Dewa Arak 59 - Titipan Berdarah


Ctarrr! Ctarrr! 

Bunyi lecutan cambuk mengiringi gemeretaknya roda kereta yang menggilas jalan 
tanah berdebu, semakin menambah tidak nyamannya suasana di persada. 

Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan garang. 

Sementara, di angkasa tidak tampak awan sedikit pun. Ketidaknyamanan itu semakin 
lengkap dengan hembusan angin panas yang membawa debu. 

Tapi, semua itu seperti tidak dirasakan oleh orang-orang yang berada di sebuah kereta 
sederhana. Seekor kuda berbulu coklat keputihputihan te-seok-seok menariknya. 

"Cepatlah sedikit, Ki.J Aku khawatir mereka telah mengetahui kepergianku, dan 
sekarang tengah menyusul...!" 

Seruan itu berasal dan dalam kereta. Nada suaranya yang lembut menunjukkan kalau 
pemiliknya seorang wanita. 

"Jangan khawatir, Ni! Aku yakin dengan si Botak, kudaku, mereka tidak akan berhasil 
menyusul kita...!" jawab kusir kereta, yang diajak bicara oleh wanita itu. Terasa jelas 
keyakinan yang kuat dalam suaranya. Dia adalah seorang kakek berkulit kemerahan. 

"Syukurlah kalau begitu, Ki," timpal wanita di dalam keret a. 

"Maaf, mungkin aku terlalu menyusahkanmu. Tapi..., kepada siapa lagi aku harus 
meminta tolong kalau bukan kepadamu?!" 

"Kumohon jangan kau sebut-sebut lagi hal itu, Ni! Asal kau tahu saja, untukmu... tidak 
ada yang berat!" 

Suasana hening ketika kakek berkulit kemerahan menghentikan ucapannya, dan 
wanita yang berada di dalam keret a tidak menyambutinya. 

Hingga yang terdengar hanya langkah kaki kuda dan derak roda kereta menggilas 
tanah. 

Sekarang keret a itu mulai melalui jalan kecil yang berkelok-kelok. 

Di bagian kanan jalan membentang dinding batu. Sedangkan jurang terjal yang tak 
tampak dasarnya menganga di sebelah kirinya. 

Perjalanan kereta itu menjadi I ambat. Dan kakek berkulit kemerahan harus lebih 
memusatkan perhatiannya. Lengah sedikit saja, keretanya akan terperosok ke dalam 
jurang. 

Mendadak wajah kakek berkulit kemerahan berubah. Telinganya menangkap bunyi 
bergemuruh. Secepat kilat kepalanya didongakkan ke arah dinding tebing yang hampir 
tegak lurus di sebelah kanannya. Seketika itu pula sepasang mata kakek itu membel 
alak lebar. Dilihatnya, beberapa tombak di depannya tampak menggelinding batu-batu 
besar dan kecil. 

Kakek berkulit kemerahan tahu kalau perj alanannya diteruskan batu-batu itu akan 
menghantam keretanya. 

Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek itu menarik tali kekang. 

Hingga, dengan diringi ringkikan keras kuda itu menghentikan ayunan langkahnya. 
Rupanya, keributan itu didengar wanita yang berada di dalam kereta. Sesaat 
kemudian.... 

"Apa yang terjadi, Ki?!" 

Sebelum kakek berkulit kemerahan sempat memberikan jawaban, dari atas tebing 
berlompatan sosok-sosok tubuh. Kemudian dengan mantap sosok-sosok itu mendarat 
beberapa tombak di depan kereta. Wajah dan sikap mereka terlihat kasar. 

Sekali pandang, kakek berkulit kemerahan dapat menduga kalau orang-orang kas ar 
yang berjumlah sepuluh orang itu tidak bermaksud baik. 

Karena itu, dia segera bertindak cepat. 

"Cepat lari, Nini Andiningsih! Biar kucoba untuk menghadang mereka!" seru kakek 
berkulit kemerahan. "Hih.J" 

Dengan sebuah jejakan kaki, kakek berkulit kemerahan mel esat ke depan dan bers 
alto sekali di udara. Kemudian, mendarat di tanah dengan mantap. Gerakan itu 
membuktikan kalau kakek berkulit kemerahan bukan orang sembarangan. 

Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki kakek itu, tirai yang membatasi bagian 
dalam kereta dengan kursi kusir terkuak. Sekejap kemudian, dari dalam keret a 
melesat sesosok bayangan hijau. Di udara, sosok bayangan ini berjungkir balik. Dan.... 

Jiiggg! 

Tanpa menimbulkan bunyi berarti, sosok bayangan hijau itu mendaratkan kedua 
kakinya di tanah. Tepat di sebelah kakek berkulit kemerahan. 

"Kita hadapi mereka bers ama-s ama, Ki!" ucap sosok bayangan hijau mantap dan 
penuh keyakinan. 

Dia ternyat a seorang wanita yang berwajah cantik jelita. 

Rambutnya yang hitam dan tebal digelung ke atas. Sedangkan tubuh rampingnya 
dibungkus pakaian hijau, membuat kecantikannya semakin menyolok. 

"Kau.... Ahhh.J Mengapa ini kau lakukan, Nini Andiningsih?! 

Cepat kabur! Percayalah, tidak ada gunanya melakukan perlawanan!" ujar kakek 
berkulit kemerahan tanpa menyembunyikan kecemasan dalam suaranya. 

"Aku tidak takut, Ki!" tandas wanita berpakaian hijau tegas. "Aku 

lebih suka mati, daripada melarikan diri seperti anjing hendak dipukul!" 

Lalu, tanpa merasa takut sedikit pun, pandangannya diedarkan ke arah sosok-sosok 
yang berdiri sekitar dua tombak di hadapannya dan kakek berkulit kemerahan. 


*** 


"Ha ha ha...! Luar bias a...! Betapa gagahnya...! Kalian dengar ucapannya?! Hebat! Dia 
benar-benar seekor kuda liar!" seru salah seorang penghadang Andiningsih dan kakek 
berkulit kemerahan. 

Sosok itu terlihat paling angker. Tubuhnya tinggi besar dan berotot laksana seekor 
banteng. Kumis, jenggot, dan cambang bauk lebat menghiasi wajahnya. Hingga 
penampilannya kelihatan sangat menakutkan. Sambil berseru demikian, lelaki tinggi 
besar itu menoleh ke belakang ingin melihat tanggapan rekan-rekannya. 

"Kami dengar, Kang," sambut seorang yang berwajah codet, seraya merayapi sekujur 
tubuh Andiningsih dengan sorot mata kurang ajar. "Tapi kami yakin, dia akan berhenti 
meringkik bila kau telah berhasil menjinakkannya!" 

"Ha ha ha...!" 

Seketika, semua lelaki kas ar itu tertawa bergel ak. Tak terkecuali lelaki tinggi besar 
dan I elaki berwajah codet. Nada tawa mereka menyiratkan kekurangajaran. 

Wajah kakek berkulit kemerahan dan Andiningsih merah padam. 

Hanya saja, kalau wajah kusir itu menyiratkan kekhawatiran, Andiningsih tampak 
marah bukan main. Mereka t ahu maksud ucapan lelaki berwajah codet. Tiba-tiba.... 

Srattt! 

Sinar terang langsung berkilau ketika kakek berkulit kemerahan mencabut pedang 
yang ters elip di pinggangnya. 

"Lari, Nini Andiningsih! Selamatkan dirimu! Biar aku yang menghadang mereka!" 

Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek berkulit kemerahan telah melesat 
menerjang para penghadangnya. Pedang di tangannya dikelebatkan s ecara 
mendatar. Tampaknya kusir yang berjiwa gagah berani ini hendak memberi 
kesempatan pada Andiningsih untuk melarikan diri. 

Buktinya, serangan yang dilancarkan tidak ditujukan pada salah seorang lawannya. 
Tapi karena lelaki tinggi besar berada paling depan, maka serangan kakek berkulit 
kemerahan mengancamnya lebih dulu. 

"Ho ho ho...! Jangan harap dapat lolos dari tangan Talipaksa! Hih!" 

Lelaki tinggi bes ar yang ternyata bernama Talipaksa menj ejakkan kaki. Tubuhnya 
melayang ke atas melewati kepala kakek berkulit kemerahan. Lalu, bersalto beberapa 
kali dan mendarat di hadapan Andiningsih yang masih berdiri di tempatnya. 

"Bereskan tua bangka itu, Anak-anak! Aku akan mengurus kuda liar ini!" seru 
Talipaksa, penuh wibawa. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, sembilan orang anak buah Talipaksa 
mengeluarkan s enjata masing-masing. Dengan di awali teriakanteriakan keras 
membahana, mereka menerjang kusir kereta Andiningsih. 

Pada saat itu, kakek berkulit kemerahan sebenarnya sudah bersiap membalikkan 
tubuh untuk menyerang Talipaksa yang telah berada di belakangnya. Tapi, serbuan 
anak buah Talipaksa membuat kakek itu mengurungkan maksudnya. Tidak ada jalan 
lain untuk menyelamatkan nyawanya, kecuali menyambut serbuan mereka. Tindakan 
itulah yang dilakukan kusir kereta itu. Pertarungan pun tak dapat dielakkan lagi. 

"Ha ha ha...!" Talipaksa tergelak melihat kakek berkulit kemerahan dikeroyok anak 
buahnya. "Biarkan kakek itu berurusan dengan mereka. 

Sekarang mari selesaikan urusan kita, Kuda Liar! Ha ha ha...!" 

"Keparat!" geram Andiningsih dengan raut wajah membesi. 

Wanita itu marah bukan main mendengar kata-kata yang bernada kurang ajar itu. 
Kemudian.... 

"Hiyaaa...!" 

Seraya mengeluarkan teriakan melengking nyaring, Andiningsih mulai melancarkan s 
erangan. Wanita berpakaian hijau itu melompat menerjang. Dan di saat tubuhnya 
berada di udara, kaki kanannya cepat dikibaskan. Gerakan itu dilakukannya sambil 
membalikkan tubuh. 

Wusss! 

Gelombang hembusan angin keras bertiup seiring mengibasnya kaki wanita 
berpakaian hijau itu. Bukti kalau serangan itu mengandung tenaga dalam kuat! 

Namun, Talipaksa bukan orang bodoh! Di a tahu serangan itu amat berbahaya. 
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa akan tumbang bila terkena kibasan 
kaki mungil berkulit halus itu. Maka, dia tidak berani bertindak gegabah! 

Tanpa membuang-buang waktu, lelaki tinggi besar itu melompat mundur. Dengan 
sendirinya serangan Andiningsih kandas. Kakinya menghantam tempat kosong karena 
Talipaksa sudah tidak berada di tempatnya lagi. 

"Hey!" 

Talipaksa berseru kaget ketika melihat serangan susulan Andiningsih. Wanita 
berpakaian hijau itu mampu melancarkan serangan yang sama hanya dengan totokan 
ujung jari kakinya di tanah. Jelas, Andiningsih memiliki kepandaian yang tidak bisa 
diremehkan. 

Kali ini, Talipaksa terpaksa bertindak nekat. Dipapakinya serangan Andiningsih dengan 
melakukan gerakan serupa. 

Wuttt! Dukkk! 

Bunyi keras t erdengar ketika dua kaki yang sama-sama di aliri tenaga dalam 
berbenturan. Sesaat kemudian tubuh keduanya terpental balik ke belakang. 

Jiiggg! 

Hampir pada s aat yang bersamaan, Andiningsih dan Talipaksa hinggap di tanah. Tapi, 
Andiningsih lebih beruntung daripada I awannya. 

Wanita itu mampu mendarat dengan mantap. Sedangkan Talipaksa agak terhuyung- 
huyung. 

"Keparat!" 

Seruan geram yang keluar dan mulut Talipaksa menandakan kemarahan tengah mel 
anda hatinya. Memang, lelaki tinggi besar itu marah bukan main. Dia kalah dalam 
bentrokan tadi. Tenaga dalam lawan ternyata lebih tinggi dari dugaannya. 

Seketika itu pula keinginannya untuk bertindak tidak senonoh terhadap Andiningsih 
pupus. Yang ada di hatinya sekarang ingin memberi hajaran pada wanita berpakaian 
hijau itu atas rasa malu yang dideritanya. 

Singgg! 

Bunyi nyaring yang mengiris gendang telinga terdegnar ketika Talipaksa menghunus 
pedangnya! Tapi, lelaki tinggi besar ini tidak segera mengirimkan serangan. 

"Keluarkan senjatamu, Wanita Liar!" seru Talipaksa karena merasa malu menghadapi 
seorang wanita dengan senj ata andalan di tangan. 

Tanpa banyak bicara, Andiningsih meloloskan cambuk yang membelit pinggangnya. 
Inilah senjata andalannya. Wanita itu menggunakannya bukan karena mematuhi 
seruan Talipaksa. Tapi karena tahu kalau lelaki tinggi besar itu merupakan lawan yang 
tangguh. Sangatlah berbahaya menghadapi Talipaksa hanya dengan bersenjatakan 
tangan kosong. 

"Sekarang terimal ah kematianmu, Wanita Liar! Hiyaaa...!" 

Talipaksa mengawali serangannya dengan sebuah tusukan lurus ke arah leher, yang 
dilakukannya sambil melompat. Tangan kanannya yang menggenggam pedang 
dijulurkan lurus ke depan. 

Andiningsih tentu saja tidak menginginkan lehernya ditembus senjata lawan. Maka, 
wanita itu bertindak cepat. Cambuknya segera diluncurkan. 

Wuttt! 

Laksana seekor ul ar t erbang, ujung cambuk meluncur ke arah Talipaksa. Karena 
jangkauan senjata Andiningsih lebih jauh, maka sebelum ujung pedang Talipaksa 
mencapai sasaran, cambuk Andi ningsih akan lebih dulu melecutnya. 

Talipaksa rupanya sudah memperhitungkan hal itu. Karena itu, dipapakinya serangan 
Andiningsih dengan sarung pedang. Sedangkan serangannya terus dilanjutkan. 

Trakkk! 

Ujung cambuk terpental balik ketika membentur sarung pedang Talipaksa. Sedangkan 
pedang I elaki tinggi besar itu terus meluncur menuju leher Andiningsih! 

Andiningsih menyadari akan bahaya besar yang tengah mengancam kesel amatannya. 
Tidak ada kesempat an lagi baginya untuk melakukan tangkisan. Maka, buru-buru 
wanita itu membanting tubuhnya ke kiri dan bergulingan di tanah. Usaha penyelamatan 
yang dilakukan wanita berpakaian hijau itu memang tidak sia-sia. Serangan Talipaksa 
hanya mengenai tempat kosong. 

Talipaksa menggertakkan gigi melihat lawannya berhasil melarikan diri. Rasa 
penasaran dan geram semakin bergelora di dalam dadanya. Maka begitu berhasil 

memperbaiki kedudukan, serangan susulannya segera dikirimkan. Tentu saja 
Andiningsih tidak berdiam diri. Wanita itu memberikan s ambutan hangat. Hingga, pert 
arungan pun kembali berlangsung. 

Seru dan menarik jalannya pertarungan antara Talipaksa dan 
Andiningsih. Kedua belah pihak memiliki kepandaian yang hampir 
setingkat. Memang, Andiningsih lebih unggul dalam ilmu meringankan 
tubuh dan tenaga dai am. Tapi, tetap saja bukan hal yang mudah untuk 
mengalahkan Talipaksa. Lelaki tinggi besar itu mampu memberikan 
perlawanan sengit! 

Berbeda dengan pertarungan antara Andiningsih dan Talipaksa, 
pertempuran kakek berkulit kemerahan dengan anak buah Talipaksa 
berlangsung tidak s eimbang. Betapapun kakek berkulit kemerahan 
melakukan peri awanan mati-matian, tapi karena jumlah lawan terlalu 
banyak, dia terdesak hebat! 

Kalau saja rombongan Talipaksa tidak melakukan pengeroyokan, 
belum tentu kakek berkulit kemerahan itu dapat dikal ahkan. Tapi karena 
mereka menyerang dengan cara mengepung, kusir kereta itu dengan mudah 
dapat didesak. 

Pertarungan baru berlangsung beberapa gebrakan, kakek berkulit 
kemerahan sudah tidak mampu menyerang lagi. Yang dapat dilakukannya 
hanya bertahan, mengel ak dan menangkis. Itu pun dengan susah payah.. 

Tapi meskipun nyawanya terancam, kakek itu masih sempat memikirkan 
keselamatan Andiningsih. 

"Nini Andiningsih! Cepat lari...! Selamatkan dirimu...! Cepat...! 

Jangan hiraukan lawanmu.... Akh!" 

Kakek berkulit kemerahan itu memekik kesakitan ketika ujung 
pedang lawan menyerempet pinggangnya. Cairan merah kental mengalir 
dari bagian yang terluka. Kecemas annya akan nasib Andiningsih 
membuatnya agak lengah, sehingga serangan lawan mengenai sasaran. Dan, 
belum sempat kakek itu berbuat sesuatu, batang tombak pengeroyok lainnya 
melayang ke arah bahunya. 


Bukkk! 

"Akh!" 

Telak dan keras s ekali serangan itu mendarat pada sasarannya, 
sehingga kusir kereta yang sial itu terhuyung-huyung seraya menjerit 
kesakitan. 

Di saat kakek berkulit kemerahan itu tengah terhuyung-huyung, 

golok lawan I ainnya meluncur deras ke arah perut. Disusul dengan ayunan 

gada berduri yang mengincar punggungnya. Dan.... 

Cappp! Bukkk! 

"Hukh!" 

Kakek berkulit kemerahan mengeluh tertahan. Tubuhnya 
terhuyung ke depan dan ke belakang. Sedangkan sepasang matanya 
membelalak lebar. Tampaknya, kakek itu tengah meregang nyawa. Darah 
mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Saat itulah lelaki 
berwaj ah codet membabatkan pedangnya secara mendatar ke arah leher! 
Cappp! 

Kepala kakek yang malang itu langsung terpisah dari badan! Dia 

tewas tanpa sempat merintih lagi. Bagai karung basah, tubuhnya ambruk ke 

tanah. Sedangkan kepalanya menggelinding jatuh ke lurang. 

"Ki.J" 

Jeritan tertahan terlompat dari bibir mungil Andiningsih. Memang, 
wanita itu sempat melihat nasib buruk yang menimpa kusir keretanya. 
Kenyataan itu membuat perhatian Andiningsih lerpecah! Dan 
kesempatan ini tidak disia-siakan Talipaksa. Segera dikirimkannya 
tendangan miring ke arah dada! 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan itu 

menyadarkan Andiningsih akan bahaya maut yang tengah mengancamnya. 

Serangan itu meluncur demikian cepat. Apalagi dilakukan dalam 

jarak dekat. Sementara perhatian Andiningsih masih tercurah pada nasib 

kakek berkulit kemerahan. 

Andiningsih langsung gugup! Meskipun demikian, wanita itu 
masih mampu melakukan tindakan penyelamatan terakhir. Tubuhnya 
dilempar ke belakang dengan cara menjejakkan kaki. 

Bukkk! 

"Akh!" 

Andiningsih memekik tertahan ketika kaki Talipaksa menghantam 
paha kanannya. Agaknya, usaha penyelamatan yang dilakukan wanita 
berpakaian hijau itu agak teri ambat. Akibatnya, bersamaan dengan 
keluarnya pekikan itu tubuh Andiningsih melayang deras ke belakang dan 
jatuh di tanah. 

Tentu itu saja Talipaksa tidak mau menyia-nyiakan kesempatan 
baik itu. Buru-buru dikej arnya Andiningsih dan dihujaninya dengan 
serangan-serangan. Hingga, wanita itu harus susah-payah menyelamatkan 
nyawanya. Sebab, sebelah kakinya lumpuh! Hingga akhirnya Andiningsih 
terpojok. Dan.... 

Tukkk! 

Tubuh Andiningsih langsung ambruk ketika Talipaksa berhasil 
menyarangkan totokan. Kini wanita berpakaian hijau itu terkulai I emas tak 
berdaya. 

"Ha ha ha...!" 

Talipaksa tertawa memandang tubuh yang tergol ek di bawah 
kakinya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah anak buahnya yang 
sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. 

"Lihat, Anak-anak! Kuda liar ini telah lumpuh! Sekarang aku akan 
menjinakkannya! Tapi, jangan khawatir. Aku akan menyisakannya untuk 
kalian!" 

"Horeee.J" serempak terdengar teriakan gembira sembilan orang 
lelaki kasar itu. Sudah terbayang di benaknya, bet apa mereka akan 
menggeluti tubuh mulus Andiningsih. 

"Hidup, Kakang Talipaksa...!" teriak lelaki berwajah codet seraya 
mengangkat kepalan tangan kanannya ke at as. 

"Hidup...!" sambut yang lainnya tak kalah keras. 

Talipaksa tersenyum lebar. 

"Kau dengar, Kuda Liar?! Kau tahu apa yang akan kami lakukan?! 

Kami akan memperkosamu sampai kau mati kelelahan!" tandas lelaki tinggi 
besar itu tanpa mengenal rasa kasihan. 

Wajah Andiningsih yang memang sudah pucat kini tampak 
semakin pias. 

"Kumohon jangan lakukan itu, Talipaksa! Lebih baik kau bunuh 
aku!" ucap wanita itu dengan suara bergetar karena rasa t akut yang 
melanda. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Talipaksa semakin terdengar keras mendengar permintaan 
Andiningsih. Orang kasar seperti dia mana mau mengabulkan permintaan 
itu? Baginya, rintih kepedihan calon korbannya menambah besar geloranya. 

Masih dengan tawa bergelak, Talipaksa mulai membuka 
pakaiannya. Jelas, lelaki tinggi besar itu bermaksud memperkosa 
Andiningsih di tempat itu juga. Keberadaan anak buahnya yang sudah pasti 
akan menyaksikan perbuatannya, tidak membuatnya malu. Memang, 

Talipaksa sudah tidak mempunyai rasa malu! Yang ada di benaknya adalah 
menyalurkan hasratnya secepat mungkin! 

"Jangan! Jangan lakukan itu...! Kumohon...! Bunuh saja aku...!" 

teriak Andiningsih dengan cems dan kalap. Tarikan wajahnya menyi ratkan 

rasa takut yang amat sangat. 

Tanggapan Talipaksa adalah tubrukan pada tubuh Andiningsih, 
yang tergol ek tanpa daya di tanah. Dengan beringas dan kasar, diciuminya 
wajah Andiningsih. Talipaksa sedikit pun tidak mempedulikan rintihan 
Andiningsih. Dalam cekaman rasa takut dan kengerian yang menggelegak, 
tanpa sadar air mata Andiningsih menetes. Padahal, meskipun diancam 
maut wanita berpakaian hijau itu tidak pernah menangis! Tapi sekarang 
keadaannya lain. 

Semua kejadian itu disaksikan dengan j elas oleh lel aki berwajah 

codet dan del apan orang rekannya. Sepas ang mata mereka hampir tidak penah 

berkedip, sedangkan jakun mereka turun naik. 

Beberapa kali, dengan susah payah mereka menel an air liur 

melihat pimpinan mereka menggeluti Andiningsih dengan buas. Sampai 

akhirnya. 

"Akh.J" 

"Oaaa.J" 

Bertepatan dengan keluarnya pekikan dari mulut Andiningsih, 
terdengar suara tangisan bayi! Keras dan nyaring. Tangisan itu berasal dari 

dalam kereta. 

*** 

Dengan senyum puas tersungging di bibir, Talipaksa mengenakan 
pakaiannya. Sekali lagi ditatapnya tubuh Andiningsih yang tergolek lemas 
di tanah dengan air mata berurai. 

"Siapa yang ingin mencicipi kuda liar ini?! Silakan maju...! Aku 
akan menghabisi nyawa bayi sialan itu!" 

Tanpa diperintah dua kali, sembilan lelaki kasar yang sejak tadi 
sudah menunggu-nunggu kesempatan itu segera meluruk ke arah 
Andiningsih. Kelakuan mereka tak ubahnya gerombolan serigala lapar yang 
menemukan seekor anak domba gemuk! 

Tapi Talipaksa tidak menyaksikan kejadian itu. Lelaki tinggi besar 
itu menghampiri kereta. Tujuannya satu, membunuh bayi di dalam kereta. 
Sementara itu kuda coklat yang menjadi saksi semua kejadi an di 
tempat itu tetap berdiam diri di tempatnya. Jelas, dia tidak merasa terganggu 
dengan keributan yang terjadi di hadapannya. Bahkan, ketika Talipaksa 
lewat di depannya dia tetap tidak bergeming. Juga ketika lelaki tinggi besar 
itu tiba di samping kiri kereta. 

Brakkk! 

Dinding samping kiri kereta hancur berantakan ketika tangan 
Talipaksa menghantamnya. Kepingan-kepingan kayu berhamburan. 
Sebagian mengenai tubuh bayi yang t ergolek di dalam peraduan kecil. 
Akibatnya, tangis bayi itu terdengar semakin keras! 

Tapi, hati Talipaksa sedikit pun tidak tersentuh mendengar tangis 
makhluk Allah yang belum mengenal dosa itu. Dengan sorot mata bengis, 
dicabutnya pedang yang tadi sudah disarungkan. Lalu, diayunkan ke arah 
leher si bayi! 

Wuttt! Tappp! 

"Eh...?!" 

Talipaksa berseru kaget ketika merasakan ayunan pedangnya 
terhenti di udara. Sebagai orang yang berpengalaman, dia segera tahu ada 
sesuatu yang tidak waj ar! Maka buru-buru kepalanya menengadah. 
Ternyata batang pedangnya telah dibelit sebuah sabuk berwarna ungu! 
Secepat kilat Talipaksa membalikkan tubuh. 

Dalam jarak dua tombak darinya, berdiri seorang pemuda tampan 
berpakaian ungu. Rambutnya yang putih keperakan mel ambai-lambai 
tertiup angin. Rupanya, pemuda inilah yang tel ah menggagalkan 
rencananya. Tangan kanan pemuda berambut putih keperakan itu 
menggenggam ujung sabuk yang lain. 

"Manusia berhati iblis!" maki pemuda berambut putih keperakan 
yang tidak lain Arya Buana, yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak. 

Arya kemudian menarik sabuknya secara tiba-tiba. Memang, 
pemuda itu hanya mengerahkan sebagian tenaganya. Tapi, Dewa Arak 
berhasil membuat pedang lelaki tinggi besar itu terlepas. 

Tidak hanya itu tindakan yang dilakukan Dewa Arak. Begitu 

berhasil melepaskan senjat a Talipaksa, Arya melepaskan pedang itu dari 
belitan sabuknya. Lalu dengan gerakan sederhana, Dewa Arak meluncurkan 
ujung sabuknya ke arah Talipaksa. 

Ctarrr! 

"Hukh!" 

Tubuh Talipaksa terlipat ke depan ketika ujung sabuk melecut 
dadanya dengan telak. Seketika itu pula rasa sesak melanda dadanya. 

Kejadiannya beri angsung demikian cepat dan tidak terduga-duga. Sehingga 
lelaki tinggi besar itu tidak sempat berbuat apa-apa. 

Dan lagi-lagi sebelum Talipaksa sempat berbuat sesuatu, sabuk 
yang bagaikan hidup itu t elah membelit betisnya. Karuan saja lel aki tinggi 
besar ini kelabakan. Meskipun dadanya masih terasa sesak, segera 
dilakukannya upaya untuk membebaskan diri. Tangan kanannya diulurkan 
menangkap ujung sabuk Dewa Arak. 

Untuk kesekian kalinya Talipaksa menemui kegagalan. Sebelum 
tangannya berhasil menjangkau sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu 
menyentakkan sabuknya. 

"Aaa...!" 

Talipaksa menjerit ketika meras akan tubuhnya melayang! 

Sedangkan Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu mel esat ke arah 
kereta. Hanya dengan sekali lesatan di a telah berada di dekat peraduan bayi 
itu. Kemudian, dengan hati-hati kedua tangannya diulurkan. 

Ajaib! Begitu kedua tangan Arya menyentuh tubuhnya, tangis bayi 
itu langsung terhenti. Agaknya, nalurinya membisikkan kalau dirinya telah 
berada di tempat yang aman. Malah ketika Dewa Arak menggendongnya 
dengan tangan kiri, bayi itu tersenyum manis. Tanpa sadar Arya ikut pula 
tersenyum. 

Tapi Dewa Arak tidak bisa berlama-lama t enggelam dalam alun 
kegembiraan bersama bayi itu. Masih ada orang yang membutuhkan 
pertolongannya. Orang itu adalah Andiningsih, yang tengah mendapat 
perlakuan tak senonoh dari anak buah Talipaksa! 

"Biadab! Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup!" 

Sambil berkata demikian, Dewa Arak melesat ke arah tempat 

Andiningsih. Wanita itu tengah dikerubuti lelaki berwaj ah codet dan rekanrekannya. 

Meskipun berdasarkan undian dan lelaki berwajah codet yang 

mendapat giliran lebih dulu, rekan-rekannya tidak mau ketinggalan. Mereka 

ikut mencicipi, walau hanya mencium atau meremas-remas bagian yang 
tidak dinikmati lelaki berwajah codet! 

Di saat tubuhnya telah berada di dekat kerumunan orang-orang 
kasar itu, Dewa Arak segera mengibaskan tangan kanannya. Kelihatannya 
sembarangan saja gerakan itu dilakukan. Tapi akibatnya sungguh luar biasa! 
Dari kibasan tangan itu, muncul deruan angin dahsyat yang membuat tubuh 
anak buah Talipaksa terlempar seperti daun-daun kering ditiup angin. 
Untungnya, meskipun tengah dilanda kemarahan hebat, Dewa 
Arak hanya mengerahkan pukulan jarak jauh yang tidak melukai lawan. 
Sebab, di situ ada Andiningsih. Kalau tidak, mungkin sembilan orang itu 
telah tewas dalam keadaan menyedihkan. 

Jiigggi 

Begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak 
melemparkan kain yang diambil dari kereta untuk menutupi tubuh 
Andiningsih. Meskipun demikian, sempat dilihatnya bercak-bercak darah di 
tanah dekat bagian bawah tubuh wanita itu. 

Kenyataan itu membuat wajah Dewa Arak merah padam. Giginya 
bergemel etuk. Semua karena peras aan geram yang melanda. Pemuda 
berambut putih keperakan itu tahu wanita berpakai an hijau itu telah 
diperkosa.T api, siapa yang memperkosanya? Bukankah sembilan orang itu 
belum sempat melakukannya?! Pakaian mereka masih melekat di tubuh. 
Yang sudah setengah telanjang hanya lelaki berwajah codet. 

Namun Dewa Arak tidak perlu menunggu terlalu lama. Pertanyaan 
itu segera terjawab. 

"Monyet-monyet goblok! Serbu pemuda keparat itu! Bunuh dia...!" 
seru Talipaksa seraya meluruk ke arah Dewa Arak. 

Lelaki tinggi besar itu telah menggenggam senjata andalannya. 

Rupanya saat Dewa Arak sibuk menolong Andiningsih, Talipaksa 
mengambil senjatanya. Setelah lebih dulu berhasil mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya meluncur! 

Tanpa diperintah dua kali, rombongan orang kasar itu meluruk ke 
arah Dewa Arak dengan s enjata terhunus. Hujan senjat a tidak dapat 
dielakkan lagi. 

Tapi Dewa Arak tetap bersikap tenang. Pemuda itu berdiri tegak di 
tempatnya dengan tangan kiri memondong bayi. Tak terlihat tanda-tanda 
pemuda berambut putih keperakan itu akan mel akukan tindakan, baik 
mengelak maupun menangkis. 

Baru ketika s erangan-serangan menyambar dekat, Dewa Arak 
bertindak. Dengan s atu tangan, dihadapinya serbuan para pengeroyoknya. 
Pemuda itu mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara 
Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. 

Sebenarnya ilmu-ilmu itu memerlukan dua tangan. Tapi bagi orang 
yang memiliki tingkat kepandaian s eperti Dewa Arak, bukan hal yang sulit 
menerapkan ilmu-ilmu itu dengan sebelah tangan. 

Rombongan orang kasar itu meluruk ke arah Dewa Arak dengan 
senjata terhunus. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Pemuda itu berdiri 
tegak di tempatnya dengan tangan kiri memondong bayi. 

Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat, Dewa Arak 

bertindak. Dengan satu tangan, dihadapinya serbuan para pengeroyoknya! 

Dewa Arak memulai perlawanannya dengan mengelak. Cepat 

laksana bayangan tubuhnya berkelebatan di antara sambaran senjata lawan. 

Talipaksa dan anak buahnya heran bercampur kaget melihat 

gerakan lawan. Padahal, mereka telah merasa yakin pemuda berambut putih 

keperakan itu tidak mampu meloloskan diri. Tapi, dugaan itu ternyata 

meleset! 

Selama tiga jurus Dewa Arak hanya mengelak. Baru pada jurus 
keempat, pemuda itu mulai unjuk gigi. Itu terjadi ketika lawan-lawannya 
meluruk ke arahnya dengan kelebat an senjata masing-masing. 

Sing, wung, wuttt! 

Bunyi riuh rendah mengiringi luncuran senjata yang tergenggam di 
tangan Talipaksa dan sembilan anak buahnya. Berbeda dengan sebelumnya, 
kali ini Dewa Arak tidak menghindar. Pemuda itu berdiri tegak dengan bayi 
tergendong di tangan kirinya. 

Dan ketika serangan-s erangan itu menyambar dekat, tangan 
kanannya digerakkan. Cepat bukan main, sehingga t angan itu tampak 
berubah menjadi puluhan. 

Trak, trak.J 
Bukkk, desss! 

"Aaakh.J" 

"Aaa.J" 

Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Bahkan mungkin hanya 
dalam sekejap mata. Tahu-tahu tubuh gerombolan orang kasar itu 
berpental an ke belakang sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati. 

Brukkk! 

Terdengar bunyi berdebuk keras susul-menyusul ketika tubuhtubuh 
itu berjatuhan di tanah. Sesaat mereka menggelepar sebelum akhirnya 
diam untuk selama-lamanya. Mati! 

Hanya Talipaksa yang s elamat dari maut. Itu terjadi secara 
kebetulan. Karena serangan lelaki tinggi besar itu meluncur belakangan. 
Meskipun demikian, Talipaksa tidak tahu apa yang terjadi dengan anak 
buahnya. Yang diketahuinya, tubuh mereka melayang ke belakang dan jatuh 
di tanah. Agaknya, gerakan Dewa Arak teri alu cepat untuk diikuti mata 
mereka! 

Talipaksa tampak terkejut bukan main melihat kematian anak 
buahnya. Dengan mata terbelalak, ditatapnya mayat-mayat itu. Perasaan 
sedih, amrah, dan tidak percaya bergolak di dalam dada lelaki tinggi besar 
itu. 


Talipaksa tidak tahu kalau dengan kecepatan gerak yang 
mengagumkan, Dewa Arak menangkis serangan-serangan yang meluncur 
ke arahnya. Lalu, dengan secepat itu pula melancarkan serangan balasan. 
Sebagian bes ar mengenai bagi an dada mereka. Hanya beberapa gelintir 
yang menghantam perut 

Meskipun Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga 
dalamnya, tetap saja membuat bagian dalam tubuh anak buah Talipaksa 
hancur! Akibatnya, seperti yang mereka alami. Tewas! 

Karena Talipaksa berdiam diri, dengan sendirinya pertarungan 
terhenti. Dewa Arak tidak mau mempergunakan kesempat an itu untuk 
melancarkan serangan. Ditunggunya hingga lawan sadar dari terkesimanya. 
Penantian Dewa Arak tidak membutuhkan waktu yang lama. 

Sebentar kemudian Talipaksa telah sadar. Dan s eiring dengan itu, perasaan 
dendam berkobar di dalam dadanya. 

"Keparat jahanam! Kucincang tubuhmu, Anjing Kecil! Hiyaaat...!" 

Belum lagi yema teriakan itu lenyap, Talipaksa telah melompat 
menerjang Dewa Arak! Pedang yang tergenggam di tangannya diputar di 
depan dada. Kemudian s etelah jarak ant ara mereka telah dekat, pedang itu 
ditusukkan ke arah leher Dewa Arak 

Tapi, Dewa Arak yang sudah dapat mengukur tingkat kemampuan 
lawan tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, tangan kanannya diulurkan 
untuk mencengkeram batang pedang lawan. 

Kreppp! 

"Ah!" 

Talipaksa menjerit kaget melihat pedangnya berhasil dicengkeram. 

Sepasang matanya membel alak lebar. Tangan pemuda berambut putih keperakan 
itu tidak t erluka s edikit pun. Tidak salahkah penglihatannya? 

Benarkah orang semuda ini telah mempunyai kepandaian yang demikian 
tinggi? 

Talipaksa tidak mau membiarkan dirinya terlibat pertanyaan yang 
tak terjawab. Buru-buru pedangnya ditarik. Dia bermaksud melepaskan 
senjata itu dari cengkeraman, sekaligus memutuskan tangan lawan. 

Untuk yang kesekian kalinya Talipaksa terkejut. Jangankan 
menarik pedangnya dan memutuskan t angan, senjata itu bergeming pun 
tidak! Seakan pedang itu bukan dicengkeram jari-jari tangan manusia, 
melainkan catok baja! 

Di saat Talipaksa tengah bersitegang, Dewa Arak menekuk jari-jari 
tangannya! 

Takkk! 

Batang pedang Talipaksa patah menjadi dua bagian! Akibatnya, 
tubuh lelaki tinggi besar itu terj engkang ke bel akang terbawa tenaga 
tarikannya sendiri. 

Saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan yang masih 
mencengkeram patahan batang pedang Talipaksa! 

Singgg! Cappp! 

"Aaakh.J" 

Lolong menyayat hati dikeluarkan Talipaksa ketika patahan 

pedang menancap di dahinya. Seketika itu pula nyawanya melayang ke 

alam baka! 

"Hhh.J" 

Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada rasa tidak nyaman 
merayapi hatinya. Tapi bagaimana lagi? Kalau dibiarkan hidup, mereka 
akan mencel akakan banyak orang! Hanya kematianlah yang dapat 
menghentikan tindakan mereka. Mendadak.... 

Ceppp! 

"Hekh!" 

Dewa Arak menoleh begitu mendengar jeritan tertahan. Betapa 
terkejutnya pemuda itu melihat Andiningsih rebah telentang dengan pedang 
menancap di perut hingga tembus ke punggung. 

"Hih!" 

Dengan s ekali les atan, Dewa Arak telah berada di dekat 
Andiningsih, yang telah mengenakan pakaiannya. Meski banyak yang 
koyak, tapi cukup untuk menutupi sebagian besar tubuhnya. 

Dengan penuh rasa iba, Dewa Arak berjongkok di depan 
Andiningsih. Sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan itu tahu 
kalau menancapnya pedang itu merupakan tindakan Andiningsih. Jelas, 
wanita berpakai an hijau itu hendak membunuh diri. Dewa Arak tahu apa 
sebabnya. Meskipun dalam hati tidak setuju, pemuda itu tidak dapat 
menyalahkan tindakan Andiningsih. 

"Aku mohon... selamatkan bayi itu.... Be... berikan pada Saudagar 
Jayeng Kertacundraka di Desa Bonggol.... Katakan padanya... bayi itu anak 
kandungnya.... Jangan berikan pada siapa pun. Apalagi, pada orang-orang 
Perguruan Macan Kumbang...." 

Sampai di sini Andiningsih menghentikan ucapannya. Keadaannya 
yang sudah payah menyulitkannya untuk berbicara. Apalagi, darah terus 
merembes keluar dari luka lebar di perutnya. 

Dewa Arak bukan orang bodoh. Dia t ahu, keadaan Andiningsih 
amat gawat. Luka-luka yang dideritanya terlampau parah, dan tidak 
mungkin bisa disembuhkan lagi. Sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang. 
Padahal, ada sesuatu yang akan disampaikan. Melihat keadaannya, bukan 
mustahil sebelum hal itu diutarakan malaikat maut telah lebih dulu 
menjemputnya. 

Karena itu, Dewa Arak segera bertindak. Ditotok dan diurutnya 
beberapa bagian tubuh Andi ningsih. Semua dilakukan dengan cepat dan 
hanya sekejap s aja. Andiningsih meras akan ada t ambahan kekuat an. 
Kesempatan itu pun dimanfaatkannya. 

"Katakan pada Saudagar Jayeng Kertacundraka, ibu bayi ini adalah 
Setyaning. Dia meninggal beberapa bulan setel ah kelahiran bayi ini. Namun 
sebelum dia meninggal, aku diperintahkan untuk mengantarkan bayi ini 
kepadanya. Maukah kau mengantarkannya, Kisanak?" tanya Andiningsih 
penuh harap. 

Dewa Arak menganggukkan kepala. Khawatir kalau ucapan yang 
dikeluarkannya gemetar karena terharu, pemuda berambut putih keperakan 
itu menanggapi pertanyaan Andiningsih dengan gerak isyarat. 

"Terima kasih, Kisanak. Aku yakin kau akan memenuhi 
permintaanku," ucap Andiningsih. "Boleh kutahu namamu?" 

"Arya Buana. Panggil saja Arya," jawab Dewa Arak. Suaranya 
agak bergetar. Padahal, dia telah berusaha meredam gejolak perasaan 
harunya. "Kau sendiri siapa, Nisanak?! Apa hubunganmu dengan ibu bayi 
ini?!" 

Andiningsih tersenyum. Tapi karena keadaannya, senyum itu lebih 
mirip seringai kesakitan. Butir-butir keringat s ebesar jagung menghias 
wajahnya. "Aku Andiningsih. Setyaning adalah kakak angkatku. Dia telah 
mengangkatku dari seorang jembel cilik yang kotor sampai menjadi gadis 
terhormat. Tidak hanya itu saja jasanya padaku. Masih banyak lagi. Karena 
itu, aku berusaha melaksanakan pesan terakhirnya. Kalau tidak... arwahku 
tidak akan t enang di alam baka...," urai Andiningsih dengan suara mulai 
tersendat kembali. 

Melihat hal ini Dewa Arak tahu kalau saat kepergian Andiningsih 

sudah dekat. Arya tidak ingin wanita berpakaian hijau itu meninggal dengan 

hati tak tenteram. Dia harus menghiburnya. 

"Tenanglah, Andiningsih! Percayalah, bayi ini akan tiba di tangan 
Saudagar Jayeng Kertacundraka dengan selamat. Aku, Dewa Arak, akan 
berusaha semampuku. Bantulah aku dengan doamu...." 

Sepasang mata Andiningsih mulai kehilangan sinarnya. Tapi, dia 
masih mampu menangkap ucapan Dewa Arak. 

"Kau..., Dewa Arak?! Pendekar besar yang terkenal itu?! Sekarang 
hatiku lega. Aku dapat menemui Setyaning dengan hati lapang. Aku yakin 
kau akan berhasil memenuhi tugas itu, Dewa Arak. Se... la... mat ting... 
akh!" 

Sebelum Andiningsih berhasil menyelesaikan ucapannya, maut 
telah datang menjemput. Kepalanya terkulai. Wanita berpakaian hijau itu 
tewas dengan wajah berseri -seri dan senyum mengembang di bibir. 
"Hhh.J" 

Kembali Dewa Arak menghel a napas berat. Sepasang mata 
Andiningsih yang masih membelalak dipejamkannya. Kemudian, dengan 
perlahan-lahan pemuda itu bangkit berdiri. Pandangannya diedarkan untuk 
mencari tempat yang baik sebagai tempat peristirahatan terakhir 
Andiningsih. 



*** 


"Oa.J Oaaa.J" 

Suara lengkingan tangis bayi memecah keheningan yang 
melingkupi jalan tanah berdebu, yang di kanan dan kirinya ditumbuhi 
rumput hijau segar. 

Suara itu ternyata beras al dari mulut seorang bayi yang berada di 
gendongan pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Siapa 
lagi pemdua itu kalau bukan Dewa Arak?! Tangisan bayi membuatt 
pendekar muda yang bi asanya mampu bersikap t enang itu, sekalipun 
menghadapi ancaman maut, menjadi kebingungan. 

Memang, semula tidak ada masalah bagi Arya karena bayi itu 
tertidur. Tapi sekarang, setelah terbangun makhluk Allah yang kecil, dan 
masih suci itu menangis dengan hebatnya. Keras, melengking nyaring, dan 
tanpa henti. 

"Cep, cep.J" 

Dengan s ebisanya Arya berusaha mendiamkan bayi itu. Diayunayunkannya 
tubuh sang Bayi. Seorang bayi lelaki bertubuh montok dan 
sehat serta berkulit putih. 

Tapi usaha Arya sia-sia. Tangis bayi itu tidak berhenti. Bahkan, 
bertambah keras. Karuan saja Arya semakin kelabakan. Benaknya diputar 
untuk mencari cara mendiamkan tangis bayi itu. 

Dan memang, pemuda berambut putih keperakan itu akhirnya 
menemukannya. Digendongnya bayi itu dengan t angan kiri. Sedangkan 
tangan kanannya ditekapkan ke wajah. 

"Ciluuuk..!" 

Kemudian seraya menurunkan tangan itu dari wajahnya, Arya 
membarenginya dengan ucapan... 

"Baaa.J" 

Usaha Arya ternyat a manjur juga. Tangis bayi itu langsung 
terhenti. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, bayi itu 
kembali menangis. Bahkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya. 

Arya pun kembali mencoba cara itu. Tapi, kali ini tidak 
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Tak sedikit pun bayi itu 
mempedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan putus 
asa. 

"Oa.J Oaaa.J" 

"Mengapa aku demikian pelupa?! Seharusnya tadi kutanyakan 
pada Andiningsih cara mendi amkan bayi ini. Ah...! Sekarang apa yang 
harus kulakukan?" gumam Arya pelan seraya terus mengayun-ayunkan 
tubuh bayi itu dengan kedua tangannya. Hanya tindakan itu yang dapat 
dilakukannya. 

Dewa Arak terus berlari. Tapi, dia tidak dapat berlari dengan cepat. 

Wajah bayi itu kelihatan membiru ketika dia berlari agak cepat. Kedua 
tangannya yang mungil mengejang. 

"Mungkinkah dia merasa takut?" tanya Arya dalam hati. 

Pertanyaan itu akhirnya terj awab juga. Bukan karena Arya, namun 
tindakan bayi itu. Entah karena naluri, makhluk mungil itu membawa 
tangan kanannya ke mulut. Dan ibu jarinya dimasukkan, lalu dihisaphisapnya. 
Plakkk! 

Dewa Arak menepuk dahinya sendiri. 

"Mengapa aku demikian bodoh?!" maki Arya dai am hati. "Pasti 
bayi ini lapar dan haus." 

Yakin akan kesimpulan yang didapat, Dewa Arak menolehkan 
kepala ke sana kemari. Barangkali saja di s ekitar t empat itu ada sebuah 
rumah yang dapat dimintai tolong untuk memberi makan bayi itu. 

Harapan Dewa Arak terkabul. Beberapa belas tombak di depannya 
tampak sebuah rumah. Rumah sederhana itu terpisah jauh dari rumah-rumah 
lainnya. Ke sanalah pemuda berambut putih keperakan itu melangkah. 
Beberapa saat kemudian Dewa Arak telah tiba. Daun pintu dan 
jendela rumah itu tertutup rapat. Arya sekilas mengamati keadaan sekitar 
rumah. Kemudian, tangannya diulurkan untuk mengetuk daun pintu. 

Tapi gerakan tangan Dewa Arak terhenti di tengah jal an. Sebelum 
kepalan tangannya mencapai sasaran, daun pintu telah bergerak membuka 
diiringi bunyi berderit mengiris telinga. Sekejap kemudian, dari dalam 
rumah muncul seraut wajah seorang wanita setengah baya. 

"Ah...!" Belum sempat Dewa Arak membuka mulut, wanita 
setengah baya itu bersuara. 

"Ternyata telingaku memang tidak sal ah dengar. Ada seorang bayi 
di sini. Apa yang terjadi dengannya, Anak Muda?! Mana ibunya?!" 

Seraya mengeluarkan pert anyaan yang memberondong, wanita itu 
melangkah ke luar. Sepasang matanya t erpaku pada sosok mungil yang 
berada di gendongan Arya. Tampaknya, putra Saudagar Jayeng 
Kertacundraka itu telah menarik perhatiannya. 

Sekarang Dewa Arak baru mengerti, mengapa daun pintu itu telah 
membuka sebelum tangannya sempat mengetuk. Ternyata tangis bayi itu 
sudah terdengar sampai ke dalam. Arya kemudian buru-buru 
mengembangkan s enyumnya. Dia tahu, wani ta pemilik rumah itru tengah 
menunggu jawabannya. 

"Ibunya telah meninggal, Nyi. Dan orang yang disuruh 
mengantarkan bayi ini pada ayahnya tel ah dibunuh orang. Dia minta tolong 
padaku untuk mengantarkan bayi ini pada ayahnya. Tapi, dia menangis tak 
henti-hentinya. Aku tidak bisa mendiamkannya. Bisa kau bantu 
mendiamkannya, Nyi? Mungkin dia lapar." 

Wanita setengah baya itu tersenyum. Sorot matanya yang berbinarbinar 
menandakan kegembiraan hatinya. Terlihat jelas rasa sukanya yang 
besar pada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka. 

"Berikan dia padaku, Anak Muda. Percayalah, aku akan mampu 
mendiamkannya. Dia hanya ingin menyusu, "jawab wanita setengah baya 
itu, yakin.T anpa ragu-ragu Arya segera memberikan bayi dalam 
gendongannya pada wanita itu. Dia percaya kalau wanita itu tidak 
memendam maksud yang kurang baik. Setelah menerima bayi, wanita 
setengah baya itu membawanya ke dalam. Sedangkan Dewa Arak berdiri di 
luar, menunggu. 

Keyakinan Dewa Arak memang tidak keiiru. Sesaat kemudian, 

wanita pemilik rumah telah keluar. Di tangannya tergendong putra Saudagar 

Jayeng Kertacundraka yang tertidur pulas. Kekenyangan dan kelelahan! 

"Kalau boleh kutahu... siapakah ayah bayi ini, Anak Muda? Dan di 

mana tinggalnya?" tanya wanita setengah baya itu, penuh rasa ingin tahu. 

"Menurut orang yang mengantarkan bayi ini, ayahnya Saudagar 

Jayeng Kertacundraka dan tinggal di Desa Bonggol," jawab Arya jujur. 

"Desa Bonggol?! Perjalananmu masih cukup jauh, Anak Muda. 

Kau harus mel alui dua buah desa I agi sebelum tiba di sana. Aku yakin, 
selama perjalanan bayi itu akan kel aparan. Bagaimana kalau kau berikan 
saja padaku. Di tanganku dia akan lebih terawat. Kebetulan suami dan 
anakku yang baru berusia beberapa bulan meninggal beberapa hari yang 
lalu. Bagaimana, Anak Muda?!" uj ar wanita pemilik rumah menawarkan 
jasa. 

Dewa Arak tersenyum lebar. "Maafkan aku, Nyi. Bukannya 
menolak. Tapi..., aku telah berjanji untuk mengantarkan bayi ini pada 
Saudagar J ayeng Kertacundraka. Aku tidak bisa mengingkari amanat orang 
yang telah meninggal dunia. Sekali lagi..., maafkan aku, Nyi," tolak pemuda 
berambut putih keperakan itu dengan halus. 

"Aku bisa mengerti, Anak Muda," jawab wanita setengah baya itu 
dengan suara berdesah. "Kalau tidak kau temukan orang yang akan 
menyusuinya... berikan saja susu kambing atau sapi." 

"Akan kuperhatikan semua nasihatmu, Nyi." 

Usai berkat a demikian, Dewa Arak mengangsurkan tangan untuk 
menerima putra Saudagar Jayeng Kertacundraka. Lalu, setelah 
mengucapkan terima kasih, pemuda itu berbalik. Kemudian, kakinya 
terayun meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja beberapa tindak.... 

"Tunggu, Anak Muda!" 

"Ada apa, Nyi?!" tanya Arya seraya membalikkan tubuh. 

"Aku mempunyai seekor kuda. Ambillah.... Gunakan agar 
perjalananmu lebih cepat" 

Dewa Arak tidak segera menjawab. Arya tercenung sejenak 
memikirkan tawaran itu. 

"Pakailah, Anak Muda," desak wanita setengah baya itu. "Di sini 
kuda itu tidak berguna. Aku tidak bisa menungganginya. Dulu binatang itu 
tunggangan suamiku. " 

Kini tidak ada lagi alas an bagi Dewa Arak untuk menolak. 

Perlahan-I ahan kepal anya dianggukkan. 


Untuk pertama kalinya, Arya mel akukan perjalanan dengan 
lambat. Itu terpaksa dilakukan Dewa Arak karena adanya bayi yang 
digendongnya di tangan kiri. Sedang tangan kanannya digunakan untuk 
memegang tali kekang kuda, yang melangkah pelan menyusuri jalan tanah 
berdebu. 

Sesekali pandangan Dewa Arak yang tertuju lurus ke depan 
dialihkan pada sang Bayi. Ada rasa nyaman dan senang yang sulit dikatakan 
ketika memandang makhluk kecil yang tidak berdaya itu. Kesibukan Dewa 
Arak membuat perhatiannya tidak beralih, sekalipun pendengarannya 
menangkap bunyi derap kaki kuda di belakangnya. Dari bunyinya, Dewa 
Arak tahu kuda itu tidak hanya berjumlah seekor. 

Semakin lama bunyi derap kaki kuda t erdengar j elas. Pertanda 
jarak antara Dewa Arak dengan kuda-kuda itu semakin dekat. Arya 
memperkirakan jumlah binatang-binatang itu sekitar lima ekor. Dan tengah 
berpacu dengan kecepatan tinggi. Karena khawatir binat ang-binatang yang 
akan melewarinya itu menabraknya, Arya menepikan jalan kudanya. 

Dugaan Dewa Arak tidak salah. Baru saja binatang tunggangannya 
ditepikan, enam ekor kuda coklat putih berpacu cepat melaluinya. Debu 
yang mengepul tinggi membuat Dewa Arak terpaksa mengibas -ngibaskan 
tangan. 

Kelihatannya ringan saj a kibasan itu dilakukan Dewa Arak. Tapi, 
akibatnya debu-debu yang hendak mengepul ke arahnya t ertolak jauh 
seperti dihembus angin keras. Tampaknya, Dewa Arak mengerahkan tenaga 
dalam. 

Sebenarnya kalau tidak ada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka, 

Dewa Arak tidak akan melakukan tindakan itu. Cukup hanya menutupi 
wajahnya agar tidak terkena debu. Sementara itu, enam ekor kuda coklat 
putih itu terus berpacu cepat diiringi bunyi bergemuruh yang menggetarkan 
tanah. 

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala. Segumpal 
pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah yang akan dilakukan rombongan 
berkuda itu, sehingga demikian terburu-buru? Sekilas pandangannya 
diarahkan ke arah mereka. Sepasang alis Dewa Arak berkerut, ketika 
melihat tindakan yang dilakukan rombongan berkuda itu. 

Dewa Arak menjumpai adanya keanehan. Ketika telah berada 
beberapa tombak di depannya, secara serempak enam orang itu menarik tali 
kekang kudanya. Demikian mendadak, sehingga kuda-kuda itu 
menghentikan larinya dengan tiba-tiba. 

"Hieeeh.J" 

Seraya meringkik nyaring, kuda-kuda itu mengangkat kedua kaki 
depannya tinggi-tinggi. 

Tapi, itu hanya berlangsung s esaat. Karena keenam 

penunggangnya tel ah menarik tali kekang kuda mereka. Kuda-kuda itu tahu 

maksud penunggangnya. Mereka segera berbalik. Sekarang, tanpa terburuburu 

enam orang penunggang kuda itu mengarahkan binatang 

tunggangannya menghampiri Dewa Arak. 

"Hhh.J" 

Dewa Arak menghel a napas panjang. Sebagai seorang yang telah 
lama berkecimpung di dunia persilatan, dia langsung tahu keenam 
penunggang kuda itu mempunyai maksud yang tidak baik. Meskipun 
demikian, Arya mampu bersikap seolah-olah tidak mengetahui maksud 
mereka. Dengan tenang diusahakannya kuda hitamnya terus melangkah. 
Kedua belah pihak mengarahkan kuda mereka ke arah yang 
berlawanan, dan seperti tengah saling menghampiri. Maka, dalam sekejap 
jarak mereka tinggal dua tombak. Mau tidak mau Dewa Arak menghentikan 
langkah kudanya. Sebab, kalau diteruskan pun akan percuma. Enam orang 
penunggang kuda itu telah menyusun diri s edemikian rupa. Sehingga tidak 
ada celah untuk kuda Dewa Arak lewat. Binatang-binatang tunggangan itu 
mereka atur berjajar. 

Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang menghentikan langkah 
kudanya. Enam orang penghadang itu pun demikian. Kemudian, tatapan 
mereka merayapi sekujur tubuh Dewa Arak penuh selidik. 

Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak. Hanya kalau lawanlawannya 
dengan cara terang-t erangan, Arya hanya memperhatikan sekilas 
saja. Dalam kesempatan yang demikian singkat itu, dia bisa melihat cukup 
jelas keenam penunggang kuda itu. 

"Siapa kalian?! Mengapa menghadang perjalananku?!" tanya Arya 
tenang. 

"Akulah yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu, Bocah!" 
bantah seorang di antara enam penunggang kuda, yang kudanya berada 
agak di depan kuda-kuda lain. 

Dia seorang pemuda berwaj ah tampan dan berpakaian indah. 

Dalam usianya yang tak kurang dari tiga puluh lima tahun, lelaki itu jadi 
terlihat pesolek. 

Dewa Arak mengernyitkan alis karena merasa heran. Penampilan 
lelaki berpakai an indah itulah penyebabnya. Meskipun demikian, dengan 
pandainya perasaan itu disembunyikan, sehingga tidak terlihat pada 
wajahnya. "Kalau demikian, baik kuperkenalkan diriku. Aku hanya seorang 
pengelana. Namaku Arya. Cukup?! Sekarang, biarkan aku lewat," ujar Arya 
memperkenalkan diri dengan sabar. 

"Tidak!" lelaki berpakai an indah itu meng-gelengkan kepal a. 

"Berikan bayi yang ada di gendonganmu. Baru kami akan membiarkanmu 
lewat." 

"Semudah itu, Sukrasana?! Ingat! Dia harus 
mempertanggungjawabkan perbuatannya at as Andiningsih!" bantah orang 
yang tepat berada di sebelah kiri lelaki berpakaian indah. 

Lelaki itu berpakaian sederhana. Malah teri alu sederhana bila 
dibandingkan dengan pakaian Sukras ana. Wajahnya yang buruk semakin 
tampak jelas karena potongan rambutnya yang dikepang sampai ke 
pinggang. 

"Benar, Sukrasana!" sambut yang lainnya. Seorang lelaki 
berpakaian sederhana dan bermata picak. "Jangan begitu mudah dia 
dilepaskan! Dia harus menerima ganjaran atas perbuatannya terhadap 
Andiningsih!" 

"Tahan amarah kalian. Ingat! Andiningsih tidak akan hidup 
kembali. Sekalipun kita bunuh pemuda aneh ini. Yang penting adalah 
keselamatan cucu ketua kita!" bantah Sukrasana sungguh-sungguh. 

"Tapi, Sukrasana...," lelaki bermata picak masih mencoba 
membantah. 

Sikap keras kepala lel aki bermata picak membuat kesabaran 
Sukrasana pupus. Terbukti dengan tanggapan yang diberikannya. 

"Tidak ada tapi-tapian!" sentak Sukrasana memotong ucapan lelaki 
bermata picak. "Ingat! Akulah yang berhak memutuskan semua persoal an. 
Buka kalian! Camkan itu!" 

Seketika itu pula lelaki bermata picak dan lelaki berambut kepang 
terdiam. Mereka tidak membuka suara I agi. Tapi dari tarikan wajah dan 
sepasang mata mereka terlihat rasa penasaran yang dai am. Usai berkata 
demikian, tanpa mempedulikan dua lelaki berpakaian sederhana itu, 
Sukrasana mengalihkan perhatiannya ke arah Arya. 

"Serahkan bayi itu, Kisanak. Percayai ah! Kau boleh pergi dari sini 
tanpa mendapat gangguan!" janji Sukrasana sungguh-sungguh. 

Dewa Arak tersenyum hambar. "Sayang sekali, Sukrasana," sahut 
Arya menyebut nama lelaki berpakaian indah itu. "Aku tidak dapat 
memenuhi permintaan kalian." 

Wajah Sukrasana langsung berubah begitu mendengar tanggapan 
Dewa Arak. 

"Rupanya kau I ebih suka dikas ari, Pembunuh Keji! Secara baikbaik 
kuberikan jal an sel amat bagimu. Padahal, tindakan keji yang kau 
lakukan pada dua rekan kami telah cukup menjadikan alasan untuk 
membunuhmu! Tapi, kau malah menyia-nyiakan kesempat an yang 
kuberikan!" 

Sukrasana kemudian menoleh pada lima orang rekannya. Sesaat 
kemudian, kepalanya dianggukkan sedikit. Tanpa menunggu lebih lama, 
lelaki berambut kepang melangkah maju. Jelas, dia telah menunggu-nunggu 

kesempatan ini sejak tadi. 

*** 

"Tunggu, Kisanak!" 

Sebelum lelaki berambut kepang mulai melancarkan serangan, 

Dewa Arak telah menjulurkan tangannya berusaha mencegah. 

Seketika lelaki berambut kepang mengurungkan maksudnya. Dan 
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. 

"Kalian salah paham! Aku bukan pembunuh Andiningsih!" tegas 
Arya mantap. "Dia tewas oleh sekelompok orang kasar yang 
menghadangnya." 

Lalu, dengan singkat pemuda berambut putih keperakan itu 
menceritakan semua kejadi annya. Sementara Sukrasana dan rekan-rekannya 
mendengarkan dengan penuh perhatian hingga Dewa Arak menyel esaikan 
ceritanya. 

"Sudah selesai?!" tanya lelaki berambut kepang mengejek. 

"Benar," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala. 

"Kalau demikian..., sekarang bersiaplah kau!" 

Sambil menggertakkan gigi, lelaki berambut kepang melompat 
menerjang Dewa Arak. Dan begitu berada di udara, tubuhnya 
dijungkirbalikkan. Kemudian, meluruk turun seraya melancarkan serangan 
ke arah pelipis dengan jari-jari tangan terkem-bang membentuk cakar. 

Cit, cit, cit! 

Bunyi mencicit nyaring seperti tikus terjepit mengiringi tibanya 
serangan. Bunyi ini menandakan kalau cengkeraman itu didukung 
pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Dewa Arak mengenal serangan berbahaya. Dia tahu, jangankan 
terkena secara telak, terserempet saj a sudah cukup untuk mengirim 
nyawanya ke alam baka. Maka, pemuda itu tidak berani bertindak ceroboh. 
Apalagi dengan keberadaan putra Saudagar Jayeng Kertacundraka di 
tangannya. 

Ternyata Dewa Arak mengambil keputusan untuk menangkisnya. 

Sebuah tindakan yang jarang dilakukannya terhadap serangan awal lawan. 

Pemuda berambut putih keperakan itu menggerakkan tangan ke atas 
memapaki. 

Prattt! 

"Akh!" 

Jerit keterkejutan langsung keluar dari mulut lelaki berambut 
kepang, begitu dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam 
berbenturan. Akibatnya, tubuh lelaki iiu terpent al kembali ke atas seraya 
menyeringai kesakitan. 

Sementara Dewa Arak tidak bergeming. Sedikit pun tak ada 

guncangan pada binatang tunggangannya. Tampaknya, tenaga dalam Dewa 

Arak jauh lebih kuat dibandingkan lawannya. 

Jiigggi 

Setelah bers alto sekali di udara, lelaki berambut kepang berhasil 
mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Hampir pada saat yang 
bersamaan, kedua kaki Dewa Arak menj ejak tanah. Pemuda itu 
memutuskan untuk melompat dari atas punggung kuda. Disadari kalau tetap 
berada di atas kuda, keselamat an putra Saudagar Jayeng Kert acundraka 
terancam. 

"Kau tidak apa-apa, Limbong?!" tanya Sukrasana seraya 
mendekati lelaki berambut kepang. 

Lelaki yang ternyata bernama Limbong menggelengkan kepal a. 

Lalu, tanpa memberi kesempat an pada Sukrasana untuk mengajukan 
pertanyaan lebih lanjut, Limbong mengirimkan serangan susulan. Kali ini 
Limbong tidak mempergunakan tangan. Dia mengirimkan tendangan kaki 
kanan lurus ke arah dada Dewa Arak. 

Wukkk! 

Serangan Limbong mengenai t empat kosong. Karena sewaktu 
hampir mengenai sasaran, Dewa Arak telah mendoyongkan tubuh ke kiri. 

Hasilnya serangan itu menyambar lewat beberapa jari di sebelah kanannya. 
Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Tangan kanannya 
diayunkan membacok pergelangan kaki Limbong. 

Limbong terkejut bukan main melihat serangan ini. Memang, dia 
sudah menduga akan terj adi serangan balasan. Namun sungguh tidak 
menyangka akan secepat ini datangnya. Kecepatan gerak Dewa Arak benarbenar 
hampir tidak terlihat mata. 

Sungguhpun demikian, tentu saja Limbong tidak membiarkan 
kakinya dihantam. Buru-buru kakinya ditarik. 

Takkk! 

"Akh!" 

Limbong memekik kesakitan. Bacokan sisi tangan kanan Dewa 
Arak menghantam telak sasarannya. Usaha penyel amatan yang dilakukan 
lelaki berambut kepang ternyata terlambat. Seketika itu pula tubuh Limbong 
limbung. 

Serempak empat orang rekan Limbong, kecuali Sukrasana, 
melompat turun dari punggung kuda. Wajah dan sorot mata mereka 
menggambarkan kekagetan yang amat sangat. Mereka tahu betul tingkat 
kepandai an yang dimiliki Limbong. Secara kasar, setingkat dengan mereka. 
Kenyataan betapa dai am segebrakan Dewa Arak telah berhasil 
menyarangkan serangan telah membuktikan ketinggian ilmu pemuda itu. 
Karena itu, lelaki bermata pi cak dan tiga rekannya maju 
berbarengan. Sekarang, mereka berdiri di s ebelah Limbong. Sudah dapat 
diperkirakan pertarungan tak akan dapat dielakkan lagi. 

Sukrasana menyadari hal itu. Maka, bergegas dia menjauhi tempat 

itu. Hal yang sama pun dilakukan kuda mereka. Rupanya, binatang-binatang 

itu pun menyadari bahaya yang tengah mengancam. 

*** 

Dewa Arak sadar kal au kelima rekan Sukrasana akan melakukan 
pengeroyokan. Namun, hal itu tidak membuatnya gentar. Pemuda itu tetap 
tenang. Sepasang matanya berputaran ke sana kemari, mengawasi gerakgerik 
pengeroyoknya. 

Dan memang, Limbong dan empat kawannya tel ah mulai bergerak 
menyebar. Jelas, mereka bermaksud menyerang Dewa Arak dari berbagai 
penjuru." 

Sing, wuk, wunggg! 

Begitu berhasil mengurung Dewa Arak, kelima orang itu memutar 
senjata mereka yang tel ah tergenggam di tangan. Sementara Dewa Arak 
masih berrangan kosong. 

"Haaat..!" 

Didahului teriakan melengking nyaring yang menggetarkan tempat 
itu, Limbong yang berada di depan Dewa Arak mulai membuka serangan. 
Tombak yang berujung mat a golok dibolang-balingkan di depan dada 
hingga lenyap bentuknya. Dan di saat senjata itu sudah tidak terlihat lagi, 
secara tidak terduga-duga ditusukkan ke arah perut Dewa Arak. 

Wukkk! 

Memang bagi mata Limbong dan rekan-rekannya tombak itu tidak 
terlihat lagi. Tapi tidak demikian dengan Dewa Arak. Secara jel as sekali, 
dia dapat melihat senjata itu. Bahkan, ketika ditusukkan ke arahnya. 

Karena itu, Arya tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk 
mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri, dia telah 
membuat tombak itu meluncur lewat di sebelah kanan pinggangnya. 

Namun belum sempat Dewa Arak melancarkan serangan balasan, 
serangan dari lelaki bermata pi cak t elah meluncur. Rupanya, di saat 
serangan Limbong datang, dia pun mengirimkan serangan pula. Akibatnya, 
begitu serangan Limbong gagal serangannya meluncur datang. 

Bahkan, bila diperbandingkan, serangan yang dikirimkan lelaki 
bermata pi cak jauh I ebih berbahaya. Golok besar yang menj adi senjata 
andalannya diayunkan deras ke arah leher Dewa Arak dengan mendatar. 
Padahal, lelaki bermata picak itu melakukan serangan dari belakang! Bila 
mengenai sas aran, sudah dapat dipastikan kepala Dewa Arak akan terpisah 
dari tubuhnya. 

Tapi lagi-lagi Dewa Arak tidak mengalami kesulitan mengelakkan 
serangan itu. Tubuhnya agak dibungkukkan ke depan sehingga babatan 
lelaki bermata picak hanya menyabet angin, beberapa j ari di atas kepala 
Dewa Arak. 

Dan kejadian sdanjutnya pun berulang. Sebelum Dewa Arak 
sempat berbuat sesuatu, serangan lainnya datang bertubi-tubi bagai 
gelombang lautan. Meskipun demikian, semua dapat dipunahkan Dewa 
Arak. Memang, dengan tingkat ilmu meringankan tubuh yang berada jauh 
di atas lawan, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengel akkan serangan 
lawan. 

Sampai sekian jauh hanya mengelak yang dapat dilakukan Dewa 
Arak. Sebab, kelima lawannya tidak memberikan kesempatan sedikit pun 
untuk melancarkan s erangan balasan. Mereka melancarkan serangan silih 
berganti. 

Tapi sampai sepuluh jurus beri angsung tak satu pun dari serangan 
itu yang mengenai sasaran. Karuan saja kenyataan itu semakin membuat 
Libong dan kawan-kawannya penas aran! Sebagai akibatnya, serangan yang 
mereka lancarkan semakin dahsyat. Namun, semua itu tet ap saja dapat 
dipunahkan Dewa Arak. 

Kejadian itu tidak lepas dari pengamatan Sukrasana. Diam-diam 
dia terkejut bukan main. Lelaki itu tahu betul tingkat kepandaian Limbong 
dan empat rekannya. Diakui kepandaian mereka di bawahnya. Tapi, untuk 
menghadapi keroyokan mereka, dia tidak akan mampu. Apalagi dengan 
menggendong bayi seperti yang dilakukan Dewa Arak. 

Dari kenyat aan itu saja dia bisa memperkirakan kalau tingkat 
kepandai an Dewa Arak berada di atasnya. Dan hal ini membuatnya 
khawatir. Tapi meskipun demikian, Sukrasana tidak mau segera bertindak. 
Dia mengambil keputusan untuk melihat perkembangan selanjutnya. 


Di kancah pertarungan Dewa Arak mulai menyadari keadaannya 
yang tidak menguntungkan. Dia tahu kalau keadaan terus seperti ini 
akhirnya dia akan roboh di tangan lawan-l awannya. Untuk mencegah hal 
itu, tentu saja Dewa Arak harus membebaskan diri dari kepungan lawan. 

Dan hal itu yang akan dilakukannya. 

Begitu menginjak jurus ketiga belas, Dewa Arak melaksanakan 
rencananya. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang berada 
jauh di atas lawan-lawannya. 

"Hih!" 

Pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan kaki. Sesaat 
kemudian tubuhnya melesat ke atas. Di udara dia bersalto beberapa kali 
sebelum mendaratkan kedua kakinya di tanah. 

"Mau lari ke mana, Keparat?! Jangan harap dapat lolos dari kami!" 
seru Limbong keras ketika melihat Dewa Arak t elah berada di luar 
kepungan. Seiring keluarnya ucapan itu, Limbong meluruk ke arah Dewa 
Arak. Tindakan yang dilakukan Limbong segera diikuti rekan-rekannya. 

Tapi kali ini Dewa Arak tidak tinggal diam. Meskipun hanya 
menggunakan s ebelah t angan, pemuda itu tidak mengalami kesulitan untuk 
mempergunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan 
Cara Menaklukkan Harimau', yang diwarisi dari ayahnya (Untuk lebih 
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya, 'Pedang 
Bintang').Memang, bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti 
Dewa Arak, bukan hal yang sulit mengadakan perubahan sedikit pada 
ilmunya sesuai dengan keadaan. Meski tidak dapat dipungkiri, dengan 
penggunaan s ebelah tangan ada pengurangan dalam kedahsyatan ilmu-ilmu 
itu. 

Limbong dan kawan-kawannya langsung tercekat melihat Arya 
memberikan perlawanan. Mereka bagai tengah menggempur ombak sebesar 
bukit. Ada dorongan yang amat keras ketika Arya menggerakkan tangan. 
Dorongan yang mampu membuat tubuh mereka terlempar laksana terlanda 
badai. 

Untungnya, Limbong dan rekan-rekannya bukan orang yang 

memiliki tenaga dalam rendah. Kalau tidak, sejak tadi tubuh mereka sudah 

terlempar. Kelima orang ini mampu bertahan. 

Tak terasa empat puluh jurus telah berlalu. Dan sel ama itu, 

Limbong dan kawan-kawannya belum mampu mendesak Dewa Arak. 
Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu tangguh untuk dapat didesak. 
Meskipun demikian, mereka tidak putus as a. Kelima orang itu terus 
berusaha keras. 

Mereka tampaknya tidak tahu kalau Dewa Arak telah bersikap 
mengalah. Di samping pemuda itu hanya menggunakan ilmu 'Sepasang 
Tangan Penakluk Naga' dan 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', 
kemampuan kedua ilmu itu pun tidak sepenuhnya dikeluarkan. Sebab, 

Dewa Arak yakin keenam orang ini tidak bermaksud jahat. Mereka hanya 
salah paham saja. 

Tapi ketika menginjak jurus kelima puluh, tidak ada tanda-tanda 
lawannya menyadari sikapnya itu, Dewa Arak jadi kehilangan kesabaran. 
Diputuskannya untuk memberi sedikit pelajaran agar mereka mengerti. Dan 
tindakan itu segera dilakukan Dewa Arak pada jurus kelima puluh lima. 
Limbong dan kawan-kawannya kel abakan ketika lawan yang mereka hadapi 
tahu-tahu lenyap dari pandangan. Entah bagaimana terj adinya, mereka tidak 
tahu. 

Sebelum rasa kaget itu sirna, tangan mereka yang menggenggam 
senjata mendadak lemas. Mereka tidak tahu kalau dengan ilmu meringankan 
tubuhnya Dewa Arak mengelakkan setiap s erangan, kemudian menotok 
bagian bel akang sikut. Totokan inilah yang menjadikan tangan mereka 
lumpuh sejenak! 

Ketika akhirnya Dewa Arak berdiri di tengah-tengah kepungan 

lagi, di tangan pemuda berambut putih keperakan itu tergenggam beraneka 

ragam senjata. 

"Bagaimana?! Masih ingin melanjutkan pertarungan?!" tanya 
Dewa Arak seraya mengacungkan senj ata-senj ata itu tinggi-tinggi. 

Kemudian, dilemparkannya secara sembarangan di tanah. 

Kenyataan ini mengejutkan Limbong dan kawan-kawannya. Tapi, 
hal itu tidak membuat mereka mengerti dan menyerah. Bagai diberi 
perintah, mereka menerjang Dewa Arak secara bersamaan. 

Sekarang kes abaran Dewa Arak benar-benar habis. Tampaknya, 
orang-orang seperti Limbong dan empat kawannya tidak dapat diperlakukan 
dengan lembut. Mereka tidak akan pernah bisa mengerti. Hanya kekalahan 
secara telak yang dapat menyadarkan mereka. Maka, Dewa Arak pun memutuskan 

untuk melakukan hal itu. 

*** 

Buk, buk, bukkk! 

Pukulan-pukulan yang dilancarkan Limbong dan kawan-kawannya 
mendarat dengan t elak di sas aran yang dituju. Keberhasilan ini membuat 
hati mereka gembira. Sudah terbayang di benak kelima orang itu pemuda 
berambut putih keperakan ini akan roboh ke tanah. Setidak-tidaknya akan 
menjerit-jerit kesakitan. 

Tapi kenyataan yang terj adi benar-benar mengejutkan mereka. 

Tubuh Dewa Arak tidak bergeming sekalipun serangan-serangan itu 
mendarat di berbagai bagian tubuhnya. Yang lebih mengejut kan, tangan 
yang telah mengenai tubuh Dewa Arak menempel! Tidak bisa ditarik 
kembali! 

Limbong dan kawan-kawannya t erkejut bukan main. Tapi mereka 
tidak menyerah begitu saja. Seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkan untuk 
menarik tangan mereka dari tubuh Dewa Arak. 

Tindakan kelima orang itu ternyata si a-sia. Tangan mereka seperti 
berakar di tubuh Arya. Melekat erat! Limbong dan keempat kawannya 
tampak kalap. Apalagi ketika menyadari tenaga mereka mulai tersedot, 
seperti masuk ke dalam tubuh Dewa Arak! 

Tapi, mereka bukan orang bodoh. Mereka tahu kal au dibiarkan 
tenaga dalam mereka akan tersedot semua. Dengan sebisanya mereka 
melakukan berbagai macam tindakan. Tanpa pikir panjang lagi, tangan yang 
masih bebas dipukulkan ke berbagai bagi an tubuh Dewa Arak, terutama 
pada tempat-tempat yang lemah. Pelipis, ulu hati, leher, dan ubun-ubun. 

Tentu saja Arya tidak membiarkan bagian-bagian itu t erpukul. 

Dengan mengegoskan tubuh, dia berhasil membuat serangan-serangan 
lawan mendarat di sasaran yang salah. 

Bukkk! Bukkk! 

"Akh, akh.J" 

Limbong dan kawan-kawannya menjerit kaget. Tangan yang lain 
pun melekat di tubuh Dewa Arak. Dan, kejadian yang menimpa tangan 
sebelumnya berulang. Hingga, tenaga yang ters edot ke tubuh Dewa Arak 
mengalir jauh lebih banyak 

Hanya dalam waktu singkat wajah kelima rekan Sukrasana telah 
memucat. Mereka terlihat I emah s ekali. Melihat hal itu, Dewa Arak 
menghentikan tindakannya. Seketika itu pula tubuh Limbong dan t emantemannya 
ambruk ke tanah. 

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Sukrasana. Tanpa 
mencoba lagi pun lel aki berpakaian indah itu tahu kalau Dewa Arak terlalu 
tangguh untuk dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak bodoh. 

Melakukan tindak kekerasan terhadap pemuda itu merupakan perbuatan 
bodoh. 

"Kuakui kami tidak dapat memenuhi perintah ketua. Kami telah 
gagal. Kau menang, Kis anak. Tapi ingat, ini tidak berarti tindakan kami 
berhenti sampai di sini. Sampai ke mana pun selama bayi itu berada di 
tanganmu, pihak kami akan mengejarmu," ucap Sukrasana mengancam. 

"Mungkin perlu kau tahu, Kisanak. Ketua kami adai ah kakek bayi itu. 

Karena ibu bayi itu putrinya. Dia tinggal di perguruan kami!" 

Tentu saja Sukrasana s alah kalau menganggap Dewa Arak merasa 
gentar karena ancamannya. Bahkan, pemuda berambut putih keperakan itu 
menyunggingkan senyum lebar. 

"Bukannya bermaksud menyombongkan diri, Kisanak. Tapi 

percayalah, selama nyawaku masih ada tak akan kuberikan bayi ini pada 

siapa pun. Pantang bagiku mengingkari amanat orang yang telah meninggal. 

Apa pun yang terjadi, bayi ini harus tiba di tangan orang yang berhak." 

Usai berkata demikian, Dewa Arak menghentakkan tangan 
kanannya ke depan. 

Wusss! Brakkk! 

Bunyi riuh rendah seketika terdengar. Angin keras yang keluar dari 
tangan Dewa Arak menghantam sebat ang pohon hingga hancur berantakan. 
Tidak hanya sekali hal itu dilakukan, tapi berkali-kali. 

Tindakan itu dilakukannya untuk membuang tenaga-t enaga yang 
tadi masuk ke dalam tubuhnya. Tenaga-tenaga itu berkeliaran ke berbagai 
bagian tubuh Arya. Kalau dibiarkan, tenaga liar itu akan berbahaya. Dewa 
Arak kemudian memutuskan untuk membuangnya. 

Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana terpaksa menunda 
ucapannya. Dengan tidak sabar ditunggunya hingga pemuda berambut putih 
keperakan itu menyelesaikan perbuat annya. 

"Siapa yang kau maksud dengan orang yang berhak itu, Kisanak?!" 
tanya Sukrasana penasaran. 

"Ayah bayi ini," jawab Dewa Arak singkat. 

"Ayah bayi itu?!" sepasang alis Sukrasana berkerut dai am. "Siapa 
yang kau maksudkan?!" 

"Jayeng Kertacundraka. Saudagar di Desa Bonggol," jawab Dewa 
Arak mantap. 

"Gila! Apakah aku tidak salah dengar?! Kau ini orang pintar yang 
berpura-pura bodoh. Atau memang kau telah diperalat orang-orang yang 
tidak bermaksud baik?!" 

"Apa maksudmu, Kisanak?!" tanya Dewa Arak ingin tahu. 

Pernyataan Sukras ana membuat pikirannya agak terbuka. 

Sekarang, berbagai pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak. 

Benarkah bayi yang dititipkan orang yang mengaku bernama Andiningsih 
itu putra Jayeng Kertacundraka? Mungkinkah cerita Andi ningsih hanya 
bualan belaka? Barangkali saja bayi ini hasil culikannya? Tapi, bukankah 
telah jelas kalau Sukrasana dan rombongannya pengejar-pengejar 
Andiningsih? 

"Jadi kau masih belum mengerti, Kisanak?! Bayi itu adalah cucu 
ketua perkumpulan kami. Andiningsih sengaja menculiknya untuk diberikan 
pada Jayeng Kertacundraka. Tentu saja dia mengharapkan imbalan uang!" 
jelas Sukrasana. "Das ar manusia tidak kenal budi! Asal kau tahu saj a, 
Kisanak. Andiningsih dulunya adalah s eorang jembel kecil yang kotor. 
Berkat bel as kasih istri ketua perkumpulan kami, Setyaning, dia menjadi 
gadis terhormat. Sungguh tidak kami sangka kalau kekejian seperti ini 
diberikannya sebagai balas budi kebaikan yang telah diterimanya." 
Penjelasan itu membuat rasa bimbang Dewa Arak at as kebenaran 
cerita Andiningsih semakin besar. Sebab, penjelasan Sukrasana bisa 
diterima akal sehat. Dengan sendirinya, kejanggal an cerita Andiningsih 
mulai dapat dirasakan. Apakah mungkin suami istri tinggal di tempat yang 
terpisah demikian jauh? 

"Kalau benar ceritamu..., untuk apa bayi yang diculik Andiningsih 

ini bagi Jayeng Kertacundraka?!" tanya Dewa Arak ingin tahu lebih jelas. 

Karena pada bagian ini cerita Sukrasana teras a agak janggal. 

"Untuk menjadi korban si a-sia atas ilmu yang tengah dituntutnya. 

Perlu kau ketahui, Kisanak. Jayeng Kertacundraka seorang penganut ilmu 
hitam. Dia membutuhkan darah bayi-bayi lelaki. Terutama bayi yang 
mempunyai waktu lahir istimewa. Di malam bulan purnama, misalnya." 
Sampai di sini Sukrasana menghentikan ceritanya. Ditelannya air 
liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering. 

"Darah seorang bayi yang lahir di malam jum’at wage sama 
khasiatnya dengan darah dua puluh lima bayi yang lahir di malam biasa. 
Dan bayi yang tengah kau gendong itu lahir di malam bulan purnama. Itu 
sebabnya Jayeng Kertacundraka amat menyukainya. Jelas, Kisanak?! 
Sekarang, serahkan bayi itu kepadaku!" 

Tidak ada alas an lagi bagi Dewa Arak untuk meragukan 
keterangan Sukrasana. Semua cerita yang dikatakannya masuk akal. Tapi, 
haruskah bayi ini diserahkan pada lelaki itu? Lalu, bagaimana janjinya 
dengan Andiningsih? Haruskah j anji itu diingkari? Dewa Arak dilanda 
peras aan bimbang. 

Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan permintaan 
Sukrasana, lelaki itu menghampirinya dengan kedua tangan terulur. 
Selangkah demi seangkah jarak antara mereka semakin dekat. Sementara 
Dewa Arak masih tercenung. 

Dua tindak lagi kaki Sukrasana melangkah, maka bayi itu akan 
berpindah tangan. Tapi sebelum itu terjadi, Dewa Arak segera teringat 
ucapan terakhir Andiningsih. Wanita itu menyatakan tidak akan mati 
tenteram bila bayi ini tidak sampai di tempat tujuannya. 

Seketika itu pula Dewa Arak melangkahkan kaki kanannya ke 
belakang. Dan.... 

Wuttt! 

Sukrasana kecewa ketika tangannya hanya menangkap angin. 

Dewa Arak sudah tidak berada lagi di tempatnya. 

"Keparat! Kau berani mempermainkan aku?! Jangan harap kau 

akan selamat, Kisanak. Tak seorang pun bisa lolos hidup-hidup bila telah 

membuat Sukrasana marah!" 

Usai berkata demikian, lelaki berpakaian indah itu melancarkan 
tusukan ke arah leher Dewa Arak. Serangan itu dilancarkan dengan tangan 
telanjang. Sikap jari-jari tangannya menegang, lurus, dan kaku, seperti jurus 
'Ular'. 

"Hm.J" 

Dewa Arak menggumam pelan menutupi rasa kagetnya. Serangan 
Sukrasana jauh lebih dahsyat dari serangan Limbong dan yang lainnya. Dari 
bunyi mencicit yang mengiringi tibanya serangan itu, Dewa Arak bisa 
memperkirakan kekuatannya. Batu yang paling keras pun akan dapat 
ditembus jari-jari tangan Sukrasana. 

Meskipun demikian, serangan itu tidak membuat Dewa Arak 
gugup. Dengan tenang, pemuda berambut putih keperakan itu 
mendoyongkan tubuhnya ke samping kiri. Serangan itu lewat beberapa jari 
di sebelah kanan Dewa Arak. Tidak hanya itu. Sebelum Sukrasana sempat 
melancarkan serangan susulan, Arya telah lebih dulu mengirimkan kaki 
kanannya mencuat ke arah perut lawan. 

Wuttt! 

Sukrasana tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru dia 
melompat ke belakang. Serangan Dewa Arak pun menyambar tempat 
kosong di depan lelaki berpakai an indah itu. 

Tapi, Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Begitu melihat 
serangannya gagal, serangan lanjutannya tidak dikirimkan. Pemuda 
berambut putih keperakan itu malah membalikkan tubuh dan melangkah 
pergi. Tampaknya Arya tidak ingin memperpanj ang urusannya dengan 
Sukrasana. 

Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana berang bukan main. 

Meskipun dia yakin Dewa Arak teri alu tangguh untuk dihadapi, tapi melihat 
sikap pemuda itu, Sukrasana menjadi tersinggung. Dia merasa di remehkan. 
Amarahnya langsung meluap. Dan seiring dengan itu akal sehatnya pun 
lenyap. Yang ada di benaknya adalah melampiaskan kemarahannya pada 
Dewa Arak. 

"Tunggu dulu, Kisanak!" 

Sambil berkata demikian, Sukrasana mengibaskan tangannya. 

Singgg! 

Bunyi mendesing nyaring yang menyakitkan telinga langsung 
terdengar. Tampak benda berkilat meluncur deras ke arah kuduk Dewa 



Arak. Benda itu berasal dari tangan Sukrasana! Benda berkilat itu 
sebenarnya sebilah pisau yang putih berkilauan. 

Meskipun tengah melangkah menghampiri kudanya, Dewa Arak 
tahu ada bahaya yang tengah mengancam. Dengan berpatokan pada bunyi 
desingan itu, Arya dapat menget ahui bagian yang tengah diancam. Maka, 
sambil membalikkan tubuh, tangan kanannya diayunkan. 

Takkk! 

Dengan t elak pisau Sukrasana berbenturan dengan kibasan tangan 
telanjang Dewa Arak. Akibatnya, benar-benar menggiriskan hati. Senjata 
tajam itu meluruk balik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat 
ganda. 

Mendapat s erangan balik yang tidak disangka-sangka itu, 

Sukrasana gugup. Dengan agak tergesa-gesa tubuhnya dibungkukkan. Pisau 
itu meluncur lewat beberapa jari di atas kepala Sukrasana. 

Sementara itu, tanpa mempedulikan akibat sampokannya, Dewa 
Arak melompat ke atas punggung kuda. Dan s ekali menghentakkan tali 
kekangnya, binatang tunggangan itu melangkah lambat meninggalkan 
tempat itu. 

Kali ini, Sukrasana tidak berani mengirimkan serangan lagi. 

Disadarinya tindakan itu malah akan membahayakan dirinya. Masih untung 
Dewa Arak tidak melayani kemauannya. Kalau tidak, tentu dia akan celaka. 
Tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sulit 
diukur. 

Yang dapat dilakukan I elaki berpakaian indah itu hanya menatap 
kepergian Arya. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya, melihat 
buruannya lolos begitu saja di depan matanya sendiri. 

Mendadak langkah kuda Dewa Arak terhenti. Sesaat kemudian, 
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. 

"Boleh kutahu nama bayi ini, Kisanak?!" tanya Dewa Arak ingin 
tahu. 

"Hmh!" 

Hanya dengus penuh ras a kesal dari Sukrasana yang menyambuti 
pertanyaan Dewa Arak. 

Melihat hal itu, Dewa Arak pun mengerti. Tidak ada gunanya lagi 
mengajukan pertanyaan. Lelaki berpakaian indah itu tidak akan mau 
menjawabnya. Maka, disentaknya tali kekang untuk menyuruh kuda 
coklatnya meninggalkan tempat itu. 

Tatapan Sukrasana mengiringi kepergian pemuda berambut putih 
keperakan itu hingga tidak terlihat lagi ditelan kejauhan. Baru setelah itu, 
Sukrasana mengalihkan perhatian pada rekan-rekannya yang tergol ek tak 
berdaya di tanah. 


"Hhh.J" 

Dewa Arak menghela napas berat. Tampak tiga sosok tubuh berdiri 
dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Mereka berjajar di depan sebuah 
jembatan yang melintas di atas sungai yang jauh di bawah sana. Saat itu 
Arya berada di sebuah tebing yang cukup curam. 

Dewa Arak meras akan ada sesuatu yang tidak enak di dalam 
dadanya. Tiga sosok tubuh itulah penyebabnya. Arya tahu mengapa mereka 
berdiri berjajar di sana. Jelas, mereka tidak akan membiarkan orang-orang 
melewati jembatan tanpa seizin mereka. 

Itu berarti perjal anannya akan mengalami hambatan lagi. Pemuda 
berambut putih keperakan itu yakin betul akan kesimpulannya. Meskipun 
demikian, dia berpura-pura tidak tahu. Dibiarkannya kudanya terus 
melangkah. 

Semakin lama jarak Arya dengan tiga sosok itu semakin dekat. 

Sambil lalu, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan tiga 
sosok di depannya. Dewa Arak dapat melihat ciri-ciri mereka. 

Kecurigaan Dewa Arak agaknya tidak keliru. Saat kudanya 
semakin dekat, tidak ada t anda-t anda mereka akan memberikan jal an. 
Tampaknya, mereka tidak mau membiarkan Dewa Arak melalui jembatan 
itu. 

Terpaksa Arya mengalah. Begitu jarak antara mereka tinggal tiga 
tombak, tali kekang kudanya ditarik. Kuda hitam itu pun menghentikan 
langkahnya. Masih dengan pandangan tertuju pada ketiga sosok itu, Dewa 
Arak melompat turun dari punggung kuda. Dan mendarat dengan ringan di 
tanah seperti daun kering jatuh ke bumi. 

"Maaf, Kisanak. Bisa menyingkir sebentar?! Aku hendak mel alui 
jembatan ini," ujar Arya sopan. 

Tiga sosok yang memiliki potongan tubuh berbeda-beda itu saling 
berpandangan sejenak. Kemudian... 

"Ha ha ha...! 

"Serempak, bagai diberi perintah ketiganya tertawa. Tentu saja 
tindakan mereka membuat Dewa Arak mengerutkan alis. Perasaan tidak 
senang langsung menyeruak hatinya. Tidak ada hal lucu yang patut 
ditertawakan pada pernyataannya tadi. Mes kipun demikian, pemuda itu 
tetap bersikap tenang. 

"Rupanya aku salah mengenali orang. Semula kukira kalian orang 
waras. Ah...! Siapa dapat menduga...?!" ujar Dewa Arak setengah berdesah 
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sikapnya memperlihatkan kalau dia 
merasa prihatin dengan kejadian itu. 

Tawa keras bergelak dari tiga sosok itu langsung terhenti. Wajah 
mereka merah padam. Dan sepasang mat anya membel alak penuh 
kemarahan menatap Dewa Arak. 

"Sungguh berani kau mengucapkan kata-kata itu pada kami, 

Anjing Kecil?! Apakah kau tidak tahu siapa kami?! Kau pernah mendengar 
julukan Raja Monyet Tenaga Raksasa?! Nah! Akulah orangnya!" ucap salah 
seorang di antara ketiga sosok itu penuh kemarahan. 

Sosok itu seorang manusia yang mirip gorilla. Seorang lelaki 

berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kekar, tapi agak bungkuk. Ciri 

khas seekor kera. 

Ciri-ciri itu semakin jelas dengan adanya bulu-bulu lebat berwarna 
hitam yang menghias sekujur tubuhnya, yang hanya dibungkus rompi hitam 
dan celana sebat as lutut. Kedua tangannya pun mempunyai ukuran lebih 
dari manusia biasa. Tangan itu menggelantung hingga melampaui lutut. 

"Dan aku Buaya Emas Berekor Tiga," sambung sosok yang berada 
di sebelah Raja Monyet Tenaga Raksasa. Buaya Emas Berekor Tiga seorang 
lelaki berusia sekitar empat puluh t ahun. Tubuhnya pendek kekar dan 
dibungkus rompi terbuat dari kulit buaya. 

"Aku... Raja Hiu Terbang," timpal sosok kecil kurus yang bermata 
sipit dan berpakaian rompi coklat. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. 

"Tak kusangka di tempat seperti ini aku akan berjumpa dengan 
tokoh-tokoh tenar seperti kalian...." 

Dewa Arak berkat a sejujurnya. Julukan tiga tokoh itu memang 

telah sampai ke telinganya. Mereka adalah para pimpinan kelompok orangorang 

sesat 

Raja Monyet Tenaga Raksas a seorang kepala perampok yang 
merajai tempat -tempat berupa daratan. Setiap kelompok perampok yang 
berdiam di hutan atau gunung harus tunduk di bawah kekuasaannya. Bagi 
yang menentang akan dihancurkan. Tokoh ini amat ditakuti. 

Berbeda dengan Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas 
Berekor Tiga merajai wilayah sungai. Sementara Raja Hiu Terbang 
menguasai lautan. Hingga, lengkaplah sudah pimpinan orang sesat di 
seluruh permukaan bumi. Mereka merajai kelompok-kelompok itu selama 
bertahun-t ahun. 

"Bagus, kalau kau telah mengenal kami. Sekarang sebelum kami 
membunuhmu, lebih baik perkenalkan diri. Sebab, kami tidak mau 
membunuh orang yang tidak mempunyai nama," ujar Raja Monyet Tenaga 
Raksasa, yang lebih pandai bicara daripada dua kepala perampok lainnya. 
Dewa Arak tidak segera memberikan jawaban. Perhatiannya 
dialihkan pada putra Saudagar J ayeng Kertacundraka. Diayun-ayunnya 
tubuh bayi mungil itu. 

"Apa untungnya kalian mengetahui namaku?!" t anya Arya dengan 
sikap tidak peduli. 

"Bagi kami memang tidak penting. Tidak ada keuntungan yang 
kami dapat. Keuntungan itu hanya kau yang peroleh. Karena dengan 
menyebutkan namamu, mungkin kami tidak memanggilmu dengan sebutan 
anjing cilik lagi. Itu yang pertama," urai Raja Monyet Tenaga Raksasa. 

"Ha ha ha...!" 

Buaya Emas Berekor Tiga dan Raja Hiu Terbang tertawa terbahakbahak 
mendengar olok-olok rekan mereka terhadap Dewa Arak. Tapi, 
pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan tidak terpengaruh sedikit 
pun. Dia tetap mengayun-ayunkan tubuh putra Saudagar Jayeng 
Kertacundraka. 

Melihat hal ini, Raja Monyet Tenaga Raksasa menj adi penasaran. 
Amarahnya bangkit perlahan. 

"Tapi yang lebih penting adalah yang kedua. Dengan 
memperkenalkan diri, berarti kau bukan seorang pengecut!" tandas Raja 
Monyet Tenaga Raksasa dengan berget ar. 

Seketika itu pula Dewa Arak menolehkan kepal a. Ditatapnya 
tajam-tajam Raja Monyet Tenaga Raksasa. Memang, pemuda berambut 
putih keperakan itu paling pantang mendapat makian seperti itu. 

"Baiklah. Namaku Arya. Kalian puas?!" ujar Arya dengan suara 
bergetar menahan marah. 

"Arya?!" 

Hampir bers amaan Raj a Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas 
Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang mengucapkannya. Ketiganya bertukar 
pandang dengan dahi berkernyit dalam. Rupanya ada sesuatu yang menarik 
perhatian mereka. 

"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?!" tanya Raja Monyet 
Tenaga Raksasa sungguh-sungguh. Tatapan mat anya merayapi sekujur 
tubuh Dewa Arak. 

"Benar," jawab Arya tegas. Dia sudah menduga ketiga kepala 
perampok itu telah mengetahui perihal dirinya. 

"Kalau begitu..., kau adalah Dewa Arak?!" sentak Raja Hiu 

Terbang tanpa dapat menyembunyikan rasa kagetnya. 

*** 

"Itulah julukan yang diberikan orang-orang persilatan kepadaku," 
ringan jawaban Dewa Arak. 

Seketika itu pula sikap ketiga kepal a rampok itu berubah. Mereka 
langsung melangkah mundur dan agak menyebar. Kenyataan bahwa 
pemuda berambut putih keperakan itu adalah Dewa Arak, membuat 
ketiganya tersentak kaget. 

"Kami memang t elah mendengar kabar kalau tokoh yang berjuluk 
Dewa Arak itu masih muda. Tapi tidak pernah kami sangka kalau semuda 
ini. Sungguh suatu kebetulan. Aku sudah lama bermaksud menantangmu 
bertarung, Dewa Arak! Ingin kuras akan s endiri sampai di mana 
kepandai anmu. Bersiap-siaplah kau, Dewa Arak!" ucap Raja Monyet 
Tenaga Raksasa keras. Kemudian menyiapkan jurusnya untuk mel ancarkan 
serangan. Tapi.... 

"Tunggu, Raja Monyet!" cegah Buaya Emas Berekor Tiga. Tangan 
kanannya dijulurkan menghadang. "Bukan hanya kau yang ingin bertarung 
dengannya. Aku juga demikian! Akan kubuktikan pada dunia persilatan 
kalau aku, Buaya Emas Berekor Tiga, tidak terkalahkan oleh siapa pun. Tak 
terkecuali Dewa Arak!" 

"Jangan t erburu nafsu, Buaya Emas! Akulah yang akan 

mengalahkan Dewa Arak! Karena itu, aku yang akan menghadapinya lebih 

dulu!" Raja Hiu Terbang tidak mau kalah. 

Kesempatan di saat ketiga kepala rampok itu terlibat perdebatan 
sengit, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Sekali menjejakkan 
kaki, pemuda itu telah melayang melewati kepal a Raja Monyet Tenaga 
Raksasa. Memang, tokoh yang merajai s emua perampok darat an itu berada 
tepat di depan jembatan yang membentang. 

"Hey!" 

Hampir bers amaan ketiganya berteriak kaget melihat tindakan 
yang dilakukan Dewa Arak. Mereka segera mel esat mengejar. Tapi sudah 
terlambat! Dewa Arak telah mendarat di ujung j embatan. Kemudian, 
melesat cepat menuju ke seberang. 

Sementara di belakangnya Raj a Monyet Tenaga Raksasa, Buaya 
Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang melesat mengejar. Seketika 
perselisihan yang tengah berlangsung terhenti. Mereka harus mencegah 
Dewa Arak sampai di seberang jembatan. 

Tapi maksud itu hanya mudah untuk direncanakan. Dewa Arak 
melesat cepat di depan mereka. Terlebih, pemuda berambut putih keperakan 
itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh berada di atas ketiganya. 
Pengejaran ketiga kepala perampok itu sia-sia. Tanpa menemui 
kesulitan, Dewa Arak berhasil mencapai seberang jembatan. 

"Hup!" 

Begitu kedua kakinya menjejak tanah di ujung jembatan, tanpa 
ragu-ragu Dewa Arak menghent akkan tangan kanannya. 

Wusss! 

Bunyi menderu keras langsung terdengar ketika serangkum angin 
keras menghembus dari tangan Dewa Arak. Agaknya, Arya mel ancarkan 
pukulan jarak jauh. Dan, arah yang dituju adalah ujung jembatan yang 
tengah dituju ketiga pengejarnya. 

Brakkk! 

Terdengar bunyi berderak keras. Jembatan yang terbuat dari papan 
itu hancur berkeping-keping. Hubungan dengan daratan di tempat Dewa 
Arak berada langsung terputus! Padahal saat itu Raja Monyet Tenaga 
Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang masih berada di 
tengah-tengah jembatan. Akibatnya, bersamaan dengan runtuhnya 
jembatan, ketiga kepala perampok itu terjatuh ke bawah. 

"Aaa.J" 

Jeritan panjang menyayat mengiringi luncuran tubuh Raja Monyet 
Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang. 
Kejadian itu tidak lepas dari pandangan Dewa Arak. Wajah tampan 
pemuda berambut putih keperakan itu tampak muram. Arya, kelihatan 
terpukul. 

"Hhh.J" 

Seraya menghembuskan napas berat, Dewa Arak membalikkan 
tubuh. Mendadak.... 

Sing, sing, sing! 

Bunyi mendesing tajam yang menyakitkan t elinga mengejutkan 

Dewa Arak. Belasan batang anak panah melesat cepat ke arahnya. Rupanya, 

kedatangannya di tempat ini tidak disukai. 

Namun bukan Dewa Arak kalau menghadapi sambutan seperti itu 
menjadi gugup. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar 
dekat. Baru setelah itu, tangan kanannya diputar. 

Dari putaran tangan pemuda berambut putih keperakan itu 
berhembus angin keras. Hingga anak panah yang hampir mencapai sasaran 
melenceng arahnya. Bahkan sebagian bes ar jatuh di tengah jalan. Seakanakan 
ada tembok tak nampak melindungi pendekar muda yang 
menggemparkan dunia persilatan itu. 

Namun, kejadian itu tidak membuat pemiliknya menjadi jera. 

Terbukti, puluhan anak panah terus meluncur deras. Tapi seperti juga 
sebelumnya, hujan anak panah itu pun hanya membuahkan kegagal an. 

Sebelum mencapai sas aran, anak-anak panah itu berj atuhan bagai semutsemut 
menerjang api. 

Sadar kalau tidak ada gunanya lagi melakukan penyerangan, 
pemilik-pemiliknya berlompatan keluar dari semak-semak yang menjadi 
tempat persembunyiannya. 

Srak, srak, srak! 

Dan hanya dalan sekejapan s aja, di depan Dewa Arak tel ah berdiri 
belasan lel aki kekar. Tangan mereka menggenggam pedang telanj ang yang 
kelihatan berkilat-kilat diterpa sinar matahari. 

"Tahan!" 

Sebelum belasan I elaki kas ar itu menyerang, Dewa Arak telah 
lebih dulu berseru. 

"Apakah kalian anak buah Saudagar Jayeng Kertacundraka?! 

Kalau benar, harap katakan padanya aku datang membawa putranya." 
Tanggapan atas ucapan Dewa Arak adalah ayunan pedang belasan 
lelaki kekar. Mereka tidak mempedulikan perkataan Arya. Tindakan itu 
mereka lakukan setelah mendapat isyarat dari seorang lelaki tinggi besar 
bercambang bauk yang menjadi pimpinan kelompok. 

Dewa Arak menggertakkan gigi. Tidak ada gunanya lagi berbicara. 

Orang-orang kas ar ini hanya mau diajak bercakap-cakap dengan kepalan tangan 
dan kaki. Karena itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. 

Begitu senjata para pengeroyoknya berkelebat ke berbagai bagian tubuhnya, 

Arya memberikan sambutan hangat. 

Karena keberadaan putra Jayeng Kert acundraka di tangan kiri, 
terpaksa Dewa Arak menghadapi keroyokan itu dengan sebelah tangan. 

Namun, itu pun telah lebih dari cukup untuk menghadapi serbuan lawanlawannya. 

unyi berderak keras senantiasa terdengar setiap kali tangan Dewa 
Arak berbenturan dengan senjata lawan. Tidak sedikit pun tangan pemuda 
itu terluka. Bahkan sebaliknya, tangan-t angan lawannya yang terasa hampir 
lumpuh. 

Patut dipuji kekerasan hati rombongan lelaki kasar itu. Tanpa 
mengenai takut mereka terus menerjang Dewa Arak. Tapi usaha mereka siasia. 
Setiap serangan yang dilakukan dapat dengan mudah dipatahkan Arya. 
Sebaliknya, setiap Dewa Arak melakukan serangan balasan sudah dapat 
dipastikan akan ada lawan yang roboh dan tidak bangkit lagi. Pingsan! 

Semakin lama jumlah para pengeroyoknya semakin berkurang. 

Jerit kesakitan mengiringi tumbangnya tubuh-tubuh mereka. Sampai 
akhirnya tidak ada seorang pun lagi yang berdiri tegak. Semua bergel etakan 
di tanah. Tak terkecuali pemimpin rombongan itu. 

Tanpa mempedulikan para pengeroyoknya, Dewa Arak melesat 
untuk melanjutkan perjalanan. Sekilas perhatiannya dialihkan pada putra 
Jayeng Kertacundraka. Timbul rasa kagum dan sukanya karena bayi itu 
tidak pernah menangis meskipun beberapa kali terancam maut. 

Dan sekarang Dewa Arak tengah menuju sebuah bangunan besar 
dan megah. Bangunan itu terkurung dinding baru tinggi. Arya melihat tidak 
ada apa pun yang menghalanginya. 

Dalam beberapa lesatan saj a pemuda itu tel ah hampir mencapai 
pintu gerbang yang tertutup rapat. Tapi, di saat pemuda berambut putih 
keperakan itu hampir tiba, daun pintu gerbang bergerak membuka diiringi 
bunyi berderit nyaring. 
Dewa Arak menghentikan ayunan I angkahnya. Kini dia berdiri 
tegak di t empatnya dengan pandangan tertuju lurus ke arah pintu gerbang. 
Sementara itu pintu gerbang t erus t erkuak. Dari dalam berj alan keluar 
beberapa sosok tubuh. 

Tapi, Dewa Arak tidak t erlalu memperhatikan semuanya. 

Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berada di tengah. Sosok itu 
mengenakan pakaian amat indah dan mewah. Sikapnya terlihat agung dan 
sedikit congkak. Pasti inilah orang yang bernama Jayeng Kertacundraka! 
"Kudengar kau mencariku, Kisanak?! Benarkah demikian?!" tanya 
sosok berpakaian indah itu. 

Dewa Arak tidak segera menj awab. Pemuda itu meneliti sekujur 
tubuh orang yang diduganya s ebagai Saudagar Jayeng Kertacundraka. 

Lelaki itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Sebagaimana halnya 
seorang kaya raya, tubuhnya gemuk dan perutnya agak buncit. 

"Tulikah kau, Jembel Hina! Tuan besarmu mengajukan 
pertanyaan! Cepat jawab!" hardik seorang lelaki bertelanjang dada yang 
berdiri di sebelah lelaki berpakaian indah. Lelaki bertelanjang dada itu 
marah melihat pertanyaan tuannya tidak segera mendapat jawaban. 

Ternyata bukan hanya lelaki itu yang marah melihat sikap Dewa 
Arak. Delapan orang kasar yang bersenjatakan tombak dan berdiri di kanan 
kiri Saudagar Jayeng Kertacundraka pun murka. Bahkan, tombak yang 
berada di tangan mereka telah siap untuk digunakan. 

Namun, tangan-tangan yang tel ah menegang kaku itu langsung 
mengendur ketika melihat Saudagar Jayeng Kertacundraka mengangkat 
tangan kanannya ke at as. 


Tepat di saat Saudagar Jayeng Kertacundraka menurunkan 
tangannya, Dewa Arak angkat bicara. 

"Apakah kau orang yang bernama Jayeng Kertacundraka? Kalau 

benar demikian, mari kita bercakap-cakap sebentar." Tenang dan tanpa rasa 

takut pemuda berambut putih keperakan itu mengutarakannya. 

Terdengar bunyi bergemeret ak ketika lelaki bertelanjang dada dan 
delapan orang bers enjata tombak mendengar sambutan Dewa Arak. Mereka 
murka bukan main melihat sikap pemuda itu, yang dianggapnya terlalu 
meremehkan Jayeng Kert acundraka. 

Kalau menuruti perasaan, mungkin mereka sudah menerjang Dewa 
Arak. Tapi karena Jayeng Kertacundraka belum memberikan isyarat, 
mereka tidak berani bertindak. Takut kalau majikan mereka murka. 

Berbeda dengan s embilan orang kaki tangannya, Jayeng 
Kertacundraka tet ap bersikap tenang. Malah di bibirnya tersungging 
senyuman lebar. 

"Dugaanmu tidak salah, Anak Muda. Aku Jayeng Kertacundraka. 

Kalau kau memang mempunyai urusan denganku... mari kita 
membicarakanya di dalam," ajak lelaki itu ramah. 

"Terima kasih, Tuan Saudagar. Kurasa I ebih baik di sini saja," 
tolak Arya halus. 

"Terserah kal au itu yang kau mau." Jayeng Kert acundraka 
mengangkat kedua bahunya. "Tapi ingat, jangan I ama-lama. Aku tidak 
tahan berdiri terlalu lama di tempat panas seperti ini." 

"Jangan khawatir, Tuan Saudagar," jawab Dewa Arak cepat. Arya 
agak jengkel meras akan adanya kesombongan dalam ucapan lelaki 
berpakaian indah itu. "Aku akan langsung pada pokok pembicaraan." 

"Bagus sekali kalau kau berpikir s eperti itu, Anak Muda," tanggap 

Jayeng Kertacundraka tak peduli. "Sekarang katakanl ah. Jangan buangbuang 

wakru lagi." 

Dewa Arak tidak segera memenuhi permintaan Jayeng 
Kertacundraka. Pemuda itu t ercenung sebentar, memikirkan ucapan yang 
akan dikeluarkannya. 

"Aku datang kemari atas permintaan seseorang yang tengah 
menjelang ajal. Menurut pengakuannya dia disuruh oleh seorang wanita 
yang kau kenal, Tuan Saudagar," Dewa Arak memulai ceritanya. 

"Kalau ingin ceritamu kudengarkan, tidak usah berteka-teki, Anak 
Muda. Langsung s aja! Atau..., aku terpaksa menyuruh orang-orangku 
mengusirmu dari sini!" tegas Jayeng Kertacundraka tidak sabar. 

"Kau kenal wanita yang bernama Setyaning, Tuan Saudagar?!" 

Tanpa peduli sikap Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak meneruskan 
ucapannya. 

Itu sengaja dilakukan Dewa Arak karena tidak ingin bayi lucu 

titipan Andiningsih jatuh ke t angan orang yang tidak berhak. Penj elasan 

Sukrasana menyebabkannya mengambil keputusan untuk berhati-hati. 

"Apa?!" seru J ayeng Kertacundraka terkejut. "Setyaning? Kau 
bilang Setyaning, Anak Muda?!" 

Dewa Arak mengangguk. "Nama itulah yang kudengar dari mulut 

orang yang tengah sekarat itu, Tuan Saudagar. Apakah kau mengenalnya?!" 

"Mengenalnya?!" tanya J ayeng Kertacundraka setengah menjerit. 

"Apakah orang yang sekarat itu tidak menceritakannya padamu?!" 

"Memang dia menceritakannya, Tuan Saudagar. Tapi, alangkah 
baiknya kalau kudengar sendiri dari mulutmu," sahut Dewa Arak kalem. 
Seketika itu pula wajah Jayeng Kertacundraka berubah. 

"Tidak usah berbelit-belit, Anak Muda! Aku bukan anak kecil yang 
dapat dibohongi. Katakan saja kau mencurigaiku, bukan?!" 

"Tidak sampai sejauh itu, Tuan Saudagar," timpal Arya tetap 
tenang. "Aku hanya berhati-hati. Sebab, perintah yang diberikan Setyaning 
menjadi tanggung jawabku s etelah orang suruhannya tewas. Kuharap kau 
bisa memakluminya, Tuan Saudagar...." 

Jayeng Kertacundraka tidak memberikan tanggapan. Ditatapnya 
Dewa Arak lekat-lekat. Lalu menghembuskan napasnya perlahan-lahan. 

"Kau tidak memberikan pilihan lain, Anak Muda. Tapi... baiklah. 

Agar kau puas dan yakin, kukatakan hal yang sebenarnya. Setyaning adalah 
istriku. Dia kunikahi dua tahun yang lalu. Kami hidup berbahagia sampai 
akhirnya timbul sebuah masalah." 

Sampai di sini Jayeng Kertacundraka menghentikan ucapannya. 

Wajahnya yang semula cerah mendadak muram. 

Meskipun belum mendengar rangkaian ceritanya dengan jelas, 

Dewa Arak telah dapat menduga kalau kel anjutannya bukan hal yang 
menyenangkan. 

"Sebuah peristiwa membuatku terpisah dari Setyaning," lanjut 
Jayeng Kertacundraka dengan wajah semakin kel am. "Kakak Setyaning, 
yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya, tewas terbunuh. Celakanya, 
menurut saksi-saksi akulah pembunuh kakak Setyaning." 

Kembali Jayeng Kertacundraka menghentikan ceritanya. Lelaki itu 
menarik napas panjang, dan menghembuskannya. Sepertinya dia tengah 
membuang beban berat yang mengganjal dadanya. Sementara Dewa Arak 
menunggunya dengan s abar. Tidak dipergunakannya kesempatan itu untuk 
memberikan tanggapan. 

"Tak pelak lagi, Ayah Setyaning marah besar. Dia mencariku 
untuk mengadakan perhitungan. Untung aku telah pergi. Kal au tidak, 
mungkin aku sudah tewas di tangannya. Aku pergi dengan hati penasaran. 
Kalau saja Setyaning tidak terus-menerus memaksaku, aku pasti tidak akan 
pergi. Padahal, aku ingin membuktikan kalau bukan aku pelaku 
pembunuhan itu. Tapi, tidak ada yang percaya kecuali Setyaning." Jayeng 
Kertacundraka menutup ceritanya dengan mendesah. 

Suasana seketika hening ketika Jayeng Kertacundraka 
menghentikan ucapannya. Tampaknya, ceritanya telah selesai. Tapi 
keheningan itu tidak berlangsung lama. 

"Apakah Ayah Setyaning tidak mel akukan pengej aran?!" tanya 
Dewa Arak ingin tahu. 

"Tidak katamu, Anak Muda?! Rupanya kau belum tahu siapa Ki 
Windu Paksi. Dia ketua perkumpulan yang mempunyai watak keras. Mudah 
marah dan t ersinggung. Hal s epele saja sudah cukup untuk membuatnya 
menghajar orang sampai setengah mati. Bisa kau bayangkan betapa 
kalapnya Ki Windu Paksi menghadapi kematian putra satu-satunya. Asal 
kau tahu saja, Anak Muda. Putranya itu amat disayanginya. Bahkan, 
melebihi rasa sayangnya pada diri sendiri." 

Jayeng Kertacundraka menelan ai r liur untuk membasahi 
tenggorokannya yang kering. 

"Itu sebabnya Ki Windu Paksi amat terpukul. Apalagi, putranya itu 
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Perkumpulan 
Macan Kumbang, yang disegani semua tokoh persilatan." 

"Jadi...," Arya menggantung kalimatnya. 

"Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Aku dikejarnya. Bahkan 
sampai ke tempat ini. Aku tidak punya pilihan selain menghadapinya. Tapi 
ayahku, pemilik tempat ini, mencegahnya. Seperti juga Setyaning, ayahku 
tidak percaya dengan tuduhan yang ditimpakan kepadaku. Maka dia yang 
keluar menghadapi Ki Windu Paksi. Dia percaya Ki Windu Paksi akan 
dapat ditenangkan. Memang, ayahku dan Ki Windu Paksi telah puluhan 
tahun bersahabat." 

"Tak kusangka akan mendengar cerita semenarik ini, Tuan 
Saudagar," ucap Arya ketika J ayeng Kert acundraka menghentikan 
ceritanya. 

"Terima kasih atas pujianmu, Anak Muda. Sekarang hatiku merasa 
lega. Semula kupikir kau akan bosan mendengar cerita ini." 

"Sama sekali tidak, Tuan Saudagar." 

"Kalau begitu biar kulanjutkan," tanggap Jayeng Kertacundraka. 

"Ternyata Ki Windu Paksi tidak bisa disabarkan. Dia tetap bersikeras ingin 
membalaskan kematian putranya. Karena ayahku pun bersikeras dengan 
pendiriannya, adu mulut pun tak dapat di elakkan. Dalam kemarahannya Ki 
Windu Paksi menyerang ayahku." 

Jayeng Kert acundraka menutup waj ahnya dengan kedua tangan, 
seakan-akan peristiwa itu tengah terjadi di depannya. Sedangkan Dewa 
Arak sudah dapat menduga akhir cerita panjang ini. 

"Karena ayahku tidak memberikan perlawanan, serangan Ki 
Windu Paksi mengenainya dengan t elak. Ki Windu Paksi yang tidak 
menyangka demi kian, berusaha membat alkan serangan. Tapi sayang tidak 
berhasil. Dia hanya mampu mengurangi tenaga serangannya. Hingga, 
ayahku tidak langsung tewas. Dia sekarat. Hhh.J" 

Sambil menghela napas berat Jayeng Kert acundraka menurunkan 
kedua tangannya. Kemudian, mengarahkan pandangannya ke angkasa 
seakan di sana tergambar lanjutan cerita yang akan diutarakannya. 
"Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhi r, beliau 
meminta agar semua urusan diselesaikan. Aku dan Ki Windu Paksi memang 
memenuhinya. Tapi pedang yang tel ah patah t ak akan mungkin utuh 
kembali. Demikain pula dengan hubungan kami. Sejak saat itu antara kami 
terjadi perang dingin. Itu berlangsung sampai sekarang," tutur Jayeng 
Kertacundraka menutup ceritanya. 

"Hhh.J" 

Lagi-lagi terdengar helaan napas berat. Kali ini bukan berasal dari 
Jayeng Kertacundraka, melainkan dari Dewa Arak! 

"O, ya. Hampir aku lupa. Bisa kau beri tahu perintah istriku?!" ujar 
Jayeng Kertacundraka. 

Kini Dewa Arak tidak mempunyai al asan untuk mengelak. Jayeng 
Kertacundraka mempunyai hak untuk itu. 

"Seperti yang telah kuceritakan, sebenarnya bukan istrimu yang 
menyuruhku. Aku hanya mendapat amanat dari orang suruhan istrimu." 

"Apa amanat itu, Anak Muda?!" sentak Jayeng Kertacundraka tak 
sabar. 

"Inilah amanat itu, Tuan Saudagar!" Dewa Arak mengangsurkan 
tangan yang menggendong putra Jayeng Kertacundraka. 

"Anakku...!" seru Jayeng Kertacundraka seraya mengulurkan 

kedua tangannya untuk mengambil bayi itu. 

Tindakan Jayeng Kertacundraka membuat Dewa Arak merasa 
heran. Buru-buru tangannya ditarik pulang. Kemudian dengan dahi 
berkernyit ditatapnya lelaki berpakaian mewah itu. 

"Dari mana kau tahu kal au bayi ini adalah anakmu, Tuan 
Saudagar?!" tanya Dewa Arak curiga. 

Belum sempat Jayeng Kertacundraka memberikan jawaban. Tibatiba.... 
"Jangan berikan bayi itu kepadanya, Anak Muda! Orang itu bukan 
Jayeng Kertacundraka!" 

Dewa Arak tidak mengerti, mengapa Jayeng Kertacundraka tidak 
memperdulikan kes elamatan putranya?! Tetapi pemuda berambut putih itu 
tidak sempat berpikir terlalu lama. Tangannya segera memapak tendangan 
lelaki berpakaian mewah itu. 

Plakkk! 

Bunyi keras terdegnar ketika tangan dan kaki mereka saling 
berbenturan 

Keras bukan main teri akan itu. Apalagi kejadiannya demikian 
mendadak dan tidak t erduga-duga. Akibatnya, bukan hanya Dewa Arak 
yang terkejut, Jayeng Kertacundraka dan yang lainnya pun demikian pula. 
Tapi, tentu saja yang mengalami keterkejutan paling besar adalah Dewa 
Arak. Sebab, dialah orang yang dituju. 

Terdengar bunyi gemeretak keras dari mulut Jayeng 
Kertacundraka, ketika mengetahui kegagalannya mengambil bayi di tangan 
Dewa Arak. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sebuah tendangan 
miring kaki kanan segera dikirimkan ke arah dada Dewa Arak. 

Wuttt! 

"Hey!" 

Dewa Arak bers eru kaget. Bukan karena serangan itu didahului 
bunyi angin keras yang menandakan kekuatan tenaga dai am pengirimnya. 
Tapi melihat sasaran yang dituju! Serangan Jayeng Kertacundraka 
membahayakan keselamat an putranya. 

Kenyataan itu membuat benak Dewa Arak diganggu pertanyaan. 

Apakah Jayeng Kert acundraka tidak menyadari tindakannya? Rasanya tidak 
mungkin! Alasan yang masuk akal adalah lelaki berpakaian mewah itu tidak 
mempedulikan keselamatan putranya! Kalau begitu, orang yang 
memberitahukannya tadi benar. Lelaki berpakai an mewah ini memang 
bukan Jayeng Kertacundraka! Kalau demikian siapa? 

Dewa Arak segera menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu. 

Serangan orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka tengah meluncur 
datang. Kalau tidak segera memberikan tanggapan, keadaannya akan 
berbahayaiMaka, tanpa membuang-buang waktu Dewa Arak menarik kaki 
kirinya mundur seraya mencondongkan tubuhnya ke bel akang. Pada saat 
yang bers amaan tangan kanannya memapaki serangan. Pemuda berambut 
putih keperakan itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Plakkk! 

Bunyi seperti beradunya dua benda keras terdengar ketika tangan 
dan kaki mereka saling berbenturan. 

Tubuh orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka terhuyunghuyung 
empat langkah, sedangkan Dewa Arak hanya selangkah. Itu terjadi 
karena kedudukan lelaki berpakaian mewah itu tak menguntungkan. Dia 
berdiri dengan satu kaki. 

Meskipun demikian, dengan gerakan sederhana kedua tokoh itu 
berhasil mematahkan daya dorong tubuh mereka. Rupanya, akibat benturan 
itu mengejutkan keduanya. Mereka saling berpandangan dengan mata 
penuh selidik 

"Rupanya kau orang yang berjuluk Dewa Arak. Pendekar muda 
yang terkenal itu. Ternyata berita itu benar. Kau memang lihai!" ucap 
Jayeng Kertacundraka palsu seraya mengangguk-anggukkan kepala. 

Dewa Arak tersenyum pahit 

"Tidak usah mengejek, Kisanak. Aku yakin kau pun bukan orang 
sembarangan. Namun, aku lebih yakin kalau kau mengaku sebagai penipu. 
Kau bukan ayah dari anak yang kugendong. Kau bukan Jayeng 
Kertacundraka!" 

"Tak kusangka seorang pendekar besar seperti Dewa Arak mudah 
dipengaruhi. Sekalipun orang tak dikenal yang memberitahukan, dia 
langsung saja menel annya. Kau I ebih percaya padaku atau pada tua bangka 
itu!" Jayeng Kertacundraka menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek 
bertubuh pendek kekar yang berada beberapa tombak di belakang Dewa 
Arak. 

Arya mengalihkan perhatiannya kembali setelah melihat orang 

yang telah memberitahukannya. Ditatapnya wajah lel aki berpakaian indah 

itu dengan penuh selidik. 

"Kau keliru, Kisanak. Aku yakin kau bukan Jayeng Kertacundraka, 
berdas arkan kesimpulan yang kudapat. Tindakan yang kau lakukan telah 
menjelaskan semuanya. Aku hampir s aja menyerahkan bayi tak berdosa ini 
untuk menghadapi malaikat maut! Hhh.J" 

"Kau tidak mengatakan alas an yang menyebabkanmu berani 
menduga kal au aku bukan Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak!" seru lelaki 
berpakaian indah itu. 

"Rupanya telingamu tidak pernah kau bersihkan, Kisanak! 

Buktinya kau tidak mendengar ucapanku. Padahal dengan jelas dan terang 
telah kukatakan padamu." 

"Keparat! Kau berani mempermainkan aku, Dewa Arak. Orang 

lain boleh takut padamu. Tapi, aku tidak. Cepat katakan! Aku tidak ingin 

mendengar kesimpulanmu tanpa adanya penjelasan." 

"Ooo..., begitu." Kalem tanggapan Dewa Arak. "Sederhana saj a. 

Pertama, kau langsung menyebut kalau bayi di tanganku ini adalah anakmu. 
Padahal, aku belum menceritakannya sama sekali. Kedua, kau menyerangku 
tanpa merasa khawatir serangan itu akan mengenai bayi ini. Rasanya tidak 
mungkin seorang ayah akan bertindak seperti itu. Jelas?!" sentak Dewa 
Arak. 

Lelaki berpakaian indah itu mengangguk-angguk seraya tersenyum 
tipis. 

"Kau cerdik, Dewa Arak! Tapi, itu tidak berarti banyak. Kau akan 
segera mati di tanganku!" 

Usai berkat a demikian, Jayeng Kertacundraka palsu melompat 
menerjang Dewa Arak. Selagi berada di udara, kaki kanannya dikibaskan. 
Serangan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh. 

Wusss! 

Lagi-lagi serangan tokoh gadungan itu mengenai tempat kosong. 

Rupanya, di saat yang menentukan Dewa Arak tel ah lebih dulu 
menundukkan kepala. Kibasan kaki itu menyambar beberapa jari di atas 
kepalanya. Keras bukan main, sehingga mampu membuat rambut dan 
pakaian Dewa Arak berkibar keras terbawa angin serangan. 

Namun, Dewa Arak tidak bisa menghela napas lega. Begitu 
kakinya menjejak tanah, Jayeng Kert acundraka palsu melancarkan serangan 
susulan. Kaki kirinya digunakan untuk mengirimkan tendangan lurus ke 
arah perut. Tentu saja Dewa Arak tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu 
segera mengi rimkan sambutan hangat. Akibatnya, pert arungan sengit tidak 
bisa dihindari lagi 

Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang terlibat pertarungan. 

Kakek pendek kekar pun demikian. Dia diserbu anak buah Jayeng 
Kertacundraka palsu. Pemimpin penyerbuan itu adai ah lelaki bertelanjang 
dada. 


Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sedikit pun tidak disangkanya 

kalau Jayeng Kert acundraka palsu ini demikian lihai.Tenaga dalam maupun 

ilmu meringankan tubuhnya hanya terpaut sedikit di bawahnya. 

Dengan sendirinya, untuk mendesak apalagi mengalahkan Jayeng 
Kertacundraka palsu adalah hal yang sulit. Terlebih dengan keberadaan bayi 
di gendongannya. Mau tidak mau hal ini mengurangi kemampuannya. 

Hingga pertarungan jadi berlangsung seimbang. 

Meskipun demikian, Dewa Arak tahu bila putra Jayeng 
Kertacundraka tetap berada di tangannya nyawanya akan terancam. 

Mungkin dengan kepandaiannya Jayeng Kertacundraka palsu tidak akan 
dapat menyarangkan serangannya terhadap bayi itu. Tapi, bayi itu tetap 
berada dalam bahaya maut. Angin s erangan I awan sudah cukup untuk 
mengirim nyawanya ke alam baka. 

Dewa Arak tahu betul akan hal itu. Maka, diputuskan untuk 
meletakkan putra Jayeng Kertacundraka di tempat yang aman, sebelum 
pertarungan berlangsung semakin sengit. Tanpa bayi itu, dia dapat 
bertarung dengan hati lega. 

Namun, pemuda berambut putih keperakan itu tidak terlalu 
terburu-buru melaksanakan maksudnya. Kalau Jayeng Kertacundraka palsu 
mengetahui maksudnya, pasti akan dihalangi. Itu berarti usahanya akan 
mengalami kesulitan. Dengan sabar Dewa Arak menunggu kesempatan 
yang tepat. 

Begitu pertarungan menginjak jurus kelima, pemuda berambut 
putih keperakan itu melancarkan serangan bertubi-tubi yang memaksa 
Jayeng Kertacundraka palsu melompat j auh ke belakang. Kesempatan ini 
tidak dilewatkan oleh Dewa Arak. Dengan bergegas Arya melempar 
tubuhnya ke belakang. 

Jiigggi 

Begitu mendarat Dewa Arak melet akkan put ra Jayeng 
Kertacundraka di tanah. Tentu saja letaknya agak jauh dari kancah 
pertarungan, agar terhindar dari ancaman maut. 

Tindakan Dewa Arak tidak lepas dari pengamatan Jayeng 
Kertacundraka palsu. Lel aki berpakaian mewah itu menjadi geram bukan 
main. Rupanya, dirinya telah tertipu. Maka sambil mengeluarkan teriakan 
keras yang menggetarkan tempat itu, diterjangnya Dewa Arak. 

Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi menyambut serangan lawan. 
Ketidakberadaan putra Jayeng Kertacundraka membuatnya leluasa untuk 
bertindak. Pertarungan sengit pun berlangsung. 

Di kancah pertarungan lainnya, kakek pendek kekar tengah 
berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. Ternyata kakek itu bukan 
orang sembarangan. Kepandai annya tidak bisa dianggap ringan. Terbukti 
meskipun dikeroyok sembilan orang, kakek itu mampu mengadakan 
periawanan sengit. Bahkan, dia tidak terdesak sama sekali. Pertarungan 
yang berlangsung pun tidak kalah serunya dengan pertarungan Dewa Arak 
dengan Jayeng Kertacundraka palsu. 

Dewa Arak yang sempat memperhatikan jalannya pertarungan 
menjadi tenang. Arya tahu keadaan kakek pendek kekar itu tidak perlu 
dikhawatirkan. Setidak-tidaknya sampai puluhan jurus anak buah Jayeng 
Kertacundraka palsu belum bisa merobohkannya. Maka, pemuda berambut 
putih keperakan itu memusatkan perharjan pada lawannya. 

Di jurus-jurus awal, baik Dewa Arak maupun Jayeng 
Kertacundraka palsu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Seperti 
biasanya, Dewa Arak lebih dulu menggunakan ilmu warisan ayahnya. Ilmu 
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk 
Naga'. 

Hebat dan menggiriskan ilmu-ilmu warisan Pendekar Ruyung 
Sakti itu. Serangan demi serangan bertubi-tubi meluncur ke arah Jayeng 
Kertacundraka palsu bagaikan tak pernah henti. Hal ini tidak aneh. Kedua 
ilmu yang dipergunakan Dewa Arak adalah ilmu-ilmu yang menitikberatkan 
pada penyerangan. 

Tapi, Jayeng Kert acundraka palsu pun bukan orang sembarangan. 

Meski serbuan Dewa Arak dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang 
laut, dia dapat mengandaskannya. Bagai batu karang kokoh, lelaki 
berpakaian indah itu memupuskan setiap serangan Dewa Arak. Malah, dia 
dapat melancarkan serangan balas an yang tidak kalah dahsyatnya. 

Jurus demi jurus berlalu cepat. Yang t erlihat hanya sosok-sosok 
bayangan dalam bentuk yang tidak jelas. Mereka saling belit dan sesekali 
keduanya menjauh. Bunyi menderu, mengaung, dan mencicit menyemaraki 
jalannya pert arungan. Tanah di sana-sini terbongkar akibat gerakan kedua 
tokoh itu. Debu tampak mengepul tinggi ke udara. 

Karena pert arungan berlangsung dengan cepat, hanya dalam waktu 
singkat lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak tandatanda 
pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih 
berlangsung seimbang. 

Mengjnjak jurus kelima puluh lima, kedua bel ah pihak tidak sabar 
lagi untuk segera menyel esaikan pertarungan. Mereka memutuskan untuk 
menggunakan ilmu andalan. Bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak 
dan Jayeng Kertacundraka palsu melempar tubuhnya ke belakang. 

Di saat berada di udara, Dewa Arak segera mengambil gucinya dan 
menuangkan ke mulut. 

Gluk.... Gluk.... Gluk.,1 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mel ewati tenggorokan 

Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat merayap ke kepal a Dewa Arak. 

"Hup!" 

Dengan agak terhuyung-huyung, Arya mendaratkan kedua kakinya 
di tanah. Tampaknya, ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap untuk 
dipergunakan. 

Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang telah siap. Jayeng 
Kertacundraka palsu pun demikian. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, 
dia segera mempersiapkan jurus. 

Mula-mula kedua t angannya yang mengejang keras, dengan jarijari 
terbuka, disilangkan di depan dada. Lalu, dengan peri ahan-l ahan tapi 
penuh tenaga ditariknya ke sisi pinggang. Masih dengan perlahan kemudian 
kedua tangannya didorongkan ke depan. 

Begitu telah terjulur habis, tampak punggung tangannya yang tidak 
tertutup baju berwarna hitam mengkilat. Samar-samar dari kedua tangannya 
mengepul asap tipis. Inilah ilmu 'Tangan Besi' yang menjadi andalannya. 

Sejenis ilmu yang membuat kedua t angannya tak kal ah kuat dengan besi 
baja sekalipun! 

Dewa Arak bukan orang bodoh. Sekali lihat saja dia bisa 
mengetahui kedahsyatan jurus lawan. Telah beberapa kali Arya berhadapan 
dengan orang-orang yang memiliki ilmu seperti itu. Dengan terhuyunghuyung 
seperti akan jatuh dan sesekali menenggak arak, dihampirinya 
Jayeng Kertacundraka palsu. 

Semula lelaki berpakai an indah itu bersikap menunggu. Dibiarkan 
saja Dewa Arak menghampirinya. Tapi ketika melihat kenyataannya dia 
menjadi tidak sabar. Sampai kapan pertarungan akan berlangsung kalau 
menunggu Dewa Arak mendekatinya? Pemuda berambut putih keperakan 
itu maju selangkah tapi mundur tiga langkah! Karena langkah kakinya yang 
terhuyung. 

"Haaat.J" 

Diawali teriakan keras membahana, Jayeng Kertacundraka palsu 
menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari terbuka 
dihantamkan ke arah dada Dewa Arak. 

Wusss! 

Bunyi angin menderu berhawa panas mengiringi tibanya serangan 
lelaki berpakai an indah itu. Sungguh dahsyat serangan yang dilancarkannya. 
Tapi Dewa Arak tet ap bersikap bias a. Bahkan, dengan tidak peduli 
ditenggaknya arak. Kedua kakinya yang tidak menapak dengan mantap di 
tanah membuat tubuhnya oleng ke sana kemari. Dan ketika serangan Jayeng 
Kertacundraka palsu telah menyambar dekat, Dewa Arak memapakinya dengan 
tangan kanan. 

Prattt! 

Bunyi seperti beradunya dua logam keras terdengar saat kedua 
tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Keras dan 
memekakkan telinga. Akibatnya, Dewa Arak maupun Jayeng 
Kertacundraka palsu terhuyung-huyung ke bel akang. Namun, Dewa Arak 
lebih unggul. Jayeng Kertacundraka palsu terdorong selangkah lebih jauh. 
Akibat benturan itu tidak seles ai sampai di situ. Dewa Arak 
merasakan betapa tangannya teras a sakit. Otaknya yang cerdas segera dapat 
menebak. Dai am penggunakan ilmu 'Tangan Besi', Jayeng Kert acundraka 
palsu jadi memiliki tangan yang amat kuat. 

Lelaki berpakaian indah itu segera melancarkan serangan susulan. 

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menyambutnya. Pertarungan 
yang jauh lebih sengit pun berkobar. 

Memang, ilmu 'Tangan Besi' milik Jayeng Kertacundraka palsu 
sangat hebat. Namun Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya dapat 
mengimbangi. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', semua serangan 
Jayeng Kert acundraka palsu berhasil dielakkan. Kemudian, dengan 
mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', 
dilancarkan serangan balas an yang membuat Jayeng Kertacundraka palsu 
kelabakan. 

Namun, itu bukan berarti Dewa Arak dapat menundukkan 
lawannya dengan mudah. Lelaki berpakaian indah itu mampu melakukan 
perlawan-an sengit. Kedua belah pihak silih berganti melancarkan serangan. 
Sampai hampir seratus jurus pertarungan berlangsung. Baru ketika 
menginjak jurus kes eratus, Dewa Arak berhasil menguasai keadaan. 
Perlahan-I ahan tapi pasti Jayeng Kert acundraka palsu berhasil didesak. 
Serangan-serangan lawan mulai berkurang. Lelaki berpakaian indah itu 
lebih banyak mengelak dan menangkis. 

Memang tangan, kaki, guci, dan arak dalam penggunaan ilmu 
'Belalang Sakri' merupakan s atu kesatuan yang dapat menggilas habis 
pertahanan lawan. Ini dialami sendiri oleh Jayeng Kertacundraka palsu. 
Ternyata bukan hanya I elaki itu yang t erdesak. Sembilan anak 
buahnya yang menghadapi kakek pendek kekar pun demikian. Bahkan, dua 
di antara mereka telah tergel etak tewas. Sisanya berjuang keras agar tidak 
ikut menyusul rekannya ke alam baka. 

Akhir dari pertarungan-pertarungan itu sudah dapat ditebak. 

Jayeng Kertacundraka palsu dan anak buahnya akan roboh di tangan Dewa 
Arak dan kakek pendek kekar. Hanya kalau dibuat perbandingan, keadaan 
Jayeng Kertacundraka palsu masih lebih baik daripada anak buahnya. 

Kakek pendek kekar yang tahu kemenangannya hanya tinggal 
menunggu waktu, semakin bers emangat melancarkan serangan. Sepasang 
tombak pendek putih berkilat yang tergenggam di tangan, dikelebatkan ke 
sana kemari mencari sasaran di tubuh lawan. 

Tentu saja lelaki bertelanjang dada dan enam orang rekannya tidak 
tinggal diam. Dengan senjata terhunus perlawanan sengit mereka lakukan. 
Tapi usaha mereka sia-sia. Kecepatan gerak kakek itu tidak bisa mereka 
imbangi. Lagi-lagi tanpa dapat dicegah, dua di antara mereka mengeluarkan 
lolong kesakitan. Ujung tombak kakek pendek kekar menyobek leher dan 
lambung mereka. 

Dengan tewasnya kedua orang itu, keadaan anak buah Jayeng 
Kertacundraka palsu semakin berantakan. Kematian keduanya 
menyebabkan perlawanan mereka semakin berkurang. Tak heran beberapa 
gebrakan kemudian, jeritan kematian terdengar saling susul. Sampai 
akhirnya, tidak ada satu pun yang berdiri tegak. 

Kakek pendek kekar tersenyum penuh kemenangan. Ditatapnya 
sejenak mayat-mayat anak buah Jayeng Kertacundraka palsu. Setelah itu, 
perhatiannya dialihkan pada pertarungan Dewa Arak dan orang yang 
mengaku Jayeng Kert acundraka. 

"Hebat! Tak pernah kusangka ada seorang pemuda memiliki 

kepandai an setinggi itu," gumam kakek pendek kekar penuh kekaguman. 

Kakek itu bisa melihat jelas jalannya pertarungan. Dia tahu tak 

akan lama lagi Dewa Arak akan keluar s ebagai pemenang. Sebab, orang 

yang mengaku sebagai Jayeng Kertacundraka terdesak hebat dan hanya bisa 

bertarung mundur. 

"Menyingkirlah, Anak Muda! Biaraku yang membereskan Jayeng 
Kertacundraka palsu ini! Aku I ebih berkepentingan terhadap di rinya!" seru 
kakek pendek kekar, seraya bersi ap-siap terjun ke dalam kancah 
pertarungan. 

Seruan kakek itu keras bukan main, sehingga mampu mengat asi 
hiruk-pikuk pertarungan. Hal ini tidak aneh, karena kakek itu mengerahkan 
tenaga dalamnya. 

Dewa Arak terlihat ragu-ragu. Haruskah dituruti seruan itu? 

Ataukah dibiarkannya s aja dan diteruskan serangannya terhadap Jayeng 
Kertacundraka palsu? Bukankah tak lama I agi lelaki berpakaian indah itu 
akan dapat dirobohkannya? 

Tapi..., pemuda berambut putih keperakan itu merasa tidak enak 
melakukannya. Bukankah dia tidak memiliki kepentingan sama sekali. 

Kalau memang kakek pendek kekar itu benar mempunyai urusan, biarlah 
dia yang menghadapinya. 

Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan pilihan itu, tibatiba.... 

*** 

"Ketua...!" 

Karena hanya kakek pendek kekar yang tidak dilanda kesibukan, 
dialah yang leluasa menoleh. Sedangkan Dewa Arak dan Jayeng 
Kertacundraka palsu tidak dapat berbuat banyak. Mereka tengah 
memusatkan seluruh perhatian pada pertarungan. Kalau bertindak lengah 
sedikit saja, akibatnya akan sangat berbahaya. 

Karena itu, mereka tidak mengetahui orang yang mengucapkan 
panggilan itu. Meskipun demi kian Dewa Arak sempat merasa heran. Nada 
suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, Arya tidak 
ingat lagi. Sayang, Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan untuk 
melihatnya. Sulit. Karena pemilik suara itu berada di belakangnya. 
Sementara itu kakek pendek kekar tampak agak t erkejut melihat 
pemilik suara itu. 

"Kau... Sukrasana...?! Mengapa hanya sendi rian? Mana yang 
lainnya?" tanya kakek pendek kekar bertubi-tubi. Tatapannya terus 
diarahkan pada sosok yang menghampirinya. 

Sosok yang ternyata Sukras ana I angsung berubah wajahnya. 

Kelam, penuh kesedihan yang dalam. Karuan saja kakek pendek kekar yang 
adalah Ki Windu Paksi menjadi kebingungan. Berbagai pikiran buruk 
berkecamuk di benaknya. Apakah yang telah menimpa Limbong dan empat 
orang rekannya? 

"Katakan, Sukras ana! Apa yang terjadi pada yang I ainnya?" desak 
Ki Windu Paksi tak sabar. 

"Mereka..., mereka telah tewas, Ketua," lapor Sukrasana terbatabata. 

Jelas, kesedihan masih melingkupi hatinya. 

"Apa?!" selak Ki Windu Paksi kaget "Mengapa itu bisa terj adi?! 

Siapa yang telah melakukan kekejian itu, Sukrasana?! Katakan!" 

"Dia, Ketua!" jawab Sukras ana seraya menudingkan jari 
telunjuknya ke arah Dewa Arak. 

"Keparat!" maki Ki Windu Paksi. Ditatapnya Dewa Arak dengan 
sorot mata memancarkan dendam. "Akan kubalaskan semua sakit hati ini!" 
Usai berkat a demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu 
melesat menuju kancah pertarungan. 

"Aku ikut, Ketua!" seru Sukras ana, melompat menyusul Ki Windu 
Paksi. 

Ki Windu Paksi memang mendengar seruan muridnya. Tapi, kakek 
itu tidak menanggapinya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada serangan 
yang tengah dilancarkan. 

Sementara itu, Dewa Arak sedang mendesak Jayeng 
Kertacundraka palsu. Lelaki berpakai an indah itu tampak terhuyung-huyung 
setelah menangkis serangan Arya. Saat itulah Dewa Arak mel ancarkan 
serangan susulan dengan ayunan gucinya ke arah dada lawan. 

Jayeng Kertacundraka palsu terkejut bukan main. Bahaya maut 
tengah mengancamnya. Pada-hal, saat itu dia berada dalam keadaan yang 
tidak menguntungkan. Sedangkan untuk mengelak sudah tidak mungkin 
lagi. 

Jalan satu-s atunya untuk menyelamatkannya hanya dengan 
menangkis. Itu pun bukan dengan tanpa resiko. Keadaan yang tidak 
memungkinkan membuat tangkisannya tidak dapat dilakukan dengan tenaga 
penuh. Akibatnya, dia akan menderita luka dalam yang cukup parah! 

Di saat Jayeng Kertacundraka palsu mengambil keputusan untuk 
menangkis, dari belakang Dewa Arak meles at sesosok bayangan hitam. 
Sosok itu bersalto melewati kepala Dewa Arak, dan memapaki 
serangannya. Semua berlangsung dalam sekejap mata. 

Prattt! 

Bunyi keras terdengar ketika tangan-tangan yang dialiri tenaga 
dalam tinggi berbenturan. Tubuh Dewa Arak maupun sosok hitam 
terjengkang ke arah yang berlawanan! 

Jiigggi 

Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki sosok 
hitam itu, Dewa Arak berhasil memperbaiki kedudukan. Pemuda berambut 
putih keperakan itu melayangkan pandangan ke arah orang yang telah 
menangkis serangannya. 

"Kau...?!" seru Arya kaget ketika mengenali sosok hitam itu. Siapa 
lagi kalau bukan Ki Windu Paksi?! 

Tapi Ki Windu Paksi tidak mempedulikan sikap Dewa Arak. 

Pandangannya dialihkan pada Jayeng Kertacundraka palsu. 

"Biaraku yang menyeles aikannya! Aku mempunyai urusan 
dengannya!" ucap Ki Windu Paksi pada lelaki berpakaian indah yang 
berdiri di dekatnya. Tak ada nada ramah dalam ucapan maupun tarikan 
wajah Ketua Perguruan Macan Kumbang itu. Tegas dan kaku! 

Jayeng Kertacundraka palsu mengerti. Tampaknya, sesuatu telah 
membuat Ki Windu Paksi memusuhi Dewa Arak. Hal ini menguntungkan 
pihaknya. Dia tidak mau bertindak bodoh dengan merusak kesempatan yang 
sudah tercipta. 

"Mengapa sungkan-sungkan, Ki?! Biarkan aku membantumu! 
Bukannya aku meremehkan kemampuanmu. Tapi, percayalah. Kau tidak 
akan mampu menghadapinya. Dia lihai s ekali!" I elaki berpakaian indah itu 
menawarkan bantuan dengan ramah. 

Ki Windu Paksi tidak menjawab. Kakek itu t ermenung sejenak. 
Terasa ada kebenaran dalam ucapan lelaki berpakaian indah itu. Dewa Arak 
memang memiliki kepandai an sangat tinggi. Tanpa perlu mengujinya dia 
tahu tingkat kepandaiannya masih berada di bawah pemuda berambut putih 
keperakan itu. 

Di saat Ketua Perguruan Macan Kumbang memikirkan penawaran 
Jayeng Kertacundraka palsu, pertarungan mulai berkobar. Saat itu 
Sukrasana telah melakukan penyerangan terhadap Dewa Arak. 

Tapi, mana mungkin Sukrasana mampu menghadapi Dewa Arak? 

Sewaktu pemuda itu belum menggunakan ilmu-ilmu andalan saja dia sudah 
kelabakan, apalagi kini setelah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. 

Dengan beberapa gebrakan saja dia dibuat pontang-panting! 

Melihat hal ini, Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Buru-buru kakek itu melesat 
memasuki kancah pertarungan. Tak diberikannya jawaban pasti untuk Jayeng 
Kertacundraka palsu. 

Tapi, lelaki berpakaian indah itu tidak membutuhkan jawaban Ki Windu Paksi. Dia tahu, 
dengan diamnya Ketua Perguruan Macan Kumbang berarti maksud baiknya diterima! 
Maka, tanpa menunggu lebih lama, dia pun ikut teriun ke dalam kancah pertarungan. 

Pertempuran kembali berlangsung. Bahkan, kali ini jauh lebih seru. 

Dewa Arak menghadapi tiga orang lawan sekaligus! Hingga, pemuda berambut putih 
keperakan itu harus menguras seluruh kemampuannya. 

Sebab, dua dari tiga lawannya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian sangat tinggi 
dan hanya berselisih sedikit dengannya. 

Jayeng Kert acundraka palsu, Ki Windu Paksi, maupun Sukrasana diam-diam kaget 
bercampur kagum. Sungguh tidak disangka kepandaian Dewa Arak akan setinggi ini! 
Padahal, mereka telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi tetap saja 
mengalami kesulitan untuk merobohkan pemuda itu. 

Tanpa teras a tiga puluh jurus t elah berlalu. Dan set ama itu belum nampak tanda- 
tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. 

Sungguhpun demikian, sebenarnya Dewa Arak berada di bawah angin. Hanya berkat 
keunikan ilmu 'Belalang Sakti' saja pemuda itu masih dapat bertahan. Di samping jurus 
'Delapan Langkah Belalang', yang dengan langkah terhuyung-huyung s eperti akan 
jatuh Dewa Arak mampu mengelakkan setiap serangan lawan. Ilmu 'Belalang Sakti' 
pun dapat membuat Dewa Arak melakukan gerakan dalam keadaan sesulit apa pun. 

Hanya saja, karena bertubi-tubinya serangan yang datang, Arya hampir tidak 
mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Hanya sesekali serangan balasan 
dilancarkan. 

Dua puluh jurus kembali terlewati. Tapi keadaan masih belum berubah. Dewa Arak t 
etap tidak dapat didesak. Di saat itulah mendadak terdengar seruan keras. 

"Jangan khawatir, Saudara Saudagar! Kami datang membantu...!" 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, melesat tiga sosok bayangan yang langsung 
memasuki arena pertempuran. Kemudian, tanpa bicara sepatah pun mereka 
menerjang Dewa Arak. 

Arya sedikit heran melihat serangan tiga sosok yang baru datang itu. Dewa Arak tahu 
siapa mereka. Kepala-kepal a perampok! Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu 
Terbang, dan Raja Kera Tenaga Raksasa! Tiga pentolan perampok yang t elah 
dijatuhkannya dari atas jembatan. Rupanya, mereka dapat menyelamatkan diri dan 
naik ke atas. 

Pemuda berambut putih keperakan itu maklum melihat tiga kepala perampok berhasil 
tiba di sini. Seperti juga mengapa Sukrasana dan Ki Windu Paksi berhasil sampai di 
tempat ini meskipun tidak ada jembatan. 

Bagi tokoh-tokoh tingkat tinggi, hal-hal seperti itu bukan merupakan masalah. 

Ikut campurnya tiga kepal a perampok dalam kancah pertarungan langsung mengubah 
keadaan. Betapapun saktinya Dewa Arak dan hebatnya ilmu 'Belalang Sakti', tetap 
saja mempunyai batas kemampuan. Lawanlawan yang dihadapinya terlampau banyak. 
Rata-rata berilmu tinggi pula. 

Tak pelak lagi, sepuluh jurus setelah tiga kepala perampok ikut campur Arya terjepit 
"Haaat..!" 

Di jurus kelima belas, Jayeng Kertacundraka palsu menerjang Dewa Arak dengan 
terkaman bagai harimau menerkam mangsa. 

Kesempatan yang tidak ters edia membuat Dewa Arak memutuskan untuk 
memapakinya. 

Prattt! 

Tubuh Dewa Arak langsung terhuyung ke belakang. Sedangkan Jayeng Kertacundraka 
palsu terjengkang. Saat itulah, sepasang tombak Ki Windu Paksi menyapu kedua 
kakinya. Ternyata, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kaki. Sehingga tubuhnya 
melayang ke at as dan serangan itu lewat di bawah kakinya. 

Buaya Emas Berekor Tiga mempergunakan kesempatan itu untuk mengibaskan kaki 
kanannya. Tindakan yang dilakukannya bersamaan dengan gedoran tangan kanan 
Raja Hiu Terbang ke arah dada kanan, dan pukulan Raja Kera Tenaga Raksasa ke 
arah perut. 

WusssIWuttt! Zebbb! 

Dewa Arak terkejut bukan main. Saat itu, Arya baru saja mengelakkan s erangan. 
Menurut perhitungan merupakan hal yang mustahil bergerak di saat tubuh terapung di 
udara, karena tidak ada landasan sama sekali. Tapi berkat ilmu 'Belalang Sakti' Dewa 
Arak mampu melakukannya. 

Pemuda berambut putih keperakan itu menggeliatkan tubuhnya. Tapi.... 

Bukkk! Desss! Plakkk! 

Serangan tiga kepal a perampok itu masih dapat mengenai sasaran. 

Hanya s aja tidak s ecara telak. Kal au tidak, nyawa Dewa Arak telah melayang ke 
alam baka. Meskipun demikian, itu sudah cukup untuk mendorong tubuh Dewa Arak ke 
belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Dari sudut-sudut bibir pemuda berambut putih 
keperakan itu mengalir darah segar. 

Ha ha ha...! 

Raja Kera Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan RajaHiu Terbang tertawa 
bergelak. Sepasang mata mereka diarahkan pada Dewa Arak yang tergolek tanpa 
daya. Pemuda itu tidak mampu bergerak sama sekali. 

Sementara itu, tanpa mempedulikan suasana di sekitarnya Ki Windu Paksi 
menghampiri Dewa Arak. 

"Bukannya aku bermaksud tidak bertindak ksat ria, Anak Muda. 

Tapi, terpaksa aku harus membunuhmu agar arwah lima orang muridku tenteram di 
alam baka!" 

Usai berkat a demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu mengangkat kedua 
tombaknya tinggi-tinggi. Siap dihunjamkan ke tubuh Dewa Arak. 

Arya hanya tersenyum pahit. Dia tahu Ki Windu Paksi salah paham. Ingin 
dijelaskannya padanya. Tapi sayang, Arya tidak mampu melakukan hal itu. Luka-luka 
yang dideritanya terlampau parah. Maka yang dapat dilakukannya hanya pasrah 
menunggu aj al dengan mulut menyunggingkan senyum getir. 

Bukkk! 

"Akh!" 

Peristiwa yang mengejutkan pun terjadi! Sebelum ujung tombak Ki Windu Paksi 
mengenai sasaran, tubuhnya terjengkang ke depan karena gedoran sepasang tangan 
pada punggungnya. Kakek itu jatuh tergulingguling di tanah. 

"Kau... kau... Sukrasana...?!" desis Ketua Perguruan MacanKumbang tak percaya. 
Darah yang menetes dari sudut-sudut bibirnya tidak dipedulikan sedikit pun. Ki Windu 
Paksi terluka dalam. Pukulan Sukrasana yang dilakukan dengan pengerahan seluruh t 
enaga dalam mengenai sasaran dengan telak. Sukrasana tersenyum sinis. 

"Kaget, Tua Bangka?! Kau tidak menyang-kanya, bukan?!" 

"Mengapa kau I akukan semua ini?!" tanya Ki Windu Paksi masih tidak percaya. 

"Mengapa?!" Sukras ana mal ah balas bertanya, setengah mengej ek. 

"Semua memang sudah kami rencanakan. Maksudku, aku dan Jayeng Kertacundraka 
palsu. Pertama-t ama aku adu domba kau dan Jayeng Kertacundraka. Kakakku ini, 
Jayeng Kertacundraka palsu, menyamar sebagai J ayeng Kertacundraka! O ya, hampir 
lupa. Aku pul a yang membunuh Limbong dan yang lainnya. Apakah kau tidak mau 
memperkenalkan dirimu, Kang?" 

Jayeng Kert acundraka ters enyum. Tubuhnya dibalikkan. 

Kemudian, kedua t angannya sibuk bermain-main di wajah. Hanya sebentar saja. 
Tubuhnya kembali dibalikkan. 

"Iblis Muka Seribu...!" desis KiWindu Paksi begitu melihat wajah Jayeng Kertacundraka 
palsu. 

Ketua Perguruan Macan Kumbang itu kenal betul siapa Iblis Muka Seribu. Seorang 
tokoh sesat berkepandaian tinggi yang amat kejam. Belasan tahun dia mal ang- 
melintang tanpa ada yang mampu mengal ahkan. Entah sudah berapa ratus kali 
bertarung dan membunuh lawan. Julukannya sangat ditakuti. 

"Rupanya kau mengenalku, Windu Paksi," ucap Iblis Muka Seribu kalem. 

"Kekejian apa lagi yang akan kau ciptakan, Iblis Muka Seribu?!" 
tanya Ki Windu Paksi penuh amarah. 

"Aku hanya ingin menciptakan kerajaan sendiri. Dan aku yang menjadi rajanya. 
Tempat ini bagus dan terlindung. Itu sebabnya, Sukrasana mengatur siasiat seperti itu 
agar aku dapat menguasai tempat ini. Lalu, kukabari tiga kawanku ini untuk 
bergabung," jelas Iblis Muka Seribu seraya menunjuk tiga kepala perampok yang telah 
membantunya. "Tak lama lagi setelah anak buah mereka tiba, akan kutaklukkan keraj 
aan-kerajaan lain. 

Aku akan menjadi maharaja! Ha ha ha...!" 

"Kau benar-benar iblis! Lalu..., di mana Jayeng Kert acundraka berada?!" 

"Dia?! Dia telah kukirim ke alam baka! Ha ha ha...!" 

"Keparat! Terkutuklah kau...!" desis Ki Windu Paksi geram. 

Ditatapnya Sukrasana tajam-tajam. Sedikit pun tidak menyangka kalau anak buahnya 
adik kandung Iblis Muka Seribu. 

"He he he...!" Sukrasana tertawa terkekeh-kekeh penuh kemenangan. "Kurasa sudah 
saatnya membunuh mereka!" 

"Biar kami yang membunuhnya!" seru Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang, 
dan Raja Kera Tenaga Raksasa hampir bersamaan. 

Belum habis gema ucapan mereka, ketiga kepala perampok itu melompat menerjang 
Dewa Arak. 

Di saat-saat gawat bagi keselamatan nyawanya, Dewa Arakmemanggil belalang 
raksasa di alam gaib. Seketika itu pula, seluruh bulu di tubuhnya bangkit ketika 
binatang kasat mat a itu telah berada di dalam tubuhnya. Hawa yang amat dahsyat 
berputaran di dalam pusarnya. 

Tanpa menunggu lebih I ama, Dewa Arak menghent akkan kedua tangannya. Dalam 
waktu sekejap Dewa Arak mampu menghentakkan beberapa kali. Pemuda berambut 
putih keperakan itu mengirimkan jurus 'Pukulan Belalang'! 

Wusss, wusss, wusss! 

Serangkum angin pukulan dahsyat berhawa panas menyambar! 

Tidak hanya pada tiga kepala perampok. Tapi juga Jayeng Kert acundraka palsu dan 
Sukrasana! 

Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka, tokoh-tokoh sesat itu terkejut bukan 
main. Sebisa-bisanya mereka berusaha mengelak. Tapi... 

Bresss! 

"Aaa.J" 

Lolong kematian terdengar saling susul, mengiringi melayangnya tubuh kelima tokoh 
sesat itu. Mereka tewas seketika itu juga dengan sekujur tubuh hangus terbakar! 

"Dari mana kau tahu kalau dia J ayeng Kertacundraka palsu, Ki?!" 
tanya Arya, seraya menoleh ke arah Ketua Perguruan Macan Kumbang yang bejalan 
di sebelahnya. 



Kedua orang itu telah pulih kembali seperti sediakal a. Luka-luka dalam Dewa Arak 
langsung sembuh begitu belalang raksasa masuk ke dalam tubuhnya. Sedangkan Ki 
Windu Paksi karena diobati Dewa Arak sebelumnya. 

Sekarang mereka melangkah meninggalkan tempat tinggal Jayeng Kertacundraka. Di 
tangan Ki Windu Paksi tampak bayi Jayeng Kertacundraka. Mereka berdua bercakap- 
cakap dengan akrab. Itu tidak aneh. Karena sebelumnya mereka telah saling 
memperkenalkan diri. 

"Jayeng Kertacundraka saat ini tidak mungkin berada di luar gedung. Hari ini adalah 
hari kematian ayahnya. Dia pasti sedang berkabung. 

Aku tahu betul tradisi keluarganya. O ya, maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah bertindak 
keliru." 

"Lupakanlah, Ki," jawab Arya seraya tersenyum. 

Mereka terus melangkah pergi meninggalkan daerah perbukitan tenal tempat 
kediaman Jayeng Kertacundraka. Sementara putra Jayeng Kertacundraka tertidur 
pulas di dalam pelukan KiWindu Paksi, kakeknya. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Perawan-perawan Persembahan