Dewa Arak 67 - Makhluk Jejadian


"Ayaaah...! Tolong...!" 

Jeritan nyaring melengking, dan berasal 
dari sesosok tubuh ramping yang berada di pon- 
dongan sosok kekar berpakaian hitam, menguak 
keheningan siang. Tubuh wanita itu menggeliat- 
geliat dalam pelukan tangan kanan sosok berpa- 
kaian serba hitam. 

"Penjahat-penjahat keji! Jangan harap ka- 
lian dapat lolos dari tanganku!" sebuah suara ke- 
ras dan parau bernada kemarahan, menimpali te- 
riakan wanita berpakaian merah itu. 

Pemilik suara kedua ini ternyata seorang 
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh 
tinggi kurus dan berkumis melintang. Dia berlari 
cepat mengejar sosok hitam yang membawa ka- 
bur putrinya. Sebuah golok pendek berwarna hi- 
tam mengkilat tergenggam di tangan kanannya. 

Lelaki berpakaian coklat tua itu ternyata 
memiliki kecepatan lari berada di atas sosok hi- 
tam yang dikejarnya. Jarak antara mereka yang 
semula cukup jauh, semakin lama semakin dekat. 
Namun ketika jarak mereka tinggal sekitar sepu- 
luh tombak, kawan-kawan sosok berpakaian hi- 
tam membalikkan tubuh, menghadang di depan- 
nya. Hal ini membuat lelaki berkumis melintang 
tidak bisa melanjutkan pengejarannya. 

"Tua bangka dungu! Rupanya kau sudah 
kepingin masuk lubang kubur, heh?!" seru sosok 
berpakaian serba hitam yang bertubuh pendek 
kekar. Tangan kanannya bergerak, dan tahu-tahu 
di dalam genggamannya telah tercekal sebuah pi- 
sau pendek berwarna putih mengkilat. Tiga sosok 
hitam lainnya pun melakukan hal yang sama. 

"Kalianlah yang akan kukirim ke akherat!" 
Berbareng keluarnya ucapan itu, lelaki berkumis 
melintang menubruk maju. Golok hitam di tan- 
gannya diputar laksana kitiran di atas kepala se- 
belum diluncurkan ke arah kepala sosok hitam 
yang bertubuh pendek kekar. 

Trangng! 

Bunga-bunga api berpercikan ke udara ke- 
tika sosok hitam pendek kekar mengayunkan pi- 
sau di tangan memapak serangan itu. Akibatnya, 
tubuh sosok pendek kekar terhuyung-huyung 
dua langkah ke belakang, sedangkan lelaki ber- 
kumis melintang hanya tergetar tubuhnya. 

Lelaki berpakaian coklat itu tidak menyia- 
nyiakan kesempatan. Goloknya kembali meluncur 
deras untuk menghabisi nyawa lawan yang belum 
sempat memperbaiki kedudukan. Namun niatnya 
tak menjadi kenyataan, karena tiga sosok berpa- 
kaian serba hitam yang juga berwajah dan bersi- 
kap kasar seperti sosok pendek kekar, serentak 
menyambuti serangan lawan. Mau tidak mau le- 
laki tinggi kurus itu membatalkan serangan dan 
memutar goloknya untuk menghadapi serangan 
tiga pisau yang meluncur ke arahnya. Pertarun- 
gan pun segera terjadi. 

Lelaki berpakaian coklat yang terus diliputi 
kecemasan terhadap keselamatan putrinya itu 
bertarung kalap seperti binatang buas terluka. 
Dengan ganas goloknya berkelebatan mencari-cari 
sasaran. Dia ingin secepatnya mengakhiri perta- 
rungan itu. Tapi maksudnya tetap tidak kesam- 
paian. Tiga orang lawannya terlalu kuat untuk di- 
hadapi, betapapun telah dikerahkan seluruh ke- 
mampuan, dia tidak mampu mendesak. Malah 
keadaannya yang kian lama kian terhimpit. Apa- 
lagi ketika lelaki pendek kekar ikut campur dalam 
pertarungan. Lelaki tinggi kurus ini terus terde- 
sak dan hanya mampu bermain mundur. 

Tak sampai sepuluh jurus, ujung pisau sa- 
lah seorang lawan telah membabat goloknya hing- 
ga terpental jauh. Dan sebelum lelaki berkumis 
melintang ini bertindak untuk menghindar, tiga 
batang pisau yang lain secara hampir bersamaan 
membabat tubuhnya. Seketika mulutnya menge- 
luarkan jeritan menyayat hati ketika senjata- 
senjata lawan menjarah sekujur tubuhnya. Lelaki 
berpakaian coklat itu ambruk berlumuran darah. 

Tanpa mempedulikan mayat lelaki tinggi 
kurus, empat lelaki berpakaian serba hitam itu 
segera melesat meninggalkannya. Mereka berlari 
menyusul rekan mereka yang memondong wanita 
berpakaian merah muda. 

Langkah keempat lelaki berpakaian hitam 
ini semakin dipercepat ketika melihat rekan me- 
reka berdiri sekitar dua puluh tombak di depan. 
Sosok ramping berpakaian merah muda masih 
berada di bahu kanannya. Namun bukan hal itu 
yang membuat empat lelaki berpakaian hitam itu 
tergesa-gesa, melainkan keberadaan sosok yang 
menghadang perjalanan rekan mereka. 


•kick 

"Ah...! Kiranya kau tidak sendirian, Pencu- 
lik Hina?! Pantas kau bersikap demikian tenang! 
Rupanya kau mengandalkan kawan-kawanmu, 
heh?!" ujar sosok yang berdiri menghadang di 
tengah jalan. Matanya memandangi keempat lela- 
ki berpakaian serba hitam yang telah berdiri di 
dekat lelaki yang memondong tubuh wanita itu. 

"Siapa kau, Kakek Tua?!" sergah lelaki 
pendek kekar, keras. "Sungguh berani mati kau 
menghadang perjalanan kami! Menyingkirlah! 
Sayangilah umurmu yang tinggal beberapa hari 
itu! Pergilah cepat sebelum kami kehilangan ke- 
sabaran dan terpaksa membunuhmu!" 

"Hmh!" Sosok yang ternyata seorang kakek 
bermuka kehijauan itu mendengus. "Asal kalian 
tahu saja, keberadaanku di sini justru untuk 
menghalangi niat busuk kalian! Lepaskan wanita 
yang kalian culik itu, dan aku akan membiarkan 
kalian pergi dari sini. Atau... haruskah aku men- 
gambilnya dengan cara kekerasan?!" 

"Kau mencari mati sendiri, Tua Bangka 
Bau Tanah...!" 

Lelaki pendek-kekar melompat menerjang 
dengan sebuah tusukan pisau ke arah leher. Na- 
mun kakek bermuka kehijauan itu tetap bersikap 
tenang, seakan-akan membiarkan ancaman maut 
terhadapnya. Baru ketika ujung pisau itu me- 
nyambar dekat, tangan kanannya bergerak cepat. 

Baik lelaki pendek kekar maupun keempat 
kawannya tidak dapat mengetahui tindakan yang 
dilakukan kakek bermuka kehijauan itu. Yang je- 
las, tahu-tahu tubuh lelaki pendek kekar itu ter- 
pental jauh ke belakang dan jatuh berdebuk di 
tanah, beberapa tombak dari tempat semula. Pi- 
sau putih mengkilat yang semula berada di tan- 
gannya telah berada di tangan kakek bermuka 
kehijauan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek 
bermuka kehijauan itu menimang-nimang pisau 
lawannya. 

"Sebuah senjata yang cukup bagus," gu- 
mam kakek bermuka kehijauan yang bertubuh 
tinggi melebihi manusia umumnya. Mungkin 
tinggi tubuhnya tidak kurang dari satu setengah 
kali manusia normal. 

Melihat dalam segebrakan lelaki pendek 
kekar telah dapat dirobohkan, keempat rekannya 
pun tahu kalau kakek bertubuh jangkung ini 
memiliki kepandaian amat tinggi. Maka serentak 
mereka mencabut senjata masing-masing. Bah- 
kan lelaki berpakaian hitam yang memondong 
wanita berpakaian merah muda pun, ikut berge- 
rak dan mengepung kakek bermuka kehijauan se- 
telah terlebih dulu melemparkan tubuh gadis itu 
ke tempat yang cukup aman dari bahaya perta- 
rungan. 

"Begini lebih baik, agar pertarungan cepat 
selesai," dengus kakek bertubuh jangkung itu 
tanpa memperhatikan empat lelaki berpakaian 
serba hitam yang telah mengurungnya dari empat 
penjuru. Dia masih asyik menimang-nimang pi- 
sau rampasannya. 

Sikap kakek bermuka kehijauan ini mem- 
buat kemarahan empat lelaki berpakaian hitam 
semakin meluap. Sambil mengeluarkan teriakan- 
teriakan nyaring mereka menerjang. Sinar-sinar 
menyilaukan mata langsung mencuat ketika em- 
pat lelaki berpakaian hitam itu menggerakkan 
tangan, melakukan penyerangan dengan pisau di 
tangan. 

Namun mereka kecelik. Babatan, tusukan, 
tikaman, dan ayunan senjata mereka ternyata 
hanya mengenai angin. 

Laksana bayangan tubuh kakek bermuka 
kehijauan itu begitu cepat menyelinap di antara 
serangan pisau-pisau lawan yang berkelebatan. 
Hal ini membuat empat lelaki berpakaian hitam 
semakin penasaran dan melakukan penyerangan 
lebih dahsyat. Seperti semula, hasilnya tidak be- 
rubah. Kakek bertubuh jangkung itu terlalu lin- 
cah untuk dapat dikejar dengan serangan. 

"Sekarang giliranku...!" 

Di tengah-tengah kelebatan serangan pi- 
sau-pisau empat pengeroyoknya, kakek yang 
mengenakan jubah putih itu berseru keras men- 
gatasi riuh rendahnya bunyi pertarungan. Dan 
belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh-tubuh 
lelaki berpakaian hitam berpentalan keluar kan- 
cah pertarungan dan terbanting keras di tanah. 
Dengan tenang kakek bertubuh jangkung itu ber- 
diri tegap. Kedua tangannya menggenggam senja- 
ta-senjata milik keempat lawan. 

Tampaknya kelima lelaki berpakaian hitam 
mulai sadar kalau kakek jangkung itu terlalu 
tangguh bagi mereka. Kakek itu memiliki kepan- 
daian yang amat tinggi. Maka sebelum terjadi hal- 
hal yang tidak diinginkan, setelah saling pandang 
sebentar, mereka membalikkan tubuh dan berlari 
tunggang-langgang meninggalkan tempat itu. Se- 
buah keuntungan masih berada di pihak mereka, 
kakek bertubuh jangkung tidak berwatak telengas 
dan menjatuhkan tangan maut kepada mereka. 
Bahkan melukai pun tidak. Kakek bermuka kehi- 
jauan itu hanya merampas senjata dan membuat 
tubuh mereka terlempar! Sehingga kelima lelaki 
berpakaian hitam masih mampu berlari cepat 
meninggalkan tempat itu. 

Sementara kakek bermuka kehijauan itu 
tidak mempedulikan lima orang lawannya lagi. 
Diayunkan kakinya menghampiri wanita muda 
berpakaian merah muda yang tergolek lemah di 
bawah sebatang pohon berdaun rimbun. Rupanya 
sebelum dilemparkan tubuh gadis itu telah dito- 
tok oleh lelaki yang memondongnya. 

"Bangkitlah, Cucu! Orang-orang jahat itu 
telah kuusir pergi," ucap kakek bertubuh jang- 
kung itu seraya menepuk tubuh gadis itu untuk 
membebaskan totokan. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek!" 
ucap gadis bermuka cantik jelita itu seraya bang- 
kit berdiri. 

"Lupakanlah, Anak Manis!" sahut kakek 
jangkung itu sambil mengulapkan tangan dan 
tersenyum lebar. 

"O ya, mengapa kau bisa berada bersama 
mereka?" 

Gadis berpakaian merah muda itu menen- 
gadahkan kepalanya ke langit seperti tengah 
mencari jawaban pertanyaan itu. 

"Aku tinggal bersama ayahku di tempat 
terpencil. Ayah bekas seorang pendekar, meski- 
pun kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Di tempat 
itu Ayah dan aku hidup sebagai petani untuk me- 
nyambung hidup. Bertahun-tahun lamanya kami 
hidup tenang. Tadi, tiba-tiba saja muncul lima 
orang jahat itu yang menculikku. Ketika itu Ayah 
tengah sibuk di sawah, dan aku dalam perjalanan 
untuk mengirim makanan kepada Ayah. Entah 
bagaimana nasib Ayah sekarang karena tadi kuli- 
hat beliau mengejar-ngejar kelima orang yang 
menculikku." 

"Kalau begitu... mari, kita temui ayahmu. 
Barangkali saja dia tengah mencari-carimu," ajak 
kakek bermuka kehijauan itu. 

Gadis berpakaian merah muda itu menye- 
tujuinya. Sesaat kemudian, keduanya telah me- 
nempuh arah yang semula ditinggalkan oleh lima 
lelaki berpakaian hitam. 

Tak membutuhkan waktu lama bagi dua 
orang itu untuk menemukan lelaki berkumis me- 
lintang. Mendadak gadis berpakaian merah lang- 
sung mengeluarkan jeritan menyayat hati sambil 
menghambur ketika melihat sosok tubuh ayahnya 
tergolek di tanah bermandikan darah. 

"Ayah...!" 

Gadis berpakaian merah meraung-raung. 
Tanpa mempedulikan darah yang membasahi wa- 
jah dan sekujur tubuh ayahnya, ditubruknya tu- 
buh lelaki yang telah tidak bernyawa itu. 

"Hhh...!" kakek jangkung hanya menghela 
napas berat melihat kenyataan ini. Disadari kalau 
tidak ada gunanya mencegah tindakan gadis ber- 
pakaian merah itu. Dibiarkan saja dia menangis 
dengan suara memilukan beberapa saat sebelum 
akhirnya roboh tak sadarkan diri. 

Tanpa berkata apa pun, kakek bermuka 
kehijauan yang memang sejak tadi sudah bersiap 
segera menyambut tubuh gadis itu sebelum am- 
bruk di tanah. Kemudian, dibawanya melesat me- 
ninggalkan tempat itu. 


•k'k'k 


"Hhh... hhh... sebenarnya untuk apa sih 
semua siksaan ini, Gumilang?" tanya seorang ga- 
dis berpakaian hijau muda dengan suara teren- 
gah-engah dan peluh bercucuran membasahi 
kening dan lehernya yang putih mulus. 

Sosok yang dipanggil Gumilang, tidak lang- 
sung menjawab pertanyaan itu. Pemuda berpa- 
kaian coklat itu malah melompat, kemudian hing- 
gap di sebuah tonjolan batu beberapa tombak di 
depannya. Sebuah perbuatan yang tidak terlalu 
sulit sebenarnya kalau saja dilakukan dalam kea- 
daan biasa. Namun saat itu dia mengenakan alas 
kaki berupa potongan kayu tebal yang dibentuk 
sesuai telapak kaki. Cara mengenakannya dengan 
menjepit mempergunakan ibu jari kaki dan telun- 
juk pada tonjolan di bagian depan. Hal itu tentu 
membuatnya repot juga. Apalagi bahu kanannya 
memanggul sebuah pikulan yang terbuat dari su- 
sunan rotan-rotan diikat menjadi satu. Pada 
ujung-ujung rotan itu tergantung dua buah ember 
besar dari kayu tebal yang penuh berisi air. Ben- 
da cair itu tampak bermuncratan ke sana kemari 
ketika kaki Gumilang mendarat di tonjolan batu. 

Tindakan serupa pun dilakukan oleh gadis 
berpakaian hijau muda itu. Seperti juga Gumi- 
lang, dia pun memakai alas kaki yang sama dan 
memikul dua ember air. Hanya saja ember yang 
dibawanya lebih kecil. 

"Jangan kau anggap ini sebagai siksaan, 
Kenari!" ujar Gumilang sambil kembali melompat 
untuk hinggap pada batu runcing yang berada di 
depannya lagi. "Aku yakin, apa yang kita lakukan, 
dan karena semua ini perintah Eyang, pasti ba- 
nyak gunanya bagi kita. Hhh... hhh... hhh...." 

"Bisa kau beritahukan gunanya padaku, 
Gumilang?!" desak gadis berpakaian hijau muda 
yang ternyata bernama Kenari, penuh perasaan 
penasaran, tetap dengan suara terengah-engah. 
"Aku belum merasakan sedikit pun kegunaan se- 
mua siksaan ini." 

"Jadi kau tidak merasakan kegunaannya, 
Kenari? Apakah kau tidak merasakan sendiri per- 
bedaannya?" 

Gumilang balik bertanya sambil terus me- 
lompat-lompat dan hinggap di atas batu-batu 
runcing yang membentang dan harus mereka la- 
lui. Terpeleset sedikit saja cukup untuk membuat 
mereka mengalami luka-luka akibat tersayat- 
sayat batu-batu itu. 

"Tidak!" sambung Kenari, lantang. 

"Lupakah kau, Kenari?! Beberapa bulan la- 
lu, kita tidak mampu melewati tempat ini! Andai- 
kan bisa pun, air yang kita bawa telah habis ter- 
cecer di perjalanan. Apakah kau tidak tahu pula 
kalau pikulan kita secara bertahap semakin men- 
gecil karena batang-batang rotannya dikurangi 
Eyang satu-persatu?! Tidakkah kau sadari kalau 
sekarang kita dapat menempuh perjalanan lebih 
cepat?! Apakah kau tidak tahu pula kalau ember- 
ember yang kita bawa ini beratnya semakin ber- 
tambah?! Dan masih banyak lagi hal-hal yang 
tampaknya tak kau sadari...," urai Gumilang pan- 
jang lebar, dengan penuh semangat 

Kenari kontan terdiam. Rupanya penjela- 
san Gumilang membuatnya dapat berpikir. Dan 
dia pun mulai menyadari kebenaran ucapan pe- 
muda berpakaian coklat itu ketika mengingat- 
ingat semua yang dikatakan secara terperinci itu. 
Dan sekarang, sepasang muda-mudi itu melan- 
jutkan pekerjaan mereka tanpa bercakap-cakap. 

"Hup!" 

Setelah sekian lamanya melalui perjalanan 
yang bermedan batu-batu runcing, Gumilang dan 
Kenari tiba pada sebuah tempat datar, di lereng 
gunung. 

"Ayo, Kenari!" seru Gumilang penuh se- 
mangat "Aku yakin sekarang kita akan lebih cepat 
tiba di puncak. Dan, kolam-kolam yang harus ki- 
ta isi telah penuh! Kita telah maju pesat. Aku ya- 
kin, sekarang Eyang akan memberikan pelajaran 
yang jauh lebih berharga!" 

Kemudian Gumilang dan Kenari pun kem- 
bali berlari. Meskipun medan yang dilalui menan- 
jak serta berbatu terjal dengan enak mereka me- 
lesat. Namun anehnya tak tampak tumpahan 
atau percikan air dari ember-ember yang mereka 
pikul. Padahal, isinya hampir penuh! 

Mendadak langkah Gumilang dan Kenari 
yang semula cepat, langsung mengendur ketika 
melihat lima sosok tubuh berpakaian hitam berdi- 
ri di depan, menghadang perjalanan mereka. 

"Berhati-hatilah, Kenari!" bisik Gumilang. 
"Aku yakin mereka bermaksud tidak baik. Ingat, 
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kau 
lekas kabur! Biar aku yang akan mencoba meng- 
hadang mereka," ujar Gumilang. 

"Tapi, Kang...," Kenari mencoba memban- 
tah, dengan suara pelan karena takut ketahuan. 

"Tidak ada tapi-tapian, Kenari!" tegas Gu- 
milang masih dengan suara berbisik. "Ingat, kita 
belum mempelajari ilmu silat yang berarti dari 
Eyang. Jadi, tidak ada gunanya melawan mereka 
bersama-sama." 

Karena yakin kalau lima sosok yang berdiri 
menghadang sekitar sepuluh tombak dari mereka 
bermaksud tidak baik, Gumilang segera berjalan 
di depan, dan tidak berlari seperti sebelumnya. 
Keduanya membelok ke kanan, melalui jalan se- 
tapak yang licin dan menurun. Tanpa banyak bi- 
cara, Kenari mengikuti langkah Gumilang meng- 
hindari para penghadang yang belum dikenalnya 
itu. 

Begitu keduanya berbelok arah dan baru 
mulai menuruni jalan setapak, lima lelaki itu ber- 
lari mengejar. 

"Hey! Mau ke mana kalian?! Berhenti!" seru 
lelaki yang bertubuh pendek kekar. 

"Kenari! Cepat kabur! Beritahu Eyang! 
Buang saja pikulan itu!" seru Gumilang tanpa bi- 
sa menyembunyikan kecemasannya. Dia sendiri 
langsung membalikkan tubuh, bersiap mengha- 
dang kelima lelaki berpakaian hitam itu. Ember- 
ember segera diturunkan, lalu pikulan yang ter- 
susun dari rotan-rotan sebesar jari telunjuk dan 
berjumlah empat buah itu, digenggam dengan ke- 
dua tangan. Pemuda berpakaian coklat ini bersiap 
untuk mengadakan perlawanan. 

Wuttt! 

Ayunan pikulan rotan yang digerakkan se- 
cara mendatar itu membuat lima lelaki berpa- 
kaian hitam melompat ke belakang. Dari bunyi 
berdecit nyaring yang terdengar mereka dapat 
mengetahui kalau tenaga dalam pemuda berpa- 
kaian coklat itu tidak bisa dianggap remeh. 

"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin 
mampus, heh?!" seru lelaki pendek kekar geram 
ketika melihat gadis berpakaian hijau muda yang 
berada jauh di depan. Gerakan gadis itu ternyata 
sangat cepat, bagaikan larinya seekor kijang! 

Baik lelaki pendek kekar maupun keempat 
kawannya tidak bisa terlalu lama memperhatikan 
Kenari karena Gumilang telah kembali menyerang 
mereka, secara kalap. Cukup hebat gebrakan 
Gumilang, sehingga membuat lima lelaki berpa- 
kaian hitam ini buyar dan kerumunan. 

Hal itu hanya berlangsung beberapa gebra- 
kan, karena sesaat kemudian, Gumilang telah 
terkurung. Lima lelaki berpakaian hitam ini tam- 
paknya orang-orang yang terbiasa bertempur un- 
tuk mempertaruhkan nyawa. Maka sebentar ke- 
mudian mereka langsung tahu kalau Gumilang 
hanya menang dalam hal tenaga dan kegesitan 
gerakan, sedangkan mengenai gerakan-gerakan 
ilmu silat, tipu-tipu penyerangan, dan tangkisan 
maupun elakan, belumlah mahir. Serangan- 
serangan yang dilancarkan pemuda berpakaian 
coklat itu pun tidak berkembang. Dapat ditebak 
dan mudah dipatahkan. Keadaan Gumilang be- 
nar-benar gawat! 

Sementara itu, Kenari meskipun 
mengkhawatirkan keselamatan Gumilang, terus 
berlari tanpa mempedulikan medan yang ditem- 
puh. Tidak dipedulikannya sama sekali jalanan li- 
cin atau kadang semak belukar berduri yang 
membuat pakaiannya koyak-koyak, namun aneh- 
nya tidak mampu melukai kulitnya yang halus. 
Yang ada di benaknya adalah berlari secepat 
mungkin untuk memberitahukan kejadian ini pa- 
da gurunya. 

Krakkk! Brukkk! 

"Hey...!" 

Kenari mengeluarkan jeritan kaget ketika 
sebatang pohon besar tiba-tiba tumbang mengha- 
langi jalan, padahal saat itu dia tengah berlari se- 
cepat mungkin. Gadis berpakaian hijau muda ini 
menjadi gugup, tapi tetap tidak kehilangan kesa- 
daran untuk bertindak, meski untuk sesaat nya- 
linya seperti terbang entah ke mana. Untuk per- 
tama kali, Kenari yang belum pernah mengguna- 
kan kemampuannya, ditantang untuk menyela- 
matkan diri dengan kepandaian yang belum dike- 
tahui kegunaannya. 

"Hih!" 

Di saat-saat terakhir, Kenari menjejak ta- 
nah dengan kaki kanannya. Seketika tubuhnya 
melenting ke atas melewati batang pohon yang 
menghalangi jalan. Setelah bersalto beberapa kali 
di udara, dia berusaha mendarat di tanah. Tapi.... 

Tappp! 

Kenari terpekik kaget ketika pergelangan 
kaki kanannya dicekal oleh sebuah tangan besar 
dan penuh bulu-bulu tebal. Dan sebelum dia 
sempat berbuat sesuatu, tubuhnya terayun deras 
ketika tangan besar itu bergerak menghem- 
paskannya. 

Krosakkk! 

Tubuh Kenari terlempar jauh dan jatuh ke 
semak-semak. Ini merupakan sebuah keuntungan 
bagi gadis berpakaian hijau muda ini, karena 
apabila jatuh menimpa batu atau tanah, dengan 
luncuran sederas itu, entahlah bagaimana luka 
yang akan dideritanya. 

Kenari, menduga kalau pemilik tangan be- 
sar dan berbulu itu termasuk orang-orang yang 
mengejarnya. Karena begitu takutnya ia tidak 
mempedulikan rasa pusing akibat bantingan tadi. 
Dengan cepat gadis itu menerobos kerimbunan 
semak-semak berusaha melesat kabur. 

Kedua kalinya Kenari menjerit kaget. Seke- 
tika itu juga terhenti. Matanya membelalak lebar, 
seakan tidak percaya akan pemandangan yang di- 
lihatnya. 




Memang tidak terlalu berlebihan kalau Ke- 
nari sampai demikian terkesima. Sosok yang ber- 
diri di hadapannya dalam jarak dua tombak, me- 
mang memiliki potongan tubuh menggiriskan ha- 
ti. Bentuk tubuhnya tidak ada bedanya dengan 
manusia biasa, memiliki sepasang tangan, sepa- 
sang kaki, dan kepala di atas. Namun bagian tu- 
buhnya yang hanya tertutup pakaian berupa 
rompi putih, memperlihatkan bulu-bulu halus 
berwarna hitam dan bergaris-garis kuning seperti 
layaknya bulu-bulu yang terdapat pada seekor 
macan! 

Ketika sosok makhluk yang mengerikan itu 
membuka mulutnya, tampak gigi-gigi taring runc- 
ing mencuat kanan kiri. Sosok ini lebih mirip ma- 
nusia harimau! 

"Gggrrrhhh...! Mau lari ke mana kau, Wani- 
ta Liar?! Grrrhhh...! Jangan harap dapat lolos dari 
tanganku. Grrrhhh...!" Sosok berompi putih itu 
mengeluarkan suara keras dan parau dengan se- 
sekali diselingi geraman keras mirip auman hari- 
mau. 

Seruan manusia harimau itu membuat Ke- 
nari sadar dari terkesimanya. Dan hal ini menye- 
lamatkan nyawanya. Karena saat itu juga lelaki 
berompi putih yang berbulu harimau loreng itu 
melompat menerkamnya. Lompatannya pun mirip 
seekor harimau menyerang mangsanya. 

Kenari yang belum pernah memperguna- 
kan kemampuannya, dan bahkan belum menge- 
tahui tingkat kepandaiannya, menjadi gugup me- 
lihat serangan itu. Sesaat dia terpaku kaku di 
tempatnya. Untung saja di saat-saat gawat, ketika 
jari-jari tangan sosok manusia harimau yang 
mempunyai kuku-kuku panjang melengkung dan 
berwarna kehitaman hampir merencah lehernya, 
Kenari teringat akan pelajaran ilmu silat yang di- 
terimanya dari gurunya. Kaki kanannya digerak- 
kan melakukan tendangan lurus ke arah perut 
lawan yang tengah melompat. 

Wuttt! 

Manusia harimau itu ternyata benar-benar 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir 
tidak masuk akal! Serangan Kenari berhasil di- 
elakkannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah 
berada di udara, tidak memiliki landasan apa pun 
yang dapat digunakan untuk menjejak, tapi toh 
hal itu mampu dilakukannya. Dengan hanya 
menggeliatkan tubuh, serangan Kenari berhasil 
dielakkannya, bahkan sempat mengirimkan sam- 
pokan yang membuat gadis berpakaian hijau mu- 
da itu melempar tubuh ke belakang dan bergulin- 
gan menjauh. 

Karena tidak ingin bertarung, Kenari mem- 
pergunakan kesempatan itu untuk terus mencelat 
dan melarikan diri. Namun manusia harimau itu 
benar-benar tidak mau melepaskannya. Dengan 
kecepatan yang mengagumkan makhluk aneh itu 
melesat mengejar. Kejar-kejaran pun terjadi. Ke- 
nari hampir tak percaya ketika sempat menoleh 
ke belakang. Dilihatnya manusia harimau itu ter- 
kadang berlari dengan bantuan kedua tangan se- 
bagaimana halnya seekor harimau sungguhan! 
Dengan cara lari seperti itu, kecepatan larinya 
pun tidak berkurang, bahkan bertambah cepat 

Kenari mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya untuk meninggalkan manusia harimau se- 
jauh mungkin. Namun maksudnya tidak tercapai 
sama sekali. Makhluk yang merupakan campuran 
antara manusia dengan harimau itu tetap tidak 
bisa ditinggalkan. Meskipun demikian Kenari pun 
tidak bisa disusul, jarak antara keduanya tidak 
berubah. 

Setelah melalui jalan terjal berbatu-batu 
yang kadang menanjak dan menurun, Kenari dan 
manusia harimau itu sampai di sebuah tempat 
datar. Dari situ tampak di kejauhan sebuah ban- 
gunan berupa pondok 

Melihat hal ini semangat Kenari bertam- 
bah. Dia yakin apabila telah tiba di pondok itu 
dan gurunya datang, manusia harimau ini akan 
dapat diusir, dan bahkan dikalahkan. 

Namun tiba-tiba semangat Kenari surut, 
bahkan berubah menjadi ketegangan, ketika ma- 
tanya melihat lima sosok tengah terlibat dalam 
suatu pertarungan sengit. Satu di antara mereka 
dikenali betul oleh Kenari, Eyang Kendi Laga. Dan 
yang membuat hatinya lebih terkejut ketika meli- 
hat lawan-lawan yang mengeroyok gurunya itu 
sama seperti makhluk yang mengejarnya, campu- 
ran antara manusia dengan binatang. 

Meskipun demikian, Kenari tetap mene- 
ruskan larinya. Biar bagaimanapun dia lebih te- 
nang kalau berada di sisi gurunya. Namun ketika 
jarak antara Kenari dengan tempat pertarungan 
tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba manusia 
harimau itu melompat melewati atas kepala sam- 
bil meraung keras. Kini makhluk aneh itu telah 
berdiri menghadang di depan Kenari. Mau tak 
mau Kenari terpaksa melakukan penyerangan. 
Untuk kedua kalinya pertarungan antara mereka 
pun terjadi. 

Penglihatan Kenari ternyata tidak salah. 
Tak jauh dari tempat itu seorang kakek kecil ku- 
rus dan berkepala botak tengah sibuk bertarung 
menghadapi empat orang pengeroyoknya yang be- 
rupa makhluk aneh. Campuran antara manusia 
dengan binatang. Dan masing-masing memiliki 
keistimewaan yang berbeda sesuai dengan jenis 
campuran hewannya. 

Eyang Kendi Laga, meskipun tengah sibuk 
mengerahkan seluruh kemampuan untuk meng- 
hadapi pengeroyokan lawan-lawannya, masih 
sempat melihat kehadiran Kenari. Perasaan kha- 
watir akan keselamatan muridnya pun timbul. In- 
gin dia berusaha menolong Kenari, tapi apa 
dayanya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi 
gempuran dahsyat kelima makhluk aneh itu. 

Desss! 

Untuk yang kesekian kali, Eyang Kendi La- 
ga berhasil mengirimkan sebuah tendangan ke 
arah perut salah seorang lawannya yang merupa- 
kan campuran antara manusia dengan badak! 
Tapi, lagi-lagi tubuh lawannya sama sekali tidak 
bergeming, seakan tidak merasakan akibat ten- 
dangan kakek kurus itu. Padahal tendangan dah- 
syat itu kalau mengenai sebongkah batu besar 
atau cadas pun akan hancur! 

Sama halnya dengan manusia badak, tiga 
pengeroyok lainnya pun tidak kalah hebatnya, 
Manusia kera memiliki kegesitan yang menga- 
gumkan. 

Setiap serangan Eyang Kendi Laga selalu 
kandas. Sebaliknya kakek kecil botak itu harus 
selalu berhati-hati terhadap serangannya. Kedah- 
syatan yang sama dimiliki pula oleh manusia be- 
ruang dan manusia serigala! 

Crattt! 

Eyang Kendi Laga memekik tertahan ketika 
sampokan tangan manusia kera berhasil meng- 
gores bahu kanannya. Tubuh kakek kecil kurus 
ini tampak terhuyung ke belakang dengan darah 
merembes keluar dari bagian yang terluka. Belum 
sempat Eyang Kendi Laga memperbaiki kedudu- 
kan, manusia badak telah melancarkan serangan 
dengan serudukan kepala. 

Eyang Kendi Laga terkejut bukan kepalang, 
namun masih sempat untuk menjejakkan kaki 
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Namun tin- 
dakannya tetap kurang cepat, kepala manusia 
badak yang mempunyai tanduk tunggal sempat 
menghantam kaki kanannya. 

Meskipun tidak mengenai dada, serangan 
manusia badak itu cukup membuahkan hasil. 
Eyang Kendi Laga tidak bisa mendarat secara wa- 
jar di tanah. Serbuan terkaman manusia serigala 
yang berhasil dielakkan membuatnya jatuh ter- 
guling di tanah 

Tindakan manusia serigala ternyata amat 
cepat. Makhluk berbulu hitam ini langsung melu- 
ruk menerkam Eyang Kendi Laga untuk men- 
goyak-ngoyak tubuhnya dengan disertai lolongan 
melengking. 

Karena tidak sempat untuk mengelakkan 
serangan, Eyang Kendi Laga mengambil keputu- 
san untuk memapak moncong yang penuh gigi- 
gigi runcing dengan kedua tangannya, meskipun 
untuk itu harus terluka. Dihentakkan kedua tan- 
gannya itu ke depan 

•kick 


"Kaing..!" 

Sebelum moncong manusia serigala ber- 
benturan dengan sepasang tangan Eyang Kendi 
Laga yang dikepalkan, makhluk berbulu hitam itu 
mengeluarkan lengkingan kesakitan. Tubuhnya 
ambruk ke tanah sebelum berhasil melaksanakan 
maksudnya. 

Sebagai tokoh tua yang sudah banyak pen- 
galaman di dunia persilatan, Eyang Kendi Laga 
mengetahui penyebabnya. Meskipun hanya beru- 
pa sekelebatan, dia sempat melihat sepotong rant- 
ing sebesar ibu jari melesat cepat dan menghan- 
tam telak badan manusia serigala itu. Dia tahu 
ada seseorang yang telah menolongnya. 

Belum sempat Eyang Kendi Laga bangkit, 
di depannya, berdiri membelakangi sesosok tubuh 
kekar berambut panjang. Tanpa membalikkan tu- 
buh, dan hanya menolehkan kepala, sosok kekar 
yang ternyata seorang pemuda tampan berwajah 
jantan itu berkata. 

"Biar aku yang menghadapi mereka, Eyang. 
Lebih baik kau tolong muridmu." 

Ucapan pemuda berambut panjang itu 
hanya terhenti sampai di situ karena empat orang 
pengeroyok Eyang Kendi Laga telah menerjang- 
nya. Pemuda berambut panjang itu mengelak- 
kannya dan kemudian melancarkan serangan se- 
hingga terjadi pertarungan seru. 

Eyang Kendi Laga tahu kalau pemuda pe- 
nolongnya memiliki kepandaian tinggi. Hal itu di- 
ketahuinya dari hasil sambitan yang mengenai 
manusia serigala. Tanpa berpikir lebih lama lagi 
dia segera melakukan perintah pemuda berambut 
panjang itu. Meskipun dengan keadaan tubuh 
yang belum sehat betul, dia melesat menuju kan- 
cah pertarungan antara Kenari dengan manusia 
harimau. 

Semula pertarungan antara Kenari dan 
manusia harimau berlangsung tak jauh dari per- 
tarungan Eyang Kendi Laga. Namun karena mas- 
ing-masing pertarungan bergeser pindah tempat, 
terutama sekali pertarungan antara Kenari den- 
gan manusia harimau, jarak antara mereka jadi 
terpisah jauh. Bahkan pertarungan antara Kenari 
dengan manusia harimau telah berada di tepi se- 
buah jurang. Sementara keadaan gadis itu sangat 
gawat, karena terus terdesak ke bibir jurang. 

Dan tepat di saat Eyang Kendi Laga berha- 
sil mendekati kancah pertarungan, Kenari me- 
lompat ke belakang untuk menghindari sampokan 
tangan manusia harimau yang bertubi-tubi. Gadis 
berpakaian hijau muda ini sama sekali tidak tahu 
kalau di belakangnya adalah jurang menganga. 

"Kenari..! Awas...!" 

Eyang Kendi Laga yang melihat adanya ba- 
haya itu berseru keras. Namun teriakannya ter- 
lambat karena tubuh Kenari telah melayang ke 
belakang. Kenari yang belum sadar akan bahaya 
itu mengira peringatan gurunya adalah untuk 
menghadapi manusia harimau. Dia baru memekik 
kaget ketika menyadari kedua kakinya tidak kun- 
jung menjejak tanah, dan bahkan terus melayang 
ke bawah. Gadis itu baru tahu kalau dirinya me- 
lompat ke jurang. 

"Kenari...!" Eyang Kendi Laga berteriak ke- 
ras sejadi-jadinya. Entahlah bagaimana perasaan 
yang ada di dalam hati lelaki tua itu. Keterkeju- 
tan, kepiluan, marah, cemas bercampur jadi satu. 
Sekali lihat saja, meskipun belum menjenguk 
sendiri jurang itu, dirinya tahu kemungkinan un- 
tuk hidup bagi Kenari tipis sekali. 

Kemarahan yang menggelegak tak dapat 
lagi dibendungnya. Wajahnya memerah dengan 
mata membelalak menatap manusia harimau itu. 
Tanpa mengucapkan kata-kara apa pun Eyang 
Kendi Laga langsung melompat menerjangnya. 

Manusia harimau, tanpa banyak cakap se- 
gera menyambut terjangan Eyang Kendi Laga. 
Pertarungan dahsyat pun terjadi di tepi jurang 
itu. Pukulan dan tendangan serta cakaran yang 
menimbulkan angin menderu keras terdengar di- 
tingkahi oleh suara teriakan-teriakan kemarahan. 
Belasan jurus berlalu dengan cepat, tapi belum 
ada yang terkalahkan. Si Manusia Harimau itu 
tampaknya merasa kalau lawannya kali ini tidak 
bisa dianggap remeh, terlalu kuat. Hanya dalam 
beberapa gebrakan, dia berapa kali terkena puku- 
lan yang mengakibatkan tubuhnya terpental jauh 
dan terguling-guling di tanah. 

Di kancah lainnya, pemuda berambut pan- 
jang pun telah dapat menguasai jalannya perta- 
rungan. Meskipun manusia serigala dan manusia 
monyet memiliki kecepatan gerak yang menga- 
gumkan, dia mampu mengatasi mereka. Beberapa 
kali dia membagi-bagi pukulan pada empat la- 
wannya. Terutama sekali pada manusia badak 
dan manusia beruang yang mempunyai gerakan 
lambat. Untung manusia beruang dan manusia 
badak memiliki kekuatan tubuh yang mengagum- 
kan, sehingga pukulan-pukulan pemuda beram- 
but panjang itu seperti tidak menimbulkan akibat 
apa pun pada mereka. Tidak demikian halnya 
dengan manusia kera dan manusia serigala. Baru 
dua kali pukulan pemuda berambut panjang ber- 
sarang, mereka sudah tidak mampu bangkit lagi, 
tergolek di tanah. Sekarang yang masih menga- 
dakan perlawanan sengit tinggal manusia badak 
dan manusia beruang yang sudah agak payah da- 
lam melakukan gerakan. 

Sebuah tendangan yang dilakukan pemuda 
berambut panjang tanpa terduga-duga membuat 
manusia beruang terpental jauh dan terbanting di 
tanah tak berkutik lagi. Tendangan yang menda- 
rat di dada itu membuat tulang tubuh campuran 
antara manusia beruang itu remuk. 

Kenyataan ini membuat manusia badak 
menggeram keras. Dengan cepat makhluk berku- 
lit keras itu melakukan penyerangan dengan 
mempergunakan kepalanya. Deru angin keras 
mengiringi tibanya serangan yang menuju ke da- 
da pemuda berambut panjang itu. Dan.... 

Cappp! 


Cappp! 

Kepala bercula itu menghantam perut pe- 
muda berambut panjang dengan telak. Namun se- 
buah kejadian yang mengejutkan lawannya terja- 
di, Tubuh pemuda berambut panjang itu tidak ber- 
geming sama sekali. Malah, kepala manusia ba- 
dak itu yang menempel di perutnya! 

Dengan telak dan keras kepala bercula itu 
menghantam perut pemuda berambut panjang 
yang tidak berusaha mengelak sama sekali. Na- 
mun sebuah kejadian yang mengejutkan lawan- 
nya terjadi. Tubuh pemuda berambut panjang itu 
tidak apa-apa. Bergeming pun tidak! Kepala ma- 
nusia badak itu malah menempel ke perutnya. 

Manusia badak mendengus dan berusaha 
untuk menarik kepalanya. Tapi sia-sia saja! Kepa- 
lanya seakan telah melekat dengan perut lawan. 
Selain itu, ada hawa panas luar biasa yang me- 
nyeruak dari perut pemuda berambut panjang 
itu, sehingga membuat kepala manusia badak itu 
seperti diletakkan di atas sebuah tungku api yang 
panas! Manusia badak ini meraung-raung kesaki- 
tan dengan suaranya yang aneh. 

Saat itulah, pemuda berambut panjang 
menghantamkan kedua telapak tangannya yang 
terbuka pada sisi-sisi kepala manusia badak. 

Blangng! 

Raungan keras dan menggetarkan keluar 
dari mulut si Manusia Badak. Tubuh makhluk je- 
jadian ini sempoyongan karena pada saat yang 
bersamaan, pemuda berambut panjang itu mele- 
paskan tenaga yang membuat kepala lawan me- 
nempel dengan perutnya. 

Pada saat yang bersamaan, manusia hari- 
mau pun mengeluarkan raungan keras ketika dua 
buah pukulan tangan terbuka Eyang Kendi Laga 
menghantam telak di dadanya. 

Eyang Kendi Laga mengayunkan kaki 
mendekati pemuda berambut panjang ketika dili- 
hat lawannya sudah tidak bergerak lagi. Lawan- 
lawan pemuda tampan itu pun sudah tergeletak 
semua di tanah. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak 
Muda. Kalau tidak ada kau, mungkin aku yang 
tua sudah tidak berada lagi di dunia ini," ucap 
Eyang Kendi Laga penuh rasa terima kasih. 

"Lupakanlah, Kek!" sambut pemuda be- 
rambut! panjang itu, sopan. "Pertolonganku tidak 
ada artinya sama sekali. Bahkan karena keter- 
lambatanku pula muridmu jatuh ke jurang. Kalau 
saja aku datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak 
akan terjadi. Benarkah dugaanku kalau wanita 
yang jatuh ke jurang tadi muridmu...?" 

"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk- 
kan kepala. "Hm... boleh kutahu siapa kau, Anak 
Muda? Aku, Eyang Kendi Laga." 

"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku memang 
tengah mencari-carimu, Eyang. Itulah sebabnya 
aku berada di sini. Menurut berita yang kudengar 
kau tinggal di sini. Bahkan bersama-sama dengan 
beberapa orang muridmu. O ya, aku Arya Bua- 
na...," jawab pemuda berambut panjang itu mem- 
perkenalkan diri. 

"Arya Buana?!" Eyang Kendi Laga menger- 
nyitkan dahi seperti tengah berpikir. Beberapa 
saat lamanya dia termenung dengan pandangan 
tertuju ke angkasa. "Rasanya aku pernah men- 
dengar nama itu. Dan.... Ah...! Arya...! Bukankah 
kau yang terkenal dengan julukan Dewa Arak?! 
Ya, benar! Ciri-cirimu sesuai dengan berita yang 
kudengar mengenai tokoh muda yang telah meng- 
goncangkan dunia persilatan. Bukankah kau 
yang berjuluk Dewa Arak..., Arya?" 

"Begitulah orang memberiku julukan, 
Eyang," jawab Arya, tanpa rasa bangga sama se- 
kali. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan na- 
maku, Arya." 

Eyang Kendi Laga merasa kagum menden- 
gar ucapan pemuda berambut panjang yang ber- 
diri di hadapannya. Dari tanggapan atas ucapan- 
nya dia tahu kalau Arya memiliki watak rendah 
hati. Penuh rasa gembira, sungguhpun tidak bisa 
menyembunyikan kegetiran hatinya akibat jatuh- 
nya Kenari ke dalam jurang, ditatapnya sekujur 
tubuh Arya penuh selidik. Pakaian khasnya yang 
berwarna ungu dengan rambut panjang berwarna 
putih keperakan. Tak ketinggalan pula guci arak 
yang tergantung di punggung, jelas ciri-ciri yang 
dimiliki Dewa Arak. 

"O ya. Hm..., lalu apa maksud kedatan- 
ganmu mencariku, Arya? Apakah hanya sekadar 
untuk mengunjungi gubukku yang reot ini?!" 
tanya Eyang Kendi Laga kemudian seraya terse- 
nyum memandangi Dewa Arak. 

"Kurasa hal itu bisa kita bicarakan nanti, 

Eyang. Urusan ini tidak terlalu mendesak. Lebih 
baik kita selidiki kemungkinan keadaan murid- 
mu. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan 
lolos dari maut," Arya mengajukan usul. 

"Tidak ada salahnya kalau kuikuti saran- 
mu itu, Arya. Tapi, aku yakin kemungkinan un- 
tuk hidup bagi Kenari amat kecil. Aku tahu betul, 
jurang itu amat dalam dan terjal, sulit untuk da- 
pat kita turuni kecuali kalau mempunyai sayap." 

Mulut kakek kecil kurus ini berkata demi- 
kian, tapi kakinya melangkah menuju jurang 
tempat tubuh Kenari tadi terjatuh. Hampir Dewa 
Arak tertawa geli, tapi karena takut menyinggung 
hati kakek kecil kurus itu, ditahannya. Tanpa 
berkata apa pun, diikutinya tindakan Eyang Ken- 
di Laga menuju ke jurang. 

Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya ter- 
henti bibir jurang. Keduanya melongokkan kepala 
ke bawah. Ternyata benar, di samping curam dan 
sangat terjal jurang itu amat dalam. Sejauh mata 
memandang yang terlihat hanya kabut di bawah, 
tidak tampak sama sekali dasar jurang itu. 

Arya menghela napas berat. Kemudian ia 
menoleh ke arah Eyang Kendi Laga. Kakek kecil 
kurus itu pun balas menatapnya dengan pandan- 
gan terharu dan penuh penyesalan. 

"Bagaimana, Arya?!" tanya Eyang Kendi La- 
ga dengan suara parau dan pelan sekali, 

"Rasanya kemungkinan yang dikatakan 
Eyang benar. Kecil sekali kemungkinannya bagi 
Kenari dapat lolos dari maut. Kecuali... bila Tu- 
han menghendaki lain." 

"Mudah-mudahan, Arya," sambung Eyang 
Kendi Laga cepat dan penuh harap. "Tapi ke- 
mungkinan untuk hidup sangat kecil. Dasar ju- 
rang itu berupa bebatuan cadas yang siap mere- 
mukkan tubuh siapa saja yang terlempar ke sa- 
na,..." 

"Siapa yang tahu kehendak Yang Maha 
Kuasa, Eyang...," gumam Dewa Arak sambil kem- 
bali menengok ke dasar jurang. 

Eyang Kendi Laga tidak memberikan tang- 
gapan lagi. Diayunkan kakinya meninggalkan 
tempat itu seraya memberi isyarat pada Arya agar 
mengikutinya. Pemuda berambut putih keperakan 
itu pun melangkah di sisi Eyang Kendi Laga. 

"Kelihatannya sepi sekali, Eyang," Arya 
membuka pembicaraan setelah suasana hening 
beberapa saat. "Ke mana saja muridmu yang 
lain?" 

Eyang Kendi Laga berubah seketika. Meski 
hanya sekejap hal itu tidak bisa lolos dari pan- 
dangan Arya yang tajam dan berpengalaman. Se- 
ketika itu pula pemuda berpakaian ungu ini tahu, 
ada sesuatu yang terjadi terhadap murid Eyang 
Kendi Laga. 

"Mereka sudah tidak ada lagi, Arya," jawab 
Eyang Kendi Laga datar tanpa nada sedih, tapi 
mulutnya yang tersenyum getir serta sorot ma- 
tanya yang kosong menunjukkan kalau hati ka- 
kek ini terguncang. 

"Hhh... maafkan aku, Eyang! Bukan mak- 
sudku untuk mengusik kenangan yang tidak enak 
dan..." ujar Arya. 

"Tidak apa-apa, Arya. Lagi pula aku pun 
ingin menceritakan masalah yang menimpa tem- 
patku ini padamu. Barangkali saja kau dapat 
memecahkannya...," potong Eyang Kendi Laga ce- 
pat untuk menghilangkan perasaan tidak enak 
yang menyelimuti hati Arya atas pertanyaan tadi. 

Arya diam. Diedarkan sepasang matanya 
ke sekeliling tempat itu. Tapi seperti tadi, hanya 
keheningan yang dijumpainya. 

"Kejadiannya berawal dari beberapa hari 
yang lalu," Eyang Kendi Laga memulai ceritanya. 
Dewa Arak pun memperhatikannya dengan sung- 
guh-sungguh. 

"Memang berita yang kau dapat itu tidak 
salah. Aku mempunyai beberapa orang murid. 
Sembilan orang. Delapan lelaki muda dan seorang 
gadis. Tapi beberapa hari yang lalu, tujuh di anta- 
ra mereka lenyap tanpa ketahuan ke mana per- 
ginya. Lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. 
Yang tinggal hanya dua orang Gumilang dan Ke- 
nari. Dan..., Gumilang! Ke mana dia?! Mengapa 
aku begitu pelupa?! Kenari hanya kembali seo- 
rang diri! Duh..,, pasti ada sesuatu yang terjadi 
terhadap dirinya...!" 

Tiba-tiba Eyang Kendi Laga teringat akan 
Gumilang, muridnya. 

"Kalau begitu, mari kita cari, Eyang," sahut 
Arya, cepat. Dirinya langsung bisa mengetahui 
kegelisahan Eyang Kendi Laga. 

"Mari, Arya!" sambut Eyang Kendi Laga tak 
sabar. "Aku mempunyai dugaan di mana adanya 
Gumilang! Mudah-mudahan saja belum terjadi 
sesuatu yang tidak kita harapkan atas dirinya!" 

Dengan kekhawatiran yang mendalam 
akan keselamatan Gumilang, Eyang Kendi Laga 
melesat meninggalkan tempat itu. Kakek kecil ku- 
rus ini langsung melesat menuju jalan yang dila- 
lui dua orang muridnya untuk mengambil air dan 
mengisi dua bak besar di belakang rumah. 

Tanpa berkata apa pun, Arya segera men- 
gikutinya. 



"Itu tong air mereka...!" 

Suara Eyang Kendi Laga terdengar penuh 
getaran karena perasaan tegang menyergap ha- 
tinya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke 
depan, agak ke atas 

Arya terbelalak melihat tong air yang ditun- 
juk Eyang Kendi Laga. Tong dari kayu berat itu 
berada di udara, melayang-layang sekitar tiga 
tombak di atas permukaan bumi. Padahal dua 
buah tong kayu besar yang masih tergantung pa- 
da pikulannya itu tidak ada yang memegang. Jadi 
melayang-layang sendiri! 

"Hati-hati, Eyang!" Meski dengan perasaan 
tidak enak karena takut dianggap menasihati, 
Arya memperingatkan Eyang Kendi Laga. "Aku 
yakin ada orang sakti yang tersangkut dengan pe- 
ristiwa ini. Aku yakin tong itu tidak bergerak sen- 
diri. Atau..., benarkah muridmu mampu melaku- 
kan hal seperti ini?" 

Ucapan Aiya membuat Eyang Kendi Laga 
agak memperlambat larinya. Dia merasakan ke- 
benaran ucapan Arya. Perasaan tegang mengingat 
keselamatan murid yang tinggal semata wayang 
membuatnya melupakan keberadaan tong air itu. 
Tong air itu tidak mungkin berada di sana tanpa 
ada orang sakti yang berdiri di belakangnya. Dan 
dia tahu pasti kalau Gumilang, betapa pun he- 
batnya, tidak akan mampu melakukan hal seperti 
itu? Dia sendiri pun merasa sangsi untuk dapat 
melakukannya. 

Sayangnya, baik Arya maupun Eyang Ken- 
di Laga tidak dapat langsung mengetahui orang 
yang berada di balik tong air itu. Tempat tong air 
itu berada, lebih tinggi dari tempat Aiya dan 
Eyang Kendi Laga. Dua tokoh sakti yang berbeda 
usia ini menempuh jalan mendatar beberapa saat 
lamanya ingin mengetahui siapa yang mengenda- 
likan tong air itu. 

Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya lang- 
sung tertahan. Mata mereka membelalak menatap 
lurus ke depan. Berjarak lima tombak dari tempat 
mereka, berdiri sesosok tubuh ringkih dan bong- 
kok dari seorang kakek yang mengenakan pa- 
kaian terbalik. Baik baju ataupun celananya di- 
kenakan secara terbalik, yang bagian dalamnya di 
luar! Kakek bongkok ini tengah menjulurkan tan- 
gan kanannya ke depan. Sedangkan tangan ki- 
rinya melambai-lambai tertiup angin. Baik Eyang 
Kendi Laga maupun Arya tahu kalau lengan baju 
itu kosong! Tangan kiri kakek bongkok itu bun- 
tung sampai pangkal tangan. 

Kakek bongkok itu pun rupanya melihat 
kedatangan Eyang Kendi Laga dan Arya. Tangan 
kanannya yang terjulur itu ditarik kembali ke sisi 
pinggang. Seketika itu pula tong air yang me- 
layang-layang di udara jatuh ke tanah. Kenyataan 
ini membuat Eyang Kendi Laga dan Arya semakin 
yakin kalau kakek bongkok inilah yang membuat 
tong air itu berada di udara. 

"He he he...!" kakek bongkok itu tertawa 
terkekeh dengan biji mata berputaran liar seperti 
orang tak waras. "Siapa kalian? Apakah kalian 
mempunyai nyawa rangkap sehingga berani men- 
gintai perbuatanku?" 

"Kaulah yang harus menjelaskan kebera- 
daanmu di sini!" sergah Eyang Kendi Laga tak 
mau kalah gertak. "Sekitar daerah ini berada da- 
lam kekuasaanku! Dan tong air yang kau per- 
mainkan itu milik muridku! Katakan apa yang te- 
lah kau lakukan terhadapnya!" 

"He he he,..! Rupanya kau galak juga, Ku- 
rus!" ujar kakek bongkok seraya mengayunkan 
kaki menghampiri. "Ingin kuketahui apakah la- 
gakmu sesuai dengan kepandaian yang kau mili- 
ki?!" 

"Boleh kau lihat sendiri, Bongkok!" Seraya 
berkata demikian, Eyang Kendi Laga yang ter- 
pancing kemarahannya, melompat menerjang. 
Tangan kanannya dijulurkan ke depan dengan ja- 
ri-jari siap menusuk mata lawan. Desiran angin 
keras dan suara berdesit mengiringi serangan itu. 

"Uh...! Boleh juga kau, Kurus!" Kakek 
bongkok itu melangkahkan kaki kanan ke bela- 
kang sehingga tusukan jari tangan lawan tak 
mengenai sasaran. Namun hal ini sudah diperhi- 
tungkan oleh Eyang Kendi Laga, langsung diki- 
rimkan serangan susulan berupa tendangan ke- 
ras dan bertubi-tubi. 

Kakek bongkok tampak tetap tenang. Sedi- 
kit pun tak tampak kegugupannya. Dengan tak 
kalah cepat dia menyelinap maju melalui bawah, 
dan tahu-tahu dia telah berada di dekat Eyang 
Kendi Laga. Tangan kirinya yang buntung mengi- 
rimkan serangan tak kalah dahsyat. Lengan ba- 
junya yang kosong menegang kaku laksana pe- 
dang, dapat menusuk ke arah tenggorokan lawan. 
Namun, Eyang Kendi Laga pun berhasil memus- 
nahkannya dan mengirimkan serangan tak kalah 
dahsyat sehingga menimbulkan pertarungan sen- 
git 

Sebentar saja pertarungan telah berlang- 
sung hampir dua puluh jurus. 

Tukkkk! Prattt! 

Eyang Kendi Laga memekik kesakitan seir- 
ing dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang. 
Kakek kecil berkepala botak ini masih mampu 
mendarat dengan kedua kaki, meski agak ter- 
huyung-huyung. 

Sebelum Eyang Kendi Laga melesat mener- 
jang untuk melanjutkan pertarungan, Arya telah 
lebih dulu bergerak dan berdiri di sebelahnya. 

"Biar aku yang mencoba menghadapinya, 
Eyang," ujarnya dengan suara halus. 

Dewa Arak sengaja ikut campur karena ta- 
hu kalau Eyang Kendi Laga bukan tandingan ka- 
kek bongkok yang berilmu lebih tinggi. Pemuda 
berpakaian ungu ini melihat secara jelas jalannya 
pertarungan. Sehingga mengetahui kalau Eyang 
Kendi Laga telah terluka cukup parah. Tangan ki- 
ri kakek bongkok yang kosong itu ternyata benar- 
benar luar biasa, Eyang Kendi Laga sempat terke- 
na dua pukulan beruntun. Pertama lengan baju 
itu menotok bahu kanan, kemudian langsung me- 
lemas dan mengebut mengenai bahu kiri secara 
keras. Itulah sebabnya tadi tubuh Eyang Kendi 
Laga terlempar beberapa langkah sambil menjerit. 


•kick 


"He he he...! Rupanya kau juga ingin ber- 
main-main denganku, Rambut Setan? Mengapa 
harus membuang waktu dengan melawan satu 
persatu? Lebih baik maju bareng, aku akan men- 
galahkan kalian sekaligus biar tidak bertele-tele!" 

"Terima kasih atas usulmu itu, Kek," ucap 
Arya sambil mengembangkan senyum di bibir. Dia 
tidak terpengaruh oleh ucapan mengejek dari ka- 
kek bongkok itu. "Tapi sayang sekali, aku tidak 
bisa menurutimu. Aku dan kawanku ini bukan 
termasuk orang-orang pengecut! Biarlah, andai- 
kata kalah darimu pun aku tidak menyesal. Kau 
memang tangguh dan sakti." 

"He he he...! Kau terlalu merendah, Rambut 
Setan! Aku tidak yakin akan dapat mengalah- 
kanmu, tapi jangan harap kau akan mudah pula 
mengalahkanku. Terimalah seranganku!" 

"Uh...!" 

Arya mengeluarkan keluhan tertahan keti- 
ka melihat kakek bongkok itu melancarkan se- 
rangan dengan tangan kirinya yang buntung. 
Lengan baju itu bergerak aneh, mematuk-matuk 
dan meliuk-liuk seperti seekor ular. Gerakannya 
yang lemas tapi cepat, sempat membuat pendekar 
muda berambut putih keperakan itu agak kebin- 
gungan untuk mengetahui secara pasti bagian 
yang menjadi sasaran. 

Namun Arya adalah Dewa Arak yang telah 
kenyang pengalaman menghadapi berbagai ma- 
cam tokoh di dunia persilatan. Sebelum serangan 
itu mencapai sasaran, telah bisa diketahuinya ka- 
lau tangan baju yang kosong itu mengincar wa- 
jahnya. Maka buru-buru didoyongkan tubuh ba- 
gian atasnya ke belakang tanpa memundurkan 
kaki. 

Dewa Arak hampir terpekik kaget ketika 
serangan itu mendadak berubah. Serangan len- 
gan baju lawan ternyata hanya pancingan belaka, 
karena langsung ditarik sebelum mencapai sasa- 
ran. Serangan sesungguhnya ternyata sebuah 
pukulan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke 
arah dada. 

Deru angin keras yang mengiringi serangan 
tipuan menyadarkan Dewa Arak kalau gedoran 
itu mampu menumbangkan sebatang pohon be- 
sar. Maka tanpa membuang-buang waktu lang- 
sung dipapaknya dengan bentuk jari-jari tangan 
serupa. 

Glarrr! 

Baik tubuh kakek bongkok maupun Dewa 
Arak terhuyung-huyung ke belakang, akibat ben- 
turan keras tangan mereka yang mengandung te- 
naga dalam kuat itu. Arya agak kaget ketika me- 
nyadari kalau kakek bongkok hanya terhuyung 
dua atau tiga langkah. Padahal dirinya hampir 
mencapai dua tombak ke belakang. Sama sekali 
tidak disangkanya kalau tenaga dalam lawan 
sampai sekuat itu. 

Namun Arya tidak bisa berlama-lama teng- 
gelam dalam alun keterkejutannya karena kakek 
bongkok telah mengirimkan serangan susulan 
dengan mempergunakan sepasang kakinya. Dua 
batang kaki itu meluncur bertubi-tubi ke arah 
Arya dengan kibasan-kibasan yang mengeluarkan 
deru angin keras. 

Pertarungan sengit antara dua tokoh ber- 
beda usia itu terus berlangsung. Dewa Arak den- 
gan kemampuannya dapat mematahkan seran- 
gan-serangan maut lawan. Bahkan mengirimkan 
serangan balasan yang tak kalah berbahaya den- 
gan mengerahkan ilmu 'Delapan Cara Menakluk- 
kan Harimau' dan 'Sepasang Tang Penakluk Na- 
ga'. Pemuda berambut putih keperakan ini senga- 
ja tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' nya 
karena dia menduga kalau lawannya bukan orang 
jahat. Buktinya, tadi kakek bongkok ini tidak 
mengirimkan serangan susulan pada Eyang Kendi 
Laga yang terhuyung-huyung karena terkena se- 
rangannya. Hal itu merupakan cerminan tokoh 
persilatan yang tak suka berlaku curang. Tak in- 
gin membokong lawan bila dalam keadaan tidak 
siap. 

Seperti dua buah ilmu yang dipergunakan 
Dewa Arak, ilmu-ilmu kakek bongkok memiliki 
daya serangan luar biasa. Pertarungan telah ber- 
jalan beberapa jurus, kedua belah pihak lebih ba- 
nyak melancarkan serangan daripada pertaha- 
nan. Sehingga pertarungan tampak seru dan me- 
negangkan. 

Sementara itu Eyang Kendi Laga yang me- 
nyaksikan dari jarak beberapa tombak, merasa 
tegang dan was-was. Sebab setiap kali terjadi ben- 
turan keras baik kaki maupun tangan Dewa Arak 
tampak selalu terhuyung-huyung ke belakang. 
Seakan pemuda itu tak mampu menahan kekua- 
tan tenaga dalam lawannya. 

Plakkk! Bretttt! 

Hampir bersamaan Dewa Arak dan kakek 
bongkok itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari 
mulut keduanya pun keluar jeritan kesakitan dan 
keterkejutan. Dalam sebuah gerakan yang sangat 
cepat, tepakan tangan kanan kakek bongkok ber- 
hasil menghantam pundak kiri Arya. Namun pe- 
muda berambut putih keperakan itu pun berhasil 
mencengkeram lengan baju kiri lawan hingga so- 
bek. 

Tanpa menemui kesulitan Dewa Arak ber- 
hasil mematahkan kekuatan yang membuat tu- 
buhnya sempoyongan. Kemudian bersiap untuk 
melompat kembali ke kancah pertarungan setelah 
terlebih dahulu menggosok sudut bibirnya dengan 
punggung tangan kanan. Tampak darah di tan- 
gannya. Dewa Arak terluka. 

"Cukup, Rambut Setan! Kau benar-benar 
lihai!" Seketika urat-urat saraf dan otot-otot Dewa 
Arak yang semula menegang kaku menjadi lemas 
kembali, mendengar ucapan kakek bongkok itu. 
Apalagi kakek itu pun tak siap untuk bertarung 
lagi. Tentu saja hal itu membuat kening Dewa 
Arak berkerut karena merasa heran. 

"Sekarang beritahukan pada kami pemilik 
tong air yang kau buat permainan itu. Tentu saja 
kalau kau memang tidak bermaksud untuk men- 
cari permusuhan dengan kami," sela Eyang Kendi 
Laga cepat 

"He he he...! Pemilik tong air itu?" tuding 
kakek bongkok pada tong air yang tergeletak di 
atas tanah berbatu-batu. Dan ketika hampir Arya 
dan Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala, 
kakek ini segera menyambung ucapannya, "Men- 
gapa kalian bertanya padaku? Sejak aku berada 
di sini pun pemiliknya sudah tidak ada. Hanya 
tong air itu yang ada di sini. He he he...!" 

Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga saling 
pandang. Keduanya tahu kakek bongkok itu sama 
sekali tidak berdusta. 

"Kalau begitu..., maafkan atas tindakan 
kami, sobat," ucap Eyang Kendi Laga sambil men- 
gulurkan tangan meminta maaf. "Kami telah sa- 
lah menjatuh tuduhan. Kami kira kau yang telah 
mencelakai pemilik tong air itu. Asal kau tahu sa- 
ja, pemilik tong air itu adalah muridku." 

"Lupakanlah, Kurus!" sambut kakek bong- 
kok tetap tidak merubah panggilannya. Uluran 
tangan Eyang Kendi Laga tidak disambutnya sa- 
ma sekali. "Sikapmu membuat perutku mual!" 

Meski merasa mendongkol atas sikap ka- 
kek bongkok, Eyang Kendi Laga tidak berkata 
apa-apa. Perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak. 

"Kalau begitu, Gumilang mendapat bahaya 
sebelum kakek ini datang, Eyang." 

Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala 
membenarkan dugaan Dewa Arak. "Dan aku ya- 
kin Gumilang tidak menyerah begitu saja. Dia 
pasti mengadakan perlawanan. Namun, apabila 
itu terjadi, pasti akan ada bekas-bekas pertarun- 
gan di sekitar sini." 

Tanpa berbicara lagi Arya dan Eyang Kendi 
Laga mulai sibuk meneliti sekitar tempat itu. Se- 
mentara kakek bongkok tampak hanya berdiri 
memperhatikan sambil cengengesan sendirian. 
Namun kemudian secara diam-diam dia melang- 
kah mengikuti Eyang Kendi Laga dan Dewa Arak 
yang tengah meneliti tempat ini. 


•k'k'k 


"Arrrggghhh...!" 

Bagai diberi perintah Arya, Eyang Kendi 
Laga, dan kakek bongkok menolehkan kepala ke 
arah asal jeritan. Saat itu ketiganya telah berada 
di tempat Kenari dihadang oleh sebatang pohon 
yang tumbang. Dan si Kakek Bongkok pun ter- 
nyata mengikuti sampai ke tempat itu. Serentak 
ketiganya melesat menuju tempat asal jeritan itu. 
Suara yang lebih mirip jeritan kematian karena 
didera oleh rasa sakit yang hebat. 

Mereka bertiga harus menerobos kerimbu- 
nan semak-semak dan pepohonan sebelum ak- 
hirnya melihat pemilik jeritan yang menggiriskan 
hati. Pemilik raungan ternyata makhluk jejadian 
pula, hanya berlainan dengan yang mengeroyok 
Eyang Kendi Laga tadi. Makhluk jejadian kali ini 
merupakan gabungan antara manusia dengan 
macan kumbang. 

Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tercen- 
gang dengan mata membelalak. Begitu pula kakek 
bongkok bertangan buntung yang berdiri agak 
jauh dengan Dewa Arak. Mereka bertiga tak men- 
gerti melihat manusia macan kumbang itu tengah 
mengguling-gulingkan tubuh di rerumputan sam- 
bil terus meraung-raung seperti dilanda kesakitan 
hebat. Tubuhnya yang bergulingan beberapa kali 
menabrak batang pohon atau semak-semak ber- 
duri, tapi seperti tidak merasakannya sama seka- 
li. Manusia macan itu tetap meraung-raung den- 
gan tubuh berkelojotan. 

"Apa yang terjadi dengannya, Eyang...?" 
tanpa ragu-ragu Arya mengajukan pertanyaan 
pada Eyang Kendi Laga. 

"Entahlah, Arya," jawab Eyang Kendi Laga 
sambil menggeleng. Tampaknya dia tak berani 
buru-buru menyimpulkan. "Tapi aku yakin dia ti- 
dak menderita luka apa pun. Kemungkinan besar 
makhluk jejadian ini menderita keracunan. Tapi, 
keracunan apa, ini yang menjadi pertanyaan...." 

Baru saja Eyang Kendi Laga menghentikan 
jawabannya, sambil mengeluarkan keluhan pan- 
jang manusia macan itu terkulai lemas, tidak ber- 
gerak lagi. Seketika suasana di tempat itu beru- 
bah hening. Tanpa memeriksa lagi pun, baik 
Eyang Kendi Laga maupun Arya dan kakek bong- 
kok tahu kalau makhluk jejadian itu telah tewas. 
Meski begitu, ketiganya tetap melangkahkan kaki 
mendekat memeriksa apa penyebab kematian 
manusia macan itu secara lebih jelas. 

"Makhluk ini benar keracunan," gumam 
Eyang Kendi Laga setelah memeriksanya sesaat 
"Dan racun inilah yang telah merenggut nya- 
wanya. Dan anehnya mungkin kalian berdua 
akan menjadi heran karenanya. Racun yang me- 
matikan itu ternyata memang berada dalam di- 
rinya. Maksudku dia tidak karena terkena racun 
dari luar. Jelasnya di dalam tubuh makhluk ini 
memang mengandung racun, mungkin di dalam 
darahnya. Hhh... aneh! Kemungkinan racun di 
dalam darahnya itulah penyebab kematiannya...." 

Arya dan kakek bongkok tercenung. Kedu- 
anya pun merasa heran mendengar penuturan 
Eyang Kenda Laga. Mungkinkah makhluk jejadian 
ini memiliki darah beracun seperti layaknya bina- 
tang-binatang berbisa? Tapi, yang menjadi perta- 
nyaan mengapa dia keracunan darahnya sendiri? 
Kedua orang ini memaksa benaknya untuk berpi- 
kir seperti Eyang Kendi Laga. Sesaat suasana 
kembali hening. Tak satu pun yang berbicara, 
hanya menatap sosok manusia berbulu hitam 
yang tergeletak di depan mereka. 

"Kurasa kita dapat mencari jawabannya 
nanti," Ucap Eyang Kendi Laga memecahkan ke- 
heningan yang terjadi karena masing-masing ha- 
nyut dalam perasaan heran dan aneh. "Yang pent- 
ing sekarang mumpung aku ingat, ingin kuketa- 
hui, mengapa kau berada di sini, Sobat? Dan sia- 
pa dirimu. Seperti yang telah kau ketahui nama- 
ku Eyang Kendi Laga, dan ini kawanku Aiya. O 
ya, kau pun belum menjelaskan maksudmu men- 
cariku, Arya." 

"Sebenarnya sepele saja, Eyang," jawab 
Arya setelah tercenung sejenak. "Kedatanganku 
mengunjungi tempatmu hanya untuk mengaju- 
kan sebuah pertanyaan. Tapi sama sekali tidak 
kusangka kalau pertanyaan yang akan kuajukan 
berada di sini pula. Aku ingin tahu, benarkah 
makhluk seperti yang kita jumpai ini ada? Mak- 
sudku, apakah memang mempunyai jenis sendiri, 
seperti layaknya kita yang termasuk jenis manu- 
sia?!" 

Eyang Kendi Laga tidak langsung membe- 
rikan jawaban. Dia tercenung dengan menenga- 
dahkan wajah ke langit. Tindakannya mengisya- 
ratkan seolah-olah jawaban bagi pertanyaan itu 
ada di atas sana dan dia tengah mencarinya. 

"Kemungkinan jawaban bagi pertanyaanmu 
itu, ya dan tidak Arya," jawab kakek kecil kurus 
ini masih dengan kening berkernyit yang menan- 
dakan kalau dirinya masih berpikir. "Masing- 
masing jawaban mempunyai alasan kuat. Ya, ka- 
lau mengingat rasanya tidak mungkin seorang 
manusia, betapapun tinggi ilmunya mampu men- 
jelma atau membuat dirinya seperti yang telah ki- 
ta lihat ini. Mungkinkah seorang manusia dapat 
merubah manusia atau binatang menjadi campu- 
ran antara keduanya? Rasanya mustahil!" 

Arya mengangguk-anggukkan kepala kare- 
na merasakan adanya kebenaran dalam uraian 
Eyang Kendi Laga. Sementara kakek bongkok di- 
am saja. Bahkan seperti tidak memperhatikan 
Eyang Kendi Laga sama sekali. 

"Tetapi kita pun tak bisa menolak kemung- 
kinan adanya makhluk-makhluk aneh seperti itu. 
Bukankah di dunia ini banyak keganjilan dan ke- 
jadian yang kadang tak masuk akal sama sekali. 
Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kalau 
memang benar makhluk ini ciptaan Yang Maha 
Kuasa, mengapa baru muncul akhir-akhir ini? Ti- 
dak sejak dulu? Dan mengapa mereka bisa akur, 
rukun, satu sama lain, padahal campuran jenis- 
nya berbeda-beda...," Eyang Kendi Laga berhenti, 
lalu menatap Arya. "O ya, mengapa kau tanyakan 
hal itu, Arya? Apa kau juga menjumpai mereka di 
sepanjang perjalanan kemari?" 

Arya menganggukkan kepala pertanda 
membenarkan. 

"Sekarang giliranmu menerangkan semua 
hal yang berhubungan dengan dirimu, Sobat?!" 

Kakek bongkok yang mendapat giliran, ter- 
tawa terkekeh-kekeh. Seakan pertanyaan Eyang 
Kendi Laga merupakan sesuatu yang lucu. 

"Namaku, Resi Bumi Gidulu. Tapi kebera- 
daanku di sini dalam tujuan untuk mencari mu- 
rid murtadku. Dia berhasil lolos dari penjara di 
sebuah pulau kosong dan penuh rahasia. Itulah 
sebabnya aku mencarinya. Muridku seorang ber- 
watak bejat. Apabila dia muncul ke dunia ramai, 
kekacauan takkan dapat dihindari lagi. Dia memi- 
liki watak telengas, kejam, dan membunuh terlalu 
ringan baginya.... Jejak yang kudapat menunjuk- 
kan kalau dia berada di pegunungan ini. Setidak- 
tidaknya, dia pernah berada di sini. Maka dari si- 
ni aku mulai melacak jejaknya. Barang kali saja 
dapat bertemu." 

Arya dan Eyang Kendi Laga tidak memberi- 
kan tanggapan. Mereka mendengarkan penjelasan 
kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan 
kepala. Benar dugaan Dewa Arak bahwa tokoh 
tua itu bukan orang jahat 




"Hup!" 

Dengan sebuah gerakan manis seorang ga- 
dis berpakaian merah melompat dari atas pung- 
gung kuda dan mendarat di tanah. Rambutnya 
yang digelung ke atas agak bergoyang-goyang ke- 
tika kakinya menjejak tanah. 

Kemudian, setelah mengikatkan tali kuda 
pada sebatang pohon yang di dekatnya banyak 
terdapat rumput segar, gadis berpakaian merah 
ini menghampiri sebuah sungai. Hanya dengan 
beberapa langkah, dia telah berada di pinggir 
sungai, dan berjongkok di bagian pinggiran yang 
dekat dengan permukaan air. 

"Ah...! Segarnya...!" desah gadis berpakaian 
merah itu setelah membasuh wajah dan kedua 
tangannya dengan air sungai yang jernih. Wajah 
yang semula penuh peluh dan debu, telah kemba- 
li putih kemerahan. 

Bunyi ringkikan kuda yang tiba-tiba ter- 
dengar membuat gadis itu serta-merta membalik- 
kan tubuh dengan sikap waspada. Tangannya 
dengan cepat mencabut pedang yang tersampir di 
punggungnya. Seketika sinar yang menyilaukan 
mata mencuat dari mata pedang yang mengkilat 
itu. 

"Keparat!" 

Gadis berpakaian merah itu mengeluarkan 
desisan kemarahan ketika melihat kuda tunggan- 
gannya ambruk ke tanah. Dari leher kuda coklat 
itu mengalir darah segar, karena tertancap seba- 
tang pisau. Tanpa berpikir lebih panjang, gadis 
berpakaian merah ini tahu kalau binatang tung- 
gangannya telah dibunuh orang. Dan dugaannya 
ternyata tidak salah! Sekejap kemudian, dari balik 
pepohonan yang ada di sekitar tempat itu berlom- 
patan lima sosok berpakaian hitam. Sebilah pisau 
berwarna putih mengkilat tergenggam di tangan 
kanan mereka. 

"Tidak usah membuang-buang tenaga den- 
gan marah-marah dan mencoba melawan kami, 
Anak Manis! Lebih baik kau menyerah dan ikut 
secara baik-baik. Tidak ada gunanya kau mela- 
wan kami" ucap lelaki bertubuh pendek kekar 
sambil menyeringai kejam. 

"Ooo..., jadi kalianlah yang menjadi pelaku 
penculikan terhadap wanita-wanita tak berdosa?!" 
Tanpa memberikan jawaban atas permintaan le- 
laki pendek kekar, gadis berpakaian merah itu 
menghampiri kudanya yang telah tergeletak sam- 
bil memasukkan pedangnya ke dalam warangka. 
Ternyata dia mengambil sebatang tongkat dari pe- 
lana kudanya. 

"Ah...! Jadi kau telah mendengar berita itu, 
Manis?!" sahut lelaki pendek kekar tanpa merasa 
kaget lama sekali. "Kebetulan kalau begitu. Me- 
mang kamilah yang telah melakukan penculikan 
terhadap wanita-wanita. Menyerahlah kalau kau 
ingin diperlakukan baik-baik!" 

"Tutup mulutmu, Manusia Iblis!" sentak 
gadis berpakaian merah, "Wanita lain boleh kau 
perlakukan sekehendakmu. Tapi aku, Mawar, ti- 
dak akan membiarkan kau bertindak semaunya! 
Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan da- 
ri muka bumi!" 

Lima lelaki berpakaian hitam tertawa ber- 
gelak. Semua merasa geli mendengar ucapan ga- 
dis berpakaian merah yang mereka anggap terlalu 
berani itu. Kelimanya baru merasa kaget ketika 
gadis berpakaian merah itu mengirimkan seran- 
gan dengan tongkatnya yang runcing. Bunyi ber- 
desing nyaring dari udara yang terobek akibat ge- 
rakan tongkat runcing itu menyadarkan kelima 
lelaki berpakaian hitam. Gadis berpakaian merah 
yang mereka anggap mangsa empuk itu ternyata 
memiliki tenaga dalam tinggi. 

Oleh karena itu, kelima lelaki berpakaian 
hitam ini tidak berani bertindak gegabah. Mereka 
terpaksa melakukan perlawanan dengan menge- 
rahkan kemampuan masing-masing. 

Trang, trang, trang! 

Bunga api berpijar ketika tongkat runcing 
di tangan gadis berpakaian merah berbenturan 
dengan lima batang pisau mengkilat milik lawan- 
lawannya. Kelima lelaki berpakaian hitam sema- 
kin kaget ketika merasakan tangan mereka terge- 
tar hebat bahkan senjata masing-masing hampir 
terlepas dari pegangan. Hal ini semakin meyakin- 
kan mereka kalau mangsa kali ini bukan gadis 
sembarangan. 

Dugaan mereka ternyata tak salah. Mawar 
bukanlah lawan yang ringan. Gadis ini memiliki 
kepandaian cukup tinggi. Apalagi setelah Dewa 
Arak memberikan petunjuk-petunjuk berharga 
kepadanya meskipun hanya dua hari. Ditambah 
pula dengan bimbingan saudara kembarnya, Me- 
lati, membuat kepandaian Mawar meningkat pe- 
sat (Untuk jelasnya mengenai tokoh Mawar, sila- 
kan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Sepa- 
sang Alap-Alap Bukit Gantar"). 

Bukkk! 

Crettt! 

Dua di antara lima lelaki berpakaian hitam 
terjengkang ke belakang ketika kaki kanan Mawar 
mendarat di paha kanan salah seorang di antara 
mereka. Sedangkan yang satunya lagi terkena ba- 
batan ujung tongkat runcing. 

Tiga lelaki berpakaian hitam sisanya lang- 
sung bergerak cepat, melompat ke belakang dan 
mengurung dari tiga arah. Mawar berdiri diam di 
tempatnya. Dia tidak mau melancarkan serangan 
karena ingin melihat terlebih dulu tindakan me- 
reka selanjutnya. 

Ternyata tiga lelaki berpakaian hitam itu 
tidak melancarkan serangan. Mereka berdiri di 
tempat masing-masing dan membentur- 
benturkan pisau di tangan kanan dengan sarung- 
nya hingga menimbulkan bunyi berdenting yang 
cukup riuh. 

Mawar mengernyitkan alisnya, heran. Dia 
tidak mengerti mengapa tiga lelaki berpakaian hi- 
tam itu melakukan tindakan demikian. Apalagi 
ketika disadari kalau ketukan itu memperdengar- 
kan bunyi yang khas. Suaranya terdengar susul- 
menyusul secara berirama tetap. 

Mawar baru merasa kaget bukan kepalang 
ketika mendadak merasakan sakit pada telin- 
ganya. Kian lama kian bertambah sakitnya, bah- 
kan kemudian rasa pusing mulai menyerangnya. 
Sekujur tubuhnya terasa lemas secara mendadak 
bagaikan dilolosi tulang-belulangnya. Tanpa da- 
pat dicegah lagi, tongkat yang tergenggam di tan- 
gan terlepas dan jatuh ke tanah. Bahkan tubuh 
Mawar mulai limbung. 

Saat Mawar tengah tidak berdaya seperti 
itu, lelaki berpakaian hitam yang tadi terkena 
tendangan pada paha kanannya, dengan agak ter- 
tatih-tatih melangkah mendekati gadis itu. Mawar 
masih menyadari adanya bahaya, tapi tidak ber- 
daya sama sekali. Dirinya tidak mampu melaku- 
kan perbuatan apa pun, bahkan sampai lelaki 
pincang itu menotok bahu kanannya, hingga ro- 
boh lemas tidak berdaya. 

Bersamaan dengan robohnya Mawar, tiga 
lelaki berpakaian hitam menghentikan ketukan 
senjata mereka. 

"Hebat juga betina liar ini!" ucap lelaki 
pendek kekar bernada kagum. "Tanpa cara ini 
mungkin kita tidak akan dapat membekuknya!" 

Empat rekannya, tak terkecuali yang pin- 
cang kakinya dan yang terluka perutnya, namun 
telah ditotok jalan darahnya sehingga darah tidak 
mengalir lagi, menganggukkan kepala membenar- 
kan. Kemudian, setelah lelaki pendek kekar me- 
manggul tubuh Mawar di bahu kanan, mereka 
beranjak meninggalkan tempat itu. 

"Tunggu...!" 

Seruan keras yang membuat suasana di 
tempat itu tergetar hebat membuat lima lelaki 
berpakaian hitam berhenti dan membalikkan tu- 
buh. 

Lima lelaki berpakaian hitam itu terjingkat 
kaget ketika melihat orang yang telah mengelua- 
rkan suara menggeledek itu. 

"Lagi-lagi kau, Kakek Bau Tanah.,.!" seru 
lelaki pendek kekar tanpa menyembunyikan nada 
kegentaran dalam ucapannya. 

"Hm... kau masih mengenaliku, Penculik- 
Penculik keparat!" gumam pemilik suara yang 
ternyata si Kakek Bermuka Kehijauan. Tubuhnya 
yang tinggi laksana galah, tampak bergoyang- 
goyang seperti akan jatuh karena tertiup angin. 

Lima lelaki berpakaian hitam saling pan- 
dang. Sinar mata mereka menyiratkan kebingun- 
gan. 

"Kalau kalian tidak mau melepaskan wani- 
ta itu jangan harap aku akan mengampuni kalian 
seperti dulu lagi! Asal kalian tahu saja, sekarang 
aku sedang tidak enak pikiran. Bukan tak mung- 
kin kalau sekarang aku akan membunuh kalian! 
Lepaskan wanita itu dan pergi dari sini! Cepat!" 

Lima lelaki berpakaian hitam itu tidak 
langsung mematuhi bentakan kakek bermuka hi- 
jau. Mereka saling pandang sejenak. Dalam sinar 
mata mereka rupanya terdapat kecocokan penda- 
pat. Sambil menghembuskan napas berat lelaki 
pendek kekar melemparkan tubuh gadis berpa- 
kaian merah. 

Tappp! 

Seperti menerima segumpal daun kering, 
kakek bermuka hijau itu menyambut tubuh Ma- 
war dengan tangan kiri. Hampir pada saat yang 
sama, tangan kanannya bergerak menepuk, dan 
Mawar pun merasakan totokannya telah punah. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," 
ucap Mawar penuh perasaan terima kasih. "Kalau 
tidak ada Kakek entah apa yang akan terjadi pada 
diriku. Aku berhutang budi padamu." 

Mawar segera membalikkan tubuh. Dia 
bermaksud mengejar lima lelaki berpakaian hitam 
yang masih terlihat di kejauhan. Mereka melesat 
cepat meninggalkan tempat itu setelah memberi- 
kan tubuh Mawar pada kakek bermuka hijau. 

"Tunggu, Nak!" Cegahan kakek jangkung 
membuat Mawar menghentikan maksudnya. Tu- 
buhnya kembali dibalikkan 

"Ada apa, Kek?" 

"Kurasa lebih baik kau urungkan niatmu 
untuk mengejar mereka. Terlalu berbahaya. Kau 
akan ditangkap lagi oleh mereka. Mereka sangat 
licik dan mempunyai banyak cara untuk mero- 
bohkanmu. Lebih baik kau ikut bersamaku." 

Mawar tercenung sejenak. Kalau menuruti 
perasaan, dia ingin menolak tawaran itu. Dirinya 
masih mempunyai urusan yang harus diselesai- 
kan. Dan urusan itulah yang menyebabkannya 
berada di tempat ini. 

"Ikutlah bersamaku, Nak...!" ujar kakek 
jangkung itu lagi, mengulang ajakannya. 

Mawar menganggukkan kepala. Kakinya 
melangkah menghampiri kakek jangkung. Kemu- 
dian keduanya berlari cepat meninggalkan tempat 
itu. 

Belum berapa lama kakek jangkung dan 
Mawar berlari, di kejauhan mereka melihat sosok 
yang tengah melesat cepat menuju tempat itu. 
Namun, baik kakek Jangkung maupun Mawar ti- 
dak mempedulikannya sama sekali dan terus ber- 
lari. Sebentar kemudian, kedua belah pihak ber- 
papasan. Dan... 

"Hei, Mawar! Mengapa kau berada di sini?! 
Hendak ke mana kau?!" tanya sosok yang melesat 
dari arah berlawanan, begitu jarak antara mereka 
tinggal lima tombak. Sosok itu berhenti dan berdi- 
ri menghadang di jalan. Mau tidak mau Mawar 
dan kakek jangkung pun berhenti. 

"Ah! Kakang Arya...!" sambut Mawar penuh 
perasaan gembira. "Memang aku tengah mencari- 
carimu, Dan..." 

"Siapa orang ini, Mawar?!" selak kakek 
jangkung bernada selidik dan tak senang seraya 
menatap Arya dan Mawar berganti-ganti. 

"Dia Arya, Kek. Kawan baikku...." 

Mawar terpaksa menghentikan ucapannya 
karena mengetahui kakek jangkung tidak meng- 
hiraukan melainkan mengalihkan perhatian pada 
pemuda berpakaian ungu di depannya. 

"Anak Muda, siapa pun kau adanya. Beta- 
papun Mawar mengatakan kalau kau adalah ka- 
wan baiknya, aku tidak bisa mempercayaimu. 
Jangan-jangan kau kawan dari para penculik 
yang baru saja menawannya dan berhasil kuusir 
pergi. Menyingkirlah dari sini, sebelum aku ber- 
tindak kasar padamu! Lagi pula aku dan Mawar 
mempunyai urusan yang harus segera diselesai- 
kan. Bukan begitu, Mawar?!" 

"Be... betul, Kang Arya," jawab Mawar agak 
terbata-bata setelah tercenung dan agak kelihatan 
gugup mendapat pertanyaan yang tak disangka- 
sangka itu. 

Arya tertegun. Jawaban Mawar benar- 
benar tidak disangkanya. Dan sebelum dia sem- 
pat berkata apa-apa, dengan tidak sabaran kakek 
jangkung telah mengayunkan kaki ke depan, 
bermaksud pergi. 

"Mari, Mawar! Aku tidak yakin kalau pe- 
muda ini bermaksud baik padamu...." 

Tanpa banyak membantah, meskipun tari- 
kan wajahnya menyiratkan kebingungan, Mawar 
mengikuti tindakan kakek jangkung. Tapi.... 

"Tunggu dulu, Kek!" 

Di saat terakhir, Arya masih sempat ber- 
tindak sebelum kakek jangkung dan Mawar me- 
ninggalkan tempat itu. Dia menggeser kaki se- 
hingga berdiri menghadang jalan. Kedua tangan- 
nya pun dijulurkan ke depan. Tindakannya itu 
memaksa kakek jangkung dan Mawar berhenti. 

"Rupanya kau memang seorang berkepala 
batu, Anak Muda," dengus kakek jangkung tanpa 
menyembunyikan rasa kesalnya. "Peringatan se- 
cara baik-baik tidak mempan untukmu. Jadi, kau 
ingin diperlakukan secara kasar, hah?! Baik ka- 
lau itu maumu! Sambutlah ini!" 

Arya tidak mendapat kesempatan untuk 
memberikan jawaban karena kakek jangkung itu 
telah mengirimkan serangan berupa cengkeraman 
kedua tangannya. Yang kanan mengancam ubun- 
ubun sedangkan yang kiri mengincar dada. Dua 
buah serangan yang mematikan. 

"Keparat!" 

Bersamaan dengan dengusan itu, Dewa 
Arak melempar tubuh ke belakang. Namun kakek 
jangkung yang telah bangkit amarahnya itu sege- 
ra melompat memburu seraya mengirimkan ten- 
dangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. 
Tendangan yang mengeluarkan bunyi angin ber- 
kesiutan karena didukung pengerahan tenaga da- 
lam tinggi. 

Plak, plakkk! 

Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua 
langkah ke belakang ketika memapak tendangan 
itu dengan kedua tangannya. Namun serangan 
maut itu dapat dikandaskannya. Bahkan pemuda 
berambut putih keperakan itu mampu mengirim- 
kan serangan balasan. Sebentar kemudian, dua 
tokoh yang berbeda usia ini telah terlibat perta- 
rungan sengit. 

Tentu saja perkembangan yang tidak ter- 
sangka-sangka ini membuat Mawar kebingungan. 
Dia tidak ingin kakek jangkung itu bertarung 
dengan Arya. Dia tahu kedua belah pihak telah 
salah paham. Mawar khawatir pertarungan ini 
akan membuat salah satu pihak terluka. Hal ini 
tidak diinginkannya sama sekali, karena baik 
Arya maupun kakek jangkung telah sama-sama 
melepas budi besar pada dirinya. Namun sayang- 
nya dia tak memiliki kemampuan apa pun untuk 
menghentikan pertarungan itu. 

Yang dapat dilakukan Mawar hanya me- 
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati ce- 
mas sambil berseru-seru agar kedua belah pihak 
menghentikan pertarungan. Namun sia-sia saja! 
Teriakannya sama sekali tidak diperhatikan, apa- 
lagi oleh kakek bermuka kehijauan. Rupanya ka- 
kek jangkung telah demikian marah sehingga ti- 
dak dapat diajak berpikir lagi. 

"Ternyata kau memiliki sedikit kepandaian, 
Anak Muda Sombong! Pantas kau berani bersikap 
kurang ajar terhadap orang tua...!" seru kakek 
jangkung sela-sela hujan serangan yang dikirim- 
kannya. 

Suara kakek bermuka kehijauan ini ter- 
dengar sarat dengan perasaan geram dan penasa- 
ran, karena Arya mampu menangkis serangan 
yang dilancarkan dengan pengerahan seluruh te- 
naga dalam. Dan setiap tangkisan pemuda be- 
rambut putih keperakan itu selalu membuatnya 
terhuyung dan tergetar. Hal ini membuatnya san- 
gat penasaran, meskipun dilihatnya Arya menga- 
lami hal serupa. 

Karena kedua belah pihak memiliki gera- 
kan cepat, tak terasa pertarungan telah berlang- 
sung tiga puluh jurus. Selama itu belum terlihat 
pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Kedu- 
anya masih saling serang dengan sengitnya. 

"Grrrhhh...!" 

Tanpa terduga-duga, kakek jangkung men- 
geluarkan geraman keras laksana seekor singa 
yang hendak melumpuhkan mangsa dengan sua- 
ra aumannya. Sekitar tempat itu tergetar hebat, 
bahkan Mawar langsung jatuh duduk karena ke- 
dua kakinya mendadak lemas. 

Kalau Mawar saja yang berada cukup jauh 
dari kancah pertarungan terpengaruh hingga ja- 
tuh setengah berlutut, apa lagi Dewa Arak, orang 
yang berada dekat dan menjadi sasaran serangan. 
Meskipun telah terlindung oleh tenaga dalam 
tinggi, tak urung tubuh pemuda berambut putih 
keperakan itu terhuyung-huyung ke belakang. 
Kalau saja tidak mempunyai tenaga dalam kuat, 
isi dadanya mungkin terguncang dan bahkan 
nyawanya akan melayang. 

Kakek jangkung yang sudah memperhi- 
tungkan hal ini, langsung meluruk dengan tam- 
paran kedua tangan bertubi-tubi dari kanan dan 
kiri ke arah pelipis Dewa Arak. Sudah terbayang 
di benaknya kalau pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu akan tewas dengan kepala remuk. 

Arya pun, meski tengah berada dalam kea- 
daan terhuyung-huyung dan matanya berkunang- 
kunang karena pengaruh suara geraman tadi, 
masih dapat melihat adanya ancaman bahaya 
maut. Buru-buru diangkat kedua tangannya un- 
tuk menghalangi tangan lawan mendarat di sasa- 
ran. Hal ini dilakukan karena tidak mempunyai 
kesempatan untuk mengelak, 

Plak, plakkk! 

Karena sebagian tenaga dalamnya seperti 
lenyap akibat geraman lawan, tangkisan yang di- 
lakukan membuat tubuh Arya terlempar dan ja- 
tuh bergulingan di tanah. Namun, dengan gera- 
kan manis pemuda bangkit dan berdiri tegak siap 
untuk menghadapi serangan lanjutan lawan. 

"Iblis!" seru kakek jangkung penuh pera- 
saan ngeri melihat lawannya masih berdiri tegak 
dengan sikap siap menghadapi serangannya. Se- 
telah menatap Dewa Arak sejenak, disambarnya 
tangan Mawar dan dibawanya kabur. 

"Mari, Mawar! Tinggalkan tempat ini..!" 

Kakek jangkung berlari dengan pengerahan 
seluruh ilmu lari cepatnya karena khawatir Dewa 
Arak akan mengejarnya. Tindakan kakek ini 
membuat Mawar yang mempunyai kemampuan 
lari cepat jauh bawahnya jadi setengah terseret. 
Namun gadis berpakaian merah ini tidak meng- 
hentikan pengerahan ilmu larinya dan membiar- 
kan saja tubuhnya dibawa kabur 

Kakek jangkung berlari sambil beberapa 
kali menoleh ke belakang karena khawatir Arya 
akan mengejarnya. Hatinya lega ketika melihat 
pemuda berambut putih keperakan itu tidak 
mengejarnya, melainkan hanya berdiri menatap- 
nya. Dewa Arak tetap bersikap begitu sampai ak- 
hirnya kakek jangkung itu tidak melihatnya kare- 
na lenyap ditelan kejauhan. 

Yakin kalau pemuda berbaju ungu tidak 
mengejarnya, kakek bermuka kehijauan itu mem- 
perlambat larinya. Meskipun agak heran mengapa 
pemuda berambut putih keperakan itu tidak 
mengejar, padahal keadaannya masih segar - 
bugar, kakek jangkung menghibur hatinya den- 
gan menganggap Arya merasa sia-sia untuk men- 
cegahnya. 

Sementara itu, begitu melihat tubuh kakek 
jangkung lenyap di kejauhan, tubuh Arya baru 
bergetar keras. Lalu.... 

"Bhuakh,..!" 

Arya memuntahkan darah segar dari mu- 
lutnya. Darah yang sejak tadi ditahan-tahan ke- 
luarnya. Apabila kakek jangkung mengetahui hal 
ini, nyawanya akan melayang karena kakek itu 
pasti akan terus melanjutkan penyerangan. 

Begitu mengeluarkan darah segar banyak 
dari mulutnya, Arya terguling roboh dan pingsan. 
Paksaan yang dilakukannya untuk tetap tampak 
segar-bugar dan menahan-nahan muntahnya da- 
rah segar, membuatnya harus mengerahkan te- 
naga dalam. Padahal, keadaannya saat itu terluka 
parah, dan tindakan ini membuat luka dalamnya 
semakin parah. 



Sosok tubuh tegap bergerak dengan sikap 
hati-hati mendekati tubuh Arya yang tergolek. 
Semula sosok yang mengenakan pakaian rompi 
kulit ular ini tengah berlari cepat, tapi langsung 
dihentikan ketika melihat sosok tubuh berambut 
putih keperakan tergolek tak bergerak. 

"Siapa pemuda ini, ya?" tanya sosok berpa- 
kaian kulit ular yang ternyata seorang pemuda 
berwajah jantan, apalagi dengan adanya kumis 
dan jenggot tebal serta hitam menghias wajahnya. 
"Mengapa dia bisa terluka? Melihat ciri-cirinya 
aku jadi teringat akan seorang tokoh golongan pu- 
tih yang julukannya menggemparkan dunia persi- 
latan. Diakah Dewa Arak?" 

Semua pertanyaan itu terucap hanya di da- 
lam hati pemuda berpakaian kulit ular. Dan den- 
gan pertanyaan yang bergaung-gaung di dalam 
hati, didekatinya, tubuh Arya dengan sikap was- 
pada karena khawatir kalau-kalau sosok itu tiba- 
tiba bangkit dan menyerangnya. Namun sampai 
pemuda berompi kulit ular itu berada dekat den- 
gan tubuh Aiya, dan bahkan sampai berjongkok, 
apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Tubuh itu 
tetap diam mematung seperti sebelumnya. 

"Hei... Apa yang kaulakukan?!" 

Di saat pemuda berompi kulit ular itu 
mengulurkan tangan hendak menyentuh tubuh 
Arya, terdengar suara teriakan. Suara itu terden- 
gar dekat sekali padahal pemiliknya masih berada 
dalam jarak sekitar tiga puluh tombak, teriakan 
itu menimbulkan getaran hingga ke dalam dada! 

Rasa kaget membuat pemuda berompi kulit 
ular menghentikan gerakan tangannya, dan bah- 
kan menariknya kembali. Tubuhnya segera berba- 
lik, tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, 
pemilik suara itu telah berada di depannya. "Apa 
yang hendak kau lakukan terhadap si Rambut Se- 
tan, Manusia Ular?!" tanya pemilik suara yang 
ternyata seorang kakek bongkok mengenakan pa- 
kaian terbalik, bagian dalam di luar! 

"Jangan sembarangan menuduh, Kek!" sa- 
hut pemuda berompi kulit ular itu merasa tidak 
senang, setelah wajah dan sikapnya menampak- 
kan keterkejutan seperti seorang maling yang ter- 
tangkap basah. "Aku sendiri baru tiba di sini, dan 
akan memeriksa tubuh muda ini. Barangkali saja 
nyawanya masih bisa diselamatkan...." 

Kakek bongkok tidak langsung memper- 
cayai jawaban pemuda berompi kulit ular itu. 
Meski dia tidak memberikan tanggapan, beberapa 
saat sepasang matanya meneliti sekujur tubuh 
pemuda berompi kulit ular itu dengan penuh seli- 
dik dan tanpa menyembunyikan perasaan curiga. 

Pemuda berompi kulit ular rupanya terma- 
suk orang yang berwatak sabar, atau merasa gen- 
tar melihat sikap dan tindakan kakek bongkok. 
Dia malah menundukkan kepala setelah sejenak 
balas menatap. Sikap ini membuat kakek bong- 
kok semakin bertambah curiga karena setahunya 
hanya orang yang bersalah merasa takut diselidi- 
ki. 

"Uuuh...!" 

Keluhan panjang dari mulut Arya membe- 
baskan pemuda berompi kulit ular dari tatapan 
penuh selidik kakek bongkok. Sepasang mata tua 
tapi masih tajam berkilat penuh pengaruh itu ber- 
lari secara cepat ke arah tubuh Arya yang tergolek 

"He he he...! Apa yang terjadi, Rambut Se- 
tan? Aku tak percaya kalau tidak melihat sendi- 
ri...! Orang seperti kau bisa terluka. Luar biasa! 
Apakah ini orang yang telah melukaimu?!" tanya 
kakek bongkok tak sabar begitu melihat Dewa 
Arak yang tergolek di tanah mengerjap- 
ngerjapkan sepasang matanya. 

Arya meski baru saja sadar dari pingsan, 
tapi karena telah terbiasa hidup dalam bahaya, 
langsung dapat mengetahui keadaan. Meski pan- 
dangannya masih kabur, dia dapat mengenali dua 
sosok yang berdiri depannya. 

"Bukan, Resi. Bukan dia yang telah melu- 
kaiku. Aku bertarung dengan seorang kakek sak- 
ti." 

Pemuda berompi kulit ular melirik ke arah 
kakek bongkok penuh kemenangan. Sorot ma- 
tanya seperti mengucapkan perkataan. 

"Apa kubilang?!" 

"He he he...! Kau terluka parah, Rambut 
Setan! Biar kucoba mengobati lukamu. Duduklah 
bersila!" ujar kakek bongkok yang ternyata ber- 
nama Resi Bumi Gidulu. 

"Terima kasih, Resi, Tidak usah repot- 
repot, biar aku yang menyembuhkan luka ini. Ti- 
dak parah, kok." 

Dewa Arak lalu bangkit dan duduk bersila 
meski agak payah, untuk bersemadi. 

Resi Bumi Gidulu tidak bisa berkata apa- 
apa selain mengangkat dua bahunya. Dia tidak 
memaksakan kehendak karena tahu Dewa Arak 
bersungguh-sungguh dengan penolakannya, bu- 
kan sekadar basa-basi belaka. 

Dibiarkan saja pemuda berambut putih 
keperakan itu melakukan hal yang ingin dikerja- 
kan. Dan sebentar kemudian, Dewa Arak telah 
tenggelam dalam keheningan semadi untuk men- 
gobati luka dalamnya. 

Resi Bumi Gidulu menatap Dewa Arak se- 
bentar, tapi kemudian mengalihkan perhatian pa- 
da pemuda berompi kulit ular. 

"Siapa kau, Manusia Ular?! Apakah kau 
pun di sini untuk memburu makhluk-makhluk je- 
jadian?!" tanya Resi Bumi Gidulu, langsung tanpa 
basa-basi. Mulutnya cengengesan menatap pe- 
muda itu. 

"Panggil saja aku Dongga! Keberadaanku di 
sini untuk mencari pengalaman. Ke mana saja 
kakiku ini membawa ke situlah aku menuju," ja- 
wab pemuda berompi kulit ular, halus. 

"Mencari pengalaman?! Pengalaman tai 
kucing! Kau di sini tidak untuk mencari pengala- 
man! Untuk apa pengalaman?! Aku di sini karena 
membawa sebuah tugas yang sebenarnya tidak 
kusukai. Tapi, karena ini masih tanggung jawab- 
ku, apa boleh buat, harus kuselesaikan juga." 

"Tugas, Resi. Tugas apa? Barangkali saja 
aku dapat menyumbangkan tenaga dan kemam- 
puanku yang tidak seberapa ini untuk meringan- 
kan tugasmu. Maaf kalau aku terlalu lancang, 
Resi." 

"Tentu saja tidak, Manusia Ular! He he 
he...! Bahkan aku memang bermaksud menceri- 
takannya padamu," sambut Resi Bumi Gidulu te- 
tap tidak memanggil pemuda itu dengan na- 
manya. 

"Aku sebenarnya sudah mundur dari rimba 
persilatan. Aku sudah jenuh, bosan! Kini, terpak- 
sa harus keluar lagi dan terlibat dengan kekera- 
san, karena ingin mencari dan menangkap, serta 
kalau bisa melenyapkan murid murtadku dari 
muka bumi ini kalau dia masih melanjutkan ke- 
se satannya seperti dulu." 

Resi Bumi Gidulu menghentikan ceritanya 
untuk melihat tanggapan Dongga. Barangkali saja 
pemuda berompi kulit ular itu hendak mengaju- 
kan sebuah perkataan. Namun, Dongga ternyata 
diam, tak menyela cerita kakek bongkok itu. Ia ti- 
dak berbicara apa pun, menunggu kelanjutan ce- 
rita dengan sabar, sikap seorang pendengar yang 
baik! 

"Dulu, hampir tiga puluh tahun yang lalu 
aku terpaksa menyekap murid yang sangat ku- 
sayangi di sebuah pulau mengerikan. Pulau aneh 
yang tidak mungkin orang keluar dari tempat itu 
kecuali mengetahui rahasianya. Sebuah kebetu- 
lan, aku mengetahui rahasianya, dan muridku ti- 
dak. Hal itu terpaksa kulakukan, setelah muridku 
yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun, ti- 
dak juga mau sadar dari kesesatan tindakannya. 
Mengacaukan dunia persilatan, bahkan dengan 
cara licik berani membuat tubuhku cacat. Kau li- 
hat bongkokku? Ini akibat perbuatan muridku!" 

"Keji sekali muridmu itu, Resi!" Dongga 
mengeluarkan makian terhadap murid Resi Bumi 
Gidulu, ketika kakek bongkok itu menghentikan 
ceritanya untuk mengambil napas. 

"He he he...! Dia memang bukan manusia 
lagi, Manusia Ular, tapi iblis! Itulah sebabnya aku 
khawatir sekali ketika menengok pulau itu satu 
purnama yang lalu, tidak kulihat keberadaannya 
di sana. Malah aku melihat adanya tanda-tanda 
kalau dia telah pergi meninggalkan pulau huku- 
man itu. Maka, walau sudah tua, lewat seratus 
tahun usiaku, karena khawatir murid biadab itu 
melakukan tindakan kejinya, aku terpaksa turun 
gunung. O ya, nama muridku itu Rawali. Kulitnya 
hitam kelam. Wajahnya khas karena mengin- 
gatkan orang akan wajah seekor burung elang. 
Bukan hanya karena dandanannya, tapi karena 
bentuk hidung dan sepasang matanya. Aku yakin 
akan mudah mencari orang dengan ciri-ciri seper- 
ti itu. Tapi sampai sekarang aku belum juga ber- 
hasil menemukan jejaknya. Aku jadi ragu, apakah 

muridku itu menempuh jalan yang berlainan den- 
ganku atau sebenarnya belum keluar dari pulau 
hukuman?!" 

"Mungkin muridmu itu menempuh jalan 
yang berada jauh denganmu, Resi. Siapa tahu dia 
menempuh arah ke barat, sedangkan kau ke ti- 
mur. Bagaimana mungkin kau bisa menemukan 
jejaknya. Lagi kau... maksudku... tahukah kau, 
Resi, kapan tepatnya muridmu itu telah tidak be- 
rada di pulau hukuman?!" 

"Aku tidak tahu pasti, Manusia Ular," Resi 
Bumi Gidulu mengangkat bahunya. "Tapi, aku 
yakin tidak sampai setahun. Sebab, aku menen- 
gok tempat itu saja tahun sekali. Jadi, kemungki- 
nannya paling lama hanya setahun dia lolos dari 
tempat itu. Meskipun demikian entah mengapa 
aku yakin sekali kalau Rawali pergi belum lama 
dari pulau itu. Paling lama hanya berseling bebe- 
rapa hari." 

Dongga tidak sempat memberikan tangga- 
pan lagi karena Arya telah menyelesaikan sema- 
dinya dan berjalan mendekati mereka berdua. 
Terlihat jelas kala luka dalam pemuda berambut 
putih keperakan itu telah sembuh, karena wajah- 
nya terlihat telah segar. Hanya saja tenaga Arya 
belum seluruhnya pulih seperti sediakala. Arya 
masih memerlukan semadi lagi untuk membuat 
tenaga dalamnya penuh. 

"Mengapa kau berada di sini, Resi?!" 

Arya mengajukan pertanyaan tanpa ber- 
prasangka buruk, setelah terlebih dulu berkena- 
lan dan berbasa-basi dengan Dongga, dan mence- 
ritakan penyebabnya terluka. 

"He he he...! Meskipun tidak melihatnya, 
kau tahu kalau sekarang Eyang Kendi Laga telah 
menemukan jawaban bagi pertanyaanmu, Ram- 
but Setan," jawab Resi Bumi Gidulu, memberikan 
alasan keberadaannya di tempat ini. Memang, tiga 
orang ini mulanya telah saling pisah untuk me- 
laksanakan kepentingan masing-masing. 

"Lalu... bagaimana hasilnya, Resi?!" tanya 
Dewa Arak penuh rasa ingin tahu. 

"Mengapa tidak kau temui si Kurus itu dan 
bertanya padanya, Rambut Setan?!" Resi Bumi 
Gidulu malah balas bertanya. 

"Kau ikut, Dongga?!" ajak Arya sebelum 

pergi. 

"Kalau kau tidak keberatan, Arya?!." 

"Tentu saja tidak!" jawab Arya cepat. "Bu- 
kankah kita sekarang berkawan?!" 

Dongga si Pemuda Berompi Kulit Ular me- 
lesat mengikuti Dewa Arak dan Resi Bumi Gidulu. 
Semula Aiya menahan-nahan kecepatan larinya, 
khawatir kalau Dongga akan tertinggal jauh. Na- 
mun ternyata tidak, pemuda berompi kulit ular 
itu mampu mengimbangi lari mereka berdua, 
bahkan ketika Arya mengeluarkan hampir selu- 
ruh ilmu meringankan tubuhnya. Diam-diam baik 
Arya maupun Resi Bumi Gidulu bertanya-tanya 
dalam hati, "Murid siapakah pemuda berompi ku- 
lit ular ini?" 

Karena ketiga tokoh itu berlari cepat, da- 
lam waktu sebentar saja telah berada dekat den- 
gan pondok kediaman Eyang Kendi Laga. Dan 
tampak kakek kecil kurus itu berdiri menunggu di 
depan pintu pondok. Tampak jelas perasaan tidak 
sabarnya untuk memberitahukan hasil penyelidi- 
kannya. Dan seperti juga Arya, Resi Bumi Gidulu, 
Dongga, dan Eyang Kendi Laga pun melihat keda- 
tangan mereka. Dan tergesa-gesa kakek kecil ku- 
rus itu berlari menyambut. Kedua belah pihak 
pun bertemu muka di tengah perjalanan. 

"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Eyang?" 
tan Arya, sebelum Eyang Kendi Laga mengata- 
kannya. 

"Kau akan terkejut mendengarnya, Arya," 
jawab kakek berkepala botak itu yakin akan uca- 
pannya. "Makhluk-makhluk jejadian itu ternyata 
tidak ada!" 

"Maksudmu... makhluk-makhluk itu di- 
buat orang, kurus?!" Resi Bumi Gidulu yang ma- 
lah mengajukan pertanyaan. 

"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk- 
kan kepala. "Entah dengan cara bagaimana aku 
sendiri pun tidak tahu, tapi yang jelas, makhluk 
jejadian ini dibuat dari bahan dasar berupa ma- 
nusia sungguhan!" 

"Biadab!" Arya memaki penuh perasaan ge- 
ram. 

"Iblis!" Resi Bumi Gidulu ikut pula menge- 
luarkan seruan kemarahan. 

Dongga, karena tidak tahu masalah yang 
tengah diributkan, hanya berdiam diri. Dia tidak 
mengajukan pertanyaan sama sekali. Dan, Resi 
Bumi Gidulu yang telah tahu sikap pemuda be- 
rompi kulit ular yang sungkan itu, segera bersi- 
kap tanggap dengan menceritakan semuanya. 

"Ah, jadi... makhluk jejadian itu benar- 
benar ada?! Dan, itu semua merupakan hasil per- 
buatan seseorang? Sungguh keji!" ujar Dongga 
ketika Resi Bumi Gidulu telah selesai mengutara- 
kan ceritanya. "Sama sekali tidak kusangka. Ku- 
pikir berita itu hanya kabar burung belaka. Se- 
mula aku tidak percaya. Mana mungkin ada ma- 
nusia harimau, manusia kera, atau yang lain- 
nya?" 

"Kau sendiri, bagaimana hasilnya, Arya?" 
tanya Eyang Kendi Laga ingin tahu. 

"Belum, Eyang." Kemudian secara jelas 
Arya menceritakan semua kejadian yang diala- 
minya. "Mudah-mudahan saja kakek itu tidak 
bermaksud jahat terhadap Mawar." 

"Kau jangan terlalu yakin, Arya," gumam 
Eyang Kendi Laga membuat Dewa Arak menoleh 
ke arahnya. "Bisa kau ceritakan, maksudku... be- 
ritahukan ciri-ciri kakek yang telah membawa lari 
kawan baikmu itu. Aku khawatir kawanmu itu se- 
lamat dari mulut serigala tapi masuk dalam ceng- 
keraman harimau," 

Arya tidak langsung menjawab pertanyaan 
itu. Dia tercenung dengan sepasang mata mena- 
tap ke angkasa. Pemuda berambut putih kepera- 
kan ini mencoba mengingat ciri-ciri kakek yang 
telah membawa Mawar pergi. 

"Seorang kakek bertubuh jangkung... ting- 
ginya tak kurang dari satu setengah kali orang bi- 
asa. Wajahnya kehijauan. Hanya itu ciri-ciri khas 
orang itu yang dapat kuberitahukan padamu, 
Eyang. Apakah kau mengenalnya?!" 

Arya mengajukan pertanyaan demikian ka- 
rena melihat wajah Eyang Kendi Laga berubah, 
menampakkan keterkejutan dan kekhawatiran. 

"Kekhawatiran ku ternyata beralasan, 
Arya," gumam Eyang Kendi Laga, pahit. "Ciri-ciri 
orang yang kau sebutkan padaku itu amat ku- 
kenal. Aku pernah beberapa kali bertemu den- 
gannya meskipun tidak pernah bentrok. Dia seo- 
rang tokoh hitam yang berwatak keji. Aku bukan 
bermaksud menakut-nakutimu, tapi aku yakin 
keselamatan kawanmu itu terancam!" 

"Siapa sebenarnya tokoh itu, Kurus?!" 
tanya Resi Bumi Gidulu sebelum Arya mengaju- 
kan pertanyaan. Kakek bongkok ini mendengar- 
kan percakapan Arya dan Eyang Kendi Laga. 
Tampaknya dia merasa tertarik sehingga segera 
ikut campur dan mengajukan pertanyaan. 

"Raja Sihir Pelenyap Sukma," jawab Eyang 
Kendi Laga, singkat 

"Ah...!" 

Seruan keterkejutan hampir bersamaan ke- 
luar dari mulut Aiya, Resi Bumi Gidulu, dan 
Dongga. 

"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang 
Kendi Laga, ingin tahu. 

"Tidak, Eyang. Tapi nama besar dan keja- 
hatan tokoh itu telah lama kudengar. Ah, kasihan 
Mawar!" Wajah Dewa Arak mendadak berubah, 
mencemaskan keadaan kawannya. 

"Apakah tidak mungkin bagi kita untuk 
menyelamatkannya," Dongga menyela pembica- 
raan mereka. "Barangkali saja kita dapat bertin- 
dak cepat sebelum terjadi sesuatu atas diri Ma- 
war." 

"Kemungkinan untuk menyelamatkannya 
merupakan sebuah hal yang sulit, Dongga. Bukan 
karena kita tidak mampu, tapi aku yakin kalau 
waktu tidak memungkinkan kita. Terkecuali ka- 
lau kita sudah lebih dulu mengetahui tempat ke- 
diaman Raja Sihir Pelenyap Sukma itu." 

Dongga mengangguk-anggukkan kepala, 
dapat menyadari adanya kebenaran dalam uca- 
pan Eyang Kendi Laga yang menanggapi usulnya. 

"Kalau benar demikian, kurasa kemungki- 
nan itu terjadi besar, Kurus!" sambut Resi Bumi 
Gidulu penuh semangat. Hal itu membuat wajah- 
wajah, terutama sekali Arya yang sudah lesu sete- 
lah mendengar penuturan Eyang Kendi Laga, jadi 
bercahaya karena mempunyai sedikit harapan. 

'Apakah kau mempunyai cara cepat untuk 
dapat menyelamatkan Mawar, Resi?!" tanya Arya, 
cepat 

"Menyelamatkannya sih, aku tidak yakin," 
jawab Resi Bumi Gidulu yang membuat dua wa- 
jah lain terutama Arya yang semula sudah berse- 
ri-seri jadi putus asa kembali. "Bukankah, si Ku- 
rus itu hanya mengingatkan kalau kita mampu 
mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap 
Sukma, akan dapat menyelamatkan nyawa Ma- 
war?! Nah! Aku mempunyai sebuah cara untuk 
mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap 
Sukma secara cepat" 

"Benarkah itu, Resi?!" sambut Arya cepat 
dengan semangat yang mulai timbul kembali. 

"Tentu saja!" jawab Resi Bumi Gidulu, 
mantap. "Tapi, apakah usahaku ini akan berarti 
bagi keselamatan nyawa kawanmu itu, Rambut 
Setan?!" 

"Mudah-mudahan saja!" sahut Arya. 

"Kalau begitu aku bersedia. Tapi, aku tetap 
membutuhkan bantuan kalian semua. Siapa di 
antara kalian yang bersedia membantu?! Tapi, 
sebelumnya perlu kuberitahukan bahwa caraku 
ini tidak wajar. Aku akan meminta bantuan pada 
roh-roh yang berada di sekitar tempat ini. Baik 
roh gentayangan maupun setan-setan yang berke- 
liaran. Bantuan yang dibutuhkan adalah kese- 
diaan salah seorang di antara kalian untuk men- 
jadi tempat dari roh yang akan dipanggil. Aku 
akan mengajukan pertanyaan pada roh-roh yang 
akan bersedia datang. Siapa di antara kalian yang 
bersedia?!" 

"Aku saja, Resi. Biar bagaimanapun aku 
lebih bertanggung jawab atas keselamatan ka- 
wanku itu. Bukan karena aku mengecilkan arti 
Eyang Kendi Laga atau pun Dongga." 

"Kalau begitu, bersiaplah, Rambut Setan! 
Kita akan memulainya." 

Dewa Arak melangkah mendekati tempat 
kakek bongkok itu berada. Sedangkan Dongga 
dan Eyang Kendi Laga segera menjauh. 

Sementara itu Resi Bumi Gidulu segera 
mengeluarkan perabotannya untuk memanggil 
roh-roh dimaksud dari buntalan kain yang ada di 
belakang punggungnya. Pedupaan, kemenyan, 
dan bubuk berwarna putih. Dupa yang telah diisi 
kemenyan diletakkan di tengah-tengah tempat 
pemanggilan roh. Sedangkan bubuk putih itu dis- 
ebarkan menggelilingi tempatnya dan Aiya berada 
membentuk persegi panjang cukup luas. 



"Aungng...!" 

Lolong anjing hutan yang mengaung pan- 
jang membuat suasana malam yang melingkupi 
hutan di bawah puncak gunung terasa semakin 
menyeramkan. Apalagi bulan penuh yang tampak 
di langit perlahan-lahan mulai tertutup awan hi- 
tam bergumpal-gumpal yang entah muncul dari 
mana. 

Dalam suasana mencekam seperti itu, so- 
sok tubuh jangkung yang tak lain Raja Sihir Pele- 
nyap Sukma melesat cepat dengan pengerahan 
ilmu larinya, sehingga bentuk tubuhnya lenyap 
dan yang terlihat hanya bayangan berkelebat da- 
lam bentuk tidak jelas. Sementara di belakang- 
nya, berlari mengejarnya sesosok tubuh yang 
hampir telanjang karena sebagian pakaiannya te- 
lah hancur berantakan. 

"Hayo kejar aku, Iblis Busuk! Akan kuhan- 
curkan tulang-belulangmu!" seru Raja Sihir Pele- 
nyap Sukma sambil menolehkan kepala, tapi tan- 
pa memperlambat kecepatan larinya. 

Sosok yang hampir telanjang itu rupanya 
sudah jenuh mengejar-ngejar buruannya. Dia 
berhenti, lalu berbalik arah. Namun anehnya, Ra- 
ja Sihir Pelenyap Sukma malah menghentikan la- 
rinya dan bergerak mengejar. 

"Hey! Iblis Busuk! Iblis Pengecut, kemari 
kau! Hadapi aku!" 

Ucapan-ucapan keras bernada tantangan 
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma ternyata sia-sia 
belaka. Sosok hampir telanjang yang dimaki- 
makinya terus berlari tanpa mempedulikan teria- 
kan tantangan dari kakek jangkung itu. 

Melihat hal ini Raja Sihir Pelenyap Sukma 
sambil terus mengejar, mengeluarkan benda- 
benda logam berbentuk bintang segitiga. Lalu, di- 
lemparkannya ke arah sosok hampir telanjang 
yang berlari di depannya berjarak enam tombak. 

Cap, cappp! 

Bintang bersegitiga itu menancap semua 
pada saran yang dituju karena sosok hampir te- 
lanjang tidak mengelakkannya sama sekali. 

Sosok hampir telanjang itu mengeluarkan 
jeritan keras menggelegar penuh kemarahan. Se- 
ketika berhenti lalu membalikkan tubuhnya. 
Dengan gerakan cepat sosok hampir telanjang itu 
melompat menerkam Raja Sihir Pelenyap Sukma 
seperti seekor harimau menerkam mangsa. Kedua 
tangannya yang berkuku panjang dan hitam siap 
merobek-robek tubuh kakek jangkung itu. 

Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak 
kalah gesit bertindak. Sebelum serangan itu men- 
genai sasaran, dia bergerak cepat mengelak ke 
kanan depan. Tangan kirinya dikibaskan ke dada 
lawannya yang terbuka lebar 

Bukkk! 

Telak dan keras sekali tangan kiri Raja Si- 
hir Pelenyap Sukma mendarat di dada lawan. Se- 
ketika tubuh sosok hampir telanjang itu terlem- 
par jauh ke samping. Namun, dengan gerakan 
manis sosok itu menggerakkan tubuh untuk me- 
matahkan kekuatan yang membuatnya terlempar, 
kemudian mendarat di tanah dengan kedua kaki. 
Tidak terlihat tanda-tanda kalau pukulan keras 
Raja Sihir Pelenyap Sukma yang mampu meng- 
hancurkan batu sebesar rumah itu berpengaruh 
terhadap dirinya. Dengan gerakan yang lebih ke- 
ras dari sebelumnya, sosok hampir telanjang itu 
kembali menerjang lawannya. 

Raja Sihir Pelenyap Sukma kali ini melom- 
pat jauh ke belakang untuk mengelakkannya. Dia 
tidak kaget melihat lawannya tidak terluka atau 
kesakitan akibat pukulan tadi. 

Malam mencekam dengan suasana re- 
mang-remang karena bulan purnama tertutup 
awan tebal terus merayap perlahan. Pertarungan 
sengit itu pun terus berlanjut. Sebuah pertarun- 
gan aneh karena sosok hampir telanjang yang 
memusatkan diri pada penyerangan, tidak pernah 
berusaha mengelak atau menangkis gempuran 
lawan. Berkali-kali serangan Raja Sihir Pelenyap 
Sukma, baik berupa pukulan maupun tendangan 
bersarang di tubuhnya, namun hanya membuat- 
nya terlempar jatuh untuk kemudian melakukan 
penyerangan lebih dahsyat. Serangan-serangan 
aneh karena dilakukan dengan gerakan kaku. 

Sepuluh jurus berlalu dan tidak terhitung 
sudah beberapa kali sosok berpakaian hampir te- 
lanjang itu terkena pukulan maupun tendangan 
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun kekuatan 
tubuhnya benar-benar luar biasa! Tak sedikit pun 
terlihat adanya tanda-tanda kalau serangan- 
serangan yang gencar mendarat pada sasaran itu 
berpengaruh atas dirinya. 

Raja Sihir Pelenyap Sukma sejak semula 
sadar, percuma menghadapi lawannya karena 
mengetahui keperkasaan dan ketangguhan sosok 
berpakaian hampir telanjang itu. Itulah sebabnya, 
pada jurus kedua belas, ketika memperoleh ke- 
sempatan, dia segera melesat meninggalkan la- 
wannya, setelah terlebih dahulu melempar tubuh 
ke belakang untuk menjauhkan diri. 

Sosok hampir telanjang tidak mau mem- 
biarkan lawan pergi begitu saja. Dia kembali me- 
lesat mengejarnya. Tak pelak lagi kejar-mengejar 
yang kedua kalinya pun terjadi 

Namun kali ini, Raja Sihir Pelenyap Sukma 
terus berlari tanpa mengucapkan kata-kata me- 
nantang. Dan cerdiknya, kakek jangkung ini me- 
nempuh tempat-tempat yang banyak dipenuhi 
semak-semak dan pepohonan, sehingga dalam 
waktu sebentar saja lawannya kehilangan jejak 

Sosok berpakaian hampir telanjang itu 
menggeram penuh kemarahan ketika mengetahui 
buruannya lenyap. Meskipun demikian karena 
merasa amat penasaran, pengejaran terus dilaku- 
kan. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan 
menjadi sasaran kemurkaannya. Semak-semak 
serta pepohonan itu porak-poranda ketika dia 
menghentakkan dan menyambar-nyambar tan- 
gannya secara sembarangan sambil meraung- 
raung karena marah. 

Mendadak sosok hampir telanjang itu me- 
nolehkan kepala secara cepat ke samping kanan- 
nya. Pendengarannya yang tajam menangkap 
adanya bunyi gerakan dari arah itu. Maka dengan 
kecepatan kilat dia melesat ke sana. 

*** 


"Astaga makhluk apa itu?!" 

Terdengar suara seruan dari mulut kakek 
kecil kurus yang merupakan salah satu dari em- 
pat sosok yang tengah berlari menerobos kerim- 
bunan semak-semak dan pepohonan di dalam hu- 
tan ini. Tiga sosok lainnya adalah seorang kakek 
bongkok dan dua orang pemuda. Satu di antara 
pemuda itu mempunyai rambut berwarna putih 
keperakan. Pemuda berambut putih keperakan 
ini tak lain Arya. Sedangkan tiga sosok lainnya 
adalah Dongga, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang 
Kendi Laga. 

"Melihat ciri-cirinya aku yakin sosok ini 
bukan manusia, Kurus," timpal Resi Bumi Gidu- 
lu. "Aku lebih condong menduga kalau makhluk 
ini adalah mayat hidup!" 

Arya dan Dongga tidak memberikan tang- 
gapan sama sekali, tapi dari mereka terlihat kalau 
dua pemuda perkasa ini mempunyai pendapat 
yang sama dengan Resi Bumi Gidulu. 

Keempat tokoh ini menatap ke arah sosok 
yang tengah mereka perbincangkan dengan mata 
hampir tidak berkedip. Sosok yang muncul secara 
tiba-tiba dari balik kerimbunan semak dan pepo- 
honan sehingga membuat perjalanan mereka ter- 
henti. Keempat orang ini tengah dalam perjalanan 
menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap 
Sukma, setelah berhasil menemukan tempat ke- 
diaman kakek jangkung itu lewat upacara pe- 
manggilan roh! 

Dan keempat tokoh ini memang tidak ber- 
lebihan dengan pendapatnya. Sosok yang berdiri 
di hadapan mereka tampak kaget juga melihat 
keempatnya. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang 
menggiriskan hari. Tubuhnya kurus kering seper- 
ti tidak memiliki daging, pakaian koyak-koyak 
membungkus tubuhnya. Sebuah pakaian yang te- 
lah lusuh dan rapuh karena ada bagian yang ro- 
bek dan jatuh ke tanah ketika angin agak keras 
berhembus. Namun yang lebih meyakinkan Arya 
dan ketiga kawan seperjalanannya akan dugaan 
Resi Burnt Gidulu adalah ketika mencium bau ti- 
dak enak yang menyebar dari tubuh sosok hampir 
telanjang itu. Baik yang hanya keluar dari tubuh 
binatang atau manusia yang telah lama mening- 
gal, bau bangkai! 

"Arrrggghh...!" 

Setelah sesaat tertegun sosok kurus kering 
itu menggeram keras. Dia tertegun karena tidak 
menyangka kalau bunyi yang tadi didengarnya 
bukan yang ditimbulkan oleh langkah kaki Raja 
Sihir Pelenyap Sukma. 

Sebelum gema suara keras itu lenyap, so- 
sok kurus kering telah melompat menerjang 
Eyang Kendi Laga, yang berada paling depan. Ke- 
dua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi 
dengan menggunakan sebuah jari telunjuk. Bunyi 
mencicit nyaring mengiris pendengaran mengirin- 
gi tibanya serangan itu. 

Sebelum serangan sosok hampir telanjang 
itu mengenai sasaran, terdengar teriakan keras 
yang menggeledek Dongga melesat memotong dari 
samping seraya mengirimkan tendangan ke arah 
dada sosok kurus kering itu. 

Bluk! Blukk! 

Tubuh mayat hidup itu terpental jauh ke 
belakang ketika tendangan terbang Dongga 
menghantam sasaran secara telak dan keras. Ti- 
dak hanya sekali, karena begitu tendangan per- 
tama menghantam sasaran, pemuda berompi ku- 
lit ular ini langsung menyusulnya dengan tendan- 
gan kaki yang lain. 

Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi 
Laga menghela napas berat melihat hat ini. Diam- 
diam ketiga tokoh ini menyayangkan tindakan 
Dongga yang mereka anggap terlalu kejam. Seba- 
gai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya dan kedua 
kakek itu tahu kalau tendangan Dongga itu amat 
dahsyat dan cukup untuk menewaskan lawan 
yang bagaimanapun kuatnya. Perasaan kagum 
pun menyeruak di hati mereka terhadap Dongga 
karena tidak menyangka kalau pemuda pendiam 
itu memiliki ilmu demikian tinggi. Walaupun begi- 
tu perasaan ini tidak mampu mengusir perasaan 
sesal atas tindakan Dongga yang mereka anggap 
terlalu gampang menjatuhkan serangan memati- 
kan. 

Namun penyesalan yang membelit hati 
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga 
langsung berubah ketika melihat perkembangan 
yang tidak mereka sangka-sangka. Tubuh sosok 
kurus kering yang melayang jauh itu tidak jatuh 
berdebuk di tanah seperti dugaan mereka semula. 
Dengan sebuah gerakan manis sosok hampir te- 
lanjang itu mendarat di tanah dengan kedua kaki, 
secara mantap. 

"Tidak salahkah penglihatanku...?!" Perta- 
nyaan itu bergayut di hati Arya dan dua kakek 
sakti itu. 

Ketiganya baru yakin kalau sosok yang mi- 
rip mayat hidup itu benar-benar tidak terpenga- 
ruh terhadap tendangan Dongga. Sambil mengge- 
ram keras makhluk menggiriskan hati itu kembali 
melompat menerjang. Kali ini yang mereka serang 
adalah Dongga. 

Dongga yang rupanya tidak menduga hal 
itu akan terjadi, kelihatan gugup. Dengan gerakan 
mendadak, dibanting tubuhnya ke tanah. Namun 
makhluk kurus kering itu tidak membiarkan la- 
wannya lolos. Dia melesat mengejar, lalu menghu- 
janinya dengan serangan-serangan maut sehingga 
membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah 
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. 

Eyang Kendi Laga yang melihat keselama- 
tan Dongga terancam, tak bisa tinggal diam. Ba- 
gaimana pun tadi pemuda berompi kulit ular itu 
telah menunjukkan maksud baiknya dengan 
menjegal serangan makhluk aneh itu terhadap di- 
rinya. Maka, kakek kecil kurus berkepala botak 
ini pun melesat di dalam kancah pertarungan, 
menghampiri Dongga yang masih bergulingan se- 
dangkan makhluk kurus kering itu mengejarnya 
terus dengan serangan-serangan maut 

"Makhluk Buruk, lihat serangan!" seru 
Eyang Kendi Laga yang tidak mau mengirimkan 
serangan di saat lawannya tidak bersiap. 

Kakek kecil kurus ini mengirimkan seran- 
gan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam- 
nya. Kedua tangannya yang terkepal keras dipu- 
kulkan susul-menyusul ke arah punggung mak- 
hluk kurus kering itu. 

"Arrrggghhh. 

Makhluk hampir telanjang yang mempu- 
nyai kekuatan tubuh luar biasa itu menggeram 
keras. Tubuhnya membalik kemudian memapak 
serangan Eyang Kendi Laga juga dengan tangan 
terkepal. Tindakan ini membuat serangan terha- 

Ketika Dongga masih berada di tanah, 
makhluk kurus itu tidak membiarkan dirinya lolos. 
Makhluk itu melesat mengejar, lalu menghujaninya 
dengan serangan-serangan maut sehingga mem- 
buat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah untuk 
menyelamatkan selembar nyawanya. 
dap Dongga dihentikan. 

Duk, duk, dukkk! 

Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika 
dua tangan yang terkepal berbenturan secara ke- 
ras. Dan setiap benturan membuat tubuh Eyang 
Kendi Laga tergetar hebat dengan tangan terasa 
sakit-sakit. Bahkan benturan terakhir membuat 
tubuhnya terjengkang ke belakang. 

Kesempatan baik ini dipergunakan cepat 
oleh makhluk menyerupai mayat hidup itu untuk 
mengirimkan cengkeraman ke arah lambung dan 
ubun-ubun Eyang Kendi Laga. 

Ctarrr! Rrrttt! 

Sebelum ubun-ubun dan lambung Eyang 
Kendi Laga hancur oleh cengkeraman makhluk 
aneh itu, Resi Bumi Gidulu, telah lebih dulu ber- 
tindak dengan cambuknya. Bunyi meledak keras 
mengiringi meluncurnya cambuk itu ke arah 
makhluk hampir telanjang itu dan secara telak 
menghantam ubun-ubunnya. 

Seketika itu pula tubuh makhluk menye- 
rupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang 
bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap 
Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan. 

"Iblis!" 

Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan 
seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat mak- 
hluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Han- 
taman pada ubun-ubun yang merupakan tempat 
mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh, 
kecuali hanya terjengkang ke belakang. Dan keti- 
ka pengaruh hantaman cambuk yang membuat- 
nya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk 
kurus kering itu kembali melancarkan serangan 
dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan 
tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang 
Kendi Laga lagi, melainkan pada Resi Bumi Gidu- 
lu. 

Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk 
kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega 
membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menye- 
lamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka, 
pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun 
berlangsung. Makhluk kurus kering itu mengha- 
dapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga. 

Dongga yang telah kembali menjauhi kan- 
cah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya me- 
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati pe- 
nuh takjub. 

"Benarkah itu makhluk hidup?!" tanya 
Arya masih belum percaya akan pandangan ma- 
tanya. 

"Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada 
membenarkan. "Ciri-ciri dan kedahsyatannya te- 
lah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia 
memang makhluk hidup." 

Arya tidak memberikan tanggapan lagi, da- 
lam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini 
pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali 
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung. 
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lam- 
bat laun makhluk kurus kering itu pasti akan ke- 
luar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang 
menakjubkan akan menyebabkannya berada di 
atas angin. Makhluk itu dengan berani menerima 
semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi 
Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua 
kakek itu justru harus berhati-hati karena sekali 
saja terkena serangan, nyawa mereka akan teran- 
cam. Serangan-serangan makhluk menyerupai 
mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan 
berbahaya. 

Sambil terus memperhatikan pertarungan, 
Dewa Arak memutar benaknya berusaha menja- 
wab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering 
itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia 
bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa de- 
mikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana 
mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri. 
Pasti ada orang yang membangkitkannya. 

"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa 
Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi 
kulit ular yang berada di sebelahnya. 

"Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi 
tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Ti- 
dakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji 
itu lebih dulu mencelakai temanmu?!" 

Arya langsung memberikan jawaban, 
meskipun hatinya membenarkan usul Dongga. 
Namun dia merasa khawatir akan keselamatan 
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya- 
kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di 
tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecu- 
ali apabila mereka telah menemukan kelemahan- 
nya. 

"Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan 
keselamatan mereka, Arya," sambung Dongga, 
seperti mengetahui hati yang membuat pemuda 
berambut putih keperakan itu tidak langsung 
mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sak- 
ti dan berpengalaman, aku yakin keduanya akan 
sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak 
sanggup menghadapi mayat hidup itu." 

"Kau benar, Dongga?!" Kali ini Arya lang- 
sung sigap menyambut "Mari kita tinggalkan tem- 
pat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita 
semula!" teriaknya kemudian. 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak ber- 
sama Dongga melesat menuju tempat kediaman 
Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru bebera- 
pa langkah, keduanya saling pandang ketika me- 
lihat sosok jangkung tengah berlari searah den- 
gan mereka. Sosok jangkung yang sudah pasti 
Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan 
mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak. 
Sosok itu berlari dengan hati-hati. 

"Itukah penculik kawanmu, Aiya?!" tanya 
Done meminta jawaban pasti. Dan ketika Dewa 
Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi 
kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu, 
lekas kita kejar! Aku yakin dia tengah menuju 
tempat kediamannya,!" 

"Dan kau sendiri langsung menuju tempat 
kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bi- 
sa menduga arah pemikiran pemuda berompi ku- 
lit ular itu. 

"Benar!" 

"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku 
sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan 
ganjaran dan kalau bisa mengirim nyawanya ke 
akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian 
yang muncul di dunia persilatan ada hubungan 
dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan ka- 
lau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah mem- 
buat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin un- 
tuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan 
terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati, 
Dongga. Bukan tidak mungkin kalau Raja Sihir 
Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!" 

Usai berkata demikian, Arya melesat den- 
gan pengerahan seluruh ilmu meringankan tu- 
buhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di 
belakang kakek bertubuh jangkung itu. 

"Mau lari ke mana kau, Iblis Keji?!" 

Dewa Arak melompat ke atas melewati ke- 
pala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto bebera- 
pa kali di udara, dan mendarat dengan mantap di 
depannya. 

"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung 
yang ternyata Raja Sihir Pelenyap Sukma. "Selalu 
saja kau yang menghalangi maksudku, Orang 
Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!" 

"Aku akan lebih menyesal lagi kalau mem- 
biarkan orang sepertimu terus berkeliaran di du- 
nia ini!" tandas Aiya, mantap. 

"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada 
waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat 
beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!" 

"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi 
permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari si- 
ni jika mampu membunuhku...." 

"Kau mencari penyakit!" 

Wuttt! 

Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, 
Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan seran- 
gan dengan tusukan sebuah benda yang diambil 
dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat ce- 
pat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas 
bahkan ketika meluncur ke arah Dewa Arak. 
Meskipun demikian, sepasang mata pendekar 
muda itu mampu mengetahui kalau benda yang 
mengancamnya ternyata sebuah kipas yang 
ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru angin- 
nya saja mungkin mampu merobek pakaian jika 
terkena. 

Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan 
kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke be- 
lakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak 
membiarkan tindakan pemuda berambut putih 
keperakan itu. Dia melancarkan serangan susu- 
lan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah 
wajah. Kipas itu dikembangkan. 

Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu 
memandang rendah, hingga mengira dengan se- 
rangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan da- 
pat dirobohkannya. 

Meskipun serangan itu meluncur secara ti- 
ba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den- 
gan merendahkan tubuh. Bahkan pemuda itu da- 
pat mengirimkan serangan yang membuat lawan- 
nya melompat mundur. Untuk yang kedua ka- 
linya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja 
Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini, 
kakek jangkung itu menggunakan kipas baja yang 
merupakan senjata andalannya. 

Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang 
Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak 
menggemparkan dunia persilatan. 

Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan 
gigi, merasa geram karena kecelik. Semula dis- 
angka setelah kipas andalannya dikeluarkan, 
dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan. 
Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu 
membuatnya berada dalam keadaan gawat. Kare- 
na memberi kesempatan Dewa Arak mengelua- 
rkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalan- 
nya. Dan begitu Dewa Arak menggunakan guci 
araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dah- 
syat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap 
serangan kipasnya selalu berhasil dikandaskan, 
sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dah- 
syat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman 
gelombang laut. 




Bukk! 

Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja 
Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang keti- 
ka sebuah tendangan kaki kanan Arya bersarang 
di paha kanannya. Dewa Arak yang memang su- 
dah bertekad bulat untuk melenyapkan lawan- 
nya, segera meluruk untuk mengirimkan seran- 
gan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan 
cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan 
itu. 

"Tahan...!" 

Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ke- 
tika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan te- 
riakan keras sambil melempar kipas di tangan- 
nya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang 
tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu 
bukan sifat seorang pendekar sejati. 

"Apa maksudmu, Raja Sihir?!" bentak Arya, 
keras. Tangan kanannya masih menegang, dan 
siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung 
itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini khawatir ka- 
lau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan 
tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan 
pantangan bagi tokoh golongan hitam. 

"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku 
mati, maka keamanan dunia persilatan akan te- 
rancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hi- 
tam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan 
akan kacau-balau?!" Ucap Raja Sihir Pelenyap 
Sukma lagi tenang tapi bernada tuntutan, dan si- 
kapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau 
akan melakukan tindakan kecurangan. 

"Kau bergurau, Raja Sihir?!" Arya masih ti- 
dak percaya. "Aku yakin malah sebaliknya! Den- 
gan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi 
aman dan...." 

"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong ka- 
kek jangkung cepat sebelum Arya menyelesaikan 
ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku 
Raja Sihir?! Apakah kau tidak keliru mengenali 
orang?!" 

"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja 
Sihir?! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa 
dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" sa- 
hut Arya, langsung mengajukan dugaan. 

"Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah ka- 
kek jangkung sambil menudingkan tangan ka- 
nannya. "Kau memaksakan diriku untuk menga- 
kui julukan yang bukan milikku! Lalu apa mak- 
sudmu, Anak Muda?! Apa kau tidak percaya ka- 
lau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap 
Sukma?!" 

Arya kontan terdiam mendengar ucapan 
kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang 
pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di 
hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya 
terhadap guci arak pun mengendur. 

"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap 
Sukma?!" tanya Aiya meminta kepastian dengan 
nada suara mulai melunak. 

Kakek jangkung itu menganggukkan kepa- 
la. 

"Apa kau hendak mengingkar pula kalau 
kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan 
pernah bertempur di saat kau hendak membawa 
kabur seorang gadis berpakaian merah?!" tanya 
Arya lagi setelah tercenung sejenak dan memutar 
otak. 

Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum 
memberikan jawaban. 

"Kuakui kalau kita pernah bertemu sebe- 
lumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda! 
Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesa- 
lahpahaman belaka!" 

"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek," 
Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau 
membuktikan padaku kalau kau tidak melakukan 
hal-hal keji terhadap kawan baikku? Aku baru 
mempercayaimu kalau kau mempertemukanku 
dengan kawanku itu" 

"Kalau hal itu dapat membuatmu memper- 
cayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya 
perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan 
hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau 
boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu 
nanti." 

Arya tidak memberikan tanggapan sama 
sekali. Tanpa berkata apa-apa diayunkan kakinya 
mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih 
dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya. 
Meskipun demikian, pemuda berambut putih ke- 
perakan itu tidak langsung mempercayainya begi- 
tu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek 
jangkung itu melakukan kecurangan secara men- 
dadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh. 

"Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!" 

Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek 
jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi 
cukup untuk terdengar oleh orang-orang yang be- 
rada di dalamnya. 

Arya sempat memperhatikan bagian tebing 
di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama 
kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian teb- 
ing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, per- 
sis seperti penjelasan dari roh yang dipanggil oleh 
Resi Bumi Gidulu. 

Namun perhatian Arya hanya sebentar, ka- 
rena langsung dilibat oleh perasaan kaget men- 
dengar panggilan yang dikeluarkan kakek jang- 
kung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada 
bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, ga- 
dis murid Eyang Kendi Laga, dan seorang gadis 
lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada ber- 
sama kakek bermuka kehijauan ini? Perasaan cu- 
riga yang bersemayam di benak Dewa Arak sema- 
kin membesar. 

Sungguhpun demikian, Arya tidak bertin- 
dak gegabah dan langsung menjatuhkan seran- 
gan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan 
untuk melihat terus perkembangannya, serta se- 
makin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan 
yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek 
jangkung masuk ke goa. Di dalam ternyata te- 
rang-benderang seperti layaknya pada waktu 
siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cu- 
kup mengherankan sebenarnya, tapi tidak mem- 
buat Arya bingung. Pemuda berambut putih kepe- 
rakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang me- 
nyerap sinar matahari di waktu siang dan me- 
mantulkan nya kembali di waktu malam. Dia 
menduga batu-batuan yang ada di dalam goa 
termasuk batuan seperti itu. 

"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana ka- 
lian..,! Cepat kemari...!" 

Kembali kakek jangkung mengeluarkan se- 
ruan ketika belum juga terdengar sahutan dari 
dalam. 

Kenyataan ini membuat Dewa Arak sema- 
kin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan ka- 
kek jangkung itu tidak terdengar. Dia lebih con- 
dong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan 
belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap. 
Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak 
adanya panggilan jawaban atas panggilan itu 
membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek 
jangkung mulai luntur. 

Dewa Arak melompat mundur ketika sam- 
pai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis- 
gadis yang dipanggil kakek jangkung. Lorong goa 
telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind- 
ing tebal dan beruang cukup luas. 

"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang 
aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiap- 
lah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam. 

"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar, 
Anak Muda?!" sahut kakek jangkung, masih den- 
gan tenang. "Aku yakin ada kekeliruan di sini. 
Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...." 

"Aku telah bertindak cukup bijaksana den- 
gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenya- 
taannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas 
ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan. 
Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk 
Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" 

"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap. 
"Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma." 

"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku 
memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir! 
Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan 
baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya 
dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata- 
kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar 
kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau 
jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengan- 
nya? Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!" 

"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas 
berat setelah terdiam beberapa saat lamanya. Si- 
kapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan 
dikatakan merupakan hal yang bertentangan 
dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa. 
Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, se- 
baiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus 
terang, memberitahukan hal yang sebenarnya ti- 
dak boleh dan tidak pernah kukatakan pada sia- 
pa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir 
Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak 
Muda?!" 

"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku 
tidak bisa mempercayainya. Aku tidak percaya 
dengan ucapanmu lagi!" 

"Percayalah, Anak Muda, aku berkata se- 
benarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada 
urusan besar yang membutuhkan bantuanku 
demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku 
mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu 
saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku, 
mati bukan apa-apa!" 

"Aku pun merasa berat untuk tidak mem- 
percayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, ba- 
gaimana, kenyataan menunjukkan kalau uca- 
panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan 
tunjukkan padaku, tidak ada sama sekali. Aku 
curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau 
sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!" 

"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa 
saja aku pada kawanmu yang kau katakan men- 
genal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia 
tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau mak- 
sud itu." 

"Ah...!" 

Kakek jangkung tersentak kaget ketika me- 
lihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih 
keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tu- 
buhnya sampai terjingkat seperti disengat ular 
berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi mera- 
sa keheranan. Dia sama sekali tidak tahu menga- 
pa Arya bersikap seperti itu. 

"Mengapa aku demikian pelupa?!" Arya 
menepak keningnya tanpa mempedulikan kehe- 
ranan kakek jangkung. 

"Kalau benar kau bermaksud baik, dan di- 
rimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di 
sini!" 

Tanpa memberikan kesempatan pada ka- 
kek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya 
melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan 
itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh il- 
mu meringankan tubuhnya, karena khawatir 
akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkan- 
nya. 

"Eyang...! Resi...!" 

Arya berseru kaget ketika telah berada da- 
lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang 
Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke 
belakang dan memekik kesakitan. 

Sesaat kemudian kedua kakek itu siap me- 
lancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi 
Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah 
mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan 
tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya 
setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan 
menggurat-guratkannya ke tanah. 

Arya yang bermata tajam melihat kalau ge- 
rakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebe- 
lumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan 
Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan 
bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka. 
Sambil terus berlari mendekati, pandangannya te- 
tap ditujukan ke tempat pertarungan. 

"Arrrggghh...!" 

Makhluk kurus kering menggeram keras 
melihat serangan yang datang dari dua jurusan 
itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me- 
miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak 
tampak gentar melihat serangan-serangan yang 
tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari 
kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pa- 
da saat yang bersamaan kaki kanannya menen- 
dang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda 
menyepak. 

Tappp! Dukkk! 

Hampir bersamaan serangan cambuk dan 
tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk 
dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan 
tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi 
tidak menimbulkan luka sama sekali. 

Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa 
Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke 
sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebe- 
lum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu 
sempat berbuat sesuatu. 

Crattt! Bukkk! 

Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke- 
luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi 
Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang 
ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih 
jauh karena kakek kecil kurus ini terkena ten- 
dangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi 
Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus 
kering itu pada dadanya. Kakek bongkok ini men- 
galami nasib demikian karena setelah cambuknya 
tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh 
Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah 
tangan kiri makhluk menyerupai mayat hidup itu 
merobek dadanya. 

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan 
makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan ge- 
raman mengerikan, dia melompat menerkam tu- 
buh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung- 
huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertan- 
gan satu itu memucat, menyadari maut yang ten- 
gah meluruk ke arahnya. 

Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk 
kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi- 
dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya. 

" Aaarrrggghh...!" 

Makhluk aneh itu menggeram penuh ke- 
murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas 
dari maut. Tentu saja dia tidak bodoh untuk 
mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan 
Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh 
saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah 
bayangan ungu berkelebat cepat sekali. 

Geraman keras penuh kemarahan kembali 
terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok un- 
gu itu melesat ke arah tubuh Eyang Kendi Laga 


htip: /&uniddbuk6isel. blogspot. cotn 
yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Ke- 
mudian dengan gerakan secepat kilat membawa 
keduanya melesat kabur dari situ. 

Makhluk menyerupai mayat itu bergegas 
mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De- 
wa Arak ternyata memiliki kecerdikan menga- 
gumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il- 
mu lari cepat yang juga luar biasa, maka meru- 
pakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk 
berlari di tempat terbuka dengan beban yang cu- 
kup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang 
banyak memungkinkan untuk menghilangkan je- 
jak Dia terus melesat menembus semak-semak 
dan pepohonan. 

Arya tersenyum lega dalam hati ketika 
mendengar teriakan geram itu sangat jauh, kare- 
na kehilangan jejaknya. Namun pemuda beram- 
but putih keperakan ini tidak berpuas diri, me- 
lainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya. 

"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku 
bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga keti- 
ka suara geraman makhluk aneh itu sudah tidak 
terdengar lagi. 

"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi 
Bumi, Gidulu menyambung. 

Arya berhenti dan menurunkan tubuh ke- 
dua kakek itu. 

"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya 
Eyang Kendi Laga, setelah merapikan pakaiannya 
yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya. 

"Aku bertugas menghadang perjalanan Ra- 
ja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga 
mendapat bagian untuk menyelamatkan kawan- 
ku." Arya langsung menceritakan semua yang di- 
alami, sampai dia berhasil menolong Eyang Kendi 
Laga, dan Resi Bumi Gidulu. 

"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mung- 
kinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam 
goa itu karena telah ditolong oleh Dongga? Tapi, 
kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak 
memberi kabar?!" 

Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu 
mengernyitkan kening, berpikir keras. 

"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua per- 
tanyaan di sini. Apakah betul kakek jangkung itu 
bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana 
perginya Dongga?!" Eyang Kendi Laga membuka 
suara. 

"He he he...! Kurasa lebih baik kalau kita 
pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau 
disebut Raja Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ter- 
nyata ucapannya benar, pasti dia masih berada di 
sana! Bukankah demikian, Rambut Setan?!" 

"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya 
tanpa berani memberikan kepastian. 

Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat 
mereka memutuskan untuk menuju tempat ke- 
diaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku 
sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma. 

Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya 
dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa. 
Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke 
goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang- 
kung di sana. Dan ternyata, kosong! 

"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap 
Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan 
dia telah membohongimu, Rambut Setan. He he 
he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya se- 
mua kekacauan ini. Bahkan aku yakin kalau 
Dongga mendapat celaka di tangannya!" 

"Tapi, saat itu dia tengah bertarung den- 
ganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang 
mulut, Resi!" 

"Kita kehilangan jejak kembali," gumam 
Eyang Kendi Laga, mengeluh 

"Haruskah upacara pemanggilan roh itu 
diadakan lagi, Bumi Gidulu?" 

"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir 
Pelenyap Sukma penipu itu telah berada di sini 
sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat 
melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gi- 
dulu, penuh keyakinan. 

Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang 
Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di- 
maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk 
mengembang kempiskan hidungnya seperti ten- 
gah mencium-cium bau. Tindakannya mengin- 
gatkan akan kelakuan seekor anjing, atau bina- 
tang lain yang mempergunakan hidung untuk 
melacak jejak. 

Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus 
sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu 
beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah ke 
luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga sating pan- 
dang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengi- 
kuti Resi Bumi Gidulu. 

Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang- 
kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhen- 
ti sejenak di satu tempat sambil tetap mengem- 
bang-kempiskan hidungnya seraya memutar ke- 
pala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan. 
Kemudian melangkah secara pasti menuju arah 
yang diyakininya dilewati kakek jangkung. 


Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa me- 
nyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi 
Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk 
melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak 
sesosok tubuh jangkung yang tengah bersem- 
bunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diya- 
kini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap 
Sukma. 

Dengan tindakan hati-hati dan tanpa me- 
nimbulkan suara, ketiganya melangkah mendeka- 
ti tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau 
kakek yang diduga Raja Sihir Pelenyap Sukma itu 
akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana 
malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka 
merupakan semak-semak dan pepohonan. 

Rupanya kakek jangkung itu benar-benar 
memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bu- 
mi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala ka- 
kek jangkung itu menoleh ke belakang. 

Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan 
jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jang- 
kung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia 
lebih dulu melesat. 

"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir?!" seru 
Resi Bumi Gidulu keras, sambil mengirimkan to- 
tokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang 
menegang kaku laksana pedang. 

Prattt! 

Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika 
kakek jangkung memapak serangan itu dengan 
kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat 
pinggangnya, Tubuh kedua belah pihak sama- 
sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan ba- 
ju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti se- 
diakala. 

Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi ka- 
rena penasaran melihat serangannya menemui 
kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit 
pun kembali dilancarkan serangan susulan yang 
membuat pertarungan berlanjut 

"Hentikan...! Tahan...!" 

Kakek berwajah kehijauan beberapa kali 
berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi 
Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia! 
Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya 
dengan serangan maut. Arya dan Eyang Kendi 
Laga saling pandang. Mereka merasa heran men- 
dengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jang- 
kung sepertinya tak menyukai terjadinya perta- 
rungan? Benarkah ada kesalahpahaman di sini? 
Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak ber- 
salah? Pertanyaan ini bergayut di benak Arya dan 
Eyang Kendi Laga. 

"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar- 
benar tidak bersalah, Eyang!" Aiya tidak tahan 
untuk menyimpan dugaan itu terus-menerus di 
dalam hati. 

"Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia ti- 
dak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar 
Eyang Kendi Laga. Namun sebelum Aiya dan 
Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah ter- 
jadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata 
mereka yang tajam, melihat beberapa sosok 
bayangan berkelebat mendekati kancah pertarun- 
gan. 

Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga men- 
getahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima 
orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Ka- 
rena ingin mengetahui hal yang akan mereka la- 
kukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan 
tindakan mereka dan memperhatikan 

Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata 
berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat perta- 
rungan. Mereka langsung menyelinap di balik pe- 
pohonan. 

'Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya 
Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati. 

Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu men- 
geluarkan benda-benda berkilat yang ternyata 
senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing- 
masing sosok melemparkannya ke arah kancah 
pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar 
di antara teriakan-teriakan kedua kakek yang se- 
dang bertarung. 

Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika 
mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Re- 
si Bumi Gidulu. Hal ini menjadi pertanda kalau 
lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak ka- 
kek jangkung. 

Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena 
dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian 
untuk menghadapi kakek jangkung. 

Dan celakanya, serangan-serangan pisau 
itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam se- 
kejapan saja Resi Bumi Gidulu jadi terdesak he- 
bat oleh lawannya, 

Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang 
Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi 
Gidulu akan celaka di tangan lawan. Sebab, ka- 
kek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk 
mencegah Resi Bumi Gidulu menyerangnya, ma- 
lah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang 
membahayakan. Hal ini membuat Arya dan Eyang 
Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tin- 
dakan guna menyelamatkan Resi Bumi Gidulu. 
Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai 
hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam 
itu. 

Baru saja Aiya dan Eyang Kendi Laga me- 
luruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah 
berlawanan muncul sosok-sosok yang amat me- 
reka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang me- 
nurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan 
hasil pekerjaan manusia! 

Sambil mengeluarkan geraman-geraman 
khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri 
dari campuran antara manusia dengan harimau, 
kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyam- 
but kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi La- 
ga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi 

Berbareng dengan munculnya makhluk- 
makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hi- 
tam menghentikan bantuan mereka terhadap ka- 
kek jangkung. Bahkan kemudian melesat me- 
ninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang 
semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat me- 
nyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit 
mengimbangi perlawanan. 

Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Ken- 
di Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua 
orang ini tidak sekeras sebelumnya. Baik Arya 
maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengi- 
rimkan serangan yang dapat membahayakan ke- 
selamatan lawan-lawan mereka. Serangan- 
serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan 
merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tan- 
pa harus membunuh mereka. Tindakan ini dila- 
kukan karena mengetahui kalau makhluk- 
makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Se- 
mua melakukan penyerangan karena pengaruh 
jahat yang mengendalikan mereka. 

Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga 
membuat mereka semakin sulit untuk mengalah- 
kan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan 
tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang 
membunuh mereka. Sebab, baik tindakan Aiya 
maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa. 

Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan 
yang berasal dari kancah pertarungan lainnya 
membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalih- 
kan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek 
jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama me- 
lompat saling terjang dengan tangan terbuka sa- 
ma-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke- 
dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam 
tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai 
tubuh keduanya turun ke tanah. 

Eyang Kendi Laga menghela napas berat 
melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat ting- 
gi, Arya pun tahu kalau Resi Bumi Gidulu dan 
lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara 
langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang ka- 
lah akan tewas, sementara yang menang pun ti- 
dak akan luput dari luka dalam parah. 

Menyadari akan keadaan yang gawat Arya 
dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi ke- 
mampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke 
atas dengan bersalto di udara melewati kepala la- 
wan-lawannya. Kemudian dari sana mengirimkan 
serangan ke arah belakang kaki lawan. 

Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu 
mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan- 
lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Se- 
ketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian 
itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi ka- 
rena sambungan lutut mereka terlepas! 

Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh 
Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus 
ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa- 
ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian 
sisanya roboh dengan sambungan tulang lutut 
terlepas. 

Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka, 
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan 
perhatian pada pertarungan menegangkan antara 
Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan 
dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan. 
Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul 
uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tam- 
pak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebe- 
sar-besar biji jagung. 

"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya 
Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia menya- 
dari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal 
yang sulit untuk dipisahkan. Orang yang menco- 
ba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas 
dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena 
gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu. 

Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda 
berambut putih keperakan ini terdiam dengan ha- 
ti memanggil-manggil belalang raksasa di alam 
gaib. Aiya telah berjanji dalam hati untuk tidak 
menggunakan bantuan belalang raksasa kasat 
mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan seka- 
rang keadaan telah kritis, maka dia memanggil- 
nya. 

Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan 
sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu ku- 
duknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam 
gaib itu masuk ke tubuhnya. 

Eyang Kendi Laga, meskipun tidak menge- 
tahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang 
secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada 
hembusan angin dingin yang membuat bulu ku- 
duknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada 
di sebelah Dewa Arak. 

Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir 
keluar dari rongganya ketika melihat di belakang 
Dewa Arak seperti tampak sesosok binatang ber- 
sayap yang besar, berwarna coklat. Sosok bina- 
tang menyerupai belalang raksasa itu hanya tam- 
pak samar-samar dan berupa bayangan. 

"Arrrggghh...!" 

Mendadak Dewa Arak mengeluarkan gera- 
man keras menggetarkan sekitar tempat itu. Sua- 
ra yang tidak patut keluar dari mulut seorang 
manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah men- 
gerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan 
pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu. 
Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat di- 
cegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tu- 
buh merasa lemas lunglai seluruh tenaganya sea- 
kan lenyap seketika. 

Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gi- 
dulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua ka- 
kek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pen- 
garuhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang 
Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh 
geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam 
mereka sempat terhenti sejenak. 

Kesempatan di saat aliran tenaga dalam 
kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar 
biasa pemuda berambut putih keperakan itu me- 
lesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat 
tubuhnya masih berada di udara, kedua tangan- 
nya dihentak-hentakkan. 

Angin dahsyat pun muncul dari tangan 
Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek 
yang tengah bertarung, hingga terpental dan ter- 
guling-guling. 

Begitu kekuatan yang membuat tubuh me- 
reka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan 
kakek jangkung merangkak bangun. Keduanya 
tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap 
atau pun gesit seperti semula. Baik tenaga Resi 
Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras 
habis. 

Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak 
sekitar lima tombak, Eyang Kendi Laga pun tam- 
pak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih 
berdiri dengan kedua lututnya. Dia masih tidak 
bergairah untuk bangkit karena belum mampu 
menghilangkan perasaan kagetnya akibat teria- 
kan Dewa Arak. Sementara tokoh yang menjadi 
penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan se- 
nyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang 
raksasa telah keluar dari dalam dirinya. 

Karena masing-masing tokoh terdiam, sua- 
sana berubah hening. Mendadak.... 

" Aaarrrggghh...!" 

Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan 
suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi 
geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama 
mengandung getaran yang dapat melumpuhkan 
lawan. 

Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu, 
yang masih terpengaruh oleh teriakan Arya, jadi 
kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang se- 
mula berdiri tegak pun, merasakan kedua ka- 
kinya menggigil. Namun dengan pengerahan te- 
naga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya 
tetap berdiri tegak di atas tanah. 

"Hak hak hak...!" 

Sebelum gema geraman keras tadi lenyap 
seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak 
bernada aneh, sehingga membuat Arya dan yang 
lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran. 
Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi 

"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semua- 
nya sia-sia...!" keluh kakek jangkung itu penuh 
penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan 
pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang 
Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebab- 
nya! Kalau kalian tidak terlalu keras kepala me- 
maksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit, 
hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usaha- 
ku!" 

Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang 
Kendi Laga saling pandang penuh perasaan heran 
mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak 
paham mengapa kakek itu marah-marah dan me- 
nimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ke- 
tiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jang- 
kung berhubungan dengan munculnya sesosok 
makhluk seperti mayat hidup yang didahului sua- 
ra geraman keras menggelegar itu. 

Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan 
juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik sua- 
ra aneh tadi. Sosok itu ternyata si Makhluk Kurus 
Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa. 
Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang da- 
tang bersamanya, seorang pemuda mengenakan 
pakaian dari kulit ular! 

"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang 
Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu memanggil 
pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya 
serta dua kakek rekan seperjalanannya menyi- 
ratkan perasaan heran melihat keberadaan Dong- 
ga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga ke- 
lihatannya bersahabat dengan makhluk yang 
hampir telanjang itu. Hal ini membuat Aiya dan 
kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi se- 
suatu. 

"He he he...!" 

Dongga tertawa terkekeh mengejek kehera- 
nan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan se- 
karang mereka melihat jelas sorot kekejian di ma- 
ta pemuda berompi kulit ular itu. 

"Pada kalian bertiga memang aku memper- 
kenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya 
kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan 
kalian terutama sekali kakek buntung itu akan 
mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil 
menuding Resi Bumi Gidulu. 

"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah 
Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh kemarahan... 
Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali menge- 
tahui pemuda yang telah mendatangkan rasa 
simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penja- 
hat "Jangankan mengenal namamu, wajahmu 
pun tidak kukenal!" 

"Begitukah?!" sambut Dongga cepat, penuh 
ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan mengenali na- 
maku, Guru." 

"Guru?!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar 
menggigil karena kaget. Perasaan yang sama me- 
nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan ka- 
kek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan 
cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga. 
"Si... siapakah kau... aku... eh..." 

"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru?! Aku, 
muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari 
dari pulau hukuman. Aku Rawali...!" 

"Rawali?!" Suara Resi Bumi Gidulu sema- 
kin menggigil karena cekaman perasaan tegang 
yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih 
muda... sedangkan Rawali sudah berusia lanjut. 
Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan ku- 
rang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa 
mempermainkan aku, Pembohong!" 

"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga 
alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau hanya men- 
jadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demi- 
kian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bo- 
doh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang ke- 
dualah aku mendapatkan kemampuan merubah 
wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan 
ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil 
membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh 
orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu ra- 
cun yang membuatku dapat membuat makhluk 
jenis baru campuran antara manusia dengan bi- 
natang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Me- 
reka mati keracunan, karena tidak kuat adanya 
kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?" 

Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi 
Laga terdiam dengan wajah menyiratkan pera- 
saan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak dis- 
angka kalau dalang semua kejadian ini ternyata 
Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka 
anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma! 

"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak- 
sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wa- 
nita-wanita itu bukan?" 

"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa 
Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil men- 
ganggukkan kepala. "Tepatnya adalah wanita- 
wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali 
pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal 
oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali me- 
nuding kakek jangkung. "Namun kakek itu bodoh! 
Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama 
berhasil dirampasnya, aku segera membuat jeba- 
kan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi 
bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas 
kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai 
tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek 
bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diam- 
bil juga. Padahal, aku tahu pasti kalau dia tengah 
melakukan sebuah perbuatan yang membutuh- 
kan wanita-wanita yang masih gadis. Dia tertipu!" 

Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gi- 
dulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jang- 
kung itu pun menculiki gadis-gadis untuk mela- 
kukan suatu percobaan? Berarti sama bejatnya 
dengan Rawali. 

"Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!" 
maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan 
tindakanku dengan perbuatanmu! Kau menculiki 
gadis untuk obat awet mudamu dan juga mak- 
hluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau 
bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku 
hanya membutuhkannya untuk melenyapkan ter- 
jadinya angkara murka di dunia persilatan, dan 
gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka 
tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka 
membantuku dengan suka rela!" 

"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu 
untuk menghentikan pertengkaran antara Rawali 
dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos da- 
ri pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin 
tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku 
yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu 
singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru 
dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta mengua- 
sainya?" 

"Kau memang tolol, Bumi Gioutu!" Enak 
saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja aku 
mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku 
menemukan guru kedua itu di pulau hukuman. 
Dan beberapa hari sebelum kau datang menjen- 
guk aku telah tamat belajar dan langsung me- 
ninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru ke- 
duaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang 
menuntunku keluar. Sayangnya, guru keduaku 
mempunyai watak seperti kau juga, lemas! Kebe- 
radaannya di pulau itu justru sengaja dan meng- 
hukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang 
dilakukannya belasan tahun lalu. Keluarnya dari 
pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika 
timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku 
dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!" 

"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi 
Bumi Gidulu, serta kakek jangkung, hampir ber- 
samaan. Sementara Dewa Arak menggeleng- 
gelengkan kepala 

"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti 
dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap 
saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung pe- 
nuh kemarahan. Kalau saja tidak dalam keadaan 
payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi 
kulit ular itu. 

"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu 
saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang 
sudah merasa heran sejak semula melihat kemi- 
ripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh 
juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan 
kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pe- 
lenyap Sukma yang bodoh itu? Silakan!" 

Arya tidak ingin kakek jangkung yang ter- 
nyata tidak bersalah dan masih lelah itu melan- 
carkan serangan, maka langsung melompat men- 
dahului. Dan karena telah mengetahui tingkat 
kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa, 
dikerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan kedua 
tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi 
ke arah dada dan ulu hati lawannya. 

Namun sebelum serangan Arya mencapai 
sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk 
kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebe- 
lahnya. Makhluk menyerupai mayat hidup itu 
mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerak- 
kan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan 
di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian un- 
gu itu terapung di udara dalam sikap tengah me- 
lancarkan serangan, 

Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang 
masih ada bergerak untuk melancarkan seran- 
gan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti 
Arya ketika makhluk kurus kering itu mengge- 
rakkan tangan menuding. 

"Tidak akan ada orang yang sanggup 
menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi 
terdengar jelas oleh Resi Bumi Gidulu. "Karena te- 
lah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus 
kering itu jadi memiliki kemampuan berlipat gan- 
da. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi dibu- 
nuh, kecuali... olehku!" 

"Mengapa tidak kau lakukan?!" sentak Resi 
Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena khawatir 
makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran 
padanya. 

"Tapi, kau harus berjanji membunuh Ra- 
wali untuk membalas kematian saudara kembar- 
ku!" 

"Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu 
mantap, sungguhpun merasa heran mengapa ka- 
kek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah 
kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah den- 
gannya? Mengapa harus meminta bantuan pa- 
danya? 

Kakek jangkung tak mempedulikan kehe- 
ranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat- 
kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu 
sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika ka- 
kek jangkung itu berhenti merapal mantera dan 
kemudian mengangkat tangan kanannya, mak- 
hluk kurus kering di sana ikut mengangkat tan- 
gan kanannya. 

"Hih?!" 

Kakek jangkung menghantamkan tangan- 
nya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengelua- 
rkan bunyi berderak keras. Pada saat yang ber- 
samaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu 
pun hancur tertembus tangannya. Dan bersa- 
maan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk 
aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak 
bernyawa. 

Dengan tewasnya, makhluk kurus kering 
itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan 
Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang se- 
jak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di 
alam gaib namun binatang itu tidak kunjung da- 
tang, mendadak merasakan kehadiran belalang 
alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang 
turun. 

Seketika itu pula dengan sebuah gerakan 
tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara, 
Dewa Arak melompat dan mengirimkan sampo- 
kan ke arah pelipis Rawali. 

Rawali yang tengah terkesima melihat ke- 
matian makhluk kurus kering andalannya, gugup 
melihat serangan yang datang secara cepat dan 
tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian 
dia masih sempat mengangkat tangan melindung 
bagian yang diserang. 

Plakkk! Plakkk! 

Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika 
sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepa- 
lanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya 
tidak mampu menahan tenaga serangan lawan. 
Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berke- 
lojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam 
tidak bergerak lagi, mati! 


•k'k'k 


Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi 
Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta ga- 
dis lainnya meninggalkan tempat yang menjadi 
saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Ke- 
nari, Arya serta kedua kakek itu mendengar seca- 
ra lebih jelas tentang kakek jangkung. Kakek itu 
memang berkata benar, meminta kesediaan Ma- 
war dan Kenari serta seorang gadis lain untuk se- 
buah perbuatan yang akan dilakukannya. Me- 
nyempurnakan kematian seorang leluhur dari ka- 
kek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan 
bangkit dari kubur dan menyebar malapetaka. 
Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang 
masih perawan, dengan hati suka rela, mayat le- 
luhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk 
selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi 
lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur ka- 
kek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya ja- 
tuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini 
untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh 
padanya. Lasini tewas menjadi tumbal. 

Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu 
kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian. 
Gumilang termasuk salah seorang di antara enam 
makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan 
Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun ber- 
janji akan mencari obat guna memulihkan kea- 
daan makhluk-makhluk campuran itu. 

Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam 
telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain 
menyatroni tempat kediaman Rawali. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Biang-biang Iblis