Dewa Arak 58 - Mayat Hidup


"Jangan...! Hentikan...!" 

Teriakan keras penuh kekhawatiran menguak keheningan malam 
yang menyelimuti persada ini. Suara itu berasal dari dalam sebuah hutan. 
Lebih tepatnya, dari salah satu pohon yang ada di seberang sana. 

Keributan itu membuat beberapa ekor bumng hantu yang hinggap di 
pohon berterbangan. Tampak seorang pemuda berpakaian ungu dan 
berambut putih keperakan terbaring di atas salah satu cabang pohon. 

Sikap dan sepasang matanya yang terpejam menunjukkan pemuda 
itu tengah tertidur. Jelas, teriakan-teriakan itu keluar tanpa disadari. Pemuda 
berambut putih keperakan itu tengah bermimpi! Dari tidurnya yang gelisah, 
agaknya mimpi pemuda itu kurang baik. 

Semakin lama keadaan pemuda berambut putih keperakan semakin 
mengkhawatirkan. Seruan-seruan kekhawatiran senantiasa keluar dari 
mulutnya. Sampai akhirnya, ketika mimpi itu mencapai puncaknya, pemuda 
berambut putih keperakan terbangun. 

"Ahhh...! Kiranya aku bermimpi..." 

Pemuda itu mendesah penuh rasa syukur. Kemudian, duduk di 
cabang pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah. Kedua tangannya 
mengusap wajah yang dibanjiri peluh-peluh sebesar j agung. Tampaknya 
mimpi yang dialaminya cukup mencekam jiwa. Kalau tidak, mustahil 
pemuda itu mengeluarkan peluh seperti itu. Sebab udara malam sangat dingin 
hingga menusuk tulang. 

"Tapi, benarkah semua ini hanya bunga tidur saja?! Apakah ini 
bukan sebuah pertanda?! Kalau hanya mimpi biasa, mengapa teijadi 
berturut-turut dan dengan kejadian yang sama?!" Tanpa merubah sikap 
duduknya, pemuda berambut putih keperakan itu menggumam pelan. 

Terbayang kembali di matanya mimpi yang selalu berulang 
menghias tidurnya. Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah beijuang 
menghadapi maut. Gadis itu berusaha mempertahankan selembar nyawanya 
dari belitan seekor ular besar, yang melilit sekujur tubuhnya. Mulut ular itu 
hendak memangsa kepalanya! 

Di saat gadis berpakaian putih tengah beijuang tampak puluhan 
batang pedang meluncur ke berbagai bagian tubuhnya. Pedang-pedang yang 
membuat pemuda berambut putih keperakan bergidik ngeri. Senjata-senjata 
tajam itu berwarna kemerahan seperti besi dibakar. 

Sementara itu, tepat di atas gadis berpakaian putih tampak seekor 
naga berwarna merah menyala. Naga merah itu berusaha menghambat 
luncuran pedang-pedang aneh itu. Beberapa kali, binatang raksasa itu 
berusaha memapaki serbuan pedang. Tapi, tubuhnya selalu terpental ke atas 
seperti membentur sesuatu yang tidak nampak! 

Mimpi itulah yang dialami pemuda berambut putih keperakan! 
Dalam mimpi dilihatnya kepala gadis berpakaian putih masuk ke dalam 
mulut ular. Tidak hanya itu. Pedang-pedang merah menyala itu pun 
menembus sekujur tubuhnya. Anehnya, pada saat senjata tajam itu mengenai 
sasaran, naga merah yang besar itu sudah tidak ada lagi! 

"Melati...," ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa 
menyembunyikan rasa khawarir. "Apakah yang terjadi dengan dirimu?!" 

Memang, gadis berpakaian putih yang ada di dalam mimpi itu 
bernama Melati. Sekarang, sudah dapat diterka siapa pemuda berambut putih 
keperakan. Ya! Dia adalah Aiya Buana atau yang lebih dikenal dengan 
julukan Dewa Arak. Usai berkata, Arya segera melompat turun. 

Laksana daun kering, Arya mendaratkan kedua kakinya di tanah. 
Tidak ada sedikit pun bunyi yang terdengar ketika pemuda itu hinggap. 

"Rasanya ada kejadian yang membahayakan nyawamu. Melati. Aku 
yakin mimpi-mimpi yang kualami sebuah isyarat. Kalau tidak guruku, Ki 
Gering Langit, yang memberitahukannya. Tentu belatang raksasa di alam 
gaib. Mungkin kesimpulan yang kuambil tidak berlebihan," gumam Arya 
kembali. 

Seketika Arya teringat akan kejadian yang dialaminya sebelum 
mimpi-mimpi buruk itu muncul. Hai-hal yang semula tidak terlalu 
dipedulikannya. Tapi sekarang, semua itu teringat kembali! 

Sebelum mimpi -mimpi bumk itu muncul, rasa gelisah selalu datang 
mendera batin Arya. Rasa gelisah yang tidak diketahui sebabnya. Perasaan 
itu muncul begitu saja. 

Dan ketika Arya memutar benaknya untuk mencari sebab, 
keterkejutanlah yang diterima. Saat pemikirannya sampai pada Melati, rasa 
takut yang sangat langsung menyeruak! Sayangnya, Dewa Arak tidak 
mempedulikannya. Sikap tidak pedulinya terus berlanjut meski mimpi bumk 
mulai muncul. Pemuda berambut putih keperakan itu baru memperhatikan 
ketika mimpi itu berulang tems-menems. 

Keyakinan Dewa Arak semakin menebal ketika teringat dirinya 
memiliki indra keenam, naluri! Dia dapat merasakan adanya bahaya yang 
tengah mengancam. Hal itu didapatkan Dewa Arak secara tidak sengaja. 
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dalam 
Cengkeraman Biang Iblis" dan "Kemelut Rimba Hijau"). 

Yakin akan kesimpulan yang didapat, pemuda itu melesat 
meninggalkan hutan itu Tanpa ragu-ragu selumh ilmu meringankan 
tubuhnya dikerahkan. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Yang 
terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu, melesat cepat menuju ke arah 
timur. Kalau saja ada penduduk desa yang melihatnya, tentu akan menyangka 
sosok bayangan itu hantu yang tengah berkeliaran mencari mangsa! 

*** 

Siang itu cuaca benar-benar tidak menyenangkan. Matahari yang 
berada tepat di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang. 
Seakan-akan dengan sinarnya itu sang Surya hendak melelehkan apa saja 
yang ada di permukaan mayap ada. 

Dalam cuaca sepanas itulah serombongan pasukan berkuda berpacu 
cepat meninggalkan Hutan Rajang. Derap langkah kaki kuda mengusik 
keheningan siang. Debu yang mengepul tinggi semakin menambah pengap 
udara siang yang sudah tidak menyenangkan. 

Rombongan berkuda itu berjumlah sepuluh orang. Semuanya 
mengenakan seragam prajurit kerajaan. Hanya gadis cantik berambut 
panjang tergerai yang tidak mengenakannya. Gadis itu berpakaian putih. 

"Keyakinanku tidak melesat bukan. Gusti Ayu Melati?!" ujar lelaki 
setengah baya yang berkuda di sebelah gadis berpakaian putih. Mereka 
berdua berkuda paling depan. 

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu. Paman Patih?!" tanya gadis 
brepakaian putih yang ternyata Melati. Seraya menolehkan kepala dan 
menatap wajah setengah tua di sebelahnya. 

"Mengenai keberhasilan tugas ini. Gusti Ayu," jelas lelaki setengah 
baya. Ia adalah patih Kerajaan Bojong Gading. Lelaki tua itu bernama Patih 
Rantaka. 

Meskipun Patih Rantaka menghentikan ucapannya. Melati tidak 
menggunakan kesempatan itu untuk memberikan tanggapan. Bahkan dia 
malah berdiam diri, menunggu kelanjutan ucapan Patih Rantaka. 

"Bukankah sejak semula sudah kukatakan bahwa dengan 
keberadaanmu di sini. Gusti Ayu, gerombolan pengacau itu akan dapat kita 
hancurkan. Kenyataan tidak melesat kan?!"lanjut Patih Rantaka. 

"Hikhikhik..!" 

Melati tertawa untuk menutupi rasa bangga yang muncul di hati. 
Dia tahu pujian itu dikeluarkan dengan tulus. Patih Rantaka, seperti juga 
prajurit Kerajaan Bojong Gading lainya, sangat mengaguminya. Mereka 
yakin tidak ada lawan yang dapat menandingi putri angkat junjungan mereka. 

"Kau bisa saja. Paman Patih," ucap Melati setelah berhasil menekan 
rasa bangganya. "Kemenangan yang kudapat sebenarnya lebih pantas disebut 
kemujuran. Sebab lawan yang kuhadapi memiliki kepandaian di bawahku!" 

"Hik hik hik...! Kau benar. Melati! Dan sekaranglah saatnya kau 
akan mendapat giliran sebagai orang yang dikalahkan! Kau akan mampus di 
tanganku!" 

Sebuah suara keras menggema ke seluruh tempat itu. Suara itu 
terdengar lebih dulu sebelum Patih Rantaka sempat menyambuti ucapan 
Melati. Karuan saja kejadian yang tidak disangka-sangka itu sangat 
mengejutkan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Tanpa diperintah lagi 
mereka langsung menyebar dan bersikap waspada. Bahkan... 

Srattt, sing, singgg! 

Sinar-sinar terang berkilauan ketika prajurit-prajurit Kerajaan 
Bojong Gading menghunus senjata. Kemudian, menyilangkan di depan dada. 
Sikap itu menunjukkan mereka telah siap untuk menghadapi segala 
kemungkinan yang terjadi. 

Keterkejutan yang sama pun melanda Melati dan Patih Rantaka. 
Hanya saja Melati lebih dapat mengendalikan diri. Gadis itu tetap bersikap 
tenang. Namun sepasang matanya dialihkan ke arah suara itu datang. 
Sedangkan tangannya diacungkan ke atas memberi isyarat pada rombongan 
untuk menghentikan peijalanan. 

Di depan Melati, hanya beijarak sekitar tiga tombak, berdiri sesosok 
tubuh ramping di atas sebuah cabang pohon yang menjorok ke jalan. Belum 
sempat gadis berpakaian putih itu memperhatikan lebih seksama, sosok 
ramping itu telah lebih dulu bertindak. Sosok itu melompat ke bawah seperti 
bumng melayang turun. Ringan tanpa suara sosok ramping itu mendaratkan 
kaki di tanah, tiga tombak di depan Melati. 

Melihat kejadian ini, Melati semakin meningkatkan kewaspadaan. 
Dari pertunjukan yang dipamerkan sosok ramping, Melati dapat 
memperkirakan tingkat kepandaian lawan. Sungguh pun yang 
dipertunjukkan hanya ilmu meringankan tubuh. Melati tidak berani bertindak 
gegabah, tingkat ilmu meringankan tubuh sosok ramping itu amat tinggi. 

Bukan tidak mungkin jika kepandaiannya pun luar biasa. 

Memang, ada kemungkinan lain. Misalnya, sosok ramping itu hanya 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Tapi ilmu silatnya biasa saja. 
Tapi, itu hanya kemungkinan kecil saja.. Namun yang pasti Melati tidak 
menjadi gentar. Gadis itu tetap tenang. 

"Siapa kau, Ni?! Rasanya aku tidak pemah berurusan denganmu. 
Mengapa kau menghadang perjalanan kami?!" tanya Melati penuh wibawa. 
Sikap seorang panglima kerajaan! Seraya mengajukan pertanyaan. Melati 
memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Barangkali saja dia bisa 
menemukan ciri-ciri yang dapat membuatnya mengenali sosok itu. 

Tapi usaha Melati sia-sia. Dia tidak dapat mengenalinya. Sosok 
ramping itu mengenakan penutup wajah. Selubung merah menyala yang 
hanya mempunyai dua buah lubang kecil untuk mata. Pakaian dengan warna 
yang sama membungkus tubuhnya yang ramping dan berisi. Potongan tubuh 
dan suaranya menyebabkan Melati dapat menduga sosok ramping itu adalah 
seorang wanita! 

"Mungkin kau tidak mengenalku. Melati. Tapi, aku cukup 
mengenalmu. Kurasa tanpa penjelasan lagi pun kau telah tahu mengapa aku 
menghadang peij alananmu," sambut wanita berpakaian merah dingin. 

Melati menganggukkan kepala. Sepasang alisnya yang indah 
tampak berkerut. Dia merasa pernah mendengar suara itu. Tapi kapan dan di 
mana dia lupa. 

"Maksud yang tidak baik bukan?!" sindir Melati seraya 
menyunggingkan senyum sinis. 

"Tepat!" sambut wanita berpakaian merah tegas. Kepalanya 
dianggukkan. 

"Lalu... alasannya?!" kejar Melati penasaran ingin tahu. 

Wanita berpakaian merah tertawa mengejek. "Sayang sekali. 
Melati. Aku ingin merahasiakan alasannya kepadamu. Aku ingin kau mati 
tidak tenang. Mati penasaran! Hik hik hik..!" 

"Keparat!" maki Melati geram. "Kaulah yang akan mampus di 
tanganku, Pengecut! Hih!" 

Dengan gerakan indah Melati melompat tumn dari punggung kuda. 

"Menyingkir dari sini. Cilik" ucap Melati. Ditepuknya dengan 
lembut punggung binatang tunggangannya. 

Binatang itu tampak mengerti. Sambil mengeluarkan ringkikan 
pelan, kuda bertubuh kecil dengan bulu berwarna coklat itu membalikkan 
tubuh dan melangkah menjauhi majikannya. Tak aneh kalau Melati 
memberinya nama Cilik! 

Ternyata bukan hanya Cilik yang menjauhi tempat itu. Patih 
Rantaka dan semua prajurit Kerajaan Bojong Gading pun menghindar. Kini 
tinggal Melati dan wanita berpakaian merah yang berada di tempat itu Kedua 
wanita itu berhadapan dalam jarak tiga tombak. 

*** 

Baik Melati maupun wanita berpakaian merah rupanya menyadari 
kalau lawan yang akan dihadapi memang tangguh. Keduanya bertindak 
hati-hati. Tidak ada satu pun yang berani melancarkan serangan lebih dulu. 
Mereka saling menghampiri dengan sikap waspada. 

Sebagai tokoh tingkat tinggi. Melati tahu melakukan penyerangan 
lebih dulu terhadap lawan yang memiliki kepandaian tinggi merupakan 
tindakan yang sangat merugikan. Setiap penyerangan berarti akan membuka 
celah-celah bagai lawan untuk serangan. 

Tapi, setelah menunggu sekian lama tidak ada serangan dari wanita 
berpakaian merah. Melati kehilangan kesabaran. 

"Haaat..!" 

Didahului teriakan keras yang membuat prajurit Keraj aan Bojong 
Gading dan Patih Rantaka menutup telinga, gadis berpakaian putih itu 
melancarkan serangan. 

Melati mengawali gebrakannya dengan sebuah tendangan kaki 
kanan lurus ke arah dada wanita berpakaian merah. 

Wuttt! 

Deru angin keras membuat debu mengepul tinggi, mengiringi 
tibanya serangan itu. Dari sini dapat diketahui kekuatan serangan Melati. 
Tendangan itu mampu menghancurkan pohon sebesar tiga pelukan orang 
dewasa! 

Wanita berpakaian merah pun menyadari kedahsyatan serangan 
lawan. Tapi dia tidak menjadi gentar. Wanita itu tetap berdiam diri di 
tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan mengelakkan serangan itu. 
Bani ketika serangan menyambar dekat, wanita berpakaian merah 
mulai bertindak. Kaki kirinya dilangkahkan ke belakang. Sedang tangan 
kanannya memapaki serangan dengan sebuah tetakan ke arah pergelangan 
kaki Melati. 

Takkk! 

Benturan keras dua tenaga dalam tinggi itu pun tidak bisa dielakkan 
lagi. Akibatnya, mereka merasakan bagian yang berbenturan tergetar hebat. 

Meskipun demikian. Melati berada dalam kedudukan yang kurang 
menguntungkan. Sikap tangkisan wanita berpakaian merah membuat kaki 
Melati seperti dijadikan sasaran serangan. 

Tapi Melati tidak mempedulikan rasa sakit yang melanda. Begitu 
serangannya dapat ditangkis, secepat itu pula serangan susulannya meluncur. 
Dan itu dilakukan dengan kaki yang sama. 

Wuttt! 

Dengan kecepatan seorang ahli. Melati menarik kakinya sedikit. 
Lalu diluncurkan kembali dalam sebuah tendangan miring ke arah leher. 

Cepat bukan main tibanya serangan itu. Buru-buru wanita 
berpakaian merah melompat ke belakang dengan menjejakkan kaki. 
Serangan Melati mengenai tempat kosong. Kaki gadis berpakaian putih itu 
menghantam beberapa jengkal di hadapan lawan. 

Namun, Melati teryata sudah memperhitungkan hal itu. Maka 
begitu serangan susulannya gagal, kaki kirinya langsung dijejakkan. 

"Hih!" 

Ketika tubuhnya berada di udara. Melati mengibaskan kaki kirinya. 
Itu dilakukannya sambil memutar tubuh! 

Wusss! 

Wajah wanita berpakaian merah seketika berubah. Sungguh tidak 
disangkanya serangan Melati demikian bertubi-tubi dan susul-menyusul, 
sehingga tidak memberikannya kesempat an untuk memperbaiki kedudukan. 

Yang lebih mengejutkan sasaran Melati kali ini adalah pelipisnya! 
Padahal bagian itu merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang 
terlemah. Jangankan terkena telak, terserempet saja sudah cukup untuk 
membuat nyawa melayang ke alam baka! 

Tapi, lagi-lagi wanita berpakaian merah mampu membuktikan 
kalau ia bukan orang sembarangan. Dalam keadaan yang agak teijepit seperti 
itu dia mampu melakukan tindakan penyelamatan. Wanita berpakaian merah 
segera menekuk lututnya. Dibentuknya kuda-kuda serendah mungkin. 
Sehingga.... 

Wusss! 



Kibasan kaki Melati menyambar lewat beberapa jari di atas kepala 
wanita berpakaian merah. Saking kuatnya tenaga yang terkandung, pakaian 
wanita berpakaian merah sampai terkibar keras! 

Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati 
di tanah, wanita berpakaian merah berhasil memperbaiki kedudukan. Tapi, 
Melati tidak mempedulikannya sama sekali. Serangan-serangan kembali 
dilancarkan. 

Kali ini wanita berpakaian merah sudah siap ! Dia pun memberikan 
sambutan hangat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun berlangsung. 




Pada jurus-jurus awal. Melati maupun wanita berpakaian merah 
belum mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Namun demikian, pertarungan 
sudah berlangsung dahsyat. Bunyi menderu, mencicit, mengaung 
menyemaraki jalannya pertarungan. 

Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini, debu mengepul 
tinggi ke udara, dan daun-daun serta ranting berguguran dari pohonnya. Itu 
semua teijadi akibat serangan-serangan yang tidak menemui sasaran. 

Karena khawatir terkena angin serangan yang nyasar itulah. Patih 
Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading lebih menjauhi kancah 
pertarungan. Mereka semua tahu bahayanya. Jangankan terkena, terserempet 
angin serangan itu pun sudah cukup untuk membuat nyawa mereka terancam. 

Rombongan Kerajaan Bojong Gading melangkah mundur tanpa 
mengalihkan perhatian dari kancah pertarungan. Seakan mereka khawatir 
jika berpaling sebentar saja pertarungan akan berakhir tanpa sempat mereka 
lihat. Akibatnya, mengedip pun sedapat mungkin tidak mereka lakukan. 

Padahal, sekalipun mereka memusatkan perhatian boleh dibilang 
tak ada yang dapat mereka saksikan. Pertarungan berlangsung demikian 
cepat. Tidak terlihat jelas orang-orang yang tengah bertarung. 

Yang terlihat hanya dua sosok bayangan putih dan merah berkelebat 
cepat. Terkadang dua sosok bayangan itu terpisah. Tapi lebih sering mereka 
saling belit. Bila terpisah hanya berlangsung sekejap. Sesaat kemudian 
mereka telah saling belit kembali. 

Hanya itulah yang disaksikan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong 
Gading. Walaupun begitu mereka tetap menyaksikannya dengan penuh 
perhatian. Meski mereka tidak melihat jelas. Tapi dari kelebatan sosok Melati 
dan wanita berpakaian merah yang berbeda, mereka dapat perkirakan 
keadaan yang tengah berlangsung. 

Sampai saat ini rombongan Kerajaan Bojong Gading belum dapat 
meramalkan. Sulit untuk memperhatikan pihak yang berada di atas angin. 
Pertarungan masih berlangsung seimbang. Melati dan wanita berpakaian 
merah masih saling berusaha merobohkan lawan. 

Kesimpulan yang diambil rombongan Kerajaan Bojong Gading 
memang tidak keliru. Pertarungan kedua wanita itu masih berlangsung 
seimbang. Padahal, tiga puluh lima jurus telah berlalu. 

Beberapa kali tangan atau kaki mereka berbenturan, hingga tubuh 
keduanya tergetar hebat. Bahkan terhuyung-huyung. Hal ini menandakan 
kekuatan tenaga dalam mereka memang berimbang. 

Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh satu, wanita 
berpakaian merah sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Seraya 
menggertakkan gigi, dengan sebuah gerakan anah tubuhnya dibanting ke 
tanah, kemudian menggelinding seperti bola. 

Tentu saja Melati tidak membiarkan kesempatan baik itu. Buru-buru 
dikeijamya tubuh yang tengah bergulingan itu. Lalu, tangan kanannya 
diayunkan ke arah kepala. Tiba-tiba.... 

Singgg! 

Diiringi bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga dan 
kilauan sinar yang menyilaukan mata, wanita berpakaian merah 
meluncurkan pedangnya memapaki serangan Melati! Karuan saja Melati 
terkejut bukan main. T angannya bisa putus bila berbenturan dengan pedang 
wanita berpakaian merah! 

Karena itu, tanpa membuang-buang waktu Melati menarik pulang 
tangannya. Dibarengi dengan langkah mundur kaki kirinya. 

Wuttt! 

Tangan Melati selamat! Batang pedang wanita berpakaian merah 
membabat angin. 

Tapi, rupanya wanita berpakaian merah tidak mempedulikan 
keberhasilan tangkisannya. Begitu dilihatnya Melati menghentikan serangan 
dan mundur, tubuhnya langsung dilentingkan Sesaat kemudian, dia telah 
berdiri di atas kedua kakinya. 

Pada saat yang bersamaan. Melati mencabut pedangnya. Kini 
senjata itu disilangkannya di depan dada. Hal ini terpaksa dilakukan Melati 
karena lawan telah menggunakan senjata. Gadis itu tidak mau bertangan 
kosong menghadapi orang selihai wanita berpakaian merah. Tanpa senjata 
saja wanita itu sudah demikian lihai, apalagi dengan pedang di tangan. Sulit 
untuk dibayangkan! 

Dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan 
kebenaran dugaannya. Dengan diawali teriakan nyaring membahana, wanita 
berpakaian merah mulai melancarkan serangan. 

Singgg! 

Wanita berpakaian merah membuka serangannya dengan tusukan 
lurus ke arah leher. 

Wuttt! 

Ujung pedang wanita itu meluncur lewat beberapa jengkal di atas 
kepala begitu Melati merendahkan tubuhnya. Tindakannya tidak terhenti 
sampai di situ. Sambil mengelak, pedangnya ditusukkan ke arah perut lawan. 

Singgg! 

Cukup mengejutkan dan mendadak serangan balasan Melati. Tapi 
wanita berpakaian merah tidak menjadi gugup. Bergegas kakinya dijejakkan, 
sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Melati. Dati sana, 
tusukannya dilancarkan ke arah kuduk gadis berpakaian putih itu 

Sekarang Melati tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. 
Andaikata dipaksakan pun akibatnya tidak kecil. Maka, menangkislah 
satu-satunya jalan. Dan tindakan itulah yang dilakukan Melati! 

Gadis berpakaian putih itu menangkis dengan cara mengayunkan 
pedangnya ke belakang. Tentu saja gerakan itu dilakukannya sambil 
membalikkan tubuh. 

Tranggg! 

Benturan dua batang senjata terdengar. Bunyinya keras bukan main. 
Disertai berpercikannya bunga-bunga api. 

Dengan mantap wanita berpakaian merah mendaratkan kedua 
kakinya di tanah. Sementara Melati telah siaga. Malah, gadis berpakaian 
putih itu lebih dulu melancarkan serangan. 

Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik pun teijadi. Melati 
mengamuk bagai harimau luka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya 
dikerahkan, sampai gerakan pedangnya menimbulkan bunyi menggemng 
keras. 

Tapi, ternyata ilmu pedang wanita berpakaian merah tidak kalah 
hebat. Setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan, serangan balasan 
yang tak kalah hebatnya dilancarkan wanita itu. 

Gerakan pedang wanita berpakaian merah demikian cepat dan 
hampir tanpa suara. Mirip kilat Tidak nampak akibat pada tempat yang 
dilewati, kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan yang 
tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang dapat merasakan. 
Tentu saja keadaan ini dialami Melati. 

Karena masing-masing memiliki ilmu pedang yang dahsyat, 
pertarungan jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari delapan puluh 
jurus tidak terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Keduanya silih berganti 
melancarkan serangan. 

Keadaan di sekitar pertarungan sulit digambarkan. Angin serangan 
mereka membuat cabang-cabang pohon putus dari batangnya. 

*** 


"Haaat...!" 

Di jurus kesembilan puluh satu, wanita berpakaian merah melompat 
tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuh¬ 
nya terhenti. Karena tenaga luncuran ke atas sudah tidak ada lagi. Saat itulah 
tubuhnya berbalik. Kini kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas. 
Jari-jari kedua tangannya disatukan sewaktu menggenggam pedang. Kedua 
tangan itu teijulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita ber¬ 
pakaian merah tegak lums. 

Dalam keadaan seperti itu tubuhnya meluncur ke arah Melati yang 
tepat berada di bawahnya. Yang menggiriskan hati, dalam keadaan demikian 
tubuhnya berpusing seperti gasing. Serangan wanita berpakaian merah itu 
lebih mirip dengan membor. 

Melati terkejut bukan main Disadarinya betapa berbahaya serangan 
itu. Melati ingin mengelak. Tapi, ternyata tidak mampu! Sepertinya ada 
kekuatan tak nampak yang membuat tubuhnya terpaku. Gadis itu tidak 
mengerti mengapa ini bisa terjadi! 

Tapi sebagai pendekar yang telah cukup lama merambah dunia 
persilatan, sebuah dugaan muncul dibenaknya. Apakah keadaan yang 
dialaminya ini disebabkan oleh serangan lawannya? 

Seketika itu pula Melati teringat akan cerita Dewa Arak tentang 
ilmu-ilmu aneh dan menakjubkan di dunia persilatan. Di antaranya adalah 
ilmu yang membuat lawan tidak bergerak sewaktu serangan dilancarkan. 
Bahkan, tidak hanya membuat lawan mengalami kesukaran bergerak, tapi 
juga sulit bernapas. Dewa Arak sendiri pemah mengalaminya (Untuk lebih 
jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia Syair 
Leluhur"). 

Melati tahu hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya. 
Menangkis! Tanpa menunggu lebih lama Melati memutar pedangnya di atas 
kepala. Bunyi menggerung keras seperti naga murka terdengar. Tanda-tanda 
Ilmu Pedang Seribu Naga! 

Cepat bukan main Melati memutar senjatanya. Hingga bentuk 
pedangnya lenyap. Yang terlihat hanya kilatan sinar berkilauan di atas 
kepala. 

Trang, tranggg! 

Terdengar bunyi dahsyat ketika dua batang pedang berbenturan. 
Tidak hanya sekali, tapi ber-kali-kali. Sebab, serangan pedang wanita berpa¬ 
kaian merah itu berputar! 

Hebatnya, meskipun Melati berhasil menangkis serangan, tapi 
luncuran pedang wanita berpakaian merah tidak berhenti sampai di sita 
Senjata itu terus meluncur. Dan... 

Crattt! 

"Akh!" 

Melati menjerit tertahan ketika ujung pedang wanita berpakaian 
merah menggurat pergelangan tangannya. Cukup dalam, sehingga darah 
merembes keluar dari bagian yang terluka. 

Dan sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, wanita berpakaian 
merah kembali melancarkan serangan. Itu dilakukannya ketika tubuhnya 
meluncur tumn. Wanita itu mengayunkan kedua kakinya bersamaan. 
Akibatnya.... 

Desss! 

"Hukh!" 

Keluhan tertahan kembali dilontarkan Melati. Kaki lawan mendarat 
telak di perutnya. Keras bukan main, sehingga tubuh gadis berpakaian putih 
itu lerlempar ke belakang. Pedangnya terlepas dari genggaman. Untungnya, 
di saat-saat terakhir Melati sempat mengerahkan tenaga dalam. Kalau tidak, 
di saat tubuhnya melayang tentu nyawanya pun melayang ke alam baka! 

Meskipun demikian, bukan berarti Melati tidak mengalami kejadian 
apa pun. Perutnya terasa sakit bukan main Gadis berpakaian putih itu tampak 
sulit bernapas. 

Brukkk! 

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Melati membentur 
tanah, setelah melayang-layang beberapa tombak. Luka yang dideritanya 
membuat gadis itu tidak mampu mendarat dengan baik 

Melati menyeringai merasakan sakit yang mendera punggungnya 
ketika berbenturan dengan tanah. Saat itulah, serangan susulan wanita 
berpakaian merah kembali melurnk. Pedang di tangannya terayun deras ke 
arah Melati. 

"Terimalah kematianmu, Melati!" sem wanita berpakian merah 
keras penuh keyakinan. 

Tentu saja Melati tidak ingin kepalanya dipisahkan dari badan. 
Untuk menangkis adalah tidak mungkin. Hanya mengelak yang dapat 
menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi, elakan macam apa yang dapat 
dilakukan orang yang telah terluka seperti Melati? Hanya ada satu, 
bergulingan! 

Crakkk! 

Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya. 
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan 
tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi. 

"Keparat!" maki wanita berpakain merah geram melihat kegagalan 
serangannya. Sambil menggertakkan gigi, dikejarnya Melati. 
Serangan-serangannya pun menyusul datang. 

Pemandangan yang agak aneh segera terlihat. Melati tems 
menggulingkan tubuh. Sementara wanita berpakaian merah mengejarnya ke 
mana gadis berpakain putih itu pergi, seraya menghujaninya dengan 
serang an-serangan ped ang. 

Memang, beberapa kali Melati berhasil mengelakkan serangan demi 
serang an. T api sampai beberapa lama gadis itu dapat bertahan? 

*** 

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Patih Rantaka dan 
prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Tapi, apa yang dapat mereka 
lakukan? Ikut terjun ke arena dan menolong Melati? Bagaimana mungkin? 
Kalau gadis berpakaian putih itu saja dapat dikalahkan, bagaimana mereka? 

Bukan hanya alasan itu yang membuat rombongan Kerajaan Bojong 
Gading memaksakan diri tidak memberikan pertolongan. Keyakian yang 
demikian terpatri bahwa putri junjungan mereka ini akan dapat mengatasi 
lawan, dan takut kena marah kalau mencoba memberikan pertolongan. 

Memang, prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading, apalagi 
pasukan khususnya, merupakan orang-orang yang sangat menjunjung tinggi 
kegagahan. Pantangan besar bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan. 
Apalagi, pertarungan Melati dan wanita berpakain merah berlangsung adil! 

Oleh karena itu. Patih Rantaka dan semua prajurit Keiajaan Bojong 
Gading berdiam diri. Mereka hanya memperhatikan jalannya pertarungan de¬ 
ngan sorot mata cemas. Dalam hati mereka berharap Melati dapat mengatasi 
keadaan yang tidak menguntungkan itu. Tapi, harapan memang tidak selalu 
sesuai dengan kenyataan. 

Bukkk! 

"Ahhh...!" 

Melati mengeluarkan jeritan kaget ketika tubuhnya membentur 
serangan pohon. Akibatnya, gulingan tubuhnya terhenti. Saat itulah serangan 
pedang wanita berpakaian merah meluncur ke arahnya! 



Bukan hanya Melati yang dilanda keterkejutaa Patih Rantaka dan 
prajurit Kerajaan Bojong Gading pun demikian. Tarikan wajah dan sorot 
mata mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat, melihat bahaya 
maut tengah mengancam keselamatan putri junjungan mereka. 

"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakaian merah 
keras, penuh keyakinan 
Crakkk! 

Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya. 
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan 
tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi. 



Saking kagetnya, tanpa sadar mereka serempak melumk ke tempat 
Melati tergolek. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan telah siap 
diayunkan. Rombongan Kerajaan Bojong Gading ini lupa akan kegagahan. 
Yang ada di benak mereka adalah menyelamatkan nyawa Melati. Orang yang 
mereka kagumi. 

Walaupun tindakan yang dilakukan rombongan Kerajaan Bojong 
Gading demikian cepat, rasanya tidak akan mungkin dapat menyelamatkan 
Melati. Jarak mereka terlalu jauh. 

Padahal, serangan wanita berpakain merah tebh hampir mencapai 
sasaran. Hanya kejadian luar biasa yang dapat menyelamatkan nyawa putri 
angkat Raja Kerajaan Bojong Gading itu. Tapi, mungkinkah kejadian luar 
biasa itu akan terjadi secara kebetulan? Pada saat orang berada di ambang 
maut? 

Ternyata kejadian itu memang bukan hal yang mustahil! Di 
saat-saat yang amat gawat itu melesat sesuatu yang berwarna gelap! 

Wuttt! Takkk! 

"Akh...!" 

Wanita berpakaian merah menjerit kesakitan. Di saat itu pedangnya 
hampir memenggal kepala Melati, seleret benda berwarna gelap yang 
ternyata batu sebesar dua ibu jari menghantam belakang siku tangan 
kanannya. Telak dan keras bukan main, hingga tangan itu langsung lumpuh! 
Pedang yang tergenggam itu terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. 

Cappp! 

Pedang itu menancap di tanah, beberapa rambut dari pinggang 
Melati. Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian merah menemui 
kegagal an 

Bertepatan dengan lumpuhnya tangan kanan wanita berpakaian 
merah, dari tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading melesat sesosok 
tubuh. Gerakannya sangat cepat. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan 
ungu dalam bentuk tidakjelas, melesat cepat menuju tempat Melati 

"Hup!" 

Tanpa menimbulkan bunyi sosok berpakaian ungu itu mendarat di 
depan Melati. Sosok itu berdiri membelakangi. Sehingga gadis berpakaian 
putih itu hanya dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Punggung yang 
kekar dan dibanduli guci arak itu sangat dikenal Melati. Rambutnya yang 
panjang putih keperakan melambai-lambai ditiup angin 

T api, ternyata bukan hanya Melati yang mengenal sosok berpakaian 
ungu. Wanita berpakaian merah pun mengenalnya. Wanita itu mundur 
selangkah begitu melihat sosok berambut putih keperakan. Rasa kagetnya 



memang tidak bisa dilihat, karena wajahnya tertutup topeng. Namun, ini bisa 
diketahui dari ucapan-ucapannya. 

"Dewa Arak...?! Kau... kau.... Mengapa ada di sini?!" ucap wanita 
berpakaian merah terbata-bata 

Sosok yang memang tidak lain Dewa Arak, yang mempunyai nama 
asli Arya Buana, tersenyum dingin. Ada ancaman mengerikan terkandung di 
sana. Penyebabnya adalah ketika melihat nyawa Melati hampir saja 
melayang. Andaikata dia terlambat sesaat saja, mungkin nyawa gadis 
berpakaian pu tih itu sudah melayang ke alam baka! Kenyataan ini membuat 
Dewa Arak murka bukan main. 

"Mengapa?! Kau kaget. Manusia Pengecut?! Sekarang, dengan 
adanya aku jangan harap dapat meneruskan kekejianmu terhadap Melati!" 
tandas Dewa Arak keras. 

Wanita berpakain merah menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa 
arti gelengannya. Sementara sepasang matanya beiputar liar, seperti tengah 
mencari jalan untuk meloloskan diri. 

Sambil terus bersikap demikian, kedua kakinya melangkah ke 
belakang. Tindakan yang dilakukannya menunjukkan wanita itu merasa 
gentar. 

Dewa Arak menoleh sejenak ke belakang untuk melihat keadaan 
Melati. Hanya sekilas saja! Meskipun demikian, telah cukup bagi Dewa Arak 
untuk mengetahui keadaan kekasihnya. Kenyataan yang didapatnya 
membuat pemuda itu semakin geram Arya tahu Melati menderita luka yang 
cukup parah! 




Kesempatan di saat Dewa Arak mengalihkan memperhatian pada 
Melati dipergunakan sebaik-baiknya oleh wanita berpakaian merah. Dengan 
bergegas tubuhnya dibalikkan. Kemudian melesat cepat meninggalkan 
tempat itu.Tapi.... 

"Jangan harap dapat pergi begitu saja setelah melakukan kekejian 

ini!" 

Seraya mengeluarkan pernyataan penuh wibawa. Dewa Arak 
melesat mengejar wanita berpakaian merah. Dan begitu telah berada di 
belakangnya, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas 
melewati kepala buruannya. Dewa Arak bersalto beberapa kali sebelum 
mendarat dengan mantap beberapa tombak di depan wanita berpakaian 
merah. 

"Menyingkir dari tempat itu. Dewa Arak! Atau... terpaksa aku akan 
menyerangmu...!" desis wanita berpakaian merah, tajam. 

Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pendekar muda itu tahu wanita 
berpakaian merah gelisah. Suaranya demikian jelas menyiratkan kegalauan 
perasaannya. Namun bukan hal itu yang membuat kemyitan di dahi Aiya. 
Bukan nada kegelisahannya, melainkan.... 

"Siapa kau, Nisanak?! Cepat buka selubungmu Aku yakin pemah 
mengenalmu.... Setidak-tidaknya suaramu pemah kudengar..." 

"Persetan dengan ucapanmu! Hih!" 

Usai berkata, wanita berpakaian merah melompat menerjang Dewa 
Arak dengan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada. Tahu kalau lawan 
yang dihadapi jauh lebih lihai dari Melati, wanita berpakaian merah 
mengarahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Wuttt! 

"Hm...!" 

Dewa Arak menggumam pelan melihat serangan lawan. Pemuda itu 
bersikap tenang. Tak dilakukan tindakan apa pun sampai serangan lawan 
menyambar dekat. Baru setelah itu ia bertindak cepat. 

Dewa Arak menarik kaki kanannya ke belakang seraya 
menggerakkan tangan kanan. 

Wuttt! Kreppp! 

"Ihhh...!" 

Wanita berpakaian merah menjerit kaget. Tahu-tahu pergelangan 
tangan kanannya telah kena cekal. Gerakan Dewa Arak terlalu cepat untuk 
dihadapi. 

Sungguhpun demikian, wanita berpakaian merah bukan lawan yang 
dapat dipecundangi dengan mudah. Sebelum Dewa Arak sempat 
melancarkan serangan lanjutan, dengan sebuah gerakan aneh dari jums 'Ular' 
pergelangan tangan kanan wanita itu diputar. Dan.... 

Plasss! 

Cekalan tangan Dewa Arak berhasil dipunahkan. Tindakannya 
ternyata tidak terhenti sampai di situ Bersamaan dengan berhasil dibebaskan 
tangan kanannya, tangan kirinya menggedor dada Dewa Arak! 

Prattt! 

Terdengar bunyi benturan keras ketika Dewa Arak memapaki 
dengan gerakan yang sama! Dalam cekaman kemarahan yang meluap 
melihat wanita berpakaian merah hampir saj a membunuh kekasihnya. Dewa 
Arak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan itu. 

Akibatnya menggiriskan. Tubuh wanita berpakaian merah 
terjengkang ke belakang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya lumpuh. 
Terutama bagian yang berbenturan langsung. Kedua tangannya terasa sakit 
dan ngilu! Bahkan sukar untuk digerakkan. 

Meskipun demikian, wanita berpakaian merah masih mampu 
mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Malah dengan cara yang patut 
diberikan acungan ibu jari. Wanita itu berhasil mendarat dengan mantap! 

Dewa Arak yang masih diamuk amarah tidak memberikan 
kesempatan sedikit pun pada lawan. Langsung saja serangan susulannya 
meluncur. Pemuda berambut putih keperakan itu melumk ke arah wanita 
berpakaian merah seraya mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada! 
Arya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukan Harimau'! 

Wanita berpakain merah terkejut melihat cepatnya serangan itu. 
Padahal, dia baru saja berdiri tegak di tanah. Sudah tidak mungkin lagi untuk 
mengelak. Terpaksa dipapakinya serangan itu. Meski kedua tangannya 
belum pulih seperti sedia kala. 

Plak, plakkk bukkk! 

"Hukh!" 

Rentetan kejadiannya demikian cepat. Memang, wanita berpakaian 
merah berhasil menangkis serangan Dewa Arak. Tapi hanya dua! Padahal, 
Dewa Arak mengirimkan serangan bertubi-tubi. Tak pelak lagi, serangan 
yang ketiga mendarat telak di dadanya. 

Akibatnya, wanita berpakaian merah terhuyung ke belakang. Bunyi 
menggelogok terdengar dari kerongkongannya. Tampaknya, dia terluka 
dalam dan memuntahkan darah segar. Hanya saja tidak terlihat karena 
mulutnya tertutup selubung merah menyala. 

Tapi kejadian selanjutnya menjadi bukti kalau wanita itu menderita 
luka tak ringan. Wanita berpakaian merah jatuh dan tidak bangkit lagi. 
Bersamaan dengan rubuhnya wanita berpakaian merah, Dewa Arak 
menghentikan gerakannya. Ditatapnya tubuh yang tergolek di tanah itu 
sekilas. Lalu langkahnya diayunkan menuju tempat Melati 

Tampak di sana Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong 
Gading tengah mengerumuni putri angkat raja Kerajaan Bojong Gading. 

"Harap menyingkir sebentar. Biar kuperiksa luka-lukanya," ucap 
Arya pelan meminta perhatian. 

Kerumunan prajurit itu pun langsung menyemak memberi jalan. 
Tanpa buang-buang waktu, pemuda berambut putih keperakan itu segera 
beijongkok dan memeriksa keadaan Melati 

Gadis berpakaian putih itu pingsan setelah melihat kehadiran Dewa 
Arak. Agaknya, gadis itu tidak kuat menahan luka luka yang diderita. 

"Bagaimana, Dewa Arak?!" 

Patih Rantaka yang sudah tidak sabar lagi segera mengajukan 
pertanyaan, ketika dilihatnya Dewa Arak tercenung setelah memeriksa 
keadaan Melati. 

"Dia selamat, Paman. Memang luka-lukanya parah. Tapi tidak 
sampai mencabut nyawanya," jawab Arya singkat. 

Patih Rantaka mengangguk-angguk gembira. Gambaran perasaan 
yang sama tampak di wajah prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. 
Pemberitahuan Dewa Arak telah membuat mereka merasa lega. Melati 
selamat! 

"Untung kau datang tepat pada waktunya Dewa Arak," ucap Patih 
Rantaka. "Kalau tidak... kami tentu akan kehilangan sekali..." 

Prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menganggukan kepala, 
menyatakan persetujuannya atas ucapan patih Kerajaan Bojong Gading itu. 

"Aku pun bersyukur. Paman." 

Hanya itu jawaban yang diberikan Arya. Patih Rantaka pun diam. 
Lelaki tua itu tidak memberikan tanggapan lagi. Yang dilakukan hanya 
mengangguk-anggukan kepala. Karena Patih Rantaka tidak mengajukan 
pertanyaan lagi. Dewa Arak memberikan pengobatan terhadap Melati. 
Semua diperhatikan oleh rombongan Kerajaan Bojong Gading dengan hati 
penuh rasa syukur. 


*** 

"Bagaimana kau tahu aku berada di Hutan Hanjang, Kakang?!" 
Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis berpak ain putih. 
Siapa lagi kalau bukan Melati? Gadis itu tengah duduk di atas punggung 
kuda yang melangkah pelan. 

Seraya bertanya Melati menoleh ke arah sosok yang berada di 
sebelahnya. Seorang pemuda berambut putih keperakan. Dewa Arak! 
Pemuda itu tidak menunggangi kuda, tapi berjalan kaki. Di belakang 
muda-mudi ini berjalan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Berkuda 
paling depan adalah Patih Rantaka! 

Sementara itu. Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyan Melati. 
Pemuda itu termenung sebentar seperti tengah mencari jawaban. 

"Tentu saja dari ayahmu. Melati," jawab Aiya setengah menggoda. 
"Maksudmu... Ayahanda Prabu Nalanda, Kakang?!" terka Melati 
memastikan. 

Arya mengangguk memberikan tebakan kekasihnya. 

"Jadi kau ke istana Bojong Gading lebih dulu?" kejar Melati lebih 

jauh. 

Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. 
"Kalau tidak ke sana, bagaimana mungkin aku dapat mengetahui kau dan 
pasukan mu berada di sini. Melati?!" Arya balas mengajukan pertanyaan. 

Melati mengangguk-anggukan kepala menyadari kebenaran ucapan 
Dewa Arak. 

"Lalu..., mengapa kau mencariku, Kakang?!" tanya Melati, setelah 
tercenung sesaat lamanya. "Barangkali ada urusan yang sangat penting?" 
Dewa Arak mengangguk. 

Melati langsung tercenung dan menarik tali kekang kudanya. 
Hingga binatang itu menghentikan langkah. Karena Melati berkuda paling 
depan. Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading pun 
terpaksa menghentikan kuda mereka. Kalau tidak, kuda-kuda itu akan 
menabrak Melati dan Arya. 

Setelah terdiam sesaat Melati kemudian menoleh ke belakang. 
"Paman Patih....," sapa Melati lembut 

"Hamba, Gusti Ayu Melati," jawab Patih Rantaka cepat seraya 
memberi hormat 

"Tolong sampaikan pada Ayahanda Prabu aku tidak dapat kembali 
ke istana. Ada urusan yang amat penting. Bila urusan ini telah selesai aku 
akan ke istana," ujar Melati. 

"Akan hamba sampaikan. Gusti Ayu Melati," sambut Patih Rantaka 
penuh hormat 

Ini salah satu sikap Melati yang amat dikagumi Patih Rantaka. 
Meskipun mempunyai hak untuk memberikan perintah, gadis berpakaian 
putih itu selalu melakukannya dengan sopan. 

"Terima kasih. Patih Rantaka," sambut Melati seraya tersenyum 

manis. 

T api sebelum Patih Rantaka memberikan tanggapan, tiba-tiba Dewa 
Arak memberikan isyarat agar tidak ada seorang pun yang berbicara. Pemuda 
berambut putih keperakan itu mendengar sesuatu. 

Maka tanpa membantah sedikit pun. Melati dan seluruh rombongan 
berdiam diri. Malah, tanpa sadar mereka menahan napas. 

"Kau benar, Kakang!" timpal Melati cepat "Ada bunyi benturan 

senjata." 

"Benar, Melati!" sambut Arya. "Ada pertarungan yang tengah 
berlangsung. Dati bunyinya yang agak samar, agaknya jaraknya cukup jauh 
dari sini." 

"Bagaimana, Kakang?! Haruskah kita ke sana?" 

"Benar, Melati," jawab Arya pasti. 'Barangkali saja ada orang yang 
membutuhkan pertolongan kita." 

Mendengar tanggapan Dewa Arak, tanpa menunggu lama Melati 
menghela tali kekang kudanya. Kuda coklat itu melesat cepat laksana kilat. 
Meskipun lebih kecil dari kuda umumnya, binatang tunggangan Melati ini 
memiliki kecepatan lari yang mengagumkan dan kekuatan berpacu dalam 
jarak jauh. Memang, terasa janggal bila dibandingkan dengan tubuhnya yang 
kecil. 

Tapi betapapun cepatnya lari Cilik, Dewa Arak mampu 
mengimbangi. Hanya dalam beberapa kali lesatan pemuda berambut putih 
keperakan itu telah berhasil menjajari Cilik. 

Cilik memang seekor kuda. T api kuda pilihan. Binatang tunggangan 
yang bertubuh kecil itu biasa berpacu. Karena itu, begitu melihat Dewa Arak 
berada di sebelahnya, tanpa dipacu lagi oleh Melati dia segera menambah 
kecepatannya. Nalurinya membisikkan kalau dia harus berada di depan pe¬ 
muda berambut putih keperakan itu. 

Kali ini Cilik kecewa. Meski seluruh kemampuan larinya 
dikeluarkan, tetap saja dia tiak mampu meninggalkan. Laksana bayangan, 
pemuda berambut putih keperakan itu tetap berada di sebelah Cilik. 

Sementara di belakang mereka. Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan 
Bojong Gading memacu binatang tunggangannya. Itu dilakukan agar mereka 
tidak tertinggal jauh oleh Dewa Arak dan Melati! 

Sementara itu. Dewa Arak dan Melati tak perlu menunggu terlalu 
lama untuk mengetahui penyebab bunyi riuh rendah itu. Beberapa saat 
kemudian, tampak sepuluh tombak di hadapan mereka terpampang sebuah 
pertarung an. 

Alis sepasang pendekar muda itu berkerut. Mereka melihat sebuah 
pertarungan yang sangat tidak adil. Seorang lelaki tinggi kurus yang sudah 
sangat tua diserang oleh dua orang lelaki muda kekar bersenj ata golok. 

Tapi, rupanya kakek tinggi kurus itu bukan orang sembarangan. 
Meskipun dikeroyok ia masih mampu melakukan perlawanan sengit. 
Tongkat di tangannya beberapa kali berbenturan dengan golok-golok lawan, 
dalam upayanya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Ternyata, bunyi 
benturan senjata inilah yang didengar oleh Dewa Arak! 

"Rasanya kakek itu membutuhkan bantuan, Kakang," ucapa Melati 
tanpa mengendurkan lari binatang tunggangannya. 

"Benar, Melati," jawab Dewa Arak. Suaranya terdengar biasa. 
Tidak terengah-engah seperti orang yang berlari cepat. Bahkan, tidak ada 
setitik peluh pun membasahi wajahnya. "Kalau tidak, dia akan tewas di 
tangan lawan lawannya." 

Melati mengangguk-angguk membenarkan pendapat Arya. Dan 
memang, perkiraan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Gadis 
itu pun dapat melihat keadaan kakek tinggi kurus sudah sangat 
mengkhawatirkan. Terlihat jelas kakek itu terdesak hebat 

Usia yang sudah tua membuat napas kakek tinggi kurus 
megap-megap seperti ikan dilemparkan ke darat. Padahal, pertarungan 
sepertinya bam berlangsung beberapa jurus. Bila pertarungan terus berlanjut, 
kakek tinggi kurus itu akan mati kehabisan napas. 

Karena melihat keadaan yang gawat itu, Dewa Arak tidak mau 
membuang-buang waktu. Kecepatan larinya ditambah. Akibatnya, Cilik 
tertinggal. 

"Hentikan!" 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, tubuh Dewa Arak telah 
mendarat di tengah arena pertarungan. Pemuda berambut putih keperakan itu 
mendarat tepat di antara kedua belah pihak yang bertarung. 

Tentu saja keberadaan Dewa Arak yang demikian mendadak 
mengejutkan mereka yang tengah bertarung. Terutama kedua lalaki kekar 
yang hampir saja berhasil mengirim nyawa kakek tinggi kurus ke alam baka, 
karena kagetnya, gerakan mereka terhenti di udara. 

"Siapa kau, Kisanak? Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya 
salah seorang, yang berkumis tebal. 

"Tidak usah berbasa-basi lagi, Kiwul! Bacok saja Habis perkara!" 
seru rekannya, yang berdahi lebar. Terasa jelas nada ketidaksabaran di 
dalamnya. 

Tapi lelaki berkumis tebal yang bernama Kiwul tidak menumti 
seman rekannya. Sepasang matanya yang diarahkan pada Dewa Arak 
menuntut jawaban. Dan, harapan Kiwul memang terkabul. 

"Aku Arya. Bukan maksudku mencampuri umsan kalian. Tapi, 
bagaimana mungkin aku berdiam diri melihat ketidakadilan di sini?!" 

"Berbuat ketidakadilan?!" Kiwul mengernyitkan dahi. "Tahukah 
kau masalah yang tengah kami hadapi, Arya?!" 

"Tidak," jawab Arya sejujurnya. "Tapi, biar bagaimanapun aku 
tidak bisa membiarkan seorang kakek tua dikeroyok dua lelaki kekar!" 

Kiwul tersenyum pahit. 

"Kuhargai kegagahanmu, Arya. Tapi, asal kau tahu saja, kakek yang 
kau bela ini adalah seorang penipu dan pembunuh! Dan orang yang telah 
menjadi korban ulahnya adalah gum kami. Beliau hampir tewas akibat 
tindakannya. Apakah kami diamkan saja perbuatannya?!" 

Seketika itu juga Dewa Arak terdiam. Sungguh tidak disangkanya 
jawaban seperti itu yang akan diterimanya. Kepalanya segera ditolehkan ke 



belakang untuk menanyakan kebenaran ucapan Kiwul pada kakek tinggi 
kurus. Mendadak.... 

"Mengapa kau masih saja membuang-buang waktu dengan 
percuma, Kiwul?!" 

Seraya mengeluarkan pernyataan itu, rekan Kiwul mengayunkan 
goloknya ke arah leher Dewa Arak! 

Wuttt! 

"Ganta!" 

Kiwul berseru kaget melihat tindakan Ganta. Apalagi, ketika 
menyadari dia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah. Hanya 
teriakan kaget yang dapat dikeluarkannya. Sementara itu golok Ganta terus 
meluncur deras menuju sasaran. 

Dewa Arak tersenyum. Hanya dengan sekali lihat Arya tahu 
serangan yang dianggap Kiwul amat berbahaya tidak berarti sedikit pun 
baginya. Memang, hanya dengan sekilas pemuda berambut putih keperakan 
itu bisa mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Ternyata, tenaga yang 
menggerakkannya adalah tenaga dalam biasa-biasa saja! Tidak perlu 
dikhawatirkan. 

Kerena itu. Dewa Arak berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat 
tanda-tanda dia akan menangkis atau mengelak. Karuan saja kenyataan itu 
membuat Kiwul semakin kelabakan. 

Takkk! 

Bunyi berdetak keras terdengar. Mata golok Ganta membentur 
batang leher Dewa Arak, membuat kaget semua orang yang berada di sita 
Terutama Ganta. Golok itu membalik seperti menghantam gumpalan karet 
keras! 




"Rupanya kau mempunyai kulit yang kebal, heh?! Sekarang, coba 
rasakan ini!" 

Ganta menusukkan goloknya ke mata Dewa Arak. Sungguh sebuah 
serangan berbahaya, karena betapapun tingginya kepandaian seseorang tak 
akan mungkin dapat membuat mata menjadi kebal. 

Karena itu. Dewa Arak tidak bisa membiarkan serangan itu. Di 
samping karena dapat mengakibatkan sepasang matanya menjadi buta, 
pemuda berambut putih keperakan itu pun ingin memberikan pelajaran atas 
sikap keras kepala Ganta. Arya segera mengulurkan tangannya. 

Kreppp! 

Batang golok Ganta berhasil dicengkeram Dewa Arak. Lalu, 
sebelum Ganta menyadari sepenuhnya, pemuda berambut putih keperakan 
itu telah menggerakkan jari-jarinya. 

Takkk! 

Bunyi berdetak keras mengiringi patahnya batang golok Ganta. 
Seketika, wajah lelaki berdahi lebar itu nampak memucat. Kenyataan ini baru 
menyadarkan dirinya kalau pemuda yang berdiri di hadapannya itu memiliki 
kepandaian yang sangat tinggi. 

Tanpa perlu dicegah lagi oleh Kiwul, Ganta menghentikan serangan 
dan melangkah mundur. 

"Bagaimana? Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa mengejek. Sepasang 
matanya menatap tajam-tajam. 

Tidak ada tanggapan sedikit pun dari Ganta dan Kiwul. Kejadian 
yang dilihat terlalu mengetjutkan, hingga membuat mereka terkesima. 

"Sekarang, mungkin kalian bisa menjelaskan permasalahannya. 
Kalau tidak, apa pun yang teijadi aku akan membela kakek ini!" tandas Dewa 
Arak tegas. 

Kiwul dan Ganta saling berpandangan. 

"Hhh...!" Kiwul menghela naias panjang. Rupanya, dia bermaksud 
memberitahukan sejelasnya masalah yang di hadapi. "Kami berdua adalah 
murid Ki Aswatama..." 

Sampai di sini Kiwul menghentikan ucapannya. Ditatapnya Dewa 
Arak untuk melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dia 
tahu nama gurunya cukup dikenal sampai ke beberapa desa, sebagai seorang 
guru silat yang jarang tandingannya. 

Tapi Kiwul harus kecewa. Harapannya untuk melihat keterkejutan 
Dewa Arak pupus. Pemuda itu tidak tampak terkejut. Memang, Dewa Arak 
tidak mengenal nama Ki Aswatama. Demikian pula dengan Melati yang 
berdiri di sebelah kakek tinggi kurus, di belakang Dewa Arak. 

"Kami berdua dan guru tinggal di Desa Palung, " lanjut Kiwul. 
"Beberapa hari yang lalu Ganta melihat seorang penduduk desa yang telah 
bemsia lanjut dianiaya oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena 
Geni, orang kaya di Desa Palung dan desa-desa sekitarnya." 

"Dia seorang penindas penduduk!" selak Ganta begitu Kiwul 
menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. 

Kiwul mengangguk. "Apa yang dikatakan Ganta memang tidak 
salah. Tapi, Juragan Trestajumena Geni tidak bisa sepenuhnya disalahkan. 
Para penduduk desa yang tengah dililit kesulitan datang padanya dan 
meminjam uang. Juragan Trestajumena Geni memang memberikannya, tapi 
dengan perjanjian pengembaliannya jauh lebih besar dari pinjaman. Dia 
mengenakan renten yang cukup besar. Jika penduduk tidak bisa segera 
mengembalikan, harta milik yang senilai pinjaman akan disita. Nah! 
Penduduk setengah tua itu disiksa karena dianggap melanggar pemjanjian. 
Dia tidak mampu membayar hutangnya yang mencekik leher karena bunga 
yang terus berbunga." 

Kiwul menghentikan ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi 
tenggorokannya yang saat itu terasa kering. 

"Rupanya, pinjaman yang harus dikembalikan petani tua itu amat 
besar. Karena telah terlalu lama dan bunga itu beranak pinak. Sedang harta 
satu-satunya yang berharga hanya rumahnya. Maka rumah itulah yang disita 
oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Lelaki tua itu 
menolak. Dan, tukang-tukang pukul itu pun menyiksanya agar dia mau 
meninggalkan rumah itu!" 

"Apa yang dikatakan Kiwul memang benar!" Lagi-lagi Ganta 
menyela. "Tapi, saat itu istri petani tua itu tengah sakit parah. Jangankan 
meninggalkan rumah, untuk bangkit saja sudah susah Petani tua itu pun 
minta waktu. Tapi yang didapat malah siksaan. Karena tak tahan melihat 
kekejian itu, aku ikut campur! Akibatnya terjadi pertarungan." 

"Aku terpaksa membantu Ganta. Karena jika hal itu tidak 
kulakukan, dia akan tewas di tangan tukang tukang pukul Juragan 
Trestajumena Geni yang cukup lihai dan beijumlah banyak," timpal Kiwul. 
"Memang, dengan berdua kami dapat mengusirnya! Mereka kabur. Tapi 
masalahnya tidak berhenti sampai di situ Besoknya mereka datang dalam 
jumlah yang lebih besar. Tanpa gentar kami menyambutnya." 

"Namun karena jumlah mereka terlalu besar, kami terdesak. Untung 
di saat terakhir, guru kami muncul dan membantu. Untuk yang kedua kalinya 
para tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kami pukul mundur," Ganta 
yang menyambuti. "Anehnya, beberapa hari setelah itu guru kami mendadak 
sakit. Kami panggil dia untuk mengobati guru!" Ganta menudingkan jari 
telunjuknya ke arah kakek tinggi kurus. 

"Dia pun datang. Kemudian memeriksa luka guru kami. Tapi 
hasilnya, bukannya sembuh tapi malah bertambah parah. Guru kami lumpuh 
total setelah diperiksanya! Padahal, ia mengaku sebagai orang yang ahli 
mengobati berbagai macam luka. Tapi nyatanya?! Dia tidak lebih dari 
seorang penipu!" 

"Kalian sabh paham!" sergah kakek tinggi kurus cepat. "Semakin 
parahnya luka Ki Aswatama bukan karena aku salah mengobati. Tapi, atas 
perbuatan mereka juga!" 

Dewa Arak dan Melati terdiam mendengar bantahan kakek tinggi 
kurus. Dalam cerita Ganta dan Kiwul, mereka tidak mendengar adanya orang 
yang melukai Ki Aswatama. Tapi, mengapa kakek tinggi kurus mengatakan 
semakin beratnya luka guru silat itu karena perbuatan seseorang! 

Sebelum Dewa Arak atau Melati mengutarakan perasaan harannya, 
kakek tinggi kurus telah melanjutkan ucapannya. 

"Perlu kalian berdua ketahui, bukannya sombong kalau kukatakan 
luka-luka bagaimanapun dapat kusembuhkan. Banyak orang yang 
membuktikannya sendiri!" 

"Tapi kenyataannya?! Kau tidak bisa membuktikan bualanmu!" 
bantah Ganta dengan suara tinggi. 

"Luka-luka yang diderita Ki Aswatama lain! Luka itu tidak terjadi 
secara wajar. Dia telah menjadi korban ilmu hitam. Ilmu teluh. Tapi kalian 
tetap tidak percaya dan mengerti apalagi menuduhku penipu! Perlu 
kutegaskan sekali lagi. Luka-luka bagaimanapun parahnya, aku yakin dapat 
menyembuhkannya. Tapi luka yang tidak wajar, bukan karena ilmu hitam!" 

Sekarang Dewa Arak sudah mengerti persoalan yang mereka 
hadapi. Itu hanya kesalahpahaman belaka. Memang, kalau menuruti perasaan 
pemuda berambut putih keperakan itu tidak percaya akan cerita kakek tinggi 
kurus. Tapi kenyataan telah mengajarkan padanya bahwa hal-hal mistik itu 
bisa saja terjadi! Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia. 
Namun, toh itu terjadi. Maka meskipun agak ragu Dewa Arak memutuskan 
untuk membantu kakek tinggi kurus. Pemuda berambut putih keperakan itu 
mencoba mempercayai cerita itu. 

"Tenang." Dewa Arak mengangkat tangannya ke atas, mencegah 
pecahnya pertamngan akibat suasana yang mulai memanas. 'Tidak ada 
persoalan yang selesai bila perasaan diletakkan di depan!" 

Rupanya, ucapan Dewa Arak membuat Ganta dan Kiwul serta 
kakek tinggi kurus sadar. Mereka terlihat menahan diri. Tidak menumti nalsu 
amarah seperti sebelumnya. 


*** 

"Mengapa kau bisa mengajukan dugaan kalau Ki Aswatama terkena 
ilmu hitam? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Dewa Arak pada kakek 
tinggi kurus. 

Kakek itu menatap wajah Dewa Arak penuh selidik. "Karena aku 
melihat tanda-tandanya." 

"Bisa beritahukan tanda-tanda yang kau mak sudkan, Ki 
Aswatama?" desak Dewa Arak. 

"Tidak, Anak Muda," jawab kakek tinggi kurus seraya 
menggelengkan kepala. "Sebab, sulit untuk dikatakan. Hanya yang perlu kau 
ketahui, aku pun sedih melihat nasib Ki Aswatama. T api apa daya? Aku tidak 
mampu menolongnya. Meskipun tahu penyebabnya. Apabila kupaksakan 
untuk menolong, pengirim ilmu hitam itu akan murka. Aku pun akan 
dikirimkannya ilmu hitam!" 

"Sekarang persoalannya telah jelas," ucap Dewa Arak tenang. 
"Sebuah kesalahpahaman telah terjadi. Dan...." 

"Masalahnya belum selesai, Kisanak!" sergah Ganta penasaran. 
"Dia belum menjelaskan mengapa luka guru bertambah parah sewaktu 
selesai diperiksanya!" 

"Itu hanya sebuah kebetulan Ganta! Aku yang sial. Di saat aku 
selesai memeriksa, pengirim ilmu hitam itu mengirimkan serangan yang 
lebih kuat" 

Kali ini Dewa Arak mengangguk. Disadarinya kemungkinan besar 
ucapan kakek tinggi kurus itu benar. Arya cukup banyak mengetahui 
mengenai ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal. 

"Menurutku, ucapan itu ada benarnya. Kalau boleh kuusulkan, 
daripada kalian bersusah payah membum kakek ini lebih baik ums dan 
rawatlah guru kalian. Atau salah seorang di antara kalian merawatnya, dan 
seorang lagi mencari ahli obat dapat menyembuhkan penyakitnya." 

Ganta dan Kiwul berpandangan. Usul Dewa Arak ada benarnya. 
Saat itu guru mereka yang tengah sakit keras dan pasti membutuhkan 
seseorang. Mengapa mereka malah meninggalkannya? 

"Terima kasih atas usulanmu, Arya," ucap Kiwul seraya tersenyum. 
"Saranmu benar-benar tepat. Aku khilaf" 

Kemudian Kiwul membalikkan tubuh, dan melesat meninggalkan 
tempat itu diikuti oleh Ganta. Lelaki berdahi lebar itu tidak mengucapkan 
terima kasih. Yang dilakukannya hanya menganggukkan kepala. Itu pun 
sekilas saja. 

Dewa Arak, Melati, dan kakek tinggi kurus memandangi kepergian 
Ganta dan Kiwul hingga tubuh mereka lenyap di kejauhan. 

"Terima kasih atas bantuanmu, Arya. Kalau tidak ada dirimu 
mungkin aku telah menjadi mayat," ucap kakek tinggi kurus penuh rasa 
syukur. 

"Lupakanlah, Ki. Bukankah orang hidup memang harus saling 
tolong-menolong?!" bantah Dewa Arak halus. 

"Lalu.... Sekarang ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Melati yang sejak 
tadi berdiam diri. 

"Tentu saja kembali, Nisanak. Tempat tinggalku tak jauh dari sini. 
Apakah kalian ingin singgah?!" 

"Terima kasih. Sayang, kami masih mempunyai urusan penting 
lainnya. Kami tengah terburu-buru. Tapi, percayalah. Kelak bila ada waktu 
senggang kami akan singgah di tempatmu. Selamat tinggal, Ki!" 

Usai berkata. Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu 
Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu segera diikuti Melati. Sesaat 
kemudian, sepasang muda-mudi berwajah elok itu telah melesat jauh. Sosok 
tubuh mereka semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan. 

"Hhh...!" 

Setelah menghembuskan napas berat, kakek tinggi kurus 
meninggalkan tempat itu pula. Dia kembali menuju tempat tinggalnya. 

Sekejap kemudian, suasana di sekitar tempat itu menjadi hening. 
Tidak ada lagi bunyi benturan senjata atau teriakan keras membahana. Yang 
tersisa hanya kesunyian. 

"Akh!" 

Jerit tertahan bernada kesakitan itu keluar dari mulut Melati. 
Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Kalau Dewa Arak yang berlari di 
sebelahnya tidak segera mengulurkan tangan menangkap bahunya, gadis 
berpak ain putih itu pasti jatuh teijerembab di tanah! 

"Apa yang teijadi. Melati?" tanya Dewa Arak. Rasa kaget dan 
khawatir membias di wajahnya. 

Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah Melati penuh 
selidik. Rasa kaget yang melandanya semakin besar. Wajah gadis itu tampak 
pucat pasi. Butir-butir keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya. 

"Aku juga tidak mengerti, Kakang," jawab Melati dengan bibir 
menyeringai kesakitan. "Tahu-tahu saja paha kananku terasa sakit bukan 
main. Seperti..., ada sebatang tombak yang menusuk di sana." 

Dewa Arak mengarahkan tatapan ke arah paha Melati. Tapi, tidak 
dijumpai tanda-tanda seperti yang dimaksud. Paha Melati masih seperti 
biasa. Tidak terlihat bekas tusukan tombak! Hal itu membuat Dewa Arak 
bertanya-tanya dalam hati. 

"Apakah Melati tidak kelim? Dan rasa seperti yang dikatakannya 
tidak pemah ada? Tapi, kalau tidak, mengapa tiba-tiba tubuh gadis itu 
tersungkur? Tak mungkin dia tersandung kerikil! Lalu, apa sebenarnya yang 
telah teijadi?" 

"Sekarang, coba kau berdiri tegak kembali," ujar Dewa Arak setelah 
beberapa saat termenung 

Pemuda itu kemudian melepaskan pegangannya. Tubuh gadis 
berpakaian putih itu tidak dipapahnya lagi. 

Tanpa banyak membantah. Melati melaksanakan perintah 
kekasihnya. Memang, semula dia berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri. 
Tapi baru saja kaki kanannya diluruskan Melati memekik kesakitan. Dengan 
segera kedudukannya dikembalikan seperti semula, berdiri pada kaki kiri. 

Dewa Arak kaget bukan main melihat kenyataan ini. Dengan jelas 
dilihatnya kaki kanan Melati tidak bisa lurus. Seperti ada sesuatu yang 
mengganjal di sana. Padahal, tidak terlihat sesuatu pun di kaki gadis 
berpakaian putih itu 

"Mengapa, Melati?" tanya Arya cemas seraya memegang bahu 
gadis itu untuk membantunya berdiri. 

"Aku tidak tahu, Kakang," keluh Melati. "Seperti ada sesuatu yang 
menancap di paha kananku hingga tembus!" 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghembuskan napas berat. Dia sedikit pun tidak 
mengerti kejadian yang tengah menimpa kekasihnya. Benaknya diputar 
untuk mencari jawaban. Tapi, tetap tidak diketemukannya. 

Tiba-tiba pemuda berambut putih keperakan itu teringat akan 
mimpi-mimpi buruk yang masih menganggu tidurnya. Perasaan gelisah akan 
keselamatan Melati pun melanda hatinya. Betapapun telah diusahakan untuk 
menghilangkan perasaan itu, tetap saja dia tidak mampu. 

Memang, ada perbedaan antara mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya 
tubuh gadis berpakaian putih itu dililit ular besar yang siap melahap 
kepalanya. Sementara serbuan pedang-pedang merah menyala meluncur 
datang. T api, mimpi-mimpi yang belakangan ini menghias tidurnya tidak lagi 
disertai ular besar. 

Ingatan itu membuat Dewa Arak tersentak. Mengapa sejak bertemu 
Melati ada pengurangan dalam mimpinya? Pemuda berambut putih 
keperakan itu segera menyadari adanya kemungkinan lain di sini. 
Disadarinya mimpi yang dialaminya bukan sekadar bunga tidur. 

Memang, setelah beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam 
dirinya. Dewa Arak merasakan pembahan. Ia dapat merasakan keberadaan 
seseorang di sekitarnya, adanya bahaya yang mengancam, dan sedikit 
mengerti bahasa binatang. 

Karena kesadaran akan pembahan dalam dirinya dan kejadian yang 
sekarang dialami Melati serta teringat kembali akan pengurangan mimpinya. 
Dewa Arak mulai mengambil kesimpulan. Bukan tidak mungkin 
mimpi-mimpi itu merupakan firasat yang didapatnya berkat belalang raksasa 
di alam gaib. 

Sejak semula Dewa Arak memang sudah menduga mimpi-mimpi 
itu bukan sekedar bunga tidur. Tapi, kejaidan yang menimpa Melati 
menjadikannya berpikir lebih sungguh-sungguh. Pemuda itu memutar 
otaknya lebih keras. Sesaat kemudian, Arya telah dapat menemukan 
kesimpulannya. 

Kini, Dewa Arak dapat memperhatikan kalau ular dan 
pedang-pedang yang tertuju ke arah Melati di dalam mimpi itu, dalam 
kenyataan sebenarnya adalah bahaya-bahaya yang tengah mengancam gadis 
itu. Mengenai tidak adanya lagi ular yang membelit Melati, menjadi pertanda 
kalau satu bahaya telah terlewati. Kalau begitu bahaya pertama adalah wanita 
berpakaian merah! 


*** 

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Kakang?" tanya Melati 

bingung. 

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak sadar dari lamunannya. 
Perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian putih. 

"Aku sendiri masih bingung. Melati. Lebih baik kau periksa tempat 
yang terasa sakit. Barangkali saja ada tanda-tanda yang mencurigakan...." 

Wajah pucat Melati langsung memerah. Memeriksa bagian yang 
terasa sakit sama saja dengan melucuti celananya. Bagaimana mungkin hal 
itu di lakukan. Meskipun Dewa Arak kekasihnya, rasa malu terhadap pemuda 
berambut putih keperakan itu tetap ada. 

Dewa Arak rupanya mengerti. Pemuda itu segera mengetahui 
penyebab memerahnya wajah Melati sampai ke kedua telinganya. 

"Kalau begitu, kita cari tempat yang aman," ucap Dewa Arak. 
Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari tempat yang cukup aman. "Nah! 
Kurasa di sana cukup aman!" tunjuk pemuda berambut putih keperakan itu ke 
arah sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak cukup lebat. 

Melati memperhatikan tempat itu sesaat sebelum menganggukkan 
kepala menyetujui. Maka, Dewa Arak pun segera memapah tubuh gadis 
berpakaian putih itu dan membawanya ke sana, ke balik semak-semak dan 
pepohonan. Baru setelah itu, Dewa Arak membalikkan tubuh dan 
membiarkan Melati sendirian memeriksa bagian yang sakit. 

Dewa Arak menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rasanya waktu 
beijalan demikian lambat Dia ingin secepatnya mendengar hasilnya dari 
muhat Melati. Sesaat kemudian.... 

"Akh!" 

Sukma Dewa Arak bagai lenyap dari raga mendengar jerit tertahan 
Melati. Jerit kesakitan! Padahal, yang tengah ditunggunya adalah panggilan 



Melati. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperakan itu 
membalikkan tubuh dan melesat ke tempat Melati berada. 

Saat itulah didengarnya bunyi berdebuk keras. Tanpa melihat lagi 
pun Dewa Arak dapat menerka bunyi itu terjadi karena ambruknya tubuh 
Melati ke tanah. 

"Melati!" 

Teriakan Dewa Arak tercekat di tenggorokan. Kedua kakinya terasa 
lemas. Penyebabnya adalah pemandangan yang terpampang di hadapannya. 
Tubuh Melati tampak tertelungkup di tanah. Meskipun terlihat gerakan dari 
gadis berpakain putih itu, tapi keadaannya menimbulkan rasa khawatir pada 
Dewa Arak 




Menghadapi kenyataan yang tidak disangka-sangka itu Dewa Arak 
terkejut bukan main. Pemuda itu terkesima di depan Melati. Tapi hanya 
sebentar saja. Sesaat kemudian, Arya telah menjatuhkan diri untuk 
memeriksa keadaan Melati. Dewa Arak membalikkan tubuh kekasihnya. 
Tampak wajah Melati sangat pucat. 

"Apa yang teijadi. Melati?" Dengan penuh kekhawatiran Dewa 
Arak mengajukan pertanyaan. Celana Melati yang telah agak terlucuti 
dibetulkannya. Jelas gadis itu telah melaksanakan perintahnya sebelum 
akhirnya menjerit dan terjatuh. Sempat terlihat oleh Dewa Arak paha Melati 
yang putih dan halus. Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya 
luka! 

"Seperti sebelumnya, Kakang! Sepertinya.... ada tombak yang 
menusuk... Kali iri paha kiriku, kakang...," ujar Melati terbata-bata. 

"Apa?!" 

Dewa Arak terpekik kaget. Paha kiri. Itu berarti kedua kaki Melati 
tidak bisa dipergunakan lagi! Meelati lumpuh?! Hampir Dewa Arak tidak 
percaya akan kenyataan ini. 

"Benar, Kakang. Sekarang aku tidak bisa berdiri," lanjut Melati, 
seperti mengetahui apa yang dipikiran dan yang berkecamuk di benak Dewa 
Arak. 

Terdengar bunyi brekerotokan keras seperti tulang-tulang 
berpatahan, ketika dalam kemarahan yang menggelegak tenaga dalam Dewa 
Arak berkeliaran sendiri. 

"Sebenarnya... apakah yang tengah menimpaku, Kakang? Aku 
benar-benar tidak mengerti," ucap Melati sedih. "Kalau kau mengetahuinya, 
katakanlah, Kakang. Jangan biarkan aku dilanda ketidakmengertian seperti 
ini!" 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya 
kuat-kuat. 

"Apakah kau ingat kejadian yang menimpa Ki Aswatama...?!" 

"Maksudmu..., kejadian yang menimpaku sama dengannya, 
Kakang?!" tanya Melati meminta kepastian. 

"Yahhh.... kira-kira begitu Melati." Dewa Arak mengangguk sambil 
menghela napas berat. "Hanya itu jawaban yang paling mungkin. Melati. 
Sebab, tidak mungkin kejadian kejadian yang menimpamu teijadi dengan 
sendirinya. Andaikata pun nanti kenyataan ini tidak benar, setidak-tidaknya 
ada usaha yang telah kita lakukan." 

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Melati ingin tahu. 

Dewa Arak tercenung sejenak. Dahinya berkemyit dalam. 
T ampaknya pemuda itu tengah berpikir. 

"Untuk sementara kita temui dulu Ki Aswatama. Barangkali dia 
telah sembuh. Kita bisa minta pertolongan darinya," jawab Dewa Arak. 

"Mengapa kau tidak mencoba mengobatiku, Kakang?!" 

"Bagaimana aku dapat mengobatimu. Melati. Jenis penyakitmu saja 
tidak kutemukan. Menumt pemeriksaanku, kau sehat-sehat saja." 

"Jadi...?!" Melati menggantung ucapannya di tengah jalan. 

"Seperti yang telah kukatakan tadi, kita akan menjumpai Ki 
Aswatama!" 

Kali ini tidak ada tanggapan dari Melati. Gadis berpakaian putih itu 
tahu keputusan yang diambil kekasihnya biasanya tidak pemah keliru. Jadi, 
diputuskan untuk menerimanya. 

Dewa Arak pun tahu. Maka, tanpa membuang-buang waktu segera 
diangkatnya tubuh Melati. Kemudian dibawanya berlari cepat meninggalkan 
tempat itu. Arya tidak berani bertindak lamban. Disadarinya nyawa Melati 
bagai telur di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bisa saja dia dibunuh! 

Dari pembaritahuan seorang penduduk. Dewa Arak tahu tempat 
kediaman Ki Aswatama. Ganta dan Kiwul ternyata tidak berdusta. Guru 
mereka amat dikenal. Padahal, tempat tinggalnya jauh dari pemukiman 
penduduk. Itu didengar Dewa Arak dari mulut para penduduk. 

Kekhawatiran akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak 
peduli tindakannya membuat kegemparan di tempat-tempat yang dilalui. 
Pemuda berambut putih keperakan itu melalui jalan-jalan utama desa dengan 
menggunakan ilmu lari cepatnya. 

Karuan saja, banyak penduduk yang merinding bulu kuduknya. 
Melihat kelebatan bayangan ungu dalam bentuk yang tidak jelas. Kalau saja 
kejadiannya malam hari mungkin mereka sudah lari tunggang langgang. 

Semakin lama rumah-rumah penduduk yang semula beijajar di 
kanan kiri jalan mulai j arang. Letak rumah yang satu dengan yang lain mulai 
berjauhan. Sampai akhirnya yang tampak di kanan kiri hanya jajaran 
tanaman dan pepohonan. Pemandangan itu dilihat Dewa Arak beberapa saat 
lamanya sebelum di kejauhan tampak sebuah bangunan sederhana. 

T api, pemuda itu kelihatan terkejut. Di depan bangunan itu terdapat 
banyak sosok manusia. Sekali lihat saja Dewa Arak segera tahu sosok-sosok 
itu tengah terlibat pertarungan. Pemandangan itu membuat Dewa Arak 
semakin mempercepat larinya. Arya khawatir akan teijadi hal buruk yang 
tidak diharapkan. 

Kian dekat dengan pondok Ki Aswatama semakin jelas 
pemandangan yang terlihat. Kini pemuda itu bisa mengetahui sosok-sosok 
yang bertarung. Ternyata Ganta dan Kiwul yang melawan serombongan 
orang kekar. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua belas orang! 

Meski masih berada dalam jarak belasan tombak dan hanya 
memperhatikan sekilas, Dewa Arak bisa memperkirakan kekuatan 
masing-masing pihak. Secara perorangan kepandaian Ganta dan Kiwul 
berada di atas lawan-lawannya. T api, karena jumlah lawan jauh lebih banyak, 
murid-murid Ki Aswatama itu terdesak hebat 

Kalau dibiarkan, Ganta dan Kiwul akan tewas di tangan para 
Pengroyoknya. Keadaan mereka sudah demikian mengkhawatirkan. Hampir 
tidak ada serangan balasan yang mereka kirimkan. Kedua orang itu hanya 
mengelak dan menangkis. Kini keduanya telah berada di pintu pondok. Tak 
lama lagi mereka akan didesak masuk! 

Ketidakberadaan Ki Aswatama untuk membantu murid-muridnya 
membuat Dewa Arak merasa heran. Apakah guru silat itu belum sembuh dari 
sa-itnya? 

Namun, Dewa Arak segera membuang pertanyaan itu. Jaraknya 
telah demikian dekat. Dan, dengan sekali jejakan saja, kaki pemuda berambut 
putih keperakan itu telah melesat ke dalam kancah pertarungan. 

"Hih!" 

Di saat tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengibaskan 
tangan kirinya. Serangkum angin besar menyemak membuat tubuh para 
pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin 
badai! Senjata-senjata mereka berlepasan dari genggaman. 

Untung, Dewa Arak tidak bermaksud menjatuhkan tangan maut. 
Kibasannya itu hanya untuk melontarkan tubuh lawan-lawannya, tanpa 
melukai. Hal itu dilakukan Arya karena belum mengetahui permasalahan 
mereka. Siapa yang salah dan yang benar belum jelas. 

Ringan bagai daun kering. Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya 
di antara murid-murid Ki Aswatama dan para pengeroyoknya yang 
bergelimpangan di tanah. 

"Arya....!" 

Kiwul dan Ganta berseru hampir bersamaan ketika melihat sosok 
yang berdiri membelakangi mereka. Sosok yang telah menyelamatkan nyawa 
mereka. Meskipun hanya melihat bagian belakang tubuh Dewa Arak, kedua 
murid Ki Aswatama bisa mengenali. Ciri-ciri Arya memang terlalu 
menyolok! 

Dewa Arak membalikkan tubuh seraya menyunggingkan senyum. 

"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak mungkin kami 
sudah tewas di tangan mereka," ucap Kiwul dengan gembira. 

"Lupakanlah, Kiwul. O, ya, siapa mereka? Mengapa kalian terlibat 
pertarungan dengannya?!" tanya Dewa Arak ingin tahu. 

Kiwul dan Ganta menatap sosok-sosok kekar yang tengah bems aha 
bangkit. Terlihat jelas kegeraman dalam pandang mata mereka. 

"Mereka adalah orang-orang yang kuceritakan padamu, Arya." 

"Ah!" sem Arya kaget. "Jadi..., mereka adalah anak buah Juragan 
Trestaj umena Geni ?!" 

"Benar." Kali ini Ganta yang menjawab seraya menganggukkan 
kepala. "Rupanya, mereka merasa penasaran dengan kekalahan yang mereka 
terima beberapa hari yang lalu. Sekarang mereka datang lagi. Anehnya, 
mereka seperti mengetahui kalau sekarang guru kami tidak dapat membantu. 
Dan.... Awas, Arya!" 

Dengan terpaksa Ganta menghentikan ceritanya di tengah jalan. 
Saat itu dilihatnya rombongan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena 
Geni meluruk ke arah Dewa Arak Golok dan pedang diayunkan deras ke arah 
berbagai bagian tubuh Dewa Arak. 

Sebenarnya, peringatan Ganta hampir tidak berguna. Tanpa 
diberitahukan pun Dewa Arak telah mengetahui serangan itu. Memang, 
pemuda itu tidak melihat. Tapi, telinganya yang tajam menangkap desir 
angin yang menyambar deras ke arahnya. 

Karena itu, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera 
membalikkan tubuh. Dengan tangan kirinya, dihadapinya semua serangan 
yang mengancam. 

Tak, tak, takkkk! 

Bunyi berdetak keras seperti benda-benda logam berbenturan 
terdengar berkali-kali. Tangan kiri Dewa Arak beradu dengan senjata-senjata 
lawan! Dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat 
sempurna. Dewa Arak mampu membuat tangannya tak kalah kuat dengan 
besi baja! 

Melihat Ganta dan Km’uI terdesak. Dewa Arak segera melesat ke 
dalam kancah pertarungan. . 

"Hih!" 

Dewa Arak langsung mengibaskan tangan kiri nya. Serangkum 
angin besar menyemak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul 
terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! 


Akibatnya tidak berhenti hanya sampai di situ. Jerit tertahan pun 
keluar dari mulut para pengeroyok Arya. Mereka merasakan tangan yang 
menggenggam senjata terasa sakit dan hampir lumpuh! Tubuh mereka pun 
terhuyung-huyung ke belakang. 

Di saat itulah Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Untuk kedua 
kalinya berhembus angin yang sangat kuat. Bahkan, jauh lebih dahsyat dari 
sebelumnya. Tubuh anak buah Juragan Trestajumena Geni melayang-layang 
ke belakang seperti daun kering dipermainkan angin. 

Semua kejadian itu dilihat jelas oleh Ganta dan Kiwul. Kalau tidak 
melihat sendiri, mereka tidak akan percaya. Belasan tukang pukul Juragan 
Trestajumena Geni dibuat tak berdaya oleh Dewa Arak hanya dalam 
segebrakan! Begitu tinggikah kepandaian pemuda berambut putih keperakan 
ini? 

Kenyataan yang mengejutkan hati itu membuat murtd murid K1 
Aswatama terkesima. Sampai Dewa Arak membalikkan tubuh dan 
mengalihkan perhatian ke arah mereka, Ganta dan Kiwul tetap terpana. 


"Ehm!" 

Dewa Arak terpaksa berdehem agak keras untuk menyadarkan 
kedua murid Ki Aswatama dari terkesimanya. Dan memang, usaha pemuda 
berambut putih keperakan ini tidak sia-sia. 

"Eh,... Oh..!" 

Hanya itu yang keluar dari mulut Ganta dan Kiwul. 

"Jadi.... Guru kalian belum sembuh?" Dewa Arak segera 
mengajukan pertanyaan. Tak peduli pada sikap salah tingkah Ganta dan 
Kiwul. 

"Be... belum," jawab Kiwul agak terbata-bata. 

"Bahkan keadaannya semakin parah, Arya," tambah Ganta. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat. Lenyap sudah harapannya untuk 
mendapatkan kesembuhan bagi Melati. Tapi, tidak seluruhnya. Disadarinya 
kalau Ki Aswatama merupakan kunci untuk mengetahui siapa pelaku 
kejahatan terhadap Melati. Bukankah guru silat itu menerima kiriman ilmu 
hitam? Dewa Arak yakin kalau tindak kejahatan itu orang yang sama. Saat 
itulah Ganta dan Kiwul melihat sosok yang berada di bahu kanan Dewa Arak. 

"Apa yang teijadi dengannya, Arya? Bukankah dia kawan 
sepeijalananmu?" tanya Kiwul seraya menudingkan jari telunjuknya. 

"Panjang ceritanya, Kiwul," jawab Dewa Arak singkat. "Sayang 
sekali aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Aku minta maaf 
Sebab, keadaannya sudah sangat mendesak." 

"Kami bisa mengerti, Arya," jawab Ganta mencoba bijaksana. 

"Terima kasih, Ganta." Arya gembira dengan tanggapan yang 
mereka berikan. "Bisa aku melihat keadaan guru kalian?" 

"Mengapa tidak?" jawab Ganta dan Kiwul bersamaan. 

Dua murid Ki Aswatama itu segera mendahului melangkah masuk. 
Dewa Arak mengikuti di belakangnya. Sekilas pemuda berambut putih 
keperakan itu sempat melempar pandang ke arah rombongan tukang pukul 
Juragan Trestajumena Geni. 

Setelah berhasil bangkit, mereka segera kabur meninggalkan tempat 
itu. Agaknya, mereka menyadari kalau Dewa Arak lawan yang tidak bisa 
dihadapi. Sambil sesekali menoleh ke belakang, rombongan anak buah 
Juragan Trestajumena Geni berlari tunggang langgang. Tapi, kekhawatiran 
mereka tidak terbukti. Dewa Arak tidak mempedulikan mereka, dan masuk 
ke dalam pondok Kiwul. 

"Beginilah keadaan guru kami, Arya." 

Dewa Arak memandang sosok yang terbariring di balai-balai 
bambu. Dia adalah seorang lelaki tua. Tubuhnya tinggi besar. Kumis tebal 
melintang menghias wajahnya. Sayang, keangkeran sosok itu tertutup oleh 
sorot matanya yang sayu Jelas, kakek tinggi besar itu tengah menderita sakit. 

"Aku turut prihatin atas peristiwa yang menimpamu. Ki 
Aswatama." Hanya itu yang dapat dikatakan Dewa Arak 

Ki Aswatama mencoba membentuk senyuman di bibir. Tapi rasa 
sakit yang melanda menggagalkannya. Justm yang tampak adalah seringai 
kesakitan. 

"Terima kasih. Anak Muda. Ganta dan telah banyak bercerita 
mengenai dirimu. Keadaanmu mengingatkanku akan seorang pendekar muda 
yang namanya saat ini tengah menggetarkan dunia persilatan. Apakah kau 
orangnya. Anak Muda? Kudengar nama yang kau sebut pun memiliki 
kemiripan. Arya?" Meski agak terputus-putus, Ki Aswatama berhasil 
menyelesaikan ucapannya. 

Dewa Arak menganggukkan kepala. Pemuda itu tahu tokoh yang 
dimaksud guru silat Desa Palung ini. Pasti Dewa Arak! Dan pemuda 
berambut putih keperakan ini tidak tega membohongi orang yang tengah di 
ambang kematian. 

"Dugaanmu tidak keliru, Ki Aswatama. Memang, orang-orang 
persilatan menjulukiku Dewa Arak." 

Sekilas sepasang mata tua Ki Aswatama berbinar-binar. "Sungguh 
suatu kebahagian yang besar bertemu denganmu sebelum nyawaku pergi me¬ 
ninggalkan raga. Dewa Arak." 

"Kau terlalu berlebihan, Ki Aswatama. Aku hanya seorang pemuda 
biasa yang memiliki banyak keterbatas an. Kedatang anku kemari pun karena 
ingin meminta pertolongan padamu." Dewa Arak langsung pada pokok 
persoalan, karena khawatir kakek tinggi besar itu keburu tewas. 

"Katakanlah, Dewa Arak. Aku akan berbahagia sekali bila dapat 
membantumu. Ini sungguh di luar dugaanku!" 

Dewa Arak tidak buru-buru mengajukan permasalahannya. 
Benaknya diputar untuk mencari kata-kata yang tepat. Sementara Ganta dan 
Kiwul diam saja. Tidak sedikit pun mereka tampak kaget. Bahkan, ketika 
Dewa Arak menyebutkan julukannya. Mereka belum pernah mendengar 
julukan seperti itu. Letak desa ini memang agak terpencil. Jauh terpisah dari 
desa-desa lainnya. 

Dengan tidak adanya tanggapan dari Ganta dan Kiwul, Ki 
Aswatama dan Dewa Arak jadi leluasa melanjutkan pembicaraan. Sekarang, 
pemuda berambut putih keperakan itu sudah berhasil menemukan kata-kata 
yang tepat. 

"Begini, Ki Aswatama. Kudengar kau menderita sakit yang aneh. 
Apakah betul demikian?" tanya Dewa Arak hati-hati. 

"Benar," jawab Ki Aswatama singkat. 

"Bisa kau jelaskan keanehannya, Ki Aswatama?" desak Arya lebih 

jauh. 

"Hhh...!" Ki Aswatama menghela napas. "Aku tidak pemah terkena 
serangan lawan. Tapi, tahu-tahu saja beberapa hari yang lalu seperti ada 
benda tajam, tombak atau sejenis itu, menembus kedua pahaku. Saat itu aku 
tengah berdiri. Tak pelak lagi, aku jatuh tersungkur. Dan sejak saat itu aku 
lumpuh...!" 

Wajah Dewa Arak langsung memucat. Kejadian yang menimpa Ki 
Aswatama ternyata sama dengan Melati. Pemuda berambut putih keperakan 
itu merasa khawatir kekasihnya akan mengalami nasib seperti kakek tinggi 
besar itu. Meskipun demikian, ada harapan menyala di dalam dada Dewa 
Arak. Sebab, sudah dapat diketahui kalau pelaku tindak keji itu adalah orang 
yang sama. Dengan demikian, Arya bisa melacaknya dari Ki Aswatama! 





Seiring dengan timbulnya semangat itu, keraguan Arya pun 
menyemak. Siapa orang yang sampai hati berbuat seperti itu? Dan mengapa 
hal itu dilakukannya? 

"Semula kucoba mengobati penyakit ini sendiri," lanjutnya, 
membuat Dewa Arak menghentikan lamunannya. "Tapi tidak berhasil. Lalu, 
kusuruh Ganta dan Kiwul memanggil ahli obat ternama di desa-desa sekitar 
sini" 

Kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk 
mengatur napasnya yang terlihat terengah-engah. Meskipun hanya bercerita, 
keadaannya yang buruk itu cukup menguras tenaganya. 

"Tapi ahli obat itu ternyata tidak mampu menyembuhkan 
penyakitku. Katanya, aku bukan terkena penyakit atau luka biasa. Tapi luka 
akibat ilmu hitam Ilmu teluh. Kebetulan dia mempunyai sedikit pengetahuan 
tentang ilmu itu.Tapi, sayangnya dia tidak bisa mengobati penyakitku." 

"Apa saja yang diceritakannya mengenai ilmu teluh itu, Ki?" tanya 
Dewa Arak. 

"Cukup banyak. Katanya, tokoh yang mengirimkan penyakit ini 
bermaksud menyiksaku. Dia ingin melihatku mati secara pelahan-lahan. 
Karena kalau dia ingin membunuhku, dengan mudah hal itu dapat 
dilakukannya," jeals Ki Aswatama. 

Cerita Ki Aswatama membuat Dewa Arak merasa ngeri bukan 
main. Nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk Kalau orang itu 
menginginkannya, dengan mudah nyawa Melati dibuat melayang! 

"Apakah orang yang kau panggul itu juga mengalami nasib 
sepertiku?" tanya Ki Aswatama seraya mengarahkan pandangan kepada 
tubuh Melati yang berada di bahu kanan Dewa Arak 

"Yahhh...," jawab Arya setengah mendesah. "Kedua kakinya 
dilumpuhkan..." 

"Keji!" seru Ki Aswatama agak keras. "Orang semuda itu harus 
menerima kenyataan demikian. Hati-hatilah, Dewa Arak. Kekejian itu masih 
berlanjut. Tokoh itu melakukannya secara bertahap. Aku yakin dia akan 
melumpuhkan kedua tangannya seperti yang dilakukannya terhadapku!" 

"Jahanam!" Dewa Arak berteriak hingga pondok itu tergetar hebat. 
Bahkan, Ganta dan Kiwul sampai terjingkat kaget 'Tidak akan kubiarkan hal 
ini teijadi! Tak akan!" 

Sepasang mata Dewa Arak mencorong tajam, menyorotkan sinar 
kehijauan bagai mata harimau dalam gelap! Mengerikan! Ganta, Kiwul dan 
Ki Aswatama tak terasa bergidik melihatnya. Mereka tahu pemuda berambut 
putih keperakan itu tengah dilanda kemarahan hebat! 

"Boleh aku mengajukan pertanyaan lagi, Ki?!" tanya Dewa Arak 
dengan suara bergetar karena amarah yang masih bergelora. 

Ki Aswatama mengangguk. Wibawa yang memancar dari diri Dewa 
Arak ketika pemuda berambut putih keperakan itu murka membuat lidah 
kakek tinggi besar itu kelu. 

"Apakah kau bisa memperkirakan orang yang telah melakukan 
kekejian terhadapmu?!" 

"Kalau kau tanyakan orang yang telah melakukan perbuatan ini, 
terus terang aku tidak tahu. T api bila kau menanyakan orang yang berad a di 
balik semua ini, aku dapat memberikan jawabannya. Sebab, banyak 
bukti-bukti yang menguatkannya." 

Dahi Dewa Arak berkernyit sebentar. "Aku mengerti maksdumu, 
Ki. Bukankah kau ingin mengatakan kalau pelaku perbuatan keji ini hanya 
orang suruhan?!" 

"Begitulah, Dewa Arak," jawab Ki Aswatama yakin. 

"Kalau begitu siapa orang yang berdiri di belakang layar itu, Ki?!" 
desak Arya penasaran. 

"Juragan Trestajumena Geni!" tagas kakek tinggi besar itu mantap. 

Sepasang alis Dewa Arak berkerut dalam. 

"Apakah kau mempunyai alasan yang kuat sehingga melontarkan 
tuduhan seperti itu terhadapnya?" 

"Banyak alasannya. Dewa Arak! Pertama, aku adalah hambatannya 
dalam melakukan tindak kdcejian terhadap penduduk desa. Dan mungkin 
dianggapnya berbahaya. Terbukti dengan ketidak-berhasilannya 
menumpasku sewaktu mengirim orang-orangnya kemari. Tapi alasan lebih 
kuat yang membuat kecurigaanku terhadapnya semakin keras adalah sikap 
anak buahnya ketika tadi datang ke sini. Apakah Ganta dan Kiwul belum 
menceritakannya kep adamu?!" 

Dewa Arak mengalihkan pandangannya ke arah dua murid Ki 
Aswatama deng an sorot mata penuh pertanyaan. 

"Sudah, Guru. Kami telah memberitahukannya," jawab Ganta 
mendahului rekannya. "Tapi tidak ada salahnya kalau kami ulangi lagi, biar 
jelas. Mungkin tadi Arya tidak terlalu memperhatikannya." 

"Kecurigaan kami semakin menguat karena sewaktu datang tadi, 
rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni langsung menantang 
kami. Katanya, kami tidak akan sebemntung dulu lagi. Karena tidak ada 
orang yang akan membela kami. Jumlah mereka pun menambah keanehan 
itu. Dengan jumlah sedikitmereka ingin meringkus kami. Beberapa hari yang 
lalu, di waktu dihajar tunggang-langgang oleh kami bertiga, jumlah mereka 
jauh lebih banyak. Paling tidak dua kali lipat dari sekarang," urai Kiwul 
panjang lebar. 

"Mungkin benar jumlah mereka berkurang. Tapi, kemampuan 
perorangannya jauh di atas penyerang-penyerang yang dulu," timpal Dewa 
Arak mengemukakan pendapatnya. 

"Tidak, Arya," jawab Kiwul bersikeras. "Semua penyerbu yang tadi 
adalah orang-orang yang melakukan penyerangan beberapa waktu yang 
lalu." 

"Kalau begitu, aku akan pergi dulu, Ki," ucap Arya setelah 
termenung sesaat 

"Mengapa tergesa-gesa. Dewa Arak? Ke mana kau akan pergi?" 
tanya Ki Aswatama kaget melihat keputusan Dewa Arak yang begitu 
mendadak. 

"Mendatangi Juragan Trestajumena Geni, Ki. Aku akan mengorek 
keterangan dari mulutnya. Benarkah dia yang berdiri di belakang semua ini? 
Kalau benar demikian, mudah-mudahan masalah ini akan tuntas. Selamat 
tinggal, Ki!" Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu. 

"Selamat jalan. Dewa Arak! Semoga berhasil!" seru Ki Aswatama 
agak mengeraskan suaranya agar terdengar. 

*** 

Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mencari tempat kediaman 
Juragan Trestajumena Geni. Karena tadi sewaktu menuju tempat tinggal Ki 
Aswatama, Arya telah melewatinya. Orang terkaya di beberapa desa itu 
tinggal di rumah yang mewah dan megah, terkurung pagar batu tinggi. Tak 
kurang dari satu setengah tombak tingginya. 

"Berhenti!" 

Hardikan keras disertai todongan dua batang tombak membuat 
Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Pemuda berambut putih 
keperakan itu telah berada di depan pintu gerbang rumah Juragan 
Trestajumena Geni. Dua orang lelaki menjaga pintu gerbang. 
Penjaga-penjaga itu bertubuh kekar dan berwajah kasar. Yang menghardik 
Dewa Arak mempunyai tompel besar di pipi kanan. 

"Siapa kau? Dan apa keperluanmu kemari?" tanya penjaga satunya 
lagi, yang berkepala botak. Suaranya tak kalah bengis dari rekannya. 

Dua orang penjaga itu memang tidak termasuk orang-orang yang 
melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Ki Aswatama. Karena itu, mereka 
tidak mengenal Dewa Arak! 

Dewa Arak tengah mengejar waktu. Karuan saja, Arya jengkel 
mendapat hambatan seperti itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk 
bermain-main. Maka, tangan kirinya segera dikibaskan. 

"Wuaaa!" 

Dua orang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu menjerit 
ngeri. Tubuh mereka tiba-tiba melayang. Padahal, keduanya yakin Dewa 
Arak tidak menyentuh tubuh mereka. Penjaga-penjaga itu hanya merasakan 
angin dahsyat berhembus kencang. Dan, itu teijadi ketika Dewa Arak 
mengibaskan tangannya. 

Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan nasib kedua penjaga itu. 
Dengan sekali lesatan Aiya berhasil melewati pintu gerbang. Kini, pemuda 
berambut putih keperakan itu telah berada di halaman depan yang luas. Di 
kanan dan kiri yang berdekatan dengan tembok tampak membentang 
hamparan bunga-bunga indah. 

Dewa Arak tertegun kebingungan. Di hadapannya terdapat 
beberapa bangunan megah. Tapi yang paling mewah dan besar adalah 
bangunan yang te-letak di bagian tengah. "Rupanya, ini bangunan induk. Di 
sinilah Juragan Trestajumena Geni tinggal," bisik Dewa Arak dalah hati. 

Kedatangan Arya ternyata segera diketahui oleh tukang-tukang 
pukul Juragan Trestajumena Geni. Itu terjadi karena hampir di setiap sudut 
terdapat mereka. 

"Penyelundup...! Ada penyelundup...!" 

"Kepuuung...! Jangan biarkan lolos...!" 

Teriakan-teriakan keras terdengar saling bersahutan. Sesaat 
kemudian, derap kaki-kaki yang berlari menghantam bumi menyambuti. 
Hanya dalam sekejap Dewa Arak telah dikurung. Sementara pemuda 
berambut putih keperakan itu tetap berdiri di tempatnya. 

Meskipun telah terkurung Dewa Arak tetap bersikap tenang. 
Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari memperhatikan para 
pengepungnya. Tatapan pemuda itu berhenti di depan pintu bangunan 
termegah. Di sana berdiri seorang lelaki berpakaian indah. Dua orang 
bertampang angker berada di kanan kirinya. Sementara dua orang lagi 
beijaga-jaga di anak tangga terbawah yang menuju ke pintu bangunan megah 
itu. 

Tanpa diberitahu Dewa Arak sudah bisa menduga siapa lelaki 
berpakaian indah itu. Pasti Juragan Trestajumena Geni! Sayang, pemuda 
berambut putih keperakan itu tidak bisa terlalu lama memperhatikannya. 
Kaien a.... 

"Siapa kau. Keparat! Sungguh berani menyatroni tempat tinggal 
Juragan Trestajumena Geni!" tuding seorang lelaki pendek kekar yang 
berada tepat di depan Dewa Arak. Melihat tindak-tanduknya, kedudukannya 
tentu tidak sama dengan yang lainnya. 

"Dialah orang yang kami ceritakan itu, Pratala!" teriak salah 
seorang di antara para pengepung. 

"Benar!" sambung yang lainnya. 

"Betul!" Satu suara lagi memberikan dukungan. "Dia lihai sekali!" 

Lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Pratala menggertakkan 
gigi. Lelaki itu geram bukan main begitu mengetahui sosok yang berdiri di 
hadapannya orang yang telah menggagalkan rencana melenyapkan Ganta 
dan Kiwul. Sebab, dirinya yang mendapat teguran dari Juragan Trestajumena 
Geni. Karena dialah yang menjadi pimpinan tukang-tukang pukul Juragan 
Trestajumena Geni. 

"Kalau begitu, bunuh dia!" sem Pratala keras. 

Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul Juragan 
Trestajumena Geni yang telah mengepung Dewa Arak langsung melancarkan 
serangan. Senjata yang sejak tadi terhunus di tangan diayunkan ke arah 
sasaran. 

Sing, sing, wukkk! 

Bunyi-bunyi tajam mengiris telinga mengawali tibanya hujan 
berbagai macam senjata. 

Dewa Arak tetap tenang. Ditunggunya hingga semua serangan 
menyambar dekat. Setelah itu Arya baru bertindak. Dengan ilmu 
meringankan tubuhnya, pemuda berambut putih keperakan itu mengelakkan 
setiap serangan. Tubuhnya berkelebatan di antara senjata lawan. 

Pratala geram bukan main melihat Dewa Arak mampu meloloskan 
diri. Lincah bagai kera Dewa Arak berkelebatan di sela-sela hujan serangan! 

Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Namun, tidak berlangsung 
seimbang. Terbukti, beberapa gebrakan kemudian ketika Dewa Arak mulai 
melancarkan serangan. Jerit kesakitan mengiringi berpentalannya tubuh 
tukang pukul Juragan Trestajumena Geni satu demi satu! 

"Haaat...!" 

Pratala yang sangat murka melompat menegang Dewa Arak. Golok 
besar yang menjadi senjata andalannya diayunkan ke kepala Aiya. Bila 
berhasil mengenai sasaran, lelaki pendek kekar itu yakin tubuh Arya akan 
terbelah menjadi dua. 

Tapi, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Padahal pada saat itu 
tubuhnya tengah berada di udara. Dengan tenang tangan kirinya dipalangkan 
di atas kepala. Pemuda itu memapaki bacokan golok Pratala dengan 
pergelangan tangan! 

Takkk! 

Bunyi keras terdengar. Golok Pratala berbenturan dengan tangan 
Dewa Arak yang terlindungi tenaga dalam kuat. Seketika itu pula, golok itu 
terpental balik. Pratala merasakan tangannya panas dan sakit, sehingga 
hampir-hampir senjatanya terlepas dari cekalan. 

Sementara Dewa Arak sedikit pun tidak mengalami kejadian yang 
merugikan. Tangannya tetap utuh. Jangankah putus, tergores pun tidak. 
Malah, dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya dihantamkan ke arah dada 
Pratala. 

Pemimpin tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu terkejut 
bukan main. Dia menyadari adanya bahaya yang mengancam. Tapi saat itu 
kedudukan tubuhnya tidak menguntungkan. Dia masih berada di udara. 
Meskipun demikian, diusahakan sebisanya untuk mengelak. Dan.... 

Plakkk! 

"Huakh...!" 

Pratala melolong ketika telapak tangan kiri Dewa Arak dengan telak 
menghantam sasaran. Bunyi berdetak keras tulang-tulang patah langsung 
terdengar. Darah segar menyembur dari mulut pimpinan tukang-tukang 
pukul Juragan Trestajumena Geni. Dan tubuhnya melayang meninggalkan 
raga. 

Kejadian ini tidak hanya mengejutkan tukang tukang pukul Juragan 
Trestajumena Geni. Tapi juga Juragan Trestajumena Geni sendiri. Dan 
sebelum keterkejutan mereka sima, dengan sekali lesatan Dewa Arak 
berhasil keluar dari kepungan. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu 
melesat cepat ke arah Juragan Trestajumena Geni! 

Tindakan Dewa Arak membuat semua mata yang ada di situ 
terbelalak lebar. Tindakan pemuda itu benar-benar menggiriskan hati. Anak 
tangga yang beijumlah belasan langsung dilewatinya. Sekejap kemudian 
Arya telah berada di puncak! Satu tombak di hadapan Juragan Trestajumena 
Geni. 

Kejadian tak disangka-sangka ini membuat tukang-tukang pukul 
Juragan Trestajumena Geni kelabakan. Berbondong-bondong mereka berlari 
mengejar Dewa Arak. Demikian pula dua tukang pukul yang berjaga di anak 
tangga terbawah. Mereka berlari-lari melewati anak tangga untuk 
menyelamatkan nyawa majikannya. 

Tapi, tindakan mereka kalah cepat oleh dua orang berwajah angker 
yang berada di kanan kiri Juragan Trestajumena Geni. Secepat kilat 
keduanya mencabut pedang yang tergantung di punggung. Kemudian 
menyerang Dewa Arak bagai harimau luka. 

Sing, sing! 

Kedua pedang itu meluncur ke arah leher dan ulu hati Dewa Arak! 
Arya tahu serangan kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan 



serangan-serangan sebelumnya. Tenaga dalam serangan itu jauh lebih kuat 
dari Pratala, Ganta maupun Kiwul. 

Tapi semua itu bukan berarti Dewa Arak menjadi gentar. Waktu 
yang mendesak membuat Arya tak ragu-ragu lagi mengerahkan selumh 
kemampuannya. Cepat kakinya dijejakkan. Hingga, tubuhnya melayang ke 
atas. Tak pelak lagi, serangan kedua pedang itu menyambar lewat di bawah 
kakinya. 

Di saat tubuhnya berada di udara itulah Dewa Arak bertindak. 
Tangan dan kakinya digerakkan dengan cepat ke arah kedua lawannya. 




Bukkk! Dukkk! 

"Akh, akh!" 

Dua lelaki berwajah garang itu menjerit tertahan ketika kaki dan 
tangan Dewa Arak mendarat telak di dada dan tengkuk mereka. 

Tulang dada itu hancur berantakan. Sedang leher kawannya 
langsung patah. Saat itu juga nyawa kedua pengawal kepercayaan Juragan 
Trestajumena Geni melayang ke alam baka. Tubuh keduanya ambruk ke 
tanah. 

Semua kejadian itu berlangsung di depan mata Juragan 
Trestajumena Geni. Karuan saja, lelaki berpakaian mewah itu ketakutan 
bukan main. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan berlari ke dalam. Tapi.... 

Langkah Juragan Trestajumena Geni langsung terhenti. Mendadak 
Dewa Arak berdiri di hadapannya. Dengan sikap kalap juragan itu berbalik 
kembali. Tapi, sebelum maksudnya teriaksana Dewa Arak telah 
mengulurkan tangan. Dan.... 

Kreppp! 

"Akh, ekh!" 

Napas Juragan Trestajumena Geni tersengal-senggal saat tangan 
Dewa Arak mencekal leher bajunya, dan mengangkatnya ke atas tanpa 
kesulitan yang berarti. 

"Kau tidak usah takut. Tuan Saudagar! Percayalah, aku tidak akan 
membunuhmu asal kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Kau 
bersedia?!" tanya Dewa Arak dengan garang. 

Juragan Trestajumena Geni hanya dapat mengangguk-anggukan 
kepala menyetujui tawaran yang diajukan Dewa Arak Rasa takut yang 
mencekam membuat lidahnya terasa kelu, sehingga sukar untuk berbicara. 
Dewa Arak lalu menurunkan tubuh lelaki berpakaian mewah itu dan 
melepaskan cekalannya. 

"Awas! Jangan sekali-kali kau berbohong padaku. Bila hal itu kau 
lakukan, ke mana pun kau bersembunyi akan kucari. Dan..., kau tidak akan 
mati dengan enak!" ancam Dewa Arak sungguh-sungguh. 

Kekhawatiran yang sangat akan keselamatan Melati membuat Dewa 
Arak tidak main-main. Sengaja ditunjukkannya sikap keras agar 
lawan-lawannya tidak berani bertindak sembarangan. Patut dimaklumi 
kecemasan hati pemuda berambut putih keperakan itu. Sebab, luka yang 
diderita Melati semakin bertambah parah. Tangan kananya kini lumpuh! 

"Aku beijanji akan berkata sejujurnya. Tapi, apakah kau 
benar-benar akan menepati janjimu?!" Khawatir dengan keselamatan 
nyawanya. Juragan Trestajumena Geni memberanikan diri mengeluarkan 
pertanyaan itu. 

"Jangan samakan aku dengan kalian. Bagiku sebuah janji lebih 
berharga dari nyawa!" tandas Dewa Arak tegas. 

"Tapi, aku masih belum yakin kalau kau belum mengucapkannya,," 
desak Juragan Trestajumena Geni. 

"Baik! Dengar baik-baik. Demi kehormatanku, aku bersumpah 
tidak akan membunuh Juragan Trestajumena Geni bila dia bersedia 
menjawab pertanyaanku dengan jujur!" 

"Sekarang aku percaya," sambut Juragan Trestajumena Geni. "Dan 
ingat. Anak Mua. Orang-orang yang berada di belakangku menjadi saksi 
sumpahmu." 

"Aku tahu," sahut Dewa Arak tak sabar, setelah mengerling sejenak 
ke arah rombongan tukang pukul yang telah berada di belakang Juragan Tres 
tajumena Geni. "Sekarang giliranku. Tuan Saudagar." 

"Silakan," jawab Juragan Trestajumena Geni 

"Benarkah kau yang menyuruh orang untuk membuat Ki Aswatama 

sakit?" 

Juragan Trestajumena Geni tertegun. Terlihat jelas dia merasa ragu 
untuk menjawabnya. Tentu saja. Dewa Arak mengetahuinya. 

"Tidak usah ragu-ragu. Tuan Saudagar, bigat sumpah yang 
kuucapkan!" sambung Dewa Arak cepat 

"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni meng-hela napas panjang. 

"Benar." 

"Benarkah orang yang kau sumh itu menggunakan ilmu hitam?" 
kejar Dewa Arak. 

Juragan Trestajumena Geni mengangguk. 

"Apakah selain terhadap Ki Aswatama kau memberikan perintah 
untuk menyakiti orang lain?" tanya Dewa Arak lagi, agak bergetar suaranya 
karena perasaan tegang yang melanda. 

"Tidak!" jawab Juragan Trestajumena Geni mantap. "Aku hanya 
mendendam pada Ki Aswatama. Hanya pada dialah kuberikan perintah untuk 
mengirimkan serangan gaib!" 

"Kau yakin. Tuan Saudagar?" kejar Dewa Arak setengah tidak 
percaya. Seraya menatap lelaki berpakaian mewah itu tepat pada kedua bola 
matanya. Ingin diketahuinya kejujuran juragan itu lewat sinar matanya. 

"Aku berkata dengan sejujurnya. Anak Muda!" tandas Juragan 
Trestajumena Geni sedikit tidak senang. 

Dewa Arak pun terdiam. Dirasakan kesungguhan dalam ucapan dan 
sikap lelaki berpakaian mewah itu. Dan Arya percaya Juragan Trestajumena 
Geni tidak berbohong. 

"Pertanyaan terakhir. Tuan Saudagar. Siapakah orang yang telah 
mengirimkan serangan gaib itu? Dan di mana tempat tinggalnya?" 

Seketika itu pula selebar wajah Juragan Trestajumena Geni berubah. 
Pucat pasi bagai tak berdarah. Tampaknya, pertanyaan itu mengejutkan 
hatinya. 

Dewa Arak bukan orang bodoh. Pemuda itu tahu Juragan 
Trestajumena Geni merasa cemas untuk menjawabnya. 

"Waktuku tidak banyak. Tuan Saudagar. Cepat berikan jawaban. 
Atau..., terpaksa aku turun tangan untukmencabut nyawamu?!" ancam Dewa 
Arak dengan sungguh-sungguh. 

Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir Juragan 
Trestajumena Geni tidak berani memberikan jawaban. Jika hal itu terjadi, 
habislah harapannya. Terpaksa dia mulai dari awal lagi. Dan mungkin Melati 
telah kebum tewas. 

Rupanya, gertakan Dewa Arak manjur juga. Meskipun dengan 
takut-takut Juragan Trestajumena Geni mau juga membuka mulutnya. 

"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa dia. Anak Muda. Yang jelas, dia 
seorang ahli ilmu hitam. Mungkin dukun. Salah seorang anak buahku yang 
memberitahuku mengenai dia. Namanya Mbah Lulur Jagad. Tinggal di 
puncak Bukit Rajang. Di sana ada sebuah gua. Itulah tempat tinggalnya," urai 
Juragan Trestajumena Geni. 

Dewa Arak mengingat semua keterangan Juragan Trestajumena 
Geni. Kemudian, setelah yakin tidak ada yang ditanyakan lagi, Arya melesat 
meninggalkan tempat itu. 

Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. 
Sehingga meskipun Juragan Trestajumena Geni dan tukang-tukang pukulnya 
sejak tadi mengawasi, hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tidak 
jelas. Bayangan itu melesat ke arah pintu gerbang. Dengan sekejap sosok 
tubuh itu telah berada di luar dan tems melesat pergi. 

"Hhh...!" 

Juragan Trestajumena Geni menghela napas lega melihat Dewa 
Arak memenuhi janjinya. Dengan langkah lesu tubuhnya dibalikkan. 
Kemudian kakinya melangkah memasuki bangunan induk. Sementara 
tukang-tukang pukulnya tanpa diperintah lagi mengurus rakan-rekan mereka 
yang terluka maupun tewas. 

"Keparat!" 

Makian keras penuh kemarahan keluar dari mulut seorang nenek 
berambut awut-awutan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang 
tinggi kurus. Kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang yang terbuat dari ular 
yang dikeringkan menghiasi anggota-anggota tubuhnya. 

"Ada apa. Mbah?!" 

Sebuah suara lembut dan halus menanggapi makian nenek 
berpakaian hitam. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu menghampiri si 
nenek. Temyata dia seorang wanita berwajah cantik jelita. Tubuhnya montok 
menggiurkan dan terbungkus pakaian merah menyala, membuat 
kecantikannya semakin menyolok. 

"Si keparat Trestajumena Geni membuka rahasiaku pada Dewa 
Arak, Ayu," jawab nenek berpakaian hitam. Terasa jelas kegeraman di 
dalamnya. "Rupanya dia sudah ingin mampus! Tapi, kematian terlalu enak 
baginya. Dia harus menerima hukuman yang lebih berat. Akan kuteror dia. 
Kubunuh semua anak buahnya dulu. Ayo, Ayu! Cepat buatlah boneka yang 
banyak!" 

Tanpa membantah wanita berpakaian merah yang dipanggil Ayu 
melaksanakan perintah nenek berpakaian hitam, yang tidak lain Mbah Lulur 
Jagad! Diambilnya kain-kain berwarna hitam dari sudut mangan. Kemudian, 
dibentuknya menjadi sebuah boneka yang amat sederhana. 

"Mbah...," ucap Ayu seraya tems membuat boneka. 

"Hm...!" Tanpa menoleh. Mbah Lulur Jagad menyambuti dengan 
menggumam pelan. 

"Mengapa tidak lekas kau tusuk mati saja si Melati keparat itu! Jika 
dia tewas tenanglah hatiku!" 

"Hhh...!" 

Sambil menghela napas. Mbah Lulur Jagad menoleh. Sepasang 
matanya yang kemerahan dan mengandung sinar aneh menatap wajah Ayu 
lekat-lekat. 

"Sudah telanjur. Ayu. Sekarang, tidak mungkin lagi langsung 
kuarahkan jarum-jarumku ke jantungnya. Aku mempunyai aliran ilmu hitam 
yang agak berbeda. Dengan boneka-boneka yang kubuat, aku tidak hanya 
dapat menyiksa atau membunuh seorang dari jarak jauh. Tapi, juga dapat 
membuatnya menjadi mayat hidup yang taat dengan segala perintahku!" 

Mbah Lulur Jagad menghentikan uraiannya. Sebuah beneka 
diacungkannya dengan tangan kiri, dan jarum tergenggam di tangan kanan. 

"Untuk hal yang pertama, tidak sulit. Begitu membuat boneka yang 
mewakili diri seseorang, aku dapat melakukan apa saja yang kuinginkan! 
Setiap kali boneka ini kutusuk dengan jarum, orang yang diwakili boneka ini 
akan kesakitan. Kucopot kakinya, maka kaki orang itu akan copot. Dan kalau 
kutusuk jantungnya, dia akan mati!" 

Kembali Mbah Lulur Jagad menghentikan ceritanya. Ditatapnya 
wajah Ayu lekat-lekat. Nenek itu memberi kesempatan pada Ayu untuk 
mengajukan pertanyaan. Tapi, Ayu tidak menggunakan kesempatan itu. 
Mungkin dia telah paham dengan semua yang diceritakan Mbah Lulur Jagad. 

"Cara yang kedua, berbeda dengan ilmu hitam umumnya. Cara ini 
sulit. Ada tahap-tahapnya. Dan caranya pun tidak sembarangan. Setiap tahap 
membutuhkan mantera sendiri dan waktu yang agak lama. Cara ini 
kupergunakan untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ki 
Aswatama, terutama Melati, masuk golongan ini. Aku bermaksud 
menjadikan mereka mayat-mayat hidup yang taat perintahku!" 

"Kapan meraka akan menjadi seperti yang kau harapkan. Mbah?" 
tanya Ayu ingin tahu. 

"Untuk Ki Aswatama saat ini juga bisa kulakukan. Tinggal tusuk 
bagian jantung boneka ini. Dia akan mati! Setelah itu, kuhidupkan lagi. Dan 
dia akan menjadi mayat hidupku yang paling patuh akan segala perintah yang 
ku harapkan. Kau tahu. Ayu. Apa yang kuinginkan langsung dilaksanakan 
oleh mayat hidup itu. Seakan-akan aku dan dia satu pikiran!" 

"Tapi, Mbah. Bukankah kau katakan Trestajumena Geni telah 
membuka rahasiamu terhadap Dewa Arak. Itu berarti dia berada dalam 
peijalanan menuju ke sini. Apakah sebelum Dewa Arak tiba kau telah bisa 
menjadikan Melati sebagai mayat hidup?" 

"Belum." Mbah Lulur Jagad menggelengkan kepala. "Dia baru saja 
kulumpuhkan lengan kanannya. Membutuhkan waktu dua hari untuk 
melumpuhkan tangan yang lain. Kemudian, tiga hari untuk menusuk 
jantungnya. Baru setelah itu dia akan menjadi mayat hidup!" 

"Kalau demikian. Dewa Arak akan kebum tiba di sini!" keluh Ayu. 

"Tenanglah, Ayu. Memang, tindakan Trestajumena Geni membuat 
aku harus bertindak cepat T api, jangan khawatir. Aku yakin Dewa Arak tidak 
akan sampai di sini. Dia akan tewas di perjalanan. Sebenarnya, sayang juga 
orang sehebat dia harus tewas. Tapi, bagaimana lagi? Dia tidak bisa 
kujadikan mayat hidup! Ada kekuatan aneh yang tidak kumengerti, 
menolakkan jarum yang kutusukkan ke tubuhnya!" 

"Mbah!" sem Ayu mencoba membantah. "Jadi.., kau bermaksud 
menjadikannya sebagai mayat hidup? Apakah kau tidak mendengar 
permintaanku waktu itu?" 

Mbah Lulur Jagad menatap wajah wanita berpakaian merah 
dalam-dalam. 

"Kau benar-benar gadis aneh. Ayu," ucap nenek berpakaian hitam 
seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Cintamu kepadanya ternyata be¬ 
nar-benar buta. Bukankah menurutmu dia tidak membalas cintamu? Dan 
gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu adalah tunangannya? 
Mengapa kau masih mengharapkannya?" 

"Aku yakin, apabila Melati tidak ada Dewa Arak akan mencintaiku. 
Bukankah aku memiliki wajah cantik dan tubuh yang bagus?! Karena itu, 
sejak awal kuminta kau membunuh Melati, Mbah! Aku kecewa sekali begitu 
kutahu Melati tidak kau bunuh!" 

Kembali Mbah Lulur Jagad menggeleng-gelengkan kepala. 

"Apakah kau tidak sakit hati. Ayu? Bukankah Dewa Arak yang 
menggagalkanmu di saat pedangmu hampir memenggal kepala Melati. 
Bahkan, dia pula yang telah menyebabkanmu terluka berat? Dan kau 
ditinggalkannya begitu saja di tengah jalan? Kalau tidak ada aku yang 
menolongmu, bagaimana nasibmu? Tapi, apa balasanmu? Memperkenalkan 
nama aslimu pun tidak!" 

"Maaikan aku. Mbah," ucap wanita berpakaian merah. "Bukannya 
aku mau merahasiakannya darimu. Tapi, aku telah berjanji tidak akan 
memperkenalkan nama asliku bila Melati belum mati di tanganku!" 

Mbah Lulur Jagad hanya mengangkat bahu mendengar pernyataan 
itu. Perhatiannya kembali dialihkan pada benda benda yang tergolek di 
depannya. Dua buah bonek sederhana. Yang satu didandani seperti wanita. 
Sedangkan satunya lagi persis kakek-kakek. 

Yang menggiriskan hati, pada kedua boneka itu tertancap 
jarum-jarum yang tajam berkilatan. Hanya pada boneka yang bempa 
kakek-kakek jarum itu lebih banyak. Dua menancap pada kedua paha. Dua 
lagi pada kedua bahu. Sedangkan pada boneka wanita pada kedua paha dan 
satu bahu. 

Dengan pandang mata berbinar-binar, nenek berpakaian hitam itu 
mengambil boneka kakek-kakek. Kemudian, diambilnya pula sebuah jarum 
besar yang putih mengkilat. Sambil menggumamkan kata-kata yang tidak 
jelas, karena diucapkan dengan pelan dan cepat, jarum itu dihujamkan ke 
dada sebelah kiri boneka kakek 

Jrebbb! 

Jarum besar dan panjang itu menembus hingga bagian belakang 
tubuh boneka tua itu. Pemandangan seperti ini yang terlihat di gua tempat 
tinggal Mbah Lulur Jagad. T api, di rumah Ki Aswatama sangat mengejutkan! 

Ki Aswatama yang tengah terbaring lemah di balai-balai bambu dan 
dijaga kedua muridnya, tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua ta¬ 
ngannya didekapkan ke dada kiri. Sepasang mata kakek itu membelalak lebar 
seperti orang meregang nyawa. Lalu mendadak sontak tubuhnya lemas dan 
tidak bergerak lagi. 

"Guru...!" 

Jeritan kaget dan cemas itu keluar dari mulut Ganta. 
Dipanggil-panggilnya gurunya. Tapi, Ki Aswatama tidak memberikan 
tanggapan sedikit pun. 

"Guru...!" sem Kiwul pula tak kalah kerasnya. 

Karena dilihatnya kakek tinggi besar tidak memberikan tanggapan, 
diguncang-guncangkannya tubuh tua itu. Berharap ada keajaiban dan Ki 
Aswatama bangun. Tapi harapan kedua orang itu sia-sia. Kakek tinggi besar 
itu tidak memberikan tanggapan sama sekali. Melihat kenyataan itu, Ganta 
dan Kiwul pun yakin Ki Aswatama telah tewas 

"Guru...!" 

Hampir bersamaan Ganta dan Kiwul merebahkan wajah di kanan 
dan kiri dada Ki Aswatama. Kekhawatiran mereka terbukti. Kakek tinggi 
besar itu akhirnya tewas. 




"Hik hik hik..!" 

Mbah Lulur Jagad tergelak melihat tingkah laku Ganta dan Kiwul. 
Temyata, nenek berpakai an hitam itu melihat melalui sebuah bola kaca yang 
besarnya hampir sekepala manusia dewasa. 

Tapi tidak lama Mbah Lulur Jagad bersikap demikian. Boneka tua 
itu lalu didekatkan ke atas sebuah pedupaan yang mengepulkan asap berbau 
wangi. Bau kemenyan! Pendupaan, bola kaca, boneka-boneka dan 
jarum-jarum besar dan panjang tergeletak semua di depan nenek ahli sihirita 

Mbah Lulur Jagad membiarkan boneka tua itu terkena asap 
pendupaan. Malah, boneka itu digoyangkan-goyangkan di atasnya. 
Sementara mulu-nya menggumamkan kata-kata yang sukar ditangkap 
artinya. Nenek itu tengah mengucapkan mantera-mantera. Cukup lama juga 
Mbah Lulur Jagad berbuat seperti itu. 

"Atas nama roh-roh penasaran dan setan-setan di neraka, bangkitlah 
kau, Ki Aswatama. Dan mulai sekarang kau menjadi budakku. Apa yang 
kuinginkan kau yang laksanakan! Bangkit! Bangkit!" 

Usai berkata begitu. Mbah Lulur Jagad mengambil kendi dan 
menuangkannya ke dalam mulut. Berkumur-kumur beberapa saat. Lalu.... 

"Pruhhhh!" 

Mbah Lulur Jagad menyemburkan air kendi yang berasal dari tujuh 
mata air dan telah direndam dalam tujuh macam kembang itu, pada boneka 
tua di atas pendupaan! Baru setelah itu semua tindakannya dihentikan. 

Sekarang, dengan sorot mata berbinar, nenek berpakaian hitam itu 
mengarahkan tatapannya, pada bola kaca di depannya. Tampak di sana 
Gantar dan Kiwul telah mengangkat kepala. Kedua orang muda itu saling 
berpand angan. 

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad kembali tertawa terkikih ketika 
melihat mulut Ki Aswatama bergerak-gerak. Maka, buru-buru dicabutinya 
jarum-jarum panjang yang menyate tubuh boneka tua itu. 

Kembali perhatiannya dialihkan. Dan ketika Ki Aswatama mulai 
bergerak bangkit. Mbah Luhur Jagad pun mulai dengan percobaan 
pertamany a. 

"Bunuh kedua orang muda itu!" bisik Mbah Lulur Jagad dalam hati. 

Akibatnya sungguh luar biasa! Sambil mengeluarkan geraman 
keras, Ki Aswatama mengayunkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri. 
Tindakan kakek tinggi besar itu membuat Gantar dan Kiwul, yang semula 
terpaku melihat orang yang telah mati hidup kembali, terkejut bukan main 

Kedua orang muda itu segera menyadari bahaya yang mengancam. 
Maka, sebisanya mereka berusaha meyelamatkan selembar nyawa. Dan itu 
dilakukan dengan membuang tubuh ke belakang. Tapi.... 

Crokkk, crokkk! 

Terdengar bunyi keras seperti sesuatu yang hancur ketika kedua 
tangan Ki Aswatama menghantam kepala Ganta dan Kiwul. Tanpa sempat 
mengeluarkan jeritan lagi, mereka ambruk ke lantai. Tewas! 

"Hik hik hik..!" 

Mbah Lulur Jagad gembira bukan main melihat keberhasilan 
rencananya. Sekarang, diperintahkannya Ki Aswatama keluar dan berdiri di 
depan pintu, menghadang kedatangan Dewa Arak. Karena pemuda berambut 
putih keperakan itu harus melewati tempat tinggal Ki Aswatama bila ingin 
menuju Bukit Rajang. Jalan itu adalah satu-satunya jalan yang paling dekat. 

Dan, memang dugaan Mbah Lulur Jagad tidak salah. Dewa Arak 
memilih jalan yang melalui pondok Ki Aswatama untuk mencapai puncak 
Bukit Kajang. Pemuda berambut putih keperakan yang tengah terburu-buru 
ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat segera tiba 
di tempat tujuan. 

Karena itu, hanya dalam waktu singkat pondok Ki Aswatama telah 
terlihat. Kali ini Dewa Arak tidak bermaksud untuk singgah. Waktunya 
sudah tidak memungkinkan lagi. Maka pemuda itu memutuskan untuk tidak 
mengendurkan larinya meskipun melalui depan pondok Ki Aswatama. 

Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang mata Dewa Arak 
membelalak lebar ketika melihat pemandangan di depannya. Di sana tampak 
sesosok tubuh berdiri di depan pondok Ki Aswatama. 

Yang mengejutkan Dewa Arak adalah saat melihat wajah sosok itu 
Wajah itu adalah Ki Aswatama! Bukankah kakek tinggi besar itu sedang 
terbaring sakit? Mengapa sekarang terlihat begitu segar? Bahkan seperti 
menunggu kedatanganny a. 

"Ki Aswatama...!" 

Begitu jarak antara mereka tingggal tujuh tombak lagi, dan telah 
melihat jelas kalau sosok itu adalah Ki Aswatama, Dewa Arak berteriak 
gembira. 

Tapi kegembiraan Dewa Arak pupus ketika merasakan hal aneh 
merayapi dirinya. Dia merasakan ada bahaya mengancam. Bahkan bahaya 
besar! Dewa Arak tahu ini adalah nalurinya. Maka, pemuda itu pun bersikap 
waspada. Meskipun terlihat biasa saja, seluruh urat saraf dan otot-otot 
tubuhnya menegang. Siap menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan! 

Keheranan Dewa Arak semakin membesar ketika menyadari 
kenyataan aneh. Kian dekat dengan Ki Aswatama rasa gelisahnya semakin 
menjadi. Kenyataan itu mengherankan Dewa Arak. Buru-buru larinya 
dihentikan. Sekarang Arya melangkah biasa. Sepasang matanya diarahkan 
pada sosok Ki Aswatama. 

Dewa Arak merasakan tengkuknya merinding. Padahal, tanda 
seperti ini hanya akan muncul bila dia bertemu dengan makhluk aneh. 
Apakah Ki Aswatama bukan manusia? 

Pertanyaan itu membuat Dewa Arak menghentikan langkah. Arya 
mulai curiga pada Ki Aswatama. Pemuda itu berdiri berhadapan dengan 
kakek tinggi besar itu dalam jarak tiga tembak. 

"Arrrggghhh...!" 

Tiba-tiba Ki Aswatama mengeluarkan geraman aneh. Bunyinya 
seperti raungan binatang buas yang terluka. Kemudian, kakek tinggi besar itu 
menerkam Dewa Arak bagai seekor harimau menerkam mangsanya. 

Untung Dewa Arak sudah bersiap-siap. Meskipun demikian, 
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut juga. Serangan Ki Aswatama 
demikian cepat dan dahsyat! Kehebatannya berpuluh kali lipat dari serangan 
harimau yang paling buas sekalipun! 

Wusss! 

Dewa Arak tercekat ketika merasakan angin sambaran serangan Ki 
Aswatama. Angin keras itu sanggup melemparkan tubuhnya kalau tidak 
segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kali. Padahal, serangan itu 
belum juga tiba. 

Dewa Arak adalah pendekar yang berwatak hati-hati. Karena itu, 
Arya tidak segera memapaki serangan itu. Cepat kakinya dijejakkan hingga 
tubuhnya melesat ke atas melampaui kepala Ki Aswatama. Pemuda itu 
bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah. 

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Ki Aswatama 
telah melancarkan serangan susulan. Kakek itu menggulingkan tubuhnya di 
tanah. Kemudian ketika telah berada di dekat Dewa Arak, tubuhnya 
dilentingkan. 

"Arrrggghhh...!" 

Lagi-lagi dengan diiringi geraman keras yang tidak layak keluar dari 
mulut manusia, tangan kanannya disampokkan ke pelipis Dewa Arak. 

"Ah!" 

Dewa Arak terpekik kaget. Bukan hanya karena kecepatan serangan 
itu. Tapi juga karena sempat melihat tangan Ki Aswatama. Kuku-kuku 
runcing, panjang, melengkung, dan berwarna kehitaman menghiasi 
ujung-ujung jatinya. Padahal, Dewa Arak tahu kakek tinggi besar itu tidak 
memelihara kuku! 

Hal ini membuat Dewa Arak yang cerdik segera dapat menarik 
kesimpulan. Sesuatu telah menimpa diri Ki Aswatama. Dan siapa pun sosok 
yang berdiri di hadapannya, yang jelas amat berbahaya bila dibiarkan hidup! 
Mungkin sosok ini memang Ki Aswatama. Tapi berkat ilmu hitam telah 
berhasil dijadikan makhluk mengerikan! Demikian kesimpulan Dewa Arak 
yang sadar akan banyaknya ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal. 

Keputusan yang diambil membuat Arya memutuskan untuk 
memapaki serangan itu. Ia ingin merasakan sendiri kekuatan tenaga Ki 

Aswatama! Maka, Dewa Arak segera mengayunkan tangan kirinya dengan 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Plakkk! 

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tidak dapat 
dielakkan lagi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung beberapa 
langkah. 

Sementara tangan yang berbenturan terasa ngilu! Ini menandakan 
tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dalam Ki Aswatama. 

Seketika itu pula Dewa Arak sadar kalau Ki Aswatama yang 
dihadapinya ini adalah makhluk jadi-jadian. Sebab, tidak mungkin seorang 
guru silat desa, betapapun tinggi ilmunya, memiliki tenaga dalam lebih kuat 
darinya! 

Tapi, Dewa Arak tadak bisa memikirkan hal itu lebih jauh. Ki 
Aswatama telah kembali melancarkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. 
Hingga, Dewa Arak hams mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu 
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk 
Naga' warisan ayahnya dikeluarkan. Pemuda itu kelihatannya tidak memiliki 
kesempatan untuk mengambil guci araknya. 

Semula pertarungan berlangsung seimbang; Tapi keadaan itu tidak 
berlangsung sampai lima jums. Menginjak jums kelima. Dewa Arak mulai 
terdesak. Banyak hal yang menyebabkan pemuda berambut putih keperakan 
itu terdesak. Keberadaan Melati di bahunya, dan tambahan lagi hanya 
menggunakan sebelah tangan. Sehingga, kedahsyatan ilmu-ilmu wansan 
ayahnya berkurang. 

Melati pun menyadari keadaan kekasihnya yang gawat. 

"Lemparkan aku, Kakang! Lemparkan!" seru Melati memohon. 
Gadis berpakaian putih itu menyadari kalau keadaan seperti ini terus 
dibiarkan dia dan kekasihnya akan tewas. 

Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh dan keadaan Arya 
semakin terjepit oleh serangan-serangan Ki Aswatama yang menderu-dem 
laksana gelombang laut. Dewa Arak memutuskan untuk memenuhi 
permintaan Melati. 

"Bersiaplah, Melati!" Usai berkata, tubuhnya bergerak ke samning 
untuk mengelakkan serangan lawan, Arya melemparkan tubuh kekasihnya. 

Wuttt! 

Begitu tubuhnya melayang. Melati segera memusatkan pikiran agar 
dapat mendarat dengan baik. Saat itu dia hanya mempunyai sebelah tangan 
yang masih berguna. T angan kanannya lumpuh total! 

Srattt! 

Melati mencabut pedangnya ketika melihat tubuhnya meluncur 
deras menuju sebatang pohon besar. Kalau tidak berbuat sesuatu, sudah dapat 
dipastikan tubuhnya akan membentur batang pohon. Dan kesudahannya akan 
tidak menyenangkan. Kini dengan pedang terhunus Melati siap menghadapi 
kejadian selanjutnya. 

Cappp! 

Pedang itu menancap sampai hampir setengahnya ketika Melati 
menggengam pedangnya tegak lurus. Gerakan itu dilakukan Melati untuk 
membuat senjatanya yang lebih dulu membentur pohon, dan liukan 
tubuhnya. Kemudian, tanpa menemui kesulitan yang berarti Melati berhasil 
duduk dengan kedua kaki teijulur di tanah. 

Ternyata bukan hanya Melati yang mendapatkan kebemntung an. 
Arya pun demikian. Di saat tubuhnya melayang guci arak yang tergantung di 
punggung diambil. Dan, segera dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... Gluk.. Gluk..! 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan 
Dewa Arak. Terasa ada hawa hangat yang berputar di perut. Lalu, 
pelahan-1 ahan naik ke atas. Dan.... 

Jliggg! 

Dewa Arak berhasil mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. T api 
tak dengan mantap. Kedudukan tubuhnya sempoyongan seperti akan jatuh. 
Karen a kedua kakiny a bdak menapak tanah deng an tetap. T api, justru dalam 
keadaan seperti itu serangan-serangan Arya sangat membahayakan lawan. 
Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap dipergunakan! 

*** 

Ki Aswatama sedikit pun tidak mempedulikan hal itu. Untuk 
kesekian kalinya dia menerjang Dewa Arak dengan serangan-serangan 
dahsyat. Tapi kali ini kakek tinggi besar itu kecewa. Dengan 
terhuyung-huyung seperti akan jatuh, gerakan khas jums 'Delapan Langkah 
Belalang', Dewa Arak mengelakkan setiap lawan. Hingga, setiap amukan 
kakek tinggi besar itu selalu mengenai tempat kosong. 

Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Dengan 
menggunakan jums 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang’, 
dilancarkannya desakan-desakan terhadap Ki Aswatama yang telah menjadi 
makhluk j adi-j adian. 

Memang sungguh hebat ilmu Belalang Sakti’. Tangan, kaki, guci, 
dan semburan arak merupakan satu kesatuan yang menggilas habis 
pertahanan dan penawanan lawan. 

Meskipun demikian, bukan berarti mayat hidup Ki Aswatama dapat 
dengan mudah ditaklukkan. Dia dapat melakukan perlawanan sengit yang 
mengakibatkan pertarungan berlangsung menarik dan menggiriskan. 

Bunyi menderit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya 
pertarungan. Ditambah dengan geraman-geraman Ki Aswatama yang 
menggiriskan hati. Dan bunyi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan 
Dewa Arak menyempatkan diri meminum arak. 

Pertarungan berlangsung dengan cepat. Tak terasa pertarungan telah 
menginjak jurus keseratus. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak 
yang lebih unggul. Padahal, tempat pertarungan telah kacau bagai habis 
dilanda badai. 

Pertarungan itu rupanya dimanfaatkan oleh Dewa Arak yang cerdik. 
Tanpa disadari lawan, pemuda berambut putih keperakan itu menggiring 
lawannya ke satu tempat. Tempat itu adalah puncak Bukit Rajang! Kini, 
pertarungan dua tokoh itu berlangsung di lereng Bukit Rajang. 

Bukan hanya Ki Aswatama yang tidak menyadari maksud Dewa 
Arak. Mbah Lulur Jagad dan Ayu yang menyaksikan jalannya pertamngan 
melalui bola kristal pun tidak menyadari hal itu Memang, pemandangan 
yang tampak di dalam kaca tidak terlalu luas. Tapi, latar belakang 
pertamngan yang terus bembah-mbah seharusnya terlihat oleh Mbah Lulur 
Jagad! 

Bahkan, Melati yang tems bergerak mengikuti pertarungan tidak 
menyadarinya. Gadis itu bergerak dengan bantuan pedang. Tampaknya, 
Melati tidak terlalu memperhatikan karena selurnh perhatiannya tertumpah 
pada kancah pertamngan. 

"Hih!" 

Pada suatu kesempatan, setelah berhasil membuat Ki Aswatama 
melompat ke atas. Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Pemuda 
berambut putih keperakan itu melancarkan jurus 'Pukulan Belalang’. 

Wusss! 

Deru angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah Ki 
Aswatama. Mayat hidup itu terkejut bukan main melihat serangan yang 
datangnya tidak di sangka-sangka. Meskipun demikian, dicobanya untuk 
mengelak. Dan.... 

Bresss! 

T elak dan keras pukul an j arak j auh Dewa Arak mengh antam perut 
Ki Aswatama. Seketika itu pula, tubuh kakek tinggi besar itu terlempar jauh 
ke belakang dan melayang-layang beberapa tombak. 

Tapi, sebelum tubuh mayat hidup Ki Aswatama jatuh berdebuk 
terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Mayat hidup itu bersalto 
beberapa kali dan mendarat di tanah tanpa luka sedikit pun! Tidak tampak 
tanda-tanda dia baru saja terkena jurus 'Pukulan Belalang' yang amat 
dahsyat! 

Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan Dewa Arak. Sambil 
mengeluarkan geraman mengerikan, mayat hidup Ki Aswatama kembali 
melancarkan serangan. Mau tidak mau Dewa Arak menyambutnya kembali. 

Sekarang alur pertarungan berubah. Mayat hidup Ki Aswatama 
rupanya telah menyadari kalau dirinya tidak bisa dilukai. Maka, 
serangan-serangan yang dilancarkannya tidak memikirkan pertahanan lagi. 
Bahkan ketika Dewa Arak melancarkan serangan, dibiarkan saja. Kemudian 
mayat hidup itu melancarkan serangan balasan. 

Akibatnya, Dewa Arak kerepotan bukan main. Beberapa kali 
serangannya harus ditarik pulang kalau dia masih ingin selamat. 
Diciptakannya kesempatan sampai keadaan menjadi aman. Baru kemudian 
dilancarkan serangan. 

Dan memang serangan itu tepat mengenai sasaran. Malah yang 
mematikan! Tapi ternyata mayat hidup Ki Aswatama benar-benar alot! Dia 
tetap tidak mengalami luka sedikit pun! 

T ak terasa pertamng an sudah berlangsung dua ratus dua puluh lima 
jurus. Dewa Arak tahu kalau keadaan tidak berubah, dia akan tewas di tangan 
lawannya yang tangguh ini. Sebab, Ki Aswatama tidak bisa ditewaskan. 
Dewa Arak segera teringat akan peristiwa yang pemah dialaminya. Kalau 
ingin makhluk jejadian ini tewas, penggeraknyal ah yang harus dibinasakan 
(Untuk jelasnya menganai hal ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode "Penganut Ilmu Hitam"). 

Yakin akan kesimpulan yang didapat. Dewa Arak memutuskan 
untuk membunuh Mbah Lulur Jagad lebih dulu Maka, tempat pertarungan 
pun terus digeser s ehingga sampai di mulut gua tempat tinggal Mbah Lulur 
Jagad! 

Begitu melihat gua itu, bergegas Dewa Arak menyelinap masuk. 
Saat itulah Mbah Lulur Jagad baru sadar! Rasa cemas melanda hatinya. 
Nenek itu pun bersiap-siap untuk kabur, bila keadaan tidak menguntungkan 
pihaknya! Mbah Lulur Jagad merasa lega ketika melihat Ki Aswatama ikut 
melesat masuk mengejar Dewa Arak. 

Tapi hal ini sudah diperhitungkan pemuda berambut putih 
keperakan itu. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan. Mengirimkan 
serang an jums 'Pukulan Belalang'! 

Wusss! Bresss! 

Tubuh Ki Aswatama melayang-layang ke belakang seperti daun 
kering terhempas angin. Serangan Dewa Arak menghantam dadanya dengan 
telak! 

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. 
Arya tems melesat masuk ke dalam gua. Untung gua itu tidak begitu panjang. 
Dan lorongnya pun hanya satu. Hanya dalam sekejap pemuda berambut putih 
keperakan itu telah berhasil mencapai bagian tengah gua yang cukup luas dan 
terang. 

Di tempat ini Dewa Arak melihat Mbah Lulur Jagad dan wanita 
berpakaian merah tengah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tanpa pikir 
panjang lagi. Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya secara 
bertubi-tubi. Suatu tindakan yang hampir tidak pemah dilakukan pemuda 
berambut putih keperakan itu, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang' secara 
berantai! 

Hal ini dilakukannya karena Dewa Arak khawatir serangannya akan 
berhasil dielakkan nenek berpakaian hitam, yang diduganya Mbah Lulur Ja¬ 
gad! Bila hal itu terjadi mayat hidup Ki Aswatama akan segera masuk dan 
pertarungan pun kembali berlangsung. 

Wusss, wusss, wusss! 

Hem angin keras berhawa panas meluncur susul-menyusul ke arah 
Mbah Lulur Jagad. Karuan saja, nenek berpakaian hitam itu terkejut bukan 
main. Datangnya serangan itu demikian mendadak. Apalagi dilancarkan 
dengan bertubi-tubi. Sebisanya nenek itu berusaha mengelak. 

Memang, dua buah serangan Arya berhasil dielakkan. Tapi tidak 
demikian dengan serangan berikutnya. Telak dan keras menghantam dada 
Mbah Lulur Jagad ! Saat itu juga tubuhnya melayang deras ke belakang dan 
terhempas menabrak dinding. Tanpa sempat merintih lagi. Mbah Lulur Jagad 
tewas dengan seluruh tubuh hangus! Samar-samar tercium bau daging 
terbakar. 

Begitu melihat Mbah Lulur Jagad tewas. Dewa Arak segera melesat 
keluar gua. Sempat dilihatnya wanita berpakaian merah kabur melalui lorong 
yang lain. T api tidak dipedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu 
tahu hal pertama yang harus dilakukannya adalah segera meninggalkan gua, 
sebelum gua itu ambruk. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang sebagian 
besar nyasar dan mengenai dinding gua telah menyebabkan seisi gua bergetar 
hebat! 

Meskipun demikian. Dewa Arak sempat melihat banyak 
boneka-boneka yang terbuat dari kain hitam tertusuk jarum besar panjang 
pada bagian dada kirinya. Arya tidak tahu kalau beneka-boneka itu mewakili 
tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. 

"Hahhh...!" 

Dewa Arak menghela napas lega begitu telah berada di hiar gua. 
Tampak di depan gua tergeletak tubuh Ki Aswatama. Dugaannya ternyata 
benar. Dengan tewasnya Mbah Lulur Jagad, mayat hidup itu pun tewas pula! 

Diam-diam Dewa Arak bersyukur Mbah Lulur Jagad memiliki 
kepandaian silat yang tidak begitu tinggi. Sehingga, dapat ditewaskannya 
dalam serangkaian serangan berturut-turut. 

Hanya satu hal yang masih menggayuti benak Dewa Arak. Wanita 
berpakaian merah. Meskipun hanya sekilas, Arya dapat mengenalinya. 
Wanita itu adalah Ranti, murid Perguruan Pedang Perak yang dulu 
mengenakan pakaian biru. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak 
dalam episode "Maut dari Hutan Rangkong" dan episode "Macan-Macan 
Betina"). 

Seketika itu pula Arya teringat, mengapa dia seperti mengenal suara 
wanita berpakaian merah itu. Sungguh tidak disangkanya kalau Ranti belum 
juga menghentikan tindak kejahatannya terhadap Melati 

Tapi, Dewa Arak segera mengusir semua pikiran itu, Arya teringat 
akan Melati. Gadis berpakaian putih itu telah terbebas dari maut. Arya yakin 
tidak lama lagi Melati akan sembuh. Bukankah Mbah Lulur Jagad telah 
tewas? Dengan hati lega kakinya diayunkan menuju tempat Melati. 


SELESAI 
ikuti episode selanjutnya
Titipan Berdarah