Dewa Arak 63 - Angkara Si Anak Naga


'Taksaka...! Anakku, di mana kau?!" 

Seman teras itu terdengar berkali-kali dari 
mulut seorang wanita muda berpakaian coklat. 
Dengan mata berlinang dia mengawasi ke sana 
kemari berusaha mencari putranya. Namun 
sampai di tanah lapang berumput, tempat 
anaknya tadi bermain pun tidak ditemukan. 
Kakinya terus melangkah menyusuri semak- 
semak, barangkali anaknya masih berada di situ. 

Mulutnya terus-menerus menyerukan panggil¬ 
an terhadap sang Anak. Wanita berpakaian coklat 
itu mengayunkan langkah seraya mengedarkan 
pandangan ke sana kemari. 

Namun tiba-tiba dia mengerutkan kening 
ketika melihat dua sosok keluar dari rimbun 
pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri. 

'Keparat..! Kalian lagi rupanya...! Tak bosan- 
bosannya kalian mengejar kami!" dengus wanita 
berpakaian coklat itu penuh perasaan geram. 

Dua sosok yang mengenakan pakaian serba hi¬ 
tam dan ikat kepala dengan warna sama tertawa 
bergelak Kedua orang itu masing-masing hanya 
mempunyai satu mata. 

"Selama kau belum memenuhi permintaan 
kami, jangan harap kalian berdua akan hidup 
tenang!" tegas salah satu dari dua sosok itu, yang 
mata kirinya buta. 

"Benar!" sambung yang mata kanannya buta, 
"Penuhilah permintaan kami! Percayalah, setelah 
urusan yang kami maksud selesai, anakmu akan 
kami kembalikan!" 

'Tutup mulutmu, Kucing-kucing Picak!" sahut 
wanita berpakaian coklat dengan nada menantang. 
"Kalian boleh saja membawanya kalau mampu 
melangkahi mayatku...!" 

"Keparat!" 

Hampir berbareng dua sosok berpakaian hitam 
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, 
menggeram marah. Julukan mereka sebenarnya 
Sepasang Harimau Hitam, tetapi wanita 
berpakaian coklat menyebut dengan julukan 
Kucing-kucing Picak. Karuan saja keduanya 
marah karena merasa tersinggung. 

Namun ternyata bukan hanya Sepasang 
Harimau Hitam itu yang bangkit kemarahannya, 
wanita berpakaian coklat pun demikian. Diawali 
teriakan keras yang melengking nyaring, dia 
menegang Harimau Hitam yang picak sebelah kiri. 
Jari-jari tangannya yang menegang kaku 
disodokkan bertubi-tubi ke dada dan ulu hati 
lawannya. 

Bunyi berddtan nyaring mengiringi serangan 
wanita berpakaian coklat. Hal itu membuat 
Sepasang Harimau Hitam tidak berani bertindak 
gegabah. Harimau Hitam yang picak mata sebelah 
kanannya, langsung melompat menjauh. 
Sedangkan kawannya yang mendapatkan 
serangan, langsung menggeser kaki ke kanan, 
sehingga serangan itu lewat di samping kiri 
pinggangnya. Kemudian tangan kanannya yang 
membentuk cakar menyambar cepat ke perut 
wanita berpakaian coklat 

Wanita berpakaian coklat terperanjat mendapat 
serangan balasan yang tidak disangka-sangkanya 
itu. Namun ia tak tampak kegugupan sedikit pun. 
Buru-buru tubuhnya didayungkan ke belakang 
seraya menarik pulang kedua tangannya. Namun 
hanya sampai pertengahan jalan, karena 
kemudian dengan kedudukan jari-jari tangan 
mencakar, dipapaknya serangan lawan. 

"Hih.J" 

Prat! PratJ 

Terdengar benturan teras ketika dua tangan 
sama-sama dialiri tenaga dalam itu beradu. 
Akibatnya, baik wanita berpakaian coklat maupun 
lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah ke 
belakang. 

Lelaki berpakaian hitam menggeram murka 
karena menyadari dalam gebrakan pertama tadi 
dia hampir celaka! Maka sambil berteriak nyaring, 
diteijangnya wanita berpakaian coklat yang 
langsung menyambutinya. Sesaat kemudian, 
kedua orang itu pun sudah terlibat dalam 
pertarungan sengit. Kesempatan itu dimanfaatkan 
oleh Harimau Hitam yang bermata picak sebelah 
kanan untuk meninggalkan tempat pertarungan. 

Sebab dia yakin kalau kawannya akan mampu 
menghadapi perempuan itu. Jurus demi jurus 
saling mereka keluarkan untuk berusaha 
menjatuhkan lawan. Hingga pada satu ketika..., 

"Hiaaa...!" 

Bukkk! 

"Hukh!" 

Pekikan tertahan keluar dari mulut wanita 
berpakaian coklat ketika pukulan Harimau Hitam 
telak dan keras sekali mendarat di perutnya. 
Seketika tubuhnya terbungkuk lalu terhuyung- 
huyung ke belakang. Wajahnya yang merah 
padam dengan sepasang mata membelalak lebar 
memperlihatkan betapa hebat rasa sakit yang 
dideritanya. 

Namun lelaki berpakaian hitam itu tidak ber¬ 
henti hanya sampai di situ. Diburunya tubuh 
wanita berpakaian coklat yang masih terhuyung- 
huyung dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun. 
Mungkin kalau serangan itu mengenai sasaran, 
nyawa wanita berpakaian coklat sulit untuk dapat 
diselamatkan. 

Ketika keadaan benar-benar gawat mengancam 
wanita berpakaian coklat, tiba-tiba.... 

Takkk! 

"Akhhh!" 

Harimau Hitam memekik tertahan ketika 
merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh. 
Tubuhnya pun terdorong ke samping dan 
terhuyung-huyung, bahkan hampir jatuh 
terjengkang, kalau dia tidak cepat-cepat 
menahannya. Dan begitu berhasil memperbaiki 
kedudukan, Harimau Hitam yang mata kirinya 
picak ini langsung mengarahkan pandangan 1« 
tempat wanita berpakaian coklattadi berada. 

Di hadapan wanita berpakaian coklat itu, 
berdiri seorang pemuda berpakaian ungu. 
Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan 
panjang hingga ke punggung dibiarkan tergerai 
dipermainkan angin. Dan di bahu pemuda 
berambut putih keperakan itu terpanggul sesosok 
tubuh berpakaian putih. 

Harimau Hitam menggereng keras laksana 
binatang buas terluka. Dia merasa geram bukan 
kepalang melihat kegagalan mengirimkan 
serangan terakhir pada lawannya. 

Walaupun tengah dilanda amarah yang 
memuncak, Harimau Hitam bukan orang bodoh. 
Dia tahu kalau pemuda berambut putih 
keperakan itu tidak bisa disamakan dengan wanita 
berpakaian coklat. Rasa sakit pada tangannya 
akibat benturan yang teijadi telah memberikannya 
petunjuk, kalau tenaga pemuda berambut putih 
keperakan itu amat kuat dan jauh berada di 
atasnya! 

Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi 
segera dihunus senjatanya. Sebuah golok yang 
ujungnya terbelah dua, membiaskan sinar yang 
menyilaukan mata ketika keluar dari sarungnya. 

Singngng! 

Bunyi mendesing yang cukup nyaring 
terdengar ketika Harimau Hitam membabatkan 
goloknya ke leher pemuda berambut putih 
keperakan secara mendatar. Serangan itu begitu 
cepat, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan 
sinar menyilaukan mata meluncur cepat ke arah 
lawannya. 

Namun pemuda berambut putih keperakan itu 
sama sekali tidak memberikan tanggapan. Karuan 
saja Harimau Hitam merasa heran bercampur 
girang. Disangkanya pemuda itu bingung untuk 
mengelakkan serangannya yang dilancarkan 
secara cepat 

Namun kegembiraannya hanya berlangsung 
sekejap, berganti dengan keterkejutan hebat. 
Ketika goloknya yang menghantam leher pemuda 
berambut putih keperakan membalik, bagaikan 
menghantam benda kenyal. Bunyi berdetak 
nyaring mengiringi benturan mata golok pada leher 
pemuda berambut keperakan. Tangan Harimau 
Hitam bergetar, bahkan telapak tangannya 
dirasakan panas. 

Harimau Hitam terbelalak kaget, melihat ke¬ 
nyataan yang sama sekali tidak disangka- 
sangkanya. Benarkah pemuda berambut putih 
keperakan itu memiliki ilmu tebal, ataukah 
memiliki tenaga dalam kuat sehingga kulitnya 
tidak mampu ditembus goloknya. Rasanya 
mustahil! Harimau Hitam tidak percaya! 

Rasa tidak percaya membuat Harimau Hitam 
memutuskan untuk melakukan serangan lagj. 

Goloknya diputar-putar di depan dada sampai 
lenyap bentuknya karena kecepatan putarnya. 
Kemudian dengan diiringi teriakan melengking 
nyaring, dikirimkan serangan berupa tusukan 
bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan pusar. 

Seperti juga sebelumnya, pemuda berambut 
putih keperakan itu tak menunjukkan tanggapan 
apa pun. Dia tetap berdiam diri dengan senyum 
tersungging di bibir. Akibatnya, ujung-ujung golok 
Harimau Hitam mengenai sasaran yang dituju 
secara tepat. Namun seperti tadi, lelaki berpakaian 
hitam itu tercengang dengan mata terbelalak. 

"Bagaimana?" tanya pemuda berambut putih 
keperakan ketika melihat Harimau Hitam terpaku 
dengan golok di tangan, sehabis memperbaiki 
kedudukannya yang terhuyung-huyung. "Masih 
penasaran? Silakan, pilih bagian yang paling 
empuk!" 

Harimau Hitam menggeram keras. Kemudian 
setelah mengeluarkan geraman keras, dibalikkan 
tubuhnya dan berlari meninggalkan pemuda 
berambut putih keperakan itu. Rupanya dia 
menyadari kalau lawan yang dihadapi terlalu kuat 
untuk dirinya! 

Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengejar. 
Dia hanya menatap kepergjan lawannya hingga tu¬ 
buh berpakaian hitam itu lenyap di kejauhan. Ke¬ 
mudian dibalikkan tubuhnya, menghadapi wanita 
berpakaian coklat yang bani saja selesai member¬ 
sihkan matanya dari debu. 

'Terima kasih atas pertolonganmu...." 

"Arya Buana. Panggil saja Aiya!" jabar pemuda 
beramput putih keperakan yang tahu kalau wanita 
berpakaian coklat itu mengalami kesulitan untuk 
menyebutnya. 

"Aku Nawangsuri. Tapi orang-orang biasa 
memanggilku, Nawang," wanita berpakaian coklat 
itu pun memperkenalkan diri. 

"Harap turunkan aku, Arya! Aku sudah letih 
segar sekarang," selak sosok berpakaian putih 
yang berada di bahu Arya Buana. Pemuda 
berambut putih keperakan yang di kalangan 
persilatan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak 
itu tersenyum. Kemudian segera diturunkan sosok 
berpakaian putih yang dipanggul di pundaknya. 

"Ayah...!" seru Nawangsuri. Matanya terbelalak 
tidak percaya ketika melihat sosok bepakaian putih 
yang kini telah berdiri di depannya. 

"Nawang...!" 

Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang 
lelaki tua berambut putih, ikut berseru pula seraya 
mengembangkan tangan menyambut uluran 
tangan Nawangsuri. Sesaat kemudian ayah dan 
anak itu saling berpelukan erat. 

"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Nawangsuri 
seraya melepaskan pelukannya. "Dan mengapa 
Ayah terluka?" 

"Ceritanya cukup panjang, Nawang," jawab le¬ 
laki tua berambut putih itu sambil menghela 
napas berat "Kalau saja tidak ada Nak Arya ini, 
mungkin aku telah tidak ada di dunia lagi 
sekarang." 

Kakek berambut putih itu menghela napas 
berat lagi sebelum melanjutkan ucapannya. 
Sementara Nawangsuri menunggu kelanjutannya 
dengan sabar. Ayah dan anak seakan lupa akan 
kehadiran Dewa Arak di situ. 

"Begitu suratmu kuterima, aku langsung 
berangkat untuk menjumpaimu. Tapi rupanya, hal 
yang sangat kau rahasiakan itu telah tercium oleh 
tokoh-tokoh persilatan. Maka, mereka secara 
diam-diam menguntit kepergianku. Sayang, aku 
tidak mengetahuinya. Dan baru setelah berada di 
kaki gunung ini, secara kebetulan aku melihat 
beberapa sosok bayangan. Karena curiga, 
perjalanan tidak kulanjutkan. Hal itu rupanya 
diketahui oleh para penguntitku, sehingga mereka 
tidak sabar lagi dan memaksaku dengan 
kekerasan untuk memberitahukan 1« mana aku 
akan pergi. Dan karena aku tidak mau 
mengatakan, pertarungan pun terjadi." 

Sampai di sini kakek berambut putih itu 
menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak 
yang sengaja membiarkan kedua syah dan anak 
itu saling melepaskan rindu jadi termenung 
sendiri. Dia teringat akan pengalaman yang 
membuatnya berjumpa dengan lelaki tua itu dan 
menolongnya. 


*** 


Siang itu udara sangat panas. Mentari bersinar 
terik seakan hendak membakar permukaan bumi. 

Angin yang berhembus pun terasa kurang 
nyaman Aiya yang tengah melakukan peijalanan 
pengembaraan menyempatkan diri beristirahat di 
tepi sungai. Tubuhnya disandarkan pada sebatang 
pohon, duduk menghadap ke sungai. Tangannya 
memegang ranting kecil dicelupkan ke air sungai. 

Tentu saja Atya tidak memancing secara biasa. 
Pemuda berpakaian ungu ini mengerahkan tenaga 
dalam untuk menarik ikan agar dapat menempel 
di ujung ranting yang dipegangnya. Sebuah hal 
yang tidak sulit bagi seorang pendekar sakti seperti 
Dewa Arak, yang memiliki tenaga dalam 
sempurna. 

Sesaat kemudian, tampak Aiya telah menarik 
rantingnya yang dicelupkan ke dalam air. Dan, di 
ujung ranting itu tampak bertengger beberapa ekor 
ikan! Dengan senyum ceria, Aiya melemparkannya 
ke darat, hingga ikan-ikan itu menggelepar-gelepar. 

Aiya membuang pancing istimewanya, dan 
bermaksud menangkap ikan-ikan yang sedang 
menggelepar-gelepar itu. Tapi, gerakan tangannya 
terhenti dan sepasang matanya menatap 
membelalak ke sebelah kanannya! Keterkejutan 
tampak jelas pada wajah dan sorot matanya. 
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak yang pandai 
menyimpan perasaan tidak bisa menyembunyikan 
keterkejutannya! 

Berjarak dua tombak di sebelah kanannya, 
tengah duduk seorang kakek yang sudah amat 
tua. Tubuhnya yang kurus kering dan keriput, 
terbungkus pakaian abu-abu. Rambut di 
kepalanya serta kumis dan jenggotnya yang 
panjang telah memutih. Bahkan bulu-bulu hidung 
yang tampak menerobos keluar juga berwarna 
putih. Seperti juga Arya, kakek ini tengah 
memancing! Sikapnya tidak peduli, seakan-akan 
tidak tahu kalau keberadaannya menyebabkan 
Arya kaget bukan kepalang. 

Dewa Arak tentu saja terkejut bukan kepalang. 
Tadi, dia yakin benar kalau di tempat itu hanya 
ada dirinya, tidak ada orang lain lagi. Namun, 
mengapa kakek berpakaian abu-abu ini bisa 
berada di situ tanpa diketahuinya. Dari sini saja 
Arya dapat memperkirakan ketinggian ilmu kakek 
itu. Setidak-tidaknya kehebatan ilmu meringankan 
tubuhnya, sehingga keberadaannya di tempat itu 
tidak terdengar. Padahal, Arya mempunyai 
pendengaran yang sangat tajam! Tanpa dapat 
mencegah lagi, Arya merasakan jantung di 
dadanya berdebar tegang. 


*** 




Menyadari kalau kakek berpakaian abu-abu 
itu bukan orang sembarangan, Dewa Arak tidak 
berani bertindak gegabah. Dirinya tidak ingin 
melakukan tindakan yang menyebabkan teijadi 
bentrokan antara mereka. Maka dia pun berpura- 
pura tak melihat keberadaan kakek berpakaian 
abu-abu. Lalu segera memunguti ikan-ikan yang 
berhasil didapatnya. 

"Sayang sekali...! Dunia persilatan sedang 
goncang dan kacau, tapi seorang pendekar muda 
bersenang-senang memuaskan perut dan bersikap 
tidak peduli. Hhh... sungguh memprihatinkan!" 

Suasana di sekitar tempat itu hening, tak heran 
kalau ucapan yang meskipun tidak keras itu, 
terdengar nyaring dan jelas tertangkap telinga Arya. 
Untuk kedua kalinya, tangan pemuda berambut 
putih keperakan itu terhenti. Sebagai seorang 
pendekar yang meskipun masih muda namun 
memiliki pengalaman cukup banyak, Arya tahu 
kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya. 
Meskipun asal suara itu tidak jelas, dirinya berani 
bertaruh kalau kakek berpakaian abu-abu itulah 
yang mengucapkannya. Sebab, hanya mereka 
berdualah yang berada di tempat itu. 

Yakin akan kebenaran dugaannya membuat 
Arya semakin menyadari kehebatan kakek 
berpakaian abu-abu itu. Suara yang terdengar 
tanpa dapat diketahui asalnya, dan seperti berasal 
dari delapan penjuru itu telah membuatnya benar- 
benar yakin akan ketinggian ilmu yang dimiliki si 
kakek berpakaian abu-abu. 

Meskipun tahu kalau sindiran itu ditujukan 
padanya, Arya tidak merasa tersinggung sama 
sekali. Dilepaskan ikan-ikan yang baru 
digenggamnya, lalu dilayangkan pandangan 1« 
arah kakek berpakaian abu-abu, dia berharap 
kakek itu akan menoleh kepadanya dan 
menjelaskan maksud ucapan tadi. 

Namun, keinginan Dewa Arak tidak terkabul. 
Kakek berpakaian abu-abu itu tidak menoleh 
sama sekali, tetap sibuk dengan rantingnya yang 
dicelupkan 1« dalam air sungai. Kenyataan itu 
membuat Arya agak ragu, benarkah kakek 
berpakaian abu-abu yang mengucapkan 

perkataan yang jelas-jelas ditujukan padanya? 

Untuk sesaat pemuda berambut putih 
keperakan itu itu tercenung di tempatnya. Namun, 
rasa penasaran yang kuat memaksanya untuk 
mengayunkan kaki menghampiri kakek 

berpakaian abu-abu yang tetap tidak 

menunjukkan tanggapan apa pun. Seakan-akan 
dia tidak tahu kalau Dewa Arak tengah 
kebingungan dan penasaran. 

"Maaf..., mengganggu sebentar, Kek," ucap Arya 
sopan, setelah berada di dekat kakek itu. Si kakek 
berpakaian abu-abu tetap tidak menoleh, seakan 
tak mengetahui kehadirannya. 'Apakah kau yang 
telah mengucapkan kata-kata tadi, Kek?" 

"Kalau benar mengapa, Anak Muda?" tanya 
kakek berpakaian abu-abu tanpa mengalihkan 
pandangan dari rantingnya. 

Tidak apa-apa, Kek," jawab Atya cepat "Maaf, 
aku merasa berterima kasih sekali mendapat 
pemberitahuan itu, apalagi jika Kakek bersedia 
memberikan penjelasan ucapanmu itu." 

"Haha ha...!" 

Mendadak kakek berpakaian abu-abu itu ter¬ 
tawa tergelak sambil menoleh ke arah pemuda di 
sampingnya. Dewa Arak seketika terbelalak kaget, 
karena mengenal siapa adanya kakek ini. 

"Kiranya kau, Kek...! Kau..., kau... Ki Jaran 
Sangkar! Ah, sampai hati kau mempermainkanku, 
Kek" seru Aiya agak terputus-putus karena kaget 

"Haha ha...!" 

Kakek berpakaian abu-abu yang ternyata Jaran 
Sangkar, tertawa terbahak-bahak dengan tarikan 
wajah menyiratkan kegembiraan. Seperti juga 
Arya, dia merasa gembira dengan pertemuan ini. 

"Kau masih tetap seperti dulu, Atya. Sabar dan 
tidak mudah terpancing amarah." 

"Kau bisa saja, Ki," jawab Atya agak malu-malu. 

Sekarang pemuda berambut putih keperakan 
itu tidak merasa penasaran sama sekali dengan 
kejadian-kejadian menakjubkan yang dialaminya 
barusan. Dirinya tahu kalau Jaran Sangkar 
memiliki kepandaian sukar untuk diukur. Untuk 
mengetahui lebih jelas tentang Jaran Sangkar, 
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 
"Kembalinya Raja Tengkorak." 

"Oh, iya, Ki. Bisa kaujelaskan maksud ucapan¬ 
mu tadi?" pinta Aiya setelah beberapa saat 
lamanya terlibat percakapan dengan si kakek sakti 
itu. 

"Aku pun hanya mengetahui secara kebetulan 
saja, Aiya," jawab Jaran Sangkar dengan raut wa¬ 
jah sungguh-sungguh. "Dunia peralatan akan 
terancam bahaya besar, apabila anak ajaib ini 
terjatuh ke tangan tokoh golongan hitam." 

"Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi, K?" tanya 
Arya penasaran. Karena apabila seorang tokoh 
sakti seperti Jaran Sangkar sampai khawatir, bisa 
dipastikan masalah itu bukan main-main. 

"Seorang tokoh sakti golongan putih yang se¬ 
karang telah menjadi kakek-kakek dan beijuluk 
Prajurit Kerajaan Dewa, mendapat surat dari 
anaknya. Isi surat itu menceritakan bahwa anak 
wanita satu-satunya telah melahirkan seorang 
bocah ajaib. 

Sejak bocah ajaib masih bayi, anak Prajurit 
Kerajaan Dewa itu, beserta sang Suami terpaksa 
membawanya kabur, meninggalkan tempat 
kediamannya. Mereka mengasingkan diri di 
tempat yang tersembunyi selama bertahun-tahun. 
Anak Prajurit Kerajaan Dewa baru mengirim surat 
ketika bayinya telah berusia sepuluh tahun. Tapi 
sayang, entah bagaimana, isi surat itu bocor dan 
Prajurit Kerajaan Dewa dikuntit tokoh-tokoh 
persilatan. Mereka bermaksud mengambil bocah 
ajaib itu secara paksa dari ibunya. Asal kau tahu 
saja, Aiya, meskipun masih bocah, kepandaiannya 
luar biasa!" 

Jaran Sangkar menghentikan ucapannya seje¬ 
nak untuk mengambil napas dan membasahi 
tenggorokannya. Atya, meskipun merasa 
penasaran dan tertarik untuk segera 
mendengarkan kelanjutan cerita itu, terpaksa 
menunggu dengan sabar. 

"Meskipun aku tahu kepandaian Prajurit Kera¬ 
jaan Dewa amat tinggi, tapi aku yakin dia tidak 
akan sanggup menghadapi tokoh-tokoh persilatan 
yang menginginkan cucunya. Dan bila bocah itu 
sampai jatuh ke tangan tokoh golongan hitam, ber¬ 
arti bencana bakal datang bagi dunia peralatan.... 
Aku yakin, tak akan ada seorang tokoh pun yang 
sanggup menentang angkara murka bocah ajaib 
itu!" 

"Kalau begitu, biar aku menyediakan tenagaku 
yang tidak seberapa ini untuk mencegah teijadinya 
bencana mengerikan itu, Ki!" ujar Aiya menawar¬ 
kan diri. 

"Memang demikian seharusnya, Aiya! Seka¬ 
rang, pergilah kau ke Gunung Pangrango!" 

Setelah berkata demikian, Jaran Sangkar lalu 
bersiul. Suaranya keras bukan kepalang, 
membuat Aiya terpaksa mengerahkan tenaga 
dalam karena merasakan dadanya tergetar hebat. 
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu 
merasa heran melihat tindakan yang dilakukan 
Jaran Sangkar. 

Namun keheranan Atya berganti keterkejutan 
ketika mendengar bunyi kelepak sayap burung be¬ 
sar. Dilihatnya seekor burung garuda berwarna 
kuning keemasan menukik turun sambil memekik 
nyaring melengking. Daun-daun pohon bergetar 
hebat oleh kekuatan tepak sayap burung yang 
dalam sekejap saja telah hinggap di depan Jaran 
Sangkar. 

"Angkasa, bawa kawanku ini ke Gunung 
Pangrango! Patuhi perintahnya," ucap Jaran 
Sangkar seperti berbicara pada manusia. "Dan 
ingat, setelah Itu kau harus kembali lagi kemari. 
Mengerti?" 

Burung garuda emas yang tingginya hampir 
menyamai Aiya itu mengeluarkan bunyi seakan-a¬ 
kan mengayakan. Jaran Sangkar pun mempersila¬ 
kan Dewa Arak naik di pungung burung raksasa 
itu. 

Dewa Arak bimbang. Namun karena dirinya 
percaya penuh pada Jaran Sangkar, lag pula 
perjalanan menuju Gunung Pangrango amat jauh, 
segera memberanikan diri menaiki punggung 
Angkasa, si Burung Raksasa itu. Sesaat kemudian, 
burung garuda emas itu terbang membawa tubuh 
Arya serta menuju tempat tujuan yang bila 
ditempuh dengan ilmu lari cepat memakan waktu 
berhari-hari. 


*** 


Pada saat yang bersamaan dengan terbangnya 
garuda emas, kakek berambut putih yang tidak 
lain Prajurit Kerajaan Dewa, mulai melihat adanya 
sosok-sosok bayangan yang menguntitnya. Kini dia 
berada di kaki Gunung Pangrango. Kakek beram¬ 
but putih itu pun menghentikan peijalanannya. 

"Keluar kau, Pengecut Hina!" seru Prajurit Ke¬ 
rajaan Dewa dengan lantang. Matanya mengawasi 
ke sekelilingnya, yang berupa hamparan padang 
rumput di luar hutan. 

"Haha ha...!" 

Suara-suara tawa yang teras dan tidak sedap 
didengar telinga langsung menyambuti seruan Pra¬ 
jurit Kerajaan Dewa. Menilik dari banyaknya tawa, 
bisa diketahui kalau pemiliknya tidak hanya satu 
orang. Ternyata benar. Sesaat kemudian sebelum 
suara tawa itu lenyap, berkelebat sesosok 
bayangan yang langsung berdiri di depan Prajurit 
Kerajaan Dewa. 

Tak kusangka! Semakin tua, mata dan telinga¬ 
mu semakin tajam saja, Prajurit!" seru sosok yang 
baru datang itu dengan senyum sinis terkembang 
di wajahnya. 

Sosok yang berdiri di hadapan Prajurit 
Kerajaan Dewa terlihat aneh. Sesosok tubuh 
manusia bertubuh dan kepala dua. Namun kedua 
sosok itu berdiri dengan sepasang kaki. Secara 
jelasnya sosok itu adalah dua orang. Namun sosok 
yang satu lagi berdiri atau lebih tepatnya lagi 
bertengger di leher sosok yang lain, karena sosok 
itu tidak mempunyai batang kaki lagi. Kedua 
kakinya putus, sampai ke pangkal paha. 

Usia sosok yang tidak mempunyai kaki itu sulit 
untuk diterka, tapi yang jelas tak kurang dari lima 
puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa terhias bulu. 
Sebuah topi bundar yang bertengger di atas kepala 
membuat wajahnya sulit untuk dikenali. 

Sosok yang satu lagi, walaupun memiliki sepa¬ 
sang kaki lengkap, tidak lebih beruntung dari 
rekannya, karena sepasang matanya buta. Dengan 
memanggul si buntung dia pun memperoleh 
keuntungan dari jerih payahnya itu. Dengan 
sepasang mata si buntung, dia tidak akan 
mengalami kesukaran untuk berjalan. Kedua 
sosok ini bisa saling menutupi kekurangan 
masing-masing. 

Bagi orang awam mungkin melihat kedua 
orang ini akan menimbulkan rasa iba. Namun 
tidak demikian halnya bagi tokoh-tokoh persilatan. 
Justru kedua sosok cacat ini ditakuti karena 
kepandaian dan kekejamannya. 

Lelaki yang berkaki buntung itu terkenal seba¬ 
gai seorang bajak laut yang merajai berbagai 
sungai, menyebar kejahatan. Kejahatannya 
semakin merajalela setelah sepasang kakinya 
dibuntungi oleh seorang pendekar yang berusaha 
mencegah ke angkaramurkaannya. Hal yang sama 
pun menimpa kawannya. Ftendekar yang 
melakukan hal itu tak lain Prajurit Kerajaan Dewa, 
belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu. 

Itulah sebabnya kedua tokoh hitam yang 
sebenarnya mempunyai julukan Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti 
mengenal Prajurit Kerajaan Dewa. Berbeda 
dengan kedua tokoh hitam itu yang langsung 
mengenali musuh bebuyutannya, Prajurit 
Kerajaan Dewa tidak demikian. Dia tertegun 
sesaat, memperhatikan kedua sosok ganjil itu. 

"Ah, kiranya kalian, Iblis-iblis Haus Darah! Apa¬ 
kah peristiwa belasan tahun lalu belum membuat 
kalian kapok? Apakah kedatangan kalian kemari, 
mencegat perjalananku untuk balas dendam?!" 

"Kau salah duga, Prajurit!" sahut lelaki berkaki 
buntung yang beijuluk Nelayan Pemancing Nyawa. 
"Kami tidak bermaksud membalas dendam pada¬ 
mu! Bukankah demikian, Petani?!" 

Lelaki bermata buta yang beijuluk Petani Berja¬ 
ri Sakti, menganggukkan kepala. 

"Apa yang dikatakan Nelayan Pemancing Nya¬ 
wa tidak salah, Prajurit Kerajaan Dewa! Kami tidak 
bermaksud membalas dendam atas perlakuanmu 
belasan tahun lalu. Kalau kami mau tentu saja 
telah kami lakukan ketika kami melihatmu 
meninggalkan tempat kediaman beberapa hari 
yang lalu!" 

Prajurit Kerajaan Dewa bukan orang bodoh. Dia 
takkan begitu saja menelan mentah-mentah u- 
capan tokoh-tokoh golongan hitam yang telah ter- 
biasa bertindak licik itu. Prajurit Kerajaan Dewa ti¬ 
dak percaya dua tokoh sesat itu akan membiarkan 
begitu, saja persoalan mereka. Pasti ada alasan 
lain. Dan dia bisa memperkirakan alasan itu. 

'Tidak usah berpura-pura baik hati, Nelayan 
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti!" tukas Pra¬ 
jurit Kerajaan Dewa, tegas. "Aku tahu, orang-orang 
macam apa kalian! Jadi tak ada gunanya berbo¬ 
hong, lebih baik katakan maksud kalian yang 
sebenarnya...!" 

"Ha ha ha...!" Nelayan Pemancing Nyawa ter¬ 
tawa bergelak untuk menenangkan hatinya karena 
Prajurit Kerajaan Dewa dapat menebak maksud 
mereka. "Memang lebih baik berterus terang terha¬ 
dap orang seperti dirimu, Prajurit! Ketahuilah, 
kami bersedia tidak memperpanjang persoalan 
lama apabila kau bersedia menunjukkan di mana 
putrimu!" 

"Sudah kuduga maksud kalian ke sana!" sahut 
Prajurit Kerajaan Dewa. 'Tapi jangan harap aku 
akan membentahukannya! Aku, Prajurit Kerajaan 
Dewa, bukan orang yang takut mati! Tak akan ku¬ 
beritahukan di mana putriku berada meskipun 
untuk itu nyawaku harus melayang! Majulah 
kalian, Manusia-manusia Busuk!" 

"Keparat! Kau mencari mati, Prajurit! Rupanya 
kau merasa bangga karena dapat mengalahkanku 
dulu! Tapi, sekarang jangan harap 
kemenanganmu akan terulang! Kau akan menjadi 
mayat tanpa kubur di sini! Hih!" 

Srrr! 

Prajurit Kerajaan Dewa segera merendahkan 
rubuhnya ketika senjata Nelayan Pemancing 
Nyawa meluncur ke arah kepalanya. Senjata lelaki 
berkaki buntung yang ternyata sebatang pancing, 
lengkap dengan tali, dan mata kailnya hampir saja 
mengenai pelipis. Untung lelaki tua itu bertindak 
cepat. Prajurit Kerajaan Dewa tahu apabila mata 
kail berhasil mendarat pada sasaran, nyawanya 
akan melayang 1« alam baka. 

Namun belum juga Prajurit Kerajaan Dewa 
sempat berbuat sesuatu, Petani Berjari Sakti telah 
melancarkan tendangan kaki kanan. Semula yang 
dituju adalah perut atau dada, tapi karena Prajurit 
Kerajaan Dewa, tengah merendahkan tubuh, se¬ 
rangan itu cepat beralih ke kepala. 

Prajurit Kerajaan Dewa terkejut bukan kepa¬ 
lang, tapi sedikit pun tak ada rasa gugup. Dilempar 
tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali 
di udara untuk menjauhkan diri. Sehingga 
serangan Petani Berjari Sakti hanya mengenai 
tempat kosong. 

Petani Berjari Sakti dan Nelayan Ftemandng 
Nyawa tidak hanya bertindak sampai di situ. 
Ketika Prajurit Kerajaan Dewa melompat jauh ke 
belakang, mereka berdua memburunya. 
Kemudian kedua tokoh sesat itu melancarkan 
serangan bertubi-tubi yang membuat Prajurit 
Kerajaan Dewa tidak bisa tinggal diam. 
Pertarungan sengit pun berlangsung. 

Dalam gebrakan-gebrakan pertama, hanya Ne¬ 
layan Pemancing Nyawa yang mempergunakan 
senjata. Namun seterusnya baik Petani Berjari 
Sakti maupun Prajurit Kerajaan Dewa 
mengeluarkan senjata masing-masing. Lelaki 
bermata buta itu mempergunakan senjata khas 
petani, cangkul bergagang melengkung. Senjata 
yang menggiriskan hati karena Prajurit Kerajaan 
Dewa diumpamakan tanah yang akan 
dicangkulnya. 

Sementara Prajurit Kerajaan Dewa seperti juga 
kedua lawannya memiliki senjata khas prajurit 
kerajaan. Sebuah golok dilengkapi dengan sebuah 
perisai baja berbentuk bundar dan dipegang di 
tangan kiri. Lengan kiri dimasukkan di tali 
belakang perisainya. 

Prajurit Kerajaan Dewa ternyata masih mampu 
menunjukkan kelihaiannya. Meskipun cangkul Pe¬ 
tani Berjari Sakti berkelebat ke sana kemari mem¬ 
buru sasaran, lelaki tua berjubah putih itu masih 
mampu mengatasi lawannya. Dengan senjata 
berupa cangkul itu tampaknya Petani Berjari Sakti 
tak mampu menembus pertahanan lawan. Ke 
mana saja cangkulnya menyambar, perisai lawan 
telah siap menangkis dan dengan kuatnya 
melindungi tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Sialnya 
lagi, sekali perisai itu menangkis cangkul, selalu 
dibarengi dengan sabetan golok yang tiba-tiba dan 
tak terduga. Hal inilah yang menyebabkan Petani 
Berjari Sakti mati kutu. 

Untung saja ada Nelayan Pemancing Nyawa. 
Lelaki berkaki buntung itu terus berusaha menye¬ 
lamatkan kawannya dengan melancarkan 
serangan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa 
terpaksa harus membatalkan serangannya. 
Serangan pancing Nelayan Pemancing Nyawa 
benar-benar luar biasa. Senjatanya yang lentur bila 
sudah dialiri tenaga dalam, tidak begitu saja dapat 
ditangkis dengan perisai sebab arah serangannya 
sulit untuk diduga. 

Kalau saja kedua lawannya maju satu persatu, 
tentu Prajurit Kerayaan Dewa sanggup 
menghadapi dengan senjata khasnya. Meskipun di 
dalam hati dia mengakui tingkat kepandaian 
kedua lawannya kini telah mengalami banyak 
perkembangan. Dua lawan untuk dihadapinya 
secara bersamaan terlalu berat. Apalagi masing- 
masing memiliki kemampuan istimewa dan 
senjata unik. Itu pun masih ditambah lagi dengan 
keija sama yang kompak, saling melindungi dan 
memperkuat serangan. Perlahan tapi pasti Prajurit 
Kerajaan Dewa berhasil didesak. Pancing di tangan 
Nelayan Pemancing Nyawalah yang membuatnya 
kerepotan. 

Semakin lama kedudukan Prajurit Kerajaan 
Dewa semakin mengkhawatirkan. Pada saat 
memasuki jurus kelima puluh serangan-serangan 
yang dilancarkan hampir tidak ada lagi. Dia hanya 
mampu bergerak ke sana kemari mengelak sambil 
menangkis serangan gencar lawan. Lelaki tua 
berjubah putih itu terus terdesak mundur. Hingga 
satu ketika..., 

"Hiaaa...!" 

Prattt! 

"Akh...!" 

Prajurit Kerajaan Dewa terpekik kaget ketika 
mata kail yang cukup besar merobek tengkuknya. 
Seketika darah mengalir keluar dari bagian yang 
terluka. Kakek berpakaian putih ini tidak sempat 
mengelak atau menangkis serangan, karena 
tubuhnya dalam keadaan terhuyung-huyung, 
setelah memapak cangkul Petani Berjati Sakti. 
Selain itu, dia pun baru saja mengelak dari 
babatan gagang pancing yang berkelebat cepat. 
Namun senjata Nelayan Pemancing Nyawa itu 
memang luar biasa karena dapat melancarkan 
serangan ganda. Batang pancing dan mata kailnya 
menyambar dari arah yang berbeda dan sasaran 
yang dituju pun berbeda - beda juga. 


*** 




Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berian 
Sakti tampaknya tak ingin memberi kesempatan 
pada lawannya untuk memperbaiki kedudukan. 
Keduanya tidak ingat lagi akan maksud semula 
untuk memaksa Prajurit Kerajaan Dewa 
memberitahukan tempat putrinya berada. Yang 
ada di benak mereka itu hanya ingin melenyapkan 
nyawa lawannya. 

Bahkan karena begitu tak sabar, Nelayan 
Pemancing Nyawa melompat dari pundak 
rekannya. Tubuhnya memburu Prajurit Kerajaan 
Dewa dengan pukulan telapak tangan 1« dada 
lawan. 

Pada saat yang bersamaan, Petani Beijari Sakti 
pun mengayunkan cangkulnya ke arah pinggang 
kanan. Apabila kedua serangan ini mengenai 
sasaran, tak ampun lagi bagi lelaki tua beijubah 
putih itu. Nyawanya pasti akan melayang seketika. 

Meskipun tengah berada dalam keadaan 
mengkhawatirkan. Prajurit Kerajaan Dewa masih 
mampu mempertunjukkan kalau dirinya seorang 
tokoh persilatan yang punya nama besar. Dalam 
keadaan terhuyung-huyung itu, dia masih 
sanggup mengayunkan perisainya untuk 
memapak sambaran cangkul. 

Klangngng! 

Kedudukan yang tidak menguntungkan, ditam¬ 
bah lagi dengan tenaganya yang telah terkuras, 
membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa 
terhuyung-huyung ke samping. Bahkan akibat 
benturan teras itu perisainya terlepas dari 
pegangan. 

Namun justru akibat benturan itu, Prajurit Ke¬ 
rajaan Dewa selamat dari marabahaya. Hantaman 
telapak tangan Nelayan Pemancing Nyawa tidak 
mengenai sasaran yang dituju, melainkan bahu 
kiri! Sungguh pun begitu, cukup untuk membuat 
tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terjengkang ke 
belakang dengan menyemburkan darah dari 
mulutnya. 

Sementara, Nelayan Pemancing Nyawa setelah 
berhasil memasukkan serangan langsung 
melompat kembali ke belakang leher Petani Berjari 
Sakti. 

Dengan sorot mata penuh perasaan menang 
Nelayan Pemancing Nyawa menatap Prajurit Kera¬ 
jaan Dewa yang tergolek di tanah, tidak berdaya. 

"Sekarang terimalah kematianmu, Prajurit!" se¬ 
ru Nelayan Pemancing Nyawa dengan suara berge¬ 
tar karena amarah yang meluap. Sedangkan 
Petani Berjari Sakti hanya menganggukkan kepala, 
pertanda membenarkan ucapan rekannya. 

"Hih!" 

Seperti telah disepakati sebelumnya, Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti secara 
serentak melancarkan serangan. Nelayan Peman¬ 
cing Nyawa menggerakkan senjata uniknya, 
sehingga tali pancingnya membelit batang pancing. 
Dengan gerakan cepat batang pancing itu ditusuk- 
kan ke arah mata Prajurit Kerajaan Dewa. 
Sedangkan Petani Berjari Sakti mengayunkan 
cangkulnya ke arah paha Prajurit Kerajaan Dewa. 
Rupanya, kedua tokoh hitam ini telah bersepakat 
untuk membalas sakit hati mereka belasan tahun 
lalu. Gempuran demi gempuran terus dilancarkan 
ke tubuh lelaki tua berpakaian putih itu, tanpa 
dapat dicegah sedikit pun. Meskipun Prajurit 
Kerajaan Dewa tetap berupaya mengelak dan 
menangkis, tak urung serangan gencar itu berkali- 
kali mendarat di tubuhnya. Darah pun terus 
mengalir dari tengkuk, dada, perut yang terluka 
oleh senjata kedua lengannya. 

Prajurit Kerajaan Dewa semakin parah karena 
sudah tidak mampu untuk menggelakkan atau 
menangkis serangan itu. Keadaan tubuhnya 
benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Luka parah 
yang diderita, serta tenaganya yang telah terkuras 
habis membuat orang tua itu tak mampu berbuat 
banyak guna menghentikan tindakan kedua tokoh 
hitam yang menjadi musuh bebuyutannya. 

Di saat-saat marabahaya akan menimpa Praju¬ 
rit Kerajaan Dewa, mendadak terdengar pekikan 
melengking nyaring yang dikeluarkan dengan 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti kaget. 
Sejenak kedua tokoh hitam itu menggigil menahan 
kekuatan suara dahsyat yang belum ketahuan 
dari mana asalnya. Dengan sendirinya serangan 
terhadap Prajurit Kerajaan Dewa pun terhenti. 

Keduanya merasakan tenaga dalam yang mereka 
kerahkan tiba-tiba lenyap seketika. 

Hal itu pun tak luput dialami oleh Prajurit Ke¬ 
rajaan Dewa yang sudah parah. 

Namun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani 
Berjari Sakti sama-sama tokoh hitam yang sangat 
tangguh. Keduanya tampak mengerahkan seluruh 
kemampuan tenaga dalam, menguar kekuatan 
aneh yang mengungkung tubuh mereka. Namun 
sayang, sebelum keduanya sempat berbuat 
sesuatu, dari atas meluncur dua rentetan angin 
pukulan dahsyat ke arah mereka. Angin pukulan 
yang mengandung hawa panas menyengat 
menandakan kalau pemiliknya memiliki tenaga 
dalam berhawa panas yang sangat kuat. 

Kedua tokoh hitam berkaki buntung dan mata 
buta itu tampaknya menyadari ada bahaya 
mengancam jiwa mereka. Dengan cepat keduanya 
melompat menghindari serangan dahsyat itu. 
Seketika terdengar ledakan menggelegar. Debu 
mengepul tinggi 1« udara disertai dengan 
berpentalannya bongkah-bongkahan tanah 1« 
udara, menutupi pandangan. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari 
Sakti merasa geram bukan kepalang dengan ada¬ 
nya gangguan ini. Mereka tahu ada orang sakti 
yang telah menolong calon korban. Kehebatan 
tokoh yang jelas di atas Prajurit Kerajaan Dewa 
bisa mereka rasakan dari dahsyatnya pukulan 
jarak jauh yang tertuju pada mereka. 

Walaupun demikian, Nelayan Pemancing Nya¬ 
wa dan Petani Benari Sakti tampaknya tak merasa 
gentar sedikit pun. Bahkan keduanya bertekad un¬ 
tuk menyingkirkan perintang itu sekaligus. Dan 
karena rasa tidak sabar untuk melaksanakan 
maksud itu, keduanya segera mengerahkan tenaga 
dalam guna mengusir debu tebal yang 
menghalangi pandangan mata mereka. Sehingga 
sesaat kemudian suasana telah kembali seperti 
sediakala. 


*** 

Ketika debu telah teruar, tampak berdiri tegap 
di hadapan mereka seorang pemuda berambut pu¬ 
tih keperakan, yang tak lain Dewa Arak. Namun 
kedua tokoh hitam itu kaget ketika mereka tak me¬ 
lihat Prajurit Kerajaan Dewa. Rupanya ketika kea¬ 
daan tempat itu diliputi debu tebal, Dewa Arak 
dengan cepat menyingkirkannya ke tempat yang 
aman. 

"Hai...! Siapa kau, Monyet Kedi?! Sungguh be¬ 
rani kau mencampuri urusanku?" geram Nelayan 
Pemancing Nyawa penuh kemarahan. Sedangkan 
Petani Benari Sakti, yang tidak bisa melihat hanya 
berdiri dengan tarikan wajah menyiratkan 
kebingungan. 

"Arya..., namaku Arya Buana. Dan orang yang 
hendak kalian bunuh itu adalah kawanku. Itulah 
sebabnya aku terpaksa ikut campur," jawab Dewa 
Arak. 

"Kalau begitu, nyawamu lebih dulu yang akan 
kukirim ke akherat!" 

Sambil mengucapkan ancaman begitu, lelaki 
berkaki buntung itu telah mengayunkan senjata 
uniknya. Mata kailnya meluncur cepat menjadi 
sinar kehitaman yang menyambar ke arah leher 
Dewa Arak. Sedangkan batang pancingnya 
berkelebat cepat menusuk ke ulu hati. Dua buah 
serangan maut! 

Sementara itu Petani Beijari Sakti yang tadi 
hanya mendengar percakapan rekannya langsung 
melancarkan serangan pula. Lelaki buta ini 
melancarkan serangan dengan tusukan dua jari 
tangan kanan dan kirinya. Tentu saja karena 
jaraknya yang cukup jauh, jari-jari Petani Beijari 
Sakti tidak akan menyentuh sasaran, tapi ternyata 
di ani keistimewaan lelaki buta itu. Tidak percuma 
mendapat julukan Petani Beijari Sakti, karena 
angin serangannya pun sudah cukup berbahaya! 
Angin serangan jari-jarinya tak kalah dengan 
tusukan senjata tajam! Mampu melubangi sasaran 
dari jarak jauh! 

Serangan yang dilancarkan kedua tokoh hitam 
itu ternyata sangat dahsyat. Namun bagi Dewa 
Arak hal itu tentu saja dianggap biasa. Pemuda 
berambut putih keperakan itu seolah-olah tak 
mempedulikan serangan Petani Beijari Sakti. 
Serangan itu dibiarkan saja. Yang dihadapinya 
hanya serangan Nelayan Pemancing Nyawa. Itu 
pun dengan cara yang luar biasa. 

Serangan mata kail yang melesat ke leher dari 
arah kanan, dikandaskan dengan kibasan tangan 
kirinya yang menimbulkan hembusan angin kuat. 
Mata kail pun terhempas ke arah lain. Sedangkan 
tusukan batang pancing dielakkan hanya dengan 
meliukkan tubuh ke kanan tanpa menggeser kaki. 

Nelayan Ftemandng Nyawa dan Petani Berjari 
Sakti hampir tidak percaya dengan apa yang dili¬ 
hatnya. Keduanya tak menduga kalau pemuda itu 
akan demikian mudah mematahkan serangan-se¬ 
rangan mereka. 

Namun yang lebih kebingungan lagi Petani Ber¬ 
jari Sakti. Meskipun matanya tidak dapat melihat, 
tapi dengan pendengarannya yang tajam, dapat 
mengetahui kalau lawan tidak mengelak. Dan 
serangan yang diakukan diketahui mengenai 
sasaran. Namun tidak ada akibat lanjutan yang 
didengar selain bunyi angin tusukan jari-jarinya 
merobek baju lawannya. Ternyata benar, hasil 
yang didapat pendengaran Petani Berjari Sakti 
sesuai dengan kenyataannya. 

Kegagalan serangan yang dilakukan, tak mem¬ 
buat Nelayan Ftemandng Nyawa dan Petani Berjari 
Sakti kapok. Bahkan sebaliknya serangan- 
serangan lanjutan yang jauh lebih dahsyat segera 
dilancarkan. Hal itu terjadi karena rasa penasaran 
dan amarah yang menggelegak. 

Terjangan-terjangan dua tokoh hitam itu 
disambut secara hangat oleh Dewa Arak. Pemuda 
berambut putih keperakan itu tidak hanya 
mengelak dan menangkis, tapi juga balas 
menyerang sehingga pertarungan pun 
berlangsung. Pertarungan kini beijalan jauh lebih 
seru dan menarik daripada ketika bertarung 
dengan Prajurit Kerajaan Dewa. 

Seperti juga Prajurit Kerajaan Dewa, Atya pun 
mengalami sedikit kesulitan dalam menghadapi 
kedua lawannya yang bergabung dan bekeija 
sama secara aneh ini. Mereka bisa saling mengjsi, 
saling menguatkan serangan, dan memperkokoh 
pertahanan. Hingga pertarungan telah beijalan 
selama dua puluh jurus, Dewa Arak tetap belum 
mampu mengatasi kehebatan serangan kedua 
lawannya. Padahal dirinya telah mengeluarkan 
ilmu-ilmu andalan yang diwarisi dari almarhum 
ayahnya, Pendekar Ruyung Maut, yaitu ilmu 
Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 
'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. (Untuk 
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode: "Pedang Bintang"). 

Keadaan seperti itu pun tampaknya dialami pi¬ 
hak Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjati 
Sakti. Mereka tak mampu menekan pertahanan 
lawan. Kedua belah pihak sama-sama mengalami 
kesulitan untuk mengungguli dan menggempur 
pertahanan lawan. Pertarungan itu pun 
berlangsung seimbang dan kian seru. 

"Hey.J" 

Dewa Arak berseru kaget ketika melihat ada 
sesosok tubuh berpakain merah tiba-tiba melesat 
mendekati tempat Prajurit Kerajaan Dewa berada. 

Dewa Arak langsung bisa memperkirakan hal 
yang akan teijadi. Sosok berpakaian merah itu 
hendak mengail di air keruh, mengambil 
keuntungan di saat kedua belah pihak yang 
tengah memperebutkan Prajurit Kerajaan Dewa, 
sibuk saling serang. Oleh karena itu, Dewa Arak 
tidak berani bertindak lambat Sambil 
menjatuhkan tubuh ke tanah untuk 
menyelamatkan diri dari serangan kedua 
lawannya, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan 
tangan kiri 1« arah sosok berpakaian merah. 
Apabila sosok berpakaian merah itu meneruskan 
maksudnya tentu akan terhantam pukulan jarak 
jauh Dewa Arak. 

Jalan untuk lolos dari serangan pemuda 
berbaju ungu itu hanya mengurungkan maksud 
dengan melompat menghindarinya. Namun 
dugaan Dewa Arak ternyata meleset. Sosok 
berpakaian merah itu memang tak meneruskan 
maksudnya, namun dengan cepat dikibaskan 
tangan kirinya menangkis serangan jarak jauh 
Dewa Arak, Hingga.... 

Glarrr! 

Ledakan keras seperti halilintar menyambar 
terdengar, ketika dua buah angin pukulan itu 
berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, baik Dewa 
Arak maupun sosok berpakaian merah sama- 
sama teijengkang ke belakang. Bahkan keduanya 
langsung jatuh dan bergulingan di tanah. Namun 
Dewa Arak segera mengerahkan kembali tenaga 
dalamnya mematahkan tenaga dorong itu. Hal 
yang sama dilakukan pula oleh sosok berpakaian 
merah. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, 
kedua tokoh itu mematahkannya. 

Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dalam 
jarak sekitar enam tombak. Pertarungan antara 
Dewa Arak dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan 
Petani Benari Sakti langsung terhenti. Bukan ka¬ 
rena dua tokoh hitam itu tidak suka melakukan 
bokongan di saat lawan tidak siap. Keduanya 
tengah dilanda keterkejutan menyaksikan 
kedatangan tokoh berpakaian merah itu. 

"Resi Ganda Wisesa...," desis Nelayan Pe¬ 
mancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti hampir 
bersamaan dengan mata terbelalak. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari 
Sakti mengenal betul tokoh berpakaian merah 
yang mereka sapa dengan panggilan Resi Ganda 
Wisesa. Seorang kakek yang tinggal di Gunung 
Merapi. Tokoh itu terkenal me mili ki banyak ilmu 
tingkat tinggi yang aneh-aneh. Namun yang 
membuat namanya lebih dikenal orang karena 
sepak terjangnya yang menggiriskan. Resi Ganda 
Wisesa terkenal sebagai tokoh sakti yang me mili ki 
watak kejam. 

Berbeda dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan 
Petani Berjari Sakti, Arya tidak mengetahui sosok 
berpakaian merah itu merupakan tokoh yang 
ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya. 
Dia hanya dapat memperkirakan kalau lawannya 
kali ini amat tangguh, berdasarkan perbenturan 
tenaga dalam tadi. 

Kenyataan ini membuat Dewa Arak bersikap 
hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan pula Resi 
Ganda Wisesa, karena tahu kalau pemuda beram¬ 
but putih keperakan itu meskipun usianya masih 
muda, tak dapat dianggap remeh. 

Meskipun demikian, kakek berpakaian merah 
itu tidak merasa gentar. Tidak tersirat dalam 
pikirannya akan ada orang lain. Apalagi pemuda 
yang dapat menandingi kemampuan ilmunya. 
Selama ini dirinya belum pernah menemukan 
tokoh yang mampu menandingi ilmu silatnya, baik 
dari golongan hitam maupun putih. 

"Aku pernah mendengar adanya seorang tokoh 
baru di dunia persilatan. Seorang pendekar muda 
yang me mili ki kesaktian menakjubkan dan 
terkenal dengan julukan Dewa Arak. Apakah kau 
orangnya, Macan Kedi?!" tanya Resi Ganda Wisesa 
dengan nada memandang rendah, setelah 
memperhatikan Aiya dari ujung rambut sampai 
ujung kaki beberapa saat lamanya. 

"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana 
bisa dibandingkan dengan kepandaian Kakek," 
jawab Aiya tenang dan merendahkan diri. Sama 
sekali tak terpancing dengan sikap lawan yang 
meremehkannya. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari 
Sakti terkejut bukan kepalang ketika mengetahui 
kalau pemuda itu ternyata Dewa Arak. Seorang pe¬ 
muda yang julukannya telah menggemparkan 
dunia persilatan. Kini rasa penasaran yang sejak 
tadi menyelimuti hati mereka karena tak mampu 
mengalahkan pemuda itu sirna! Kabar yang 
tersebar mengenai kesaktian Dewa Arak telah lama 
mereka dengar. 

Keterkejutan yang melanda hati dua tokoh hi¬ 
tam itu tidak dialami Resi Ganda Wisesa. Kakek 
berpakaian merah tidak merasa kaget sama sekali 
mendengar Dewa Arak membenarkan dugaannya. 
Resi Ganda Wisesa tetap yakin kalau kepandaian¬ 
nya berada di atas Dewa Arak. Meskipun telah ba¬ 
nyak tokoh hitam rimba persilatan bertekuk lutut 
kepada pendekar muda berambut putih 
keperakan itu. 

"Haha ha...!" 

Resi Ganda Wisesa yang bertubuh kedi kurus 
dan berwajah tirus mirip tikus, tertawa bergelak. 
Lelaki tua ini memang memiliki watak sombong 
dan senang dipuji, maka sambutan Dewa Arak 
yang bernada memuji, membuatnya merasa 
bangga bukan kepalang. 

"Kau memiliki watak yang menyenangkan hati¬ 
ku, Dewa Arak. Dan saat ini hatiku memang 
tengah merasa senang. Pergilah, jangan 
mencampuri urusan ini! Aku tidak ingin 
memperpanjang masalah ini!" 

Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek. Tapi 
sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi 
permintaanmu. Sebab, urusan ini ada sangkut- 
pautnya dengan diriku pula. Aku hanya dapat 
memenuhi permintaanmu jika kau biarkan 
Prajurit Kerajaan Dewa pergi bersamaku!" 

Seterika wajah Resi Ganda Wisesa berubah 
mendengar kata-kata Dewa Arak yang meskipun 
diucapkan dengan lemah lembut, tapi 
mengandung ketegasan. Kakek kedi kurus itu 
rupanya memahami benar maksud Dewa Arak. 

"Pemuda tidak tahu diri! Dikasih hati kau 
malah meminta jantung! Jangan harap aku akan 
memenuhi permintaan gilamu itu, Bocah 
Sombong!" 

"Kalau begitu, terpaksa aku melupakan kebo¬ 
dohan sendiri dan mencoba untuk menentangmu, 
Kek," ujar Aiya masih dengan sikap tenang. 

"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus 
kulenyapkan, Bocah Sombong! Agar tak ada 
halangan bagiku membawa Prajurit Kerajaan 
Dewa...." 

"Hikhikhik!" 

Tiba-tiba sebuah tawa melengking panjang dan 
menggetarkan menyambut ucapan lelaki tua 
berpakaian merah itu. Red Ganda Wisesa yang 
bersiap hendak melancarkan serangan tentu saja 
terkejut. Serta-merta wajahnya menoleh ke arah 
suara itu berasal. 

"Heh...?!" 

Nelayan Pemancing Nyawa pun tersentak ka¬ 
get, ketika mendongakkan kepalanya. Begitu pula 
Dewa Arak. Mereka hampir tak percaya melihat so¬ 
sok manusia melayang di angkasa. Hanya si Petani 
Berjati Sakti celingukan. 

Meskipun tahu suara tawa melengking tadi ber¬ 
asal dari atas, dia tak dapat melihat, karena mata¬ 
nya buta! 

***




Ternyata pendengaran tokoh-tokoh itu tidak 
salah. Di atas mereka, tampak seorang nenek 
berambut panjang meriap tengah duduk dengan 
angkuhnya di punggung seekor garuda berwarna 
putih. Ketiga tokoh persilatan terlongong bengong, 
keheranan, menyaksikan perempuan tua itu. 

"Siluman Goa Langit! Turunlah untuk 
menerima hukuman dariku atas kelancangan 
mulutmu!" seru Resi Ganda Wisesa teras karena 
kemarahan yang melanda. Kakek ini memang 
tinggi hati dan selalu tak ingin diremehkan. Suara 
tawa Siuman Goa Langit dianggap meremehkan 
dirinya. 

Siluman Goa Langit tetap memperdengarkan 
suara tawanya yang melengking tinggi. Kemudian 
mendadak, diawali jeritan melengking nyaring, 
burung garuda putih itu meluruk menyambar Resi 
Ganda Wisesa. 

Resi Ganda Wisesa terkejut bukan kepalang, 
melihat kecepatan gerak burung tunggangan 
Siluman Goa Langit. Dia hanya melihat sinar putih 
berkelebat dari atas dan tahu-tahu sudah diserang 
bertubi-tubi oleh cakar dan paruh serta sayap 
besar burung raksasa itu. 

Serangan itu hebat sekali. Namun Resi Ganda 
Wisesa memang seorang tokoh yang 
berkepandaian tinggi sekali. Ffengalamannya yang 
banyak di rimba persilatan membuatnya tetap 
tenang menghadapi serangan itu. Dengan cepat 
dia menggerakkan tongkat yang semula 
menyangga tubuhnya. Tongkat itu ternyata hanya 
berupa sarung saja karena di dalamnya 
tersembunyi sebatang pedang yang berwarna 
hitam legam. 

Dengan kecepatan tinggi pedang hitam legam 
itu digerakkan hingga membentuk lingkaran- 
lingkaran besar dan kedi. Kemudian dari dalam 
lingkaran-lingkaran itu melesat ujung pedang 
menusuk dengan cepat dan bertubi-tubi 1« arah 
burung garuda yang tengah menyerangnya. 

Serangan hebat Red Ganda Wisesa tidak hanya 
membuat Siluman Goa Langit mendecak kagum, 
tapi juga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani 
Berjari Sakti. Dewa Arak pun tampak menggeleng- 
gelengkan kepala. Namun burung garuda itu pun 
seakan mengetahui kekuatan lawannya. Karena 
begitu menghadapi serangan maut dari pedang 
hitam itu, secara aneh dan cepat sekali garuda 
putih mampu merubah gerakannya. Tubuhnya 
berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar 
pedang guna menyelamatkan diri. Sesaat 
kemudian terbang di atas kepala Resi Ganda 
Wisesa, menunggu kesempatan baik untuk 
melakukan serangan. 

"Hi hi hi...!" 

Siluman Goa Langit meledakkan tawa gembira 
bernada ejekan terhadap Resi Ganda Wisesa. Hal 
itu membuat wajah kakek berpakaian merah 
padam karena amarah yang bergolak. Dia tahu 
nenek berambut panjang itu menertawakan 
kegagalannya. 

"Rampas pedangnya, Manis!" sem Siluman Goa 
Langit seakan-akan tak menghiraukan kemarahan 
yang tengah melanda hati lawannya. 

Kemarahan Resi Ganda Wisesa kian 
memuncak mendengar ucapan itu. Dia 
menyangka Siuman Goa Langit mengucapkan 
perkataan seperti itu untuk mengejeknya. Dia tahu 
kalau burung itu berbeda dengan burung lainnya 
karena Siluman Goa Langit telah mendidiknya 
agar dapat mengerti perintah-perintahnya. 

Mendengar seruan tuannya, burung raksasa 
itu lalu melabrak dengan sayap dan cakar- 
cakamya berusaha merampas pedang Resi Ganda 
Wisesa. Burung garuda putih itu memukulkan 
kedua sayap ke arah kepala Resi Ganda Wisesa, 
disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya 
ke arah pedang hitam yang tems berkelebat 
menyerangnya. 

Mengetahui maksud lawannya, Resi Ganda 
Wisesa terkejut. Serangan-serangan garuda itu, 
terutama sekali sepasang sayapnya dirasakan 
sangat dahsyat. Setiap kali bergerak, pasti 
menghempaskan angin keras yang membuat 
rambut dan pakaian Resi Ganda Wisesa berkibar 
keras. Sedikit banyak hal itu mempengaruhi 
penglihatan kakek berpakaian merah itu. 

Aiya, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani 
Beijari Sakti memperhatikan jalannya pertarungan 
dengan hati berdebar tegang di samping rasa 
tertarik. 

Memang pertarungan yang berlangsung cukup 
menarik dan mengiriskan hati. Pertarungan 
antara seorang manusia sakti menghadapi seekor 
burung raksasa yang terlatih berkelahi dan 
bahkan seperti mengetahui ilmu silat. Sejauh itu 
belum nampak di antara keduanya yang bakal 
memenangkan pertarungan unik itu, baik Resi 
Ganda Wisesa maupun garuda putih masih tetap 
saling menyerang. 

Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga 
puluh dua, mendadak garuda putih mengeluarkan 
bunyi aneh yang membuat Siluman Goa Langit 
terkejut campur girang. 

'Mari pergi dari ani, Manis," bujuk Siluman 
Goa Langit dengan lembut penuh kasih sayang. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, garuda 
putih itu melesat cepat meninggalkan Resi Ganda 
Wisesa. Tentu saja kakek berpakaian merah ini tak 
mau membiarkan begitu saja. Hatinya telah 
telanjur marah dan hanya akan bisa tenang 
apabila telah memberikan hajaran atau merenggut 
nyawa burung itu. Bahkan kalau bisa sekalian 
dengan pemiliknya. 

Oleh karena itu, dengan kemarahan meluap- 
luap dilancarkan pukulan jarak jauh dengan 
menghentakkan tangan kanannya ke arah garuda 
yang tengah melesat. Namun sungguh di luar 
dugaan, burung raksasa itu mampu 
mengelakkannya dengan cara luar biasa! Dan 
kemudian terbang jauh meninggalkan tempat 
pertarungan. 

Pada saat yang bersamaan dengan perginya 
burung tunggangan Siluman Goa Langit, Dewa 
Arak yang sudah bisa menduga kalau 
pertarungannya dengan Resi Ganda Wisesa dapat 
berlangsung kembali, segera menyambar tubuh 
Prajurit Kerajaan Dewa. Dia melesat cepat 
meninggalkan tempat itu. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Beijari 
Sakti terkejut bukan kepalang mengetahui 
tindakan Dewa Arak. Mereka ingin mencegah tapi 
sayang tidak sempat, karena keduanya tadi 
memusatkan perhatian pada pertarungan. 

Meskipun demikian, kedua tokoh hitam itu ti¬ 
dak tinggal diam dan langsung melesat mengejar. 
Mengetahui apa yang teijadi, Resi Ganda Wisesa 
pun melakukan hal yang sama, meskipun agak 
terlambat. 

Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh 
Resi Ganda Wisesa. Sehingga meskipun Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Beijari Sakti telah 
lebih dulu melesat, dia mampu menyusul. 

Meski begitu, untuk menyusul Dewa Arak, 
kakek kedi kurus ini tidak mampu. Jarak antara 
mereka tetap tak berubah seperti semula. 
Kenyataan itu membuat Resi Ganda Wisesa yang 
mempunyai watak tinggi hati, merasa penasaran 
bukan kepalang. Dia tidak mau kalah oleh orang 
yang letih pantas menjadi cucunya. Maka segera 
dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya 
untuk mengejar. 

Kejar-mengejar antara dua tokoh sakti yang 
berbeda usia dan kepentingan itu pun teijadi. 
Bentuk tubuh keduanya lenyap. Yang tampak 
hanya bayangan ungu dan merah berkelebatan 
dalam bentuk yang tidak jelas. 

Dewa Arak tahu kalau Resi Ganda Wisesa 
mengejarnya. Dia pun menyadari untuk 
meninggalkan kakek berpakaian merah itu 
tidaklah semudah seperti meninggalkan Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Maka 
pemuda berambut putih keperakan itu segera 
memilih jalan yang dipenuhi dengan semak 
belukar, dan pepohonan. 

Siasat Dewa Arak ternyata tidak sia-sia karena 
Resi Ganda Wisesa tampak mulai tertinggal. Kakek 
itu mengalami kesulitan untuk melakukan 
pengejaran karena terhalang semak-semak dan 
pepohonan. 

Hanya dalam beberapa saat, Dewa Arak telah 
aman dari kejaran Resi Ganda Wisesa. Prajurit 
Kerajaan Dewa yang telah percaya pada Arya 
setelah tadi mendengar kalau penolongnya 
ternyata Dewa Arak, tanpa ragu-ragu 
memberitahukan tujuannya. Hatinya semakin 
gembira ketika tahu kalau pemuda berambut 
putih keperakan itu memang bermaksud 
menolongnya dari kejaran orang-orang peralatan 
atas petunjuk Jaran Sangkar. 

Dewa Arak akhirnya terus menyertai Prajurit 
Kerajaan Dewa yang ingin menjumpai putrinya. 
Sehingga akhirnya mereka bertemu, ketika 
Nawangsuri tengah dipaksa oleh Sepasang 
Harimau Hitam. 

-t—t—t- 

"Begitulah ceritanya, Nawang," ucap Prajurit 
Kerajaan Dewa, mengakhiri penuturannya sejak 
dari dia pergi meninggalkan tempat kediamannya. 

"Ah...! Lagi-lagi Dewa Arak...! Terima kasih atas 
pertolonganmu, Dewa Arak. Entah bagaimana 
caranya kami, ayah, dan anak untuk membalas 
kebaikanmu ini," ucap Nawangsuri seraya 
menatap pemuda berambut putih keperakan yang 
berdiri tak jauh di depannya, dengan sorot mata 
memancarkan rasa kagum. 

"Lupakanlah!" ujar Aiya dengan tarikan wajah 
malu hati melihat sikap Nawangsuri yang begitu 
bersyukur. "Aku hanya kebetulan saja berhasil 
menyelamatkan kalian berdua. Lalu, bagaimana 
dengan anakmu...?!" 

Aiya mengucapkan pertanyaannya secara 
pelan, tapi bagi Nawangsuri tak kalah kerasnya 
dengan ledakan halilintar! Pertanyaan Dewa Arak 
mengingatkannya kembali pada anak yang tengah 
dicarinya. 

Keterkejutan Nawangsuri membuat Atya serta 
Prajurit Kerajaan Dewa yang telah sembuh dari 
lukanya merasa heran bercampur khawatir. Sikap 
wanita berpakaian coHat itu telah memberi 
pertanda akan teijadinya hal-hal yang tak 
diinginkan. 

"Apa yang terjadi, Nawang?" tanya Prajurit 
Kerajaan Dewa, tak mampu menyembunyikan 
kecemasan harinya. 

'Taksaka tadi minta izin untuk pergi bermain. 
Kami pesan agar dia tidak pergi jauh-jauh. Tapi dia 
tidak kembali-kembali, maka aku menyusulnya 
sampai di sini. Itu pun setelah suamiku pergi 
menyusul dan belum kembali!" 

Prajurit Kerajaan Dewa dan Aiya saling 
pandang setelah mendengar penjelasan 
Nawangsuri. Meskipun tidak berbicara tapi satu 
sama lain keduanya saling mengerti arti tatapan 
yang hanya sekilas itu. Sama-sama khawatir akan 
teijadinya sesuatu pada diri Taksaka. Sebab, 
tokoh-tokoh persilatan telah mengetahui tempat 
Nawangsuri dan suaminya serta Taksaka berdiam. 
Kedatangan Sepasang Harimau Hitam telah 
mempeijelas kenyataan itu. 

"Kalau demikian tak ada salahnya kalau aku 
ikut mencarinya, Dewa Arak," ucap Prajurit Keraja¬ 
an Dewa dengan raut muka tegang karena 
khawatir kalau-kalau Taksaka telah jatuh ke 
tangan tokoh-tokoh persilatan yang memang 
tengah berusaha mendapatkannya. 

Baru saja Aiya bermaksud membuka mulut, 
pendengarannya yang tajam menangkap adanya 
suara mencurigakan. Maka maksudnya 
dibatalkan. Sehingga ucapan yang keluar dari 
mulutnya berbe-da dengan maksud sebelumnya. 

"Awas, ada orang datang!" bisik pemuda 
berambut putih keperakan itu pada Nawangsuri 
dan Prajurit Kerajaan Dewa. 

Ayah dan anak yang sama-sama memiliki 
kepandaian tinggi itu memusatkan perhatian pada 
pendengaran, begitu mendengar ucapan Dewa 
Arak. Mereka ingin membuktikan kebenarannya, 
tapi usaha itu sia-sia karena bunyi yang dimaksud 
Aiya begitu halus. Mereka tak mampu 
menangkapnya. 

Meskipun demikian tak berarti Dewa Arak 
berbohong dengan ucapannya tadi, karena sesaat 
kemudian terdengar suara mendengus keras. 

"Kau boleh pergi sesuka hatimu, Dewa Arak! 
Tapi, jangan harap dapat lolos dari tanganku! Ke 
ujung langit sekalipun kau akan kukejar!" 

Aiya dan Prajurit Kerajaan Dewa tersentak 
kaget ketika mengenali siapa pemilik suara itu. 
Duga an keduanya ternyata tidak salah. Sesaat 
kemudian, di hadapan mereka telah berdiri 
seorang kakek berpakaian merah, Resi Ganda 
Wisesa. 

"Aku bukan seorang pengecut seperti yang kau 
tuduhan, Kek! Aku melarikan diri dari dirimu 
bukan karena takut, tapi karena tak ingin 
bertarung denganmu. Aku tidak punya urusan 
apa pun denganmu!" 

"Jangan salah, Dewa Arak! Sapa bilang antara 
kita tak ada urusan? Kau telah lancang berani 
mencampuri urusanku. Itu berarti sebuah 
tantangan terhadapku. Padahal, aku tak pernah 
menolak setiap tantangan yang ditujukan padaku! 
Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa 
Arak!" ujar Resi Ganda Wisesa, keras dan tegas. 

"Sebenarnya, kalau saja saat ini tak ada urusan 
lain yang lebih penting, dengan senang hati aku 
bersedia meminta pelajaran darimu. Dan...." 

'Tidak usah banyak mulut, Dewa Araki Kata¬ 
kan saja kalau kau takut dan mengaku kalah, 
maka aku akan melepaskanmu! Urusan 
denganmu akan kuputuskan sampai di ani!" 
sergah Resi Ganda Wisesa, penuh kesombongan. 

Wajah Dewa Arak langsung berubah. Amarah 
mulai membakar harinya. Resi Ganda Wisesa 
terlalu sombong. Terlalu menghinanya! Hal ini 
tidak bisa dibiarkan karena sudah menyangkut 
harga dirinya selaku seorang pendekar. 

"Baiklah, Resi Ganda Wisesa," ujar Arya dengan 
suara berat dan sikap gagah. Kemarahan 
membuat suaranya agak bergetar. "Kau yang me¬ 
maksaku. Jadi jangan salahkan kalau aku 
bertindak kurang ajar, berani menentang tokoh 
tua sepertimu!" 

'Tidak usah banyak bacot, Dewa Arak! 
Mulutmu tak ubahnya mulut wanita, Cerewet! 
Kalau berani tak usah bicara lagi, ayo serang aku!" 

"Mulutmu terlalu tajam Resi Ganda! Majulah! 
Seranglah aku! Bukankah kau yang menginginkan 
pertarungan ini?!" 

"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima 
seranganku, Dewa Geblek!" 

Sambil mendengus begitu Resi Ganda Wisesa 
menancapkan tongkatnya di tanah. Kemudian, 
kedua tangannya diputar di depan dada secara 
cepat, hingga terlihat seperti berjumlah banyak. 
Tangan kakek ini bagaikan puluhan pasang 
banyaknya! Inilah ilmu andalan yang bernama 
Tangan Seribu'! 

’Heaaa...!" 

Kemudian, dengan diawali teriakan teras dan 
menggetarkan Resi Ganda Wisesa melompat 
menerjang. Dari suara teriakannya saja telah dapat 
diketahui, bahwa kakek berpakaian merah itu 
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sesaat 
Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa harus 
mengerahkan tenaga dalam mengatasi pengaruh 
getaran dari suara dahsyat itu. 

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. 
Disadari betul kedahsyatan yang terkandung 
dalam serangan Resi Ganda Wisesa. Bukan hanya 
karena kekuatan tenaga dalam yang tersimpan 
dalam setiap serangan, tapi kecepatan gerak kedua 
tangan itu pun sulit untuk diketahui arah yang 
dijadikan sasaran. 

Penilaian seperti itu yang didapat oleh Prajurit 
Kerajaan Dewa dan anaknya. Mereka segera 
berlompatan menjauhi kancah pertarungan ketika 
melihat gerakan tangan Resi Ganda Wisesa yang 
meluncur ke arah Dewa Arak. 

Tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Me¬ 
mang ketika jaraknya masih cukup jauh, dia 
tampak bingung untuk memperkirakan sasaran 
yang akan dituju kedua tangan yang seperti 
berjumlah puluhan pasang itu. Namun, ketika 
serangan-serangan itu telah menyambar dekat, 
dirinya baru bisa mengetahui. Serangan tangan 
kanan menuju ke arah pelipis, sedangkan yang kiri 
menyambar dengan cengkeraman ke perut. 
Apabila salah satu dari kedua serangan mengenai 
sasaran, cukup untuk mengirim nyawa Dewa Arak 
menuju bang kubur. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa 
Arak langsung memapak kedua serangan itu. 
Serangan ke arah pelipis ditangkisnya dengan 
tangan kiri. Sedangkan yang menuju ke perut, 
dipapak cepat dengan sikap jari tangan juga 
membentuk cakar. 

"Heaaa...!" 

Takkk! Prat! 

Suara keras terdengar ketiga dua pasang 
tangan yang sama-sama mengandung tenaga 
dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik tubuh 
Dewa Arak maupun Resi Ganda Wisesa terdorong 
dua langkah ke belakang. Dari sini saja kedua 
belah pihak tahu kalau tenaga dalam lawan 
berimbang dengan tenaga dalam sendiri. 

Dewa Arak yang memang sudah menduga 
kalau Resi Ganda Wisesa merupakan lawan yang 
amat tangguh, tidak terkejut mengalami kejadian 
itu. Bahkan semakin membuatnya harus 
bertindak hati-hati, karena merasakan sendiri 
betapa hebat kekuatan tenaga dalam lawan. 

Namun tidak demikian halnya dengan Resi 
Ganda Wisesa. Hasil benturan tadi membuatnya 
merasa penasaran bukan kepalang. Penasaran 
bercampur kemarahan, di samping 
ketidakpercayaan yang menggelora. Benarkah ada 
seorang pemuda memiliki tenaga dalam sekuat 
dirinya? Baginya mustahil! 

*** 




Kedua perasaan itulah yang menyebabkan Resi 
Ganda Wisesa melancarkan serangan kembali. 
Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi 
banyak ketika ilmu Tangan Seribu'-nya 
dikeluarkan untuk melancarkan serangan. Dewa 
Arak pun menyambutnya dengan hangat, hingga 
pertarungan antara kedua tokoh sakti yang 
berbeda usia dan golongan itu berlangsung sengit 
mengiriskan hati. 

Kini Dewa Arak merasakan sendiri 
kedahsyatan setiap serangan Resi Ganda Wisesa 
yang tak ubahnya gelombang laut. Kuat, bertubi- 
tubi dan penuh tekanan. Dengan ilmu Delapan 
Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang 
Tangan Penakluk Naga', dia berusaha meredam 
kedahsyatan setiap serbuan kakek berpakaian 
merah. Kemudian melancarkan serangan balasan 
yang tak kalah dahsyat. 

Prajurit Kerajaan Dewa dan Nawangsuri yang 
menyaksikan jalannya pertarungan itu merasa 
takjub, kagum, di samping pula rasa ngeri. Mata 
mereka dirasakan berkunang-kunang dan kepala 
pusing ketika memaksakan diri agar dapat melihat 
dengan jelas pertarungan itu. Hal itu karena 
gerakan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa terlalu 
cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan- 
bayangan ungu dan merah yang berkelebatan 
jelas. Saling belit dan sesekali tampak saling pisah. 
Itu pun berlangsung sebentar karena kemudian 
saling belit kembali. 

Tidak hanya itu, dari kancah pertarungan 
menyambar desiran-desiran angin keras dan 
menggetarkan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa 
dan anaknya lebih menjauhi kancah pertarungan. 
Angin-angin yang berasal dari serangan-serangan 
kedua tokoh sakti itu membuat napas mereka 
sesak. 

Pertarungan kian seru. Namun tampak Resi 
Ganda Wisesa mulai kelabakan. Dia tidak pernah 
menyangka sama sekali kalau Dewa Arak akan 
selihai ini. Tidak hanya dalam hal tenaga mereka 
berimbang, tapi juga dalam hal ilmu meringankan 
tubuh. Hal ini benar-benar tidak bisa diterima. 
Resi Ganda Wisesa yang memang berwatak 
angkuh. Kehebatan kemampuan lawan justru 
membuatnya semakin penasaran. Akibatnya, 
serangan-serangan yang dilancarkannya pun 
semakin dahsyat! Namun Dewa Arak tetap 
mampu meredamnya. Bahkan pemuda berambut 
putih keperakan itu mampu mengirimkan 
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. 

Pertarungan itu memang semakin seru. Jurus 
demi jurus telah saling dikerahkan. Bunyi berdecit, 
mengau ng, dan deru angin mengiringi setiap 
gerakan cepat tangan atau kaki mereka. 

Bukan hanya itu, angin yang keluar dari setiap 
serangan yang mereka lancarkan membuat 
semak-semak dan pepohonan di sekitar tempat itu 
tergetar hebat. Dedaunan berguguran dan 
beterbangan. Bahkan banyak dahan pohon yang 
berpatahan terhantam pukulan Dewa Arak 
maupun Resi Ganda Wisesa. Debu dan 
bongkahan-bongkahan tanah pun berhamburan 
ke atas, setiap pukulan dahsyat menghantam ke 
bumi. 

Ketika pertarungan beijalan seru Nelayan 
Pemancing Nyawa dan Petani Beijari Sakti muncul 
di tempat itu. Prajurit Kerajaan Dewa yang melihat 
kehadiran mereka, langsung mengeluarkan 
senjata istimewanya, golok dan perisai! Sebelum 
kedua belah pihak menyerang, mendadak muncul 
Sepasang Harimau Hitam. Kedua lelaki berpakaian 
serba hitam itu kembali setelah tak menemukan 
apa yang dicari di pondok kediaman Nawangsuri. 

Melihat kedatangan mereka, Nawangsuri pun 
tidak tinggal diam Segera dicabut pedangnya, siap 
menghadapi serbuan Sepasang Harimau Hitam 

yang baginya, satu di antara mereka saja cukup 
berat untuk dilawan. 

Namun rupanya, baik Nelayan Pemancing 
Nyawa, Petani Berjari Sakti, maupun Sepasang 
Harimau Hitam tak langsung melancarkan 
penyerbuan terhadap ayah dan anak yang telah 
bersiap untuk bertarung itu. Keempat tokoh hitam 
itu merasa tertarik dengan pertarungan antara 
Dewa Arak dengan Resi Ganda Wisesa. Perhatian 
mereka pun tertuju ke sana. 

Sementara itu, pertarungan Dewa Arak dan 
Resi Ganda Wisesa telah beijalan hampir lima 
puluh jurus. Namun sejauh itu tetap belum 
menampakkan tanda-tanda siapa yang bakal 
memenangkan pertarungan. 

"HaaatJ" 

Pada jurus kelima puluh tiga, setelah terlebih 
dulu bersalto beberapa kali di udara, Resi Ganda 
Wisesa meluruk menerjang Dewa Arak. Lelaki tua 
itu melancarkan serangan dengan kedua tangan 
terbuka dipukulkan ke dada lawan. Deru angin 
keras mengiringi tibanya serangan dahsyat itu. 

Dewa Arak menyadari kedahsyatan dan 
kehebatan serangan lawan. Namun tak tampak 
kegentaran dalam sikapnya. Sambil mengeluarkan 
teriakan yang tidak kalah kerasnya dengan Resi 
Ganda Wisesa, Dewa Arak melakukan tindakan 
yang sama. Pemuda berambut pulih keperakan itu 
bertekad mengadu keras lawan keras! 

Deru angin yang tidak kalah terasnya pun 
berhembus dari kedua tangan Dewa Arak. Prajurit 
Kerajaan Dewa dan yang lain-lain harus 
mengerahkan tenaga dalam guna melindungi 
bagian dalam tubuh mereka dari guncangan hebat 
akibat teriakan menggelegar Dewa Arak dan Resi 
Ganda Wisesa. 


*** 

Bunyi keras laksana halintar menyambar 
terdengar, ketika dua pasang tangan yang telah 
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu 
berbenturan. Getaran hebat pun dirasakan oleh 
tokoh-tokoh persilatan yang menyaksikan 
pertarungan itu. Bahkan dalam jarak belasan 
tombak dari tempat pertarungan, pepohonan pun 
bergetar bagai dilanda gempa. 

Tubuh kedua tokoh sakti itu teijengkang ke be¬ 
lakang dan terguling-guling di tanah dengan dada 
terasa sesak dan kedua tangan terasa bagaikan 
lumpuh. 

"Pantas kau sombong, Dewa Arak! Rupanya 
kau memiliki kepandaian yang dapat diandalkan!” 
desis Resi Ganda Vrisesa setelah bangkit berdiri. 
Matanya menatap geram pada Dewa Arak. 

Dewa Arak tidak memberikan jawaban sama 
sekali, kecuali sedikit senyum pahit di mulut 
Kemudian diayunkan langkah menghampiri Resi 
Ganda Wisesa yang juga berjalan mendekat. 

Namun langkah keduanya terhenti, ketika tiba- 
tiba terdengar suara langkah kaki berlari 
mendekati tempat pertarungan. 

"Nawangsuri...! Nawang.J Celaka...!" Dengan 
napas terengah-engah, sesosok lelaki berusia 
sekitar tiga puluh tahun berseru memanggil 
Nawangsuri. Tubuhnya penuh luka serta pakaian 
yang dikenakannya koyak-kcyak. Darah pun 
tampak mengalir dari beberapa luka membasahi 
sekujur tubuhnya. 

"Kakang.J Kakang Wisnu...! Apa yang tejadi, 
Kang?!" sambut Nawangsuri dengan suara penuh 
kekhawatiran ketika melihat sosok pendek kekar 
yang ternyata suaminya, ayah Taksaka! 

Seruan itu tidak langsung dikeluarkan 
Nawangsuri. Dia terkesima beberapa saat dengan 
mata terbelalak penuh perasaan tidak percaya 
melihat keadaan Wisnu yang teriuka parah. Dan 
wanita berpakaian coldat ini menghambur ke 
depan dengan kedua tangan terkembang. 

Dalam keadaan teriuka parah dan keinginan 
untuk menyampaikan sesuatu berita yang 
dibawanya, Wsnu ingat kalau di tempat itu yang 
ada tidak hanya istrinya, melainkan banyak lagi 
lainnya. Bahkan ada dua tokoh yang tengah 
bertarung! Dia pun menghambur dengan kedua 
tangan terbuka menyambut Nawangsuri, istrinya. 

Namun keinginan itu hanya terkabul di angan- 
angan. Sebelum terlaksana, tubuh Wisnu 
tersungkur ke tanah. Luka-lukanya terlalu parah. 
Dan berhasilnya bertahan hidup disebabkan 
besarnya keinginan menyampaikan berita kepada 
sang Istri. 

"Kang Wisnu..,!" seru Nawangsuri sambil duduk 
bersimpuh di tanah, tidak mempedulikan tokoh- 
tokoh lain yang terkesima melihat kejadian itu. Tak 
terkecuali Prajurit Kerajaan Dewa. Bahkan 
pertarungan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa 
berhenti, semua perhatian tertuju pada 
Nawangsuri dan Wisnu. 

"Jangan pikirkan aku, Nawang!" ujar Wisnu 
terputus-putus karena luka-lukanya yang terlalu 
parah. Pelan sekali suaranya mirip bisikan, 
sehingga Prajurit Kerajaan Dewa terpaksa 
beringsut mendekati agar dapat mendengar lebih 
jelas. 

"Anak kita... Taksaka diculik orang..., aku 
mencoba untuk mencegahnya tapi tidak 
mampuhhh...," tutur Wisnu dengan napas 
terengah-engah. 

"Siapa orang itu, Kang? Katakan!" tanya 
Nawangsuri langsung kalap begitu 
mendengar berita yang dibawa suaminya. 
Untuk sesaat dia lupa terhadap kepayahan 
suaminya. Berganti dengan kekhawatiran 
terhadap nasib sang anak. Air mata yang 
tadi mengalir karena kesedihan melihat 
keadaan suaminya, segera disekanya. 
Tarikan wajahnya sudah tidak menyiratkan 
kesedihan lagi melainkan membara 
menahan kegeraman. 

"Dia... dia... ahhh...!" 

Sayang sekali, sebelum berhasil 
memberitahukan orang yang telah menculik 
Taksaka, nyawa Wisnu telah terlebih dulu 
melayang ke alam baka. Tubuhnya terkulai 
lemas. 

"Kakang...! Kakang Wisnu...!" jerit 
Nawangsuri keras penuh kesedihan ketika 
yadari kalau sang suami telah 
meninggalkan untuk selama-lamanya. 

Sambil menangis, Nawangsuri meng 
guncang-guncangkan tubuh suaminya. 
Seakan tidak percaya kalau suaminya telah 
meninggal. 

Resi Ganda Wisesa tampak tersentak 
kaget sambil memperhatikan sesaat mayat 
Wisnu. Begitu pula dengan Nelayan 
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, dan 
Sepasang Harimau Hitam. Mereka terkejut 
mendengar tentang anak yang tengah 
diperebutkan telah diculik orang! 

Seketika timbul keinginan di hati mereka 
untuk segera meninggalkan tempat itu. 
Mengejar orang yang menculik si anak 
ajaib, Taksaka, selagi belum lama 
kejadiaanya. Mereka yakin kalau penculik 
belum jauh dari tempat kejadian. 

Dengan gerakan tidak kentara, kecuali 
Resi Ganda Wisesa, tokoh-tokoh hitam itu 
mengayunkan kaki meninggalkan tempat 
pertarungan. Mereka berharap barangkali 
saja masih sempat untuk merampas 
Taksaka. 

"Sayang sekali, aku ada urusan yang 
lebih penting, Dewa Arak, sehingga tidak 
bisa menemanimu lebih lama. Tapi, setelah 
urusan ini selesai, aku akan mencarimu, 
dan kita lanjutkan pertarungan yang belum 
selesai ini!" 

Setelah berkata demikian, tanpa 
menunggu jawaban Dewa Arak, Resi Ganda 
Wisesa melesat menyusul tokoh-tokoh 
hitam lainnya yang telah berangkat lebih 
dulu. 

Aiya tidak menahan kepergian Resi 
Ganda Wisesa. Dibiarkan saja tokoh sakti 
dari golongan hitam itu pergi. Dia hanya 
memandangi hingga sosok merah itu lenyap 
di kejauhan. Kemudian melangkah 
menghampiri mayat Wisnu yang masih 
dipeluk dan ditangisi istrinya. 

"Sudahlah, Nawangsuri," ucap Prajurit 
Kerajaan Dewa yang tiba lebih dulu di 
sebelah anaknya. 'Yang sudah pergi, 
relakan saja! Tak ada gunanya kau tangisi. 
Toh, dia tidak akan kembali lagi. Biar kau 
mengucurkan air mata darah sekalipun 
keadaan tetap tidak berubah." 

Prajurit Kerajaan Dewa mengucapkannya 
dengan suara lembut dan penuh kasih 
sayang, seraya mengusap-usap rambut 
putrinya itu. Tentu saja hal ini semakin 
membuat kesedihan Nawangsuri menjadi- 
jadi. Bahunya terguncang-guncang karena 
isakan tangisnya. 

Melihat hal ini, Prajurit Kerajaan Dewa 
tahu kalau putrinya mengalami tekanan 
batin yang berat. Sehingga tak berani 
mencegah Nawangsuri yang menangis 
tersedu-sedu. 

"Keluarkan air matamu, Nawang! 
Menangislah, biar batinmu lega!" ujar lelaki 
tua berjubah putih itu dalam hati. 

Nawangsuri bangkit, lalu membalikkan 
tubuh dan menubruk kaki sang Ayah. 
Prajurit Kerajaan Dewa membiarkan saja 
putrinya berlaku seperti itu. Hatinya 
memaklumi kesedihan Nawangsuri yang 
baru saja ditinggal sang suami. Bahkan 
anaknya, Taksaka, yang belum diketahui 
bagaimana nasibnya. 

Prajurit Kerajaan Dewa melirik ke arah 
kanannya. Tampak Dewa Arak 
mengangguk-anggukkan kepala pertanda 
menyetujui tindakan yang diambil-nya. 
Kemudian dengan gerak isyarat, pemuda 
berambut putih keperakan itu 
memberitahukan pada Prajurit Kerajaan 
Dewa kalau dia ingin mencari penculik 
Taksaka. Tanpa berpikir lebih lama lagi 
kakek berpakaian putih ini menganggukkan 
kepala menyetujui. 

Aiya pun melesat meninggalkan ayah 
dan anak itu, berlari cepat menempuh arah 
yang ditinggalkan Wisnu. Dewa Arak tahu, 
tidak ada gunanya dia berada di situ. Itulah 
sebabnya, pemuda berambut putih 
keperakan itu buru-buru melesat 
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam 
sekejap, tubuh Dewa Arak telah lenyap dari 
pandangan. 

Ketika tubuh Aiya sudah tidak terlihat 
lagi, Prajurit Kerajaan Dewa mengalihkan 
pandangan sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. 

"Seorang pemuda yang luar biasa," ucap 
kakek berpakaian putih itu tanpa bisa 
menyembunyikan kekaguman yang tampak 
dalam tarikan wajah dan suaranya. 


*** 


"Nek.J Lihat..!" 

Seruan keras yang menguak keheningan 
pagi di sebuah lereng gunung membuat 
seorang nenek berpakaian kuning dan 
berambut panjang, mengalihkan 

pandangan. Tampak sesosok tubuh tinggi 
besar dan kekar tengah mempermainkan 
sebuah batu sebesar kambing. Batu itu 
diturun-naikkan dengan tendangan kaki 
sebagaimana layaknya orang 

mempermainkan bola. Terkadang melalui 
depan, tapi tak jarang ke belakang. Enak 
saja hal itu dilakukan seakan-akan batu 
begitu ringan bagai segumpal kapas. Tak 
nampak adanya tanda-tanda kalau kaki 
yang berbenturan dengan batu terasa sakit 

Tidak hanya perbuatan orang itu yang 
menimbulkan rasa kagum dan heran. Kalau 
orang melihat bagaimana sosok tubuh 
besar itu, tentu akan lebih merasa bergidik. 
Sesosok tubuh tinggi besar berkulit tubuh 
penuh sisik berwarna kehijauan, mirip kulit 
ular! 

Nenek berpakaian kuning menggeleng- 
geleng-kan kepala dengan penuh perasaan 
kagum melihat pertunjukan itu. 

"Kau lihat itu, Manis?" ucap wanita 
berambut panjang itu pada seekor burung 
garuda putih besar yang bertengger di atas 
sebuah batu besar dihadapannya. 
"Bukankah anak ini benar-benar luar 
biasa?!" 

"Kakkk.J" Hanya jawaban seperti itu 
yang diberikan garuda putih. Keras dan 
singkat. Namun rupanya jawaban itu 
memuaskan nenek berambut panjang yang 
tak lain Siluman Goa Langit. Sambil 
mengangguk-anggukkan kepala dia 
tersenyum merasa puas. 

"Benar-benar seorang anak naga! Hanya 
k-beri pelajaran tenaga dalam beberapa 
kali, dia telah memiliki tenaga dalam yang 
luar biasa, berlipat kali tenaga dalamku. 
Begitu gerakannya, sangat lincah dan gesit 
Benar-benar mewarisi keperkasaan 
leluhurnya! 

Ucapan-ucapan penuh kagum itu keluar 
dari mulut Siluman Goa Langit seraya 
menatap laki-laki tinggi besar berkulit 
tubuh penuh sisik di sekujur tubuhnya, 
mirip ular. Dan kekagumannya itu tidaklah 
terlalu berlebihan. Lelaki berkulit ular itu 
baru beberapa hari ikut dengannya, telah 
mampu menguasai ilmu-ilmu yang 
diajarkannya, bahkan kemampuan tenaga 
dalam bocah itu tak mungkin tertandingi, 
meski oleh orang yang belajar selama 
puluhan tahun sekalipun. Padahal 
sebelumnya lelaki bersisik ular itu sama 
sekali belum memiliki ilmu dan tenaga 
dalam. Tak aneh kalau kelebihan itu 
membuat Siluman Goa Langit tak henti- 
hentinya berdecak kagum. 

"Taksaka..., kemari sebentar...!" panggil 
Siluman Goa Langit seraya melambai- 
lambaikan tangan. 

"Iya, Nek," sahut lelaki berkulit ular 
seraya menghentikan latihan. Taksaka 
menolehkan kepala ke arah Siluman Goa 
Langit lalu berjalan menghampirinya. 

Lelaki tinggi besar berkulit ular itu 
ternyata hanya badannya yang besar. 
Wajahnya memperlihatkan kalau usianya 
belum melewati masa kanak-kanak. Dan 
hal itu memang tidak salah karena usia 
Taksaka belum menginjak sebelas tahun. 
Namun di situlah anehnya, dalam usia 
semuda itu dia telah memiliki tubuh 
sebagaimana layaknya orang dewasa. 
Pertumbuhan tubuh berlangsung demikian 
cepat. 

"Dengar, Taksaka!" ucap Siluman Goa 
Langit bernada sungguh-sungguh, seraya 
menatap sepasang mata bocah berkulit ular 
itu. 


"Aku ingin mengajakmu turun gunung. 
Apakah kau mau?" 

"Apakah Manis juga ikut Nek?!" Taksaka 
malah balas bertanya. 

“Tentu saja, Taksaka! Bagaimana, kau 
mau ikut!?” 

“Tentu, Nek,!” sahut Taksaka cepat 
dengan raut wajahberseri-seri. 


*** 




"Turun di sini, Manis," ucap Siluman 
Goa Langit setelah beberapa saat lamanya 
melayang-layang di angkasa bersama 
Taksaka duduk di punggung garuda putih. 

Burung raksasa itu mengeluarkan bunyi 
pelan sebelum akhirnya menukik ke bawah, 
menuju hamparan padang rumput yang 
terbentang luas. Hanya dalam beberapa 
tarikan napas saja garuda putih itu telah 
mendarat. Siluman Goa Langit dan Taksaka 
segera melompat turun dari punggungnya. 

"Tunggulah di sini, Manis! Aku akan 
kembali tak lama lagi," ucap Siluman Goa 
Langit sambil mengelus-elus leher garuda 
putihnya. 

Burung raksasa itu mengangguk- 
anggukan kepala seakan mengerti ucapan 
yang ditujukan padanya. Kemudian sambil 
mengeluarkan pekikan nyaring yang 
memekakkan telinga, burung raksasa itu 
melesat ke angkasa, dan terbang mengitari 
sekitar tempat itu. 

Tanpa mempedulikan garuda putihnya, 
Siluman Goa Langit mengajak Taksaka 
untuk segera meninggalkan tempat itu. 
Keduanya berlari dengan pengerahan ilmu 
meringankan tubuh. Maka pemandangan 
yang unik pun terlihat, Siluman Goa Langit 
tertinggal di belakang, semakin lama 
semakin jauh jaraknya. Padahal tadi 
mereka berlari bersamaan. Hal itu pun 
menunjukkan kalau ilmu lari cepat Taksaka 
berada di atas nenek berambut panjang itu. 
Suatu hal yang sebenarnya hampir mustahil 
karena Taksaka baru belajar ilmu itu 
beberapa hari yang lalu. Di samping itu 
Siluman Goa Langit bukan orang 
sembarangan, yang memiliki kepandaian di 
atas Nelayan Pemancing Nyawa atau Petani 
Berjari Sakti! Namun Taksaka ternyata 
mampu dengan mudah meninggalkannya 
jauh. 

Siluman Goa Langit mengerahkan 
seluruh kemampuannya untuk mengejar 
Taksaka, tapi sia-sia. Bocah berkulit ular 
itu terlalu lincah untuk dapat dikejarnya. 

Mau tak mau Siluman Goa Langit 
berseru agar Taksaka menunggunya, 
karena khawatir akan kehilangan jejak 
bocah itu. Taksaka pun segera berhenti 
menunggu Siluman Goa Langit, lalu berlari 
dengan kecepatan setaraf dengan nenek itu. 

Tak lama kemudian, kedua orang itu 
telah melihat sebuah pondok sederhana di 
depan. Ke sanalah Siluman Goa Langit 
membawa Taksaka. 

"Kau lihat tempat itu, Taksaka?" tanya 
Siluman Goa Langit seraya menudingkan 
jari telunjuknya ke depan. "Itu tempat 
tinggal musuh besarku, Taksaka. Dia 
beberapa kali menghina dan 
mempermalukanku! Apakah kau mau 
membantuku menghadapi dan 
membinasakannya, Taksaka?" 

"Tentu saja aku mau, Nek. Tapi, kapan 
kau akan membawaku kembali pada 
orangtuaku? Aku khawatir mereka akan 
mencemaskan diriku. Mungkin saat ini 
mereka tengah mencari-c ari ku?" 

"Sabarlah, Taksaka! Kau kira mudah 
mencari orang di dunia yang luas ini?! 
Apakah kau tidak tahu letak atau tempat di 
mana orangtuamu tinggal. Percayalah, aku 
pun tidak berdiam diri. Apabila urusanku 
selesai, kita cari orangtuamu! Atau..., kau 
tidak kerasan tinggal bersamaku dan 
membantuku menghadapi musuh- 
musuhku?" 

Tentu saja aku bersedia membantumu, 
Nek. Biarlah, kita mencari orangtuaku 
setelah urusanmu selesai," jawab Taksaka 
cepat mendengar ucapan Siluman Goa 
Langit yang dikeluarkan dengan nada 
merengek itu. 

"Nah! Itulah musuh besarku, Taksaka!" 
seru Siluman Goa Langit 

Taksaka mengarahkan pandangan ke 
arah yang ditunjuk Siluman Goa Langit 
Dan dia melihat seorang lelaki yang tidak 
jelas umurnya karena jarak yang masih 
jauh. Lelaki itu tengah berjongkok dengan 
kedua tangan sibuk mengorek-ngorek tanah 
yang ditumbuhi dedaunan. Sosok itu 
tengah mencabuti ubi. 

Rupanya sosok bertelanjang dada itu, 
mengetahui kedatangan Taksaka dan 
Siluman Goa Langit. Kepalanya 
didongakkan, menatap ke arah dua sosok 
yang tengah bergerak mendatanginya. 

"Lagi-lagi kau yang kemari, Siluman 
Betina! Rupanya kau belum kapok juga?!" 
ucap sosok bertelanjang dada yang ternyata 
seorang lelaki setengah baya bertubuh 
gagah dan cukup tampan. Apalagi dengan 
adanya kumis melintang dan tebal di bawah 
hidungnya. 

Wajah yang semula tenang itu langsung 
berubah, ketika melihat sosok yang berada 
di sebelah Siluman Goa Langit. Sosok yang 
membuatnya terperanjat bukan kepalang. 

Memang, lelaki ini tidak termasuk tokoh- 
tokoh persilatan yang mencari Taksaka 
untuk dipergunakan demi memuaskan 
nafsu kejahatan. Namun berita mengenai 
adanya anak ajaib yang lahir dengan tubuh 
dipenuhi sisik, karena ibunya telah 
menelan seekor ular, telah diketahui. 

Maka begitu melihat Taksaka, lelaki 
bertelanjang dada itu dapat menduga kalau 
bocah bersisik yang berada di hadapannya 
pasti Anak Naga yang selama ini 
diperebutkan tokoh-tokoh persilatan. Hanya 
yang dibingungkan bagaimana Siluman 
Gon Langit bisa mendapatkannya. Dan, 
bahkan mampu membuat anak itu 
kelihatan patuh padanya. Lelaki 
bertelanjang dada ini merasakan dadanya 
berdebar tegang. 

"Hi hi hi.J Kau kaget, Ragola?! Kali ini 
jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" 
ujar Siluman Goa Langit penuh keyakinan. 

Lelaki bertelanjang dada yang bernama 
Ragola itu tersenyum pahit. 

"Kau jangan terlalu yakin, Wanita 
Jalang!" tandas Ragola, tetap tenang 
meskipun hatinya sempat tergetar ketika 
melihat Taksaka. "Beberapa kali usahamu 
berhasil kukandaskan! Dan yang kedua 
ketika kau membawa garuda putih pun 
tetap tak berhasil. Sekarang pun kau tak 
akan berhasil juga!" 

"Tutup mulutmu, Ragola! Kali ini kau 
tak akan selamat dari tanganku! Dendamku 
selama ini akan berhasil kulampiaskan 
padamu! Bersiaplah untuk menerima 
kematian, Ragola!" 

Ucapan Siluman Goa Langit terdengar 
bergetar karena kemarahannya yang telah 
memuncak. Hal itu karena ucapan Ragola 
yang mengungkit-ungkit kegagalan demi 
kegagalan usaha pembalasan dendam yang 
dilakukan. 

Sekitar dua puluh lima tahun lalu, 
Siluman Goa Langit bekim mempunyai 
garuda putih. Namun dirinya sudah 
mempunyai nama besar sebagai tokoh 
hitam yang memiliki kepandaian tinggi. 

Kepandaiannya dipergunakan untuk 
menculik pemuda-pe-muda tampan yang 
dijadikan pemuas nafsunya. 

Sayang, pada suatu hari Siluman Goa 
Langit menculik seorang pemuda yang 
ternyata murid Ragola, dan 
mempermainkannya. Ragola yang akhirnya 
mengetahui menjadi marah bukan 
kepalang. Siluman Goa Langit berhasil 
dikalahkan. Namun Ragola yang merasa 
sakit hati atas tindakan perempuan itu 
tidak hanya sampai di situ. Tanpa pikir 
panjang diperkosanya Siluman Goa Langit. 

Siluman Goa Langit merasa sakit hati 
bukan kepalang. Apalagi karena Ragola 
melakukannya secara demikian 

merendahkan. Maka ketika Ragola 
meninggalkan begitu saja, Siluman Goa 
Langit bertekad menuntut ilmu untuk 
membalas dendam kesumatnya. Dan ketika 
akhirnya dirasakan cukup, tambah lagi 
pada saat itu dia mendapatkan seekor 
burung garuda putih, pembalasan 
dendamnya pun dimulai. 

Namun Siuman Goa Langit harus 
menelan pil pahit. Ragola kembali 
mengalahkannya. Burung yang diharapkan 
membantunya menghadapi Ragola pun 
tidak berdaya. Ternyata binatang itu pernah 
berhutang budi pada Ragola. Garuda putih 
pernah menerima pertolongan Ragola, 
ketika sayapnya terkena sambaran anak 
panah pemburu yang hendak 
membunuhnya. Dan itu terjadi jauh 
sebelum garuda putih bertemu dengan 
Siluman Goa Langit. 

Kali ini untuk kesekian kalinya, Siluman 
Goa Langit bermaksud membalas sakit 
hatinya pada Ragola dengan perantaraan 
Taksaka. Nenek berambut panjang ini yakin 
kalau Taksaka akan dapat melunasi sakit 
hatinya. 


"Bunuh dia, Taksaka!" seru Siluman Goa 
Langit seraya menuding Ragola. 

"Baik, Nek!" 

Hanya itu yang diberikan Taksaka 
sebagai jawabannya karena kemudian 
langsung melancarkan serangan terhadap 
Ragola. Bocah berkulit mirip ular itu 
menubruk seraya melancarkan serangan 
bertubi-tubi dengan sampokan tangannya 
yang berbentuk cakar. 

"Uh...!" 

Ragola tidak tahan untuk tidak 
mengeluarkan keluhan tertahan. Dia 
mendengar bunyi decitan tajam dan angin 
yang terobek serangan cakar Taksaka. 
Bunyi itu timbul dari akibat gerakan tangan 
yang didorong tenaga dalam tinggi. Dan ini 
membuat Ragola kaget bukan kepalang. 

Dirinya baru mengerti mengapa banyak 
tokoh persilatan saling memperebutkan 
bocah ini. Kalau dalam usia semuda ini 
sudah memiliki tenaga dalam sedemikian 
kuatnya, tak dapat dibayangkan kalau 
Taksaka telah dewasa. Tak akan ada 
seorang pun yang sanggup menandingi 
tenaga dalamnya. 

Namun, Ragola tidak bisa terlalu lama 
tenggelam dalam alun keterkejutannya 
karena serangan Taksaka semakin 
menyambar dekat. Dengan cepat 
dihentakkan kakinya dan melesat ke atas 
melewati kepala Taksaka. Sehingga 
serangan itu lewat beberapa jari ke bawah 
kakinya. Dan dari atas, Ragola 
mengirimkan serangan berupa tusukan jari 
tangan kanan ke arah sepasang mata bocah 
bersisik itu. 

Taksaka menggeram. Suara geramannya 
lebih kuat dari raungan harimau, hingga 
membuat Ragola merasa tubuhnya 
mendadak lemas. Dalam waktu yang 
demikian singkat serangannya terhenti 
karena tiba-riba kehilangan tenaga. Jelas, 
kalau geraman Anak Naga itu mengandung 
kekuatan yang dapat melumpuhkan lawan. 

Saat itulah, tangan Taksaka dengan 
cepat menyambar, tapi kali ini tertuju pada 
tangan Ragola yang baru saja terulur. 
Gerakannya yang sangat cepat laksana 
kelebatan bayangan, sehingga Ragola 
terperanjat. Sambil menggertakkan gigi, 
lelaki bertelanjang dada ini menarik pulang 
tangannya seraya melancarkan tendangan 
kaki kanan ke perut lawan. 

"Hih...!" 

Bukkk! 

Telak dan keras sekali kaki Ragola 
menghantam sasaran, sedangkan 

cengkeraman tangan Taksaka berhasil 
dielakkannya. Hal itu membuat lelaki 

bertelanjang dada ini merasa gembira. 

Namun senyum yang semula menghias 
bibirnya, langsung lenyap saat melihat 
lawan sama sekali tak terpengaruh dengan 
serangannya. Jangankan terhuyung, 

bergeming pun tidak. Malah sebaliknya, 
Ragola yang merasakan kakinya sakit dan 
linu ketika berhasil mendarat di perut 
lawan. Kakinya terpental balik bagaikan 
menghantam benda keras yang kenyal. 

Dan waktu Ragola belum berhasil 
memperbaiki kedudukannya. Taksaka 
menyergapnya laksana seekor harimau 
menerkam mangsa. 

Lelaki bertelanjang dada itu berusaha 
keras untuk mengelak dengan melompat 
ke bel akan g. Sayang, kalah cepat Kedua 
tangan Taksaka yang berbentuk cakar itu 
telah lebih dulu mencengkeram kedua 
bahunya. 

Wajah Ragola kontan pucat melihat hal 
ini. Namun sebagai tokoh kawakan, di saat 
yang amat berbahaya, dia masih mampu 
melakukan tindakan untuk menyelamatkan 
diri. Apalagi ketika dirasakan jari-jari 
tangan lawan sangat kuat mencengkeram 
kedua bahunya, bagaikan tangan baja! 
Rasa sakit mendera kedua bahunya. Ragola 
sadar kalau hal ini berlangsung lama, 
tulang-tulangnya akan hancur di samping 
kulit dan dagingnya terobek lebar. 

Dugaan Ragola bukan tanpa alasan. 
Diketahui tenaga dalam bocah bersisik itu 
jauh berada di atasnya. Hal ini diyakininya 
ketika berusaha mengerahkan tenaga 
dalam untuk mengeraskan daging, tetap 
saja jari-jari tangan Taksaka amblas, 
bahkan mencengkeram lebih kuat. 

Itulah sebabnya, tanpa membuang- 
buang waktu, Ragola segera mengirimkan 
tendangan kaki kanan ke selangkangan 
Taksaka. Dalam keadaan sangat berbahaya 
itu Ragola tidak berani mengambil risiko 
dengan menyerang bagian lainnya. Sebab 
telah membuktikan sendiri kalau Taksaka 
memiliki kulit yang alot, kebal. 

Kali ini Taksaka tidak berani 
membiarkan serangan Ragola mengenai 
sasaran. Rupanya dia tahu kalau 
selangkangan merupakan bagian yang 
lemah. Tanpa mengendurkan cengkeraman, 
diangkat kaki kanannya untuk menjadi 
pelindung selangkangan. Kaki Ragola pun 
menghantam betis Taksaka secara keras. 

Namun tidak hanya sampai di situ 
tindakan bocah berkulit ular itu. Dengan 
sebuah gerakan cepat, kaki kanannya 
digerakkan ke kanan, sehingga kaki Ragola 
yang baru saja menghantam sasaran, 
tergaet. Dengan cepat pula kaki Taksaka 
langsung meluncur ke paha kanan Ragola. 

Krakkk.J 

"Akh.J" 

Ragola meraung keras ketiga kaki 
Taksaka menghantam telak pangkal paha 
kanannya. Bunyi berderak keras yang 
terdengar menjadi pertanda kalau ada 
tulang kaki Ragola patah! 

Seketika tubuh Ragola limbung, tapi 
tetap di tempat karena cengkeraman tangan 
Taksaka masih lekat di kedua bahunya. 

Taksaka benar-benar telah larut dalam 
alun kemarahannya. Patahnya tulang kaki 
lawan tidak membuat tindakannya terhenti. 
Dia semakin buas laksana hiu lapar 
mencium bau darah. Sambil mengeluarkan 
gerengan keras mirip binatang marah, 
kedua tangannya yang sejak tadi 
mencengkeram, ditekankan semakin keras. 

Sejak tadi Ragola telah mengerahkan 
tenaga dalam untuk mehndungi tulang- 
tulang bahunya dari kehancuran akibat 
cengkeraman Taksaka. Namun dia tetap 
kewalahan. Dan tiba-tiba..., 

Krekk! 

"Aaakh...!" 

Ragola terpekik keras ketika tulang 
bahunya dirasakan remuk. Rupanya bocah 
berkulit ular itu telah mencengkeramnya 
semakin kuat. 

Rasa sakit yang hebat mendera bahu 
Ragola. Kedua matanya terpejam rapat 
dengan mulut meringis menahan rasa sakit 
yang tak terkira. Tubuhnya kian limbung 
tak mampu menahan. Wajahnya pucat pasi 
bagaikan tidak berdarah. Keringat sebesar 
biji-biji jagung pun bersembulan di sekujur 
wajahnya. Ragola sudah tidak kuasa untuk 
melakukan perlawanan lagi. Dia hanya 
pasrah menunggu datangnya maut 
Rintihan lirih terus keluar dari mulutnya. 

"Cukup, Taksaka. 

Seruan Siluman Goa Langit membuat 
Taksaka yang .bermaksud melakukan 
tindakan penyiksaan lanjutan, mengurung 
kan niatnya. Namun, tangannya tetap 
memegang kedua bahu Ragola ketika 
menoleh ke arah nenek berambut panjang 
dengai sorot mata mengandung pertanyaan. 

"Aku yang akan menyelesaikannya," 
jawab Siluman Goa Langit yang seakan 
memahami arti tatapan Taksaka. "Lepaskan 
saja dia!" 

Tanpa memberikan bantahan sama 
sekali, Taksaka melepaskan 

cengkeramannya. Tubuh Ragola pun 
ambruk ke tanah. Siksaan bocah berkulit 
ular itu membuat seluruh tenaganya 
bagaikan lenyap. Bahkan tulang-tulang 
tubuhnya dirasakan bagai telah dilolosi 
semuanya. 

"Bagaimana, Ragola?" tanya Siluman 
Goa Langit seraya mengayunkan langkah 
menghampiri Ragola. Jelas pertanyaan itu 
bernada kemenangan dan ejekan. 

Ragola bukan orang bodoh, dia pun 
tahu. Namun, berpura-pura tidak peduli. 
Tak diberikannya tanggapan sama sekali. 
Di samping karena tak ingin membuat 
nenek berpakaian kuning itu semakin 
merasa menang, juga rasa sakit yang 
diderita telah membuat nafsu berbicaranya 
lenyap. 

Siluman Goa Langit yang tengah 
dimabuk kemenangan, tidak mempedulikan 
hal itu. Baginya tak ada masalah sama 
sekali, baik Ragola menjawab ucapannya 
atau pun tidak. Yang penting, musuh 
bebuyutannya itu telah membuktikan kalau 
Siluman Goa Langit akhirnya bisa unggul! 

"Kau ingat peristiwa dua puluh lama 
tahun lalu...?" tanya Siluman Goa Langit 
seraya menyepak perlahan kepala Ragola 
yang tergolek lemah di tanah. 

"Cuhhh!" 

Ragola menjawab dengan semburan 
ludah. Namun karena tubuhnya tergolek di 
tanah, sedangkan Siluman Goa Langit 
berdiri, semburan ludah itu tidak mengenai 
wajah nenek berpakaian kuning itu. 

"Ah..., rupanya kau masih ingat," ucap 
Siluman Goa Langit tetap kalem namun 
dengan sinar mata berkilat karena dilanda 
amarah. "Ya, kau meludahiku setelah puas 
memperkosa dan mempermainkan 
tubuhku. Bahkan kau pun telah merusak 
kedua payudaraku dengan tusukan jarum- 
jarummu. Bukankah begitu?!” 




Sambil berkata demikian, Siluman Goa 
Langit menjejalkan kaki kanannya yang 
berlumur lumpur, ke mulut Ragola. Tentu 
saja lelaki bertelanjang dada itu tak 
membiarkan begitu saja penghinaan 
lawannya. Dengan kakinya yang masih 
berguna, dikirimkan tendangan ke arah 
selangkangan Siluman Goa Langit 

Namun usaha Ragola tidak berarti sama 
sekali, hanya dengan sebuah gerakan 
sederhana, nenek berpakaian kuning itu 
berhasil mengelakkannya. Dan sekali 
kakinya bergerak menjejak, tulang kaki 
Ragola yang satu lagi pun patah pula. 

Ragola hanya bisa meringis menahan 
sakit yang melanda. Tak sedikit pun 
dikeluarkan keluhan dari mulutnya karena 
khawatir Siluman Goa Langit semakin akan 
lebih merasa menang karenanya. Dan 
keluhannya semakin tidak terdengar karena 
alas kaki Siluman Goa Langit menyumpal 
mulutnya. 

Meski telah tidak bisa menggerakkan 
kaki dan tangan, Ragola berusaha keras 
untuk mencegah alas kaki Siluman Goa 
Langit menyumpal mulutnya. Dengan 
menggerakkan kepala, dicoba 

mengelakkannya. Namun usaha Ragola sia- 
sia saja. Kaki Siluman Goa Langit seperti 
mempunyai perekat sehingga terus melekat 
dengan mulutnya. Sekalipun telah 
diusahakan untuk melepaskan, kaki itu 
terus menyumpal mulutnya. Tak pelak lagi, 
mulut dan wajah Ragola penuh dengan 
lumpur dan tanah. 

Siluman Goa Langit baru menghentikan 
tindakannya ketika napas Ragola kembang 
kempis dan wajahnya merah padam karena 
sulit bernapas. 

"Bagaimana, Ragola? Nikmat?! Itu belum 
seberapa. Masih ada lainnya yang jauh 
lebih menarik! Kau mau membukti 
kannya?!" 

Siluman Goa Langit mengambil sebuah 
guci kecil dari balik pakaiannya. 

"Kau tahu apa isi kendi ini, Ragola?! 
Racun! Racun yang dapat menghancurkan 
kulit wajahmu meski hanya terkena satu 
tetes saja," ujar Siluman Goa Langit sambil 
menimang-nimang kendi itu di atas wajah 
Ragola yang langsung pucat begitu 
mendengar ucapan itu. 

Tarikan wajah dan sorot mata Ragola 
memancarkan kengerian ketika dengan 
gerak perlahan-lahan, Siluman Goa Langit 
membuka sumbat kendi itu. Nenek 
berambut panjang itu sengaja 
melakukannya lambat-lambat untuk 
menyiksa perasaan Ragola. Dan memang 
dia berhasil. Wajah lelaki bertelanjang dada 
itu semakin lama semakin tampak 
menegang membayangkan cairan itu 
diteteskan ke wajahnya. 

"Terimalah pembalasanku, Ragola!" 

Siluman Goa Langit menuangkan cairan 
di dalam kendi itu. Setetes, dan tepat jatuh 
di pipi Ragola. Seketika Ragola meraung 
sambil menggelepar-gelepar seperti ikan 
jatuh di darat. Bunyi berdesis nyaring 
seperti besi panas disiram air berbaur 
dengan jeritan kesakitan Ragola. 

"Hi hi hi.J" 

Siluman Goa Langit tertawa mengikik, 
menyaksikan Ragola yang berkelojotan dan 
menjerit-jerit. Perempuan tua berambut 
tergerai itu tampak kegirangan melihat 
musuh bebuyutan yang dibencinya, 
menggelepar-gelepar menahan sakit sambil 
melolong-lolong menyayat hati. 

Semua kejadian itu tak lepas dari 
perhatian Taksaka. Namun tidak nampak 
adanya tanda-tanda kalau penderitaan 
Ragola mempengaruhinya. Taksaka telah 
berubah buas, semenjak bergaul dengan 
Siluman Goa Langit yang berwatak kejam. 
Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh 
karena dalam diri Taksaka mengalir darah 
seekor hewan buas! 

Anak itu malah merasa gembira melihat 
Siluman Goa Langit bergembira. 

"Mari, Taksaka...!" ajak Siluman Goa 
Langit setelah merasa puas bergembira, dan 
tertawa-rawa. 

Nenek berambut panjang itu tidak 
merasa khawatir sama sekali kalau 
lawannya akan selamat dari maut. Dia 
yakin, meskipun Ragola tidak mati, tidak 
akan dapat membalas dendam. Apa yang 
bisa dilakukan oleh orang telah remuk 
tulang-tulang tangan dan kakinya? 

"Di sanalah pusakaku terjatuh, 
Taksaka," ujar Siluman Goa Langit seraya 
menudingkan jari telunjuk ke dataran 
berupa padang pasir yang membentang. 

Taksaka yang berada di depan Siluman 
Goa Langit, duduk di punggung garuda 
putih mengarahkan pandangan ke bawah. 
Namun buru-buru dialihkan lagi, karena 
merasa ngeri. 

"Mengapa kau tidak mengambilnya 
kembali, Nek?" tanya Taksaka heran. 

"Hi hi hi...!" Siluman Goa Langit tertawa, 
karena merasa geli mendengar pertanyaan 
Taksaka. "Kau kira mudah mengambilnya, 
Taksaka? Kau tahu, apabila terjatuh ke 
tempat itu, jangankan aku. Orang yang 
memiliki kepandaian puluhan kali lipat dari 
yang kumiliki pun, tidak akan mampu 
mengambilnya kembali!" 

"Eh?! Mengapa bisa begitu, Nek?!" tanya 
Taksaka masih dengan keheranan. Dia 
merasakan adanya nada kesungguhan 
dalam ucapan wanita berambut panjang 
itu. Taksaka tahu, Siluman Goa Langit 
tidak berbohong. 

"Tempat jatuhnya pusakaku itu terdapat 
hamparan lumpur hidup! Sebuah tempat 
yang tak mampu menahan beban sebuah 
benda, kecuali yang sangat ringan. Jadi, 
apa pun yang jatuh ke sana akan tertarik 
ke dalam, tanpa ampun! Tak satu pun 
makhluk yang akan mampu menahan daya 



tariknya bila telah jatuh ke sana, betapa 
pun lihainya!" 

"Ah...!" 

Taksaka mengeluarkan teriakan kaget 
mendengar kedahsyatan tempat jatuhnya 
pusaka milik Siluman Goa Langit Tarikan 
wajah dan sorot matanya memancarkan 
kengerian. 

"Tapi kau tak usah khawatir, Taksaka!" 

"Kalau begitu... bagaimana, Nek?! Lalu, 
apa maksudmu menunjukkan tempat itu 
padaku? Bukankah kau tahu, tak akan ada 
orang yang sanggup mengambilnya, 
betapapun saktinya orang itu!" 

"Itu memang benar, Taksaka! Tapi..., ada 
kecualinya. Ada orang yang dapat 
mengambilnya karena memiliki 

kemampuan khusus yang tidak dimiliki 
orang lain, dan orang itu adalah kau, 
Taksaka!" tandas Siluman Goa Langit, 
tegas. 

Karuan saja pemberitahuan yang tidak 
disangka-sangka ini membuat Taksaka 
terperanjat kaget Dia tampak bingung. 

"Dari mana kau tahu aku mampu 
melakukannya, Nek?! Apakah kau tidak 
salah?" 

"Tidak usah kau pikirkan hal itu, 
Taksaka!" Siluman Goa Langit buru-buru 
mengulapkan tangan, memutuskan 
pembicaraan. "Nanti kau pun akan tahu 
sendiri. Sekarang lebih baik kita turun 
saja." 

Usai berkata demikian, tanpa menunggu 
persetujuan Taksaka lagi, Siluman Goa 
Langit segera memerintahkan garuda putih 
untuk turun. Burung raksasa itu pun 
menukik ke bawah, melaksanakan perintah 
tuannya. 

Sesaat kemudian, garuda putih itu telah 
mendarat. Tentu saja tidak di atas 
hamparan pasir yang dikatakan Siluman 
Goa Langit sebagai lumpur hidup. 
Melainkan di tempat yang aman, tapi tak 
jauh dari tempat itu. 

"Sekarang kau ambillah pusaka milikku 
itu, Taksaka!" perintah Siluman Goa Langit 
setelah berada di pinggir hamparan pasir 
yang di dalamnya terkandung lumpur 
hidup. "Aku yakin kau bisa karena pusaka 
milikku itu terbuat dari tulang-belulang 
seekor ular yang sangat besar." 



Hm...! 


Taksaka menggumam pelan, kemudian 
secara mendadak sikapnya berubah. Sorot 
sepasang matanya mencorong tajam dan 
berwarna kehijauan mirip harimau dalam 
gelap. Lalu, kedua tangannya terangkat ke 
atas, agak ke depan, terkembang jari-jemari 
membentuk cakar. 

Taksaka berdiam beberapa saat, 
sedangkan Siluman Goa Langit 
memperhatikan saja semua tindakan bocah 
berkulit ular itu tanpa berkedip. Berganti- 
ganti sepasang matanya ditujukan, pada 
Taksaka dan hamparan pasir yang 
membentang dan sepi seperti mati! 

"Ah...!" 

Tanpa sadar Siluman Goa Langit 
mengeluarkan pekikan kaget ketika melihat 
sebuah pemandangan yang menakjubkan 
hati. Permukaan pasir yang semula tenang 
itu, di salah satu bagian bergolak hebat 
seperti air mendidih, menggelegak! 

Semakin lama golakan pasir itu semakin 
hebat. Sepertinya akan ada sesuatu yang 
akan keluar dari sana. Dan Siluman Goa 
Langit tahu apa yang menjadi penyebabnya 
serta benda apa yang akan keluar dari 
dalamnya. 

Dengan pandangan mata penuh minat, 
diperhatikan permukaan pasir yang 
semakin keras bergolak. Beberapa kali 
pandangannya dialihkan pada sepasang 
tangan Taksaka yang bergetar hebat. 
Namun hal itu dilakukannya hanya sekali- 
sekali saja. Itu pun karena perasaan tidak 
sabarnya untuk segera melihat pusaka yang 
diinginkan segera keluar dari tempat itu. 

Dan akhirnya Siluman Goa Langit 
melihatnya! Sebuah kotak kecil berukuran 
lebih dari dua kali kaki, mulai menyembul 
di permukaan pasir. Kotak itu bergerak- 
gerak beberapa saat lamanya di 
permukaan, sebelum akhirnya melesat ke 
atas seperti ditarik oleh sebuah tangan 
gaib. Dan arah yang ditujunya jelas, kedua 
tangan Taksaka yang terkembang. 

"Cukup, Taksaka!" 

Siluman Goa Langit yang sudah tidak 
sabar lagi untuk segera mendapatkan peti 
itu berteriak. Dengan cepat tangannya 
melolos sabuk yang melilit pinggang dan 
meluncurkannya ke arah kotak! Bagaikan 
hidup dan bermata sabuk itu meluncur. 

*** 


Taksaka segera menghentikan 
pengerahan tenaga dalamnya yang tadi 
dikerahkan untuk menyedot peti dari dalam 
lumpur hidup. Maka peti yang tengah 
berada di udara itu meluncur ke bawah 
karena beratnya. Namun sebelum sempat 
jatuh ke dalam hamparan pasir maut yang 
akan menelannya kembali, tiba-tiba peti itu 
meluncur ke arah kiri Taksaka. Seakan 
ditarik oleh suatu kekuatan gaib. 

Hanya berselang dalam waktu yang 
sangat singkat, sabuk Siluman Goa Langit 
melilit tempat peti itu berada. 

"Heh...?!" 

Siluman Goa Langit kaget bercampur 
geram ketika melihat sabuknya melilit 
tempat kosong. Sebab peti yang akan 
dijadikan sasaran belitan itu, sudah lenyap. 
Secara aneh, peti itu meluncur cepat ke 
arah lain. 

Sebagai seorang tokoh persilatan yang 
penuh pengalaman, Siluman Goa Langit 
tahu, ada seseorang yang telah 
mendahuluinya merebut peti itu. Seorang 
tokoh yang memiliki kekuatan tenaga dalam 
luar biasa, karena mampu menyedot peti 
yang berada di udara! 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
Siluman Goa Langit mengarahkan 
pandangan ke arah tempat peti kecil itu 
meluncur. Ternyata dugaannya tepat. 
Seorang kakek yang sudah sangat tua 
berkepala botak. Kumis, jenggot, alis, dan 
cambangnya telah berwarna putih semua. 
Cara berdirinya sudah tidak tegak lagi 
saking tuanya usia kakek yang berpakaian 
jubah lusuh dan kumal itu. 

Seperti juga yang dilakukan Taksaka, 
kakek bongkok itu mengembangkan kedua 
tangan. Hanya saja tidak ke atas, 
melainkan ke depan. Dan melihat raut 
wajah kakek itu yang merah padam, dapat 
diketahui kalau tindakan yang dilakukan 
itu membuat tenaganya terkuras. 

'Taksaka...! Jangan biarkan kakek 
bongkok itu mengambil peti! Rampas 
kembali!" seru Siluman Goa Langit, cepat. 
Suaranya agak bergetar karena perasaan 
tegang melihat peti itu telah hampir berada 
dalam jangkauan tangan si Kakek Bongkok. 

Sambil mengeram Taksaka langsung 
menjulurkan tangan ke arah peti. Luncuran 
peti yang semula menuju arah kakek 
bongkok langsung terhenti. Namun hal itu 
hanya berlangsung sebentar, karena sesaat 
kemudian langsung berubah tujuan ke arah 
Taksaka berada. Memang tidak secepat 
semula! 

Kakek bongkok menggereng seperti 
harimau terluka. Melihat peti kecil itu 
berubah arah membuatnya segera 
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang 
dimiliki. Hasilnya memang tak percuma. 
Peti itu yang semula telah meluncur lambat 
ke arah Taksaka, terhenti. Kemudian 
melayang lambat-lambat menuju ke 
arahnya. 

Namun hal itu pun hanya berlangsung 
sesaat. Ketika dengan cepat Taksaka 
mengeluarkan gerengan serupa dan 
menambah kekuatan tenaga dalamnya, peti 
itu meluncur ke arah Taksaka. Mula-mula 
lambat, tapi semakin lama seiring dengan 
kian jauh dari kakek bongkok, kecepatan 
luncurannya semakin cepat. 

Siluman Goa Langit tersenyum lebar 
melihat hal ini. Sebagai seorang tokoh 
tingkat tinggi dunia persilatan, dirinya tahu 
kalau Kakek bongkok itu dan Taksaka 
tengah mengadu kekuatan tenaga dalam 
memperebutkan peti. 

Dan dari kenyataan yang terjadi 
kemudian Siluman Goa Langit tahu, kalau 
tenaga dalam Taksaka berada di atas kakek 
bongkok! Taksaka mampu memenangkan 
adu tarik-tarikan itu. Meskipun peti itu tadi 
telah hampir mencapai tangan si Kakek 
Bongkok. 

Hal itu pun disadari oleh kakek 
bongkok, dan dia pun tidak mau 
mencelakai diri dengan terus memaksa 
mengerahkan tenaga dalam untuk 
merebutnya. Begitu tahu kalau peti itu tak 
mungkin dapat direbutnya kembali dengan 
cara seperti itu, dihentikan penyaturan 
tenaga dalamnya. Sehingga peti itu 
meluncur ke arah Taksaka dengan 
kecepatan tinggi. Sampai akhirnya jatuh di 
kedua tangan bocah ajaib itu. 

Kakek bongkok yang mengikuti dengan 
pandang matanya ke arah luncuran peti itu, 
terbelalak kaget ketika melihat sosok 
Taksaka. 

"Pantas...," desis kakek bongkok sambil 
mengangguk-anggukkan kepala. "Rupanya 
pemiliknya yang datang mengambil peti itu. 
Pantas saja benda-benda yang semula 
terkubur di dalam bumi itu dapat keluar 
kembali! Heh...?!" 

Mendadak kakek bongkok kembali 
tersentak kaget ketika melihat Taksaka 
menyerahkan peti kecil itu pada seorang 
nenek berpakaian kuning yang bergegas 
merebutnya. Kakek bongkok tahu siapa 
adanya nenek berambut panjang itu. 
Seorang tokoh sesat yang memiliki watak 
kejam. Kalau isi peti yang merupakan 
pusaka-pusaka maha ampuh sampai jatuh 
ke tangannya, maka akan sulit baga tokoh 
persilatan aliran putih untuk menghentikan 
tindakan angkara murkanya. 

Kekhawatiran akan terjadi hal itu 
membuat kakek bongkok melompat 
menerjang Siluman Goa Langit. Sungguh 
suatu gerakan yang mengagumkan sekali. 
Meski lelaki renta itu tadi tampak sangat 
lemah ternyata memiliki kecepatan gerak 
yang sangat cepat dan ringan. Bentuk 
tubuhnya tidak terlihat, bergerak 
menerjang Siluman Goa Langit. 

Siluman Goa Langt terperanjat melihat 
sekelebatan bayangan kuning meluruk ke 
arahnya dari atas, laksana seekor burung 
besar menerkam mangsanya. Meskipun 
tidak dapat melihat secara jelas, nenek 
berambut panjang tahu kalau sosok itu 
pasti kakek bongkok yang ingin merampas 
kembali peti yang berada di tangannya. 

Secara untung-untungan, karena tak 
ingin peti itu terampas kembali Siluman 
Goa Langit segera melemparkarmya. 
Kemudian dengan kedua tangan, 
dipapakkan ke atas seraya mengangkat 
kepala, dia bermaksud menangkis serangan 
sekaligus mengirimkan serangan balasan. 

"Heaaa...!" 

Plak! Plak! 

Siluman Goa Langit mengeluarkan 
keluhan kesakitan ketika kedua tangannya 
berbenturan dengan kedua tangan si Kakek 
Bongkok. Kedua tangannya langsung terasa 
lumpuh sejenak di samping nyeri. 
Tubuhnya pun terjengkang ke belakang. 
Jelas, tenaga dalam si Kakek Bongkok 
berada jauh di atasnya. 

"Orang sepertimu lebih baik 
kulenyapkan dari muka bumi agar tidak 
menyeret Anak Naga itu ke jalan sesat dan 
terkutuk," ujar kakek bongkok pelan, tapi 
terdengar jelas oleh telinga Siluman Goa 
Langit. 

Seketika Siluman Goa Langit merasa 
gentar bukan kepalang. Disadari kalau 
dirinya bukan tandingan lelaki tua renta 
yang sangat sakti itu. Sebelum kakinya 
menjejak tanah, kakek bongkok telah 
meluruk ke arahnya seraya mengirimkan 
serangan-serangan maut. Dengan cepat 
Siluman Goa Langit langsung menjatuhkan 
tubuh di tanah dan bergulingan menjauh 
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. 

'Taksaka...! Tolong aku...! Bunuh Kakek 
peot ini...!" sambil terus bergulingan, 
Siluman Goa Langit meneriakkan kata-kata 
perintah pada bocah berkulit ular itu. 

Seperti biasanya, Taksaka pun 
mematuhi perintah Siluman Goa Langit 
secara cepat. Sekali menjejakkan kaki, 
bocah ajaib ini melesat ke dalam kancah 
pertarungan. Dia langsung menyelak di 
antara kedua orang tua yang tengah sibuk 
bertarung itu. Begitu sampai di arena, 
Taksaka langsung memapak serangan- 
serangan yang tertuju ke arah Siluman Goa 
Langit. 

Plakk! Plakkk! 

"Heh!" 

Bunyi keras terdengar ketika tangan- 
tangan Taksaka yang besar dan kekar 
berbenturan dengan tangan kakek bongkok 
yang kecil dan keriput. Akibatnya, tubuh 
lelaki tua renta berjubah lusuh itu 
terhuyung-huyung ke belakang sambil 
menyeringai kesakitan. Kakek ini menderita 
kerugian yang berlipat ganda akibat 
benturan itu karena memang kalah segala- 
galanya. Baik dalam kekuatan tenaga 
dalam maupun kekuatan anggota tubuh. 

Kedua tangannya terasa sakit dan gemetar 
akibat benturan tadi. 




Kakek bongkok itu merasa kagum 
terhadap kemampuan Taksaka. Namun hal 
itu tidak dapat diutarakannya, karena 
bocah berkulit ular itu telah meluruk ke 
arahnya dengan serangan-serangan 
mematikan setelah berhasil memperbaiki 
kedudukan. Terpaksa si Kakek Bongkok 
mengerahkan kemampuan untuk 

melakukan perlawanan. Sebab jika hal itu 
tidak dilakukan, nyawanya akan melayang 
ke alam baka. 

Pertarungan sengit yang mendebarkan 
pun berlangsung. Taksaka beringas bukan 
kepalang. Setiap serangan yang dikirimkan 
selalu menuju bagian-bagian mematikan. 
Mau tidak mau lelaki tua berambut putih 
itu bertindak serupa. 

Ketika Taksaka tengah berjuang keras 
untuk dapat merobohkan lawannya, 
Siluman Goa Langit sibuk melayangkan 
pandangan ke sana kemari meneari-cari 
peti yang tadi dilemparkannya. Tadi dalam 
luapan perasaan gugup dan khawatir, peti 
itu dilontarkan tanpa diperhatikan arahnya. 
Namun yang jelas, peti itu tidak menuju ke 
lumpur hidup. 

Setelah mengedarkan pandangan ke 
sana kemari, Siluman Goa Langit yakin 
kalau peti itu jatuh di kerimbunan semak- 
semak yang berjarak sekitar lima belas 
tombak darinya. Sebab, hanya tempat 
itulah satu-satunya yang agak tersembunyi. 

Siluman Goa Langit pun beranjak ke 
sana. Namun baru beberapa lesatan dan 
masih belum mencapai tempat yang dituju, 
jantung nenek berambut panjang ini 
hampir copot. Tiba-tiba telinganya 
mendengar suara-suara yang mengejutkan 
hatinya. 

"Ha ha ha...! Kalau memang jodoh 
akhirnya akan dapat juga, bukankah 
pusaka-pusaka ini kabarnya terpendam di 
dalam lumpur hidup. Ya, sejak lebih dari 
seratus tahun lalu ketika Naga Sakti Danau 
Pasir membuang peti ini karena 
keturunannya menjadi penjahat besar, dan 
akhirnya tewas di tangannya. Mengapa bisa 
berada di sini?!" 

'Tidak usah kau pikirkan itu! Lebih baik 
bagaimana kita memanfaatkannya agar 
dapat menjadi tokoh paling sakti di kolong 
langit ini!" sambut sebuah suara yang lain. 
"Aku yakin peti ini semula berada di dalam 
lumpur hidup, hanya saja entah bagaimana 
caranya bisa berada di sini. Lihat saja 
keadaannya? Penuh lumpur dan pasir, 
kan?" 


Ucapan-ucapan yang jelas, berasal dari 
dua orang itu hanya sampai di situ, karena 
saat itu juga terdengar suara lainnya. 

"Siapa bilang kalian yang berjodoh? 
Jangan sembarangan mementang bacot! 
Kamilah yang berhak atas pusaka Pendekar 
Naga Sakti Danau Pasir!" 

"Benar!" timpal suara lain lagi. "Kamilah 
yang berhak mendapatkannya! Lekas, 
berikan peti itu kalau ingin selamat!" 

Di saat dua sosok yang pertama, 
penemu peti, bersitegang dengan dua sosok 
yang baru datang, Siluman Goa Langit tiba. 
Keempat sosok yang sudah siap untuk 
bertarung itu terperanjat melihat kehadiran 
nenek tua tidak disangka-sangka. 

"Kalian semua keliru!" seru Siluman Goa 
Langit sambil menatap wajah empat sosok 
yang terdiri dari Nelayan Pemancing Nyawa, 
Petani Berjari Sakti, dan Sepasang Harimau 
Hitam Bermata Satu. 

Sekarang, nenek berambut panjang ini 
tahu penemu peti yang dilemparkannya 
adalah Sepasang Harimau Hitam. Sebab 
suara dua sosok yang belakangan 
dikenalinya milik Nelayan Pemancing 
Nyawa dan Petani Berjari Sakti. 

"Asal kalian tahu saja," ujar Siluman 
Goa Langit menambahkan setelah melihat 
empat sosok itu berdiam dan 
mendengarkan ucapannya. "Akulah yang 
berhak atas peti itu. Akulah yang dengan 
susah payah mengambilnya dan dalam 
lumpur hidup! Harimau Hitam, berikan peti 
itu padaku!" 

"Ha ha ha...!" 

Hanya tawa bergelak yang diberikan 
Sepasang Harimau Hitam atas ucapan 
Siluman Goa Langit 

"Lucu-lucu sekali...! Kita semua merasa 
paling berhak, padahal tak ada satu pun 
yang benar! Kita semua tidak lebih dari 
pencuri-pencuri harta pusaka milik orang, 
mengapa saling mengaku miliknya," tukas 
Harimau Hitam yang mata kirinya picak 
setelah selesai tertawa. 

"Benar, benar sekali. Jadi, jangan harap 
kalau kami akan memberikannya. Kalau 
mampu silakan ambil," timpal Harimau 
Hitam yang bermata picak sebelah kanan, 
bernada menantang. 

Diam-diam Sepasang Harimau Hitam 
mengeluh dalam hati karena tahu kalau 
lawan yang dihadapi merupakan tokoh- 
tokoh berat. Dalam hati mereka menyesali 
diri karena langsung larut dalam 
kegembiraan dan tidak lebih dulu 
mengurus pusaka. Kalau saja mereka 
menggunakan isi peti itu, niscaya mereka 
akan jauh lebih kuat. Namun apa boleh 
buat nasi telah menjadi bubur. Sekarang 
sudah tidak mungkin lagi mereka 
melakukannya. 

***

Baru saja Sepasang, Harimau Hitam 
selesai dengan ucapannya, Siluman Goa 
Langit, Nelayan Pemancing Nyawa, dan 
Petani Berjari Sakti telah menyerangnya. 
Masing-masing pihak langsung 

mengeluarkan senjata andalan. Tak pelak 
lagi, kail, cangkul, dan sabuk meluruk ke 
arah dua tokoh hitam yang senantiasa 
mengenakan pakaian hitam itu. 

Karuan saja hal itu membuat Sepasang 
Harimau Hitam kelabakan. Mereka harus 
menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sakti 
karena peti pusaka peninggalan Naga Sakti 
Danau Pasir. Serangan-serangan dahsyat 
yang datang secara bersamaan itu 
memaksa mereka membanting tubuh ke 
tanah dan bergulingan menjauh untuk 
menyelamatkan diri. 

Namun ketiga lawan mereka tidak 
tinggal diam, melainkan terus memburu 
dengan serangan-serangan maut. Hanya 
dalam beberapa gebrakan Sepasang 
Harimau Hitam dibuat kelabakan. Padahal 
keduanya telah menggunakan golok 
bercabang dua, senjata andalan mereka. 
Namun tetap saja keadaan tidak berubah. 

Memang, sebenarnya tingkat kepandaian 
Sepasang Harimau Hitam, bila 
dibandingkan dengan lawan-lawannya tidak 
akan sanggup mengungguli. Nelayan 
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, 
apalagi Siluman Goa Langit, terlalu tangguh 
untuk dapat mereka hadapi. Ketiga tokoh 
itu unggul dalam segala hal. Tak heran 
hanya dalam beberapa gebrakan nyawa 
Sepasang Harimau Hitam berada di ambang 
maut. 

Tahu kalau keadaan seperti ini terus 
akan membuat nyawa bisa melayang, 
Harimau Hitam yang picak mata kanannya 
segera melempar peti itu! 

Perkiraannya tidak meleset. Begitu 
melihat peti pusaka melayang, baik pihak 
Nelayan Pemancing Nyawa maupun 

Siluman Goa Langit, langsung 
menghentikan serangan. Dengan cepat 
berlomba menuju ke arah peti. 

Rrrt! Rrrtt! 

Baik Nelayan Pemancing Nyawa maupun 
Siluman Goa Langit, benar-benar mahir 
mempergunakan senjata andalan, sehingga 
peti yang tengah melayang itu, berhasil 
mereka belit dengan senjata masing- 
masing. Hanya saja karena melilit peti 
secara bersamaan, peti itu tertahan di 
tengah jalan. Kedua belah pihak terlibat 
dalam tarik-menarik dengan mengerahkan 
tenaga dalam. 

Sebenarnya, saat itu merupakan 
kesempatan baik bagi Sepasang Harimau 
Hitam untuk melancarkan serangan ketika 
Siluman Goa Langit dan Nelayan Pemancing 
Nyawa tengah bersitegang. Kedua senjata 
tampak menegang saling mempertahankan 
belitan pada peti itu. 

Namun, Sepasang Harimau Hitam 
khawatir usahanya akan gagal. Maka 
keduanya menunggu saat yang benar-benar 
tepat. Lagi pula keduanya bermaksud 
membiarkan Nelayan Pemancing Nyawa dan 
Petani Berjari Sakti, serta Siluman Goa 
Langit saling bentrok. Baru di saat kedua 
belak pihak telah lemah mereka akan turun 
tangan. 

Ternyata Siluman Goa Langit memiliki 
tenaga dalam lebih kuat. Nelayan 
Pemancing Nyawa tampak terengah-engah. 
Tubuhnya pun hampir terlepas dari leher 
Petani Berjari Sakti, condong ke depan 
tertarik kekuatan tenaga lawan. 

Untung saja Petani Berjari Sakti cepat 
bertindak, Cangkulnya diayunkan ke arah 
perut Siluman Goa Langit dari arah sebelah 
kanan. 

"Heaaa...!" 

Wuttt! 

"Aits.J" 

Deru angin keras terdengar mengiringi 
sambaran cangkul itu. Siluman Goa Langit 
harus berpikir keras untuk dapat 
melakukan tindakan tepat. Nenek berambut 
panjang tahu kalau serangan cangkul itu 
sampai mengenai sasaran nyawanya 
mungkin melayang dengan sekujur tubuh 
hancur dan isi perut terburai. 

Mendadak, dalam waktu yang demikian 
sempit, Siluman Goa Langit mengulur 
sabuknya seraya mendoyongkan tubuh dan 
menggeser kakinya ke belakang. Hal itu 
membuat serangan cangkul Nelayan 
Pemancing Nyawa lewat beberapa jari di 
depan perutnya. Rambutnya yang panjang 
tergerai berkibar terhempas angin 
sambaran cangkul lawan. 

Mengendurnya sabuk di tangan Siluman 
Goa Langit pun sempat membuat tubuh si 
Buntung yang bertengger di leher kawannya 
hampir terjengkang. 

Kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh Siluman Goa Langit. Ketika 
sabuk itu menegang kembali akibat 
terjengkangnya tubuh Nelayan Pemancing 
Nyawa, memberi peluang kepada Siluman 
Goa Langit. Dengan cepat perempuan tua 
berambut panjang itu melancarkan 
tendangan keras ke tubuh Petani Beri ari 
Sakti. 

Gerakan Siluman Goa Langit saja sudah 
cepat bukan main apalagi ditambah dengan 
tenaga ayunnya. Maka kecepatannya pun 
jadi berlipat ganda. Dan akibarnya, Petani 
Berjari Sakti merasa gugup dengan tibanya 
serangan yang begitu cepat dan tidak 
tersangka-sangka itu. 

Dengan sebisa-bisanya dia berusaha 
melompat untuk mengelak. Namun sayang, 
lelaki bermata buta ini kalah cepat. 
Tendangan Siluman Goa Langit lebih dulu 
bersarang di dadanya secara telak dan 
keras. 

Petani Berjari Sakti terpekik keras ketika 
tulang-tulang dadanya remuk dengan 
mengeluarkan bunyi berdetak keras. Tubuh 
lelaki bermata buta ini pun terjengkang ke 
belakang seraya menyemburkan darah 
segar dari mulut. 

Nelayan Pemancing Nyawa tidak mau 
mengambil resiko dengan tetap berdiam diri 
di leher Petani Berjari Sakti. Meskipun 
diketahui kemungkinan besar kawannya itu 
akan tewas, mengingat luka-luka yang 
parah. Kakek berkaki buntung ini akhirnya 
melompat ketika kawannya terjengkang. 
Tidak sembarang lompatan yang dilakukan, 
tapi sekaligus mengirimkan serangan pada 
Siluman Goa Langit. Nelayan Pemancing 
Nyawa mengirimkan tamparan tangan kiri 
ke arah pelipis lawannya. Itu dilakukan 
dengan tali pancing masih membelit peti 
seperti juga halnya sabuk di tangan 
Siluman Goa Langit. 

Siluman Goa Langit tidak mempunyai 
pilihan lain. Dipapaknya serangan itu 
dengan tindakan se-rupa. Namun tiba- 
tiba.... 

Wuttt! 

Plak! Plak! 

"Heh...?!" 

Siluman Goa Langit dan Nelayan 
Pemancing Nyawa tersentak kaget. 
Mendadak sesosok bayangan merah 
berkelebat dan langsung memapak pukulan 
tangan keduanya. Siluman Goa Langit 
terhuyung-huyung beberapa langkah ke 
belakang. Begitu pula keadaannya dengan 
Nelayan Pemancing Nyawa yang meringis, 
merasakan nyeri di tangan. 

"Resi Ganda Wisesa...!" seru Siluman 
Goa Langit dan Nelayan Pemancing Nyawa 
ketika berhasil memperbaiki kedudukan. 
Kakek berkaki buntung itu terpaksa berdiri 
dengan kedua pangkal pahanya karena 
rekannya telah tewas. 

"He he he.J" 

Resi Ganda Wisesa tertawa terkekeh. 
Tampak peti berisi pusaka yang 
diperebutkan itu telah berada di tangannya. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman 
Goa Langit merasa heran. Keduanya takjub 
karena tidak tahu bagaimana kakek 
berpakaian merah itu merebutnya tadi. 

Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman 
Goa Langit saling pandang. Sesaat 
kemudian keduanya telah bersepakat untuk 
bersama-sama menghadapi lawan yang 
amat tangguh ini sebelum pertarungan 
mereka dilanjutkan. 

Sementara Resi Ganda Wisesa masih 
tertawa-tawa sambil mengangkat tinggi- 
tinggi peti itu. Bahkan sedikit pun tidak 
ditolehkan sama sekali wajahnya ke arah 
Siluman Goa Langit maupun Nelayan 
Pemancing Nyawa. 

"Sekarang apa yang akan kau lakukan, 
Siluman Jalang?! Burungmu tidak akan 
bisa membantu di tempat yang tertutup 
pepohonan dan semak-semak ini! Ha ha 
ha...!" 

"Tutup mulutmu, Resi Keparat!" 

Sambil berkata demikian, Siluman Goa 
Langit langsung melancarkan serangan 
dengan sabuknya. Benda yang semula 
lemas itu, sekarang menegang kaku 
bagaikan tombak. Bergerak cepat menusuk 
ke leher dan dada Resi Ganda Wisesa. 

Pada saat yang bersamaan, Nelayan 
Pemancing Nyawa pun menyabetkan 
kailnya. Mata kain itu melesat ke arah mata 
lawan. Sedangkan ujung batangnya 
ditusukkan ke leher. 

"Eh...?!" 

Resi Ganda Wisesa terkejut melihat 
kedua tokoh yang semula saling tarung itu 
kini justru bekerjasama menyerangnya. Hal 
itu sama sekali tak diduganya. Namun dia 
tidak tegar tanpa gentar sedikit pun. 
Kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya 
melenting ke atas. Semua serangan itu pun 
meleset ke tempat kosong. Dari sini, kakek 
berpakaian merah itu balas menyerang 
sehingga terjadi pertarungan sengit. 

Di dekat lumpur maut Taksaka dan 
kakek bongkok telah bertamng hampir 
seratus lima puluh jurus. Selama itu 
Taksaka selalu mampu mendesak 
lawannya. 

Kakek bongkok mengeluh dalam hati. 
Dirinya tahu kalau riwayatnya akan 
berakhir di tangan seorang bocah. 
Dirasakan sekujur tubuhnya telah lelah 
sekali. Bahkan boleh dibilang kehabisan 
tenaga akibat pertarungan panjang yang 
terus-menerus mengerahkan tenaga dalam. 
Serangan dan gerakannya yang semula 
penuh pengerahan tenaga dalam dan cepat, 
telah menurun jauh. Sementara lawannya, 
aksaka tampak masih tetap tegar. 
Kekuatan dan kelincahannya tak berubah. 

Sebenarnya, sudah sejak jurus ketiga 
puluh, kakek bongkok telah mempergencar 
serangan, baik berupa pukulan maupun 
tendangan ke tubuh Taksaka. Namun anak 
itu benar-benar memiliki kulit tubuh yang 
alot. Hantaman tangan dan kaki lawan 
sama sekali tak dirasakannya. Sebaliknya, 
kakek bongkok Jiarus terus mengelakkan 
setiap serangan Taksaka kalau tidak ingin 
mati konyol. 

Untungnya, kakek bongkok itu memiliki 
ilmu 'Langkah-langkah Ajaib' yang dapat 
dipergunakannya untuk mengelakkan 
setiap serangan lawan. Kalau tidak, sudah 
sejak tadi nyawanya tercabut dari raga. 

Taksaka ternyata bukan sembarang 
bocah. Setelah pertarungan menginjak 
jurus ke seratus enam puluh tiga, sebuah 
cara untuk menghadapi ilmu langkah ajaib 
kakek bongkok telah berhasil 
ditemukannya. Memang ilmu langkah itu 
hanya itu-itu saja. Maka apabila 
dipergunakan terus-menerus, kelemahan 
nya akan mudah diketahui lawan. 

Taksaka langsung mempergunakan 
penemuannya di saat kakek bongkok baru 
selesai mengelakkan serangannya. Dia 
mencegat arah yang akan dituju lawan dan 
secepat kilat menyapu kakinya. Sehingga 
kakek bongkok itu terjungkal ke belakang. 
Namun lelaki tua renta berjubah kumal itu 
memang benar-benar tangguh. Dia mampu 
berdiri dengan kedua kaki meski agak 
te rhuy ung- huyun g. 

Ancaman bahaya maut buat kakek 
bongkok tak sampai di situ saja. Sambil 
mendengus keras, Taksaka menubruk 
sambil mengirimkan pukulan kanan kiri 
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan 
perut lawan. 

Kakek bongkok terperanjat, tahu kalau 
dirinya tak akan mampu mengelakkan 
serangan itu. Sedangkan untuk menangkis 
merupakan tindakan konyol yang sangat 
berbahaya. Namun tiba-tiba saja.... 

"Hiaaa...!" 

Buk! Buk! Buk! 

Sesosok bayangan ungu berkelebat 
begitu cepat memapak serangan si Bocah 
Ajaib. Bertubi-tubi benturan itu terjadi, 
menimbulkan bunyi keras. Dan setiap kali 
terjadi benturan, tubuh sosok ungu itu 
terguncang dan terhuyung. Bahkan 
benturan yang terakhir membuatnya 
terjengkang ke belakang dan menabrak 
tubuh kakek bongkok. Sehingga mereka 
berdua jatuh saling tumpang tindih. 

Namun dengan gerakan cepat dan 
mengagumkan, baik kakek bongkok 
maupun sosok ungu yang ternyata Dewa 
Arak bangkit dan kembali sibuk 
menghadapi Taksaka. Akhirnya, kakek 
bongkok dan Dewa Arak bahu-membahu 
bersama-sama menanggulangi serangan 
Taksaka yang menggiriskan itu. 

Kini Dewa Arak harus mengakui 
kebenaran ucapan Jaran Sangkar. Taksaka, 
si Anak Naga itu benar-benar luar biasa. 
Betapapun telah dikerahkan ilmu 'Belalang 
Sakti dan dibantu dengan kakek bongkok, 
tetap saja mengalami kesulitan untuk 
menghadapi Taksaka. 

Beberapa kali pukulan, tendangan, 
maupun guci Aiya menghantam tubuh 
Taksaka, tapi satu pun tak ada yang 
dirasakan. Sebaliknya, Dewa Arak dan 
kakek bongkok harus pontang-panting 
setiap kali Taksaka menyerang. Sesekali 
keduanya terpaksa menangkis, tapi 
akibatnya tubuh mereka terjengkang lalu 
terguling-guling ke tanah. Karena tahu 
kalau Taksaka memiliki tubuh kebal, Dewa 
Arak dan kakek bongkok menujukan 
serangan pada bagian-bagian yang sulit 
untuk dilindungi kekebalan, seperti mata 
dan ubun-ubun. Ternyata benar, Taksaka 
tak berani membiarkan serangan ke arah 
itu. 

Pertarungan antara Anak Ajaib itu 
melawan Dewa Arak dan kakek bongkok 
kian seru. Serangan-serangan dahsyat 
terus berlangsung. Keadaan di sekitar 
tempat itu porak-poranda bagai diamuk 
badai dahsyat. 

Mendadak Taksaka yang merasa geram 
karena tidak juga berhasil mengalahkan 
lawan-lawannya menggeram keras. 
Sehingga membuat keadaan di sekitar 
tempat itu tergetar hebat. Bahkan Dewa 
Arak dan kakek bongkok merasakan sendiri 
akibatnya. Kedua kaki mereka menggigil 
lemas. 

Saat itu, Taksaka melompat menerjang 
untuk mengirimkan serangan maut, ketika 
kedua lawannya terpengaruh geramannya. 
Tapi.... 

'Taksaka...! Hentikan...!" Taksaka 
menghentikan gerakannya secara 
mendadak karena mengenai betul pemilik 
suara itu. Dengan agak ragu-ragu dan 
bergetar ditolehkan kepalanya ke belakang. 

"Ibu...!" seru Taksaka seraya berlari 
menghambur ke arah wanita berpakaian 
coklat yang berdiri bersebelahan dengan 
kakek berpakaian putih, Prajurit Kerajaan 
Dewa. 

Nawangsuri tersenyum seraya 
mengembangkan kedua lengan menyambut 
tubuh putranya. 

"Jangan kau serang mereka, Taksaka! 
Pemuda berambut putih keperakan itu 
orang yang menyelamatkanku dan juga 
kakekmu," ujar Nawangsuri memberi tahu 
kan anaknya, seraya menunjuk Prajurit 
Kerajaan Dewa. "Mengapa kau bisa berada 
di sini, Taksaka?" 

"Cukup panjang ceritanya, Bu," jawab 
Taksaka pelan. "Di saat aku tengah bermain 
melihat seekor burung besar berwarna 
putih. Aku tertarik, dan mendekatinya, tapi 
burung itu selalu pergi setiap kali aku 
hampir menangkapnya. Sampai akhirnya 
aku tersesat, tidak tahu jalan untuk 
pulang. Saat itulah kepalaku mendadak 
pusing. Dan ketika sadar aku berada di 
atas punggung burung bersama seorang 
nenek. Dia katanya menemukanku tergolek 
pingsan." 

"Dia bohong!" tandas Nawangsuri, 
"Nenek itu bukan penolongmu. Dia 
penculikmu, bahkan dia pula yang telah 
membunuh ayahmu ketika bermaksud 
menyelamatkanmu!" 

"Apa? Ayah mati?! Dibunuh oleh Nenek 
itu?!" tanya Taksaka dengan mata 
terbelalak kaget. Dirinya hampir tak 
percaya mendengar ucapan sang Ibu. 

"Benar. Luka-luka yang diderita, 
sebagian besar akibat paruh dan cakar 
burung besar. Dan kebetulan seorang 
pencari kayu bakar melihatnya. Karena 
itulah kami tahu siapa penculikmu!" 

"Keparat!" geram Taksaka, "Kalau begitu, 
Nenek keparat itu harus kubunuh!" 

Lalu, tanpa mempedulikan Nawangsuri 
yang memanggil-manggilnya, Taksaka 
melesat menuju tempat Siluman Goa Langit 
tadi pergi. Telah bulat tekadnya untuk 
melenyapkan nenek berambut panjang itu 
dari muka bumi. 

Melihat Nawangsuri dan Prajurit 
Kerajaan Dewa mengejar Taksaka, Dewa 
Arak dan kakek bongkok pun melakukan 
hal yang sama. Seperti juga Nawangsuri 
dan ayahnya, kedua tokoh sakti yang 
berbeda usia itu pun tadi mendengarkan 
semua cerita Taksaka. Bahkan Dewa Arak 
tadi sempat bertanya kepada kakek 
bongkok yang ternyata salah seorang 
keturunan kawan Naga Sakti Danau Pasir 
yang bertugas menjaga peti pusaka itu. 

Sambil berlari, Dewa Arak membantin di 
dalam hati. Semula disangkanya hanya dia, 
Nawangsuri, dan Prajurit Kerajaan Dewa 
yang berpikir kalau penculik Taksaka 
menuju kemari. Ternyata semuanya pun 
berpikir demikian. Telah dilihatnya sendiri, 
pertarungan yang menewaskan Petani 
Berjari Sakti sebelum dia menolong kakek 
bongkok. 

Dewa Arak dan kakek bongkok merasa 
heran ketika melihat Taksaka, dan ibunya. 
Kakek itu hanya mematung. Mengapa 
bocah ajaib itu tidak berbuat sesuatu? 
Apakah ada sesuatu yang terjadi di sana? 

Ternyata memang benar, di tempat 
pertarungan telah bergelimpangan mayat- 
mayat berlumuran darah. Tak jauh dari 
situ, tampak peti yang diperebutkan 
tergolek. Tidak ada satu pun tokoh hitam 
yang berhasil mendapatkan peti itu. Resi 
Ganda Wisesa, Nelayan Pemancing Nyawa, 
dan Siluman Goa Langit tewas dalam 
pertarungan mereka. Sedangkan Sepasang 
Harimau Hitam rupanya tewas oleh racun 
ganas yang sengaja ditaburkan Resi Ganda 
Wisesa di kotak pusaka. 

Tanpa menunggu lebih lama Dewa Arak 
membalikkan tubuh dan mengayunkan 
kaki meninggalkan tempat itu. Diam-diam 
dirinya merasa bergidik teringat pada 
Taksaka yang luar biasa. 

Dewa Arak telah mendengar kalau 
Nawangsuri dulu tidak pernah bisa hamil. 
Namun beberapa tahun kemudian 
dikabarkan bahwa Nawangsuri hamil 
setelah memakan daging ular besar. 
Mungkinkah karena itu Taksaka berwujud 
demikian? Dewa Arak hanya menggeleng- 
geleng kepala sambil terus beijalan 
melanjutkan pengembaraannya. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Satria Sinting