. 

T api sebelum serangan sosok berpakaian serba putih mendarat di 
sasaran, dari sebelah kanan terdengar bunyi angin menderu. Hawa 
panas dan memotong arah yang dituju penyerang Bandawa. Jadi 
andaikata ia bersikeras meneruskan serangannya, sebelum tiba di 
sasaran akan terlebih dulu dihantam pukulan jarak jauh angin 
berhawa panas menyengat itu. 

Sosok berpakaian serba putih pun tahu akan hal itu. Maka, 
serangannya terhadap Bandawa dibatalkan. Tangan kanannya 
kemudian dikibaskan untuk memapaki serangan yang meluncur ke 
arahnya. Dalam kemarahannya sosok berpakaian serba putih 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Bresss! 

Pemuda berambut putih keperakan yang melancarkan serangan 
berhawa panas itu teipental ke belakang, kemudian terguling-guling 
di tanah. Saat itu kedudukannya memang tidak menguntungkan. 
Tubuhnya berada di udara karena serangan itu dilancarkan sambil 
berlari mendekati. Ketika akhirnya berhasil bangkit berdiri, wajah 
pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Aiya Buana alias Dewa 
Arak itu tampak pucat. Benturan keras yang terjadi telah melukai 
bagian dalam tubuhnya 

Meskipun demikian ada seringai kegembiraan di mulut pemuda 
itu. Serangan maut yang ditujukan pada Bandawa berhasil 
digagalkan. Tubuh sosok berpakaian serba putih tergetar ke belakang 
dan agak terhuyung. 

"Aku ingat... Suaramu. Rupanya kau.... Ya. Kau, Jahanam 
Suhita...! Kubunuh kau. Ayah...! Sukaesih...! Lihatlah, jahanam ini 
akan kubunuh...!" 

Usai berkata demikian, Bandawa melompat menerjang sosok 
berpakaian serbah putih yang disebut sebagai Suhita. Jari-jari kedua 
tangannya meluncur cepat bagai kilat ke arah dahi Suhita. Namun, 
Suhita yang tahu bahaya maut itu tidak tinggal diam. Dia segera 
bergerak mengelak. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang 
tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit, pun tidak bisa dielakkan 
lagi. 

Tidak hanya Srini dan Kemboja, Dewa Arak pun takjub melihat 
jalannya pertarungan. Memang kelihatannya aneh karena kedua 
belah pihak menggunakan ilmu yang sama. Tapi tetap saja tidak 
menyembunyikan kedahsyatannya. Tanah terbongkar di sana-sini 
hingga menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke 
angkasa. 

Srini dan Kemboja memang heran melihat Bandawa dan sosok 
berpakaian serba putih menggunakan ilmu yang sama. Tapi tidak 
dengan Dewa Arak. Dia telah tahu semuanya setelah tercebur di 
sungai dan terbawa arus hingga jatuh ke sebuah air terjun. Di sana 
Arya bertemu dengan seorang kakek yang menceritakan tentang 
sosok berpakaian serba putih, begitu Arya memberitahukannya kalau 
dirinya terjatuh ke sungai karena ulah sosok itu yang memiliki ilmu 
satu jari yang sangat ampuh. 

Kakek yang telah lumpuh kedua kakinya akibat terjatuh dari atas 
tebing itu mengaku bernama Pandulaga. Sejak ratusan tahun yang 
lalu leluhur Pandulaga memiliki ilmu-ilmu tinggi. Tapi mereka tidak 
pernah terjun ke dunia persilatan. Tujuan mereka mempelajari ilmu- 
ilmu silat hanyalah untuk melindungi diri dan keluarga besar 
Pandulaga. Karena itu Pandulaga yang tidak suka menonjolkan diri, 
maka dia memilih mengusahakan sebuah perkebunan. 

Pandulaga memiliki seorang anak kandung yang bernama 
Bandawa dan seorang anak angkat bernama Suhita. Semula Suhita 
pandai membawa diri sehingga Pandulaga tidak segan-segan 
menurunkan ilmu kepadanya. T api, sungguh tidak disangkanya 
Suhita sampai hati meracuni dirinya dan Bandawa yang hanya 
karena ingin mendapatkan Sukaesih. Dalam keadaan setengah sadar 
tubuhnya dijatuhkan dari atas tebing. Sedangkan Bandawa sempat 
kabur. Entah karena racun yang kurang kuat atau karena masih 
muda, atau mungkin kehendak Allah, Bandawa tidak meninggal 


hanya pingsan. Sebelum pingsan Pandulaga sempat melihat keadaan 
Bandawa yang agak aneh. 

"Mungkin ada bagian sarafnya yang terpengaruh racun, sehingga 
yang diingat hanyalah nama Suhita," ucap Pandulaga pada Arya. 
Kemudian dimintanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk 
mencari Bandawa, dan kalau bisa membawanya pada Pandulaga 
untuk diobati karena Suhita masih terus mencarinya. Pandulaga 
tidak tahu kalau sebenarnya Suhita memiliki watak yang kurang 
baik. Terlebih setelah melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki 
Bandawa. Bandawa lebih tampan, lebih pandai darinya dan lebih 
disukai gadis-gadis. Karena tidak tahan menahan rasa iri yang 
bertumpuk-tumpuk, Bandawa pun akhirnya dijadikan 
pelampiasannya. 

Sekarang, pertarungan antara Suhita dan Bandawa tidak bisa 
dihindarkan lagi. Bandawa telah teringat kembali akan masa lalunya. 
Dan Arya memperhatikan tanpa berkedip seperti juga Srini dan 
Kemboja. 

"Hiyaaat...!" "Haaat...!" 

Di jurus kelima puluh Bandawa dan Suhita bersamaan 
mengeluarkan teriakan melengking tinggi yang membuat Srini dan 
Kemboja jatuh terduduk. Kedua pemuda yang berilmu tinggi itu 
saling terjang dengan jari-jari telunjuk menegang kaku. 

Tak, tak, takkk! 

"Akh.J" 

Beberapa kali terdengar benturan keras. Sesaat kemudian jeritan 
tertahan terdengar dan tubuh mereka terpental hal i k ke belakang. 
Bandawa mendarat dengan mantap di tanah. Sedang Suhita 
terhuyung-huyung, kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk 
selamanya. Pada dahinya tampak sebuah lubang yang tercipta dari 
tusukan tangan Bandawa. 

Srini, Kemboja, dan Dewa Arak menyambut kemenangan 
Bandawa dengan penuh gembira. Apalagi ketika mereka mengetahui 
Bandawa telah sembuh sepenuhnya. Rupanya, salah satu pembuluh 
darah yang berhubungan dengan safat ingatan masa lalu tersumbat 
dan menyempit akibat pengaruh racun. Akibatnya aliran darah yang 
menuju ke arah sana terhambat. Baru ketika mendapat guncangan 
aliran darah dapat mengalir lancar. Guncangan yang agak keras 
hanya terjadi bila bagian kepala atau kuduknya terpukul atau 
terbentur. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Baru ketika guncangan 
yang terjadi akibat pertempuran dengan Suhita, aliran darah itu 
mengalir dengan deras karena Bandawa sibuk menguras ingatannya. 

Meskipun demikian, setelah mendengar pesan ayahnya yang 
disampaikan Aiya, Bandawa memutuskan untuk pergi menemui 
ayahnya. Ia akan menerima pengobatan untuk mencegah hal-hal lain 
yang tidak diinginkan. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Pembunuh Gelap