Dewa Arak 57 - Perguruann Kera Emas(2)



Sementara itu Handaka terus sibuk dengan usahanya untuk menyelamatkan Gulimang. 
Seperti juga yang terjadi pada Dewa Arak, dari kepala murid Perguruan Kera Emas itu mengepul 
asap. Mula-mula tipis dan sedikit. Namun kemudian semakin banyak dan tebal, meskipun tidaklah 
sebanyak yang keluar dari kepala Dewa Arak. 

Baik wajah Melati maupun Handaka mulai dicucuri peluh seiring dengan semakin banyak 
dan tebalnya asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang. Kenyataan ini menunjukkan 
kalau perbuatan itu benar-benar menguras tenaga dalam mereka. 

Kejadian itu disaksikan mata semua yang berada di situ. Murid-murid Perguruan Kera 
Emas, Gembong, dan terutama sekali Ki Tapaksi Mandragunta tak lepas memperhatikan usaha 
pembebasan racun dari tubuh Dewa Arak dan Gulimang itu. 

Sepasang mata Ki Tapaksi Mandragunta hampir tak berkedip sewaktu menatap Handaka 
dan Melati. Dirinya menyadari betapa berbahayanya tindakan kedua orang muda itu. Apabila 
terlalu dipaksakan akan menyebabkan luka dalam yang parah! 

Itulah sebabnya, Ki Tapaksi Mandragunta tampak begitu tegang. Sepasang matanya 
berganti-ganti menatap Handaka, lalu Melati, serta asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan 
Gulimang. 

Ki Tapaksi Mandragunta melihat asap yang mengepul mulai menipis. Dirinya tahu, hal 
demikian merupakan pertanda baik. Racun yang ada di dalam tubuh dua orang itu tinggal sedikit. 
Bahkan tak lama lagi akan lenyap. Senyum lega pun tersungging di wajahnya. 

Namun, senyum Ki Tapaksi Mandragunta perlahan mulai melenyap, bahkan berubah rasa 
khawatir. Hal itu karena tiba-tiba dilihatnya keadaan Handaka dan Melati tampak mulai 
mengkhawatirkan. Dari kepala, Melati dan Handaka mengepulkan asap tipis! 

Sebagai seorang tokoh persilatan sakti yang telah banyak makan asam garam kehidupan 
Ketua Perguruan Kera Emas itu tahu, bahwa kepulan asap itu pertanda kalau Melati dan Handaka 
telah mengeluarkan tenaga melampaui batas. Yang jelas keadaan muda-mudi ini mulai gawat! 
"Hhh...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat seakan tak kuat menahan perasaan 
bingungnya. Dirinya tahu, ini merupakan saat-saat menegangkan! Sanggupkah Melati dan 
Handaka menyelesaikan pekerjaannya? Maksudnya mengusir racun yang merasuk di tubuh Dewa 
Arak dan Gulimang, sebelum mereka roboh kehabisan tenaga. 

Ki Tapaksi Mandragunta tahu, tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu hasil 
perjuangan Melati dan Handaka. Dengan pandang mata tegang, diperhatikannya kedua macam 
asap itu. 

Sementara itu, asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang semakin menipis. 
Sebaliknya, asap yang keluar dari kepala Melati dan Handaka semakin banyak menebal. Bahkan 
kedua tangan muda-mudi itu pun tampak bergetar keras. Pertanda telah melewati batas tenaga 
yang mereka miliki! 

Mendadak..., 

"Huaaakh...!" 

"Haaakh...!" 

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Gulimang memuntahkan cairan kental kehijauan yang 
mengeluarkan bau busuk. Sesaat kemudian, tubuh mereka terkulai kembali. 

Melihat kejadian itu Melati dan Handaka melepaskan tempelan tangan mereka. Sekujur 
tubuh keduanya tampak dibanjiri peluh. Terutama sekali pada wajah. Butiran-butiran sebesar biji 
jagung bersembulan dan mengalir. 

Namun, baik Handaka maupun Melati seakan tak peduli. Buru-buru mereka merangkapkan 
kedua tangan di depan dada. Sesaat kemudian, keduanya telah sibuk dalam pemusatan batin. 
Sementara Ki Tapaksi Mandragunta serta para murid Perguruan Kera Emas menunggu dengan 
sabar dan perasaan was-was. 

Hari masih pagi. Matahari pun belum tinggi, ketika terlihat empat ekor kuda hitam 
berjalan congklang keluar dari pintu gerbang Perguruan Kera Emas. 

Kuda-kuda itu ternyata ditunggangi tiga orang lelaki dan seorang wanita. Mereka ternyata 
Ki Tapaksi Mandragunta yang berdampingan dengan Melati. Di belakang Dewa Arak 
berdampingan dengan Handaka. 

"Aku menyesal sekali atas kejadian semalam, Arya...." 

Ki Tapaksi Mandragunta membuka percakapan di antara mereka dengan suara 
mengandung penyesalan mendalam. 

"Lupakanlah, Ki!" sahut Dewa Arak bijaksana, "Aku tahu kejadian itu di luar 
p erhitunga nmu." 

"Apa yang kau katakan sama sekali tak salah, Arya. Tapi..., biar bagaimanapun aku tak 
bisa lepas tangan begitu saja. Selama kau berada dalam lingkungan perguruanku, segala kejadian 
yang menimpa dirimu merupakan tanggung jawabku!" ujar Ki Tapaksi Mandragunta 
memperlambat langkah kudanya. 

Dewa Arak terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Ketua Perguruan Kera Emas 
itu. Bagaimanapun seorang tuan rumah selayaknya bertanggung jawab atas keselamatan sang 
Tamu. 

"Bisa kau ceritakan padaku rangkaian kejadiannya, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, 
setelah kuda Dewa Arak berada di sampingnya. 

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dirinya tampak tercenung. Sementara itu 
kudanya, terus saja berlari congklang, seperti juga kuda-kuda yang ditunggangi Ki Tapaksi 
Mandragunta, Melati, dan Handaka. 

"Rasanya tak menarik untuk diceritakan, Ki," ujar Dewa Arak pelan tanpa menoleh pada 
Ketua Perguruan Kera Emas itu. 

"Hal itu tak jadi masalah, Arya. Yang penting ceritakan saja. Aku ingin mendengar 
rangkaian kejadiannya dari mulutmu sendiri," pinta Ki Tapaksi Mandragunta bersikeras. 

Sekarang Dewa Arak tak dapat mengelak lagi. "Baiklah kalau memang itu yang kau 
inginkan, Ki," kemudian secara singkat tapi jelas, pemuda berambut putih keperakan itu 
menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi malam. 

Ki Tapaksi Mandragunta mendengar semua cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian. Tak 
sekali pun diselaknya sampai pemuda berambut putih keperakan itu menyelesaikannya. 

"Sayang..., aku tak sempat mengenalinya, Ki,"ujar Dewa Arak menutup ceritanya. 

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-angguk kepala. 

"Sayang sekali...!" gumam Ketua Perguruan Kera Emas, penuh penyesalan. "Padahal, 
tanganku sudah gatal untuk memberikan pelajaran pada penjahat tak tahu diri itu." 

Suasana berubah menjadi hening seusai Ki Tapaksi Mandragunta memberikan pernyataan. 
Masalahnya, Arya tidak berbicara lagi. Melati dan Handaka pun rupanya lebih suka bertindak 
sebagai pendengar. Yang terdengar, sekarang, hanya suara derap kaki-kaki kuda menepak bumi. 

"Apakah kau tak dapat mengenali penjahat itu, Arya?! Setidak-tidaknya, potongan 
tubuhnya?! Atau..., apa saja yang bisa dijadikan titik terang untuk mengusutnya," tanya Ki Tapaksi 
Mandragunta memecahkan kebisuan itu. 

"Sayang sekali, Ki," Dewa Arak menggelengkan kepala dengan suara mengandung 
penyesalan mendalam. "Yang kutahu hanya pakaiannya, serba hitam. Sebab, semua kejadian 
berlangsung demikian cepat. Apalagi, keadaan kamar remang-remang karena tertutup asap...." 
"Hhh...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menghembuskan napas berat bernada putus asa. Pembicaraan 
pun terhenti. Dan sekarang mereka memusatkan perhatian pada kuda-kuda tunggangan mereka. 

"Hiya! Hiyaaa...!" 

Ctar! Ctarrr! 

Kini keempat ekor kuda itu berpacu cepat karena para penunggangnya, saling menggebah. 
Debu pun mengepul ke udara. Gemuruh derap kaki kuda yang ditingkahi suara teriakan-teriakan 
keras terdengar. Seakan-akan hendak memecah suasana pagi yang cerah di jalanan selebar tiga 
tombak yang mereka lalui. 

Sejauh itu keempat penunggang kuda itu tak saling mengeluarkan pembicaraan. Mereka 
terus saja sibuk menggebah kuda masing-masing. Hingga tanpa disadari perjalanan telah jauh dari 
tempat Perguruan Kera Emas. 

"Kurasa..., sudah tiba saatnya kita harus berpisah, Ki," ujar Dewa Arak. Suaranya 
terdengar keras, untuk mengatasi riuh-rendah derap kaki-kaki kuda. 

"Apa kau tak ingin mengetahui orang yang bermaksud membunuhmu, Arya?!" tanya Ki 
Tapaksi Mandragunta, juga setengah berteriak. 

"Biarlah, Ki!" jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kapala. "Kebetulan aku mempunyai 
urusan lain yang lebih penting." 

"Kalau begitu kehendakmu, apa boleh buat, Arya? Terima kasih atas kesediaanmu 
memenuhi permintaanku." 

"Akulah yang seharusnya menyampaikan ucapan itu, Ki. Karena aku telah mengganggu 
waktumu! Selamat tinggal, Ki! Mari, Melati!" 

"Selamat jalan Arya!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala. 

Dan tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya, masing-masing pihak memilih jalan 
sendiri-sendiri. Kebetulan mereka menemui persimpangan. Dewa Arak dan Melati mengambil jalan 
ke kanan sedang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka mengambil jalan yang terus, lurus. 

Dewa Arak dan Melati terus menggebah kuda mereka. Begitu pun Ki Tapaksi Mandragunta 
dan putranya, sedikit pun tak mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Sehingga dalam waktu 
sebentar saja mereka telah terpisah dalam ratusan tombak. 

"Kang...!" 

Seraya terus menggeprakkan kuda, Dewa Arak menolehkan kepala melihat Melati, "Ada 
apa, Melati?" tanyanya lembut. 

"Sebenarnya hendak ke manakah kita sekarang?" tanya Melati, ingin tahu. 

"Aku sendiri belum tahu, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangkat kedua bahunya. 

"Lalu..., mengapa mesti terburu-buru?!" 

"Terburu-buru?! Aku belum mengerti maksudmu, Melati?" Dewa Arak balas bertanya. 

"Lho?! Kau tak merasakan kalau sikapmu jelas terburu-buru?! Kuda yang kau pacu 
sedemikian cepat, apakah bukan berarti kalau kau tergesa-gesa?!" ada nada kepenasaran dalam 
ucapan Melati. 

Arya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Rupanya kau salah duga, Melati," jawab Dewa Arak dengan senyum lebar menghias bibir. 
"Aku memacu kuda secepat-cepatnya karena ingin membuang kejengkelan yang bersarang di hati. 
Aku benar-benar kesal pada penjahat semalam." 

"Kalau demikian..., mengapa kau tolak tawaran Ki Tapaksi? Bukankah dia telah 
menanyakan apa kau bermaksud mengadakan penyelidikan terhadap penjahat yang bermaksud 
membunuhmu?!" 

"Bukannya aku menolak, Melati. Aku hanya tak ingin, penyelidikan yang kulakukan, 
diketahui orang lain. Bukankah lebih sedikit jang tahu akan rencana ini, akan membuat keadaan 
semakin aman?" seraya berputar, Dewa Arak menjelaskan alasan penolakannya. 

"Jadi...." 

Melati menghentikan ucapannya. Namun, Arya sudah bisa memperkirakan kelanjutannya. 
Terbukti..., 

"Benar, Melati. Aku akan melakukan penyelidikan secara diam-diam." 

"Mengapa demikian, Kang?!" tanya Melati heran, "Bukankah akan lebih baik kalau Ki 
Tapaksi Mandragunta tahu? Maksudku..., jangan sampai nanti kalau tindakan penyelidikanmu 
ketahuan, timbul perasaan tidak enak dengannya." 

"Justru kalau Ki Tapaksi Mandragunta mengetahui hal penyelidikanku, aku jadi tak dapat 
bertindak bebas, Melati. Masalahnya, aku mempunyai dugaan kuat kalau orang yang hendak 
membunuhku bukan orang luar...." 

"Maksudmu, Kang...." 

"Yahhh...," sahut Arya dengan suara berdesah, "Pelakunya orang dalam Perguruan Kera 
Emas sendiri." 

"Ahhh...!" seru Melati, kaget, 'Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, 

Kang?!" 

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dialihkan perhatiannya untuk 
memperlambat lari kudanya. Mau tidak mau, Melati pun melakukan tindakan yang sama. 

Kini kedua pendekar muda itu melintasi jalanan berdebu kering. Kedua kuda berjalan 
perlahan. 

"Banyak, Melati," jawab Dewa Arak, dengan suara berdesah. "Misalnya..., mudahnya dia 
mengetahui kamarku..., penutup wajah yang dikenakan, selain itu betapa mudah dia datang dan 
pergi tanpa seorang pun murid Perguruan Kera Emas yang mengetahuinya." 

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya gadis itu mulai menyadari kebenaran 
ucapan sang Kekasih. 

"Hanya satu hal yang menjadibahan pikiranku." 

"Apa itu, Kang?" tanya Melati cepat "Katakanlah! Barangkali saja aku dapat 
memecahkannya." 

Dewa Arak menatap sejenak wajah Melati. 

"Orang itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat, Melati. Padahal, aku telah mengerahkan 
hampir semua tenagaku, tapi akibatnya tubuhku terlempar jauh!" 

"Hehhh...?!" Melati tersentak hampir tak percaya. "Kapan hal itu terjadi, Kang?! Kau yang 
belum menceritakannya atau aku yang kurang memperhatikannya?!" 

"Aku yang belum menceritakannya, Melati" sahut Dewa Arak seraya menyunggingkan 
senyum lebar. Dirinya merasa geli mendengar pertanyaan Melati. "Dan memang hal itu kusengaja. 
Kau dengar sendiri, kan? Pada Ki Tapaksi Mandragunta pun aku menceritakan seperti itu." 

"Ya...," ujar Melati membenarkan. "Kau hanya bercerita tentang datangnya penjahat yang 
berusaha membiusmu, namun kau sempat sadar sebelum pingsan. Lalu kau lancarkan serangan 
yang membuatnya terpaksa kabur. Begitu kan?!" 

Sambil menyunggingkan senyum lebar, Dewa Arak menganggukkan kepala. 

"Maaf, Melati! Aku terpaksa berbohong. Tapi, itu kulakukan agar tak membuat Ki Tapaksi 
Mandragunta bingung. Masalahnya aku sendiri ragu dia akan sekuat penjahat itu. Padahal, aku 
yakin Ki Tapaksi Mandragunta merasa dirinya yang memiliki kepandaian tertinggi di Perguruan 
Kera Emas," ujar Dewa Arak menjelaskan. 

Wajah Melati berubah. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan keterkejutan. 

"Aku tak pernah menyangka kalau penjahat itu memiliki kepandaian demikian tinggi, 

Kang." 

"Hhh...!" 

Sambutan Dewa Arak hanya hembusan napas berat. 

"Kang...!" 

"Ya...," sambut Dewa Arak memberi kesempatan. 

"Mungkinkah penjahat itu Ki Tapaksi Mandragunta?!" duga gadis berpakaian putih itu. 

"Tidak, Melati. Bukan dia pelakunya," jawab Dewa Arak penuh keyakinan. 

"Atau..., Handaka?! Masalahnya..., siapa lagi yang mempunyai kemampuan setinggi itu 
selain dari mereka berdua?!" 

"Handaka pun bukan pelakunya," mantap dan penuh keyakinan kata-kata yang 
dikeluarkan Dewa Arak. 

"Mengapa kau demikian yakin kalau bukan mereka berdua pelakunya, Kang?! Bukankah 
seperti ceritamu, kau tak sempat melihat perawakan penjahat itu. Apalagi wajahnya," ada nada 
kepenasaran dalam ucapan gadis berpakaian putih itu. 

"Aku sendiri tak tahu, Melati Yang jelas, aku yakin betul kalau Handaka dan Ki Tapaksi 
Mandragunta bukan pelakunya. Entah mengapa aku yakin sekali," jawab Dewa Arak sambil 
mengangkat kedua bahu. Tapi, mendadak wajahnya berubah. "Aku ingat, Melati. Ya! aku baru 
ingat sekarang, mengapa aku demikian yakin kalau Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka bukan 
pelakunya." 

"Apa yang membuatmu demikian yakin, Kakang?!" tanya Melati, ingin tahu. 

"Suaranya, Melati. Aku ingat betul suaranya. Dan suara itu jelas tak sama dengan suara Ki 
Tapaksi Mandragunta maupun Handaka." 

"Rasanya alasan yang kau kemukakan kurang kuat, Kang. Bukan tidak mungkin toh, kalau 
penjahat itu menyamarkan suaranya," Melati mengajukan dugaan. 

"Tidak mungkin Melati. Aku yakin penjahat itu menggunakan suara aslinya. Aku 
mempunyai alasan mengapa menduga demikian. Saat itu si penjahat mengira aku telah tidak 
berdaya, dan tengah menunggu ajal, untuk apa lagi dia menyamarkan suara?!" 

Melati harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakanDewa Arak. Maka untuk yang 
kesekian kali, kepalanya dianggukkan. 

"Kenapa kau tidak mengatakannya pada Ki Tapaksi Mandragunta? Aku yakin, kalau kau 
mengemukakan kecurigaanmu, dia akan membantu hingga penjahat itu tertangkap. Aku yakin 
dengan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Kera Emas, tanpa menemui kesulitan akan 
berhasil mengumpulkan semua muridnya. Dan saat itu kau bisa mencocokkannya dengan suara 
yang telah pernah kau dengar." 

"Usulmu memang bagus, Melati. Dan aku yakin, dengan cara seperti itu si penjahat berhasil 
ditangkap," sambut Dewa Arak. 

"Kalau begitu..., mengapa kau tolak uluran tangan Ki Tapaksi Mandragunta?!" desak 

Melati. 

"Karena aku ingin semua masalah ini tuntas!" tandas Dewa Arak seraya manatap wajah 
Melati, "Kau tahu, Melati? Penjahat itu tak bermaksud membunuhku. Sebenarnya dia mengincar 
sasaran lain. Aku dengar sendiri, dia mengatakan seperti itu di saat hendak melancarkan serangan 
mematikan terhadapku." 

Melati mengernyitkan dahi. 

"Apakah ini pun tidak kau ceritakan?!" 

"Benar, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangguk. "Tapi jangan khawatir! Aku akan 
memberitahukannya padamu sekarang." 

Kemudian, Dewa Arak memberitahukan ucapan yang dikeluarkan penjahat itu sebelum 
mengirimkan serangan maut ke arahnya. 

"Kau benar, Kang! Kalau penjahat itu mengatakan demikian, berarti bukan kau yang 
menjadi sasaran, melainkan tua-tua bangka! Siapakah yang dimaksudkannya? Barangkali Ki 
Tapaksi Mandragunta, Kang," tukas Melati. 

Dewa Arak kontan terperanjat. 

"Bukan tidak mungkin dugaanmu benar, Melati. Tapi..., kalau menilik ucapannya, penjahat 
itu mengincar banyak orang tua. Tapi siapa saja? Di Perguruan Kera Emas, aku yakin hanya ada 
satu orang tua. Dan orang itu pasti Ki Tapaksi Mandragunta. Lalu siapa yang lainnya?!" 

Melati terdiam. Sepasang alisnya yang berbentuk indah berkerut. Tampaknya gadis 
berpakaian putih itu tengah berpikir keras. 

"Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa rombongan pengawal barang 
kiriman kemarin, Kang?" 

"Ah... iya!" Dewa Arak terpekik kaget, "Mengapa aku bisa melupakannya?! Ya...! Pasti ada 
hubungannya! Aku pun yakin kalau penjahat itu hendak membunuhku karena khawatir aku 
campur tangan di dalam urusan ini." 

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sekarang sikapnya 
terlihat demikian sungguh-sungguh. 

"Ini berarti keadaan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka dalam bahaya! Aku yakin, 
penjahat itu punya hubungan dengan orang luar!" 

"Kalau begitu...." 

"Kita harus menyusul Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka, Melati!" tandas Dewa Arak 

cepat 

Seraya berseru demikian, Dewa Arak memutar balik kudanya. Kemudian dipacunya kuda 
hitam itu secepat mungkin untuk menyusul Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Hiya! Hiyaaa...!" 




"Ayah...!" 

Sapaan Handaka membuat Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Namun kecepatan 
kudanya tak diperlambat. 

"Hm...!" hanya gumaman pelan yang diberikan sebagai tanggapan 

"Mengapa kau merasa ragu kalau pelaku pembunuhan terhadap para pengawal kemarin 
adalah orang-orang Perguruan Camar Sakti?! Bukankah antara perguruan kita dengan perguruan 
itu ada permusuhan?!" lanjut Handaka karena sapaannya mendapat tanggapan dari ayahnya. 

"Siapa yang mengatakan kalau antara perguruan kita dengan Perguruan Camar Sakti ada 
permusuhan?!" Ki Tapaksi Mandragunta malah balas bertanya. 

"Hehhh...?!" Handaka terperanjat, "Bukankah kau tak senang kalau ada murid-murid 
Perguruan Kera Emas yang membicarakan Perguruan Camar Sakti?! Sepertinya, membicarakan 
Perguruan Camar Sakti merupakan perbuatan terlarang!" 

"Itu memang benar! Tapi tidakberarti antara Perguruan Kera Emas dan Perguruan Camar 
Sakti ada permusuhan!" bantah Ki Tapaksi Mandragunta. 

Handaka terdiam sejenak. Menilik kernyitan dahinya, jelas pemuda itu merasa bingung. 

"Sebenarnya..., apakah persoalan yang membuat perguruan kita dengan Perguruan Camar 
Sakti, seperti saling bermusuhan, Ayah?! Masalahnya, kulihat sifat murid-murid Perguruan Camar 
Sakti pun demikian!" 

"Hhh...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Seakan-akan untuk menjawab pertanyaan 
itu merupakan beban berat baginya. 

"Aku yakin antara kau dan Ketua Perguruan Camar Sakti ada urusan pribadi yang tak 
pernah selesai! Dan aku yakin, Ki Liwung Perkasa bukan orang jahat!" tukas Handaka setelah 
melihat sang Ayah hanya diam, tanpa jawaban. 

"Hehhh...?! Mengapa kau berpendapat demikian, Handaka?!" tanya Ki Tapaksi 
Mandragunta dengan suara keras. Ada perasaan heran di hati lelaki tua itu. 

"Mudah saja, Ayah!" kalem jawaban Handaka, "Terbukti, Ayah tidak percaya kalau pelaku 
pembunuhan itu orang-orang Perguruan Camar Sakti! Padahal, bukti-bukti telah menunjukkan 
mereka sebagai pelakunya! Jelaskanlah Ayah, agar aku menjadi jelas terhadap persoalan yang 
tengah terjadi!" 

Kembali Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Kemudian menatap wajah putranya 
lekat-lekat. Memang, semula pandangannya telah dialihkan ke depan. 

"Dugaanmu memang benar, Handaka. Antara aku dan Ki Liwung Perkasa ada persoalan," 
ujar Ki Tapaksi Mandragunta bernada keluh, "Dan awalnya adalah kejadian puluhan tahun lalu." 

Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucapannya. Matanya menatap langit biru. Seakan- 
akan kejadian puluhan tahun lalu tergambar di sana. 

"Aku dan Ki Liwung Perkasa sebenarnya saudara seperguruan. Dia kakak seperguruanku. 
Maaf, Handaka. Aku tidak bisa memberitahukan siapa guru kami. Beliau tak berkenan kalau 
namanya diperkenalkan pada orang. Ada sebuah kejadian yang telah membuatnya terpukul." 

"Tidak mengapa, Ayah. Aku bisa mengerti," jawab Handaka mencoba bersikap bijaksana. 

Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum lebar, penuh rasa bangga mendengar pernyataan 
anaknya yang bersikap dewasa. 

"Ketika kami tamat belajar, guru memerintahkan kami bertarung, untuk mengetahui siapa 
di antara kami yang berhak mendapatkan senjata pusaka guru! Sebuah pedang berkepala burung 
hitam," lanjut Ketua Perguruan Kera Emas itu. "Kami pun bertarung. Baik aku maupun Ki Liwung 
Perkasa sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, agar dapat memenangkan 
pertarungan dan mendapatkan pedang itu." 

Sampai di sini Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan cerita. Wajahnya terlihat muram. 
Hal itu membuat Handaka mempunyai dugaan yang tidak-tidak. 

"Jadi kau kalah, Ayah?!" tanya Handaka tak sabar. 

"Tidak," Ki Tapaksi Mandragunta menggelengkan kepala. "Pertarungan berlangsung 
seimbang. Tak ada yang menang atau pun kalah. Selayaknya tak ada seorang pun yang berhak, 
mendapatkan pedang itu. Tapi, Ki Liwung Perkasa dengan cerdiknya berhasil mendapatkan pedang 
itu. Dia mengajukan alasan yang masuk akal pada guru." 

"Apa alasannya, Ayah?!" tanya Handaka penasaran. 

"Meskipun tak mampu memenangkan pertarungan, karena dia merupakan kakak 
seperguruan, sudah sepatutnya kalau pedang itu jatuh ke tangannya. Begitu katanya," ujar Ki 
Tapaksi Mandragunta, tanpa dapat menyembunyikan perasaan yang mengganjal di dalam hatinya. 

"Hhh...!" Handaka menghela napas berat. Sama sekali tak disangka kalau yang menjadi 
penyebab keributan hanya sebuah persoalan sepele! 

"Mungkin kau menganggapnya sebagai sebuah hal yang remeh! Tapi bagi kami, hal itu 
merupakan harga diri. Sejak saat itulah antara aku dengan Ki Liwung Perkasa terjadi perang 
dingin!" jelas Ki Tapaksi Mandragunta seraya menutup ceritanya. 

Handaka diam, tidak berkata-kata lagi. Bahkan perhatian pemuda itu seperti dialihkan 
pada kudanya. Hal yang sama pun dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta. Kini yang terdengar 
hanyalah bunyi kaki kuda. 

Mendadak.... 

Brrrlll! 

"Haaah.J" 

Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Keduanya mendongakkan kepala 
dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas. Ternyata suara itu berasal 
dari sebuah jala lebar terkembang hendak mengurung mereka. 

Wrettt! 

"Hiaaa.J" 

Meskipun serangan rahasia itu datang secara mendadak, ayah dan anak itu dengan sigap 
segera melompat. Keduanya tak ingin terperangkap jaring yang terbuat dari tali besar dan kuat itu. 

Brrrlll! 

Brettt! 

Gerakan cepat yang dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta dan anaknya, tak sia-sia. 
Keduanya berhasil melompat jauh dari kuda mereka, hingga terhindar dari renggutan jala besar 
itu. 

Namun malang bagi kuda tunggangan mereka. Jaring yang telah terkembang lebar itu 
mengurung kedua binatang yang tak tahu menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam 

"Hieeeh...!" 

"Hieeeh...!" 

Kedua kuda hitam itu tampak meronta-ronta ketakutan. 

•kick 

Sementara itu, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka yang masih melayang di udara 
kembali tersentak kaget. Mata mereka terbelalak ketika melihat ada beberapa benda panjang 
melesat memburu ke atas. 

Sing! Sing! Sing! 

Diiringi suara berdesing nyaring yang memekakkan telinga, beberapa benda yang ternyata 
tombak itu meluncur cepat memburu tubuh Handaka dan ayahnya. Keduanya kian merasa kaget 
ketika mengetahui serangan itu datang dari berbagai arah. Karuan saja Ki Tapaksi Mandragunta 
dan Handaka semakin kebingungan. 

Namun, ayah dan anak dari Perguruan Kera Emas ini mampu mempertunjukkan kelihaian. 
Di saat yang tak memungkinkan untuk mengelak, tangan mereka cepat bergerak ke pinggang! 
Dan.... 


Srat! Srat! Srat! 

Mendadak.... 

Brr r 111! 

"Haaah...?!" Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget Keduanya 
mendongakkan kepala dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas. 
Ternyata, suara itu berasal dari sebuah jala lebar terkembang yang hendak mengurung mereka! 

Dengan cepat Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta mencabut golok. Kemudian segera 
diputar-putarkan ke sekeliling tubuh. Sebuah kecepatan gerak yang luar biasa. Kedua ayah dan 
anak ini tampaknya memiliki kemampuan yang sama dalam memainkan golok. Putaran golok yang 
begitu cepat itu mampu membungkus rapat tubuh mereka. Tak ada celah sedikit pun. Jangankan 
tombak atau pedang! Hujan pun tampaknya tak mampu memba-sahi tubuh keduanya. Sehingga..., 

Wuttt! Wuttt! 

Trang! Trang! Trang! 

Tombak-tombak yang meluncur ke tubuh mereka langsung terpapas. Dentangan keras pun 
terdengar, disertai percikan bunga api dari benturan golok dan tombak-tombak itu. 

"Hah.J" 

"Gila...!" 

Seketika terdengar desahan keheranan bercampur kagum dari balik semak-semak dan 
pepohonan di kanan kiri jalan, tempat kejadian itu. Tombak-tombak yang tadi meluncur cepat 
memburu sasaran di udara, kini berpentalan jatuh ke tanah. Bahkan beberapa di antaranya ada 
yang patah menjadi dua. 

"Hiaaa.J" 

Jliggg! Jliggg! 

Laksana daun kering jatuh di tanah, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka mendaratkan 
kedua kaki di tanah. Keduanya langsung memasang sikap waspada penuh. Bahkan golok yang 
tergenggam pun, telah disilangkan di depan dada. Siap-siap menghadapi serangan lanjutan yang 
mungkin bakal datang. 

"Berdiri saling membelakangi, Handaka," pe-rintah Ki Tapaksi Mandragunta kepada 
putranya yang berdiri di samping kanan. 

Tanpa banyak membantah, Handaka segera melaksanakan perintah ayahnya. Disadari 
kalau perintah itu mengandung kebenaran bagi perlawanan yang akan dilakukan. Cara yang 
dikatakan Ketua Perguruan Kera Emas itu memang paling cocok jika dipergunakan untuk 
menghadapi banyak lawan. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka langgung mengedarkan pandangan ke bagian depan 
mereka, tempat hamparan pepohonan dan semak-semak lebat. 

"Keluar kalian, Pengecut!" seru Ki Tapaksi Mandragunta, keras penuh kemarahan. Bahkan 
lelaki tua itu tanpa ragu-ragu telah mengerahkan tenaga dalam pada teriakannya. Sehingga 
teriakan itu terdengar jelas sampai ke tempat jang jauh. 

Namun tak terdengar tanggapan apa pun dari balik semak-semak dan pepohonan yang ada 
di situ. Karuan saja hal itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka penasaran bukan 
kepalang. 

"Kuberi kesempatan sampai tiga hitungan. Apabila tak juga menampakkan diri, jangan 
salahkan bila tempat ini kubakar!" ancam Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Satu...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta mulai menghitung. 

"Dua...! Ti...!" 

Di saat hitungan ketiga hampir selesai, terdengar bunyi siulan nyaring. Pendek dan hanya 
sekali. Sesaat kemudian terdengar bunyi berkerosakan. 

Sekujur urat-urat saraf Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka semakin menegang, bersiap 
untuk menghadapi segala kemungkinan. Keduanya tahu, penyerang-penyerang gelap mereka 
sebentar lagi akan tiba dengan serangan mereka. 

Dugaan dua tokoh penting Perguruan Kera Emas ini sama sekali tak salah. Sesaat 
kemudian, bermunculan sosok-sosok berpakaian hitam dari balik pepohonan dan semak-semak. 

Setelah keluar dari tempat persembunyian sosok-sosok berpakaian hitam itu langsung 
menyebar. Hanya dalam sekejap Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka telah terkepung rapat. Tak 
ada jalan keluar untuk meloloskan diri. 

Terdengar bunyi bergemeletuk dari mulut Ki Tapaksi Mandragunta dan putranya ketika 
tahu kalau keduanya tak bisa mengenali para pengeroyok. Wajah gerombolan itu berselubung 
sehelai kain hitam yang menutup mulai dari bawah mata sampai ke leher. 

Anehnya, bagai telah disepakati sebelumnya. Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta 
langsung mengarahkan pandangan pada pedang yang tergenggam di tangan para pengepung 
mereka. Dan seketika itu pula kedua ayah dan anak itu tersentak kaget. Mata mereka terbelalak 
lebar ketika mengetahui pedang lawan mempunyai gagang yang berukir kepala burung hitam. 

Namun, baik Handaka maupun ayahnya sama-sama berpikir bahwa mereka tak bisa hanya 
berdiam diri dan menunggu. Para pengeroyok bergerak terus mengepung dan semakin dekat. Wajah 
mereka meskipun tertutup kain hitam, dapat dilihat jelas dari mata yang berkilat. Mereka 
tampaknya sudah tak sabar untuk merencah tubuh lawan. 

"Haaat...!" 

"Hiyaaat..!" 

Teriakan keras terdengar susul-menyusul, ketika gerombolan sosok berpakaian hitam itu 
saling melompat dan menerjang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Rupanya, mereka tahu 
kesaktian lawan. Sehingga serangan itu dilakukan secara serempak! 

Seketika itu pula kilatan-kilatan menyilaukan mata dari pedang mereka, seperti saling 
berebut untuk menyambar tubuh lawan. 

Namun, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka sama sekali tidak gugup. Keduanya tetap 
bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat. 

Wuttt! Wuttt! 

Trang! Trang! Trang! 

Bunyi berdentang nyaring terdengar, ketika pedang-pedang itu berbenturan dengan golok di 
tangan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Semuanya tertangkis, tak satu pun yang lolos! 

Ternyata tangkisan yang dilakukan kedua ayah dan anak itu mampu membuat tubuh 
lawan-lawan mereka terhuyung sambil memegangi tangan. Mulut mereka meringis-ringis dengan 
mata terbelalak. Bahkan beberapa di antara mereka tak mampu lagi menggenggam pedangnya. Hal 
itu semua menandakan bahwa gerakan menangkis itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang kuat. 

Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka akan dapat 
merobohkan sosok-sosok berpakaian hitam itu dengan mudah. Kedua tokoh penting Perguruan 
Kera Emas itu terus disibukkan dengan tangkisan. Sehingga tak sempat memburu lawan yang 
telah terhuyung-huyung. 

Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh sosok-sosok berpakaian 
hitam itu. Dua buah siulan pendek yang terdengar susul-menyusul langsung terdengar. Jelas, ini 
merupakan isyarat untuk melakukan penyerangan dengan cara lainnya lagi. 

Dan benar, kali ini siasat penyerangan tampak berubah. Gerombolan terpecah dua bagian. 
Sepuluh orang memusatkan perhatian pada Handaka. Dan sisanya, yang juga berjumlah sepuluh 
orang bersiap untuk meringkus Ki Tapaksi Mandragunta. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka membiarkan saja semua tindakan lawan. Keduanya 
sengaja memberikan kesempatan untuk melihat kelanjutan tindakan sosok-sosok berpakaian hitam 
itu. 

"Hiyaaat..!" 

"Hiaaa.J" 

Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, masing-masing kelompok menyerang Ki 
Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Dan serbuan kedua puluh sosok berpakaian hitam ini pun 
segera mendapatkan sambutan hangat dari kedua lawan. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun 
berlangsung. 

Berbeda dengan Ki Tapaksi Mandragunta yang telah berpengalaman, Handaka semula 
menganggap remeh lawan-lawannya. Apalagi karena pada gebrakan pertama telah membuat sosok- 
sosok berpakaian hitam itu terhuyung-huyung. 

Handaka baru terperanjat ketika merasakan kemampuan sepuluh orang lawannya ini tidak 
seremeh yang dibayangkan semula. Kelompok ini ternyata tidak melakukan penyerangan secara 
serampangan, melainkan teratur. Serangan-serangan yang dilakukan tak pernah dilakukan 
perorangan, paling tidak dilakukan dua orang! Serbuan itu dilancarkan secara beruntun dan susul- 
menyusul. Begitu kelompok pertama selesai, kelompok berikutnya telah menyusul, tanpa memberi 
kesempatan lawan melakukan serangan balasan. 

Yang lebih hebat lagi, ketika melakukan penangkisan. Setiap kali Handaka melancarkan 
serangan balasan, selalu ditangkis secara bersamaan oleh lima orang. Tentu saja kekuatan 
gabungan lima orang itu mampu membuat Handaka terhuyung-huyung karena kalah tenaga. 

Handaka mulai kewalahan, karena setiap serangannya selalu dapat dikandaskan dengan 
tangkisan gabungan lima orang. Sebaliknya, serangan lawan susul-menyusul tiada henti, bagai 
gelombang laut! Cepat, bertubi-tubi dan mengandung kekuatan yang besar. 

Keadaan yang dialami Handaka, diderita pula Ki Tapaksi Mandragunta. Hanya saja 
keadaan lelaki tua itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Di samping karena tingkat kepandaiannya 
yang jauh lebih tinggi daripada putranya, dia pun memiliki pengalaman yang amat luas dalam 
pertarungan. Sedikit banyak hal itu berguna saat ini. 

Meskipun begitu, bukan berati Handaka dapat dipermainkan lawan-lawannya. Sama sekali 
tidak! Dia nasih mampu mengadakan pertarungan dengan gigih. 

Tak terhindarkan suasana hiruk-pikuk pertempuran semakin seru terdengar. Bunyi desing 
senjata-senjata meluncur, dan benturan keras dalam tangkisan, serta teriakan-teriakan keras yang 
mengawali serangan, seakan memecah suasana siang itu. 

Perlahan-lahan namun pasti, kancah pertarungan pun tampak bergeser dari tempat semula. 
Jarak pertarungan antara Handaka dan sang Ayah pun semakin terpisah jauh. Hal itu terjadi 
karena pemuda berpakaian kuning itu terus didesak mundur. 

"Haaat..!" 

Wuttt! 

Sambil mengeluarkan teriakan keras, tiga sosok berpakaian hitam melompat, menerkam 
Handaka dengan pedang ditudingkan lurus ke arah leher. 

Handaka kaget. Namun dia masih sempat memberikan tangkisan. Hanya sebelum goloknya 
membentur pedang lawan, dua sosok berpakaian hitam lain telah menggulingkan tubuh dan 
melancarkan serangan ke bagian bawah tubuh Handaka. 

Tentu saja serangan itu membuat Handaka kelabakan. Disadari kalau serangan dari atas 
yang akan mencapai sasaran lebih dulu. Tapi selisih waktunya demikian singkat. Kalau ditangkis 
serangan atas, sebelum dirinya sempat berbuat sesuatu, serangan bawah akan memangsanya. 

Hal inilah yang membuat Handaka kebingungan. Namun, disadari kalau kesempatan 
baginya untuk berpikir tak ada. Akhirnya, Handaka memutuskan untuk bertindak nekat. Pemuda 
berpakaian kuning itu bertekad memapak serangan dari atas. 

"Hih!" 

Sambil menggertakkan gigi, putra Ketua Perguruan Kera Emas ini memutar-mutarkan 
golok di depan tubuh. Dan... 

Trangngng! 

Bunyi berdentang keras langsung terdengar, ketika golok Handaka berbenturan dengan tiga 
barang pedang sekaligus. Akibatnya, baik Handaka maupun tiga sosok berpakaian hitam sama- 
sama terhuyung-huyung ke belakang. 

Saat itulah serangan susulan dari sosok-sosok berpakaian hitam yang berada di bawah, 
meluncur. Pedang-pedang mereka meluncur ke pusar dan lutut. Yang satu menusuk pusar, 
sedangkan yang lain membabat lutut. 

Handaka memang sudah memperhitungkan hal seperti ini. Maka dengan sebisa-bisanya 
dicoba menggeliatkan tubuh. Dan.... 

Crat! Crat! Crattt! 

"Ak b !” 

Handaka memekik kesakitan, ketika pedang lawan-lawannya berhasil mengoyak paha dan 
lutut. Untung keduanya tidak putus! Hanya tergurat. Tapi tak urung darah segar mengalir keluar 
dari luka itu. 

Seketika itu pula Handaka terhuyung-huyung ke belakang. Dan di saat seperti itulah, dua 
di antara lima orang lawannya yang belum kebagian menyerang melemparkan beberapa buah 
benda bulat ke tanah! 




Glarrr! 

Ledakan keras terdengar ketika benda-benda coklat sebesar telur bebek itu menghantam 
tanah. Seketika itu pula asap tebal kebiruan menyelimuti tempat itu. 

Asap itu ternyata bukan asap sembarangan. Terbukti ketika tanpa sengaja Handaka 
menghirupnya, langsung merasakan kepalanya mendadak pusing. Pandangannya pun berkunang- 
kunang disertai sekujur tubuh terasa gemetaran. 

Namun, tampaknya Handaka tahu kalau asap yang dihisapnya mengandung racun! Maka 
buru-buru ditahan napas untuk mencegah terhisapnya racun itu. 

Handaka berhasil. Namun sayangnya, asap yang sudah terhirup, meski hanya sedikit, telah 
mampu mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Rasa pusing dan pandangan berkunang-kunang 
yang melandanya semakin menghebat. Sampai akhirnya.... 

Brukkk! 

"Ukh...!" 

Tubuh Handaka ambruk ke tanah dan mengeluarkan keluhan lirih. Saat itu juga, putra 
Ketua Peiguruan Kera Emas yang gagah perkasa ini tak sadarkan diri. 

Melihat hal ini, sepuluh orang sosok berpakaian hitam itu langsung bertindak cepat. 
Mereka bergegas menghampiri tubuh Handaka. Tak lupa, asap yang masih menyelimuti tempat itu 
mereka halau dengan menggunakan kibasan-kibasan tangan. 

Hanya dalam beberapa saat, asap yang menyelubungi tempat itu langsung sirna! Sekarang 
yang tinggal hanya tubuh Handaka tergolek di tanah. Pemuda berpakaian kuning ini telah pingsan! 

"Berhenti, Ki Tapaksi!" seru salah satu sosok berpakaian hitam itu lantang, "Hentikan 
pertarungan! Atau..., nyawa anakmu akan melayang ke alam baka!" 

Seruan itu membuat Ketua Perguruan Kera Emas terkejut bukan kepalang. Namun rasa 
curiga membuatnya khawatir kalau seruan itu hanya gertakan belaka. Ki Tapaksi Mandragunta 
takut kalau di saat perhatiannya dialihkan, lawan akan mempergunakan kesempatan itu untuk 
membokong. 

Meskipun demikian, di lubuk hati Ki Tapaksi Mandragunta ada rasa khawatir kalau ucapan 
sosok berpakaian hitam itu benar. Maka, ketika mendapat kesempatan luang, dia melempar tubuh 
ke belakang, dan berjumpalitan beberapa kali untuk menjauhi lawan-lawannya. 

Begitu kedua kakinya mendarat ringan di tanah, kepalanya langsung ditolehkan ke asal 
suara. Seketika tubuh Ki Tapaksi Mandragunta merasa lemas! Dilihatnya, Handaka telah 
tergeletak tak berdaya. Sementara lawan-lawannya berkeliling mengepung. Dua di antara mereka 
meletakkan pedang di dada dan leher. Sikap mereka menunjukkan keadaan siap melaksanakan 
ancaman yang dikeluarkan. 

Untung saja di saat Ki Tapaksi Mandragunta tengah kebingungan menghadapi masalah ini, 
kelompok yang menjadi lawannya tak menggunakan kesempatan itu. Mereka berdiri diam 
menunggu. Rupanya, sepuluh sosok berpakaian hitam itu yakin kalau Ki Tapaksi Mandragunta 
akan melaksanakan perintah rekan-rekan mereka! 

"Bagaimana, Ki?! Apa kau tak sayang nyawa anakmu?! Asal kau tahu saja, aku tidak 
termasuk orang yang sabar. Kuberi kau kesempatan sampai hitungan ketiga. Apabila hal ini kau 
abaikan, nyawa pemuda ini tak bisa diselamatkan lagi!" ancam sosok berpakaian hitam yang 
meletakkan pedangnya di leher Handaka. 

Ki Tapaksi Mandragunta masih tetap diam. Masalahnya sebagai orang yang telah 
mempunyai pengalaman luas dirinya tahu, ancaman itu tak bisa dipercaya. Masalahnya, kalau dia 
menyerah, Handaka tetap dibunuh. Demikian pula dirinya. 

Atas dasar pemikiran itulah, Ki Tapaksi Mandragunta merasa bimbang. Dirinya berada 
dalam sebuah pilihan sulit, bagai dihadapkan dengan buah simalakama. Apabila dimakan bapak 
mati, tak dimakan ibu yang mati. Keduanya serba repot! 

"Satu! Dua...! Ti...!" 

"Tahan! Baik! Aku menyerah...!" akhirnya Ki Tapaksi Mandragunta mengalah. 

"Bagus! Kalaubegitu tunggu apa lagi? Cepat lemparkan senjatamu!" 

Ki Tapaksi Mandragunta tercengang sejenak. Namun, kemudian sambil menggertakkan gigi 
dilemparkan senjatanya ke tanah. 

Cappp! 

Golok yang mempunyai gagang berukiran kepala kera itu menancap di tanah. 

"Ha ha ha...!" sosok-sosok berpakaian hitam itu tertawa terbahak-bahak, gembira melihat Ki 
Tapaksi Mandragunta memenuhi perintah mereka. 

Mendadak terdengar suara siulan. Mula-mula pelan. Namun semakin lama semakin 
nyaring. Melengking tinggi sehingga mampu mengatasi suara tawa mereka. 

Anehnya, suara siulan itu mulai menyakitkan telinga mereka. Bahkan mampu membuat 
dada tergetar dan kepala pusing. Hal itu membuat sosok-sosok berpakaian hitam terpaksa menutup 
kedua telinga untuk mencegah suara-suara itu masuk. 

Di antara mereka hanya Ki Tapaksi Mandragunta yang belum terpengaruh. Ketua 
Perguruan Kera Emas itu tampak masih berdiam diri. Tidak menggunakan kedua tangan untuk 
menutup telinganya. Dirinya hanya mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk memunahkan 
pengaruh siulan itu. 

Sementara itu, suara siulan itu sepertinya masih jauh dari batas tertingginya. Masalahnya, 
nada siulan itu terus semakin meninggi. Dan akibatnya, yang harus menderita sosok-sosok 
berpakaian hitam itu. Kalau semula mereka hanya mendekap kedua telinga, sekarang mereka 
berguling-guling di tanah. 

Ki Tapaksi Mandragunta sekarang mulai duduk bersila. Punggungnya diluruskan. Kedua 
tangan dirangkapkan di depan dada. Ketua Perguruan Kera Emas ini tengah mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh suara lengkingan itu. 

Namun, baru sebentar hal itu dilakukan, suara siulan itu berhenti. Sungguhpun demikian, 
Ketua Perguruan Kera Emas ini tetap meneruskan semadi. Dia khawatir pemilik siulan itu belum 
menghentikan tindakannya. 

Kekhawatiran Ki Tapaksi Mandragunta ternyata sia-sia. Siulan itu ternyata memang telah 
berhenti sama sekali. Maka sepasang mata yang semula dipejamkan, langsung dibukanya kembali. 

Yang pertama kali dilihat Ki Tapaksi Mandragunta sosok-sosok berpakaian hitam 
bergeletakan di sana-sini. Mereka semua terkapar lemas tak be-daya, menyusul Handaka yang 
telah lebih dulu pingsan. 


•kifk 


"Arya...! Melati...!" 

Ki Tapaksi Mandragunta berseru ketika melihat dua sosok tubuh yang mengayunkan kaki 
dengan tenang menghampirinya. Ketua Perguruan Kera Emas ini bangkit berdiri. Dan dengan 
tarikan wajah memancarkan kegembiraan disambutnya kedatangan Dewa Arak dan Melati. 

"Apa yang terjadi, Arya, Melati? Mengapa kalian bisa sampai ke tempat ini? Ke mana kuda 
kalian?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bertubi-tubi. 

Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan bibir menyunggingkan senyum mendengar 
pertanyaan bertubi-tubi yang dikeluarkan Ketua Perguruan Kera Emas itu. 

"Akan kami jawab pertanyaanmu satu persatu, Ki," jawab Arya seraya menyembunyikan 
perasaan geli yang berkecamuk di hati. 

"Ah...!" 

Hanya ucapan demikian yang dapat dikeluarkan Ki Tapaksi Mandragunta. Masalahnya dia 
merasa malu mengingat pertanyaannya tadi. 

"Pertama, tidak ada kejadian apa pun atas diri kami. Kedua, keberadaan kami di sini, 
karena memang dalam perjalanan menyusul perjalananmu dan Handaka. Ketiga, kuda-kuda 
sengaja kami tinggalkan. Risih rasanya menunggangi kuda, setelah terbiasa menempuh perjalanan 
dengan kaki," papar Dewa Arak menjelaskan. 

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar keterangan 
Dewa Arak. 

"Sebenarnya cukup jelas keterangan yang kau berikan, Dewa Arak. Tapi..., ada hal yang 
masih mengganjal di hatjku. Bisa kau menjelaskannya?!" 

"Andaikan aku bisa tentu kulakukan. Katakanlah, Ki! Jangan ragu-ragu!" pinta Dewa Arak 
memberi angin. 

"Baiklah kalau memang demikian, Arya. Pertanyaan yang hendak kuajukan hanya satu. 
Mengapa kau menyusul perjalanan kami? Padahal, bukankah semula kau yang bersikeras untuk 
berpisah?" 

Dewa Arak menyunggingkan senyum di bibir. 

"Sederhana saja, Ki," kalem jawaban Dewa Arak, "Aku khawatir kalau orang-orang 
Perguruan Camar Sakti benar-benar berniat jahat. Dan bila itu benar-benar terjadi kau dan 
Handaka berada dalam bahaya. Itulah yang menyebabkanku menyusulmu!" 

"Terima kasih atas niat baikmu, Arya. Dan kurasa dugaanmu benar, Perguruan Camar 
Sakti telah berubah pendirian. Rupanya perguruan itu bermaksud mengajak bentrokan dengan 
perguruanku! Kalau itu memang kemauan Ki Liwung Perkasa sendiri, akan kuladeni! Jangan 
dikira aku takut!" ucap KiTapaksiMandragunta, penuh semangat. 

"Maaf, Ki! Kurasa dalam masalah ini, perasaan marah tidak perlu kita perturutkan agar 
hal-hal buruk tak sampai terjadi," ucap Dewa Arak berusaha menenangkan, ketika melihat Ki 
Tapaksi Mandragunta sudah mulai kelabakan 

Ki Tapaksi Mandragunta mengernyitkan alis. 

"Aku jadi heran. Sebenarnya apa maumu, Arya?! Tadi, kau bilang kau merasa khawatir 
akan keselamatanku dengan mengatakan, bahwa ada kemungkinannya orang-orang Perguruan 
Camar Sakti itu bermaksud membunuhku. Bukankah demikian?! Anehnya, begitu kunyatakan 
permusuhanku dengan Perguruan Camar Sakti kau sepertinya malah membela mereka. 
Sebenarnya, kau berdiri di pihak mana, Arya?!" 

"Sabar, Ki! Tenang, dan dengarkan penjelasanku! Memang benar, yang menyebabkanku 
bisa sampai kemari, karena perasaan khawatirku, kalau-kalau kau dan Handaka akan menjadi 
korban orahg-orang Perguruan Camar Sakti..." 

"Dugaanmu tidak salah! Orang-orang Perguruan Camar Sakti memang bermaksud 
membunuh kami. Kau lihat sendiri buktinya!" 

Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta menudingkan jari telunjuknya ke arah 
sosok-sosok berpakaian hitam yang bergeletakan di tanah 

"Mereka ternyata orang-orang Perguruan Camar Sakti!" tandas Ketua Perguruan Kera 
Emas, keras. 

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. 

"Benarkah mereka orang-orang Perguruan Camar Sakti, Ki? Kau yakin? Apa bukan tak 
mungkin kalau mereka segerombolan orang yang sengaja bermaksud mengadu domba antara 
perguruanmu dengan Perguruan Camar Sakti?!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat 

"Asal kau tahu saja, Arya. Aku kenal ilmu-ilmu milik Perguruan Camar Sakti seperti aku 
mengenal ilmu-ilmuku sendiri. Dan..., aliran ilmu milik para penyerbu ini kuketahui betul, ilmu- 
ilmu milik Perguruan Camar Sakti!" 

Dewa Arak kontan terdiam. Pemuda berambut putih keperakan itu menyadari kalau 
sekarang dirinya tidak bisa membantah lagi. Masalahnya, Ki Tapaksi Mandragunta mampu 
menunjukkan bukti-buktinya. 

"Mungkin dugaanmu mengenai para penyerbu yang berasal dari Perguruan Camar Sakti ini 
benar, Ki. Tapi..., apakah kau yakin kalau tindakan mereka ini sepengetahuan pimpinan mereka? 
Apakah bukan tak mungkin kalau tindakan-tindakan seperti ini dilakukan beberapa gelintir murid 
saja? Dan kalau demikian halnya, rasanya tidak adil sekali menimpakan kesalahan pada semua 
anggota Perguruan Camar Sakti!" kali ini Melati yang membuka suara. Terdengar berapi-api dan 
penuh semangat pernyataan yang diberikannya. 

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala seraya mengerutkan dahi. 
Menilik sikapnya dapat diketahui kalau dirinya menerima pendapat yang diberikan Melati. 

"Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Melati. Kuucapkan terima kasih atas 
saranmu yang bagus ini. Aku pun sadar kalau di perguruanku belum tentu semua murid berhati 
luhur. Bukan tak mungkin, kelak di antara mereka akan ada yang menjadi penjahat keji! Ahhh...! 
Betapa piciknya pandanganku...!" 

"Lalu..., sekarang apa yang akan kau lakukan, Ki?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu, tanpa 
menyembunyikan rasa gembiranya melihat sikap KiTapaksi Mandragunta. 

"Tetap pada tujuanku semula, Arya! Mengunjungi Perguruan Camar Sakti! Akan kucoba 
berbincang-bincang dengan Ki Liwung Perkasa. Semua masalah yang menimpaku akan 
kusampaikan. Tak lupa kubawa para pengeroyok kami. Aku akan berusaha menyelesaikan 
masalahnya secara baik-baik!" 

"Kami berada di belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak cepat. 

"Terima kasih atas dukunganmu, Arya!" ujar Ki Tapaksi Mandragunta, tulus. 

"Lupakanlah, Ki!" timpal Dewa Arak dengan perasaan tidak enak. 

Setelah mengobati luka-luka Handaka, rombongan yang dipimpin Ki Tapaksi Mandragunta 
pun bergerak menuju markas Perguruan Camar Sakti. Di dalam rombongan mereka terdapat sosok- 
sosok berpakaian hitam yang berhasil mereka tawan. 

•kick 

Tak lama kemudian, pagar yang melingkari bangunan-bangunan Perguruan Camar Sakti 
telah terlihat. Dari kejauhan pagar itu kelihatan demikian kokoh kuat. Berdiri tegak dan angker! 

Dua orang murid Perguruan Camar Sakti yang bertugas menjaga pintu gerbang segera 
melihat datangnya serombongan orang yang menuju markas mereka. 

"Cepat beritahukan pada Kakang Jalatunda! Katakan ada serombongan orang menuju 
kemari! Keadaan dan sikap mereka mencurigakan sekali!" 

Tanpa menunggu perintah dua kali, murid Perguruan Camar Sakti yang berkulit hitam 
legam laksana arang, bergegas membalikkan tubuh dan berlari ke dalam. Sementara penjaga pintu 
gerbang yang satu lagi, berdiam diri di tempatnya dengan pandangan tertuju ke depan, menatap 
rombongan Ki Tapaksi Mandragunta. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan yang lain-lainnya pun bukan orang bodoh. Begitu melihat 
salah seorang penjaga pintu gerbang Perguruan Camar Sakti berlari ke dalam secara demikian 
tergopoh-gopoh, mereka sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan penjaga itu. Apalagi kalau 
bukan melaporkan kedatangan mereka? 

Meskipun telah menduga demikian, Ki Tapaksi Mandragunta beserta rombongan tetap 
bersikap tenang. Tidak terlihat adanya kegugupan ataupun kegelisahan, baik dalam tarikan wajah 
maupun sorot mata. 

Dugaan mereka tidak salah. Begitu jarak antara mereka dengan pintu gerbang tinggal 
delapan tombak lagi, di depan pintu gerbang, berkerumun sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka 
semua murid Perguruan Camar Sakti. 

Berdiri paling depan seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk Jebat. 
Menilik dari tindak-tanduknya dialah pimpinan rombongan itu. Dan dugaan demikian memang 
tidak salah Lelaki bercambang bauk lebat ini murid kepala Perguruan Camar Sakti. Jalatunda, 
demikian namanya. 

Trek! Trek! Trekkk! 

Terdengar bunyi berkeretekan ketika semua murid Perguruan Camar Sakti menyentuh 
gagang senjata masing-masing. Menilik tindakan itu, dapat diketahui kalau mereka telah siap 
untuk bertempur. 

Tentu saja tindakan itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, Melati, dan 
Handaka saling berpandangan satu sama lain. Hanya Handaka sendiri yang mengalami sial. 
Masalahnya, dialah yang mendapat tugas untuk menjaga tawanan. Semua sosok berpakaian hitam 
itu dikumpulkan dan diikat menjadi satu. Kemudian tali yang mengikat mereka semua, 
dipegangnya. 

Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan menjadi gentar 
karenanya. Sama sekali tidak! Mereka mempunyai prinsip! Selama berada di jalan kebenaran, 
mereka tak akan pernah mengenal perasaan gentar. Apalagi hanya menghadapi keroco-keroco 
seperti murid-murid Perguruan Camar Sakti. 

Itulah sebabnya, tetap dengan sikap dan langkah tenang mereka mengayunkan kaki. Ingin 
tahu apakah tindakan yang akan dilakukan murid-murid Perguruan Camar Sakti itu?! 

Begitu jarak antara rombongan Ki Tapaksi Mandragunta dengan pintu gerbang Perguruan 
Camar Sakti tinggal beberapa tombak lagi, Jalatunda mengibaskan tangan. 

Seketika itu pula murid-murid Perguruan Camar Sakti bergerak menyebar. Kemudian.... 

Srat! Srat! Srattt! 

Sinar terang menyilaukan mata langsung be-keredepan, ketika murid-murid Perguruan 
Camar Sakti menghunus pedang masing-masing. 

"Rupanya kekhawatiranmu benar, Arya. Perguruan Camar Sakti benar-benar telah berniat 
memusnahkan Perguruan Kera Emas. Kau lihat sendiri kan, kenyataannya?!" bisik Ki Tapaksi 
Mandragunta, bernada keluh. 

"Aku masih belum yakin, Ki. Mungkin ada kesalahpahaman di sini. Kalau tidak, mana 
mungkin Ki Liwung Perkasa akan membiarkan murid-muridnya menghadapimu?! Sedikit banyak 
dia kan bisa mengukur kalau tingkatan murid-muridnya tak bisa dibandingkan denganmu?!" 

Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala. Bisa diterimanya alasan yang 
dikemukakan Dewa Arak. 

"Jadi..., maksudmubahwa Ki Liwung Perkasa tak tahu-menahu tentang kejadian ini?!" 

"Kira-kira begitulah...," hanya demikian sambutan Dewa Arak. 




"Itu dia pembunuhnya...!" seru seorang murid Perguruan Camar Sakti yang bertubuh kecil 
kurus seraya menudingkan jari telunjuknya pada Handaka. 

Karuan saja Handaka kelabakan mendengarnya. Mengapa dia dituduh membunuh?! 
Apakah telinganya tak salah dengar? Atau..., murid Perguruan Camar Sakti itu yang sudah gila? 

Bukan hanya Handaka yang merasa terkejut, Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan 
Melati pun demikian. Mengapa Handaka dituduh membunuh? Siapa yang telah dibunuhnya? Dan 
kapan hal itu dilakukannya? 

'Tunggu...! Harap kalian bersedia menjelaskan masalahnya," cegah Ki Tapaksi 
Mandragunta, seraya mengangkat tangan kanan ke atas untuk mencegah murid-murid Perguruan 
Camar Sakti melancarkan serangan. 

Namun murid-murid Perguruan Camar Sakti tampak tak mempedulikannya. Di bawah 
pimpinan Jalatunda, mereka menerjang rombongan Ki Tapaksi Mandragunta. Golok-golok di 
tangan mereka berkelebatan menyerang Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan. 

"Aku yakin mereka hanya salah paham, Ki. Lebih baik kita tak usah menjatuhkan tangan 
keras! Agar kesalahpahaman ini tidak menjadi berlarut-larut. Kau dengar, Melati?!" 

"Kau benar, Arya," jawab Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala. 

Memang, Ketua Perguruan Kera Emas itu merasakan adanya kebenaran dalam ucapan 
Dewa Arak. 

Pada saat yang hampir bersamaan dengan jawaban Ki Tapaksi Mandragunta, Melati pun 
memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Dewa Arak dengan anggukan kepala pertanda 
mengerti. 

"Heaaa...!" 

Saat itulah serangan murid-murid Perguruan Camar Sakti meluncur bagaikan hujan, ke 
arah Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan. 

Namun, bagi Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Dewa Arak serangan keroco-keroco itu 
tentu saja tak banyak berarti. Hanya dengan beberapa gerakan sederhana serangan-serangan itu 
dapat dielakkan. 

Dengan cepat ketiga tokoh itu berkelebat ke sana kemari menghindari serangan lawan. 
Sementara Handaka hanya berdiam diri. 

Handaka berada tepat di belakang tiga tokoh itu. Dengan sendirinya, apabila murid-murid 
Perguruan Camar Sakti itu hendak mengirimkan serangan terhadapnya, mereka harus melalui 
Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati! 

Sementara itu tindakan Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati tidak hanya 
sampai pada melakukan elakan Begitu berhasil melakukan elakan-elakan, mereka pun mulai 
melancarkan serangan balasan. 

"Hih!" 

Seperti telah disepakati saja, ketiga tokoh sakti ini melakukan tindakan sama. Mereka 
merampas senjata lawan-lawan mereka. Tindakan itu membuat murid-murid Perguruan Camar 
Sakti tampak kebingungan ketika melihat tangan mereka telah kosong. Tidak ada sesuatu pun 
yang tergenggam di sana. Dan ketika mereka semua termasuk Jalatunda mengalihkan pandangan 
ke Dewa Arak, Melati, dan Ki Tapaksi Mandragunta, tampak senjata-senjata itu di tangan mereka. 

Jalatunda dan adik-adik seperguruannya terdiam dengan perasaan bingung yang 
mencekam. Karena sebenarnya mereka tidak sadar tadi, bagaimana caranya senjata-senjata itu 
berpindah tangan. 

Yang mereka tahu, tadi, untuk sesaat tangan mereka lumpuh. Mungkinkah pada saat itu Ki 
Tapaksi Mandragunta dan rombongannya merebut senjata-senjata mereka. 

Pertanyaan-pertanyaan yang menggayuti benak membuat murid-murid Perguruan Camar 
Sakti terdiam beberapa saat lamanya. Tiba-tiba.... 

"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Tidak salahkah penglihatanku kali ini? Benarkah yang 
kulihat Ki Tapaksi Mandragunta, Ketua Perguruan Kera Emas.? Kalau benar demikian, mengapa 
begitu tak tahu malu bermain-main dengan keroco-keroco yang tidak punya arti?!" 

Sebenarnya ucapan itu dikeluarkan dengan suara pelan. Namun anehnya seperti 
mengandung getaran kuat yang mampu menyelusup sampai ke lubuk hati. Bukan hanya Ki 
Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan Melati pun ikut menoleh pula. 

Hanya saja di antara mereka bertiga, wajah Ki Tapaksi Mandragunta yang tampak merah 
padam, Ketua Perguruan Kera Emas itu malu bukan kepalang, mendengar pernyataan yang jelas- 
jelas menyindirnya itu. Ki Tapaksi Mandragunta tahu siapa pemilik suara itu. Dirinya merasa 
pemilik suara itu pernah akrab dengannya, puluhan tahun yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Ki 
Liwung Perkasa? 

Dan benar di depan mereka tampak berkelebat sosok bayangan hitam yang melesat begitu 

cepat. 

Wusss! 

Jliggg! 

Laksana daun kering, sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kaki di tanah. Hampir tak 
terdengar sedikit pun bunyi yang ditimbulkannya. Jelas hal ini menjadi pertanda kalau sosok 
berpakaian hitam ini memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. 

Sosok berpakaian hitam itu ternyata seorang kakek bertubuh pendek kekar. Pada bagian 
dadanya yang tak tertutup tampak bulu-bulu lebat berwarna hitam 

"Ki Liwung Perkasa...," desis Ki Tapaksi Mandragunta seraya menatap sosok tubuh yang 
telah berdiri sekitar enam tombak di depannya. 

"Ha ha ha...! Rupanya kaumasih ingat denganku, Gunta?" ujar sosok berpakaian hitam yang 
ternyata Ki Liwung Perkasa, Ketua Perguruan Camar Sakti! 

"Bagaimana mungkin aku melupakanmu, Kang Liwung? Bagaimanapun kita tetap saudara 
seperguruan. Kau tetap sebagai kakak seperguruanku." 

Ki Liwung Perkasa tersenyum sinis. 

"Manis benar ucapanmu, Gunta! Di depanku kau mengatakan demikian, tapi kalau tidak 
ada aku, mungkin murid-muridku telah kau binasakan semua! Untung aku segera datang hingga 
nyawa mereka masih utuh." 

"Kau salah paham, Kang Liwung! Aku tidak pernah berniat membunuh murid-muridmu. 
Bahkan melukainya pun tidak! Yang kulakukan hanya mencegah mereka melukaiku!" bantah Ki 
Tapaksi Mandragunta, agak keras. 

"Bohong...!" Ki Liwung Perkasa tetap pada pendiriannya. "Kalau kau tak punya maksud 
tertentu, mengapa datang ke tempatku. Dengan secara berbondong-bondong lagi! Lalu..., siapa pula 
orang-orang berpakaian hitam itu?!" 

"Itulah sebabnya aku kemari, Kang Liwung! Kau tahu murid-muridku yang bertugas 
mengawal barang kiriman tewas dibantai. Dan pada salah satu mayat itu terhunjam benda ini!" 

Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta melemparkan pisau yang mempunyai 
gagang berbentuk kepala burung camar. 

Tanpa banyak bicara Ki Liwung Perkasa menangkap pisau itu dan memeriksanya. 

"Rupanya kau hendak melempar batu sembunyi tangan. Gunta! Kau hanya berani berbuat, 
tanpa berani bertanggung jawab. Padahal, murid Perguruan Kera Emas yang mengacau di 
perguruanku. Tapi kini, kau malah mengatakan sebaliknya!" 

"Fitnah!" teriak Ki Tapaksi Mandragunta keras, "Tak ada seorang pun murid Perguruan 
Kera Emas yang melakukan kekejian seperti tudubanmu!" 

"Ooo..., begitu?! Kimpil..., kemari kau! Dan ceritakanlah pada Ki Tapaksi Mandragunta yang 
terhormat ini, mengenai tindak kekejian muridnya!" 


•kifk 


Kimpil, murid Perguman Camar Sakti yang bertubuh kecil kurus melangkah maju. 

"Benar, Guru. Dialah orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang 
murid Perguman Camar Sakti semalam. Aku sempat memergokinya. Tapi sayang, dia keburu 
melarikan diri!" ujar Kimpil menjelaskan. 

"Fitnah! Pembohong sepertimu harus dihajar!" 

Karena tak mampu menahan amarahnya, Ki Tapaksi Mandragunta melesat ke arah Kimpil. 
Tangan kanannya digerakkan menyampok. Untungnya, Ketua Perguman Kera Emas ini masih 
ingat untuk tidak mengirimkan serangan yang mematikan! Maka sampokan itu ditujukan ke arah 
bahu. 

Meski yang dituju bahu, tetap saja serangan itu amat berbahaya. Tenaga yang terkandung 
dalam serangan itu amat besar. Jangankan bahu manusia. Batu karang pun dapat hancur oleh 
pukulan Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Ki...!" 

Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat tindakan Ki Tapaksi Mandragunta yang sama 
sekali tak disangka-sangkanya. Namun, untuk mencegah, pemuda berambut putih keperakan itu 
tidak sempat lagi. Yang dapat dilakukannya hanya mengeluarkan teriakan kaget. 

Ki Liwung Perkasa dan semua yang ada di situ pun demikian. Mereka tahu kalau 
keselamatan Kimpil terancam 

Ki Tapaksi Mandragunta pun sebenarnya kaget bukan kepalang. Tapi apa daya? Dirinya 
sudah tak mampu lagi untuk menahan serangannya. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi 
tenaga. Itu pun hanya sedikit sekali. 

"Heaaa...!" 

Wuttt! 

"Hah?!" 

Mendadak terjadilah sebuah peristiwa yang membuat semua murid Perguruan Camar 
Sakti, Ki Liwung Perkasa, dan Ki Tapaksi Mandragunta terkejut bukan kepalang. Dalam waktu 
yang demikian singkat, Kimpil mampu memutar tubuh bagian atasnya dengan bertumpu pada 
pinggang! 

Yang menjadi penyebab keterkejutan mereka semua, jurus aneh seperti yang dilakukan 
Kimpil tak pernah diajarkan di Perguruan Camar Sakti. Bahkan terlihat jelas kalau gerakan itu 
mempunyai aliran lain. 

"Dari mana kau dapatkan gerakan itu, Kimpil?!" tanya Ki Liwung Perkasa, setengah 
membentak. 

Kimpil mundur-mundur. Pertanyaan bernada keras Ki Liwung Perkasa membuatnya sadar 
kalau Ketua Perguruan Camar Sakti itu merasa curiga padanya. Maka lelaki bertubuh pendek dan 
kekar itu tampak kebingungan. 

Saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tapaksi Mandragunta. 

"Gerakan yang dilakukannya bukan merupakan jurus milik Perguruan Camar Sakti! 
Jangan-jangan dia diselundupkan masuk untuk mengadu domba perguruan kita, Kang!" 

Ki Liwung Perkasa tertegun ketika menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Ki Tapaksi 
Mandragunta. Tentu saja Ki Tapaksi Mandragunta tahu, maka segera dipergunakan kesempatan 
itu sebaik-baiknya. 

"Aku punya saksi kuat akan banyaknya orang-orang Perguruan Kera Emas yang dibunuh! 
Kau pernah dengar julukan Dewa Arak?! Nah! Dialah yang menjadi saksi semua kejadian!" 
kemudian secara singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Kera Emas menceritakan semua kejadiannya. 

Ketika Ki Tapaksi Mandragunta menceritakan semua kejadiannya, Kimpil menolehkan 
kepala ke kanan dan ke kiri. Tampaknya tengah mencari celah-celah untuk melarikan diri. Namun, 
kesempatan itu tak pernah ada. Semua orang yang berada di situ telah mengawasi, begitu Ki 
Tapaksi Mandragunta mengutarakan kecurigaannya. 

"Ah! Jadi..., kau Dewa Arak yang terkenal itu?! Sama sekali tak kusangka akan berkenalan 
denganmu. Urusan apa yang menyebabkanmu kemari, Dewa Arak?!" tanya Ki Liwung Perkasa, 
ramah penuh bernada gembira. 

"Kebetulan saja, Ki," jawab Dewa Arak, seraya menyunggingkan senyum lebar. Kemudian 
secara gamblang pemuda berambut putih keperakan ini menceritakan semua kejadian yang 
menimpanya. Kali ini dengan sebenar-benarnya. 

"Aku yakin sosok yang bermaksud membunuhku menyusup sebagai orang dalam Perguruan 
Kera Emas. Itu dugaanku sejak semula. Sama sekali tak kusangka kalau di Perguruan Camar Sakti 
pun ada penyelusupnya. Jelas, maksud orang itu ingin mengadu domba!" ujar Dewa Arak mencoba 
menguraikan secara panjang lebar apa yang menjadi kesimpulannya sejak semalam. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa mengangguk-anggukkan kepala seakan- 
akan ia membenarkan kesimpulan Dewa Arak Telah mereka buktikan sendiri kenyataannya. 

"Sekarang tinggal kita usahakan untuk mengorek keterangan itu dari mulut Kimpil!" 
tandas Ki Liwung Perkasa seraya mengalihkan perhatian pada lelaki kecil kurus itu. 

"Kimpil...!" Ki Liwung Perkasa menyapa dengan suara keras. "Sama sekali tak kusangka 
kalau kau seorang penjahat keji. Berarti masuknya kau setengah purnama yang lalu bertujuan 
untuk mengacau. Sekarang katakan siapa yang menjadi pemimpinmu, Kimpil! Kami berjanji akan 
membebaskanmu kalau kau menjawab sejujurnya!" 

Kimpil tak memberikan tanggapan sama sekali. Namun sesaat kemudian tubuhnya roboh 
ke tanah. Mati! 

Semua mata yang ada di tempat itu tentu saja terbelalak kaget bercampur heran 
menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba saja tubuh Kimpil tergeletak kaku di atas tanah tanpa mereka 
tahu penyebabnya. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa, serta Dewa Arak segera menghambur ke 
sana. Mereka bergegas memeriksa mayat Kimpil. Namun ketika melihat lendir yang mengalir dari 
mulut lelaki kecil kurus itu, mereka pun tahu apa sebabnya. Kimpil bunuh diri dengan menelan 
racun. 

"Hhh...!" Ki Liwung Perkasa menghela napas berat, "Sekarang masalahnya kembali gelap! 
Dengan tewasnya Kimpil, masalah ini sukar untuk terpecahkan. Kita tidak tahu di mana 
keberadaan orang yang berdiri di balik kejadian ini." 

"Bukankah kita mempunyai tawanan-tawanan lainnya," tukas Ki Tapaksi Mandragunta. 

Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta membuat semua orang yang berada di situ mengalihkan 
perhatian pada Handaka. Karena pemuda berpakaian kuning itulah yang bertugas menjaga 
tawanan. 

Namun harapan yang memancar di wajah dan mata mereka semua mendadak pudar, ketika 
melihat empat tawanan yang mereka bawa pun meninggal dunia. Tak seorang pun yang tahu 
kejadian itu sebelumnya, sebab para tawanan itu masih tetap berdiri, tidak ambruk. Hal itu terjadi 
karena mereka berdiri saling menempel. 

"Mengapa mereka bisa tewas juga, Ayah?" tanya Handaka, tanpa menyembunyikan 
herannya. 

"Mengapa tak kau tanyakan pada pendekar besar yang ada di sini?!" Ki Tapaksi 
Mandragunta mengajukan usul pada putranya. 

Pemuda berpakaian kuning itu pun menoleh kepada Dewa Arak yang hanya menggeleng- 
gelengkan kepala. "Kau hanya membuatku malu saja, Ki. Apa artinya pengetahuan yang kumiliki 
bila dibanding denganmu?!" kilahnya merendah. 

"Jadi..., kau juga tak tahu, Dewa Arak?!" tanya Handaka. 

"Kalau yang ini tahu, Handaka. Racun itu telah berada di dalam mulut mereka. Mungkin di 
sela-sela gigi. Jadi, apabila diperlukan tinggal menggigit saja. Air liur akan melarutkannya. Dan 
racun pun langsung bekerja," urai Dewa Arak panjang lebar. 

Handaka mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Dewa Arak. Ki Tapaksi 
Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa pun di dalam hatinya memuji keluasan pandangan Dewa 
Arak! 

"Sekarang baru masalah ini kembali gelap seperti semula, Kang Liwung. Siapa orang yang 
menjadi dalang kekacauan ini. Lalu..., di mana dia berada, di Perguruan Camar Sakti atau di 
Perguruan Kera Emas. Sulit untuk dipastikan!" keluh Ki Tapaksi Mandragunta. 

Suasana berubah hening ketika ucapan Ketua Perguruan Kera Emas itu selesai. Mereka 
semua yang ada di tempat itu tenggelam dalam alun pikiran masing-masing. 

"Ki...! Aku punya dugaan kuat di mana sang Dalang itu berada...." 

"Di mana, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta tak sabar. 

"Di perguruanmu. Asal tahu saja dia memiliki kepandaian yang amat tinggi. Bahkan..., 
maaf bukan maksudku untuk menyinggung kalian berdua, Ki. Kepandaian orang itu berada di atas 
kalian. Tapi anehnya, aku merasa dalang itu memiliki ilmu-ilmu yang sealiran dengan kalian," ujar 
Dewa Arak menjelaskan 

Bukan merupakan hal yang aneh kalau Dewa Arak dapat mengambil kesimpulan demikian, 
dua kali sosok yang tidak jelas itu melancarkan serangan terhadapnya. 

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa saling tatap sebentar. Tampaknya ada 
sesuatu yang mereka rahasiakan. 

"Mengapa kau bisa mengambil kesimpulan demikian, Arya?!" tanya Ki Tapaksi 
Mandragunta, ingin tahu. 

"Aku pernah bertarung dengan Handaka. Dan kulihat ada gerakan-gerakan mereka yang 
mirip. Tapi, yang jelas, mereka berasal dari satu aliran!" 

"Kalaubegitu..., mungkinkah dia Gagak Seta, Kang Liwung?!" 

"Mengapa tidak?! Hanya dialah satu-satunya orang yang memiliki aliran kita." 

"Gagak Seta?! Siapa dia?" tanya Dewa Arak ingin tahu. 

"Kakak seperguruan kami. Tapi telah diusir sebelum tamat oleh guru kami, karena 
mempunyai watak yang tidak baik. Rupanya dia dendam pada kami. Karena kamilah yang 
melaporkan tindakan tak patutnya," jelas Ki Tapaksi Mandragunta, singkat. 'Tapi, kalau dia 
menyelusup sebagai orang dalam di perguruanku..., rasanya sulit. Masalahnya aku pasti 
mengenalinya.... Astaga...! Mengapa akubegitu pikun?!" 

Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta yang kelihatan demikian kaget membuat, semua orang 
yang berada di situ menolehkan kepala ke arahnya. 

"Ah! Sekarang aku ingat! Gagak Seta pasti Gaseta!" seru Ki Tapaksi Mandragunta, penuh 
perasaan kaget 

"Kakek yang pekerjaannya membersihkan halaman dan bangunan, Ayah?!" tanya Handaka. 

"Benar," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala, "Pantas sewaktu melihatnya, 
aku merasa pernah bertemu dengannya. Sayangnya aku lupa kapan dan di mana. Masalahnya 
sedikit banyak dia menyamarkan diri." 

"Kalau demikian tunggu apa lagi?! Mari kita ke sana, Ki!" ajak Dewa Arak. 

"Kau benar!" 


•kifk 


Hari telah menjelang senja ketika Ki Tapaksi Mandragunta, Handaka, Melati, dan Dewa 
Arak telah berada tak jauh dari Perguruan Kera Emas. 

'"Kau lihat itu, Dewa Arak?!" seru Ki Tapaksi Mandragunta seraya menudingkan jari 
telunjuknya ke depan. 

Pertanyaan itu ditujukan pada Dewa Arak. Tapi tidak hanya pemuda berambut putih 
keperakan itu yang langsung mengarahkan pandangan ke sana. Handaka dan Melati pun demikian. 

Dari kejauhan tampak asap membumbung tinggi ke angkasa. Hitam pekat dan bergumpal- 
gumpal. Sesekali terlihat cahaya kemerahan di antara asap-asap tebal itu. Sekilas saja dapat 
diketahui kalau asap seperti ini hanya timbul dari sebuah kebakaran yang cukup besar. 

"Kebakaran?!" hampir bersamaan Dewa Arak, Melati, dan Handaka berteriak kaget. 

"Benar!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta dengan suara bergetar karena menahan gejolak 
pera-saan. "Dan kalian perhatikan letaknya!" 

"Sepertinya dari...." 

"Perguruan Kera Emas!" selak Ki Tapaksi Mandragunta, "Si Keparat Gagak Seta pasti telah 
membumihanguskan perguruanku!" 

"Kalaubegitu, mari kita bergegas!" 

Tanpa menunggu tanggapan Dewa Arak Ki Tapaksi Mandragunta langsung melesat. 
Melihat kegusaran Ketua Perguruan Kera Emas itu, Dewa Arak segera melesat cepat. Tak 
tanggung-tanggung dikerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam 
sekejap saja sosok berpakaian ungu itu telah berada puluhan tombak meninggalkan ketiga 
kawannya yang lain. 

Melihat Dewa Arak telah berada puluhan tombak di depan, Ki Tapaksi Mandragunta, 
Melati, dan Handaka pun melesat cepat untuk menyusul. 

Betapa pun Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka mengerahkan seluruh ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki, mereka tidak mampu menyusul Dewa Arak Malah sebaliknya, 
jarak antara mereka semakin bertambah jauh. 

Sementara itu, Dewa Arak terus berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuannya. 
Disadari sekarang waktu berharga sekali. Sekejap mata saja sama harganya dengan beberapa 
nyawa. Masalahnya, bukan tidak mungkin di sana Gagak Seta tengah melakukan pembantaian! 

Tak berapa lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang Perguruan 
Kera Emas. Tanpa pikir panjang lagi, dilompatinya pagar kayu yang mengelilingi kelompok 
bangunan. Ini teipaksa dilakukan karena pintu gerbang tertutup dan tanpa penjaganya sama 
sekali! 

"Heaaa...!" 

Jliggg! 

Begitu mendaratkan kedua kaki secara mantap di tanah, Dewa Arak langsung 
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Beberapa tombak di depannya, di dekat kobaran api yang 
membakar bangunan-bangunan Perguruan Kera Emas, tampak seorang kakek bertubuh kecil kurus 
berpakaian hitam tengah dikeroyok beberapa orang murid Perguruan Kera Emas. 

Hanya sekilas pandang, Dewa Arak tahu kalau terlambat sedikit saja, delapan murid 
Perguruan Kera Emas akan tewas di tangan kakek kecil kurus itu. Karena, meskipun jumlah 
mereka jauh lebih banyak, jalannya pertarungan seperti sekelompok semut menerjang api. 
Semuanya roboh sebelum berhasil mencapai tujuan. 

"Hih!" 

Kakek kecil kurus yang ternyata Gagak Seta ini mengibaskan tangannya. Seketika itu pula, 
beberapa buah benda berkilat melesat memburu delapan orang murid Perguruan Kera Emas. 
Terlihat jelas betapa mereka terkejut melihat serangan yang tidak disangka-sangka telah meluncur 
dengan kecepatan menakjubkan itu 

Sudah dapat dipastikan kalau nasib sisa murid Perguruan Kera Emas itu akan selesai 
sampai di situ. Untung, di saat terakhir Dewa Arak menghentakkan kedua tangan ke depan. 

"Hih!" 

Wusss! 

Serentetan angin kencang membadai meluncur dari kedua telapak tangan Dewa Arak. 
Angin itu melesat begitu cepat menerjang benda-benda berkilat itu. 

Srattt! 

Prakkk! 

Benda-benda senjata rahasia itu berpentalan jatuh ke tanah. Dan sebelum Gagak Seta 
bertindak lebih jauh, Dewa Arak bergerak mendahului. Pemuda berambut putih keperakan ini 
melompat memasuki kancah pertarungan. Dalam kesejap saja kakinya telah mendarat begitu 
ringan di antara murid-murid Perguruan Kera Emas dan Gagak Seta. 

"Menyingkirlah...! Dia bukan tandingan kalian," ujar Dewa Arak, pelan tapi tegas. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, delapan orang murid Perguruan Kera Emas, bergerak 
menjauh. Sekarang yang tinggal hanya Dewa Arak berhadapan dengan Gagak Seta. 

"Ha ha ha...!" Gagak Seta tertawa terbahak-bahak, "Tak pernah kusangka akan berhadapan 
denganmu, Dewa Arak! Semula, kupikir kau akan mati pada pertemuan pertama kita kemarin!" 

"Tidak usah banyak cakap, Gagak Seta!" sergah Dewa Arak. "Kejahatanmu telah 
melampaui batas! Hanya mautlah yang dapat menghentikan tindakan angkara murkamu! 
Bersiaplah kau, Seta!" 

"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Dewa Arak! Hiyaaat..!" 

Seiring keluarnya teriakan, Gagak Seta melompat menerjang Dewa Arak. Kemudian, di saat 
tubuh kakek kecil kurus itu melayang di udara tinju kanannya dihantamkan ke dada Dewa Arak 

"Hih...!" 

Wusss! 

Deru angin keras yang mengiringi serangan itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam 
yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak pun tak berani bertindak gegabah. Buru-buru 
dilemparkan tubuhnya ke samping. Dan di saat berada di udara, diambil gucinya. Kemudian 
dituangkan isinya ke dalam mulut. Memang, dia telah mengisi gucinya dengan arak hingga penuh 
ketika singgah di sebuah kedai sebelum menyusul Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. 

Gluk... Gluk... Gluk.J 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam 
perjalanannya menuju ke lambung. Sesaat kemudian, hawa hangat berputaran di dalam perutnya. 
Kemudian, hawa itu merayap ke atas menuju kepala. 

Jliggg! 

Begitu mendaratkan kaki di tanah, tubuh Dewa Arak langsung sempoyongan. Oleng ke 
sana-sini. Ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap dipergunakan. 
Masalahnya, dia tahu kalau Gagak Seta telah mengeluarkan ilmu yang diandalkannya. 

"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat mampukah menghadapi ilmu 
'Tangan Maut’ku?" 

Belum jelas gema ucapannya, Gagak Seta telah menerjang Dewa Arak Kali ini kakek itu 
melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher Dewa Arak dengan jari-jari 
tangan menegang kaku mirip pasangan jurus 'Ular'. 

Tampaknya Dewa Arak tak ingin mengelak. Dipapaknya serangan bertubi-tubi yang 
mengancam tempat-tempat mematikan itu dengan kedua tangan setengah terbuka. 

"Hiaaa.J" 

Prat! Prattt! 

"Uh!" 

Gagak Seta mengeluarkan keluhan tertahan dari mulutnya ketika menyadari tangannya 
terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, selangkah lebih jauh dari Dewa Arak. 
Jelas, dalam hal kekuatan tenaga dalam dirinya berada di bawah pemuda berambut putih 
keperakan yang amat lihai itu! 

Tapi, saat itu juga Gagak Seta langsung mempertunjukkan kelihaian ilmu 'Tangan 
Maut'nya. Secepat tarikan napasnya kakek kurus itu memperbaiki kedudukannya, melancarkan 
serangan susulan dengan susunan jari berbeda. Inilah keistimewaan ilmu 'Tangan Maut'! Dalam 
satu kali meluncurkan tangan, dapat menciptakan berbagai serangan, sesuai dengan perubahan 
sikap jari. 

"Hia...!" 

Wuttt! 

"Hih...!" 

Namun, dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya, Dewa Arak berhasil membuat 
serangan lawan pupus. Bahkan dia mampu mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat. 
Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan. 

"Hih...!" 

Wuttt! 

Sebuah pertarungan yang hebat tengah berlangsung di sekitar kobaran api di lingkungan 
markas Perguruan Kera Emas. Setiap kali Dewa Arak melancarkan serangan, angin menderu 
terlontar dari tangannya. Begitu pula yang dilakukan Gagak Seta. Setiap pukulannya mampu 
menghempaskan kobaran api yang membakar bangunan itu. 

Jangankan terkena langsung, angin serangan kedua tokoh itu saja telah cukup untuk 
membuat keadaan di sekitar pertarungan berantakan. Tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan 
kobaran api yang tidak begitu besar mendadak semakin berkobar hebat.Asap hitam menyelimuti 
tempat pertarungan. 

Jurus demi jurus berlalu cepat karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan 
cepat. Yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan ungu yang saling belit. Hanya sesekali saja 
kedua bayangan itu saling pisah. Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. 

Di saat itulah, Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka tiba. Dengan penuh 
perhatian mereka menyaksikan jalannya pertarungan. Diam-diam Ki Tapaksi Mandragunta harus 
mengakui kalau kepandaian Gagak Seta berada di atas dirinya. Untung, ada Dewa Arak. Kalau 
tidak, dia bisa tewas di tangan bekas kakak seperguruannya itu. 

Sementara itu pertarungan semakin berlangsung sengit. Seratus lima puluh jurus telah 
lewat. Dan sekarang sudah, terlihat tanda-tanda pihak pihak yang akan keluar sebagai pemenang. 
Dewa Arak telah menguasai keadaan. 

Tampak Gagak Seta hanya mampu bermain mundur. Keistimewaan ilmu 'Tangan Maut'- 
nya tetap tak mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Robohnya Gagak Seta hanya 
tinggal menunggu waktu saja. 

"Haaat..!" 

Pada jurus ke seratus enam puluh tiga, Gagak Seta mengirimkan serangan dengan 
menghentakkan kedua telapak tangan ke dada lawan. Melihat hal itu, dengan perhitungan matang 
seorang ahli silat Dewa Arak merendahkan tubuhnya. Dipasangnya kuda-kuda yang sangat rendah. 
Kemudian, secepat kilat kedua tangannya dihantamkan ke dada lawan. Persis apa yang dilakukan 
Gagak Seta. 

Blakkk! 

"Hukh!" 

Bunyi gemertak keras tulang-belulang yang berpatahan terdengar. Gagak Seta terpekik 
kaget. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Hantaman kedua tangan Dewa Arak mendarat telak 
pada sasaran. 

Seketika itu pula tubuh Gagak Seta terlontar deras sejauh beberapa tombak, sebelum 
akhirnya terbanting di tanah. Tapi, patut dipuji kekuatan tubuhnya. Dengan luka dalam cukup 
parah kakek kecil kurus itu masih mampu bertahan. 

Melihat nasib yang menimpa bekas kakak seperguruannya, Ki Tapaksi Mandragunta tiba- 
tiba merasa kasihan. Bergegas dihampirinya. Kemudian dia berjongkok di dekat tubuhnya. 

Gagak Seta menyunggingkan senyum getir. 

"Untuk yang kesekian kalinya aku menjadi orang yang kalah," ujar kakek kecil kurus ini 
terputus-putus. 

"Lupakanlah itu, Kang Seta!" hibur Ki Tapaksi Mandragunta. "O ya, ada satu hal yang 
masih mengganggu pikiranku. Dengan tingkat kepandaianmu yang seperti ini, kurasa tidak sulit 
bagimu untuk membunuhku sejak kau datang kemari?" 

"He he he...!" Gagak Seta tertawa terkekeh, "Kau tidak tahu, saat itu aku tengah terluka 
dalam. Aku pun berjuang keras mengobatinya di tempatmu. Dan luka itu sembuh beberapa hari 
sebelum munculnya Dewa Arak di sini. Luka itu terjadi akibat aku salah melatih ilmu. Dan.... Akh!" 

Kepala Gagak Seta terkulai. Kakek kecil kurus itu tewas sebelum menyelesaikan 
ucapannya. Meskipun demikian, sampai di situ semua sudah cukup mengerti. Perlahan-lahan Ki 
Tapaksi Mandragunta bangkit, dan ditatapnya bangunan-bangunan perguruannya yang telah 
menjadi puing. Bara api masih memerah. Namun, asap hitam mulai menipis dihembus angin senja 
yang bertiup cukup kencang.... 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Mayat Hidup