Dewa Arak 51 - Raja Sihir Berhati Hitam

"Haaattt...!" 

"Hiyaaa...!" 

Teriakan-teriakan teras menggelegar memecah 
kesunyian pagi di lereng Gunung Randu Alas. Beberapa 
burung yang bertengger di sebuah cabang pohon di dekat 
tempat itu terkejut dan bergegas terbang menjauh. 

Memang hebat bukan main akibat yang ditimbulkan 
teriakan-teriakan itu. Sekitar tempat itu bergetar hebat. 
Pertanda pemilik suara teriakan itu memiliki tenaga dalam 
tinggi! 

Bunyi riuh-rendah itu ternyata berasal dari dua sosok 
tubuh tengah terlibat pertarungan. Ciri-ciri mereka tidak 
tampak jelas. Sebab, keduanya sama-sama bergerak cepat. 
Yang terlihat hanya bayangan coklat dan kuning, yang tidak 
jelas bentuknya. Namun yang pasti, kedua bayangan yang 
saling belit dan sesekali terpisah sesaat itu mewakili sosok 
yang tengah bertarung. 

Sungguh hebat pertarungan itu. Bunyi mendecit, 
mengaung, dan menderu, menyemaraki suasana 
pertempuran. Suara-suara itu terdengar setiap kali sosok 
bayangan coklat dan kuning melancarkan serangan. Tanah 
pun terbongkar di sana-sini. Dan debu mengepul tinggi ke 
udara. 

Sementara itu, tak jauh dari kancah pertarungan 
tampak dua sosok tubuh berdiri tegak dengan pandangan 
tertuju ke arah pertempuran. Keduanya telah berusia lanjut. 
Yang seorang adalah kate k berpakaian putih dan berkepala 
botak. Tangan kanannya menggenggam sebatang kipas. 
Sesekali kipas yang terlipat itu dikembangkan, kemudian 
digunakan untuk mengipasi wajahnya. 

Sosok yang satunya lagi bertubuh kecil kurus dan 
berpakaian biru. Jenggot panjang kekuningan menghias 
dagunya. Berkali-kali tangan keriput itu mengusap-usap 
jenggotnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Semua itu 
dilakukannya tanpa melepaskan pandangan dari kancah 
pertarungan. Terlihat jelas kalau kakek itu sedang dilanda 
rasa kagum. Itu terbukti beberapa saat kemudian. 

"Kau kini patut berbangga hati, Kidang Loka. Murid- 
muridmu ternyata tidak mengeoewakanmu. Tampaknya 
mereka telah mewarisi seluruh kepandaian mu," ujar kakek 
berpakaian biru. 

"He he he...!" 

Kakek berpakaian putih yang dipanggil Kidang Loka 
terkekeh. Kipasnya dikembangkan, dan dikebut-kebutkan ke 
wajah. "Kau terlalu memuji, Kerta. Apa artinya kepandaian 
yang dimiliki murid-muridku, bila dibandingkan dengan 
kemampuan murid-muridmu?!" 

"He he he...!" 

Kakek berjenggot kuning yang dipanggil Kerta dengan 
nama sebenarnya Ganda Kerta itu tertawa pelan, tapi penuh 
kekuatan. Tawa itu jelas mengandung tenaga dalam. 

"Kau tidak berubah, Kidang Loka. Masih tetap rendah 
hati seperti dulu. Benarlah kata pepatah, orang yang berilmu 
tak ubahnya padi... semakin berisi semakin merunduk." 

"He he he...! Kau bisa saja, Kerta," sambut Kidang 
Loka di tengah tawanya. 

Ganda Kerta tidak memberikan sambutan. Hanya 
tawa terkekch yang dikeluarkannya. Hingga di tengah-tengah 
riuh-rendahnya pertarungan, terdengar tawa-tawa lembut 
menyeruak. Tawa-tawa pelan yang penuh getaran kuat. 

Tawa itu baru terhenti ketika dari kancah per¬ 
tarungan terdengar teriakan-teriakan panjang. Itu teijadi 
ketika dua sosok bayangan yang tengah bertempur sama- 
sama melompat menerjang dengan kedua tangan 
dihentakkan! Akibatnya.... 

Blam! 

Bunyi keras seperti halilintar menyambar terdengar 
ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi 
berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh dua sosok bayangan 
itu terjengkang ke belakang. 

"Hup!" 

Berbeda halnya dengan sosok kuning yang mampu 
mendarat di tanah, sosok coklat terhuyung-huyung hampir 
jatuh. Untung, dia segera dapat memperbaiki kedudukan. 
Dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam sosok coklat 
berada di bawah lawan. Tapi, sosok coklat tidak menjadi 
gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan, secepat itu 
pula dia bersiap melancarkan serangan. Sosok kuning pun 
tidak tinggal diam. Tampak jelas kalau dia telah siap 
menghadapi serangan lawan. Tapi.... 

"Cukup!" 

Seketika itu pula, seluruh otot sosok kuning dan 
coklat yang telah menegang kaku mengendur kembali. 
Mereka tidak berani membangkang cegahan itu karena tahu 
siapa pemiliknya. Ya! Kidang Loka! 

Tanpa diberi perintah, sosok coklat dan kuning yang 
ternyata dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan itu 
menghampiri Kidang Loka. Lalu, keduanya memberi hormat. 

"Hhh...!" 

Setelah menatap wajah murid-muridnya berganti- 
ganti, Kidang Loka menghela napas berat. Sementara di 
sebelahnya, Ganda Kerta berdiri diam dengan tangan kanan 
mengelus-elus jenggot. 

"Sekali lagi perlu kutekankan. Kalian berdua adalah 
saudara seperguruan. Pertarungan yang kuperintahkan tadi 
agar kalian tahu kemajuan masing-masing dan tingkat yang 
dimiliki. Jadi bukan untuk saling bunuh! Ingat, kalian 
saudara seperguruan yang seharusnya saling membantu. 
Mengerti?" 

"Mengerti, Guru, jawab pemuda berpakaian kuning 
dan coklat serempak sambil menganggukkan kepala. 

"Bagus! Aku gembira kalau kalian menyadari hal itu," 
ucap Kidang Loka gembira. "Nah! Denta! Apa yang bisa kau 
simpulkan dari pertarungan tadi?" 

Braja Denta, pemuda berpakaian coklat, mengangkat 
kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sorot matanya 
penuh dengan pertanyaan. 

"Maafkan aku, Guru. Aku masih belum mengerti 
maksudmu.... Maksudku..., aku belum mengerti hal yang 
harus kusimpulkan." 

"Aku ingin mendengar kesimpulanmu, mengenai 
pertarunganmu dengan Salya," jelas Kidang Loka. 

"Oh itu, Guru," Braja Denta mulai mengerti. "Salya 
lebih unggul dariku. Terutama dalam hal tenaga dalam." 

"Bagus kalau kau menyadarinya, Denta. Kau tahu 
mengapa bisa demikian?" tanya Kidang Loka. 

"Tahu, Guru," jawab Braja Denta mantap. "Karena 
Salya lebih rajin berlatih dibandingkan aku." 

"Nah! Itulah sebabnya. Salya lebih rajin berlatih. Dan 
sebagai imbalannya, dia mampu mengunggulimu. Padahal 
dia terhitung adik seperguruanmu. Karena kau lebih dulu 
menjadi muridku, di samping usiamu yang sedikit lebih tua 
darinya. Sebagai kakak seperguruan, seharusnya kau 
memiliki kemampuan di atasnya. Kau mengerti 
kekuranganmu, Denta?!" 

"Mengerti, Guru," jawab Braja Denta sambil 
menundukkan kepala. 

Pemuda berpakaian coklat itu merasa malu mendapat 
teguran. Itu berarti Kidang Loka menuduhnya telah bersikap 
lalai! Apalagi teguran itu di ucapkan di depan Ganda Kerta. 
Meskipun Ganda Kerta bersikap tidak peduli, tapi Braja 
Denta tahu kalau kakek beijenggot kuning itu 
me n den garkan. 

Dan seiring dengan timbulnya rasa malu, menyeruak 
pula perasaan marah. Marah pada Salya yang telah 
menyebabkannya mendapat malu. Kalau Salya bersikap 
sedikit mengalah, tentu tidak akan terjadi hal memalukan 
seperti ini. Diam-diam rimbul rasa dendam di hati Braja 
Denta pada adik seperguruannya. 

Tidak ada seorang pun yang tahu perasaan yang 
berkecamuk dalam dada Braja Denta. Sebab, pemuda 
berpakaian coklat itu menundukkan kepala sehingga 
perubahan wajahnya tidak terlihat. 


•k-k-k 


Sementara itu, Kidang Loka telah mengalihkan 
perhatiannya pada Salya yang masih menundukkan kepala. 

"Salya...," sapa kakek berpakaian putih itu. "Aku 
bangga terhadapmu. Jerih payahmu tidak sia-sia. Kau telah 
mencapai tingkat yang lumayan. Bahkan, kau telah mampu 
mengalahkan kakak seperguruanmu. Aku sungguh bangga, 
Salya." 

"Ah! itu karena Kakang Braja Denta terlalu mengalah 
padaku, Guru. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa 
mendesaknya? Mengimbanginya saja aku tidak akan 
mampu," jawab Salya merendahkan diri. Tidak enak rasanya 
mendapat pujian gurunya sedangkan Braja Denta menerima 
teguran. 

Deggg! 

Bagian dalam dada Braja Denta terguncang keras 
mendengar ucapan Salya. Rasa marah yang tengah melanda 
membuatnya menganggap sikap rendah diri Salya sebagai 
sindiran! Salya, dirinya, guru, dan Ganda Kerta tahu kalau 
Salya memang lebih unggul. Lalu, mengapa pemuda 
berpakaian kuning itu mengatakan kalau dirinya mengalah 
padanya? Ini berarti Salya bermaksud mengejeknya! Hingga 
rasa dendam dan sakit hati yang timbul pun mulai 
membesar. Harus dibalasnya penghinaan ini! Demikian 
keputusan yang diambil Braja Denta. 

Dan kebencian Braja Denta terhadap adik 
seperguruannya itu semakin memuncak, ketika mendengar 
sambutan Kidang Loka atas ucapan Salya. 

"Tidak, Salya. Braja Denta tidak melakukan tindakan 
seperti yang kau katakan. Kau tidak perlu menutup- 
nutupinya. Kau dan Braja Denta telah mendapatkan apa 
yang kalian usahakan," jelas Kidang Loka. 

Salya langsung terdiam. Pemuda itu tidak berkata 
apa-apa lagi. Disadarinya kalau ucapan gurunya benar! 

"Salya! Denta! Dengar baik-baik!" kata Kidang Loka 
lagi. 

Kali ini ucapan itu ditujukan pada kedua muridnya. 
Mau tidak mau panggilan itu membuat Braja Denta 
mengangkat wajah. Untung pemuda berpakaian coklat itu 
telah berhasil menekan perasaannya. Sehingga tidak nampak 
ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya. 

"Perlu kalian ketahui..., waktu sepuluh tahun yang 
kujanjikan telah kupenuhi. Berarti telah tiba saatnya bagi 
kita untuk berpisah. Kalian harus meninggalkan tempat ini." 

Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk 
mengambil napas. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh kedua muridnya. 

"Guru...!" 

Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta berseru 
kaget. Mereka tidak menyangka akan secepat ini berpisah. 

Kidang Loka memberi isyarat pada kedua muridnya 
untuk tenang. Terpaksa, meskipun berat, kedua orang muda 
itu menahan diri untuk tidak berbicara lagi. 

"Keputusan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi," potong 
kakek berpakaian putih itu cepat sebelum Salya dan Braja 
Denta melanjutkan keberatannya. "Tapi sebelum kalian pergi, 
ada sesuatu yang ingin kuberikan." 

Salya dan Braja Denta saling pandang. Sementara 
Ganda Kerta hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya 
melanjutkan kegemarannya mengelus-elus jenggot Sikapnya 
menunjukkan kalau dia telah mengptahui keputusan yang 
akan diucapkan Kidang Loka. 

Kidang Loka tersenyum lebar melihat kedua muridnya 
berpandangan. 

"Sebelum sesuatu itu kuberikan pada kalian, perlu 
sedikit kujelaskan asal-usulnya. Yang harus kalian ketahui, 
sesuatu itu berupa benda yang kudapatkan dalam 
petualanganku mengarungi dunia persilatan." 

Kembali kakek berpakaian putih itu menghenti-kan 
ucapannya. Mungkin dia sengaja bertindak demikian agar 
murid-muridnya dapat mencerna cerita yang akan 
dikemukakan 

Dan memang, begitu Kidang Loka selesai 
berbicara,baik Salya maupun Braja Denta langsung bisa 
menebak benda yang dimaksudkan. Mereka memang telah 
mengetahui kalau kakek berpakaian putih itu memiliki dua 
buah pusaka. Yang satu berupa golok dan dinamakan Golok 
Api. Sedangkan yang lain berupa pedang, yaitu Pedang 
Embun. 

"Kira-kira lima belas tahun lalu, di dunia persilatan 
muncul seorang tokoh sesat yang amat sakti! Dia beijuluk 
Raja Sihir Berhati Hitam. Sesuai dengan julukannya, dia 
memang memiliki ilmu sihir yang luar biasa di samping ilmu 
silat. Tak terhitung lagi orang yang tewas di tangannya, 
terutama tokoh-tokoh aliran putih." 

Sampai di sini, Kidang Loka menghentikan ucapannya 
sejenak untuk mengambil napas. Ganda Kerta yang berdiri di 
sampingnya, mengangguk-anggukkan kepala membenarkan 
cerita kakek berpakaian putih itu. 

"Merasa tidak ada seorang pun yang dapat 
mengalahkannya, tokoh sesaat itu semakin menjadi-jadi 
dalam keangkaramurkaannya. Tiga tokoh aliran putih tidak 
tinggal diam. Mereka mencari Raja Sihir Berhati Hitam. 
Ketika bertemu, pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi." 

Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak. 
Ditelannya air liur untuk memulihkan suaranya yang 
menjadi serak. Tampak jelas kalau cerita itu penyebabnya. 
Hingga Salya dan Braja Denta menjadi heran. Tapi meskipun 
demikian, mereka tidak memotong cerita itu. Dengan sabar 
ditunggunya hingga kakek berpakaian putih itu melanjutkan 
ceritanya kembali. 

"Ternyata Raja Sihir Berhati Hitam memang amat 
tangguh. Tiga tokoh golongan putih itu menghadapi 
perlawanan yang amat sengit. Ratusan jurus mereka 
bertarung. Baru ketika pertarungan melewati tiga ratus 
jurus, datuk sesat itu dapat ditewaskan. Itu pun harus 
ditebus dengan mahal. Dua dari tiga tokoh golongan putih itu 
tewas." 

"Hah..?!" 

Hampir berbarengan seruan kaget itu keluar dari 
mulut Salya dan Braja Denta. Kini mereka mengerti, mengapa 
Kidang Loka tampak begitu terpengaruh dengan ceritanya. 
Kedua pemuda itu menduga kalau guru mereka termasuk 
salah satu di antara tiga tokoh golongan putih itu. Tapi 
sebagai pendengar yang baik Salya maupun Braja Denta 
tidak langsung mengajukan dugaan itu. Mereka berdiam diri 
menunggu kelanjutan cerita Kidang Loka. 

"Sebelum tewas dua tokoh golongan putih itu sempat 
meninggalkan amanat pada rekannya yang masih hidup. 
Dengan sangat kedua tokoh itu meminta agar rekan mereka 
bersedia memelihara dan mendidik anak mereka. Tokoh yang 
masih hidup itu bersedia memenuhi permintaan itu. 
Keturunan dua rekannya yang saat itu masih berusia empat 
tahun dipelihara dan dididiknya." 

Seketika itu pula Salya dan Braja Denta saling 
bertukar pandang. Sebuah dugaan kembali muncul di benak 
mereka. Dugaan tentang siapa sebenarnya keturunan tokoh- 
tokoh golongan putih yang meninggal itu. 

"Bagaimana? Apakah sudah ada kesimpulan yang 
dapat kalian tarik dari ceritaku itu?" tanya Kidang Loka 
seraya menatap wajah muridnya satu persatu. 

Untuk kedua kalinya Salya dan Braja Denta bertukar 
pandang sebelum menjawab pertanyaan itu. 

"Hanya ada dua kesimpulan yang kudapatkan, Guru," 
jawab Salya. 

"Hm...," Kidang Loka menggumam sambil 
mengangguk-anggukkan kepala. "Kau bagaimana, Braja 
Denta?" 

"Aku juga hanya dapat menarik dua kesimpulan, 
Guru," sahut pemuda berpakaian coklat itu. 

"Katakanlah, Braja Denta. Aku ingin tahu kesimpulan 
yang kau dapatkan dari ceritaku tadi." 

Braja Denta tercenung sejenak. Agaknya, pemuda itu 
tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan 
ke simpulan nya. 

"Pertama, tiga tokoh golongan putih yang Guru 
maksudkan adalah Guru sendiri bersama dua orang kawan, 
Guru." 

'Hm,. Lalu...?!" desak Kidang Loka setelah 
mengernyitkan kening sesaat. 

"Kedua, dua orang anak dari kawan-kawan Guru itu 
adalah aku dan Salya," sambung Braja Denta. 

Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala. 
Kemudian perhatiannya dialihkannya pada Salya. 

"Bagaimana denganmu, Salya?" 

"Kesimpulan yang kudapat sama dengan kesimpulan, 
Kang Braja Denta, Guru," jawab pemuda berpakaian kuning 
itu pelan. 

Kembali Kidang Loka mengangguk-angguk. Entah 
sudah berapa kali kate k berpakaian putih itu berlaku seperti 
itu. Sepertinya, mengangguk-angguk merupakan 
kebiasaannya. 

"Kesimpulan yang kalian dapatkan memang tidak 
salah," ujar Kidang Loka. 

"Kalau begitu..., boleh kami tahu nama atau julukan 
ayah kami, Guru?! Kalau bisa juga dengan kuburannya. 
Kami..., ingin berziarah ke makam mereka," pinta Braja 
Denta. 

"Tentu saja, Denta. Tanpa kau minta pun aku akan 
menceritakan segalanya tentang, ayah kalian. Itu sudah 
merupakan hak kalian berdua," ujar Kidang Loka pelan. 

"Maafkan aku, Guru. Aku telah bersikap terlalu 
lancang terhadapmu." 

"Lupakan, Denta. Aku bisa memakluminya," sahut 
Kidang Loka bijaksana. "Sekarang kalian dengar baik-baik. 
Kedua kawanku itu. Ayah-ayah kalian adalah tokoh sakti dan 
terkenal di dunia persilatan. Tentu sudah pasti mereka 
memiliki julukan. Yang pertama berjuluk Raja Pedang. 
Sedangkan yang satu lagi berjuluk Dewa Tangan Sakti. Orang 
yang kusebutkan pertama kali adalah ayahmu, Denta." 

"Jadi... ayahku berjuluk Dewa Tangan Sakti, Guru?!" 
tanya Salya meminta kepastian. 

"Benar, Salya," Kidang Loka menganggukkan kepala. 
"Mereka dikuburkan di tempat yang terpisah. Ini atas 
permintaan mereka sendiri. Masing-m-sing ingin dikuburkan 
di sebelah makam istri mereka, yaitu ibu-ibu kalian." 

Salya dan Braja Denta kembali saling pandang. 
Sungguh tidak disangka mereka sama-sama yatim 
piatu. 

"Makam orangtuamu di Desa Alas Ngampar, Denta. 
Sedangkan makam orangtua Salya di Desa Randu. Tanyalah 
pada penduduk di sana. Mereka pasti tahu," jelas Kidang 
Loka. 

"Akan kami lakukan, Guru," jawab Salya dan Braja 
Denta bersamaan. 

Kidang Loka mengangguk-angguk. Kemudian, kakek 
itu berdiam diri. Demikian pula Salya dan Braja Denta. 
Kedua pemuda itu larut dalam alun pikiran masing-masing. 
Suasana di tempat itu pun menjadi hening. 

Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama. 

"Ah. Rupanya ada hal yang terlewatkan, yaitu 
mengenai sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian. Benda 
itu berupa senjata pusaka, yang terdiri dari pedang dan 
golok! Yang pertama bernama Ftedang Embun. Sedangkan 
yang lain Golok Api. Inilah kedua pusaka itu!" 

Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta 
memandang. Mereka pun melihatnya. Entah dari mana 
mengambilnya, tahu-tahu di kedua tangan kakek berpakaian 
putih itu tergenggam sebatang golok dan pedang. 

"Pusaka ini akan kuwariskan pada kalian berdua. 
Masing-masing senjata pusaka ini mempunyai keistimewaan 
sendiri-sendiri. Aku harap kalian puas dengan kcputusan 
yang akan kuambil nanti. Jelas?!" 

"Jelas, Guru," jawab Salya dan Braja Denta sambil 
menganggukkan kepala. 

"Bagus! Nah, sekarang akan kuberikan pusaka- 
pusaka ini pada kalian. Tapi, sebelum itu akan kuceritakan 
sedikit mengenai keistimewaan masing-masing senjata. Apa 
kalian mau mendengarkannya?!" 

"Mau, Guru," jawab Salya dan Braja Denta serempak. 

"Kalau begitu, dengarkan baik-baik." 

Tanpa diminta dua kali, Salya dan Braja Denta 
langsung memusatkan perhatian pada cerita yang akan 
dlkemukakan Kidang Loka. 




"Golok ini memiliki banyak keistimewaan," ucap 
Kidang Loka memulai ceritanya, sambil mengangkat ke atas 
tangan kirinya yang menggenggam senjata itu. "Senjata ini 
sangat berbahaya bila berada di tangan seorang tokoh sesat. 
Sebab, golok ini memiliki kemampuan dahsyat. Di samping 
memang dirancang untuk menimbulkan keonaran." 

Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak untuk 
mengambil napas. 

"Golok ini dinamakan Golok Api karena memang 
mampu mengeluarkan api. Tentu saja bila orang yang 
menggunakannya memiliki tenaga dalam yang mengandung 
hawa panas, dan cukup tinggi tingkatannya. Sebagai senjata 
pusaka, tentu Golok Api terbuat dari bahan-bahan yang amat 
kuat. Jarang ada senjata yang tidak putus bila berbenturan 
dengannya. Yang lebih mengerikan, Golok Api ini seperti 
mampu mengisap darah. Maksudku, bila golok ini 
ditusukkan pada tubuh seseorang dan didiamkan beberapa 
saat lamanya, maka orang itu akan mati kehabisan darah!" 

"Ck ck ck...!" 

Tanpa sadar, Salya dan Braja Denta berdecak kagum 
mendengar penuturan Kidang Loka tentang kedahsyatan 
Golok Api. Tentu saja Kidang Loka mengptahui, tapi kakek itu 
mengacuhkannya. Lalu tangan kirinya diturunkan. Kini 
tangan kanannya yang diangkat, untuk mengunjukkan 
Pedang Embun. 

"Pedang Embun ini kalau dibandingkan dengan Golok 
Api seperti tidak mempunyai kegunaan sama sekali. Karena 
senjata ini memang bukan dirancang untuk penjnrangan." 

Sampai di sini kate k berpakaian putih itu 
menghentikan keterangannya. Dan seperti yang sudah 
diduganya, baik Salya maupun Braja Denta kelihatan tidak 
begitu tertarik mendengarnya. Tapi Kidang Loka bersikap 
seolah-olah tidak mengetahuinya. Dengan nada suara sama 
keterangannya segera dilanjutkan. 

"Walaupun demikian, pedang ini tetap merupakan 
senjata ampuh! Hanya saja Ftedang Embun tidak memiliki 
kemampuan mengerikan seperti yang dimiliki Golok Api. Tapi 
meskipun demikian, bila berhadapan dengan Pedang Embun, 
Golok Api akan kehilangan kemampuannya. Nah! Itulah ke¬ 
ampuhan kedua pusaka itu. Ada pertanyaan?!" tutur Kidang 
Loka menutup uraiannya. 

Salya dan Braja Denta hampir bersamaan 
menggelengkan kepala. 

"Kalau demikian sudah tiba saatnya bagiku untuk 
memberikan pusaka ini pada kalian. Tapi, ada satu hal yang 
perlu kalian camkan! Aku tidak ingin ada yang merasa tidak 
puas bila pusaka-pusaka ini kubagikan! Untuk menentukan 
siapa yang berhak memiliki pusaka-pusaka ini aku tidak 
bertindak sembrono. Semuanya telah kuperhitungkan 
masak-masak. Dan aku yakin keputusan yang kuambil tidak 
salah! Kalian mengerti?!" 

"Mengerti, Guru," jawab Salya dan Braja Denta 
dengan suara bergetar karena perasaan tegang. 

"Bagus! Aku gembira kalian menyadari hal itu: 
Sekarang, bersiaplah untuk menerima pusaka-pusaka ini." 

Lagi-lagi Kidang Loka menghentikan ucapannya. 
Ditatapnya wajah kedua muridnya berganti-ganti. 

"Denta...!" panggil Kidang Loka dengan suara dan 
sikap penuh wibawa. "Kemari...!" 

"Baik, Guru," jawab Braja Denta seraya menghampiri 
Kidang Loka. 

Pemuda berpakaian coklat itu merasakan jantungnya 
berdetak kencang. Agaknya, Braja Denta dilanda perasaan 
tegang. Braja Denta menginginkan Golok Api jatuh ke 
tangannya. 

Kidang Loka tersenyum lebar. Kemudian, 
diangsurkannya Pedang Embun pada pemuda berpakaian 
coklat itu. 

"Kupercayakan Pedang Embun ini padamu, Denta. 
Aku berharap kau menggunakannya untuk menegakkan 
keadilan di dunia persilatan." 

Deggg! 

Untuk kedua kalinya Braja Denta merasakan pukulan 
keras di dalam dadanya. Rasa kecewa yang sangat mendera 
hati pemuda itu. Tapi, dengan pandainya pemuda berpakaian 
coklat itu menyembunyikan perasaannya. Bahkan, dia 
menunjukkan seri gembira di wajahnya ketika 
mengangsurkan tangan untuk menerima pemberian itu. 

"Terima kasih, Guru!" 

Kidang Loka menganggukkan kepala seraya 
tersenyum. 

"Salya...!" 

Tanpa menunggu diperintah dua kali, pemuda 
berpakaian kuning itu melangkah maju. 

"Kupercayakan Golok Api ini padamu. Ftesanku, 
jangan sembarangan mempergunakan senjata ini, Tapi, 
pergunakan hanya pada saat-saat kau memerlukannya. Kau 
mengerti?" 

"Mengerti, Guru. Kuucapkan terima kasih atas 
kepercayaan yang telah Guru limpahkan padaku," jawab 
Salya. Disambutnya uluran tangan Kidang Loka yang 
mengangsurkan Golok Api. 

Kembali Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala. 

"Nah! Sekarang kalian boleh melanjutkan latihan. Aku 
dan Ganda Kerta mempunyai urusan lain yang perlu 
dibicarakan. Kami pergi dulu." 

"Baik, Guru," jawab Salya dan Braja Denta 
berbarengan seraya membungkuk memberi hormat 

Tapi Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak sempat 
melihatnya. Kedua kakek itu telah membalikkan tubuh dan 
melangkah meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, 
tubuh mereka lenyap di balik gundukan batu besar. Kini 
tinggal Salya dan Braja Denta di tempat itu. 


*******kkk 


"Pembagian ini tidak adil!" desis Braja Denta tidak 
puas. Sepasang matanya menatap Salya penuh perasaan iri. 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" ucap Salya 
bingung. 

"Tidak mengerti?!" sinis pertanyaan Braja Denta. "Kau 
jangan berpura-pura dungu, Salya! Aku yakin kau tahu 
ketidakadilan tindakan guru!" 

"Guru bertindak tidak adil?! Ah! Mengapa kau sampai 
hati dan melancarkan tuduhan seperti itu, Kang?!" sergah 
Salya tidak senang mendengar ucapan Braja Denta. "Aku 
yakin guru telah bertindak seadil-adilnya!" 

"Tentu saja kau beranggapan demikian. Sebab kau 
selalu dibela guru!" tandas Braja Denta dengan suara 
semakin meninggi karena terbakar emosi. 

"Jaga mulutmu, Kang!" sentak Salya juga dengan 
nada tinggi. "Tidak sepantasnya kau melancarkan fitnah 
seperti itu!" 

"Aku tidak memfitnah! Semua yang kukatakan ini 
kenyataan. Ada buktinya!" 

"Pembagian pusaka ini maksudmu?!" 

"Ini baru salah satu bukti!" ujar Braja Denta keras. 
Masih banyak hal lainnya yang menjadi bukti ketidakadilan, 
guru!" 

"Bisa kau membuktikannya?!" tantang Salya. 

"Mengapa tidak?!" timpal Braja Denta dengan cepat. 
"Kau ingat ucapan guru kan ketika kita selesai bertarung 
tadi, hehhh?! Di depan Ganda Kerta dia memuji-mujimu 
setinggi langit. Tapi terhadap-ku?! Aku malah dibodoh- 
bodohi! Apa itu bukan bukti nyata kalau guru bertindak tidak 
adil?" 

"Kau salah duga, Kang! Guru tidak bermaksud 
demikian. Aku yakin betul mengenai hal itu. Apa yang 
dikatakannya memang tidak salah! Aku malah berani 
mengatakan kalau dia amat menyayangimu. Terbukti, beliau 
memberi nasihat padamu. Dan...." 

"Omong kosong!" potong Braja Denta keras. "Kalau 
guru hendak memberi nasihat, tidak sepatutnya dilakukan di 
depan Ganda Kerta. Lagi pula, ucapan yang dikeluarkannya 
tidak patut dikatakan nasihat! Aku yakin guru memang 
sengaja merendahkanku di depan Ganda Kerta. Aku tahu apa 
maksudnya!" 

"Kakang! Hentikan fitnahan keji itu! Tak pantas 
tuduhan-tuduhan itu kau alamatkan pada guru! Ingat! Dia 
yang mendidik dan membimbing kita.... Dan...!" 

"Cukup, Salya! Aku tidak mau mendengar ucapan 
seperti itu lagi! Aku hanya ingin mengatakan ketidakadilan 
tindakan guru! Aku pun tahu, mengppa dia memuji-mujimu 
dan menjatuhkanku di depan Ganda Kerta! Aku tahu itu 
memang disengaja! Dan, aku yakin kau juga mengptahuinya!" 

"Kau boleh mengutarakan fitnah sesukamu, Kang. 
Tapi, aku tidak mau mendengarnya!" 

Setelah berkata begitu, Salya membalikkan tubuh dan 
meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar. 
Pemuda berpakaian kuning itu sadar kalau Braja Denta saat 
itu tidak mungkin bisa disadarkan, karena amarah yang 
masih marajelela dalam jiwanya. Maka, pemuda itu pun 
memutuskan untuk meninggalkannya. 

Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah.... 

"Salya! Berhenti!" 

Salya tahu kalau kakak seperguruannya yang 
menyuruhnya berhenti. Tapi Salya menulikan telinga. Dan 
terus saja melangkahkan kaki. 

"Keparat!" maki Braja Denta geram, melihat 
panggilannya tidak dihiraukan. Lalu, kakinya dijejakkan. 
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan 
berputaran beberapa kali melewati kepala Salya. Dan.... 

Jliggg- 

Ringan laksana jatuhnya sehelai daun kering, Braja 
Denta mendarat di tanah dalam jarak dua tombak di depan 
Salya. 

"Apa maumu sebenarnya, Kang?!" tanya Salya seraya 
menghentikan langkah. Nada suaranya menunjukkan kalau 
pemuda berpakaian kuning itu mulai kehilangan kesabaran. 

"Tidak banyak! Aku hanya ingin mengungkapkan 
ketidakadilan guru terhadap kita berdua. Titik!" tandas Braja 
Denta. 

"Kalau aku tidak mau mendengarnya?!" tanya Salya, 
ingin tahu kelanjutan tindakan Braja Denta. 

"Berarti dugaanku benar! Kau telah mengetahui 
ketidakadilan guru, dan mencoba menutupinya dariku!" 

Terdengar bunyi gemeretak dari mulut Salya 
mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu. 

"Sejak tadi pun aku sudah mendengarnya!" teras dan 
bergetar suara Salya. Pertanda pemuda berpakaian kuning 
itu tengah dilanda amarah yang menggelegak. 

"Tapi kau belum mendengar alasanku menguraikan 
ketidakadilan guru. Atau... kau sengaja menginginkan 
persoalan ini mengambang?!" 

"Terserah!" 

Usai berkata demikian, Salya melesat meninggalkan 
tempat itu. Rupanya, pemuda berpakaian kuning itu sudah 
tidak ingin mendengarkan ucapan Braja Denta. 

"Keparat!" 

Braja Denta hanya bisa memaki! Disadarinya kalau 
tidak ada gunanya melakukan pengajaran. Salya akan terus 
menghindar. Akhirnya, Braja Denta melesat 1$ arah yang 
ditempuh gurunya. 

*****kkk 


Braja Denta tidak membutuhkan waktu lama untuk 
menemukan Kidang Loka dan Ganda Kerta berada. Pemuda 
itu tahu betul tempat yang disukai gurunya untuk bercakap- 
cakap, di dekat air terjun. Maka, ke sanalah dia menuju. 

Braja Denta tahu gurunya akan duduk di baru besar 
yang menonjol di pinggir sungai, tak jauh dari jatuhnya air 
terjun. Dan Braja Denta pun tahu ada oelah di bawah baru 
besar itu. Yang lebih penting lagi, dia tahu jalan menuju 
tempat itu tanpa diketahui gurunya. Rupanya, Braja Denta 
bermaksud mencuri dengar pembicaraan Kidang Loka dan 
Ganda Kerta. Sebab, dia mempunyai dugaan hal yang akan 
dibicarakan gurunya. 

Braja Denta mengerahkan seluruh ilmu meringankan 
tubuhnya. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Bentuk 
tubuh pemuda berpakaian coklat itu lenyap. Yang terlihat 
hanya kelebatan bayangan coklat yang melesat seperti 
melayang. 

Tak lama kemudian, Braja Denta telah melihat Kidang 
Loka dan Ganda Kerta tengah duduk bersisian sambil 
menatap air terjun. Dengan mengendap-endap dan 
mengambil jalan memutar, Braja Denta mendekati tempat 
mereka. 

Rupanya nasib baik berpihak pada Braja Denta. 
Pemuda itu berhasil tiba di tempat yang diinginkan tanpa 
diketahui Kidang Loka dan Ganda Kerta. Meskipun demikian, 
pemuda berpakaian coklat itu tetap bertindak hati-hati. Braja 
Denta tahu betapa tinggi kepandaian gurunya. Bahkan 
Ganda Kerta pun bukan tokoh sembarangan. 

Lagi-lagi keberuntungan menyertai Braja Denta. Di 
saat dia memasang pendengarannya, terdengar Kidang Loka 
membicarakan hal yang diduganya. 

"Sekarang, ada baiknya kita masuk ke pokok 
pembicaraan. Bagaimana kabarnya Wardani? Apakah dia 
sudah menentukan pilihannya? Maksudku, siapa di antara 
muridku yang akan dipilihnya, Salya atau Braja Denta?!" 

"He he he...!" Ganda Kerta terkekeh sambil mengelus- 
elus jenggot. "Wardani menyerahkan seluruh keputusannya 
padaku. Terserah, katanya. Dijodohkan dengan Salya atau 
Braja Denta dia bersedia. Sebab, mereka sama-sama gagah. 
Wardani merasa sulit untuk menentukan pilihan." 

"Ooo..., begitu?! Lalu... keputusanmu sendiri 
bagaimana, Kerta?!" tanya Kidang Loka setelah mengangguk- 
anggukkan kepala sebentar. 

"Kuserahkan keputusanku padamu, Kidang Loka. Aku 
yakin kau lebih mengetahui mana di antara mereka yang 
lebih cocok untuk putriku," jawab Ganda Kerta terlihat 
pasrah. 

"Hehhh...?! Mengapa demikian, Kerta?! Apa tidak ingin 
mempunyai calon menantu pilihanmu sendiri?!" 

"Kuserahkan pilihanku itu padamu, Kidang Loka. 
Siapa pun di antara mereka yang kau pilih, aku setuju. Aku 
yakin pilihanmu tidak keliru!" 

"Hm..J" 

Kidang Loka menggumam pelan sambil mengpngguk- 
anggukkan kepala. Kakek itu tidak segera memberikan 
jawaban. Kelihatan jelas kalau dia tengah 
mempertimbangkannya. Sementara Kidang Loka dan Ganda 
Kerta tidak menduga bahwa tepat di bawah mereka, Braja 
Denta tengah menanti jawaban gurunya dengan perasaan 
tegang. 

Memang beralasan kalau Braja Denta merasa tegang. 
Sebab dirinya seperti juga Salya, menyenangi Wardani, putri 
Ganda Kerta! Telah beberapa kali Wardani dibawa ke tempat 
ini oleh kakek beijenggot kuning itu. 

"Hhh...!" Kidang Loka menghembuskan napas 
sebelum menentukan pilihan. "Kalau begitu, Wardani 
kujodohkan dengan Salya. Dia lebih baik dibandingkan Braja 
Denta." 

"Kalau itu pilihanmu, aku setuju saja. Jika demikian, 
besok aku akan pulang untuk mempersiapkan segala 
sesuatunya," ucap Ganda Kerta setelah tercenung sesaat. 

"Aku pun akan memberitahukan hal ini pada Salya. 
Agar dia mempersiapkan semua yang diperlukan," timpal 
Kidang Loka. 

"Kalau begitu, kita cukupkan pembicaraan ini. 
Bukankah begitu Kidang Loka?!" 

Lalu, Ganda Kerta bangkit. Diikuti kemudian oleh 
Kidang Loka. Dengan langkah perlahan, meieka 
meninggalkan tempat itu. Kedua kakek itu tidak mengetahui 
kalau tepat di bawah mereka dan hanya terhalang sebuah 
batu, Braja Denta tertegun. Kedua tangan pemuda 
berpakaian coklat itu mengepal keras penuh kekuatan. Braja 
Denta tengah menahan luapan perasaan. 

Dan memang demikian yang terjadi. Saat itu batin 
Braja Denta tengah dilanda berbagai macam perasaan. 
Kecewa, marah, terpukul, dan sedih bercampur jadi satu. 
Semua itu menyebabkannya tertegun bingung. Tak tahu 
harus berbuat apa! 

Cukup lama juga Braja Denta berlaku seperti itu. 
Rupanya batin pemuda berpakaian coklat itu terguncang 
hebat. Kekecewaan demi kekecewaan yang bertubi-tubi 
melanda, membuatnya tidak kuat bertahan. Mendadak.... 

"Oooh...!" 

Sebuah keluh keputusasaan keluar dari mulut Braja 
Denta. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Fteriahan-lahan 
tubuh pemuda itu melorot turun. Hingga akhirnya.... 

Brukkk! 

Braja Denta berdiri di atas pasir basah dengan kedua 
lututnya. Punggungnya memang tegak, tapi kepalanya 
tertunduk dan ditutupi dengan kedua tangan. Terlihat jelas 
kalau Braja Denta tengah terpukul. Beberapa saat lamanya 
dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya secara mendadak 
sekujur tubuhnya mengejang. Kedua tangannya terkepal erat 
penuh kekuatan! 

"Ketidakadilan ini tidak bisa kubiarkan! Akan kuambil 
semua yang menjadi hakku. Golok Api dan Wardani! Kalau 
perlu secara paksa! Ya, dengan kekerasan! Jika kau 
menghalangiku pula, guru, aku tidak segan-segan 
membunuhmu! Haaattt...!" 

Braja Denta mengakhiri tekadnya dengan teriakan 
keras. Karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam, 
keadaan di sekitar tempat itu pun tergetar hebat 

Braja Denta tidak berhenti sampai di situ. Sambil 
mengeluarkan teriakan menggeledek, kedua tangannya 
didorongkan ke arah batu karang yang ada di dekatnya. 

Wusss! 

Deru angin teras terdengar seiring dengan dorongan 
kedua tangan Braja Denta. Dan... 

Blarrr! 

Batu sebesar kerbau yang dijadikan sasaran pukulan 
jarak jauh Braja Denta hancur berkeping-keping. Bunyi 
hiruk-pikuk mengiringi berpentalannya pecahan batu-batu 
itu! 

"Ha ha ha...!" 

Bagai orang gila, Braja Denta tertawa tergelak. 
Tampak gembira sekali. Kemudian masih dengan tawa yang 
belum putus, kedua tangannya kembali dihentakkan. Kali ini 
ditujukan pada air terjun! 

Wusss! Pyarrr! 

Kumpulan air yang tengah meluncur jatuh langsung 
buyar! Bahkan luncuran air itu terhenti sesaat. Sungguh 
sangat kuat tenaga dalam Braja Denta. 

Tapi itu belum membuat Braja Denta puas. Bagai 
orang tidak waras, dia menyerang semua yang ada di situ. 
Tidak hanya dengan pukulan jarak jauh. Tapi juga dengan 
hantaman tangan dan kakinya. 

Akibatnya sungguh hebat! Semua benda yang 
berbenturan dengan kaki atau tangannya hancur 
berantakan. Tapi Braja Denta tidak mempedulikannya. Terus 
dicarinya sasaran lainnya. Braja Denta terus mengamuk. 
Bahkan ketika akhirnya dia bosan menggunakan tangan 
kosong, dicabutnya senjata yang baru diterima dari gurunya, 
Pedang Embun! 

Srattt! 

Sinar terang menyilaukan mata berpendaran ketika 
pedang itu keluar dari sarungnya. Sejenak suasana di tempat 
itu sedikit terang. 

Tapi Braja Denta tidak sempat memperharikan 
keanehan itu. Begitu pedang itu terhunus, langsung saja 
dipergunakan untuk mengamuk! Dan akibatnya memang 
dahsyat! Semua benda yang dihantam Ftedang Embun 
langsung putus! 

Rupanya, Braja Denta bosan juga berlaku seperti itu. 
Sesaat kemudian, Pedang Embun kembali dimasukkan ke 
sarungnya. Kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan 
tempat itu sambil tertawa-tawa. Untung, saat itu Kidang Loka 
dan Ganda Kerta telah berada amat jauh dari tempat itu 
sehingga tidak mendengar keributan yang ditimbulkan Braja 
Denta. 

Wusss! 

Deru angin keras terdengar, seiring dengan dorongan 
dari kedua telapak tangan Braja 
Denta. Dan.... 

Blarrr! 

Batu sebesar ukuran terbau hancur berkeping- 
keping, akibat amukan Braja Denta yang tidak 
mempedulikan keadaan sekitarnya. Pemuda itu benar-benar 
seperti orang gila! 




Kekecewaan demi kekecewaan yang datang bertubi- 
tubi membuat Braja Denta terpukul. Begitu puas termenung 
dan tertawa-tawa, pemuda itu terdiam. Tarikan wajah dan 
sorot matanya berubah dingin. Tak nampak ada gambaran 
perasaan apa pun pada wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, 
Braja Denta meninggalkan tempat gurunya. Yang ada di 
benaknya hanya satu, mengunjungi makam orangtuanya! 

Braja Denta melakukan perjalanan dengan cepat. 
Dengan ilmu meringankan tubuhnya, bukan hal yang sulit 
baginya. Di sepanjang perjalanan pemuda itu bertanya pada 
orang-orang yang ditemuinya, arah mana yang harus 
ditempuh untuk menuju Desa Alas Ngampar. Braja Denta 
memang tidak mengetahui letak desa itu. 

Beberapa hari kemudian, pemuda itu sudah 
memasuki Desa Alas Ngampar. Tanpa membuang waktu lagi, 
Braja Denta segera mencari tempat pemakaman di desa itu. 
Setelah sebelumnya bertanya pada salah seorang penduduk 
desa. Maka, tanpa mengalami kesulitan Braja Denta berhasil 
me ne mukan nya. 

Tempat pemakaman itu terletak di pinggir desa. 
Bahkan hampir berada di daerah perbatasan dengan desa 
lain. Braja Denta menghentikan langkahnya di luar wilayah 
pemakaman. 

"Hhh...!" 

Pemuda berpakaian coklat itu menghembuskan napas 
berat. Ditatapnya hamparan gundukan tanah di depannya. 
Dengan sepasang matanya, dicarinya letak makam ibu dan 
ayahnya di antara sekian banyak makam yang bertebaran. 
Dari salah seorang penduduk diketahui kalau makam 
orangtuanya terletak di dekat pohon kamboja. 

Tanda-tanda itu amat membantu Braja Denta. Tak 
heran bila dalam sekejap pemuda berpakaian coklat itu dapat 
menemukan tempat orangtuanya dimakamkan. Sebab, pohon 
kamboja di tempat itu hanya ada satu. Lalu, Braja Denta 
mengayunkan kaki memasuki wilayah pemakaman itu. 

Tapi baru selangkah kakinya diayunkan, tiba-tiba 
pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mendengar suara 
orang bercakap-cakap. Dan ketika kepalanya ditolehkan, 
tampak dua sosok tubuh tengah berjalan ke arahnya. 

Kalau saja keadaan kedua sosok itu tidak terlalu 
menyolok, mungkin Braja Denta tidak akan mempedulikan. 
Tapi, ciri-ciri kedua sosok itu terlalu menyolok. Hingga Braja 
Denta jadi mengurungkan maksudnya semula. 
Pandangannya ditujukan ke arah dua sosok tubuh yang 
semakin dekat dengannya. 

Tidak aneh bila Braja Denta sampai meluangkan 
waktu untuk melihat kedua orang itu. Betapa tidak? Yang 
satu seorang gadis berpakaian putih dengan wajah cantik 
jelita laksana bidadari. Rambutnya yang panjang dan hitam 
dibiarkan terurai, hingga menambah kecantikannya. Sudah 
dapat dipastikan tak akan ada seorang lelaki pun yang 
membiarkan pemandangan indah ini lewat begitu saja! 

Sosok kedua mempunyai ciri-ciri yang tidak kalah 
menyoloknya. Sosok itu seorang pemuda tampan dan jantan. 
Tubuhnya yang kekar dibungkus pakaian warna ungu. Dari 
keadaan tubuhnya diperkirakan usianya tak lebih dari dua 
puluh satu tahun. Tapi anehnya, rambut yang panjang 
hingga sebagian menutupi guci perak yang tergantung di 
punggung tidak berwarna hitam seperti layaknya rambut 
orang muda. Rambut itu putih keperakan! Memang kelihatan 
indah tapi aneh! 

Sepasang muda-mudi berwajah elok itu agaknya tahu 
ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Sebab, Braja 
Denta melakukannya dengan sangat menyolok. Tapi 
keduanya mampu menahan diri dan bersikap tidak peduli. 
Kedua kaki mereka terus saja melangkah. Tak lama 
kemudian, sepasang muda-mudi itu melewati tempat Braja 
Denta. Dan meninggalkannya, semakin lama semakin jauh. 

Saat itu, barulah Braja Denta melanjutkan mak¬ 
sudnya yang tadi tertunda. Langkahnya diayunkan 
memasuki wilayah pemakaman. Braja Denta tidak tahu kalau 
sepasang muda-mudi itu sempat melihat tindakannya 
sebelumnya membelok ke ujung jalan. 

"Apa kau lihat orang yang berada di depan pe¬ 
makaman tadi, Kang?" tanya gadis cantik itu pada pemuda 
tampan yang beijalan di sebelahnya. 

"Ya. Lalu kenapa, Melati?" pemuda itu balas bertanya. 

"Tidak apa-apa, Kang. Hanya..., eh! Apa kau tidak 
tahu dia memperhatikan kita?" tanya gadis cantik itu yang 
ternyata bernama Melati. 

Dengan demikian, sudah dapat diterka siapa pemuda 
tampan itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan Aiya yang beijuluk 
Dewa Arak! 

"Tentu saja tahu, Melati. Tapi apa salahnya? Dia tidak 
berbuat sesuatu yang merugikan kita. Lain masalahnya jika 
dia melakukan tindakan yang tidak kita inginkan!" urai Aiya. 

Melati terdiam. Disadarinya ada kebenaran yang tidak 
bisa dibantah dalam ucapan pemuda itu. Meieka 
meneruskan perjalanan tanpa berbincang-bancang lagi. 
Hingga keheningan pun menyelimuti keduanya. 

*******k-k-k 

Sementara itu Braja Denta telah berhasii menemukan 
makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan sebagian besar 
makam yang ada di situ, makam ayah dan ibunya terawat 
baik. Bahkan nisannya masih ada. Demikian pula dengan 
namanya. 

Semua itu dilakukan oleh penduduk Desa Alas 
Ngampar. Secara bergilir mereka merawat makam-makam 
itu. Sebab, mereka merasa berhutang budi pada Raja Pedang. 
Berkat Raja Pedanglah Desa Alas Ngampar aman. Tidak ada 
seorang pun yang berani mengganggu desa itu sejak Raja 
Pedang tinggal di situ. Raja Ftedang selalu melenyapkan 
orang-orang yang hendak menimbulkan keributan di Desa 
Alas Ngampar. 

Itu sebabnya, mereka merasa kehilangan sekali ketika 
Raja Pedang tewas. Sebagai balas jasa atas tindakan- 
tindakannya dulu, para penduduk bersepakat untuk merawat 
makamnya dan makam istrinya. 

"A...Ayah... Ibu...," ujar Braja Denta dengan terbata- 
bata dan bergetar. 

Dengan agak bergegas, pemuda berpakaian coklat itu 
itu menjatuhkan diri bersimpuh di makam orangtuanya. 

"Ayah...!" kembali Braja Denta menggumamkan 
panggilan itu. "Kalau saja kau masih hidup, mungkin aku 
tidak akan mengalami hal seperti ini. Kawanmu telah 
bertindak tidak adil, Ayah. Dia terlalu membela Salya, putra 
kawan Ayah yang lain. Aku sakit hati, Ayah. Sakit...!" 

Braja Denta menelungkupkan wajahnya di gundukan 
makam Raja Pedang. Kedua bahunya berguncang-guncang. 
Tapi tidak terdengar isak tangis keluar dari mulutnya. Braja 
Denta memang tidak menangis. Pantang baginya meneteskan 
air mata. 

Braja Denta hanya membutuhkan tempat untuk 
menumpahkan ganjalan di hatinya. Dengan mengutarakan 
hal-hal yang menekan hatinya dadanya menjadi terasa 
lapang. Braja Denta membutuhkan tempat untuk berbagi 
rasa. 

"Aku tidak rela disakiti, Ayah. Aku tidak rela dihina! 
Akan kubalas sakit hati ini, Ayah!" sambung Braja Denta lagi. 
Kemudian diam dan tidak berkata-kata lagi. 

Rupanya Braja Denta telah merasa cukup puas 
mengeluarkan ganjalan hatinya. Namun, meskipun begitu dia 
tidak bangkit. Pemuda berpakaian coklat itu tetap 
merebahkan tubuhnya dengan berbantalkan gundukan 
makam ayahnya. 

Perasaan hati yang telah agak tenang dan suasana di 
bawah pohon yang cukup sejuk membuat Braja Denta 
mengantuk. Beberapa hari ini dia memang kurang tidur. 
Ditambah dengan kelelahan yang mendera karena terlalu 
memaksakan diri dalam melakukan perjalanan. Lebih-lebih 
lagi pemuda berpakaian coklat itu berbaring. Maka, tak heran 
jika akhirnya dia tertidur! 

Perlah ah-lahan kedudukan matahari pun bergeser. 
Semakin lama semakin dekat pada tempat terbenamnya. Dan 
Braja Denta tetap lelap dalam tidurnya. Pemuda itu tidak 
terbangun sampai sang Surya tenggelam di ufuk barat, 
meninggalkan bias-bias kemerahan di kaki langit. 

Braja Denta baru terjaga dari tidurnya ketika sang 
Dewi Malam telah menampakkan diri. Tapi walaupun begitu, 
pemuda berpakaian coklat itu tetap bersikap tenang. Pemuda 
itu tidak merasa takut meskipun berada di tengah 
pemakaman di malam hari. 

"Uuuh...!" 

Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Braja Denta 
menggeliatkan tubuhnya. Terasa nikmat sekali melakukan 
gerakan itu. Setelah itu Braja Denta bangkit berdiri. 
Mendadak.... 

Wusss! 

Angin berhawa dingin berhembus teras. Berbeda 
dengan tiupan sebelumnya. Braja Denta pun merasakannya. 
Bulu kuduknya mendadak berdiri! 

Dengan sedikit takut, Braja Denta mengpdarkan 
pandangan berkeliling. Sekujur otot dan urat sarafnya 
menegang. Braja Denta telah bersiap menghadapi segala 
kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba... 

"Ha ha ha...!" 

Sebuah tawa teras yang menggema di sekitar tempat 
itu membuat Braja Denta terperanjat kaget. Nada tawa itu 
begitu aneh. Ftelan, berat dan bergaung seperti bukan keluar 
dari mulut manusia! Melainkan dari mulut hantu penjaga 
kuburan! 

Dugaan itu membuat bulu-bulu di tubuh Braja Denta 
berdiri. Rasa takut mulai timbul di hatinya. 

Tapi segera ditekannya perasaan itu. Apa yang harus 
ditakuti? Diriku memiliki kepandaian. Hibur Braja Denta 
dalam hati. 

"Siapa kau?!" bentak Braja Denta memberanikan diri. 
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, dan tidak 
menemukan pemulik tawa aneh itu. 

Memang harus diakui kalau arah tawa itu tidak bisa 
dilacaknya. Tapi Braja Denta berani bertaruh asal suara itu 
amat dekat dengan tempatnya! Anehnya, mengapa dia tidak 
melihatnya. Padahal, suasana di tempat itu cukup terang 
oleh sinar dewi malam. 

"Siapa kau?! Kalau berani, tunjukan dirimu!" tantang 
Braja Denta lagi seraya mengedarkan pandangan berkeliling. 

Angin malam kembali bertiup. Kali ini lebih kencang 
dari sebelumnya. Bersamaan dengan tiupan angin, 
mendadak di hadapan Braja Denta hadir sesosok tubuh 
tinggi besar! 

"Ah!" 

Tanpa sadar Braja Denta mengeluarkan jerit 
kekagetan. Kakinya melangkah mundur. Kehadiran sosok 
tinggi besar itu terlalu mendadak hingga mengejutkannya. 
Tapi hanya sebentar Braja Denta larut dalam perasaan kaget. 

Sesaat kemudian, pemuda itu mulai memperhatikan sosok 
tinggi besar di hadapannya. Dan Braja Denta bergidik ngeri. 

Dalam siraman sinar rembulan, terlihat jelas ciri-ciri 
sosok tinggi besar itu. Sosok itu berpakaian serba hitam. 
Kulit wajahnya §2lap. Kumis dan jenggotnya panjang dan 
jarang-jarang. Namun yang membuatnya ngeri adalah sorot 
mata sosok berpakaian hitam itu! Sorot matanya tajam 
mencorong dan bersinar kehijauan. Mirip sorot mata harimau 
dalam gelap! 

"Jangan takut, Anak Muda. Percayalah, aku tidak 
akan menyakitimu," ucap sosok berpakaian hitam berusaha 
menenangkan hati Braja Denta. 

Seperti juga tawanya, ucapan sosok berpakaian hitam 
itu terdengar aneh. Ftelan, berat, dan bergaung seolah berasal 
dari tempat yang amat jauh. Seakan berasal dari dunia lain! 
Tentu saja hal itu semakin menambah rasa takut Braja 
Denta. Apalagi, ketika pemuda berpakaian coklat itu melihat 
bibir sosok itu tidak bergerak saat berbicara! 

Dan perlahan-lahan rasa takut yang melanda hati 
Braja Denta menghilang, ketika melihat sosok berpakaian 
hitam tidak melakukan tindakan apa pun terhadapnya. 
Sosok berpakaian hitam itu memang tidak bermaksud jahat. 
Demikian pikir pemuda berpakaian coklat itu. 

"Lalu..., apa maksud kedatanganmu kemari?" tanya 
Braja Denta. Suaranya masih agak bergetar karena rasa 
takut yang melandanya belum sepenuhnya lenyap. 

"Menolongmu, Braja Denta!" jawab sosok berpakaian 
hitam pelan. 

"Kau..., siapa sebenarnya dirimu?! Dari mana kau 
tahu namaku?!" tanya Braja Denta tanpa mampu 
menyembunyikan rasa kagetnya. 

"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tergelak. 
"Ketahuilah, Braja Denta. Bukan hanya namamu yang aku 
tahu. Tapi juga ayahmu, gurumu dan adik seperguruanmu. 
Bahkan juga masalah yang kau hadapi saat ini. Aku tahu 
semuanya, Braja Denta!" 

"Aku tidak percaya!" seru Braja Denta teras. "Kau 
bohong!" 

"Ha ha ha...! Aku bohong, Denta?! Ha ha ha...! 
Baiklah, agar kau percaya akan kubuktikan. Ayahmu 
beijuluk Raja Pedang. Gurumu, Kidang Loka. Dan adik 
seperguruanmu bernama Salya. Saat ini kau tengah dendam 
pada guru dan adik seperguruanmu karena diperlakukan 
tidak adil! Memang kau benar, Denta. Kidang Loka terlalu 
menganak emaskan Salya!" 

"Hahhh...?!" 

Braja Denta tersentak mendengar pernyataan sosok 
berpakaian hitam. Betapa tidak? Semua yang dikatakannya 
benar. Tak ada satu pun yang salah! Lalu, dari mana sosok 
berpakaian hitam itu mengetahuinya? 

"Siapa kau? Mengapa kau mengptahui semua 
masalahku.,.?" tanya Braja Denta lagi penuh perasaan heran. 

"Siapa adanya aku nanti kau pun akan tahu, Braja 
Denta, Yang terpenting kau harus tahu bahwa aku datang 
kemari ingin menolongmu. Tanpa bantuanku, kau tidak akan 
dapat membalas sakit hatimu. Jangankan menghadapi 
gurumu, melawan Salya saja kau tak akan menang. Tapi bila 
kau mau kubantu semua sakit hatimu akan terbalas. Bukan 
itu saja, semua yang kau inginkan akan tercapai. Tak 
terkecuali Golok Api dan Wardani! Bagaimana, Denta?!" 

Braja Denta tertegun. Pemuda itu bingung. Kalau 
menuruti perasaan hati, ingin rasanya diterima bantuan yang 
ditawarkan sosok berpakaian hitam. Tapi, bagaimana 
mungkin dia menerima bantuan orang yang sama sekali tidak 
dikenalnya?! Bahkan tidak mau mengenalkan diri? Dan sosok 
berpakaian hitam agaknya tahu kalau Braja Denta merasa 
bimbang. 

"Coba bayangkan Denta. Kedudukanmu adalah kakak 
seperguruan, tapi mengapa kau justru dianaktirikan. 
Wardani dijodohkan dengan Salya. Tidak hanya itu saja. 
Golok Api pusaka yang amat dahsyat, diberikan pada adik 
seperguruanmu itu. Sedangkan kau? Hanya sebuah pedang 
yang tidak berguna! Tidak mempunyai kedahsyatan sama 
sekali!" bujuk sosok berpakaian hitam. 

Dan bujukan itu termakan Braja Denta. Ftemuda itu 
mengangguk-agguk membenarkan ucapan sosok itu. 

"Memang aku merasa sakit hati pada mereka. Baik 
pada guruku maupun adik seperguruanku. Tapi apa dayaku? 
Mereka memiliki kepandaian di atasku. Walaupun kau bantu, 
belum tentu aku berhasil membalas sakit hati ini!" ucap 
Braja Denta. Ada nada keputusasaan dalam suaranya. 

"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tertawa. "Kau 
meragukan kemampuanku, Denta?! Ha ha ha...! Lucu! Kau 
tahu, jangankan Kidang Loka dan Salya. Tiga orang semacam 
Kidang Loka pun jangan harap dapat mengalahkanku!" ujar 
sosok berpakaian hitam menyombongkan diri. 

"Apa semua yang kau katakan itu bisa dipercaya?!" 
tanya Braja Denta ragu. 

"Kau boleh membuktikannya, Denta!" tanpa ragu-ragu 
sosok berpakaian hitam mengajukan diri. "Tapi aku 
mempunyai satu syarat!" 

Sepasang alis Braja Denta langsung berkerut. 
Perasaan curiganya pun timbul. 

"Rupanya kau hendak menipuku, hehhh?! Jangan 
harap aku bisa kau tipu!" 

"Kau terlalu curiga, Denta! Tapi kalau kau memang 
tidak mau kubantu tidak apa! Aku tidak merasa rugi! Kau 
boleh mati sengsara karena memendam sakit hati, Denta! 
Dan Salya akan menari-nari penuh kegembiraan di atas 
mayatmu! Tak lama lagi dia akan mendapat Wardani!" 

Setelah berkata demikian, sosok berpakaian hitam 
membalikkan tubuh. Melihat tindakannya, kelihatannya 
sosok berpakaian hitam hendak meninggalkan tempat itu. 
Tapi.... 

"Tunggu...!" cegah Braja Denta. 

"Mengapa mencegahku?! Bukankah kau ingin 
memendam sakit hatimu sampai mati?!" ejek sosok 
berpakaian hitam tanpa membalikkan tubuh. 

"Aku minta maaf atas kecurigaanku yang terlalu 
berlebihan! Kumohon kau jangan pergi," pinta Braja Denta. 

Semula Braja Denta memang merasa curiga pada 
sosok berpakaian hitam. Tapi, ucapan terakhir sosok itu 
membuat Braja Denta mengambil keputusan untuk 
mengetahui lebih dulu syarat yang akan diajukan sosok 
berpakaian hitam. Siapa tahu syarat itu tidak berat! Dan 
siapa tahu sosok berpakaian hitam tidak membual tentang 
kepandaiannya. 

"Jadi kau menerima pertolonganku?!" tanya sosok 
berpakaian hitam seraya membalikkan tubuh. 

"Benar," Braja Denta mengangguk. "Tapi aku ingin 
mengetahui syaratnya lebih dahulu. Bila persyaratan itu 
tidak berat dan aku mampu melakukannya, maka dengan 
senang hati akan kuterima pertolonganmu." 

"Percayalah padaku, Denta. Syarat itu sama sekali 
tidak berat. Bahkan amat ringan," sosok berpakaian hitam 
berusaha meyakinkan Braja Denta. 

"Bisa kau katakan sekarang?" 

"Tentu saja, Denta!" mantap dan tegas kata-kata yang 
keluar dari mulut sosok berpakaian hitam. "Syaratnya mudah 
saja. Jauhkan pedang itu dari tubuhmu," 

"Hahhh...?!" Braja Denta terperanjat mendengar 
syarat yang tidak disangka-sangka itu. Agak ragu-ragu 
dicabutnya pedang yang tergantung di punggung. "Apakah 
yang kau maksudkan pedang ini?!" 

"Benar," jawab sosok berpakaian hitam singkat seraya 
menganggukkan kepala. 

"Tapi, kenapa?!" tanya Braja Denta heran. 

S e ke lebat menyelinap perasaan curiga di hati Braja 
Denta. Pedang yang dimaksudkan sosok berpakaian hitam 
itu adalah pedang pusaka warisan gurunya, Pedang Embun! 
Jangan-jangan sosok berpakaian hitam sengaja merancang 
siasat itu untuk mencuri pedang itu! 

"Buang jauh-jauh perasaan curigamu, Denta," ujar 
sosok berpakaian hitam melihat Braja Denta tercenung. "Ada 
alasan kuat yang membuatku sulit untuk membantumu jika 
pedang itu ada pada dirimu." 

"Bisa kau jelaskan alasannya?!" tanya Braja Denta 
hati-hati, tidak sembarangan menuduh seperti sebelumnya. 

Sosok berpakaian hitam tidak segera memberikan 
jawaban. Sosok itu tercenung sejenak seperti tengah 
mempertimbangkan pantas atau tidak pertanyaan itu 
dijawabnya. 

"Ceritanya cukup panjang, Denta. Aku tidak yakin 
kau mau mendengarkannya," ujar sosok berpakaian hitam. 

"Tidak apa. Aku bersedia mendengarkan. Aku sedang 
tidak terburu-buru. Ceritakan saja, agar semua menjadi jelas 
dan tidak ada keraguan padaku terhadap maksud baikmu," 
timpal Braja Denta. 

"Hhh...! Baiklah, kalau memang itu yang kau 
inginkan," ujar sosok berpakaian hitam mengalah. Ada rasa 
enggan dan berat hati pada ucapan sosok itu. untuk 
menyebutkan alasannya. "Kini dengarkanlah baik-baik 
ceritaku ini." 




"Puluhan tahun yang lalu aku adalah seorang tokoh 
yang amat ditakuti. Sebab, kepandaian yang kumiliki sangat 
tinggi. Belum pernah sekali pun aku menderita kekalahan. 
Padahal telah ratusan kali aku terlibat pertarungan," sosok 
berpakaian hitam memulai ceritanya. "Kenyataan itu 
membuat musuh-musuhku merencanakan siasat untuk 
melenyapkan aku." 

Sosok berpakaian hitam menghentikan ceritanya 
sejenak. Secara sambil lalu, ditatapnya wajah Braja Denta. 
Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berpakaian coklat itu. 
Tapi Braja Denta diam saja. Meskipun tarikan wajah dan 
sorot matanya menunjukkan kalau pemuda itu 
mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. 

"Siasat licik mereka berhasil. Aku dapat mereka usir 
dari dunia ini. Tidak hanya itu saja. Mereka menciptakan 
sebuah pedang yang membuatku sulit untuk kembali ke 
dunia. Itulah pedang yang kumaksud," sosok berpakaian 
hitam mengakhiri kisahnya dengan menunjuk Pedang Embun 
yang berada di tangan Braja Denta. 

Braja Denta mengernyitkan kening. Kisah yang 
diceritakan sosok berpakaian hitam sulit untuk diterima akal 
sehatnya. Banyak hal yang masih belum dimengertinya. 

"Bagaimana, Denta? Apa kau sudah mengerti, 
mengapa aku menyuruhmu menjauhkan pedang itu dariku?" 
tanya sosok berpakaian hitam, tak sabar melihat Braja Denta 
hanya tercenung. 

"Hhh...!" Hanya sedikit saja yang kumengerti. 
Ceritamu sulit dipahami. Aku hanya dapat menyimpulkan 
kalau kau takut pada pedang ini. Bisa kau ceritakan lebih 
jelas lagi?!" 

"Tidak, Denta. Aku sudah menceritakannya dengan 
terperinci agar kau dapat mengerti. Rasanya memang, sulit 
untuk dimengerti. Tapi agar kau percaya dengan kebenaran 
ceritaku, kau boleh menyerangku. Caranya terserah padamu, 
dengan syarat kau jangan mendekatiku. Jarak terdekat 
antara kau dan aku sejauh dua tombak. Bila kau memaksa 
lebih dekat lagi, aku akan celaka. Pedang Embun 
menyebarkan hawa yang mampu membunuhku!" jelas sosok 
berpakaian hitam. 

Melihat sikap dan nada bicara sosok berpakaian 
hitam, mulai timbul rasa percaya di hari Braja Denta. 
Pemuda berpakaian coklat itu melihat kesungguhan dalam 
ucapan dan sikap sosok berpakaian hitam. Terlihat jelas 
betapa tokoh misterius itu amat takut pada Ftedang Embun! 

"Baik. Aku akan menyerangmu. Tapi ingat, kau yang 
mengajukan diri, bukan aku. Jadi aku tidak mau disalahkan 
bila terjadi apa-apa atas dirimu!" 

"Jangan khawatir, Denta. Aku tidak akan 
menyalahkanmu bila terjadi hal yang tidak diinginkan atas 
diriku. Percayalah. Tidak akan terjadi hal-hal buruk padaku. 
Mulailah, Denta. Aku telah siap. Ingat! Jangan ragu-ragu. 
Keluarkan seluruh kemampuanmu!" ada nada keyakinan 
yang sangat dalam ucapan sosok berpakaian hitam. 

"Baik!" 

Braja Denta segera menyilangkan kedua tangannya di 
depan dada. Kemudian perlahan-lahan tapi penuh kekuatan, 
ditariknya kedua tangan itu ke sisi pingang. Bunyi 
berkerotokan teras seperti tulang-tulang patah terdengar 
ketika kedua tangan itu bergerak menuju tempat yang dituju. 
Lalu.... 

"Hih!" 

Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mendorong 
kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula meluncur 
serangkum angin berhawa panas ke arah sosok berpakaian 
hitam. 

Tapi sosok berpakaian hitam kelihatan tenang saja. 
Dia berdiri tegak di tempatnya. Diam. Tidak terlihat tanda- 
tanda sosok itu akan menanggapi serangan itu. Baik dengan 
mengelak atau menangkis. 

Dan ternyata tokoh misterius itu memang tidak 
melakukan tindakan apa pun. Bahkan sampai pukulan jarak 
jauh Braja Denta menghantamnya. Saat itulah teijadi 
peristiwa aneh yang membuat sepasang mata murid Kidang 
Loka ini membelalak lebar! 

Tubuh sosok berpakaian hitam tidak bergeming dari 
tempatnya! Padahal, Braja Denta sangat yakin pukulan jarak 
jauhnya sudah mengpnai sasaran. Tapi mengapa tidak teijadi 
akibat apa pun? Mendadak... 

Brakkk! 

Sebatang pohon besar yang berada tepat di belakang 
sosok berpakaian hitam hancur berantakan mengeluarkan 
bunyi hiruk-pikuk! Apa yang telah terjadi? Mengapa pohon 
itu hancur berantakan? Apakah terkena pukulan jarak 
jauhnya? Kalau benar, mengapa sosok berpakaian hitam 
tidak mengalami kejadian apa pun? Seharusnya, bila benar 
hancurnya pohon itu karena pukulan jarak jauh Braja Denta, 
sebelum mengenai pohon itu, sosok berpakaian hitamlah 
yang terkena lebih dulu! Karena tokoh misterius itu tepat 
berada di bawah pohon! 

Kejadian aneh itu membuat Braja Denta kebingungan. 
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tertegun, dengan 
benak dipenuhi bebagai macam pertanyaan yang tidak 
mampu dijawabnya. 

"Ha ha ha...! Mengapa kau kelihatan bingung, Denta?! 
Kalau ingin lebih jelas, seranglah aku dengan senjata 
rahasiamu. Kidang Loka telah mengajarkan cara 
melemparkan pisau terbang yang baik padamu, kan?!" ujar 
sosok berpakaian hitam penuh kemenangan. 

Tanpa membantah sedikit pun, Braja Denta segera 
melaksanakan usul sosok berpakaian hitam. Diambilnya 
beberapa batang pisau dari buntalan yang selalu dibawanya. 
Memang, satu-satunya cara untuk mengungkapkan 
keanehan tadi adalah dengan mengirimkan serangan senjata. 
Kalau menggunakan senjata, dia bisa melihat apakah 
serangan itu mengenai sasaran atau tidak! 

"Hih!" 

Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mengibaskan 
tangannya. Seketika itu pula tiga batang pisau terbang 
meluncur deras ke arah sosok berpakaian hitam. Semua 
mengarah pada bagian-bagian yang berbahaya. Ulu hati, 
tenggorokan, dan ubun-ubun. Ini menandakan kalau Braja 
Denta memang memiliki keahlian melempar pisau terbang. 

Untuk kedua kalinya terjadi peristiwa menakjubkan. 
Tapi, kejadian kali ini justru berhasil menjawab semua 
pertanyaan yang menggayuti benak Braja Denta. Tampak 
jelas ketiga pisau terbang itu mengpnai sasaran. Tapi tidak 
menancap 1$ sana, melainkan terus meluncur. 

Cap,cap, cap! 

Lesatan pisau-pisau itu baru berhenti ketika 
menancap di sebuah pohon yang terletak di belakang pohon 
yang tadi hancur. 

Kejadian ini telah membuat Braja Denta berhasil 
menarik sebuah kesimpulan. Sosok berpakaian hitam 
ternyata tidak berwujud manusia seperti dirinya. Sosok itu 
tak ubahnya bayangan. Meskipun terlihat mata, tapi tidak 
bisa disentuh! Ataukah itu yang dinamakan roh?! Tanya 
Braja Denta dalam hati. 

Dan Braja Denta tidak bisa berlama-lama tenggelam 
dalam alun pikirannya. 

"Ha ha ha...! Bagaimana, Denta?! Apakah sekarang 
kau percaya kalau aku tidak bisa dilukai?!" ucap sosok 
berpakaian hitam penuh kemenangan. 

"Siapa kau sebenarnya? Manusia atau siluman?!" 
tanya Braja Denta agak gugup. 

Perasaan takut yang telah lenyap perlahan-lahan 
timbul kembali. 

"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, sosok 
berpakaian hitam malah menghela napas berat "Sebenarnya 
aku manusia, Denta. Manusia seperti kau. Dapat merasakan 
sakit bila dipukul. Tapi sekarang tidak lagi! Dan penyebabnya 
seperti yang telah kuceritakan padamu, berkat siasat musuh- 
musuhku! Sekarang aku hanya berupa roh! Sehingga betapa 
pun saktinya aku, tanpa ada tempat berupa tubuh manusia, 
aku tidak mempunyai kemampuan apa pun." 

Tapi... mengapa kau mengatakan mampu 
menolongku?!" tanya Braja Denta dengan alis berkemyit 
dalam. 

Pemuda berpakaian coklat itu kembali dilanda 
kebingungan. Ucapan sosok berpakaian hitam ber-beda 
dengan sebelumnya. 

"Seperti telah kukatakan, kesaktianku baru akan 
timbul bila ada manusia yag bersedia menjadi tempat bagi 
rohku! Kebetulan aku bertemu denganmu. Melihat kau 
memendam rasa sakit hati, kuputuskan untuk memilihmu 
menjadi tempat rohku! Dengan adanya rohku pada dirimu, 
kau bisa mendapatkan yang kau mau! Golok Api?! Wardani?! 
Menguasai dunia persilatan?! Apa pun yang kau mau akan 
bisa didapatkan! Aku seorang tokoh sakti pada puluhan 
tahun lalu! Bagaimana, Denta?!" jelas sosok berpakaian 
hitam berusaha merayu. 

Braja Denta tidak segera menjawab. Pemuda itu 
tercenung. Sungguh tidak disangka kelanjutannya akan 
seperti ini. Sehingga kalau semula dia sudah merasa mantap 
akan menerima tawaran sosok berpakaian hitam, kini 
diputuskannya untuk mempertimbangkan kembali. 
Bagaimana dia tidak bimbang? Raganya akan dipakai roh 
sosok berpakaian hitam! Lalu, bagaimana dengan rohnya 
sendiri? 

"Bagaimana, Denta?" tanya sosok berpakaian hitam 
tidak sabar. "Kau setuju dengan usulku?" 

"Sebenarnya aku setuju. Tapi bila kau telah masuk ke 
dalam diriku, bagaimana dengan rohku sendiri?!" Braja Denta 
memutuskan untuk berterus terang. 

"Ha ha ha...! Jangan khawarir, Denta. Rohmu tetap 
ada di tubuhmu. Ragamu tetap satu. Tapi roh yang 
menempatinya ada dua. Rohmu dan rohku!" jelas sosok 
berpakaian hitam. 

"Lalu..., siapa yang pegang peranan atas tubuhku? 
Rohmu atau rohku?!" tanya Braja Denta lagi. 

"Tentu saja rohmu, Denta! Sebab kau mempunyai 
akal sehat. Pikiran. Dengan sendirinya, kau yang 
mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu berarti rohmu yang 
menjadi penguasa atas tubuhmu. Sedangkan aku hanya 
membantu bila kau menghadapi lawan tangguh. Mengapa 
kau menanyakan hal itu?!" sosok berpakaian hitam balas 
bertanya setelah memberi penjelasan pada pemuda 
berpakaian coklat itu. 

"Hanya ingjn tahu saja. Aku khawatir jika telah 
memasuki ragaku, kau akan mengambil alih kepemimpinan. 
Kemudian kau bebas memenuhi keinginanmu dengan 
menggunakan ragaku. Sementara keinginanku tidak 
terpenuhi," jawab Braja Denta sejujurnya. 

"Ha ha ha...! Rupanya itu yang membuatmu merasa 
bimbang, Denta?! Tidak usah khawarir. Percayalah, aku 
berjanji akan membalaskan semua sakit hatimu, dan 
mendapatkan semua yang kau inginkan!" janji sosok 
berpakaian hitam sungguh-sungguh. 

"Apakah janjimu bisa dipercaya?!" Braja Denta 
meminta kepastian. 

"Mengapa kau masih meragukannya, Denta. Apa kau 
tidak membuktikan sendiri kebenaran setiap ucapanku?" 
sosok berpakaian hitam balas bertanya. 

"Bukannya aku tidak percaya. Aku hanya... yahhh, 
khawatir saja. Dan...." 

"Buang jauh-jauh perasaan khawatirmu itu," potong 
sosok berpakaian hitam tak sabar. "Kau akan membuktikan 
sendiri kebenaran janjiku." 

Braja Denta langsung terdiam. 

"Bagaimana, Denta. Bisa kita mulai? Cepatlah! Sebab 
bila matahari telah terbit, aku tidak akan bisa masuk ke 
dalam tubuhmu," terdengar jelas nada tidak sabar dalam 
ucapan sosok berpakaian hitam itu. 

"Baiklah, aku setuju," jawab Braja Denta tidak 
mempunyai pilihan lain. 

"Kalau begitu, singkirkan Pedang Embun dari 
tubuhmu," ucap sosok berpakaian hitam cepat-cepat 
"Lemparkan jauh-jauh. Toh senjata itu tidak berguna sama 
sekali. Dibandingkan Gobk Api, dia tidak mempunyai 
keistimewaan apa pun!" 

Kali ini Braja Denta tidak membantah lagi. Meskipun 
sebenarnya merasa sayang, dilemparkannya Pedang Embun 
itu. Nanti dia pun akan mendapatkan gantinya. Sebuah 
pusaka yang jauh lebih ampuh, Golok Api! 

"Ha ha ha...!" 

Sosok berpakaian hitam tergelak melihat Ftedang 
Embun melayang-layang jauh. Perasaan gembira yang sangat 
terlihat jelas dalam tarikan wajah dan sorot matanya. 

"Bagus, bagus, Denta! Sekarang, kau bersiaplah...!" 

Usai berkata demikian, tiba-tiba tubuh sosok 
berpakaian hitam lenyap. Dan berganti dengan seberkas 
sinar merah. Sinar itu melesat masuk ke tubuh Braja Denta. 

Seketika itu pula, tubuh Braja Denta yang semula 
tenang menggeletar hebat. Rasa panas yang sangat merayapi 
sekujur tubuh pemuda itu. Ditambah dengan rasa sakit yang 
tidak terperikan. 

"Aaa...!" 

Braja Denta melolong karena tak kuat menahan rasa 
sakit dan panas yang mendera. Dalam cekaman penderitaan 
yang dialami, Braja Denta mengguling-gulingkan tubuhnya 
ke sana kemari. Untung saja makam orangtuanya terpisah 
agak jauh dengan makam lainnya. Hingga tidak satu pun ma¬ 
kam yang terlanda gulingan tubuhnya. 

Karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera, 
Braja Denta jatuh pingsan! Untuk kedua kalinya, tubuhnya 
tergolek lemas di pemakaman itu. Kalau tadi karena tak kuat 
menahan rasa kantuk, kini disebabkan tak mampu 
menanggung rasa sakit! 


•k-k-k 


Entah berapa lama dirinya pingsan, Braja Denta tidak 
tahu. Yang jelas, ketika terbangun kegelapan masih 
menyelimuti tanah pemakaman itu. Hari masih malam! 

Perlahan-lahan Braja Denta bangkit. Saat itu pula 
rasa heran menggayuti hatinya. Tubuhnya terasa ringan 
sekali seperti melayang. Tidak hanya itu. Di bawah pusarnya 
ada hawa hangat berputar. 

Semua itu mengherankan Braja Denta. Dia jadi tidak 
mengerti. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang 
dialaminya. Braja Denta pun berhasil mengingatnya. 
Benarkah ini semua karena masuknya sosok berpakaian 
hitam ke dalam dirinya? 

"Benar, Denta. Semua keanehan yang kau rasakan 
karena aku telah masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas 
suara sosok berpakaian hitam. Tapi Braja Denta tidak bisa 
memastikan dari mana datangnya. Seperti dari dalam 
dadanya. Tapi mengppa terdengar jelas di telinga? 

"Sekarang kau telah menjadi orang sakti, Denta! 
Seluruh ilmu yang kumiliki dapat kau pergunakan sesuka 
hatimu," lagi-lagi terdengar suara sosok berpakaian hitam. 
"Kau lihat batu besar di sebelah kananmu itu, Denta?" 

Braja Denta mengalihkan pandangan ke arah yang 
dimaksud sosok berpakaian hitam. Pemuda itu pun 
melihatnya. Sebuah batu yang kelihatan kokoh bukan main. 
Besarnya tak kalah dengan seekor kerbau! 

"Nah! Sekarang dekati batu itu, Denta," ucap suara itu 
lagi. 

"Apa yang hams kulakukan?" tanya Braja Denta 
bingung. Meskipun demikian, tetap diikutinya perintah sosok 
berpakaian hitam. 

Dan Braja Denta tersentak kaget. Ketika dia melesat 
ke sana, kecepatan gerakannya tidak bisa diatur. Tubuhnya 
seperti didorong keras 1$ depan. Buru-buru dihentikannya 
larinya. 

"Apa... apa yang teijadi?" tanya Braja Denta bingung. 

Bagaimana pemuda berpakaian coklat itu tidak 
gugup? Dia tidak mampu menguasai diri! 

"Tenang, Denta. Tidak apa-apa. Kau hanya belum 
terbiasa dengan kemampuan barumu. Membutuhkan waktu 
yang cukup lama untuk membiasakan diri dengan 
tingkatanmu sekarang. Lebih baik kau pergunakan sebagian 
kecil tenagamu. Yang penting kau harus tenang. Mengerti, 
Denta?" Braja Denta mengangguk. "Nah! Sekarang hampiri 
batu itu. Tenang saja. Tidak usah tergesa-gesa," nasihat 
sosok berpakaian hitam. 

Braja Denta tidak berani membantah. Diikutinya 
saran sosok berpakaian hitam. Sesaat kemudian, dia telah 
berada di depan batu besar itu. 

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Braja 
Denta bingung. "Sebenarnya, apa maksudmu mengajakku ke 
batu besar ini?" 

"Aku ingin menunjukkan kedahsyatan ilmuku, Denta. 
Tapi rasanya sulit juga kalau aku terus-menerus 
memberitahumu. Bagaimana kalau kau biarkan aku yang 
melakukannya untukmu?" ujar sosok berpakaian hitam 
menawarkan diri. Braja Denta tercenung. 

"Aku jadi bingung. Semula kau bilang seluruh 
kesaktianmu akan menjadi milikku bila kau telah masuk ke 
dalam diriku. Tapi mana buktinya? Kalau untuk 
mengeluarkan ilmumu harus mendengarkan petunjukmu, 
aku bisa tewas lebih dulu!" ucap pemuda berpakaian coklat 
itu berapi-api. 

"Ha ha ha...! Itu semua tergantung padamu, Denta. 
Aku tidak berbohong sewaktu mengatakan kesaktian yang 
kumiliki akan menjadi milikmu bila aku masuk ke dalam 
ragamu! Tapi tentu saja kau tidak langsung menjadi sakti 
begitu aku berada dalam ragamu! Ada kesaktianku yang 
langsung bisa kau dapatkan, tapi ada pula yang tidak!" 

Sosok berpakaian hitam menghentikan ucapannya. 
Rupanya dia ingin memberi kesempatan pada Braja Denta 
untuk mencerna kata-katanya. 

"Kesaktianku yang langsung kau dapatkan adalah 
tenaga dalam dan meringankan tubuh. Tanpa perlu kuberi 
petunjuk, kau telah memiliki keduanya berlipat kali milikmu 
semula," lanjut sosok berpakaian hitam. "Sedangkan 
kesaktianku yang tidak dapat langsung kau rasakan berupa 
ilmu-ilmu kesaktian. Baik ilmu tangan kosong maupun yang 
menggunakan senjata. Juga ilmu-ilmu gaib. Tapi tanpa 
kuberitahu gerakannya, kau tidak akan dapat 
melakukannya. Untuk itu, berikan kesempatan padaku 
untuk melakukannya. Kau hanya perlu mengosongkan 
pikiran dan membiarkan anggota tubuhmu bergerak sendiri. 
Bagaimana?" sosok berpakaian hitam mengajukan tawaran. 

Braja Denta mengerutkan alis. 

"Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, boleh aku 
mengajukan pertanyaan?" 

"Tentu saja boleh, Denta," jawab sosok berpakaian 
hitam kalem. "Aku bersedia menjawab semua 
pertanyaanmu," 

"Terima kasih. Aku hanya ingin mengajukan dua 
buah pertanyaan. Siapakah kau sebenarnya? Dan siapa 
musuh-musuhmu?" 

Untuk sesaat tidak ada jawaban dari sosok ber¬ 
pakaian hitam. Hingga Braja Denta kebingungan. Tapi 
keheningan itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat 
kemudian, pemuda berpakaian coklat itu mendapatkan 
jawaban. 

"Sebenarnya berat hatiku untuk mengatakan. Tapi 
kuputuskan untuk memberitahukannya padamu. Sebab aku 
tahu tanpa adanya kejujuran tidak akan ada keijasama yang 
baik antara kita. Ketahuilah, aku adalah tokoh yang 
diceritakan gurumu. Akulah yang beijuluk Raja Sihir Berhati 
Hitam!" 

"Apa?!" 




Braja Denta sampai terlonjak ke belakang ketika 
mengetahui siapa sosok berpakaian hitam itu. Sungguh tidak 
disangka dirinya akan bersekongkol dengan musuh ayahnya! 
Sekarang dia dapat menduga siapa musuh-musuh sosok 
berpakaian hitam itu. Siapa lagi kalau bukan ayahnya. Dewa 
Tangan Sakti dan KidangLoka! 

"Jadi... kau manusia terkutuk itu?!" tanya Braja 
Denta terbata-bata. 

"Jangan ulangi makian itu, Denta. Jangan 
membuatku marah. Akibatnya akan sangat tidak 
menyenangkan bagimu!" ancam sosok berpakaian hitam yang 
ternyata Raja Sihir Berhati Hitam. 

"Oooh...! Ayaaah..., maafkan aku! Sungguh tidak 
kusangka masalahnya akan serumit ini," teluh Braja Denta 
penuh penyesalan. Didekapnya wajah-nya dengan kedua 
tangan. 

"Hentikan segala kecengengan itu, Denta. Aku paling 
benci dengan orang yang cengeng!" tegas Raja Sihir Berhati 
Hitam penuh wibawa. 

"Tutup mulutmu!" bentak Braja Denta teras. Tarikan 
wajahnya menyiratkan kebencian yang sangat. Kalau saja 
Raja Sihir Berhati Hitam ada di depannya, mungkin sudah 
diterjangnya. "Aku bukan orang semacam itu! Aku bukan 
orang cengeng! Aku hanya menyesali, mengapa begitu mudah 
tertipu oleh manusia terkutuk seperamu!" 

"Kuperingatkan sekali lagi, Denta. Jangan coba-coba 
memakiku! Apa kau tidak ingat dengan janji yang telah kita 
sepakati?!" 

"Tidak ada perjanjian di antara kita! Aku tidak sudi 
membantumu melaksanakan niat busuk itu! Ayahku tidak 
akan tenang di alam baka bila tahu aku bekerjasama 
denganmu!" semakin meninggi kata-kata yang dikeluarkan 
Braja Denta. 

"Jadi..., maksudmu perjanjian di antara kita batal? 
Boleh! Kalau itu yang kau inginkan, aku setuju. Asal kau 
tahu saja, Denta. Batalnya perjanjian itu justru 
menguntungkan diriku. Aku jadi tidak mempunyai kewajiban 
untuk memenuhi keinginanmu!" beritahu Raja Sihir Berhati 
Hitam. 

"Tidak apa! Dengan begitu, aku pun jadi dapat 
menggagalkan maksud busukmu!" tegas Braja Denta mantap. 

"Ha ha ha...! Kau keliru, Denta! Meskipun perjanjian 
kita telah kau batalkan, bukan berarti aku tidak bisa 
melaksanakan keinginanku sebab aku sudah mempunyai 
tempat! Dengan demikian, kesaktian yang kumiliki dapat 
kupergunakan kembali. Ha ha ha...! Kau keliru, Denta!" 

"Kuakui kau telah berhasil masuk ke dalam ragaku. 
Tapi rohku masih ada. Aku masih hidup. Aku bukan benda 
mati! Tak akan kubiarkan kau mempergunakan ragaku 
seenakmu!" tegas dan mantap ucapan Braja Denta. 

"Ha ha ha...! Lagi-lagi kau keliru, Denta. Kuakui saat 
ini rohmu yang berkuasa atas ragamu. Tapi itu tidak akan 
bertahan lama. Kalau aku mau, dengan mudah telah kuambil 
alih kekuasaan ragamu sejak pertama kali masuk! Tapi itu 
tidak kulakukan! Kau tahu apa sebabnya?" 

Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan ucapannya, 
seperti hendak memberikan kesempatan pada Braja Denta 
untuk memikirkan jawabannya. Tapi ketika sampai beberapa 
saat tidak ada tanggapan dari pemuda berpakaian coklat itu, 
Raja Sihir Berhati Hitam menjawabnya sendiri. 

"Karena meskipun aku dikenal sebagai tokoh sesat, 
pantang bagiku untuk mengingkari janji yang telah kubuat! 
Maka kubiarkan rohmu yang memegang peranan atas 
ragamu. Tapi sekarang lain masalahnya. Kau telah 
memutuskan perjanjian. Jadi jangan salahkan bila 
kekuasaan atas ragamu kuambil alih!" 

Tidak akan kubiarkan kau melakukan itu, Manusia 
Iblis!" tandas Braja Denta tegas. 

"Ha ha ha...! Percuma, Denta. Apa yang bisa kau 
lakukan!? Kalau aku mau, sekarang juga kekuasaan atas 
ragamu kuambil alih. Tapi aku tidak ingin melakukannya 
sekarang. Anggaplah itu sebagai tanda terima kasihku. Maka 
pergunakanlah waktumu sebaik-baiknya, Denta. Aku 
bersedia menjawab semua pertanyaan yang kau ajukan. 
Utarakanlah. Sebanyak-banyaknya pun tidak apa," ujar Raja 
Sihir Berhati Hitam penuh perasaan gembira. 

Braja Denta menggertakkan gigi. Memang tidak ada 
yang dapat dilakukannya sekarang. Kalau menuruti 
perasaan, ingin diterjangnya Raja Sihir Berhati Hitam. Tapi 
bagimana bisa? Tempat tokoh sesat itu berada dalam 
tubuhnya! 

Akhirnya Braja Denta memutuskan untuk 
menenangkan hati. Dan mengatur pemapasan berulang- 
ulang. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit 
amarahnya berhasil diredakan. 

Lalu, Braja Denta memutuskan untuk menerima 
tawaran Raja Sihir Berhati Hitam. Setidak-tidaknya dia jadi 
tahu, mengapa Raja Sihir Berhati Hitam yang menurut 
Kidang Loka telah mati, ternyata masih mampu hidup lagi. 
Meskipun dengan menggunakan raga orang lain. 

"Kuberi kesempatan sekali lagi padamu, Denta. 
Barangkali ada hal-hal yang mengganjal hatimu. Katakanlah. 
Atau... kau telah mengerti semuanya?!" 

Raja Sihir Berhati Hitam mengajukan tawarannya 
kembali setelah menunggu beberapa saat tidak ada 
tanggapan dari Braja Denta. Memang meskipun rohnya 
berada di dalam raga Braja Denta. Tapi apa yang dipikirkan 
dan terpendam di hati pemuda berpakaian coklat itu tidak 
diketahuinya. Sebab walaupun berada dalam satu raga, 
pikiran mereka tidak bersatu. 

Ini sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Walaupun 
sebenarnya, Raja Sihir Berhati Hitam ingin dapat mengetahui 
semua yang terbentuk di hati dan pikiran Braja Denta. Tapi 
itulah kehebatan Raja Sihir Berhati Hitam! Dia tidak mau 
mengingkari perjanjian yang telah dibuat. 

"Memang banyak hal yang tidak kumengerti," ucap 
Braja Denta pelan. 

"Kalau begitu, utarakanlah. Aku akan menjawab 
dengan sejujurnya," janji Raja Sihir Berhati Hitam. 

Braja Denta menarik napas dan menghembuskannya, 
seakan-akan tengah membuang beban berat yang mengganjal 
dadanya. 

"Guruku bercerita kalau dia bersama dua orang 
kawannya telah berhasil menewaskanmu. Tapi mengapa kau 
dapat hidup kembali, meskipun dengan menggunakan raga 
orang lain? Padahal sepanjang yang kutahu, orang yang telah 
mati tidak akan dapat hidup kembali," ujar Braja Denta 
datar. 

"Ha ha ha...! Itulah kehebatanku, Denta. Umumnya 
orang yang telah tewas tidak akan bisa hidup kembali, 
meskipun menggunakan raga orang lain. Tapi aku adalah 
Raja Sihir Berhati Hitam! Sebagaimana seorang raja sihir, 
tentu aku banyak memiliki ilmu-ilmu gaib yang menurut 
pendapat orang mustahil untuk dilakukan." 

Sampai di sini Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan 
penjelasannya. Itu disengajanya agar Braja Denta bisa 
mengerti. Sebab hal yang akan diuraikannya tidak mudah 
untuk dicerna akal sehat 

"Ilmu-ilmu gaib itu sebagian besar kudapatkan 
dengan cara tidak wajar. Tak jarang aku menggunakan 
korban persembahan berupa manusia. Sebagai imbalannya, 
aku mendapat ilmu-ilmu aneh yang tidak masuk akal. Satu 
di antara ilmu yang kudapatkan adalah keampuhan 
ucapanku. Semua ucapanku, apalagi yang berupa sumpah, 
akan dapat terwujud! Entah bagaimana caranya, dan kapan 
terjadinya." 

Sejenak Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan 
ucapannya. 

"Ilmu itulah yang kupergunakan saat aku menjelang 
ajal karena keroyokan gurumu, ayahmu, dan Dewa Tangan 
Sakti. Di saat sekarat itu kuucapkan sumpahku." 

"Apa yang kau katakan saat itu, Raja Sihir?" tanya 
Braja Denta tak sabar lagi memendam rasa ingin tahunya. 

Raja Sihir Berhati Hitam tidak segera menjawab 
pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak seperti tengah 
mengingat ucapan yang dulu dikeluarkannya. 

"Begini, Denta. Kuakui kali ini aku kalah. Tapi, suatu 
saat aku akan bangkit dan menebus kekalahanku. Aku akan 
menitis pada salah seorang keturunan kalian yang bertindak 
murtad!" 

Suasana langsung hening ketika Raja Sihir Berhati 
Hitam menyelesaikan ucapannya. Braja Denta termenung. 
Tarikan wajah dan sorot mata pemuda berpakaian coklat itu 
menyiratkan penyesalan yang sangat. Dalam hati 
disayangkannya kecerobohan Kidang Loka. Kalau saja kakek 
berpakaian putih itu memberitahu mengenai sumpah Raja 
Sihir Berhati Hitam, mungkin semua peristiwa ini tidak akan 
teijadi. Tapi nasi telah menjadi bubur! Tidak akan mungkin 
bisa diubah lagi! 

"Karena sumpahku itu, rohku melayang-layang ke 
sana kemari. Puluhan tahun aku harus menahan diri. 
Selama itu kuikuti kehidupanmu, Kidang Loka, dan Salya. 
Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya jalan terbuka 
bagiku. Tak lama lagi dendam puluhan tahun akan 
kutuntaskan! Ha ha ha...!" 

Raja Sihir Berhati Hitam menutup ucapannya dengan 
tawa panjang. Sebuah tawa kemenangan. 

"Bagaimana, Denta?! Apakah masih ada pertanyaan 
lainnya? Kalau ada, keluarkan saja. Biar semua yang 
mengganjal di benak dan dadamu dapat tuntas saat ini. 
Kalau tidak... sudah saatnya bagiku untuk mengambil alih 
kekuasaan atas ragamu...!" 

"Tidak! Tak akan kubiarkan kau melakukannya!" jerit 
Braja Denta kalap. 

Dalam cekaman perasaan takut dan cemas yang 
menggelegak, Braja Denta melesat pergi. Seluruh ilmu 
meringankan tubuhnya dikerahkan untuk secepatnya 
meninggalkan tempat itu. Padahal, saat itu di dalam diri 
Braja Denta tengah bergolak suatu kekuatan hebat 

Braja Denta tidak dapat mengatur keseimbangan 
lesatannya. Baru sekali melesat dia hampir terjatuh. Tapi 
pemuda berpakaian coklat itu tidak peduli. Kakinya tetap 
diayunkan. Yang ada di benaknya hanya satu, berlari-lari 
sejauh-jauhnya dari tempat itu! 

Tapi baru beberapa lesatan, Braja Denta memutuskan 
untuk menghentikan larinya. Setelah beberapa kali dia 
hampir menabrak pohon karena tidak mampu mengatur 
kecepatannya. Pemuda berpakaian coklat itu membanting 
tubuhnya, dan bergulingan di tanah untuk mematahkan sisa 
lesatannya. 

"Hup!" 

"Ha ha ha...!" 

Suara tawa keras yang menggema terdengar ketika 
Braja Denta bangkit dari bergutingnya. Suara tawa itu seperti 
memenuhi isi kepalanya, sehingga kedua telinganya tidak 
dapat mendengar suara-suara lain. Yang terdengar hanya 
suara tawa itu. Tawa Raja Sihir Berhati Hitam. 

Menghadapi kenyataan ini, Braja Denta semakin 
kalap. Kedua tangannya dikepalkan. Dan semua 
kekuatannya dikumpulkan. Lalu dia berteriak sekuat- 
kuatnya! Itu dilakukan Braja Denta untuk menghalau suara 
tawa yang memenuhi kepalanya. 

Sebenarnya, keras bukan main teriakan yang 
dikeluarkan Braja Denta. Bahkan menggelegar seperti 
halilintar menyambar. Tapi aneh, Braja Denta tidak 
mendengarnya. Yang terdengar tetap tawa teras Raja Sihir 
Berhati Hitam! Hingga Braja Denta bertambah kalap. Sambil 
mengeluarkan teriakan sekeras-kerasnya, tangannya 
didekapkan ke telinga. Pemuda itu berusaha membendung 
pengaruh tawa Raja Sihir Berhati Hitam. 

Sayang sekali usaha Braja Denta sia-sia. Bahkan 
suara tawa itu terdengar semakin teras! Dengan diliputi rasa 
panik yang menggelegak, Braja Denta mengamuk! 

"Mampus kau, Manusia Siluman! Hih!" Braja Denta 
menghentakkan kedua tangannya ke sana kemari. Tidak 
hanya tangan. Juga kedua kakinya. Pemuda itu terus 
bergerak seperti orang sedang bertarung. 

Hebat bukan main amukan Braja Denta. Bunyi 
menderu, me n gaun g dan me n cicit mengiringi setiap 
gerakannya. Tanah terbongkar di sana-sini. Kalau saja saat 
itu siang hari, mungkin debu tebal akan mengepul tinggi ke 
udara. Untung saja Braja Denta mengamuk di sebuah tanah 
lapang berumput yang cukup luas. Sehingga tidak teijadi hal- 
hal yang membahayakan. Sebab Braja Denta tidak 
mempedulikan keadaan sekitarnya. 

Yang ada di benak Braja Denta hanya satu, 
menghilangkan suara tawa yang memenuhi kepalanya. Dan 
ternyata setelah mengamuk sejadi-jadi-nya, pengaruh suara 
tawa itu agak berkurang. Kenyataan ini membuat semangat 
Braja Denta bangkit. Hingga amukannya semakin diperhebat 

Braja Denta mengpluarkan seluruh ilmunya. Dari 
ilmu-ilmu dasar, sampai ilmu andalan. Dan kini pemuda 
berpakaian coklat itu tengah menggunakan ilmu andalannya, 
jurus 'Kalajengking'! 

Braja Denta menyusun kedua tangannya membentuk 
cakar aneh. Dengan kedudukan jari-jari seperti itu, dia 
mengamuk. Bunyi cicitan senantiasa terdengar setiap kali 
tangannya bergerak. Jurus 'Kalajengking' ternyata memang 
sebuah jurus yang dahsyat. Tidak hanya kedua tangan itu 
saja yang berbahaya. Kedua kakinya pun bisa mencuat mela¬ 
kukan serangan yang tidak terduga. 

Tapi baru beberapa jurus Braja Denta memainkan 
jurus 'Kalajengking', mendadak teijadi sebuah peristiwa yang 
mengejutkan. Di saat pemuda berpakaian coklat itu tengah 
mengayunkan tangan untuk melancarkan sebuah serangan 
ke arah pelipis kiri, ayunan tangan itu terhenti di udara. 
Seperti tertahan suatu kekuatan yang tidak nampak. 

Braja Denta terkejut bukan main melihat kenyataan 
ini. Sebuah kekuatan aneh memaksa tangannya bergerak ke 
arah lain. Demikian kuat, sehingga Braja Denta yang 
memaksakan diri untuk meneruskan penggunaan jurus 
'Kalajengking' terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya. 

Suara ah ah uh uh keluar dari mulutnya, ketika Braja 
Denta berusaha meneruskan jurus 'Kalajengking'nya. Tapi 
betapa pun telah diusahakan, hasilnya tetap sama. Bahkan 
perlahan-lahan tangan itu bergerak ke arah yang berlawanan. 
Ke kanan! Dan terus terbawa ke sana. 

Meskipun demikian, Braja Denta tidak putus asa. 
Sisa-sisa tenaganya terus dikerahkan untuk mengarahkan 
tangannya pada tujuan semula. Tapi tetap saja sia-sia! 
Tangan itu terus terbawa ke kanan. Akhirnya, Braja Denta 
tidak sanggup lagi bertahan. Pemuda itu pasrah. Dibiarkan 
saja tangannya dibawa oleh kekuatan tak nampak itu. 

Kepasrahan Braja Denta berakibat fatal! Kekuatan 
yang menarik tangannya ternyata demikian dahsyat! Begitu 
tidak ada perlawanan, tangan Braja Denta terbawa tarikan 
itu. Karena arahnya terus ke kanan, tubuh Braja Denta pun 
berputar. Bahkan demikian cepat! 

Kini tubuh Braja Denta berputar seperti gasing. 
Cukup lama juga, sebelum akhirnya berhenti secara 
mendadak. Dan seiring dengan terhentinya putaran itu, Braja 
Denta memasang kuda-kuda sejajar. Kedua kakinya agak 
dibungkukkan, sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari 
terbuka lurus dijulurkan di depan dada. Mendadak.... 

"Ha ha ha...!" 

Braja Denta tertawa bergelak. Keras, berat, dan 
bergaung, seperti tawa hantu kuburan. Jelas tawa itu bukan 
milik Braja Denta. Ini terbukti beberapa saat kemudian. 

"Kidang Loka! Tunggulah...! Sebentar lagi dendam 
kesumat puluhan tahun lalu akan kutuntaskan! Tidak hanya 
kau yang akan kubunuh! Tapi juga semua orang yang 
mempunyai hubungan denganmu! Baru setelah itu, dunia 
persilatan akan kukuasai. Ha ha ha...!" 

Roh Braja Denta sudah tidak mempunyai ke kuasaan 
lagi atas raganya. Sekarang yang berkuasa di sana roh Raja 
Sihir Berhati Hitam! Tokoh sesat yang mahir berbagai ilmu 
gaib itu telah membuktikan kebenaran sesumbarnya, bahwa 
tidak sulit baginya untuk menguasai raga Braja Denta! 

Braja Denta, yang telah ditunggangi Raja Sihir Berhati 
Hitam, terus tertawa-tawa. Terlihat jelas kalau dia sedang 
gembira. Tawanya baru berhenti ketika langit di ufuk timur 
memancarkan bias kemerahan. Pertanda tak lama lagi sang 
Suiya akan muncul! Pagi akan datang menggantikan malam. 
Saat itulah, Braja Denta melesat meninggalkan tempat itu. 





"Hiya! Hiyaaa...!" 

Ctarrr! 

Bunyi lecutan cambuk, bentakan-bentakan keras 
penunggang kuda dan derap langkah binatang itu membelah 
suasana pagi. 

Saat itu cuaca sangat cerah. Sang Suiya yang belum 
lama menampakkan diri, memancarkan sinarnya yang 
lembut ke bumi. Angin berhembus pelan. Lembut membelai 
kulit. 

Tapi suasana seperti itu tidak menarik perhatian 
penunggang kuda. Dia seorang pemuda berpakaian kuning. 
Berwajah tampan dan gagah. Tapi saat itu teriihat kusut dan 
penuh debu. Agaknya, pemuda berpakaian kuning itu telah 
menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. 

Ctarrr! 

Pemuda berpakaian kuning kembali melecutkan 
cambuknya ke bagian belakang kuda. Rupanya, pemuda itu 
menginginkan binatang tunggang-annya berlari lebih cepat. 
Padahal kuda berwarna ooklat mulus itu telah berlari sangat 
cepat. Bahkan seperti tidak menginjak tanah. Debu yang 
mengepul tinggi ke udara menjadi tanda betapa cepat 
binatang itu berlari. 

"Hiya! Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, entah 
untuk yang keberapa kali, pemuda berpakaian kuning 
melecutkan cambuknya kembali. Pandangannya di arahkan 
ke depan. 

Tiba-tiba sepasang mata pemuda itu membelalak 
lebar. Sekitar lima belas tombak di depannya tampak berdiri 
sesosok tubuh. Melihat letak berdirinya yang berada tepat di 
tengah jalan, pemuda berpakaian kuning itu dapat menduga 
sosok itu sengaja menghadang perjalanannya. 

Menyadari hal ini, pemuda itu memperlambat laju 
kudanya. Sementara pandangannya tetap di arahkan pada 
sosok yang menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa 
sosok yang begitu usil itu! Semakin lama jarak antara mereka 
semakin dekat. Hingga ciri-ciri sosok itu semakin jelas 
terlihat. 

"Ahhh...!" 

Jeritan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian 
kuning ketika melihat jelas sosok yang menghadang 
perjalanannya. Sosok itu ternyata seorang pemuda berusia 
dua puluh tahun dan berpakaian coklat. Dari sikapnya dapat 
diketahui kalau pemuda berpakaian kuning itu mengenai 
penghadangnya. Terbukti beberapa saat kemudian. 

"Kakang Braja Denta! Mengapa berada di sini, Kang?! 
Guru amat mencemaskan keadaanmu," ujar pemuda 
berpakaian kuning itu pelan. 

Sambil berkata demikian, pemuda berpakaian kuning 
melompat turun dari punggung kuda. Kemudian, 
dituntunnya binatang itu menghampiri sosok itu yang 
ternyata Braja Denta. 

"Hm...!" 

Tanggapan yang diberikan pemuda berpakaian coklat 
hanya dengusan. Hingga pemuda berpakaian kuning terkejut. 
Itu terlihat jelas pada riak di wajahnya. Tapi cepat-cepat 
ditutupinya dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya 
terus diayunkan mendekati Braja Denta. 

"Tidak usah berpura-pura ramah, Salya!" sentak Braja 
Denta kasar. "Kehadiranku di sini bukan untuk beramah- 
tamah denganmu. Tapi untuk menuntaskan masalah kita!" 

Seketika itu pula, pemuda berpakaian kuning yang 
tidak lain Salya, menghentikan langkah. Pemuda itu segera 
menyadari akan teijadinya peristiwa yang tidak diharapkan. 
Maka dia bersikap waspada. Kini dirinya berdiri di hadapan 
Braja Denta dalam jarak tiga tombak! 

"Apa maksudmu, Kang? Aku tidak mengerti?" tanya 
Salya berpura-pura tidak tahu. 

Pemuda berpakaian kuning itu sengaja mengajukan 
pertanyaan seperti itu untuk memastikan kebenaran 
dugaannya. Dia menduga, Braja Denta sengaja mencegatnya 
untuk mencari keributan 

"Tidak usah berpura-pura, Salya!" sergah Braja Denta. 
"Kau dan guru telah bersekongkol mengucilkan aku. Guru 
menganak emaskan dirimu, sedangkan aku dianak tirikan! 
Kau diberikan Golok Api dan Wardani! Tapi aku?! Sekarang 
aku akan menuntut hak-hakku! Berikan Gobk Api padaku, 
Salya! Atau... aku akan mengambilnya secara paksa!" 

Sekarang Salya yakin kalau keributan antara dia dan 
kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka tali 
kekang kudanya dilepaskan. 

"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Salya pada 
binatang tunggangannya. 

Seperti mengerti perintah majikannya, kuda coklat itu 
berlari mencongklang meninggalkan tuannya. Binatang itu 
menuju hamparan rumput hijau yang terletak di kanan kiri 
jalan. 

Braja Denta menatap kuda coklat itu sesaat. 
Mulutnya menyunggingkan senyum keji. 

"Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang sekali dia 
harus mati...!" datar ucapan Braja Denta. 

Hati Salya langsung tercekat. Dia merasakan ada 
ancaman atas diri kudanya dalam ucapan kakak 
seperguruannya. 

"Apa... apa maksudmu, Kang...?" tanya Salya. 

"Sederhana saja," jawab Braja Denta tenang. "Aku 
ingin membunuh kuda itu." 

"Apa?!" sentak Salya kaget. "Kau gila, Kang! Jangan 
harap aku akan membiarkanmu melakukan tindakan keji 
itu!" 

"Ha ha ha...!" 

Tanggapan atas pernyataan Salya adalah tawa gelak 
Braja Denta. Tawa itu terdengar menyeramkan karena 
nadanya yang aneh, keras, berat, tapi bergaung. Bahkan 
tanpa sadar bulu kuduk Salya merinding. 

"Kau ingin mencegahnya, Salya?! Ha ha ha...! Cobalah 
kalau kau mampu...!" 

Setelah berkata demikian, Braja Denta menge-luarkan 
siulan. Nadanya terdengar aneh. 


kkk 


Tindakan Braja Denta membuat Salya heran. Apa 
yang hendak dilakukan Braja Denta? Tanya pemuda 
berpakaian kuning itu dalam hati. Ternyata Salya tidak perlu 
menunggu lama untuk mengetahui maksud siulan Braja 
Denta. Karena sesaat kemudian, terdengar ringkikan 
kudanya. Ringkik ketakutan dan kegplisahan. 

Salya tampak keheranan. Apa yang teijadi dengan 
binatang tunggangannya sehingga gelisah begitu? Dengan 
agak terburu-buru, tanpa melepaskan perhatiannya pada 
Braja Denta karena takut dibokong, Salya memandang 
sekilas ke arah kudanya berlari. 

Salya langsung terkejut! Binatang tunggangannya 
tampak sangat ketakutan! Kudanya itu berlari cepat 
meninggalkan tempat itu sambil mengeluarkan ringkikan 
nyaring. 

"Kilat...! Kembali...!" seru Salya keras. 

Tapi kuda coklat itu tidak mempedulikan 
panggilannya. Binatang itu terus berlari. Hingga Salya 
bingung bercampur heran. Sebab, sebelumnya tidak pernah 
sekali pun kuda itu membangkang perintahnya. 

Tapi sebelum Salya berbuat sesuatu, terdengar bunyi 
mendesis. Tidak hanya satu. Tapi banyak. Dan diiringi 
dengan tersibaknya rerumputan di sekitar tempat itu. 

"Aaakh...!" 

Tanpa sadar Salya mengeluarkan jeritan kaget. 
Karena pemandangan mengerikan yang tampak di 
hadapannya. Ratusan, bahkan mungkin ribuan ular dari 
berbagai jenis dan ukuran merayap cepat mengejar kudanya! 

Untuk sesaat Salya melupakan kehadiran Braja 
Denta. Pemandangannya terpaku pada ribuan ekor ular itu. 
Berbagai pertanyaan bergayut di benaknya. Mengapa ular- 
ular itu datang berbondong-bondong? Mengapa meieka 
seperti mencecar kudanya? 

"Kuda bagus itu tidak akan selamat." 

Ucapan Braja Denta membuat Salya sadar dari 
ketertegunannya. Segera perhatiannya dialihkan pada Braja 
Denta. Pemuda berpakaian coklat itu balas menatapnya. 

"Kuda itu akan mati dengan seluruh daging di 
tubuhnya lenyap. Ular-ular itu akan berpesta pora," 
terdengar sangat yakin ketika Braja Denta mengpmukakan 
pernyataannya. 

Salya tersenyum untuk menutupi perasaan cemasnya 
akan keselamatan kudanya. 

"Kau keliru, Kang. Kuda itu bukan binatang 
sembarangan. Di samping cerdik, larinya pun cepat. Dengan 
mudah dia akan meninggalkan ular-ular yang memburunya." 

"Jangan terlalu yakin, Salya," bantah Braja Denta. 
"Apa kau tidak melihat hamparan rumput itu? Tempat 
berakhirnya padang rumput ini tak kurang dua ratus tombak 
dari sini. Sebelum kudamu yang cerdik itu tiba, ular-ular itu 
telah berada di sana. Apakah kau masih berkeyakinan kuda 
itu akan lolos dari maut?!" 

Ada nada ejekan dalam ucapan Braja Denta. Apalagi 
saat pernyataan itu ditutup dengan gelak tawanya yang aneh. 

Tapi Salya tidak sempat memperhatikan semua itu. 
Pandangannya telah dialihkan pada tempat hamparan 
rumput itu berakhir. Seketika itu pula hatinya tercekat. 
Kudanya baru mencapai setengah perjalanan. Padahal Salya 
berani bertaruh kalau saat itu di ujung sana telah berkumpul 
ratusan bahkan mungkin ribuan ekor ular. Binatang melata 
itu telah siap menjarah tubuh kudanya. 

"Kilat...!" teriak Salya bingung. 

Pemuda berpakaian kuning itu menyadari kalau 
nyawa kudanya tidak akan tertolong lagi. Jalan keluar bagi 
binatang itu sudah tidak ada lagi. Di ujung ular-ular lain 
menunggu, sedangkan di belakangnya mengejar. Kuda coklat 
itu telah terkepung. 

Salya tahu keberadaan ular-ular itu bukan terjadi 
secara kebetulan. Ada sebuah kekuatan aneh yang memaksa 
ular-ular itu berkumpul di situ dan mengejar Kilat. Tanpa 
perlu berpikir lama, pemuda itu tahu siapa yang telah 
mengumpulkan binatang melata itu. Siapa lagi kalau bukan 
Braja Denta? Siulan itulah yang telah mendatangkan ular- 
ular! 

Sadar akan bahaya maut yang tengah mengancam 
kudanya, Salya memutuskan untuk memberikan 
pertolongan. Meskipun rasanya sulit untuk dilakukan, tapi 
setidak-tidaknya tidak ada penyesalan di hatinya bila telah 
diusahakan untuk memberikan pertolongan. 

Setelah mengambil keputusan demikian, Salya 
bergegas membalikkan tubuh dan melesat menuju arah yang 
ditempuh kudanya. Tapi.... 

"Mau ke mana, Salya?!" Seiring dengan keluarnya 
pertanyaan bernada bentakan itu, sesosok bayangan coklat 
berkelebat melewati kepala Salya. Dan.... 

Jliggg! 

Ringan laksana sehelai daun kering Braja Denta 
mendaratkan kedua kakinya di depan Salya. Jarak antara 
mereka terpisah sekitar dua tombak. 

Salya tampak tersentak kaget. Dirinya telah 
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi 
mengapa dengan demikian mudah Braja Denta berhasil 
mencegatnya? Padahal Salya yakin Braja Denta tidak 
mungkin dapat melakukan tindakan seperti itu! 

Mungkinkah hanya dengan lenyap beberapa hari 
kepandaian Braja Denta dalam ilmu meringankan tubuh bisa 
meningkat sepesat itu? Rasanya mustahil! Salya lebih 
condong pada dugaan kalau tadi dia bergerak kurang cepat! 

Perasaan cemas akan keselamatan Kilat membuat 
Salya tidak dapat berpikir jernih. Tadi dia telah menduga 
ular-ular itu datang karena siulan Braja Denta. Mengapa itu 
tidak menjadi pertanyaan baginya? Karena bukankah Kidang 
Loka tidak pernah mengajarkan ilmu seperti itu? 

"Kumohon kau bersedia menyingkir dari situ, Kang?" 
pinta Salya. 

"Dan membiarkan kau membantai ular-ular itu, 
Salya?" ejek Braja Denta sinis. "Jangan harap!" 

"Kakang..!" 

Salya masih berusaha memohon ke sediaan kakak 
seperguruannya. 

"Tutup mulutmu, Salya! Biarkan binatang-binatang 
itu dengan urusannya. Kita pun mempunyai urusan sendiri!" 
potong Braja Denta keras. 

"Kalau begitu, terpaksa aku akan menolongnya 
setelah mengurusmu lebih dulu!" terdengar penuh kegeraman 
ucapan Salya. 

"Itu lebih baik!" sahut Braja Denta gembira. Karena 
memang itu yang ditunggu-tunggunya. 

Wuttt! 

Salya mengawali jurus 'Kalajengking'nya dengan 
sebuah sampokan 1$ arah pelipis! 

"Hmh...!" dengus Braja Denta perlahan. Pemuda itu 
tetap berdiri di tempatnya. Namun, begitu serangan 
menyambar dekat, tangan kirinya segera digerakkan untuk 
memapak. Hingga.... 

Takkk! 

Dan pemuda berpakaian coklat itu segera 
menghentikan ucapannya. Saat itu, Salya telah melancarkan 
serangan ke arahnya. Tak tanggung-tanggung lagi, pemuda 
berpakaian kuning itu menggunakan jurus 'Kalajengking'nya! 

Salya mempunyai alasan kuat untuk langsung 
menggunakan ilmu andalan itu. Diketahuinya kalau Braja 
Denta memiliki tingkat kepandaian tinggi, yang hanya 
berselisih sedikit dengannya. Bertindak setengah-setengah 
hanya akan membuang tenaga dan waktu dengan sia-sia. 

Wuttt! 

Deru angin teras terdengar ketika serangan Salya meluncur. 
Pemuda berpakaian kuning itu mengawalinya dengan sebuah 
sampokan tangan kanan ke arah pelipis! 

"Hmh.J" 

Braja Denta mendengus melihat serangan itu. 
Sikapnya tampak tenang. Pemuda itu tetap berdiri di 
tempatnya. Tak ada tanda-tanda dia akan menangkis atau 
mengelakkan serangan itu. 

Baru ketika serangan itu menyambar dekat, tangan 
kirinya digerakkan memapaki datangnya serangan. Dan itu 
dilakukannya sambil lalu! Sikapnya menunjukkan kalau 
serangan Salya bukan hal yang patut dihadapi sungguh- 
sungguh. 

Meskipun heran, Salya tak mempedulikannya. Saat 
itu yang ada di benaknya hanya satu, merobohkan Braja 
Denta secepatnya agar bisa menolong Kilat. Hingga.... 

Takkk! 

"Akh...!" 

Jeritan kesakitan terdengar ketika tangannya 
berbenturan dengan tangan Braja Denta. Rasa sakit dan 
ngilu mendera bagian yang beradu! Tidak hanya itu. Tubuh 
pemuda berpakaian kuning itu terhuyung ke belakang. 

Itu cukup untuk membuat Salya kaget. Benarkah 
tenaga Braja Denta demikian kuat sehingga mampu 
membuatnya terhuyung-huyung? Bukankah selama ini 
tenaganya yang lebih kuat? Adakah sebuah kesalahan di 
sini? Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Salya. 

Dan belum lagi kekagetan hatinya lenyap, dengan 
kecepatan yang menakjubkan tangan kiri Braja Denta yang 
tadi memapaki tangannya telah meluncur cepat. Dan.... 

Tappp! 

Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Salya berhasil 
dicekal! Hingga pemuda berpakaian kuning itu menjadi 
gugup. Segera Salya berusaha membebaskan dengan cara 
menariknya. Tapi usaha itu hanya mudah direncanakan dan 
dipikirkan, daripada dilaksanakan. Betapapun ia telah 
berusaha sekuat tenaga menariknya, tetap saja tidak 
bergeming. 

"Keluarkan semua tenagamu, Salya," ujar Braja Denta 
dengan senyum mengejek. 

Untuk kesekian kalinya Salya harus menerima 
kenyataan yang mengejutkan. Kini disadarinya Braja Denta 
telah berubah. Braja Denta kini memiliki kepandaian yang 
amat tinggi! Terbukti dia tak berhasil melepaskan tangannya 
dari Braja Denta! 

"Ha ha ha...!" 

Berbeda dengan Salya yang mengeluarkan su-ara ah 
ah uh uh dari mulutnya, Braja Denta tertawa-tawa. Padahal 
bagi Salya, jangankan untuk tertawa, mengeluarkan ucapan 
pun sulit! Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam 
Braja Denta berada jauh di atas Salya. 

"Sekarang giliranku, Salya!" Setelah berkata begitu, 
Braja Denta meremas tangan Salya. 

"Akh!" 

Salya melolong kesakitan seiring dengan terdengarnya 
bunyi berkerotokan tulang-tulang hancur berpatahan. Dan 
sebelum Salya sempat berbuat sesuatu, mendadak Braja 
Denta menarik tangannya. Sehingga tubuh pemuda 
berpakaian kuning itu tertarik ke depan. Sambungan tulang 
bahunya terlepas karena kerasnya sentakan itu. Tindakan 
Braja Denta tidak hanya sampai di situ. Tangannya bergerak 
mengibas. 

"Aaa...!" 

Salya menjerit ngeri ketika tubuhnya melayang deras 
ke belakang. Meskipun demikian, dia masih mampu 
menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah 
dipecundangi. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu 
berhasil mematahkan daya dorong tubuhnya, dan mendarat 
di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Memang tidak begitu 
mantap, karena dia sempat terhuyung-huyung. Namun begi¬ 
tu telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Salya langsung 
mencabut senjatanya yang terselip di pinggang, Golok Api! 

Srattt! 

Secercah sinar kemerahan mencuat ketika golok 
pusaka itu keluar dari sarungnya. 

"Golok Api," desis Braja Denta dengan perasaan 
tertarik 

Dengan penuh minat pemuda berpakaian coklat itu 
menatap gobk yang berada di tangan Salya. Tampak tersirat 
kekaguman yang mendalam pada sorot mata Braja Denta. Itu 
memang wajar. Sebab Golok Api memang patut untuk 
dikagumi. Ada perbawa mengerikan yang memancar dari 
badan golok merah membara seperti besi dibakar itu! 

Salya tidak mempedulikan sikap Braja Denta. Semua 
perhatiannya dipusatkan pada golok yang tergenggam di 
tangan kirinya. Sebab jari-jari tangan kanannya telah 
hancur? 

Wuk wuk wuk! 

Brrrlll...! 

Api menyembur ketika Salya memutar golok itu. 
Memang hanya kecil, tapi cukup untuk mengundang decak 
kagum Braja Denta. 

"Salya...! Mengapa kau memegang ular?!" ucap Braja 
Denta dengan suara bergetar penuh kekuatan gaib. "Apa kau 
tidak takut dipatuk?!" 




Salya merasa heran mendengar ucapan Braja Denta. 
Tapi anehnya ada suatu kekuatan yang memaksanya untuk 
melihat golok yang tergenggam di tangannya. 

"Ah...!" 

Salya berseru kaget melihat yang tergenggam di 
tangannya, seekor ular kobra! Yang lebih mengerikan, ular 
itu telah siap mematuknya. Melihat ada bahaya maut tengah 
mengancam dirinya, tanpa pikir panjang Salya melemparkan 
ular itu! 

Keanehan kcmbali teijadi. Begitu ular kobra itu jatuh 
di tanah, tiba-tiba berubah menjadi... Golok Api! Salya pun 
sadar kalau dirinya telah ditipu. Braja Denta pasti telah 
menggunakan ilmu sihir untuk membuatnya melepaskan 
Golok Api! Tapi dari mana Braja Denta mempelajari ilmu sihir 
itu? Salya tidak habis mengerti. 

Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, cepat Salya 
melesat 1$ tempat Golok Apinya tergolek. Pemuda berpakaian 
kuning itu bermaksud mengambil kembali senjatanya. Tapi 
Braja Denta tidak membiarkan hal itu teijadi. Pemuda itu 
melesat menuju tempat Golok Api berada. 

Kreppp! Tappp! 

Bertepatan dengan tergenggamnya gagang Golok Api 
itu oleh Salya, kaki Braja Denta menginjak gagangnya. 
Padahal letak golok itu lebih dekat dengan Salya. Dan lagi 
pemuda berpakaian kuning itu lebih dulu bergerak. Tapi 
Braja Denta mampu menggagalkan tindakan Salya. 

Tentu saja kenyataan itu membuat Salya terkesiap. 
Tidak mungkin lagi baginya mendapatkan Golok Api. Apalagi 
saat itu kedudukannya sangat tidak menguntungkan. Dia 
berada dalam sikap merangkak. Sedangkan Braja Denta 
berdiri tegak. Kedudukannya membuat lawan mudah 
menjatuhkan serangan maut. 

Menyadari akan kedudukannya yang berbahaya, 
Salya tidak ragu-ragu lagi melepaskan senjata pusaka. Buru- 
buru cekalannya dilepaskan. Lalu, tubuhnya dilempar ke 
belakang. Dan pada saat yang bersamaan Braja Denta 
mengirimkan tendangan ke arah kepala dengan kaki kirinya. 

Wuttt! 

Bukkk! 

"Hukh!" 

Keuntungan masih berpihak pada Salya. Berkat 
tindakan cepatnya, tendangan Braja Denta tidak mendarat di 
sasaran. Tapi mengpnai dada kanan sebelah atas. Cukup 
keras! Hingga Salya mengeluarkan darah segar dari 
mulutnya. Dan tubuhnya melayang jauh ke belakang seperti 
layang-layang putus. 

Saat itulah Braja Denta yang bermaksud melenyapkan 
Salya, melompat menyusul. Kedua tangannya dengan jari-jari 
tangan terbuka dihentakkan ke depan. Sudah dapat 
dipastikan nyawa Salya akan melayang ke alam baka. Sebab 
pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak berdaya. Dia ti¬ 
dak mampu berbuat sesuatu. 

Tapi rupanya Tuhan masih belum mau mencabut 
nyawa Salya. Di saat yang amat gawat itu melesat dua sosok 
bayangan. Putih dan ungu. Sosok bayangan putih 
menangkap tubuh Salya. Sedangkan sosok bayangan ungu 
memapaki hentakan kedua tangan Braja Denta dengan cara 
yang sama! 

Blarrr! 

Benturan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu 
terdengar ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam 
tinggi berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh Braja Denta dan 
sosok bayangan ungu teijengkang ke belakang. Tapi dengan 
gerakan manis yang indah dilihat, Braja Denta dan sosok 
bayangan itu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah 
dengan mantap. Kemudian saling pandang dengan sorot mata 
penuh selidik. 

"Ah...!" 

Hampir bersamaan jeritan kaget keluar dari mulut 
Braja Denta dan sosok bayangan ungu. Bahkan sosok 
bayangan putih pun mengeluarkan jeritan kaget pula, 
meskipun agak terlambat. Ternyata mereka bertiga sudah 
pernah bertemu sebelumnya. Di depan tanah pemakaman di 
pinggir Desa Alas Ngampar. 

Sekarang dapat diketahui siapa sosok bayangan putih 
dan ungu itu. Ya! Dewa Arak dan Melati! 


kkk 



"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?" tanya 
Braja Denta tidak senang. 

"Aku Aiya. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam 
urusan ini. Hanya aku tidak bisa tmggal diam melihat 
ketidakadilan berlangsung di depan mataku!" jawab Dewa 
Arak mantap. 

"Sombong! Rupanya kau sudah ingim mampus, 
hehhh...?! Heh...!" 

Usai berkata demikian, Braja Denta langsung 
menerjang! Pemuda berpakaian coklat itu membuka 
serangannya dengan sebuah tendangan terbang ke arah dada 
Aiya. 

Wuttt! 

Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono. 
Disadarinya betapa berbahaya serangan semacam ini. Dia 
tahu kalau ditangkisnya akan menimbulkan banyak 
kerugian. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu saja 
sudah dahsyat. Apalagi ditambah dengan tenaga luncuran. 
Maka kedahsyatannya jadi berlipat ganda. Dan bila 
tendangan itu ditangkis kaki yang satunya pasti akan 
menyusul. Padahal saat itu kedudukannya tidak 
memungkinkan. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk 
mengelak. 

"Hih!"Dewa Arak mengelak dengan lompatan harimau 
ke samping kanan. Kemudian dengan bertumpu pada kedua 
tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya, tendangan Braja 
Denta mengenai tempat kosong! 

"Hup!" 

Begitu Braja Denta mendaratkan kaki di tanah, Dewa 
Arak telah berhasil memperbaiki kedudukan. Sekarang 
mereka berdiri berhadapan dalam jarak tujuh tombak! 
Masing-masing bersikap waspada karena lawan berilmu 
tinggi. 

Mendadak Braja Denta memasukkan tangan 
kanannya 1$ balik baju. Melihat hal itu Dewa Arak pun 
bersiap-siap menghadapi. Pemuda berambut putih keperakan 
itu menduga lawan akan mengeluarkan senjata rahasia. 

Hanya sebentar tangan Braja Denta masuk ke balik 
baju. Sesaat kemudian telah keluar kembali. Di tangannya 
tergenggam sesuatu. Sayang Dewa Arak tidak sempat 
melihatnya. Karena Braja Denta sengaja menyembunyikan. 

Dengan mendadak dan tidak disangka-sangka, Braja 
Denta melemparkan benda yang digenggamnya. Tidak 
dilemparkan ke tubuh Dewa Arak, tapi dilemparkan ke atas. 

"Lihat, Aiya! Naga peliharaanku akan 
menerkammu...!" ucap Braja Denta penuh wibawa. Ada 
getaran kuat yang mengandung kekuatan aneh di dalamnya. 

Akibatnya memang hebat Dewa Arak melihat di 
depannya, tepatnya di udara, tampak seekor naga. Warnanya 
hijau. Dan ketika binatang itu membuka mulurnya, terlihat 
gigi-giginya yang runcing bagai pedang. 

"Brrrlll!" 

Segundukan api menyambar ke arah tubuh Dewa 
Arak ketika naga hijau itu meniup. 

Dewa Arak tidak berani bertindak gpgabah. Bergegas 
tubuhnya dilemparkan ke samping. Akibatnya, semburan api 
yang keluar dari mulut naga itu menjilat tanah. 

Baru saja Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, naga 
itu kembali melancarkan serangan. Seperti juga sebelumnya, 
binatang yang konon hanya ada dalam dongeng itu 
menyemburkan apinya ke arah Dewa Arak. Lagi-lagi Dewa 
Arak mengelakkan senjata itu dengan cara yang sama. Tapi, 
kali ini Dewa Arak mengirimkan serangan pada naga itu. 
Tangan kirinya dikibaskan. 

Wusss! 

Hampir berbarengan dengan tibanya semburan api 
naga hijau itu ke tanah yang semula dijadikan tempat berdiri 
Dewa Arak, serangan Dewa Arak telak mengpnai tubuh naga! 

Pyarrr! 

Ajaib! Begitu terkena hantaman itu tubuh naga hijau 
hancur berantakan. Hingga memaksa Dewa Arak 
menggulingkan tubuhnya menjauh, agar tidak terkena 
percikan darah dan daging naga itu! 

"Hup!" 

Setelah bergulingan beberapa kali di tanah, Dewa 
Arak bangkit. Pandangannya segera dilayangkan ke arah 
tempat naga tadi hancur terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi 
tidak ada sesuatu pun dijumpainya di sana. Tidak ada 
percikan darah, juga potongan-potongan daging. Yang 
tergeletak di tanah hanya sebilah pisau yang hancur 
berantakan! 

Dewa Arak segera sadar kalau dirinya telah tertipu. 
Yang dihadapinya tadi bukan naga sungguhan, melainkan 
naga hasil ciptaan seorang tukang sihir yang hebat. Seketika 
itu juga Dewa Arak teringat kembali pada Braja Denta. Tapi 
pemuda berpakaian coklat itu telah pergi. Rupanya di saat 
Dewa Arak tengah sibuk bertarung dengan naga ciptaannya, 
Braja Denta melarikan diri. 

Yang ada hanya Melati dan Salya. Gadis berpakaian 
putih itu berdiri dengan sepasang mata memancarkan 
kebingungan. Sementara di sebelahnya, Salya tergolek 
pingsan. 

"Sebenarnya..., apa yang teijadi, Kang?" tanya Melati 
ketika Aiya menghampiri. 

"Aku tak mengerti maksudmu, Melati?" Aiya malah 
balas bertanya. 

"Aku bingung, Kang. Tadi kulihat kau bertarung 
dengan seekor naga yang entah dari mana munculnya. 
Binatang itu menyerangmu membabi buta. Tapi tubuhnya 
langsung hancur berantakan ketika pukulan jarak jauhmu 
mengenainya. Anehnya, tidak ada potongan tubuh naga itu. 
Yang ada hanya sebuah pisau!" Melati mengutarakan hal-hal 
yang mengganjal hatinya. 

"Itu sihir, Melati!" jawab Aiya tanpa menggurui. 

Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu 
memuji kedahsyatan sihir lawan. Padahal sihir itu ditujukan 
untuknya, tapi pandang mata Melati ternyata terpengaruh 
juga. Ini menunjukkan kalau sihir Braja Denta amat ampuh. 

"Oooh...!" 

Mulut Melati membentuk bulatan. Dan kepalanya 
mengangguk-angguk tanda mengprti. 

"O, ya. Bagaimana keadaan orang itu, Melati?" tanya 
Aiya ketika pandang matanya tertumbuk pada tubuh Salya 
yang tergolek. 

"Dia terluka, Kang. Cukup parah. Tapi tidak 
membahayakan nyawanya. Tapi sudah kuberikan obat yang 
dapat meringankan luka-lukanya. Aku yakin tak lama lagi dia 
akan sadar," jelas Melati. 

"Syukur kalau begitu. Dengan demikian, pertolongan 
yang kita berikan tidak sia-sia. Nanti bila dia sadar kita bisa 
tanyakan penyebab pertempurannya dengan ahli sihir itu," 
ujar Aiya. 

Melati hanya mengangkat sebelah alisnya yang indah. 
Entah apa maksudnya. Hanya dia yang tahu. 

"Kakang...!" 

"Apa, Melati?" tanya Aiya sambil menatap wajah 
kekasihnya penuh selidik. 

"Bukankah orang itu yang kita temui di dekat 
pemakaman di pinggir Desa Alas Ngampar?" 

"Benar. Lalu, kenapa?" tanya Aiya belum mengerti 
maksud pertanyaan kekasihnya. 

"Tidak apa-apa, Kang. Aku hanya ingin menyatakan 
kebenaran dugaanku. Maksudku..., aku yakin orang itu 
tokoh sesat," ujar Melati mengemukakan dugaannya. 

Dewa Arak mengangkat bahu. 

"Mungkin kau benar, Melati. Tapi rasanya ada yang 
lain pada diri orang itu. Maksudku, bila dibandingkan 
dengan saat pertama kali kita bertemu. Saat ini aku 
merasakan ada bau asing di dalam dirinya. Seperti ada 
makhluk dari alam lain di dalam tubuhnya." 

Melati terdiam. Sedikit pun tidak diremehkannya 
keterangan Aiya. Sebab Melati tahu kekasihnya memiliki 
perasaan yang peka. Sering kali dugaannya benar. Dewa Arak 
mempunyai naluri yang kuat. 

Di saat sepasang muda-mudi berwajah elok itu tengah 
terdiam, dan tenggelam dalam alun pikiran masing-masing. 
Tiba-tiba.... 

"Uuuh...!" 

Terdengar suara keluhan. Memang tidak keras. Tapi 
amat jelas tertangkap telinga Dewa Arak dan Melati. Serentak 
keduanya mengalihkan perhatian ke arah suara itu. 

Tampak tubuh Salya bergerak-gerak. Kelopak 
matanya berkedip-kedip pertanda pemuda berpakaian coklat 
itu telah sadar. Salya mengedarkan pandangan ke sekeliling 
dengan alis berkemyit dalam. Rupanya dia masih belum ingat 
akan kejadian yang dialaminya. Tatapan matanya berhenti 
ketika membentur sosok Aiya dan Melati. 

"Siapa kalian?" tanya Salya seraya mencoba bangkit. 
Mulutnya menyeringai ketika rasa sakit mendera. Dengan 
tatapan heran, diperhatikannya bagian-bagian yang terasa 
nyeri. "Mengapa aku terbaring di sini?" 

"Kami pengelana yang kebetulan lewat di sini. Dan 
melihat kau terancam maut di tangan seorang pemuda 
berpakaian coklat. Kami mencoba menyelamatkanmu dari 
tangannya. Kini orang yang melukaimu kabur," jawab Aiya. 

"Ah! Aku ingat sekarang! Ya! Aku bertempur dengan 
kakak seperguruanku. Tapi aku kalah. Dadaku terkena 
tendangannya. Ya...! Tidak salah lagi," ujar Salya. Dahinya 
dikernyitkan untuk meng-ingat kejadian itu. "Terima kasih 
atas pertolongan yang kalian berikan. Kalau tidak ada kalian 
mungkin saat ini aku tinggal nama saja." 

"Lupakanlah, Kisanak," sahut Aiya cepat. "Untung 
saja orang itu tidak meneruskan tindakannya. Kalau tidak, 
mungkin kami juga akan celaka di tangannya. O ya, apakah 
benar dia kakak seperguruanmu? Kalau benar, mengapa dia 
ingin membunuhmu, Kisanak?" 

"Ceritanya cukup panjang.... Eh, boleh kutahu siapa 
namamu, Kisanak?! Namaku Salya." 

"Aku Aiya," jawab Aiya menyebutkan nama-nya. "Dan 
kawanku ini Melati." 

"Bagaimana, Aiya? Apakah kau masih ingin 
mengetahui penyebab kakak seperguruanku ingin 
membunuhku?" 

"Kalau kau tidak keberatan, dengan senang hati kami 
akan mendengarkan," sahut Aiya tenang. 

"Kalau begitu, baiklah." 

Salya lalu menceritakan semuanya. Tidak ada yang 
dilewatkan. Entah mengapa terhadap Aiya dan Melati dia 
percaya! 

"Ah! Jadi dia memendam rasa dendam terha-apmu 
dan gurumu?! Kalau begitu, dia pasti mendatangi gurumu!" 
duga Aiya. 

"Ah! Kau benar, Aiya! Kalau memang demikian, aku 
harus segera kembali untuk memberitahukan beliau akan 
ancaman Braja Denta. Aku khawatir beliau akan celaka di 
tangan Braja Denta," ujar Salya penuh kecemasan. 

Aiya dan Melati bertukar pandang. 

"Apakah kc kh a wa tiran mu tak berlebihan, Salya?" 
tanya Aiya mengingatkan. "Mana mungkin Braja Denta 
mampu mencelakakan gurumu yang juga gurunya? Entah 
kalau dia menggunakan siasat licik." 

"Kau tidak tahu, Aiya. Braja Denta yang sekarang 
jauh berbeda dengan Braja Denta beberapa hari yang lalu." 

"Aku belum mengsti maksudmu, Salya?" ujar Aiya 
tanpa menyembunyikan perasaan heran yang membias di 
wajahnya. 

Gambaran perasaan yang sama tersirat di wajah Melati. 

"Beberapa hari yang lalu, Braja Denta bukan orang 
yang pantas ditakuti. Aku tidak menyombongkan diri kalau 
kukatakan tingkat kepandaiannya berada di bawahku. 
Tapi..., sejak pergi tanpa pamit beberapa hari yang lalu 
kepandaiannya meningkat pesat. Dan memiliki ilmu-ilmu 
gaib. Di antaranya sihir dan ilmu memanggil ular." 

Kemudian Salya mengalihkan pandangannya ke arah 
tulang-belulang seekor kuda yang tergeletak tak jauh dari 
tempat mereka. 

"Semula tulang-belulang itu adalah kuda yang cerdik 
dan mampu berlari cepat. Tapi Braja Denta dengan 
kemampuannya memanggil dan menguasai ular telah 
membuat kuda milikku tinggal onggokan tulang yang tidak 
berguna," urai Salya dengan ke-edihan yang mendalam. 

"Kalau begitu, Braja Denta amat berbahaya. Lebih 
cepat kita tiba di tempat gurumu lebih baik," usul Aiya. 

"Kita?!" 

Sepasang alis Salya berkerut heran mendengar 
ucapan Dewa Arak. 

"Oooh..., maaf. Kami memang bermaksud melihat 
Braja Denta. Tentu saja bila kau mengizinkannya, Salya?" 
ucap Aiya hati-hati. 

"Mengapa tidak? Mari kita berangkat!" ajak Salya. 

Sesaat kemudian, ketiga orang muda itu melesat cepat 
meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka ke tempat tinggal 
Kidang Loka! 




"Guru...! Guru...!" 

Jarak dirinya dengan pondok Kidang Loka masih 
jauh, tapi Salya yang tengah dilanda kekhawatiran yang 
sangat akan keselamatan kakek berpakaian putih itu telah 
be rte riak-te riak. 

Sementara Dewa Arak dan Melati yang berada di 
sebelah Salya mengedarkan pandangan 1$ sekeliling. 
Sebelum akhirnya berhenti pada pondok Kidang Loka. 
Pondok itu berdiri di hamparan tanah lapang yang luas dan 
datar. 

"Guru...!" 

Sambil memanggil-manggil Kidang Loka, Salya terus 
mengayunkan kaki mendekati pondok. Sikapnya terlihat 
tidak sabaran. Hingga Dewa Arak khawarir. Apalagi ketika 
melihat Salya hendak menerobos masuk ke dalam pondok. 

"Hati-hati, Salya. Mungkin saja Braja Denta berada di 
dalam," ucap Aiya mengingatkan. 

Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir 
terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri Salya. 

Padahal, pemuda berpakaian kuning itu baru saja 
sembuh dari luka dalamnya, berkat obat mujarab Melati! 

Tapi Salya seperti tidak mendengar peringatan itu. 
Kakinya terus diayunkan memasuki pondok. Mau tidak mau, 
Dewa Arak dan Melati mengikutinya. Sikap mereka terlihat 
waspada. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Salya 
untuk membuktikan rumah itu kosong. Tidak ada seorang 
pun di dalamnya. 

Salya langsung kebingungan. Tapi itu hanya 
berlangsung sesaat. Karena sesaat kemudian, pemuda itu 
teringat akan tempat yang biasa dikunjungi gurunya, air 
terjun. Tanpa membuang waktu lagi, Salya melesat 1$ sana 
dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. 
Disusul Arya dan Melati. Ketiga orang muda itu melesat cepat 
menuju air terjun. Salya berada di depan. Pemuda itu 
bertindak sebagai penunjuk jalan. 

Meskipun jarak pondok Kidang Loka dengan air terjun 
cukup jauh, tapi karena ketiga orang itu berlari cepat maka 
tak berapa lama tempat itu sudah terlihat 

Dan seiring dengan terlihatnya air terjun, terutama 
batu besar yang biasa dijadikan tempat duduk Kidang Loka, 
seketika itu pula tiga pasang mata muda-mudi itu 
membelalak lebar. Di sisi batu besar itu tampak bersandar 
sesosok tubuh berpakaian putih. Sebenarnya tidak pantas 
dikatakan bersandar karena kedua kaki sosok itu tidak 
menginjak tanah! 

"Guru...!" 

Salya berseru serak memanggil sosok berpakaian 
putih yang seperti tengah bersandar. Perasaan khawatir 
berkecamuk dalam dada pemuda berpakaian kuning itu. 
Sikap gurunya terlihat janggal! 

Dan bukan hanya Salya saja yang dilanda perasaan 
itu. Dewa Arak dan Melati pun demikian pula. Itu sebabnya 
kecepatan lari mereka ditingkatkan. 

Kekhawatiran ketiga orang muda ini ternyata 
beralasan. Kidang Loka tidak sedang bersandar, tapi 
ditempelkan! Empat batang pedang yang ditancapkan pada 
bawah bahu dan paha hingga tembus ke batu membuat 
tubuh Kidang Loka tidak merosot. 

"Guru...!" jerit Salya pilu melihat nasib gurunya yang 
demikian mengenaskan. 

Perlahan-lahan kelopak mata Kidang Loka membuka. 
Kakek ini belum mati. 

"Salya...," ucap Kidang Loka dengan susah payah. 
Pelan sekali, lebih mirip bisikan. 

"Guru...!" seru Salya serak. "Akan kubalas kekejian 
ini! Akan kubunuh dan kurobek-robek dagingmu, Braja 
Denta!" 

"Jangan lakukan itu, Salya. Kau bukan tandingannya. 
Meskipun kelihatannya Braja Denta, sebenarnya ada roh 
orang lain di dalam raganya. Kau ingat ceritaku mengenai 
Raja Sihir Berhati Hitam?!" 

Salya hanya bisa mengangguk. Pemuda itu tidak 
mampu menjawab. Lidahnya terasa kelu melihat keadaan 
gurunya. Kalau menuruti perasaan, ingin dicabutnya pedang- 
pedang itu. Lalu menurunkan tubuh Kidang Loka. Tapi dia 
khawatir tindakan itu akan menambah derita gurunya. Maka 
diputuskannya untuk membiarkan dulu keadaan gurunya 
seperti itu. 

"Roh Raja Sihir Berhati Hitam telah masuk 1$ dalam 
tubuh Braja Denta. Sekarang raga Braja Denta dikuasai roh 
jahat itu. Sumpahnya telah menjadi kenyataan. Padahal aku 
telah berusaha mencegah terjadinya sumpah itu dengan 
memberikan Pedang Embun pada Braja Denta. Sebab aku 
tahu Braja Denta mempunyai watak keras. Bila sedang 
merasa sakit hati, dia dapat dengan mudah disusupi roh Raja 
Sihir Berhati Hitam. Pedang Embun di tangannya, roh datuk 
sesat itu tidak akan bisa masuk. Tapi kenyataannya? Aku 
sungguh tak mengerti. Dan...." 

"Ha ha ha...!" 

Suara tawa teras dan berat tapi bergaung 
menghentikan ucapan Kidang Loka. Tiba-tiba raut wajah dan 
sinar mata kakek itu menyiratkan kecemasan yang sangat. 
Tapi ternyata bukan nasib dirinya yang dikhawatirkan, 
melainkan.... 

"Celaka! Dia datang lagi! Cepat kau sembunyi, Salya! 
Ajak teman-temanmu pergi dari sini. Tidak ada gunanya kau 
melawannya," ucap Kidang Loka dengan suara yang semakin 
pelan. 

"Tidak, Guru. Aku tidak akan lari. Aku bukan 
pengecut. Harus kubalas kekejian ini! Sekalipun untuk itu 
aku harus mati!" tandas Salya mantap. 

"Akhhh...! Kau keras kepala, Salya...," hanya itu yang 
bisa digumamkan Kidang Loka. 

Sementara Salya sudah bangkit berlari. Dewa Arak 
dan Melati sudah berdiri sejak suara tawa itu terdengar. 
Sikap mereka berriga tampak waspada. 

Dewa Arak dan Melati kini sudah bisa memperkirakan 
duduk perkaranya. Mereka yakin Salya dan gurunya berada 
di pihak yang benar. Sementara Braja Denta sebaliknya. Dan 
dari ucapan Kidang Loka, sepasang pendekar muda berwajah 
elok itu tahu kalau raga Braja Denta telah ditumpangi roh 
seorang tokoh sesat. 

Tapi Dewa Arak dan Melati tidak dapat berlama-lama 
tenggelam dalam pikiran itu. Sebab saat itu kembali 
terdengar suara tawa bergelak. Sebelum gema tawa itu 
lenyap, berkelebat sesosok bayangan coklat. Tahu-tahu di 
hadapan mereka telah berdiri B raja Denta dengan sikap 
pongah. 

"Ha ha ha...!" 

Braja Denta tertawa keras. Tampak jelas dia merasa 
gembira bukan main. 

"Aku gembira sekali kau dapat hadir di sini, Salya. 
Jadi aku tidak repot-repot mencarimu. Saat ini juga akan 
kutuntaskan dendam puluhan tahun lalu. Ha ha ha...!" 

"Jahanam...!" 

Didahului makian keras, Salya melesat meneijang 
Braja Denta. Golok di tangan kirinya ditusukkan ke arah 
kerongkongan Braja Denta. Memang bukan Golok Api karena 
pusaka itu telah diambil Braja Denta. Tapi meskipun 
demikian, golok yang dipergunakan Salya kali ini termasuk 
pusaka ampuh! 

Wuttt! 

Bunyi menderu keras mengawali tibanya serangan 
golok itu. Ini menjadi pertanda kalau serangan itu cukup 
dahsyat. 

Tapi Braja Denta hanya menyunggingkan senyum 
sinis. Ditunggunya hingga serangan itu dekat. Baru setelah 
itu pusaka yang dirampasnya dari tangan Salya dicabut 
Golok Api! Dengan Golok Api di tangan, dipapakinya tusukan 
golok Salya. Nyala api tampak di sepanjang batang golok itu 
ketika Braja Denta menggerakkannya! 

Trangngng! 

Gila! 

Batang golok Salya langsung terbabat putus! Dan 
sebelum pemuda berpakaian kuning itu sempat berbuat 
sesuatu, Braja Denta sudah mengirimkan serangan susulan. 
Dengan sebuah gerakan unik, Braja Denta membuat 
goloknya meluncur ke arah perut Salya. 

Tentu saja gerakan itu membuat Salya kelabakan. 
Sungguh tidak disangkanya akan mendapat serangan 
balasan secepat itu. Tak heran jika Melati khawarir 
melihatnya. Hingga akhirnya gadis itu melesat memasuki 
kancah pertarungan dan memapaki tusukan golok Braja 
Denta. 

Trangngng! 

Benturan yang lebih teras dari sebelumnya langsung 
terdengar. Diiringi dengan berpercikannya bunga-bunga api 
ke udara. Tubuh Melati terjengkang ke belakang dengan 
ujung pedang gompal! 

Dan belum lagi Melati sempat memperbaiki 
kedudukan, Braja Denta telah melancarkan serangan 
susulan. Tak pelak lagi gadis itu dibuat pontang-panting 
menyelamatkan diri. Untung Salya segpra datang membantu. 
Pertarungan satu melawan dua terjadi. Salya dan Melati 
bahu-membahu menghadapi amukan Braja Denta. Tapi tetap 
saja mereka terdesak. 

Braja Denta memang terlalu tangguh untuk dihadapi 
mereka berdua. Pemuda berpakaian coklat itu unggul dalam 
ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Belum lagi 
dengan Golok Api yang ampuh itu. Lengkap sudah keadaan 
yang membuat Melati dan Salya terdesak. Mereka terus- 
menerus didesak mundur. Sudah dapat dipastikan, jika tidak 
ada perubahan dalam pertarungan, kedua orang itu akan 
tewas di tangan Braja Denta! 

Keadaan Melati dan Salya yang terdesak tentu saja 
tak luput dari perhatian Dewa Arak dan Kidang Loka. Kakek 
berpakaian putih itu memang ikut pula memperhatikan. Dan 
sebagai tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak dan Kidang Loka 
dapat mengetahui kalau robohnya Melati dan Salya hanya 
ringgal menunggu waktu. 

Dewa Arak tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka 
diputuskannya untuk terjun dalam kancah pertarungan, 
menggantikan kedudukan mereka. Setelah mengambil 
keputusan demikian, Dewa Arak mengambil gucinya, dan 
menuangkan isinya ke mulut 

Gluk... Gluk... Gluk..! 

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati 
tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu pula hawa hangat 
berputaran di bawah pusar. Kemudian perlahan-lahan naik 
ke atas. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih 
keperakan itu oleng ke kanan kiri. Pertanda ilmu 'Belalang 
Sakti'nya telah siap dipergunakan. 

Sementara di kancah pertarungan Melati dan Salya 
semakin terdesak. Kedua orang itu bergulingan mundur 
untuk menjauhkan diri. Tapi Braja Denta tidak mau memberi 
kesempatan pada kedua lawannya. Sambil mengeluarkan 
tawa khasnya, dikejarnya lawan dengan golok siap 
dihunjamkan. 

Saat itulah Dewa Arak melesat masuk ke dalam 
kancah pertarungan. Untuk mengalihkan perhatian Braja 
Denta dari Melati dan Salya, Dewa Arak langsung 
melancarkan serangan. Gucinya diayunkan 1$ arah dada 
Braja Denta. 

Klangngng! 

Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika Braja 
Denta menganyunkan senjatanya memapaki! Kali ini Golok 
Api menemui pusaka yang setimpal. Guci Dewa Arak tidak 
punggal! Gompal pun tidak! 

Tapi hanya sesaat kedua tokoh itu menghentikan 
gerakannya untuk memeriksa senjata mereka. Setelah 
melihat jelas pusaka-pusaka itu tidak rusak mereka kembali 
saling teijang. Hebat bukan main pertarungan yang 
berlangsung. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung 
menyemaraki jalannya pertarungan. Debu mengepul tinggi ke 
udara. 

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sebentar saja, seratus 
lima puluh jurus telah berlalu. Namun selama itu belum 
nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. 

Baru ketika pertarungan menginjak jurus kedua ratus 
Dewa Arak mulai dapat mendesak lawan. Gabungan guci, 
kedua tangan dan kaki serta semburan araknya, berhasil 
mengobrak-abrik pertahanan ilmu golok Braja Denta. Bahkan 
entah kenapa ilmu sihir Braja Denta tidak berdaya sama 
sekali. Padahal beberapa kali pemuda berpakaian coklat itu 
menggunakannya. Mungkinkah semua itu karena ilmu 
'Belalang Sakti’? Dewa Arak sendiri tidak tahu. Keluarnya 
Dewa Arak sebagai pemenang hanya tinggal menunggu 
waktu. 

Di jurus kedua ratus tiga puluh tiga, sambil 
mengeluarkan teriakan keras yang membuat sekitar tempat 
itu bergetar hebat, Braja Denta menusukkan kerisnya ke 
arah perut. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 
melompat ke atas. Kemudian beijungkir balik. Dan dalam 
keadaan kepala di bawah, gucinya dihantamkan ke arah 
kepala Braja Denta. 

Prakkk! 

Terdengar bunyi berderak keras. Kepala Braja Denta 
hancur berantakan! Darah bercampur otak pun 
bermuncratan! Seketika itu pula nyawa Braja Denta 
melayang meninggalkan raga. 

"Hhh...!" 

Helaan napas lega keluar dari mulut Melati, Salya, 
dan Kidang Loka. Hampir bersamaan waktunya dengan 
mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah. 

Kidang Loka yang telah berhasil dilepaskan dari 
pasungan pedang oleh Salya, tampak berseri-seri wajahnya. 
Begitu pula wajah Salya tampak berbinar-binar setelah 
melepaskan gurunya dari pasungan. Sebab, bahaya yang 
mengerikan itu telah beihasil ditumpas Dewa Arak. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Manusia Kelelawar