Dewa Arak 68 - Biang-biang Iblis


Hari sudah siang. Sang Surya yang sudah 
tinggi memancarkan sinar ke persada. Sinar yang 
tidak nikmat, bahkan terasa menyengat di kulit 

Namun, ketidaknyamanan suasana itu tidak 
dihiraukan oleh sosok bayangan merah. Padahal 
dia berada di tengah hamparan tanah lapang yang 
gersang, tanpa rumput dan pepohonan. Rupanya 
sosok itu tengah berlatih silat. Gerakannya yang 
cepat menyebabkan bentuk tubuhnya seakan le- 
nyap. Yang terlihat hanya bayangan tak jelas ber- 
warna merah berkelebatan ke sana kemari. Sese- 
kali terdengar suara teriakan keras mengiringi pu- 
kulan atau tendangan sambil melompat melancar- 
kan serangan terhadap lawan yang hanya ada da- 
lam bayangannya. 

Mendadak sosok merah itu menghentikan 
gerakannya, lalu berdiri tegak. Sosok itu ternyata 
seorang wanita cantik berusia paling banyak dua 
puluh tahun. Rambutnya yang hitam berkilat, te- 
rurai, menambah kecantikannya. Bentuk tubuh- 
nya yang sintal terbalut kulit mulus kuning lang- 
sat, semakin menambah daya tarik wanita muda 
itu. 

Gadis berpakaian merah berdiri dengan ke- 
dua kaki agak terpentang beberapa saat untuk 
meredakan nafasnya yang memburu. Peluh yang 
membasahi wajah dan leher membuktikan kalau 
dirinya telah banyak menguras tenaga dalam lati- 
han itu. Tidak aneh, sebab sejak sang Surya be- 
lum muncul gadis berpakaian merah itu telah si- 
buk berlatih. 

"Bagus...! Bagus sekali, Lestari! Kau telah 
mengalami kemajuan yang pesat!" 


Pernyataan bernada pujian itu membuat ga- 
dis berpakaian merah menoleh kepala ke arah asal 
suara. 

"Benarkah itu, Ayah?!" tanya gadis berpa- 
kaian merah yang dipanggil dengan nama Lestari. 
Dia segera mengayunkan kaki menghampiri lelaki 
setengah baya yang tengah memandanginya. 

"Tentu saja, Lestari. Pernahkah Ayah berbo- 
hong padamu?!" ujar lelaki yang ternyata ayahnya 
Lestari. Dia seorang lelaki tinggi besar bertubuh 
gemuk tapi gagah dan tegap. Sambil memandangi 
gadis itu mulutnya tersenyum lebar, menggam- 
barkan kepuasan hatinya. 

"Tapi... mengapa aku tetap belum dapat me- 
lakukan hal seperti yang Ayah lakukan?! Setiap 
batu yang ku pukul selalu hancur berkeping- 
keping. Tidak pernah terjadi seperti yang Ayah la- 
kukan. Kalau Ayah yang memukul, batu itu tak 
hancur, gompal pun tidak. Tapi, begitu angin ber- 
hembus agak kencang, batu itu hancur lebur men- 
jadi debu," ujar Lestari yang merasa tidak puas. 

"Lestari... Lestari..." Lelaki tinggi besar beru- 
sia tak kurang dari lima puluh tahun itu mengge- 
leng-gelengkan kepala mendengar bantahan pu- 
trinya. "Kau kira mudah melakukan hal itu?! Ke- 
mampuan seperti itu hanya akan kau dapatkan 
apabila dirimu telah memiliki tenaga dalam yang 
sempurna. Sedangkan untuk mencapai tingkat ke- 
sempurnaan itu perlu berlatih semadi dan perna- 
pasan yang sungguh-sungguh. Dan memang kini 
kau tinggal melatih tenaga dalam serta memper- 
tinggi ilmu meringankan tubuh karena semua il- 
mu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu!" 

"Jadi..., tidak ada lagi yang akan Ayah ajar- 
kan padaku?!" tanya Lestari setengah tidak per- 
caya. 


"Benar, Lestari," jawab lelaki tinggi besar se- 
raya menganggukkan kepala. "Kau hanya tinggal 
mematangkannya. Setahun lagi kau boleh terjun 
ke dunia persilatan untuk mencari pengalaman 
dan menggunakan kepandaian yang kau miliki un- 
tuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, wak- 
tu yang hanya setahun ini, pergunakan sebaik- 
baiknya, Lestari. Giat-giatlah kau berlatih semadi 
dan pernapasan serta ilmu meringankan tubuh 
agar aku tenang melepas kau pergi ke dunia persi- 
latan. Pesanku, jangan sekali-kali kau beritahu- 
kan kalau dirimu mempunyai hubungan dekat 
denganku. Sedapat mungkin kau harus menyem- 
bunyikannya. Apabila hal itu kau langgar, atau 
tanpa sengaja diketahui orang lain, akan besar 
bahayanya buatmu. Asal kau tahu saja, Lestari, 
aku banyak menanam permusuhan dengan tokoh- 
tokoh persilatan. Aku yakin, mereka akan melam- 
piaskan dendamnya padamu apabila hal yang ku 
khawatirkan itu terjadi. Dan..." 

Lelaki tinggi besar itu menghentikan uca- 
pannya di tengah jalan karena tiba-tiba terasa ada 
getaran keras di tanah yang mereka pijak. Seper- 
tinya, ada seekor gajah besar lewat di dekat tem- 
pat mereka. Lestari pun merasakannya. Maka dia 
tidak merasa heran melihat ayahnya menghenti- 
kan ucapan di tengah jalan. 

Dengan sendirinya percakapan terhenti. Les- 
tari dan ayahnya memusatkan perhatian pada ge- 
taran-getaran keras di tanah yang mereka pijak. 
Lestari terkejut ketika melihat sikap ayahnya men- 
jadi gelisah. 

"Ada apa, Ayah?!" tanya Lestari tanpa me- 
nyembunyikan rasa heran dan penasaran dalam 
nada suara dan tarikan wajahnya. 


"Tidak usah banyak tanya! Cepat tinggalkan 
tempat ini, Lestari! Tinggalkan sejauh-jauhnya, 
dan ingat pesanku tadi!" ujar lelaki tinggi besar, 
penuh perasaan gelisah yang tidak dapat disem- 
bunyikan. Dia tidak mempedulikan pertanyaan 
anaknya sama sekali. 

Namun Lestari bukan gadis yang bisa di ge- 
bah begitu saja, tanpa ada penjelasan yang meya- 
kinkan. Sang Ayah sebenarnya tahu hal itu tapi 
kegelisahan yang melanda membuatnya lupa. 
Bahkan ketika melihat Lestari tidak mematuhi pe- 
rintahnya, dia menjadi kalap. 

"Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat, 
kataku!" sentak sang Ayah dengan suara keras 
dan mata membelalak. "Atau kau ingin mencoba- 
coba menentang perintahku?!" 

Lestari sampai terjingkat ke belakang men- 
dengar nada keras bentakan ayahnya. Gadis itu 
benar-benar kaget, karena selama ini belum per- 
nah ayahnya bicara keras seperti ini Seketika dia 
tahu akan gawatnya keadaan, tapi rasa penasaran 
dan ingin tahu, membuatnya tidak segera melak- 
sanakan perintah sang Ayah. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa keras menggelegar yang membuat kea- 
daan di sekitar tempat itu bergetar hebat mengi- 
ringi getaran yang semakin keras pada tanah. Dan 
pada jarak dua puluh tombak dari tempat Lestari 
dan ayahnya, tampak sesosok tubuh tinggi besar 
berlari mendekati tempat mereka. Dan hanya da- 
lam waktu sekejap, sosok itu telah berdiri di ha- 
dapan mereka. 

Lestari dan ayahnya membelalakkan mata 
kaget, seolah mereka tak percaya melihatnya. So- 
sok itu mampu berlari dengan menimbulkan geta- 
ran hebat bagaikan seekor gajah. Selain itu suara 
tawanya yang keras menyebabkan getaran hebat 
di dada mereka. 

Lestari, yang sejak sosok itu terlihat mem- 
perhatikannya dengan penuh selidik, merasa ngeri 
ketika melihat adanya dua buah taring yang me- 
nyembul di mulut sosok yang baru tiba itu. 

Sosok yang memiliki taring di mulutnya ini 
memang memiliki ciri-ciri mengerikan. Tubuhnya 
tinggi dan besar. Sehingga ayahnya Lestari yang 
memiliki tubuh tinggi besar saja, tidak sampai se- 
bahunya. Di samping tinggi besar, otot-ototnya 
tampak bersembulan dan melingkar-lingkar di tu- 
buh sosok berwajah mengiriskan. Lestari dapat 
melihatnya dengan jelas, karena makhluk itu tak 
mengenakan pakaian pun, kecuali sehelai celana 
panjang hitam sebatas bawah lutut 

"Raksasa Pemangsa Manusia...!" desis ayah- 
nya Lestari dengan suara bergetar. "Mau apa kau 
kemari?" 

"Ha ha ha...!" Sosok tinggi besar berotot yang 
disapa dengan julukan Raksasa Pemangsa Manu- 
sia, tertawa bergelak. "Rupanya kau mengenaliku, 
Malaikat Petir! Kalau begitu tidak ada gunanya lagi 
kau berpura-pura. Aku yakin kau pasti mengeta- 
hui maksud pertanyaanku. Asal kau tahu saja, 
sudah lama aku mencari-cari mu, Malaikat Petir. 
Ternyata mencarimu lebih sukar daripada mencari 
jarum dalam tumpukan jerami. Kau lenyap begitu 
saja dari dunia persilatan. 

Ayahnya Lestari yang berjuluk Malaikat Pe- 
tir, tersenyum getir. Senyum yang muncul di saat 
dia tidak ingin tersenyum. 

"Pasti karena masalah muridmu, kan?!" ter- 
ka Malaikat Petir, datar. 

"Tepat! Aku datang untuk menuntut balas 
atas kematian muridku, Malaikat Petir. Bersiaplah 
untuk menerima kematian!" sahut Raksasa Pe- 
mangsa Manusia penuh keyakinan akan keberha- 
silan usahanya itu. 

"Menyingkirlah, Lestari, dan cepatlah pergi 
dari sini! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya!" 

Usai berkata demikian, tanpa memberikan 
kesempatan pada Lestari untuk memberikan tang- 
gapan, Malaikat Petir langsung menerjang Raksasa 
Pemangsa Manusia. Dan sesuai julukannya, lelaki 
berpakaian abu-abu ini memang memiliki gerakan 
amat cepat. Bentuk tubuhnya langsung lenyap ke- 
tika melancarkan serangan, hingga yang terlihat 
hanya sekelebatan bayangan abu-abu, meluruk ke 
arah Raksasa Pemangsa Manusia. 

Namun, Raksasa Pemangsa Manusia ternya- 
ta tidak hanya berbicara besar ketika mengu- 
capkan perkataan hendak mengirim nyawa lawan- 
nya ke akherat. Meskipun gerakan Malaikat Petir 
amat cepat, dan bahkan sampai tidak terlihat ma- 
ta, dia dapat melihatnya secara jelas. Lelaki berte- 
lanjang dada ini tahu kalau Malaikat Petir menu- 
bruk ke arahnya dan mengirimkan serangan gedo- 
ran telapak tangan kanan terbuka ke arah ulu ha- 
tinya. 

Plakkk! 

Benturan keras terdengar ketika Raksasa Pe- 
mangsa Manusia menangkis serangan Malaikat 
Petir dengan gerakan dan sikap jari serupa. Aki- 
batnya, tubuh Malaikat Petir terhuyung-huyung 
ke belakang, sementara lawannya tidak bergeming 
sama sekali. 

Benturan itu dilihat jelas oleh Lestari yang 
masih berada di situ, menyaksikan jalannya perta- 
rungan dari tempat yang aman. Sekarang, baru 
gadis berpakaian merah ini mengerti mengapa 
sang Ayah menyuruhnya meninggalkan tempat 
itu. Lawan yang dihadapi Malaikat Petir amat 
tangguh! 

"Lestari! Cepat pergi...!" 

Malaikat Petir yang masih sempat melihat 
kalau putrinya masih berada di tempat ini, menye- 
rukan peringatan lagi, sebelum kembali menubruk 
Raksasa Pemangsa Manusia dengan serangan le- 
bih dahsyat 

"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia 
tertawa bergelak. "Inikah ilmu 'Telapak Tangan Pe- 
tir'-mu, Malaikat Petir? Ternyata tak sehebat berita 
yang kudengar!" 

Lelaki bertelanjang dada mengeluarkan per- 
nyataan menghina itu ketika mendengar bunyi 
meledak-ledak nyaring di saat Malaikat Petir me- 
lancarkan serangan susulan. Asap tipis mengepul 
dari kedua telapak tangan Malaikat Petir. 

Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. 
Malaikat Petir yang tahu kalau lawannya memiliki 
kepandaian amat tinggi, tidak segan-segan menge- 
luarkan seluruh kemampuannya. Bunyi meledak- 
ledak diiringi asap tipis yang mengepul menyema- 
raki setiap serangan yang dilancarkan lelaki ber- 
pakaian abu-abu ini. 

Namun, Raksasa Pemangsa Manusia me- 
mang amat tangguh. Meskipun tidak memiliki ge- 
rakan cepat sebagaimana lawannya, dia tidak 
mengalami kerepotan untuk menghadapi setiap 
serangan Malaikat Petir. Justru, ayahnya Lestari 
yang mengalami kesulitan besar untuk menjatuh- 
kan serangan, karena seperti ada benteng tak 
nampak yang menghalangi serangannya sehingga 
selalu membalik sebelum mengenai sasaran. Se- 
lain itu kerasnya kulit tubuh Raksasa Pemangsa 
Manusia, membuat tangan atau kaki Malaikat Pe- 
tir malah membalik ketika bertemu dengan tubuh 
lawannya. 

Lestari menggigit bibir dengan perasaan geli- 
sah ketika melihat perkembangan pertarungan itu. 
Memang, dia tidak dapat mengetahui secara jelas 
karena cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, 
terutama yang dilakukan Malaikat Petir. Namun, 
gadis berpakaian merah ini dapat memperkirakan 
dengan melihat ayahnya yang beberapa kali ter- 
huyung, dan terus didesak mundur. Ayahnya ter- 
desak hebat 

"Hiyaaattt...!" 

Setelah beberapa saat lamanya mempertim- 
bangkan, Lestari mencabut kipas baja yang terse- 
lip di pinggangnya, kemudian melompat ke dalam 
kancah pertarungan. Dan begitu dekat, kipasnya 
yang berujung runcing ditusukkan ke dada Rak- 
sasa Pemangsa Manusia yang tengah mendesak 
ayahnya. 

Takkk! 

Gadis itu menjerit kaget ketika melihat ujung 
kipasnya seperti mengenai karet keras yang kenyal 
sehingga membalik. Bahkan tangannya terasa ke- 
semutan. Ujung kipasnya yang terbuat dari baja, 
tidak mampu menembus kulit tubuh Raksasa Pe- 
mangsa Manusia. 

Sebelum Lestari sadar dari keterkejutannya 
dan melakukan tindakan tangan, Raksasa Pe- 
mangsa Manusia bergerak cepat Lestari yang me- 
nyadari akan adanya ancaman ketika melihat ber- 
kelebatannya benda tak jelas dengan diiringi desi- 
ran angin kencang, berusaha keras untuk mela- 
kukan tindakan penyelamatan. 

Tappp! 

Lestari terkejut bukan kepalang ketika meli- 
hat usahanya gagal. Pergelangan tangan kanannya 
yang memegang kipas baja telah tercekal lawan 
yang besarnya malah lebih dari paha Lestari. Ke- 
nyataan yang tidak disangka-sangka ini membuat 
gadis berpakaian merah itu gugup dan kelabakan. 
Dengan sebisa-bisanya dia meronta untuk mele- 
paskan diri. Kedua kakinya pun ikut melakukan 
tendangan ke tubuh lelaki bertaring yang bertelan- 
jang dada itu. Namun kesudahannya malah mem- 
buat kedua kaki Lestari sakit-sakit karena tena- 
ganya seperti membalik ketika serangan- 
serangannya itu mendarat pada sasaran. 

Lestari tidak berdaya ketika tubuhnya dide- 
katkan ke mulut lelaki bertelanjang dada itu. Gigi- 
gigi yang sebagian terdiri dari taring itu, siap me- 
nelan bulat-bulat tubuh Lestari yang putih mulus. 

"Lepaskan anakku!" teriak Malaikat Petir 
yang menjadi kalap ketika melihat nasib putrinya. 

Ketika Lestari melancarkan serangan, tubuh 
Malaikat Petir tampak masih terhuyung-huyung 
ke belakang sehabis menangkis serangan Raksasa 
Pemangsa Manusia, sehingga dirinya tidak mampu 
mencegah lelaki bertaring itu membuat Lestari ti- 
dak berdaya. Namun sesaat kemudian, Malaikat 
Petir menerjang Raksasa Pemangsa Manusia. Ke- 
dua telapak tangannya yang terbuka dipukulkan 
dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Kek- 
hawatiran akan nasib putrinya membuat serangan 
Malaikat Petir berkesan nekat, dan seperti tidak 
mempedulikan keselamatan diri sendiri. 

Raksasa Pemangsa Manusia rupanya tahu 
kedahsyatan serangan lawan. Apalagi kali ini ba- 
gian yang diserang adalah ulu hati dan pusar, dua 
bagian terlemah di tubuh manusia. Maka dia tidak 
berani berlaku sembrono. Cekalan tangannya atas 
Lestari segera dilepaskan, bahkan tubuh gadis 
berpakaian merah itu dilemparkan. Lalu, kedua 
tangannya dipukulkan ke depan dengan sikap jari- 
jari yang sama untuk memapak serangan lawan. 

Prattt! 

Benturan kali ini lebih keras dari sebelum- 
nya. Tubuh Malaikat Petir melayang ke belakang 
seperti daun kering yang diterbangkan angin. Rak- 
sasa Pemangsa Manusia pun tak luput dari seran- 
gan keras itu. Meski tidak sampai terlempar seper- 
ti lawannya, dia terhuyung-huyung beberapa 
langkah ke belakang. 

Sungguh sebuah pemandangan yang meng- 
gelikan hati, sebenarnya, kalau kebetulan ada 
yang melihatnya. Dalam waktu yang hampir ber- 
samaan, tubuh ke tiga sosok itu sama-sama ter- 
lempar ke belakang. Namun karena yang paling 
sedikit menerima akibatnya adalah Raksasa Pe- 
mangsa Manusia, tokoh yang mengiriskan hati itu 
lebih dulu dapat menguasai diri. Dan langsung 
melompat menerjang memburu Malaikat Petir. 

Bukkk! 

Tubuh Malaikat Petir terjungkal ke belakang 
ketika tangan kanan Raksasa Pemangsa Manusia 
menghantam bahu kanannya. Darah segar mun- 
crat dari mulutnya. 

"Ayah...!" 

Lestari mengeluarkan jeritan kaget bercam- 
pur perasaan pilu ketika melihat kejadian yang 
menimpa ayahnya. Dia melihat secara jelas karena 
telah lebih dulu berhasil bangkit ketika Raksasa 
Pemangsa Manusia menerjang dengan gedoran 
tangan ke arah dada Malaikat Petir. Untung lelaki 
gagah itu berhasil mengelakkannya sehingga se- 
rangan lawan hanya menghantam bahu kanan. 
Meskipun demikian, karena kuatnya tenaga dalam 
manusia yang memiliki taring itu, Malaikat Petir 
sampai muntah darah. 


"Lestari, cepat pergi dari sini...!" 

Malaikat Petir masih sempat mengeluarkan 
seruan terhadap putrinya ketika Raksasa Pemang- 
sa Manusia meluruk ke arahnya. 

Lestari menahan isak tangis yang naik ke 
tenggorokannya. Sekilas sepasang bola matanya 
yang bening itu menatap sang Ayah yang sedang 
terlibat pertarungan dengan lawannya. Memang, 
meskipun sudah terluka Malaikat Petir masih cu- 
kup tangguh untuk dapat dirobohkan dengan mu- 
dah. 

"Selamat tinggal, Ayah...!" seru Lestari den- 
gan suara serak karena rasa haru yang mencekik 
tenggorokan. Firasatnya membisikkan kalau per- 
pisahan dengan ayahnya ini adalah merupakan 
perpisahan yang terakhir kali. Maka sambil me- 
nangis terisak-isak dia berlari cepat meninggalkan 
tempat itu. Sebenarnya hatinya merasa berat un- 
tuk melakukan hal itu. Namun, dia tahu kalau pe- 
san ini tidak dilaksanakan, sang Ayah, si Malaikat 
Petir mati dengan perasaan penasaran. Lagi pula, 
Lestari tidak ingin mati sebagai anak yang tidak 
berbakti karena membangkang perintah orangtua. 
Di samping itu, untuk melakukan perlawanan, je- 
las merupakan tindakan sia-sia. Ayahnya saja 
tampak kewalahan dibuatnya, apalagi dirinya! 

Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan 
lawannya yang bertubuh besar dan mengiriskan 
itu, Malaikat Petir masih sempat melihat kepergian 
Lestari. 

"Selamat tinggal, Lestari! Jagalah dirimu 
baik-baik!" seru lelaki tinggi besar ini dengan mu- 
lut tersenyum. 

Dan ketika bayangan tubuh Lestari lenyap di 
kejauhan, perlawanan Malaikat Petir mulai menu- 
run jauh. Lelaki berpakaian abu-abu ini memang 
telah terluka parah, tenaganya pun telah berku- 
rang jauh, tambahan lagi, kemampuan lawan be- 
rada di atasnya. Hanya karena terdorong perasaan 
untuk menyelamatkan putrinya yang membuat di- 
rinya seperti mendapat tenaga baru. Begitu dia 
yakin kalau Lestari selamat, tenaga tambahan itu 
pun lenyap. 

Degk! 

Malaikat Petir mengeluarkan jeritan me- 
nyayat hati ketika kaki kanan Raksasa Pemangsa 
Manusia menghantam dadanya secara telak se- 
hingga membuat tubuhnya terlontar jauh ke bela- 
kang. Seketika itu pula nyawa Malaikat Petir me- 
layang ke alam baka karena seluruh isi dadanya 
telah hancur berantakan akibat tendangan yang 
keras itu. 

Tanpa mempedulikan nasib Malaikat Petir 
lagi, Raksasa Pemangsa Manusia melesat mening- 
galkan tempat itu, menuju arah yang tadi ditem- 
puh oleh Lestari. 


kkk 


Lestari bukan seorang gadis yang bodoh. Se- 
telah berlari beberapa saat, pikiran jernihnya tim- 
bul kembali. Sekarang, dia dapat menerima kebe- 
naran perintah yang diberikan ayahnya. Kalau tadi 
dia memaksakan diri membantu ayahnya meng- 
hadapi Raksasa Pemangsa Manusia itu, mungkin 
dia dan ayahnya akan tewas. Lalu, siapa yang 
akan membalaskan dendam mereka? Kalau seka- 
rang dia dapat menyelamatkan diri, kemungkinan 
untuk mengadakan pembalasan, meskipun kecil 
tapi ada harapannya. 

Itulah sebabnya, ketika mendengar bunyi 
berdebum yang semakin lama semakin keras, dan 
mendekati tempatnya, Lestari dapat menduga ka- 
lau Raksasa Pemangsa Manusia tengah mengejar- 
nya. Dan itu berarti Malaikat Petir, ayahnya, telah 
tewas! 

Lestari menelan kesedihan yang menyesak- 
kan dada. Dendam yang hebat terhadap Raksasa 
Pemangsa Manusia pun seketika muncul di ha- 
tinya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah 
dengan menyerang tokoh yang memiliki taring itu 
secara membuta. Gadis berpakaian merah ini ju- 
stru terus mempercepat larinya seraya mengedar- 
kan pandangan ke sana kemari untuk mencari 
tempat persembunyian yang baik. 

Dan ketika akhirnya menemukannya, Lestari 
segera menyelinap ke sana. Sebuah kerimbunan 
semak belukar yang rapat ditumbuhi pepohonan. 
Namun, baru saja masuk ke dalamnya, gadis ber- 
pakaian merah ini hampir menjerit kaget kalau ti- 
dak cepat-cepat menahannya. Di dalam semak be- 
lukar yang dimasukinya tengah bersembunyi seo- 
rang pemuda tampan berpakaian coklat. Pemuda 
tampan bertubuh tegap itu meletakkan jari telun- 
juknya di bibir, memberi tanda agar Lestari tidak 
membuat kegaduhan hingga membuat jeritan ga- 
dis berpakaian merah tertahan. 

Dan sebelum Lestari sempat berbuat sesua- 
tu, pemuda berpakaian coklat itu telah mengang- 
surkan sebuah kendi kecil padanya. 

"Gosokkan isinya pada seluruh pakaian dan 
kulit tubuhmu agar Raksasa Pemangsa Manusia 
tidak dapat menemukanmu," ucapnya dengan su- 
ara berbisik. 

"Apa ini?!" tanya Lestari sambil menerima 
kendi yang diangsurkan pemuda berpakaian cok- 
lat itu. Dia memperhatikan kendi itu sejenak, de- 
mikian pula dengan wajah pemuda yang memberi- 
kannya. Meski ucapannya itu pun dikeluarkan 
dengan suara pelan tapi tidak menyembunyikan 
adanya nada curiga di dalamnya. 

"Cairan berisikan ramuan yang menyebar- 
kan bau tanam-tanaman. Paman ku yang membe- 
rikannya, dan sengaja kuberikan padamu agar 
kau terhindar dari tangan Raksasa Pemangsa Ma- 
nusia. Kau tahu, tokoh yang mengerikan itu me- 
miliki penciuman yang amat tajam. Sekali saja 
bertemu denganmu, dia akan mengetahuinya 
meski kau berada jauh dari tempatnya. Raksasa 
Pemangsa Manusia memiliki hidung binatang 
buas." 

"Jadi... ramuan ini untuk menghilangkan 
bau tubuhku dan menggantinya dengan bau ta- 
nam-tanaman?!" tanya Lestari meminta kepastian. 

"Benar, tapi tidak dapat bertahan lama. Ce- 
patlah, aku khawatir kita terlambat dan Raksasa 
Pemangsa Manusia lebih dulu tiba di sini...!" 

Kali ini Lestari tidak ragu-ragu lagi untuk 
membuka tutup kendi itu. Meskipun demikian, 
perasaan hati-hati mendorongnya untuk mencium 
baunya ketika sumbat kendi itu terbuka. Dan 
memang, pemuda berpakaian coklat itu tidak ber- 
kata bohong, dia mencium bau khas tanaman dari 
dalam kendi itu. 

Baru saja pemuda berpakaian coklat meng- 
gosok-gosokkan isi kendi itu pada sekujur pakaian 
dan tubuhnya, langkah-langkah yang menggetar- 
kan bumi semakin keras terdengar. Sesaat kemu- 
dian, Raksasa Pemangsa Manusia berlari, lewat ja- 
lan tak jauh dari semak belukar tempat keduanya 
bersembunyi. 

Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan 
lari. Kepalanya ditolehkan ke arah kerimbunan 
semak-semak di kanan kiri jalan yang tengah dila- 
luinya. Hidungnya yang besar bergerak-gerak se- 
perti tengah mengendus-endus. Tingkah manusia 
bertubuh besar dan tinggi ini mirip binatang buas 
tengah mencari mangsanya yang lolos. 

Lestari yang berada di dalam kerimbunan 
semak-semak, sempat berdebar tegang hatinya ke- 
tika melihat Raksasa Pemangsa Manusia memper- 
hatikan tempat persembunyiannya. Untung saja 
semak-semak ini amat rapat sehingga dirinya ti- 
dak terlihat. Sementara Lestari sendiri dapat men- 
gamatinya dengan jelas, bahkan ketika raksasa 
bertaring panjang itu mengembang-kempiskan hi- 
dungnya yang besar. Kenyataan yang dilihatnya 
ini semakin menambah kepercayaan di hati Lestari 
terhadap pemuda berpakaian coklat 

Ketegangan yang melanda hati Lestari mem- 
buyar ketika Raksasa Pemangsa Manusia tidak 
mempedulikan tempat persembunyiannya lagi. So- 
sok bertubuh raksasa itu terus berlari dengan di- 
iringi bunyi bergetar keras dan berirama pada ta- 
nah. 


kkk 




"Hhh...!" 

Lestari mengeluarkan napas lega ketika me- 
lihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia lenyap di- 
telan di kejauhan. Yang tertinggal hanya getaran 
langkahnya pada tanah. 

"Terima kasih atas pertolonganmu..., Sobat. 
Aku Lestari," gadis berpakaian merah ini mengu- 
lurkan tangan, memperkenalkan diri. 


"Aku Prapanca, Lestari. Dan mengenai perto- 
longanku, lupakan saja! Hanya sebuah pertolon- 
gan kecil dan tidak berarti," jawab pemuda berpa- 
kaian coklat seraya menyambut uluran tangan 
Lestari. 

"Bagaimanapun kau telah berjasa besar, 
Prapanca" Tanpa sungkan-sungkan, Lestari yang 
mempunyai watak lincah dan tidak pemalu, me- 
nyapa pemuda berpakaian coklat itu dengan nada 
akrab seakan-akan mereka telah kenal lama. "Ka- 
lau tidak ada dirimu, mungkin aku sudah tertang- 
kap oleh raksasa bermulut bau itu. Kau benar, 
Prapanca. Raksasa bermulut kotor itu memiliki 
hidung unik, seperti hidung macan! Eh, bagaima- 
na kau bisa tahu kalau aku tengah dikejar-kejar 
raksasa jelek yang menjemukan itu? Dari mana 
pula kau mengetahui ketajaman... eh, hidungnya? 
Mengapa kau berada di sini? Siapa pula pamanmu 
itu?" 

Pemuda berpakaian coklat yang bernama 
Prapanca sampai melongo menerima pertanyaan 
memberondong seperti gelombang laut itu. Dia 
merasa bingung memikirkan jawaban lebih dulu 
yang harus diberikan. Tambahan lagi dia masih 
merasa terkesima ketika merasakan halusnya tan- 
gan Lestari yang tadi berada di genggamannya. 

"Hey...! Kau ini kenapa, sih?" sentak Lestari 
agak keras ketika melihat Prapanca hanya terlon- 
gong bengong. 

"Ah... oh.... Ti... tidak apa-apa, Lestari. 

Hanya saja... maaf, maksudku... eh.... Aku harus 
menjawab pertanyaanmu yang mana dulu? Perta- 
nyaanmu terlalu banyak sih!" 

"Sesukamulah!" sahut Lestari sambil men- 
gangkat bahu. 


"Baiklah kalau begitu. Aku tahu kalau diri- 
mu tengah dikejar-kejar karena melihatmu menye- 
linap kemari. Tahu orang yang mengejarmu Rak- 
sasa Pemangsa Manusia, penyebabnya karena 
hanya tokoh sesat itulah yang memiliki ciri khas 
begitu jika berlari. Sedangkan mengenai keistime- 
waan Raksasa Pemangsa Manusia... kudengar dari 
paman ku. Jelas?!" 

"Sangat jelas!" Lestari mengangguk- 
anggukkan kepala dan tersenyum. 

"Sekarang giliranku mengajukan pertanyaan, 
Lestari," ujar Prapanca bersikap seperti Lestari, 
sok akrab. "Mengapa kau bisa berurusan dengan 
Raksasa Pemangsa Manusia? Lalu bagaimana kau 
bisa lolos dari tangannya?" 

Wajah Lestari langsung berubah hebat men- 
dengar pertanyaan ini. Semula gadis berpakaian 
merah ini lupa nasib ayahnya, tapi kini teringat 
kembali karena mendapat pertanyaan itu. 

"Ayaaah...!" seru Lestari dengan hati pilu. 
Dan sebelum gema teriakannya lenyap, dia telah 
melesat cepat ke arah semula. 

Mendapat jawaban seperti ini, karuan saja 
Prapanca jadi kebingungan. Dia sama sekali tidak 
menyangka, kalau pertanyaannya akan berakibat 
seperti itu. Meskipun begitu, pemuda berpakaian 
coklat ini mampu bersikap tanggap. 

"Lestari...! Tunggu...!" 

Namun seruan Prapanca sia-sia. Lestari ti- 
dak menggubris seruannya sama sekali, dan terus 
berlari. Hingga Prapanca pun tidak tinggal diam. 
Dia segera berlari mengejar. Dan ternyata ilmu lari 
cepat pemuda berpakaian coklat ini tidak rendah. 
Dia mampu membayangi Lestari, bahkan perlahan 
namun pasti dapat memperdekat jarak. 


Lestari tentu saja tahu kalau Prapanca men- 
gikutinya. Namun tidak dipedulikannya sama se- 
kali. Yang ada di benak gadis itu hanya ayahnya. 
Dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa ayah- 
nya. Kalau tidak Raksasa Pemangsa Manusia tidak 
akan bisa mengejarnya karena Malaikat Petir pasti 
akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalan- 
ginya. 

"Ayaaah...!" 

Lestari menjerit keras penuh bernada kek- 
hawatiran, kepiluan, dan keterkejutan ketika me- 
lihat sosok yang tergeletak di tanah di tempat per- 
tarungan antara Raksasa Pemangsa Manusia den- 
gan ayahnya. Meski jaraknya masih cukup jauh, 
sepasang mata Lestari yang awas langsung bisa 
mengenali kalau sosok yang terbaring itu tak lain 
ayahnya. 

Prapanca hanya bisa berdiri diam, terpaku di 
dekat Lestari yang duduk bersimpuh sambil me- 
nangisi kematian ayahnya. Pemuda berpakaian 
coklat ini tidak berkata apa-apa. Dia tahu tidak 
ada gunanya menghibur karena akan sia-sia. Hal 
yang lebih penting sekarang adalah membiarkan 
Lestari menumpahkan semua ganjalan perasaan- 
nya agar dadanya menjadi lega. 

Cukup lama juga Prapanca harus menunggu 
Lestari menghentikan tangisnya. Pemuda itu baru 
ikut campur tangan dan membantu ketika Lestari, 
dengan bahu yang masih terguncang-guncang ka- 
rena isak tangis, membopong tubuh ayahnya. 
Tanpa diminta Prapanca membuat lubang kubu- 
ran untuk ayahnya Lestari. 


kkk 


"Aku turut berdukacita atas kejadian ini, 
Lestari," ucap Prapanca lirih setelah selesai men- 
guburkan mayat Malaikat Petir. "Boleh ku tahu, 
apa yang akan kau lakukan sekarang?" 

"Terima kasih, Prapanca. Aku banyak berhu- 
tang budi padamu. Kalau tidak ada kau, entah apa 
yang akan terjadi dengan diriku," jawab Lestari 
dengan suara serak. "Hhh...! Aku sendiri tidak ta- 
hu apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin 
aku akan memenuhi permintaan ayahku jauh- 
jauh hari sebelum beliau tewas...." 

"Apa aku boleh mengetahuinya, Lestari?!" 
tanya Prapanca hati-hati karena khawatir mem- 
buat Lestari tersinggung. Pemuda berpakaian cok- 
lat ini tahu orang yang tengah dilanda kesedihan 
besar bisa mengalami perubahan watak yang tidak 
terduga. 

"Yahhh...," jawab Lestari dengan suara men- 
desah. "Dulu... beberapa tahun yang lalu, ayahku 
sering kali menyinggung tentang hal ini. Seper- 
tinya beliau telah mempunyai firasat akan adanya 
maut yang mengancam. Itulah sebabnya beliau 
sering memberi nasihat padaku apabila terjadi 
hal-hal tidak diinginkan atas dirinya, aku diperin- 
tahkan untuk menemui kawan-kawan akrabnya. 
Beliau mempunyai dua orang kawan karib, tapi 
aku lebih dipesankan untuk menemui kawannya 
yang satu lagi yang berjuluk Malaikat Salju." 

"Malaikat Salju?!" Sepasang alis Prapanca 
berkerut seakan merasa terkejut mendengar uca- 
pan gadis itu. 

"Ya! Mengapa?!" Lestari balas mengajukan 
pertanyaan seraya menatap wajah Prapanca pe- 
nuh selidik. "Apakah kau mengenalnya? Atau...." 

"Aku tidak mengenalnya, Lestari," selak Pra- 
panca untuk mencegah gadis berpakaian merah 
itu melanjutkan ucapannya. "Tapi terus terang, 
kuakui kalau aku mengenalnya... maksudku men- 
dengar julukannya. Bukankah Malaikat Salju me- 
rupakan salah seorang dari Tiga Malaikat Bayan- 
gan yang belasan tahun lalu menggemparkan du- 
nia persilatan?! Kalau ayahmu merupakan saha- 
bat karib Malaikat Salju berarti beliau salah seo- 
rang dari Tiga Malaikat Bayangan. Maaf, aku... 
mungkin terlalu lancang, Lestari!" 

"Dugaanmu tidak salah, Prapanca. Ayahku 
memang salah satu dari tiga tokoh besar itu. Ju- 
lukan beliau Malaikat Petir," ujar Lestari menje- 
laskan masih dengan suara serak karena isak tan- 
gis yang tadi melanda. 

Prapanca mengangguk-anggukkan kepala. 
Karuan saja melihat sikap ini, Lestari merasa he- 
ran. "Ada apa, Prapanca?!" 

"Tidak apa-apa," sahut pemuda berpakaian 
coklat itu. "Hanya saja sekarang aku tahu menga- 
pa ayahmu dibunuh oleh Raksasa Pemangsa Ma- 
nusia. Pasti ini ada hubungannya dengan kejadian 
bertahun-tahun yang silam. Maksudku, ada hu- 
bungannya dengan kematian murid Raksasa Pe- 
mangsa Manusia oleh Malaikat Petir, ayahmu." 

"Kau... kau..., dari mana kau mengeta- 
huinya?!" tanya Lestari terbata-bata karena kaget 
mendengar dugaan Prapanca yang demikian tepat. 
Dari mana pemuda berpakaian coklat itu tahu, 
padahal dia sendiri, yang ayahnya terlibat lang- 
sung karena yang menjadi korban adalah ayah- 
nya, baru mengetahuinya dari ucapan Raksasa 
Pemangsa Manusia sendiri. 

Prapanca tidak langsung menjawab perta- 
nyaan itu. Dia malah menghela napas berat sambil 
menundukkan kepala. Sejenak sepasang matanya 
menekuri tanah, seakan-akan ada yang menarik 
perhatiannya di sana. 

"Bukannya aku tidak mau memberitahu- 
kannya, Lestari. Tapi, guruku berpesan demikian. 
Dia tidak ingin ada seorang pun yang mengeta- 
huinya. Aku hanya dapat memberikan gambaran 
bahwa guruku mempunyai hubungan dengan sa- 
habat-sahabat ayahmu, dan bahkan terhadap 
ayahmu juga. Oleh karena itu, aku tahu penyebab 
permusuhan ayahmu dengan Raksasa Pemangsa 
Manusia. Cukup jelas?!" 

"Hik hik hik...!" 

Suara tawa berkikikan telah lebih dulu me- 
nyambuti ucapan Prapanca, sebelum Lestari 
memberikan tanggapan. Suara tawa yang jelas be- 
rasal dari mulut seorang wanita. Hanya saja na- 
danya begitu menyeramkan, di samping getaran 
kuat yang menggetarkan dada. 

Prapanca dan Lestari hampir bersamaan 
menolehkan kepala ke arah asal suara. Sepasang 
muda-mudi ini langsung bersikap waspada karena 
bisa mengetahui kalau pemilik tawa itu merupa- 
kan orang sakti. Tawa yang mampu menggetarkan 
dada mereka, penyebab Prapanca dan Lestari da- 
pat memperkirakan demikian. 

"Dewi Cabul...!" desis Prapanca terkejut keti- 
ka melihat pemilik tawa. 

"Hi hi hi...! Rupanya kau telah mengenaliku, 
Bocah Bagus...?! Luar biasa! Ini menjadi pertanda 
kalau kau bukan orang sembarangan. Bagus...! 
Bagus...!" 

Sosok yang disapa Prapanca dengan julukan 
Dewi Cabul, tidak pantas menyandang julukan 
demikian, karena paras dan keadaannya tidak mi- 
rip dengan dewi! Dia adalah seorang nenek, be- 
rambut panjang berwarna dua. Tubuhnya tinggi, 
tapi agak membungkuk, bongkok udang. Hidung- 
nya melengkung seperti paruh burung kakaktua. 
Sepasang matanya yang mirip mata kucing itu 
semakin menambah seram penampilannya. Selain 
itu, rambutnya yang kusut masai dibiarkan ter- 
gerai dan dipermainkan angin. 

"Seharusnya nenek bongkok ini tidak me- 
nyandang gelar dewi melainkan iblis atau nenek 
sihir!" protes Lestari dalam hati. 

"Hi hi hi...! Tidak salahkah kau, Prapanca?!" 
selak Lestari setelah terlebih dulu mengumbar ta- 
wa. "Orang seperti ini kau sebut dewi? Lalu, ba- 
gaimana pula jelek atau buruknya kuntilanak dan 
iblis?! Seharusnya dia berjuluk Nenek Burung 
Bermata Anjing!" 

Prapanca terkejut mendengar ucapan Lestari 
yang bernada menghina itu. Dia memang tahu ka- 
lau Lestari memiliki watak luar biasa, tidak men- 
genai takut, dan angin-anginan. Saat ini sedih, ta- 
pi lain saat lupa akan kesedihannya dan dapat 
memperolok orang lain. Namun, tindakan Lestari 
kali ini keterlaluan! Bukan hanya karena semba- 
rangan mengeluarkan makian terhadap seseorang, 
tapi juga karena Prapanca tahu siapa sebenarnya 
orang yang dihina Lestari! 

Prapanca sama sekali tidak tahu kalau ke- 
matian Malaikat Petir yang sangat mengenaskan, 
telah mengguncangkan hati Lestari. Memang, ga- 
dis berpakaian merah ini memiliki sifat angin- 
anginan, tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam 
alun kesedihan karena wataknya yang lincah dan 
gembira. Namun, Malaikat Petir merupakan satu 
satunya keluarga yang ada, dan Lestari sendiri 
amat menyayangi ayahnya. Maka, Lestari amat 
dendam tatkala mengetahui ayahnya mati secara 
demikian mengenaskan di tangan Raksasa Pe- 
mangsa Manusia. Kalau saja mampu dan memiliki 
kepandaian, Lestari tentu akan menuntut balas. 
Tapi, karena tahu kalau terhadap Raksasa Pe- 
mangsa Manusia, tidak dapat bertindak apa-apa. 
Dendamnya itu kini ditujukan pada tokoh-tokoh 
persilatan sealiran dengan Raksasa Pemangsa 
Manusia. Karena Raksasa Pemangsa Manusia me- 
rupakan tokoh sesat, Lestari jadi memendam ke- 
bencian besar terhadap tokoh-tokoh aliran hitam. 

Itulah sebabnya, Lestari langsung mengelua- 
rkan hinaan kasar terhadap nenek bongkok. Kare- 
na melihat ciri-ciri, julukan, dan sikapnya, Lestari 
dapat memperkirakan kalau Dewi Cabul adalah 
tokoh golongan hitam. 

"Lestari, kau terlalu sembrono," bisik Pra- 
panca pelan tapi bernada teguran. "Tahukah kau 
siapa nenek itu?!" 

"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Yang 
jelas, dia tokoh golongan hitam, dan aku akan me- 
lenyapkannya!" tandas Lestari, mantap. 

"Hikh... hik... hik...! Gagahnya...! Gagah dan 
cantik jelita! Ingin kulihat apakah kau masih be- 
rani menghinaku apabila wajahmu kujadikan lebih 
buruk dari wajahku...!" 

Setelah berkata demikian, nenek berhidung 
melengkung itu menjulurkan tangan kanannya se- 
cara sembarangan. Lestari tentu saja melihat an- 
caman dari tangan keriput yang memiliki kuku- 
kuku panjang, runcing, dan berwarna hitam itu. 
Namun gadis berpakaian merah ini tidak menam- 
pakkan perasaan gentar atau takut. Dia tahu, se- 
rangan tangan itu tidak akan mengenai sasaran 
yang dituju karena jarak antara mereka berdua ti- 
dak kurang dari satu setengah kali juluran tan- 
gan. Cengkeraman tangan ke arah wajahnya itu 
tidak akan membuahkan hasil sama sekali. 

Namun keyakinan Lestari jadi membuyar ke- 
tika melihat jari-jari tangan nenek itu terus saja 
meluncur ke arah wajahnya. Padahal, Lestari tahu 
pasti kalau nenek bongkok itu tidak melangkah 
maju. Tapi, mengapa jari tangan itu terus melun- 
cur ke arahnya? 

Karena tak mempunyai kesempatan untuk 
mengelak, Lestari terpaksa memapaknya sambil 
mengerahkan seluruh tenaga. Sikap tanggapnya 
yang membuat gadis itu langsung mengambil tin- 
dakan meskipun benaknya masih dipenuhi rasa 
bingung melihat tangan lawan terus meluncur ke 
arah sasaran. 

Lestari memekik tertahan karena perasaan 
kaget dan kesakitan. Tubuh gadis berpakaian me- 
rah ini terjengkang ke belakang seperti diseruduk 
kerbau liar. Sementara nenek Dewi Cabul hanya 
tergetar saja tangannya. 

"Uh...!" Nenek bongkok itu mengeluarkan se- 
ruan kaget ketika merasakan ada hawa panas 
menjalar dari tangannya yang berbenturan dengan 
tangan Lestari. 

"Bukankah itu jurus 'Petir Menyambar 
Awan'? Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir, 
Wanita Binal?!" 

"Kau tidak perlu tahu, Kuntilanak Jelek!" ja- 
wab Lestari, kasar. 

"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin 
mampus?!" 

Dewi Cabul kembali melancarkan serangan 
terhadap Lestari. Dia menubruk maju, memburu 
Lestari yang telah berhasil memperbaiki kedudu- 
kan tubuhnya. Seperti juga sebelumnya, kedua 
tangan nenek bongkok itu tertuju ke arah wajah 
Lestari. Rupanya dia ingin benar merusak wajah 
gadis berpakaian merah yang cantik itu. 


"Tahan...!" 

Seiring terdengarnya bentakan itu, sesosok 
bayangan coklat melesat memapaki serangan Dewi 
Cabul sehingga terjadi benturan antara mereka. 
Dan seperti juga yang terjadi pada Lestari, sosok 
bayangan coklat itu terhuyung-huyung ke bela- 
kang ketika berhasil menangkis serangan. Meski- 
pun demikian, dia berhasil mematahkan serangan 
terhadap Lestari. 

Dewi Cabul mengeluarkan pekik melengking 
nyaring melihat kegagalan serangannya untuk 
yang kedua kali. Kali ini yang membuyarkannya 
tak lain Prapanca. Kemudian dengan sikap gagah, 
pemuda berpakaian coklat itu berdiri di hadapan 
Dewi Cabul, membelakangi Lestari. 

"Kau akan berhadapan denganku apabila 
meneruskan maksudmu itu, Dewi Cabul!" tandas 
Prapanca dengan sikap gagah. 

"Terkutuk! Rupanya kau sudah tidak sabar 
untuk bersenang-senang denganku, Bocah Bagus! 
Baik, kau dulu yang akan kubereskan, baru wani- 
ta liar itu!" 

Diawali teriakan nyaring laksana pekik see- 
kor burung garuda, Dewi Cabul meluruk mener- 
jang Prapanca. Namun, pemuda berpakaian coklat 
itu memang telah siap semenjak tadi, maka ter- 
jangan lawan pun disambutnya dengan hangat. 
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. 

Lestari tidak langsung ikut campur dalam 
pertarungan itu. Dia berdiri, memperhatikan ja- 
lannya pertarungan, sambil merasakan sakit yang 
mendera tangannya akibat berbenturan dengan 
tangan Dewi Cabul. Tangan itu terasa sakit dan 
ngilu bukan kepalang seperti berbenturan dengan 
sebatang baja yang amat keras. Bahkan sekujur 
tangan kanannya bagaikan lumpuh. Lestari tidak 
yakin kalau Dewi Cabul memiliki tingkatan di ba- 
wah Raksasa Pemangsa Manusia. Setidak- 
tidaknya nenek bongkok ini mempunyai kepan- 
daian setingkat dengan tokoh sesat yang bertaring 
itu. Dan dugaan ini membuat Lestari bergidik da- 
lam hati. Sama sekali tidak disangkanya kalau da- 
lam waktu sebentar saja bisa bertemu dengan to- 
koh-tokoh yang memiliki kepandaian demikian 
dahsyat! 

Namun, Lestari tidak bisa terlalu lama teng- 
gelam dalam alun pikirannya itu. Sesaat kemu- 
dian, dia telah sibuk memperhatikan jalannya per- 
tarungan antara Prapanca dengan Dewi Cabul 
dengan penuh minat! Lestari diam-diam terkejut 
ketika menyadari kalau Prapanca pun bukan 
orang sembarangan. Meskipun sebelumnya telah 
menduga kalau pemuda berpakaian coklat itu 
memiliki kepandaian, tapi Lestari tidak menyang- 
ka ternyata setinggi itu. Pemuda itu mampu 
menghadapi amukan Dewi Cabul. 

Namun, kemampuan Prapanca memperta- 
hankan serangan Dewi Cabul hanya untuk bebe- 
rapa gebrakan saja. Kemudian pemuda berpakaian 
coklat itu terdesak hebat Dewi Cabul, meskipun 
telah berusia tua, dan bertubuh bongkok, tidak bi- 
sa dipandang remeh. Dewi Cabul memiliki gerakan 
cepat, dan tenaga dalam kuat. Beberapa kali keti- 
ka berbenturan, baik tangan atau kaki, Prapanca 
selalu menyeringai kesakitan dengan tubuh ter- 
huyung-huyung. 

Prapanca menggertakkan gigi dalam usa- 
hanya menambah semangat menghadapi setiap 
serangan Dewi Cabul. Kendati demikian, usahanya 
hampir tidak membuahkan hasil, Dewi Cabul ter- 
lalu tangguh untuk dapat dilawannya. Dia terus 
didesak dan dipaksa untuk pontang-panting ke 
sana kemari. 

"Tidak usah melawan lagi, Anak Bagus! Per- 
cuma... Lebih baik kau menyerah dan ikut aku. 
Aku berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi 
padamu kalau kau bersedia ikut denganku," bujuk 
Dewi Cabul di sela-sela desakannya. 

"Nenek-nenek tidak tahu malu...!" maki Pra- 
panca sambil melompat ke belakang untuk meng- 
hindarkan sapuan kaki lawannya. "Jangan harap 
aku akan menuruti ajakan mu yang tidak bermor- 
al!" 

"Rupanya kau ingin dipaksa, Bocah Ba- 
gus...?!" ujar Dewi Cabul, tanpa mengundang ke- 
marahan. 

Nenek bongkok ini ternyata tidak main-main 
dengan ucapannya. Belum juga ucapannya lenyap, 
Prapanca merasakan terjangan-terjangan lawan 
semakin menghebat. Pemuda berpakaian coklat ini 
semakin terdesak hebat dan tampak kewalahan. 

Lestari yang sejak tadi memperhatikan ja- 
lannya pertarungan, mengetahui kalau Prapanca 
berada dalam keadaan gawat. Maka, tanpa banyak 
cakap lagi, dicabut kipas bajanya yang terselip di 
pinggang, dan langsung terjun ke kancah perta- 
rungan. 


kkk 




Ikut campurnya Lestari ke dalam kancah 
pertarungan benar-benar merubah keadaan. Pra- 
panca tampak mulai terbebas dari desakan hebat. 
Tenaga gadis berpakaian merah itu memang dapat 
diandalkan. Sekarang, Dewi Cabul tidak bisa 
mendesak lawannya secara mudah. Apalagi ketika, 
Prapanca pun mengeluarkan senjatanya. Sepasang 
sumpit berujung runcing terbuat dari gading ga- 
jah, Dewi Cabul terpaksa mengeluarkan senjata 
andalannya, sehelai sapu tangan. 

Lestari dan Prapanca semula merasa heran 
melihat Dewi Cabul menggunakan selembar sapu 
tangan lebar berwarna merah muda sebagai senja- 
ta. Namun ketika merasakan kehebatan benda itu 
di tangan nenek bongkok, pandangan mereka 
langsung berubah. Sapu tangan itu ternyata tidak 
kalah ampuh dengan senjata-senjata lainnya. Se- 
lembar kain saja mungkin dapat digunakan untuk 
menghancurkan batu karang yang paling keras 
hanya dengan dikebutkan oleh Dewi Cabul. Sapu 
tangan itu bisa pula berubah menegang kaku se- 
perti batang tongkat baja, bahkan mungkin pe- 
dang yang tajam. 

Untungnya, Lestari dan Prapanca mampu 
bekerja-sama dengan baik. Sepasang muda-mudi 
ini dengan cepat dapat saling menyesuaikan diri 
menghadapi lawan mereka. Mereka mampu saling 
memperkuat serangan dan pertahanan. Kerjasama 
mereka mampu menambah daya tahan serangan 
dan pertahanan. Keduanya mampu saling isi dan 
melindungi. 

"Keparat!" 

Dewi Cabul memaki-maki penuh kegeraman 
karena sampai lima puluh jurus bertarung, belum 
juga mampu mendesak pasangan muda-mudi itu. 
Kegeramannya semakin menjadi-jadi karena rasa 
penasaran yang memuncak. Dia telah mengguna- 
kan senjata andalan, tapi belum juga mampu me- 
robohkan dua orang lawan yang masih sangat 
muda. Kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persi- 
latan, mau ditaruh di mana mukanya? 


Sejauh itu, Dewi Cabul yang telah mengelua- 
rkan seluruh kemampuannya tetap tidak bisa ber- 
buat banyak. Namun hal yang sama pun dialami 
oleh pasangan muda-mudi yang menjadi lawan- 
nya. Sebagai tokoh yang telah kenyang pengala- 
man Dewi Cabul cepat tanggap dan tahu kalau 
menghadapi keadaan seperti ini pertarungan akan 
berlangsung cukup alot. Masih panjang waktu ba- 
ginya untuk dapat mengalahkan Lestari dan Pra- 
panca. Tampaknya nenek bongkok ini tidak mem- 
punyai kesabaran yang cukup untuk menunggu 
lebih lama. 

"Hih...!" 

Dewi Cabul meraup segenggam debu dan 
melemparkannya ketika Lestari dan Prapanca 
memburunya. Nenek bongkok yang licik itu me- 
mang pura-pura terdesak dan menjatuhkan diri di 
tanah. Mendapat serangan curang dan tidak ter- 
sangka-sangka, pasangan muda-mudi itu kelaba- 
kan. Namun mereka langsung menahan serangan 
seraya memejamkan mata agar serangan abu itu 
tidak mengenai mata. 

Kesempatan seperti ini yang ditunggu- 
tunggu Dewi Cabul. Laksana seekor ikan, tubuh- 
nya melenting ke arah lawan-lawannya yang ten- 
gah berada dalam keadaan kurang menguntung- 
kan itu. Nenek bongkok ini mengirimkan serangan 
dengan sebuah totokan sapu tangan yang telah 
dibuatnya menegang, ke arah ulu hati Lestari. 

Meski dengan sepasang mata terpejam, baik 
Lestari maupun Prapanca, bisa mengetahui 
adanya serangan maut itu. Pendengaran mereka 
yang terlatih menangkap bunyi mencicit nyaring. 
Maka keduanya bergegas menghindar. 

Tukkk! 

Blukkk! 


Lestari dan Prapanca sama-sama menjerit 
kesakitan ketika serangan licik Dewi Cabul men- 
genai sasaran, meskipun tidak terlalu cepat. Ujung 
sapu tangan tidak mengenai ulu hati Lestari, me- 
lainkan paha kanannya. Sedangkan Prapanca ter- 
kena tendangan pada bahu kirinya. Tubuh sepa- 
sang muda-mudi itu terjengkang dan terguling- 
guling. 

Dewi Cabul yang membenci Lestari karena 
telah campur tangan dan merepotkannya, segera, 
menubruk untuk mengirimkan serangan maut. 
Tentu Lestari yang tidak mau merelakan nya- 
wanya begitu saja berusaha keras untuk menye- 
lamatkan diri. Namun, tetap saja ujung kebutan 
sapu tangan itu menyerempet pinggangnya hingga 
dia terguling. Dewi Cabul segera menyusuknya 
dengan serangan maut 

"Lestari...!" 

Prapanca yang kalah cepat oleh Dewi Cabul 
hanya dapat menjerit ngeri melihat hal ini. Dengan 
seluruh kemampuan yang ada, pemuda berpa- 
kaian coklat ini melesat untuk menyelamatkan 
Lestari. 

Trakkk! 

Dewi Cabul mengeluh tertahan ketika ujung 
sapu tangannya tidak menghantam leher Lestari, 
melainkan berbenturan dengan sebatang pedang 
yang dibabatkan oleh sesosok bayangan putih. La- 
gi-lagi serangan nenek bongkok itu gagal total. 
Dan kesempatan itu segera dipergunakan oleh 
Lestari untuk beringsut menjauh. 

"Jahanam! Siapa kau, Monyet Betina Bu- 
duk?! Sebutkan namamu sebelum mati di tangan- 
ku!" maki Dewi Cabul geram sambil menatap so- 
sok bayangan putih yang telah menggagalkan se- 
rangannya. Sosok berpakaian putih itu berdiri te- 
gak di depan dengan pedang melintang di depan 
dada. 

"Kaulah yang akan mati di tanganku, Monyet 
Betina Tua! Hhh... perempuan tua bau tanah! Ke- 
nalkan, aku Melati!" tandas sosok bayangan putih 
yang ternyata seorang gadis cantik dan berambut 
panjang tergerai. Kecantikannya bercampur den- 
gan keanggunan ketika dagunya agak mendongak 
seiring dengan ditutup ucapannya yang lantang. 

Melati, kekasih Dewa Arak ini, langsung me- 
nyambung ucapannya dengan tusukan pedang ke 
leher Dewi Cabul. Bunyi mengaung keras langsung 
terdengar ketika senjata tajam itu meluncur. Ter- 
nyata Melati langsung menggunakan ilmu pe- 
dangnya yang ganas, Ilmu 'Pedang Seribu Naga'. 

Wajah Dewi Cabul berubah karena kaget me- 
lihat serangan Melati yang ganas itu. Walaupun 
demikian, tidak berarti dia menjadi gugup atau 
bingung. Tangan kanannya bergerak dengan ce- 
pat. 

Rrrttt! 

Dengan gerakan cepat, Dewi Cabul berhasil 
melibat batang pedang Melati dengan sapu tan- 
gannya. Melati kaget. Namun, sebelum gadis ber- 
pakaian putih ini bertindak, Dewi Cabul telah le- 
bih dulu menggoyangkan kepala. 

Wrrr! 

Tiba-tiba rambut Dewi Cabul kusut masai 
terayun deras ke arah kepala Melati. Dengan keli- 
haiannya, nenek bongkok ini telah membuat ram- 
butnya menjadi kaku laksana segumpal balok. 

Namun dengan menundukkan tubuh, Melati 
berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan sam- 
bil melakukan tindakan demikian, dikerahkan te- 
naga dalam untuk menarik pedangnya dari lilitan 
satu tangan lawan. Hasilnya, sia-sia! Batang pe- 
dang itu seperti telah berakar dan menyatu den- 
gan sapu tangan Dewi Cabul. Tidak mampu terle- 
pas. Dan celakanya lagi, tenaga dalam Melati tak 
mampu menandingi sehingga ketika nenek bong- 
kok itu balas menarik tubuh Melati tertarik ke de- 
pan. 

Dan terseretnya tubuh Melati itu langsung 
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Dewi Cabul. 
Nenek bongkok ini menyambuti datangnya tubuh 
Melati dengan sebuah pukulan telapak tangan ter- 
buka ke arah dada. 

Melati yang tidak mempunyai pilihan lain, 
langsung memapaknya dengan sikap tangan seru- 
pa. 

Plakkk! 

Dua buah tangan yang sama-sama mengan- 
dung tenaga dalam tinggi berbenturan. Melati 
langsung terpekik kaget ketika mengetahui tan- 
gannya tidak mampu ditarik pulang kembali. Tan- 
gan itu seperti telah melekat dengan tangan la- 
wannya. Jantungnya dirasakan berdetak cepat se- 
cara mendadak ketika mengetahui tenaga dalam- 
nya mengalir deras ke arah Dewi Cabul melalui 
tangan yang saling melekat. Betapa pun Melati be- 
rusaha keras untuk mencegah, tetap sia-sia! Te- 
naga dalamnya terus menjalar ke tubuh Dewi Ca- 
bul tanpa dapat dicegah lagi. 

Melati benar-benar kehabisan daya. Wanita 
perkasa yang berjuluk Dewi Penyebar Maut akibat 
keganasan tindakannya terhadap orang-orang 
yang berada di pihak berlawanan dengannya. (Un- 
tuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode: "Dewi Penyebar Maut'"). Menyadari kalau 
nyawanya berada di ambang kematian. 

Sing, sing! 


Di saat kritis bagi keselamatan Melati, dua 
buah batu kecil sebesar ibu jari kaki meluncur ke 
arah dahi dan leher Dewi Cabul. Si Nenek Bong- 
kok tidak berani menganggap remeh serangan ini, 
karena di samping mengancam jalan darah kema- 
tian, juga dilepas dengan pengerahan tenaga da- 
lam tinggi. Ternyata Prapanca orang yang mengi- 
rimkan serangan itu. 

Harapan Prapanca untuk menyelamatkan 
nyawa Melati dari ancaman maut, tidak percuma. 
Dewi Cabul yang melihat adanya bahaya besar itu, 
buru-buru melepaskan kemampuannya menyedot 
tenaga Melati, dan langsung melompat ke bela- 
kang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh Prapanca untuk melancarkan seran- 
gan susulan dengan mempergunakan sepasang 
sumpitnya. 

"Larilah, Nisanak! Tinggalkan tempat ini, bi- 
ar aku yang menahannya dulu...!" teriak Prapanca 
pada Melati di sela-sela sambaran sumpitnya yang 
menusuk ke arah jalan-jalan darah kematian di 
tubuh lawannya. 

Melati tentu saja mendengar seruan itu. Dan 
kalau saja dia mau menuruti, meski masih agak 
lemas karena sebagian tenaganya terkuras, mudah 
saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. 
Namun Melati bukan wanita yang gampang me- 
nyerah, dan Prapanca keliru kalau mengira gadis 
itu akan cepat melarikan diri. Gadis berpakaian 
putih ini malah berdiam diri di tempatnya, beru- 
saha untuk memulihkan tenaga dalamnya yang 
tersedot 

Tindakan Melati membuat Prapanca menjadi 
cemas, karena merasa dirinya bukan tandingan 
Dewi Cabul. Dan Prapanca memang tidak bermak- 
sud untuk terus bertarung dengan nenek bongkok 
itu. Penyerangannya atas Dewi Cabul semata-mata 
untuk menyelamatkan Melati yang telah menyela- 
matkan Lestari. Paling tidak dapat memberi ke- 
sempatan pada gadis berpakaian putih agar mela- 
rikan diri, baru kemudian dia ikut kabur apabila 
mendapat kesempatan. Sedangkan Lestari sudah 
lebih dulu meninggalkan mereka. Dan itu pun atas 
anjuran Prapanca. 

Sebenarnya, kalau saja tidak ada perkem- 
bangan lain, Prapanca lebih suka untuk mene- 
ruskan pertarungan. Dengan adanya tenaga ban- 
tuan dari Melati, mereka bertiga akan mampu 
mengalahkan Dewi Cabul. Namun di saat Melati 
tengah bersitegang melawan pengaruh ilmu aneh 
Dewi Cabul, mendadak terdengar getaran-getaran 
di bumi. Prapanca tahu apa artinya ini. Apalagi 
ketika menyadari kalau getaran itu semakin men- 
geras. Raksasa Pemangsa Manusia tengah berlari 
mendekati tempat pertarungan mereka. Dan hal 
itu berarti bahaya besar. Dewi Cabul saja sudah 
merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi di- 
tambah dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang 
memiliki kemampuan mengiriskan, di samping 
bentuk tubuhnya yang besar. Kedua tokoh itu 
mungkin memiliki kemampuan dan kedigdayaan 
yang setingkat karena merupakan tokoh-tokoh 
nomor satu dunia persilatan untuk golongan hi- 
tam. Raksasa Pemangsa Manusia dan Dewi Cabul 
merupakan dua di antara datuk-datuk kaum sesat 
yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis! 

kkk 


Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa 
gelisahnya hati Prapanca ketika melihat Melati ti- 
dak mempedulikan seruannya. Gadis berpakaian 


putih itu malah berdiam diri di tempatnya. Betapa 
pun, Prapanca di tengah-tengah kesibukannya 
menghadapi amukan Dewi Cabul, menyempatkan 
diri memerintahkan Melati melarikan diri. Gadis 
berpakaian putih itu sama sekali tidak memper- 
gunakan kesempatan itu untuk kabur. 

Tidak sampai sepuluh jurus Prapanca me- 
nahan Dewi Cabul, sudah beberapa kali nyawanya 
hampir melayang. Pemuda berpakaian coklat ini 
berhasil selamat hanya di saat-saat terakhir. Itu 
pun dengan terpontang-panting. Prapanca tidak 
yakin kalau dirinya mampu bertahan sepuluh ju- 
rus lagi menghadapi nenek bongkok ini. 

Hal ini membuat Prapanca semakin gelisah. 
Kalau saja Melati sudah menuruti anjurannya un- 
tuk kabur, dengan keadaan seperti ini dia dapat 
memutar otak untuk menyelamatkan diri. Apalagi 
ketika dipikir Lestari pasti akan gelisah menunggu 
kedatangannya karena sewaktu disuruh melarikan 
diri, gadis berpakaian merah ini mau setelah tahu 
kalau Prapanca akan melarikan diri pula. Sama 
sekali Prapanca tak menyangka akan terjadi hal 
seperti itu. 

Akhirnya, setelah tiga jurus berlalu dan Me- 
lati tidak menampakkan tanda-tanda akan melari- 
kan diri, Prapanca jadi kehilangan kesabaran ka- 
rena rasa cemasnya yang hebat. Bunyi getaran 
pada tanah telah semakin keras, pertanda kalau 
Raksasa Pemangsa Manusia sudah tidak jauh lagi 
dari tempat mereka. Itulah sebabnya, Prapanca 
mengambil keputusan singkat. Prapanca yakin 
bahwa Melati akan mengikutinya jika dia kabur 
dari tempat itu. Sebab untuk melakukan perlawa- 
nan seorang diri tidak ada gunanya, hanya menca- 
ri mati. 

Namun, sebelum Prapanca melaksanakan 
niatnya, gadis berpakaian putih itu melesat masuk 
ke dalam kancah pertarungan. 

"Tidak ada gunanya, Kisanak! Lebih baik kita 
tinggalkan tempat ini!" seru Prapanca, keras. 

"Aku akan pergi setelah mengirim Nenek Bau 
ini ke akherat!" sahut Melati sambil mengirimkan 
serangkaian serangan dengan pedangnya. 

Prapanca menggertakkan gigi. Dia tahu tidak 
ada gunanya berdebat dengan Melati yang diang- 
gapnya berwatak keras. Hanya dua pilihan ba- 
ginya, mengikuti tekad Melati, membinasakan De- 
wi Cabul atau meninggalkan Melati sendirian. Su- 
atu pilihan yang membingungkan, karena mem- 
bayangkan betapa gelisahnya Lestari kalau dia ti- 
dak kunjung datang 

Akhirnya, Prapanca memilih yang pertama. 
Dengan keputusan itu, Prapanca mengerahkan se- 
luruh kemampuannya untuk dapat segera mero- 
bohkan Dewi Cabul sebelum Raksasa Pemangsa 
Manusia tiba di sini. 

Namun, niat itu hanya mudah dalam bayan- 
gan, sulit dilaksanakannya. Betapa pun Prapanca 
yang dibantu oleh Melati, berusaha sekuat tenaga 
untuk merobohkan Dewi Cabul, tetap saja nenek 
bongkok itu sukar dirobohkan. Kerjasama antara 
Melati dan Prapanca tidak lebih baik daripada 
dengan Lestari, karena dengan tenaga dalam yang 
sebagian telah terkuras, kemampuan Melati telah 
merosot jauh. Kenyataan ini membuat Prapanca 
semakin gelisah. Namun sebaliknya Melati justru 
terlihat tenang-tenang saja. Rupanya keinginan 
untuk melenyapkan Dewi Cabul membuat Melati 
tidak memikirkan hal-hal lain. Getaran-getaran 
bumi yang semakin mengeras, dan diketahui tidak 
sewajarnya, tidak menarik perhatiannya sama se- 
kali. Dia hanya tertarik sebentar kemudian melu- 
pakannya ketika teringat kembali akan Dewi Ca- 
bul. 

"Ha ha ha...! Rupanya kau telah berada di 
sini, Dewi Cabul?!" Terdengar sebuah suara serak 
dan parau disusul dengan munculnya Raksasa 
Pemangsa Manusia. "Dan kau telah berpesta ru- 
panya. Jangan serakah, Dewi Cabul! Aku tahu kau 
tidak doyan makanan yang satu, biar aku yang 
menyantapnya." 

Tanpa menunggu tanggapan Dewi Cabul, 
Raksasa Pemangsa Manusia telah melangkah le- 
bar memasuki kancah pertarungan. Tangannya 
yang besar dan penuh bulu meluncur ke arah ke- 
dua pinggang Melati seperti hendak memeluk. 

Melati menjerit kaget dan langsung melom- 
pat mundur, sehingga terhindar dari renggutan 
tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Dan pada 
saat yang bersamaan dengan tangan kirinya, gadis 
berpakaian putih ini mengirimkan serangan jarak 
jauhnya, lewat jurus 'Naga Merah Membuang Mus- 
tika'. 

Bresss! 

Serangan tidak terduga-duga yang datang- 
nya demikian cepat itu, tidak dapat dielakkan oleh 
Raksasa Pemangsa Manusia. Seketika tubuh tinggi 
besar ini tergetar dan terhuyung selangkah ke be- 
lakang. 

Mendapatkan serangan balasan yang tak 
terduga-duga itu membuat Raksasa Pemangsa 
Manusia murka. Memang pukulan jarak jauh Me- 
lati tidak mampu melukai tubuhnya yang terlin- 
dung kulit kuat laksana kulit badak. Namun tu- 
buhnya yang terhuyung-huyung dan sedikit rasa 
panas pada dadanya yang terhantam serangan ja- 
rak jauh itu, menyulut amarahnya. Kemarahan 
itulah yang membuatnya menerjang Melati dengan 
pukulan kedua tangan dikepalkan keras. 

Melati yang dibuat terpukau ketika melihat 
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama 
sekali akibat serangan jarak jauhnya, sempat sa- 
dar melihat serangan bertubi-tubi ke arahnya. Ga- 
dis cantik ini langsung mengelak dan balas me- 
nyerang dengan mempergunakan pedangnya. Ilmu 
'Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalannya, 
langsung dikeluarkan. 

Untuk yang kedua kalinya, Melati harus me- 
nelan kenyataan pahit. Lawan yang dihadapinya 
ini memiliki kemampuan jauh di atasnya. Itu pun 
masih ditambah dengan kekebalannya yang luar 
biasa. Beberapa kali, berkat kecepatan gerakan 
serta kedahsyatan ilmu pedangnya, dan terutama 
karena lawan tidak mempedulikan serangan, Me- 
lati berhasil menyarangkan serangan baik berupa 
tusukan, bacokan, maupun tendangan. Namun 
semuanya tidak berarti sama sekali. Kulit tubuh 
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama 
sekali. Bahkan sebaliknya tangan Melati yang ter- 
getar dan sakit-sakit setiap kali pedangnya berha- 
sil mendarat pada sasaran. 

Kekuatan tubuh lawannya ini mengingatkan 
Melati akan lawan dahsyat yang dulu pernah di- 
hadapinya. Dulu pun dia pernah bertarung den- 
gan lawan yang memiliki kulit tubuh kuat. Tokoh 
itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Hanya saja Rak- 
sasa Kulit Baja tidak memiliki kepandaian seperti 
Raksasa Pemangsa Manusia. Kepandaian Raksasa 
Kulit Baja biasa-biasa saja. Kesulitan dalam mem- 
bunuh tokoh itu hanya karena kulit tubuhnya 
yang kebal. (Untuk jelasnya, silakan baca serial 
Dewa Arak dalam episode: "Dewi Penyebar Maut"). 


Bukan hanya Melati yang terancam bahaya 
maut, Prapanca pun tidak berbeda. Begitu Melati 
tidak membantunya karena telah menghadapi 
Raksasa Pemangsa Manusia, Prapanca langsung 
terdesak kembali. Keadaannya tidak jauh berbeda 
dengan kekasih Dewa Arak itu. 

Prapanca tahu, melawan terus berarti rela 
mati konyol. Maka, walau hati berat, diputuskan 
untuk kabur saja meninggalkan lawannya. Tidak 
ada gunanya lagi tetap berada di sini karena dia 
tidak akan dapat menolong Melati. Yang lebih 
penting sekarang berusaha menyelamatkan nya- 
wanya sendiri. "Lagi pula, siapa tahu Melati bisa 
menyelamatkan diri pula," hibur Prapanca dalam 
hati. 

"Dewi Cabul! Lihat, 'Naga Siluman' milikku 
akan mencaplok kepalamu!" seru Prapanca den- 
gan suara bergetar sambil melemparkan salah sa- 
tu sumpit gadingnya. 

Dewi Cabul tersentak kaget. Tanpa sadar dia 
melangkah mundur ketika melihat seekor naga 
muncul dan dari udara hendak mencaplok kepa- 
lanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar, 
memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang runcing. 

Wuttt! 

Pyarrr! 

Naga itu kontan lenyap ketika Dewi Cabul 
menghentakkan tangan kiri mengirimkan pukulan 
dengan telapak tangan terbuka ke arah kepala bi- 
natang mengiriskan itu. Dan di tanah tempat naga 
tadi berada, tampak sebatang sumpit gading yang 
telah hancur berantakan! 

"Keparat!" 

Dewi Cabul menggertakkan gigi penuh pera- 
saan geram karena tahu kalau untuk sejenak tadi, 
lawan telah berhasil menipunya dengan ilmu sihir. 

Naga itu tercipta karena ilmu sihir Prapanca. Dan 
pemuda berpakaian coklat itu sendiri, tidak bera- 
da lagi di situ. 

Meskipun tidak mengetahui arah yang di- 
tempuh Prapanca, Dewi Cabul tetap memaksakan 
diri melakukan pengejaran. Rupanya dia tidak in- 
gin menyia-nyiakan seorang pemuda sakti seperti 
Prapanca. Dengan kepergian Dewi Cabul, tinggal 
Melati dan Raksasa Pemangsa Manusia yang ma- 
sih tinggal di tempat itu. Kedua tokoh ini masih 
sibuk bertarung, dan Melati tetap terdesak dan 
kewalahan. 

Bukkk! 

Melati mengeluh tertahan ketika sisi tangan 
Raksasa Pemangsa Manusia menghantam pangkal 
bahu kanannya. Cukup telak, dan sudah pasti ke- 
ras karena tokoh yang memiliki taring itu memiliki 
tenaga besar. Seketika itu pula tubuh Melati am- 
bruk terkulai di tanah. Pingsan! Sambil tertawa 
tergelak Raksasa Pemangsa Manusia mengangkat 
tubuh Melati dan membawanya pergi dari tempat 
itu. 




"Manusia Jelek! Apa yang hendak kau laku- 
kan?! Mari kita bertarung sampai salah seorang di 
antara kita ada yang mampus!" seru Melati ketika 
Raksasa Pemangsa Manusia membawanya lari 
meninggalkan tempat itu. Hanya hal ini yang da- 
pat dilakukan oleh gadis berpakaian putih itu, ka- 
rena sekujur tubuhnya dirasakan lemas. Raksasa 
Pemangsa Manusia yang tidak bodoh, telah lebih 
dulu menotoknya hingga lumpuh sebelum Melati 
sadar dari pingsannya. 

"Manusia Jelek! Ternyata hanya tubuhmu 
saja yang besar tapi nyalimu kecil. Kalau kau bu- 
kan seorang pengecut, bebaskan totokanku mari 
kita bertarung!" teriak Melati lagi dengan nada 
mulai cemas ketika mengetahui tantangan perta- 
manya tidak memberikan hasil seperti yang diha- 
rapkan. 

"Ha ha ha...!" Kali ini Raksasa Pemangsa 
Manusia tertawa bergelak penuh nada gembira. 
"Kau kira aku bodoh, Wanita Liar? Aku tidak bisa 
dipancing dan ditipu. Apa pun yang kau katakan, 
aku tak akan membebaskan mu. Bukankah telah 
terbukti kalau kau bukan tandinganku?! Kau telah 
kukalahkan! Dan ketahuilah, setiap orang yang 
kalah dengan Raksasa Pemangsa Manusia mem- 
punyai dua pilihan. Kalau dia lelaki atau wanita 
yang telah tua, kematianlah yang akan di dapat. 
Sedangkan wanita yang masih muda, terutama 
sekali yang berilmu tinggi, akan menjadi santapan 
ku. Aku yakin daging dan tulang-tulang mudamu 
pasti nikmat! Ha ha ha...!" 

"Apa kau orang yang berjuluk Raksasa Pe- 
mangsa Manusia?!" tanya Melati, tanpa menyem- 
bunyikan rasa kagetnya. 

Ucapan lelaki tinggi dan bertaring itu yang 
membuatnya mempunyai dugaan demikian. Melati 
telah lama mendengar raja kaum sesat yang berju- 
luk Raksasa Pemangsa Manusia. Namun karena 
tokoh itu telah lama tidak ketahuan rimbanya lagi, 
dia sama sekali tidak menyangka kalau kini ber- 
hadapan dengan tokoh yang mengiriskan itu. Se- 
karang, Melati baru sempat menyadari kalau ciri- 
ciri yang dimiliki tokoh sakti yang mengalahkan- 
nya sesuai dengan berita yang didapatkannya. Se- 
ketika bulu kuduk Melati meremang membayang- 
kan dirinya akan dijadikan santapan tokoh sesat 
yang doyan makan daging manusia ini! Melati 
hanya bisa berharap kalau dugaannya ini salah. 

Melati merasa putus asa ketika melihat lela- 
ki tinggi besar itu mengangguk membenarkan du- 
gaannya. Sementara, Raksasa Pemangsa Manusia 
bersikap tidak peduli dan terus berlari dengan 
langkah kakinya yang menimbulkan bunyi berde- 
bum-debum menggetarkan tanah. 

Tokoh yang mengiriskan ini memperlambat 
larinya ketika tiba di sebuah lembah yang diapit 
dua bukit kecil. Sebuah lembah yang luas, terdiri 
dari tanah kering dan gersang. Raksasa Pemangsa 
Manusia menghentikan langkahnya di depan se- 
buah goa besar yang terlihat hitam kelam. 

Matanya yang besar dan beralis tebal me- 
mandangi ke sekeliling tempat itu dengan kening 
berkernyit, seperti tengah memperhatikan sesua- 
tu. Sesaat kemudian, dengan sembarangan saja, 
tubuh Melati dilemparkan ke dekat dinding goa 
sedangkan dia sendiri langsung melangkah cepat 
masuk ke goa itu. 

Jantung Melati berdetak kencang ketika me- 
lihat Raksasa Pemangsa Manusia berlari memasu- 
ki goa. Gadis berpakaian putih ini menyadari 
adanya sebuah kesempatan untuk melarikan diri. 
Maka, tanpa membuang-buang waktu dikerahkan 
tenaga dalamnya yang berada di bawah pusar, di- 
pusatkan untuk membebaskan jalan darahnya 
yang tertotok. Namun ternyata totokan Raksasa 
Pemangsa Manusia kuat bukan kepalang, sia-sia! 
Meski begitu, gadis berpakaian putih ini tidak pu- 
tus asa dan terus berusaha keras untuk membe- 
baskan diri. 

Melati menghela napas kesal. Seketika pera- 
saan kecewa muncul di dalam hatinya karena ti- 
ba-tiba terdengar bunyi langkah berdebum keras. 
Sesaat kemudian Raksasa Pemangsa Manusia te- 
lah berada kembali di dekatnya. 

Setelah melempar pandangan ke arah Melati 
untuk meyakinkan kalau tawanannya masih ada, 
dengan raut wajah gembira, Raksasa Pemangsa 
Manusia meletakkan alat-alat yang diambilnya da- 
ri ruang dalam tak jauh dari mulut goa. 

Melati semakin merasakan jantungnya ber- 
detak lebih cepat lagi. Dengan sorot mata meman- 
carkan kengerian, diperhatikannya alat-alat yang 
telah tertata rapi di tanah itu. Kayu-kayu bakar, 
sebuah bejana besar mirip penggorengan dan guci 
besar berisi air! Ini berarti penjagalan atas dirinya 
tak lama lagi akan segera dimulai. 

"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia 
tertawa tergelak ketika bejana besar berisi air itu 
telah diletakkan di atas kayu bakar yang menyala 
nyala. "Begitu air itu mendidih, kau akan melihat 
hal-hal yang menarik, Wanita Liar! Kau mungkin 
tahu apa yang akan terjadi. Kau akan ku rebus!?" 

Melati hampir tidak kuasa menahan kenge- 
riannya melihat semua itu. Apalagi ketika terlihat 
olehnya gigi-gigi taring lelaki tinggi besar itu. Na- 
mun dengan menenangkan perasaan gadis itu te- 
tap memandangi penggorengan besar yang penuh 
air di atas kobaran api. Melati yang telah kenyang 
pengalaman tahu, tokoh-tokoh sesat semakin se- 
nang apabila calon korban mereka semakin keta- 
kutan. Mereka mendapat kepuasan tersendiri dari 
rasa takut yang melanda hati mangsa mereka. 

Terlihat oleh Melati sinar kekecewaan di ma- 
ta Raksasa Pemangsa Manusia melihat korbannya 
menampakkan sikap yang berbeda dengan hara- 
pan. 

"Air itu bukan air sembarangan, Wanita Liar! 
Tapi, air yang telah ku campur dengan bahan- 
bahan milikku. Apabila telah mendidih, panasnya 
puluhan bahkan mungkin ratusan kali lipat dari 
air biasa. Hhh... menyakitkan sekali! Seluruh tu- 
buhmu akan terasa seperti ditusuki pisau-pisau 
berkarat yang beracun. Juga, bahan-bahan yang 
ku campurkan membuat tubuhmu akan matang 
jauh lebih lama! Dengan demikian kau akan ter- 
siksa sekali. Ha ha ha...!" lanjut Raksasa Pe- 
mangsa Manusia dengan nada dibuat menyeram- 
kan untuk menimbulkan ketakutan hati Melati, 
agar dia tidak merasa kecewa lagi untuk kedua ka- 
linya. Dia ingin melihat korbannya ini merengek- 
rengek memohon ampun. 

Melati memang merasa ngeri bukan kepa- 
lang mendengarnya. Dia tahu, Raksasa Pemangsa 
Manusia tidak berdusta. Meski demikian, gadis 
berpakaian putih itu pandai menyembunyikan pe- 
rasaan takut sehingga tidak terlihat di wajahnya. 

Raksasa Pemangsa Manusia merasa kecewa 
melihat kegagalan dari usahanya. Sekarang dia 
sadar kalau Melati tidak bisa ditakut-takutinya. 
Namun rasa gembira yang melanda hati jauh lebih 
besar dari perasaan kecewa, sehingga meski kein- 
ginannya untuk menakut-nakutkan Melati tidak 
berhasil, mulut manusia raksasa itu tetap tertawa. 

"Sekarang tinggal menunggu air itu mendi- 
dih, Wanita Liar! Dan apabila itu terjadi, nyawamu 
telah berada di ambang pintu akherat. Nikmatilah 
saat-saat terakhirmu, Wanita Liar!" 


kkk 


"Lepaskan dia, Manusia Pemakan Bangkai!" 

Raksasa Pemangsa Manusia terperanjat, be- 
gitu pula Melati. Seruan yang terdengar itu meski- 
pun tidak keras tapi mengandung getaran sampai 
ke dalam dada. Yang lebih mengejutkan hati lagi, 
seruan itu muncul tanpa ketahuan pemiliknya. 

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi baik Me- 
lati maupun Raksasa Pemangsa Manusia tahu ka- 
lau pemilik suara itu berkepandaian tinggi. Geta- 
ran suara yang mampu merasuk ke dalam dada 
telah menjadi bukti nyata ketinggian tenaga dalam 
pemilik suara itu. Namun yang lebih mengejutkan, 
dari mana datangnya tidak dapat diketahui, pa- 
dahal baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Ma- 
nusia telah mengerahkan kemampuan untuk 
mencari asal suara itu. Seolah-olah suara itu be- 
rasal seperti dari delapan penjuru angin. 

"Kau mencari siapa, Manusia Pemakan 
Bangkai?!" Suara menggetarkan itu kembali ter- 
dengar. Nadanya mengejek. "Aku di sini!" 

Angin berdesir pelan. Dan tahu-tahu di anta- 
ra Raksasa Pemangsa Manusia dan Melati, berdiri 
sesosok tubuh kecil kurus. Kumis dan jenggot le- 
bat menghias wajahnya yang memiliki sinar mata 
mencorong kehijauan. Sebuah topi berbentuk se- 
tengah tempurung kelapa berwarna hitam, menu- 
tup kepalanya. Pakaiannya pun berwarna hitam 
pekat. Wajahnya yang dingin tampak angker, me- 
natap Raksasa Pemangsa Manusia. 

Raksasa Pemangsa Manusia merupakan seo- 
rang datuk kaum sesat yang memiliki wibawa 
mengiriskan hati. Namun tak urung, melihat sosok 
yang berdiri di hadapannya, dia mundur selang- 
kah. Kehadiran sosok kecil kurus yang lebih dulu 
menimbulkan ketegangan, telah membuat keang- 
kerannya semakin terlihat jelas. 


"Siapa kau? Dan apa maksud ucapanmu 
itu?! Menyingkirlah kalau tidak ingin nyawamu 
kukirim ke neraka!" gertak Raksasa Pemangsa 
Manusia yang telah mendapatkan kembali kete- 
nangannya. 

Raksasa Pemangsa Manusia meski tampak 
bodoh, ternyata tidak memiliki pikiran sempit. Da- 
ri cara kedatangan lelaki kecil kurus ini saja, di- 
rinya tahu kalau sosok yang berada di hadapan- 
nya memiliki kepandaian tinggi. Dan dalam kea- 
daan seperti ini, Raksasa Pemangsa Manusia tidak 
ingin terlibat pertarungan. Bukan karena gentar, 
melainkan karena khawatir Melati akan lolos dari 
tangannya. Dia tahu totokannya tidak dapat ber- 
tahan lama bagi seorang gadis seperti Melati. 

"Aku hanya mau menyingkir apabila gadis 
itu kau serahkan padaku!" tegas sosok kecil ku- 
rus, seraya menuding tubuh Melati yang tergolek. 

"Itu artinya kau mengajakku bertarung!" 
sentak Raksasa Pemangsa Manusia mantap. 

Wutt, wutt, wuttt! 

Raksasa Pemangsa Manusia yang tahu kalau 
sosok kecil kurus di depannya memiliki kepan- 
daian tinggi, tanpa ragu-ragu lagi dalam sekali 
menyerang langsung mengirimkan pukulan bertu- 
bi-tubi dengan kedua tangan dikepal keras. Deru 
angin keras mengiringi tibanya setiap serangan. 

Sosok kecil kurus menyunggingkan senyum 
sinis di bibirnya seakan-akan meremehkan seran- 
gan Raksasa Pemangsa Manusia. Kemudian den- 
gan berani dipapaknya serangan itu dengan cara 
yang sama. Bunyi nyaring seperti ada dua benda 
logam berbenturan pun terjadi ketika dua pasang 
tangan yang memiliki ukuran berbeda jauh itu 
bertemu di tengah jalan. 


Melati menatap dengan sorot mata kaget, ta- 
pi hatinya segera melihat sosok kecil kurus itu 
ternyata memang benar-benar dapat diandalkan. 
Setiap kali terjadi benturan tangan, tubuh Raksa- 
sa Pemangsa Manusia tergetar hebat dan hampir 
terhuyung. Hal seperti itu tidak dialami oleh lelaki 
kecil kurus. Bahkan pada benturan yang terakhir, 
tubuh Raksasa Pemangsa Manusia sampai ter- 
huyung-huyung ke belakang. 

"Grrrhhh...!" 

Raksasa Pemangsa Manusia menggeram ke- 
ras. Benturan keras itu membuktikan kalau tena- 
ga dalam lelaki kecil kurus berada di atasnya. Dan 
dugaannya ternyata tidak keliru, lelaki kecil kurus 
memiliki keunggulan tenaga dalam. Namun dalam 
hal kekuatan anggota-anggota tubuh, lelaki kecil 
kurus ini bukan tandingan lawannya yang memili- 
ki tubuh laksana besi baja. Benturan-benturan 
yang terjadi menyebabkan rasa sakit di tangan le- 
laki kecil kurus! 

Namun masing-masing pihak, tidak mempe- 
dulikan hal itu. Hampir pada saat yang bersamaan 
keduanya saling terjang. Bertempur untuk mem- 
perebutkan Melati. 

Lelaki kecil kurus yang menjadi lawan Rak- 
sasa Pemangsa Manusia ternyata memiliki kepan- 
daian amat tinggi. Tokoh sesat bertaring itu sama 
sekali bukan tandingannya. Baik dalam hal tenaga 
maupun mutu ilmu silat, lelaki kecil kurus ini be- 
rada di atas lawannya. Apalagi dalam hal kecepa- 
tan. Hanya berkat kekuatan tubuhnya yang me- 
nakjubkan, Raksasa Pemangsa Manusia masih 
bertahan dengan tegar. Padahal sudah beberapa 
kali-kali baik pukulan maupun tendangan lelaki 
kecil kurus mendarat di berbagai bagian tubuh 
lawannya. Namun sama sekali tidak mampu me- 
lukai manusia bertubuh besar dan tinggi itu. Aki- 
bat yang ditimbulkan hanya terlemparnya tubuh 
Raksasa Pemangsa Manusia. Bahkan tak jarang 
hanya terhuyung-huyung atau tergetar. Setelah 
itu, lelaki tinggi besar ini kembali melancarkan se- 
rangan dengan kekuatan penuh. 

Sepuluh jurus dengan cepat berlalu. Selama 
itu telah belasan kali Raksasa Pemangsa Manusia 
menerima serangan lawan. Namun hal itu sama 
sekali tidak mempengaruhinya. Dia masih tetap 
tangguh dan kokoh seperti sebelumnya. 

Melati yang menyaksikan jalannya pertarun- 
gan diam-diam merasa gembira. Dia tahu perta- 
rungan akan berlangsung alot dan lama. Hatinya 
semakin berharap semoga saja keadaan seperti ini 
akan berlangsung lebih lama. Melati yakin, dia 
akan berhasil terbebas dari totokan yang membe- 
lenggu sebelum pertarungan usai. Maka dengan 
penuh semangat dipusatkan perhatian pada tena- 
ga dalamnya untuk membebaskan pengaruh toto- 
kan yang membelenggu. Dan dengan hati girang 
Melati merasakan kalau perlahan-lahan tenaga da- 
lamnya mampu menembus pengaruh totokan 
Raksasa Pemangsa Manusia. Dia yakin tak lama 
lagi pengaruh totokan itu akan punah semuanya. 

Kembali Melati melihat tubuh Raksasa Pe- 
mangsa Manusia terpental ke belakang dan tergul- 
ing-guling akibat gedoran dua telapak tangan ter- 
buka lelaki kecil kurus yang menghantam dadanya 
secara telak. Namun, sebelum tokoh sesat yang 
memiliki taring itu bangkit, si Lelaki Kecil Kurus 
dengan cepat melempar tubuh ke belakang dan... 
menyambar tubuh Melati! 

Sambil memondong tubuh Melati, lelaki kecil 
kurus itu melesat pergi. Melati meronta-ronta be- 
rusaha melepaskan diri. Tanpa disadari dirinya te- 


lah melakukan kesalahan besar. Tenaganya yang 
belum pulih benar dari pengaruh totokan mem- 
buat rontaan yang dilakukan tak ubahnya geliatan 
seekor cacing. Lemah. Namun hal itu menyebab- 
kan lelaki kecil kurus mengetahui kalau Melati 
hampir bebas dari pengaruh totokan, Dan sekali 
jari-jari tangannya bergerak, Melati kembali lum- 
puh! 

"Keparat Jahanam! Jangan lari kau, Penge- 
cut!" seru Raksasa Pemangsa Manusia, kalap keti- 
ka melihat lawannya melesat kabur dengan mem- 
bawa tubuh Melati. Dia pun melesat mengejar. 


kkk 


"Maaf, saudara-saudara yang gagah. Boleh 
saya bertemu dengan Malaikat Salju?!" tanya seo- 
rang gadis berpakaian merah pada dua orang pe- 
muda bertubuh kekar yang berdiri di depan se- 
buah pintu gerbang. Di atas pintu gerbang itu ber- 
tengger sepotong papan lebar dan tebal bertu- 
liskan huruf-huruf indah yang berbunyi "Perkum- 
pulan Pengemis Baju Putih". 

"Maaf, Nisanak. Mungkin kau salah alamat. 
Di sini tidak ada orang yang berjulukan seperti 
itu," jawab pemuda yang bertubuh pendek, dengan 
suara halus. 

"Bukankah ini Perkumpulan Pengemis Baju 
Putih?!" Kembali gadis berpakaian merah itu men- 
gajukan pertanyaan, meminta penegasan. Sambil 
mengajukan pertanyaan itu, sepasang mata indah 
gadis itu melirik ke atas tempat tergantungnya pa- 
pan tanda nama perguruan. 

"Tidak salah!" sahut pemuda satunya lagi 
yang bertubuh tinggi. "Tapi orang yang kau tanya- 
kan tidak berada di sini." 


"Mungkinkah ayahku salah memberikan pe- 
tunjuk padaku?!" gumam gadis berpakaian merah 
seperti berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya 
tampak bingung, setelah tercenung beberapa saat. 
"Ayahku mengatakan kalau aku dapat menemu- 
kan Malaikat Salju, kawannya, di Perkumpulan 
Pengemis Baju Putih. Bahkan kata ayahku, Malai- 
kat Salju menjadi pemimpinnya." 

"Mungkin ayahmu keliru, Nisanak. Kami 
berkata sebenarnya, pemimpin perkumpulan ini 
bukan orang yang mempunyai julukan seperti kau 
katakan. Beliau berjuluk Raja Pengemis Tongkat 
Sakti," jelas pemuda pendek. 

Kali ini gadis berpakaian merah tidak mem- 
berikan sambutan. Dia termenung dengan tarikan 
wajah bingung. Rupanya kenyataan yang dihada- 
pi, tidak sesuai dengan yang diperkirakannya. 

"Ayahku tidak mungkin keliru!" tandas gadis 
berpakaian merah, mantap. "Aku yakin Malaikat 
Salju berada di sini! Haaii...! Malaikat Salju, keluar 
kau! Aku, Lestari ingin menghadapmu...! Aku 
mempunyai sebuah pesan penting dari ayahku, 
Malaikat Petir!" 

Seruan gadis berpakaian merah yang ternya- 
ta Lestari, putri Malaikat Petir, keras sekali karena 
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam se- 
penuhnya. 

Tindakan Lestari membuat dua pemuda ke- 
kar yang mengenakan pakaian penuh tambalan 
sebagai mana layaknya seorang pengemis, menjadi 
tidak senang. Sudah baik-baik mereka jawab, ga- 
dis itu malah melakukan perbuatan yang mereka 
anggap tak sopan. Hal itu menandakan kalau ta- 
mu itu menganggap bahwa mereka berdua tidak 
bisa dipercaya. Padahal, pantang bagi murid- 
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih melaku- 
kan dusta. Karena berbohong merupakan tinda- 
kan seorang yang pengecut. Dan mereka bukan 
pengecut! Perkumpulan Pengemis Baju Putih me- 
rupakan perkumpulan para orang gagah! 

"Kuharap dengan sangat agar kau bersedia 
meninggalkan tempat ini, Nisanak! Jangan paksa 
kami untuk melakukan tindakan kekerasan!" te- 
gas pemuda pendek kekar yang mengenakan pa- 
kaian dari tambal-tambalan kain warna putih se- 
bagaimana yang umumnya dikenakan murid- 
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih. 

"Ah...! Betapa gagahnya...! Ingin kubuktikan 
sendiri apakah kepandaianmu sejajar dengan be- 
sarnya sesumbar yang keluar dari mulutmu!" 
sambut Lestari bernada tantangan. 

Kedua murid Perkumpulan Pengemis Baju 
Putih ini kecelik mendengar sambutan Lestari. Me- 
reka tidak menyangka akan mendapat tanggapan 
seperti itu. Tentu saja karena keduanya tak men- 
genai siapa gadis yang mereka hadapi. Lestari ada- 
lah seorang gadis yang berwatak berubah-ubah. Di 
samping juga suka menurutkan kemauan sendiri. 
Prinsipnya, sekali hitam akan tetap hitam! Dan 
semula, melihat sikap baik dan sopan murid- 
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, Lestari 
ikut baik. Gadis berpakaian merah ini memang 
memiliki tanggapan sesuai dengan yang diteri- 
manya. Apabila orang bersikap baik dia akan 
membalas lebih baik. Namun apabila orang tidak 
baik, dia akan membalas dengan tindakan lebih 
kejam! Itulah sebabnya ketika mendapat ancaman 
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, sikap- 
nya yang angin-anginan langsung meledak! 

"Kau... kau..., Wanita Liar...!" seru pemuda 
kekar yang akhirnya sanggup berkata lagi setelah 
tertegun sebentar karena perasaan bingung. 

"Pengemis-Pengemis Bermulut Ceriwis! 
Orang seperti kalian harus diberi hajaran agar ti- 
dak sembarangan memaki orang!" 

Lestari yang sudah kumat watak ugal- 
ugalannya, langsung mengirimkan tamparan ke 
arah bahu pemuda pendek kekar yang telah me- 
makinya. Namun, meskipun tengah terbangkit 
emosinya, Lestari masih ingat kalau dua orang 
yang berdiri di hadapannya bukan termasuk go- 
longan hitam. Bahkan bukan tidak mungkin me- 
reka murid Malaikat Salju, kawan akrab ayahnya! 
Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini me- 
ngirimkan serangan yang tidak mematikan. 

Meskipun kaget melihat cepatnya serangan 
Lestari yang meluncur ke arah pelipisnya, pemuda 
itu tidak menjadi kehilangan akal. Sekilas tadi di- 
rinya memang tampak gugup, tapi tetap tidak ke- 
hilangan sikap waspada dan hati-hati. Sungguh- 
pun dengan agak menggeragap, pemuda pendek 
kekar ini cepat melangkahkan kakinya ke bela- 
kang sambil mendoyongkan tubuh mengelakkan 
serangan Lestari. Hingga serangan putri Malaikat 
Petir itu pun lepas dari sasaran. 

Namun, hal seperti ini rupanya sudah diper- 
hitungkan oleh Lestari. Pada saat yang bersamaan 
dengan tangan kanannya yang menampar angin, 
kaki kanannya bergerak ke arah paha lawan. 

Dukkk! 

Secara telak dan keras sekali kaki Lestari 
mendarat pada sasaran. Seketika tubuh pemuda 
pendek kekar itu terlempar ke samping. Kenyataan 
ini membuat rekannya terkejut, dan langsung ber- 
gerak menyerang karena khawatir kawannya men- 
dapat serangan susulan dari gadis itu. 

Namun seperti ketika menghadapi pemuda 
pendek kekar, Lestari tidak mengalami kesukaran 
untuk merobohkannya. Sekali mengulurkan tan- 
gan, gadis berpakaian merah ini telah berhasil 
menyarangkan pukulan tangannya yang terbuka 
ke perut pemuda tinggi kekar. Murid Perkumpulan 
Pengemis Baju Putih yang sial ini pun jatuh ter- 
duduk di tanah. 

Tanpa mempedulikan kedua lawannya yang 
masih menyeringai menahan sakit, Lestari berja- 
lan melenggang ke dalam melalui pintu gerbang. 
Mulutnya terus berteriak-teriak memanggil Malai- 
kat Salju. 

Seketika itu pula suasana di dalam Perkum- 
pulan Pengemis Baju Putin gempar. Kedatangan 
Lestari dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berte- 
riak-teriak memanggil nama Malaikat Salju mem- 
buat kaget orang-orang di dalam perguruan itu. 
Semua penghuni di dalam markas Perkumpulan 
Pengemis Baju Putin tampak berlarian keluar dari 
pondok masing-masing. 

Di dalam lingkungan benteng ternyata ter- 
dapat halaman tanah luas. Dan di sekitar hampa- 
ran tanah luas itu berdiri banyak pondok-pondok 
sederhana jumlahnya cukup banyak dan bentuk- 
nya seragam. Hanya ada satu pondok yang jauh 
lebih besar dari yang lainnya. Inilah tempat tinggal 
sang Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Putih 
yang berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti. 





Lestari memandang berkeliling, tidak terlihat 
gentar sama sekali. Tarikan wajah dan sorot ma- 
tanya memancarkan ketenangan. Padahal, gadis 
berpakaian merah ini telah terkurung oleh pulu- 


han orang berpakaian pengemis. Dan mereka se- 
muanya menggenggam sebatang tongkat runcing 
dan panjang di tangan. 

"Siapa kau, Nisanak? Bagaimana kau bisa 
masuk kemari?! Dan, apa arti ucapanmu itu, Ni- 
sanak?!" tegur seorang pengemis berwajah kuning 
yang berdiri di hadapan Lestari. Lelaki berwajah 
kuning ini melangkah tiga tindak agar lebih dekat 
dengan gadis berpakaian merah yang berdiri di 
tengah halaman. 

"Aku sudah perkenalkan diri di luar, tapi 
orang-orang yang menjemukan itu tetap tidak 
mengizinkan aku masuk. Jadi, terpaksa aku ma- 
suk. Sekarang, sebelum kesabaranku hilang, dan 
terpaksa aku menyuruh kalian menuruti keingi- 
nanku dengan kekerasan, cepat bawa aku mene- 
mui Malaikat Salju!!" tandas Lestari. 

Wajah lelaki yang menegur Lestari seperti 
semakin bertambah kuning karena ucapan keras 
dan tajam gadis itu. 

"Rupanya kau salah alamat, Nisanak! Di sini 
tidak ada orang yang kau cari! Di sini perkumpu- 
lan pengemis, bukan tempat malaikat! Cepat ting- 
galkan tempat ini!" 

"Rupanya kau menginginkan aku bertindak 
keras, Manusia Penyakitan!" sambut Lestari, ke- 
ras. "Baik kalau itu yang kau inginkan!" 

Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, 
Lestari menjejakkan kaki dan melompat ke atas 
melewati kepala rombongan pengemis yang men- 
gurungnya. Tindakan Lestari yang tidak terduga- 
duga ini membuat rombongan pengemis itu, tak 
terkecuali lelaki berwajah kuning tak sempat me- 
lakukan tindakan untuk mencegah. Dengan gemi- 
lang, Lestari berhasil melewati kepala para murid 
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bahkan men- 
darat di luar kepungan. Kemudian dia langsung 
melesat ke arah bangunan paling besar. Dengan 
kecerdikannya Lestari dapat menduga kalau pon- 
dok terbesar itu pasti diperuntukkan bagi sang Ke- 
tua. Dan kalau benar, pasti Malaikat Salju! Itulah 
sebabnya, gadis berpakaian merah ini langsung 
melesat ke sana. 

Beberapa langkah lagi mencapai pintu pon- 
dok, dari dalam melesat keluar sesosok bayangan 
yang tidak jelas bentuknya karena sangat cepat 
gerakannya. Kebetulan, pintu pondok itu terbuka 
lebar, sehingga sosok yang melesat dari dalam sa- 
na, tidak memerlukan gerakan tambahan untuk 
membuka daun pintunya. 

Lestari yang tidak menduga kalau dari dalam 
akan melesat sesosok bayangan dengan kecepatan 
mengagumkan, menjadi kaget bukan kepalang. 
Apalagi ketika menyadari arah yang dituju sosok 
bayangan itu berlawanan dengannya. Kedua sosok 
yang tengah berlari ini berada persis dalam satu 
jalur, dan kebetulan berlawanan arah. Kalau tidak 
dapat dicegah, akan terjadi benturan antara mere- 
ka. 

Lestari langsung menjejakkan kaki untuk 
melempar tubuhnya ke belakang. Dia sempat me- 
lakukan salto beberapa kali, sebelum kedua ka- 
kinya melayang turun dan hinggap di tanah den- 
gan ringan. 

Sosok yang melesat dari dalam pun melaku- 
kan tindakan cepat untuk menghindarkan tabra- 
kan dengan Lestari. Seperti juga Lestari, sosok itu 
menyadari akan kemungkinan terjadinya tumbu- 
kan ketika telah berada di luar pintu pondok. Ma- 
ka, dengan kecepatan gerak luar biasa, tongkat 
yang terpasang melintang di punggung dicabut 
dan dipukulkan ke tanah. 


Blarrr! 

Gumpalan-gumpalan tanah langsung ber- 
hamburan dan bahkan debu tebal pun mengepul 
ke udara. Namun bukan hal itu yang diharapkan 
oleh sosok yang melesat dari dalam. Dengan me- 
minjam tenaga yang membalik dari pukulan tong- 
kat, tubuhnya mencelat ke belakang dan mendarat 
dengan mantap, tepat di ambang pintu. 

Berbeda dengan sosok itu yang mampu 
mendarat dengan aman, Lestari tidak demikian. 
Setelah kedua kakinya menjejak tanah, rombon- 
gan Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang se- 
mula mengejarnya, langsung merubung dan men- 
girimkan serangan. Tiga di antara mereka yang 
bersikap lebih tanggap, langsung menusukkan 
tongkat masing-masing ke arah gadis itu. 

Serangan-serangan yang datang secara 
mendadak itu ternyata sangat dahsyat. Namun, 
Lestari masih mampu membuktikan bahwa di- 
rinya tak percuma menjadi putri tunggal tokoh ke- 
sohor berjuluk Malaikat Petir. Dengan mudah dia 
berhasil mengelakkan satu serangan. Sedangkan 
yang dua lagi dipapaknya dengan tangan dan ten- 
dangan. Akibatnya, tubuh dua anggota Perkumpu- 
lan Pengemis Baju Putih yang sial itu pun terjeng- 
kang ke belakang saking kerasnya tenaga tangki- 
san Lestari. 

Melihat keberhasilan Lestari menghadapi se- 
rangan mendadak ini, belasan murid Perkumpulan 
Pengemis Baju Putih ini pun menjadi penasaran. 
Serentak mereka bergerak untuk menyerbu. 

"Tahan...!" 

Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Be- 
lasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih 
yang tengah merangsek maju langsung berhenti. 
Mereka semua tahu betul siapa pemilik suara itu. 


Tanpa banyak membantah, mereka menghentikan 
gerakan dan melangkah mundur. 

"Kalian jangan membuat malu perkumpulan 
kita...!" sambung pemilik seruan mencegah itu, 
yang ternyata si Lelaki Berwajah Kuning. "Tinda- 
kan kalian, apabila sampai terdengar oleh dunia 
persilatan akan menjadikan perkumpulan kita se- 
bagai buah ejekan orang lain. Perlu kalian ingat, 
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bukan serom- 
bongan orang berjiwa pengecut yang hanya berani 
melakukan pengeroyokan!" 

"Gagah nian ucapanmu itu, Muka Penyakit!" 
sergah Lestari, lantang dan tidak mempedulikan 
lelaki berwajah kuning yang menyibak kerumunan 
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih 
untuk mendekatinya. "Apakah kau bermaksud 
melawanku sendiri?! Lebih baik urungkan saja 
niatmu yang sok-sokan itu. Dan biarkan saja re- 
kan-rekanmu membantu untuk melakukan penge- 
royokan terhadap diriku!" 

"Sombong!" bentak lelaki berwajah kuning 
yang semakin bertambah kuning warnanya karena 
marah melihat sikap sombong Lestari yang diang- 
gapnya keterlaluan "Kau akan melihat buktinya 
sendiri, Wanita Liar!" 

Lelaki berwajah kuning itu menutup uca- 
pannya dengan sebuah pukulan tangan kanan ke 
arah dada. Pukulan keras itu diketahui oleh Lesta- 
ri didorong tenaga dalam cukup kuat Sebab ti- 
banya serangan itu diiringi bunyi berkesiutan dari 
udara yang terobek. 

Lestari yang memiliki watak sukar ditebak, 
kali ini tidak menangkis serangan itu. Padahal, dia 
yakin kalau tenaga dalamnya tidak kalah kuat 
dengan yang dimiliki lawan. Gadis berpakaian me- 
rah ini malah mengelak. Tindakan itu tetap dila- 
kukannya kendati lelaki berwajah kuning itu terus 
melancarkan serangan susulan. Ternyata tidak 
mengecewakan, Lestari berhasil membuat semua 
serangan lawannya hanya mengenai angin. 

"Mana bukti ucapanmu, Manusia Penyaki- 
tan?! Ternyata ucapanmu tak lebih dan kentut! 
Bau busuk, dan tidak bisa menyebabkan apa pun 
selain orang menutup hidung!" ejek Lestari di sela- 
sela gerakan tubuhnya yang berlompatan ke sana 
kemari. 

"Kaulah yang pengecut, Wanita Liar! Kalau 
kau memang bermaksud menyaksikan kelihaian 
ku, jangan cuma berlompatan seperti kera betina 
mencari pejantan untuk dikawini, tapi balaslah 
menyerang!" sahut lelaki berwajah kuning, tak ta- 
han untuk tidak berkata keras karena marah dan 
jengkel. 

Lestari mengeluarkan lengkingan nyaring 
karena kaget dan marahnya mendengar ucapan 
yang terdengar tak senonoh untuk diperdengarkan 
pada seorang gadis sepertinya. Selebar wajahnya 
merah padam karena perasaan malu bercampur 
marah. Mendadak gerakannya berubah, tidak 
hanya bergerak mengelak melainkan juga melaku- 
kan tangkisan. 

Plakkk! 

Tubuh pengemis berwajah kuning langsung 
terjengkang ke belakang dan terguling-guling di 
tanah ketika tendangan lurusnya dipapak oleh ka- 
ki Lestari. Mulutnya menyeringai menahan sakit 
yang melanda. Sementara tubuh gadis itu hanya 
tergetar dan agak goyah kedudukannya. 

Melihat keadaan lelaki berwajah kuning itu, 
tanpa diberi perintah murid-murid Perkumpulan 
Pengemis Baju Putin meluruk menerjang. 

"Tahan...!" 


Lagi-lagi terdengar seman mencegah. Dan 
seperti juga sebelumnya, kali ini pun belasan mu- 
rid Perkumpulan Pengemis Baju Putih mematu- 
hinya. Mereka semua menghentikan gerakan, pa- 
dahal serangan-serangan sudah siap dilancarkan. 

Lestari langsung mengarahkan pandangan 
ke arah asal bentakan. Pemilik suara itu ternyata 
menghampirinya, dan berjalan menyibak kerumu- 
nan pengemis-pengemis berbaju putih. Mereka 
semua menyingkir untuk memberi jalan. 

"Siapa kau, Nisanak?!" tanya pemilik benta- 
kan ketika telah berjarak dua tombak di depan 
Lestari. Dia ternyata seorang pemuda berpakaian 
biru. Tubuhnya gagah berotot Wajahnya yang ber- 
bentuk persegi seperti wajah singa memperli- 
hatkan kejantanan. "Mengapa kau mengacau di 
tempat ini?!" 

Lestari tidak langsung menjawab pertanyaan 
itu. Matanya menatap tajam pemuda berpakaian 
biru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Se- 
saat kemudian, sambil tersenyum sinis dia men- 
gangguk-anggukkan kepala. 

"Kelihatannya kau berbeda dengan mereka," 
ucap Lestari seenaknya. "Tapi, ternyata kau sama 
menjemukannya dengan mereka. Selalu mau tahu 
urusan orang! Tidak cukupkah aku mengatakan 
kepentinganku kemari?! Haruskah aku melapor 
pada semua orang yang ada di sini satu persatu 
untuk kepentingan yang kubawa ini? Aku sudah 
bosan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti ini 
terus! Menyingkirlah, biar aku sendiri yang men- 
cari di mana adanya Malaikat Salju!" 

Dengan sikap tidak peduli, Lestari men- 
gayunkan kaki ke depan. Padahal, di depannya 
berdiri pemuda berpakaian biru. Andaikata, Lesta- 
ri terus melanjutkan tindakannya, dan pemuda itu 
tidak menyingkir, antara mereka akan terjadi tu- 
brukan. 

"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah pemuda 
berpakaian biru sambil menjulurkan kedua tan- 
gan ketika Lestari bam saja melangkah dua tin- 
dak. "Percayalah, setelah ini kau tidak akan men- 
dapat pertanyaan itu lagi. Katakan, apa maksud- 
mu mencari Malaikat Salju! Dan siapa dirimu se- 
benarnya? Dan dari mana kau bisa menduga ka- 
lau Malaikat Salju berada di sini?!" 

"Baiklah!" ujar Lestari sambil membanting 
kaki seperti melampiaskan kejengkelannya. "Aku 
tahu Malaikat Salju berada di sini dari ayahku. 
Dan beliau adalah salah seorang sahabat baik Ma- 
laikat Salju. Beliau berjuluk Malaikat Petir!" 

"Ah...!" seru pemuda berpakaian biru, kaget. 
Wajah tampannya yang jantan berubah cerah. "Ki- 
ranya kau...! Kau putri Malaikat Petir?! Jadi... 
kau... kau... Lestari Mala...!" 

Sekarang ganti Lestari yang merasa terkejut. 
Baru sekarang ada orang yang menyebut namanya 
dengan lengkap. Memang, demikian namanya. 
Namun dia sendiri hampir melupakan karena le- 
bih sering mempergunakan nama depannya saja. 

"Dari mana kau tahu namaku...?!" tanya ga- 
dis yang bernama lengkap Lestari Mala ini dengan 
suara bergetar karena menahan gejolak perasaan. 

"Tentu saja dari guruku. Beliaulah yang 
menceritakan tentang diri Malaikat Petir dan pu- 
trinya yang katanya bernama Lestari Mala. Dan 
guruku ini adalah... Malaikat Salju, orang yang 
kau cari...!" 

"Pantas kau lihai," puji Lestari sehingga 
membuat selebar wajah pemuda berpakaian biru 
memerah karena malu. "O ya, mana gurumu? Aku 
ingin bertemu dengannya untuk menyampaikan 
sebuah kabar penting." 

"Sayang sekali, Lestari," jawab pemuda ber- 
pakaian biru dengan penuh penyesalan. Dia tidak 
bertanya lebih jauh mengenai kabar penting yang 
dimaksud. "Baru kemarin beliau pergi karena sela- 
lu mendapat firasat buruk mengenai gurunya, Ka- 
kek Sobrang. Beliau pergi untuk memastikan ke- 
benaran firasatnya." 

Raut wajah Lestari berubah. Tampak di wa- 
jahnya perasaan kecewa, meski hanya sebentar. 

"Bagaimana kau dan gurumu bisa menjadi 
ketua perkumpulan orang-orang kurang makan 
ini?" 

Pemuda berpakaian biru tersenyum men- 
dengar pertanyaan Lestari yang ceplas-ceplos itu. 
Diam-diam dia merasa aneh sendiri. Sebab, bi- 
asanya tidak pernah dia tersenyum seperti itu. 
Namun, di depan Lestari tiba-tiba dia tersenyum. 
Ada saja ucapan atau tingkah gadis itu yang 
membuatnya tidak bisa menahan geli. 

"Kami tidak menjadi ketua pengemis, Lestari. 
Bahkan keberadaan kami di sini, meskipun me- 
mang diketahui oleh semua murid perkumpulan 
tapi tidak ada seorang pun yang mengenalku dan 
guruku. Kecuali, pengemis yang berwajah kuning. 
Ada pun penyebabnya adalah karena guruku telah 
menyelamatkan nyawa ketua perkumpulan pen- 
gemis ini dari pengeroyokan bajak-bajak sungai 
yang ingin membunuhnya. Karena guruku hendak 
menjauhkan diri dari dunia persilatan, ketua pen- 
gemis itu menawarkan tempat tinggal dan guruku 
menerimanya. Ketua pengemis itu sendiri kini ten- 
gah bersemadi dan tidak bisa diganggu. Jelas, Les- 
tari?" 

"Ah..., begitukah...! Betapa untungnya aku? 
Sama sekali tidak kusangka akan dapat menemu- 
kan tempat persembunyian Malaikat-Malaikat 
Pengecut itu! Hoi...! Malaikat Salju yang penge- 
cut..! Keluar kau...!" 

Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan 
berkumandang. Pemuda berpakaian biru, Lestari, 
dan seluruh murid Perkumpulan Pengemis Baju 
Putih terkejut bukan kepalang mendengar suara 
yang langsung berkumandang di sekitar tempat 
itu. Mereka semua menengok ke angkasa karena 
memang berasal dari sana. Dan seketika itu pula 
mereka semua membelalakkan sepasang mata 
seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. 

Tepat di atas mereka, berjarak sekitar dela- 
pan tombak tampak sesosok tubuh kurus seorang 
kakek berambut awut-awutan tengah duduk di 
atas sebatang kayu bulat sebesar ibu jari kaki. 
Panjang kayu itu tak lebih dari satu tombak. Pada 
bagian belakangnya terikat ijuk. Jadi kakek itu 
duduk pada sebatang sapu ijuk, seperti layaknya 
menunggang kuda. Kedua tangannya memegang 
batang kayu. 

"Dewa Langit Tak Punya Malu...!" ucap pe- 
muda berpakaian biru, tanpa mampu menyembu- 
nyikan keterkejutan dan kekhawatiran pada wa- 
jahnya. 

"Kau mengenalnya?!" tanya Lestari dengan 
suara berbisik karena masih belum dapat menghi- 
langkan perasaan kaget yang melanda hati melihat 
pemandangan seperti itu. 

"Guruku banyak bercerita tentang tokoh- 
tokoh dunia persilatan. Dan menurutnya, ada 
gembong-gembong datuk sesat yang sekitar dua 
puluh tahun lalu mengasingkan diri, lenyap dari 
rimba persilatan. Gembong-gembong itu berjuluk 
Biang-Biang Iblis, karena memiliki kepandaian 
dan kekejaman luar biasa. Dan Dewa Langit Tak 
Punya Malu ini merupakan salah satu di antara 
mereka." 

"Ah...!" Lestari tampak kaget mendengar ke- 
terangan dari pemuda berpakaian biru itu. Sebab 
sebelumnya dia tak pernah mendengar nama to- 
koh ini, meskipun Malaikat Petir, ayahnya telah 
banyak bercerita tentang tokoh kesohor di dunia 
persilatan. Seketika dia teringat akan tokoh-tokoh 
dahsyat dan mengerikan yang ditemuinya sebelum 
ini. "Jadi selain dia masih ada lagi. Apakah Dewi 
Cabul juga termasuk di antara mereka?!" 

"Benar," pemuda berpakaian biru mengang- 
guk-kan kepala. "Mereka semua, menurut guruku, 
memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh serta 
memiliki bentuk kejahatan keji yang berbeda- 
beda...." 


kkk 


"Rupanya kau benar-benar telah menjadi 
seorang pengecut, Malaikat Salju?!" seru kakek be- 
rambut awut-awutan yang berjuluk Dewa Langit 
Tak Punya Malu, setelah menunggu sejenak tak 
juga terdengar adanya sambutan. "Baik, kalau be- 
gitu biar aku yang turun dan mencarimu...!" 

Seruan Dewa Langit Tak Punya Malu itu 
membuat Lestari dan pemuda berpakaian biru 
menghentikan percakapan. Bagai telah disepakati 
Lestari dan pemuda berpakaian biru mengelua- 
rkan senjata andalan masing-masing. 

"Aku tak yakin kalau kita akan mampu ber- 
buat banyak terhadapnya, Lestari. Menurut guru- 
ku, kepandaian Dewa Langit Tak Punya Malu su- 
kar dicari tandingannya. Bahkan mungkin beliau 
pun tak mampu menghadapi tokoh-tokoh dari ke- 
lompok Biang-Biang Iblis ini." 

Pemuda berpakaian biru mengeluarkan per- 
kataannya tanpa melepaskan pandangan dari De- 
wa Langit Tak Punya Malu. Lestari dan juga bela- 
san pasang mata lainnya pun melakukan hal yang 
sama. Mereka semua ingin tahu, bagaimanakah 
kakek berambut awut-awutan turun dari tempat 
yang cukup tinggi itu. Apakah dengan mempergu- 
nakan kendaraannya yang bernama 'Sapu Angin' 
itu, atau langsung melompat. 

Lestari memalingkan wajahnya yang lang- 
sung berubah merah ketika melihat mendadak 
Dewa Langit Tak Punya Malu memerosotkan cela- 
nanya. Bahkan pemuda berpakaian biru dan bela- 
san orang murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu- 
tih pun merasa heran melihat kelakuan kakek be- 
rambut awut-awutan itu. Apakah yang hendak di- 
lakukannya? Pertanyaan itu bergayut di benak 
mereka. 

Mereka semua berhamburan menjauhkan 
diri dari tempat itu ketika dari atas turun perci- 
kan-percikan air. Rupanya gembong datuk sesat 
itu memang memiliki watak tidak tahu malu. Dari 
atas dia mengencingi orang-orang yang berada di 
bawahnya. 

"Ha ha ha...!" 

Di saat belasan orang, tak terkecuali Lestari 
dan pemuda berpakaian biru berlompatan dengan 
penuh perasaan jijik, takut terkena percikan air 
kotor itu, Dewa Langit Tak Punya Malu malah ter- 
tawa bergelak penuh kegembiraan. 

"Bagaimana?! Enak bukan?!" ujar Dewa Lan- 
git Tak Punya Malu, begitu belasan orang-orang 
yang berdiri di bawahnya telah berdiri tegak lagi di 
tanah. 

Pertanyaan itu membuat belasan murid Per- 
kumpulan Pengemis Baju Putih semakin meluap 
amarahnya. Sebagian besar di antara mereka ter- 
kena percikan air yang menjijikkan itu, meskipun 
telah berusaha untuk mengelak. Yang lebih parah 
lagi, air kencing Dewa Langit Tak Punya Malu itu 
amat pesing dan bercampur bau busuk. Hampir 
saja mereka muntah-muntah. Tak urung, bebera- 
pa di antara mereka meludah-ludah penuh rasa ji- 
jik. Lucunya, bagian yang terkena percikan air 
kencing itu justru mereka cium-cium! 

"Keparat..! Jahanam...!" 

"Mampus kau, Tua Bangka Gendeng...!" 

Dorongan amarah yang menggelora mem- 
buat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju 
Putih itu melemparkan pisau-pisau ke arah Dewa 
Langit Tak Punya Malu! Sinar-sinar berkilat berba- 
rengan dengan bunyi-bunyi berdesing nyaring 
yang mengiringi meluncurnya belasan bahkan 
mungkin puluhan pisau itu ke arah sasaran. 

Dewa Langit Tak Punya Malu malah tertawa 
terbahak-bahak sambil memutar-mutarkan kedua 
tangannya. Dia tidak kelihatan gugup atau khawa- 
tir mendapat serangan seperti itu di saat tubuhnya 
tengah berada di udara. Bahkan lelaki tua itu ber- 
sikap seolah-olah tidak ada bahaya yang mengan- 
camnya. Baru ketika pisau-pisau itu hampir men- 
genai sasaran, kedua tangannya bergerak mengi- 
bas secara cepat sekali. 

Menyaksikan tindakan kakek berambut 
gembel itu belasan orang yang menyerangnya ter- 
kejut. Tangkisan tangan telanjang Dewa Langit 
Tak Punya Malu, membuat sebagian pisau melesat 
kembali ke arah pemiliknya. Bahkan kecepatannya 
bertambah berlipat ganda. Kepanikan pun timbul 
di dalam rombongan Perkumpulan Pengemis Baju 
Putih itu. Mereka semua berlompatan dan berlari 
untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian di 
antara mereka kurang cepat, sehingga pisau-pisau 
itu telah lebih dulu memangsa majikannya. Jeri- 
tan-jeritan menyayat hati mengiringi robohnya tu- 
buh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu- 
tih itu. Mereka tewas oleh senjata mereka sendiri. 

Lestari, pemuda berpakaian biru, dan pen- 
gemis berwajah kuning menggertakkan gigi penuh 
geram ketika melihat banyaknya korban yang ber- 
jatuhan tertancap pisau mereka sendiri. Namun 
apa yang dapat dilakukan, lawan berada di atas, 
jauh dari jangkauan serangan kecuali lemparan 
senjata rahasia! 

"Sayang sekali..., permainan ini kurang me- 
narik! Aku akan mempertunjukkan pada kalian 
permainan yang lebih menarik...!" 

Pemuda berpakaian biru dan yang lainnya 
tahu kalau Dewa Langit Tak Punya Malu akan me- 
lakukan serangan. Maka mereka segera bersiap 
siaga. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan 
mereka telah terhunus siap untuk dipergunakan. 

Sementara Dewa Langit Tak Punya Malu ter- 
lihat tidak tergesa-gesa dengan permainan yang 
akan dipertunjukkannya. Dengan gerakan lambat 
diambilnya buntalan yang tersangkut di bahu ka- 
nan. Tangan kanannya merogoh buntalan berwar- 
na hitam itu. 

"Silakan berpesta, Anak-Anakku...!" ujar 
Dewa Langit Tak Punya Malu seraya melemparkan 
benda-benda berwarna hitam mengkilat yang ter- 
genggam di tangan. 

Para murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu- 
tih yang sejak tadi telah bersiap siaga, segera ber- 
tindak ketika melihat sinar-sinar hitam meluncur 
dari atas. Mata mereka yang rata-rata terlatih 
langsung bisa mengetahui kalau benda-benda hi- 
tam yang tengah meluncur turun itu ternyata 
ular-ular berbisa. Sambil melangkah mundur me- 
reka memutar-mutarkan senjata di atas kepala 
untuk membabati binatang-binatang melata yang 
mencoba memangsa mereka. 

Namun, lagi-lagi pemuda berpakaian biru 
dan kelompoknya harus menelan kenyataan pahit. 
Ular-ular hitam itu ternyata tidak mudah dibu- 
nuh. Meskipun sebagian dari binatang-binatang 
melata itu terkena hantaman senjata para murid 
Perkumpulan Pengemis Baju Putih tak nampak 
terluka atau putus. Ular-ular itu terus meluncur 
menuju sasaran sambil mengeluarkan desisan 
menyeramkan. 

Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul 
ketika ular-ular hitam itu amblas ke dalam dada 
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih 
yang sial. Mereka berkelojotan sebentar sebelum 
akhirnya diam tidak bergerak untuk selamanya. 

Lestari dan pemuda berpakaian biru serta 
pengemis berwajah kuning tampak berhasil me- 
nyelamatkan diri dari sergapan maut ular-ular hi- 
tam yang ternyata memiliki racun amat memati- 
kan itu. 

Kesempatan di saat pemuda berpakaian biru 
dan yang lain-lainnya disibukkan dengan usaha 
menyelamatkan diri, Dewa Langit Tak Punya Malu 
meluncur ke bawah. Kakek berambut awut- 
awutan itu melompat begitu saja dari kendaraan 
'Sapu Angin'-nya. Kedua tangannya yang meng- 
genggam batang kayu, diletakkan di atas kepala 
seperti sebuah payung. Tokoh sesat berwatak 
aneh itu memutar-mutarkannya. Dan berkat tin- 
dakan ini, laju tubuhnya yang meluncur turun ti- 
dak terlalu pesat. Hanya dalam waktu sebentar, 
Dewa Langit Tak Punya Malu telah berhasil menje- 
jak tanah dengan ringan. 

*** 




Pemuda berpakaian biru bertindak lebih ce- 
pat daripada Lestari ataupun pengemis berwajah 
kuning. Pemuda berwajah persegi ini mengayun- 
kan tongkatnya ke arah kepala Dewa Langit Tak 
Punya Malu. 

"Hebat...!" seru Dewa Langit Tak Punya Malu 
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Sayang, kurang 
cepat! Tidak kena...!" 

Tongkat pemuda berpakaian biru melayang 
di atas kepala lawan karena kakek berwatak aneh 
itu ternyata telah lebih dulu merendahkan tubuh. 

"Eit..! Ini pun melesat...!" sesumbar Dewa 
Langit Tak Punya Malu lagi sambil melompat ke 
belakang ketika kipas baja di tangan Lestari melu- 
ruk cepat mengarah kepalanya. 

Pengemis berwajah kuning, mendapat giliran 
penyerangan terakhir karena memang dia paling 
rendah kepandaiannya. Namun seperti juga Lesta- 
ri dan murid Malaikat Salju, serangan lelaki ber- 
wajah kuning itu pun tak berhasil. Dewa Langit 
Tak Punya Malu mengelak sambil melontarkan se- 
ruan-seruan yang sepertinya menyayangkan tapi 
jelas penuh ejekan. 

Tiada henti-hentinya kakek berambut awut- 
awutan itu mengeluarkan ejekan-ejekan setiap 
berhasil mengelakkan serangan. Dia terus- 
menerus mengelak tanpa melancarkan serangan. 
Baru ketika menginjak jurus ketiga belas, Dewa 
Langit Tak Punya Malu melakukan serangan bala- 
san. 

"Ah...! Maaf, aku tidak bermaksud memu- 
kulmu keras-keras!" ucap kakek berambut awut- 
awutan itu ketika berhasil menghantam pengemis 
berwajah kuning sehingga nyawanya melayang ke 
akherat dengan pelipis pecah. "Pasti sakit, ya?! 
Maafkan aku...!" 

Lestari dan pemuda berpakaian biru sema- 
kin geram melihat sikap Dewa Langit Tak Punya 
Malu yang demikian. Mereka pun menguras selu- 
ruh kemampuan agar dapat mengalahkan lawan- 
nya. Namun, kakek berambut awut-awutan itu 
benar-benar bukan lawan yang gampang dikalah- 
kan. Dapat mengimbanginya saja sudah merupa- 
kan hal yang membanggakan. 

Sampai dua puluh lima jurus kedua belah 
pihak masih belum terlihat ada yang terdesak. 
Pertarungan masih berlangsung seru. Namun hal 
itu tidak berlangsung lama. Dan pada jurus kedua 
puluh tujuh, pihak Lestari dan pemuda berpa- 
kaian biru nampak mulai terdesak. Sesaat kemu- 
dian keduanya telah berada dalam keadaan gawat. 
Hal itu terjadi karena Dewa Langit Tak Punya Ma- 
lu benar-benar melakukan perbuatan yang tidak 
punya malu. Serangan-serangan yang dilakukan- 
nya tidak hanya menggunakan tangan dan kaki, 
serta sapunya. Melainkan juga ludah, ingus, dan 
angin yang keluar dari lubang duburnya. Tinda- 
kan aneh kakek berambut awut-awutan itu me- 
nyebabkan gerak penyerangan Lestari maupun 
pemuda berpakaian biru tidak leluasa, karena me- 
rasa jijik. 

Pemuda berpakaian biru tahu, lama- 
kelamaan mereka berdua akan tewas di tangan 
Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan hal itu tidak di- 
inginkannya. Dia sendiri tidak takut mati, dan 
bahkan kematian baginya bukan apa-apa. Namun 
hatinya, tidak ingin Lestari Mala ikut mati! Pemu- 
da berpakaian biru tidak ingin Lestari tewas per- 
cuma. Dia ingin Lestari selamat. Sebuah perasaan 
aneh bersemi di hatinya ketika bertemu dengan 
putri tunggal Malaikat Petir itu. Dunia seperti be- 
rubah. Awan, pohon, dan tanah yang terlihat jadi 
lebih indah. Pemuda berpakaian biru merasa me- 
naruh hati pada gadis cantik itu. Barangkali pera- 
saan inilah yang menyebabkannya tidak rela Les- 
tari mati. 

"Lestari...! Larilah kau, biar aku coba mena- 
hannya...!" seru pemuda berpakaian biru sambil 
menyerang Dewa Langit Tak Punya Malu secara 
membabi buta, untuk memberikan kesempatan 
pada Lestari agar melarikan diri. 

"Kau kira aku takut mati?! Aku bukan pen- 
gecut! Lebih baik kita mati bersama!" sambut Les- 
tari keras sambil ikut menyerang. 

"Jangan bertindak nekat, Lestari! Kita tak 
akan menang melawannya. Cepat pergi, biar aku 
yang menghadapinya!" bujuk pemuda berpakaian 
biru sambil memutar tongkatnya laksana baling- 
baling untuk membuat pertahanan yang kokoh 
kuat. Namun dia langsung terjengkang ketika 
tongkatnya berbenturan dengan Sapu Angin Dewa 
Langit Tak Punya Malu. 

Pemuda berpakaian biru tidak mempeduli- 
kannya sama sekali. Tanpa menghiraukan sakit 
yang melanda sekujur tubuh akibat benturan itu, 
dia memotong serangan Dewa Langit Tak Punya 
Malu yang ditujukan pada Lestari. 

Trakkk! 

Tangkisan tangkai sapu Dewa Langit Tak 
Punya Malu yang terpaksa membatalkan seran- 
gannya terhadap Lestari Mala, membuat tubuh 
pemuda berpakaian biru terjengkang ke belakang. 

"Cepat lari, Lestari! Jangan sia-siakan pe- 
ngorbanan ku! Apakah kau ingin aku mati pena- 
saran!" seru pemuda berpakaian biru, sementara 
tubuhnya terguling-guling karena kerasnya tang- 
kisan Dewa Langit Tak Punya Malu. 

Lestari menggigit bibir untuk menguatkan 
perasaan hatinya yang terharu melihat tindakan 
pemuda berpakaian biru. Apalagi ketika dilihatnya 
pemuda itu bergulingan di tanah untuk menyela- 
matkan selembar nyawanya dari kejaran Dewa 
Langit Tak Punya Malu. Gadis itu sadar kalau se- 
mua ucapan pemuda berpakaian biru benar, maka 
dengan berat hati dia berlari meninggalkannya. 

"Selamat tinggal, Lestari...!" 

Sempat didengar oleh Lestari, seruan pemu- 
da berpakaian biru. Namun, Lestari tidak berani 
menoleh kepala. Dia tidak ingin, pemuda berpa- 
kaian biru melihat sepasang matanya yang berka- 
ca-kaca. Malah, Lestari semakin mempercepat la- 
rinya. 


kkk 


Lestari berlari terus tanpa memperhatikan 
arah. Dia hanya menuruti saja ke mana kakinya 
berlari. Kalau tidak mengingat ucapan pemuda 
berpakaian biru, dan juga tugas yang diembankan 
kepadanya, Lestari lebih suka mati bersama murid 
Malaikat Salju itu. 

Karena berlari dengan pikiran melayang ke 
sana kemari, Lestari kurang waspada. Dia lupa 
memperhatikan sekelilingnya. Gadis berpakaian 
merah ini baru terperanjat ketika merasakan 
bunyi riuh-rendah di depannya. Dan ketika Lestari 
mengawasi secara lebih teliti, dia terkejut 

Sekitar dua puluh tombak di depan Lestari 
yang tengah berlari, tampak sesuatu bergerak- 
gerak menuju arahnya. Sesuatu yang ditakuti oleh 
sebagian besar kaum perempuan. Tikus! Dan yang 
lebih membuat bergidik hati Lestari adalah jum- 
lahnya. Seekor tikus saja sudah cukup untuk 
membuat bulu tengkuknya meremang. Kini di ha- 
dapannya ada ratusan bahkan mungkin ribuan 
ekor tikus berwarna hitam mengkilat dan besar. 
Tikus-tikus itu hampir sebesar kucing. 

Lestari langsung menghentikan langkahnya, 
dan memandang dengan sorot mata tidak percaya. 
Dari mana datangnya tikus-tikus besar begini ba- 
nyaknya? Meskipun tadi tidak melalui jalan ini, 
Lestari dapat menduga kalau keberadaan kawa- 
nan tikus hitam itu di tempat ini merupakan sua- 
tu yang aneh. Tidak wajar! 

Lestari semakin yakin akan dugaannya keti- 
ka melihat sesosok manusia bertubuh tinggi sekali 
berada di belakang kawanan tikus itu. Sosok ber- 
telanjang dada dan hanya mengenakan sepotong 
celana panjang merah. Jarak yang masih jauh 
menyulitkan Lestari untuk bisa melihat lebih jelas. 
Namun dia yakin kalau sosok tinggi laksana galah 
itu seorang lelaki! Di mulut lelaki tinggi itu me- 
nempel sebatang suling bambu yang dipegang 
dengan kedua tangan. 

Suara melengking tinggi dan bernada aneh 
terdengar dari suling itu. Sesaat kemudian tiba- 
tiba Lestari merasakan kedua lututnya lemas! Ti- 
kus-tikus besar itu mendadak berlarian menyer- 
bunya sambil memperdengarkan suara mencicit 
yang ramai memecah bergemuruhnya langkah me- 
reka yang seperti saling berlomba. Seakan bina- 
tang-binatang menjijikkan itu mengancam penuh 
kemarahan. 

Lestari sama sekali tidak menyangka kalau 
tikus-tikus itu akan melakukan penyerangan den- 
gan demikian ganasnya. Namun, otaknya yang 
cerdas langsung dapat menduga bahwa perilaku 
binatang-binatang yang terkenal dengan ketaja- 
man giginya itu, berhubungan dengan bunyi sul- 
ing yang ditiup oleh sosok tinggi kurus di belakang 
mereka. 

Lestari tak sempat banyak memikirkan ten- 
tang hal itu, karena tikus-tikus berbulu hitam itu 
telah semakin dekat. Keadaan itu membuat ha- 
tinya kian dicekam kengerian. Perasaan takut dan 
ngeri yang hebat, karena Lestari amat takut terha- 
dap tikus, membuat kedua kakinya kian lemas. 
Untung saja ilmu silat yang dimilikinya, sudah 
mendarah daging, sehingga dia dapat juga memu- 
lihkan keadaan yang tidak menguntungkan itu. 
Lestari langsung membalikkan tubuh, dan berlari 
cepat meninggalkan tempat itu. 

Namun, baru beberapa kali lesatan, Lestari 
langsung terhenti dengan mata membelalak kaget. 
Sekitar empat tombak di depannya, berdiri sosok 
yang baru saja dilihatnya. Sosok tinggi kurus lak- 
sana galah yang tadi berdiri di belakang kawanan 
tikus hitam mengkilat. Dalam hati gadis itu mera- 
sa heran. Tidak salahkah penglihatannya? 

Rasa penasaran membuat Lestari mengalih- 
kan pandangan ke belakang, dan hatinya langsung 
tercekat. Di belakang rombongan tikus yang ten- 
gah berlarian memburunya ternyata sudah tak 
tampak lelaki tadi. Berarti jelas, sosok bertelan- 
jang dada di depannya adalah sosok tinggi kurus 
yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus. Tan- 
pa sadar, bulu kuduk Lestari berdiri karena pera- 
saan ngerinya, Bagaimana sosok tinggi kurus itu 
bisa berada di depannya tanpa diketahui. Apakah 
lelaki peniup suling itu bisa menghilang dan pin- 
dah ke lain tempat?! 

Perbuatan sosok tinggi kurus itu membuat 
Lestari gentar, tapi masih tidak mampu menga- 
lahkan rasa takut dan ngeri yang bersemayam 
akibat tikus-tikus pengejarnya. Jangankan hanya 
sosok tinggi kurus yang belum diketahui tingkat 
kepandaiannya, biar ada raja iblis di depannya, 
Lestari tidak akan mundur setapak pun! Dia lebih 
suka berhadapan dengan raja iblis dari pada den- 
gan gerombolan tikus yang mengiriskan itu. 

Maka, Lestari segera meneruskan tindakan- 
nya yang semula terhenti karena perasaan kaget 
yang mencuat. 

"Menyingkir kau...!" seru Lestari sambil me- 
nusukkan kipasnya yang berujung baja-baja runc- 
ing ke dada sosok tinggi kurus yang berdiri meng- 
hadang jalan dengan kepala tertunduk dan suling 
menempel di bibir. 

Trakkk! 

Lestari terpekik kaget ketika kipasnya lang- 
sung berbenturan dengan suling di tangan sosok 
tinggi kurus. Kemudian, sosok itu memutar - 
mutarkan tangannya, sehingga membuat kipas ba- 
ja Lestari ikut terbawa berputar bersama dengan 
tangannya. Lestari berusaha keras untuk mena- 
hannya, tapi sia-sia! 

Kreppp! 

Sebelum Lestari sempat melakukan tindakan 
penyelamatan, tangan kanan sosok tinggi kurus 
telah berhasil mencekal leher bajunya dan men- 
gangkatnya ke atas. Karena tinggi tubuh Lestari 
berada jauh di bawah sosok tinggi kurus, tubuh 
putri Malaikat Petir itu tergantung di atas tanah. 


Lestari tidak tinggal diam. Gadis yang memi- 
liki watak keras ini menggerakkan kedua kaki un- 
tuk menendang bagian-bagian tubuh lawan yang 
berbahaya agar dapat membebaskan diri. Namun 
usahanya kandas karena tubuh lawan berada le- 
bih jauh dari jangkauan kakinya. Tendangan- 
tendangan Lestari hanya mengenai angin. 

Di saat Lestari masih memikirkan cara lain 
untuk menyelamatkan diri, sosok tinggi kurus itu 
mengibaskan tangannya. Seketika tubuh Lestari 
terlontar ke belakang. 

Hampir pingsan Lestari ketika mengetahui 
kalau tubuhnya melayang menuju kerumunan ti- 
kus-tikus besar yang tengah beringas. Namun, te- 
kad untuk menyelamatkan nyawa, membuatnya 
mampu untuk tetap sadar. Malah, dia masih 
mampu mengatur kedudukan hingga ketika men- 
darat di tanah dengan keadaan menguntungkan. 

Tikus-tikus yang tengah sibuk, ramai, dan 
riuh rendah menunggu jatuhnya tubuh mangsa, 
langsung mencicit-cicit keras ketika tubuh mereka 
terlempar karena kebutan kipas Lestari. Gadis 
berpakaian merah itu mampu mengebutkan kipas 
yang disertai pengerahan tenaga dalam kuat, sebe- 
lum kakinya menjejak tanah. Sehingga ketika ber- 
hasil mendarat, tanah sudah bersih dari kawanan 
tikus yang ganas dan mengerikan itu. 

Binatang-binatang bergigi runcing yang tam- 
pak sangat buas itu, tidak tinggal diam. Sambil 
mengeluarkan bunyi mencicit yang ramai sekali 
mereka menyerbu Lestari. Pertarungan aneh anta- 
ra manusia dengan binatang-binatang haus darah 
pun terjadi. Lestari benar-benar menguras seluruh 
kemampuan karena perasaan ngeri yang menyer- 
gap hatinya. Kipas di tangan dan pukulan- 
pukulan jarak jauh yang dilakukan dengan tangan 
kirinya terus-menerus dilakukan untuk membuat 
binatang-binatang menjijikkan itu tidak bisa men- 
dekatinya. 

Akibat amukan Lestari memang mengiriskan 
hati. Kebutan kipasnya selain mampu melempar- 
kan tubuh tikus-tikus besar itu, juga menewaskan 
sebagian di antara mereka. Namun tidak sedah- 
syat pukulan-pukulan jarak jauh tangan kirinya. 
Setiap kali tangan kirinya dihentakkan, beberapa 
ekor tikus terlempar tewas dengan tubuh remuk 
dan terbakar! Hentakan tangan gadis berpakaian 
merah itu selalu disertai dengan bunyi meledak- 
ledak seperti kilat atau petir menyambar. Inilah 
ilmu 'Tapak Petir' andalan ayahnya, Malaikat Petir. 
Hembusan angin panas melingkupi tempat itu 
akibat ilmu 'Tapak Petir'! 

Sudah tak terhitung tikus-tikus yang tewas 
dan bergeletakan tanpa nyawa. Namun jumlah 
yang masih terus melakukan penyerangan, bagai- 
kan tidak pernah berkurang. Seakan-akan mati 
satu, muncul seratus. Dan hal ini membuat Lesta- 
ri kewalahan! Pukulan-pukulan jarak jauh yang 
dilancarkan, dan senantiasa membutuhkan tenaga 
penuh itu, membuatnya cepat lelah. Apalagi gadis 
ini memang baru saja menguras kemampuan da- 
lam menghadapi Dewa Langit Tak Punya Malu. 
Dan yang lebih berbahaya lagi, tikus-tikus itu ter- 
nyata bukan binatang sembarangan karena men- 
gandung racun ganas. Dengus napas dan gemu- 
ruh suara dari ribuan binatang itu membuat Les- 
tari pusing. Beberapa kali tubuh gadis ini agak 
terhuyung. 

Kenyataan ini membuat Lestari sadar kalau 
serbuan tikus-tikus itu tidak mungkin bisa diben- 
dungnya. Dia tahu, tak lama lagi tenaganya akan 
habis, padahal jumlah tikus-tikus itu sepertinya 
tidak berkurang. Lestari yang biasanya tidak per- 
nah putus asa, kini mulai patah semangat. Apalagi 
ketika dirasakan pusing yang melandanya sema- 
kin menjadi-jadi dan sepasang matanya sudah 
mulai samar-samar untuk melihat 


kkk 


"Biadab...!" 

Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras 
menggelegar dari kejauhan. Dalam cekaman rasa 
pusing yang semakin parah, Lestari masih dapat 
menangkap bentakan penuh kegeraman itu. Se- 
saat kemudian, tikus-tikus yang tengah merang- 
sek kian mendekat mendadak berpentalan ke be- 
lakang seperti dilanda angin topan. Hembusan an- 
gin kencang berasal dari belakang Lestari yang 
membuat binatang-binatang itu berpentalan. 

"Tidak ada gunanya melawan binatang- 
binatang tidak bersalah itu, Nisanak," ujar sebuah 
suara yang berasal dari sebelah kanan Lestari, se- 
raya menghentakkan tangan mengirimkan serang- 
kaian pukulan jarak jauh pada tikus-tikus itu. 
"Lebih baik kita tinggalkan mereka!" 

Sebelum Lestari memberikan persetujuan, 
pemilik suara itu telah menggamit lengan kirinya. 
Gadis berpakaian merah itu terkejut ketika tahu- 
tahu dirinya sudah dibawa melesat kabur. Dia tak 
mampu membantah atau menolaknya. Sekilas ma- 
tanya sempat memperhatikan sosok yang telah 
menyelamatkannya. Namun pandangannya yang 
sudah tidak awas lagi hanya menangkap sosok 
berpakaian ungu dan berambut putih panjang ter- 
gerai dipermainkan angin. 

Namun, seperti juga yang dihadapi Lestari, 
sosok ungu itu mendapat hadangan dari sosok 
tinggi kurus. Tadi, sosok tinggi kurus ini terlalu 
sibuk meniup suling untuk memaksa tikus-tikus 
besarnya menyerang Lestari tanpa mengenal ta- 
kut, maka tidak sempat mencegah masuknya so- 
sok ungu ke dalam kancah pertarungan. Baru ke- 
tika sosok ungu itu akan melesat kabur, sosok 
tinggi kurus turun tangan menghadang. Sosok 
ungu menghentikan langkah, dan menatap sosok 
tinggi kurus yang berdiri menghadang jalan. De- 
ngan penuh kewibawaan sosok ungu yang ternya- 
ta seorang pemuda tampan itu berdiri dengan te- 
nang sambil memegangi lengan Lestari. 

"Manusia Biadab! Orang sepertimu tak layak 
untuk tinggal di dalam dunia. Sampai hati kau 
bermaksud menjadikan gadis tak berdosa ini se- 
bagai santapan tikus-tikus kelaparan!" ujar sosok 
ungu itu dengan suara bergetar karena dikuasai 
amarah. 

Sosok tinggi kurus yang sejak tadi tertun- 
duk, hingga raut mukanya tidak kelihatan, men- 
gangkat wajah. Dia ternyata seorang lelaki berusia 
sekitar lima puluh tahun, berwajah tirus dengan 
kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajah- 
nya yang selalu cemberut 

"Sungguh berani kau mengeluarkan perka- 
taan seperti ini padaku, Kadal Buntung! Apa diri- 
mu tidak mengenal siapa yang kau hadapi?! Aku, 
Raja Tikus Dasar Bumi! Hhh... apa yang kau an- 
dalkan hingga berani menantangku...?!" geram le- 
laki tinggi bertelanjang dada itu dengan suara pa- 
rau sambil menatap tajam sosok ungu yang berdiri 
di depannya. 

Sementara pemuda tampan berambut kepe- 
rakan dan berpakaian ungu itu hanya tersenyum 
sinis, membalas tatapan lelaki tinggi kurus yang 
mengaku berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi. 

"Aku Arya, tapi orang-orang persilatan men- 
genalku sebagai Dewa Arak," jawab pemuda ber- 
pakaian putih keperakan yang bukan lain adalah 
Arya Buana alias Dewa Arak, tak mau kalah ger- 
tak. 

"Hmh...! Jadi rupanya kau tokoh sombong 
yang menganggap diri sendiri tokoh nomor satu 
dunia persilatan.... Aku telah mendengar kabar 
tentang kesulitanmu, Dewa Arak. Dan sudah lama 
aku berkeinginan untuk menemuimu dan mele- 
nyapkan kau dari muka bumi atas kesombongan- 
mu! Sama sekali tidak pernah mimpi aku bisa 
jumpa denganmu di sini!" tandas lelaki tinggi yang 
berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi. 

"Kau terlalu berlebihan, Raja Tikus Dasar 
Bumi. Mana bisa aku dibandingkan dengan diri- 
mu. Telah lama kudengar nama besarmu. Bukan- 
kah kau salah seorang di antara Biang-Biang Iblis, 
datuk kaum sesat yang telah menjauhkan diri dari 
dunia ramai sejak hampir dua puluh tahun lalu? 
Tapi, meskipun demikian aku tidak gentar, Raja 
Tikus! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang 
lebih patut untuk menghirup udara di dunia ini 
lebih lama!" 

Baru saja Dewa Arak menyelesaikan kata- 
katanya, Raja Tikus Dasar Bumi telah melancar- 
kan serangan dengan sebuah sabetan suling ke 
arah pelipis Dewa Arak. Ada suara seperti tiupan 
suling ketika senjata yang merupakan teman 
penghibur hati manusia, melayang ke arah sasa- 
ran 

Wuing...! 

Serangan dahsyat itu mengenai angin ketika 
Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang. Be- 
gitu serangan lewat, pemuda berambut putih ke- 
perakan ini mengirimkan tendangan ke arah dada 
lawannya. 

Tappp! 

Dewa Arak mengeluh tertahan ketika perge- 
langan kakinya berhasil ditangkap oleh tangan 
kanan Raja Tikus Dasar Bumi. Dewa Arak sampai 
terkejut melihat kenyataan ini. Namun dia segera 
dapat menyadari keadaannya yang kurang men- 
guntungkan, maka bertindak cepat. Dengan kaki 
yang satunya lagi Dewa Arak mengirimkan seran- 
gan ke arah leher dengan bertumpu pada kaki 
yang tercekal lawan. 

"Hebat juga kau...!" puji Raja Tikus Dasar 
Bumi sambil melompat ke belakang. Cekalan tan- 
gannya terhadap kaki lawan dilepaskan, karena 
tidak ingin nyawanya melayang akibat tendangan 
Dewa Arak yang mampu menghancurkan batu ka- 
rang yang paling keras sekalipun itu 

Pertarungan antara dua tokoh berbeda usia 
itu berkobar. Masing-masing pihak mengerahkan 
seluruh kemampuan karena telah dapat memper- 
kirakan ketangguhan lawan dari gebrakan- 
gebrakan yang terjadi. Gerakan-gerakan cepat ke- 
duanya membuat tubuh mereka lenyap, hingga 
yang tampak hanya bayangan coklat dan bayan- 
gan ungu saling berkelebat 

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Baru ber- 
tarung dalam lima jurus saja pemuda berambut 
putih keperakan yang telah kenyang pengalaman 
ini tahu kalau Raja Tikus Dasar Bumi merupakan 
tokoh tangguh, bahkan belum tentu kalah den- 
gannya. Hal itu membuat hatinya gelisah. Kalau 
saja tidak teringat akan nasib Lestari, pemuda be- 
rambut putih keperakan ini tidak akan demikian 
pusing. Dia tahu, Lestari telah keracunan, dan 
apabila bertindak lambat nyawa gadis berpakaian 
merah itu mungkin akan lebih dulu melayang. 

Dewa Arak pun mengambil keputusan cepat. 
Dengan perhitungan matang, dilancarkan seran- 
gan bertubi-tubi. Dan seperti yang telah didu- 
ganya, Raja Tikus Dasar Bumi mengelak dengan 
cara melempar tubuh ke tanah. Ini merupakan sa- 
tu-satunya cara terbaik. Diam-diam dia harus 
memuji kejelian mata lawannya. Memang, seran- 
gan-serangan Arya lebih baik apabila dihadapi 
dengan elakan, karena apabila menangkis banyak 
kemungkinan yang tidak terduga. Tindakan ini te- 
lah diperhitungkannya baik-baik. Maka begitu Ra- 
ja Tikus Dasar Bumi membanting tubuh ke tanah, 
dia pun segera menyambar tubuh Lestari yang 
semakin terhuyung karena pusingnya. Setelah itu 
melesat cepat meninggalkan lawannya. 

Raja Tikus Dasar Bumi hanya dapat mema- 
ki-maki penuh perasaan geram melihat tubuh la- 
wannya yang semakin mengecil di kejauhan. Dia 
tahu tidak ada gunanya lagi melakukan pengeja- 
ran. Masih ada urusan yang lebih penting dan ha- 
rus diselesaikan. Maka setelah melempar pandang 
sekali lagi ke arah tempat lenyapnya Dewa Arak, 
Raja Tikus Dasar Bumi meniup sulingnya, meme- 
rintahkan tikus-tikus peliharaannya untuk me- 
ninggalkan tempat itu. Tadi ketika tokoh sesat ini 
terlibat pertarungan, tikus-tikus itu tidak melan- 
carkan serangan lagi, karena sibuk memakan dag- 
ing-daging kawannya yang tewas. Semangat bina- 
tang-binatang itu untuk menyerang langsung pu- 
pus ketika majikan mereka tidak meniup suling- 
nya lagi. 


*** 




"Sekarang kau sudah selamat dari bahaya 
maut, Nisanak," ujar Dewa Arak pada Lestari yang 
duduk bersila di depannya. Keduanya duduk ber- 
sila dan berhadap-hadapan. Lestari sudah tampak 
segar kembali seperti sedia kala karena Arya telah 
mengobatinya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa 
Arak. Kau Dewa Arak bukan? Kudengar kau tadi 
memperkenalkan diri dengan julukan itu. Sayang, 
aku telah lama tinggal di tempat terpencil hingga 
tidak sempat mendengar kebesaran namamu. Aku 
yakin kau tokoh yang menggemparkan, Dewa 
Arak. Terbukti, Raja Tikus Dasar Bumi mengagu- 
mimu." 

Dewa Arak tersenyum sambil mengangguk- 
kan kepala. 

"O ya, mengapa kau bisa bentrok dengan to- 
koh seperti itu, Nisanak? Kau tahu siapa dia?!" 
tanya Arya mencoba untuk mengalihkan pembica- 
raan. 

"Tentu saja!" Lestari mengangguk. "Ng.. aku 
usul kau memanggil namaku saja, Dewa Arak. 
Namaku Lestari Mala, biasa disebut Lestari." 

"Aku Arya," timpal Arya masih dengan terse- 
nyum. 

"Aku tahu siapa orang yang menjadi lawan- 
ku, Arya. Dia berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi, sa- 
lah seorang datuk sesat dari Biang-Biang Iblis. Ta- 
pi aku tidak tahu mengapa tokoh-tokoh itu seperti 
memusuhi ku. Padahal, yang menjalin permusu- 
han adalah ayahku. Malaikat Petir. Bahkan tokoh- 
tokoh Biang Iblis lainnya seperti Raksasa Pemang- 
sa Manusia memusuhi anggota Tiga Malaikat 
Bayangan!" Kemudian secara singkat tapi jelas, 

Lestari menceritakan semua kejadian yang diala- 
minya sampai bertemu Dewa Arak. 

"Kau bilang seorang gadis muda berpakaian 
putih berambut panjang, Lestari?!" tanya Arya 
dengan suara bergetar ketika gadis berpakaian 
merah itu menyelesaikan cerita. "Apakah dia ber- 
senjata pedang? Dan, apakah setiap pergerakan 
pedangnya menimbulkan bunyi mengaung seperti 
ada sekumpulan lebah tengah mengamuk?!" 

"Benar! Kau mengenalnya, Arya?!" tanya Les- 
tari, kaget dan dengan hati terasa tidak nyaman. 
Gadis berpakaian merah itu sendiri tidak tahu 
mengapa. Yang dirasakan hanya perasaan tidak 
enak melanda hati ketika mengetahui Arya seper- 
tinya mengenal gadis berpakaian putih. 

"Benar, Lestari," jawab Arya. Karena pera- 
saan gembiranya dia tidak melihat tarikan wajah 
Lestari yang kurang enak ketika Arya menanyakan 
tentang gadis berpakaian putih. "Dia adalah... eh 
kawan baikku. Karena suatu sebab kami harus 
terpisah. Eh... di mana kau bertemu dengannya, 
Lestari?" 

"Kurasa lebih baik kalau kita mencarinya 
bersama-sama, Arya. Siapa tahu aku dapat mem- 
bantu melakukan pencarian...," Lestari mengaju- 
kan usul. 

"Kurasa tidak perlu, Lestari," tolak Arya, ha- 
lus. "Aku yakin dapat mencari jejaknya apabila 
kau memberitahukan tempatnya dengan jelas. La- 
gi pula, bukankah kau hendak mencari Malaikat 
Salju dan Malaikat Aneh?! Aku tidak ingin tugas- 
mu terganggu karenanya." 

Lestari menelan kekecewaan yang melanda 
hatinya. Kemudian dengan suara berat diberita- 
hukan tempat Melati dan Prapanca ditinggalkan- 
nya pergi. 


"Terima kasih, Lestari. O ya, jaga dirimu 
baik-baik dan selamat tinggal!" 

Belum lenyap gema ucapan Dewa Arak, tu- 
buhnya telah tidak berada di situ. Lestari hanya 
sempat melihat sekelebatan bayangan ungu yang 
melesat cepat ke depan, dan tahu-tahu tubuh pe- 
muda berambut putih keperakan itu telah berada 
di kejauhan 

Lestari menghela napas berat. Ada perasaan 
sakit bersemayam di hatinya melihat tingkah Arya 
yang demikian bersemangat untuk bertemu den- 
gan Melati. Lestari yakin akan adanya sesuatu di 
antara mereka. Dan keyakinan ini membuat sakit 
di hatinya semakin bertambah. Lestari menjadi 
heran karenanya. Apa yang telah terjadi dengan 
dirinya? Mengapa dapat timbul perasaan ini? Dan 
mengapa ada rasa hilang mendera hatinya seiring 
dengan perginya Dewa Arak? Lestari merasakan 
ada sesuatu dalam dadanya yang lenyap ketika 
Dewa Arak telah tidak nampak lagi bayangannya. 
Ada sesuatu yang tidak diketahui, bergejolak da- 
lam hati Lestari, tapi begitu saja lenyap seperti 
terbawa oleh kepergian Dewa Arak. 

Arya menyusuri sekitar tempat yang dikata- 
kan oleh Lestari. Sepasang matanya yang tajam 
mencorong laksana mata seekor harimau dalam 
gelap itu merayapi setiap jengkal tanah di sekitar 
tempatnya berada. Meskipun sepi, Arya tahu bebe- 
rapa waktu sebelumnya tempat ini menjadi ajang 
pertarungan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Keadaan 
di sekitar tempat itu masih porak-poranda. Bah- 
kan beberapa bagian tanah terbongkar. Semua pe- 
tunjuk ini membuktikan kalau cerita Lestari tidak 
dusta. 

Pemuda berambut putih keperakan itu terus 
memperhatikan sekeliling untuk melihat-lihat ba- 
rangkali ada petunjuk yang ditemukannya. Dia 
merasa khawatir sekali akan nasib gadis berpa- 
kaian putih penolong Lestari yang diyakini Arya 
sebagai Melati, kekasihnya. Karena menurut cerita 
Lestari, lawan yang dihadapi amat tangguh, Dewi 
Cabul. Malah, sebelum Lestari pergi, Raksasa Pe- 
mangsa Manusia telah hampir tiba di tempat itu. 
Berarti lawan kuat telah bertambah lagi. 

"Apa yang tengah kau cari, Anak Muda?! 
Dewa Arak?! Aiya Buana?! Murid Manusia Sakti Ki 
Gering Langit?!" 

Aiya hampir terjingkat kaget mendengar sa- 
paan itu. Bukan hanya karena pemilik suara itu 
mengetahui semua hal tentang dirinya terutama 
sekali karena keberadaan kakek sosok pemilik su- 
ara itu. Aiya yakin betul kalau tadi di tempat ini 
tidak ada seorang pun. Jadi, kalau sekarang ada 
suara menyapa, berarti pemilik suara itu baru saja 
tiba. Yang lebih mengherankannya suara itu da- 
tang dari tempat yang dekat sekali. Dari sini saja 
Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu memiliki 
kepandaian terutama sekali ilmu meringankan tu- 
buh yang amat tinggi. 

"Ah...! Kiranya kau, Ki Jaran Sangkar...!" se- 
ru Arya merasa lega ketika melihat pemilik suara 
itu. Seorang kakek berpakaian abu-abu yang telah 
berusia amat tua, sehingga semua bulu yang ada 
di kepala dan wajahnya memutih semua. 

"He he he...!" Kakek berpakaian abu-abu 
yang dikenal dengan nama Jaran Sangkar itu ter- 
tawa terkekeh. "Rupanya aku membuatmu kaget, 
Dewa Arak?! Syukurlah kalau demikian!" 

Arya hanya tersenyum lebar mendengar 
sambutan Jaran Sangkar. Dia tahu betul siapa 
kakek ini karena telah beberapa kali bertemu. Se- 
tiap dalam pertemuan, kakek berpakaian abu-abu 
ini menimbulkan keterkejutan di dalam hatinya. 
Arya tahu, Jaran Sangkar merupakan seorang to- 
koh sakti tingkat tinggi. Meskipun di antara mere- 
ka berdua belum pernah terjadi pertarungan, Arya 
berani bertaruh kalau tingkat kepandaian Jaran 
Sangkar berada cukup jauh di atasnya. Apalagi ji- 
ka yang diperbandingkan ilmu gaib yang mereka 
miliki. Arya tahu, Jaran Sangkar memiliki banyak 
ilmu gaib yang luar biasa dan aneh-aneh. Namun 
kakek itu selalu merendahkan diri dengan menga- 
takan kalau ilmu-ilmu gaibnya tidak bisa disama- 
kan dengan yang dimiliki Ki Gering Langit, guru 
Arya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang ber- 
nama Jaran Sangkar ini, silakan baca serial Dewa 
Arak dalam episode: "Kembalinya Raja Tengkorak." 
Dan "Petaka Anak Naga"). 

"Apakah ada sesuatu yang hendak kau sam- 
paikan padaku, Ki? Sehingga kau sampai bersu- 
sah payah menemuiku?!" tanya Arya, langsung 
menerka karena biasanya memang demikian. 

"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Jaran 
Sangkar sambil melemparkan senyum lebar. "Aku 
datang kemari karena keadaan yang mendesak. 
Kalau tidak demikian, orang setua dan tidak ber- 
guna seperti aku, tak akan mungkin keluar ke du- 
nia yang keras. Ini berhubungan dengan keluar- 
nya tokoh-tokoh hitam yang pernah menjadi datuk 
puluhan tahun lalu. Tokoh-tokoh hitam itu berju- 
luk Biang-Biang Iblis. Kau telah bentrok dengan 
salah seorang di antara mereka?" 

"Maksudmu..., Raja Tikus Dasar Bumi, Ki?!" 
terka Arya setelah tercenung sebentar. 

Jaran Sangkar menganggukkan kepala "Se- 
dangkan tokoh-tokoh lainnya adalah Raksasa Pe- 
mangsa Manusia, Dewi Cabul, dan Dewa Langit 
Tak Punya Malu. Kau telah mendengar tentang 
mereka kan, Dewa Arak?!" 

Dewa Arak mengangguk. "Sebagian kuden- 
gar dari berita di dunia persilatan. Tapi, lebih je- 
lasnya lagi dari mulut seorang gadis. Dia telah 
mengalami kejadian hebat, bertemu dengan empat 
datuk Biang-Biang Iblis. Karena gadis itulah aku 
bisa berada di sini." 

"Bukan gadis yang kau maksudkan adalah 
Lestari Mala putri Malaikat Petir?!" terka Jaran 
Sangkar. Arya tidak merasa kaget sedikit pun 
mendengar ketepatan terkaan itu. Dia telah men- 
getahui kalau Jaran Sangkar banyak memiliki il- 
mu gaib. 

"Kita kembali pada permasalahan, Dewa 
Arak," lanjut Jaran Sangkar setelah membiarkan 
suasana hening sebentar. "Puluhan tahun lalu... 
dunia persilatan kacau-balau karena adanya to- 
koh-tokoh sesat yang amat sakti dan memiliki ke- 
kejaman sukar digambarkan, sehingga mendapat 
julukan Biang-Biang Iblis. Tak terhitung sudah 
korban jatuh, baik yang tewas karena keganasan 
sepak terjang mereka maupun karena sengaja 
mempertaruhkan diri untuk membasmi kejahatan 
mereka. Golongan terakhir ini adalah para pende- 
kar yang ingin melenyapkan Biang-Biang Iblis itu." 

Jaran Sangkar menghentikan ceritanya seje- 
nak. Dia menatap wajah Arya, untuk melihat 
tanggapannya, sambil menelan air liur membasahi 
tenggorokannya. 

"Masing-masing pentolan sesat ini mengua- 
sai wilayah berbeda. Tiap seorang dari mereka 
menguasai satu mata angin. Namun, itu tidak 
membuat mereka puas. Masing-masing datuk se- 
sat itu ingin menjadi tokoh nomor satu di delapan 
penjuru mata angin. Maka melalui satu kesepaka- 
tan, mereka mengadakan pertemuan di suatu 
tempat yang ditentukan. Mereka pun bertarung, 
saling berganti lawan agar lebih akurat dalam 
mengambil kesimpulan untuk menentukan tokoh 
terpandai. Tapi, ternyata kepandaian mereka se- 
mua berimbang. Masing-masing tokoh mempunyai 
kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Akhir- 
nya, mereka pun mengambil keputusan untuk 
bertemu kembali tiga tahun kemudian. Untuk se- 
mentara gelar jago nomor satu mereka kesam- 
pingkan. Namun, di saat keempat Biang Iblis itu 
hendak meninggalkan tempat pertemuan, mereka 
mendengar bunyi orang bersyair. Maksud untuk 
meninggalkan tempat itu pun berubah. Mereka 
memutuskan untuk mencari asal syair yang ter- 
dengar dekat itu." 

Jaran Sangkar menghentikan cerita. Pan- 
dangannya diedarkan ke angkasa seperti tengah 
memikirkan lanjutan ceritanya. Arya diam saja 
menunggu kelanjutannya. 

"Tak jauh dari tempat mereka mengadakan 
pertemuan, tampak seorang kakek bersama seo- 
rang pemuda tengah asyik memancing di tepi kali. 
Keberadaan keduanya membuat keempat datuk 
sesat menjadi jengkel. Saat itu mereka memang 
tengah kesal karena tidak berhasil mempere- 
butkan gelar jago terkuat dalam pertemuan itu. 
Maka keberadaan kakek dan pemuda di situ 
membuat mereka memutuskan untuk menjadikan 
dua orang sial itu sebagai pelampiasan kekesalan. 
Dan niat itu semakin kuat ketika mereka melihat 
kakek dan pemuda itu ternyata bukan pemancing 
sembarangan. Keduanya memancing hanya den- 
gan mempergunakan sepotong bambu, tanpa tali, 
pelampung, bahkan mata kail pun tidak! Anehnya, 
berkali-kali keduanya berhasil menarik ikan-ikan 
dari sungai itu. Tapi, tetap saja hal itu tidak di- 
pandang sebelah mata pun oleh datuk-datuk sesat 
yang tengah kalap itu. Bagi mereka, permainan 
yang ditunjukkan oleh kakek dan pemuda itu 
hanya permainan kanak-kanak." 

"Hm...," tanpa sadar Arya bergumam sehing- 
ga membuat Jaran Sangkar menghentikan cerita. 
Gumaman itu keluar karena mengetahui kesom- 
bongan Biang-Biang Iblis yang menganggap kedua 
pemancing itu seperti anak-anak. Aiya tahu tin- 
dakan yang dilakukan kakek dan pemuda itu ti- 
dak dapat dilakukan oleh sembarangan orang ke- 
cuali yang memiliki tenaga dalam kuat 

"Empat datuk kaum sesat itu memang tidak 
percuma berjuluk Biang-Biang Iblis. Meski saat itu 
tengah berada dalam puncak kekesalan, sifat ke- 
jam mereka membuat putusan mati tidak lang- 
sung dijatuhkan. Seperti biasa mereka akan mem- 
permainkan calon korban sedemikian rupa sebe- 
lum dibunuh. Tapi kali ini mereka kecelik. Kakek 
itu bukan orang sembarangan. Demikian juga si 
Pemuda. Empat datuk golongan hitam yang ten- 
gah panas hati itu terpancing untuk mengucapkan 
sumpah, akan mengundurkan diri dari dunia per- 
silatan selama-lamanya, apabila kakek itu mampu 
mengalahkan mereka satu persatu, Dan celakanya 
lagi, empat datuk kaum sesat itu berhasil dikalah- 
kan. Mereka pun memenuhi janji. Itulah sebabnya 
julukan mereka kemudian lenyap." 

"Lalu, mengapa sekarang mereka muncul 
kembali ke dunia persilatan, Ki?! Apakah perjan- 
jian itu telah usai? Apakah masa berlakunya per- 
janjian itu hanya dua puluh tahun?!" tanya Dewa 
Arak tanpa menyembunyikan keheranannya keti- 
ka melihat Jaran Sangkar tidak melanjutkan ceri- 
tanya lagi. Mungkin sudah selesai. 


"Tidak demikian, Dewa Arak," jawab Jaran 
Sangkar. "Perjanjian itu tidak punya batas waktu. 
Namun, datuk-datuk kaum sesat yang teguh jan- 
jinya itu akhirnya termakan pendapat orang ketiga 
yang bermaksud mendapat keuntungan. Orang 
ketiga ini mengirimkan surat pada empat datuk 
yang masih mengasingkan diri. Isi surat itu men- 
cela keempat datuk sesat yang dikatakan bodoh 
karena termakan sumpah yang sudah tidak men- 
gikat lagi. Bukankah kakek yang menyebabkan 
mereka bersumpah telah tewas, untuk apa dipa- 
tuhi lagi? Bahkan agar empat datuk itu tidak di- 
anggap melanggar sumpah, pemilik surat itu telah 
membunuh pemuda yang bersama kakek yang 
pernah mengalahkan keempat datuk itu. Pemuda 
itu ternyata, keturunan si Kakek Sakti yang selalu 
menyertainya. Dengan matinya pemuda itu, ketu- 
runan kakek sakti putus. Kalau kakek itu dan ke- 
turunannya sudah tidak ada lagi, bukankah sum- 
pah mereka berarti telah selesai? Pendapat ini 
memang tidak dapat dibantah kebenarannya, ma- 
ka empat datuk sesat pun turun gunung dan mu- 
lai menyebar maut! Sebelum semuanya semakin 
berlarut-larut segera kutemui kau, Dewa Arak. 
Bukan karena aku tidak yakin kalau kau mampu 
bertindak cepat. Aku hanya merasa cemas korban 
yang jatuh akan semakin bertambah apabila ma- 
salah ini dibiarkan berlama-lama. Padahal, semua 
ini terjadi akibat salah paham saja. Pihak ketiga- 
lah penyebab semua ini!" papar Jaran Sangkar. 

"Jadi... sebenarnya kakek sakti dan keturu- 
nannya masih hidup, Ki?!" tanya Arya ingin tahu. 

"Kakek sakti sudah mati karena usia tua. 
Sedangkan pemuda yang ternyata anaknya tewas 
dibunuh oleh tokoh yang mengirimkan surat. 
Meskipun demikian, kakek sakti itu masih mem- 
punyai keturunan karena pemuda putra si Kakek 
telah menikah dengan seorang gadis. Tapi itu dila- 
kukan secara diam-diam karena orangtua si Gadis 
tidak setuju. Sayang, di waktu melahirkan 
bayinya, gadis itu meninggal. Kenyataan ini mem- 
buat hati putra kakek sakti terguncang. Dia kabur 
meninggalkan mayat istri dan bayinya. Tangisan 
bayi itu didengar oleh Malaikat Petir yang kebetu- 
lan lewat. Malaikat Petir mengambil bayi itu dan 
mengasuhnya. Bayi perempuan itu tumbuh men- 
jadi seorang gadis yang cantik sampai sekarang. 
Dan gadis itu adalah... yang kau tolong dari an- 
caman Raja Tikus Dasar Bumi." 

"Ah...!" desah Aiya, kaget. Dia sama sekali 
tidak menyangka kalau Lestari merupakan ketu- 
runan terakhir kakek sakti penakluk Biang-Biang 
Iblis. 

"Dan tugasmu, Dewa Arak, memberitahukan 
pada empat datuk sesat itu kalau kakek sakti yang 
mengalahkan mereka masih mempunyai keturu- 
nan. Dengan demikian, sumpah atas diri mereka 
masih berlaku. Sebab atas sumpah keempat datuk 
sesat, dua puluh tahun lalu, kakek sakti itu per- 
nah menyambutinya dengan mengatakan kalau 
keturunannya akan menjadi pengawas untuk me- 
lihat sendiri kebenaran janji Biang-Biang Iblis. Je- 
las, Dewa Arak?!" 

"Jelas, Ki," jawab Arya cepat "Tapi... masa- 
lahnya bagaimana kalau keempat Biang Ibis tidak 
percaya bahwa Lestari merupakan keturunan ka- 
kek sakti itu? Bukankah, tidak diketahui kalau 
putra kakek sakti itu berkeluarga? Bisa saja mere- 
ka mengatakan kalau Lestari adalah keturunan 
palsu." 

"Kekhawatiranmu masuk akal, Dewa Arak. 
Tapi, kau tidak perlu cemas. Karena setiap ketu- 


runan kakek sakti itu mempunyai tanda khas 
yang tidak akan pernah ditemukan pada orang 
lain. Sayangnya, Lestari tidak tahu kalau Malaikat 
Petir hanya ayah angkatnya. Jadi, kewajibanmu, 
harus dapat menjelaskan hal ini sebelum memba- 
wanya menghadap empat datuk kaum sesat itu. 
Kau tidak usah khawatir, Dewa Arak! Tidak akan 
sukar untuk meyakinkannya karena putra kakek 
sakti telah meninggalkan warisan untuk putrinya. 
Kau laksanakan saja tugas ini. Sesegera mungkin, 
Dewa Arak, agar korban yang jatuh tidak semakin 
banyak!" ujar Jaran Sangkar, mengingatkan. 

"Akan kuingat pesanmu itu, Ki," Dewa Arak 
mengangguk. "Tapi..., ada satu hal yang perlu ku- 
sampaikan padamu. Saat ini aku tengah terlibat 
persoalan tidak ringan. Dan karena masalah itulah 
aku berada di sini. Dan...." 

"Aku tahu, Dewa Arak," potong Jaran Sang- 
kar bernada tidak sabar tapi dengan mulut me- 
nyunggingkan senyum. "Kau urus saja Lestari, bi- 
ar Melati aku yang urus! Percayalah, tidak akan 
terjadi apa-apa terhadapnya! Aku jamin itu, Dewa 
Arak. Dan sebagai tambahan agar kau tidak ber- 
tanya-tanya dalam hati, kakek sakti itu bernama 
Rawung. Dia tidak terkenal di dunia persilatan 
meskipun berilmu tinggi. Karena tidak pernah 
muncul di dunia ramai. Ilmu-ilmu itu dimilikinya 
dari hasil berguru dari para pertapa yang dite- 
muinya di gunung-gunung ditambah hasil cip- 
taannya sendiri. Asal kau tahu saja, Dewa Arak, 
tidak ada orang yang tahu nama kakek itu." 

"Terima kasih, Ki," Arya merasa hatinya lega 
sekarang. Dia percaya penuh akan jaminan seo- 
rang tokoh seperti Jaran Sangkar, maka tidak di- 
ucapkan bantahan sedikit pun. Tidak juga ber- 
tanya mengapa kakek berpakaian abu-abu itu bisa 


mengetahui mengenai Melati. Arya tahu, Jaran 
Sangkar dengan kemampuannya dalam menge- 
rahkan ilmu gaib dapat mengetahui banyak per- 
soalan yang tidak diketahui orang lain. 

Setelah menganggukkan kepala pada Jaran 
Sangkar, Arya segera melesat meninggalkan tem- 
pat itu untuk mencari Lestari. 

kkk 


"Apa...?! Kau... kau bohong...! Penipu...! Ka- 
takan kalau ucapanmu itu tidak benar, Arya?!" 
ucap Lestari terbata-bata dengan wajah menyi- 
ratkan campuran bermacam-macam perasaan. 
Kecewa, gembira, sedih, bingung, dan cemas, serta 
ketidak percayaan. 

"Aku tidak bohong, Lestari. Aku mengatakan 
hal yang sebenarnya. Kau bukan putri Malaikat 
Petir, bahkan aku dapat memberikan mu bukti 
lainnya," lanjut Arya, masih tetap lembut tapi te- 
gar. 

"Tidak...! Tidak...! Kau bohong! Penipu...! 
Aku benci kau...!" maki Lestari sambil menuding- 
kan jari telunjuk kanannya pada wajah Arya. Tari- 
kan wajah gadis berpakaian merah itu sukar un- 
tuk ditebak karena di sana bercampur macam- 
macam perasaan yang bergolak di hatinya. Dan 
sambil mengeluarkan perkataan-perkataan seperti 
itu, Lestari melangkah mundur terus tanpa mem- 
balikkan tubuh. Seakan-akan Arya merupakan se- 
suatu yang menjijikkan. 

Di lain pihak, Arya tidak melakukan tinda- 
kan apa pun. Dia hanya berdiri diam di tempat- 
nya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu, 
hanya hal inilah yang dapat dilakukannya. Berita 
yang disampaikannya memang terlalu menge- 



jutkan bagi gadis itu. Jadi, bisa dimaklumi tinda- 
kan Lestari sekarang. Namun hal itu sudah diduga 
sebelumnya oleh Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan itu tetap 
berdiri diam, meski akhirnya Lestari membalikkan 
tubuh dan berlari meninggalkannya sambil terus 
meneriakkan kata-kata yang menyatakan ketidak- 
percayaan. Tak lama kemudian gadis itu telah le- 
nyap dari pandangannya. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak hanya menghela napas berat. 
Sengaja dibiarkannya Lestari pergi. Dia tahu Les- 
tari menderita guncangan batin yang cukup berat 
akibat penjelasannya. Biarlah, nanti apabila gun- 
cangan hatinya sudah mereda, akan dikemukakan 
siapa sebenarnya Lestari! 

Dengan pikiran melayang-layang, Dewa Arak 
mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Piki- 
ran dan hatinya masih diliputi oleh permasalahan 
Lestari. Bagaimana nanti mengutarakan persoalan 
itu kepadanya, masih membingungkan, mengingat 
sikap Lestari yang berubah-ubah dan sulit diterka. 

Sementara itu Lestari ternyata tidak pergi 
jauh dari tempat pertemuannya dengan Arya. Ga- 
dis itu tengah termenung seperti memikirkan se- 
suatu ketika Arya melihatnya. Dan ketika men- 
dengar suara panggilan wajahnya berseri-seri. 
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Begitu 
pemuda berpakaian ungu itu mengutarakan sebab 
kedatangannya, Lestari menunjukkan tanggapan 
yang sudah diperkirakan oleh Arya. Bagaimana- 
pun pengalamannya yang luas telah membuat 
pendekar muda mampu membaca sikap dan prila- 
ku seseorang.... 


*** 




"Lestari...!" 

Sebuah seruan keras yang telah pernah di- 
kenal telinga, membuat gadis berpakaian merah 
itu menghentikan lari, dan membalikkan tubuh. 
Saat itu, Lestari telah berlari jauh meninggalkan 
Dewa Arak. 

"Prapanca...!" balas Lestari, tak kalah keras 
ketika melihat sesosok tubuh kekar seorang pe- 
muda berpakaian coklat melesat cepat menuju ke 
arahnya. Hanya sekejap saja, sosok coklat yang 
memang Prapanca itu, telah berjarak beberapa 
tombak dari Lestari. 

"Apa yang terjadi denganmu, Lestari?! Kata- 
kan padaku, apakah ada orang yang menyakiti- 
mu?!" tanya Prapanca, kaget ketika melihat men- 
dung di wajah Lestari. Sepasang matanya yang ta- 
jam segera melihat pipi Lestari yang masih basah. 
Apalagi kalau bukan air mata?! 

"Aku... aku tidak apa-apa, Prapanca. 
Hanya... ada berita yang telah menyakitkan hati- 
ku." Secara singkat tapi jelas, Lestari mencerita- 
kan semua kejadian yang dialaminya bersama 
Dewa Arak. 

"Ah...! Jadi... kau bukan putri Malaikat Pe- 
tir?! Kau berarti cucu kakek sakti penakluk empat 
datuk kaum sesat itu?! Ah, luar biasa! Kalau begi- 
tu keadaanmu berbahaya, Lestari. Kau tahu, ba- 
nyak tokoh yang hendak melenyapkan keturunan 
kakek sakti itu. Waspadalah kau! Sekarang, lebih 
baik kau ikut pergi bersamaku." 

"Tapi, Prapanca...," Lestari mencoba untuk 
menolak. 


"Tidak ada tapi-tapian lagi, Lestari! Aku ha- 
rus memaksamu, ini semata-mata demi keselama- 
tanmu!" tandas Prapanca, mantap. 

Lestari menjadi bingung. Dan kesempatan 
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca 
untuk menggamit lengan kiri Lestari dan memba- 
wanya lari. Mau tidak mau, Lestari mengerahkan 
ilmu lari cepatnya kalau tidak ingin mengalami ke- 
jadian yang kurang menyenangkan, seperti seo- 
rang tawanan dibawa kabur. 

Namun belum berapa lama berlari, Prapanca 
menggumam tak senang karena beberapa tombak 
di depannya berdiri sesosok tubuh kekar berpa- 
kaian biru, menghadang jalan. Prapanca mencium 
adanya gelagat tidak baik. Dia menyadari untuk 
kembali sudah tidak memungkinkan lagi karena 
sosok berpakaian biru di depan pasti sudah meli- 
hatnya. Karena Prapanca yakin akan kemampuan 
dirinya, dia tetap berlari dan baru dihentikan keti- 
ka berada sekitar lima tombak di depan sosok ber- 
pakaian biru. 

"Kau...!" seru Lestari tertahan, memanggil 
sosok berpakaian biru, yang dikenalnya, tapi tidak 
diketahui namanya. 

"Lestari...!" sapa pemuda berpakaian biru, 
yang tak lain penolong Lestari ketika di Perkumpu- 
lan Pengemis Baju Putih. 

"Jadi... kau selamat...?!" tanya Lestari lagi, 
masih terharu ketika teringat akan pembelaan 
pemuda berpakaian biru. Tanpa sadar dia me- 
langkah ke depan. "Bagaimana caranya kau bisa 
lolos dari tangan Dewa Langit Tak Punya Malu?" 

"Aku ditolong oleh guruku. Beliau datang di 
saat yang gawat sekali." Pemuda berpakaian biru 
juga melangkah menghampiri. 



Namun maksud Lestari untuk menghampiri 
pemuda berbaju biru itu tidak tercapai. Sebab ba- 
ru dua langkah Lestari maju, Prapanca telah me- 
nyerobot maju ke depan sambil merentangkan 
tangan kiri ke samping untuk mencegah gadis itu. 

"Kau jangan sembarangan bertindak, Lestari! 
Kau harus hati-hati. Bukan tidak mungkin dia 
merupakan salah seorang yang akan mencabut 
nyawamu!" tuding Prapanca ke wajah pemuda 
berpakaian biru. 

"Fitnah!" tangkis pemuda berpakaian biru. 
Matanya menatap tajam dengan wajah merah pa- 
dam. "Kau jangan percaya mulut kotor itu, Lestari! 
Lebih baik kau menyingkir darinya! Aku malah 
yakin kalau dia yang akan mencelakaimu!" 

Suara pemuda berpakaian biru terdengar 
bergetar karena perasaan marahnya. Memang, su- 
dah sejak tadi, ketika melihat Lestari bersama seo- 
rang pemuda, hati pemuda berpakaian biru sudah 
panas. Perasaannya yang membuat hati murid 
Malaikat Salju ini merasa heran. "Apa yang terjadi 
dengan dirinya?" tanyanya dalam hati. 

"Menyingkirlah dari sini, Kutu Busuk!" 

Prapanca yang menjadi kalap mendengar 
makian pemuda berpakaian biru langsung menu- 
bruk maju, mengirimkan serangan dengan gedo- 
ran kedua tangannya yang terbuka ke arah dada. 
Karena kemarahannya, Prapanca ingin mene- 
waskan murid Malaikat Salju itu dalam segebra- 
kan. Seperti juga lawannya, Prapanca merasakan 
hatinya tidak nyaman melihat Lestari bermanis- 
manis sikap dengan pemuda berpakaian biru itu. 

"Kaulah yang akan menggeletak mampus di 
sini, Anjing Kudisan!" bentak pemuda berpakaian 
biru seraya menyambut serangan Prapanca den- 
gan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. 


Glarrr! 

Bunyi keras yang terdengar mengiringi ter- 
pentalnya tubuh dua tokoh muda itu ke belakang. 
Namun, pemuda berpakaian biru terlempar se- 
langkah lebih jauh daripada Prapanca yang hanya 
terhuyung-huyung tiga langkah. 

Benturan ini membuat pemuda berpakaian 
biru penasaran. Sebaliknya Prapanca semakin 
bersemangat untuk segera mengalahkan lawan- 
nya. Pertarungan pun kembali berlanjut. 

"Hei...! Kalian berdua gila! Hentikan perta- 
rungan ini...! Kalau tidak aku akan pergi dari si- 
ni...!" Karena merasa serba salah lalu Lestari ber- 
teriak-teriak untuk menghentikan pertarungan 
yang tidak diinginkannya itu. 

Maksud baik Lestari tidak membuahkan ha- 
sil sama sekali. Dua pemuda yang tengah kalap itu 
tidak mempedulikan seruannya sama sekali. Ke- 
duanya terus melanjutkan kesibukan mereka, sal- 
ing serang dengan hebatnya untuk dapat segera 
mengalahkan satu sama lain. 

Kenyataan ini membuat Lestari yang memili- 
ki watak keras kian kehilangan kesabaran. Dia 
merasa di tantang untuk membuktikan kebenaran 
ucapannya. Maka tanpa membuang-buang waktu 
lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan mereka. 
Prapanca dan lawannya yang tengah sibuk, tidak 
mengetahuinya sama sekali. 


kkk 


"Ha ha ha...! Jadi... inikah orang yang berju- 
luk Dewa Arak itu, Raja Tikus?! Masih muda seka- 
li! Benar-benar mengagumkan! Semuda ini sudah 
menjagoi dunia persilatan?! Hebat...! Hebat...!" 


Aiya menghentikan ayunan kakinya men- 
dengar seman yang datang dari arah samping ka- 
nan itu. Seketika dia menoleh sambil menghenti- 
kan langkahnya. Berjarak sekitar empat tombak 
tampak dua sosok berdiri menatapnya. Salah satu 
dari mereka dikenal sebagai Raja Tikus Dasar 
Bumi. Sedangkan sosok yang satunya lagi, belum 
pernah dilihatnya. Namun melihat ciri-cirinya bisa 
diterka kalau dia pasti Raksasa Pemangsa Manu- 
sia. 

Dugaan pemuda berambut putih keperakan 
itu tidak salah. Sosok yang bersama Raja Tikus 
Dasar Bumi tak lain Raksasa Pemangsa Manusia. 

Tokoh sesat yang memiliki bala pasukan be- 
rupa kawanan tikus itu sehabis bertarung dengan 
Dewa Arak, dalam perjalanannya bertemu dengan 
Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mencari- 
cari penculik Melati. Dalam pertemuan itu, Raja 
Tikus Dasar Bumi menceritakan tentang Dewa 
Arak yang mengakibatkan Raksasa Pemangsa Ma- 
nusia penasaran. Akhirnya kedua tokoh sesat itu 
bersama-sama mencari Dewa Arak, hingga berte- 
mu di situ 

"Benar, Raksasa Jelek...!" jawab Raja Tikus 
Dasar Bumi ketika bersama rekannya telah berada 
di dekat Arya. 

Pemuda berambut putih keperakan itu ber- 
diri di tempatnya, tidak melakukan tindakan apa 
pun kecuali bersikap waspada. 

"Ha ha ha...! Kalau cuma seperti ini orang- 
nya jangan-jangan berita yang tersebar hanya ka- 
bar burung belaka...," timpal Raksasa Pemangsa 
Manusia lagi, sambil tersenyum mengejek. "Hei...! 
Dewa Arak...! Aku ingin merasakan sendiri keli- 
haian mu yang selama ini digembar-gemborkan 
orang! Bersiaplah...!" 


Wuttt! 

Raksasa Pemangsa Manusia mengawali se- 
rangannya dengan sebuah tamparan tangan ka- 
nan keras ke arah pelipis pemuda itu. Dewa Arak 
yang merasa tersinggung mendengar tantangan 
Raksasa Pemangsa Manusia, tanpa merasa gentar 
sedikit pun, memapaknya dengan tamparan pula. 

Plakkk! 

Tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terputar 
dan terhuyung, jauh lebih parah dibanding Dewa 
Arak yang hanya terputar tubuhnya. Kenyataan 
ini membuat datuk sesat pemakan manusia itu 
menjadi murka, lalu menerjang lebih ganas. Dewa 
Arak pun menyambuti sehingga pertarungan sen- 
git pun terjadi di antara mereka. 

Baru beberapa gebrakan saja mereka berta- 
rung, Raksasa Pemangsa Manusia telah merasa- 
kan sendiri kehebatan pemuda berambut putih 
keperakan. Hal itu karena Dewa Arak yang sudah 
tak sabar karena teringat akan Lestari, langsung 
mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. 
Tekanan-tekanan serangannya atas Raksasa Pe- 
mangsa Manusia semakin menjadi-jadi. Sebalik- 
nya setiap serangan lawan, tanpa kesulitan lang- 
sung dipapakinya dengan pengerahan tenaga da- 
lam penuh. 

"Jangan khawatir, Raksasa! Aku datang 
membantu...!" 

Wuing...! Wuing! 

Belum lenyap gema ucapannya, Raja Tikus 
Dasar Bumi telah terjun ke dalam kancah perta- 
rungan. Dengan senjatanya yang berupa suling 
kakek bertelanjang dada itu mencecar berbagai 
bagian yang berbahaya di tubuh Dewa Arak. Bunyi 
melengking indah mengiringi setiap gerakan suling 
datuk sesat pemimpin pasukan tikus ini 


Masuknya kakek berwajah tirus yang hanya 
mengenakan celana panjang merah itu langsung 
mempengaruhi keadaan. Raksasa Pemangsa Ma- 
nusia mendapat kesempatan bergerak lebih lelua- 
sa. Sekarang ganti Dewa Arak yang kelabakan. Te- 
rasa oleh pemuda berambut putih keperakan be- 
tapa beratnya menghadapi dua orang lawan tokoh 
Biang-Biang Iblis ini. Untung saja dia memiliki il- 
mu 'Belalang Sakti' yang aneh itu. Dengan ilmu itu 
dia mampu menghadapi setiap gempuran dahsyat 
kedua lawannya. 

Perhatian yang dipusatkan penuh terhadap 
lawan tarung, membuat Dewa Arak dan dua la- 
wannya sama sekali tidak mengetahui adanya be- 
berapa sosok yang tengah melesat ke arah mereka. 
Sosok yang melesat paling depan adalah seorang 
gadis berpakaian merah. 

"Mampus kau, Wanita Liar...!" 

Sosok kurus memakai topi berbentuk seten- 
gah tempurung kepala memaki sambil menghen- 
takkan tangan kanan ke depan. Segundukan an- 
gin keras menyambar diiringi bunyi mengaung, 
memburu punggung gadis berpakaian merah yang 
tak lain Lestari. 

"Guru...! Jangan bunuh dia...!" 

Teriakan itu terdengar dari mulut sosok yang 
berlari ke belakang kakek bertopi hitam itu. Sosok 
berpakaian coklat itu ternyata Prapanca. Namun 
permintaannya terlambat, pukulan jarak jauh ka- 
kek berpakaian hitam telah lebih dulu melesat dan 
tidak mungkin ditahan lagi. Untung saja, sebelum 
menghantam sasaran, Lestari yang menyadari 
akan adanya ancaman maut itu membanting tu- 
buh ke tanah, kemudian bergulingan untuk men- 
jauhkan diri. 

"Keparat...!" 


Tanpa mengenal kasihan sama sekali, kakek 
berpakaian hitam itu meluruk ke arah Lestari 
yang tengah bergulingan. Sikapnya mengisya- 
ratkan maut bagi putri Malaikat Petir itu. Kakek 
bertopi aneh ini tidak mempedulikan teriakan- 
teriakan permohonan Prapanca. 

"Hentikan, Brangsang...! Tanganmu telah ba- 
nyak berlumuran darah orang-orang tidak berdo- 
sa...!" 

Kakek berpakaian hitam yang ternyata ber- 
nama Brangsang, menghentikan gerakannya. Dan 
sebelum dia sempat menoleh, ke samping kanan- 
nya telah berdiri seorang kakek berkulit putih dan 
pucat. Jenggot kumis, cambang, dan bahkan alis- 
nya pun putih semua! Kakek berkulit putih ini 
berdiri dengan sikap angker. 

"Kiranya kau, Sobrang!" seru Brangsang 
agak kaget "Sama sekali tidak kusangka kalau kau 
akan keluar dari tempat pertapaanmu. Apa yang 
hendak kau lakukan, heh...?! Ingat kau telah ber- 
sumpah untuk tidak mempergunakan kepan- 
daianmu lagi! Apalagi untuk menentang ku...!" 

"Aku memang tidak ingin menjatuhkan tan- 
gan keras padamu, Brangsang! Tapi, sebagai ka- 
kak seperguruanmu aku mempunyai hak untuk 
mengingatkan mu akan kesalahan tindakan yang 
kau lakukan ini. Bertobatlah, Brangsang!" 

"Kalau aku tidak mau, kau mau apa, So- 
brang?!" tantang Brangsang yang ternyata adik se- 
perguruan Sobrang, dengan berani. "Ataukah ingin 
menjilat ludahmu sendiri?!" 

Sobrang tersenyum getir. 

"Aku bukan orang yang suka menjilat ludah 
yang sudah ku keluarkan sendiri, Brangsang! Tapi 
aku tahu kaulah yang telah membunuh Malaikat 
Aneh. Kau pula yang menyebabkan Malaikat Petir 



dan Perkumpulan Pengemis Baju Putih hancur be- 
rantakan akibat fitnah dan pembunuhan yang kau 
lakukan terhadap keturunan kakek sakti. Kaulah 
yang mengeluarkan Biang-Biang Iblis dengan ga- 
gasan-gagasan licikmu! Aku tahu, sebabnya, ka- 
rena kau ingin mengambil harta karun milik bajak 
laut ratusan tahun lalu yang konon tersimpan di 
sana. Bukankah kau telah menemukan petanya?!" 

'Tutup mulutmu, Tua Bangka...!" 

Brangsang langsung murka karena semua 
rahasianya dibeberkan oleh Sobrang. Tanpa peduli 
siapa yang dihadapi dia langsung menerjang den- 
gan tepakan-tepakan maut Sobrang hanya terse- 
nyum getir melihatnya. Tak tampak kalau kakek 
berjenggot putih itu akan melakukan tangkisan 
atau mengelak. Mungkinkah, kakek ini bermaksud 
mendiamkan saja serangan itu karena takut di- 
anggap melanggar sumpah? 

"Pengecut Licik!" 

Bersamaan terdengarnya teriakan itu, seso- 
sok bayangan putih melesat cepat memapaki se- 
rangan Brangsang. Benturan pun tidak dapat di- 
cegah. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama- 
sama terjengkang ke belakang. Namun, tubuh so- 
sok bayangan putih terlontar lebih jauh. Dan keti- 
ka akhirnya berhasil bangkit wajahnya tampak 
pucat. Sosok bayangan putih ini memiliki kulit tu- 
buh putih seperti Sobrang hanya saja jauh lebih 
muda. 

"Malaikat Salju...!" seru Sobrang dan Brang- 
sang hampir berbarengan. 

"Guru...!" Malaikat Salju, sosok yang baru 
saja tiba, langsung saja memberi hormat pada So- 
brang. Terlihat agak menggelikan, seorang guru 
memanggil muridnya dengan julukan. Maklumlah, 
Sobrang tidak ingat lagi nama muridnya. 


Namun Malaikat Salju tidak bisa berlama- 
lama bertegur sapa dengan Sobrang karena 
Brangsang dengan penuh nafsu membunuh, lang- 
sung mengirimkan serangan-serangan berbahaya. 
Malaikat Salju menyambutinya hingga perang 
tanding pun terjadi. 

Di tempat yang semula hening itu tercipta 
dua kancah pertarungan hebat. Sementara tiga 
pasang mata, Lestari, Prapanca, dan Sobrang 
hanya menyaksikan. Di antara ketiga orang itu, 
tampak Prapanca yang paling kebingungan. Ru- 
panya dia tak habis pikir melihat perkembangan 
yang terjadi. Dia suka pada Lestari, tapi hatinya 
pun tidak ingin bertentangan dengan Brangsang, 
gurunya. Memang diakui oleh Prapanca kalau 
sang Guru bukan orang baik-baik, tapi biar ba- 
gaimanapun dia menghormatinya. Kenyataan 
membuatnya harus berada di tempat yang tidak 
menyenangkan. Dengan wajah bingung dipandan- 
ginya Lestari, tapi gadis berpakaian merah itu ma- 
lah melengos, tidak mau melihatnya lagi. Hal ini 
membuat Prapanca semakin kebingungan. 

Lestari memang merasakan hatinya terbakar 
oleh kemarahan ketika mengetahui Prapanca 
mempunyai guru yang demikian jahat. Bahkan 
guru Prapanca yang telah menyebabkan ayah 
angkatnya, Malaikat Petir, tewas. Demikian pula 
dengan ayah kandungnya. Melihat Prapanca de- 
mikian membela gurunya, Lestari menjadi benci 
pada pemuda berpakaian coklat itu. Dalam pera- 
saan seperti itu Lestari pun teringat akan pemuda 
berpakaian biru. Apa yang terjadi dengan murid 
Malaikat Salju itu? Apakah dia tewas di tangan 
Prapanca? 

Pemuda berpakaian biru itu sebenarnya ti- 
dak tewas! Dia hanya pingsan akibat terkena ten- 


dangan Prapanca. Prapanca tidak sempat mengi- 
rimkan serangan terakhir karena telah keburu 
cemas ketika melihat Lestari tidak di situ. Prapan- 
ca mengejar Lestari. 

Namun, di tengah jalan pemuda berpakaian 
coklat ini bertemu dengan gurunya. Kakek berpa- 
kaian hitam itu tengah dilanda kecewa dan marah 
karena tawanannya, Melati, telah dirampas oleh 
Jaran Sangkar, tanpa dia mampu berbuat sesuatu 
untuk mencegahnya. Melihat, muridnya tengah 
mengejar seorang gadis, Brangsang menanyakan- 
nya, dan Prapanca tidak berdaya untuk berbo- 
hong. Dikatakan hal yang sebenarnya. Dan, hal 
yang ditakutkannya pun terjadi, Brangsang ber- 
maksud membunuh Lestari! 

Lestari merasa cemas ketika melihat Malai- 
kat Salju tidak mampu menandingi Brangsang 
yang lihai. Sahabat Malaikat Petir ini terus- 
menerus terdesak. Bahkan beberapa kali hampir 
saja serangan Brangsang bersarang di tubuhnya. 
Hanya di saat-saat terakhir, Malaikat Salju berha- 
sil mengelak. 

"Mengapa kau diam saja, Kakek Sobrang?!" 
tanya Lestari penuh perasaan gemas pada Sobrang 
yang dilihatnya berdiri diam, dan tidak berusaha 
untuk bertindak. Padahal, Lestari yakin Sobrang 
memiliki kepandaian tinggi. Bukankah Sobrang 
kakak seperguruan Brangsang? "Apakah kau ingin 
muridmu mampus?! Cepatlah bertindak...!" 

Sobrang hanya tersenyum getir. Dia tidak 
melakukan tindakan apa pun selain hanya mem- 
perhatikan jalannya pertarungan itu. Meski Lestari 
yang semakin cemas akan keselamatan Malaikat 
Salju telah mengguncang-guncang tubuhnya, dia 
tetap tidak bergerak. 


"Baik! Karena kau seorang kakek pengecut 
yang takut mati, aku yang akan turun tangan...!" 
seru Lestari, habis daya untuk membujuk So- 
brang. 

Akibat ucapan Lestari yang tajam itu, wajah 
Sobrang yang sejak tadi tenang, langsung berubah 
pucat. Makian Lestari memang terlalu menusuk 
perasaan. Namun, Lestari tidak mempedulikan- 
nya. Karena kekalapan dan ketidaksabarannya 
Lestari mencabut kipas yang terselip di pinggang 
dan siap untuk menerjang maju dalam kancah 
pertarungan. 

"He he he...! Ternyata sudah ramai...! Aku 
ketinggalan...! Ah, dengan siapa aku harus ber- 
tempur...!" 

"Hik hik hik...! Aku pun terlalu lambat da- 
tang...!" Belum lenyap gema ucapan yang saling 
susul ini, dari kejauhan melesat dua sosok bayan- 
gan yang ternyata Dewa Langit Tak Punya Malu 
dan Dewi Cabul! Hanya dalam sekejapan dua da- 
tuk sesat ini telah berada di dekat pertarungan. 

Namun, sebelum dua datuk sesat yang ber- 
watak aneh ini berbuat sesuatu, Arya yang men- 
dengar seruan mereka, dan menyadari adanya ke- 
gawatan segera melesat meninggalkan kancah per- 
tarungan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya 
yang tinggi, memang tidak sulit untuk melakukan 
tindakan demikian. "Hentikan...?!" 

Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga da- 
lam untuk berteriak sekeras-kerasnya. Bagai ker- 
bau dicocok hidungnya, semua orang yang berada 
di situ, menghentikan gerakan. Tak terkecuali to- 
koh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Ada 
kekuatan luar biasa dalam seruan Arya yang 
membuat mereka semua terpaksa patuh. 

"Wahai datuk-datuk sesat yang terkenal 
dengan julukan Biang-Biang Iblis, aku ingin men- 
gajukan pertanyaan! Apakah kalian semua ini 
pengecut-pengecut hina yang mudah mengingkari 
janji kalian sendiri?! Begitu rendah harga diri ka- 
lian, menjilat ludah yang tertumpah keluar...!" se- 
ru Dewa Arak lantang. 

"Apa maksudmu, Dewa Arak?! Jelaskan ce- 
pat, atau kuhancurkan mulutmu!" sahut Raksasa 
Pemangsa Manusia sambil mengepalkan tinjunya 
yang besar. 

"Jangan dengarkan dia...!" sela Brangsang 
yang khawatir Dewa Arak akan membuka raha- 
sianya. Bergegas dia mengayunkan kaki mendeka- 
ti Dewa Arak dan menyerangnya. Namun langsung 
diurungkan ketika melihat empat datuk kaum se- 
sat menatap ke arahnya dengan sorot mengancam. 

Aiya yang melihat hal ini merasa lega. 

"Bukankah kalian telah terlibat perjanjian 
dengan kakek sakti yang telah mengalahkan ka- 
lian puluhan tahun lalu?! Mengapa sekarang ka- 
lian melanggarnya?!" 

"Kakek itu telah mati. Demikian pula ketu- 
runannya! Jadi, janji kami sudah tidak berlaku la- 
gi!" bantah Raja Tikus Dasar Bumi, lantang. Ketiga 
rekannya menganggukkan kepala, mendukung 
bantahannya. 

"Siapa bilang keturunan kakek sakti itu su- 
dah tidak ada lagi. Di hadapan kalian berdiri ketu- 
runan terakhir kakek sakti itu!" tandas Dewa Arak 
sambil menuding Lestari! 

Seruan-seruan kaget langsung keluar dari 
mulut Biang-Biang Iblis mendengar ucapan Dewa 
Arak. 

"Kau dusta, Dewa Arak!" Kali ini Dewi Cabul 
yang berbicara. "Kau hanya mengada-ada! Gadis 


itu anak Malaikat Petir, dan kami tahu itu! Lagi 
pula kalau dia keturunan kakek sakti, mengapa 
tidak memiliki ilmu-ilmu leluhurnya?!" 

Lagi-lagi tiga datuk sesat lainnya mengang- 
gukkan kepala menyetujui ucapan Dewi Cabul. 

"Dengarkan baik-baik," ujar Arya masih te- 
tap tenang. "Malaikat Petir hanya ayah angkat Les- 
tari. Kemudian, mengapa Lestari tidak bisa memi- 
liki ilmu leluhurnya, karena sejak bayi telah di- 
asuh oleh Malaikat Petir. Jelas?! Ataukah, perlu 
kuberikan bukti yang lebih kuat?! Asal kalian tahu 
saja, aku menjamin ucapanku ini dengan kehor- 
matanku sebagai seorang pendekar!" 

"Dia berkata benar," Sobrang berkata pelan, 
"Muridku tidak pernah menikah, bagaimana 
mungkin dia bisa punya anak?!" 

Empat datuk kaum sesat itu saling pandang 
sebentar. Mereka tahu tokoh-tokoh seperti Dewa 
Arak dan Sobrang, tak akan berkata bohong. 

"Kalau begitu, kami akan kembali ke penga- 
singan," ujar Raja Tikus Dasar Bumi mewakili ka- 
wan-kawannya. "Tapi, pertarungan antara kami 
denganmu belum selesai, Dewa Arak. Aku ingin 
merasakan kelihaian mu sendiri!" 

"Jangan khawatir," ucap Arya sambil terse- 
nyum. "Aku akan mengunjungi tempat pengasin- 
gan kalian!" 

Empat datuk kaum sesat itu tidak memberi- 
kan jawaban sama sekali. Mereka melesat cepat 
meninggalkan tempat itu untuk menuju tempat 
pengasingan yang belum lama mereka tinggalkan. 

"Lain waktu aku akan membuat perhitungan 
denganmu, Dewa Arak!" ancam Brangsang, sebe- 
lum membalikkan tubuh dan melesat meninggal- 
kan tempat itu. 


"Biarkan dia pergi, Dewa Arak!" pinta So- 
brang cepat sebelum Dewa Arak melesat mengejar. 
"Apabila aku tidak berada di sini, dan jika kau 
menemukannya lagi setelah ini, hukumlah dia! 
Aku rela." 

Dewa Arak tidak tega untuk mengabaikan 
permohonan itu. Dia menganggukkan kepala, se- 
belum melangkah meninggalkan tempat itu. Dia 
tahu, Melati pasti sudah dibebaskan oleh Jaran 
Sangkar. Maka, dia berangkat ke tempat perte- 
muannya dengan kakek itu. 

Lestari memandangi kepergian Dewa Arak 
dengan perasaan sedih. Tidak disangka kalau pe- 
muda berambut putih keperakan itu sama sekali 
tidak menaruh perhatian padanya. Rasa sukanya 
bertepuk sebelah tangan. Dengan pandangan se- 
dih, diperhatikannya Arya, yang terus menjauh. 

"Lestari...!" 

Lestari mengalihkan pandangan ke arah 
panggilan. Dilihatnya murid Malaikat Salju tengah 
berlari cepat ke arahnya. Lestari tersenyum. Dia 
tahu pemuda berpakaian biru ini menyukainya. 
Namun hatinya telah ikut pergi bersama dengan 
kepergian Arya. Maka setengah melempar senyum 
sekali lagi, dia berbalik. Dan.... 

"Selamat tinggal...!" 

Pemuda berpakaian biru hanya bisa melongo 
melihat kenyataan yang tidak pernah disangka- 
sangka ini. Di sebelah sana, Prapanca pun me- 
nundukkan kepala dengan hati kecewa karena ta- 
hu kalau Lestari tidak mencintainya dan hanya 
mencintai Dewa Arak. Dengan kepala tertunduk, 
Prapanca meninggalkan tempat itu. 

Sementara, pemuda berpakaian biru masih 
menatap punggung Lestari dengan berbagai perta- 
nyaan bergayut di benak. Mengapa Lestari bersi- 
kap seperti itu? Namun, pemuda berpakaian biru 
tidak berani mengejar, apalagi menanyakannya. 
Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Di- 
rasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam da- 
danya seiring kepergian Lestari. 

Mendadak sesosok bayangan putih berkele- 
bat dan berhenti di tempat itu. Ternyata seorang 
gadis cantik berpakaian putih yang tak lain Melati. 

"Di mana adanya Dewa Arak?! 1 ' tanya Melati 
tanpa basa-basi. Entahlah kepada siapa perta- 
nyaan itu diajukan. 

"Dia sudah pergi," Sobrang yang memberikan 
jawaban dengan suara lesu. Karena seperti juga 
Malaikat Salju, dia tengah merasa kasihan pada 
pemuda berpakaian biru yang tengah patah hati 
karena cintanya tak ditanggapi oleh Lestari. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati 
segera melesat meninggalkan tempat itu untuk 
menyusul Dewa Arak. 


TAMAT 
Ikuti episode selanjutnya
Peti Bertuah